ACEH: Peran Demokrasi Bagi Perdamaian Dan Rekonstruksi i
ACEHPERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN
DAN REKONSTRUKSI
ii ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
ACEH: Peran Demokrasi Bagi Perdamaian Dan Rekonstruksi iii
Editor
ACEHPERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN
DAN REKONSTRUKSI
Olle TörnquistStanley Adi Prasetyo
Teresa Birks
iv ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
ACEH: Peran Demokrasi Bagi Perdamaian dan Rekonstruksi
Judul Asli:ACEH: The Role of Demcracy for Peace and ReconstructionSecond edition, July 2010© PCD Press 2010
Editor: Olle Törnquist, Stanley Adi Prasetyo, Teresa BirksPenerjemah: Luqman nul HakimPenyunting edisi Bahasa Indonesia: Dara Meutia UningFotografer: Murizal HamzahCover dan Lay Out: Dsekar Printing berdasarkanLay Out Susanti Johana di Versi Inggris.
PCD PRESS INDONESIAResearch Centre for Politics and Government (PolGov)Jurusan Politik dan PemerintahanFakultas Ilmu Sosial dan PolitikUniversitas Gadjah Mada
Jl. Socio Justicia 2 Bulaksumur, Yogyakarta 55281www.jpp.fisipol.ugm.ac.idTelepon +62 274 563365 ext. 212Email: [email protected], [email protected]
ISBN: 979-17049-3-9
Hak Cipta dilindungi Undang-undangDilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku tanpa izin tertulis dari penerbit
ACEH: Peran Demokrasi Bagi Perdamaian Dan Rekonstruksi v
DAFTAR ISI
Tentang Penulis
Catatan Penerbit
Kata Pengantar
Pendahuluan dan Kesimpulan: Perdamaian danDemokratisasi di Aceh: Bermula dari Model DemokrasiLiberal dan Sosial Demokrat, Berujung pada Demokrasi‘Normal’ ala Indonesia
Olle Törnquist
Latar Belakang dan Situasi Politik di AcehStanley Adi Prasetyo dan Teresa Birks
Demokrasi di Aceh: Diagnosis dan PrognosisOlle Törnquistdengan lampiran data oleh Willy Purna Samadhi
Perdamaian Berorientasi LabaStanley Adi Prasetyo dan George J. Aditjondro
Dari Perlawanan Bersenjata Menuju Partisipasi Politik:Transformasi Politik GAM
Gyda Marås Sindre
Pemilihan Kepala Daerah di AcehISAI Aceh Research Group
vii
xi
xiii
1
75
111
229
291
349
vi ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
Ketua tim peneliti Stanley Adi Prasetyo;Supervisor dan penyunting akhir Olle Törnquist bersama Teresa Birks
Partai Politik Lokal di Aceh:Lokomotif Proses Demokratisasi di Indonesia
Murizal Hamzah
Transisi tak Berbingkai?The Aceh Participatory Research Team
Hilang Arah dalam Transisi, Kalah dalam PemiluDara Meutia Uning bersama Olle Törnquist danthe Post Script Analysis Team
Post Script: Ajang Balas Dendam Politik Atau TerciptanyaAlternatif Baru Yang Demokratis?
(Oleh Post-script Analysis Team)
405
447
503
573
ACEH: Peran Demokrasi Bagi Perdamaian Dan Rekonstruksi vii
TTTTTENTENTENTENTENTANGANGANGANGANG P P P P PENULISENULISENULISENULISENULIS
The Aceh Participatory Research Team terdiri atas Affan Ramli, DaraMeutia Uning, Murizal Hamzah dan Shadia Marhaban(Koordinator). Supervisor: Olle Törnquist
George Junus Aditjondro, dengan latar belakang sebagai wartawaninvestigatif, memperoleh gelar PhD dari Cornell University dantelah mengajar selama beberapa tahun di Indonesia dan Australia.Kini dia bekerja sebagai peneliti independen, dengan spesialisasipada kajian konflik-konflik regional di Nusantara, dan prosesrekonstruksi di wilayah pasca-konflik dan pasca-bencana di Indo-nesia, termasuk di Aceh dan Timor Timur. Saat ini, Dr. Aditjondroadalah dosen tamu di Program Pascasarjana Universitas SanataDharma, Yogyakarta.
Teresa Birks adalah seorang peneliti independen. Selama delapanbelas tahun terakhir, dia bekerja untuk beragam organisasi, baiknasional maupun internasional di Indonesia, Malaysia, TimorTimur, dan Inggris, dengan fokus utama pada isu-isu hak asasimanusia, pendidikan, dan keadilan. Sebelumnya, dia menyunting(bersama Olle Törnquist, Stanley Adi Prasetyo, dan AE Priyono),Indonesia’s Post-Soeharto Democracy Movement (DEMOS dan NIASPress 2003) dan (bersama AE Priyono, Willy P. Samadhi) MakingDemocracy Meaningful: Problems and Options in Indonesia (DEMOS,PCD-Press dan ISEAS 2007).
Murizal Hamzah adalah seorang aktivis demokrasi, kolumnis, danwartawan investigasi. Dia juga bekerja pada Aceh Independent Insti-
viii ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
tute di Banda Aceh.The ISAI Aceh Research Group diketuai oleh Stanley Adi Prasetyo, dibawah bimbingan Olle Törnquist. Kelompok ini terdiri dari DonniEdwin, peneliti, Wiratmo Probo, asisten peneliti, Dono Prasetyo,asisten peneliti, Aris Santoso, asisten peneliti, Irawan Saptono, edi-tor; Murizal Hamzah, co-editor.
Stanley Adi Prasetyo adalah seorang aktivis demokrasi terkemuka diIndonesia, penerbit, pendidik, dan wartawan investigasi. Saat ini,dia adalah anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KomnasHAM). Dia juga mantan Direktur Eksekutif ISAI (Institut StudiArus Informasi) dan Ketua Demos (Pusat Kajian Demokrasi danHak Asasi Manusia di Indonesia). Dia menjadi co-editor (bersamaOlle Törnquist, AE Priyono dan Teresa Birks) dalam Indonesia’s Post-Soeharto Democracy Movement (Demos dan NIAS Press 2003).
Willy P. Samadhi adalah Wakil Direktur Penelitian di Demos danAnalis Data utama di dua Survei Nasional Demokrasi. Laporanakhir kedua survei tersebut kemudian diterbitkan (bersama AEPriyono dan Olle Törnquist) dalam Making Democracy Meaningful:Problems and Options in Indonesia (Demos, PCD Press dan ISEAS 2007),dan (bersama Nicolaas Warouw) dalam Democracy Building on theSand: Advances and Seatbacks in Indonesia. Report from the 2nd Demos’National Expert-Survey (Demos dan PCD Press, 2008). Saat ini,Samadhi tengah menempuh pendidikan pascasarjana dan bekerjapada Program Penelitian di Universitas Gadjah Mada tentangKekuasaan, Kesejahteraan, dan Demokrasi, yang merupakan tindaklanjut dan memperluas survei-survei demokrasi.
Gyda Marås Sindre memperoleh gelar sarjananya di School of Orientaland African Studies (SOAS), Universitas London, dan sekarang sedangmenempuh PhD di Departemen Ilmu Politik, University of Oslo.
ACEH: Peran Demokrasi Bagi Perdamaian Dan Rekonstruksi ix
Dia telah menulis tentang kekerasan politik di Indonesia, dan kinilebih fokus pada tema resolusi konflik, dan transformasi gerakan-gerakan separatis di Sri Lanka dan Aceh, pasca bencana tsunami2004.
Olle Törnquist adalah Profesor di Political Science and DevelopmentResearch, University of Oslo, dan merupakan penulis berbagai karyatentang popular politics dan demokrasi, dalam perspektif teoritis dankomparatif. Dia pernah menjadi direktur akademik untuk surveinasional demokrasi, yang dilaksanakan Demos, pusat kajiantentang demokrasi dan hak asasi manusia di Indonesia. Saat ini,dia mensupervisi proyek lanjutan komprehensif tentang Kekuasaan,Kesejahteraan, dan Demokrasi di Universitas Gadjah Mada, danturut mengarahkan Program (berskala international) tentangKekuasaan, Konflik dan Demokrasi, yang kemudian melahirkanPCD Press, penerbit buku ini. Buku-buku terbarunya dengan fokuspada perspektif komparatif adalah Politicising Democracy. The NewLocal Politics of Democratisation (bersama John Harriss dan KristianStokke), dan Rethinking Popular Representation (bersama Kristian Stokkedan Neil Webster), yang diterbitkan oleh Palgrave pada 2004 dan2009.
TENTANG PENULIS
x ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
ACEH: Peran Demokrasi Bagi Perdamaian Dan Rekonstruksi xi
CCCCCAAAAATTTTTAAAAATTTTTANANANANAN P P P P PENERBITENERBITENERBITENERBITENERBIT
Penerbitan buku ini tak terlepas dari upaya dan kerjasama dariberbagai pihak. Edisi pertama, pada 2008, diterbitkan oleh PCDPress bekerja sama dengan Institut Studi Arus Informasi (ISAI).Edisi kedua dan revisi kumpulan tulisan ini diterbitkan oleh PCDPress, yang sekarang berada di bawah Manajemen Research Centre
for Politics and Government (PolGov) Jurusan Politik dan Pemerintahan,Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Gadjah Mada, Indo-nesia. Pengelolaan baru ini diharapkan dapat memperluas ruanglingkup kajian PCD Press, termasuk menyertakan isu kekuasaan,kesejahteraan, dan demokrasi, yang kini menjadi fokus utamalembaga ini.
xii ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
ACEH: Peran Demokrasi Bagi Perdamaian Dan Rekonstruksi xiii
KKKKKAAAAATTTTTAAAAA P P P P PENGENGENGENGENGANTANTANTANTANTARARARARAR(telah direvisi dan diperbaharui untuk edisi kedua)
Buku ini merupakan bagian dari sebuah proyek komparatifbertajuk ‘Resolusi Konflik dan Demokratisasi Pasca Tsunami 2004di Sri Lanka dan Aceh.’ Proyek ini bermula dari sebuahpembicaraan pada awal Januari 2005, tentang konsekuensi yangakan timbul dari bencana tsunami. Kristian Stokke (sahabat, kolega,dan ahli tentang Sri Lanka, serta Profesor Bidang Political Geog-raphy di University of Oslo) berpendapat, bencana tsunami di SriLanka kemungkinan akan lebih mempertajam permusuhan antarapihak-pihak yang bertikai, demi memperebutkan program-programbantuan kemanusiaan dan rekonstruksi. Sebaliknya, di Indone-sia, dengan menunjukan data survei yang baru, saya menyatakanbahwa kebijakan desentralisasi dan demokrasi yang baru tumbuh,melahirkan sebuah sistem poilitik yang kemungkinan membukajalan bagi sebuah penyelesaian politik. Kami pun sepakat mencarijawabannya. Setahun kemudian, Dewan Riset Norwegia menyedia-kan dana untuk penelitian ini—dan kepada mereka, kami sangat
xiv ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
berterima kasih.Dalam kurun 2006-2009, kami berencana untuk memperluas
riset-riset, yang telah dirintis di kedua negara itu, dengan mulaimemperhatikan politik pasca tsunami, sembari memahami peranyang bisa dimainkan oleh demokrasi, jika memang ada. Sementaraitu, mahasiswa doktoral Gyda Sindre dan sejumlah kolega lokalkami menganalisa beberapa isu khusus, secara lebih mendetail.Misalnya, isu mengenai politik ekonomi, perundingan, dantransformasi gerakan-gerakan separatis.
Fokus awal dalam kajian kami itu membuahkan hasil, danperspektif komparatif, yang kami gunakan, ternyata sangatbermanfaat. Hasil kerja kami itu justru membuka peluang bagi suatuplatform kerjasama lebih luas, antara para kolega dan mahasiswa diUniversity of Oslo (Norwegia), University of Colombo (Srilanka),dan Universitas Gajah Mada (Yogyakarta), yang tergabung dalamprogram penelitian dan program pascasarjana tentang Kekuasaan,Konflik, dan Demokrasi, di Asia Selatan dan Asia Tenggara(www.pcd.ugm.ac.id). Buku ini pertama kali diterbitkan melalui versielektronik yang baru oleh PCD Press. Penerbitan ini disupervisi olehpara ilmuwan dan aktivis pro-demokrasi terkemuka di masing-masing kawasan—yang bertujuan untuk menyediakan analisisbermutu tinggi tentang topik-topik penting, dengan biayaterjangkau bagi para mahasiswa dan aktivis. Upaya penerbitantersebut mendapat berbagai dukungan dan saran, terutama dariKristian Stokke, Gyda Sindre, Silje Vevatne, dan Helen Tidemannyang berada di Oslo, dan tergabung dalam jaringan internasionaltentang isu representasi kerakyatan,1 Profesor Jayadeva Uyangodadan para koleganya di Sri Lanka, serta Tim PCD di Yogyakarta,antara lain, Mohtar Masoed, Pratikno, Eric Hiariej, Aris Mundayat,Purwo Santoso, Nico Warouw dan Budi Irawanto.
Berdasarkan pendapat awal, penelitian di Indonesia semestinyafokus pada peran yang mungkin dijalankan oleh demokrasi. Agar
ACEH: Peran Demokrasi Bagi Perdamaian Dan Rekonstruksi xv
kajian itu juga bisa dipahami para praktisi, analisis perlu disusunsedemikian rupa, sehingga dapat terus berkelanjutan. Karena itupula, penerbitan edisi pertama, yang memuat laporan pertamatentang rangkuman kondisi di Aceh, dilaksanakan sebelum Pemilu2009.
Upaya semacam itu memunculkan empat implikasi. Pertama,edisi kedua—yakni buku ini—perlu diterbitkan. Edisi kedua akanmemuat berbagai koreksi terhadap edisi sebelumnya dan analisistentang hasil Pemilu 2009. Kedua, perlu ada pembanding tambahan(selain Sri Lanka), yang menggambarkan dinamika dalam upayamenciptakan perdamaian di daerah-daerah konflik lain di Indone-sia, agar diperoleh pemahaman tentang apa yang bisa terjadi diAceh. Karena keterbatasan waktu, dan belum ada studi pentingdan kritis (secara akademis), yang menganalisis tema tersebut, kamiakhirnya menggunakan metode review analysis. Tugas ini diembanoleh Stanley Adi Prasetyo dan George Junus Aditjondro. Merekamenggunakan berbagai laporan, pengalaman dari berbagai aktoryang terlibat, dan berbagai kajian tentang topik tersebut. Ketiga,karena tak seorang pun paham secara spesifik tentang tentanghakikat demokrasi, maka dibutuhkan pula suatu baseline survey dananalisis terhadap berbagai permasalahan, serta pilihan-pilihanuntuk mengatasi permasalahan tersebut. Keempat, harus ada pihakyang menelusuri dan menganalisa (salah satunya melalui observasipartisipatoris) berbagai titik balik penting dalam proses perubahan,yang bergulir dengan sangat cepat.
Beruntung, tugas terberat, yakni pelaksanaan survei dananalisis awal, bisa dikaitkan dengan dua upaya penting dalammemajukan kapasitas politik yang demokratis di Aceh. Hal inidisepakati sebagai suatu upaya pembagian kerja secara informal, diawal 2005. Upaya pertama dilakukan Olof Palme Centre dan FriedrichEbert Stiftung serta mitra-mitranya, dalam mendukung kelompokpro-demokrasi di kalangan nasionalis Aceh, yang tergabung dalam
KATA PENGANTAR
xvi ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
GAM dan SIRA. Upaya lain dilakukan oleh penulis dan para aktivisyang dekat dengan Demos, Pusat Kajian Demokrasi dan Hak AsasiManusia di Indonesia. Setahun kemudian, upaya tersebutmemperoleh bantuan melalui Kedutaan Besar Norwegia di Indone-sia (kami berterima kasih pula kepada Eva Irene Tuft ataspengetahuan yang berharga dari Amerika Tengah). Tujuan dariupaya-upaya tersebut adalah memajukan kapasitas politik, denganmemberdayakan ‘angkatan ketiga’ kelompok aktivis masyarakat sipilyang demokratis. Caranya, antara lain, melakukan penelitian didaerah, dan hasilnya kemudian ditindaklanjuti oleh kalangan aktivismasyarakat sipil bersangkutan, melalui berbagai kegiatan. Alhasil,upaya pertama menunjukkan hasil yang cukup baik, dan terbuktisangat menentukan bagi pelaksanaan kesepakatan damai yangdemokratis di masa-masa awal, hingga tahun 2007. Namun, upayaterakhir, yang sebetulnya cukup produktif, mengalami kendala dalammembentuk basis yang kuat untuk penelitian partisipatoris.
Buku ini beruntung memperoleh banyak manfaat dari kerjasamaberbagai pakar dan aktivis, yang terlibat dalam proyek-proyek ini.Pertama, saya secara khusus berterima kasih pada Jan Hodann, ErwinSchweisshelm dan para koleganya, serta tim di Sekolah untukPerdamaian dan Demokrasi, yang mereka danai di Aceh, antara lain,Bakhtiar Abdullah, Taufik Abda, M. Nur Djuli, Munawar Liza,Muhammad Nazar dan mitra-mitranya. Pada kesempatan kedua,saya juga berterima kasih kepada Asmara Nababan, Anton Pradjasto,Agung Widjaja, dan para koleganya, atas berbagai pemikiran diperiode awal, hingga akhirnya perbedaan pendapat tentangpentingnya riset partisipatoris dan kualitas yang dihasilkan,mengubah kerjasama yang sebelumnya sempat berhasil, semakinsulit dilanjutkan. Tak kalah berharganya, sumbangan pemikirandan bantuan dari sejumlah aktivis peneliti, di antaranya Aguswandi,Otto Syamsuddin, Juanda Djamal, dan kawan-kawannya, termasukJuha Christensen, serta pandangan komparatif dari Dr. Joel Rocamora.
ACEH: Peran Demokrasi Bagi Perdamaian Dan Rekonstruksi xvii
Rasa terima kasih yang sama besarnya, dan barangkali palingpenting, saya sampaikan kepada sebuah tim peneliti baru yangberanggotakan para pakar dan aktivis peneliti—Dara Meutia Uning,Affan Ramli, Shadia Marhaban (koordinator), dan Murizal Hamzah.Saya akan kembali membahas tentang mereka nanti.
Berbagai permasalahan dalam pelaksanaan survei partisipatoristak hanya menyulitkan kerjasama yang awalnya sempat terbina baik.Pertama, upaya untuk memperluas survei dengan melakukan studitambahan tentang pilkada pertama pasca perdamaian di tahun 2006,terbukti tak memungkinkan. Kendala ini kemudian diatasi oleh timdari ISAI (Institut Studi Arus dan Informasi), terdiri dari sejumlahilmuwan dan wartawan investigasi, di bawah koordinasi StanleyAdi Prasetyo. Kedua, karena laporan dari survei pertama tak pernahselesai disusun tim Demos, dan data yang tercerai-berai masih carut-marut, dibutuhkan upaya untuk mengemas hasil penelitian itusebaik-baiknya. Dalam hal ini, saya secara khusus berterima kasihkepada Willy P. Samadhi, yang membantu saya mengatur kembalidan melakukan retabulasi data-data mentah, dengan keahlian,ketelitian, dan komitmen yang diperlukan, sehingga kualitas analisissaya maupun studi-studi selanjutnya, dapat terjaga. Ketiga, karenasurvei yang asli tak pernah diselesaikan, maka seminar yang sempatdijadwalkan untuk menindaklanjuti hasil temuan survei, takmembuahkan hasil apapun. Seminar itu seharusnya bisamenghadirkan pimpinan-pimpinan politik dan para aktivis, agar bisamenyumbangkan informasi tambahan dan mengembangkan suaturekomendasi bersama, serta modul bagi pendidikan demokrasi.Untuk buku ini, tugas itu akhirnya diemban dengan sebaik-baiknyaoleh the Aceh Participatory Research Team. Tim, yang dipimpin secaraefisien oleh Shadia Marhaban, dengan Dara Meutia Uning, seorangpenulis utama berbakat itu, melaksanakan wawancara dengansejumlah tokoh-tokoh terkemuka di Aceh, yang memiliki posisi danperan penting bagi proses perdamaian dan demokrasi. Selain
KATA PENGANTAR
xviii ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
wawancara, tim tersebut juga menganalisis berbagai tanggapan daripara informan (Bab 8). Selanjutnya, di Bab 9 dalam edisi yang baruini, tim tersebut (khususnya, Dara) telah menyelesaikan tugasraksasa, yakni mengumpulkan data Pemilu 2009 yang kacau-balaudan tercerai-berai, serta bersama saya, menganalisis dampak hasilpemilu itu terhadap pelaksanaan perdamaian yang demokratis, dansempat begitu menjanjikan di Aceh.
Terakhir, saya berterima kasih kepada pihak-pihak yang telahmenyumbangkan berbagai kritik, saran dan dukungan. Selain parakolega di Oslo, Kolombo, dan Yogyakarta, yang telah disebutkandalam program PCD, saya secara khusus berterima kasih kepadaEd Aspinall, Damien Kingsbury, Gerry van Klinken, Renate Korber,Joel Rocamora, dan Klaus Schreiner, serta reviewer PCD Press, FachriAli dan para peserta workshop Aceh pada konferensi EUROSEASdi Naples, dan sejumlah seminar yang diselenggarakan diNorwegia, Sri Lanka, India, dan Indonesia tentang argumen-argumen utama dalam buku ini. Belakangan, dalam prosespersiapan edisi kedua buku ini, kami juga memperoleh manfaatdari berbagai komentar atas edisi pertama buku ini, dan berbagaitanggapan terhadap presentasi yang merangkum argumentasiutama buku ini, dalam konferensi internasional tentang KajianAceh dan Samudera Hindia di Banda Aceh pada Februari 2009.Edisi pertama buku ini juga diluncurkan dalam seminar ini. Untukitu, saya berterima kasih kepada Dr. Leena Avonius dan ProfesorHarold Crouch, serta Profesor Anthony Reid.
Dalam kesempatan ini, saya juga ingin berterima kasih kepadaTeresa Birks yang (telah berulang kali) tak hanya menyelamatkankami, dengan membuat tulisan-tulisan ini dapat dibaca dandimengerti, tapi juga telah mengontrol dan banyak menyumbangperbaikan terhadap substansinya. Meski begitu, berbagai kekeliruanyang ditemukan dalam edisi kedua ini, menjadi tanggung jawabsaya sepenuhnya.
ACEH: Peran Demokrasi Bagi Perdamaian Dan Rekonstruksi xix
Kendati demikian, pemikiran yang paling bernas, justru tidakdatang dari wawasan kalangan ilmuwan akademis, melainkanberasal dari hasil renungan kritis selama berpuluh-puluh tahun,ketika terlibat dalam berbagai upaya untuk merintis dan memberidukungan penting bagi para kelompok pro-demokrasi yangmengakar kuat di berbagai konteks, antara lain di Afrika Selatan,Burma, Filipina, Indonesia dan di propinsinya yang memberontak,Aceh—yakni pemikiran-pemikiran Jan Hodann. Terima kasihkepada Janne karena telah bersikeras, gara-gara saya belum mampuuntuk memahaminya hingga pertengahan 2004, bahwa perlawananAceh terhadap dominasi, juga mengikutsertakan elemen demo-kratisasi yang signifikan serta potensial, dan kelak bakal menge-muka, berkat adanya dukungan dan peluang yang lebih baik.Banyak orang di Aceh (dan juga di tempat-tempat lain), yang kinimerindukanmu karena kau telah pensiun. Tapi, semoga keahlianmudalam ‘seni perlawanan’ itu (seperti yang tercermin dalam karya-karya masterpiece Peter Weiss, seorang sastrawan anti-Fasis Eropa,yang betul-betul telah membentuk dirimu) bisa berkombinasidengan penuh suka cita dengan minatmu yang baru, yakni senipertunjukan sirkus!
Februari 2009 dan Januari 2010Olle Törnquist
(Catatan)1 Jaringan ini telah menghasilkan dua antologi. Pertama, John Harris,Kristian Stokke dan Olle Törnquist (eds). Politicising Democracy: The New LocalPolitics of Democratisation. Houndmills: Palgrave. 2004. Kedua, Olle Törnquist,Kristian Stokke, dan Neil Webster (eds). Rethinking Popular Representation,Houndmills: Palgrave. 2009.
KATA PENGANTAR
xx ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
1
PPPPPENDAHULUANENDAHULUANENDAHULUANENDAHULUANENDAHULUAN DANDANDANDANDAN K K K K KESIMPULANESIMPULANESIMPULANESIMPULANESIMPULAN:::::PERDAMAIAN DAN DEMOKRATISASI DI ACEH:
BERMULA DARI MODEL DEMOKRASI LIBERAL DAN SOSIAL DEMOKRAT,BERUJUNG PADA DEMOKRASI ‘NORMAL’ ALA INDONESIA
Olle Törnquist
1
Proses transisi yang berlangsung secara demokratis diAceh telah membawa perubahan yang melampauitelaah konvensional dan prediksi teoritis padaumumnya. Meski sempat didera konflik dan bencana
alam, Aceh tak hanya mencapai perdamaian, tapi juga mulaimembangun kembali. Di sisi lain, selama masa transisi, Aceh menuaipula berbagai permasalahan baru dalam tata kelola pemerintahan(governance) dan sistem perwakilan (representation) di daerah itu.Kajian yang mengulas masalah perdamaian dan demokrasi (yangakan dibahas kemudian) umumnya bertolak dari premis:pentingnya mendahulukan proses demokratisasi liberal, sertapengembangan dan penguatan kelembagaan (institution building),yang mendahului pembinaan demokrasi dan proses politik yangtransformatif atau berhaluan sosial demokrat. Masalahnya,bagaimana kajian-kajian itu mampu membantu kita memahami
2 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
secara kontekstual berbagai dilema yang terjadi dalampengembangan demokrasi, sehingga dapat berkontribusi danmembuka peluang bagi kemajuan di Aceh, serta di daerah konfliklainnya?
Buku ini mencoba menjawab teka-teki di atas dengan mem-bandingkan berbagai pendekatan mengenai perdamaian dan prosesdemokratisasi dalam konteks dinamika di Aceh. Perbandingan itumengacu pada sejumlah dimensi yang diidentifikasi para intelektualpemerhati masalah perdamaian dan demokrasi di daerah konflik,dan para aktivis berpandangan kritis dan mendalam. Sembarimengandalkan penelitian yang telah ada, kami juga menambahdata dan analisis yang ternyata hilang dari hasil penelitian itu.Karena itu, pada Bab 2, Stanley Adi Prasetyo dan Teresa Birksmemulai penjelasan dengan memberikan sejarah latar belakangkonflik di Aceh agar para pembaca, baik yang bukan orang Acehatau bukan pemerhati Indonesia, dapat sekaligus memperolehpandangan yang komparatif dan bermanfaat dari pengalaman Aceh.Selanjutnya, di Bab 3, Olle Törnquist menguraikan tentangdimensi-dimensi yang terkandung dalam demokrasi. Kemudian,Törnquist menggunakan data survei yang menunjukkan indikasiterhadap keberadaan dimensi-dimensi demokrasi itu di Aceh, danmembandingkannya dengan kondisi di Indonesia secara ke-seluruhan, agar diperoleh pola kecenderungan demokratisasi padaakhir tahun 2006. Dalam Bab 4, Stanley Adi Prasetyo dan GeorgeAditjondro mengulas peran kekuasaan dengan kekuatan koersifnyayang besar, dan peran kelompok bisnis di daerah-daerah konflik diIndonesia. Tujuannya, untuk memahami dinamika dalam pelak-sanaan mediasi damai, yang mengutamakan pendekatan ala“pialang perdamaian” (peace-brokering), terutama seperti yangdicontohkan oleh mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Di Bab 5,Gyda Marås Sindre menganalisis transformasi para gerilyawanGerakan Aceh Merdeka (GAM) dalam perspektif komparatif untuk
3
memahami karakter organisasi tersebut dan mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi peran gerakan itu dalam penguatanperdamaian (peace building) yang demokratis. Kemudian, pada Bab6, sebuah tim riset yang dipimpin oleh Stanley Adi Prasetyo dandisupervisi oleh Olle Törnquist menganalisis pelaksanaan dan hasilpemilihan kepala daerah (pilkada) pada Desember 2006. Sementaraitu, di Bab 7, Murizal Hamzah mengulas tentang partai-partaipolitik lokal baru, yang didirikan di Aceh berdasarkan kesepakatandalam perjanjian damai. Dalam Bab 8, tim riset partisipatoris Acehyang dipandu Olle Törnquist membahas bagaimana uraiansejumlah aktor yang memimpin perubahan di Aceh (termasukgubernur dan wakil gubernur Aceh, serta Ketua Badan Rehabilitasidan Rekonstruksi), dalam wawancara tentang berbagai dilemapokok yang telah diuraikan dalam edisi pertama buku ini. Akhir-nya, pada Bab 9, Dara Meutia Uning bersama Törnquist serta timaktivis Aceh yang berpengalaman, menganalisis hasil dan kon-sekuensi politik dari pemilihan umum (Pemilu) 2009.
Namun, bab ini terlebih dulu menyajikan kerangka kerjaanalisis yang digunakan, dan menjelaskan secara singkat bagaimanakajian perdamaian dan demokrasi lazimnya menganalisis per-kembangan terkini di Aceh. Khususnya, bagaimana kajian itumenjelaskan pelbagai temuan dalam bab-bab selanjutnya.1
Rangkaian teka-teki: Aneka hambatan, mukjizat perdamaian,dan ‘kembalinya kondisi normal’
Kekerasan di Aceh berakar pada sejarah konflik daerah inidengan Jakarta, akibat pengelolaan pemerintahan setelah Indone-sia merdeka. Aceh menuntut sebuah sistem federal, yang memberi-kan wewenang pada daerah untuk mengontrol sendiri pengelolaansumber daya alam, budaya, agama, dan bidang-bidang lainnya diwilayahnya. Jakarta menentang gagasan itu, baik pada zamanpemerintahan Presiden Soekarno yang populis, maupun di era
PENDAHULUAN DAN KESIMPULAN
4 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
pemerintahan Presiden Soeharto yang despotis. Pada 1998, PresidenB.J. Habibie yang baru ditunjuk menggantikan Soeharto, memper-cepat pelaksanaan pemilihan umum dan menerapkan kebijakandesentralisasi yang radikal. Liberalisasi di bidang politik danekonomi pasca kejatuhan Soeharto ini, awalnya dianggap mampumemfasilitasi kemajuan dalam proses perdamaian di daerah konflik,seperti Aceh. Perundingan damai secara formal pun dimulai, dan‘jeda kemanusiaan’ akhirnya dicapai pada era pemerintahanPresiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Jeda kemanusiaan itudifasilitasi pada tahun 2000, oleh Henry Dunant Center—sebuahlembaga yang berpusat di Jenewa. Upaya ini terus berlanjut hinggaberbuah pada persetujuan gencatan senjata di akhir 2000. Sayang-nya, pada 2003, kekerasan kembali meningkat di masa pemerintahanPresiden yang baru, Megawati Soekarnoputri. Kelompok per-lawanan di Aceh dan kelompok serupa di daerah konflik lainnya,menganggap Indonesia adalah pemerintahan yang mengikutiwarisan bentuk dari rezim kolonial terdahulu, dan yang diper-tahankan rezim otoriter (pasca merdeka). Rezim otoriter itudipercaya akan runtuh karena hadirnya demokrasi. Sementara itu,kaum nasionalis mulai memperingatkan tentang ancaman terjadi-nya balkanisasi ‘negara modern’. Pendapat yang diamini pula olehsebagian besar ilmuwan di bidang politik. Mereka sepakat bahwademokrasi liberal yang diterapkan pada tataran lokal justrumenyuburkan konflik antar identitas politik. Pada 2004, PresidenSusilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Wakil Presiden Jusuf Kallayang baru terpilih akhirnya memilih cara berbeda dalam mengatasikonflik: menggunakan pendekatan penegakan hukum (rule of law)dan memperluas peluang bisnis. Walau begitu, beberapa bulan pascatsunami pada Desember 2004, sejumlah penelitian terbaik yang pal-ing kontekstual tentang Aceh pun menganggap bahwa kemajuandalam proses perdamaian dan demokrasi di Aceh nyaris mustahil(misalnya Aspinall 2005, Schulze 2005). Alasannya, antara lain,
5
berlarut-larutnya penindasan, upaya eksploitasi, serta predatory prac-tices dan kekerasan. Baik itu dilakukan atas nama etnis, agama,atau akibat persaingan dalam memperebutkan pengakuan identitasdi tingkat nasional; hambatan itu belum termasuk bencana alamyang terjadi (misalnya Aspinall 2005, Schulze 2005).
Hal pertama dari keempat permasalahan yang menjadipenghalang adalah nasionalisme kesukuan (ethnic nationalism). Padapertengahan 1970an, kelompok di Aceh yang menentang dominasidan penindasan ‘kolonial’ dari Jakarta, akhirnya menanggalkangagasan tentang Indonesia sebagai negara federal, yang sempatmarak. Sebaliknya, Aceh kini diklaim sebagai wilayah yang memilikisejarahnya sendiri—terpisah tanpa keterkaitan maupun kesamaanlatar belakang dengan wilayah kepulauan lainnya di Indonesia.Menurut pandangan ini, Aceh berhak ‘memperoleh kembali’kemerdekaan atas nama Kesultanan Aceh yang lama. Karena itu,perlu dilakukan perjuangan bersenjata untuk merebut kemerdeka-an, di bawah kepemimpinan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).Sementara itu, motivasi utama dari menguatnya gerakan mahasiswadi Aceh pasca Soeharto adalah hasrat melawan penindasan,eksploitasi ekonomi, dan perilaku otoriter pemerintah Indonesia.Namun, para mahasiswa itu tak melulu menganggap gagasan‘memperoleh kembali’ kemerdekaan pra-kolonial sebagai suatualternatif. Identitas politik pun mencapai titik rawan di Aceh karenasekitar 20% penduduk Aceh bukanlah penduduk Aceh asli: 7% diantaranya adalah orang Jawa. Padahal, di sisi lain, GAM mulaimengarahkan kebenciannya pada orang-orang Jawa, sebagaibagian dari strateginya, untuk memberi kesan bahwa Aceh tidaksudi diperintah orang luar (Schulze 2004). Sebaliknya, militer justrumengeksploitasi ketakutan kelompok minoritas terhadap dominasikelompok mayoritas, sebagai strategi melawan GAM, serta untukmendorong pembentukan kelompok milisi.
Batu sandungan kedua adalah persepsi yang sudah tertanam
PENDAHULUAN DAN KESIMPULAN
6 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
di benak pemerintah pusat di Jakarta, para petinggi militer, dansebagian besar anggota parlemen mengenai Indonesia sebagainegara kesatuan dan sentralistik. Pihak militer dan para pendukungpolitiknya, misalnya, berusaha mencegah masuknya bantuanbencana dan upaya rekonstruksi dari pihak asing, karena khawatirberkurangnya ketergantungan rakyat terhadap perlindungankeamanan dari militer dan pemerintah pusat. Selain itu, kelompokmilisi di Aceh juga didukung militer, seperti yang pernah jugaterjadi di Timor Timur. Di sisi lain, Presiden Yudhoyono dan WakilPresiden Jusuf Kalla memiliki citra sebagai pihak yang relatif kurang‘haus perang’, serta mengusung mandat baru untuk melaksanakanprofesionalisme tentara, melanjutkan desentralisasi dan mendorongperdamaian melalui meja perundingan. Kendati demikian, pascatsunami, mereka tegas menyatakan bahwa meskipun bersediabernegosiasi, mereka tak sudi berkompromi dengan tuntutan pihakGAM: memberi kemerdekaan atau (seperti indikasi di awalperundingan di Helsinki) melakukan perubahan signifikanterhadap aturan dalam konstitusi (Merikallio 2006 dan Kingsbury2006). Di lain pihak, GAM bersikukuh dengan tuntutan ke-merdekaan atau kondisi apapun yang mendekati kemerdekaan,serta menuntut pula gencatan senjata agar bisa kembali berkonso-lidasi dan meraup keuntungan dari kegiatan memfasilitasi bantuandan rekonstruksi. Akibat perbedaan tujuan dan kepentingan itu,bisa ditebak perundingan bakal buntu. Faktanya, posisi awal keduabelah pihak dalam proses perundingan baru di bawah arahanmantan Presiden Finlandia Maarti Ahtisaari, sama dengan posisipada perundingan sebelumnya, yang difasilitasi Henry Dunant Cen-ter (Aspinall dan Crouch 2003)
Masalah ketiga, adanya kemungkinan bahwa Yudhoyono danKalla akan menerapkan pendekatan manajemen konflik di Aceh,yang menyerupai tindakan mereka di daerah konflik lainnya diIndonesia ketika masih menjabat sebagai menteri pada peme-
7
rintahan Megawati. Pada kasus Maluku dan Poso, perdamaian telahdimediasi sedemikian rupa, di mana para elit lokal diam-diamdijanjikan dana pembangunan, serta posisi strategis dalamkerjasama menggiurkan dengan kelompok militer dan parakontraktor bisnis. Pendekatan ini malah melahirkan berbagaipersoalan baru yang semakin menyuburkan korupsi, eksploitasisumber daya alam dan kerusakan lingkungan.2 Karena itu, jikapendekatan serupa diterapkan di Aceh yang notabene lebih rawan,prospek perdamaian dan rekonstruksi di provinsi itu tentu akanlebih suram. Korupsi telah merajalela di kalangan politisi danbirokrat di Aceh (misalnya Sulaiman dan Klinken 2007 danMcGibbon 2006), terutama pula di kalangan militer. Di sisi lain,GAM tak pelak juga terlibat dalam pengumpulan modal secaraprimitif melalui penarikan pajak-pajak tak resmi, eksploitasi danperdagangan sumber daya alam, pungutan liar berdalih pajakkeamanan, serta pemerasan (Schulze 2004, Kingsbury danMcCulloch 2006, Aspinall 2008: Bab 6, Large 2008).
Persoalan keempat adalah GAM dan kelompok masyarakatsipil yang pro-kemerdekaan menganggap kecilnya manfaat yangbisa diperoleh dengan mengikuti perundingan, dan mencobaberkompromi. Posisi keduanya pun kian melemah. Mereka jugasudah mulai kehabisan alternatif pilihan, selain harus tetap gigihmelawan. GAM menderita kekalahan yang cukup berat, danbanyak rakyat sipil pendukung mereka yang menderita akibatoperasi militer, yang kembali diberlakukan atas perintah PresidenMegawati pada 2003 dan 2004 (ICG 2005). Akan tetapi, GAM tidakditawari pilihan lain kecuali untuk mengakui kekalahannya. Paraaktivis dari kelompok masyarakat sipil juga mengalami ke-munduran. Kelompok kelas menengah yang berusaha membawaimbas transformasi demokrasi dari Jakarta ke Aceh, ternyata takberdaya menghapus dominasi perilaku korup dalam birokrasi.Kondisi kelompok mahasiswa yang lebih radikal, dan tergabung
PENDAHULUAN DAN KESIMPULAN
8 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
dalam SIRA (Sentral Informasi Referendum Aceh) pun setali tigauang. Walau awalnya SIRA sempat membuat gebrakan ketikamenuntut adanya referendum di Aceh—tuntutan itu akhirnya gagalmemperoleh dukungan dari komunitas internasional, seperti yangpernah dicapai Timor Timur. Kelompok masyarakat sipil jugakurang berhasil memfasilitasi penghentian tindak kekerasan danmenjalankan upaya kemanusiaan melalui Henry Dunant Center diJenewa (Aspinall dan Crouch 2003, Aspinall 2008). Singkatnya,GAM dan para pendukung mereka di kalangan masyarakat sipilmenghadapi pilihan terbatas. Dalam situasi demikian, bukan takmungkin jika mereka kemudian dihadapkan pada pilihan: pertama,terpaksa bernegosiasi dengan Jakarta dalam posisi yang jelas tidakmenguntungkan. Atau, kedua, bersiteguh pada keyakinan bahwakelak waktu akan berpihak pada mereka (seperti yang terjadi padaperundingan-perundingan sebelumnya). Sebab, menurut mereka,Indonesia sebagai warisan kolonial dan bentukan kaum elit, taklama lagi akan mengalami disentegrasi, setelah rezim Soeharto jatuh.
Kendati begitu, Ahtisaari justru berupaya merundingkan halyang berbeda, yaitu proses demiliterisasi (pelucutan senjata danpembubaran gerilyawan bersenjata), pemenuhan hak-hak dasar,pemilihan umum yang demokratis dan konsep pemerintahan-sendiri (self government). Di sisi lain, keterlibatan masyarakatinternasional juga membesar seiring dengan proses rekonstruksipasca-tsunami yang masif di Aceh. Faktanya, selama beberapa tahunkemudian, penguatan perdamaian maupun proses rekonstruksi diluar dugaan justru berjalan lancar, tanpa dihalang-halangi olehintervensi militer Indonesia, atau terkendala korupsi, kolusi dannepotisme. Bahkan bekas gerilyawan maupun aktivis pro-reformasimenang dalam Pilkada Gubernur pada akhir 2006, dan sebagianbesar berjaya dalam pemilihan bupati/walikota. Sayangnya, situasiterakhir memperlihatkan bahwa kemajuan-kemajuan yang sempatdirintis itu, perlahan-lahan tinggal kenangan belaka. Kecen-
9
derungan yang berkembang sejak 2008 kian menunjukkan adanyapenyesuaian terhadap gaya Indonesia dalam mengelola bidangpolitik dan ekonomi.
Tantangan terberat ke depan adalah bagaimana mewujudkanperdamaian di tengah berbagai prakiraan negatif itu? Selain itu,menilik berbagai teori yang ada, apa sebenarnya peran demokra-tisasi dan bagaimana demokratisasi akhirnya kehilangan momen-tum?
Menjawab tantangan: Teori dan penjelasanBagaimana cara terbaik untuk menjelaskan teka-teki di atas?
Marilah kita rujuk kembali teori umum dan penjelasan yang telahdisebutkan di atas. Kita mulai dari suatu tesis yang menerangkan,liberalisasi dan demokrasi itu dibutuhkan dalam proses perdamaian,keamanan dan pembangunan. Tesis ini pertama kali muncul usaiPerang Dunia I. Selanjutnya, ide ini kembali diangkat saat ber-langsungnya gelombang ketiga demokratisasi (di Eropa) dan ketikaberakhirnya Perang Dingin. Di era 1980-an komunitas internasionalturut mendukung beragam negosiasi dalam proses transisi dariautoritarianisme menuju demokrasi. Upaya ini kemudian jugaditerapkan dalam bidang resolusi konflik. Namun, sejumlah pihakkini mengatakan, liberalisasi dan pemilihan umum menyebabkankonflik dan penyalahgunaan kekuasaan semakin menjadi-jadi.3 Adatiga argumentasi yang menjawab kritik ini, yaitu: (i) ‘tesis liberal’yang menekankan perlunya perbaikan lembaga-lembaga demokrasibaru; (ii) Kebalikan dari tesis pertama, yaitu ‘institutions first argu-ment’, menekankan bahwa demokrasi bisa dijalankan jika sebelum-nya telah berdiri suatu negara yang berfungsi baik, melaluipenegakan hukum (rule of law) yang tegas dan adanya kelompok-kelompok warga yang bisa dipertanggungjawabkan (secarahukum) (iii) ‘transformation argument’ yang berorientasi padapendekatan sosial-demokrat. Tesis ini menekankan pada upaya
PENDAHULUAN DAN KESIMPULAN
10 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
memanfaatkan lembaga demokrasi yang ada—kendati belumsepenuhnya sempurna—untuk secara bertahap memoles relasidalam kekuasaan yang lebih bermutu dan meningkatkan kapasitasrakyat (popular capacity) yang turut berpartisipasi. Tujuannya, agartercapai demokrasi yang substansial.
Diskursus mengenai tesis-tesis itu umumnya didominasi olehpenyajian data kuantitatif, yang menggambarkan variabel-variabelpenentu di berbagai daerah konflik. Sayangnya, variabel tersebutacap kali tak segamblang dan sekrusial yang diharapkan (Bdk. Georgedan Bennet 2005). Karena itu, suatu studi tentang bagaimana tesis-tesis tersebut diukur dalam dinamika demokratisasi dan perdamaianyang kontekstual, di dalam kasus segenting seperti Aceh, akanmenjadi kontribusi berharga dalam diskursus yang lebih luas.4
Selanjutnya, kita perlu lebih memahami apa maksud dari ketigatesis di atas. Apa penjelasan pendekatan-pendekatan tersebutmengenai proses yang krusial bagi Aceh dan ancaman krisis diwilayah itu? Perlu diketahui, versi mutakhir pendekatan liberalmuncul di akhir 1980-an. Waktu itu, para mahasiswa serta praktisiperdamaian dan resolusi konflik menyorot upaya ‘kalangan elitemoderat’ dukungan dunia internasional. Para elite itu membentukproses transisi dari pemerintahan autoritarian menuju sistemdemokrasi liberal, di Eropa bagian Selatan dan Timur, serta negara-negara berkembang (the Global South). Jika ‘jalan pintas’ ini bisaditerapkan, maka seburuk apapun situasinya, pendekatan iniseharusnya bisa juga digunakan untuk merancang lembaga-lembaga demokrasi liberal demi penciptaan perdamaian (peace build-ing). Pendukung pendekatan ini, di antaranya adalah SekretarisJenderal PBB Boutros Boutros-Ghali dan Kofi Annan. Berdasarkanpendekatan umum yang berlaku, rencana penciptaan perdamaianitu dimulai dari mediasi pembentukan pakta di kalangan elite,sehingga ‘bukan hanya imbalan yang mereka peroleh, tapi jugamemastikan komitmen mereka membangun lembaga politik dan
11
organisasi masyarakat sipil’; termasuk di antaranya, melaksanakanpemilihan umum. Semakin baik pakta dan lembaga yang dihasilkan,maka semakin baik pula kualitas demokrasi, perdamaian, danpembangunan. Indonesia, contohnya, memperoleh berbagai pujiankarena dianggap berhasil menjalankan proses demokratisasi yang—di luar kebiasaan—selalu stabil. Semua itu berkat penglibatan paraelite-elite berkuasa dalam mendesain kebebasan, menyelenggarakanpemilihan umum, merumuskan parameter anti korupsi sertamenjalankan desentralisasi dan membatasi kekuasaan militer.Sementara itu, di sisi lain, partisipasi berbasis massa justrudikesampingkan (Samadhi dan Warouw 2008, van Klinken 2009,bdk. Aspinall 2010). Kendati demikian, salah satu dampak yangsesekali dialami demokrasi yang baru tumbuh adalah munculnyakembali autoritarianisme baru, khususnya dalam soal penegakanhukum. Karena itu, jalan keluarnya adalah terus menerus menyem-purnakan kesepakatan dan lembaga yang ada, sehingga bisamencegah munculnya konflik dan penyelewengan kekuasaan (bdk.Jarstad dan Sisk 2008). Biasanya, rekomendasi yang disampaikanoleh pendekatan ini adalah sebagai berikut. Pertama, perlunyamenguji standar kelembagaan; Kedua, menyorot aneka kekurangandalam lembaga tersebut, misalnya, akuntabilitas yang rendah danpartai politik yang kurang kompeten . Setelah itu, barulah diberikanpemecahan masalah yang ‘realistis’.
Penjelasan tesis liberal ini selanjutnya bisa disimpulkan sebagaiberikut. Penting diingat bahwa pakta di kalangan elit untukmenjalankan liberalisasi ekonomi dan politik, serta memberi ruangpada lembaga-lembaga sipil dan demokrasi di Indonesia dan Acehsejak 1998, bukan penyebab meningkatnya konflik dan penye-lewengan kekuasaan. Sebaliknya, pakta tersebut bisa dikatakansebagai usaha untuk mendorong perdamaian, yang terus berlanjutwalaupun bantuan asing telah berakhir dan pekerja rekonstruksitelah menuntaskan pekerjaannya di Aceh.
PENDAHULUAN DAN KESIMPULAN
12 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
Berlawanan dengan tesis liberal, inti dari tesis ‘institution first’adalah sebagai berikut. Kendati demokrasi yang kokoh itu baikdan mendukung proses-proses perdamaian, namun demokratisasiharus dikendalikan hingga sistem politik, serta lembaga-lembagasipil dan hukum sudah kuat dan stabil. Alasannya, proses reformasiekonomi liberal, pengenalan kebebasan sipil dan politik, sertapelaksanaan pemilihan umum membuka ruang kompetisi yangsangat lebar. Tanpa institusi yang kokoh, serta sistem politik yangstabil, bukan tidak mungkin proses tersebut rawan penyelewenganoleh masyarakat sipil yang ‘salah kaprah’ atau disalahgunakan olehpara enterpreneur atau petualang yang menjual kepentingan atasnama etnis dan agama. Dengan kata lain, tak bisa diasumsikanbahwa tata pemerintahan dengan sistem yang fungsional danmemadai, serta mampu mengelola politik, masyarakat sipil, danekonomi, bakal mampu pula mengatasi pertikaian, dan mengelolaperbedaan pendapat serta kompetisi; terutama di tengah masyarakatdengan kebudayaan beragam (misalnya Paris 2004: 44-51). Sepertidikemukakan oleh Samuel Huntington pada tahun 1960-an tentangpesatnya modernisasi dan mobilisasi partisipasi rakyat, ‘demo-kratisasi yang prematur’ cenderung menyemai kekerasan daninstabilitas politik ketika tidak ada lembaga-lembaga politik yangmemadai (Huntington 1965 dan 1968).
Konsekuensinya, kelembagaan yang kuat atau yang disebutHuntington sebagai ‘keteraturan tatanan politik’ (political order) harusdidahulukan dalam pelaksanaan demokrasi (Paris 2004: 174f). Pahamyang dikenal dengan istilah ‘sequencing’ ini, menurut parapengikutnya, telah diterapkan di Inggris, Korea Selatan, Taiwan,Brazil dan Afrika Selatan. Alasannya, kata mereka, paham ini dipakaiuntuk mendukung ‘upaya kelompok-kelompok moderat melucutikekuasaan elite yang otoritarian; walaupun kelompok itu jugakhawatir, apabila upaya itu tiba-tiba membawa kemunduran, sertamemicu kekacauan politik massal’. Mekanisme pada pendekatan yang
13
bertahap ala ‘sequencing’ ini lazimnya fokus pada taktik sebagaiberikut: penundaan pemilihan umum; pengadaan ‘parasut-parasutemas’ (…) bagi para elite yang lama (dan) amnesti; pakta yangmelindungi hak-hak kepemilikan para elit; media profesional yangdiatur pemberitaannya; penegakan hukum, yakni berkaitan denganreformasi yang dimulai di level birokrasi dan ekonomi; sertademokratisasi internal di lembaga-lembaga elit, misalnya, di dalampartai yang sedang berkuasa’ (Mansfield dan Snyder 2007:8). Jadi,walaupun para elit bersepakat dalam memenuhi prinsip-prinsip dasardalam demokrasi liberal, taktik-taktik di atas justru mengekangkebebasan dan menutup kesempatan akan pemilu yang adil bagisemua pihak. Situasi ini akan terus berlangsung hingga tercipta ‘poli-tics of order’ yang memadai.
Menilik tesis ‘institutions first’ ini, maka jelaslah jika langkahliberal semacam itu berpotensi meningkatkan konflik danpenyelewengan kekuasaan. Upaya yang seharusnya dilakukanadalah berusaha mengendalikan liberalisasi yang ‘prematur’sembari mencari jalan keluar alternatif agar dapat menegakkanhukum dan memperkuat organisasi sipil, lembaga negara, daninstitusi ekonomi. Sehingga proses demokratisasi bisa berhasil, danselanjutnya mampu mendorong perdamaian, serta menyediakanfondasi yang kokoh bagi demokrasi. Bukan sebaliknya.
Berbeda dengan dua tesis yang jelaskan di atas, tesis tentang‘transformation’ berusaha mengkombinasikan upaya penguatankelembagaan dan agen-agen perubahan. Titik berat pendekatan iniadalah proses di mana para aktor dan lembaga saling mempengaruhisatu sama lain sebagai bagian dari upaya reformasi. Jadi, baik paraaktor dan lembaga, tidak menyesuaikan diri dengan relasi ke-kuasaan. Alhasil, proses tersebut bisa berlanjut dan menghasilkandemokrasi dan perdamaian yang substansial. Misalnya, ThomasCarothers membahas tentang strategi perubahan secara bertahapdi tengah kondisi yang sesulit apapun. Tujuannya, ‘untuk
PENDAHULUAN DAN KESIMPULAN
14 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
menciptakan ruang dan mekanisme bagi kompetisi politik yangjujur, sehingga pada akhirnya mampu mengakhiri ‘monopolikekuasaan’ para penguasa (Carothers 2007: 26). Pendekatantransformasi ini sepakat dengan analisis dari tesis ‘institutions first’bahwa kondisi bagi terciptanya demokrasi khususnya di negara-negara berkembang umumnya masih buruk. Namun, pendekatanini tak sependapat dengan pernyataan bahwa transisi dari peme-rintahan autoritarian menuju demokrasi dan perdamaian, sepertiyang terjadi di Korea Selatan dan Brazil, didorong oleh parapenguasa yang moderat. Sebaliknya, pendekatan ini menekankanpentingnya ‘para pejuang pro-demokrasi yang tak gentar akan‘politik massa’ untuk menuntut kompetisi politik yang terbuka’(Carothers 2007a: 20). Meski begitu, tak dapat dipungkiri, sejumlahpimpinan rezim otokrasi atau penguasa otoriter di Asia Timur dansebagian negara Eropa turut melakukan perubahan. Sayangnya,tindakan tersebut semata-mata jawaban atas tuntutan terhadapperlunya reformasi dan penguatan negara, agar penguasa mampumendulang dukungan rakyat sembari melawan para lawanpolitiknya (bdk. Therborn 1983). Lazimnya, para penguasa otoriteritu tak pernah membidani tata kelola pemerintahan yang baik (goodgovernance) dan menegakkan hukum sebagai panglima (rule of law).Demi meningkatkan kapasitas negara dan membangun penegakanhukum yang sesungguhnya, dibutuhkan pula penghapusan relasikekuasaan. Perubahan itu sebaiknya dilakukan melalui jalurdemokratisasi, karena jalan ini lebih minim konflik daripada meng-hadapi pemberontakan rakyat.5
Selain itu, tesis ketiga ini juga bersikap kritis terhadap modeldemokrasi yang dikembangkan melalui negosiasi kaum elit. Tesisketiga ini menganggap, pelaksanaan model liberal elitis menyim-pang dari konteks, karena didasari pemikiran bahwa pengenalanterlalu dini terhadap kebebasan dan lembaga demokrasi berpotensimenimbulkan masalah. Selain itu, demokrasi liberal dilaksanakan
15
dengan lebih mengandalkan relasi kekuasaan yang sudah ada,daripada berupaya mengeliminasi relasi-relasi tersebut secarademokratis. Berbagai studi komparatif dalam konteks yang berbedalebih menekankan pentingnya politik ketimbang privatisasi danpengkotak-kotakkan potensi masyarakat (atau yang biasa dikenalsebagai ‘communalisation’). Selain itu, studi-studi tersebut jugamenunjukkan bidang-bidang area kepentingan publik yang perludikontrol oleh demos (rakyat). Pemahaman serupa juga berlakudalam upaya memperbaiki kapasitas rakyat untuk berpartisipasidalam gerakan politik terorganisir, serta meningkatkan kapasitasnegara dalam menentukan keputusan yang demokratis secaraimparsial (Priyono dkk. 2007, Samadhi dkk. 2008, Harris dkk. 2004,Törnquist dkk, 2009). Kondisi ini memerlukan adanya tuntutanyang disuarakan dari rakyat kecil di bawah kepada lembaga-lembaga publik di atas. Sehingga lembaga-lembaga publik itu bisaberubah menjadi institusi yang mengembangkan organisasi rakyatdan keterwakilannya. Selain itu, lembaga tersebut akan lebihmengakomodasi tuntutan menyangkut kebijakan publik danmenyangkut kesetaraan hak, daripada melaksanakan permintaankhusus dari kelompok kepentingan tertentu. Proses tersebut sertalogika tentang penggunaan demokrasi yang masih muda untukmenghapus relasi-relasi dalam kekuasaan, sekaligus meningkatkankapasitas rakyat untuk berdemokrasi demi menggapai tujuan,merupakan pencerminan dari sejarah negara-negara dengandemokrasi paling kokoh. Misalnya, pemilihan penggunaanpendekatan sosial demokrat ketimbang demokrasi liberal di negara-negara Skandinavia. Di negara-negara itu, kaum sosial-demokratmeninggalkan tesis Kautsky, yang mengatakan bahwa pem-bangunan dan krisis dalam sistem kapitalis akan otomatis melahir-kan sosialisme. Terinspirasi oleh Bernstein, mereka segera melaksana-kan transformasi politik secara demokratis untuk melucuti relasi-relasi kekuasaan. Alhasil, mereka kemudian mampu menciptakan
PENDAHULUAN DAN KESIMPULAN
16 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
kesejahteraan rakyat, sejalan dan seiring dengan pertumbuhanekonomi. (bdk. Esping-Andersen 1988; Berman 2006). Belakangan,visi dan tindakan serupa kini sudah dikembangkan juga dalamproses penyusunan anggaran dan perencanaan yang partisipatif,seperti di beberapa daerah di Brazil dan India (bdk. Harris dkk.2004 dan Törnquist dkk. 2009).
Pendekatan transformatif menekankan kombinasi antaraperbaikan lembaga negara secara bertahap dan pemanfaatankapasitas rakyat, agar terjadi perubahan ke arah yang lebih baik.Namun, tesis itu baru bisa dianggap valid jika kedua variabeltersebut dikaitkan dengan upaya memajukan penciptaan per-damaian (peace building) secara demokratis. Selain itu, perlu diamatijuga sejumlah indikator, sebagai berikut: (i) Pedoman pelaksanaandemokrasi liberal telah membatasi dan memadu-madankan lembaga-lembaga demokrasi serta sumber dayanya. Tujuannya, agar relasidalam kekuasaan diperkuat—dan pada akhirnya mengabaikanprinsip-prinsip keterwakilan, serta upaya peace building. Selanjutnya,(ii) segala upaya yang berusaha mendahulukan penguatanlembaga-lembaga demokrasi (institutions first), justru melestarikan—bukannya menghapus—permasalahan dalam tata kelola peme-rintahan dan perdamaian. Pendekatan ini pun mengabaikanpentingnya membangun fondasi demokrasi yang kokoh.
Sejauh mana berbagai argumentasi di atas dapat membantumenjelaskan dinamika demokratisasi dan perdamaian di Aceh?Berdasarkan persepsi sebagian besar mahasiswa di Aceh, terdapatsebelas proses yang krusial dan hambatan yang patut disorot.Proses dan hambatan itu berguna dalam upaya membandingkansituasi di Aceh dengan daerah-daerah konflik Indonesia lainnya,serta dengan Sri Lanka, negara yang juga dilanda konflik dan tsu-nami. Selanjutnya, pembahasan tentang proses dan tantangantersebut secara singkat dan menurut tahapannya dalam sejarahakan diuraikan sebagai berikut.
17
Tak memadainya proses liberalisasiPasca kejatuhan Soeharto pada 1998, tesis liberal tak bisa
menjawab ketika perubahan di Indonesia ternyata minim kemajuan.Padahal begitu rezim jatuh, segala aspek kebebasan, kebijakandesentralisasi, dan pelaksanaan pemilihan umum hadir dalamwaktu singkat. Presiden baru setelah Soeharto, B.J. Habibie,meminta maaf secara resmi kepada rakyat Aceh atas tindakkekerasan yang dilakukan oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI),dan langsung mencabut status Daerah Operasi Militer (DOM).Presiden kedua pasca Soeharto, Gus Dur, bahkan melangkah lebihjauh. Ketika itu, ada ruang untuk bermanuver sembari berdebat,bernegosiasi, dan melakukan aksi-aksi nyata bagi pencapaianperdamaian.
Namun, tingkat kepercayaan terhadap demokrasi yang masihmuda di Indonesia, tetap rendah. Kendati pertempuran antaratentara dan GAM agak berkurang, tetapi peperangan masihberlanjut. Para politisi di tingkat lokal terpilih dalam pemilu, namunkorupsi dan penyelewengan kekuasaan tetap merajalela. Kelompok-kelompok masyarakat sipil menjamur, namun sebagian besarbergabung dengan SIRA, dan menuntut referendum untuk memilihkemerdekaan, mencontoh pengalaman Timor Timur. Kemudianotonomi khusus yang diperluas pun diberikan kepada Aceh. Alhasil,tersedia kesempatan bagi kalangan pemimpin Islam konservatifmemasukkan syariat Islam dalam peraturan daerah. Perundingandamai kemudian berbuah jeda kemanusiaan. Tapi, masa jeda itumalah dimanfaatkan pihak-pihak yang bertikai, termasuk jugaGAM, untuk menggalang kekuatan dan melakukan konsolidasiulang terhadap posisi mereka, dengan memperluas kontrol ataswilayah, komunitas, dan sumber daya alam. Status Darurat Militerakhirnya diberlakukan kembali sejak Mei 2003 di bawahpemerintahan Presiden Megawati. Menilik situasi semacam ini,boleh dikatakan bahwa demokratisasi tak memiliki kesempatan
PENDAHULUAN DAN KESIMPULAN
18 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
untuk berkembang, sebab tak ada kesepakatan yang mendasarmengenai masalah teritori. Meski begitu, belakangan ide demokrasimampu memunculkan pandangan yang lebih positif. Lantas,mengapa itu bisa terjadi?
Sekitar satu setengah tahun setelah Kesepakatan Helsinki,Aceh memang banyak berubah. Namun tantangan bagi prosesdemokratisasi tak juga berkurang. Pada Bab 3, berdasarkan surveiterhadap para ahli di Aceh, Törnquist mengidentifikasi tujuhkecenderungan utama dalam proses demokratisasi di Aceh. Pertamaadalah bangkitnya ‘political demos’. Walaupun pemenuhan hak-hakwarga negara secara demokratis masih rendah, tapi berbagai buktiempiris menunjukkan bahwa rakyat sangat cepat pulih dari dampaknegatif perang sipil dan bencana alam. Bahkan mereka tampakantusias terlibat dalam politik, tanpa dibayangi tindak kekerasandalam skala besar, baik atas nama identitas etnik dan agama,maupun dengan dalih separatisme. Kecenderungan kedua adalahdominasi sektor politik di Aceh. Militer tak lagi berjaya. Parapengusaha pun mati-matian berusaha terlibat dalam politik danpemerintahan. Meski begitu, rekonstruksi perekonomian besar-besaran di Aceh yang mampu memisahkan diri dari kepentingangerakan politik terorganisir, ternyata tetap tak bisa lepas darigerakan politik yang tak terorganisir. Ketiga, keberhasilan dalammemperkenalkan beberapa aspek dalam kebebasan, suksesnyapemilihan umum, dan bahkan terpenuhinya hak pengajuankandidat independen dan pembentukan partai politik lokal, ternyatasecara substansial belum berdampak terhadap sistem perwakilan.Keempat, akibatnya partisipasi kemudian cenderung dilakukandengan cara mengakses langsung lembaga-lembaga pemerintahan.Sayangnya, proses ini didominasi jalur patronase dan klientelisme,dan bukan dilakukan melalui mekanisme demokratis agar bisaberpartisipasi langsung di lembaga-lembaga publik. Kelima, di sisilain, upaya masif lembaga donor asing dengan partner domestik-
19
nya, dalam menjalankan proses rekonstruksi sekaligus mencegahpenyelewengan kekuasaan, ternyata tak memupuk dukungan yangcukup bagi keadilan hukum dan pelaksanaan hak-hak asasimanusia, penegakan hukum, serta akuntabilitas dalam tata kelolapemerintahan.
Keenam, beberapa masalah tampaknya lebih serius di daerahyang dimenangkan kelompok nasionalis Aceh saat Pilkada.Walaupun situasi itu sebetulnya tak terlalu mengejutkan, karenaparahnya persoalan itu adalah akibat konflik yang berlarut-larutsebelumnya. Yang disesalkan, mereka yang terpilih tak kunjungmenunjukkan peningkatan kapastias politik untuk memperbaikikeadaan. Yang terakhir, aneka hambatan tersebut tampaknya sulitdiatasi oleh para aktor pro-demokrasi pengusung kerangkapemikiran perjanjian Helsinki, yang sempat menjaga perjalanandemokratisasi di Aceh tidak melenceng. Di sisi lain, para aktor politiklainnya di Aceh lebih tergoda untuk mengambil jalan pintas:menyesuaikan diri dengan standar dan perilaku politik yang ‘nor-mal’ ala Indonesia. Karena itu, sangat besar kemungkinannyabahwa di masa mendatang hasil positif dari proses demokratisasiyang telah dicapai sejauh ini, akan diabaikan begitu saja. Padalampiran Bab 3, Willy Purna Samadhi telah melakukan re-tabulasiterhadap hal-hal yang dianggap relevan dari data awal Survei Acehyang sempat tercerai-berai (termasuk data tentang Aceh dari SurveiNasional Demokrasi Tahun 2007 oleh Demos). Data tersebut turutmenyumbang andil dalam analisis bab ini. Selanjutnya, informasitersebut dapat digunakan sebagai bahan dasar bagi studi-studiberikutnya dan survei-survei lanjutan.
Kontrol teritorialMelalui Operasi Militer baru pada era Megawati, pemerintah
Indonesia memperluas kontrol teritorial di provinsi ini. Upaya itudilakukan untuk memperkecil kontrol wilayah GAM, yang pada
PENDAHULUAN DAN KESIMPULAN
20 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
2002-2003 mampu menguasai 70% wilayah pedesaan di Aceh(Schulze 2004: 35). Waktu itu, GAM menderita kekalahan yangbegitu besar. Sehingga banyak pendapat yang mengatakan bahwakekalahan inilah yang mendasari kesediaan GAM untuk terlibatlebih serius dalam perundingan pasca-tsunami dan tak lagimenuntut kemerdekaan (lihat misalnya Aspinall 2005). Selain itu,upaya GAM menjadikan perjuangannya sebagai isu internasional,dan berusaha mengikuti jejak Timor Timur untuk berpisah dariIndonesia, malah sepi dukungan dari komunitas internasional.Akan tetapi, hal serupa juga dialami LTTE (Pembebasan MacanTamil Eelam) di Sri Lanka. Namun, berbeda dengan pembentukannegara oleh LTTE di Bagian Timur Laut Sri Lanka, GAM tidakmenguasai wilayah yang terkena dampak tsunami—dimana GAMseharusnya bisa mendominasi pengiriman bantuan (Billon danWaizenegger 2007: 423). Perlu diingat, kontrol teritorial merupakanprakondisi yang dibutuhkan dalam tesis ‘institutions first’ dan‘pendekatan transformasi’. Namun, ketika fakta menunjukkanbahwa kontrol itu dikuasai oleh militer Indonesia, maka terbuktilahtesis pertama dari tesis ‘institutions first’, yakni terciptanya ‘politics oforder’ (keteraturan tatanan politik). Toh, fakta itu tak perlu di-tanggapi berlebihan. Bagaimanapun para gerilyawan dan aktivissipil akan terus berjuang demi mencapai tujuan mereka, kendatimereka kalah dalam pertempuran. Di samping itu, Pemerintah In-donesia tentunya bercermin dari pengalaman mereka dengan TimorTimur. Indonesia pun mestinya sadar bahwa tanpa kemenanganpolitik yang strategis, mau tidak mau mereka harus berunding (bdkMiller 2009: 154f; Schulte 2006: 265). Harus diingat pula, kekuatantak sekedar merujuk pada kondisi persenjataan dan prajurit, tetapijuga berbicara soal kekuatan politik. Tak dapat dipungkiri bahwabaik LTTE maupun GAM, tidak memiliki organisasi politik yangsesungguhnya, dan semata-mata mengandalkan komandomiliteristik, jaringan dan hubungan kekerabatan. Namun GAM
21
bukan satu-satunya di Aceh. Dengan mengusung isu yang samatentang kemerdekaan, SIRA juga berjuang dengan caranya sendirimelalui aksi-aksi sipil dan kampanye politik di luar struktur, yangbahkan jauh melampaui komando para pimpinan GAM dipengasingan, yang berpusat di Stockholm.
State-buildingTerdapat dua aspek dalam state-building yang lebih fundamen-
tal: pemahaman politik atas demos, serta semakin stabilnyapelaksanaan kebijakan desentralisasi di Indonesia. Demokrasi, yanglazimnya dipahami sebagai upaya kontrol populer (rakyat) terhadapberbagai kepentingan publik atas dasar kesetaraan politik, dalampelaksanaannya, demokrasi harus memenuhi syarat-syarat tertentu.Para individu dan kelompok harus mampu mengidentifikasi dirimereka sebagai bagian dari demos yang saling sepakat terhadapsejumlah kepentingan publik yang sama. Para individu dankelompok ini kemudian setuju untuk mengontrol bersama,berdasarkan prinsip kesetaraan.6 Solidaritas etnis dan agama, sertakesamaan kepentingan berdasarkan kelas, bisa saja membentukdemos. Namun, identitas dan kepentingan-kepentingan tersebutmungkin secara de facto tidak mengacu pada tatanan ekonomi danpolitik yang ada dalam masyarakat—karena begitulah yang lazimterjadi. Dalam situasi tersebut, pengaturan definisi kepentinganpublik oleh komunitas dan kelompok tertentu, akhirnya takterhindarkan lagi. Padahal kesetaraan politik menekankan perlunyakesetaraan dalam pemenuhan hak-hak asasi manusia dan kewarga-negaraan. Asumsi ini tentu tak sejalan dengan pemberian ke-istimewaan atau perlakuan khusus yang seluas-luasnya bagikomunitas, kelas atau kelompok tertentu.7 Karena itu, baikpertentangan antar identitas etnis seperti yang terjadi di Sri Lanka(etnis Singhala versus etnis Tamil); maupun bentrok antarsolidaritas agama, misalnya di dua daerah konflik di Indonesia,
PENDAHULUAN DAN KESIMPULAN
22 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
yakni Maluku dan Sulawesi Tengah (Kristen versus Islam); adalahsituasi yang problematik bagi pengembangan demokrasi.Sebaliknya, para ilmuwan sepakat bahwa sentimen etnis, hu-bungan kekerabatan, dan agama sebagai unsur yang instrumen-tal untuk memperoleh legitimasi dan melaksanakan mobilisasi,ternyata berhasil ditekan dalam kasus Aceh. Ketiga unsur tersebut,menurut mereka, kalah bersaing dengan kepentingan pokokbersama, yaitu merebut wilayah kekuasaan dan kontrol politik(bdk. Reid 2006, termasuk Sulaiman 2006; Aspinall 2008). Musuhpertama adalah para penguasa kolonial dan para tuan tanah lokal,yaitu para uleebalang, yang menjadi boneka kekuasaan Belanda.Saat itu, perlawanan memanfaatkan jaringan para pemimpin agamaatau para ulama. Para ulama ini jugalah yang belakangan mem-prakarsai perlawanan terhadap konstitusi negara kesatuanbentukan Soekarno. Namun, pada hakikatnya, perlawanan merekabukanlah berfokus pada agama, tapi lebih pada tuntutan otonomidaerah dan struktur pemerintahan federal. Pemenuhan tuntutanitulah yang menjadi dasar untuk menawarkan kerjasama dengankelompok perlawanan di daerah lainnya di Indonesia. Tentunyadisadari pula bahwa para gerilyawan di daerah sempat melakukanmodifikasi struktur mobilisasi mereka. Tujuannya, untuk mem-peroleh dukungan Amerika dalam bingkai Perang Dingin, terutamaketika Soekarno makin mendekat dengan Partai Komunis yangtengah tumbuh pesat. Namun ketika rezim Orde Baru, yang anti-komunis dan pro-Amerika, terbukti juga sentralistik, tuntutanuntuk membentuk pemerintahan sendiri (self government) menjadibegitu krusial. Para pemimpin Aceh bahkan sanggup membuangtuntutan mereka sebelumnya akan federalisme, dan merengkuh cita-cita akan nasionalisme suku bangsa (ethnic nationalism). Takdipungkiri, para gerilyawan pun menggunakan cara-cara yang takelegan. Misalnya, upaya mereka untuk mengadu-domba masya-rakat Aceh dengan para pendatang dari Jawa dan etnis minoritas
23
lainnya. Bahkan, sebenarnya pemerintahan di wilayah kekuasaanpara gerilyawan juga bertangan besi (Schulze 2004). Namun, secarakeseluruhan, penentuan akan demos dan kepentingan publikbersama di Aceh bersifat politik dan teritorial. Inilah yang kemudianmencegah konflik etnis dan agama, dan pada akhirnya memuluskanjalannya perundingan, serta memudahkan proses perdamaian yangdemokratis.
Pemaparan di atas melemahkan tesis ‘liberal’. Sebaliknyapenjelasan tersebut lebih mencerminkan asumsi dalam ‘institutionsfirst argument’ dan ‘transformation argument’. Sebenarnya, parapengusung ‘institutions first argument’ mengklaim bahwa ter-bentuknya demos adalah berkat para pimpinan gerilyawan yangautokratik. Namun persis seperti perkiraan pendekatan transfor-masi, para pimpinan gerilyawan yang otoriter itu tidak men-junjung penegakan hukum dan kesetaraan politik, baik di wilayahkekuasaan maupun di dalam organisasinya (bdk. Schulze 2004).Sebaliknya (yang juga akan kita bahas lebih lanjut nanti), karakteryang demokratis dari identitas politik orang Aceh justru hanyabisa dikembangkan dengan kesepakatan damai Helsinki.
Aspek kedua yang menunjukkan betapa krusialnya prosesstate-building bagi perdamaian dan demokrasi adalah meningkatnyastabilitas dalam pelaksanaan desentralisasi Indonesia. Pada mulanya,proses desentralisasi yang radikal pasca-kejatuhan Soehartomenyuburkan potensi konflik dan perpecahan. Kekhawatiran inilahyang mendorong operasi militer semasa Megawati, dan di saatbersamaan semakin mempertegas asumsi para gerilyawan. Asumsitersebut (berdasarkan teori dependensi) menekankan Indonesiasebagai warisan kolonial, akan segera runtuh (sebagaimana terjadidi Timor Timur), karena kelompok nasionalis autoritarian sedanggoyah.8 Karena itu, para gerilyawan di Aceh tak perlu menyerah,bahkan bisa saja mempercepat disintegrasi, dengan menyatakanprovinsi Aceh tak lagi berada di bawah perintah Jakarta. Tapi, pada
PENDAHULUAN DAN KESIMPULAN
24 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
2004, tanda-tanda ancaman disintegrasi di Indonesia justrumemudar. Survei Nasional tentang demokrasi yang pertama,mengindikasikan bahwa proses demokratisasi dan desentralisasisistem politik di berbagai daerah, tetap berjalan dalam kerangkanegara kesatuan—kendati terjadi krisis identitas politik di daerahserta bertahannya konflik di Aceh (Demos 2005). Akibatnya,argumentasi dan berbagai rasionalisasi oleh para aktivis militan diAceh, mulai tak dihiraukan. Belakangan pelaksanaan desentralisasiyang sungguh-sungguh, terbukti sangat krusial dalam pem-bicaraan perundingan damai di Helsinki, sehingga membukapeluang bagi pelaksanaan pemerintahan-sendiri yang demokratis.
Pada akhirnya, sekali lagi, tesis ‘institutions first’ tampaknyaterbukti dari perkembangan yang terjadi. Namun, tesis tersebuthanya terbukti apabila analisis tentang Aceh tidak terkait denganIndonesia secara keseluruhan. Lahirnya kebijakan desentralisasiyang bagus bukan merupakan ‘hadiah’ dari para penguasa autokratyang ‘moderat’, tapi sepenuhnya merupakan buah dari prosesdemokratisasi pasca-Soeharto. Selain itu, seperti yang akan dibahasselanjutnya, negosiasi perluasan bentuk desentralisasi untuk Aceh,ternyata lebih demokratis daripada provinsi dan kabupaten lainnyadi Indonesia. Sebab, Aceh diperkenankan memiliki pemerintahan-sendiri dan mendirikan partai-partai politik lokal.
Presiden pendukung perundingan damaiSebagai Menteri Koordinator dalam kabinet Wahid dan
Megawati, Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla terlibatdalam perundingan damai, pada akhir 2001 dan awal 2002, dibeberapa daerah konflik di Indonesia, seperti Provinsi SulawesiTengah (Poso) dan Maluku. Saat terpilih sebagai presiden dan wakilpresiden pada pertengahan 2004, mereka memiliki mandat baruuntuk mendorong proses perdamaian. Kontak dengan tiap individupimpinan GAM, dilakukan melalui utusan yang mereka kirim,
25
beberapa bulan setelah bubarnya persetujuan damai di Aceh padapertengahan 2003 (ICG 2005 dan Husain 2007). Tak banyak yangterjadi selama masa kampanye pemilihan presiden, namun padaakhir 2004, para petinggi GAM senior di Stockholm sepakat untukmemulai perundingan damai di bawah pengawasan PresidenAhtisaari. Yudhoyono, yang beretnis Jawa dan dikenal sebagai “thethinking general” (Jenderal Pemikir), tengah mendukung kampanyeanti-korupsi yang moderat, penegakan hukum, dan profesionalisasimiliter. Sementara itu, Kalla, seorang saudagar Bugis, aktifmempromosikan peluang bisnis dan—dalam kasus perundingandamai—juga menawarkan proyek pembangunan yang mengun-tungkan kepada para pimpinan kelompok yang bertikai, pejabatmiliter dan pemimpin lainnya di provinsi yang dilanda konflik.Kalla justru menghindari kampanye operasi militer yang dianggaplebih boros. Pendekatan ini didiskusikan secara panjang lebar olehStanley Adi Prasetyo dan George Aditjondro pada Bab 4.
Yudhoyono dan Kalla bersama-sama mendukung perun-dingan damai; menggalang rasa saling percaya dengan parapemimpin GAM; menghormati kesepakatan; meyakinkan parapolitisi yang nasionalis dan konservatif, serta kalangan militer diJakarta agar turut mendukung langkah-langkah yang dilakukandalam perundingan damai (misalnya Aspinall 2008, Miller 2009).Beruntung, Kalla kemudian menjadi Ketua Umum Partai Golkar—partai besar yang dulu melayani kepentingan rezim Soeharto. Posisiini memudahkan Kalla menggalang suara mayoritas di parlemenuntuk mendukung keputusan-keputusan pemerintah yangkontroversial.9 Langkah inilah yang membedakan pasangan inidengan sikap mantan Presiden Megawati. Selain itu, kondisi inijelas berbeda pula dengan situasi di daerah pasca tsunami sepertiSri Lanka, yang diwarnai kepemimpinan politik yang lemah, minimkomitmen, dan penuh kompromi.
Kendati demikian, Yudhoyono dan Kalla mulanya sempat
PENDAHULUAN DAN KESIMPULAN
26 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
bertahan pada pendekatan militer garis keras, sembari terusmelakukan pembicaraan-pembicaraan rahasia di kalangan elit.Mereka juga diam-diam membuat perjanjian bagi-bagi kekuasaanserta menawarkan kesepakatan bisnis yang menggiurkan kepadapihak yang terlibat konflik, sebagai imbalan atas tercapainyaperdamaian. Persis seperti yang telah mereka terapkan di SulawesiTengah dan Maluku. Upaya ini sempat berlangsung beberapa lama,hingga akhirnya buyar karena perundingan Helsinki berkembangmenuju arah berbeda. Salah satu usaha mereka yang sempatdilakukan sebelum perjanjian damai di Helsinki, tapi akhirnyagagal di tengah jalan adalah usaha mereka membujuk parapemimpin senior GAM di lapangan (Aspinall 2005: 13f, ICG 2005:hal 2ff). Ketika itu, Kalla yang paling lantang mengatakan bahwakonflik di Indonesia merupakan akibat kebebasan yang prematurdan pemilihan umum yang terlalu dini.10 Dari pemaparan ini, bisadisimpulkan bahwa pasangan Yudhoyono dan Kalla merupakanperwujudan dari kombinasi dua sosok pemimpin. Pertama, merekaadalah pemimpin yang moderat, di mana keduanya bergabungdalam pakta liberal untuk menciptakan lembaga demokrasi yang‘realistis’. Kedua, mereka juga adalah pemimpin autokrat yang barusaja sadar bahwa mereka terbawa arus demokratisasi yang ‘terlaludini’, sehingga mereka kini berusaha sekuat tenaga membendung‘dampaknya’ agar demokratisasi itu tak kebablasan, demi me-lindungi kepentingan lembaga-lembaga berpengaruh dan peluangbisnis yang diatur penguasa.
Masyarakat sipil nan aktif berpolitikSelama perjuangan melawan autoritarianisme, organisasi
masyarakat sipil tak kunjung berhasil dalam beberapa hal. Diantaranya, memobilisasi rakyat dalam jumlah besar, danmengembangkan keterwakilan yang adil, agar bisa memenangkanpemilihan umum di Indonesia. Kendati demikian, kemajuan yang
27
mereka capai sangat krusial dan tetap memiliki arti penting dalamproses demokratisasi (misalnya Aspinall 2005a, Lane 2008 danTörnquist 2000). Dalam kasus Aceh, ketika Soeharto baru tumbang,beragam organisasi sipil berhasil mendorong demokratisasi danperjanjian damai. Selain itu, mereka giat pula dalam penyaluranbantuan dan rekonstruksi pasca-tsunami, sembari aktif menjalan-kan peran penting dalam menindaklanjuti kesepakatan di Helsinki.Semua pihak sepakat bahwa organisasi masyarakat sipil di Acehtelah membangun fondasi penting bagi perdamaian dan demokrasi.Tak hanya di situ, organisasi masyarakat sipil di Aceh sangatproaktif dan paling teguh membela kebebasan, hak asasi manusia,serta elemen demokratisasi lainnya. Inilah peran yang teramatkrusial, dan membuat tesis ‘institutions first’ tak lagi relevan. Sebab,menurut pendekatan ini, lembaga-lembaga bentukan warga negaraseharusnya bersikap moderat, sebelum tercapainya kebebasan dandemokrasi yang lebih luas.
Namun, itu tak berarti bahwa pendekatan liberal sepenuhnyaberlaku. Pada permulaan era pasca-Soeharto, upaya yang berkiblatpada demokratisasi dan penguatan perdamaian secara liberalumumnya gagal di Aceh. Seperti yang dialami organisasi serupa didaerah lain di Indonesia, organisasi masyarakat sipil di Aceh jugamenghadapi persoalan serius, misalnya, tak ada basis sosial yangcukup dan mengalami marginalisasi politik (bdk. Törnquist 2003,Priyono dkk. 2007, Samadhi dan Warouw 2008).
Faktanya, di Aceh, sejumlah faktor non-liberal justru sangatpenting bagi organisasi masyarakat sipil tertentu. Contohnya,organisasi yang lebih radikal seperti SIRA. Kendati organisasi inidiuntungkan dengan dibukanya keran kebebasan yang baru,namun mereka memilih untuk tak percaya pada pada demokrasiIndonesia yang masih muda itu. Organisasi ini kemudian berhasilmemperoleh dan memanfaatkan momentum dengan mengkam-panyekan tuntutan akan referendum, serta meneruskan perjuangan
PENDAHULUAN DAN KESIMPULAN
28 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
kemerdekaan bersama GAM. Di satu sisi, dapat diakui bahwakehadiran berbagai organisasi non-pemerintah (NGO) berdanabesar dalam penyaluran bantuan dan kegiatan rekonstruksi pasca-tsunami, telah menghambat hegemoni militer Indonesia di Aceh.Akan tetapi, sebagian besar lembaga–lembaga itu telah terkooptasikebijakan depolitisasi dalam program pembangunannya, danmeniadakan program tentang pemenuhan hak warga negara, sertademokratisasi. Situasi semacam ini juga terjadi pada prosesperdamaian yang berorientasi pembangunan liberal di Sri Lanka.Di Sri Lanka, demokrasi prosedural pasca kolonial tetap bertahan.Sayangnya, upaya mendongkrak pemenuhan hak sipil untukmengatasi defisit demokrasi, tidak dijadikan prioritas utama.akibatnya, sebagian besar organisasi masyarakat sipil di Sri Lankahanya fokus pada isu-isu ekonomi dan sosial, termasuk men-jalankan proses perdamaian yang fokus pada pembangunansemata.11 Sementara itu, di Aceh, setelah gebrakan awal SIRA, berkatpedoman pelaksanaan demokrasi yang dihasilkan dalamperundingan di Helsinki (yang akan dibahas kemudian), kelompok-kelompok lama yang memperjuangkan hak warga negara dan hakpolitik (serta beberapa organisasi baru di bidang pembangunan)memiliki posisi sangat penting beberapa tahun ke depan, setidaknyadalam upaya peace building yang demokratis. Dengan kata lain,pentingnya posisi istimewa organisasi masyarakat sipil, yangbergerak di bidang politik dan pemenuhan hak-hak warga negara,yang mengandalkan dukungan basis massa yang luas dalamgerakan menuntut referendum dan pelaksanaan pemerintahan-sendiri, membuktikan salah satu tesis dalam ‘pendekatantransformasi’. Tesis itu mengatakan, kebebasan yang diperoleh,dapat dimanfaatkan untuk memperbaiki situasi dan kondisi secarabertahap, sehingga tercipta demokrasi dan upaya penciptaanperdamaian (peace building) yang lebih substansial.
29
TsunamiPara diplomat, relawan, dan wartawan sering mengatakan, tsu-
nami merupakan peristiwa luar biasa yang membuat setiap orangmenyadari bahwa perdamaian, demokrasi dan rekonstruksi harusdidahulukan. Internasional Crisis Group (ICG) juga mengatakan bahwabencana tersebut ‘telah membuat Aceh disorot pihak internasional,sehingga membuka peluang politik agar kedua kubu bersediamenyelesaikan konflik, serta menawarkan upaya menghubungkanusaha rekonstruksi dan proses perdamaian, dan menjamin keter-sediaan dana bantuan dari para donor, di luar anggaran pemerintah(ICG 2005:1).’ Dari pernyataan tersebut, maka Aceh adalah kasusistimewa, karena tak satu pun argumentasi tentang upaya peace build-ing melalui proses demokratisasi, dapat memberikan penjelasan valid.Kendati begitu, bila sekilas dibandingkan dengan perkembangannegatif di Sri Lanka, yang juga porak poranda akibat konflik, dandilanda tsunami, tampaknya bencana alam bukanlah penyebabkemajuan di Aceh. Dampak tsunami bukanlah unsur baru, yangmengimbuhi proses perdamaian. Namun, dampak bencana telahsedemikian rupa mempengaruhi aktor dan faktor-faktor yangdiidentifikasi pendekatan mainstream dalam kajian demokrasi danperdamaian.12 Lagipula, hanya sedikit aktor dan faktor-faktor ituyang terkena dampak ekstrim bencana di Aceh, dan hal ini mungkinpenyebab munculnya hasil yang berbeda. Satu hal yang menjadipengecualian adalah militer Indonesia terpaksa harus membuka jalanbagi kehadiran dunia internasional di Aceh. Karena itu, bila ditarikkesimpulan secara umum, tsunami adalah sebuah peristiwa krusial,yang memberi peluang pada berbagai aktor (dengan beragam tujuandan strategi dalam aneka kondisi) untuk merespon peristiwa itu,sehingga bisa memperkuat atau sebaliknya, justru memperlemahdinamika yang ada. Namun, apapun pilihannya, semua itu masihbisa diuraikan dengan menambah penjelasan dari pendekatan yangada, tanpa perlu menambah analisis baru yang lebih radikal.
PENDAHULUAN DAN KESIMPULAN
30 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
Pengaturan sektor ekonomiPerbedaan utama dalam mediasi perdamaian di wilayah
konflik-pasca tsunami, baik di Aceh dan Sri Lanka, serta di daerahkonflik lainnya di Indonesia, terletak pada regulasi ekonomi yangberlaku.
Di Sri Lanka, pembangunan ekonomi liberal semula bertujuanmemfasilitasi perundingan dan peace building. Tetapi, prosespembangunan justru menimbulkan ketidakpuasan dan persainganpolitik dalam memperebutkan sumber daya, seperti dana bantuanrekonstruksi pasca-tsunami. Akibatnya, konflik terus berlanjut, danatas dalih chauvinisme agama dan etnis, terbentuklah opini publikyang menentang proses perdamaian. Setelah tsunami, dinamikaproses perdamaian tak berubah dari upaya sebelumnya dalammediasi perdamaian, sejak 2001 hingga 2003. Para pakar politikberanggapan, kolaborasi pihak-pihak bertikai dalam penyaluranbantuan kemanusiaan dan rehabilitasi, di saat bersamaan dapatmenghasilkan sebuah proses resolusi konflik. Selama minggu-minggu pertama pasca bencana, laporan awal sempat menyebutkanadanya itikad baik di antara pihak-pihak bertikai. Namun, tak lamakemudian, kabar tersebut menguap seiring dengan merebaknyapersaingan antara pemerintah Sri Lanka, LTTE dan aktor-aktorpolitik lainnya dalam perebutan dana bantuan tsunami, yang akandigunakan untuk menggalang legitimasi politik. Menilik gangguanpolitik itu berpotensi mengancam upaya distribusi bantuan yangefisien dan adil, para praktisi internasional menuntut adanyamekanisme kerjasama antara pemerintah dan LTTE. Tetapi,perjanjian antara pemerintah Sri Lanka dan LTTE untuk mem-bentuk Struktur Manajemen Operasional Pasca-Tsunami (Post-Tsu-nami Operational Management Structure atau P-TOMS) ditentang kerasoleh oposisi politik di parlemen. Pada akhirnya, meskipunditandatangani, perjanjian itu tak bisa diimplementasikan. Sebab,Mahkamah Agung memutuskan bahwa elemen-elemen kunci dalam
31
perjanjian itu tidak konstitusional. Alhasil, berbagai peluang yangtercipta akibat tsunami, untuk merevitalisasi perdamaian melaluiupaya bantuan kemanusiaan pun akhirnya luput (Stokke et.al.2008, Stokke dan Uyangoda 2010).
Di sisi lain, isi kesepakatan damai di Sulawesi Tengah danMaluku ternyata dirahasiakan. Selain itu, (sebagaimana telahdisebutkan sebelumnya) kesepakatan damai itu lebih banyakdidasarkan pada asumsi sebagai berikut. Dukungan pemerintahdalam bagi hasil pembangunan yang menguntungkan, masing-masing untuk pimpinan kelompok yang bertikai, perwira militer,dan para pemimpin lainnya di kedua provinsi tersebut; adalah carayang murah mengakhiri kekerasan.13 Logika ini terbukti dapatdilaksanakan, kendati akhirnya memperdalam defisit demokrasi,serta meningkatkan akumulasi modal secara primitif melaluikekuatan koersif, dan memperkuat monopoli dalam pengendaliansumber daya alam dan ekonomi publik. Pada Bab 4, Stanley AdiPrasetyo dan George Aditjondro menyelidiki peranan kekuasaankoersif yang besar dan bisnis di daerah-daerah konflik di Indone-sia, untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik mengenaidinamika dalam upaya ‘pialang perdamaian’ (peace-brokering) yangsecara khusus digagas oleh mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla.Metode serupa awalnya sempat pula dicoba di Aceh.
Tapi, dinamika di Aceh pasca-tsunami sangat berbeda. Padaawalnya, kekacauan tak terhindarkan. Pihak militer dan kaumnasionalis ortodoks berusaha mempertahankan dominasi mereka;kemudian bisnis pun ikut terjun ke arena. Sementara itu,pertempuran berlanjut, meski dalam skala lebih rendah. Bersamaandengan itu, negosiasi perdamaian di Helsinki juga berlangsung.Harapan utama dalam perundingan itu adalah setidaknyamengatasi ‘masalah keamanan’, sehingga bantuan kemanusiaandan pekerjaan rekonstruksi dapat berjalan efektif. Boleh dibilang,upaya tersebut sungguh berat. Segala tindakan merespon bencana
PENDAHULUAN DAN KESIMPULAN
32 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
di daerah konflik itu seharusnya mencegah munculnya malapetakabaru. Padahal, ketika itu politik etnis mulai bangkit, dan terjaditarik menarik konsep nasionalisme di kedua belah pihak. Selainitu, potensi diterapkannya upaya ‘perdamaian berorientasi laba’(profitable peace) seperti yang pernah terjadi di daerah konfliklainnya, terus membayang. Resiko dari setiap keputusan, tentu saja,tak ringan. Resiko itu bisa saja membuat para gerilyawan gariskeras dan aktivis masyarakat sipil akhirnya lebih memilih me-nunggu, dan memupuk disintegrasi di Indonesia. Atau, di sisi lain,komunitas internasional kemudian malah lebih berminat mem-bangun lembaga-lembaga elit daripada mendorong pelaksanaankedaulatan rakyat.
Lantas, bagaimana metode ampuh mengatasi berbagairintangan itu? Sebagai negara, tentu saja, Indonesia belum gagalseperti Somalia. Kendati diamuk konflik, Aceh tetap memilikipemerintahan publik dan organisasi militer yang relatif kuat.Namun, situasi yang dihadapi sungguh runyam. Bencana alamyang terjadi di Aceh luar biasa besar. Selain itu, Indonesia telahsangat terkenal sebagai negara yang marak oleh penyelewengankekuasaan, korupsi, dan kekerasan. Apalagi upaya perdamaian danpembangunan di Aceh tidak berjalan dengan baik. Akibatnya, takheran, jika berbagai pihak buru-buru berusaha melindungi prosesrekonstruksi dan pembangunan di Aceh dari potensi penye-lewengan dan kegagalan. Rezim baru Jakarta, di sisi lain, sangatingin menampilkan citra yang bagus, dan menarik investasi asing.Karena itu, usaha tersebut sangat membutuhkan keterlibatanmasyarakat internasional, partisipasi berbagai organisasi non-pemerintah (NGO), serta kerjasama antara donor dan pemerintahpusat, yang terdiri dari berbagai level pejabat dan staf dari berbagaibidang, dan para ahli pembangunan. Hasilnya adalah seperangkatregulasi, yang mengatur pelaksanaan agenda ekonomi liberal dalampenyaluran bantuan dan proses rekonstruksi. Regulasi ini
33
didukung sepenuhnya oleh komunitas internasional. Lembaga-lembaga besar yang terlibat, adalah Multi Donor Fund di bawah BankDunia, bekerja sama dengan Badan Rehabilitasi dan RekonstruksiAceh dan Nias (BRR) (bdk. Barron 2008, Barron dan Burke 2008).
Singkatnya, perubahan dalam agenda perdamaian liberal inibukan bagian dari pembicaraan di Helsinki, ataupun doktrin yangdianut lembaga donor asing dan para teknokrat di level nasional.Aturan itu bersumber dari kekhawatiran yang muncul pasca-tsu-nami, yakni bahwa militer akan mengekang akses lembaga donorasing dan para relawan Indonesia. Selain itu, penyaluran bantuandan proses rekonstruksi berpotensi disalahgunakan akibat sistemdi Indonesia yang terkenal sarat KKN (korupsi, kolusi, dannepotisme). Beruntung, dengan adanya perhatian dan keterlibatanpihak internasional yang sangat besar pada waktu itu, rezim diJakarta lebih tertarik menampilkan citra dan perilaku yang baik,demi menarik lebih banyak kerjasama dan investasi asing.
‘Tsunami kedua’ yang melanda Aceh—kali ini dalam bentukbantuan asing—sebetulnya mengundang kritik baru terhadapkemungkinan munculnya korupsi, minimnya koordinasi, dan lain-lain. Tapi, keberadaan para pemantau asing, donor, para ahli, sertapara partner lokalnya telah menurunkan “tirai besi” yang me-lingkupi Aceh, sehingga mengurangi ketergantungan masyarakatterhadap militer. Yang terpenting, setidaknya selama beberapatahun, Aceh terselamatkan dari bencana yang tak kalah besar(mengingat masifnya jumlah dana yang dipertaruhkan), yaitumeluasnya penyelewengan sumber daya publik, kekuasaan koersif,dan korupsi, seperti terjadi di daerah konflik lainnya. Tak diragukanpula, saat ini, Aceh juga digerogoti predatory practices yang sama,laiknya di daerah lain di Indonesia, yang akan kita bahasbelakangan (lihat misalnya Aspinal 2009; bdk. Bab 4 dalam bukuini). Kendati demikian, bencana pasca-tsunami yang sempatdikhawatirkan, dapat dicegah. Selain itu, penguatan perdamaian
PENDAHULUAN DAN KESIMPULAN
34 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
yang demokratis pun bisa berjalan.Regulasi ekonomi yang kemudian berlaku di atas ternyata
bertolak belakang dengan tesis yang mengatakan, pelaksanaanliberalisme pasar adalah upaya menuju perdamaian melalui jalurdemokrasi. Sebaliknya, tesis kedua dari upaya mendahulukanpenguatan lembaga, yaitu perlunya mempercepat liberalisasi politikdan ekonomi—lebih mencerminkan kenyataan yang ada. Namun,peraturan bisnis Jusuf Kalla di Maluku dan Sulawesi Tengahterbukti memicu konflik dan mengekang pelaksanaan demokrasi.Sebaliknya, lebih baiknya pelaksanaan regulasi di Aceh, bukanberkat peran penguasa yang moderat, melainkan disebabkan olehadanya perubahan dalam relasi kekuasaan. Perubahan itu terjadi,karena kuatnya sorotan pihak internasional dan mitra domestik-nya, yang mengacu pada pelaksanaan ‘good governance’. Daripemaparan di atas, maka dapat disimpulkan, tesis transformasi-lah yang lebih tepat menjelaskan perkembangan tersebut.
Partisipasi politik yang luas dan kesetaraanPedoman pelaksanaan perdamaian yang ditawarkan Presiden
Ahtisaari sangat fundamental bagi terciptanya kedamaian di Acehmelalui jalur demokratisasi. Pertanyaannya, bagaimana hal itu bisaterwujud, dan bagaimana pencapaian itu mempengaruhi validitasberbagai penjelasan pokok di atas? Tidak ada salahnya mem-bandingkan pedoman pelaksanaan damai versi Ahtisaari, denganupaya perdamaian di bawah supervisi Norwergia di Sri Lanka,yang belakangan kurang berhasil.
Kedua pendekatan ini sebetulnya terinspirasi doktrin yangsama, yakni perdamaian liberal. Namun, perlu diperhatikan ulasanKatri Merikallio yang memuji mediasi versi Ahtisaari, pandanganpribadi Damien Kingsbury sebagai penasihat GAM (Merikallio 2006,Kingsbury 2006) serta kesaksian para peserta lainnya dalam prosesini14. Jika pemaparan berbagai kalangan itu kita bandingkan dengan
35
tinjauan orang dalam dan para ahli yang terlibat dalam proses di SriLanka15, terlihat jelas Ahtisaari menjalankan peran dan pendekatanberbeda dari Erik Solheim dan John Hanssen Bauer dari Norwegia.Ahtisaari berperan sebagai mediator yang tegas dan tak seganmengintervensi, serta memberi ide untuk mencari berbagai peluangyang dapat membuka jalan atau menjadi solusi. Sebaliknya, Solheimdan Bauer hanya memfasilitasi dialog-dialog yang telah terstruktur,di mana para pihak membicarakan beragam isu yang mereka ajukandalam persidangan, dengan harapan sebuah kesepakatan bisatercapai. Ahtisaari membatasi agenda perundingan dengan langsungmengarah pada pokok permasalahan, dalam bingkai pendekatandemokratis yang konstitusional, demi tercapainya suatu kesepakatankomprehensif. Selain itu, ia tambahkan pula pembahasan isu lain,misalnya tentang keadilan dan proses reintegrasi bagi para korbankonflik dan bekas gerilyawan GAM. Di sisi lain, Solheim dan Bauerlebih fokus pada usaha memahami jalinan rumit antara faktor-faktoryang ada, konflik yang terjadi dan budaya setempat. Tujuannya,agar seiring dengan pemberian bantuan dan pelaksanaan program-program pembangunan, akan muncul inisiatif bersama. Selanjutnya,Ahtisaari terhindar pula dari berbagai dampak negatif agenda neo-liberal, yang juga menjadi penyebab melencengnya proses perdamaiandi Sri Lanka. Tapi, hal ini terjadi bukan atas inisiatif yang tertuangdalam pedoman perdamaian versi Ahtisaari, melainkan berkat regulasiekonomi lembaga-lembaga donor di Aceh (ini juga alasan lain dibalik kegagalan proses perundingan damai di Sri Lanka).
Di sisi lain, berbagai pihak beranggapan, pembicaraan diHelsinki dan kesepakatan damai jauh lebih inklusif. Pembicaraandamai antara pemerintah dan LTTE di Srilanka selalu terbatas padakalangan elit dan bersifat eksklusif. Semua itu dilakukan mengikutistandar pendekatan liberal dalam menciptakan perdamaian dandemokrasi. Akibatnya, pihak-pihak yang tak dilibatkan menentanghasil pembicaraan tersebut. Proses perundingan damai pun melulu
PENDAHULUAN DAN KESIMPULAN
36 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
terbatas pada pihak-pihak yang bertikai, tanpa proses yang berjalanparalel, dengan melibatkan berbagai kelompok kepentingan lainnya.Alhasil, kelompok politik oposisi yang terpinggirkan memandangproses perdamaian dengan sebelah mata. Situasi ini makin di-perburuk dengan absennya para aktor masyarakat sipil, sehinggatuntutan mereka akan pemenuhan hak-hak sosial, ekonomi dansipil juga tersisihkan. Seperti yang ditunjukkan oleh kritik terhadapagenda pembangunan neoliberal, berbagai kelompok yangterasingkan dari proses perdamaian justru memanfaatkan posisimereka yang terpinggirkan itu untuk memperoleh simpati seluas-luasnya. Sehingga, tak heran, jika mekanisme bersama pemulihanpasca-tsunami antara pemerintah dan kelompok perlawananakhirnya dianggap tidak konstitusional (Stokke dan Uyangoda2010, Stokke dkk. 2008). Sebaliknya, selama pembicaraan di Helsinki,kedua pihak yang berunding, menempatkan posisi merekasedemikian rupa, sehingga selalu terhubung dengan berbagai aktor/kelompok yang lebih luas. GAM, misalnya, selalu berkonsultasidengan berbagai kelompok masyarakat sipil yang ada di Aceh.
Yang patut dicatat, kedua pihak sepakat untuk tak membahassoal pembagian kekuasaan, dan setuju hanya membahas beberapaisu tentang ekonomi, amnesti, keamanan, demiliterisasi, pe-mantauan, dan reintegrasi. Fokus perundingan lebih tertuju padastrategi membangun pemerintahan-sendiri yang demokratis; sebuahstrategi yang memberi kesempatan bagi semua aktor yang tidakterlibat langsung dalam perundingan untuk turut berkontribusidan memutuskan masa depan Aceh berdasarkan prinsip kesetaraanpolitik. Kesepakatan damai itu juga memberi jalan bagi transformasiyang demokratis dari situasi konflik. Caranya, dengan menyediakanruang bagi mereka yang ingin mewujudkan tujuan dan kepen-tingan mereka di dalam kerangka demokrasi yang baru. Penjelasanmengenai hal ini akan dibahas lebih lanjut, tapi pertanyaan yangmendesak adalah bagaimana proses yang inklusif dan langkah
37
demokratisasi luar biasa ini bisa terjadi dan bagaimana tesis-tesisyang ada, menjelaskan dinamika tersebut?
Titik balik dalam mediasi perdamaian di Helsinki terjadi ketikaperundingan damai terancam bubar di akhir Februari 2005. GAMtetap bertahan dengan tuntutan kemerdekaannya. Sedangkanpemerintah Indonesia juga bersikukuh mendesak otonomi khususyang dirancang untuk Aceh. Ahtisaari mendukung sikap Indone-sia. Ia juga meniadakan gencatan senjata, yang lazimnya memberikesempatan kedua belah pihak melakukan konsolidasi kekuatanmiliternya. Karena itu, mau tak mau delegasi GAM terpaksa mencarialternatif lain, yang lebih punya potensi untuk terwujud, tapihasilnya sebanding dengan memperoleh kemerdekaan. Merekakemudian menyimak dengan seksama ketika ilmuwan lokalmengingatkan penasihat GAM tentang mekanisme yang diterapkanpemerintahan Finlandia, sewaktu masih di bawah kepemimpinanPresiden Ahtisaari, bagi Kepulauan Aland, wilayah di Finlandiayang berbahasa Swedia. Wilayah tersebut, berdasarkan sistemketatanegaraan Finlandia, membentuk ‘pemerintahan-sendiri’ (selfgovernment). Kendati setuju, Ahtisaari agak enggan mengadopsiistilah tersebut dalam perundingan, dan pihak Indonesia pun tidaksepenuhnya menolak. Istilah itu pun tidak pernah tertera hinggaversi terakhir dari kesepakatan damai. Namun, penggunaan topikini membuka jalan bagi diskusi lanjutan yang lebih banyakmenghasilkan keputusan yang konkrit. Di samping itu, ruangkonsultasi pun semakin luas dalam menentukan karakteristik suatuprovinsi yang secara de-facto memiliki ‘pemerintahan-sendiri’.
Mengapa GAM memilih jalur demokratisasi, yang berbasiskesetaraan politik, daripada menyetujui suatu kesepakatan pem-bagian kekuasaan yang menggiurkan, sesuai keinginan Jakarta?16
Sikap ini bukan sekedar menyangkut soal kemauan dan ideologi.Seorang pengamat pada akhir tahun 2006 menyatakan,‘kepemimpinan GAM (...) tak memiliki pengalaman politik dalam
PENDAHULUAN DAN KESIMPULAN
38 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
politik demokrasi (...dan GAM) tak punya program politik lain,selain menuntut kemerdekaan Aceh’.17 Barangkali jawabannyaadalah sebagai berikut. Berlangsungnya diskusi tentang‘pemerintahan-sendiri’ dalam proses perundingan, mendorong paraanggota tim perunding yang pro-demokrasi menjadi lebih dominan,sebab mereka mampu merumuskan usulan-usulan yang relevan.18
Anggota tim perunding ini adalah mereka yang terlibat dalamkegiatan kampanye untuk referendum, dan pemenuhan hak asasimanusia, serta aktif menjaring dukungan internasional yang lebihluas untuk Aceh. Mereka juga memiliki jaringan yang lebih luas,baik di Indonesia maupun di tingkat internasional, di luar strukturGAM. Selain itu, mereka juga bagian dari generasi aktivis danpemimpin pergerakan militan yang lebih muda; serta memilikiketerkaitan erat dengan pergerakan tersebut. Ahtisaari mendukungberbagai argumen tentang kesetaraan politik. Konsep ini meng-isyaratkan terbukanya kesempatan bagi pengajuan kandidatindependen dalam pemilihan kepala daerah dan partisipasi partaipolitik lokal dalam pemilihan umum anggota legislatif. Sehinggaotomatis tak perlu ada kesepakatan pembagian kekuasaan, atauupaya menggalang dukungan melalui jalur organisasi non-pemerintah. Jadi, para pemimpin GAM yang lain dapat memper-kokoh posisi mereka dalam kerangka semacam ini. Di sisi lain,inisiatif-inisiatif baru ini memerlukan adanya pertemuan lanjutanantara dengan aktor-aktor lain—misalnya antara delegasi GAMdan kelompok-kelompok masyarakat sipil Aceh. Proses semacamini memperluas keikutsertaan berbagai stakeholder untuk men-dukung pembangunan lembaga-lembaga yang demokratis.
Sumbangan Ahtisaari dan pedoman perdamaian ala Helsinkisangat bertolak belakang dengan aspek-aspek krusial dalam pen-dekatan liberal. Sebab, kedua hal di atas menyinggung aspek politiksecara gamblang, dengan tetap berada dalam kerangka konstitusi,dan prosesnya cukup inklusif. Di sisi lain, tesis ‘institutions first’
39
nampak lebih tergambar di sini. Hal ini bisa terlihat, misalnya,dengan adanya penekanan terhadap pentingnya kehadiran lembaga,yang menjadi dasar utama demokrasi. Di antaranya, mengutama-kan pengadaan calon independen dan partai politik lokal, daripadapelaksanaan kesepakatan perdamaian. Tapi klausul ini bisa di-rumuskan berkat adanya partisipasi yang lebih luas, terutama darikalangan rakyat. Singkatnya, politik pendirian lembaga-lembagayang mendukung partisipasi rakyat justru seiring sejalan denganargumen-argumen dalam ‘pendekatan transformasi.’
Peluang dan kemampuan dalam era yang demokratisKesepakatan damai tentang pemerintahan-sendiri menyiratkan
perlunya kemampuan GAM dan para pendukungnya di kalanganmasyarakat sipil untuk mengorganisasi diri dengan lebihdemokratis, agar tidak kalah dalam pemilu. Karena itu, pelaksanaanberbagai ide dan inisiatif bergantung sepenuhnya di tangan paramantan gerilyawan dan aktivis sipil di lapangan. Mereka memilikikemauan dan kemampuan untuk meraih pengaruh dan kekuasaanmelalui mobilisasi dan pengorganisasian mayoritas penduduk, ditengah berkembangnya politik yang demokratis. Karena itu,pendidikan politik, pelatihan dan pengorganisasian, sangat di-butuhkan. Sayangnya, masyarakat internasional terlalu disibuk-kan dengan upaya pemulihan dan rekonstruksi pasca-tsunami,sehingga lebih banyak mengabaikan proses demokratisasi.Akibatnya, hanya sebagian kecil aktivis dan kaum intelektual yangmemberi dukungan dan pelatihan, bagi mereka yang inginmeningkatkan kapasitas dalam berdemokrasi.19 Tentu saja, berbagaikesempatan dan pelatihan ini tak membuat mereka menjadidemokratis dalam sekejap. Bercermin dari gerakan melawan tiraniSoeharto di Indonesia, para reformis Aceh juga gagal menawarkanalternatif yang ampuh kepada pemerintahan yang autokratik.Namun, mereka jauh lebih mampu memanfaatkan peluang politik
PENDAHULUAN DAN KESIMPULAN
40 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
yang baru. Sebagai perbandingan sejarah, misalnya, kalanganreformis di Aceh menempuh jalan yang bertolak belakang dengankelompok nasionalis revolusioner di Filipina. Dengan berpegangpada prinsip Maois mereka, kelompok itu bersikap abstain dan luputmeraih manfaat yang bisa diperoleh dari terbukanya pintudemokrasi pada tahun 1986, dengan memboikot pemilihan umum.Akibatnya, mereka pun tersisih dan hanya menjadi penonton ketikaunjuk rasa people power pertama berlangsung. Pada akhirnya, lambatlaun, keberadaan mereka pun tak lagi relevan (bdk. Törnquist 1990dan Rocamora 1994).
Faktor pertama dari ketiga faktor yang melahirkan kapasitasdalam berdemokrasi adalah kemampuan untuk menggunakanstruktur komando GAM yang lama. Struktur ini tetap bertahan,walaupun mereka dipaksa menanggalkan jati diri mereka sebagaiorganisasi bersenjata menjadi kelompok sipil biasa, dan bergabungdalam Komite Peralihan Aceh (KPA), yang berdiri pada Desember2005. KPA awalnya dimaksudkan untuk menangani kepentinganpara bekas gerilyawan dan pendukung mereka. Penanganan itusebaiknya dilaksanakan langsung oleh anggota KPA di Aceh, danbukan melalui kontrol pimpinan GAM dari wilayah pengasingan.Hasilnya, para pimpinan lokal akhirnya memiliki kontrol atasberbagai gerakan yang ditopang jaringan patronase; yang jugaberarti, adanya dukungan suara di kemudian hari.
Bagaimana memahami proses tersebut di atas secara men-dalam? Pada Bab 5, Gyda Marås Sindre menyajikan analisis yanglebih luas tentang transformasi GAM, melalui perspektif komparatif.Menganalisa GAM dengan hanya mengikuti konsep-konsepkonvensional tidaklah cukup, karena semata-mata fokus padagerakan anti-kolonial, perebutan kemerdekaan, separatisme, upayareformasi atau memimpin peperangan (warlordisme). Salah satualasannya adalah ketidakpuasan awal dan situasi yang melingkupi-nya, telah banyak berubah. Alasan lain adalah kaburnya basis sosial
41
dan ideologi GAM. Karena itu, pembahasan akan lebih berguna,jika fokus pada metode GAM dan para pemimpinnya dalammengembangkan aneka struktur mobilisasi, agar mereka mampuberadaptasi dengan peluang politik yang muncul sewaktu-waktu.Dari sudut pandang ini, terlihat bahwa GAM mampu berdiri kokohsebagai satu kesatuan organisasi yang konsisten luar biasa. Di sisilain, GAM juga merupakan organisasi yang sangat pragmatis danterbuka menerima berbagai pendekatan dan kelompok yang sejalandengan tujuannya, jika tiba waktunya bagi GAM untuk memo-bilisasi dukungan. Untuk memahami GAM maupun gerakanserupa, yakni gerakan tanpa basis sosial yang spesifik dan ideologiyang baku, perlu dilakukan analisis secara historis dan kontekstual.Dengan kata lain, sejak 2005 hingga saat ini, orientasi demokratisberbagai kelompok dalam GAM—karena sempat menolak bujukanuntuk mengikuti arus ‘normal’, yang menjagokan favoritisme dankorupsi, tapi akhirnya malah kembali pada metode mencari-renteala gerilyawan bersenjata—tidak melulu bergantung pada gagasanmereka ataupun organisasi. Namun, penentuan orientasi itu ber-landaskan pemikiran: peluang politik mana yang paling meng-untungkan dan bisa terus dikembangkan di kemudian hari.
Faktor kedua di balik kapasitas politik kelompok reformismenyorot bagaimana kemampuan aktivis politik SIRA memper-tahankan organisasinya. Bermula dari perjuangan menuntut ref-erendum dan isu-isu lainnya, organisasi ini tetap eksis, ketikakemudian lebih fokus pada pelaksanaan kesepakatan damai Helsinkidan perumusan Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) yangbaru. Metode yang mereka gunakan, di antaranya, upaya kon-sultasi dan mobilisasi massa yang luas.
Faktor terakhir adalah keengganan sebagian besar bekasgerilyawan dan para aktivis untuk bekerjasama dengan partaipolitik nasional. SIRA lebih memilih untuk bekerja bersama denganpara elemen masyarakat sipil dan kelompok-kelompok politik yang
PENDAHULUAN DAN KESIMPULAN
42 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
terorganisir. Kerja sama para penggiat kampanye ini berhasilmengumpulkan tanda tangan yang dibutuhkan (jumlah minimaladalah 3% dari seluruh penduduk), sehingga calon mereka bisamengikuti pemilihan gubernur dan pemilihan bupati/walikota padaDesember 2006. Inilah inti dari strategi mereka untuk membangunpemerintahan-sendiri yang demokratis, seperti yang disepakati diHelnsinki. Mereka tak goyah meski para pimpinan GAM senior diStockholm memerintahkan hal yang sangat bertolak belakang. Disisi lain, para tokoh terkemuka di pengasingan ini kurang mampumemobilisasi rakyat di level akar rumput. Karena itu, mereka lalumemilih bekerjasama dengan para pemimpin Aceh yang simpatikdan tergabung dalam partai muslim ‘nasional’ dan berbasis massalokal yang kuat, yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Disisi lain, seperti juga terjadi di daerah lain di Indonesia, aktivis darikalangan masyarakat sipil di luar SIRA mempertahankan organisasimereka dengan spesialisasi masing-masing; atau mempersiapkanpartai yang ideal (menurut anggapan mereka); atau menggabung-kan diri dengan dengan para politisi liberal melalui mesin politikyang ada.
Kenyataannya, kesepakatan pembagian kekuasaan yangdilakukan kelompok pemimpin konservatif, serta posisi otonompimpinan masyarakat sipil itu, ternyata tak sesukses koalisi yangmengandalkan demokrasi partisipatif. Aliansi ini terbukti cukupmemiliki sumber daya politik, dalam menghindari kesalahan utamagerakan demokrasi Indonesia. Mereka memanfaatkan danmengembangkan ruang baru di dalam proses demokratisasi, saatmemulai gerakan politik terorganisir. Alhasil, mereka memenangkanpemilihan di sebagian besar wilayah di Aceh, termasuk di luar areabasis tradisional GAM.
Hasil ini sangat mengejutkan lembaga polling dan parapengamat dan akademisi terkemuka, yang menaruh perhatianterhadap Aceh. Dinamika tersebut juga merupakan ilustrasi yang
43
nyaris sempurna (meski hanya berjalan singkat) dari ‘pendekatantransformasi’. Ilustrasi tersebut menghapus segala keraguan akankeikutsertaan partisipasi rakyat secara luas dalam politik. Hasilnyajauh melampaui ekspektasi dari tesis liberal maupun tesis ‘institu-tions first’, yang fokus pada pembentukan pakta antar elit dancondong pada gagasan tentang masyarakat sipil yang mandirisecara politik.
Dalam Bab 6, tim penelitian pimpinan Stanley Adi Prasetyodan di bawah arahan Olle Törnquist, mengamati lebih rinci hasilPilkada 2006. Berdasarkan penelitian tim ini, calon yangberpartisipasi dalam pilkada dapat dibagi menjadi tiga kelompokbesar. Pertama, kelompok kaum nasionalis Aceh, khususnya GAM.Kedua, para elite berpengaruh di jalur politik mainstream, yangberhubungan erat dengan militer, milisi dan, tentu saja, denganpartai politik di Jakarta. Sedangkan, kelompok ketiga terdiri darikelompok dan pimpinan berbasis masyarakat sipil. Bagaimana sepakterjang para aktor tersebut dalam pilkada? Bagaimana dinamika dikalangan internal mereka? Isu dan kepentingan manakah yangmenjadi prioritas mereka? Apakah metode mobilisasi yang merekagunakan? Terlepas dari segala perbedaan yang ada, semua aktorternyata berupaya menjamin pelaksanaan pilkada yang tertib, bebas,dan adil. Ini kenyataan yang menggembirakan. Secara keseluruhan,terdapat lima karakteristik tentang bagaimana para aktor itumenyikapi kompetisi politik.
Pertama adalah perpecahan dalam tubuh GAM. Di satu sisiadalah kelompok pemimpin konservatif dengan basis Stockholm,yang memilih bekerjasama dengan para politisi sepemikiran daripartai-partai mainstream, atau partai politik besar. Sedangkan diseberang adalah mereka yang di lapangan dan mengajukan calon-calon independen, sekaligus bekerjasama dengan para aktivis sipildari SIRA. Perpecahan ini mungkin dapat digambarkan sebagai‘politik elit’ versus ‘politik yang berorientasi pada partisipasi rakyat’.
PENDAHULUAN DAN KESIMPULAN
44 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
Ketika kelompok yang pertama tidak percaya diri dalammemobilisasi jumlah pemilih, kelebihan kelompok kedua justruterletak pada basis yang mengakar di tingkat lokal, dan konstituenyang terkonsolidasi. Kelebihan itu secara bersamaan didukung pulaoleh strategi mereka, yakni memanfaatkan secara optimal per-wakilan politik yang independen.
Kedua, faksi pendukung politik popular (politik yangberlandaskan prinsip demokrasi partisipatoris) itu mampumemproyeksikan diri mereka sebagai representasi kelompoknasionalis Aceh dengan berprinsip pada kesepakatan perdamaian,serta terpisah dari struktur GAM lama. Alhasil, faksi ini jugaberhasil meraih kemenangan telak di luar basis dukungan kuatGAM. Ketiga, para kandidat dari partai ‘nasional’ yang secara kasatmata sangat mengesankan dalam berkampanye, serta menitik-beratkan pada isu-isu seperti stabilitas, kualitas individu, jaringankoneksi dan ketenaran, hanya mampu berjaya di basis dukunganinti mereka saja. Keempat, kelompok masyarakat sipil di luar SIRAgagal pula membangun basis dukungan rakyat yang memadai.Mereka kemudian mengikuti langkah serupa dengan kolega lainnyadi Indonesia. Caranya, sembari tetap menjaga citra yang‘independen dan non-partisan’ sebagai aktivis sipil, merekaakhirnya membangun pula aliansi dengan para elit—persis tindakanpara pimpinan GAM konservatif. Bedanya, mereka mengadakankesepakatan dengan para politisi liberal yang kritis terhadap GAM.
Kelima, sebagian besar kandidat tak mengusung agendakebijakan maupun isu menyangkut kepentingan apapun selamakampanye. Yang mengherankan, tak satupun kandidat yangmenguraikan dengan spesifik bagaimana caranya memperpanjangpelaksanaan demokrasi, serta memanfaatkannya dalam mengarah-kan proyek rekonstruksi dan pembangunan terbesar di dunia sejakPerang Dunia Kedua. Kendati demikian, Pilkada 2006 menjadilayaknya pelaksanaan referendum; yang hasil akhirnya malah
45
mendukung kesepakatan dalam perjanjian damai Helsinki tentangpelaksanaan perdamaian dan demokrasi, seperti yang diinginkankelompok nasionalis Aceh. Pilkada juga lebih memilih kelompokyang memiliki andil positif, baik dalam perundingan di Helsinkimaupun di level akar rumput setelah perundingan damai. Bolehdibilang, Pilkada Desember 2006 berdampak positif, namunsekaligus masih menyisakan tanda tanya tentang pelaksanaanmandat rakyat dalam penyusunan kebijakan di masa mendatang.
Problem tata kelola pemerintahan: Penyakit yang beruratberakar
Aliansi antara kaum reformis baru sampai pada taraf meraihkemenangan saja. Koalisi itu ternyata belum mampu memanfaatkankekuasaan untuk mendorong demokratisasi. Para pejabat eksekutifakhirnya ikut terseret menjadi bagian dari predatory practices, yangtelah tertanam kuat dan turut menjalankan patronase yangdiinginkan klien-klien mereka. Pengaruh politik dalam bisnis danpembangunan pun sangat mencolok. Seharusnya, semua itu takperlu jadi masalah. Pembangunan yang paling sukses sekalipun—meski agak terlambat—seperti, pembangunan di kelompok negara-negara maju (Jerman dan Skandinavia) dan di negara-negaraberkembang (Asia Timur), juga difasilitasi secara politis. Tetapifasilitas itu bukan dalam bentuk seperti yang kini terjadi di Aceh,yakni menggunakan hubungan kerja sama, dalam rangkamengincar keuntungan pribadi melalui jalur ‘koneksi yang bagus’.Sebagaimana diungkapkan Törnquist pada Bab 3, semua indikatoryang relevan dalam survei demokrasi awal sungguh mem-prihatinkan, khususnya yang berkenaan dengan transparansi danakuntabilitas.
Para aktivis yang memahami situasi saat ini, menyebut tentangmerajalelanya perkoncoan dan korupsi.20 Para pakar dan kalanganintelektual menambahkan tentang buruknya koordinasi, dan
PENDAHULUAN DAN KESIMPULAN
46 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
pelaksanaan proyek yang kerap tertunda serta tak tepat sasaran.Situasi serupa tak hanya ditemui dalam pelaksanaan pemerintahansehari-hari, tapi juga dialami BRR, dan berbagai upaya oleh BadanReintegrasi Aceh (BRA), beserta gubernur dan bupati/walikotaterpilih dalam program reintegrasi bekas gerilyawan GAM.21
Sejumlah perbaikan, seperti rekruitmen yang adil dan terbuka bagipejabat level senior di pemerintahan daerah Banda Aceh, tidak sertamerta mengubah citra secara keseluruhan. Di sisi lain, rancangandan pelaksanaan UUPA yang mengacu pada kesepakatan damai diHelsinki juga terganjal di sana-sini. Seluruh pengamatan kritis iniditegaskan pula oleh para pakar yang bersimpati pada parapemimpin yang baru terpilih.22
Sejumlah prasyarat kian merajalelanya perilaku negatif dalamtata kelola pemerintahan adalah sebagai berikut. Pertama, adanyakesan bahwa masalah korupsi tak segenting problem nepotisme.Di samping itu, terkesan pula bahwa pimpinan politik GAM yangbaru terpilih dianggap telah berusaha, setidaknya di awal masajabatannya, untuk terhindar dari upaya pengumpulan modal secaraprimitif, yang lazim terjadi di daerah konflik di Indonesia. Namun,kita tak mengetahui dengan pasti dinamika yang terjadi. Sepertihalnya pengawasan terhadap isu hak asasi manusia, sangatlahmudah mengidentifikasi kasus korupsi dan penyalahgunaankekuasaan, tapi sangat sulit mengukur skalanya dan menganalisadinamikanya. Teori-teori tentang ‘predatory economics’, ‘thecriminalisation of the state’ (Bayart 1999), ‘the shadow state’ (Harris-White 2003), dan praktek-praktek serupa di Indonesia (bdk. vanKlinken 2007, Nordholt dan van Klinken 2007, Aspinall 2009, danBab 4 dalam buku ini) kerap tak memiliki instrumen cukup untukmengukur seberapa parah kecenderungan yang terjadi danmembuat perbandingan lebih luas dari ilustrasi kasus yang ada.Meski begitu, saat buku ini direvisi, tak ada keraguan sedikit puntentang berkembangnya kecenderungan yang negatif di Aceh.
47
Kedua, kita memerlukan teori-teori dan konsep untuk mem-bedakan antara rente dan favoritisme. Bercermin dari keberhasilannegara-negara developmentalis di Asia Timur, misalnya, adanyaperlakuan khusus bagi perempuan demi mengembangkankesetaraan gender. Dalam kasus itu, rente-rente dan favoritismetidak berdampak destruktif. Para aktivis masyarakat sipil yang duluterpinggirkan mungkin dianggap mampu bersaing memperolehpekerjaan yang layak, dan menjalankan berbagai proyek yangditawarkan (termasuk proyek anti-korupsi), setidaknya ketikalembaga-lembaga donor masih berkantor di Aceh. Sebaliknya, parabekas gerilyawan dan korban kekerasan justru memerlukaninstrumen politik untuk memperbaiki kapasitas mereka dan mem-bantu proses perubahan yang harus mereka jalani. Di sisi lain,persoalan di Aceh, menurut beberapa pakar senior di bidangdemokrasi dan kalangan nasionalis, terletak pada rendahnyatransparansi dan ketidakjelasan tujuan dan cara pencapaiannya.Alhasil, pertanyaan mendasar atas defisit demokrasi bukan terletakpada masalah kemauan (pemimpin). Namun, justru menyangkutketidakjelasan peraturan perundangan, rendahnya kapasitas ad-ministrator/penyelenggara negara, dan tiadanya kekuatan alternatifuntuk mengubah situasi tersebut.23
Karena itu, tak heran, jika program rekonstruksi di Acehdipisahkan dari masalah politik lokal dan problem dalampenyelenggaraan pemerintahan di daerah. Program tersebut jugaterpisah dari program reintegrasi bekas gerilyawan dan korbankekerasan, yang selalu kekurangan dana. Taktik semacam itusesungguhnya positif, agar memastikan program rekonstruksidapat berjalan lancar dan tepat sasaran. Tetapi, tanpa strategi yangvisioner untuk mengarahkan taktik tersebut, maka programrekonstruksi mungkin tak mampu menciptakan kerja sama danmendukung ambisi kepemimpinan yang baru terpilih secarademokratis. Yaitu, ambisi pemimpin untuk melaksanakan reformasi
PENDAHULUAN DAN KESIMPULAN
48 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
dalam pemerintahan, mengatur kekuatan yang mendominasi pasar,serta memanfaatkan komitmen dunia internasional yang terbesar—sejak Marshall Plan—dalam membantu developmental state yangdemokratis. Sebaliknya, ketika peran lembaga donor mulai ber-kurang; infrastruktur sudah dibangun kembali, dan semakindiperluas; serta para kepala daerah baru mati-matian berupayamenggaet investasi, demi menunjukkan hasil kerja mereka padarakyat; kecenderungan di Aceh mulai mengarah pada polapembangunan ‘normal’ ala Indonesia.
Menilik persoalan tata kelola pemerintahan di atas, makamungkin tesis pendekatan kedua ada benarnya, yakni perlumendahulukan keberadaan lembaga demokrasi yang kokohsebelum menggalang partisipasi rakyat dan melaksanakan pemilu.Nah, lalu siapa yang seharusnya membangun lembaga tersebut?Nyatanya, program yang didanai secara masif oleh program-pro-gram asing hanya berkutat di seputar penyaluran bantuan danproyek rekonstruksi. Tak satupun dari program tersebut terlibatdalam pengembangan lembaga demokrasi secara berkelanjutan.Namun, pendekatan kedua itu tak menguraikan sejauh manakegagalan dalam tata kelola pemerintahan menjadi keniscayaan,akibat absennya lembaga demokrasi yang kokoh tadi. Ataumungkinkah kegagalan itu akibat dari buruknya situasi politik?Karena itu, mari kita lanjutkan dengan pembahasan tentangdinamika politik sebagai berikut.
Dari politik transformatif menuju pembagian kekuasaanAspek terpenting dari perjanjian damai Helsinki tentang proses
demokratisasi yang inklusif adalah pelaksanaan kesetaraan politik,yang menjamin sepenuhnya kebebasan sipil dan politik, serta hakberpartisipasi dalam Pemilu dengan mengajukan calon independendan mendirikan partai politik lokal. Namun—merujuk data empirisyang ada—kendati aturan dasar dan regulasi diterapkan (agak
49
tertunda) tanpa gejolak, peraturan baru itu tak memadai dalammendukung proses transisi menuju tatanan politik yangdemokratis.
Pada Bab 7, Murizal Hamzah mengulas langkah kedua, dalamhal representasi politik yang demokratis, yang diamanatkanKesepakatan Helsinki: hak untuk mendirikan partai politik lokal.Dari dua puluh partai politik yang didirikan pada paruh pertamatahun 2007, hanya enam partai yang dianggap layak untukmengikuti Pemilu 2009. Penilaian itu berdasarkan sejumlah kriteria,termasuk keberadaan partai politik secara kasat mata di dua pertigakabupaten/kota dan kecamatan di Aceh. Proses pendirian partaipolitik ini berjalan agak lambat, sebab para tokoh pimpinan kuncidan organisasi-organisasi politik baru sudah lebih dulu eksis. Selainpersoalan dalam perumusan peraturan perundang-undangan (yangbaru selesai Maret 2007) serta proses verifikasinya, terdapat duafaktor lain yang menonjol. Yang pertama adalah minimnyakonstituen dengan keberpihakan yang tegas, serta gerakanideologis yang berbasis pada kepentingan yang luas, misalnyaserikat pekerja, kelompok petani, dan kelompok usaha. Faktorlainnya adalah konflik segitiga antara faksi elit politik GAM, dankelompok dalam KPA dan SIRA, yang mengacu pada demokrasipartisipatoris.
Selama proses pendirian partai politik, banyak pimpinankalangan nasionalis Aceh menganjurkan, sebaiknya kemampuanmobilisasi jaringan-jaringan GAM yang lama tetap diandalkan, danberkombinasi dengan struktur baru KPA, ketimbang fokus padapenggodokan ideologi, isu-isu demokratisasi, dan penentuanberbagai prioritas terkait good governance dan penyusunan kebijakan.Akibatnya, pimpinan SIRA dan pendukungnya kemudian memilihuntuk mendirikan partai politik sendiri. Akhirnya, rencanasebelumnya untuk membangun partai alternatif dengan basisdukungan KPA pun masuk kotak (bdk. ICG 2008). Mundurnya
PENDAHULUAN DAN KESIMPULAN
50 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
kelompok SIRA sesuai dengan keinginan Partai Aceh (PA), di bawahpimpinan GAM yang konservatif dan beberapa pejabat senior diKPA. Padahal, seharusnya partai itu tak perlu terpecah belah.Alhasil, sejumlah pemimpin GAM lain yang sebelumnya sudahtersisih, lalu memilih bersikap independen. Contohnya, KepalaBadan Reintegrasi Aceh (BRA) Nur Djuli, mantan Kepala BidangInformasi GAM Bakhtiar Abdullah, serta—sebelum akhirnyaberubah pikiran beberapa minggu sebelum pemilu 2009—GubernurAceh, Irwandi Yusuf.
Sementara itu, partai lain juga lebih mengutamakan kon-solidasi dan meningkatkan kemampuan mereka dalam memobilisasidan mengorganisir massa. Pendeknya, konflik yang dipolitisirberbagai partai politik, semakin marak. Kampanye partai politikakhirnya kurang mencakup perihal perumusan kebijakan. Merekajuga tidak tertarik meningkatkan kemampuan dalam menyuarakankebijakan itu untuk menarik lebih banyak pengikut. Berdasarkanprofil pra-pemilu oleh Murizal Hamzah tentang keenam partai lokalyang lolos verifikasi, patut dicatat bahwa ternyata tak satu punpartai politik lokal memiliki akar ideologis kuat dalam penyajianusulan kebijakan politik. Selain itu, struktur mobilisasi mereka punlemah. Padahal struktur itu terbukti sangat krusial dalam Pilkada2006. Bubarnya Aliansi KPA-SIRA karena KPA lebih memilih PartaiAceh (PA), membuat Partai Aceh lalu menggabungkan hampirseluruh faksi di KPA dengan para pimpinan konservatif GAM, yangpernah bergabung dengan PPP, partai politik nasional berbasis diJakarta pada 2006 silam. Sementara itu, SIRA membentuk partaisendiri, yang belakangan dipandang sebelah mata akibat dominasipimpinan Partai Aceh di KPA. Selain itu, partai SIRA tak mampumemaksimalkan manfaat dari prinsip-prinsip demokratis yangdianutnya serta usulan kebijakan publiknya. Padahal, prinsip-prinsip dan usulan kebijakan publik itulah, yang terlihat jauhmenonjol.24 Di sisi lain, faksi dari kelompok mahasiswa radikal,
51
yang paling berminat pada politik partai, mengukuhkan ideologidan aspirasi organisasi mereka dalam partai kecil: Partai RakyatAceh (PRA).
Dari ketiga partai tersisa, Partai Daulat Aceh (PDA) tampaknyamemiliki sumber daya yang lebih besar. Partai ini sepenuhnyamengandalkan jaringan para ulama dan murid-muridnya, sertaberusaha memanfaatkan pula kedekatannya dengan Partai BintangReformasi (PBR). Pada Pemilu 2004, PBR mampu mendulang suaradari kalangan pemilih yang religius di Aceh. Hal serupa jugadilakukan Partai Aceh Aman dan Sejahtera (PAAS) dan Partai AcehBersatu (PAB). Kedua partai itu mencoba peruntungan merekamelalui tokoh-tokoh senior terkemuka, serta memanfaatkanjaringannya (kalau bisa, sekaligus mesin politiknya). Selain itu,mereka juga berupaya berkolaborasi dengan partai politik nasional,yang berorientasi pada pemilih muslim di Aceh, yaitu PPP danPAN.
Sedangkan Partai Demokrat di bawah Susilo BambangYudhoyono dan Partai Golkar, yang ketika itu dipimpin Jusuf Kalla,diperkirakan bakal sukses dalam Pemilu 2009, terutama dalamperebutan kursi perwakilan Aceh di DPR, di Jakarta.
Secara singkat, harapan yang muncul setelah hasil Pilkada2006 yang luar biasa adalah seperti ini. Bahwa partai-partai politiklokal baru akan mulai mentransformasi aspirasi dan kepentinganrakyat dalam kebijakan publik; kemudian memilih calon wakilrakyat yang cepat tanggap; sekaligus menjamin akuntabilitasmereka. Yang disesalkan, sebagian besar aktor elit, serta para aktivisyang tersisih dan para bekas gerilyawan, malah menggunakanorganisasi lama mereka dengan sedemikian rupa di dalam sistembaru. Organisasi itu lalu mereka manfaatkan sebagai kendaraanbagi segelintir konstituen yang mereka istimewakan. Layak diingat,Partai Aceh sebagai salah satu partai politik lokal terbesar didirikanoleh KPA. Menurut mantan pemimpin GAM dan pimpinan baru
PENDAHULUAN DAN KESIMPULAN
52 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
partai ini, Muzakkir Manaf, ‘Tujuan utama KPA adalah memastikanpara bekas gerilyawan memperoleh pekerjaan.’25 Walau keyakinansemacam ini kurang meluas di partai pro-demokrasi, toh, parapimpinan partai yang kritis mengatakan bahwa partainya jugaterpengaruh untuk bersikap serupa.26 Sebenarnya, harapan sempatmembesar, menilik tingginya minat politik di Aceh melebihi daerahlainnya di Indonesia, seperti yang ditemukan oleh survei awal.Sayangnya, berbagai indikator tentang kesetaraan dalam peme-nuhan hak-hak sipil dan politik sebagai warga negara, masih sangatminim. Hal ini menunjukkan, sebagian besar rakyat diikutsertakandalam politik hanya sebagai subyek atau alat dari para pimpinanberpengaruh, yang memiliki akses sumber daya. Keikutsertaanrakyat bukanlah berdasarkan pemenuhan hak sebagai warganegara melalui organisasi milik mereka.
Yang harus dicermati, beberapa pemimpin tampaknya malahabai terhadap berbagai tantangan yang dipaparkan di atas. DalamBab 8, Tim Riset Partisipatoris Aceh, di bawah supervisi Törnquistmembahas bagaimana sejumlah aktor kunci dalam perubahanmenanggapi wawancara. Mereka itu, di antaranya, Gubernur Aceh,Wakil Gubernur, Kepala BRR dan para pemimpin partai politik,perwakilan masyarakat sipil dan organisasi yang berbasis padapartisipasi rakyat. Wawancara itu menyangkut kesimpulan utamayang diidentifikasi dalam edisi pertama buku ini. Sebagian besartokoh pemimpin itu menganggap tantangan tersebut sebagai halyang tak terhindarkan dalam proses transisi. Hebatnya, tak seorangpun mampu menunjukkan tujuan ataupun kerangka waktu periodetransisi tersebut. Dari situ, muncul pertanyaan, apakah bingkaiproses transisi dari konflik menuju ‘pemerintahan-sendiri’ yangdemokratis, seperti yang tertuang dalam MoU Helsinki, masihrelevan untuk dijalankan? Dewasa ini, persepsi bersama yang kianberkembang adalah suksesnya transisi politik, sehingga saat ini,prioritas utama adalah pemulihan ekonomi. Karena itu, kerangka
53
kerja atau pedoman demokratisasi, yang tertuang dalam MoUHelsinki tak lagi berguna dalam mengatasi masalah tersebut. Selainitu, terlepas dari posisi apapun yang mereka miliki, hanya segelintirtokoh yang kemudian mengaitkan persoalan itu dengan tidakmemadainya pengembangan demokrasi dan tata kelola peme-rintahan yang baik (good governance). Yang mengagetkan, justrupara tokoh yang memperoleh pengaruh politik melalui gerakanyang ditopang oleh partisipasi rakyat (popular movements), me-mandang sebelah mata akan pentingnya isu tersebut. Mereka tidakbegitu peduli, betapa pentingnya memupuk akuntabilitas danpemerintahan yang demokratis. Baik melalui usaha fasilitasipengorganisasian rakyat, maupun fasilitasi partisipasi rakyat,sehingga terhimpun minat dan tujuan yang sama secara meluas,meliputi berbagai lapisan masyarakat.
Sementara itu, yang sekarang terjadi justru memburuknyarepresentasi politik. Banyak orang justu malah menggunakanpendekatan ‘koneksi yang bagus,’ ‘pertemanan,’ dan mengandalkanpatron, atau sibuk melobi, memperluas jaringan, saling bertukarjasa, yang kerap diwarnai berbagai bentuk pembayaran. Semuaitu semakin mengikis upaya pengembangan representasi yangdemokratis, berdasarkan kesetaraan politik, mandat yang jelas, sikapcepat-tanggap dan akuntabilitas.27 Berbagai rencana awal yangoptimistis akan mampu memanfaatkan keberhasilan Pilkada 2006,misalnya, memperkenalkan perencanaan dan penganggaran yangpartisipatif, akhirnya terpaksa masuk kotak. Akibatnya, menjelangPemilu Legislatif 2009, banyak kelompok pro-demokrasi yang harus‘mengkonsolidasikan para konstituen mereka’, Agar tak semakintersisih. Caranya, antara lain, memberikan ‘akses’ dan upaya-upayafavoritisme, serta berusaha mendekati para tokoh yang berpeluangmenang Pemilu.
Seperti perkiraan sebelumnya, alternatif lain, tentu saja, adalahupaya melibatkan rakyat dalam kerja nyata untuk membangun
PENDAHULUAN DAN KESIMPULAN
54 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
organisasi massa yang demokratis dan lembaga publik yang adil.Namun, tak ayal, alternatif itu adalah pilihan yang teramat sulit.Organisasi semacam SIRA dan KPA, dulu pernah muncul sebagaibentuk perlawanan terhadap bentuk dominasi lama. Beberapaorganisasi lain sempat fokus pada masalah yang spesifik, sepertikorupsi dan hak asasi manusia. Namun, organisasi-organisasi lainumumnya berlandaskan paham keagamaan atau berbasis padakomunitas etnis tertentu. Di sisi lain, aspirasi dari kelompok buruh,petani, nelayan, perempuan, kepentingan dunia usaha ataupemerhati pembangunan berkelanjutan tak pernah punya ke-sempatan untuk tumbuh dan berkembang. Tak satu pun gerakanaspirasi dari kelompok-kelompok itu dianggap penting saat Pilkada2006, ataupun ketika masa pembentukan partai politik lokal.Sungguh langka pula menemukan solidaritas yang mengakar luas,atas dasar kepentingan dan opini warga negara terhadap kepen-tingan publik (bukan kepentingan segelintir orang). Baru-baru ini,upaya mendirikan organisasi yang memperjuangkan kepentingan,kebudayaan dan agama malah dilaksanakan berdasarkan perintahdari Partai Aceh. Tujuannya, membentuk konstituen politik yangsolid, dengan mengacu pada kerangka yang dibuat oleh parapimpinan lembaga adat yang dominan.
Hasil Pemilu Legislatif dan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2009turut mendukung kesimpulan-kesimpulan ini. Dalam penutup Bab9, Dara Meutia Uning bersama Törnquist dan tim lokal yang terdiridari para para aktivis-peneliti, menganalisis kampanye dan hasilPemilu. Di permukaan, Aceh mungkin pantas dipuji untukpencapaian dua hal: stabilitas serta kerjasama solid antara PartaiAceh, di bawah para mantan tetua GAM dan Presiden Yudhoyonodengan Partai Demokratnya. Namun jika dikaji lebih mendalam,kemenangan bersama yang keduanya raih dalam pemilihan legislatifdi tingkat provinsi; serta dipermalukannya partai-partai politiklokal non-GAM (yang tidak mendapatkan apa pun, selain satu kursi
55
untuk partai PDA, yang berbasis para ulama, lihat Bab 7); dansejumlah kemenangan partai nasional yang berbasis di Jakarta;secara de facto membuktikan kembalinya bentuk kesepakatanpembagian kekuasaan antara GAM dan pemerintah Indonesia.Padahal, sebelumnya ide itu ditolak mentah-mentah oleh GAM diHelsinki. Saat itu, penolakan oleh anggota tim perunding GAMyang reformis, yang didukung pula oleh Ahtisaari, justrumendorong ke arah terciptanya kesetaraan politik dan memberikesempatan yang adil bagi semua pihak, untuk berpartisipasimelalui partai politik lokal. Sikap inilah yang memuluskan prosesperdamaian melalui jalur demokrasi.
Selain itu, kembalinya predatory economics, lemahnya regulasi,serta minimnya upaya bersama antara lembaga donor danpemerintah daerah untuk mengembangkan strategi negara pem-bangunan yang demokratis, bukan isu-isu utama dalam Pemilu.Di satu sisi, blok demokrasi semakin diperlemah. Sementara itu, disisi lain, blok yang terdiri atas pimpinan GAM yang reformis danpara aktivis masyarakat sipil ini juga tak solid. Sebaliknya, di saatbersamaan, Partai Aceh terus menguat. Situasi itulah yangakhirnya membawa kemenangan mutlak Partai Aceh bersamasekutu barunya di Jakarta, Presiden Yudhoyono dan PartaiDemokrat. Sementara itu, partai-partai lokal non-GAM, termasukkelompok yang reformis dan pro-demokrasi, akhirnya tak memilikiperwakilan di parlemen. Gambaran serupa juga terjadi di badanlegislatif kabupaten/kota.
Partai SIRA (dengan massa yang mengakar di kalangangerakan mahasiswa, organisasi masyarakat sipil, dan pimpinanGAM yang reformis), serta PRA (yang berusaha memperluaskonstituen, di luar kalangan mahasiswa radikal dan masyarakatsipil) menjadi bulan-bulanan intimidasi, karena dianggap kelompokmahasiswa yang membangkang. Perlakuan ini mengesampingkanpentingnya persatuan di kalangan partai politik lokal. Tak dapat
PENDAHULUAN DAN KESIMPULAN
56 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
dipungkiri, partai-partai yang berpihak pada kepentingan rakyatitu juga memiliki berbagai kelemahan. Kelemahan-kelemahan itujuga turut menyebabkan kekalahan telak yang mereka derita. Partai-partai tersebut minim pemahaman akan budaya politik tradisional,kurang menunjukkan alternatif kebijakan yang punya potensiuntuk sukses, dan tak memiliki konstituen yang terorganisir, diluar kelompok aktivis yang mereka miliki. Gambaran tersebut miripdengan situasi Indonesia di era pasca-kolonial –termasuk di akhir1940-an, saat pemilihan umum tahun 1955 dan ketika rezim Soehartoruntuh. Persoalannya, representasi demokrasi yang murni men-cerminkan aspirasi rakyat, tak hanya bertumpu pada kebebasan,pendirian partai politik, dan pelaksanaan pemilihan umum.Perwakilan rakyat yang murni itu juga harus didukung denganregulasi yang mengatur kepentingan bisnis, kemampuan politikrakyat, dan keberadaan saluran-saluran baku dalam prosesdemokratisasi, yang menjunjung partisipasi rakyat, serta partisipasiorganisasi massa berbasis kepentingan dan organisasi yang fokuspada isu tertentu.
Yang memprihatinkan, kesepakatan pembagian kekuasaanantara GAM dan pemerintah Indonesia, yang sempat ditolak diHelsinki, kini malah menjadi kenyataan. Pembagian kekuasaantersebut mengorbankan kesepakatan mendasar tentang terciptanyakesetaraan politik dan pemberian kesempatan yang adil bagi semuapihak untuk berpartisipasi dalam partai-partai politik lokal. Di sisilain, harapan kelompok pro-demokrasi di Indonesia pun akhirnyapupus. Sebelumnya, mereka berharap, pemberian peluang bagipartai politik lokal akan menjadi contoh bagi upaya membangunrepresentasi politik yang sungguh-sungguh mencerminkan aspirasiakar rumput, dalam konteks Indonesia yang lebih luas. Perilakupara pemenang pemilu ternyata mengikuti berbagai praktek politik‘normal’ khas Indonesia, yang diwarnai dengan klientilisme or-ang-orang berpengaruh, populisme berbasis budaya, dan politisasi
57
partai terhadap pelbagai kelompok dan gerakan rakyat.Meski begitu, proses demokratisasi tetap berlanjut.
Bagaimanapun, melonjaknya popularitas yang pernah dicapaikandidat independen dukungan KPA dan SIRA dalam pemilihangubernur 2006, yang mencapai hingga ke wilayah di luar basisGAM, tak mungkin tertandingi oleh Partai Aceh saja. Prestasi itutakkan bisa berulanga, kendati Gubernur Irwandi memberidukungan penuh pada partai itu dalam pemilihan gubernur selanjutpada 2011. Tentunya, Irwandi perlu mempertimbangkan situasi inidengan matang, jika dia ingin membangun kepemimpinan eksekutifyang efektif dan kuat pada periode jabatan kedua.
Ditinjau secara keseluruhan, para pemimpin yang kinimerengkuh hegemoni politik itu, tak lagi bisa menyalahkan pihak-pihak lain atas berlanjutnya persoalan dalam pemerintahan danpembangunan. Berkembangnya kritik tanpa henti lambat laun akanmembuat rakyat semakin frustrasi, karena diabaikannya representasiyang demokratis, demi menyalurkan ketidakpuasan rakyat, danmendorong perubahan. Misalnya, peraturan perundang-undanganyang berlaku sekarang tak memperbolehkan calon independenberkompetisi dalam Pilkada mendatang. Partai Aceh milik GAMadalah satu-satunya partai lokal yang bisa mengajukan calon dalampilkada mendatang, berkat proporsi suara yang cukup besar dipemilu legislatif lalu. Selain PA, tetap tak ada ruang tambahan bagiperwakilan langsung dari organisasi-organisasi bentukan warganegara, atau perwakilan tak langsung dari organisasi massa yangmemperjuangkan kepentingan atau isu-isu tertentu. Selain itu,masalah keterwakilan Aceh di tingkat nasional juga tetap takterpecahkan. Pasalnya, partai politik lokal hanya bisa bersaing dipemilihan umum tingkat daerah. Supaya partai politik lokal yangtak berafilisasi dengan partai politik nasional tidak kehilangankesempatan, dan juga terhindar dari upaya membangun aliansipragmatis (seperti kasus Partai Aceh dan Partai Demokrat di bawah
PENDAHULUAN DAN KESIMPULAN
58 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
Presiden Yudhoyono saat ini); maka dibutuhkan aliansi demokratisantara seluruh elemen di Indonesia.
Akhirnya, bagaimana argumentasi tentang demokrasi danperdamaian dapat menjawab munculnya berbagai persoalan, dalamupaya pengembangan demokrasi, yang lebih dulu fokus padapelaksanaan pemilihan umum, pengajuan calon independen danpartai politik, ketimbang mengutamakan organisasi-organisasiberbasis isu dan kepentingan? Perkembangan yang terjadi jelasmemperlemah tesis liberal. Namun, perkembangan tersebut jugakurang bisa mendukung tesis ‘institutions first’. Sebab, tesis itu takbisa menjelaskan bagaimana organisasi yang berbasis kepentinganatau organisasi massa berbasis isu tetap bisa dikembangkan setelahberbagai terobosan dalam demokratisasi di Aceh. Tesis ‘pendekatantransformasi’ tampaknya lebih mampu menjelaskan fenomena yangada. Sebab, pendekatan transformasi menekankan perlunya ke-beradaan kelompok dan gerakan demokrasi, untuk membingkaiproses transisi dari konflik bersenjata menuju resolusi konflik yangdemokratis, melalui partisipasi lebih luas dalam pemerintahan.Sayangnya, seperti yang diketahui, kalangan reformis di Acehperlahan tak lagi menghiraukan transformasi politik yang ber-orientasi pendekatan sosial demokrat itu.
KesimpulanMencermati berbagai bukti empiris dan analisis dari berbagai
teori dan perbandingan aneka perspektif dalam buku ini, tampaknyatak satu pun argumentasi utama tentang perdamaian dandemokrasi, sanggup memberikan penjelasan memadai. Baikpenjelasan tentang proses transisi di Aceh dari konflik dan bencana,menuju perdamaian dan rekonstruksi melalui proses demokratisasiyang konsisten. Maupun penjelasan tentang berlanjutnya persoalandalam tata kelola pemerintahan. Karena itu, sangat dibutuhkankombinasi berbagai macam pandangan yang mendalam, agar dapat
59
memperoleh kesimpulan yang tegas. Selain itu, beragam pandanganitu bisa menghasilkan kontribusi mendasar dalam berbagai diskusi,yang membahas tentang solusi yang bisa dicapai.
Penekanan pendekatan liberal tentang perlunya pemberiankebebasan yang dini, pemilu dan sistem kepartaian yang terbuka,telah terbukti dengan jelas. Jatuhnya rezim Indonesia yangautokratik, pelaksanaan desentralisasi, dan semakin luasnya ruangbagi kritik serta inisiatif dari kalangan reformis, media, dankelompok-kelompok masyarakat serta komunitas internasional,turut memelihara proses perdamaian. Di satu sisi, problempenyalahgunaan kekuasaan kini telah menjadi sorotan publik.Namun, tidak demikian halnya dengan penyelesaian konflik etnis,agama, dan lainnya. Kendati demikian, berbagai faktor lain secaraberkelanjutan terus menerus memberi dukungan agar prosesliberalisasi semakin produktif, atau mampu memelihara prosesperdamaian, melalui upaya membatasi atau memperluas upaya-upaya demokratisasi.
Kebijakan liberalisasi dan desentralisasi di Indonesiasebelumnya tak terlalu produktif bagi Aceh, hingga kebijakan ituakhirnya dibakukan di bawah politik perdamaian Yudhoyono danKalla, yang dilaksanakan melalui perwujudan ‘stabilitas’ ekonomidan politik serta kontrol teritorial terhadap militer. Gagasan tentangidentitas politik Aceh yang dikonstruksi para gerilyawan meng-hambat berkembangnya solidaritas etnis dan agama. Selain itu,kekhawatiran akan mewabahnya korupsi dan penyalahgunaanwewenang pasca-tsunami, berhasil dicegah dengan berbagaiperangkat peraturan, ketimbang diatasi melalui kebijakan neo-liberalisme. Apakah tesis ‘institutions first’ kemudian terbukti melaluidinamika fenomena di atas?
Sebagian besar penjelasan tesis itu terbukti, jika Yudhoyonodan Kalla berhasil menahan laju proses demokratisasi di era pascaSoeharto, yang awalnya sempat membuka kesempatan dilaksana-
PENDAHULUAN DAN KESIMPULAN
60 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
kannya kebijakan desentralisasi dan diberlakukannya peraturananti korupsi; dan apabila kemenangan militer maupun konstruksiidentitas politik para gerilyawan menyebabkan terlaksananyaprinsip-prinsip kewarganegaraan dan penegakkan hukum. Selaindinamika-dinamika politik tersebut, meningkatnya predatory prac-tices seiring dengan berkurangnya kehadiran pihak asing; sertakemenangan para bekas gerilyawan dalam pemilu—bisa sajamembenarkan sebagian penjelasan tesis ‘institutions first’.
Tapi, justru argumentasi pendekatan transformasi yangberhaluan sosial-demokrat, tentang perbaikan kondisi melaluiupaya perluasan demokrasi terlihat paling sesuai menjelaskanberbagai kemajuan di Aceh. Jadi, kelompok yang lebih berorientasipada politik adalah kelompok yang mampu menciptakan perbedaan,bukan masyarakat sipil berorientasi demokrasi liberal. Negosiasidan pedoman pelaksanaan perdamaian Helsinki jauh lebih inklusifdan lebih berorientasi politik, daripada proses perundingan yanghanya terbatas di kalangan elit, dengan iming-iming insentifekonomi (economic carrot driven), seperti yang terjadi di Sri Lanka.Keberhasilan di awal pelaksanaan pedoman perdamaian yangdemokratis itu, tercapai berkat kemampuan berpolitik paragerilyawan dan aktivis masyarakat sipil di lapangan untuk terlibatdalam gerakan politik terorganisir dan menang dalam pemilu. Hasilini sangat bertolak belakang dengan pembentukan demokrasi lib-eral pada umumnya, dan sangat berbeda dengan pengalamandaerah lainnya di Indonesia.
Jadi, perdamaian di Aceh bisa tercapai dan terkonsolidasi,bukan melalui upaya untuk ‘mengelola’ dan ‘menyelesaikan’konflik, melainkan melalui upaya transformasi medan pertempuranmiliter menjadi arena pertarungan politik yang berorientasi padakepentingan publik, dan berdasarkan prinsip kesetaraan hak, sertapartisipasi yang lebih luas. Akibatnya, proses peacebuildingberkembang jauh melampaui proses liberalisasi yang terbukti
61
kurang sukses, dengan menggunakan beberapa elemen politik‘sosial-demokrat’. Elemen politik sosial demokrat itu lebihmengandalkan identitas politik dan organisasi, daripada meng-gunakan inisiatif warga yang polisentrik dan berorientasi pasar.Penggunaan elemen politik sosial demokrat itu menggabungkankonsep konstitusionalisme dengan kedaulatan rakyat danketerlibatan berbagai aktor, sebagai sarana untuk mengubahkonflik. Proses ini diuntungkan pula oleh adanya pembatasan yangluas dan pengaturan kekuatan koersif dan kekuasaan ekonomidalam pasar. Yang terpenting, kebijakan tersebut mendukungketerlibatan yang luas bagi semua aktor, serta potensi kemampuansosial dan politik dari kalangan pro-demokrasi, dan gerakan politiklainnya. Singkatnya, terlaksananya perdamaian dan pembangunandi Aceh, bagaimanapun, pada awalnya terwujud berkat adanyademokrasi.
Persoalan utama dalam pendekatan transformasi yangberorientasi sosial demokrat ini adalah kemerosotan dalam tatakelola pemerintahan dan politik yang demokratis, sejak kemenanganfantastis Pilkada 2006. Apakah Aceh akan terjerumus dalampermasalahan yang sama, seperti pengalaman setiap masyarakatpasca kolonial ketika mencoba menerapkan politik serupa, misalnya,Timor Timur? Lazimnya, jawaban standar atas dilema itu di Acehmengatakan, ‘masalah itu tak terelakkan dalam periode transisi’,Tak bisa dipungkiri, korban kekerasan yang telah menderita selamaperiode konflik dan bencana perlu memperoleh perhatian utamaagar kelak mampu kembali ikut serta dalam kehidupan sosial,politik, dan ekonomi. Namun, apakah upaya tersebut telahterstruktur dengan solid dan memadai dalam bingkai pelaksanaandemokrasi yang terus menerus diperbaiki, seperti yang awalnyatergambar dan dimulai dari kesepakatan perdamaian di Helsinki?Sudah jelaskah awal dan akhir dari proses transisi yang berjalan?Sungguh disayangkan, sejumlah metode dan praktek dalam
PENDAHULUAN DAN KESIMPULAN
62 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
pelaksanaan transisi (ditambah minimnya keterlibatan pihak asingdalam masalah ini) ternyata kemudian menimbulkan persoalan barudalam tata kelola pemerintahan.
