-
1
PRINSIP DASAR EKONOMI ISLAM
(TAFSIR AYAT-AYAT TENTANG EKONOMI)
Dr. LISTIAWATI. M.H.I
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) RADEN FATAH PALEMBANG
-
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Gambaran Umum Tentang Penafsiran
Dalam suasana ilmu pengetahuan dan tehnologi dewasa ini, masalah hakikat manusia dan kehidupan akan terus semakin santer dibahas. Masalah ini memang cukup penting, karena hal ini merupakan titik tolak dalam memberikan batasan menyangkut fungsi manusia dalam kehidupan ini. Dari hasil pembatasan itu, kemudian disusun prinsip-prinsip dasar yang menyangkut segala aspek kehidupan manusia, politik, ekonomi, sosial, bahkan etika dan lain sebagainya. Urgensi pemabatasan ini lebih terasa setelah disadari bahwa ilmu peangetahuan dan tehnologi belum dapat menjamin kebahagiaan kehidupan manusia selama nilai-nilainya tidak tunduk di bawah nilai-nilai spiritual.1
Dalam hal ini al-Qur’an berbicara tentang pokok-pokok ajaran tentang Tuhan, Rasul, kejadian dan sikap manusia, alam jagad raya, akhirat, akal dan nafsu, ilmu pengetahuan, amar ma’ruf nahi munkar, perekonomian, pembinaan generasi muda dan lain sebagainya. Untuk dapat memahami ajaran al-Qur’an tentang berbagai masalah tersebut tentunya seseorang memerlukan seorang mufasir yang dapat menjelaskan semua ini.
1M.Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, Bandung; Mizan,
1994, hal 224
199
berkaitan langsung dengan masalah-masalah ekonomi khususnya
ekonomi Islam.
-
198
RIWAYAT HIDUP PENULIS
Penulis dilahirkan di kota Muaradua OKU, Baturaja Sumatera
Selatan pada tanggal 12 Oktober. Menamatkan sekolah Ibtidaiyah di Sri
Bandung selama empat tahun, kemudian penulis melanjutkan sekolah
SP. IAIN di Yogyakarta dan melanjutkan ke IAIN Sunan Kali Jaga
Yogyakarta pada Fakultas Syariah dengan jurusan Pidana Perdata Islam
(PPI). Titel Magister penulis peroleh dari Pascasarjana IAIN Raden
Fatah Palembang dengan Konsenterasi Ekonomi Islam. Penulis
melanjutkan program Doktor pada Pascasarjana Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta (UIN) dengan mengambil
Konsnterasi Ekonomi Islam. Pada tahun 2006 penulis mulai
bergabung pada fakultas Tarbiyah IAIN Raden Fatah Palembang, yang
sebelumnya penulis juga menjadi dosen luar biasa pada fakultas
Tarbiyah, Syariah, Ushuluddin pada IAIN tersebut. Juga aktif mengajar
pada Sekolah Tinggi Agama Islam (STAISS). Penulis selagi menjadi
mahasiswi strata satu pada IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta aktif
dalam organisasi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) menjabat
sebagai bendahara, juga aktif pada organisasi IRMA (Ikatan Remaja
Masjid), serta aktif pada organisasi daerah yakni Ikatan Mahasiswa
Sumatera Selatan.
Buku ini bertujuan untuk memenuhi kekurangan referensi
yang berkaitan dengan pembahasan ekonomi Islam yang disertai
dengan tafsiran ayat-ayat yang berkenaan dengan ekonomi Islam
tersebut. Agar dapat memudahkan bagi mahasiswa Fakultas Ekonomi
Islam dan Perbankan untuk dapat memahami tentang ayat-ayat yang
3
Bahwa untuk keperluan penafsiran al-Qur’an yang hasilnya dapat dipertanggungjawabkan secara akademik dan moral, maka usaha para ulama telah banyak menyusun Ulumul Qur’an yang termasuk Ulumul Qur’an tersebut Ilmu Asbab an-Nuzul, Ilmu Nasikh al-Mansukh, Ilmu Qira’at dan lain sebagainya2. Selain itu juga seseorang yang ingin menafsirkan al-Qur’an juga perlu mengetahui Ilmu Bahasa Arab dengan berbagai cabangnya, Ilmu Istinbath al-Hukum, Ilmu Ushul Fiqh dan ilmu-ilmu bantu lainnya. Hingga saat ini sudah banyak kitab tafsir yang membahas tentang berbagai aspek dalam kehidupan dari yang paling klasik seperti Tanwir al-Miqbas min Tafsir Ibnu ‘Abbas, sampai yang modern seperti Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Al-Manar karangan Muhammad Abduh dan Tafsir fi Dzilal al-Qur’an dan kitab tafsir lainnya. Pembahasan tentang masalah mu’amalah atau ekonomi dalam Islam tidaklah dapat dipisahkan dengan masalah akhlak, seperti jujur, amanah, adil, ihsan, berbuat kebajikan dan silaturrahmi dan sayang menyayangi, akhlak juga tidak akan bisa dilepaskan dengan semua aspek kehidupan. Tidak ada pemisahan antara ilmu dan akhlak, antara politik dengan akhlak, antara ekonomi dengan akhlak. Dengan demikian akhlak menjadi daging dan urat dalam kehidupan Islam3. Perbedaan yang sangat menonjol antara ekonomi Islam dan ekonomi konvensional, hasil teori manusia. Bahwa ekonomi Islam adalah ekonomi nilai dan akhlak. Pembahasan tentang ekonomi Islam didasarkan pada ayat-ayat al-Qur’an dan as-Sunnah.
2Abuddin Nata, Tafsir Ayat-ayat Pendidikan, Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2002,hal, 2-3 3Yusuf Qardhawi, Dawr al-Qiyam fi Iqtishad al-Islam, Kairo:
Muassasah al-Risalah, 2002, hal 4-5
-
4
Karenanya diperlukan kajian tentang penafsiran ayat-ayat perekonomian yang telah banyak dibahas oleh para ulama Islam seperti Muhammad Musthafa al-Maraghi, Ibnu Katsir, Quraish Shihab dan yang lainnya. Dengan demikian diperlukan untuk mengetahui tentang pengertian dari kata tafsir itu sendiri. Adapun kata tafsir berasal dari bahasa Arab fassara yufassiru tafsiaran yang berarti penjelasan, pemahaman, dan perincian. Selain itu tafsir juga dapat berarti al-idlah wa al-tabyin yaitu penjelasan dan keterangan. Menurut Al-Jurjani kata tafsir adalah menjelaskan makna ayat-ayat al-Qu’an dari berbagai seginya, baik konteks historisnya maupun sabab al-nuzulnya, dengan manggunakan ungkapan atau keterangan yang dapat menunjuk kepada makna yang dikehendaki secara terang dan jelas. Imam Al-Zarkani, mengungkapkan tafsir adalah suatu ilmu yang membahas kandungan yang tercakup dalam al-Qur’an baik itu dari segi pemahaman makna ataupun arti yang sesuai dengan yang kehendaki Allah, yang menurut kadar kesanggupan manusia.
Dalam hal ini Al-Suyuti memberikan pengertian bahwa tafsir adalah ilmu yang didalamnya terdapat pembahasan cara pelafazan ayat-ayat al-Qur’an disertai makna dan hukum-hukum yang terkandung di dalamnya4. Sedangkan As-Siddiqi, mengatakan bahwa tujuan tafsir itu tak lain untuk memahamkan makna-makna al-Qur’an, hukum-hukum yang terkandung didalamnya, himah-
4Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada. 2011, h209-210
197
-
196
___________, Tafsir al-Mizan al- Qur’an, jilid XVIII.
Thomson, Arthur and Jhon Formby, Economics of the Firm:
Theory and Practice New Jersey: Prentice Holl, 1993.
Tariqi, al, Abdullah ‘Abd al-Husain, al-Iqtishad al-Islami, Kuwait:
Dar al-Nafais, 1999.
Taimiyah, Ibnu, Majmu’ al-Fatawa, 166, Lihat juga, Mihajus al-
Sunnah (1986), Vol 5.
_____________, Majmu’ al-Fatawa (1960), 165, Vol 18
Isma’il Raji al-Faruqi, Tauhid, terj. Rahmani Astuti Bandung:
Pustaka, 1988.
____________________, al-Hisbah fi al-Islam (1967), (terj) oleh
Mukhtar Khalan, Public Duties in Islam (Institution
of Hisbah, 1982), 95
‘Umar ibnu, Yahya, al-Ahkam al-Suq, Tunis: al-Sharikah al-
Tunisiyah li al-Tawzi: 1975.
Wahab Khallaf, Abdul, as-Siyasah as-Shar’iyyah (Kairo: Dar Fikr,
1978), 199, cet ke 12.
Zarqa, M. Anas, Capital allocatioan, Efficiency and Growth in an
Interst Free Islamic Economy, 1982, 49. Dan Islamic
Economics: An Approach to Human Welfare, in K.
Ahmad, Studies in Islamic Economics (1980), 3-18.
Juga lihat Benjamin Word, What is Wrong With
Economics, 1972.
5
hikmah, akhlak-akhlak, serta petunjuk yang lain agar memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat.5
Dengan demikian jelaslah bahwa tafsir adalah yang menjelaskan hal-hal yang berkenaan dengan al-Qur’an baik itu mengenai makna-makna yang terkandung dalam al-Qur’an maupun, maupun hukum-hukum yang terkait dengan tingkah laku manusia yang tak lain agar manusia bisa memahami serta mengamalkannya dalam kehidupan yang tujuannya untuk mencapai falah di dunia maupun di akhir.
Pengembangan kaidah-kaidah tafsir ini telah dilakukan oleh para ulama sejak awal munculnya ulum al-Qur’an, diantaranya usaha yang dilakukan oleh Abdur ar-Rahman ibnu Nasir al-Sa’adi dalam kitabnya al-Qawa’id al- Hisan li Tafsir al-Qur’an. Pemahaman tentang kaidah-kaidah tafsir juga telah dikaji secara mendalam dalam kitab-kitab ulum al-Qur’an yang lainnya seperti Manna al-Qattan dalam kitab Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an dan lain-lain.6
Ada satu pandangan teologis dalam Islam yang menyatakan bahwa al-Qur’an shalihun li kulli zaman wa al-makan. Maka sebagian umat Islam memandang keyakinan tersebut sebagai doktrin kebenaran yang bersifat pasti. Akibatnya muncul respon reaktif terhadap setiap perkembangan situasi yang terjadi dalam peradaban sejarah manusia. Misalnya dengan pernyataan bahwa
5Hasbi ash-Siddiqi, Ilmu al-Qur’an dan Tafsir. Semarang PT Pustaka Zikri Putra. 2009, 153-154
6Abdur -Rahman Dahlan. Kaidah-Kaidah Penafsiran al-Qur’an, Bandung: Mizan. 1998, h
-
6
semua ilmu pengetahuan yang adasekarang ini sekaligus di masa yang akan datang semuanya sudah tercakup di dalam al-Qur’an.7
Respon tersebut tentunya tidak produktif. Sebab jika ada penemuan baru berdasarkan metodologi ilmu pengetahuan yang kontemporer yang kontradiktif dengan al-Qur’an maka akan muncul respon defensive yang seringkali menempatkan informasi-informasi dalam teks al-Qur’an pada dataran mistik. Seolah ada pemaksaan teologis dalam rangka menyelamatkan keshahihan al-Qur’an tersebut. Padahal tanpa disadari upaya semacam ini justru akan memposisikan al-qur’an secara sempit. Karena pemahaman al-Qur’an hanya sebatas pada ruang dan waktu ketika al-Qur’an itu diturunkan atau paling tidak sampai pada waktu ulama-ulama klasik saja. Karenanya dalam hal ini diperlukan upaya-upaya yang lebih produktif yang tak lain dalam rangka mempertahankan pandangan teologis diatas. Maka salah satu upaya tersebut adalah dengan cara mengembangkan tafsir kontemporer dengan menggunakan metode baru yang selaras dengan perkembangan situasi sosial, budaya, ilmu pengetahuan serta perkembangan peradaban manusia. Persoalannya adalah bagaimana merumuskan sebuah metode tafsir yang mampu menjadi alat untuk menfsirkan al-Qur’an secara baik, dialektis, reformatif, komunikatif serta mampu menjawab semua perubahan dan perkembangan problem kontemporer yang dihadapi seluruh umat manusia termasuk juga masalah perekonomian umat. Maka untuk mencapai tujuan tersebut perlu adanya penelusuran sejarah tentang berbagai upaya ulama dalam
7Al-Ghazali, Ihya ‘Ulum Al-Din. Kairo Al-Tsqafah Al- Islamiah
1356 H Jilid II h 87
195
_____________, Tafsir al-Mishbah, Jakarta: Lentera Hati, jilid
XIV. 2004.
_____________, Tafsir al-Mishbah, Jakarta: Lentera Hati, jilid
XV. 2004.
_____________, Membumikan Al-Qur’an, Fungsi dan Peran Wahyu
dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan, 1999.
