Download - BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Stroke
12
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Stroke
2.1.1 Definisi
Stroke adalah penyakit neurologis terbanyak yang dapat
mengakibatkan masalah kesehatan yang serius dan berdampak pada
kecacatan dan kematian akibat dari adanya disfungsi motorik dan
sensorik yang disebabkan oleh gangguan aliran darah otak non-
traumatik. (Subianto 2012 dalam Dinanti et al., 2015)
Stroke adalah gangguan fungsi otak yang terjadi dengan cepat (tiba-
tiba) dan berlangsung lebih dari 24 jam karena gangguan suplai darah
ke otak. (Wiwit, 2016)
Stroke adalah gangguan peredaran darah di otak yang mendadak
menyebabkan fungsi otak terganggu yang dapat mengakibatkan
berbagai gangguan pada tubuh, tergantung bagian otak yang rusak
(Pudiastuti, 2011 dalam Dinanti et al., 2015).
Berdasarkan penjelasan di atas dapat simpulkan bahwa stroke adalah
gangguan fungsi otak yang disebabkan oleh gangguan aliran darah ke
otak yang mengakibatkan berbagai macam gangguan pada tubuh.
Gambar 2.1 Stroke
13
2.1.2 Klasifikasi Stroke
Stroke pada dasarnya terbagi menjadi beberapa jenis, yaitu sebagai
berikut :
2.1.2.1 Stroke iskemik
Stroke jenis ini terjadi jika aliran darah ke otak terhenti karena
aterosklerosis (penumpukan kolesterol pada dinding
pembuluh darah) atau bekuan darah yang telah menyumbat.
Suatu pembuluh darah ke otak sehingga pasokan darah ke otak
terganggu. Hampir sebagian besar pasien atau sebesar 83%
mengalami stroke jenis ini. (Wiwit, 2016)
Pada dasarnya stroke iskemik disebabkan oleh beberapa hal,
diantaranya sebagai berikut :
a. Ateroma (endapan lemak), yaitu penyumbatan yang bisa
terjadi di sepanjang arteri menuju otak. Penyumbatan bisa
terjadi di sepanjang jalur pembuluh darah arteri yang
menuju ke otak, yaitu pada dua arteri karotis interna dan
dua arteri vertebralis. Arteri-arteri ini merupakan cabang
dari lengkung aorta jantung. Suatu ateroma bisa terbentuk
di dalam pembuluh darah arteri karotis sehingga
menyebabkan berkurangnya aliran darah. Keadaan ini
sangat serius karena setiap pembuluh darah arteri karotis
dalam keadaan normal memberikan darah ke sebagian
besar otak.
b. Peradangan atau infeksi yang dapat menyebabkan
penyempitan pembuluh darah yang menuju ke otak.
c. Obat-obatan, seperti kokain dan amfetamin, juga bisa
mempersempit pembuluh darah ke otak.
d. Penurunan tekanan darah yang tiba-tiba sehingga
menghambat aliran darah ke otak. Hal ini sering terjadi
14
pada orang yang kehilangan darah sangat banyak karena
cedera atau pembedahan.
e. Emboli, yaitu endapan lemak yang terlepas dari dinding
arteri dan terbawa aliran darah lalu menyumbat arteri yang
lebih kecil. Arteri karotis dan arteri vertebralis beserta
percabangannya juga bisa tersumbat karena adanya
pembekuan darah yang berasal dari tempat lain, seperti
dari jantung atau satu katupnya. Stroke semacam ini
disebut sebagai stroke emboli serebral (emboli =
sumbatan, serebral = pembuluh darah otak).
2.1.2.2 Stroke hemorragik
Jenis stroke hemorragik terjadi jika pembuluh darah pecah
sehingga menghambat aliran darah yang normal dan darah
merembes ke dalam suatu daerah di otak dan merusaknya.
Hampir 70% kasus stroke hemorragik terjadi pada pederita
hipertensi.
(Wiwit, 2016)
Gambar 2.2 Klasifikasi Stroke
15
2.1.3 Etiologi
2.1.3.1 Infark otak (80%)
a. Emboli
1) Emboli kardiogenik
2) Fibrilasi atrium dan aritmia lain
3) Thrombus mural dan ventrikel kiri
4) Penyakit katub mitral atau aorta
5) Endokarditis (infeksi dan non infeksi)
b. Emboli paradoksal (foramen ovalepaten)
1) Emboli arkus aorta
2) Aterotrombotik (penyakit pembuluh darah sedang-
besar)
3) Penyakit eksrakanial
4) Arteri karotis interna
5) Arteri vertebralis
c. Penyakit intracranial
1) Arteri karotis interna
2) Arteri serebri interna
3) Arteri basilaris
4) Lakuner (oklusi arteri perforans kecil)
2.1.3.2 Perdarahan intraserebral (15%)
a. Hipertensi
b. Malformasi arteri-vena
c. Angipati amiloid
2.1.3.3 Penyebab lain (dapat menimbulkan infark atau perdarahan)
a. Trobus sinus dura
b. Diseksi arteri karotis atau vertebralis
c. Vaskulitis sitem syaraf pusat
16
d. Penyakit moya-moya (oklusi arteri besar intracranial yang
progresif)
e. Migren
f. Kondisi hiperkoagulasi
g. Penyalahgunaan obat
h. Kelainan hematologis (anemia sel sabit, polisistemia atau
leukemia)
i. Miksoma atrium
Faktor risiko:
2.2.2.1 Yang tidak dapat diubah : riwayat keluarga,riwayat TIA atau
stroke, riwayat jantung koroner, usia, jenis kelamin, pria, ras,
fibrilasi atrium & heterozigot atau untuk hemosistinuria.