Jika kemerosotan dalam tata kelola pemerintahan dan politikyang demokratis tersebut tak terhindarkan karena memburuknyasituasi, maka penjelasan tesis ‘institutions first’ lebih bisa dipercaya.Walaupun pendekatan ini kurang bisa menjawab persoalan tentangbagaimana lembaga penegakan hukum, kemampuan negara, sertakeberadaan organisasi berbasis kepentingan—yang kira-kiramampu mencegah penurunan kualitas demokrasi itu—bisaterbentuk secara efektif di Aceh, apabila para pemimpinnya justrumengekang demokratisasi. Sebaliknya, jika kegagalan kelompokreformis lebih diakibatkan oleh dinamika politik yang berlangsung,maka tesis ‘pendekatan transformasi’ memberi jawaban tentangperlunya jalur alternatif yang demokratis. Argumentasi pendekatanini adalah demokratisasi di Aceh secara umum hanya mengandalkaninstitusi demokratis yang disepakati dalam perundingan Helsinki:pengajuan calon independen dalam Pilkada 2006 dan pendirianpartai politik lokal. Struktur komando GAM yang lama dankelompok aktivis pun akhirnya berhasil mereguk manfaat darikondisi yang terbangun dalam situasi yang demokratis itu.Namun, setelah pemilihan bupati/walikota, tak ada upaya lanjutanuntuk perbaikan tata kelola pemerintahan dan pengembangansaluran demokrasi lainnya, untuk mengarahkan partisipasi rakyat,serta menjamin keterwakilan atas pelaksanaan kepentingan danpenanganan isu-isu tertentu, seperti yang dianjurkan oleh pen-dekatan transformasi. Boleh dibilang, dewasa ini, persoalan tersebuttak terlalu dipedulikan di Aceh, maupun dalam pandangankomunitas internasional. Tapi situasi itu ada kemungkinan untukberubah di kemudian hari.
Saat ini, siapa yang akan mendorong politik transformatifsemacam itu dan bagaimana caranya? Kajian lanjutan melalui
63
perspektif komparatif tak pelak sangatlah penting, dan perdebatanmasih akan terus berkembang. Kemunduran yang terjadi baru-baru ini—dari kesetaraan politik menuju pembagian kekuasaan—adalah problem yang paling serius. Situasi inilah yang menunjuk-kan betapa sangat dibutuhkannya upaya mengembangkan danmemperluas keterwakilan demokratis yang inklusif untukmelengkapi pelaksanaan sistem pemilu, serta mencegah upayasiapapun yang ingin memonopoli sistem tersebut.
Di sisi lain, menjelang penerbitan edisi ini, berbagai perubahanpun terjadi di Aceh, terutama menjelang pelaksanaan Pilkada pada2011. Perubahan tersebut sedikit-banyak memberikan secercahharapan, kendati proses demokratisasi di Aceh membutuhkan usahayang lebih keras dari berbagai elemen pro-demokrasi. Pembahasandan analisis mengenai situasi terkini di Aceh akan dituangkandalam bagian post-script, yang menjadi penutup buku ini.
PENDAHULUAN DAN KESIMPULAN
64 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
(Catatan Akhir)1 Naskah bab ini telah ditulis dan diperbaharui sejak Desember
2004 berbarengan dengan penelitian dan dukungan bagipengembangan demokrasi di Aceh. Sejumlah kolega, para aktivisdengan pemikiran dan renungan mendalam, serta berbagai kawantelah banyak berkontribusi, baik memberikan bantuan, komentar,maupun nasehat. Sungguh mustahil untuk menyebutkan namamereka satu persatu, dan beberapa di antara mereka tidak bisadisebutkan namanya—namun beribu terima kasih untuk kaliansemua! Komentar-komentar berharga atas versi terakhir naskahini diberikan oleh Teresa Birks dan Kristian Stokke, serta EdAspinall, Shadia Marhaban, M. Nur Djuli, Gerry van Klinken, GydaSindre, juga para peserta workshop tentang Aceh oleh EUROSEASdi Naples 2006 dan beberapa seminar di Indonesia, Sri Lanka danNorwegia.
2 Isu-isu ini akan didiskusikan lebih jauh di Bab 4. Mengenaidinamika dalam konflik di daerah lihat juga van Klinken (2007)dan Aragon (2007), serta tentang persoalan korupsi di Poso lihatICG (2008a). Saya juga melakukan wawancara dengan para aktivislokal pro-demokrasi di Palu, Poso, dan Tentena pada Januari 2007dan di Maluku pada April 2007.
3 Untuk ringkasan dari bagian yang terakhir ini, lihat Paris (2004)dan Jarstad dan Sisk (2008).
4 Tiada kasus yang sempurna. Tidak ada kondisi khusus yangmendukung demokrasi dan perdamaian di Aceh, jika dibanding-kan, misalnya, dengan Sri Lanka dan daerah konflik lainnya diIndonesia. Segala faktor yang lazimnya dianggap negatif, jugaterdapat di Aceh: institusi administrasi dan politik yang lemah,pengenalan kebebasan sipil dan politik yang dini, meluasnyaidentitas etnis dan agama, dan pemilihan umum yang instan.Bagaimanapun, tsunami adalah salah satu faktor ‘eksternal’ yangpenting. Tapi, bencana itu tak serta merta membuat Aceh sebagaikasus khusus. Sebab, seperti yang akan dipaparkan kemudian,pengaruh utama dalam proses perdamaian tidak terpisahkan dariberbagai dinamika politik, yang merupakan basis penjelasan dariargumentasi yang ada. Selain itu, tak pelak, banyak penelitian
65
internasional yang telah membahas tentang peran demokratisasidalam rangka pelaksanaan kesepakatan damai. Walaupun periodedamai di Aceh tak begitu jelas ketika berlangsung jeda kemanusiaandan tercapainya kesepakatan damai pada 2000, 2002, dan 2005.Kendati begitu, Aceh, baik dahulu dan maupun sekarang adalahbagian Indonesia; dan periode setelah Soeharto sebaiknyadianggap sebagai sebuah proses demokratisasi dan penciptaanperdamaian (peace building), dengan segala pasang surutnya.Lagipula, segala argumentasi dan pemahaman akan pentingnyamengembangkan demokrasi begitu kesepakatan damai ditanda-tangani, yang dikemukakan di periode-periode awal proses damai,akan berguna pula bagi perjanjian damai tersebut (Jarstadt danSisk 2008 Bab 1 dan 241f). Karena itu, Aceh tetap menjadi kasuspenting dalam pembahasan mengenai validitas argumentasi yangmengkaji perdamaian dan demokrasi, serta dalam pengajuanrekomendasi bagi pelaksanaan perdamaian dan demokrasi, dalambingkai kerja yang kontekstual.
5 Korelasi antara kekerasan dan institusi demokrasi, seperti kebe-basan dan pelaksanaan pemilihan umum, umumnya menyangkutkerangka pemikiran tentang perebutan akan kontrol atas teritoriatau penduduk. Perebutan tersebut harus diselesaikan dalamkerangka penegakan hukum. Dan demokrasi, di sisi lain, tetap bisadikembangkan (Carothers 2007a: 21). Yang paling membedakan,seperti yang sudah disebutkan, kesepakatan menyangkutpenegakan aturan hukum dan pelaksanaan demokrasi, yang jugamenentukan kebijakan di masa depan, adalah komponen vitaldalam perundingan tentang sengketa wilayah, sebelumkesepakatan damai ditandatangani dan dilaksanakan (Jarstad danSisk 2008: Bab 1 dan 241 f).
6 Beetham 1999; untuk diskusi yang lebih terperinci lihat Priyonoet.al. 2007, Samadhi et.al. 2008.
7 Ini bukan berarti tak ada cara untuk mengkombinasikan keduaaspek fundamental dalam state building itu, tanpa mengesam-pingkan aspek demokrasi. Hak-hak komunal, misalnya, dapatdibatasi pada persoalan publik yang spesifik. Contohnya, hak-hak minoritas tertentu untuk menerapkan hukum adat mereka
PENDAHULUAN DAN KESIMPULAN
66 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
dalam melindungi hutan dan sumber daya air, yang fundamentalbagi kebudayaan dan kehidupan mereka. Selain itu, kelompokkomunal juga adakalanya menuntut pemenuhan hak sipil danpolitik yang sama seperti kelompok lainnya (dan menolakperlakuan istimewa). Misalnya, seperti gerakan hak-hak sipil diAmerika, Kongres Nasional Afrika di Afrika Selatan, sertakelompok progresif dari kelompok kasta yang tersubordinasi dinegara bagian Kerala di India.
8 Termasuk Kampanye Inggris dalam Hak Asasi Manusia di Indo-nesia (TAPOL) dan para ilmuwan Indonesia yang radikal sepertiGeorge Junus Aditjondro.
9 Bagian tersulit adalah meyakinkan para politisi bahwa per-setujuan parlemen tidak dibutuhkan sebelum penandatangananMoU, karena Aceh merupakan bagian dari Indonesia, dan karenaitu, bukan merupakan persoalan Internasional (Kesepakatan 2008).
10 Untuk pernyataan-pernyataan mutakhir, lihat the Jakarta Post 8April 2007 (‘Peaceful solution to conflict cheaper: Kalla’), 17 Januari2008 (‘Prosperity the goal, not democracy’, 16 Juni 2008 ‘Kallaslams inefficient poll system,’ 2 September 2008 ‘Vice Presidentpushes for simplified political system’).
11 Stokke dan Uyangoda 2010.12 Satu hal yang membedakan adalah dukungan yang cukup luas di
Indonesia untuk penanganan secara militer untuk mengatasimasalah di Aceh, lenyap begitu tsunami terjadi. Billon danWaizenegger 2007:419
13 Lihat fn. 10.14 Husain 2007 dan percakapan dengan Bakhtiar Abdullah, Juha
Christensen, M. Nur Duli dan Shadia Marhaban.15 Penjelasan ini berdasarkan refleksi diri para fasilitator dalam
diskusi seminar, serta pandangan yang dipaparkan oleh Profes-sor Jayadeva Uyangoda dan Kristian Stokke.
16 Rangkaian peristiwa yang didiskusikan dalam sub-bagian initermaktub dalam Aspinall 2005, 2008, ICG 2005, 2006, 2007,Kingsbury 2006, Merikallio 2006 dan Miezner 2007. Sedangkananalisis dihimpun berdasarkan buku catatan saya sendiri dalamupaya mendorong kelompok pro-demokrasi di Aceh pada waktu
67
itu, serta percakapan dengan sejumlah aktor-aktor yang terlibat(beberapa di antaranya disebutkan dalam fn. 15; sedangkan yanglain, khususnya adalah Taufiq Abda, Aguswandi, Akhiruddin,Damien Kingsbury (juga disampaikan melalui surat pada 12 April2006), Juanda Djamal, Jan Hoddan, Munawar Liza, MuhammadNazar, Erwin Schweissheim, Otto Syamsuddin.
17 Heiduk 2006: 1818 Mereka dibantu oleh Damien Kingsbury C.f. laporan awalnya di
Jakarta Post, 24 Januari 2005. Hubungan ini membuat delegasi In-donesia jengkel karena tengah berusaha membangun kepercayaandengan para pimpinan senior GAM Malik Mahmud dan ZainiAbdullah. Hamid 2007: Ch 16 dan 17.
19 Salah satu pelopor yang paling menonjol adalah Jan Hoddan dariOlof Palme International.
20 Wawancara dengan para aktivis, para pimpinan, para ahli danintelektual di Banda Aceh pada bulan Januari dan Desember 2007,Maret dan November 2008, Februari, Juni dan Agustus 2009, OsloApril 2008.
21 Aspinall 2008, 2009, Barron dan Burke 2008, Frodin 2008, dan Large2008. Saya juga melakukan wawancara dengan para pekerjaoperasi tanggap darurat dan pembangunan yang namanya tidakbisa disebutkan.
22 Lihat fn. 21.23 Fn. 21.24 Yang mengherankan, bahkan sebuah kelompok di Indonesia
dengan reputasi ternama (dengan dukungan yang baik oleh do-nor internasional), melalui proyek yang bertujuan untuk membinaketerlibatan masyarakat sipil dalam politik terorganisir,meninggalkan kerjasama antar kelompok pro-demokrasi—yaituantara para pimpinan GAM yang reformis dan aktivis masyarakatsipil—yang turut didukung oleh berbagai partai politik. Kelompoktersebut lalu membatasi keterlibatan masyarakat sipil danmendukung partai Aceh (Penulis sempat memulai dan turutmemberi masukan tentang proyek itu. Keterlibatan penuliskemudian berakhir ketika tujuan awalnya pun berubah)
25 ICG 2006: 3.
PENDAHULUAN DAN KESIMPULAN
68 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
26 Lihat fn. 21.27 Untuk melihat bagian sisanya dari paragraf ini, lihat fn. 21.
69
Daftar PustakaAccord, 2008. ‘Compromising for Peace: An Interview with Jusuf
Kalla’, dalam Aguswandi dan Large, Judith (Ed.) ReconfiguringPolitics: the Indonesia-Aceh Peace process. London: Accord, www.c-r.org/our-work/accord/aceh/compromising.php
Aragon, L.V., 2007. ‘Elite Competition in Central Sulawesi’, dalamNordholt, H. S. dan van Klinken, G (Ed.) Renegotiating Bound-aries. Local Politics in Post-Soeharto Indonesia. Leiden: KITLV Press.
Aspinall, E., 2005. The Helsinki Agreement: A More Promising Basis forPeace in Aceh? Washington DC: East-West Center. Policy Stud-ies 20
Aspinall, E., 2005a. Opposing Suharto: Compromise, Resistance and Re-gime Change in Indonesia. Stanford: Stanford University Press
Aspinall, E., 2008. Islam and Nation. Separatist Rebellion in Aceh, Indo-nesia. Stanford: Stanford University Press.
Aspinall, E., 2009. ‘Combatants to Contractors: The PoliticalEconomy of Peace in Aceh’, SEAP Indonesia 87, April.
Aspinall, E., 2010. ‘The Irony of Success’, Journal of Democracy, Vol.21:2, April 2010.
Aspinall, E., dan Crouch, H. 2003. The Aceh Peace Process: Why itFailed. Washington DC: East-West Center. Policy Studies 1.
Barron, P., 2008. ‘Managing the Resources for Peace: Reconstruc-tion and Peace building in Aceh’, dalam Aguswandi dan Large,Judith (Ed.) Reconfiguring Politics: the Indonesia-Aceh Peace pro-cess. London: Accord, www.c-r.org/our-work/accord/aceh/compromising.php
Barron, P dan Burk, A., 2008. Supporting Peace in Aceh: DevelopmentAgencies and International involvement. Policy Studies, No. 47.Washington dan Singapura: East-West Center dan ISEAS.
Bayart, J. F., 1999. The Criminalization of the state in Afrika. London:International African Institute bekerja sama dengan J. Currey,Oxford; Bloomington. Indiana University Press.
PENDAHULUAN DAN KESIMPULAN
70 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
Beetham, D., 1999. Democracy and Human Rights. Oxford: Polity Press.Berman, S., 2006. The Primacy of Politics: Social Democracy and the
Making of Europe’s Twentieth Century. New York: CambridgeUniversity Press.
le Billon, P. dan Waizenegger, A. (2007): ‘Peace in the wake of disas-ter? Secessionist conflicts and the 2004 Indian Ocean tsunami’,Transactions of the Institute of British Geographers, Volume 32,Nomer 3, Juli 2007 , pp. 411-427(17)
Carothers, T., 2007. ‘How Democracies Emerge. The “Sequencing”Fallacy’. Journal of Democracy,18(1).
Carothers, T., 2007a. ‘Misunderstanding Gradualism’. Journal ofDemocracy,18(3).
DEMOS, 2005. Executive Report from Demos’ 2nd Round All IndonesiaDemocracy Survey (dengan ringkasan data yang terpisah) (OlleTörnquist, A. E. Priyono et. al.). Jakarta: DEMOS, 20 Januari2005.
Esping-Andersen, G., 1988. Politics Against Markets: The Social Demo-cratic Road to Power. Princeton. N.J: Princeton University Press.
Frödin, L., 2008. ‘The Challenges of Reintegration in Aceh’, dalamAguswandi dan Large, Judith (Eds.) Reconfiguring Politics: theIndonesia-Aceh Peace Process. London: Accord, www.c-r.org/our-work/accord/aceh/ reintegration.php, [09/09/2008]
Georege, A. L. dan Bennett, A. (2005): Case Studies and Theory Devel-opment in the Social Sciences, Cambdrige, Mass: MIT Press.
Harriss, J., Stokke, K. dan Törnquist, O. (eds), 2004. Politicising De-mocracy, The New Local Politics of Democratisation. Houndmills,Basingstoke: Palgrave.
Harriss-White, B., 2003. India Working: Essays on Society and Economy.Cambridge: Cambridge University Press.
Heiduk, F., 2006. Province of Aceh/Indonesia. Berlin: Friedrich EbertStiftung. Series of country-related conflict analyses.
Huntington, S. P., 1965. Political Development and Political Decay.
71
World Politics, 17(3).Huntington, S. P., 1968. Political Order in Changing Societies. New
Haven: Yale University Press.Husain, F. 2007. To See the Unseen. Scenes Behind the Aceh Peace Treaty.
Jakarta: Health Hospital.ICG (International Crisis Group), 2005. Aceh: A New Chance for Peace,
Jakarta dan Brussels: Asia Briefing 40, 15 Agustus 2005.ICG, 2006. Aceh’s Local Elections: The Role of the Free Aceh Movement
(GAM), Jakarta dan Brussels: Asia Briefing 57, 29 November.ICG, 2007. Indonesia: How GAM Won in Aceh, Jakarta dan Brussels:
Asia Briefing 61, 22 Maret.ICG, 2008. Indonesia: Pre-Election Anxieties in Aceh, Jakarta dan Brus-
sels: Asia Briefing 81, 9 September.ICG, 2008a. Indonesia: Tackling Radicalism in Poso, Jakarta dan Brus-
sels: Asia Briefing 75, 22 Januari.Jakarta Post April 8, 2007 (‘Peaceful solution to conflict cheaper:
Kalla’), 17Januari 2008 (‘Prosperity the goal, not democracy’),16 Juni 2008 (‘Kalla slams inefficient poll system’) dan 2 Sep-tember 2008 (‘Vice President pushes for simplified political sys-tem’).
Jarstad, A. K. dan Sisk T. D. (eds.) (2008): From War to Democracy.Dilemmas of Peacebuilding. Cambridge: Cambridge UniversityPress.
Kingsbury, D., 2005. ‘Aceh’s disaster could herald political change’,The Jakarta Post 01/24/ 2005.
Kingsbury, D., 2006. Peace in Aceh. A Personal Account of the HelsinkiPeace Process. Jakarta/Singapura: Equinox Publishing.
Kingsbury, D. dan McCulloch, L., 2006. ‘Military Business in Aceh’,dalam Reid, Anthony (Ed.) Verandah of Violence. The Backgroundto the Aceh Problem. Seattle: University of Washington Press.
Klinken, G. van, 2007. Communal Violence dan Democratization in Indo-nesia. London, dan New York: Routledge
PENDAHULUAN DAN KESIMPULAN
72 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
van Klinken, H van 2009. ‘Patronage Democracy in Provincial In-donesia’, in Törnquist, O, Webster, N, dan Stokke, K, (Eds),Rethinking Popular Representation. Palgrave.
Lane, M. 2008. Unfinished Nation: Indonesia before and after Suharto,London and New York: Verso New Left Books.
Large, J. 2008. ‘The Challenge of Hidden Economies and Predationfor Profit’, dalam Aguswandi dan Large, Judith (Eds.)Reconfiguring Politics: the Indonesia-Aceh Peace process. London:Accord,www.c-r.org/our-work/accord/aceh/compromising.php
Mansfield, E.D. dan Snyder, J. (2007): ‘The Sequencing “Fallacy”,Journal of Democracy, Vol. 18, No. 3.
McGibbon, R. 2006. ‘Local Leadership and the Aceh Conflict’, dalamReid, Anthony (Ed.) Verandah of Violence. The Background to theAceh Problem. Seattle: University of Washington Press.
Merikallio, K. 2006. Making Peace. Ahtisaari and Aceh. Juva: WSBookwell Oy.
Mietzner, M. 2007. ‘Local Elections and Autonomy in Papua danAceh: Mitigating or Fueling Secessionism?’ SEAP Indonesia, pp.1 - 39.
Miller, A. M., 2009. Rebellion and Reform in Indonesia. Jakarta’ssecurity and autonomy polices in Aceh. London: London danNew York: Routledge.
Nordholt, H. S. dan van Klinken, G. (eds.), 2007. Renegotiating Bound-aries. Local Politics in Post-Suharto Indonesia. Leiden: KITLV Press.
Paris, Roland, 2004. At War’s End: Building Peace After Civil Conflict.Cambridge: Cambridge University Press.
Priyono, A.E, Samadhi W.P , Törnquist, O., bersama Birks, T. dantim Demos, 2007. Making Democracy Meaningful. Problems andOptions in Indonesia. Jakarta, Jogjakarta dan Singapura: Demos,PCD Press, ISEAS publishing house.
Reid, A. (ed.), 2006. Verandah of Violence. The Background to the AcehProblem. Seattle: University of Washington Press.
73
Rocamora, J., 1994. Breaking Through - The Struggle within theCommunist Party of the Philippines Manila: Anvil.
Samadhi, W. P. dan Warouw, N. J. (eds), 2008. Democracy Building onthe Sand. Advances and Setbacks in Indonesia. Report from the 2nd
Demos’ National Expert-Survey. Jakarta: Demos, Jogjakarta: PCDPress.
Schulze, K. E., 2004. The Free Aceh Movement (GAM): Anatomy of aSeparatist Organization, Washington DC: East-West Center.Policy Studies 2.
Schulze, K. E., 2005. ‘Peace in Aceh and the Challenges Ahead’.Tempo 25 Juli.
Schulze, K. E., 2006. ‘Insurgency and Counter-Insurgency: Strat-egy and the Aceh Conflict, October 1976 - May 2004’, dalamReid, Anthony (Ed.) Verandah of Violence. The Background to theAceh Problem. Seattle: University of Washington Press.
Stokke, K. Bersama dengan Sindre, G. dan Törnquist, O., 2008.‘Conflict resolution and democratisation in the aftermath ofthe 2004 tsunami. A comparative study of Aceh and Sri Lanka’,PCD Journal, (http://www.pcd.ugm.ac.id/) Vol. 1:1 (2008).
Stokke, K. dan Uyangoda, J. (Eds) (2010): Liberal Peace in Question.Politics of State and Market Reforms in Sri Lanka. Forthcoming.Anthem.
Sulaiman, M. Isa, 2006. ‘From Autonomy to Periphery: A CriticalEvaluation of the Acehnese Nationalist Movement’, dalam Reid,Anthony (ed.) Verandah of Violence. The Background to the AcehProblem. Seattle: University of Washington Press.
Sulaiman, M. I. dan van Klinken, G., 2007. ‘The Rise and Fall ofGovernor Puteh’, dalam Nordholt, H. S. dan van Klinken, G.(Ed.) Renegotiating Boundaries. Local Politics in Post-Suharto Indo-nesia. Leiden: KITLV Press.
Therborn, G., 1983. ‘The rule of capital and the rise of democracy’.New Left Review 103.
PENDAHULUAN DAN KESIMPULAN
74 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
Törnquist, O., 1990. ‘Communists and Democracy in the Philip-pines’, dalam Economic and Political Weekly (Bombay) Vol XXVI,No. 27-28 dan 29, 1991. Juga terbit dengan judul Democracyand the Philippine Left, dalam Kasarinlan (University of the Phil-ippines) Vol 6, No 1-2, 1990.
Törnquist, O., 2000. ‘Dynamics of Indonesian Democratisation’.Third World Quarterly, 21(3), 383-423.
Törnquist, O., 2003. ‘Introduction: Floating Democrats’, dalamPrasetyo, Stanley .A, Priyono, A.E., Törnquist, O., Indonesia’sPost-Soeharto Democracy Movement. Jakarta: Demos.
Törnquist, O., Webster, N, dan Stokke, K, (ed.s), 2009. RethinkingPopular Representation. Palgrave.
75
LLLLLAAAAATTTTTARARARARAR B B B B BELAKANGELAKANGELAKANGELAKANGELAKANG DDDDDANANANANAN S S S S SITUITUITUITUITUASIASIASIASIASI P P P P POLITIKOLITIKOLITIKOLITIKOLITIKDIDIDIDIDI A A A A ACEHCEHCEHCEHCEH
Stanley Adi Prasetyo dan Teresa Birks
2
Sejak abad ke-16 dan ke-17, Nanggroe Aceh Darussalammemiliki peran politik dan ekonomi strategis dikepulauan Nusantara. Selain merupakan salah satukesultanan Islam pertama di Asia Tenggara, Aceh juga
dikenal sebagai kerajaan dengan sektor perdagangan yang kokoh,dengan lokasi di jalur perdagangan laut antara Turki, TimurTengah, India, dan Timur Jauh.
Pemberontakan dan perlawanan telah menjadi cara hidupmasyarakat Aceh sejak Belanda menyatakan perang terhadapKesultanan Aceh pada 1873. Namun, setelah peperangan selamatiga dekade, Belanda tak kunjung berhasil menaklukkan Aceh.Sementara itu, kuatnya sentimen anti-Belanda mendorong parapemuka agama di Aceh menjalin aliansi dengan Jepang, jauh se-belum Jepang menginvasi Indonesia. Pada kurun 1945 hingga 1949,perjuangan kemerdekaan akhirnya memicu revolusi sosial terhadap
76 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
para uleebalang. Dahulu para uleebalang, yang terdiri dari pemimpintradisional di Aceh itu, menjadi kaki tangan Belanda dalammemerintah Aceh.
Selanjutnya, hubungan Aceh dan Indonesia penuh diwarnaikekecewaan dan ketidakpuasan, perlawanan dan pemberontakan.Pada 1953, Daud Beureueh mendirikan gerakan perlawanan ber-senjata, Darul Islam. Meski menuntut pembentukan negara Islam,gerakan ini tidak menghendaki kemerdekaan. Dan walaupn ketikagerakan ini kemudian bisa dikalahkan, negara akhirnya mem-berikan status “Daerah Istimewa” kepada Aceh. Status tersebutmemberikan kewenangan kepada Aceh untuk mengontrol bidangpendidikan, agama, dan hukum adat.
Namun, rezim yang kian sentralistik dan militeristik di bawahSoeharto serta penemuan minyak dan gas pada 1971, meningkatkanpembangunan sekaligus kesenjangan ekonomi di Aceh. Tidakmeratanya kesejahteraan sosial serta timpangnya distribusi ke-untungan dari kekayaan sumber daya alam Aceh, ditambah faktorketidakpuasan lainnya, akhirnya melahirkan Gerakan Aceh Merdeka(GAM) oleh Hasan di Tiro pada 1976. Pemerintah bergerak cepatmenindas gerakan ini, dan lantas membunuh serta memenjarakansejumlah pimpinan GAM. Pada 1979, di Tiro melarikan diri ke luarnegeri dan mendirikan pemerintahan Aceh di pengasingan.1
Para gerilyawan, yang juga alumni pelatihan militer di Libya,akhirnya pulang ke Aceh pada penghujung 1980-an dan kembalimengangkat senjata. Kali ini, dukungan masyarakat bertambahluas. Militer kembali bertindak tegas, dan Aceh dinyatakan sebagaiDaerah Operasi Militer (DOM) pada 1990. Setelah Soeharto jatuhdan melahirkan periode reformasi, kebijakan DOM akhirnya dicabutAgustus 1998. Namun, kebangkitan kembali GAM dan intensifikasioperasi militer mengantarkan Aceh pada periode konflik berikutnya.Pada periode inilah muncullah sejumlah organisasi masyarakat sipilyang berpengaruh.
77
Rangkaian perundingan damai yang gagal, terjadi selamakurun tahun 2000 hingga 2004 di bawah tiga pemerintahan berbeda.Selama itu, Aceh mengalami dua kali status darurat militer, yangkemudian dilanjutkan dengan status darurat sipil. Selanjutnya,tampuk pemerintahan Indonesia berganti sekali lagi, dan tsunamipun meluluh-lantakkan Aceh pada Desember 2004. Setelah berbagairentetan peristiwa itu, akhirnya proses perundingan damai diHelsinki pada 2005, membawa harapan akan perdamaian yang lebihabadi di Aceh.
Aceh di bawah kolonialisme BelandaPada 26 Maret 1873, pemerintahan kolonial Belanda
menyatakan perang terhadap Aceh. Pernyataan ini memulai periodepeperangan dan perlawanan yang panjang, hingga invasi Jepangtiba di Aceh pada 1942. Invasi Jepang akhirnya memupus ambisipemerintah kolonial menguasai Aceh. Pada 13 Oktober 1880,pemerintah kolonial Belanda sempat mengumumkan berakhirnyaperang. Namun, Belanda terpaksa jatuh bangun demi memper-tahankan kendali atas daerah taklukan mereka itu. Peperanganbesar pun kembali berkobar pada 1883. Pada 1898, Mayor J.B vanHeutsz diangkat menjadi Gubernur Aceh dan melanjutkan operasimiliter untuk menaklukkan rakyat Aceh. Seiring dengan kebijakanitu, Gubernur Aceh yang baru itu juga menerapkan kebijakan baru:mengkooptasi para pemimpin tradisional yang memperolehkekuasaannya secara turun temurun, yakni para uleebalang.Kelompok itu diharapkan dapat mendukung Belanda di wilayahpedalaman.2
Pada 14 Januari 1903, setelah 30 tahun berperang, Sultan Aceh,Tengku M. Daudsyah, mengirim surat kepada Van Heutsz, yangmenyatakan kesetiaannya kepada pemerintah kolonial Belanda.Namun, surat itu saja tak memuaskan Belanda. Sultan Aceh punditangkap pada 1904 dan dibuang ke Jawa. Pada 1904, sebagian
LATAR BELAKANG DAN SITUASI POLITIK DI ACEH
78 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
besar daerah Aceh tampak telah berhasil dikuasai Belanda. Namun,perlawanan bergerilya dalam lingkup terbatas masih berlanjuthingga 1910. Aceh pun tak pernah sepenuhnya ditundukkanBelanda.
Selama Perang Aceh, sekitar 50.000 hingga 100.000 rakyat Acehtewas dan satu juta orang menderita luka-luka. Pada masa itu,perang telah membuktikan konsolidasi identitas orang Aceh:menolak segala campur tangan pihak luar terhadap urusan dalamnegeri mereka. Di sisi lain, Perang Aceh telah menimbulkankerugian besar di pihak Belanda. Selain banyak nyawa yangmelayang di pihak Belanda, operasi militer di Aceh, disebut-sebutsebagai penyebab bangkrutnya VOC, penyandang dana perangtersebut.
Perang Aceh menyebabkan setidaknya satu generasi dari rakyatAceh menghabiskan seluruh hidupnya dalam situasi perang danperlawanan bersenjata terhadap Belanda (1873-1942). Tak terhitungorang Aceh yang lahir, tumbuh dewasa, dan gugur sebagai martir.Di kalangan mereka, termasuk pula para pahlawan ternama (baiklelaki dan perempuan), seperti T. Nyak Hasan, Cut Meutia, TengkuCik di Tiro, Cut Nyak Dien, Teuku Umar, Panglima Polem, danMahmud Arifin (Tokoh-tokoh tersebut, dalam upaya pendiriannegara-bangsa Indonesia, diangkat sebagai simbol perlawanan anti-kolonial).
Aceh selama pendudukan JepangPada 1939, sejumlah pemuka agama di bawah kepemimpinan
Mohammad Daud Beureueh mendirikan sebuah aliansi yang terdiridari para pemuka agama Islam, yaitu Persatuan Ulama Seluruh Aceh(PUSA). Awalnya, aliansi itu bertujuan memajukan dan melindungiagama Islam. Namun, PUSA kemudian semakin berkembang menjadigerakan anti-Belanda, dan sasaran pertama dari aksi perlawananmereka adalah kalangan uleebalang. PUSA juga berupaya membangun
79
aliansi dengan Jepang, melalui orang-orang Aceh yang tinggal diSemenanjung Malaya, seperti Sahid Abu Bakar.
Di tahun 1941, Mayor Fujiwara Iwaichi dari Armadakekaisaran Jepang mendirikan Fujiwara Kikan (F-Kikan), sebuahunit operasi khusus yang bertugas memberi bantuan kepadagerakan-gerakan anti-kolonial. F-Kikan pun mulai membangunkontak dengan PUSA di Aceh. Pada 19 Februari 1942, atau beberapaminggu sebelum Belanda menyerah pada 8 Maret 1942, PUSA danF-Kikan melancarkan berbagai operasi sabotase terhadap Belanda.Tanggal 11 Maret 1942, sehari sebelum tentara Jepang mendarat diAceh, F-Kikan dan PUSA berhasil merebut Banda Aceh. PUSA takhanya ingin mengusir Belanda dari Aceh, tetapi juga termotivasiuntuk menggeser kekuasaan uleebalang, yang selama ini disokongBelanda (Santosa, 2006).
Namun, akibat munculnya berbagai kerusuhan, ditambahdengan tak berpengalamannya para ulama dalam pemerintahan,akhirnya mendorong Jepang menerapkan kembali kebijakanBelanda, yaitu memerintah melalui para uleebalang. Hal serupa jugaditerapkan di daerah lainnya, seperti Sumatera Barat, SumateraUtara, dan Jawa. Di wilayah tersebut, kewenangan menjalankanpemerintahan lebih diberikan pada pimpinan tradisional dankalangan elit yang berkuasa, daripada diberikan kepada kalanganpemuka agama Islam.
Beberapa bulan berselang setelah Jepang menyerah kepadaSekutu pada 15 Agustus 1945, kalangan ulama dan pendukungnyamenyerang kelompok uleebalang. Peristiwa ini acap disebut sebagaiRevolusi Sosial Aceh. Pada tahun 1946, sebagian besar kaumuleebalang dibunuh atau dipenjarakan. Mereka yang selamatkemudian dilucuti hak-hak tradisionalnya untuk selamanya. Hak-hak tersebut, di antaranya, hak kepemilikan, dan kekuasaan sosial-politik. Para ulama mengambil alih posisi tersebut, dan Islammenjadi ideologi yang dominan di Aceh.
LATAR BELAKANG DAN SITUASI POLITIK DI ACEH
80 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
Selain itu, revolusi sosial di Aceh kemudian juga memunculkanberbagai kelompok milisi. Waktu itu, tiga kelompok senjata yangpaling berpengaruh di Aceh, di antaranya adalah Angkatan PemudaIndonesia (API), Laskar Mujahidin (Para Pejuang di Jalan Allah),dan Barisan Pemuda Indonesia (BPI). Dua kelompok yang disebutterakhir dibentuk oleh para ulama. Kelompok-kelompok inimenggunakan senjata hasil rampasan dari Jepang atau persenjtaanyang secara sukarela diserahkan oleh tentara Jepang.
Perang revolusi dan kemerdekaanDua hari setelah Jepang menyerah, pada 17 Agustus 1945,
Republik Indonesia lahir setelah Proklamasi Kemerdekaan olehSoekarno di Jakarta. Proklamasi kemerdekaan dan berbagai upayaBelanda untuk mengklaim kembali Hindia Belanda akhirnyamemulai Periode Perang Revolusi, yang berlangsung dari 1945hingga 1950. Era revolusi ini marak dengan konflik kekerasanantara kelompok tradisional yang berkolaborasi dengan Belanda,yakni para penguasa tradisional dan pemimpin lokal (khususnyadi Sumatera) dan kelompok republik—yang juga melancarkanperlawanan terhadap usaha pendudukan kembali oleh Belanda.
Pada Desember 1949, Belanda berhasil merebut kekuasaan disebagian besar kota-kota wilayah Republik di Sumatera dan Jawa—kecuali Aceh yang masih tetap berada di bawah kekuasaan PUSAdan Daud Beureueh. Namun, intervensi Perserikatan Bangsa Bangsa(PBB) pada 27 Desember 1949, memaksa Belanda untuk kemudianmenyerahkan kedaulatan secara formal kepada Republik Indone-sia Serikat (RIS). Sementara itu, aksi pembersihan terhadap kelompokuleebalang oleh kelompok ulama dan rakyat Aceh yang dikenaldengan Revolusi Cumbok telah menelan banyak nyawa danketegangan masih berlanjut antara pemerintah pusat dan Aceh.Revolusi pun berakhir ketika Teuku Muhammad Daudsjah—seorang uleebalang yang juga anggota PUSA- diangkat sebagai
81
sebagai Kepala Residen di Aceh. Selanjutnya, uleebalang lain yangjuga anggota PUSA diangkat sebagai Wakil Residen. Posisi samadiberikan pula kepada Daud Beureueh, yang sekaligus menjabatsebagai Kepala Dinas Departemen Agama di Aceh. Dua tahunkemudian, Daud Beureueh mengundurkan diri dari dua jabatannyaitu, ketika pemerintah pusat mengangkatnya sebagai GubernurMiliter untuk Aceh, Langkat, dan Tanah Karo (Santosa, 2006).Rakyat Aceh memberikan kontribusi finansial yang berarti kepadaRepublik, termasuk mendanai perpindahan pusat pemerintahanIndonesia dari Jakarta ke Yogyakarta.3 Sumbangan yang palingdikenang adalah ketika masyarakat Aceh membiayai pembelianpesawat pertama Indonesia pada 1948. Pengadaan pesawat untukpertama kalinya ini menjadi titik awal pengembangan perusahaanpenerbangan nasional, Garuda Indonesia.4 Tahun 1949, sebagaibagian dari Republik yang baru merdeka, Aceh sempat direncanakanmenjadi provinsi yang otonom. Walaupun, pada waktu itu, paraulama lambat laun kian dijauhkan dari dunia politik, sertatuntutan mereka tentang pendirian negara Islam, tak pernahdipenuhi. Pada Agustus 1950, Aceh lalu digabung dengan SumateraUtara, dengan Medan sebagai ibu kota propinsi.5 Keputusan inimenimbulkan kekecewaan di Aceh dan Gubernur Aceh saat itu,Daud Beureueh, menggalang dukungan rakyat untuk menuntutotonomi bagi Aceh. Beberapa pertemuan antara pemimpin Acehdan perwakilan pemerintah pusat untuk mencari titik temu,akhirnya gagal. Tapi, pada 22 Januari 1951, masyarakat Acehakhirnya secara bersyarat menerima integrasi daerah itu ke dalamProvinsi Sumatera Utara. Keesokan harinya, sikap itu diumumkansecara formal oleh Perdana Menteri Natsir (Saleh, 1991).
Kesepakatan ini menimbulkan perpecahan antara parapemimpin PUSA yang lebih reformis dan kelompok garis keras.Namun, posisi PUSA saat itu jauh menguat, dan telah mengukuh-kan dominasi ekonomi dan politiknya atas elit bisnis di Aceh. Posisi
LATAR BELAKANG DAN SITUASI POLITIK DI ACEH
82 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
itu sekaligus melemahkan hubungan kelompok uleebalang denganJakarta (Kell, 1995). Pada 20 September 1953, Daud Beureuehmengumumkan bahwa Aceh telah bergabung dengan gerakanDarul Islam (DI) milik Kartosuwiryo, serta menyatakan Aceh dandaerah sekitarnya sebagai bagian dari Negara Islam Indonesia (NII).Pada Januari 1955, Kartosuwiryo mengangkat Daud Beureuehsebagai Wakil Presiden Negara Islam Indonesia. Para pemimpinAceh lainnya juga diberikan jabatan kunci dan seorang aktivismuda Aceh, Mohammad Hasan di Tiro, diberikan tanggung jawabuntuk urusan hubungan internasional.6
Meskipun DI dengan terbuka memberontak terhadap Jakarta,namun gerakan tersebut tak bertujuan untuk memisahkan diri.Tuntutannya adalah berdirinya Negara Kesatuan Islam Indone-sia. Daud Beureueh, misalnya, menggunakan istilah DI/TII (DarulIslam dan Tentara Islam Indonesia), dan bukan Tentara Islam Aceh(TIA). Gencatan senjata akhirnya tercapai di Aceh pada 1957, dandi bulan Mei 1959, Aceh akhirnya diberi status Daerah IstimewaAceh (DIA). Status tersebut memberikan hak jurisdiksi bagipemerintah daerah Aceh dalam bidang pendidikan, hukum adat,dan agama.7 Meskipun perjanjian telah dicapai, Daud Beureuehdan pasukannya tetap bertahan di pegunungan Aceh, hinggaakhirnya bersedia turun pada 1962, setelah serangkaian negosiasiyang intensif.
Perdamaian dan stabilitas model Orde BaruBerbagai peristiwa yang terjadi pada 30 September-1 Oktober
1965 (G30S) menandai akhir pemerintahan Soekarno, yang diwarnaiketegangan tanpa henti serta pertumpahan darah, setelah penculikandan pembunuhan terhadap enam jenderal oleh Letnan KolonelUntung dan kelompok tentara yang setia padanya. Meski banyakperdebatan mengenai peristiwa ini, tapi versi ‘resmi’ menurutSoeharto—dan militer pada khususnya, menuding upaya percobaan
83
penggulingan kekuasaan, yang didalangi Partai Komunis Indone-sia (PKI). Pihak-pihak lain menyatakan bahwa peristiwa inimenunjukkan adanya pertarungan kekuasaan di dalam tubuh militer(Robinson 1995)8. Tapi, yang jelas, peristiwa G30S ini menghantarkanMayor Jenderal Soeharto pada kekuasaan—yang didukung pula olehAmerika Serikat dan negara-negara Barat lainnya.
Soeharto lebih dulu membakukan otoritasnya denganmembentuk Komando Operasional Pemulihan Keamanan danKetertiban (KOPKAMTIB)9 pada 10 Oktober 1965. Institusi bereputasikejam ini berada langsung di bawah komando Soeharto. Karenaberhasil menghubungkan peristiwa-peristiwa sebelumnya denganPKI, Soeharto mulai memusatkan kekuasaan pada dirinya. Diamengklaim bahwa Presiden Soekarno telah memberinya otoritasuntuk mengambil segala tindakan yang dianggap perlu demi menjagakeamanan dan stabilitas.10 Sekejap kemudian, KOPKAMTIB di bawahSoeharto, ‘….berkembang cepat melampaui tujuan awalnya yangsemula hanya sekedar bertugas mengendus keberadaan parapendukung PKI. KOPKAMTIB kemudian menjadi instrumen utamapemerintah dalam mengontrol politik’ (Crouch 1988).
Gelombang kekerasan di bawah komando Soeharto berakhirpada Maret 1966, dan mengakibatkan pembantaian ratusan ribupenduduk Indonesia, yang dituduh sebagai anggota PKI atausimpatisannya. Ratusan ribu lainnya kehilangan pekerjaan, rumah,tanah, serta lahan usahanya. Sebaliknya, militer Indonesia menyitaberbagai areal lahan dan perkebunan, yang kini telah menjadibagian dari portofolio bisnis kontroversial tentara. Selain militer,Orde Baru juga mengkonsolidasi kelompok-kelompok milisi danpreman. Kelompok tersebut sewaktu-waktu dapat dimobilisasiuntuk memberikan perlindungan dan berfungsi sebagai organisasipro-pemerintah, serta selalu siap sedia ‘mengatasi’ siapa saja yang‘melawan pandangan pemerintah’ (Simanjuntak 2000).
Soeharto kemudian membentuk pemerintahan represif yang
LATAR BELAKANG DAN SITUASI POLITIK DI ACEH
84 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
autoritarian. Kritik, perlawanan, dan demonstrasi akan berhadapandengan represi. Selain itu, berbagai organisasi massa danprofesional juga dipaksa untuk mengakui Pancasila sebagai asastunggal—ideologi pendirian negara. Jika rezim Soeharto berdiridengan menjadikan PKI sebagai musuh utama, maka dalam kuruntiga puluh tahun berikutnya, represi pemerintah dibenarkan atasdalih pembangunan ekonomi. Pada 1966, Soeharto merintispenggunaan istilah ‘Trilogi Pembangunan’ (1966-1998), yangmenekankan stabilitas atas nama pembangunan ekonomi. Suatukebijakan yang dikendalikan oleh sistem pemerintahan yangteramat sentralistik dan militeristik.
Aceh di bawah SoehartoSelama 1959 hingga 1966, Aceh tetap menyandang status
Daerah Istimewa. Namun, akibat pelaksanaan kebijakan pem-bangunan sentralistik ala Soeharto, Aceh kehilangan hak untukmengelola pembangunan ekonomi dan politik. Orde Barukemudian menerapkan berbagai kebijakan demi memusatkankontrol atas Aceh, yang sejalan dengan pendekatan keamananSoeharto. Aceh lalu dibagi menjadi sejumlah daerah, dengankomando militer di setiap tingkat administratif pemerintahan.11
Kebijakan inilah yang memuluskan upaya Orde Baru menguasaisumber daya alam di Aceh. Awalnya, Aceh dicanangkan sebagaidaerah pertanian. Tapi, penemuan cadangan minyak dan gas pada1971 kemudian menghasilkan kesepakatan kerjasama yang sangatmenguntungkan antara Pertamina—perusahaan minyak milikpemerintah, Mobile Oil dan kalangan industri Jepang, sehinggaberdirilah perusahaan PT Arun LNG di Aceh Utara pada 1974.Selama bertahun-tahun, Aceh memiliki andil hingga 30% daripendapatan ekspor nasional, dengan total pendapatan per tahundari penjualan LNG (gas alam cair) sekitar US$ 4 milyar. Sayangnya,hanya 5% dari kontribusi ke Jakarta itu, yang dikembalikan ke
85
Aceh (Barakat, Lume dan Silvetti 2000).Selain eksploitasi sumber daya alam Aceh yang sungguh tak
adil itu, periode ini juga ditandai dengan dimulainya programpemindahan penduduk secara massal oleh Soeharto, yaitutransmigrasi. Program ini berfungsi ganda, yaitu, baik untukmeningkatkan pertumbuhan ekonomi maupun sebagai kontrolsosial. Para penduduk yang sebagian besar terdiri dari petani asalJawa dan Madura itu, dipindahkan ke ‘Luar Jawa’ (the Outer Islands).Seperti halnya daerah lain di Indonesia yang kaya akan sumber dayaalam, Aceh kemudian menyaksikan kedatangan gelombang besartransmigran. Mereka lantas menempati lahan—yang sebelumnyatelah dirampas dari penduduk asli di Aceh, dan turut bersaingmemperoleh pekerjaan di wilayah industri baru di Aceh.
Kesenjangan eksploitasi sumber daya alam Aceh, menyuburkankekecewaan atas pengkhianatan pemerintah pusat terhadappelaksanaan status Daerah Istimewa. Apalagi harga kebutuhanpokok pun kian membumbung, polusi makin merebak, serta relasisosial kian melemah seiring pesatnya industrialisasi di pantai timurAceh. Segala ketidakadilan, kekecewaan, dan permasalahan ituakhirnya memicu munculnya periode baru pemberontakanmasyarakat Aceh. Pada 4 Desember 1974, Gerakan Aceh Merdeka(GAM), pimpinan Teungku Hasan di Tiro memproklamasikankemerdekaan bagi Aceh.12
Demi menumpas GAM, Jakarta mengirim pasukan ke Acehdan bertindak cepat untuk membatasi gerakan itu, membunuh danmemenjarakan sejumlah pemimpinnya, termasuk Daud Beureueh.13
Hasan di Tiro berhasil melarikan diri. Mulanya, ia pergi ke AmerikaSerikat, lalu akhirnya pindah ke Swedia. Di sana dia membangunpemerintahan Aceh di pengasingan pada 1979. Meskipun aksipemberontakan di Aceh kemudian sempat tiarap, para pemudasimpatisan GAM berangkat ke Libya untuk memperoleh pelatihanmiliter, terutama dalam teknik perang gerilya.
LATAR BELAKANG DAN SITUASI POLITIK DI ACEH
86 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
Pada 1989, sebagian besar alumni pelatihan di Libya itu,pulang ke Aceh dan kembali mengangkat senjata. Berlanjutnyapengabaian Jakarta terhadap kekecewaan rakyat Aceh, menyebab-kan GAM semakin memperoleh dukungan dari rakyat kecil di Aceh.Untuk memusnahkan gerakan dan mengamankan kepentinganekonomi di Aceh, pemerintah memperbesar kekuasaan politikmiliter di Aceh, dengan cara menjadikan Aceh, khususnya daerahAceh Timur, Aceh Utara, dan Pidie,14 sebagai Daerah Operasi Militer(DOM) pada 1990.15
Sebelum beranjak lebih jauh, perlu ditegaskan kembali bahwalocus utama penerapan represi militer—DOM, dan aksi perlawananadalah pantai timur Aceh. Di wilayah itulah kawasan baru industridan investasi berkembang pesat—dan para elit Jakarta terus meraupkeuntungan. Peresmian PT Arun di tahun 1979 segera dilanjutkandengan pendirian PT Pupuk ASEAN dan PT Pupuk Iskandar Muda(perusahaan pupuk raksasa), PT Kertas Kraf Aceh (perusahaanpulp dan kertas yang dimiliki oleh kroni Soeharto, Bob Hasan),serta Mobil Oil Indonesia. Pada 1998 (ketika DOM dicabut), 75%urat nadi penghidupan ekonomi Aceh terkonsentrasi di kabupatenAceh Utara dan Aceh Timur. Produk industri bernilai ekonomitinggi di Aceh adalah minyak mineral/LNG di tempat pertama, danproduksi pupuk di urutan kedua. Sedangkan sektor kehutananmenempati posisi ketiga.16 Diskusi tentang manfaat ekonomi darikonflik dan pendekatan ‘perdamaian demi mencari laba’ (profitablepeace) yang diperkenalkan oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla, bisaditinjau lebih lanjut pada Bab 4 dalam buku ini.
Pada 1989, sejumlah 6000 tentara yang bertempat di Aceh telahdimobilisasi untuk mengatasi perlawanan; dan pada 1990, GubernurIbrahim Hasan meminta pemerintah pusat mengirim 6000 tentaratambahan ke Aceh (Tapol 2000). Tokoh terkemuka Aceh, termasukpara ulama yang lantang menyuarakan penentangan terhadapJakarta, para kepala desa, dan pimpinan lokal lainnya, diculik dan
87
dibunuh. Militer juga membidik masyarakat sipil, yang dianggapmendukung GAM. Selain itu, militer membentuk pula unit milisianti-GAM, yang sebagian besar direkrut dari para transmigranberetnis Jawa.17
Berbagai pelanggaran yang dilakukan militer selama pem-berlakuan DOM, di antaranya, eksekusi tanpa proses pengadilan,pembunuhan misterius, penculikan, penangkapan dan penahanandi luar prosedur, pemerkosaan, dan penyiksaan. Dalam memoar-nya, Soeharto mengakui bahwa penembakan misterius (Petrus)yang marak pada pertengahan 1980-an itu merupakan bagian daristrateginya untuk mengamankan hukum dan ketertiban. Strategiserupa kemudian diterapkan pula di Aceh pada awal 1990. MenurutSoeharto:
Ketenteraman terganggu… dengan sendirinya kita harus meng-adakan treatment, tindakan tegas. Tindakan tegas bagaimana?Ya, harus dengan kekerasan. Tetapi kekerasan itu bukan lantasdengan tembakan, dor, dor, begitu saja. Bukan! Tapi yangmelawan, ya mau tidak mau harus ditembak...Lalu adamayatnya ditinggalkan begitu saja. Itu untuk shock therapy.Terapi goncangan. … Ini supaya, orang banyak mengerti bahwaterhadap perbuatan jahat masih ada yang bisa bertindakmengatasinya.18
Perkiraan tentang jumlah orang yang tewas akibat tindakanmiliter di Aceh sangat sulit diverifikasi. Tak hanya karena pekatnyaintensitas represi di era DOM, tapi juga akibat keengganan setiaprezim pemerintah yang terus berganti hingga saat ini, untukmenginvestigasi berbagai tindak pelanggaran hak asasi manusiadi Aceh dan meminta pertanggungjawaban dari para pelaku. Toh,menurut perkiraan sementara, setidaknya 3000 orang Acehterbunuh selama pelaksanaan operasi militer, dan sebagian besarterdiri dari masyarakat sipil.19 Serupa dengan proses labelisasi serta
LATAR BELAKANG DAN SITUASI POLITIK DI ACEH
88 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
politik pencitraan yang menabalkan PKI sebagai musuh utama,stigmatisasi terhadap orang Aceh sebagai Gerombolan PengacauKeamanan (GPK)—istilah yang digunakan pemerintah untukmenyebut GAM—melegitimasi tindakan represif dan intimidasi atasnama stabilitas dan pembangunan ekonomi.
Di sisi lain, berbagai penahanan, penangkapan, dan peradilanyang dilakukan terhadap berbagai pelanggaran hukum nasionaldan internasional terus berlangsung. Berdasarkan laporan AmnestiInternasional, tiga puluh tujuh orang rakyat sipil dan 12 anggotatentara Indonesia telah dinyatakan sebagai tahanan politik(termasuk Hasbi Abdullah, yang kemudian maju sebagai salah satukandidat dalam pemilihan gubernur 2006). Sekitar 200 orang Acehterbang ke Malaysia. Namun, sebagian besar akhirnya ditangkapdan ditahan polisi Malaysia karena dituduh sebagai imigran gelap.Namun, kira-kira 43 orang dari mereka yang ditahan itu, berhasilmelarikan diri dari polisi. Mereka kemudian menemui perwakilanKomisi Tinggi PBB untuk Urusan Pengungsi (UNHCR-UnitedNations High Commissioner for Refugees) di Kuala Lumpur, demimencari suaka. Kasus ini menarik perhatian kelompok-kelompokpemerhati hak asasi manusia, baik yang berada di tanah air, maupunyang berskala internasional.
Pada 1993, pemberontakan bersenjata GAM berhasil ditekan,tetapi militer tetap tinggal di Aceh. Akibatnya, rakyat Aceh tetaprentan menjadi korban, karena berlanjutnya tindak represikekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia. Pada Juni 1996,setelah tiga tahun terlihat sedikit sekali—atau tak ada sama sekaliaktivitas GAM, para pemimpin Aceh mulai menuntut penarikankehadiran militer dan diangkatnya status DOM. Mereka yangmenuntut, di antaranya adalah Kepala Kepolisian Banda Aceh danpimpinan fraksi militer di DPRD tingkat I (Serambi Indonesia 30 dan31 Desember 1996). Profesor Dayan Dawood, rektor UniversitasSyah Kuala, menyerukan pencabutan status DOM untuk pertama
89
kalinya di depan publik pada November 1996. Namun, MayorJenderal Sedaryanto, Komandan Kodam I/Bukit Barisan (bermarkasdi Medan tetapi memiliki jurisdiksi hingga Aceh) menjawab seruanitu dengan mengatakan bahwa diperlukan ‘…komitmen tertulisoleh rakyat Aceh bahwa mereka dapat menjamin keamanan di masadepan…Jika mereka dapat memberikan jaminan itu, dan menyitasemua senjata yang masih berada di tangan para GPK, makabarulah status DOM dapat dicabut’ (Serambi Indonesia 3 Desember1996). Di tengah berlangsungnya pemilihan umum, dan ramainyapemberitaan tentang berbagai kerusuhan di wilayah lain di Indo-nesia, tak seorang pun yang menanggapi tawaran militer itu.
Jatuhnya Soeharto dan pencabutan DOMDi tahun 1995, Indonesia disibukkan oleh merebaknya
gelombang kerusuhan sosial, yang berpuncak pada krisis ekonomipada bulan Juli 1997. Soeharto mulai kehilangan kontrol dan otoritasatas wilayah kepulauan ini, dan meskipun dia akhirnya terpilihkembali pada pemilu 1997, pelbagai protes dan unjuk rasa olehmahasiswa terus berlanjut. Tindakan brutal militer tak lagi bisaditolerir, sehingga Soeharto pun kehilangan seluruh legitimasinya.Pada 12 Juni 1998, Soeharto mengumumkan pengunduran dirinyadan menyerahkan jabatan presiden kepada wakilnya, B.J. Habibie.Jatuhnya Soeharto dan proses selanjutnya mengantarkan pada eraperubahan, yang acap disebut sebagai Era Reformasi, dan bertujuanuntuk menanggalkan kekuasaan rezim Orde Baru. Era Reformasiini, antara lain, ditandai oleh pelaksanaan desentralisasi kekuasaandari pusat ke daerah serta penerapan demokratisasi melalui kebijakanreformasi politik. Contohnya, kebebasan mendirikan partai politikdan pemilihan umum langsung.
Di Aceh, kejatuhan Soeharto disambut tuntutan bertubi-tubitentang pencabutan status DOM. Tuntutan tersebut menyatukanrakyat dari segenap lapisan dan spektrum politik. Misalnya, pada
LATAR BELAKANG DAN SITUASI POLITIK DI ACEH
90 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
Juni 1998 ribuan mahasiswa dan para ulama terlibat perdebatanhebat di luar gedung DPRD di Banda Aceh, akibat kontroversipenunjukan kembali Syamsudin Mahmud sebagai gubernur Aceh.Para ulama mendukung Syamsudin, sedangkan mahasiswamenuntut sebaliknya. Tapi, akhirnya kedua pihak pun bersatu padumenuntut pencabutan DOM (Serambi Indonesia 7 Juni 1998). Dibulan yang sama, anggota DPR dari PPP, Ghazali Abbas Adan,menyatakan bahwa, ‘siapa pun yang tidak mendukung pencabutanstatus DOM berarti menentang berbagai bentuk perubahan.Dengan kata lain, mereka itulah yang melawan penegakan hukumdan hak asasi manusia di Indonesia’ (Serambi Indonesia 5 Juni 1998).20
Selanjutnya, tiga belas mahasiswa melakukan aksi mogok makan,yang langsung dibanjiri dukungan dari para pejabat pemerintahdaerah, organisasi non pemerintah, serta mahasiswa, baik yangberada di Aceh, maupun daerah lain di Indonesia (Tapol 2000).
Ratusan janda yang kehilangan suaminya, akibat terbunuhatau hilang selama masa DOM, menuntut penjelasan atas nasibsuami mereka. Delegasi para janda ini pergi ke Jakarta menemuiperwakilan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM),Departemen Kehakiman, dan Komandan Polisi Militer, MayorJenderal Syamsu Djalal (Tapol 2000). Sejumlah korban dankelompok pendukung dari kalangan mahasiswa mulai aktifberunjuk rasa di seluruh Aceh, terutama di Banda Aceh danLhokseumawe, Aceh Utara. Seperti juga daerah lainnya di Indone-sia, krisis ekonomi 1997 memicu berbagai protes atas kenaikanharga bahan bakar minyak dan bahan pokok di Aceh. Tuntutanlain yang kemudian ikut disuarakan adalah reformasi politik dangerakan anti-korupsi. Jatuhnya Soeharto dan meningkatnyatuntutan pencabutan status DOM membuat kebangkitan gerakanmasyarakat sipil di Aceh kian terkonsolidasi.
Lantas bagaimana respon Habibie? Menyadari tekananinternasional, Habibie pun bertindak cepat. Pada 16 Agustus 1998,
91
Habibie secara resmi meminta maaf kepada rakyat Aceh atas berbagaikekerasan oleh anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) di daerahtersebut. Dia juga berjanji akan menginvestigasi kasus pelanggaranhak asasi manusia di provinsi itu. Selain itu, Habibie berjanji akanmemulai tahap pertama penarikan 4.000 pasukan non-organik yangditempatkan di Aceh. Habibie juga membentuk Tim Pencarian FaktaDewan Perwakilan Rakyat (TPF-DPR), yang mengunjungi Aceh padapertengahan Juli. Sebulan kemudian, hadir pula delegasi KomnasHAM, yang mendatangi lokasi kuburan masal.
Berkaca pada tekanan nasional dan internasional yang kianhebat, Panglima TNI, Jenderal Wiranto, mengumumkan pen-cabutan status DOM pada 7 Agustus 1998, serta memerintahkankomandan Kodam I/Bukit Barisan, Mayor Jenderal Ismed Yuzari,untuk menarik seluruh pasukan non-permanen dari Aceh dalamjangka waktu satu bulan. Wiranto juga dengan sopan memintamaaf kepada rakyat Aceh, seraya menambahkan, ‘meskipun pelang-garan hak asasi manusia telah terjadi, para tentara sebenarnyahanya menunaikan tugas untuk mengatasi para pengacaukeamanan’ (Serambi Indonesia 8 Agustus 1998).
Demi meredakan kemarahan rakyat Aceh, pada 26 September1998, Habibie mengumumkan rencana pengembalian status Sabangsebagai pelabuhan bebas dan zona pembangunan ekonomiterpadu. Habibie lalu menunjuk sejumlah menteri agar bertemudengan para pimpinan masyarakat. Pada Oktober 1998, beberapamenteri berkunjung ke Aceh untuk berdialog dengan para pemukamasyarakat dan korban DOM. Menteri Sosial, Yustika Baharsyah,datang ke Aceh pada Oktober 1998 untuk memberikan bantuansebesar Rp 2,6 milyar bagi para korban DOM dan keluarganya.
Sayang, semua upaya itu nampaknya sudah terlambat bagirakyat Aceh. Satu minggu setelah status DOM dicabut oleh Wiranto,berbagai intimidasi mulai terjadi. Intimidasi itu berbentuk teror, yangantara lain ditujukan kepada mereka yang menunjukkan lokasi
LATAR BELAKANG DAN SITUASI POLITIK DI ACEH
92 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
kuburan masal, para pejabat pemerintah daerah yang bekerja denganorganisasi non-pemerintah (NGO), para korban yang melaporkanpenganiayaan yang dialaminya, dan lain-lain. Di waktu bersamaan,berbagai insiden pengibaran bendera GAM yang misterius mulaimarak dilaporkan, terutama di Aceh Utara (Sydney Morning Herald 15Agustus 1998, Waspada 17 Agustus 1998, dan Serambi Indonesia 19Agustus 1998, dikutip dari Tapol 2000). Di bulan November,intimidasi militer mulai fokus di Kandang, wilayah di sekitarLhokseumawe, daerah pusat produksi LNG Indonesia, akibattingginya laporan tentang aksi GAM di sana. Kecurigaan akan andilmiliter dalam berbagai aksi tersebut pun makin merebak. Pasalnya,militer sangat berkepentingan dalam mendorong dan membiarkankegiatan GAM. Tujuannya, agar kerusuhan dan kekacauan terusberlanjut seiring dengan penarikan pasukan dari Aceh, sehinggaakhirnya bisa menjustifikasi pemberlakuan kembali status DOM.21
Berbagai sikap kalangan militer atas tuntutan pencabutanDOM sangat tercermin dalam pernyataan-pernyataan di berbagaikesempatan, sebelum pengumuman Wiranto di bulan Agustus.Pada Juni 1998, orang yang diperintahkan Wiranto untuk menarikpasukan non-organiknya, Mayor Jenderal Ismed Yuzari,mengatakan bahwa pencabutan status DOM ‘adalah sesuatu yangmustahil terjadi’ (Waspada 11 Juni 1998). Dengan sikap yang lebihjumawa, seraya menegaskan kembali posisi Mayor JenderalSedaryanto pada 1996, Komandan Batalion 012 Teuku Umar,Kolonel Asril Hamzah Tanjung menyatakan, ‘Jika ABRI menarikseluruh pasukannya dari Aceh, maka rakyat Aceh harusbertanggung jawab untuk keamanannya.’ Dia menambahkan,‘GPK akan kembali dan para mahasiswa perlu dipersenjatai untukmengatasinya’ (Waspada 10 Juni 1998).
Akhir tahun 1998 diwarnai oleh berbagai pembunuhanmisterius terhadap para informan militer lokal atau cuak, maraknyapembunuh bayaran profesional ala ninja, serta penyergapan
93
terhadap pasukan Indonesia. Situasi Aceh pun kian terperosokdalam kekacauan dan kekerasan. Hingga akhirnya, pada 1 Januari1999, tiga mayat tentara ditemukan mengambang di SungaiArakundo, Simpang Ulim, Aceh Timur. Pasukan keamanan punbereaksi cepat, dan operasi-bersama di bawah komando kepolisian,yaitu ‘Operasi Wibawa’, dilaksanakan pada 2 Januari 1999.Bukannya mengakhiri militerisasi di Aceh, pencabutan DOM justrumeningkatkan jumlah pasukan di Aceh, seiring makin pekatnyakekerasan dan tindak represif. Rakyat Aceh sangat marah denganpengkhianatan tentara itu dan tak pelak, dukungan masyarakatakar-rumput terhadap GAM semakin meluas.
Di sisi lain, selama periode ini, aksi organisasi masyarakat sipiljuga meningkat. Hingga Desember 1998, tuntutan masyarakat sipilfokus pada investigasi pelanggaran hak asasi manusia, penarikanpasukan non-organik, pembebasan seluruh tahanan politik danpemberian amnesti untuk GAM, pembagian keuntungan yang adilatas sumber daya alam Aceh (80% untuk Aceh dan 20% untukpemerintah pusat), serta pembakuan status ‘Daerah Istimewa’ Acehmelalui undang-undang. Pada 12 Desember 1998, isu referendumpertama kali digulirkan Komite Aksi Reformasi Mahasiswa Aceh(KARMA). Mereka mengultimatum pemerintah, ‘Jika lima tuntutandi atas tak dipenuhi dalam waktu dua bulan (hingga Februari 1999),atas nama mahasiswa Aceh, kami menuntut referendum’ (SHRWN1999). Tanggal 7 Januari 1999, diselenggarakan pertemuan antarpemuka dan tokoh masyarakat Aceh, dan menghasilkan DeklarasiRakyat Aceh. Deklarasi tersebut disampaikan kepada PresidenHabibie di Jakarta pada 8 Agustus 1999. Kendati demikian, deklarasiitu tak menyinggung tuntutan penyelenggaraan referendum.22
Toh, gagasan referendum menggemakan suara dari lubuk hatirakyat Aceh. Pada 30 Januari, mahasiswa dari Sekolah TinggiPoliteknik di Lhokseumawe mengulangi pernyataan tuntutanKARMA untuk segera melaksanakan referendum (Waspada 31
LATAR BELAKANG DAN SITUASI POLITIK DI ACEH
94 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
Januari 1999). Sekitar 160 kelompok pemuda dan mahasiswamenyelenggarakan kongres di Banda Aceh, dan puncaknya, pada 4Februari 1999, berdirilah Sentra Informasi Referendum Aceh (SIRA).Selain menuntut diadakannya referendum kemerdekaan bagi Aceh,para mahasiswa juga mengimbau boikot terhadap Pemilu 1999.
Akibat membesarnya tekanan terhadap pemerintah, Habibiesegera membentuk Tim Penasehat Presiden untuk Aceh pada 12Maret 1999. Tim tersebut terdiri dari sejumlah tokoh penting danintelektual Aceh, dan bertugas memberi masukan berharga dalamperumusan kebijakan presiden untuk mengatasi persoalan Aceh.Pada 17 Maret 1999, Habibie mengeluarkan keputusan pemberianamnesti kepada tiga puluh sembilan tahanan politik GAM. Untukpertama kalinya, pemerintah memberi amnesti kepada suatukelompok bersenjata, yang terang-terangan melawan negara.Kemudian, pada 26 Maret 1999, Habibie bersama 15 orang menteriberkunjung ke Aceh dan mengumumkan sejumlah program. Pro-gram-program itu bertujuan untuk menangani pelanggaran hakasasi manusia, serta menyelenggarakan investigasi menyeluruhterhadap kejahatan militer selama masa DOM. Namun, saat rom-bongan presiden berada di Banda Aceh, mereka justrumenyaksikan ribuan mahasiswa dan rakyat kecil menuntutpenyelenggaraan referendum, seperti yang pernah dilaksanakandi Timor Timur.
Meskipun muncul berbagai inisiatif pemerintah untukmenangani pelanggaran hak asasi manusia selama berlakunya sta-tus DOM, serta maraknya aksi damai masyarakat sipil di Aceh,konfik kekerasan terus berlanjut. Tanggal 13 Mei 1999, operasimiliter baru, yakni Operasi Sadar Rencong, diberlakukan untukseluruh Aceh (tidak hanya terbatas di tiga kabupaten sepertipengalaman sebelumnya). Alasannya, wilayah konflik makinmeluas, dan karena itu, operasi ini dilancarkan sebagai antisipastimeningkatnya kekerasan di Aceh menjelang Pemilu.
95
Pemilu diselenggarakan pada 7 Juni 1999. Golkar akhirnyadikalahkan PDI-P pimpinan Megawati Soekarnoputri, walaupundengan selisih suara yang tipis.23 Koalisi beberapa partai Islam danPDI-P kemudian mendudukkan Abdurrahman Wahid (Gus Dur)sebagai Presiden, dan Megawati Soekarnoputi sebagai Wakil Presiden.
Bagaimanapun, pemerintahan Habibie akhirnya tak bertahanlama. Tapi, sebelum digantikan Gus Dur, Habibie membentukKomisi Independen Pengusutan Tindak Kekerasan di Aceh(KIPTKA) pada 30 Juli 1999, untuk menindaklanjuti rekomendasiKomnas HAM. Komisi ini terdiri dari 27 tokoh terkemuka, yangbertugas menginvestigasi bukti-bukti pelanggaran hak asasimanusia di Aceh, serta selanjutnya merumuskan rekomendasi bagilembaga terkait. Tapi, seminggu sebelum Komisi itu terbentuk,terjadilah aksi kekejaman terburuk dalam periode ini. Setidaknya70 warga sipil dibunuh, di antaranya, Teungku Bantaqiah, seorangulama, berikut keluarga dan murid-muridnya oleh aparat ke-amanan di Beutong Ateuh, Aceh Barat. Sementara itu, pengikutTeungku Bantaqiah lainnya ditangkap dan terus menerus disiksasejak penculikan mereka.24 Pada 1 Agustus 1999, dilancarkanlahoperasi-bersama lainnya, Sadar Rencong II, yang juga meliputiseluruh wilayah Aceh (Waspada 2 Januari 2000).
Referendum, masyarakat sipil dan negosiasiSelama pemerintahan Gus Dur, masyarakat sipil Aceh jauh
lebih dominan menyampaikan tuntutannya daripada GAM. Disamping tuntutan otonomi yang lebih luas, tuntutan pelaksanaanreferendum dengan memberi opsi kemerdekaan bagi Aceh, semakinmengental di kalangan masyarakat. Bulan Agustus, para sopir busmelakukan aksi mogok sebagai protes atas kian berbahayanyakondisi pekerjaan mereka. Aksi ini berujung dengan aksi pemo-gokan umum. Pada 15 September 1999, sejumlah ulama dariHimpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA) menyelenggarakan doa
LATAR BELAKANG DAN SITUASI POLITIK DI ACEH
96 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
bersama di halaman Masjid Raya Baiturrahman di Banda Aceh.Hadir pula para politisi Indonesia, di antaranya, Amin Rais, GusDur, dan Matori Abdul Jalil. Sebuah bendera putih bertuliskan‘Referendum’ dikibarkan untuk memancing perhatian mereka.Dalam acara itu, Gus Dur, yang didampingi Amin Rais, kemudianmenyibak tirai sebuah billboard bertuliskan, ‘Konflik Aceh hanyadapat diselesaikan dengan referendum.’
Bulan Oktober, SIRA memobilisasi pertemuan massa di BandaAceh, yang dihadiri sekitar 150.000 orang. Mereka bersumpah untukmendukung tuntutan pelaksanaan referendum. Puncak dari gerak-an pro-referendum ini terjadi pada 8 November. Saat itu, darisegenap penjuru Aceh, satu juta lebih warga berkumpul di BandaAceh, demi menghadiri Sidang Umum Majelis Pejuang Referen-dum (SU-MPR), yang juga dimobilisasi oleh SIRA.
Aparat keamanan tentu tak bisa lagi mentolerir gerakan ter-larang ala “people power” ini. Apalagi, mendengar tuntutanpelaksanaan referendum, seperti yang pernah dilakukan di TimorTimur. Pada 2 Februari 2000, Kapolda Aceh, Brigadir JenderalBachrumsyah Kasman, meluncurkan Operasi Sadar Rencong III (OPSIII). Menurut dia, tujuan OPS III adalah menangkap anggota GAMdan para pendukungnya (Indonesian Observer 3 Februari 2000). Diamengatakan, pasukan keamanan akan menerapkan ‘pendekatanlebih agresif ’. Pernyataan ini konsisten dengan pernyataansebelumnya pada 1 Januari, bahwa kepolisian akan melaksanakanstrategi yang lebih agresif akibat meningkatnya ekskalasikerusuhan di Aceh (Waspada 2 Januari 2000). Karena itu, tak heran,jika pada tahun 2000, jumlah warga sipil yang tewas meningkattajam. Para aktivis masyarakat sipil, serta politisi pun menjadi tar-get operasi (Tapol 2000).
Sementara itu, Gus Dur telah mengambil sejumlah inisiatifuntuk mengatasi persoalan-persoalan Aceh, termasuk upaya untukmembawa pemerintah Indonesia dan perwakilan GAM duduk
97
bersama di Swedia. Ketua Komnas HAM, Baharuddin Lopa,melakukan pertemuan rahasia dengan Panglima GAM, TeungkuAbdullah Syafi’ie, di pedalaman Pidie. Kedatangan Lopa tanpa disertaiaparat keamanan, dan hanya ditemani dua orang mahasiswa. Sinyalpositif akhirnya mengemuka pada minggu ketiga bulan November1999. Saat itu, GAM akhirnya berminat untuk bernegosiasi, walaugagasan itu dikritik pimpinan GAM, Hasan Tiro, di Swedia.
Berbagai upaya mencapai perdamaian semakin menuju padakesepakatan yang konkrit, setelah pertemuan kedua antaraTeungku Dr. Zaini Abdullah dan Menteri Luar Negeri Indonesia,Hassan Wirayuda, yang diikuti pula dengan serangkaian dialog diJenewa. Perundingan damai yang dimediasi Henry Dunant Center(HDC) akhirnya berhasil menelurkan kesepakatan dalam bentukpelaksanaan Jeda Kemanusiaan. Jeda Kemanusiaan ini dimulai sejak12 Mei 2000,25 dan kemudian diperpanjang dari tanggal 3 hinggatanggal 27 September 2000. Banyak pihak, termasuk SekretarisJenderal PBB Kofi Anan, menyambut baik kemajuan tersebut.
Pada mulanya, Jeda Kemanusiaan diakui sebagai langkahampuh dalam mengurangi kekerasan antara kedua belah pihakyang bertikai. Periode jeda kemanusiaan ini dimanfaatkan untukberupaya mencari penyelesaian politik jangka panjang yang lebihkomprehensif, untuk mengatasi masalah Aceh. Sayangnya, selamafase kedua Jeda Kemanusiaan, kekerasan kembali meningkat.Bahkan para perwakilan HDC serta stafnya di lapangan, diserangmilisi yang menyamar sebagai penduduk lokal. Militer kemudianmelancarkan operasi terbatas di sekitar perusahaan minyak, ExxonMobil, yang terpaksa menghentikan produksinya akibat seranganyang dilancarkan GAM.
Bulan Juli 1999, Gus Dur menyatakan bahwa dirinya siapmengeluarkan Undang-Undang tentang Otonomi Khusus bagiAceh. Pada 19 Juli 2001, pemerintah, yang diwakili Menteri DalamNegeri, dan sepuluh fraksi di DPR menyepakati rancangan undang-
LATAR BELAKANG DAN SITUASI POLITIK DI ACEH
98 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
undang tersebut. Sayangnya, Gus Dur kemudian diturunkanparlemen pada 23 Juli 2001, karena dituduh ikut berperan dalamskandal korupsi yang melibatkan Badan Urusan Logistik (Bulog).Gus Dur langsung digantikan oleh Megawati Soekarnoputri. Pada9 Agustus 2001, Megawati akhirnya mengeluarkan Undang-Undang No.18 Tahun 2001 tentang Pelaksanaan Otonomi Khususbagi Daerah Istimewa Aceh, yang kemudian berubah nama menjadiProvinsi Nanggroe Aceh Darussalam.26
Perundingan antara pemerintah Indonesia dan GAM di eraGus Dur terancam gagal akibat maraknya pertempuran antaramiliter Indonesia dan GAM. Bentrokan kian memuncak menyusulrumor bahwa Komando Militer (KODAM) Iskandar Muda akansegera difungsikan kembali di Aceh. Namun, berkat mediasi HDC,yang didukung pula oleh pemerintah Amerika Serikat dan Jepang,akhirnya pemerintah Indonesia dan GAM kembali ke mejaperundingan. Namun, saat Presiden Megawati mengambil alihperundingan tersebut, dia menolak bernegosiasi dengan GAM, jikaberlokasi di luar negeri. Dia hanya bersedia melanjutkan perun-dingan dengan mengambil tempat di Aceh.
Setelah melewati proses yang panjang, pada 9 Desember 2002,pemerintah Indonesia yang diwakili oleh Duta Besar S. Wiryonodan GAM yang diwakili oleh Dr. Zaini Abdullah akhirnyamenandatangani Persetujuan Kerangka Kerja untuk PenghentianPermusuhan (CoHA—Cessation of Hostilities Framework Agreement).Penandatanganan itu disaksikan Martin Griffiths dari HDC.27
CoHA memberikan kerangka kerja bagi perundingan penyelesaiankonflik selanjutnya, yang dibagi menjadi beberapa tahapan. Untukmengawasi implementasi CoHA, dibentuklah Komite Bersamadalam Bidang Keamanan (JSC—Joint Security Committee), terdiri daripejabat militer senior negara-negara ASEAN, yang disepakati olehkedua belah pihak.
99
GAM dan sikap ofensif MegaKepemimpinan Presiden Megawati menambah pula sikap non-
kompromi pemerintah Indonesia terhadap berbagai hal. Penyebab-nya, antara lain, pandangan nasionalistik-sentralistik yang dianutMegawati. Meski begitu, sikap ini tak terhindarkan, akibat pesatnyaperkembangan GAM sejak 1999, baik dari segi jumlah gerilyawan,maupun luasnya cakupan wilayah operasi. GAM juga meme-nangkan dukungan dari rakyat Aceh. Selama kurun waktu sejak2002 hingga 2003, GAM diperkirakan mengontrol 70% wilayahAceh, terutama di daerah-daerah pedesaan. GAM pun mulaimelaksanakan pungutan, yang dikenal sebagai ‘pajak Nanggroe’,serta menjalankan sistem administrasi yang paralel dengan sistemadministrasi Indonesia. Contohnya, pasangan yang hendakmenikah, akan menghadap hakim agama GAM. Atau mereka yangingin bepergian, akan berusaha memperoleh izin perjalanan dariGAM. Tentu saja, masyarakat harus membayar untuk memperolehlayanan tersebut. Selama periode tersebut, di satu sisi, militer masihmelanjutkan aksi pelanggaran hak asasi manusia terhadap wargasipil. Namun, di sisi lain, warga juga diekspolitasi dan memperolehperlakuan serupa dari GAM.
Selanjutnya, administrasi sipil di Aceh dikritik akibat berbagaitindak korupsi di dalam tubuh pemerintahan, serta ketidak-mampuan pemerintah daerah memberikan alternatif yang bisaditerima oleh GAM. Pada 2004, Gubernur Abdullah Puteh dijadikantersangka dalam kasus korupsi, dan akhirnya dijatuhi hukuman10 tahun penjara. Faktanya, antara 2001 dan 2004, rakyat Acehterjepit antara aparat militer Indonesia dan GAM. Tak terhitunglagi warga yang meninggalkan rumahnya dan pindah ke barakpengungsian. Bangunan sekolah dan fasilitas publik lainnya telahhancur. Para penduduk pun hidup dalam ketakutan, dan akhirnyapatuh pada siapa saja yang berkuasa. Ketakutan itu tercermin daritingginya tingkat partisipasi dalam Pemilu 2004, yaitu mencapai
LATAR BELAKANG DAN SITUASI POLITIK DI ACEH
100 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
97% dari jumlah pemilih yang terdaftar. Angka ini jauh lebih tinggidaripada tingkat partisipasi nasional yang rata-rata mencapai 75%.Kenyataan itu, sungguh tidak masuk akal. Aceh, sebagai daerahkonflik, yang dipenuhi kekecewaan mendalam terhadap pemerintahpusat dan militer, ternyata warganya malah tampak sangat antusiasdalam menjalankan kepentingan politik nasional.
Awalnya, CoHA sebenarnya cukup berhasil. Namun,ketegangan dan rasa saling curiga antara GAM dan pemerintahIndonesia kian memuncak. Walau begitu, pemerintah Indonesiamasih menunjukkan komitmen untuk menyelesaikan problemAceh, melalui pertemuan komite bersama, yang dijadwalkanberlangsung pada 23-25 Januari 2003, di Jakarta. Tapi, GAMmenolak hadir karena tak adanya jaminan keamanan. PemerintahIndonesia kemudian mengusulkan beberapa tempat alternatif, diantaranya Malaysia, Thailand, dan Brunei Darussalam.
GAM bersikukuh agar pertemuan komite itu diselenggarakandi Jenewa, dan ditunda hingga 27 April 2003. Pemerintah Indonesialalu membahas rencana pertemuan komite bersama dengan GAMitu, dalam sidang kabinet terbatas bidang politik dan keamanan,yang dipimpin Megawati pada 28 April 2003. Namun, beberapa harikemudian, tepatnya 6 Mei 2003, pemerintah Indonesia mengancamakan melaksanakan operasi militer terpadu jika pertemuan denganGAM gagal. Akhirnya kedua pihak sepakat bahwa pertemuan dewanbersama diselenggarakan di Tokyo pada 17-18 Mei 2003. Tetapi, tanpapemberitahuan sebelumnya, pemerintah Indonesia tiba-tiba memberitenggat waktu bagi GAM hingga 12 Mei 2003, untuk menerimaCoHA. Jika GAM tak bersedia, maka pemerintah akan member-lakukan status darurat militer di Aceh.
Ketika itu, sebenarnya pemerintah Indonesia mulai gugupdengan perundingan damai yang telah berjalan. Pasalnya, munculkekhawatiran di dalam negeri—terutama di kalangan militer—jikaIndonesia melanjutkan perundingan dengan kerangka CoHA, Aceh
101
akan lepas dari Indonesia. Karena itu, dilakukan berbagai upayauntuk menggagalkan pertemuan di Tokyo. Ketika para delegasisenior GAM di Banda Aceh berangkat dari Hotel Kuala Tripa kebandara, mereka ditangkap dan dibawa ke Mapolda (Markas PolisiDaerah). Hanya beberapa jam berselang setelah itu, pada 18 Mei2003, pemerintah Indonesia memberlakukan status darurat militerdi Aceh. Kendati begitu, upaya penyelesaian damai tak kandassepenuhnya. Bulan Februari 2004, utusan Jusuf Kalla, Farid Husein,berusaha untuk bertemu dengan GAM melalui rekannya, seorangpebisnis Finlandia yang akhirnya juga menjadi ‘pialang perdamaian’(peace-broker), Juha Christiansen.
Status darurat militer yang dijalankan Megawati selama enambulan, kemudian diperpanjang hingga enam bulan berikutnya. Pada19 Mei 2004, status itu akhirnya diturunkan menjadi darurat sipiluntuk jangka waktu enam bulan. Tapi, status itu kemudian diper-panjang hingga enam bulan berikutnya. Dalam dua tahun itu,korban warga sipil kian banyak berjatuhan. Bahkan ketika statusdarurat militer diturunkan menjadi darurat sipil, operasi militertak serta merta surut. Apalagi tak satu pun anggota pasukan yangditarik keluar dari provinsi ini.
Yudhoyono, Kalla dan tsunamiHasil Pemilu 2004 membawa aneka perubahan politik tak
terduga. Presiden Megawati, kandidat yang populer dan didukungoleh partai-partai pemenang Pemilu sebelumnya, dikalahkan olehbekas menteri kabinetnya sendiri, Susilo Bambang Yudhoyono.Awalnya, pemerintahan Presiden Yudhoyono tak menunjukkanperubahan signifikan dalam kebijakan pemerintah tentang Aceh.Meski begitu, baik Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan WakilPresiden Jusuf Kalla berhasil duduk di tampuk kekuasaan, denganmengandalkan catatan tentang keberhasilan perundingan damaidi Poso, yang berbuah pada Deklarasi Malino I, dan ditandatangani
LATAR BELAKANG DAN SITUASI POLITIK DI ACEH
102 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
pada 20 Desember 2001. Mereka juga berhasil dalam negosiasi damaidi Ambon/Maluku, yang menghasilkan Deklarasi Malino II, pada12 Februari 2002 .
Namun, masalah dengan keduanya, terutama denganpendekatan Kalla dalam penyelesaian konflik, adalah upaya merekamenjalin pakta rahasia dengan para elit lokal, melalui iming-imingdana pembangunan dan posisi menggiurkan dalam kerjasamadengan berbagai kelompok militer dan kontraktor bisnis.Argumentasi Kalla adalah ongkos negara dalam melakukan operasimiliter dan mengerahkan kepolisian akan lebih mahal, daripadamenggunakan sumber daya negara, untuk menciptakan perdamaianyang menuai laba bagi semua pihak yang terlibat.28 Tetapi, pendekatanini melahirkan persoalan baru yang sama peliknya, serta berpotensimakin menyuburkan tindak korupsi, eksploitasi dan kerusakanlingkungan.29 Karena itu, jika pendekatan serupa juga diterapkan diwilayah yang jauh lebih rawan, seperti Aceh, maka masa depanperdamaian dan proses rekonstruksi pun akan lebih suram. Toh,upaya serupa sempat dilakukan di Aceh, walaupun para negosiatorGAM langsung menolak untuk dikooptasi dan dibeli. Mereka lebihmemilih untuk berkolaborasi bersama dengan lembaga donorinternasional, serta memperjuangkan pelaksanaan kesepakatandamai, yang kelak dirundingkan di Helsinki.
Tapi, situasi dan konstelasi politik Aceh berubah total pada pagihari, tanggal 26 Desember 2004. Saat itu, gempa bumi hebat denganguncangan 8,9 skala Richter memicu gelombang tsunami dalamselang waktu 40 menit kemudian. Gelombang raksasa itu menyapusebagian wilayah Aceh dan merambah daerah lain di kawasan ini,termasuk daerah pesisir pantai di Thailand, Sri Lanka, India, danMalaysia. Gelombang mengerikan itu menghantam hingga 800 kmdari garis pantai Aceh, serta menewaskan sedikitnya 132.000 orang.Sementara itu, sekitar 37.000 orang lainnya dilaporkan hilang.Infrastruktur di kawasan yang tersapu tsunami di Aceh porak
103
poranda. Wilayah yang mengalami kerusakan paling parah meliputiBanda Aceh, Aceh Jaya, Aceh Besar, Aceh Barat, Simelue, dan Singkil.Baik GAM maupun militer juga menderita kerugian yang cukupsignifikan: para gerilyawan dan anggota pasukan, serta persenjataanmilik kedua belah pihak, hilang ditelan tsunami.
Ketika pemerintah Indonesia masih terpaku kebingunganakibat bencana ini, masyarakat internasional bereaksi dengan cepat.Sedikitnya empat puluh empat negara memberikan bantuanlangsung melalui misi-misi kemanusiaan mereka. Selama masatanggap darurat, sekitar 16.000 anggota pasukan dari mancanegara,seperti Amerika Serikat, Australia, Singapura, Malaysia, Jerman,dan Inggris, berdatangan ke Aceh. Ini merupakan misi non-tempurterbesar sejak Perang Dunia II, dengan mengerahkan sembilanpesawat pengangkut, empat belas kapal perang, tiga puluh satupesawat dan tujuh puluh lima helikopter. Pemerintah Indonesiatelah mengalokasikan Rp 50 milyar untuk masa tanggap darurat,serta ribuan warga Indonesia berangkat ke Aceh untuk bekerjasebagai relawan kemanusiaan.
Namun, berbagai pihak pun mengeluhkan pemberlakuan sta-tus darurat sipil di Aceh. Status ini membatasi ruang gerak pararelawan dan pekerja kemanusiaan, serta menghalangi upaya merekamembantu korban dan mendistribusikan bantuan. Status daruratsipil tersebut juga menghambat liputan para wartawan terhadapbencana tersebut. Akibatnya, dua hari setelah terjadinya tsunami,Wakil Ketua DPR A.M. Fatwa, meminta pemerintah agar segeramengangkat status darurat sipil di Aceh. Namun, Yudhoyonoternyata butuh waktu lima bulan, sebelum akhirnya mencabutstatus darurat sipil pada 12 Mei 2005.
Perkembangan sejarah terkini dan analisis berbagai peristiwayang terjadi pasca Kesepakatan Helsinki tahun 2005, akan dibahaslanjut di bab-bab lain dalam buku ini.
LATAR BELAKANG DAN SITUASI POLITIK DI ACEH
104 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
(Catatan Akhir)1 Hasan di Tiro wafat di Aceh pada 3 Juni 2010.2 Upaya kooptasi sistematis ini diusulkan oleh Dr. Christiaan Snouck
Hurgronje, dari Universitas Leiden. Dia adalah ilmuwan Belandadalam bidang budaya dan bahasa Timur , serta penasihat BidangUrusan Penduduk Pribumi dalam pemerintahan kolonial HindiaBelanda.
3 Presiden Soekarno dalam sebuah pidato di Meulaboh, Aceh Barat,tanggal 4 September 1959, menjuluki Aceh sebagai ‘daerah modal’.
4 Dua pesawat terbang Dakota.5 Undang-Undang No. 21 Tahun 1950, tanggal 14 Agustus 1950.6 Kartosuwiryo mendirikan Gerakan Darul Islam pada Mei 1948 di
Jawa Barat dan menyatakan diri sebagai kepala Negara Islam In-donesia.
7 Wakil Perdana Menteri Republik Indonesia, Mr. Hardi, melaluiKeputusan Presiden No.1/Missi/1959, tanggal 16 Mei 1959.
8 Menurut Geoffrey Robinson (1985), peristiwa 30 September 1965dan peristiwa lanjutannya adalah upaya kudeta dan counterkudeta, yaitu ketika elemen-elemen militer kemudian meng-hancurkan gerakan Untung dan memperkuat dominasi perwiraanti-komunis di bawah kepemimpinan Soeharto.
9 Tidak lama kemudian, Soeharto membentuk sebuah unit khususyang disebut Operasi Khusus (Opsus) di bawah komando AliMurtopo. Unit khusus ini bekerja dengan berbagai jaringkekuasaan yang tak lazim, di antaranya, operasi-operasi intelijen‘hitam’. Banyak orang akhirnya tak lagi bisa membedakan operasiyang dijalankan di bawah otoritas Kopkamtib atau atas dasarkewenangan Opsus.
10 Surat Perintah Supersemar tanggal 11 Maret 1966 yangkeberadaannya sangat dipertanyakan. Menurut Surat Perintahini, Presiden Soekarno memerintahkan perintah kepada Soehartountuk ‘mengambil langkah-langkah yang dipandang perlu untukmenjamin keamanan, hukum, ketertiban, dan stabilitas…. danmenjaga keutuhan negara-bangsa Indonesia…’ Dokumen tersebut,yang merupakan singkatan dari Surat Perintah Sebelas Maret jugamerujuk pada sosok Semar, tokoh populer dengan segudang
105
kesaktian dalam kisah pewayangan Jawa. Dokumen asli instruksiini tak pernah ada, dan yang kemudian beredar hanyalahsalinannya, yang ditunjukkan langsung oleh Soeharto.
11 Koramil (Komando Rayon Militeri/Komando Militer di tingkatkecamatan), Kodim (Komando Distrik Militer/Komando Militer ditingkat kabupaten), dan Korem (Komando Resort Militer/KomandoMiliter di tingkat keresidenan), Kodam (Komando Daerah Militer/Komando militer di tingkat provinsi.
12 Hasan di Tiro adalah pengusaha lokal yang diberi tanggung jawabkhusus untuk urusan internasional di bawah gerakan Darul Is-lam pada pertengahan 1950an.
13 Pada 1 Mei 1978, Daud Beureueh yang sudah lemah dan hanyameluangkan waktunya untuk berceramah, dijemput paksa olehsebuah tim khusus dari Jakarta, di bawah pimpinan LetnanJenderal Sjafrie Sjamsoeddin, serta dibawa ke Jakarta. PemerintahOrde Baru tampaknya khawatir dengan kharisma Daud Beureueh,dan pengaruhnya yang masih kuat di kalangan rakyat. Tim itumemberitahu Daud dan keluarganya bahwa dia akan dibawa keJakarta untuk bersaksi dalam peradilan kasus gerakan KomandoJihad di Pengadilan Surabaya. Daud Beureueh menolak pergi, danmengatakan bahwa dirinya sudah terlalu tua, serta lebih memilihuntuk memberi kesaksian tertulis dari rumah. Dia lantas disuntikdengan morfin, dimasukkan ke dalam jeep, yang langsung melajudengan kecepatan tinggi ke lokasi helikopter, yang sudahmenunggu untuk membawanya ke Jakarta. Rakyat Acehmenganggap tindakan ini sebagai bentuk penculikan. Rumorsegera menyebar luas dan semakin menambah kebencian rakyatAceh terhadap Jakarta. Lihat Kholid O. Santosa (2006), hal. 173.
14 Pada masa DOM, Aceh terdiri atas delapan kabupaten, dua kotadan dua kota administratif. Sekarang Aceh terdiri atas 21kabupaten dan kota.
15 Tahun implementasi DOM sering kali disebutkan secara berbeda,seperti 1998, 1990, dan 1991. Kerancuan ini terjadi karenapemerintah lebih menekankan kondisi de facto daripada de juredalam menerapkan status daerah militer terhadap Aceh.
16 BPS (Badan Pusat Statistik), ‘Aceh dalam Angka 1998’ BPS-DIA
LATAR BELAKANG DAN SITUASI POLITIK DI ACEH
106 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
bersama BAPEDDA, 1998 dalam Barakat et al. (2000).17 Masyarakat Aceh menganggap, para transmigran yang dikirim
dari Jawa ke Aceh—yang sebagian besar terdiri dari bekas tentaradan pegawai negeri, serta kian bertambah jumlahnya itu—adalahpihak yang diuntungkan dari pertumbuhan industri dan anggaranpembangunan pemerintah. Para penduduk lokal juga menuduhbahwa perilaku para pendatang dari Jawa telah menodai adatdan kepercayaan lokal. Sebagian orang Aceh menganggap bahwapelacuran, perjudian, dan berbagai perilaku amoral lainnya telahmempengaruhi kehidupan masyarakat local di Aceh. Karena itu,beberapa pimpinan GAM menuding ‘para imperialis Jawa’ telahmemusnahkan kebudayaan rakyat Aceh.
18 Soeharto (1989), p.364. Terjemahan didasarkan pada dokumenAmnesti Internasional (1993).
19 Sumber-sumber GAM menyatakan, sejak 1991 hingga 1998,jumlah korban yang tewas telah mencapai 20.000 orang.Sedangkan beberapa pengamat independen memperkirakansekitar 1.000 orang. Amnesti Internasional memperkirakan ada3.000 orang yang terbunuh. Amnesty International (1993), hal. 24.
20 Ghazali Abbas Adan ikut berpartisipasi dalam PemilihanLangsung Gubernur 2006 di Aceh. Dia juga ketua sekaligus pendiriPartai Aceh Aman Sejahtera (PAAS), salah satu dari enam partailokal yang ikut serta dalam Pemilu 2009. Informasi lebih detil dapatdilihat di Bab 7 dalam buku ini.
21 Sebuah laporan yang dibuat oleh NGO Forum Peduli HAM pada 6November 1998 menyebutkan bahwa sejumlah orang dipaksa ikutserta dalam konvoi GAM, di bawah todongan senjata.
22 Pernyataan rakyat Aceh terdiri atas empat tuntutan kepadapemerintah pusat untuk segera (1) melakukan investigasimenyeluruh terhadap pelanggaran hak asasi manusia selama eraDOM; (2) rehabilitasi psikologi, pemberdayaan ekonomi, danperbaikan kualitas pendidikan bagi para korban DOM; (3)memberikan amnesti, abolisi dan rehabilitasi kepada para tahanandan narapidana politik di Aceh; (4) memberikan status khususdan otonomi yang luas bagi Aceh, termasuk perimbangankeuangan untuk produk pertanian Aceh—80% untuk Aceh dan
107
20% untuk pemerintah pusat. Lihat Hamid (2006) hal. 18.23 Berdasarkan hasil Pemilu, Partai Persatuan Pembangunan (PPP)
memenangkan jumlah suara terbanyak, dengan 285.014 suara(28.81% atau 4 kursi di DPR) dari jumlah suara yang sah sebesar988.622 suara. Berikutnya adalah Partai Amanat Nasional (PAN)dengan 117.069 suara (17.91% atau 2 kursi), diikuti oleh PartaiGolkar dengan 154.373 (15.61% atau 2 kursi), PDI Perjuangan126.038 suara, Partai Bulan Bintang (PBB) dengan 30.628 dan PartaiNahdlatul Ummah (PNU) sebesar 21.131 suara.
24 Dokumen Cordova (1999). Pembantaian lainnya pada periode ini,termasuk kejadian di Idi Cut pada 3 Februari 1999, yangmenewaskan 28 orang; dan Simpang KAA pada 3 Mei 1999, yangsedikitnya menewaskan 46 orang dan melukai 156 lainnya.
25 Fase pertama Penghentian Permusuhan berlangsung selama tigabulan, dari 2 Juni hingga 2 September 2000. Penghentianpermusuhan lalu diperpanjang, dari 3 hingga 27 September 2000.
26 Undang-Undang ini memberikan status khusus bagi Aceh, yangsecara keseluruhan menyimpang jauh dari pelaksanaanpemerintahan di daerah lainnya di Indonesia. Kebijakan tersebut,di antaranya adalah implementasi syariah Islam, otoritasgubernur dalam bidang keamanan dan penegakkan hukum,keseimbangan keuangan, posisi lembaga legislatif, pengelolaanlembaga-lembaga adat, aturan tentang lambang daerah danbendera, pemilihan langsung kepala daerah, dan lain-lain.
27 Kisah tentang upaya untuk mewujudkan perdamaian melaluimeja perundingan dikemukakan secara informal oleh AhmadFarhan Hamid. Lihat Hamid (2006), hal. 59-158. Narasi lainnyatentang pentingnya peran Menteri Koordinator KesejahteraanRakyat Jusuf Kalla pada 2003 dapat disimak dari penuturan FaridHusain. Lihat Husain (2007).
28 Dalam kasus Poso, Kalla mengatakan bahwa ongkos perdamaian—kurang dari 108,9 juta dollar AS, sebanding dengan dana yangdikeluarkan pemerintah untuk membiayai operasi militer selamasatu tahun. Jakarta Post 8 April 2007 ‘peaceful solution to conflict cheaper’.
29 Isu-isu ini akan dibahas lebih lanjut di Bab 4 dalam buku ini.
LATAR BELAKANG DAN SITUASI POLITIK DI ACEH
108 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
Daftar PustakaAmnesti Internasional, 1993. “Shock Therapy”; Restoring Order in Aceh.
London: Amnesty International.Aspinall, Edward, 2008b. Islam and Nation. Separatist Rebellion in Aceh,
Indonesia. Stanford: Stanford University Press.Barakat, Lume and Silvetti, 2000. Political Transformation in Indone-
sia, Humanitarian Needs in Aceh: Charting Constructive DialogueBetween Varying Aspirations. New York: Post War Reconstruc-tion and Development Unit (PRDU)&HDC Geneva.
Birks, Teresa, 2006. Neglected Duty: Providing Comprehensive Repara-tions to the Indonesian ‘1965 Victims’ of State Persecution, New York:ICTJ.
Cordova, 1999. Chronology Gross Human Rights Violations in Aceh 1989-1999. Banda Aceh: Cordova.
Crouch, Harold, 1988. The Army and Politics in Indonesia, Itacha andNew York: Cornell University Press.
Hamid, Ahmad Farhan, 2006. Nanggroe Endatu Road Peace, A Notefrom Representative Aceh People, Jakarta: Free Voice.
Husain, F. 2007. To See the Unseen. Scenes Behind the Aceh Peace Treaty.Jakarta: Health Hospital.
Indonesian Observer, 3 Februari 2000.Kell, Tim, 1995. The Root of Acehnese Rebellion 1989-1992, Itacha and
New York: Cornell University Press.Reid, Anthony (Ed.), 2006. Verandah of Violence. The Background to the
Aceh Problem, Seattle: University of Washington Press.Robinson, Geoffrey, 1995. The Dark Side of Paradise: Political Violence
in Bali, Itacha and New York: Cornell University Press.Saleh, Hasan, 1991. Mengapa Aceh Bergolak, Jakarta: Grafitti Press.Santosa, Kholid O., 2006. Jejak-jejak Sang Pejuang Pemberontak:
Pemikiran, Gerakan, dan Ekspresi Politik S.M. Kartosuwiryo danDaud Beureueh, Bandung: Segaarsy.
Serambi Indonesia, 3 Desember 1996, 30 dan 31 Desember 1996, 5 Juni
109
1998, 7 Juni 1998, 8 Agustus 1998, 19 Agustus 1998.SHRWN, 1999. From Human Rights Issue to Independence, Some
Thoughts, Banda Aceh: SHRWN.Simanjuntak, Togi, 2000. Preman Politik, Jakarta: ISAI.Soeharto, 1989. Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya, Jakarta:
PT Lantoro Gunung Persada.Sydney Morning Herald, 15 Agustus 1998.Tapol, 2000. A Reign of Terror: Human Rights Violations in Aceh 1998-
2000, London: Tapol.Waspada 10 Juni 1998, 11 Juni 1998, 17 Agustus 1998, 31 Januari
1999, 2 Januari 2000.
LATAR BELAKANG DAN SITUASI POLITIK DI ACEH
110 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
111
DDDDDEMOKRASIEMOKRASIEMOKRASIEMOKRASIEMOKRASI DIDIDIDIDI A A A A ACEHCEHCEHCEHCEH:::::DDDDDIAGNOSISIAGNOSISIAGNOSISIAGNOSISIAGNOSIS DANDANDANDANDAN P P P P PROGNOSISROGNOSISROGNOSISROGNOSISROGNOSIS
Olle TörnquistBerdasarkan Survei Demos di tingkat Nasional dan di Aceh1
3
PendahuluanGelombang reformasi di Indonesia pasca-Soehartoternyata gagal membawa demokrasi ke Aceh. Berbagaiupaya mendorong perubahan di awal era reformasi,
dipelopori kaum muda pro-demokrasi yang menuntut pelaksanaanreferendum, seperti kasus di Timor Timur. Upaya itu akhirnyakandas. Penyebabnya, antara lain, buntunya negosiasi-negiosiasiperdamaian; tiadanya dukungan internasional terhadap tuntutankemerdekaan Aceh; serta berlanjutnya aksi penindasan. Selain itu,Balkanisasi Indonesia (seperti yang diperkirakan oleh kelompokperlawanan) ternyata tak terwujud. Kendati begitu, pelbagaitantangan tersebut justru melahirkan peluang-peluang baru. Padaakhir 2005, naskah awal ringkasan laporan atas Survei NasionalPertama tentang Persoalan dan Pilihan dalam Demokrasi oleh
112 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
Lembaga Kajian Demokrasi dan HAM (Demos) menunjukkansejumlah indikasi tentang Aceh. Ringkasan laporan itu mengatakan,kendati Aceh masih jauh tertinggal, tetapi desentralisasi dan sistempolitik demokrasi nasional yang masih muda itu dapat memberibingkai, agar kondisi Aceh bisa maju di dalam sistem politik Indo-nesia yang baru itu (Demos, 2005). Beberapa minggu kemudian,bencana tsunami membuka pintu keterlibatan dunia internasionaldi Aceh. Hadirnya dunia internasional itu, dengan sedemikian rupatelah mencegah upaya memanfaatkan situasi oleh pihak-pihak yangbertikai, seperti yang terjadi di Sri Lanka, atau daerah konfliklainnya di Indonesia. Situasi inilah yang menjadi titik tolak pentingdalam perundingan damai, yang akan dimulai di Helsinki. Ketikaitu, kalangan nasionalis konservatif di Jakarta dan Aceh (sertaStockholm) tak mampu menelurkan solusi politik. Namun,kebuntuan ini akhirnya bisa mencair. Waktu itu, di satu sisiterdapat Presiden dan Wakil Presiden Indonesia yang baru terpilih,Susilo Bambang Yodhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla.Sementara itu, di sisi lain, berdiri para pimpinan perlawanan Acehyang tak terlalu condong pada pilihan kemerdekaan. Kelompokitu, lebih menjunjung keyakinan akan nasionalisme suku bangsa(ethnic nationalism) sebagai prinsip dasar perlawanan mereka,ketimbang sekedar perlawanan terhadap kolonialisme internal,otoritarianisme dan tindakan represif terhadap pihak yang lain.Kedua pihak itulah yang kemudian berupaya mencari sebuahpedoman baru bagi perdamaian, dalam bingkai kebijakan nasionaldesentralisasi dan demokrasi Indonesia, yang masih muda itu.
Formula yang disepakati agar Aceh bisa maju, seperti yangdikemukakan dalam Bab 1, bukanlah otonomi dan perjanjian yangmenuai laba bagi GAM, seperti tawaran Jakarta kepada parapetinggi GAM. Namun, kesepakatan itu menyangkut ihwalpemerintahan-sendiri yang tak hanya menjunjung hak asasimanusia, tapi juga demokratis dan diperuntukkan bagi semua
113
kalangan, termasuk para aktivis masyarakat sipil serta para korbankonflik, dan bencana tsunami. Dengan kata lain, konflik tidakdiselesaikan ataupun dikelola. Konflik itu bertransformasi ke dalambingkai dinamika politik yang demokratis.
Desain transformasi tersebut, kemudian termaktub jelas dalamMoU Helsinki. Selanjutnya, desain itu cukup tergambar pula dalamUndang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA), meski melalui prosesyang penuh masalah. Tapi, dinamika politik dalam bingkaidemokrasi yang baru itu justru sulit dipahami. Bab ini akanmenyajikan ringkasan dan analisis terhadap data survei tentangpeluang-peluang yang demokratis dan berbagai kendalanya di Aceh,satu setengah tahun sebelum perjanjian perdamaian. Bab-babselanjutnya akan mengupas sejumlah isu kunci, di antaranya,dinamika Pilkada pada Desember 2006, di mana para bekas aktivisperlawanan turut berpartisipasi; aktivitas terselubung darikalangan bisnis dan para patronnya, seperti Jusuf Kalla di daerah-daerah konflik; transformasi gerakan separatis, seperti GAM; sertatinjauan terhadap fenomena bertumbuhnya partai-partai politiklokal. Di bagian akhir, dua bab kesimpulan mengkaji bagaimanaaktor-aktor kunci menyampaikan usulan dan solusi untukmengatasi beragam permasalahan yang ada, menjelang Pemilu 2009;serta bagaimana tanggapan mereka terhadap hasil Pemilu tersebut.
Survei terhadap demokrasiDua Survei Nasional yang meneliti tentang persoalan dan
pilihan dalam demokrasi telah dilaksanakan bersama dengan Demossejak 2003. Pelaksanaan survey ini sebagian besar disponsori danapublik Norwegia, serta didukung pula oleh kalangan donor diSwedia. Survey tersebut juga dilakukan melalui kerjasama denganorganisasi-organisasi demokrasi terkemuka, Universitas Oslo, sertabaru-baru ini dengan Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta. Saatini, Universitas Gajah Mada akan melanjutkan pelaksanaan survey
DEMOKRASI DI ACEH: DIAGNOSIS DAN PROGNOSIS
114 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
itu dalam kerangka kajian yang lebih luas tentang kekuasaan dandemokrasi. Salah satu tujuan dari survey tersebut adalahmembandingkan berbagai fakta gamblang tentang suatu situasi yangbersifat umum; demi memberi pemahaman dan memberi konteksterhadap studi-studi kasus yang spesifik, bukti-bukti penting yangtak terduga, serta pernyataan oleh tokoh berpengaruh dalam skalanasional, maupun oleh aktor internasional. Sedangkan tujuanlainnya, mengevaluasi beragam teori tentang persoalan dan pilihandalam demokrasi. Idealnya, survei lebih mendetail dengan tujuanserupa, dan ditunjang oleh partisipasi lokal yang lebih luas, jugadilaksanakan di Aceh. Upaya yang tampaknya ambisius itudilakukan pada akhir 2006. Sayangnya, upaya tersebut tak bisadiselesaikan dengan baik, karena data survei tampil tak konsistendan sulit dibandingkan, serta belum dilengkapi dengan berbagaikomentar tambahan dari para aktivis senior. Analisis berikut inidisusun berdasarkan pada data yang belum lengkap dan masihtercerai-berai itu. Meski demikian, dalam proses penulisan Bab ini,Willy P. Samadhi melakukan re-tabulasi yang komperensif terhadap‘data mentah’ tersebut, dan kemudian dimuat dalam buku ini. Berkathasil re-tabulasi tersebut, maka kesimpulan pokok dalam bab inibisa dirumuskan dengan baik. Re-tabulasi data secara lengkap itudisajikan dalam lampiran Bab ini, sehingga bisa digunakan untukkajian lebih lanjut di masa mendatang.
Karena data yang tidak sempurna, pembahasan di dalam babini hanya mengacu pada tren umum yang dapat diuji. Untuktujuan-tujuan perbandingan, Bab ini juga didasarkan pada dataumum dan data khusus tentang Aceh, yang dihasilkan dari SurveiNasional Pertama tahun 2003-2004 dan Survei Ulang Nasionaltahun 2007. Wawancara pada Survey Ulang Nasional diseleng-garakan kira-kira enam bulan setelah dilakukan Survei Regionaldi Aceh. Sembilan ratus informan berpartisipasi dalam survei ulangini, dan sembilan belas orang di antaranya tinggal di Aceh.
115
Hasil-hasil Survei Nasional Pertama telah dipublikasikandalam Making Democracy Meaningful oleh A.E. Priyono, Willy P.Samadhi dan Olle Törnquist bersama Teresa Birks et.al. (2007);sementara hasil survei ulang itu diterbitkan dalam Democracy Build-ing on the Sand, yang disunting oleh Willy P. Samadhi dan NicolaasWarouw (2008; edisi kedua 2009).
Penilaian empiris terhadap demokratisasi berbasis hakPelaksanaan survei dilakukan berdasarkan kerangka analisis
gabungan, yang dibahas lebih rinci dalam bab pendahuluan buku‘Making Democracy Meaningful’, serta di Bab 2 buku Democracy Build-ing on the Sand. Secara ringkas, survei itu bertolak dari tiga titikperhatian, yakni identifikasi (i) tujuan dalam demokrasi, (ii)instrumen yang digunakan dalam pelaksanaan demokrasi, serta(iii) sumber daya yang diperlukan untuk menilai bagaimanainstrumen tersebut mendukung upaya pencapaian tujuan.
Poin pertama adalah pemahaman teoritis yang sudah diterimasecara luas (Beetham 1999 dan Beetham et.al. 2002) tentang tujuandalam demokrasi, yakni keberadaan kontrol rakyat terhadapkepentingan publik, atas dasar kesetaraan politik dan tujuh prinsiplainnya. Ketujuh prinsip itu adalah: hak dan kemampuan dalamberpartisipasi dan memberi kuasa kepada lembaga legislatif dan ekskutif;lembaga legislatif (dan ekskutif) harus merepresentasikan arus utamadalam opini publik dan mencerminkan komposisi sosial rakyat;tanggap terhadap opini dan kepentingan publik; bersikap akuntabelatau mampu mempertanggungjawabkan apa pun yang merekaperbuat kepada rakyat, yang tentunya membutuhkan pula trans-paransi dan solidaritas. Selain itu, ketika prinsip tersebut dengantegas mensyaratkan pemenuhan hak-hak asasi manusia (termasukhak-hak sipil, politik, sosial, ekonomi, dan budaya), maka segalaupaya membentuk dan melaksanakan hak-hak tersebut perlutercermin dalam implementasi prinsip-prinsip yang demokratis.
DEMOKRASI DI ACEH: DIAGNOSIS DAN PROGNOSIS
116 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
Pijakan kedua adalah memilah instrumen yang diperlukan dalammelaksanakan tujuan demokrasi. Kendati umumnya instrumen ataulembaga untuk melaksanakan tujuan itu bersifat universal (yangsecara teoritis ditentukan berdasarkan kebutuhan dalam memenuhitujuan demokrasi), peraturan dan regulasi formal maupun infor-mal di suatu daerah, tetap beragam. Contohnya, pelaksanaanPemilu yang bebas dan adil, adalah hal yang krusial. Namun, sistempemilu bisa saja bervariasi.
Dalam kerangka kerja yang digunakan untuk menguji pe-laksanaan demokratisasi, seperti yang dikembangkan pula dalamSurvei Nasional, terdapat empat tipe instrumen formal dan infor-mal dalam berdemokrasi. Pertama, perlu satu definisi yang dapatditerima secara umum tentang kondisi di mana rakyat (demos)memiliki kesetaraan politik, dan memiliki kontrol atas kepentinganpublik yang sama.
Instrumen kedua dalam demokrasi merujuk pada kerangkainstitusional. Hal ini meliputi (i) pengaturan sistem peradilan dalamkerangka konstitusi (kesetaraan antar tiap warga negara, penegak-kan hukum, keadilan yang tak membeda-bedakan, independensilembaga peradilan, dan akomodasi seluruh aturan tentang hakasasi manusia); (ii) kedaulatan rakyat melalui lembaga legislatif danpemerintahan eksekutif (pemilu yang demokratis, keterwakilan,serta pemerintahan yang tanggap dan akuntabel); dan (iii) keter-libatan sipil melalui penguatan organisasi (media yang bebas dandemokratis, kesenian, hadirnya dunia akademik, keberadaan anekaperkumpulan serta partisipasi rakyat lainnya, termasuk konsultasidan beragam bentuk demokrasi ‘langsung’). Berbagai instrumendalam demokrasi tersebut perlu diinvestigasi, untuk mengetahuikeberadaan instrumen tersebut secara kontekstual. Selain itu, perlujuga dibuktikan apakah instrumen-instrumen itu betul-betulmendukung pencapaian tujuan dalam demokrasi. Penilaianterhadap demokrasi umumnya hanya fokus pada kinerja institusi
117
formal. Namun, kerangka kerja Demos lebih luas dalam tiga hal.Selain menilai kinerja institusi, Demos juga menilai (i) ruanglingkup geografis (misalnya, apakah cakupan institusi itu jugameluas ke pedesaan); (ii) jangkauan substansial institusi(maksudnya, pada tingkatan mana institusi itu dikatakanmenangani seluruh isu vital yang ada. Selain itu, misalnya, dalamhal kesetaraan gender, apakah kekerasan dalam rumah tangga di-anggap sebagai masalah privat atau masalah publik); dan (iii)beragam institusi informal (contohnya, kebiasaan sehari-hari yangmendukung pelaksanaan demokrasi, serta hukum adat).
Instrumen demokrasi ketiga dalam kerangka kerja Demosmenekankan, baik aktor penguasa maupun para aktor di jaluralternatif harus bersungguh-sungguh memajukan dan meng-gunakan instrumen-instrumen demokrasi, bukan menjalankansekedarnya atau malah menyalahgunakan dan menghindarinya.
Instrumen demokrasi yang terakhir dan paling penting,merujuk pada kemampuan berbagai aktor (baik yang berpengaruhatau bergerak di saluran politik alternatif), dalam memajukan danmenggunakan institusi demokrasi, tanpa mengandalkan kemauansemata. Pelaksanaan demokrasi tak sekedar berkutat pada perkenalanseperangkat institusi fungsional untuk mengatur politik para aktoryang telah punya pengaruh. Tapi, pelaksanaan demokrasi jugaberupaya menghapus hubungan dalam kekuasaan, agar tercapaikesetaraan politik yang nyata, serta terlaksana kontrol rakyatterhadap kepentingan publik. Yang terpenting, para aktor denganaspirasi itu harus sanggup (i) ambil bagian dalam berbagai peristiwaesensial dalam kehidupan politik, (ii) berusaha memperoleh legitimasidan otoritas, (iii) menjadikan isu dan kepentingan mereka dalamagenda politiknya, (iv) mengorganisasir diri dan memobilisasidukungan, (v) mengembangkan strategi yang demokratis untukmempengaruhi berbagai institusi yang mengelola masyarakat, baikyang dilakukan secara langsung maupun melalui perwakilan.
DEMOKRASI DI ACEH: DIAGNOSIS DAN PROGNOSIS
118 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
Perlu diingat pula, bab ini akan membahas beberapa dimensidemokrasi yang saling terkait dan berbagai level demokrasi.Tentunya mudah sekali menyimpulkan bahwa majunya pemenuhanhak ekonomi dan sosial, serta kuatnya lembaga peradilan akanmemberi kontribusi tinggi pula terhadap dimensi lainnya dalamdemokrasi. Namun, bukan berarti, fondasi bagus itu berdiri sendiri,tanpa dukungan instrumen lainnya yang terkandung dalamdemokrasi—misalnya, kesetaraan warga negara dan perwakilanrakyat. Jika asumsi itu yang diterapkan, maka diperlukan caraotoritarian untuk mencapai demokrasi. Sebab, tesis umum yangberlaku menyatakan, kalangan elit harus mengutamakan pendirianinstitusi-institusi demokrasi yang kokoh serta pembangunanekonomi, sebelum menegakkan kedaulatan rakyat. Dalam skenariosemacam itu, kedaulatan rakyat biasanya ‘ditunda’ dalam jangkawaktu tak terbatas, seperti di Singapura. Kendati begitu, pointerpenting menekankan bahwa peluang demokrasi palingsederhana pun—seperti kebebasan dan kemampuan rakyat keciluntuk memanfaatkan kebebasan itu—dapat mendorong perbaikankesetaraan dalam keadilan, dan pemenuhan hak sosial-ekonomi,melalui cara yang lebih damai dan manusiawi. Berarti persoalanselanjutnya adalah bagaimana bentuk spesifik dan konkrit dari politikdemokratisasi, yang dituju beragam aktor dalam politik dan parapendukung internasionalnya. Kritik yang kian berkembangterhadap demokrasi liberal menegaskan, pelaksanaan prosedurdemokrasi secara baku, dengan berbasis pada pakta antar aktorpolitik yang sudah lebih dulu dominan, tidak serta merta berartibahwa upaya merancang insitusi yang demokratis, akan sepenuh-nya sia-sia. Hal itu justru mengisyaratkan, perlunya pemberianprioritas terhadap institusi yang terbuka bagi pengayaan kapasitasbagi rakyat kecil, agar bisa mendorong terbentuknya institusi lain,serta mendukung tercapainya kesetaraan politik dan kontrol rakyat.
Setelah membahas instrumen dalam berdemokrasi, marilah
119
kita kembali ke titik perhatian dalam survei tadi. Fokus ketiga danterakhir dalam survei ini adalah sumber daya untuk menilai danmenganalisis apakah semua instrumen demokrasi tersebut (demosyang sudah teridentifikasi: institusi, kemauan serta kapasitas untukmemajukan dan memanfaatkannya) mampu mendorong pen-capaian tujuan demokrasi di berbagai negara dan daerah, sepertiIndonesia dan Aceh. Karena keterbatasan data serta minimnya risetyang lebih mendalam, maka diperlukan wawancara dengan parapakar serta pemerhati masalah demokratisasi di Aceh. Namun,penilaian tidak dirumuskan dengan hanya mengandalkanpernyataan dari ‘para pakar yang bersemayam di ruang ber-AC’dan bersikap kosmopolitan. Penilaian itu lebih didasarkan padapemaparan hasil renungan aktivis lokal pro-demokrasi di penjurunegeri atau daerah bersangkutan, yang kenyang akan pengalamandalam gerakan di garis depan penegakan demokrasi.
Para informan lokalDi Aceh, tim survei bekerja sama dengan partner lokal yang
kompeten, untuk memilih sekitar dua ratus informan berpengalaman.Para informan ini aktif setidaknya dalam empat belas bidang di garisdepan gerakan demokrasi di berbagai daerah di Aceh. Bidang-bidangtersebut, di antaranya, upaya kontrol petani dan buruh tani terhadaptanah yang digarapnya (5 informan); perjuangan untuk perbaikankondisi buruh (5); perjuangan untuk perbaikan taraf hidup kaummiskin kota (24); mendorong pemenuhan hak-hak masyarakat ur-ban (18); perlawanan terhadap korupsi (23); upaya membuat partailebih demokratis atau membentuk partai-partai baru (12); mendorongpluralisme serta rekonsiliasi agama dan etnik (12); upaya reformasipendidikan (19); peningkatan profesionalisme di sektor privat danpublik (5); mendorong kebebasan dan kualitas media (5);meningkatkan kesetaraan gender (13); upaya memperbaiki bentukalternatif perwakilan daerah (10); peningkatan organisasi massa
DEMOKRASI DI ACEH: DIAGNOSIS DAN PROGNOSIS
120 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
berbasis kepentingan (41); mendukung untuk pembangunanberkelanjutan (7).
Persebaran informan yang tak merata tentu saja tidak ideal.Namun, beragamnya bidang dalam gerakan demokrasi itu memberigambaran aktual tentang peluang yang ada dan prioritas dikalangan para aktivis pro-demokrasi, serta ketersediaan parainforman yang berpandangan kritis dan berpengetahuan luas.Awalnya, prioritas utama survei adalah mengikutsertakan sebanyakmungkin aktivis senior dan pakar pemerhati masalah demokrasidi Aceh di lapangan. Namun, dapat dimahfumi pula jika padaakhirnya profil para informan itu umumnya lelaki yang cukupterdidik dari kelompok organisasi non-pemerintah. Hanya 18% darijumlah informan adalah perempuan, sekitar 55% informan telahmengenyam pendidikan di atas SMA, dan hampir 50% di antaranyamemiliki latar belakang dari organisasi non-pemerintah. Studilanjutan berikutnya perlu menjamin dengan lebih baik, pemenuhankeseimbangan gender dan jenis pekerjaan.
Menilik berbagai tantangan yang dihadapi, distribusiinforman dari segi wilayah cukup baik. Wawancara dilakukan diBanda Aceh (20% dari seluruh informan), Meulaboh di pantai Barat(14%), Blang Pidie di Utara (13%), Kutacane dan Takengon didataran tinggi Aceh Tengah (masing-masing 12%), Lhokseumawe(16%) di bagian Timur Laut, serta Langsa (14%) di wilayahTenggara. Dalam masing-masing kasus, para informan dikabupaten-kabupaten yang berdekatan juga turut berpartisipasidalam survei. Karena analisis data dimulai setelah Pilkada padaDesember 2006, maka dapat dibedakan pula hasil survei di sejumlahkabupaten dan kota, yakni di mana kandidat independen-nonpartai, Irwandi Yusuf dari KPA2 dan Muhammad Nazar dari SIRA3,yang disebut pasangan IRNA, memperoleh kemenangan atau kalah.Perbandingan serupa juga dilakukan terhadap kabupaten dan kotadi mana para kandidat dukungan KPA dan SIRA mengalami
121
kemenangan atau kekalahan. Pembagian tersebut dilakukan untukmengidentifikasi perbedaan yang terjadi, sehingga dapat men-jelaskan hasil survei serta berbagai masalah dan pilihan yangspesifik. Pengelompokan para informan dari beragam wilayah itusangat beralasan: kira-kira dua pertiga dari jumlah informan berasaldari 15 kabupaten, dari total 21 kabupaten. Kelima belas kabupatentersebut adalah wilayah kemenangan kandidat IRNA. Selain itu,kira-kira sepertiga informan berasal dari 7 kabupaten wilayahkemenangan kandidat independen dukungan KPA/SIRA.
Sayangnya, banyak sekali ditemukan jawaban ‘tidakmenjawab’ atas sejumlah pertanyaan (terutama bila dibandingkandengan Survei Nasional lainnya). Dan pola jawaban seperti initerjadi di daerah yang dikategorikan sulit sebagai lokasi untukmelakukan wawancara. Karena banyak keraguan yang timbul, dataspesifik menyangkut pertanyaan-pertanyaan tersebut belumdigunakan dalam analisis di sini.
Kendati begitu, persoalan yang paling signifikan dalam analisisdata adalah kesalahan di sana-sini dan fragmentasi sejumlah data.Akibatnya, timbul kesulitan dalam melakukan perbandingan.Meskipun proses re-tabulasi dapat mengatasi beberapa persoalanitu, masih banyak masalah lain yang tak teratasi. Akibatnya,sejumlah referensi dalam naskah, berikut rangkaian data spesifiktersebut terpaksa tidak kami sertakan, agar tren-tren utama dapatteridentifikasi.
Tujuh kesimpulanSecara garis besar, terdapat tujuh kesimpulan utama, yang
dapat ditarik dari pemaparan para informan di Aceh. Kesimpulanitu dikelompokkan berdasarkan analisis teoritis maupun tinjauankomparatif para informan tersebut, terhadap berbagai indikatordalam pelaksanaan demokrasi yang sungguh-sungguh, sepertiyang telah dikemukakan di awal. Kesimpulan pertama adalah
DEMOKRASI DI ACEH: DIAGNOSIS DAN PROGNOSIS
122 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
terumuskannya definisi politik tentang apa yang membentuk demos,rakyat Aceh. Walaupun demos Aceh saat ini belum mencerminkandemos yang dibentuk berdasarkan pemenuhan hak warga negara,namun, sungguh mengagumkan, masyarakat dan para aktivisternyata cepat pulih dari penderitaan, frustrasi, dan rasa saling takpercaya akibat perang sipil dan bencana. Mereka segera melibatkandiri dalam dinamika politik. Situasi ini menyangkal argumentasiumum yang menyatakan, kebebasan politik lokal akan memicupertentangan antar identitas etnis dan agama, yang akhirnyamemperpanjang separatisme. Kesimpulan kedua mengungkapkan,politik adalah panglima di Aceh, sehingga bahkan para pebisnispun menghabiskan energi mereka dalam berbagai hal yang berbaupolitik. Di sisi lain, militer mulai kehilangan lahan pijakannya.Selain itu, sebagian besar aktivitas rekonstruksi dan pembangunanyang begitu masif justru terpisah dari gerakan politik yang tampakterorganisir. Kesimpulan ketiga berhubungan dengan salah satudari lima macam paradoks. Di satu sisi, demokrasi liberal berhasildiperkenalkan melalui pelaksanaan pemilu yang bebas, ditambahdengan kehadiran sejumlah kebebasan. Kebebasan tersebuttermasuk pula (kendati merupakan hal positif, namun bertolakbelakang dengan situasi di Indonesia pada umumnya) kebebasandalam mengajukan calon independen dan mendirikan partai politiklokal. Sayangnya, keberhasilan itu ternyata tidak diikuti denganperbaikan yang mendasar dalam representasi politik. Kesimpulankeempat (dan paradoks yang kedua) merujuk pada situasi berikut.Para aktor cenderung menghindari partai politik dan langsungberkiprah melalui lembaga-lembaga pemerintahan. Namun, belumterbangun institusi demokratis yang dapat mewadahi aktivitastersebut dan strategi untuk membingkai tindakan itu. Akibatnya,kecenderungan para aktor itu kemudian malah hanya membawakeuntungan bagi orang-orang tertentu, yang memiliki ‘koneksi’semata. Praktek semacam itu akan mengabaikan keberadaan
123
peluang yang demokratis serta menafikan para aktor yang lebihmenjunjung demokrasi daripada politik-kekuasaan. Kesimpulankelima juga mencerminkan paradoks serupa. Kesimpulan inimenjelaskan bahwa transformasi oleh demokrasi liberal belumdiikuti usaha yang sepadan untuk mencapai keadilan hukum yangsebenar-benarnya, penegakkan hukum, serta tata kelola peme-rintahan (governance) yang akuntabel dan transparan. Transformasiitu pun tak didukung kalangan donor internasional berikut part-ner domestiknya di Indonesia, meski lembaga-lembaga itu kerapmenyorot dan mengingatkan dampak dari berbagai hambatandemokrasi tersebut. Kesimpulan keenam juga mencerminkanparadoks yang mengganjal. Di satu sisi, berbagai masalah dalamdemokrasi tersebut menjadi persoalan serius, terutama di wilayahkemenangan pasangan gubernur IRNA. Beratnya permasalahanitu semakin kentara di daerah kabupaten/kota, tempat kandidatdukungan KPA dan SIRA memenangkan pemilihan. Tapi, secarakeseluruhan, baik di Aceh secara umum, maupun di distrik-distrikpada khususnya, tak terlihat adanya peningkatan kemampuanpolitik dalam memanfaatkan upaya yang demokratis, demimengubah situasi dan kondisi yang buruk itu. Kesimpulan terakhirjuga merupakan sebuah paradoks. Sebagian besar persoalan yangtelah diidentifikasi itu tampaknya sulit diatasi, terutama oleh paratokoh pro-demokrasi terkemuka di Aceh. Sementara itu, aktorpolitik lainnya memilih jalan yang lebih mudah, yakni menyesuai-kan diri dengan standar dan perilaku ‘normal’ gaya Indonesia. Ituberarti, prestasi Aceh yang luar biasa tak hanya terancam buyar,tapi fondasinya pun sangat rapuh. Bahkan prognosis atauprakiraan sementara meramalkan, situasi di masa depan akan kianmemprihatinkan. Terutama, jika para tokoh dalam proses per-damaian, yang memilih upaya membangun dan memanfaatkanpeluang di tengah demokrasi Indonesia yang sedang tumbuh itu,semakin dikucilkan.
DEMOKRASI DI ACEH: DIAGNOSIS DAN PROGNOSIS
124 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
Kami akan menguraikan ketujuh karakteristik Aceh itu satupersatu. Untuk mengetahui lebih rinci, perkiraan dan kecen-derungan yang dihasilkan dari analisis data survei, lihat kompilasidata yang dimuat di lampiran bab ini. Selain itu, data tersebut dapatjuga dilihat dalam Priyono, Samadhi, dan Törnquist et.al.(2007)dan Samadhi dan Warouw, eds (2008).
(1) ‘Political demos’Gambaran tentang Aceh dalam Survei Nasional Pertama, pada
2003 dan 2004, menegaskan pemahaman umum tentang provinsiyang sarat masalah, terutama dalam pemenuhan hak asasi manusiadan politik demokrasi. Selain itu, kalangan nasionalis Indonesiayang konservatif menolak penyelesaian secara politik. Selama ber-gulirnya perundingan damai yang baru, argumen utama kelompoktersebut adalah pemberian hak kepada rakyat Aceh untuk meng-ajukan kandidat independen dalam Pilkada—apalagi memberi hakmembentuk partai politik lokal daripada menggunakan partaipolitik berbasis Jakarta, atau partai politik ‘nasional’—akan mem-pertahankan upaya separatisme, serta meremehkan kesatuan In-donesia. Selain itu, pemberian hak itu dikhawatirkan bakalmenyuburkan politik lokal berbasis suku bangsa (yang bakalmenjadikan etnis Jawa sebagai lawan), dan memperkuat posisi Is-lam yang sangat dominan.
Yang menarik, sebagian besar data survey dari akhir 2006 dan2007 tentang sikap dan identitas politik, serta metode organisasidan pola mobilisasi justru menolak anggapan tersebut. Pertama,menurut para informan, orang Aceh lebih berharap dari politikdan sikap orang Aceh terhadap politik tak sesinis orang Indonesiapada umumnya. Sikap itu bisa jadi terpengaruh oleh euforia yangmelingkupi pelaksanaan Pilkada, yang diselenggarakan beberapawaktu sebelum wawancara dilakukan. Enam bulan kemudian,sejumlah informan dari Aceh dalam Survei Nasional menyatakan,
125
hanya segelintir kalangan dalam masyarakat Aceh yang me-mandang politik sebagai upaya meraih kontrol rakyat atas masalah-masalah publik. Umumnya, menurut mereka, rakyat menganggappolitik sebagai pergulatan meraih kekuasaan. Kecenderungan yangdominan itu tetap bertahan. Dibandingkan dengan orang Indone-sia pada umumnya, hanya sedikit orang Aceh yang memandangpolitik hanyalah urusan tokoh publik atau permainan para elit.Senada dengan data tersebut, para informan Aceh menuturkanbahwa jumlah orang Aceh yang berminat pada politik kianbertambah, jika dibanding dengan pandangan para informan didaerah lainnya. Enam bulan kemudian (menurut para informanAceh dalam Survei Nasional) perbedaan itu tetap terlihat,walaupun kini tak terlalu mencolok. Bahkan gambarannya takberbeda dengan situasi Indonesia pada umumnya, jika kami hanyamenyorot kelompok perempuan, yang kerap dianggap, secara politikkurang berminat dengan gagasan ‘Islam Aceh’. Selain itu, kendatipara informan dalam survei Aceh, tentu saja, lebih tertarik padademokrasi alternatif dan partai politik lokal dibanding informandari daerah lain di Indonesia, tak ada perbedaan ekstrem. Di sisilain, ditemukan pula sedikit perbedaan antara informan Aceh danIndonesia pada umumnya, tentang gagasan bagaimana mening-katkan partisipasi publik. Umumnya, mereka masih fokus padaprioritas dalam pendekatan liberal, yakni meningkatkan kesadaranmasyarakat secara keseluruhan, terutama perempuan; ketimbangmenekankan upaya pengorganisasian gerakan politik dan per-juangan untuk mendapatkan perlakuan yang lebih baik.
Kedua, tak ada penanda yang jelas perihal pembentukan demosberbasis warga negara di Aceh. Kualitas institusi yang mendorongkesetaraan warga negara, misalnya, masih sangat minim. Gam-baran tentang standar partisipasi masyarakat sipil secara propor-sional lebih positif, meskipun masih lebih rendah daripada Indo-nesia secara keseluruhan. Indikator pemenuhan hak asasi manusia
DEMOKRASI DI ACEH: DIAGNOSIS DAN PROGNOSIS
126 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
juga tidak teramat mengesankan. Walaupun kebebasan mulaidiperoleh, baik di bidang budaya dan agama; serta dimulainyapemenuhan hak membentuk serikat buruh, hak anak, dan hakuntuk memperoleh pendidikan. Kesimpulan ini diperoleh setelahmembandingkan dimensi lain dalam demokrasi di Aceh. Namun,menilik data yang ada, tak ditemukan kecenderungan yangmengarah pada bangkitnya politik berbasis identitas. Para informantidak tampak khawatir jika partai politik cenderung menyalah-gunakan agama, dan sentimen etnis, serta simbol-simbolnya. Disamping itu, penilaian terhadap identitas masyarakat, dalamhubungannya dengan pelaksanaan Pilkada, menunjukkan bahwaangka hubungan identitas etnis dan agama dengan pelaksanaanPilkada tidak lebih tinggi daripada situasi di Indonesia secara umum.Faktanya, hasil penilaian itu di daerah kemenangan IRNA dalamPilkada, ternyata lebih rendah daripada di wilayah tempat IRNAkalah. Patut diakui, kemenangan pasangan IRNA, dan khususnyakandidat dukungan KPA dan SIRA diperoleh di daerah yangdidominasi oleh etnis Aceh, dan telah terpenuhi pula hak-hakasasinya (Mietzner 2007: 31). Jadi, berdasarkan hasil survei tersebut,bisa diinterpretasikan, di daerah dengan etnis Aceh sebagaimayoritas, suara yang dikumpulkan bukan berdasarkan padasentimen etnis, atau merupakan hasil mobilisasi atas dasar sentimenetnis. Satu-satunya indikasi yang tampak bertolak belakang adalahrakyat di daerah kemenangan kandidat dukungan KPA dan SIRAitu mengidentifikasi diri mereka sebagai orang Aceh, jika ber-hadapan dengan orang non-Aceh. Namun, kecenderungan ituhanya terjadi pada Pemilu 2004. Umumnya, cara rakyat meng-identifikasi diri mereka tak berbeda, yakni melalui keterkaitanmereka dalam konflik sosial yang tengah terjadi, atau dalam konflikantara daerah dan kabupaten yang berbeda. Tidak ada tanda-tandaakan adanya politik identitas yang berbasis etnis dan agama, meskikecenderungan itu bisa saja terjadi di daerah lain di Indonesia.
127
Situasi ini juga dibuktikan melalui penilaian di Aceh terhadapkecenderungan para aktor politik di Aceh untuk memanfaatkansentimen etnis dan agama dalam memobilisasi rakyat, serta mem-bangun aliansi; yang dibandingkan dengan kondisi di Indonesiapada umumnya. Secara keseluruhan, semua hasil survei meng-ungkap keberadaan identitas berbasis teritori tanpa kecenderunganekstrem terhadap masyarakat lokal. Bahkan, di beberapa lokasi,identitas kelas yang dijumpai di Aceh tak sebanyak yang terjadi diIndonesia secara umum.
Singkatnya, demos Aceh belum mencerminkan demos yangterbentuk melalui pemenuhan hak-hak warga negara, kendatimereka tidak menerapkan kriteria-kriteria dalam pendekatan sosialdemokrat, dan lebih memilih melaksanakan kriteria dalampendekatan liberal (meskipun dalam cakupan yang terbatas).Namun, dalam kondisi seperti itu, keterlibatan publik sertatindakannya dalam politik ternyata tidak didasarkan oleh sentimenetnis dan agama, melainkan lebih berdasarkan pada kepentinganpolitik dan partisipasi. Kenyataan ini mengingatkan kita padapengalaman serupa di India, seperti yang dikemukakan oleh ParthaChatterjee (2004) dan John Harriss (2006). Mereka menyebutkan,antara lain, dominannya peran para politisi serta partai politiknyadalam menjalin relasi dengan mayoritas penduduk. Mayoritaspenduduk itu belum mampu memanfaatkan hak-hak formal merekasebagai warga negara, atau bahkan tak terpenuhi hak-haknyasebagai warga negara. Namun, mereka tetap terlibat sebagaipengikut dan pemilih, serta paling tidak, turut berjuang melawanpenguasa yang lalim. Dengan kata lain, alih-alih berdampak buruk,kebebasan politik lokal di Aceh lebih berdampak positif bagipembangunan demokrasi. Baik sebagai provinsi yang menjalankanpemerintahan-sendiri, maupun dalam konteks Indonesia padaumumnya. Meskipun belum tercapai kesetaraan dalam pemenuhanhak-hak warga negara di Aceh.
DEMOKRASI DI ACEH: DIAGNOSIS DAN PROGNOSIS
128 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
(2) Politik sebagai panglima, tapi kehabisan energiSiapa yang kemudian memegang kendali pemerintahan di
provinsi Aceh dan kelompok mana yang paling berkuasa setelahSoeharto jatuh? Jawaban pertanyaan ini, menurut konsensus yangditerima luas di kalangan para pemerhati politik, adalah kebijakandesentralisasi yang drastis dan lokalisasi para elit lokal secara takterorganisir, yang juga ditingkahi oleh bertahannya kontrolpemerintah pusat atas sejumlah sektor vital dalam pemerintahan.Selain itu, meluas pula spektrum politik, yang terdiri dari kalanganpengusaha berpengaruh, politisi, maupun partai politik. Dominasispektrum ini kemudian menggantikan posisi kelompok birokratdidikan Soeharto dan para petinggi militer. Dominasi itu takberubah kendati sebagian birokrat dan petinggi militer itu akhirnyamengenakan identitas baru. Di sisi lain, terjadi pula peningkatansignifikan jumlah organisasi-organisasi etnis dan keagamaan.Secara keseluruhan, situasi ini berkembang, antara lain, di dalamwadah militer yang tetap mempertahankan upaya pendanaanmandiri dan terorganisir secara teritorial; serta di dalam wadahdemokrasi formal, yang kental dengan unsur patronase, kerja samainformal antara politisi, birokrat, militer, dan kalangan bisnis; sertadi dalam deregulasi pasar informal, yang juga pekat dengan budayapatronase dan kerja sama informal serupa (Aspinall dan Fealy 2003,Robison dan Hadiz 2004, Nordholt 2004, Nordholt 2006, Nordholtdan van Klinken 2007, dan van Klinken 2009).
Dalam kasus Aceh sebelum perjanjian damai, sebagian besarpakar pemerhati Aceh menyorot pada peran khusus upayapengumpulan modal secara primitif, baik yang dilakukan militerIndonesia, bekerja sama dengan kelompok politisi neo-patrimonial,pengusaha, serta kelompok milisi; maupun yang dilaksanakanGAM. Di sisi lain, jarang sekali ditemui kelompok buruh, petani,kaum miskin kota, dan serta kelompok kelas marginal lainnya,yang terorganisir berdasarkan kepentingan mereka. Sementara itu,
129
kelompok profesional kelas menengah, intelektual, dan mahasiswayang tergabung berada dalam beraneka kelompok aksi danorganisasi non pemerintah, mulai memperoleh tempat di arenapublik lebih luas, setelah Soeharto tumbang. Namun, sayangnya,mereka kembali terkungkung di bawah rezim Megawati (misalnyaSchulze, 2004, 2006, Kingsbury 2006, Sualiaman, 2006, dan Sulaimandan van Klinken 2007). Sebagaimana telah didiskusikan pada Bab1, yang juga akan dibahas lebih lanjut dalam Bab 4, berbagai upayaperdamaian di daerah konflik di Indonesia, yang dipuji keber-hasilannya dan dipromotori oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla itu,berlandaskan gagasan, sebagai berikut: Penggunaan kekuatanmiliter secara brutal seharusnya digantikan dengan upaya mem-fasilitasi bisnis secara politik (dan militer), yang menuai laba bagisemua pihak yang terlibat, termasuk untuk kalangan gerilyawanyang mau berkompromi.
Selanjutnya, model Kalla yang selalu berorientasi bisnis jugaditerapkan dalam pelaksanaan integrasi para bekas gerilyawan.Upaya ini sejalan dengan dua gagasan internasional konvensional,yang menyatakan bahwa keberadaan pasar liberal dan demokrasiakan mempercepat perdamaian. Namun, akhirnya Kalla lebihmenonjolkan ide pertama dan mereduksi ide kedua. Alasannya,seperti yang dikemukakan dalam penjelasan-penjelasan terbarutentang demokrasi liberal, pelaksanaan proses demokratisasi yangutuh perlu ditunda, jika stabilitas bisa terancam. Pasalnya, saatitu belum terdapat institusi demokrasi yang solid di konteksmasyarakat yang bersangkutan (misalnya Mansfield dan Snyder2005; Bdk. Paris 2004 dan Richmond 2007). Kendati begitu, prosesrekonstruksi pasca-tsunami di Aceh perlu disokong dana bantuandan rekonstruksi oleh komunitas lembaga bantuan internasional.Dalam menggunakan dana tersebut, lembaga internasional itu pundituntut akuntabilitasnya oleh para pembayar pajak di masing-masing negara donor. Dengan berlangsungnya dominasi
DEMOKRASI DI ACEH: DIAGNOSIS DAN PROGNOSIS
130 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
kekerasan, penyalahgunaan kekuasaan dan korupsi di Aceh,komunitas internasional pun enggan bekerja dengan kelompokdominan dan pemerintah di Aceh. Mereka lantas memilih untukmengelola langsung dana bantuan itu, dan bekerja sama denganpara teknokrat di Jakarta.4
Dalam konteks ekonomi politik semacam itu, bagaimana nasibtransformasi konflik, dari konflik di medan pertempuran, menjadiperlawanan melalui jalur politik demokrasi? Selain mengakhiripertempuran bersenjata, satu-satunya isu penting yang diselesaikanoleh perjanjian damai adalah Aceh akan memperoleh proporsi lebihbesar dari pendapatan yang dihasilkan dari eksploitasi sumber dayaalamnya; desentralisasi kewenangan pemerintah dalam menanganiberbagai isu kepentingan publik. Pengaturan secara rinci atas isu-isu tersebut akan dibahas lebih mendalam dan dirundingkan lebihlanjut (pasca penandatanganan perjanjian damai). Pembahasan itu,antara lain, termasuk mengenai pembentukan komisi khusus untukhak asasi manusia, serta perumusan Undang-Undang PemerintahanAceh (UUPA). Negosiasi akan dilaksanakan dalam kerangka yangdemokratis, di mana rakyat Aceh sendiri akan memilih langsungwakil-wakilnya. Lantas, apakah hasil yang dicapai?
Hasil survei terhadap para aktivis senior pro-demokrasi diAceh, cukup mengejutkan. Politik adalah panglima di Aceh. Kendatidemikian, masih terdapat sejumlah tanda yang mengisyaratkanbertahannya dominasi segelintir pejabat dalam tubuh birokrasi danmiliter, yang dulu berperan penting di era Soeharto (McGibbon2006). Kondisi ini umum ditemui dalam situasi pasca konflik.Kesimpulan serupa juga berlaku dalam menilai menjamurnyakehadiran kalangan pengusaha di daerah konflik lain di Indone-sia. Sesuai perkiraan, kalangan bisnis bakal tumpah-ruah di Acehkarena tercurahnya dana yang masif ke Aceh, serta munculnyaberbagai peluang bisnis baru setelah tsunami.
Dalam menjawab pertanyaan tentang aktor yang paling
131
berpengaruh dalam politik secara umum, para informan mengata-kan, peran bisnis sangat signifikan di Banda Aceh danLhokseumawe. Tapi, secara keseluruhan, kelompok bisnis ini tidakmemiliki pengaruh sebesar kelompok yang sama di Indonesia, padaumumnya. Para informan itu juga menyebutkan bahwa para politisiyang memegang jabatan ekskutif, kalangan birokrat, militer danpolisi, tak memiliki posisi yang cukup berpengaruh dibandingkandaerah lainnya di Indonesia. Sebaliknya, jika dibandingkan dengandaerah lainnya di Indonesia, organisasi non pemerintah danorganisasi massa (kemungkinan, di antaranya, kelompok-kelompokkeagamaan dan organisasi seperti KPA dan SIRA) dianggap lebihberpengaruh di Aceh. Walaupun, di saat bersamaan, partai politikdan politisi di Aceh tak memiliki posisi sekrusial posisi partai politikdan politisi pada skala nasional, serta para akademisi, pakar,pengacara, dan media massa masih jauh tertinggal di bandingdaerah lainnya di Indonesia. Kendati begitu, selain fakta bahwaorganisasi tersebut tidak mengusung isu menyangkut identitasetnis dan agama, tak terlihat pola yang jelas mengenai basis sosialpara aktornya. Namun, sekelumit indikasi menunjukkan bahwaorganisasi non pemerintah di wilayah kemenangan pasanganIRNA, adalah organisasi yang lebih berbasis pada kepentingandibanding organisasi serupa di daerah lainnya di Aceh. Kecen-derungan-tersebut sesuai dengan tesis McGibbon (2006) bahwapasca 1998, terdapat kevakuman kekuasaan di Aceh. Akibatnya,aktor lokal berpengaruh makin banyak bermunculan, dan terciptajuga ruang manuver politik yang lebih luas, bagi GAM dankelompok mahasiswa pro-kemerdekaan.
Data yang menunjukkan bagian tertentu dalam peta politik, dimana para aktor memiliki akses dan mampu mengajukan prioritas,atau di mana para aktor sepenuhnya diasingkan, semakinmemperjelas dan memperluas gambaran di atas. Semua aktorterkemuka cenderung untuk berkumpul di sekitar kelompok-
DEMOKRASI DI ACEH: DIAGNOSIS DAN PROGNOSIS
132 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
kelompok lobi, organisasi massa dan organisasi berbasis kepentingan,partai politik, lembaga legislatif lokal, dan birokrasi. Di sisi lain,kendati kelompok bisnis tentunya lebih fokus pada sektor bisnis—tapi, tampaknya mereka menghabiskan tiga perempat energinya disektor-sektor dominan lainnya. Setali tiga uang dengan perilaku parapengusaha, organisasi non pemerintahan, tokoh adat, kalanganakademik dan para pakar di bidang lainnya pun menempatkankelompok lobi ‘mereka’ sebagai prioritas. Para pemuka agama danpimpinan organisasi massa dan organisasi berbasis kepentingan jugafokus pada kelompok dan konstituen ‘mereka’. Namun, mereka semuaterlihat menghabiskan dua pertiga waktunya di tempat lain yangtak kalah pentingnya. Partai-partai politik dan para politisi punbertingkah serupa. Tapi, yang mengherankan, para politisi justrukurang fokus pada ruang lingkup pekerjaannya, yakni tugas-tugasdi parlemen. Mereka lebih sibuk berurusan dengan kelompok-kelompok lobi, birokrasi, serta dengan organisasi-organisasi politikdan maupun organisasi berbasis kepentingan.
Di dalam situasi demikian, sumber utama bagi kekuasaanbukanlah sumber daya ekonomi. Akses terhadap kekuatan koersif(politik, militer, dan demonstrasi massa), serta kekuatan sosial dankoneksi khusus adalah sumber utama bagi kekuasaan, yangdibutuhkan semua aktor. Bahkan sumber keempat—yaitu sektorkebudayaan dan pengetahuan—jauh lebih penting daripadasumber daya ekonomi.5
Singkatnya, para informan yang berpengalaman mengiden-tifikasi dua tren. Pertama, kepentingan para pengusaha di Acehdidorong oleh terbukanya berbagai peluang bisnis; masuknya danamasif untuk proyek rekonstruksi; menggeliatnya pembangunanekonomi program rekonstruksi dan membaiknya akses terhadapsumberdaya alam pasca tsunami; serta adanya kesepakatan damai.Namun, meskipun para pengusaha itu bisa saja turut melahirkantindak korupsi, misalnya, di dalam BRR (Badan Rehabilitasi dan
133
Rekonstruksi NAD-Nias); para aktor dari kalangan bisnis itu belummampu mempengaruhi politik di Aceh seperti halnya yang terjadidi berbagai provinsi lain di Indonesia. Situasi semacam itu terjadisetidaknya berkat strategi lembaga donor internasional, untukmencegah campur tangan militer dan pemerintahan daerah yangkorup. Strategi ini terlihat mampu menjaga independensi politik.Namun, strategi itu juga menutup kesempatan rakyat Aceh untukterlibat dalam proses pengambilan keputusan, pelaksanaanrekonstruksi, dan pembangunan ekonomi, melalui pemimpin yangmereka pilih. Parahnya lagi, strategi itu justru menyingkirkanpeluang unik untuk membangun kembali dan menata ulang per-ekonomian dan pemerintahan pasca tsunami, serta melaksanakankesepakatan damai dengan lebih bertanggung jawab secara sosial,dan melalui cara yang demokratis.
Tren kedua, menurut para informan, para aktor kalangan bisnisyang terlibat dalam kegiatan politik itu sangat dekat dengankalangan birokrasi, militer, politisi, partai politik, kelompok lobi,dan organisasi-organisasi kepentingan. Kelompok aktor diorganisasi-organisasi kepentingan itu, sebaliknya juga menjalinberbagai kesepakatan dengan tokoh-tokoh bisnis. Secara umum,hasil survei yang menyorot hubungan simbiotik antara kalanganbisnis secara luas dan dunia politik adalah sebagai berikut. Dalamstudi kasus Aceh, relasi itu menunjukkan bahwa praktek-praktekneo-patrimonial ternyata masih hidup. Selain itu, pola relasi yangbertumpu pada ‘koneksi bagus dan perlakuan khusus’ dimanfaat-kan oleh bekas gerilyawan GAM dan pimpinannya, untuk men-dorong agar proses reintegrasi berbuah pada peluang bisnis.6 Halini dilakukan, khususnya, ketika bekas gerilyawan itu kurangberhasil bersaing di pasar terbuka. Apalagi jika mereka dibanding-kan dengan para pakar dari organisasi masyarakat sipil—sasaranutama kritik para mantan GAM—yang acapkali mampu mem-peroleh gaji yang lebih besar.
DEMOKRASI DI ACEH: DIAGNOSIS DAN PROGNOSIS
134 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
Hambatan terbesar muncul apabila dua tren itu bertemu. Ituberarti para aktor bisnis yang berpengaruh itu, yang selama initidak bisa sepenuhnya masuk dalam politik, akhirnya mampuleluasa mempengaruhi politik. Sehingga, Aceh menampilkanberbagai perilaku yang selama ini juga terjadi di provinsi lainnyadi Indonesia. Sementara itu, di saat bersamaan, para politisi danwakil rakyat yang lain, tidak mampu meraih kontrol yangdemokratis terhadap sumber daya ekonomi, serta tak bisa pulamenentukan prioritas dalam pelaksanaan rekonstruksi. Mereka puntak berdaya mencegah berkembangnya hubungan simbiosis antarapraktek-praktek bisnis dan penyelenggaraan administrasi peme-rintahan serta dunia politik, yang juga menyuburkan tindakkorupsi, kolusi, dan nepotisme.
Sayangnya, situasi itu tak dianggap sebagai ancaman seriusbagi banyak aktor di Aceh. Anggapan itu juga dianut kalanganpemimpin kelompok nasionalis konservatif di Aceh maupun parabekas komandan, selama mereka terus memperoleh keuntungandari koneksi mereka yang bagus dan hubungan patronase yangterjalin secara memadai dengan para pengikutnya. Ironisnya, merekatampak lebih luwes dalam menyesuaikan diri dengan standarperilaku yang ‘normal’ model Indonesia. Mereka tak memilihmenjadi kelompok nasionalis moderat, yang memperoleh legitimasidengan pemikiran yang menekankan bahwa Aceh bisa memperolehkeuntungan dari partisipasi politik yang utuh dan demokratisasiyang sungguh-sungguh di dalam sistem politik Indonesia.
(3) Kebebasan politik di tengah representasi politik yang terhambatHingga akhir Januari 2005, hanya sejumlah kecil ilmuwan dan
aktivis yang menyatakan, pelaksanaan demokrasi di Aceh merupa-kan opsi yang menjanjikan, serta merupakan instrumen untukmentransformasi konflik di Aceh. Umumnya, anggapan yangberkembang menyatakan, institusi demokrasi baru tak akan
135
bertahan lama. Skeptisisme ini muncul karena sejumlah faktorpenting. Sejarah menunjukkan bahwa Jakarta takkan berhentimengeksploitasi sumber daya alam Aceh, dan melibas siapapunyang menentang, kendati Soeharto telah tumbang. Karena itu,sebagian besar aktivis pro-demokrasi di Aceh beranggapan, tanpakemerdekaan maka takkan ada ada perbaikan substansial di Aceh.Selain itu, sejumlah kondisi yang menjadi prasyarat bagi tumbuh-nya demokrasi, baik struktural maupun institusional, sangatlahminim. Lagipula, kelompok nasionalis konservatif di Aceh takberkeinginan untuk melaksanakan demokrasi. Kendati begitu,beberapa bulan kemudian, demokrasi kemudian diperkenalkansebagai prasayarat terbentuknya pemerintahan-sendiri. Konsep itusecara umum diterima sebagai basis untuk mencapai kesepakatandamai, bahkan akhirnya menjadi fondasi kokoh bagi perdamaian.Alasan yang menyebabkan situasi tersebut telah dibahas dalamBab 1 dan disinggung pula di pendahuluan Bab ini. Yang menjadipertanyaan saat ini adalah bagaimana nasib bingkai baru dalammenjalankan demokratisasi setelah mulai diterapkan di Aceh.
Berdasarkan penilaian terhadap kalangan aktivis pro-demo-krasi di lapangan dalam survei Demos, terdapat empat paradoksyang akan diuraikan sebagai berikut. Paradoks pertama, pelaksana-an demokrasi liberal dan pemberian kebebasan yang unik(dibandingkan dengan standar di Indonesia), untuk mengajukankandidat politik independen dan mendirikan partai-partai politiklokal, ternyata tak berdampak pada rendahnya keterwakilanaspirasi rakyat.
Faktor paling krusial dalam penilaian terhadap para tokohpro-demokrasi Aceh adalah apakah aktor-aktor kunci mendukung,serta menerapkan tujuan dan instrumen demokrasi dengansungguh-sungguh. Atau, sebaliknya, mereka hanya memanfaatkantujuan dan instrumen dalam demokrasi untuk kepentingan sesaat,atau bahkan menyalahgunakan atau menghindarinya. Pertanyaan
DEMOKRASI DI ACEH: DIAGNOSIS DAN PROGNOSIS
136 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
ini merupakan cara yang lebih ampuh untuk menanyakan halserupa, seperti yang kerap dimuat dalam literatur internasional,yakni benarkah demokrasi merupakan satu-satunya tujuan dalamberpolitik. Hasil yang diperoleh sungguh luar biasa, apalagi karenapenilaian ini dibuat oleh para aktivis demokrasi yang cukup kritis.Faktanya, menurut pemaparan informan, lebih dari setengah aktor-aktor kunci menegakkan dan memanfaatkan instrumen dalamdemokrasi. Sedangkan hampir sepertiga aktor lainnya sekedarmemanfaatkan saja, dan hanya 10% saja yang menyelewengkanatau menghindarinya. Bila dibandingkan dengan Survei Nasional(yang menggunakan pertanyaan agak berbeda), data dari Acehmenunjukkan angka lebih tinggi bagi kelompok aktor berpengaruh,serta angka yang tak terlalu rendah bagi para aktor di salurandemokrasi alternatif. Di sisi lain, justru para informan Aceh dalamSurvei Nasional lebih kritis terhadap para aktor kunci di jalurdemokrasi alternatif di Aceh. Menurut para informan, kemauanpara aktor kunci di jalur demokrasi alternatif untuk mendukungdan memanfaatkan demokrasi hanya 15% di bawah rata-rata SurveiNasional. Penyebabnya, para aktor terkemuka itutampaknyamenganggap instrumen dalam demokrasi itu kurang berguna.Namun, data Survei Nasional mengenai aktor berpengaruh di Acehmenunjukkan gambaran yang lebih positif dibandingkan Indone-sia secara keseluruhan.
