1
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui nilai tambah dan kelayakan usaha pengolahan ikan dengan objek penelitian adalah masyarakat pengrajin pengolah ikan desa Pusong dengan keterlibatan sampel penelitian sebesar 10 % atau sebanyak 14 orang pengrajin yang berasal dari Pusong Lama dan Pusong Baru. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survey dengan teknik cacah lengkap pada suatu usaha yang bergerak dalam suatu produksi ikan kayu. Populasi dalam penelitian ini adalah semua masyarakat pengolah ikan yang mengusahakan ikan kayu di lokasi penelitian.yang dikembangkan. Data yang dikumpulkan berasal dari data primer yaitu wawancara langsung dan data sekunder berupa data pengrajin yang berasal dari instansi terkait dan publikasi ilmiah. Data survey yang diperoleh selanjutnya dilakukan pentabulasian disesuaikan dengan kebutuhan analisis untuk menjawab permasalahan penelitian. Analisis nilai tambah dihitung dengan menggunakan tabel nilai tambah. Hasil penelitian menunjukkan rata-rata hasil produksi ikan kayu yang diterima pengrajin adalah Rp. 50.400.000,00 per bulan dan biaya produksi yang dikeluarkan sebesar Rp. 42.554.504,17 dan keuntungan sebesar Rp. 7.845.495,83 maka perolehan nilai return cost ratio sebesar 1,18, artinya setiap penambahan biaya produksi ikan kayu akan meningkatkan perolehan keuntungan bagi pengrajin sebesar 1,84. Hal ini menunjukkan bahwa usaha ikan kayu di daerah penelitian cukup menguntungkan untuk dijalankan. Nilai tambah yang dinikmati pengrajin dari usaha ikan kayu juga cukup besar yaitu Rp 1.806,50/kg. Nilai tambah ini sebagian besar merupakan komponen keuntungan dan selebihnya sebagai imbalan jasa tenaga kerja. Secara finansial pengembangan usaha ikan kayu layak dilakukan. Hal ini dapat dilihat dari NPV>0 yaitu Rp. 81.855.887, NBCR > 1, yaitu 2,58, IRR = 54,99% lebih besar dari suku bunga yang berlaku yaitu 15% dan BEP terjadi pada umur 4 tahun 8 bulan 22 hari. Kata Kunci : Nilai Tambah, Return Cost Ratio, Pengolahan ikan
ABSTRACT
The aim of this research is to know the added value and feasibility study of business of fish processing industry, this research has been taken 14 or 10 percentage at home industries in Desa Pusong Baru and Pusong Lama. for getting raw data, the research used was survey method with complete statistical tehnique. It was done by visiting the locations where the fish were produced. The population was all fishing industries which are getting developed recently. The Primary data were collected from a live interviews while the secondary data were collected from references published in journal. The data were analyzed with with the added value table and used as the response to answer the research problem. The result of research was shown that the avarage of fish processing industries was Rp 50.400.000,- permonth and the cost of production was approximately Rp. 42.554.504,17. meanwhile the profit margin in the range Rp. 7.845.495,83 per month with the cost of ratio is 1,18. it indicates that every additional production cost of fish processing industries will get
2
the additional revenue from home industries were 1,84. This result has been indicated that these business are profitable and feasible to be implemented. The added value was about Rp 1.806,50/kg which would be possitioned more for a provit margin and less share to the labor cost or NPV > 0 was about Rp 81.855.887, NBCR > 1, about 2,58, IRR = 54,99 % . it indicates that IRR is higher than the rate recently 15 % and BEP would be reached in the next four years ,8 monthes and 22 days Keywords : added value. Fish processing, production cost Judul : ANALISIS NILAI TAMBAH DAN KELAYAKAN USAHA PENGOLAHAN
IKAN DI KOTA LHOKSEUMAWE (STUDI KASUS DESA PUSONG ) Oleh : Muhammad Arifai, SE.,Ak, Jurusan Tata Niaga Politeknik Negeri Lhokseumawe PENDAHULUAN
Perkembangan kawasan Asia Pasific sebagai masa depan dunia merupakan
potensi pasar bagi produk perikanan, yang permintaannya meningkat 3,47% per
tahun. Di Indonesia, sub sektor perikanan merupakan andalan yang harus mampu
mencari terobosan karena potensi sumber daya perikanan laut saja 6,1 juta ton per
tahun baru dimanfaatkan 57 %. Alasan yang utama yang mendasar sub sektor
perikanan menjadi andalan yaitu pertama: Sumber daya perikanan di Indonesia
masih cukup melimpah. Data terakhir menunjukkan potensi sumber daya perikanan
laut 6,1 juta ton pertahun baru dimanfaatkan 57 %, kedua: Kontribusi sub sektor
perikanan menunjukkan kecenderungan meningkat. Data produk domestik bruto (
PDB ) selama tahun 1993 – 1996 menunjukkan peningkatan rata-rata 5,08%.
Ketiga : Sumber daya perikanan sudah sangat dikenal sebagai sumber daya yang
menghasilkan komoditas dengan nilai gizi dan nilai ekonomi tinggi.
Menghadapi krisis moneter dan ekonomi perlu dicari peluang ke sektor-sektor
ekonomi yang secara komparatif dan kompetitif mampu memanfaatkan sumber
daya alam yang dimiliki Indonesia. Pemerataan sumber daya ikan hendaknya
terwujud dalam perlindungan terhadap kegiatan usaha yang masih lemah seperti
petani, nelayan dan petani kecil agar tidak terdesak oleh kegiatan usaha yang lebih
kuat. Oleh karena itu dalam rangka pengembangan usaha perlu didorong ke arah
kerja sama dalam koperasi. Disamping itu diharapkan pula adanya kerja sama
3
antara perusahaan perikanan yang kuat dengan nelayan/petani ikan kecil atas
dasar saling menguntungkan.
Salah satu strategi untuk meningkatkan keuntungan adalah memperluas
pemasaran melalui pengembangan produk perikanan sebagai terobosan baru dalam
menghadapi persaingan pemasaran ikan olahan, sehingga diharapkan dapat
memberikan nilai tambah melalui mutu, gaya, kemasan bentuk produk menyerap
tenaga kerja dan meningkatkan harga, yang pada gilirannya mendapatkan
keuntungan untuk mengembangkan usaha. Usaha ikan olahan mempunyai
keunggulan komparatif sehingga bukan hanya meningkatkan nilai tambah tetapi
juga memperluas lapangan kerja dan kesempatan berusaha serta pemerataan
pendapatan.
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam memiliki sumber daya kelautan yang
potensial. Keadaan ini disamping didukung oleh daerah lautnya yang luas dan kaya,
juga memiliki letak kelautan yang strategis. Berbagai keunggulan yang komperatif
harus dapat dimanfaatkan bagi kesejahteraan masyarakat dan pembangunan
daerah, disamping itu potensi ini juga dapat memberikan lapangan kerja dan
kehidupan yang layak bagi masyarakat yang tinggal di pesisir pantai.