2.2.2.2 Yang dapat diubah : Hipertensi, Diabetes Mellitus, merokok,
penyalahgunaan obat & alkohol, kontrasepsi oral, hematokrit
meningkat, bruit karotis, asimtomatis, hiperurisemia dan
dislipidemia.
(Rendy & Margareth, 2012)
2.1.4 Manifestasi Klinis
Pada stroke non hemoragik (iskemik), gejala utamanya adalah
timbulnya deficit neurologist secara mendadak/subakut, didahului
gejala prodormal, terjadinya pada waktu istirahat atau bangun pagi dan
biasanya kesadaran tidak menurun, kecuali bila embolus cukup besar,
biasanya terjadi pada usia >50 tahun.
Menurut WHO dalam International Statistical Dessification Of Disease
And Releated Health Problem 10th revitoan, stroke hemoragik dibagi
atas :
17
2.1.4.1 Perdarahan Intraserebral (PIS)
Stroke akibat PIS mempunyai gejala yang tidak jelas, kecuali
nyeri kepala karena hipertensi, serangan sering kali siang
hari, saat aktivitas atau emosi, sifat nyeri kepalanya hebat
sekali, mual dan muntah sering terdapat pada pemulaan
serangan. Hemiparesis/hemiplegia biasa terjadi pada
permulaan serangan, kesadaran biasanya menurun dan cepat
masuk koma (60% terjadi kurang dari setengah jam, 23%
antara setengah jam s.d 2 jam dan 12% trejadi setelah 2 jam,
sampai 19 hari).
2.1.4.2 Perdarahan Subaraknoid (PSA)
Pada pasien PSA gejala prodormal berupa nyeri kepala hebat
dan akut, kesadaran sering terganggu & sangat bervariasi,
ada gejala atau tanda rangsangan maningeal, oedema pupil
dapat terjadi bila ada subhialoid karena pecahnya aneurisma
pada arteri komunikans anterior atau arteri karotis interna.
Manifestasi klinis stroke akut dapat berupa :
2.1.3.1 Kelumpuhan wajah atau anggota badan (biasanya
hemiparesis yang timbul mendadak)
2.1.3.2 Gangguan sensabilitas pada satu atau lebih anggota badan
(gangguan hemiparesik)
2.1.3.3 Perubahan mendadak status mental (konfusi, delirium,
letargi, stupor atau koma)
2.1.3.4 Afasia (bicara tidak lancar, kurangnya ucapan atau kesulitan
memahami ucapan)
18
2.1.5 Patofisiologi
2.1.5.1 Stroke non hemoragik disebabkan oleh adanya thrombus atau
emboli yang kemudian mengganggu peredaran darah otak,
sehingga menyebabkan suplai darah ke jaringan tidak adekuat
kemudian terjadi iskemik atau infark jaringan sehingga
terjadinya defisit neurologi reversible atau irreversible.
2.1.5.2 Stroke hemorragik disebabkan oleh peningkatan tekanan
sistemik (sistole/diastole) kemudian menyebabkan ruptur
pembuluh darah serebral/aneurisma/APM yang menyebabkan
perdarahan subarakoid/ventrikel otak dan menyebabkan
hematom serebral yang menyebabkan herniasi otak/PTIK dan
menyebabkan kesadaran seseorang menjadi menurun sehingga
terjadinya vasospasme arteri serebral saraf sentral yang
menyebabkan iskemik /infark jaringan otak, sehingga
beberapa orang mengeluhkan nyeri tekan dan menyebabkan
defisit neurologi reversible atau irreversible.
(Rendy & Margareth, 2012)
19
2.1.6 Pathway
2.1.6.1 Stroke Non Hemoragik
2.1.6.2 Stroke Hemoragik
(Rendy & Margareth, 2012)
Thrombus/Emboli
Peredaran darah otak terganggu
Suplai darah ke jaringan tidak adekuat
Iskemik infark jaringan
Defisit neurologi reversible/irreversible
Peningkatan tekanan sistemik (sistole/diastole)
Ruptur pembuluh darah serebral/aneurisma/APM
Pendarahan subaraknoid/ventrikel otak
Hematom serebral
Herniasi otak/PTIK
Kesadaran menurun
Vasospasme arteri serebral saraf sentral
Iskemik/infark jaringan otak, keluhan nyeri tekan
Defisit neurologi reversibel/irreversible
20
2.1.7 Pemeriksaan Penunjang
2.1.7.1 Pemeriksaan radiologi sistem saraf
a. Miografi
b. CT Scan
c. Angiografi
d. MRI
e. EEG
f. EMG
2.1.7.2 Laboratorium
a. Darah
b. Urine
c. Cairan serebrospinal
(Rendy & Margareth, 2012)
2.1.8 Penatalaksanaan
2.1.8.1 Demam
Demam dapat mengeksaserbasi cedera otak iskemik dan harus
diobati secara agresif dengan antipiretik (asetaminofen) atau
kompres dingin, jika diperlukan. Penyebab demam tersering
adalah pneumonia aspirasi, lakukan kultur darah dan urine
kemudian berikan antibiotik intravena secara empiris (sul
bensilin, sepalosporin, dll) dan terapi akhir sesuai hasil kultur.
