Download - Aspek Rekayasa Gempa Pada Desain Struktur
-
Aspek Rekayasa Gempa Pada Desain Struktur 1
Aspek Rekayasa Gempa Pada Desain Struktur
1 Pendahuluan
Gempa bumi (earthquake) adalah salah satu peristiwa alam yang dapat menimbulkan
bencana, yang pada umumnya terjadi akibat rusak atau runtuhnya gedung, rumah, atau
bangunan buatan manusia. Lapisan kulit bumi dengan ketebalan 100 km mempunyai
temperatur relatif jauh lebih rendah dibanding dengan lapisan dalamnya ( mantel dan inti
bumi ), sehingga terjadi aliran konveksi dimana massa dengan temperatur tinggi mengalir ke
daerah temperatur rendah atau sebaliknya. Teori aliran konveksi ini sudah lama berkembang
untuk menerangkan terjadinya pergeseran pelat tektonik yang menjadi penyebab utama
terjadinya gempa bumi tektonik. Disamping itu kita juga mengenal gempa vulkanik, gempa
runtuhan, gempa imbasan, dan gempa buatan. Gempa vulkanik disebabkan oleh desakan
magma ke permukaan, gempa runtuhan banyak terjadi di pegunungan yang runtuh, gempa
imbasan biasanya terjadi di sekitar dam karena fluktuasi air dam, sedangkan gempa buatan
adalah gempa yang dibuat oleh manusia seperti ledakan nuklir atau ledakan untuk mencari
bahan mineral. Skala gempa tektonik jauh lebih besar dibandingkan dengan jenis gempa
lainnya, sehingga efeknya lebih banyak terhadap bangunan.
Hampir setiap tahun bencana gempa bumi terjadi di berbagai wilayah di Indonesia.
Walaupun bencana ini berpengaruh sangat besar terhadap perekonomian regional dan
pembangunan, kelihatannya masih sangat sedikit usaha-usaha yang dilakukan untuk
mengantisipasi, mempersiapkan, atau mengurangi pengaruh bencana dari gempa-gempa yang
akan datang. Sepanjang sejarah manusia, gempa bumi telah menimbulkan banyak korban
jiwa serta harta benda di seluruh dunia. Bencana ini pada umumnya disebabkan oleh
gagalnya bangunan-bangunan buatan manusia. Sampai saat ini manusia belum dapat berbuat
banyak untuk mencegah terjadinya gempa bumi, meskipun demikian manusia dapat berihtiar
dan berusaha untuk mengurangi dampak buruk yang dapat ditimbulkan oleh bencana gempa.
Oleh karena itu, salah satu upaya nyata untuk mengurangi atau mencegah pengaruh gempa
bumi yang akan datang adalah dengan memberikan ketahanan gempa yang cukup terhadap
bangunan-bangunan tersebut.
Secara geografis, kepulauan Indonesia berada di antara 60 LU dan 11
0 LS, serta
diantara 950 BT dan 141
0 BT, serta terletak pada perbenturan tiga lempeng kerak bumi yang
disebut triple juntion, yaitu : Lempeng Eurasia, Lempeng Pasific, dan Lempeng Indo
-
Aspek Rekayasa Gempa Pada Desain Struktur 2
Australia (Gambar 4.1). Lempeng Indo-Australia bertabrakan dengan lempeng Eurasia di
lepas pantai Sumatera, Jawa dan Nusa Tenggara, sedangkan dengan lempeng Pasific di utara
Irian dan Maluku Utara. Di sekitar lokasi pertemuan antara lempeng ini, akumulasi energi
tabrakan terkumpul sampai suatu titik dimana lapisan bumi tidak lagi sanggup menahan
tumpukan energi, sehingga energi yang terkumpul akan dilepaskan berupa gempa bumi.
Pelepasan energi sesaat ini akan menimbulkan berbagai dampak terhadap bangunan karena
percepatan gelombang seismik, tsunami, longsoran, dan liquefaction. Besarnya dampak
gempa terhadap bangunan bergantung pada beberapa hal; diantaranya adalah skala gempa,
jarak epicenter, mekanisme sumber gempa, jenis tanah di lokasi bangunan, dan kualitas dari
bangunan.
Benturan tiga lempeng tektonik bumi yang terjadi di Indonesia membuat kawasan ini
berpola tektonik yang sangat komplek. Oleh karena itu di Indonesia terdapat berbagai jalur
rawan tektonik yang dapat menimbulkan gempa tektonik, dan sebagian besar bersifat
merusak. Gempa bumi tektonik dapat digolongkan sebagai bencana alam geologi, karena
bencana ini ditimbulkan oleh bencana alam dengan karakteristik yang spesifik yaitu terjadi
secara cepat dan mendadak, tanpa dapat diramalkan terlebih dahulu intensitas besar dan
arahnya, serta waktu kejadiannya.
Pada akhir abad ke 20 ini sangat banyak gempa yang terjadi di Indonesia. Gempa-
gempa yang terjadi ini umumnya menyebabkan bencana yang mengakibatkan korban jiwa
dan kerugian harta benda. Tidak kurang dari belasan gempa bumi besar telah melanda
Indonesia, dan beberapa diantaranya mencapai magnitude > M=6 pada Skala Richter, bahkan
ada yang disertai dengan gelombang pasang (Tsunami) seperti gempa yang terjadi di
Sumbawa, Flores, dan Banyuwangi. Kita tidak bisa melupakan gempa-gempa hebat yang
terjadi di Bali (1976), Flores (1992), Halmahera (1994), Liwa (1994), Banyuwangi (1994),
Kerinci (1995), Biak (1996), Pandeglang (1997,1999), Sukabumi (2000), Bengkulu (2000),
Papua (2004), Bali (2004), dan Kepulauan Alor (2004). Beberapa gempa bahkan dirasakan
dampaknya di Jakarta, sehingga mendorong kita semua untuk memperhatikan fenomena
gempa lebih serius. Terjadinya gempa bumi di beberapa wilayah di Indonesia mengingatkan
kita bahwa, kepulauan Indonesia termasuk daerah yang rawan terhadap bencana gempa.
Distribusi gempa bumi besar yang bersifat merusak dengan magnitude M > 6 pada
Skala Richter yang terjadi di Indonesia sejak tahun 1900 sampai dengan 1996, diperlihatkan
pada Gambar 4.2. Dari distribusi gempa besar yang pernah terjadi, terlihat bahwa kawasan
Indonesia khususnya sebagian Sumatera dan Jawa, serta hampir seluruh wilayah Indonesia
-
Aspek Rekayasa Gempa Pada Desain Struktur 3
bagian timur yang meliputi kepulauan Bali, NTT, dan NTB adalah daerah yang rawan
bencana gempa.
Gambar 1. Lingkungan tektonik Indonesia terdiri dari tiga lempeng tektonik; Indo-Australia, Pasifik
dan Eurasia yang bergerak relatif terhadap lainnya (lihat arah panah). Batas lempeng tektonik
merupakan daerah konsentrasi aktifitas gempa bumi yang diplot sebagai garis hitam dan segi tiga.
Garis tebal merupakan sesar aktif, sedangkan lingkaran adalah stasiun seismograf (Sumber : Badan
Metereologi dan Geofisika).
Gambar 2. Distribusi lokasi gempa bumi besar yang pernah terjadi tahun 1900 s/d 1996 dengan
magnitude M > 6 pada Skala Richter (Sumber : Badan Metereologi dan Geofisika).
Lempeng
Pasifik
Lempeng
Eurasia
Lempeng
Indo-Australia
71 mm / yr
110 mm / yr
Lempeng Eurasia Lempeng
Pasifik
Lempeng Indo-Australia
-
Aspek Rekayasa Gempa Pada Desain Struktur 4
Kerusakan maupun kerugian yang diakibatkan bencana gempa cukup besar, baik dari
kerusakan sarana dan prasarana, serta hancurnya banyak rumah penduduk di suatu wilayah
permukiman. Lebih parah lagi adalah, sebagian besar dampak diakibat gempa adalah
kerusakan dari bangunan rumah sederhana yang dihuni oleh sebagian besar masyarakat di
Indonesia. Sementara itu banyaknya korban jiwa maupun luka-luka akibat terjadinya gempa
mengindikasikan kurangnya antisipasi dan kesiapsiagaan masyarakat akan terjadinya bencana
gempa. Untuk itulah diperlukan upaya terpadu pengurangan dampak bencana gempa yang
melibatkan seluruh potensi masyarakat. Untuk dapat mengurangi bencana yang diakibatkan
oleh gempa, beberapa usaha yang dapat dilakukan manusia diantaranya adalah :
Memahami tingkah laku alam, sehingga manusia dapat mengikuti keinginan alam,
dengan demikian manusia dapat hidup berdampingan secara harmonis dan selaras
dengan alam.
Mencoba untuk memperkirakan kapan suatu gempa tektonik atau gempa vulkanik
akan terjadi. Usaha-usaha ini telah mendorong berkembangnya suatu disiplin ilmu
yang dikenal dengan Peramalan Gempa (Earthquake Prediction).
Mencoba untuk mempelajari perilaku dari suatu struktur atau konstruksi bangunan
jika diguncang gempa, dengan harapan akan dapat direncanakan dan dibangun
struktur atau konstruksi bangunan yang tahan terhadap pengaruh gempa. Usaha ini
telah mendorong lahirnya suatu disiplin ilmu yang disebut Rekayasa Gempa
(Earthquake Engineering). Ilmu ini merupakan bagian dari ilmu Teknik Sipil.
Indonesia merupakan kawasan rawan gempa tektonik, dengan intensitas kegempaan yang
cukup besar. Dalam 50 tahun terakhir ini, tidak kurang dari belasan gempabumi besar telah
melanda kawasan ini, dan beberapa diantaranya mencapai magnitude gempa M=7 pada Skala
Richter. Sebagai negara berkembang dengan pertumbuhan ekonomi yang banyak
dimanifestasikan pada sektor properti seperti pembangunan gedung-gedung bertingkat dalam
jumlah yang besar, pengaruh gempa dapat menambah kerawanan akan jatuhnya korban jiwa
dan harta benda, bila perencanaan struktur bangunan terhadap gempa tidak ditangani dengan
memadai.
-
Asp
ek R
ekay
asa
Gem
pa
Pad
a D
esai
n S
truktu
r
5
Gambar 3.
Ked
alam
an d
an m
agn
itu
de
gem
pa
di
Ind
on
esia
, ta
hu
n 1
99
1 s
/d 2
000
(S
um
ber
: B
adan
Met
ereo
log
i d
an G
eofi
sik
a ).
-
Aspek Rekayasa Gempa Pada Desain Struktur 6
2 Konstruksi Engineered Dan Non-Engineerred
Rekayasa struktur bangunan tahan gempa merupakan salah satu cara yang dapat
dilakukan manusia untuk mengantisipasi pengaruh-pengaruh yang dapat ditimbulkan oleh
bencana gempa, agar kerugian material / harta benda dan jatuhnya korban jiwa dapat ditekan
seminimal mungkin. Rekayasa struktur bangunan di daerah rawan gempa, memerlukan
filosofi dan antisipasi yang tepat dengan menggunakan spesifikasi atau peraturan yang
berlaku. Di Indonesia, syarat-syarat minimum untuk prosedur perencanaan struktur bangunan
tahan gempa telah tercantum di dalam beberapa peraturan yang berlaku.
Pada dasarnya, bangunan-bangunan yang ada dapat dibagi menjadi dua kategori
berdasarkan proses perencanaan dan pelaksanaannya, yaitu Engineered Construction dan
Non-Engineered Construction. Engineered Construction adalah bangunan yang direncanakan
berdasarkan perhitungan struktur, dan dilaksanakan atau dibangun di bawah pengawasan para
Ahli Bangunan. Sebagai contoh dari Engineered Construction adalah struktur bangunan
gedung bertingkat, struktur jembatan dan jalan layang, fasilitas pembangkit tenaga listrik atau
tenaga nuklir, dan bendungan. Bangunan-bangunan ini pada umumnya menggunakan bahan-
bahan dan sistem struktur yang modern, seperti beton bertulang dan baja.