Desa pusong adalah desa yang merupakan tempat pendaratan ikan di Kota
Lhokseumawe. Berikut diperlihatkan data produksi perikanan tangkap Pelabuhan
Pendaratan Ikan Pusong Kota Lhokseumawe (Tabel 1).
Tabel 1. Data Produksi Perikanan Tangkap Pelabuhan Pendaratan Ikan Pusong Kota Lhokseumawe, Tahun 2000 - 2004
No Jenis Ikan
Produksi (Ton/Tahun)
2000 2001 2002 2003 2004
1. Alu-alu 110,08 104,2 100,58 106,77 107,35 2. Bawal hitam 154,68 145,85 141,08 149,77 151,40 3. Bawal Putih 146,20 137,75 134,17 144,55 146,06 4. Belanak 113,82 107,78 103,03 110,43 111,01 5. Biji nangka 68,73 64,70 61,07 65,89 64,44 6. Cakalang 144,34 135,98 131,47 140,63 142,04 7. Cuane 74,00 69,74 70,63 73,39 72,12 8. Dancis 576,41 553,51 543,01 571,14 582,11 9. Ekor Kuning 146,31 138,81 132,28 143,08 144,55 10. Ikan kapas 76,31 70,99 65,25 70,86 67,48 11. Ikan Rucah 85,84 80,09 77,03 82,83 75,65 12. Ikan Thok 70,49 66,38 63,68 66,54 65,10
4
13. Kakap 118,98 111,75 109,82 114,46 115,23 14. Kerapu 126,52 119,91 115,82 121,89 122,84 15. Kembung 273,54 260,36 255,54 271,27 274,87 16. Kurisi 86,71 80,92 74,92 82,72 73,84 17. Kuro/Senangin 70,75 65,68 63,00 67,95 64,50 18. Layaran 77,87 73,43 72,49 75,89 74,68 19. Layur 166,02 157,64 151,59 163,35 164,29 20. Manyung 85,44 79,71 76,66 82,44 71,15 21. Pari 116,48 106,5 104,70 110,09 107,67 22. Parang-parang 66,57 61,68 59,10 65,92 60,37 23. Rambeu 146,32 138,82 136,18 146,16 147,70 24. Salam 75,56 71,23 67,43 70,52 69,18 25. Selar 80,78 76,21 73,25 77,76 73,60 26. Teri 1.023,80 1.002,87 979,71 1.024,64 1.130,78 27. Tenggiri 166,81 157,44 154,32 168,07 170,15 28. Tongkol 547,53 520,19 507,64 549,72 561,19 29. Tuna 883,22 856,15 838,76 885,10 940,16 30. Turok/Cancaru 110,16 94,73 95,19 98,40 93,65
Total
5.990,27 5.711,00 5.559,40 5.902,23 6.048,25
Sumber : Dinas Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kelautan Kota Lhokseumawe, 2005.
Dampak peningkatan usaha ikan olahan terhadap masyarakat cukup banyak
antara lain dapat menambah pendapatan keluarga, membuka lapangan usaha baru
atau memberi lapangan pekerjaan kepada mereka yang belum memiliki pekerjaan.
Usaha ikan olahan merupakan usaha sampingan yang tergolong dalam industri
rumah tangga yang akhirnya akan menghasilkan pendapatan untuk menambah
penghasilan rumah tangga.
Mengingat pentingnya perkembangan usaha ikan olahan bagi masyarakat
dalam menciptakan lapangan kerja, nilai tambah dan pemerataan pendapatan bagi
semua unit pemasaran terkait, maka perlu dilakukan analisis terhadap besarnya
perolehan nilai tambah dan mengkaji sejauh mana usaha ikan olahan layak untuk
dikembangkan.
Perumusan Masalah
Dari penjelasan diatas, secara umum permasalahan penelitian dapat
dirumuskan: “Sejauh mana usaha ikan olahan dapat memberikan nilai tambah dan
keuntungan bagi pengrajin sehingga secara ekonomi layak untuk dikembangkan”.
5
TINJAUAN PUSTAKA
Ikan Olahan
Ikan olahan merupakan salah satu komoditi perikanan yang diarahkan
dengan berbagai rangsangan guna meningkatkan produksi sehingga dapat
meningkatkan pendapatan nelayan dan berarti membantu nelayan dalam
meningkatkan taraf hidupnya.
Ikan kayu adalah hasil dari proses pengolahan ikan tongkol dan ikan lainnya
secara tradisional atau modern. Pembuatan ikan kayu didaerah penelitian masih
dilakukan secara tradisional dengan skala industri rumahtangga. Pertama mulanya,
ikan kayu ini adalah salah satu produk kegiatan rumah tangga untuk dikonsumsi
sendiri, tetapi sekarang kegiatan tersebut telah berubah menjadi salah satu usaha
yang bertujuan untuk menambah pendapatan keluarga.
Penetapan harga jual merupakan pencerminan biaya, laba (margin) dan
harga beli ikan tongkol segar. Harga jual mempengaruhi keuntungan pengrajin,
untuk meningkatkan keuntungan per unit dapat dilakukan dengan menaikkan harga
jual atau menghemat biaya produksi. Akan tetapi, bila harga jual terlalu tinggi akan
menurunkan jumlah volume penjualan karena para pelanggan (konsumen) akan
mencari harga yang lebih murah dari pesaing.
Nilai Tambah dan Pendapatan
Kegunaan pengolahan hasil perikanan menjadi penting karena
pertimbangan diantaranya sebagai berikut :
- Meningkatkan nilai tambah.
- Meningkatkan kualitas hasil
- Meningkatkan penyerapan tenaga kerja
- Meningkatkan keterampilan
Kenaikan pendapatan yang diperoleh pengrajin ikan kayu disebabkan adanya
nilai tambah produk pertanian yang dihasilkan dan balas jasa tenaga kerja yang
terlibat dalam usaha tersebut. Penelitian Ahrean et.al (1985), mengungkapkan
kenaikan pendapatan pada kegiatan pasca panen (Off Farm) pada umumnya lebih
besar daripada penurunan pendapatan usahatani (On Farm). Kenaikan pendapatan
ini akan lebih besar lagi, apabila terdapat anggota rumah tangga yang terlibat
dalam kegiatan agroindustri.