Sesungguhnya, hasil Survei Regional dan Nasional di Acehkurang mengesankan dibanding gambaran dari Indonesia secaraumum. Terutama ketika kualitas instrumen demokrasi itu diamatisecara lebih rinci melalui dimensi-dimensi utama yang terkandungdi dalamnya. Meski begitu, angka penilaian dengan hasil positif,relatif tinggi, apalagi mengingat kondisi di Aceh. Perbandinganyang lebih mendetail antara data Survei Nasional dan data di Acehtampaknya sulit dilakukan, karena terfragmentasinya data di Aceh.Namun, tampak jelas, pemberian kebebasan dan pemenuhan hak
137
menunjukkan penampilan terbaik, serta dilaksanakan secara meratadan substansial di semua institusi demokrasi. Situasi ini miripdengan kondisi di Indonesia secara keseluruhan. Lembaga-lembagatertinggi dalam demokrasi mengakomodasi beragam kebebasan, diantaranya, kebebasan beragama dan menganut kepercayaantertentu, kebebasan dalam bidang kebudayaan dan bahasa, pemiluyang bebas, kebebasan media, kebebasan untuk berpendapat danberorganisasi (termasuk hak membentuk serikat buruh), kebebasanmembentuk organisasi masyarakat sipil, pemenuhan hak anak, sertahak untuk mendapatkan pendidikan dasar (termasuk hak dankewajiban warga negara). Selain itu, hal yang paling signifikan,yakni instrumen demokrasi paling positif di Aceh adalahdiberikannya kebebasan untuk mendirikan dan menjalankan partaipolitik dan berpartisipasi dalam pemilu, terutama di tingkat lokal,dan untuk sementara, diperbolehkan mengajukan kandidatindependen. Inilah kesuksesan terbesar yang pernah diraih Aceh,serta menunjukkan gambaran yang sama sekali bertolak belakangdengan aturan non-inklusif di daerah lain di Indonesia. Kinisejumlah pengecualian telah diatur dalam peraturan yang berlakunasional mengenai keberadaan kandidat independen. Meski begitu,saat ini, kecil peluang untuk mendirikan partai politik, yangtumbuh dari level akar rumput, serta mampu memenuhi per-syaratan hukum, dan kemudian bisa berpartisipasi dalam pemilu.7
Kendati terdapat berbagai kesempatan yang bagus lagi unik,misalnya, untuk mulai mengorganisir diri secara politik sebelumakhir 2006 (ketika survei dilaksanakan), serta membentukdukungan berlapis di belakang para kandidat independen, parainforman di Aceh (seperti umumnya aktor politik di Indonesia)memberi tanggapan negatif terhadap semua indikator dalam surveimengenai perwakilan politik. Indikator-indikator yang dimaksud,antara lain, sejauh mana partai politik mencerminkan aspirasi dankehendak rakyat; seberapa mampu partai politik itu menjauhi
DEMOKRASI DI ACEH: DIAGNOSIS DAN PROGNOSIS
138 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
tindakan penyalahgunaan sentimen agama dan etnis, simbol-simboldan doktrin; apakah partai politik bebas dari politik uang dan daripengaruh kelompok kepentingan yang berpengaruh; bagaimanapartai politik menerapkan kontrol terhadap para anggotanya;seberapa responsif partai politik itu; dan bagaimana akuntabilitaspartai di hadapan para konstituennya; serta kemampuan partaipolitik untuk membentuk dan menjalankan pemerintahan.
Kritik terhadap aspek dalam perwakilan politik ini bisa dibilangkarena penilaian di Aceh menggunakan persepsi atas kiprah partaipolitik nasional yang sudah lama eksis. Penyebabnya, pendirianpartai politik lokal belum terwujud hingga akhir 2006. Penjelasanini mungkin beralasan karena dalam survei Nasional kedua pada2007, sejumlah informan di Aceh tampak lebih optimistis. Kendatibegitu, fakta utamanya, terjadi penundaan dalam persiapanpendirian partai politik. Penundaan itu mencerminkan adanyapersoalan di kalangan pemerintahan, organisasi-organisasi politikdan para pimpinan mantan gerilyawan GAM. Para pimpinan GAMdisibukkan oleh konflik internal, untuk menentukan langkah dalammenghadapi pemilihan kepala daerah secara langsung. Ketika itu,mereka saling berdebat, misalnya, dalam penentuan kandidat, dandalam menentukan sekutu yang tepat. Pandangan mereka terbelah:apakah mengajukan kandidat independen, atau menggabungkandiri dengan partai-partai nasional yang telah mapan. Namun,pertanyaan yang lebih mendasar adalah seberapa demokratis ke-putusan yang dibuat, dan seberapa banyak mereka bisa me-rumuskan keputusan yang demokratis. Berbagai faktor krusial yangmempengaruhi pengambilan keputusan itu telah didiskusikan padaBab 1 dan tak perlu diulang di bab ini8. Sementara itu, aspek lainnyaakan diidentifikasi di Bab 5 dan 6. Namun, pada akhirnya,perpecahan tak terhindarkan. Di satu sisi, perpecahan ini mem-buahkan keinginan di kalangan kelompok tertentu, untukmembangun demokrasi yang lebih sungguh-sungguh. Namun,
139
di sisi lain, perpecahan itu juga menyebabkan terkungkungnyaproses demokratisasi di kalangan para nasionalis Aceh konservatif.
Selain itu, pertanyaan tentang bagaimana rakyat Aceh akanterwakili di level nasional, belum terjawab. Awalnya, kelompoknasionalis Aceh tidak mau membangun aliansi dengan partainasional yang dikendalikan Jakarta. Mereka juga menolak untukterlibat dalam politik di kancah nasional, baik melalui lembagaperwakilan maupun pemilu. Pasalnya, mereka bertujuan untukmendirikan pemerintah-sendiri, apabila kemerdekaan Aceh tak lagibisa diraih.9 Namun, sikap ini berbuah pada defisit keterwakilanmasyarakat Aceh yang pro-demokrasi di era pasca-Helsinki, baikdi tingkat legislatif maupun pada tingkat eksekutif di Jakarta.Akibatnya, terbentuklah kalangan elit yang telah terkooptasi dantak transparan, sehingga kerja sama dengan kalangan pro-demokrasi di Indonesia, pada umumnya, semakin sulit.
Singkatnya, para aktor kunci tampaknya dapat menerima aturanmain baru yang berpatokan pada prinsip-prinsip demokrasi. Selainitu, mereka juga memandang positif berbagai kebebasan danpemenuhan hak asasi yang vital. Di samping itu, luasnya kebebasandalam partisipasi politik—yakni untuk pertama kalinya dilakukanmelalui pengajuan kandidat independen serta kemudian melaluipendirian partai politik lokal—cukup menggembirakan. Namun,patut dicermati pula berbagai tanda yang mengkhawatirkan, sebabperkembangan positif itu belum menghasilkan penilaian yang lebihbaik terhadap indikator survei terhadap perwakilan politik, yangdianggap relevan. Perpecahan di kalangan bekas gerilyawan GAMdan sekutu mereka di kalangan masyarakat sipil menjadi salah satupoin buruk. Selain itu, bertumbuhnya kalangan elit yang terkooptasidan tak transparan, akibat belum adanya cara bagi rakyat Acehuntuk terwakili secara demokratis, agar bisa terlibat dalam diskusi-diskusi di tingkat nasional melalui organisasi yang mereka bangun.
DEMOKRASI DI ACEH: DIAGNOSIS DAN PROGNOSIS
140 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
(4) Jalan pintas di tengah terpuruknya representasi politikBagaimana peluang terciptanya partisipasi dalam kerangka
demokrasi yang partisipatif, di tengah meruaknya kebebasan politikdan tingginya partisipasi politik, serta terpilihnya pemimpin‘independen’, dan berdirinya partai politik lokal baru (dibahasMurizal Hamzah pada Bab 7)? Jawabannya sangat tergantung padaberbagai konteks dan tren yang dinilai dalam survei.
Seperti yang terjadi di Indonesia pada umumnya, serta kontekslainnya di dunia,10 masalah dalam sistem perwakilan di Acehmenimbulkan kecenderungan tertentu di kalangan aktor kunci danrakyat kecil dalam mengakses lembaga-lembaga pemerintahan. Aksestersebut diperoleh, baik secara langsung atau tak langsung, melaluisaluran lainnya, seperti media massa, organisasi non pemerintah,patron, maupun para perantara atau operator politik (fixer). Merekakurang berminat menggunakan lembaga perwakilan yang lebihdemokratis, seperti partai politik atau organisasi-organisasi rakyatberbasis kepentingan. Upaya mencari jalur alternatif sesungguhnyatak selalu berarti buruk. Berdasarkan bukti-bukti empiris di konteksberbeda, rakyat dan para aktor justru menghindari para mediatorkekuasaan yang secara de facto tidak demokratis, seperti para pa-tron dan partai-partai elitis, agar lembaga perwakilan itu bisabermanfaat bagi rakyat. Sebaliknya, rakyat dan para aktor lebihmendukung organisasi-organisasi dan para pemimpin yang lebihrepresentatif (seperti di Brasil dan Kerala). Kelompok itu terdiri dariorganisasi dan pemimpin, yang mampu mengelola akses danpartisipasi langsung dalam urusan publik dan pemerintahan, secaralebih demokratis.11 Paradoks kedua yang membuat persoalan diAceh kian serius adalah tiadanya dinamika positif seperti yangdicontohkan di atas. Yang terjadi, malah bertahannya upaya kontaklangsung dalam bingkai demokratisasi yang tak layak.
Kecenderungan pertama, semua aktor kunci lebih menyukaiupaya pendekatan langsung. Kecenderungan ini sungguh
141
dominan, dan juga berlaku di Indonesia pada umumnya. Sepertigaaktor yang disurvei lebih memilih cara itu, ketimbang pilihan-pilihanlain dalam daftar yang diajukan dalam Survei Nasional. Pilihantersebut, di antaranya, mediasi via organisasi non pemerintah,organisasi kerakyatan, kalangan intelektual dan media massa,pemuka masyarakat, patron dan fixer, kelompok-kelompokkomunal, kelompok di lingkungan tempat tinggal/lingkungan RT,partai politik, organisasi berbasis kepentingan, serta kelompok lobidan kelompok penekan. Daftar yang lebih sederhana kemudiandiajukan dalam survei di Aceh. Namun kecenderungannya tetapsama. Di Aceh, pemilihan mediator yang representatif, seperti partaipolitik, organisasi kerakyatan, dan organisasi berbasis kepentinganyang lebih spesifik, relatif lebih baik daripada di Indonesia secaraumum. Tapi, angkanya jauh di bawah pilihan menggunakanpendekatan langsung. Hanya para birokrat, politisi, pimpinan adatdan pemuka agama, serta aktor dari kalangan bisnis, yang kerapmenyebutkan penggunaan partai politik sebagai mediator. Tak adaperbedaan mencolok antar kabupaten di Aceh soal kecenderunganitu> Namun, kecenderungan untuk mengakses kekuasaan secaralangsung sedikit lebih tinggi di wilayah kemenangan pasanganIRNA. Menilik harapan para aktor tentang lembaga yang bisamereka manfaatkan, patut dicatat bahwa organisasi non pemerintahtak terisolasi dari kegiatan politik terorganisir. Di wilayah keme-nangan IRNA maupun para kandidat dukungan KPA/SIRA,organisasi non pemerintah ternyata lebih giat terlibat dengan paraekskutif dan lembaga-lembaga pemerintahan.
Dalam situasi semacam ini, apa yang bisa dilakukan rakyatsecara individu? Para informan mengungkapkan, dalam menyam-paikan aspirasi dan kepentingannya pada lembaga pemerintahan,rakyat cenderung menghindari kelompok perwakilan yangrepresentatif, seperti organisasi berbasis kepentingan, partai politikdan politisi yang telah terpilih. Selain itu, mereka juga tidak
DEMOKRASI DI ACEH: DIAGNOSIS DAN PROGNOSIS
142 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
langsung berhubungan dengan para birokrat yang relevan dengankebutuhan mereka, serta hanya sesekali berhubungan denganlembaga peradilan. Rakyat lebih memilih untuk mendekatiorganisasi non pemerintah, media massa, kelompok yang fokuspada isu tertentu, pemimpin informal, dan kelompok lobi. Selanjut-nya, studi khusus yang dilakukan di luar survei ini menemukanindikasi sebagai berikut. Jika rakyat kemudian menggunakanorganisasi berbasis kepentingan dan partai politik yang baru, demimenyuarakan tuntutan dan aspirasinya, umumnya mereka mencariindividu yang berpengaruh di dalam organisasi itu. Atau jika merekajuga pendukung organisasi tersebut, mereka berharap akan mem-peroleh keistimewaan tertentu, dibanding anggota lainnya.12
Mengapa demikian? Berdasarkan bukti-bukti sejarah yangempirik,13 kualitas peraturan dan perundang-undangan tentangkepentingan publik ditentukan dua aspek utama, yakni peraturanitu seharusnya mendorong (a) akses dan kontak rakyat secaralangsung pada layanan publik dan wakil-wakil politiknya dan (b)konsultasi pemerintah dengan publik, dan (jika memungkinkan)mendorong upaya memfasilitasi partisipasi langsung dalamperumusan kebijakan dan implementasi keputusan publik. Peraturandan perundang-undangan ini bisa berupaya melibatkan organisasiberbasis kepentingan seperti serikat buruh, asosiasi pekerja, organisasipetani, atau kelompok perempuan, secara demokratis (misalnya,tanpa melalui diskresi atau pertimbangan khusus oleh pihak-pihaktertentu). Mereka dilibatkan dalam pembahasan mengenai persoalandan keputusan, yang bisa mempengaruhi kepentingan mereka.Caranya, sebagai contoh, melembagakan kegiatan perencanaan danpenganggaran yang partisipatoris, secara demokratis. Survei kamimenunjukkan, pelembagaan kegiatan semacam itu mulanya taklazim. Walaupun pelembagaan itu eksis, tapi kinerja, ketersebarandan substansi dari kegiatan tersebut menempati urutan buncit, biladibandingkan dengan instrumen lainnya yang terkandung dalam
143
demokrasi. Hal ini juga berlaku dalam upaya menangani kegiatanperencanaan dan penganggaran secara partisipatoris itu, baik secaraformal maupun informal. Kalangan nasionalis Aceh berpendapat,lembaga informal tradisional tak menawarkan jalan keluar lebih baik.Lagipula, standar lembaga tradisional itu terlihat tak mampumenandingi para kandidat pemenang pilkada, yang didukung KPAdan SIRA.
Lantas, bagaimana peluang partai politik yang lebih baru, danbebas, serta dengan pamor lebih terang itu, mampu memperkuatkapasitas para aktor politik, serta menjawab tuntutan untukmenyediakan akses langsung dan partisipasi bagi rakyat?Jawabannya tentu terletak pada kemampuan demokrasi para aktorpolitik. Kapasitas itu merupakan dimensi paling krusial, dantermasuk dalam daftar instrumen yang dibutuhkan untukmenegakkan demokrasi berbasis hak asasi, di dalam survei kami.Sekelumit kabar baik dari survei ini adalah minimnya frekuensipara aktor untuk memiliki hubungan yang secara sosial mengakardengan kelompok agama dan etnis, dan membangun aliansi dengankelompok-kelompok tersebut. Pasalnya, para aktor lebih seringmenjalin hubungan dengan komunitas, kalangan profesional, dankelompok berbasis kepentingan. Selain itu, beberapa indikasimenunjukkan, kelompok agama, etnis dan kelompok komunitasdianggap kurang berpengaruh di sejumlah kabupaten, yakniwilayah kemenangan pasangan IRNA dan kandidat independendukungan KPA dan SIRA. Meski begitu, data juga menunjukkanbahwa organisasi profesional maupun organisasi berbasiskepentingan kerap memiliki keterkaitan dengan kalangan mapanyang berkuasa. Sementara itu, organisasi serupa yang berorientasipada kelas, maupun identitas, ternyata sangat jarang ditemui.Namun, patut diingat, data tentang pentingnya peranan para milisiternyata menunjukkan angka yang lebih tinggi dibandingkandengan rata-rata keseluruhan di Indonesia.
DEMOKRASI DI ACEH: DIAGNOSIS DAN PROGNOSIS
144 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
Di sisi lain, terdapat pula pro dan kontra terhadap problemdalam menjalankan kapasitas yang demokratis, untuk menggalangmobilisasi, dan mengangkat isu-isu penting. Jawaban para informanAceh dalam Survei Nasional 2007 cenderung positif. Merekamengatakan, nilai dan gagasan ideal sangat menentukan di Aceh,bukan identitas etnis dan agama. Selain itu, Survei regional di Aceh(meski informan dari kalangan ahli lebih sedikit daripada informanAceh dalam Survei Nasional) menunjukkan, fokus terhadap isu dankepentingan yang spesifik, kurang dominan dalam agenda politikdi Aceh, jika dibandingkan dengan kecenderungan umum di wilayahIndonesia. Sebaliknya, terjadi kombinasi berbagai isu, serta wacanapublik lebih diwarnai oleh pergulatan berbagai gagasan ideal danideologi. Sayangnya, data survei juga mengisyaratkan, penekananterhadap nilai-nilai yang berlaku secara umum, justru mengesam-pingkan perlunya upaya untuk menitikberatkan perhatian padapermasalahan dan perspektif sosial dan ekonomi yang fundamental.Satu-satunya topik ekonomi yang dianggap penting adalah adalahberbagai hal terkait pembangunan ekonomi di Aceh. Topik itu takhanya menyita perhatian para aktor berpengaruh, tapi seperti jugakecenderungan di Indonesia pada umumnya, juga menjadi titik beratperhatian para aktor non-pemerintah.
Barangkali, masalah yang paling serius adalah masih lemahnyakemampuan untuk menggunakan instrumen-instrumen demokrasidi dalam organisasi dan mobilisasi. Para aktor tak menggunakaninstrumen demokrasi ketika mengubah sumber daya ekonomi,sosial, koersif, dan kebudayaan menjadi kekuatan pengaruh yangsah dan otoritatif.14 Menerima mandat melalui proses pemilusehingga dapat memperjuangkan amanat rakyat, ternyata kurangdiapresiasi. Anggapan semacam ini bahkan dianut pula oleh parapolitisi. Cara yang lazim ditempuh dalam memperjuangkan aspirasiadalah penggunaan koneksi, dialog dengan para politisi dan pejabat,serta membangun jaringan, koneksi, dan kemitraan dengan tokoh
145
dan pakar yang berpengaruh. Perbedaan utama situasi di Acehdengan kondisi di Indonesia pada umumnya, terletak padaminimnya frekuensi kegiatan-kegiatan diskursif dan sedikitnyaaktor yang memilih pemanfaatan lembaga-lembaga negara sepertilegislatif, ekskutif, dan peradilan, untuk meraih legitimasi darirakyat.15 Semua aktor menggunakan metode utama yang serupa,yaitu membangun jaringan dengan tokoh-tokoh terkemuka dankharismatik. Di sisi lain, upaya integrasi organisasi rakyat yangmenyuarakan aspirasi dari bawah, masih sangat rendah. Di tengahsituasi semacam itu, penggunaan jalur klientelisme atau patronasealternatif kian marak. Klientelisme mengisyaratkan perilaku negatif,yang khususnya merupakan perilaku di kalangan birokrat, militer,partai politik, organisasi massa, organisasi berbasis kepentingan,dan para pelaku bisnis. Sedangkan di dalam kalangan organisasinon pemerintah, para informan mengungkapkan, penggunaanpatronase alternatif—atau mengandalkan akses melalui tokohterkemuka—lebih meluas daripada jalur klientelisme. Data yangmencerminkan kecenderungan ini tak menunjukkan perbedaansignifikan antara masing-masing kabupaten. Namun, indikasiberbeda ditemukan di daerah kemenangan pasangan IRNA dankandidat dukungan KPA/SIRA. Di daerah-daerah tersebut, tokoh-tokoh masyarakat tak dianggap sebagai sosok yang krusial. Situasiini mungkin merujuk pada fakta bahwa kandidat-kandidatindependen tersebut memiliki kemampuan yang lebih mengakardalam mengelola organisasi dan gerakan. Analisa ini barangkalimenjelaskan mengapa survei dan prediksi tentang siapa yang akanmenang dalam pemilu (berdasarkan kecenderungan di provinsi-provinsi lain di Indonesia), akhirnya jauh meleset.
Patut diakui, rendahnya kapasitas demokrasi para aktor akanterpengaruh pula oleh pesatnya pendirian partai politik lokal, yangakan dibahas pada Bab 7. Namun, seperti yang telah diprediksisebelumnya, studi-studi lain memaparkan berbagai persoalan yang
DEMOKRASI DI ACEH: DIAGNOSIS DAN PROGNOSIS
146 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
timbul akibat pola patronase, yang diterapkan para pemukamasyarakat dan partai.16 Survei tersebut juga mengungkapkan,lembaga-lembaga publik tak menyediakan akses langsung danpeluang partisipasi dalam pemerintahan dan layanan publik bagirakyat. Selain itu, jumlah organisasi yang demokratis, mempunyaibasis luas, serta dibangun dari bawah berdasarkan permasalahandan aspirasi para anggotanya, sangat sedikit. Artinya, kurangnyalembaga demokratis dan tindakan demokratis yang membingkaidan mengarahkan elit partai politik dan tokoh gerakan sosial.Walaupun mereka tampak berbeda-beda, pada hakekatnya, elit partaidan tokoh sosial memiliki pola pikir yang sama. Di belahan dunialain, terlepas dari segala perbedaan yang mereka miliki, para elitpolitik dan tokoh pergerakan sosial mampu menciptakan kerangkakerja bagi organisasi berbasis petani, buruh, dan partai hijau (partaipolitik yang fokus pada isu pelestarian lingkungan/juga dikenalsebagai the green parties).
Kondisi di atas mengandung dua konsekuensi serius. Pertama,politisasi partai yang meluas dan intensif. Kedua, partai politik danpara tokoh masyarakat mau tak mau harus bersaing dalam mena-warkan favoritisme dan pemberian keistimewaan, jalur koneksi,dan “patronase alternatif”, yang paling menarik. Tentu saja, polasemacam ini tidaklah aneh, bahkan dianggap cukup normal diberbagai provinsi di Indonesia. Syukurlah, situasi di Aceh memangbelum begitu serius.17 Sebagai contoh, masalah korupsi belumseserius masalah keberadaan “patronase alternatif”. Begitu pulahalnya dengan nepotisme. Selain itu, pelaksanaan pemerintahan-sendiri di Aceh hanya memiliki beberapa kemiripan, misalnya,dengan pemerintahan-sendiri bangsa Kurdi di bagian utara Irak.Di daerah itu, para bekas panglima perang mengkooptasi berbagailembaga pemerintahan. Mereka kemudian menjalankan institusipemerintahan itu, seperti layaknya organisasi bentukan merekasendiri, yang sarat praktek neo-patrimonial dan nepotisme
147
(ironisnya, Washington menyebutnya sebagai “kemajuan-ke-majuan yang demokratis”).18 Bagaimanapun, persoalan besar yangtetap mengganjal di Aceh adalah keterbatasan ruang dalammentranformasi struktur komando lama dan loyalitas darikelompok militer gerakan nasionalis di Aceh, sehingga bisamengikuti kerangka kerja yang demokratis. Selain itu, muncul gejalayang mengarah pada tanda-tanda menuju situasi “normal” alaIndonesia yang sarat praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).Yang lebih menyedihkan, praktek tersebut didukung strategi peace-building yang tengah populer di tataran nasional dan internasional.Strategi itu menekankan, kombinasi demokrasi liberal dankebijakan berorientasi pasar, dengan mengikutsertakan para aktorberpengaruh, serta bekas gerilyawan GAM, dalam bisnis-bisnismenggiurkan. Sayangnya, kelompok nasionalis Aceh, yang memilihpengembangan demokrasi, demi menciptakan kedamaian danpembangunan yang adil dalam lingkup negara kesatuan Indone-sia, menyadari sulitnya berkompetisi secara politik. Mereka kesulitanmenawarkan gagasan dan nilai tentang demokrasi yang bermaknadan bersungguh-sungguh, kepada pengikut dan simpatisan mereka,dibandingkan memberikan kemudahan melalui patronase atauiming-iming pemberian keistimewaan pada kelompok tertentu.Karena itu, sangat dibutuhkan dukungan dari mitra-mitra yangdemokratis, baik sesama aktor gerakan di Indonesia, maupun dikalangan internasional, untuk memupuk jalur alternatif dalamdemokrasi.
(5) Demokrasi tanpa investasi dalam pemenuhan hak asasi, hukum, dangovernanceSecara umum, seperti yang disorot laporan Survei ‘Nasional’
Demos dan Bab 1 buku ini, pada mulanya, titik perhatian utama diIndonesia pada 1998 dan beberapa saat setelahnya adalah isu-isukesetaraan politik, kedaulatan rakyat, dan pelaksanaan pemilu.
DEMOKRASI DI ACEH: DIAGNOSIS DAN PROGNOSIS
148 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
Namun, kalangan organisasi non pemerintah, kelompok kelasmenengah, dan donor asing belakangan fokus pada pemenuhanhak asasi manusia, penegakan hukum, dan pelaksanaan good gov-ernance. Berubahnya titik perhatian itu, karena mereka menganggappelaksanaan pemilu, sepak terjang partai politik dan sikap parapolitisi mencerminkan dunia yang ‘kotor’ atau penuh kecurangan,serta korup. Masalahnya, persoalan mendasar dalam sistem per-wakilan justru tidak bisa diabaikan begitu saja. Apalagi ketikapengabaian itu menyebabkan berhentinya pelaksanaan demokrasi,atau tertunda dalam jangka waktu yang tak pasti, hingga kelompokelit mampu memenuhi hak asasi manusia, menegakkan hukum,dan menerapkan good governance dengan lebih baik.
Berubahnya kecenderungan itu menunjukkan, betapa frustasi-nya komunitas internasional akibat tak suksesnya proses transisidari rezim otoriter. Berbagai laporan menyebutkan, pelaksanaanpemilu yang demokratis dalam kerangka paham liberal, justrumenjadi lahan subur bagi politik identitas dan konflik tak ber-kesudahan, ketimbang mengantarkan pada perdamaian danrekonsiliasi. Masyarakat internasional lebih memilih metode dalampendekatan “sequencing democracy”. Berdasarkan pendekatan ini, paraelit harus terlebih dulu memastikan keberadaan lembaga-lembagayang dibutuhkan. Selain itu, para elit wajib mendahulukan upayapembangunan ekonomi dan sosial yang layak, sebelum akhirnyabisa membuka selebar-lebarnya pintu kebebasan, menciptakankesetaraan politik, dan melaksanakan pemilu.19
Kendati demikian, Aceh merupakan sebuah pengecualian.Seperti yang telah dibahas, pelaksanaan demokrasi yang masihmuda di daerah lainnya di negeri ini, memberikan sebuah kerangkapemikiran baru dalam perundingan damai di Helsinki. GAM dankelompok sipil nasionalis yang terpinggirkan akhirnya berhasilmeraih hak menyusun undang-undang tentang pemerintahan-sendiri secara mandiri, serta berhak menominasikan kandidat
149
mereka sendiri, mendirikan partai-partai politik lokal, dan ber-partisipasi dengan setara di pemilu. Bahkan, para kandidatdukungan KPA dan SIRA berhasil menang dalam pemilu pertamayang dilakukan secara bebas dan adil—pemilu yang diwarnai olehminimnya politik identitas dan konflik.
Namun, yang menyedihkan, paradoks ketiga yang ditemuidari survei Aceh menunjukkan, kemajuan yang demokratis itu takdiikuti pula dengan kemajuan di bidang hak asasi manusia,penegakkan hukum dan good governance. Selain itu, aspek-aspekintrinsik dalam demokrasi juga menyumbang pada berbagaimasalah utama di Aceh, yang ditingkahi pula oleh sisi kelam sistemperwakilan, serta ketiadaan akses langsung dan partisipasi dalampemerintahan.
Berdasarkan survei pada akhir 2006 dan 2007, buruknyakualitas pemenuhan hak asasi manusia dan kinerja dalan meng-advokasi keadilan, dialami berbagai lembaga, antara lain, yangmenuntut hak untuk bebas dari kekerasan fisik; pemenuhan hakkorban konflik dan bencana; pelaksanaan good corporate governance;kepatuhan pemerintahan dan pejabat publik pada kepastianhukum; akses yang aman dan setara dalam pemenuhan keadilan;serta integritas dan independensi lembaga-lembaga peradilan.
Selain itu, kesepakatan lain yang termaktub dalam perjanjiandamai, yaitu berbagai instrumen untuk melaksanakan keadilantransisional serta upaya rekonsiliasi dan pengungkapan kebenaran,belum juga diimplementasikan. Penyebab utamanya adalahabsennya kemauan politik di pihak pemerintah pusat untuk meng-hapus aneka peraturan dan perundang-undangan nasional yangkontradiktif dengan kesepakatan tersebut.
Di sisi lain, lembaga-lembaga pelaksana pemerintahan yangdemokratis, namun berkualitas paling rendah, justru adalahlembaga yang berfungsi menegakkan transparansi dan akun-tabilitas dari pemerintahan terpilih, birokrasi, militer, dan
DEMOKRASI DI ACEH: DIAGNOSIS DAN PROGNOSIS
150 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
kepolisian. Data lainnya yang juga menunjukkan kualitas yangrendah, meski belum pada tahap yang terlalu mengkhawatirkan,adalah data tentang kapasitas pemerintah untuk memerangikelompok milisi, para bandit dan kejahatan terorganisir. Kapasitaspemerintah juga rendah dalam menjaga independensi terhadappengaruh kelompok kepentingan yang kuat. Kemampuanpemerintah juga tampak rendah dalam upaya memerangi korupsi,mengatasi penyalahgunaan kekuasaan dan pengaturan desen-tralisasi. Kritik terhadap buruknya pelaksanaan desentralisasibarangkali disebabkan oleh kompleksnya permasalahan yangdihadapi dalam proses transformasi prinsip pemerintahan-sendiridari Kesepakatan Helsinki ke dalam Undang-Undang PemerintahanAceh (UUPA). Proses legislasi itu memakan waktu hingga satutahun, dan setelah itu, banyak hal yang masih belum diatur.Penyebab utamanya, antara lain, usaha keras DPR dan lembaga-lembaga kementerian untuk mengingkari kesepakatan dalamperjanjian damai Helsinki. Namun, di saat bersamaan, terdapat pulaberbagai inkonsistensi dalam draf-draf awal undang-undangtersebut, yang diserahkan sejumlah stakeholder di Aceh (Mei 2008;Ann Miller 2006; dan Bab 7 dalam buku ini).
Secara keseluruhan, seluruh indikator survei merujuk padakinerja, cakupan, serta substansi dari berbagai peraturan danperundang-undangan. Tapi, lembaga informal pun tak lebih majudaripada lembaga formal.
Lantas apakah perkembangan tak menggembirakan inimengisyaratkan bahwa pemberian kebebasan dan pelaksanaanpemilu sebelum terbentuknya lembaga demokrasi yang solid, bisadibenarkan, apalagi ketika upaya yang mengandalkan kedaulatanrakyat, tak kunjung membawa perubahan signifikan? Kesimpulanitu dapat dipatahkan oleh tiga faktor. Pertama, kebebasan danpelaksanaan pemilu telah memberi pengaruh yang sangat positifbagi demokrasi, serta meningkatkan kapasitas dalam menciptakan
151
perdamaian, sehingga terbentuklah kerangka kerja positif bagiproses rekonstruksi di Aceh.
Kedua, persoalan utama lainnya yang diidentifikasi dalamSurvei di Aceh: betapa buruk dan minimnya representasi rakyat,serta akses langsung pada proses politik dan partisipasi politikdalam pemerintahan, bukanlah aspek yang secara langsungberhubungan dengan permasalahan yang diantisipasi pendekatanyang menganggap kebebasan dan pemilu itu bersifat kontra-produktif. Pendekatan itu menekankan bahaya akan timbulnyapolitik identitas berdasarkan agama dan etnik, maupun penyalah-gunaan sentimen-sentimen agama dan etnis, serta simbol, dandoktrin di dalamnya.
Ketiga (yang juga merupakan inti dari paradoks yang ketiga),menilik hasil wawancara dan pengamatan sejak survei dilaksana-kan, terbukti bahwa tak satupun teknokrat kelas menengah dankalangan donor internasional, yang selama ini acap bersuara pal-ing lantang tentang persoalan dalam penegakan hukum dan goodgovernance, bersedia memprioritaskan upaya kerjasama danpemberian dukungan bagi pemerintahan yang baru terpilih, agarbisa menjalankan reformasi yang dibutuhkan. Minimnyadukungan ini juga amat terlihat, ketika terjadi ketimpangankoordinasi antara proyek bantuan kemanusiaan tsunami danrekonstruksi, dengan upaya pemulihan korban konflik, programreintegrasi dan penyediaan lapangan kerja bagi bekas gerilyawanGAM, serta pendidikan demokrasi. Di satu sisi, proyek rehabilitasidan rekonstruksi pasca tsunami memperoleh pendanaan yangmelimpah. Sedangkan di sisi lain, rehabilitasi korban konflik, pro-gram reintegrasi mantan gerilyawan serta pendidikan demokrasiselalu kekurangan dana.20 Minimnya upaya itu juga terlihat daritak memadainya dukungan dalam mengembangkan hukum yangsecara fungsional mengatur tentang pemerintah daerah danperbaikan pemerintahan di daerah, agar sejalan dengan semangat
DEMOKRASI DI ACEH: DIAGNOSIS DAN PROGNOSIS
152 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
MoU Helsinki. Padahal, di tengah berbagai keterbatasan, terutamadi tingkat pemerintahan daerah, sejumlah upaya dari para wakilrakyat yang terpilih dalam memerangi korupsi dan mendorongreformasi menuju pelaksanaan good governance, misalnya, peng-angkatan pejabat pemerintah secara transparan, seharusnyamemperoleh dukungan yang lebih baik.
Singkatnya, kecenderungan utama lembaga-lembaga donortersebut terjadi karena mereka ingin “melindungi” kegiatan merekadari politik dan pemerintahan yang “tak bersih”, persis seperti sikaporganisasi non pemerintahan yang cenderung menghindari politikdan pemerintahan. Padahal, kelompok itu juga tak mampumengubah problem yang mereka hadapi, dalam hal korupsi,akuntabilitas yang tak memadai, dan keterwakilan yang demokratis.
(6) Tantangan pasca kemenanganKesimpulan keenam juga merupakan sebuah paradoks.
Beberapa persoalan yang diidentifikasi tampaknya mencapai titikkritis, terutama di daerah di mana pasangan gubernur IRNAberjaya dalam pilkada provinsi, serta di daerah kemenangankandidat dukungan KPA/SIRA dalam pilkada tingkat kabupaten/kota. Secara keseluruhan, persoalan itu adalah momok bagi paraaktor yang memperoleh legitimasi dari rakyat, karena berdasarkanpemikiran bahwa Aceh bisa memetik manfaat dari partisipasi politikdan demokratisasi di dalam konteks negara Indonesia.
Para informan, dari daerah kemenangan pasangan IRNA, dankhususnya dari kabupaten/kota di mana para kandidat dukunganKPA dan SIRA memperoleh kemenangan, mengatakan bahwaidentitas etnis dan agama kurang dianggap penting. Sedangkanidentitas tersebut dianggap cukup penting bagi informan daridaerah lain. Namun, para informan dari wilayah kemenanganIRNA dan kandidat KPA/SIRA itu juga menyatakan bahwa rakyatbersikap sinis terhadap politik, serta beranggapan politik adalah
153
ajang perebutan kekuasaan. Politik, bagi mereka, bukan merupakanajang kontrol rakyat atas urusan-urusan publik. Padahal,anggapan politik sebagai ajang kontrol rakyat itu justru dianutpara informan di daerah kemenangan kandidat yang lain. Kendatibegitu, patut diakui bahwa secara substansial, lembaga penegakdemokrasi lebih baik di wilayah kemenangan pasangan IRNA dankandidat KPA/SIRA. Namun, yang mengkhawatirkan justru adalahlebih buruknya indikator dasar tentang eksistensi, kinerja, sertacakupan lembaga tersebut di daerah kemenangan IRNA dankandidat KPA/SIRA.21 Karena itu, tak mengherankan pula, bilaindikator lain menyebutkan bahwa kabupaten/kota, wilayahkemenangan kandidat KPA dan SIRA, adalah wilayah yang palingmenderita akibat tindak pelanggaran hak asasi manusia, penindasanmiliter, dan tindak kekerasan.
Berbagai tantangan itu tak seharusnya menjadi persoalanbesar, jika masih ada pihak yang mau dan mampu mengembangkankapasitasnya untuk bertindak demokratis, demi perubahan yangpositif. Tapi, seperti yang telah dibahas pada Bab 1, tidak adapertanda signifikan akan adanya kapasitas yang lebih baik dalammengatasi tantangan tersebut, di wilayah pasangan IRNA dankandidat dukungan KPA/SIRA memperoleh suara mayoritas.
(7) Terhalangnya kelompok pro-demokrasiKenyataan yang dihadapi sungguh merisaukan, karena
masalah yang ditemukan dari survei, dan paling mendesak untukditangani, justru adalah persoalan yang paling sulit diatasi olehpara aktor pro-demokrasi. Masalah-masalah itu adalah sebagaiberikut. Pertama, keterbatasan peluang untuk mengakses kontrolpolitik yang demokratis terhadap kegiatan bisnis dan programrekonstruksi yang masif. Para aktor dari kalangan bisnis lebihmemilih pasar dan koneksi-koneksi informal. Bahkan, secarakhusus, kalangan bisnis juga memperoleh simpati dari Wakil
DEMOKRASI DI ACEH: DIAGNOSIS DAN PROGNOSIS
154 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
Presiden Jusuf Kalla. Sejumlah kelompok nasionalis Aceh yangkurang demokratis dan juga bekas gerilyawan GAM acap dirangkuluntuk bergabung dalam kelompok ini, dan tampaknya mereka punmampu menyesuaikan diri dengan lingkungan baru itu. Di sisilain, lembaga donor serta program rekonstruksi dan pembangunanekonomi, yang dipimpin pemerintah pusat, menutup diri daripemerintah daerah. Perilaku ini semakin menegaskan kecende-rungan kalangan internasional menggabungkan demokrasi liberalsecara terbatas dan kebijakan ekonomi neo-liberal yang luas.
Kedua, perpecahan antara bekas gerilyawan GAM dansekutunya dari masyarakat sipil menimbulkan kesulitan terhadapupaya kelompok masyarakat sipil itu untuk memanfaatkan kebebasanpartisipasi politik yang luas. Upaya tersebut, pertama kali dilakukanmelalui pengajuan kandidat independen, dan selanjutnya, melaluipartai politik lokal. Tujuannya, agar keterwakilan yang demokratisbisa semakin diperluas dan diperkuat.
Ketiga, merebaknya kecenderungan untuk mengambil jalanpintas dalam mengatasi masalah dalam perwakilan politik, yaknidengan mengakses secara langsung berbagai institusi peme-rintahan, melalui ‘jalur koneksi’ dan/atau melalui para mediatoryang kurang representatif, seperti media dan kelompok lobi. Kondisiitu justru merugikan kelompok pro-demokrasi, yang memilih untukmemanfaatkan lembaga-lembaga demokratis, untuk mencapai akseslangsung yang setara dan adil, serta partisipasi dalam kehidupanmasyarakat.
Keempat, absennya suatu kerangka kerja yang dapat menye-diakan insentif dan kemudahan politik bagi kalangan pro-demokrasi, juga menghambat perkembangan gerakan kerakyatanyang murni, yakni berakar pada gagasan dan aspirasi mendasarmasyarakat.
Kelima, dangkalnya kerangka kerja yang demokratis akhirnyamenyuburkan politisasi partai politik yang meluas dan merusak,
155
karena marakanya pilihan mengakses pemerintahan melalui jalur‘koneksi’ dan patronase alternatif. Situasi inilah penyebab ber-tahannya struktur komando lama di kalangan gerakan nasionalisAceh. Apalagi, cara itu ampuh untuk beradaptasi dengan demokrasi‘normal’ ala Indonesia dan perilaku KKN. Sementara itu, kelompokpro-demokrasi memiliki upaya alternatif terbatas untuk memo-bilisasi pendukung dan mengembangkan partai. Penyebabnya,antara lain, akibat lemahnya organisasi berbasis kepentingan, yangdibentuk dan dikontrol oleh rakyat. Penyebab lainnya adalahlemahnya lembaga publik, yang menyediakan kesempatan setaradan adil bagi rakyat, untuk mengakses secara langsung berbagaikepentingan publik, serta menjamin partisipasi rakyat dalamkehidupan masyarakat. Kelompok itu juga dirugikan oleh arusutama dalam strategi penguatan perdamaian, di level nasional daninternasional. Strategi itu menggabungkan demokrasi liberal danpendekatan berorientasi pasar, dengan melibatkan aktor ber-pengaruh dan bekas gerilyawan GAM di dalam bisnis yangmenguntungkan.
Sebagai kesimpulan, fakta lapangan di Aceh telah me-nunjukkan tak terbuktinya kritik yang mengklaim bahwa subur-nya pelaksanaan demokrasi akan kian menimbulkan masalah,apabila tak ditunjang oleh lembaga solid yang memadai, sertamemenuhi hak asasi manusia, melaksanakan penegakan hukum,dan ‘good governance’. Berkat usaha para aktivis dan bekas gerilyawanGAM yang demokratis, kebebasan yang diperoleh dan pelaksanaanpemilu terbukti sangat fundamental dalam mencapai perdamaiandan mengurangi politik berbasis identitas. Namun, kekuatan danlegitimasi mereka itu bergantung pada bagaimana mereka me-manfaatkan kelebihan itu demi membangun Aceh yang lebih baikbagi rakyat banyak, melalui upaya-upaya yang demokratis.
DEMOKRASI DI ACEH: DIAGNOSIS DAN PROGNOSIS
156 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
(Catatan Akhir)1. Saya berterima kasih kepada para peserta workshop di Banda
Aceh atas berbagai komentar terhadap versi sebelumnya dari babini, menyangkut hasil-hasil sementara dari survey (28 November2008), serta terima kasih pula kepada Teresa Birks, Gerry vanKlinken, Willy P. Samadhi, Kristian Stoke dan Silje Vevante.
2. Komite Peralihan Aceh (KPA)3. Sentral Informasi Referendum Aceh, organisasi pro-referendum yang
dilahirkan oleh para mahasiswa.4. Untuk fase awal di Aceh, lihat McGibbon 2006, Aspinall 2005, dan
ICG 2005a.5. Para akademisi dan pakar tentu saja memberikan penjelasan
berdasarkan pengetahuan yang diperoleh langsung melaluipengalaman mereka.
6. Misalnya Aspinall 2007, 2008, 2009 dan Barron 2008. Saya jugamelakukan diskusi dengan para informan kunci yang memilikipengetahuan yang mendalam tentang isu-isu terkait. Bandingkandengan Sindre pada Bab 5 dalam buku ini.
7. Persyaratan hukum untuk membuktikan ‘kehadiran fisik partaisecara nasional’ , di antaranya, partai politik baru harus bisamembuktikan, partai memiliki kantor cabang di 60% provinsi, di50% kabupaten dan kota, dan di 25% kecamatan. Persyaratan inidapat dengan mudah dipenuhi oleh partai-partai yang memilikiuang saja.
8. Untuk dua review yang telah diterbitkan, lihat ICG 2006 danMietzner 2007: 26ff.
9. Menurut ICG 2005B, GAM yang meminta agar partai lokal hanyaakan ikut serta dalam pemilu di tingkat daerah, bukan secaranasional.
10. Untuk perspektif teoretik dan komparatif tentang kasus-kasuskonkret di negara-negara berkembang (the Global South), lihatTörnquist, Stokke dan Webster, 2009 (dalam proses penerbitan).
11. Ibid. lihat juga Harriss, Stokke, dan Törnquist 2004.12. Lihat, misalnya, Aspinall 2007, 2008, 2009, Frödin 2008, Barron
2008. Saya juga melakukan wawancara dengan para aktivisterkemuka.
157
13. Lihat Törnquist 2009, dan referensi lebih jauh dalam buku yangsama.
14. Sumber daya sosial (atau modal) pada dasarnya berarti ‘jalurkoneksi’. Sumber daya kultural meliputi pengetahuan, informasi,dan pendidikan yang hanya dapat diakses secara khusus.
15. Untuk kasus yang disebutkan terakhir (mengenai opsimemperoleh legitimasi), data yang hanya tersedia dari bagiantentang Aceh dari Survei Nasional 2007.
16. Lihat catatan akhir no.1317. Perbandingan sulit dilakukan karena pesatnya studi tentang In-
donesia sebagai ‘shadow state’ dan studi tentang akumulasi kapitalprimitive, yang biasanya digeneralisir berdasarkan peristiwa yangspesifik. Upaya generalisasi ini ibarat tingkah mahasiswa hak asasimanusia yang secara normatif mengatakan, satu kasus yangterbukti saja sudah cukup (untuk dijadikan landasan untukmenggeneralisir kasus kekerasan di suatu tempat), dengan alasan,sama sekali tak ada toleransi bagi tindak kekerasan dalam bentukapapun.
18. Michal Rubin, “Is Iraqi Kurdistan a Good Ally?” http://www.aei.org/publications/pubID.27327/pub_detail.asp (sayaberhutang kepada Mustafa Can yang telah bercerita tentang kasusKurdi dan menunjukkan pada saya artikel Rubin).
19. Untuk tinjauan kritis atas pendapat tersebut, bisa lihat Mansfielddan Snyder 2005, lihat Carothers 2007a dan 2007b.
20. Untuk tinjauan umum, lihat Frödin 2008, Baron 2006 dan referensilebih lanjut pada Bab 1. Bahkan kritik-kritik awal yang konstruktifmengenai masalah ini (termasuk oleh penulis), dalam kontekskultur Swedia yang lebih terbuka, bisa dikatakan sikap itu adalahpengabaian dengan sikap angkuh atau arogan, atau istilah yangpaling tepat: sikap tak mau tahu.
21. Terkecuali lembaga-lembaga informal, yang lebih tersebar denganbaik, di daerah kemenangan pasangan IRNA.
DEMOKRASI DI ACEH: DIAGNOSIS DAN PROGNOSIS
158 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
Daftar PustakaAspinall, Edward. 2005. The Helsinki Agreement: a more promising ba-
sis for peace in Aceh? Policy Studies 20. Washington DC: East-West Center.
Aspinall, Edward. 2007. “Guerillas in power”. Inside Indonesia 90,Oktober-Desember.
Aspinall, Edward. 2008. Islam and Nation. Separatist Rebellion in Aceh,Indonesia. Stanford: Stanford University University Press.
Aspinall, Edward. 2009. “Combatants to Contractors: The Politi-cal Economy of Peace in Aceh”. SEAP Indonesia. 87, April.
Aspinall, Edward & Fealy, Greg, eds. 2003. Local Power and Politics inIndonesia:Decentralisation and democratisation. Singapura: Instituteof Southeast Asian Studies.
Barron, Patrick. 2008. Managing the Resources for Peace: Recon-struction And Peace-building. dalam: Aguswandi & JudithLarge, eds. Reconfiguring Politics: the Aceh peace process. London:Accord.
Beetham, David. 1999. Democracy and human rights. Oxford: PolityPress
Beetham, D, Bracking, S., Kearton I., & Weir, S. 2002. InternationalIDEA Handbook and Democracy Assessment. The Hague, Lon-don, New York: Kluwer Law International
Carothers, Thomas. 2007a. “How Democracies emerge: the ‘sequenc-ing’ fallacy”. Journal of Democracy, 18 (1).
Carothers, Thomas. 2007b. Misunderstanding gradualism. Journalof Democracy. 18 (3)
Chatterjee, Partha. 2004. The politics of the governed: reflections on popularpolitics in most of the world. New York: Columbia University Press.
Demos. 2005. Towards an agenda for meaningful human rights baseddemocracy: Early conclusions from the 1st and 2nd round of the nationalsurvey on problems and options of Indonesian democratisation. 20Januari 2005. Jakarta: Demos.
159
Frodin, Lina. 2008. The challenges of reintegration in Aceh. dalam:Aguswandi & Large, Judith. Eds. Reconfiguring politics: the Indo-nesia-Aceh peace process. [online]. Lodon: Accord. Tersedia di:www. c-r.org/ our-work/ accord/ aceh/reintegration. php.
Harriss, John. 2006. Politics is a dirty river: but is there a ‘newpolitics’ of civil society. dalam: John Harriss, ed. Power matters:essays on institutions, politics and society in India. Delhi: OxfordUniversity Press.
Harriss, John & Stokke, Kristian & Tornquist, Olle, eds. 2004.Politicising democracy, the new local politics of democratisation.Houndmills, Basingtoke: Palgrave.
ICG. 2005a. Aceh: a new chance for peace. International Crisis GroupBriefing No. 40, Agustus.
ICG. 2005b. Aceh: so far, so good. International Crisis Group BriefingNo. 44, Desember
ICG. 2006. Aceh’s local elections: the role of the Free Aceh Move-ment (GAM). International Crisis Group Asia Briefing No 57, No-vember.
Kingsbury, Damien & McCulloch, Lesley. 2006. Military Businessin Aceh. dalam: Reid, Anthony, ed. Verandah of Violence. TheBackground to the Aceh Problem. Seattle: University of Washing-ton Press.
Klinken, Gerry van. 2009. Patronage democracy in provincial In-donesia. dalam: Tornquist, Olle, Stokke, Kristian and Webster,Neil, eds., 2009. Rethinking popular representation. New York:Palgrave.
McGibbon, Rodd. 2006. Local leadership and the Aceh conflict.dalam: Reid, Anthony, ed. Verandah of Violence. The Backgroundto the Aceh Problem. Seattle: University of Washington Press.
May, Bernhard, n.d. The law on the governing of Aceh: the wayforward or the source of conflict? dalam: Aguswandi and JudithLarge, eds. Reconfiguring politics: the Indonesia-Aceh peace process,
DEMOKRASI DI ACEH: DIAGNOSIS DAN PROGNOSIS
160 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
London: Accord.Mansfield, Edward, D & Snyder, Jack. 2005. Electing to fight: why
democracies go to war. Cambridge, Mass: MIT Press.Mietzner, Marcus, 2007. Local elections and autonomy dalam Papua
and Aceh: mitigating or fueling secessionism? SEAP Indonesia,pp. 1-39.
Nordholt, Henk Schulte. 2004. Decentralisation in Indonesia: lessstate, more democracy. dalam Harris, John & Stokke, Kristian& Torquist, Olle eds., 2004. Politicising Democracy, The New LocalPolitics of Democratization. Houndmills, Basingstoke: Palgrave.
Nordholt, Henk Schulte & Hoogenboom, Irene, eds. 2006. Indone-sian Transitions, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. The TransitionAnthology 2nd ed.
Nordholt, Henk Schulte and van Klinken, Gerry, eds. 2007. Renego-tiating Boundaries: Local Politics in Post-Suharto Indonesia. Leiden:KITLV Press.
Paris, Roland. 2004. At War’s End: Building Peace Afer Civil Conflict.Cambridge: Cambridge University Press.
Priyono, A.E., Samadhi, Willy P. and Tornquist, Olle with Birks,Teresa et.al. 2007. Making Democracy Meaningful. Problems AndOptions In Indonesia. Jakarta: Demos. bekerjasama denganYogyakarta: PCD Press & Singapura: SEAS.
Richmond, Oliver P. 2007. The Transformation of Peace. New York:Palgrave Macmillan.
Robinson. Richard & Hadiz, Vedi. 2004. Reorganising Power in Indone-sia: The Politics of Oligarchy in An Age of Markets. London &New York: RoutledgeCurzon.
Rubin Michal, n.d. Is Iraqi Kurdistan a good aly?. Diperoleh dari:http://www. aei. org/publications/ pubID.27327/ pub_detail.asp.
Samadhi, Willy P. and Warouw, Nicolaas J., eds. 2008 (2nd edition2009). Democracy Building on the Sand. Advances and Setbacks in
161
Indonesia. Report from the 2nd Demos’ National Expert-Survey.Jakarta and Yogyakarta: Demos and PCD Press.www.pcd.ugm.ac.id.
Schulze, Kirsten E. 2004. The Free Aceh Movement (GAM): Anatomy ofA Separatist Organization. Washington DC: East-West Center.Policy Studies 2.
Schulze, Kirsten E. 2006. Insurgency and Counter-insurgency:Strategy and The Aceh Conflict, Oktober 1976- Mei 2004. dalam:Reid, Anthony, ed. Verandah of Violence. The Background to theAceh Problem. Seattle: University of Washington Press.
Sulaiman, M. Isa. 2006. From Autonomy to Periphery: A CriticalEvaluation of the Acehnese Nationalist Movement”, dalamReid, Anthony (Ed). Verandah of Violence. The Background to theAceh Problem. Seattle: University of Washington Press.
Sulaiman, M. Isa & van klinken, Gerry. 2007. The Rise and Fall ofGovernor Puteh. dalam: Nordholt, Henk Schulte & VanKlinken, Gerry, eds. Renegotiating Boundaries. Local Politics in Post-Suharto Indonesia. Leiden: KITLV Press.
Tornquist, Olle. 2009. The Problem is Representation! Towards An Ana-lytical Framework. dalam: Tornquist, Olle & Stokke, Kristian &Webster, Neil, eds. Rethinking Popular Representation. New York:Palgrave.
Tornquist, Olle, Stokke, Kristian & Webster, Neil, eds. 2009. Re-thinking Popular Representation. New York: Palgrave.
DEMOKRASI DI ACEH: DIAGNOSIS DAN PROGNOSIS
162 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
163
LAMPIRAN Bab 3
DATA TERPILIH DARI RE-TABULASI SURVEI DEMOKRASI DEMOS DI ACEH PADA
DESEMBER 2006, DILENGKAPI DENGAN DATA TENTANG ACEH
DALAM SURVEI NASIONAL DEMOS 2007-20081
Willy Purna Samadhi
DAFTAR TABELTabel 1 Distribusi informan di kawasan dan kabupaten/kotaTabel 2 Distribusi informan menurut isu utama gerakan
demokrasiTabel 3 Kelompok umur dan para informanTabel 4 Tingkat pendidikan informanTabel 5 Bagaimana rakyat memahami politikTabel 6 Seberapa besar minat masyarakat pada politikTabel 7 Seberapa besar minat perempuan pada politikTabel 8 Usaha untuk mendorong partisipasi perempuan dalam
politikTabel 9 Jalur paling tepat untuk melibatkan diri di dalam proses
politikTabel 10 Metode-metode untuk meningkatkan partisipasi politikTabel 11 Bagaimana warga mengidentifikasikan diri dalam PilkadaTabel 12 Bagaimana warga mengidentifikasikan diri dalam
Pilkada: perbandingan antara wilayah di mana Irwandimenang dan kalah
1 Untuk data bandingan tentang Indonesia secara keseluruhan,silakan lihat analisis dan lampiran data dalam Willi P. Samadhidan Nicolaas J. Warouw (eds.), Democracy Bilding on the Sand, Ad-vances and Setbacks in Indonesia. Report drom the 2nd Demos’ National Ex-pert-Survey. Jakarta: Demos, Yogyakarta: PCD Press, 2008.
DEMOKRASI DI ACEH: DIAGNOSIS DAN PROGNOSIS
164 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
Tabel 13 Bagaimana orang-orang di daerah mengidentifikasidirinya dalam Pemilu legislatif 2004
Tabel 14 Bagaimana orang-orang di daerah mengidentifikasidirinya dalam Pemilu legislatif 2004: perbandingan antarawilayah di mana Irwandi menang dan kalah
Tabel 15 Bagaimana orang-orang di daerah mengidentifikasidirinya dalam menanggapi konflik yang terjadi di daerah
Tabel 16 Bagaimana orang-orang di daerah mengidentifikasidirinya dalam menanggapi masalah pemekaran wilayahadministratif
Tabel 17 Aktor-aktor utamaTabel 18 Aktor-aktor utama di wilayah di mana IRNA menang
dan kalah dalam PilkadaTabel 19 Bagaimana aktor-aktor utama memperlakukan demokrasiTabel 20 Situasi tentang peraturan dan regulasi formalTabel 21 Situasi tentang keberadaan aturan non-formalTabel 22 Wilayah aktivitas politikTabel 23 Sumber kekuasaanTabel 24 Transformasi kekuasaanTabel 25 Jenis-jenis isuTabel 26 Bagaimana aktor memobilisasi dukunganTabel 27 Bagaimana aktor memobilisasi dukungan di kabupaten-
kabupaten di mana IRNA dan calon-calon KPA-SIRAmenang/kalah dalam Pilkada (Aceh Survei 2006)
Tabel 28 Basis-basis sosial para pendukung aktor-aktor utama(Aceh Survei 2006)
Tabel 29 Strategi-strategi aktor dalam sistem politik dan bentuk-bentuk representasinya (Aceh Survei 2006)
Tabel 30 Strategi-strategi aktor berpengaruh dalam sistem politikdan bentuk-bentuk representasinya (Informan Acehdalam Survei Nasional 2007)
Tabel 31 Strategi-strategi aktor alternatif dalam sistem politik dan
165
bentuk-bentuk representasinya (Informan Aceh dalamSurvei Nasional 2007)
Tabel 32 Ke mana rakyat dapat menyampaikan keluhan-keluhandan tuntutan-tuntutannya dalam urusan-urusan publik
DEMOKRASI DI ACEH: DIAGNOSIS DAN PROGNOSIS
166 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
Tabel 1. Distribusi Informan di Kawasan dan Kabupaten/Kota (Survei Aceh 2006)
NO KAWASAN KABUPATEN/KOTA JUMLAH
INFORMAN INFORMAN PER KAWASAN (%)
1
(1) Banda Aceh
Aceh Besar 9
20
2 Banda Aceh 9
3 Pidie 10
4 Sabang 10
Informan/area (1) 38
5
(2) Meulaboh
Aceh Barat 12
14 6 Aceh Jaya 4
7 Nagan Raya 11
Informan/area (2) 27
8
(3) Blang Pidie
Aceh Barat Daya 7
13 9 Aceh Selatan 9
10 Simeulue 9
Informan/area (3) 25
11 (4) Takengon Aceh Tengah 13
12 12 Bener Meriah 10
Iinforman/area (4) 23
13
(5) Kutacane
Aceh Singkil 8
12 14 Aceh Tenggara 10
15 Gayo Lues 5
Informan/area (5) 23
16 (6)
Lhokseumawe
Aceh Utara 10
16 17 Bireun 10
18 Lhokseumawe 10
Informan/area (6) 30
19
(7) Langsa
Aceh Tamiang 8
14 20 Aceh Timur 10
21 Kota Langsa 9
Informan/area (7) 27
JUMLAH 193 100
167
Tabel 2. Distribusi informan menurut isu utama gerakan
*Jumlah informan= 193; **Jumlah informan= 19
DEMOKRASI DI ACEH: DIAGNOSIS DAN PROGNOSIS
NO ISU UTAMA GERAKAN SURVEI ACEH
2006* (%)
INFORMAN DALAM SURVEI NASIONAL
(2007)** (%)
1 Kontrol petani dan buruh tani atas tanah yang mereka garap 3 5
2 Perjuangan buruh untuk kondisi yang lebih baik
3 0
3 Perjuangan kaum miskin kota untuk kehidupan yang lebih baik
11 0
4 Penegakan Hak Asasi Manusia 9 5
5 Pemberantasan korupsi 11 11
6 Upaya untuk mendemokratisasikan partai atau membentuk yang baru 6 16
7 Penegakan pluralisme dan rekonsiliasi agama dan etnis
6 11
8 Upaya untuk mereformasi pendidikan 10 11
9 Pengembangan profesionalisme di sektor publik dan swasta
3 11
10 Penegakan kebebasan dan kualitas media
3 0
11 Perjuangan kesetaraan gender 7 21
12 Upaya-upaya untuk memperbaiki representasi alternatif di tingkat lokal
5 5
13 Pengembangan organisasi massa berbasis kepentingan
21 0
14 Mendorong pembangunan berkelanjutan
3 5
Jumlah 100 100
168 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
Tabel 3. Kelompok umur dan gender para informan (Survei Aceh 2006)
Tabel 4. Tingkat pendidikan informan (Survei Aceh 2006)
NO JENDER KELOMPOK UMUR
TOTAL < 25 25-35 36-45 > 45 TIDAK TAHU
1 Perempuan
(N=35)
% 26 29 9 9 29 100
2 Laki-laki
(N=158)
% 15 37 19 13 16 100
JUMLAH % 17 35 17 12 18 100
NO PENDIDIKAN TERAKHIR JUMLAH PERSEN 1 Sekolah menengah atau lebih rendah 85 44
2 Sarjana 99 51
3 Master 3 2
4 Doktoral 3 2
5 Tidak tahu 3 2
JUMLAH 193 100
169
Tabel 5. Bagaimana rakyat memahami politik
Tabel 6. Seberapa besar minat masyarakat terhadap politik
Menurut penilaian Anda, bagaimana orang-orang yang terlibat di dalam gerakan
yang Anda geluti di daerah ini memahami politik?
NO PEMAHAMAN TENTANG POLITIK SURVEI ACEH
(2006)* (%)
INFORMAN ACEH DALAM SURVEI
NASIONAL (2007)** (%)
1 Perjuangan untuk merebut
kekuasaan
37 74
2 Kontrol rakyat atas urusan-urusan
publik
36 11
3 Urusan para tokoh publik 12 5
4 Permainan para elit 11 11
5 Lain-lain 5 -
JUMLAH 100 100
*N= 193; ** N=19
Seberapa besar minat orang-orang yang terlibat di dalam gerakan yang Anda geluti
di daerah ini terhadap politik?
NO MINAT MASYARAKAT
PADA POLITIK
SURVEI ACEH (2006)*
(%)
INFORMAN ACEH DALAM SURVEI NASIONAL (2007)**
(%) 1 Sangat berminat 30 16
2 Berminat 54 68
3 Tidak berminat 16 16
4 Tidak menjawab 1 -
JUMLAH 100 100
* N= 193; ** N= 19
DEMOKRASI DI ACEH: DIAGNOSIS DAN PROGNOSIS
170 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
Tabel 7. Seberapa besar minat kaum perempuan terhadap politik
Tabel 8. Upaya untuk mendorong partisipasi kaum perempuan dalam politik
Seberapa besar minat kaum perempuan di daerah ini terhadap politik?
NO MINAT KAUM
PEREMPUAN PADA POLITIK
ACEH SURVEI (2006)*
(%)
INFORMAN ACEH DALAM SURVEI NASIONAL
(2007)** (%)
1 Sangat berminat 11 16
2 Berminat 47 26
3 Tidak berminat 39 58
4 Tidak menjawab 3 -
JUMLAH 100 100
* N= 193; ** N= 19
Menurut Anda, apa yang harus dilakukan untuk mendorong partisipasi kaum perempuan di dalam politik?
NO UPAYA MENDORONG PARTISIPASI KAUM
PEREMPUAN DALAM POLITIK
SURVEI ACEH
(2006)* (%)
INFORMAN ACEH DALAM SURVEI NASIONAL
(2007)** (%)
1 Memperjuangkan kuota perempuan di lembaga legislatif dan ekskutif
10 16
2 Meningkatkan kesadaran dan kapasitas politik perempuan
59 53
3 Mendukung perempuan untuk menduduki jabatan-jabatan politik
7 5
4 Memperluas agenda politik sehingga mencakup lebih banyak isu
22 26
5 Lain-lain 1 -
6 Tidak menjawab 1 -
JUMLAH 100 100
* N= 193; ** N= 19
171
Tabel 9. Jalur paling tepat untuk melibatkan diri di dalam proses politik
Tabel 10. Metode untuk meningkatkan partisipasi politik
Metode apakah yang efektif untuk membangun kapasitas dan pemahaman politik masyarakat di wilayah Anda untuk meningkatkan partisipasi politik?
NO METODE UNTUK
MENINGKATKAN PARTISIPASI POLITIK
SURVEI ACEH (2006)*
(%)
INFORMAN ACEH DALAM SURVEI NASIONAL
(2007)** (%)
1 Meningkatkan kesadaran politik rakyat
60 53
2 pendidikan kader politik 18 26
3 Kampanye dan mimbar umum 5 -
4 Mobilisasi massa 1 21 5 Membangun organisasi berbasis
massa dan melakukan mobilisasi 14
6 Lain-lain 3 -
JUMLAH 100 100
*N= 193; ** N= 19
Jika seseorang tertarik untuk melibatkan diri di dalam proses politik, jalur apakah yang paling tepat untuk ditempuh?
NO
JALUR PALING TEPAT UNTUK MELIBATKAN DIRI DI DALAM
PROSES POLITIK
SURVEI ACEH
(2006)* (%)
INFORMAN ACEH DALAM SURVEI NASIONAL
(2007)** (%)
1 Bergabung dalam partai politik nasional 22 37
2 Bergabung dalam partai politik lokal 29
21
3 Membangun partai politik lokal baru 14
4 Membangun kekuatan non-partai atau blok politik 30 37
5 Lain-lain 5 5
6 Tidak menjawab 1 -
JUMLAH 100 100
* N= 193; ** N= 19
DEMOKRASI DI ACEH: DIAGNOSIS DAN PROGNOSIS
172 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
Tabel 11. Bagaimana warga di daerah mengidentifikasi dirinya dalam Pilkada
Dalam Pilkada, bagaimana orang-orang dalam kelompok atau organisasi pro-demokrasi yang Anda ketahui di daerah ini mengidentifikasi dirinya?
NO IDENTITAS DALAM PILKADA
SURVEI ACEH
(2006)* (%)
INFORMAN ACEH DALAM SURVEI
NASIONAL (2007)**
(%)
1 Sebagai warga Kabupaten/Kota/Provinsi
31 42
2 Sebagai warga desa/asal-usul 17 21
3 Sebagai warga komunitas etnis/suku 6 5
4 Sebagai warga komunitas agama 4 -
5 Sebagai orang Aceh atau non-Aceh 8 -
6 Sebagai anggota/pendukung partai politik tertentu
17 16
7 Sebagai anggota kelas sosial tertentu (misalnya kelas buruh, petani dll.)
11 16
8 Lain-lain 6 -
9 Tidak menjawab 1 -
JUMLAH 100 100
*N= 193; ** N= 19
173
Tabel 12. Bagaimana warga di daerah mengidentifikasi dirinya dalamPilkada: perbandingan antara wilayah, di mana Irwandi menang dan kalah(Survei Aceh 2006)
DEMOKRASI DI ACEH: DIAGNOSIS DAN PROGNOSIS
Dalam Pilkada, bagaimana orang-orang dalam kelompok atau organisasi pro-demokrasi yang Anda ketahui di daerah ini mengidentifikasi dirinya?
NO IDENTITAS
DALAM PILKADA
INFORMAN DI KABUPATEN DI MANA…
INFORMAN DI KABUPATEN DI MANA…
IRNA MENANG PILKADA PROVINSI
IRNA KALAH
PILKADA PROVINSI
CALON KPA/SIRA MENANG PILKADA
KABUPATEN/KOTA
CALON PARTAI
MENANG PILKADA
KABUPATEN/KOTA
1 Sebagai warga Kabupaten/Kota/Provinsi
33 26 35 28
2 Sebagai warga desa/asal-usul
15 22 11 22
3 Sebagai warga komunitas etnis/suku
5 7 5 6
4 Sebagai warga komunitas agama
4 3 1 6
5 Sebagai orang Aceh atau Non-Aceh
6 14 12 6
6
Sebagai anggota/pendukung partai politik tertentu
19 14 16 18
7
Sebagai anggota kelas sosial tertentu (misalnya kelas buruh, petani)
15 2 15 7
8 Lain-lain 4 10 5 6
9 Tidak menjawab 0 2 0 1
JUMLAH 100 100 100 100
174 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
Tabel 13. Bagaimana orang-orang di daerah mengidentifikasi dirinya dalamPemilu legislatif 2004
Dalam Pemilu legislatif 2004, bagaimana orang-orang dalam kelompok atau organisasi pro-demokrasi yang Anda ketahui di daerah ini mengidentifikasi dirinya?
NO
IDENTITAS DALAM PEMILU 2004
SURVEI ACEH
(2006)*
(%)
INFORMAN ACEH DALAM SURVEI
NASIONAL (2007)**
(%)
1 Sebagai warga Kabupaten/Kota/Provinsi
21 21
2 Sebagai warga desa/asal-usul 19 5
3 Sebagai warga komunitas etnis/suku
3 -
4 Sebagai warga komunitas agama 3 5
5 Sebagai orang Aceh atau Non-Aceh
6 -
6 Sebagai anggota/pendukung partai politik tertentu
32 11
7 Sebagai anggota kelas sosial tertentu (misalnya kelas buruh, petani, dsb)
10 16
8 Lain-lain 5 -
9 Sebagai penduduk Indonesia secara umum
- 42
10 Tidak menjawab 2 -
JUMLAH 100 100
*N= 193; ** N= 19
175
Tabel 14. Bagaimana orang-orang di daerah mengidentifikasi dirinya dalamPemilu legislatif 2004: Perbandingan antara wilayah di mana Irwandi menangdan kalah (Survei Aceh 2006)
DEMOKRASI DI ACEH: DIAGNOSIS DAN PROGNOSIS
Dalam Pemilu legislatif 2004, bagaimana orang-orang dalam kelompok atau organisasi pro-demokrasi yang Anda ketahui di daerah ini mengidentifikasi dirinya?
NO IDENTITAS DALAM
PEMILU 2004
INFORMAN DI KABUPATEN DI MANA...
INFORMAN DI KABUPATEN DI MANA...
IRNA MENANG PILKADA PROVINSI
IRNA KALAH
PILKADA PROVINSI
CALON KPA/SIRA
MENANG PILKADA
KABUPATEN/KOTA
CALON PARTAI
MENANG PILKADA
KABUPATEN/KOTA
1 Sebagai warga Kabupaten/Kota/Provinsi
21 21 24 19
2 Sebagai warga desa/asal-usul
18 22 15 22
3 Sebagai warga komuntas etnis/suku
2 5 2 4
4 Sebagai warga komunitas agama
3 2 1 4
5 Sebagai orang Aceh atau Non-Aceh
7 3 12 2
6 Sebagai anggota/pendukung partai politik tertentu
34 26 29 33
7
Sebagai anggota kelas sosial tertentu (misalnya kelas buruh, petani, dsb)
10 9 12 8
8 Lain-lain 2 10 2 6
9 Tidak menjawab 1 2 2 1
JUMLAH 100 100 100 100
176 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
Tabel 15. Bagaimana orang-orang di masing-masing daerah mengidentifikasidirinya dalam menanggapi konflik yang terjadi di daerah
Dalam menanggapi konflik yang terjadi di daerah ini, bagaimana orang-orang dalam kelompok atau organisasi pro-demokrasi yang Anda ketahui di daerah ini mengidentifikasi diri mereka?
NO IDENTITAS DALAM
MENANGGAPI KONFLIK DI DAERAH
SURVEI ACEH
(2006)*
(%)
INFORMAN ACEH DALAM SURVEI
NASIONAL
(2007)**
(%)
1 Sebagai warga Kabupaten/Kota/Provinsi
16 26
2 Sebagai warga desa/asal-usul 12 5
3 Sebagai warga kelompok etnis/suku
15 32
4 Sebagai warga komunitas agama 7 5
5 Sebagai orang Aceh atau Non-Aceh
16 -
6 Sebagai anggota/pendukung kelompok politik tertentu
16 -
7 Sebagai anggota kelas sosial tertentu (misalnya kelas buruh, petani)
9 32
8 Lain-lain 8 -
9 Tidak menjawab 1 -
10 JUMLAH 100 100
*N= 193; ** N= 19
177
Tabel 16. Bagaimana orang-orang di daerah mengidentifikasi dirinya dalammenanggapi masalah pemekaran wilayah administratif
Dalam menanggapi masalah pemekaran wilayah administratif, bagaimana orang-orang dalam kelompok atau organisasi pro-demokrasi yang Anda ketahui di daerah ini mengidentifikasi diri mereka?
NO IDENTITAS DALAM MENANGGAPI MASALAH PEMEKARAN
WILAYAH ADMINISTRATIF (PROPINSI ATAU
KABUPATEN/KOTA)
SURVEI ACEH
(2006)*
(%)
INFORMAN ACEH DALAM SURVEI
NASIONAL
(2007)**
(%)
1 Sebagai warga Kapupaten/Kota/Provinsi
51 47
2 Sebagai warga desa/asal-usul 17 16
3 Sebagai warga komunitas etnis/suku
20 32
4 Sebagai warga komunitas agama 4 -
5 Lain-lain 6 5
6 Tidak menjawab 3 -
JUMLAH 100 100
*N= 193; ** N= 19
DEMOKRASI DI ACEH: DIAGNOSIS DAN PROGNOSIS
178 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
Tabel 17. Aktor-aktor utama
Berdasarkan pengetahuan dan pengalaman Anda, siapa sajakah aktor utama di wilayah in, baiki individu atau kelompok/organisasi, yang sungguh-sungguh memiliki peran dan pengaruh penting atau juga yang berpotensi menjadi aktor penting yang berpengaruh dalam proses politik di tingkat lokal? (perhatikan juga para aktor penting saat ini dan mereka yang bisa menjadi cukup penting, misalnya, organisasi kerakyatan tertentu)
Catatan: silakan tentukan setidaknya tiga hingga sepuluh nama, berikut keterangannya
NO AKTOR UTAMA
SURVEI ACEH
(2006)
(%)
INFORMAN ACEH DALAM SURVEI NASIONAL (2007)
(%)
AKTOR-AKTOR BERPENGARUH
AKTOR-AKTOR ALTERNATIF
1 Pemerintah/Birokrasi (sipil dan militer)
18 48 12
2 Aktivis organisasi non-pemerintah/NGO
15 6 28
3 Partai politik dan legislatif 23 12 28
4 Pemimpin agama dan adat 11 9 16
5 Akademisi, pengacara, dan media massa
6 3 8
6 Organisasi massa 13 12 8
7 Pengusaha 4 3 -
8 Serikat, petani, nelayan 1 - -
9 Pemimpin informal 9 - -
10 Milisi dan kelompok-kelompok preman/kriminal
- 6 -
JUMLAH 100 100 100
179
Tabel 18. Aktor-aktor utama di wilayah di mana IRNA menang dan kalahdalam Pilkada
Tabel 19. Bagaimana aktor-aktor memperlakukan demokrasi
Berdasarkan pengetahuan dan pengalaman Anda, siapa sajakah aktor utama di wilayah in, baiki individu atau kelompok/organisasi, yang sungguh-sungguh memiliki peran dan pengaruh penting atau juga yang berpotensi menjadi aktor penting yang berpengaruh dalam proses politik di tingkat lokal? (perhatikan juga para aktor penting saat ini dan mereka yang bisa menjadi cukup penting, misalnya, organisasi kerakyatan tertentu) Catatan: silakan tentukan setidaknya tiga hingga sepuluh nama, berikut keterangannya
NO AKTOR UTAMA
INFORMAN DI KABUPATEN DI MANA… IRNA MENANG DALAM
PILKADA PROVINSI
IRNA KALAH DALAM PILKADA
PROVINSI 1 Pemerintah/Birokrasi
(sipil dan militer ) 18 18
2 Aktivis organisasi non-pemerintah/NGO
17 10
3 Partai politik dan legislatif
21 28
4 Pemimpin agama dan adat
10 12
5 Akademisi, pengacara, media massa
7 4
6 Organisasi massa 12 17 7 Pengusaha 3 5 8 Serikat, petani,
nelayan 1 0
9 Pemimpin informal 9 7 JUMLAH 100 100
DEMOKRASI DI ACEH: DIAGNOSIS DAN PROGNOSIS
Bagaimana para aktor yang Anda sebutkan tadi memanfaatkan berbagai peraturan, baik yang formal maupun non-formal, yang berlaku di daerah ini?
NO HUBUNGAN AKTOR-AKTOR UTAMA DENGAN DEMOKRASI
SURVEI ACEH
(2006) (%)
INFORMAN ACEH DALAM SURVEI NASIONAL (2007) (%)
AKTOR-AKTOR KUAT
AKTOR-AKTOR ALTERNATIF
1 Menggunakan dan memajukan 58 42 50
2 Menggunakan 31 33 27
3 Menyalahgunakan 5 12 8
4 Mengabaikan 5 13 15
5 Tidak menjawab 2 - -
JUMLAH 100 100 100
180 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
NO
H
AK
-HA
K D
AN
LE
MB
AG
A
Apa
kah
ada
pera
tura
n da
n re
gula
si
form
al?
Apa
kah
kebe
rada
an p
erat
uran
dan
re
gula
si fo
rmal
ters
ebut
sec
ara
umum
cen
deru
ng m
endu
kung
ata
u m
engh
amba
t (h
ak d
an le
mba
ga)?
Apa
kah
pera
tura
n d
an r
egu
lasi
for
mal
di
tera
pkan
sec
ara
efek
tif d
i dae
rah
ini
atau
di d
alam
wil
ayah
isu
yang
And
a ge
luti
saa
t ini
?
Apa
kafo
rmal
m
enca
men
ya
Des
kri
psi
Surv
ei
Ace
h
200
6
Info
rman
Ace
h
dal
am S
urv
ei
Nas
iona
l 20
07
Des
krip
si
Surv
ei
Ace
h
200
6
Info
rman
A
ceh
dal
am
Surv
ei
Nas
ion
al
200
7
Des
krip
si
Surv
ei
Ace
h
200
6
Info
rman
Ace
h
dal
am S
urv
ei
Nas
ion
al 2
007
D
esk
rip
(%)
(%)
(%)
(%)
(%)
(%)
1 K
eset
araa
n w
arga
ne
gara
Tid
ak a
da
n/a
37
Men
gham
bat
30
0 Ya
, di
tera
pkan
se
cara
luas
49
11
Ya,
men
gatu
rse
luru
h as
pek
Ada
n/
a 47
M
endu
kung
51
47
Ti
dak,
te
rbat
as
44
37
Tid
ak,
terb
atas
Tid
ak
men
jaw
ab
n/a
16
Tida
k ad
a 19
-
Tida
k ad
a
1 -
Tid
ak a
d a
Jum
lah
n/a
100
Tida
k m
enja
wab
0
53
Tida
k m
enja
wab
7
53
Tid
ak
men
jaw
ab
Ju
mla
h
100
100
Jum
lah
10
0 10
0 Ju
mla
h
2 H
ak-h
ak m
inor
itas
, m
igra
n, d
an
peng
ungs
i
Tid
ak a
da
n/a
n/a
Men
gham
bat
27
n/a
Ya,
dite
rapk
an
seca
ra lu
as
36
n/a
Ya,
men
gatu
rse
luru
h as
pek
Ada
n/
a n/
a M
endu
kung
51
n/
a Ti
dak,
te
rbat
as
52
n/a
Tid
ak,
terb
atas
Tid
ak
men
jaw
ab
n/a
n/a
Tida
k ad
a 19
n/
a Ti
dak
ada
1 n/
a T
idak
ada
Jum
lah
n/
a n/
a Ti
dak
men
jaw
ab
2 n/
a Ti
dak
men
jaw
ab
11
n/a
Tid
ak
men
jaw
ab
Ju
mla
h
100
n/a
Jum
lah
10
0 n/
a Ju
mla
h
Tabe
l 20.
Sit
uasi
Per
atur
an d
an R
egul
asi f
orm
al
181
NO
H
AK
-HA
K
DA
N
LEM
BA
GA
Apa
kah
ada
pera
tura
n da
n re
gula
si
form
al?
Apa
kah
kebe
rada
an p
erat
uran
dan
re
gula
si fo
rmal
ters
ebut
sec
ara
umum
ce
nder
ung
men
duku
ng a
tau
men
gham
bat (
hak
dan
lem
baga
)?
Apa
kah
pera
tura
n d
an r
egu
lasi
for
mal
di
tera
pkan
sec
ara
efek
tif d
i dae
rah
ini
atau
di d
alam
wil
ayah
isu
yang
And
a ge
luti
saa
t in
i?
Apa
kah
pera
tte
rseb
ut s
eca
selu
ruh
aske
h
Des
kri
psi
Surv
ei
Ace
h
200
6
Info
rman
A
ceh
dal
am
Surv
ei
Nas
ion
al
200
7
Des
krip
si
Surv
ei
Ace
h
200
6
Info
rman
A
ceh
dal
am
Surv
ei
Nas
ion
al
200
7
Des
krip
si
Surv
ei
Ace
h
200
6
Info
rman
A
ceh
dal
am
Surv
ei
Nas
ion
al 2
00
7
Des
krip
si
(%)
(%)
(%)
(%)
(%)
(%)
3
Hak
-hak
ko
rban
(m
is.
Kon
flik
dan
benc
ana)
Tid
ak a
da
n/a
n/a
Men
gham
bat
35
n/a
Ya,
dite
rapk
an
seca
ra lu
as
40
n/a
Ya,
men
gatu
r se
luru
h as
pek
Ada
n/
a n/
a M
endu
kung
51
n/
a T
idak
, te
rbat
as
47
n/a
Tid
ak,
terb
atas
Tid
ak
men
jaw
ab
n/a
n/a
Tid
ak a
da
10
n/a
Tid
ak a
da
1 n/
a T
idak
ada
Jum
lah
n/
a n/
a T
idak
m
enja
wab
3
n/a
Tid
ak
men
jaw
ab
12
n/a
Tid
ak
men
jaw
ab
Ju
mla
h
100
n/a
Jum
lah
10
0 n/
a Ju
mla
h
4
Rek
onsi
liasi
ko
nflik
-ko
nflik
ho
rizo
ntal
Tid
ak a
da
n/a
n/a
Men
gham
bat
28
n/a
Ya,
dite
rapk
an
seca
ra lu
as
39
n/a
Ya,
men
gatu
r se
luru
h as
pek
Ada
n/
a n/
a M
endu
kung
44
n/
a T
idak
, te
rbat
a 44
n/
a T
idak
, te
rbat
as
Tid
ak
men
jaw
ab
n/a
n/a
Tid
ak a
da
23
n/a
Tid
ak a
da
0 n/
a T
idak
ada
Jum
lah
n/
a n/
a T
idak
m
enja
wab
5
n/a
Tid
ak
men
jaw
ab
17
n/a
Tid
ak
men
jaw
ab
Ju
mla
h
100
n/a
Jum
lah
10
0 n/
a Ju
mla
h
182 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
NO
H
AK
-HA
K
DA
N
LEM
BA
GA
Apa
kah
ada
pera
tura
n d
an r
egu
lasi
fo
rmal
?
Apa
kah
kebe
rada
an p
erat
ura
n da
n
regu
lasi
form
al t
erse
but
seca
ra u
mu
m
cen
deru
ng m
endu
kun
g at
au
men
gham
bat
(hak
dan
lem
baga
)?
Apa
kah
per
atu
ran
dan
reg
ula
si f
orm
al
dite
rapk
an s
ecar
a ef
ekti
f di d
aera
h in
i at
au d
i dal
am w
ilay
ah is
u ya
ng A
nda
ge
luti
saa
t in
i?
Apa
kah
pete
rseb
ut s
selu
ruh k
Des
krip
si
Surv
ei
Ace
h
20
06
Info
rman
A
ceh
dal
am
Surv
ei
Nas
ion
al
20
07
D
esk
rip
si
Surv
ei
Ace
h
200
6
Info
rman
A
ceh
dal
am
Surv
ei
Nas
ion
al 2
00
7
Des
kri
psi
Surv
ei
Ace
h
20
06
Info
rman
A
ceh
dal
am
Surv
ei
Nas
ion
al 2
00
7
Des
krip
si
(%)
(%)
(%)
(%)
(%)
(%)
5 R
eint
egra
si
Tid
ak a
da
n/a
n/a
Men
gham
bat
28
n/a
Ya,
dite
rapk
an
seca
ra lu
as
46
n/a
Ya,
men
gatu
r se
luru
h as
pek
Ada
n/
a n/
a M
endu
kung
49
n/
a T
idak
, te
rbat
as
41
n/a
Tid
ak,
terb
atas
Tid
ak
men
jaw
ab
n/a
n/a
Tida
k ad
a 16
n/
a T
idak
ada
0
n/a
Tid
ak a
da
Jum
lah
n/
a n/
a Ti
dak
men
jaw
ab
6 n/
a T
idak
m
enja
wab
13
n/
a T
idak
m
enja
wab
Jum
lah
10
0 n/
a Ju
mla
h
100
n/a
Jum
lah
6
Huk
um
inte
rnas
iona
l da
n pe
rjan
jian
HA
M P
BB
Tid
ak a
da
n/a
42
Men
gham
bat
22
16
Ya,
dite
rapk
an
seca
ra lu
as
45
11
Ya,
men
gatu
r se
luru
h as
pek
Ada
n/
a 47
M
endu
kung
54
32
T
idak
, te
rbat
as
45
37
Tid
ak,
terb
atas
Tid
ak
men
jaw
ab
n/a
11
Tida
k ad
a 22
0
Tid
ak a
da
1 0
Tid
ak a
da
Jum
lah
n/
a 10
0 Ti
dak
men
jaw
ab
3 53
T
idak
m
enja
wab
9
53
Tid
ak
men
jaw
ab
Ju
mla
h 10
0 10
0 Ju
mla
h
100
100
Jum
lah
183
NO
H
AK
-HA
K D
AN
LE
MB
AG
A
Apa
kah
ada
pera
tura
n d
an r
egu
lasi
fo
rmal
?
Apa
kah
kebe
rada
an p
erat
uran
dan
re
gula
si fo
rmal
ters
ebut
sec
ara
um
um
cen
deru
ng m
endu
kun
g at
au
men
gham
bat
(hak
dan
lem
baga
)?
Apa
kah
pera
tura
n d
an r
egul
asi
form
al
dite
rapk
an s
ecar
a ef
ekti
f di d
aera
h in
i at
au d
i dal
am w
ilay
ah is
u ya
ng A
nda
gelu
ti s
aat
ini?
Apa
kah
per
ters
ebut
se
selu
ruh
ake
Des
krip
si
Surv
ei
Ace
h
200
6
Info
rman
A
ceh
dal
am
Surv
ei
Nas
ion
al
200
7
Des
krip
si
Surv
ei
Ace
h
200
6
Info
rman
A
ceh
dal
am
Surv
ei
Nas
ion
al
200
7
Des
kri
psi
Surv
ei
Ace
h
200
6
Info
rman
A
ceh
dal
am
Surv
ei
Nas
ion
al 2
00
7
Des
kri
psi
(%)
(%)
(%)
(%)
(%)
(%)
7
Kep
atuh
an
pem
erin
tah
dan
peja
bat
publ
ik
terh
adap
hu
kum
Tida
k ad
a n/
a 53
M
engh
amba
t 34
11
Ya
, di
tera
pkan
se
cara
luas
32
16
Ya,
men
gatu
r se
luru
h as
pek
Ada
n/
a 37
M
endu
kung
33
26
Ti
dak,
te
rbat
as
55
21
Tida
k,
terb
atas
Tida
k m
enja
wab
n/
a 11
T
idak
ada
29
0
Tida
k ad
a 1
0 Ti
dak
ada
Jum
lah
n/
a 10
0 T
idak
m
enja
wab
4
63
Tida
k m
enja
wab
12
63
Ti
dak
men
jaw
ab
Ju
mla
h
100
100
Jum
lah
10
0 10
0 Ju
mla
h
8
Aks
es y
ang
seta
ra d
an
aman
te
rhad
ap
kead
ilan
Tida
k ad
a n/
a 37
M
engh
amba
t 31
16
Ya
, di
tera
pkan
se
cara
luas
30
16
Ya,
men
gatu
r se
luru
h as
pek
Ada
n/
a 53
M
endu
kung
39
32
Ti
dak,
te
rbat
as
59
37
Tida
k,
terb
atas
Tida
k m
enja
wab
n/
a 11
T
idak
ada
25
-
Tida
k ad
a 1
- Ti
dak
ada
Jum
lah
n/
a 10
0 T
idak
m
enja
wab
5
53
Tida
k m
enja
wab
11
47
Ti
dak
men
jaw
ab
Ju
mla
h
100
100
Jum
lah
10
0 10
0 Ju
mla
h
184 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
NO
H
AK
-HA
K
DA
N
LEM
BA
GA
Apa
kah
ada
pera
tura
n da
n re
gula
si
form
al?
Apa
kah
kebe
rada
an p
erat
uran
dan
re
gula
si fo
rmal
ters
ebut
sec
ara
umum
ce
nder
ung
men
duku
ng a
tau
men
gham
bat
(hak
dan
lem
baga
)?
Apa
kah
pera
tura
n da
n re
gula
si f
orm
al
dite
rapk
an s
ecar
a ef
ekti
f di d
aera
h in
i at
au d
i da
lam
wil
ayah
isu
yang
And
a ge
luti
saa
t in
i?
Apa
kah
pera
tute
rseb
ut s
ecar
selu
ruh
asp
kehi
d
Des
krip
si
Surv
ei
Ace
h
200
6
Info
rman
A
ceh
dal
am
Surv
ei
Nas
iona
l 20
07
D
eskr
ipsi
Surv
ei
Ace
h
200
6
Info
rman
A
ceh
dal
am
Surv
ei
Nas
ion
al
2007
D
esk
rip
si
Surv
ei
Ace
h 20
06
Info
rman
A
ceh
dal
am
Surv
ei
Nas
ion
al 2
007
Des
krip
si
(%)
(%)
(%)
(%)
(%)
(%)
9
Inte
grit
as d
an
inde
pend
ensi
le
mba
ga
pera
dila
n
Tida
k ad
a n/
a n/
a M
engh
amba
t 37
n/
a Ya
, di
tera
pkan
se
cara
luas
32
n/
a
Ya,
men
gatu
r se
luru
h as
pek
Ada
n/
a n/
a M
endu
kung
34
n/
a T
idak
, te
rbat
as
55
n/a
Tid
ak,
terb
atas
Tid
ak
men
jaw
ab
n/a
n/a
Tida
k ad
a 24
n/
a T
idak
ada
0
n/a
Tida
k ad
a
Jum
lah
n/
a n/
a Ti
dak
men
jaw
ab
4 n/
a T
idak
m
enja
wab
14
n/
a T
idak
m
enja
wab
Ju
mla
h
100
n/a
Jum
lah
10
0 n/
a Ju
mla
h
10
Keb
ebas
an
dari
ke
kera
san
dan
rasa
ta
kut a
tasn
ya
Tida
k ad
a n/
a 32
M
engh
amba
t 31
16
Ya
, di
tera
pkan
se
cara
luas
36
26
Ya,
men
gatu
r se
luru
h as
pek
Ada
n/
a 58
M
endu
kung
36
47
T
idak
, te
rbat
as
50
37
Tid
ak,
terb
atas
Tid
ak
men
jaw
ab
n/a
11
Tida
k ad
a 29
0
Tid
ak a
da
0 0
Tida
k ad
a
Jum
lah
n/
a 10
0 Ti
dak
men
jaw
ab
4 37
T
idak
m
enja
wab
14
37
T
idak
m
enja
wab
Ju
mla
h
100
100
Jum
lah
10
0 10
0 Ju
mla
h
185
NO
H
AK
-HA
K
DA
N
LEM
BA
GA
Ap
akah
ad
a pe
ratu
ran
dan
reg
ula
si
form
al?
Apa
kah
kebe
rad
aan
per
atu
ran
dan
re
gula
si fo
rmal
ter
sebu
t se
cara
um
um
ce
nde
run
g m
endu
kun
g at
au m
engh
am
bat
(hak
da
n le
mb
aga)
?
Ap
akah
per
atu
ran
dan
reg
ula
si f
orm
al
dite
rapk
an s
ecar
a ef
ekti
f di d
aer
ah
ini
atau
di d
ala
m w
ilay
ah is
u ya
ng A
nd
a ge
luti
sa
at in
i?
Apa
kah
per
atu
ters
ebu
t se
car
selu
ruh
asp
keh
id
Des
kri
psi
Surv
ei
Ace
h
20
06
(%
)
Info
rman
A
ceh
dal
am
Surv
ei
Nas
ion
al
20
07
(%
)
Des
kri
psi
Surv
ei
Ace
h
20
06
Info
rman
A
ceh
dal
am
Surv
ei
Nas
ion
al2
00
7
Des
kri
psi
Su
rvei
A
ceh
Info
rman
A
ceh
dal
am
Surv
ei
Nas
ion
al2
00
7
Des
kri
psi
S A
(%)
(%)
(%)
(%)
11
Keb
ebas
an
berb
icar
a,
berk
umpu
l, da
n be
rorg
anis
asi
Tid
ak a
da
n/a
32
Men
gham
bat
24
11
Ya,
dite
rapk
an
seca
ra
luas
61
37
Ya,
men
gatu
r se
luru
h as
pek
Ada
n/
a 68
M
endu
kung
63
58
T
idak
, te
rbat
as
27
32
Tid
ak,
terb
atas
Tid
ak
men
jaw
ab
n/a
0 T
idak
ada
10
0
Tid
ak a
da
0 0
Tid
ak a
da
Jum
lah
n/
a 10
0 T
idak
m
enja
wab
4
32
Tid
ak
men
jaw
ab
11
32
Tid
ak
men
jaw
ab
Ju
mla
h
100
100
Jum
lah
10
0 10
0 Ju
mla
h
12
Keb
ebas
an
untu
k m
enja
lank
an
kegi
atan
-ke
giat
an
seri
kat
peke
rja
Tid
ak a
da
n/a
32
Men
gham
bat
20
21
Ya,
dite
rapk
an
seca
ra
luas
58
32
Ya,
men
gatu
r se
luru
h as
pek
Ada
n/
a 63
M
endu
kung
64
42
T
idak
, te
rbat
as
29
32
Tid
ak,
terb
atas
Tid
ak
men
jaw
ab
n/a
5 T
idak
ada
12
0
Tid
ak a
da
0 0
Tid
ak a
da
Jum
lah
n/
a 10
0 T
idak
m
enja
wab
4
37
Tid
ak
men
jaw
ab
13
37
Tid
ak
men
jaw
ab
Ju
mla
h
100
100
Jum
lah
10
0 10
0 Ju
mla
h
186 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
NO
H
AK
-HA
K
DA
N
LEM
BA
GA
Apa
kah
ada
pera
tura
n da
n re
gula
si
form
al?
Apa
kah
kebe
rada
an p
erat
uran
dan
re
gula
si fo
rmal
ter
sebu
t sec
ara
um
um
cend
erun
g m
endu
kun
g at
au
men
gham
bat (
hak
dan
lem
baga
)?
Apa
kah
pera
tura
n d
an r
egul
asi
form
al
dite
rapk
an s
ecar
a ef
ekti
f di d
aera
h in
i at
au d
i dal
am w
ilay
ah is
u ya
ng A
nda
gelu
ti s
aat
ini?
Apa
kah
pera
ters
ebu
t sec
selu
ruh
ake
h
Des
krip
si
Surv
ei
Ace
h
2006
Info
rman
A
ceh
dal
am
Surv
ei
Nas
ion
al20
07
Des
krip
si
Surv
ei A
ceh
2
006
Info
rman
A
ceh
dal
am
Surv
ei
Nas
ion
al20
07
Des
kri
psi
Surv
ei
Ace
h
2006
Info
rman
A
ceh
dal
am
Surv
ei
Nas
ion
al2
00
7
Des
kri
psi
S
(%)
(%)
(%)
(%)
(%)
(%)
13
Keb
ebas
an
bera
gam
a da
n be
rkey
akin
an
Tid
ak a
da
n/a
32
Men
gham
bat
12
5
Ya,
dite
rapk
an s
ecar
a lu
as
75
47
Ya,
men
gatu
r se
luru
h as
pek
Ada
n/
a 63
M
endu
kung
79
58
Ti
dak,
te
rbat
as
13
21
Tida
k,
terb
atas
Tid
ak
men
jaw
ab
n/a
5 T
idak
ada
6
- Ti
dak
ada
1 -
Tida
k ad
a
Jum
lah
n/
a 10
0 T
idak
m
enja
wab
3
37
Tida
k m
enja
wa
b 11
32
Ti
dak
men
jaw
ab
Ju
mla
h
100
100
Jum
lah
10
0 10
0 Ju
mla
h
14
Keb
ebas
an
men
ggun
aka
n ba
hasa
dan
m
eles
tari
kan
kebu
daya
an
Tid
ak a
da
n/a
n/a
Men
gham
bat
12
n/a
Ya,
dite
rapk
an s
ecar
a lu
as
75
n/a
Ya,
men
gatu
r se
luru
h as
pek
Ada
n/
a n/
a M
endu
kung
75
n/
a Ti
dak,
te
rbat
as
15
n/a
Tida
k,
terb
atas
Tid
ak
men
jaw
ab
n/a
n/a
Tid
ak a
da
10
n/a
Tida
k ad
a 0
n/a
Tida
k ad
a
Jum
lah
n/
a n/
a T
idak
m
enja
wab
3
n/a
Tida
k m
enja
wa
b 10
n/
a Ti
dak
men
jaw
ab
Ju
mla
h
100
n/a
Jum
lah
10
0 n/
a Ju
mla
h
187
NO
H
AK
-HA
K
DA
N
LEM
BA
GA
Apa
kah
ada
pera
tura
n da
n re
gula
si
form
al?
Apa
kah
kebe
rada
an p
erat
ura
n d
an
regu
lasi
form
al t
erse
but s
ecar
a um
um
ce
nder
ung
men
duku
ng a
tau
men
gham
bat
(hak
dan
lem
baga
)?
Apa
kah
pera
tura
n d
an r
egu
lasi
for
mal
di
tera
pkan
sec
ara
efek
tif d
i dae
rah
ini
atau
di d
alam
wil
ayah
isu
yang
And
a ge
luti
saa
t ini
?
Apa
kah
pera
tute
rseb
ut s
eca
selu
ruh
asp
kehi
Des
krip
si
Surv
ei
Ace
h
2006
Info
rman
A
ceh
dal
am
Surv
ei
Nas
ion
al2
007
D
eskr
ipsi
Surv
ei
Ace
h
2006
Info
rman
A
ceh
dal
am
Surv
ei
Nas
ion
al20
07
Des
krip
si
Surv
ei
Ace
h
2006
Info
rman
A
ceh
dal
am
Surv
ei
Nas
ion
al2
007
Des
krip
si
(%)
(%)
(%)
(%)
(%)
(%)
15
Kes
etar
aan
gend
er d
an
eman
sipa
si
Tid
ak a
da
n/a
26
Men
gham
bat
25
11
Ya,
dite
rapk
an
seca
ra
luas
43
16
Ya,
men
gatu
r se
luru
h as
pek
Ada
n/
a 58
M
endu
kung
56
47
Ti
dak,
te
rbat
as
42
42
Tid
ak,
terb
atas
Tid
ak
men
jaw
ab
n/a
16
Tid
ak a
da
15
- Ti
dak
ada
0 -
Tid
ak a
da
Jum
lah
n/
a 10
0 T
idak
m
enja
wab
4
42
Tida
k m
enja
wab
15
42
T
idak
m
enja
wab
Jum
lah
10
0 10
0 Ju
mla
h
100
100
Jum
lah
16
Hak
-hak
an
ak
Tid
ak a
da
n/a
26
Men
gham
bat
20
11
Ya,
dite
rapk
an
seca
ra
luas
48
16
Ya,
men
gatu
r se
luru
h as
pek
Ada
n/
a 68
M
endu
kung
56
58
Ti
dak,
te
rbat
as
39
53
Tid
ak,
terb
atas
Tid
ak
men
jaw
ab
n/a
5 T
idak
ada
21
-
Tida
k ad
a 0
- T
idak
ada
Jum
lah
n/
a 10
0 T
idak
m
enja
wab
3
32
Tida
k m
enja
wab
12
32
T
idak
m
enja
wab
Ju
mla
h
100
100
Jum
lah
10
0 10
0 Ju
mla
h
188 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
NO
H
AK
-HA
K
DA
N
LEM
BA
GA
Apa
kah
ada
per
atu
ran
dan
reg
ula
si
form
al?
Apa
kah
keb
era
daa
n p
erat
ura
n d
an
regu
lasi
form
al t
erse
but
seca
ra u
mu
m
cen
deru
ng
men
duku
ng
ata
u m
engh
amb
at
(hak
dan
lem
bag
a)?
Ap
akah
per
atu
ran
dan
regu
lasi
for
mal
di
tera
pkan
sec
ara
efe
ktif
di d
aer
ah
ini
atau
di d
alam
wil
ayah
isu
yan
g A
nda
ge
luti
saa
t in
i?
Ap
akah
per
atu
rte
rseb
ut
seca
rase
luru
h a
spe
kehi
d
Des
kri
psi
Surv
ei
Ace
h
20
06
Info
rman
A
ceh
dal
am
Surv
ei
Nas
ion
al2
00
7
Des
kri
psi
Surv
ei
Ace
h
20
06
Info
rman
A
ceh
dal
am
Surv
ei
Nas
ion
al2
00
7
Des
kri
psi
Surv
ei
Ace
h
20
06
Info
rman
A
ceh
dal
am
Surv
ei
Nas
ion
al2
00
7
Des
kri
psi
Su A 2
(%)
(%)
(%)
(%)
(%)
(%)
17
Hak
m
empe
role
h pe
kerj
aan,
ja
min
an
sosi
al, d
an
kebu
tuha
n da
sar
lain
Tid
ak a
da
n/a
37
Men
gham
bat
35
16
Ya,
dite
rapk
an
seca
ra
luas
39
16
Ya,
men
gatu
r se
luru
h as
pek
Ada
n/
a 42
M
endu
kung
40
32
T
idak
, te
rbat
as
48
32
Tid
ak,
terb
atas
Tid
ak
men
jaw
ab
n/a
21
Tid
ak a
da
21
0 T
idak
ada
1
0 T
idak
ada
Jum
lah
n/
a 10
0 T
idak
m
enja
wab
4
53
Tid
ak
men
jaw
ab
12
53
Tid
ak
men
jaw
ab
Ju
mla
h
100
100
Jum
lah
10
0 10
0 Ju
mla
h
18
Hak
m
empe
role
h pe
ndid
ikan
da
sar,
te
rmas
uk
hak
dan
kew
ajib
an
war
ga
nega
ra
Tid
ak a
da
n/a
26
Men
gham
bat
25
5
Ya,
dite
rapk
an
seca
ra
luas
58
32
Ya,
men
gatu
r se
luru
h as
pek
Ada
n/
a 74
M
endu
kung
62
68
T
idak
, te
rbat
as
30
42
Tid
ak,
terb
atas
Tid
ak
men
jaw
ab
n/a
0 T
idak
ada
10
-
Tid
ak a
da
1 0
Tid
ak a
da
Jum
lah
n/
a 10
0 T
idak
m
enja
wab
3
26
Tid
ak
men
jaw
ab
12
26
Tid
ak
men
jaw
ab
Ju
mla
h
100
100
Jum
lah
10
0 10
0 Ju
mla
h
189
NO
H
AK
-HA
K D
AN
LE
MB
AG
A
Ap
aka
h ad
a p
era
tura
n d
an r
egu
lasi
fo
rmal
?
Apa
kah
keb
era
daa
n p
erat
ura
n d
an
regu
lasi
form
al t
erse
but
seca
ra u
mu
m
cen
deru
ng
men
duku
ng
atau
m
engh
amb
at (
hak
dan
lem
baga
)?
Ap
aka
h pe
ratu
ran
dan
regu
lasi
fo
rmal
dit
erap
kan
sec
ara
efe
ktif
di
daer
ah in
i ata
u d
i dal
am w
ilay
ah is
u ya
ng
An
da g
elu
ti s
aat
ini?
Apa
kah
per
form
al t
erse
men
caku
pm
enya
ngk
u
Des
kri
psi
Surv
ei A
ceh
2
00
6
Info
rman
A
ceh
dal
am
Surv
ei
Nas
ion
al2
00
7
Des
kri
psi
Surv
ei A
ceh
2
00
6
Info
rman
A
ceh
dal
am
Surv
ei
Nas
ion
al2
00
7
Des
kri
psi
Surv
ei A
ceh
2
00
6
Info
rman
A
ceh
dal
am
Surv
ei
Nas
ion
al2
00
7
Des
kri
ps
i
S i 2
(%)
(%)
(%)
(%)
(%)
(%)
19
Goo
d co
rpor
ate
gove
rnan
ce
Tid
ak a
da
n/a
42
Men
gham
bat
39
11
Ya,
dite
rapk
an
seca
ra
luas
41
21
Ya,
men
gatu
r se
luru
h as
pek
Ada
n/
a 53
M
endu
kung
33
42
T
idak
, te
rbat
as
42
32
Tid
ak,
terb
atas
Tid
ak
men
jaw
ab
n/a
5 T
idak
ada
24
-
Tid
ak a
da
0 -
Tid
ak a
da
Jum
lah
n/
a 10
0 T
idak
m
enja
wab
4
47
Tid
ak
men
jaw
ab
17
47
Tid
ak
men
jaw
ab
Ju
mla
h
100
100
Jum
lah
10
0 10
0 Ju
mla
h
20
Pem
ilu y
ang
beba
s da
n ad
il di
ti
ngka
t nas
iona
l, pr
ovin
si, d
an
kabu
pate
n/ko
ta
Tid
ak a
da
n/a
11
Men
gham
bat
27
21
Ya,
dite
rapk
an
seca
ra
luas
61
53
Ya,
men
gatu
r se
luru
h as
pek
Ada
n/
a 89
M
endu
kung
66
68
T
idak
, te
rbat
as
28
37
Tid
ak,
terb
atas
Tid
ak
men
jaw
ab
n/a
0 T
idak
ada
5
0 T
idak
ada
0
0 T
idak
ada
Jum
lah
n/
a 10
0 T
idak
m
enja
wab
2
11
Tid
ak
men
jaw
ab
11
11
Tid
ak
men
jaw
ab
Ju
mla
h
100
100
Jum
lah
10
0 10
0 Ju
mla
h
190 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
NO
H
AK
-HA
K
DA
N
LEM
BA
GA
Apa
kah
ada
pera
tura
n d
an r
egu
lasi
fo
rmal
?
Apa
kah
kebe
rada
an p
erat
uran
dan
re
gula
si fo
rmal
ters
ebut
sec
ara
umu
m
cen
deru
ng m
endu
kun
g at
au
men
gham
bat
(hak
dan
lem
baga
)?
Apa
kah
pera
tura
n d
an r
egu
lasi
for
mal
di
tera
pkan
sec
ara
efek
tif d
i dae
rah
ini
atau
di d
alam
wil
ayah
isu
yang
An
da
gelu
ti s
aat
ini?
Apa
kah
pera
ters
ebu
t se
cse
luru
h a
ke
Des
kri
psi
Surv
ei
Ace
h
200
6
Info
rman
A
ceh
dal
am
Surv
ei
Nas
ion
al
200
7
Des
kri
psi
Surv
ei
Ace
h
20
06
Info
rman
A
ceh
dal
am
Surv
ei
Nas
ion
al
200
7
Des
krip
si
Surv
ei
Ace
h
200
6
Info
rman
A
ceh
dal
am
Surv
ei
Nas
ion
al
20
07
Des
kri
psi
(%)
(%)
(%)
(%)
(%)
(%)
21
Pem
ilu
yang
beb
as
dan
adil,
da
n di
laks
anak
an s
ecar
a te
rpis
ah
untu
k pe
mili
han
kepa
la
daer
ah.
Mis
. G
uber
nur,
w
alik
ota,
ke
pala
des
a
Tida
k ad
a n/
a n/
a M
engh
amba
t 30
n/
a Ya
, di
tera
pkan
se
cara
luas
58
n/
a
Ya,
men
gatu
r se
luru
h as
pek
Ada
n/
a n/
a M
endu
kung
59
n/
a T
idak
, te
rbat
as
30
n/a
Tida
k,
terb
atas
Tida
k m
enja
wab
n/
a n/
a T
idak
ada
9
n/a
Tid
ak a
da
0 n/
a Ti
dak
ada
Jum
lah
n/
a n/
a T
idak
m
enja
wab
2
n/a
Tid
ak
men
jaw
ab
12
n/a
Tida
k m
enja
wab
Ju
mla
h
100
n/a
Jum
lah
10
0 n/
a Ju
mla
h
22
Keb
ebas
an
untu
k m
endi
rika
n pa
rtai
, m
erek
rut
angg
ota,
da
n ka
mpa
nye
Tida
k ad
a n/
a 32
M
engh
amba
t 29
11
Ya
, di
tera
pkan
se
cara
luas
58
26
Ya,
men
gatu
r se
luru
h as
pek
Ada
n/
a 63
M
endu
kung
60
53
T
idak
, te
rbat
as
31
37
Tida
k,
terb
atas
Tida
k m
enja
wab
n/
a 5
Tid
ak a
da
9 -
Tid
ak a
da
0 -
Tida
k ad
a
Jum
lah
n/
a 10
0 T
idak
m
enja
wab
2
37
Tid
ak
men
jaw
ab
12
37
Tida
k m
enja
wab
Jum
lah
10
0 10
0 Ju
mla
h
100
100
Jum
lah
191
NO
H
AK
-HA
K D
AN
LE
MB
AG
A
Apa
kah
ada
pera
tura
n d
an r
egu
lasi
fo
rmal
?
Apa
kah
kebe
rada
an p
erat
ura
n da
n re
gula
si fo
rmal
ter
sebu
t sec
ara
um
um
ce
nde
run
g m
endu
kung
ata
u
men
gham
bat (
hak
dan
lem
baga
)?
Apa
kah
pera
tura
n d
an r
egu
lasi
for
mal
di
tera
pkan
sec
ara
efek
tif d
i dae
rah
ini
atau
di d
alam
wil
ayah
isu
yang
An
da
gelu
ti s
aat
ini?
Apa
kah
pera
ters
ebu
t se
cse
luru
h a
ke
Des
kri
psi
Surv
ei
Ace
h
200
6
Info
rman
A
ceh
dal
am
Surv
ei
Nas
ion
al
20
07
Des
kri
psi
Surv
ei
Ace
h
20
06
Info
rman
A
ceh
dal
am
Surv
ei
Nas
ion
al
200
7
Des
krip
si
Surv
ei
Ace
h
200
6
Info
rman
A
ceh
dal
am
Surv
ei
Nas
ion
al
20
07
Des
kri
psi
(%)
(%)
(%)
(%)
(%)
(%)
23
Kem
ampu
an
part
ai p
olit
ik
men
cerm
inka
n be
rbag
ai
mas
alah
dan
ke
pent
inga
n ya
ng v
ital
di
mas
yara
kat
Tida
k ad
a n/
a 32
M
engh
amba
t 27
11
Ya
, di
tera
pkan
se
cara
luas
39
21
Ya,
men
gatu
r se
luru
h as
pek
Ada
n/
a 47
M
endu
kung
42
37
T
idak
, te
rbat
as
47
26
Tida
k,
terb
atas
Tida
k m
enja
wab
n/
a 21
T
idak
ada
28
0
Tid
ak a
da
1 0
Tida
k ad
a
Jum
lah
n/
a 10
0 T
idak
m
enja
wab
3
53
Tid
ak
men
jaw
ab
13
53
Tida
k m
enja
wab
Jum
lah
10
0 10
0 Ju
mla
h
100
100
Jum
lah
24
Penc
egah
an
peny
alah
guna
an
sent
imen
et
nis,
sim
bol
dan
dokt
rin
agam
a ol
eh
part
ai p
olit
ik
Tida
k ad
a n/
a 26
M
engh
amba
t 22
11
Ya
, di
tera
pkan
se
cara
luas
40
32
Ya,
men
gatu
r se
luru
h as
pek
Ada
n/
a 63
M
endu
kung
49
53
T
idak
, te
rbat
as
45
32
Tida
k,
terb
atas
Tida
k m
enja
wab
n/
a 11
T
idak
ada
25
-
Tid
ak a
da
1 -
Tida
k ad
a
Jum
lah
n/
a 10
0 T
idak
m
enja
wab
3
37
Tid
ak
men
jaw
ab
14
37
Tida
k m
enja
wab
Jum
lah
10
0 10
0 Ju
mla
h
100
100
Jum
lah
192 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
NO
H
AK
-HA
K D
AN
LE
MB
AG
A
Apa
kah
ada
pera
tura
n d
an r
egu
lasi
fo
rmal
?
Apa
kah
kebe
rada
an p
erat
ura
n da
n re
gula
si fo
rmal
ter
sebu
t sec
ara
um
um
cen
deru
ng
men
duku
ng a
tau
m
engh
amba
t (ha
k da
n le
mba
ga)?
Apa
kah
pera
tura
n d
an r
egul
asi
form
al
dite
rapk
an s
ecar
a ef
ekti
f di d
aera
h in
i at
au d
i dal
am w
ilay
ah is
u ya
ng A
nda
gelu
ti s
aat
ini?
Apa
kah
pera
ters
ebu
t se
cse
luru
h a
ke
Des
krip
si
Surv
ei
Ace
h
200
6
Info
rman
A
ceh
dal
am
Surv
ei
Nas
ion
al
200
7
Des
krip
si
Surv
ei
Ace
h
200
6
Info
rman
A
ceh
dal
am
Surv
ei
Nas
ion
al
200
7
Des
kri
psi
Surv
ei
Ace
h
20
06
Info
rman
A
ceh
dal
am
Surv
ei
Nas
ion
al
200
7
Des
kri
psi
(%)
(%)
(%)
(%)
(%)
(%)
25
Inde
pend
ensi
pa
rtai
pol
itik
da
ri p
olit
ik
uang
dan
ke
pent
inga
n ya
ng
ters
elub
ung
Tida
k ad
a n/
a 42
M
engh
amba
t 34
16
Ya
, di
tera
pkan
se
cara
luas
39
16
Ya,
men
gatu
r se
luru
h as
pek
Ada
n/
a 47
M
endu
kung
36
32
T
idak
, te
rbat
as
46
32
Tida
k,
terb
atas
Tida
k m
enja
wab
n/
a 11
T
idak
ada
23
0
Tid
ak a
da
1 0
Tida
k ad
a
Jum
lah
n/
a 10
0 T
idak
m
enja
wab
6
53
Tid
ak
men
jaw
ab
14
53
Tida
k m
enja
wab
Jum
lah
10
0 10
0 Ju
mla
h
100
100
Jum
lah
26
Kap
asit
as
kont
rol
angg
ota
terh
adap
pa
rtai
, ser
ta
resp
on d
an
akun
tabi
litas
pa
rtai
te
rhad
ap
kons
titu
enny
a
Tida
k ad
a n/
a 37
M
engh
amba
t 35
5
Ya,
dite
rapk
an
seca
ra lu
as
38
21
Ya,
men
gatu
r se
luru
h as
pek
Ada
n/
a 58
M
endu
kung
37
53
T
idak
, te
rbat
as
47
37
Tida
k,
terb
atas
Tida
k m
enja
wab
n/
a 5
Tid
ak a
da
24
0 T
idak
ada
1
- Ti
dak
ada
Jum
lah
n/
a 10
0 T
idak
m
enja
wab
3
42
Tid
ak
men
jaw
ab
15
42
Tida
k m
enja
wab
Jum
lah
10
0 10
0 Ju
mla
h
100
100
Jum
lah
193
NO
H
AK
-HA
K D
AN
LE
MB
AG
A
Apa
kah
ada
pera
tura
n da
n re
gula
si
form
al?
Apa
kah
kebe
rada
an p
erat
ura
n d
an
regu
lasi
form
al te
rseb
ut s
ecar
a um
um
ce
nde
rung
men
duku
ng
atau
m
engh
amba
t (h
ak d
an le
mba
ga)?
Apa
kah
pera
tura
n da
n re
gula
si f
orm
al
dite
rapk
an s
ecar
a ef
ekti
f di d
aera
h in
i at
au d
i dal
am w
ilay
ah is
u ya
ng A
nda
gelu
ti s
aat i
ni?
Apa
kah
pera
ters
ebu
t se
cse
luru
h a
ke
Des
krip
si
Surv
ei
Ace
h
20
06
Info
rman
A
ceh
dal
am
Surv
ei
Nas
ion
al
20
07
Des
kri
psi
Surv
ei
Ace
h
200
6
Info
rman
A
ceh
dal
am
Surv
ei
Nas
ion
al
20
07
Des
kri
psi
Surv
ei
Ace
h
200
6
Info
rman
A
ceh
dal
am
Surv
ei
Nas
ion
al
20
07
Des
kri
psi
(%)
(%)
(%)
(%)
(%)
(%)
27
Kem
ampu
an
part
ai u
ntuk
m
emba
ngun
da
n m
enja
lank
an
pem
erin
taha
n
Tid
ak a
da
n/a
53
Men
gham
bat
32
0 Ya
, di
tera
pkan
se
cara
luas
35
16
Ya,
men
gatu
r se
luru
h as
pek
Ada
n/
a 37
M
endu
kung
39
42
T
idak
, te
rbat
as
51
26
Tida
k,
terb
atas
Tid
ak
men
jaw
ab
n/a
11
Tid
ak a
da
26
- T
idak
ada
0
- Ti
dak
ada
Jum
lah
n/
a 10
0 T
idak
m
enja
wab
3
58
Tid
ak
men
jaw
ab
13
58
Tida
k m
enja
wab
Jum
lah
10
0 10
0 Ju
mla
h
100
100
Jum
lah
28
Tran
spar
ansi
da
n ak
unta
bilit
as
pem
erin
taha
n ya
ng te
rpili
h,
di s
emua
le
vel
Tid
ak a
da
n/a
32
Men
gham
bat
37
11
Ya,
dite
rapk
an
seca
ra lu
as
30
5
Ya,
men
gatu
r se
luru
h as
pek
Ada
n/
a 53
M
endu
kung
38
42
T
idak
, te
rbat
as
55
32
Tida
k,
terb
atas
Tid
ak
men
jaw
ab
n/a
16
Tid
ak a
da
21
- T
idak
ada
1
- Ti
dak
ada
Jum
lah
n/
a 10
0 T
idak
m
enja
wab
4
47
Tid
ak
men
jaw
ab
14
63
Tida
k m
enja
wab
Jum
lah
10
0 10
0 Ju
mla
h
100
100
Jum
lah
194 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
NO
H
AK
-HA
K D
AN
LE
MB
AG
A
Apa
kah
ada
pera
tura
n da
n re
gula
si
form
al?
Apa
kah
kebe
rada
an p
erat
ura
n d
an
regu
lasi
form
al t
erse
but
seca
ra u
mum
ce
nder
ung
men
duku
ng
atau
m
engh
amba
t (ha
k da
n le
mba
ga)?
Apa
kah
pera
tura
n d
an r
egu
lasi
fo
rmal
dit
erap
kan
sec
ara
efek
tif d
i da
erah
ini a
tau
di d
alam
wil
ayah
isu
yang
An
da g
elu
ti s
aat
ini?
Apa
kah
per
ters
ebut
se
selu
ruh ke
Des
kri
psi
Surv
ei
Ace
h
200
6
Info
rman
A
ceh
dal
am
Surv
ei
Nas
ion
al
20
07
Des
kri
psi
Surv
ei
Ace
h
20
06
Info
rman
A
ceh
dal
am
Surv
ei
Nas
ion
al
20
07
Des
kri
psi
Surv
ei
Ace
h
20
06
Info
rman
A
ceh
dal
am
Surv
ei
Nas
ion
al
20
07
Des
kri
psi
(%)
(%)
(%)
(%)
(%)
(%)
29
Tra
nspa
rans
i dan
ak
unta
bilit
as
ekse
kuti
f/pe
jaba
t pu
blik
(b
irok
rasi
) di
se
mua
leve
l
Tid
ak a
da
n/a
n/a
Men
gham
bat
46
n/a
Ya,
dite
rapk
an
seca
ra
luas
27
n/a
Ya,
men
gatu
r se
luru
h as
pek
Ada
n/
a n/
a M
endu
kung
30
n/
a T
idak
, te
rbat
as
56
n/a
Tida
k,
terb
atas
Tid
ak
men
jaw
ab
n/a
n/a
Tida
k ad
a 23
n/
a T
idak
ada
0
n/a
Tida
k ad
a
Jum
lah
n/
a n/
a Ti
dak
men
jaw
ab
2 n/
a T
idak
m
enja
wab
17
n/
a Ti
dak
men
jaw
ab
Jum
lah
10
0 n/
a Ju
mla
h
100
n/a
Jum
lah
30
Des
entr
alis
asi
pem
erin
taha
n ya
ng d
emok
rati
s,
berd
asar
kan
prin
sip
peny
edia
an
pela
yana
n pu
blik
Tid
ak a
da
n/a
42
Men
gham
bat
39
5
Ya,
dite
rapk
an
seca
ra
luas
41
16
Ya,
men
gatu
r se
luru
h as
pek
Ada
n/
a 37
M
endu
kung
38
32
T
idak
, te
rbat
as
45
37
Tida
k,
terb
atas
Tid
ak
men
jaw
ab
n/a
21
Tida
k ad
a 18
-
Tid
ak a
da
2 -
Tida
k ad
a
Jum
lah
n/
a 10
0 Ti
dak
men
jaw
ab
5 63
T
idak
m
enja
wab
12
47
Ti
dak
men
jaw
ab
Jum
lah
10
0 10
0 Ju
mla
h
100
100
Jum
lah
195
NO
H
AK
-HA
K D
AN
LE
MB
AG
A
Apa
kah
ada
per
atu
ran
dan
reg
ula
si
form
al?
Apa
kah
kebe
rada
an
per
atu
ran
dan
re
gula
si fo
rmal
ter
sebu
t se
cara
um
um
cen
deru
ng
men
duku
ng
atau
m
engh
amba
t (h
ak d
an
lem
baga
)?
Ap
aka
h pe
ratu
ran
dan
reg
ula
si f
orm
al
dit
era
pka
n se
cara
efe
ktif
di d
aera
h in
i at
au
di d
alam
wil
ayah
isu
yan
g A
nd
a ge
luti
saa
t in
i?
Apa
kah
pe
ters
ebu
t s
selu
ruh
Des
kri
psi
Surv
ei
Ace
h
20
06
Info
rman
A
ceh
dal
am
Surv
ei
Nas
ion
al
20
07
Des
kri
psi
Surv
ei
Ace
h
20
06
Info
rman
A
ceh
dal
am
Surv
ei
Nas
ion
al
20
07
Des
kri
psi
Surv
ei
Ace
h
20
06
Info
rman
A
ceh
dal
am
Surv
ei
Nas
ion
al
20
07
Des
kri
ps
(%)
(%)
(%)
(%)
(%)
(%)
31
Tra
nspa
rans
i da
n ak
unta
bilit
as
mili
ter
dan
kepo
lisia
n ke
pada
pe
mer
inta
han
terp
ilih
dan
kepa
da p
ublik
Tid
ak a
da
n/a
58
Men
gham
bat
34
11
Ya,
dite
rapk
an
seca
ra lu
as
35
5
Ya,
men
gatu
r se
luru
h as
pek
Ada
n/
a 32
M
endu
kung
35
21
T
idak
, te
rbat
as
53
26
Tid
ak,
terb
atas
Tid
ak
men
jaw
ab
n/a
11
Tid
ak a
da
27
- T
idak
ada
1
- T
idak
ada
Jum
lah
n/
a 10
0 T
idak
m
enja
wab
4
68
Tid
ak
men
jaw
ab
11
68
Tid
ak
men
jaw
ab
Ju
mla
h
100
100
Jum
lah
10
0 10
0 Ju
mla
h
32
Kap
asit
as
pem
erin
tah
untu
k m
emer
angi
ke
lom
pok-
kelo
mpo
k m
ilisi
, pr
eman
, dan
ke
jaha
tan
tero
rgan
isir
Tid
ak a
da
n/a
47
Men
gham
bat
24
11
Ya,
dite
rapk
an
seca
ra lu
as
35
21
Ya,
men
gatu
r se
luru
h as
pek
Ada
n/
a 42
M
endu
kung
40
32
T
idak
, te
rbat
as
52
21
Tid
ak,
terb
atas
Tid
ak
men
jaw
ab
n/a
11
Tid
ak a
da
33
- T
idak
ada
1
- T
idak
ada
Jum
lah
n/
a 10
0 T
idak
m
enja
wab
3
58
Tid
ak
men
jaw
ab
12
58
Tid
ak
men
jaw
ab
Ju
mla
h
100
100
Jum
lah
10
0 10
0 Ju
mla
h
196 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
NO
H
AK
-HA
K D
AN
LE
MB
AG
A
Apa
kah
ada
pera
tura
n da
n re
gula
si
form
al?
Apa
kah
kebe
rada
an p
erat
ura
n da
n re
gula
si fo
rmal
ters
ebu
t sec
ara
umu
m
cend
eru
ng m
endu
kung
ata
u
men
gham
bat
(hak
dan
lem
baga
)?
Apa
kah
pera
tura
n da
n re
gula
si f
orm
al
dite
rapk
an s
ecar
a ef
ekti
f di d
aera
h in
i at
au d
i dal
am w
ilay
ah is
u ya
ng A
nda
ge
luti
saa
t ini
?
Apa
kah
per
ters
ebut
se
selu
ruh
ake
Des
krip
si
Surv
ei
Ace
h
200
6
Info
rman
A
ceh
dal
am
Surv
ei
Nas
ion
al
200
7
Des
krip
si
Surv
ei
Ace
h
200
6
Info
rman
A
ceh
dal
am
Surv
ei
Nas
ion
al
200
7
Des
kri
psi
Surv
ei
Ace
h
200
6
Info
rman
A
ceh
dal
am
Surv
ei
Nas
ion
al
20
07
Des
kri
psi
(%)
(%)
(%)
(%)
(%)
(%)
33
Inde
pend
ensi
pe
mer
inta
h da
ri c
ampu
r ta
ngan
asi
ng
Tida
k ad
a n/
a 47
M
engh
amba
t n/
a 0
Ya,
dite
rapk
an
seca
ra lu
as
n/a
11
Ya,
men
gatu
r se
luru
h as
pek
Ada
n/
a 37
M
endu
kung
n/
a 37
Ti
dak,
te
rbat
as
n/a
26
Tid
ak,
terb
atas
Tida
k m
enja
wab
n/
a 16
Ti
dak
ada
n/a
- Ti
dak
ada
n/a
- T
idak
ada
Jum
lah
n/
a 10
0 Ti
dak
men
jaw
ab
n/a
63
Tida
k m
enja
wab
n/
a 63
T
idak
m
enja
wab
Jum
lah
n/
a 10
0 Ju
mla
h
n/a
100
Jum
lah
34
Inde
pend
ensi
pe
mer
inta
h da
ri k
elom
pok-
kelo
mpo
k ke
pent
inga
n da
n ka
pasi
tasn
ya
untu
k m
engu
rang
i ko
rups
i dan
pe
nyel
ewen
gan
keke
kuas
aan
Tida
k ad
a n/
a 32
M
engh
amba
t 34
16
Ya
, di
tera
pkan
se
cara
luas
35
26
Ya,
men
gatu
r se
luru
h as
pek
Ada
n/
a 58
M
endu
kung
41
42
Ti
dak,
te
rbat
as
52
32
Tid
ak,
terb
atas
Tida
k m
enja
wab
n/
a 11
Ti
dak
ada
22
- Ti
dak
ada
1 -
Tid
ak a
da
Jum
lah
n/
a 10
0 Ti
dak
men
jaw
ab
3 42
Ti
dak
men
jaw
ab
12
42
Tid
ak
men
jaw
ab
Ju
mla
h
100
100
Jum
lah
10
0 10
0 Ju
mla
h
197
NO
H
AK
-HA
K D
AN
LE
MB
AG
A
Apa
kah
ada
pera
tura
n da
n re
gula
si
form
al?
Apa
kah
kebe
rada
an p
erat
uran
dan
re
gula
si fo
rmal
ters
ebu
t sec
ara
um
um
ce
nde
run
g m
endu
kun
g at
au
men
gham
bat
(hak
dan
lem
baga
)?
Apa
kah
pera
tura
n da
n re
gula
si
form
al d
iter
apka
n se
cara
efe
ktif
di
daer
ah in
i ata
u di
dal
am w
ilay
ah is
u ya
ng A
nda
gel
uti
saa
t in
i?
Apa
kah
form
al t
men
cam
enya
n
Des
kri
psi
Surv
ei A
ceh
2
00
6
Info
rman
A
ceh
dal
am
Surv
ei
Nas
ion
al
200
7
Des
kri
psi
Surv
ei
Ace
h
200
6
Info
rman
A
ceh
dal
am
Surv
ei
Nas
ion
al
200
7
Des
krip
si
Surv
ei
Ace
h
200
6
Info
rman
A
ceh
dal
am
Surv
ei
Nas
ion
al
200
7
Des
kri
ps
i
(%)
(%)
(%)
(%)
(%)
(%)
35
Keb
ebas
an p
ers,
du
nia
seni
dan
ak
adem
is
Tid
ak a
da
n/a
21
Men
gham
bat
21
21
Ya,
dite
rapk
an
seca
ra
luas
69
47
Ya,
men
gatu
r se
luru
h as
pek
Ada
n/
a 74
M
endu
kung
62
53
T
idak
, te
rbat
as
20
26
Tid
ak,
terb
atas
Tid
ak
men
jaw
ab
n/a
5 T
idak
ada
13
-
Tid
ak a
da
0 -
Tid
ak a
da
Jum
lah
n/
a 10
0 T
idak
m
enja
wab
4
26
Tid
ak
men
jaw
ab
11
26
Tid
ak
men
jaw
ab
Ju
mla
h
100
100
Jum
lah
10
0 10
0 Ju
mla
h
36
Aks
es p
ublik
te
rhad
ap
pand
anga
n ya
ng
berb
eda
di d
alam
m
edia
, dun
ia
seni
, dan
dun
ia
akad
emis
, jug
a un
tuk
mer
efle
ksik
anny
a
Tid
ak a
da
n/a
42
Men
gham
bat
25
11
Ya,
dite
rapk
an
seca
ra
luas
49
21
Ya,
men
gatu
r se
luru
h as
pek
Ada
n/
a 47
M
endu
kung
58
32
T
idak
, te
rbat
as
35
21
Tid
ak,
terb
atas
Tid
ak
men
jaw
ab
n/a
11
Tid
ak a
da
15
- T
idak
ada
1
- T
idak
ada
Jum
lah
n/
a 10
0 T
idak
m
enja
wab
3
58
Tid
ak
men
jaw
ab
17
58
Tid
ak
men
jaw
ab
Ju
mla
h
100
100
Jum
lah
10
0 10
0 Ju
mla
h
198 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
NO
H
AK
-HA
K D
AN
LE
MB
AG
A
Apa
kah
ada
pera
tura
n d
an r
egul
asi
form
al?
Apa
kah
kebe
rada
an p
erat
ura
n da
n re
gula
si fo
rmal
ters
ebut
sec
ara
umu
m
cend
eru
ng m
endu
kun
g at
au
men
gham
bat
(hak
dan
lem
baga
)?
Apa
kah
pera
tura
n da
n re
gula
si f
orm
al
dite
rapk
an s
ecar
a ef
ekti
f di d
aera
h in
i at
au d
i dal
am w
ilay
ah is
u ya
ng A
nda
ge
luti
saa
t in
i?
Apa
kah
pera
ters
ebu
t se
cse
luru
h a
ke
Des
kri
psi
Surv
ei
Ace
h
20
06
Info
rman
A
ceh
dal
am
Surv
ei
Nas
ion
al
200
7
Des
krip
si
Surv
ei
Ace
h
200
6
Info
rman
A
ceh
dal
am
Surv
ei
Nas
ion
al
200
7
Des
krip
si
Surv
ei
Ace
h
20
06
Info
rman
A
ceh
dal
am
Surv
ei
Nas
ion
al
20
07
D
esk
rip
si
(%)
(%)
(%)
(%)
(%)
(%)
37
Part
isip
asi
war
gane
gara
di
dal
am
orga
nisa
si
mas
yara
kat
yang
in
depe
nden
Tid
ak a
da
n/a
21
Men
gham
bat
26
11
Ya,
dite
rapk
an
seca
ra lu
as
60
37
Ya,
men
gatu
r se
luru
h as
pek
Ada
n/
a 68
M
endu
kung
60
58
T
idak
, te
rbat
as
27
26
Tida
k,
terb
atas
Tid
ak
men
jaw
ab
n/a
11
Tid
ak a
da
11
0 T
idak
ada
1
- Ti
dak
ada
Jum
lah
n/
a 10
0 T
idak
m
enja
wab
4
32
Tid
ak
men
jaw
ab
13
37
Tida
k m
enja
wab
Jum
lah
10
0 10
0 Ju
mla
h
100
100
Jum
lah
38
Tran
spar
ansi
, ak
unta
bilit
as,
dan
dem
okra
si d
i da
lam
or
gani
sasi
m
asya
raka
t
Tid
ak a
da
n/a
32
Men
gham
bat
24
5 Ya
, di
tera
pkan
se
cara
luas
49
37
Ya,
men
gatu
r se
luru
h as
pek
Ada
n/
a 68
M
endu
kung
48
63
T
idak
, te
rbat
as
37
26
Tida
k,
terb
atas
Tid
ak
men
jaw
ab
n/a
0 T
idak
ada
24
-
Tid
ak a
da
0 -
Tida
k ad
a
Jum
lah
n/
a 10
0 T
idak
m
enja
wab
4
32
Tid
ak
men
jaw
ab
14
37
Tida
k m
enja
wab
Jum
lah
10
0 10
0 Ju
mla
h
100
100
Jum
lah
199
NO
H
AK
-HA
K D
AN
LE
MB
AG
A
Apa
kah
ada
pera
tura
n da
n re
gula
si
form
al?
Apa
kah
kebe
rada
an p
erat
ura
n d
an
regu
lasi
form
al te
rseb
ut s
ecar
a u
mu
m
cen
deru
ng
men
duku
ng
atau
m
engh
amba
t (h
ak d
an le
mba
ga)?
Apa
kah
pera
tura
n d
an r
egu
lasi
for
mal
di
tera
pkan
sec
ara
efek
tif d
i dae
rah
ini
atau
di d
alam
wil
ayah
isu
yang
And
a ge
luti
saa
t in
i?
Apa
kah
pera
ters
ebu
t se
cse
luru
h a
ke
Des
kri
psi
Surv
ei
Ace
h
20
06
Info
rman
A
ceh
d
alam
Su
rvei
N
asio
nal
2
007
Des
kri
psi
Surv
ei
Ace
h
200
6
Info
rman
A
ceh
dal
am
Surv
ei
Nas
ion
al
20
07
Des
kri
psi
Surv
ei
Ace
h
20
06
Info
rman
A
ceh
dal
am
Surv
ei
Nas
ion
al
200
7
Des
kri
psi
(%)
(%)
(%)
(%)
(%)
(%)
39
Aks
es y
ang
luas
ba
gi s
elur
uh
kelo
mpo
k so
sial
, te
rmas
uk
kelo
mpo
k pe
rem
puan
, un
tuk
berp
arti
sipa
si
dala
m
kehi
dupa
n pu
blik
Tid
ak a
da
n/a
32
Men
gham
bat
27
16
Ya,
dite
rapk
an
seca
ra lu
as
48
16
Ya,
men
gatu
r se
luru
h as
pek
Ada
n/
a 47
M
endu
kung
50
26
T
idak
, te
rbat
as
38
21
Tida
k,
terb
atas
Tid
ak
men
jaw
ab
n/a
21
Tid
ak a
da
19
- T
idak
ada
1
- Ti
dak
ada
Jum
lah
n/
a 10
0 T
idak
m
enja
wab
4
58
Tid
ak
men
jaw
ab
13
63
Tida
k m
enja
wab
Jum
lah
10
0 10
0 Ju
mla
h
100
100
Jum
lah
40
Ter
buka
nya
akse
s la
ngsu
ng
dan
kont
ak
mas
yara
kat
terh
adap
la
yana
n pu
blik
da
n w
akil-
wak
il po
litik
nya
Tid
ak a
da
n/a
42
Men
gham
bat
36
5 Ya
, di
tera
pkan
se
cara
luas
35
5
Ya,
men
gatu
r se
luru
h as
pek
Ada
n/
a 47
M
endu
kung
30
42
T
idak
, te
rbat
as
50
37
Tida
k,
terb
atas
Tid
ak
men
jaw
ab
n/a
11
Tid
ak a
da
31
- T
idak
ada
1
- Ti
dak
ada
Jum
lah
n/
a 10
0 T
idak
m
enja
wab
3
53
Tid
ak
men
jaw
ab
15
58
Tida
k m
enja
wab
Jum
lah
10
0 10
0 Ju
mla
h
100
100
Jum
lah
200 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
NO
H
AK
-HA
K D
AN
LE
MB
AG
A
Apa
kah
ada
pera
tura
n d
an r
egul
asi
form
al?
Apa
kah
kebe
rada
an p
erat
uran
dan
re
gula
si fo
rmal
ter
sebu
t se
cara
um
um
cend
erun
g m
endu
kung
ata
u
men
gham
bat (
hak
dan
lem
baga
)?
Apa
kah
pera
tura
n da
n re
gula
si f
orm
al
dite
rapk
an s
ecar
a ef
ekti
f di d
aera
h in
i at
au d
i dal
am w
ilay
ah is
u ya
ng A
nda
ge
luti
saa
t ini
?
Apa
kah
per
ters
ebu
t se
selu
ruh k
Des
krip
si
Surv
ei
Ace
h
200
6
Info
rman
A
ceh
dal
am
Surv
ei
Nas
ion
al
20
07
Des
kri
psi
Surv
ei
Ace
h
200
6
Info
rman
A
ceh
dal
am
Surv
ei
Nas
ion
al
200
7
Des
kri
psi
Surv
ei
Ace
h
200
6
Info
rman
A
ceh
dal
am
Surv
ei
Nas
ion
al
200
7
Des
krip
si
(%)
(%)
(%)
(%)
(%)
(%)
41
Kon
sult
asi
pem
erin
tah
deng
an
mas
yara
kat,
dan
jika
mem
ungk
inka
n,
adan
ya
part
isip
asi
publ
ik s
ecar
a la
ngsu
ng d
alam
pe
mbu
atan
ke
bija
kan
dan
pela
ksan
aan
kebi
jaka
n pu
blik
Tid
ak a
da
n/a
n/a
Men
gham
bat
39
n/a
Ya,
dite
rapk
an
seca
ra lu
as
32
n/a
Ya,
men
gatu
r se
luru
h as
pek
Ada
n/
a n/
a M
endu
kung
28
n/
a Ti
dak,
te
rbat
as
54
n/a
Tid
ak,
terb
atas
Tid
ak
men
jaw
ab
n/a
n/a
Tid
ak a
da
30
n/a
Tida
k ad
a 2
n/a
Tid
ak a
da
Jum
lah
n/
a n/
a T
idak
m
enja
wab
3
n/a
Tida
k m
enja
wab
13
n/
a T
idak
m
enja
wab
Ju
mla
h
100
n/a
Jum
lah
10
0 n/
a Ju
mla
h
42
SELU
RU
H H
AK
D
AN
IN
STR
UM
EN
Tid
ak a
da
n/a
38
Men
gham
bat
29
9 Ya
, di
tera
pkan
se
cara
luas
45
24
Ya,
men
gatu
r se
luru
h as
pek
Ada
n/
a 50
M
endu
kung
48
41
Ti
dak,
te
rbat
as
42
31
Tid
ak,
terb
atas
Tid
ak
men
jaw
ab
n/a
12
Tid
ak a
da
20
- Ti
dak
ada
0 -
Tid
ak a
da
Jum
lah
n/
a 10
0 T
idak
m
enja
wab
3
50
Tida
k m
enja
wab
13
45
T
idak
m
enja
wab
Ju
mla
h
100
100
Jum
lah
10
0 10
0 Ju
mla
h
201
NO
H
AK
-HA
K
DA
N
LE
MB
AG
A
Ap
ak
ah
keb
era
da
an
atu
ran
non
-fo
rma
l (n
ila
i da
n k
ebia
saa
n)
yan
g a
da
da
n
ber
laku
di w
ila
yah
ini s
eca
ra u
mu
m
cen
der
un
g m
end
uk
un
g a
tau
men
gh
am
ba
t (h
ak d
an le
mb
aga)
?
Ap
ak
ah
atu
ran
no
n-f
orm
al (
nil
ai
da
n k
ebia
saa
n)
itu
dit
era
pka
n
seca
ra e
fekt
if d
i da
era
h in
i ata
u d
i d
ala
m w
ila
yah
isu
ya
ng
An
da
g
elu
ti s
aa
t in
i?
Ap
a(n
ise
cm
enca me
Des
kri
psi
Surv
ei
Ace
h
20
06
Info
rman
Ace
h
dal
am S
urv
ei
Nas
ion
al 2
00
7
Des
kri
psi
Surv
ei
Ace
h
20
06
Info
rma
n
Ace
h d
alam
Su
rvei
N
asio
nal
2
00
7
Des
kr
(%)
(%)
(%)
(%)
1
Kes
etar
aan
war
ga n
egar
a
Men
gham
bat
2
4
37
Y
a,
dit
erap
kan
se
cara
luas
3
6
53
Ya,
m
enga
selu
ruas
pek
Men
du
kun
g
45
5
3
Tid
ak,
terb
atas
4
5
37
T
idak
,te
rbat
Tid
ak a
da
24
-
Tid
ak a
da
1
- T
idak
Tid
ak
men
jaw
ab
7
11
T
idak
m
enja
wab
1
8
11
T
idak
m
enja
Jum
lah
1
00
1
00
Ju
mla
h
10
0
10
0
Jum
lah
2
Hak
-hak
m
inor
itas
, m
igra
n, d
an
pen
gun
gsi
Men
gham
bat
2
1
n/a
Y
a,
dit
erap
kan
se
cara
luas
3
4
n/a
Ya,
m
enga
selu
ruas
pek
Men
du
kun
g
45
n
/a
Tid
ak,
terb
atas
4
4
n/a
T
idak
,te
rbat
Tid
ak a
da
26
n
/a
Tid
ak a
da
1
n/a
T
idak
Tid
ak
men
jaw
ab
7
n/a
T
idak
m
enja
wab
2
1
n/a
T
idak
m
enja
Jum
lah
1
00
n
/a
Jum
lah
1
00
n
/a
Jum
lah
Tabe
l 21.
Sit
uasi
tent
ang
kebe
rada
an a
tura
n no
n-fo
rmal
202 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
NO
H
AK
-HA
K D
AN
LE
MB
AG
A
Apa
kah
kebe
rada
an a
tura
n n
on-f
orm
al
(nil
ai d
an k
ebia
saan
) ya
ng
ada
dan
berl
aku
di w
ilay
ah in
i sec
ara
um
um
ce
nde
run
g m
endu
kun
g at
au
men
gham
bat (
hak
dan
lem
baga
)?
Apa
kah
atu
ran
non
-for
mal
(n
ilai
dan
ke
bias
aan)
itu
dit
erap
kan
sec
ara
efek
tif d
i da
erah
ini a
tau
di d
alam
wil
ayah
isu
yan
g A
nda
gel
uti
saa
t in
i?
Apa
kah
atu
ran
non
-for
ma
kebi
asaa
n) it
u se
cara
su
bsta
ntif
men
caku
p se
luya
ng m
enya
ngk
ut k
ehid
up
Des
kri
psi
Surv
ei
Ace
h
200
6
Info
rman
Ace
h
dal
am S
urv
ei
Nas
ion
al 2
007
D
eskr
ipsi
Surv
ei
Ace
h
200
6
Info
rman
Ace
h
dal
am S
urv
ei
Nas
ion
al 2
007
D
esk
rip
si
Surv
ei
Ace
h
2006
(%)
(%)
(%)
(%)
(%)
3 H
ak-h
ak k
orba
n (m
is.
Kon
flik
dan
benc
ana)
Men
gham
bat
18
n/a
Ya,
dite
rapk
an
seca
ra lu
as
40
n/a
Ya, m
enga
tur
selu
ruh
aspe
k
29
Men
duku
ng
55
n/a
Tida
k,
terb
atas
38
n/
a T
idak
, ter
bata
s 46
Tid
ak a
da
19
n/a
Tida
k ad
a 1
n/a
Tid
ak a
da
1
Tid
ak
men
jaw
ab
8 n/
a Ti
dak
men
jaw
ab
20
n/a
Tid
ak
men
jaw
ab
24
Jum
lah
10
0 n/
a Ju
mla
h
100
n/a
Jum
lah
100
4 R
ekon
silia
si k
onfli
k-ko
nflik
hor
izon
tal
Men
gham
bat
16
n/a
Ya,
dite
rapk
an
seca
ra lu
as
39
n/a
Ya, m
enga
tur
selu
ruh
aspe
k
27
Men
duku
ng
50
n/a
Tida
k,
terb
atas
36
n/
a T
idak
, ter
bata
s 46
Tid
ak a
da
25
n/a
Tida
k ad
a 0
n/a
Tid
ak a
da
1
Tid
ak
men
jaw
ab
9 n/
a Ti
dak
men
jaw
ab
25
n/a
Tid
ak
men
jaw
ab
26
Jum
lah
10
0 n/
a Ju
mla
h
100
n/a
Jum
lah
100
5 R
eint
egra
si
Men
gham
bat
13
n/a
Ya,
dite
rapk
an
seca
ra lu
as
41
n/a
Ya, m
enga
tur
selu
ruh
aspe
k
24
Men
duku
ng
56
n/a
Tida
k,
terb
atas
37
n/
a T
idak
, ter
bata
s 51
Tid
ak a
da
23
n/a
Tida
k ad
a 0
n/a
Tid
ak a
da
0
Tid
ak
men
jaw
ab
8 n/
a Ti
dak
men
jaw
ab
22
n/a
Tid
ak
men
jaw
ab
25
Jum
lah
10
0 n/
a Ju
mla
h
100
n/a
Jum
lah
100
203
NO
H
AK
-HA
K D
AN
LE
MB
AG
A
Apa
kah
kebe
rada
an a
tura
n n
on-f
orm
al
(nil
ai d
an k
ebia
saan
) ya
ng
ada
dan
be
rlak
u d
i wil
ayah
ini s
eca
ra u
mu
m
cen
deru
ng
men
duku
ng
atau
m
engh
amba
t (h
ak d
an le
mb
aga)
?
Apa
kah
atu
ran
non
-for
mal
(n
ilai
dan
ke
bias
aan
) it
u d
iter
apk
an s
ecar
a ef
ekti
f di
daer
ah in
i ata
u d
i dal
am w
ilay
ah is
u y
ang
An
da g
elu
ti s
aat
ini?
Apa
kah
atu
ran
non
-for
mal
(n
kebi
asaa
n)
itu
sec
ara
sec
subs
tan
tif m
enca
kup
selu
ruh
yan
g m
enya
ngk
ut
kehi
dupa
n
Des
kri
psi
Surv
ei
Ace
h
20
06
(%
)
Info
rman
Ace
h
dal
am S
urv
ei
Nas
ion
al 2
00
7
(%)
Des
kri
psi
Surv
ei
Ace
h
20
06
(%
)
Info
rman
Ace
h
dal
am S
urv
ei
Nas
ion
al 2
00
7
(%)
Des
kri
psi
Surv
ei
Ace
h
20
06
(%
)
In N
6 H
ukum
inte
rnas
iona
l da
n pe
rjan
jian
HA
M
PBB
Men
gham
bat
16
42
Ya,
dite
rapk
an
seca
ra lu
as
36
42
Ya, m
enga
tur
selu
ruh
aspe
k
26
Men
duku
ng
50
47
Tid
ak,
terb
atas
41
47
T
idak
, ter
bata
s 49
Tid
ak a
da
27
- T
idak
ada
0
- T
idak
ada
0
Tid
ak
men
jaw
ab
8 11
T
idak
m
enja
wab
23
11
T
idak
m
enja
wab
23
Jum
lah
10
0 10
0 Ju
mla
h
100
100
Jum
lah
100
7 K
epat
uhan
pem
erin
tah
dan
peja
bat p
ublik
te
rhad
ap h
ukum
Men
gham
bat
23
42
Ya,
dite
rapk
an
seca
ra lu
as
33
32
Ya, m
enga
tur
selu
ruh
aspe
k
21
Men
duku
ng
39
53
Tid
ak,
terb
atas
42
63
T
idak
, ter
bata
s 55
Tid
ak a
da
28
- T
idak
ada
1
- T
idak
ada
0
Tid
ak
men
jaw
ab
10
5 T
idak
m
enja
wab
24
5
Tid
ak
men
jaw
ab
24
Jum
lah
10
0 10
0 Ju
mla
h
100
100
Jum
lah
100
8 A
kses
yan
g se
tara
dan
am
an te
rhad
ap k
eadi
lan
Men
gham
bat
18
63
Ya,
dite
rapk
an
seca
ra lu
as
32
42
Ya, m
enga
tur
selu
ruh
aspe
k
23
Men
duku
ng
51
32
Tid
ak,
terb
atas
46
53
T
idak
, ter
bata
s 54
Tid
ak a
da
22
- T
idak
ada
1
- T
idak
ada
0
Tid
ak
men
jaw
ab
9 5
Tid
ak
men
jaw
ab
22
5 T
idak
m
enja
wab
23
Jum
lah
10
0 10
0 Ju
mla
h
100
100
Jum
lah
100
204 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
NO
H
AK
-HA
K D
AN
LE
MB
AG
A
Apa
kah
kebe
rad
aan
atu
ran
non
-for
mal
(n
ilai
dan
keb
iasa
an)
yang
ada
dan
be
rlak
u d
i wil
ayah
ini s
ecar
a u
mu
m
cen
deru
ng m
endu
kun
g at
au
men
gham
bat (
hak
dan
lem
bag
a)?
Apa
kah
atu
ran
non
-for
mal
(n
ilai
dan
ke
bias
aan
) it
u d
iter
apka
n se
cara
efe
ktif
di
daer
ah in
i ata
u d
i dal
am w
ilay
ah is
u y
ang
An
da g
elu
ti s
aat
ini?
Apa
kah
atur
dan
keb
iasa
asu
bsta
nti
f me
yan
g m
eny
Des
kri
psi
Surv
ei
Ace
h
20
06
Info
rman
Ace
h
dal
am S
urv
ei
Nas
ion
al 2
00
7
Des
krip
si
Surv
ei
Ace
h
200
6
Info
rman
Ace
h
dal
am S
urv
ei
Nas
ion
al 2
00
7
Des
kri
psi
(%)
(%)
(%)
(%)
9 In
tegr
itas
dan
in
depe
nden
si le
mba
ga
pera
dila
n
Men
gham
bat
16
n/a
Ya, d
iter
apka
n se
cara
luas
30
n/
a Ya
, men
gatu
r se
luru
h as
pek
Men
duku
ng
46
n/a
Tida
k, te
rbat
as
47
n/a
Tid
ak, t
erba
tas
Tid
ak a
da
30
n/a
Tida
k ad
a 0
n/a
Tid
ak a
da
Tid
ak
men
jaw
ab
9 n/
a Ti
dak
men
jaw
ab
23
n/a
Tid
ak
men
jaw
ab
Jum
lah
10
0 n/
a Ju
mla
h
100
n/a
Jum
lah
10
Beb
as d
ari k
eker
asan
fis
ik d
an r
asa
taku
t at
asny
a
Men
gham
bat
20
37
Ya, d
iter
apka
n se
cara
luas
37
26
Ya
, men
gatu
r se
luru
h as
pek
Men
duku
ng
43
47
Tida
k, te
rbat
as
42
58
Tid
ak, t
erba
tas
Tid
ak a
da
27
0 Ti
dak
ada
0 -
Tid
ak a
da
Tid
ak
men
jaw
ab
10
16
Tida
k m
enja
wab
21
16
T
idak
m
enja
wab
Ju
mla
h
100
100
Jum
lah
10
0 10
0 Ju
mla
h
11
Keb
ebas
an b
erbi
cara
, be
rkum
pul,
dan
bero
rgan
isas
i
Men
gham
bat
10
37
Ya, d
iter
apka
n se
cara
luas
49
37
Ya
, men
gatu
r se
luru
h as
pek
Men
duku
ng
62
53
Tida
k, te
rbat
as
29
53
Tid
ak, t
erba
tas
Tid
ak a
da
17
- Ti
dak
ada
0 -
Tid
ak a
da
Tid
ak
men
jaw
ab
11
11
Tida
k m
enja
wab
22
11
T
idak
m
enja
wab
Ju
mla
h
100
100
Jum
lah
10
0 10
0 Ju
mla
h
205
NO
H
AK
-HA
K D
AN
LE
MB
AG
A
Apa
kah
kebe
rada
an a
tura
n n
on-f
orm
al
(nil
ai d
an k
ebia
saan
) ya
ng a
da d
an
berl
aku
di w
ilay
ah in
i sec
ara
um
um
ce
nde
run
g m
endu
kun
g at
au
m
engh
am
bat
(hak
dan
lem
bag
a)?
Apa
kah
atu
ran
non-
form
al (
nila
i dan
ke
bias
aan
) it
u d
iter
apka
n s
ecar
a ef
ekti
f di
daer
ah in
i ata
u d
i dal
am w
ilay
ah is
u ya
ng
An
da g
elut
i saa
t in
i?
Apa
kah
atu
ran
non
-for
kebi
asaa
n)
itu
seca
ra s
em
enca
kup
selu
ruh
am
enya
ngk
ut k
ehid
u
Des
kri
psi
Surv
ei
Ace
h
20
06
Info
rman
Ace
h
dal
am S
urv
ei
Nas
ion
al 2
00
7
Des
kri
psi
Surv
ei
Ace
h
20
06
Info
rman
Ace
h
dal
am S
urv
ei
Nas
ion
al 2
00
7
Des
kri
psi
Surv
Ace
20
0
(%)
(%)
(%)
(%)
(%
12
Keb
ebas
an u
ntuk
m
enja
lank
an k
egia
tan-
kegi
atan
ser
ikat
pek
erja
Men
gham
bat
11
26
Ya, d
iter
apka
n se
cara
luas
45
47
Ya
, men
gatu
r se
luru
h as
pek
37
Men
duku
ng
59
63
Tid
ak,
terb
atas
33
37
T
idak
, ter
bata
s 40
Tid
ak a
da
21
0 T
idak
ada
0
0 T
idak
ada
0
Tid
ak
men
jaw
ab
9 11
T
idak
m
enja
wab
23
16
T
idak
m
enja
wab
23
Jum
lah
10
0 10
0 Ju
mla
h
100
100
Jum
lah
100
13
Keb
ebas
an b
erag
ama
dan
berk
eyak
inan
Men
gham
bat
11
47
Ya, d
iter
apka
n se
cara
luas
63
47
Ya
, men
gatu
r se
luru
h as
pek
53
Men
duku
ng
74
42
Tid
ak,
terb
atas
17
42
T
idak
, ter
bata
s 23
Tid
ak a
da
6 0
Tid
ak a
da
0 0
Tid
ak a
da
0
Tid
ak
men
jaw
ab
9 11
T
idak
m
enja
wab
20
11
T
idak
m
enja
wab
24
Jum
lah
10
0 10
0 Ju
mla
h
100
100
Jum
lah
100
14
Keb
ebas
an
men
ggun
akan
bah
asa
dan
mel
esta
rika
n bu
daya
Men
gham
bat
11
n/a
Ya, d
iter
apka
n se
cara
luas
55
n/
a Ya
, men
gatu
r se
luru
h as
pek
44
Men
duku
ng
70
n/a
Tid
ak,
terb
atas
23
n/
a T
idak
, ter
bata
s 33
Tid
ak a
da
10
n/a
Tid
ak a
da
0 n/
a T
idak
ada
0
Tid
ak
men
jaw
ab
8 n/
a T
idak
m
enja
wab
22
n/
a T
idak
m
enja
wab
23
Jum
lah
10
0 n/
a Ju
mla
h
100
n/a
Jum
lah
100
206 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
NO
H
AK
-HA
K D
AN
LE
MB
AG
A
Apa
kah
kebe
rada
an a
tura
n n
on-f
orm
al
(nil
ai d
an k
ebia
saan
) ya
ng
ada
dan
be
rlak
u d
i wil
ayah
ini s
ecar
a um
um
ce
nde
run
g m
endu
kun
g at
au
men
gham
bat (
hak
dan
lem
bag
a)?
Apa
kah
atu
ran
non
-for
mal
(n
ilai
dan
ke
bias
aan)
itu
dit
erap
kan
seca
ra e
fekt
if d
i da
erah
ini a
tau
di d
alam
wil
ayah
isu
yang
A
nda
gel
uti s
aat i
ni?
