4
BAB 2
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
2.1 Pelat Lantai
Pelat lantai adalah lantai yang tidak terletak di atas tanah langsung, merupakan
lantai tingkat pembatas antara tingkat yang satu dengan tingkat yang lain. Pelat lantai
didukung oleh balok-balok yang bertumpu pada kolom-kolom bangunan. Ketebalan
pelat lantai ditentukan oleh :
• Besar lendutan yang diinginkan.
• Lebar bentangan atau jarak antara balok-balok pendukung.
• Bahan material konstruksi dan pelat lantai.
Pelat lantai harus direncanakan kaku, rata, lurus dan waterpass (mempunyai
ketinggian yang sama dan tidak miring), pelat lantai dapat diberi sedikit kemiringan
untuk kepentingan aliran air. Ketebalan pelat lantai ditentukan oleh : beban yang
harus didukung, besar lendutan yang diijinkan, lebar bentangan atau jarak antara
balok-balok pendukung, bahan konstruksi dari pelat lantai.
Pelat lantai merupakan suatu struktur solid tiga dimensi dengan bidang permukaan
yang lurus, datar dan tebalnya jauh lebih kecil dibandingkan dengan dimensinya yang
lain. Struktur pelat bisa saja dimodelkan dengan elemen 3 dimensi yang mempunyai
tebal h, panjang b, dan lebar a. Adapun fungsi dari pelat lantai adalah untuk menerima
beban yang akan disalurkan ke struktur lainnya.
Pada pelat lantai merupakan beton bertulang yang diberi tulangan baja dengan
posisi melintang dan memanjang yang diikat menggunakan kawat bendrat, serta
tidak menempel pada permukaan pelat baik bagian bawah maupun atas. Adapun
ukuran diameter, jarak antar tulangan, posisi tulangan tambahan bergantung pada
bentuk pelat, kemampuan yang diinginkan untuk pelat menerima lendutan yang
diijinkan.
2.1.1 Fungsi Pelat Lantai
Adapun fungsi pelat lantai adalah sebagai berikut :
• Sebagai pemisah ruang bawah dan ruang atas.
• Sebagai tempat berpijak penghuni di lantai atas.
• Untuk menempatkan kabel listrik dan lampu pada ruang bawah.
5
• Meredam suara dari ruang atas maupun dari ruang bawah.
• Menambah kekakuan bangunan pada arah horizontal.
2.1.2 Konstruksi Pelat Lantai Berdasarkan Materialnya
Konstruksi untuk pelat lantai dapat dibuat dari berbagai material, contohnya
kayu, beton, baja dan yumen (kayu semen). Dalam penelitian ini material yang
digunakan untuk pelat lantai adalah beton.
Beton didefinisikan sebagai “sebagai campuran antara semen portland atau
semen hidraulik yang lain, agregat kasar, dan air, dengan atau tanpa bahan tambahan
membentuk massa padat” (SK SNI T-15-1991-03). Semen yang diaduk dengan air
akan membentuk pasta semen. Jika semen ditambah dengan pasir akan menjadi
mortar semen. Jika ditambah lagi dengan kerikil atau batu pecah disebut beton.
Beton memiliki kuat tekan yang tinggi namun kuat tarik yang lemah. Untuk kuat
tekan, di Indonesia sering digunakan satuan kg/cm2 dengan symbol K. Contohnya,
K225 adalah kuat tekan karakteristik beton 225 kg/cm2 dengan benda uji kubus sisi
15 cm. Sedangkan fc’ = 22,5 Mpa adalah kuat tekan beton 225 kg/cm2dengan benda
uji silinder diameter 15 cm tinggi 30 cm. faktor konversi nilai K ke fc’ ini dilakukan
dengan mengalikan nilai K dengan 0,083 sehingga didapat nilai fc’.
Pelat lantai dari beton mempunyai keuntungan antara lain :
• Mampu mendukung beban besar.
• Merupakan isolasi suara yang baik.
• Tidak dapat terbakar dan dapat lapis kedap air.
• Dapat dipasang tegel untuk keindahan lantai.
• Merupakan bahan yang kuat dan awet, tidak perlu perawatan dan dapat
berumur panjang.
Pelat lantai beton bertulang umumnya dicor ditempat, bersama-sama balok
penumpu. Dengan demikian akan diperoleh hubungan yang kuat yang menjadi satu
kesatuan. Pada pelat lantai beton dipasang tulangan baja pada kedua arah, tulangan
silang, untuk menahan momen tarik dan lenturan. Perencanaan dan hitungan pelat
lantai dari beton bertulang harus mengikuti persyaratan yang tercantum dalam buku
SNI Beton 1991. Beberapa persyaratan tersebut antara lain :
• Pelat lantai harus mempunyai tebal sekurang - kurangnya 12 cm, sedang untuk
pelat atap sekurang-kurangnya 7 cm.
6
• Harus diberi tulangan silang dengan diameter minimum 8 mm dari baja lunak
atau baja sedang.
• Pada pelat lantai yang tebalnya lebih dari 25 cm harus dipasang tulangan
rangkap atas bawah.
• jarak tulangan pokok yang sejajar tidak kurang dari 2,5 cm dan tidak lebih dari
20 cm atau dua kali tebal pelat, dipilih yang terkecil.
• Semua tulangan pelat harus terbungkus lapisan beton setebal minimum 1 cm,
untuk melindungi baja dari karat, korosi, atau kebakaran.
Untuk menghindari lenturan yang besar, maka bentangan pelat lantai jangan
dibuat terlalu lebar, untuk ini dapat diberi balok-balok sebagai tumpuan yang juga
berfungsi menambah kekakuan pelat. Bentangan pelat yang besar juga akan
menyebabkan pelat menjadi terlalu tebal dan jumlah tulangan yang dibutuhkan akan
menjadi lebih banyak, berarti berat bangunan akan menjadi besar dan harga
persatuan luas akan menjadi mahal.