Non-Engineered Construction adalah bangunan yang dibangun secara spontan
berdasarkan kebiasaan tradisional setempat, dan pelaksanaannya tidak dibantu Arsitek atau
Ahli Bangunan, melainkan mengikuti cara-cara yang diperoleh dari hasil pengamatan tingkat
laku bangunan sejenis yang mengalami gempa bumi di masa lalu. Non-Engineered
Construction mencakup bangunan tradisional, bangunan tembokan (bata, batu, batako) yang
memakai perkuatan (kolom dan balok praktis) maupun yang tidak memakai perkuatan,
bangunan kayu dan bambu, bangunan beton bertulang sederhana, bangunan rangka baja
sederhana.
Bangunan Non-Engineered Construction dapat dibagi menjadi dua katergori. Yang
termasuk kategori pertama adalah, bangunan yang dibangun menurut tradisi dan disesuaikan
dengan budaya dan bahan bangunan yang tersedia di daerah tersebut. Bangunan yang
termasuk kategori ini pada umumnya disebut bangunan tradisional. Bangunan tradisional
pada umumnya mempunyai ketahanan yang cukup baik terhadap gempa. Pola permukiman
manusia, cara-cara tradisional, serta bahan bangunan yang dipakai untuk bangunan
tradisional pada suatu wilayah merupakan bukti dari keselerasan hidup berdampingan secara
harmonis antara manusia dengan dengan alam. Kearifan tradisional, pengalaman dan keahlian
-
Aspek Rekayasa Gempa Pada Desain Struktur 7
yang berkembang selama berabad-abad, mampu menghasilkan karya bangunan tradisional
yang tahan terhadap pengaruh gempa.
Gambar 4. Bangunan tradisional dengan Arsitektur Bali. Sistem struktur bangunan tradisional ini
terdiri dari saka (kolom) dan balok sunduk dengan penguat pasak. Struktur tradisional ini cukup kuat
menahan gempa Karangasem 2 Januari 2004
Bangunan tradisional ini lambat laun hilang dan digantikan dengan bangunan Non-
Engineered Construction yang termasuk kategori kedua yaitu bangunan rumah tinggal
sederhana atau bangunan komersial yang dibangun oleh pemilik bangunan atau tukang-
tukang setempat, tanpa mendapatkan bantuan dari Arsitek atau Ahli Bangunan. Bangunan-
bangunan tersebut terutama mencakup bangunan tembokan (bata, batu, batako) atau
bangunan beton bertulang sederhana. Bangunan-bangunan tersebut pada umumnya dibangun
dengan tidak memperhatikan prinsip-prinsip yang diperlukan agar memiliki ketahahan yang
baik terhadap gempa.
Bangunan Non-Engineered Construction kategori yang kedua ini merupakan
bangunan yang paling banyak dibangun di negara-negara berkembang termasuk di Indonesia.
Di Indonesia bangunan-bangunan ini banyak dijumpai di daerah permukiman penduduk, baik
yang berada di perkotaan maupun pedesaan. Dari pengalaman gempa yang terjadi di
Indonesia, kegagalan atau kehancuran struktur dari bangunan kategori kedua inilah yang
sering menimbulkan korban jiwa dan kerugian harta benda.
Jumlah perbandingan masing-masing kategori bangunan agak berbeda untuk negara-
negara maju, negara-negara sedang berkembang, dan negara-negara belum. Di Indonesia,
Engineered Construction pada umumnya hanya terdapat di kota-kota besar, sedangkan Non-
Engineered Construction tersebar baik di kota-kota besar atau kecil, maupun di pedesaan.
-
Aspek Rekayasa Gempa Pada Desain Struktur 8
Meskipun berbeda dalam proses perencanaan dan pelaksanaannya, tapi kedua kategori
bangunan ini sesungguhnya harus dapat berfungsi dengan baik pada saat terjadi gempa, aman
bagi keselamatan jiwa dan harta benda, serta ekonomis dalam biaya pembangunannya.
Batasan untuk mendapatkan fungsi tersebut dalam kaitannya dengan ketahanan bangunan
terhadap pengaruh gempa bumi, biasanya dikaitkan dengan pertimbangan biaya dan risiko
yang dapat diterima.
Sejak beberapa tahun yang lalu, batasan atau kriteria desain untuk Engineered
Construction didasarkan pada kriteria performance based design, karena orientasinya adalah
penyelamatan korban jiwa dan juga harta benda, pada saat struktur bangunan digoncang
gempa. Sedangkan pada Non-Engineered Construction orientasinya lebih dititik beratkan
pada kriteria penyelamatan korban jiwa pada saat terjadi gempa.
3 Pelajaran Dari Kerusakan Bangunan Akibat Gempa
Setiap gempa bumi yang merusak selalu memberikan pelajaran baru untuk diteliti.
Hal ini berlaku untuk bangunan Engineered Construction maupun Non-Engineered
Construction. agar struktur bangunan mempunyai performance yang baik pada saat terjadi
gempa. Suatu gempa dapat secara efektif mencari dan menemukan kelemahan-kelemahan
suatu struktur bangunan. Kebanyakan kegagalan struktur hasil dari pengamatan kerusakan
akibat gempa masa lampau, erat kaitannya dengan kekurangan-kekurangan pada bangunan
yang didirikan, apakah itu disebabkan karena perencanaan yang tidak benar, kurangnya
pengawasan, atau pelaksanaan yang tidak memadai.
Penelitian kerusakan bangunan akibat gempa di masa lampau dan pengaruhnya pada
berbagai macam struktur, dapat memberikan informasi yang jelas untuk peningkatan
pengetahuan mengenai rekayasa struktur bangunan tahan gempa. Inspeksi lapangan terhadap
bangunan yang rusak akibat gempa adalah cara yang paling efektif untuk memperoleh
informasi tersebut. Ini terutama sekali benar untuk bangunan-bangunan Non-Engineered
Construction, karena untuk bangunan ini perencanaan tahan gempanya kebanyakan hanya
berdasarkan performance bangunan yang terobservasi pada saat terjadi gempa dimasa
lampau.
Untuk memperoleh informasi mengenai ragam kerusakan dari bangunan-bangunan
pada saat terjadi gempa, di bawah ini diuraikan secara singkat 3 gempa besar yang pernah
terjadi di wilayah Indonesia Timur selama tahun 2004, yaitu gempa Karangasem di Bali
(Januari 2004), gempa Nabire di Papua (Februari 2004) , dan gempa Alor di NTT
-
Aspek Rekayasa Gempa Pada Desain Struktur 9
(Nopember 2004). Selain gempa-gempa yang terjadi di wilayah Indonesia Timur, sebagai
pelajaran akan ditinjau juga kerusakan-kerusakan bangunan yang terjadi akibat gempa
Bengkulu. Gempa Bengkulu terjadi pada 4 Juni 2000, dan merupakan salah satu gempa besar
dan merusak dengan kekuatan gempa utama (main shock) M=7,9 pada Skala Richter (SR).
Pusat gempa (epicenter) berada pada koordinat 4,70 LS dan 102
0 BT, dengan kedalaman
gempa 33 kilometer. Dari hasil catatan USGS (US Geological Survey National Earthquake
Information Center), terjadi banyak gempa susulan berkekuatan di atas 5,6 SR. Hal seperti ini
jarang terjadi di Indonesia.
3.1 Gempa Karangasem-Bali ( Januari 2004 )
Jumat pagi, 2 Januari 2004 pukul 4.59.31.1 WITA sepanjang Kepulauan Bali-Lombok
merasakan kerasnya guncangan gempa. Guncangan paling keras dirasakan hampir di seluruh
daerah di kawasan Pulau Bali bagian timur dan Pulau Lombok bagian barat. Guncangan
gempa dirasakan di Ampenan (IV-V MMI), Karangasem (V-VI MMI), dan Denpasar
(IV-V MMI). Kerugian akibat gempa di Karangasem tercatat puluhan orang luka-luka, ribuan
bangunan termasuk tempat ibadah (pura dan masjid) retak dan roboh, bahkan di Lombok
dilaporkan seorang meninggal dunia.
Berdasarkan analisis Pusat Gempa Regional III, Balai Meteorologi dan Geofisika
Wilayah III, pusat gempa berada pada koordinat 8,340 LS dan 15,87
0 BT, dengan kedalaman
gempa 33 kilometer. Adapun magnitude atau besarnya energi yang terpancar dari pusat
hiposentrumnya memiliki kekuatan 6,1 pada Skala Richter. Getaran yang terasa terjadi
selama 10 detik dengan durasi catatan signal gempa selama 5 menit. Gempa yang terjadi
memiliki tipe gempa utama yang diikuti dengan gempa susulan (after shock). Karena pusat
gempa berada di laut (Selat Lombok) kurang lebih 27 kilometer sebelah timur Kota
Karangasem, maka tidak terjadi kerusakan dan korban jiwa yang lebih parah. Sebelumnya,
pada 20 Oktober 1979 di Karangasem juga pernah terjadi gempa yang mengakibatkan 7
orang tewas, 34 orang luka parah, dan 250 orang luka ringan.
3.2 Gempa Nabire ( Februari 2004 )
Gempa Nabire di wilayah Papua terjadi pada 6 Februari 2004. Jumat pagi pukul
04.05 WIT di daerah " leher burung " Papua diguncang gempa berkekuatan 6,9 pada Skala
Richter, dengan intensitas hingga 6-7 Skala MMI, sehingga daerah tersebut porak-poranda.
Lokasi kerusakan terparah terjadi di kota Nabire, yang merupakan kota terpadat penduduknya
di wilayah tersebut. Data resmi dari pemerintah menyatakan bahwa 37 orang tewas, 110 luka
-
Aspek Rekayasa Gempa Pada Desain Struktur 10
berat, dan 150 orang cedera. Kerugian fisik yang diakibatkan oleh gempa Nabire ini tidak
kurang mencapai Rp 360 miliar, termasuk gedung DPRD Nabire yang baru saja diresmikan.
Kerusakan lainnya yang terjadi akibat gempa adalah rusaknya bandara udara, 14
gedung sekolah, jembatan putus, jalan-jalan retak, dan puluhan bangunan serta sejumlah
rumah penduduk. Untuk membangun gedung SD saja yang rusak akibat gempa diperlukan
biaya sebesar Rp 58 miliar. Gempa di Nabire adalah gempa tektonik dengan tipe inland
earthquake. Merupakan gempa yang sangat dangkal hiposenternya, yaitu 10 kilometer, pada
posisi 3,360 LS - 135,5
0 BT. tidak jauh dari kota Nabire.
3.3 Gempa Alor ( Nopember 2004 )
Gempa berkekuatan 6 pada Skala Richter mengguncang Kabupaten Alor pada tanggal
12 Nopember 2004. Kabupaten Alor berada di palung antara Flores dan Provinsi Maluku (37
km di timur Kota Kalabahi, ibu kota Kabupaten Alor, NTT). Gempa mulai terasa pukul 6.30
hingga 10 WIT. Setelah sempat berhenti sebentar, gempa susulan terjadi hingga pukul 17.00
WIT, dengan Frekuensi terjadi gempa setiap 20 menit. Pusat gempa diperkirakan berada di
Laut Banda. Gempa yang terjadi di Kepulauan Alor pada 12 Nopember 2004 ini lebih besar
dari pada gempa sebelumnya yang pernah terjadi pada tahun 1991, yakni 5,4 SR.
Akibat guncangan dahsyat ini, sejumlah fasilitas umum rusak berat. Transportasi ke
pulau paling timur Flores putus total. Bandara Mali Alor tidak bisa didarati pesawat karena
landasan retak-retak. Kawasan paling parah akibat guncangan gempa terletak di Kenari Lang,
kelurahan Kalabahi Barat. Akibat gempa ini 27 orang meninggal dunia, 118 orang luka berat,
dan 119 orang luka ringan. Sedangkan kerugian material berupa 4203 rumah penduduk rusak
berat, 4863 rumah rusak ringan. Bangunan ibadah yang mengalami kerusakan berjumlah 16
buah rusak total, 143 buah rusak berat, dan 60 buah rusak ringan. Gedung perkantoran yang
mengalami rusak ringan sebanyak 117, 153 rusak berat, dan 130 rusak total. Untuk gedung
sekolah, 63 rusak total, 98 rusak berat, dan 75 rusak ringan.