_____________, Membumikan Al-Qur’an, Bandung; Mizan, 1994.
Saleh Ahmad Syukri, Metodelogi Tafsir al-Qur’an Kontemporer Dalam
Pandangan Fazlur Rahman Jakarta: Gaung Persada Press
2007.
ash-Siddiqi, Hasbi, Ilmu al-Qur’an dan Tafsir. Semarang PT
Pustaka Zikri Putra. 2009.
as-Syathibi, Abu Ishaq, al-Muwafaqat fi usul al-Shar’iah (Beirut:
Dar al- Kutub al-‘Ilmiyah, 2000), cet II.
Swasono, Sri Edi, Kembali Ke Pasal 33 UUD 1945, Menolak
Neoliberlisme. Jakarta: Yayasan Hatta, 2010.
as-Sadr, Muhammad Baqir, Iqtishaduna, Beirut: Dar al-Fikr,
1991.
Syaifuddin, Muhammad Ahmad, Ekonomi dan Masyarakat dalam
Perspektif Islam, Jakarta: Rajawali Press, 1987.
at-Tirmizi, Imam, Riyadus Shalihin, jilid I tt, 486
Thabathaba’i, Tafsir al-Mizan fi al-Tafsir al-Qur’an, II Beirut:
Makatabah al-Alami Librari, 1973, Jilid, II.
___________, Tafsir al-Mizan al-Qur’an, jilid, XVI.
-
194
_____________, Tafsir al-Mishbah, Jakarta: Lentera Hati, jilid
II. 2004.
_____________, Tafsir al-Mishbah, Jakarta: Lentera Hati, jilid
III. 2004.
_____________, Tafsir al-Mishbah, Jakarta: Lentera Hati, jilid
IV. 2004.
_____________, Tafsir al-Mishbah, Jakarta: Lentera Hati, jilid
V. 2004.
_____________, Tafsir al-Mishbah, Jakarta: Lentera Hati, jilid
VI. 2004.
_____________, Tafsir al-Mishbah, Jakarta: Lentera Hati, jilid
VII. 2004.
_____________, Tafsir al-Mishbah, Jakarta: Lentera Hati, jilid
VIII. 2004.
_____________, Tafsir al-Mishbah, Jakarta: Lentera Hati, jilid
IX. 2004.
_____________, Tafsir al-Mishbah, Jakarta: Lentera Hati, jilid
X. 2004.
_____________, Tafsir al-Mishbah, Jakarta: Lentera Hati, jilid
XI. 2004.
_____________, Tafsir al-Mishbah, Jakarta: Lentera Hati, jilid
XII. 2004.
_____________, Tafsir al-Mishbah, Jakarta: Lentera Hati, jilid
XIII. 2004.
7
mengembangkan kaidah-kaidah penafsiran. Tujuannya yang tak lain adalah untuk mengetahui prosedur kerja para Ulama tafsir dalam menafsirkan al-Qur’an, sehingga peanfsiran tersebut dapat digunakan secara fungsional oleh semua masyarakat Islam dala menghadapi berbagai persolan kehidupan. Kaidah-kaidah ini kemudian dapat digunakan sebagai refensi bagi pemikir-pemikir Islam kontemporer untuk mengembangkan kaidah penafsiran yang sesuai dengan perkembangan zaman. Namun kaidah-kaidah penafsiran disini bukanlah berperan sebagai alat justifikasi benar-salah terhadap suatu penafsiran al-Qur’an. Kaidah-kaidah ini lebih berfungsi sebagai penagwal metodologis agar tafsir yang dihasilkan bersifat obyektif dan ilmiah serta dapat dipertanggungjawabkan. Sebab produk tafsir pada dasarnya adalah produk pemikiran manusia yang dibatasi oleh ruang dan waktu8 Qawa’id al-tafsir. Qawa’id adalah merupakan bentuk jamak dari qaidah yang berarti undang-undang, peraturan dan asas. Secara istilah didefinisikan dengan undang-undang, sumber, dasar yang digunakan secara umum yang mencakup semua yang particular. Adapun kata tafsir secara bahasa berasal dari kata fassara yufassiru tafsiran yang berarti mengungkapkan, sedangkan secara istilah tafsir dapat diartikan sebagai alat atau ilmu pengetahuan dalam memahami petunjuk-petunjuk al-Qur’an9.
Berdasarkan penjelasan diatas jelas bahwa kaidah-kaidah tafsir dapat diartikan sebagai pedoman dasar yang berfungsi secara umum guna mendapatkan pemahaman atas petunjuk-petunjuk al-
8Ahmad Syukri Saleh. Metodelogi Tafsir al-Qur’an Kontemporer Dalam Pandangan Fazlur Rahman Jakarta: Gaung Persada Press 2007 hal 176 9Rosihan Anwar. Ilmu Tafsir. Bandung: Pustaka Setia, 2005, h 312
-
8
Qur’an. Kaidah-kaidah tafsir yang berkembang dalam sejarah penafsiran al-Qur’an sangat beragam adanya.
Maka jika dipetakan kaidah-kaidah tafsir tersebut dapat dikelompokkan menjadi kaidah-kaidah 1) dasar, 2) umum 3) dan kaidah khusus.
B. Kaidah Penafsiran
1. Kaidah Dasar Tafsir
Penafsiran kaidah dasar yakni berkaitan langsung dengan penggunaan sumber pokok dalam menafsirkan al-Qur’an yang juga meliputi tafsiran hadits, penjelasan sahabat dan tabii’n. Maka dalam kaidah inipara mufassir harus kembali pada al-Qur’an sebagai sumber pokok yakni dengan cara meneliti secara cermat dalam rangka mengumpulkan ayat-ayat al-Qur’an tentang sesuatu yang menjadi pokok persolan.
Kemudian seorang mufassir berusaha menghubungkan serta membandingkan kandungan ayat-ayat yang mengandung pengertian yang mujmal yang kemudian diperinci oleh ayat yang lain. Atau jika dalam suatu ayat yang masalahnya disebut secara singkat, maka akan diperluas dengan ayat yang lainnya.10
Selanjutnya seorang mufassir juga harus memperhatikan hadits-hadits Nabi. Maka jika mendapatkan hadits shahih, seorang mufassir juga harus menafsirkan ayat dengan hadits shahih tersebut. Dengan kata lain seorang mufassir tidak dibenarkan untuk menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan pendapatnya sendiri,
10Amir Abdul Aziz. Dirasat fi ‘Ulum al-Qur’an. Beirut: Muassasah al-Risalah, 1983, h 84
193
Qutb, Sayyid, al-‘Adalah al- Ijtima’iyyah fi al- Islam (ed.6, 1964), 34,
(terj) oleh John B. Hardie, Social Justice in Islam
(1970), 29. Lihat juga Adnan M. Musallam, Sayyid
Qutb and Social Justice (1945-1948).
Rawls, A John, Theory of Justice, Cambridge: Harvard University
Press Masschusetts, 1995.
Rahman, Afzalur, Economic Doctrines of Islam, London; Gillespie
Road, 1992, jilid I.
Rashid Rida, Sayyid, Tafsir al-Manar, 1954, Vol 4.
Razi, ar, Tafsir al-Fakhr, jilid, XX
Syaifuddin, Ahmad, Ekonomi Dan Masyarakat Dalam Perspektif
Islam (Jakarta: Rajawali, 1987), 59
Siddiqi, Nejatullah, The Economic Enterprise in Islam, Lahore:
Islamic Publication Ltd, 1979
________________, Economics an Islamic Approach Michigan:
Justice for Policy Studies, 2001.
Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat, Jakarta: Raja Grafindo,
1986.
Sukmadinata, Saodih Nana, Metode Penelitian Pendidikan,
Bandung: Rosdakarya, 2005.
Syamsudin, Syahiron, Metode Intratektualitas Muhammad Syahrur
dalam Penafsiran Al-Qur’an dalam Studi Al-Qur’an
Kontemporer. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002.
Syihab Quraish, Tafsir al-Mishbah, Jakarta: Lentera Hati, jilid I.
2004.
-
192
M.A.Mannan, Islamic Economics Theory and Practice. New Delhi:
SH.M. Ashraf Publisher, 1995.
---------, The Making of Islamic Economics Society. Kairo: Muassasah
al-Risalah, 1984.
Masyhuri, Ekonomi Mikro, Malang: UIN Malang, 2007.
Majid Nurcholis, Islam Doktrin dan Peradaban, Jakarta: Yayasan
Wakaf Paramadina, 1992.
Nasution, Mustafa Edwin, Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam,
Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006.
Nov, Deliar, Ilmu Ekonomi, Jakarta: Rajawali Press, 1995.
Naqvi, Haidar, Etics and Economics: and Islamic Synthesis London
Laicester: The Islamic Foundation, 1981.
Nata, Abuddin, Metodologi Studi Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada. 2011.
_____________, Tafsir Ayat-ayat Pendidikan, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2002.
Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI),
Ekonomi Islam (Jakarta: 2002), 203.
Qattan, Manna, al, Mabahits fi Ulum al-Qur’an. Beirut: Muassasah
al-Risalah. 1993.
Qardhawi, Yusuf. Dawr al-Qiyam fi Iqtishad al-Islam, Kairo:
Muassasah al-Risalah, 2002.
Qurtubiy, al, al-Jami’li Ahkam al-Qur’an, jilid XV.
Qayyim, Ibnul, al-Jauziyyah, I’lam al-Muwaaqi’in, 1955, Vol 3.
9
dengan cara meninggalkan hadits tersebut. Selanjutnya apabila ada pejelasan sahabat Nabi untuk menafsirkan ayat al-Qur’an, maka seorang mufassir ia harus menggunakan penjelasan tersebut sebagai dasar dari tafsirnya. Namun seorang mufassir haruslah berhati-hati dalam menyeleksi penggunaan penjelasan tersebut dikarenakan banyak sekali riwayat-riwayat yang tidak benar (palsu). Demikian juga dengan perkataan dari para tabi’in. Namun perkataan dari para tabi’in tersebut dalam menafsirkan al-Qur’an masih diperselisihkan. Ada sebagian yang mengatakan bahwa perkataan para tabi’in tersebut termasuk dalam tafsir bi al-ma’sur, dengan bahwa penjelasan ini didapat dari para sahabat Nabi. Namun sebagian memasukkannya kedalam tafsir bi al-ra’yi, sebagaimana tafsir yang lainnya setelah tabi’in.
2. Kaidah Umum Tafsir
Kaidah umum tafsir adalah seperangkat ilmu pengetahuan yang dibutuhkan oleh seorang mufassir dalam menafsirkan al-Qur’an. Ilmu-ilmu tersebut yang meliputi ilmu bahasa Arab, nahwu, sharaf, isytiqaq, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’), ilmu ushul fiqih, dan ilmu qiraat. Ilmu bahasa (linguistic) berfungsi untuk menetahui kosa kata, konotasi, bahwa sebuah makna akan berubah seiring dengan adanya perubahan i’rab. Dengan ilmu sharah (konyugasi), maka seorang mufassir ia akan dapat melihat bentuk, asal dan pola (shighat) sebuah kata. Sementara itu kaidah syiqaq (derivasi kata, etimologi) adalah berfungsi untuk mengetahui akar atau kata dasar dari suatu kata. Sebab jika diambil dari kata yang berbeda, maka sebuah kata akan memiliki makna yang berbeda pula. Sedangkan ilmu balaghah sangatlah berperan dalam membimbing seorang mufassir untuk mengetahui karakteristik
-
10
susunan sebuah ungkapan yang dilihat dari makna yang dihasilkannya atau retorika (ma’ani), perbedaan-perbedaan maksudnya (bayan) dan sisi-sisi keindahan sebuah ungkapan (badi’). Adapun ilmu ushul fiqih berfungsi untuk membantu seorang mufassir dalam mempelajari cara pengambilan dan perumusan dalil-dalil yang berkenaan dengan hukum. Sedangkan dengan ilmu qira’at yang berfungsi untuk membantu seorang mufassir untuk mengetahui cara-cara melafalkan al-Qur’an.