2.1.3 Pembebanan Pelat
Berdasarkan “Peraturan Pembebanan Indonesia Untuk Gedung, 1983”,
pembebanan dibagi atas beberapa jenis beban yaitu :
• Beban mati, ialah berat dari semua bagian dari suatu gedung yang bersifat
tetap.
• Beban hidup, ialah semua beban yang terjadi akibat penghunian atau
penggunaan suatu gedung.
• Beban angin, ialah semua beban yang bekerja pada gedung yang disebabkan
oleh selisih tekanan udara.
• Beban gempa, ialah gaya-gaya di dalam struktur tersebut yang terjadi oleh
gerakan tanah akibat gempa.
Adapun elemen-elemen pembebanan untuk pelat lantai, yaitu :
• Beban hidup (untuk rumah tinggal) = 200 kg/m2
• Beban hidup (untuk pabrik, ruang alat, dll) = 400 kg/m2
• Penutup lantai dari ubin semen portland = 24 kg/m2
• Berat dinding pasangan bata tebal ½ batu = 250 kg/m2
• Berat jenis beton = 2.400 kg/m3
7
(elemen pembebanan selengkapnya dapat dilihat pada buku : Peraturan
Pembebanan Indonesia untuk Gedung, 1983).
2.1.4 Penggujian Pembebanan di Lapangan Menurut SNI T-15-1991-03
Adapun peraturan uji beban yang digunakan dalam pengujian lendutan pelat
lantai dikutip dari “Tata Cara Penghitungan Struktur Beton Untuk Bangunan Gedung
SNI T-15-1991-03” Pasal 3 Ayat 13 Butir 4.
2.1.4.1 Menentukan Beban Dalam menentukan beban dipakai Pasal 3 Ayat 13 Butir 4 sub butir 3 dan 4,
yaitu bagian struktur yang dipilih untuk dibebani harus diberi suatu beban total,
termasuk beban mati yang telah bekerja, yang ekivalen dengan 0,85(1,2D+1,6L).
Beban uji harus dilakukan dalam tidak kurang dari empat tahapan penambahan beban
yang kira-kira sama, tanpa hentakan pada struktur.
Air dipilih sebagai beban uji karena memenuhi kriteria diatas yaitu “tanpa
hentakan” dan “pelengkungan beban-beban supaya dihindarkan”. Besarnya beban
sesuai dengan “Tata Cara Penghitungan Struktur Beton Untuk Bangunan Gedung
SNI T-15-1991-03” Pasal 3 Ayat 13 Butir 4 Sub-Butir 3 yaitu 0.85 (1.2D + 1.6L).
Sehingga perencanaan struktur adalah
• Beban mati (D) = 0.15 m x 2400 kg/m3 = 360 kg/m²
• Beban hidup (L) = 400 kg/m² (sesuai beban hidup rencana dalam Perhitungan
Struktur)
Beban total berdasarkan SNI T-15-1991-03 adalah 0.85 x (1.2 x 360 + 1.6 x
400) = 911.2 kg/m², beban ini dikurangi dengan berat sendiri plat beton sebesar 0.15
m x 2400 kg/m3 = 360 kg/m² sehingga didapat beban hidup sebesar 911.2 kg/m² -
360 kg/m² = 551.2 kg/m², angka ini dibulatkan keatas menjadi 560 kg/m².
2.1.4.2 Pengukuran Lendutan Pengujian beban dilakukan untuk mengetahui besar lendutan pada pelat akibat
beban yang diberikan. Hal ini terdapat pada Pasal 3 Ayat 13 Butir 4 sub butir 3 dan
8, yaitu “bila bagian struktur yang diuji tidak menunjukkan gejala keruntuhan terlihat
secara nyata, maka kriteria berikut harus digunakan sebagai indikasi perilaku yang
memuaskan, yaitu :
8
• Bila lendutan maksimum terukur a dari suatu balok, lantai atau atap kurang
dari /20.000h;
Bila lendutan maksimum terukur a dari suatu balok, lantai atau atap melebihi
/20.000h, maka pemulihan lendutan selama 24 jam setelah beban diangkat
sekurang-kurangnya 75 persen dari lendutan maksimum untuk beton non-
pratekan, atau 80 persen untuk beton pratekan. Dimana l t adalah bentang
terpendek, dan h adalah tebal pelat.
2.1.5 Perletakan Pelat
Untuk merencanakan pelat beton bertulang yang perlu dipertimbangkan tidak
hanya pembebanan saja, tetapi juga jenis perletakan dan jenis penghubung di tempat
tumpuan. Kekakuan hubungan antara pelat dan tumpuan akan menentukan besar
momen lentur yang terjadi pada pelat.
Untuk bangunan gedung, umumnya pelat tersebut ditumpu oleh balok-balok
secara monolit, yaitu pelat dan balok dicor bersama-sama sehingga menjadi satu-
kesatuan, seperti pada gambar (2.1) atau ditumpu oleh dinding-dinding bangunan
seperti pada gambar (2.2). Kemungkinan lainnya, yaitu pelat didukung oleh balok-
balok baja dengan sistem komposit seperti pada gambar (2.3), atau didukung oleh
kolom secara langsung tanpa balok, yang dikenal dengan pelat cendawan, seperti
gambar (2.4).
