ANALISIS PENERAPAN MANAJEMEN TERPADU BALITA
SAKIT (MTBS) DENGAN KEJADIAN ISPA BALITA
DI PUSKESMAS PASAR GAMBIR
KOTA TEBING TINGGI
TAHUN 2019
SKRIPSI
Oleh :
IGA SARI SIREGAR
1801032045
PROGRAM STUDI D4 KEBIDANAN
FAKULTAS FARMASI DAN KESEHATAN
INSTITUT KESEHATAN HELVETIA
MEDAN
2019
ANALISIS PENERAPAN MANAJEMEN TERPADU BALITA
SAKIT (MTBS) DENGAN KEJADIAN ISPA BALITA DI
PUSKESMAS PASAR GAMBIR
KOTA TEBING TINGGI
TAHUN 2019
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat Untuk memeroleh gelar Sarjana
Terapan Kebidanan (S.Tr.Keb) pada Program Studi D4
Kebidanan Fakultas Farmasi dan Kesehatan
Institut Kesehatan Helvetia
Oleh :
IGA SARI SIREGAR
1801032045
PROGRAM STUDI D4 KEBIDANAN
FAKULTAS FARMASI DAN KESEHATAN
INSTITUT KESEHATAN HELVETIA
MEDAN
2019
Judul Proposal : Analisis Penerapan Manajemen Terpadu
Balita Sakit (MTBS) dengan Kejadian ISPA
Balita di Puskesmas Pasar Gambir Kota
Tebing Tinggi Tahun 2019
Nama Mahasiswa : Iga Sari Siregar
Nomor Pokok Mahasiswa : 1801032045
Minat Studi : D4 Kebidanan
Menyetujui
Komisi Pembimbing
Medan, Agustus 2019
Pembimbing-I
Jitasari Tarigan Sibero, SST, S.Pd, M.Kes
Pembimbing-II
Mila Syari, SST, M.Keb
Ketua Program Studi D-IV Kebidanan
Fakultas Farmasi dan Kesehatan
Institut Kesehatan Helvetia Medan
(Elvi Era Liesmayani, S.Si.T, M.Keb)
Telah diuji pada tanggal September 2019
PANITIA PENGUJI SKRIPSI
Ketua : Jitasari Tarigan Sibero, SST, S.Pd, M.Kes
Anggota : 1. Mila Syari, SST, M.Keb
2. Dr. dr. Hj. Razia Begum Suroyo, M.SC, M.Kes
LEMBAR KEASLIAN PENELITIAN
Dengan ini saya menyatakan :
1. Skripsi ini adalah asli dan belum pernah diajukan untuk mendapatkan gelar
akademik Sarjana Terapan Kebidanan (S.Tr.Keb), di Institut Kesehatan
Helvetia.
2. Skripsi ini adalah murni gagasan, rumusan dan penelitian saya sendiri, tanpa
bantuan pihak lain, kecuali arahan Tim Pembimbing dan masukan Tim
Penelaah/Tim Penguji.
3. Dalam skripsi ini tidak terdapat karya atau pendapat yang telah ditulis atau
dipublikasikan orang lain, kecuali secara tertulis dengan jelas dicantumkan
sebagai acuan dalam naskah dengan disebutkan nama pengarang dan
dicantumkan dalam daftar pustaka.
4. Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan apabila di kemudian hari
terdapat penyimpangan dan ketidakbenaran dalam pernyataan ini, maka saya
bersedia menerima sanksi akademik pencabutan gelar yang telah diperoleh
karena karya ini, serta sanksi lainnya sesuai dengan norma yang berlaku di
perguruan tinggi ini.
Medan, September 2019
Yang membuat pernyataan
Iga Sari Siregar
1801032045
i
ii
ABSTRAK
ANALISIS PENERAPAN MANAJEMEN TERPADU BALITA SAKIT
(MTBS) DENGAN KEJADIAN ISPA BALITA DI PUSKESMAS
PASAR GAMBIR KOTA TEBING TINGGI
TAHUN 2019
IGA SARI SIREGAR
1801032045
ISPA merupakan masalah kesehatan masyarakat Indonesia terutama pada
balita. Pada kelompok umur penduduk, period prevalence ISPA yang tinggi
terjadi pada kelompok umur 1-4 tahun. Dari laporan MTBS di Puskesmas Pasar
Gambir mengalami peningkatan balita yang terkena ISPA pada bulan desember
2018 sebanyak 32,3%. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui penerapan
MTBS dalam penanganan penyakit ISPA dengan menggunakan metode mixed-
methods di Puskesmas Pasar Gambir Kota Tebing Tinggi Tahun 2019.
Jenis penelitian ini adalah penelitian mixed-methods dengan menggunakan
desain penelitian case control dengan pendekatan kuantitatif dan kualitatif, kedua
penedekatan ini untuk menjawab pertanyaan penelitian yang tidak sepenuhnya
dapat dijawab dengan satu pendekatan saja. Penelitian ini dilakukan di wilayah
kerja Puskesmas Pasar Gambir Kota Tebing Tinggi dengan jumlah sampel
kuantitatif sebanyak 30 orang dan sampel kualitatif sebanyak 6 informan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan MTBS terhadap kejadian
ISPA yaitu ibu balita dengan pengetahuan yang kurang, status imunisasi yang
tidak lengkap, status gizi yang kurang, dan keberadaan perokok dalam rumah.
Penyebab masalah ISPA pada balita di Puskesmas Pasar Gambir Kota
Tebing Tinggi disebabkan oleh berbagai faktor yang saling berhubungan yaitu
pengetahuan ibu yang kurang, status imunisasi, status gizi dan keberadaan
perokok dalam rumah. Disarankan kepada ibu balita agar dapat menambah
pengetahuan tentang menjaga kebersihan diri, lingkungan rumah, jauhakan anak
dari asap rokok, dan rutin melakukan pemeriksaan kepetugas kesehatan jika
kondisi balita sedang sakit.
Kata Kunci: Analisis, Penerapan MTBS, Kejadian ISPA
iii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan Kehadirat ALLAH SWT, karena atas
rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan proposal yang berjudul
“Aanalisis Kualitatif Kepatuhan Petugas Puskesmas terhadap Tatalaksana
Manajemen Terpadu Balita Sakit di Puskesmas Pasar Gambir Kota Tebing Tinggi
Tahun 2019”.
Penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk melengkapi tugas
dan memenuhi syarat dalam menyelesaikan Program Studi D4 Kebidanan di
Institut Kesehatan Helvetia Medan. Penulis menyadari bahwa proposal ini masih
banyak kekurangan. Untuk itu penulis dengan senang hati menerima saran dan
kritik yang bersifat membangun demi kesempurnaan skripsi ini.
Pada kesempatan ini, penulis secara khusus mengucapkan terima kasih
kepada Bapak/Ibu:
1. Dr. dr.Hj. Razia Begum Suroyo, M.sc, M.kes, selaku Penasehat Yayasan
Helvetia di Medan sekaligus Penguji III yang telah banyak memberi masukan
dan bimbingan dalam proses penulisan skripsi ini.
2. Iman Muhammad, SE, S.Kom, MM, M.Kes, selaku Ketua Yayasan Helvetia
di Medan.
3. Dr. H. Ismail Efendy, M.Si, selaku Rektor Institut Kesehatan Helvetia di
Medan.
4. H. Darwin Syamsul, S.Si, M.Si, Apt, selaku Dekan Fakultas Farmasi dan
Kesehatan Masyarakat Institut Kesehatan Helvetia di Medan.
5. Elvi Era Liesmayani, S.Si.T, M.Keb, selaku Ketua Program Studi D4
Kebidanan Institut Kesehatan Helvetia di Medan.
6. Jitasari, Tarigan Sibero, SST, S.Pd, M.Kes selaku pembimbing I yang telah
banyak membantu memberi masukan, serta motivasi yang membangun dalam
proses pengerjaan penulisan skripsi ini.
7. Mila Syari, SST, M.Keb, selaku pembimbing II yang telah banyak memberi
masukan dan bimbingan dalam proses penulisan skripsi ini.
8. Kepala Puskesmas Pasar Gambir Tebing Tinggi yang telah memberikan izin
dalam melakukan Survei awal guna dalam penyusunan skripsi ini
9. Rekan-rekan mahasiswi program D4 Kebidanan Institut Kesehatan Helvetia
yang saling memberikan dukungan dalam menyelesaikan proposal ini.
Akhir kata penulis mengucapkan semoga skripsi ini bermanfaat bagi
pembaca dan semua pihak serta bagi penulis khususnya, semoga Allah SWT
memberikan rahmat dan karunia-Nya dan melindungi kita semua.
Medan, September 2019
Peneliti
Iga Sari Siregar
1801032045
iv
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
I. IDENTITAS DIRI
Nama Lengkap : Iga Sari Siregar
Tmpt/ Tgl Lahir : P.Siantar, 18-02-1992
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Kisaran
Status : Belum Menikah
Anak ke : 3 dari 5 Bersaudara
II. IDENTITAS ORANG TUA
Ayah : Hebdian Siregar
Pekerjaan Ayah : TNI-AD
Ibu : Ida Nursanti Haeahap
Pekerjaan Ibu : IRT
III. RIWAYAT PENDIDIKAN
SD (Budi Utomo) Lulus tahun 2005
SMP VI Kisaran Lulus tahun 2008
SMA I Kisaran Lulus tahun 2010
D III KEBIDANAN (Akbid Takasima) Lulus tahun 2013
v
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN PENGESAHAN
PANITIA PENGUJI SKRIPSI
LEMBAR KEASLIAN PENELITIAN
ABSTRACT .............................................................................................. i
ABSTRAK ................................................................................................ ii
KATA PENGANTAR .............................................................................. iii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ............................................................... iv
DAFTAR ISI ............................................................................................. v
DAFTAR GAMBAR ............................................................................. .. viii
DAFTAR TABEL .................................................................................... ix
DAFTAR LAMPIRAN................................................................. ........... xi
BAB I PENDAHULUAN .................................................................... 1
1.1. Latar Belakang ................................................................. 1
1.2. Rumusan Masalah ............................................................ 7
1.3. Tujuan Penelitian ............................................................. 8
1.3.1. Tujuan Umum. ..................................................... 8
1.3.2. Tujuan Khusus. ..................................................... 8
1.4. Manfaat Penelitian ........................................................... 8
1.4.1. Manfaat Teoritis ................................................... 9
1.4.2. Manfaat Praktis .................................................... 9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .......................................................... 10
2.1. Tinjauan Peneliti Terdahulu ............................................. 10
2.2. Telaah Teori ..................................................................... 14
2.2.1. Pengertian Manajmen Terpadu Balita Sakit ......... 14
2.2.2. Sejarah MTBS. ..................................................... 16
2.2.3. Sasaran Manajemen Terpadu Balita Sakit. .......... 16
2.2.4. Tujuan Manajemen Terpadu Balita Sakit ............. 17
2.2.5. Manfaat Manajemen Terpadu Balita Sakit ........... 17
2.2.6. Prosedur Penatalaksanaan Manajemen Terpadu
Balita Sakit ........................................................... 18
2.2.7. Tatalaksana Manajemen Terpadu Balita Sakit ..... 19
2.2.8. Penerapan MTBS ................................................. 25
2.2.9. Komponen Manajemen Terpadu Balita Sakit. ..... 28
2.3. Pengertian Infeksi Saluran Pernapasan ............................ 28
2.3.1. Penyebab ISPA. .................................................... 29
2.3.2. Klasfikasi ISPA. ................................................... 29
2.3.3. Gejala dan Tanda ISPA. ....................................... 30
2.3.4. Patogenesis ISPA. ................................................ 31
2.3.5. Faktor Risiko ISPA. ............................................. 32
2.3.6. Pencegahan ISPA. ................................................ 34
2.3.7. Penatalaksanaan ISPA. ......................................... 34
vi
2.4. Defenisi Imunisasi ............................................................ 37
2.4.1. Macam – Macam Imunisasi. ................................ 38
2.5. Beberapa Klasifikasi Penyakit yang ada dalam ISPA...... 44
2.6. Puskesmas ....................................................................... 54
2.6.1. Penegrtian Puskesmas. ........................................ 54
2.6.2. Visi dan Misi Puskesmas. ..................................... 54
2.7. Landasan Teori. ................................................................ 56
2.8. Kerangka Konsep Penelitian. ........................................... 57
2.9. Hipotesis . ......................................................................... 57
BAB III METODE PENELITIAN ....................................................... 58
3.1. Desain Penelitian ............................................................. 58
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian .......................................... 59
3.2.1. Lokasi Penelitian .................................................. 59
3.2.2. Waktu Penelitian .................................................. 59
3.3. Populasi dan Sampel. ....................................................... 60
3.3.1. Populasi ............................................................... 60
3.3.2. Sampel ................................................................. 60
3.4. Teknik Pengumpulan Data ............................................... 61
3.4.1. Teknik Validasi Data. ........................................... 61
3.5. Variabel dan Defenisi Oprasional .................................... 63
3.5.1. Variabel Penelitian .............................................. 63
3.5.2. Variabel Operasional ........................................... 64
3.6. Uji Validitas dan Reliabilitas. .......................................... 65
3.7. Metode Pengolahan. ......................................................... 68
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ..................... 71
4.1. Deskripsi Penelitian ......................................................... 71
4.1.1. Keadaan Geografis ............................................... 71
4.1.2. Wilayah Administratif Puskesmas Pasar Gambir
Kota Tebing Tinggi .............................................. 72
4.1.3. Kependudukan ...................................................... 73
4.1.4. Visi, Misi, Tugas Pokok dan Fungsi Puskesmas
Pasar Gambir Kota Tebing Tinggi ....................... 74
4.2. Hasil Penelitian Kuantitatif .............................................. 74
4.2.1. Analisis Univariat ................................................. 77
4.2.2. Analisis Bivariat ................................................... 74
4.3. Hasil Penelitian Kualitatif ................................................ 80
4.4. Pembahasan ...................................................................... 87
4.4.1. Kejadian ISPA di puskesmas Pasar Gambir ........ 87
4.4.2. Hubungan Pengetahuan Ibu dengan Kejadian
ISPA Balita Di Puskesmas Pasar Gambir Kota
tebing Tinggi Tahun 2019 .................................... 89
4.4.3. Hubungan Status Imunisasi dengan Kejadian
ISPA Balita Di Puskesmas Pasar Gambir Kota
tebing Tinggi Tahun 2019 .................................... 91
vii
4.4.4. Hubungan Status Gizi dengan Kejadian ISPA
Balita Di Puskesmas Pasar Gambir Kota tebing
Tinggi Tahun 2019 ............................................... 93
4.4.5. Hubungan Keberadaan Perokok Dalam Rumah
dengan Kejadian ISPA Balita Di Puskesmas
Pasar Gambir Kota tebing Tinggi Tahun 2019 .... 95
4.4.6. Implikasi Hasil Penelitian .................................... 98
4.4.7. Keterbatasan Penelitian ........................................ 98
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ............................................... 99
5.1. Kesimpulan. ..................................................................... 99
5.2. Saran ................................................................................ 99
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 101
LAMPIRAN ............................................................................................ 104
viii
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
Gambar 2.1. Kerangka Teori ................................................................... 56
Gambar 2.2. Kerangka Konsep Penelitian. ............................................. 57
ix
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
Tabel 2.1. Menunjukan jadwal kunjungan ulang balita 0 bulan
sampai 5 tahun .................................................................... 23
Tabel 2.2. Kapan harus kembali kunjungan ulang pada balita 0 bulan
sampai 5 tahun .................................................................... 24
Tabel 2.3. Tatalaksana penderita batuk atau kesukaran bernapas
umur < 2 bulan. .................................................................. 35
Tabel 2.4. Tatalaksana anak batuk atau kesukaran bernapas umur 2
bulan – 5 tahun. .................................................................. 36
Tabel 3.1. Aspek pengukuran variabel indipeendent (X variabel) dan
dependen (Y variabel). ....................................................... 64
Tabel 3.2. Hasil Uji Validitas Pengetahuan Ibu. ................................. 66
Tabel 3.3. Hasil Uji Reabilitas Pengetahuan Ibu. ................................ 68
Tabel 4.1. Distribusi Frekuensi Usia Balita di Puskesmas Pasar
Gambir Kota Tebing Tinggi Tahun 2019. .......................... 75
Tabel 4.2. Distribusi frekuensi pengetahuan ibu di Puskesmas Pasar
Gambir Kota Tebing Tinggi Tahun 2019. .......................... 75
Tabel 4.3. Distribusi frekuensi status imunisasi di Puskesmas Pasar
Gambir Kota Tebing Tinggi Tahun 2019. .......................... 75
Tabel 4.4. Distribusi frekuensi status gizi di Puskesmas Pasar
Gambir. ............................................................................... 76
Tabel 4.5. Distribusi frekuensi keberadaan perokok dalam rumah di
Puskesmas Pasar Gambir Kota Tebing Tinggi Tahun
2019. ................................................................................... 76
Tabel 4.6. Distribusi frekuensi kejadian ISPA di Puskesmas Pasar
Gambir. ............................................................................... 76
Tabel 4.7. Hubungan pengetahuan ibu dengan kejadian ISPA balita
di Puskesmas Pasar Gambir Kota Tebing Tinggi Tahun
2019. ................................................................................... 77
x
Tabel 4.8. Hubungan status imunisasi dengan kejadian ISPA balita
di Puskesmas Pasar Gambir Kota Tebing Tinggi Tahun
2019. ................................................................................... 78
Tabel 4.9. Hubungan status gizi dengan kejadian ISPA balita di
Puskesmas Pasar Gambir Kota Tebing Tinggi Tahun
2019. ................................................................................... 79
Tabel 4.10. Hubungan keberadaan perokok dalam rumah dengan
kejadian ISPA balita di Puskesmas Pasar Gambir Kota
Tebing Tinggi Tahun 2019 . ............................................... 79
xi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
Lampiran 1 : Kuesioner Penelitian ........................................................ 104
Lampiran 2 : Master Data Penelitian .................................................... 116
Lampiran 3 : Hasil Output Penelitian ................................................... 118
Lampiran 4 : Surat Survei Awal ........................................................... 124
Lampiran 5 : Surat Balasan Survei Awal .............................................. 125
Lampiran 6 : Surat Izin Penelitian ........................................................ 126
Lampiran 7 : Surat Balasan Izin Penelitian ........................................... 127
Lampiran 8 : Permohonan Pengajuan Judul Skripsi ............................. 128
Lampiran 9 : Lembar Revisi Proposal .................................................. 129
Lampiran 10 : Lembar Revisi Skripsi ..................................................... 130
Lampiran 11 : Lembar Bimbingan Proposal ........................................... 131
Lampiran 12 : Lembar Bimbingan Skripsi ............................................. 133
Lampiran 13 : Dokumentasi Penelitian ................................................... 135
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sistem kesehatan nasional yang terpadu dapat menitikberatkan pada
kualitas pelayanan yang berupa sistem dengan komponennya saling berhubungan,
berkaitan dan saling mempengaruhi dalam mencapai suatu tujuan untuk
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Ukuran keberhasilan
penyelenggaraannya ditandai dengan kepuasan penerima pelayanan dicapai
apabila penerima pelayanan, memperoleh jasa pelayanan sesuai dengan yang
dibutuhkan dan diharapkan.(1)
Manajemen Terpadu Balita Sakit merupakan suatu pendekatan
keterpaduan dalam tatalaksana balita sakit yang datang berobat ke fasilitas rawat
jalan pelayanan kesehatan dasar yang meliputi upaya kuratif terhadap penyakit
pneumonia, diare, campak, malaria, DHF, infeksi telinga, malnutrisi dan upaya
promotif serta preventif yang meliputi imunisasi, pemberian vitamin A dan
konseling pemberian makan yang bertujuan untuk menurunkan Angka kematian
bayi dan anak balita serta menekan morbiditas untuk penyakit tersebut. (2)
Infeksi saluran pernapasan merupakan radang akut saluran pernapasan atas
maupun bawah yang disebabkan oleh infeksi jasad renik atau bakteri, maupun
riketsia tanpa atau disertai radang parenkim paru. ISPA adalah suatu kelompok
penyakit sebagai penyebab langka absensi tertinggi bila dibandingkan dengan
kelompok penyakit lain (3).
2
Infeksi saluran pernafasan akut merupakan infeksi akut yang menyerang
salah satu bagian/lebih dari saluran napas, mulai hidung sampai alveoli termasuk
sinus, rongga telinga tengah dan pleura. Penyakit ISPA yang paling sering
menyebabkan kematian pada bayi dan anak balita adalah pneumonia. Dimana
pneumonia merupakan bagian atau tahap lanjut dari penyakit infeksi saluran
pernapasan akut (3).
Menurut (WHO), penyakit ISPA merupakan penyakit yang paling sering
menyebabkan kematian pada anak balita. Sehingga ISPA masih merupakan
penyakit yang mengakibatkan kematian yang cukup tinggi. Kematian tersebut
sebagian besar disebabkan oleh pneumonia. Laporan Kemenkes RI tahun 2011
kujungan penderita ISPA ke Puskesmas dan Rumah Sakit di Indonesia dapat
dikategorikan tinggi, yaiu sebanyak 40%-60% ke Puskesmas dan ke Rumah Sakit
sebanyak 15%-30% (4).
Berdasarkan laporan hasil riskesdas prevalensi ISPA di Indonesia yaitu
25% dan tidak jauh berbeda dengan tahun 2007 yaitu 25,5% dimana prevalensi
ISPA pada bayi sebesar 35,92%, sementara prevalensi ISPA pada balita sebesar
42,53%. ISPA teringgi terjadi yaitu terjadi pada Nusa Tenggara Timur (41,7%),
Papua (31,1%), Aceh (30%), Nusa Tenggara Barat (28,3%) dan Jawa Timur
(28,3). ISPA cenderung terjadi lebih tinggi pada kelompok dengan pendidikan dan
tingkat pengeluaran rumah tangga yang rendah. Kementerian Kesehatan mencatat
pada tahun 2007 kasus ISPA baru berjumlah 7,2 juta kasus, lalu meningkat
sampai 18,7 juta atau sekita (5-6%) dari total penduduk di Indonesia. Jumlah ini
3
belum termasuk pneumonia, yakni infeksi akut yang sudah sampai menyerang
paru-paru yang diperkirakan angkanya mencapai 1,8 juta orang (5).
ISPA merupakan masalah kesehatan masyarakat Indonesia terutama pada
balita. Pada kelompok umur penduduk, period prevalence ISPA yang tinggi
terjadi pada kelompok umur 1-4 tahun, kemudian mulai meningkat pada umur 45-
54 tahun dan terus meninggi pada kelompok umur berikutnya. Periode prevalence
ISPA pada balita di Indonesia adalah 18,5 per mil. Balita ISPA yang berobat
hanya 1,6 per mil. Period prevalence tertinggi ISPA pada balita terdapat
padakelompok umur 12-23 bulan yaitu 21,7%. ISPA pada balita lebih banyak
dialami pada kelompok penduduk dengan kuintil indeks kepemilikan terbawah
27,4% (5).
Cakupan penemuan kasus ISPA pada balita di Sumatera Utara relatif
masih rendah. Tahun 2014 dari 157.625 kasus ISPA ditemukan dan ditangani
sebesar 26.545 kasus (16,84%), angka ini mengalami peningkatan bila
dibandigkan tahun 2013 yaitu 23.643 kasus (15,36%). Dari 33 kabupaten/kota,
terdapat 5 kabupaten/kota yang melaporkan 0 (nol) kasus yaitu kabupaten Nias,
Asahan, Mandailig Natal, Karo dan Kecamatan Tanjung Balai. Kabupaten dengan
jumlah penderita kasus ditemukan dan ditangani terbanyak adalah Kabupaten Deli
Serdang sebesar 70,8%, disusul dengan Kabupaten Serdang Bedagai sebesar
20,4% dan Kabupaten Labuhan Batu sebesar 17,9% (6).
Menurut Penelitian maryunani tahun 2010 klasifikasi ISPA yaitu
pneumonia berat, pneumonia dan bukan pneumonia. Pada balita umur kurang 2
bulan yang mengalami pneumonia berat akan segera di rujuk ke rumah sakit,
4
sedangkan yang mengalami bukan pneumonia dilakukan tindakan perawatan
dirumah. Pada balita umur 2 bulan sampai 5 tahun yang mengalami pneumonia
berat akan segera dirujuk ke rumah sakit, balita yang mengalami pneumonia akan
dilakukan tindakan di rumah sedangkan balita bukan pneumonia akan dirujuk bila
batuk leih dari 3 minggu. Salah satu program yang dilakukan untuk
menanggulangi penyakit ISPA yaitu dengan pendekatan manajemen terpadu balita
sakit (MTBS). MTBS adalah suatu pendekatan yang terintegrasi dalam
tatalaksana balita sakit dengan fokus pada kesehatan anak usia 0-59 bulan secara
menyeluruh. MTBS bukan merupakan suatu program kesehatan tetapi suatu
pendekatan/cara penatalaksanaan balita sakit. Badan kesehatan dunia (WHO)
telah mengakui bahwa pendekatan MTBS sangat cocok untuk diterapkan di
negara-negara berkembang dalam upaya menurunkan angka kematian, kesakitan,
dan kecacatan pada bayi dan balita (7).
Pendekatan MTBS pertama kali diluncurkan oleh WHO pada tahun 1994
yang merupakan hasil kerja sama WHO dengan UNICEF serta lembaga lainnya.
Pada tahun 1993, bank dunia melaporkan bahwa MTBS merupakan intervensi yang
cost effective untuk mengatasi masalah kematian balita yang disebabkan oleh infeksi
pernapasan akut, diare, campak, malaria dan malnutrisi. Menurut data WHO, tiga dari
empat balita sakit sering kali memiliki beberapa keluhan lain dan sedikitnya
menderita 1 dari 5 penyakit tersering pada balita yang menjadi fokus MTBS (7).
Didunia penanggulangan ISPA sudah mulai efektif dimana balita yang
diobati dengan pendekatan MTBS meningkat 60% secara klinis dibandingkan
dengan pendekatan non-MTBS yaitu 12% (8).
5
MTBS merupakan suatu pendekatan yang dilaksanakan untuk
menanggulangi penyakit ISPA yang diawali dengan penilaian dan klasifikasi anak
sakit, menetukan tindakan dan pengobatan, konseling bagi ibu serta perawatan di
rumah (tindak lanjut). Dalam pelaksanaan MTBS tenaga kesehatan dilakukan oleh
kader yang telah mendapat pelatihan sebagai pelaksana yaitu dokter, bidan dan
perawat. Pendanaan MTBS bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Bekerja
Negara serta Anggaran Pendapatan dan Bekerja Daerah. Sarana dan prasarana
dalam melaksankan MTBS dengan adanya obat dan bahan/alat dalam 6 bulan
terakhir untuk pemeriksaan dan pengobatan balita sakit (9).
Sejak tahun 1996 WHO dan UNICEF telah mengembangkan suatu
strategi/pendekatan yang dinamakan integrated management of chilhood ililenss
(IMCI) atau manajemen terpadu balita sakit (MTBS) adalah suatu pendekatan
yang terintregrasi/terpadu dalam tatalaksana balita sakit dengan berfokus
kesehatan anak usia 0-5 tahun secara menyeluruh. Kegiatan MTBS merupakan
suatu upaya yang ditunjukan untuk menurunkan kesakitan dan kematian sekaligus
meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan seperti Puskesmas, Pustu, dan
Poskesdes.(10)
Bank Dunia tahun 1993 melaporkan manajemen terpadu balita sakit
(MTBS) adalah intervensi yang cost effective untuk mengatsi masalah kematian
Balita yang disebabkan oleh infeksi pernapasan akut (ISPA), diare, campak,
malaria, kurang gizi, yang sering merupakan kombinasi dari keadaan tersebut.