3. Kaidah Khusus Tafsir
Kaidah khusus dalam penafsiran yakni merupakan kaidah yang dibangun berdasarkan perspektif dan wordview yang dianut oleh berbagai aliran dalam pemikiran Islam. Dalam hal ini warna warna tafsir menjadi sangat beragam sesuai dengan perspektif keilmuannya masing-masing. Beberapa perspektif keilmuan yang berpengaruh dalam penafsiran al-Qur’an diantaranya adalah ilmu kalam, fiqh, taSawuf, filsafat dan ilmu pengetahuan modern. Dalam hal ini terdapat juga berbagai aliran yang bermacam-macam. Sebagai contoh adanya perbedaan kaidah antara tafsir yang dikembangkan kelompok Asy’ariyah dan aliran Mu’tazilah dalam perspektif theology. Atau dalam perspektif fiqh yakni antara tafsir Syafi’iyah dan tafsir Hanafiyah, dan dalam perspektif filsafat yakni antara tafsir Ghazalian dan Rusydian. Dengan demikian jelas bahwa setiap aliran memilki perspektif keilmuan tersendiri dengan berdasarkan paradigmanya masing-masing. Dalam hal ini dengan munculnya ilmu pengetahuan modern juga tentu akan sangat mempengaruhi akan corak dari tafsir umat Islam. Ini tentu diakibatkan dengan adanya perubahan sosial, perkembangan ilmu pengetahuan dan bahasa melahirkan adanya
191
__________, Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim, Beirut: Makatabah, ar-
Risalah. 1983, Jilid II.
__________, Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim, Beirut: Makatabah, ar-
Risalah. 1983, Jilid III.
__________, Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim, Beirut: Makatabah, ar-
Risalah. 1983, Jilid IV.
__________, Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim, Beirut: Makatabah, ar-
Risalah. 1983, Jilid VI.
Kahlf, Monzer, Theory of Production, dalam Reading Microeconomic
an Islamic Perspective; Sayyid Tahir eds. Longman
Malaysia: Sdn, Bhd, 1992.
Khaldun, Ibnu, Muqaddimah, Kairo: al-Makatabah al-Dhahirah,
1930/ Beirut: Dar al-Kutub al’Ilmiah 1993.
Koilu, Mustafa, Islam and Its Quest for Peace, lihat, Justice and
Education Washington DC: The Council for Research
in Values and Philosophy, 2003.
Karim, Adiwarman, Ekonomi Mikro Islami, Jakarta: III/T
Indonesia. 2003, Edisi 2.
Laila dan Muhammad Thohir, (Beirut: Dar al-Qur’an al-Karim,
1404H/ 1984M.
Maraghiy, al-Mushthafa, Tafsir al-Maraghi, jilid XIII.
Maududi, al Economic Ploblem of Man and its Islamic Solution, 1955.
_______, Tafhimul Qur’an, tafsir dari ayat 25 surat 57, al-Hadid,
Vol 5.
-
190
‘Arabiy, al, Muhammad ‘Abdullah, Al-Iqtisad al-Islami, Beirut;
Dar al-Fkr, tt.
Ali, Zinuddin, Hukum Ekonomi Syari’ah, Jakarta: Sinar Grafika,
2008.
Chapra, Umer, Islam and The Economic Challenge, Herendon: The
Islamic Foundation and The International Institute of
IslamicThought, 1995.
____________, The Future of Economics: An Islamic Persepektive,
UK. Islamic Foundation, 1420H/2000 M.
____________, Towards a Just Monetary System, London: The
Islamic Foundation, 1985.
____________, Islam and Economic Development Intenational Institut
of Islamic Thought and Islamic Research I, 1989.
Dahlan, Abdur-Rahman. Kaidah-Kaidah Penafsiran al-Qur’an,
Bandung: Mizan. 1998.
Djazuli, A, Lembaga Perekonomian Umat, Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2002.
Daud, Abu, Imam, Riyadus Shalihin, jilid I tt, 489.
Ghazali, Al. Ihya ‘Ulum al-Din. Kairo Al-Tsaqafah Al- Islamiah
1356 II .
Khairuman Badri. Sejarah Perkembangan Tafsir Al-Qur’an.
Bandung: Pustaka Setia. 2004.
Katsir, Ibnu, Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim, Beirut: Makatabah, ar-
Risalah. 1983, Jilid I.
11
tafsir modern, dan arus perkembangan dan perubahan ini berjalan sedemikian cepat secara global, akibat ini semua tentunya pandangan umat Islam pun berubah terhadap realitas yang ada. Hal ini pun mempengaruhi terhadap informasi yang bersumber dari al-Qur’an pun otomatis mengalami perubahan pula11. Semisal ketika ilmu pengetahuan dapat mendeteksi jenis janin bayi ketika masih dalam kandungan ibunya, maka pemahaman terhadap teks yang bunyinya “ Allah mengetahui apa yang dikandung oleh setiap perempuan (hamil) sebagaimana yang dijelaskan dalam al-Qur’an surat 13 ayat 8, dalam hal ini tidak perlu lagi ditafsirkan dengan mengetahui jenis kelamin laki-laki dan perempuan, melainkan dalam persepektif yang lain, seperti masa depan, jiwa, bakat dan perincian yang lainnya12.
Dengan demikian jelaslah bahwa rasionalitas modern seperti inilah yang menjadi ciri khusus dari tafsir modern. Para mufasir modern ini dalam penafsirannya mereka menggunakan kacamata yang mungkin dapat dikonsumsi oleh masyarakat saintifik yakni dengan ciri adanya demitologisasi terhadap berbagai pemikiran yang tidak rasional yang dilakukan oleh para mufasir sebelumnya. Beberapa kaidah khusus yang terkait dengan tafsir modern ini diantaranya sebagai berikut: a). Dengan cara memetakan masalah-masalah yang ada dalam al-Qur’an menjadi bukan wilayah nalar dan wilayah nalar. Adapun wilayah bukan nalar yakni yang meliputi masalah-masalah metafisika dan perincian ibadah. Sedangkan yang masuk dalam wilayah nalar yakni yang meliputi
11Manna al-Qattan Mabahits fi Ulum al-Qur’an. Beirut: Muassasah
al-Risalah. 1993, h 267 12Badri Khairuman. Sejarah Perkembangan Tafsir Al-Qur’an. Bandung: Pustaka Setia. 2004, 92.
-
12
wilayah kemasyarakatan. Dalam wilayah bukan nalar, maka apabila nilai riwayatnya shahih, ini diterima apa adanya tanpa adanya pengembangan, karena sifatnya yang berada di wilayah luar jangkauan akal manusia. Ada pun wilayah nalar maka ini menempatkan penafsirannya terhadap teks yang ada disesuaikan dengan proporsinya yang tepat13. Maka dalam hal ini wilayah ini menjadi lahan garapan bagi para mufassir untuk melakukan tafsir ulang terhadap teks al-Qur’an. b). Melakukan pemetaan ulang terhadap wilayah qath’i dan dzanni. Dalam pemikiran modernis menuntut pemetaan ulang terhadap wilayah qath’i dan dzanni al-Qur’an. Tentunya hal ini sangat terkait dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang banyak memberikan realitas baru. Sebagai contoh angka kematian yang dapat ditekan dan rata-rata umur manusia yang meningkat dalam tahun-tahun berikutnya dengan menggunakan ilmu kedokteran. Karenya pandangan yang selama ini menyatakan bahwa umur manusia merupakan mafatih al-ghaib yang tidak diketahui kecuali oleh Allah sudah seharusnya diubah14 c). Penggunaan takwil dan metafora dalam penafsiran. Dengan adanya perkembangan ilmu pengetahuan dalam berbagai penemuan ilmiahnya, maka ini akan memungkinkan usangnya makna al-Qur’an yang ditafsirkan jauh sebelum penemuan tersebut. Misalnya adanya keyakinan bahwa sesungguhnya yang menurunkan hujan adalah Allah. Dalam hal ini para ulama klasik mereka enggan untuk mengatakan bahwa langitlah yang menurunkan hujan. Maka di era modern dengan berpacu pada bukti empirik tentang peroses terjadinya hujan, maka teks tersebut haruslah diposisikan sebagai
13M.Alfatih Suryadilaga, dkk. Metodologi Ilmu Tafsir, Yogyakarta: Teras, 2005, 55 14M.Alfatih Suryadilaga, dkk, Metodologi Ilmu Tafsir. 2005, 76
189
REFERENSI
Al-Qur’an, Lajnah Pentashhih al-Qur’an, Departemen Agama,
Jakarta, jilid X.
Anwar, Rosihan, Ilmu Tafsir. Bandung: Pustaka Setia, 2005.
Nadwiy, al, Abu al-Hasan Aliy al-Husainiy, Madza Khasira al-
‘Alam bi Inbibath al-Muslimin (Kerugian Apa yang Diderita
Akibat Kemerosotan Kaum Muslimin), (terj) Abu.
Alfatih Suryadilaga, Muhammad, dkk. Metodologi Ilmu Tafsir,
Yogyakarta: Teras, 2005.
Ahmad, Kurshid, Studies in Islamic Economics, Leicester. U.K: The
Islamic Foundation, 1980.
______________,Economic Development The Concept and Its Goals
in Muslim, The Muslim, Desember–March 1997. Lihat
juga Surahman Kastin Hasan, Ekonomi Islam,
Universiti Kebangsaan Malaysia, Bangi, 1990.
-
188
lain yang memiliki kesamaan dalam perintah maupun yang berkenaan dengan larangan.
5. Dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an Ibnu Katsir menafsirkan ayat dengan cata mujmal secara umum dengan memasukkan hadits-hadits Nabi sebagai landasan pemikirannya.
6. Penafsiran ayat-ayat tentang ekonomi menurut pandangan ulama kontemporer antara lain: Quraish Shihab dengan metode penafsirannya yang banyak merujuk kepada penafsiran Thabathaba’i dan Abdullah Ibnu ‘Ashur
7. Ada banyak hadits Rasulullah saw. yang berkenaan dengan masalah ekonomi seperti anjurannya tentang usaha apapun yang dikerjakan adalah merupkann amal ibadah sekalipun sekedar memikul kayu bakar untuk dijual adalah lebih baik dari pada hidup hanya cuma meminta-minta.
B. Saran
Sesuai dengan hasil yang telah ditemukan oleh penulis, maka ada beberapa hal yang perlu yang merupakan saran sebagai berikut: Kebutuhan masyarakat Indonesia tentang sistem perekonomian yang memang secara Islami. Karena itu masih sangat diperlukan kajian-kajian lain yang lebih memadai, baik itu kajian kepustakaan maupun kajian lapangan, yang sekaligus menunjukkan bahwa Islam mampu untuk menjawab segala persoalan yang menyangkut kemanusiaan terutama yang menyangkut masalah perekonomian umat.
13
suatu metafora. Dengan demikian jelas bahwa peluang penggunaan takwil dalam penafsiran akan menjadi lebih terbuka.
4. Kaidah Penafsiran Kontemporer.
Tafsir kontemporer dapat dikatakan sebagai konsep penafsiran yang dikembangkan oleh para pemikir muslim neo-modernisme atau post-modernisme. Modernisme dalam Islam yang tumbuh dan berkembang pada abad ke 19, terlihat memang mampu melahirkan pembaharuan pemikiran menuju masyarakat muslim modern. Akan tetapi di sisi lain modernism masih memiliki celah konservatisme dalam konsep pemurnian ajaran Islam. Pendekatan konservatif terhadap konsep ini kembali menarik Islam kearah pemikiran tradisional yang dikenal dengan istilah puritanisme.15
Dengan munculnya puritanisme maka umat Islam terjebak pada hal ini karenanya banyaklah bermunculan pembaru-pembaru Islam abad ini. Maka mereka inilah yang dikenal dengan pemikir-pemikir Islam kontemporer. Dalam hal penafsiran al-Qur’an terdapat banyaknya variasi tafsir yang ditawarkan. Dengan kata lain para penafsir/ pemikir ini mampu memberikan alternatif penafsiran yang unik. Diantara para pemikir tersebut adalah Muhammad Syahrur, dan Fazlurrahman. Kaidah-kaidah khusus yang dikembangkan oleh keduanya adalah sebagai berikut: a). Muhammad Syahrur. Dalam hal ini Muhammad Syahrur metode yang dikembangkannya dalam penafsiran disebut dengan intrtektualitas dan paradigma-sintagmatis. Kaidah yang digunakan dalam metode ini adalah sebenarnya kaidah dasar tafsir yang juga digunakan dalam penafsiran-penafsiran yang lain, yakni dengan
15M. Quraisy Syihab. Membumikan Al-Qur’an, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan, 1999, 82
-
14
menafsirkan sebagian ayat al-Qur’an dengan ayat yang lainnya. Namun yang membedakan adalah analisis yang digunakan. Dengan kata lain analisis pemahaman terhadap sebuah konsep dari teks-teks lain yang mendekati atau yang berlawanan (paradigmatik).