Gambar 2.1 Pelat Ditumpu Balok
(Monolit)
Gambar 2.2 Pelat Ditumpu
Dinding Tembok
Gambar 2.3 Pelat Ditumpu Balok
Baja Dengan Sistem Komposit
Gambar 2.4 Pelat Ditumpu
Kolom Secara Langsung
9
Kekakuan hubungan antara pelat dan konstruksi pendukungnya (balok) menjadi
satu bagian dari perencanaan pelat. Ada 3 jenis perletakan pelat pada balok, yaitu :
a) Terletak bebas
Keadaan ini terjadi jika pelat diletakan begitu saja diatas balok, atau antara
pelat dan balok tidak dicor bersama-sama, sehingga pelat dapat berotasi bebas
pada tumpuan tersebut.
b) Terjepit elastis
Keadaan ini terjadi jika pelat dan balok dicor bersama-sama secara monolit,
tetapi ukuran balok cukup kecil, sehingga balok tidak cukup kuat untuk
mencegah terjadinya rotasi pelat. Tepi yang bertumpuan sederhana menghasilkan
kondisi tepi campuran. Karena lendutan dan momen lentur di sepanjang tepi ini
melibatkan persamaan yang berkaitan dengan perpindahan dan gaya. Jadi,
Gambar 2.5 Pelat Terletak Bebas
Gambar 2.6 Pelat Terjepit Elastis
10
c)
d) Terjepit penuh
Keadaan ini terjadi jika pelat dan balok dicor bersama-sama secara monolit,
dan ukuran balok cukup besar, sehingga mampu untuk mencegah terjadinya
rotasi pelat. Kondisi geometris tertentu yang diperoleh berdasarkan besarnya
perpindahan (translasi dan rotasi) dapat digunakan untuk merumuskan kondisi
tepi dalan bentuk matematis. Misalnya, lendutan dan kemiringan permukaan
pelat yang melendut di tepi jepit sama dengan nol, jadi dapat dituliskan :
Gambar 2.8 Pelat Terjepit Penuh
Gambar 2.7 Lambang Pelat Dengan Perletakan Sederhana
11
2.1.6 Sistem Pelat Lantai
Secara umum sistem pelat lantai dapat dibedakan menjadi dua, keduanya
dibedakan dari nilai rasio perbandingan sisi panjang (b) dan sisi pendek (a) dari
pelat.
• Sistem pelat satu arah (one way slab), apabila b/a > 2,0. Analisis dan disain
dari pelat satu arah, dilakukan dalam 1 arah (arah sisi pendek)
• Sistem pelat dua arah (two way slab), apabila 1,0 ≤ b/a ≤ 2,0. Analisis pelat dua
arah dilakukan dalam 2 arah (arah x dan arah y).
2.2 Perencanaan Pelat Lantai
Dalam merencanakan sebuah pelat, ada tiga metode yang dapat digunakan
yaitu
• Metode Marcus, Metode marcus didasarkan pada pendekatan momen dengan
menggunakan koefisien-koefisien yang disederhanakan dimana koefisien ini
telah dicantumkan dalam sebuah tabel sesuai dengan kondisi perletakan ujung-
ujung pelat.
• Metode perencanaan langsung
Gambar 2.9 Lambang Pelat Dengan Perletakan Jepit
12
Metode Perencanaan langsung yaitu metode dimana yang diperoleh adalah
pendekatan momen dengan menggunakan koefisien-koefisien yang telah
disederhanakan.
• Metode portal ekivalen. Metode portal ekivalen digunakan untuk memperoleh
variasi longitudinal dari momen dan geser, maka kekakuan relatif dari kolom-
kolom berikut sistem lantai dimisalkan dalam analisis pendekatan dan
kemudian diperiksa.
2.3 Analisa Struktur Pelat Lantai
Analisa Struktur merupakan ilmu untuk menentukan respons suatu struktur
terhadap suatu pembebanan. Respons struktur dinyatakan dengan deformasi struktur,
kekuatan internal, tekanan, reaksi tumpuan, percepatan, dan stabilitas. Pada
umumnya terdapat 3 teori pelat yaitu teori Kirchoff - Love, Teori Mindlin - Reissner,
Teori Reissner - Stein. Dan juga Terdapat banyak metode yang dapat digunakan
untuk menganalisa pelat lantai beberapanya yaitu, metode elemen hingga, metode
bayangan, metode Hirzfeld, metode M. Levy dan lainnya. Dalam penelitian ini
digunakan Teori pelat Kirchoff – Love untuk menganalisa pelat lantai menggunakan
metode M. Levy.
Teori Kirchoff – Love digunakan untuk kasus pelat tipis (L/h > 20). Teori ini
mengatakan bahwa titik-titik material, yang sebelum deformasi terletak pada garis
lurus dan tegak lurus terhadap permukaan tengah, setelah deformasi akan tetap
berada pada garis lurus dan harus tetap tegak lurus pada permukaan tengah.
2.3.1 Sistem Koordinat dan Perjanjian Tanda.
Bentuk pelat cukup ditentukan dengan menunjukkan geometri bidang
pusatnya (middle surface), yang merupakan bidang /permukaan yang membagi dua
tebal pelat (h) setiap titik (Gambar 2.10). Berdasarkan buku Szilard (1989) yang
mengatakan teori pelat dengan lendutan kecil. Yang sering kali disebut teori
Kirchhoff dan Love, didasarkan pada anggapan berikut:
• Bahan pelat bersifat elastis, homogen, dan isotropis
• Pelat pada mulanya datar
13
• Tebal pelat relatif kecil dibandingkan dengan dimensi lainnya. Dimensi
lateral terkecil pada pelat paling sedikit sepuluh kali lebih besar daripada
ketebalannya
• Lendutan sangat kecil dibandingkan dengan pelat. Lendutan maksimum
sebesar sepersepuluh sampai seperlima tebal pelat dianggap sebagai batasan
untuk teori lendutan yang kecil. Batasan ini juga dapat dinyatakan dalam
panjang pelat; misalnya, lendutan maksimum lebih kecil dari satu perlima
puluh panjang bentang yang terkecil.