MTBS yang diperkenalkan WHO dan UNICEF di Indonesia pada tahun 1997,
6
diterpakan Depkes setelah melalui proses adaptasi bersama IDAI (Ikatan Dokter
Anak Indonesia).(11)
Proses manajemen kasus disajikan dalam satu bagan yang memperlihatkan
urutan langkah-langkah dan penjelasaan cara pelaksanaanya. Bagan tersebut
menjelaskan langkah-langkah menilai dan membuat klasfikasi anak sakit umur 2
bulan sampai 5 tahun, menentukan tindakan dan memberi pengobatan, member
konseling pada ibu, manajemen terpadu bayi muda umur kurang dari 2 bulan.(12)
Menurut penelitian Rekawati, S tahun 2011 pelaksanaan MTBS belum
berjalan secara efektif. Kondisi tersebut dialami sebagian besar puskesmas di
Indonesia, karena berbagai kendala antara lain terbatasnya jumlah tenaga yang
dilatih MTBS, perpindahan tenaga yang sudah dilatih, kurang lengkapnya sarana
dan prasarana pendukung. Dari seluruh propinsi di Indonesia, puskesmas yang
telah melaksanakan MTBS hingga akhir 2009 sebesar 51,59%. Kriteria
melaksanakan bila dalam menangani balita sakit minimal 60% dari jumlah
kunjungan balita sakit menggunakan modul MTBS.(13)
Menurut penelitian Wardani tahun 2016, menunjukkan bahwa penerapan
MTBS yang dilaksanakan di Puskesmas Halmahera dilihat dari 3 komponen yaitu
input, proses, output untuk ketersediaan SDM sudah memenuhi standar hanya saja
jumlah petugas MTBS masih kurang, proses penerapan sudah sesuai dengan
pedoman MTBS yang telah ditetapkan oleh Kementrian Kesehatan. Sedangkan
untuk input angka cakupan penemuan kasusnya sudah tercapai.(14)
Menurut penelitian Husni dan Jumriani tahun 2012, sebagian besar
puskesmas di Kota Makasar yang menerapkan MTBS belum memenuhi standar
7
MTBS. Hal ini dapat dilihat dari indikator SDM yang berkompeten, sarana yang
diperlukan untuk pelayanan terhadap balita sakit, dan dana khusus puskesmas di
Kota Makasar untuk menunjang pelaksanaan program yang belum diprioritaskan
oleh puskesmas. Aspek yang belum memenuhi kriteria menggunakan MTBS
minimal 60% dari jumlah kunjungan balita sakit di puskemas.(15)
Dari laporan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) di Puskesmas
Pasar gambir mengalami peningkatan dari bulan Oktober 2018 balita yang
mengalami sakit sebanyak 24 orang, pada bulan November 2018 balita yang
mengalami sakit menurun sebanyak 21 orang dan pada bulan Desember 2018
balita yang mengalami sakit meningkat sebanyak 54 orang. Dengan berbagai
kriteria penyakit, adapun klasfikasi penyakit diantaranya : ISPA (32,3%), batuk
(28,28%), Demam (21,21%), gatal-gatal (4,04%), Broncitis (2%), Campak (1%),
diare (8%), dan Pneumonia (3%).(16)
Berdasarkan latar belakang di atas peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian yang berjudul “Analisis Penerapan Manajemen Terpadu Balita Sakit
(MTBS) terhadap Kejadia ISPA Balita di Puskesmas Pasar Gambir Tebing Tinggi
2019”.
1.2. Rumusan Masalah
1. Bagaimana hubungan pengetahuan ibu dengan kejadian ISPA di Puskesmas
Pasar Gambir tahun 2019.
2. Bagaimana hubungan status imunisasi dengan kejadian ISPA di Puskesmas
Pasar Gambir tahun 2019.
8
3. Bagaimana hubungan status gizi dengan kejadian ISPA di Puskesmas Pasar
Gambir tahun 2019.
4. Bagaimana hubungan keberadaan perokok dalam rumah dengan kejadian
ISPA di Puskesmas Pasar Gambir tahun 2019.
1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui Penerapan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS)
dalam penanganan penyakit infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) di Puskesmas
Pasar Gambir Kota Tebing Tinggi 2019.
1.3.2. Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui dan menganalisis hubungan faktor pengetahuan ibu dengan
kejadian ISPA di Puskesmas Pasar Gambir Kota Tebing Tinggi Tahun 2019.
2. Untuk mengetahui dan menganalisis hubungan faktor status imunisasi dengan
kejadian ISPA di Puskesmas Pasar Gambir Kota Tebing Tinggi Tahun 2019.
3. Untuk mengetahui dan menganalisis hubungan faktor status gizi dengan
kejadian ISPA di Puskesmas Pasar Gambir Kota Tebing Tinggi Tahun 2019.
4. Untuk mengetahui dan menganalisis hubungan faktor keberadaan perokok
dalam rumah dengan kejadian ISPA di Puskesmas Pasar Gambir Kota Tebing
Tinggi Tahun 2019.
1.4. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan berguna dan bermanfaat secara teoritis
maupun secara praktis.
9
1.4.1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan ilmu pengetahuan
khususnya di bidang ilmu kesehatan yang terkait dengan manajemen terpadu
balita sakit (MTBS) terhadap kejadian ISPA.
1.4.2. Manfaat Praktis
1. Bagi Responden
Untuk menambah pengetahuan ibu tentang manajemen terpadu balita sakit
terhadap kejadian ISPA di Puskesmas Pasar Gambir Kota Tebing Tinggi.
2. Bagi Tempat Penelitian
Untuk menjadi tambahan informasi dalam mengatasi masalah manajemen
terpadu balita sakit terhadap kejadian ISPA di Puskesmas Pasar Gambir Kota
Tebing Tinggi.
3. Bagi Institusi Pendidikan
Diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan atau informasi bagi
penelitian selanjutnya dalam mengembangkan ilmu pengetahuan khususnya
pada program studi D-IV Kebidanan.
4. Bagi Peneliti Selanjutnya
Sebagai bahan perbandingan bagi peneliti yang akan melakukan penelitian
dengan topik yang sama dan metode penelitian yang berbeda.
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tinjauan Peneliti Terdahulu
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Fitri Hanifa (2014)
Analisis Penatalaksanaan Pneumonia pada Balita dengan Manajemen Terpadu
Balita Sakit (MTBS) di Puskesmas Medan Denai. Penelitian ini merupakan
penelitian kualitatif. Metode pengumpulan data dilakukan dengan wawancara
mendalam dan observasi. Informan dalam penelitian ini berjumlah 6 orang, yang
terdiri dari 1 orang pegawai dinas kesehatan kota medan, kepala puskesmas
medan denai, kepala ruang poli anak, 1 orang pengelola MTBS di puskesmas
medan denai, dan 2 orang ibu balita. Analisa data dengan metode Miles dan
Huberman. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa penatalaksanaan pneumonia
dengan MTBS belum berjalan dengan baik. Hal ini ditandai dengan tidak adanya
pemberian konseling, masih kurang tenaga terlatih MTBS sehingga tidak ada tim
MTBS, kurangnya sarana, prasaranan dan peralatan untuk penatalaksaaan
pneumonia dengan MTBS, dan tidak adanya pendanaan untuk pelaksanaan
MTBS, selain itu pengawasaan dan pembinaan yang dilakukan Kepala Puskesmas
Medan Denai dan Dinas Kesehatan Kota Medan belum dilaksanakan dengan
maksimal.(17)
Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Diah Puspita sari (2013) dengan
judul Evaluasi Pelaksanaan MTBS pneumonia di Puskesmas Kabupaten
lumajang. Penelitian ini bersifat deskritif dengan pengamatan langsung untuk
mengetahui alur pelayanan dan kerpaduan pelayanan. Kepatuhan petugas dinilai
11
dengan membandingkan tindakan yang di lakukan petugas dengan cek list
berdasarkan buku bagan MTBS. Wawancara serta mencari dokumen pendukung
untuk melihat dukungan manajemen dari dinas kabupaten lumajang terhadap
pelaksanaan MTBS. Hasil penelitian menjukan bahwa alue pelayanan di salah
satu Puskesmas belum sesuai dengan pola MTBS serta belum terintegrasinya
pelayanan yang diberikan pada balita sakit. Sedangkan kepatuhan terhadap
standar disalah satu puskesmas tercatat baik yaitu 85% sedangkan puskesmas lain
tercatat < 60% pelaksanaan MTBS kurang mendapat dukungan dari Dinas
Kesehatan baik kecukupan sarana dan prasarana maupun kegiatan supervise yang
masih harus ditingkatkan.(18)
Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Yuniar Angelia P dan Jiarti
Kusbandiyah (2014) dengan judul Analisis Kinerja Bidan Puskesmas dalam
Pelayanan MTBS di Wilayah Dinas Kesehatan Kota Malang. Jenis penelitian
adalah observasional kualitatif, informan utama adalah bidan puskesmas dari 4
puskesmas yang cakupan pelayanan MTBS tertinggi dan terendah masing-masing
2 orang. Informan triangulasi adalah 4 kepala puskesmas dan 8 ibu balita. Data
dikumpulkan dengan wawancara mendalam dan observasi terhadap pelayanan
MTBS. Pengolahan data menggunakan metode content analiysis. Hasil penelitian
menunjukan bahwa belum semua bidan dilatih MTBS. kinerja bidan puskesmas
dalam pelayanan MTBS belum dilaksanakan sesuai standar pelayanan MTBS baik
dari persiapan alat, pemberian pelayanan dan penerapan jadwal pelayanan MTBS,
ketersedian tenaga dan fasilitas belum memenuhi, serta pemanfaatan alat belum
semuanya dimanfaatkan. Kebutuhan supervise belum sesuai dengan kebutuhan
12
bidan puskesmas yaitu terjadwal dan rutin berkaitan dengan kegiatan pelayanan
MTBS. (19)
Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Adining Tyas Ambika Wardani
(2016) dengan judul Analisis Penerapan MTBS terhadap Kejadian Pneumonia
Balita di Puskesmas Halmahera Kota semarang. Penelitian ini menggunakan
metode kualitataif dengan pendekatan studi kasus. Informan berjumlah 5 orang 1
orang merupakan informan utama dan 4 orang informan triangulasi orang terkait
dengan penerapan MTBS. teknik pengambilan data menggunkan teknik
wawancara mendalam. Hasil penelitian ini menjukan bahwapenerapan MTBS
yang dilaksanakan di Puskesmas Halmahera ini dilihat dari 3 komponen yaitu
input, proses, dan output untuk ketersedian SDM sudah memenuhi standard hanya
saja jumlah petugas MTBS masih kurang, proses penerapan sudah sesuai dengan
pedoman MTBS yang telah diteteapkan oleh kementrian kesehatan. sedangkan
untuk input angka cakupan penemuan kasusnya sudah tercapai.(20)
Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Edi Junaidi (2013) dengan judul
Hubungan Pengetahuan dan Sikap Petugas Kesehatan dengan Penerpan MTBS di
Kabupaten Majene Provinsi Sulawesi Barat. Penelitian ini menggunakan
pendekatan cross sectional dengan pengambilan data menggunakan kuesioner dan
observasi, teknik pengambilan sampel dilakukan dengan total sampling sebanyak
31 responden, di uji dengan fisher pada tingkat kemaknaan a = 5% (0,05).
Pengolahan data menggunakan computer dengan program SPSS versi 18,0 dan
disajikan dalam bentuk narasi dan tabel. Hasil penelitian ini terdapat 23 orang
(74,2%) berpengetahuan baik, tetapi 8 orang (25,8%) yang menerapkan MTBS.
13
Sedangkan sikap diperoleh hasil 20 orang (64,5%) bersikap positif tetapi
menerapkan MTBS 8 orang (40%). Analisa hubungan pengetahuan dengan
penerapan MTBS diperoleh nilai p (0,028%) berarti ada hubungan yang
bermakna. (21)
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Sri Hastuti (2010) dengan
judul Pengaruh Pengetahuan Sikap dan Motivasi terhadap Penatalaksanaan
MTBS pada Petugas Kesehatan di Puskesmas Kabupaten Boyolali. Jenis
penelitian ini adalah observasional analitik dengan rancangan penelitian cross
sectional populasi dalam penelitian ini adalah seluruh petugas kesehatan yang
berada di 29 puskesmas wilayah kabupaten boyolali sejumlah 156 orang. Sampel
sejumlah 60 orang yang diambil dengan teknik multistage random sampling. Cara
pengumpulan data dengan observasi dan membagikan kuesioner kepada
responden dan hasil penelitian di analisis dengan menggunakan analisis analisis
regresi berganda. Hasil penelitian menjukukan nilai p atau signifikasi pada
variabel X1 adalah 0,004 (<α : 0,05) variabel X2 adalah 0,02 (<α : 0,05) variable
X3 adalah 0,023 (<α : 0,05) hal ini berarti terdapat pengaruh anatara variabel
pengetahuan, sikap, dan motivasi terhadap penatalaksaan MTBS. (22)
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Yulianti (2016) dengan judul
Pengaruh Pengetahuan dan Motivasi Petugas Kesehatan tentang Mutu Pelayanan
Kesehatan dengan Penatalaksanaan MTBS di Puskesmas Satria Tebing Tinggi.
Penelitian ini menggunakan metode survey analitik dengan desain penelitian
melalui pendekatan cross sectional. Populasi berjumalah 48 responden dilakukan
dengan teknik total sampling. Teknik pengumpulan data dengan membagikan
14
kuesioner dan teknik analisa data univariat, bivariat dan multivariat. Hasil
penelitian uji multivariate menggunakan uji normalitas dilihat bahawa nilai R
sebesar 0,900 menunjukan bahwa korelasi anatara variabel dependen dengan
variabl indivenden. Hasil uji multivariate F sebesar 96,089 dengan signifikas
0,000. Probabilitas 0,000 lebih kecil dari 0,005 (P value < 0,005) maka secara
serempak ( uji F) terdapat pengaruh variabel pengetahuan dan motivasi pegawai
tentang mutu pelayanan kesehatan dengan penatalaksanaan MTBS di Puskesmas
Satria Tebing Tinggi.(23)
2.2. Telaah Teori
2.2.1. Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS)
Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) atau Integrated Management of
Chilhood Illnes (IMCI) adalah suatu pendekatan yang terintegrasi /terpadu dalam
tatalaksana balita sakit dengan focus kepada kesehatan anak usia 0-59 tahun
(balita) secara menyeluruh, MTBS bukan merupakan suatu program kesehatan
tetapi suatu pendekatan atau cara penatalaksana balita sakit. Konsep pendekatan
MTBS yang pertama kali diperkenalkan oleh WHO merupakan suatu bentuk
strategi upaya pelayanan kesehatan yang ditunjukan untuk menurunkan angka
kematian, kesakitan dan kecacatan bayi dan anak balita di Negara-negara
berkembang. (24)
Pendekatan MTBS di Indonesia pada awalnya dimanfaatkan untuk
meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan unit rawat jalan kesehatan dasar
(Puskesmas dan jaringannya termasuk Pustu, Polindes, Poskesdes dll). Upaya ini
tergolong lengkap untuk mengantisipasi penyakit-penyakit yang sering
15
menyebabkan kematian bayi dan balita di Indonesia. Dikatakan dengan lengkap
karena meliputi upaya preventif (pencegahan penyakit), perbaikan gizi, upaya
promotif (berupa konselisng), upaya kuratif (pengobatan), terhadap penyakit-
penyakit dan masalah yang sering terjadi pada balita. (24)
Manajemen Terpadu Balita Sakit merupakan suatu pendekatan
keterpaduan dalam tatalaksana balita sakit yang datang berobat ke fasilitas rawat
jalan pelayanan kesehatan dasar yang meliputi upaya kuratif terhadap penyakit
pneumonia, diare, campak, malaria, DHF, infeksi telinga, malnutrisi dan upaya
promotif serta preventif yang meliputi imunisasi, pemberian vitamin A dan
konseling pemberian makan yang bertujuan untuk menurunkan Angka kematian
bayi dan anak balita serta menekan morbiditas untuk penyakit tersebut.
Kegiatan MTBS memiliki 3 komponen khas yang penting dan menguntungkan
yaitu :
1. Meningkatkan keterampilan petugas kesehatan dalam tatalaksana kasus balita
sakit (selain dokter,petugas kesehatan non-dokter dapat pula memeriksa dan
menangani pasien apabila sudah dilatih).
2. Memperbaiki system kesehatan (perwujudan terintergrasinya banyak program
kesehatan dalam satu kali pemeriksaan MTBS).
3. Memperbaiki praktik keluarga dan masyarakat dalam perawatan rumah dan
upaya pencarian pertolongan kasus balita sakit (meningkatkan pemberdayaan
masnyarakat dalam pelayanan kesehatan).
16
2.2.2. Sejarah MTBS
Startegi MTBS mulai diperkenalkan di Indonesia oleh WHO pada tahun
1996. Pada tahun 1997 depkes RI bekerja sama dengan WHO dan Ikatan Dokter
Anak Indonesia (IDAI) melakukan adaptasi modul MTBS WHO. Modul tersebut
digunakan dalam pelatihan pada bulan November 1997 dengan pelatihan dari
SEARO. Sehat itu penerapan MTBS di Indonesia berkembang secara bertahap
dan update modul MTBS dilakukan secara berkala sesuai perkembangan program
kesehatan di depkes dan ilmu kesehatan anak melalui IDAI. Hingga akhir tahun
2009, penerapan MTBS telah mencakup 33 provinsi, namun belum seluruh
puskesmas mampu menerapkan karena berbagai sebab yaitu belum adanya tenaga
kesehatan di puskesmasnya yang sudah terlatih MTBS, sudah ada tenaga
kesehatan terlatih tetapi sarana dan prasarana belum siap, belum adanya komitmen
dari pimpinan puskesmas. Menurut data laporan rutin yang dihimpun dari dinas
kesehatan provinsi seluruh Indonesia melalui pertemuan Nasional Program
Kesehatan Anak tahun 2010, jumlah puskesmas dikatakan sudah menerapkan
MTBS hingga akhir tahun 2009 sebesar 51,55% (Dirjen Bina Kesehatan Anak,
2012 ). Puskesmas dikatakan sudah menerapkan MTBS bila memenuhi kriteria
sudah melaksankan (melakukan pendekatan memakai MTBS) pada minimal 60%
dari jumlah kunjungan balita sakit di Puskesmas tersebut (25).
2.2.3. Sasaran Manajemen Terpadu Balita Sakit
Sasaran MTBS adalah anak umur 0-5 tahun dan dibagi menjadi dua
kelompok sasaran yaitu :
1. Bayi muda umur 1 minggu – 2 bulan
17
2. Anak umur 2 bulan – 5 tahun
2.2.4. Tujuan Manajemen Terpadu Balita Sakit
Menurunkan secara signifikan angka kesakitan dan kematian global yang
terkait dengan penyebab utama penyakit pada balita, melalui peningkatan kualitas
pelayanan kesehatan dasar dan memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan
perkembangan kesehatan anak.(26)
2.2.5. Manfaat Manajemen Terpadu Balita Sakit
Kegiatan MTBS merupakan upaya yang ditujukan untuk menurunkan
angka kesakitan dan kematian sekaligus meningkatkan kualitas pelayanan
kesehatan dasar seperti di Puskesmas.
MTBS telah digunakan oleh lebih dari 100 negara dan terbukti dapat
a. Menurunkan angka kematian balita
b. Memperbaiki status gizi
c. Meningkatkan pemanfaatan pelayanan kesehatan.
d. Memperbaiki kinerja tenaga kesehatan
e. Memperbaiki kualitas pelayanan dengan biaya lebih murah
Selain itu, kegiatan MTBS memiliki tiga komponen yang khas yang
menguntungkan, yaitu:
1. Meningkatkan keterampilan tenaga kesehatan dalam tata laksana kasus balita
sakit (selain dokter, tenaga kesehatan non dokter dapat pula memeriksa dan
menanganipasien apabila sudah dilatih)
2. Memperbaiki sistem kesehatan (perwujudan terintegrasinya banyak program
kesehatan dalam satu kali pemeriksaan MTBS)
18
3. Memperbaiki praktek keluarga dan masyarakat dalam perawatan di rumah
danupaya pencarian pertolongan kasus balita sakit (meningkatkan
pemberdayaan masyarakat dalam pelayanan kesehatan).(26)
2.2.6. Prosedur Penatalaksanaan Manajemen Terpadu Balita Sakit
Menjaga kualitas pelayanan dan meningkatkan keterampilan klinis dalam
MTBS yang terdiri dari, penilaian dan klasifikasi anak sakit umur 2 bulan sampai
5 tahun, menentukan tidakan, pengobatan, konseling bagi ibu, tindak lanjut, serta
tatalaksana bayi muda umur 1 hari sampai 2 bulan. Selanjutnya menjaga tetap
terpeliharanya keterampilan petugas akan manajemen pengelolaan pada balita,
pelaksanaan dilapangan diterapkan formulir MTBS/MTBM yang berupa ceklist
pengamatan untuk membimbing petugas dalam melakukan pelayanan kepada bayi
dan balita.
Kompetensi yang diharapkan dari pelatihan MTBS adalah petugas
kesehatan bisa melaksanakan proses manajemen kasus penanganan balita sakit
dan bayi muda di fasilitas pelayanan dasar seperti Puskesmas, Puskesmas
pembantu, Pondok bersalin, maupun kunjungan rumah. Dengan berpedoman pada
buku bagan, petugas menangani balita sakit dan bayi muda diantaranya dengan
melakukan:
1. Menilai tanda-tanda dan gejala penyakit, status imunisasi, status gizi dan
pemberian vitamin A.
2. Membuat klasifikasi penyakit.
3. Menentukan tindakan sesuai dengan klasifikasi anak dan memutuskan apakah
anak perlu dirujuk.
19
4. Memberikan pengobatan pra rujukan yang penting, seperti dosis pertama
antibiotika atau pemberian vitamin A.
5. Melakukan tindakan di fasilitas kesehatan (kuratif dan preventif) seperti
pemberian oralit, vitamin A dan imunisasi.
6. Mengajari ibu cara memberikan obat tertentu di rumah, seperti antibiotika
oral.
7. Memberikan konseling pada ibu mengenai pemberian makan pada anak dan
kapan harus kembali ke fasilitas kesehatan.
8. Melakukan penilaian ulang dan memberikan perawatan yang tepat pada saat
anak datang kembali sesuai jadwal pelayanan lanjut.
2.2.7. Tatalaksana Manajemen Terpadu Balita Sakit
Dengan menggunakan buku bagan bagian penilaian dan klasifikasi anak
umur 2 bulan sampai 5 tahun, petugas mempraktikkan keterampilan sebagai
berikut:
A. Penilaian Dan Klasifikasi Penyakit
1. Menanyakan kepada ibu mengenai masalah yang dihadapi
2. Memeriksa tanda bahaya umum
a. Tidak bisa minum atau menyusui
b. Anak selalu memuntahkan semuanya
c. Anak menderita kejang
d. Tampak letargis atau tidak sadar
3. Menanyakan kepada ibu mengenai empat keluhan utama:
a. Batuk atau sukar bernafas
20
b. Diare
c. Demam
d. Masalah telinga
Apabila ada keluhan utama tersebut diatas maka dilanjutkan dengan:
1. Melakukan penilaian lebih lanjut gejala lain yang berhubungan
dengan gejala utama
2. Membuat klasifikasi penyakit anak berdasarkan gejala yang
ditemukan
3. Memeriksa dan mengklasifikasi status gizi anak dan anemia
4. Memeriksa status imunisasi dan pemberian vitamin A pada anak dan
menentukan apakah anak membutuhkan imunisasi dan /atau vitamin
A pada saat kunjungan tersebut
5. Menilai masalah/keluhan lain yang dihadapi anak.
B. Menentukan Tindakan dan Memberi Pengobatan
Pengobatan pada anak sakit dapat dimulai di klinik dan diteruskan
dengan pengobatan lanjutan dirumah. Pada beberapa keadaan, anak yang sakit
berat perlu dirujuk ke Puskesmas rawat inap atau ke Rumah Sakit untuk
perawatan yang lebih lanjut. Dalam hal ini perlu dilakukan tindakan pra rujukan
sebelum anak dirujuk. Pada bagian ini petugas mempunyai keterampilan untuk:
1. Menentukan perlunya dilakukan rujukan segera
2. Menentukan tindakan dan pengobatan pra rujukan
3. Merujuk anak, menjelaskan perlunya rujukan, menulis surat rujukan
21
4. Menentukan tindakan dan pengobatan untuk anak yang tidak memerlukan
rujukan segera
5. Memilih obat yang sesuai dengan menentukan dosis dan jadwal pemberian
6. Memberi cairan tambahan untuk diare dan melanjutkan pemberian makanan
7. Memberi imunisasi setiap anak sakit sesuai kebutuhan
8. Memberi suplemen vitamin A
9. Menentukan waktu untuk kunjungan ulang.
C. Konseling Bagi Ibu
Petugas kesehatan dilatih menyediakan waktu untuk menasihati ibu
dengan cermat dan menyeluruh. Pada bagian ini adalah penting bagi petugas
untuk memahami bahwa praktik menasihati/konseling bagi ibu adalah diharapkan
ibu mampu menerapkan perawatan dirumah dengan baik. Pola perawatan dirumah
yang benar merupakan indicator keberhasilan petugas dalam memberikan
pemahaman/konseling mengenai masalah kesehatan anak ibu. Sebagai alat
komunikasi penggunaan kartu nasihat ibu (KNI)/Buku KIA (Kesehatan Ibu dan
Anak), akan membantu petugas untuk mempraktikkan konseling pada ibu.
Petugas akan mempraktikkan tugas konseling ini antara lain:
1. Menggunakan ketrampilan komunikasi yang baik
2. Mengajari ibu cara memberikan obat oral dirumah
3. Mengajari ibu cara mengobati infeksi lokal dirumah
4. Mengajari ibu cara pemberian cairan dirumah
5. Melakukan penilaian pemberian ASI (Air Susu Ibu) dan makanan anak
6. Menentukan masalah pemberian ASI dan makanan anak
22
7. Konseling bagi ibu tentang masalah pemberian ASI dan makanan
8. Menasihati ibu tentang:
a. Kapan kembali untuk kunjungan ulang
b. Kapan kembali segera untuk perawatan leb ih lanjut
c. Kapan kembali untuk imunisasi dan pemberian vitamin A
d. Kesehatan sendiri
9. Menentukan prioritas nasehat
Pada tiap akhir kunjungan, petugas akan menjelaskan kapan harus
kunjungan ulang. Kadang seorang anak membutuhkan tindak lanjut untuk lebih
satu masalah. Pada kasus seperti ini, ibu diberitahu kapan waktu terpendek dan
pasti ibu harus kembali. dan jelaskan juga kemungkinan anak harus kembali lebih
awal jika masalah seperti demam menetap.(27)
Proses manajemen kasus MTBS meliputi unsur-unsur sebagai berikut :
1. Mengkaji anak dengan memeriksa tanda-tanda umum.
2. Mengklasifikasi penyakit anak dengan menggunakan system triase/kode
warna
3. Setelah mengelompokkan semua kondisi, mengidentifikasikan pengobatan
khusus untuk anak.
4. Menginformasikan petunjuk pemberian obat, tindak lanjut, dan tanda-tanda
yang menunjukkan anak harus segera kembali berobat.
5. Menilai makan,termasuk pemberian ASI, dan nasihat untuk memecahkan
masalah jika terdapat masalah makanan.
23
6. Jika anak dibawa kembali ke fasilitas kesehatan, memberikan perawatan
tindak lanjut jika diperlukan.
Tabel 2.1. Menunjukkan jadwal kunjungan ulang anak 0 bulan sampai 5 tahun
Anak dengan Penyakit Kunjungan Ulang
Pnuemonia
Disentriiii
Campak dengan komplikasi pada mata atau mulut
Diare persisten
Infeksi telinga akut
Infeksi telinga kronis
Masalah pemberian makan
Gizi buruk tanpa komplikasi
Anemia
Gizi kurang
2 hari
3 hari
3 hari
3 hari
5 hari
5 hari
7 hari
7 hari
14 hari
30 hari
Batuk bukan pneumonia, jika tidak ada perbaikan
Diare DRS, jika tidak ada perbaikan
Diare tanpa dehidrasi, jika tidak ada perbaikan
Demam : malaria, jika tetap demam
Demam: mungkin bukan malaraia, jika tetap demam
Mungkin DBD, jika tetap demam
Demam : mungkin bukan DBD, jika tetap demam
2 hari
3 hari
3 hari
3 hari
3 hari
1 hari
2 hari
Sumber : Kementrian Kesehatan Republik Indonesia Tahun 2015.
Ada beberapa kunjungan ulang yang berbeda untuk masalah gizi yaitu:
1. Anak yang mempunyai masalah pemberian makan, dan ibu balita telah
dianjurkan untuk melakukan perubahan dalam hal pemberian makan,
kunjungan ulang dalam waktu 5 hari adalah untuk melihat apakah ibu telah
melakukan perubahan itu.
2. Anak yang tampak pucat (anemia), kunjungan ulang dalam 2 minggu untuk
member makanan tambahan zat besi (yang penting anak dengan anemia akan
mendapat zat besi dengan total pemberian untuk 2 minggu dan mendapat
tindak lanjut setelah 2 minggu tersebut).