Apa
kah
atu
ran
non
-fke
bias
aan
) it
u se
cara
men
caku
p se
luru
men
yang
kut k
ehi
Des
kri
psi
Surv
ei
Ace
h
200
6
Info
rman
Ace
h
dal
am S
urv
ei
Nas
ion
al 2
00
7
Des
kri
psi
Surv
ei
Ace
h
200
6
Info
rman
Ace
h
dal
am S
urv
ei
Nas
ion
al 2
007
D
esk
rip
si
Su A 2
(%)
(%)
(%)
(%)
(
15
Kes
etar
aan
gend
er d
an
eman
sipa
si
Men
gham
bat
21
37
Ya, d
iter
apka
n se
cara
luas
34
47
Ya
, men
gatu
r se
luru
h as
pek
Men
duku
ng
45
53
Tida
k,
terb
atas
42
42
Ti
dak,
terb
atas
Tida
k ad
a 25
0
Tida
k ad
a 0
- Ti
dak
ada
Tida
k m
enja
wab
9
11
Tida
k m
enja
wab
24
11
Tida
k m
enja
wab
Ju
mla
h
100
100
Jum
lah
10
0 10
0 Ju
mla
h 1
16
Hak
-hak
ana
k
Men
gham
bat
15
42
Ya, d
iter
apka
n se
cara
luas
44
32
Ya
, men
gatu
r se
luru
h as
pek
Men
duku
ng
57
47
Tida
k,
terb
atas
34
58
Ti
dak,
terb
atas
Tida
k ad
a 20
-
Tida
k ad
a 0
- Ti
dak
ada
Tida
k m
enja
wab
8
11
Tida
k m
enja
wab
22
11
Ti
dak
men
jaw
ab
Jum
lah
10
0 10
0 Ju
mla
h
100
100
Jum
lah
1
17
Hak
mem
pero
leh
peke
rjaa
n, ja
min
an
sosi
al, d
an k
ebut
uhan
da
sar
lain
Men
gham
bat
19
53
Ya, d
iter
apka
n se
cara
luas
39
42
Ya
, men
gatu
r se
luru
h as
pek
Men
duku
ng
48
42
Tida
k,
terb
atas
39
53
Ti
dak,
terb
atas
Tida
k ad
a 25
-
Tida
k ad
a 0
- Ti
dak
ada
Tida
k m
enja
wab
8
5 Ti
dak
men
jaw
ab
22
5 Ti
dak
men
jaw
ab
Jum
lah
10
0 10
0 Ju
mla
h
100
100
Jum
lah
1
207
NO
H
AK
-HA
K D
AN
LE
MB
AG
A
Apa
kah
keb
erad
aan
atu
ran
non
-for
mal
(n
ilai
dan
keb
iasa
an)
yan
g ad
a da
n
berl
aku
di w
ilay
ah in
i sec
ara
um
um
ce
nde
run
g m
endu
kun
g at
au
men
gham
bat
(hak
dan
lem
bag
a)?
Apa
kah
atu
ran
non
-for
mal
(n
ilai
dan
ke
bias
aan
) it
u d
iter
apk
an s
ecar
a ef
ekti
f di
daer
ah in
i ata
u d
i dal
am w
ilay
ah is
u y
ang
An
da g
elu
ti s
aat
ini?
Apa
kah
atu
ran
non
-for
mal
(da
n k
ebia
saan
) it
u s
ecar
a s
esu
bsta
nti
f men
caku
p se
luru
hya
ng
men
yan
gku
t keh
idu
ppu
blik
?
Des
kri
psi
Surv
ei
Ace
h
20
06
Info
rman
Ace
h
dal
am S
urv
ei
Nas
ion
al 2
00
7
Des
kri
psi
Surv
ei
Ace
h
20
06
Info
rman
Ace
h
dal
am S
urv
ei
Nas
ion
al 2
00
7
Des
kri
psi
Surv
ei
Ace
h
20
06
Info A d Su Na 2
(%)
(%)
(%)
(%)
(%)
(
18
Hak
mem
pero
leh
pend
idik
an d
asar
, te
rmas
uk h
ak d
an
kew
ajib
an w
arga
ne
gara
Men
gham
bat
15
42
Ya,
dite
rapk
an
seca
ra lu
as
46
53
Ya, m
enga
tur
selu
ruh
aspe
k
34
Men
duku
ng
58
47
Tid
ak,
terb
atas
34
37
T
idak
, ter
bata
s 41
Tid
ak a
da
20
0 T
idak
ada
0
0 T
idak
ada
0
Tid
ak
men
jaw
ab
7 11
T
idak
m
enja
wab
21
11
T
idak
m
enja
wab
25
Jum
lah
10
0 10
0 Ju
mla
h
100
100
Jum
lah
100
19
Goo
d co
rpor
ate
gove
rnan
ce
Men
gham
bat
15
42
Ya,
dite
rapk
an
seca
ra lu
as
30
32
Ya, m
enga
tur
selu
ruh
aspe
k
25
Men
duku
ng
36
47
Tid
ak,
terb
atas
47
58
T
idak
, ter
bata
s 50
Tid
ak a
da
41
0 T
idak
ada
0
0 T
idak
ada
0
Tid
ak
men
jaw
ab
8 11
T
idak
m
enja
wab
23
11
T
idak
m
enja
wab
25
Jum
lah
10
0 10
0 Ju
mla
h
100
100
Jum
lah
100
1
20
Pem
ilu y
ang
beba
s da
n ad
il di
ting
kat
nasi
onal
, pro
vins
i dan
ka
bupa
ten/
kota
Men
gham
bat
14
26
Ya,
dite
rapk
an
seca
ra lu
as
46
47
Ya, m
enga
tur
selu
ruh
aspe
k
34
Men
duku
ng
58
63
Tid
ak,
terb
atas
34
42
T
idak
, ter
bata
s 39
Tid
ak a
da
20
0 T
idak
ada
0
0 T
idak
ada
0
Tid
ak
men
jaw
ab
9 11
T
idak
m
enja
wab
21
11
T
idak
m
enja
wab
27
Jum
lah
10
0 10
0 Ju
mla
h
100
100
Jum
lah
100
1
208 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
NO
H
AK
-HA
K D
AN
LE
MB
AG
A
Apa
kah
keb
era
da
an
atu
ran
non
-for
ma
l (n
ilai
dan
keb
iasa
an
) ya
ng
ad
a d
an
b
erla
ku d
i wil
aya
h in
i sec
ara
um
um
ce
nd
eru
ng
men
du
kun
g a
tau
m
engh
am
ba
t (h
ak d
an le
mb
aga)
?
Ap
aka
h a
tura
n n
on-f
orm
al (
nil
ai d
an
keb
iasa
an)
itu
dit
era
pka
n s
ecar
a e
fekt
if d
i d
aer
ah
ini a
tau
di d
ala
m w
ila
yah
isu
ya
ng
An
da
gel
uti
saa
t in
i?
Ap
aka
h a
tura
n n
od
an k
ebia
saa
n)
itu
subs
tan
tif m
enca
kuya
ng
men
yan
gk
pub
li
Des
kri
psi
Surv
ei
Ace
h
20
06
Info
rman
Ace
h
dal
am S
urv
ei
Nas
ion
al 2
00
7
Des
kri
psi
Surv
ei
Ace
h
20
06
Info
rman
Ace
h
dal
am S
urv
ei
Nas
ion
al 2
00
7
Des
kri
psi
Su A 2
(%)
(%)
(%)
(%)
(
21
Pem
ilu y
ang
adil
dan
beba
s, s
erta
ter
pisa
h,
dala
m m
emili
h k
epal
a da
erah
, mis
. Pilk
ada
gube
rnu
r,
bupa
ti/w
alik
ota,
kep
ala
desa
Men
gham
bat
15
n/a
Ya,
di
tera
pkan
se
cara
luas
49
n/
a Ya
, men
gatu
r se
luru
h as
pek
Men
duku
ng
61
n/a
Tid
ak,
terb
atas
31
n/
a T
idak
, ter
bata
s
Tid
ak a
da
16
n/a
Tid
ak a
da
0 n/
a T
idak
ada
Tid
ak
men
jaw
ab
9 n/
a T
idak
m
enja
wab
20
n/
a T
idak
m
enja
wab
Ju
mla
h
100
n/a
Jum
lah
10
0 n/
a Ju
mla
h 1
22
Keb
ebas
an u
ntuk
m
endi
rika
n pa
rtai
, m
erek
rut a
nggo
ta, d
an
kam
pany
e
Men
gham
bat
18
21
Ya,
di
tera
pkan
se
cara
luas
46
53
Ya
, men
gatu
r se
luru
h as
pek
Men
duku
ng
51
68
Tid
ak,
terb
atas
31
37
T
idak
, ter
bata
s
Tid
ak a
da
22
- T
idak
ada
0
- T
idak
ada
Tid
ak
men
jaw
ab
9 11
T
idak
m
enja
wab
23
11
T
idak
m
enja
wab
Ju
mla
h
100
100
Jum
lah
10
0 10
0 Ju
mla
h 1
23
Kem
ampu
an p
arta
i po
litik
men
cerm
inka
n pe
lbag
ai is
u d
an
kepe
ntin
gan
yang
vit
al
di m
asya
raka
t
Men
gham
bat
20
42
Ya,
di
tera
pkan
se
cara
luas
31
32
Ya
, men
gatu
r se
luru
h as
pek
Men
duku
ng
40
42
Tid
ak,
terb
atas
48
53
T
idak
, ter
bata
s
Tid
ak a
da
34
- T
idak
ada
0
- T
idak
ada
Tid
ak
men
jaw
ab
6 16
T
idak
m
enja
wab
22
16
T
idak
m
enja
wab
Ju
mla
h
100
100
Jum
lah
10
0 10
0 Ju
mla
h 1
209
NO
H
AK
-HA
K D
AN
LE
MB
AG
A
Apa
kah
kebe
rada
an a
tura
n n
on-f
orm
al
(nil
ai d
an k
ebia
saan
) ya
ng a
da d
an
berl
aku
di w
ilay
ah in
i sec
ara
umum
ce
nde
run
g m
endu
kung
ata
u m
engh
amba
t (h
ak d
an le
mb
aga)
?
Apa
kah
atur
an n
on-f
orm
al (
nil
ai d
an
kebi
asaa
n)
itu
dite
rapk
an s
ecar
a ef
ekti
f di
daer
ah in
i ata
u d
i dal
am w
ilay
ah is
u y
ang
And
a ge
luti
saa
t in
i?
Apa
kah
atur
an n
on-f
orm
dan
keb
iasa
an)
itu
sec
arsu
bsta
nti
f men
caku
p se
luya
ng
men
yang
kut k
ehpu
blik
?
Des
kri
psi
Surv
ei
Ace
h
200
6
Info
rman
Ace
h
dal
am S
urv
ei
Nas
ion
al 2
007
D
eskr
ipsi
Surv
ei
Ace
h
200
6
Info
rman
Ace
h
dal
am S
urv
ei
Nas
ion
al 2
007
D
esk
rip
si
Surv
ei
Ace
h
200
6
(%)
(%)
(%)
(%)
(%)
24
Penc
egah
an
peny
alah
guna
an
sent
imen
etn
is, s
imbo
l da
n do
ktri
n ag
ama
oleh
pa
rtai
pol
itik
Men
gham
bat
20
26
Ya,
dite
rapk
an
seca
ra lu
as
33
37
Ya, m
enga
tur
selu
ruh
aspe
k
29
Men
duku
ng
41
63
Tid
ak,
terb
atas
42
53
T
idak
, ter
bata
s 47
Tida
k ad
a 31
0
Tid
ak a
da
- -
Tid
ak a
da
0
Tida
k m
enja
wab
8
11
Tid
ak
men
jaw
ab
25
11
Tid
ak
men
jaw
ab
24
Jum
lah
10
0 10
0 Ju
mla
h
100
100
Jum
lah
100
25
Inde
pend
ensi
par
tai
polit
ik d
ari p
olit
ik u
ang
dan
kepe
ntin
gan-
kepe
ntin
gan
ters
elub
ung
Men
gham
bat
23
32
Ya,
dite
rapk
an
seca
ra lu
as
32
21
Ya, m
enga
tur
selu
ruh
aspe
k
26
Men
duku
ng
40
53
Tid
ak,
terb
atas
45
63
T
idak
, ter
bata
s 48
Tida
k ad
a 31
-
Tid
ak a
da
0 -
Tid
ak a
da
0
Tida
k m
enja
wab
7
16
Tid
ak
men
jaw
ab
24
16
Tid
ak
men
jaw
ab
26
Jum
lah
10
0 10
0 Ju
mla
h
100
100
Jum
lah
100
26
Kap
asit
as k
ontr
ol
angg
ota
terh
adap
pa
rtai
, ser
ta r
espo
ns
dan
akun
tabi
litas
pa
rtai
terh
adap
ko
nsti
tuen
nya
Men
gham
bat
22
21
Ya,
dite
rapk
an
seca
ra lu
as
31
32
Ya, m
enga
tur
selu
ruh
aspe
k
22
Men
duku
ng
37
68
Tid
ak,
terb
atas
49
58
T
idak
, ter
bata
s 50
Tida
k ad
a 35
-
Tid
ak a
da
0 -
Tid
ak a
da
0
Tida
k m
enja
wab
6
11
Tid
ak
men
jaw
ab
20
11
Tid
ak
men
jaw
ab
28
Jum
lah
10
0 10
0 Ju
mla
h
100
100
Jum
lah
100
210 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
NO
H
AK
-HA
K D
AN
LE
MB
AG
A
Apa
kah
keb
erad
aan
atu
ran
non
-for
mal
(n
ilai
dan
keb
iasa
an)
yan
g a
da
dan
be
rlak
u d
i wil
ayah
ini s
eca
ra u
mu
m
cen
deru
ng
men
duku
ng
atau
m
engh
amba
t (h
ak d
an le
mb
aga)
?
Apa
kah
atu
ran
non
-for
mal
(n
ilai
dan
ke
bias
aan
) it
u d
iter
apk
an s
ecar
a ef
ekti
f di
daer
ah in
i ata
u d
i dal
am w
ilay
ah is
u y
ang
An
da g
elu
ti s
aat
ini?
Apa
kah
atu
dan
keb
iasa
subs
tan
tif m
yan
g m
en
Des
kri
psi
Surv
ei
Ace
h
20
06
Info
rman
Ace
h
dal
am S
urv
ei
Nas
ion
al 2
00
7
Des
kri
psi
Surv
ei
Ace
h
20
06
Info
rman
Ace
h
dal
am S
urv
ei
Nas
ion
al 2
00
7
Des
kri
psi
(%)
(%)
(%)
(%)
27
Kem
ampu
an p
arta
i un
tuk
mem
bang
un d
an
men
jala
nkan
pe
mer
inta
han
Men
gham
bat
19
32
Ya, d
iter
apka
n se
cara
luas
36
32
Ya
, men
gatu
r se
luru
h as
pek
Men
duku
ng
39
58
Tid
ak,
terb
atas
44
58
T
idak
, ter
bata
Tid
ak a
da
35
0 T
idak
ada
0
- T
idak
ada
Tid
ak
men
jaw
ab
7 11
T
idak
m
enja
wab
21
11
T
idak
m
enja
wab
Ju
mla
h
100
100
Jum
lah
10
0 10
0 Ju
mla
h
28
Tra
nspa
rans
i dan
ak
unta
bilit
as
pem
erin
taha
n ya
ng
terp
ilih,
di s
emua
leve
l
Men
gham
bat
19
37
Ya, d
iter
apka
n se
cara
luas
36
47
Ya
, men
gatu
r se
luru
h as
pek
Men
duku
ng
43
53
Tid
ak,
terb
atas
44
42
T
idak
, ter
bata
Tid
ak a
da
30
- T
idak
ada
0
- T
idak
ada
Tid
ak
men
jaw
ab
8 11
T
idak
m
enja
wab
21
11
T
idak
m
enja
wab
Ju
mla
h
100
100
Jum
lah
10
0 10
0 Ju
mla
h
29
Tra
nspa
rans
i dan
ak
unta
bilit
as
ekse
kuti
f/pe
jaba
t pu
blik
(bi
rokr
asi)
di
sem
ua le
vel
Men
gham
bat
19
n/a
Ya, d
iter
apka
n se
cara
luas
34
n/
a Ya
, men
gatu
r se
luru
h as
pek
Men
duku
ng
39
n/a
Tid
ak,
terb
atas
46
n/
a T
idak
, ter
bata
Tid
ak a
da
33
n/a
Tid
ak a
da
0 n/
a T
idak
ada
Tid
ak
men
jaw
ab
8 n/
a T
idak
m
enja
wab
21
n/
a T
idak
m
enja
wab
Ju
mla
h
100
n/a
Jum
lah
10
0 n/
a Ju
mla
h
211
NO
H
AK
-HA
K D
AN
LE
MB
AG
A
Apa
kah
keb
erad
aan
atu
ran
non
-for
mal
(n
ilai
dan
keb
iasa
an)
yan
g a
da d
an
berl
aku
di w
ilay
ah in
i sec
ara
um
um
ce
nde
run
g m
endu
kun
g at
au
men
gha
mba
t (h
ak d
an le
mb
aga)
?
Apa
kah
atu
ran
non
-for
mal
(n
ilai
dan
ke
bias
aan
) it
u di
tera
pkan
sec
ara
efek
tif d
i da
erah
ini a
tau
di d
alam
wil
ayah
isu
yan
g A
nda
gel
uti
saa
t in
i?
Apa
kah
atu
ran
nda
n k
ebia
saan
) i
subs
tan
tif m
enca
kya
ng
men
yan
gku
t
Des
kri
psi
Surv
ei
Ace
h
20
06
Info
rman
Ace
h
dal
am S
urv
ei
Nas
ion
al 2
00
7
Des
kri
psi
Surv
ei
Ace
h
20
06
Info
rman
Ace
h
dal
am S
urv
ei
Nas
ion
al 2
00
7
Des
kri
psi
S
(%)
(%)
(%)
(%)
30
Des
entr
alis
asi
pem
erin
taha
n ya
ng
dem
okra
tis,
be
rdas
arka
n pr
insi
p pe
nyed
iaan
pel
ayan
an
publ
ik
Men
gham
bat
19
42
Ya, d
iter
apka
n se
cara
luas
38
53
Ya
, men
gatu
r se
luru
h as
pek
Men
duku
ng
45
47
Tid
ak,
terb
atas
39
37
T
idak
, ter
bata
s
Tid
ak a
da
27
- T
idak
ada
0
- T
idak
ada
Tid
ak
men
jaw
ab
9 11
T
idak
m
enja
wab
23
11
T
idak
m
enja
wab
Ju
mla
h
100
100
Jum
lah
10
0 10
0 Ju
mla
h
31
Tra
nspa
rans
i dan
ak
unta
bilit
as m
ilite
r da
n ke
polis
ian
kepa
da
pem
erin
taha
n te
rpili
h da
n ke
pada
pub
lik
Men
gham
bat
20
42
Ya, d
iter
apka
n se
cara
luas
30
42
Ya
, men
gatu
r se
luru
h as
pek
Men
duku
ng
32
58
Tid
ak,
terb
atas
48
58
T
idak
, ter
bata
s
Tid
ak a
da
39
- T
idak
ada
1
- T
idak
ada
Tid
ak
men
jaw
ab
9 0
Tid
ak
men
jaw
ab
22
0 T
idak
m
enja
wab
Ju
mla
h
100
100
Jum
lah
10
0 10
0 Ju
mla
h
32
Kap
asit
as p
emer
inta
h un
tuk
mem
eran
gi
kelo
mpo
k-ke
lom
pok
mili
si, p
rem
an, d
an
keja
hata
n te
rorg
anis
ir
Men
gham
bat
20
53
Ya, d
iter
apka
n se
cara
luas
33
37
Ya
, men
gatu
r se
luru
h as
pek
Men
duku
ng
41
37
Tid
ak,
terb
atas
45
53
T
idak
, ter
bata
s
Tid
ak a
da
30
- T
idak
ada
0
- T
idak
ada
Tid
ak
men
jaw
ab
9 11
T
idak
m
enja
wab
22
11
Tid
ak
men
jaw
ab
Jum
lah
10
0 10
0 Ju
mla
h
100
100
Jum
lah
212 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
NO
H
AK
-HA
K D
AN
LE
MB
AG
A
Apa
kah
kebe
rada
an a
tura
n n
on-f
orm
al
(nil
ai d
an k
ebia
saan
) ya
ng a
da d
an
berl
aku
di w
ilay
ah in
i sec
ara
um
um
cend
eru
ng m
endu
kung
ata
u m
engh
amba
t (h
ak d
an le
mba
ga)?
Apa
kah
atu
ran
non
-for
mal
(ni
lai d
an
kebi
asaa
n) it
u di
tera
pkan
sec
ara
efek
tif d
i da
erah
ini a
tau
di d
alam
wil
ayah
isu
yan
g A
nda
gel
uti s
aat i
ni?
Apa
kah
atur
an n
onda
n ke
bias
aan
) it
u s
subs
tant
if m
enca
kas
pek
yang
men
keh
idu
pan
p
Des
krip
si
Surv
ei
Ace
h
200
6
Info
rman
Ace
h
dal
am S
urv
ei
Nas
ion
al 2
007
D
eskr
ipsi
Surv
ei
Ace
h
200
6
Info
rman
Ace
h
dal
am S
urv
ei
Nas
ion
al 2
007
D
eskr
ipsi
Su Ac
20
(%)
(%)
(%)
(%)
(%
33
Inde
pend
ensi
pe
mer
inta
h da
ri
cam
pur
tang
an a
sing
Men
gham
bat
n/a
58
Ya,
dite
rapk
an
seca
ra lu
as
n/a
32
Ya, m
enga
tur
selu
ruh
aspe
k
n
Men
duku
ng
n/a
32
Tida
k,
terb
atas
n/
a 58
Ti
dak,
terb
atas
n
Tida
k ad
a n/
a 0
Tida
k ad
a n/
a -
Tida
k ad
a n
Tida
k m
enja
wab
n/
a 11
Ti
dak
men
jaw
ab
n/a
11
Tida
k m
enja
wab
n
Jum
lah
n/
a 10
0 Ju
mla
h
n/a
100
Jum
lah
n
34
Inde
pend
ensi
pe
mer
inta
h da
ri
kelo
mpo
k-ke
lom
pok
kepe
ntin
gan
dan
kapa
sita
snya
unt
uk
men
gura
ngi k
orup
si
dan
peny
elew
enga
n ke
keua
saan
Men
gham
bat
22
37
Ya,
dite
rapk
an
seca
ra lu
as
34
32
Ya, m
enga
tur
selu
ruh
aspe
k
2
Men
duku
ng
40
47
Tida
k,
terb
atas
44
53
Ti
dak,
terb
atas
5
Tida
k ad
a 29
-
Tida
k ad
a 0
- Ti
dak
ada
Tida
k m
enja
wab
9
16
Tida
k m
enja
wab
22
16
Ti
dak
men
jaw
ab
2
Jum
lah
10
0 10
0 Ju
mla
h
100
100
Jum
lah
1
35
Keb
ebas
an p
ers,
sen
i da
n du
nia
akad
emis
Men
gham
bat
16
21
Ya,
dite
rapk
an
seca
ra lu
as
47
63
Ya, m
enga
tur
selu
ruh
aspe
k
3
Men
duku
ng
56
68
Tida
k,
terb
atas
31
26
Ti
dak,
terb
atas
3
Tida
k ad
a 20
-
Tida
k ad
a 0
- Ti
dak
ada
Tida
k m
enja
wab
8
11
Tida
k m
enja
wab
22
11
Ti
dak
men
jaw
ab
2
Jum
lah
10
0 10
0 Ju
mla
h
100
100
Jum
lah
1
213
NO
H
AK
-HA
K D
AN
LE
MB
AG
A
Apa
kah
kebe
rad
aan
atu
ran
non
-for
mal
(n
ilai
dan
keb
iasa
an)
yan
g ad
a da
n
ber
laku
di w
ilay
ah in
i sec
ara
um
um
ce
nd
eru
ng
men
du
kun
g a
tau
m
engh
am
bat
(hak
dan
lem
bag
a)?
Apa
kah
atu
ran
non
-for
mal
(n
ilai
dan
ke
bias
aan
) it
u d
iter
apka
n s
ecar
a ef
ekti
f di
daer
ah in
i ata
u d
i dal
am w
ilay
ah is
u y
ang
An
da g
elu
ti s
aat
ini?
Apa
kah
atu
ran
non
-for
dan
keb
iasa
an)
itu
sec
asu
bsta
nti
f men
caku
pa
spek
yan
g m
enya
keh
idu
pan
pu
bl
Des
kri
psi
Surv
ei
Ace
h
20
06
Info
rman
Ace
h
dal
am S
urv
ei
Nas
ion
al 2
00
7
Des
kri
psi
Surv
ei
Ace
h
20
06
Info
rman
Ace
h
dal
am S
urv
ei
Nas
ion
al 2
00
7
Des
kri
psi
Surv
ei
Ace
h
20
06
(%)
(%)
(%)
(%)
(%)
36
Aks
es p
ublik
terh
adap
pa
ndan
gan
yang
be
rbed
a di
dal
am
med
ia, d
unia
sen
i, da
n du
nia
akad
emis
, jug
a un
tuk
mer
efle
ksik
anny
a
Men
gham
bat
17
37
Ya,
dite
rapk
an
seca
ra lu
as
42
47
Ya, m
enga
tur
selu
ruh
aspe
k
34
Men
duku
ng
51
47
Tid
ak,
terb
atas
37
42
T
idak
, te
rbat
as
41
Tid
ak a
da
24
- T
idak
ada
0
- T
idak
ada
0
Tid
ak
men
jaw
ab
8 16
T
idak
m
enja
wab
21
11
T
idak
m
enja
wab
25
Jum
lah
10
0 10
0 Ju
mla
h
100
100
Jum
lah
100
37
Part
isip
asi
war
gane
gara
di d
alam
or
gani
sasi
mas
yara
kat
yang
inde
pend
en
Men
gham
bat
11
47
Ya,
dite
rapk
an
seca
ra lu
as
44
42
Ya, m
enga
tur
selu
ruh
aspe
k
36
Men
duku
ng
67
37
Tid
ak,
terb
atas
35
47
T
idak
, te
rbat
as
39
Tid
ak a
da
15
- T
idak
ada
0
- T
idak
ada
0
Tid
ak
men
jaw
ab
6 16
T
idak
m
enja
wab
21
11
T
idak
m
enja
wab
25
Jum
lah
10
0 10
0 Ju
mla
h
100
100
Jum
lah
100
38
Tra
nspa
rans
i, ak
unta
bilit
as, d
an
prak
tek
dem
okra
tis
dala
m o
rgan
isas
i-or
gani
sasi
mas
yara
kat
Men
gham
bat
12
42
Ya,
dite
rapk
an
seca
ra lu
as
40
47
Ya, m
enga
tur
selu
ruh
aspe
k
31
Men
duku
ng
55
42
Tid
ak,
terb
atas
33
42
T
idak
, te
rbat
as
46
Tid
ak a
da
26
- T
idak
ada
0
- T
idak
ada
0
Tid
ak
men
jaw
ab
6 16
T
idak
m
enja
wab
26
11
T
idak
m
enja
wab
23
Jum
lah
10
0 10
0 Ju
mla
h
100
100
Jum
lah
100
214 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
NO
H
AK
-HA
K D
AN
LE
MB
AG
A
Apa
kah
kebe
rad
aan
atu
ran
non
-for
mal
(n
ilai
dan
keb
iasa
an)
yan
g a
da d
an
berl
aku
di w
ilay
ah in
i sec
ara
um
um
ce
nde
run
g m
endu
kun
g at
au
men
gha
mba
t (h
ak d
an le
mb
aga)
?
Apa
kah
atu
ran
non
-for
mal
(n
ilai
dan
ke
bias
aan
) it
u d
iter
apka
n s
ecar
a ef
ekti
f di
daer
ah in
i ata
u d
i dal
am w
ilay
ah is
u y
ang
An
da g
elu
ti s
aat
ini?
Apa
kah
atu
ran
non
-for
dan
keb
iasa
an)
itu
sec
subs
tan
tif m
enca
kup
seya
ng
men
yan
gku
t ke
publ
ik?
Des
kri
psi
Surv
ei
Ace
h
20
06
Info
rman
Ace
h
dal
am S
urv
ei
Nas
ion
al 2
00
7
Des
kri
psi
Surv
ei
Ace
h
20
06
Info
rman
Ace
h
dal
am S
urv
ei
Nas
ion
al 2
00
7
Des
kri
psi
Surv
ei
Ace
h
20
06
(%)
(%)
(%)
(%)
(%)
39
Aks
es d
an p
arti
sipa
si
yang
luas
sel
uruh
ke
lom
pok
sosi
al,
term
asuk
kel
ompo
k pe
rem
puan
, unt
uk
berp
arti
sipa
si d
alam
ke
hidu
pan
publ
ik
Men
gham
bat
18
47
Ya,
dite
rapk
an
seca
ra lu
as
41
11
Ya, m
enga
tur
selu
ruh
aspe
k
31
Men
duku
ng
52
32
Tid
ak,
terb
atas
35
74
T
idak
, te
rbat
as
45
Tid
ak a
da
23
0 T
idak
ada
0
- T
idak
ada
0
Tid
ak
men
jaw
ab
7 21
T
idak
m
enja
wab
24
16
T
idak
m
enja
wab
24
Jum
lah
10
0 10
0 Ju
mla
h
100
100
Jum
lah
100
40
Ter
buka
nya
akse
s da
n ko
ntak
lang
sung
ra
kyat
kep
ada
pela
yana
n pu
blik
dan
w
akil-
wak
il po
litik
nya
Men
gham
bat
19
26
Ya,
dite
rapk
an
seca
ra lu
as
36
53
Ya, m
enga
tur
selu
ruh
aspe
k
26
Men
duku
ng
45
58
Tid
ak,
terb
atas
44
37
T
idak
, te
rbat
as
49
Tid
ak a
da
30
- T
idak
ada
0
- T
idak
ada
0
Tid
ak
men
jaw
ab
7 16
T
idak
m
enja
wab
20
11
T
idak
m
enja
wab
25
Jum
lah
10
0 10
0 Ju
mla
h
100
100
Jum
lah
100
41
Kon
sult
asi p
emer
inta
h de
ngan
mas
yara
kat,
dan
jika
mem
ungk
inka
n,
adan
ya p
arti
sipa
si
publ
ik s
ecar
a la
ngsu
ng d
alam
pe
mbu
atan
keb
ijaka
n da
n pe
laks
anaa
n ke
bija
kan
publ
ik
Men
gham
bat
16
n/a
Ya,
dite
rapk
an
seca
ra lu
as
37
n/a
Ya, m
enga
tur
selu
ruh
aspe
k
27
Men
duku
ng
44
n/a
Tid
ak,
terb
atas
36
n/
a T
idak
, te
rbat
as
52
Tid
ak a
da
34
n/a
Tid
ak a
da
0 n/
a T
idak
ada
0
Tid
ak
men
jaw
ab
6 n/
a T
idak
m
enja
wab
27
n/
a T
idak
m
enja
wab
21
Jum
lah
10
0 n/
a Ju
mla
h
100
n/a
Jum
lah
100
215
NO
H
AK
-HA
K D
AN
LE
MB
AG
A
Apa
kah
keb
erad
aan
atu
ran
non
-for
mal
(n
ilai
dan
keb
iasa
an)
yan
g a
da d
an
berl
aku
di w
ilay
ah in
i sec
ara
um
um
ce
nde
run
g m
endu
kun
g at
au
men
gham
bat
(hak
dan
lem
bag
a)?
Apa
kah
atu
ran
non
-for
mal
(n
ilai
dan
ke
bias
aan
) it
u di
tera
pkan
sec
ara
efek
tif d
i da
erah
ini a
tau
di d
alam
wil
ayah
isu
yan
g A
nda
gel
uti
saa
t in
i?
Apa
kah
atu
rda
n k
ebia
saa
subs
tan
tif m
enya
ng
men
y
Des
kri
psi
Surv
ei
Ace
h
20
06
Info
rman
Ace
h
dal
am S
urv
ei
Nas
ion
al 2
00
7
Des
kri
psi
Surv
ei
Ace
h
20
06
Info
rman
Ace
h
dal
am S
urv
ei
Nas
ion
al 2
00
7
Des
kri
psi
(%)
(%)
(%)
(%)
42
SELU
RU
H H
AK
DA
N
LEM
BA
GA
Men
gham
bat
17
39
Ya,
dite
rapk
an
seca
ra lu
as
39
39
Ya, m
enga
tur
selu
ruh
aspe
k
Men
duku
ng
49
49
Tid
ak,
terb
atas
39
50
T
idak
, ter
bata
s
Tid
ak a
da
26
- T
idak
ada
0
- T
idak
ada
Tid
ak
men
jaw
ab
8 12
T
idak
m
enja
wab
22
11
T
idak
m
enja
wab
Ju
mla
h
100
100
Jum
lah
10
0 10
0 Ju
mla
h
216 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
Tabel 22. Wilayah Aktivitas Politik
Tabel 23. Sumber Kekuasaan
Siapa sajakah aktor utama di wilayah ini, baik individu maupun kelompok/organisasi, yang saat ini sungguh-sungguh memiliki peran dan pengaruh penting?
No Wilayah Aktivitas Politik
Survei Aceh (2006)*
(%)
Informan Aceh dalam Survei Nasional (2007)*
(%) Aktor
Berpengaruh Aktor
Alternatif 1 Bisnis dan industri 7 19 4
2 Usaha Kecil 4 3 4
3 Unit swakelola 4 3 7
4 Kelompok-kelompok lobi 19 19 29
5 Organisasi kepentingan 20 20 16
6 Partai politik 16 5 18
7 Pemerintah lokal terpilih 11 14 13
8 Birokrasi 12 8 7
9 Lembaga Peradilan 3 2 -
10 Militer 3 8 2
TOTAL 100 100 100
Menurut penilaian Anda, sumber-sumber kekuasaan apa saja yang dimiliki oleh para aktor utama itu?
No Sumber Kekuasaan
Survei Aceh (2006)*
(%)
Informan Aceh dalam Survei Nasional (2007)**
(%) Aktor
Berpengaruh Aktor
Alternatif 1 Sumber-sumber ekonomi 15 18 17
2 Kekuatan massa/politik/militer 29 44 21
3 Kekuatan sosial dan
koneksi 30 30 34
4 Pengetahuan Informasi 26 9 28
TOTAL 100 100 100
217
Tabel 24. Transformasi kekuasaanBagaimana para aktor menggunakan sumber-sumber kekuasaan yang dimilikinya untuk mendapatkan legitimasi dan otoritas politik?
NO
WILAYAH AKTIVITAS POLITIK
SURVEI ACEH
(2006) (%)
INFORMAN ACEH DALAM SURVEI NASIONAL (2007)
(%) AKTOR KUAT
AKTOR ALTERNATIF
1 Kegiatan-kegiatan diskursif 13 13 8
2 Kontak dan dialog dengan para politisi dan pejabat 15 14 12
3 Membangun jaringan dan koordinasi untuk kegiatan-kegiatan bersama 15 10 28
4 Kontak dan kemitraan dengan tokoh dan pakar terkemuka 14 15 17
5 Mendemonstrasikan kekuatan kolektif berbasis massa 7 15 12
6 Menciptakan kecukupan diri secara ekonomi melalui berbagai kegiatan swakarsa dan koperasi
4 - 2
7 Memperoleh legitimasi formal 8 8 3 8 Menggunakan kewenangan resmi,
koersi/kekuasaan, yang menimbulkan rasa takut
3 9 3
9 Anggaran negara, kebijakan-kebijakan pro-pasar 3 3 3
10 Patronase 4 4 3 11 Mengorganisir kelompok komunitas 9 4 5 12 Memperoleh mandat rakyat atau terpilih
dalam Pemilu 5 6 3
JUMLAH 100 100 100
Tabel 25. Jenis-jenis isuIsu dan kepentingan apa sajakah yang dimajukan atau ditentang para aktor?
NO JENIS-JENIS ISU
SURVEI
ACEH (2006)
(%)
INFORMAN ACEH DALAM SURVEI NASIONAL (2007)
(%) AKTOR KUAT
AKTOR ALTERNATIF
1 Isu-isu dan kepentingan-kepentingan
khusus
23 42 32
2 Kombinasi beberapa isu/kepentingan 43 36 40
3 Konsep-konsep dan gagasan-gagasan
umum
34 21 28
JUMLAH 100 100 100
218 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
Tabel 26. Bagaimana aktor-aktor memobilisasi dukungan
Tabel 27. Bagaimana aktor-aktor memobilisasi dukungan di kabupaten-kabupaten dimana pasangan IRNA dan KPA-SIRA menang/kalah dalamPilkada 2006 (Survei Aceh 2006)
Bagaimana aktor-aktor memobilisasi dukungan rakyat untuk isu-isu yang mereka perjuangkan?
NO BAGAIMANA AKTOR-AKTOR MEMOBILISASI DUKUNGAN
SURVEI ACEH
(2006) (%)
INFORMAN ACEH DALAM SURVEI NASIONAL (2007)
(%)
AKTOR KUAT AKTOR ALTERNATIF
1 Pemimpin kharismatik dan pemimpin
rakyat
24 29 20
2 Klientelisme 15 21 9
3 Patronase alternatif 16 21 24
4 Jaringan 30 21 22
5 Integrasi organisasi-organisasi
kerakyatan
16 7 24
JUMLAH 100 100 100
NO
BAGAIMANA AKTOR-
AKTOR MEMOBILISASI DUKUNGAN RAKYAT
PILKADA PROVINSI PILKADA KABUPATEN/KOTA
IRNA menang
IRNA kalah
Calon KPA/SIRA
menang
Calon Partai
menang 1 Pemimpin kharismatik
dan pemimpin rakyat 22 26 21 26
2 Klientelisme 16 13 17 13
3 Patronase alternatif 16 17 15 17
4 Jaringan 31 27 32 27
5 Integrasi organisasi-
organisasi kerakyatan 15 17 15 16
JUMLAH 100 100 100 100
219
Tabe
l 28.
Bas
is-b
asis
sosi
al p
endu
kung
akt
or-a
ktor
uta
ma
(Sur
vei A
ceh
2006
)
Kelo
mpo
k-ke
lom
pok
sosia
l man
a ya
ng m
enja
di p
endu
kung
ata
u m
enja
di b
asis
duku
ngan
akt
or-a
ktor
uta
ma?
N
O
A
KTO
R-A
KTO
R U
TAM
A K
ELO
MPO
K-K
ELO
MPO
K P
END
UK
UN
G K
ELO
MPO
K
MAS
YAR
AKA
T K
ELO
MPO
K
ETN
IS
KEL
OM
POK
AG
AM
A K
ELO
MPO
K
KEP
ENTI
NGA
N
KEL
OM
POK
PR
OFE
SIO
NAL
PA
RTA
I PO
LITI
K
LAIN
-LA
IN
1
Pem
erin
tah
/bir
okra
si
(sip
il da
n m
ilite
r)
Info
rman
-in
form
an d
i ka
bupa
ten
di m
ana…
IRN
A m
enan
g da
lam
Pi
lkad
a pr
ovin
si
18
8 11
26
18
14
5
IRN
A ka
lah
dala
m
Pilk
ada
prov
insi
21
6
8 17
19
27
2
Info
rman
-in
form
an d
i ka
bupa
ten
di m
ana…
Calo
n-ca
lon
KPA/
SIRA
men
ang
dala
m P
ilkad
a Ka
bupa
ten
17
3 12
25
19
17
8
Calo
n-ca
lon
Part
ai
men
ang
dala
m
Pilk
ada
Kabu
pate
n
21
10
8 22
18
19
1
2 Ak
tivis
or
gani
sasi
no
n pe
mer
inta
h (N
GO)
Info
rman
-in
form
an d
i ka
bupa
ten
di m
ana.
..
IRN
A m
enan
g da
lam
Pi
lkad
a pr
ovin
si
19
3 5
26
26
11
11
IRN
A ka
lah
dala
m
Pilk
ada
prov
insi
24
15
19
14
17
8
3
Info
rman
-in
form
an d
i ka
bupa
ten
di m
ana.
..
Calo
n-ca
lon
KPA/
SIRA
men
ang
dala
m P
ilkad
a ka
bupa
ten
23
3 4
26
23
8 14
Calo
n-ca
lon
Part
ai
men
ang
dala
m
Pilk
ada
kabu
pate
n
19
9 14
19
24
12
4
DEMOKRASI DI ACEH: DIAGNOSIS DAN PROGNOSIS
220 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
pp
yg
jp
gj
g NO
AKTO
R-AK
TOR
UTAM
A K
ELO
MPO
K-K
ELO
MPO
K P
END
UK
UNG
K
ELO
MPO
K
MAS
YARA
KAT
K
ELO
MPO
K
ETN
ISK
ELO
MPO
K AG
AMA
KELO
MPO
K
KEP
ENTI
NGA
N
KEL
OM
POK
PR
OFE
SIO
NAL
PA
RTAI
PO
LITI
K
LAIN
-LA
IN
3
Part
ai
polit
ik d
an
lem
baga
le
gisla
tif
Info
rman
-in
form
an d
i ka
bupa
ten
di m
ana..
.
IRNA
men
ang
dala
m
Pilk
ada
prov
insi
15
8
15
22
9 29
2
IRNA
kal
ah d
alam
Pi
lkad
a pr
ovin
si
18
6 9
18
12
34
3
Info
rman
-in
form
an d
i ka
bupa
ten
di m
ana..
.
Calo
n-ca
lon
KPA/
SIRA
cand
idat
es
men
ang
dala
m
Pilk
ada
Kabu
pate
n
12
3 15
22
15
32
2
Calo
n-ca
lon
Part
ai
men
ang
dala
m
Pilk
ada
kabu
pate
n
20
11
11
19
6 30
2
4 Pe
mim
pin
agam
a da
n ad
at
Info
rman
-in
form
an d
i ka
bupa
ten
di m
ana…
IRNA
men
ang
dala
m
Pilk
ada
Prov
insi
14
4
41
15
12
11
3 IR
NA k
alah
dal
am
Pilk
ada
prov
insi
24
4
45
9
11
5 2
Info
rman
-in
form
an d
i ka
bupa
ten
di m
ana…
Calo
n-ca
lon
KPA/
SIRA
men
ang
dala
m P
ilkad
a Ka
bupa
ten
15
4 41
14
13
9
4
Calo
n-ca
lon
Part
ai
men
ang
dala
m
Pilk
ada
kabu
pate
n
21
4 45
12
9
9 0
221
NO
AK
TOR
-AK
TOR
UTA
MA
KEL
OM
POK
-KEL
OM
POK
PEN
DU
KU
NG
KEL
OM
POK
M
ASYA
RAK
AT
KEL
OM
POK
ET
NIS
K
ELO
MPO
K
AGA
MA
KEL
OM
POK
K
EPEN
TIN
GAN
K
ELO
MPO
K
PRO
FESI
ON
AL
PAR
TAI
POLI
TIK
LA
IN-
LAIN
5
Akad
emis
i, pe
ngac
ara,
da
n m
edia
m
assa
Info
rman
-in
form
an d
i ka
bupa
ten
di m
ana.
..
IRN
A m
enan
g da
lam
Pi
lkad
a pr
ovin
si
11
3 8
23
28
14
13
IRN
A ka
lah
dala
m
Pilk
ada
prov
insi
16
0 16
21
37
5
5
Info
rman
-in
form
an d
i ka
bupa
ten
di m
ana.
..
Calo
n-ca
lon
KPA/
SIRA
men
ang
dala
m P
ilkad
a ka
bupa
ten
3 3
3 22
38
22
9
Calo
n-ca
lon
Part
ai
men
ang
dala
m
Pilk
ada
kabu
pate
n
18
2 14
24
25
6
12
6 O
rgan
isas
i m
assa
Info
rman
-in
form
an d
i ka
bupa
ten
di m
ana.
..
IRN
A m
enan
g da
lam
Pi
lkad
a pr
ovin
si
21
12
15
28
6 15
4
IRN
A ka
lah
dala
m
Pilk
ada
prov
insi
24
11
8
23
14
13
7
Info
rman
-in
form
an d
i ka
bupa
ten
di m
ana.
..
Calo
n-ca
lon
KPA/
SIRA
men
ang
dala
m P
ilkad
a ka
bupa
ten
21
11
10
28
9 14
8
Calo
n-ca
lon
Part
ai
men
ang
dala
m
Pilk
ada
kabu
pate
n
23
12
13
24
10
14
3
222 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
NO
AK
TOR-
AKTO
R UT
AMA
KEL
OM
POK
-KEL
OM
POK
PEN
DU
KU
NGK
ELO
MPO
K
MAS
YARA
KAT
K
ELO
MPO
K
ETN
IS
KEL
OM
POK
AGAM
A K
ELO
MPO
K
KEP
ENTI
NGA
N
KEL
OM
POK
PR
OFE
SIO
NAL
PA
RTAI
PO
LITI
K
LAIN
-LA
IN
7 Pe
bisn
is
Info
rman
-in
form
an d
i ka
bupa
ten
di m
ana.
..
IRN
A m
enan
g da
lam
Pi
lkad
a pr
ovin
si
21
2 2
26
29
19
0
IRN
A ka
lah
dala
m
Pilk
ada
prov
insi
18
9
9 32
18
9
5
Info
rman
-in
form
an d
i ka
bupa
ten
di m
ana.
..
Calo
n-ca
lon
KPA/
SIRA
men
ang
dala
m P
ilkad
a ka
bupa
ten
18
0 5
23
31
21
3
Calo
n-ca
lon
Part
ai
men
ang
dala
m
Pilk
ada
kabu
pate
n
24
12
4 36
16
8
0
8 Se
rika
t bu
ruh,
pe
tani
, dan
ne
laya
n
Info
rman
-in
form
an d
i ka
bupa
ten
di m
ana.
..
IRN
A m
enan
g da
lam
Pi
lkad
a pr
ovin
si
42
8 17
17
17
0
0
IRN
A ka
lah
dala
m
Pilk
ada
prov
insi
-
- -
- -
- -
Info
rman
-in
form
an d
i ka
bupa
ten
di m
ana.
..
Calo
n-ca
lon
KPA/
SIRA
men
ang
dala
m P
ilkad
a ka
bupa
ten
42
8 17
17
17
0
0
Calo
n-ca
lon
Part
ai
men
ang
dala
m
Pilk
ada
kabu
pate
n -
- -
- -
- -
223
NO
AK
TOR-
AKTO
R UT
AMA
KEL
OM
POK
-KEL
OM
POK
PEN
DU
KU
NGK
ELO
MPO
K
MAS
YARA
KAT
K
ELO
MPO
K
ETN
ISK
ELO
MPO
K AG
AMA
KEL
OM
POK
K
EPEN
TIN
GAN
K
ELO
MPO
K
PRO
FESI
ON
AL
PART
AI
POLI
TIK
LA
IN-
LAIN
9
Pem
impi
n in
form
al
Info
rman
-in
form
an d
i ka
bupa
ten
di m
ana..
.
IRNA
men
ang
dala
m
Pilk
ada
prov
insi
12
6
17
23
21
17
4 IR
NA
kala
h da
lam
Pi
lkad
a pr
ovin
si
23
21
10
10
21
10
5 In
form
an-
info
rman
di
kabu
pate
n di
man
a...
Calo
n-ca
lon
KPA/
SIRA
men
ang
dala
m P
ilkad
a ka
bupa
ten
10
3 13
22
25
21
4
Calo
n-ca
lon
Part
ai
men
ang
dala
m
Pilk
ada
kabu
pate
n
22
18
17
15
15
8 5
10
JUM
LAH
(S
ELUR
UH
AKTO
R UT
AMA)
Info
rman
-in
form
an d
i ka
bupa
ten
di m
ana..
.
IRNA
men
ang
dala
m
Pilk
ada
prov
insi
17
6
15
24
16
17
5 IR
NA
kala
h da
lam
Pi
lkad
a pr
ovin
si
21
9 14
17
16
19
4
Info
rman
-in
form
an d
i ka
bupa
ten
di m
ana..
.
Calo
n-ca
lon
KPA/
SIRA
men
ang
dala
m P
ilkad
a ka
bupa
ten
16
4 15
23
18
19
6
Calo
n-ca
lon
Part
ai
men
ang
dala
m
Pilk
ada
kabu
pate
n
21
10
14
20
14
17
3
224 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
Tabe
l 29.
Str
ateg
i akt
or d
alam
sist
em p
oliti
k da
n be
ntuk
-ben
tuk
repr
esen
tasi
nya
(Su
rvei
Ace
h 2
00
6)
NO
LEM
BAG
A AP
A
LAN
GSU
NG
ATA
U T
IDAK
LA
NGS
UN
G
LEM
BAG
A PE
MER
INTA
HA
N
FREKUENSI
LANGSUNG
MEL
ALU
I LEM
BA
GA-L
EMB
AGA
PER
AN
TAR
A
NGO
ORGANISASI KERAKYATAN
AHLI, TERMASUK MEDIA
PATRON DAN FIXER
KELOMPOK KOMUNAL
KELOMPOK DI LINGKUNGAN TEMPAT
TINGGAL
PARTAI POLITIK
1 L
emba
ga p
erad
ilan
(ter
mas
uk p
olis
i) 28
29
13
10
7 9
21
10
2 L
emba
ga e
ksku
tif (p
emer
inta
h)
31
30
129
7 9
21
11
3 L
emba
ga le
gisl
atif
17
33
106
8 9
32
12
4 B
irok
rasi
dan
mili
ter
7 32
11
7
9 9
3 3
11
5 L
emba
ga-le
mba
ga u
ntuk
self-
man
agem
ent
10
31
106
7 8
33
11
6 L
emba
ga-le
mba
ga u
ntuk
pen
gelo
laan
sw
asta
7
32
105
7 7
55
11
JU
MLA
H
100
31
118
7 9
32
11
225
Tabe
l 30.
Str
ateg
i akt
or-a
ktor
ber
peng
aruh
dal
am si
stem
pol
itik
dan
bent
uk-b
entu
k re
pres
enta
siny
a (I
nfo
rman
Ace
h d
alam
Su
rvei
Nas
ion
al 2
00
7)
NO
LE
MBA
GA-L
EMBA
GA P
EMER
INTA
HAN
FREKUENSI
LANGSUNG
MEL
ALU
I LEM
BAGA
-LEM
BAGA
PER
ANTA
RA
NGO
ORGANISASI KERAKYATAN
PAKAR, TERMASUK MEDIA
TOKOH POPULER
PATRON DAN FIXER
KELOMPOK KOMUNAL
KELOMPOK DI LINGKUNGAN TEMPAT
TINGGAL
PARTAI POLITIK
BERORIENTASI POLITIK
1 L
emba
ga p
erad
ilan
(ter
mas
uk k
epol
isia
n)
11
41
8 0
14
12
2 2
0 4
12
2 L
emba
ga E
ksku
tif (
pem
erin
tah)
37
44
5
2 11
6
6 5
1 2
7
3 L
emba
g le
gisl
ativ
e 10
41
0
4 15
2
7 4
2 4
4
4 B
irok
rasi
22
42
7
3 13
7
4 4
0 5
9
5 M
ilite
r 4
42
5 5
16
5 0
0 0
11
16
6 L
emba
ga b
antu
an
7 19
9
9 16
13
0
3 3
3 16
7 L
emba
ga u
ntuk
self-
man
agem
ent
3 44
6
6 13
6
0 0
0 13
13
8 L
emba
ga u
ntuk
man
ajem
en sw
asta
5
38
0 8
8 4
4 8
4 0
13
JU
MLA
H
100
41
5 3
12
7 4
4 1
4 9
226 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
Tabe
l 31.
Str
ateg
i akt
or-a
ktor
alte
rnat
if d
alam
sist
em p
oliti
k da
n be
ntuk
-ben
tuk
repr
esen
tasi
nya
(Inf
orm
an A
ceh
dala
m S
urve
i Nas
iona
l 200
7)
NO
LE
MB
AG
A-L
EMB
AG
A P
EMER
INT
AH
AN
FREKUENSI
LANGSUNG
MEL
ALU
I LEM
BA
GA-L
EMB
AG
A P
ERA
NTA
RA
NGO
ORGANISASI KERAKYATAN
PAKAR, TERMASUK MEDIA
TOKOH POPULER
PATRON DAN FIIXER
KELOMPOK KOMUNAL
KELOMPOK DI LINGKUNGAN TEMPAT
TINGGAL
PARTAI POLITIK
BERORIENTASI
1 L
emba
ga p
erad
ilan
(ter
mas
uk k
epol
isia
n)
4 29
21
21
0
0 0
0 0
0 0
2 L
emba
ga E
ksku
tif (
pem
erin
tah)
28
30
0
6 10
13
4
4 0
21
6
3 L
emba
ga le
gisl
atif
35
35
4 4
5 8
3 3
0 12
4
4 B
irok
rasi
1
67
33
0 0
0 0
0 0
0 0
5 M
ilite
r 1
50
0 0
0 0
0 0
0 0
0
6 L
emba
ga b
antu
an
2 13
38
0
13
13
13
0 0
0 1
7 L
emba
ga u
ntuk
self-
man
agem
ent
20
41
5 5
5 6
2 2
0 8
2
8 L
emba
ga u
ntuk
man
ajem
en s
was
ta
8 23
4
4 8
8 8
0 0
15
2
JU
MLA
H
100
34
5 5
7 9
3 2
0 13
6
227
Tabel 32. Ke mana rakyat dapat menyampaikan keluhan-keluhan dantuntutan-tuntutannya dalam urusan-urusan publik
DEMOKRASI DI ACEH: DIAGNOSIS DAN PROGNOSIS
Berdasarkan pengetahuan dan pengalaman Anda, ke mana orang-orang di wilayah ini menyampaikan tuntuan dan pengaduan perihal urusan-urusan publik?
NO LEMBAGA SURVEI ACEH
(2006)
(%)
INFORMAN ACEH DALAM SURVEI NASIONAL (2007)
(%)
1 Organisasi non-pemerintah/NGO 25 16
2 Media 19 18
3 Pemimpin informal 15 18
4 Kelompok penekan/isu khusus/kelompok lobi
13 18
5 Lembaga-lembaga penegak hukum
10 7
6 Politisi terpilih di pemerintahan di berbagai tingkatan
6 2
7 Lembaga-lembaga semi-pemerintahan
4 4
8 Birokrat yang bertanggung jawab, di berbagai tingkatan
3 2
9 Partai politik 3 11
10 Organisasi kerakyatan berbasis kepentingan
2 7
JUMLAH 100 100
228 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
229
PPPPPERDERDERDERDERDAMAIANAMAIANAMAIANAMAIANAMAIAN B B B B BERERERERERORIENTORIENTORIENTORIENTORIENTASIASIASIASIASI L L L L LABAABAABAABAABA11111
Stanley Adi Prasetyo dan George Junus Aditjondro
“Stabilitas politik dan keamanan adalah faktor paling penting bagi ekonomi.Para investor asing lebih memilih negara yang stabil daripada negara yang
demokratis. Demokrasi adalah urusan nomer dua bagi para pengusaha.”(Wakil Presiden Jusuf Kalla)2
4
PendahuluanMantan Wakil Presiden Jusuf Kalla, serta PresidenSusilo Bambang Yudhoyono, berperan penting danacap tampil positif dalam memfasilitasi perdamaian dan
pembangunan di Aceh. Namun, tak ada salahnya untuk mengkajilebih mendalam, dinamika yang mendasari proses perdamaiantersebut. Pasalnya, hasil yang diperoleh dari upaya Kalla mencipta-kan perdamaian di daerah konflik di negeri ini, khususnya diMaluku dan Sulawesi Tengah, teramat kontroversial.
Pada akhir 2001, Jusuf Kalla (saat itu menjabat MenteriKoordinator Kesejahteraan Rakyat), dan Susilo Bambang Yudhoyono(saat itu Menteri Koordinator Politik dan Keamanan), mendorongupaya penyelesaian konflik di Poso, yang berpuncak pada
230 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
tercapainya Deklarasi Malino I tanggal 20 Desember 2001. Sedangkandi Ambon/Maluku, proses perdamaian berujung denganpenandatanganan Deklarasi Malino II pada 22 Februari 2002. Tigatahun kemudian, Wakil Presiden Jusuf Kalla dan Presiden SusiloBambang Yudhoyono turut mendukung penandatanganan Memo-randum of Understanding (MoU) Perdamaian Helsinki pada 15 Agustus2005.
Kalla, seorang pengusaha sukses dari Sulawesi Selatan,mengikutsertakan sejumlah teman dan kolega yang dia percaya kedalam proses negosiasi. Sebagian besar dari mereka juga berasaldari Sulawesi Selatan, seperti Dr. Farid Husain, yang saat itu jugamerupakan salah satu deputi di kementeriannya, di bidangkesehatan dan lingkungan hidup; dan Hamid Awaludin, yangwaktu itu menjabat sebagai anggota Komisi Pemilihan Umum(KPU), dan belakangan diangkat menjadi Menteri Hukum dan HakAsasi Manusia.3 Farid Husain pun seorang pengusaha sukses.Kelak, persahabatannya dengan konsultan asal Finlandia, JuhaChristensen (juga pernah tinggal di Sulawesi Selatan), adalah kuncidalam proses perdamaian di Aceh.
Kendati nama Yudhoyono kerap disebut sebagai kandidatperaih Nobel Perdamaian, dan walaupun dia terlibat aktif puladalam upaya profesionalisme tentara, namun, berbagai inisiatifperdamaian di Poso, Ambon, dan Aceh sebagian besar merupakanbuah dari kerja keras Jusuf Kalla dan timnya. Dalam berbagaikesempatan, Kalla menunjukkan keberanian besar dan keteguhandalam mengambil keputusan sembari menghadapi berbagai protesdan tentangan. Sikap itu juga tampak ketika muncul tentangankuat dari kalangan politisi di Senayan selama proses perundingandamai dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), untuk mencaripenyelesaian konflik di Aceh.
Bertolak belakang dengan gaya kepemimpinan Yudhoyono,yang penuh kehati-hatian dan terkadang lamban dalam mengambil
231
keputusan, serta cenderung berusaha untuk mengakomodasi ke-inginan semua pihak, Kalla lebih dikenal sebagai pengambilkeputusan yang lugas dan tegas. Sebagai seorang ‘bekas’ pengusaha,dia menganut prinsip dasar bahwa waktu adalah uang.4 Sedikit sajawaktu terbuang dalam proses pengambilan keputusan bisa men-jungkirbalikkan momentum yang ada dan peluang yang tersedia.
Seperti yang berulangkali dinyatakan Kalla di berbagaikesempatan, memburuknya ekonomi Indonesia hanya bisa diatasijika pemerintah dapat menjamin stabilitas politik dan keamanannasional. Menurut dia, upaya itu tak mungkin berhasil jikademokrasi dijalankan sepenuhnya. Banyak orang, khususnyakalangan birokrat, sepakat dengan pendirian ini. Pendekatan inipertama kali diperkenalkan Soeharto pada permulaan rezim OrdeBaru-nya. Ketika masih menjabat Panglima Komando OperasiPemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib), Soehartomenciptakan istilah ‘Trilogi Pembangunan’ (1966-1998). Trilogi inimengacu pada upaya menyeluruh untuk menciptakan stabilitaspolitik, pertumbuhan ekonomi, dan pemerataan hasil pem-bangunan. Tapi, banyak pihak waswas dengan pendekatan Kalla—yang hingga Oktober 2009 masih menjabat sebagai Ketua UmumPartai Golkar, partai yang digunakan Soeharto sebagai kendaraanpolitik utamanya selama berkuasa. Mereka tak hanya khawatir Kallasedang menerapkan logikanya dalam berbisnis. Namun, Kalla jugadianggap sedang memperbaharui paradigma Orde Baru, yang telahterbukti gagal dalam membangun ekonomi yang berkelanjutan danberkeadilan.
Argumen dasar Kalla adalah sehagai berikut. Ongkos yangharus ditanggung negara (dan juga bangsa ini) akan lebih mahaljika lebih memilih pertempuran militer dan operasi oleh kepolisian,daripada menggunakan sumber daya negara (di antaranya lembagapenegakan hukum) untuk menjadikan perdamaian sebagai lahanyang menghasilkan laba bagi semua pihak yang terlibat.5 Laba atau
PERDAMAIAN BERORIENTASI LABA
232 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
keuntungan itu akan dibagi-bagi, antara lain, untuk berbagaielemen elit lokal yang berpengaruh, kelompok masyarakat, sertapimpinan milisi yang saling bertikai; para politisi terkemuka diJakarta dan pengusaha kakap, baik di tingkat nasional maupunluar negeri; serta para pejabat militer dan pimpinan kelompokperlawanan. Jika seluruh aktor itu bisa diyakinkan bahwa merekabakal meraup lebih banyak laba dari perdamaian, dibandingkan diera konflik, mereka tentu akan mendukung ide tersebut.
Untuk memfasilitasi gagasan itu, Kalla memerintahkan pem-batasan terhadap sejumlah kebebasan dan aspek lainnya dalamdemokrasi, termasuk pelaksanaan pemilu. Berbicara dalam suatuacara yang diselenggarakan oleh Lembaga Ketahanan Nasional(Lemhanas), Kalla mengemukakan kepada para peserta, ‘Jika pemiludilaksanakan terlalu sering, partisipasi publik akan rendah,sementara biaya ekonomi untuk pemungutan suara akan semakintinggi. Berbicara sebagai pengusaha, menurut saya, itu tidakefisien.’ Dia menambahkan, ‘Kesejahteraan itu diukur dari tingkatpertumbuhan ekonomi, angka pengangguran, dan pendapatan perkapita—dan bukannya diukur dari jumlah partai politik.’6 Namun,dia kemudian bertindak terlalu jauh dengan menyalahkan pulakebebasan dan pemilu sebagai penyebab konflik. Dia mengatakanbahwa dalam kasus Poso, konflik diperparah oleh pelaksanaanpemilu langsung yang demokratis. Akibatnya, kota menjadisemakin terbuka, dan menyebabkan pihak pemenang pemilu‘menguasai segalanya’.7 Persoalannya, bagaimana dampak pen-dekatan ‘perdamaian berorientasi laba’ gaya Kalla itu terhadaprakyat kecil, masa depan demokrasi di Indonesia, dan terhadapupaya pembangunan yang berkelanjutan?
Berbagai kritik menunjukkan empat problem utama dalampendekatan Kalla itu. Pertama, kesepakatan damai itu terbatas dikalangan elit berkuasa, disetujui secara rahasia, dan mengorbankandemokrasi. Tak satupun dari dua kesepakatan Malino, yang bisa
233
diakses secara terbuka bagi publik. Akibatnya, para pemukamasyarakat dan tokoh-tokoh utama tak mungkin dimintai per-tanggungjawaban. Berkembangnya persepsi bahwa konflik terjadiakibat demokrasi yang terlalu dini dan berlebihan, pasca kejatuhanSoeharto, ditepis tegas oleh sejumlah kritik lain. Kritik yang lain itujustru menuding penyebab (timbulnya konflik) adalah upaya paraelit berpengaruh untuk menyalahgunakan kekuasaan. Sementaraitu, di saat bersamaan, kalangan rakyat biasa tak berpeluang meng-organisir partai politik buatan mereka sendiri, untuk menyampaikantuntutan dan aspirasi mereka. Selain itu, rakyat terbukti rentandimanipulasi dan dimobilisasi, melalui penggunaan identitas etnikdan agama oleh para pimpinan masyarakat, demi penggalangan suara(misalnya van Klinken, 2007).
Kedua, perdamaian ala Kalla diwarnai tindak suap, ‘pem-bayaran jaminan’, dan korupsi yang justru menimbulkan konflikbaru.8 Ketiga, penciptaan suasana sedemikian rupa dalam prosesperdamaian. Contohnya, mobilisasi militer untuk mengintimidasirakyat, sehingga tunduk kepada elit-elit berpengaruh, yangnotabene adalah peserta perundingan damai.
Keempat, dan kritik terpenting, adalah logika di balikpendekatan perdamaian Kalla adalah untuk meraup keuntunganatau laba bisnis bagi semua tokoh sentral perundingan damai.Mereka, antara lain, para gerilyawan di daerah, milisi, kalanganelit yang saling bertikai, serta kelompok militer, dan kelompok bisniskakap. Metode tersebut diterapkan dengan mengorbankan nasibrakyat banyak dan pembangunan berkelanjutan. Akibatnya, situasipasca-konflik memberi peluang bagi pihak-pihak berpengaruhuntuk menjalankan bisnis, sembari mengabaikan dan bahkanterang-terangan melanggar hukum dan aturan. Bisnis tersebutmeliputi perdagangan kayu ilegal, korupsi dana bagi pengungsi(Internally Displaced Persons/IDP), bisnis di bidang jasa keamanan,hingga pada perdagangan ilegal senjata dan bahan peledak.9
PERDAMAIAN BERORIENTASI LABA
234 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
Sebelum terpilih sebagai wakil presiden, Kalla adalah seorangpengusaha sukses. Jadi, ketika menyatakan bahwa demokrasi adadi urutan kedua, serta para investor asing lebih menyukai negeriyang stabil, daripada negara yang menjunjung demokrasi, diasungguh-sungguh mengekspresikan pendapat pribadinya sebagaiseorang pengusaha, bukan sekedar sebagai pemimpin politik skalanasional. Padahal persoalan di daerah konflik seperti Maluku danSulawesi Tengah sungguh kompleks dan multi-dimensi. Tanpamenafikan nuansa tersebut, bab ini akan mendalami argumenterakhir tentang motivasi mencari laba untuk sejumlah pihak, yangtak hanya menjadi faktor utama dalam strategi perdamaian Kalla,tapi juga sejak awal adalah katalisator utama munculnya konflik.
Tentunya, bab ini tak akan membahas secara mendetail tentangkonflik di daerah-daerah tersebut. Kendati begitu, kami akan mulaidari kasus Ambon untuk menganalisa konteks dari pendekatanperdamaian cari keuntungan tadi. Caranya, dengan menyorotkepentingan para elit di tingkat nasional dan daerah, serta peranmereka dalam konflik. Peran itu, termasuk juga upaya mobilisasipara provokator dari luar daerah, dan peranan militer. Selanjutnya,kami beralih pada kasus Poso di Sulawesi Tengah untuk menelisikdampak dari pendekatan perdamaian berorientasi laba tersebut.Dampak yang dimaksud, tak hanya akibat terhadap kepentinganelit di tingkat daerah dan nasional, tapi juga pengaruhnya terhadappembangunan dan eksploitasi sumber daya alam oleh perusahaanasing transnasional (trans-national corporations/TNC), sejaktercapainya kesepakatan damai. Tentu saja, kami tambahkan puladimensi lainnya, yakni peran Jusuf Kalla, dan jaringan-jaringanbisnis para kolega dan keluarga besarnya di daerah tersebut.
Di bagian akhir, berdasarkan kerangka analisis yang dibahasdi Bab 1 buku ini, kami akan mengkaji alasan Kalla dan Yudhoyonoyang kemudian terpaksa meninggalkan pendekatan perdamaianberorientasi laba itu, di Aceh. Pendekatan perdamaian macam itu
235
ditolak oleh para tokoh yang pro-demokrasi dan pihak asingpemberi bantuan pasca tsunami. Tapi, menjelang dan setelah Pemilu2009, seiring dengan berakhirnya bantuan internasional, sertakegagalan pemerintah Aceh mengatasi sejumlah problem serius dipropinsi itu, Aceh akhirnya tetap rentan terhadap pakta antarakalangan elit dan kepentingan bisnis. Kesepakatan di antara duakelompok tersebut dikhawatirkan belum tentu akan memberikandampak terbaik bagi kelanjutan perdamaian dan pembangunanekonomi di Aceh. Karena itu, sebagai kesimpulan, di dalam bab inikami akan menyajikan gambaran umum tentang beberapakepentingan bisnis yang utama di Aceh dewasa ini. Gambaran itufokus pada para pelaku utama, berikut jaringan aliansi, yang ber-potensi dan/atau sudah mereka miliki, serta pengaruhnya terhadappelaksanaan demokrasi di Aceh.
Pembahasan dimulai dari gambaran singkat tentang konflikdan manajemen konflik di Indonesia selama Orde Baru dan periodeReformasi.
Konflik di era Orde BaruDi bawah Soeharto, konflik umumnya diberantas melalui
tindakan represif oleh tentara nasional Indonesia. Pada waktu itu,berkat peran dwifungsi yang mereka sandang, militer tak hanyabertanggungjawab untuk menjaga keamanan negara dari ancamaneksternal, tapi juga berkuasa untuk mengendalikan keamanandalam negeri serta memiliki kontrol sosial. Dengan penempatananggota pasukan hingga tingkat desa, posisi militer sungguhstrategis sehingga mampu bertindak cepat dan tak jarang brutalterhadap berbagai aksi pembangkangan: entah itu melawan negara,maupun jika berhadapan dengan kepentingan bisnis besar sepertiperusahaan industri kayu dan perusahaan tambang; baik yangdimiliki pengusaha lokal maupun pihak asing. Di sisi lain, militerjuga tercatat memiliki kepentingan bisnis, yang kerap merupakan
PERDAMAIAN BERORIENTASI LABA
236 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
bidang usaha ilegal—atau paling tidak mencurigakan—yangtersebar di seluruh nusantara. Jaringan bisnis militer ini dibangunselama beberapa dekade, sejak kebijakan nasionalisasi oleh Soekarnosebagai bagian dari politik anti-imperialisme, hingga perampasantanah dan lahan bisnis secara ilegal, dari para simpatisan PKI.10
Mobilisasi kelompok-kelompok milisi dan organisasi reaksionermerupakan modus yang dipertajam dan disempurnakan pihakmiliter di bawah rezim Soeharto. Tak bisa dipungkiri, peng-organisasian dan mobilisasi kelompok milisi sipil dan kelompoklainnya, di samping sepak terjang Satuan Baret Merah, kesatuanelit terjun payung (yang juga dikenal sebagai RPKAD-ResimenPasukan Komando Angkatan Darat),11 pasca peristiwa 30 Septem-ber 1965, justru turut mengangkat Soeharto ke tampuk kekuasaan.Selanjutnya, kekerasan antar masyarakat sipil acap diprovokasi dandipelihara melalui mobilisasi kelompok-kelompok, yang antara lain,diidentifikasi sebagai kelompok pemuda, mahasiswa, kelompoknasionalis, maupun organisasi-organisasi berbasis Islam, sertadisesuaikan dengan konteks lokalnya. Komandan RPKAD, KolonelSarwo Edhie Wibowo, tercatat pernah mengatakan, ‘Kami me-mutuskan untuk memberi dukungan pada kelompok sipil anti-komunis untuk membantu kami dalam menjalankan tugas… Kamimelatih mereka selama dua atau tiga hari, lalu kami kirim merekauntuk membunuh para Komunis.’12 Telegram kedutaan besarAmerika Serikat di Jakarta ke Washington juga membuktikanadanya provokasi militer dan mobilisasi kelompok-kelompok sipil(khususnya organisasi-organisasi keagamaan) untuk melancarkantindak kekerasan terhadap mereka yang dianggap komunis.13
Di bawah Soeharto, modus semacam ini dibakukan menjadibentuk yang formal, melalui pembentukan pelbagai organisasikepemudaan yang menggunakan struktur organisasi militeristik.Misalnya, organisasi itu memiliki pos kontrol teritorial, memamer-kan lambang militeristik, menerapkan kode busana tertentu, dan
237
lain-lain. Kelompok-kelompok itu, di antaranya, Baladika Karya,Angkatan Muda Siliwangi (AMS), Forum Komunikasi Putra PutriPurnawirawan TNI/Polri (FKPPI), Ikatan Pemuda Karya (yangbermarkas di Medan di bawah kontrol Olo Panggabean), sertaPemuda Pancasila. Sebagian besar anggota organisasi tersebutterdiri dari para preman yang mudah dimobilisasi.
Organisasi-organisasi itu memiliki fungsi ganda. Pertama,mereka berfungsi sebagai perpanjangan sistem pengawasankeamanan oleh negara. Kedua, mereka berfungsi sebagai mesin uang.Caranya, antara lain, dengan mengontrol aktivitas kriminal sepertiperjudian, pelacuran dan proteksi bisnis ilegal. Selain itu, kelompokpreman tersebut juga menguasai kegiatan ekonomi sektor infor-mal di pusat-pusat hiburan, tempat rekreasi, terminal bus, stasiunkereta, dan sebagainya. Tentunya, mereka diminta pula untukmembagi keuntungan dengan militer. Pada malam ReferendumTimor Timur 1999 dan pada masa Darurat Militer di Aceh, pihakmiliter membentuk bermacam-macam organisasi milisi, yangbertugas mendukung kebijakan negara. Parahnya lagi, dalam kasusTimor Timur, kelompok milisi itu memperoleh tempat dalamstruktur komando militer.14
Kontrol politik Soeharto semakin dipermudah melaluipenggabungan partai-partai politik yang tumbuh subur pada masaSoekarno (kecuali partai dengan ideologi kiri, yang jelas-jelasdilarang) menjadi tiga partai politik resmi, yakni Partai PersatuanPembangunan (PPP) yang merepresentasikan partai-partai Islam,Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang merepresentasikan partai-partai Kristen dan nasionalis, dan Golongan Karya (Golkar), mesinmobilisasi dan kontrol politik Soeharto. Ketiga partai ini wajibtunduk pada ideologi negara, Pancasila. Alhasil, di bawah rezimOrde Baru Soeharto, hampir tidak ada ruang bagi perbedaan danketidaksetujuan. Di mana pun sikap itu muncul, tentara akan segeramenumpas dan memberangusnya dengan brutal.
PERDAMAIAN BERORIENTASI LABA
238 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
Transmigrasi adalah salah satu dari sekian banyak kebijakanOrde Baru, yang seolah-olah memberikan peluang ekonomi barubagi penduduk di pulau yang padat, seperti Jawa dan Madura, untukberpindah ke “luar Jawa” (The Outer Islands). Selain itu, kalanganbisnis beranggapan, lebih mudah menggunakan para transmigransebagai tenaga kerja dalam bisnis pembalakan hutan (legal ataupunilegal). Padahal hutan tersebut adalah sumber penghasilan tradisionalbagi penduduk lokal, serta kerap mengandung dimensi spiritualpenting bagi mereka. Di berbagai tempat, para transmigran acapmenjadi penyebab timbulnya ketegangan dan kecurigaan antarapenduduk asli dan pendatang, sehingga bisa diprovokasi denganmudah. Konflik kekerasan antara etnis Madura, Dayak, dan Melayudi tahun 1997 dan 1999 terjadi di Kalimantan Barat, yangmenyebabkan lebih dari setengah juta orang terpaksa dipindahkan.Jumlah ini sedikit di bawah angka resmi transmigran yangdipindahkan ke Maluku dan Papua, sejak 1969 hingga 1997 (Downto Earth 2000). Di sisi lain, transmigrasi turut andil pula dalamkebijakan kontrol teritorial Indonesia, di daerah konflik, seperti Acehdan Papua. Dalam konteks itu, transmigrasi adalah buffer atau lapisanpenjaga keamanan batas negara, serta perpanjangan pengawasankeamanan oleh negara. Selain itu, transmigrasi juga merupakanupaya pemerintah memindahkan ‘masyarakat terbelakang danterisolasi’, yang umumnya masih tinggal di hutan dan/atau di daerahkaya sumber daya alam.
Reformasi, demokratisasi dan desentralisasiPada pertengahan 1990an, kontrol rezim Orde Baru mulai
melemah. Selain itu, sejumlah kebijakan yang tak populer, sertatingginya penggunaan kekerasan mengakibatkan pecahnya konflikdan perlawanan.
Pada 12 November 1991, lebih dari 150 orang demonstran yangtergabung dalam aksi damai, dibunuh tentara Indonesia dalam
239
tragedi Santa Cruz di Dili, Timor Timur. Meskipun pemerintahIndonesia mengklaim hanya jatuh 12 korban, dunia mengutukkekejaman ini. Sejumlah negara lantas menarik dukungan bagipemerintah Indonesia dan memberlakukan embargo penjualansenjata ke Indonesia.15
Dalam rentang waktu, antara tahun 1995 dan 1997, gelombangkerusuhan pecah di sejumlah kota di Jawa, dan kemudian meluaske Kalimantan, Kupang, Ambon, Sulawesi Selatan (Makassar) danPapua (Jayapura, Wamena, Merauke). Selain konflik vertikal antaranegara dan gerakan memisahkan diri, seperti di Papua dan Aceh,periode ini juga ditandai oleh meluasnya konflik horizontal, yakniantar-agama dan/atau antar-identitas etnis.
Begitu Soeharto jatuh pada 12 Juni 1998, konflik yang sedangberlangsung pun kian memanas dan mulai menyebar ke wilayahsekitarnya.16 Seiring dimulainya proses reformasi di Indonesia,semakin terbuktilah keterlibatan elemen militer dan polisi dalamkonflik tak berkesudahan itu. Kesan yang tampak pada permulaanera reformasi di Indonesia itu adalah pembiaran konflik agar kianberlarut-larut, dan tidak berkurang intensitasnya. Tujuannya,melawan usaha kelompok baru aktor pro-demokrasi, yangberencana ‘mengembalikan militer ke barak’, serta mencabut perandwifungsi mereka.17
Proses Reformasi juga memberikan dua ancaman utama bagistatus quo—yakni, pelaksanaan desentralisasi dan demokratisasi.Desentralisasi akan mengacaukan dinamika di kalangan elit. Apalagidengan munculnya berbagai aktor lokal, yang terdiri dari wajah-wajah baru, dan turut bersaing memperoleh kekuasaan politik dankontrol terhadap sumber daya alam serta kepentingan bisnislainnya. Situasi itu menunjukkan, terjadinya reposisi dan re-formulasi aliansi antara elit yang lama dan baru, baik di tingkatlokal dan di tingkat nasional, maupun antara elit di tingkat lokaldengan elit tingkat nasional. Hegemoni politik Orde Baru melalui
PERDAMAIAN BERORIENTASI LABA
240 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
sistem tiga partai pun runtuh di tengah arus demokratisasi, yangmembuka kebebasan membentuk partai-partai politik (kendatidengan label ‘nasional’) baru. Sehingga, partai-partai politik itudiharapkan dapat dimobilisasi untuk mewakili aspirasi dankepentingan rakyat biasa (yang juga berarti ancaman bagi ke-pentingan-kepentingan elit).18
Karakteristik Konflik di Ambon/Maluku Utara, Poso danAcehTiga daerah konflik terbesar di mana negara berperan aktif
dalam fasilitasi perdamaian adalah Ambon/Maluku Utara, Poso,dan Aceh. Konflik di Poso dan Ambon meletus di era reformasi,ketika Soeharto mengundurkan diri setelah berkuasa selama 32tahun. Pertama kali dipicu tawuran antar kelompok pemuda,kekerasan di Ambon/Maluku Utara dan Poso segera meluas danberkembang menjadi konflik antar-etnis dan antar-agama.Sebaliknya, jika ditelusuri ke masa lalu, konflik di Aceh terjadiakibat ketidakpuasan masyarakat terhadap pusat sejak 1950an,hingga akhirnya keluar tuntutan kemerdekaan pada awal 1970andengan terbentuknya GAM. Namun, seiring dengan reformasi,konflik itu kian menyebar. Semula, konflik hanya terbatas dikabupaten yang menjadi wilayah Daerah Operasi Militer (DOM)selama rentang waktu antara 1989 dan 1998, yaitu di Aceh Timur,Aceh Utara, Pidie. Tapi, pada era reformasi, konflik menyebar keseluruh wilayah Aceh, termasuk di daerah di mana GAM tak pernahaktif sebelumnya. Jadi, bisa dikatakan konflik di Aceh pada masareformasi memiliki beberapa kesamaan dengan kemunculan berbagaikonflik baru di daerah lain di Indonesia.
Penyebab dan tipe konflik yang terjadi di Ambon/Maluku,Poso, dan Aceh sangat kompleks. Meski begitu, konflik tersebutberakar pada rasa tak puas dan kekecewaan terhadap berbagaipersoalan ekonomi dan sosial, serta pembagian kekuasaan. Dalam
241
kasus Aceh, khususnya, kekecewaan itu ditujukan pada pe-nindasan oleh militer serta pelanggaran hak asasi manusia.
Konflik di Ambon, yang tampak sebagai konflik antarakelompok Muslim dan Kristen, sebenarnya bersumber dariketidakadilan ekonomi dan sosial, politisasi birokrasi, sertapelemahan hukum adat dan kekerabatan. Sejak terpicu oleh suatuperselisihan, ketika seorang sopir mini-bus menolak membayarpungutan keamanan di Ambon pada Januari 1999, konflikkemudian terus berkobar dan berkepanjangan. Berlarut-larutnyakonflik dipengaruhi sejumlah faktor, antara lain, campur tanganmiliter; kompetisi antar kepentingan elit nasional dan antar elitlokal; membanjirnya kelompok-kelompok pemuda yang masuk daridaerah lain; provokasi oleh media lokal; serta perebutan sumberdaya alam, seperti emas.19
Di wilayah yang sekarang menjadi Provinsi Maluku Utara,konflik muncul sejak diakuinya Malifut, sebagai kecamatan barupada Mei 1999. Kecamatan baru itu dikuasai penduduk MuslimMakian yang pindah ke wilayah tersebut pada 1975, dan tinggalbersama Suku Kao, penduduk asli yang didominasi penganutagama Kristen. Sebulan kemudian, Nusa Halmahera Minerals milikNewcrest, perusahaan tambang emas terbesar Australia, mulaiberoperasi di Kao dan Malifut (ICG 2009; Down to Earth 2004).Ketegangan antara kelompok Makian dan Kao pun meletus di bulanAgustus, karena kelompok Makian mendominasi lapangan kerjabaru di Nusa Halmahera Mineral (ICG 2009; Down to Earth 2004).Pada bulan Oktober, akhirnya wilayah Maluku Utara, sebelumnyamerupakan bagian provinsi Maluku, ditetapkan sebagai provinsiyang terpisah.
Konflik di Poso juga muncul sebagai konflik antar-agama,padahal konflik itu berakar dari berlarut-larutnya keteganganpolitik antara penduduk asli di pegunungan, yang mayoritas adalahpenganut agama Kristen, dan kelompok pendatang yang didominasi
PERDAMAIAN BERORIENTASI LABA
242 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
orang Muslim. Kaum pendatang itu pindah ke daerah itu secarabesar-besaran sejak 1973 di bawah program transmigrasi Soeharto.Arus perpindahan penduduk itu sempat melambat ketika dimulaipembangunan jalan tol Trans-Sulawesi, dan pada masa krisisekonomi Indonesia tahun 1997 (Aragon 2002). Persoalan munculsaat terjadi konflik atas pembangunan ekonomi. Konflik itumemuncak ketika terjadi persaingan ketat dalam pemilihan bupatipada 1999, antara kandidat kelompok Kristen dan Islam. Pecahnyaaksi kekerasan pada Desember 1998 antara kelompok pemuda Mus-lim dan Kristen dapat dipahami sebagai dampak desentralisasi, yangjuga berlanjut pada perebutan sumber daya alam di tingkat daerah.Konflik itu kian memburuk akibat ulah para provokator dankelompok dari luar daerah. Mereka datang ‘atas nama solidaritas’untuk turut menggalang kekuatan dalam kelompok berbasisidentitas etnis atau agama (LIPI 2005).
Namun konflik teralot adalah upaya penumpasan GAM danpara pendukungnya di Aceh, yang pekat oleh tindak kekerasan.Meskipun Aceh memperoleh status Daerah Istimewa di era PresidenSoekarno, tapi pelaksanaan keistimewaan itu hanya terbatas padapemberian kekuasaan bagi Aceh untuk mengelola bidang pen-didikan, agama, dan hukum adat. Tak termasuk di dalamnya,kewenangan akan eksploitasi sumber daya alam dan pembangunanekonomi. Distribusi pendapatan yang tidak adil dan larinya modalke Jakarta, mengakibatkan pendirian GAM pimpinan Hasan di Tiropada pertengahan 1970an. Meskipun gerakannya berhasil ditumpasdan Hasan di Tiro terpaksa meninggalkan negaranya, ketidak-puasan terus berlanjut. Akibatnya, GAM kembali muncul sebagaiancaman pada 1989. Pemerintah Indonesia pun bereaksi danmenetapkan Aceh Timur, Aceh Utara, dan Pidie (daerah yang kayaakan sumber daya alam, seperti LNG/gas alam cair) sebagai DaerahOperasi Militer (DOM) pada tahun 1990. Status ini yang barudicabut ketika Soeharto jatuh. Pihak luar juga turut campur dalam
243
konflik tersebut. Di antaranya, Pemerintah Libya, yang mendu-kung dengan menyediakan kamp-kamp pelatihan bagi GAM, sertahadirnya kepentingan asing seperti Mobil Oil Indonesia (MOI).Pembahasan lebih rinci mengenai latar belakang konflik serta prosesperdamaian di Aceh dapat dilihat pada Bab 2 dalam buku ini.
Ambon/Maluku Utara: Konflik, bisnis dan politik20
Salah satu faktor penting di balik konflik Maluku adalahtimbulnya pertarungan politik di Jakarta, khususnya ketikakeluarga dan kroni bisnis Soeharto, serta pihak militer berupayamempertahankan status quo di tengah meruaknya reformasi, sertaberbagai perubahan yang menyertainya. Penunjukan seorangperwira Angkatan Laut sebagai Panglima TNI memicu kemarahansejumlah jenderal yang merasa kekuasaannya sedang dilucuti.Melalui provokasi dan upaya memperpanjang konflik di berbagaidaerah seperti Maluku, militer bisa memberi justifikasi tentangperlunya stuktur komando teritorial dan peran dwifungsi tentarauntuk menjaga stabilitas di tengah masyarakat yang rentan konflik.Berlarut-larutnya konflik juga digunakan sebagai upaya untuk‘memamerkan’ ketakbecusan Panglima TNI yang baru dipilih itu,dalam menjaga stabilitas di Indonesia.
Seperti yang telah dikemukakan di atas, konflik di Ambondipicu perselisihan antara dua orang, yang berbuntut padaperkelahian. Namun, bagaimana konflik itu meluas dan mampubertahan lama? Tiga orang provokator kelas kakap telah terungkapketerlibatannya dalam kasus Ambon, yakni Butje Sarpara, DickyWatimena dan Yorris Raweyai. Sarpara sempat menjadi guru diMaluku Utara, serta pernah pula menjabat sebagai Kepala DinasPertanian di Jayapura (sekarang pelabuhan Numbay), Papua.Sedangkan Kolonel Dicky Watimena dulu tergabung dalamPaswalpres (Pasukan Pengawal Presiden) dan juga mantanWalikota Ambon. Sementara, Yorris Raweyai adalah mantan Wakil
PERDAMAIAN BERORIENTASI LABA
244 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
Ketua Pemuda Pancasila, serta diduga memiliki kedekatan denganBambang Trihatmodjo, anak kedua Soeharto.21
Mula-mula dikenal sebagai kelompok Cowok Keren, kelompokyang beranggotakan sejumlah pemuda beragama Kristen itu,kemudian dirujuk dengan nama Cowok Kristen, alias Coker. Merekapun menggunakan Gereja Protestan Maranatha sebagai markas.Coker memiliki keterkaitan dengan dua pimpinan kelompok pemudaKristen Maluku, yaitu Milton Matuanakota dan Ongky Pieters,yang tinggal di Jakarta. Milton dan Ongky memimpin geng pemudaKristen Maluku, yang menguasai pusat perbelanjaan, lahan parkir,dan pusat perjudian di Jakarta Barat. Setelah bentrokan massal diKetapang, Jakarta pada November 1998, ratusan pengikut Miltondan Ongky lari ke Ambon.22
Di Jakarta, pesaing Milton dan Ongky, di antaranya, OngenSangaji, anggota Pemuda Pancasila dan Koordinator organisasimahasiswa Islam Maluku. Anggota organisasi Ongen direkrutuntuk bergabung dalam PAM Swakarsa (pasukan keamanan sipil)yang dimobilisasi oleh Jenderal Wiranto dan Presiden Habibie,untuk mencegah aksi protes mahasiswa di gedung DPR pada No-vember 1998. Ongen juga diduga memiliki hubungan dekat denganBambang Trihatmodjo. Sedangkan Milton dianggap lebih dekatdengan putri Presiden Soeharto, Siti Hardiyanti Rukmana (aliasTutut).
Pada Desember 1999, setelah Presiden dan Wakil Presidenberkunjung ke Ambon, 500 orang tentara dikirim ke daerah tersebut.Namun, hanya 200 anggota pasukan yang betul-betul tiba di barakyang disediakan untuk rombongan pasukan tersebut. Sementara300 orang lainnya dinyatakan hilang ketika sedang menunaikantugas atau AWOL23, berikut dengan senjata-senjatanya. Kemanagerangan mereka pergi? Pasukan itu ternyata berbaur denganpenduduk sipil, dan mengganti seragam dengan pakaian sipil. Taklama kemudian, meletuslah aksi pembunuhan masal pada akhir
245
Desember 1999. Salah satu indikator yang menunjukkan aksipembantaian itu diprovokasi militer adalah ditemukannya senjatayang sama persis dengan yang dibawa 200 anggota pasukan‘penjaga perdamaian’, di tangan penduduk sipil.
Namun, darimana para provokator itu memperoleh ‘danaoperasional’ mereka? Di balik seluruh konflik dan insiden tersebut,pihak yang paling diuntungkan dari kekacauan di Maluku, taklain adalah Soeharto, keluarga, dan kroni-kroni bisnisnya. Tampakjelas mereka memperoleh keuntungan dari terganggunya per-damaian, agar dwifungsi tentara bangkit kembali. Posisi inikhususnya menguntungkan kalangan Angkatan Darat, karenalusinan yayasan, dan anggota purnawirawan telah jauh ber-kelindan dalam tentakel jaringan bisnis keluarga Soeharto.24
Selain diduga telah menerima bantuan keuangan dari anggotakeluarga Soeharto, para provokator itu juga didukung oleh duakroni Soeharto, yang memiliki kepentingan bisnis penting diMaluku Utara. Mereka adalah Eka Cipta Widjaja dan PrajogoPangestu. Keluarga Eka Cipta adalah pemilik Group Sinar Mas,dengan PT Sinar Mas Agro Resource and Technology (SMART)sebagai salah satu anak perusahaannya. SMART dipimpin JenderalYoga Sugama, salah satu kerabat sekaligus rekan bisnis keluargaSoeharto. Salah satu anak perusahaan SMART, PT Global AgronusaIndonesia, mengelola perkebunan pisang seluas 2.000 hektar diHalmahera, dan bekerjasama dengan perusahaan buah raksasaAmerika Serikat, Del Monte, sejak Desember 1991.25
Sementara itu, Prajogo Pangestu, pemimpin Barito PacificGroup merupakan salah satu kontributor terbesar bagi keluargaSoeharto. Salah satu hasil investigasi membuktikan bahwa pada1990, Indoverbank NV di Belanda menerima kiriman dana sebesarUS$ 225 juta dari Prajogo Pangestu, untuk rekening atas namatiga yayasan pimpinan Soeharto: Supersemar, Dharmais, danYayasan Dakab, yang ditransfer langsung dari rekening Prajogo
PERDAMAIAN BERORIENTASI LABA
246 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
di cabang Citibank Singapura dan BDN, Jakarta.26 Bos Barito Pa-cific Group itu juga menyumbang Rp 80 milyar untuk kampanyeGolkar pada Juli 1999, hampir seperempat dari total biaya kampanyesebesar Rp 350 milyar. Selain itu, Prajogo juga ‘menyumbang’Persatuan Gulat Seluruh Indonesia (PGSI) melalui rekening pribadiJaksa Agung waktu itu, Andi Ghalib.27 Kepentingan bisnis PrajogoPangestu di Maluku sungguh meraksasa. Barito Pacific Groupmenguasai setidaknya sebelas perusahaan industri kehutanan diwilayah tersebut.28
Masih ada satu lagi pengusaha kelas kakap di Maluku yangmendukung Kelompok Cendana (merujuk pada para tokohberpengaruh yang memiliki hubungan dengan Soeharto dankeluarganya, yang bertempat tinggal di kediaman sekaligus markaskeluarga besarnya di Jalan Cendana, Menteng, Jakarta) dan parajenderal dari kelompok ekstrim kanan. Pendukung itu, TommyWinata, pemilik Artha Graha Group, yang diduga memilikihubungan dekat dengan Yorris Raweyai.29 Tommy Winata merupa-kan pemegang saham di PT Ting Sheen Banda Sejahtera, sebuahperusahaan perikanan, dengan portofolio investasi mencapai US$200 juta. Setiap tahun, perusahaan itu diproyeksikan menangkap2,5 juta ton ikan. Kapal penangkap ikannya berlabuh di desa Ngadi,Tual. Perusahaan perikanan tersebut merupakan joint venture, yangdikelola bersama Bambang Trihatmodjo dan sebuah perusahaanmilik pengusaha asal Taiwan.30
Bab ini tidak bermaksud untuk menyajikan analisis kom-prehensif dan mendalam tentang konflik di Maluku. Namun, terlepasdari penjelasan yang ada, tergambar secara gamblang keterlibatansejumlah aktor bisnis dan militer. Kedua kelompok itulah yangkemudian meraup laba, baik dari konflik maupun kesepakatanperdamaian kelak. Meskipun detail kesepakatan perdamaian tidakpernah diumumkan, 11 butir kesepakatan yang telah disebarkankepada publik pada 12 Februari 2002, meliputi kesepakatan untuk
247
memperkuat militer, dan bukannya mengurangi kehadirannya didaerah, yaitu dengan ‘membangun dan kembali melengkapi sejumlahfasilitas militer dan kepolisian.’ Jadi, perlindungan terhadap bisnis-bisnis besar, baik domestik maupun internasional, akan terusdilanjutkan oleh pihak militer dan Brimob (Satuan Brigade Mobil dibawah kepolisian). Walaupun, di saat bersamaan, berkecamuk pulakonflik akibat perampasan tanah, penggundulan hutan, sertapencemaran berbagai sungai dan danau.
Didukung berbagai lembaga donor internasional, kesepakatanperdamaian mengisyarakatkan program rekonstruksi danrehabilitasi dalam skala besar. Program itu meliputi reformasibidang tata kelola pemerintahan (governance), keamanan, pen-didikan, serta bidang penyaluran bantuan kemanusiaan. Sementaraitu, hanya Maluku Utara—provinsi baru terbentuk sejak 1999,yang kemudian mengalami pembagian. Selanjutnya, setiap bagianitu dimekarkan lagi, hingga melahirkan kumpulan unit adminis-tratif baru yang kian menumpuk. Selama tahun 2003, empatkabupaten dan satu pemerintahan kota telah dibentuk. Antara 2003dan 2007, Halmahera Barat berkembang dari 5 kecamatan menjadi9 kecamatan; sedangkan Halmahera Utara bertambah dari 9kecamatan menjadi 22 kecamatan, serta Halmahera Selatanberkembang dari 9 kecamatan menjadi 30 kecamatan (ICG 2009).Menjamurnya unit-unit administratif itu semakin memberi peluangbagi kalangan elit lokal dan nasional, untuk mengontrol danmemperoleh bagian dari kue dana pemulihan, serta dari programpembangunan yang akan datang.
Pemekaran unit-unit administratif ini tak terlihat adahubungannya dengan demokrasi, dan lebih merupakan usaha-usaha untuk memangkas dan memecah-belah kepentingan elit lokal.Ketika Pilkada Gubernur Maluku Utara berlangsung pada 2007,baik kandidat dari Partai Golkar maupun kandidat dari koalisi PartaiDemokrat (PD)-Partai Damai Sejahtera (PDS), mengklaim diri
PERDAMAIAN BERORIENTASI LABA
248 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
sebagai pemenang. Proses politik yang damai untuk menentukanhasil akhir pemilu, bagaimanapun, patut dihargai sebagai salahsatu kemenangan demokrasi. Kendati begitu, laporan resmimengungkapkan, kompetisi dalam pilkada itu, semata-mata‘berkutat dalam hal kekuasaan belaka, dan tidak menyangkutkebijakan publik.’ Laporan itu menambahkan, ‘tak seorang puntahu atau peduli tentang visi dan misi kedua kandidat itu, dalamhal penyediaan layanan sosial dan rencana pembangunan tingkatprovinsi’. Lebih lanjut, laporan itu menyimpulkan, berbagai isuyang menjadi fokus perhatian hanya berkisar pada upaya ‘meraihakses dan menentukan kelompok etnis, yang akan memperolehposisi dalam pemerintahan yang lebih menguntungkan’ (ICG 2009).
Poso: Perdamaian, keuntungan dan megaproyek31
Terdapat enam faktor utama yang mempengaruhi dinamikasosial politik di Sulawesi. Pertama, dominannya Partai Golkar yangberaliansi dengan partai-partai kecil. Selain itu, di sejumlah kecildaerah, dapat dijumpai pengaruh PDI-P, serta partai-partaikeagamaan, seperti Partai Damai Sejahtera (PDS)—yang dominandi Poso, dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Faktor kedua adalahekspansi modal dari Jakarta dan yang bersumber dari kalanganinternasional, demi tujuan eksploitasi sumber daya alam diSulawesi. Faktor ketiga, dominasi kepentingan bisnis Jusuf Kalla,keluarganya, teman-temannya, dan para kolega dekatnya, diSulawesi. Keempat, keberagaman kelompok agama dan etnis, yangkerap tumpang tindih dengan identitas agama. Kondisi ini jugapenyebab kian menjadinya konflik ekonomi politik berbasis kelas,sehingga pecahlah konflik antar kelompok komunal atau kelompoksektarian. Kelima, strategi militer dalam mempertahankan danmenutupi konflik komunal, sebagai upaya memecah belah danmengalihkan perlawanan penduduk asli. Strategi itu memuluskanmasuknya modal yang sangat besar ke bisnis pertambangan,
249
perkebunan, dan industri kehutanan, termasuk proyek-proyekinfrastruktur seperti pembangunan PLTA. Dan faktor keenam,memburuknya kondisi politik akibat sistem pemilihan umum yangtak representatif, serta peraturan tentang partai politik, yangmenutup kemungkinan bagi pembentukan partai lokal. Padahalkeberadaan partai politik lokal dipandang akan lebih mampumenyalurkan aspirasi masyarakat sipil, yang lebih spesifik. Hasratrakyat terhadap keberadaan partai lokal membuktikan ketidak-percayaan masyarakat terhadap cabang partai politik nasional didaerahnya. Pasalnya, mereka menganggap, segala minat danurusan partai politik nasional, tak lain merupakan bentuk pem-berian pelayanan bagi kepentingan elit nasional.
Pengumuman kesepakan perdamaian Malino I di Poso pada20 Desember 2001, segera diikuti dengan janji pemberian danarehabilitasi dan rekonstruksi sebesar US$ 10 juta, serta penempatan4000 anggota tentara dan polisi di daerah itu (Aragon 2002). Disatu sisi, Malino I gagal menciptakan perdamaian yang abadi diPoso. Namun, di sisi lain, kesepakatan damai itu sukses memberipeluang bisnis yang tak terhitung jumlahnya. Baik melaluipemanfaatan konflik dan bantuan sebagai komoditas bisnis, hinggapada peningkatan proyek-proyek pembangunan industri daninfrastruktur raksasa seperti penambangan sumber daya mineral,minyak dan gas bumi, serta upaya pembangunan PembangkitListrik Tenaga Air (PLTA) yang masif. Dinamika dominasi paraelit berpengaruh dalam kegiatan politik dan bisnis, yang dibekingioleh militer, telah mengubur upaya mobilisasi dan representasirakyat kecil, yang melampaui batas etnis dan agama. Begitukesempatan terbentang lebar bagi ekspansi modal, baik dari Jakarta,maupun dari perusahaan asing dan transnasional, maka kese-pakatan damai telah gagal memberikan kedamaian dan kesejah-teraan bagi rakyat Sulawesi Tengah.
PERDAMAIAN BERORIENTASI LABA
250 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
Pemanfaatan konflik dan bantuan kemanusiaan sebagai komoditas bisnisTak hanya memperluas lahan bisnis besar di daerah konflik,
meletusnya konflik kekerasan di Ambon dan Poso juga memberijustifikasi bagi penempatan pasukan keamanan, antara lain, tentaradan polisi. Pasukan non-organik—yakni para anggota yang khususdikerahkan untuk ‘mengatasi’ konflik, umumnya sangat gembirauntuk tetap tinggal di daerah-daerah konflik itu. Alasannya, di daerahitu, tersedia aneka peluang untuk memperoleh penghasilan lebihbanyak bagi mereka. Laporan Lembaga Pengembangan StudiHukum dan Advokasi Hak asasi manusia (LPSHAM) di SulawesiTengah pada awal 2005, mengungkapkan, insiden kekerasan danintimidasi di Poso semakin meningkat di setiap penghujung operasikeamanan. Alhasil, permintaan peningkatan biaya operasional danperpanjangan operasi keamanan semakin memperoleh justifikasi(Azhar dan Agus 2005). Keterlibatan pasukan keamanan meliputibisnis-bisnis legal—seperti mengelola proyek infrastrukturpembangunan rumah dan fasilitas publik yang rusak akibat konflik—serta beragam kegiatan bisnis ilegal. Ketika para perwira tinggimenggelapkan dana operasional dan bantuan yang diperuntukkanbagi para pengungsi (IDP/internally displaced people), para bawahannyaterlibat dalam beragam bisnis ilegal di Palu, Poso, Moriwali danBanggai. Kegiatan ilegal itu mencakup, antara lain, aksi-aksi teror,pemerasan, pungutan liar jasa keamanan, hingga perdaganganhewan-hewan langka dan dilindungi.32
Bonus tak terduga bagi militer adalah respon Kongres AmerikaSerikat terhadap kehadiran Laskar Jihad di Poso, sebuah kelompokmilisi berbasis di Jawa, yang membanjiri daerah konflik itu pada Juli2000. Dalam rangkaian kunjungannya ke kawasan Asia Tenggra, diawal Desember 2001, Panglima Komando Amerika Serikat untukkawasan Pasifik waktu itu, Dennis Blair, mengutarakankeprihatinannya terhadap kemungkinan Indonesia menjadi surgabagi kegiatan Al-Qaeda. Beberapa hari kemudian, Kepala Badan
251
Intelijen Militer (BIN), Letnan Jenderal Hendropriyono, menyatakanbahwa konflik di Sulawesi adalah ‘hasil kerjasama antara teroris-teroris internasional dan organisasi-organisasi radikal dalam negeri.’Pada 20 Desember 2001, Kongres Amerika Serikat mengumumkanbahwa negaranya menggelontorkan US$ 318 juta sebagai danapelatihan militer di Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Keputusanini langsung menghapus dua tahun embargo kerjasama militerantara Indonesia dan Amerika (Roberts 2002).
Di sisi lain, penyaluran dana bantuan rehabilitasi danrekonstruksi tidak memiliki perangkat aturan yang memadai.Akibatnya, bukan hanya pihak militer yang meraup banyakkeuntungan. Dana bantuan itu digelapkan pula oleh parapengusaha lokal, dengan kedok proyek pembangunan. Tindakanserupa juga dilakukan para pemuka agama dan para pejabatpemerintah yang licik. Sementara itu, walaupun sebagian besarpengungsi hanya menerima dana yang sangat minim atau tidakmemperoleh bantuan sama sekali, sebagian pengungsi yang lainmendaftarkan diri demi memperoleh bantuan di sejumlah desaberbeda. Seperti yang disimpulkan antropolog Lorraine Aragon,‘…Poso tak pelak menjadi proyek bisnis raksasa, yang secarasimultan mengekspolitasi dan merusak moral para penduduk, yanglebih dulu mengalami trauma secara emosional...’ (Aragon 2004).
Ekspansi modalKalangan keluarga dan teman-teman Jusuf Kalla tak kalah
sukses dalam meraih laba dari kesepakatan perdamaian, seperti yangsudah dialami pula oleh para ‘konglomerat’ Indonesia lainnya,kalangan militer dan kelompok TNC, kalangan industri meng-giurkan seperti industri tambang, minyak, dan gas bumi, sertapihak kepolisian di daerah itu. Fokus mereka, mengeksplorasi danmengekspolitasi sumber daya alam Sulawesi yang berlimpah,khususnya di sektor pertambangan, megaproyek infrastruktur, dan
PERDAMAIAN BERORIENTASI LABA
252 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
agrobisnis. Kepentingan perusahaan internasional terbesar didunia, terpenuhi dengan baik di Sulawesi. Perusahaan-perusahaantambang, seperti Vale Inco dari Kanada, Newmont MiningCoproration dari Amerika Serikat, dan Rio Tinto milik Inggris-Australia, memiliki kepentingan yang luas di Sulawesi. Begitu puladengan kelompok perusahaan minyak dan gas raksasa, sepertiMitsubishi Incorporation dari Jepang, Conoco Philip, Premier Oildari Inggris, Talisman Energy Inc milik Kanada, Statoil ASA dariNorwegia dan ExxonMobil milik Amerika Serikat (Reuters 2007).Perusahaan Kuwait, Gulf Investment House (GIH), telah menanam-kan investasi US$ 300 juta di Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat,untuk mengelola sumber daya alam seperti minyak dan gas, emas,batu bara, nikel, bijih besi, serta potensi lainnya di sektor kehutanandan perkebunan.33
PT Inco Indonesia telah menambang nikel di Sulawesi sejak1968 dan sekarang masih beroperasi di Sulawesi Selatan, SulawesiTenggara, dan Sulawesi Tengah. Pada 2007, PT Inco memulaikembali pembangunan PLTA Karebbe senilai US$ 280 juta di LuwuTimur, Sulawesi Selatan (diperkirakan saat ini nilainya mencapaiUS$ 410 juta)34 . Menurut rencana, PLTA itu akan selesai dibangunpada 2010, dan menjadi unit pembangkit listrik tambahan, selainPLTA yang sudah berdiri di Larona dan Balambano, untukmemasok tenaga listrik bagi pabrik pengolahan nikel milik Inco diSoroako, Sulawesi Selatan. Di bulan Agustus 2007, Incomengumumkan akan membangun lagi dua pabrik pengolahan nikeldengan nilai investasi sebesar US$ 2.5 milyar di Soroako dan Pomaladi Sulawesi Tenggara. Saat ini, Inco sedang berencana menambahdua operasi pertambangan di blok Bahodopi di Morowali, SulawesiTengah, dan Pomala di Kendari, Sulawesi Tenggara.35
Pesaing utama lainnya, dalam pertambangan nikel di SulawesiTengah adalah Rio Tinto. Perusahaan itu mengucurkan investasisebesar US$ 2 milyar pada 28 Januari 2008. Investasi itu mencakup
253
73.000 hektar tanah di Lasamphala, di perbatasan KabupatenMorowali dan Konawe (masing-masing di Sulawesi Tengah danTenggara). Meskipun Rio Tinto mencanangkan rencana produksidimulai pada 2015, perusahaan itu mengajukan gugatan hukumterhadap Pemerintah Daerah Kabupaten Morowali pada tanggal23 Mei 2008. Perusahaan itu menuduh Pemerintah DaerahKabupaten Morowali telah memberikan hak penambangan kepadaperusahaan tambang lokal di daerah itu.36 Menurut Rio Tinto,perusahaan tersebut sedang berada dalam proses negosiasi denganpemerintah provinsi Sulawesi Tengah sejak 2006. Meski begitu,ketika bencana banjir melanda Morowali pada Juni 2007, Rio Tintomenyumbang US$ 250.000 untuk bantuan kemanusiaan di daerahyang terkena bencana. Selanjutnya, pada November 2008, per-usahaan itu memberikan pula program beasiswa sebesar US$ 50.000bagi 50 orang korban banjir dan longsor Juni 2007, yang dianggappatut menerimanya.
Potensi bijih emas tersebar di seluruh Sulawesi, khususnya diSulawesi Barat, Minahasa Tenggara, Toraja Utara, Donggala danPoso. PT Newmont Minahasa Raya (NMR) telah berhasil mengerukseluruh cadangan emas yang terkandung di Minahasa, Manado,ketika harus menghentikan operasinya pada 2001. PT NMR didugatelah mencemari Teluk Buyat dengan beragam bahan logam berat.Kendati melalui proses pengadilan panjang dengan pemaparanberbagai bukti secara gamblang, pengadilan justru memenangkanperusahaan itu pada 23 April 2007. Di Sulawesi Tengah, cadanganemas lain telah ditemukan di Kabupaten Polewali dan Mamasa.
Sektor pertambangan minyak dan gas juga menjadi saksikebangkitan perusahaan domestik, seperti PT Medco EnergiInternasional, perusahaan minyak dan gas terbesar di Indonesiamilik Arifin Panigoro, yang juga tercatat di bursa saham; serta PTElnusa, anak perusahaan minyak milik negara, Pertamina. Medcoberoperasi di Senoro (blok Senoro dan Toili) dan Matindok (blok
PERDAMAIAN BERORIENTASI LABA
254 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
Maleo-Raja dan Minahki). Mitsubishi Incorporation mendirikankilang gas bumi di Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah, untukmengolah LNG Medco yang siap beroperasi pada 2010. Diharapkan,perusahaan domestik akan tumpah ruah di teluk Tomini untukmengeksplorasi minyak dan gas, serta menyerbu pula kawasan lepaspantai Sulawesi Barat dan pantai barat Sulawesi Tengah. Di sisilain, sebuah ladang gas juga telah ditemukan oleh perusahaanminyak yang berpusat di Inggris, BP (dulu dikenal sebagai BritishPetroleum, kini mengusung label baru ‘Beyond Petroleum’), ditimur laut Danau Tempe. Penemuan cadangan tersebut membukapotensi untuk kegiatan produksi amonia bagi industri pupuk urea.Sementara itu, perusahaan tambang batubara Bosowa Group milikAksa Mahmud, saudara ipar Jusuf Kalla, mempunyai hak konsesipula di bagian utara daerah tersebut.
Proyek-proyek infrastruktur dan kekaisaran bisnis keluarga KallaEkspansi arus modal besar-besaran, dari beragam kepentingan
bisnis di Jakarta maupun luar negeri, akhirnya berlangsung diSulawesi. Namun, bagaimana dengan Jusuf Kalla dan keluarganya,yang juga berasal dari Makassar, Sulawesi Selatan? Perusahaankeluarga JK tentu tak ketinggalan. Kelompok itu berhasil menangdalam berbagai tender pembangunan pusat pembangkit tenagalistrik tenaga air, termasuk pengembangan Saluran UdaraTegangan Ekstra Tinggi (SUTET). Sejak Kalla dilantik sebagai WakilPresiden Republik Indonesia pada 20 Oktober 2004, dan terpilihsebagai Ketua Umum Partai Golkar, PT Bukaka Teknik Utama milikKalla dan saudara-saudaranya dibanjiri berbagai permintaan untukmelaksanakan berbagai proyek infrastruktur penting di Sulawesi(dan daerah lainnya). Jatah PT Bukaka, antara lain, membangunpusat pembangkit tenaga listrik di Ussu, Kabupaten Luwu Timur,pembangkit listrik skala menengah di Bantaeng dan pembangkitlistrik skala kecil di Sulu Anoa, Mungkutana, Kabupaten Luwu
255
Utara, serta pengembangan PLTA dengan tiga turbin di SungaiPoso, Sulawesi Tengah. PT Bukaka juga berencana untukmembangun PLTA lain di Sungai Saddang, Tana Toraja, SulawesiSelatan, senilai US$ 300 juta, dan dicanangkan untuk selesai pada2010. Untuk memperlancar proyek ini, Pemerintah ProvinsiSulawesi Selatan telah menandatangani kesepakatan denganperusahaan konsultan Jepang, Nippon Koei, pada 6 Februari 2004.Dengan kesepakatan itu, Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatandan Pemerintah Kabupaten Tana Toraja diharapkan dapat memberidukungan penuh bagi pembebasan tanah di lahan proyek, yangdikenal dengan ‘PLTA Malea’. Proyek ini tak hanya berdampakpada usaha pertanian di lahan hutan milik masyarakat, seperti kayu,kopi, pala, kemiri, kelapa, gula aren, bambu, dan vanilla. Namun,rusaknya sungai Saddang juga bisa mempengaruhi aspek psikologismasyarakat Tana Toraja. Masyarakat itu percaya bahwa cekungansungai di lembah Randanbatu adalah tempat keramat, karena disana sosok Putri Sandabilik, istri Datu Pamula Tana pernah terlihat(Aditjondro 2006a-e).
PT Bosowa Energi, anak perusahaan dari Bosowa Corpora-tion milik saudara ipar Kalla, Aksa Mahmud, memenangkan konsesipembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batubaradi Jeneponto, Sulawesi Selatan. Nilai proyek diperkirakan mencapaiUS$ 195 juta dollar, dan rencananya selesai pada 2009. Listrik sebesar70 MW dari total 200 MW yang dihasilkan pembangkit ini, akandisalurkan ke PT Semen Bosowa di Maros, anak perusahaan laindari Group Bosowa. PT Bosowa Energy juga membangun pusatpembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) untuk membantu produksiSemen Bosowa. Proyek itu bernilai sekitar US$ 7 juta. BosowaCorporation juga memenangkan konsesi lusinan proyek pem-bangunan jalan, termasuk jalan-jalan tol di berbagai penjuruSulawesi. Pembangunan dan pengelolaan jalan tol ditugaskankepada PT Nusantara Infrastructure, di mana pemegang saham
PERDAMAIAN BERORIENTASI LABA
256 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
mayoritas adalah Bosowa Corporation. Di sisi lain, PT BosowaAgro Industries kini memberikan pelatihan bagi para petani untukmengembangkan beragam varietas tanaman padi dan jagung diMaros, Sulawesi Selatan. PT Bantimurung Indah memproduksirumput untuk dieskpor, dan PT Bosowa Isuma terlibat dalam budidaya ikan dan udang. Bosowa Corporation memiliki pula tambakudang seluas 10 ribu are di Kota Mamuju (Aditjondro 2006a-e).
Perampasan, protes dan tindak represifTerlepas dari melimpahnya kekayaan sumber daya alam dan
pesatnya pembangunan industri, Sulawesi Tengah masihmerupakan salah satu provinsi termiskin di Indonesia. Pem-bangunan industri besar-besaran—entah itu agrobisnis, penam-bangan mineral atau pembangunan infrastruktur, tak selalumenciptakan kesejahteraan untuk masyarakat banyak. Sebaliknya,pembangunan malah berarti maraknya aksi penggusuran paksa,dan perampasan lahan, hilangnya tempat tinggal, musnahnyasumber penghidupan, pekatnya pencemaran, kerusakanlingkungan, penerabasan hukum-hukum adat, dan identitas, sertahancurnya tata kehidupan. Penduduk asli jarang memperolehkompensasi. Jikalau mereka mendapatkan kompensasi itu,jumlahnya pun tak sebanding dengan nilai tanah mereka. Kendatiperusahaan-perusahaan, seperti Rio Tinto dan PT Inco selalumenjanjikan dana proyek pembangunan daerah, misalnya, untukpendidikan dan kesehatan; namun, janji itu hanya sebagian kecildari strategi hubungan masyarakat mereka, dan tak sebandingdengan upaya perusahaan itu dalam mengutamakan dan men-dahulukan kesejahteraan para pemegang sahamnya, yang telahkaya raya. Meski begitu, warga Sulawesi tak menerima begitu sajaperampasan tanah, dan penjarahan sumber daya alam mereka.Berbagai kelompok masyarakat terorganisir dengan baik, danbekerjasama dengan organisasi non pemerintah di level lokal dan
257
nasional. Bahkan, dalam beberapa kasus, dengan dukunganjaringan internasional, mereka melakukan aksi protes ke DPRDdan pejabat pemerintahan, serta ke perusahaan-perusahaan terkait.
Sejarah perjuangan rakyat di Sulawesi Tengah melawankebijakan pemerintah yang kerap mengutamakan kepentingan in-vestor bermula di Saseba, Banggai. Penggusuran paksa penduduklokal dari 400 are tanah milik masyarakat berhadapan dengan aksiperlawanan penduduk. Namun, sejak 1982, secara bertahap danmelalui pendekatan perorangan, rakyat Saseba satu persatu‘dibujuk’ dan diintimidasi untuk melepaskan tanahnya kepada PTDelta Subur Permai. Caranya, antara lain, dengan melibatkananggota dari Koramil Batui, serta dengan mengeksploitasikewenangan tradisonal Sultan Banggai.
Sejak 1980an, aksi massa melawan PT Inco kian marak. Baru-baru ini, para penduduk pribumi korban operasi PT Inco diSoroako, bersama dengan para buruh tambang, mahasiwa danorganisasi-organisasi non pemerintah, membentuk ForumSolidaritas Masyarakat Tambang (FSMT). Pada 15-19 September2005, kelompok ini menduduki kantor perwakilan PT Inco diMakassar, Sulawesi Selatan. Sebelumnya, pada 12 September, FMSTberdemonstrasi di DPRD. Para anggota DPRD akhirnya berjanjimembuat pertemuan dengan PT Inco pada 15 September. Namun,para dewan tak mampu menghadirkan para manajer PT Inco dalampertemuan itu. Ratusan anggota FMST yang kecewa, menggeruduksecara massal kantor Inco dan mendudukinya. Pada hari kelima,pendudukan berakhir ketika polisi mengusir paksa para pengunjukrasa dari gedung tersebut (Down to Earth 2005). Dua minggukemudian, lebih dari lima ratus orang memblokade daerahpertambangan PT Inco di Soroako. Tak ayal, para demonstran ituharus berhadapan dengan intimidasi dan provokasi dari para pre-man bayaran. Beberapa orang kemudian ditangkap dan ditahanpolisi selama berjam-jam, sebelum akhirnya dibebaskan.
PERDAMAIAN BERORIENTASI LABA
258 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
Berdasarkan prediksi yang tergambar sejak 1980an, proyekPembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Lore Lindu akanmengakibatkan banjir bandang, yang bisa melanda 10.000 hektarlahan Taman Nasional Lore Lindu, dan sekitar 4.000 pendudukasli, yang selama ini mendiami tanah leluhurnya, akan menjadipengungsi. Pada 1990an, Bank Dunia memutuskan untukmendukung proyek itu, yang malah kian mendongkrak momen-tum bagi pelaksanaan proyek. Tapi, pada 2002, rakyat TamanNasional Lore Lindu mengorganisir diri dengan Yayasan TanahMerdeka, dan akhirnya berhasil mengajak pemerintah provinsiSulawesi Tengah membatalkan niatnya melaksanakan konstruksibendungan raksasa itu di Taman Nasional itu (Sherman 2005).Contoh lainnya tentang keberhasilan aksi protes yang terorganisiradalah konflik akibat dimulainya penanaman kapas transgenik olehMonsanto milik Amerika Serikat, salah satu perusahaan agrobisnisterbesar di dunia, tanpa menjalani Analisis mengenai DampakLingkungan (AMDAL) yang memadai. Perusahaan itu akhirnyadidenda US$ 1,5 juta di negaranya, Amerika Serikat, karena telahterbukti menyuap 140 pejabat di Indonesia antara 1997 dan 2002.37
Namun, tak seperti konflik kapas transgenik yang diatasi melaluicara yang ‘damai’, aksi protes menentang perluasan perkebunankaret milik PT London Sumatera di Bulukumba dinodai dengantindak kekerasan oleh negara. Pada 20 Juli 2003, Brimobmelancarkan tembakan membabi-buta terhadap kelompok petaniyang tengah berjuang memperoleh kembali tanahnya. Aksikekerasan itu membunuh empat orang, dan menyebabkan banyakorang terluka. Sementara itu, 14 orang dari mereka pun ditahankepolisian.
Kasus-kasus di atas hanyalah sebagian kecil contoh tentangpotensi luar biasa mobilisasi penduduk lokal, organisasi buruh,dan para mahasiswa di Sulawesi, pada umumnya, serta khususnya,di Sulawesi Tengah. Menilik kemungkinan tersebut, tak meng-
259
herankan jika Jusuf Kalla sangat khawatir akan dampak daridemokrasi, dan politik yang representatif serta terorganisir. Jikapembangunan ekonomi dan stabilitas dipahami sebagai upayamemberikan kebebasan seluas-luasnya bagi industri bermodal besarmilik pengusaha kaya raya di level lokal, nasional dan internasional,untuk ‘menekan biaya dan menggenjot produksi secara agresif’38,seperti yang juga dilakukan Jusuf Kalla, maka demokrasi—khususnya di daerah dengan penduduk asli yang terorganisir, bakalmenjadi ancaman serius. Selain itu, semakin jelas pula peranpasukan keamanan dalam kondisi tersebut, yang bisa dilihat jelasdari pengalaman menyedihkan penduduk Bulukumba.
Pasukan keamanan—militer dan Brimob—hadir untukmenyediakan perlindungan untuk menjaga kepentingan bisnis danwilayah milik para pengusaha. Para pengusaha itu, termasuk pula,para mantan pejabat pemerintah, yang beralih profesi menjadipengusaha di daerah sedang berkembang ini, untuk meng-ekspolitasi sumber daya alam dan proyek pembangunaninfrastruktur.39 Ketika rakyat di Poso tengah menderita akibatkonflik kekerasan yang mendera, sejumlah perusahaan malahdengan leluasa membangun pertokoan di Poso dan kabupatensekitarnya, berkat perlindungan batalion infantri 711/Raksatama.Awalnya, hanya satu batalion yang ditempatkan di daerah itu.Namun, sejak konflik meletus, batalion berikutnya, 714/SintuwuMaroso, ditempatkan pula di sana. Batalion yang lama ditugaskanuntuk melindungi investasi bisnis di wilayah barat SulawesiTengah, dari Toli-Toli hingga Donggala. Sedangkan batalion 714/Sintuwu Maroso, yang bermarkas di Poso, bertugas melindungipara investor kaya dari Poso hingga Banggai (Aditjondro 2005a).
Empat kelompok bisnis yang menikmati perlindungan militerini, antara lain, kelompok Central Cipta Murdaya (CCM), milikMurdaya Widyawimarta dan Siti Hartati Tjakra Murdaya;kelompok Medco, milik keluarga Arifin Panigoro; kelompok Artha
PERDAMAIAN BERORIENTASI LABA
260 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
Graha, pimpinan Tommy Winata, yang juga melibatkan YayasanKartika Eka Paksi milik TNI—dengan kepentingan bisnis mencakuppengolahan batu kapur dan perkebunan kelapa sawit di kabupatenMorowali; serta kelompok Bukaka milik keluarga Kalla.40
Kelompok CCM merangkul Jenderal Ronny NarpatisutaHendropriyono—putra Letnan Jenderal (purn.) A.M.Hendropriyono- dan mantan Gubernur Sulawesi Tengah, AzizLamadjido, untuk bergabung dalam perusahaannya. Rony danAziz ditunjuk sebagai anggota board PT Hardaya Inti Plantations,yang memiliki 52 ribu hektar perkebunan sawit di Buol dan Toli-Toli. Selain itu, kepentingan bisnis lainnya milik kelompok CCMdi Sulawesi Tengah, di antaranya, konsesi atas lahan seluas 72.500hektar milik PT Bina Balantak Raya di Lamala Balantak, Banggai,serta pabrik semen di Donggala, dengan nilai investasi sebesar Rp150 trilyun, di bawah bendera PT Cipta Central Murdaya Semen(Aditjondro 2006a-e).
Adakah korelasi antara penempatan batalion-batalion militerdengan dibukanya lahan bisnis baru? Tentu saja ada. Di Seseba,Banggai, para petani berkali-kali berunjuk rasa menentang peram-pasan tanah dan areal kolam milik mereka oleh para pengusaha lokal.Pada 3 Oktober 2002, sekitar 35 petani dari Seseba melaksanakanaksi mogok makan di DPRD Provinsi Sulawesi Tengah di Palu.Bertujuan untuk menakuti para demonstran, sekitar 125 anggotatentara dan kepolisian menggelar latihan militer di Batui. Lokasipelatihan itu sangat dekat dengan Seseba, serta melibatkan BupatiBanggai, Komandan Kodim, Kapolda, dan sejumlah pejabatpemerintahan lainnya. Latihan militer itu awalnya bermaksudsebagai intimidasi terhadap penduduk Seseba, yang kehilangan lahanperkebunan dan tempat tinggal seluas 200 hektar, gara-garapembangunan fasilitas perumahan bagi para pegawai Pertamina.Kelompok Bukaka juga memperoleh keuntungan dari perlindunganmiliter di Poso. Khususnya, sejak aksi pemboman di Tentena, yang
261
berujung dengan penempatan pasukan keamanan di desa Soajo, yangbersebelahan dengan PLTA Poso-1 dan Poso-2 milik Bukaka.
Dekatnya relasi antara modal dan militer kian kentara setelah650 anggota Front Advokasi PLTA&SUTET (FAPS) dari sebelasdesa yang berlokasi di sepanjang Sungai Poso, berunjuk rasa didesa Sulewana pada 18 April 2006. Mereka menuntut, pembangunanPLTA segera dihentikan sebelum PT Bukaka Teknik Utamamenyelesaikan sengketa tanah di wilayah itu.41 Bukaka memintawaktu dua minggu untuk memenuhi tuntutan FAPS itu. Namun,militer segera bertindak. Pada 20 April 2006, batalion 714/SintuwuMaroso melakukan manuver militer dekat kamp pengungsian Poso,di bekas bandar udara kota Tentena. Pada 19 April 2006, anggotapasukan ditempatkan di Tentena, ibu kota Kecamatan PamonaUtara, dengan mengendarai kendaraan milik PT Bukaka.
Aceh: Demokrasi, perdamaian…. dan labaBeragam bukti empiris menunjukkan bahwa logika utama di
balik upaya perdamaian gaya Kalla adalah mendorong tersedianyabisnis yang menguntungkan bagi semua pihak yang terlibat,dengan mengorbankan demokrasi (melalui elitisme, rendahnyaakuntabilitas, perilaku suap dan korupsi, penindasan, intimidasi,dan eksploitasi rakyat kecil) dan pembangunan berkelanjutan.Organisasi-organisasi masyarakat sipil yang pro-demokrasi didaerah konflik, umumnya tak diikutsertakan dalam prosesperdamaian.
Terdapat berbagai alasan untuk meyakini bahwa kecen-derungan sama juga berlangsung di Aceh. Padahal, seperti yangdibahas pada Bab 1, di Aceh, Jusuf Kalla dan Susilo BambangYudhoyono mulanya sempat menerapkan strategi serupa denganupaya mereka di Maluku dan Poso. Namun, ketika itu, GAMmenolak dikooptasi melalui kesepakatan antar elit semacam itu.Kemudian, terjadilah tsunami dan hadirlah keterlibatan dunia
PERDAMAIAN BERORIENTASI LABA
262 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
internasional. Kehadiran kalangan internasional itu mampusedemikian rupa menghambat upaya gencar kalangan bisnis danmiliter untuk memanfaatkan situasi seluas-luasnya, pasca tsunami.Selain itu, berikut faktor-faktor lainnya yang telah dibahas padaBab 1, proses perdamaian di Aceh memberi peluang bagi perjuangansecara demokratis, dan menghasilkan solusi. Tapi, di sisi lain,melalui pemaparan bukti-bukti empiris berikut ini, kian tampakjelas berbagai upaya eksploitasi bisnis yang difasilitasi kalanganpolitik dan militer juga tengah berlangsung di Aceh. Dinamika diAceh akan segera mencerminkan kondisi yang telah terjadi diMaluku dan Poso, ketimbang menunjukkan upaya menghambatperilaku politik gaya Indonesia yang tak demokratis, dandidominasi oleh modal.
Menuai laba dari proses rekonstruksi pasca-Helsinki di Aceh 42
Meskipun kontrol pemerintah dan lembaga donor lebih besardibandingkan dengan daerah bencana lain di Indonesia, rekons-truksi pasca-tsunami di Aceh, sejak penandatanganan MoU Helsinkipada 15 Agustus 2005, memberi kesempatan bagi konsolidasi aliansikepentingan bisnis asing dan domestik di daerah ini. Kepentinganbisnis domestik itu secara substansial melibatkan pula kepentinganmiliter. Sebagian besar dana bantuan kemanusiaan dan rekonstruksimenguap begitu saja dan alokasi dana proyek tak diikuti olehtransparansi yang memadai. Korupsi masih menjadi endemi dalamtubuh birokrasi—dan seperti diakui para aktor politik kunci diAceh, perilaku korupsi adalah elemen ‘yang tak terhindarkan’dalam proses transisi menuju pemerintahan-sendiri (lihat Bab 8dalam buku ini). Sementara itu, aneka perusahaan internasional,nasional, dan lokal telah bersiap untuk melanjutkan eksploitasisumber daya alam di Aceh seperti minyak, gas, dan mineral. Baikpemerintah daerah maupun pemerintah pusat berminat mem-perluas agrobisnis, khususnya kelapa sawit, dan bekas kader-kader
263
GAM sudah mengincar pihak Malaysia untuk diajak bekerjasama.Persaingan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah bakalmemanas, karena tak jelasnya pembagian tanggung jawab di dalamregulasi perencanaan dan investasi di bawah Undang-UndangPemerintahan Aceh (UUPA).
Struktur kepemilikan bisnis di Aceh ibarat piramida. Bisnisasing berada di puncak, yang kemudian ditempel ketat olehperusahaan domestik kakap milik para elit. Urutan berikutnyaadalah perusahaan milik negara. Setelah itu, menyusul pulaperusahaan milik pengusaha Aceh, seperti Surya Paloh danMuzakir Manaf. Usaha Kecil dan Menengah (PKM) milik parapengusaha lokal menduduki urutan selanjutnya, dan di posisiterakhir, para petani dan nelayan kecil, yang sebagian besarterancam tertindas oleh semua perusahaan di atasnya.
Sektor unggulan pasca-tsunami—industri mineral, minyak bumi dan gasalam
Perusahaan terbesar di posisi puncak piramida bisnis di Acehadalah ExxonMobil. Perusahaan itu telah beroperasi di Aceh lebihdari tiga dekade, yang meliputi ladang gas alam lepas pantai diLhok Sukon dan PT Arun LNG, yang mengolah gas alam bersamaPertamina, perusahaan minyak dan gas milik negara Indonesia.PT Arun mengekspor LNG ke Jepang dan Korea Selatan. Meskipunturut terpengaruh berbagai pelanggaran hak asasi manusia di eraDOM—serta menikmati pula hubungan mesra dengan militer,ExxonMobil terus beroperasi di Aceh.
Kendati begitu, perusahaan minyak dan gas raksasa lainnyaasal Amerika Serikat kini tengah mengikuti proses penawarandengan peluang investasi yang besar. Mereka mulai mendekatipemerintahan provinsi Aceh melalui fasilitasi USAID. Kepentinganindustri minyak bumi dan gas alam Amerika Serikat di Aceh jugaditunjukkan akhir-akhir ini, melalui pembukaan politeknik baru
PERDAMAIAN BERORIENTASI LABA
264 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
di Banda Aceh—via program “The Vocational Training for Aceh”,yang disponsori USAID, dan salah satu perusahaan minyakterbesar di dunia, ChevronTexaco, dengan dana mencapai US$ 10milyar (Aditjondro dan Purwanto 2008).
Sejak penandatanganan MoU Helsinki, sektor pertambangantelah berkembang, melampaui eksplorasi dan eksploitasi minyakbumi dan gas alam. Perusahaan tambang internasional telahmemenangkan kontrak tambang emas dan tembaga. Perusahaantambang Kanada, East Asia Mineral Corporation, berencanamenambang emas dan tembaga di pengunungan Aceh Tengah,tepatnya di kecamatan Bintang, Linge, Ketol, dan Rusep Antara.Sementara itu, perusahaan Amerika Serikat, Dutch Philips, tertarikmeraih konsesi pertambangan di Kabupaten Aceh Barat Daya.Selain itu, diduga pula perusahaan tambang raksasa AmerikaSerikat, Freeport McMoran, perusahaan yang juga menambangtembaga, emas, dan perak di Papua, tengah bernegosiasi denganpengusaha dan politisi kelahiran Aceh, Surya Paloh, agar bisamengeksplorasi cadangan emas di Beutong Ateuh. Paloh adalahKetua Dewan Penasihat Golkar dan teman dekat presiden SusiloBambang Yudhoyono.
Surya Paloh bukan pendatang baru di kancah bisnis Aceh.Perusahaan cateringnya, PT IndoCater dengan tenaga kerja lebihdari 3.000 orang, menangani kebutuhan logistik perusahaan TNCraksasa, seperti ExxonMobil di Lhokseumawe dan PT Pupuk Kaltimdi Kalimantan Timur. PT IndoCater memperoleh kredit besar dariBank Bumi Daya untuk memperluas kepentingan bisnisnya, berkatjabatan Paloh sebagai Ketua Forum Komunikasi Putra-PutriPurnawirawan Indonesia (FKPPI), dan kedekatannya dengankeluarga Soeharto. Dengan melimpahnya proyek rekonstruksi dikampung halamannya, semakin banyak pula peluang bisnisbaginya. Modal investasi untuk mendirikan perusahaan baru diAceh, sebagian diperoleh dari sumbangan pemirsa stasiun televisi
265
miliknya, Metro TV, sebesar Rp 200 milyar. Dana itu sebelumnyabertujuan untuk membantu korban tsunami Desember 2004 di Aceh.Dana tersebut dikelola Yayasan Sukma milik Paloh, yang memilikiperan resmi sebagai penyandang dana kegiatan amal. Misalnya,pembangunan kembali gedung sekolah di desa-desa yang terkenatsunami dan gempa bumi.
Rehabilitasi, rekonstruksi…..dan korupsiDalam sebuah konferensi pers pada 3 Mei 2007, Wakil
Koordinator Indonesian Corruption Watch (ICW), Ridaya Laode‘Ngkowe, mengungkapkan, investigasi ICW menemukan bahwasekitar Rp 436 milyar dari Rp 847 milyar lebih dana rehabilitasi danrekonstruksi, yang dikelola Badan Rehabilitasi dan RekonstruksiAceh-Nias (BRR NAD-Nias), disalurkan dengan cara-cara koruptif.Di antaranya, melalui mark-up harga barang dan bahan-bahanbangunan, sehingga biaya pun melambung. Para aktivis anti-korupsi Aceh juga mengecam para staf di kantor BRR NAD-Nias.Penyebabnya adalah tindak manipulasi dalam proyek yang didanaiBRR NAD-Nias, yang dilakukan oleh staf BRR bekerjasama denganperusahaan percetakan fiktif.
Beragam kelemahan BRR Aceh-Nias diperparah denganrendahnya independensi ketuanya, Kuntoro Mangkusubroto, sertabeberapa anggota steering committee dan badan pengawas. KuntoroMangkusubroto terhitung memiliki rekam jejak bagus, tetapi diajuga anggota board PT Holcim Indonesia Tbk—pabrik semenberpusat di Jawa, yang memiliki kepentingan bisnis di Aceh pasca-tsunami. Sedangkan Aburizal Bakrie dan Surya Paloh yang dudukdi steering committee, serta TB Silalahi, anggota badan pengawas,masing-masing memiliki hubungan dengan kelompok Bakrie, Me-dia Group, dan kelompok Artha Graha.
Rendahnya kualitas perumahan yang dibangun bagi parakorban tsunami di bawah BRR NAD-Nias telah menyulut
PERDAMAIAN BERORIENTASI LABA
266 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
gelombang demonstrasi massal. Dengan menyodorkan bukti-buktiyang dikumpulkan koalisi organisasi anti-korupsi, termasuk ICW,para pengunjuk rasa menuntut Presiden Susilo BambangYudhoyono memecat Kuntoro Mangkusubroto sebagai ketua BRRNAD-Nias. Persoalan kian runyam ketika korupsi juga terjadidalam proyek-proyek serupa, yang didanai NGO internasional,antara lain, Oxfam dari Inggris dan NGO Belanda Terre des Hommes.Namun, menurut temuan ICW, korupsi dalam proyek yang didanaiNGO tersebut, jumlahnya masih jauh lebih kecil, dan tak sebandingdengan korupsi dalam proyek yang dilaksanakan BRR NAD-Nias.
Menilik rentannya pengucuran dana terhadap praktekkorupsi, patut dicatat, Kalla dan Yudhoyono juga ditudingmenyalahgunakan kekuasaannya dalam belanja dana publik. Salahsatunya, impor 12 helikopter untuk digunakan pada waktu bencanaalam. Tapi, Menteri Keuangan Sri Mulyani menolak mengalokasikanuang negara untuk membeli helikopter itu. Armada helikopter itukemudian disita pejabat kantor bea cukai Indonesia, karenaprodusen helikopter yang memiliki piutang pada negara itu, ternyatajuga memiliki hutang bea impor sebesar Rp 2,1 milyar kepadapemerintah. Padahal sebagian helikopter tersebut telah digunakanuntuk membantu korban banjir di Aceh Tamiang.
Berapakah bantuan dana rekonstruksi yang dinikmati rakyat Aceh digampong?
Selain korupsi dana bantuan oleh jaringan staf BRR NAD-Nias dengan para kontraktor, rakyat Aceh juga tidak memperolehkeuntungan sebanyak yang tercatat dalam laporan keuanganSebab, setidaknya 60% dana rehabilitasi dan rekosntruksi yangdialokasikan untuk Aceh itu, setiap tahun justru ‘meninggalkan’provinsi itu. Menurut Nova Iriansyah dari Lembaga PengembanganJasa Konstruksi (LPJK) kira-kira Rp 30 trilyun akan terkumpulsetelah alokasi dana dari anggaran nasional, provinsi, dan BRR
267
NAD-Nias. Dari total dana itu, sekitar Rp 12 trilyun dialokasikanuntuk pekerjaan rekonstruksi yang tengah berjalan. Dari jumlahitu, hanya 40% yang diserap oleh ekonomi lokal di Aceh, sedangkan60% dana itu terbang keluar dari provinsi itu. Menurut pengamatanLPJK Aceh, arus berbalik dana bantuan rekonstruksi ini disebabkanoleh empat faktor. Pertama, sebagian besar tender proyek di-menangkan kontraktor dari luar Aceh; kedua, pekerjaanrekonstruksi acap disubkontrakkan lebih lanjut kepada per-usahaan-perusahaan dari luar Aceh; ketiga, sebagian besar pekerjaberasal dari luar Aceh; dan keempat, sebagian besar bahan mate-rial bangunan didatangkan dari luar Aceh.
Fakta yang menunjukkan bahwa 40% dari anggaranrekonstruksi digunakan di Aceh pun melahirkan pertanyaan lain:berapakah jumlah dana bantuan itu yang mengalir kepada rakyatkecil di gampong—wilayah pedesaan Aceh? Atau, dengan bahasayang lebih umum: Dari trilyunan rupiah yang membanjiri Aceh,berapakah penggunaan dana untuk meningkatkan taraf hidup danmemperbaiki kehidupan rakyat Aceh di desa, yang juga mayoritaspenduduk di Aceh?
Pembangunan kembali infrastrukturProyek rekonstruksi sarana infrastruktur penting yang rusak
akibat tsunami Desember 2004 seringkali dilaksanakan perusahaankontraktor milik negara dan dikelola di bawah naungan DepartemenPekerjaan Umum. Misalnya PT Wijaya Karya, PT PP, PT WaskitaKarya, PT Adhi Karya, PT Istaka Karya, PT Hutama Karya dan PTNindya Karya. PT Wijaya Karya milik Yayasan Budha Tzu Chi adalahkontraktor utama sekaligus kontraktor tunggal, yang bertanggungjawab atas pembangunan perumahan berdinding asbes di BandaAceh dan Meulaboh. PT PP juga dipilih sebagai kontraktorpembangunan sejumlah gedung, yang didanai dari sumbanganpembaca Kompas, koran harian terbesar di Indonesia.
PERDAMAIAN BERORIENTASI LABA
268 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
Terlepas dari dominasi perusahaan konstruksi milik negara,sejumlah perusahaan swasta, dan perusahaan lokal juga turutmemenangkan berbagai kontrak, khususnya proyek pembangunanjalan. Contohnya, pengusaha lokal, H.T. Alaidinsyah, juga dikenalsebagai Haji Tito, adalah satu-satunya kontraktor lokal berdarahAceh, yang memiliki alat-alat berat untuk pembangunan jalan danjembatan. Sayang, jalan yang dibangun pengusaha lokal iniberkualitas buruk. Situasi ini mungkin ada hubungannya dengansikapnya yang selalu siap sedia ‘melayani’ para politisi dan birokrattingkat kabupaten dan provinsi. Sementara itu, Pemerintah Jepangdan Amerika Serikat terlibat dalam pembangunan jalan di PantaiBarat, dari Banda Aceh hingga Meulaboh.
Selanjutnya, menurut sumber di kantor WALHI Aceh (WahanaLingkungan Hidup), dalam sebuah wawancara di Aceh pada 9 April2007, PT Mega Power Mandiri—anak perusahaan Bukaka Groupmilik saudara-saudara Jusuf Kalla—memenangkan tenderpembangunan PLTA Peusangan I dan II di Sungai Peusangan.
Rekonstruksi jutaan tempat tinggal dan bangunan lainnyamenciptakan pangsa pasar luar biasa bagi beberapa produsen se-men, seperti PT Semen Andalas Indonesia (PT SAI), yang memilikijaringan distribusi luas di Aceh. Namun PT SAI bersaing ketatdengan produk semen dari perusahaan lainnya, antara lainperusahaan produsen semen dari Jawa, seperti PT IndocementTunggal Prakarsa Tbk dan PT Holcim Indonesia Tbk (sebelumnyadikenal sebagai PT Semen Cibinong), serta PT Semen Padang,sebuah perusahaan semen milik negara yang berpusat di SumateraBarat. Kedua produsen semen dari Jawa itu sebelumnya adalahmilik keluarga besar Soeharto. PT Holcim Indonesia juga menikmatikeuntungan di Aceh dan Nias karena Ketua BRR NAD-Nias,Kuntoro Mangkusubroto, adalah salah satu komisaris PT HolcimIndonesia Tbk sejak Desember 2001.
269
Mensuplai ‘ekonomi bencana’Tumpah-ruahnya kalangan ekspatriat yang terlibat dalam
bantuan kemanusiaan, rehabilitasi dan pekerjaan rekonstruksimeningkatkan pula permintaan terhadap hotel, kafe, restoran,warung kopi, dan alat-alat komunikasi termutakhir. Swiss-BelhotelInternasional mendirikan cabangnya di Banda Aceh, dan pada Juni2007, diambil alih oleh Hermes Thamrin, CEO Nokia Indonesia.Nama hotel itu kemudian berubah menjadi Hotel Hermes. Hoteldengan tarif lebih murah adalah Oasis, milik Todung Mulya Lubis,pengacara bisnis terkemuka di Jakarta, dan aktivis hak asasimanusia; serta rekan bisnisnya, John Sinaga, seorang arsitek danpemilik Hotel Silintong di Pulau Samosir, Danau Toba. Restoran-restoran siap saji seperti KFC, A&W, Pizza Hut, Pizza Hut, PizzaHouse, dan Texas Fried Chicken juga bermunculan di Banda Aceh.Beberapa pengungsi Aceh, yang pulang dari Malaysia, jugamembuka restoran Melayu roti canai mamak dan restoran Thailandtom yam.
Berbeda dengan daerah lainnya di Indonesia, di mana mobilproduksi Jepang dan Korea Selatan mendominasi pasar, di Aceh,justru dealer mobil produk Eropa Barat dan Amerika Utara yangbersaing ketat. Booming kegiatan penyaluran bantuan kemanusiaan,rehabilitasi dan rekonstruksi juga menyuburkan pangsa pasar bagisejumlah maskapai penerbangan. Salah satunya, Lion Air, maskapaipenerbangan swasta yang dirintis adik Kalla, Halim Kalla; sertaSusi Air milik Susi, pengusaha perempuan yang memasarkan udangdari Pangandaran, Jawa Barat.
Bisnis Militer—berulangnya pola lamaSelama masa tanggap darurat, militer berperan penting, dan
di sejumlah tempat, perannya sangat menentukan dalammemonopoli bantuan kemanusiaan. Di awal periode rehabilitasidan rekonstruksi, TNI juga terlibat dalam pembukaan jalan dari
PERDAMAIAN BERORIENTASI LABA
270 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
Teunom ke Arongan di Aceh Barat. Meskipun militer tampaknyatak memiliki kepentingan bisnis luas di Aceh Barat, merekamenyediakan jasa pengamanan bagi operasi penambangan batubara dan emas milik Surya Paloh.
Bisnis militer dapat diidentifikasi sebagai berikut. Bisnis yangberafiliasi dengan institusi militer, bisnis milik kerabat atau anggotakeluarga para petinggi militer, serta penyewaan peralatan militerke perusahaan swasta. Salah satu contohnya, pusat penggergajiandi Jalan Kotalintang Bawah, Kota Kuala Simpang, Kabupaten AcehTamiang. Di sana, kayu gelondongan, baik berasal dari operasipenebangan legal maupun pembalakan ilegal, digergaji menjadilempengan kayu dan dijual ke publik. Contoh lain, kasus anak-anak mantan komandan di daerah. Seperti layaknya anak-anakdari kalangan elit berpengaruh di tingkat kabupaten dan provinsi,anak-anak para mantan komandan itu mereguk laba dari danarekonstruksi, antara lain, dengan menggunakan jalur kroni, sepertiDek Gam dan Dek Cut, melalui PT Sinar Desa, dan MarzukiBintang.
Seperti yang dikemukakan Aryos Nivada dalam laporannyauntuk Research Institute for Democracy and Peace (RIDEP) di Jakarta(2007), militer masih terlibat di sejumlah bisnis legal dan ilegal diAceh, sejak tsunami 2004 menerjang wilayah dan penduduk di Aceh,bahkan pasca penandatanganan MoU Helsinki. Misalnya,perdagangan ilegal minuman alkohol di Aceh Tamiang olehorganisasi pemuda, yang dilindungi militer. Banjir yang melandaAceh Tamiang pada Desember 2006, yang disebabkan pembalakankayu ilegal di Taman Nasional Gunung Leuser, juga hasil perbuatanpara anggota militer. Baik tentara maupun polisi juga menagihuang perlindungan dari para kontraktor, melalui cara formalmaupun informal. Terakhir, tak boleh dilupakan pula, perusahaanyang didirikan di era rezim Soeharto. Perusahaan-perusahaan yangsebelumnya dimiliki keluarga Soeharto dan kroni-kroninya itu,
271
biasanya juga melibatkan anggota purnawirawan tentara.Misalnya, PT Tusam Hutani Lestari, pemegang konsesi penebangankayu di dataran tinggi Gayo dekat Takengon, Aceh Tengah, adalahmilik Jendral (Purn.) Prabowo Subianto43 dan adiknya, HasyimDjojohadikusumo (Swasembada 24 November-3 Desember 2008: 114). Perusahaan ini dan perusahaan lainnya yang sejenis terancamoleh keputusan Gubernur Irwandi yang menerapkan moratoriumbagi seluruh kegiatan penebangan kayu di Aceh, baik yang legalmaupun ilegal. Akibatnya, pemasukan di luar anggaran resmi danpenghasilan yang sebetulnya merupakan pemasukan ilegal, dariperusahaan yang dibekingi atau dimiliki militer di Aceh, punmenurun. Berkurangnya pendapatan tersebut barangkali merupa-kan penyebab di balik meningkatnya kerusuhan oleh para milisidi pantai timur Aceh, yang merupakan lokasi sebagian besarindustri raksasa. Berbagai insiden, yang didukung pula oleh faksi-faksi dalam pasukan keamanan—baik tentara maupun polisi—bisadianggap sebagai upaya meningkatkan posisi tawar mereka dalammenagih bayaran jasa perlindungan kepada ExxonMobil.
Kelompok bisnis bekas gerilyawan GAMSejak penandatanganan MoU antara perwakilan negara In-
donesia dan GAM, bekas petinggi GAM dan sayap militernya,Tentara Nasional Aceh (TNA) mulai mengincar pembangunanekonomi. Titik berat mereka adalah mempererat hubungan ekonomiAceh dengan Malaysia. Perusahaan, atau kelompok perusahaanmilik mantan gerilyawan GAM yang paling terkemuka adalah PuloGadeng Group pimpinan Tengku Muzakkir Manaf, bekaskomandan TNA. Pada saat penyusunan tulisan ini, MuzakkirManaf memimpin Komite Peralihan Aceh (KPA), badan yangdibentuk untuk memfasilitasi transisi para bekas gerilyawan GAMke dalam kehidupan sipil di Aceh.
Pulo Gadeng Group menggunakan pelabuhan bebas Sabang,
PERDAMAIAN BERORIENTASI LABA
272 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
yang terletak di pulau Weh, sebelah utara daratan Aceh, untukmengekspor kelapa, buah pinang, dan cokelat dari Sabang dan daridaratan Aceh ke Malaysia. Selain itu, kelompok usaha tersebut jugamengimpor mobil-mobil mewah, baik yang baru maupun bekaske wilayah itu. Dalam perjalanan perdananya dari Malaysia ke Aceh,kapal Malaysia, Jatra III, mengangkut mobil-mobil mewah untukdigunakan para petinggi GAM di Aceh. Irwandi Yusuf, yang jugabekas pimpinan GAM, kemudian menetapkan kebijakan untukmembuka provinsi itu bagi para investor asing. Menanggapikebijakan tersebut, dalam konferensi pers di Lhokseumawe pada 8April 2007, Muzakkir Manaf mengumumkan rencana bisnis baruPulo Gadeng Group. Rencana tersebut, di antaranya, pendirianpabrik baja ringan di Krueng Raya (Aceh Besar). Pabrik iniditargetkan mampu memenuhi kebutuhan konstruksi 30.000rumah bagi korban tsunami di Pidie, Aceh Besar, serta kota BandaAceh dan sekitarnya. Proyek lainnya, berlokasi di kompleks industriyang sama di Krueng Raya, adalah pusat pengolahan makananhewan dan pabrik plastik.44
Perusahaan lain yang melibatkan bekas tentara GAM, meliputiAceh World Trade Centre (AWTC) Dagang Holding, PT AneukNanggroe Expedition Bireun, PT Megah Mulia, dan PT HalimunMeugah Raya. Direktur AWTC adalah bekas pimpinan GAM untukwilayah Malaysia dan Australia, Nurdin Abdul Rahman. Bekaskomandan GAM lainnya juga mendirikan berbagai perusahaan,baik untuk keuntungan mereka sendiri maupun bagi parapendukungnya. Ketua KPA daerah Pase, Tengku Zulkarnaen,mengkoordinasi pembentukan perusahaan dagang dan bengkel didaerah Pase dan Lhokseumawe, antara lain, dengan meminta iurandari masing-masing bekas anggota TNA sebesar Rp 12 juta. Anak-anak perusahaan itu tersebar luas di berbagai wilayah di daerahPase, seperti Kecamatan Matangkuli, Gendong, Pantonlabu, TanahJambo Aye dan Sawang. Sementara itu Teungku Nashiruddin bin
273
Ahmed, salah satu anggota tim perunding GAM di Helsinki,mendirikan perusahaan penyedia bahan bangunan miliknya danaktif dalam multi-level marketing.
Berkembangnya bisnis bekas komandan dan petinggi GAMtelah melahirkan rasa tak puas di kalangan level bawah bekasanggota gerilyawan, karena terbatasnya ‘kucuran’ laba. Tak sedikitbekas prajurit TNA di level terendah adalah kelompok termiskin dikalangan masyarakat miskin di Aceh. Sebagian besar terpaksamenganggur dan kebanyakan dari mereka juga kehilangan rumahdalam tragedi tsunami 2004. Di bekas kabupaten Aceh Barat, yangkini telah dimekarkan menjadi kabupaten Nagan Raya dan AcehJaya, para bekas panglima daerah TNA (panglima sagoe danpanglima wilayah) direkrut sebagai kontraktor pembersihan lahandan jasa keamanan di perusahaan-perusahaan tambang. Hal serupajuga terjadi di wilayah tambang batu bara milik Surya Paloh diNagan Raya. Di daerah itu, Juragan, bekas panglima wilayah dankini ketua KPA Nagan Raya—dipekerjakan oleh Surya Paloh untukkeperluan pembukaan lahan dan keamanan. Sedangkan di AcehBarat, perusahaan tambang batubara, PT Agrabudi, juga mem-pekerjakan panglima sagoe untuk tujuan serupa.
Kendati begitu, di Aceh Jaya, peran bekas panglima sagoe tidakmelulu tampak pro-bisnis. Toh, para bekas gerilyawan, yangsekarang anggota KPA di tingkat lokal, terlibat dalam rangkaiankonsultasi antara PT Bosowa Megalopolis, pemerintah daerah danpenduduk desa di Kecamatan Panga. Tindakan perusahaan yangmempekerjakan bekas panglima GAM sebagai kontraktor jasakeamanan dan pembukaan lahan—atau sebagai calo—dapatmerusak hubungan yang sempat terjalin antara bekas pejuanggerakan kemerdekaan dan masyarakat akar rumput. Pasalnya, dimasa lalu, rakyat turut melindungi anggota GAM dari pasukankeamanan Indonesia.
Kebijakan yang lebih baik dalam membantu transisi bekas
PERDAMAIAN BERORIENTASI LABA
274 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
tentara GAM memasuki dunia bisnis secara damai terlihat darirencana pemerintah Kabupaten Aceh Jaya. Pemerintah kabupatenitu memberikan dua hektar perkebunan kelapa sawit kepada bekastentara GAM yang bergabung dengan KPA. Terlepas dari penge-cualian yang kecil ini, secara keseluruhan bisa disimpulkan,kebijakan paling pragmatis dalam transformasi bekas unit gerilyaadalah akhirnya mengubah unit militer menjadi unit bisnis. Parapengusaha itu tampaknya mengabaikan pengalaman di masa lalu,dan tak belajar dari buruknya sejarah tentara Indonesia dan perandwi fungsinya, ataupun berkaca dari proses transisi bekasgerilyawan di Timor Leste (Aditjondro 2007a, 2008b).
Kelapa sawit, primadona Aceh?Bekas tentara GAM dan pemerintah Aceh sangat berhasrat
untuk menjalin bisnis dengan Malaysia. Sejak dibuka jalurpenerbangan antara Banda Aceh dan Malaysia, pemerintahKabupaten Aceh Utara mulai merintis investasi dengan Malaysia.Pemerintah kabupaten kemudian mengundang perusahaan Ma-laysia, Metro Panjang, untuk mendirikan pabrik pengolahanminyak sawit, dengan menggunakan tank-tank CPO (Crude PalmOil—minyak sawit mentah) di pelabuhan Krueng Geukeh. Selainitu, menurut Bupati Pelaksana Harian Aceh Utara, Teuku Pribadi,Metro Panjang juga berencana mengembangkan potensi perikanandi kabupaten tersebut. Kebijakan Gubernur Irwandi yang mem-buka investasi dengan Malaysia, disambut hangat perusahaanminyak sawit Malaysia. Kelompok perusahaan Malaysia itumendirikan Aceh Plantation Development Authority (APDA), yangbekerjasama dengan para pebisnis Aceh. APDA berencana membuka145.000 hektar perkebunan kelapa sawit di provinsi Aceh, yangdidukung oleh Yayasan Pembangunan Ekonomi Malaysia.Perkebunan ini akan mensuplai buah kelapa sawit kepada 13 pabrikCPO, dengan total investasi sebesar US$ 488 juta. Pada 31 Maret
275
2007, Menteri Keuangan Malaysia, Hilmi bin Haji Yahya, mengun-jungi Aceh. Ketika itu, bersama Wakil Gubernur Muhammad Nazar,Menteri Keuangan Malaysia diajak tur dengan helikopter kebeberapa kabupaten. Kunjungan tersebut kian mematangkanrencana Malaysia berinvestasi di bidang perkebunan kelapa sawitdan pengelolaan tambak udang. Pada waktu tulisan ini disusun,sekitar tiga puluh perusahaan telah membuka hampir 130.000 hektarperkebunan kelapa sawit. Situasi ini dikhawatirkan akan meng-ancam keseimbangan ekologis hutan di Aceh, yang telanjur rentan.Lahan perkebunan tersebut juga dimiliki orang Indonesia. Diantaranya, 7.000 hektar milik PT Woyla Raya Abadi, milik mantanGubernur Aceh, Abdulah Puteh; 7.000 hektar atas nama PT DelimaMakmur dan lebih dari 3.000 hektar di bawah PT Sisirau, keduanyadimiliki pengusaha asal Aceh dan bekas orang kepercayaan Soeharto,Ibrahim Risyad; serta lebih dari 8.000 hektar atas nama PT GeloraSawita Makmur, milik keluarga Jenderal (Purn.) Bustanil Arifin,salah satu orang kepercayaan Soeharto, dan dulu mengelolayayasan Soeharto yang kaya raya itu.
Meskipun telah mengeluarkan moratorium terhadap segalabentuk penebangan kayu, Irwandi Yusuf tak memperhatikandengan serius, berbagai dampak yang timbul dari pembukaanhutan Aceh bagi perkebunan kelapa sawit. Implikasi serupadihadapi oleh Dataran tinggi Gayo yang kian terjepit olehperkebunan kelapa sawit dan pesatnya pengembangan budidayatanaman kopi. Selain kopi, emas, dan kelapa sawit, para investorasing juga tertarik pada Dataran Tinggi Gayo karena mengincarpotensi pembangunan PLTA di Sungai Peusangan, yang mengalirdari Danau Lot Tawar. Pembangunan pembangkit tenaga listrikitu dipastikan akan berdampak negatif, karena di danau itu, ratusanpetani lokal telah mengembangkan budidaya ikan kerapu dalamkaramba selama bertahun-tahun.
PERDAMAIAN BERORIENTASI LABA
276 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
KesimpulanBegitu banyak bukti empiris yang mendukung argumen
bahwa logika utama di balik perdamaian, yang ingin diciptakanKalla di Maluku dan Sulawesi Tengah, terkandung maksud untukmendorong bisnis dengan laba menggiurkan bagi pihak-pihakutama yang terlibat. Baik para milisi lokal dan kalangan elit yangsaling bertikai, maupun kalangan militer dan bisnis kelas kakap.Upaya semacam itu mengorbankan kepentingan rakyat kecil danpembangunan berkelanjutan. Proses perdamaian itu kemudianmelahirkan elitisme, rendahnya akuntabilitas, defisit demokrasi yangserius, korupsi, kolusi dan nepotisme, serta konflik baru mem-perebutkan berbagai keistimewaan.