Selain metode dan kaidah tadi Muhammad Syahrur juga mengembangkan kaidah yang lain yang berhubungan dengan bahasa Arab, dengan mengatakan bahwa dalam bahasa Arab tidaklah terdapat sinonim, setiap kata memiliki kekhususan makna bahkan satu kata bisa memiliki lebih dari satu potensi makna. Maka salah satu faktor yang bisa menentukan makna mana yang lebih tepat dari potensi-potensi makna yang ada yakni konteks logis dalam suatu teks di mana kata itu disebutkan. Maka inilah yang disebut dengan analisis sintagmatis yang memandang bahwa makna setiap kata pasti dipengaruhi oleh hubungannya secara linear dengan kata-kata yang ada di sekelilingnya b). Fazlurrahman, termasuk juga salah seorang mufasir kontemporer yang mengembangkan metode tafsir yang dikenal dengan dengan metode gerakan ganda (double movements). Dalam metode ini sangat terkait dengan kaidah khusus yang dikembangkannya dalam memaknai al-Qur’an. Menurutnya esensi al-Qur’an adalah berkaitan dengan moral yang menekankan pada monoteisme dan keadilan sosial. Dengan kata berawal dari kaidah inilah dikembangkan metode gerakan ganda. Metode ini dikembangkan dengan menarik situasi kontemporer menuju era al-Qur’an pada awal diturunkan lalu ditarik ke masa sekarang. Elaborasi definitif dari metode ini adalah sebagai berikut: Pertama) dengan memahami arti atau makna dari suatu teks dengan cara mengkaji situasi atau problem historis pada saat ini. Maka dari kajian ini ditarik suatu kesimpulan kearah nilai-nilai moral, prinsip-prinsip umum dan tujuan jangka panjang. Kedua) dengan nilai-nilai tersebut
187
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pemabahasan yang telah dipaparkan dalam penelitian ini maka dapat disimpulkan antara lain sebagai berikut:
1. Bahwa ekonomi Islam memiliki prinsip dasar yang sangat fundamental antara lain: Pertama prinsip tauhid, kedua prinsip keadilan, ketiga prinsip kebajikan, keempat prinsip kemanusiaan, dan kelima prinsip tanggung jawab, dan keenam prinsip kebebasan.
2. Penafsiran ayat-ayat tentang ekonomi dalam al-Qur’an dalam pandangan Ibnu Katsir, metode penafsirannya dengan merujuk kepada riwayat-riwayat para shahabat Rasulullah saw. seperti riwayat Abdullah Ibnu ‘Abbas juga merujuk kepada mazhab yang empat seperti Imam Syafi’i, Hanafi, Maliki dan Hambali.
3. Bahwa tafsir Ibnu Katsir adalah merupakan salah satu tafsir neo modern yang banyak dijadikan referensi dalam melihat tafsir ayat al-Qur’an khususnya yang berkenaan dengan ekonomi Islam
4. Dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an khususnya ayat tentang ekonomi maka Ibnu Katsir banyak menggunakan metode atau dengan cara mengqiyaskan ayat yang ditafsirkan dengan ayat-ayat
-
186
kebutuhan hidupnya, bahkan Islam sangat mengecam seseorang yang
bermalas-malasan walaupun dia selalu dalam beribadah kepada Allah,
sebab mencari nafkah dengan bekerja itu sendiri juga adalah merupakan
satu ibadah kepada Allah yaitu dengan memenuhi kewajiban untuk diri
dan keluarganya.
Nash al-Qur’an dan hadist Rasulullah banyak yang membahas
masalah ekonomi Islam yang berkenaan dengan masalah konsumsi,
sebab belanja dan konsumsi adalah tindakan yang mendorong
masyarakat berproduksi, hingga terpenuhi segala kebutuhan hidupnya.
Dalam ayat al-Qur’an dan hadits diatas menerangkan bahwa seseorang
dalam menggunakan hartanya haruslah dengan secukupnya saja dan
juga perintah wajib membelanjakan harta baik untuk fisabilillah
maupun untuk diri dan keluarga, juga Islam memerangi tindakan
mubazir dan pemborosan, kikir dan bakhil. Dalam hal yang berkenaan
dengan distribusi baik ayat al-Quran dan Hadits Rasulullah
menerangkan tentang sendi kebebasan dalam ekonomi Islam, namun
kebebasan ini bukanlah mutlak yang terlepas dari ikatan, kebebasan itu
adalah kebebasan yang terbatas, terkendali dan terikat dengan aturan
yang diwajibkan oleh Allah. Dalam distribusi dijelaskan juga tentang
keadilan bahwa keadilan adalah pilar utama dalam ekonomi Islam sebab
kesenjangan pendapatan dan kekayaan alam dalam masyarakat
berlawanan dengan semangat serta komitmen Islam terhadap
persaudaraan dan keadilan sosial – ekonomi.
15
kemudian ditarik dalam konteks sosio-historis pada saat sekarang ini dan digunakan untuk mengkaji dan menilai berbagai persoalan kontemporer yang sedang berlangsung.16
Dengan demikian jelas bahwa diantara kedua pemikir kontemporer diatas dalam pandangan mereka sangatlah berbeda yakni masing-masing memiliki ciri serta metode yang khusus dalam kaidah penafsir al-Qur’an, yang mana Syahrur lebih menekankan pada intelektual dan analisis sintagmatis sedangkan Fazlurrahman lebih melihat pada penfasiran melalui historis awal al-Qur’an diturunkan dengan menariknya kemasa sekarang.
Kini tingkat pengetahuan dan daya kritis masyarakat semakin berkembang. demikian pula ilmu pengetahuan dan tehnologi semakin berkembang. Semua ini tentunya memerlukan pertimbangan dalam menafsirkan al-Qur’an. Dengan kata lain al-Qur’an harus bisa merespon berbagai masalah kehidupan. Syaikh al-Nadvi mengatakan bahwa pada saat al-Qur’an diturunkan keadaan dunia tak ubahnya seperti baru saja dilanda gempa yang sangat dahsyat. Di sana sini terdapat bangunan yang rubuh rata dengan tanah, tiang rubuh dan bergeser, genteng dan kaca-kaca yang hancur, dan korban harta dan jiwa. Hal yang demikian melanda di berbagai aspek kehidupan seperti masalah ekonomi, politik, sosial, hukum, pendidikan dan lain sebagainya17.
16 Syahiron Syamsudin. Metode Intratektualitas Muhammad Syahrur dalam Penafsiran Al-Qur’an dalam Studi Al-Qur’an Kontemporer. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002, 186 17Abu al-Hasan Aliy al-Husainiy al-Nadwiy, MadzaKhasira al-‘Alam bi Inbibath al-Muslimin (Kerugian Apa Yang Diderita Akibat Kemerosotan Kaum Muslimin, (terj)Abu Laila dan Muhammad Thohir, ( Beirut: Dar al-Qur’an al-Karim, 1404 H / 1984 M, hal 145
-
16
Kehancuran dalam bidang ekonomi yang ditandai adanya praktik riba, monopoli yang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan keuntungan. Dalam bidang politik yang ditandai adanya kekuasaan yang absolut, kejam dzalim dan otoriter. Kemudian dalam bidang sosial yang ditandai dengan adanya pelapisan antara kaum yang mampu dengan kaum yang tidak mampu dengan menindas mereka, diskriminasi yang didasarkan pada perbedaan warna kulit, jenis kelamin dan, keturunan dan kedudukan, sehingga menimbulkan eksploitasi manusia atas manusia lainnya. Sedangkan dalam bidang hukum ditandai dengan adanya diskriminasif, praktik ketidakadilan, dan sebagainya. Sementara itu dalam bidang pendidikan ditandai dengan adanya penguasaan ilmu pengetahuan hanya oleh segelintir orang, sedangkan orang bodoh dibiarkan dengan bertambah bodoh, dengan demikian mereka dengan leluasa dapat ditindas dan diperbudak oleh kaum yang kuat.
Selain itu sebagai akibat pandangan hidup yang materialistik, masyarakat semakin rusak akidah dan akhlaknya. Mereka tidak ingin lagi mengetahui siapa pencipta dirinya. Mereka memuja benda-benda yang menurutnya akan dapat mendatangkan keuntungan. Seperti matahari, bulan, air, binatang, bahkan benda-benda tetentu seperti patung berhala, dan sebagainya18.
Sehubungan dengan inilah maka al-Qur’an menjelaskan kepada manusia tentang pokok-pokok ajaran yang terkandung di dalamnya, semua ini penting diketahui sebagai langkah awal untuk memudahkan dalam memahami al-Qur’an serta kearah mana
18Abuddin Nata, Tafsir Ayat-ayat Pendidikan, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002, hal 8
185
قال رسول هللا صلىهللا عليه وسلم :ايهاالناساتقوا الظلم فإنه ظلماتيوما لقيامة﴿رواه مسلم﴾
Artinya :” Wahai manusia, takutlah akan kezaliman (ketidak adilan) sebab
sesungguhnya dia akan menjadi kegelapan pada hari pembalasan
nanti”.399
Dalam hadits di atas menjelaskan tentang peringatan ketidak
adilan dan eksploitasi ini dimaksudkan untuk melindungi hak-hak
individu dalam masyarakat, juga untuk meningkatkan kesejahteraan
umum sebagai tujuan utama Islam.
Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, bahwa
Rasulullah saw. bersabda:
اناهللا يحبالعبد التقي الغنيالخفي ﴿رواه مسلم﴾
Artinya:” Sesungguhnya Allah mencintai hamba yang bertakwa, kaya, lagi
menyembunyikan simbol-simbol kekayaan”.400
Dari hadits di atas menerangkan bahwa Allah sangatlah
mencintai hamba-hamba-Nya yang selalu bertakwa, kaya, akan tetapi ia
menyembunyikan simbol kekayaannya dengan kata lain di atidak
menyombongkan dirinya.
Dari uraian tentang sumber dan dasar hukum tentang
ekonomi Islam di atas baik dari nash al-Qur’an maupun dari hadits-
hadits Rasulullah Saw. maka jelaslah bahwa nash al-Qur’an dan hadits
banyak yang menerangkan tentang aspek produksi bahwa al-Qur’an
dan as-Sunnah mewajibkan seorang muslim untuk berusaha, berupaya
semaksimal mungkin dalam mencari pekerjaan demi memenuhi
399 Imam Muslim. Riyadus Shalihin, jilid I, 530 400 Imam Muslim. Riyadus Shalihin, jilid I, 564
-
184
yang dikemukakan Thabathaba’i sebagaimana dikutif Quraish ini lebih
sesuai dengan konteks-konteks ayat-ayat ini yang menguraikan keadaan
manusia dari segi kekhusuan dan kekerasan hati mereka serta
kesungguhan dan kelesuan mereka.397
Sementara itu kata anzalnaa/turunkan digunakan juga oleh al-
Qur’an dalam arti menciptakan atau menampakkan sesuatu yang tadinya
tidak tampak. Kata diturunkan al-Qur’an juga banyak dipahami oleh
kebanyakan ulama dalam arti ditampakkannya kalam Ilahi itu dalam
alam nyata.398 Dengan demikian jelas bahwa ayat ini juga mengaitkan
serta menjelaskan tentang besi yang disebabkan besi adalah mempunyai
kekuatan yang dapat membahayakan, namun dapat juga menguntungkan manusia. Hal ini dapat dilihat adanya lempengan besi
akan dapat menahan panas,tarikan, kekaratan, dan kerusakan,
disamping itu juga lentur hingga dapat menampung daya magnet. Besi
juga dapat masuk dalam proses pembentukan klorofil yang merupakan
zat penghijau tumbuh-tumbuhan yang terpenting dalam fotosintesis
yang membuat tumbuh-tumbuhabn dapat bernafas. Dari sinilah zat
besi kemudian masuk ke dalam tubuh manusia dan hewan.
Demikianlah ayat-ayat yang menjelaskan tentang kebebasan
ekonomi yang disyariatkan Islam, yakni bukanlah kebebasan mutlak
yang terlepas dari aturan-aturan agama, kebebasan itu adalah kebebasan
yang terbatas dan yang terikat yang didalam harta yang dipunyai ada
hak-hak orang lain di dalamnya yang harus dikeluarkan.