24
3. Anak yang menderita BGM, kunjungan ulang dalam waktu 4 minggu/1 bulan
untuk menimbang anak, menilai ulang pemberian makan dan memberi
nasihat lebih lanjut sesuai Kartu Nasihat Ibu/KIA.
Jadwal kunjungan ulang ini terdapat dalam Kartu Nasihat Ibu, bersama
nasihat kapan harus kembali. Bagian terpenting dari kapan harus kembali ini,
petugas dilatih untuk selalu menecek pemahaman ibu sebelum meninggalkan
klinik. Dalam memberikan nasihat itu petugas dapat menggunakan istilah lokal
yang mudah dimengerti ibu. Kartu nasihat ibu menampilkan tanda-tanda tersebut
dalam bentuk kalimat maupun gambar petugas akan melingkari tanda-tanda yang
harus dingat ibu. Petugas harus selalu menyadari bahwa kata-kata dan nasihat
tersebut dimengerti oleh ibu. Jika ibu tidak mengerti, mungkin ibu tidak akan
kembali. Jika ibu tidak kembali pada saat anak menderita penyakit mungkin dapat
meninggal.
Tabel 2.2. Kapan harus kembali pada balita 0 bulan sampai 5 tahun
Kunjungan Ulang Tanda-tanda
Setiap anak sakit Tidak bisa minum atau menetek.
Bertambah parah.
Timbul demam
Anak dengan batuk : bukan
Pneumonia, juga kembali jika :
Napas cepat
Sukar bernapas
Jika anak diare, kembali jika : Berak bercampur darah
Malas minum
Jika anak : mungkin DBD atau
Demam, mungkin bukan DBD, juga
harus kembali jika :
Ada tanda – tanda perdarahan
Ujung ekstremitas dingin
Nyeri ulu hati atau gelisah
Adanya penurunan kesadaran
Muntah terus – menerus
Pada hari ke 3-5 saat suhu turun dan
anak tampak lemas.
Sumber : Kementrian Kesehatan Republik Indonesia Tahun 2015.
25
Dengan demikian, konseling yang baik diharapkan akan memberikan
pemahaman kepada ibu balita akan perawatan balita yang benar dirumah, yang
pada akhirnya meningkatkan pengetahuan dan keterampilan ibu akan perawatan
yang benar bagi balitanya.
2.2.8. Penerapan MTBS
Disamping keterampilan yang harus di jaga benar oleh petugas dan pola
perawatan dirumah yang benar oleh ibu balita bagi bayi dan balitanya, MTBS ini
juga perlu persiapan untuk penerapannya di Puskesmas. Penerapan kegiatan
MTBS di Puskesmas meliputi:
1. Diseminasi mengenai MTBS kepada seluruh petugas Puskesmas
2. Persiapan penilaian dan penyiapan logistik, obat-obatan dan alat yang
diperlukan dalam pemberian pelayanan
3. Persiapan/pengadaan formulir
4. Persiapan dan penilaian serta pengamatan terhadap alur pelayanan, sejak
penderita datang, mendapatkan pelayanan hingga konseling
5. Melaksanakan pengaturan dan penyesuaian dlam pemberian pelayanan
6. Melaksanakan pencatatan dan pelaporan hasil pelayanan dan penerapan
pencatatan dan pelaporan untuk pelayanan di Puskesmas, Puskesmas
Pembantu, dan pondok bersalin Desa
7. Penerapan MTBS di Puskesmas dilaksanakan secara bertahap disesuaikan
dengan keadaan rawat jalan di tiap Puskesmas
MTBS adalah suatu bentuk pengelolaan balita yang mengalami sakit
dengan tujuan meningkatkan derajat kesehatan serta kuali-tas pelayanan kesehatan
26
anak. Pada pelaksanaannya manajeman terpadu ba-lita sakit ini meliputi upaya
kuratif, promotif, dan preventif.
Upaya kuratif dilakukan dengan pengobatan secara langsung bagi balita
yang sakit, seperti adanya penyakit pneumonia, diare, malaria, DBD, campak,
maupun masalah gizi. Sedangkan upaya promotif dan preventif dilakukan dengan
cara konseling gizi, pemberian vitamin A, ataupun imunisasi untuk mencegah
terjadinya penyakit. Penerapan pendekatan MTBS selain untuk menangani
masalah pneumonia, juga ditunjukan untuk mengelola penyakit lain terutama
penyakit yang merupakan penyebab kematian anak umur <5 tahun, yaitu: diare,
malaria, pneumonia, campak, dan gizi buruk. Bentuk pengelolaan balita sakit ini
dapat dilakukan pada pelayanan kesehatan dasar, seperti: unit rawat jalan,
puskesmas, puskesmas pembantu (pustu), dan pondok bersalin desa (polindes),
dengan tujuan agar semua masyarakat mendapatkan pelayanan kesehatan yang
lebih baik. MTBS dalam pelaksanaannya ditentukan oleh sumber daya manusia
(petugas puskesmas/ pelaksana program), tatalaksana pelayanan, dan sarana
pendukung. Sampai saat ini pelaksanaan MTBS masih perlu dkembangkan secara
bertahap dan berkelanjutan agar jaminan pelayanan MTBS berkualitas dan
mencakup sasaran yang luas.
Sarana dan prasarana manajemen terpadu balita sakit yaitu sarana dalam
pelaksanaan Manajemen Terpadu Balita Sakit meliputi formulir Manajemen
Terpadu Balita Sakit, Kartu Nasehat Ibu, formulir rujukan, buku register
kunjungan Manajemen Terpadu Balita Sakit, ruang pemeriksaan khusus balita,
27
pokja oralit dan pokja gizi. Sedangkan prasarana dalam pelaksanaan Manajemen
Terpadu Balita Sakit meliputi peralatan medis dan obat-obatan.
Cakupan Manajemen Terpadu Balita Sakit. Dalam memulai penerapan
Manajemen Terpadu Balita Sakit, tidak ada patokan khusus besarnya presentase
kunjungan balita sakit yang ditangani dengan pendekatan Manajemen Terpadu
Balita Sakit. Tiap Puskesmas perlu memperkirakan kemampuannya mengenai
seberapa besar balita sakit yang akan ditangani pada saat awal penerapan dan
kapan akan dicapai cakupan 100%. Sebagai acuan dalam pentahapan, penerapan
adalah sebagai berikut:
1. Puskesmas yang memiliki kunjungan balita sakit < 10 orang perhari
pelayanan Manajemen Terpadu Balita Sakit dapat diberikan langsung kepada
seluruh balita.
2. Puskesmas yang memiliki kunjungan balita sakit 10 – 25 orang perhari,
berikanlah pelayanan Manajemen Terpadu Balita Sakit kepada 50 %
kunjungan balita sakit pada tahap awal dan setelah 3 bulan pertama
diharapkan seluruh balita sakit mendapat pelayanan Manajemen Terpadu
Balita Sakit.
3. Puskemas yang memiliki kunjungan balita sakit 21 – 50 orang perhari,
berikanlah pelayanan Manajemen Terpadu Balita Sakit kepada 25 %
kunjungan balita sakit pada tahap awal dan setelah 6 bulan pertama
diharapkan seluruh balita sakit mendapat pelayanan Manajemen Terpadu
Balita Sakit. (27)
28
2.2.9. Komponen Manajemen Terpadu Balita Sakit
Menurut Prasetyawati tahun 2012 dalam rencana aksi MTBS 2009-2014
Kementeriaan Kesehatan RI menetapkan ada 3 komponen dalam penerapan
strategi MTBS, yaitu :
1. Komponen I
Improving case management skills of first level worker through training and
follow up yaitu meningkatkan keterampilan tenaga kesehatan dalam
tatalaksana kasus balita sakit menggunakan pedoman MTBS yang telah
diadaptasi.
2. Komponen II
Ensuring that health facility support reqired to provide effective IMCI care
are in place yaitu memperbaiki system kesehatan agar penangan penyakit
efektif.
3. Komponen III
Household and community component yaitu meningkatkan praktek/peran
keluarga dan masyarakat dalam perawatan di rumah dan upaya
pencarian pertolongan kasus balita sakit.(28)
2.3. Pengertian Infeksi Saluran Pernapasan
Infeksi saluran pernapasan adalah radang akut saluran pernapasan atas
maupun bawah yang disebabkan oleh infeksi jasad renik atau bakteri, maupun
riketsia tanpa atau disertai radang parenkim paru. ISPA adalah suatu kelompok
penyakit sebagai penyebab langka absensi tertinggi bila dibandingkan dengan
kelompok penyakit lain.
29
ISPA diperkenalkan pada tahun 1984 dengan istilah acute repiratory
infections yang merupakan suatu kelompok penyakit yang menyerang saluran
pernapasan. Secara anatomis, ISPA dibagi dalam dua bagian yaitu ISPA Atas dan
ISPA Bawah, dengan batas anatomis adalah suatu bagian dalam tenggorokan yang
disebut epiglottis. ISPA merupakan infeksi akut yang menyerang salah satu
bagian/lebih dari saluran napas mulai hidung sampai alveoli termasuk sinus,
rongga telinga tengah dan pleura.
2.3.1. Penyebab ISPA
ISPA dapat disebabkan oleh virus, bakteri maupun rikettsia, sedangkan
infeksi bakterial sering merupakan penyakit ISPA yang disebabkan oleh virus,
terutama bila ada epidemi atau pandemi.
2.3.2. Klasifikasi ISPA
Klasifikasi penyakit ISPA terdiri dari :
1. Pneumonia berat
Didasarkan pada adanya batuk dan atau kesukaran bernapas disertai sesak
napas atau tarikan dinding dada bagian bawah kearah dalam pada anak usia 2
bulan sampai <5 tahun. Untuk anak berusia <2 bulan, diagnosis pneumonia
berat ditandai dengan adanya napas cepat yaitu frekuensi pernapasan sebanyak
60 kali per menit atau lebih, atau adanya tarikan yang kuat pada dinding dada
bagian bawah ke arah dalam.
2. Pneumonia
Didasarkan pada adanya batuk dan atau kesukaran bernapas. Diagnosis gejala
ini berdasarkan umur. Batas frekuensi napas cepat pada anak berusia dua
30
bulan sampai <1 tahun adalah 50 kali per menit dan untuk anak usia 1 sampai
<5 tahun adalah 40 kali per menit.
3. Bukan pneumonia
Mencakup kelompok pasien balita dengan batuk yang tidak menunjukkan
gejala peningkatan frekuensi napas dan tidak menunjukkan adanya tarikan
dinding bagian bawah ke arah dalam.(29)
2.3.3. Gejala dan Tanda ISPA
1. Gejala ISPA
Gejala penyakit pneumonia biasanya didahului dengan infeksi saluran nafas
atas akut selama beberapa hari. Selain didapatkan demam, menggigil, suhu
tubuh meningkat dapat mencapai 40 derajat celcius, sesak nafas, nyeri dada,
dan batuk dengan dahak kental, terkadang dapat berwarna kuning hingga
hijau. Pada sebagian penderita juga ditemui gejala lain seperti nyeri perut,
kurang nafsu makan, dan sakit kepala. Tanda dan gejala lainnya yaitu batuk
nonproduktif, ingus, suara napas lemah retraksi intercosta, penggunaan otot
bantu napas, demam, ronchii, cyanosis, reukositosis, thorax photo
menunjukkan infiltrasi melebar, sakit kepala, kekakuan dan nyeri otot, sesak
napas dan menggigil.
2. Tanda ISPA
1) Anak umur 2 bulan sampai kurang dari 5 tahun, terjadinya pneumonia
berat ditandai dengan batuk, napas sesak atau penarikan dinding dada
sebelah bawah ke dalam, dan dahak berwarna kehijauan atau seperti karet.
31
2) Anak dibawah umun 2 bulan terjadinya pneumonia berat ditandai dengan
frekuensi pernapasan sebanyak 60 kali per menit atau lebih, dan penarikan
kuat pada dinding dada sebelah bawah kedalam.
2.3.4. Patogenesis ISPA
Saluran pernafasan selama hidup selalu terpapar dengan dunia luar
sehingga guna mengatasinya dibutuhkan suatu system pertahanan yang efektif dan
efisien. Ketahanan saluran pernafasan terhadap infeksi maupun partikel dan gas
yang ada di udara tergantung pada tiga unusr yaitu :
1. Keutuhan epitel mukosa dan gerak mukosilia
2. Makrofag alveoli
3. Antibodi setempat.
Ada beberapa hal yang dapat menggangu keutuhan lapisan mukosa dan
gerak silia yaitu :
1. Asap rokok dan gas SO2, polutan utama dalam pencemaran udara
2. Sindroma imotil
3. Pengobatan dengan O2 konsentrasi tinggi.
Gambaran klinik radang yang disebabkan oleh infeksi sangat tergantung
pada :
1. Karakteristik inokulum, meliputi ukuran aerosol, jumlah dan tingkat virulensi
jasad renik yang masuk
2. Daya tahan tubuh seseorang tergantung pada utuhnya sel epitel mukosa, gerak
mukosilia, makrofag alveoli dan IgA
32
3. Umur, ISPA yang terjadi pada anak dan bayi akan memberikan gambaran
klinik yang lebih jelek bila dibandingkan dengan orang dewasa.
2.3.5. Faktor risiko ISPA
1. Faktor lingkungan
1) Pencemaran udara dalam rumah
Asap rokok dan asap hasil pembakaran bahan bakar untuk memasak
dengan konsentrasi tinggi dapat merusak mekanisme pertahanan paru
sehingga timbulnya ISPA.
2) Ventilasi rumah
Ventilasi yaitu proses penyedian udara atau pengerahan udara ke atau
ruangan baik secara alami maupun secara mekanis
3) Kepadatan hunian rumah
Kepadatan hunian dalam rumah sesuai dengan persyaratan kesehatan
rumah, satu orang minimal menempati luas rumah 8m2.
2. Faktor individu anak
1) Umur anak
Sejumlah studi yang besar menunjukkan bahwa insiden penyakit
pernafasan oleh virus melonjak pada bayi dan usia dini anak-anak dan
tetap menurun terhadap usia.
2) Berat badan lahir
Berat badan lahir menentukan pertumbuhan dan perkembangan fisik dan
mental pada masa balita. Bayi dengan berat badan rendah mempunyai
resiko kematian yang lebih besar dibandingkan berat badan lahir normal.
33
3) Status gizi
Keadaan gizi yang buruk muncul sebagai faktor resiko yang penting
terjadinya ISPA. Beberapa penelitian telah membuktikan tentang adanya
hubungan atara gizi buruk dan infeksi paru, sehingga anak-anak yang
bergizi buruk sering mendapat pneumonia.
4) Vitamin A
Sejak tahun 1985 setiap enam bulan posyandu memberikan kapsul
200.000 IU vitamin A pada balita dari umur satu sampai empat tahun.
Balita yang mendapat vitamin A lebih dari 6 bulan sebelum sakit maupun
yang tidak pernah mendapatkannya adalah sebagai resiko terjadinya suatu
penyakit sebesar 96,6% pada kelompok kasus dan 93,5% pada kelompok
control
5) Status imunisasi
Sebagian besar kematian ISPA berasal dari jenis ISPA yang berkembang
dari penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi, maka peningkatan
cakupan imunisasi akan berperan besar dalam upaya pemberantasan ISPA.
Untuk mengurangi faktor yang meningkatkan mortalitas ISPA maka
diupayakan Imunisasi lengkap.
3. Faktor perilaku
Faktor perilaku dalam pencegahan dan penanggulangan penyakit ISPA
pada bayi dan balita adalah praktek penanganan ISPA di keluarga baik yang
dilakukan oleh ibu maupun anggota keluarga lainnya. Keluarga merupakan unit
terkecil dari masyarakat yang berkumpul dan tinggal dalam suatu rumah tangga,
34
satu dengan yang lainnya saling tergantung dan berinteraksi. Peran aktif keluarga
dalam menangani ISPA sangat penting karena penyakit ISPA merupakan penyakit
yang ada sehari-hari di dalam masyarakat atau keluarga. Dalam penanganan ISPA
tingkat keluarga keseluruhannya dapa digolongkan menjadi 3 kategori yaitu :
1) Perawatan penunjang oleh ibu balita
2) Tindakan yang segera dan pengamatan tentang perkembangan penyakit balita
3) Pencarian pertolongan pada pelayanan kesehatan.
2.3.6. Pencegahan ISPA
Menurut Maryunani tahun 2010 secara umum dapat dikatakan bahwa cara
pencegahan ISPA adalah :
1) Hidup sehat
2) Cukup gizi
3) Menghindari polusi udara
4) Pemberian imunisasi lengkap
5) Perbaikan lingkungan pemukiman
6) Peningkatan pemerataan cupan kualitas pelayan kesehatan
2.3.7. Penatalaksanaan ISPA
Pola tatalaksana penderita yang dipakai dalam pelaksanaan pengendalian
ISPA yang diterbitkan WHO tahun 1988 yang telah mengalami adaptasi sesuai
kondisi Indonesia.
35
Tabel 2.3. Tatalaksana penderita batuk atau kesukaran bernapas umur < 2 bulan
Umur kurang 2 Bulan
Tanda
a. Tarikan dinding dada bagian bawah ke
dalam yang kuat (TDDK )
b. Adanya napas cepat 60 kali/menit atau
lebih
a. Tidak ada TDKDK
b. Tidak ada napas cepat, frekuensi
napas kurang dari 60 kali/menit
Klasifikasi Pneumonia berat Batuk bukan pneumonia
Tindakan
a. Rujuk segera ke rumah sakit
b. Beri 1 dosis antibiotic - Obati demam,
jika ada
c. Obati whezzing, jika ada - Anjurkan
ibunya untuk tetap memberikan ASI
a. Nasihati ibu untuk tindakan
perawatan di rumah / menjaga
bayi tetap hangat
b. Member ASI lebih sering
c. Membersihkan lubang hidung
jika mengganggu
d. Anjurkan ibu untuk kontrol
kembali jika pernapasan menjadi
cepat atau sukar, kesulitan
minum ASI dan sakitnya
bertambah parah
Sumber : Kemenkes RI, 2011
Setelah penderita ISPA balita ditemukan dilakukan tatalaksana sebagai
berikut :
1. Pengobatan dengan menggunakan antibiotik : kontrimoksazol, amoksilin
selama 3 hari dan obat simptomatis yang diperlukan seperti parasetamol,
salbutamol.
2. Tindak lanjut bagi penderita yang kunjungan ulang yaitu penderita 2 hari
setelah mendapat antibiotik di fasilitas pelayanan kesehatan.
3. Rujukan bagi penderita pneumonia berat atau penyakit sangat berat
36
Tabel 2.4. Tatalaksana anak batuk atau kesukaran bernapas umur 2 bulan - 5tahun
Umur 2 Bulan - < 5 Tahun
Tanda
Tarikan dinding dada bagian
bawah ke dalam
a. Tidak ada tarikan
dinding dada
bagian bawah ke
dalam
b. Ada napas cepat
: 2 bl
c. < 15 bl : > 50
x/menit 12 bl
b. < 5 th : > 40
x/menit
a. Tidak ada tarikan
dinding dada
bagian bawah
kedalam
b. Tidak ada napas
cepat
Klasifikasi Pneumonia berat Pneumonia Batuk bukan
pneumonia
Tindakan
a. Rujuk segera ke rumah sakit
b. Beri 1 dosis antibiotic
c. Obati demam, jika ada
b. Obati whezzing jika ada
a. Nasihati ibunya
untuk tindakana
perawatan di
rumah - Beri
antibiotic
selama 3 hari
b. Anjurkan ibu
untuk kontrol 2
hari atau lebih
cepat bila
keadaan anak
memburuk
c. Obati demam,
jika ada
d. Obati
whezzing, jika
ada
a. Bila batuk > 3
minggu, rujuk
b. Nasihati ibunya
untuk tindakan
perawatan di
rumah
c. Obati demam jika
ada
d. Obati whezzing,
jika ada
Periksa dalam 2 hari anak yang diberi antibiotic
Tanda Memburuk Tetap sama Membaik
a. Tak dapat minum
b. Ada TDDK
c. Ada tanda bahaya
a. Napasnya melambat
b. Panasnya turun
c. Nafsu makan
membaik
Tindakan
Rujuk segera ke rumah sakit
Ganti antibiotik atau
rujuk
Teruskan antibiotic
sampai 3 hari
Sumber : Kemenkes RI, 2011
37
2.4. Definisi imunisasi
Imunisasi merupakan reaksi antara antigen dan antibody, yang dalam
bidang ilmu imunologi merupakan kuman atau racun (toxin disebut antigen).
Secara khusus antigen merupakan bagian dari protein kuman atau protein
racunnya. Bila antigen untuk pertama kalinya masuk ke dalam tubuh manusia,
maka sebagai reaksinya tubuh akan membentuk zat anti terhadap racun kuman
yang disebut dengan antibodi.(30)
Imunisasi merupakan usaha memberikan kekebalan pada bayi dan anak
dengan memasukkan vaksin ke dalam tubuh agar tubuh membuat zat anti untuk
mencegah terhadap penyakit tertentu.(31)
Imunisasi adalah suatu proses untuk meningkatkan sistem kekebalan
tubuh dengan cara memasukkan vaksin, yakni virus atau bakteri yang dilemahkan,
dibunuh, atau bagian-bagian dari bakteri (virus) tersebut telah dimodifikasi.
Vaksin adalah bahan yang dipakai untuk merangsang pembentukan zat anti yang
dimasukkan ke dalam tubuh untuk merangsang pembentukan zat anti yang
dimasukkan ke dalam tubuh melalui suntikan seperti vaksin BCG, DPT, Campak,
dan melalui mulut seperti vaksin polio.(31)
Manfaat imunisasi Imunisasi sangat penting untuk melindungi bayi
terhadap penyakit-penyakit menular, yang bahkan bisa membahayakan jiwa.
Imunisasi juga merupakan upaya untuk pemusanahan penyakit secara sistematis
dan bertujuan agar zat kekebalan tubuh balita terbentuk sehingga resiko untuk
mengalami penyakit yang bersangkutan lebih kecil. Tujuan diberikan imunisasi
adalah diharapkan anak menjadi kebal terhadap penyakit sehingga dapat
38
menurunkan angka morbiditas dan mortalitas serta dapat mengurangi kecacatan
akibat penyakit tertentu.(31)
2.4.1. Macam-macam imunisasi
Macam-macam imunisasi itu ada dua macam, diantaranya adalah :
1. Imunisasi aktif : Merupakan imunisasi yang dilakukan dengan cara
menyuntikan antigen ke dalam tubuh sehingga tubuh anak sendiri yang akan
membuat zat antibodi yang akan bertahan bertahun-tahun lamanya. Imunisasi
aktif ini akan lebih bertahan lama daripada imunisasi pasif, imunisasi aktif
adalah pemberian kuman atau racun kuman yang sudah dilemahkan atau
dimatikan dengan tujuan untuk meragsang tubuh memproduksi antiibodi
sendiri. Contohnya adalah imunisasi polio atau campak. Imunisasi aktif
merupakan pemberian zat sebagai antigen yang diharapkan akan terjadi suatu
proses infeksi buatan sehingga tubuh mengalami reaksi imunologi spesifik
yang akan menghasilkan respon seluler dan humoral serta dihasilkannya sel
memori, sehingga apabila benar-benar terjadi infeksi maka tubuh secara cepat
dapat merespon. Dalam imunisasi aktif terdapat empat macam kandungan
dalam setiap vaksinnya antara lain:
1) Antigen merupakan bagian dari vaksin yang berfungsi sebagai zat atau
mikroba guna terjadinya semacam infeksi buatan dapat berupa poli
sakarida, toksoid atau virus dilemahkan atau bakteri dimatikan.
2) Pelarut dapat berupa air steril atau juga berupa cairan kultur jaringan.
3) Preservative, stabilizer, dan antibiotika yang berguna untuk menghindari
tubuhnya mikroba dan sekaligus untuk stabilisasi antigen.
39
4) Adjuvant yang terdiri dari garam aluminium yang berfungsi untuk
meningkatkan imunisasi antigen.
2. Imunisasi pasif : Pada imunisasi pasif tubuh tidak membuat sendiri zat anti
akan tetapi tubuh mendapatkannya dari luar dengan cara penyuntikan bahan
atau serum yang telah mengandung zat anti. Atau anak tersebut
mendapatkannya dari ibu pada saat dalam kandungan.
Imunisasi pasif adalah penyuntikan sejumlah antibodi sehingga kadar antibodi
dalam tubuh meningkat. Contohnya adalah penyuntikan ATS (Anti Tetanus
Serum) pada orang yang mengalami luka kecelakaan. Contoh lain adalah yang
terdapat pada bayi yang baru lahir dimana bayi tersebut menerima berbagai
jenis antibodi dari ibunya melalui darah plasenta selama masa kehamilan,
misalnya antibodi terhadap campak.
Imunisasi pasif merupakan pemberian zat (imunoglobin) yaitu suatu zat yang
dihasilkan melalui suatu proses infeksi yang dapat berasal dari plasma
manusia atau binatang yang digunakan untuk mengatasi mikroba yang diduga
sudah masuk dalam tubuh yang terinfeksi.(31)
Imunisasi dasar pada bayi Imunisasi adalah sarana untuk mencegah
penyakit berbahaya, yang dapat menimbulkan kematian pada bayi. Imunisasi bisa
melindungi anak-anak dari penyakit melalui vaksinasi yang bisa berupa suntikan
atau melalui mulut. Keberhasilan pemberian imunisasi pada anak dipengaruhi
oleh beberapa faktor, diantaranya terdapat tingginya kadar antibodi pada saat
dilakukan imunisasi, potensi antigen yang disuntikkan, waktu antara pemberian
imunisasi, dan status nutrisi terutama kecukupan protein karena protein diperlukan
40
untuk menyintesis antibody. Berikut beberapa imunisasi dasar yang diwajibkan
oleh pemerintah :
1. Imunisasi BCG Vaksin BCG (Bacillus Calmette Guerin) dapat diberikan
sejak lahir. Imunisasi ini bertujuan untuk memberikan kekebalan tubuh
terhadap tuberculosis (TBC). Apabila BCG akan diberikan di atas usia 3
bulan, sebaiknya dilakukan uji tuberculin terlebih dahulu. BCG diberikan
apabila hasil uji tuberculin negative, imunisasi BCG merupakan imunisasi
yang digunakan untuk mencegah terjadinya penyakit TBC yang berat sebab
terjadinya penyakit TBC yang primer atau yang ringan dapat terjadi walaupun
sudah dilakukan imunisasi BCG, pencegahan imunisasi BCG untuk TBC
yang berat seperti TBC pada selaput otak, TBC Milier (pada seluruh lapang
paru) atau TBC tulang. Efek samping pemberian imunisasi BCG adalah
terjadinya ulkus pada daerah suntikan, limfadenitis regionalis, dan reaksi
panas. Efek samping lainnya adalah setelah 3-6 minggu akan terdapat
eritema, indurasi, dan kadang ulserasi. Kelenjar getah bening aksilaris
mungkin membesar dan terasa nyeri. Tanda-tanda lokal menghilang dalam 2-
6 bulan.(32)
2. Imunisasi Hepatitis B Vaksin hepatitis B diberikan untuk melindungi bayi
dengan memberi kekebalan terhadap penyakit hepatitis B. yaitu penyakit
infeksi lever yang dapat menyebabkan sirosis hati, kanker, dan kematian,
imunisasi hepatitis B merupakan imunisasi yang digunakan untuk mencegah
terjadinya penyakit hepatitis yang kandungannya adalah HbsAg dalam bentuk
41
cair. Frekuensi pemberian imunisasi hepatitis B sebanyak 3 kali dan
penguatnya dapat diberikan pada usia 6 tahun.
3. Imunisasi polio Imunisasi polio diberikan untuk mencegah penyakit
poliomyelitis. Polio adalah penyakit yang dapat menyebabkan kelumpuhan.
Vaksin polio tidak menimbulkan efek samping, imunisasi polio merupakan
imunisasi yang digunakan untuk mencegah terjadinya penyakit poliomyelitis
yang dapat menyebabkan kelumpuhan pada anak. Hipersensitivitas berat
terhadap antibiotika merupakan kontraindikasi terhadap polio berupa
penisilin, streptomisin, neomisin, atau polimiksin.