Kerusakan-kerusakan infrastruktur yang terjadi akibat gempa di Bengkulu (2000), di
Karangasem, di Nabire, dan di Kepulauan Alor, dapat dikelompokkan menjadi 4 macam,
yaitu kerusakan pada bangunan Non-Engineered Construction, kerusakan non-struktural pada
bangunan rangka sederhana, kerusakan struktural pada bangunan Engineered Construction,
dan kerusakan pada prasarana transportasi (jalan, jembatan, dermaga, pelabuhan udara).
Sebagian besar bangunan-bangunan yang ada di Karangasem, di Nabire, maupun di
Kepulauan Alor seperti rumah tinggal, sekolahan, instansi pemerintah, pukesmas, termasuk
dalam kategori bangunan Non-Engineered Construction. Bangunan-bangunan ini pada
-
Aspek Rekayasa Gempa Pada Desain Struktur 11
umumnya adalah bangunan tembokan satu atau dua lantai dengan dinding terbuat dari
pasangan batu bata atau batako. Kerusakan-kerusakan pada bangunan tembokan yang terjadi
akibat gempa Karangasem, gempa Nabire dan gempa Alor, pada umumnya sama dengan
kerusakan bangunan akibat gempa yang terjadi di Bengkulu tahun 2000. Kerusakan-
kerusakan tersebut adalah :
Hancur atau rubuhnya dinding akibat beban gempa yang bekerja tegak lurus bidang
dinding.
Keretakan pada dinding, di tempat-tempat yang terdapat bukaan besar pada bangunan.
Terpisahnya bagian dinding pada sudut-sudut bangunan atau pertemuan.
Kehancuran pada pojok-pojok dinding bangunan.
Retak-retak diagonal pada dinding bangunan yang terjadi pada siar-siar dan/atau
unsur-unsur penyusun dinding.
Rangka atap terlepas dari dudukannya
Retak dan kegagalan pada sambungan atau pertemuan antara kolom dan balok
Kerusakan bangunan akibat penggunaan mutu bahan dan pengerjaan konstruksi yang
buruk.
Gambar 5. Kerusakan-kerusakan pada bangunan akibat penggunaan mutu bahan dan pengerjaan
konstruksi yang buruk (Gempa Nabire, Februari 2004)
-
Aspek Rekayasa Gempa Pada Desain Struktur 12
Gambar 6. Rangka atap terlepas dari dudukannya, karena tidak diangkur dengan baik (Gempa
Bengkulu, Juni 2000)
Gambar 7. Retak dan kegagalan pada sambungan pertemuan antara kolom dan balok (Gempa
Bengkulu, Juni 2000)
Gambar 8. Kegagalan kolom menahan gaya geser yang besar di bagian atas, karena adanya
perbedaan kekakuan yang besar antara lantai tingkat. Kerusakan ini disebut kerusakan akibat soft first
story. (Gempa Bengkulu, Juni 2000).
-
Aspek Rekayasa Gempa Pada Desain Struktur 13
Penyebab utama dari kerusakan-kerusakan di atas adalah karena pengerjaan bangunan
yang tidak mengikuti persyaratan minimal dari detail konstruksi yang harus dipenuhi untuk
bangunan di daerah rawan gempa. Sebagai contoh untuk hal ini adalah : tidak adanya unsur-
unsur perkuatan untuk bidang-bidang dinding yang luasnya 6m2 , detail penulangan yang
tidak benar pada pertemuan antara unsur-unsur perkuatan, diameter dan total luas penampang
tulangan yang dipasang terlalu kecil, serta jarak antar tulangan geser (sengkang) yang
dipasang terlalu besar.
Kerusakan akibat gempa dapat berupa kerusakan non-struktural atau kerusakan
struktural. Kerusakan non-struktural adalah kerusakan pada elemen-elemen bangunan yang
tidak difungsikan untuk menahan beban, dengan demikian kerusakan ini tidak mempengaruhi
kekuatan struktur dari bangunan secara keseluruhan. Kerusakan non-struktural pada
umumnya meliputi :
Penutup atap (genteng) melorot dari dudukannya.
Rangka plafond rusak atau plafond terlepas dari rangkanya.
Dinding pengisi dan dinding faade rusak atau roboh karena dinding-dinding ini
tidak diangkur pada elemen-elemen struktur penahan beban, atau dinding tidak
diberi balok-balok dan kolom-kolom praktis.
Kerusakan struktural adalah kerusakan yang terjadi pada elemen-elemen bangunan
yang difungsikan untuk menahan beban, seperti balok-balok dan kolom-kolom utama dari
struktur bangunan. Kerusakan dari elemen-elemen struktural dapat menyebabkan
berkurangnya kekuatan dari bangunan, atau bahkan dapat menyebabkan keruntuhan dari
bangunan. Rusaknya kolom-kolom utama dari struktur bangunan, pada umumnya disebabkan
oleh :
Kegagalan kolom menahan gaya geser yang besar di bagian atas dan di bagian bawah
kolom karena gaya geser terpusat akibat perbedaan kekakuan yang besar antara lantai
tingkat. Kerusakan ini disebut kerusakan akibat soft first storey.
Kegagalan kolom menahan gaya geser yang besar pada bagian kolom yang berada
diantara 2 bukaan jendela. Kerusakan ini disebut short column effect.
Kegagalan kolom menahan gaya geser yang besar.
-
Aspek Rekayasa Gempa Pada Desain Struktur 14
3.4 Gempa Kobe di Jepang ( Januari 1995)
Peristiwa Gempa Kobe di Jepang pada tanggal 17 Januari 1995, telah memberikan
pelajaran baru bagi kita, bahwa bukan saja jiwa manusia yang harus diamankan, tetapi juga
harta benda. Kerugian finansial yang telah diderita Jepang oleh Gempa Kobe dengan
magnitude gempa M=7,2 pada Skala Richter yang terjadi hanya selama lebih kurang 20 detik,
mencapai 140 milyar dollar AS atau sekitar 315 trilyun rupiah, telah sangat mengejutkan
dunia karena begitu besarnya. Bila kita bandingkan dengan RAPBN 1995/1996 negara kita
yang berjumlah 78,024 trilyun rupiah, maka kerugian finansial yang telah diderita Jepang
oleh Gempa Kobe tersebut, adalah setara dengan empat kali RAPBN kita. Dapat
dibayangkan jika gempa seperti itu melanda negara yang sedang berkembang seperti
Indonesia, tidak mustahil negara tersebut akan langsung bangkrut karenanya.
Gempa Kobe yang terjadi pada jam 05:46 pagi waktu Jepang dengan lokasi epicenter
34,6 N dan 135,0E, yang dinamakan Gempa Kuat Hanshin, telah mengakibatkan korban
meninggal lebih dari 5270 orang, 26.815 orang cedera, 60 orang hilang, dan 150.787 rumah
hancur atau terbakar dalam wilayah seluas 150 hektar. Wilayah yang mengalami kerusakan
berat meliputi daerah sepanjang 25 km. dan selebar 2 km. Gempa dahsyat ini ternyata juga
telah meruntuhkan banyak bangunan gedung bertingkat serta jalan layang yang terbuat dari
struktur baja, struktur beton dan struktur komposit, yang tentunya sudah diantisipasi dan
direncanakan aman terhadap pengaruh gempa.
Gambar 9. Bagian dari Jembatan-layang, highway Osaka-Kobe, yang terputus akibat terlepasnya
balok jembatan dari pilar dan jatuh.
-
Aspek Rekayasa Gempa Pada Desain Struktur 15
Gambar 10. Pilar jembatan jalan layang mengalami kerusakan akibat kombinasi antara gaya tekan
dan geser.
Secara resmi Pemerintah Daerah Kobe telah mengumumkan bahwa 94.109 bangunan
gedung di kota Kobe telah mengalami rusak berat, dimana 54.949 bangunan diantaranya
hancur total, dan 31.783 mengalami rusak ringan. Musnahnya rumah tinggal mengakibatkan
sekitar 300.000 orang kehilangan tempat tinggal. Gempa juga telah mengakibatkan pelabuhan
besar kontainer Kobe mengalami hancur total dan tidak dapat berfungsi. Kota Kobe yang
merupakan kota pelabuhan modern yang telah dibangun selama 130 tahun, ternyata hancur
oleh gempa yang berlangsung hanya 20 detik.
Gambar 11. Kerusakan pada lantai pelataran pelabuhan peti kemas akibat liquefaction
Jika hal ini tidak terjadi di Jepang, mungkin orang tidak akan begitu heran. Selama ini
orang terlanjur menganggap bahwa Jepang adalah negeri yang sudah menguasai kiat untuk
meredam gempa dengan menggunakan teknologinya yang maju.
-
Aspek Rekayasa Gempa Pada Desain Struktur 16
Penggunaan standar konstruksi nasional untuk struktur bangunan tahan gempa di
Jepang, memberikan jaminan keamanan bahwa bangunan-bangunan di perkotaan mampu
untuk menahan gempa hebat. Bahkan ketika Los Angeles di Amerika Serikat diguncang
Gempa Kuat setahun sebelumnya, banyak ahli gempa dari Jepang dengan penuh keyakinan
mengatakan bahwa, kerusakan yang terjadi pada kawasan metropolis di California Selatan
tersebut tidak akan terjadi di Jepang. Akan tetapi, ketika gempa datang mengguncang,
jaminan keamanan tadi terbukti hanya tinggal sebuah kata. Jalan layang, pelabuhan, lintasan
jalur kereta api cepat dan kereta api lokal, serta beberapa gedung bertingkat yang konon telah
dibangun atas dasar standar konstruksi nasional, ternyata tidak mampu meredam Gempa Kuat
dengan magnitude M=7,2 pada Skala Richter. Tidak sedikit bagunan bertingkat tinggi yang
runtuh sepenuhnya atau miring, termasuk gedung rumah sakit Kobe yang berlantai delapan.
Di gedung rumah sakit Kobe ini puluhan pasien, dokter dan perawat tewas seketika.
Gambar 12. Rumah Sakit Kobe runtuh akibat gempa berkekuatan M=7,2 pada Skala Richter
Di lokasi fasilitas LPG Higashi-Nada-Ku, sebuah tangki gas berkapasitas 20.000 ton
mengalami kebocoran, sehingga 8.000 warga sekitarnya perlu dievakuasi. Jalur kereta api
cepat shinkansen di Kobe yang direncanakan tahan terhadap gempa berkekuatan M=7,9 pada
Skala Richter, ternyata rusak berat hanya dalam waktu 12 detik akibat pengaruh gempa yang
berarah vertikal. Getaran gempa yang berarah vertikal lebih sulit diantisipasi pangaruhnya
terhadap kekuatan struktur, dengan demikian gempa berarah vertikal lebih berbahaya
pengaruhnya dibandingkan dengan gempa yang berarah horisontal yang dapat menimbulkan
gerakan-gerakan menyamping pada struktur bangunan.
-
Aspek Rekayasa Gempa Pada Desain Struktur 17
Gambar 13. Kerusakan pada fasilitas jalur kereta api cepat shinkansen di Kobe
Jaminan-jaminan keamanan seperti di atas, tentu bukan hanya diberikan di bidang
konstruksi saja. Perusahaan Osaka Gas misalnya, juga telah menjamin bahwa bila guncangan
gempa mencapai magnitude M=5 pada Skala Richter, gas akan berhenti secara otomatis dan
oleh karenanya kecemasan masyarakat terhadap kebocoran gas, tidaklah diperlukan.
Pernyataan dari perusahaan gas kaliber raksasa ini tentunya wajar untuk dipercaya oleh
masyarakat. Tetapi ketika getaran gempa Kobe telah mencapai magnitude M=7,2 pada Skala
Richter, banyak kalangan yang menyangsikan bahwa sungguhkah gas memang berhenti
secara otomatis. Beberapa korban bahkan banyak yang meninggal bukan disebabkan karena
tertimpa reruntuhan bangunan, melainkan karena mengisap gas yang berbahaya ini.