• Kemiringan bidang pusat yang melendut jauh lebih kecil dari satu.
• Perubahan bentuk pelat bersifat sedemikian rupa sehingga garis lurus yang
semula tegak lurus bidang pusat pelat, tetap berupa garis lurus dan tetap tegak
lurus bidang (perubahan bentuk gaya geser transversal akan diabaikan).
• Lendutan pelat diakibatkan oleh perpindahan titik-titik bidang pusat yang
tegak lurus awalnya.
• Besarnya tegangan yang lurus bidang pusat sangat kecil sehingga bias
diabaikan. Banyak dari anggapan ini terkenal karena sama seperti balok dasar.
Pengujian dengan skala kecil dan besar telah membuktikan berlakunya
anggapan-anggapan tersebut.
• Pada kasus pelat yang memiliki daya tahan lentur, anggapan penyerdehanaan
tambahan dapat juga dibuat: regangan pada bidang pusat akibat gaya-gaya
sebidang biasanya dapat diabaikan jika dibandingkan dengan regangan akibat
lentur.
Untuk pelat segiempat (persegi), pemakaian system koordinat kartesius
merupakan cara yang paling mudah (Gambar 2.10). Gaya luar dan dalam serta
komponen lendutan u, v, dan w dianggap positif bila searah dengan arah
positif sumbu koordinat X, Y, dan Z. Dalam praktik bidang teknik, momen positif
menimbulkan tarikan pada serat yang terletak dibagian bawah struktur. Perjanjian
tanda seperti ini juga berlaku untuk pelat.
14
Gambar 2.10 Pelat Segiempat Yang Memikul Beban Lateral
Kita tinjau suatu kotak kecil yang dipotong dari sebuah pelat pada (Gambar
2.10). Kemudian kita berikan gaya dalam dan momen positif pada bidang-bidang
dekat. Agar elemen tersebut seimbang, gaya dalam momen negatif harus bekerja
pada bidang jauhnya. Subskrip (huruf bawah) pertama pada gaya dalam
menunjukkan arah garis normal (garis tegak lurus) permukaan penampang tempat
momen atau gaya dalam tersebut bekerja.
15
Gambar 2.11 Gaya Dalam dan Luar
2.3.2 Keseimbangan Elemen Pelat
Dengan menganggap pelat hanya memikul beban lateral, diantara keenam
persamaan keseimbangan dasar hanya tiga persamaan berikut yang digunakan:
Jadi beban luar Pz dipikul oleh gaya transversal Qx dan Qy serta oleh momen
lentur Mx dan My. Umumnya gaya dalam dan momen dinyatakan persatuan
panjang bidang pusat (Gambar 2.11b). Sebagai contoh penurunan persamaan
diferensial keseimbangan dengan menjumlah semua momen gaya dalam terhadap
sumbu Y dengan nol (gambar 2.11b), sehingga diperoleh
16
Setelah disederhanakan, kita abaikan suku yang mengandung besaran
, karena merupakan suku berorde tinggi yang sangat kecil. Dengan
demikian, persamaan (2.2) menjadi
Dan setelah dibagi dengan dy dx, diperoleh
Dengan cara yang sama, penjumlahan momen-momen terhadap sumbu X
menghasilkan
Penjumlahan semu gaya dalam arah Z menghasilkan persamaan keseimbangan ketiga:
Dan setelah dibagi dengan dy dx, diperoleh
Dengan memasukkan persamaan (2.4) dan (2.5) ke persamaan (2.7) serta
memperhatikan bahwa Mxy = Myx, diperoleh
Momen lentur dan puntir dalam persamaan (2.31) tergntung pada regangan,
sedang regangan merupkan fungsi dari komponen perpindahan. Oleh karena itu,
langkah selanjutnya ialah mencari hubungan antara momen dalam dan komponen
perpindahan.
17
2.3.3 Hubungan Antara Tegangan, Regangan, dan Perpindahan
Anggapan bahwa bahan bersifat elastis memungkinkan pemakaian hokum
Hooke dua dimensi,
Dimana
= Tegangan Normal
= Regangan Normal
E = Modulus Elastisitas
= Poisson Ratio
Kedua persamaan diatas menghubungkan tegangan dan regangan pada suatu
elemen pelat, substitusi persamaan (2.14) ke persamaan (2.13)
Dengan cara yang sama
Momen puntir Mxy dan Myx menimbulkan tegangan geser sebidang τxy dan τyx,
yang berhubungan dengan regangan geser γ melalui persamaan yang sejenis dengan
hokum hooke, yaitu
Dimana
= Tegangan Geser
= Regangan Geser
= Modulus Geser
18
Gambar 2.12 TeganganPada Suatu Elemen Pelat
Gambar 2.13 Penampang Sebelum dan Sesudah Berubah Bentuk
Selanjutnya, ditinjau geometri pelat yang melendut untuk menyatakan
regangan dalam koefesien perpindahan. Dengan mengambil sutu irisan pada nilai y
yang konstan, seperti yang ditunjukkan dalam Gambar 2.11, kita bandingkan
penampang (irisan) sebelum dan sesudah melendut.