4. Imunisasi DPT (difteri, pertusis, tetanus) Difteri adalah penyakit infeksi
tenggorokan berat yang dapat menyebar ke jantung dan system syaraf
sehingga menimbulkan kematian. Pertusis (batuk rejan atau batuk 100 hari)
adalah penyakit saluran pernapasan yang disebabkan oleh bakteri Bordetella
pertusis yang menyebabkan batuk berat dan lama, dengan komplikasi yang
berbahaya bila tidak di tangani dengan baik. Sedangkan tetanus adalah
penyakit bakteri berbahaya yang dapat menyebabkan kejang otot dan sakit
yang luar biasa. Pemberian imunisasi DPT untuk melindungi tubuh terhadap
penyakit difteri, pertusis, dan tetanus yang berakibat fatal pada bayi dan anak.
Adapun efek samping vaksin DPT ini adalah demam tubuh dalam 24-48 jam
setelah vaksinasi, yang biasanya dapat diatasi dengan obat penurun panas.
Bila setelah imunisasi DPT terjadi demam 40°C, demam lebih dari tiga hari,
atau reaksi kejang, segera beritahukan dokter anda. Imunisasi DPT
merupakan imunisasi untuk mencegah terjadinya penyakit difteri, pertussis,
42
dan tetanus. Pemberian DPT dapat berefek samping ringan ataupun berat.
Efek ringan misalnya terjadi pembengkakan, nyeri pada tempat penyuntikan,
dan demam. Efek samping berat misalnya terjadi menangis hebat, kesakitan
kurang lebih empat jam, kesadaran menurun, terjadi kejang, ensefalopati, dan
syok. Upaya pencegahan penyakit difteri, pertussis, dan tetanus perlu
dilakukan sejak dini melalui imunisasi karena penyakit tersebut sangat cepat
serta dapat meningkatkan kematian bayi dan balita. Reaksi minor akibat
komponen pertusis dari imunisasi Hib/DPT umum terjadi seperti gelisah,
demam, dan menangis selama beberapa jam setelah penyuntikan dengan
lokasi penyuntikan terasa sakit.(32)
5. Imunisasi campak diberikan agar dapat melindungi anak terhadap penyakit
campak secara efektif. Campak adalah penyakit yang disebabkan oleh virus
campak, yang dapat menyebabkan komplikasi yang berbahaya seperti infeksi
paru, kejang, dan kerusakan otak. Ulangan imunisasi campak saat ini otomatis
dilakukan saat imunisasi MMR (measles= campak, mumps = gondongan,
rubella = campak jerman), imunisasi campak merupakan imunisasi yang
digunakan untuk mencegah terjadinya penyakit campak pada anak karena
penyakit ini sangat menular. Imunisasi campak diberikan melalui subkutan.
Imunisasi ini memiliki efek samping seperti terjadinya ruam pada tempat
suntikan dan panas. Hipersensitivitas berat terhadap antibiotika merupakan
kontraindikasi terhadap campak (neomisin atau kanamisin). Anafilaksis
sebelumnya terhadap telur merupakan kontraindikasi terhadap MMR.
43
Pemerintah mewajibkan setiap anak untuk mendapatkan imunisasi dasar
terhadap tujuh macam penyakit yaitu penyakit TBC, Difteria, Tetanus, Batuk
Rejan (Pertusis), Polio, Campak (Measles, Morbili) dan Hepatitis B, yang
termasuk dalam Program Pengembangan Imunisasi (PPI) meliputi imunisasi
BCG, DPT, Polio, Campak dan Hepatitis B. Imunisasi lain yang tidak diwajibkan
oleh pemerintah tetapi tetap dianjurkan antara lain terhadap penyakit gondongan
(mumps), rubella, tifus, radang selaput otak (meningitis),Hepatitis A, cacar air
(chicken pox, varicella) dan rabies.
Bayi dan anak yang mendapat imunisasi dasar lengkap akan terlindung
dari beberapa penyakit berbahaya dan akan mencegah penularan ke adik, kakak
dan teman-teman disekitarnya. Imunisasi akan meningkatkan kekebalan tubuh
bayi dan anak sehingga mampu melawan penyakit yang dapat dicegah dengan
vaksin tersebut. Anak yang telah diimunisasi bilaterinfeksi oleh kuman tersebut
maka tidak akan menularkan ke adik, kakak, atau teman-teman di sekitarnya. Jadi,
imunisasi selain bermanfaat untuk diri sendiri juga bermanfaat untuk mencegah
penyebaran ke adik, kakak dan anak-anak lain disekitarnya. Sayangnya,
kebanyakan masyarakat belum sadar akan hal tersebut. Mereka tidak
mengimunisasikan bayinya karena berbagai sebab, sehingga masih ada
kemungkinan Balita yang dapat tertular Penyakit yang dapat Dicegah Dengan
Imunisasi (PD31).(33)
Rata-rata angka imunisasi di Indonesia hanya 72 persen. Artinya, angka di
beberapa daerah sangat rendah. Ada sekitar 2.400 anak di Indonesia meninggal
setiap hari termasuk yang meninggal karena sebab-sebab yang seharusnya dapat
44
dicegah. Misalnya tuberculosis, campak, pertusis, dipteri dan tetanus. “Ini
merupakan tragedi yang mengejutkan dan tidak seharusnya terjadi. Masalah ini
mencerminkan masalah sistem dari tingkat kabupaten ke bawah. Sekaligus juga
mencerminkan perlunya pendanaan yang sesuai di tingkat nasional untuk untuk
mendukung dan mempertahankan pengawasan program imunisasi di Indonesia.
Wabah polio yang baru saja terjadi merupakan krisis kesehatan yang berdampak
global. Ini merupakan contoh yang baik mengapa beberapa program tidak boleh
dibiarkan gagal karena kurangnya dana dan kapasitas sumber daya manusia pada
pelaksanaannya,” kata Dr. Gianfranco Rotigliano, Kepala Perwakilan UNICEF di
Indonesia. Survei atas dugaan kasus polio yang dilakukan WHO menunjukkan
bahwa di beberapa daerah angka imunitas kurang dari 56 persen. Tiga tahun
sebelumnya angka imunitas mencapai 70 persen. Hal ini menunjukkan turunnya
layanan kesehatan di beberapa daerah miskin. (34)
2.5. Beberapa Klasfikasi Penyakit yang ada dalam MTBS
1. ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut) merupakan salah satu penyakit yang
sampai saat ini masih menjadi masalah kesehatan teru-tama pada anak, ISPA
di-bedakan menjadi 2, yaitu: ISPA bagian atas dan ISPA bagian bawah ISPA
bagian atas adalah infeksi saluran pernapasan akut di atas laring, yang
meliputi: rinitis, faringitis, tonsilitis, sinusitis, dan otitis medis. Sedangkan,
ISPA bagian bawah ada-lah infeksi saluran pernapasan akut dari laring ke
bawah, yang terdiri atas: epiglotitis, bronki-tis, bronkiolitis, dan pneumonia.
Dari beberapa penyakit ISPA tersebut, pneumonia merupakan penyakit
infeksi yang memerlukan perhatian khusus, sebab pneumo-nia termasuk
45
dalam penyebab utama kesakitan dan kematian pada anak balita khususnya di
Indonesia.Pneumonia adalah penyakit infeksi saluran pernapasan akut yang
mengenai jaringan paru (alveoli). Penyakit ini ditandai dengan adanya batuk
dan atau kesukaran bernapas yang disertai pula napas sesak atau tarikan
dinding dada bagian bawah ke dalam. Pneumonia yang terjadi sebagian besar
disebabkan oleh mikroorganisme (virus atau bakteri) dan sebagian kecil
disebabkan oleh faktor lain, seperti: kondisi lingkungan, sosial, ekonomi, adat
istiadat, malnutrisi, dan imunisasi.
Rendahnya cakupan penemuan penderita pneumonia balita salah satunya
disebabkan oleh kepatuhan petugas dalam melaksanakan prosedur
pengobatan yang belum maksimal sehingga banyak kasus pneumonia balita
tidak terdeteksi atau tidak tertangani. Selain itu, belum maksimalnya
sosialisasi kepada masya-rakat tentang tanda-tanda pneumonia balita serta
bahayanya jika tidak segera ditangani juga berperan dalam rendahnya
cakupan pneumonia balita ditangani. Sebagai salah satu upaya untuk
menemukan balita penderita dan meningkatkan kualitas tatalaksana penderita
pneumonia, Departeman Kesehatan RI bekerja sama dengan WHO dan
UNICEF untuk me-nerapkan pendekatan integrated management childhood
ilness (IMCI) atau Manajemen Terpa-du Balita Sakit (MTBS) di unit
pelayanan kese-hatan dasar. Hal tersebut sesuai dengan salah satu tujuan
millenium development goals di bidang kesehatan, yaitu: menurunkan 2/3
angka kematian balita pada rentan waktu antara tahun 1990-2015, dengan
46
salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan menurunkan 1/3 kematian
balita akibat ISPA.
2. TBC adalah suatu penyakit infeksi kronik atau akut yang menyerang organ
paru. TBC ditandai dengan demam, batuk berdarah, sesak nafas, nyeri dada,
dan malaise. Penyakit TBC biasanya menular melalui udara yang tercemar
bakteri Mycobacterium tuberkulosa yang dilepaskan pada saat penderita TBC
batuk. Pada anak-anak sumber infeksi umumnya berasal dari penderita TBC
dewasa. Selain itu faktor yang mempengaruhi seseorang menderita TB
diantaranya adalah gizi buruk dan HIV/AIDS, memburuknya kondisi sosial
ekonomi, belum optimalnya fasilitas pelayanan kesehatan masyarakat,
meningkatnya jumlah penduduk yang tidak mempunyai tempat tinggal dan
adanya epidemi dari infeksi HIV. Di samping itu daya tahan tubuh yang
lemah, virulensi dan jumlah kuman merupakan faktor yang berperan penting
dalam terjadinya infeksi TBC.(35)
Patogenesis Tuberkulosis Paru merupakan portd’entrée lebih dari 98% kasus
infeksi TB. Karena ukurannya yang sangat kecil, kuman TB dalam percik
renik (droplet nuclei) yang terhirup, dapat mencapai alveolus. Masuknya
kuman TB ini akan segera diatasi oleh mekanisme imunologis non spesifik.
Makrofag alveolus akan menfagosit kuman TB dan biasanya sanggup
menghancurkan sebagian besar kuman TB. Akan tetapi, pada sebagian kecil
kasus, makrofag tidak mampu menghancurkan kuman TB dan kuman akan
bereplikasi dalam makrofag. Kuman TB dalam makrofag yang terus
berkembang biak, akhirnya akan membentuk koloni di tempat tersebut.
47
Lokasi pertama koloni kuman TB di jaringan paru disebut Fokus Primer
GOHN. Dari focus primer, kuman TB menyebar melalui saluran limfe
menuju kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran
limfe ke lokasi focus primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya
inflamasi di saluran limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis)
yang terkena. Jika focus primer terletak di lobus paru bawah atau tengah,
kelenjar limfe yang akan terlibat adalah kelenjar limfe parahilus, sedangkan
jika focus primer terletak di apeks paru, yang akan terlibat adalah kelenjar
paratrakeal. Kompleks primer merupakan gabungan antara focus primer,
kelenjar limfe regional yang membesar (limfadenitis) dan saluran limfe yang
meradang (limfangitis).Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB
hingga terbentuknya kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa
inkubasi TB. Hal ini berbeda dengan pengertian masa inkubasi pada proses
infeksi lain, yaitu waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman hingga
timbulnya gejala penyakit. Masa inkubasi TB biasanya berlangsung dalam
waktu 4-8 minggu dengan rentang waktu antara 2-12 minggu. Dalam masa
inkubasi tersebut, kuman tumbuh hingga mencapai jumlah 103-104, yaitu
jumlah yang cukup untuk merangsang respons imunitas seluler.
Selama berminggu-minggu awal proses infeksi, terjadi pertumbuhan
logaritmik kuman TB sehingga jaringan tubuh yang awalnya belum
tersensitisasi terhadap tuberculin, mengalami perkembangan sensitivitas.
Pada saat terbentuknya kompleks primer inilah, infeksi TB primer dinyatakan
telah terjadi. Hal tersebut ditandai oleh terbentuknya hipersensitivitas
48
terhadap tuberkuloprotein, yaitu timbulnya respons positif terhadap uji
tuberculin. Selama masa inkubasi, uji tuberculin masih negatif. Setelah
kompleks primer terbentuk, imunitas seluluer tubuh terhadap TB telah
terbentuk. Pada sebagian besar individu dengan system imun yang berfungsi
baik, begitu system imun seluler berkembang, proliferasi kuman TB terhenti.
Namun, sejumlah kecil kuman TB dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila
imunitas seluler telah terbentuk, kuman TB baru yang masuk ke dalam alveoli
akan segera dimusnahkan.Setelah imunitas seluler terbentuk, focus primer di
jaringan paru biasanya mengalami resolusi secara sempurna membentuk
fibrosis atau kalsifikasi setelah mengalami nekrosis perkijuan dan
enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga akan mengalami fibrosis dan
enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidaksesempurna focus primer
di jaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap selama bertahun-
tahun dalam kelenjar ini.Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi.
Komplikasi yang terjadi dapat disebabkan oleh focus paru atau di kelenjar
limfe regional. Fokus primer di paru dapat membesar dan menyebabkan
pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis perkijuan yang berat,
bagian tengah lesi akan mencair dan keluar melalui bronkus sehingga
meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas). Kelenjar limfe hilus atau
paratrakea yang mulanya berukuran normal saat awal infeksi, akan membesar
karena reaksi inflamasi yang berlanjut. Bronkus dapat terganggu. Obstruksi
parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal dapat menyebabkan
ateletaksis.(35)
49
Kelenjar yang mengalami inflamasi dan nekrosis perkijuan dapat merusak
dan menimbulkan erosi dinding bronkus, sehingga menyebabkan TB
endobronkial atau membentuk fistula. Massa kiju dapat menimbulkan
obstruksi komplit pada bronkus sehingga menyebabkan gabungan
pneumonitis dan ateletaksis, yang sering disebut sebagai lesi segmental
kolaps-konsolidasi.Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas
seluler, dapat terjadi penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran
limfogen, kuman menyebar ke kelenjar limfe regional membentuk kompleks
primer. Sedangkan pada penyebaran hematogen, kuman TB masuk ke dalam
sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh. Adanya penyebaran
hematogen inilah yang menyebabkan TB disebut sebagai penyakit
sistemik.Penyebaran hamatogen yang paling sering terjadi adalah dalam
bentuk penyebaran hematogenik tersamar (occult hamatogenic spread).
Melalui cara ini, kuman TB menyebar secara sporadic dan sedikit demi
sedikit sehingga tidak menimbulkan gejala klinis. Kuman TB kemudian akan
mencapai berbagai organ di seluruh tubuh. Organ yang biasanya dituju adalah
organ yang mempunyai vaskularisasi baik, misalnya otak, tulang, ginjal, dan
paru sendiri, terutama apeks paru atau lobus atas paru. Di berbagai lokasi
tersebut, kuman TB akan bereplikasi dan membentuk koloni kuman sebelum
terbentuk imunitas seluler yang akan membatasi pertumbuhannya. Di dalam
koloni yang sempat terbentuk dan kemudian dibatasi pertumbuhannya oleh
imunitas seluler, kuman tetap hidup dalam bentuk dormant. Fokus ini
umumnya tidak langsung berlanjut menjadi penyakit, tetapi berpotensi untuk
50
menjadi focus reaktivasi. Fokus potensial di apkes paru disebut sebagai Fokus
SIMON. Bertahun-tahun kemudian, bila daya tahan tubuh pejamu menurun,
focus TB ini dapat mengalami reaktivasi dan menjadi penyakit TB di organ
terkait, misalnya meningitis, TB tulang, dan lain-lain.
Bentuk penyebaran hamatogen yang lain adalah penyebaran hematogenik
generalisata akut (acute generalized hematogenic spread). Pada bentuk ini,
sejumlah besar kuman TB masuk dan beredar dalam darah menuju ke seluruh
tubuh. Hal ini dapat menyebabkan timbulnya manifestasi klinis penyakit TB
secara akut, yang disebut TB diseminata. TB diseminata ini timbul dalam
waktu 2-6 bulan setelah terjadi infeksi. Timbulnya penyakit bergantung pada
jumlah dan virulensi kuman TB yang beredar serta frekuensi berulangnya
penyebaran. Tuberkulosis diseminata terjadi karena tidak adekuatnya system
imun pejamu (host) dalam mengatasi infeksi TB, misalnya pada balita.
Tuberkulosis milier merupakan hasil dari acute generalized hematogenic
spreaddengan jumlah kuman yang besar.(36)
Semua tuberkel yang dihasilkan melalui cara ini akan mempunyai ukuran
yang lebih kurang sama. Istilih milier berasal dari gambaran lesi diseminata
yang menyerupai butur padi-padian/jewawut (millet seed). Secara patologi
anatomik, lesi ini berupa nodul kuning berukuran 1-3 mm, yang secara
histologi merupakan granuloma. Bentuk penyebaran hematogen yang jarang
terjadi adalah protracted hematogenic spread. Bentuk penyebaran ini terjadi
bila suatu focus perkijuan menyebar ke saluran vascular di dekatnya,
sehingga sejumlah kuman TB akan masuk dan beredar di dalam darah. Secara
51
klinis, sakit TB akibat penyebaran tipe ini tidak dapatdibedakan dengan acute
generalized hematogenic spread.
Hal ini dapat terjadi secara berulang. Pada anak, 5 tahun pertama setelah
infeksi (terutama 1 tahun pertama), biasanya sering terjadi komplikasi.
Menurut Wallgren, ada 3 bentuk dasar TB paru pada anak, yaitu penyebaran
limfohematogen, TB endobronkial, dan TB paru kronik. Sebanyak 0.5-3%
penyebaran limfohematogen akan menjadi TB milier atau meningitis TB, hal
ini biasanya terjadi 3-6 bulan setelah infeksi primer. Tuberkulosis
endobronkial (lesi segmental yang timbul akibat pembesaran kelenjar
regional) dapat terjadi dalam waktu yang lebih lama (3-9 bulan). Terjadinya
TB paru kronik sangat bervariasi, bergantung pada usia terjadinya infeksi
primer. TB paru kronik biasanya terjadi akibat reaktivasi kuman di dalam lesi
yang tidak mengalami resolusi sempurna. Reaktivasi ini jarang terjadi pada
anak, tetapi sering pada remaja dan dewasa muda.
3. Gastroenteritis/Diare adalah buang air besar (defekasi) dengan tinja,
berbentuk cairan atau setengah cairan (setengah padat), dengan demikian
kandungan air pada tinja lebih banyak dari biasanya. Dalam keadaan biasa
kandungan air berjumlah sebanyak 100-200 ml per jam tinja.
Diare adalah buang air besar encer atau cair lebih dari tiga kali sehari. Diare
adalah buang air dengan perubahan bentuk dan konsistensi tinja melembek
sampai mencair dan bertambahnya frekuensi berak lebih dari biasanya.
Klasifikasi Diare : Penyakit diare secara umum dapat dibedakan menjadi 2,
yaitu:
52
1) Diare akut adalah diare yang terjadinya mendadak dan berlangsung kurang
dari dua minggu. Gejalanya antara lain: tinja cair, biasanya mendadak,
disertai lemah dankadang-kadang demam atau muntah. Biasanya berhenti
atau berakhir dalam beberapa jam sampai beberapa hari. Diare akut dapat
terjadi akibat infeksi virus, infeksi bakteri, akibat makanan.
2) Diare kronis adalah diare yang melebihi jangka waktu 15 hari sejak awal
diare. Batasan waktu 15 hari tersebut semata-mata suatu kesepakatan,
karena banyaknya usul untuk menentukan batasan waktu diare kronis
Berdasarkan ada tidaknya infeksi, diare dibagi menjadi 2 yaitu diare
spesifik dan diare non spesifik. Diare spesifik adalah diare yang
disebabkan oleh infeksi virus, bakteri, atau parasit. Diare non spesifik
adalah diare yang disebabkan oleh makanan. Penyakit diare dapat
disebabkan oleh 3 jenis, yaitu:
1) Diare akibat virus Dapat melekat pada sel –sel mukosa yang
menyebabkan kerusakan, sehinggakapasitas resorbsi menurun, tetapi
sekresi air dan elektrolit bertambah. Diare ini terjadi beberapa hari
hingga virusnya bertambah dan dapat lenyap dengan sendirinya, dan
biasanya terjadi selama 6 hari.
2) Diare akibat enterotoksin Penyebabnya adalah bakteri yang
membentuk enterotoksin yang terpenting adalah E.colidan lebih jarang
Shigella, Salmonella, Vibrio parohaemolyticus, Campoylobacter
jejuni, dan Entamoyba histolytice. Sel –selnya melekat pada sel
mukosa dan merusaknya. Diare ini bersifat self limitingyang dapat
53
sembuh dengan sendirinya tanpa pengobatan kurang lebih 5 hari, dan
setelah itu sel-sel yang rusak diganti dengan sel-sel yang baru.
3) Diare akibat bakteri/diare invansif Bakteri-bakteri tertentu
memperbanyak diri dan membentuk toksin yang mana dapat diresorbsi
ke dalam darah dan menimbulkan gejala-gejala hebat seperti demam
tinggi, nyeri kepala dan kejang-kejang, disamping mencret berdarah
dan lendir. Disebabkan oleh jenis Salmonella, Shigella, jenis
Colitertentu dan basil Campylobacter jejuni.
Patofisiologi Diare Mekanisme terjadinya diaredapat dibagi menjadi
kelompok osmotik, sekretorik, eksudatif, dan gangguan motilitas. Diare osmotik
terjadi bila ada bahan yang tidak dapat diserap meningkatkan osmolaritas dalam
lumen yang menarik air dari plasma sehingga terjadi diare.(37)
Diare sekretorik bisa terjadi karena gangguan pengangkutan (transport)
elektrolit baik absorpsi yang berkurang ataupun sekresi yang meningkat. Hal ini
dapat terjadi akibat toksin yang dikeluarkan bakteri misalnya toksin kolera atau
pengaruh garam empedu, asam lemak rantai pendek, atau laksatif non osmotik.
Diare eksudatif, inflamasi akan mengakibatkan kerusakan mukosa baik
usus halus maupun usus besar. Inflamasi dan eksudasi dapat terjadi akibat infeksi
bakteri atau bersifat non infeksi. Kelompok lain adalah akibat gangguan motilitas
yang mengakibatkan waktu transit usus menjadi lebih cepat, sehingga
menyebakan diare.
54
2.6. Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas)
2.6.1. Pengertian Puskesmas
Dalam peraturan Menteri Kesehatan republik Indonesia No 75 Tahun 2014
tentang pusat kesehatan masyarakat bahwa pusat kesehatan masyarakat
merupakan salah satu jenis fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama yang
memiliki peranan penting dalam system kesehatan nasional khususnya subsistem
upaya kesehatan. Puskesmas adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang
menyelenggarakan upaya kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan
perseorangan tingkat pertama dengan lebih mengutamakan upaya promotif dan
preventif, untuk mencapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya
di wilayah kerjanya. Puskesmas merupakan organisasi kesehatan fungsional
dimana berperan sebagai pengembangan kesehatan masyarakat yang juga mebina
peran kepada masyarakat di wilayah kerjanya dalam bentuk kegiatan pokok.(38)
2.6.2. Visi dan Misi Puskesmas
Visi pembangunan kesehatan yang diselenggarakan oleh puskesmas adalah
tercapainya Kecamatan Sehat menuju terwujudnya Indonesia Sehat. Kecamatan
Sehat adalah gambaran masyarakat kecamatan masa depan yang ingin dicapai
melalui pembangunan kesehatan, yakni masyarakat yang hidup dalam lingkungan
dan dengan perilaku sehat, memiliki kemampuan untuk menjangkau pelayanan
kesehatan yag bermutu secara adil dan merata serta memiliki derajat kesehatan
yang setinggi-tingginya. Indikator Kecamatan Sehat yang ingin dicapai mencakup
4 indikator utama, yakni :
1. Lingkungan sehat
55
2. Perilaku sehat
3. Cakupan pelayanan kesehatan yag bermutu
4. Derajat kesehatan penduduk kecamatan
Misi Puskesmas adalah :
1. Menggerakkan pembangunan berwawasan kesehatan di wilayah kerjanya
Puskesmas akan selalu menggerakkan pembagunan sektor lain yang
diselenggarakan di wilayah kerjanya, agar memperhatikan aspek kesehatan
yaitu pembangunan yang tidak menimbulkan dampak negative terhadap
kesehatan, setidaknya terhadap lingkungan dan perilaku masyarakat.
2. Mendorong kemandirian hidup sehat bagi keluarga dan masyarakat di wilayah
kerjanya Puskesmas akan selalu berupaya agar setiap keluarga dan masyarakat
yang bertempat tinggal di wilayah kerjanya makin berdaya di bidang
kesehatan, melalui peningkatan pengetahuan dan kemampuan menuju
kemandirian untuk hidup sehat.
3. Memelihara dan meningkatkan mutu, pemerataan dan keterjangkauan
pelayanan kesehatan Puskesmas akan selalu berupaya menyelenggarakan
pelayanan kesehatan yang sesuai dengan standar dan memuaskan
masyarakat, mengupayakan pemerataan pelayanan kesehatan serta
meningkatkan efisiensi pengelolaan dan sehingga dapat dijangkau oleh
seluruh anggota masyarakat
4. Memelihara dan meningkatkan kesehatan perorangan, keluarga dan
masyarakat beserta lingkungannya Puskesmas akan selalu berupaya
memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah dan menyembuhkan
56
penyakit, serta memulihkan kesehatan perorangan, keluarga dan masyarakat
yang berkunjung dan bertempat tinggal di wilayah kerjaya, tanpa diskriminasi
dan dengan menerapkan kemajuan teknologi kesehatan yang sesuai. Upaya
pemeliharaan dan peningkatan yang dilakukan puskesmas mencakup pula
aspek lingkungan dari yang bersangkutan.(38)
2.7. Landasan Teori
Landasan Teori yang berjudul Analisis Penerapan Manajemen Terpadu
Balita Sakit (MTBS) Terhadap Kejadian ISPA Balita di Puskesmas Pasar Gambir
Kota Tebing Tinggi Tahun 2019. Sebagaimana dalam gambar kerangka teori
penelitian berikut ini :
Gambar 2.1. Kerangka Teori
Sumber : Lawrence green
1. Pengetahuan ibu
2. Status imunisasi
3. Status gizi
4. Keberadaan perokok
dalam rumah
Faktor
predisposisi
1. Kepatuhan ibu
2. Alur pelaksanaan
MTBS
3. Sarana dan prasarana
Faktor
Pendukung
1. Petugas kesehatan Faktor Pendorong
Kejadian ISPA
57
2.8. Kerangka Konsep Penelitian
Kerangka konsep yang berjudul Analisis Penerapan Manajemen Terpadu
Balita Sakit (MTBS) Terhadap Kejadian ISPA Balita di Puskesmas Pasar Gambir
Kota Tebing Tinggi Tahun 2019. Sebagaimana dalam gambar kerangka konsep
penelitian berikut ini :
Variabel Indipendent Variable Dependent
Gambar 2.2 Kerangka Konsep Penelitian
2.9. Hipotesis
Hipotesis adalah jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian,
dimana rumusan masalah penelitan telah dinyatakan dalam bentuk kalimat
pernyataan.
1. Ada hubungan pengetahuan ibu dengan kejadian ISPA di Puskesmas Pasar
Gambir Kota Tebing Tinggi Tahun 2019.
2. Ada hubungan status imunisasi dengan kejadian ISPA di Puskesmas Pasar
Gambir Kota Tebing Tinggi Tahun 2019.
3. Ada hubungan status gizi terhadap kejadian ISPA di Puskesmas Pasar Gambir
Kota Tebing Tinggi Tahun 2019.
4. Ada hubungan keberadaan perokok dalam rumah terhadap kejadian ISPA di
Puskesmas Pasar Gambir Kota Tebing Tinggi Tahun 2019.
1. Pengatahuan Ibu
2. Status Imunisasi
3. Status Gizi
4. Keberadaan Perokok
Dalam Rumah
Kejadian ISPA
58
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Desain Penelitian
Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah case control
dengan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Kedua pendekatan ini dilakukan
untuk menjawab pertanyaan penelitian yang tidak sepenuhnya dapat dijawab
dengan satu pendekatan saja. Green dalam Creswell (1994) menyebutkan lima
tujuan pendekatan gabungan antara kuantitatif dan kualitatif.
1) Triangulation in the classic sense of seeking convergence of result. Dalam hal
ini penggabungan kedua metode penelitian ini bertujuan untuk mencari titik
temu terhadap hasil penelitian kualitatif. Triangulasi disini juga diartikan
sebagai salah satu cara untuk melakukan konfirmasi ulang terhadap hasil
penelitian kualitatif.