6
Penelitian Jensen and Salant (1985), mengungkapkan bahwa penerimaan
marjinal tenaga kerja pada sektor agroindustri akan lebih besar daripada
penerimaan marjinal pada sektor usahatani. Hal ini didukung dengan penelitian
yang dilakukan Aziz (1990) yang menyatakan bahwa sekitar 60% nilai tambah
sektor agroindustri di pedesaan dialokasikan pada upah kerja. Lebih lanjut
dikatakan oleh Soekartawi (1993), bahwa pengolahan hasil pertanian yang baik
yang dilakukan produsen akan dapat meningkatkan nilai tambah. Bagi nelayan,
kegiatan pengolahan hasil telah dilakukan khususnya bagi nelayan yang mempunyai
fasilitas pengolahan hasil. Sering ditemukan bahwa hanya nelayan yang mempunyai
“sense of business” (kemampuan memanfaatkan bisnis bidang perikanan) yang
melaksanakan kegiatan pengolahan hasil perikanan.
Di sini jelas bahwa pengolahan yang baik akan menghasilkan nilai tambah
yang besar pula. Nilai tambah usaha ikan kayu adalah pengurangan biaya bahan
baku yang digunakan ditambah dengan biaya input lainnya terhadap penerimaan
output, tidak termasuk biaya tenaga kerja, yang dihitung dalam satuan Rp/kg
bahan baku (Masyrofie, 1994). Salah satu kegunaan menghitung nilai tambah
adalah untuk mengukur imbalan besarnya jasa terhadap para permilik faktor
produksi (Semaoen dan Kiptiyah, 1997). Nilai tambah bagi perusahaan dapat terjadi
sebagai akibat proses produksi yang mentransformasikan input agroindustri
menjadi output agroindustri. Nilai tambah pada agroindustri buah dapat mencapai
20% sampai 25% dari seluruh nilai penjualan. Menurut Hayami dan Fujisakar
(1987), ada 2 cara untuk menghitung nilai tambah yaitu : nilai tambah untuk
pengolahan dan nilai tambah untuk pemasaran. Dalam hal ini, peneliti menghitung
nilai tambah untuk pengolahan dapat dikategorikan menjadi 2 yaitu faktor teknis
dan faktor pasar. Faktor teknis yang berpengaruh adalah kapasitas produksi, jumlah
bahan baku yang digunakan dan tenaga kerja, sedangkan faktor pasar yang
berpengaruh adalah harga output, upah tenaga kerja, harga bahan baku dan nilai
input lain selain bahan bakar dan tenaga kerja.
Kelayakan Usaha
Menurut Kadariah, dkk (1978) ada tiga Investment Criteria yang paling
terkenal, yaitu : (1) Net Present Value (NPV), (2) Net Benefit Cost Ratio (NBCR), (3)
Internal Rate Of Return (IRR). Dari berbagai metode pengukuran dan tolak ukur
7
yang telah dikemukakan di atas, maka metode yang digunakan pada penelitian ini
adalah pendekatan analisis finansial dengan empat kriteria, yaitu :
1. Net Present Value (NPV)
2. Net Benefit Cost Ratio (NBCR)
3. Internal Rate Of Return 9irr0
4. Break Event oint (BEP)
Selain pendekatan analisis finansial, juga dilakukan pendekatan analisis
sensitivitas (analisis kepekaan). Analisis ini bertujuan untuk melihat apa yang akan
terjadi dengan hasil analisis proyek jika ada suatu kesalahan atau perubahan dalam
dasar-dasar perghitungan biaya atau benefit (Kadariah, dkk, 1978).
Net Benefit Cost Ratio (Net B/C)
Net B/C adalah perbandingan antara jumlah Net Present Value positif dengan
jumlah Net Present Value negatif. Net B/C ini menunjukkan gambaran berapa kali
lipat benefit yang akan diperoleh dari cost yang dikeluarkan (Choliq, 1994).
Suatu proyek layak diusahakan apabila Net B/C > 1, artinya penerimaan
yang diperoleh lebih besar dari biaya yang dikeluarkan. Suatu proyek tidak layak
diusahakan apabila Net B/C < 1, artinya penerimaan yang diperoleh lebih kecil dari
biaya yang dikeluarkan.
a. Internal Rate Of Return (IRR)
IRR pada dasarnya adalah menunjukkan bahwa Present Value penerimaan
akan sama dengan Present value Cost, dengan kata lain bahwa IRR ini
menunjukkan Net Present Value = 0. Dengan demikian untuk mencari IRR kita
harus menaikkan “discount factor”, sehingga tercapai Net Present Value = 0
(Choliq, 1994). Present Value penerimaan adalah penerimaan dikali dengan tingkat
bunga.
b. Break Event Point (BEP)
BEP merupakan saat dimana penghasilan total cost (total revenue) sama
dengan pembiayaan total (total cost), (Ibrahim, 1977). Jadi pada saat BEP, suatu
usaha tidak mendapat keuntungan dan tidak mengalami kerugian. Apabila
pembiayaan total melebihi pendapatan total, suatu usaha mengalami kerugian.
8
Sebaliknya apabila penghasilan total melebihi biaya total, berarti suatu usaha
mendapat keuntungan.
Dalam penelitian ini diasumsikan bahwa :
1. Tingkat suku bunga yang digunakan adalah suku bunga yang berlaku pada saat
penelitian, yaitu 15% per tahun.
2. Harga bahan dan alat berdasarkan standar harga yang berlaku pada saat
penelitian.
3. Harga hasil produksi berdasarkan harga yang berlaku pada saat penelitian.
Hipotesis
Usaha ikan kayu dapat menciptakan nilai tambah dan keuntungan bagi
pengrajin. Secara finansial, usaha ikan kayu layak untuk dikembangkan
METODE PENELITIAN
Lokasi dan Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kota Lhokseumawe tepatnya di Desa Pusong.
Penentuan lokasi ini dilakukan secara sengaja dengan pertimbangan bahwa desa
tersebut merupakan sentral produksi ikan kayu di Kota Lhokseumawe.
Ruang lingkup penelitian terbatas pada analisis nilai tambah dan keuntungan
serta kelayakan usaha ikan kayu. Analisis ikan kayu hanya dilakukan pada ikan
tongkol, mengingat ikan tongkol relatif lebih banyak diolah untuk ikan kayu
dibanding dari ikan jenis lainnya. Penelitian sengaja dibatasi dengan pertimbangan
keterbatasan biaya dan waktu.
Metode dan Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini digunakan metode survei dengan teknik cacah lengkap
pada suatu usaha yang bergerak dalam suatu produksi ikan kayu. Populasi dalam
penelitian ini adalah semua masyarakat nelayan yang mengusahakan ikan kayu di
lokasi penelitian. Mengingat besarnya jumlah populasi pengrajin di Desa Pusong
Baru, maka jumlah sampel yang diambil hanya 10% dari jumlah populasi, yaitu 14
pengrajin. Sedangkan di Desa Pusong Lama, jumlah populasi pengrajin relatif
sedikit, maka semua populasi dijadikan sampel. Untuk lebih jelasnya, besarnya
9
populasi dan sampel pengrajin ikan kayu di daerah penelitian diperlihatkan pada
Tabel 2.