Setelah berubah bentuk,panjang suatu serat yang terletak pada jarak z dari bidang
pusat menjadi (gambar 2.11).dengan memakai defenisi regangan dapat
dituliskan
19
Sehingga
Dan didapat regangan geser γxy
2.3.4 Persamaan Diferensial Pelat
Komponen tegangan σx dan σy dan (gambar 2.12) menimbulkan momen lentur
pada elemen pelat dengan cara yang sama seperti pada teori balok dasar. Jadi, dengan
mengintegrasikan komponen tegangan normal, kita peroleh momen lentur yang
bekerja pada elemen pelat
Nyatakan tegangan normal dalam lendutan (w) dengan menggunakan persamaan
(2.19) dan (2.20) ke dalam persamaan (2.15) dan (2.16).
20
Integrasi persamaan (2.22), (2.23), dan (2.24) setelah substitusi persamaan diatas,
didapat
Dimana rumus
menyatakan ketegaran lentur pelat dengan simbol D, substitusikan persamaan (2.28),
(2.29), da (2.30) ke dalam persamaan (2.12), sehingga didapat persamaan diferensial
pelat yang dibebani merata.
2.3.5 Deret Fourier
Deret Fourier merupakan alat yang ampuh untuk mendapatkan penyelesaian
analitis dari banyak masalah dalam bidang mekanika terapan, seperti penyelesaian
persamaan differensial parsial pada teori elastisitas, getaran, aliran panas, transmisi
listrik, dan gelombang elektromagnetik. Begitu pula analisa pelat yang akan dibahas
kemudian, yaitu metode M. Levy. Perluasan deret Fourier menghasilkan integral
Fourier dan transformasi Fourier. Walaupun metode terahkir dianggap alat yang
canggih untuk analisis tingkat tinggi, kita tidak akan menggunakannya disini untuk
menyelesaikan masalah pelat agar tidak melampaui tujuan tulisan ini sebagai
pengenalan.
21
Gambar 2.14 Fungsi Periodik Sembarang
Untuk penyelesaian persamaan differensial dari persamaan yang digunakan
dalam penurunan rumus untuk metode M. Levy, disini hanya digunakan deret
Fourier tunggal untuk mendapatkan penyelesaian analitisnya.
Dalil fourier menyatakan bahwa suatu fungsi sembarang y = f(x) dapat
dinyatakan dengan deret tak-hingga yang terdiri dari suku sinus dan kosinus.jadi,
fungsi semula dapat diganti dengan superposisi sejumlah gelombang sinus dan
kosinus. Jika f(x) adalah fungsi periodik, dalil Fourier menyatakan bahwa
Atau dalam bentuk yang ringkas
Dimana dan adalah koefesien ekspansi Fourier
adalah
Serta T adalah periode fungsi yang ditinjau :
Persamaan (2.34) berlaku untuk sembarang fungsi periodik beraturan yang
terdiri dari sejumlah segmen, yang boleh memiliki diskontinuitas. persamaan ini
22
Gambar 2.15 Geometri Pelat
menyatakan fungsi periodik sembarang f(x) dalam seluruh jangkauan dari
sampai , sehingga disebut ekspansi dengan jangkauan penuh (full-range
expansion). Koefisien dan dihitung sebagai,
2.3.6 Penyelesaian Pelat Dengan Deret Fourier Tunggal (Metode Levy)
Penyelesaian masalah pelat dengan deret trigonometri tunggal bisa dianggap
sebagai penerapan khusus dari penyelesaian eksak. Metode ini dikemukakan oleh
Levy. Menyelesaikan persamaan (2.32) dalam dua langkah terpisah yang berlainan
dimana adalah persamaan homogen dan persamaan diferensial pelat tak
homogen, yaitu persamaan (2.32). untuk menyelesaikan persamaan diferensial pelat,
ekdua tepi yang berhadapan harus bertumpu sederhana. Dan metode ini
mengharuskan beban lateral memiliki distribusi yang sama pada semua penampang
pelat.
Dari anggapan bahwa panjang belat adalah tak hingga maka, persamaan diferensial
pelat menjadi
23
Gambar 2.16 Pelat Akibat Momen
Levy menggunakan deret fourier sinus setengah jangkauan untuk penyelesaian
persamaan diatas
Dan dengan menyatakan beban dengan persamaan yang sejenis diperoleh
Koefisien ekspansi deret fourier tunggal diperoleh dari ekspansi deret sinus
setengah jangkauan. Koefisien ini tergantung dari jenis dan besarnya beban yang
diterima pelat tersebut. dapat ditentukan dengan mensubstitusikan persamaan (2.41) ke
dalam persamaan (2.39).
2.3.7 Lenturan Pelat Persegi Panjang yang Timbul Akibat Momen
Tinjau suatu pelat seperti gambar diatas. Dimana pelat tersebut dilenturkan
oleh momen-momen yang dibagi sepanjang tepi y = b/2. Lendutan harus
memenuhi persamaan differensial pelat homogen :
Lendutan (w) ditentukan dalam bentuk
24
Substitusikan persamaan (2.44) ke dalam persamaan (2.34) sehingga menghasilkan
Dengan menyatakan dengan deret trigonometri tunggal, diperoleh
Serta kondisi batas :
Substitusikan persamaan (2.45) ke persamaan (2.42) menghasilkan
Untuk nilai m tertentu
Persamaan (2.48) merupakan persamaan diferensial homogen linear berordde empat
dengan koefisien konstan maka penyelesaiannya dapat berbentuk fungsi hiperbolik
berikut
Konstanta integrasi dan dapat ditentukan dari kondisi tepi
dikeempat tepi pelat. Penyelesaian levy ini bisa disederhanakan dengan
memanfaatkan sifat simetris dari fungsi lendutan. Jika kondisi tepi pelat simetri
terhadap sumbu x. permukaan lendutan harus merupakan suatu fungsi genap dari y.