- Hadits-hadits yang berkenaan dengan distribusi, antara lain :
Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad yang
menerangkan:
397 Quraish Shihab, jilid XIII, 453 398 Quraish Shihab, jilid XIII, 454
17
perhatian seorang mufassir harus diarahkan. Berkaitan dengan masalah ekonomi ada banyak ayat-ayat al-Qur’an yang menerangkan tentang hal ini, baik itu yang menyangkut tugas manusia sebagai khalifah di muka bumi dalam rangka mewujudkan kemakmuran dan kesejahtraan hidup mereka, perintah agar manusia mampu dan mau mengelola apa yang ada di bumi ini, masalah konsumsi apa yang harus dimakan dan diminum sekaligus yang dilarang, larangan pemborosan, kikir dan lainnya. Juga membahas masalah distribusi, kemana harta yang dimiliki kita manfaatkan dan kita keluarkan.
-
18
BAB II
GAMBARAN UMUM TENTANG EKONOMI ISLAM
A. Pengertian Ekonomi Islam
Sebelum menguraikan tentang makna ekonomi Islam, yang harus dilihat terlebih dahulu pengertian ekonomi itu sendiri. Kata ekonomi merpakan kata penggabungan dua suku kata oikos dan nomos yang berasal dari bahasa Yunani. Secara harfiah, oikos berarti rumah tangga, sedangkan nomos berarti aturan, kaedah atau pengelolaan.19
Sedangkan pengertian ekonomi Islam, menurut Muhammad Abdullah al-Farabi, bahwa ekonomi Islam adalah kumpulan prinsip-prinsip umum tentang ekonomi yang diambil dari al-Qur’an dan as-Sunnah, dan pondasi ekonomi yang dibangun atas dasar pokok-pokok itu dengan mem-pertimbangkan kondisi lingkungan dan waktu.20
Dalam hal ini Muhammad al-Fanjariy, menyatakan bahwa ekonomi Islam merupakan segala sesuatu yang mengendalikan dan mengatur aktivitas ekonomi sesuai dengan pokok-pokok Islam dan politik ekonominya. Dengan posisinya yang merupakan cabang dari ilmu fikih, dan Abdullah ‘Abd al-Husain at-Tariqi, mengatakan bahwa ekonomi Islam merupakan suatu ilmu tentang hokum-hukum syari’at aplikatif yang diambil dari dalil-dalilnya yang
19 Deliar Nov, Ilmu Ekonomi, (Jakarta: Rajawali Press, 1995), 6-7 20 Muhammad ‘Abdullah al-‘Arabiy, Al-Iqtisad al-Islami, (Beirut;
Dar al-Fkr, tt) 40
183
Dalam penggalan ayat: Sungguh Kami bersumpah bahwa Kami
telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang
nyata sehingga semestinya tidak ada dalih untuk mendustakan mereka
dan telah Kami turunkan bersama mereka al-Kitab, yakni wahyu yang
mengandung hukum-hukum dan hikmah, yang dapat ditulis dalam
sejumlah kitab suci dan Kami juga menganugerahkan manusia akal dan
nurani yang mengantar mereka menegakkan neraca keadilan supaya
manusia dapat melaksanakan secara sempurna dan berinteraksi antar
mereka atas dasar keadilan. Dan Kami turunkan, yakni ciptakan, juga besi
yang padanya terdapat kekuatan yang hebat, antara lain dapat dijadikan alat
untuk melawan kezaliman, dan berbgai manfaat lain bagi kebutuhan dan
kenyamanan hidup manusia. Kami melakukan semua itu supaya
dipergunakan dengan baik dan pada tempatnya dan supaya Allah
mengetahui dalam kenyataan setelah mengetahui dalam ilmu-Nya yang
gaib siapa yang membangkang perintah-Nya dan siapa yang senantiasa
menolong agama-Nya dan rasul-rasul-Nya, dengan jiwa raga, lisan atau paling
tidak dengan hati dan doanya padahal Allah tidak dilihatnya. Kata
sesunguhnya Allah Mahakuat Artinya dapat mengalahkan seagala sesuatu
dan tidak dapat dikalahkan oleh apa dan siapa pun, lagi Mahaperkasa
sehingga tidak terkandung oleh kehendak-Nya oleh apa dan siapa
pun.396
Sedangkan kata mizaan/ neraca ada yang menafsirkan dengan
neraca yang digunakan untuk menimbang sesuatu. Ini karena
keharmonisan hubungan ditandai dengan kejujuran yang menggunakan
neraca sebagai timbangan dalam berinteraksi dalam jual beli. Bisa juga
diartikan dengan agama, sebab dengan agamalah dapat mengukur
keyakinan dan amal-amal manusia. Agamalah yang merupakan sendi
kebahagiaan hidup manusia secara individu dan kolektif. Makna ini juga
396 Quraish Shihab, jilid XIII, 452
-
182
telah menyadari bahwa keduanya adalah milik Allah dan berada dalam
genggaman tangan-Nya.394
Dengan demikian jelaslah bahwa dalam ayat ini kita
diperintahkan untuk beribadah hanya mengharap keridhaan Allah
semata, dengan penuh keikhlasan. Namun walaupun dalam ayat ini
penyebutan shalat diutamakan sebelum penyebutan ibadah, sebab
memang shalat itu memang merupakan bagian terpenting dari ibadah,
ini dimaksudkan untuk menunjukkan betapa pentingnya rukun Islam
yang kedua ini,. Ini dikarekan ibadah shalat adalah satu-satunya
kewajiban yang tidak dapat ditinggalkan sebanyak lima kali sehari, yang
berbeda dengan kewajiban-kewajiban yang lain.
Al-Qur’an surah al-Hadid, (57): 25
َب َواْلِميزَاَن لِيَـُقوَم لََقْد أَْرَسْلَنا ُرُسَلَنا ِ�ْلَبيَِّناِت َوأَنـْزَْلَنا َمَعُهُم اْلِكَتااِس َولِيَـْعَلَم ٌس َشِديٌد َوَمَناِفُع لِلنَّ اُس ِ�ْلِقْسِط َوأَنـْزَْلَنا احلَِْديَد ِفيِه &َْ ّ◌◌َ الن َقِويٌّ َعزِيزٌ هللا رُُه َوُرُسَلُه ِ�ْلَغْيِب ِإنَّ َمْن يـَْنصُ هللا
Artinya: “Sungguh Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti
yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka al-Kitab dan
neraca supaya manusia melaksanakan keadilan. Dan Kami turunkan
besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat
bagi manusia. Dan supaya Allah mengetahui siapa menolong-Nya dan
rasul-rasul-Nya padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah
Mahakuat lagi Maha Perkasa.”395
394 Quraish Shihab, jilid IV, 360 395 QS, al-Hadid (57): 25
19
terperinci tentang persoalan yang terkait dengan mencari, membelanjakanan, dan cara-cara mengem-bangkan harta.21
Dari beragam definisi di atas jelas bahwa ekonomi Islam pada dasarnya mengandung makna yang sama, pada intinya merupakan suatu cabang ilmu prngetahuan yang berupaya untuk memandang, menganalisis, dan akhirnya menyelesaikan permasalahan-permasalahan ekonomi dengan cara-cara yang islami artinya cara-cara yang didasarkan atas ajaran agama Islamyang bersumber pada al-Qur’an dan as-Sunnah.
Menurut Ahmad Syaifuddin22 bahwa tingkah laku ekonomi itu merupakan bagian dari manusia, maka ilmu dan aktivitas ekonomi haruslah berada di dalam Islam, yangmana keunikan pendekatan Islam terletak pada sistem nilai yang mewarnai tingkah laku ekonomi. Ilmu ekonomi merupakan satu bagian saja dari ilmu agama Islam. Sistem ekonomi dengan sendirinya tidak mungkin dapat dipisahkan dari supra sistemnya yaitu Islam, karena pemikiran Islam berdasarkan konsep segi tiga (triangle arrangement) yaitu Allah Swt disudut puncak, manusia dan kekayaan ada masing-masing di dua sudut bawahnya, yang keduanya tunduk taat kepada-Nya. Islam untuk ekonomi, atau ekonomi dalam Islam dapat digali dengan al-Qur’an dan as-Sunnah yang berkaitan dengan ketentuan mengenai tingkah laku ekonomi dari manusia dan masyarakat, dalam kegiatan-kegiatan produksi, konsumsi dan distribusi barang dan jasa.23
21 Abdullah ‘Abd al-Husain al-Tariqi, al-Iqtis{ad al-Islami, 50 22Muhammad Ahmad Syaifuddin, Ekonomi dan Masyarakat dalam Perspektif Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 1987), 55
23Hukum-hukum dan prinsip-prinsip ekonomi merupakan kategori peraturan manusia di muka bumi ini sudah pasti tidak
-
20
Sistem ekonomi Islam, bersumber pada al-Qur’an dan as-Sunnah yang dikembangkan oleh pemikiran manusia yang memenuhi syarat ahli dalam bidangnya, motif ekonomi Islam di batasi oleh syarat-syarat moral, social dan pembatasan diri.
Sedangkan menurut Yusuf Qardhawi24 bahwa ekonomi Islam adalah ekonomi yang berdasarkan ketuhanan, sistem ini bertitik tolak dari Allah, bertujuan akhir kepada Allah, dan menggunakan yang tidak lepas dari syari’at Allah. Aktivits ekonomi seperti produksi, konsumsi, distribusi dan lainnya tidak lepas dari titik tolak ketuhanan dan bertujuan akhir pada Tuhan, artinya kalau seorang muslim bekerja dalam bidang produksi, maka itu tidak lain karena ingin memenuhi perintah Allah.
Bahwa ekonomi dalam pandangan Islam bukan tujuan akhir kehidupan, ia merupakan sarana untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi, penunjang dan pelayanan bagi akidah dan bagi misi yang diembannya. Ekonomi merupakan bagian dari kehidupan dan tidak bisa dilepaskan dari kehidupan. Manusia bukanlah pondasi bangunannya dan bukan tujuan dari risalah Islam, ekonomi juga bukan lubang peradaban suatu umat.
bertentangan dengan ajaran Islam, karena Islam adalah ajaran yang mengatur hidup manusia di dunia dan di akhirat. Karena ajaran Islam itu bersifat universal dan bahkan banyak ayat al-Qur’an dan as-Sunnah mengandung pengertian, petunjuk dan isyarat mengenai cara bagaimana manusia itu dapat mengatur tata penghidupan dan tata perekonomian dunia.Lihat Muhammad Ahmad Syaifuddin, Ekonomi dan Masyarakat dalam Perspektif Islam, 60 24Yusuf Qardhawi, Dawr al-Qiyam wa al-Akhlaq fi Iqtis{adi al-Islami, (Cairo: Muassasah al-Risalah, 2002 ), 31
181
lakukan itu, juga merupakan lillahi ta’aala, tidak mengharapkan imbalan
dari manusia.393
Sedangkan kata awwalu al-muslimin yang dipahami dalam arti
yang pertama dari segi waktu dan kedudukan selaku pemeluk agama
Islam di antara kelompok umat beliau, dan yang pertama dari segi
kedudukan di antara seluruh makhluk yang berserah diri kepada Allah
Swt.