Seperti yang diuraikan pada Bab 1 dan penjelasan lainnyadalam buku ini, strategi ‘perdamaian berorientasi laba’ di Acehsempat terhambat sedemikian rupa, akibat keterlibatan duniainternasional dalam kegiatan bantuan kemanusiaan dan rekons-truksi pasca-tsunami. Keterlibatan itu juga memberi kesempatanterbentuknya bingkai demokrasi berdasarkan MoU Helsinki, yangditerapkan dengan konsistensi luar biasa. Kendati begitu, sepertiyang diuraikan panjang lebar dalam Bab ini, dinamika serupa didaerah lain, juga akhirnya terjadi di Aceh dan tampaknya akanterus berkembang. Berbagai proyek bisnis menguntungkan, yangdifasilitasi melalui kepentingan militer dan politik, terus tumbuhpesat. Kecenderungan ini kian memburuk seiring berkurangnyaketerlibatan donor internasional. Sementara itu, di saat bersamaan,perusahaan-perusahaan raksasa memanfaatkan infrastruktur baruuntuk mengeksploitasi bahan-bahan mentah dan lingkungan didaerah tersebut. Situasi semacam itu bakal berlanjut, jika kerangkakerja demokrasi, yang dimulai MoU Helsinki tak mampudikembangkan. Padahal pengembangan kerangka kerja demokrasiitu bertujuan, agar kepemimpinan baru yang demokratis, institusidemokrasi, dan partisipasi rakyat bisa merumuskan pedoman
277
pelaksanaan alternatif, demi tercapainya pembangunan ekonomidan sosial yang berkelanjutan dan berbasis pada pemenuhan hakasasi warga negara.
PERDAMAIAN BERORIENTASI LABA
278 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
(Catatan Akhir)1 Penulis utama (SAP) ingin mengucapkan terima kasih kepada
beberapa teman di daerah-daerah konflik, yang namanya tidakbisa disebutkan demi alasan keamanan, yang secara langsungmaupun tak langsung telah membantu akses di lapangan danpengumpulan data sekunder. Secara khusus, SAP ingin menyam-paikan terima kasih sedalam-dalamnya kepada George JunusAditjondro, yang telah memberikan izin untuk menggunakanberbagai tulisan dan penelitiannya sebagai bahan tulisan dalambab ini. Bahkan, hampir semua bagian tentang Aceh ditulisberdasarkan tulisan-tulisan Aditjondro. Teresa Birks turut ber-kontribusi dalam menyumbang data tambahan. Baik OlleTörnquist maupun Teresa Birks telah membantu dalam penyu-sunan dan penyuntingan bab ini. Kendati begitu, hasil akhirtulisan ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulisutama.
2 Jusuf Kalla dalam kunjungannya ke Amerika Serikat, seperti yangdikutip dari Media Indonesia 25 September 2005.
3 Hamid Awaludin dituding membantu Tommy Soehartomenyelundupkan dana ilegal sekitar US$ 10 juta ke sebuah bankdi Eropa. Dia diberhentikan dari kabinet meski didukung penuhJusuf Kalla. Teman Jusuf Kalla dari Sulawesi Selatan lainnya adalahNurdin Halid, yang dipenjara selama dua tahun karenapenyelewengan dana minyak sawit milik negara sebesar US$ 18juta. Sehari sebelum divonis, Jusuf Kalla mengangkat Nurdinuntuk duduk di DPR. Meski telah keluar keputusan MahkamahAgung tentang penetapan vonis terhadap Nurdin, Jusuf Kallaterhadap mempertahankan pengangkatan Nurdin. Kallamengatakan, Nurdin tak perlu dicabut statusnya sebagai anggotaDPR karena, ‘dia hanya dijatuhi hukuman dua tahun.’ Jakarta Post,‘Ethnic Patronage’ editorial, 19 September 2007.
4 Jusuf Kalla gagal dalam bursa pemilihan presiden Jusuf Kalla.Setelah menyerahkan jabatan Ketua Umum Golkar kepadaAburizal Bakrie pada Oktober 2009, Jusuf Kalla mengumumkanbahwa dia akan meninggalkan jabatan publik dan kembali kesektor swasta. Jakarta Post,’Jusuf Kalla says farewell to public of-
279
fice’ 20 Oktober 2009.5 Dalam kasus Poso, Kalla mengatakan, ongkos perdamaian—
kurang dari US$ 108,6 juta—sebanding dengan biaya operasimiliter selama setahun, Jakarta Post 8 April 2007 ‘Peaceful solu-tions to conflict cheaper’.
6 Jakarta Post 9 Februari 2008, ‘Vice President push for simplifiedpolitical system’.
7 Jakarta Post 8 April 2007 ‘Peaceful solutions to conflict cheaper’.Dalam hal ini, Jusuf Kalla tak sendirian. Berbagai kritik telahdikemukakan dalam kancah forum internasional yang menudingkebebasan dan demokrasi yang kebablasan akan ‘menghasilkankonflik yang lebih besar dan penyalahgunaan kekuasaan, daripadaketika demokrasi dan kebebasan itu dengan tegas dibatasi dankarena itu, pelaksanaan demokrasi harus ’menunggu’. (misalnyaMansfield dan Snyder 2005). Untuk diskusi lebih jauh lihat Bab 1dalam buku ini.
8 Lihat Aragon (2007), hal 49-86, yang diterjemahkan dari Nordholtdan Klinken (2007). Lihat juga ICG (2008a).
9 Aditjondro (2004a-b) hal. 83-112, Aditjondro (2006a-e), Sangaji(2005a), Sangaji (2007), Kontras (2007), hal 75-86 dan Tempo Februari2007.
10 Sudah diketahui secara luas, sekitar tujuh puluh persen anggaranmiliter itu diperoleh dari pemasukan di luar anggaran (off-budget).Yaitu, dari pendapatan berbagai bisnis mereka. TNI kemudianharus menyerahkan seluruh bisnisnya kepada pemerintah pada2006-2008 untuk diaudit.
11 RPKAD adalah cikal bakal Kopassus (Komando Pasukan Khusus).12 Hughes, Indonesian Upheaval (New York: Fawcett, 1967) hal 132,
seperti yang dikutip oleh Hasworo (2004) hal 32. Sarwo Edi (Alm.)adalah mertua Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
13 Artikel oleh Geoffrey Robinson, ‘Post-coup Massacre in Bali’ dalamDaniel Lev dan Ruth McVey (eds.), Making Indonesia: Essays on Mod-ern Indonesia in Honor of George McT Kahin (Itacha: Cornell SoutheastAsia Program, 1996) hal 127, sebagaimana dikutip oleh Hasworo(2004) hal 34.
14 Lihat Stanley (tanpa tahun) dan Sarwono (2001), hal 57-61.
PERDAMAIAN BERORIENTASI LABA
280 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
15 Insiden ini menimbulkan tekanan diplomatis yang luar biasa dantak berkesudahan dari komunitas internasional, sehingga PresidenB.J. Habibie akhirnya mendorong pelaksanaan referendum bagiorang-orang Timor Leste.
16 Kerusuhan-kerusuhan serupa juga terjadi di Pekalongan,Situbondo, Rengasdengklok, Temanggung, Banyuwangi, Ketapang,Jakarta, Makassar, Sanggau Ledo, Kalimantan Tengah, Kupang,Wamena, Merauke, dan tentu saja, tragedi 13-14 Mei 1998.
17 Sebuah analisis mengatakan bahwa meletusnya konflik di Am-bon merupakan manifestasi dan efek dari kerusuhan Ketapang.Kerusuhan itu diidentifikasi sebagai bagian dari perjuanganrakyat, yakni antara kelompok ‘status quo’ dan kelompok pro-reformasi dan pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid. Lihatpenelitian tim LIPI (2005) hal 86-87.
18 Lihat misalnya van Klinken (2007) dan Nordholt et.al (2007).19 Lihat LIPI (2005) hal 86-87 dan Salampessy dan Husain (2001).20 Bagian ini didasarkan pada Aditjondro (2000).21 Jakarta Post 18 Januari 2000; Sydney Morning Herald 19 Januari 2000.
Baca juga tentang tindakan para provokator dalamPattiradjawane dan Abel (2000) hal 49-54.
22 HRW (1999) dan van Klinken (2007).23 AWOL/Absence Without Leave (Absen tanpa Izin)—istilah dalam
militer24 Lihat Samego (1998) dan Aditjondro (1998).25 Jakarta Post 18 Januari 2000, IEFR (1997) Hal 82-83; Majalah Swa hal
86-87.26 Waspada 22 Mei 1999. Waspada memuat berita yang dikutip dari
Antara. Lihat Aditjondro (2005b).27 Brown (1999).28 Barito Pacific Group mengendalikan PT Green Delta (pemilik HPH
atau hak penggunaan hutan seluas 124.000 hektar, berakhir padaDesember 2000); PT HBI Buntu Marannu (pemilik konsesi seluas48.000 hektar, habis masa berlakunya pada Juli 2007); PT MangoleTimber Producers (pemegang konsesi sekitar 191.800 hektar danpabrik pengolahan plywood di Pulau Mangole, sebagian konsensiberakhir pada Oktober 2010, sisanya berlaku hingga April 2013);
281
PT Seram Cahaya Timber (konsesinya meliputi 58.000 hektar lahandi Pulau Seram, yang berlaku hingga Januari 2012); PT TaliabuTimber (pemegang konsesi atas lahan seluas 100.000 hektar danpabrik pengolahan plywood di Pulau Mangole, yang habis masaberlakunya pada Juli 2009); PT Trio Maluku Pacific Raya (memilikikonsesi atas lahan seluas 105.000 hektar, yang berlaku hinggaFebruari 2001); PT Tunggal Agathis Indah Wood Industry (pemilikHPH di atas lahan seluas 125.000 hektar dan pabrik pengolahanplywood di pulau Jailolo, yang berlaku hingga Agustus 2012); PTTunas Forestra (dengan konsesi yang meliputi 42.300 hektar, danberlaku hingga April 2012); PT Wana Adhi Guna (dengan konsesiuntuk lahan seluas 64.000 hektar, habis masa berlakunya padahingga Maret 2009); pabrik lem PT Wiranusa Trisatya di PulauTalibu, dan pabrik pengolahan plywood PT Yurina Wood Industrydi Ternate (Aditjondro, 2005b)
29 Majalah Tempo, 31 Mei-6 Juni 1999, hal 39-50.30 Majalah Swa, 22 Agustus-11 September 1996, hal 128-129.31 Bagian ini didasarkan pada Aditjondro (2008a)32 Gambaran tentang pelbagai keuntungan yang dinikmati baik oleh
setiap individu ataupun lembaga, yang mendalangi tragedikekerasan di Poso, dapat dibaca di Sangaji (2007).
33 Berita Antara 21 Oktober 2008.34 h t t p : / / w w w. i d x . c o . i d / Po r t a l s / 0 / R e p o s i t o r y / M a k a l a h /
ISCME%202008/Emiten/20081126_PT-Inco.pdf. Dalam InvestorSummit yang diselenggarakan PT Inco pada 11 November 2008,Direktur Investor Relations Indra Ginting mengatakan bahwa Inco“berupaya secara agresif untuk menekan biaya dan memperbaikiproduksi”, serta yakin bahwa perusahaan itu “berpotensi tinggimelaksanakan ekspansi di masa depan’, kendati diakui pula bahwamereka “beroperasi di tengah tekanan sosial dan ekonomi yangberat’.
35 Berita Antara 3 Agustus 2007.36 Jakarta Post 27 Mei 1998.37 Gatra edisi 3 April 2004 hal 64-65 dan Gatra edisi 29 Januari 2005
hal 84-85.38 Presentasi oleh Direktur Investor Relations PT Inco, Indra Ginting,
PERDAMAIAN BERORIENTASI LABA
282 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
November 2008, Jakarta http://www.idx.co.id/Portals/0/Reposi-tory/Makalah/ISCME%202008/eMITEN/20081126pt-Inco.pdf
39 Aditjondro (2004a) hal. 83-112 dan Aditjondro (2006a-e). lihat jugaSangaji (2005a), dan Kontras (2007) hal. 75-86.
40 Aditjondro (2005a). Lihat juga Muslimun (2007).41 Kompas 19 April 200642 Karena tak ada sumber lain yang dikutip, bagian tentang Aceh
didasarkan pada Aditjondro (2007b-c) dan sumber-sumber yangterdapat di dalamnya.
43 Pada waktu penulisan Bab ini, Prabowo Subianto adalah salahsatu kandidat presiden yang didukung Gerindra (Gerakan Indo-nesia Raya), partai politik yang dia dirikan. Pada Pemilu 2009,Gerindra diperkirakan akan mendukung kandidat dari daerahGayo. Di kalangan para pejuang kemerdekaan Aceh, wilayah itudikenal sebagai basis bagi kelompok-kelompok milisi dukunganmiliter, di era pertempuran antara TNI dan TNA.
44 Misalnya, Pulo Gadeng Group membangun pabrik pengolahanbaja lainnya di Kecamatan Arongan Lambalek (Aceh Barat).Produk-produknya, dengan menggunakan merek dagang UbongBeusoe, telah digunakan BRR NAD-Nias sejak pertengahan Maret2007. Kemudian, di wilayah pegunungan di Takengon, AcehTengah, Pulo Gadeng juga akan mengembangkan produksiholtikultura, untuk mengekspor kentang dan sayuran ke Malay-sia, di bawah kesepakatan dalam MoU, yang baru-baru iniditandatangani dengan kalangan bisnis Malaysia. Untukmeningkatkan perdagangan ekspor dan impor Aceh, Pulo Gadengberencana meperbaharui fasilitas di pelabuhan Malahayati,tepatnya di kompleks industri Krueng Raya. Caranya, denganmemasang sejumlah derek berbobot 150 ton di pelabuhan, danditargetkan selesai pada akhir April 2007. Dengan begitu, bahan-bahan bangunan yang diangkut berbagai kapal juga bisadibongkar muat di pelabuhan tersebut. Sedangkan di KabupatenAceh Jaya, menurut salah satu sumber di Meulaboh, Pulo GadengGroup juga berniat memperluas jaringan bisnisnya. Pulo Gadeng,antara lain, menaungi PT Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS)
283
Samudera Niaga; PT Matangkuli Perdana; PT Krueng Kureutou;PT Pandu Buana Nusantara; CV Aneuk Piranha, dan CV MawarSejati. Salah satu proyek terbaru Pulo Gadeng dilaksanakanberdasarkan MoU antara Group tersebut dan adik Surya Paloh,untuk membangun sebelas pompa bensin di Aceh. Pengelolaansebelas pompa bensin ini akan didistribusikan di antara sebelasbekas Panglima Wilayah TNA, yang kini berposisi sebagai KetuaKPA tingkat kabupaten (Aditjondro 2007b-c).
PERDAMAIAN BERORIENTASI LABA
284 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
Daftar PustakaAditjondro, George Junus. 1998. Dari Soeharto ke Habibie: guru kencing
berdiri, murid kencing berlari: kedua puncak Korupsi, Kolusi danNepotisme Rezim Orde Baru. Jakarta: Pijar Indonesia danMasyarakat Indonesia untuk Kemanusiaan.
Aditjondro, George Junus. 2000. Gajah dengan gajah berlaga, orangmaluku mati di tengah, 23 Januari.
Aditjondro, George Junus. 2001. Go with the flow: the fluctuatingand meandering nature of Indonesia’s anti-large dam move-ment. dalam: Jubileum KITLV Workshop ‘Air sebagai pemberikehidupan dan kekuatan yang mematikan serta hubungannya denganNegara, dulu dan sekarang.’ Leiden, Holland. Leiden: KITLV.
Aditjondro, George Junus. 2004a. Dari gaharu ke bom waktu HIV/AIDS yang siap meledak: ekonomi politik bisnis tentara ditanah Papua’, Wacana, (3) 17. hal. 83-112.
Aditjondro, George Junus. 2004b. Kayu hitam, bisnis pospenjagaan, perdagangan senjata dan proteksi modal besar:ekonomi politik bisnis militer di Sulawesi Bagian Timur.Wacana, No. 17, Th. III, hal. 137-78.
Aditjondro, George Junus. 2005a. Setelah Gemuruh Wera SulewanaDibungkam: Dampak pembangunan PLTA Poso & jaringan sutet diSulawesi, Paper Posisi No.3. Yayasan Tanah Merdeka, Palu.
Aditjondro, George Junus. 2005b. ‘Orang-orang Jakarta Di BalikTragedi Maluku’ http://bluedayax.multiply.com/journal/item/170/bisnis_preman_kerusuhan_maluku_George_J._Aditjondro
Aditjondro, George Junus. 2006a. Rumpon dan Konflik, ‘RadarSulbar, 17, 18, 20 Maret 2006.
Aditjondro, George Junus. 2006b. Sulawesi, Taman Mini permasalahanagrarian di Nusantara. Makalah untuk Seminar PembaruanAgraria yang diselenggarakan oleh Perkumpulan Bantaya diPalu, 26 Januari.
Aditjondro, George Junus. 2006c. Terlalu Bugis-sentris, kurang ’Perancis’.
285
Makalah untuk bedah buku karangan Christian Pelras, ManusiaBugis, di Bentara Budaya, Jakarta, Kamis, 16 Maret.
Aditjondro, George Junus. 2006d. Bagaikan Gatotkaca, yangterbang di atas saluran tegangan (ekstra) tinggi, mereka sepertitak tersentuh oleh hukum di negeri ini. dalam: Seminar on thevictim of SUTET Indonesia. Solidaritas Advokasi Korban SUTETIndonesia (SAKSI): Posko Selamatkan Rakyat Indonesia (SRI),23 April.
Aditjondro, George Junus. 2006e. Tibo & penyerangan PesantrenWalisongo jilid II: Mengungkap kepentingan ‘tritunggal’modal, militer, dan milisi di balik pengawetan ketidakamanandi Sulawesi Tengah. Paper diterbitkan dalam Tabloid Udik,Kupang and Harian Komentar, Manado.
Aditjondro, George Junus. 2007a. Challenging the shrinking demo-cratic space in East Timor.’ Dalam : J. Paredes, M. de Guzman& E. Rillorta, eds. Political space for advocacy in Southeast Asia.Manila: South East Asian Committee for Advocacy (SEACA),hal. 83-106.
Aditjondro, George Junus. 2007b. Profiting from peace: The PoliticalEconomy of Aceh’s Post-Helsinki Reconstruction. Working PaperNo. 3 Jakarta: INFID NGO Forum in Indonesia Development).
Aditjondro, George Junus. 2007c. Reconstruction, Without Social Trans-formation: Observations from Aceh’s eastern coast. Working PaperNo.4. Jakarta: INFID.
Aditjondro, George Junus. 2008a. Dinamika Politik dan Modal diSulawesi: Apa yang dapat dilakukan oleh para aktor pro-demokrasi?[Online] 20 Februari 2008. Dapat diakses di http:// koran-marjinal.blogspot.com/2008/02/dinamika-politik-dan-modal-di-sulawesi.html
Aditjondro, George Junus. 2008b. Dari Perjuangan Bersenjata kePerjuangan Parlementer: Belajar dari Transformasi GerakanPerlawanan Bersenjata ke Partai-Partai Politik di Timor Leste. Butir-
PERDAMAIAN BERORIENTASI LABA
286 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
butir Pikiran untuk ToT Tingkat Lanjut Sekolah Perdamaiandan Demokrasi di Banda Aceh, 18 Oktober.
Aditjondro, George Junus & Purwanto, Eddy. 2008. We are babyturtles, who have to be close to the sea’ : A case study of Tsunamivictims, whose resettlement rights are threatened by a USAID-financedhighway in Aceh, Northern Sumatera, Indonesia. Working Paper.Jakarta: INFID.
Alimuddin, Muhammad Ridwan. 2005. Orang Mandar, orang laut:kebudayaan bahari Mandar mengarungi gelombang perubahan zaman.Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia).
Berita Antara. 3 Agustus 2007, 21 Oktober 2008Aragon, Lorraine V. 2002. Waiting for peace in Poso: why has this
Muslim- Christian conflict continued for three years? InsideIndonesia [Online]. Available at: http://www.insideindonesia.org./content/ view/397/29/Edition 70, April-Juni.
Aragon, Lorraine V. 2004. Profiting from displacement: in search ofhonest, well designed aid for people displaced by the Poso con-flict. Inside Indonesia. (77). Januari-Maret.
Aragon, Lorraine V. 2007. Persaingan elit di Sulawesi Tengah. dalam :H.S. Nordholt & G. Van Klinken, ed. Politik Lokal di Indone-sia. Jakarta: KITLV and Yayasan Obor Indonesia, hal. 49-86.
Azhar, Harisa & Syamsul Alam, Agus. 2005. Poso: an area put toconflict. Palu: LPSHAM Central Sulawesi.
Brown, David W. 1999. Addicted to rent: corporate and spatial distribu-tion of forest resources in Indonesia-implications for forest sustainabilityand government policy. Jakarta: Indonesia-UK Tropical ForestManagement Programme, Provincial Forest ManagementProgramme.
Commission for Disappearances and Victims of Violence, 2007. Ketikamoncong senjata ikut berniaga. Jakarta: Kontras. hal. 75-86.
Down to Earth. Brutal crackdown at Newcrest’s Halmahera mineleaves one dead. Down to Earth. No.60, February 2004.
287
Down to earth, Mass protests challenge Inco. Down to Earth. No. 67,November 2005.
Down to earth. Transmigrants and refugees. Down to Earth. No.44,Februari 2000.
Gatra. 3 April 2004, hal. 64-65; 29 Januari 2005. hal. 84-85..Gelder, Jan Willem van, Wakker, Eric, Schuring, Matthijs & Haase,
Myrthe. 2005. Kutukan komoditas: panduan bagi ornop Indonesia.Amsterdam: Profundo in association with AID Environment.
George, Kenneth, M.1996. Showing signs of violence: the cultural politicsof a twentieth century headhunting ritual. Berkeley: University ofCalifornia Press.
Ginting, Indra. 2008. Presentation PT Inco Director for Investor Rela-tions, November. Availabe at: http:// www.idx.co.id/Portals/0/Repository/Makalah/ISCME%202008/Emiten/20081126_PT-Inco.pdf
Gogali, Nerlian (n.d.). Marmer, migas, dan militer di ketiak SulawesiTimur: antara kedaulatan rakyat dan kedaulatan investor. Manuskriptidak diterbitkan.
Hasworo, Ritno Tri. 2004. Penangkapan dan Pembunuhan di JawaTengah setelah G-30S. dalam J. Roosa, A.Ratih & H. Farid,eds, Tahun yang tak pernah berakhir: memahami pengalaman korban65. Jakarta: Elsam in association with TRK and ISSI, hal. 32.
HRW (Human Rights Watch). 1999. Indonesia: the violence in Ambon.New York: Human Rights Watch.
Husain, Thamrin. 2001. Ketika Semerbak Cengkih Tergusur Asap Mesiu:tapak Ambon. Jakarta.
ICG. 2008a. Indonesia: the Poso case: tackling radicalism in Poso. Jakartaand Brussels: Asia Briefing 75, 22 Januari.
ICG. 2009. Local election disputes in Indonesia: the case of North Maluku.Jakarta/Brussels: ICG Policy Briefing Paper. 22 Januari.
IEFR. 1997. Indonesian Capital Market Directory 1997. Jakarta: Insti-tute for Economic and Financial Research.
PERDAMAIAN BERORIENTASI LABA
288 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
Klinken, Gerry van. 2007. Communal Violence and Democratization inIndonesia. London dan New York: Routledge.
Kompas. 19 April 2006.LIPI Research Team. 2005. Bara dalam sekam. Bandung: Bandung,
hal. 86-87.Mansfield, Edward, D. & Snyder, Jack. 2005. Electing to fights: why
democracy go to war. Cambridge, Mass.: MIT Press.Media Indonesia. 25 September 2006.Muslimun, 2007. Bisnis militer di Sulawesi Tengah dalam: Moni-
toring Training on Overtaking of Armed Forces Business byGovernment. Kupang, 6-8 Februari 2007. Jakarta: FES and TheRIDEP Institute.
Nivada, Aryos, 2007. Kerajaan Bisnis Militer plus Bisnis MiliterGAM di Provinsi NAD.
Nordholt, Henk Schulte & van Klinken, Gerry, (eds.) 2007. Negoti-ating boundaries: local politics in post-Suharto Indonesia. Leiden:KITLV Press.
Pattiradjawane, Freddy & Abel, Harnold. 2000. Tragedi Kemanusiaandi Maluku. Jakarta: Antiokhia Foundation Publishing.
PDBI (Pusat Data Bisnis Indonesia). 1994. Forestry Indonesia. Jakarta:Pusat Data Bisnis Indonesia.
Reuters. Indonesia gives exploration rights for 9 blocks. 12 Maret2007.
Roberts, John. 2002. Indonesia: religious violence flares up againin Central Sulawesi’. World Socialist website, 7 Januari.
Salampessy, Zairin & Husain, Thamrin. ed. 2001. Ketika semerbakcengkih tergusur asap mesiu: tapak Ambon. Jakarta.
Samego, Indria et al. 1998. Bila ABRI berbisnis. Bandung: Mizan.Sangaji, Arianto. 2002. Buruk Inco, rakyat digusur: ekonomi politik
pertambangan Indonesia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.Sangaji, Arianto. 2000. PLTA Lore Lindu: orang Lindu menolak pindah.
Yogyakarta & Palu: Pustaka Pelajar bekerjasama dengan
289
Yayasan Tanah Merdeka & WALHI Sulawesi Tengah.Sangaji, Arianto. 2005. Menimbang Madi secara obyektif, Kompas.
29 Oktober.Sangaji, Arianto. 2005. Peredaran ilegal senjata api di Sulawesi Tengah,
Position Paper 4. Yayasan Tanah Merdeka: Palu.Sangaji, Arianto. 2007. Aparat keamanan dan kekerasan regional
Poso. dalam: H.S.Nordholt & G. Van Klinken, eds. Politik Lokaldi Indonesia. Jakarta: KITLV dan Yayasan Obor Indonesia.
Sarwono, Sarlito Wirawan. Dari militerisme ke premanisme dalamZ. Salampessy & T. Husain, eds, Ketika semerbak cengkih tergusurasap mesiu: tapak Ambon. Jakarta. 2001. hal.57-61.
Sherman, Jessica. 2005. Indonesia: Halting a dam that would floodSulawesi’s Lore Lindu Park. Global Greengrants Fund.
Sikopa, Suaib Dj. 2006. Ada ri Tana Kaili. Yogyakarta: Pilar Media.Stanley, n.d. Preman. Tulisan tidak dipublikasikan.SWA Majalah. 22 Agustus-11 September 1996. hal. 128-129.Sydney Morning Herald Daily. 19 Januari 2000.Majalah Tempo. Bisnis senjata di jantung Poso. 5-11 Februari 2007.Majalah Tempo. 31 Mei-6 Juni, 1999. hal. 39-50.Majalah Tempo. Akhir sebuah pelarian. 5-11 Februari 2007.Majalah Tempo. Di bawah lindungan kubah. 5-11 Februari 2007.Majalah Tempo. Jejak Pindad ada di sini. 5-11 Februari 2007.The Jakarta Post. ‘Rio Tinto sues C. Sulawesi regency over mining
rights’. 27 Mei 1998The Jakarta Post. 18 Januari 2000The Jakarta Post. 8 April 2007The Jakarta Post. ‘Peaceful solution to conflict cheaper’. 8 April 2007The Jakarta Post. ‘Ethnic Patronage’ editorial. 19 September 2007The Jakarta Post. ‘Vice president pushes for simplified political sys-
tem’. 9 Februari 2008The Jakarta Post. ‘Jusuf Kalla says farewell to public office’. 20 Oktober
2009
PERDAMAIAN BERORIENTASI LABA
290 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
Waspada. 22 Mei, 1999.Whitten, Tony, Henderson, Greg S. & Muslimin, Mustafa. 2002.
The Ecology of Sulawesi. Hongkong: Periplus.
291
DDDDDARIARIARIARIARI P P P P PERLAERLAERLAERLAERLAWWWWWANANANANANANANANANAN B B B B BERSENJERSENJERSENJERSENJERSENJAAAAATTTTTAAAAAMMMMMENUJUENUJUENUJUENUJUENUJU P P P P PARTISIPARTISIPARTISIPARTISIPARTISIPASIASIASIASIASI P P P P POLITIKOLITIKOLITIKOLITIKOLITIK:::::TTTTTRANSFORMASIRANSFORMASIRANSFORMASIRANSFORMASIRANSFORMASI P P P P POLITIKOLITIKOLITIKOLITIKOLITIK GAM GAM GAM GAM GAM
Gyda Marås Sindre
5
i PendahuluanNota Kesepahaman (MoU) yang ditandatangani diHelsinki pada 15 Agustus 2005 bertujuan, mengakhirikonflik berkepanjangan antara Gerakan Aceh Merdeka
(GAM) dan pemerintah Indonesia, dalam penentuan status politikprovinsi Aceh. MoU itu menghadirkan prasyarat hukum dan politikbagi pendirian partai-partai politik lokal, sehingga untuk pertamakalinya, GAM memiliki kesempatan meraih kekuasaan eksekutifmelalui proses pemungutan suara. Pada akhir 2006, Aceh telahmempunyai kerangka hukum bagi pelaksanaan otonomi yang lebihluas, dan pemilihan langsung kepala daerah (Pilkada) pun diseleng-garakan pada 11 Desember 2006. Walaupun pada waktu itu, GAMgagal memobilisasi diri sebagai sebuah partai politik, namunsejumlah bekas anggota GAM berpartisipasi dalam Pilkada sebagaikandidat independen. Mereka pun berhasil meraih lebih dari 50%
292 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
jabatan kepala daerah di wilayah Aceh. Irwandi Yusuf, seoranganggota senior kelompok perlawanan, terpilih sebagai GubernurAceh. Menjelang Pilkada, anggapan konvensional meramalkanGAM takkan memperoleh hasil menggembirakan. Pasalnya, GAMdianggap terlalu terfragmentasi dan tak cukup mengakar dalamtatanan sosial di Aceh, agar bisa menang dalam pemilu. Pandangankonvensional lainnya menyatakan, GAM akan sangat kesulitanmelakukan transformasi diri: dari sebuah kelompok gerilya yangkecil dan berideologi sempit, menjadi sebuah partai politik dengandukungan luas dari segenap penjuru Aceh. Namun, para pengamatdan pemerhati Aceh sepenuhnya berharap, GAM dapat mengatasiberbagai rintangan, dan akhirnya memperoleh hasil yang baik.Harapan ini muncul atas dasar pemikiran, apabila GAM akhirnyaabsen dari posisi sentral di kancah politik Aceh, perdamaian akansulit dipertahankan dalam jangka panjang. Kemenangan partaibentukan GAM, Partai Aceh (PA), pada Pemilihan Umum 2009 kianmemperkuat persepsi itu.
Tren transformasi bekas kelompok perlawanan ini ditetapkansebagai salah satu faktor kunci mencapai keberhasilan dalampelaksanaan kesepakatan damai. Tak terhitung jumlah dana yangtelah diinvestasikan dalam membangun organisasi partai politik,dan menyelenggarakan pemilu di daerah pasca-konflik. Dalamperiode di mana peperangan memasuki era transisi menujudemokrasi, pemberian legitimasi kepada bekas kelompok perlawananuntuk bersuara dalam kancah politik, juga sejalan dengan tujuanmemperluas basis demokrasi di wilayah, yang sebelumnya hanyamenjalankan sistem semi-demokrasi. Proses tranformasi semacamitu telah terbukti memberi dampak signifikan terhadap beragamsituasi pasca konflik, yang menjalani proses transisi menujuperdamaian dan demokrasi. Contohnya, seperti yang dialamiMozambique (Renamo), Namibia (SWAPO), Kamboja(FUNICINEP), dan El Savador (FMLN) untuk menyebut beberapa
293
contoh (De Zeeuw 2008, Kovacs 2008).Kendati fakta menunjukkan bahwa pengikutsertaan bekas
kelompok perlawanan dalam proses politik memang dibutuhkanuntuk mengakhiri peperangan melalui negosiasi penyelesaiankonflik, namun upaya itu juga memunculkan sejumlah masalahpokok. Pertama, kondisi yang dibutuhkan dalam perlawananbersenjatan sangat berbeda dengan kondisi yang dibutuhkan untukmendorong demokratisasi. Hirarki organisasi, sikap militan, dantak demokratis dalam kelompok perlawanan seperti GAM, bisamenjadi penghambat bagi upaya menumbuhkan pelaksanaanpolitik yang transparan, demokratis, dan inklusif. Kedua, demimenghindari kembalinya perjuangan bersenjata, faktor terpentingdalam mempertahankan perdamaian adalah melalui penempatanpara bekas anggota perlawanan pada jabatan kunci di peme-rintahan. Ketika merundingkan ketentuan yang membolehkan paraanggota kelompok perlawanan berpartisipasi dalam pemilu,sebenarnya tak ada jaminan bahwa bekas anggota kelompok ituakan memperoleh suara yang cukup.1 Bab ini bertujuan menjelaskantransformasi politik GAM sebagai faktor utama dalam keberhasilanpelaksanaan kesepakatan perdamaian. Dengan mencermati titikbalik yang spesifik di dalam perubahan dinamika relasi kekuasaan,baik yang terjadi di dalam gerakan perlawanan, maupun yangmelampaui ruang lingkup gerakan tersebut, pembahasan berikutini menyorot seperangkat struktur yang secara khusus menye-diakan kesempatan bagi tercapainya dinamika transformatif yangsignifikan. Selanjutnya, dalam pemaparan lebih lanjut, GAMdiposisikan sebagai aktor politik, dengan ruang manuver yangditentukan oleh sejumlah kesempatan yang ada dalam waktutertentu, dan dibatasi oleh ruang gerak yang pasti bagi setiaptindakan. Pertama, bab ini menyajikan suatu kerangka per-bandingan untuk memahami transformasi gerakan perlawanan.Kedua, penjelasan tentang latar belakang sejarah mobilisasi GAM
DARI PERLAWANAN BERSENJATA MENUJU PARTISIPASI POLITIK
294 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
untuk memahami struktur awal mobilisasi GAM, sebelum beranjakpada analisis tentang transformasi GAM dewasa ini. Argumenpokok dalam bab ini menitikberatkan pada perubahan dinamikanegara Indonesia, seiring dengan berubahnya basis ideologi dankemampuan dalam berorganisasi, sebagai faktor kunci penjelasantentang transformasi GAM. Untuk itu, bab ini menggunakanperspektif sosiologis dan perbandingan sejarah, demi memahamiproses transformasi signifikan, yang dialami GAM. Bab ini jugafokus pada struktur yang menentukan arah kebijakan GAM dewasaini, melalui analisis sejak periode konflik hingga putaran pertamapilkada pada 2006.
Transformasi gerakan perlawanan bersenjataPada umumnya, proses perdamaian menerapkan upaya demo-
kratisasi secara simultan. Pengikutsertaan kelompok perlawananbersenjata ke dalam sistem partai politik dalam masyarakat pasca-konflik dianggap sebagai kunci untuk mengamankan proses transisi(Zartman: 1995, 227-338). Gambaran yang teramat kompleks dariperang sipil, umumnya dibentuk oleh motivasi dan dinamika dalamgerakan perlawanan, serta kemampuan gerakan itu untuk memo-bilisasi dukungan dan dana, agar konflik terus berlanjut. Per-tanyaan utama yang diajukan di sini adalah faktor-faktor apasajakah yang menunjang keterlibatan gerakan perlawanan dalampemerintahan? Terlepas dari berbagai kebijakan yang umumnyafokus pada relevansi transformasi gerakan perlawanan ke dalampartai politik pasca kesepakatan damai, gerakan perlawanan itusendiri juga memperoleh perhatian mendalam oleh kalanganilmuwan. Secara umum, literatur tentang gerakan dan kelompokperlawanan lebih banyak membahas tentang tujuan yang selalumereka dengung-dengungkan, dan ideologi yang menjadi dasartuntutan pemisahan diri dan pendirian negara secara terpisah,seperti kasus gerakan GAM atau LTTE; atau tuntutan reformasi
295
politik secara menyeluruh, seperti yang dilakukan kelompokperlawanan Maois di Nepal. Sejumlah literatur menggarisbawahiperan elemen ‘keserakahan’ sebagai motivasi utama gerakan per-lawanan. Elemen itu kian sering disebut dalam pembahasan tentangpenggunaan kekerasan dan pemaksaan secara ilegal dalam konflikbersenjata (e.g. Keen 2000, Berdal 2003 dan 2005). Kumpulanliteratur ini sangat penting untuk memahami kemunculan kelompokperlawanan, pecahnya konflik, dan motivasi di balik aksi per-lawanan.
Beberapa studi tentang perang sipil yang lebih maju, meng-angkat isu penting mengenai peran agency dalam konflik. Sebagaicontoh, Weinstein (2006) fokus pada organisasi internal gerakanperlawanan, dalam rangka memahami mengapa aksi perlawanantertentu tampak lebih brutal dibanding gerakan perlawanan lain.Bøås dan Dunn (2007) menitikberatkan pada kemunculan danpertumbuhan gerakan gerilya di Afrika dan mengamati gerakangerilya itu dari tujuan politiknya dan ketidakpuasan yang munculditinjau dari kasus-kasus individual. Sementara itu, De Zeeuw(2008) dalam kumpulan studi kasusnya, mengamati dari dekatberbagai isu dan masalah, yang dihadapi gerakan perlawanan ini,dalam proses transformasi menuju partai politik pasca prosesperdamaian, dengan meninjau berbagai kesempatan dan keter-batasan, yang terkandung dalam proses ini. Studi-studi tersebutmengungkapkan kompleksnya permasalahan yang dihadapikelompok perlawanan bersenjata, serta ekspresi mereka sebagaiorganisasi. Motivasi yang menggerakkan perlawanan bersenjataini, tak hanya beragam antar kelompok perlawanan, tapi jugabervariasi di dalam kelompok perlawanan bersenjata itu. Karenaitu, dalam menelusuri ekspresi mereka sebagai suatu organisasi,serta basis ideologi, dan keanggotaan mereka selama perang,dinamika internal mereka terlihat berganti mengikuti perubahanlingkungan eksternal mereka. Artinya, mekanisme perubahan yang
DARI PERLAWANAN BERSENJATA MENUJU PARTISIPASI POLITIK
296 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
mendorong pergeseran itu, ternyata berada di luar sekaligus didalam gerakan tersebut.
Terlepas dari tren baru tersebut, sejumlah literatur di atasmenyajikan perangkat analisis yang minim, ketika menganalisisgerakan secara utuh. Alih-alih memberikan klarifikasi, label yangsecara konvensional digunakan untuk melukiskan dan mempo-sisikan gerakan perlawanan bersenjata itu, justru mengaburkankekuatan dan peran politik gerakan tersebut. Salah satu tipologiyang diperkenalkan untuk mengatasi permasalahan itu adalahtipologi Chapman tentang gerakan gerilya. Tipologi ini mem-bedakan antara liberation movement (gerakan kemerdekaan), separat-ist insurgencies (perlawanan separatis), reform movement (gerakanreformasi), dan warlords insurgencies (perlawanan para panglimaperang) (Clapham 1998 dan 2007)2. Tipologi ini menyajikan kategoriyang mengelompokkan ‘kelompok gerilya’ berdasarkan tujuan, sertafondasi ideologis maupun bentuk organisasi yang spesifik.Walaupun pembuatan tipologi ini dilakukan demi alasan ke-nyamanan, dan tidak disusun berdasarkan kategori analisis yangtepat, tipologi ini berguna untuk memberi bingkai dalam pene-lusuran transformasi GAM. Dalam pemaparan lebih lanjut, dapatdisaksikan bahwa sebagian besar gerakan perlawanan bisa ter-masuk dalam satu kategori atau lebih.
Semula pengertian orisinal dari liberation movement adalahperjuangan melawan kekuasaan kolonial dan kekuasaan minoritaskulit putih. Kendati berbagai bentuk kolonialisme di seluruh duniamemiliki perbedaan signifikan satu sama lain (Clapham 2007).Sebagian besar perlawanan bersenjata di Asia menggolongkan dirimereka sebagai liberation movement. Tak terkecuali GAM, yangmelancarkan propaganda perjuangan kemerdekaan sebagai bagiandari perjuangan kelompok ethno-nationalist, demi Aceh yang merdeka.Walaupun, seperti yang akan dibahas kemudian dalam bab ini,ethno-nasionalism yang dikemukakan pendiri GAM Hasan di Tiro
297
merupakan bentuk ekspresi ideologis, serta reaksi terhadap me-ningkatnya sentralisasi kekuasaan, seiring dengan menanjaknyakekuasaan Soeharto. Sebagai perbandingan, perlawanan kelompokkomunis di Filipina dan Nepal juga menyatakan diri sebagaipembebas bagi rakyat kelas bawah—dengan menyatakan bahwatujuan politik mereka adalah mengambil alih kekuasaan. Dengandemikian, label liberation movement merupakan label berdasarkanideologi yang dianut suatu gerakan. Label itu bisa saja bermanfaatsebagai sebuah kategori, tapi bukan merupakan pengelompokanmelalui analisis tepat, yang bisa memahami berlanjutnya eksistensidan transformasi GAM.
Sebaliknya, label separatist mengungkapkan secara eksplisittujuan dari gerakan perlawanan. Namun, seperti halnya ‘liberationmovement’, label separatist menafikan pembahasan kritis tentangbagaimana gerakan itu berubah dan mengganti tujuan mereka dariwaktu ke waktu. Tentu saja, label separatist sangat mudah disan-dingkan dengan GAM. Tapi, label itu tetap saja gagal untukmenjelaskan perubahan kapasitas sosial mereka dan ruang lingkupbasis kekuasaannya di tataran lokal. Contohnya, bagaimana kitamempersepsikan gerakan tersebut ketika tuntutan mereka ataspemisahan diri, akhirnya justru dimodifikasi, seperti yang lazimterjadi pada sejumlah gerakan serupa dewasa ini?
Berdasarkan pertimbangan di atas, reform insurgencies mencakupkelompok-kelompok tersebut. Yakni, kelompok yang mengakuiadanya agenda politik baru, dan sangat berbeda dengan agendapolitik selama ini (Clapham 2007). Kelompok perlawanan semacamitu sangat mudah ditemukan di Benua Afrika, seperti kelompokperlawanan Museveni di Uganda dan kelompok perlawananKagame di Rwanda. Kelompok perlawanan tersebut awalnyadisambut sebagai kekuatan sosial yang menentang kekuasaanautoritarian negara, serta mengajukan agenda untuk pelaksanaandemokrasi dan partisipasi politik. Dalam konteks Asia, gerakan
DARI PERLAWANAN BERSENJATA MENUJU PARTISIPASI POLITIK
298 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
perlawanan yang merupakan respon langsung terhadap keber-adaan kekuasaan autoritarian, adalah fenomena langka. Namun,sebagian kelompok ilmuwan menganggap bahwa gerakan protesmelawan rezim berkuasa tercermin dalam gerakan perlawanankelompok Maois di Nepal dan Filipina. Kendati upaya reformasipemerintahan dilaksanakan dengan setengah hati dan tidakmengikuti pendekatan liberal, label itu barangkali lebih pantasdigunakan dari pada dua label pertama. Pasalnya, label tersebutmenekankan, baik gerakan perlawanan baru maupun yang lama,cenderung mengadopsi sebagian paham demokrasi ke dalamlandasan politik mereka sebagai prinsip menjalankan pemerintahan,ketika mereka memperoleh kekuasaan. Hal itu dilakukan,khususnya apabila mediasi perdamaian melalui pihak internasionalmerupakan alternatif yang lebih menjanjikan. Tipe gerakansemacam ini jelas lebih menggambarkan kelompok perlawananMaois di Nepal, yang mengadopsi nilai-nilai demokrasi sejak awalpembentukannya. Sedangkan gerakan perlawanan seperti LTTEdan GAM baru melakukannya belakangan. Namun, perlu dicatat,pengkategorian itu tak menjelaskan bagaimana perilaku kelompokperlawanan itu ketika telah duduk di tampuk kekuasaan. Sepertisudah dibahas sebelumnya, inti dari negosiasi damai adalahdimasukkannya prinsip-prinsip reformasi yang demokratis dalamsuatu kerangka kerja menyeluruh, yang membingkai transformasi‘dari kelompok perlawanan menjadi partai politik’, sebagai bagiandari paket peace building. Namun, pertanyaan penting sekaligusmenggelitik adalah seberapa berpengaruhkah peningkatan fokusterhadap prinsip-prinsip demokrasi—yang dimulai sejak awalpergerakan, terhadap keberhasilan proses demokratisasi pascakonflik. Pertanyaan inilah yang akan dipaparkan lebih lanjut dalamkonteks GAM dan proses transformasi yang dialaminya.
Kategori terakhir, yang acap digunakan ketika tujuan danideologi tak lagi mudah dibedakan adalah ‘warlord insurgencies.’
299
Ketimbang fokus pada ideologi dan tujuan kelompok perlawanantertentu, label ini lebih merujuk pada tipe kepemimpinan, yangmengandalkan pengaruh kekuasaan yang kuat di daerah tertentu,yang terbentuk akibat adanya desentralisasi kewenangan, sertaminimnya sistem komando yang tegas (Reno 1998, Clapham 2007).Label ini menekankan keuntungan ekonomi yang dinikmatisegelintir petualang politik dari penggunaan dana perang, yangdampaknya harus dibayar mahal oleh para penduduk sipil. Selainliteratur yang merujuk pada peperangan brutal di Afrika, konsepini dapat diterapkan pula dalam konteks Indonesia, yakni adanyastruktur tertentu dari jaringan kekuasaan personal dan terlokalisir,yang tertanam kuat melalui penghisapan ekonomi secara informalatau ekstra legal. Konsep perlawanan ala warlordism ini tidakdiaplikasikan secara kritis dalam berbagai kajian yang menyorotaspek ilegal dari kegiatan penghisapan ekonomi informal.Barangkali, Schultze, merupakan pendukung perspektif warlodismdi Aceh yang paling vokal. Ia mengungkapkan, para panglimaGAM memangkas kepemilikan lahan oleh para tuan tanah danbertindak sebagai panglima perang di wilayah yang mereka kuasaipada masa ekspansi militer (Schultze 2004, lihat juga McCulloch2003). Dibandingkan dengan berbagai contoh klasik warlod insur-gencies, GAM tak lahir dari bayang-bayang seseorang atau sejumlahorang berpengaruh, yang mengobarkan peperangan demi meraihakses terhadap sumber kekuasaan tertentu. Namun, di beberapatitik balik eksistensi GAM, ditemukan beberapa ciri warlordism yangtumbuh dan berkembang dalam ruang lingkup sosial-politik darikonflik sosial berkepanjangan. Konfigurasi aspek-aspek tersebut,barangkali dapat memperjelas struktur dan dimensi politik ekonomiyang signifikan, serta kepemimpinan lokal dalam gerakan-gerakanperlawanan bersenjata. Dengan kata lain, kombinasi antara agendareformasi dan juga basis kekuatan koersif yang problematik, yangdiimbuhi oleh kian meningkatnya upaya memperluas perlawanan
DARI PERLAWANAN BERSENJATA MENUJU PARTISIPASI POLITIK
300 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
melalui jalur ekonomi politik ilegal, justru membuat gerakanperlawanan tersebut kian kompleks.
Diskusi singkat di atas, bertujuan memposisikan GAM dalamkonteks gerakan perlawanan bersenjata yang lebih luas. Selain itu,pembahasan di atas juga memunculkan dua lapisan kategorisasi.Dua kategori itu dapat digunakan untuk menyajikan penjelasanyang lebih sistematis tentang pembentukan dan perubahan strukturdan basis GAM. Karena itu, GAM selanjutnya dianalisis melaluidua dimensi: (i) reformasi dan demokrasi, (ii) ekonomi politik. Poinpertama menyorot gerakan tersebut serta agenda reformasi yangdimilikinya. Sedangkan poin kedua merujuk pada GAM sebagaigerakan perlawanan, dengan struktur dominasi yang meng-hegemoni dan berkembang dari pelaksanaan strategi militernya.Bab ini menganalisis GAM dalam konteks kedua kategori itu. Selainitu, bab ini juga mengamati tipe-tipe struktur mobilisasi dankesempatan politik, yang menunjang keberadaan, daya tahan sertaperubahan GAM sebagai suatu gerakan, selama masa konflik. Fokusterhadap munculnya kesempatan-kesempatan, yang terus bergantibagi GAM, diharapkan dapat menemukan sebuah mekanismetertentu, yang dapat menghasilkan transformasi gerakan yangspesifik. Karena itu, perlu diamati pula dinamika dan tren terkini,yang membuka ruang bagi kesempatan-kesempatan spesifik itu.
Latar belakang: Struktur mobilisasi awal dalam konflik AcehBagian ini akan membahas struktur-struktur mobilisasi, yang
mendominasi aneka pemaparan ilmiah tentang perlawanan GAM.Pembahasan ini secara sepintas akan memaparkan landasan ideologidan fondasi ideal gerakan ini. Selanjutnya, pembahasan meng-gunakan perspektif kritis dengan pemahaman bahwa pemberontakanGAM adalah kelanjutan dari periode sebelumnya. Perspektif inimenekankan pula peran GAM sebagai aktor politik yang bereaksi,dan beradaptasi dengan seperangkat kesempatan yang ada.
301
Konflik Aceh dipicu oleh kepentingan kedaerahan yang kuat,tetapi berbeda dengan kecenderungan kontemporer di daerah konfliklainnya, dimensi pertentangan antara pemerintah pusat dan daerah,tak diperparah dengan konflik antar kelompok etnis dan agama.3
Sementara itu, tipe perlawanan kelompok nasionalis serupa,misalnya, di Filipina Selatan dan Kashmir, umumnya amat tercerai-berai. Inilah yang secara signifikan membedakan tipe perlawanan didaerah lain dengan perlawanan GAM di Aceh. GAM, di sisi lain,secara mengagumkan mampu tampil sebagai satu kesatuan yangutuh, selama masa konflik. Setidaknya pada waktu itu, tak ber-kembang faksi-faksi paramiliter tandingan di dalam tubuh GAM.4
Dalam diskursus umum tentang nasionalisme di Aceh, terdapatdua perspektif yang dominan dan saling berhubungan. Perspektifitu merumuskan parameter bagi pengamat dan para aktor yangterlibat, agar bisa memahami konflik. Kedua perspektif itu adalahcitra di masa lalu, dan realita saat ini. Perspektif-perspektif tersebutcenderung beranggapan, perlawanan itu secara otomatis terlahirdari komunitas etnis yang belum modern, atau merupakan hasildari proses-proses sosial (Aspinall 2008). Dengan demikian,perspektif pertama, citra masa lalu, mengacu pada dominasi pahamprimordial dalam membentuk dan merumuskan-ulang fondasiideologis gerakan perlawanan. Sedangkan, perspektif kedua, realitasaat ini, lebih merujuk pada jenis-jenis struktur mobilisasi, yangberkaitan dengan isu-isu kolonialisme internal.5 GAM menjadikankedua perspektif itu sebagai landasan bagi rasionalisasi ideologinya.Di sisi lain, kolonialisme internal merupakan struktur mobilisasiyang mampu melalui berbagai fase konflik.
Fondasi ideologis GAM yang paling utama adalah perjuanganuntuk menentukan identitas, serta upaya internalisasi identitas ituke dalam suatu perjuangan politik, yakni perlawanan terhadappemerintah pusat Indonesia. Di masa awal ketika ideologi GAMdirintis di bawah kepemimpinan intelektual Aceh, Hasan di Tiro,
DARI PERLAWANAN BERSENJATA MENUJU PARTISIPASI POLITIK
302 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
Aceh dinyatakan berbeda dan tak cocok dengan dengan RepublikIndonesia (RI). Pasalnya, dalam pandangan para perintis ideologitersebut, RI adalah suatu negara bentukan bangsa Jawa, dan karenaitu, Aceh ‘tak memiliki keterkaitan secara historis, politis, kultural,ekonomis, dan geografis’. Jurang ketidakcocokan itu semakindiperlebar dengan pemahaman bahwa ‘sejak awal peradaban dunia,Aceh adalah negara berdaulat yang merdeka dan mandiri.’6 Berbekalpemahaman akan keberadaan Kesultanan Aceh sebelum era mod-ern, fondasi ideologis GAM didasari keyakinan bahwa tujuan politikdari perlawanan mereka adalah mengembalikan struktur politiksebagai basis organisasi politik dari suatu negara yang merdeka.
Kemerdekaan tidak diartikan sebagai sebuah tindakan pemi-sahan diri dari negara kesatuan Indonesia. Namun, kemerdekaanitu harus diraih, demi memulihkan kedaulatan Aceh seperti sediakala, yakni sebelum Belanda menduduki daerah tersebut pada tahun1873, atau setelah Perang Aceh (Sulaiman 2006). Berangkat darilogika semacam ini, Hasan di Tiro kemudian menganggapberalihnya kekuasaan di daerah itu ke bawah kendali Indonesiasetelah Perang Dunia II, adalah tindakan ilegal. Pasalnya, negaraHindia Belanda seharusnya bubar setelah proses dekolonisasi.Dengan begitu, Aceh kembali memperoleh kemerdekaannya,berdasarkan status negeri kesultanan yang pernah disandangnya.Perlawanan GAM semakin memperoleh legitimasi dalam mengo-barkan peperangan terhadap negara, dengan memanfaatkan narasitentang perlawanan tanpa henti terhadap pihak luar, yang sebagianbesar mengarah pada negara kolonial Belanda.7
Ketika pemerintah Indonesia maupun kalangan nasionalisAceh memandang rakyat dan negeri mereka sebagai entitas yangterbentuk secara alami dan permanen, bukti sejarah meng-ungkapkan bahwa gambaran itu sebenarnya adalah konstruksisosial dan politik yang relatif baru. Dalam sebuah analisis terkini,Aspinall (2008) mematahkan penafsiran yang selama ini men-
303
dominasi pemahaman sejarah masa lalu Aceh, dengan meng-ungkapkan bahwa nasionalisme Aceh adalah konsep yang baruterbentuk. Dia mengatakan, pemahaman tentang identitas yangterpisah sebagai parameter dalam pembentukan suatu negara, hanyaakan lebih signifikan sebagai simbol gerakan ethno-nationalist yangmendambakan berdirinya bangsa Aceh, ketika berhadapan denganrezim Orde Baru yang sentralistik (Aspinall 2008).
Politik dan kekuasaan di Nusantara setelah periode dekolonisasiditandai dengan politik yang tak stabil dan persaingan ketat antaraelit politik dan berbagai kekuatan sosial. Posisi Aceh dalam negarapasca-kolonial sangat ditentukan oleh kompetisi dan pembangunanaliansi di kalangan elit Aceh yang kian terpecah-belah (McGibbon2006). Penyebabnya, pertama, tak satupun kelompok elit mampumenerapkan hegemoni yang stabil dalam pelaksanaan politik lokalselama bertahun-tahun pasca kemerdekaan. Kendati sistem negeripasca-kolonial ini menerapkan sistem kekuasaan yang demokratis,kalangan elit di Jakarta acap menunjukkan kekhawatirannyaterhadap potensi yang dimiliki kalangan petinggi agama di daerah,dalam menggalang dukungan rakyat. Para elit di Jakarta men-cemaskan pengaruh itu akan melemahkan posisi kelompok nasionalissekuler sebagai pengusung negara ini. Ketika pemerintahan kolonialmenjalankan kekuasaannya melalui para bangsawan di Aceh,pemerintah Indonesia justru teramat enggan membangun aliansidengan para ulama. Persaingan antara kalangan ulama dannasionalis sekuler yang loyal pada Jakarta kian memanas, danberpuncak pada perlawanan Darul Islam di tahun 1949.8 Kedua, sta-tus daerah istimewa yang dianugerahkan untuk Aceh setelahtakluknya perlawanan Darul Islam pada 1950-an (McGibbon 2006),turut membentuk dan mengembalikan identitas Aceh ke bentuknormal, justru ketika negara Indonesia menjadi kian otoriter. Sta-tus daerah istimewa itu, ditilik dari kacamata kalangan elit intelektual,memiliki keterkaitan dengan prinsip tata kelola pemerintahan yang
DARI PERLAWANAN BERSENJATA MENUJU PARTISIPASI POLITIK
304 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
demokratis. Hal serupa juga diungkapkan dokumen karya Hasandi Tiro, ‘Demokrasi untuk Indonesia’ (1958). Dalam dokumen itu,dia mengusulkan federalisme sebagai struktur negara Indonesia,yang bisa diterapkan pula di Aceh (Schulze 2003). Sayang, periodeDemokrasi Terpimpin di bawah Soekarno dan naiknya Soeharto ketampuk kepemimpinan pasca pembantaian pada 1965-66, akhirnyamengakibatkan tak terpenuhinya janji pemerintah kepada Aceh, akanposisi yang istimewa dalam parameter negara Indonesia.
Di tengah situasi politik yang tengah berkecamuk: baik dilemadalam hubungan vertikal, antara Aceh dengan pemerintah pusatdi Jakarta, maupun maraknya kompetisi horisontal antara berbagaikelompok elit Aceh, GAM kemudian lahir dan mengembangkansebuah ideologi berbasis pada visi tentang kejayaan Aceh di masalalu. Aspinall (2008) mengemukakan bahwa visi Hasan di Tirotentang bangsa Aceh di masa lalu, seperti yang telah dijelaskansebelumnya, terbentuk oleh dua tujuan: untuk membedakan Acehdari Indonesia, dan untuk memenuhi kualifikasi tertentu, sehinggabisa turut berperan dalam kancah pergaulan internasional. Jadi,konsep GAM tentang nasionalisme Aceh, lebih merupakan reaksiterhadap pengembangan negara Indonesia pasca kolonialisme, yangdi lain pihak, juga sangat bertentangan dengan tujuan berdirinyanegara Indonesia.
Basis ideologi kemerdekaan GAM ini menunjukkan hubunganyang signifikan dalam keberlangsungan konflik. Visi yangmenekankan pada keaslian sejarah Aceh, serta tak cocoknya Acehdengan Indonesia, merupakan struktur mobilisasi yang signifikanhingga konflik berakhir. Baik kalangan senior maupun angkatanmuda anggota GAM dididik melalui pemaparan berbagai kisah danmitos dari sejarah di masa lalu. Narasi sejarah itulah yangmembentuk basis ideologi dan cara bernalar para bekas gerilyawanGAM saat ini.9 Sebelumnya, gagasan tentang pembentukan negaraitu tak pernah berubah menjadi lebih moderat atau dirumuskan
305
ulang dalam dokumen-dokumen resmi GAM, hingga akhirnyadilaksanakan rapat di Stavanger, Norwegia, pada 2002. Rapat itumemutuskan untuk mengganti paham pembentukan negara yangpertama kali dirumuskan oleh Hasan di Tiro, dengan gagasan baru,yang bersandar pada prinsip-prinsip demokrasi dan hak asasimanusia. Keputusan ini merupakan titik balik signifikan bagifondasi gagasan dan organisasi GAM (Schultze 2003). Perumusanulang itu berbuah dari proses transformasi yang tengah ber-langsung dalam tubuh GAM, serta juga salah satu upaya GAMuntuk menjaring dukungan dari pihak luar dan menarik perhatianinternasional terhadap konflik di Aceh. Bagian utama bab ini akanmembahas tentang dinamika proses transformatif tersebut secaralebih mendalam.
Selain itu, masa lalu adalah struktur penggerak mobilisasi yangmembentuk fondasi dasar ideologi GAM dan perlawanannya. Meskibegitu, asumsi yang mengatakan bahwa kekuatan negara Acehsebelum era modern memberi fondasi bagi identitas kedaerahanyang kuat, masih diperdebatkan. Persepsi primordial tentangkejayaan bangsa Aceh itu tak mampu menjelaskan perkembangannasionalisme Aceh yang radikal pada 1970-an atau menjelaskanmengapa radikalisasi tersebut masih berperan penting dalamkehidupan politik bangsa Aceh. Perspektif ini menunjukkan, betapaproblematisnya kesimpulan yang menyatakan bahwa teror-ganisirnya kepentingan-kepentingan primordial bangsa Acehsecara sistematis dalam suatu organisasi, telah sungguh-sungguhdiekspresikan oleh GAM. Identitas nasional adalah konsep yangsulit diterjemahkan, sedangkan identitas primordial dapatdiekspresikan melalui proyek-proyek politik. Dalam kasus Aceh,proyek politik semacam itu dilaksanakan segelintir kelompoknasionalis Aceh, yakni kalangan yang menemukan peluang untukmengungkapkan kekecewaan mendalam rakyat Aceh pada per-tengahan 1970-an. Ideologi yang menyokong eksistensi GAM
DARI PERLAWANAN BERSENJATA MENUJU PARTISIPASI POLITIK
306 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
membuktikan adanya proyek politik, namun ideologi tersebutmemiliki keterbatasan dan sangat problematik.
Perspektif lain yang mencermati sebab musabab munculnyaperlawanan bersenjata dikemukakan oleh pakar ekonomi politik.Mereka berusaha menanggapi kesimpulan yang menyatakan bahwaakar dari nasionalisme radikal adalah semata-mata primordialisme.Analisis tersebut mengidentifikasi adanya kolonialisme internal,misalnya, eksploitasi ekonomi dan dominasi politik antara (suku)bangsa mayoritas dan minoritas di pusat dan di daerah, yangmenjadi basis sosial gerakan nasionalis (Stokke dkk 1999).Pernyataan tentang adanya kolonialisme internal itu bukan sajamenjadi inti dari legitimasi perlawanan sosial dan politik GAM,tetapi juga merupakan bagian yang esensial dalam analisis konfliksecara ilmiah. Literatur ini mengaitkan eksploitasi ekonomi danpelanggaran hak asasi manusia dengan kegigihan dan meluasnyapengaruh GAM sejak awal gerakan perlawanannya (Siegel 2000,Kell 1995, Nessen 2006). Bukti dari struktur penindasan ekonomidan dominasi politik secara umum, dapat dilihat dari berbagaikejadian dan proses yang melingkupi sejumlah kebijakan tertentu.Pertama, segala hal yang berkaitan dengan pengelolaan daneksploitasi sumber daya alam. Pengembangan ladang gas Arunsebagai sumber pendapatan terbesar dari produksi gas alam di In-donesia adalah salah satu faktor penting kemunculan GAM.Kebencian lahir akibat berbagai perampasan lahan, polusi dandampak negatif dari berdirinya pusat-pusat pembangunan baru,yang merupakan buah dari kehadiran industri LNG di Aceh.Pemerintah berusaha mengatasi permasalahan tersebut denganberbagai cara, dan usaha pemerintah yang paling maksimal adalahalokasi pendapatan minyak dan gas kepada pemerintah provinsi,melalui pelaksanaan Undang-Undang Otonomi Khusus tahun 2002.Kendati begitu, berbagai tindak korupsi dan penyalahgunaanwewenang oleh pemerintah daerah tetap berlanjut. Sehingga
307
masyarakat di daerah beranggapan, transfer pendapatan dari Jakartahanya membawa sedikit manfaat (Aspinall 2005; McGibbon 2006).Kedua, pelanggaran hak asasi manusia menjadi sumber kekecewaanterbesar di tengah berkecamuknya konflik. Jika dimensi ekonomitidak dikaitkan secara langsung dengan peperangan yang terjadi,maka militerisasi tingkat tinggi dan memuncaknya rasa tak amandi kalangan penduduk, ditafsirkan sebagai buah dari kehadirankekuasaan ‘kolonial’. Konflik ini secara khusus mengalami titikbalik pada periode 1990 hingga 1998, ketika daerah-daerah di Acehdiberi label sebagai ‘Daerah Operasi Militer.’ Penghilangan paksa,pemerkosaan, dan penyiksaan bukan lagi barang aneh di masapertempuran Indonesia melawan GAM di Aceh (Robinson 1998,Sukma 2004). Ketiga, kemiskinan dan kesenjangan sosial adalahakibat langsung dari konflik yang menahun. Pada era 1970-an,dalam perbandingan dengan daerah-daerah lainnya, tingkatkemiskinan di Aceh berada di bawah tingkat kemiskinan rata-ratadi Indonesia (Aspinall 2005). Berlanjutnya konflik yang takberkesudahan tentu saja menjadi salah satu alasan utama me-ningkatnya ketidakpuasan akibat kemiskinan di Aceh. Di dalamsituasi seperti itu, GAM tak hentinya mengaitkan kesulitan ekonomidengan proses kolonialisme internal.
Berbagai peristiwa dan proses tersebut semakin memperparahpenindasan multidimensi oleh bangsa yang dominan terhadapbangsa lain yang lebih kecil, yang dilakukan melalui penggunaankekuatan militer oleh negara. Berdasarkan pandangan semacamini, GAM pun muncul mewakili perjuangan rakyat Aceh melawanpara penindas yang tak punya legitimasi di mata rakyat. Alhasil,mau tak mau pecahlah perlawanan bersenjata, sebagai akibat darikolonialisme internal.
Tak pelak, sejumlah kejadian dan proses yang diuraikan diatas berdampak negatif bagi kelompok-kelompok tertentu di Aceh.Meski begitu, sekedar menyimpulkan hubungan antara Jakarta dan
DARI PERLAWANAN BERSENJATA MENUJU PARTISIPASI POLITIK
308 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
Aceh di Indonesia sebagai persoalan sesederhana kolonialisme in-ternal, berarti mengabaikan proses-proses tertentu yang mem-bentuk, dan membentuk ulang, serta saling mempengaruhimunculnya konflik-konflik baru. Dalam konteks ini, gerakanperlawanan bersenjata merupakan perkembangan dan reaksi paraaktor politik terhadap penyimpangan dalam pelaksanaan stratifikasisosial dan politik di kalangan rakyat. Argumentasi tentang strukturkenegaraan di masa lalu, dan kolonialisme internal lebih tepatdianggap sebagai strategi utama pihak GAM, ketimbang merupa-kan suatu gambaran akurat tentang relasi sosial dan politik di Aceh.
Transformasi politik GAMSecara umum, taktik dalam gerakan perlawanan dapat di-
kelompokkan sebagai gerakan kekerasan dan gerakan anti ke-kerasan. Menilik perlawanan GAM dari sudut pandang struktur-struktur kesempatan politiknya, maka pola-pola perubahan perilakukelompok perlawanan itu dapat dikaji secara teoritis, yakni ketikamereka mengembangkan diri, baik untuk mengatasi berbagaiancaman yang terus berubah, maupun untuk memperluas cakupandukungan mereka. Idealnya, transformasi kelompok perlawananpro-kekerasan terjadi sebagai berikut. Mereka mulai dari upaya yangmengedepankan kekerasan, lalu berubah ketika kelompok itumemasuki struktur politik yang ada, sehingga akhirnya merekamenghindari taktik penggunaan kekerasan. Meski begitu, jalurtransformasi itu tak selamanya berjalan linear. Proses transformasiumumnya menghadapi kemunduran, bahkan adakalanya kianmenjauhi hasil akhir yang diharapkan, bahkan sebelum kesempatanberpartisipasi secara setara dalam arena politik sempat tumbuh.Kombinasi antara faktor internal dan eksternal menentukan ke-cepatan proses tranformasi, berbagai kemunduran yang dialamisewaktu-waktu, serta tingkat keberhasilan proses transisi darigerakan kekerasan menjadi gerakan anti kekerasan. Bagian ini akan
309
menganalisa GAM berdasarkan dua kategorisasi seperti yang telahdikemukakan di atas, yakni GAM sebagai gerakan reformasi ataupembaharuan, dan GAM sebagai gerakan perlawanan militan, yangbergantung pada pertimbangannya dalam hal ekonomi politik.
Struktur mobilisasi awal dan ‘struktur kesempatan politik’Strategi politik GAM sejak 1980-an hingga akhir 1990-an,
pertama kali dilancarkan melalui serangan militer terhadappemerintah Indonesia, jaringan infrastruktur serta pasukankeamanan, dengan menggunakan metode perang gerilya. Strukturutama mobilisasi GAM dikembangkan melalui dua basis perlawanan.
Pertama, suatu jaringan kecil dan informal di kalangan pemudaterpelajar, yang kecewa terhadap kebijakan pemerintah Indonesiadi Aceh. Pada fase pertama konfrontasi militer selama rentang waktu1976 hingga 1982, kelompok kecil ini melancarkan upaya politikdan militer untuk ‘membangkitkan kesadaran nasional penduduk(sic)’. Kelompok tersebut bertahan sebagai pimpinan resmi gerakanini hingga penandatanganan MoU pada 2005, serta selama kira-kira dua puluh tahun, mereka memimpin pemerintahan GAM dipengasingan, yang diproklamasikan di Swedia.
Basis perlawanan kedua, yang notabene lebih populer, tumbuhdi kalangan penduduk di pedesaan yang kecewa dan termotivasisecara politik, terutama mereka yang tinggal di daerah pesisir dariSigli hingga Lhokseumawe. Selama 1980an, penduduk desa yangtak puas di basis perlawanan GAM itu, berfungsi sebagai strukturmobilisasi paling utama, melalui berbagai jaringan informal danhubungan kekerabatan, yang tak terhitung jumlahnya. Penduduklokal tersebut merupakan sumber utama bagi perekrutan tentara-tentara GAM dan pendukungnya selama masa konflik. Pada tahun-tahun pertama berdirinya GAM, mereka tinggal di perbatasan arenamodernisasi dan industrialisasi, serta merasa tersisihkan daripesatnya proyek pembangunan, yang berlangsung baik di dalam
DARI PERLAWANAN BERSENJATA MENUJU PARTISIPASI POLITIK
310 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
maupun dekat lingkungan tempat tinggal mereka (Siegel 2000,Aspinall 2005). Jaringan-jaringan tersebut diproduksi dandireproduksi melalui lembaga-lembaga agama tradisional danjaringan loyalitas kekerabatan, yang secara geografis terletak diwilayah pesisir Aceh bagian Utara. Sejumlah pengamat meyakinibahwa wilayah yang terletak di area geografis itu dapat berfungsisebagai tempat mobilisasi utama, karena dua hal. Pertama, wilayahitu terkenal memiliki tradisi kuat dalam perlawanan terhadapnegara10 (Reid 2006, Siegel 2000), dan kedua, wilayah itu didominasisuku Aceh, kelompok etnis terbesar di provinsi ini (Schultze 2003).Jaringan sosial informal, yang memanfaatkan identitas itu, telahdipercaya berfungsi sebagai jaringan mobilisasi informal dipermulaan berdirinya GAM. Kendati begitu, patut dicatat bahwaGAM acap bersikap sangat sensitif ketika berbicara tentangkesukuan. Mereka mengklaim, GAM mewakili seluruh kelompoketnis di Aceh, terlebih karena wilayah Aceh secara keseluruhan,tak didominasi oleh satu kelompok etnis tertentu.11
Selain itu, patut diingat pula, basis mobilisasi GAM berkembangdan mengalami berbagai tranformasi selama era konflik. Tindakanrepresif rezim Orde Baru Soeharto yang brutal merupakan salahsatu alasan utama, yang menjelaskan meluasnya basis kerakyatanGAM di era 1990-an (Kell 1995, Robinson 1998). Kebrutalan militerterhadap rakyat sipil di Aceh kemudian secara alami menjadi sumberkunci mobilisasi dukungan bagi GAM. Di tengah segala pembatasanyang diterapkan Orde Baru di Aceh, GAM adalah satu-satunya suarayang lantang menentang tindakan represif itu. Sejumlah kalanganmenuding berbagai kekerasan militer di era 1990-an merupakan reaksiberlebihan terhadap suatu gerakan gerilya, yang selama tahun-tahunitu hanya beranggotakan beberapa ratus orang saja (Nessen 2006).Alhasil, terutama selama periode penindasan militer yang dahsyatantara 1989-1998—lazim pula dikenal sebagai era DOM, GAMmemobilisasi gerakan militer, dukungan rakyat, dan dukungan
311
keuangan dari kalangan korban kekerasan militer (Robinson 1998,Aspinall 2006). Di tengah tak berfungsinya aparatus negara danterbatasnya kesempatan untuk mengembangkan diri sebagaikekuatan sosial, kalangan pemuda pun menganggap GAM sebagaialternatif yang menjanjikan.
Konon, ‘struktur utama yang menyediakan kesempatanpolitik’ bagi pendirian GAM sebagai gerakan perjuangan ke-merdekaan yang berulangkali dihantam operasi militer, berada diluar Aceh. ‘Pemerintah bayangan’ di Swedia membentuk kepe-mimpinan berbasis pada ideologi, bersifat militeristik, dan strategis,sejak akhir 1970-an hingga Pilkada 2006. Garis komando tetap jelas,dan komunikasi antara para panglima di lapangan dan kepe-mimpinan di Stockholm terkesan begitu lancar. Hasan di Tiroberupaya mencari dukungan internasional bagi GAM. Usaha yangpaling diingat dan mungkin paling berhasil adalah masuknya GAMke dalam jaringan pelatihan milik Khadafi dan berbasis di Libya,yang bertujuan memerangi ‘imperialisme, Zionisme, dan rasisme’(Rothwell 1998). Pelatihan militer ini kemudian mendorongdimulainya kebangkitan terbesar GAM yang kedua pada 1986(Schultze 2003). Namun, struktur kesempatan itu hancurberantakan ketika operasi militer besar-besaran menghantam GAM,yang berupaya hadir kembali di Aceh. Akibatnya, dimulailah sta-tus darurat militer melalui penetapan Daerah Operasi Militer, yangbaru dicabut pada 1998.
Salah satu struktur kesempatan yang tak ikut hancur danmemfasilitasi kemampuan GAM dalam melanjutkan ‘struktur yangmemberikan kesempatan politik’ dan perlawanan militer berasaldari masyarakat Aceh di Malaysia. Mereka tak hanya memberikanperlindungan bagi anggota gerakan perlawanan, yang sedangdalam pelarian, tapi juga menyediakan akses yang signifikan bagisumber pendanaan dan peralatan militer (Schultze 2003). Dalamistilah militer, tersedianya akses-akses tersebut adalah surga politik
DARI PERLAWANAN BERSENJATA MENUJU PARTISIPASI POLITIK
312 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
dan merupakan sarana pelatihan bagi para calon tentara yang siapkembali ke Aceh sewaktu-waktu. Tersedianya ‘struktur itu’ me-nunjukkan bahwa untuk pertama kalinya, organisasi separatis itumemiliki akses-akses terhadap senjata, pelatihan dan sumber-sumbermaterial lainnya. Namun, situasi itu pun buyar, akibat berubahnyahubungan Indonesia dan Malaysia pada 1996-1997, yakni ketikapihak intelijen Indonesia bekerja sama dengan polisi Malaysia untukmencari dan memenjarakan sejumlah simpatisan GAM, yangpernah mencari perlindungan di negara ini. Salah satu di antaranyaadalah Ishak Daud, seorang tokoh GAM terkemuka, yang menetapdi Malaysia pada 1990-an (Miller 2003). Sejumlah pejuang kemudianpulang ke Aceh beberapa bulan sebelum Mei 1998. Itu berarti,sebelum terjadi gejolak politik dan gerakan reformasi di Jakarta,GAM telah menempatkan sejumlah anggotanya yang terlatih diprovinsi tersebut. Jenis-jenis transformasi yang difasilitasi faktor-faktor itu akan dibicarakan lebih lanjut berikut ini.
Kombinasi antara struktur mobilisasi yang sangat terbatas diera kekuasaan Orde Baru dan ‘struktur-struktur kesempatan politik’eksternal, mendorong GAM memiliki posisi ganda. Dimensistruktural tersebut turut memfasilitasi upaya menyelamatkanperlawanan mereka sebagai suatu gerakan gerilya. Bahkan,struktur-struktur itu turut memfasilitasi perubahan ideologi, yangsebelumnya mengandalkan retorika primordial ethno-nationalist, danakhirnya mengacu agenda internasional penegakan hak asasimanusia. Namun, berbagai kemunduran dalam aksi militer takkunjung mengarah pada bergulirnya suatu proses tranformasi,untuk meninggalkan upaya gerakan gerilya yang kurang berhasilitu. Sebagai suatu kekuatan politik, GAM tetap saja dianggap taksignifikan pada 1998. Selain itu, dalam rangka memperoleh legitimasipolitik dan akuntabilitas di kalangan rakyat Aceh, GAM ber-gantung pada kemampuannya dalam memperluas cakrawala, sertamembangun aliansi dengan masyarakat sipil yang kian aktif dan
313
berkembang. Bagian selanjutnya akan membahas titik baliksignifikan pasca 1998, yang menyorot perubahan pola-pola strukturkesempatan, serta dilema GAM sebagai sebuah gerakan militan.
Hingga 1998, GAM telah berkembang sebagai akibat dari upayamereka bereaksi terhadap pemerintahan yang tak henti-hentinyamereka lawan. Jatuhnya rejim Orde Baru Soeharto di tahun 1998merupakan masa-masa kritis bagi gerakan kemerdekaan ini. Sepertidipaparkan dalam bagian berikut ini, perdamaian bisa terwujudberkat strategi perluasan fondasi ideologi GAM, melalui pem-bangunan aliansi antara para individu dalam GAM dan aktivispro-demokrasi di luar GAM. Sementara itu, di saat yang bersamaan,GAM masih mempertahankan hegemoninya di daerah pedesaansebagai basis kekuatan mereka.
Transformasi yang difasilitasi oleh transisi demokrasi di IndonesiaStruktur kesempatan yang memfasilitasi proses transformasi
tersignifikan terhadap basis sosial, politik, dan militer GAM adalahkeruntuhan rezim Orde Baru pada 1998. Perubahan tatanan politikitu mendorong upaya krusial dalam perumusan ulang strategipolitik GAM, yang sekaligus menata ulang batas-batas mobilisasipolitik dalam negara Indonesia. Kejatuhan ekonomi, protes rakyatdan perpecahan di dalam kalangan elit penguasa secara dramatistelah mengubah konteks politik Indonesia, yang sebelumnyamerupakan wadah pengembangan perlawanan politik GAM.Jatuhnya Soeharto menyebabkan terjadinya upaya ‘negosiasi ulangterhadap batas-batas’ negara di tengah berkecamuknya kekerasandalam mobilisasi etnis dan agama di sejumlah daerah, sepertiMaluku, Kalimantan, dan Sulawesi (Nordholt dan van Klinken2007). Sentimen pemisahan diri juga semakin mengemuka di daerahlainnya, seperti Timor Timur, Papua, dan Aceh, serta di daerahdengan mobilisasi yang lebih lemah, seperti Riau dan Bali (Aspinall2008). Sejumlah kalangan menganggap, referendum penentuan
DARI PERLAWANAN BERSENJATA MENUJU PARTISIPASI POLITIK
314 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
status Timor Timur membuktikan Indonesia berada di ambangperpecahan. Pandangan yang diyakini bersama oleh sejumlahpengamat politik independen dan aktivis hak asasi manusia itu,memicu gerakan politik lain di Aceh. Perkembangan di atas turutmemfasilitasi transformasi politik penting di Aceh, di mana GAMsebagai aktor politik sentral dipaksa untuk bereaksi. Terdapat duamekanisme kunci, yang memfasilitasi transformasi GAM ketikaberkembang mengikuti proses demokratisasi Indonesia. Mekanismeitu, di satu sisi, terdiri dari gerakan kerakyatan dan perubahankelembagaan menuju desentralisasi, dan di sisi lain, terjadi ekspansimiliter serta politik besar-besaran oleh GAM, yang bisa terwujudkarena adanya perubahan batas-batas politik dalam negara Indo-nesia. Bagaimana para aktor kunci bereaksi terhadap perubahan‘struktur kesempatan politik’ memberi peluang bagi terwujudnyaproses perdamaian di Helsiki; dan sebagai konsekuensinya, men-dorong proses demokratisasi. Dengan demikian, GAM umumnyamampu menunjukkan kemampuan untuk menggerakkan prosesyang signifikan dalam upaya orientasi ulang, mobilisasi ulang, sertapengorganisasian ulang, yang sejalan dengan dua kategori kuncisebagai berikut: (i) reformasi dan demokrasi, serta (ii) gerakanperlawanan militan.
GAM sebagai gerakan pembaharuanTransformasi GAM yang signifikan sebagai gerakan
pembaharuan, pertama kali merupakan hasil dari gerakan-gerakanpro-demokrasi yang menuntut gagasan-gagasan baru yang lebihinklusif bagi keterwakilan rakyat di Aceh. Selanjutnya, prosestransformasi yang kedua difasilitasi oleh kebijakan Jakarta dalampelaksanaan desentralisasi. Seperti dijelaskan dalam bagian ini, GAMmembuat keputusan yang strategis, ketika mengembangkan aliansidengan gerakan mahasiswa, yang kemudian turut memfasilitasilahirnya konstelasi dan aliansi baru bagi reformasi politik di Aceh.
315
Gerakan pro-demokrasi, yang terdiri dari para aktivis mudaini, tumbuh dan bergerak sejalan seiring dengan gerakanmahasiswa di Jakarta dan kota-kota besar lainnya di Indonesia,kendati diwarnai semangat ke-Aceh-an yang kental. Dalam konteksisu pemisahan diri, baik masih berupa persepsi atau menjadikesadaran nyata, gerakan pro-demokrasi di Aceh juga menjadigerakan yang pro-kemerdekaan, dengan melansir identitas dirimereka sebagai ‘garda terdepan nasionalisme Aceh’ yang baru(Aspinall 2008). Kelompok ini membingkai ulang gagasankemerdekaan ke dalam konsep demokrasi dan hak asasi manusia.Menurut mereka, membebaskan diri dari penindasan dankolonialisme tak mungkin dilakukan dalam kerangka negara In-donesia. Di situ tampak jelas bahwa pekatnya aksi penindasanselama 1990-an melahirkan pola pikir yang baru, dan perumusanulang gagasan politik di Aceh. GAM mengikuti pola baru dalamaksi mobilisasi ini. Mula-mula, GAM hanya mengamati dari pinggir,sebelum mengambil tindakan strategis untuk bergabung.
Dicabutnya status darurat militer yang berlangsung selamasatu dekade di Aceh pada Agustus 1998 menunjukkan awal darimulai ditinggalkannya strategi keamanan ala rezim Orde Baru.Sikap Presiden Habibie yang berusaha tampil sebagai pemimpinyang demokratis bagi rakyat Aceh dan janjinya untuk menyelidikipelanggaran hak asasi manusia di masa lalu, awalnya menunjukkanterjadinya perubahan besar dalam cara Jakarta mengatasi masalahGAM dan Aceh. Permohonan maaf secara terbuka oleh PanglimaTNI Jenderal Wiranto atas pelanggaran hak asasi manusia, yangsegera diikuti penarikan pasukan TNI non-organik adalah strategiuntuk memenuhi tuntutan para demonstran pro-referendum(Schultze 2003). Presiden baru, Abdurrahman Wahid (Gus Dur),yang berkuasa pada Oktober 1999, bahkan memberi sinyaldiperbolehkannya penyelenggaraan referendum di Aceh, sepertiyang pernah dilaksanakan di Timor Timur (Miller 2006). Janji yang
DARI PERLAWANAN BERSENJATA MENUJU PARTISIPASI POLITIK
316 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
belum tentu ditepati ini memicu kepanikan di kalangan petinggimiliter. Sebaliknya, janji itu dipegang sebagai sebuah janji politikoleh gerakan pro-referendum yang tengah berkembang, danbernaung di bawah payung Sentral Informasi Rakyat Aceh (SIRA).
SIRA didirikan pada Februari 1999 dan berfungsi sebagaiorganisasi payung bagi kelompok-kelompok masyarakat sipil,aktivis hak asasi manusia, dan kelompok keagamaan, yangmendukung upaya meraih kemerdekaan tanpa kekerasan, danmelalui pelaksanaan referendum. Yang paling penting, polamobilisasi semacam ini tidak tumbuh melalui dukungan dari basiskekuasaan GAM di pedesaan, tapi muncul dari pusat-pusatperkotaan dan lembaga pendidikan. SIRA kemudian memanfaatkanmomentum ini dengan mendirikan kantor-kantor di berbagaipelosok daerah dan berusaha menjaring dukungan dan donasi dariberbagai wilayah, hingga di luar basis awal dukungan mereka.Selain itu, di daerah-daerah dengan pengaruh GAM yang kuat,upaya gerakan pro-referendum itu disetujui para panglima GAM.Para panglima itu justru mendorong rakyat biasa agar ikutberpartisipasi dan mendukung referendum ini (Aspinall 2008, 109).
Hingga tahun 1999, GAM selalu menggunakan strategi militer.Meski begitu, sebagaimana digambarkan sebelumnya, munculnyaisu-isu baru memfasilitasi pergeseran ideologi dalam GAM, sehinggalebih fokus pada pelaksanaan demokrasi. Fakta yang menunjukkanbahwa GAM dan SIRA memiliki tujuan sama, melahirkan tipe koalisibaru antara dua kekuatan politik utama di Aceh: gerakan gerilyayang militan dan gerakan masyarakat sipil, yang lebih berorientasipada demokrasi kerakyatan. Bahkan, kesediaan Indonesia untukmenerima pelaksanaan referendum dalam menentukan status TimorTimur, membuat para pemimpin GAM lebih percaya diri bahwastrategi serupa akan bisa diterapkan pula di Aceh, meskipun awalnyamereka menolak usulan referendum, yang diajukan SIRA (Schultze2003). Menilik konteks politik Indonesia pada waktu itu, sejumlah
317
pengamat beranggapan bahwa suatu proses disintegrasi yang damaiadalah pilihan yang lebih mungkin untuk terwujud. Karena itu,GAM berharap dapat melegitimasi klaim-klaim mereka, dengan turutmendukung dan memperjuangkan tuntutan pelaksanaan referen-dum yang demokratis.
Dalam kurun waktu antara Oktober hingga November 1999,jalan-jalan di Banda Aceh lumpuh oleh aksi unjuk rasa terbesarsepanjang sejarah provinsi itu. Terbukanya ruang bagi pelaksanaanaksi unjuk rasa semacam ini, seiring dengan munculnya kesempatanperluasan basis politik GAM melalui pembentukan aliansi dengankekuatan sipil, memfasilitasi transformasi yang signifikan bagigerakan kemerdekaan. Gerakan kemerdekaan itu semakin mencakupgerakan massa yang lebih luas, serta meningkatkan legitimasi GAM,baik di mata pemerintah Indonesia dan masyarakat internasional,maupun masyarakat di Aceh. Namun, seperti yang dikemukakanAspinall, SIRA masih merupakan representasi nasionalisme Acehyang lebih inklusif dan bernuansa sipil, daripada citra ethno-nasionalismyang ditunjukkan GAM (Aspinall 2008). Terlepas dari agenda dantujuan yang sama, aliansi dan perluasan basis politik tersebut tidakmampu memfasilitasi transformasi GAM secara utuh. Para pimpinanGAM memandang para aktivis itu layaknya ‘anak-anak’, yangberpikir musuh dapat diperangi dengan tangan kosong. KegagalanGus Dur memenuhi janjinya akan pelaksanaan referendum kianmenguatkan ketidakpercayaan GAM atas Jakarta, dan GAM yakinbahwa metode mereka yang lama masih dibutuhkan.12 Prosestransformasi terpenting pada bulan-bulan yang penuh gejolak pada1999 adalah munculnya gagasan-gagasan yang difasilitasi oleh paraindividu di luar GAM, khususnya di kalangan para aktivis danpimpinan SIRA, seperti Muhammad Nazar. Namun perubahan cita-cita ataupun meningkatnya orientasi terhadap pelaksanaandemokrasi di dalam kelompok tersebut tidak mampu memberilangkah maju dalam upaya mengakhiri konflik, kecuali pemerintah
DARI PERLAWANAN BERSENJATA MENUJU PARTISIPASI POLITIK
318 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
Indonesia mengubah pendekatannya dalam pelaksanaan politik re-gional di Indonesia. Mekanisme kedua yang memberi dampaklangsung terhadap transformasi politik GAM terletak di tanganpemerintah Indonesia.
Seiring dengan perumusan ulang ide-ide yang mendasariperlawanan, proses keseluruhan dari demokratisasi dan de-sentralisasi, yang dilaksanakan secara bertahap setelah 1999, telahmengubah secara radikal kesempatan politik bagi gerakannasionalisme yang militan. Kendati terdapat perbedaan pendapattentang masa depan negara kesatuan Indonesia di kalangan elitdan militer di Jakarta, desentralisasi struktur pemerintahan secarapolitik ternyata juga membuka seperangkat kesempatan baru bagidaerah, dan belakangan juga membuka kesempatan baru bagiGAM. Strategi dan respon politik Jakarta terutama berupa responsecara kelembagaan untuk menanggapi tuntutan separatisme, yaknimelalui penerapan otonomi khusus pada 1999, yang kemudiandiganti dengan Undang-Undang Nanggroe Aceh Darussalam(NAD), dengan aturan yang lebih komprehensif, pada 2001.Kebijakan desentralisasi mulanya bertujuan untuk menciptakanalternatif di samping tuntutan pemisahan diri, dengan caramenganugerahi kekuasaan otonomi yang luas bagi Aceh, dalamkerangka negara kesatuan (Miller 2004 dan 2006). Harapannya,kebijakan itu akan mengasingkan GAM dari kancah politik di Aceh,dan memenuhi keinginan elit lokal untuk berkuasa, melalui iming-iming janji tentang peningkatan kekuasaan parlemen daerah(McGibbon 2006). Adanya persepsi bahwa GAM bisa disisihkanmelalui upaya kelembagaan menunjukkan pemerintah telah salahtafsir terhadap pesatnya peningkatan kekuatan dan basis kekuasaansosial GAM, yang akan dibicarakan lebih lanjut di bawah ini.Sebaliknya, Undang-Undang NAD itu ternyata luar biasa itu miripdengan Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA)—peraturanperundang-undangan resmi yang dirumuskan berdasarkan
319
kesepakatan dalam MoU Helsinki—meski UU NAD itu tak memuatgambaran yang signifikan tentang perwakilan lokal dan peranpolitik GAM. Kendati begitu, titik balik terpenting terletak padakesediaan Jakarta untuk menangani masalah Aceh melalui pen-dekatan yang sangat berbeda. Jakarta setidaknya berusaha meng-akomodasi sejumlah tuntutan melalui saluran-saluran lembagademokrasi, walaupun lembaga-lembaga tersebut penuh denganketerbatasan dan tak stabil.
Upaya untuk mendesentralisasi kekuasaan ke tingkat provinsi,termasuk Aceh, dilandasi oleh strategi pemerintah di Jakarta untukmemperoleh solusi melalui negosiasi penyelesaian konflik. Prosesperdamaian dimulai pada akhir 1999 di Jenewa dan menghasilkandua titik balik penting: Jeda Kemanusiaan, yang berlaku sejakpertengahan 2000, tetapi hanya bertahan hingga awal 2001; sertaKesepakatan Penghentian Permusuhan (COHA) yang lebihsubstansial, pada Desember 2002. Meski begitu, seperti diyakini olehpara pemerhati masalah Aceh, keterlibatan GAM dalam putaranpertama proses perdamaian melalui mediasi pihak internasional,tak diragukan lagi teramat strategis (Schultze 2003, Aspinall 2005).GAM menginternalisasi tujuan politik milik SIRA, yang inginmeniru jejak langkah Timor Timur, dan akhirnya mengembangkanupaya penentuan nasib sendiri dengan dukungan PBB. Meskibegitu, kesepakatan politik yang dicapai saat itu ternyata takmembawa kemajuan yang konkrit dalam upaya pelucutan senjatadan demiliterisasi masyarakat Aceh.
Faktor yang paling disorot para pengamat masalah Aceh adalahperbedaan pandangan dan harapan kedua belah pihak tentangputaran pertama proses perdamaian tersebut. Pemerintah Indone-sia berkukuh, apapun bentuk penyelesaian konflik di Aceh, harustetap berada dalam kerangka otonomi khusus—seperti yangdikemukakan di atas (Huber 2004, Aspinall 2005, Schultze 2004).Sedangkan, pimpinan GAM menganggap proses dialog bukan
DARI PERLAWANAN BERSENJATA MENUJU PARTISIPASI POLITIK
320 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
upaya untuk mengakhiri konflik, tapi merupakan bagian daristrategi untuk mengangkat konflik Aceh ke skala internasional(Huber 2004, Aspinall 2005, Schultze 2004), serta menggalangdukungan untuk mencapai tujuan mereka melalui jalur tersebut.13
Selain itu, terdapat dua faktor penting yang menunjukkan mening-katnya fokus terhadap upaya-upaya reformasi dan demokrasi.Faktor-faktor itu mencerminkan dua struktur kesempatan politikyang signifikan, dan terbukti penting dalam berbagai upaya menujuMoU Helsinki. Faktor pertama terkait dengan upaya orientasi ulanguntuk merumuskan agenda demokrasi, yang belum terwujud dikalangan pimpinan GAM pada waktu itu. Di saat bersamaan,upaya mengangkat isu konflik ke skala internasional adalahlangkah strategis, karena upaya ini membawa perubahan ideologiyang tak terduga. Untuk pertama kalinya, para pimpinan GAMdikenal oleh para aktor dan kekuatan utama dunia internasional.Henry Dunant Centre (HDC), yang mengajukan diri sebagai media-tor antara GAM dan pemerintah Indonesia, mewakili kecende-rungan baru dalam diplomasi internasional. Meskipun relatif takmemiliki pengalaman dengan kasus Aceh, HDC terdiri atas paraahli resolusi konflik, dengan pengetahuan dan pengalaman yangtak kalah pentingnya dari daerah konflik lainnya di dunia. Dalampertemuan dengan kalangan aktor internasional, aktivis dannegosiator perdamaian, para pemimpin GAM terpaksa membingkaiulang tuntutan mereka tentang penentuan nasib sendiri denganmenggunakan parameter perwakilan yang demokratis danpemenuhan hak asasi manusia, agar mudah dipahami masyarakatinternasional. Seiring terjalinnya kontak tersebut, para pemimpinGAM kian tersosialisasi dengan jargon komunitas internasionalmengenai resolusi konflik dan peace building. Sebelumnya,pengalaman internasional GAM hanya terbatas pada pemberiandukungan oleh Libya dan belajar dari pengalaman perang gerilyaAmerika Latin.14 Kini mereka menjalin hubungan dengan bagian
321
lain dalam dunia diplomasi internasional, yang sungguh berbeda.Dalam sebuah rapat di Stavanger, Norwegia, Juli 2002, GAM
meluncurkan ‘Deklarasi Stavanger’. Deklarasi ini memuat per-ubahan gagasan, yakni mengganti tujuan mendirikan kembaliKesultanan Aceh dengan tujuan mendirikan negara, yang ber-dasarkan prinsip-prinsip demokrasi dan hak asasi manusia.Deklarasi ini terutama ditafsirkan sebagai gerakan strategis, yangbertujuan menggalang dukungan dari organisasi non pemerintah(NGO) bertaraf internasional (Schultze 2003). Melalui sudutpandang MoU Helsinki, deklarasi tersebut merupakan titik balikpenting, yang menunjukkan orientasi ulang terhadap ideologi dankomitmen kelompok moderat di dalam GAM. Sejak awal, perubahanideologi itu membuka kesempatan bagi GAM untuk memperkuataliansi antara perpanjangan kepemimpinan GAM dan kekuatansipil di Aceh, seperti SIRA. Banyak aktivis SIRA yang diwawancaraidalam proyek ini mengungkapkan, mereka lebih mudah menjalinaliansi dengan GAM dan mengkritisi kepemimpinan gerakan inisetelah GAM secara terbuka menanggalkan visi mereka yangautoritarian dan menghegemoni tentang masa depan Aceh.
Faktor kedua, putaran pertama pembicaraan damai menjadikanisu desentralisasi dan otonomi yang demokratis sebagai pusatperdebatan. Meskipun terdapat berbagai keterbatasan, permainanpolitik, dan perbedaan pendapat dari masing-masing kubumengenai pelaksanaan desentralisasi dan otonomi khusus itu, pa-rameter perundingan telah ditetapkan. Parameter-parametertersebut ditinjau ulang dan dirumuskan kembali di Helsinki, namuntetap berdasarkan ide yang sama. Upaya kompromi palingsignifikan muncul pada perundingan di tahun 2002, yaitu ketikaGAM bersedia menerima undang-undang otonomi khusus tahun2001 untuk memulai perundingan (Aspinall 2005). Meskipunundang-undang otonomi khusus itu kemudian ditolak GAM, yangmengundang kecaman dari sejumlah kalangan birokrasi Jakarta
DARI PERLAWANAN BERSENJATA MENUJU PARTISIPASI POLITIK
322 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
dan TNI, pengelolaan pembagian kekuasaan secara institusionalmerupakan poin kunci dalam perundingan. Kejadian pada 2002itu menunjukkan GAM tidak berada di posisi untuk melepas opsikemerdekaan. GAM masih bertindak berdasarkan keyakinanbahwa Indonesia akan mengalami disintegrasi, akibat tekanan dariaksi perlawanan di daerah dan hantaman krisis ekonomi. Per-damaian yang dibayangkan GAM hanya bisa tercapai melalui upayaseparatisme. Namun, di waktu yang sama, terbukanya ruangpolitik, serta adanya dukungan terhadap tuntutan SIRA, yangmenginginkan kemerdekaan melalui lembaga demokratis, menjadititik balik krusial bagi fondasi politik GAM. Para pimpinan GAMdi Swedia menyadari bahwa daripada mengasingkan kelompoknasionalis muda, lebih baik bergabung dengan mereka dalambarisan yang bersatu-padu, sembari mengembangkan sayapmiliternya. Ketika kampanye referendum begitu gencar, para aktivispro-demokrasi berada di atas angin. Namun, mereka pun tiarapbegitu ruang bagi aksi politik tertutup dan Indonesia menolaktuntutan referendum. Selanjutnya, GAM menjadi satu-satunyasuara politik di Aceh, kendati putaran pertama perundingan damaimenemui kegagalan. Pada akhirnya, walaupun aliansi dan gagasanbaru mulai tumbuh, minimnya pengalaman dan kemauan politikdi sisi pemerintah Indonesia, dan kegelisahan di kalangan pimpinanGAM di tengah berbagai upaya-upaya terbaik mereka, adalahfaktor-faktor yang dapat menjelaskan gagalnya putaran pertamaperundingan damai di Aceh. Jika ditilik kembali, bisa dikatakanbahwa aneka peristiwa dan perubahan yang terjadi, serta adanyastrategi dan kemauan untuk mengakomodasi realita politik yangbaru, pada akhirnya memfasilitasi transformasi yang signifikanpada tahun-tahun awal pasca kejatuhan Soeharto. Aksi perlawan-an mulai menggunakan citra baru dan merangkul reformasi.
323
Berlanjutnya militansi perlawanan GAM: terciptanya kesempatan baruFaktor kedua yang menentukan proses transisi dari pe-
perangan ke perdamaian di Aceh, difasilitasi oleh strukturkesempatan politik yang sangat berbeda. Struktur itu menjaminkeberlangsungan GAM sebagai gerakan perlawanan. Dimensikedua ini tidak mengusung gagasan tentang pembaharuan dandemokrasi yang terbuka bagi semua pihak. Justru dimensi inidifasilitasi oleh kegiatan ekonomi ilegal serta ekspansi basiskekuasaan individual oleh para panglima GAM ke seluruh provinsiitu. Proses transformasi difasilitasi oleh munculnya kesempatanpolitik bagi militer dan ekspansi kekuasaan politik setelah kejatuhanOrde Baru. Selain itu, proses transformasi juga membuka ke-sempatan yang penting bagi upaya tawar-menawar politik dalambeberapa putaran negosiasi perdamaian, sejak di Jenewa hingga diHelsinki, selama periode 1999-2005. Bagian ini menekankan bahwaterlepas dari adanya transformasi yang signifikan, baik dari segigagasan maupun dari sisi kemajuan individu, dalam mencapaibentuk nasionalisme dan tata kelola pemerintahan yang lebihinklusif, justru dimensi non-liberal dari perlawanan GAMmerupakan faktor penentu keberhasilan GAM dalam pilkada disituasi pasca-konflik. Sifat non-liberal dari perlawanan GAMdidokumentasikan dengan baik oleh sejumlah pengamat danpemerhati masalah Aceh (misalnya Schultze 2004 dan 2005, Aspinall2002 dan 2008, ICG 2001, HRW 2003). Baru-baru ini, Aspinall (2008)secara khusus menganalisis dinamika dan kekerasan dalamperlawanan GAM. Berikut ini kami sajikan pembahasan singkatmengenai sejumlah elemen kunci, dalam menyorot dualisme prosestransformasi GAM, yang juga merupakan fokus dari analisistersebut.
Jatuhnya Orde Baru ternyata mengubah kesempatan politikbagi GAM sebagai sebuah gerakan gerilya. Kerusuhan dan situasiyang tak menentu di Jakarta, pada level tertentu menciptakan
DARI PERLAWANAN BERSENJATA MENUJU PARTISIPASI POLITIK
324 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
kekuasaan otonomi di daerah, sehingga kian membulatkankeyakinan bahwa kemerdekaan sudah di depan mata. Bagi parapemimpin GAM dan terutama yang berada di Aceh dan Malaysia,tersedianya ruang-ruang politik itu berarti ada peluang bagipelaksanaan strategi ekspansi militer baru ke pelosok-pelosokkecamatan di Aceh. Meluasnya dukungan rakyat terhadap gerakanseparatisme ini, berjalan seiring dengan ekspansi militer ke berbagaikecamatan di Aceh Tengah, Aceh Barat, dan Aceh Timur, AcehSingkil, dan Simeulue (Schultze 2004). Selain itu, perjanjiangencatan senjata antara kedua belah pihak, pada derajat tertentutelah menciptakan otonomi daerah, atau dengan kata lain,menciptakan ruang bagi revitalisasi GAM. Karena itu, ketika In-donesia menolak usulan referendum, maka pertempuran antaraGAM dan tentara Indonesia pun semakin meningkat.
Dalam situasi semacam itu, peluang-peluang baru munculmelalui pemberian dukungan secara klandestin bagi perlawananGAM terhadap negara yang menggembar-gemborkan tentangpentingnya keamanan, namun justru menciptakan situasi yangtak aman. Selain itu, komunitas internasional kian mendesakdibentuknya peradilan terhadap pelanggaran hak asasi manusiadan menuntut pelaksanaan demokrasi.
Terbukanya ruang politik itu memberikan kesempatan bagiGAM untuk terus menyebarluaskan program-program politiknya.Selama periode ini, mesin propaganda GAM sangat aktif dan seiringdengan keterbukaan media, pernyataan pers GAM kerap munculdalam pemberitaan surat kabar daerah (walaupun pernyataan dimuatkarena dipaksa, dan bukan menunjukkan ekspresi politik wartawandi daerah), berbagai ceramah publik dan penyebaran poster begitumarak di berbagai penjuru provinsi ini, serta terbuka peluang bagiperekrutan anggota GAM secara terbuka (Aspinall 2008).
Kendati ideologi yang melandasi propaganda ini masihberkisar pada gagasan tentang kolonialisme internal dan kejayaan
325
Aceh di masa lalu, propaganda tersebut semakin fokus pada upayamenggambarkan perjuangan kemerdekaan sebagai satu-satunyajalan keluar untuk membebaskan rakyat dari kekerasan dan tindakrepresif negara.
Di sisi lain, semakin labilnya situasi politik di Jakarta, yangkemudian menimbulkan kekosongan kekuasaan di tingkatprovinsi, menyebabkan GAM mampu kembali muncul ke per-mukaan dan memperluas kekuatan militernya ke seluruh Aceh.Pada pertengahan 2001, GAM dilaporkan telah mengendalikansekitar 80% wilayah pedesaan di Aceh (Schultze 2004). Berbicaramengenai kontrol politik, patut dicatat, GAM tetap beroperasi ditengah pertikaian internal yang terjadi, walaupun terbatasnyaketerbukaan ruang politik bagi ekspansi GAM sebagai gerakangerilya sekaligus kekuatan politik selama kurun waktu 1999 hingga2003.
Ekspansi militer GAM berarti meningkat pula tuntutan akantambahan anggota pasukan. Sumber perekrutan paling signifikanadalah kelompok pejuang yang berpegang teguh pada ideologiGAM, dan telah dipaksa kembali ke Aceh dari Malaysia pada 1997,seiring dengan menguatnya hubungan diplomatik antara Malay-sia dan Indonesia. Kelompok inilah pelopor pembangunan kembaliorganisasi militer GAM selama periode yang penuh gejolak pasca1998. Selain itu, beberapa ratus anggota pasukan direkrut GAMdari dalam Aceh. Sebagian besar anggota, yang kemudian menjadibarisan inti GAM pasca kesepakatan damai, bergabung padaperiode tersebut. Itu berarti, para panglima daerah memahamidiskursus tentang hak asasi manusia yang lebih luas, sekaligusmengadopsi pemikiran tradisional tentang ethonationalism sebagaiideologi yang mendasari perlawanan kelompok nasionalis di Aceh.Para panglima itu tetap setia kepada kepemimpinan di Swedia ketikaberbicara tentang urusan militer. Namun mereka juga lambat launmengembangkan basis kekuasaan independen di kabupatennya
DARI PERLAWANAN BERSENJATA MENUJU PARTISIPASI POLITIK
326 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
masing-masing. Pimpinan GAM di Swedia masih menentukan arahnasib politik, tapi dalam hal gerakan basis sosial dan ekonomi,struktur-struktur lokal terbukti kian dominan.
Di sisi lain, kecemasan di kalangan angkatan bersenjata dandimulainya operasi militer baru terhadap GAM menunjukkanstruktur formal negara kian melemah. dan di berbagai daerah,struktur itu secara kasat mata malah tak eksis. Banyak kantorkecamatan dan bahkan kantor kabupaten dipaksa tak berfungsi(Aspinall 2006). Sejak 2001 dan seterusnya, infrastruktur-infrastruktur negara Indonesia teramat lemah di wilayah pedesaandi Aceh, sehingga para panglima GAM berhasil mengukuhkanhegemoninya sedemikian rupa. Salah satu strategi kunci yangdigunakan adalah mengembangkan platform dan mendirikanstruktur negara sipil di penjuru provinsi itu. Berdasarkan strukturpemerintahan kesultanan sebelum era kolonial, GAM membagiAceh menjadi 17 wilayah dan beberapa sagoe (setingkat dengankecamatan/sub-distrik) (Schultze 2003). Tentu saja, pelaksanaanfungsi dari struktur sipil tersebut beragam di seluruh provinsi. Didaerah-daerah tertentu, struktur itu berfungsi sebagai strukturbayangan yang sedikit-banyak menggantikan fungsi lembaga-lembaga negara yang lemah. Sedangkan, di wilayah lain, strukturtersebut hanya eksis sebatas klaim dari GAM. Para panglima daerahsecara bertahap berfungsi sebagai patron atau pelindung, dan turutbersaing memperebutkan dukungan rakyat bersama elit politiklainnya. Situasi ini menunjukkan bahwa ‘struktur kesempatanpolitik’ yang muncul secara signifikan selama periode ini, setidaknyaditentukan oleh kontrol teritorial GAM dan peningkatan kekuasaanpara panglima daerah.
Basis kekuasaan di Aceh, seharusnya diamati dengan mem-perhatikan keterkaitan antara ekonomi politik di Aceh secarakeseluruhan dan proyek khusus GAM sebagai kekuatan gerilya.Sejumlah tulisan tentang pertikaian internal menitikberatkan pada
327
gagasan bahwa melalui telaah ekonomi, peperangan bisa juga berartiterjadinya rivalitas di dalam kelompok (Berdal dan Keen 1997).Analisis Mancur Olson tentang para panglima perang di Cina,mengilhami banyak analisis tentang perang yang membawa labasecara umum. Analisis ini juga mengarahkan fokus perhatianterhadap adanya kepentingan individu para panglima GAM dalamupaya mendukung konflik, demi meningkatkan pendapatanekonomi mereka. Pandangan ini juga diajukan sebagai faktorpenting dalam menjelaskan perang di Aceh. Salah satu kuncianalisis itu, misalnya, menitikberatkan perhatian pada menguatnyastruktur-struktur komando lokal, yang memberi kesempatan bagipara panglima di tingkat lokal membagikan tanah di wilayahnyamasing-masing, serta menjadikan diri mereka sebagai panglima perangyang ‘membiarkan pasukannya merajalela bertindak sesukanya.’ (Schultze2003). Para panglima di tingkat lokal itu, tentu saja, menyaksikanberbagai peluang untuk meraup laba dari kegiatan-kegiatan ilegal,dan acap bersekongkol dengan personel TNI (McCulloch 2003,Kingbury 2006). Karena itu, semakin tak diragukan lagi kebenaranpendapat yang menyatakan, rivalitas ekonomi teramat rumit, danrivalitas itu berpeluang memperpanjang peperangan di Aceh,terutama ketika suatu laporan menyebutkan (Kingsbury danMcCulloch 2006) bahwa bisnis militer cenderung menjadikanperang sebagai ladang untuk meraup laba bagi individu-individudi jajaran tentara Indonesia. Pada intinya, peperangan di Acehfaktanya bukanlah ladang bisnis bagi orang-orang kaya, begitulahsetidaknya di kalangan kelompok perlawanan. Jika dibandingkandengan betapa flamboyannya perekonomian perang di daerah lainyang juga mengalami konflik berkepanjangan, terutama padakasus-kasus di mana kekerasan luar biasa terdesentralisasi dantersebar, maka ditinjau dari dimensi ekonomi politik, perang di Acehmenunjukkan sistem pendapatan yang terdesentralisasi, bersifatad hoc, dan dilaksanakan oleh lapisan bawah. Keterbatasan dana
DARI PERLAWANAN BERSENJATA MENUJU PARTISIPASI POLITIK
328 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
serta proses transfer keuangan yang problematik, menyebabkanpasukan GAM dan para panglimanya tak dapat mengandalkanjaringan pasar yang luas. Walaupun, pada tataran tertentu, bisnispembalakan liar sebenarnya memberi peluang bagi kegiataneksploitasi terhadap satu komoditas berharga.
Sistem yang saling bertautan di atas, yang juga adalah upayamenunjang konflik di Aceh itu tidak memberi kesempatan bagi parapanglima GAM untuk sepenuhnya mengembangkan diri sebagai‘panglima perang’ (warlords). Pada saat bersamaan, sistem kekerasandi daerah tertentu justru berkembang ketika aksi perlawanan kianmemanas. Perilaku GAM di wilayah yang baru saja dikuasai dandi daerah yang merupakan basis tradisional GAM, menunjukkanperbedaan penting. Meluasnya perekrutan tentara GAM dan sistempengelolaan gerakan yang terdesentralisasi semakin menumbuhkanelemen-elemen non-liberal di kalangan pimpinan dan tentara GAM.Seiring dengan meningkatnya perekrutan, akhirnya para penjahatkelas teri pun turut bergabung. Selain itu, tiadanya kepemimpinandi level menengah menunjukkan adanya percepatan dalam proseskenaikan pangkat untuk menduduki posisi di tingkat komandoregional.15 Aksi kekerasan terburuk terhadap penduduk sipil olehGAM, antara lain terjadi di Aceh Tengah, Aceh Tenggara, dan AcehBarat. yang baru menjadi wilayah kekuasaan GAM setelah 1999.Para panglima dan pasukan GAM yang ditugaskan ke daerah-daerah tersebut tidak menjalin hubungan erat dengan masyarakatlokal (Schultze 2004). Bahkan sistem konflik yang baru (sepertiyang dikemukakan di atas) membuka struktur kesempatan jangkapendek bagi kepentingan individual masing-masing panglimaGAM. Kendati begitu, secara keseluruhan, konflik tetap berkobarmenurut dimensi ideologi dan politik, yang telah dibahassebelumnya.
Sebagian besar panglima dan tentara memiliki keterikatan sosialdi daerah dan kampung yang menjadi basis perlawanan mereka.
329
Beberapa bekas pejuang yang diwawancarai menyatakan bahwamereka jarang bepergian jauh dari rumah. Mereka juga melukiskanbetapa mudahnya mereka mondar-mandir mendatangi kampunghalaman dan kembali ke pangkalan militernya di masa yang lebihdamai. Jalinan ikatan sosial yang erat ini semakin memperkuatjaringan patrimonial yang telah ada di kalangan para panglimadan masyarakat pedesaan, serta mengembangkan sistem patronasebaru di tengah struktur ganda pemerintahan. Selama masa perang,GAM mengumpulkan pajak, memastikan—atau terkadangmemaksa—pengiriman pasokan makanan dan mempertahankanpraktek ekonomi dengan watak predatornya.
Sifat koersif dari sistem patrimonialisme lokal tersebut—meskimemiliki bentuk beragam di berbagai daerah—semakin memperkuatdespotisme kedaerahan para panglima GAM. Seperti gambarananalisis tentang para elit lokal di tengah proses perubahan politikyang ekspansif di Indonesia, reformasi dalam kebijakandesentralisasi membuka suatu ruang ganda bagi penguatandemokrasi lokal di satu sisi, dan mengembangkan despotismekedaerahan di sisi lain (Nordholdt 2004, Crouch dan Aspinall 2003).Bahkan di tengah kebangkitan GAM dalam menghadapi statusdarurat militer pada 2003, struktur-struktur tersebut tidaktergantikan oleh struktur negara yang formal. Sebaliknya, strukturitu tetap bertahan sebagai jaringan patronase tandingan bagistruktur elit lokal yang resmi.
Ketika gerakan perlawanan itu melakukan pengorganisasianulang demi membentuk partai-partai politik, jaringan-jaringantersebut menjadi struktur mobilisasi tersignifikan dalam tatanansistem pemilu. Struktur ekspansi militer yang mampu bertahandan penguatan kepemimpinan lokal menjadi struktur kesempatanpenting kedua yang mengarahkan transformasi GAM. Perubahancita-cita pada level puncak berkisar pada perubahan gagasan yanglebih menjunjung ide-ide reformasi. Dimensi inilah yang menjamin
DARI PERLAWANAN BERSENJATA MENUJU PARTISIPASI POLITIK
330 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
perluasan basis politik GAM, dan aliansi mereka dengan gerakanpro-referendum. Namun, pembahasan di atas juga menggambarkandualisme GAM sebagai suatu gerakan perlawanan, yang jugamemiliki sifat yang menghegemoni dan non-liberal. Kedua prosestransformasi yang berjalan beriringan itu merupakan jalursignifikan bagi GAM sebagai aktor politik. Ketika keputusan untukmengobarkan atau mengakhiri perang ditentukan para pemimpinsenior yang terpercaya di Swedia, parameter GAM pada tataranlokal lebih banyak tergantung pada struktur yang menentangpelaksanaan demokrasi yang inklusif.
Perdamaian: negosiasi ulang berbagai peluang politikKetika tsunami meluluhlantakkan Aceh pada 26 Desember 2004,
provinsi ini masih berada di bawah status darurat militer. Berbagaiusaha untuk memediasi kesepakatan damai terpaksa tertunda, akibatpenerapan kembali status darurat sipil oleh Presiden Megawati pada2003. Sementara itu, kemunduran militer yang diderita GAM setelahmeningkatnya ekskalasi konflik bersenjata merupakan kenyataanyang lebih memalukan bagi GAM, dibandingkan pengalamansebelumnya. Ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono danWakil Presiden Yusuf Kalla naik ke tampuk pemerintahan di Jakartapada 2004, konflik Aceh adalah proyek yang luar biasa mahal untukditangani negara. Apalagi, ketika itu para pimpinan politik terusmenerus dipertanyakan mengenai cara mereka membelanjakananggaran dan menggunakan kekuatan militer. Bagi pimpinanpolitik baru itu, peningkatan pelaksanaan otonomi daerahmerupakan alternatif yang lebih baik untuk mengatasi konflikberkepanjangan dengan GAM. Namun, seperti diuraikan di atas,konteks konflik secara keseluruhan telah berubah karena trans-formasi politik para aktor politik. Sulitnya proses mediasi, ke-munduran berkali-kali dalam perundingan, dan jalan panjangsebelum tercapainya kesepakatan damai, termasuk beragam
331
kompromi yang dilakukan, tercatat dengan baik oleh para pelakuutama proses perdamaian (contohnya, Kingsbury 2006b). Fokusselanjutnya dalam bagian ini menyorot bagaimana transformasipolitik GAM membuka peluang-peluang tertentu bagi perdamaian,seperti yang dirumuskan dalam MoU Helsinki dan produk-produkhukum selanjutnya.
MoU Helsinki lebih komprehensif daripada perjanjian-perjanjian damai sebelumnya di Aceh. Ketika mata duniainternasional tertuju ke Aceh setelah tsunami, Crisis ManagementInitiative (CMI) dan Martti Ahtisaari memiliki kewenangan dankapasitas untuk memobilisasi dana yang cukup besar dari Uni Eropadan donor lainnya guna melaksanakan dan mengelola program-program demobilisasi, pelucutan senjata, dan reintegrasi (Demobi-lization, Disarmament, and Reintegration/DDR) bekas pejuang GAM,serta melaksanakan misi pengawasan perdamaian secara luas(melalui Aceh Monitoring Mission/AMM). Pemberian amnesti dankompensasi bagi warga sipil korban konflik juga tercantum didalam perjanjian. Mengenai pelaksanaan demokrasi dan peme-rintahan-sendiri, MoU mencakup banyak klausul dari Undang-Undang Otonomi Khusus tahun 2001, serta beberapa pointambahan yang krusial bagi partisipasi politik. Poin tambahan itu,yakni diperbolehkannya pengajuan calon independen untukpemilihan kepala daerah, serta pembentukan partai politik lokal,untuk turut bersaing dalam perebutan kursi legislatif. Kedua poinitulah aspek terpenting dalam perjanjian tersebut, sekaligus tonggakpelaksanaan reformasi dengan jangkauan terluas dalam prosesdemokratisasi di Aceh.
Sementara itu, ditinjau dari upaya komunitas internasionalmenciptakan perdamaian, isi MoU mencerminkan pendekatantransformasi konflik yang sejalan dengan kecenderungan terbarudi Aceh, sehingga proses perdamaian itu mampu memfasilitasiproses-proses transformasi politik antara pihak yang bertikai.
DARI PERLAWANAN BERSENJATA MENUJU PARTISIPASI POLITIK
332 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
Masyarakat internasional bertanggung jawab secara khusus dalampengawasan perdamaian melalui AMM dan fasilitasi DDR pada faseawal. Upaya ini kian menambah kehadiran masyarakat inter-nasional yang sebelumnya sudah cukup besar di Aceh, baik dalambentuk organisasi non pemerintah berskala internasional danlembaga-lembaga donor, dalam proses rekonstruksi pasca-tsunami.Proses pelucutan senjata dan demobilisasi GAM berlangsung lancardi bawah pengawasan AMM.16 Suksesnya proses ini terutamakarena kuatnya kerekatan internal GAM, melalui struktur formalkomando militer dan komitmen para panglima di wilayah untukmengumumkan dan membujuk anggota pasukannya agarmendukung perjanjian damai.17 Upacara penghancuran 840 pucuksenjata GAM merupakan simbol sikap berbesar hati dan relaberkorban para bekas gerilyawan demi tujuan perdamaian yangmulia di Aceh.
Perselisihan besar pertama terjadi ketika diberlakukannyaUndang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) pada Juli 2006.Undang-undang itu semula bertujuan untuk menerjemahkan poin-poin kunci dalam MoU ke dalam bentuk aturan-aturan hukumyang mengikat. Namun, penerjemahan lebih lanjut dari poin-poinsentral dalam MoU, seperti pasal 235 ayat (2) UUPA, yangmenyatakan bahwa pemerintahan pusat berkuasa untuk menge-sampingkan peraturan daerah, menimbulkan kemarahan dankekecewaan, khususnya di kalangan aktivis GAM dan SIRA(Aspinall 2008). UUPA disahkan ketika GAM telah begitu jauhterlibat dalam proses-proses perdamaian, dilucuti persenjataannyadan tengah bersiap menghadapi pemilihan gubernur dan wakilgubernur pada bulan Desember. Akibatnya, UUPA yang tak sesuaidengan MoU itu, dianggap sebagai pengkhianatan terhadapkepercayaan yang telah diberikan, kendati undang-undang itudapat direvisi jika GAM memenangkan pemilu.18
Sebagai sebuah gerakan perlawanan, GAM tetap setia pada
333
tujuan dan ideologi yang ditetapkan pimpinannya di Swedia. Tapi,sebagai gerakan politik GAM berusaha keras untuk menemukanidentitasnya dalam konteks politik yang baru. Pergulatan itumenyangkut masalah orientasi ulang perjuangan politik GAM dimasa damai. Khususnya, menyangkut dualisme gerakan itu, yakniideologi yang fokus pada gagasan reformasi, tapi juga berjalan seiringdengan dinamika hegemoni di tingkat lokal, yang lebih kompleks.Permasalahan itu memperumit proses transformasi GAM untukmenjadi sebuah kekuatan yang demokratis dan sebuah partai politik.
Secara organisasi, GAM tetap menaati ketetapan dalam MoUdengan menyusun ulang struktur organisasinya secara kese-luruhan. Struktur yang baru dibentuk dengan menjauhi segalahal yang bertalian dengan gerakan militeristik, menjadi sebuahgerakan politik, yang mengikuti prinsip-prinsip anti kekerasan.Upaya yang dilakukan GAM setelah penandatanganan MoU, antaralain pembubaran divisi militer GAM, dan mengubahnya menjadiorganisasi sipil, bernama Komite Peralihan Aceh (KPA), yangberfungsi di bawah payung Majelis Nasional GAM. KPA dirancanguntuk mengintegrasikan para bekas pejuang GAM kembali kekehidupan sipil. sedangkan Majelis—yang terdiri dari anggota se-nior GAM, dan bagian dari kelompok yang berbasis di Swedia itu—bertujuan merumuskan strategi dan program politik GAM (ICG2006).
Struktur organisasi KPA terutama berdasarkan pada struktur-struktur militer, yang terlembaga selama fase akhir konflik danmenjadi sosok GAM di periode transisi. Tindakan ini merupakanlangkah praktis dan taktis. Para panglima GAM lega karenaternyata kerangka organisasi mereka tak lenyap ketika perdamaiandimulai. Gerakan itu tetap terintegrasi dan program reintegrasi bisalebih mudah dilakukan melalui satu organisasi.19 Para panglimaGAM yang sebelumnya beroperasi di tingkat lokal kemudianditunjuk sebagai kepala kantor KPA wilayah. Mereka bertugas
DARI PERLAWANAN BERSENJATA MENUJU PARTISIPASI POLITIK
334 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
mempertahankan struktur organisasi yang asli dari tingkat wilayahhingga unit terkecil di tingkat pedesaan. Tugas KPA mencakup daripemberdayaan ekonomi dan reintegrasi bekas pejuang hinggaberfungsi pula sebagai basis bagi organisasi dan diskusi politik.Karena dibangun dari kerangka militer GAM, KPA mampumempertahankan hubungan dekat dan kendali atas komando-komando GAM di tingkat bawah, yang merupakan basis signifikanmobilisasi sebelum Pilkada 2006. Di mata para anggota GAM yangduduk di Majelis Nasional maupun para aktor internasional yangmenangani DDR, KPA semula ditujukan sebagai organisasimasyarakat sipil daripada organisasi politik. Namun, kantor KPAdi Banda Aceh menjadi pusat pertemuan para panglima ketikamereka mengunjungi Banda Aceh. Kantor itu juga menyediakanruangan untuk menerima kunjungan donor dan pihak lainnyayang terlibat dengan KPA.20 Pada saat yang sama, kantor KPA diBanda Aceh juga berfungsi sebagai ruang bagi aktivitas dan diskusipolitik antara tokoh-tokoh penting gerakan. Menjelang Pilkada,KPA akhirnya menonjol sebagai suatu unit yang mengkoordinasipara bekas pimpinan militer dan anggota pasukannya, dan bukandiperuntukkan bagi para politisi. Selanjutnya, KPA menjaga gerakanagar tetap bersatu, sembari mempertahankan sistem patronase danhubungan antara bekas pejuang di lapangan dengan para panglimawilayahnya.
Sebagai organisasi politik, Majelis semula ditujukan sebagaiunit politik GAM, yang terdiri atas tokoh-tokoh terkemuka, sepertiZakaria Saman, Muhammad Usman Lamphu Awe, Muzakir Manaf,‘perdana menteri’ Malik Mahmud, dan ‘menteri luar negeri’ ZainiAbdullah. Perpecahan yang terlihat jelas ketika itu, terjadi antarakelompok pimpinan muda yang berperang di Aceh dan para tokohkelompok tua yang tinggal di Swedia selama masa konflik (ICG2006). Selama berbulan-bulan menjelang Pilkada, perpecahan dalamtubuh GAM terjadi antara kubu calon-calon yang didukung oleh
335
tokoh-tokoh terkemuka di Majelis, seperti Humam Hamid danHasbi Abdullah, dan kubu calon yang didukung para bekaspemimpin militer di KPA, yakni Irwandi Yusuf dan MuhammadNazar. Humam Hamid tidak maju sebagai calon independen,namun akhirnya dicalonkan PPP, bersama saudara Zaini, yaituHasbi Abdullah. Dicalonkannya pasangan ini oleh Majelismerupakan buah dari politicking internal, yang menyatakanpencalonan bekas anggota GAM dengan mengusung bendera GAMmasih terlalu prematur. Anggapan ini berdasarkan asumsi bahwapencalonan itu kelak akan merusak proses transisi GAM menujupartai politik. Tentu saja, keputusan tersebut tidak strategis, sebabperselisihan internal itu bisa saja memburuk di kemudian hari.
Pasangan Irwandi Yusuf-Muhammad Nazar muncul sebagairepresentasi proses transisi GAM yang sukses: dari gerakanperlawanan militan menjadi gerakan politik yang tidak meng-gunakan kekerasan. Sebelumnya, Irwandi adalah ahli strategi danpropaganda GAM, sedangkan Nazar adalah ketua SIRA, tokohpublik yang terkenal sejak masa mobilisasi rakyat pada 1999 dan2000. Pasangan Irwandi-Nazar memenangkan mayoritas 38% suaradalam pemilihan gubernur dan wakil gubernur, sedangkanpasangan Hamid-Hasbi menduduki posisi kedua dengan meraih17% suara (ICG 2007a). Pasangan Irwandi-Nazar memperolehdukungan dari para panglima yang tergabung dalam KPA. Sikapini cukup mengejutkan, mengingat tradisi kesetiaan kepada parapimpinan GAM di Swedia. Selain itu, para panglima di KPAmenaruh kepercayaan yang amat besar kepada Irwandi sebagaisalah satu komandan GAM yang tumbuh besar di Aceh. SedangkanNazar merupakan tokoh yang familiar bagi mereka, ketika GAMmengalami masa-masa kritis. Tak dapat dipungkiri, mayoritasanggota GAM yang bergabung pada periode 1998-1999 denganorientasi untuk meraih kemerdekaan, dipeolopori oleh kepimim-pinan GAM di tingkat lokal. Mereka bukanlah para veteran yang
DARI PERLAWANAN BERSENJATA MENUJU PARTISIPASI POLITIK
336 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
keras hati, melainkan para pemuda yang berharap Aceh segerameraih kemerdekaan. Menghadapi ketegangan internal yang kianserius, mereka tetap setia kepada para panglima. Kelompoksignifikan di dalam KPA inilah yang secara perorangan kemudianmendukung pasangan Irwandi dan Nazar.
Alhasil, perpecahan internal gerakan perlawanan ini berubahmenjadi ajang perebutan kekuasaan individu antara dua kubu dalamGAM. Perpecahan itu juga mencerminkan terjadinya krisis, yanglebih berkaitan dengan ideologi dan dimensi struktural dari suatugerakan dalam masa transisi, serta tengah mengalami pergulatanuntuk menemukan pijakan kokoh di kerangka politik yang baru.Beberapa bulan pasca penandatanganan MoU, para panglima GAMmengungkapkan kepuasannya atas apa yang mereka peroleh selamamasa damai. Mereka paham bahwa dengan memiliki kesempatanuntuk bersaing dalam pemilu, mereka dapat mempertahankan posisiyang signifikan dalam masyarakat Aceh. ‘Kami sedang belajarpolitik,’ begitulah kata-kata yang acap terdengar. Salah seorangpanglima dengan penuh semangat memaparkan, ‘Kini parlemenadalah arena pertarungan kami, kami sekarang belajar politik agarkami dapat berjuang untuk rakyat dari dalam’.21 Narasi demokrasidan kisah-kisah kebesaran Aceh di masa lalu, berulangkalidiucapkan secara bersamaan.
Di samping itu, para calon GAM memperoleh kemenangan di8 kabupaten dari 22 kabupaten dan kota di seluruh penjuru Aceh.Daerah kemenangan itu sebagian besar adalah wilayah-wilayahpedesaan, yang menjadi basis perlawanan terkuat di masa konflik.Sulit menguraikan seluruh faktor yang menentukan keberhasilanpara kandidat GAM satu persatu. Namun, dimensi terpentingadalah terjadinya perubahan fokus: dari pelaksanaan ideologinasionalis menuju penyampaian isu-isu tentang kepentinganpublik, yang juga memuat janji akan pelaksanaan demokrasi.Faktor kedua adalah anggapan yang menekankan bahwa para calon
337
GAM merupakan satu-satunya kandidat, yang dapat menjaminperdamaian abadi di Aceh. Di sisi lain, para kandidat GAM itu jugamampu memanfaatkan ketidakpuasan masyarakat terhadap tindakkorupsi di pemerintah daerah. Mereka berjanji bahwa korupsiadalah hal pertama yang akan diberantas jika mereka berkuasa kelak(Aspinall 2008, ICG 2007a).
Kendati elemen-elemen tersebut menandai reformasi dalamtubuh GAM, namun terjadi kesenjangan yang besar antara janjikampanye demi mendulang suara dan pelaksanaan kebijakan.Memperhatikan jalur yang ditempuh GAM, terdapat faktor lainyang lebih mengancam dan problematis. Faktor itu tertanam didalam sejumlah persoalan dalam tata kelola pemerintahan di Aceh.Khususnya, sistem patronase lokal yang dikembangkan parapanglima GAM. Sistem tersebut mungkin tak begitu tampak dalamupaya mobilisasi suara selama kampanye Pilkada 2006, dan taksejelas ketika menjadi struktur yang paralel dengan strukturpemerintahan di Aceh semasa konflik.
Pasca 1998, struktur-struktur itu memfasilitasi transformasiGAM dalam dua isu: isu tentang agenda reformasi suatu negaradan isu tentang ideologi nasionalisme yang militan dan per-lawanan. Isu pertama difasilitasi oleh perluasan basis politik,sementara isu kedua difasilitasi melalui perlawanan bersenjata yangterus berlanjut. Yang terlahir bersamaan dengan jatuhnya Soehartoadalah perbedaan signifikan antara gerakan pro-demokrasimasyarakat perkotaan, yang kemudian mengembangkan aliansidengan berbagai kelompok dalam GAM; dan gerakan GAM dipedesaan yang dimobilisasi melalui pemberian dukungan secaratradisional dan menghegemoni.
Karena itu, transformasi GAM yang paling signifikan sebagaikekuatan politik selayaknya ditinjau dari keberhasilan GAMmemposisikan dirinya sebagai kekuatan politik, yang melampauibasis dukungan tradisionalnya. Transformasi GAM yang paling
DARI PERLAWANAN BERSENJATA MENUJU PARTISIPASI POLITIK
338 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
signifikan itu turut ditunjang oleh ekspansi secara geografis danpenguatan basis-basis kekuasan lokal para panglima GAM sebelumproses perundingan Helsinki. Seperti yang dipaparkan sebelumnya,‘struktur kesempatan’ kunci yang dimiliki GAM hingga 1998,berasal dari luar Aceh. Pada 2005, basis utama kekuasaan merekaberada di dalam wilayah Aceh. Perundingan damai dan terbukanyaruang-ruang politik memberi peluang bagi kelompok pimpinanyang baru untuk mengambil posisi dan membentuk hegemonipolitik di berbagai sub-distrik (kecamatan). Transformasi palingmengejutkan adalah ketika GAM berusaha menggunakan agenda-agenda sipil kerakyatan demi penegakan demokrasi dan hak asasimanusia, kendati mereka tetap mengakar secara simultan di tingkatlokal di Aceh.
Dalam konteks dualisme itulah, maka prospek demokratisasidi Aceh terletak di tangan bekas kelompok perlawanan itu, dankemampuan mereka untuk mengikuti perubahan tatanan politikdi Aceh, serta upaya mereka meraih dukungan dari para konstituendi Aceh. Memperhatikan perjuangan mereka untuk mempelajaripolitik, mengorganisasi dan memobilisasi ulang, serta memanfaat-kan kesempatan dalam kancah demokrasi, dapat dikatakan bahwaGAM telah mencapai level tertentu dalam proses transformasimenjadi suatu gerakan politik, sehingga tak lagi bergantung padamekanisme ekstra judisial, seperti pemaksaan, tindak kejahatan,atau klientelisme. Namun, di saat bersamaan, peluang yangnampaknya terjangkau oleh demokrasi dianggap sebagai ilusi danmemunculkan ketakutan di kalangan bekas tentara GAM. Merekajuga beranggapan bahwa upaya pencapaian tujuan melalui jalurdemokrasi itu juga terlalu beresiko, terutama ketika persaingan kianmeningkat dan ada kemungkinan GAM gagal meraih dukunganyang lebih luas dari konstituen di Aceh pada pilkada mendatang.Dalam konteks ini, maka akan terlalu beresiko bagi GAM, jika hanyamengandalkan aliansi yang inklusif dan reformasi yang demokratis
339
sebagai program politik utama. Jelas pula bahwa peluang politikuntuk berkuasa kian mengerucut seiring dengan meningkatnyaketegangan dan perpecahan dalam gerakan itu. Sebagai sebuahgerakan pembaruan, GAM tengah berjuang mengatasi kegagalan-nya dalam mengajukan gagasan tentang reformasi di Aceh. Banyakpimpinan GAM memilih beroperasi di wilayah yang nyaman bagimereka, dan tetap mengusung klientelisme serta mengulang-ulangklaim ideologi mereka yang usang. Sayangnya, walaupun upayamendirikan partai politik akhirnya berhasil, namun berdirinyapartai politik itu hanya akan menjadi upaya untuk meniadakanperbedaan, serta tidak memecahkan persoalan-persoalan kompleksdalam pelaksanaan demokrasi di Aceh. Masa depan Aceh yang cerahhanya bisa tercapai, jika bekas kelompok perlawanan itu menerimastatus politik mereka sebagai salah satu kekuatan politik di tengahberbagai kekuatan politik lainnya.
PostscriptPendirian partai politik GAM, PA (Partai Aceh) dan keme-
nangannya dalam pemilu legislatif 2009 bisa ditengarai sebagaitransformasi gerakan perlawanan menjadi partai politik yangsukses. Namun, keberhasilan itu hanyalah kemenangan parsialbagi pengembangan demokrasi di Aceh. Selama berbulan-bulansebelum pendirian PA, tampak jelas, agenda reformasi yang inklusifdan menjadi karakter sejumlah kelompok di dalam GAM, serta telahpula mengangkat gerakan ini sebagai kekuatan potensial yangdemokratis sebelum dan selama perundingan Helsinki, akhirnyamengalah dengan sistem patronase politik yang lebih mengakardan berkembang pada fase akhir konflik. Bentuk patronase politikini terutama tampak dari keadaan di dalam organisasi, dan aliansiyang terjalin antar individu, serta iming-iming manfaat ekonomidan politik dalam perekrutan anggota PA. Keanggotaan di masalalu dan kedekatan dengan GAM menjadi kelebihan yang
DARI PERLAWANAN BERSENJATA MENUJU PARTISIPASI POLITIK
340 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
dibutuhkan bagi kemajuan bisnis di Aceh. Bahkan, ditemukan buktibahwa partai ini setidaknya telah menggantikan struktur elitsebelumnya, yang memang mereka perjuangkan agar bisadisingkirkan. Dalam hal aliansi reformasi, pada tahun pelaksanaanPemilu 2009, fokus PA adalah penguatan struktur KPA karena partaiitu khawatir, agenda politik yang lebih terbuka akan mengerdilkanperanan KPA dan para bekas panglima GAM dalam kancah politikdi Aceh. Upaya ini akhrinya mengalienasi individu-individu pro-reformasi, baik yang berada di dalam, maupun yang memilikihubungan dekat dengan gerakan tersebut. Pemaparan yang lebihmendetil mengenai dinamika kekuasaan yang tertanam di Acehlayak memperoleh perhatian lebih lanjut. Pasalnya, dinamikatersebut akan memberi gambaran lebih mendalam tentang dinamikapolitik lokal di Aceh dan Indonesia, serta tentang jalur yang harusditempuh dalam upaya transformasi gerakan perlawanan bersenjatamenjadi partai politik. Analisis lebih mendalam tentang dinamikaPemilu dan akibat yang muncul dari pemilu tersebut, akan dibahasdalam bab terakhir buku ini.
341
(Catatan Akhir)1 Sebagai perspektif perbandingan, Renamo di Mozambique tak
pernah memenangkan suara mayoritas, tapi dalam sistempemerintah yang menganut asas mayoritas, posisi merekasetidaknya aman sebagai ‘oposisi yang terlembaga.’ (Manning2008). FMNL di El Savador bertahan sebagai partai politik keciltetapi tetap diperhitungkan dalam lembaga legislatif El Savadorselama satu dekade pertama masa damai. Partai kecil ini kemudianmenjadi partai terbesar di lembaga legislatif sejak 2000 (Wade2008: 33).
2 Tipologi ini dibuat untuk mengkritik gerakan-gerakan perlawananbersenjata di Afrika, dengan menyorot struktur dan sifat dasarsejumlah gerakan yang terlibat dalam konflik bersenjata diberbagai penjuru benua itu. Tipologi itu digunakan sebagai alatuntuk membedakan masing-masing gerakan gerilya, danmenciptakan basis untuk perbandingan (Clapham 1998 dan 2007).
3 Peran Islam sebagai bagian dari fondasi ideologi GAM dibicarakanpanjang lebar di literatur lain, contohnya, lihat Aspinall (akanditerbitkan 2008) dan Schultze (2003). Meskipun agamamemainkan peran penting dalam tataran ideologi, namunpenggunaan agama itu tidak menunjukkan adanya garis pemisahdan struktur mobilisasi serupa, yang lazim dijumpai dalamkonflik komunal di wilayah lainnya di Nusantara, atau dalamgerakan perlawanan serupa, seperti yang terjadi di ThailandSelatan dan Filipina.
4 Faksi-faksi ideologi dan politik berkembang selama masa konflik,yang akan dibahas lebih lanjut dalam bab ini. Namun, secarakeseluruhan, munculnya faksi-faksi tersebut tidak mengakibatkanperpecahan yang signifikan, atau melahirkan kelompok bersenjatabaru, seperti yang lazim terjadi di berbagai daerah konflik di dunia.
5 Perpekstif ini secara umum diilhami literatur tradisional tentangnasionalisme dan mobilisasi kelompok nasionalis, dan secarakhusus, dari pemaparan Stokke dan Ryntveit tentang keterbatasanperspektif tersebut dalam memahami nasionalisme etnis Tamil diSrilanka (2000)
6 Disarikan dari Deklarasi Kemerdekaan Hasan di Tiro pada 1976,
DARI PERLAWANAN BERSENJATA MENUJU PARTISIPASI POLITIK
342 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
yang dikutip dalam Aspinall (2008) hal.77 Untuk memahami sejarah Aceh di masa lalu secara lebih mendetail,
lihat Reid (2006) “Colonial Transformation: Better Legacy” dan Sulaiman(2006) “From Autonomy to Periphery: A Critical Evaluation of the AcehnesseNationalist Movement.”
8 Untuk analisis mendalam tentang perlawanan Darul Islam: asalmula, perkembangan, dan perannya dalam membentuk identitasorang Aceh, lihat Sulaiman 2006, Morris 1983, Bertrand 2004, danAspinall (2007). Alasan dilancarkannya perlawanan itu bukanlahcikal bakal perlawanan GAM, melainkan pertikaian tentang peranIslam di Indonesia, sebagai negara yang baru terbebas daripenjajahan.
9 Berdasarkan percakapan pribadi dan wawancara formal denganpara bekas tentara GAM, baik pimpinan maupun prajuritbawahan, pada 2006 hingga 2008, penulis mencatat, alur narasidan alasan ideologis perlawanan di Aceh selalu mirip bentukkalimat dan kata-katanya, serta berdasarkan naskah politik danrumusan ideologi yang ditulis pendiri GAM, Hasan di Tiro.
10 Selama Perang Aceh dan perlawanan Darul Islam pada 1950-an,lihat juga Reid 1979 untuk pembahasan yang lebih mendetail.
11 Isu etnis mengemuka ketika terjadi serangan terhadaptransmigran asal Jawa beberapa tahun-tahun belakangan.Namun, tak ada bukti bahwa penggunaan isu itu merupakan polamobilisasi yang sistematis.
12 Pandangan ini diakui beberapa pimpinan dan panglima GAMmelalui wawancara yang dilakukan setelah tahun 2006.
13 Proses dalam upaya mengangkat isu perlawanan ke levelinternasional itu telah didokumentasikan secara panjang lebar,misalnya oleh Schultze 2003 dan Aspinall 2005 dan 2008.
14 Selain jaringan pelatihan Libya pada 1980-an, Irwandi Yusufsempat berada di Amerika Latin untuk mempelajari Siasat PerangGerilya pada era 1990-an. Banyak dari ketrampilannya itu yangterbukti sangat signifikan dalam pembentukan perang psikologis(psy-warfare) di Aceh dan ekspansi GAM selama periode 1998-2003,yang akan dipaparkan lebih lanjut berikut ini.
15 Hal ini diungkapkan oleh beberapa panglima GAM yang
343
diwawancarai, serta disinggung pula oleh Aspinall (2008) danSchultze (2004).
16 Untuk pembahasan yang mendalam tentang keterlibatan pihak-pihak internasional di Aceh, lihat Baron, P. dan A. Burke (2008):Supporting Peace in Aceh: Development agencies and International involve-ment.
17 Para pimpinan GAM di Swedia menyisihkan cukup banyak waktudan energi untuk memberi tahu para panglima daerah di Acehmengenai isi MoU, serta membujuk mereka agar bersediamenyerahkan senjatanya. Para panglima mempertahankankesetiaan mereka pada para pimpinan di Swedia, dalam segalahal yang berkaitan dengan perumusan agenda politik dan propa-ganda (komunikasi pribadi dengan Bachtiar Abdullah, yangdikonfirmasi kembali melalui sejumlah wawancara denganbeberapa komandan lapangan pada bulan Februari 2007).
18 Poin ini diungkapkan dan dikonfirmasi oleh beberapa tokoh kuncidi dalam GAM dan SIRA, selama pelaksanaan rangkaianwawancara di Banda Aceh pada Agustus 2006.
19 Masalah reintegrasi bekas tentara GAM masih menjadi salah satutantangan politik paling penting di Aceh. Untuk pembahasan lebihlanjut, lihat misalnya Baron, P. dan A. Burke (2008): Supporting Peacein Aceh: Development agencies and International involvement.
20 Wawancara pribadi dengan para panglima GAM dan anggota-anggota KPA. Isu ini juga telah dikonfirmasi melalui korespondensipribadi (anonim) dengan staf Internasional IOM.
21 Wawancara dengan panglima GAM di Banda Aceh, 6 Agustus2006.
DARI PERLAWANAN BERSENJATA MENUJU PARTISIPASI POLITIK
344 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
Daftar PustakaAspinall, E. 2008. Islam and Nation: Separatist Rebellion in Aceh, Indo-
nesia. Manuskrip akan diterbitkan di Standford UniversityPress Juni 2009.
Aspinall, E. 2007. From Islamism to nationalism in Aceh, Indone-sia. Dalam Nations and Nationalism 13. 2. 145-263.
Aspinall, E. 2005. The Helsinki Agreement: A More Promising Basis forPeace in Aceh? Policy Studies 20. Washington D. C: The East-West Center Washington.
Aspinall, E., 2002. “Sovereignty, the Successor State, and Univer-sal Human Rights: History and the International Structuringof Acehnese Nationalism” dalam Indonesia 73. 1-24 April.
Aspinall, E. dan H. Crouch. 2003. The Aceh Peace Process: Why itfailed. East West Center, Washington.
Barron, P. dan Burke, A. 2008. “Supporting Peace in Aceh: Devel-opment Agendas and International Involvement, Policy Stud-ies 47, Washington: East-West Center.
Berdal, M. dan Malone, D. 2000. Greed and Grievance: Economic Agen-das in Civil Wars. Boulder: Lynne and Rienner Publisher.
Berdal, M. 2003. “ How New and New Wars? Global EcnomicChange and the Study of Civil War, dalam Global Governance 9(4). Hal. 477-502.
Berdal, M. 2005. “Beyond Greed and Grievance and Not Too Soon”dalam Review of International Studies 31 (4), hal. 687-698.
Bÿås, M. dan K. Dunn (eds.). 2007. African Guerrillass: Raging Againstthe Machine. London: Lynne and Rienner Publisher.
Clapham, C. 1998. African Guerrillas. Oxford: James Currey.Clapham, C. 2007. African Guerrillas Revisited, dalam Bÿås, M. et.
AI. African Guerrillas: Raging Against the Machine. London: Lynneand Rienner Publisher.
Collier, D. dan Levitsky, S. 1997. Democracy with adjectives: Con-ceptual innovation in Comparative research. World Politics 49
345
(3):430-451.De Zeeuw, J. (ed.). 2008. From Soldiers to Politicians: Transforming Rebel
Movements After Civil War. Boulder/ London: Lynne and RiennerPublisher.
Di Tiro, Hasan. 1958. Demokrasi untuk Indonesia. Cetakan ulang 1999,Jakarta: Teplok Press.
HRW (Human Rights Watch). 2003. Aceh Under Martial Law. Insidethe Secret War. Indonesia Report 2003.
ICG. 2007a. Indonesia: How GAM Won in Aceh. International CrisisGroup. Asia Briefing No 61. Jakarta/ Brussels. 22 Maret.
ICG. 2007b. Aceh: Post-Conflict Complications. International CrisisGroup. Asia Report No 139. Jakarta/ Brussels. 4 Oktober.
ICG. 2006. Aceh’s Local Elections: The Role of the Free Aceh Movement(GAM). International Crisis Group. Asia Briefing No 57.Jakarta/ Brussels. 29 November.
ICG. 2001. Why Military Force Won’t Bring Lasting Peace. InternationalCrisis Group,.Asia Report. Jakarta/ Brussels
Jarstad, A. & Sisk, T. (eds.). 2008. From War to Democracy: Dilemmasin Peacebuilding. Cambridge: Cambridge University Press.
Keen, D. 2000. “Incentives and Disincentives for Violence. DalamBerdal, M. dan Malone, D (eds.) Greed and Grievance: EconomicAgendas in Civil Wars. Boulder: Lynne and Rienner Publisher.
Kell, T. 1995. The Roots of the Aceh Rebellion: Cornell Modern Indone-sia Project
Kingsbury, D. dan L. McCulloch. 2006. Military Business in Aceh,dalam Reid, A. (ed.), 2006. Verandah of Violence: The Backgroundto the Aceh Problem. Singapore: Singapore University Press.
Kingsbury, D. 2006b. Peace in Aceh: A Personal Account of the HelsinkiPeace Process. Jakarta: Equinox Publishing.
Kovacs, M. S. 2008. “When rebels change their stripes: armed in-surgents in post-war politics” dalam Jarstad, A. & Sisk, T. (eds.).From War to Democracy: Dilemmas of Peacebuilding. Cambridge:
DARI PERLAWANAN BERSENJATA MENUJU PARTISIPASI POLITIK
346 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
Cambridge University Press.Manning, C. 2008. “Mozambique: RENAMO’s Electoral Success”
dalam De Zeeuw, J. (ed.) from Soldiers to Politicians: TransformingRebel Movements After Civil War. Boulder/ London: Lynne andRienner Publisher.
McCulloch, L. 2003. Greed: The Silent force of the conflict in Aceh: http:/www.preventconfilct.org/ portal/ main/ greed. pdf
McGibbon, R. 2006. “Local Leadership and the Aceh Conflict” dalamReid, A. (ed.). Verandah of Violence: the Background to the Aceh Prob-lem. Singapore:Singapore University Press.
Miller, M. A. 2004. The Nanggroe Aceh Darussalam Law: A SeriousResponse to Acehnese Separatism?. dalam Asian Ethnicity, 5 (3).
Miller, M.A. 2006. What’s Special About Special Autonomy in Aceh?.dalam Verandah of Violence: the Background to the Aceh Problem.Singapore:Singapore University Press.
Morris, E. E. 1983. Islam and Politics in Aceh: A Study of Center-Periphery Relations in Indonesia. Disertasi PhD. Ithaca: CornellUniversity.
Nessen, W. 2005. Why not independence? Inside Indonesia. 81. Januari-Maret.
Nessen, W. 2006. Sentiments Made Visible: The Rise and Reason ofAceh’s National Liberation Movement, dalam Reid, A. (ed.)Verandah of Violence: the Background to the Aceh Problem. Singapore:Singapore University Press.
Reid, A. (ed.). 2006. Verandah of Violence: the Background to the AcehProblem.Singapore: Singapore University Press.
Reid, A. 2004. An Indonesian Frontier: Acehnese and other Histories ofSumatra. Singapore: Singapore University Press.
Robinson, G. 1998. Rawan is as Rawan Does: The Origins of Disorder inNew Order Aceh: Indonesia 66. hal. 127-156
Schultze, K. 2006. Insurgency and Counter-Insurgency: Strategyand the Aceh Conflict, Oktober 1976-Mei 2004, dalam Reid, A.
347
(ed.) Verandah of Violence: the Background to the Aceh Problem.Singapore: Singapore University Press.
Schultze, K. 2004. The Free Aceh Movement (GAM): Anatomy of a Sepa-ratist Organization. Washington: East-West Center.
Schultze, K. 2003. The Struggle for and independent Aceh: The Ide-ology, Capacity, and Strategy of GAM. dalam Studies in Conflictand Terrorism 26(4).
Siegel, J. 2000 dan 1969. The Rope of God. Ann Arbor: University ofMichigan Press.
Smith, A. L. 2004. “East Timor: Elections in the World’s NewestNation” dalam Journal of Democracy 15 (2).
Stokke, K dan Ryntveit, A.K. 2000. The Struggle for Tamil Eelam inSri Lanka. Growth and Change. 31. hal. 285-304.
Sukma, R. 2004. Security Operations in Aceh: Goals, Consequences andLessons. Washington D.C: East West Center.
Sulaiman, M. Isa. 2006. From Autonomy to Periphery: A CriticalEvaluation of the Acehnese Nationalist Movement. dalam Reid,A. (ed.) Verandah of Violence: the Background to the Aceh Problem.Singapore: Singapore University Press.
Wade, C. 2008. “El Salvador: The Success of the FMLN” dalam DeZeeuw, J. (ed.) From Soldiers to Politicians: Transforming ArmedRebel Movements After Civil War. Boulder/ London: LynneRienner Publishers.
Weinstein, J. 2006. Inside rebellion: The Politics of Insurgent Violence.Stanford: Stanford University Press.
DARI PERLAWANAN BERSENJATA MENUJU PARTISIPASI POLITIK
348 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
349
PPPPPEMILIHANEMILIHANEMILIHANEMILIHANEMILIHAN K K K K KEPEPEPEPEPALAALAALAALAALA D D D D DAERAHAERAHAERAHAERAHAERAH DIDIDIDIDI A A A A ACEHCEHCEHCEHCEH
ISAI Aceh Research Group1
Ketua tim peneliti Stanley Adi Prasetyo;Supervisor dan penyunting akhir Olle Törnquist
6
i PendahuluanPada Desember 2006, untuk pertama kalinya,diselenggarakan pemilihan kepala daerah (pilkada)tingkat provinsi dan kabupaten/kota secara langsung
bersama Teresa Birks
di Aceh. Penyelenggaraan pilkada tersebut merupakan perwujudankerangka baru pelaksanaan demokratisasi, yang dirancang untukmendukung dan menerapkan kesepakatan damai Helsinki. Bertolakbelakang dengan pelaksanaan pilkada di Indonesia pada umumnya,peraturan pemilu yang baru di Aceh membolehkan calon-calonindependen untuk turut berpartisipasi dalam pemilihan. Pengajuankandidat independent itu kemudian menjadi preseden, yang segeradiikuti provinsi-provinsi lainnya. Di sisi lain, Pilkada 2006merupakan ujian pertama bagi transisi dan reformasi poilitik diAceh setelah konflik bersenjata selama beberapa dekade.
350 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
Kajian-kajian konvensional tentang proses demokratisasiumumnya menekankan pada pembentukan berbagai prosedur danlembaga, seperti penyelenggaraan pemilu yang bebas, sebagaiindikator utama pelaksanaan demokrasi. Namun, perhatian padaisu-isu kontekstual ternyata masih minim. Isu-isu tersebut, antaralain, pada tahap apakah proses demokrasi itu terjadi dan bagaimanaaktor-aktor politik beradaptasi dan bertransformasi di dalam bingkaipelaksanaan prosedur dan kerangka kelembagaan yang barutersebut. Karena itu, dengan mencermati para kandidat dan hasil-hasil pilkada, kajian ini akan fokus pada upaya aktor-aktor kuncimenanggapi peluang-peluang baru yang demokratis dan terwujuddalam pelaksanaan pilkada provinsi dan kabupaten/kota. Secarakhusus, terdapat tiga isu yang memerlukan kajian lebih mendalam.Pertama, dinamika internal kelompok-kelompok politik dan parapendukungnya dalam pencalonan untuk pilkada. Kedua, berbagaiisu, program, dan kebijakan yang mereka prioritaskan. Isu ini jugamencakup pemahaman mereka tentang persoalan dalam prosesrekonstruksi pasca konflik dan pasca tsunami, serta reintegrasi bekastentara GAM dan korban konflik; dan ketiga, metode mobilisasidukungan yang digunakan para aktor politik itu.
Pada penelitian ini, aktor-aktor politik di Aceh dikategorisasi-kan menjadi tiga kelompok: (1) mereka yang tumbuh danberkembang dari Gerakan Aceh Merdeka (GAM) atau mendukungtujuan-tujuan GAM; (2) kelompok-kelompok dominan dalampolitik Indonesia secara keseluruhan, termasuk partai-partai politiknasional, Tentara Nasional Indonesia (TNI), dan berbagai kelompokmilisi; (3) organisasi-organisasi masyarakat sipil, yang didirikankalangan mahasiswa dan intelektual.
Data yang tersaji di sini merupakan hasil penelitian lapangandan tinjauan berbagai literatur yang relevan. Para peneliti melakukanwawancara mendalam dengan para informan kunci dari partai-partaipolitik, GAM, aktivis organisasi non-pemerintah (Ornop/NGO),
351
kalangan akademisi, wartawan, dan pengamat politik di Aceh. Selaindibantu oleh mitra-mitra ISAI dan Demos, para informan juga dipilihmelalui proses bertahap, misalnya, dengan menanyakan pada setiapinforman, siapa yang bisa menjadi sumber informasi terbaikberikutnya. Pertanyaan-pertanyaan kunci disiapkan terlebih dulu,kemudian diperluas selama wawancara dan diskusi. Sedangkantinjauan literatur dilakukan dengan menganalisis aneka suratkabar,majalah, dokumen, dan artikel yang relevan.
Pemilihan kepala daerah—Sebuah tinjauan singkatProvinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) sebelumnya
dikenal sebagai Daerah Istimewa (DI) Aceh. Nama itu berubahsetelah pengesahan Undang-Undang Otonomi Khusus olehpemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pada 9Agustus 2001.
Pilkada langsung pertama diselenggarakan di Aceh pada 1Desember 2006. Pelaksanaan pilkada ini mencerminkan salah satupoin penting yang diamanatkan MoU Helsinki, dan telah terwujudsecara hukum melalui Undang-undang Pemerintahan Aceh(UUPA).2 Pilkada langsung diselenggarakan untuk memilih kepaladaerah tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Dan, seperti yang telahdikemukakan di atas, pilkada Aceh merupakan pemilihan yanginovatif, karena diperbolehkannya partisipasi para kandidatindependen. Artinya, para pemimpin di tingkat lokal, yang takberafiliasi dengan partai-partai politik nasional, dapat mencalonkandiri tanpa harus membentuk partai politik lokal—yang akanmembutuhkan lebih banyak waktu. Berbagai inovasi di Aceh itubahkan menjadi preseden bagi pelaksanaan pemilihan kepala daerahselanjutnya di daerah lainnya di Indonesia, sehingga pada 2007,Mahkamah Konstitusi menetapkan bahwa pencalonan kandidatindependen diperbolehkan dalam setiap pelaksanaan pilkada diseluruh provinsi.3
PEMIIHAN KEPALA DAERAH DI ACEH
352 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
Profil PilkadaPilkada di Aceh diselenggarakan di empat kota dan tujuh belas
kabupaten. Namun, hanya 15 pilkada tingkat kabupaten, yangdiselenggarakan pada Desember 2006, karena periode jabatan parabupati di Kabupaten Bireuen dan Aceh Selatan ketika itu, belumberakhir. Pilkada di dua kabupaten tersebut, masing-masing barudilaksanakan pada 2007 dan awal 2008. Hingga Juli 2006, sekitar94% calon pemilih telah mendaftarkan diri dan partisipasi pemilihpun cukup besar jumlahnya. Menurut data-data yang disajikanpada Tabel 6.1 di bawah ini, jumlah suara sah mencapai 65% daritotal jumlah penduduk di Aceh.