Tabel 2. Besaran Populasi dan Sampel Pengrajin di Daerah Penelitian
No. Desa Populasi Sampel
1. Pusong Baru 143 14
2. Pusong Lama 8 8
Jumlah 151 22
Data primer yang dikumpulkan meliputi:
a. Aspek teknis: lokasi produksi; siklus, jumlah dan jenis produksi; sumber,
jumlah dan harga input kedelai; sumber, jumlah dan harga input penunjang;
jumlah dan komposisi penggunaan tenaga kerja, jam kerja dan upah tenaga
kerja; jenis, jumlah dan umur peralatan/perlengkapan; aliran proses produksi
dan teknologi pengolahan, kendala dan permasalahannya.
b. Aspek manajemen usaha: pola manajemen pengelolaan, struktur keputusan
usaha, sumber dan bentuk modal usaha.
Analisis Nilai Tambah
Data survey yang diperoleh selanjutnya dilakukan pentabulasian disesuaikan
dengan kebutuhan analisis untuk menjawab permasalahan penelitian. Analisis nilai
tambah dihitung dengan menggunakan Tabel Nilai Tambah seperti pada Tabel 3.
Tabel 3. Analisis Nilai Tambah
No. Output, Input dan Harga Satuan Notasi
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Produksi (kg/pp) Bahan baku (kg/pp) Tenaga kerja (jam/hari) Faktor konversi (1 : 2) Koefisien tenaga kerja (3 : 2) Harga produk (Rp/kg) Upah tenaga kerja (Rp/jam) Input : ikan tongkol Input lain
Kg/pp Kg/pp
Jam/hari
HOK Rp/kg/pp Rp/jam/pp Rp/Kg/pp Rp/kg/pp
a b c
d = a/b e = c/b
f g h i
10
10. 11.
Nilai ikan kayu (4 x 6) Nilai tambah (10 – 8 – 9) Rasio nilai tambah % (11/10 x 100%)
Rp/kg/pp Rp/kg/pp
%
j = d x f k = j – h – i
l = (k/j x 100%)
Sumber : Sudiyono, 1988.
Keterangan: HOK = Hari orang kerja; Kgbb = Kilogram bahan baku; Pp = Proses produksi
Analisis Keuntungan Usaha Ikan Olahan
Analisis struktur biaya dan keuntungan usaha dirumuskan sebagai berikut :
= TR – TC TR = Q . Pq TC = TFC + TVC TFC = (BST + BSS) TVC = (BBK + BBP + BTK + BSL + BPS) Keterangan : = Keuntungan agroindustri (Rp/proses); TR = Total revenue (Rp/proses); TC = Total cost (Rp/proses); Q = Jumlah produksi tempe (Kg/proses); Pq = Harga tempe (Rp/kg); TFC = Total fixed cost (Rp/proses); TVC = Total variable cost (Rp/proses); BST = Biaya sewa tempat (Rp/proses); BSS = Biaya penyusutan alat (Rp/proses); BBK = Biaya bahan baku (Rp/proses); BBP = Biaya bahan penunjang (Rp/proses); BTK = Biaya tenaga kerja (Rp/proses); BTSL = Biaya penggilingan (Rp/proses); BPS = Biaya pemasaran (Rp/proses).
Analisis Kelayakan Usaha
Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas mengenai kelayakan
pengembangan usaha ikan kayu, analisis finansial dilengkapi dengan penjelasan
deskripstif kualitatif pada tiap tahapan proyek meliputi:
a. Tahap identifikasi
b. Tahap formulasi, meliputi analisis terhadap aspek teknis, institusional, sosial dan
aspek ekternalitas.
c. Tahap analisis, meliputi studi pemasaran, manajemen dan finansial.
11
Untuk mengukur kelayakan pengembangan usaha ikan kayu secara finansial,
dalam penelitian ini digunakan beberapa criteria :
Net Present value (NPV) merupakan selisih antara Present Value dari benefit dengan
Present Value Cost selama umur proyek, dengan formula sebagai berikut :
t
n
1t i)(1 )C - (
ttBNPV
Keterangan:
Bt = Penerimaan pada periode t;
Ct = Biaya pada periode t;
t = Tahun kegiatan usaha;
i = Tingkat discount rate yang digunakan.
Kriteria keputusannya adalah sebagai berikut:
Jika nilai NPV > 0, usaha ikan kayu dikatakan layak dilakukan;
Jika nilai NPV < 0, usaha ikan kayu tidak layak.
Net Benefit Cost ratio (Net B/C) adalah perbandingan antara Net Present Value
positif dengan jumlah Net Present value negatif dengan formula sebagai berikut :
n
1tt
n
1tt
tt
i) (1)(
i) (1)C - (B
B/CNet tt BC
Keterangan:
Bt = Penerimaan pada periode t; Ct = Biaya pada periode t; i = Tingkat discount rate yang digunakan n = Umur ekonomis dari proyek. Kriteria keputusannya adalah sebagai berikut:
Jika nilai B/C ratio > 1 usaha ikan kayu dikatakan layak dilakukan;
Jika nilai B/C ratio < 1, usaha ikan kayu tidak layak.
Semakin besar nilai B/C ratio secara finansial kelayakannya semakin baik.
Internal rate Of return (IRR) adalah untuk mengetahui persentase keuntungan
dari suatu proyek tiap tahunnya. IRR juga merupakan alat ukur kemampuan
proyek dalam mengembalikan bunga pinjaman, dengan formula sebagai berikut :
12
IRR = i1 + NPV1 (i2 - i1)
NPV1 - NPV2
Keterangan :
i1 = Tingkat bunga i1 (dimana NPV positif)
i2 = Tingkat bunga i2 (dimana NPV negatif)
NPV1 = Nilai NPV pada tingkat bunga i1 (positif menuju nol)
NPV2 = Nilai NPV pada tingkat bunga i12 (negatif menuju nol)
Jika IRR suatu proyek = nilai yang berlaku bagi social Discount Rate maka NPV
proyek itu adalah nol. Jika IRR < social Discount Rate maka NPV < 0. Oleh
karena itu jika IRR > Social Discount Rate menyatakan bahwa usaha ikan kayu
layak diusahakan. Sedangkan jika IRR < Social Discount Rate menyatakan
bahwa usaha ikan kayu tidak layak diusahakan
Untuk menghitung dan menggambarkan suatu usaha dalam keadaan seimbang
atau tidak untung dan tidak rugi secara finansial, maka digunakan formula
sebagai berikut:
Keterangan :
= Satu tahun sebelum terdapat tahun BEP
= Jumlah total cost yang telah didiskon
= jumlah benefit yang telah didskon satu tahun terdapat tahun BEP
= Jumlah benefit yang telah didskon yang terdapat tahun BEP
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Usaha Ikan Olahan
p
n
iicp
n
ti
p B
BTCTBEP
1
11
1
1pT
n
tiTC
1
n
iicpB
11
pB = jumlah benefit yang telah didskon satu tahun terdapat tahun BEP
13
Usaha ikan olahan merupakan usaha rumah tangga yang termasuk ke dalam
agroindustri. Pengembangan agroindustri ikan olahan salah satunya adalah ikan
kayu diprioritaskan karena produksi ikan tongkol relatif banyak dan diperkirakan
memiliki prospek pasar yang cerah. Selain itu adanya sumberdaya manusia yang
berpotensi dan teknologi yang mudah serta sederhana, sehingga dapat dikerjakan
oleh nelayan atau masyarakat pesisir. Pengadaan modal usaha diperoleh dari modal
sendiri dan pinjaman dari pihak lain dengan dasar kepercayaan antar kedua belah
pihak dalam mengadakan hutang piutang.