2) Complementary, in the overlapping and different facets of phenomenon may
emerge. Penelitian dengan indikator alamiah yang kompleks seperti kehidupan
sosial dan budaya perlu menggabungkan kedua metode ini. Hal ini
dikarenakan seringkali ada data yang tumpang tindih atau berbeda yang terjadi
dalam masyarakat.
3) Developmentally, where in thefirst method is issued sequentially help inform
the second method. Hal ini dilakukan untuk memberi informasi lebih lanjut
terhadap data pertama yang telah diketahui, sehingga analisis data dapat
dilakukan secara menyeluruh.
59
4) Initiation, where in contradictions and fresh perspectives emerge.Hasil
penelitian yang menggabungkan kualitatif dan kuantitatif dapat menghasilkan
suatu inovasi.
5) Expansion, where in the mixed methods and scope and breath to study.
Pendekatan kuantitatif dilakukan dengan wawancara kepada responden
bertujuan untuk menganalisis Penerapan MTBS Terhadap Kejadian ISPA.
Pendekatan kualitatif dilakukan dengan indepth interview menggunakan
pedoman wawancara yang bertujuan menggali lebih dalam Penerapan MTBS
Terhadap Kejadian ISPA di Puskesmas Pasar Gambir Kota Tebing Tinggi.(39)
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian
3.2.1. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Pasar Gambir yang
berlokasi di jalan Sisingamangaraja, Kel. Pasar Gambir,Kec. Tebing Tinggi Kota.
Adapun alasan dilakukan penelitian ini dikarenakan jumlah respondent memadai
untuk di jadikan sampel penelitian.
3.2.2. Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari – September 2019 yang
dimulai dari proses pengajuan judul, survey awal, pengambilan data, analisis data
dan penyusunan akhir skripsi.
60
3.3. Populasi dan Sampel
3.3.1. Populasi
Populasi adalah wilayah generelisasi yang terdiri atas obyek/subyek yang
mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk
dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya. Populasi dalam penelitian ini
seluruh balita yang mengalami penyakit ISPA yang tercatat di Puskesmas Pasar
Gambir Kota Tebing Tinggi dari bulan Oktober tahun 2018 – Desember tahun
2019. Populasi berjumlah 30 orang.
3.3.2. Sampel
1. Sampel Untuk Pendekatan Kuantitatif
Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh
populasi tersebut. Sampel penelitian ini diambil secara total population yaitu
sampel diambil dari keseluruhan jumlah populasi. Dengan kriteria balita yang
mengalami ISPA sebanyak 30 orang.
2. Informan
Informan dalam penelitian ini adalah informan utama dan informan
pendukung. Informan utama antara lain: petugas puskesmas pasar gambir yaitu
petugas manajemen terpadu balita sakit (MTBS) sebanyak 3 orang, Kepala
Puskesmas 1 orang, dan informan pendukung yaitu ibu yang memiliki balita
sebanyak 2 orang. Sehingga didapatkan informan dalam penelitian ini sebanyak 6
orang.
61
3.4. Teknik Pengumpulan Data
1. Teknik Pengumpulan Data Kuantitatif Metode pengumpulan data dalam
penelitian dilakukan dengan pengisian lembar checklist.
2. Teknik Pengumpulan Data Kualitatif
Tatacara atau teknik pengumpulan data dalam penelitian menggunakan
teknik In-depth interview dan Observasi.
1. In-depth interview
Wawancara secara mendalam terhadap informan mengenai Penerapan
Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) terhadap Kejadian ISPA.
2. Observasi
Untuk melihat latar informan tentang Penerapan Manajemen Terpadu Balita
Sakit (MTBS) terhadap Kejadian ISPA.
3.4.1. Teknik Validasi Data
Data yang telah berhasil diperoleh pada lokasi penelitian, dikumpulkan
dan dicatat dalam penelitian, harus diusahakan bukan hanya kedalaman dan
kebenarannya tetapi juga bagi kemantapan dan ketepatannya. Triangulasi
merupakan cara yang paling umum digunakan bagi peningkatan validitas data
dalam desain penelitian kualitatif. Triangulasi adalah teknik pemeriksaan
keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain.(39)
Jenis-jenis metode triangulasi ada 4 macam triangulasi sebagai teknik
pemeriksaan untuk mencapai keabsahan, yaitu:
62
1. Triangulasi Metode
Dilakukan dengan cara membandingkan informasi atau data dengan cara yang
berdeda. Sebagaimana dikenal, dalam penelitian kualitatif peneliti
menggunakan metode wawancara, obervasi, dan survei. Untuk memperoleh
kebenaran informasi yang handal dan gambaran yang utuh mengenai
informasi tertentu, peneliti bisa menggunakan metode wawancara bebas dan
wawancara terstruktur.Atau, peneliti menggunakan wawancara dan obervasi
atau pengamatan untuk mengecek kebenarannya.Selain itu, peneliti juga bisa
menggunakan informan yang berbeda untuk mengecek kebenaran informasi
tersebut.Melalui berbagai perspektif atau pandangan diharapkan diperoleh
hasil yang mendekati kebenaran.Karena itu, triangulasi tahap ini dilakukan
jika data atau informasi yang diperoleh dari subjek atau informan penelitian
diragukan kebenarannya.Dengan demikian, jika data itu sudah jelas, misalnya
berupa teks atau naskah/transkrip film, novel dan sejenisnya, triangulasi tidak
perlu dilakukan.Namun demikian, triangulasi aspek lainnya tetap dilakukan.
2. Triangulasi Antar-Peneliti
Dilakukan dengan cara menggunakan lebih dari satu orang dalam
pengumpulan dan analisis data. Teknik ini diakui memperkaya khasanah
pengetahuan mengenai informasi yang digali dari subjek penelitian. Tetapi
perlu diperhatikan bahwa orang yang diajak menggali data itu harus yang telah
memiliki pengalaman penelitian dan bebas dari konflik kepentingan agar
tidak justru merugikan peneliti dan melahirkan bias baru dari triangulasi.
63
3. Triangulasi Sumber Data
Menggali kebenaran informai tertentu melalui berbagai metode dan sumber
perolehan data. Misalnya, selain melalui wawancara dan observasi, peneliti
bisa menggunakan observasi terlibat (participant obervation), dokumen
tertulis, arsif, dokumen sejarah, catatan resmi, catatan atau tulisan pribadi dan
gambar atau foto. Tentu masing-masing cara itu akan menghasilkan bukti
atau data yang berbeda, yang selanjutnya akan memberikan pandangan yang
berbeda pula mengenai fenomena yang diteliti. Berbagai pandangan itu akan
melahirkan keluasan pengetahuan untuk memperoleh kebenaran handal.
4. Triangulasi Teori.
Hasil akhir penelitian kualitatif berupa sebuah rumusan informasi atau thesis
statement. Informasi tersebut selanjutnya dibandingkan dengan perspektif
teori yang televan untuk menghindari bias individual peneliti atas temuan atau
kesimpulan yang dihasilkan. Selain itu, triangulasi teori dapat meningkatkan
kedalaman pemahaman asalkan peneliti mampu menggali pengetahuan
teoretik secara mendalam atas hasil analisis data yang telah diperoleh. Diakui
tahap ini paling sulit sebab peneliti dituntut memiliki expert judgement ketika
membandingkan temuannya dengan perspektif tertentu, lebih-lebih
jika perbandingannya menunjukkan hasil yang jauh berbeda.
3.5. Variabel dan Defenisi Operasional
3.5.1. Variabel Penelitian
Variabel penelitian ini terdiri dari variabel bebas (independen) dan
variabel terikat (dependen). Adapun yang menjadi variabel bebas (independen)
64
yaitu (tenaga kesehata, kepatuhan ibu, alur pelaksanaan MTBS, sarana dan
prasarana) yang ditandai dengan simbol x sedangkan variabel yang terikat
(dependen) yaitu Penerapan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) terhadap
Kejadian ISPA yaitu variabel yang berhubungan yang ditandai simbol y
3.5.2. Defenisi Operasional
Defenisi operasional adalah penjelasan semua variabel dan istilah yang
akan digunakan dalam penelitian secara operasional sehingga akhirnya
mempermudah pembaca dalam mengartikan makna penelitian.
Tabel 3.1 Aspek pengukuran Variabel Independen (X variabel) dan Dependen (Y
variabel)
No Variabel
Independen
Jumlah
Pertanyaan
Alat
Ukur
Hasil
Pengukuran Kategori
Skala
Ukur
1. Pengetahuan
Ibu
15 Kuesioner
Dengan
penilaian
jika
Benar: 1
Salah: 0
a. Kurang, jika
responden
menjawab < 6
pertanyaan
dengan benar
b. Cukup, jika
responden
menjawab 6-
10 pertanyaan
dengan benar
c. Baik, jika
responden
menjawab >
10 pertanyaan
dengan benar
a. 1
b. 2
c. 3
Ordinal
2. Status
Imunisasi
1 Kuesioner
KMS
a. Tidak
Lengkap, jika
imunisasi
wajib tidak
diberikan
sepenuhnya
b. Lengkap, jika
imunisasi
wajib dberikan
semua.
a. 1
b. 2
Nominal
65
3. Status Gizi 1 Kuesioner
KMS
a. Kurang, (-3
SD sampai
dengan < -2
SD)
b. Lebih, (>2 SD
sampai 3 SD)
c. Normal, (-2
SD sampai
dengan 2 SD)
a. 1
b. 2
c. 3
Nominal
4. Keberadaan
Perokok
Dalam
Rumah
1 Kuesioner a. Ada
b. Tidak Ada
a. 1
b. 2
Nominal
No Variabel
Dependen
Jumlah
Pertanyaan
Alat
Ukur
Hasil
Pengukuran
Kategori/ Skala
Ukur
1 Kejadian
ISPA
1 Kuesioner
Dengan
penilaian
jika
Ya :1
Tidak: 0
a. ISPA
b. Tidak ISPA
a. 1
b. 2
Nominal
3.6. Uji Validitas dan Reliabilitas
1. Uji Validitas
Menentukan derajat ketepatan dari instrument penelitian berbentuk
kuesioner. Uji validitas dapat dilakukan menggunakan Uji Product Moment Test.
Pertanyaan –pertanyaan tersebut diberikan kepada responden sebagai sasaran uji
coba. Kemudian pertanyaan-pertanyaan (kuesioner) tersebut diberi skor atau nilai
jawaban masing-masing sesuai dengan sistem penilaian yang ditetapkan.
Untuk mengetahui apakah kuesioner yang kita susun tersebut mampu
mengukur apa yang hendak kita ukur, maka perlu diuji korelasi antara skor (nilai)
tiap-tiap item (pertanyaan) dengan skor tptal kuesioner tersebut. Bila semua
pertanyaan itu mempunyai korelasi yang bermakna (construct validity). Apabila
kuesioner tersebut telah memiliki validitas konstruk, berarti semua item
66
(pertanyaan) yang ada di dalam kuesioner itu mengukur konsep yang kita ukur.
Uji validitas dilakukan dengan menggunakan SPSS versi 17.0 dengan melihat
nilai Sig (2-tailed). Adapun kriteria validitas instrumen penelitian yaitu dikatakan
valid jika nilai Sig (2-tailed) < 0,05 atau nilai r hasil positif, serta r hasil > r tabel,
jika nilai Sig (2-tailed) > 0,05 atau nilai r hasil positif, serta r hasil < r tabel maka
butir instrumen dinyatakan tidak valid.
Tabel. 3.2. Hasil uji Validitas Pengetahuan Ibu
No Pertanyaan Sig. (2-tailed) Keterangan
1 Apakah anda tahu apa itu kepanjangan dari
ISPA?
0,000 Valid
2 Apa itu ISPA? 0,006 Valid
3 Menurut ibu, apakah anak ibu perlu
mendapatkan imunisasi lengkap atau tidak,
jika perlu apakah ibu membawanya ke
pelayanan kesehatan?
0,002
Valid
4 Penyakit ISPA dapat disebabkan oleh? 0,031 Valid
5 Apakah bentuk gejala dari ISPA? 0,000 Valid
6 Faktor apa saja yang dapat mempengaruhi
kejadian ISPA?
0,002 Valid
7 Bagaimana penyakit ISPA dapat
ditularkan?
0,006 Valid
8 Tindakan pencegahan penularan apa yang
akan anda lakukan jika anda menderita
ISPA?
0,012 Valid
9 Bagaimana cara mencegah terjadinya
ISPA?
0,014 Valid
10 Dibawah ini merupakan faktor resiko
terjadinya penularan penyakit ISPA,
kecuali
0,000 Valid
11 Menurut ibu, pemeriksaan penyakit ISPA
dilakukan kepada petugas yang seperti
apa?
0,034 Valid
12
Seseorang akan lebih rentan untuk
terserang penyakit ISPA jika dalam
kondisi berikut:
0,031 Valid
13
Gejala yang dapat ditumbulkan pada
penyakit ISPA akan bertambah buruk jika
anak tidak mendapatkan:
0,039 Valid
67
No Pertanyaan Sig. (2-tailed) Keterangan
14 Influenza dan batuk pilek termasuk
kedalam penyakit?
0,012 Valid
15 Menurut anda apakah penyakit ISPA dapat
ditularkan oleh orang dewasa ke balita?
0,026 Valid
Hasil uji validitas kuesioner ini dinyatakan 15 soal variabel pengetahuan
valid dengan nilai Sig (2-tailed) < 0,05 atau nilai r hasil positif, serta r hasil > r
tabel.
2. Uji Reliabilitas
Reliabilitas ialah indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu alat
pengukur dapat dipercaya atau dapat diandalkan. Hal ini berarti menunjukkan
sejauh mana hasil pengukuran itu tetap konsisten atau tetap asas bila dilakukan
pengukuran dua kali atau lebih terhadap gejala yang sama, dengan menggunakan
alat ukur yang sama. Sekurang-kurangnya dua kali
Demikian juga kuesioner sebagai alat ukur untuk gejala-gejala sosial (non
fisik) harus mempunyai reliabilitas yang tinggi. Uji coba tersebut kemudian diuji
dengan tes menggunakan rumus korelasi pearson (pearson correlation). Perlu
dicatat, bahwa perhitungan relibialitas harus dilakukan hanya pada pertanyaan-
pertanyaan yang sudah memiliki validitas. Dengan demikian harus menghitung
validitas terlebih dahulu sebelum menghitung reliabilitas.
Nilai Cronbach’s Alpha (Reliabilitas) yang diperoleh kemudian
dibandingkan dengan r product moment pada tabel dengan ketentuan jika r Hitung
> r Tabel maka tes tersebut reliabel.
68
Tabel 3.3. Hasil Uji Reliabilitas Pengetahuan Ibu
Reliability Statistics
Cronbach’s Alpha N of Items
0,913 15
Hasil reliabilitas pada tabel diatas menunjukan bahwa nilai Cronbach’s
Alpha 0,913 > r tabel 0,468. Sehingga dapat disimpulkan kuesioner tersebut
reliabel.
3.7. Metode Pengolahan
Setelah semua data terkumpul, dilakukan analisis data kembali dengan
memeriksa semua lembar checklist apakah jawaban sudah lengkap dan benar.
Menurut Iman, data yang terkumpul diolah dengan cara komputerisasi dengan
langkah-langkah sebagai berikut:
1) Collecting
Mengumpulkan data yang berasal dari lembar checklist
2) Checking
Dilakukan dengan memeriksa kelengkapan pengisian lembar checklist dengan
tujuan agar data diolah secara benar sehingga pengolahan data memberikan
hasil yang valid dan realiabel, dan terhindar dari bias.
3) Coding
Pada langkah ini penulis melakukan pemberian kode pada variabel-variabel
yang diteliti, nama responden dirubah menjadi nomor.
69
4) Entering
Data entry yakni jawaban-jawaban dari masing-masing responden yang masih
dalam bentuk kode dimasukkan ke dalam program komputer yang digunakan
peneliti yaitu SPSS
5) Data Processing
Semua data yang telah diinput ke dalam aplikasi komputer akan diolah sesuai
dengan kebutuhan.Setelah dilakukan pengolahan data seperti yang telah
diuraikan di atas, langkah selanjutnya adalah melakukan analisis data. Adapun
jenis-jenis dalam menganalisis data adalah pada penelitian ini sebagai berikut:
1) Analisis Data Kuantitatif
(1) Analisis Univariat
Analisis univariat merupakan analisis yang menitikberatkan pada
penggambaran atau deskripsi data yang telah diperoleh.
Menggambarkan distribusi frekuensi dari masing-masing variabel
bebas dan variabel terikat, sehingga dapat gambaran variabel
penelitian.
(2) Analisis Bivariat
Analisis ini bertujuan untuk melihat hubungan antara variabel
dependen dengan variabel independen.Uji yang digunakan pada
analisis bivariat ini adalah uji chi-square (x2) dengan menggunakan
derajat kepercayaan 95%.Uji chi-Square dapat digunakan untuk
melihat hubungan. Dalam uji ini kemaknaan hubungan dapat
diketahui, pada dasarnya uji chi-square digunakan untuk melihat antara
70
frekuensi yang diamati (observed) dengan frekuensi yang diharapkan
(expected).(40)
2) Analisis Data Kualitatif
Analisis data dalam penelitian ini digunakan dua pendekatan kualitatif.
Menurut Miles dan Hubernas dalam Sugiyono, data kualitatif diperoleh
dari data reduction, data display dan conclusion drawing/verification.
Reduksi data adalah proses pemilihan, pemusatan perhatian pada
penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data kasar yang muncul
dari catatan-catatan tertulis di lapangan. Proses ini berlangsung terus
menerus selama penelitian ini berlangsung.Setelah menganalisis data
kemudian dilanjutkan dengan keabsahan data kualitatif yaitu dengan cara
triangulasi. Triangulasi dalam penelitian ini adalah dengan
membandingkan informasi dari informan yang satu dengan informan yang
lain sehingga informasi yang diperoleh kebenarannya. Selanjutnya
melakukan keabsahan data.
71
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1. Deskripsi Penelitian
4.1.1. Keadaan Geografis
Puskesmas Pasar Gambir terletak di Jalan Sisingamangaraja Kecamatan
Tebing Tinggi Nomor: 15 Tahun 2006 tentang Pembentukan Kecamatan dan
Kelurahan, maka Kecamatan Tebing Tinggi berbatasan langsung dengan:
1) Sebelah Utara berbatasan dengan Tanjung Marulak Hilir
2) Sebelah Timur berbatasan dengan Kelurahan Rambung
3) Sebelah Selatan berbatasan dengan Kelurahan Bagelen
4) Sebelah Barat berbatasan dengan Kelurahan Bandarsono
Secara administrasi Wilayah kerja Puskesmas Pasar Pasar Gambir terdiri
dari 4 kelurahan yaitu:
1) Kelurahan Bandar Utama
2) Kelurahan Mandailing
3) Kelurahan Pasar Gambir
4) Kelurahan Pasar Baru
4.1.2. Wilayah Administratif Puskesmas Pasar Gambir Kota Tebing Tinggi
Wilayah kerja Puskesmas Pasar Gambir merupakan sebagian wilayah dari
Kecamatan Tebing Tinggi Kota dengan luas wilayah kerja 1,7 . Berdasarkan
BPS Kota Tebing Tinggi tahun 2016 jumlah penduduk di wilayah kerja
Puskesmas Pasar Gambir sebanyak 13.637 jiwa, dengan tingkat kepadatan
penduduknya mencapai 8.112 jiwa per .
72
4.1.3. Kependudukan
Keseluruhan jumlah penduduk dengan jenis kelamin laki-laki lebih sedikit
daripada penduduk perempuan yaitu berjumlah 6.293 jiwa, dan perempuan
berjumlah 7.344 jiwa sehingga rasio jenis kelamin (sex ratio) penduduk wilayah
kerja Puskesmas Pasar Gambir adalah sebesar 85,69 % yang berarti ada 86 orang
laki-laki dengan 100 orang perempuan.
Oleh karena itu, dengan Luas wilayah kerja Puskesmas 1,7 maka
tingkat kepadatan penduduk mengalami peningkatan dengan jumlah rumah tangga
sebanyak 3.700 KK dengan rata-rata 3,69 jiwa/KK. Hal ini menunjukkan
penurunan jumlah penduduk bila dibandingkan dengan angka penduduk tahun
2016.(40)
Beban tanggungan diukur dengan membandingkan jumlah penduduk usia
non produktif 0–14 dan tambah penduduk usia 65 tahun keatas dengan jumlah
penduduk usia produktif 15–64 tahun. Sesuai sensus BPS Kota Tebing Tinggi
tahun 2016 Penduduk usia produktif (15–64 tahun) di wilayah Puskesmas Pasar
Gambir mencapai 9.811 jiwa (71,94%), sementara penduduk usia non produktif
(usia 0-14 tahun) mencapai 3.212 jiwa (23,56%) dan usia 64 tahun ke atas
sebanyak 614 jiwa (4,5%). Rasio beban tanggungan di wilayah kerja Puskesmas
Pasar Gambir tahun 2016 adalah 39% hal ini berarti setiap 100 orang berusia
produktif di wilayah kerja Puskesmas Pasar Gambir menanggung 39 orang yang
belum produktif dan yang dianggap tidak produktif lagi. Berdasarkan angka
tersebut maka penduduk di wilayah kerja Puskesmas Pasar Gambir dapat
73
dikategorikan dalam ketergantungan rendah jika dilihat dari kategori Angka
Ketergantungan sebagai berikut :
1) Angka Beban Tanggungan Tinggi ≥ 70
2) Angka Beban Tanggungan Sedang 51-69
3) Angka Beban Tanggungan Rendah ≤ 50
4.1.4. Visi, Misi, Tugas Pokok dan Fungsi Puskesmas Pasar Gambir Kota
Tebing Tinggi
1. Visi Puskesmas
Meningkatnya Mutu Pelayanan Kesehatan terhadap Masyarakat dalam Rangka
Menuju Kota yang Sehat.
2. Misi Puskesmas
1) Menggerakkan pembangunan bewawasan kesehatan.
2) Mendorong kemandirian hidup sehat bagi keluarga dan masyarakat.
3) Memelihara dan meningkatkan mutu, pemerataan dan keterjangkauan
pelaporan kesehatan.
4) Memelihara dan meningkatkan kesehatan per orang, keluarga dan
masyarakat beserta lingkungannya.
3. Tugas Pokok Puskesmas
1) Melaksanakan kegiatan upaya Promosi kesehatan.
2) Melaksanakan kegiatan upaya kesehatan lingkungan.
3) Melaksanakan kegiatan upaya kesehatan ibu dan anak serta keluarga
berencana.
4) Melaksanakan kegiatan upaya perbaikan gizi masyarakat.
74
5) Melaksanakan kegiatan upaya pencegahan dan pemberantasan Penyakit
menular.
6) Melaksanakan kegiatan upaya pengobatan.
7) Fungsi Puskesmas
1) Pusat penggerak pembangunan, berwawasan kesehatan.
2) Pusat pemberdayaan masyarakat.
3) Pusat pelayanan kesehatan.
4) Pusat pelayanan kesehatan tingkat pertama :
(1) Pelayanan Kesehatan perorangan.
(2) Pelayanan kesehatan masyarakat.(40)
4.2. Hasil Penelitian Kuantitatif
Dari hasil penelitian Analisis Penerapan Manajemen Terpadu Balita Sakit
(MTBS) Terhadap Kejadian ISPA Balita Di Puskesmas Pasar Gambir Kota
Tebing Tinggi Tahun 2019 terhadap 30 responden yang peneliti lakukan pada
bulan Juli 2019 didapatkan sebagai berikut :
4.2.1. Analisis Univariat
Analisis univariat digunakan untuk mendeskripsikan data yang dilakukan
pada tiap variabel dari hasil penelitian. Data disajikan dalam tabel distribusi
frekuensi. Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui distribusi frekuensi
pengetahuan ibu, status imunisasi, status gizi, dan keberadaan perokok dalam
rumah pada tabel dibawah ini:
75
Tabel 4.1. Distribusi Frekuensi Usia Balita Di Puskesmas Pasar Gambir Kota
tebing Tinggi Tahun 2019
No Usia Balita Jumlah
f %
1 12-23 bulan 3 10
2 24-35 bulan 7 23,3
3 36-47 bulan 12 40
4 48-59 bulan 3 10
5 60-71 bulan 5 16,7
Total 30 100
Tabel 4.2. Distribusi Frekuensi Pengetahuan Ibu Di Puskesmas Pasar Gambir
Kota tebing Tinggi Tahun 2019
No Pengetahuan Ibu Jumlah
f %
1 Kurang 11 36,7
2 Cukup 7 23,3
3 Baik 12 40,0
Total 30 100
Berdasarkan tabel 4.2 diketahui dari 30 (100%) responden, didapatkan
lebih banyak responden yang mempunyai pengetahuan baik yaitu 12 responden
(40,0%), sisanya sebanyak 11 responden (36,7%) mempunyai pengetahuan
kurang, dan sebanyak 7 responden (23,3%) mempunyai pengetahuan cukup.
Tabel 4.3. Distribusi Frekuensi Status Imunisasi Di Puskesmas Pasar Gambir
Kota Tebing Tinggi Tahun 2019
No Status Imunisasi Jumlah
f %
1 Tidak Lengkap 13 43,3
2 Lengkap 17 56,7
Total 30 100
Berdasarkan tabel 4.3 diketahui dari 33 (100%) responden, menunjukkan
bahwasanya status imunisasi dengan kategori tidak lengkap yaitu sebanyak 13
(34,3%), dan status imunisasi dengan kategori lengkap yaitu sebanyak 17
(56,7%).
76
Tabel 4.4. Distribusi Frekuensi Status Gizi Di Puskesmas Pasar Gambir Kota
Tebing Tinggi Tahun 2019
No Status Gizi Jumlah
f %
1 Kurang 2 6,7
2 Lebih 2 6,7
3 Normal 26 86,7
Total 30 100
Berdasarkan tabel 4.4 diketahui dari 30 (100%) responden, didapatkan
lebih banyak responden yang mempunyai status gizi yang normal yaitu 26
responden (86,7%), sisanya sebanyak 2 responden (6,7%) mempunyai status gizi
yang kurang, dan sebanyak 2 responden (6,7%) mempunyai status gizi yang
lebih.
Tabel 4.5. Distribusi Frekuensi Keberadan Perokok Dalam Rumah Di Puskesmas
Pasar Gambir Kota Tebing Tinggi Tahun 2019
No Keberadan Perokok
Dalam Rumah
Jumlah
F %
1 Ada 17 56,7
2 Tidak Ada 13 43,3
Total 30 100
Berdasarkan tabel 4.5 diketahui dari 33 (100%) responden, menunjukkan
bahwasanya keberadaan perokok dalam rumah lebih banyak pada kategori ada
yaitu sebanyak 17 (56,7%), dan keberadaan perokok dalam rumah pada kategori
tidak ada yaitu sebanyak 13 (43,3%) responden.
Tabel 4.6. Distribusi Frekuensi Kejadian ISPA Di Puskesmas Pasar Gambir Kota
Tebing Tinggi Tahun 2019
No Kejadian ISPA Jumlah
f %
1 ISPA 18 60
2 Tidak ISPA 12 40
Total 30 100
77
Berdasarkan tabel 4.6 diketahui dari 33 (100%) responden, menunjukkan
bahwasanya kejadian ISPA lebih banyak pada kategori mengalami sakit ISPA
yaitu sebanyak 18 (60%), dan kejadian ISPA pada kategori tidak mengalami sakit
ISPA yaitu sebanyak 13 (43,3%) responden.