Dalam ayat ini menjelaskan tentang bukti ajakan Nabi
Muhammad kepada ummat agar meninggalkan kesesatan dan
memeluk Islam, tidaklah beliau maksudkan untuk meraih keuntungan
pribadi dari mereka, karena seluruh aktiviats beliau hanya demi Allah
semata-mata. Yang mana melalui ayat ini Nabi Muhammad disuruh
menyebut empat hal yang berkaitan dengan wujud dan aktivitas beliau,
yitu ibadah dan shalat,, sreta hidup dan mati. Dua yang pertama masuk
dalam aktivitas yang berada dalam pilihan manusia. Ini berbeda dengan
hidup dam mati, keduanya ditangan Allah swt, artinya manusia tidak
mempunyai pilihan diantara keduanya. Menurut Ash-Sha’rawi
sebagaimana dikutif Quraish Shihab, sebenarnya shalat dan ibadah pun
adalah di bawah kekuaasaan Allah swt. Karena Dialah yang
menganugerahkan manusia kekuatan dan kemmpuan untuk
melaksanakannya. Anggota badan ketika melaksanakan mengikuti
perintah kita, namun dengan menggunkan kekuatan yang Allah
anugerahkan kepada jasmani untuk melaksanakannya. Disisi lain,
seorang tidak akan melaksankan shalat, kecuali jika ia sadar bahwa
Allahlah yang memerintahkannya shalat, jika demikian, semuanya di
tangan Allah swt. karena itu sangat wajar jika shalat dan semua ibadah
dijadikan demi karena Allah swt. Adapun mengenai hidup dan mati,
maka keduanya memang sudah jelas, karena memang sejak semula kita
393 Quraish Shihab, jilid IV, 359
-
180
hidupku, bersama segala yang terkait dengannya, baik tempat, waktu,
maupun aktivitas dan matiku, yakni iman dan amal saleh akan kubawa
mati, kesemuanya kulakukan dengan secara ikhlas dan murni hanyalah
semata-mata untuk Allah, Tuhan pemelihara semesta alam, tiada sekutu bagi-
Nya; dalam zat , sifat dan perbuatan-Nya, yang antara lain penciptaan
alam raya ini serta kewajaran untuk disembah dan demikian itulah
tuntunan yang sangat tinggi kedudukan-Nya lagi luhur yang diperintahkan
kepadaku oleh nalar yang sehat dan juga oleh Allah Swt. dan aku adalah
orang yang pertama dalam kelompok orang-orang muslim, yakni orang-orang
muslim yang paling sempurna kepatuhan dan penyerahan dirinya
kepada Allah swt.392
Bahwa kata nusuk biasa juga diartikan dengan sembelihan,
namun yang dimaksud dalam ayat ini adalah ibadah, termasuk shalat
dan sembelihan itu. Pada mulanya kata ini digunakan untuk melukiskan
sepotong perak yang sedang dibakar, agar kotoran dan bahan-bahan
lain yang menyerati potongan perak itu terlepas darinya, sehingga yang
tersisa adalah perak yang murni. Ibadah dinamai nusuk untuk
menggambarkan bahwa ia adalah suci, murni dilaksanakan dengan
penuh keikhlasan demi karena Allah, tidak tercampur sedikitpun, selain
demi karena Allah itu. Kata mamaati (matiku) ada juga yang
memahaminya dalam arti doa-doa yang dilakukan Rasul Saw. Setelah
kematian beliau, seperti diketahui para shuhada, apalagi Rasul hidup di
alam yang tidak kita ketahui hakikatnya. Beliau melihat dan mendoakan
ummatnya, bahkan dinyatakan dalam beberapa hadith barang siapa
yang mengucapkan salamkepada Rasul Saw. maka beliau akan
menjawab salam itu. : Allah akan mengembalikan rohku supaya aku
menjawab salamnya. “ Demikian sabda Beliau. Nah, apa yang beliau
392 Quraish Shihab, jilid III,764
21
Abdullah ‘Abd al-Husain al-Tariqi25 mensinyalir bahwa, sistem ekonomi Islam mempunyai beberapa kelebihan dengan ekonomi lainnya sebab: a)ekonomi Islam bersumber dari Allah yang dihasilkan dari agama Allah dan sekaligus mengikat semua manusia tanpa terkecuali, b) ekonomi pertengahan dan berimbang, c) ekonomi berkecukupan dan berkeadilan, d) ekonomi pertumbuhan dan berkah.
Sedangkan Zainuddin Ali mengatakan26 bahwa ekonomi Islam mempunyai tiga karakteristik. Pertama, inspirasi dan petunjuk pelaksanaan ekonomi bersumber dari al-Qur’an dan as-Sunnah, oleh karena itu, tidak boleh ada satu aktivitas perekonomian baik produksi, konsumsi dan distribusi yang bertentangan dengan norma-norma tersebut. Kedua, perspektif dan pandangan-pandangan ekonomi Islam mempertimbangkan peradaban Islam sebagai sumber. Ketiga, ekonomi Islam bertujuan untuk menemukan dan menghidupkan kembali nilai-nilai, perioritas, dan etika ekonomi komunitas warga masyarakat Islam pada periode awal perkembangan Islam.
Lebih lanjut ia mengemukakan bahwa landasan filosofis dari ekonomi Islam yaitu ada 4 hal sebagai berikut: Pertama prinsip tauhid, yaitu manusia wajib meyakini kemahaesaan dan kemahakuasaan Allah swt. di dalam mengatur segala sesuatunya, termasuk mekanisme perolehan rezeki, seluruh aktivitas ekonomi, harus dilaksanakan sebagai bentuk penghambaan kepada Allah Swt.
25 Abdullah ‘Abd al-Husain al-Tariqi, al-Iqtisad al-Islami, 60 26 Zainuddin Ali, Hukum Ekonomi Syari’ah, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2008), 89
-
22
Kedua prinsip keadilan dan keseimbangan,27 yang menjadi dasar kesejahteraan manusia. Ketiga, kebebasan, hal ini berarti bahwa setiap manusia mempunyai kebebasan untuk melakukan berbagai aktivitas ekonomi, sepanjang tidak ada ketentuan yang melarangnya. Keempat, pertanggungjawaban, ini berarti bahwa manusia harus memikul seluruh tanggung- jawab atas semua yang dikerjakannya.
B. Tujuan Ekonomi Islam
Sebelum berbicara tentang tujuan ekonomi Islam, maka terlebih dahulu perlu dilihat pernyataan dari Sri Edi Swasono, yang mengatakan bahwa ekonomi Islam itu ada pada pasal 33 UUD 1945, pada pasal ini ayat 1) yang berbunyi: Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan, 2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan menguasai hajat hidup orang banyak, dikuasai oleh Negara, 3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa, semua pasal diatas sejalan
27Keadilan (‘adl), terminology keadilan dalam al-Qur’an
disebutkan dalam berbagai istilah, antara lain;’Adl, qisth, mizan, hiss, qasd atau variasi ekspresi tidak langsung, sementara untuk terminology ketidakadilan adalah zulim, itsm, dhalal, dan lainnya.) merupakan nilai paling asasi dalam ajaran Islam, yaitu menegakkan keadilan dan memberantas kezaliman adalah tujuan utama dari risalah para Rasul-Nya (Q.S, 57:25. Keadilan sering kali diletakkan sederajat denga kebajikan dan ketakwaan (Q.S. 5:8). Ibn Taimiyah mnyebutkan bahwa, keadilan adalah sebagai nilai utama dari tauhid. Selanjutnya Muhammad Abduh menganggap bahwa kezaliman (zulim), sebagai kejahatan yang paling buruk (aqbah al-munkar) dalam kerangka nilai-nilai Islam. Lain halnya dengan Sayid Quthb yang menyebut keadilan sebagai unsur pokok terpenting yang konprehensif dan terpenting dalam semua aspek kehidupan (Jakarta: P3E, 2002),59
179
Hayyan dan al-Alusi, berpendapat ancaman bagi manusia yang
melampaui batas.390
Sedangkan kata la yathghaa terambil dari kata thaghaa yang
dirangkaikan dengan laam dan berfungsi mengukuhkan. Kata thagha
pada mulanya diartikan meluapnya air sehingga mencapai tingkat kritis
atau membahayakan. Kemudian makna ini berkemabng dengan
pengertian yang lebih umum, yakni segala sesuatu yang melampai batas,
seperti kekufuran, pelanggaran, kesewenang-wenangan terhadap
manusia.
Al- Qur’an surah al-An’am (6): 162.
َوَممَاِيت Dَِِّ َربِّ اْلَعاَلِمنيَ ُقْل ِإنَّ َصالِيت َوُنُسِكي َوَحمَْيايَ Artinya:”Katakanlah sesungguhnya shalatku, dan ibadahku dan hidupku, serta
matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam, tiada sekutu bagi-
Nya; dan demikian itulah yan g diperintahkan kepadaku dan aku
adalah orang yang pertama dalam kelompok orang-orang muslim.”391
Ayat ini dapat dipahami sebagai penjelasan tentang agama
Nabi Ibrahim as yang disinggung di atas sekaligus juga merupakan
gambaran tentang sikap Nabi Muhammad saw. yang menagjak
kaumnya untuk beriman. Ayat ini memerintahkan : Katakanlah, wahai
Nabi Muhammad saw, bahwa sesunguhnya shalatku,dan semua ibadahku
termasuk korban dan penyembelihan binatang yang ku lakukan dan
390 Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, jilid 15, 403 391 QS, al-An’am (6): 162
-
178
demikian penggalan ayat ini sejalan pula dengan perintah mentaati
Rasulullah dalam segala hal.388
Dari pembahasan tentang ayat di atas maka jelaslah bahwa ayat
ini menerangkan tentang harta ramapasan perang (fai) yakni harta yang
diperoleh kaum muslimin dari musuh mereka, harta tersebut
diserahkan Allah kepada Rasulullah Saw, dan harta ini pada dasarnya
dimilikkan kepada Rasul sendiri, beliaulah yang membagikannya sesuai
dengan kebijaksanaan beliau sendiri.
Al-Qur’an, surah: al-‘Alaq ( 96): 6
َكال ِإنَّ اإلْنَساَن لََيْطَغىArtinya:”Hati- hatilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampau batas
apabila ia melihat dirinya mampu.”389
Lima ayat sebelumnya adalah merupakan wahyu pertama
yang diterima oleh Rasulullah saw. Sedangkan ayat yang ke enam ini
dan seterusnya turun jauh sesudah itu. Ayat-ayat di atas menguraikan
salah satu potensi manusia setelah sebelumnya menjelaskan tentang
kodrati yang lain, yakni sebagai makhluk sosial, dan menjelaskan asal
kejadiannya. Kemudian Allah melanjutkan dengan firman: Hati-
hatilah/ sesungguhnya manusia secara umum dan khususnya yang
tidak beriman, benar-benar melampaui batas dan berlaku sewenang-
wenang, apabila ia melihat yakni merasa dan menganggap dirinya
mampu yakni tidak membutuhkan pihak lain. Kata kalla menurut Abu
388 Quraish Shihab, jilid XIII, 533 389 QS, al-‘Alaq (96): 6
23
dengan al-Qur’an surah al-Hasyr ayat 7 dan hadits Nabi yang bunyinya: .....Manusia itu berserikat dalam tiga hal air, api, dan rumput.28 Sementara itu Zainuddin Ali29 bahwa ekonomi Islam adalah kumpulan norma hukum yang bersumber dari al-Qur’an dan as-Sunnah yang mengatur urusan perekonomian umat manusia. Dan tujuan ekonomi Islam menggunakan pendekatan antara lain: a) konsumsi manuasia yang dibatasi smpai pada tingkat yang dibutuhkan dan bermanfaat bagi kehidupan manusia, b) alat pemuas kebutuhan manusia seimbang dengan tingkat kualitas manusia, agar ia mampu meningkatkan kecerdasan dan kemampuan tehnologi manusia, guna menggali sumber-sumber alam yang masih terpendam, c) dalam peraturan distribusi dan sirkulasi barang dan jasa, nilai-nilai moral harus diterapkan, d) pemerataan pendapatan dilakukan dengan mengingat sumber kekayaan seseorang yang diperoleh dari usaha halal, maka zakat sebagai sarana distribusi pendapatan merupakan sarana yang ampuh. Tujuan ekonomi secara umum, adalah pencapaian hasil tertentu yang memiliki nilai yang ditetapkan dan ini bergantung pada prioritas masyarakat, atau Negara penganut dari sistem ekonomi tersebut, ingin mencapai pertumbuhan ekonomi atau keadilan distributive, kebebasan persaingan individual atau saling kebergantungan masyarakat dan Negara.30
28Sri Edi Swasono, Kembali ke pasal 33 UUD 1945, Menolak
Neoliberaisme, 43. 29Zainuddin Ali, Hukum Ekonomi Syari’ah, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2008), 4-5 30Mustafa Edwin Nasution, Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam,
(Jakarta: Kencana, 2007), 13
-
24
Menurut Yusuf Qardhawi31 bahwa tujuan ekonomi Islam adalah menciptakan kehidupan manusia yang aman sejahtera. Yang dimaksud manusia disini adalah semua golongan manusia, baik manusia yang sehat maupun yang sakit, kuat dan lemah, susah dan senang, serta manusia sebagai individu maupun sebagai masyarakat. Jika sistem ekonomi Islam itu berdasarkan pada nash al-Qur’an dan as-Sunnah, yang berarti nash ketuhanan, maka manusia berperan sebagai yang diserukan oleh nash itu. Maka manusialah yang memahami nash, menafsirkan, menyimpulkan, dan memindahkannya dari teori untuk diaplikasikannya dalam praktek dan dalam ekonomi, sebab manusia adalah merupakan tujuan dan sarana.