25
Dengan demikian, koefisien dan harus diambil sama dengan nol,
sehingga bentuk sederhana dari persamaan (2.49) adalah,
Jadi pada kasus kondisi tepi yang sama di y = ± b/2, penyelesaian diferensial pelat
dengan metode levy dapat dinyatakan sebagai,
2.3.8 Menentukan Momen yang Bekerja Dalam Pelat
Adapun momen-momen lentur yang bekerja dalam pelat dapat dihitung dengan
cara mensubstitusikan persamaan (2.52) ke dalam persamaan (2.28) dan (2.29).
Maka diperoleh persamaan momen untuk masing-masing arah gaya.
Dimana :
26
Gambar 2.17 Pelat Terjepit
= Bentang terpendek pelat
x, y = Kordinat titik yang ingin ditinjau
v = Poisson ratio
2.3.9 Pelat Persegi Panjang yang Semua Tepinya Terjepit
Dalam persoalan ini, kita menggunakan metode yang sama seperti kasus yang
telah dibahas pada persoalan pelat persegi panjang yang ditumpu secara sederhana,
dan mengadakan superposisi pada lendutan pelat semacam ini, lendutan pelat oleh
momen yang didistribusikan sepanjang tepi-tepinya. Momen ini diatu sedemikian
rupa agar memenuhi kondisi pada batas pelat terjepit.
Dalam hal ini beban terbagi merata diseluruh permukaan pelat. Lendutan dan
momen pada kasus ini akan simetris terhadap sumbu-sumbu koordinat seperti yang
diperlihatkan pada gambar dibawah.
Lendutan pelat yang ditumpu secara sederhana, diambil dari persamaan
lendutan akibat beban merata dan tepi-tepinya ditumpu sederhana, dan dibuat dalam
bentuk :
27
Dimana : ditulis dengan , Rotasi pada tepi y = b/2 dari pelat adalah turunan
pertama dari persamaan lendutan diatas, yaitu :
Penyederhanaan :
Selanjutnya lendutan pelat yang ditimbulkan oleh momen yan didistribusikan
sepanjang tepi y = b/2. Dengan memperhatikan sifat simetrisnya, dapatlah kita
ismpulkan bahwa momen-momen itu dapat kitanyatakan menurut deret berikut ini :
Lendutan w1 yang berhubungan dengan hal ini diperoleh dari persamaan lendutan
akibat momen ditepi-tepinya yang telah dibahas di poin sebelumnya :
Rotasi pada tepi y=b/2, yang berkaitan dengan lendutan ini adalah :
28
Pada pembahasan yang selanjutnya, kita perlukan juga rotasi pada tepi-tepi
yang sejajar terhadap sumbu y.Dengan membentuk turunan persamaan terhadap x
dan dengan mengambil x= a/2, didapatkan :
Disederhanakan :
Persamaan dalam tanda kurung merupakan fungsi genap y yang hilang pada
tepi y = b/2. Fungsi ini dinyatakan dengan deret :b
Dimana koefisien dapat dihitung dengan menggunakan rumus :
Dengan mensubstitusikan persamaan ke persamaan sebelumnya maka akan
didapat:
Dengan cara yang sama maka, persamaan- persamaan lendutan akan dapat
diperoleh, dan juga diperoleh rotasi pada tepi-tepi untuk kasus dimana momen
29
didistribusikan sepanjang tepi x = a/2, dengan mengasumsikan bahwa
distribusi momen ini adalah simetris dan persamaannya dinyatakan dengan :
Dan dengan cara yang sama didapatkan rotasi pada tepi-tepi x = a/2
Dimana :
Dan rotasi tepi y=b/2, yaitu :
Jika momen yang didistribusi sepanjang tepi x = a/2, dan y = b/2 bekerja
secara simultan maka rotasi pada tepi-tepi pelat diperoleh dengan metode
superposisi, ambil salah satu tepi misalkan, y = b/2 maka akan kita peroleh :
Setelah kita dapatkan persamaan dan , maka
sekarang dapat dijabarkan persamaan untuk menghitung konstanta-konstanta Em dan
Fm yang terdapat pada persamaan momen-momen yang bekerja sepanjang tepi dari
pelat yang terjepit. Tetapi bila tepi-tepi pelat tersebut maka tepi tersebut tidak
mengalami rotasi, sehingga diperoleh :
30
Setelah disubstitusikan ke dalam persamaan yang pertama diatas dan
mengelompokan suku yang mengandung yang sama sebagai suatu faktor,
maka dapat disimpulkan bahwa koefisien dengan mana dikalikan harus sama
dengan nol untuk setiap nilai i, sehingga dioeroleh suatu system yang terdiri atas
sejumlah oersamaan linear yang jumlahnya tak terhingga untuk menghitung
koefisien Ei dan Fi seperti berikut ini :
Selanjutnya untuk mendapatkan nilai konstanta E dan F digunakan metode
pendekatan yang berurutan. Untuk menggambarkan metode ini diambil contoh pelat
bujur sangkar dimana a=b, dalam keadaan pelat seperti ini distribusi momen lentur
sepanjang semua sisi pelat bujur sangkar ini ternyata sama, sehingga Ei = Fi,
sehingga bentuk persamaan menjadi :
Dengan mensubtitusikan harga bilangan koefisien ke dalam persamaan-
persamaan ini, dan hanya mengambil empat koefisiem pertama, maka akan diperoleh
system empat persamaan berikut ini dengan empat persamaan yang belum diketahui,
yaitu :
i=1;m=1,3,5,7; 1,8033 +0,0764 +0,0188 +0,0071 = 0,6677K
i=3;m=1,3,5,7; 0,0764 +0,4045 +0,0330 +0,0159 = 0,01232K
i=5;m=1,3,5,7; 0,0188 +0,0330 +0,2255 +0,0163 = 0,0016K
i=7;m=1,3,5,7; 0,0071 +0,0159 +0,0163 +0,1558 = 0,00042K
dimana K=-4qa2/ 3.