Bahan baku ikan kayu adalah ikan tongkol. Ikan tongkol diperoleh dari tempat
pendaratan ikan di Desa Pusong, yang merupakan satu-satunya tempat pendaratan
ikan di pusat Kota Lhokseumawe. Oleh sebab itu, Desa Pusong sangat berpotensi
untuk pengembangan ikan olahan khususnya ikan kayu.
Pengolahan ikan tongkol menjadi ikan kayu dilakukan pada saat hasil
tangkapan ikan tongkol relatif banyak dengan harga jual rata-rata Rp. 5.000/kg.
Selebihnya, pengajin akan memanfaatkan ikan tangkapan lainnya untuk
pengeringan. Namun demikian, pengolahan ikan kayu relatif lebih banyak dilakukan
dibandingkan pengeringan ikan lainnya.
Proses Produksi Ikan Kayu
Proses pembuatan ikan kayu meliputi beberapa tahapan yang harus dilakukan
untuk menghasilkan ikan kayu yang baik dan sesuai dengan selera konsumen.
Adapun tahapan proses pengolahan ikan kayu sebagai berikut :
a. Penyiangan
Dalam proses penyiangan ini ikan tongkol yang masih segar dibuang kepala,
isi perut, dan sisik dengan menggunakan pisau dan dicuci sampai bersih, yang
maksudnya untuk memperlambat pembusukan ikan dan untuk membersihkan ikan
dari kotoran dan darah yang melekat pada ikan. Setelah dibersihkan dimasukkan ke
dalam keranjang yang telah disediakan.
b. Perebusan
Pada proses perebusan ikan tongkol ini dilakukan dengan pemanasan 100oC
yang disertakan dengan penggaraman. Tujuan dari perebusan agar hasil produksi
ikan kayu menjadi steril dengan berkurangnya kadar air dalam badan ikan dan
mematikan sebagian bakteri juga mengawetkan ikan. Sedangkan garam digunakan
14
sebagai pengawet agar ikan kayu dapat disimpan lebih lama. Perebusan dilakukan
dalam drum yang berisi air garam yang didalamnya dimasukkan lebih kurang 25
ekor ikan. Pemanasan yang kurang atau berlebihan mengakibatkan berkurangnya
mutu ikan yang diinginkan. Selama perebusan, diberikan tepung kapur untuk
mencegah adanya ulat dan membersihkan ikan dari kotoran yang masih melekat
saat perebusan.
Perebusan dan penggaraman yang dilakukan pada pembuatan ikan kayu ini
dengan pemberian 0,25 kg gram dalam 30 liter air perebus, dan lamanya waktu
perebusan 2 jam atau ditandai dengan merekahnya pada bagian ujung ekor.
c. Penjemuran
Setelah ikan masak kemudian dilakukan pemisahan tulang dengan membelah
ikan menjadi empat bagian (ikan besar) kemudian dilakukan penjemuran atau
pengeringan. Penjemuran ini dilakukan untuk mengeluarkan air yang ada pada
badan ikan dengan cara menguapkan energi panas. Ikan dijemur dengan
menggunakan lantai jemur dan dijemur sampai kering dengan panas matahari
selama lebih kurang 2 hari bila hari cerah dan 3 hari bila hari mendung.
d. Pengemasan
Ikan kayu yang kering selanjutnya didinginkan sebelum dikemas dalam kotak.
Ikan kayu biasanya dapat disimpan dalam waktu yang relatif lama. Wilayah
pemasaran ikan kayu masih terbatas dalam wilayah Nanggroe Aceh Darussalam
mengingat ikan kayu hanya dikonsumsi oleh masyarakat aceh dan kurangnya
promosi keluar daerah Aceh.
Karakteristik Pengrajin Ikan Olahan
Karaketristik pengrajin ikan olahan adalah keadaan atau gambaran tentang
pengrajin yang dapat mempengaruhi kemampuan kerja serta keterampilan
pengrajin ikan olahan tersebut dalam mengelola usaha dan meningkatkan
keuntungan. Karakteristik pengrajin meliputi umur, pendidikan, pengalaman
berusaha dan jumlah tanggungan keluarga.
Tabel 3. Karakteristik Pengrajin Ikan Olahan di Daerah Penelitian, Tahun 2008
No. Karakteristik Satuan Rata-rata 1. 2. 3.
Umur Pendidikan Pengalaman berusaha
Tahun Tahun Tahun
30,25 9,17 14,20
15
4. Jumlah tanggungan keluarga
Jiwa 4,30
Sumber : Data Primer (diolah), 2008.
Kemampuan kerja pengrajin dipengaruhi oleh umur. Seiring dengan
peningkatan umur pengrajin maka kemampuan kerja diduga semakin menurun.
Pernyataan ini didukung oleh Soekartawi (1993) yang menyatakan bahwa umur
produktif secara ekonomi adalah 15 – 45 tahun, diluar batasan tersebut
kemampuan kerja seseorang itu tidak baik. Umur rata-rata pengrajin adalah
30,25 tahun, tergolong produktif dan masih memungkinkan untuk melakukan
perubahan-perubahan dalam usahanya yang dapat meningkatkan pendapatan.
Pendidikan merupakan dasar pijakan untuk mengembangkan kemampuan
dalam memanfaatkan sumberdaya yang ada guna memicu peningkatan kreatifitas.
Rata-rata pendidikan responden adalah 9,17 tahun setara dengan tingkat
pendidikan Sekolah Menengah Tingkat Pertama (SMP). Rendahnya pendidikan
berpengaruh terhadap kinerja usaha khususnya kemampuan dalam pengambilan
keputusan berkenaan dengan pemamfaatan sumberdaya produktif secara efisien
Pengrajin ikan olahan rata-rata telah berpengalaman selama 14,20 tahun.