Umar Chapra32 mensinyalir bahwa, tujuan ekonomi yang diberikan oleh Allah untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok umat manusia dan memberikan kepada mereka kondisi kehidupan yang lebih baik, Islam menganggap kekayaan adalah modal dari Allah, dan pembuatannya secara benar adalah merupakan ujian dari keimanan. Kekayaan yang sebenarnya bukanlah milik manusia, ia adalah milik Allah, dan apa yang dimiliki manusia merupakan suatu titpan, yang dipercayakan padanya untuk dipergunakan dalam merealisasikan tujuan-tujuan yang harus dilakukan umat manusia umum yang berkeadilan sosio-ekonomi, karena pemenuhan kebutuhan-kebutuhan ini penting bagi kesejahteraan umum, wajib bagi masyarakat Islam untuk memanfaatkan semua cara yang tersedia dalam rangka memenuhi kebutuhan ini.
31Yusuf Qardhawi, Dawr al-Qiyam wa al- Akhlaq fi al-Iqtisadi al-
Islami, 57 32 Umer Chapra, Towards a Just Monetary System, 26
177
Penggalan ayat ini bukan saja membatalkan tradisi jahiliah, dimana
kepala suku mengambil seperempat dari perolehan harta, lalu
mengambilnya sesuka hati, bukan saja membatalkan hal itu, tapi juga ia
telah menjadi prinsip dasar Islam dalam bidang ekonomi, dan
keseimbangan peredaran harta bagi segenap anggota masyarakat, walau
pun tidak berarti menghapuskan kepemilikan pribadi atau
pembagiannnya harus selalu sama.387 Dengan kata lain bahwa dengan
penggalan ayat ini, Islam menolak segala macam bentuk monopoli
karena sejak semula al-Qur’an menetapkan bahwa harta memiliki
fungsi sosial.
Sedangkan firman Allah yang berbunyi: wa maa aataakum ar-
Rasuul fa khudzuuh wa maa nahaakum ‘anhu fantahuu/ dan apa yang diberikan
Rasul bagi kamu maka terimalah ia dan apa yang dilarangnya bagi kamu maka
tinggalkanlah, walaupun pada awalanya turun dalam konteks pembagian
harta, penggalan ayat ini pun telah menjadi kaidah umum yang
mengharuskan setiap muslim tunduk dan patuh kepada kebijaksaan
dan ketetapan Rasul dalam bidang apa pun, baik yang secara tegas
disebutkan dalam al-Qur’an maupun dalam hadits-hadits shahih.
Memang kata aataakum dari bahsa hanya berarti member
kamu, namun para ulama memperluas kandungan pesannya sehingga
menjadi amarakum/ dia perintahkan kamu. Hal tersebut karena kalimat
sesudahnya menyatakan nahaakum/ yang dia larang kamu sehingga
dipahami bahwa yang dia berikan termasuk di dalamnya yang dia
perintahkan, dan yang dia larang termasuk harta benda yang dia larang
mengambilnya. Kesemuanya itu tidak boleh diperotes atau pun
diabaikan. Di sisi lain, bukankah bukankah petunjuk atau nasihat dan
tuntunan termasuk hal-hal yang wajar dinamai pemberian? Dengan
387Quraish Shihab, jilid XIII, 532, lihat juga Quraish Shihab,
jilid II,417
-
176
Dengan demikian jelaslah bahwa ayat di atas menyatakan
bahwa orang-orang yang kerjanya hanya menumpuk-numpuk harta
serta tidak mau menafkaknya di jalan Allah, bagi mereka akan
mendapat siksaan yang sangat pedih yang siksa itu akan menyakiti
anggota tubuh dahi yang terletak diwajah mereka, lambung, dan
punggung mereka dikarenakan di ketiga anggota tubuh inlah
mempunyai peranan dalam perbuatan kekikiran,
Al-Qur’an surah al-Hasyr: (59): 7
َما أَفَاَء اDَُّ َعَلى َرُسولِِه ِمْن أَْهِل اْلُقَرى فَِللَِّه َولِلرَُّسوِل َوِلِذي اْلُقْرَىب َواْليَـَتاَمى َواْلَمَساِكِني َواْبِن السَِّبيِل َكْي ال َيُكوَن ُدولًَة َبْنيَ األْغِنَياِء ِمْنُكْم
ْنُه فَانـْتَـُهوا َواتـَُّقوا اDََّ ِإنَّ اDََّ َوَما آYَُكُم الرَُّسوُل َفُخُذوُه َوَما Wََاُكْم عَ َشِديُد اْلِعَقابِ
Artinya:”Apa saja yang dikembalikan Allah kepada Rasul-Nya dari penduduk
negeri-negeri maka adalah milik Allah, Rasul, para kerabat, anak yatim,
orang-orang miskin dan ibnu as-Sabil supaya ia tidak hanya beredar di
antara orang-orang kaya diantara kamu. Dan apa yang diberikan Rasul
bagi kamu maka terimalah ia dan apa yang dia larang kamu maka
tinggalkanlah;dan bertakwalah kepada Allah
sesungguhnya Allah sangat keras pembalasan-Nya.386
Dalam potongan ayat ini kata dulah adalah sesuatu yang
beredar dan diperoleh secara silih berganti, dan selanjutnya ini
bermaksud menegaskan bahwa, harta benda itu hendaknya jangan
hanya menjadi milik dan kekuasaan sekelompok manusia, akan tetapi ia
harus beredar sehingga bisa dinikmati oleh semua anggota masyarakat.
386 QS, al-Hasyr, (59): 7
25
Islam menganjurkan sejumlah referensi moral33, sosial, ekonomi, dan institusional, untuk merealisasikan tujuan-tujuannya, antara lain, kesejahteraan umum dan keadilan sosio-ekonomi, yang semuanya ini dimasukkan dalam sistem ekonomi Islam sebagai bagian integral. Penghapusan bunga, adalah salah satu dari reformasi ini. Penghapusan riba meskipun suatu keharusan, bukanlah suatu hal yang memadai, karena bukanlah satu-satunya ukuran yang diperlukan untuk merealisasikan tujuan-tujuan Islam. Karena itu Umer Chapra34 menegaskan bahwa, tujuan-tujuan syari’ah adalah merupakan komitmen Islam yang demikian mendalam terhadap persaudaraan dan keadilan yang menyebabkan konsep kesejahteraan (falah) bagi semua umat manusia sebagai suatu tujuan pokok Islam. Kesejahteraan ini, meliputi kepuasan fisik sebab kedamaian mental dan kebahagiaan hanya dapat dicapai melalui realiasasi yang seimbang antara kebutuhan materi dan ruhani dari personalitas manusia. Karena itu memaksimumkan out put total semata-semata tidak dapat menjadi tujuan masyarakat muslim. Memaksimumkan ini haruslah dibarengi dengan menjamin usaha-usaha yang ditunjukkan pada kesehatan ruhani yang terletak pada bathin manusia, keadilan serta permainan yang fair pada
33Moral dalam ekonomi, menurut Emitai Etzioni, dalam bukunya, The Moral Dimention: Towards a New Economic, (1988), ia mengemukakan …Apakah manusia itu sama dengan kalkulator yang dingin dan tak peduli, yang masing-masing berusaha memaksimumkan kesejahteraannya sendiri… Andai kata manusia memandang diri sendiri, baik sebagai komunitas maupun sebagai individu yang mencari dirinya, bagaimana garis-garis ditarik diantara komitmen kepada orang banyak dan kepada dirinya….Kita sekarang berada di tengah-tengah pertarungan paradigm. 34Umer Chapra, Islam and Economic Development Intenational Institut of Islamic Thought and Islamic Research I , 1989, 7
-
26
peringkat interaksi manusia, hanya pembangunan semacam inilah yang selaras dengan tujuan-tujuan syari’ah (maqasid asy-syari’ah)
Dalam melaksanakan tugas kekhalifahan, mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan dalam hidup dan kehidupan35 dan tugas pengabdian atau ibadah secara luas36 manusia diberi dua bekal utama yaitu manhaj al-hayah dan wasilah al-hayah.37 Manhaj al-hayah adalah merupakan seluruh atuaran kehidupan dalam Islam yang merupakan aturan-aturan yang harus dilakukan atau aturan yang seharusnya ditinggalkan. Manhaj al-hayah ini terangkum dalam hukum fikih yang mencakup hukum-hukumnya, diantaranya wajib (harus dikakukan) mandub (boleh dilakukan atau ditinggalkan), haram (yang harus) ditinggalkan, mubah (boleh), makruh (yang dibenci), ketetapan tersebut dimaksudkan agar hidup manusia menjadi terjamin keselamatan agamanya, keselamatan hidupnya, keselaman akalnya, keselamatan hartanya, keselamatan nasabnya atau keturunannya, yang dikenal dengan al-hayah ad-daruriyah (kebutuhan pokok/primer).38
Pelaksanaan manhaj al-hayah secara konsisten dalam semua aktivitas kehidupan, akan melahirkan tatanan kehidupan yang baik, adil dan sejahtera yang disebut dengan al-hayah al-tayyibah39,
35Lihat al-Qur’an surah al-Baqarah: 185, tentang al-Qur’an
merupakan pedoman bagi manusia untuk memilih jalan kebenaran atau kesesatan, lihat juga surah an-Nahl: 97, dan surah al-An’am: 165
36 Lihat al-Qur’an surah al-Dhariyat: 56 37Dalam al-Qur’an disebutkan ‘Tidakkah kamu perhatikan
sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentinganmu) apa yang ada dan yang dibumi, dan menyempurnakan nikmatny lahir batin, lihat surah Luqman: 20
38Lihat Abu Ishaq as-Shatibiy, al-Muwafaqat fi Usul as-Sari’ah, (Riyadh: al-Maktabah al-Riyad al-Hadithah: tt) 8-11
39 Lihat al-Qur’an surah al-Nahl: 97
175
ayat ini kanz. Atas dasar itu, mereka yang telah menginfakkan hartanya
dan menabung sisanya tidaklah dinamai taknizuun.
Menurut asy-Sya’rawi sebagaimana dikutif Quraish ia
menerangkan siksa yang dilukiskan dalam ayat ini yakni tiga bagian dari
tubuh penghimpun, yaitu dahi yang terletak diwajah mereka, lambung,
dan punggung mereka. Ia menyatakan bahwa masing-masing bagian
tubuh dari manusia yang disebut oleh ayat ini mempunyai peranan
kekikiran mereka. Dahi yang merupakan bagian dari wajah dari manusia
adalah yang pertama berperan ketika seseorang datang meminta
bantuan.Ketika itu yang enggan bernafkah memalingkan wajahnya dan
mengerutkan dahinya saat mengetahui kedatangan si peminta. Maka
saat itu juga sipeminta merasa terhina, tetapi boleh jadi dia belum
mengurungkan niatnya dan berlanjut dalam usahanya maka ketika itu si
kikir memalingkan badannya, menghadap kearah lain, tetapi kalau si
peminta masih berkeras meminta maka si kikir mengambil sikap yang
lebih tegas, kali ini dengan meninggalkan si peminta dan
membelakanginya. Demikian ketiga anggota tubuh manusia yang kikir
berperanan agar harta yang dihimpunnya tidak dinafkannya di jalan
Allah. Dengan kata lain sangatlah wajar ayat ini menyebut secara khusus
ketiga anggota tubuh manusia dengan penyebuatan yang berrurut itu.384
Sedangkan kata basyiir / gembirakanlah terambil dari kata basyarah
yakni kulit. Suatu berita apalagi yang penting biasanya terlihat bekasnya
pada air muka. Ini lebih-lebih jika berita tersebut menggembirakan.
Karenanya disini kata basyiir diartikan dengan gembirakanlah.385 Dengan
demikian ayat di atas memang sangat teliti serta objektif. Ia tidak
mengatakan bahwa seluruh pemimpin agama Yahudi dan Nasrani
bermoral bejat, tetapi hanya sebagian besar dari mereka.
384 Quraish Shihab, jilid V, 83 385 Quraish Shihab, jilid V, 16
-
174
disamping itu mereka juga menghalang-halangi manusia dari jalan Allah
dengan berbagai uraian dan ajaran yang mereka ajarkan.381
Selanjutnya ia mengatakan harta benda yang mereka peroleh
dari yang batil itu dan yang mereka simpan dan timbun itu kelak akan
menyiksa mereka. Dan orang-orang yang menghimpun dan menyimpan emas dan
perak lagi tidak menafkahkannya pada jalan Allah, yakni sesuai ketentuan
dan tuntunan-Nya. Maka gembirakanlah mereka, bahwa mereka akan
disiksa dengan siksa yang pedih. 382
Kata taknizuun, menurut Quraish bahwa kata ini dipahami
menghimpun sesuatu dalam satu wadah, baik wadah itu berada dalam
tanah maupun dipermukaan bumi. Dalam ayat ini hanya menyebut dua
macam yang dihimpun, yaitu emas dan perak, karena biasa kedua hal
itulah yang menjadi ukuran nilai atau yang umumnya disimpan.