31
Disini terlihat bahwa suku-suku diagonal tersebut memiliki nilai koefisien yang
terbesar. Oleh karena itu kita dapatkan pendekatan yang pertama dari konstanta
dengan cara memperhitungkan ruas kiri dari persamaan diatas dan
hanya memperhitungkan suku-suku sebelah kiri diagonal, dengan demikian diperoleh
dari bagian pertama persamaan itu, . Dengan memsubstitusikan ini ke
dalam persamaan yang kedua akan diperoleh , lalu dengan cara yang
sama maka akan didapat dan . Dengan
mensubstitusikan pendekatan yang pertama ke dalam persamaan disebelah kanan
diagonal maka akan didapat nilai pendekatan yang kedua, dan seterusnya.
2.3.10 Program SAP 2000
SAP 2000 adalah salah satu software analisa struktur yang cukup dikenal di
kalangan teknik sipil. Software ini mencakup analisa model struktur secara
menyeluruh untuk dapat melakukan perancangan, analisa, permodelan bahkan
simulasi suatu kondisi bangunan.
Sebagai salah satu software teknik sipil yang banyak digunakan oleh Civil
Engineer, SAP 2000 dapat membantu dalam melakukan pekerjaan perencanaan
struktur bangunan yang diantaranya adalah
� Menghitung momen mekanika teknik pada struktur bangunan.
� Menghitung konstruksi beton bertulang ( kolom, balok , plat lantai )
� Menghitung konstruksi baja
� Penentuan model struktur
� Penetapan penampang struktur
Adapun pemakaian program sap dalam penelitian ini adalah untuk
memodelkan struktur pelat lantai dengan dimensi yang sesuai dengan di lapangan,
sehingga didapat nilai lendutan yang mendekati nilai lapangan. Terdapat elemen
pelat yang dapat digunakan dalam program ini, yaitu shell, plane, dan asolid.
Biasanya digunakan elemen shell dalam pemodelan pelat
32
Gambar 2.18 Sketsa Pelat Lantai
Adapun tahap-tahap yang dilakukan dalam pemodelan struktur adalah :
• Buka program SAP 2000
• Sebelum membuka file baru, sesuaikan dahulu satuan yang akan digunakan
yang dapat diatur di bagian bawah kanan layar. Dalam kasus ini satuan yang
digunakan adalah kgf, mm, C.
• Pilih menu “File” lalu “new”, setelah itu pilih “3D frame”
• Setelah itu akan muncul gambar seperti dibawah ini
Lalu masukkan angka pada kolom bagian kanan yang ada sesuai dengan
dimensi pelat yang telah dibagi dengan jumlah elemen yang diinginkan. Lalu
untuk sebelah kiri adalah jumlah pembagian elemen untuk pelat tersebut. Atau
bisa juga dipilih edit grid untuk memasukkan angka secara manual. Setelah itu
akan muncul gambar dibawah ini.
Gambar 2.19 Pemodelan Struktur
33
Gambar 2.21 Input Data
Gambar diatas akan muncul setelah kita menghilangkan frame yang ada,
sehingga yang terlihat hanyalah grid. Dalam penjelasan ini jumlah pembagian
elemen yang diambil adalah 50 x 50 elemen.
• Selanjutnya adalah menentukan jenis material yang akan digunkan, yaitu
beton. Caranya adalah dengan memilih menu “define”-“material”, lalu “add
new material”. lalu masukkan nama material, tipe,berat jenis, poisson ratio, dan
fc’.
• Masukkan juga material baja dengan pilihan steel. Karena dalam pengujian
pembebanan ini balok yang digunakan adalah WF 750 x 200 x 10 x 16.
Gambar 2.20 Grid
34
• Setelah itu masukkan untuk material besi tulangan dengan cara yang sama.
Tetapi concrete diganti dengan rebar.
• Langkah selanjutnya adalah menentukan properti struktur yang akan
digunakan. Karena kita meninjau pelat maka akan dimasukkan area section
dan frame section untuk balok penopangnya.
• Caranya adalah dengan menu “define”, “section properties”, “area section”,
dan ”add new section”. Lalu masukkan data-datanya.
• Masukkan WF 750 x 200 x 10 x 16 dengan cara yang sama.
• Setelah itu gambar balok dan pelat yang telah dibuat, dengan cara menu draw,
lalu draw frame/cable/tendon. Pastikan pada pilihan section adalah WF 750
• Lakukan hal yang sama untuk menggambar pelat. Dengan pilihan draw
rectangular area.
• Buat perletakan dengan cara memilih semua join yang ada di tepi pelat lalu
menu assign, joint, restraints, pilih perletakan yang diinginkan.
Gambar 2.22 Input Data
35
• Buat load patterns untuk membedakan beban mati dan hidup, dengan cara pilih
define, load patterns.
• Masukkan beban merata pada pelat sesuai dengan kasus yang ada. Dengan cara
assign, area load, pilih gravity (all) untuk menambahkan beban akibat berat
struktur sendiri. Dan uniform (shell) untuk beban merata akibat air.
Periksa kembali satuan saat memasukkan besar beban merata.
Gambar 2.23 Load Patterns
Gambar 2.24 Beban Mati
Gambar 2.25 Beban Hidup
36
• Lakukan pembagian pelat yang disebut mesh dengan cara pilih menu assign,
area, automatic area mesh. Lalu pilih mesh area into this number of object,
masukkan angka yang diinginkan.
• Lalu run program dengan cara analyze, run analysis. Atau juga tekan F5.