2.1.8.2 Nutrisi
Pasien stroke memiliki risiko tinggi untuk aspirasi. Bila pasien
sadar penuh tes kemampuan menelan dapat dilakukan dengan
memberikan satu sendok air putih kepada pasien dengan posisi
setengah duduk dan kepala fleksi kedepan sampai dagu
menyentuh dada, perhatikan pasien tersedak atau batuk dan
apakah suaranya berubah (negatif). Bila tes menelan negatif
21
dan pasien dengan keasadran menurun, berikan makanan
enteral melalui pipa nasoduodenal ukuran kecil dalam 24 jam
pertama setelah onset stroke.
2.1.8.3 Hidrasi intravena
Hipovolemia sering ditemukan dan harus dikoreksi dengan
kristaloid isotonis. Cairan hipotonis (misalnya dektrosa 5%
dalam air, larutan NaCL 0,45%) dapat memperhebat edema
serebri dan harus dihindari.
2.1.8.4 Glukosa
Hiperglikemia dan hipoglikemia dapat meimbulkan
eksaserbasi iskemia. Walaupun relevansi klinis dari efek ini
pada manusia belum jelas, tetapi para ahli sepakat bahwa
hiperglikemia (kadar glukosa darah sewaktu >200 mg/dl)
harus dicegah. Skala luncur (sliding scale) setiap 6 jam selama
3-5 hari sejak onset stroke.
2.1.8.5 Perawat paru
Fisioterapi dada setiap 4 jam harus dilakukan untuk mencegah
atelektasis paru pada pasien yang tidak bergerak.
2.1.8.6 Aktivitas
Pasien dengan stroke harus dimobilisasi dan harus dilakukan
fisioterapi sedini mungkin bila kondisi klinis neurologis dan
hemodinamik stabil. Untuk fisioterapi pasif pada pasien yag
belum bergerak, perubahan posisi badan dan ekstremitas setiap
2 jam untuk mencegah dekubitus, latihan gerakan sendi
anggota badan secara pasif 4 kali sehari untuk mencegah
kontraktur. Splin tumit untuk mempertahankan kaki dalam
posisi dorsofleksi dan juga dapat mencegah pemendekan
22
tendon achilles. Posisi kepala 30 derajat dari bidang horisontal
untuk menjamin aliran darah yang adekuat ke otak dan aliran
balik vena ke jantung, kecuali pada pasien hipotensi (posisi
datar), pasien dengan muntah-muntah (dekubitus lateral kiri),
pasien dengan gagguan jalan napas (posisi kepala ekstensi).
Bila kondisi memungkinkan, maka pasien harus dimobilisasi
aktif ke posisi tegak, duduk dan pindah ke kursi sesuai
toleransi hemodinamik dan neurologis.
2.1.8.7 Neurorestorasi dini
Stimulasi sesorik, kogitif, memori, bahasa, emosi serta otak
yang terganggu. Depresi dan amnesia juga harus dikenali dan
diobati sedini mungkin.
2.1.8.8 Profilaksis trombosis vena dalam
Pasien stroke iskemik dengan imobilisasi lama yang tidak
dalam pengobatan heparin itravena harus diobati dengan
heparin 5.000 unit atau fraksiparin 0,3 cc setiap 12 jam selama
5-10 hari untuk mencegah pembentukan thrombus dalam vena
profunda, karena insidennya sangat tinggi. Tetapi ini juga
dapat diberikan dengan pasien perdarahan intraserebral setelah
72 jam sejak onset.
2.1.8.9 Perawatan vesika
Kateter urine menetap (kateter foley), sebaiknya hanya dipakai
hanya ada pertimbangan khusus (kesadaran menurun,
demensia, afasia global). Pada pasien yang sadar dengan
gangguan berkemih, kateterisasi intermiten secara steril setiap
6 jam lebih disukai untuk mencegah kemungkinan infeksi,
pembentukan batu, dan gangguan sfingter vesika terutama
pada pasien laki-laki yang mengalami retensi urine atau pasien
23
wanita dengan inkontinensia atau retensio urine. Latihan
vesika harus dilakukan bila pasien sudah sadar.
(Rendy & Margareth, 2012)
2.2 Konsep Range Of Motion (ROM)
2.2.1 Definisi Range Of Motion (ROM)
Range Of Motion (ROM) adalah gerakan yang dalam keadaan normal
dapat dilakukan oleh sendi yang bersangkutan (Suratun et al., 2008).
Latihan Range of Motion (ROM) merupakan istilah baku untuk
menyatakan batas atau batasan gerakan sendi yang normal dan sebagai
dasar untuk menetapkan adanya kelainan ataupun untuk menyatakan
batas gerakan sendi yang abnormal (Muttaqin, 2008).