Peta Kabupaten dan Kota di Aceh
353
Tabel 6.1 Suara dan partisipasi pemilih
Sumber: KIP-Aceh
PEMIIHAN KEPALA DAERAH DI ACEH
NO KABUPATEN/KOTA JUMLAH PEMILIH
TPS PARTISIPASI
PEMILIH
1 Banda Aceh 115.633 252 56,65%
2 Sabang 19.303 60 75,91%
3 Aceh Besar 194.164 660 76,12%
4 Pidie 314.769 995 76,22%
5 Bireuen 239.241 685 80,95%
6 Bener Meriah 73.133 260 83,61%
7 Aceh Tengah 103.949 380 84,54%
8 Aceh Utara 395.652 1.034 79,44%
9 Lhokseumawe 98.935 214 67,29%
10 Aceh Timur 201.892 650 72,25%
11 Langsa 88.236 210 64,21%
12 Aceh Tamiang 145.837 431 65,60%
13 Aceh Jaya 44.183 182 78,08%
14 Aceh Barat 106.360 461 77,49%
15 Nagan Raya 84.968 265 84,62%
16 Aceh Barat Daya 74.204 198 80,83%
17 Aceh Selatan 126.929 349 70,91%
18 Aceh Singkil 86.658 300 76,30%
19 Aceh Tenggara 114.880 492 78,37%
20 Gayo Lues 46.681 197 87,85%
21 Simeulue 47.301 196 86,70%
JUMLAH
2.632.935
(65% jumlah penduduk)
8.471
76,38%
354 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
Komisi Independen PemilihanKomisi Independen Pemilihan Aceh (KIP-Aceh)—bagian dari
Komisi Pemilihan Umum (KPU)—didirikan dan bertanggungjawabuntuk mengatur jalannya pilkada.4 Sebuah partai politik (ataukoalisi partai) yang berminat mengajukan calon untuk pilkadagubernur harus menguasai minimal 15% kursi di DPRD(berdasarkan hasil pemilu sebelumnya). Persyaratan itu hanya bisadipenuhi oleh Partai Golkar saja, sehingga partai-partai politiknasional lainnya harus menggabungkan suara yang merekaperoleh, agar dapat memenuhi kriteria yang ditentukan. Selain itu,kelompok-kelompok politik baru pun berpeluang untukberpartisipasi melalui jalur kandidat independen. Syaratnya, parakandidat independen harus mengumpulkan bukti tanda tangandukungan, dari setidaknya 3% dari jumlah penduduk Aceh (yangtelah berusia lebih dari 17 tahun, atau telah menikah), atau mini-mal harus mencapai 120.948 orang (UUPA, pasal 68, ayat 1).Distribusi dukungan secara geografis juga merupakan kriteria.Calon independen harus mampu menunjukkan adanya dukungan,minimal di 50% kabupaten/kota dan 50% kecamatan (UUPA, Pasal68, ayat 1).
Alhasil, pilkada di Aceh menciptakan rekor sebagai pilkadadengan jumlah calon terbanyak sejak pilkada langsung diperkenal-kan di Indonesia. Pilkada dilaksanakan secara bersamaan untukmemilih gubernur dan wakil gubernur, serta bupati/walikota(kecuali pemilihan bupati Bireuen dan Aceh Selatan seperti telahdisebutkan di atas). Pilkada gubernur diikuti oleh 8 pasangan calon,sedangkan 141 pasangan calon maju dalam pilkada kabupaten/kota(Tabel 6.2 dan Tabel 6.5).
Pilkada gubernurDari delapan pasangan calon yang berpartisipasi, lima
pasangan di antaranya diajukan oleh partai-partai politik, sedang-
355
kan tiga pasangan lainnya maju sebagai calon independen.Pasangan calon gubernur dan wakil gubernur itu adalah sebagaiberikut: (Lihat Tabel 6.2).
Dua pasangan, yaitu Malik Raden-Sayed Fuad Zakaria (Golkar,PDIP, PKPI) dan Azwar Abubakar-Nasir Djamil (PAN, PKS)merupakan tokoh-tokoh politik berpengaruh di kalangan elit politiklokal di Aceh. Malik Raden (Golkar) meraih suara terbanyak dalamPemilu 2004 (Kompas 2004), sedangkan Sayed Fuad Zakaria pernahmenjabat sebagai Ketua Partai Golkar di Aceh, dan mewakili Acehdi DPR, serta menduduki posisi sebagai Ketua DPRD Aceh. AzwarAbubakar5 (PAN, PKS) adalah mantan Wakil Gubernur Aceh, yangditunjuk sebagai Pelaksana tugas Gubernur setelah GubernurAbdullah Puteh dipenjara gara-gara korupsi6, sedangkan NasirDjamil adalah anggora DPRD Aceh (Kompas 2006).
Ghazali Abbas (calon independen) dan Iskandar Hoesin (PBB,dan gabungan partai politik lainnya) juga bagian dari struktur politikformal yang ada. Hoesin adalah mantan Kepala Kantor DinasTransmigrasi di Aceh, yang baru saja menduduki jabatan sebagaiDirektur Jenderal Penelitian dan Pengembangan di KementerianHukum dan Has Asasi Manusia. Sedangkan Ghazali Abbas adalahanggota DPR dan dikenal vokal membela korban kekerasan di Aceh.7
356 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
Baik Letnan Jenderal (purn) Tamlicha Ali, maupun MayorJenderal (purn) Djali Yusuf merupakan mantan pejabat tinggimiliter. Namun, berbeda dengan Tamlicha Ali, yang tidak pernahditugaskan di Aceh, Djali Yusuf adalah bekas Panglima KodamIskandar Muda di Aceh.
Humam Hamid, seorang mantan dosen di Universitas SyiahKuala, adalah putera seorang ulama Aceh terkemuka. Humam dansaudaranya, Farhan Hamid—mantan anggota DPR dari PAN—selalu berkecimpung dalam dunia politik. Humam diangkat sebagaiKetua Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Aceh pada 1980an
Tabel 6.2 Pasangan calon gubernur
NO CALON: GUBERNUR/WAKIL
GUBERNUR PARTAI POLITIK/KELOMPOK KOALISI
1 Iskandar Hoesin-Saleh A Manaf
Partai Bulan Bintang/PBB,i Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan/PPDK, Partai Merdeka, Partai Patriot Pancasila, Partai Nasional Indonesia (PNI) Marhaenisme, Partai Persatuan Daerah/PPD, Partai Buruh Sosial Demokrat/PBSD, Partai Karya Peduli Bangsa/PKPB
2 Malik Raden-Sayed Fuad Zakaria
Partai Golkar,ii Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan/PDI-Piii, Partai Demokrat/PD, dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia/PKPIiv
3 Letnan Jendral (purn) Tamlicha Ali-Harmen Nuriqman
Partai Bintang Reformasi/PBRv, Partai Persatuan Nahdlatul Ummah Indonesia/PPNUI, Partai Kebangkitan Bangsa/PKBvi
4 Humam Hamid-Hasbi Abdullah
Partai Persatuan Pembangunan/PPPvii dan para pemimpin konservatif GAM
5 Azwar Abubakar-Nasir Djamil Partai Amanat Nasional/PANviii, Partai Keadilan
Sejahtera/PKSix
6 Mayor Jenderal (purn) Djali Yusuf-Syauqas Rahmatillah
Independenx - dekat dengan Partai Demokrat/PD dan mantan anggota tim keamanan Susilo Bambang Yudhoyono dalam pilpres
7 Ghazali Abbas-Salahuddin Independen-wakil PPP di DPR dan didukung juga , salah satunya, oleh kelompok-kelompok pembela hak asasi manusia
8 Irwandi Yusuf-Muhammad Nazar
Independen, didukung oleh KPAxi dan SIRAxii
357
dan sangat aktif di dunia organisasi non-pemerintah/NGO.Dukungan Farhan untuk Humam tidak mewakili PAN, melainkanmerupakan dukungan dari keluarga dekat. Dinamika semacam itumemang lazim terjadi dalam politik Indonesia. Walaupun terkadangmembingungkan, tapi begitulah kenyataannya.
Dari semua calon gubernur, hanya Hasbi Abdullah (yangberpasangan dengan Humam Hamid) dan Irwandi Yusuf-Muhammad Nazar yang memiliki hubungan dekat dengan GAM.Hasbi adalah adik dari Zaini Abdullah, Menteri Luar Negeri GAMdi Swedia. Irwandi Yusuf, sebelumnya bertugas sebagai pejabatintelijen GAM di Jakarta. Walaupun kegiatan politiknya barudimulai pada era 2000an, Irwandi adalah salah satu anggota delegasiGAM di Helsinki, dan wakil GAM di Aceh Monitoring Mission (AMM),sebuah badan yang bertanggung jawab bagi implementasi MoU.Baik Hasbi maupun Irwandi pernah dipenjara akibat kegiatanmereka. Hasbi dijatuhi hukuman 17 tahun penjara pada 1990, dandibebaskan setelah Soeharto jatuh. Sedangkan Irwandi ditangkappada 2003, tetapi berhasil melarikan diri dari penjara ketika tsu-nami 2004.
Muhammad Nazar, yang mendampingi Irwandi, merupakanKetua SIRA. Dilahirkan di Ulim Pidie pada 1973, dia menyelesaikanpendidikannya di IAIN Ar-Raniry pada 1998. Di kampus itu, diajuga mengajar sejak 1997 hingga 1999 dan mengorganisir kalanganintelektual muda. Pada 1998, dia menjadi Ketua Organisasi PemudaBulan Bintang, bagian dari Partai Bulan Bintang (PBB), di Aceh.Pada 1999-2000, dia ditangkap dan dipenjarakan karenaketerlibatannya dalam kegiatan SIRA, yang memobilisasi ribuanrakyat Aceh untuk menuntut referendum. Nazar sempat dipenjaralagi dan baru dibebaskan pada 31 Agustus 2005, yang merupakansalah satu pelaksanaan dari MoU Helsinki.20
PEMIIHAN KEPALA DAERAH DI ACEH
358 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
Prediksi-prediksi PilkadaDalam rangka memprediksi hasil Pilkada, sebagian besar
pengamat politik di Aceh menggunakan analisis yang berdasarkanpada politik perkauman, atau pendekatan politik kelompok. Caranya,fokus pada faktor-faktor seperti asal-usul sang kandidat, latarbelakang keluarga, kesetiaannya pada kalangan pemimpin tertentu,dan reputasi pribadi.
Menjelang Pilkada, sejumlah lembaga survei termasuk Inter-national Foundation for Election System (IFES) dan Lingkaran SurveiIndonesia (LSI)21 membuat berbagai prediksi. IFES memperkirakan,Pilkada gubernur akan berlangsung dalam dua putaran. Menurutsurvei IFES, para kandidat akan kesulitan meraih lebih dari 25%suara pada putaran pertama, sehingga dibutuhkan putaran kedua.Hasil survei IFES berdasarkan pada jawaban 1.189 responden dariseluruh kabupaten dan kota di Aceh, kecuali Sabang dan Simeulue.22
Manajer penelitian IFES, Rakesh Sharma, menyatakan dalam suatupress release bahwa ‘dalam kondisi seperti sekarang ini, akan sangatberat bagi para calon gubernur di Aceh untuk mengamankan 25%suara, kecuali terjadi hal luar yang biasa pada masa kampanye,sehingga mampu menarik para pemilih untuk mendukung calontertentu. Namun, kalaupun itu terjadi, tak mungkin mereka mampumemenangkan lebih dari 26% suara.”23
Sementara itu, LSI memperkirakan, para kandidat yang memilikihubungan dekat dengan GAM akan kalah, sedangkan para calonyang diusung partai-partai politik nasional, khususnya Golkar danPAN, kemungkinan besar akan keluar sebagai pemenang.24 PrediksiLSI berdasarkan survei terhadap popularitas para calon, yangmelibatkan 500 peneliti lapangan, di sejumlah wilayah di Aceh.25
Karena itu, LSI kemudian memprediksi bahwa pasangan AzwarAbubakar-Nasir Djamil (PAN, PKS) atau Malik Raden-Sayed FuadZakaria (Golkar, PDIP, PPKI) lebih memiliki peluang untuk menangdaripada para kandidat yang terkait dengan GAM. Menurut analisis
359
LSI, ‘citra dan popularitas akan menjadi faktor penentu terbesardalam pilkada, dan bukan dukungan partai atau organisasi-organisasi lainnya.’ Merujuk pada hasil survei dari pilkada di daerahlain, LSI menyimpulkan, ‘60% pemenang Pilkada adalah para calonyang sedang atau pernah menjabat, dan tokoh-tokoh politik yangpopuler memiliki peluang keberhasilan lebih besar.’26
Hasil PilkadaBertolakbelakang dengan sebagian besar prediksi, pilkada
gubernur Aceh justru didominasi oleh para kandidat yang memilikihubungan dengan GAM/KPA dan SIRA, yaitu pasangan Irwandi-Nazar, yang berhasil mendulang 38% suara. Namun, pasanganHumam-Hasbi hanya memperoleh 16% suara, meskipun telahmemperoleh dukungan tidak resmi dari para pimpinan GAM diStockholm dan para simpatisan mereka di Aceh, serta juga dariPPP. Para kandidat dari GAM itu meraih kemenangan terutama didaerah-daerah yang pernah menjadi zona Daerah Operasi Militer(DOM), sejak 1989 hingga 1999 (Aceh Utara, Aceh Timur, danPidie). Kendati begitu, para pasangan kandidat dari GAM jugamemperoleh kemenangan di daerah lain, seperti Aceh Jaya, AcehBarat, Sabang, padahal GAM tiak pernah dominan di daerah-daerahtersebut. Kemenangan itu mungkin mencerminkan betapatingginya keinginan masyarakat Aceh untuk berubah, khususnyadi Sabang. Pasangan kandidat yang dijagokan partai-partai politikyang dominan, Malik Raden-Sayed Farid (Golkar, PDIP, PPKI)hanya mampu memperoleh 13% suara, sedangkan Azwar-Nasir(PAN, PKS) hanya mendapat 10% suara.
Selain menunjukkan ketidakpuasan masyarakat terhadap paracalon dari partai politik nasional, pilkada gubernur di Aceh jugamenunjukkan rendahnya popularitas para kandidat dengan latarbelakang militer. Tamlicha-Harmen dan Djali-Syauqas masing-masing hanya menduduki peringkat ketujuh dan kedelapan
PEMIIHAN KEPALA DAERAH DI ACEH
360 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
dengan perolehan suara kurang dari 4%. Untuk hasil pilkadagubernur secara keseluruhan, lihat Tabel 6.3 berikut ini:
Tabel 6.3 Hasil pilkada gubernur
Sumber: KIP Aceh
Kemenangan telak Irwandi dan Nazar terlihat lebih jelas ketikahasil perolehan suara dalam Pilkada dirinci berdasarkan setiapkabupaten dan kota, seperti yang disajikan Tabel 6.4 di bawah ini.Tabel ini menunjukkan bahwa keberhasilan mereka tidak sematadiperoleh di wilayah basis GAM, tetapi juga di wilayah lain.
NO PASANGAN CALON SUARA PERSENTASE
1 Irwandi Yusuf dan Muhammad Nazar1
(Independen, didukung KPA/SIRA) 768.754 38,20
2 Humam Hamid dan Hasbi Abdullah (PPP) 334.484 16,62
3 Malik Raden dan Syed Farid Zakaria
(Partai Golkar, PDIP, PD, dan PKPI)2 281.174 13,97
4 Azwar Abubakar dan Nasir Djamil
(PAN dan PKS) 213.566 10,61
5 Ghazali Abbas dan Salahuddin Alfata
(Independen, berbasis masyarakat sipil) 156.978 7,8
6 Iskandar Hoesin dan Saleh Manaf (PBB) 111.553 5,54
7 Letjen (purn) Tamlicha Ali dan Tgk Harmen Nuriqman (PBR, PPNUI, dan PKB)
80.327 3,99
8 Mayjen (purn) Djali Yusuf dan Syauqas Rahmatillah (Independen, dekat dengan Partai Demokrat)
65.543 3,26
JUMLAH SUARA 2.012.370
361
Tabel 6.4 Suara Irwandi-Nazar di tingkat kabupaten dan kota
NO KABUPATEN/KOTA HASIL SUARA (%)
1 Aceh Besar Irwandi/Nazar menang 30
2 Sabang Irwandi/Nazar menang 41
3 Bireuen Irwandi/Nazar menang 62
4 Aceh Utara Irwandi/Nazar menang 61
5 Lhokseumawe Irwandi/Nazar menang 40
6 Aceh Timur Irwandi/Nazar menang 49
7 Aceh Tenggara Irwandi/Nazar menang 41
8 Gayo Lues Irwandi/Nazar menang 39
9 Aceh Selatan Irwandi/Nazar menang 62
10 Aceh Barat Daya Irwandi/Nazar menang 50
11 Simeuleu Irwandi/Nazar menang 34
12 Nagan Raya Irwandi/Nazar menang 32
13 Aceh Barat Irwandi/Nazar menang 39
14 Aceh Jaya Irwandi/Nazar menang 71
15 Langsa Irwandi/Nazar menang 27
16 Banda Aceh Irwandi kalah (Humam Hamid menang dengan 22% suara)
15 (suara untuk
Irwandi/Nazar)
17 Pidie Irwandi kalah (Humam Hamid menang dengan 50% suara)
16 (suara untuk
Irwandi/Nazar)
18 Aceh Tamiang Irwandi kalah (Malik Raden menang dengan 20% suara)
19 (suara untuk
Irwandi/Nazar)
19 Bener Meriah Irwandi kalah (Malik Raden menang dengan 33% suara)
17 (suara untuk
Irwandi/Nazar)
20 Aceh Tengah Irwandi kalah (Malik Raden menang dengan 33% suara)
26 (suara untuk
Irwandi/Nazar)
21 Singkil Irwandi kalah (Malik Raden menang dengan 33% suara)
19 (suara untuk
Irwandi/Nazar)
Total persentase suara yang dimenangkan Irwandi-Nazar dan total suara
38,20 2.012.370 suara
Sumber: KIP-Aceh
PEMIIHAN KEPALA DAERAH DI ACEH
362 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
Calon Kabupaten dan KotaWalaupun hasil pasangan calon KPA/SIRA dalam pilkada
kabupaten dan kota pada 2006 tak sebanding dengan kesuksesanpasangan gubernur Irwandi-Nazar, mereka tercatat memperolehsejumlah kemenangan yang signifikan. Pasangan-pasangan calonKPA/SIRA menang di tujuh kabupaten dan kota. Enam pasanganmenang dalam satu putaran, dan satu pasangan harus melewatiputaran kedua. Kemenangan dalam satu putaran itu meliputiSabang, Aceh Jaya, Lhokseumawe, Pidie, Aceh Timur, dam AcehUtara. Keempat daerah yang disebut terakhir merupakan basisutama GAM. Kemenangan pasangan KPA/SIRA melalui putarankedua adalah Ramli MS-Fuadri di Aceh Barat, yang hanyamemperoleh 24,6% suara pada putaran pertama. Tapi, pasanganini kemudian memperoleh kemenangan luar biasa pada putarankedua dengan meraup 76,2% suara. Pasangan kandidat KPA/SIRAlainnya, Nurdin AR dan Busmadar Ismail, memenangkan pilkadadi Bireuen yang sempat tertunda Bireuenpada Juni 2007 dengan62,3% suara. Nurdin merupakan bekas pimpinan GAM yangdijatuhi hukuman 13 tahun penjara pada 1990. Dia sempat pindahke Australia, beberapa waktu setelah dia dibebaskan. SedangkanBusmadar adalah mantan pegawai kecamatan yang dipecat, karenaketerlibatannya dengan GAM. Pasangan KPA/SIRA lain dalampelaksanaan pilkada Aceh Selatan (yang juga sempat tertunda),yakni Husin Yusuf dan Daska Aziz, memperoleh kemenangan pula,setelah melalui putaran kedua.
Hasil Pilkada di tingkat kabupaten dan kota mencerminkanketidaksukaan rakyat terhadap partai-partai politik nasional.Golkar, walaupun maju sendiri, atau berkoalisi dengan partai-partailainnya, hanya mampu memperoleh lima kemenangan di tingkatkabupaten dan kota—sebuah kemerosotan yang luar biasa karenaGolkar merupakan partai tersukses pada Pemilu 2004. Pasangancalon dari PAN dan PKS, yang juga tampil bagus dalam Pemilu
363
2004, hanya mampu mendapatkan kemenangan di tiga kabupaten.Sedangkan PPP, yang sebelumnya memiliki pengikut yang cukupsubstansial di Aceh, juga tampak terseok-seok, karena hanyamampu meraih posisi Walikota di Banda Aceh, kendati partai itujuga turut dalam kemenangan koalisi di Gayo Lues.
Pilkada di tingkat kabupaten dan kota melibatkan kandidatdari basis politik yang beragam, dalam jumlah yang sangat besar.Gambaran kompleks tersebut dirangkum dalam Tabel 6.5 berikut ini:
Tabel 6.5 Hasil pilkada tingkat Kabupaten/Kota
Nama pasanganyang menang dalam satu putaran dicetak tebal.Jika diselenggarakan dua putaran, nama dua pasangan denganpemilih terbanyak pada putaran pertama di cetak tebal, sedangkanpemenang di putaran kedua bisa diketahui dari presentase suara.
PEMIIHAN KEPALA DAERAH DI ACEH
364 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
NO
K
AB
UP
AT
EN/K
OT
A
KA
ND
IDA
T
BA
SIS
PO
LIT
IKi
1 B
anda
Ace
h Su
laim
an A
bda
& S
aifu
ddin
Isha
q G
olka
r
Maw
ard
i Nu
rdin
& Il
liza
Sa’
adu
dd
in
Dja
mal
PP
P, P
BR
, PD
Teu
ku A
laid
insy
ah &
Ana
s B
idin
Nya
k
Syec
h
PAN
, PPN
UI,
PBB
, PPD
Iii, P
SI
H. B
acht
iar
Nit
ura
& N
asru
ddin
Dau
d In
depe
nden
(no
n K
PA/S
IRA
)
Sayi
d Fa
dhil
& N
ursa
lis
Inde
pend
en (
non
KPA
/SIR
A)
H. R
aiha
n Is
kand
ar &
Teu
ku S
urya
Dar
ma
PKS
Muh
amm
ad T
aufik
Abd
a &
Akh
irud
din
Mah
judd
in
Inde
pend
en
(Kel
ompo
k m
asya
raka
t sip
il
bers
ama
SIR
A/
KPA
)
2
Saba
ng
T. Z
ahir
syah
& H
.M. A
min
Nya
k N
eh
Inde
pend
en (
non
KPA
/SIR
A)
Muh
amm
ad N
ur &
Rus
li Is
In
depe
nden
(no
n K
PA/S
IRA
)
H. H
usai
ni &
H. S
urad
ji Yu
nus
Part
ai G
olka
r
M. N
asir
& T
gk. A
zhar
i PA
N
Mu
naw
ar L
iza
Zain
al &
Isla
mu
dd
in, S
T
Ind
epen
den
(K
PA
/SIR
A)
H. H
irw
an Ja
ck &
Muh
amm
ad H
usin
Ali
PPB
, PD
IP
Tabe
l 6.5
Has
il pi
lkad
a tin
gkat
Kab
upat
en/K
ota
365
3 Lh
okse
umaw
e H
.T. F
achr
uddi
n &
H. A
rmia
Ibra
him
PA
N
H. M
arzu
ki M
. Am
in &
H. F
atan
i PP
P, G
olka
r
Mu
nir
Usm
an &
Su
aid
i Yah
ya
Ind
epen
den
(K
PA
/SIR
A)
IH. K
asba
ni K
asim
& D
ahla
n A
. Rah
man
In
depe
nden
(no
n K
PA/S
IRA
)
H. T
. A. K
halid
, MM
& T
gk. M
ursy
id Y
ahya
Pa
rtai
Pat
riot
Pan
casi
la, P
BR
, PPN
U
PPD
, PK
S, P
M, P
D, P
BB
, PD
IP, P
KPI
M. N
asir
& N
urdi
n M
. Yas
ir
Inde
pend
en (
non
KPA
/SIR
A)
4
Lang
sa
Zulk
ifli
Zai
non
& S
aifu
ddin
Raz
ali
Gol
kar
Rid
wan
Han
afia
h &
H A
nwar
Has
an
PDIP
, PB
B
Ali
Bas
yah
Tan
jung
& T
gk. S
yech
Muh
ajir
Usm
an
PPP,
PK
PB
H. M
. Jam
il H
asan
-Rah
mad
i Yah
ya S
. PA
N
H. S
yahr
il, &
DR
. H. S
yafr
irud
din
PD, P
KB
, P. M
erde
ka, P
PD, P
NI
Mar
haen
ism
e, P
P Pa
ncas
ila, P
KPI
PEMIIHAN KEPALA DAERAH DI ACEH
366 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
H
. Sya
hril,
& D
R. H
. Sya
frir
uddi
n PD
, PK
B, P
. Mer
deka
, PPD
, PN
I
Mar
haen
ism
e, P
P Pa
ncas
ila, P
KPI
Abd
ulla
h G
ade
& Z
aina
l Abi
din
Inde
pend
en (
non
KPA
/SIR
A)
5 A
ceh
Bes
ar
Mus
a B
inta
ng &
H. M
unir
Azi
z PP
P
Tgk
H B
ukh
ari D
aud
& A
nw
ar A
hm
ad
PA
N, P
BR
H. M
usta
nir
& H
. M. A
li U
sman
PK
S
Sayu
thi I
s &
T. R
aden
Sul
aim
an
PBB
, PPI
,1 PPN
U-D
emok
rat
H. R
usli
Muh
amm
ad &
Muh
amm
ad A
li G
olka
r, P
DIP
, PK
B
Irw
ansy
ah &
Tgk
. Usm
an M
uda
Inde
pend
en (
KPA
/SIR
A)
H Z
aini
Zak
aria
Alw
y &
Mah
diIn
depe
nden
(no
n K
PA/S
IRA
)
Zain
i Azi
z &
H. A
mir
uddi
n U
sman
Dar
oy
Inde
pend
en (
non
KPA
/SIR
A)
6 Pi
die
Mir
za Is
mai
l & N
azir
Ad
am
Ind
epen
den
(K
PA
/SIR
A)
H. J
alal
uddi
n H
arun
& D
arul
Irfa
n PA
N, P
KS
Tgk
H. G
unaw
an A
dnan
& H
. Abd
. Sal
am
Poro
h
Inde
pend
en (
non
KPA
/SIR
A)
T. K
hair
ul B
asya
r &
Abd
ulla
h D
aud
PBR
, PB
B
Fais
al S
aifu
ddin
& T
gk. Y
usri
Put
eh
Inde
pend
en (
non
KPA
/SIR
A)
H. A
bdul
lah
Yahy
a &
M. Y
usuf
Isha
qPa
rtai
Gol
kar,
Par
tai P
elop
or2 ,
PD
H. B
usta
mi U
sman
& T
gk. A
nwar
Yus
uf
Inde
pend
en (
non
KPA
/SIR
A)
7 A
ceh
Uta
ra
Ilya
s A
l-H
amid
& S
yari
fud
din
In
dep
end
en (
KP
A/S
IRA
)
H. A
zwir
& A
bdul
Man
af
Inde
pend
en (
non
KPA
/SIR
A)
Tar
miz
i A. K
arim
, & T
gk. H
. Am
irul
lah
PPP
Gaz
ali M
uham
mad
Sya
m &
Ter
piad
i A.
Mad
jid
Part
ai G
olka
r, P
AN
367
8 A
ceh
Ten
gah
Nas
aru
dd
in, H
. & D
jau
har
Ali
PB
R, P
AN
, PK
I, P
Pat
riot
Pan
casi
Mah
reje
Wah
ab &
H. I
brah
im Id
ris
Gay
oG
olka
r
H. B
anta
Cut
& H
. M. A
min
. RIn
depe
nden
(no
n K
PA/S
IRA
)
H D
arm
a T
apa
Gay
o &
Tgk
. Mur
syid
Inde
pend
en (
non
KPA
/SIR
A)
Abd
ul M
utho
lib B
anta
syam
& H
.
Moe
awiy
ah S
abdi
n
PDK
1 , PN
BK
2 , PK
PB
Syuk
ur K
obat
h &
Kur
niad
i Nur
din
Sufie
PD
Tgk
. Lig
adin
syah
& T
gk. H
Mud
e H
asan
In
depe
nden
(K
PA/S
IRA
)
H. M
ukhl
is G
ayo
& S
oew
arno
In
depe
nden
(no
n K
PA/S
IRA
)
9 A
ceh
Tim
ur
Mu
slim
Has
bal
lah
& N
asru
dd
in A
bu
Bak
ar
Ind
epen
den
(K
PA
/SIR
A)
H. B
ahti
ar Y
usuf
& N
urdi
n. A
R
PPP
H. Z
aina
l Abi
din
& H
. Zub
ir A
li B
asya
h PB
R
H. A
zman
Usm
anud
din
& H
eldi
yans
yah
Z.
Mar
d
Part
ai G
olka
r, P
AN
, PD
IP, P
KP.
P.
Patr
iot,
PBSD
, PD
K, P
NB
K, P
NIM
, P
Am
har
Abu
baka
r &
Sya
rifu
ddin
S. M
alem
Inde
pend
en (
non
KPA
/SIR
A)
Sula
iman
Ism
ail G
M &
Zul
karn
aini
Inde
pend
en (
mem
iliki
hub
unga
n
deng
an K
PA)
PEMIIHAN KEPALA DAERAH DI ACEH
368 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
10
Ace
h T
engg
ara
H. A
rmen
Des
ky &
H. M
. Sal
im F
akhr
y Pa
rtai
Gol
kar
H. H
asan
Bas
ri S
elia
n &
Tgk
. Sar
ibun
Sel
ian
Inde
pend
en (
non
KPA
/SIR
A)
Tgk
. App
an H
usni
, JS
& H
. Abd
urra
him
Sek
edan
g In
depe
nden
(no
n K
PA/S
IRA
)
H. H
asan
ud
din
& H
. Sya
msu
l Bah
ri
PK
B a
nd
PD
I-P
Muh
amm
ad R
ido
& S
upri
Yun
us
Inde
pend
en (
non
KPA
/SIR
A)
H. A
bust
ian
& D
jalid
un K
erua
s In
depe
nden
(no
n K
PA/S
IRA
)
Gan
dhi B
angk
o &
Raj
adun
Pag
an
Inde
pend
en (
non
KPA
/SIR
A)
H. D
arm
ansy
ah &
Kas
im Ju
naid
i In
depe
nden
(no
n K
PA/S
IRA
)
11
Ace
h B
arat
Bur
hanu
ddin
Yas
in &
Sai
d R
asyi
din
Inde
pend
en (
non
KPA
/SIR
A)
Dau
d M
anaf
& S
ofya
n. S
. Saw
ang
PPP,
PB
R
Zulk
arna
ini &
Tgk
. Bab
ussa
lam
Oem
ar
PPN
UI,
PBB
, P. P
. Pan
casi
la
Suw
anto
NG
& R
osni
Idha
m
Inde
pend
en (
non
KPA
/SIR
A)
H. N
asru
ddin
& S
yahb
uddi
n PA
N, P
arta
i Gol
kar
Ibnu
Abb
as &
H. A
mra
n U
sman
PD
, PK
B
H. I
skan
dar
& H
. Ch
ud
ri Y
un
us
Ind
epen
den
(n
on K
PA
/SIR
A)
H. N
yak
Ali
Um
ar &
Tju
t Suw
arni
P.
Mer
deka
, PD
IP, P
KS,
PN
BK
, PB
SD,
PPD
Bur
hanu
ddin
Mus
tafa
& C
hair
uddi
n In
depe
nden
(no
n K
PA/S
IRA
)
Ram
li, M
S& F
uad
i S. S
i In
dep
end
en (
KP
A/S
IRA
)
369
12
Sim
eulu
e
H. M
. Sid
iq F
ahm
i & H
. Ary
a U
din
Inde
pend
en (
non
KPA
/SIR
A)
27, 3
Erl
y H
asyi
m &
Sai
fudd
in S
amin
PBB
9,5
Dar
mil
i & Ib
nu
Ab
an G
T. U
lma
Gol
kar
, PP
P, P
DIP
, PB
R, P
KP
B,
PD
K, P
PIB
1
36
, 8
Fach
ri K
asim
& F
ajri
an H
asan
In
depe
nden
(no
n K
PA/S
IRA
) 3,
3
Moh
d. D
aud
Syah
& H
asdi
an Y
asin
Sar
mad
iah
PD, P
KPI
4,5
Maw
ardi
, & S
ayut
i Aba
s In
depe
nden
(no
n K
PA/S
IRA
) 18
,6
13
Ace
h Si
ngki
l
H. M
akm
ur
Syah
Pu
tra
& H
. Kh
azal
i P
arta
i Gol
kar
3
7,2
Salm
aza
& H
. Bur
hanu
ddin
Ber
kat
PKP,
PPP
19
,3
H. S
yafr
iadi
Alia
s O
yon
& R
amla
n PB
R, P
DIP
30
,3
H. A
liam
in S
ambo
& A
mir
tua
Ban
cin
PKB
, PB
B
3,7
H. S
yahy
uril
& H
arso
yo
PAN
, P. P
Pan
casi
la
19,3
14
Ace
h B
arat
Day
a
H. M
usfi
ari H
arid
hi &
Rid
wan
Ada
mi
PPP,
PK
S 15
, 0
TB
. Her
man
, SE,
MM
& T
gk. Z
ulki
fli D
alya
n PK
PI
4,1
Ak
mal
Ibra
him
& S
ymsu
l Riz
al
PA
N
21
,9k
e-2
T. B
urha
nudd
in S
ampe
& R
S. D
arm
ansy
ah
Part
ai G
olka
r, P
PNU
I, PI
B, P
DIP
, PK
PI
7,0
Muh
amm
ad A
nsar
& Z
ulki
fli
Inde
pend
en (
non
KPA
/SIR
A)
16,0
Fakh
rudd
in &
Raj
udin
Sua
k PB
B, P
D
15,1
H. S
ula
iman
Ad
ami &
H. M
un
ir H
. Ub
itP
KB
, Par
tai M
erd
eka
20
,9ke
-2
PEMIIHAN KEPALA DAERAH DI ACEH
370 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
15
Gay
o Lu
es
H. I
bn
u H
asim
& L
etk
ol In
f. Fi
rdau
s K
arim
P
GK
, PP
P, P
AN
, PSI
,1 PD
5
8,1
H. R
amli
& Ir
maw
an
PBB
, PK
B, P
DIP
, PK
PI, P
BR
38
,6
H. A
bdul
Gaf
ar &
Wer
i In
depe
nden
(no
n K
PA/S
IRA
) 3,
3
16
Ace
h Ja
ya
H. A
zwar
Tha
ib, &
T. B
anta
Sya
hriz
al
PPP
5,5
Mal
ik M
usa
& M
usta
fa Ib
rahi
m
PAN
12
,5
Azh
ar A
bdu
rrah
man
& Z
amza
ni A
. Ran
i In
dep
end
en (
KP
A/S
IRA
) 6
3,4
H. Z
ulfi
an A
hmad
& M
arw
an
Part
ai G
olka
r, P
D, P
IB, P
PNU
I, PK
PI
18,6
17
Nag
an R
aya
Moh
d A
lfata
h &
H. E
vend
i Ibr
ahim
PAN
, PD
IP, P
KB
, PK
S 12
,3
T. A
sfan
& Ik
a Su
hana
s A
dlim
Inde
pend
en (
non
KPA
/SIR
A)
3,0
Asm
adi S
yam
& R
amli
Inde
pend
en (
non
KPA
/SIR
A)
9,2
T. Z
ulk
arn
ain
i & M
. Kas
em Ib
rah
im
Par
tai G
olk
ar, P
P P
anca
sila
, PB
B
31
,4
Bus
tam
i Usm
an, &
T. A
rsya
d In
depe
nden
(no
n K
PA/S
IRA
) 5,
0
Said
Mus
tafa
Usa
b &
Say
udin
In
depe
nden
(no
n K
PA/S
IRA
) 4,
2
H. T
ripo
li, M
T &
Fau
zi
Inde
pend
en (
KPA
/SIR
A)
12,6
Said
Mah
di &
Ach
mad
Sac
huri
PP
NU
I, PB
R
9,5
H. A
zhar
Mus
lem
& S
yech
Mar
haba
nPP
P, P
D
11,3
371
18
Ace
h T
amia
ng
H. A
bd
ul L
atie
f & H
. Aw
alu
dd
in
PA
N
20
,1k
e-2
H. T
. Yus
ni &
Arm
and
Mui
s Pa
rtai
Gol
kar,
PD
IP
16,4
H. M
ohd.
Ilya
s. &
T. B
asyi
r PP
P, P
PDK
, PN
I Mar
haen
ism
e 7,
7
Rus
man
& D
arsa
h In
depe
nden
(K
PA/S
IRA
) 17
,9
H. H
elm
i Mah
era
Al-M
ujah
id &
H. N
oekm
an
Dar
sono
Inde
pend
en (
non
KPA
/SIR
A)
7,4
H. S
ofya
n Ef
endi
& N
urm
an S
yah
Inde
pend
en (
non
KPA
/SIR
A)
9,4
Syar
ifah
Chad
ijah
& H
. Abu
l Hay
at
Inde
pend
en (
non
KPA
/SIR
A)
3,9
H. H
amd
an S
ati,
ST &
H. I
skan
dar
Zu
lkar
nai
nP
D, P
BR
20
,8ke
-2
19
Ben
er M
eria
h
Ald
ar A
B &
H. R
idw
an Q
ari
PPP,
PD
24
, 8
Tag
ore
Ab
ub
akar
& S
irw
and
i Lau
t T
awar
Smik
Par
tai G
olk
ar
33
,6
Fauz
an A
zim
a &
Daw
am G
ayo
Inde
pend
en (
mem
iliki
hub
unga
n
deng
an K
PA/S
IRA
)
21,8
Mis
riad
i & S
utri
sno
Inde
pend
en (
non
KPA
/SIR
A)
19,8
20
Bir
euen
(Ju
ni,
2007
)
H A
nwar
Idri
s &
H. S
yahr
izal
Sai
fudd
in
PPP
& P
DK
3,
2
H. H
amda
ni R
aden
& H
.A. R
idw
an M
. Dal
lah
PBB
4,
8
Tgk
. Nu
rdin
Ab
du
rrah
man
& T
gk. B
usm
adar
Ism
ail
Inde
pend
en (
KP
A/S
IRA
) 62
,3
H. S
ubam
i A. G
ani &
H. R
azua
rdi I
brah
imIn
depe
nden
(no
n K
PA/S
IRA
)20
,2
Atq
ia A
buba
kar
& F
akhr
urra
zi Y
usuf
Inde
pend
en (
non
KPA
/SIR
A)
1,8
Mus
tafa
A G
lang
gang
& T
gk. H
. Abd
ulla
h M
anaf
In
depe
nden
(no
n K
PA/S
IRA
) 7,
7
PEMIIHAN KEPALA DAERAH DI ACEH
372 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
21
Ace
h Se
lata
n
(put
aran
ke-
1,
Nov
embe
r
2007
; put
aran
ke-2
, Jan
uari
2008
)
Yuliz
ar S
& T
gk. H
. T. A
bdul
Azi
z Sy
ah
Inde
pend
en (
non
KPA
/SIR
A)
1,9 2
H. T
. Liz
am M
ahm
ud M
urni
Yun
an
Inde
pend
en (
non
KPA
/SIR
A)
12,1
Mud
dasi
r K
amil
& M
unas
ir S
oeka
rdi
Inde
pend
en (
non
KPA
/SIR
A)
5,83
Elly
Suf
riad
i & Y
uli Z
ualr
di R
ais
Inde
pend
en (
non
KPA
/SIR
A)
3,59
H. R
abiu
n &
Maw
ardi
Jam
alPK
PI6,
75
Zulk
arna
ini &
H. H
avas
Adn
anIn
depe
nden
(no
n K
PA/S
IRA
)9,
97
H. A
zwir
& H
. Ab
du
l Kar
im
PB
B
14
,9ke
-2H
. Sai
d Id
rus
& T
aufik
Hid
ayat
In
depe
nden
(no
n K
PA/S
IRA
)1,
97
Abd
ul K
adir
& Z
urna
lis
Inde
pend
en (
non
KPA
/SIR
A)
0,6
H. D
arm
ansy
ah &
Tgk
. Mar
haba
n Sa
idi
Inde
pend
en (
non
KPA
/SIR
A)
8,97
Tio
Ach
riya
t & T
gk. H
. Zul
karn
ain
PAN
7,35
Har
vana
Has
an, M
awar
dy A
dam
i PP
P 6,
8
Tgk
. Hu
sin
Yu
suf &
Das
ka
Azi
z In
dep
end
en: (
KP
A-S
IRA
) 1
9,1
ke-
2
Sum
ber:
KIP
Ace
h, 2
006.
Dat
a ha
sil p
ilkad
a bu
pati
Ace
h Se
lata
n ya
ng d
imua
t dal
am w
ebsi
te K
IP-A
ceh
tidak
ben
ar,
dan
tela
h di
sesu
aika
n be
rdaa
rkan
lap
oran
-lapo
ran
med
ia y
ang
men
gutip
KIP
. Ter
ima
kasi
h ke
pada
Dar
a M
eutia
Uni
ng.
373
Sepak Terjang Para Aktor dalam Pilkada
Aktor-aktor yang berasal dari GAMUntuk memenuhi kebutuhan akan perlunya transisi politik
di Aceh, GAM memulai dua aspek penting dalam reformasi secarakelembagaan dan organisasi. Pertama, GAM mendirikan KomitePeralihan Aceh (KPA), sebagai organisasi baru non-militer, yangberdasarkan pada struktur dan hierarki komando militer GAM,Teuntra Nanggroe Aceh (TNA). KPA kemudian menyebar dari tingkatpusat di wilayah atau sagoe, lalu berlanjut ke bawah pada tingkatmukim, dan akhirnya berdiri di sejumlah gampong atau desa.37
Komandan-komandan militer di setiap tingkat organisasi, biasanya(meski tak selalu) ditunjuk sebagai ketua KPA tingkat lokal. Alhasil,KPA sulit dikatakan sebagai organisasi masyarakat sipil, yangberbasis pada warga yang peduli akan hak-hak asasi manusia.Langkah kedua, GAM mendirikan partai politik lokal agar bisaturut bersaing dalam Pemilu 2009. Namun, proses pendirian partaibegitu sulit dan penuh dengan perselisihan (untuk lebih rinci, lihatBab 7 dalam buku ini).
Para aktivis dari kalangan masyarakat sipil, dengan pema-haman nasionalis yang sama—dengan lebih berorientasi padaupaya demokratisasi—mengukuhkan koalisi mereka di bawahSIRA. SIRA didirikan pada 4 Februari 1999 di Banda Aceh olehlebih dari 100 mahasiswa dan organisasi publik di Aceh, demimenuntut pelaksanaan referendum kemerdekaan, seperti yangpernah diselenggarakan di Timor Timur. Meskipun SIRA dan KPAmenggabungkan kekuatannya dalam Pilkada 2006, merekaakhirnya mendirikan partainya masing-masing.
Dinamika-dinamika internal GAM menjelang pilkada kabu-paten dan kota diwarnai dengan konflik internal antara parapemimpin GAM “lama” yang berbasis di luar negeri, dan parapemimpin GAM “baru” di Aceh. Konflik internal ini menimbulkanperpecahan dalam pencalonan gubernur. Kelompok pertama,
PEMIIHAN KEPALA DAERAH DI ACEH
374 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
“Kelompok Tua” GAM (termasuk Malik Raden, Zaini Abdullah,Zakaria Saman, Muhammad Usman Lampoh AW) memberikandukungan kepada koalisi GAM dan PPP dalam pilkada gubernur,yakni pasangan Humam Hamid dan Hasbi Abdullah. Sedangkankelompok kedua, “Kelompok Muda” GAM (termasuk BachtiarAbdullah, M. Nur Djuli, dan Munawar Liza) mendukung pasanganIrwandi Yusuf dan Muhammad Nazar. Penyebab bermulanyakonflik ini ternyata bersumber dari permasalahan yang lebihmendasar, bukan sekedar perbedaan strategi. Salah satunya sepertiini. Generasi yang lebih muda dengan konstituten solid di lapangantak mau berafiliasi dengan partai-partai politik nasional, karenamereka yakin pada kekuatan dan kapasitasnya sendiri. Menurutmereka, jika berafiliasi dengan partai-partai politik nasional, merekatidak akan bisa bersikap independen, serta tak bisa memanfaatkansecara maksimal, peluang-peluang yang disediakan oleh MoUHelsinki.
Sebagai organisasi, meskipun para pemimpin GAM (yangberbasis di Stockholm) telah resmi menarik diri dari Pilkada 2006dan hanya mendukung koalisi dengan PPP dalam pemilihangubernur, kandidat dari GAM/KPA dan SIRA bekerja sama untukmaju sebagai calon independen. Selain tiga kabupaten/kota, merekamendaftarkan diri di 21 kabupaten dan kota yang menyeleng-garakan Pilkada.38 Sembilan belas kandidat KPA/SIRA terdaftardalam pilkada kabupaten dan kota— di mana dua pasangan KPA/SIRA saling bersaing di Aceh Timur (dan pasangan yang lebihmencerminkan SIRA keluar sebagai pemenang).
Maju sebagai calon independen di tingkat kabupaten dan kotaberarti bahwa mereka tidak memperoleh dukungan dari “KelompokTua” GAM (terutama yang berada di Stockholm) ataupundukungan dari aliansi partai-partai politik nasional. Transformasistruktur komando militer GAM hingga ke tingkat desa melaluibentuk organisasi transisi non militer—KPA—sangat berperan
375
penting dalam mobilisasi suara, khususnya di pedesaan, sedangkandukungan SIRA sebagian besar diperoleh di wilayah pemilihan diperkotaan.
Juru bicara GAM, Bachtiar Abdullah, mendukung pendekatangenerasi muda aktivis GAM, dan menyatakan bahwa, ‘semua calondari GAM sebaiknya maju sebagai calon independen. Siapapun yangmaju dengan mewakili salah satu partai, tidak perlu lagi dianggapsebagai kader GAM.’39
Tak seperti calon lainnya, kandidat dari KPA/SIRA sebagian besarberkampanye tentang ‘Perubahan untuk Aceh’. Ketika pilkadagubernur, banyak calon mendasarkan tema kampanyenya pada isupenegakkan Syariah. Akan tetapi, calon dari GAM/SIRA memilihuntuk tak fokus pada penerapan Syariah Islam. Pasangan Irwandi-Nazar lebih fokus pada reformasi secara struktural daripadaperubahan secara keagamaan, sehingga kalangan senior GAMmenggambarkan aksi pasangan itu sebagai sebuah “gerakandemokrasi” bukannya “gerakan Islam”.40 Bahkan, sungguh menarik,Irwandi-Nazar kurang bergantung pada media massa dibandingcalon-calon lain, karena keterbatasan dana kampanye pasangan itu.Strategi utama kampanye calon dari GAM/SIRA adalah mobilisasidukungan massa di level akar rumput melalui KPA dan SIRA.
PEMIIHAN KEPALA DAERAH DI ACEH
376 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
Tabel 6.6 Pasangan calon GAM-KPA dan SIRA dalam pilkada gubernur dankabupaten/kota tahun 2006-2007
Sumber: KIP-Aceh
NO NAMA PASANGAN POSISI DAERAH HASIL
1 Irwandi Yusuf & Muhammad Nazar
Gubernur/Wakil Gubernur
Provinsi Aceh Menang
2 Munawir Liza Zein & Islamuddin
Walikota/Wakil Walikota
Sabang Menang
3 Munir Usman & Suaidi Yahya
Walikota/Wakil Walikota
Lhokseumawe Menang
4 Ramli MS & Fuadri Bupati/Wakil Bupati
Aceh Barat Menang (putaran ke-2)
5 Azhar Abdurrahman & Zamzami Arani
Bupati/Wakil Bupati
Aceh Jaya Menang
6 Ilyas Pase & Syarifuddin Bupati/Wakil Bupati
Aceh Utara Menang
7
Muslem Hasballah & Nashruddin Abubakar (ditambah satu pasangan kandidat GAM)
Bupati/Wakil Bupati
Aceh Timur Menang
8 Mirza Ismail & Nazir Adam
Bupati/Wakil Bupati
Pidie Menang
9 Tgk. Nurdin Abdurrahman & Tgk. Busmadar Ismail
Bupati/Wakil Bupati
Bireuen Menang
10 Tgk. Husin Yusuf & Dazka Aziz
Bupati/Wakil Bupati
Aceh Selatan Menang (putaran ke-2)
11 Muhammad Taufik Abda & Akhiruddin Mahyudin
Walikota/Wakil Walikota
Banda Aceh Kalah
12 Irwansyah alias Tgk. Muchsalmina & Tgk Usman Muda
Bupati/Wakil Bupati
Aceh Besar Kalah
13 Fauzan Azima & Arhama alias Dawan Gayo
Bupati/Wakil Bupati
Bener Meriah Kalah
14 Ligadinsyah & Tgk Mude Hasan
Bupati/Wakil Bupati
Aceh Tengah Kalah
15 Rusman & Muhammad Darsah
Bupati/Wakil Bupati
Aceh Tamiang Kalah
377
Terdapat korelasi yang kuat antara wilayah kemenanganGAM/SIRA dan wilayah di mana jaringan-jaringan GAM/SIRAberfungsi dengan baik. Forbes Damai, sebuah organisasi yangmengawasi pilkada di Aceh, melaporkan bahwa di Pidie, Aceh Utara,Lhokseumawe, dan Bireuen, tim kampanye GAM/SIRA jauh lebihberhasil merangkul masyarakat di pedesaan daripada calon-calonlain. Melalui jaringan KPA dan SIRA, tim kampanye menerapkanpendekatan “door to door” secara intensif, dan menyampaikan pesanmereka tentang “perubahan untuk rakyat Aceh” kepada masyarakatdesa.41
Selain strategi mobilisasi dan jaringan KPA/SIRA, temakampanye juga merupakan sebuah faktor kunci keberhasilanIrwandi-Nazar dan calon GAM/SIRA lainnya. Salah satu pesanutama reformasi politik Irwandi adalah bahwa Aceh membutuhkanpemimpin yang inspiratif dan mampu melakukan perubahan yangbenar. Pendidikan yang baik dan terjangkau—bahkan gratis—bagirakyat Aceh juga termasuk agenda perubahan itu. Isu-isu lain, diantaranya, reformasi dalam penegakan hukum, lingkungan, danekonomi, serta pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme.42
Calon-calon GAM/SIRA diuntungkan oleh hasrat rakyat Acehyang menginginkan perubahan dan keadilan setelah berpuluhtahun mengalami penindasan, minimnya investasi, dan dilarikan-nya modal, hasil sumber daya alam Aceh, oleh para politisi danpengusaha di Jakarta. Hal ini dikonfirmasi pula dalam penelitianDemos. Menurut Demos, ‘sebagian besar rakyat Aceh memilikitingkat kesadaran politik yang tinggi.’ Dan ‘memiliki antusiasmeyang besar dalam upaya reformasi politik.’ (untuk diskusi lebihlanjut lihat Bab 3 dalam buku ini).
Pasangan Irwandi-Nazar berhasil memanfaatkan kondisipsikologis para pemilih dan pandangan umum yang menentang‘kolonialisme pemerintah pusat/kolonialisme Jakarta’ atausingkatnya disebut ‘Jakarta’ saja. Selain itu, bertolak belakang
PEMIIHAN KEPALA DAERAH DI ACEH
378 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
dengan calon lain yang mengenakan pakaian dan jas bergaya Barat,Irwandi dan Nazar memakai pakaian tradisional Aceh, termasukrencong (senjata tradisional Aceh, yang biasa digunakan untukupacara adat), dan kopiah meuketop (penutup kepala tradisionalAceh). Alhasil, bahkan dari penampilan fisik mereka, Irwandi-Nazar tampak lebih ‘asli Aceh’ daripada kandidat lainnya. Yangmenarik, semua kandidat dalam pilkada Bireuen yang diseleng-garakan belakangan, memilih untuk meniru pendekatan ini.
Di samping itu, berbeda dengan “Kelompok Tua” GAM, parakandidat dukungan KPA/SIRA menolak untuk bekerja sama denganpartai-partai politik ‘nasional’ manapun, sehingga mereka tampilmenonjol sebagai kandidat yang paling konsisten berjuangmelawan dominasi Indonesia. Karena itu, Irwandi-Nazar berhasilmempromosikan dirinya sebagai calon yang betul-betul ‘asli Aceh’dan ‘pembela rakyat Aceh’. Mereka juga diuntungkan oleh persepsipublik, yang beranggapan bahwa siapapun yang bekerja samadengan salah satu partai politik nasional adalah pengkhianat bagiperjuangan rakyat Aceh. Bagi rakyat Aceh, perjuangan bersenjataoleh GAM adalah satu hal, tetapi hasrat untuk menegakkanmartabat rakyat Aceh dan menuntut keadilan di Aceh telah menjadikeinginan kolektif. Irwandi-Nazar berhasil mengelola psikologipolitik tersebut, sedangkan calon-calon lain masih fokus padaberbagai strategi dan manuver dalam upaya ‘pengelompokkanrakyat Aceh secara politik’, yakni melalui preferensi politis, yangdipengaruhi sejumlah faktor, seperti asal-usul, latar belakangkeluarga, kesetiaan kepada pimpinan utama, agama, dan reputasi.
Dengan kata lain, para pemilih yang menganggap GAMsebagai sebuah alternatif untuk memulai dan mengelola perubahandi Aceh, menemukan bahwa aspirasinya bisa terwujud melaluipasangan Irwandi dan Nazar. Namun, Irwandi dan Nazar jugabukan anggota atau bagian dari kepemimpinan tradisional GAM,sehingga mereka lebih independen dan lebih berorientasi pada
379
masyarakat sipil, seperti halnya Xanana Gusmao dan Ramos Hortadi Timor Timur. Irwandi terang-terangan menentang pimpinanGAM di Swedia. Sedangkan Nazar tak mengikuti perintah dariGAM, melainkan dari SIRA. Karena itu, wajar jika kemudianpasangan Irwandi-Nazar populer di kalangan yang lebih luas dalammasyarakat Aceh, yang menginginkan terlaksananya nasionalismeyang damai, mandiri, dan demokratis, melampaui dominasi Jakartadan para pimpinan gerilya konservatif di Stockholm.43
Kepentingan nasional Indonesia—partai-partai politikStrategi memilih calon, yang didukung oleh sebuah koalisi
partai politik, dalam pilkada di Indonesia adalah hal yang lazim.Hal ini disebabkan, adanya persyaratan bahwa calon hanya bisamaju apabila didukung oleh satu partai atau koalisi partai yangminimal meraih 15% suara pada pemilu sebelumnya. Koalisi-koalisisemacam itu lambat laun semakin dibentuk berdasarkan kepen-tingan pragmatis demi meraih kekuasaan dan pengaruh, dan taklagi disatukan melalui kepentingan-kepentingan ideologis yangspesifik. Selain itu, koalisi acap berumur pendek, karena hanyadidorong kepentingan-kepentingan jangka pendek.
Koalisi antara PAN dan PKS didorong oleh kepentinganfinansial. Menurut salah satu sumber yang dapat dipercaya, AzwarAbubakar dari PAN diminta membayar Rp 5 milyar agar M. NasirDjamil dan PKS bersedia bergabung sebagai pasangan, sertamemperoleh dukungan partai. Padahal PKS memiliki reputasisebagai partai yang lebih ‘bersih’ dibandingkan partai politik‘nasional’ lainnya. Faktanya, ketika Azwar Abubakar masihmenjabat sebagai gubernur Aceh, PKS kerap mengkritik peme-rintahannya.44 Tak dapat dipungkiri, kemenangan PKS pada pemilu2004 di Banda Aceh, disebabkan oleh anggapan sebagian besarrakyat bahwa partai itu adalah sebuah partai alternatif. Di tengahkemarut partai politik, rakyat tampaknya tak punya pilihan lain,
PEMIIHAN KEPALA DAERAH DI ACEH
380 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
dan PKS berhasil memperoleh dukungan kalangan kelas menengahAceh. Dalam pilkada Aceh, PKS menolak berkoalisi dengan PartaiGolkar, karena partai politik itu acap dianggap sebagai perusakdemokrasi dan keadilan di Aceh. Tapi, dalam pilkada gubernur 2006,pasangan PAN-PKS hanya berada di posisi keempat denganperolehan suara di bawah 11%. Menurut Irwanda, seorangpengurus Partai Golkar, ‘Dalam Pilkada 2006 ini, sebenarnya takada perubahan strategi oleh partai politik, termasuk strategi Golkaryang mengacu pada perubahan politik.’45
Menjelang Pilkada 2006, Partai Golkar sangat percaya diri akanpasangan calon gubernurnya. Bagaimanapun, Ketua UmumGolkar saat itu dan mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla, merupakantokoh Indonesia yang teramat penting dalam mendorongterciptanya perdamaian di Aceh. Calon dari Partai Golkar, MalikRaden dan Sayid Fuad Zakaria, juga memperoleh dukungan dariPDIP, PKPI, dan Partai Demokrat. Dukungan partai-partai politiknasional itu mencerminkan kehendak untuk mempertahankansupremasi kalangan elit Aceh yang pro-Jakarta. Namun, koalisiGolkar hanya mampu meraih posisi ketiga dalam pilkada gubernur,dengan perolehan suara di bawah 14%. Hasil perolehan suara itusama sekali tak mendekati hasil Pemilu 2004 dan jauh berada dibawah Irwandi-Nazar, yang mendulang 38% suara.
Kepentingan nasional Indonesia—TNIDi antara para calon yang berkompetisi dalam pilkada, terdapat
dua pasangan calon gubernur, yang merupakan pensiunan petinggiTNI. Letjen (Purn.) Tamlicha Ali dan Teungku Harmen Nuriqmanyang didukung PKB, dan Mayjen (Purn.) Djali Yusuf, mantanPanglima Kodam Iskandar Muda, yang berpasangan dengan H.RASyauqas Rahmatillah, yang maju sebagai calon independen. Berbedadengan Djali Yusuf, Tamlicha Ali tidak pernah ditugaskan di Acehdan tak dikenal masyarakat Aceh. Tak satupun dari calon-calon
381
itu memiliki karir militer yang monumental dan karena itu, tidakmungkin didukung secara eksplisit oleh TNI. Tapi, pencalonanmereka barangkali merupakan salah satu cara militer menguji situasipolitik di Aceh.
Pilkada ini juga menunjukkan bahwa militer tak lagi aktif danterang-terangan terlibat dalam arena politik Aceh seperti sebelum-nya. Namun, mereka berusaha memposisikan diri agar setidaknyamasih berpengaruh secara politik. Artinya, militer tak lagi perlumeraih kursi di parlemen atau menduduki posisi-posisi kunci didalam birokrasi. Mereka hanya perlu membangun “hubungandekat” dengan para pengambil keputusan di lembaga eksekutifmaupun legislatif. Tujuan utamanya adalah memperoleh akseskekuatan politik demi memfasilitasi akses militer pada sumber daya-sumber daya ekonomi.
Kepentingan nasional Indonesia—peran milisi di tiga kabupatenAntara 2000 dan 2001, TNI mensuplai senjata bagi berbagai
kelompok milisi dan organisasi lain di Aceh Tengah, yangmendukung upaya militer membendung perkembangan pengaruhGAM di daerah itu. Intervensi militer itu justru memprovokasikekerasan komunal antar-etnis. Bahkan, meskipun militer akhirnyamengundurkan diri, ketegangan antar kelompok etnis dan rasasaling tak percaya di kalangan masyarakat tak kunjung mereda.46
Kendati pihak Jakarta dan militer kerap membantah, organisasi-organisasi milisi merupakan suatu realita di beberapa tempat di Aceh.Menurut perkiraan, setidaknya terdapat 21 organisasi milisi berbeda,yang berbasis dan beroperasi di sejumlah kabupaten, khususnya diAceh Tengah, Aceh Tenggara, dan Bener Meriah, bahkan juga diAceh Utara. Kelompok-kelompok milisi ini beroperasi di bawahberagam organisasi sebagai samaran, seperti Front Anti-Separatis(FAS) di Aceh Utara dan Benteng Rakyat Anti-Separatis (Berantas)di Bener Meriah dan Aceh Tengah. Di Bener Meriah, pemimpin
PEMIIHAN KEPALA DAERAH DI ACEH
382 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
kelompok milisi, H. Tagore Abubakar, ikut maju dalam pilkadabersama calon dari Golkar, Sirwandi Laut Tawar. Di Aceh Tengah,Mahreje Wahab-Ibrahim Idris Gayo ikut serta dalam pilkada, dan diAceh Tenggara, pimpinan kelompok milisi terkemuka, Armen Desky,pun berpasangan dengan kandidat dari Partai Golkar.
Di kabupaten Aceh Tenggara, Armen Desky menyatakansecara eksplisit bahwa demi mencapai tujuan memecah-belah Acehdan mendirikan sebuah provinsi terpisah dengan nama ProvinsiAceh Leuser Antara (ALA), maka ‘memenangkan posisi bupatisangat penting sebagai kendaraan politik. Tanpa ada jabatan for-mal, [tujuan itu] tentu akan sangat sulit [tercapai].’47 Melalui upaya-upaya semacam itu, pilkada di Aceh dimanfaatkan oleh para elitpartai nasional sebagai jalur untuk memperoleh jabatan-jabatanpolitik yang lebih penting. Partai-partai politik, seperti Golkar danPDIP, tampaknya ingin sekali memecah-belah Aceh menjadiprovinsi-provinsi yang lebih kecil, serta mendirikan Provinsi ALA.
Armen Desky dan pasangannya dari Partai Golkar, SalimFakhry, meraih posisi kedua dengan selisih tipis. Merekamengantongi 34% suara, sedangkan pasangan calon dari koalisipartai di Aceh Tenggara meraih 37% suara. Armen Desky dan SalimFakhry kemudian menuntut pemilihan ulang, meskipun pada awal2007 sebagian besar bupati dan walikota bupati di wilayah lain,sudah dilantik. Berkat pengaruh Armen Desky yang sedemikianrupa, akhirnya Komisi Independen Pemilihan Aceh Tenggarasempat menetapkan perlunya pemilihan ulang. Selain itu, tujuhdari delapan pasangan calon juga menuntut pembatalan hasil-hasilPilkada. Namun, akhirnya sang pasangan pemenang pilkada, H.Hasanuddin dan H. Syamsul Bahri, yang didukung oleh PKB danPDIP, secara resmi diumumkan sebagai pemenang. Di sampingitu, calon-calon dari Partai Golkar, termasuk para pimpinan milisi,memenangkan pilkada di Bener Meriah, sebuah kabupaten yangdikenal sebagai basis milisi pada masa konflik.
383
Masyarakat sipil—Barisan politik organisasi-organisasi mahasiswaMobilisasi massa tampaknya mulai ditinggalkan masyarakat
sipil generasi kedua aktivis politik dari masyarakat sipil di Aceh.Meskipun sempat berhasil (dengan dukungan GAM) memobilisasisatu juta, bahkan ada yang menyebut dua juta, rakyat Aceh untukmenuntut referendum bagi kemerdekaan Aceh pada November 1999,strategi demokrasi secara langsung itu kian diabaikan. Misalnya,Taufik Abda dari Presidium SIRA, yang ketika masih mahasiswasempat mendorong aksi mahasiswa di Aceh untuk menggulingkanPresiden Soeharto, serta juga salah satu penggagas utama aksipemogokkan massal tahun 1999 di Aceh, justru kini mempertanya-kan keefektifan strategi mobilisasi massa.
Menurut Taufik Abda, sejak penandatanganan MoU Helsinkidan disahkannya UUPA, peluang untuk partisipasi dan aksipolitik semakin luas. Sejak diterapkannya UUPA, Taufik Abdamengakui, dia cenderung mengikuti pola-pola perjuangan paraaktivis di Jakarta, seperti lobi dan negosiasi, atau ikut serta dalamsuatu tim ahli. Menurut Taufik, semenjak MoU dan UUPA, sebuahgerakan massa yang baru, bisa disebut efektif jika diikuti olehsetidaknya 500.000 hingga 1 juta orang. Dia bahkan ragu bahwamobilisasi massa dalam jumlah itu masih bisa tercapai pada masasekarang ini. Menurut Taufik, peluang-peluang alternatif yangterbuka sejak pelaksanaan UUPA, termasuk peluang bagi calon-calon independen untuk maju dalam Pilkada, harus benar-benardimanfaatkan.
Aktivis senior dan berpengaruh, seperti Otto SyamsuddinIshak lantas mempertanyakan peranan masyarakat sipil dalampilkada: apakah mereka hanya ingin menjadi penonton, menjadiperantara politik (political broker), atau terjun langsung dan majusebagai calon independen.48 Sejumlah aktivis masyarakat sipilakhirnya berketetapan hati bahwa UUPA betul-betul memberimereka peluang, yang seharusnya tak disia-siakan begitu saja.
PEMIIHAN KEPALA DAERAH DI ACEH
384 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
Mereka pun sepakat untuk mengajukan calon-calon untuk ber-partisipasi dalam pemilihan walikota di Banda Aceh.
Masyarakat sipil—Banda Aceh: Sebuah eksperimen dalam upayademokratisasi
Pada sebuah rapat yang diselenggarakan KMPD (KomiteMasyarakat Peduli Desa), sejumlah orang dari berbagai kelompokmasyarakat sipil bertemu untuk menyepakati calon-calon yangsesuai. Kelompok masyarakat sipil itu, antara lain, melibatkanorganisasi-organisasi adat, Forum LSM Aceh, SIRA, kelompok-kelompok mahasiswa radikal dan KPO-PA (Komite PersiapanOrganisasi-Persaudaraan Aceh), yang akan segera dibahas kemudian.
Sekitar 20 nama diusulkan berdasarkan popularitas, kredibilitas,dan kapasitas. Setelah melalui diskusi yang mendalam, pertemuanini menghasilkan daftar singkat, yang terdiri dari empat nama calonyang potensial. Mereka adalah Kautsar, Aguswandi, Taufik Abda,dan Akhiruddin. Namun, Kautsar dan Aguswandi tidak layak turutserta dalam pilkada, karena usia keduanya di bawah 30 tahun—usiaminimum seseorang untuk mencalonkan diri dalam Pilkada.Akhirnya, rapat memilih Taufik Abda dari SIRA serta Akhiruddindari KPO-PA (Komite Persiapan Organisasi Persaudaraan Aceh) danGERAK (Gerakan Rakyat Anti-Korupsi) sebagai calon yang merekaajukan. Menurut Akhiruddin, atau yang biasa dipanggil Udin, rapatKMPD merupakan pertama kalinya organisasi masyarakat sipil,dengan latar belakang yang berbeda-beda, bertemu dan danbersepakat tentang sebuah tindakan politik yang sama.
Secara pribadi, Udin termotivasi oleh keyakinannya bahwasatu-satunya cara untuk memberantas korupsi adalah denganmereformasi birokrasi dari dalam, melalui implementasi perencanaandan pengelolaan anggaran yang transparan dan partisipatoris. Disisi lain, Taufik, yang sukses “terprovokasi” Otto Syamsuddin,merasa bahwa dengan mengajukan diri, dia akan turut meng-
385
hilangkan mitos, yang menyatakan, hanya tokoh-tokoh kaya dansenior saja yang bisa maju dalam Pilkada.
Walaupun kesepakatan itu sempat menjadi gebrakan,realitanya, ketika Taufik dan Udin berkampanye, dukungan dariberbagai organisasi masyarakat sipil justru menguap. Barangkali,penyebabnya berakar dari masalah sebagai berikut. Kesepakatanyang terbentuk merupakan hasil persetujuan antar-individuberdasarkan pertemanan, bukan berdasarkan relasi antar organisasidengan strategi, tujuan, dan target yang sama. Nyatanya, darisejumlah kelompok yang sempat menyatakan dukungan di awal,ternyata hanya sedikit yang terlibat dalam kampanye atau meng-hadiri rapat-rapat. Tindak-tanduk itu membuat Udin merasadikhianati oleh para aktivis, yang awalnya mendorong dirinyauntuk maju, tetapi belakangan justru mereka meninggalkan Udinbegitu saja.
Sebagai calon dengan keuangan terbatas, situasi semacam ituadalah pukulan berat terhadap pelaksanaan kampanye. Akibatnya,mereka hanya mampu menyelenggarakan dua kali rapat umum,yakni satu kali di Ulee Kareeng dan satu lagi di Kutaraja. Meskibegitu, pasangan MUTAKHIR—begitu sebutan bagi pasangan itukemudian—berkampanye melalui dialog langsung dengan rakyat,mengunjungi warung-warung kopi, dan kamp-kamp pengungsian.Mereka berdua memanfaatkan jaringan mereka yang luas, juga diantaranya KPA, serta kelompok-kelompok pengawas anggaran.Mereka juga berupaya menjangkau dan memperoleh dukungandari organisasi-organisasi etnis minoritas Tionghoa dan Gayo, diluar konstituen “tradisional” mereka, seperti kalangan mahasiswaIslam. Udin telah terbiasa bekerjasama dengan media untukmengekspos kasus-kasus korupsi. Alhasil, kampanye MUTAKHIRdiliput secara luas oleh media. Bahkan sejumlah surat kabar, sepertiMODUS dan Raja Post, memberi ruang iklan secara gratis untukkampanye mereka.
PEMIIHAN KEPALA DAERAH DI ACEH
386 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
Sehingga, kendati MUTAKHIR gagal menang dalam pilkadakota Banda Aceh yang prestisius dan sangat kompetitif itu, Taufikdan Udin bangga karena mereka berhasil memperoleh 6,5% suara,walaupun mereka menghadapi berbagai rintangan, tak hanya daripartai politik nasional yang kaya dan berpengaruh, tapi juga darisesama aktivis di kalangan masyarakat sipil. Selain itu, pengaruhKPA tak terlalu kuat di Banda Aceh. Tapi, pasangan itu mampumenunjukkan bahwa mereka lebih berhasil daripada dua calonindependen lainnya, yang ikut serta dalam pemilihan walikota/wakil walikota Banda Aceh. Hasil itu merupakan bukti keberhasilanstrategi baru dalam kampanye mereka, dan luasnya jaringan mereka.Meskipun gagal dalam pemilihan walikota, Taufik kemudianmemperoleh kedudukan dalam pemerintahan baru, sebagai bagiandari tim ahli. Selain itu, dia terlibat pula dalam persiapan SIRA,yang akan mendirikan partai politik lokalnya sendiri, yakni partaiyang kelak dia pimpin.
Masyarakat sipil—Dari pilkada hingga pendirian partai-partai politikMenjelang Pilkada Desember 2006, kelompok-kelompok
masyarakat sipil yang berorientasi politik di luar SIRA menjagajarak dengan calon-calon dari GAM. Mereka memilih untukmembangun aliansi dengan politisi-politisi liberal yang sudahmapan, dan mempersiapkan diri dalam menyongsong tahapselanjutnya dalam mewujudkan Aceh sebagai provinsi yangberpemerintahan sendiri: pembentukan partai-partai politik lokal.
Salah satu forum yang melaksanakan gagasan itu adalah KPO-PA, sebuah komisi kerja yang dibentuk pada 18 Januari 2006 olehsejumlah aktivis terkemuka, seperti Elly Sufriady, Kautsar,Akhiruddin Mahjuddin, Faisal Saifuddin, Aguswandi, JuandaDjamal, Arie Maulana, Arabayani Abu Bakar, Tarmizi, BantaSyahrial, Roys Vahlefi, dan Mashudi, serta bertujuan memper-siapkan upaya perluasan politik dan keterlibatan aktivisme
387
masyarakat sipil dan berbagai aspirasi kerakyatan.49 KPO-PAberkomitmen melakukan intervensi politik melalui pengajuan calon-calon independen di tiga kabupaten/kota, yakni Banda Aceh, sepertiyang telah diketahui, Pidie, dan Aceh Timur. Namun, seperti yangdiungkapkan di atas, dukungan konkrit dan solid bagi sang calonjustru melemah. Salah satu pimpinan KPO-PA, Kautsar, yangpernah dipenjara bersama Muhammad Nazar, mengakui bahwaterdapat perbedaan nyata antara strategi miliknya dan strategi SIRA,yang memilih beraliansi dengan KPA. Selama bertahun-tahun,menurut Kautzar, para aktivis masyarakat sipil telah berusahamemperkuat sekaligus membuat posisi GAM lebih moderat melaluiperwakilan sipil. Karena itu, sejumlah pertemuan digelar di Jakartadan Malaysia, yang bertujuan mencapai konsolidasi antaramasyarakat sipil dan GAM. Para aktivis masyarakat sipil bercita-cita mendirikan sebuah front politik bawah tanah yang berjuangdemi kemerdekaan Aceh. Tapi, menurut beberapa aktivis yangterlibat, aspirasi itu tak kunjung terwujud karena GAM lebihtertarik meningkatkan kapasitas militernya, dan SIRA memilihbekerja sama dengan kelompok-kelompok dalam GAM, yang kelakmengembangkan KPA.
Menjelang pilkada gubernur, beberapa kelompok dalam KPO-PA menyalurkan aspirasi politik mereka dengan memberikandukungan politik bagi Humam Hamid dan Hasbi Abdullah (atauyang dikenal dengan sebutan H2O). Mereka tidak mendukungIrwandi-Nazar, meskipun seorang aktivis mahasiswa, Kautsar,pernah bahu-membahu dengan Nazar dalam memperjuangkanpelaksanaan referendum. Situasi itu sungguh ironis, karena H2Odidukung oleh para pimpinan GAM, yang mengikuti strukturkomando tradisional. Namun, menurut Kautsar, H2O merupakanbentuk peleburan politik yang sempurna, karena Humam Hamidmewakili kelompok kelas menengah, masyarakat sipil, dan parakonstituen yang pro-otonomi, sedangkan Hasbi Abdullah mewakili
PEMIIHAN KEPALA DAERAH DI ACEH
388 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
GAM. Aliansi tersebut, dia yakin, akan menjamin sebuahkemenangan bagi pasangan H2O. Setelah Kautsar mendirikanKomite Persaudaraan Aceh (KPA), maka keterlibatannya dalamkegiatan-kegiatan KPO semakin berkurang. Kini, KPA yangdidirikan Kautsar lebih dekat dengan Partai Aceh (PA), yakni partaipolitik lokal yang dibentuk para pimpinan inti GAM, yang jugamendukung pasangan H2O dalam pilkada gubernur.
Kembali ke Pilkada Desember 2006, Faisal Saifuddin, bekasketua KPO-PA, maju sebagai calon independen dan berpasangandengan Yusri Puteh dalam pilkada tingkat Kabupaten di Pidie, tapihanya memperoleh sedikit suara (2,4%), serta kalah dari pasangancalon dari KPA/SIRA, Mirza Ismail dan Nazir Adam, yang menangdengan meraup lebih dari 56% suara.50 Selain berupaya memanfaat-kan proses-proses demokratisasi, pencalonan Faisal Saifuddin jugabertujuan untuk membangkitkan kembali keberanian rakyat untukberpolitik pasca konflik. Menurut Faisal, rakyat biasa sebagai korbankonflik di Aceh, harus bisa merasa setara dengan GAM, dan mampuberpartisipasi dalam politik, dengan peluang yang sama dan takhanya terbuka bagi bekas pejuang. Faisal juga bertujuan untukmemberikan pendidikan politik tentang etika politik, misalnya,tidak terlibat politik uang dalam pelbagai proses politik. Meskipunkalah, Faisal mengatakan bahwa dia memperoleh ilmu politikterapan dari pengalamannya, yakni manajemen pilkada.
Jauh sebelum pilkada, terdapat kelompok-kelompok lain yangtengah membangun diri. Pada 16 Maret 2006, sejumlah aktivisradikal, di antaranya Thamren Ananda mendeklarasikan pendirianKomite Persiapan-Partai Rakyat Aceh (KP-PRA). Thamrin adalahaktivis Solidaritas Mahasiswa Untuk Rakyat (SMUR), dan perpan-jangan dari gerakan itu, yakni Front Perjuangan DemokratikRakyat Aceh (FPDRA).51 Thamren kelak ditunjuk sebagai SekretarisJenderal PRA, ketika partai politik lokal itu resmi didirikan pada 3Maret 2007. Meski begitu, ketika pilkada gubernur 2006, Thamrin
389
Ananda dan KP-PRA memberikan dukungan kepada pasanganGhazali Abbas dan Salahuddin Alfatta. Terdapat sejumlah alasandi balik keputusan tersebut. Ghazali Abbas adalah anggota DPRRI yang gigih mengkritik kehadiran militer di Aceh. Sikap itusejalan dengan posisi SMUR yang anti-militer. Ghazali juga kerapvokal terhadap berbagai tindak pelanggaran hak asasi manusia.Selain itu, dia ditunjuk menjadi anggota dalam Tim Pencari FaktaDewan Perwakilan Rakyat (TPF-DPR) pada Juli 1998, yang bertugasmenginvestigasi berbagai pelanggaran hak asasi manusia selamaperiode DOM dari 1989-1998. KP-PRA memiliki alasan lain untuklebih mendukung Ghazali Abbas-Salahuddin Alfatta daripadaIrwandi Yusuf-Muhammad Nazar. Menurut Thamrin Ananda, KP-PRA tidak ingin dikenal sebagai kelompok yang memiliki hubungandengan GAM, dan unsur-unsur masyarakat sipil pendukungnya,terutama SIRA. KP-PRA mengkritik SIRA sebagai organisasi yangkonservatif dan mengembangkan paham nasionalisme, yangcondong pada bentuk-bentuk chauvinisme.
Meskipun KP-PRA mendukung Ghazali Abbas, dukungan itutak diumumkan menjadi sikap partai, sehingga tidak menghalangihak para anggotanya untuk bebas memilih. Menurut ThamrinAnanda, KP-PRA hanya memberikan kriteria-kriteria yang harusdipenuhi oleh para calon, agar bisa didukung oleh anggota KP-PRA, yakni bahwa para calon harus: 1) tidak mewakili partai politikyang telah melakukan pelanggaran hukum terhadap rakyat Aceh;2) tidak merupakan bagian dari militer; 3) tidak terlibat dalam kasus-kasus korupsi, pelanggaran hak asasi manusia, dan bentuk-bentukkejahatan lainnya; 4) berkomitmen untuk menyediakan peluang-peluang ekonomi bagi rakyat Aceh dengan mengembangkanindustri; 5) berkomitmen untuk membangun pemerintahan yangbersih dan demokratis, serta meningkatkan upah tentara, guru,pegawai negeri, dan pekerja-pekerja berupah rendah lainnya; 6)berkomitmen untuk memelihara perdamaian di Aceh dan
PEMIIHAN KEPALA DAERAH DI ACEH
390 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
mempercepat proses-proses rehabilitasi dan rekonstruksi bagi parakorban konflik dan tsunami, dan; 7) berkomitmen untukmenurunkan harga bahan-bahan pokok.
Mengomentari perpecahan antar aktor masyarakat sipil dalamPilkada 2006, seorang intelektual terkemuka Aceh, Aguswandi,mengatakan bahwa perbedaan pendapat itu bukan disebabkan olehhubungan-hubungan pribadi atau kepribadian tiap-tiap individu,tetapi lebih berkaitan dengan isu-isu ideologi dalam melaksanakanreformasi yang lebih baik di Aceh.52 Menurut aktivis-intelektualyang lebih senior, Otto Syamsuddin, perpecahan itu membuktikanbahwa masyarakat sipil belum memiliki basis ideologi yang kuat.Sebaliknya, para aktivis masyarakat sipil hanya menunjukkankepentingan pragmatis dalam penyusunan konsesi politik.Kegagalan mereka menyokong kampanye Taufik Abda danAkhiruddin di Banda Aceh, kendati telah diawali kesepakatan yangmendobrak, yakni bersatu dan menominasikan kandidat bersama-sama, memperkuat analisis Otto Syamsuddin tersebut.
Masyarakat sipil—Pendidikan pemilihPendekatan lain yang digunakan untuk mengembangkan
gerakan sosial yang lebih cermat atau masyarakat sipil yang lebihtradisional dilakukan oleh Tarmizi, seorang anggota KPO-PA, sertaDirektur Eksekutif Forum Rakyat Aceh (FRA). Didirikan padaFebruari 2001, sebagai pecahan dari SMUR, FRA adalah forum lintassektoral, yang mewakili sektor pertanian dan perikanan, masyarakatmiskin, perempuan, korban akibat dampak negatif industri, sertakorban pelanggaran hak asasi manusia. FRA mengkoordinasisekitar 24 organisasi di 15 kabupaten. Upaya itu mencerminkankeyakinan Tarmizi bahwa representasi politik dan pendirian partaipolitik harus dimobilisasi dari bawah. Awalnya, Tarmiziberanggapan bahwa reformasi di Aceh hanya bisa dicapai melaluiperjuangan bersenjata. Namun, Tarmizi kini lebih percaya pada
391
demokrasi dan tindakan politik. Melalui kerja sama dengan organi-sasi-organisasi lain dalam FRA, Tarmizi kemudian menyelengga-rakan program pendidikan politik bagi para aktivis menjelangpilkada Desember 2006, melalui 24 organisasi tingkat kabupaten.53
Program pendidikan politik serupa bagi pemilih diselenggara-kan oleh Raihana Diani bersama sejumlah organisasi perempuan.Dengan target peserta perempuan, sekitar 600-700 perempuan ikutserta dalam program pendidikan demokrasi dan analisis sosial, demimenumbuhkan kesadaran perempuan akan hak dan aspirasinya.Disinggung mengenai kemungkinan untuk bergabung denganPRA atau partai-partai politik lokal lainnya, waktu itu RaihanaDiani mengatakan bahwa salah satu tantangan serius yang dihadapigerakan perempuan di Aceh adalah membangkitkan kesadaranperempuan akan hak-haknya, terutama ketika berhubungandengan polisi Syariah. Sejumlah qanun (peraturan daerah di Aceh)yang telah disahkan, lebih mencerminkan invasi terhadap ruang-ruang privat, dan, justru gagal mengatasi masalah yang lebih fun-damental bagi rakyat Aceh.
Masyarakat sipil—Pasca-pilkadaPilkada 2006 mengisyaratkan perpisahan antara GAM dan
masyarakat sipil. Situasi itu terbukti ketika beberapa aktivismasyarakat sipil, khususnya generasi kedua, justru menyalurkanasiprasi politiknya melalui calon yang berbeda, terutama di tingkatprovinsi. Kendati begitu, KPA sangat bersimpati terhadap upayapara calon dari kalangan masyarakat sipil untuk bersaing dalamPilkada kota Banda Aceh. Dan seperti yang ditegaskan OttoSyamsuddin, pasca pilkada, GAM mengundang sejumlah aktivisuntuk berpartisipasi dalam memperkuat pemerintah daerah,terutama di kabupaten di mana para kandidat dukungan GAMmenang, misalnya membantu merumuskan perencanaan anggaran.Bahkan, menjelang Pilkada, sejumlah aktivis masyarakat sipil telah
PEMIIHAN KEPALA DAERAH DI ACEH
392 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
membantu para kandidat dukungan GAM untuk menyusunpernyataan tentang visi dan misi kandidat tersebut.
Rekonstruksi, rehabilitasi, dan reintegrasi sebagai isu-isukampanye
Isu apa sajakah yang diangkat oleh para calon dalamkampanye Pilkada 2006? Sebagian besar calon mengangkat isu-isuumum, seperti perdamaian, kesejahteraan dan kemakmuranekonomi, tak terkecuali para calon yang berasal dari GAM/SIRA.Namun, isu-isu tersebut tidak diterjemahkan ke dalam rencana-rencana kebijakan yang konkret. Justru pertanyaan paling pentingadalah bagaimana Pilkada 2006 menjadi langkah pertama bagirakyat Aceh dalam menyusun agenda rekonstruksi, rehabilitasi,dan reintegrasi pasca-konflik dan pasca-tsunami, dengan memilihseorang pimpinan yang mereka anggap paling mampu mengatasiisu-isu ini, terutama ketika keterlibatan program yang didanailembaga-lembaga domestik dan internasional berakhir. Bagaimanapertanyaan-pertanyaan ini diangkat selama pilkada—dan sejauhmana rakyat Aceh benar-benar diberi pilihan untuk mengem-bangkan agenda tersebut?
Ternyata dari delapan pasangan calon dalam pilkada gubernur,hanya Iskandar Hoesin dan HM Saleh Manaf (didukung oleh koalisisejumlah partai kecil) yang berkampanye tentang isu rekonstruksidan rehabilitasi. Mereka menyatakan, ‘Demi mempercepat proses-proses rekonstruksi dan rehabilitasi, dibutuhkan koordinasi antarapemerintah daerah, Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi (BRR),dan pemerintah pusat dalam pembangunan Nanggroe AcehDarussalam, agar tak terjadi tumpang tindih program.’54
Tak dianggapnya isu rekonstruksi dan rehabilitasi sebagai isukunci kampanye oleh tujuh pasangan calon lainnya, sungguhmengherankan. Kelima pasangan calon yang didukung oleh partai-partai politik nasional, khususnya partai politik pemenang Pemilu
393
2004, barangkali memiliki kepentingan khusus ketika menghindariisu tentang siapa yang patut mengelola pembangunan di Aceh,karena melibatkan pendanaan yang tak sedikit. Tapi, Irwandi danNazar juga tak memberi perhatian yang cukup besar terhadap isuperlunya kepemimpinan yang demokratis dalam proses rekons-truksi, serta betapa besar potensi yang dapat dimanfaatkan darikepemimpinan semacam itu bagi pembangunan lebih lanjut diAceh. Sikap serupa juga ditunjukkan pasangan Humam Hamiddan Hasbi Abdullah, yang didukung oleh PPP dan beberapa elemenGAM. Kegagalan pasangan ini mengangkat isu pelaksanaanrekonstruksi dan rehabilitasi bagi pembangunan lebih lanjut, takpelak menunjukkan pengabaian secara terang-terangan, apalagiHamid juga salah satu anggota dewan direktur dalam BRR.55
Upaya-upaya politik dalam tata kelola pemerintahan untukmendorong reintegrasi dan rekonsiliasi demi pembangunan lebihlanjut, tidak terlalu disorot dalam pernyataan visi dan misi kandidatmanapun. Tampaknya, pelaksanaan rekonstruksi dan rehabilitasi,yang berjalan seiring sejalan dengan reintegrasi dan rekonsiliasitidak dianggap sebagai isu kampanye “bernilai jual” tinggi untukmendulang suara rakyat. Mereka justru lebih fokus pada isu, sepertipenyediaan pendidikan gratis, layanan kesehatan gratis, penerapanhukum syariah, dan upaya-upaya anti-korupsi.
Singkatnya, keterbatasan sosialisasi isu-isu rekonstruksi danrehabilitasi, serta reintegrasi dan rekonsiliasi, pada masa kampanyemenunjukkan bahwa para calon gubernur hanya memberi sedikitperhatian atau tidak sama sekali, terhadap isu-isu yang palingpenting dan mendesak untuk ditangani bagi Aceh. Dengan katalain, tantangan-tantangan terbesar justru belum menjadi agendadalam pertumbuhan politik yang demokratis di Aceh. Barangkali,salah satu alasannya adalah para politisi itu merasa bahwa isu-isutersebut akan ditangani oleh aktor-aktor lain, seperti lembaga-lembaga donor, para pakar, perusahaan-perusahaan besar, dan (bisa
PEMIIHAN KEPALA DAERAH DI ACEH
394 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
ditambahkan pula partai-partai politik nasional) pemerintah pusat.Alasan lain, para calon kemungkinan merasa tak memilikikemampuan yang cukup untuk mengatasi persoalan-persoalanbesar tersebut.
KesimpulanPilkada gubernur dan kabupaten/kota yang berlangsung dari
11 Desember 2006 memberikan sebuah kerangka politik yangmembentuk proses demokratisasi di Aceh. Semula banyak orangpesimis dengan pelaksanaan Pilkada, dan khawatir pelaksanaanpemilihan akan sarat konflik. Namun, kekhawatiran itu tidakterbukti. Meskipun terjadi beberapa insiden kekerasan dan intimidasidi Aceh Tengah dan Tenggara, nyaris seluruh proses Pilkadaberjalan lancar dan dianggap berlangsung secara damai, adil, dandemokratis.
Secara umum, Pilkada 2006 menunjukkan terjadinya garispemisah yang jelas antara calon-calon di Aceh, yakni barisanpendukung aliansi KPA-SIRA yang mencalonkan Irwandi danNazar, melawan Jakarta. Di sisi lain, ketika kombinasi para elitdari “Kelompok Tua” GAM dengan seorang politisi liberal (Hamid)dalam kerangka partai “nasional”, PPP, meraih posisi kedua, parakandidat yang menemui kegagalan adalah mereka yang memilikiketerkaitan erat dengan agenda Jakarta. Malik Raden dan FuadZakaria, yang didukung Golkar, PDIP, dan Partai Demokrat, hanyamampu meraih posisi ketiga dengan perolehan suara kurang dari14%. Pemerintah pusat sudah lama kehilangan legitimasi, akibatkebijakan-kebijakannya yang militeristik dan diskriminatif sertaeksploitasi sumber daya alam Aceh. Partai-partai politik “nasional”lebih dianggap sebagai pendukung pemerintah pusat daripadapenyuara tuntutan rakyat Aceh. Keberhasilan Golkar dalam pemilusejak 1987, lebih merupakan buah intimidasi, kekerasan, dankooptasi elit-elit lokal daripada ungkapan pilihan politik rakyat.
395
Peran Gubernur Ibrahim Hasan dalam pemenangan Golkar ketikaPemilu 1992, dengan meminta penerapan status DOM, tak sekedarmembenarkan anggapan bahwa Golkar hanya tertarik padakekuasaan, tapi juga menegaskan bahwa Golkar tak responsifterhadap kepentingan-kepentingan daerah.56 Di bawah pember-lakuan DOM, partai-partai politik nasional bertingkah seakan-akanmereka tak memiliki mata untuk melihat dan telinga untuk men-dengar jeritan tuntutan rakyat. Karena itu, tidak mengherankanjika rakyat mulai tidak peduli dengan partai-partai politik nasional.
Pelajaran lain yang bisa dipetik dari pilkada ini adalahbagaimana Irwandi Yusuf dan Muhammad Nazar (yang didukungoleh GAM dan SIRA) mampu mengalahkan Humam Hamid danHasbi Abdullah, seorang politisi terkenal dari PPP, serta salahseorang intelektual GAM, yang pernah dipenjara dari 1990 hingga1998, dan memperoleh dukungan dari “Kelompok Tua” GAM.Intinya, perbedaan antara kedua pasangan itu dapat dipahamisebagai pertentangan antara politik rakyat dan politik elit. IrwandiYusuf dan Muhammad Nazar mewakili kelompok GAM dan SIRA“baru”, yang berbasis di Aceh dan mengandalkan politik yangberdasarkan demokrasi kerakyatan, serta memiliki kemampuanuntuk mobilisasi rakyat di tingkat lokal dan mengkonsolidasikankonstituen di daerah. Di sisi lain, Humam Hamid dan HasbiAbdullah adalah representasi politik elit, baik dalam bentuk partaipolitik “nasional” maupun “Kelompok Tua” GAM, yang sebagianbesar berbasis di Stockholm. Selain itu, Irwandi Yusuf danMuhammad Nazar juga berhasil memunculkan citra sebagaikelompok nasionalis yang memiliki prinsip dan mengusungkesepakatan damai, tapi tidak terikat dengan struktur GAM “lama”.Faktanya, kemenangan mereka yang mengesankan justru diraihdi luar basis tradisional GAM.
Selain keberhasilan mereka membangun citra sebagaipengusung prinsip-prinsip nasionalisme yang memiliki keterkaitan
PEMIIHAN KEPALA DAERAH DI ACEH
396 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
dengan GAM dan SIRA, Irwandi dan Nazar juga diuntungkanoleh kemunculan sosok Susilo Bambang Yudhoyono dan JusufKalla sebagai kekuatan politik dalam Pemilu 2004. Keduanyamerepresentasikan sebuah alternatif politik yang diharapkanmampu menyelesaikan pelbagai masalah yang dihadapi rakyat In-donesia. Ditinjau dari perspektif ini, maka ada kemungkinan bahwakejadian apa di Aceh menggambarkan apa yang terjadi di Jakartapada skala mikro.5757
Dalam analisis terbaru, LIPI memprediksi, Irwandi-Nazar akanberakhir pada 2011. Irwandi yang tak memiliki posisi strategis diAceh, serta menurut para analis tersebut, dia hanya orang nomorempat di dalam GAM, akan lebih merapat ke Jusuf Kalla dan menjadianggota kabinet. Sedangkan Nazar memiliki posisi yang lebih kuatdi dalam SIRA. Dalam kongres pertama Partai SIRA pada 10Desember 2007, di Banda Aceh, partai tersebut menegaskan upayamereka untuk mengangkat Nazar menjadi pemimpin utama diAceh. Lihat Hasan (2008) hal.186-187.
Sementara itu, di kalangan organisasi masyarakat sipil, SIRAadalah satu-satunya organisasi yang berhasil membangun basisdukungan rakyat, dan memadai untuk digunakan dalam pilkada,meskipun masih belum jelas seberapa jauh basis dukungan itudipengaruhi oleh kerjasama SIRA dan KPA. Seperti yang dilakukankoleganya di Indonesia, banyak organisasi masyarakat sipil yangberusaha mempertahankan “kemurnian” gerakannya sebagaigerakan sipil. Namun, pada akhirnya, mereka juga memanfaatkanaliansi elit, seperti yang dilakukan pimpinan “Kelompok Tua” GAM.Bedanya, mereka bekerjasama dengan para politisi liberal yang kritisterhadap GAM.
Secara keseluruhan, para kandidat gubernur sedikit sekali atausama sekali tak menaruh perhatian khusus terhadap suatukepentingan tertentu atau agenda kebijakan yang spesifik.Anehnya, hampir tak ada pembahasan tentang upaya melanjutkan
397
pelaksanaan demokrasi, sehingga dapat dimanfaatkan untukmengarahkan proyek rekonstruksi dan pembangunan terbesar didunia sejak Perang Dunia II. Sebaliknya, pilkada akhirnya hanyaberfungsi sebagai sebuah pelaksanaan referendum, yangmendukung kesepakatan perdamaian dan demokrasi dalam MoUHelsinki yang dikendalikan kelompok-kelompok nasionalis danjaringan masyarakat akar rumput yang menjalankan peran positifdalam negosiasi perdamaian. Alhasil, sebagai pemberi mandat bagikebijakan dan proses demokratisasi di masa depan di Aceh, PilkadaDesember 2006 menunjukkan perkembangan positif meskipun padaakhirnya belum memberikan hasil yang signifikan.
Kendati begitu, seperti yang diungkapkan Faisal Saifuddin,tak ada keraguan bahwa pilkada 2006 telah memberi pelajaranpenting dalam hal kampanye pemilu dan manajemen organisasi,dan tak lama setelah Pilkada, berdirilah sejumlah partai politik lokal.Selain partai-partai yang melibatkan gerakan kelompok nasionalisAceh dan mahasiswa, seperti Partai Aceh (GAM), Partai SIRA danPartai Rakyat Aceh (PRA), partai politik lokal juga didirikan olehGhazali Abbas—Partai Aceh Aman Sejahtera (PAAS); dan HarmenNuriqman, yang pernah bertarung dalam pilkada gubernurbersama Letjen (purn) Tamlicha Ali, menjadi Ketua Partai DaulatAceh (PDA). Selain itu, Farhan Hamid, yang masih menjadipengurus PAN di tingkat nasional, juga mendirikan Partai BersatuAceh (PBA), agar bisa bersaing memperoleh kursi, baik di tingkatnasional maupun daerah. Diskusi lebih mendalam tentang partaipolitik lokal di Aceh dan bagaimana upaya para pemenang maupunpihak yang kalah dalam Pemilu 2006 mempersiapkan diri untukmenyongsong Pemilu 2009 akan disajikan pada Bab 7.
PEMIIHAN KEPALA DAERAH DI ACEH
398 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
(Catatan)1 Peneliti: Donni Edwin; Asisten Peneliti: Wiratmo Probo, Dono
Prasetyo, Aris Santoso, Irwan Saptono, Penyunting: MurizalHamzah
2 Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) No.11 Tahun 2006.Pelaksanaan UUPA diatur melalui qanun atau peraturan daerah,khususnya qanun No.2 tahun 2006, qanun No. 3 tahun 2006, danqanun No.7 tahun 2006.
3 Keputusan Mahkamah Konstitusi 5/PUU-V/2007.4 KIP-Aceh berbeda dengan KPU, seperti diatur dalam UUPA dan
qanun No.2, 3, dan 7 Tahun 2006. KIP-Aceh memiliki 11 anggotayang diangkat melalui Keputusan Gubernur No.3 dan No.14 Tahun2005 dan Keputusan Gubernur No. 5 tahun 2006. Proses pemilihandan seleksi anggota-anggota KIP-Aceh dilakukan oleh tim ad-hocindependen. Mereka yang terpilih sebagai anggota KIP-Aceh,menjabat hingga lima tahun. KIP-Aceh dibantu oleh cabang-cabangnya di tingkat kabupaten, dan beranggotakan masing-masing lima orang. Jadi, dengan 21 kabupaten/kota di Aceh makaterdapat 105 anggota KIP di tingkat kabupaten. Komisi PengawasPemilu juga dibentuk, beranggotakan lima orang di tingkatprovinsi dan 5 orang di tingkat kabupaten, sehingga secarakeseluruhan juga berjumlah 105 orang di tingkat kabupaten. Selainitu, sejumlah tim relawan juga hadir untuk mengawasi proses-proses pemungutan suara di setiap TPS, dan masing-masing timberanggotakan lima orang untuk mengawasi 8.471 TPS.Organisasi-organisasi nasional dan internasional yang indepen-dent, juga terlibat dalam proses pengawasan pilkada, diantaranya, European Union Observation Mission, ANFREL (AsianNetworks for Free Election), IRI (International Republican Insti-tute), National Democratic Institute (NDI), US-AID, KonsulatJenderal Amerika Serikat di Medan, Tim Peninjau dari PemerintahJepang, JPPR (Jaringan Rakyat untuk Pendidikan Bagi Pemilih),AIRP (Aceh International Recovery Program), Forum OrganisasiNon-Pemerintah (NGO) Aceh, Aceh Strategic Research Center, KIPP(Komisi Independen Pemantau Pemilu), LGSP (Local GovernanceSupport Program).
399
5 Azwar Abubakar membantu proses peradilan terhadap Putehdengan memberikan dukungan kepada para aktivis anti-korupsidan media untuk melaporkannya. Sikap itu memberi dirinya citrasebagai seorang tokoh yang bersih dan membenci korupsi. Putehdiadili pada 27 Desember 2004, sehari setelah tsunami.
6 Azwar Abubakar adalah wakil gubernur, dan menjadi gubernurpelaksana harian setelah Gubernur Puteh ditangkap. Pada awal2006, pemerintah Indonesia menunjuk Mustafa Abubakar sebagigubernur interim hingga pelantikan Irwandi Yusuf tanggal 8Februari 2007.
7 “Menelisik Kekuatan para Petarung”, Majalah Aceh, Desember 2006.8 PBB adalah partai Islam yang relatif populer di Aceh.9 Partai Golkar adalah motor politik rezim Orde Baru Soeharto, dan
telah melakukan penyesuaian secara terbatas terhadap agendareformasi.
10 PDIP (dipimpin oleh puteri Soekarno, Megawati) adalah pecahanpartai dari satu-satunya partai nasionalis, yang tidakmengungkapkan secara eksplisit sebagai partai berorientasiagama, pada masa kekuasaan Soeharto.
11 PKPI adalah pecahan Partai Golkar, awalnya sejumlah parapurnawirawan jenderal terkemuka sempat memegang jabatan-jabatan kunci.
12 PBR merupakan partai Islam yang lebih konservatif, danberkembang di Aceh selain PBB.
13 Pada hakikatnya, PPNUI dan PKB berbasiskan organisasi sosialkeagamaan tradisional terbesar, Nahdlatul Ulama; PKB didirikanoleh mantan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan bersifatlebih liberal serta pluralistik.
14 PPP adalah satu-satunya partai berbasis Islam yang diizinkanpada masa kekuasaan Soeharto. Seperti Golkar, partai ini pun telahmenyesuaikan diri secara terbatas dengan agenda-agendareformasi.
15 PAN adalah partai Islam yang berbasis masyarakat kota dan kelasmenengah, yang didirikan setelah jatuhnya Soeharto.
16 PKS merupakan partai persaudaraan Islam yang terorganisirdengan baik. Awalnya, para konstituennya, antara lain, terdiri
PEMIIHAN KEPALA DAERAH DI ACEH
400 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
dari kelompok mahasiswa penentang rezim Soeharto.17 Djali Jusuf maju sebagai calon independent, meskipun ada
kemungkinan dia dekat dengan Partai Demokrat di Aceh, karenaDjali adalah anggota tim keamanan Susilo Bambang Yudhoyonoketika maju dalam pemilihan presiden (pilpres).
18 KPA adalah Komite Peralihan Aceh. Struktur KPA sebenarnya rela-tive mirip dengan stuktur organisasi militer GAM (Teuntra NeugaraAceh/TNA).
19 Singkatan dari Sentral Informasi Referendum Aceh. SIRA didirikanpada 4 Februari 1999 untuk mengkampanyekan referendumkemerdekaan bagi Aceh. Kerjasama antara SIRA dan GAMmenunjukkan bahwa mereka saling mendukung. Dalam acara yangdiselenggarakan pada tanggal 8 November 1999, sedikitnya500.000 orang berkumpul di halaman Masjid Baiturrahman untukmenuntut referendum dengan opsi kemerdekaan. GAM turutmembantu dan memobilisasi massa dari luar Banda Aceh. Militermenuduh bahwa SIRA merupakan kelompok intelektual GAM, tapiSIRA berada di luar garis komando GAM.
20 Wawancara dengan Nashruddin Abubakar, seorang anggota SIRAdan Wakil Bupati Aceh Timur.
21 Untuk edisi bahasa Inggris, kami gunakan nama: the IndonesianSurvey Circle untuk LSI. Terjemahan diambil dari the Jakarta Post.
22 US-AID (2007).23 Suara Karya Online, 7 Desember 2006.24 LSI juga ditugaskan Partai Golkar untuk melakukan survei
terhadap para calon di tingkat kabupaten dan kota di berbagaiwilayah di Aceh.
25 “Menolak Riset LSI” (2006), hal. 14-15.26 Ibid27 IRNA didukung oleh KPA di seluruh Aceh. Humam Hamid dan
Hasbi Abdullah, yang didukung oleh faksi GAM yang lain, hanyamemperoleh kemenangan di Pidie dan Banda Aceh. Pidiemerupakan tanah kelahiran Menteri Kesehatan GAM, ZainiAbdullah, yang juga merupakan saudara Hasbi Abdullah.
28 Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI atau PKP);merupakan pecahan dari Partai Golkar, yang didirikan Edi
401
Sudrajat.29 Sebagian besar singkatan nama partai politik berdasarkan pada
tabel 6.2 dan 6.3 sebelumnya.30 Partai Demokrasi Kebangsaan (PDK), didirikan oleh Ryaas
Rasyid—salah satu arsitek kebijakan desentralisasi di Indonesia,dan Andi Mallarangeng, juru bicara Presiden Susilo BambangYudhoyono.
31 Partai Nasional Banteng Kerakyatan Indonesia (PNBK), bekaspartai nasionalis Bung Karno; juga merupakan pecahan dari PDI-P (dipimpin Eros Djarot).
32 Wawancara dengan Baharuddin, seorang aktivis LSM diLhokseumawe, dan Fachrul Razi, Banda Aceh.
33 Tiga kabupaten tersebut adalah Singkil, Simeulue, dan AcehTenggara.
34 Wawancara pada 5 Desember 2006.35 Perwakilan GAM untuk Malaysia dan Australia menyatakan
dalam sebuah wawancara di media bahwa ‘Islam telah menjadibudaya masyarakat Aceh, jadi tidak perlu diterapkan secarastruktural.’ Nur Djuli juga mengungkapakan hal yang sama dalamsebuah wawancara dengan radio ABC, http://www.abc.net.au/pm/content/2006/s1731262.htm. Konsep yang sama jugadikemukakan oleh Teungku Nashiruddin yang mengatakan bahwa‘dalam Islam yang pokok itu bukan formalitas, namun bagaimanamembangun masyarakat Islam melalui pendidikan.’ Aceh Kita, 3-9Oktober 2005.
36 Laporan Dinamika Pilkada Aceh, 11 November-5Desember 2006,Forbes Damai, 2006.
37 Pidato Irwandi saat deklarasi pencalonan dirinya sebagai calongubernur, 27 Agustus 2006, di kantor KPA, Banda Aceh.
38 Dalam beberapa hal, kondisi ini mengingatkan pada keberhasilanPKS di Banda Aceh pada Pemilu legislatif 1999. Dalam Pemilu 1999,PAN menang di Banda Aceh dengan 39,41% suara. Namun dalamPemilu 2004, PKS lah yang menang di Banda Aceh dengan 31,74%suara. Tapi, dalam Pilkada 2006 dalam pemilihan Walikota/WakilWalikota Banda Aceh, kader PKS Raihan Iskandar-Teuku Surya(keduanya kader PKS dan hanya didukung oleh PKS) dikalahkan
PEMIIHAN KEPALA DAERAH DI ACEH
402 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
oleh Mawardi Nurdin dan Illza Sa’aduddin yang didukung olehPPP, PBR, dan Partai Demokrat.
39 Wawancara dengan Murizal Hamzah, aktivis dan wartawan diAceh, 10 Desember 2006.
40 Wawancara dengan Irwanda, pengurus fungsional Partai Golkar,8 November 2006.
41 Lihat ICG (2002) hal. 6-8.42 Wawancara dengan Armen Desky, calon bupati dari Partai Golkar
di Kutacane, 5 Desember 2006.43 Otto Syamsuddin Ishak berasal dari Tijue, Pidie. Otto adalah dosen
pada Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala di Banda Aceh,yang sangat vokal terhadap pelanggaran hak asasi manusia dankondisi di Aceh sejak dia masih mahasiswa, dan akibatnya, diajuga menjadi salah satu target militer. Dia mendirikan KomiteIndependen Pemantau Pemilu (KIPP). Bersama isterinya, DyahRahmani Purnomowati, yang beretnis Jawa, Otto mendirikanorganisasi non-pemerintah Cordova pada 1990 di Banda Aceh.Sekarang dia menjabat sebagai dosen sosiologi di Universitas SyahKuala dan peneliti di Imparsial, sebuah organisasi non-pemerintahyang berbasis di Jakarta.
44 Bdk. Presentasi dapat dijumpai di http://partairakyataceh.org/45 Faisal Saifuddin merupakan perwakilan SIRA di Jakarta. Dulu dia
mengorganisasi aksi demonstrasi di Jakarta untuk menuntutpenarikan pasukan dari Aceh dan pelaksanaan referendum. Pada2001, dia ditangkap dalam sebuah aksi demonstrasi di depankantor PBB di Jakarta, atas tuduhan keterlibatan dalam pembomanasrama mahasiswa pada 10 Mei 2001, dan dia dijatuhi hukumansatu tahun penjara. Faisal Saifuddin membantah dirinya terlibatdalam peristiwa pemboman, yang mengakibatkan dua mahasiswameninggal itu, Tempo (2001).
46 SMUR didirikan oleh para aktivis mahasiswa Aceh pada 18 Maret1999 di Universitas Syiah Kuala, tepatnya di Kampus Darussalam.SMUR mengorganisasi ribuan mahasiswa dan pelajar pada 25Maret 1999 dalam aksi demonstrasi memprotes militerisme diAceh, sehari sebelum kunjungan Presiden B.J Habibie. Belakangan,FPDRA didirikan oleh sejumlah mahasiwa dan organisasi pemuda,
403
di antaranya, SMUR (Solidaritas Mahasiswa Untuk Rakyat),WAKAMPAS (Wahana Komunikasi Mahasiswa dan Pemuda AcehSelatan), GAMUR (Gerakan Mahasiswa Muslim untuk Rakyat),dan SAMAN (Solidaritas Mahasiswa Aceh Nusantara).
47 Mantan sekretaris jenderal SMUR dan mantan koordinatorKontraS Aceh.
48 Baik sebelum maupun setelah Pilkada, Tarmizi dan FRA terlibatdalam diskusi-diskusi intensif dengan KP-PRA, yang membahastentang pendirian partai politk lokal. Akhirnya dia bergabungdengan PRA.
49 Diambil dari H.Iskandar Hoesin dan H.M. Saleh Manaf50 Serambi Indonesia (2006).51 Lihat Al Chaidar (1998).52 Dalam analisis terbaru, LIPI memprediksi, Irwandi-Nazar akan
berakhir pada 2011. Irwandi yang tak memiliki posisi strategis diAceh, serta menurut para analis tersebut, dia hanya orang nomorempat di dalam GAM, akan lebih merapat ke Jusuf Kalla danmenjadi anggota kabinet. Sedangkan Nazar memiliki posisi yanglebih kuat di dalam SIRA. Dalam kongres pertama Partai SIRApada 10 Desember 2007, di Banda Aceh, partai tersebut menegaskanupaya mereka untuk mengangkat Nazar menjadi pemimpinutama di Aceh. Lihat Hasan (2008) hal.186-187.
58 UUPA tidak membolehkan partai-partai lokal memperebutkankursi perwakilan daerah di DPR RI. Meski begitu, undang-undangitu tak menyebut bahwa partai politik lokal boleh menjadi bagiandari partai politik nasional, dan anggota partai politik lokal bisasekaligus menjadi anggota partai politik nasional. Aturan semacamitu dikhawatirkan akan mendorong aliansi-aliansi taktis danpragmatis antara partai politik nasional dan partai politik lokal.
PEMIIHAN KEPALA DAERAH DI ACEH
404 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
Daftar PustakaAceh Kita bersama Nashiruddin. 8th edition. 3-9 Oktober 2005.Al Chaidar. 1998. Aceh Bersimbah Darah: Mengungkap Penerapan DOM
di Aceh 1989- 1998. Jakarta: Pustaka Al-Kaustar.Conciliation Resources. 2007. Map of Aceh, Indonesia.http://www.c-
r.org/our-work/accord/aceh/map.php.Harian Kompas. Dominasi Elite Politik Lama dalam Pilkada Aceh. 4
Desember 2006.Hasan, Kamaruddin. 2008. Pilkada, Partai Lokal dan Masa Depan
Aceh: Harapan Berakhirnya Transisi. dalam Ikrar Nusa Bhakti,ed. Beranda Perdamaian Aceh Tiga Tahun Pasca MoU Helsinki.Yogyakarta: P2P-LIPI & Pustaka Pelajar.
Hoesin, H. Iskandar dan H. M. Saleh Manaf. tanpa tanggal. ’Aceh BeuMaju Ureung Beu Carong Agama Beu Kong Damee Sejahtera.’
ICG. 2002. Aceh: A Slim Chance for Peace. Brussels & Jakarta: ICGAsia Briefing Paper
Harian Kompas. “Dominasi Elite Politik Lama dalam Pilkada Aceh”.4 Desember 2006.
Majalah Aceh. “Menelisik Kekuatan Para Petarung”. Desember 2006.MajalahAceh. Menolak Riset LSI. Juni 2006.MajalahTempo. 14 Mei 2001.Thompson, Geoff 2006, Conflict Over Sharia in Aceh, wawancara di
ABC Radio Partai Rakyat Aceh. [Online] Tersedia di: http://partairakyataceh.org/
Serambi Indonesia. 2 Mei 2006.Suara Karya Online. Prediksi IFES: Pilkada Aceh Bakal Dua Putaran.
7 Desember 2006. http://www.aceh-eye.org/a-eye_news_files/aeye_news_bahasa/news_item.asp?NewsID=4216>
US-AID. Opinions and Information on The Pilkada Aceh Elections 2006:Key Findings from an IFES Survey. 2007.
Harian Kompas. 10 April 2004.Forbes Damai. Laporan Dinamika Pilkada Aceh 11 November-5
Desember 2006.
405
PPPPPARTARTARTARTARTAIAIAIAIAI P P P P POLITIKOLITIKOLITIKOLITIKOLITIK L L L L LOKALOKALOKALOKALOKAL DIDIDIDIDI A A A A ACEHCEHCEHCEHCEH:::::6
i
LLLLLOKOKOKOKOKOMOOMOOMOOMOOMOTIFTIFTIFTIFTIF P P P P PRRRRROSESOSESOSESOSESOSES D D D D DEMOKRAEMOKRAEMOKRAEMOKRAEMOKRATISTISTISTISTISASIASIASIASIASI DIDIDIDIDI I I I I INDONESIANDONESIANDONESIANDONESIANDONESIA
Murizal Hamzah1
Pendahuluan“Di balik bencana pasti ada hikmahnya….” adalahungkapan yang sering terdengar dari mulut parapenyalur bantuan kemanusiaan dan politisi. Semua
bermula dari gempa bumi sekitar 8,9 skala Richter, yang diikutigelombang tsunami pada pukul 7.58 pagi, tanggal 26 Desember2004. Keesokan harinya, juru bicara GAM, Bachtiar Abdullah,mengumumkan gencatan senjata dengan Indonesia dari kantornyadi Swedia. Ketika dihantam gelombang tsunami, Aceh masih dalamstatus Darurat Sipil Kedua, yang berlaku sejak 19 November 2004hingga 18 Mei 2005.
Seolah berpacu dengan waktu, Indonesia dan GAM—difasilitasi oleh Crisis Management Initiative (CMI) Foundation pimpinanMarti Ahtisaari—sepakat untuk melangsungkan sebuah pertemuan
406 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
demi mengakhiri kekerasan, pada pekan pertama Januari 2005.Berbagai upaya penyelamatan dan penyaluran bantuan ke-manusiaan hanya bisa dilakukan secara efektif, jika tak ada kontaksenjata antara GAM dan militer Indonesia. Dengan kata lain,penyaluran bantuan, pelaksanaan proses rehabilitasi, danrekonstruksi bisa terselenggara dengan baik, apabila perdamaianterwujud di Aceh. Secara bersamaan, proses-proses rehabilitasi danrekonstruksi yang memadai dan efektif juga berpotensi men-ciptakan perdamaian dan keharmonisan yang lebih berkelanjutan.Meskipun peran aktor-aktor dan kepentingan-kepentingan lain jugakrusial, seperti yang telah diuraikan pada Bab 1, ambisi untuksecepatnya meraih perdamaian, menyalurkan bantuan dan memulaiproses rekonstruksi turut berkontribusi dalam keberhasilanpenandatanganan MoU Helsinki pada 15 Agustus 2005.
MoU Helsinki memberikan mandat untuk merumuskanperaturan perundang-undanganan baru bagi pemerintahan Aceh.Pada masa tanggap darurat pasca tsunami, peran Gubernur Acehberada di tangan Wakil Gubernur Azwar Abubakar, karenaGubernur Abdullah Puteh sedang menjalani proses pengadilankasus korupsi. Pemerintah Indonesia kemudian menunjuk MustafaAbubakar sebagai Pelaksana Tugas Gubernur Aceh pada 30Desember 2005. Semula Aceh telah dijadwalkan akan menyeleng-garakan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) langsung pertama padaMei 2005. Namun, bencana tsunami membatalkan rencana tersebut.Bahkan, seluruh agenda pilkada, baik di tingkat provinsi,kabupaten, dan kota terpaksa harus ditunda selama masa tanggapdarurat.
MoU Helsinki juga mencerminkan sebuah kompromi daripihak GAM, karena mereka tak lagi menuntut kemerdekaan penuh.Tapi, di sisi lain, kesepakatan itu juga mencerminkan kompromidari pihak pemerintah Indonesia, karena Aceh diizinkan mene-rapkan sistem pemerintahan-sendiri. Para negosiator GAM
407
menaruh kepercayaan pada komitmen Indonesia untuk mewujud-kan perdamaian dengan menerima saran bahwa rakyat Aceh akanmembentuk pemerintahan mereka sendiri berdasarkan hasilpilkada. Singkatnya, perjanjian damai antara Indonesia dan GAMini akan menjadi titik awal bagi sebuah periode kebangkitan, dimana rakyat Aceh dapat memenuhi aspirasi mereka melalui upaya-upaya yang demokratis (Sinar Harapan 13 Juli 2005).
Pasal 1.1.1 MoU mengamanatkan, undang-undang barutentang pemerintahan Aceh harus secepatnya disahkan dandiimplementasikan, atau setidaknya paling lambat pada 31 Maret2006. Pasal 1.2 tentang Partisipasi Politik menyatakan bahwapemerintah Indonesia harus memfasilitasi pembentukan partai-partai politik lokal di Aceh, dalam lingkup ketentuan dan aturandi tingkat nasional. Karena telah mengakui aspirasi rakyat Acehuntuk membentuk partai politik lokal, pemerintah Indonesiadiwajibkan untuk mengembangkan kerangka politik dan hukumbagi pendirian partai-partai politik lokal di Aceh melalui konsultasidengan DPR, dalam jangka waktu satu setengah tahun sejakpenandatanganan MoU.
Pasal 1.2.2 MoU juga menyebutkan bahwa rakyat Acehmemiliki hak mengajukan calon lokal untuk semua jabatan politiksejak April 2006. Pasal selanjutnya, 1.2.3, menyebutkan bahwaPilkada yang bebas dan adil harus diselenggarakan di bawahundang-undang baru tentang pemerintahan Aceh, untuk memilihkepala pemerintahan di Aceh, baik tingkat kabupaten atau kotamaupun tingkat provinsi, pada bulan April 2006, yang diikutidengan pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA)pada tahun 2009.
Seperti yang diamanatkan MoU, rancangan undang-undanguntuk pemerintahan Aceh disusun berdasarkan saran dan pendapatdari beragam sumber, antara lain, GAM, kalangan akademisi, danorganisasi masyarakat sipil di Aceh, sebelum dibahas lebih lanjut
PARTAI POLITIK LOKAL DI ACEH
408 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
di DPR. Para akademisi dari Universitas Syiah Kuala di Banda Acehmenyerahkan rancangan yang mengatur tentang ekonomi,sedangkan kalangan akademisi dari IAIN Ar-Raniry di Banda Acehmenyerahkan rancangan yang membahas tentang penerapanhukum syariah dan rekonsiliasi. Sementara itu, para akademisi dariUniversitas Malikussaleh di Lhokseumawe, Aceh Utara, menyerah-kan rancangan tentang partai politik lokal.
Sebaliknya, rancangan yang diajukan GAM sangat berbedadengan rancangan yang diusulkan oleh masyarakat Aceh danpemerintah Indonesia. Misalnya, rancangan GAM menyebutkanbahwa tidak perlu ada pemilihan Wali Nanggroe (status simboliksebagai ‘pelindung negara’ di Aceh) untuk periode awal. PendiriGAM, Dr Hasan M Tiro telah ditetapkan sebagai Wali Nanggroepertama, sebuah jabatan yang akan dipegang hingga wafat.2
Pemilihan untuk penggantinya akan dilakukan kemudian. Per-wakilan GAM, yang dipimpin Teuku Kamaruzzaman, menyerah-kan rancangan undang-undang, yang terdiri dari 34 bab dan memuat147 pasal.3 Rancangan undang-undang juga diajukan oleh organisasimasyarakat sipil, yang diwakili oleh Acehnese Civil Society Task Force(ACSTF) di Banda Aceh, yang terdiri dari 29 bab dan 148 pasal.4
Semua rancangan itu diserahkan ke DPRD Aceh, yangkemudian merangkainya sedemikian rupa, menjadi 40 bab dan 209pasal, serta menyerahkannya kepada DPR di Jakarta. PemerintahIndonesia, dalam hal ini Departemen Dalam Negeri, kemudianmenyunting rancangan itu menjadi 40 Bab dan 206 pasal. Setelahperdebatan alot, DPR secara resmi mengesahkan Undang-UndangPemerintahan Aceh (UUPA) pada 11 Juli 2006, yang terdiri dari 40bab dan 273 pasal, serta ditandatangani oleh Presiden SusiloBambang Yudhoyono pada 1 Agustus 2006.5
Dengan pengesahan UUPA ini, seluruh peraturan per-undangan sebelumnya tentang status dan pemerintahan Aceh, yakniUU No. 44 tahun 1999 tentang Status Istimewa Aceh dan UU No. 18
409
tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Nanggroe Aceh Darussalam,tidak berlaku lagi. Namun, kajian-kajian tentang UUPAmengindikasikan bahwa beberapa bagian dalam undang-undangbaru itu, ternyata diambil dari dua produk perundangan sebelumnya.
Proses perumusan, pengesahan, dan pelaksanaan UUPAakhirnya tidak berjalan mulus. Sejumlah organisasi masyarakatsipil membentuk sebuah tim pengawas untuk memastikan bahwaUUPA ditafsirkan dan diimplementasikan sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam MoU. Bahkan pada hari ketika undang-undangitu disahkan, para aktivis menyerukan penolakan terhadap undang-undang tersebut dengan aksi mogok massal yang melumpuhkansektor transportasi publik di Aceh Besar, Pidie, Lhokseumawe, AcehBarat, dan daerah-daerah lainnya. Sikap ini tentu saja menunjukkankecurigaan sejumlah pihak bahwa UUPA tidak mencerminkansemangat dan tujuan yang terkandung dalam MoU. Mereka diantaranya adalah Aliansi Masyarakat Sipil bagi PenyelamatanUUPA, yang didukung oleh Sentral Informasi Referendum Aceh(SIRA).
Salah satu anggota Aliansi Masyarakat Sipil bagi PenyelamatanUUPA, Dawan Gayo, menyatakan bahwa UUPA tidak bisa dianggapsekedar produk hukum belaka. Undang-undang itu justru harusdilihat sebagai produk yang memiliki keterkaitan erat dengankomitmen pemerintah Indonesia dan GAM dalam penyelesaiankonflik di Aceh, melalui upaya yang damai, menyeluruh,berkelanjutan dan bermartabat, seperti yang tercantum dalamparagraf pertama MoU. Aliansi yang terdiri dari sekitar 20 organisasimasyarakat sipil ini menganggap bahwa sebagian isi dan poin-poinpenting dalam UUPA bertentangan atau tidak konsisten denganMoU. Poin-poin itu, di antaranya, sebagai berikut:1. Di dalam pasal 7.2, UUPA memperluas jurisdiksi pemerintah
Indonesia atas wilayah-wilayah yang menjadi urusan-urusannasional, selain enam wilayah yang telah disepakati di bawah
PARTAI POLITIK LOKAL DI ACEH
410 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
pasal 1.12 (a) dalam MoU;6
2. Pemerintah Indonesia akan melanjutkan intervensi, yangkemudian mengurangi otoritas pemerintahan Aceh, yaknimelalui pembuatan norma, standar, prosedur, pengawasan diberbagai hal. Pemberlakuan aturan dan pengawasan semacamini, ibarat ‘membebaskan kepala, tetapi tetap mencengkeramekor.’ (pasal 11.1 UUPA dan pasal 1.1.2(a) MoU);7
3. Tidak ada ketentuan yang mengatur peradilan bagi paraanggota TNI yang diduga telah melakukan kejahatan sipil dipengadilan sipil, yang bertentangan dengan pasal 1.4.5 dalamMoU (pasal 203 UUPA);
4. Keberadaan peradilan bagi pelanggaran hak asasi manusiatidak didasarkan pada Undang-Undang tentang PengadilanHak Asasi Manusia (UU No. 26 tahun 2000), karena undang-undang itu tidak berlaku secara retroaktif. Artinya, seluruhpihak yang bertanggung jawab terhadap pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu, memiliki imunitasterhadap segala bentuk peradilan (pasal 227 UUPA dan pasal2.2 MoU Helsinki).
Dengan kata lain, beberapa pasal dalam UUPA malahmerupakan langkah mundur dari UU No. 18 tahun 2001 tentangOtonomi Khusus di Aceh; UU No. 32 tahun 2004 tentangPemerintahan Daerah, dan UU No. 26 tahun 2000 tentangPengadilan Hak Asasi Manusia.8
Kendati begitu, langkah-langkah yang menentukan bagipencapaian pemerintahan-sendiri dan demokrasi di Aceh tetapdimuat dalam UUPA, yakni aturan mengenai diperbolehkannyapara calon independen (non-partai) untuk mengikuti pilkadagubernur atau tingkat kabupaten/kota, serta aturan tentangpembentukan partai politik lokal.9
411
Dasar hukum bagi partai politik lokalNota Kesepahaman (MoU) Helsinki secara garis besar hanya
dapat memetakan isu-isu penting, seperti masalah ekonomi,reintegrasi, pemerintahan dan persoalan lainnya, yang selanjutnyaakan diatur lebih rinci dalam UUPA. Secara teknis, implementasiUUPA memerlukan peraturan pemerintah yang lebih khusussebagai petunjuk pelaksanaan. Peraturan-peraturan yang menying-gung soal pembentukan partai politik lokal dimuat dalam Bab XI,pasal 73-95 UUPA. Sedangkan aturan tentang pencalonan danpendaftaran calon independen atau non-partai politik untuk jabatanbupati/wakil bupati, walikota/wakil walikota, dan gubernur/wakilgubernur diatur dalam pasal 67.
Peraturan-peraturan utama yang mengatur pendirian partaipolitik lokal dimuat dalam pasal 75 ayat 2 UUPA, yang menyatakanbahwa partai-partai politik lokal harus didirikan oleh warga negaraIndonesia, dan memiliki anggota setidaknya 50 orang warga negaraIndonesia, yang sekurang-kurangnya berusia 21 tahun, bertempattinggal tetap di Aceh, serta menjamin keterwakilan perempuanhingga 30 persen di lembaga legislatif. Pasal 75 ayat 8, yangmengatur tentang pendaftaran dan pengesahan partai, menetapkanbahwa partai-partai politik lokal harus memiliki struktur organisasi,yang meliputi setidaknya 50% kabupaten dan kota, dan berada di25% kecamatan di masing-masing kabupaten dan kota tersebut.
Pemerintah pusat kemudian mempersiapkan UU No. 20 tahun2007 tentang Partai Politik Lokal di Aceh. Selanjutnya, di Aceh,Qanun No.3 tahun 2008 tentang Partai Politik Lokal, yang terdiridari 38 pasal tentang pemilu dirumuskan dan disahkan oleh DPRAceh (DPRA) pada 13 Juni 2008. Perangkat tersebut menjadi dasarhukum bagi pendirian Komisi Independen Pemilihan (KIP) diAceh.10 Qanun tersebut juga mengatur persyaratan bahwa seorangcalon anggota legislatif tingkat provinsi atau kabupaten/kota Acehharus lulus ujian membaca Al-Quran. Aturan tersebut bukan
PARTAI POLITIK LOKAL DI ACEH
412 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
aturan baru, karena ujian membaca Al-Quran telah diwajibkandalam pilkada provinsi tahun 2006. Alhasil, sejumlah calongubernur, bupati dan wakil bupati tidak bisa ikut dalam pemilihankarena gagal dalam ujian membaca Al-Quran, yang penilaiannyaditentukan oleh suatu panel penguji, serta terdiri dari kalanganulama dan pihak-pihak lain yang kompeten.
Dalam Pilkada Aceh 2006, yang dibahas lebih mendalam padaBab 6, MoU Helsinki membolehkan calon-calon independen untukbersaing dalam pemilihan kepala daerah pada tingkat provinsi,kabupaten dan kota. Untuk pertama kalinya, calon independendapat berpartisipasi dalam pemilihan umum di Indonesia, dan kiniditiru pula di daerah-daerah lain. Sulawesi Utara, misalnya,merupakan provinsi pertama setelah Aceh yang membolehkan calonindependen berpartisipasi dalam Pilkada. Para calon independenitu maju di tiga kabupaten, yakni Minahasa Tenggara, Kotamobagu,dan Siau-Tagulandang-Biaro.11 Karena itu, tak terlalu berlebihanjika Aceh bisa dianggap sebagai sebuah laboratorium politik, sosial,budaya, dan militer, dengan hasil yang acap ditiru daerah-daerahlain. Otonomi Khusus, pemilihan langsung untuk kepala daerah,calon independen, dan implementasi hukum syariah, serta berbagaipendekatan dalam manajemen pasca-konflik dan pasca-bencana,telah dikembangkan di Aceh, dan kemudian menjadi model daninspirasi bagi daerah-daerah lainnya. Ironisnya, UUPA justrumelarang calon-calon independen untuk berpartisipasi dalampilkada gubernur dan bupati/walikota di Aceh pada 2012 nanti;kendati di sisi lain, UUPA juga mengatur bahwa partai-partai lokalbaru yang berhasil memperoleh lebih dari 5% suara dalam Pemilu2009, bisa mengajukan calonnya pada Pilkada 2012. Dari aturan-aturan tersebut, ada beberapa hal yang kemudian patut dicermati.Pertama, seperti yang akan dibahas dalam Bab 9, kita sudah tahubahwa hanya satu partai lokal yang berhasil dalam pemilu legislatiftingkat daerah, yakni Partai Aceh dari GAM. Kedua, aturan yang
413
kini berlaku di seluruh Indonesia memperbolehkan partisipasi calonindependen di daerah-daerah lain.
Setelah mengkaji MoU Helsinki, politisi Aceh, Ahmad FarhanHamid, yang sempat menjadi anggota DPR dari Fraksi PAN,menduga pemerintah Indonesia khawatir jika GAM memegangkendali atas Aceh. Namun, Farhan menguraikan bahwa ke-khawatiran itu tak beralasan, kendati GAM menang berkali-kali,dan walaupun pada skala nasional maupun internasional, bisadikatakan, masyarakat Aceh ingin memisahkan diri. Pasalnya,menilik pengalaman di negara-negara lain, partai-partai politik lokaljarang sekali bisa menang dalam jangka panjang. Partai politiklokal, kata Farhan, tak memiliki akses terhadap kelompok-kelompokpenguasa ekonomi dan politik, pada tingkat lebih tinggi (acehkita.com12 Juli 2005).
Pihak lain yang mengkritik keberadaan partai politik lokal diAceh adalah mantan Panglima Kodam Iskandar Muda, MayorJenderal (Purn.) Supiadin AS12. Dia mengatakan, rakyat Acehsebenarnya tidak membutuhkan partai-partai politik lokal, karenamereka sebetulnya menginginkan peningkatan kemakmuran dankesejahteraan. Meskipun pendirian partai-partai politik oleh paraelit di Aceh adalah sah, Supiadin menegaskan bahwa rakyatsesungguhnya tidak meminta partai politik, melainkan kehidupanyang lebih baik dan bermartabat. Dia juga mengingatkan PeraturanPemerintah No. 77 Tahun 2007, yang menyatakan bahwa partai-partai politik dilarang, antara lain, menggunakan gambar, simbol,lambang, atau atribut-atribut lain yang berkaitan dengan ataudiidentifikasi sebagai simbol organisasi-organisasi separatis danterlarang (Serambi Indonesia 20 Desember 2007).
Raihana Diani, juru bicara Partai Rakyat Aceh (PRA),mengkritik pemisahan dalam upaya pencapaian kesejahteraan danupaya demokratisasi ala Supiadin. Kesejahteraan, menurut Raihana,bisa tercapai dengan lebih baik dan berkelanjutan dalam kerangka
PARTAI POLITIK LOKAL DI ACEH
414 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
demokrasi yang sehat. Kemunculan partai-partai politik lokal diAceh, kata Diani, mencerminkan upaya-upaya demokratis yangsehat, dan bisa menjembatani upaya penciptaan kesejahteraan dankemakmuran bagi rakyat. Diani, yang juga aktivis kemanusiaanini, menjelaskan bahwa partai-partai politik lokal perlu menawar-kan kebijakan dan program, yang benar-benar menyentuh isu-isukesejahteraan. Dengan kata lain, partai-partai politik lokal bukan-nya tak dibutuhkan, namun partai politik lokal itu harus mem-punyai program dan menawarkan solusi yang lebih konkrit untukmengatasi berbagai masalah rakyat (Suara Pembaruan 22 Desember2007).
Partai politik lokal AcehUUPA memuat lebih dari 20 pasal tentang pendirian partai
politik lokal, dan selanjutnya diatur lebih rinci dalam PeraturanPemerintah No.20 Tahun 2007 tentang Partai Politik Lokal di Aceh,yang disahkan pada 16 Maret 2007. Pasal 1 menyatakan bahwapartai-partai politik lokal adalah organisasi politik yang dibentukdengan sukarela oleh sekelompok warga negara Indonesia, atasdasar persamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkankepentingan anggota, masyarakat, bangsa dan negara melaluipemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) danDewan Perwakilan Kabupaten/Kota (DPRK), serta dalam pemilihangubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, atau walikota/wakilwalikota.
Jadi, tak ada lagi alasan untuk tak menerima pendirian partaipolitik lokal. Tak pelak, partai politik lokal pun menjamur. Apalagi,dasar hukumnya juga sangat kuat. Mandat telah diberikan kepadarakyat Aceh untuk terlibat dalam politik melalui pendirian partaipolitik lokal, dan kemudian dilaksanakan sepenuh hati. Di Indo-nesia, ketentuan semacam itu hanya berlaku di Aceh.
Sebenarnya pendirian partai-partai politik lokal pada 2007 dan
415
2008 bukan sesuatu yang baru (Serambi Indonesia 10 April 2008).Pemilu Indonesia yang pertama pada 1955, yang tampak sangatdemokratis, diikuti oleh partai-partai politik yang berbasis lokalatau regional, seperti Partai Rakyat Desa, Partai Rakyat IndonesiaMerdeka, Gerakan Pilihan Sunda, Partai Tani Indonesia, GerakanBanteng di Jawa Barat, Grinda di Yogyakarta, dan Partai PersatuanDayak di Kalimantan Barat. Pendirian Partai Persatuan Dayakbahkan mencerminkan antusiasme penganut paham etnosentrisme,dengan praktek yang tak membahayakan demokrasi. Partai politiklokal seperti yang berkembang di Aceh juga dapat ditemukan diSpanyol, Kanada, Jerman, dan negara-negara lain.
Sejak terbukanya kesempatan pendirian partai politik lokal,media melaporkan bahwa terdapat dua puluh partai politik lokalyang prospektif di Aceh.13 Namun, hanya empat belas partai politikyang kemudian mendaftar di Kantor Dinas Departemen Hukumdan HAM tingkat Provinsi untuk dinilai pemenuhan syarat-syaratadministratifnya. Partai politik yang akhirnya tak mendaftarkandiri adalah Partai Aceh Leuser Antara, yang didirikan oleh IwanGayo. Gayo akhirnya malah mendaftar sebagai senator dari Acehdalam pencalonan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Darikeempat belas partai yang menempuh uji verifikasi tahap pertama,dua partai politik lokal gagal, sementara dua belas partai politiklokal lainnya maju ke tahap berikutnya. Dua partai yang gagalpada tahap tersebut adalah Partai Nahdlatul Ummah dan PartaiSerambi Persada Nusantara Serikat. Keduanya tak mampumenyediakan dokumen tentang status domisili dan buktikepemilikan kantor-kantor partai, serta gagal mengajukan buktipersyaratan jumlah anggota partai di 50% kabupaten/kota dan di25% kecamatan.
Dua belas partai lainnya kemudian mendaftarkan diri ke KIPdi Banda Aceh. Namun, setelah melalui pemeriksaan administratiflebih lanjut, hanya 10 partai yang lolos untuk kemudian mengikuti
PARTAI POLITIK LOKAL DI ACEH
416 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
uji verifikasi faktual, yang dilaksanakan oleh para petugas KIP dilapangan pada tingkat kabupaten dan kota. Dalam konferensi persdi Kantor KIP Aceh pada 7 Juli 2008, akhirnya diumumkan bahwadari 10 partai politik lokal yang diverifikasi KIP, 6 partai memperolehlampu hijau untuk maju dan berpartisipasi dalam Pemilu 2009.Pada hari yang sama, KPU Pusat juga mengumumkan bahwa 34partai nasional dan 6 partai lokal akan berpartisipasi dalam Pemilu2009. Enam partai politik lokal yang berhak mengikuti ‘pestademokrasi’ adalah sebagai berikut:1. Partai Aceh Aman Seujahtera (Nomor 35)2. Partai Daulat Aceh (Nomor 36)3. Partai Suara Independen Rakyat Aceh (Nomor 37)4. Partai Rakyat Aceh (Nomor 38)5. Partai Aceh (Nomor 39)6. Partai Bersatu Aceh (Nomor 40)
Partai-partai yang gagal dalam proses verifikasi faktualtermasuk Partai Generasi Beusaboh Thaat dan Taqwa (Gabthat),Partai Aliansi Rakyat Aceh (PARA) Peduli Perempuan, Partai LokalAceh, dan Partai Darussalam. Verifikasi faktual di lapanganmenemukan, keempat partai tersebut gagal memenuhi beberapapersyaratan, antara lain, memiliki kantor cabang setidaknya di 15dari 23 kabupaten/kota, serta syarat jumlah anggota dan pengurus.Persyaratan serupa juga diterapkan di tingkat kecamatan, dan partaipolitik harus memiliki kantor cabang dan dewan pengurus, sertaanggota, minimal di dua pertiga jumlah kecamatan.
Tidak puas dengan keputusan KIP, PARA Peduli Perempuan,Partai Gabthat, dan Partai Lokal Aceh mengajukan keberatan resmikepada KIP pada 9 Juli 2008. Mereka menolak keputusan itu danmeminta KIP melakukan verifikasi ulang. Hasil-hasil verifikasifaktual, kata mereka, pada hakikatnya sangat politis, tidak adil,diskriminatif, dan tak sepenuhnya benar. Karena itu, mereka
417
mendesak KIP untuk menghentikan seluruh proses menjelangpemilu, hingga KIP dapat memberikan jawaban yang transparanatas keberatan mereka itu, serta menindaklanjuti dengan tepat.
Menurut Ketua PARA, Zulhafah Luthfi, partainya memperolehaneka ancaman dan diperintahkan untuk tak menaruh papan namaataupun lambang yang mencantumkan nama partainya, tidakmengibarkan bendera partai, serta dilarang membuka kantor partai.Zulhafah menjelaskan, itulah penyebab mengapa ketika timverifikasi datang ke kantor PARA, mereka tidak menemukan apapun. Dia yakin, kegagalan partainya untuk lulus dalam prosesverifikasi faktual terjadi karena pihak-pihak yang melakukanverifikasi faktual di kantor-kantor PARA di tingkat kabupaten/kotatak melaksanakan pekerjaan mereka dengan baik, dan bukan karenaPARA tak mampu memenuhi syarat yang telah ditetapkan.14
PARA adalah satu-satunya partai politik lokal yang didirikanoleh kaum perempuan. Pendirian PARA pada 30 Mei 2007merupakan salah satu butir rekomendasi dari Seminar Raya KomitePerempuan Aceh Bangkit pada 23-24 November 2006, yangmengusulkan pembentukan sebuah partai politik sebagai kendaraanpolitik bagi aspirasi kaum perempuan. Dengan aturan komposisi70% perempuan dan 30% laki-laki, Zulhafah menampik anggapanbahwa PARA semata-mata partai politik yang diperuntukkan bagiperempuan, dan mengusung isu tunggal. Menurut dia, justrusemua pihak yang terlibat dalam politik, tak peduli apapun gendermereka, diharapkan dapat berjuang dan memberi perhatian khususterhadap hal-hal yang menyangkut kebutuhan dan isu-isuperempuan.
Partai Ghabtat mendapat dukungan dari kalangan santri,Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA) yang merupakankendaraan bagi para ulama tradisional, para bekas tentara GAM,anggota SIRA, serta lembaga pendidikan Islam Inshafuddin danAl-Waliyah. Partai ini dideklarasikan pada tanggal 22 Maret 2007
PARTAI POLITIK LOKAL DI ACEH
418 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
di makam Sultan Iskandar Muda, Banda Aceh, dalam sebuahperingatan secara simbolik tentang era keemasan Aceh di bawahkepemimpinan Sultan Iskandar Muda, yang pernah memilikikekuasaan membentang hingga Malaka, Malaysia. Visi dan misiPartai Gabthat adalah pelaksanaan syariah Islam, sekaligusmelindungi perjanjian damai di Aceh di bawah MoU Helsinki.
Salah satu ganjalan dalam representasi aspirasi lokal di tingkatnasional adalah tak satupun partai politik lokal berhakmenominasikan kandidat untuk pemilihan presiden maupunkandidat untuk duduk di DPR di Jakarta. Partai politik lokal hanyabisa bersaing dalam memperebutkan 69 kursi di DPRA dan 645kursi di tingkat kabupaten/kota. Selain itu, calon-calon yangdiajukan oleh enam partai politik lokal itu juga harus berkompetisidengan para calon yang didaftarkan dan didukung 34 partai politiknasional lainnya. Jadi, para pemilih di Aceh memiliki kesempatanuntuk memilih dari 40 partai politik dalam Pemilu 2009. Sedangkanpara pemilih di provinsi lain, hanya memilih dari 34 partai.
Keenam partai politik lokal yang resmi ikut Pemilu 2009mendeklarasikan komitmen bersama untuk memerangi korupsi,memperjuangkan kesetaraan gender, dan menjunjung tinggi hakasasi manusia. Partai politik lokal dengan corak agama tertentuadalah Partai Daulat Aceh (PDA) dan Partai Aceh Aman danSeujahtera (PAAS). Partai Rakyat Aceh (PRA), yang dibentukkalangan aktivis muda dan progresif, menekankan pentingnyapembangunan ekonomi kerakyatan, sedangkan Partai Aceh—yangdidukung oleh struktur komando Kelompok Tua GAM, dankhususnya Partai SIRA—yang berakar dari organisasi-organisasimasyarakat sipil, mengangkat isu tentang pentingnya mewujudkantatanan politik yang demokratis. Partai Bersatu Aceh Bersatu (PBA)bersikap lebih universal dan pluralistik dibanding partai-partailainnya, dengan konstituen utama dari kalangan masyarakat kota.Enam partai politik lokal ini dipandang rakyat Aceh sebagai ‘pilihan
419
utama’ dan bukan sekedar ‘pilihan alternatif,’. Pasalnya, partaipolitik lokal tampak lebih familiar dan merepresentasikan orang-orang lokal, serta dianggap bersih dari perilaku politik ‘kotor’, yanglazim ditunjukkan partai politik nasional.
Seperti telah dikemukakan di atas, keenam partai politik lokaltak hanya berkompetisi satu sama lain, tapi juga berhadapan dengan34 partai politik nasional. Hasil Pemilu 2004 di Aceh, yangdiselenggarakan pada masa konflik, mendudukkan 69 orang sebagaiwakil rakyat (terdiri dari 65 orang sebagai anggota DPRD, danempat orang sebagai pimpinan DPRD) dengan komposisi sebagaiberikut: Partai Golkar (12), Partai Persatuan Pembangunan (PPP)(12), Partai Amanat Nasional (PAN) (9), Partai Bintang Reformasi(PBR) (8), Partai Keadilan Sejahtera (PKS) (8), Partai Bulan Bintang(PBB) (8), Partai Demokrat (PD) (6), Partai Demokrasi IndonesiaPerjuangan (PDI-P) (2), Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia(PKPI) (1).15 Karena partai politik lokal tidak bisa bersaing dalammeraih kursi di tingkat nasional, 13 kursi yang mewakili Aceh diDPR di Jakarta hanya diperebutkan oleh 34 partai politik nasional.
Lalu, bagaimana peluang partai politik lokal di Aceh menjelangPemilu 2009? Mengutip survei International Foundation for Electoral Sys-tems (IFES) yang dipublikasikan di Banda Aceh pada 15 Januari 2007,Manajer Penelitian IFES, Rakesh Sharma, menyatakan bahwaberdasarkan survei terhadap 1.203 responden antara 25 Januari-4Februari 2007 di segenap penjuru Aceh, (kecuali Sabang danSimeulue), kecenderungan pilihan masyarakat adalah sebagai berikut:
Partai Politik Lokal : 39,0%Partai Politik Nasional : 11,9%Ragu-ragu : 39,2%Lain-lain/tidak tahu : 9,9%
Gambaran tersebut menunjukkan adanya keinginan dikalangan pemilih untuk mencoba sesuatu yang baru. Artinya,
PARTAI POLITIK LOKAL DI ACEH
420 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
mereka akan lebih memilih partai-partai politik lokal daripada partaipolitik nasional. Meski begitu, penilaian terhadap karakter PartaiAceh dan Partai SIRA, akan lebih dipengaruhi oleh kinerja danrekam-jejak Gubernur Iwandi Yusuf, para bupati dan walikotadukungan GAM, serta para pendiri Partai Aceh. Sebaliknya,penilaian terhadap karakter Partai SIRA juga akan dipengaruhioleh kinerja Wakil Gubernur Muhammad Nazar dan para walikotadukungan SIRA, serta para pendiri Partai SIRA. Apabila kebijakandan prestasi mereka sejak dilantik pada 7 Februari 2007 dapatditerima dan dipahami oleh rakyat, maka kedua partai ini diyakiniakan dipandang sebagai para pahlawan daerah dan kemungkinanbesar bakal menang dalam Pemilu 2009.
Kendati begitu, Pemilu 2009 menjadi sebuah tantangan yangluar biasa bagi seluruh partai politik lokal di Aceh karena akanterjadi perebutan suara antara partai politik lokal dan partai politiknasional. Dalam pemilu itu, dilangsungkan tiga ajang kompetisidemokrasi. Pertama, kompetisi antara partai politik lokal dan partaipolitik nasional untuk memperebutkan 69 kursi di DPRA, serta256 kursi di tingkat kabupaten dan kota di seluruh Aceh. Kedua,persaingan antar partai politik lokal. Terakhir, pertarungan antarpartai politik nasional untuk memperebutkan 13 kursi di DPR.Partai-partai politik lokal dan nasional mendaftarkan para calonanggota legislatif, dan memulai masa kampanye, yang berlakuserentak di seluruh Indonesia pada 12 Juli 2008, dan terusberlangsung hingga 5 Agustus 2009. Kampanye ini dilakukandengan dua fase: fase kampanye ‘dalam ruang tertutup’, yangdiselenggarakan melalui pertemuan-pertemuan terbatas, dan tanpamobilisasi massa, dari 12 Juli 2008 hingga 16 Maret 2009, dankampanye ‘terbuka’ atau kampanye lapangan dengan memobilisasimassa dari 17 Maret hingga 5 April 2009. Setelah kedua fasekampanye itu, diberlakukan ‘masa tenang’, di mana seluruh partaitidak diperbolehkan untuk melakukan kampanye hingga pemilu
421
diselenggarakan pada 9 April 2009; pemilu pertama sejak rezim OrdeBaru yang mengikutsertakan partai-partai politik lokal di Aceh.
Profil enam partai politik lokalBagian ini akan menyajikan profil-profil enam partai politik
lokal di Aceh yang dihimpun pada awal 2009, dan disusunberdasarkan nomor urut partai:
1. Partai Aceh Aman Seujahtera (PAAS)Ketua : Drs. H. Ghazali Abbas AdanSekretaris : Drs. H. Nusri HamidBendahara : Faisal Putra YusufKantor : Jalan T. Nyak Arief No. 159, Banda Aceh
Ghazali Abbas Adan adalah salah seorang pendiri PAAS, yangresmi dideklarasikan pada 3 Juni 2007 di Taman Sari, Banda Aceh.Pendirian partai ini pertama kali diumumkan pada 18 Maret 2007di Restoran Lamnyong, Banda Aceh. Ghazali dikenal sebagai politisiandal, dan sebagai anggota resmi Partai Persatuan Pembangunan(PPP) di tingkat nasional. Lelaki kelahiran Pidie ini telah duduk diDPR di Jakarta selama beberapa periode, sejak 1992 hingga 2004.
Ghazali dikenal sangat vokal dalam mengangkat isu-isu hakasasi manusia di DPR. Dia satu-satunya anggota dewan yangmenuntut para pelaku pelanggaran hak asasi manusia di Acehuntuk diadili pada saat Aceh masih menjadi Daerah Operasi Militer(DOM) antara 1989-1998. Sebelum mendirikan partai politik lokal,Ghazali juga menjadi calon gubernur Aceh pada Pilkada 2006,berpasangan dengan Shalahuddin Al-Fatah. Mereka berpartisipasidalam pemilihan gubernur melalui jalur independen dan, di luardugaan, mereka hanya memperoleh 7,8% suara serta berada diurutan kelima, di belakang Irwandi-Nazar dengan 38,2% suara,Humam-Hasbi dengan 16,6% suara, Malik-Sayed dengan 14% suara,
PARTAI POLITIK LOKAL DI ACEH
422 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
dan Azwar-Nasir dengan 10,6% suara.Meskipun hanya berada di posisi kelima, pasangan Ghazali-
Shalahuddin berhasil mengalahkan pasangan Iskandar Hoesin-Saleh Manaf (5,5%) yang didukung PBB, serta Tamlicha Ali-HarmenNuriqman (4%) dukungan PBR, dan pasangan independen lainnyaDjali Yusuf-Syauqas Rahmatillah (3%). Padahal dari segi keuangan,Ghazali-Abas hanya menggunakan sedikit dana untuk beriklan dimedia. Mereka hanya satu kali memasang iklan di sebuah koranharian lokal, dan isinya menyatakan bahwa masyarakat yang inginmenyumbang untuk kampanye pasangan itu, sebaiknyamenghubungi tim-tim kampanye di setiap kabupaten/kota. DataKIP Aceh menunjukkan bahwa pasangan Ghazali memiliki danakampanye terendah pada Pilkada Aceh 2006, yakni hanya sekitarRp 920 juta. Para calon lain memiliki dana kampanye setidaknyaRp 1 milyar atau lebih. Misalnya, Djali Yusuf, yang memiliki danakampanye sebesar Rp 9 milyar, Malik Raden Rp 7 milyar, AzwarAbubakar Rp 8 milyar, dan Tamlicha Rp 1,5 milyar.
Siapakah konstituten utama PAAS? Prakiraan pada awal 2009menunjukkan bahwa konstituten PAAS terdiri dari bekaspendukung PPP dan kalangan korban konflik, yang menganggapGhazali selalu konsisten membela hak-hak mereka. Parapendukung setia itu juga termasuk para pemilih Ghazali padaPilkada 2006. Partai yang mengadopsi gagasan ‘Islam modern’ itu,juga diharapkan dapat menarik para pemilih dari kalangan santri,dan karena itu, harus bersaing pula secara khusus dengan PartaiDaulat Aceh (PDA). Berdasarkan pengalamannya pada Pilkada2006, Ghazali yakin, salah satu cara untuk mendulang suarasebanyak-banyaknya dalam Pemilu 9 April adalah dengan seseringmungkin menemui berbagai pihak di dayah (sekolah agama ataupesantren), dan masyarakat di pedesaan.
PAAS mengangkat isu-isu tentang keamanan dan kese-jahteraan Aceh dalam kerangka Syariah Islam, yang menekankan
423
pada kombinasi model partai politik dan sistem politik Islam dalambingkai partai Islam modern. Partai yang menggunakan lambangpeta Aceh dengan Al-Quran di tengahnya ini, berpegang padakeyakinan bahwa setiap kegiatan harus diniatkan sebagai bentukibadah, termasuk di antaranya, kegiatan-kegiatan politik. Olehkarena itu, bentuk-bentuk upaya politik PAAS akan disesuaikandengan aturan-aturan dan norma-norma yang terkandung dalamAl-Quran dan Hadits.
Tak diragukan lagi, Ghazali adalah ikon partai dan sumberpendulang suara. Namun, sekretaris partai, Nusri Hamid, yangbaru saja melibatkan diri secara terbuka dalam politik, tampaknyaberpeluang untuk “menarik pemilih”. Sang Mayor—begitupanggilan Nusri Hamid—berasal dari keluarga politisi terkenal,termasuk di antaranya Ahmad Farhan Hamid dan Ahmad HumamHamid, yang pernah menjadi calon gubernur dalam Pilkada 2006.Nusri juga merupakan saudara mantan Ketua DPRD Banda Aceh,Muntasir Hamid, serta Munadir Hamid, mantan anggota DPRDBanda Aceh.
Daerah-daerah yang diharapkan akan menjadi basis bagi PAASberada di wilayah Pantai Timur, seperti Pidie, kampung halamanGhazali. Pada Pilkada 2006, Ghazali memperoleh 32.734 suara diPidie, sedangkan Irwandi-Nazar mendapat 39.246 suara. Humam-Hasbi memperoleh dukungan suara paling banyak di daerah ini,dengan perolehan 118.884 suara, berkat dukungan para bekastentara GAM. Basis dukungan bagi PAAS adalah para pendudukdesa yang taat beragama. Karena itu, pesaing utama PAAS adalahPartai Daulat Aceh dan para pendukungnya—kalangan santri.
PARTAI POLITIK LOKAL DI ACEH
424 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
2. Partai Daulat Aceh (PDA)Ketua : Teungku Harmen Nuriqman (sebelumnya
Teungku Nurkalis MY)Sekretaris : Teungku Muhibbussabri (sebelumnya
Teungku Mulyadi M Ramli)Bendahara : AmiruddahriKantor : Jl. T. Iskandar, Desa Lambhuk, Banda Aceh
Tidak ada kata-kata Islam dalam nama partai ini, meskipunlambang partai melukiskan dua menara di sisi kupiah meukeutob,peci tradisional Aceh untuk lelaki. Partai ini memang didirikan olehpara ulama dari berbagai dayah (sekolah agama atau pesantren).Partai ini memperoleh hak untuk ikut serta dalam Pemilu 2009,sedangkan Partai Gabthat, yang mengklaim didukung oleh parasantri dan kalangan ulama yang dekat dengan GAM, gagal dalamproses verifikasi faktual. Partai Daulat Aceh (PDA) bertujuanmenegakkan Syariah Islam di Aceh. Menurut manifesto PDA, parainvestor diperbolehkan masuk ke Aceh, asalkan tunduk padahukum syariah. Tapi, pendiri dan mantan ketua partai, TeungkuNurkalis, menyatakan bahwa PDA bukan partai yang hanyadiperuntukkan bagi para santri atau kelompok-kelompok pembacaAl-Quran. Nama partai ini juga mungkin akan mengingatkan or-ang pada sebuah partai nasional, Partai Daulat Rakyat, yangdidirikan oleh Adi Sasono. Adi Sasono adalah aktivis organisasinon-pemerintah, dan pernah menjadi sosok terkemuka di kalanganICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia), turut menikmatipatronase Soeharto dan dekat dengan Habibie, serta mengusulkankebijakan yang serupa dengan Kebijakan Ekonomi Baru di Malay-sia, yakni penerapan diskriminasi positif demi keuntunganpenduduk muslim asli Melayu.
PDA secara resmi didirikan oleh para ulama dan tokoh agamapada 4 Maret 2007 di Makam Syekh Abdul Rauf Syiah Kuala, Banda
425
Aceh. Syiah Kuala merupakan seorang mufti (hakim agama) yangsangat terkenal pada masa Sultan Iskandar Muda (1607-1637).Menurut Nurkalis, para pendukung PDA tersebar di berbagaipenjuru kabupaten dan kota di Aceh, khususnya di kalanganmasyarakat muslim yang memegang teguh ajaran Islam. Diamengklaim bahwa Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA)merupakan pendukung terbesar PDA. PDA juga memperolehdukungan dari kalangan santri, yang tergabung dalam RabithahThaliban Aceh (dibentuk oleh Ikatan Santri Dayah Se-Aceh), danmemiliki hubungan dengan HUDA. Hubungan HUDA denganPDA ini mirip dengan hubungan antara Nahdlatul Ulama (NU),salah satu organisasi muslim sosial keagamaan tradisional terbesardi Indonesia dan barangkali juga di dunia, dan Partai KebangkitanBangsa (PKB) di Jawa, meskipun ideologi PDA lebih condong padaideologi yang dianut PKS daripada PKB.
Dukungan daerah terhadap PDA diharapkan datang dari 23kabupaten/kota, di mana para anggota partai memiliki ikatanemosional dengan para santri dan alumni dayah. Dukungantersebut merupakan sumber kekuasaan yang potensial, karenamelampaui sekat-sekat antar etnis dan identitas kelompok. Basispendukung setia partai ini diperkirakan tersebar di 693 dayah,dengan 108.468 santri dan sekitar 700 kelompok pembaca Al-Qurandari berbagai penjuru wilayah Aceh (Serambi Indonesia 29 Maret2008).
Khawatir dominasi partai-partai politik lokal dalam Pemilu2009—khususnya Partai Aceh atau partai SIRA—akan membawaAceh semakin dekat dengan referendum kemerdekaan, LetnanJenderal (purn.) Kiki Syahnakri menyatakan, Partai Daulat Acehadalah satu-satunya partai politik lokal, yang didukung NegaraKesatuan Republik Indonesia (NKRI). Ketika dimintai konfirmasitentang dukungan tersebut, Nurkalis mengatakan bahwa partaiitu didirikan karena kondisi perekenomian yang buruk dan
PARTAI POLITIK LOKAL DI ACEH
426 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
pelaksanaan syariah di Aceh, perlu segera diatasi. Visi partai iniadalah mengembalikan sistem tata kelola pemerintahan pada masaSultan Iskandar Muda, meskipun tetap dalam kerangka NKRI.Menurut Nurkalis, partai politik lokal lain seharusnya menyatakandengan lebih eksplisit bahwa mereka adalah bagian dari NKRI.16
Menurut Nurkalis, tujuan PDA yang lain adalah menepisanggapan bahwa ulama seharusnya tak terlibat dalam politik. PDAdidirikan untuk mewakili aspirasi kelompok-kelompok aktivis Is-lam yang percaya bahwa hukum syariah harus ditegakkan di Acehsecara kaffah (sempurna), bukan hukum syariah seperti yangditerapkan dewasa ini.