4.2.2. Analisis Bivariat
Analisis bivariat digunakan untuk menjelaskan hubungan antar variabel
bebas dan variabel terikat menggunakan uji chi-square. Dikatakan ada hubungan
bermakna secara statistik jika diperoleh nilai p < 0,005. Berdasarkan hasil
penelitian Analisis Penerapan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) Terhadap
Kejadian ISPA Balita Di Puskesmas Pasar Gambir Kota Tebing Tinggi Tahun
2019 dapat diketahui dapat dilihat dengan hasil sebagai berikut:
Tabel 4.7. Hubungan Pengetahuan Ibu dengan Kejadian ISPA Balita Puskesmas
Pasar Gambir Kota Tebing Tinggi 2019
No Pengetahuan Ibu
Kejadian ISPA Jumlah
P.Value ISPA Tidak ISPA
f % f % f %
1 Kurang 10 33,4 1 3,3 11 36,7
2 Cukup 4 13,3 3 10 7 23,3 0,019
3 Baik 4 13,3 8 26,7 12 40
Total 18 60 12 40 30 100
Berdasarkan tabel 4.6 diketahui bahwa dari 30 (100%) responden dengan
pengetahuan ibu yang kurang yaitu sebanyak 11 (9,1%), didapatkan lebih banyak
yang mengalami sakit ISPA pada balita yaitu sebanyak 10 (33,4%) dan sisinya
sebanyak 1 (3,3%) balita yang tidak mengalami sakit ISPA. Untuk pengetahuan
ibu yang cukup yaitu sebanyak 7 (23,3%), didapatkan lebih banyak yang
mengalami sakit ISPA pada balita yaitu 4 (13,3%) dan sisanya sebanyak 3 (10%)
balita yang tidak mengalami sakit ISPA. Dan Untuk pengetahuan ibu yang baik
78
yaitu sebanyak 12 (40%), didapatkan lebih banyak yang tidak mengalami sakit
ISPA pada balita yaitu 8 (26,7%) dan sisanya sebanyak 4 (13,3%) balita yang
mengalami sakit ISPA.
Berdasarkan hasil uji statistik chisquare dengan taraf signifikan sig α 0,05,
diperoleh hasil p-value 0,019< 0,05 yang berarti ada hubungan pengetahuan Ibu
dengan kejadian ISPA balita di Puskesmas Pasar Gambir Kota Tebing Tinggi
2019.
Tabel 4.8. Hubungan Status Imunisasi dengan Kejadian ISPA Balita Puskesmas
Pasar Gambir Kota Tebing Tinggi 2019
No Status Imunisasi
Kejadian ISPA Jumlah
P.Value ISPA Tidak ISPA
f % f % f %
1 Tidak Lengkap 11 36,7 2 6,7 13 43,6
2 Lengkap 7 23,3 10 33,3 17 56,6 0,042
Total 18 60 12 40 30 100
Berdasarkan tabel 4.8 diketahui bahwa dari 30 (100%) responden, status
imunisasi dengan ketegori tidak lengkap yaitu sebanyak 13 (43,3%), didapatkan
lebih banyak yang mengalami sakit ISPA pada balita yaitu sebanyak 11 (36,7%)
dan sisinya sebanyak 2 (6,7%) balita yang tidak mengalami sakit ISPA. Untuk
status imunisasi dengan ketegori lengkap yaitu sebanyak 7 (23,3%), didapatkan
lebih banyak balita yang tidak mengalami sakit ISPA yaitu 10 (33,3%) dan
sisanya sebanyak 7 (23,3%) balita yang mengalami sakit ISPA.
Berdasarkan hasil uji statistik chisquare dengan taraf signifikan sig α 0,05,
diperoleh hasil p-value 0,042< 0,05 yang berarti ada hubungan status imunisasi
dengan kejadian ISPA balita di Puskesmas Pasar Gambir Kota Tebing Tinggi
2019.
79
Tabel 4.9. Hubungan Status Gizi dengan Kejadian ISPA Balita Puskesmas Pasar
Gambir Kota Tebing Tinggi 2019
No Status Gizi
Kejadian ISPA Jumlah
P.Value ISPA Tidak ISPA
f % f % f %
1 Kurang 2 6,7 1 3,3 3 10
2 Lebih 2 6,7 0 0 2 6,7 0,459
3 Normal 14 46,6 11 36,7 25 83,3
Total 18 60 12 40 30 100
Berdasarkan tabel 4.9 diketahui bahwa dari 30 (100%) responden dengan
status gizi yang kurang yaitu sebanyak 3 (10%), didapatkan lebih banyak yang
mengalami sakit ISPA pada balita yaitu sebanyak 2 (6,7%) dan sisinya sebanyak 1
(3,3%) balita yang tidak mengalami sakit ISPA. Untuk status gizi yang lebih yaitu
sebanyak 2 (6,7%), didapatkan lebih banyak yang mengalami sakit ISPA pada
balita yaitu 2 (6,7%) dan sisanya sebanyak 0 (0%) balita yang tidak mengalami
sakit ISPA. Dan Untuk status gizi yang normal yaitu sebanyak 25 (83,3%),
didapatkan lebih banyak yang mengalami sakit ISPA pada balita yaitu 14 (46,6%)
dan sisanya sebanyak 11 (36,7%) balita yang tidak mengalami sakit ISPA.
Berdasarkan hasil uji statistik chisquare dengan taraf signifikan sig α 0,05,
diperoleh hasil p-value 0,459< 0,05 yang berarti tidak ada hubungan status gizi
dengan kejadian ISPA balita di Puskesmas Pasar Gambir Kota Tebing Tinggi
2019.
Tabel 4.10. Hubungan Keberadaan Perokok Dalam Rumah dengan Kejadian
ISPA Balita Puskesmas Pasar Gambir Kota Tebing Tinggi 2019
No
Keberadaan
Perokok Dialam
Rumah
Kejadian ISPA Jumlah
P.Value ISPA Tidak ISPA
f % f % f %
1 Ada 14 46,7 3 10 17 56,7
2 Tidak Ada 4 13,3 9 30 13 43,3 0,013
Total 18 60,0 12 40 30 100
80
Berdasarkan tabel 4.10 diketahui bahwa dari 30 (100%) responden,
keberadaan perokok di rumah dengan ketegori ada yaitu sebanyak 17 (56,7%),
didapatkan lebih banyak yang mengalami sakit ISPA pada balita yaitu sebanyak
14 (46,7%) dan sisinya sebanyak 3 (10%) balita yang tidak mengalami sakit
ISPA. Untuk keberadaan perokok di rumah dengan ketegori tidak ada yaitu
sebanyak 13 (43,3%), didapatkan lebih banyak balita yang tidak mengalami sakit
ISPA yaitu 9 (30%) dan sisanya sebanyak 4 (13,3%) balita yang mengalami sakit
ISPA.
Berdasarkan hasil uji statistik chisquare dengan taraf signifikan sig α 0,05,
diperoleh hasil p-value 0,013< 0,05 yang berarti ada hubungan keberadaan
perokok di rumah dengan kejadian ISPA balita di Puskesmas Pasar Gambir Kota
Tebing Tinggi 2019.
4.3. Hasil Penelitian Kualitatif
1. Cuplikan Wawancara dengan Kepala Puskesmas
Kepala puskesmas menyatakan bahwa petugas MTBS di Puskemas Pasar
Gambir khususnya tentang ISPA hanya satu orang saja.
2. Cuplikan Wawancara dengan Petugas MTBS
K : Tenaga kesehatan cukuplah dek tapi kalau untuk petugas MTBS yang
pegang program cuman 1 orang, MTBS ini kan banyak ada tentang ISPA,
giji balita dsb, masing – masing satu orang, dan untuk petugas ISPA Cuma
satu orang juga.
PM : Kalau untuk tenaga kesehatan cukup sihhh, tapi kalau untuk petugas
MTBS cuman saya, saya pun baru 1 tahun pegang program MTBS,
sebelumnya bukan saya.dan untuk program MTBS tentang ISPA gak ada
kadernya.
81
Petugas MTBS menyatakan bahwa petugas ISPA hanya satu orang dan
tidak ada kadernya.
3. Cuplikan Wawancara dengan Petugas MTBS
Petugas MTBS tentang gizi menyatakan bahwa petugas mtbs ispa hanya
satu orang saja.
4. Cuplikan Wawancara dengan Petugas MTBS
Petugas MTBS bagian ISPA menyatakan banyaknya yang mengalami
sakit ISPA dari balita hingga lansia tetapi petugas ISPA hanya satu orang dan
tidak ada kader untuk program ISPA.
1. Cuplikan Wawancara dengan Petugas MTBS
PM : Tenaga kesehatan cukup lah, saya pegang tentang program gizi,
program gizi ini banyak kali x dek buat laporan survey ke rumah-rumah
wargalah untuk ngecek gizi balita kurang dan buruk kalau untuk petugas
mtbs ispa Cuma satu orang.
PM : Tenaga kesehatan kalau menurutku kan dek.... kurang apalagi aku di
bagian ISPA banyak kali rata- rata sakit ISPA, dari bapak.. bapak sampai
anak balita.
PM : Biasanya sih dek ibu-ibu balita kalau masih sakit anaknya dibawa
lagi datang tapi kalau udah sehat ngilang gitu ajaa.
P : apakah ibu balita patuh dalam pelaksanaan mtbs ini?
PM : Kalau dibilang patuh sih beda-beda ada yang patuh ada juga yang
gak patuh beda orang beda-beda
P: apakah ibu balita sering melakukan kunjangan ulang :
PM : Kadang pas berobat belum sebulan sakitnya anaknya datang lagi
dengan sakit yang sama pas saya tanyakan obatnya yang sebelumnya
dihabiskan atau nggak, dibilanganya gak dihabiskan karena udah
mendingan.
82
Petugas MTBS menyatakan bahwa kepatuhan ibu balita dalam membawa
anaknya yang sakit selama masih sakit masih tetap dibawa ke puskesmas namun
jika sudah sembuh tidak pernah datang lagi dan sebagian ibu balita banyak yang
tidak patuh dalam melakukan pengobatan seperti belum sembuh dalam tempo
sebulan sudah datang kembali kepuskesmas dan obat yang sudah diberikan tidak
dihabiskan dikarenakan anaknya sudah mendingan sehingga penyakitnya kambuh
kembali.
2. Cuplikan Wawancara dengan Ibu Balita
Ibu balita menyatakan bahwa obat yang diberikan dokter sewaktu periksa
ke Puskesmas obat tersebut tidak dihabiskan karena sudah mendingan dan karena
anaknya tidak suka minum obat sehingga pemberian obat tidak teratur. Hal ini
dapat memperlama penyakit karena tidak patuh dengan petunjuk dokter dalam
pemberian obat .
I : “Biasanya sih kalau batuk dihabiskan obat yang dikasih dari puskesmas,
yaaahhhh kalau udah sembuh nggak dihabiskan lah orang udah sembuhnya.
P: seharusnya kan bu obat itu harus diminum secara teratur dan sesuai
anjuran dokternya ?
I : Anakku kan paling nggak suka minum obat susah x kalau udah minum
obat, kadang nggak teratur minum obatnya
83
3. Cuplikan Wawancara dengan Kepala Puskesmas
Kepala Puskesmas menyatakan bahwa alur pelaksanaan mtbs belum sesuai
alurnya karena begitu datang langsung keloket, di periksa dan di beri obat, hal ini
di karenakan sarana dan prasarananya masih kurang lengkap sehingga membuat
proses alur pelaksanaan tidak sesuai dengan tatalaksana mtbs kejadian ispa balita.
4. Cuplikan Wawancara dengan Petugas MTBS
K : Kalau berdasarkan alur pelaksanaan kan dek biasanya ibu balita tuh
datang pertama kali daptar keloket, terus pemeriksaan, dibawa kepoli
setelah diperiksa diberi resep kemudian nebus resepnya dibelakang.
P : bagaimana sarana dan Prasarana MTBS di Puskesmas ini dr?
K : Sarana dan prasarana MTBS masih kurang dek...jauh kali kurangnya
harusnya kan ada ruangan khusus tapi ini gak ada, kalau untuk program
MTBS ini masih kurang.
P: kalau menurut dokter bagaimana MTBS dengan kejadian ISPA?
K : MTBS itu manajemen terpadu balita sakit, kalau dikaitkan dengan
kejadian ISPA bearti tatalaksana balita sakit ISPA nya.”
P : bagaimana alur pelaksanaan mtbs ?
PM : Alurnya sih dek pertama datang keloket, terus ditimbang, diukur suhunya,
diperiksa sama dokter dikasih resepnya terus ditebus, tapi kalau balita kan beda
tuh sakitnya misalnya pas ditimbang itukan berat badanya gak sesuai tuh sama
umurnya kami anjurkan dia datengi si frida petugas bagian gizi untuk
dikonseling.
P : bagaimana sarana dan prasarana di Puskesmas ini?
PM : Masih kurang harus nya kan ada tempatnya itu yang terpisah tapi
inikan semua yang datang rata-rata diperiksa disitu, peralatan untuk
MTBS pun kurang lengkap kaya kartu KNI itu pun gak ada disini.
P : kalau menurut ibu ( petugas mtbs) apakah MTBS ISPA itu?
PM : MTBS itu manajemen terpadu balita sakit, kalau dikaitkan dengan
kejadian ISPA bearti tatalaksana balita sakit ISPA nya.
P : bagaimana penerepan mtbs dengan kejadian ispa?
84
Petugas MTBS menyatakan bahwa alur pelaksanaan mtbs tidak sesuai
alurnya di karenakan sarana dan prasarana yang kurang lengkap, terbatasnya
petugas mtbs ISPA sehingga pada saat banyak pasien tidak dilakukan penanganan
sesuai tatalaksana mtbs, dan pengetahuan yang kurang disebabkan pelatihan mtbs
sudah lama tidak dilakukan.
5. Cuplikan Wawancara dengan Ibu Balita
Ibu balita menyatakan bahwa alur pelaksanaan mtbs begitu datang
kepuskesmas daftar, timbang berat badan balita, kemudian di periksa dokter dan
ambil obat.dan ibu juga tidak tahu apa itu mtbs.
6. Cuplikan Wawancara dengan Petugas MTBS
PM : Penerapannya kadang nggak sesuai alurnya, kalau ngikutin alurnya
panjang kali, lama waktunya, nanti malah jadi ngantri, harusnya ngikutin
sesuai bagan tatalaksana MTBS.
P : apakah ada pelatihan MTBS ?
PM : Udah lama kali nggak ada pelaitahan apalagi pelatihan MTBS
P : bagaimana alur Pelaksanaan MTBS sewaktu ibu datang ke Puskesmas?
I : Biasanya sihhhh pas datang itu daftar lah di depan terus duduk nunggu
kalau pas ngantri, tapi kalau gak ngantri sih langsung ditimbang terus
diperiksalah sama dokternya, dikasih resep ngambil obatnya dibelakang
P :apakah ibu tahu apa itu MTBS ?
I : “ Nggak tau.....
PM : Rata- rata imunisasinya sih lengkap dek apalagi kalau posyandu rata-
rata datang.
P : bagaimana status gizi balita di Puskesmas ini?
PM : banyak kali gizi kurang pada balita kami survei kerumah warga kalau
ada yang balitanya dengan ststus gizi kurang karana kan ada program
pemerintah jadi kami survei terus ada kasih bantuan seperti roti-roti, ada
yang dapat beras, karena rata-rata sih ekonominya kurang
85
Petugas mtbs menyatakan bahwa ibu balita yang datang untuk melakukan
imunisasi baik di Puskesmas maupun Posyandu rata-rata semua ibu balita
membawa anaknya untuk melakukan imunisasi dan ada sebagian yang tidak
datang untuk imunisasi tetapi karena ada program status gizi maka petugas MTBS
gizi penyuluhan kerumah warga yang memiliki balita dengan kategori gizi kurang
dan gizi buruk. Pada saat melakukan penyuluhan petugas mtbs gizi juga
menanyakan tentang imunisasi balita jika belum imunisai petugas mtbs
menganjurkan untuk segera imunisasi.
7. Cuplikan Wawancara dengan Ibu Balita
Ibu balita menyatakan bahwa anaknya sudah melakukan imunisasi
lengkap, namun pernah tertunda imunisasi karena berat badan ankanya kurang
serta sering mengalami demam sehingga imunisasinya terlambat. Dan pola
makannya, ibu balita hanya memberikan makanan yang disukai anaknya saja
sehingga berat badan balita kurang karena asupan nutrisinya kurang.
I : imunisasinya lengkap tapi waktu itu pernah sakit terus beratnya kurang
sering panas pernah tertunda imunisasinya, tapi kalau sekarang udah
lengkap
P : bagaimana pola makannya bu ?
I : “ Kalau gizi sih kayanya sihhh cukup makannya banyak dek, anak ibu
kalau pagi-pagi pengennya dadar telor aja, pagi pagi ma...ma..maa..
goleng telol, tapi sayur kurang suka paling kentang aja yang dia mau yang
lain dilepehnya pun...
86
8. Cuplikan Wawancara dengan Petugas MTBS
Petugas MTBS menyatakan bahwa pada saat melakukan penyuluhan
kerumah warga ayah dari balita merokok di dalam rumah sedangkan anaknya
posisinya dekat dengan ayahnya sehingga asap rokok dapat terhirup balita dan
bisa mengakibatkan ISPA pada balita.
9. Cuplikan Wawancara dengan Ibu Balita
Ibu balita menyatakan bahwa ayah balita merokok di dalam rumah setiap
saat bahkan dekat dengan anaknya pada saat menonton televisi, dan sudah
diberikan penjelasan agar tidak merokok di dalam rumah namun tetap saja
merokok hal ini dapat menyebabkan ispa balita karena asap rokok masuk ke
pernapasan balita.
PM : Kadang kan pas kk survei kerumah survei tentang gizi bapa-bapanya
itu rata-rata ngerokok dirumahnya, kadang kk bilang ihhhh kasian tuh
anaknya masih kecil ko ngerokok di dekat dia pula, terus kalau udah aku
bilang baru pindah bapanya, itu yang pas ketauan kk pas lagi
kerumahnya.”
I : Bapaknya si ade ngerokonya kuat kaliiiii pun, kadang anaknya lagi tidur
didepan tv bapaknya ngerokok situ, gak bisa dibilang kalau ibu bilang
nanti takut ribut pula, soalnya waktu itu pernah ibu bilang jauh-jauh
ngerokoknya kan ada anakmu situuuu ko ngerokok disitu pula jadi panjang
jawabann dianya makanya udah malas ibu bilangnya.
87
4.4. Pembahasan
4.4.1. Kejadian ISPA di puskesmas Pasar Gambir
Infeksi saluran pernapasan adalah radang akut saluran pernapasan atas
maupun bawah yang disebabkan oleh infeksi jasad renik atau bakteri, maupun
riketsia tanpa atau disertai radang parenkim paru. ISPA adalah suatu kelompok
penyakit sebagai penyebab langka absensi tertinggi bila dibandingkan dengan
kelompok penyakit lain.(3)
ISPA diperkenalkan pada tahun 1984 dengan istilah acute repiratory
infections yang merupakan suatu kelompok penyakit yang menyerang saluran
pernapasan. Secara anatomis, ISPA dibagi dalam dua bagian yaitu ISPA Atas dan
ISPA Bawah, dengan batas anatomis adalah suatu bagian dalam tenggorokan yang
disebut epiglottis. ISPA merupakan infeksi akut yang menyerang salah satu
bagian/lebih dari saluran napas mulai hidung sampai alveoli termasuk sinus,
rongga telinga tengah dan pleura.
Menurut (WHO) tahun 2013 beberapa faktor yang telah diketahui
memepengaruhi pneumonia dan kematian ISPA adalah, malnutrisi, pemberian
ASI kurang cukup, imunisasi tidak lengkap, defensiasi vitamin A, (BBLR), umur
muda, kepadatan hunian, udara dingin, jumlah kuman yang banyak di
tenggorokan, terpapar udara oleh asap rokok, gas beracun, dan lain-lain.
Menurut Depkes RI Tahun 2009 bahwa faktor penyebab kejadian ISPA
adalah, BBLR, status gizi buruk, Imunisasi tidak lengkap, kepadatan tempat
tinggal dan lingkungan fisik, dan lingkungan perumahan.
88
Berdasarkan data yang diperoleh dari Puskesmas Pasar Gambir Kota
Tebing Tinggi ada 30 balita yang mengalami ISPA dalam waktu jangka 3 bulan
dari Oktober 2018-Desember 2018, hal ini diakrenakan berbagai faktor
diantaranya pola hidup yang kurang sehat, seperti kebersihan lingkungan rumah
yang kurang, jarang cuci tangan setiap melakukan aktivitas, para suami yang
merokok, pengetahuan yang kurang, pendidikan yang rendah, pengahasilan yang
rendah, serta kondisi rumah yang kurang memadai.
Petugas kesehatan Puskesmas Pasar Gambir menyatakan bahwa sangat
susah memberikan konseling kepada ibu balita disebabkan karena ruangan yang
sempit dan tidak adanya ruangan untuk balita bermain, sehingga pada saat
pemberian konseling kepada ibu balita kurang maksimal bahkan tidak terlaksana,
yang mana banyak balita yang menangis atau berlarian saat petugas kesehatan
memberikan konseling kepada ibu balita.
Hal ini juga sesuai dengan penelitian Dewi tahun 2015, yang menyatakan
bahwa proses konseling kurang maksimal akibat ibu yang membawa anak selama
proses konseling sehingga ditemukan adanya anak yang sangat rewel dan
mempersulit ibu dalam berkonsentrasi mengikuti konseling. Setelah pemberian
konseling dilanjutkan dengan tindak lanjut. Setiap anak harus kembali ke petugas
kesehatan setelah dua hari untuk kunjungan ulang. Pada kunjungan ulang dilihat
keluhan balita, jika balita semakin parah petugas memberikan antibiotik kedua, jika
balita keluhan sama maka dosis yang diberikan akan ditambah, jika balita telah
mendapatkan antibiotik dan tidak punya antibiotik lain yang sesuai segera dirujuk,
89
dan jika antibiotik yang sama dan tidak sembuh maka pastikan iibu mengerti
pentingnya menghabiskan obat tersebut walau keadaan sudah membaik (38).
4.4.2. Hubungan Pengetahuan Ibu dengan Kejadian ISPA Balita Di
Puskesmas Pasar Gambir Kota tebing Tinggi Tahun 2019
Berdasarkan tabel 4.6 diketahui bahwa dari 30 (100%) responden dengan
pengetahuan ibu yang kurang yaitu sebanyak 11 (9,1%), didapatkan lebih banyak
yang mengalami sakit ISPA pada balita yaitu sebanyak 10 (33,3%) dan sisinya
sebanyak 1 (3,3%) balita yang tidak mengalami sakit ISPA. Untuk pengetahuan
ibu yang cukup yaitu sebanyak 7 (23,3%), didapatkan lebih banyak yang
mengalami sakit ISPA pada balita yaitu 4 (13,3%) dan sisanya sebanyak 3 (10%)
balita yang tidak mengalami sakit ISPA. Dan Untuk pengetahuan ibu yang baik
yaitu sebanyak 12 (40%), didapatkan lebih banyak yang tidak mengalami sakit
ISPA pada balita yaitu 8 (26,7%) dan sisanya sebanyak 4 (13,3%) balita yang
mengalami sakit ISPA.
Berdasarkan hasil uji statistik chisquare dengan taraf signifikan sig α 0,05,
diperoleh hasil p-value 0,019< 0,05 yang berarti ada hubungan pengetahuan Ibu
dengan kejadian ISPA balita di Puskesmas Pasar Gambir Kota Tebing Tinggi
2019.
Hasil wawancara dengan informan 1 (kepala puskesmas) tentang
pengetahuan MTBS dengan kejadian ISPA menyatakan “MTBS itu manajemen
terpadu balita sakit, kalau dikaitkan dengan kejadian ISPA bearti tatalaksana
balita sakit ISPA nya. Sedangkan informan 5 (ibu balita) dan informan 6 (ibu
balita) tidak mengetahuai apa itu ispa.
90
Faktor perilaku dalam pencegahan dan penanggulangan penyakit ISPA
pada bayi dan balita adalah praktek penanganan ISPA di keluarga baik yang
dilakukan oleh ibu maupun anggota keluarga lainnya. Keluarga merupakan unit
terkecil dari masyarakat yang berkumpul dan tinggal dalam suatu rumah tangga,
satu dengan yang lainnya saling tergantung dan berinteraksi. Peran aktif keluarga
dalam menangani ISPA sangat penting karena penyakit ISPA merupakan penyakit
yang ada sehari-hari di dalam masyarakat atau keluarga. (30)
Infeksi saluran pernafasan akut merupakan infeksi akut yang menyerang
salah satu bagian/lebih dari saluran napas, mulai hidung sampai alveoli termasuk
sinus, rongga telinga tengah dan pleura. Penyakit ISPA yang paling sering
menyebabkan kematian pada bayi dan anak balita adalah pneumonia. Dimana
pneumonia merupakan bagian atau tahap lanjut dari penyakit infeksi saluran
pernapasan akut. (3)
Hasil penelitian Ariyanto tahun 2017 menunjukan bahwa ibu balita yang
pengetahuan kurang tentang ISPA mempunyai resiko terhadap balitanya untuk
menderita ISPA 3,67 kali lebih besar dibandingkan dengan pengetahuan ibu yang
baik tentang ISPA.(48)
Hasil Peneliti Terdahulu Yuyu Sri rahayu tahun 2011 hasil penelitian
menunjukan bahwa proposi balita menderita sakit ISPA 80,2%. Ada hubungan
yang bermakna antara pengetahuan ibu {OR= 9,726,(95 CI : 4,333(95% CI :
1,596-11,768)}.(49)
Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Yuyu Sri Rahayu
Tahun 2011 bahwa dampak pengetahuan terhadap kejadian ISPA balita cukup
91
besar, yang berarti jika pengetahuan ibu ditingkatkan maka kejadian ISPA pada
balita akan berkurang. Maka disimpulkan adanya hubungan pengetahuan ibu
dengan kejadian ISPA balita.
Menurut asumsi peneliti, tingkat pengetahuan dipengaruhi oleh beberapa
faktor seperti tingkat pendidikan, peran penyuluh kesehatan, akses informasi yang
tersedia dan keinginan untuk mencari informasi dari berbagai media. Kejadian
penyakit ISPA sangat dipengaruhi oleh pengetahuan ibu terhadap kejadian ISPA.
4.4.3. Hubungan Status Imunisasi dengan Kejadian ISPA Balita Di
Puskesmas Pasar Gambir Kota tebing Tinggi Tahun 2019
Berdasarkan tabel 4.7 diketahui bahwa dari 30 (100%) responden, status
imunisasi dengan ketegori tidak lengkap yaitu sebanyak 13 (43,3%), didapatkan
lebih banyak yang mengalami sakit ISPA pada balita yaitu sebanyak 11 (36,7%)
dan sisinya sebanyak 2 (6,7%) balita yang tidak mengalami sakit ISPA. Untuk
status imunisasi dengan ketegori lengkap yaitu sebanyak 7 (23,3%), didapatkan
lebih banyak balita yang tidak mengalami sakit ISPA yaitu 10 (33,3%) dan
sisanya sebanyak 7 (23,3%) balita yang mengalami sakit ISPA.
Berdasarkan hasil uji statistik chisquare dengan taraf signifikan sig α 0,05,
diperoleh hasil p-value 0,042< 0,05 yang berarti ada hubungan status imunisasi
dengan kejadian ISPA balita di Puskesmas Pasar Gambir Kota Tebing Tinggi
2019.
Hasil wawancara dengan informan tentang status imunisasi, informan 1
(petugas MTBS) menyatakan ““Rata- rata imunisasinya sih lengkap dek apalagi
kalau posyandu rata-rata datang.” Sedangkan informan 5 ( ibu balita)
menyatakan “ imunisasinya lengkap tapi waktu itu pernah sakit terus beratnya
92
kurang, sering panas , pernah tertunda imunisasinya, tapi kalau sekarang udah
lengkap.”
Sebagian besar kematian ISPA berasal dari jenis ISPA yang berkembang
dari penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi, maka peningkatan cakupan
imunisasi akan berperan besar dalam upaya pemberantasan ISPA. Untuk
mengurangi faktor yang meningkatkan mortalitas ISPA maka diupayakan
Imunisasi lengkap. (30)
Infeksi saluran pernapasan merupakan radang akut saluran pernapasan atas
maupun bawah yang disebabkan oleh infeksi jasad renik atau bakteri, maupun
riketsia tanpa atau disertai radang parenkim paru. ISPA adalah suatu kelompok
penyakit sebagai penyebab langka absensi tertinggi bila dibandingkan dengan
kelompok penyakit lain. (3)
Hasil penelitian terdahulu Sukmawati 2009 mendapatkan kesimpulan
bahwa kejadian ISPA balita juga disebabkan oleh imunisasi tidak lengkap pada
kelompok ISPA adalah 7 responden (23,3%). Hasil tersebut menunjukan bahwa
balita dengan status imunisasi tidak lengkap rentan menderita ISPA.(50)
Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Sukmawati tahun 2009
bahwa status imunisasi tidak lengkap terhadap kejadian ISPA balita cukup besar,
yang berarti jika imunisasi lengkap maka kejadian ISPA pada balita akan
berkurang. Maka disimpulkan adanya hubungan status imunisasi dengan kejadian
ISPA balita.