2.2.2 Tujuan Range Of Motion (ROM)
Tujuan dari Range Of Motion (ROM) adalah :
2.2.2.1 Mempertahankan atau memelihara kekuatan otot
2.2.2.2 Memelihara mobilitas persendian
2.2.2.3 Merangsang sirkulasi darah
2.2.2.4 Mencegah kelainan bentuk
(Suratun et al., 2008).
2.2.3 Prinsip dasar latihan Range Of Motion (ROM), yaitu :
2.2.3.1 Range Of Motion (ROM) harus diulangi sekitar 8 kali dan
dikerjakan minimal 1 kali sehari.
2.2.3.2 Range Of Motion (ROM) dilakukan perlahan dan hati-hati
sehigga tidak melelahkan pasien.
2.2.3.3 Dalam merencanakan program latihan Range Of Motion
(ROM), perhatikan umur pasien, diagnosis, tanda vital dan
lamanya tirah baring.
24
2.2.3.4 Range Of Motion (ROM) sering diprogramkan oleh dokter dan
dikerjakan oleh ahli fisioterapi.
2.2.3.5 Bagian-bagian tubuh yang dapat dilakukan latihan Range Of
Motion (ROM) adalah leher, jari, lengan, siku, bahu, tumit,
kaki dan pergelangan kaki.
2.2.3.6 Range Of Motion (ROM) dapat dilakukan pada semua
persendian atau hanya pada bagian-bagian yang dicurigai
mengalami proses penyakit.
2.2.3.7 Melakukan Range Of Motion (ROM) harus sesuai waktunya,
misalnya setelah mandi atau perawatan rutin telah dilakukan.
(Suratun et al., 2008).
2.2.4 Klasifikasi latihan Range Of Motion (ROM), meliputi :
2.2.4.1 Latihan Range Of Motion (ROM) pasif
Adalah latihan Range Of Motion (ROM) yang dilakukan
pasien dengan bantuan perawat setiap gerakan. Indikasi latihan
pasif adalah pasien semikoma dan tidak sadar, pasien usia
lanjut dengan mobilitas terbatas, pasien tirah baring total atau
pasien dengan paralisis ekstremitas total. Cara melakukan
latihan pasif :
a. Mengkaji pasien dan rencanakan program latihan yang
sesuai untuk pasien.
b. Memberitahu pasien tentang tindakan yang akan
dilakukan, area yang akan digerakkan dan perannya dalam
latihan.
c. Jaga privasi pasien.
d. Mengatur pakaian yang dapat menyebabkan hambatan
pada gerakan.
e. Angkat selimut jika diperlukan.
f. Anjurkan pasien berbaring dalam posisi yang nyaman.
g. Lakukan latihan Range Of Motion (ROM)
25
2.2.4.2 Latihan Range Of Motion (ROM) aktif
Adalah latihan Range Of Motion (ROM) yang dilakukan
sendiri oleh pasien tanpa bantuan perawat dari setiap gerakan
yang dilakukan. Indikasi latihan Range Of Motion (ROM)
aktif adalah semua pasien yang dirawat dan mampu
melakukan Range Of Motion (ROM) sendiri dan kooperatif.
Cara melakukan latihan Range Of Motion (ROM) aktif :
a. Jelaskan apa yang akan dilakukan dan tujuan kegiatan
tersebut.
b. Anjurkan pasien bernapas normal selama latihan.
(Suratun et al., 2008).
2.2.5 Jenis Gerakan Range Of Motion (ROM)
Macam-macam gerakan Range of Motion (ROM), yaitu:
2.2.5.1 Fleksi, yaitu berkurangnya sudut persendian.
2.2.5.2 Ekstensi, yaitu bertambahnya sudut persendian.
2.2.5.3 Hiperekstensi, yaitu ekstensi lebih lanjut.
2.2.5.4 Abduksi, yaitu gerakan menjauhi dari garis tengah tubuh.
2.2.5.5 Adduksi, yaitu gerakan mendekati garis tengah tubuh.
2.2.5.6 Rotasi, yaitu gerakan memutari pusat dari tulang.
2.2.5.7 Eversi, yaitu perputaran bagian telapak kaki ke bagian luar,
bergerak membentuk sudut persendian.
2.2.5.8 Inversi, yaitu putaran bagian telapak kaki ke bagian dalam
bergerak membentuk sudut persendian.
2.2.5.9 Pronasi, yaitu pergerakan telapak tangan dimana permukaan
tangan bergerak ke bawah.
2.2.5.10 Supinasi, yaitu pergerakan telapak tangan dimana permukaan
tangan bergerak ke atas.
2.2.5.11 Oposisi, yaitu gerakan menyentuhkan ibu jari ke setiap jari-jari
tangan pada tangan yang sama.
(Saputra, 2013).
26
2.2.6 Indikasi dan Sasaran Range of Motion (ROM)
2.2.6.1 Range of Motion (ROM) Aktif :
a. Indikasi :
1) Pada saat pasien dapat melakukan kontraksi otot
secara aktif dan menggerakkan ruas sendinya baik
dengan bantuan atau tidak.
2) Pada saat pasien memiliki kelemahan otot dan tidak
dapat menggerakkan persendian sepenuhnya,
digunakan A-AROM (Active-Assistive ROM, adalah
jenis Range of Motion (ROM) Aktif yang mana
bantuan diberikan melalui gaya dari luar apakah
secara manual atau mekanik, karena otot penggerak
primer memerlukan bantuan untuk menyelesaikan
gerakan).