Untuk menghadapi Pemilu 2009, PDA membentuk dua dewan,yakni Dewan Nashihin dan Dewan Mustayar. Dewan Nashihinterdiri dari para ulama yang memberikan nasihat kepada penguruspartai. Sedangkan Dewan Mustayar beranggotakan para ulamayang berwenang mengganti kepengurusan partai dan merumuskankebijakan, serta juga berwenang memecat anggota PDA yangterpilih duduk di DPRD.
Tampaknya, posisi PDA akan semakin terangkat berkatkedekatannya dengan Partai Bintang Reformasi (PBR), di manaNurkalis juga menjadi anggota partai nasional tersebut, serta parapolitisi seperti Harmen Nuriqman, yang ketika itu adalah anggotalegislatif di Aceh dan seorang ulama. Dalam Pemilu 2004, PBRtermasuk dalam lima besar, dan meraih delapan kursi di DPRDAceh. Para pendukung utama PBR juga datang dari kalangan ulamadayah dan santrinya, yakni kalangan yang dihormati penduduklokal di sekitar dayah. Salah satu keuntungan partai ini adalahmemiliki jumlah pendukung yang relatif merata di seluruh Aceh.Harmen Nuriqman pernah maju sebagai wakil gubernur dalamPilkada 2006, berpasangan dengan Letnan Jenderal (purn.) TamlichaAli. Harmen juga anggota DPR di Aceh pada periode sebelum Pemilu2009. Singkatnya, PDA tampak memiliki posisi kuat untuk
427
mendobrak tembok pemisah antara calon legislatif dari partai politiklokal dan nasional.
3. Partai Suara Independen Rakyat Aceh (SIRA)Ketua : M Taufik AbdaSekretaris : Arhama (Dawan Gayo)Bendahara : FaurizalKantor : Jl. T Nyak Arief No.110, Banda Aceh
Di benak rakyat Aceh, SIRA merupakan singkatan dari SentralInformasi untuk Referendum Aceh. Tapi, ‘SIRA’ dalam Partai SIRAadalah singkatan dari Suara Independen Rakyat Aceh. Awalnya,SIRA adalah organisasi payung bagi organisasi-organisasi non-pemerintah dan organisasi masyarakat sipil lainnya, demi per-juangan menuntut referendum untuk kemerdekaan bagi Aceh.Belakangan, SIRA berkembang menjadi organisasi berbasis massa,dan akhirnya melahirkan serta memberikan namanya kepada PartaiSIRA, untuk membangkitkan kenangan masyarakat, sebagai upayamenarik suara dalam Pemilu 2009. Kongres Partai SIRA yangdiselenggarakan pada 10-13 Desember 2007, memilih WakilGubernur Muhammad Nazar sebagai ketua dewan pertimbanganpartai, dan Muhammad Taufik Abda sebagai ketua umum partai.
Sehari sebelum mereka memutuskan kepanjangan dari namaSIRA, sebuah komite telah ditugaskan untuk mencari setidaknya11 nama, yang menjelaskan singkatan SIRA. Nama-nama itu, antaralain, Seutot Indatu Rakyat Aceh, Solidaritas Independen Rakyat Aceh,Saboh Ikat Rakyat Aceh (Kesatuan Rakyat Aceh), Sosialisme IslamRakyat Aceh, dan Suara Independen Rakyat Aceh. Sira juga berarti‘garam’ dalam bahasa Aceh.
Partai SIRA secara formal dibentuk di Banda Aceh pada 10Desember 2007, bersamaan dengan Hari HAM Se-dunia. Benderapartainya berwarna biru, dengan bulan sabit dan 10 bintang merah
PARTAI POLITIK LOKAL DI ACEH
428 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
di bagian tengah. Menurut Partai SIRA, bendera itu mencerminkansifat partai yang cinta pada perdamaian dan memiliki komitmendalam penegakan hak asasi manusia. Seperti halnya Partai Aceh,Partai SIRA juga memiliki kantor cabang di tingkat kabupaten dankota di seluruh wilayah Aceh. Hal itu bisa tercapai karena sejakmasa konflik hingga Pilkada 2006, SIRA dan anggota GAM menjalinkomunikasi erat satu sama lain, dan saling bahu-membahumendukung perkembangan masing-masing.
Nama SIRA juga mengingatkan orang pada peristiwa 8 No-vember 1999, ketika SIRA dan GAM memobilisasi sekitar satu jutarakyat Aceh di halaman Masjid Agung Baiturrahman di BandaAceh, untuk berpartisipasi dalam Sidang Umum MasyarakatPejuang Referendum (SU-MPR). Pemerintah Indonesia meng-gambarkan SIRA sebagai kalangan intelektual dan sayap sipil GAM.Ketua Presidium SIRA, Muhammad Nazar, telah dua kali dipenjara,atas tuduhan ‘menebar benih-benih kebencian’ terhadap Indone-sia dan menuntut referendum di Aceh dengan opsi otonomi khususdan kemerdekaan.
Pada pembukaan Kongres Pertama Partai SIRA, Nazarmengatakan bahwa partai ini bersifat inklusif, dan siapa pun bisabergabung, selama mengikuti aturan-aturan partai. Dia mene-gaskan bahwa Partai SIRA didirikan untuk terus memperjuangkanaspirasi rakyat Aceh, yang masih menghadapi kesulitan dalambidang ekonomi, politik, budaya, dan pendidikan. Nazarmengatakan, mendirikan sebuah partai politik adalah ambisinyasejak 1999, ketika isu referendum kemerdekaan Aceh begitu gencardi Aceh. Menurut Nazar, Partai SIRA bukanlah partai yang baruterbentuk. Namun, baru pada kali ini, SIRA akhirnya memilikikesempatan untuk berkomunikasi sebagai partai kepada publikyang lebih luas.
Pada saat penulisan bab ini, terjadi ketegangan antara SIRAdan beberapa kelompok dalam Partai Aceh tentang perbedaan ba-
429
sis, metode organisasi (Partai Aceh lebih bergantung pada strukturkomando GAM yang lama) dan perbedaan pandangan tentang isu-isu demokrasi secara umum dan khususnya, perihal kepemimpinan.Konflik tersebut kian memanas menjelang Pemilu 2009. AnggotaDewan Pengurus Partai SIRA dan kawan-kawan dekatnya cukupterkenal di kalangan politisi Aceh. Misalnya, bekas negosiator GAM,Shadia Marhaban, yang belakangan menjadi Ketua Liga InongAceh (LINA), sebuah organisasi yang menangani para perempuanbekas pejuang GAM dan korban konflik. Beberapa pimpinan partaijuga merupakan tokoh yang dikenal baik di kalangan organisasimasyarakat sipil dan para mantan aktivis mahasiswa, di antaranya,pemimpin partai, Taufik Abda. Selain itu, di tengah memanasnyaperpecahan internal, kelompok konservatif menuding parapengkritik di dalam tubuh GAM, seperti Nur Djuli dan BakhtiarAbdulah, mendukung SIRA. Padahal kedua orang itu akhirnyasama sekali tidak bergabung dengan partai apapun.
Pendirian Partai SIRA yang agak terlambat disebabkansejumlah alasan. Pertama, mereka menunggu pemberlakuaninstrumen hukum yang memadai, dan kedua, terjadi perdebatanapakah SIRA harus mendirikan partai politik sendiri atau ikutdengan partai yang didirikan GAM. Meski begitu, mereka telahmempersiapkan kebutuhan logistik dengan baik, antara lain,melalui keikutsertaan para anggota dewan pengurus dan anggotaorganisasi SIRA dalam berbagai bisnis. Misalnya, sebagai kontraktorpembangunan rumah, profesi yang berkembang pada masarekonstruksi dan rehabilitasi waktu itu. Strategi bisnis serupa jugadilakukan Partai Aceh, tentunya dengan memanfaatkan strukturkomando GAM yang lama. Bisnis semacam inilah yang jugamenjadi mesin pendulang uang dalam Pemilu 2009.
Kampanye untuk meningkatkan perolehan suara jugadidukung oleh sejumlah kader SIRA yang telah menjadi birokrat,atau kalangan yang dekat dengan SIRA atau tidak merupakan
PARTAI POLITIK LOKAL DI ACEH
430 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
bagian dari partai politik tertentu. Di antaranya—kendati hanyadi awal saja—Walikota Sabang, Munawar Liza Zainal; WakilWalikota Sabang, Islamuddin; Wakil Bupati Aceh Timur, NasruddinAbubakar; serta sejumlah anggota tim asistensi gubernur Aceh dananggota Badan Reintegrasi Aceh (BRA), yang mengelola rehabilitasikorban konflik dan bekas tentara GAM.
Dari sudut pandang ideologis, asas Partai SIRA adalah keadilansosial dan Islam, dan cita-cita partai adalah mewujudkan Aceh yangadil dan sejahtera. Kemampuan para pemuda untuk memobilisasimassa terbukti ketika Irwandi-Nazar terpilih sebagai Gubernur danWakil Gubernur Aceh. Kesuksesan itu adalah hasil kerja timkampanye, yang terdiri dari kalangan muda anggota SIRA dan(kini bekas) tentara GAM, dan telah saling bahu-membahu sejak 8November 1999. SIRA memiliki basis konstituen yang solid,khususnya di kawasan Pantai Barat dan Timur. Dalam Pemilu 2009,pendukung partai ini diperkirakan akan berhadap-hadapan denganpendukung Partai Aceh.
4. Partai Rakyat Aceh (PRA)Ketua : Aguswandi (sebelumnya Ridwan H Mukhtar)17
Sekretaris : Thamrin AnandaBendahara : MalahayatiKantor : Jl. T Iskandar No. 174, Desa Lamgeulumpang,
Ulee Kareng, Banda Aceh.
Sebuah ruko sederhana berlantai dua di Ulee Kareng, BandaAceh, Aceh Besar, tak tampak seperti kantor partai politik lokal.Siapa yang mengira bahwa inilah kantor Partai Rakyat Aceh (PRA),yang lulus uji verifikasi untuk berpartisipasi dalam ‘pestademokrasi’ pada 9 April 2009.
PRA didirikan para aktivis muda dari Front PerlawananDemokratik Rakyat Aceh (FPDRA), dengan cabang-cabang
431
organisasi, antara lain, Solidaritas Mahasiswa Untuk Rakyat(SMUR), Organisasi Perempuan Aceh Demokratik (ORPAD), CareAceh dan Pergerakan Demokratik Rakyat Miskin (PDRM). SMURberafiliasi dengan Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi(LMND) ketika organisasi tersebut menentang rezim Soeharto.LMND adalah bagian dari Partai Rakyat Demokratik (PRD) diJakarta. Rata-rata usia anggota dan pengurus PRA di bawah 30 tahun,jauh lebih muda dari para pengurus partai politik nasional dan partaipolitik lokal lain, yang umumnya berusia lebih dari 30 tahun.
Peluang yang diberikan MoU Helsinki untuk membentukpartai politik lokal dimanfaatkan oleh para aktivis muda ini denganmendeklarasikan Komite Persiapan untuk Partai Rakyat Aceh (KP-PRA) di Restoran Lamnyong, Banda Aceh, pada 16 Maret 2006. Idepembentukan partai politik lokal kian menguat ketika kongresFPDRA di Saree, Aceh Besar pada 27 Februari 2006. Setelah UUPAdiberlakukan pada 11 Juli 2006, PRA secara resmi mendeklarasikandiri sebagai sebuah partai politik pada 3 Maret 2007. PRA adalahpartai politik lokal pertama yang melakukan deklarasi pasca UUPA.Partai ini terbentuk setelah perjalanan panjang dalam merumuskanplatform, prinsip dasar partai, kebijakan dan program selamaKongres KP-PRA pada 27 Februari hingga 2 Maret 2007, sertapemilihan ketua dan sekretaris partai.
Kongres secara demokratis memilih Aguswandi sebagai ketuadan Thamrin Ananda sebagai sekretaris jenderal. Keduanya berlatarbelakang sebagai aktivis mahasiswa dan organisasi non pemerintah.Setahun kemudian, Ridwan H. Mukhtar menggantikan Aguswandisebagai ketua partai. Menurut Thamrin, partai ini dibentuk olehpara aktivis dari gerakan mahasiswa, pemuda kota, dan petani didesa-desa, yang bercita-cita mewujudkan Aceh yang adil, sejahtera,dan modern di masa depan.
Salah satu pokok perhatian PRA adalah pengembalian kontrolatas aset-aset ekonomi kepada rakyat Aceh, seperti aset yang
PARTAI POLITIK LOKAL DI ACEH
432 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
dikuasai oleh Exxon Mobil dan PT Arun, yang menambang danmengolah LNG, serta sejumlah aset ekonomi lainnya yang sebagianbesar dikuasai oleh perusahaan-perusahaan transnasional. Bisadikatakan bahwa PRA terobsesi untuk mengembalikan kedaulatanatas sumber daya alam kepada rakyat. Pada saat bab ini ditulis,PRA telah memiliki kantor cabang di seluruh kabupaten dan kota,serta di 189 kecamatan. Selain itu, mereka juga memperolehdukungan dari penduduk di pedesaan terutama di Aceh Tengah,Aceh Tenggara, dan pantai Barat Aceh.
Target pemilih PRA adalah para petani, pedagang, buruh,kalangan profesional, pekerja organisasi non-pemerintah, kelasmenengah dan kelas bawah, serta para penduduk di pedesaan.Bendera partai ini sekilas mirip dengan bendera GAM, dengan latarbelakang merah dan dua garis hitam, satu di atas dan satu lagi dibawah. Yang membedakan, pada bendera GAM terdapat sebuahbintang putih dan bulan sabit, sedangkan PRA menggunakan satubintang kuning.
Bagaimana PRA menjabarkan kebijakan dan program-programnya? Bagaimana mereka berkampanye? Awal 2009, PRAsatu-satunya partai politik lokal yang menerbitkan surat kabarsendiri, yakni Haba Rakyat (Kabar Rakyat), dan terbit sebulan sekalisejak 2006. Selain itu, pengurus ORPAD dan Care Aceh, yang jugapengurus partai, turut membantu rakyat, baik sebelum maupunsesudah tsunami. Kegiatan mereka itu bisa dimanfaatkan dalammenarik lebih banyak peminat dan memperluas jaringan partai diberbagai desa.
Sayang, potensi mereka dalam mengangkat identitas dankemampuan mereka, belum terlihat secara maksimal selamakampanye. Itulah kelemahan utama partai ini. Selain itu, parakonstituen PRA tumpang tindih dengan para konstituen PartaiAceh dan Partai SIRA. Meski begitu, PRA memiliki beberapa calonanggota legislatif yang cukup terkenal, dan telah membuktikan
433
komitmen mereka dalam membela kepentingan-kepentingan rakyat.Kelebihan inilah yang diharapkan efektif untuk meningkatkanperolehan suara.
5. Partai Aceh (PA)Ketua : Muzakkir ManafSekretaris : M Yahya SHBendahara : HasanuddinKantor : Jl. Sultan Alaidin Mahmud Syah, Banda Aceh
Apalah arti sebuah nama? Tanyakan kepada para pengurusPartai Aceh, yang telah tiga kali berganti nama. Partai Aceh semulamenggunakan nama Partai Gam, yang dideklarasikan pada 7 Juli2007 di Banda Aceh. Juru bicara Partai Gam, Teungku AdnanBeuransyah, menjelaskan bahwa kata Gam bukanlah sebuahakronim. Bendera partai mirip dengan bendera GAM, dengan latarbelakang warna merah menyala, dua garis hitam, satu di atas dansatu di bawah, serta sebuah bintang dan bulan sabit putih ditengah. Prinsip utama partai yang dibentuk oleh bekas tentaraGAM ini adalah transisi dari perjuangan bersenjata menujuperjuangan politik, menukar peluru dengan suara dalam berpolitik.
Mantan Perdana Menteri GAM, Malik Mahmud, ditunjuksebagai Ketua Partai Gam—seorang warga negara Singapura yangtinggal di Swedia. Mentroe—begitu Malik biasa disapa dalamlingkungan GAM—mengatakan bahwa kepemimpinannya diPartai Gam tak bermasalah, serta Indonesia tak mempersoalkanstatus kewarganegaraannya (acehkita.com 23 November 2007).
Namun, pemerintah Indonesia memprotes nama partai itu.Beberapa jam setelah penutup papan pengenal Partai Gam resmidibuka, polisi meminta agar papan nama itu segera ditutup kembali.Pemerintah bersikukuh menuntut klarifikasi kepanjangan darinama Gam. Akhirnya, pada 25 Februari 2008, pengurus Partai Gam
PARTAI POLITIK LOKAL DI ACEH
434 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
mengumumkan bahwa Gam adalah singkatan dari Gerakan AcehMerdeka. Terlepas dari fakta bahwa Gam menuliskan namapanjangnya pada bendera, Indonesia masih protes. Pemerintahmengatakan, walaupun kepanjangan dari Gam ditulis denganhuruf kecil di balik bendera, tapi akronim ‘GAM’ ditulis denganhuruf besar di tengah bendera. Selain itu, warna bendera danlambang yang digunakan sangat mirip dengan bendera GAM.Tentu, bisa dimaklumi, kemiripan nama dan simbol Partai Gamadalah bagian dari strategi, yang bertujuan membangkitkankenangan di kalangan pemilih, memenangkan opini publik, sertamendorong orang untuk memilih Partai Gam.
Namun, keberatan pemerintah Indonesia terhadap nama partaimasih berlanjut. Perdebatan pun berakhir setelah para elit partaimengubah nama Partai Gerakan Aceh Merdeka menjadi Partai Acehpada 22 April 2008. Menurut juru bicara partai, Teungku AdnanBeuransyah, partainya telah berusaha mempertahankan nama‘Partai GAM’, tapi pemerintah Indonesia tak henti-hentinyamengajukan keberatan. Bagaimana pun, polemik itu mereda, danpartai ini lolos dalam verifikasi administratif di Departmen Hukumdan HAM di Jakarta.
Selain mengubah nama, partai ini juga harus mengubahlambangnya. Perubahan itu tak hanya merupakan bagian dariproses politik, tapi juga berdasarkan aturan-aturan hukum,termasuk pasal 1.2.1 MoU Helsinki; UUPA, serta PeraturanPemerintah No. 20 tahun 2007 tentang Partai Politik Lokal di Aceh,pasal 6.4, yang menyatakan, ‘Desain logo dan bendera daerah tidakboleh menyerupai sebagian atau keseluruhan desain, lambang,maupun bendera dari organisasi terlarang, atau organisasi/kelompok/lembaga/gerakan separatis dalam Negara KesatuanRepublik Indonesia.’
Aturan tersebut menimbulkan protes di kalangan GAM. Pada4 Januari 2008, Irwandi mengirimkan surat atas nama pemerintahan
435
Aceh kepada pemerintah Indonesia, yang meminta agar pemerintahpusat segera mencabut dan mengkaji ulang Peraturan PemerintahNo. 20 tahun 2007, serta merumuskan kembali aturan itu melaluikonsultasi dengan gubernur.
Namun, Jakarta tak menghiraukan protes Irwandi, dan GAMakhirnya memilih berkompromi. Bendera partai diubah, bulan sabitdan bintang pun dihilangkan, dan ‘Aceh’ satu-satunya kata ditengah bendera. Partai Aceh pun bertujuan mengubah citranya dikalangan rakyat Aceh, dari partai revolusioner menjadi partaipembangunan.
Keinginan GAM untuk membentuk partai politik lokaldiumumkan dalam pertemuan GAM Ban Sigom Donja (KongresDunia Rakyat Aceh), yang diselenggarakan di kampus UniversitasSyiah Kuala, Banda Aceh, pada 20-21 Mei 2006. Kemudian dalampertemuan terakhir (ke-44) Aceh Monitoring Mission Commission forSecurity Arrangement (CoSA), pada 2 Desember 2006, Malikmengumumkan dukungannya kepada GAM untuk mendirikanpartai politik lokal.
Partai Aceh juga sangat memahami kekuasaan para ulama.Ketika para ulama yang tergabung dalam HUDA memberikandukungannya kepada Partai Daulat Aceh (PDA), Partai Acehmendirikan sebuah organisasi baru, bernama Majelis UlamaNanggroe Aceh (MUNA), untuk mewadahi para ulama dan santrike dalam partai. Pendiri Partai Aceh, Malik Mahmud dan ZainiAbdullah meresmikan pendirian MUNA, yang dipimpin olehTeungku Ali Basyah, serta melantik 60 orang pengurus pada 30Juli 2008 di Kompleks Pemakaman Syiah Kuala di Banda Aceh, yangjuga merupakan lokasi pendeklarasian Partai Daulat Aceh. Setelahmendirikan MUNA, Malik berharap, melalui keberadaan MUNA,seluruh ulama di Aceh dapat bersatu untuk berjuang demi satutujuan, yakni membela kepentingan rakyat Aceh (Serambi Indonesia31 Juli 2008).
PARTAI POLITIK LOKAL DI ACEH
436 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
Sekretaris Jenderal HUDA, Teungku Faisal Ali menegaskan,MUNA adalah organisasi yang dibentuk para ulama pendukungPartai Aceh, dan karena itu, MUNA adalah alat mobilisasi suarauntuk mendukung Partai Aceh dalam Pemilu 2009.18 Pernyataan inijuga kemudian dikonfirmasi oleh Adnan.19 Alhasil, tak diragukanlagi, ditinjau baik kacamata logistik dan jaringan, Partai Aceh telahmemiliki semuanya. Karena itu, tak mengherankan jika Adnan, yangpernah memperoleh suaka politik di Denmark, yakin bahwapartainya akan memperoleh 80% suara, berdasarkan penilaianterhadap kekuatan Partai Aceh dan kelemahan partai-partai lain.Kekuatan partai ini terletak pada minimnya perpecahan antara bekasanggota GAM yang tetap setia, dalam penyaluran aspirasi politik.Partai Aceh diperkirakan akan memenangkan pemilihan di PantaiBarat dan Timur Aceh, yang memiliki jumlah pemilih lebih besar.Meskipun organisasi SIRA juga berpengaruh, namun KomisiPeralihan Aceh (KPA) telah membuktikan dirinya sebagai mesinpolitik yang efektif dalam mengusung Irwandi (dari KPA) dan Nazar(dari SIRA), sehingga mereka bisa meraih posisi tertinggi dantertinggi kedua dalam Pilkada Gubernur 2006. SIRA, di satu sisi,tidak terikat dengan kepemimpinan GAM, sedangkan di sisi lain,KPA adalah organisasi para veteran Tentara Nasional Aceh (TNA),yang dibubarkan pada 27 Desember 2005 di Banda Aceh. Kini, KPAmerupakan senjata andalan Partai Aceh dalam memobilisasidukungan pemilih, karena KPA memiliki jaringan di seluruh 23kabupaten/kota di Aceh, bahkan hingga ke tingkat pedesaan.Jaringan inilah yang semakin menambah kelebihan partai.
Kendati begitu, hal-hal yang tak terduga bisa dan bahkansudah terjadi dalam dunia politik di Aceh, seperti yang ditunjukkandalam Pilkada 2006 (untuk analisis lebih mendalam tentang Pilkada,lihat Bab 6). Irwandi-Nazar bisa memperoleh kemenangan di AcehTenggara, yang sebelumnya merupakan basis Partai Golkar.Irwandi memperoleh 37.217 suara, mengalahkan pasangan Malik
437
A. Raden-Sayed Fuad Zakaria, yang hanya mendapat 22.291 suara.Ironisnya, kekalahan itu terjadi justru ketika Sayed Fuad Zakariamenjabat sebagai Ketua Partai Golkar di Aceh. Situasi serupa jugaterjadi di Kota Sabang, yang terkenal sebagai ‘zona putih’ semasaDarurat Militer 2003, karena GAM sama sekali tak punya pengaruhdi wilayah tersebut. Namun, Irwandi-Nazar dapat mengalahkantujuh calon pasangan di sana, termasuk dua kandidat dari kalanganmiliter, Djali Yusuf dan Tamlicha Ali.
Dari sekitar 2,1 juta pemilih di Aceh, 50% pemilih tinggal dipantai Timur, seperti Pidie, Pidie Jaya, Bireun, Aceh Utara, danAceh Timur; 20% tinggal di wilayah tengah, seperti Aceh Tengah,Bener Meriah, Gayo Lues, dan Aceh Tenggara; serta 30% penduduklainnya tinggal di pantai Barat, seperti Aceh Jaya, Aceh Barat, danAceh Selatan—yang sebagian di antaranya merupakan daerah yangmenderita kerusakan materi terparah dan jumlah penduduk tewasterbesar akibat tsunami (Tabloid SIPIL Edisi I, 19-29 Maret 2008).Data KIP Aceh pada 2006 menunjukkan bahwa jumlah pemilihterbesar berada di pantai Timur: 314.796 suara di Pidie, 239.241suara di Bireuen, 305.652 suara di Aceh Utara, dan 201.892 suara diAceh Timur—yang merupakan basis dukungan tradisional bagiGAM dan sebelumnya merupakan wilayah yang berada di bawahDOM.
Dalam Pilkada 2006, bekas anggota GAM di Pidie dan Bireunmendukung pasangan Humam-Hasbi atas perintah Malik danZaini. Namun, belakangan bekas komandan GAM, Muzakir Manaf,berhasil memperoleh dukungan mereka. Meskipun para pemilihterpecah, sebagian besar memberikan dukungan kepada Irwandi-Nazar. Seiring dengan meredanya konflik di dalam Partai Aceh,keberadaan Muzakir Manaf, seorang bekas komandan danpengusaha baru, sebagai ketua partai, patut diperhitungkan. Padasaat penulisan, di tingkat pedesaan, pesaing kuat Partai Acehtampaknya hanya Partai SIRA dan Partai Rakyat Aceh.
PARTAI POLITIK LOKAL DI ACEH
438 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
Partai Aceh telah menyatakan bahwa mereka sungguh-sungguh ingin mengubah diri. Caranya, antara lain, denganmenetapkan 50 persen calon legislatif terdiri dari bekas tentara GAM,dan sisanya merupakan tokoh akademisi, tokoh masyarakat, danulama. Bekas direktur suatu lembaga hak asasi manusia di BandaAceh dimintai pendapatnya tentang kemungkinan para calonlegislatif dari Partai Aceh diminta untuk memberi kontribusi dalambentuk uang kepada partai. Dia menjawab, partai membutuhkankecerdasan para tokoh yang aktif dalam arena hak asasi manusia.Jawaban ini senada dengan pernyataan Adnan, yang mengungkap-kan bahwa partainya berniat menguasai parlemen di tingkatprovinsi dan kabupaten/kota dengan mengajukan wakil-wakilrakyat yang terpercaya. Sikap ini menunjukkan upaya parapimpinan Partai Aceh untuk beralih dari semata-mata mengandal-kan penggunaan otot, menjadi lebih mengandalkan akal; darisekedar menggunakan ketajaman ujung pedang, kini mengandal-kan mata pena di DPR tingkat provinsi dan kabupaten/kota.
6. Partai Bersatu Aceh (PBA)Ketua : Dr Ahmad Farhan Hamid MSSekretaris : Muhammad Saleh SEBendahara : H Ridwan Yusuf SEKantor : Jl. Gabus No 6 Bandar Baru, Banda Aceh
Dari dunia akademis pindah ke dunia politik. Begitulah AhmadFarhan Hamid, yang lebih dikenal sebagai anggota DPR di Jakarta,daripada sebagai dosen di Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh. Diera Reformasi pasca kejatuhan rezim Soeharto, akademisi ini punbergabung dengan Partai Amanat Nasional (PAN) di Aceh, danakhirnya menjadi anggota DPR selama dua periode, hingga 2009.
Ketika muncul peluang untuk mendirikan partai politik lokaldi Aceh, Farhan, yang juga salah satu anggota Dewan Pimpinan
439
Pusat PAN itu, mendirikan Partai Bersatu Aceh (PBA). Partai inimenggunakan lambang bintang segi delapan dan sebuah peta Aceh,yang merupakan simbol dari tujuan partai untuk menyatukanberagam etnis di provinsi tersebut. Seperti kelima partai politik lokallainnya, PBA menggunakan prinsip pluralisme dan keterbukaan.Misi PBA adalah mendidik dan membangun kehidupan yang adildan demokratis bagi rakyat. Awalnya, pendirian partai politik lokaloleh Farhan diprotes oleh para anggota PAN. Namun, protesmereka itu hanya dianggap angin lalu, dan Farhan jalan terusdengan berbagai rencananya, karena tindakannya itu tak ber-tentangan dengan aturan dalam PAN. PBA dideklarasikan secararesmi di Banda Aceh pada 27 Januari 2008, dengan kantor-kantorcabang yang tersebar di 20 kabupaten/kota.
Siapakah target pemilih partai ini? Sebagai seorang pendiriPAN di Aceh, PBA berharap, para simpatisan PAN dan pendudukkota akan memilih partai politik lokal ini untuk kursi di tingkatlokal, dan memilih PAN di tingkat nasional. Namun, harapan initampak tak mudah dicapai. Pasalnya, para pemilih diminta memilihdi antara calon anggota legislatif, yang diajukan oleh PBA, PANdan Partai Matahari Bangsa (pecahan dari PAN). Pada awal 2009,Farhan bertekad menggunakan partainya sebagai motor pemersaturakyat Aceh, dan untuk menjembatani aspirasi-aspirasi politik lokal.
Jika Partai Rakyat Aceh memiliki media sendiri sebagai alatkampanye, maka PBA, melalui salah satu pimpinannya, memilikiakses ke sebuah tabloid mingguan, Modus Aceh, yang terbit di BandaAceh. Tabloid yang dipimpin sekretaris PBA itu, telah terbit selamaenam tahun. Sebagai media yang berorientasi bisnis, media ini dapatmemasang iklan kampanye PBA. Contohnya, iklan PBA pada edisi4 Juli 2008, yang menempati satu halaman penuh, dan mengajakkhalayak untuk memanfaatkan kesempatan, serta maju sebagaicalon legislatif dari PBA untuk tingkat DPR Aceh dan DPRKabupaten/Kota, dalam Pemilu 2009.
PARTAI POLITIK LOKAL DI ACEH
440 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
Sebagai pendiri PBA, Farhan mencalonkan dirinya untukDPD Aceh. Karena pencalonan itulah, PBA tampaknya didirikanFarhan sebagai kendaraan politik untuk memperkenalkan dirinyakepada para pemilih. Pasalnya, persaingan untuk meraih empatkursi DPD di Jakarta sangat ketat. Setidaknya 29 calon mengincarposisi di sana. Pendirian partai politik lokal sebagai perahu penye-lamat, juga merupakan strategi yang digunakan anggota DPD AcehMediati Hafni Hanum, seorang pendukung Partai Darussalam diBanda Aceh. Namun, partai itu tidak lolos dalam proses ujiverifikasi. Hafni, salah satu calon dalam Pilkada Gubernur 2006yang gagal dalam tes membaca Al-Qur’an itu, mendaftarkan dirikembali sebagai calon DPD Aceh untuk periode 2009-2014.
Masa depan: Pertarungan yang demokratis di AcehPada awal 2009, enam partai politik lokal dari Aceh sudah siap
untuk bertarung dan bersaing dalam Pemilu April 2009, dengan cara-cara yang damai dan demokratis. Namun, tak pelak, akan terjadipersaingan dan perpecahan antara kekuatan-kekuatan lama danbaru, antar sesama partai politik lokal, antar sesama partai politiknasional, serta antara partai politik nasional dan partai politik lokal.Tantangan bagi Aceh, baik dulu maupun sekarang, adalah menjaminagar persaingan politik itu dapat berlangsung dalam arena yangdemokratis, serta tak mengancam perdamaian, yang dicapai setelahkonflik selama 30 tahun. Karena itu, sangat dibutuhkan sikap parapenegak hukum, elit-elit lokal dan nasional, birokrat lokal dan militer,yang mendukung persaingan demokratis, bukan malah menghalangikeberlangsungan upaya-upaya yang demokratis itu.
Tentu saja, Pilkada 2006 telah membuyarkan analisis parapolitisi di Jakarta. Mereka memprediksi, pilkada akan diwarnai olehmeluasnya aksi kerusuhan, karena Aceh baru saja mengalamikonflik bersenjata, dan tingginya keterlibatan para bekas tentaraGAM dalam proses pilkada. Tapi, para pengawas dari Uni Eropa
441
menilai, pilkada berlangsung demokratis, aman, dan damai. Semuakegiatan yang dapat menggagalkan pilkada, dapat dicegah ataudiatasi, berkat kuatnya komitmen rakyat Aceh untuk memeliharaperdamaian, serta juga karena tingginya kehadiran pengawas darikomunitas internasional di sana. Setiap orang berkomitmen untukmenjadikan Pilkada 2006 sebagai langkah pertama dalam upayatransisi politik yang damai. Jelas, Aceh selaiknya dipahami daripuncak menara Masjid Raya Baiturrahman di Banda Aceh, danbukan dari puncak Monumen Nasional (Monas) di Jakarta.
Persoalan lain menjelang Pemilu adalah diabaikannya sejumlahisu yang sangat penting. Salah satunya adalah apa yang akan terjadidi masa depan ketika Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh-Nias (BRR NAD-Nias), yang telah dipercaya membangun kembaliAceh pasca-tsunami, mengakhiri mandatnya, yang hampirbersamaan dengan pelaksanaan pemilu. Pemerintah Aceh telahmenyiapkan Badan Koordinasi Rehabilitasi dan Rekonstruksi(BKRR), yang akan mengambil alih peran BRR. Tujuan BKRRadalah melanjutkan tanggung jawab BRR, yakni mengelola danmenyalurkan dana dari donor, yang akan keluar dari Aceh pada2012. Sayang, isu-isu rekonstruksi dan rehabilitasi tidak dianggapsebagai prioritas dalam agenda politik yang demokratis di Aceh.Misalnya, salah satu pimpinan partai, Thamrin Ananda dari PRA,mengatakan bahwa partainya baru akan memperhatikanpermasalahan itu setelah Pemilu.
Beberapa masalah lain yang mempengaruhi pelaksanaan ‘pestademokrasi’ 2009, antara lain, intimidasi terhadap para anggota partaipolitik nasional, yang dilakukan oleh kader-kader partai politiklokal, seperti yang terjadi di Kabupaten Pidie Jaya pada 10 Juli 2008.Atau aksi menghalangi partai politik lokal untuk membuka kantorcabangnya, seperti kejadian di Singkil, Aceh Singkil pada 18 April2008. Berdasarkan Laporan Analisis terhadap Potensi Konflik diAceh menjelang Pemilu 2009 (Januari-Juli 2008)20, ditemukan
PARTAI POLITIK LOKAL DI ACEH
442 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
sejumlah kasus intimidasi oleh kandidat legislatif, serta insidendiskriminasi oleh pemerintah, polisi dan militer, yang bertujuanuntuk mengintimidasi warga agar tidak mendukung partai politiklokal di daerahnya. Demi menghindari konflik, baik sebelummaupun setelah Pemilu 2009, diperlukan pemahaman bahwa hargaperdamaian di Aceh itu jauh lebih mahal daripada sebuah kursilegislatif.
Menjelang Pemilu 2009, dapat ditarik dua kesimpulan. Pertama,partai politik lokal dapat bermain secara jujur dan adil, serta modelpartai politik lokal bakal menjadi contoh bagi daerah-daerah lain.Inilah yang kami maksudkan dari pernyataan bahwa partai politiklokal adalah sumbangan Aceh sebagai lokomotif bagi prosesdemokratisasi di Indonesia. Kedua, tampaknya Partai Aceh akanmenguasai parlemen di tingkat provinsi, kabupaten dan kota.Sementara itu, Partai SIRA akan menempati urutan kedua, sedang-kan posisi ketiga akan diraih oleh Partai Rakyat Aceh atau PartaiDaulat Aceh. Namun, sungguh menarik, ternyata hasil pemilumenunjukkan kemenangan Partai Aceh, bersama partai nasionalPresiden Yudhoyono, Partai Demokrat, tanpa perwakilan PartaiSIRA maupun Partai Rakyat Aceh di DPRA. Perkembangan inimenuntut adanya revisi dari kesimpulan yang sempat bernuansaoptimis, serta diskusi yang perlu diperbaharui, yang akan dibahasdalam Bab 9.
443
(Catatan Akhir)1 Murizal Hamzah bekerja di Aceh Independen Institute di Banda
Aceh.2 Hasan di Tiro meninggal dunia pada 3 Juni 2010.3 Wawancara dengan Teuku Kamaruzzaman di Banda Aceh, tanggal
12 November 2005.4 Ferry Mursyidan Baldan, ‘Pondasi Menuju Perdamaian Abadi;
Catatan Pembahasan RUU Pemerintahan Aceh’, Suara Bebas, Juli2007, hal. 41.
5 Eda dan Dharma (2007), hal. 123.6 Menurut Pasal 1.1.2 (a) MoU, ‘Aceh akan menggunakan otoritas di
seluruh sektor urusan publik…kecuali dalam bidang politik luarnegeri, pertahanan eksternal, kemananan nasional, urusan fiskal danmoneter, peradilan dan kebebasan beragama. Pasal 7.2 dalam UUPAmenyatakan bahwa ‘Kewenangan Pemerintah sebagaimanadimaksud pada ayat (1) meliputi urusan pemerintahan yangbersifat nasional, politik luar negeri, pertahanan, keamanan,peradilan, urusan moneter dan fiskal nasional, dan sejumlah fungsidalam bidang agama.’
7 Pasal 11.1 dalam UUPA menyatakan bahwa ‘Pemerintah menetapkannorma, standar, dan prosedur serta melakukan pengawasanterhadap pelaksanaan fungsi pemerintah yang dilaksanakan olehPemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota.’ (penjelasan:Norma adalah aturan atau ketentuan yang dipakai sebagai tatanandalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Standar adalahacuan yang dipakai sebagai patokan dalam penyelenggaraanpemerintahan daerah. Prosedur adalah metode atau tata carapenyelenggaraan pemerintahan daerah).
8 Wawancara dengan Dawan Gayo pada 30 Oktober 2006 di BandaAceh.
9 MoU pasal 1.2.1 dan 1.2.2. dan UUPA pasal 256 dan 257.10 Di provinsi-provinsi lain, KIP itu setingkat dengan Komisi
Pemilihan Umum (KPU).11 ‘Sulut Pertama Terapkan Calon Perseorangan’, Suara Pembaharuan,
14 April 2008.12 Mayor Jenderal Supiadin digantikan oleh Mayor Jenderal Soenarko
PARTAI POLITIK LOKAL DI ACEH
444 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
pada 14 juli 2008.13 1. Partai Rakyat Aceh (PRA); 2. Partai Aceh Aman Seujahtera
(PAAS); 3. Partai Aceh Leuser Antara (PALA); 4. Partai Lokal Aceh(PLA); 5. Partai Pemersatu Muslim Aceh (PPMA); 6. Partai GenerasiAceh Beusaboh Thaat dan Taqwa (Gabthat); 7. Partai AliansiRakyat Aceh (PARA) Peduli Perempuan; 8. Partai GAM (partai inikemudian berganti nama menjadi Partai Aceh); 9. Partai SerambiPersada Nusantara Serikat (PSPNS); 10. Partai Bersatu Atjeh (PBA);11. Partai Demokrat Aceh; 12. Partai Suara Independen RakyatAceh (Partai SIRA); 13. Partai Darussalam; 14. Partai Daulat Aceh(PDA); 15. Partai Aceh Meudaulat (PAM); 16. Partai Nurani AneukNanggoe Aceh (NUANA); 17. Partai Nahdlatul Ummah (PNU); 18.Partai Silaturrahmi Rakyat Aceh (PSRA); 19. Partai DemokrasiAneuk Aceh (PADAN); 20. Partai Islam Aneuk Nanggroe (PIAN).
14 Wawancara dengan Ketua PARA, Zulhafah Luthfi, 10 Juli 2008.15 Golkar adalah partai bekas rezim Soeharto, yang telah
menyesuaikan diri secara terbatas dengan agenda reformasi. PPPadalah satu-satunya partai berbasis Islam, yang diperbolehkandi bawah rezim Soeharto. Sama seperti Golkar, PPP pun telahmenyesuaikan diri secara terbatas dengan agenda reformasi. PANadalah partai Islam, yang berorientasi pada kelompok urban dankelas menengah, serta didirikan setelah Soeharto jatuh. PBR danPBB merupakan partai Islam yang lebih konservatif, yang sebagianmerupakan pecahan dari PPP. PKS adalah partai persaudaraanIslam yang terorganisasi dengan baik; basis dukungan awal partaiini, di antaranya berasal dari kalangan mahasiswa yang melawanrezim Soeharto. PDI-P (dipimpin Megawati Soekarnoputri) adalahfaksi yang tersisih dari satu-satunya partai nasionalis, yang takterlalu menonjolkan aspek agama (PDI) di era Soeharto. PKPImerupakan pecahan Golkar, dan di awal pendiriannya, sempatdipimpin sejumlah purnawiran jenderal.
16 Wawancara dengan penulis pada 24 Juli 2008.17 Ridwan H. Mukhtar meninggal dunia pada hari Senin, 4 Agustus
2008, karena menderita kanker hati.18 Wawancara dengan penulis pada 31 Juli 2008.19 Wawancara dengan penulis pada 31 Juli 2008.
445
20 Laporan ini dirumuskan oleh Aceh Post-Conflict Working Group, yangterdiri dari sejumlah organisasi non pemerintah dan organisasimasyarakat sipil lainnya, seperti GeRAK Aceh, KontraS Aceh, LBHBanda Aceh, Relawan Perempuan untuk Kemanusiaan, SolidaritasPerempuan Aceh, Aceh Institute, Komisi Nasional Perempuan,SPKP HAM Aceh, Forum Akademisi Aceh, dan People Crisis Cen-ter Aceh.
PARTAI POLITIK LOKAL DI ACEH
446 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
Daftar PustakaAcehkita.com. 12 Juli 2005. Farhan: Ada ketakutan GAM akan kuasai
Aceh melalui partai lokal.Acehkita.com. 23 November 2007. Malik Mahmud tetap pimpin Partai
GAM.Baldan, Ferry Mursyidan. Pondasi Menuju Perdamaian Abadi
(Catatan Pembahasan RUU Pemerintahan Aceh). Suara Bebas.Juli 2007.
Eda, Fikar W & Dharma, Satya. 2007. Forum bersama anggota DPR/DPD RI asal Aceh: FORBES dan jejak lahirnya UUPA. Jakarta:Asosiasi Wartawan Muslimin Indonesia and Forbes AnggotaDPR/ DPD RI Asal Aceh.
Serambi Indonesia. 20 Desember 2007. Pangdam: Masyarakat tak butuhpartai lokal.
Serambi Indonesia. 29 Maret 2008. Tahun ini semua dayah di Aceh dapatbantuan.
Serambi Indonesia. 10 April 2008. Menyusul Aceh, partai lokal bakalmerebak.
Serambi Indonesia. 31 Juli 2008. Malik Mahmud: Tak ada GAM antiMoU.
Sinar Harapan. 13 Juli 2005. GAM tetap tuntut partai politik lokalSuara Pembaruan. 22 Desember 2007. Soal Partai Lokal.Suara Pembaruan. 14 April 2008. Sulut pertama terapkan calon
pereorangan.Tabloid SIPIL. Edisi 1, 19-29 Maret 2008. Yang berubah dan yang
bergeser.
447
TTTTTRANSISIRANSISIRANSISIRANSISIRANSISI T T T T TAKAKAKAKAK B B B B BERBINGKAIERBINGKAIERBINGKAIERBINGKAIERBINGKAI?????
The Aceh Participatory Research Team1
8
iPendahuluanSaat bab ini ditulis pada akhir 2008 dan awal 2009, per-kembangan demokrasi di Aceh kian menjanjikan.Tingginya partisipasi politik dalam Pilkada 2006, serta
antusiasme pendirian partai politik lokal menunjukkan bahwatransformasi politik di daerah pasca konflik dan tsunami ini berjalanmulus. Kendati begitu, sebuah riset menyimpulkan bahwa terdapatsejumlah tantangan dalam kerangka pelaksanaan demokrasi di Aceh,yang dikhawatirkan dapat mengganggu perdamaian dan demokrasidi masa mendatang. Studi tersebut awalnya dilaksanakan Demospada November-Desember 2006, dan belakangan dilanjutkan olehPusat Studi tentang Aceh dan Srilanka dari Oslo University pada2007 dan 2008.
Untuk memulai diskusi yang lebih luas tentang kesimpulan-kesimpulan tersebut, serta mengidentifikasi langkah-langkah yang
448 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
perlu diambil, The Aceh Participatory Research Team, suatu tim yangterdiri dari peneliti dari kalangan akademis dan aktivis, melaksana-kan wawancara terhadap sejumlah agen pembawa perubahan padaakhir 2008. Tujuannya, menelisik pemahaman mereka dan solusiyang mereka tawarkan untuk mengatasi permasalahan tersebut.
Tantangan pertama yang diajukan pada tokoh-tokoh tersebutadalah keberadaan relasi yang simbiosis antara dunia usaha, politik,dan jajaran birokrasi. Tantangan kedua, ancaman dari sejumlahkepentingan yang berpengaruh dan berharap dapat mengelolasituasi di Aceh, demi memenuhi tujuan mereka—yang acap disebutsebagai ‘perdamaian yang membawa laba’ (profitable peace—lihat bab4 untuk pembahasan lebih mendalam tentang topik ini). Walaupunsaat itu, baru sedikit indikasi mengenai hal tersebut di Aceh, namunpotensi itu tak lenyap. Pasalnya, fenomena ini akan kian menge-muka, jika terjadi persaingan unjuk prioritas antara proyekrekonstruksi/pembangunan ekonomi yang masif dan pengem-bangan pemerintahan-sendiri yang demokratis.
Tantangan ketiga adalah minimnya kontribusi lembaga-lembaga internasional dan negara-negara donor dalam isupenegakan hak asasi manusia di Aceh. Lembaga internasional dannegara-negara donor tampaknya lebih peduli pada proyek dan pro-gram masing-masing, daripada berupaya mengembangkandemokrasi yang lebih substansial dan berkelanjutan. Sikap ini takberubah, kendati permasalahan dalam Undang-Undang tentangPemerintah Aceh (UUPA), dan pelaksanaan MoU Helsinki tengahberkecamuk di masyarakat. Selanjutnya, tantangan keempatmenyebut tentang berlanjutnya permasalahan dalam partai politik(termasuk partai politik yang baru didirikan). Masalah itu, antaralain, pelaksanaan demokrasi internal dan kepemimpinan,tranparansi, dan keuangan partai. Pertanyaan yang turut menge-muka menjelang Pemilu 2009 adalah apakah keinginan dankemampuan partai-partai politik betul-betul mewakili aspirasi dan
449
keinginan rakyat. Tantangan kelima menunjuk pada minimnyapartisipasi organisasi massa, yang terbentuk demi mengusungaspirasi dari masyarakat di akar-rumput. Selanjutnya, tantangankeeenam merujuk pada perilaku nepotisme dan politik uang dalamhubungan antara politisi, birokrat, dan pelaku bisnis, yangmenyuburkan hubungan patron-klien. Situasi semacam itukemudian memunculkan tantangan berikutnya. Tantanganketujuh menunjuk pada perilaku kalangan pro-demokrasi yangkemudian ‘beradaptasi’ dengan sistem (yang bobrok itu), demimempertahankan pengaruh politik, dan menjamin perlakuankhusus bagi para pendukungnya.
Hasil penelitian dan tantangan-tantangan tersebut di atasdiringkas dan dijabarkan kepada sejumlah aktor, yang dianggapmemiliki pengetahuan luas dan mendalam tentang politik dangerakan pro-demokrasi di Aceh, serta memiliki kemampuan untukbercermin dari pengalaman pribadi mereka. Para aktor tersebutmeliputi aktivis partai politik, para aktivis KPA dan SIRA2 yangberhasil menang dalam Pilkada 2006, wartawan, aktivis perempuan,organisasi massa, aktivis organisasi non pemerintah, akademisi danintelektual, serta Ketua Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi (BRR),yang akan segera selesai masa tugasnya. Aktor-aktor tersebut dipilihsecermat mungkin karena keterbatasan waktu dan kapasitas dalammenjalankan wawancara. Sebenarnya kami bermaksud menggapailebih banyak lagi informan, namun waktu yang tersedia teramatsingkat. Namun, kami berharap dengan jumlah informan yangada, akan dapat memulai sebuah upaya diskusi lebih lanjut.3
Studi kami ini berangkat dari beberapa penelitian sebelumnya.Pertama, survei demokrasi Demos-Aceh, yang dilaksanakan padaakhir 2006 dan awal 2007. Kedua, studi tambahan yang di-laksanakan pasca survei demokrasi Demos-Aceh, di bawah proyekpenelitian tentang peran demokrasi di wilayah pasca tsunami diAceh dan Srilanka oleh Oslo University. Survei dan kajian tersebut
TRANSISI TAK BERBINGKAI?
450 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
telah dibahas dalam bab-bab terdahulu di bab ini. Kendati OlleTörnquist yang memulai survei demokrasi, studi tambahan, sertastudi lanjutan yang kami laksanakan ini, dia mengarahkansepenuhnya studi tambahan oleh Oslo University. Sementara itu,beliau hanya menjadi penasihat dalam pelaksanaan survei, sertapembimbing bagi tim independen kami.
Tim peneliti menghadapi berbagai kesulitan ketika meng-hubungi para informan, karena sensitifnya isu politik di Aceh.Selain itu, studi sempat tertunda lama, menilik jarak waktu antarasurvei demokrasi yang dilaksanakan akhir 2006 dan awal 2007,yang dilanjutkan studi tambahan, dan wawancara yang kamilakukan pada akhir 2008. Akibatnya, sejumlah temuan padapenelitian sebelumnya, khususnya dari survei demokrasi, yangseharusnya ditanggapi oleh para informan kami, kemungkinansudah tak lagi sesuai dengan situasi terbaru. Kesulitan lainnya, ditengah keterbatasan waktu, para aktor yang harus kami hubungijuga sangat sibuk dan memiliki waktu terbatas. Sayangnya,beberapa partai politik, misalnya Partai Golkar, tidak menanggapipermohonan wawancara kami hingga bab ini selesai ditulis.Sebagian besar wawancara dilakukan dengan tatap muka, danmemakan waktu satu hingga dua jam. Tapi, lagi-lagi karenaketerbatasan waktu, beberapa informan akhirnya menjawab melaluisurat elektronik.
Bab ini bertujuan untuk membahas tantangan-tantanganutama yang disampaikan oleh para informan, tanggapan merekaterhadap tantangan yang ditemukan melalui survei demokrasi(antara lain apakah mereka setuju dengan temuan itu, dan apakahtemuan itu betul-betul mencerminkan tantangan yang dihadapipelaksanaan demokrasi di Aceh dewasa ini), serta solusi dan strategiyang mereka tawarkan. Kami juga meminta mereka meramalkanpemenang dan yang akan kalah dalam Pemilu 2009 yang akandatang. Untuk itu, pembahasan di dalam bab ini akan terbagi atas
451
empat bagian. Bagian pertama menitikberatkan pada pemahamanpara aktor tentang periode transisi, yakni definisi periode transisi,tujuan, dan jangka waktu ideal bagi proses tersebut. Bagianberikutnya, mengkaji tentang proses transisi ‘tak berbingkai’ dalamkonteks kerangka pelaksanaan demokrasi yang tengah berlangsung,termasuk di dalamnya pelaksanaan MoU Helsinki, masalahpemerintahan-sendiri dan UUPA, aspirasi akar-rumput, sertaketerkaitan antara bingkai pelaksanaan demokrasi dan pem-bangunan ekonomi. Bagian ketiga akan fokus pada upaya yangdibutuhkan untuk mengembangkan kerangka pelaksanaandemokrasi yang sudah ada, serta perlunya mengembangkanpartisipasi berdimensi kerakyatan. Sementara itu, bagian keempatakan membahas sejumlah kesimpulan dan rekomendasi.
Memahami periode transisi: Tantangan, tujuan, dan jangkawaktu
Bertahannya pola hubungan simbiosis dan patron klien, serta penggunaanjalur koneksi
Berdasarkan penjelasan para informan kami, periode transisisangat krusial dalam mengatasi tantangan bagi perdamaian dandemokrasi di Aceh. Contohnya, perdamaian—dan yang terpenting,pelaksanaan pemerintahan-sendiri di Aceh justru kian menyu-burkan perbuatan haram, yang tak jauh berbeda dari pemerintahansebelumnya; dan bukannya malah menciptakan pemerintahan baruyang bersih dari perilaku korup. Perbuatan-perbuatan tersebut,antara lain, hubungan simbiosis antara dunia usaha, politik danbirokrasi yang terus berkembang; atau bertahannya klientelisme,nepotisme, dan korupsi dalam birokrasi dewasa ini, serta pemberiankeistimewaan atau perlakuan khusus bagi kelompok-kelompoktertentu yang tergolong baru dalam pemerintahan. Jawaban parainforman umumnya langsung menunjuk pada mantan anggotaGAM dan/atau mantan aktivis SIRA. Alasannya, menurut para
TRANSISI TAK BERBINGKAI?
452 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
informan, berkembangnya perilaku-perilaku haram itu ‘takterelakkan’ dalam suatu periode transisi, yang tentu saja perlusegera diatasi dan diberantas.
Para informan mengemukakan partisipasi bekas tentara GAMdalam proyek-proyek pembangunan infrastruktur di daerah,sebagai contoh. Mereka mempertanyakan proses pelibatan parabekas pejuang itu dalam proyek-proyek tersebut: apakah melaluiproses yang adil dan terbuka, atau telah dimanipulasi demikepentingan kelompok dan individu tertentu. Mereka berpendapat,para bekas pejuang itu didahulukan dalam setiap alokasi kontrak-kontrak, di tengah bisnis rekonstruksi yang tengah marak, demimenyalurkan lebih banyak peluang ekonomi. Aktivis hak-hakperempuan dan bekas Koordinator KontraS Aceh, Asiah Uziamenjelaskan bahwa tingginya keterlibatan bekas tentara GAMdalam proyek-proyek rekonstruksi adalah hal yang lumrah.Pasalnya, di masa damai, para bekas tentara GAM ini lebih banyakmenganggur, dan ‘...menjadi kontraktor bisa menghasilkan banyakuang dengan cepat.’ Namun, dia menambahkan, para politisi Acehmenggunakan cara-cara ‘kotor’ dalam berbisnis: ‘Kelompok bisnistulen dan sebagian besar politikus [dari kalangan] mantankombatan juga mendapatkan proyek dari pemerintah dengan caramain dari belakang’.
Masalah lain adalah tingginya kehadiran para anggota KPAdan bekas aktivis SIRA dalam jajaran birokrasi. Orang-orangtersebut umumnya ditunjuk oleh kolega mereka sesama bekaspejuang GAM atau bekas aktivis SIRA, yang terpilih menjadi kepaladaerah di tingkat provinsi, kabupaten, kota, dan kecamatan.Penunjukkan semacam ini dituding sebagai salah satu bentuk fa-voritism, nepotisme, dan klientelisme. Terdapat kekhawatiran bahwapara bekas pejuang atau bekas aktivis SIRA memiliki rencana laindi balik penunjukkan sejumlah kalangan sebagai ‘lingkaran dalam’mereka, yakni membagi-bagi keuntungan dari posisi mereka sebagai
453
penguasa dalam birokrasi. Tindak-tanduk semacam itu justru akankian menyuburkan kolusi dan korupsi dalam pemerintahan daerahdi Aceh. Fajran Zain dari Aceh Institute mengungkapkan ke-khawatirannya atas permasalahan tersebut. ‘Kalau memang merekamempunyai kapasitas—dan selama mereka tidak mengintimidasidan kasar dalam meminta proyek, hal tersebut sah-sah saja,’ katadia. ’Namun, yang kita sayangkan, saat ini, mereka tidak memilikikapasitas, dan kemudian lari ke penyalahgunaan kekuasaan.’
Rendahnya keterampilan dan profesionalisme dalam jajaranbirokrasi Aceh dewasa ini juga dikemukakan oleh kalanganwartawan. Ramadhan, Pemimpin Redaksi Raja Post, mengungkap-kan bahwa kalangan birokrat tetap melanjutkan hubungansimbiosis ala birokrasi sebelumnya. ’Aktornya yang berubah,’ diamenjelaskan, ’kalau dulu aktornya banyak melibatkan orang-or-ang partai dan orang yang dekat dengan kepala daerah. Sekarang,[birokrasi] banyak melibatkan GAM. Posisi mereka ini memangsedang naik daun...’ Di sisi lain, Ketua Aliansi Jurnalis Independen(AJI) Banda Aceh, Muhammad Hamzah, bersikap lebih kritis. Diaberpendapat, para pemimpin umumnya lupa makna profesi-onalisme, dan malah mengembangkan peluang bagi KKN (korupsi,kolusi dan nepotisme). Muhammad Hamzah menyatakan, ’Bisa kitalihat ketika Irwandi memimpin. Dia membentuk tim asistensi, yangterdiri dari banyak orang GAM, yang tidak memiliki keahlian dibidang [yang menjadi tanggung jawabnya] itu.’
Yang menarik, walaupun para informan tidak menyetujuiperilaku di atas, mereka menganggap fenomena tersebut bisadikendalikan, diperbaiki dan hanya bersifat sementara. Parainforman berpendapat, perlakuan khusus yang diberikan kepadapara bekas tentara GAM dan aktivis SIRA bisa ditolerir, terutamasetelah Pilkada 2006. Kendati begitu, mereka juga yakin bahwapermasalahan tersebut dapat diatasi kelak suatu saat nanti, karena’sekarang masih periode transisi’. Mencermati alasan semacam itu,
TRANSISI TAK BERBINGKAI?
454 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
timbul pertanyaan baru: apa yang seharusnya dilakukan dandicapai selama periode transisi?
Bekas anggota KPA dan aktivis SIRA yang terpilih menjadikepala daerah kemudian dimintai pendapat tentang upayamengatasi tantangan-tantangan dalam demokrasi selama periodetransisi. Mereka berpendapat, bertahannya pola favoritisme,nepotisme, dan klientelisme, yang kemudian kian menyuburkankorupsi, dan kolusi dalam birokrasi—sesungguhnya merupakanwarisan dari birokrasi sebelumnya, serta merupakan pencerminandari rezim korup di Jakarta. Karena itu, sebagai pemerintahan baru,mereka juga tengah berjibaku untuk menata ulang organisasibirokrasi, serta meminimalisir peluang bagi perilaku-perilaku curangdan korup di dalam birokrasi. Dalam kesempatan terpisah, parakepala daerah yang baru terpilih itu mengungkapkan bahwa merekamenentang segala upaya yang mendukung pemberian keistime-waan atau perlakuan khusus, serta perilaku patrimonial yang dapatmengarah pada kolusi dan korupsi. Mereka justru tengah berjuangkeras untuk memperbaiki pola rekrutmen jajaran birokrasi, sertamengembangkan hubungan yang lebih sehat antara birokrasi,dunia usaha, dan politik.
Gubernur Irwandi Jusuf, contohnya, menegaskan bahwadirinya adalah individu yang non-partisan, dan sangat menentangpemberian perlakuan khusus. Bekas pejuang GAM yang pernahdipenjara oleh pemerintah Indonesia selama konflik ini, adalahgubernur pertama yang terpilih melalui pencalonan independen,bersama Muhammad Nazar, sebagai wakil gubernur. Irwandikembali menegaskan posisinya, ’Saya tidak punya partai. Sampaisekarang pun saya tetap orang independent.4 Saya tidak punyaorang di DPR Aceh. Saya murni bekerja atas dukungan rakyat.’Disinggung mengenai tingginya keterlibatan para bekas pejuangGAM dalam proyek-proyek pemerintah, dia beralasan bahwa parabekas pejuang itu memiliki hak yang sama untuk mengikuti ten-
455
der proyek. Apalagi, dia menambahkan, ‘Ada peraturan yangmengatur persaingan yang fair.’ Dia menjelaskan:
Apakah ada hukum yang melarang orang GAM menjadikontraktor? Saya kira tidak ada itu. Wajar sekali mereka terlibatbisnis, karena sekarang sudah ada kebebasan. Tapi di lapangankan semua bersaing dengan terbuka. Anda juga bisa bisnis, tapiharus mampu bersaing di lapangan. Kehadiran GAM dalambisnis tidak ada kaitannya dengan terpilihnya orang GAMsebagai kepala daerah.
Kepala Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR), KuntoroMangkusubroto, yang tuntas masa jabatannya pada awal 2009,juga menguatkan penjelasan sang gubernur. Dia mengatakanbahwa MoU Helsinki menganjurkan agar para bekas pejuang GAMdapat dilibatkan dalam pekerjaan-pekerjaan yang diemban BRR.Selain itu, BRR tetap menerapkan standar dan ketentuan profesionalyang sama bagi setiap pihak, termasuk terhadap bekas pejuangGAM. Menurut dia, tindakan itu juga merupakan upaya taklangsung untuk mengintegrasikan kembali para bekas pejuang kedalam kehidupan sipil di masyarakat Aceh. Seperti yang dijelaskanoleh Kuntoro berikut ini:
Dalam MoU disebutkan GAM bisa bekerja di BRR. Jadi, kamidengan tulus memberikan kesempatan kepada mereka untukbersama-sama bekerja di sini. Tentu, dalam proses perekrutandan dalam bekerja, [mereka] harus professional. Bagi merekayang tidak memiliki kemampuan, tidak bisa bekerja di BRR.Mantan GAM bekerja di BRR sesuai dengan aturan, dandirekrut secara transparan. Hal tersebut dilakukan untukmendukung agar [proses] reintegrasi berjalan dengan baik.
Pernyataan Kuntoro di atas, yang menyinggung mengenairekrutmen dan pekerjaan yang diberikan berdasarkan prinsip-
456 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
prinsip profesionalisme dan kemampuan masing-masing individu,dipertanyakan berbagai pihak. Salah satunya, Muhammad Hamzahdari AJI Banda Aceh. Dia mengungkapkan, berbagai buktimenunjukkan bahwa di dalam tubuh BRR, sejumlah staf yangditunjuk ternyata tidak memenuhi syarat-syarat yang ditentukan,seperti yang dimuat dalam iklan-iklan rekrutmen. MenurutHamzah, perilaku itu merupakan salah satu upaya para birokratuntuk mempertahankan kekuasaannya, serta membina jaringanpolitik demi kepentingan tertentu. Hamzah menjelaskan:
Lihat saja di BRR, banyak sekali aktivis Aceh yang direkrut disana, [dan] kemudian mendapat jabatan yang sebenarnyatidak sesuai dengan keahliannya. Ada aktivis NGO yangbanyak terlibat dalam kegiatan HAM, tapi pindah ke BRR danmenduduki jabatan di bagian penyimpanan buku-buku. Adaaktivis anti korupsi, [yang] menjabat di bagian perumahan.Maksud BRR, tentu saja, untuk merangkul orang-orang yangselama ini kritis [terhadap BRR], untuk berpihak kepada mereka[BRR]. Ini juga bagian dari jaringan politik.
Menanggapi tudingan adanya favoritisme, Irwandi mema-parkan, penunjukkan sejumlah teman dekat yang paling diapercaya, untuk bergabung dalam pemerintahannya adalah hal yanglazim bagi setiap pemerintahan baru. Karena itu, tindakan tersebutseharusnya tidak dianggap sebagai tindakan yang melanggarhukum atau tidak demokratis. Apalagi, menurut dia, ’orang-orangnya’ itu hanya sebagian kecil dari anggota birokrasi secarakeseluruhan. Menurut Irwandi:
Makna profesional harus diluruskan di sini. Coba hitung sajaberapa banyak orang GAM atau [anggota] tim sukses [saya]yang duduk di dalamnya. Kalaupun ada, mereka itu bukanmotor. Fungsi mereka paling hanya sebagai koordinator. Fungsikoordinator bukan urusan teknis. Masalah teknis tetap
457
dipegang oleh orang yang punya kemampuan. Makanya kitaharus pahami dulu makna profesional itu dengan baik. Sayamenempatkan orang-orang saya dalam posisi tertentu, semata-mata untuk bisa menjalin komunikasi dengan mereka. Tapi,itu pun tidak banyak. Sistem seperti itu masih terjadi di mana-mana. Ketika SBY terpilih, orang-orangnya juga ditempatkan,tapi benar-benar terpilih.
Kendati rezim lama yang korup sudah diganti (mantanGubernur Aceh, Abdullah Puteh, dihukum atas tindak korupsiketika masih menjabat), masih ada kekhawatiran bahwa perilakukorup dan paternalistik serupa akan terulang kembali ketikapemerintahan telah dipegang oleh pimpinan baru yang terpilihsecara demokratis, yakni oleh bekas anggota GAM, SIRA, dan paraaktivis pembela HAM dan kalangan pro-demokrasi. Walaupunberbagai bukti tentang perilaku semacam itu terpampang jelas,namun penjelasan dan pemahaman yang dikemukakan parainforman umumnya menyatakan bahwa pelaksanaan demokrasidi Aceh masih berada dalam periode transisi. Selain itu, merekamenambahkan, perjuangan untuk memperbaiki demokrasi melaluiinstitusi-institusi yang demokratis tak mungkin terwujud dalamsekejap. Meski begitu, ketika wawancara ini dilaksanakan, tampakjelas masih banyak hal yang harus dilakukan, terutama dalamupaya menata ulang organisasi birokrasi menjelang Pemilu 2009dan pemilihan presiden.
Jangka waktu dan tujuan periode transisi: absennya pemahaman bersamaSalah satu karakter periode transisi adalah rendahnya kualitas
pelaksanaan demokrasi di Aceh. Wakil Gubernur Muhammad Nazarmengungkapkan bahwa demokrasi masih berada di tangan merekayang memiliki kemampuan dan latar belakang pendidikan yangminim, atau di tangan orang-orang yang selama ini tak pernahterpenuhi hak-hak ekonomi dan sosialnya. Alhasil, pelaksanaan
TRANSISI TAK BERBINGKAI?
458 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
demokrasi pun memberikan potensi bagi munculnya kekerasan dankonflik. Karena itu, dia menyarankan, pemerintahan saat ini perlumeningkatkan kemampuan, serta menggenjot pendidikan politikmelalui partai politik. Sembari mengakui bahwa pemerintahan saatini masih memiliki kelemahan, serta tantangan-tantangan dalambirokrasi pun masih ada, Nazar mengatakan bahwa masyarakatsipil harus terus berupaya memperluas pelaksanaan demokrasi.Pasalnya, apabila terdapat tanda-tanda keterlibatan militer dalampolitik atau bisnis, maka ‘keterlibatan [militer itu] dapat mem-bahayakan masa depan demokrasi.’
Kalangan politisi memiliki pemahaman beragam tentang sifatperiode transisi serta tujuannya. Menurut Taufik Abda, pimpinanPartai SIRA, terdapat dua tipe periode transisi yang perlu di-laksanakan sejak penandatanganan MoU Helsinki. Tipe pertamaadalah transisi kultural. Pada periode transisi ini, Aceh harusmengatasi sejumlah masalah perilaku. Alasannya, selama periodeitu terdapat sejumlah aspek kultural yang dipupuk selama masakonflik, yang sesungguhnya tak lagi relevan di masa damai:
Secara kultural, masyarakat Aceh sedang mengalamiperubahan-perubahan perilaku, di mana hubungan-hubungansosial mulai dilakukan secara sangat transaksional. [Artinya],perhitungan untung rugi secara material menjadi bahanpertimbangan utama dalam interaksi masyarakat. Selain itu,secara kultural, masyarakat Aceh mewarisi kebiasaan-kebiasaan dan budaya era konflik, di mana pemerintahan danpembangunan dikelola secara buruk dan penuh penyim-pangan. Penyimpangan-penyimpangan masa lalu dalampemerintahan dan pembangunan masih dianggap hal biasayang belum dapat diubah, dan dihentikan, termasuk budayaklientelisme dan hubungan patron-klien.
Periode transisi kedua adalah transisi struktural, yang meliputiperubahan dalam pemerintahan, hukum, dan anggaran pem-
459
bangunan. Periode ini, menurut Taufik, sangat bergantung padaupaya Aceh dalam mengontrol produksi ekonomi, dan melaksana-kan pemerintahan-sendiri secara sungguh-sungguh:
Dalam transisi struktural, yang harus dilihat adalah kapasitaspemerintah Aceh dalam mempercepat pembangunan,mengurangi ketergantungan Aceh [terhadap] sumber-sumberproduksi atau ekonomi dari luar, seperti pangan dan bahan-bahan kebutuhan masyarakat Aceh lainnya. Masa transisistruktural baru dianggap selesai, jika sudah terbangun self-government yang sebenarnya.
Di sisi lain, kendati membenarkan bahwa klientelisme,nepotisme dan korupsi merupakan ‘kultur lama dalam birokrasi’,Taufik Abda berpendapat, pemerintahan saat ini kurang berupayakeras dalam mencegah perilaku-perilaku tersebut mencemaripemerintahan baru. ‘Pemerintah sekarang pun nyaman dengankultur ini. Itu berarti, tidak ada upaya revolusi/reformasi birokrasiyang serius.’
Seorang mantan pejabat publik, yang juga aktif di sebuahpartai politik ‘nasional’, dan tak ingin disebutkan namanya di sini,memiliki pandangan berbeda dengan Taufik Abda. Menurut dia,pemerintahan Irwandi berusaha untuk menghalangi perilakukorup, dan tindak-tanduk haram lainnya. Upaya itu terlihat daripemisahan tugas yang jelas antara eksekutif dan legislatif. Diamemberitahu bahwa:
Pada masa pemerintahan Puteh, kontrol DPRD atas proyek-proyek pemerintah sangat dominan. Dulu, Partai Golkarmengklaim 2 persen dari setiap proyek pemerintah sebagaipajak [tak resmi], lalu [dana itu] dibagikan kepada militer danpartai politik. Sekarang, saya lihat Irwandi lebih ketat dalammasalah ini. Tak satupun anggota DPRA terlibat dalam proyek.Meskipun sejumlah bekas aktivis GAM memenangkan proyek,
TRANSISI TAK BERBINGKAI?
460 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
saya tak melihat kemenangan itu semata-mata karena[hubungan mereka dengan] GAM.
Meski begitu, informan ini menilai, adakalanya Irwandimenunjukkan sikap yang lebih longgar, ketika berhadapan denganperilaku para bekas aktivis GAM, yang mencurigakan. ‘Contohnyaseperti ini,’ dia bilang, ‘kalau orang itu miskin, sang gubernurseolah-olah tak melihatnya. Tapi, begitu seseorang sudah mampumembeli sebuah mobil, maka dia akan segera bertindak [untukmencegah tindakan yang melanggar hukum].’
Pernyataan Taufik Abda dan politisi dari partai politik‘nasional’ itu menunjukkan bahwa pemerintahan Irwandi tidakberhasil—setidaknya pada waktu dilakukan wawancara—men-cegah perilaku haram dan tak demokratis di dalam birokrasi. Tapi,Irwandi punya alasan lain. ‘Ketika saya terpilih,’ Irwandi men-jelaskan, ‘langkah pertama saya adalah bagaimana mengubahbirokrasi yang buruk menjadi lebih baik. Perubahan tidak langsungsaya lakukan ketika pertama kali saya menjabat. Harus saya lihatdulu selama setahun pertama. Pada tahun kedua, saya mulaimelakukan perubahan itu.’
Kalangan wartawan, seperti Ramadhan dan MuhammadHamzah, sama-sama mengakui bahwa pemerintahan Irwandiberupaya untuk melakukan perubahan, agar bisa mengakhiritindak korupsi. Misalnya, antara lain, dengan melaksanakan ujikepantasan dan kelayakan (fit and proper test) dalam penunjukanpejabat publik. Namun, keduanya merasa upaya tersebut belumcukup.
Dari wawancara tentang sifat dan tujuan dari periode transisi,serta diskusi yang berkembang dari topik ini, bisa dilihat bahwatak ada pemahaman bersama yang jelas mengenai transisi di Aceh,sebagai daerah pasca konflik. Ketiadaan pemahaman itu menyebab-kan munculnya sikap yang ambigu di kalangan aktor kunci politik
461
di Aceh. Sikap serupa khususnya tercermin ketika menyinggungkemampuan para aktor-aktor kunci itu dalam mengendalikanperilaku tak demokratis tersebut di masa mendatang. Selain itu,harapan mereka terhadap proses demokratisasi serta pelaksanaanproyek-proyek rehabilitasi dan rekonstruksi yang tengah ber-langsung, masih kabur dan tak satu suara. Isu ini juga sempatdiangkat dalam sebuah workshop, yang diselenggarakan The AcehParticipatory Research Team, bekerjasama dengan Friedrich EbertStiftung (FES) pada 28 November 2008. Workshop ini bertujuanuntuk menjaring lebih banyak lagi pendapat dari berbagai aktorkunci tentang situasi politik terkini di Aceh. Kendati menyetujuibahwa Aceh tengah berada dalam proses transisi, tak satupunpeserta workshop mampu menentukan tujuan dari periode transisidan jangka waktu periode tersebut.
Hanya sebagian kecil informan yang kami wawancaraimenyebutkan jangka waktu periode transisi. Kelompok kecil itumemperkirakan periode transisi akan memakan waktu antara duahingga lima tahun, bahkan ada yang menyatakan hingga sepuluhtahun, sejak penandatanganan MoU Helsinki. Sumber dari partaipolitik ‘nasional’, misalnya, mengatakan bahwa periode transisiseharusnya hanya berlangsung selama dua tahun, sejak penanda-tanganan MoU Helsinki. Menurut dia, jangka waktu itu cukupbagi para bekas pejuang untuk mentransformasi nilai-nilai konflikdan kekerasan menjadi perjuangan politik murni. Di sisi lain, FajranZain dan Taufik Abda berpendapat, periode transisi setidaknyamemakan waktu antara dua hingga sepuluh tahun, demi memasti-kan tuntasnya proses tranformasi dari praktek-praktek birokrasilama yang korup dan tidak demokratis—baik secara kulturalmaupun struktural.
Sikap para informan yang bisa menerima sejumlah perilakuharam dan tak demokratis itu, jelas menunjukkan keinginan merekauntuk mempertahankan perdamaian di Aceh. Menyediakan akses
TRANSISI TAK BERBINGKAI?
462 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
ekonomi yang lebih luas bagi para bekas pejuang, misalnya,dipahami sebagai salah satu upaya untuk menjamin keberlang-sungan perdamaian. Pertanyaan yang kemudian muncul adalahbenarkah para bekas pejuang itu menjadi pihak yang menuaimanfaat dari perilaku-perilaku semacam itu, atau justru malahmemfasilitasi para birokrat dan politisi?
Dari pemahaman tersebut, maka pertanyaan berikut adalahsebagai berikut. Adakah kerangka kerja demokratis, yang bisamenjadi pedoman bagi para aktor-aktor kunci dalam politik di Acehselama masa transisi tersebut?
Transisi dan Kerangka Kerja yang Demokratis
Pelaksanaan MoU Helsinki: Bagaimana kesepakatan damai memperluaspelaksanaan demokrasi
Ketika workshop pada November 2008, Kepala Badan ReintegrasiAceh (BRA), M. Nur Djuli, menyatakan bahwa Gubernur IrwandiJusuf sempat memulai proses untuk menentukan jangka waktuperiode transisi. Sayangnya, ungkap Nur Djuli, badan yangdibentuk untuk keperluan itu tidak bekerja efektif, sehingga gagalmemenuhi tujuannya. Meski begitu, setidaknya usaha tersebutmenunjukkan bahwa gagasan untuk menetapkan jangka waktutransisi tidak sepenuhnya diabaikan sejak penandatanganan MoU.
Perdamaian jangka panjang di Aceh bermula dari penanda-tanganan MoU Helsinki, sebuah kesepakatan yang ditandatanganioleh GAM dan pemerintah Indonesia, dan terdiri dari butir-butirkrusial bagi perdamaian yang berkelanjutan. Meski begitu,pelaksanaan MoU Helsinki pun pasang-surut. Demobilisasi,pelucutan senjata, dan reintegrasi bekas pejuang menandai tahappertama pelaksanaan kesepakatan damai. Tahap selanjutnya adalahrehabilitasi politik, dan pembebasan para tahanan politik. Bantuanekonomi, yang dibagikan melalui dana reintegrasi dan rehabilitasi
463
merupakan aspek lain dalam pelaksanaan MoU. Yang terakhir,elemen paling utama dalam transformasi politik adalah pemilihangubernur dan wakil gubernur Aceh, di mana diperkenankan pulapara calon independen maju untuk pertama kalinya—yangmerupakan perkembangan baru dalam politik di Indonesia.
Pelaksanaan MoU semestinya mengarahkan periode transisidi Aceh, memberi garis besar langkah-langkah yang harusditempuh, dan memprediksi jangka waktu untuk masing-masingtahapan dalam transisi, serta—setidaknya secara tersirat—menyampaikan tujuan dan sasaran dari setiap butir-butir ke-sepakatan, khususnya yang berkaitan dengan pembangunanpolitik. Misalnya, MoU memberi mandat bahwa pemilihan gubernurdilaksanakan pada 2006, dan pemilihan anggota legislatif akandiselenggarakan pada 2009 (pasal 1.2.2 dan 1.2.3 MoU Helsinki).Menurut pasal 1.1.1 MoU, ‘Undang-undang baru tentangPenyelenggaraan Pemerintahan di Aceh akan diundangkan danakan mulai berlaku sesegera mungkin dan selambat-lambatnyatanggal 31 Maret 2006,’ serta dirumuskan berdasarkan empat prinsipyang dijabarkan dalam MoU. Kenyataannya, Undang-UndangPemerintahan Aceh (UUPA) baru resmi berlaku pada 11 Juli 2006.
Menurut Thamren Ananda dari Partai Rakyat Aceh (PRA),‘MoU dan UUPA telah membuka ruang demokrasi bagi rakyat Aceh.’Namun, menurut dia, masih banyak hal yang perlu dilakukanuntuk membuka peluang dan memperbaiki ekonomi. Khususnya,pembagian pendapatan dari sektor energi, yakni 70 persen daripendapatan di sektor energi Aceh harus diserahkan kepadapemerintah Aceh (pasal 181.1b UUPA). Selain itu, pelaksanaanUUPA di tingkat daerah harus lebih dirinci ke dalam berbagaiperangkat aturan, dan dirumuskan ke dalam qanun. Wakil BupatiAceh Timur, Nasruddin Abubakar menjelaskan, ’UUPA itu tidakakan bermakna apa-apa, kalau tak ada qanun, [yang mengatur]pelaksanaan kesepakatan-kesepakatan dalam UUPA. Ada puluhan
TRANSISI TAK BERBINGKAI?
464 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
qanun yang harus disahkan oleh legislatif Aceh.’5
Namun, sebelum akhirnya dirumuskan ke dalam qanun, UUPAterlebih dulu harus diturunkan ke dalam beberapa peraturanpemerintah (PP) dan peraturan presiden (Perpres). Misalnya, satuperaturan pemerintah dan satu peraturan presiden akan mengaturpada pendirian partai politik lokal. Pada saat penyusunan bab ini,satu-satunya peraturan pemerintah dan peraturan presiden yangtelah disahkan adalah tentang pendirian partai politik lokal.Peraturan lainnya masih menunggu hasil perumusan dan penge-sahan, yakni antara lain, transfer kewenangan dari pemerintahIndonesia kepada Badan Pengelola Kawasan Sabang, sertamanajemen sumber daya gas dan minyak bumi (Serambi Indonesia,12 Desember 2008). Proses perumusan aturan-aturan yang lebihrinci dari UUPA itu, tentu saja, bakal menjadi tantangan tersendiribagi perdamaian dan pelaksanaan demokrasi di Aceh.
Perbaikan dalam pelaksanaan demokrasi (politik) vs pem-bangunanekonomi
Terlepas dari kemenangan mutlak para kandidat dukunganKPA dan SIRA pada Pilkada 2006 lalu, tak ada arah politik yangjelas setelah pemilihan tersebut. Hasil survei demokrasi menunjuk-kan bahwa sejumlah tantangan perlu segera diatasi agar prosestransisi tak kehilangan arah. Salah satu upaya untuk itu adalahmewaspadai ancaman laten dari sejumlah tokoh berpengaruh, yangbermaksud menciptakan perdamaian sebagai salah satu ’batuloncatan’ bagi kepentingannya sendiri. Contohnya, sepertitercermin dari upaya menciptakan ’perdamaian yang menuai laba’(profitable peace). Kendati kecenderungan ini awalnya lebih mampudicegah di Aceh, daripada di daerah konflik lainnya, survei danstudi-studi lainnya dalam buku ini membuktikan bahwa upayapencegahan itu bukannya tanpa dampak samping. Salah satu efeksamping itu adalah terjadinya pemisahan antara program pem-
465
bangunan ekonomi/rekonstruksi yang masif dan pengembanganpemerintahan-sendiri yang demokratis. Bagaimana para informanmerespon tantangan tersebut? Bagaimana pendapat mereka terhadapsituasi dewasa ini?
Beberapa informan bersikap defensif dalam menanggapitantangan tersebut. Di satu sisi, mereka tidak menafikan bahwaprogram pembangunan ekonomi dan pengembangan peme-rintahan-sendiri yang demokratis, seharusnya dilakukan secarasimultan. Namun, di sisi lain, mereka bersikukuh bahwa pem-bangunan ekonomi adalah prioritas di Aceh saat ini. ’Semua pihakharus memprioritaskan kepentingan dan kebutuhan masyarakat.Yang sangat dibutuhkan rakyat sekarang ini adalah kesejahteraan.Karena itu, pemerintah harus mengutamakan hal tersebut,’ kataGhazali Abbas dari Partai Aceh Aman Seujahtera (PAAS).
Sebagian besar informan yakin bahwa proses transformasipolitik telah ditunaikan dengan sukses, seperti yang tercermin darikeberhasilan pelaksanaan Pilkada 2006, serta pendirian sejumlahpartai politik lokal. Belakangan, pengesahan UUPA juga dianggapsebagai bukti bahwa pelaksanaan demokrasi di Aceh mengalamikemajuan. Menurut Wiratmadinata dari Forum LSM Aceh, UUPAtelah memfasilitasi ’pemerintahan-sendiri dengan style Aceh’, karenaundang-undang tersebut ’mengatur pembagian kewenanganantara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, serta jugamengatur tentang otonomi khusus, partai politik lokal dan lain-lain.’ Jadi, berbagai pihak yang beranggapan bahwa aspek politikdari MoU telah terakomodasi dalam UUPA, memiliki pendapatbahwa meningkatkan pembangunan ekonomi harus menjadi fokusdi masa mendatang.
Di sisi lain, BRR, yang mewakili suara pemerintah pusat,sepakat bahwa transformasi politik dan penegakan prinsip-prinsipdemokrasi teramat krusial dalam mengakhiri suatu konflik.Namun, menurut Kuntoro, demokrasi tak bisa bertahan tanpa
TRANSISI TAK BERBINGKAI?
466 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
pembangunan ekonomi yang memadai pula. Dia memaparkan,dalam kurun waktu empat tahun, sejak tsunami, sekitar US$ 72trilyun telah disumbangkan bagi upaya rekonstruksi di Aceh.Berbagai kemajuan telah dicapai, dan Aceh telah membangunberbagai sarana infrastruktur baru, yang bisa memfasilitasipembangunan ekonomi. Tapi, kemajuan dalam pembangunanekonomi membutuhkan manajemen dengan keahlian danketerampilan memadai. Menurut Kuntoro:
Sekarang, kita telah mempunyai rumah sakit baru, jalan baru,jembatan baru, pelabuhan baru, bandara baru, semua baru.Tantangan kita, serta yang paling pokok sekarang ini adalahbagaimana cara kita merawat semua sarana dan prasaranayang telah terbangun tersebut. Modal yang telah terbanguntersebut [harus] dikelola sedemikian rupa, sehingga tidakmenjadi benda mati, tetapi menjadi penggerak roda ekonomi.Sehingga akhirnya roda perekonomian tersebut akanmenggerakkan pembangunan di Aceh. Pembangunan tersebutdikelola sehingga bisa mengentaskan kemiskinan,pengangguran dan membawa Aceh ke arah yang lebih baik.Sebab, sebelum tsunami, Aceh adalah provinsi nomor tigatermiskin di Indonesia. [Karena itu], yang terpenting sekarangadalah bagaimana investasi Rp 72 trilyun itu bisa menjadimodal bagi pembangunan di Aceh.
Sembari menekankan pentingnya pembangunan ekonomi,Kuntoro menambahkan bahwa tugas pemerintah daerah yangpaling mendesak saat ini adalah mempercepat perumusan qanun,yang mengatur bidang ekonomi, seperti yang diatur dalam MoUdan UUPA. Dia menjelaskan:
Semuanya sedang dalam proses, tapi [hingga kini] belum adatitik terangnya. Saat ini, dari semua qanun yang telahdiselesaikan, belum satupun yang bersentuhan denganmasalah ekonomi. Yang baru selesai hanya qanun tentang
467
syariah, qanun tentang bagaimana membuat qanun, qanunmasalah pendidikan, qanun masalah wali nanggroe, yang belumada relevansi dengan masalah ekonomi. Pemerintah Aceh harussegera menyelesaikan qanun-qanun masalah ekonomi. PerjanjianHelsinki merupakan perjanjian induk luar biasa, yang harusdipegang [teguh]. Tapi, perjanjian tersebut adalah perjanjianinduk, yang harus diikuti oleh undang-undang. Setelah itu,undang-undang juga harus diikuti dengan qanun-qanun tentangcara pelaksanaan. Ini yang belum sepenuhnya disiapkan.
Ini mengkhawatirkan, karena 60 qanun yang belum diselesai-kan adalah tata cara bagaimana melaksanakan MoU Helsinkidan UU tentang pemerintah Aceh. Tanpa qanun tersebut, UUPAtidak akan bisa dilaksanakan. Saat ini, belum ada qanunmengenai ekonomi, sedangkan mengenai demokrasi sudah ada.Yang harus dilakukan oleh masyarakat melalui wakil-wakilnyaadalah menuntut hal tersebut [perumusan qanun-qanun bidangekonomi].
Kendati begitu, hingga kini belum terlalu jelas siapa yangmemegang kendali atas segala masalah ekonomi ini. Apalagi, secaratersirat, pemerintah pusat masih punya kepentingan terhadapsejumlah aset di Aceh. Berdasarkan hukum yang berlaku di Indo-nesia, aset-aset yang dibangun oleh proyek rekonstruksi BRR akantetap berada di bawah pengawasan Jakarta. Kebijakan ini lazimpula diterapkan di provinsi-provinsi lain. Misalnya, jalan tol diJakarta, yang juga adalah ibukota negara, terkadang tercatat sebagaiaset pemerintah pusat. Namun, pemerintah Aceh khawatir hukumtersebut digunakan Jakarta untuk mengekang mereka, dan ujung-ujungnya melanggar kesepakatan dalam MoU.
Sebagai contoh, pasal 1.3.5 MoU Helsinki menyatakan bahwa’Aceh melaksanakan pembangunan dan pengelolaan semuapelabuhan laut dan pelabuhan udara dalam wilayah Aceh’. Namun,pasal ini telah diterjemahkan sedemikian rupa dalam UUPA,
TRANSISI TAK BERBINGKAI?
468 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
sehingga malah jadi membingungkan. Selain itu, UUPA jelas-jelasmembatasi hak pembangunan dan pengelolaan. Menurut undang-undang, hak tersebut tak berlaku bagi pelabuhan maupun bandarudara yang dikelola langsung oleh pemerintah pusat, dan bukandikelola oleh BUMN. Tipe pelabuhan laut dan bandar udarasemacam ini jumlahnya sangat sedikit di Aceh. Hak tersebut jugatidak berlaku terhadap kawasan perdagangan bebas di Sabang,yang merepresentasikan wewenang dan kepentingan pemerintahpusat. Walikota Sabang, Munawar Liza, bekas aktivis GAM dananggota tim perunding GAM di Helsinki, mengaku merasa serbatak pasti menjalankan wewenangnya sebagai walikota, dalammengelola wilayahnya.
Siapa yang sebenarnya mengontrol pembangunan infra-struktur? Mengapa pembangunan itu tak pernah dibahasdengan kepala pemerintahan daerah di Sabang? Yang saya lihatadalah selalu militer yang sibuk membangun barak-barakbaru, markas militer dan pusat pelatihan baru, bandar udaramiliter baru, dan seterusnya.
Berbagai kesulitan dan ketidakpastian itu mungkin bisa diatasi,apabila pemerintah pusat segera memberlakukan PP dan perpresyang dibutuhkan, sesuai amanat UUPA.6 Apabila transfer we-wenang dari pemerintah pusat ke pemerintah Aceh diatur secararesmi melalui peraturan perundangan, maka sejumlah masalah akanterpecahkan. Misalnya, isu pengelolaan infrastruktur, sehinggapemerintah daerah akan memperoleh kekuasaan dan wewenangyang lebih luas dalam mengelola kawasan perdagangan bebas itu.
Karena itu, tak mengherankan, jika anggota legislatif Acehmempertanyakan tertunda-tundanya pengesahan peraturan yangdibutuhkan, serta komitmen pemerintah pusat dalam menyelesaikanpersoalan tersebut. Dalam sebuah artikel yang terbit pada 4 Desember2008 dalam suratkabar lokal, Serambi Indonesia, Gubernur Aceh
469
mengeluh bahwa tertundanya pengesahan peraturan-peraturan itutelah menghambat pembangunan ekonomi di Aceh.
Pemerintahan-sendiri dan UUPAApakah Aceh telah berhasil melaksanakan pemerintahan-
sendiri seperti yang diamanatkan MoU Helsinki? Bagaimanapendapat para aktor-aktor kunci di Aceh? Manakah yangseharusnya menjadi prioritas—masalah politik atau ekonomi?Menurut Irwandi, terdapat sejumlah kesenjangan antara MoU danUUPA. Contohnya, konsep pemerintahan-sendiri tidak disebut didalam UUPA. Irwandi mengatakan bahwa hingga saat ini, dirinyatelah meminta Jakarta untuk merevisi UUPA, dan menyarankanagar pelaksanaan UUPA seharusnya lebih mencerminkan semangatyang tercermin dalam MoU Helsinki. Namun, Irwandi menam-bahkan, kendati terus menerus terjadi perbedaan pendapat denganpemerintah pusat, pemerintah daerah tetap berkewajiban untuklebih memperhatikan upaya memperbaiki kesejahteraan rakyat:
Di tengah perjuangan [menuntut terlaksananya] self-governmentitu, tentu upaya mensejahterakan rakyat harus berjalan.Bagaimanapun, kesejahteraan rakyat perlu mendapatperhatian utama. Rakyat butuh makan. Perjuangan demokrasiakan lebih berkualitas kalau ekonomi rakyat juga lebih baik.Perjuangan membangun ekonomi dan perjuangan menuntutself-government adalah dua hal yang simultan.
Pendapat senada juga dikemukakan Nazar. Dia menjelaskanbahwa konsep pemerintahan-sendiri tidak ditemukan dalam hukumdi Indonesia. ‘Dalam sistem perundangan Indonesia yang ada hanyaotonomi khusus,’ kata dia. Karena itu, dia menyarankan agar Acehsebaiknya lebih fokus pada pelaksanaan UUPA melalui peraturandaerah, yaitu qanun. Peraturan-peraturan itulah yang belumdirumuskan oleh DPRA.7 Sementara itu, dia menambahkan,
TRANSISI TAK BERBINGKAI?
470 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
pemerintah harus lebih memperhatikan pembangunan ekonomi,karena, ’Demokrasi yang tumbuh dalam kondisi kemiskinan,kurang berkualitas, dibanding dengan demokrasi yang tumbuhdalam kemakmuran, seperti dalam masyarakat negara-negara majudi Eropa dan Amerika Serikat.’
Di sisi lain, para politisi di luar GAM menilai, upaya menuntutagar status pemerintahan-sendiri dilaksanakan sesuai denganmandat MoU, bisa mengancam perdamaian di Aceh. Masalahnya,menurut mereka, penandatanganan MoU tidak melibatkan semuastakeholder politik di Aceh, sehingga sebagian pihak merasa tidaksenang dan menganggap isu pemerintahan-sendiri hanya membelakepentingan GAM. Menurut seorang aktivis dari PAN, salah satupartai politik ’nasional’, tuntutan pelaksanaan pemerintahan-sendiri tidak realistis dan bisa saja memicu konflik baru denganpemerintah pusat dan militer. Dalam pandangan aktivis PAN itu,langkah terbaik adalah mencoba menerima UUPA, dan perlahanmelakukan revisi terhadap isinya, terutama ketika Pemilu 2009 telahusai. ’Menuntut pelaksanaan MoU secara murni sama saja denganmengundang perang baru,’ kata dia, ’saya lihat, GAM sekaranglebih rasional dan akhirnya bersedia memilih untuk memperbaikiUUPA, sehingga kelak pelan-pelan bisa memenuhi butir-butirkesepakatan utama dalam MoU.’
Pendapat serupa juga disampaikan Farhan Hamid dari PartaiBersatu Aceh (PBA) dan juga anggota PAN. Dia berpendapat,konsep pemerintahan-sendiri tak pernah diakomodasi oleh MoUHelsinki maupun UUPA. ’Ruang [untuk membahas konsep itu]dalam undang-undang belum terbuka,’ ungkap mantan anggotaDPR ini. Dia menambahkan, ‘Saya memandang, jika semuakewenangan yang ada dalam UUPA bisa diimplementasikan, justruakan kian mendekati konsep ‘self goverment’. [Alhasil, konsep itupun kelak akan] semakin mudah dipahami oleh politisi di Jakarta,baik di tingkat pusat/nasional. Sehingga, pada waktu gagasan self-
471
goverment diajukan lagi, tingkat penolakan akan berkurang.’Secara umum, publik juga merasa bingung dengan masalah
ini, karena tak semua pihak memahami tujuan MoU. MuhammadHamzah dari AJI mengkritik rendahnya upaya sosialiasasi isi dantujuan MoU di kalangan masyarakat Aceh:
Bentuk [pemerintahan-sendiri] yang diinginkan GAM, tidakpernah disosialisasikan kepada masyarakat Aceh. Jadi, seakan-akan GAM-lah yang menentukan arah kebijakan Aceh ini.Mereka yang merasa berjasa mendamaikan Aceh, mereka yangmerasa berjasa membawa perubahan pada Aceh. Karena itu,mereka juga lupa melakukan sosialisasi [konsep] self-govern-ment itu. Dalam masyarakat, seakan berkembang [pendapat]bahwa self-government itu adalah perjuangan para elit, bukanurusan grassroot. Makanya, jangan heran kalau orang [akhirnya]tidak peduli.
Namun, menurut Ramadhan, perjuangan menuntut pelaksa-naan pemerintahan-sendiri secara sungguh-sungguh adalahtanggung jawab para elit, dan bukan tanggung jawab rakyat. Selainitu, Ghufron Zainal Abidin dari PKS menganggap bahwa isupelaksanaan MoU lebih baik dihindari. Menurut dia, rakyat tidakpeduli pada isu-isu politik, khususnya yang menyangkut rincianpelaksanaan MoU. Pasalnya, mereka tetap dalam posisi tak berdaya,serta tak memiliki motivasi untuk terlibat dalam urusan politik,akibat kondisi ekonomi yang sulit. Pendapat senada jugadiungkapkan Muhammad Hamzah. Dia menjelaskan, ‘Rakyatmelupakan self-government, karena bagi mereka, yang paling pentingadalah perdamaian dan bisa mendapatkan kesejahteraan. RakyatAceh sudah bosan dengan konflik. Mereka butuh perbaikanekonomi.’
TRANSISI TAK BERBINGKAI?
472 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
Aspirasi masyarakat akar-rumputPara informan dari organisasi massa, yang juga berbicara dari
perspektif kepentingan rakyat, mengeluhkan tentang minimnyapartisipasi sungguh-sungguh dari masyarakat akar-rumput.’Banyak hal yang tak mungkin dipulihkan dengan pembangunanekonomi saja,’ kata Nazaruddin dari PERMATA, sebuah serikatpetani lokal. Dia menyarankan, pemerintah sebaiknya memfasilitasiruang yang cukup bagi gerakan masyarakat akar-rumput, sehinggamasyarakat akar-rumput dapat menemukan aspirasi mereka sendiri.’Pemerintah Aceh masih berpikir dengan cara yang sama, danmengira dengan membangun banyak irigasi maka persoalan petaniterselesaikan,’ keluh Nazaruddin.
Yang mengejutkan, para aktivis organisasi massa tidak meng-anggap pembangunan ekonomi sebagai prioritas. Mereka lebihmenitikberatkan perhatian pada tindak korupsi di dalam birokrasiserta hubungan simbiosis antara pelaku bisnis, politisi, dan birokratdalam mengendalikan program rekonstruksi dan peningkatan tarafhidup. Perilaku tersebut, menurut mereka, telah mengakibatkanrendahnya profesionalisme dalam pembangunan ekonomi daninfrastruktur. Padahal pembangunan ekonomi dan infrastruktursangat membutuhkan dukungan yang profesional. ‘Selama ini,yang terlihat, ketika satu kelompok mulai berkuasa di Aceh, semuaproyek di perkampungan harus mereka yang kerjakan, meskipunkadang kala mereka tidak mampu mengerjakannnya,’ tuturZainuddin, Ketua Keujren Blang8 di Kecamatan Lhoknga, Aceh Besar.‘Sebagian orang takut untuk mengungkapkan [masalah ini] karena[adanya] ancaman dan intimidasi.’
Suherman, Ketua Asosiasi Pedagang Ikan (ASPI) menyalahkanpemerintah, karena gagal menjamin transparansi dan tata kelolapemerintahan yang baik dalam pengelolaan proyek-proyekrekonstruksi dan pembangunan ekonomi lainnya. Dia secarakhusus menunjuk pada kegagalan skema pendanaan mikro-kredit
473
bagi para nelayan, yang juga dikenal sebagai kredit peumakmunanggroe. Dia mengklaim, para nelayan justru tak menerima kredittersebut. Sebaliknya, dana itu malah diberikan kepada individu-individu yang tak berhak. Yang menyedihkan, Suherman menga-takan, mayoritas penerima dana menggunakan uang tersebutuntuk membeli motor dan telepon genggam, dan bukan men-jadikannya sebagai modal awal untuk mendirikan usaha kecil.
Kerangka kerja yang demokratis bagi pembangunan ekonomiUntuk menemukan sintesis dari pembahasan di atas, penting
kiranya untuk menggali apa saja yang telah ditawarkan MoUHelsinki bagi masyarakat yang baru saja usai dilanda konflik dantsunami di Aceh. Terlepas dari keberhasilan Pilkada 2006 danantusiasme pendirian partai politik lokal, peran MoU dalammemperluas kerangka partisipasi politik yang lebih luas dan inklusifselama periode transisi ini, justru terabaikan. Sebagian informanberpendapat, perhatian yang terlalu besar terhadap pelaksanaanMoU secara murni dan sungguh-sungguh, hanya akan menonjol-kan aspek politik, dan menafikan pembangunan ekonomi. Informanlain mengkritik upaya tersebut semata-mata tuntutan GAM yang‘tidak realistis’ serta bisa mengancam perdamaian. Di satu sisi,pemerintah daerah memang berkewajiban untuk memenuhitugasnya dalam memfasilitasi pembangunan ekonomi. Sayangnya,pembangunan ekonomi di Aceh terlihat kurang demokratis, dantak ada yang transparan. Pasalnya, masih ada kelompok-ke-lompok—baik di kalangan birokrat, pelaku bisnis, maupun politisi—yang menggunakan jalur ‘koneksi’ atau mengandalkan patrondalam menggapai keuntungan ekonomi bagi diri sendiri. Korupsidan kolusi tetap bertahan, tapi masyarakat enggan melapor karenamengkhawatirkan keselamatan diri sendiri.
Situasi ini menyebabkan hilangnya rasa penghormatansebagian orang terhadap MoU dan segala hal yang merupakan
TRANSISI TAK BERBINGKAI?
474 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
pencerminan dari butir-butir kesepakatan di dalamnya. MoUHelsinki juga dianggap tidak relevan dalam mengatasi kesulitanekonomi yang dihadapi dewasa ini. Persoalannya, MoU Helsinkitidak menyediakan pedoman agar pembangunan ekonomi danpelaksanaan pemerintahan-sendiri dapat berjalan beriringan, dansaling melengkapi. Satu-satunya pedoman yang disajikan MoU bagiAceh sebagai daerah pasca konflik adalah perlunya keseimbanganantara pembangunan ekonomi, pelaksanaan demokrasi, tata kelolapemerintahan yang baik, serta penegakan hak asasi manusia.
Selain itu, Fajran Zain dari Aceh Institute mengingatkan,pelaksanaan status pemerintahan-sendiri secara murni dansungguh-sungguh, sesuai amanat MoU, sangatlah krusial. Sebabtransfer kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah Acehsangat dibutuhkan untuk menjamin perdamaian yang berkelan-jutan di Aceh. Dia merujuk pada kehadiran pos-pos militer dipedesaan Aceh ‘dalam beberapa bulan terakhir’.9 Menurut Fajran,situasi itu terjadi karena pemerintah Aceh tak berwenang untukmengatur militer dan penempatan pasukan, walaupun di dalamMoU jelas-jelas disebut bahwa kekuatan militer dibutuhkan hanyauntuk keperluan pertahanan eksternal10. Perkembangan semacamini juga menyiratkan perlunya upaya para aktor-aktor politik untukmemperluas kerangka pelaksanaan demokrasi, agar semakinterbuka dan inklusif. Jika upaya ini tidak dilaksanakan, maka masadepan demorkasi akan dipertanyakan, khususnya jika kekuatanatau aliansi yang tak demokratis mengambil alih tongkat kepe-mimpinan, dan memusnahkan harapan akan berlanjutnyaperdamaian dan pembangunan di Aceh.
Sebagai kesimpulan, dapat dikatakan bahwa para informanmenunjukkan sikap seolah-olah sedang kehilangan arah dalampengembangan kerangka pelaksanaan demokrasi. Sebagian informanbahkan tak lagi melihat esensi sesungguhnya dari nilai-nilai yangdemokratis di dalam MoU, dan menganggap pembangunan ekonomi
475
serta penegakan aspek-aspek politik, seperti demokrasi dan tata kelolapemerintahan yang baik, sebagai hal yang terpisah. Bagaimanapun,MoU adalah titik awal yang perlu dikembangkan menjadi kerangkakerja yang lebih demokratis, konkrit dan inklusif bagi kelompok-kelompok pro-demokrasi di Aceh.
Mengembangkan kerangka kerja yang demokratisBirokrasi
Setelah pembahasan tentang hubungan simbiosis antaraanggota legislatif, eksekutif, dan kepentingan bisnis, bagian ini akanmenjabarkan sejumlah solusi yang dikemukakan oleh parainforman untuk mengatasi masalah tersebut. Menurut GhazaliAbbas dari PAAS, ‘Yang terjadi di Indonesia, termasuk di Aceh,adalah campur-aduk pekerjaan. Anggota parlemen menjadi caloproyek di APBD.’ Di tengah situasi tersebut, dia menambahkan,tak mengherankan jika kemudian terjadi kerjasama tak sehat antarakontraktor, pimpinan proyek dan badan legislatif dalam pengesahanproyek-proyek pembangunan, terutama proyek pemerintah.
Karena itu, upaya preventif pemerintah untuk membatasiperilaku-perilaku tersebut, teramat krusial. Nasruddin Abubakar,Wakil Bupati Aceh Timur, dan pernah maju sebagai calonindependen, mengatakan bahwa inti dari masalah tersebut adalah’transparansi’. Menurut dia, prinsip tersebut harus diterapkandalam proyek-proyek pemerintah, melalui cara sebagai berikut:
Setiap proyek pemerintah seharusnya [melalui] tender secaraterbuka, diumumkan, serta disaksikan oleh semua pihak yangterlibat dengan tender itu. Agar semua orang tahu siapa yangmenang tender dan yang kalah tender. Ini adalah satu upayaagar anggota DPRA, polisi, jaksa dan lain-lain, tidak main proyek,karena mereka semua terlibat dengan proyek pembangunan diAceh selama ini. Padahal lembaga-lembaga seperti Kadin (KamarDagang dan Industri), Gapensi (Gabungan Pelaksana Nasional
TRANSISI TAK BERBINGKAI?
476 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
Konstruksi Indonesia) dan organisasi lain dalam bidangkonstruksi, yang seharusnya berfungsi dan terlibat, agarpembangunan bisa berjalan sesuai dengan peraturan dan tar-get yang dicapai.
Tapi, bagaimana dengan keterlibatan para bekas pejuang se-nior GAM dalam proyek-proyek rekonstruksi? Para informanmengakui bahwa keterlibatan kelompok tersebut bisa diper-tanyakan, terutama dalam proses perekrutan dan proses penawaran(bidding) proyek. ‘Semua orang tidak pernah dilarang menjadikontraktor dan mendapatkan proyek dari pemerintah,’ kataMuhibbusabri dari Partai Daulat Aceh (PDA). ‘Persoalannya,apakah selama ini [para] kontraktor, khususnya dari GAM,mendapatkan proyek sesuai dengan aturan atau tidak. Ini yangsekarang terjadi di Aceh,’ tuturnya.
Perilaku-perilaku tercela itu tentu tak sesuai dengan prinsipkompetisi yang adil. Bagaimana mencegah perilaku semacam itu dimasa depan? Thamren Ananda dari PRA menyebut dua aspek darisolusi masalah itu. Aspek pertama berkaitan dengan mekanismepartai politik dalam mengendalikan kader-kadernya:
Harus ada pemisahan antara pengurus partai dan anggotaDPRD. [Tujuannya] untuk memaksimalkan kontrol partaiterhadap kadernya di DPRD, sehingga anggota partai yangmenjadi anggota DPRD akan semakin maksimal dalammengerjakan tugasnya di DPRD, dan bukan malah menjadikontraktor.
Selain itu, Thamren menambahkan, ‘Harus didorong pula[upaya] membuka lapangan kerja, selain di bidang kontraktor, yangmampu menjawab persoalan kebutuhan hidup. Sehingga pekerjaanuntuk memenuhi kebutuhan hidup, tak hanya bisa diakses olehsebagian orang yang menjadi kontraktor dengan memanfaatkan
477
akses terhadap kekuasaan.’ Senada dengan penjelasan Thamren,Asiah Uzia mengatakan, ‘Selain bekerjasama dengan pebisinisprofesional, pemerintah juga harus memperkuat peran pebisnislokal. Selain itu, pemerintah juga perlu meningkatkan sumber dayapara politikus mantan kombatan, agar mereka tak lagi berbisnisdengan cara yang tidak baik.’
Peran donor asing dan organisasi internasionalTerlepas dari perdebatan tentang pembangunan ekonomi dan
pelaksanaan demokrasi sebagai prioritas, penuturan para informanmenunjukkan gambaran lain yang cukup menarik. Hanya sebagiankecil dari para informan yang secara khusus menyinggungmengenai isu-isu penegakan hak asasi manusia dan isu lain yangterkait. Salah satu persoalan yang kami angkat sebagai pertanyaandalam wawancara kami adalah minimnya kontribusi kalangandonor dan organisasi internasional dalam penegakan isu-isu sepertidemokrasi, tata kelola pemerintahan yang baik (good governance),transparansi, dan hak asasi manusia. Padahal kehadiran komunitasinternasional saat itu sungguh besar. Situasi itu, tentu saja, sangatironis, karena justru komunitas internasional yang kerap men-dengung-dengungkan isu-isu semacam itu.
Tanggapan atas pertanyaan itu sungguh beragam. BRR,misalnya, menyatakan bahwa lembaga-lembaga internasional itutelah memberi kontribusi signifikan bagi pengembangan demokrasi.Kuntoro mengungkapkan bahwa kalangan donor dan NGOinternasional telah mendanai dan/atau memfasilitasi sejumlah pro-gram capacity building dalam pelaksanaan pemerintahan, demokrasi,dan pembangunan ekonomi. Dia menjelaskan:
Saat ini, saya melihat, [tujuan] NGO atau donator yang datangke Aceh [awalnya] adalah memperbaiki Aceh pasca tsunami.Mereka disini tidak menggantikan pemerintah daerah. Tapi,pemerintah daerah harus sadar diri, [karena] saat ini mereka
TRANSISI TAK BERBINGKAI?
478 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
[lembaga-lembaga donor dan NGO Internasional] telahmembantu membangun Aceh dan meningkatkan kemampuanpemerintah dalam mengelola pemerintahan. ... Banyak lembagadonor saat ini yang melakukan pendidikan dan pelatihankepada semua pihak, termasuk [isu] demokrasi. Saya meng-amati, Irwandi sebagai seorang gubernur adalah seorang yangbersih. Sampai sekarang saya melihat dia masih sangat bersih.Tapi, dia mempunyai keterbatasan dalam mengelola rodaorganisasi agar berjalan sesuai dengan yang diinginkannya,[yakni] sebagai sebuah organisasi yang bersih.
Meski begitu, mayoritas informan sepakat bahwa lembaga-lembaga internasional dan kalangan donor memberi perhatian minimpada isu-isu tertentu, seperti penegakan demokrasi dan hak asasimanusia. Sebagian informan menyalahkan organisasi-organisasi dariluar itu, karena telah menghancurkan kearifan lokal dan nilai-nilaiyang dianut masyarakat Aceh. Kalangan donor juga dikritik karenamereka hanya fokus pada proyek masing-masing. Proyek-proyekitupun lebih menitikberatkan pada upaya rekonstruksi pasca tsunami,daripada berupaya meningkatkan good governance, demokrasi dan hakasasi manusia, serta bekerjasama dengan partner-partner lokal,khususnya pemerintah. Menurut Wiratmadinata dari Forum LSM:
Selama ini, program yang dibuat lembaga donor untukpenguatan kesadaran hukum dan HAM, serta demokrasi,hanya untuk jangka pendek. Padahal isu-isu tersebutmenyangkut kepentingan banyak orang. Donor juga tidak maumendukung lembaga-lembaga yang sebenarnya punyakonsentrasi ke arah itu. Donor cenderung suka membiayai pro-gram jangka pendek, yang hasilnya bisa dilihat dengan mata.Penguasaan masalah lokal juga kurang, karena umumnyalembaga donor yang menjalankan misi di Aceh menggunakanpendekatan ala Barat atau [boleh dibilang] westernisasi.
479
Keengganan kalangan donor internasional dalam mendukungprogram-program penguatan demokrasi juga tercermin dariminimnya pendanaan yang mereka berikan. Selain itu, program-program yang mendukung penguatan demokrasi, tata kelolapemerintahan yang baik, dan hak asasi manusia, kurang di-publikasikan dengan baik. Menurut Asiah Uzia, ‘Isu semacam itutidak dimunculkan karena ketakutan donor pada pemerintah.’
Asiah menjelaskan bahwa lembaga donor asing khawatirgerak mereka akan dibatasi pemerintah, jika mereka lebih fokuspada isu-isu hak asasi manusia dan demokrasi. Apalagi, diamenambahkan, banyak donor yang tidak menerima mandattersebut dari atasan mereka, karena tujuan awal mereka ke Acehadalah membantu pembangunan kembali Aceh pasca tsunami.Namun, Asiah juga mengakui bahwa ‘LSM lokal tidak berusahauntuk mendorong agar lembaga donor tersebut juga membantubidang hak asasi manusia dan demokrasi.’
Meski begitu, saat ini, sejumlah lembaga sedang mengubahmandatnya, agar dapat ikut serta membantu dalam bidang hakasasi manusia dan demokrasi. ‘Ada lembaga donor yang sedangmelakukan pendataan awal untuk melaksanakan program merekadi bidang demokrasi,’ tutur Asiah. Namun, di sisi lain, tampakjelas bahwa kapasitas lokal dalam mengangkat isu-isu semacamitu juga masih rendah. Di berbagai kasus, organisasi lokal terlihattidak gigih memperjuangkan isu-isu tersebut, atau kurangbersemangat menanggapi perubahan agenda oleh para donor.
Pokok permasalahannya, organisasi lokal telah terbiasa olehdana dari organisasi internasional dan kalangan donor, yangmembanjiri Aceh. Situasi tersebut tak hanya melumpuhkan idealismemereka, namun juga menghilangkan kemandirian dan kreativitasmereka. Para informan mengingatkan bahwa organisasi non-pemerintah lokal sebenarnya adalah perwujudan dari organisasimasyarakat sipil di tataran lokal. Tapi, belakangan organisasi-
TRANSISI TAK BERBINGKAI?
480 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
organisasi tersebut malah menjadi lahan industri baru, di mana paraaktivis mendulang dana melalui proyek-proyek yang dikendalikanpara donor. Karena itu, ‘Begitu beberapa organisasi mendapatdukungan keuangan, mereka mengkhianati rakyat dan bekerja untukkepentingan pribadi mereka,’ kata Suherman. Alhasil, rakyat punmenjadi manja dan mata duitan. Rakyat tak segan untuk memintauang dari organisasi-organisasi lokal, yang hanya berorientasiproyek, serta enggan menerima program-program lain.
Selain itu, hanya beberapa informan yang menyinggungpentingnya memiliki gerakan masyarakat akar-rumput. Gerakanakar-rumput ini akan berguna untuk mendirikan organisasi massa,yang bertujuan untuk menyuarakan aspirasi dan kebutuhan, yangbetul-betul diinginkan rakyat. Asiah Uzia memaparkan:
Saat ini, cukup banyak lembaga-lembaga yang bangkit dandibentuk oleh masyarakat, untuk mengubah suatu kebijakanpemerintah. Sayangnya, lembaga semacam itu tidak cukup kuatuntuk bertahan, dan tidak ada lembaga yang membantu.Bahkan mereka [organisasi-organisasi massa itu] dibiarkanbegitu saja oleh semua pihak. Sehingga, akhirnya seiringperjalanan waktu, lembaga tersebut mati dengan sendirinya.Situasinya mungkin akan berbeda, jika ada kelompok-kelompokkomunitas yang berkelanjutan, serta bisa digerakkan ataubergerak sendiri, ketika ada kebijakan yang tidak meng-utamakan rakyat. [Sayang], [gerakan semacam] ini jarangmuncul di Aceh.
Nazaruddin Thaha menyalahkan kalangan donor yang lebihpeduli untuk menghabiskan uang mereka, daripada menyetujuiprogram-program jangka panjang, yang bertujuan memperkuattata kelola pemerintahan di tingkat lokal, serta mengembangkanberagam organisasi massa lokal. ‘Lembaga donor memang sebaik-nya mendorong penguatan nilai-nilai lokal, serta mengangkat isu-isu tentang hak asasi manusia dan demokrasi dalam masa transisi
481
ini,’ kata dia. ’Dukungan donor semacam itu dibutuhkan, terutamauntuk menjamin pemerintah daerah dan organisasi massa di tingkatlokal agar dapat bersama-sama mempersiapkan diri, dalammemasuki era baru setelah periode transisi di Aceh.’
Peran penting organisasi massaKomentar Nazaruddin Thaha memicu pertanyaan penting
mengenai peran organisasi massa. Dari wawancara, kami temukanbahwa dukungan yang terbatas terhadap organisasi massa taksemata-semata disebabkan oleh program-program yang terlalumenuruti kemauan donor, dan hanya berorientasi proyek. Penyebablainnya adalah rendahnya optimisme dan kepercayaan diri dikalangan aktor-aktor politik kunci di Aceh. Sejumlah politisi danakademisi bersikap skeptis, bahkan memandang sebelah mataterhadap kemampuan rakyat kecil untuk membentuk suatuorganisasi massa yang berpengaruh, dan bisa menjadi saluranuntuk menyuarakan hak-hak mereka. Beberapa akademisi ber-pendapat, organisasi massa yang memiliki pengaruh semacam ituhanya bisa berdiri apabila institusi pendidikan telah sepenuhnyapulih. Menurut Rektor IAIN Ar-Raniry, Yusni Saby, ‘Membaiknyalembaga pendidikan bisa menciptakan masyarakat yang berilmupengetahuan dan berpengetahuan, serta bisa membantu saudara-saudara mereka yang lain.’
Ketua Partai SIRA mengajukan suatu pendekatan alternatifuntuk mengembangkan organisasi massa yang menjanjikan. Diaberpendapat, pendekatan sektoral, seperti pendirian gerakan buruhatau petani, telah gagal. ‘Pendekatan itu takkan berhasil,’ kataTaufik Abda. Menurut dia, cara yang lebih efektif dalam mengem-bangkan organisasi massa adalah melalui pendekatan teritorial.‘Pendekatan teritorial harus multisektoral, yang mengikutiadministrasi pemerintahan atau berdasarkan kesamaan latarbelakang kultural dan etnis, seperti kebudayaan dari pesisir timur,
TRANSISI TAK BERBINGKAI?
482 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
bagian tengah, bagian tenggara, kepulauan, dan lain-lain.’Pendekatan itu sukses diterapkan SIRA semasa konflik.
Wakil Gubernur Nazar yakin bahwa kunci organisasi massayang tangguh adalah ‘ketersediaan kader yang memiliki komitmendan berkualitas, memiliki komunikasi intensif dengan anggota danmassanya, dan terpenting memiliki sumber daya pendanaan daribawah, tanpa bergantung pada lembaga-lembaga donor.’ MenurutNazar, organisasi massa yang ada di Aceh gagal memenuhipersyaratan terakhir. ’Sebagian besar organisasi massa, sepertimasyarakat adat, perhimpunan petani, organisasi-organisasiperempuan, serikat buruh, dan pedagang-pedagang kecil, masihsangat bergantung pada sumberdaya pendanaan dari luar ataudonor’ tuturnya. Akibatnya, menurut Nazar, organisasi-organisasiitu sulit berjalan sesuai dengan visi mereka, dan konsisten denganideologi dan kepentingan yang setuju untuk mereka bela di awalpembentukan organisasi. Meski begitu, dia menambahkan,’organisasi massa berbasis agama, seperti Muhammadiyah, lebihkuat dibanding organisasi massa yang berideologi progresif.’
Gubernur Irwandi menunjukkan keyakinannya akankekuatan gerakan rakyat yang murni. Sebagai kandidat independen,Irwandi menyaksikan sendiri kekuatan dari gerakan masyarakatakar-rumput. Salah seorang kandidat independen dalam pemilihangubernur 2006 mengatakan, keberhasilan Irwandi terletak padadukungan dari jaringan GAM di level akar-rumput. Yang menarik,Irwandi justru lebih banyak berbicara tentang organisasi massaberbasis agama, daripada organisasi massa yang terbentuk dari kelasmasyarakat miskin. ’Kekuatan organisasi massa sekarang ini sudahtertata dengan baik,’ ungkap Irwandi, ’Lihat saja dengan maraknyakembali organisasi-organisasi ulama, seperti ulama dayah danorganisasi mahasiswa.’ Menyinggung mengenai gerakan perem-puan—yang tengah naik daun—Irwandi mengatakan, ’[Organisasimassa] yang paling menonjol adalah kebangkitan wanita Aceh.
483
[Padahal] ketika masa konflik organisasi ini terbelah dan terpisah-pisah.’ Di sisi lain, meskipun organisasi massa berbasis agamapernah kuat di Aceh, menurut Irwandi, kekuatan kepemimpinanulama di Aceh kini jauh melemah.
Pandangan yang menyatakan bahwa kekuatan gerakanperempuan selama ini terpecah-belah dan terpisah-pisah, masih bisadiperdebatkan. Namun, istilah ’kebangkitan’ bisa dijelaskan sepertiini. Perempuan selalu menjadi sasaran dalam konflik bersenjatadan peperangan. Kendati begitu, perempuan juga mengalamitransformasi terhadap peran dan status sosial mereka di masyarakatAceh yang patriarkis. Satu-satunya alasan yang melatarbelakangikebangkitan gerakan perempuan adalah di masa damai, perempuanperlu mempertahankan peran dan status sosialnya yang telahberubah di masa konflik itu. Perubahan status sosial dan peranperempuan di masyarakat itu terjadi, antara lain demi memper-tahankan hidup (survival) di tengah kondisi ekonomi yang sulit.
Akibat konflik, jumlah populasi perempuan kini melampauipopulasi laki-laki di Aceh. Kondisi ini membuat perempuan, sebagaikepala rumah tangga, juga harus menanggung tanggung jawablebih besar. Para perempuan itu, tak hanya harus menanggunghidup bagi anak-anaknya, tapi juga bagi keluarga besar mereka.Di sisi lain, solidaritas antar perempuan tampaknya turut men-dorong langkah-langkah untuk memperkuat identitas dan posisimereka di masyarakat, melalui cara-cara yang demokratis. Meskibegitu, situasi pasca konflik justru telah meminggirkan perempuandan menghalangi mereka untuk memasuki dan turut berpartisipasidi ruang-ruang publik. Pasalnya, kini para lelaki ingin mengem-balikan kondisi masyarakat seperti sebelum konflik. Para perem-puan pun sadar bahwa mereka juga perlu menyuarakan aspirasimereka. Karena itu, perempuan harus bisa berusaha agar tuntutandan suara mereka dapat terdengar lantang di domain publik.
Jadi, adakah gerakan yang murni tumbuh dari bawah, di Aceh?
TRANSISI TAK BERBINGKAI?
484 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
Fajran dari Aceh Institute berpendapat bahwa organisasi massabisa terbentuk jika terdapat tujuan yang sama pada tingkat akar-rumput. Menurut dia, satu-satunya contoh gerakan akar-rumputsemacam itu di Aceh adalah SIRA. Fajran memaparkan:
Organisasi kemasyarakatan akan mudah bangkit jika adanyakrisis, konflik, bencana dan lainnya. Namun, untuk saat ini,tidak ada satu organisasi masyarakat yang hidup dan berbasiskerakyatan. Dulu pernah ada, seperti SIRA, dan beberapalembaga lainnya. Tapi, kemudian yang kami sayangkan, SIRAakhirnya diubah menjadi partai politik.
Sejumlah akademisi senior yang lebih konservatif memilikipandangan yang berbeda. Menurut mereka, organisasi massa berbasisagama adalah contoh organisasi yang berhasil. Darni Daud dariUniversitas Syiah Kuala menyebut organisasi massa yang dibentukpara ulama pada 1950an, PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh).Darni Daud berpendapat, organisasi massa di Aceh yang sungguh-sungguh memperjuangkan aspirasi masyarakat bawah, pertama kalidimulai secara tradisional oleh para ulama. Sayangnya, kata dia,pertumbuhan organisasi semacam itu berhasil ditekan selama konflik.Walaupun pasca konflik organisasi-organisasi itu mulai tumbuhkembali, menurut Darni, ’Mereka telah terpengaruh dengan pola-pola NGO dan pengaruh modern yang lebih materialistis.’
Secara keseluruhan, minimnya organisasi massa yang men-janjikan di Aceh, disebabkan konflik berkepanjangan di propinsiini. Rakyat kemungkinan tidak familiar dengan metode peng-organisasian diri demi memperjuangkan hak-hak mereka. Pasalnya,di masa lalu, setiap upaya untuk mengumpulkan orang langsungdiberangus militer. Tak ada kebebasan berkumpul, berserikat danberorganisasi. Akibatnya mayoritas masyarakat Aceh menjadi pasifdan tidak antusias dengan segala bentuk gerakan akar-rumput.Sehingga akhirnya mereka pun kehilangan kemampuan untuk
485
mendirikan organisasi mereka sendiri. Menurut Thamren dari PRA:
Untuk mendorong terbentuknya organisasi rakyat yang kuatharus dimulai dari kesadaran terendah rakyat, yang kemudiandidorong menjadi lebih maju melalui pendidikan demokrasi,politik dan lain-lain, sehingga memiliki kesadaran dan visi yangkuat, serta konsisten, sehingga memiliki posisi tawar yang kuatpula dengan pemerintah.
Pendapat ini tampaknya bagus. Namun, berapa lama waktuyang dibutuhkan, hingga masyarakat dapat mencapai level ke-sadaran yang memadai, dan memiliki kepercayaan diri serta posisitawar-menawar yang kuat dengan pemerintah? Mungkin peme-rintah atau lembaga legislatif dapat mendukung upaya penguatanorganisasi-organisasi semacam itu. Menurut Nasruddin Abubakar:
Pemerintah terus berupaya mendorong organisasi masyarakatyang berbasis kerakyatan. [Caranya, antara lain dengan]mempersiapkan program capacity building, [baik] untukorganisasi [maupun] masyarakat umum. Sehingga masyarakatdapat menentukan pilihan hidup, mereka ingin jadi apa? Apamau [jadi] petani, pengusaha, pedagang, pegawai, dan lain-lain. Untuk itu, masyarakat harus dibekali dengankemampuan, dan diberi bantuan modal usaha, antara lainmelalui pemberian kredit yg dijamin oleh pemerintah.Pemerintah juga telah melakukan upaya peningkatan tarafhidup masyarakat bawah, dengan program partisipatifmasyarakat dalam membangun desa, [yakni] melaluipembentukan koperasi-koperasi, unit usaha masyarakat,kelompok tani, dagang, serta dibekali dengan training-traininguntuk meningkatkan kemampuan dan keterampilan.
Terlepas dari keragaman tanggapan para informan, patut dicatatbahwa mereka tak dapat mengidentifikasi tipe organisasi massa
TRANSISI TAK BERBINGKAI?
486 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
apakah yang cocok di Aceh, dan bagaimana seharusnya men-dukung organisasi massa yang punya masa depan menjanjikan.Sebagian informan juga enggan mengakui bahwa GAM dan SIRAdulu pernah menjadi gerakan akar-rumput, yang mampu memberiperlawanan gigih selama konflik.
Meski begitu, masih ada pihak yang percaya bahwa dukungandari masyarakat akar-rumut adalah aset tak ternilai untuk meme-nangkan pemilu. Partai Aceh (PA)—yakni partai yang mengklaimdiri sebagai perwakilan yang sah dari transformasi politik GAM—tampaknya termasuk mereka yang percaya. PA memfasilitasipembentukan organisasi massa berbasis agama, yang bernamaMajelis Ulama Nanggroe Aceh (MUNA). Organisasi ini terdiri daripara ulama dayah atau pesantren di pedesaan. ‘Mereka lembagaindependent,’ kata juru bicara PA, Adnan Beuransah, ‘GAM hanyasebagai inisiator saja.’
Namun, upaya fasilitasi organisasi massa oleh sebuah partaipolitik, yang sebelumnya adalah sebuah gerakan perlawananbersenjata, bisa saja membahayakan dan mengancam demokrasi.Terutama apabila tindakan tersebut diartikan sebagai upaya untukmengumpulkan dukungan dengan memanfaatkan strukturkomando militer yang lama. Organisasi massa akan lebih bermutu,jika dibentuk melalui aspirasi rakyat kecil, serta merupakan buahdari gerakan sosial yang tangguh—dan terbentuk oleh masyarakatsipil.
Pemilu 2009: akankah ramalan menjadi kenyataan?Yang akan menang dan kalah
Salah satu pertanyaan yang paling menarik dalam studi iniadalah ramalan para informan tentang Pemilu 2009, yang sudahdekat waktunya saat itu. Di tengah euforia politik, dengan enampartai politik lokal yang diberi lampu hijau untuk berkompetisidalam ajang pemilu ini, analisis dan prediksi para informan
487
sangatlah menarik untuk diamati. Sebagian besar informan yakinbahwa partai politik lokal akan mendominasi hasil pemilu. PartaiAceh diperkirakan akan memimpin perolehan suara, yang diikutioleh Partai SIRA di posisi kedua. Sedangkan posisi ketiga akandiperebutkan oleh PRA dan PDA.
Partai Aceh dan Partai SIRA diprediksi memiliki peluang terbesaruntuk memenangkan Pemilu 2009, karena kedua partai ini memilikijaringan akar-rumput yang teramat luas, terutama di desa-desaterpencil. Jaringan tersebut terbukti efektif pada Pilkada 2006, yangmengantarkan Irwandi dan Nazar ke tampuk kekuasaan. MenurutNazaruddin Thaha, partai politik pemenang pemilu setidaknya harusmemenuhi beberapa indikator, sebagai berikut:
Partai politik yang akan menang dalam pemilu 2009 adalahpartai yang dianggap paling memiliki sejarah heroik dalamperjuangan Aceh; partai yang paling banyak mengangkatsentimen nasionalisme Aceh; partai dengan calon-calonanggota legislatif dari orang-orang yang belum terlibat dalampartai politik nasional sebelumnya; serta partai yang palingbanyak memiliki tokoh-tokoh dari elit NGO dan organisasimassa sektoral.
Salah satu anggota partai politik ’nasional’ memperkirakan,Partai Aceh dan Partai SIRA akan menang, dan meraih sekitar 30persen suara. Menurut sumber ini, sekitar 15 persen suara akandibagi antara partai politik lokal lainnya. Selebihnya, sekitar 55persen suara akan dibagi-bagi di kalangan partai politik ’nasional’.Sumber tersebut juga berpendapat bahwa Aceh masih memerlukanperwakilan di lembaga legislatif tingkat nasional, yaitu DPR. Karenaitu, menurut dia, partai politik ’nasional’ akan lebih fokusberkompetisi untuk meraih kursi di Jakarta. Selain itu, sumber inimenambahkan bahwa rakyat Aceh kemungkinan akan mengubahkecenderungan mereka atas partai politik nasional. Jika sebelumnya
TRANSISI TAK BERBINGKAI?
488 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
rakyat Aceh cenderung memilih Partai Golkar, PPP, dan PAN, padaPemilu 2009, kemungkinan mereka akan lebih condong pada PartaiDemokrat. ’Orang Aceh lebih suka SBY yang jadi presiden,’ katasumber itu.
Nasruddin Abubakar memperkirakan bahwa dari partai-partaipolitik ‘nasional’, rakyat Aceh akan lebih memilih Partai Demokratdan Partai Golkar. ‘Karena kedua partai ini dipimpin oleh presidendan wakil presiden (Susilo Bambang Yudhoyono/SBY dan JusufKalla/JK) yang sangat mendukung penyelesaian konflik Aceh,melalui dialog dan perundingan. Sehingga hasil dialog itumenghasilkan komitmen bersama (MoU) untuk perdamaian abadidi Aceh,’ paparnya. Karena itu, dia mengklaim, rakyat Acehmenaruh harapan yang sangat besar kepada kedua tokoh tersebut.’Jangan sampai perdamaian yang telah diraih dengan pengorbananyang sangat besar itu, dihancurkan oleh orang-orang yang sangatbodoh, yang tidak mengerti dan memahami makna perdamaianitu,’ tutur Nasruddin.
Menilik peluang yang sangat bagus itu, tanggapan Partai Acehterhadap pertanyaan-pertanyaan dalam studi ini sangatlah penting.Adnan Beuransah, misalnya, sangat percaya diri bahwa partainyaakan memperoleh dukungan dari mayoritas rakyat Aceh. Diamenuturkan:
Kami sangat yakin, Insya Allah partai kami, Partai Aceh akanmemperoleh suara mayoritas. Itu bisa dilihat dari kenyataansekarang ini. Di kampung-kampung bisa kita lihat masyarakatmendukung PA. Itu sebabnya, kami yakin PA akan menang,karena PA adalah partai yang mendapat mandat dari pimpinanGAM. Semua tahu, GAM yang lebih kuat berjuang dalammeloloskan hadirnya partai lokal ini. Tanpa perjuangan kamidalam perundingan di Helsinki, partai lokal tidak akan hadirdi Aceh. Selain itu, PA adalah partai yang memberi warna lainbagi perpolitikan di Aceh. PA lahir dari sebuah gerakan revolusi
489
yang panjang. Sejarah telah mencatat bagaimana perjuanganGAM dalam menegakkan demokrasi di Aceh. GAM identikdengan Partai Aceh. Lihat saja bagaimana antusiasnya wargamenyambut kedatangan Wali Nanggroe beberapa waktu lalu.Massa yang mencapai ratusan ribu itu adalah pendukungpartai Aceh. Lantas, seberapa demokratiskah Partai Aceh? Sungguh
mengherankan, Adnan Beuransah justru menolak untuk menjawabdua dari pertanyaan terpenting dalam wawancara. Pertama,pertanyaan mengenai bagaimana partai mengatasi masalahpelaksanaan demokrasi internal partai politik, antara lain,transparansi dan keuangan partai. Kedua, pertanyaan mengenaiadanya pemberian keistimewaan pada kelompok-kelompok tertentu,yang berpotensi membahayakan demokrasi. Adnan Beuransah jugamenghindari pertanyaan mengenai tingkah para bekas pejuang danaktivis GAM, yang ternyata juga mengikuti perilaku korup dalambirokrasi. Dia beralasan, dia tidak kompeten untuk menjawabpertanyaan-pertanyaan tersebut. Adnan hanya menyatakan:
Saya tidak terlalu memahami isu ini. Saya tidak banyak terlibatdalam pemerintahan Irwandi. Karena itu, saya tidak bisamenjawab hal-hal yang terkait dalam pemerintahannya.Namun, yang jelas, beberapa orang dekat yang dulu terlibatdalam tim suksesnya [Irwandi], kini masih ada dalamlingkaran di sana di pemerintahan Aceh. Saya tidak tahu sejauhmana keterlibatan mereka dalam pmerintahan Irwandi. Biarrakyat yang memantaunya.
Dalam menanggapi pertanyaan mengenai hubungan simbiosisantara politisi, birokrat dan pelaku usaha, Adnan berjanji bahwa:
Untuk menghindari perilaku itu, kami, misalnya, ke depan, saatkader-kader Partai Aceh sudah berada DPRA atau di jabatan
TRANSISI TAK BERBINGKAI?
490 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
pemerintahan lainnya, kami akan mengharamkan bagi kaderkami bermain proyek. Kami memberi kesempatan seluas-luasnya kepada rakyat Aceh untuk memantau tindak-tandukwakil rakyat dari Partai Aceh. Soal mekanismenya, nanti akankita atur secara detil. Tapi yang jelas aturan itu akan memberikesempatan kepada rakyat untuk memantau kegiatan diparlemen. Semuanya biar lebih transparan.11
Dia juga berpendapat bahwa para anggota legislatif di daerahsebaiknya digaji dengan jumlah memadai, sehingga mereka tak lagiperlu berpartisipasi dalam proyek-proyek rekonstruksi. ‘Harusdiperhatikan juga gaji [anggota legislatif yang bakal terpilih nanti],’kata Adnan, ‘Mereka yang sekarang bermain proyek itu kan mencaripenghasilan tambahan. Jadi, ke depan, untuk menghindari itu,mungkin bisa dengan memberikan gaji yang cukup.’
Rakyat umumnya memang menunggu pernyataan semacamitu. Namun, rakyat Aceh juga ingin menguji partai politik lokalitu. ‘Rakyat Aceh ingin membuktikan apakah penjuangan mereka[Partai Aceh] selama ini benar-benar dilakukan untuk mense-jahterakan masyarakat, atau malah tidak jauh berbeda denganpartai lain,’ kata Suherman dari Asosiasi Pedagang Ikan.
Fakta menunjukkan, menjelang Pemilu 2009, banyak pihakmemprediksi bahwa Partai Aceh akan keluar sebagai pemenang.Tapi, proses kampanye dinodai oleh aksi kekerasan dan intimidasiyang ditujukan pada pendukung Partai Aceh. Akibatnya, limaanggota tewas terbunuh, dan masyarakat pun dihinggapi ketakut-an akan masa depan perdamaian bila pemilu usai kelak.
Di sisi lain, muncul pula kekhawatiran tentang kejujuranproses pemilu. Fajran Zain dari Aceh Institute mengungkapkankekhawatirannya bahwa aksi kekerasan akan mendominasi danmempengaruhi pelaksanaan demokrasi di Aceh, sebagai daerahpasca konflik. Menurut Fajran, bekas pejuang yang tidak ber-pengalaman akan mendominasi wajah birokrasi dan pemerintahan.
491
Alhasil, ‘agresi kepemimpinan’ bisa saja terjadi, ketika para bekaspejuang ‘menginginkan segalanya’, bahkan kalau perlu denganpaksa. ‘Pebisnis harus dia, birokrasi harus dia dan pejabatpemerintahan juga harus dia. Sekarang legislatif juga mau digarapoleh para [bekas] kombatan tersebut,’ paparnya. Dia juga khawatir,intimidasi dan kekerasan akan digunakan demi memperolehdominasi semacam itu. Terutama ketika para bekas pejuang/kombatan itu juga kurang memiliki keterampilan dan kemampuan,untuk meraih posisi tersebut secara jujur dan adil.
Untuk itu, Fajran menyarankan, Aceh perlu kekuatanpenyeimbang. ‘Kekuatan penyeimbang itu dibutuhkan untuk[mencegah dominasi] Partai Aceh, yang bisa membahayakandemokrasi Aceh dan proses perdamaian,’ urainya. Dia memper-kirakan, penyalahgunaan kekuasaan dapat dicegah jika hukum telahdiperkuat, dan masyarakat sipil tetap kuat dan solid. Kondisi inimungkin baru bisa tercapai dalam jangka waktu yang lebih lama.Yusni Saby dari IAIN Ar-Raniry mengatakan bahwa ’aturan main’antara partai politik lokal sangat tak sehat. ’Kualitas sumber dayamanusia [partai politik lokal] masih belum meyakinkan, dan [jumlahmereka yang berkualitas] belum banyak,’ kata dia menambahkan.
Politisi lokal lain juga menunjukkan kekhawatiran serupa.Menurut Thamren, semua partai politik lokal memiliki kesempatanyang sama untuk menang, ‘dengan catatan, semua partai tidakmenggunakan kekerasan atau praktik intimidasi dalam prosespemilu ke depan.’ Meski begitu, pada masa kampanye, PRAmelaporkan beberapa intimidasi yang mereka alami. Di sisi lain,Ghazali Abbas dari PAAS enggan meramalkan pemenang pemilu.Tapi, dia memiliki pendapat serupa mengenai dominasi partai yangdidukung GAM. Dia mengatakan:
Saya tidak mampu menjadi peramal politik. Saya bukan dukunpolitik. Kita hanya berkomitmen pemilu di Aceh berjalandengan demokratis dan beradab. Tidak ada politik preman dan
TRANSISI TAK BERBINGKAI?
492 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
politik cukong, karena tujuan dari partai politik adalahmencerdaskan masyarakat.Di sisi lain, walaupun harus berhadapan dengan Partai Aceh
yang didukung GAM, Partai SIRA tetap percaya diri. Partai iniakan memanfaatkan citranya sebagai gerakan pro-kemerdekaanyang anti kekerasan (seperti yang ditunjukkan SIRA ketika konflik),sebagai pendulang suara. Wakil Gubernur Nazar, yang juga KetuaMajelis Tinggi Partai SIRA, berpendapat:
Apabila pemilu berjalan secara fair, maka Partai SIRA akanmenang. Alasannya, pertama, hasil pemilu gubernur/wakilgubernur tahun 2006 dapat menjadi indikator dukunganrakyat Aceh terhadap calon dari Partai SIRA. Kedua, PartaiSIRA dan tokoh-tokohnya memiliki popularitas. Ketiga, politisi-politisi partai SIRA dikenal sebagai bagian dari elemen pejuangAceh, namun tidak pernah terlibat dalam kekerasan. Keempat,rakyat mengetahui sumber daya manusia di Partai SIRA lebihbagus. Yang terakhir, Partai SIRA memiliki simbol-simbol yangsudah menjadi brand dan dikenal luas oleh rakyat Aceh.
Secara keseluruhan, para informan optimistis bahwa rakyatAceh akan bersikap rasional dalam menggunakan suara mereka.’Orang Aceh tidak mau dipaksa-paksa terus. Kalau dipaksa merekaakan melawan,’ kata Darni Daud dari Universitas Syiah Kuala,’Saya yakin, yang menang adalah kebenaran. Kalau partai yangada tidak membawa kebenaran, maka yang menang adalahkebenaran itu sendiri.’
Kandidat independenIsu lain yang patut menjadi perhatian adalah manfaat dari
pengajuan kandidat independen dalam pemilu. Menurut Irwandi,individu yang maju sebagai calon kandidat, akan menemuikesulitan dalam pemilu bila tak didukung jaringan yang solid di
493
tingkat akar-rumput. Singkatnya, jika masih dimungkinkan,seorang kandidat independen pada pemilu 2009 mungkin takkanseberuntung Irwandi pada Pilkada 2006. Berkat dukungan yangluar biasa selama kampanye, Irwandi acap merujuk dirinya sebagai’gubernur rakyat’, dan memperkuat posisinya itu dengan takbergabung dengan partai politik mana pun. Namun, menjelangPemilu 2009, Irwandi belakangan mendukung Partai Aceh.
Yang menarik, tantangan yang dihadapi para kandidatindependen yang memenangkan pemilihan sungguh besar. WakilBupati Aceh Timur Nasruddin Abubakar menjelaskan, kandidatindependen pemenang pilkada kesulitan untuk beradaptasi dengansistem di dalam birokrasi. Tak satupun dari mereka yang berhasilmenjadikan reformasi birokrasi sebagai prioritas utama. MenurutNasruddin:
Kendala yang dihadapi para kandidat independen baik diprovinsi, kabupaten/kota adalah terjadinya miskomunikasiatau kurang harmoninya eksekutif dengan legislatif. Akibatnya,terjadi tarik menarik kepentingan dalam penyusunan anggarandan penentuan arah pembangunan. Selain itu, gubernur/wakilgubernur, bupati/walikota yang terpilih dari kandidat inde-pendent tidak ada perwakilan partai politik di legislatif. Alhasil,visi dan misi tidak seiring dengan partai-partai nasional yangdi legislatif. Selain itu, ada kendala lain. Sistem politik sudahberubah, undang-undang sudah berubah, peraturan sudahberubah. Tapi, karyawan dan pejabat, baik dari eselon 2 hinggaeselon 4 masih orang-orang lama, yang sudah sangat mapandan nyaman dengan pola lama, sistem lama. Karena itu, kamiperlu waktu untuk menyesuaikan kembali dan perlu up-grad-ing ulang orang-orang tersebut.
Walikota Sabang Munawar Liza mengungkapkan keluhanserupa dalam workshop pada November 2008. Dia mengungkapkan,legislatif dan eksekutif cenderung tak mau bekerjasama, bahkan
TRANSISI TAK BERBINGKAI?
494 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
berusaha mensabotasi program-program dan proposal yangdiajukan. ‘Seolah-olah mereka senang, jika melihat orang lainmenderita,’ kata Munawar Liza. Selain itu, dia juga mengakuibahwa dirinya pun menemui kesulitan ketika berhadapan denganlegislatif. Bekas aktivis GAM ini pun mengungkapkan penga-lamannya ketika dia harus memperoleh persetujuan dari legislatifatas laporan anggaran tahunan. ‘Mengapa mereka harus me-nunggu hingga sehari sebelum tenggat waktu habis, untuk pergiinspeksi ke lapangan. Padahal ujung-ujungnya mereka kemudianmenolak laporan tersebut,’ keluhnya, ‘bukankah seharusnyamereka melakukannya lebih awal, sehingga eksekutif masih sempatuntuk mengatasi permasalahan-permasalahan yang ada?’
Frustasi yang dialami para kandidat independen itu justrumenimbulkan sikap politik yang pragmatis menjelang Pemilu 2009.Beberapa minggu sebelum pemilu, misalnya, Irwandi akhirnyaberekonsiliasi dengan anggota GAM yang konservatif, dan secaraterbuka mendukung Partai Aceh. Irwandi pun menjadi salah satujuru kampanye paling vokal. Tindakan tersebut menunjukkanupaya Irwandi menyelamatkan jabatannya sebagai gubernur, yangketika itu tinggal tiga tahun lagi. Perkembangan politik itumenyebabkan hasil pemilu semakin sulit untuk diprediksi. Secarakeseluruhan, transisi tak berbingkai di Aceh telah menjebak paraaktor politik ke dalam perilaku politik yang pragmatis. Perilakutersebut dapat menganggu upaya untuk memperluas kerangkakerja yang demokratis di Aceh. Kami akan kembali membahas hasilpemilu dalam post-script di Bab 9.
Perlunya partisipasi berdimensi kerakyatanSebagian informan barangkali telah salah paham terhadap
pentingnya representasi aspirasi rakyat dari bawah. Berdasarkanprediksi mereka tentang partai yang akan menang dan kalah padaPemilu 2009, sebagian besar mengklaim bahwa partai politik lokal
495
akan mendominasi: Partai Aceh akan memenangkan mayoritaskursi, dan diikuti oleh Partai SIRA. Alasan yang melatarbelakangiprediksi tersebut adalah popularitas partai-partai politik lokal itu,serta betapa luasnya jaringan mereka di level akar-rumput. Jawabanini menunjukkan bahwa jaringan di tingkat akar-rumput memilikikekuatan signifikan untuk mempengaruhi hasil pemilu.
Namun, banyak informan yang tampaknya menganggapremeh potensi dari partisipasi organisasi massa. Padahal peranorganisasi massa bisa sangat berharga, misalnya, jika merekamemperoleh kesempatan untuk merancang dan mengawasianggaran lokal. Namun, agar bisa melakukannya, setiap anggotaorganisasi massa perlu menguasai kemampuan dasar, sertapengetahuan tentang merancang anggaran partisipatoris. Tentusaja, seperti halnya eksperimen yang sukses di negara-negara lain,perlu diadakan pelatihan bagi para anggota organisasi massa untukkegiatan tersebut.
Meski begitu, masih ada sejumlah kecil aktor di Aceh yangmerasa inisiatif semacam itu akan berguna untuk mengatas konflikiatau menyelesaikan persoalan-persoalan berkaitan dengan tatakelola pemerintahan dan birokrasi pemerintah. Sikap itu tercermindari jawaban mereka terhadap beberapa pertanyaan, antara lain,apa yang harus dilakukan untuk memberantas korupsi dan men-dorong pemerintah yang lebih transparan dan bersih? Bagaimanamendorong pelaksanaan demokrasi dan mengatasi hubungansimbiosis antara pelaku bisnis, politisi dan birokrat? Bagaimanamencegah berlangsungnya pola-pola patron-klien, favoritisme, danklientelisme dalam birokrasi? Sebagian besar informan menjawab,tantangan-tantangan tersebut harus diatasi melalui penegakanhukum dan peraturan-peraturan yang tegas. Hanya sebagian kecilinforman yang menyebut perlunya pengawasan publik, partisipasirakyat dan sebagainya.
Irwandi, contohnya, mendukung gagasan perlunya kontrol
TRANSISI TAK BERBINGKAI?
496 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
publik. Sedangkan Dawan Gayo, yang bekerja di BRA, berpendapatbahwa masyarakat sipil sebaiknya bekerja bersama-sama untukmengawasi lembaga-lembaga demokrasi, seperti eksekutif danlegislatif. ‘Ketika masyarakat telah bersatu, maka mereka akan kuatuntuk mendesak pemerintah, apabila janji pemerintah belumterealisasi.’ Dawan memberi contoh pengalaman Bupati BenerMeriah, Aceh Tengah. Bupati itu gagal memenuhi janjinya apabilaterpilih, yakni pemerintah akan memperbaiki jalan. Selain gagalmemperbaiki jalan, anggaran juga mengalami defisit hingga 30persen. ‘Masyarakat sudah bisa menilai pemimpin mereka, dankarena itu, ke depan dia tidak akan dipilih lagi oleh masyarakat,’tutur Dawan Gayo.
Di sisi lain, Kuntoro berpendapat, upaya untuk mendorongrakyat mengawasi anggaran belanja daerah adalah langkah yangpenting:
Masyarakat harus mulai mengawasi bagaimana alokasianggaran untuk setiap sektor. Gubernur pernah mengatakan,pemerintah [yang] sekarang [berjanji] untuk memakmurkanmasyarakat. Kita lihat berapa persen alokasi untuk pendidikan,berapa persen untuk kesehatan. Setelah itu, kita kawal DPRAbagaimana pelaksanaannya, bagaimana kontraktornya,bagaimana laporannya. Ini semua harus diawasi dengan ketatoleh masyarakat.
Sayangnya, sebagian besar informan tak mampu menge-laborasi bagaimana partisipasi rakyat dapat ditingkatkan dandipertahankan. Salah satu informan dari sebuah partai politik‘nasional’ mengatakan, dia cukup paham tentang perencanaananggaran, baik di tingkat nasional maupun daerah, karena pernahmenyandang jabatan publik:
Kami telah melaksanakan pelatihan internal bagi calon anggotalegislatif dari partai kami. Pelatihan itu mengajarkan peserta
497
bagaimana mengkaji perencanaan anggaran dan laporankeuangan lainnya. Saya juga memberikan pelatihan bagi kader-kader partai politik lokal dan calon anggota legislatif lainnya.Saya tidak merasa terancam dengan pelatihan semacam itu.Sebaliknya, pelatihan itu bisa menguntungkan bagi saya dikemudian hari. Saya bisa saja memperoleh dukungan dansimpati, karena saya juga maju calon legislatif, untuk meraihkursi di tingkat nasional, ha...ha...ha...
Secara keseluruhan, para informan tidak mampu meng-identifikasi sumber kekuasaan alternatif, yang dapat membantumemecahkan persoalan-persoalan yang ada. Di satu sisi, merekamengakui bahwa masyarakat akar-rumput memiliki potensi yangsignifikan. Namun, di sisi lain, tampaknya mereka sengajamenghindari upaya untuk menumbuhkembangkan potensi-potensitersebut, sebagai salah satu pilar demokrasi. Singkatnya, merekatetap percaya bahwa penggunaan kekuasaan formal melaluilembaga legislatif dan eksekutif saja, akan mampu menawarkansolusi yang efektif bagi setiap persoalan dalam demokrasi. Kendatibegitu, kekuasaan itu acap kali akhrinya digunakan untuk meng-amankan posisi dan kepentingan pribadi daripada dimanfaatkanuntuk mengembangkan saluran alternatif bagi pola-pola partisipasidan gerakan rakyat yang demokratis.
Lantas, bagaimana permasalahan yang dihadapi antarapemerintah Aceh dan pemerintah pusat di Jakarta? Seperti yangtelah dikemukakan di atas, ketegangan sempat terjadi. Perasaanfrustasi pun melanda pemerintahan yang baru terpilih di Aceh.Padahal mereka ingin mengendalikan pemerintahan mereka danmemiliki kebebasan untuk memutuskan hal-hal yang terbaik bagirakyat Aceh, dan bukan demi kepentingan kelompok tertentu dariluar. Namun, mereka tampaknya juga tak mampu meyakinkanrakyatnya sendiri bahwa keputusan-keputusan pemerintah adalahsemata-mata demi kebaikan Aceh, atau menjelaskan tujuan dari
TRANSISI TAK BERBINGKAI?
498 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
kebijakan mereka. Alhasil, pembangunan ekonomi pun melambat,dan upaya penegakan pemerintahan-sendiri yang demokratis punsemakin sulit dilakukan. Situasi semacam ini berpotensi membukapeluang bagi upaya untuk ‘menciptakan perdamaian yang menuailaba/profit’ (profitable peace), seperti yang telah dibahas pada Bab 4.
Demi mengatasi masalah ini, pimpinan di pemerintahandiharapkan bisa sadar bahwa membuka ruang politik dan peluangbagi sumber kekuasaan alternatif yang lebih luas, dapat menye-diakan jawaban atas berbagai hambatan yang ada—sekaligus pulamenjadi salah satu upaya resolusi konflik. Mendorong lebih banyakpartisipasi dalam perencanaan dan penyusunan anggaran dapatmembangun hubungan yang lebih saling memahami dan setaraantara pemerintah dan publik.
Untuk itu, perlu ada upaya untuk mengembangkan kerangkademokratisasi. Caranya, tak hanya melalui pengorganisasian ulanggerakan pro-demokrasi di Aceh, tapi juga mendorong gerakan akar-rumput agar bisa menjadi partisipasi kerakyatan yang menjanjikan.Kerangka pelaksanaan demokrasi semacam itu diharapkan mampumenjadi pedoman bagi pendirian organisasi massa, yang terbentuksebagai pencerminan aspirasi masyarakat di level bawah, serta terlibatdalam pembangunan yang partisipatoris atau berdimensi kerakyatan.Tentu saja, agar harapan itu bisa tercapai, sejumlah kondisi perlutercipta terlebih dulu. Kondisi-kondisi yang dibutuhkan, antara lain,upaya fasilitasi oleh pemerintah untuk mengatur kelembagaansedemikian rupa, sehingga membuka peluang bagi partisipasi yangdemokratis—di luar pelaksanaan pemilu. Kondisi tersebut jugatergantung pada proses-proses tertentu, yang perlu dikaji lebihmendalam, agar dapat ditemukan formula yang paling tepat bagi rakyatAceh, serta bagi perdamaian dan pelaksanaan demokrasi.
499
Kesimpulan dan RekomendasiSebagai kesimpulan, periode transisi di Aceh dapat di-
kategorikan sebagai periode transisi yang ‘tak berbingkai’, baikdalam artian tak memiliki bingkai waktu yang jelas (termasuk jugakapan periode itu dimulai), pada tataran konkrit maupun paratingkat gagasan. Maupun dalam konteks bahwa periode transisijuga (tak) memiliki tujuan dan cita-cita yang pasti dan disepakatibersama, seperti yang ditunjukkan oleh adanya tarik-menarik antarapembangunan politik dan pembangunan ekonomi. Yang meng-herankan, tak satu pun informan mampu menyebutkan kerangkawaktu dan tujuan dari periode transisi. Kendati semua informanmengakui bahwa periode transisi tengah berlangsung, sejumlahkasus menunjukkan bahwa para aktor politik berpura-pura takmelihat, atau bahkan memaklumi, berbagai tingkah polah yangtak demokratis di dalam birokrasi, partai politik, proyek-proyekrekonstruksi. Rendahnya pengetahuan dan pemahaman tentangperiode transisi itu, menimbulkan pertanyaan, seberapa jauhkahpedoman yang telah disajikan MoU Helsinki, dapat digunakanuntuk lebih mengembangkan kerangka pelaksanaan demokratisasi?
Jawabannya terletak pada sikap para informan yang tidak lagimemedulikan MoU, karena, menurut mereka, berbagai hal di dalamkesepakatan perdamaian itu tak lagi relevan, dan proses trans-formasi politik telah tuntas dijalankan dengan sukses. Selain itu,sebagian informan juga mengkritik bahwa MoU hanya melayanikepentingan kelompok tertentu, yaitu GAM. Di sisi lain, pemerintahAceh mengklaim bahwa pemerintah pusat telah mempersulitpelaksanaan pemerintahan-sendiri yang murni dan sesuai denganamanat MoU. Sebagian besar informan juga sependapat bahwakerangka pelaksanaan demokrasi harus diperluas untuk meng-arahkan aspek-aspek ekonomi. Namun, para aktor politik ini nyaristak berminat atau tak bisa melihat betapa pentingnya mendorongperan organisasi massa, khususnya yang mewakili aspirasi rakyat
TRANSISI TAK BERBINGKAI?
500 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
kecil, sebagai sumber kekuasaan alternatif dalam menyelesaikankonflik dan mengatasi persoalan-persoalan lainnya.
Kendati begitu, hal yang terpenting adalah sebagian besarinforman mengungkapkan perlunya tujuan dan pemahamanbersama, demi memperbaiki demokrasi. Upaya ini tentu perlu dikajilebih mendalam, karena demos, rakyat Aceh, lebih dulu perlu bersatuagar bisa maju bersama-sama dalam meraih cita-cita.
Singkat kata, upaya untuk lebih mengembangkan demokrasisangat dibutuhkan. Karena itu, perlu dianalisis dan ditentukanpula tujuan dan metode yang dibutuhkan secara spesifik. Tanpaupaya ini, masa depan perdamaian dan demokrasi di Aceh bisaterancam, karena transisi pun akhirnya tak memiliki bingkai. Untukitu, kami merekomendasikan studi lanjutan, khususnya mengenaiisu mendorong munculnya aspirasi dari bawah.
Sebagai penutup, perlu diingat, Aceh telah mengalami berbagaihal sejak bab ini disusun pada akhir 2008 dan awal 2009. Setelahpelaksanaan Pemilu 2009, konstelasi politik di Aceh telah berkembangsedemikian rupa, sehingga sedikit-banyak berpengaruh padapelaksanaan pemilihan kepala daerah pada 2011. Perkembanganterakhir dan analisis terhadap berbagai perubahan di Aceh, menjelangpenerbitan edisi ini, dibahas dalam bagian post-script, yang disajikansebagai penutup buku ini.
501
(Catatan Akhir)1 The Aceh Participatory Research Team ditugaskan untuk menunaikan
penelitian ini secara independen oleh Profesor Olle Törnquist,sebagai salah satu pimpinan proyek penelitian, yang didanai Nor-wegian Research Council, dan mengkaji tentang peran demokrasidi wilayah pasca tsunami sebagai salah satu upaya peacebuildingdi Srilanka dan Aceh (lihat Kata Pengantar buku ini). Anggota timini adalah: Affan Ramli, Dara Meutia Uning, Murizal Hamzah,Shadia Marhaban (Koordinator). Pada permulaan riset ini,Achmady Meuraksa turut serta dalam melakukan beberapawawancara. Pembimbing: Olle Törnquist.
2 Selama wawancara, semua informan menyebut anggota KPA—komite yang bertanggung jawab dalam transisi para bekaspejuang GAM—sebagai ‘GAM’. Demi mempertahankan ekspresimereka, singkatan ini (GAM) akan terus digunakan dalam bab ini:‘GAM’ merujuk pada anggota atau pendukung dari gerakanbersenjata Aceh di masa lalu (Gerakan Aceh Merdeka/GAM), yangsekarang telah berubah menjadi KPA (Komite Peralihan Aceh)pasca penandatanganan perjanjian damai di Helsinki. Selain itu,SIRA—tanpa label partai yang mengikutinya, merujuk pada SuaraIndependen Rakyat Aceh, gerakan yang pernah menuntutpelaksanaan referendum untuk kemerdekaan pada 1998.