Jalan layang, gedung bertingkat, pelabuhan, jalur kereta api serta pipa gas, bukanlah
satu-satunya bangunan yang porak poranda akibat gempa kuat yang melanda Kobe. Gempa
Kobe juga telah menghancurkan keyakinan dari masyarakat Jepang bahwa negeri itu mampu
untuk menahan goncangan gempa yang hebat. Hal ini mungkin akan menyebabkan
diadakannya peninjauan secara radikal terhadap langkah-langkah untuk mengantisipasi
pengaruh gempa. Masalah terpenting yang perlu dikaji kembali adalah standar-standar
konstruksi bangunan, demikian pernyataan yang dikatakan oleh Prof. Isao Sakamoto dari
Fakultas Teknik Universitas Tokyo.
Gempa Kobe mengingatkan semua pihak, bahwa suatu wilayah yang dianggap tidak
mempunyai risiko dilanda Gempa Kuat, belum tentu anggapan tersebut sepenuhnya benar.
Meskipun dari data sejarah kegempaan selama 100 tahun atau lebih, menunjukkan tidak
pernah terjadi gempa yang hebat, ada kemungkinan pada suatu saat dapat terjadi Gempa Kuat
yang dapat menghancurkan wilayah yang luas serta menimbulkan kerugian harta dan jiwa
dalam jumlah sangat besar. Kerusakan yang terjadi pada suatu kawasan padat penduduk atau
-
Aspek Rekayasa Gempa Pada Desain Struktur 18
kota industri yang sudah dipenuhi bangunan-bangunan penting, akan sangat sulit dibangun
kembali seperti semula.
Seperti halnya dengan Gempa Kuat yang terjadi di Kobe yang tidak diduga sebelumnya,
maka kejadian seperti ini dapat saja terjadi di mana saja termasuk Indonesia, khususnya di
kota-kota besar yang banyak memiliki gedung-gedung tinggi dan jalan-jalan layang. Di
dalan standar gempa yang berlaku di Indonesia, Jakarta termasuk di dalam wilayah atau zona
gempa 4 yang termasuk wilayah dengan pengaruh kegempaan sedang. Apakah ketentuan
tersebut perlu ditinjau ulang ?. Sudahkah para ahli struktur dan ahli gempa di Indonesia
memikirkan langkah-langkah pengamanan seperlunya untuk menghadapi kemungkinan
seperti gempa yang terjadi di Kobe ?.
4 Risiko Gempa di Indonesia
Berdasarkan akibat-akibat yang dapat ditimbulkan oleh bencana gempa di Indonesia,
maka perlu adanya upaya-upaya untuk menekan bahaya bencana yang diakibatkan oleh
gempa. Aspek rekayasa gempa sangat perlu diterapkan pada rekayasa struktur, agar
bangunan mempunyai ketahanan yang baik terhadap pengaruh gempa. Penggunaan standar
bangunan sangat penting untuk menjamin bahwa bangunan tersebut aman untuk dihuni.
Penentuan tingkat risiko terjadinya gempa untuk suatu wilayah, secara analitis
dimungkinkan, berkat sifat-sifat dari peristiwa gempa yang pernah terjadi sebelumnya,
sebagaimana halnya pada beberapa bencana alam lainnya, seperti halnya banjir. Peristiwa
terjadinya gempa dapat direpresentasikan dengan suatu model matematik dan teori
probabilitas. Tingkat risiko gempa pada suatu wilayah diartikan sebagai probabilitas atau
kemungkinan terlampauinya respon pergerakan tanah yang maksimum pada wilayah tersebut,
dalam suatu kurun waktu tertentu. Dengan mengetahui sejarah kegempaan suatu daerah yang
diperoleh dari pengamatan atau rekaman gempa yang pernah terjadi di masa lalu, tingkat
risiko atau peluang terjadinya gempa pada suatu wilayah dapat diperkirakan dengan
menggunakan rumus-rumus matematika dan statistik.
Tingkat risiko gempa pada suatu wilayah atau zona, tidak dapat ditentukan hanya
berdasarkan frekuensi terjadinya gempa saja. Hal ini disebabkan karena tingkat risiko gempa
diukur berdasarkan kerusakan struktur yang ada pada suatu lokasi, yang tidak hanya
tergantung dari besarnya gempa, tetapi juga tergantung pada jarak pusat gempa (epicenter)
dari lokasi yang ditinjau, serta kondisi tanah pada lokasi tersebut. Sebagai contoh, gempa
kuat dengan magnitude M=7 pada Skala Richter dengan pusat gempa berjarak 300 km dari
lokasi yang ditinjau, belum tentu menimbulkan kerusakan yang lebih besar dibandingkan
-
Aspek Rekayasa Gempa Pada Desain Struktur 19
gempa dengan magnitude M=5 atau M=6 pada Skala Richter, tetapi dengan pusat gempa
yang berjarak 50 km. dari lokasi yang ditinjau. Demikian pula halnya pengaruh beban gempa
pada struktur bangunan yang terletak di atas tanah lunak dan di atas tanah keras, dapat juga
berlainan.
Konsep keamanan dari suatu struktur terhadap pengaruh gempa, harus dikaitkan
dengan risiko atau peluang terjadinya (incidence risk) gempa tersebut selama umur rencana
(design life time) dari struktur bangunan yang ditinjau. Karena gempa merupakan peristiwa
probabilistik, maka gempa dengan kekuatan atau intensitas tertentu, mempunyai periode
ulang (return period) yang tertentu pula. Dengan demikian, jika risiko terjadinya suatu gempa
selama umur rencana bangunan sudah tertentu, maka periode ulang dari gempa tersebut
sudah tertentu pula. Hubungan antara umur rencana bangunan, periode ulang gempa, dan
risiko terjadinya gempa, berdasarkan teori probabilitas dapat dinyatakan dalam suatu
persamaan matematika sebagai berikut :
dimana : RN = Risiko terjadinya gempa selama umur rencana (%)
TR = Periode ulang terjadinya gempa (tahun)
N = Umur rencana dari bangunan (tahun)
Pada perencanaan struktur bangunan tahan gempa, perlu ditinjau 3 taraf beban gempa,
yaitu Gempa Ringan, Gempa Sedang dan Gempa Kuat, untuk merencanakan elemen-elemen
dari sistem struktur, agar tetap mempunyai kinerja yang baik pada saat terjadi gempa. Gempa
Ringan, Gempa Sedang, Gempa Kuat, dan Gempa Rencana untuk keperluan prosedur
perencanaan struktur didefinisikan sebagai berikut :
4.1 Gempa Ringan
Gempa Ringan adalah gempa yang peluang atau risiko terjadinya dalam periode umur
rencana bangunan 50 tahun adalah 92% (RN = 92%), atau gempa yang periode ulangnya
adalah 20 tahun (TR = 20 tahun). Akibat Gempa Ringan ini struktur bangunan harus tetap
berperilaku elastis, ini berarti bahwa pada saat terjadi gempa elemen-elemen struktur
bangunan tidak diperbolehkan mengalami kerusakan struktural maupun kerusakan non-
struktural. Pada saat terjadi Gempa Ringan, penampang dari elemen-elemen pada sistem
1
TR
1
N
1
RN = x 100%
-
Aspek Rekayasa Gempa Pada Desain Struktur 20
struktur dianggap tepat mencapai kapasitas nominalnya, dan akan berdeformasi lebih lanjut
secara tidak elastis (inelastis) jika terjadi gempa yang lebih kuat.
Karena risiko terjadinya Gempa Ringan adalah 92%, maka dapat dianggap bahwa
selama umur rencananya, struktur bangunan pasti akan akan mengalami Gempa Ringan, atau
risiko terjadinya Gempa Ringan adalah 100% (RN = 100%).
4.2 Gempa Sedang
Gempa Sedang adalah gempa yang peluan atau risiko terjadinya dalam periode umur
rencana bangunan 50 tahun adalah 50% (RN = 50%), atau gempa yang periode ulangnya
adalah 75 tahun (TR = 75 tahun). Akibat Gempa Sedang ini struktur bangunan tidak boleh
mengalami kerusakan struktural, namun diperkenankan mengalami kerusakan yang bersifat
non-struktural. Gempa Sedang akan menyebabkan struktur bangunan sudah berperilaku tidak
elastis, tetapi tingkat kerusakan struktur masih ringan dan dapat diperbaiki dengan biaya yang
terbatas.
4.3 Gempa Kuat
Gempa Kuat adalah gempa yang peluang atau risiko terjadinya dalam periode umur
rencana bangunan 50 tahun adalah 2% (RN = 2%), atau gempa yang periode ulangnya adalah
2500 tahun (TR = 2500 tahun). Akibat Gempa Kuat ini struktur bangunan dapat mengalami
kerusakan struktural yang berat, namun struktur harus tetap berdiri dan tidak boleh runtuh
sehingga korban jiwa dapat dihindarkan. Gempa kuat akan menyebabkan struktur bangunan
berperilaku tidak elastis, dengan kerusakan struktur yang berat tetapi masih berdiri dan dapat
diperbaiki.
4.4 Gempa Rencana
Karena beban pada struktur yang diakibatkan oleh gempa merupakan beban yang tidak
pasti, maka untuk menentuklan besarnya beban gempa yang akan digunakan di dalam
perencanaan, tidak dipergunakan beban yang diakibatkan oleh Gempa Kuat sebagai dasar
perhitungannya. Desain struktur terhadap pengaru Gempa Kuat akan menghasilkan bangunan
yang tidak ekonomis. Di dalam standar gempa yang baru dicantumkan bahwa, untuk
perencanaan struktur bangunan terhadap pengaruh gempa digunakan Gempa Rencanan.
Gempa Rencana adalah gempa yang peluang atau risiko terjadinya dalam periode umur
rencana bangunan 50 tahun adalah 10% (RN = 10%), atau gempa yang periode ulangnya
adalah 500 tahun (TR = 500 tahun).
-
Aspek Rekayasa Gempa Pada Desain Struktur 21
Dengan menggunakan Gempa Rencana ini, struktur dapat dianalisis secara elastis untuk
mendapatkan gaya-gaya dalam yang berupa momen lentur, gaya geser, gaya normal, dan
puntir atau torsi yang bekerja pada tiap-tiap elemen struktur. Gaya-gaya dalam ini setelah
dikombinasikan dengan dengan gaya-gaya dalam yang diakibatkan oleh beban mati dan
beban hidup, kemudian digunakan untuk mendimensi penampang dari elemen struktur
berdasarkan metode LRFD (Load Resistance Factor Design) sesuai dengan standar desain
yang berlaku.
Peluang atau risiko terjadinya gempa pada struktur bangunan selama umur rencananya
dapat dihitung dengan menggunakan rumus probabilitas di atas. Jika periode ulang terjadinya
Gempa Ringan : TR = 20 tahun, Gempa Sedang : TR = 75 tahun, dan Gempa Kuat : TR = 2500
tahun, serta umur rencana rata-rata bangunan di Indonesia adalah N=50 tahun, maka akan
didapatkan besarnya risiko terjadinya gempa pada struktur bangunan adalah : RN Gempa
Ringan = 92% 100%, RN Gempa sedang = 50%, dan RN Gempa Kuat = 2%.
Dalam filosofi perencanaan struktur bangunan tahan gempa, dikenal suatu konsep
pembebanan gempa yang disebut Pembebanan Dua Tingkat. Konsep Pembebanan Dua
Tingkat mempunyai pengertian bahwa, struktur bangunan selama umur rencananya
diperkirakan akan dibebani berulang kali oleh Gempa Ringan dan Gempa Sedang, yang
mempunyai periode ulang lebih kecil dari 75 tahun. Serta struktur selama umur rencananya
diharapkan mampu menahan sekali terjadinya Gempa Kuat dengan periode ulang 2500 tahun.
Pemilihan periode ulang 500 tahun yang dipilih sebagai dasar perhitungan beban
Gempa Rencana untuk keperluan perencanaan struktur, didasarkan pada tingkat probabilitas
terjadinya gempa yang dapat diterima yaitu 10%, mengingat umur efektif rata-rata struktur
bangunan di Indonesia adalah sekitar 50 tahun. Berdasarkan kemungkinan terjadinya Gempa
Ringan, Gempa Sedang dan Gempa Kuat dengan periode ulang 20, 75, dan 500 tahun,
ternyata tingkat risiko gempa yang dapat terjadi pada struktur-struktur bangunan di Indonesia
selama umur rencananya adalah cukup besar, hal ini perlu kiranya menjadi perhatian bagi
para perencana struktur.