3) Range of Motion (ROM) Aktif dapat digunakan untuk
program latihan aerobik.
4) Range of Motion (ROM) Aktif digunakan untuk
memelihara mobilisasi ruas diatas dan dibawah daerah
yang tidak dapat bergerak.
b. Sasaran :
1) Apabila tidak terdapat inflamasi dan kontraindikasi,
sasaran Range of Motion (ROM) Aktif serupa dengan
Range of Motion (ROM) Pasif.
2) Keuntungan fisiologis dari kontraksi otot aktif dan
pembelajaran gerak dari kontrol gerak volunter.
c. Sasarans pesifik :
1) Memelihara elastisitas dan kontraktilitas fisiologis
dari otot yang terlibat
2) Memberikan umpan balik sensoris dari otot yang
berkontraksi
27
3) Memberikan rangsangan untuk tulang dan integritas
jaringan persendian
4) Meningkatkan sirkulasi
5) Mengembangkan koordinasi dan keterampilan
motorik
2.2.6.2 Range of Motion (ROM) Pasif
a. Indikasi :
1) Pada daerah dimana terdapat inflamasi jaringan akut
yang apabila dilakukan pergerakan aktif akan
menghambat proses penyembuhan
2) Ketika pasien tidak dapat atau tidak diperbolehkan
untuk bergerak aktif pada ruas atau seluruh tubuh,
misalnya keadaan koma, kelumpuhan atau bed rest
total
b. Sasaran :
1) Mempertahankan mobilitas sendi dan jaringan ikat
2) Meminimalisir efek dari pembentukan kontraktur
3) Mempertahankan elastisitas mekanis dari otot
4) Membantu kelancaran sirkulasi
5) Meningkatkan pergerakan sinovial untuk nutrisi
tulang rawan serta difusi persendian
6) Menurunkan atau mencegah rasa nyeri
7) Membantu proses penyembuhan pasca cedera dan
operasi
8) Membantu mempertahankan kesadaran akan gerak
dari pasien
(Suratun et al., 2008).
28
2.2.7 Kontraindikasi dan Hal-hal yang harus diwaspadai pada latihan Range
of Motion (ROM)
Kontraindikasi dan hal-hal yang harus diwaspadai pada latihan Range
of Motion (ROM) adalah :
2.2.7.1 Latihan Range of Motion (ROM) tidak boleh diberikan apabila
gerakan dapat mengganggu proses penyembuhan cedera.
2.2.7.2 Gerakan yang terkontrol dengan seksama dalam batas-batas
gerakan yang bebas nyeri selama fase awal penyembuhan akan
memperlihatkan manfaat terhadap penyembuhan dan
pemulihan
2.2.7.3 Terdapatnya tanda-tanda terlalu banyak atau terdapat gerakan
yang salah, termasuk meningkatnya rasa nyeri dan peradangan
2.2.7.4 Range of Motion (ROM) tidak boleh dilakukan bila respon
pasien atau kondisinya membahayakan (life threatening)
2.2.7.5 Range of Motion (ROM) pasif dilakukan secara hati-hati pada
sendi-sendi besar, sedangkan AROM Range of Motion (ROM)
aktif pada sendi ankle dan kaki untuk meminimalisasi venous
stasis dan pembentukan trombus
2.2.7.6 Pada keadaan setelah infark miokard, operasi arteri koronaria,
dan lain-lain, Range of Motion (ROM) aktif pada ekstremitas
atas masih dapat diberikan dalam pengawasan yang ketat
(Suratun et al., 2008).
2.2.8 Keterbatasan dalam Latihan Range Of Motion (ROM)
2.2.8.1 Range of Motion (ROM) Aktif
a. Untuk otot yang sudah kuat tidak akan memelihara atau
meningkatkan kekuatan.
b. Tidak akan mengembangkan keterampilan atau
koordinasi kecuali dengan menggunakan pola gerakan.
29
2.2.8.2 Range of Motion (ROM) Pasif
Range of Motion (ROM) Pasif tidak dapat :
a. Mencegah atrofi otot
b. Meningkatkan kekuatan dan daya tahan
c. Membantu sirkulasi
(Suratun et al., 2008).
2.2.9 Standar Operasional Prosedur (SOP) Range Of Motion (ROM) Pasif
Tabel 2.1 Standar Operasional Prosedur (SOP) Range Of Motion
(ROM) Pasif
ASPEK YANG DINILAI NILAI KET.
0 1
1. Persiapan :
a. Memberitahu dan menjelaskan kepada pasien dan
keluarga mengenai prosedur yang akan dilakukan
b. Memasang tabir disekeliling tempat tidur
2. Prosedur Kerja : a. Perawat mencuci tangan
b. Membantu pasien dalam posisi tidur telentang
c. Perawat memasang sarung tangan.
d. Perawat mengukur sudut sendi siku pasien
sebelum dilakukan Range Of Motion (ROM).
e. Melatih pergerakan otot dan sendi pada kedua
lengan:
1) Fleksi dan ekstensi siku
a. Posisi tangan kanan pasien lurus sejajar
denga tubuh dengan telapak tangan
menghadap ke atas. Tangan kiri perawat
diletakkan di atas siku pasien dan tangan kanan perawat memegang telapak tangan
pasien.
b. Lakukan gerakan fleksi siku. Perawat
mengangkat lengan bawah ke arah atas,
sehingga posisi lengan bawah pasien tegak
lurus atau vertikal.
c. Kembali ke posisi semula (ekstensikan
tangan pasien).
d. Gerakan diulangi sebanyak 8 kali untuk
masing-masing tangan kanan dan kiri,
tindakan dilakukan saat pagi hari dan dalam 1 hari dilakukan sebanyak 1 kali.