3 Mereka yang diwawancara adalah Gubernur Irwandi Jusuf, WakilGubernur Muhammad Nazar, Wakil Bupati Aceh Timur NasruddinAbubakar, Ketua BRR Aceh-Nias Kuntoro Mangkusubroto, DawanGayo (Badan Reintegrasi Aceh/BRA), Ghufron Zainal Abidin(Partai Keadilan Sejahtera/PKS), Thamren Ananda (Partai RakyatAceh/PRA), Adnan Beuransah (Partai Aceh/ PA), Taufik Abda(Partai SIRA), Ghazali Abbas (Partai Aceh Aman Seujahtera/PAAS), Farhan Hamid (Partai Bersatu Aceh Bersatu/PBA),Muhibbusabri (Partai Daulat Aceh/PDA), Nazaruddin Thaha(PERMATA), Suherman (Ketua Asosiasi Pedagang Ikan/ASPI),Zainuddin (Ketua Keujreun Blang, Kecamatan Lhoknga, KabupatenAceh Besar), Wiratmadinata (Forum LSM), Asiah Uzia (aktivisperempuan/mantan Koordinator KontraS Aceh), Raihana Diani,Ramadhan (Pemimpin Redaksi Rajapost), Muhammad Hamzah
TRANSISI TAK BERBINGKAI?
502 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
(Ketua AJI Banda Aceh), Fajran Zain (Analysis Manager Aceh Insti-tute), Yusni Saby (Rektor IAIN Ar-Raniry), Darni Daud (RektorUniversitas Syiah Kuala). Selain itu, terdapat pula sejumlahmantan pejabat publik yang kini aktif dalam partai politik nasionallain, yang tidak mau namanya disebutkan.
4 Menjelang Pemilu 2009, Irwandi mengubah posisinya itu, danberbalik mendukung Partai Aceh dukungan GAM.
5 Menurut aturan dalam UUPA, qanun setara dengan peraturandaerah. Qanun ini diterjemahkan oleh kalangan GAM dan pihak-pihak lainnya sebagai instrumen peraturan yang terlepas atauindependen dari aturan hukum lainnya, dan hanya semata-matabertalian dengan UUPA.
6 Pada saat buku ini akan dicetak, peraturan pemerintah yangmengatur transfer kewenangan dari pemerintah pusat kepadabadan pengelola pelabuhan bebas Sabang masih pada tahappembahasan dan perumusan.
7 DPRA atau Dewan Perwakilan Rakyat Aceh adalah lembagalegislatif tingkat propinsi, yang lazim dikenal dengan sebutan DPRD(Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) Propinsi di daerah lainnya diIndonesia. Dulu nama yang dikenal adalah DPRD Aceh, sebelumakhirnya diubah oleh UUPA, mengikuti mandat MoU Helsinki.
8 Keujreun Blang adalah organisasi yang pengelolaan sawah, yaknipembagian air, waktu bagi para petani untuk turun ke sawah,dan lain-lain. Lembaga lokal ini sudah eksis sejak zaman SultanIskandar Muda.
9 Melalui kesepakatan damai, jumlah pasukan organik di Aceh telahberkurang, dan pos-pos militer pun ditiadakan. Kehadiran militerhingga tingkat pedesaan merupakan strategi utama rezim OrdeBaru dalam upaya kontrol teritorial di Indonesia, terutama didaerah-daerah konflik. Munculnya kembali pos-pos militersemacam itu menimbulkan kekhawatiran baru akan kehadirankembali kebijakan lama.
10 UUPA tidak mengatur pembedaan tersebut.11 Pada saat buku ini akan naik cetak, sepanjang pengetahuan penulis,
hanya sedikit upaya atau belum ada upaya sama sekali untukmewujudkan janji tersebut.
503
HHHHHILANGILANGILANGILANGILANG A A A A ARAHRAHRAHRAHRAH DALAMDALAMDALAMDALAMDALAM T T T T TRANSISIRANSISIRANSISIRANSISIRANSISI,,,,,KKKKKALAHALAHALAHALAHALAH DALAMDALAMDALAMDALAMDALAM P P P P PEMILUEMILUEMILUEMILUEMILU
Dara Meutia Uning bersama Olle Törnquistdan the post script analysis team 1
9
i PendahuluanHiruk pikuk perayaan setelah pemilu dan pemilihanpresiden berangsur-angsur mereda, dan pada saat babini disusun pada akhir 2009, situasi di Aceh kembali
normal. Seiring dengan persiapan pelantikan anggota legislatifbaru, kegembiraan dan eforia politik perlahan meredup. Namun,hasil pemilu akan berdampak serius, terutama bagi partai politikyang kalah dalam pertarungan tersebut. Yang menjadi perhatianutama, apakah pemilu telah menyediakan partisipasi rakyat yangcukup kuat, serta menghasilkan perwakilan dari kelompok-kelompok utama dalam masyarakat, demi upaya fasilitasi prosesdemokratisasi lebih lanjut. Masihkah mungkin untuk memper-tahankan langkah-langkah penting, yang telah dilakukansebelumnya, demi upaya menjalankan demokrasi yang bermakna?
504 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
Apa yang sebenarnya isi benak rakyat terhadap hasil pemilu danapakah harapan mereka saat ini? Mampukah partai politik lokalyang kalah dalam pemilu, bangkit kembali? Apakah anggotalegislatif yang baru terpilih akan mendukung terbentuknya tatakelola pemerintahan yang akuntabel dan transparan di Aceh?
Kami telah membahas persoalan-persoalan ini dengan aktor-aktor politik kunci dan para ahli demokrasi di Aceh. Pembahasanpertama kami lakukan pasca pemilihan anggota legislatif. Dan tahapkedua dilakukan setelah pemilihan presiden. Sebagian aktor yangkami datangi, juga pernah turut berpartisipasi dalam survei kamitentang masalah-masalah utama dalam demokrasi, yang tertuangdi Bab 8. Kali ini, banyak informan yang enggan meluangkanwaktu untuk berdiskusi dan sebagian lainnya sama sekali tidakmenanggapi undangan kami. Gubernur Irwandi dan WakilGubernur Muhammad Nazar, yang sebelumnya berpartisipasidalam riset kami, tidak memberi tanggapan apapun. Kami jugamenghubungi bupati dan walikota dukungan GAM/SIRA, tapi kaliini mereka juga tidak memberi tanggapan. Rendahnya minat dankomitmen untuk membangun diskursus publik yang demokratisitu, sungguh menyedihkan. Untuk memperkaya riset kami,sejumlah diskusi kelompok informal dilaksanakan pada Agustusdan November 2009 di Banda Aceh. Diskusi tersebut bertujuanuntuk menganalisis hasil pemilu dan memperdebatkan masa depandemokrasi di Aceh.
Pada saat bab ini ditulis, para pemenang terlihat mabuk olehkemenangan, sedangkan mereka yang kalah tampak kehilangansemangat. Kelompok yang kalah itu bahkan tak mampu berbicarabanyak karena besarnya kekecewaan yang mereka rasakan. Di sisilain, beberapa informan membentak-bentak kami ketika wawancara,tanpa alasan jelas. Mungkin mereka merasa telah berkuasa, dan,mungkin juga, mereka merasa terancam oleh ketatnya persainganantar kandidat unggulan pemilihan presiden di Aceh, yakni antara
505
Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla.Bab ini akan membahas hasil pemilu 2009 di Aceh, dan
dampaknya terhadap proses demokratisasi lebih lanjut di propinsiini, yang telah sedikit-banyak menjalankan sistem pemerintahan-sendiri. Tulisan ini adalah sebuah analisis dari semua kejadian yangdilewati dalam perjalanan panjang membangun dan memeliharagelombang baru demokrasi. Namun, bab ini juga berupaya untukmembahas secara kritis apa yang terjadi di Aceh di masa mendatang.Adakah masa depan bagi kerangka kerja yang demokratis dan lebihluas, dan yang menjamin keberlanjutan perdamaian dan prosesrekonstruksi di Aceh? Ataukah demokrasi di Aceh justru mengalamikemunduran?
Partai Aceh dan Partai Demokrat: Aksi sapu bersih sangpemenangHasil pemilu yang melampaui prakiraan
Seperti yang telah diprediksi, Partai Aceh (PA) memenangkanPemilu 2009 di tingkat daerah. Namun, yang paling mengejutkandari hasil pemilu itu adalah besarnya kesenjangan perolehan suaraantara Partai Aceh dan partai politik lokal lain, yang jauh tertinggaldi belakang. Pada akhir perhitungan suara, Partai Acehmemenangkan 33 kursi dari 69 kursi di DPRA (Dewan PerwakilanRakyat Aceh).
HILANG ARAH DALAM TRANSISI, KALAH DALAM PEMILU
506 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
507
Dengan mengklaim sebagai satu-satunya partai politik lokalyang mengusung mandat dari perundingan damai dan MoUHelsinki, Partai Aceh menang mutlak di basis dukungan terkuatnya,yakni di kawasan Utara dan Timur Aceh. Dalam kampanyenya,Partai Aceh menyatakan bahwa masa depan perdamaian terletakpada kemauan dan kemampuan partai untuk melaksanakan‘pemerintahan-sendiri’ di Aceh, seperti yang diamanatkan olehMoU. Selain itu, Partai Aceh akan melanjutkan perjuangan untukrakyat, melalui cara-cara yang demokratis, yakni dengan me-menangkan kursi di lembaga legislatif. Pada salah satu kampanyeterbuka Partai Aceh, pimpinan senior partai Sofyan Daudmenyatakan bahwa mereka telah berkampanye untuk tujuantersebut sejak berpuluh tahun lalu, jauh sebelum partai politik lokallain terbentuk. Karena itu, dia menambahkan, kampanye kali iniadalah penegasan kembali komitmen partai dalam membawakesejahteraan bagi rakyat Aceh (Serambi Indonesia, 2009e).
Tingkat partisipasi pemilih pada Pemilu 2009 lebih rendahdibanding Pilkada 2006. Hanya sekitar 75 persen pemilih yangberpartisipasi pada 2009. Bandingkan dengan partisipasi pemilihhingga 80 persen pada 2006 (rincian lebih lengkap dapat dilihatpada tabel terlampir di akhir bab ini, yang menyajikan hasil pemilulengkap dengan perspektif komparatif. Perbandingan dengan hasilPilkada di bab 6 juga akan lebih berguna). Namun, penurunan itutak berdampak negatif pada Partai Aceh.
Pada pemilu tingkat propinsi, Partai Aceh mampumendominasi 17 kabupaten dari 23 kabupaten. Ketujuh belaskabupaten itu, antara lain, Banda Aceh, Pidie, dan Aceh Tamiang,yang merupakan wilayah di mana pasangan Irwandi-Nazarmengalami kekalahan pada waktu pemilihan gubernur. Namun,kemenangan di Banda Aceh sesuai dengan perkiraan, karenapasangan Humam Hamid-Hasbi Abdullah memperolehkemenangan di wilayah tersebut pada 2006 silam. Pasangan itu
HILANG ARAH DALAM TRANSISI, KALAH DALAM PEMILU
508 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
didukung pimpinan GAM, yang berbasis di Stockholm, dan kinijuga memimpin Partai Aceh. Selain itu, Partai Aceh menang tipisdari Partai Demokrat di Aceh Tamiang, dengan selisih 3% suara.
Partai Aceh mengalami kekalahan di Gayo Lues, AcehTenggara, Aceh Singkil, Subulussalam, Bener Meriah, dan AcehTengah. Di Gayo Lues and Aceh Tengah, Partai Aceh kalah dariDemokrat; sedangkan di Bener Meriah, PA berada di posisi keduasetelah PKPI. Selanjutnya, Partai Aceh berada di posisi keempat diSubulussalam, di posisi kelima di Aceh Tenggara, dan berada diposisi keenam di Aceh Singkil. Di kabupaten-kabupaten tersebut,para pemenangnya adalah PAN dan Partai Golkar.
Gambaran hasil pemilu ini menunjukkan, kendati Irwandiakhirnya memilih untuk mendukung para pimpinan GAMkonservatif di Partai Aceh, serta berkampanye untuk partai tersebutdi Bener Meriah, Aceh Tengah dan Aceh Singkil, Partai Aceh tetaptak mampu mendulang dukungan besar di luar basis dukunganterkuatnya, seperti yang pernah dialami pasangan Irwandi-Nazarpada Pilkada 2006, terutama di Gayo Lues dan Aceh Tenggara.Selain itu, suara bagi pasangan Irwandi-Nazar pada 2006 juga lebihbesar daripada perolehan Partai Aceh pada 2009, antara lain diSabang, Aceh Selatan, Aceh Jaya, Aceh Barat, Nagan Raya, danAceh Barat Daya. Karena itu, dominasi Partai Aceh hanya terbataspada basis dukungan tradisionalnya, yakni di Bireuen,Lhokseumawe, Aceh Utara, Aceh Timur, Langsa, dan Simeulue.
Di tingkat kabupaten, Partai Aceh menang di 15 distrik, danmemperoleh lebih dari 50% kursi di basis dukungan terkuat parapimpinan konservatif GAM, yakni di Pidie, Bireuen, Lhokseumawe,Aceh Utara dan Aceh Timur. Sebaliknya, jumlah suara terendahdiperoleh Partai Aceh di Bener Meriah, Aceh Tengah, Gayo Luesdan Aceh Tenggara; namun, hanya di Aceh Singkil danSubulussalam, PA tidak memperoleh kursi sama sekali (dan didaerah tersebut pasangan Irwandi-Nazar juga tak menang).
509
Lembaga legislatif di kabupaten-kabupaten tersebut kini didominasioleh partai politik nasional, yakni Golkar dan PKPI.
Partai politik lokal lain tak mampu bersaing, dan tertinggaljauh di belakang. Selain Partai Aceh, secara keseluruhan partaipolitik lokal telah gagal—yang bertolak belakang dengan perkiraansebelumnya. Partai SIRA, khususnya, telah dipermalukan.Sebelumnya, partai itu diprediksi akan memperoleh hasil yangbagus, dan menduduki posisi kedua setelah Partai Aceh. Namun,setelah perhitungan suara usai, Partai SIRA justru gagal melampauibatas electoral threshold 5%, untuk memperoleh kursi di DPRA. Takdipungkiri, di antara partai politik lokal lainnya, Partai SIRAmemang menduduki posisi kedua, kendati hanya memperolehsedikit suara. PDA, yang berakar kuat dari kalangan ulama, adalahsatu-satunya partai politik lokal selain Partai Aceh, yang berhasilmemperoleh sebuah kursi di DPRA. PDA, juga satu-satunya partaipolitik lokal non-GAM, yang cukup berhasil di tingkat kabupaten,dengan memperoleh tujuh kursi di beberapa DPRK (DewanPerwakilan Rakyat Kabupaten).
Bahkan untuk DPRK, partai politik lokal lainnya hanyamampu memenangkan sedikit kursi. Partai SIRA, contohnya,hanya mampu memperoleh 6 kursi di DPRK. Sedangkan PRAmemenangkan dua kursi, PBA tiga kursi, dan PAAS tak mem-peroleh kursi sama sekali.
Kejutan lainnya adalah kembalinya partai politik nasional,terutama Partai Demokrat. Pada Pilkada 2006, para pemilih engganmemilih partai politik nasional. Akibatnya, para kandidatindependen (sebagian didukung oleh aktivis SIRA dan GAM, yangtidak mengikuti petunjuk para pimpinan ‘kelompok tua’ GAMuntuk bergabung dengan partai politik nasional) menjadi alternatifyang paling populer. Beberapa kandidat yang didukung oleh aktivisGAM yang progresif dan aktivis SIRA, kemudian terpilih sebagaigubernur, bupati, dan walikota. Karena itu, menjelang Pemilu 2009,
HILANG ARAH DALAM TRANSISI, KALAH DALAM PEMILU
510 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
banyak pihak yang percaya bahwa partai politik lokal akan kembalimendulang hasil yang lebih baik daripada partai politik nasional.Selain itu, beberapa partai politik lokal juga yakin, apabila partaiberafiliasi dengan partai politik nasional, hasilnya akan kontra-produktif. Tapi, kenyataan berkata lain. Partai Demokrat, yangdidirikan Presiden Yudhoyono, menjadi partai terbesar kedua dilembaga legislatif tingkat propinsi (DPRA). Sisa suara di Aceh diraihpartai politik nasional, seperti Golkar, PKS dan PAN, walaupunperolehan suara mereka tak secemerlang pemilu lima tahun lalu.Karena itu, tak mengherankan, Demokrat juga berhasil meraih 6kursi dari 13 kursi yang diperebutkan di DPR pusat, Jakarta.
Namun, kejutan itu masih terus berlanjut ketika PresidenSusilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan pasangan barunya sebagaicalon wakil presiden, Profesor Boediono, yang didukung olehkoalisi di bawah pimpinan Partai Demokrat, meraih kemenanganfenomenal dalam pemilihan presiden. Walaupun partisipasi pemilihtak terlalu besar (76,6% dari jumlah pemilih yang terdaftar), aliansiPartai Demokrat berhasil memenangkan 93% suara di Aceh.Pasangan tersebut jauh meninggalkan saingan terberatnya, mantanWakil Presiden Jusuf Kalla dari Golkar dan Jenderal (Purn) Wirantodengan partai barunya HANURA (Hati Nurani Rakyat), yanghanya memperoleh 4,3 persen suara; serta Megawati Soekarnoputridari PDI-P dan Jenderal (Purn) Prabowo Subianto, dengan partaibarunya, Partai GERINDRA (Gerakan Indonesia Raya), yang hanyameraih 2,4% suara.2
Kemenangan tim SBY-Boediono, khususnya di daerah pusatdukungan GAM, sangat mengagumkan. Persentase perolehan suaradi Pidie (terbagi atas dua kabupaten, 95.11% dan 95.24%) , Bireuen(96.86%) , Aceh Utara (95.18%) , dan Lhokseumawe (95.18%),misalnya, berada di atas rata-rata perolehan suara (93.25%).Dominasi oleh satu partai politik atau satu pemimpin denganpersentase suara sebesar itu, tak pernah terjadi di Aceh. Bahkan
511
juga tak pernah selama periode Orde Baru Soeharto, ketika Golkardan PPP (Partai Persatuan Pembangunan) mendominasi provinsiini. Yang tak kalah mengejutkan, SBY-Boediono juga menangmutlak di beberapa kabupaten, yang sebelumnya merupakan basisdukungan Golkar, seperti di Gayo Lues (90.02%), Aceh Tenggara(97.31%), Aceh Singkil (86.51%), dan Subulussalam (90.18%),meninggalkan Kalla-Wiranto jauh di belakang.
Selama masa kampanye, janji utama SBY and Partai Demokratadalah memegang teguh komitmen untuk mempertahankanperdamaian di Aceh. SBY dan Demokrat berjanji bahwa kesepakatandamai takkan pernah diingkari, sembari memberi peringatan bagisiapapun yang ingin mengganggu perdamaian. Namun, keber-hasilan SBY-Boediono ini tak lepas dari dukungan aktivis PartaiAceh, yang bergerak di level akar-rumput. Walaupun, Partai Acehsecara resmi menyatakan bahwa pihaknya bersikap netral dalampemilihan presiden, sebagian tokoh-tokoh terkemuka GAM, sepertiSofyan Daud, Irwandi Jusuf dan Muzakkir Manaf bergabungdengan ‘tim sukses’ SBY-Boediono. Langkah serupa juga dilakukansejumlah bupati dan walikota, serta Wakil Gubernur MuhammadNazar, yang kemungkinan berupaya melindungi posisinya, akibatpenampilan buruk partainya, Partai SIRA, dalam pemilu.
Yang menarik, sebagian besar partai politik Islam, yangsebelumnya cukup kuat di Aceh, tak begitu berhasil. PKS (PartaiKeadilan Sejahtera) merupakan pengecualian, karena berhasilmeraih dua kursi di DPR, dan menduduki posisi kelima di DPRAdan DPRK. Namun, PPP yang pernah begitu berjaya di Aceh, takmampu bersaing, dan para pendukungnya pun tercerai-berai.Sementara itu, partai politik Islam lain bersama sejumlah kecil partaipolitik nasionalis hanya mampu meraih beberapa kursi di DPRK.Situasi ini menunjukkan bahwa pada kenyataannya, beberapatokoh lokal yang cukup berpengaruh, melalui jaringan klientelismemilik mereka, masih mampu menggalang dukungan, dan mem-
HILANG ARAH DALAM TRANSISI, KALAH DALAM PEMILU
512 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
+peroleh satu kursi di wilayah mereka masing-masing.
Aneka KontroversiSecara umum, Pemilu 2009 merupakan cerminan dari
administasi penyelenggaraan pemilu yang buruk, yang diwarnaidrama politik tak berkesudahan, serta marak dengan manipulasisuara. Keluhan partai politik dan calon anggota legislatif umumnyaberkisar tentang pengelolaan pemilu yang tak profesional. Komisipemilihan Umum (KPU) dikritik habis-habisan dan juga harusmenghadapi sejumlah tuntutan hukum (walaupun tuntutan itubelakangan gugur) dari pihak-pihak yang merasa dirugikan. Selainitu, daftar pemilih pun kacau. Kekacauan itu dicurigai telahmembuka jalan bagi manipulasi suara di setiap tingkat peng-hitungan suara, dari tingkat terendah hingga tingkat tertinggi diJakarta. Lambannya pengumuman hasil perhitungan suara jugamembuat situasi kian runyam.
Aceh juga mengalami hal serupa. Beberapa minggu sebelumkampanye terbuka dilaksanakan, para peserta dan partai politiklokal telah mengalami intimidasi dari berbagai pihak. Kekerasanpun terjadi secara sporadis. Aksi kekerasan terburuk dialami PartaiAceh: setidaknya 14 anggota dan/atau simpatisannya tewastertembak. Tapi, Partai Aceh tetap bersikap tenang, dan tidakmelakukan aksi pembalasan apapun. Bahkan dalam pernyataanyang dimuat satu halaman penuh di harian Serambi Indonesia, yangterbit di Aceh, Partai Aceh menegaskan bahwa pihaknya takkanmembalas dendam. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kemudianberkunjung ke Aceh pada Februari 2009, dan menyatakan bahwatak seorang pun boleh mengganggu perdamaian di Aceh danmengembalikan situasi damai ke situasi konflik dan perang (HarianAceh, 2009). Pernyataan serupa juga menjadi slogan kampanyePartai Demokrat di bulan Maret 2009 (Serambi Indonesia, 2009g),dan baliho-baliho yang mengutip ucapan SBY ‘Jagalah Perdamaian’
513
terpampang di berbagai lokasi di Banda Aceh.Walaupun Partai Aceh mengungkapkan bahwa pihaknya
adalah target utama aksi teror (beberapa anggota dan simpatisannyabahkan tewas terbunuh), partai-partai politik lain mengeluhkanancaman dan teror oleh anggota dan simpatisan Partai Acehterhadap mereka. Namun, Partai Aceh secara diplomatis mengelaktudingan tersebut. PA mengatakan bahwa partai tak pernahmemberi instruksi untuk melakukan ancaman atau intimidasi, dantindakan tersebut semata-mata spontanitas individu (Khaerudin,2009).
Tapi, sayangnya, intimidasi terhadap partai politik lokal lainterus berlanjut. Wakil Gubernur Muhammad Nazar bahkan secaraterbuka mengkritik aksi menghalang-halangi pendukung PartaiSIRA, yang akan menghadiri kampanye terbuka Partai SIRA diLhokseumawe. Taufik Abda dari Partai SIRA mengungkapkanbahwa keseluruhan proses yang berjalan tak mencerminkanpelaksanaan prinsip-prinsip pemilu yang jujur dan adil. Diamengatakan:
Pada prinsipnya, pemilu harus berlangsung secara demokratis,[dan] LUBER (Langsung, Umum, Bebas dan Rahasia). Tapi,kenyataannya Pemilu 2009 lalu penuh dengan intimidasi dankecurangan. Ada banyak kasus yang dilaporkan ke panwas(Panitia Pengawas Pemilu) atau diberitakan media. Namun,sangat sedikit [dari] kasus intimidasi [itu] yang terungkappelaku dan motifnya.
Meskipun Taufik sebelumnya tak menafikan sejumlahkelemahan, yang dimiliki partainya, dia tak menduga hasil yangdiperoleh ternyata sangat buruk. Suara untuk Partai SIRA sangatjauh di bawah perkiraannya. Kami memang belum bisa memperolehdata-data resmi yang lebih rinci, tapi sejumlah sumber meng-ungkapkan bahwa beberapa calon anggota legislatif Partai SIRA
HILANG ARAH DALAM TRANSISI, KALAH DALAM PEMILU
514 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
hanya mampu memperoleh satu atau dua suara di tempat pe-mungutan suara (TPS) di lokasi tempat tinggal mereka. Contohnya,seperti yang terjadi di Pidie, Bireuen, dan Aceh Timur; yangtentunya tak lazim terjadi. Dalam kasus-kasus lain, sejumlah saksipartai politik memperoleh ancaman selama proses perhitungansuara. Para saksi—yang umumnya adalah para lelaki muda didesa—sangat khawatir akan keselamatan diri dan keluarganya. DiPidie, saksi untuk Partai SIRA diancam, sehingga akhirnya memberisuaranya kepada Partai Aceh. Menurut Taufik Abda, intimidasimempengaruhi pilihan masyarakat, dan turut mengakibatkanjeleknya perolehan suara Partai SIRA.
Selain itu, Taufik Abda menyangsikan netralitas TNI dan Polri,yang seharusnya mampu menjamin keamanan. ‘Terjadi prosespembiaran terhadap intimidasi dan kecurangan menjelang dan padahari H pemilu.’ Pendapat senada juga dikemukakan ThamrenAnanda dari Partai Rakyat Aceh (PRA). Dia mengatakan, aparatkeamanan juga tampaknya terlibat dalam kecurangan pemilu.
Kan aneh, di asrama TNI pun, PA menang. Saya kira, kita semuatahu bahwa keluarga-keluraga TNI tidak dibiarkan begitu sajamemilih siapa. Pasti selalu diarahkan [untuk memilih calonyang mana]. Nah, kenapa di asrama TNI, PA bisa menang ?Menurut saya, ada skenario lain, dan saya mengkhawatirkanitu.
Kacaunya daftar pemilih dan proses penghitungan suara yangmeragukan, adalah topik yang mewarnai berbagai keluhan. Marinidari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) mengungkapkan bahwapenyelenggara pemilu bersikap acuh. Apalagi para petugas dilapangan selalu memberi jawaban: ‘kami tidak tahu’, ketika partaipolitik mengajukan pertanyaan. Menurut Marni, tak ada formuliryang diisi sebagai bukti hasil penghitungan suara, ketika kotaksuara dikirim dari tingkat terendah ke tingkat tertinggi, yakni dari
515
tempat pemungutan suara (TPS) di tingkat kecamatan ke tingkatKPU di Jakarta. Tiadanya catatan hasil penghitungan suara itudicurigai sebagai salah satu upaya untuk memanipulasi suara.Marini menjelaskan,
Saya ditawarkan untuk penggelembungan suara sampaidiberikan nomer kontak. Jadi, seperti orang beli ikan. Pertama,[saya ditawar untuk membayar] Rp 1.000, [lalu naik] Rp 5.000.[Kalau] mau dibawa ke KPUD, naik Rp 10.000. Jadi kalau sayabutuh 10. 000 suara, bisa saja.
Muhammad Jaffar dari Universitas Syiah Kuala Universityberpendapat bahwa manipulasi suara terjadi secara sistematis dantidak sistematis. Dia mengatakan, kecurangan sistematis hanyaterjadi di beberapa daerah, dan umumnya berkisar pada upayapengacauan informasi dan minimnya konfirmasi hasil perhitungansuara. Hanya sebagian permasalahan tersebut dapat diselesaikanmelalui pengajuan keberatan secara resmi. Jaffar memaparkan:
Kecurangan secara sistematis, seperti diduga, terjadi dikabupaten Aceh Tenggara, Gayo Lues, dan Bener Meriah. Disana, petugas sejak awal tidak memberikan salinan hasilrekapitulasi suara TPS kepada saksi-saksi dari partai pesertapemilu. Sehingga peserta pemilu tidak memiliki datapembanding untuk mempersoalkan penetapan hasil olehpenyelenggara. Sedangkan manipulasi yang dilakukan secaratidak sistematis, diduga terjadi di Kabupaten Aceh Timur.Manipulasi terjadi di beberapa kecamatan dan oleh [petugas]KIP kabupaten sendiri. Dalam kasus ini, peserta pemilu dapatmengajukan keberatan karena memiliki data pembanding daripenyelenggara tingkat terbawah.
Meskipun berbagai protes dilontarkan, tapi hanya satu partaipolitik nasional, yakni PKS, dan satu partai politik lokal, yaitu Partai
HILANG ARAH DALAM TRANSISI, KALAH DALAM PEMILU
516 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
SIRA, yang mengajukan keberatan secara resmi kepada MahkamahKonstitusi. Sayangnya, upaya itu tak membuahkan hasil.3
Di Balik Kemenangan Partai AcehWalaupun terjadi berbagai keanehan dalam pemilu, namun
kemenangan Partai Aceh yang luar biasa memerlukan penjelasanyang lebih berbobot. Seperti yang diketahui, Partai Aceh memilikiberbagai kekuatan dan kelebihan dibanding para pesaingnya. Tapi,para pesaing itu pun telah mengabaikan kelemahan mereka sendiri.Mari kita bahas dimensi-dimensi utama di balik kemenangan itudengan lebih rinci.
Penegasan kembali identitas kultural dan nasionalisme AcehPada Bab 8 buku ini, Nazaruddin Thaha dari PERMATA
(organisasi massa berbasis petani) mengatakan bahwa:
Partai politik yang akan menang dalam pemilu 2009 adalahpartai yang dianggap paling memiliki sejarah heroik dalamperjuangan Aceh; partai yang paling banyak mengangkatsentimen nasionalisme Aceh; partai dengan calon-calonanggota legislatif dari orang-orang yang belum terlibat dalampartai politik nasional sebelumnya; serta partai yang palingbanyak memiliki tokoh-tokoh dari elit NGO dan organisasimassa sektoral.
Penuturan ini, tentu saja, menyiratkan bahwa Partai Acehakan keluar sebagai pemenang pemilu. Para pemimpin partaimengklaim, PA adalah partai yang paling mencerminkannasionalisme Aceh, menjunjung adat, harkat dan martabat rakyatAceh. Dalam kampanye, para juru kampanye selalu menekankanbahwa para pimpinan PA telah turut menderita bersama rakyatselama konflik, dan partai itu akan mewakili seluruh rakyat Aceh,terutama mereka yang tersisih dan sengsara selama konflik.
517
Kendati slogan kampanye itu terdengar klise, namun banyakorang mempercayai kata-kata itu mengandung kebenaran. PartaiAceh dianggap sebagai bagian tak terpisahkan dari sejarah Aceh.Seperti yang diungkapkan Farid Wajdi dari IAIN: ‘Masyarakat puasorang ini (Partai Aceh) menang, karena orang ini (Partai Aceh)juga anak mereka.’ Terminologi ‘anak’ di sini berarti rakyat Aceh,yang selama ini terabaikan, dan tersisihkan oleh orang luar dalammemperoleh akses yang setara di bidang politik dan bisnis, sertatak diperkenankan mengekspresikan identitas kultural mereka.Dalam benak banyak orang, gambaran itu tercermin dari seranganteror terhadap anggota dan simpatisan PA; yang kemudian dikemassedemikian rupa oleh partai, yang menuding serangan itu sebagaiupaya untuk mengenyahkan ‘yang terpilih’ (the chosen one).Bukannya membalas, Partai Aceh justru memanfaatkan seranganterhadap mereka itu sebagai bahan untuk melegitimasi ‘sejarahkepahlawanan’ mereka. Serangan itu juga digunakan untukmengingatkan rakyat tentang upaya pihak luar, yang inginmenghalang-halangi PA agar dapat berkompetisi dengan setaradalam pemilu. Dan, upaya semacam itu adalah ancaman bagi hargadiri dan identitas bangsa Aceh.
Selain itu, Partai Aceh selalu mengelak dari tuduhan bahwapartai itu bertanggung jawab atas berbagai intimidasi terhadappartai politik lain, seperti Partai SIRA, dengan mengungkapkanpenderitaan yang dialami oleh anggota dan pendukung PA. BaikSekretaris Jenderal PA, Yahya Muaz, dan salah satu tokohterkemuka di PA, Hasbi Abdullah, mengklaim, ‘PA bukan menerorpartai orang lain, tapi kami justru yang diteror. Ada 14 pengurusPA yang tewas karena ditembak.’ Kalimat serupa acap dikemukakandalam rapat umum pada masa kampanye. Singkatnya, Partai Acehtelah secara kejam dijadikan sasaran teror, karena PA adalah ‘partaiyang terpilih’, yakni satu-satunya partai yang berhak menugusungamanat MoU Helsinki. Seperti yang dipaparkan Dahlan, wakil
HILANG ARAH DALAM TRANSISI, KALAH DALAM PEMILU
518 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
sekretaris tim ‘sukses’ partai, sebagai berikut: 4
Partai Aceh adalah satu-satunya partai yang memiliki ideologinasionalisme murni, dan berakar dari perjuangan selamapuluhan tahun. Partai SIRA hanya kelompok anak muda danmahasiswa, yang berfungsi sebagai alat hukum ketika GAM takbisa membentuk partai. Jadi, Partai SIRA telah kehilangansignifikansinya ketika Partai Aceh bisa berdiri. Sedangkan partaipolitik lain memiliki ideologi berbeda, seperti Islam, sosialisme,dan sebagainya.
Jadi, bagaimana Partai Aceh membangkitkan sentimennasionalisme tersebut? Partai tetap menjalankan strategi lamanyadalam mempengaruhi kelompok-kelompok massa yangtersubordinasi dan tak berpendidikan, serta tersebar luas di wilayahpedesaan Aceh. Partai mengklaim bahwa tak ada kelompok lainyang telah begitu mengakar dan mampu mewakili partai, tapi, jugasangat setia pada GAM, dan sangat dipercaya pula oleh GAM.Banyak orang di kelompok tersebut percaya bahwa Partai Acehakan memimpin Aceh untuk meraih kemerdekaan melalui cara-carahukum, dan melalui Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Selain itu,berbagai pihak juga yakin bahwa kemenangan Partai Aceh adalahsimbol pengakuan terhadap kebangkitan Aceh dalam bidang politikdan ekonomi di daerah, setelah konflik dan alienasi selama 32 tahun.Karena itu, harapan pun menjulang agar Partai Aceh mampumemimpin upaya untuk melibatkan kelompok marjinal dan miskinke dalam bidang politik dan ekonomi, khususnya dalam isu hakasasi manusia. Zubaidah Djohar, seorang peneliti dan aktivisperempuan, mengatakan:
Kemenangan ini diharapkan dapat menjembatani kelemahanhukum di masa lalu, serta ketidakpedulian terhadap kondisimasyarakat di gampong (kampung) dan kaum minoritas;melanjutkan perdamaian [sehingga] menjadi lebih bermakna
519
untuk hidup masyarakat, baik bagi perempuan dan laki-laki;dan melahirkan sistem pemerintahan yang mengakar padakhazanah lokal, dengan mengedepankan nilai-nilaikebudayaan Aceh yang lebih bermartabat.
Selain berhasil mempromosikan citranya di kalangan rakyatkecil sebagai satu-satunya partai yang mengusung amanat dariMoU Helsinki, PA juga berhasil mempertahankan kepercayaan daripara pendukung tradisional GAM. Partai Aceh juga memperluasdukungan melalui afiliasi dengan organisasi massa dari kelompoknelayan, petani, dan ulama. Singkatnya, Partai Aceh sangat suksesmemproyeksikan dirinya sebagai satu-satunya solusi kepadasebagian besar pemilih, walaupun partai tak mampu menjamin aksespada sumber daya publik atau jalur patronase alternatif. RadenSamsul, contohnya, Ketua Konfederasi Serikat Pekerja SeluruhIndonesia (KSPSI) Aceh, serta Ketua Umum Federasi Serikat PekerjaTransportasi Indonesia (FSPTI) Aceh, berharap bahwa kemenanganPartai Aceh juga berarti upaya perlindungan hak-hak buruh yanglebih baik. Upaya tersebut, antara lain, melalui penyediaan lapangankerja yang lebih luas, perbaikan lingkungan kerja, dan penambahantingkat upah minimum.
Saya rasa, kepentingan serikat pekerja di Aceh sudah terwakili[oleh mereka], apalagi kami memang tidak punya partaisendiri. (...) Walaupun demikian, kemenangan Partai Acehsebagai partai lokal dan partai politik baru di Aceh masih lebihbaik, dan memungkinkan adanya kesempatan perubahan kearah lebih baik. Kita berharap mereka mampu merealisasikanjanji-janji dalam masa kampanye.
Ekspresi yang lebih sinis dikemukakan Said Kamaruzzaman,wartawan Serambi Indonesia. Dia mengatakan bahwa masyarakatAceh terpaksa memilih kandidat terbaik dari pilihan-pilihan
HILANG ARAH DALAM TRANSISI, KALAH DALAM PEMILU
520 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
terburuk. Masyarakat Aceh lebih memilih kandidat ‘dari kalanganmereka sendiri’, daripada memilih pihak luar. Said menguraikan,
Sebelum pemilihan berlangsung, saya kerap mewawancaraiwarga, yang sebetulnya bukan mantan kombatan (bekaspejuang GAM), bahkan mengaku bukan simpatisan PartaiAceh. Dia mengaku akan memilih calon legislatif PA. Saatditanya apa sebabnya, dia berujar “Daripada dipajoh le gob, geutdipajoh le saudara droe teuh (daripada dimakan orang, lebih baikdimakan saudara sendiri).” Sebetulnya, ada makna frustrasidalam kalimat itu. Karena di mata mereka, memilih partai ataucaleg mana pun tidak memberi dampak positif bagi mereka. Diantara pilihan yang paling sulit itulah, mungkin kriteria“saudara sendiri” menjadi satu-satunya parameter dalammenentukan pilihan mereka.
Selain itu, PA juga dikenal luas sebagai organisasi para bekaskombatan (pejuang) GAM, yang kini telah menjadi kontraktor bisnisberpengaruh, dan secara de facto sudah berkuasa, karena sebagianbesar kandidat independen pemenang Pilkada 2006 mendukungmereka. Karena itu, hanya sebagian kecil pemilih pragmatis, yangmendukung PA karena ada jaminan akses terhadap sumber dayapublik.
Pengorganisasian dukungan: kombinasi klientelisme dan populismePartai Aceh tak pelak merupakan partai paling siap dibanding
partai-partai politik lainnya. Menurut Said Kamaruzzaman dariSerambi Indonesia, ‘Sebagian besar pimpinan Partai Aceh dan parapendukungnya adalah bekas pejuang, yang sudah dipersiapkandengan baik untuk menghadapi kompetisi.’ Selain itu, diamenambahkan, ‘Partai Aceh adalah satu-satunya partai politiklokal yang memiliki kantor-kantor yang berfungsi baik di seluruhpelosok Aceh.’
521
Muhammad Jaffar dari Fakultas Hukum Universitas SyiahKuala University menegaskan, ‘Selain Partai Aceh, tak ada partaipolitik lokal yang benar-benar siap untuk berpartisipasi dalamPemilu 2009. Apalagi partai-partai lain tampak kurang mampumembentuk kepengurusan sampai pada tingkat terbawah, sertajumlah caleg yang diajukan sangat terbatas.’ Kendati begitu,mantan Ketua KIP (Komite Independen Pemilihan) Aceh inimenambahkan bahwa Partai Aceh sebenarnya tak mampumenyediakan calon-calon anggota legislatif yang bermutu dan pal-ing dipercaya masyarakat.
Salah satu indikator lain yang menunjukkan lemahnyapersiapan partai lokal adalah minimnya kampanye terbuka dalambentuk rapat umum yang diselenggarakan oleh partai-partai politiklokal, selain Partai Aceh. Beberapa partai politik nasional memangmenghindari kampanye terbuka karena alasan keamanan; danIrwandi-Nazar sebenarnya juga tak menekankan upaya pengum-pulan massa besar-besaran ketika memenangkan Pilkada 2006.Pasangan itu lebih mengandalkan kontak-kontak personal maupunmelalui organisasi, serta kampanye ‘door to door’. Meski begitu, partaipolitik lokal yang lebih lemah kemungkinan memperhitungkanresiko yang bakal mereka tanggung, misalnya, apabila massa yangmereka mobilisasi dihalangi oleh lawan politik mereka. Sikapsemacam ini tak hanya menggerus kepercayaan diri tapi jugamengirim kesan pada kalangan pemilih potensial tentang siapamemiliki kemampuan nyata dalam memobilisasi massa dalam jumlahbesar, dan memiliki sumber daya untuk memperoleh keuntungandalam berbagai kesempatan politik. Kita akan membahas secarakhusus tentang kelemahan kelompok pro-demokrasi ini dalambagian tersendiri di bab ini nanti.
Alasan terakhir, minimnya kemampuan partai politik untukmengorganisasir dan memobilisasi massa sebetulnya penting karenasebagian besar pemilih juga tak siap. Maksudnya, para pemilih pun
HILANG ARAH DALAM TRANSISI, KALAH DALAM PEMILU
522 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
tak dibekali oleh kemampuan untuk menilai secara kritis berbagaiisu dan program yang diajukan partai-partai politik, serta merekalengah pula menelisik rekam jejak para kandidat. Seperti yangdiungkapkan Jaffar, ‘Masyarakat masih kurang kritis dan sedikitinformasi yang tersedia tentang caleg (calon anggota legislatif) yangmereka pilih.’ Hal senada juga dipaparkan Fardi Wajdi dari IAINAr-Raniry Banda Aceh. Fardi berpendapat, masyarakat cenderungmemperhatikan karakteristik umum masing-masing partai,daripada mendalami kebijakan-kebijakan yang ditawarkan partai,atau memperhatikan individu-individu yang menjadi kandidatanggota legislatif. Karena itu, suara mereka mudah sekaliterombang-ambing oleh sentimen lokal dan propaganda politikyang sederhana
Faktor lain yang menguntungkan Partai Aceh adalahpendapat yang mengatakan bahwa legislatif di daerah seharusnyadireformasi, agar lembaga itu dapat bekerja bersama-sama denganlembaga eksekutif, serta tak menghalangi para eksekutif yang baruterpilih. Farid Wajdi dari IAIN mengungkapkan bahwa keme-nangan Partai Aceh merupakan ‘ruh baru’, yang akan berdampakpositif bagi pemerintahan Irwandi-Nazar saat ini. Dia menguraikan:
Dengan adanya orang-orang ini [GAM] mendominasi [lembagalegislatif] atau banyak jumlahnya, ya, Alhamdulillah sekali.Dulu kan belum ada partai [yang mendukung eksekutif GAM/SIRA], sekarang sudah ada di sana. [Kalau mereka mau]memberi dukungan, ya, bisa sampai 50% dukungannya. Kalaubisa memberi support atas program [eksekutif], saling kerjasama, tentu [kebijakannya] searah, [dan] tidak ada gesekan-gesekan [antara eksekutif dan legislatif].
Dampak positif berupa pemerintahan yang stabil dan amandari gejolak, apabila Partai Aceh menang, juga kerap dikemukakanGubernur Irwandi serta para kandidat independen yang pernah
523
didukung oleh KPA/SIRA. Dalam Bab 8, para bupati dan walikotamengeluhkan tentang sulitnya menjalankan pemerintahan yangefektif, serta melaksanakan program-program mereka, gara-gararendahnya dukungan dari lembaga legislatif di daerah.
Tapi, dalam beberapa kasus, keluhan itu hanya sekedar alasanatau dalih untuk menutupi buruknya kinerja para eksekutif politiktersebut. Contohnya, kinerja Gubernur Irwandi yang tidakkunjung memuaskan. Pemerintahannya dihujani kritik karenarendahnya tingkat pencapaian pemerintah dalam perbaikaninfrastruktur publik, penyediaan layanan kesehatan yang mudahdiakses dengan biaya terjangkau, perbaikan sektor pendidikan,serta penciptaan lapangan kerja yang lebih luas. Selain itu, kendatianggaran daerah Aceh telah jauh meningkat dibanding masa konflikdulu, tingkat realisasi proyek-proyek pemerintah yang telahdisetujui terus menurun: dari 91.24% pada 2006 menjadi hanya67.21% pada 2008 (Serambi Indonesia, 2009f). Akibatnya, semakinbanyak kalangan yang mempertanyakan komitmen Irwandi dalammembawa kesejahteraan di propinsi tersebut. Kritik tersebut kianmenjadi, ketika Irwandi semakin sering melakukan perjalanan keluar negeri, dengan dalih untuk mengundang investor asing, yangjustru tak membuahkan hasil apa pun.
Di sisi lain, korupsi dan kolusi tetap bercokol sebagai masalahutama dalam birokrasi dan proyek-proyek pembangunanpemerintah. Gubernur pun dituding terlibat dalam perilaku haramtersebut, meskipun tak pernah terbukti hingga saat ini. Perlakuankhusus yang diberikan kepada bekas pejuang GAM dalam proyek-proyek konstruksi pemerintah dan dalam birokrasi pun semakintak diragukan lagi keberadaannya.
Menghadapi popularitas yang kian menurun, ditambahdengan resiko perlawanan dari lembaga legislatif baru—yang akansegera terpilih—serta adanya aturan (ketika itu) yang mengatakanbahwa kandidat dalam pemilihan gubernur berikutnya harus
HILANG ARAH DALAM TRANSISI, KALAH DALAM PEMILU
524 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
diajukan oleh partai politik, Irwandi pun akhirnya mengambil jalankeluar yang paling pragmatis. Langkah itu diambil, walaupunIrwandi sempat dicap sebagai ‘pengkhianat’ oleh kelompokkonservatif GAM, ketika dia maju sebagai kandidat independenpada Pilkada 2006, dan mengabaikan keputusan para ‘pimpinantua’ GAM, yang memilih untuk berafiliasi dengan partai politiknasional, PPP. Meskipun Irwandi sempat diharapkan untukmendukung program-program yang progresif dan demokratis, danterlepas dari upaya untuk mengikutsertakan pimpinan GAM yangprogresif dan aktivis SIRA dalam tim-tim yang dibentuknya,Irwandi akhirnya memutuskan bahwa Partai Aceh adalah satu-satunya pihak yang bersedia menerimanya melalui kesepakatanyang adil. Singkat kata, Irwandi akhirnya sadar bahwa dirinyamembutuhkan sebuah partai politik untuk mempertahankanpopularitasnya, mengamankan kebijakannya, serta memperbaikipeluangnya dalam pemilihan gubernur mendatang.
Dalam keterangan resmi, Irwandi menjelaskan posisi barunyaitu sebagai sebuah ‘keterikatan moral dengan Partai Aceh’ (RakyatAceh Online, 2009), dan kemenangan Partai Aceh akan mempermudahpelaksanaan program-programnya (Serambi Indonesia, 2009a).Irwandi tak sendirian. Banyak kandidat independen yang majupada Pilkada 2006 lalu, akhirnya memilih untuk berhenti bersikapkritis terhadap pimpinan konservatif GAM, dan berbalikmendukung Partai Aceh, yang baru terbentuk. Walikota Sabang,Munawar Liza, misalnya, mengatakan bahwa Partai Aceh lebihterinstitusi dan terbuka, dibanding pola kepemimpinan yang lebihterpusat secara personal ala pimpinan GAM konservatif terdahulu.Dan, yang terpenting, dia mengatakan, tak ada dukungan cukupkuat dari aliansi progresif KPA dan SIRA, yang terbentuk padaPilkada 2006, untuk melaksanakan suatu program alternatif ketikakandidat yang mereka ajukan akhirnya terpilih. Dari perspektiftersebut, Partai Aceh kemudian menawarkan komitmen mereka
525
untuk melindungi pemerintahan Irwandi, jika mereka meme-nangkan pemilu.
Menariknya, Partai Aceh secara khusus meminta solusi bagipara pimpinannya, yang kemungkinan terpilih sebagai anggotalegislatif, agar tetap bisa mempertahankan sumber pendapatanmereka (sebelum mereka terpilih), sehingga mereka dapatmelanjutkan dan barangkali memperluas perlakuan khusus yangmereka berikan pada para pendukung mereka sebelum pemilu.Dengan kata lain, Partai Aceh lebih memilih untuk terusmenyediakan jalur patronase bagi para pendukungnya hingga ketingkat terendah di akar-rumput. Partai itu tak menggunakankekuasaan politik untuk mengubah sistem tersebut, agar terjadiperubahan secara demokratis dan imparsial, dalam upayamenciptakan kesejahteraan rakyat. Partai Aceh juga mengirim sinyalkuat kepada para elit politik dan kalangan bisnis bahwa merekadapat terus bekerjasama di dalam birokrasi. Untuk itu, PA mungkinmengharapkan sesuatu sebagai imbalan. Misalnya, dukunganpejabat-pejabat tinggi pemerintahan yang berhubungan eratdengan tokoh-tokoh penting tertentu, termasuk dengan pihak-pihak di luar birokrasi, dalam berbagai hal yang bertalian denganproyek pemerintah, dan proses tender.
Singkatnya, Partai Aceh tampaknya telah berkembang menjadisebuah mesin politik nasionalis, yang sangat tipikal di Indonesiadan di banyak negara berkembang lainnya. Mesin politik tersebutbiasanya memperoleh dukungan dari dua kelompok. Pertama, parapendukung setia atau para loyalis, yang mereka kumpulkan melaluiideologi nasionalisme yang populis, dan distribusi patronase. Kedua,dukungan itu diperoleh dari kalangan politisi dan pelaku usahayang luas, serta para pemimpin informal, dengan mempertahankanpola-pola klientelisme dalam pemerintahan publik. Untuk itu, PartaiAceh merangkul sejumlah kepentingan tanpa mengubah sistemdalam tata kelola pemerintahan. Upaya tersebut, seperti yang
HILANG ARAH DALAM TRANSISI, KALAH DALAM PEMILU
526 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
diungkapkan Harriss, Stokke, and Törnquist (2004), adalah carapara elit mengikutsertakan rakyat ke dalam politik secara sepihak,dan bertentangan dengan prinsip partisipasi rakyat, yangberdasarkan pada aspirasi rakyat dan organisasi akar-rumput.
Partai Aceh versus Partai SIRA: mengisolasi sang pembangkangDari semua partai politik lokal, Partai Aceh sangat mewaspadai
bekas sekutu terdekatnya, yang pernah bekerjasama dalammenuntut pelaksanaan referendum untuk kemerdekaan di Aceh.Sekutunya itu juga serius menerapkan kebebasan politik yangdiatur MoU Helsinki, dan akhirnya membentuk partai sendiri, yakniPartai SIRA. Patut diingat, aliansi pimpinan GAM dan aktivis SIRAyang pro-demokrasi, adalah kelompok yang aktif mengajukanusulan dalam perundingan di Helsinki, dan akhirnya berhasilmemperjuangkan kesepakatan yang unik, yakni mencapaiperdamaian melalui jalur demokrasi (lihat Bab 1). Kelompok ini,faktanya, juga sering menentang pimpinan konservatif GAM diStockholm. Belakangan, dukungan kelompok ini membawasejumlah kandidat independen dukungan KPA dan SIRAmemperoleh kemenangan luar biasa pada Pilkada 2006, di manahasil serupa tak bisa diulangi oleh Partai Aceh pada 2009. Salahsatu alasannya adalah popularitas bekas pimpinan SIRA, yang kinimenjabat sebagai Wakil Gubernur, Muhammad Nazar, di wilayahbagian Selatan Aceh. Alasan lainnya, pasangan Irwandi-Nazarmenggabungkan aspirasi kelompok nasionalis dengan sikap politikyang tak lagi bergantung pada struktur komando elit, demipembangunan yang berbasis pada kepentingan rakyat.
Konflik yang berlangsung antara bekas sekutu lama, SIRA,KPA dan GAM digambarkan dengan sangat baik oleh Dahlan. Diamenjelaskan bahwa ‘hanya ada satu partai nasionalis sejati, yaituPartai Aceh; dan Partai SIRA ibarat seorang anak yang sedangmemberontak pada orang tuanya.’
527
Menarik untuk dicatat bahwa ‘anak-anak tersebut’ telahmembuat sang ‘orang tua’ amat khawatir, jika kita mencermatisegala daya dan upaya Partai Aceh untuk menghambat kemajuanPartai SIRA. Meski begitu, upaya Partai Aceh untuk mendongkelaspirasi bekas sekutunya itu, tak cukup menjelaskan buruknyahasil yang diperoleh Partai SIRA. Salah satu faktornya adalahsebagai berikut. Para pimpinan Partai SIRA telah mengabaikanstrategi lama mereka yang pernah berhasil. Strategi itu, antara lain,menggabungkan aksi berdimensi kerakyatan dan pengajuan usulanyang inovatif—seperti yang pernah dilakukan dengan Undang-Undang tentang Pemerintahan Lokal, serta pengembangankebijakan, yang didukung oleh aliansi berbasis massa dankampanye pemilu. Salah satu faktor terpenting dari kekalahanPartai SIRA adalah Partai SIRA mengabaikan pula kemampuanGAM merangkul jaringan tradisional di level akar-rumput,terutama di daerah-daerah terpencil dan pedesaan. Gaya GAM agakserupa dengan NU (Nahdlatul Ulama), organisasi massa berbasisagama di Jawa. Baik NU dan GAM/Partai Aceh memanfaatkansolidaritas komunal di pedesaan, daripada pawai kampanye, sebagaibasis utama untuk menggalang dukungan di bidang sosial, politik,dan agama. Pengaruh yang tertanam kuat di komunitas lokal itu,juga memiliki andil yang sangat besar bagi kemenangan Irwandi-Nazar pada 2006, kendati jaringan lama masyarakat sipil milik SIRA,serta struktur komando GAM juga berperan penting.
Para pimpinan baru justru mengatakan bahwa saat ini, aktivisSIRA tak lagi perlu menggabungkan aspirasi modern mereka yangdemokratis itu, dengan strategi lama. Singkatnya, Partai SIRA telahsalah perhitungan. Partai itu tak memperhitungkan budayamayoritas masyarakat Aceh. Partai SIRA semata-mata fokus padapendekatan modern, dan mengadopsi gaya berkampanye ala Baratnan progresif, yang belum bisa begitu diterima masyarakat Aceh,menyelenggarakan berbagai workshop dengan sesi-sesi pelatihan,
HILANG ARAH DALAM TRANSISI, KALAH DALAM PEMILU
528 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
menerbitkan artikel di jurnal-jurnal, dan sebagainya. Selain itu,Partai SIRA juga gagal dalam mengkomunikasikan gagasan tentangdemokrasi dan reformasi ke dalam tataran konkrit, melalui parapemimpin eksekutif yang baru terpilih. Mereka juga tak berhasilmemajukan dan melaksanakan program-program alternatifnyamelalui kasus-kasus percontohan. Kelemahan-kelemahan inikemudian dimanfaatkan Partai Aceh untuk memberi label padaanggota dan pengikut Partai SIRA sebagai orang luar. Di kalanganmasyarakat pedesaan di Aceh, konsep ini tercermin melalui istilahawaknyan (mereka), yang merupakan kebalikan dari istilah geutanyo(kita).
Satu lagi karakteristik Partai SIRA sebagai anak dari PartaiAceh, yang berposisi sebagai orang tua, digambarkan Dahlansebagai berikut. SIRA adalah ‘sayap mahasiswa’ dari gerakan utamakelompok nasionalis, yang dipimpin oleh Partai Aceh. Karena itu,keduanya tak pernah memiliki identitas dan ideologi terpisah, danSIRA takkan pernah menandingi kemampuan para tetua (GAM).Namun, perkembangan selanjutnya menunjukkan keduanyaberpisah jalan. Pada intinya, Partai Aceh telah menyesuaikan diridengan sebagian kecil aspek demokrasi, tak hanya agar bisaberpartisipasi dalam pemilu, tapi juga demi mempertahankanlegitimasi dan otoritasnya. Khususnya, di daerah-daerah terpencildi Aceh, dengan menjunjung hukum adat, dan melalui kemampuanmengantarkan patronase, ketika bekerjasama dengan kalanganbisnis dan birokrat. Sebaliknya, Partai SIRA justru ingin mem-bangun sebuah alternatif, yang lebih banyak berdasarkangagasannya sendiri—dan menafikan kekacauan dalam sistem lama,yang sebenarnya membutuhkan solusi baru. Menurut Dahlan:
Indonesia memang satu negara, tapi memiliki ruang bagi duasistem. Dan di dalam sistem Aceh, Partai Aceh akan terbukabagi semua kelompok dan aspirasi, seperti yang dicita-citakan
529
oleh Soekarno. Soekarno memiliki visi tentang bangsa yangterdiri dari rakyat kecil (kaum marhaen), di antaranya kelompokpetani, nelayan, intelektual, ulama, dan sebagainya.
PA bahkan sukses memecah-belah kelompok Islam yangkomunal, dengan mendukung organisasi massa keagamaan yangberbeda. Langkah PA barangkali juga menjelaskan hasil takmemuaskan yang diperoleh partai-partai Islam lokal.
Di sisi lain, Partai SIRA gagal membangkitkan dan meng-organisir kembali asal muasalnya sebagai sebuah koalisi organisasi-organisasi non-pemerintah, yang berubah menjadi gerakan sosialdan berjuang secara damai melalui prinsip nasionalisme, yang egali-tarian secara sosial. Partai SIRA dan jaringannya sungguh rapuh,tercerai-berai, dan tak fokus. Sebagai contoh, sebagian anggota danpendukung Partai SIRA menginjakkan satu kaki di Partai SIRA,dan kaki lainnya di Partai Aceh. Selama kampanye, sikap semacamini justru menjadi masalah di dalam Partai SIRA. Partai, misalnya,akhirnya enggan menanggapi berbagai intimidasi, yang berusahamengenyahkan dan menghalangi Partai SIRA. Alasannya, partaikhawatir respon tersebut akan merugikan pihak yang meng-intimidasi, dan selanjutnya, justru memicu perpecahan di dalamtubuh Partai SIRA. Dengan kata lain, Partai SIRA gagal mentrans-formasi sebuah gerakan sosial berbasis gerakan mahasiswa, yangpernah terlibat aktif dalam politik dan mencoba mempengaruhiberbagai pimpinan politik dan kelompok penekan, menjadi sebuahpartai politik yang terstruktur baik dan berbasis pada gerakantersebut.
Selain itu, Partai SIRA juga tak pernah sungguh-sungguhmenelaah berbagai peluang politik untuk mendukung upayademokratisasi lebih lanjut, sebagai pedoman (roadmap) dalammenyediakan dukungan bagi para korban kekerasan, serta parapetani, nelayan, pengusaha, dan kelompok kepentingan lainnya
HILANG ARAH DALAM TRANSISI, KALAH DALAM PEMILU
530 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
melalui upaya-upaya imparsial, dan bukan melalui cara-caraklientelisme. Partai SIRA tak mampu mengartikulasikanideologinya, dengan lebih spesifik dan konkrit, kepada khalayakyang lebih luas. Partai ini hanya mampu mengutarakan ideologinyapada tataran umum—yang ujung-ujungnya terdengar tak jauhberbeda dengan ideologi Partai Aceh. Kenyataan palingmengherankan adalah mereka yang turut membantu kemenangandalam Pilkada 2006, yakni para aktivis SIRA dan kelompok GAMyang tersisih itu, ternyata tak mampu memanfaatkan secara opti-mal posisi mereka sebagai tim ahli dan anggota pemerintahan.Bahkan sebagai aktivis masyarakat sipil, mereka juga tak mampumemperjuangkan perubahan. Padahal upaya tersebut kemungkinandapat mengembangkan lebih banyak akses terhadap sumber dayapublik, bagi rakyat kecil dan kelompok kepentingan lainnya—sebagai alternatif terhadap patronase yang ditawarkan pimpinanGAM yang konservatif, dan Partai Aceh. Terabaikannya peluangini disebabkan oleh alasan yang cukup membuat frustasi: PartaiSIRA pun tak luput dari tuduhan favoritisme. Hal ini terlihat dariberbagai kritik yang dialamatkan pada kinerja Wakil GubernurMuhammad Nazar dan kegiatan bisnisnya.
Di sisi lain, para pimpinan GAM yang reformis dan aktivisSIRA kurang banyak mengekspos peran mereka dalam pengem-bangan demokrasi sebagai pedoman pelaksanaan perdamaian, yangkemudian tertuang dalam MoU (lihat Bab 1 buku ini).
Alhasil, Partai SIRA, yang semula dianggap sebagai salah satupesaing kuat Partai Aceh, tak mampu menyajikan programalternatif menjanjikan, dengan proposal kebijakan yang konkritdan menjangkau khalayak yang lebih luas. Partai SIRA tetapbersikap pasif, dan terlalu berhati-hati. Alasannya, mereka mencobauntuk mendorong upaya rekonsiliasi dengan pimpinan reformisGAM dan para pengikutnya dari basis yang sama pada Pilkada2006. Namun, para pimpinan reformis GAM menolak gagasan
531
untuk membentuk kelompok politik terpisah, dan memilih untukmelakukan rekonsiliasi dengan para pimpinan tua GAM dan PartaiAceh. Dalam proses selanjutnya, Partai SIRA juga tak mampumelakukan konsolidasi ulang dan memobilisasi dukungan darigerakan masyarakat sipil. Partai SIRA dan barangkali beberapapartai politik lokal lainnya telah mengabaikan fakta bahwa PartaiAceh telah bekerja keras untuk menutupi kelemahannya dalambidang gerakan sosial seperti masyarakat sipil, antara lain denganmerangkul sejumlah pemimpin dan kelompok ke dalam sistempatronasenya, sehingga menjadi mesin politik yang efektif.
Akhirnya, berbagai faksi dalam Partai SIRA pun tak mampumenerima berbagai kelemahan yang mereka miliki, dan lebihmengeluhkan tindak kecurangan dan intimidasi selama pemilu.Taufik Abda dari Partai SIRA tidak menyebutkan alasan lain dibalik kegagalan dalam pemilu ketika wawancara. ‘Partai SIRAmemiliki infrastruktur politik yang lumayan baik. Namun,kenyataannya kami memperoleh suara lebih kecil dari partai politiklain, yang infrastruktur politiknya lebih lemah daripada SIRA,’tuturnya. Meski begitu, dia mengakui bahwa ‘Partai SIRA tidakmenyiapkan contingency plan untuk menghadapi buruknya sistempenyelenggaraan pemilu di Aceh.’
Bertolak belakang dengan Partai SIRA, yang berorientasi padapaham sosial demokrat yang kabur dan kelompok nasionalis-Islam,Partai Rakyat Aceh (PRA) dengan paham sosialis yang lebih radikal,justru memperoleh hasil lebih baik daripada perkiraan sebelumnya.Seperti telah dipaparkan Dahlan, ideologi PRA sangat berbeda denganPartai Aceh, dan lebih tegas dibanding ideologi Partai SIRA. PadaPemilu 2009, perolehan suara PRA sangat dekat dengan suara PartaiSIRA. Pada tingkat propinsi, PRA memperoleh 1.7% suara, sedangkanSIRA mengumpulkan 1.78%. Kendati begitu, masih perlu diamati lebihjauh, apakah kedua partai itu dapat bekerjasama untukmenggabungkan agenda dan aksi-aksinya di masa mendatang.
HILANG ARAH DALAM TRANSISI, KALAH DALAM PEMILU
532 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
Terutama ketika ketentuan hukum (tentang electoral threshold 5% bagipartai politik, yang ingin berpartisipasi dalam pemilu/pilkadaberikutnya) memaksa mereka untuk membubarkan partai masing-masing, dan mulai lagi dengan nama baru, pada pemilu berikutnya.
Keterkaitan dengan partai politik nasionalKeputusan Partai Aceh untuk melakukan ‘kesepakatan’
rahasia dengan sebuah partai politik nasional, Partai Demokrat,sungguh mengagetkan. Hanya beberapa minggu menjelangpemilu, tersebar kabar bahwa salah satu pimpinan tertinggi PartaiAceh mendukung tim kampanye Partai Demokrat di Aceh. Namun,ketika kami menanyakannya pada Sekjen PA, Yahya Muaz, tentangaliansi rahasia dengan Partai Demokrat, dia mengelak danmengatakan, ‘Itu urusan rakyat. Kami, PA, nggak ada urusan. Ituurusan rakyat. Seperti saya bilang, PA tidak akan berkoalisi denganpartai apapun.’
Menjawab pertanyaan kami tentang kesepakatan antara PartaiAceh dan Partai Demokrat, setidaknya setelah pemilu, anggota se-nior Partai Aceh, Hasbi Abdullah memberikan penjelasan yang lebihdiplomatis. Dia menguraikan,
Belum, tapi kami, orang per orang, sudah buat pendekatan.Mereka [Partai Demokrat] mau bantu kita, terutama dalamrangka pemberdayaan ekonomi rakyat. Konsensus [partaikami] dengan Partai Demokrat nanti, akan salingmenguntungkan
Selanjutnya, selama kampanye pemilihan presiden, sejumlahbupati dan walikota yang dekat dengan Partai Aceh menunjukkandukungan mereka kepada kandidat Yudhoyono-Boediono.Beberapa di antara mereka justru bergabung dengan tim kampanye,seperti yang dilakukan Gubernur Irwandi Jusuf (Serambi Indonesia,2009b). Sedangkan Partai SIRA terpecah dalam hal dukung-
533
mendukung ini. Wakil Gubernur Muhammad Nazar bergabungdengan tim Yudhoyono-Boediono, sementara anggota partailainnya berafiliasi dengan tim Kalla-Wiranto—dan kelak kembalimengalami kekalahan.
Tentu saja, Partai Aceh tak memberi dukungan resmi, sepertipenegasan juru bicara partai, Adnan Beuransah, pada media (SerambiIndonesia, 2009c). Ketua Partai SIRA Taufik Abda juga menerapkankebijakan serupa dalam partainya. ‘Partai SIRA memberikankebebasan kepada para kadernya untuk terlibat dalam tim peme-nangan capres [calon presiden] manapun.’ Partai Demokratkemungkinan memperoleh dukungan terbesar karena SBY palingdiunggulkan untuk menang. Partai Aceh pun tak menutupisimpatinya pada SBY. Ketika kami menanyakan apakah ada kontrakpolitik antara Partai Aceh dan tim SBY, Hasbi Abdullah, mengatakan:
Insya Allah, ada. SBY adalah orang yang memberikan izin kepadaWakil Presiden Jusuf Kalla untuk menyepakati MoU Helsinki. Saya kira itu [alasan PA mengadakan kontrak politik denganSBY]. Masyarakat Aceh tahu itu. Masyarakat Aceh melihat SBY,bukan Demokrat. Karena di belakang Demokrat, ada SBY. Jadi,yang dilihat SBY, karena dia berjasa untuk Aceh, walaupun dibelakangnya ada Jusuf Kalla. Tapi ketika JK berpasangandengan Wiranto, image JK menjadi kurang bagus. Jadi adapengaruhnya.
Penjelasan yang lebih umum dikemukakan oleh Muhariadidari PKS. Dia mengatakan bahwa partai politik lokal perlu menjalinkomunikasi yang baik dan harmonis dengan Jakarta. MenurutMuhariadi, di Jakarta, terdapat sejumlah orang yang tak begitumemahami butir-butir kesepakatan dalam MoU. Karena itu, masalahsemacam itu harus segera diatasi. Kalau tidak, ‘itu akan memancingsuasana [tidak baik].’ Dengan menjalin komunikasi yang baik antarelit, masalah dan hubungan itu dapat difasilitasi ‘melalui partai-
HILANG ARAH DALAM TRANSISI, KALAH DALAM PEMILU
534 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
partai nasional, seperti PKS, dan partai lain yang memiliki wakil-wakil di pusat.’
Jadi, tampaknya upaya Partai Aceh untuk menjalin hubungandengan Jakarta adalah bagian dari usaha untuk mengamankankepemimpinannya di Aceh, yakni dengan mengandalkan dukungandari pusat. Partai Demokrat sebagai patron di level nasional menjadipilihan terbaik. Dengan memperlihatkan keterkaitan yang eratdengan partai politik nasional berkuasa, yang juga turut men-dukung proses perdamaian, memberi isyarat kepada para pemilihbahwa Partai Aceh adalah ‘pilihan paling aman’. Sebagai imbalan,Irwandi dan Partai Aceh pun memberi dukungan balik, sebagaisalah satu klien yang baik bagi Partai Demokrat. Sebaliknya, JusufKalla, tidak dianggap sebagai patron yang cukup memadai danmenjanjikan, karena rendahnya peluang JK dalam berbagai pollingsebelum pemilu.
Tak kalah penting juga, sikap Partai Aceh yang lebihmementingkan Demokrat dan SBY, barangkali didorong oleh faktabahwa SBY adalah kandidat yang mampu mengendalikankepolisian dan tentara. Beberapa bulan sebelum pemilihan umum,para pendukung Partai Aceh mulai dihinggapi kekhawatiran akibatmaraknya aksi teror di provinsi tersebut. Aksi teror itu jugamemunculkan ketakutan bahwa perdamaian akan terancam (ICG2009). Namun, tak diduga, pada 19 Februari 2009, Kapolda Acehdiganti, walaupun baru memegang jabatan selama satu setengahtahun (Adhar, 2009). Sejumlah pihak berasumsi, rotasi ini dipicuoleh kasus-kasus teror yang tak kunjung berhasil dipecahkan,termasuk di antaranya, berbagai aksi serupa di Aceh. Keputusanini ditanggapi dengan sangat positif oleh Partai Aceh.
Partai politik lokal tunggal: keberhasilan atau kegagalan?Partai Aceh adalah satu-satunya partai politik lokal yang lolos
‘seleksi alamiah’ dalam proses demokrasi formal, bersama Presiden
535
Yudhoyono dan Partai Demokratnya. Selain itu, sejumlah partaipolitik nasional juga memenangkan beberapa kursi di lembagalegislatif daerah (DPRA/DPRK). Singkat kata, tak ada lagi yangtersisa bagi partai politik lokal non-GAM pada tingkat provinsi,kecuali satu kursi bagi PDA, yang didukung kelompok ulama.
Situasi itu, sungguh mengejutkan, ternyata sangat mencermin-kan kesepakatan bagi-bagi kekuasaan antara GAM dan pemerintahIndonesia, yang pernah ditawarkan pemerintah Indonesia dalamnegosiasi di Helsinki, tapi ditolak oleh delegasi GAM dan Ahtisaaripada waktu itu (lihat Bab 1). Saat itu, hasil akhirnya adalah pedomanpelaksanaan perdamaian yang demokratis (democratic roadmap) melaluipelaksanaan pemilu, yang memberi kesempatan bagi semua pihakuntuk berpartisipasi, baik melalui pengajuan kandidat independen,maupun pendirian partai politik lokal, sebagai tambahan dari partai-partai politik nasional yang telah ada di Indonesia.
Awalnya para pimpinan GAM yang reformis dan pimpinanSIRA berharap akan ada suatu kesempatan yang adil bagi semuapihak, dalam membentuk lebih dari satu partai politik lokal, danbersaing dalam pemilu. Pasalnya, konsep sistem multipartaibertujuan untuk menghindari bagi-bagi kekuasaan antar elitpolitik, yang dapat mengabaikan aspirasi murni rakyat kecil di levelakar-rumput. Tapi, menurut Dahlan, Partai Aceh adalah satu-satunya partai yang mencerminkan aspirasi nasionalisme rakyatAceh. Memang partai politik lain juga ada, termasuk partai politiknasional. Namun, tak ada lagi ruang bagi partai politik lokal lain,yang mewakili nasionalisme Aceh. Lagipula di dalam Partai Aceh,ungkap Dahlan, tersedia ruang bagi berbagai kelompok dankepentingan, seperti aktivis mahasiswa, intelektual, ulama, nelayan,petani, dan sebagainya.
Ambisi untuk menghegemoni ini menerbitkan tanda tanyabagaimana kelak ambisi itu berdampak bagi perkembangandemokrasi di Aceh.
HILANG ARAH DALAM TRANSISI, KALAH DALAM PEMILU
536 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
Tanggapan terhadap kemenangan mutlak Partai AcehWalaupun tak ada konsensus atau pemahaman yang jelas
tentang transisi di Aceh, dari situasi perang menuju prosesperdamaian yang demokratis dan pembentukan pemerintahan-sendiri, Pemilu 2009 adalah langkah formal terakhir, yangdiamanatkan MoU Helsinki. Karena itu, banyak informan yangmenyambut gembira pelaksanaan pemilu dan kemenangan PartaiAceh sebagai bentuk lain dari ‘kemerdekaan’, yang diharapkandapat mencegah berbagai gangguan terhadap proses perdamaian.
Beberapa informan berpendapat, kemenangan Partai Acehmencerminkan suara rakyat Aceh. Prof Fardi Wajdi dari IAIN Ar-Raniry Banda Aceh menjelaskan,
Secara umum orang Aceh itu mandiri. Kemandirian dalammemilih siapapun yang mereka inginkan adalah bagian darikepribadian orang Aceh. Kepribadian ini tak hanya dimilikioleh orang kota, tapi juga orang kampung. Orang Aceh itucerdas dan tahu siapa yang pantas memperoleh suara mereka.
Zubaidah Djohar, seorang perempuan peneliti, mengklaimbahwa kemenangan Partai Aceh yang fenomenal itu adalah titikawal demokratisasi di Aceh, sesuai harapan dalam kesepakatandamai di Helsinki. ‘Ini adalah sebuah kemenangan bersama rakyatAceh, dan menjadi icon perubahan yang besar untuk pemerintahanAceh ke depan.’ Dia menambahkan, kemenangan itu mengirimpesan kuat ke pemerintah pusat tentang betapa otonomnya rakyatdi provinsi tersebut.
Hari ini, daerah dapat menentukan pemimpinnya, wakilrakyatnya dan masa depan mereka. Jadi, kemenangan PA tidakhanya merupakan simbol perubahan bagi masyarakat Aceh,tetapi juga simbol perubahan besar bagi seluruh masyarakatIndonesia, terutama bagi pemerintahan pusat sendiri. Jadi, tidak
537
alasan bagi mereka untuk tidak melanjutkan perdamaian yangtengah berlangsung hari ini.
Para aktivis partai politik nasional mengatakan bahwakemenangan Partai Aceh sesuai dugaan. Banyak di antara merekayang mengatakan, kecurangan dan intimidasi adalah hal biasadalam pemilu yang berlangsung kala masyarakat tengah menjalanimasa transisi. ‘Dalam [ukuran] sebuah masa transisi demokrasi,pemilu lalu sudah lebih baik,’ kata Muhariadi dari PKS. Selain itu,pimpinan PKB di Aceh, Marini (yang gagal terpilih kembali),mengatakan bahwa kemenangan PA menunjukkan aspirasi rakyatAceh. ‘Hari ini, masyarakat memilih itu. Mereka memberikankepercayaan kepada partai tersebut.’ Karena itu, dia menambahkan,Partai Aceh wajib memenuhi janji-janjinya. ‘Kemenangan yangmengklaim kemenangan rakyat Aceh ini, harus benar-benardibuktikan dengan segala kebijakan-kebijakan,’ kata dia. Pendapatserupa juga dikemukakan Muhariadi. Dia mengingatkan, dominasiPartai Aceh akan berdampak buruk bagi partai itu, jika PA gagalmemenuhi janji-janjinya
Tentu saja, partai politik nasional yang berhasil dalam pemiludi Aceh, juga harus memenuhi janji-janjinya untuk menghindariberbagai kritik. Namun, pertanyaan utama adalah dapatkahlembaga legislatif di tingkat provinsi menjadi lembaga yangbertanggung jawab dan bersungguh-sungguh dalam menunaikantugasnya, apabila Partai Aceh merupakan satu-satunya partaipolitik terbesar di sana?
Dominasi PA dan dampaknyaBeberapa informan menekankan bahwa posisi Partai Aceh yang
menghegemoni akan membuat pemerintahan Irwandi-Nazarsemakin berpengaruh. Karena Irwandi telah menjadi anggotapartai, sejumlah informan berpendapat bahwa Irwandi akan lebihmudah menjalankan kebijakan-kebijakannya. Said Kamaruzzaman
HILANG ARAH DALAM TRANSISI, KALAH DALAM PEMILU
538 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
mengatakan bahwa hubungan antara eksekutif dan legislatiftakkan bermasalah.
Bagi Gubernur Irwandi, yang juga mantan kombatan GAM,kemenangan Partai Aceh akan memudahkan pihaknyamembuat kebijakan. Sebagaimana diketahui, 33 anggota DPRAberasal dari Partai Aceh. Visi-misi dan program-programnyayang berorientasi kerakyatan akan mudah dijalankan, karenamereka berasal dari “ideologi” yang sama.
Kendati begitu, patut diingat bahwa dukungan Irwandi yangbegitu besar untuk Partai Aceh tak membuahkan hasil sebaikpencapaiannya bersama Nazar dari Partai SIRA pada Pilkada 2006.Karena itu, menarik untuk diamati, apakah Irwandi akan semata-mata bergantung pada dukungan Partai Aceh, jika dia bermaksuduntuk maju dan memenangkan pemilihan gubernur dan pilkada,yang akan berlangsung pada Desember 2011, dan berlanjut di 2012.Selain itu, sewaktu bab ini ditulis, popularitas Irwandi terusmenurun dan kritik terhadap pemerintahannya pun meningkat.Tempo, misalnya, memberitakan bahwa pemerintah Aceh telahmenandatangani perjanjian kerjasama dengan perusahaanpenerbangan, yang memiliki keterkaitan dengan salah satu taipanbisnis dengan reputasi miring, Tommy Winata (Tempo 12-18 Octo-ber 2009). Singkatnya, Irwandi kemungkinan perlu menambahbasis dukungannya, selain Partai Aceh, dengan dukungan daripartai politik yang berbasis di Jakarta, agar bisa bertahan dari hujankritik atau menimbang kembali keputusannya yang mengabaikangerakan progresif di luar Partai Aceh, demi memperbaiki kinerjanya.
Beberapa kelompok kepentingan, yang berakar dari partisipasirakyat, khawatir bahwa Partai Aceh tak mungkin ditentang, danmenjadi terlalu berkuasa. Raden Samsul dari serikat pekerja berharap,Partai Aceh akan menepati janji-janjinya. Tapi, dia juga menaruhperhatian pada dominasi PA di lembaga legislatif. Dia memaparkan:
539
Kami menaruh harapan besar dengan kemenangan mayoritasPartai Aceh. Tapi, kami juga khawatir jumlah mereka yangsangat dominan di parlemen akan mengurangi kualitasdemokrasi. Misalnya, PA sudah tidak merasa perlumembangun hubungan intens dengan rakyat pemilih mereka,atau ada perasaan kurang perlu menghargai pihak lain, karenarakyat Aceh telah memenangkan mereka secara sangatdominan atau telak.
Seperti yang dibahas dalam bab 8 buku ini, hegemoni PartaiAceh membutuhkan kekuatan penyeimbang untuk menjaminkeberlanjutan dan pengembangan demokrasi. Salah satu yangpatut menjadi perhatian utama adalah aturan untuk pilkadamendatang di Aceh yang melarang pengajuan kandidat inde-penden. Padahal calon independen kini justru diizinkan diprovinsi-provinsi lain. Ini berarti, hanya partai politik denganjumlah perwakilan yang memadai di lembaga legislatif tingkatprovinsi, yang dapat menominasikan calon. Kemungkinanterburuk yang bakal terjadi adalah upaya bagi-bagi kekuasaanantara Partai Aceh dan partai politik nasional yang dominan, danujung-ujungnya merugikan para aktor politik lokal. Jika aturanitu tak diubah, barangkali takkan ada alternatif bagi organisasipro-demokrasi untuk muncul kembali, dan mendorong prosesdemokratisasi di masyarakat pasca konflik ini.
Bagaimana tanggapan Partai Aceh mengenai isu dominasipolitik ini? Dalam wawancara, Hasbi Abdullah mengatakan,‘Karena di DPR Aceh nanti ada orang-orang PA yang mendominasilembaga ini, ketika mengambil keputusan tidak perlu koalisi denganpartai lain.’ Senada dengan ucapan ini, Yahya Muaz mengungkap-kan, ‘PA tidak akan berkoalisi dengan partai apa pun.’ Sikap initentu saja tak aneh dalam demokrasi yang berdasarkan padakeputusan pihak mayoritas. Tapi, persoalannya, kelompok-kelompok yang tersisih dan kelompok minoritas dalam politik,
HILANG ARAH DALAM TRANSISI, KALAH DALAM PEMILU
540 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
kemungkinan besar takkan memperoleh kesempatan untukmenyuarakan aspirasinya. Baik sekarang, maupun menjelangpilkada yang akan datang.
Era Orde Baru adalah salah satu contoh buruk. Pihakmayoritas (yang ditentukan melalui pemilu resmi) adalah Golkar.Golkar mengumpulkan sejumlah perwakilan kelompok-kelompokkepentingan, yang dipilih dan ditentukan dari atas, dan sangatpatuh pada patron. Saat ini, umumnya semua pihak setuju bahwasituasi semacam itu adalah bencana bagi Aceh, terutama jika adausaha mengamankan perlakuan khusus bagi kelompok-kelompokberkuasa, dan mengabaikan aspirasi murni rakyat dari bawah.Karena itu, kelompok mayoritas saat ini, sebagai pemenang dalampemilu yang lebih adil, seharusnya diimbangi dan dikontrol,khususnya oleh partai-partai oposisi yang efektif, kelompok-kelompok yang tersisih dalam masyarakat sipil, kelompok-kelompokkepentingan, serta dalam diskursus publik pada umumnya.
Namun, sayangnya, hingga sekarang, upaya demokratisasidi Indonesia—termasuk di Aceh, semata-mata bertumpu padakebebasan dan pelembagaan demokrasi melalui pemilu. Selebihnyayang acap terjadi adalah pengabaian, dan penegasian nilai-nilaidasar dan hak asasi, yang berujung pada absennya bentuk-bentukkontrol oleh rakyat terhadap kepentingan publik atas dasar prinsipkesetaraan dalam politik—seperti yang kerap dikumandangkan paraahli mengenai tujuan dari demokrasi.
Menilik pengalaman Indonesia di masa lalu pada masa OrdeBaru, maka tak heran jika muncul kekhawatiran bahwa kombinasiantara eksekutif yang kuat tapi kurang demokratis, dan legislatifyang ‘asal Bapak senang’ atau ‘yes man’, dapat menciptakan kembalikecenderungan-kecenderungan autoritarian. Resiko yang jelastimbul adalah eksekutif dan legislatif bekerjasama untuk meng-abaikan, dan bahkan melegitimasi perilaku yang kian meng-khawatirkan dewasa ini, seperti korupsi, kolusi dan nepotisme.
541
Dampak paling serius, yang bisa terjadi adalah masyarakat kecilpun akhirnya menyesuaikan diri dengan perilaku-perilaku haramtersebut, apabila tak ada atau hanya sedikit peluang untukmenyuarakan kritik dan memperjuangkan aspirasi mereka melaluicara-cara independen.
Patut disayangkan, gejala-gejala yang mengarah pada situasisemacam ini sudah mulai terlihat. Misalnya, demonstrasi besar-besaran yang mendukung kepemimpinan Irwandi sebagaiGubernur pada 8 Februari 2010, untuk memperingati tahun ketigaIrwandi-Nazar di pemerintahan (Serambi Indonesia, 2010b; TempoInteraktif, 2010). Seperti yang diberitakan Serambi Indonesia (2010b),massa menyerukan dukungan bagi Irwandi (tanpa menyebutNazar) sebagai Gubernur Aceh, dan menuntut hal sama kepadapara pimpinan Partai Aceh ketika mengunjungi kantor pusat partaitersebut. Pimpinan partai berjanji akan memenuhi tuntutantersebut. Sejumlah laporan media terkemuka menyebut bahwabeberapa peserta dalam aksi demonstrasi itu memperoleh bayaran,sehingga terkesan Irwandi dan Partai Aceh mulai bergerak untukmempengaruhi rakyat dengan menggunakan dominasi mereka,yang seolah tak punya lawan itu (Serambi Indonesia, 2010a, 2010b;Tempo Interaktif, 2010).5
Hasbi Abdullah menepis kekhawatiran itu, dan menyatakanbahwa Partai Aceh akan lebih mendahulukan kepentingan publikdaripada mendahulukan kepentingan partai.
Kita tidak mengarah ke sana, sebab kita tetap berpikir untukkepentingan rakyat. Dengan duduk di parlemen, kita bisamemikirkan nasib rakyat Aceh. Kita bisa berupaya berubah,tidak untuk otoriter. Kita semata-mata duduk di parlemenuntuk kepentingan rakyat.
Serupa dengan pernyataan itu, Yahya Muaz bereaksi kerasterhadap setiap pertanyaan yang menyinggung rencana Partai Aceh
HILANG ARAH DALAM TRANSISI, KALAH DALAM PEMILU
542 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
untuk bekerjasama dengan partai politik lain. ‘Bodoh kali pertanyaanAnda,’ bentaknya, ‘Di parlemen semua berpikir untuk Aceh. Bukanberpikir untuk partai.’ Setiap anggota legislatif dari partai Aceh akanmemperoleh sanksi dari partai, jika mereka melanggar hukum ataumelakukan tindak korupsi. Baik Yahya maupun Hasbi menjelaskanbahwa partai akan memberikan tiga kali peringatan kepada setiapanggota legislatif, jika mereka melakukan pelanggaran. Padaakhirnya, ‘jika tidak berubah, maka segera dilakukan penggantiananggota antar waktu,’ Yahya menegaskan.
Pernyataan-pernyataan tersebut tentu menggugah, sertamenuntut adanya kritik yang independen dan oposisi yangmenjanjikan, untuk mengungkap perilaku-perilaku tak wajar danmengawasi pelaksanaan upaya koreksi terhadap perilaku tersebut.Di sisi lain, pernyataan yang sama menggugahnya disampaikanpula oleh Dahlan. Dia mengatakan bahwa Partai Aceh jugamenerima gagasan bahwa aturan tentang partisipasi dalam pilkadamendatang perlu diubah, agar kandidat independen dapat maju,sehingga bisa mencegah dominasi oleh satu partai politik lokaltertentu. Karena itu, sangat penting bila pernyataan itu segeraditindaklanjuti oleh kalangan pro-demokrasi yang punya komitmenpada masa depan demokrasi di Aceh.
Koalisi eksekutif-legislatif: KKN nan abadi 6
Terlepas dari janji-janji partai Aceh, tak dipungkiri bahwa saatini, dinamika hubungan antara legislatif dan eksekutif akanberubah. Pola patronase akan berganti dan isu-isu transparansidan akuntabilitas patut menjadi perhatian utama. Partai Aceh telahmemastikan dukungan kuat bagi pemerintahan Irwandi, karenaIrwandi telah kembali ke asalnya yang lama. Yahya Muaz mene-gaskan bahwa Partai Aceh dan lembaga legislatif akan mendukungpemerintahan Irwandi:
543
[Proses pengambilan keputusan dan pembuatan kebijakanakan] lebih cepat. [Irwandi] tentu senang, karena sebagaieksekutif, [dia dapat] bermusyawarah [tentang program-programnya] dengan legislatif [yang] satu partai dengan dia.Selama ini, Parlemen Aceh telat mengesahkan APBN, yangmenyebabkan telatnya program-program. Kami berharapdapat bekerjasama dengan pemerintah Irwandi.
Bagaimana gubernur merespon dukungan semacam ini? Disatu sisi, sang gubernur masih belum bisa mengontrol perilaku-perilaku lama dalam birokrasinya, seperti favoritisme danklientilisme, yang mengakibatkan dirinya dihujani kritik. Kinitampaknya sang gubernur akan lebih kesulitan untuk mencegahkepentingan-kepentingan tertentu—terutama kalangan aktivis danbekas pejuang GAM yang sekarang telah menjadi pengusaha—mengeruk untung dari berbagai proyek-proyek kepentingan publik.
Sementara itu, patut disayangkan pula jika badan legislatfibaru tak mampu mengakomodasi isu-isu penegakan keadilan, hakasasi manusia, kesetaraan gender dan pelayanan kesehatan. Dewasaini, semakin luas kekhawatiran bahwa badan legislatif akan lebihmengejar kepentingan ekonomi dan agenda-agenda politik mereka.Caranya, antara lain, dengan menyediakan bisnis-bisnis khususdan kesempatan kerja bagi para bekas pejuang GAM, yang jugapendukung mereka, atau memperbaiki hubungan mereka denganJakarta. Jika hal itu terjadi, maka rakyat kecil takkan bisamembedakan legislatif baru dengan legislatif yang lama. Sebaliknya,favoritisme yang terus menerus menyajikan keistimewaan di bidangekonomi dan politik bagi kelompok-kelompok kepentingantertentu, akan menambah persoalan-persoalan sosial baru, antaralain menguatnya kelompok elit baru di setiap kabupaten, rendahnyaakuntabilitas dan kerjasama dengan organisasi-organisasimasyarakat sipil yang independen, serta keengganan merekamerespon diskursus publik, baik melalui media atau saluran lainnya.
HILANG ARAH DALAM TRANSISI, KALAH DALAM PEMILU
544 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
Kenyataannya, seperti yang telah diuraikan dalam Bab 8 bukuini, pemerintahan GAM/SIRA tak memperlihatkan upaya sungguh-sungguh dalam memberantas perilaku-perilaku tak wajar dalambirokrasi. Para birokrat dan perilaku korupnya tetap bercokol disana, dan kelompok kepentingan baru yang ingin mencari untung,yakni para bekas pejuang GAM, justru semakin menambahkebobrokan itu, apalagi proyek-proyek rekonstruksi tengah boom-ing pasca tsunami. Selain itu, pembagian kerja dan kerjasama antaraeksekutif dan legislatif sebelumnya, tak kunjung menunjukkan hasilyang baik. Akibatnya, rasa tidak puas kian merebak. Menurut SaidKamaruzzaman, buruknya kinerja pemerintahan GAM/SIRAsungguh serius.
Dari 23 kabupaten/kota, 19 di antaranya dipimpin oleh mantankombatan GAM. Mereka memang menang “mutlak” dalamPilkada 2006 lalu. Namun, tidak ada prestasi mereka yangmembanggakan saat ini. Komunikasi mereka sangat buruk,termasuk dengan kaum jurnalis. Yang sering menjadi sorotanmedia justru dugaan terjadinya berbagai ketimpangan,misalnya dugaan korupsi. Pengelolaan keuangan daerah jugatergolong tidak taat azas. Pengawasan internal dinilai rendah.Begitulah hasil pemeriksaan lembaga resmi, semisal BPKP.Begitulah kesan umum potret kinera mereka yang maju melaluijalur independen itu.
Jadi, apa makna kemenangan mutlak sebuah partai politik lokalyang beraliansi dengan Gubernur bagi masa depan Aceh? ThamrenAnanda dari PRA memperkirakan, dominasi tersebut membuatposisi Wakil Gubernur Muhammad Nazar dari Partai SIRA semakintertekan. Namun, dia yakin, tekanan itu takkan berlangsungselamanya. Thamren menjelaskan:
545
Meski kemenangan PA akan berpengaruh kurang baik terhadapwakil gubernur, sebab beliau dari Partai SIRA—yang memangdimusuhi oleh PA sejak kampanye pemilu lalu—tapi hal itu tidakakan bertahan lama, karena partai pemenang tidakmengedepankan ideologi dan programatiknya. [Para pimpinan]hanya [akan peduli tentang] kekuasaan pragmatis dan bagi-bagi “kue” kekuasaan antar kalangan elit politik, di eksekutifdan legislatif. Karena basis hubungan yang terbangun adalahpragmatisme yang jauh dari pandangan dan ideologi politikmasing-masing, maka semua hubungan akan baik-baik saja.Kalaupun ada percekcokan/pertengkaran itu jika terjadiketidakmerataan pembagian “kue” kekuasaan di kalanganmereka. Dan itu kan dapat diselesaikan dengan mudah [dikalangan elit].
Dengan penuh percaya diri, Dahlan menambahkan bahwaPartai SIRA akan hancur berantakan, karena tak lagi berbagikekuasaan. Menurut dia, ‘Partai SIRA tidak memiliki ideologi yangbetul-betul berbeda, selain paham nasionalisme yang diperoleh dariinduk partai yang asli, Partai Aceh. Jadi, ketika para pimpinankehilangan akses terhadap sumber daya, dengan sendirinya merekaakan hilang.’ Tentu saja, kini tergantung pada aktivis Partai SIRAuntuk membuktikan hal yang sebaliknya.
Partai politik lokal di Aceh: masa depan serba tak menentuKetika Gubernur Irwandi, yang sebelumnya berposisi netral,
akhirnya mendukung partai Aceh sebagai satu-satunya partai politiklokal yang sah, proses demokratisasi di Aceh menghadapi persoalanserius. Tindakan Irwandi itu menimbulkan kebingungan di kalanganpendukungnya, yang mengusung pasangan Irwandi-Nazar sejak2006. Kelompok tersebut mendukung gagasan pro-demokrasi dariperundingan di Helsinki, yang kemudian menyatukan para aktivisSIRA, anggota GAM yang reformis dan bekas pejuang GAM dilapangan. Mereka bersatu-padu untuk mengembangkan tata kelola
HILANG ARAH DALAM TRANSISI, KALAH DALAM PEMILU
546 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
pemerintahan alternatif, di luar kerjasama dengan partai politiknasional Indonesia (lihat Bab 1). Tentu saja, keputusan Irwandi untukbergabung dengan Partai Aceh tak terlalu mengejutkan. Pasalnya,upaya awal untuk membentuk partai politik berbasis para anggotaGAM pro-demokrasi, yang bisa menjadi tempat bernaung pula bagiaktivis SIRA, telah dikesampingkan. Di sisi lain, kinerja pemerintahanIrwandi-Nazar yang sungguh buruk, memaksa Irwandi mencaridukungan alternatif. Tapi, keputusannya itu merupakan pukulanberat bagi kalangan GAM reformis dan aktivis SIRA. Pasalnya,kelompok tersebut menggunakan pedoman pelaksanaan perdamaianyang demokratis dari MoU sebagai basis pemikiran mereka. Selainitu, mereka juga mengusung gagasan tentang kesetaraan dalampolitik dan kompetisi yang adil antara partai-partai politik lokal.
Apakah partai-partai politik lokal lain bisa memperolehkesempatan kedua? Marini dari PKB mengingatkan adanyasejumlah persoalan sebagai berikut. Kendati partai lokal, PartaiAceh, mencetak kemenangan mutlak dalam pemilu di tingkatpropinsi dan kabupaten/kota, namun kemenangan itu tak sertamerta merupakan kemenangan bagi partai politik lainnya. Partaipolitik lokal yang mengalami kekalahan, termasuk Partai SIRA danPRA, memperoleh suara yang teramat sedikit, sehingga merekatakkan mampu mengajukan calon dalam pilkada 2011. Selain itu,karena ketentuan yang mengatur electoral threshold minimumsebanyak 5% bagi partai politik yang ingin berpartisipasi dalampemilu baru, maka para partai kalah itu harus membentuk partaipolitik lokal dengan nama baru agar dapat berpartisipasi dalampemilu/pilkada mendatang.
Di sisi lain, aliansi informal yang sukses, antara partai politiklokal yang kuat (Partai Aceh) dan partai politik nasional yangberkuasa (Partai Demokrat), menunjukkan indikasi bahwa partaipolitik lokal dan kelompok kepentingan lainnya bakal diabaikan.Formula bagi-bagi kekuasaan selanjutnya digunakan dalam
547
negosiasi-negosiasi lain di masa mendatang, antara lainmenyangkut isu-isu penting bagi hajat hidup orang banyak.Misalnya, pendapatan minyak dan gas bumi, mengundang inves-tor dan pemberlakuan hukum adat.
Eliminasi politik terhadap partai politik lokal non-GAM, jugamengejutkan bagi kerangka pelaksanaan demokrasi di Indonesia.Sejumlah argumen yang beredar luas memberi dukungan padaupaya demokratisasi sistem partai politik, dan upaya membentukperwakilan politik, yang betul-betul mencerminkan aspirasi daribawah. Caranya, antara lain, mengizinkan pengembangan partaipolitik lokal, serta tak menuntut rakyat miskin dan para aktivisuntuk memobilisasi dana cukup bagi pengembangan partai politiknasional di seluruh pelosok negeri. Dalam banyak hal, Aceh adalahkasus percobaan. Tentu, harapan dari percobaan itu adalah hasilyang positif. Pendapat yang menyatakan bahwa pembentukanpartai politik lokal berbasis identitas etnis dan agama, berpotensimenimbulkan lebih banyak konflik, akhirnya terbukti tak benar.Meski begitu, seperti yang diketahui, Partai Aceh adalah satu-satunya yang berhasil, setelah kampanye yang keras terhadapkompetitor di tingkat lokal—terutama Partai SIRA. Kemenanganitu juga lebih dilihat sebagai kesepakatan bagi-bagi kekuasaandengan Presiden Yudhoyono dan Partai Demokrat.
Sungguh disesalkan, pengaturan kekuasaan semacam ituditerima dan didukung secara pasif oleh kalangan donor asing.Mereka beralasan, perdamaian yang stabil memerlukan keterlibatanpara bekas kombatan secara langsung dalam bidang politik danekonomi, tapi di sisi lain, justru mengabaikan gagasan utama MoU,yang mendukung partisipasi secara luas melalui demokrasi, yangberakar dari kesetaraan politik.
Seperti yang telah dikemukakan, kegagalan partai politik non-GAM, menyebabkan mereka tak mungkin berpartisipasi dalampemilu/pilkada mendatang. Taufik Abda dari Partai SIRA
HILANG ARAH DALAM TRANSISI, KALAH DALAM PEMILU
548 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
mengatakan bahwa partainya akan mengajukan judicial review padaMahkamah Konstitusi tentang ketentuan electoral threshold bagipartai politik lokal.
Kami akan mereview ketentuan electoral threshold partai lokaldalam UU No.11/2006, dan membandingkan dengan partainasional, yang tidak memenuhi electoral threshold, tapi bisa ikutpemilu berikutnya. Jika tidak bisa mereview [ketentuan itu],[kami] akan menyiapkan Partai SIRA jilid II.
Partai politik lokal lain juga kecewa dengan perbedaan aturantentang electoral threshold, yang mengizinkan sebuah partai politiklokal berpartisipasi dalam pemilu mendatang. Batas minimal bagipartai politik lokal adalah 5% suara, sedangkan batas minimal bagipartai politik nasional adalah 2.5 % suara. Seperti yang juga telahdiuraikan sebelumnya, aturan ini tak hanya menentukan partaipolitik lokal kecil, untuk berpartisipasi dalam pemilu berikutnya.Tapi, aturan itu juga menentukan kesempatan bagi mereka, untukmengajukan calon dalam pilkada mendatang, yang akan dimulaipada akhir 2011. Jika tidak, Partai Aceh adalah satu-satunya partaiyang bisa mengajukan calon.
Thamren Ananda dari PRA mencurigai adanya suatu skenariotersembunyi. ‘Negara mencoba memenangkan satu partai politiklokal saja.’ Jika hanya ada satu partai politik lokal di dalam badanlegislatif, maka partai itu akan mudah dihancurkan dan dimusnah-kan, ungkapnya. Ini juga menjadi alasan, kata dia, mengapa PRAtak melanjutkan gugatan mereka tentang hasil pemilu. ‘Kamiberpikir bagaimana menyelamatkan perdamaian dan [melanjutkan]keberadaan partai lokal.’
Pada tataran hukum, sebagian besar partai politik lokal kecilakhirnya bersikap menunggu, dan melihat bagaimana nasib merekaselanjutnya. Namun, apakah rencana mereka di masa depan? TaufikAbda dari Partai SIRA, misalnya, mengatakan bahwa partai
549
politiknya akan melanjutkan program pelatihan politik yang telahberjalan selama ini, dan mencoba untuk maju dalam pemilu di masamendatang.
Kami akan mengkonsolidasikan diri dan menekankanpendidikan politik untuk kader, anggota, dan masyarakat Aceh.Dan kami akan berusaha menguasai sebagian dari posisipemerintahan eksekutif di Aceh pada Pilkada tahun 2012 dankembali merebut kursi parlemen pada pemilu 2014.
Rencana PRA agak sedikit berbeda. Pada saat bab ini ditulis,Thamren dari PRA mengatakan bahwa partai politik lokal tengahmenjajaki sebuah rencana untuk membentuk aliansi dengan partai-partai politik lain, yang gagal memenuhi electoral threshold. PRA jugasedang mengkaji upaya untuk membentuk partai politik lokal baru.‘Jika partai-partai lokal itu menggabungkan suaranya masing-masing, maka kami akan dapat memenuhi ET dan bisa dapat tiketgratis untuk bertarung pada pemilu 2014,’ tuturnya. Selain itu,PRA juga ingin membentuk blok ekstra parlementer, yang terdiridari partai-partai politik yang telah kalah. Thamren memaparkan,
Jadi, kami akan membangun kekuatan ekstra parlemen, yangkami sebut sebagai blok politik programatik. Blok ini akanmengimbangi kerja-kerja perlemen, atau memberikan pilihan-pilihan alternatif kepada rakyat Aceh. Misalnya,[menyarankan] bahwa seharusnya regulasi-regulasinya bisadibuat lebih baik, seperti yang dirancang oleh blok ini.Demikian juga halnya dengan fungsi parlemen yang lain,seperti fungsi pengganggaran dan fungsi pengawasan. Intinya,blok tersebut akan mengimbangi parlemen, untuk memacumereka agar dapat bekerja lebih baik melayani rakyat Aceh.Harapannya, rakyat pun akan lebih tercerdaskan secara politik.
HILANG ARAH DALAM TRANSISI, KALAH DALAM PEMILU
550 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
Di satu sisi, rencana Partai SIRA menunjukkan perasaan takpercaya diri, dan tampaknya tidak realistis. Sebaliknya, gagasantentang blok ekstra parlementer adalah ide yang inovatif, danmembuka peluang-peluang yang dibutuhkan bagi upaya-upayayang demokratis. Namun, persoalannya, pembentukan bloktersebut juga berpotensi menyuburkan kecenderungan-ke-cenderungan yang tak demokratis. Karena itu, ide-ide yangprogresif dari kalangan pro-demokrasi perlu dikonsolidasi.Selanjutnya, kemampuan mereka perlu ditingkatkan agar dapattumbuh menjadi kekuatan alternatif. Namun, usaha semacam ituakan menjadi kontra-produktif dan hanya melayani aspirasimasing-masing partai politik, apabila blok politik yang lebih luasitu dipimpin oleh sebuah partai politik atau koalisi beberapa partaipolitik. Pada akhirnya, usaha itu mengulang praktek serupa olehPartai Aceh, yang menindas (seperti partai komunis di masa laluatau Golkar) organisasi-organisasi di level akar rumput, demitujuan politik dan kepentingan mereka sendiri.
Lantas bagaimana dengan masa depan Partai Aceh? Apa yangakan terjadi, jika partai itu gagal memenuhi harapan parapemilihnya? Walaupun Partai Aceh merupakan partai lokal yangmenghegemoni, partai itu tak akan menghilang begitu saja, gara-gara keahlian yang tak memadai dan tidak mampu mewujudkanjanji-janjinya. Seperti halnya partai politik nasionalis dalammasyarakat pasca kolonial yang baru, Partai Aceh kemungkinanakan selamat sebagai partai yang populis dan terpusat padakalangan elit. Partai ini akan terus menyediakan perlakuan istimewadan jalur patronase bagi kalangan profesional dan para pakar, selainbagi pelaku bisnis, pemimpin informal masyarakat, dan untukbeberapa tahun ke depan, bagi para bekas pejuang GAM. PartaiAceh tampaknya akan terus mempertahankan hubungan yang eratdengan Partai Demokrat, sepanjang Presiden Yudhoyono menjadipatron utama dalam proses perdamaian dan penyediaan peluang-
551
peluang bisnis bagi Partai Aceh dan para pendukungnya.Pendeknya, Partai Aceh kemungkinan besar akan naik turundengan kebijakannya yang populis, dan melalui kemampuannyadalam mendistribusikan jalur patronase; selama tak ada peluangmenjanjikan bagi rakyat biasa untuk mengembangkan upaya-upaya alternatif yang lebih demokratis, untuk mempengaruhikepentingan publik dan akses pada sumber daya publik.
Di sisi lain, Partai Aceh (serta partai-partai politik lain yanglebih kecil) juga akan mengalami perpecahan. Sebagian besar partaipolitik dikendalikan oleh para elit, melalui kompetisi yang ketatdan minimnya keterwakilan pendukung di level akar rumput padainternal partai. Sayangnya, tampaknya sulit melihat adanyareformasi di dalam tubuh Partai Aceh, ketika faksi yang progresiftelah dilemahkan dan dilumpuhkan.
Singkat kata, dinamika demokratisasi melalui partai-partaipolitik lokal semakin melemah. Salah satu alasan utamanya adalahsulitnya mengkombinasikan kekuatan ideologi lama dan mobilisasidengan demokrasi yang bersandar pada pelaksanaan pemilu.Persoalan lain, yang juga teramat penting, adalah para pemimpinyang progresif dalam masyarakat sipil kini telah terpecah-belah dantak bersatu-padu selama lima tahun terakhir ini. Selain itu, ke-mampuan mereka untuk memperbaiki dan mengembangkangagasan-gagasan awal mereka, juga tak memadai. Kelompok inijustru terlihat kehilangan arah dalam proses transisi. Mereka jugatelah gagal dalam memperluas tujuan politik dan menyajikanalternatif-alternatif dalam proses demokratisasi. Situasi ini akhirnyamengakibatkan kekalahan yang tragis bagi semua partai politiklokal, kecuali Partai Aceh, dalam pemilu. Di satu sisi, para aktivisbelum sempat melunasi utang-utang mereka yang membengkaklantaran mendanai pertarungan mereka yang gagal dalam pemilu.Selain itu, mereka juga dibebani masalah untuk memikirkan danmengorganisasi ulang partainya. Namun, di sisi lain, sang
HILANG ARAH DALAM TRANSISI, KALAH DALAM PEMILU
552 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
pemenang menyapu bersih segala peluang dan menikmatikesepakatan bagi-bagi kekuasaan, yang pernah ditentang dalamperundingan di Helsinki. Irwandi, misalnya, tak lagi menentangtekanan dan tuntutan dari Partai Aceh, karena dia sekarangmerupakan gubernur yang setia pada Partai Aceh. Ketika bab initengah disusun, Irwandi memutuskan untuk mengganti KetuaBadan Reintegrasi Aceh (BRA), akibat tekanan dari Partai Aceh.Ironisnya, Ketua BRA, M. Nur Djuli, baru saja berhasil memperolehpencairan dana dari pemerintah pusat untuk rehabilitasi korbankekerasan. Namun, sebagai salah satu pimpinan GAM yangprogresif, serta pihak yang memperjuangkan demokrasi dalamkesepakatan di Helsinki dan membela pelaksanaan perjanjian itutanpa kompromi, Nur Djuli jelas-jelas tak disukai oleh Partai Aceh.Keputusan-keputusan semacam itu tampaknya akan kianmeningkat di kemudian hari.
Kesimpulan dan rekomendasiDemokrasi di Aceh patut diberi selamat karena keberhasilannya
menjalankan pemilu yang damai, dibanding dengan wilayah pascakonflik lainnya. Namun, sayangnya, pelaksanaan demokrasi itumenghadapi kemunduran karena hasil akhir pemilu, yangmenunjukkan adanya kesepakatan pembagian kekuasaan. Sejumlahaktor kunci, seperti sang gubernur, mengubah prioritas merekadan kelompok-kelompok progresif pun terbukti gagal membangunalternatif untuk mengatasi hegemoni Partai Aceh.
Tentu saja, situasi ini membutuhkan upaya untuk memperluasdemokrasi, di luar partai politik dan sistem pemilu yang ada. Dalamwawancara dan analisis yang dipaparkan dalam Bab 8—dan ditulismenjelang Pemilu 2009, sebagian besar aktor politik kuncimengatakan bahwa proses transisi dibatasi oleh pelaksanaandemokrasi secara resmi melalui pemilu. Hanya sedikit yangmengungkapkan pendapat tentang pentingnya memupuk partisi-
553
pasi kerakyatan yang demokratis untuk mengatasi sejumlahpersoalan, seperti patronase dan klientelisme. Dalam bab ini, kamitelah menganalisis beberapa konsekuensi negatif dari sikap abaipara aktor politik itu terhadap permasalahan dalam demokrasi.
Karena itu, kesimpulan yang paling jelas dari bab ini adalahpentingnya memperkuat basis perwakilan rakyat yang demokratis,melalui pembentukan organisasi-organisasi rakyat, yang dibangundari bawah dan dikembangkan dengan kekuatan mereka sendiri.Upaya ini tentu tak semata-mata bisa dilakukan sendirian oleh rakyat,bahkan oleh partai politik, yang jelas-jelas memiliki kepentingantertentu. Sebaliknya, pengalaman historis dari kasus-kasus lainnya,seperti di Amerika Latin, Kerala, yang terletak di bagian Barat DayaIndia, dan Skandinavia, mengajarkan beberapa hal sebagai berikut.Upaya menyampaikan tuntutan dari bawah melalui lembaga dansaluran-saluran yang wajar dalam demokrasi, pertama kali harusdiperkenalkan oleh pihak dari atas (misalnya, lembaga legislatif didaerah dan pemerintah). Upaya itu dilakukan agar rakyat dapatmempengaruhi keputusan-keputusan tentang kepentingan publikdan menjamin agar pejabat pemerintah dan politisi tetap akuntabel.Dengan begitu, rakyat tak hanya mampu mengutarakan aspirasitanpa harus bergantung pada patron tertentu, tapi secara tidaklangsung memberi suntikan insentif bagi gerakan-gerakanberorientasi kerakyatan. Gerakan-gerakan inilah yangmengorganisir saluran-saluran penyampaian aspirasi tersebut,sehingga rakyat pun menjauhi segala praktek lobi terhadap pemimpinlokal yang sangat berpengaruh, dan bos-bos dalam dunia politik.
Kebutuhan untuk menggalang tuntutan dari bawah itumemerlukan upaya re-konsolidasi organisasi-organisasi masyarakatsipil yang pro-demokrasi, serta tentunya, agen-agen perubahanyang reformis dari era GAM. Upaya ini saja tak cukup untukmembangun gerakan berdimensi kerakyatan, tapi kelompok-kelompok itu dapat membantu mendorong pengaturan kelem-
HILANG ARAH DALAM TRANSISI, KALAH DALAM PEMILU
554 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
bagaan. Sehingga, upaya tersebut akhirnya dapat menciptakanpeluang-peluang yang memadai, dan memberikan insentif bagirakyat agar lebih terlibat dalam politik. Jadi, rakyat tak lagi mencaripemecahan masalah sebagai seorang klien kepada patron-patrondi berbagai level.
Lantas sejauh mana para pimpinan di atas, seperti GubernurIrwandi atau sejumlah bupati, yang bersedia memberi ruang bagiinisiatif semacam ini? Sayangnya, jawabannya tidak terletak padaorientasi ideologi mereka. Sikap ini tergantung pada pendapat merekatentang pilihan mana yang paling penting bagi mereka. Pertama,berusaha memahami ketidakpuasan rakyat dan mencari alternatifyang dibutuhkan, atau kedua, menjalin kerjasama yang pragmatisdengan aktor-aktor yang dominan di tingkat lokal dan nasional.
Selain itu, patut diingat, para aktivis rakyat yang demokratisdan kelompok reformis dari gerakan nasionalis tidak bolehkehilangan momentum lagi. Karena itu, mereka tak bolehberlebihan menilai kekuatan mereka. Mulai sekarang, takkan adalagi jalan pintas, seperti yang terjadi dalam negosiasi di Helsinki.Agen-agen perubahan yang demokratis harus fokus pada jalur-jalur alternatif yang menyokong suara rakyat, dan mendukungkebijakan-kebijakan yang progresif.
Usaha tersebut membutuhkan kombinasi berbagai upaya darikelompok elit yang progresif, para ahli dan pemimpin yang progresifdari kelompok-kelompok aksi rakyat. Salah satu dari berbagaipendekatan yang cocok untuk upaya tersebut adalah memupukkembali kajian-kajian inovatif dan pelatihan tentang partisipasikerakyatan alternatif, dan partisipasi luas dalam tata kelolapemerintahan. Caranya, antara lain, menjalin kerjasama antara paraahli dan akademisi di satu sisi, serta antara aktivis rakyat danpemimpin gerakan rakyat.
Satu lagi tugas penting bagi kelompok-kelompok masyarakatsipil, akademisi, kalangan wartawan investigasi adalah mengawasi
555
dengan kritis serta menganalisa lembaga legislatif dan pemerintah.Tujuannya, menghalangi kekuatan baru yang menghegemoni dariPartai Aceh dan Partai Demokrat, serta mendorong kebijakanalternatif dan meningkatkan kesadaran publik.
Aliansi yang luas di kalangan pemimpin yang reformis, ahlidan akademisi, dan tentunya organisasi masyarakat sipil dalammembentuk saluran-saluran alternatif bagi partisipasi rakyat yangdemokratis (lebih baik daripada koalisi pimpinan partai politik)sebaiknya mampu fokus pada isu-isu yang penting, dan merumuskanulang suatu solusi alternatif. Misalnya, upaya memerangi korupsi,dan akses yang adil terhadap sumber daya publik; meningkatkankesempatan yang setara bagi perempuan dan kelompok-kelompokyang rentan dalam masyarakat; akses yang sama terhadap layanankesehatan dan pendidikan; penentuan prioritas dalam penyusunanperencanaan dan anggaran belanja; mendorong penegakan hak-haksipil dan hak asasi manusia, serta mendukung pakta-pakta yangdemokratis untuk mengkombinasikan kesejahteraan sosial danpertumbuhan ekonomi. Pada akhirnya, upaya-upaya tersebut takkanbertahan lama, jika tak ada usaha untuk membangun suatu jaringanpendukung. Jaringan itu terdiri dari orang-orang yang memilikipendirian sama, baik di Aceh maupun di Indonesia. Aliansi itu dapatmenjadi elemen penyeimbang, sebuah alternatif terhadapkecenderungan masa kini, yang lebih mementingkan pembagiankekuasaann dan hubungan patron-klien dengan presiden dan partaipolitik nasional yang berkuasa.
Seiring dengan bergulirnya waktu, situasi di Aceh tentu telahmengalami berbagai perubahan. Perubahan itu, bisa dimaknaisecara positif maupun negatif bagi pelaksanaan dan masa depandemokrasi di Aceh. Pembahasan dan analisis mengenai situasiterkini di Aceh serta prediksi masa depan demokratisasi di Aceh,hingga beberapa saat sebelum edisi ini diterbitkan, akan disajikandalam bagian post-script di penghujung buku ini.
HILANG ARAH DALAM TRANSISI, KALAH DALAM PEMILU
556 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
(Catatan Akhir)1 The Post-Script Analysis team terdiri dari Dara Meutia Uning
(penulis utama), Shadia Marhaban (koordinator), Affan Ramli,Murizal Hamzah dan Olle Törnquist (kontributor, pembimbingand penyunting). Tim juga berterima kasih atas berbagai pendapatdan diskusi berharga dengan sejumlah tokoh-tokoh terkemukadan para ahli di Aceh, terutama kepada M. Nur Djuli.
2 Jenderal (Purn) Wiranto adalah mantan Menteri Pertahanan padaera pemerintahan Habibie, yang dituduh terlibat dalampelanggaran hak asasi manusia di Timor-Timur. Namun, tuduhanitu tak pernah terbukti dalam pengadilan hak asasi manusia diJakarta. Jenderal (Purn) Prabowo Subianto adalah bekas menantuSoeharto, yang dipecat dari tentara karena keterlibatannya dalamaksi penculikan, penyiksaan, dan dugaan pembunuhan paraaktivis pro-demokrasi pada 1997.
3 Kendati begitu, sejumlah partai politik dan individu di tingkatdaerah mengajukan keberatan ke Mahkamah Konstitusi atas hasilperhitungan suara, yang diumumkan KPU. Mahkamah Konstitusiakhirnya memutuskan sejumlah perubahan dalam distribusikursi, baik di tingkat propinsi maupun kabupaten. Pada tingkatpropinsi, PDIP harus menyerahkan satu kursi pada PPP, yangmerupakan perwakilan suara di Aceh Timur, Langsa dan AcehTamiang (Daerah Pemilihan Aceh 6). Perubahan distribusi kursidi tingkat kabupaten terjadi di: (1), Aceh Utara: Demokrat harusmenyerahkan satu kursi kepada PPD; (2) Lhokseumawe: satu kursiPDA diganti oleh PBA; dan (3) Nagan Raya: satu kursi PBRdigantikan oleh Partai Aceh (Serambi Indonesia, 2009d).
4 Interview sekaligus diskusi terpisah dengan Dahlan, yangdikemukakan di sini dan lebih lanjut di bab ini, dilakukan di BandaAceh, 22 November 2009.
5 Berdasarkan laporan media, sang koordinator aksi mengklaimbahwa setidaknya 29.000 orang berpartisipasi dalam aksitersebut, dan sebagian besar terdiri dari perempuan (Serambi Indo-nesia, 2010b; Tempo Interaktif, 2010). Sebagian besar peserta datangdari Kabupaten Bireuen, kampung halaman Irwandi. Pada 9
557
Februari 2010, Serambi Indonesia melaporkan bahwa koodinator parademonstran, yang juga dikenal sebagai bekas pejuang GAMperempuan, menepis isu bahwa dia telah dibayar Rp 1,3 milyar(sekitar US$ 130.000) oleh Irwandi untuk mengorganisir massadan demonstrasi. Dia mengatakan bahwa dana demonstrasiberasal dari pendukung Irwandi di Thailand, Filipina, dan negara-negara lainnya (Serambi Indonesia, 2010b). Media juga melaporkan,sejumlah peserta mengaku hanya datang karena uang dan makangratis, dan karena itu, mereka juga tak tahu apa tujuan demonstrasitersebut (Serambi Indonesia, 2010b; Tempo Interaktif, 2010). Beberapapeserta perempuan dari Kabupaten Aceh Barat dilaporkan telahmerasa ‘ditipu’ oleh koordinator mereka. Pasalnya, merekadiberitahu bahwa mereka akan menghadiri acara dzikir bersama,untuk memperingati tahun ketiga Irwandi-Nazar di peme-rintahan. ‘Kami tidak tahu kalau kami justru digunakan untukmenghadiri demonstrasi ini,’ ungkap para perempuan ini kepadapers—sebelum mereka dilarang untuk bicara pada media (SerambiIndonesia, 2010a). Serambi Indonesia menggambarkan bahwameskipun para perempuan itu dibayar dan disediakan transportdari Aceh Barat, mereka tampaknya menyesali kehadiran merekadalam acara tersebut (2010a).
6 KKN adalah singkatan dari korupsi, kolusi dan nepotisme.Terminologi ini digunakan secara luas untuk mendefinisikanperilaku-perilaku busuk berupa kerjasama antara politisi, birokrat,militer dan pelaku usaha selama Orde Baru. Istilah itu terus dipakaisebagai ungkapan untuk menggambarkan perilaku serupa pascaSoerharto, walaupun, pada saat ini, elemen militerisme dansentralisme tak lagi kental, dan lebih diwarnai kekuasaan parapolitisi yang terpilih dalam pemilu.
HILANG ARAH DALAM TRANSISI, KALAH DALAM PEMILU
558 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
Daftar PustakaAdhar, R. (2009). Di balik pergantian Kapolda NAD: Benarkah
Bukan Mutasi Biasa? Modus Aceh.Harian Aceh. (2009, 24 Februari). Lawatan Presiden SBY ke Aceh,
‘DOM dan GAM sudah tamat’, diambil dari http://www1.harian-aceh.com/banda-raya/banda-aceh/2001-lawatan-presiden-sby-ke-aceh-dom-dan-gam-sudah-tamat
Harris, J., Stokke, K., & Törnquist, O. (2004). Introduction: Thenew local politics of democratisation. In J. Harris, K. Stokke &O. Törnquist (Eds.), Politicising Democracy: The New Local Poli-tics of Democratisation (hal. 1-21). New York: Palgrave Macmillan.
Khaerudin. (2009, 28 Maret). Saling Serang dalam Kampanye PartaiAceh dan Partai SIRA. Kompas.com, diambil dari http://regional.kompas.com/read/xml/2009/03/28/18110088/saling.serang.dalam.kampanye.partai.aceh.dan.partai.sira
Rakyat Aceh Online. (2009). Irwandi Tunggu Pinangan PA.Serambi Indonesia. (2009a, 21 Maret). Irwandi Yusuf di Takengon:
PA Bukan Partai Separatis, diambil dari http://m.serambinews.com/news/pa-bukan-partai-separatis
Serambi Indonesia. (2009b, 9 Juni). Irwandy-Nazar Masuk TimKampanye SBY, diambil dari http://www.serambinews.com/news/irwandi-nazar-masuk-tim-kampanye-sby
Serambi Indonesia. (2009c, 13 Juni). JK Dekati PA, dari http://m.serambinews.com/news/jk-dekati-pa
Serambi Indonesia. (2009d). KIP Aceh Segera Plenokan HasilPutusan MK.
Serambi Indonesia. (2009e, 2 April). Massa PA Tumpah Ruah,diambil dari http://www.serambinews.com/news/massa-pa-tumpah-ruah
Serambi Indonesia. (2009f). Pansus DPRA: Kabinet Irwandi MinimPrestasi.
Serambi Indonesia. (2009g, 30 Maret). SBY saat kampanye di Banda
559
Aceh: Jangan ada konflik lagi di Aceh, from http://www.serambinews.com/news/jangan-ada-konflik-lagi-di-aceh
Serambi Indonesia. (2010a). “Katanya Berzikir, Ternyata DiajakDemo”.
Serambi Indonesia. (2010b). Puluhan Ribu Pendemo DukungIrwandi.
Tempo Interaktif. (2010). Ribuan Warga Aceh Unjuk Rasa DukungGubernur Irwandi Yusuf.Lampiran
Tabel-tabel berikut ini (disusun oleh Dara Meutia Uning, di bawahbimbingan Olle Törnquist) dapat dibaca dan digunakanbersama-sama dengan Bab 6 ‘ Pemilihan Kepala Daerah diAceh’.
HILANG ARAH DALAM TRANSISI, KALAH DALAM PEMILU
560 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
LampiranTabel-tabel berikut ini (disusun oleh Dara Meutia Uning, di bawahbimbingan Olle Törnquist) dapat dibaca dan digunakan bersama-sama dengan Bab 6 ‘ Pemilihan Kepala Daerah di Aceh’.
Tabel 1Distribusi Kursi di DPR (2009)
Daerah Pemilihan Partai Politik Nasional Jumlah Kursi
Demokrat 3 Golkar 1
PKS 1 PAN 1
Aceh I (Sabang, Banda Aceh, Aceh Besar, Pidie, Pidie Jaya, Aceh Jaya, Aceh Barat, Nagan Raya, Gayo Lues, Aceh Tenggara, Aceh Singkil, Subulussalam, Aceh Barat Daya,
Aceh Selatan, Simeulue)
PPP 1
Demokrat 3 Golkar 1
PKS 1
Aceh II (Bireuen, Bener Meriah, Aceh Tengah,
Lhokseumawe, Aceh Utara, Aceh Timur, Langsa, Aceh Tamiang) PAN 1
Sumber: KIP Aceh, 2009
561
Partai Politik Nasional Partai Politik Lokal Daerah Pemilihan Partai Suara (%) Kursi Partai Suara (%) Kursi
Demokrat 15,58 2 Golkar 9,73 1
PA
31,37
3
PKS 7,78 1
Aceh 1 (Sabang, Banda Aceh, Aceh Besar)
PAN 5,75 1 PDA 5,37 1
Demokrat 4,25 1 Aceh 2 (Pidie, Pidie Jaya)
Golkar 2,5 1
PA 74,54 6
Demokrat 12,60 1 Golkar 6,48 1 PPP 5,16 1 PAN 5,03 1
Aceh 3 (Aceh Jaya, Aceh Barat, Nagan Raya)
PKS 4,06 1
PA 39,97 3
Demokrat 9,65 1 Golkar 5,98 1 PPP 4,96 1
Aceh 4 (Bireuen, Bener Meriah, Aceh Tengah) PKPI 4,91 1
PA 45,38 5
Demokrat 7,97 1
PKS 2,39 1
Aceh 5 (Lhokseumawe, Aceh Utara)
Golkar 2,38 1
PA 67,98 7
Demokrat 17,06 2 PKS 3,93 1 Golkar 3,80 1
Aceh 6 (Aceh Timur, Langsa, Aceh Tamiang) PPP 2,42 1
PA 49,38 5
Golkar 23,95 2 Demokrat 8,36 1 PAN 8,10 1 PKB 7,35 1
Aceh 7 (Gayo Lues, Aceh Tenggara, Aceh Singkil, Subulussalam) Patriot 4,82 1
PA 8,33 1
Demokrat 10,65 1 PAN 5,10 1 PBB 4,40 1
Aceh 8 (Aceh Barat Daya, Aceh Selatan, Simeulue)
PPP 4,19 1
PA 40,39 3
Tabel 2Hasil Pemilu dan Distribusi Kursi
di DPR-A (2009)
Sumber: KIP Aceh, 2009
HILANG ARAH DALAM TRANSISI, KALAH DALAM PEMILU
562 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
Partai Politik Nasional Partai Politik Lokal Daerah Pemilihan Partai Kursi Partai Kursi
Golkar 4 Demokrat, PKS, PAN,
PBB 2
Sabang
PDK, PBR 1
PA 6
Demokrat 8 PA 6 PKS 5 PDA 4
Golkar 3 SIRA 1
Banda Aceh
PBB 1 Demokrat, PAN 5 PA 10
PKS, Golkar 4 PDA 4 Aceh Besar
PBB 2 Demokrat 4 PA 34
PKS, Golkar 2 PDA, SIRA
1 Pidie
PBR 1 PAN 4 PPP 2
Pidie Jaya
PDK, Demokrat, PKNU 1
PA 16
Demokrat, PPP 2 PA 14 Aceh Jaya Golkar 1 PDA 1
Demokrat, PKS 4 PA 7 PAN, Golkar 3 PDA,
PRA, PBA
1 Aceh Barat
PKPI, PKB, PPP, PDI-P, Patriot, Buruh
1
Demokrat, PBB 3 PAN, Golkar, PDI-P 2
Nagan Raya
PBR, Hanura, PKPB, PKPI, PKS, PKB, PPP,
Patriot
1
PA 5
Demokrat 4 PA 25 PAN, PPP 2 PBA 1
Bireuen
PKS 1
Tabel 3Distribusi Kursi di DPR-K (2009)
563
Golkar 6 Demokrat 3
PA 3
Hanura, PKPI, PAN, PDI-P, PBR
2
Bener Meriah
PKPB, Gerindra 1
PDA 1
Demokrat 4 Golkar 3
Hanura, PPD, PKPI, PAN, PPP, Patriot,
PKNU
2
Aceh Tengah
PKPB, Gerindra, PKS, PBB, PDI-P, PSI
1
PA 3
Demokrat 4 PA 14 PKS, PAN 2 PBA 1
Lhokseumawe
Golkar, PPP 1 Demokrat 4 PA 32 Aceh Utara
PKS, PAN, Golkar, PPP, PBB, PDI-P, PSI, PPD
1 SIRA 1
Demokrat 5 PA 25 Aceh Timur PKPI, Golkar 1 PDA,
SIRA, PBA
1
Demokrat 4 Golkar 3
PA 6
Hanura, PKS, PAN 2
Langsa
Gerindra, PPP, PDI-P, PBR, PKNU
1 SIRA 1
Demokrat 5 PAN, PPP, PDI-P 3
PA 8
PKS, Golkar 2
Aceh Tamiang
PKPI, PNBKI, PBR, PBA
1 PBA 1
Golkar 3 PAN, Kedaulatan,
Demokrat 2
Gayo Lues
Hanura, PPRN, PKPI, PKS, PPD, PKB, PDK,
PPP, PNBKI, PIS
1
PA 1
Golkar 4 PKS, PKPI, PPD, PPPI, PNI Marhaenisme, PDP
2 Aceh Tenggara
Hanura, Gerindra, PAN, PDK, PNBKI, Patriot,
PKNU, PSI
1
PA 1
HILANG ARAH DALAM TRANSISI, KALAH DALAM PEMILU
564 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
,Golkar 6 PKPI 3
PKB, PPI, PBR, Demokrat
2
Aceh Singkil
Hanura, PPRN, Gerindra, PAN, PPD, PMB, PBB,
PDI-P
1
- -
Golkar, PKPI 3 Hanura, PAN, PBB,
Kedaulatan 2
Subulussalam
PKB, PPP, PDI-P, PBR, PKPB, Demokrat
1
- -
Demokrat, PAN 3 Golkar, PPP 2
Aceh Barat Daya
PKPB, PKPI, PDP, PMB, PBB, PDK
1
PA 9
Demokrat, PKPI 4 Golkar, PKPB 3
PA 10
PAN 2
Aceh Selatan
PPRN, PPP 1 SIRA, PRA
1
Demokrat, Golkar, PDI-P, PBR
2 Simeulue
PKPB, PPRN, PKS, PAN, PPI, PMB, PDK,
PPP, PBB, PIS
1
PA 2
Sumber: KIP Aceh, 2009
565
DPRA (2009) Gubernur-Wakil Gubernur (2006)
Bupati/Walikota (2006, 2007, 2008)
Daerah Pemilihan
PA Suara (%)
Irwandi-Nazar
Suara (%)
Independen KPA/SIRA
Suara (%)
Sabang Menang 33,98 Menang 40,80 Menang 35,58 Banda Aceh Menang 21,47 Kalah 15,47 Kalah 6,5 Aceh Besar Menang 35,57 Menang 29,67 Kalah 19,7 Pidie Menang 75,85 Kalah 16,37 Menang 56 Pidie Jaya Menang 70,81 N/A)* N/A)* Menang 23,90
putaran kedua: 52,70
Aceh Jaya Menang 61,40 Menang 70,79 Kalah 5,5 Aceh Barat Menang 31,77 Menang 41,14 Menang 25,1
putaran kedua: 76,2
Nagan Raya Menang 30,18 Menang 31,82 Kalah 12,6 Bireuen Menang 71,38 Menang 62,05 Menang 62,3 Bener Meriah Kalah 12,63 Kalah 17,47 Kalah 21,8 Aceh Tengah Kalah 11,68 Kalah 13,88 Kalah 10,8 Lhokseumawe Menang 58,62 Menang 40,25 Menang 38,9 Aceh Utara Menang 72,37 Menang 60,6 Menang 67,4 Aceh Timur Menang 69,84 Menang 48,76 Menang 36,4 Langsa Menang 31,35 Menang 27,33 N/A)** N/A)** Aceh Tamiang Menang 28,19 Kalah 19,39 Kalah 17,9 Gayo Lues Kalah 14,45 Menang 39,17 N/A)** N/A)** Aceh Tenggara Kalah 6,92 Menang 41,09 N/A)** N/A)** Aceh Singkil Kalah 5,44 Kalah 11,10 N/A)** N/A)** Subulussalam Kalah 8,63 N/A)* N/A)* N/A)** N/A)** Aceh Barat Daya
Menang 45,91 Menang 49,76 N/A)** N/A)**
Aceh Selatan Menang 39,08 Menang 62,35 Menang 19,1 putaran kedua: 54,29
Simeulue Menang 35,03 Menang 34,40 N/A)** N/A)**
Tabel 4Perbandingan Hasil Pemilu
(DPR-A, Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Walikota)
Catatan:)*Pada saat pilkada, kabupaten ini belum terbentuk.** Tak ada kandidat independen KPA/SIRA.
HILANG ARAH DALAM TRANSISI, KALAH DALAM PEMILU
566 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
Tabel 5Hasil Pemilihan Presiden di Tiap Kabupaten di Aceh (2009)
Daerah Pemilihan
Daftar Pemilih
Suara yang telah
dihitung (%)
Megawati-Prabowo
SBY-Boediono Jk-Wiranto
Suara (%) Suara (%) Suara (%)
Sabang 22.455 N/A 976 13.607 976 (6,6%) (92%) (6,6%) Banda Aceh 143.148 91.105 1.176 82.608 7.321 (63,64%) (1,29%) (90,67%) (8,04%) Aceh Besar 230.980 176.219 1.704 166.778 7.737 (76,29%) (0,97%) (94,64%) (4,39%) Pidie 266.021 200.043 1.691 190.264 8.088 (75,20%) (0,85%) (95,11%) (4,04%) Pidie Jaya 94.401 68.086 518 64.845 2.723 (72,12%) (0,76%) (95,24%) (4,00%) Aceh Jaya 51.756 36.391 355 34.767 1.269 (70,13%) (0,98%) (95,54%) (3,49%) Aceh Barat 115.167 33.938 468 32.394 1.076 (29,47%) (1,38%) (95,45%) (3,17%)
Nagan Raya 95.278 77.321 1.633 70.792 4.896 (81,15%) (2,11%) (91,56%) (6,33%) Bireuen 265.758 143.266 865 138.727 3.634 (53,89%) (53,89%) (96,86%) (2,54%) Bener Meriah 78.972 66.654 4.657 58.946 3.051 (84,40%) (6,99%) (88,44%) (4,58%) Aceh Tengah 115.431 72.012 3.714 63.814 4.484 (62,39%) (5,16%) (88,62%) (6,23%) Lhokseumawe 118.880 9.195 62 8.752 381 (7,73%) (0,67%) (95,18%) (4,14%) Aceh Utara 351.992 13.061 155 12.431 475 (3,71%) (1,19%) (95,18%) (3,64%) Aceh Timur 234.936 N/A N/A 157.152 N/A (93,36%) Langsa 97.618 70.795 2.133 64.954 3.708 (72,52%) (3,01%) (91,75%) (5,24%)
567
Catatan:1. Angka-angka dalam tabel ini diperoleh dari KIP Aceh. Namun, karena
keterbatasan waktu dan data, beberapa kabupaten tidak memiliki datalengkap. Data yang tak lengkap itu ditandai dengan “N/A” (singkatandari “not available”/tak tersedia).
2. Jumlah total pemilih yang terdaftar untuk pemilihan presiden di Acehaadalah 3.008.235. Namun, pemilih yang menggunakan hak pilihnyaberjumlah 2.309.256. Hasil pemilihan presiden yang memuat suara disetiap distrik ini hanya mencerminkan 1.449.755 suara, yang telahdihitung hingga 8 Juli 2009 pukul 10.00 WIB. Tapi, hanya data di Sabangand Aceh Timur, yang kami ambil dari laporan media, yang mengutipKIP Aceh. Media yang kami kutip itu adalah serambinews.com (8 Juli2009) dan analisadaily.com (9 Juli 2009).
Daerah Pemilihan
Daftar Pemilih
Suara yang telah
dihitung (%)
Megawati-Prabowo
SBY-Boediono Jk-Wiranto
Suara (%) Suara (%) Suara (%)
Aceh Tamiang 170.731 122.395 9.040 108.102 5.253 (71,69%) (7,39%) (88,32%) (4,29%) Gayo Lues 51.427 43.347 2.030 39.022 2.295 (84,29%) (4,68%) (90,02%) (5,29%) Aceh Tenggara 122.428 6.503 56 6.328 119 (5,31%) (0,86%) (97,31%) (1,83%) Aceh Singkil 62.299 26.415 1.819 22.851 1.745 (42,40%) (6,89%) (86,51%) (6,61%) Subulussalam 37.638 27.544 1.065 24.840 1.639 (73,18%) (3,87%) (90,18%) (5,95%) Aceh Barat Daya 89.779 42.424 401 40.467 1.556 (47,25%) (0,95%) (95,39%) (3,67%)
Aceh Selatan 140.195 81.902 752 78.744 2.406 (58,42%) (0,92%) (96,14%) (2,94%) Simeulue 50.945 41.179 753 37.600 2.826 (80,83%) (1,83%) (91,31%) (6,86%)
HILANG ARAH DALAM TRANSISI, KALAH DALAM PEMILU
568 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
Tabel 6Hasil Pemilu 2009 di tiap Kabupaten di Aceh
Daerah Pemilihan
Partisipasi Pemilih
Partai Nasional
Suara Persentase
(%) Partai Lokal
Suara Persentase
(%) Sabang 16.413 Golkar 1.939 13,39 PA 4.920 33,98 Demokrat 1.933 13,35 SIRA 240 1,66 PKPI 1.508 10,42 PDA 207 1,43 PKS 779 5,38 PRA 87 0,60 PBB 583 4,03 PAAS 68 0,47 PPP 348 2,4 PBA 57 0,39 Banda Aceh 78.591 Demokrat 17.008 23,44 PA 15.578 21,47 PKS 9.346 12,88 PDA 2.792 3,85 Golkar 8.850 12,19 SIRA 1.643 2,26 PAN 3.345 4,61 PRA 1.041 1,43 PPP 2.895 3,99 PBA 295 0,40 PAAS 203 0,28 Aceh Besar 176.103 Demokrat 19.849 12,28 PA 57.606 35,57 Golkar 13.446 8,30 PDA 10.247 6,33 PAN 10.628 6,56 PRA 4.622 2,85 PKS 9.256 5,71 SIRA 2.617 1,62 PPP 7.815 4,82 PBA 915 0,56 PBB 5.739 3,54 PAAS 618 0,38 Pidie 205.871 Demokrat 9.036 4,51 PA 152.048 75,85 Golkar 5.023 2,50 PDA 5.187 2,59 PKS 4.610 2,29 SIRA 3.551 1,77 PPP 3.162 1,57 PRA 2.899 1,45 PAN 2.865 1,43 PBA 825 0,41 PAAS 713 0,35 Pidie Jaya 75.090 PPP 3.164 4,50 PA 49.759 70,81 Demokrat 2.470 3,51 SIRA 2.256 3,21 Golkar 1.896 2,69 PDA 1.242 1,77 PAN 1.697 2,41 PRA 1.043 1,48 PKS 1.023 1,46 PBA 248 0,35 PAAS 215 0,30 Aceh Jaya 40.948 Demokrat 3.411 9,31 PA 22.483 61,40 PPP 1.874 5,11 SIRA 881 2,40 Golkar 1.554 4,24 PRA 859 2,35 PAN 701 1,91 PDA 709 1,94 PKS 671 1,83 PBA 147 0,40 PAAS 53 0,14 Aceh Barat 88.471 Demokrat 9.036 11,34 PA 25.300 31,77 Golkar 5.023 6,30 PRA 2.578 3,24 PKS 4.730 5,94 PDA 1.892 2,37 PAN 4.036 5,07 SIRA 1.437 1,80 PPP 3.164 3,97 PBA 1.182 1,48 PAAS 964 1,21
569
Daerah Pemilihan
Partisipasi Pemilih
Partai Nasional
Suara Persentase
(%) Partai Lokal
Suara Persentase
(%) Nagan Raya 78.684 Demokrat 9.005 12,72 PA 21.374 30,18
Golkar 5.382 7,60 SIRA 1.520 2,15 PAN 4.672 6,59 PRA 1.285 1,81 PPP 3.836 5,42 PDA 946 1,33 PKS 2.195 3,09 PAAS 868 1,22
Bireuen 216.842 Demokrat 12.527 6,14 PA 145.552 71,38 PPP 6.871 3,37 SIRA 5.077 2,49 PKS 5.483 2,69 PDA 2.330 1,14 Golkar 4.852 2,38 PRA 2.074 1,01 PAN 3.536 1,73 PBA 2.018 0,98 PKPI 950 0,46 PAAS 544 0,27
Bener Meriah 73.012 PKPI 12.093 16,72 PA 9.137 12,63 Golkar 8.792 12,15 SIRA 1.406 1,94 Demokrat 7.578 10,47 PDA 969 1,34 PAN 7.157 9,89 PAAS 528 0,73 PBR 5.761 7,96 PRA 471 0,65 PKS 3.975 5,49 PBA 278 0,38 PPP 3.782 5,22
Aceh Tengah 96.168 Demokrat 14.967 17,2 PA 10.166 11,68 Golkar 8.075 9,28 SIRA 973 1,12 PBR 7.632 8,77 PBA 801 0,92 PPP 7.354 8,45 PAAS 725 0,83 PKPI 4.810 5,53 PRA 489 0,56 PDA 435 0,49
Lhokseumawe 79.895 Demokrat 9.871 13,38 PA 43.229 58,62 PKS 4.123 5,59 PDA 1.894 2,57 Golkar 2.626 3,56 SIRA 1.668 2,26 PAN 2.080 2,82 PRA 1.138 1,54 PPP 1.267 1,72 PAAS 514 0,69 PBA 499 0,68
Aceh Utara 277.077 Demokrat 16.646 6,58 PA 182.945 72,37 Golkar 5.297 2,09 PRA 3.939 1,56 PPP 4.590 1,81 SIRA 3.929 1,55 PKS 3.813 1,50% PDA 3.479 1,38 PAN 2.763 1,09 PBA 2.223 0,88 PAAS 1.601 0,63
Aceh Timur 188.756 Demokrat 15.179 8,89 PA 119.280 69,84 Golkar 3.773 2,20 PDA 3.046 1,78 PPP 3.621 2,12 PRA 2.629 1,54 Gerindra 2.064 1,20 PBA 1.647 0,96 PKS 1.844 1,08 SIRA 1.547 0,90 PAAS 816 0,48
HILANG ARAH DALAM TRANSISI, KALAH DALAM PEMILU
570 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
Daerah Pemilihan
Partisipasi Pemilih
Partai Nasional
Suara Persentase
(%) Partai Lokal
Suara Persentase
(%) Langsa 70.996 Demokrat 16.053 24,99 PA 20.130 31,35
Golkar 5.039 7,85 PRA 1.048 1,63 PKS 3.885 6,05 SIRA 990 1,54 PAN 2.589 4,03 PDA 780 1,21 Gerindra 1.871 2,91 PAAS 601 0,94 PPP 1.488 2,32 PBA 329 0,51
Aceh Tamiang 126.461 Demokrat 27.671 25,08 PA 31.098 28,19 PKS 7.826 6,60 PRA 2.736 2,48 PDI-P 5.029 4,56 PBA 1.877 1,70 Golkar 4.315 3,91 SIRA 1.594 1,44 PAN 4.162 3,77 PAAS 543 0,49 PPP 3.258 2,95 PDA 362 0,33
Gayo Lues 45.950 PKB 9.056 22,27 PA 5.876 14,45 Golkar 4.191 10,30 PDA 796 1,96 PPP 3.144 7,73 SIRA 452 1,11 Demokrat 2.504 6,16 PRA 356 0,88 PKS 1.984 4,88 PAAS 338 0,83 PAN 1.274 3,13 PBA 30 0,07 Patriot 682 1,68
Aceh Tenggara 112.708 Golkar 32.924 32,69 PA 6.974 6,92
Patriot 9.319 9,25 SIRA 1.688 1,68 Demokrat 8.438 8,38 PRA 1.109 1,10 PAN 7.330 7,28 PDA 255 0.25 PKB 4.625 4,59 PAAS 66 0,06 PBA 43 0,04
Aceh Singkil 47.740 Golkar 10.160 25,22 PA 2.191 5,44 PBR 3.169 7,87 PRA 667 1,65 Demokrat 3.168 7,86 SIRA 189 0,47 PAN 2.562 6,36 PBA 99 0,24 PDS 2.221 5,51 PAAS 26 0,06 Patriot 50 0,12 PDA 19 0,05
Subulussalam 31.052 PAN 5.769 21,12 PA 2.358 8,63 Golkar 2.785 10,19 PRA 235 0,86 Demokrat 3.364 12,31 SIRA 169 0,62 PBB 1.539 5,63 PBA 97 0,35 PKS 1.361 4,98 PDA 26 0,09 Patriot 31 0,11 PAAS 18 0,06
Aceh Barat Daya 64.424 Demokrat 5.838 9,56 PA 28.048 45,91
PAN 3.119 5,10 PRA 2.318 3,79 PPP 2.731 4,47 SIRA 722 1,18 PKB 1.851 3,03 PDA 500 0,82 PKS 1.844 3,02 PAAS 351 0,57 PBB 1.142 1,87 PBA 247 0,40 PBA 247 0,40
571
Catatan:
1. Jumlah pemilih yang terdaftar untuk pemilu adalah 3.009.965 orang.Pemilih yang menggunakan hak suara berjumlah 2.266.713 orang.
Daerah Pemilihan
Partisipasi Pemilih
Partai Nasional
Suara Persentase
(%) Partai Lokal
Suara Persentase
(%)
Aceh Selatan 97.169 Demokrat 11.904 12,48 PA 37.274 39,08 PAN 5.306 5,56 SIRA 3.159 3,31 PPP 4.633 4,85 PRA 2.532 2,65 PBR 3.320 3,48 PDA 1.371 1,44 Golkar 3.044 3,19 PBA 1.008 1,06 PBB 1.575 1,65 PAAS 649 0,68
Simeulue 41.512 PBB 5.922 14,98 PA 13.847 35,03
Demokrat 3.139 7,94 SIRA 449 1,13 Golkar 2.191 5,54 PRA 419 1,06 PKS 1.744 4,41 PBA 337 0,85 PAN 1.571 3,97 PDA 222 0,56 PAAS 95 0,24
Sumber: KIP Aceh
HILANG ARAH DALAM TRANSISI, KALAH DALAM PEMILU
572 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
573
PPPPPOSOSOSOSOSTTTTT S S S S SCRIPTCRIPTCRIPTCRIPTCRIPT: A: A: A: A: AJJJJJANGANGANGANGANG B B B B BALASALASALASALASALAS D D D D DENDENDENDENDENDAMAMAMAMAM
PPPPPOLITIKOLITIKOLITIKOLITIKOLITIK AAAAATTTTTAAAAAUUUUU T T T T TERERERERERCIPTCIPTCIPTCIPTCIPTANYANYANYANYANYAAAAA A A A A ALLLLLTERNATERNATERNATERNATERNATIFTIFTIFTIFTIF
BBBBBARARARARARUUUUU YYYYYANGANGANGANGANG D D D D DEMOKRAEMOKRAEMOKRAEMOKRAEMOKRATISTISTISTISTIS?????
(oleh Post-Script Analysis Team)
yang memenangkan Pilkada pada 2006. Bingkai yang demokratisitu sungguh fundamental bagi perdamaian dan proses rekonstruksidi Aceh. Namun, seperti yang diketahui pula, aspirasi untukmengembangkan dan memanfaatkan demokrasi lebih lanjut,sebagai landasan dalam menciptakan kesejahteraan ekonomi dansosial di Aceh, ternyata tak mungkin untuk dilanjutkan. Banyakfaktor menjadi penyebab kegagalan itu. Di antaranya adalah sikapJakarta yang menentang upaya tersebut, serta tumpulnyadukungan internasional dalam proses rekonstruksi dan dalammendorong good governance. Tapi, dalam kesempatan ini, kami hanya
Seperti yang telah diuraikan panjang lebar dalam bukuini, kerangka pelaksanaan demokrasi yang inklusif diAceh, pertama kali dirumuskan dalam kesepakatandamai di Helsinki, dan kemudian diusung oleh koalisi
i
574 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
akan menyinggung empat alasan utama penyebab kegagalantersebut. Pasalnya, keempat hal tersebut sepatutnya ditanganilangsung para aktor di Aceh.
Alasan pertama dan yang paling utama adalah karakter top-down kelompok-kelompok politik di Aceh. Demi memperolehkemajuan dalam berpolitik, membangun kendaraan politik yangbaru, memobilisasi dukungan, serta mengembangkan lobi danjaringan, sebagian kelompok politik di Aceh—di satu sisi, acapmenggunakan struktur komando yang lama (terutama KPA), sertamemanfaatkan hubungan dengan para pendukung tradisionalmereka yang setia. Di sisi lain, kelompok politik lainnya di Acehmenggalang dukungan dari kelas menengah dan kelompok-kelompok aktivis mahasiswa, serta kelompok masyarakat sipillainnya. Di dalam proses tersebut, kelompok-kelompok politik diAceh itu tak segan menggunakan posisi politik dan jalur koneksiyang mereka punya, demi menyokong kepentingan pribadi dankepentingan para pendukung mereka.
Alasan kedua, dan juga tak kalah pentingnya adalah tiadanyaalternatif menjanjikan, untuk mengganti pelaksanaan politik yanghanya mengandalkan komando, serta bergerak berdasarkanperintah dari atas (top-down), dan tidak sesuai dengan kerangkapelaksanaan demokrasi itu. Tak ada organisasi berbasis gerakankerakyatan atau organisasi berbasis kepentingan, dan berlandaskanpada gagasan tentang perubahan sosial dan ekonomi, yang mampumengawasi akuntabilitas para politisi, serta mendirikan suatu ba-sis politik alternatif, memperbaiki tata kelola pemerintahan, danmengembangkan koalisi dalam kebijakan pembangunan.
Alasan ketiga, banyak aktor berpengaruh dalam politik Acehakhirnya tunduk terhadap gagasan pembagian kekuasaan dikalangan elit. Upaya bagi-bagi kekuasaan merupakan salah saturekomendasi pihak Indonesia selama perundingan damai, yangditentang oleh para juru runding dari pihak Aceh. Kembalinya
575
pola-pola berpolitik ala Indonesia itu ditentukan oleh hasil Pemilu2009. Akibatnya, para aktor-aktor yang berperan vital bagiperubahan pun disisihkan. Kenyataan tersebut bertolak belakangdengan konsep demokrasi yang inklusif, seperti yang tergambardalam kesepakatan di Helsinki. Pihak yang menang dalam pemiluketika itu adalah mereka yang berhasil berkat struktur komandoyang lama, adanya hubungan dengan kalangan pendukungtradisional yang setia, serta memiliki berbagai posisi dan koneksipolitik untuk mendulang sumber daya dan dukungan. Sedangkanpara aktor dari kalangan pro-demokrasi akhirnya kalah telak dantersingkir.
Hal keempat tercermin dalam kekhawatiran yang munculakibat hasil Pemilu 2009, serta pelaksanaan Undang-Undangtentang Pemerintahan Aceh (UUPA). Hasil pemilu dan ketentuanUUPA berpeluang besar menciptakan monopoli oleh para pimpinandari satu-satunya partai politik lokal, yakni Partai Aceh, dansejumlah partai-partai politik besar, yang berbasis di Jakarta.Untunglah, sejumlah kalangan pro-demokrasi di Aceh, yang bekerjasama dengan partai-partai politik lokal kecil lain, seperti Partai SIRAdan PRA, mampu meyakinkan Mahkamah Konstitusi untukmenganulir ketentuan dalam UUPA tentang kandidat independen.Pada Desember 2010, Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwapencalonan kandidat independen diperbolehkan dalam pemilihankepala daerah di Aceh.
Ironisnya, tampaknya bukan kelompok pro-demokrasi yangakan memanfaatkan dengan sebaik-baiknya peluang mengajukankandidat independen dalam pilkada. Alasannya, antara lain, PartaiAceh memutuskan untuk mengajukan mantan menteri luar negeriGAM dari kelompok konservatif, Zaini Abdullah, sebagai kandidatgubernur. Pasangannya sebagai calon wakil gubernur adalahpimpinan PA, Muzakir Manaf, yang juga Ketua KPA dan kiniadalah pengusaha yang sukses di Aceh. Di sisi lain, pimpinan partai
POST SCRIPT
576 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
ini dan para pendukungnya juga berhasrat mengajukan mantanperdana menteri GAM—juga dari kelompok konservatif, MalikMahmud, sebagai Wali Nanggroe, yakni pemimpin tertinggi (secaraadat) di Aceh, dan menganugerahkannya kekuasaan layaknya sul-tan Aceh.
Karena itu, Gubernur Irwandi Yusuf dan Wakil GubernurMuhammad Nazar, yang ingin mencalonkan diri kembali dalampilkada mendatang, memutuskan untuk menempuh jalurindependen. Namun, kali ini, mereka berpisah jalan. Tentu saja,masing-masing telah membina aliansi yang cukup berpengaruhsejak 2006, untuk mengatasi meluasnya ketidakpuasan rakyatterhadap kinerja dan kebijakan-kebijakan mereka yang tak begitucemerlang. Di sisi lain, Irwandi yang telah mencampakkan posisiindependen dan kerjasamanya dengan kelompok aktivis pro-demokrasi pada Pemilu 2009, demi kepentingan Partai Aceh, kinimerasa ditolak oleh para otokrat dari kelompok tua GAM, gara-gara tak dicalonkan untuk periode kedua. Alhasil, Irwandi inginmembuktikan bahwa dirinya adalah ‘pemimpin rakyat sejati’ padapara pimpinan tua yang telah mengabaikannya itu, serta pada paraaktor progesif yang telah dia sisihkan di masa lalu.
Situasi tersebut sedikit banyak mencerminkan konflik di dalamGAM pada 2005. Konflik itu kemudian membuka jalan bagi aliansiyang sukses antara jaringan KPA dengan Irwandi sebagai aktorutama, dan para aktivis SIRA dengan Nazar sebagai tokoh utamamereka, pada Pilkada 2006, demi menentang para pimpinan GAMkonservatif. Sayangnya, konflik yang dihadapi ketika itu taksepenuhnya sama dengan situasi sekarang. Konflik antar parapimpinan senior saat ini, tampaknya takkan membuka ruang bagipara aktivis yang progresif, serta bagi pengembangan demokratisasi.Irwandi, misalnya, kemungkinan besar akan memanfaatkan sumberdaya yang dimilikinya untuk meraih komando atas struktur KPA,dan mengkonsolidasi pengaruhnya di dalam Partai Aceh. Selain itu,
577
bertolak belakang dengan Pilkada 2006, dana kampanye yangdibutuhkan kali ini barangkali jauh lebih besar. Kondisi ini tentunyamembuka peluang bagi sumbangan maupun donasi dari kalanganbisnis. Logika pemikiran semacam ini tentu juga berlaku bagi Nazar,maupun kandidat-kandidat utama lainnya.
Dengan begitu, pilihan yang dimiliki kalangan pro-demokrasi,yang tetap saja kekurangan dana dan minim dukungan dariorganisasi kerakyatan dan organisasi berbasis kepentingan itu,teramat sempit. Kemungkinan besar, rakyat biasa dan organisasi-organisasi massa takkan mampu mempengaruhi berlangsungnyabalas dendam politik di kalangan elit.
Satu dari sekian peluang yang bisa saja muncul adalah apabilaGubernur Irwandi dan sejumlah kandidat pilkada bupati/walikotayakin bahwa mereka takkan menang tanpa dukungan, dan bantuankelompok-kelompok pro-demokrasi dalam mengembangkan pro-gram yang progresif bagi masa depan Aceh. Dengan dukungandan bantuan itu, para kandidat itu dapat memperoleh reputasiinternasional, dan mengembangkan gerakan politik rakyat seluas-luasnya dari berbagai kalangan, melalui suatu agenda yanginovatif. Peluang ini barulah suatu kemungkinan. Seperti yangdiketahui dari pengalaman daerah lain di Indonesia (misalnya, diSolo, Jawa Tengah), maupun pengalaman para konstituen dibeberapa tempat di India, pimpinan politik dari kelompok-kelompokyang telah mapan tak lagi bisa mengandalkan clientelism, bossismdan pendanaan besar belaka. Banyak di antara mereka kemudianmencoba untuk menjalankan kebijakan yang populis dan politikidentitas. Namun, hanya sedikit pihak, yang ingin membangunreputasi sebagai sosok yang modern dan demokratis, mencobauntuk menggandeng para pemimpin yang progresif dan kalanganaktivis masyarakat sipil, demi memperoleh tambahan suara. Sikapini bisa saja bermuara pada upaya kooptasi terhadap kelompok-kelompok aktivis. Tapi, pengalaman di tempat lain juga
POST SCRIPT
578 ACEH: PERAN DEMOKRASI BAGI PERDAMAIAN DAN REKONSTRUKSI
menunjukkan contoh tentang kelompok progresif yang mem-persiapkan diri dengan baik, dan berhasil mengembangkan politikyang transformatif, serta mencapai kemajuan secara bertahap.
Mencermati perimbangan kekuatan politik terkini di Aceh,kondisi semacam itu bisa saja terwujud, atau justru sebaliknya.Meski begitu, patut dicamkan bahwa agenda dan gerakan sepertiitu bisa dimulai dan proses demokratisasi dapat bergerak lagi.Caranya, antara lain, melalui pemberian perlakuan khusus danpengikutsertaan secara demokratis organisasi-organisasi berbasiskepentingan yang betul-betul mencerminkan aspirasi dari bawah,dalam tata kelola pemerintahan yang menyangkut kepentinganpublik. Tujuan jangka panjangnya adalah memfasilitasi koalisi padatingkat daerah dan pusat, agar tercipta pembangunan ekonomiyang berkelanjutan dan berbasis kesejahteraan rakyat. Upayasemacam ini tak pelak membutuhkan waktu, namun juga sekaligusmerupakan cara untuk terlibat dalam politik, tanpa harus ter-perosok godaan mengambil jalan pintas, yang mengesampingkanupaya mendorong konsolidasi dan kemajuan secara bertahap.Langkah itu telah dilaksanakan di berbagai daerah dan konteksyang berbeda, dengan situasi yang sama sulitnya; yakni dariSkandinavia di masa lalu, hingga ke beberapa wilayah di Brazildan India dewasa ini—serta juga dalam upaya-upaya inovatif yangterus dikembangkan oleh para aktivis di Aceh.