Gambar 2.26 Run Program
Gambar 2.27 Lendutan
37
Gambar 2.28 Contoh Nilai Lendutan
Gambar 2.29 Contoh Pembagian
• Nilai lendutan dapat diketahui dengan cara mengarahkan kursor pada titik yang
ingin ditinjau, dalam hal ini adalah pada titik tengah pelat, lalu klik kanan.
Nilai lendutan dapat dilihat pada kolom ketiga baris trans yang artinya translasi
sedangkan rotn adalah rotasi, sedangkan kolom 1, 2, 3 adalah arah gaya x, y, z
nilai ini ditampilkan dalam satuan yang telah ditentukan diawal tadi yaitu
millimeter.
• Setelah itu dilakukan pemodelan ulang yang berbeda dengan mengganti-ganti
jumlah mesh area yang membagi pelat tersebut. Pemodelan ini dilakukan
hingga nilai lendutan yang muncul mendekati nilai lendutan dilapangan.
38
2.4 Uji Beban Pada Pelat Lantai
Pada pengujian ini digunakan air sebagai beban yang akan diterima oleh pelat
lantai. Pembebanan dilakukan bertahap dengan tahapan yaitu dari tinggi air 14 cm,
28 cm, 42 cm, 56 cm. setelah air mencapai tinggi 56 cm maka plat didiamkan
sehingga lendutan pada pelat semakin bertambah.
Untuk menampung air sebagai beban uji digunakan bak sementara yang terbuat
dari plat zincalume berukuran lebar 600 cm, panjang 900 cm dan ketinggian 60 cm.
Sisi-sisi vertikalnya diperkuat dengan kayu kaso 4/6 besi beton Ø 8mm melilit kayu
kaso 4/6 dan segitiga baja siku 30.30.3. Sebelum beban diberikan, balok baja yang
menumpu pelat tersebut ditahan dengan scaffolding dibawahnya, sehingga elemen
yang menerima beban hanya pelat saja.
Gambar 2.30 Contoh Pembagian
39
Gambar 2.31 Tampak Atas
6000
1680
3630
171
�
750
914
150 50
700
beban uji 560 kg/m²
1700Scaffolding 170cm
Jack base
206
��
Scaffolding 91.4cm
Dial Gauge
914
Uji beban dilakukan dalam empat tahapan penambahan beban yang kira-kira
sama. Sesuai dengan perhitungan adalah 560 kg/m² atau setara dengan air setinggi 56
cm. Dengan demikian setiap tahapan terdiri dari beban setara dengan air setinggi 14
cm. Setelah semua peralatan siap, Dial Gauge dipasang dan penunjukan jarumnya di-
set ke angka nol. Pembacaan ini disaksikan oleh personil-personil, baik dari pihak
pemilik bangunan maupun kontraktor.
Gambar 2.32 Tampak Samping
40
Gambar 2.33 Dial Gauge
Tahap loading dimulai dengan mengalirkan air kedalam bak, setelah air
mencapai ketinggian 14 cm posisi Dial Gauge dicatat demikian pula dengan
penunjukan waktunya. Langkah yang sama dilakukan untuk ketinggian air 28 cm, 42
cm dan 56 cm. Sesudah pencatatan waktu dan Dial Gauge pada ketinngian 56 cm
selesai, pemonitoran defleksi dilanjutkan selama 24 jam berikutnya. Pencatatan
dilakukan setiap satu jam. Sesudah pencatatan pada jam ke 24 selesai, tahap
unloading dimulai dengan membuang air beban uji. Pencatatan dimulai pada posisi
56 cm, kemudian 42 cm, 28 cm, 14 cm dan terakhir pada posisi 0 cm. Pada posisi
tinggi air 0 cm ternyata penunjukan Dial Gauge kembali ke angka nol. Dengan
demikian proses uji beban dihentikan
2.5 Pengukuran Lendutan di Lapangan
Untuk memonitor defleksi plat beton digunakan Dial Gauge atau dial indikator,
yaitu alat ukur yang dipergunakan untuk memeriksa penyimpangan yang sangat kecil
dari bidang datar, bidang silinder atau permukaan bulat dan kesejajaran. Konstruksi
sebuah alat dial indikator, terdiri atas jam ukur (dial gauge) yang di lengkapi dengan
alat penopang seperti blok alas magnet, batang penyangga, penjepit, dan baut
penjepit. Saat akan digunakan dial indikator tidak dapat digunakan sendiri, tapi
memerlukan kelengkapan seperti di atas yang harus diatur sedemikian rupa pada saat
pengukuran. Posisi dial gauge harus tegak lurus terhadap benda kerja yang akan
diukur.
Pada dial indikator terdapat 2 skala. Yang pertama skala yang besar (terdiri
dari 100 strip) dan skala yang lebih kecil. Pada skala yang besar tiap stripnya bernilai
0,01 mm. Jadi ketika jarum panjang berputar 1 kali penuh maka menunjukkan
pengukuran tersebut sejauh 1 mm. Sedangkan skala yang kecil merupakan
penghitung putaran dari jarum panjang pada skala yang besar
41
Sebagai contoh, jika jarum panjang pada skala besar bergerak sejauh 6 strip
dibaca 0,06 mm dan jarum pendek bergerak pada skala 3 maka dibaca 3 mm, artinya
hasil pengukurannya adalah 0,06 mm + 3 mm = 3,06 mm.
Dial Gauge yang digunakan yaitu kapasitas 50 mm dengan ketelitian 0.05
mm. Alat ini diikat pada sebuah alat penjepit yang terbuat dari baja siku 30.30.3 yang
dilas pada sebuah Join Pin. Join Pin ini kemudian dimasukkan ke pipa scaffolding
yang berfungsi sebagai landasan / platform dari alat Dial Gauge ini.