4.5 Beban Gempa Nominal
Besarnya beban Gempa Nominal yang digunakan untuk perencanaan struktur
ditentukan oleh tiga hal, yaitu oleh besarnya Gempa Rencana, oleh tingkat daktilitas yang
dimiliki struktur, dan oleh nilai faktor tahanan lebih yang terkandung di dalam struktur.
Berdasarkan pedoman gempa yang berlaku di Indonesia yaitu Perencanaan Ketahanan
-
Aspek Rekayasa Gempa Pada Desain Struktur 22
Gempa Untuk Struktur Rumah dan Gedung (SNI 03-1726-2002)., besarnya beban gempa
horisontal V yang bekerja pada struktur bangunan, ditentukan menurut persamaan :
V = t WR
.I C
Dimana, I adalah Faktor Keutamaan Struktur menurut Tabel 1, C adalah nilai Faktor Respon
Gempa yang didapat dari Respon Spektrum Gempa Rencana menurut Gambar 2 untuk waktu
getar alami fundamental T, dan Wt ditetapkan sebagai jumlah dari beban-beban berikut :
Beban mati total dari struktur bangunan gedung
Jika digunakan dinding partisi pada perencanaan lantai, maka harus diperhitungkan
tambahan beban sebesar 0,5 kPa
Pada gudang-gudang dan tempat penyimpanan barang, maka sekuran-kurangnya 25%
dari beban hidup rencana harus diperhitungkan
Beban tetap total dari seluruh peralatan dalam struktur bangunan gedung harus
diperhitungkan
5.1 Faktor Keutamaan Struktur
Dengan probabilitas terjadinya Gempa Rencana adalah 10% dalam kurun waktu umur
rencana bangunan gedung 50 tahun, maka menurut teori probabilitas Gempa Rencana ini
mempunyai periode ulang 500 tahun. Gempa Rencana ini akan menyebabkan struktur
bangunan gedung mencapai kondisi di ambang keruntuhan, tetapi masih dapat berdiri
sehingga dapat mencegah jatuhnya korban jiwa. Untuk berbagai kategori bangunan gedung,
tergantung pada probabilitas terjadinya keruntuhan struktur bangunan gedung selama umur
rencananya, pengaruh Gempa Rencana terhadapnya harus dikalikan dengan suatu Faktor
Keutamaan Struktur (I) menurut persamaan :
I = I1.I2
Dimana I1 adalah Faktor Keutamaan untuk menyesuaikan periode ulang gempa berkaitan
dengan penyesuaian probabilitas terjadinya gempa itu selama umur rencana gedung,
sedangkan I2 adalah Faktor Keutamaan untuk menyesuaikan umur rencana gedung tersebut.
Karena gedung-gedung bertingkat, monumen dan bangunan monumental sama-sama
memiliki fungsi biasa, tanpa sesuatu keistimewaan, kekhususan atau keutamaan dalam
fungsinya, maka probabilitas terjadinya gempa tersebut selama kurun waktu umur rencana
-
Aspek Rekayasa Gempa Pada Desain Struktur 23
gedung ditetapkan sama sebesar 10%, sehingga berlaku I1 = 1,0. Tetapi umur rencana dari
gedung-gedung tersebut berbeda-beda. Gedung-gedung dengan jumlah tingkat sampai 10,
karena berbagai alasan dan tujuan pada umumnya mempunyai umur kurang dari 50 tahun,
sehingga I2 < 1 karena periode ulang gempa tersebut adalah kurang dari 500 tahun. Gedung-
gedung dengan jumlah tingkat lebih dari 30, monumen dan bangunan monumental,
mempunyai masa layan yang panjang, bahkan harus dilestarikan untuk generasi yang akan
datang, sehingga I2 > 1 karena perode ulang gempa tersebut adalah lebih dari 500 tahun.
Gedung-gedung penting pasca gempa (rumah sakit, instalasi air bersih, pembangkit
tenaga listrik, pusat penyelamatan dalam keadaan darurat, fasilitas radio dan televisi),
gedung-gedung yang membahayakan lingkungan bila rusak berat akibat gempa (tempat
penyimpanan bahan berbahaya) atau membahayakan bangunan di dekatnya bila runtuh aibat
gempa (cerobong, tangki di atas menara), mempunyai umur manfaat tidak berbeda dengan
gedung-gedung dengan fungsi biasa, yaitu sekitar 50 tahun, sehingga berlaku I2 = 1,0. Tetapi
probabilitas terjadinya gempa tersebut selama kurun waktu umur gedung harus dibedakan
dan semuanya harus kurang dari 10%, sehingga I1 > 1 karena periode ulang gempa tersebut
adalah lebih dari 500 tahun. Kombinasi I1 dan I2 untuk beberapa kategori gedung ditetapkan
dalam Tabel 1, berikut perkaliannya I.
Tabel 1. Faktor Keutamaan untuk berbagai kategori gedung dan bangunan
Kategori gedung/bangunan Faktor Keutamaan
I1 I2 I
Gedung umum seperti untuk penghunian,
perniagaan dan perkantoran.
1,0 1,0 1,0
Monumen dan bangunan monumental 1,0 1,6 1,6
Gedung penting pasca gempa seperti rumah
sakit, instalasi air bersih, pembangkit tenaga
listrik, pusat penyelamatan dalam keadaan
darurat, fasilitas radio dan televisi
1,4 1,0 1,4
Gedung untuk menyimpan bahan berbahaya
seperti gas, produk minyak bumi, asam, bahan
beracun.
1,6 1,0 1,6
Cerobong, tangki di atas menara 1.5 1,0 1,5
4.5.2 Daktilitas Struktur
Salah satu faktor penting yang dapat mempengaruhi besar kecilnya beban gempa yang
bekerja pada struktur bangunan adalah daktilitas struktur. Beberapa standar perencanaan
-
Aspek Rekayasa Gempa Pada Desain Struktur 24
ketahanan gempa untuk struktur gedung, menggunakan asumsi constant maximum
displacement rule, untuk mendefinisikan tingkat daktilitas struktur. Asumsi yang dianut
divisualisasikan dalam diagram beban-simpangan (diagram V-) yang ditunjukkan dalam
Gambar 14. Asumsi ini menyatakan bahwa struktur bangunan gedung yang bersifat daktail
dan struktur bangunan gedung yang bersifat elastik penuh, akibat pengaruh Gempa Rencana
akan menunjukkan simpangan maksimal m yang sama dalam kondisi diambang keruntuhan.
Asumsi ini adalah konservatif, karena dalam keadaan sesungguhnya struktur bangunan
gedung yang daktail memiliki m yang relatif lebih besar dibandingkan struktur bangunan
gedung yang elastis, sehingga memiliki faktor daktilitas struktur () yang relatif lebih besar
dari pada yang diasumsikan
Gambar 14. Diagram beban (V) - simpangan () dari struktur bangunan gedung
Faktor daktilitas struktur () adalah rasio antara simpangan maksimum (m) struktur gedung
akibat pengaruh Gempa Rencana pada saat mencapai kondisi di ambang keruntuhan, dengan
simpangan struktur gedung pada saat terjadinya pelelehan pertama (y), yaitu :
1,0 = my
m
-
Aspek Rekayasa Gempa Pada Desain Struktur 25
Pada persamaan ini, = 1,0 adalah nilai faktor daktilitas untuk struktur bangunan gedung
yang berperilaku elastik penuh, sedangkan m adalah nilai faktor daktilitas maksimum yang
dapat dikerahkan oleh sistem struktur bangunan gedung yang bersangkutan.
Jika Ve adalah pembebanan maksimum akibat pengaruh Gempa Rencana yang dapat
diserap oleh struktur gedung yang bersifat elastik penuh dalam kondisi di ambang
keruntuhan, dan Vy adalah pembebanan yang menyebabkan pelelehan pertama di dalam
struktur gedung, maka dengan asumsi bahwa struktur gedung daktail dan struktur gedung
elastik penuh akibat pengaruh Gempa Rencana menunjukkan simpangan maksimum m yang
sama dalam kondisi di ambang keruntuhan, maka berlaku hubungan sebagai berikut :
Vy =
Ve
Jika Vn adalah pembebanan Gempa Nominal akibat pengaruh Gempa Rencana yang
harus ditinjau dalam perencanaan struktur gedung, maka berlaku hubungan sebagai berikut :
Vn = R
eV 1f
yV=
dimana f1 adalah faktor kuat lebih beban dan bahan yang terkandung di dalam struktur
bangunan gedung dan nilainya ditetapkan sebesar f1 = 1,6 dan R disebut faktor reduksi
gempa yang nilainya dapat ditentukan menurut persamaan :
1,6 R = .f1 Rm
R = 1,6 adalah faktor reduksi gempa untuk struktur gedung yang berperilaku elastik penuh,
sedangkan Rm adalah faktor reduksi gempa maksimum yang dapat dikerahkan oleh sistem
struktur yang bersangkutan. Dalam Tabel 2 dicantumkan nilai R untuk berbagai nilai yang
bersangkutan, dengan ketentuan bahwa nilai dan R tidak dapat melampaui nilai
maksimumnya.
-
Aspek Rekayasa Gempa Pada Desain Struktur 26
Tabel 2. Parameter Daktilitas Struktur Gedung
Taraf kinerja struktur gedung R
Elastis penuh 1,0 1,6
Daktail parsial
1,5
2,0
2,5
3,0
3,5
4,0
4,5
5,0
2,4
3,2
4,0
4,8
5,6
6,4
7,2
8,0
Daktail penuh 5,3 8,5
Nilai faktor daktilitas struktur gedung di dalam perencanaan struktur gedung dapat
dipilih menurut kebutuhan, tetapi tidak boleh diambil lebih besar dari nilai faktor daktilitas
maksimum m yang dapat dikerahkan oleh masing-masing sistem atau subsistem struktur
gedung. Dalam Tabel 3 ditetapkan nilai m yang dapat dikerahkan oleh beberapa jenis sistem
dan subsistem struktur gedung, berikut faktor reduksi maksimum Rm yang bersangkutan.
-
Aspek Rekayasa Gempa Pada Desain Struktur 27
Tabel 3. Faktor daktilitas maksimum (m), faktor reduksi gempa maksimum (Rm ), faktor kuat lebih
struktur (f1) dari beberapa jenis sistem dan subsistem struktur bangunan gedung
Sistem dan subsistem struktur
gedung Uraian sistem pemikul beban gempa
m Rm
f1
1. Sistem dinding penumpu (Sistem
struktur yang tidak memiliki rangka
ruang pemikul beban gravitasi secara
lengkap. Dinding penumpu atau
sistem bresing memikul hampir
semua beban gravitasi. Beban lateral
dipikul dinding geser atau rangka
bresing)
1. Dinding geser beton bertulang 2,7 4,5 2,8
2. Dinding penumpu dengan rangka baja
ringan dan bresing tarik
1,8 2,8 2,2
3. Rangka bresing di mana bresingnya
memikul beban gravitasi
a. Baja 2,8 4,4 2,2
b. Beton bertulang (tidak untuk Wilayah 5
& 6)
1,8 2,8 2,2
2. Sistem rangka gedung (Sistem
struktur yang pada dasarnya memiliki
rangka ruang pemikul beban gravitasi
secara lengkap. Beban lateral dipikul
dinding geser atau rangka bresing)
1. Rangka bresing eksentris baja (RBE) 4,3 7,0 2,8
2. Dinding geser beton bertulang 3,3 5,5 2,8
3. Rangka bresing biasa
a. Baja 3,6 5,6 2,2
b. Beton bertulang (tidak untuk Wilayah 5
& 6)
3,6 5,6 2,2
4. Rangka bresing konsentrik khusus
a. Baja 4,1 6,4 2,2
5. Dinding geser beton bertulang berangkai
daktail
4,0 6,5 2,8
6. Dinding geser beton bertulang kantilever
daktail penuh
3,6 6,0 2,8
7. Dinding geser beton bertulang kantilever
daktail parsial
3,3 5,5 2,8
3. Sistem rangka pemikul momen
(Sistem struktur yang pada dasarnya
memiliki rangka ruang pemikul
beban gravitasi secara lengkap.