Diperkirakan telah memahami usaha ikan olahan dan memiliki wilayah pemasaran
tersendiri dalam upaya peningkatan pendapatannya. Mengingat bahan baku adalah
ikan tangkapan segar, maka diduga pengrajin telah menguasai kegiatan produksi
ikan olahan dengan memanfaatkan jenis ikan-ikan tertentu yang diperoleh dalam
jumlah lebih banyak. Kegiatan produksi tersebut dilakukan guna menutupi
perolehan pendapatan yang lebih kecil pada ikan kayu saat hasil tangkapan ikan
tongkol menurun.
Penggunaan Bahan dan Alat
Ketersediaan bahan dan peralatan yang cukup, dan memadai akan
mempelancar proses produksi. Bahan baku yang digunakan pada pengolahan ikan
kayu adalah ikan tongkol, garam, air, minyak tanah dan tawas. Bahan baku ini
relatif mudah diperoleh mengingat daerah penelitian terletak di kawasan Tempat
Pendaratan Ikan (TPI) dan pusat pasar Kota Lhokseumawe. Berikut diperlihatkan
rata-rata penggunaan bahan untuk pengolahan ikan kayu.
16
Tabel 4. Rincian Penggunaan Bahan untuk Produksi Ikan Kayu dalam Satu Bulan Produksi Di Daerah Penelitian, Tahun 2008
No. Komponen Satuan Volume Harga
(Rp/Satuan) Nilai Beli
(Rp) 1. Bahan baku
(Ikan tongkol) Kg 6.000 5.000,00 30.000.000,00
2. Garam Kg 1.800 1.000,00 1.800.000,00 3. Minyak tanah Liter 600 3.000,00 1.800.000,00 4. Tepung kapur Kg 150 2.000,00 300.000,00
Jumlah 33.900.000,00 Sumber : Data Primer (diolah), 2008.
Dalam satu bulan produksi, untuk pembuatan ikan kayu membutuhkan ikan
tongkol sebanyak 6.000 kg, garam sebanyak 1.800 kg, minyak tanah sebanyak
600 liter dan tepung kapur sebanyak 150 kg. Biaya bahan yang paling banyak
dibutuhkan adalah biaya untuk membeli ikan tongkol sebagai bahan baku utama
ikan kayu. Sedangkan biaya penunjang relatif lebih sedikit dibutuhkan. Biaya untuk
membeli tepung kapur relatif lebih sedikit, mengingat bahwa tepung kapur
digunakan hanya untuk mencegah adanya ulat dan membersihkan ikan dari kotoran
yang masih melekat selama proses perebusan.
Peralatan yang digunakan dalam pengolahan ikan kayu adalah drum, pisau,
lantai jemur, keranjang, panci besar, sendok kayu ukuran besar, sendok kayu
ukuran kecil, timba, tenda, dan sorok. Berikut diperlihatkan rincian penggunaan
peralatan pada produksi ikan kayu di daerah penelitian
Tabel 5. Rincian Penggunaan Alat pada Produksi Ikan Kayu dalam Satu Bulan
Produksi Di Daerah Penelitian, Tahun 2008
No. Komponen Vol Harga (Rp/Buah)
Nilai Beli (Rp)
1. Drum 6 60.000,00 360.000,00 2. Lantai Jemur 35 40.000,00 1.400.000,00 3. Keranjang 4 15.000,00 60.000,00 4. Sendok kayu ukuran
besar 2 35.000,00 70.000,00
5. Sendok kayu ukuran kecil 4 10.000,00 40.000,00 6. Baskom 2 20.000,00 40.000,00 7. Timba 2 8.000,00 16.000,00 8. Sorok 2 10.000,00 20.000,00 9. Pisau 6 10.000,00 60.000,00
Jumlah 2.066.000,00
17
Sumber : Data Primer (diolah), 2008.
Tabel 5 memperlihatkan bahwa rata-rata biaya peralatan yang digunakan
untuk memproduksi ikan kayu adalah Rp. 2.066.000,00. Penggunaan biaya
peralatan yang paling besar pada produksi ikan kayu adalah untuk membeli
lantai jemur sebesar Rp. 1.400.000,00 dan biaya peralatan yang paling kecil
adalah untuk membeli timba yaitu Rp. 16.000,00.
Penggunaan Tenaga Kerja
Tenaga kerja merupakan salah satu faktor produksi yang sangat
mempengaruhi dalam usaha memproduksi ikan olahan. Kebutuhan tenaga kerja
adalah jumlah tenaga kerja yang diperlukan untuk menghasilkan sejumlah produk
masyarakat dalam satu satuan waktu tertentu. Tenaga kerja yang digunakan
dalam kegiatan produksi ikan olahan berasal dari dalam dan luar keluarga, yang
dihitung dalam satu bulan produksi dan dikonversikan ke dalam Hari Kerja Pria
(HKP). Rata-rata waktu kerja sehari diasumsikan sebesar 7 jam, dengan upah
tenaga kerja sebesar Rp. 15.000,00 per HKP. Adapun jenis kegiatan yang dilakukan
pada usaha ikan kayu meliputi penyiangan, perebusan, penjemuran dan
pengapuran. Berikut diperlihatkan distribusi rata-rata penggunaan tenaga kerja
menurut fase kegiatan dalam satu bulan produksi pada usaha ikan kayu di daerah
penelitian.
Rata-rata curahan tenaga kerja terbesar pada usaha ikan kayu adalah kegiatan
penjemuran yaitu 37,80 HKP (61,11%), kemudian diikuti oleh fase penyiangan
sebesar 8,40 HKP (13,58%), pemisahan tulang sebesar 4,20 HKP (6,79%),
perebusan sebesar 4,10 HKP (6,63%), pembersihan 3,15 HKP (5,09%), pengapuran
sebesar 2,10 HKP (3,40%), dan pengemasan sebesar 2,10 HKP (3,40%). Jumlah
penggunaan tenaga kerja ini berbeda-beda tergantung jumlah bahan baku yang
digunakan dan lamanya sinar matahari saat penjemuran. Total rata-rata
penggunaan tenaga kerja selama satu bulan produksi adalah 61,85 HKP dengan
biaya per HKP sebesar Rp. 15.000,00, maka total biaya yang dikeluarkan untuk
tenaga kerja selama satu bulan produksi pada usaha ikan kayu adalah Rp.
927.750,00.
18
Tabel 6. Rata-rata Pengunaan Tenaga Kerja Menurut Fase Kegiatan dalam Satu Bulan Produksi pada Produksi Ikan Kayu Di Daerah Penelitian, Tahun 2008
No. Jenis Kegiatan Tenaga Kerja
(HKP/Bulan) Persentase
(%) 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Penyiangan Pembersihan Perebusan Pemisahan Tulang Penjemuran Pengapuran Pengemasan
8,40 3,15 4,10 4,20 37,80 2,10 2,10
13,58 5,09 6,63 6,79 61,11 3,40 3,40
Jumlah 61,85 100,00
Sumber : Data Primer (diolah), 2008.