Menurut asumsi peneliti, Dengan memberikan imunisasi dasar lengkap
dapat memberikan perlindungan yang paling ampuh untuk mencegah beberapa
93
penyakit berbahaya, karena Imunisasi dapat merangsang kekebalan tubuh balita
sehingga dapat terlindungi dari beberapa penyakit berbahaya.
4.4.4. Hubungan Status Gizi dengan Kejadian ISPA Balita Di Puskesmas
Pasar Gambir Kota tebing Tinggi Tahun 2019
Berdasarkan tabel 4.8 diketahui bahwa dari 30 (100%) responden dengan
status gizi yang kurang yaitu sebanyak 3 (10%), didapatkan lebih banyak yang
mengalami sakit ISPA pada balita yaitu sebanyak 2 (6,7%) dan sisinya sebanyak 1
(3,3%) balita yang tidak mengalami sakit ISPA. Untuk status gizi yang lebih yaitu
sebanyak 2 (6,7%), didapatkan lebih banyak yang mengalami sakit ISPA pada
balita yaitu 2 (6,7%) dan sisanya sebanyak 0 (0%) balita yang tidak mengalami
sakit ISPA. Dan Untuk status gizi yang normal yaitu sebanyak 25 (83,3%),
didapatkan lebih banyak yang mengalami sakit ISPA pada balita yaitu 14 (46,7%)
dan sisanya sebanyak 11 (36,7%) balita yang tidak mengalami sakit ISPA.
Berdasarkan hasil uji statistik chisquare dengan taraf signifikan sig α 0,05,
diperoleh hasil p-value 0,459< 0,05 yang berarti tidak ada hubungan status gizi
dengan kejadian ISPA balita di Puskesmas Pasar Gambir Kota Tebing Tinggi
2019.
Hasil wawancara dengan informan tentang status gizi, informan 3 (petugas
MTBS gizi) menyatakan ““banyak kali gizi kurang pada balita kami survei
kerumah warga kalau ada yang balitanya dengan ststus gizi kurang karana kan
ada program pemerintah jadi kami survei terus ada kasih bantuan seperti roti-
roti, ada yang dapat beras, karena rata-rata sih ekonominya kurang.” Informan 4
( ibu balita ) menyatakan ““ Kalau gizi sih kayanya sihhh cukup makannya
banyak dek, anak ibu kalau pagi-pagi pengennya dadar telor aja, pagi pagi
94
ma...ma..maa.. goleng telol, tapi sayur kurang suka paling kentang aja yang dia
mau yang lain dilepehnya pun...
Keadaan gizi yang buruk muncul sebagai faktor resiko yang penting
terjadinya ISPA. Beberapa penelitian telah membuktikan tentang adanya
hubungan atara gizi buruk dan infeksi paru, sehingga anak-anak yang bergizi
buruk sering mendapat pneumonia. (30)
Menurut (WHO), penyakit ISPA merupakan penyakit yang paling sering
menyebabkan kematian pada anak balita. Sehingga ISPA masih merupakan
penyakit yang mengakibatkan kematian yang cukup tinggi. Kematian tersebut
sebagian besar disebabkan oleh pneumonia. Laporan Kemenkes RI tahun 2011
kujungan penderita ISPA ke Puskesmas dan Rumah Sakit di Indonesia dapat
dikategorikan tinggi, yaiu sebanyak 40%-60% ke Puskesmas dan ke Rumah Sakit
sebanyak 15%-30%. (4).
Hasil penelitian terdahulu Domili tahun 2013, pemenuhan gizi yang
merupakan suatu proses penggunaan makanan yang dapat menghasikan energi
adalah cara untuk memperthankan kehidupan, memaksimalkan pertumbuhan dan
fungsi normal dari organ-organ tubuh, sehingga memiliki pengaruh besar terhadap
perkembangan dan pertumbuhan. Hasil perhitungan statistik bahwa nilai p-value
0,013 sehingga p-value <0,05 maka Ho di tolak dan Ha di terima sehingga dapat
disimpulkan bahwa ada hubungan antara status gizi dengan kejadian ISPA.(49)
Hasil penelitian ini p-value 0,459< 0,05 yang berarti tidak ada hubungan
status gizi dengan kejadian ISPA balita di Puskesmas Pasar Gambir Kota Tebing
Tinggi 2019.tidak sejalan dengan hasil penelitan Domili p-value <0,05 maka Ho
95
di tolak dan Ha di terima sehingga dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara
status gizi dengan kejadian ISPA. Namun status gizi merupakan proteksi rentan
terkena ISPA.
Menurut asumsi peneliti, tidak ada hubungan status gizi dengan kejadian
ISPA, karena status gizi yang baik terjadi bila tubuh memperoleh asupan gizi yang
cukup sehingga dapat digunakan oleh tubuh untuk pertumbuhan fisik,
perkembangan otak dan kecerdasan, produktivitas kerja serta daya tahan tubuh
terhadap infeksi secara optimal. Jadi ukuran berat badan yang kurang, lebih dan
baik belum tentu menjadi jaminan tubuh seseorang sehat.
4.4.5. Hubungan Keberadaan Perokok Dalam Rumah dengan Kejadian
ISPA Balita Di Puskesmas Pasar Gambir Kota tebing Tinggi Tahun
2019
Berdasarkan tabel 4.9 diketahui bahwa dari 30 (100%) responden,
keberadaan perokok di rumah dengan ketegori ada yaitu sebanyak 17 (56,7%),
didapatkan lebih banyak yang mengalami sakit ISPA pada balita yaitu sebanyak
14 (46,7%) dan sisinya sebanyak 3 (10%) balita yang tidak mengalami sakit
ISPA. Untuk keberadaan perokok di rumah dengan ketegori tidak ada yaitu
sebanyak 13 (43,3%), didapatkan lebih banyak balita yang tidak mengalami sakit
ISPA yaitu 9 (30%) dan sisanya sebanyak 4 (13,3%) balita yang mengalami sakit
ISPA.
Berdasarkan hasil uji statistik chisquare dengan taraf signifikan sig α 0,05,
diperoleh hasil p-value 0,013< 0,05 yang berarti ada hubungan keberadaan
perokok di rumah dengan kejadian ISPA balita di Puskesmas Pasar Gambir Kota
Tebing Tinggi 2019.
96
Hasil wawancara dengan informan tentang keberadaan perokok dalam
rumah, informan 1 (petugas MTBS) menyatakan “Kadang kan pas kk survei
kerumah survei tentang gizi bapa-bapanya itu rata-rata ngerokok dirumahnya,
kadang kk bilang ihhhh kasian tuh anaknya masih kecil ko ngerokok di dekat dia
pula, terus kalau udah aku bilang baru pindah bapanya, itu yang pas ketauan kk
pas lagi kerumahnya.” Sedangkan informan 4 (ibu balita) menyatakan “Bapaknya
si ade ngerokonya kuat kaliiiii pun, kadang anaknya lagi tidur didepan tv
bapaknya ngerokok situ, gak bisa dibilang kalau ibu bilang nanti takut ribut pula,
soalnya waktu itu pernah ibu bilang jauh-jauh ngerokoknya kan ada anakmu
situuuu ko ngerokok disitu pula jadi panjang jawabann dianya makanya udah
malas ibu bilangnya.
Pencemaraan udara dalam rumah asap rokok dan asap hasil pembakaran
bahan bakar untuk memasak dengan konsentrasi tinggi dapat merusak mekanisme
pertahanan paru sehingga timbulnya ISPA. (30)
Infeksi saluran pernafasan akut merupakan infeksi akut yang menyerang
salah satu bagian/lebih dari saluran napas, mulai hidung sampai alveoli termasuk
sinus, rongga telinga tengah dan pleura. Penyakit ISPA yang paling sering
menyebabkan kematian pada bayi dan anak balita adalah pneumonia. Dimana
pneumonia merupakan bagian atau tahap lanjut dari penyakit infeksi saluran
pernapasan akut. (3)
Terdapat seseorang perokok dalam rumah akan memperbesar resiko
anggota keluarga menderita sakit, seperti gangguan pernapasan, memperburuk
asma dan memperberat penyakit angina pectoris serta dapat meningkatkan resiko
97
untuk mendapatkan serangan ISPA khususnya balita. Anak-anak yang orang
tuanya perokok lebih mudah terkena penyakit ISPA, pneumonia, dan penyakit
saluran pernapasan lainnya.
Hasil penelitian Ariyanto tahun 2017 menyatakan balita yang tinggal
dirumah dengan adanya perokok mempunyai kemungkinan mendapatkan
gangguan pernapasan sebanyak 1,986 kali dibanding dengan balita yang tinggal
serumah dengan tidak ada perokok dalam rumah.(48)
Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Yuyu Sri Rahayu tahun
2011 bahwa dampak keberadaan perkokok didalam rumah terhadap kejadian
ISPA balita cukup besar, yang berarti jika kebiasaan merokok di dalam rumah
dihindari maka kejadian ISPA pada balita akan berkurang. Maka disimpulkan
adanya hubungan keberadaan perokok dalam rumah dengan kejadian ISPA
balita.(50)
Menurut asumsi peneliti, asap rokok dari orang tua atau penghuni rumah
yang satu atap dengan balita merupakan bahan pencemaran dalam ruang tempat
tinggal yang serius serta akan menambah resiko kesakitan. Paparan yang terus
menerus akan menimbulkan gangguan pernafasan terutama memperberat
timbulnya infeksi saluran pernafasan akut atau gangguan paru-paru pada saat
balita dan dewasa. Semakin banyak rokok yang dihisap oleh keluarga atau
penghuni rumah semakin besar memberikan resiko terhadap kejadian ISPA,
khususnya apabila merokok dilakukan oleh ibu bayi.
98
4.4.6. Implikasi Hasil Penelitian
Hasil penelitian ini memberikan implikasi kemampuan ibu balita dalam
mengetahui tanda dan gejala ISPA dan diharapkan dapat mencegah terjadinya
ISPA dengan cara pola hidup sehat menjaga kebersihan lingkungan dalam rumah
maupun diluar rumah serta jangan merokok didekat anak-anak. Hal ini menjadi
acuan bagi petugas MTBS untuk melakukan penyuluhan terhadap masyarakat
terutama ibu balita dalam hal meningkatkan pengetahuan ibu dalam pendidikan
kesehatan secara teratur terkait bahaya ISPA pada balita.
4.4.7. Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini telah dilakukan dengan semaksimal mungkin, namun
demikian masih ditemui keterbatasan dalam penelitian ini.
1) Pada penelitan ini peneliti hanya menggunakan data sekunder dan hanya
meneliti beberapa faktor risiko, diharapkan pada peneliti selanjutnya untuk
menambah faktor risiko lainya.
2) Terbatasnya data dipuskesmas seperti data balita ISPA masih digabungkan
dengan data ISPA dewasa maupun lansia sehingga peneliti harus memilah-
milah kembali balita yang mengalami ISPA saja, serta pada saat penelitian
rumah warga berdekatan sehingga pada saat penelitian suasananya agak
sedikit bising sehingga harus berulang-ulang dengan pertanyaan yang sama.
99
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah dipaparkan pada bab
sebelumnya dapat diambil beberapa kesimpulan untuk penelitian ini yaitu:
1. Ada hubungan faktor pengetahuan ibu balita dengan kejadian ISPA balita di
Puskesmas Pasar Gambir Tahun 2019 dengan p-value 0,019 < 0,05.
2. Ada hubungan status imunisasi dengan kejadian ISPA balita di Puskesmas
Pasar Gambir Kota Tebing Tinggi Tahun 2019 dengan p-value 0,042 < 0,05.
3. Tidak ada hubungan status gizi dengan kejadian ISPA balita di Puskesmas
Pasar Gambir Kota Tebing Tinggi Tahun 2019 denagn p-value 0,459 > 0,05.
Namun masih merupakan faktor risiko terhadap kejadian ISPA.
4. Ada hubungan keberadaan perokok dalam rumah dengan kejadian ISPA di
Puskesmas Pasar Gambir Kota Tebing Tinggi Tahun 2019 dengan p-value
0,013 < 0,05.
5.2. Saran
1. Bagi Peneliti
Hasil penelitian ini dapat menambah wawasan peneliti terutama dalam
melakukan penelitian kejadian ISPA dan dapat dikembangkan bagi peneliti
selanjutnya yang ingin melakukan penelitian yang sama, namun dicari faktor
risiko yang belum pernah diteliti untuk mengembangkan hasil yang lebih baik
lagi
100
2. Bagi Institusi Pendidikan
Diharapkan sebagai bahan masukan serta menambah refrensi di perpustakaan
sebagai bahan bacaan di Institut Kesehatan Helvetia medan.
3. Bagi Tenaga Kesehatan
Bagi tenaga kesehatan disarankan lebih memahami faktor risiko kejadian
ISPA pada balita serta meningkatkan pelayanan pada balita ISPA dengan
memnatau lebih lanjut tentang balita ISPA.
4. Bagi Masyarakat
Bagi masyarakat diharapkan terutama ibu-ibu balita untuk senantiasa menjaga
kebersihan lingkungan dalam rumah maupun diluar rumah serta menjaga
kebersihan diri dan jangan biasakan merokok di depan anak-anak. Serta rutin
melakukan pemeriksaan ke petugas kesehatan jika kondisi balita sedang sakit.
101
DAFTAR PUSTAKA
1. Saleha, siti. Organisasi dan Manajemen Pelayanan Kesehatan serta Kebidanan.
Jakarta : Salemba Medika; 2012.
2. Direktorat Bina Kesehatan Anak. Manajemen Terpadu Balita Sakit. [Internet];
2011 [Diakses oleh: Iga Sari Siregar : tanggal 25 Febuari 2019]. Tersedia di
http://www.kesehatananak.depkes.go.id/index.php.
3. Misnaldiarly. 2008. Penyakit Infeksi Saluran Napas Pneumonia pada Anak
Balita. Jakarta : Pustaka Populer Obor.
4. Kemenkes RI 2011. Pedoman Pengendalian Infeksi Saluran Pernafasan Akut.
Jakarta.
5. Kemenkes RI 2013. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta
6. Dinkes Provinsi Sumut. 2015. Profil Kesehatan Sumatera Utara 2014. Medan.
7. Maryunani, A. 2010. Ilmu Kesehatan Anak dalam Kebidanan. Jakarta : Trans
Info Media
8. Salem A S. Abdel-Azeem M.. El-Mazarg. Ashraf M. Oshar M A B. 2016.
Integrated Management of Chilhood Illnes (IMCI) Aproach of Children with
High Grade Fever. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4825897/.
Diakses pada 28 mei 2019.
9. Permenkes RI. 2013. Peraturan Menteri Kesehatan Indonesia Nomor 70 Tahun
2013 tentang Penyelenggaraan Manajemen Terpadu Balita Sakit Berbasis
Masyarakat. Jakarta.
10. Kemenkes RI, 2014. Pedoman Penyelenggaraan Manajemen Terpadu Balita
Sakit Berbasis Masyarakat (MTBS-M). [Internet]; [Diakses oleh: Iga Sari
Siregar : tanggal 16 Febuari 2019].
11. Depkes Republik Indonesia. Penilaian dan Klasfikasi Anak Sakit Modul 2.
Depkes RI: Jakarta. [Internet]; 2010 [Diakses oleh: Iga Sari Siregar : tanggal
25 Febuari 2019].
12. Kemenkes RI, 2015. Buku Bagan Manajemen Terpadu Balita Sakit. [Internet];
[Diakses oleh: Iga Sari Siregar : tanggal 16 Febuari 2019].
13. Rekawati, S. Analisis Implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS)
di Puskesmas Surbaya. [Internet]; 2011 [Diakses oleh: Iga Sari Siregar :
tanggal 25 Febuari 2019]. Tersedia di : http://eprints.undip.ac.id/32664/ pdf
14. Wardani, A. T. A. 2016. Analisis Penerapan Manajemen Terpadu Balita Sakit
(MTBS) Terhadap Kejadian Pneumonia Balita di Puskesmas Halmahera Kota
Semarang. http://lib.unnes.ac.id/26221/1/6411412099_.pdf. Diakses pada 4
juni 2019.
15. Husni. DS., Jumriani A., 2012. Gambaran Pelaksanaan MTBS umur 2 Bulan –
5 Tahun di Puskesmas Makasar Tahun 2012.
16. Laporan Data MTBS Puskesmas Pasar Gambir Kota Tebing Tinggi Tahun
2018
17. Haniffa, Fitri. Analisis Penatalaksanaan Pneumonia pada Batita dengan
Mnajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) di Puskesmas Medan Denai.
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara : Program Studi
S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat: [Skripsi]; 2014.
102
18. Puspita, Diah, Sari. Evaluasi Pelaksanaan MTBS Pneumonia di Puskesmas di
Kabupaten Lumajang. [Internet]; 2013 [Diakses oleh: Iga Sari Siregar :
tanggal 16 Febuari 2019].
19. Angelia, Yuniar, Kusbandiyah, Jiarti. Analisis Kinerja Bidan Puskesmas
dalam Pelayanan MTBS di Wilayah Dinas Kesehatan Kota Malang. [Internet];
2014 [Diakses oleh: Iga Sari Siregar : tanggal 16 Febuari 2019].
20. Tyas, Adining, Wardani. Analisis Penerapan Manajemen Terpadu Balita Sakit
(MTBS) terhadap Kejadian Pneumonia Balita di Puskesmas Halmahera Kota
Semarang. . [Internet]; 2016 [Diakses oleh: Iga Sari Siregar : tanggal 16
Febuari 2019].
21. Junaidi, Edi. Hubungan Pengetahuan dan Sikap Petugas Kesehatan Dengan
Penerapan Manajemen Terpadu Balita Sakit di Kabupaten Majene Provinsi
Sulawesi Barat. Fakultas Kedokteran Universitas Hasanudin : Program Studi
Ilmu Keperawatan; [Skripsi]; 2013.
22. Hastuti, Sri. Pengaruh Pengetahuan Sikap dan Motivasi terhadap
Penatalaksanaan Mnajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) pada Petugas
Kesehatan di Puskesmas Kaputaen Boyolali. [Internet]; 2010 [Diakses oleh:
Iga Sari Siregar : tanggal 16 Febuari 2019] Tersedia di jurnal.eprints.uns.ac.id
23. Yulianti. Pengaruh Pengetahuan dan Motivasi Petugas Kesehatan tentang
Mutu Pelayanan Kesehatan dengan Penatalaksanaan MTBS di Puskesmas
Satria Tebing Tinggi. Fakultas Farmasi dan Kesehatan Umum Institut
Kesehatan Helvetia : Program Studi Kebidanan (D4): [Skripsi]; 2016.
24. Wilyani, Elizabet, Siwi. Materi Ajar Lengkap Kebidanan Komunitas.
Yogyakarta: Pt Pustaka Baru Pers; 2014.
25. Depkes RI. 2008. Pengantar Manajemen Terpadu Balita Sakit. Jakarta.
26. Depkes Republik Indonesia. Manajemen Terpadu Balita Sakit Modul 7
Pedoman Penerapan MTBS di Puskesmas. Depkes RI: Jakarta. [Internet];
2008 [Diakses oleh: Iga Sari Siregar : tanggal 25 Febuari 2019].
27. Kemenkes RI, 2013. [Internet]; [Diakses oleh: Iga Sari Siregar : tanggal 16
Febuari 2019] Tersedia di Kesga.kemkes.go.id/ Manajemen Terpadu Balita
Sakit. Pdf
28. Prasetyawati, AE. 2012. Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) dalam Millenium
Development Goals (MDGs). Yogyakarta. Nuha Medika.
29. Widoyono, 2008, Penyakit Tropis Epidemiologi, Penularan, Pencegahan dan
Pemberantasannya. Jakarta : Erlangga.
30. Hadinegoro,S.R.Pedoman Imunisasi di Indonesia. Badan Penerbit Ikatan
Dokter Indonesia; 2011.
31. Proverawati, A, dkk. Imunisasi dan Vaksinisasi. Yogyakarta : Nuha Medika;
2010.
32. Marimbi, H. Tumbuh Kembang Status Gizi dan Imunisasi Dasar pada Balita.
Yogyakarta : Nuha Medika: 2010.
33. Yestriandriani.Pengaruh Pendidikan Kesehatan terhadap Pengetahuan dan
Sikap Orang Tua Tentang Imunisasi Dasar pada Bayi. 2011. [Internet];
[Diakses oleh: Iga Sari Siregar : tanggal 16 Mei 2019]
34. Unicef. 2013. [Internet]; [Diakses oleh: Iga Sari Siregar : tanggal 16 Mei
2019].Tersedia di : www.unicef.org/indonesia/id/media_3175html.
103
35. Departemen Kesehatan RI, 2011. Pedoman Nasional Penanggulangan
Tuberkulosis. Jakarta. [Internet]; [Diakses oleh: Iga Sari Siregar : tanggal 16
Mei 2019]
36. Mulyadi, D. Analisis Faktor Risiko yang Berhubungan dengan Kejadian TBC
pada Balita Berstatus Gizi Buruk di Kota Bogor. [Internet]; 2013 [Diakses
oleh: Iga Sari Siregar : tanggal 16 Mei 2019].
37. Ayu, Ariani, Wijaya. Evaluasi Penggunaan Antibiotika untuk Penyakit Diare
pada Pasien Rawat Inap di RSUD Kabupaten Karang Anyar. [Internet]; 2010
[Diakses oleh: Iga Sari Siregar : tanggal 16 Mei 2019].
38. Permenkes RI, 2014. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
75 Tahun 2014 tentang Pusat Kesehatan Masyarakat. Jakarta.
39. Notoadmodjo, Soekidjo. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta:
Rineka Cipta; 2014.
40. Sugiono. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfa Beta; 2010.
41. Notoadmodjo, Soekidjo. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta:
Rineka Cipta; 2014.
42. Suroyo, RB. Disertasi Implementasi Konsep Pendidikan shalat dalam
Pelaksanaan Antenatal care dan Natal Care di Rumah Sakit Kota Medan
(Studi Kasus di Rumah Sakit Mitra Medika). 2016.
43. Hurlock, Elizabeth B. Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang
Rentang Kehidupan. Edisi kelima. Jakarta: Erlangga; 2004.
44. Iman, M. Panduan Penyusunan Karya Tulis Ilmiah Bidang Kesehatan
Menggunakan Metode Ilmiah. Bandung : Ciptapustaka Media Perintis; 2016.
45. Iman, M. Pemanpaatan SPSS dalam Penelitian Kesehatan dan umum.
Bandung : Ciptapustaka Media Perintis; 2016.
46. Meleong, L. Metodologi Penelitian Kualitatif (edisi revisi). Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya; 2012.
47. Sugiono, Metode penelitian kombinasi Mixed Methods Cetakan ke-9.
Bandung: Alfa Beta: 2017.
48. Wartono, Ariyanto. Analisis Kejadian Penyakit Pneumonia pada Balita di
Wilayah Kerja Puskesmas Tuminting Kota Manado.[Internet]; 2017 [Diakses
oleh: Iga Sari Siregar : tanggal 1 September 2019].
49. Domili, M.F. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Pneumonia
pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Global Mongolato. . [Internet]; 2013
[Diakses oleh: Iga Sari Siregar : tanggal 1 September 2019
50. Sri Rahayu, Yuyu. Kejadian ISPA pada Balita di Tinjau dari Pengetahuan Ibu,
Karakteristik Balita , Sumber Pencemar dalam Ruangdan Lingkungan Fisik
Rumah di Wilayah Kerja Puskesmas DTP Cibeber Kabupaten Lebak
Propinsi Banten. Fakultas Kesehatan Masyarakat Depok.[skripsi]; 2011.
104
Lampiran 1. Kuesioner Penelitian
ANALISIS PENERAPAN MTBS TERHADAP KEJADIAN
ISPA BALITA DI PUSKESMAS PASAR GAMBIR
TEBING TINGGI TAHUN 2019
1. Identitas Responden
No. Responden :
Nama Responden :
Umur Responden :
Nama Balita :
Umur Balita :
2. Pengetahuan Ibu
1. Apakah anda tahu apa itu kepanjangan dari ISPA
a. Infeksi Saluran Pernafasan Akut
b. Infeksi Saluran Perpanjangan Akut
c. Infeksi Saluran Perpanjangan Akar
2. Apa itu ISPA?
a. Suatu penyakit yang menyerang saluran pernafasan dapat disebabkan
oleh virus atau bakteri
b. Infeksi pada kulit yang menyebabkan gatal-gatal
c. Penyakit infeksi yang disebabkan oleh jamur
3. Menurut ibu, apakah anak ibu perlu mendapatkan imunisasi lengkap atau
tidak, jika perlu apakah ibu membawanya ke pelayanan kesehatan?
a. Dukun bayi
b. Kantor Desa
c. Puskesmas
4. Penyakit ISPA dapat disebabkan oleh:
a. Asap rokok
b. Virus dan bakteri
c. Angin dan debu
5. Apakah bentuk gejala dari ISPA?
a. Batuk, pilek
b. Gatal-gatal, biduran
c. Diare, tidak nafsu makan
105
6. Faktor apa saja yang dapat mempengaruhi kejadian ISPA?
a. Makanan yang tidak bersih
b. Lingkungan rumah yang tidak bersih
c. Keadaan air yang tidak bersih
7. Bagaimana penyakit ISPA dapat ditularkan?
a. Menggunakan pakaian yang bersamaan
b. Jajan sembarangan
c. Melalui percikan saat batuk/bersin
8. Tindakan pencegahan penularan apa yang akan anda lakukan jika anda
menderita ISPA?
a. Menutup mulut saat bersin dan batuk
b. Menutup mulut dengan masker
c. A dan B benar
9. Bagaimana cara mencegah terjadinya ISPA?
a. Mandi teratur 2x sehari dan mengganti pakaian
b. Menutup tempat penampungan air
c. Menutup mulut saat batuk dan bersin, menggunakan masker saat batuk
10. Dibawah ini merupakan faktor resiko terjadinya penularan penyakit ISPA,
kecuali
a. Lingkungan rumah yang tidak bersih dan padat
b. Banyaknya asap yang ada di udara
c. Makanan yang tidak bersih
11. Menurut ibu, pemeriksaan penyakit ISPA dilakukan kepada petugas yang
seperti apa?
a. Petugas kesehatan
b. Bidan
c. Dukun bayi
12. Seseorang akan lebih rentan untuk terserang penyakit ISPA jika dalam
kondisi berikut:
a. Sedih
b. Sakit
c. Lelah
13. Gejala yang dapat ditumbulkan pada penyakit ISPA akan bertambah buruk
jika anak tidak mendapatkan:
a. Imunisasi
b. Air hangat
c. Suplemen
106
14. Influenza dan batuk pilek termasuk kedalam penyakit?
a. ISPA
b. DBD
c. Hipertensi
15. Menurut anda apakah penyakit ISPA dapat ditularkan oleh orang dewasa
ke balita?
a. Tidak tahu
b. Tidak bisa
c. Bisa
3. Status Imunisasi
No Pertanyaan Ya Tidak
1. Apakah ibu memberikan imunisasi
lengkap pada bayi?
4. Status Gizi
No Pertanyaan
1. Berapa berat badan anak ibu
sekarang ?
5. Keberdaan Perokok Dalam Rumah
No Pertanyaan Ada Tidak Ada
1. Apakah ada anggota keluarga yang
merokok di dalam rumah?
4. Kejadian ISPA
No Pertanyaan Ya Tidak
1. Apakah dalam dua minggu terakhir ini anak ibu
mengalami tanda-tanda klinis, seperti batuk atau pilek,
disertai demam atau tidak?
107
KUNCI JAWABAN KUESIONER PENGETAHUAN IBU
No Pertanyaan A B C
1. Apakah anda tahu apa itu kepanjangan dari ISPA? 1 0 0
2. Apa itu ISPA? 1 0 0
3. Menurut ibu, apakah anak ibu perlu mendapatkan
imunisasi lengkap atau tidak, jika perlu apakah
ibu membawanya ke pelayanan kesehatan?
0 0 1
4. Penyakit ISPA dapat disebabkan oleh apa? 0 1 0
5. Apakah bentuk gejala dari ISPA? 1 0 0
6. Faktor apa saja yang dapat mempengaruhi
kejadian ISPA?
0 1 0
7. Bagaimana penyakit ISPA dapat ditularkan? 0 0 1
8. Tindakan pencegahan penularan apa yang akan
anda lakukan jika anda menderita ISPA?