2) Fleksi dan ekstensi pergelangan tangan
a. Lengan bawah fleksi, sehingga telapak
tangan dan jari-jari tangan pada posisi
vertikal. Tangan kiri perawat memegang
pergelangan tangan kanan pasien dan
30
tangan kanan perawat memegang telapak
tangan pasien.
b. Lakukan gerakan fleksi ke depan pada
pergelangan tangan pasien. Perawat
menggerakkan telapak tangan dan jari-jari
tangan pasien ke arah depan, sehingga
telapak tangan dan jari-jari pada posisi
horizontal.
c. Kembalikan tangan pada posisi semula
(ekstensikan tangan pasien).
d. Lakukan gerakan fleksi ke belakang pada
pergelangan tangan pasien. Perawat menggerakkan telapak tangan da jari-jari
tangan pasien ke arah belakang, sehingga
telapak tangan dan jari-jari tangan pada
posisi horizontal.
e. Ulangi gerakan fleksi ke depan, ekstensi
dan fleksi ke belakang secara berurutan
sebanyak 8 kali untuk masing-masing
tangan kanan dan kiri, tindakan dilakukan
saat pagi hari dan dalam 1 hari dilakukan
sebanyak 1 kali.
d. Perawat melepas sarung tangan. e. Perawat mengukur sudut sendi siku pasien
setelah dilakukan Range Of Motion (ROM).
f. Merapikan pasien dan lingkungan.
g. Perawat mencuci tangan.
h. Dokumentasikan hasil pengukuran dalam buku
catatan keperawatan.
3. Sikap :
a. Melakukan tindakan dengan sistematis
b. Komunikatif dengan klien
c. Percaya diri
4. Hasil :
a. Pasien merasa aman dan nyaman b. Tujuan bisa dicapai
(Rosyidi & Wulansari, 2013)
(Suratun et al., 2008)
Keterangan :
0 : Tidak dilakukan
1 : Dilakukan dengan benar
31
2.3 Konsep Peningkatan Sudut Sendi Siku
2.3.1 Pengertian
Sudut sendi adalah sudut yang terletak diantara dua tulang. Sendi siku
merupakan persendian yang memungkinkan gerakan satu arah, sendi
siku terdiri dari rentang sendi gerak fleksi dan rentang sendi gerak
ekstensi. Rentang sendi gerak fleksi adalah berkurangnya sudut
persendian, dilakukan dengan menggerakkan siku sehingga lengan
bahu bergerak ke depan sendi bahu dan tangan sejajar bahu. Rentang
sendi gerak ekstensi adalah bertambahnya sudut persendian, dilakukan
dengan meluruskan siku dengan meluruskan tangan. (Suratun et al.,
2008).
2.3.2 Macam-macam gerakan sendi siku
Macam -macam gerakan sendi adalah sebagai berikut :
2.3.2.1 Fleksi yaitu gerakan membengkok yang mengurangi sudut
persendian pada bidang anterior-posterior.
Contoh membengkokan siku, lutut dan kepala.
2.3.2.2 Ekstensi, yaitu gerakan lurus (kebalikan fleksi) yang
meningkatkan sudut persendian.
Contoh : pelurusan pada siku atau lutut dari posisi fleksi.
(Suratun et al., 2008).
2.3.3 Peningkatan sudut sendi siku
Peningkatan sendi siku dapat mengaktifkan gerak volunter yaitu gerak
volunter terjadi adanya transfer impuls elektrik dan virus presentalis ke
korda spinalis melalui neurotransmitter yang mencapai otot sehingga
menyebabkan pergerakan (Perry & Potter, 2005 dalam Dinanti, 2015).
Untuk menimbulkan gerakan disadari kearah normal, tahapan pertama
kali yang dilakukan adalah memperbaiki tonus otot maupun reflex
tendon kearah normal yaitu dengan cara memberikan stimulus terhadap
32
otot maupun proprioceptor dipersendian yaitu melalui approksimasi.
(Murtaqib, 2013).
Ekstremitas atas merupakan salah satu bagian dari tubuh yang penting
untuk dilakukan ROM, terutama sendi siku. Hal ini dikarenakan
ekstremitas atas fungsinya sangat penting dalam melakukan aktivitas
sehari-hari dan merupakan bagian yang paling aktif, maka lesi bagian
otak yang mengakibatkan kelemahan ekstremitas atas akan sangat
menghambat dan mengganggu kemampuan dan aktivitas sehari-hari
seseorang. Gerak pada tangan dapat di stimulasi dengan melakukan
latihan gerak sendi agar sirkulasi darah lancar (Irfan, 2010 dalam
Dinanti et al., 2015).