Biaya Produksi
Biaya produksi adalah semua biaya yang dikeluarkan baik biaya tetap maupun
biaya tidak tetap. Biaya tetap adalah biaya yang dikeluarkan dalam suatu proses
produksi dan besarnya tidak tergantung pada besar kecilnya produksi yang
dihasilkan, seperti biaya peralatan. Biaya tidak tetap adalah biaya yang dikeluarkan
dalam proses produksi tergantung dari besar kecilnya produksi yang dihasilkan.
Yang termasuk dalam biaya tidak tetap dalam usaha ikan olahan adalah biaya
bahan, biaya tenaga kerja, dan bunga modal. Perhitungan biaya produksi sangat
diperlukan sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan yang
berkenaan dengan pemanfaatan sumber-sumber modal, penggunaan sumberdaya
dan penentuan harga jual ikan olahan.
Tabel 7. Rata-rata Penggunaan Biaya dalam Satu Bulan Produksi pada Usaha Ikan Kayu Di Daerah Penelitian, Tahun 2008
Komponen Modal Biaya Produksi
(Rp) Persentase
(%) A. Biaya Tetap
a. Drum b. Lantai jemur c. Keranjang d. Sendok kayu ukuran
besar e. Sendok kayu ukuran kecil f. Baskom g. Timba h. Sorok
360.000,00 1.400.000,00 60.000,00 70.000,00 40.000,00 40.000,00 16.000,00 20.000,00 60.000,00
0,85 3,29 0,14 0,17 0,09 0.09 0,04 0,05 0,14
19
i. Pisau
B. Biaya Tidak Tetap a. Bahan baku b. Garam c. Minyak tanah d. Tepung kapur
C. Penggunaan Tenaga Kerja D. Penyusutan Peralatan E. Bunga Modal (15%)
30.000.000,00 1.800.000,00 1.800.000,00 300.000,00 927.750,00 110.166,67 5.550.587,50
70,50 4,23 4,23 0,70 2,18 0,26 13,04
Jumlah 42.554.504,17 100,00 Sumber : Data Primer (diolah), 2008.
Tabel 7 di atas jelas memperlihatkan bahwa total biaya produksi ikan kayu
adalah Rp. 42.554.504,17. Pengeluaran biaya produksi yang paling besar adalah
biaya pembelian bahan baku ikan tongkol sebesar Rp. 30.000.000,00 dan biaya
produksi yang paling sedikit digunakan untuk membeli timba sebesar Rp.
16.000,00. Pengeluaran biaya tetap pada pembuatan ikan kayu sebesar Rp.
2.066.000,00, biaya tidak tetap sebesar Rp. 33.900.000,00, biaya tenaga
kerja sebesar Rp. 927.750,00, biaya penyusutan peralatan sebesar Rp. 110.166,67,
dan bunga modal sebesar Rp. 5.550.587,50.
Produksi dan Nilai Hasil Produksi
Produksi dalam penelitian adalah banyaknya ikan olahan yang dihasilkan dari
sejumlah bahan yang digunakan dan dinyatakan dalam satuan kilogram. Sedangkan
nilai hasil produksi merupakan hasil perkalian antara jumlah ikan olahan yang
dihasilkan dengan harga jual ikan olahan tersebut pada periode tertentu dan
dinyatakan dalam satuan rupiah. Berikut diperlihatkan besaran produksi dan nilai
hasil produksi ikan olahan khususnya ikan kayu dengan harga berlaku rata-rata di
daerah penelitian.
Tabel 8. Rata-rata Produksi dan Nilai Hasil Produksi Ikan Kayu dalam Satu Bulan
Produksi Di Daerah Penelitian, Tahun 2008
No. Uraian Satuan Jumlah
1. 2. 3.
Produksi Harga Jual Nilai Hasil Produksi
Kg Rp Rp
1.440,00 35.000,00 50.400.000,00
Sumber : Data Primer (diolah), 2008.
20
Rata-rata produksi ikan kayu dalam satu bulan produksi adalah 1.440,00 kg
dan harga jual sebesar Rp. 35.000,00/kg diperoleh nilai hasil produksi sebesar Rp.
50.400.000,00. Saat ini, ikan kayu hanya dipasarkan di seputar Propinsi Nanggroe
Aceh Darussalam, yaitu Banda Aceh, Sigli, Bireuen, Lhokseumawe, Matang Kuli,
Lhoksukon, dan Kuta Binjai.
Keuntungan
Keuntungan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah keuntungan bersih
yang merupakan selisih antara nilai hasil produksi dan jumlah biaya selama satu
bulan produksi ikan olahan. Besar kecilnya keuntungan yang diterima pengrajin dari
usaha ikan olahan ditentukan oleh besar kecilnya produksi dan harga jual yang
berlaku serta besaran biaya yang dikeluarkan dalam satu bulan produksi ikan
olahan di daerah penelitian. Besaran keuntungan yang diterima sangat menentukan
besaran rentabilitas yang diperoleh pengrajin dari usaha ikan olahan.
Tabel 9 berikut memperlihatkan bahwa dengan biaya produksi ikan kayu
sebesar Rp. 42.554.504,17 dan nilai hasil produksi sebesar Rp. 50.400.000,00
diperoleh keuntungan sebesar Rp. 7.845.495,83. Saluran pemasaran yang terbatas
dan produksi ikan kayu yang relatif kecil menyebabkan keuntungan yang diperoleh
pengrajin dari usaha ikan kayu relatif sedikit.
Tabel 9. Rata-rata Besaran Keuntungan yang Diperoleh Pengrajin dalam Satu
Bulan Produksi Ikan Kayu Di Daerah penelitian, Tahun 2008
No. Uraian Satuan Rata-rata
1. 2. 3. 4.
Produksi Nilai Hasil Produksi Biaya Produksi Keuntungan
Kg Rp Rp Rp
1.440,00 50.400.000,00 42.554.504,17 7.845.495,83
Sumber : Data Primer (diolah), 2008.
Analisis Return Cost Ratio
Analisis return cost ratio merupakan perbandingan antara penerimaan (nilai
hasil produksi) dengan biaya yang dikeluarkan. Analisis ini digunakan untuk
mengetahui untung tidaknya atau layak tidaknya suatu usaha untuk dijalankan,
dengan ketentuan bahwa jika nilai return cost ratio yang diperoleh lebih besar dari
satu ( R/C >1) maka usaha tersebut layak untuk dijalankan. Sebaliknya, jika
perolehan nilai return cost ratio lebih kecil dari satu atau sama dengan satu,
21
(R/C < 1 atau R/C = 1) maka usaha tersebut tidak layak untuk dijalankan. Pada
usaha ikan kayu, diperoleh nilai retun cost ratio sebesar 1,18, artinya setiap
penambahan biaya produksi ikan kayu akan meningkatkan perolehan keuntungan
bagi pengrajin sebesar 1,84 (Lampiran 1).