Beban lateral dipikul rangka pemikul
momen terutama melalui mekanisme
lentur)
1. Rangka pemikul momen khusus (SRPMK)
a. Baja 5,2 8,5 2,8
b. Beton bertulang 5,2 8,5 2,8
2. Rangka pemikul momen menengah beton
(SRPMM)
3,3 5,5 2,8
3. Rangka pemikul momen biasa (SRPMB)
a. Baja 2,7 4,5 2,8
b. Beton bertulang 2,1 3,5 2,8
4. Rangka batang baja pemikul momen
khusus (SRBPMK)
4,0 6,5 2,8
4. Sistem ganda (Terdiri dari : 1)
rangka ruang yang memikul seluruh
beban gravitasi; 2) pemikul beban
lateral berupa dinding geser atau
rangka bresing dengan rangka
pemikul momen. Rangka pemikul
momen harus direncanakan secara
terpisah mampu memikul sekurang-
kurangnya 25% dari seluruh beban
lateral; 3) kedua sistem harus
direncanakan untuk memikul secara
bersama-sama seluruh beban lateral
dengan memperhatikan
interaksi/sistem ganda)
1. Dinding geser
a. Beton bertulang dengan SRPMK beton
bertulang
5,2 8,5 2,8
b. Beton bertulang dengan SRPMB saja 2,6 4,2 2,8
c. Beton bertulang dengan SRPMM beton
bertulang
4,0 6,5 2,8
2. RBE baja
a. Dengan SRPMK baja 5,2 8,5 2,8
b. Dengan SRPMB baja 2,6 4,2 2,8
3. Rangka bresing biasa
a. Baja dengan SRPMK baja 4,0 6,5 2,8
b. Baja dengan SRPMB baja 2,6 4,2 2,8
c. Beton bertulang dengan SRPMK beton
bertulang (tidak untuk Wilayah 5 & 6)
4,0 6,5 2,8
d. Beton bertulang dengan SRPMM beton
bertulang (tidak untuk Wilayah 5 & 6)
2,6 4,2 2,8
4. Rangka bresing konsentrik khusus
a. Baja dengan SRPMK baja 4,6 7,5 2,8
b. Baja dengan SRPMB baja 2,6 4,2 2,8
-
Aspek Rekayasa Gempa Pada Desain Struktur 28
5. Sistem struktur gedung kolom
kantilever (Sistem struktur yang
memanfaatkan kolom kantilever
untuk memikul beban lateral)
Sistem struktur kolom kantilever 1,4 2,2 2
6. Sistem interaksi dinding geser
dengan rangka
Beton bertulang biasa (tidak untuk Wilayah 3,
4, 5 & 6)
3,4 5,5 2,8
7. Subsistem tunggal (Subsistem
struktur bidang yang membentuk
struktur gedung secara keseluruhan)
1. Rangka terbuka baja 5,2 8,5 2,8
2. Rangka terbuka beton bertulang 5,2 8,5 2,8
3. Rangka terbuka beton bertulang dengan
balok beton pratekan (bergantung pada
indeks baja total)
3,3 5,5 2,8
4. Dinding geser beton bertulang berangkai
daktail penuh
4,0 6,5 2,8
5. Dinding geser beton bertulang kantilever
daktail parsial
3,3 5,5 2,8
5.3 Arah Pembebanan Gempa
Jika besarnya beban gempa sudah dapat diperkirakan, maka pertanyaan selanjutnya
adalah, bagaimana menentukan arah beban gempa terhadap bangunan. Dalam kenyataannya
arah datangnya gempa terhadap bangunan tidak dapat ditentukan dengan pasti, artinya
pengaruh gempa dapat datang dari sembarang arah. Jika bentuk denah dari bangunan
simetris dan teratur, sehingga bangunan jelas memiliki sistem struktur pada dua arah utama
bangunan yang saling tegak lurus, perhitungkan arah gempa dapat dilakukan lebih sederhana.
Pembebanan gempa tidak penuh tetapi biaksial atau sembarang dapat menimbulkan
pengaruh yang lebih rumit terhadap struktur gedung ketimbang pembebanan gempa penuh
tetapi uniaksial. Untuk mengantisipasi kondisi ini Applied Technology Council (ATC, 1984)
menetapkan bahwa, arah gempa yang biaksial dapat disimulasikan dengan meninjau beban
Gempa Rencana yang disyaratkan oleh peraturan, bekerja pada ke dua arah sumbu utama
struktur bangunan yang saling tegak lurus secara simultan. Besarnya beban gempa pada
struktur dapat diperhitungkan dengan menjumlahkan 100% beban gempa pada satu arah
dengan 30% beban gempa pada arah tegak lurusnya.
Bila bentuk denah dari bangunan tidak simetris atau tidak beraturan, maka sulit untuk
menentukan arah beban gempa yang paling menentukan. Untuk ini perlu dilakukan analisis
struktur dengan meninjau pengaruh dari beban gempa pada masing-masing arah dari struktur.
Untuk berbagai arah gempa yang bekerja, bagian yang kritis dari elemen-elemen struktur
akan berbeda pula. Berapa kemungkinan arah gempa yang akan ditinjau pada analisis,
sepenuhnya tergantung pada perencana struktur.
-
Aspek Rekayasa Gempa Pada Desain Struktur 29
6 Wilayah Gempa Dan Spektrum Respon
Salah satu faktor yang mempengaruhi besar kecilnya beban gempa yang bekerja pada
struktur bangunan adalah faktor wilayah gempa. Dengan demikian, besar kecilnya beban
gempa, tergantung juga pada lokasi dimana struktur bangunan tersebut akan didirikan.
Indonesia ditetapkan terbagi dalam 6 Wilayah Gempa seperti ditunjukkan dalam Gambar 1,
dimana Wilayah Gempa 1 adalah wilayah dengan kegempaan paling rendah, dan Wilayah
Gempa 6 adalah wilayah dengan kegempaan paling tinggi. Pembagian Wilayah Gempa ini,
didasarkan atas percepatan puncak batuan dasar akibat pengaruh Gempa Rencana dengan
perioda ulang 500 tahun, yang nilai rata-ratanya untuk setiap Wilayah Gempa ditetapkan
dalam Gambar 15 dan Tabel 4.
Peta Wilayah Gempa Indonesia dibuat berdasarkan analisis probabilistik bahaya
gempa (probabilistic seismic hazard analysis), yang telah dilakukan untuk seluruh wilayah
Indonesia berdasarkan data seismotektonik mutakhir yang tersedia saat ini. Data masukan
untuk analisis pembuatan peta gempa adalah, lokasi sumber gempa, distribusi magnitudo
gempa di daerah sumber gempa, fungsi perambatan gempa (atenuasi) yang memberikan
hubungan antara gerakan tanah setempat, magnitudo gempa di sumber gempa, dan jarak dari
tempat yang ditinjau sampai sumber gempa, serta frekuensi kejadian gempa per tahun di
daerah sumber gempa. Sebagai daerah sumber gempa, ditinjau semua sumber gempa yang
telah tercatat dalam sejarah kegempaan di Indonesia, baik sumber gempa pada zona subduksi,
sumber gempa dangkal pada lempeng bumi, maupun sumber gempa pada sesar-sesar aktif
yang sudah teridentifikasi.
Hasil analisis probabilistik bahaya gempa ini diplot pada peta Indonesia berupa garis-
garis kontur percepatan puncak batuan dasar dengan periode ulang 500 tahun (periode ulang
Gempa Rencana), yang kemudian menjadi dasar bagi penentuan batas-batas wilayah gempa.
Percepatan batuan dasar rata-rata untuk Wilayah Gempa 1 s/d 6, telah ditetapkan berturut-
turut adalah sebesar 0,03 g, 0,10 g, 0,15 g, 0,20 g, 0,25 g dan 0,30 g. Dengan percepatan
batuan dasar ini, maka ditetapkan percepatan puncak muka tanah (Ao) untuk Tanah Keras,
Tanah Sedang dan Tanah Lunak seperti yang tercantum pada Tabel 4.
Percepatan puncak batuan dasar dan percepatan puncak muka tanah Ao untuk Wilayah
Gempa 1 yang ditetapkan dalam Gambar 15 dan Tabel 4, ditetapkan juga sebagai percepatan
minimum yang harus diperhitungkan dalam perencanaan struktur gedung untuk menjamin
kekekaran (robustness) minimum dari struktur gedung tersebut. Jadi beban gempa yang
disyaratkan tersebut merupakan pengaruh dari gempa yang bukan Gempa Rencana. Di dalam
-
Aspek Rekayasa Gempa Pada Desain Struktur 30
peraturan bangunan negara tetangga kita Singapura yang berbatasan dengan Wilayah Gempa
1, terdapat suatu ketentuan yang berkaitan dengan kekekaran struktur gedung, yaitu bahwa
setiap struktur gedung harus diperhitungkan terhadap beban-beban horisontal nominal pada
taraf masing-masing lantai tingkat sebesar 1,5% dari beban mati nominal lantai tingkat
tersebut. Dengan menggunakan kriteria ini, maka suatu struktur bangunan gedung bertingkat
rendah (gedung dengan periode getar T yang pendek) yang terletak di Wilayah Gempa 1 dan
di atas Tanah Sedang dengan faktor reduksi gempa misalnya sekitar R = 7 (struktur dengan
daktilitas sebagaian / parsial), harus diperhitungkan terhadap faktor respons gempa sebesar
0,13 I/R = 0,13 x 0,8/7 = 0,015. Hasil ini selaras dengan peraturan yang ditetapkan di
Singapura. Dengan demikian, standar gempa SNI 2002 ini boleh dikatakan memelihara
kontinuitas kegempaan regional lintas batas negara, jadi tidak lagi seperti menurut standar
SNI 1989 yang lama, dimana Wilayah Gempa 1 merupakan daerah yang bebas gempa sama
sekali.
Tabel 4. Percepatan puncak batuan dasar dan percepatan puncak muka tanah untuk masing-masing
Wilayah Gempa Indonesia
Wilayah
Gempa
Percepatan
puncak
batuan dasar
(g)
Percepatan puncak muka tanah Ao (g)
Tanah Keras Tanah Sedang Tanah Lunak Tanah Khusus
1
2
3
4
5
6
0,03
0,10
0,15
0,20
0,25
0,30
0,04
0,12
0,18
0,24
0,28
0,33
0,05
0,15
0,23
0,28
0,32
0,36
0,08
0,20
0,30
0,34
0,36
0,38
Diperlukan
evaluasi
khusus di
setiap lokasi
Untuk menentukan pengaruh Gempa Rencana pada struktur gedung, yaitu berupa
beban geser dasar nominal statik ekuivalen pada struktur bangunan gedung beraturan, dan
gaya geser dasar nominal sebagai respons dinamik ragam pertama pada struktur bangunan
gedung tidak beraturan, untuk masing-masing Wilayah Gempa ditetapkan Spektrum Respons
Gempa Rencana C-T seperti ditunjukkan dalam Gambar 2. Dalam gambar tersebut C adalah
Faktor Respons Gempa yang dinyatakan dalam percepatan gravitasi, dan T adalah waktu
getar alami struktur gedung yang dinyatakan dalam detik.
-
Aspek Rekayasa Gempa Pada Desain Struktur 31
Secara umum Spektrum Respons adalah suatu diagram yang memberi hubungan
antara percepatan respons maksimum suatu sistem Satu Derajat Kebebasan (SDK) akibat
suatu gempa masukan tertentu, sebagai fungsi dari faktor redaman dan waktu getar alami
sistem SDK tersebut. Spektrum Respons C-T yang ditetapkan untuk masing-masing Wilayah
Gempa, adalah suatu diagram yang memberikan hubungan antara percepatan respons
maksimum (= Faktor Respons Gempa) C dan waktu getar alami T sistem SDK akibat Gempa
Rencana, dimana sistem SDK tersebut dianggap memiliki rasio redaman kritis sebesar 5%.