ROM pasif yang dilakukan pada pasien bertujuan meningkatkan
rentang sendi, dimana reaksi kontraksi dan relaksasi selama gerakkan
ROM pasif yang dilakukan pada pasien stroke terjadi penguluran
serabut otot dan peningkatan aliran darah pada daerah sendi siku
sehingga terjadi peningkatan penambahan rentang sendi fleksi-ekstensi
pada sendi siku. (Bakara & Warsito, 2016).
Wanita memiliki rentang gerak sendi yang lebih besar daripada pria
karena wanita memiliki ligamen yang lebih lentur dan masa otot yang
lebih kecil jika dibandingkan dengan pria. Hasil penelitian yang
dilakukan oleh Philips, Kurchner dan Glines (Bloomfield, 1994)
mengatakan bahwa pada usia yang sama, wanita lebih fleksibel
daripada pria. Hal ini akan menyebabkan perbedaan peningkatan
rentang gerak sendi siku antara wanita dengan pria. (Murtaqib, 2013).
33
2.3.4 Sudut sendi siku
Kemampuan rentang gerak sendi siku sebelum dilakukan latihan Range
of Motion pasif didapatkan rata-rata kemampuan sudut rentang gerak
fleksi sendi siku sebelum dilakukan latihan ROM pasif sebesar 117,00
derajat. Hasil rata-rata kemampuan rentang gerak ekstensi sendi siku
sebelum dilakukan latihan ROM pasif sebesar 24,80 derajat. (Murtaqib,
2013).
Secara normal rentang gerak sendi siku pada usia 20-54 tahun untuk
gerakan fleksi 141°±5° dan ekstensi 0°±3° serta rentang gerak sendi
siku pada usia 60-84 tahun adalah fleksi 144°±10° dan ekstensi -4°±4°
(Reese, 2009 dalam Murtaqib, 2013).
2.3.5 Implikasi peningkatan sudut sendi siku
2.3.5.1 Pasien
Dengan dilakukannya Range Of Motion (ROM) diharapkan
terjadinya peningkatan sudut sendi siku sehingga pasien tidak
mengalami atrofi otot, kontraktur yang akan mengakibatkan
kecacatan permanen dan terjadinya pergerakan karena
aktifnya gerak volunter.
2.3.5.2 Keperawatan
Menambah pengetahuan dan wawasan keilmuan tentang
pengaruh Range Of Motion (ROM) terhadap peningkatan
sudut sendi siku pasien stroke sehingga dapat diterapkan
dalam bidang keperawatan dan mencegah terjadinya kecacatan
pada pasien.
(Tarwoto, 2013)
34
2.3.6 Alat pengukur sudut sendi siku
2.3.6.1 Alat yang diguakan utuk mengukur sudut sendi siku adalah
menggunakan goniometer. Goniometer adalah alat yang
digunakan untuk mengetahui rentang gerak sendi yang
dinyatakan dalam satuan derajat, setelah dilakukan Range Of
Motion (ROM) pasif diharapkan terjadinya perubahan sudut
sendi siku baik rentang gerak fleksi maupun rentang gerak
ekstensi. (Murtaqib, 2013)
Istilah goniometri berasal dari dua kata dalam bahasa yunani
yaitu gonia yang berarti sudut dan metron yang berarti ukur.
Oleh karena itu goniometri berkaitan dengan
pengukuransudut, khususnya sudut yang dihasilkan dari sendi
melalui tulang-tulang ditubuh manusia.Ketika menggunakan
universal goniometer, fisioterapis dapat mengukur
denganmenempatkan bagian dari instrument pengukuran
sepanjang tulang bagian proksimal dandistal dari sendi yang
dievaluasi. Goniometri dapat digunakan untuk menentukan
posisi sendiyang tepat dan jumlah total dari gerakan yang
dapat terjadi pada suatu sendi (Suratun et al., 2008).
2.3.6.2 Standar Operasional Prosedur (SOP) Goniometer
a. Mengucapkan salam, memperkenalkan diri dan meminta
persetujuan pasien secara lisan.
b. Menjelaskan prosedur & kegunaan hasil pengukuran
LGS kepada pasien.
c. Memposisikan pasien pada posisi tubuh yang benar
(anatomis), kecuali gerak rotasi (Bahu dan Lengan
bawah).
d. Sendi yang diukur diupayakan terbebas dari pakaian
yang menghambat gerakan.
35
e. Menjelaskan dan memperagakan gerakan yang hendak
dilakukan pengukuran kepada pasien.
f. Melakukan gerakan pasif 2 atau 3 kali pada sendi yang
diukur, untuk mengantisipasi gerakan kompensasi.
g. Memberikan stabilisasi pada segmen bagian proksimal
sendi yang diukur, bilamana diperlukan.
h. Menentukan aksis gerakan sendi yang akan diukur.
i. Meletakkan goniometer :
1) Aksis goniometer pada aksis gerak sendi.
2) Tangkai statik goniometer sejajar terhadap aksis
longitudinal segmen tubuh yang statik.
3) Tangkai dinamik goniometer sejajar terhadap aksis
longitudinal
j. Membaca besaran LGS pada posisi awal pengukuran
dan mendokumentasikannya dengan notasi ISOM.
k. Menggerakkan sendi yang diukur secara pasif, sampai
LGS maksimal yang ada. Memposisikan goniometer
pada LGS maksimal sebagai berikut:
1) Aksis goniometer pada aksis gerak sendi.