0 0 1
9. Bagaimana cara mencegah terjadinya ISPA? 1
10. Dibawah ini merupakan faktor resiko terjadinya
penularan penyakit ISPA, kecuali
0 0 1
11. Menurut ibu, pemeriksaan penyakit ISPA
dilakukan kepada petugas yang seperti apa?
1 0 0
12. Seseorang akan lebih rentan untuk terserang
penyakit ISPA jika dalam kondisi berikut:
0 1 0
13. Gejala yang dapat ditumbulkan pada penyakit
ISPA akan bertambah buruk jika anak tidak
mendapatkan:
1 0 0
14. Influenza dan batuk pilek termasuk kedalam
penyakit?
1 0 0
15. Menurut anda apakah penyakit ISPA dapat
ditularkan oleh orang dewasa ke balita?
0 0 1
108
PEDOMAN WAWANCARA ANALISIS PENERAPAN MTBS DENGAN
KEJADIAN ISPA BALITA DI PUSKESMAS PASAR GAMBIR
TEBING TINGGI TAHUN 2019
A. Wilayah Responden :
1. Kota :
2. Propinsi :
3. Kecamatan :
4. Kelurahan :
No. Identitas Informan
1. Nama :
2. Usia :
3. Pekerjaan
4. Pendidikan
5. Jumlah Anak
6. Penghasilan Keluarga /Bulan
B. Panduan Wawancara Informan Utama (Petugas MTBS)
No. Pertanyaan
1. Bagaimana petugas MTBS dipuskesmas ini cukup?
2. Bagaimana kepatuhan ibu balita dalam pelaksanaan MTBS?
3. Bagaimana alur pelaksaan MTBS di puskesmas ini?
4. Bagaimana sarana dan prasarana MTBS di Puskesmas ini?
5 Bagaimana pengetahuan ibu tentang MTBS dengan kejadian ISPA?
6 Bagaimana penerepan MTBS dengan kejadian ISPA?
7 Apakah ada pelatihan MTBS di puskesmas ini?
8 Apakah ibu tahu tentang status Imunisasi yang dilakukan ibu balita
lengkap/ tidak?
9 Bagaimana dengan status gizi balita tentang program MTBS ini?
10 Apakah ibu tahu bahaya merokok di dalam rumah?
C. Panduan Wawancara Informan Pendukung (Kepala Puskesmas)
No. Pertanyaan
1. Bagaimana petugas MTBS di puskesmas ini cukup?
2. Bagaimana alur pelaksaan MTBS di puskesmas ini?
3 Bagaimana sarana dan prasarana MTBS di Puskesmas ini?
4 Bagaimana pengetahuan ibu tentang MTBS dengan kejadian ISPA?
D. Panduan Wawancara Informan Pendukung (Ibu Balita)
No. Pertanyaan
1. Bagaimana petugas MTBS dipuskesmas ini cukup?
2. Bagaimana kepatuhan ibu balita dalam pelaksanaan MTBS?
109
3 Bagaimana alur pelaksaan MTBS di puskesmas ini?
4 Bagaimana pengetahuan ibu tentang MTBS dengan kejadian ISPA?
5 Apakah ibu tahu tentang status Imunisasi yang dilakukan ibu balita
lengkap/ tidak?
6 Bagaimana dengan status gizi balita tentang program MTBS ini?
7 Apakah ibu tahu bahaya merokok di dalam rumah?
110
Karakteristik Informan
A. Informan Utama
1) Nama Informan-2 : Tetty Elvidawaty
Pekerjaan : PNS (Petugas MTBS)
2) Nama Informan-3 : Santiara Sagala
Pekerjaan : PNS (Petugas MTBS ISPA)
3) Nama Informan-4 : Frida Asianna AMG
Pekerjaan :PNS (Petugas MTBS Gizi)
B. Informan Pendukung
1) Nama Informan-1 : dr Indri Wahyuni R
Pekerjaan : PNS (Kepala Puskesmas)
2) Nama Informan-1 : Luvi Wardani
Umur : 32 Tahun
Jumlah Anak : 3
Pendidikan : SD
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
3) Nama Informan-2 : Rapizatul Adwizah
Umur : 23 Tahun
Jumlah Aanak : 2
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
111
Tabel 4.11 Matriks Hasil Wawancara dengan Informan tentang Petugas MTBS
No Informan Hasil Wawancara
1 Informan 1
( Kepala Puskesmas)
“Tenaga kesehatan cukuplah dek tapi kalau untuk
petugas MTBS yang pegang program cuman 1
orang, MTBS ini kan banyak ada tentang ISPA, giji
balita dsb, masing – masing satu orang, dan untuk
petugas ISPA Cuma satu orang juga.”
2 Informan 2
( petugas MTBS)
“Kalau untuk tenaga kesehatan cukup sihhh, tapi
kalau untuk petugas MTBS cuman saya, saya pun
baru 1 tahun pegang program MTBS, sebelumnya
bukan saya.dan untuk program MTBS tentang ISPA
gak ada kadernya.”
3 Informan 3
( petugas MTBS)
“Tenaga kesehatan cukup lah, saya pegang
tentang program gizi, program gizi ini banyak kali
x dek buat laporan survey ke rumah-rumah
wargalah untuk ngecek gizi balita kurang dan
buruk kalau untuk petugas ispa Cuma satu orang.”
4 Informan 4
( Petugas MTBS)
“Tenaga kesehatan kalau menurutqu kan dek....
kurang apalagi aku di bagian ISPA banyak kali
rata- rata sakit ISPA, dari bapak.. bapak sampai
anak balita.”
5 Informan 5
( Ibu Balita)
“Tenaga kesehatan nya sihhhh cukup, pas
posyandu banyak x..... petugas puskesmasnya....”
6 Informan 6
(Ibu Balita)
“Tenaga kesehatan banyak tapi kalau ngambil obat
ngantri terus....”
Tabel 4.12 Matriks Hasil Wawancara dengan Informan tentang Kepatuhan Ibu
Balita dalam Pelaksanaan MTBS
No Informan Hasil Wawancara
1 Informan 2
Petugas MTBS
“Biasanya sih dek ibu-ibu balita kalau masih sakit
anaknya dibawa lagi datang tapi kalau udah sehat
ngilang gitu ajaa.”
2 Informan 3
Petugas MTBS
“Kalau dibilang patuh sih beda-beda ada yang patuh
ada juga yang gak patuh beda orang beda-beda.”
3 Informan 4
Petugas MTBS
“Kadang pas berobat belum sebulan sakitnya
anaknya datang lagi dengan sakit yang sama pas saya
tanyakan obatnya yang sebelumnya dihabiskan atau
nggak, dibilanganya gak dihabiskan karena udah
mendingan.”
4 Informan 5
Ibu Balita
“Biasanya sih kalau batuk dihabiskan obat yang
dikasih dari puskesmas, yaaahhhh kalau udah sembuh
nggak dihabiskan lah orang udah sembuhnya.”
5 Informan 6
Ibu Balita
“Anakku kan paling nggak suka minum obat susah x
kalau udah minum obat, kadang nggak teratur minum
obatnya”.
112
Tabel 4.13 Matriks Hasil Wawancara dengan Informan tentang Alur Pelaksanaan
MTBS
No Informan Hasil Wawancara
1 Informan 1
Kepala Puskesmas
“Kalau berdasarkan alur pelaksanaan kan dek
biasanya ibu balita tuh datang pertama kali daptar
keloket, terus pemeriksaan, dibawa kepoli setelah
diperiksa diberi resep kemudian nebus resepnya
dibelakang”.
2 Informan 2
Petugas MTBS
“Alurnya tuh begitu datang ibu-ibu langsung
daptar keloket, nah kalau udah ada no antriannya
nanti kan dipanggil tuhhhh terus di timbang berat
badanya, di ukur suhu tubuhnya, terus diperiksalah
sama dokter nyaaa, yah kalu udah itu dikasih resep
ngambil obatlah itu aja sih dekkk...”
3 Informan 3
Petugas MTBS
“Berdasarkan alurnya sih udah pas menurutku sih
datang, timbang berat badan, ukur suhu tubuh,
diperiksa sama dokter, dikasih resep, ngambil obat
dahhhhh”.
4 Informan 4
Petugas Mtbs
“Alurnya sih dek pertama datang keloket, terus
ditimbang, diukur suhunya, diperiksa sama dokter
dikasih resepnya terus ditebus, tapi kalau balita
kan beda tuh sakitnya misalnya pas ditimbang
itukan berat badanya gak sesuai tuh sama umurnya
kami anjurkan dia datengi si frida petugas bagian
gizi untuk dikonseling.”
5 Informan 5
Ibu Balita
“Biasanya sihhhh pas datang itu daftar lah di
depan terus duduk nunggu kalau pas ngantri, tapi
kalau gak ngantri sih langsung ditimbang terus
diperiksalah sama dokternya, dikasih resep
ngambil obatnya dibelakang.”
6 Informan 6
Ibu Balita
“Datang tuh langsung daftar, biasanya ditimbang
terus dibawa kedokternya dperiksa terus dikasih
kertas, dibawa kebelakang ngambil obat naaa..”
Tabel 4.14 Matriks Hasil Wawancara dengan Informan tentang Sarana dan
Prasarana MTBS
No Informan Hasil Wawancara
1 Informan 1
Kepala
Puskesmas
“Sarana dan prasarana MTBS masih kurang
dek...jauh kali kurangnya harusnya kan ada ruangan
khusus tapi ini gak ada, kalau untuk program MTBS
ini masih kurang”
2 Informan 2
Petugas MTBS
“Masih kurang harus naa kan ada tempatnya itu yang
terpisah tapi inikan semua yang datang rata-rata
diperiksa disitu, peralatan untuk MTBS pun kurang
lengkap kaya kartu KNI itu pun gak ada disini.”
113
3 Informan 3
Petugas MTBS
“Masih kurang lengkap.”
4 Informan 4
Petugas MTBS
“Kurang harusnya ada tempat khusus, kalau masalah
lainya kendalanya tanya aja ke kapus.”
Tabel 4.15 Matriks Hasil Wawancara dengan Informan tentang Pengetahuan
MTBS dengan Kejadian ISPA
No Informan Hasil Wawancara
1 Informan 1
Kepala Puskesmas
“MTBS itu manajemen terpadu balita sakit, kalau
dikaitkan dengan kejadian ISPA bearti tatalaksana
balita sakit ISPA nya.”
2 Informan 2
Petugas MTBS
“Manajemen terpadu balita sakit ISPA itu sihh
kayanya dek.....”
3 Informan 3
Petugas MTBS
“Manajemen terpadu balita sakit itu kan banyak
programnya dek ada gizi buruk bukan ISPA aja.”
4 Informan 4
Petugas MTBS
“Manajemen terpadu balita sakit itu aja setahu aku,
aku kan pegang program ISPA nya.”
5 Informan 5
Ibu Balita
“Apa itu MTBS........ ibu lang ngerti dekkk.”
6 Informan 6
Ibu Balita
“Nggak tau.....”
Tabel 4.16 Matriks Hasil Wawancara dengan Informan tentang Penerapan MTBS
dengan Kejadian ISPA
No Informan Hasil Wawancara
1 Informan 1
Petugas MTBS
“Penerapannya kadang nggak sesuai alurnya, kalau
ngikutin alurnya panjang kali, lama waktunya, nanti
malah jadi ngantri, harusnya ngikutin sesuai bagan
tatalaksana MTBS.”
2 Informan 2
Petugas MTBS
“Penerapannya kadang sesuai tatalaksana kadang
nggak lebih banyak kurangnya sih de....”
3 Informan 3
Petugas MTBS
“Itukan ada bukunya tuh tatalaksana MTBS
berdasarkan klasfikasi penyakitnya tapi jarang kami
lakukan sesuai buku panduannya karena waktunya
mepet pasien udah ngantri, petugasnya dikit, kan
kasian nanti ibu-ibu tuh ngantri anaknya kadang
nangis kalau nunggu lama.”
114
Tabel 4.17 Matriks Hasil Wawancara dengan Informan tentang Pelatihan MTBS
NO Informan Hasil Wawancara
1 Informan 1
Petugas MTBS
“Udah lama kali nggak ada pelaitahan apalagi
pelatihan MTBS.”
2 Informan 2
Petugas MTBS
“Aku aja gak ikut pelatihan baru pegang program
MTBS ini masih setahuan sebelunya bukan aku.”
3 Informan 3
Petugas MTBS
“Udah lama kali nggak ada dek, nggak tau juga
udah berapa lama nggak adanyaaa..”
Tabel 4.18 Matriks Hasil Wawancara dengan Informan tentang Status Imunisasi
NO Informan Hasil Wawancara
1 Informan 1
Petugas MTBS
“Rata- rata imunisasinya sih lengkap dek apalagi
kalau posyandu rata-rata datang.”
2 Informan 2
Petugas MTBS
“kalau imunisasi hampir semua datang ada
beberapa yang gak datang.”
3 Informan 3
Petugas MTBS
“kayanya sih semua datang dek biasakan kan ganti-
ganti petugas yang lakukan imunisasi diposyandu.”
4 Informan 4
Ibu Balita
“ Kalau anak saya lengkap imunisasinya.”
5 Informan 5
Ibu Balita
“ imunisasinya lengkap tapi waktu itu pernah sakit
terus beratnya kurang sering panas pernah tertunda
imunisasinya, tapi kalau sekarang udah lengkap.”
Tabel 4.19 Matriks Hasil Wawancara dengan Informan tentang status gizi
NO Informan Hasil Wawancara
1 Informan 1
Petugas MTBS
“Banyak kali yang gizi kurang berdasarkan laporanya,
kalau yang gizi buruk ada beberapa, lebih banyak gizi
kurang.”
2 Informan 2
Petugas MTBS
“Gizi kurang yang banyak data si efrida dia kan
tentang MTBS gizi orang itu selalu survai kerumah-
rumah yang ada balita gizi kurangnya.”
3 Informan 3
Petugas MTBS
“banyak kali gizi kurang pada balita kami survei
kerumah warga kalau ada yang balitanya dengan
ststus gizi kurang karana kan ada program pemerintah
jadi kami survei terus ada kasih bantuan seperti roti-
roti, ada yang dapat beras, karena rata-rata sih
ekonominya kurang.”
4 Informan 4
Ibu Balita
“ Kalau gizi sih kayanya sihhh cukup makannya
banyak dek, anak ibu kalau pagi-pagi pengennya dadar
telor aja, pagi pagi ma...ma..maa.. goleng telol, tapi
sayur kurang suka paling kentang aja yang dia mau
yang lain dilepehnya pun...
115
NO Informan Hasil Wawancara
5 Informan 5
Ibu Balita
“Anak ibu mah makannya lumayan banyak dek dia
paling suka ikan goreng dencis yang kecil-kecil
itu,kadang ibu buatkan sayur bayam suka kaliiiiii
diaaa itu
Tabel 4.20 Matriks Hasil Wawancara dengan Informan tentang keberadaan
perokok dalam rumah
No Informan Hasil Wawancara
1 Informan 1
Petugas MTBS
“Kadang kan pas kk survei kerumah survei tentang gizi
bapa-bapanya itu rata-rata ngerokok dirumahnya,
kadang kk bilang ihhhh kasian tuh anaknya masih kecil
ko ngerokok di dekat dia pula, terus kalau udah aku
bilang baru pindah bapanya, itu yang pas ketauan kk pas
lagi kerumahnya.”
2 Informan 2
Petugas MTBS
“Rata- rata merokok kadang datang kepuskesmas
ngerokok dia diluar sambil nunggu anaknya berobat,
istrinya didalam dianya diluar ngerokok.”
3 Informan 3
Petugas MTBS
“Pas kk posyandu pun emang kaya gitu banyak yang
ngerokok, tapi kami suruh jauh-jauh ngerokoknya.”
4 Informan 4
Ibu Balita
“Bapaknya si ade ngerokonya kuat kaliiiii pun, kadang
anaknya lagi tidur didepan tv bapaknya ngerokok situ,
gak bisa dibilang kalau ibu bilang nanti takut ribut pula,
soalnya waktu itu pernah ibu bilang jauh-jauh
ngerokoknya kan ada anakmu situuuu ko ngerokok disitu
pula jadi panjang jawabann dianya makanya udah malas
ibu bilangnya
5 Informan 5
Ibu Balita
“Ngerokok dirumah, disitu pun anaknya ngerokok dia la
terkataken.”
116
Lampiran 2. Master Data Penelitian
ANALISIS PENERAPAN MANAJEMEN TERPADU BALITA SAKIT (MTBS) TERHADAP KEJADIAN ISPA BALITA
DI PUSKESMAS PASAR GAMBIR KOTA TEBING TINGGI TAHUN 2019
No.
Res
Usia
Balita
P
1
P
2
P
3
P
4
P
5
P
6
P
7
P
8
P
9
P1
0
P1
1
P1
2
P1
3
P1
4
P1
5
Total_
P
Kat_
P
Sta_Im
u
Sta_Gi
zi
Keb_Perok
ok
Kej_ISP
A
1 38 1 1 1 0 1 1 1 0 0 1 1 1 0 1 1 11 3 2 3 2 1
2 25 0 0 0 1 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0 1 4 1 1 3 1 1
3 50 1 1 1 1 1 0 0 1 1 1 1 0 1 1 0 11 3 2 3 1 2
4 39 1 1 1 0 0 0 0 1 0 0 1 0 0 0 0 5 1 1 2 1 1
5 40 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 14 3 2 1 2 2
6 65 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 6 2 1 3 2 2
7 14 1 1 1 0 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 0 12 3 2 3 2 2
8 26 0 0 1 0 1 1 0 0 0 1 0 0 0 0 0 4 1 1 3 1 1
9 38 0 0 1 1 0 1 1 0 1 1 0 0 1 1 1 9 2 2 3 2 2
10 42 0 0 0 0 1 1 0 0 1 1 1 0 1 0 0 6 2 1 3 1 1
11 44 1 1 1 1 1 0 0 0 1 1 1 0 1 1 1 11 3 2 3 1 1
12 37 1 1 0 0 1 1 1 0 0 0 1 0 0 0 0 6 2 2 3 1 1
13 61 1 1 1 1 1 1 1 0 0 1 1 1 1 1 0 12 3 2 3 2 2
14 13 0 0 1 0 1 0 0 0 1 1 0 1 0 0 0 5 1 1 1 2 1
15 27 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 14 3 2 3 1 2
16 51 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 4 1 1 3 1 2
17 37 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 0 0 1 0 0 4 1 1 1 1 1
18 26 1 1 1 1 1 1 0 0 1 1 1 1 0 1 0 11 3 2 3 1 1
19 30 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 2 1 1 2 1 1
20 43 0 0 0 1 1 1 0 0 1 0 1 1 0 0 0 6 2 1 3 2 1
117
No.
Res
Usia
Balita
P
1
P
2
P
3
P
4
P
5
P
6
P
7
P
8
P
9
P1
0
P1
1
P1
2
P1
3
P1
4
P1
5
Total_
P
Kat_
P
Sta_Im
u
Sta_Gi
zi
Keb_Perok
ok
Kej_ISP
A
21 39 1 1 0 0 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 12 3 2 3 1 1
22 14 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 0 1 1 13 3 2 3 2 2
23 63 0 0 0 1 0 0 0 0 1 0 0 0 1 0 1 4 1 1 3 2 1
24 39 1 0 0 0 1 0 0 0 0 1 1 0 0 1 1 6 2 2 3 1 1
25 60 1 1 1 0 1 1 1 1 1 0 0 1 1 1 1 12 3 2 3 2 2
26 28 0 0 0 0 1 1 1 0 1 0 0 1 1 1 1 8 2 2 3 2 2
27 52 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 1 1 0 3 1 1 3 1 1
28 25 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 1 1 1 3 1 1
29 36 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 14 3 2 3 2 2
30 62 1 1 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 4 1 2 3 1 1
Keterangan :
Pengetahuan Status Imunisasi Status Gizi Keberadaan Perokok
Dalam Rumah
Kejadian ISPA
1 = Kurang
2 = Cukup
3 = Baik
1 = Tidak Lengkap
2 = Lengkap
1 = Kurang
2 = Lebih
3 = Normal
1 = Ada
2 = Tidak Ada
1 = ISPA
2 = Tidak ISPA
118
Lampiran 3. Hasil Output Penelitian
1. ANALISIS UNIVARIAT
Frequencies
Statistics
Kategori Usia
Balita Kategori
Pengetahuan Status
Imunisasi Status
Gizi
Keberadaan Perokok Di
Rumah Kejadian
ISPA
N Valid 30 30 30 30 30 30
Missing 0 0 0 0 0 0
Mean 3.00 2.03 1.57 2.73 1.43 1.40
Median 3.00 2.00 2.00 3.00 1.00 1.00
Mode 3 3 2 3 1 1
Frequency Table
Kategori Usia Balita
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid 12-23 bulan 3 10.0 10.0 10.0
24-35 bulan 7 23.3 23.3 33.3
36-47 bulan 12 40.0 40.0 73.3
48-59 bulan 3 10.0 10.0 83.3
60-71 bulan 5 16.7 16.7 100.0
Total 30 100.0 100.0
Kategori Pengetahuan
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid Kurang 11 36.7 36.7 36.7
Cukup 7 23.3 23.3 60.0
Baik 12 40.0 40.0 100.0
Total 30 100.0 100.0
Status Gizi
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid Kurang 3 10.0 10.0 10.0
Lebih 2 6.7 6.7 16.7
Normal 25 83.3 83.3 100.0
Total 30 100.0 100.0
119
Status Imunisasi
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid Tidak Lengkap 13 43.3 43.3 43.3
Lengkap 17 56.7 56.7 100.0
Total 30 100.0 100.0
Keberadaan Perokok Di Rumah
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid Ada 17 56.7 56.7 56.7
Tidak Ada 13 43.3 43.3 100.0
Total 30 100.0 100.0
Kejadian ISPA
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid ISPA 18 60.0 60.0 60.0
Tidak ISPA 12 40.0 40.0 100.0
Total 30 100.0 100.0
120
2. ANALISIS BIVARIAT
Crosstabs
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
Kategori Pengetahuan * Kejadian ISPA
30 100.0% 0 .0% 30 100.0%
Kategori Pengetahuan * Kejadian ISPA Crosstabulation
Kejadian ISPA
Total ISPA Tidak ISPA
Kategori Pengetahuan Kurang Count 10 1 11
% within Kategori Pengetahuan
90.9% 9.1% 100.0%
% within Kejadian ISPA 55.6% 8.3% 36.7%
% of Total 33.3% 3.3% 36.7%
Cukup Count 4 3 7
% within Kategori Pengetahuan
57.1% 42.9% 100.0%
% within Kejadian ISPA 22.2% 25.0% 23.3%
% of Total 13.3% 10.0% 23.3%
Baik Count 4 8 12
% within Kategori Pengetahuan
33.3% 66.7% 100.0%
% within Kejadian ISPA 22.2% 66.7% 40.0%
% of Total 13.3% 26.7% 40.0%
Total Count 18 12 30
% within Kategori Pengetahuan
60.0% 40.0% 100.0%
% within Kejadian ISPA 100.0% 100.0% 100.0%
% of Total 60.0% 40.0% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-sided)
Pearson Chi-Square 7.958a 2 .019
Likelihood Ratio 8.842 2 .012
Linear-by-Linear Association 7.639 1 .006
N of Valid Cases 30
a. 4 cells (66,7%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 2,80.
121
Crosstabs
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
Status Imunisasi * Kejadian ISPA
30 100.0% 0 .0% 30 100.0%
Status Imunisasi * Kejadian ISPA Crosstabulation
Kejadian ISPA
Total ISPA Tidak ISPA
Status Imunisasi Tidak Lengkap Count 11 2 13
% within Status Imunisasi 84.6% 15.4% 100.0%
% within Kejadian ISPA 61.1% 16.7% 43.3%
% of Total 36.7% 6.7% 43.3%
Lengkap Count 7 10 17
% within Status Imunisasi 41.2% 58.8% 100.0%
% within Kejadian ISPA 38.9% 83.3% 56.7%
% of Total 23.3% 33.3% 56.7%
Total Count 18 12 30
% within Status Imunisasi 60.0% 40.0% 100.0%
% within Kejadian ISPA 100.0% 100.0% 100.0%
% of Total 60.0% 40.0% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-sided)
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
Pearson Chi-Square 5.792a 1 .016
Continuity Correctionb 4.123 1 .042
Likelihood Ratio 6.183 1 .013
Fisher's Exact Test .026 .019
Linear-by-Linear Association
5.599 1 .018
N of Valid Cases 30
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 5,20.
b. Computed only for a 2x2 table
122
Crosstabs
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
Status Gizi * Kejadian ISPA 30 100.0% 0 .0% 30 100.0%
Status Gizi * Kejadian ISPA Crosstabulation
Kejadian ISPA
Total ISPA Tidak ISPA
Status Gizi Kurang Count 2 1 3
% within Status Gizi 66.7% 33.3% 100.0%
% within Kejadian ISPA 11.1% 8.3% 10.0%
% of Total 6.7% 3.3% 10.0%
Lebih Count 2 0 2
% within Status Gizi 100.0% .0% 100.0%
% within Kejadian ISPA 11.1% .0% 6.7%
% of Total 6.7% .0% 6.7%
Normal Count 14 11 25
% within Status Gizi 56.0% 44.0% 100.0%
% within Kejadian ISPA 77.8% 91.7% 83.3%
% of Total 46.7% 36.7% 83.3%
Total Count 18 12 30
% within Status Gizi 60.0% 40.0% 100.0%
% within Kejadian ISPA 100.0% 100.0% 100.0%
% of Total 60.0% 40.0% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-sided)
Pearson Chi-Square 1.556a 2 .459
Likelihood Ratio 2.265 2 .322
Linear-by-Linear Association .489 1 .484
N of Valid Cases 30
a. 4 cells (66,7%) have expected count less than 5. The minimum expected count is ,80.
123
Crosstabs
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
Keberadaan Perokok Di Rumah * Kejadian ISPA
30 100.0% 0 .0% 30 100.0%
Keberadaan Perokok Di Rumah * Kejadian ISPA Crosstabulation
Kejadian ISPA
Total ISPA Tidak ISPA
Keberadaan Perokok Di Rumah
Ada Count 14 3 17
% within Keberadaan Perokok Di Rumah
82.4% 17.6% 100.0%
% within Kejadian ISPA 77.8% 25.0% 56.7%
% of Total 46.7% 10.0% 56.7%
Tidak Ada Count 4 9 13
% within Keberadaan Perokok Di Rumah
30.8% 69.2% 100.0%
% within Kejadian ISPA 22.2% 75.0% 43.3%
% of Total 13.3% 30.0% 43.3%
Total Count 18 12 30
% within Keberadaan Perokok Di Rumah
60.0% 40.0% 100.0%
% within Kejadian ISPA 100.0% 100.0% 100.0%
% of Total 60.0% 40.0% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-sided)
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
Pearson Chi-Square 8.167a 1 .004
Continuity Correctionb 6.160 1 .013
Likelihood Ratio 8.488 1 .004
Fisher's Exact Test .008 .006
Linear-by-Linear Association
7.895 1 .005
N of Valid Cases 30
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 5,20.
b. Computed only for a 2x2 table
124
Lampiran 4. Surat Survei Awal
125
Lampiran 5. Surat Balasan Survei Awal
126
Lampiran 6. Surat Izin Penelitian
127
Lampiran 7. Surat Balasan Izin Penelitian
128
Lampiran 8. Permohonan Pengajuan Judul Skripsi
129
Lampiran 9. Lembar Revisi Proposal
130
Lampiran 10. Lembar Revisi Skripsi
131
Lampiran 11. Lembar Bimbingan Proposal
132
133
Lampiran 12. Lembar Bimbingan Skripsi
134
135
Lampiran 13. Dokumentasi
DOKUMENTASI SETELAH WAWANCARA DENGAN
IBU BALITA RAPIZATUL (INFORMAN 6)
DIKEDIAMANNYA KELURAHAN BANDAR UTAMA
136
DOKUMENTASI SETELAH WAWANCARA DENGAN
PETUGAS KESEHATAN PUSKESMAS PASAR
GAMBIR KOTA TEBING TINGGI
137
DOKUMENTASI SETELAH WAWANCARA DENGAN
PETUGAS MTBS DI PUSKESMAS PASAR GAMBIR
KOTA TEBING TINGGI
138
DOKUMENTASI SETELAH SELESAI PENELITIAN
DENGAN KEPALA PUSKESMAS DAN PETUGAS
MTBS ISPA DI PUSKESMAS PASAR GAMBIR KOTA
TEBING TINGGI
139
DOKUMENTASI POSYANDU DIKELURAHAN
BANDAR UTAMA DIRUMAH KADER