Kondisi T = 0 mengandung arti, bahwa sistem SDK tersebut adalah sangat kaku,
sehingga getaran dari sistem tersebut sepenuhnya akan mengikuti gerakan tanah. Dengan
demikian, untuk T = 0 percepatan respons maksimum menjadi identik dengan percepatan
puncak muka tanah (C = Ao). Bentuk dari Spektrum Respons yang sesungguhnya
menunjukkan suatu fungsi yang acak, dimana untuk harga T yang meningkat akan
menunjukkan nilai yang mula-mula meningkat dulu sampai mencapai suatu nilai maksimum,
kemudian akan turun lagi secara asimtotik mendekati sumbu-T. Untuk mempermudah
penggunaan, Spektrum Respons C-T yang digunakan di dalam SNI Gempa 2002 telah
diidealisasikan sebagai berikut : untuk 0 T 0,2 detik, C meningkat secara linier dari Ao
sampai Am; untuk 0,2 detik T Tc, C bernilai tetap C = Am; untuk T > Tc, C mengikuti
fungsi hiperbola C = Ar/T. Dalam hal ini Tc disebut waktu getar alami sudut. Idealisasi fungsi
hiperbola ini mengandung arti, bahwa untuk T > Tc kecepatan respons maksimum yang
bersangkutan bernilai tetap. Am dan Ar masing-masing adalah percepatan respons maksimum
atau Faktor Respons Gempa maksimum dan pembilang dalam persamaan hiperbola Faktor
Respons Gempa C pada Spektrum Respons Gempa Rencana.
Dari berbagai hasil penelitian ternyata, bahwa untuk 0 T 0,2 detik terdapat
berbagai ketidakpastian, baik dalam karakteristik gerakan tanahnya sendiri maupun dalam
sifat-sifat daktilitas sistem SDK yang bersangkutan. Karena itu untuk 0 T 0,2 detik C
ditetapkan harus diambil sama dengan Am. Dengan demikian untuk T Tc, Spektrum
Respons berkaitan dengan percepatan respons maksimum yang bernilai tetap. Sedangkan
untuk T > Tc, berkaitan dengan kecepatan respons maksimum yang bernilai tetap.
Berbagai hasil penelitian menunjukkan, bahwa Am berkisar antara 2 Ao dan 3 Ao,
sehingga Am = 2,5 Ao merupakan nilai rata-rata yang dianggap layak untuk perencanaan.
Selanjutnya, dari berbagai hasil penelitian juga ternyata, bahwa sebagai pendekatan yang baik
waktu getar alami sudut Tc untuk jenis-jenis Tanah Keras, Tanah Sedang dan Tanak Lunak
-
Aspek Rekayasa Gempa Pada Desain Struktur 32
dapat diambil sebesar berturut-turut 0,5 detik, 0,6 detik dan 1,0 detik. Dalam Tabel 5, nilai-
nilai Am dan Ar dicantumkan untuk masing-masing Wilayah Gempa dan masing-masing jenis
tanah.
Tabel 5. Spektrum Respons Gempa Rencana
Wilayah
Gempa
Tanah Keras
Tc = 0,5 det
Tanah Sedang
Tc = 0,6 det. Tanah Lunak
Tc = 1,0 det.
Am Ar Am Ar Am Ar
1
2
3
4
5
6
0,10
0,30
0,45
0,60
0,70
0,83
0,05
0,15
0,23
0,30
0,35
0,42
0,13
0,38
0,55
0,70
0,83
0,90
0,08
0,23
0,33
0,42
0,50
0,54
0,20
0,50
0,75
0,85
0,90
0,95
0,20
0,50
0,75
0,85
0,90
0,95
-
Aspek Rekayasa Gempa Pada Desain Struktur 33
Gambar 15. Peta kegempaan Indonesia, terdiri dari 6 Wilayah Gempa
-
Aspek Rekayasa Gempa Pada Desain Struktur 34
Gambar 16. Spektrum Respon Gempa Rencana
-
Aspek Rekayasa Gempa Pada Desain Struktur 35
7 Jenis Tanah Dasar dan Perambatan Gelombang Gempa
Gelombang gempa merambat melalui batuan dasar di bawah permukaan tanah. Dari
kedalaman batuan dasar ini gelombang gempa tersebut kemudian merambat ke permukaan
tanah sambil mengalami pembesaran (amplifikasi), bergantung pada jenis lapisan tanah yang
berada di atas batuan dasar tersebut. Dengan adanya pembesaran gerakan ini, maka pengaruh
Gempa Rencana di permukaan tanah harus ditentukan dari hasil analisis perambatan
gelombang gempa dari kedalaman batuan dasar ke permukaan tanah.
Ada dua kriteria yang dapat digunakan untuk mendefinisikan batuan dasar, yaitu
berdasarkan nilai hasil Test Penetrasi Standar N, atau berdasarkan besarnya kecepatan rambat
gelombang geser vs. Batuan dasar adalah lapisan batuan di bawah permukaan tanah yang
memiliki nilai hasil Test Penetrasi Standar (SPT) paling rendah N = 60, dan tidak ada lapisan
batuan lain di bawahnya yang memiliki nilai SPT
-
Aspek Rekayasa Gempa Pada Desain Struktur 36
lapisan setebal maksimum 30 m paling atas, dipenuhi syarat-syarat seperti yang tercantum
dalam Tabel 6.
Tabel 6. Jenis-Jenis Tanah
Jenis tanah
Kecepatan rambat
gelombang geser
rata-rata v s
(m/det)
Nilai hasil Test
Penetrasi Standar
rata-rata
N
Kuat geser tanah
rata-rata
S u (kPa)
Tanah Keras v s 350 N 50 S u 100
Tanah Sedang 175 v s < 350 15 N < 50 50 S u < 100
Tanah Lunak v s < 175 N < 15 S u < 50
Atau, setiap profil dengan tanah lunak yang tebal total lebih
dari 3 m, dengan PI > 20, wn 40%, dan Su < 25 kPa
Tanah Khusus Diperlukan evaluasi khusus di setiap lokasi
Dalam Tabel 6 di atas, v s, N dan S u adalah nilai rata-rata berbobot besaran tanah dengan
tebal lapisan tanah sebagai besaran pembobotnya, yang harus dihitung menurut persamaan-
persamaan sebagai berikut :
siv/m
1 iit
m
1 iit
sv
=
==
iN/m
1 iit
m
1 iit
N
=
==
uiS/m
1 iit
m
1 iit
uS
=
==
-
Aspek Rekayasa Gempa Pada Desain Struktur 37
dimana ti adalah tebal lapisan tanah ke-i, vsi adalah kecepatan rambat gelombang geser
melalui lapisan tanah ke-i, Ni nilai hasil Test Penetrasi Standar lapisan tanah ke-i, Sui adalah
kuat geser tanah lapisan ke-i, dan m adalah jumlah lapisan tanah yang ada di atas batuan
dasar. Selanjutnya, PI adalah Indeks Plastisitas tanah lempung, wn adalah kadar air alami
tanah, dan Su adalah kuat geser lapisan tanah yang ditinjau.
Karena sifat dari jenis Tanah Khusus tidak dapat dirumuskan secara umum, maka
sifatnya harus dievaluasi secara khusus di setiap lokasi dimana jenis tanah tersebut
ditemukan. Pada jenis Tanah Khusus, gerakan gempa di permukaan tanah harus ditentukan
dari hasil analisis perambatan gelombang gempa. Dalam analisis perambatan gelombang
gempa ini, accelerogram gempa harus diambil dari rekaman getaran akibat gempa yang ada
atau yang didapatkan dari suatu lokasi, yang kondisi geologi, topografi, dan seismotonik,
mirip dengan lokasi tempat Tanah Khusus yang ditinjau berada.
Yang dimaksud dengan jenis Tanah Khusus dalam Tabel 6, adalah jenis tanah yang
tidak memenuhi persyaratan yang tercantum dalam tabel tersebut. Di samping itu, yang
termasuk dalam jenis Tanah Khusus adalah tanah yang memiliki potensi likuifaksi yang
tinggi, lempung sangat peka, pasir yang tersementasi rendah yang rapuh, tanah gambut, tanah
dengan kandungan bahan organik yang tinggi dengan ketebalan lebih dari 3 m, lempung
sangat lunak dengan PI > 75 dan ketebalan lebih dari 10 m, lapisan lempung dengan 25 kPa
< Su < 50 kPa dan ketebalan lebih dari 30 m.
8 Pengaruh Gempa Vertikal
Pengalaman dari Gempa Northridge (1994) di Amerika dan Gempa Kobe (1995) di
Jepang telah menunjukkan, bahwa banyak unsur-unsur bangunan yang memiliki kepekaan
yang tinggi terhadap beban gravitasi, mengalami kerusakan berat akibat percepatan vertikal
gerakan tanah. Analisis respons dinamik yang sesungguhnya dari unsur-unsur bangunan
tersebut terhadap gerakan vertikal tanah akibat gempa sangat rumit, karena terjadi interaksi
antara respons unsur-unsur bangunan dengan respons struktur secara keseluruhan. Oleh
karena itu, permasalahan ini disederhanakan dengan meninjau pengaruh percepatan vertikal
gerakan tanah akibat gempa sebagai beban gempa vertikal nominal statik ekuivalen.
Dapat dimengerti, bahwa komponen vertikal gerakan tanah akibat gempa akan relatif
semakin besar jika semakin dekat letak pusat gempa dari lokasi yang ditinjau. Menurut
beberapa standar gempa, percepatan vertikal gerakan tanah ditetapkan sebagai perkalian suatu
koefisien dengan percepatan puncak muka tanah Ao.
-
Aspek Rekayasa Gempa Pada Desain Struktur 38
Unsur-unsur struktur bangunan gedung yang memiliki kepekaan yang tinggi terhadap
beban gravitasi seperti balkon, kanopi dan balok kantilever berbentang panjang, balok
transfer pada struktur gedung tinggi yang memikul beban gravitasi dari dua atau lebih tingkat
diatasnya, serta balok beton pratekan berbentang panjang, harus diperhitungkan terhadap
komponen vertikal gerakan tanah akibat pengaruh Gempa Rencana, yang berupa beban
gempa vertikal nominal statik ekuivalen. Beban gempa ini harus ditinjau bekerja ke atas atau
ke bawah yang besarnya harus dihitung sebagai perkalian antara Faktor Respons Gempa
Vertikal (Cv) dengan beban gravitasi, termasuk beban hidup yang sesuai. Faktor Respons
Gempa Vertikal dihitung menurut persamaan :
Cv = Ao I
Dimana koefisien tergantung pada Wilayah Gempa tempat struktur bangunan gedung
berada dan ditetapkan menurut Tabel 7, Ao adalah percepatan puncak muka tanah menurut
Tabel 4, sedangkan I adalah Faktor Keutamaan gedung menurut Tabel 1.
Persamaan di atas menunjukkan bahwa, dalam arah vertikal respon struktur dianggap
sepenuhnya mengikuti gerakan vertikal dari tanah, dan tidak tergantung pada waktu getar
alami serta tingkat daktilitasnya. Dalam persamaan ini faktor reduksi gempa dianggap sudah
diperhitungkan.
Tabel 7. Koefisien untuk menghitung faktor respons gempa vertikal Cv
Wilayah Gempa
1
2
3
4
5
6
0,5
0,5
0,5
0,6
0,7
0,8
-
Aspek Rekayasa Gempa Pada Desain Struktur 39
9 Struktur Bangunan Tahan Gempa
Perencanaan serta rekayasa struktur bangunan tahan gempa merupakan salah satu cara
untuk mengantisipasi pengaruh-pengaruh yang dapat ditimbulkan oleh gempa, agar kerugian
harta benda serta jatuhnya korban jiwa dapat ditekan seminimal mungkin. Di Indonesia,
syarat-syarat minimum untuk prosedur perencanaan struktur bangunan tahan gempa telah
tercantum di dalam beberapa peraturan yang berlaku. Untuk struktur bangunan gedung
persyaratan-persyaratan ini tercantum di dalam beberapa pedoman yaitu :
Tatacara Perencanaan Struktur Beton untuk Bangunan Gedung (SNI-03-2847-2002)
Standar Perencanaan Ketahanan Gempa Untuk Struktur Bangunan Gedung
(SNI 1726-2002)
Tatacara Perencanaan Struktur Baja untuk Bangunan Gedung (SNI-03-1729-2002)
Sedangkan untuk struktur jembatan atau struktur jalan layang (fly over), ketentuan mengenai
persyaratan desain struktur terhadap pengaruh gempa, tercantum di dalam pedoman atau
manual Sistem Manajemen Jembatan-1992.