2) Tangkai statik goniometer sejajar terhadap aksis
longitudinal segmen tubuh yang statik.
3) Tangkai dinamik goniometer sejajar terhadap aksis
longitudinal segmentubuh yang bergerak.
l. Membaca besaran LGS pada posisi LGS maksimal dan
mendokumentasikannyadengan notasi International
Standard Orthopedic Measurement (ISOM).
36
2.3.7 Mekanisme peningkatan sudut siku menurut peneliti
2.3.7.1 Menurut penelitian Randitya Wisnu Prasadhana et al (2014)
yang menjelaskan bahwa terdapat pengaruh Range Of Motion
(ROM) pasif terhadap perubahan sudut sendi siku yaitu
dengan dilakukannya Range Of Motion (ROM) pasif sebanyak
satu kali dalam satu hari. Mekanisme terjadinya perubahan
sudut yaitu Menurut Potter dan Perry (2005), latihan Range of
Motion (ROM) dapat menimbulkan rangsangan sehingga
dapat mengaktifkan proses kimiawi neuromuskular dan
muskuler.
Rangsangan melalui neuromuskular akan meningkatkan
rangsangan pada serat otot ekstremitas terutama saraf
parasimpatis yang merangsang produksi asetilcholin, sehingga
mengakibatkan kontraksi. Mekanisme melalui muskulus
terutama otot polos ekstremitas akan meningkatkan
metabolisme pada mitokondria untuk menghasilkan ATP
(Adenosin Triphospat) yang dimanfaatkan oleh otot
ekstremitas sebagai energi untuk kontraksi dan meningkatkan
tonus otot polos ekstremitas. Oleh sebab itu dengan latihan
ROM secara teratur dengan langkah-langkah yang benar yaitu
dengan menggerakkan sendi-sendi dan juga otot, maka
kekuatan otot akan meningkat (Potter & Perry, 2005 dalam
Prasadhana et al., 2014).
2.3.7.2 Menurut penelitian Darison Marsinova Bakara & Surani
Warsito (2016) mengemukakan bahwa ada perbedaan sebelum
dan sesudah dilakukan Range Of Motion (ROM) pasif pada
pasien stroke. Peningkatan rentang gerak sendi dapat
mengaktifkan gerak volunter yaitu gerak volunter terjadi
adanya transferimpuls elektrik dan girus presentralis kekorda
37
spinalis melalui nurotransmiter yang mencapai otot dan
menstimulasi otot sehingga menyebabkan pergerakan (Perry&
Potter, 2005).
Untuk menimbulkan gerakan disadari kearah normal, tahapan
pertama kali yang dilakukan adalah memperbaiki tonus otot
maupun refleks tendon kearah normal yaitu dengan cara
memberikan stimulus terhadap otot maupun proprioceptor
dipersendian yaitu melalui approksimasi. dimana reaksi
kontraksi dan relaksasi selama gerakkan ROM pasif yang
dilakukan pada pasien stroke terjadi penguluran serabut otot
dan peningkatan aliran darah pada daerah sendi yang
mengalami paralisis sehingga terjadi peningkatan penambahan
rentang sendi abduksi-adduksi pada ekstremitas atas dan
bawah hanya pada sendi-sendi besar. Sehingga Range of
Motion (ROM) pasif dapat dilakukan sebagai alternatif dalam
meningkatkan rentang sendi pada pasien stroke yang
mengalami paralisis. (Marsinova & Warsito, 2016 dalam
Prasadhana et al., 2014)
2.4 Kerangka Konsep
Kerangka konsep dapat didefinisikan sebagai susunan kostruksi logika yang
dibuat untuk menjelaskan setiap variabel yang akan diteliti. Dengan adanya
kerangka konsep ini membuat fokus penelitian lebih terarah sehingga
memudahkan para peneliti dalam menyusun hipotesis penelitian serta
memudahkan dalam mengidentifikasi fungsi variabel penelitian tersebut.
(Pamungkas & Andi, 2017)
38
Gambar 2.3 Kerangka Konsep Penelitian
: Diteliti
: Berpengaruh
2.5 Hipotesis
Hipotesis dapat didefinisikan sebagai jawaban atau dugaan sementara terhadap
rumusan masalah yang berlandaskan pada teori yang masih diuji
kebenarannya. Secara statistik, hipotesis artinya sebagai pernyataan mengenai
keadaan populasi (Parameter) yang akan diuji kebenarannya. Hipotesis yang
baik adalah hipotesis yang disusun dengan menggunakan kata yang jelas dan
mudah dimengerti. (Pamungkas & Andi, 2017).
Berdasarkan dari kerangka konsep di atas maka hipotesis penelitian adalah :
H0 : Tidak ada pengaruh Range Of Motion (ROM) pasif terhadap peningkatan
sudut sendi siku pasien stroke
Ha : Ada pengaruh Range Of Motion (ROM) pasif terhadap peningkatan sudut
sendi siku pasien stroke
Variabel Independen Variabel Dependen
Range Of Motion (ROM)
Pasif
Peningkatan Sudut Sendi
Siku Pasien Stroke