Semenatara itu asy-Sya’rawi sebagaimana dikutif oleh Quraish
mengemukakan bahwa kemu’jizatan al-Qur’an adalah uraian ayat ini di
mana Allah Swt menguraikan tentang emas dan perak, dua jenis
tambang yang dijadikan Allah sebagai dasar penetapan nilai uang dan
alat tukar dalam perdagangan, kendati ada barang tambang lainnya yang
lebih mahal dan berharga. Tetapi, demikianlah keadaannya hingga kini
di seluruh dunia kedua barang tambang itu masih tetap menjadi dasar
bagi perdagangan dan nilai uang disetiap Negara.383
Dengan kata lain ayat ini tidak mengecam semua yang
mengumpulkan harta apalagi yang menabungnya untuk masa depan.
Kecaman ditujukan terhadap mereka yang menghimpun tanpa
menafkahkannya di jalan Allah, yakni tidak melaksanakan fungsi sosial
dari harta antara lain tidak mengeluarkan zakat, dan itulah yang dinamai
381Quraish Shihab, jilid V, 80 382 Quraish Shihab, jilid V, 81 383 Quraish Shihab, jilid V, 82
27
dan hasanah baik didunia dan akhirat, baik secara individu maupun kolektif.40
Sebaiknya penolakan terhadap aturan tersebut, atau tidak mempunyai keinginan untuk mengapklikasikannya dalam aktivitas kehidupan, akan menimbulkan kekacauan, ma’isah dank (kehidupan yang sempit) dan kenistaan dimasa yang akan datang.41
Sementara itu pemenuhan kebutuhan spiritual menghendaki pembangunan moral, pemuasan kebutuhan materi dalam menghadapi pembangunan umat manusia, dan sumber-sumber daya materi dalam suatu pokok yang merata sehingga semua kebutuhan umat manusia dapat terpenuhi secara utuh dan terwujud suatu distribusi pendapatan dan kekayaan yang adil.
Dengan demikian Islam sebagai agama samawi, yang merupakan agama terakhir, adalah diperuntukkan untuk memberikan ajaran dan aturan semua tentang masyarakat yang tak lain bertujuan untuk mencapai kebahagiaan hidup baik material, spiritual, kemakmuran ekonomi, kesejahteraan politik dan ketinggian budaya, ilmu dan kultur, yang sesuai dengan ajaran al-Qur’an dan as-Sunnah.
Kepercayaan seoarang muslim, menurut Syed Nawab Haidar Naqvi42 terhadap kehadiran Tuhan ‘beramallah, Tuhan akan melihat tingkah laku kamu’ dan tindakan kepercayaan tersebut merupakan kunci memahami pengaruh kuat etika dalam prilaku ekonomi, karena kesadaran inilah maka seorang muslim dalam
40 Lihat al-Qur’an surah Luqman: 201 41 Lihat al-Qur’an surah -thaha: 124-126, dan lihat surah al-Hajj,
31 42 Syed Nawab Haidar Naqvi, Ethic and Economic, 20
-
28
segala usahanya senantiasa meminta bantuan pada Tuhan, dan setiap merencanakan usaha barunya.
Pentingnya konsep kehadiran Tuhan, untuk analisis ilmu ekonomi Islam, sekarang harus jelas. Pertama, penggabungan perintah-perintah etik dengan ketentauan-ketentuan ekonomi terjadi pada tingkat motivasi dasar orang Islam yang harus berlangsung terus menerus. Kedua campuran etika dan ilmu ekonomi tersebut, merupakan fakta secara empiris, bisa diverifikasi, atau setidaknya bisa dibuktikan salah, sesuatu yang harus penting ada tidak hanya pada tingkat wacana filosofis, melainkan juga pada tingkat kehidupan sehari-hari orang Islam representative. Ketiga, ketika pertimbangan-pertimbangan seperti pemikiran tentang akhirat berperan secara signifikan dalam kehidupan sehari-hari maka hitung-hitungan tentang tindakan apa yang menguntungkan. Keempat titik tolak nilai edial bisa dilakukan berulangkali, sistematis, norma sebagai rujukan.43
Keberhasilan sistem ekonomi Islam terletak pada sejauhmana keselarasan atau keseimbangan dapat dilakukan di antara kebutuhan material dan kebutuhan etika manusia. Sistem ekonomi Islam tersebut, tidak melupakan ciri pokok kemajuan manusia yang bergantung pada sejauh mana lancarnya koordinasi dan keharmonisan di antara aspek moral dan material dalam kehidupan manusia, apabila aspek moral dipisahkan dari perkembangan ekonomi, maka ia akan kehilangan control yang
43 Dalam bukunya Syed Nawab Haidar Naqvi, Ethic and
Economic, ia menyatakan bahwa sistem ekonomi Islam, pada taraf logika saja, dalam melakukan ini ia mengikuti praktik para ekonom dan pemikir kenamaan yang menulis tentang hal tersebut, yang menolak masyarakat muslim modern sebagai konterpat ilmu ekonomi Islam yang rill-hidup.
173
Sedangkan al-Qur’an surah al-Taubah: 34
أَْمَواَل َ◌ا أَيـَُّها الَِّذيَن آَمُنوا ِإنَّ َكِثريًا ِمَن األْحَباِر َوالرُّْهَباِن لََيْأُكُلوَن يَهَب َواْلِفضََّة النَّاِس ِ�ْلَباِطِل َوَيُصدُّوَن َعْن َسِبيِل اDَِّ َوالَِّذيَن َيْكِنُزوَن الذَّ
ْرُهْم بَِعَذاٍب أَلِيمٍ َوال يـُْنِفُقوWََا ِيف َسِبيِل اDَِّ فـََبشِّArtinya:” Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya banyak dari ahbar dan
rahib- rahib yang benar-benar memakan harta orang dengan jalan yang
batil dan mereka menghalang-halangi dari jalan Allah. Dan orang-orang
yang menyimpan emas dan perak lagi tidak meanfkahkannya pada jalan
Allah, maka Beritahulah kepada mereka dengan siksa yang sangat
pedih, pada hari dipanaskan dalam neraka jahanam, lalu diseterika
dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka:’Inilah apa yang
kamu simpan untuk diri kamu sendiri, maka rasakanlah apa yang
kamu simpan itu.380
Bahwa dalam ayat ini dijelaskan tentang keburukan kaum
musyrikin dan Ahl al-Kitab yang menyangkut kehidupan duniawi, yakni
loba dan tamak serta menumpuk harta benda. Kaum muslimin diajak
ayat ini untuk menghindari keburukan itu dengan berpesan :Hai orang-
orang yang beriman, sesungguhnya banyak sekali dari al-ahbar, yakni orang-
orang alim Yahudi, dan rahib-rahib, yakni ulama-ulama Nasrani, yang
benar-benar memakan, yakni mengambil dan menggunakan harta orang lain
dengan jalan yang batil, antara lain dengan menerima sogok, memanipulasi
ajaran untuk memeroleh keuntungan materi. Mereka menampakkan
agamawan yang dekat kepada Tuhan dan mementingkan kehidupan
akhirat tetaopi hakikat yang sebenarnya tidaklah demikian, dan
380QS, at-Taubah, 34
-
172
pikiran manusia dengan jalan banyak hal agar manusia melakukan
kedurhakaan kepada Allah377
Dari tafsiran di atas jelas bahwasanya syetan selalu
membisikkan kepada manusia agar manusia itu tenggelam dalam
perbuatan kedurhakaan kepada Allah. Selanjutnya perbuatan dosa
tersebut juga dijelaskan dalam surah al-Qashash ayat 8.
Al-Qur’an surah al-Qashahs 77: 8
فَاْلتَـَقطَُه آُل ِفْرَعْوَن لَِيُكوَن َهلُْم َعُدوjا َوَحَزiً ِإنَّ ِفْرَعْوَن َوَهاَماَن َوُجُنوَدُمهَا ِئنيَ َكانُوا َخاطِ
Artinya:”Maka dipungutlah dia oleh keluarga Fir’aun yang akibatnya dia menjadi
musuh Dan kesedihan bagi mereka. Sesungguhnya Fir’aun dan Haman
beserta tentara Tentara mereka berdua adalah orang pendosa-pendosa.”378
Allah menetapkan bahwa apa yang dikhawatirkan oleh Fir’aun
menyangkut kepunahan kerajaannya pasti akan terjadi melalui seseorang
yang dipersiapkan oleh Allah untuk maksud tersebut. Dia adalah Musa
as. Dia lahir tanpa diketahui oleh Fir’aun, namun ibunya sangat
khawatir. Disini Allah menguraikan keadaan ibu dan anak, sekaligus
menjelaskan langkah pertama yang dilakukan-Nya guna memenangkan
orang-orang yang tertindas dan mengalahkan Fir’aun dan rezimnya.
Allah berfirman: Kami menetapkan segala sesuatu sesuai kehendak
Kami, dan untuk itu Kami wahyukan, yakni bisikan berupa ilham, kepada
ibu Musa yang anaknya akan berperan dalam kebinasaan Fir’aun dan
kekuasaannya.379
377 Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, jilid 7, 692 378 QS, al-Qashash, (77): 8 379 Quraish Shihab, jilid XI, Quraish Shihab, jilid XI, 553
29
berfungsi menjaga kestabilan dan keseimbangan dalam sistem sosial.44
Afzalurrahman mengatakan bahwa, anggapan dalam masyarakat yang menyatakan Islam hanya mengajarkan nilai moral semata-mata dan menentang kemajuan ekonomi dalam kehidupan, hal ini tidak benar sebab apa yang dilakukan oleh Islam adalah menciptakan keadaan yang harmonis di antara aspek moral dan aspek ekonomi.45 Diantara konsep yang benar yakni mendorong manusia untuk mencapai ketinggian moral dan ekonomi konsep yang benar dikenal sebagai jalan yang lurus.46
Sedangkan Yusuf Qardhawi mengatakan47 bahwa hal yang membedakan antara ekonomi Islam dan ekonomi konvensional adalah bahwa antara ekonomi dan akhlaq tidak pernah terpisahkan, seperti tidak pernah terpisahkan antara ilmu dan akhlaq, antara politik dan akhlaq, dan antara perang dan akhlaq, sebab akhlaq merupakan daging dan urat nadi kehidupan , karena risalah Islam adalah risalah akhlaq.48
44 Afzalur Rahman, Economic Docterines of Islam, 14 45 Afzalur Rahman, Economic Docterines of Islam, 17 46 Lihat al-Qur’an surah al-Baqarah: 201, yang menjamin
keberhasilan dan kemakmuran dalam hidup. Konsep hidup tersebut mewujudkan keseimbangan sesungguhnya antara aturan-aturan material d(kebendaan) , dengan nilai-nilai spiritual (kerohanian) yang sangat mutlak untuk kejaan hidup di dunia, al-Qur’an memerintahkan umat manusia untuk memohon kepada Allah supaya member petunjuk kearah yang seimbang.
47 Yusuf Qardhawi, Dawr al-Qiyam wa Akhlaq fi Iqtisadi Islammi, 56
48 Dalam hadits dijelaskan bahwa Rasulullah diutus tidak lain adalah untuk menyempurnakan akhlaq. (Hadits Rasulullah)
-
30
Islam mengajarkan umatnya untuk mendahulukan kepentingan ekonomi dan akhlaq, yang berkaitan dengan produksi, pemeliharaan nilai dan keutamaan yang diajarkan agama. Kesatuan antara ekonomi dan akhlaq, akan semakin jelas pada langkah-langkah ekonomi, baik yang berkaitan dengan produksi, konsumsi dan distribusi. Seoarang muslim baik secara bersama-sama maupun secara pribadi, tidak bebas mengerjakan apa saja yang diinginkannya, atau apa saja yang menguntungkannya, sebab setiap muslim terikat dengan keimanan dan akhlaq pada setiap aktivitas ekonomi yang dilakukannya, baik dalam melakukan usaha, mengem-bangkannya dan menginfaqkan hartanya.49 Umer Chafra menyatakan bahwa efisiensi dan pemerataan tidak dapat didefinisikan tanpa adanya suatu filter moral,50 dan suatu ukuran diperlukan untuk mengukur efisiensi. Imam Ghazali meletakkan harta benda dalam urutan terakhir, karena harta bukanlah tujuan itu sendiri. Ia hanyalah merupakan suatu perantara (alat) meskipun sangat penting, untuk merealisasikan kebahagiaan kehidupan manusia. Harta benda tidak dapat mengantarkan tujuan ini kecuali bila dialokasikan dan didistribusikan secara merata. Hal ini menuntut penyertaan kriteria moral terte