Perencanaan struktur bangunan di daerah rawan gempa, memerlukan filosofi dan
antisipasi yang tepat dengan menggunakan spesifikasi atau peraturan yang berlaku. Dalam
kaitannya dengan perencanaan struktur bangunan tahan gempa, struktur bangunan
diklasifikasikan menjadi dua jenis struktur, yaitu Engineered Structures dan Non-engineered
Structures. Engineered Structures adalah struktur-struktur bangunan yang memerlukan
tenaga ahli di dalam proses perencanaan maupun pelaksanaannya. Sebagai contoh dari
Engineered Structures adalah struktur gedung bertingkat, struktur jembatan dan jalan layang,
fasilitas pembangkit tenaga listrik atau tenaga nuklir, bendungan serta bangunan air, dan lain-
lain. Sedangkan Non-engineered Structures adalah struktur-struktur bangunan yang
direncanakan dan dilaksanakan tanpa bantuan tenaga ahli, tetapi masih harus memenuhi
kriteria persyaratan bangunan pada umumnya, sesuai yang tercantum di dalam standar
bangunan (building code) yang ada.
Pada suatu proyek bangunan Teknik Sipil, pada umumnya biaya yang diperhitungkan
meliputi biaya untuk perencanaan, biaya pelaksanaan atau pembangunan konstruksi, dan
biaya perawatan atau perbaikan jika terjadi kerusakan. Makin tinggi tingkat kekuatan dari
struktur bangunan terhadap pengaruh gempa, maka akan semakin besar biaya yang
diperlukan untuk pembuatan konstruksi bangunan, akan tetapi akan semakin kecil biaya yang
diperlukan untuk perbaikan jika bangunan tersebut mengalami kerusakan akibat gempa.
Begitu juga sebaliknya, makin kurang kuat struktur bangunan terhadap gempa, maka akan
-
Aspek Rekayasa Gempa Pada Desain Struktur 40
semakin kecil biaya yang diperlukan untuk pembuatan konstruksi bangunannya, tetapi akan
semakin besar biaya yang harus disediakan untuk perbaikan jika bangunan tersebut
mengalami kerusakan akibat gempa.
Dari beberapa segi pertimbangan tersebut di atas, maka merupakan suatu hal yang
tidak wajar, atau bahkan tidak mungkin untuk membuat konstruksi bangunan yang tidak
mengalami kerusakan sama sekali pada saat terjadi gempa. Dari segi konstruksi, perlu
ditinjau tingkat kerusakan yang dapat terjadi pada bangunan pada saat terjadi gempa.
Kerusakan yang terjadi pada bangunan dapat berupa kerusakan ringan, kerusakan berat, atau
bahkan keruntuhan dari bangunan.
Menurut saran dari Applied Technology Council (ATC, 1984), struktur bangunan
tahan gempa harus memenuhi beberapa persyaratan sebagai berikut :
Struktur bangunan harus tetap utuh dan tidak mengalami kerusakan yang berarti,
pada saat terjadi Gempa Ringan.
Komponen non-struktural dari struktur bangunan diperkenankan mengalami
kerusakan, tetapi komponen struktural harus tetap utuh pada saat terjadi Gempa
Sedang.
Pada saat terjadi Gempa Kuat, komponen non-struktural dan komponen struktural dari
sistem struktur diperbolehkan mengalami kerusakan, tetapi struktur bangunan secara
keseluruhan tidak boleh runtuh. Kerusakan struktur bangunan pada saat terjadi Gempa
Kuat diijinkan, akan tetapi terjadinya korban jiwa harus selalu dihindarkan.
Jadi pada persyaratan struktur bangunan tahan gempa, kemungkinan terjadinya risiko
kerusakan pada bangunan merupakan hal yang dapat diterima, tetapi keruntuhan total
(collapse) dari struktur yang dapat mengakibatkan terjadinya korban yang banyak, harus
dihindari.
Dari persyaratan di atas, dapat disimpulkan juga bahwa, adalah tidak ekonomis untuk
mendesain suatu struktur bangunan yang tetap berperilaku elastis pada saat terjadi Gempa
Kuat. Perencanaan struktur bangunan seperti ini akan menyebabkan struktur bangunan
menjadi sangat mahal. Agar didapatkan struktur bangunan yang kuat terhadap pengaruh
gempa tetapi juga ekonomis, perlu dirancang struktur yang berperilaku daktail pada saat
terjadi Gempa Kuat. Ini berarti bahwa struktur harus dirancang dengan tingkat daktilitas yang
tinggi, sehingga pada saat terjadi Gempa Kuat struktur mempunyai kemampuan untuk
mengalami deformasi yang besar tanpa mengakibatkan keruntuhan.
-
Aspek Rekayasa Gempa Pada Desain Struktur 41
Kemampuan dari struktur bangunan untuk mampu berdeformasi di atas batas
elastisnya, dapat mengurangi pengaruh dari gaya gempa yang masuk ke dalam struktur.
Energi gempa yang masuk ke dalam struktur, akan dipancarkan keluar melalui kemampuan
mekanisme perubahan bentuk yang besar dari struktur.
Berdasarkan pertimbangan ini, di dalam peraturan perencanaan bangunan tahan
gempa yang berlaku di Indonesia, ditetapkan suatu taraf beban Gempa Rencana yang lebih
kecil dari beban gempa sesungguhnya yang mungkin terjadi selama umur rencana dari
struktur bangunan. Hal ini dapat diterima dengan dua alasan yaitu :
Beban gempa adalah beban dinamik dengan arah bolak-balik, yang tidak bersifat terus
menerus bekerja pada struktur bangunan, atau dapat dikatakan bahwa beban gempa
merupakan beban sementara yang bekerja pada struktur bangunan.
Struktur bangunan harus direncanakan sebagai struktur yang daktail, sehingga jika
kekuatannya terlampaui pada saat terjadi Gempa Kuat, struktur tidak akan runtuh
melainkan akan berdeformasi plastis, melalui mekanisme terbentuknya sejumlah
sendi-sendi plastis pada struktur dengan cara yang terkontrol.
Dari kedua alasan tersebut, jelas bahwa persyaratan yang paling penting pada perencanaan
struktur bangunan tahan gempa adalah daktilitas struktur. Elemen-elemen struktural dari
bangunan seperti balok dan kolom, harus direncanakan dengan tingkat daktilitas yang cukup,
sehingga pada saat terjadi Gempa Kuat struktur bangunan mempunyai kemampuan untuk
menyerap dan memancarkan energi gempa melalui deformasi plastis. Dengan demikian
keruntuhan dari struktur secara keseluruhan dapat dihindari. Dengan terhindarnya struktur
bangunan dari keruntuhan, maka dapat diharapkan adanya korban jiwa dapat dihindarkan.
Menurut saran dari Applied Technology Council (ATC, 1984), suatu struktur
bangunan yang didirikan di daerah rawan gempa, harus mampu menahan Gempa Kuat tanpa
mengalami keruntuhan. Akibat pengaruh Gempa Kuat, struktur bangunan diperkenankan
mengalami kerusakan, tetapi secara keseluruhan struktur bangunan tidak boleh runtuh. Hal
ini dimaksudkan agar keselamatan jiwa manusia harus dapat terjamin. Untuk mendapatkan
struktur bangunan seperti yang disyaratkan oleh ATC, saat ini telah dikembangkan suatu cara
perencanaan struktur tahan gempa, yang disebut Perencanaan Kapasitas (Capacity Design).
Perencanaan Kapasitas pada struktur bangunan dimaksudkan untuk mendapatkan sifat
daktilitas yang memadai bagi struktur-struktur bangunan yang dibangun di daerah rawan
gempa.
-
Aspek Rekayasa Gempa Pada Desain Struktur 42
10 Daktilitas Struktur
Pada umumnya struktur Teknik Sipil dianggap bersifat elastis sempurna, artinya bila
struktur mengalami perubahan bentuk atau berdeformasi sebesar 1 mm oleh beban sebesar 1
ton, maka struktur akan berdeformasi sebesar 2 mm jika dibebani oleh beban sebesar 2 ton.
Hubungan antara beban dan deformasi yang terjadi pada struktur, dianggap elastis sempurna
berupa hubungan linier. Jika beban tersebut dikurangi besarnya sampai dengan nol, maka
deformasi pada struktur akan hilang pula (deformasi menjadi nol). Jika beban diberikan pada
arah yang berlawanan dengan arah beban semula, maka deformasi struktur akan negatif pula,
dan besarnya akan sebanding dengan besarnya beban. Pada kondisi seperti ini struktur
mengalami deformasi elastis. Deformasi elastis adalah deformasi yang apabila bebannya
dihilangkan, maka deformasi tersebut akan hilang, dan struktur akan kembali kepada
bentuknya yang semula.
Pada struktur yang bersifat getas (brittle), maka jika beban yang bekerja pada struktur
sedikit melampaui batas maksimum kekuatan elastisnya, maka struktur tersebut akan patah
atau runtuh. Pada struktur yang daktail (ductile) atau liat, jika beban yang ada melampaui
batas maksimum kekuatan elastisnya, maka struktur tidak akan runtuh, tetapi struktur akan
mengalami deformasi plastis (inelastis). Deformasi plastis adalah deformasi yang apabila
bebannya dihilangkan, maka deformasi tersebut tidak akan hilang. Pada kondisi plastis ini
struktur akan mengalami deformasi yang bersifat permanen, atau struktur tidak dapat kembali
kepada bentuknya yang semula. Pada struktur yang daktail, meskipun terjadi deformasi yang
permanen, tetapi struktur tidak mengalami keruntuhan.
Pada kenyataannya, jika suatu beban bekerja pada struktur, maka pada tahap awal,
struktur akan berdeformasi secara elastis. Jika beban yang bekeja terus bertambah besar,
maka setelah batas elastis dari bahan struktur dilampaui, struktur kemudian akan
berdeformasi secara plastis (inelastis). Dengan demikian pada struktur akan terjadi deformasi
elastis dan deformasi plastis, sehingga jika beban yang bekerja dihilangkan, maka hanya
sebagian saja dari deformasi yang hilang (deformasi elastis = e), sedangkan sebagian
deformasi akan bersifat permanen (deformasi plastis = p). Perilaku deformasi elastis dan
plastis dari struktur diperlihatkan pada Gambar 17.
Dari uraian di atas tampak bahwa, pada struktur yang daktail, beban yang besar akibat
gempa tidak akan menyebabkan keruntuhan dari struktur, lebih-lebih karena beban gempa
merupakan beban dinamis yang arahnya bolak-balik. Beban gempa yang besar akan
menyebabkan deformasi yang permanen dari struktur akibat rusaknya elemen-elemen dari
-
Aspek Rekayasa Gempa Pada Desain Struktur 43
struktur seperti balok dan kolom. Pada kondisi seperti ini, walaupun elemen-elemen struktur
bangunan mengalami kerusakan, namun secara keseluruhan struktur tidak mengalami
keruntuhan.
Energi gempa yang bekerja pada struktur bangunan, akan dirubah menjadi energi
kinetik akibat getaran dari massa struktur, energi yang dihamburkan akibat adanya pengaruh
redaman dari struktur, dan energi yang dipancarkan oleh bagian-bagian struktur yang
mengalami deformasi plastis. Dengan demikian sistem struktur yang bersifat daktail dapat
membatasi besarnya energi gempa yang masuk pada struktur, sehingga pengaruh gempa
dapat berkurang.
Gambar 17.a. Deformasi elastis pada struktur
Gambar 17.b. Deformasi plastis (inelastis) pada struktur
V0
e
V=0
e=0
V0
e+p
V=0
p
-
Aspek Rekayasa Gempa Pada Desain Struktur 44
10.1 Kemampuan Struktur Menahan Gempa Kuat
Beban gempa sebenarnya yang bekerja pada struktur bangunan dapat melampaui beban
gempa rencana yang tercantum di dalam peraturan. Di dalam peraturan, besarnya beban
gempa rencana yang diperhitungkan bekerja pada struktur bangunan adalah Gempa Sedang.
Dengan demikian, jika