Rentabilitas Usaha Ikan Kayu
Rentabilitas adalah perbandingan antara keuntungan yang diperoleh dengan
modal yang digunakan oleh pengrajin tersebut dalam usaha ikan kayu. Besaran
rentabilitas tergantung pada besaran produksi ikan kayu, harga jual yang berlaku,
besaran modal yang dikeluarkan, dan perolehan keuntungan bagi pengrajin ikan
kayu, yang dinyatakan dalam persentase.
Pada tingkat bunga modal sebesar 15% diperoleh rentabilitas usaha ikan kayu
sebesar 18,44% (Lampiran 2), menunjukkan bahwa usaha ikan kayu memberikan
keuntungan bersih sebesar 18,44% dalam satu bulan produksi dari modal yang
diinvestasikan. Hal ini juga berarti bahwa setiap pengeluaran biaya produksi
sebesar Rp. 42.554.504,17 akan memberikan keuntungan sebesar Rp.
7.845.495,83, dengan ketentuan bahwa modal yang dikeluarkan dalam proses
produksi ikan kayu telah digunakan secara efektif dan efisien. Peningkatan
perolehan rentabilitas juga didukung oleh penggunaan tenaga kerja yang terampil
dan baik. Persentase rentabilitas yang diperoleh sebesar 18,44% lebih besar
dibanding persentase bunga modal yang berlaku yaitu 15% per tahun. Dengan
demikian, usaha ikan kayu cukup menguntungkan dan layak untuk dijalankan.
Manajemen Pemasaran
Studi pemasaran lebih ditekankan pada upaya memahami aliran produk yang
dihasilkan oleh pengrajin sampai ke tangan konsumen akhir. Dari hasil wawancara,
dapat diidentifikasi setidaknya ada 3 saluran pemasaran ikan kayu di lokasi
penelitian. Pada saluran pertama, pengrajin menjual ikan kayu ke pedagang pasar
tradisional. Di pasar, pedagang berhadapan dengan pembeli baik sebagai konsumen
langsung maupun pemilik warung yang membeli ikan kayu untuk dijual lagi kepada
konsumen rumah tangga di sekitarnya. Saluran berikut, pengrajin menjual langsung
kepada konsumen setempat basis agroindustri.
22
Gambar 1. Saluran pemasaran ikan kayu dari pengrajin ke konsumen akhir
Berdasar tujuannya, lokasi pemasaran masih terbatas seputar wilayah
Nanggroe Aceh Darussalam, khususnya pasar tradisional. Dalam pelaksanaannya,
kegiatan pemasaran dilakukan dengan menggunakan mobil Daihatsu. Biaya
pemasaran dikeluarkan terutama untuk upah tenaga kerja bidang pemasaran, biaya
pembelian bensin untuk transportasi ke pasar tradisional baik di dalam maupun luar
kota Lhokseumawe, dan biaya retribusi pasar.
Dari aspek kuantitas, selama ini tidak terjadi penolakan produk oleh
konsumen atau produk tidak terjual. Hal ini merupakan indikator bahwa produksi
yang dihasilkan masih dibawah daya serap pasar. Daya beli pasar akan meningkat
lagi jika ikan kayu dipromosikan kepada konsumen lain di luar Propinsi Nanggroe
Aceh Darussalam. Berdasar pertimbangan tersebut maka upaya pengembangan
masih berpeluang besar dilakukan apalagi jika diiringi dengan terobosan
menciptakan ikan kayu dengan kemasan dan dijual di pasar modern (swalayan).
Analisis Nilai Tambah
Rataan nilai tambah, imbalan kerja dan keuntungan dalam agroindustri ikan
kayu disajikan pada tabel berikut ini :
Tabel 10. Analisis Nilai Tambah Usaha Ikan Kayu
No. Output, Input dan Harga Ikan Kayu
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Produksi (kg/pp)
Bahan baku (kg/pp)
Tenaga kerja (jam/hari)
Faktor konversi (1 : 2)
Koefisien tenaga kerja (3 : 2)
Harga produk (Rp/kg)
Upah tenaga kerja (Rp/jam)
1.440,00
6.000,00
3,29
0,24
5,48
35.000,00
6.079,03
Pengrajin
Pemilik warung desa lain
Konsumen rumahtangga
Pedagang Pasar Tradisional
23
8.
9.
10.
11.
Input : ikan tongkol
Input lain
Nilai ikan kayu (4 x 6)
Nilai tambah (10 – 8 – 9)
Rasio nilai tambah % (11/10 x 100%)
5.000,00
1.593,50
8.400,00
1.806,50
21,51
Sumber : Data Primer (Diolah), 2008
Tabel 10 memperlihatkan bahwa dengan menggunakan bahan baku ikan
tongkol sebanyak 6.000 kg dapat dihasilkan ikan kayu sebanyak 1.440 bungkus.
Usaha ini mampu menyerap tenaga kerja sebesar 3,29 jam per hari. Dengan
demikian, curahan tenaga kerja yang dibutuhkan untuk mengolah 1 kg ikan tongkol
menjadi ikan kayu sebanyak 3,29 jam. Apabila harga ikan kayu sebesar Rp.
35.000,00/bungkus dan faktor konversi sebesar 0,24, maka nilai produksi sebesar
Rp. 8.400,00, Nilai produksi ini dialokasikan untuk bahan baku yang berupa ikan
tongkol segar sebesar Rp. 5.000,- dan input-input lainnya, termasuk penyusutan
dan perawatan peralatan sebesar Rp. 1.593,50. Dengan demikian, nilai tambah
yang terdapat dalam setiap kilogram kedelai adalah Rp. 1.806,50 atau 21,51% dari
nilai produksi. Perolehan nilai tambah ini sangat kecil, mengingat bahwa usaha ikan
kayu berskala rumahtangga dengan modal relatif kecil dan pengolahannya
dilakukan secara tradisional. Untuk itu, dibutuhkan peran pemerintah dan
pengusaha dibidang permodalan dan manajemen produksi agar pengrajin dapat
meningkatkan kapasitas produksi sekaligus memperluas wilayah pemasaran ikan
kayu sehingga diharapkan dapat meningkatkan keuntungan bagi pengrajin
sekaligus pemerataan pendapatan bagi setiap lembaga yang terlibat dalam
pemasaran ikan kayu.
Analisis Kelayakan Usaha
Pada prinsipnya analisis kelayakan usaha dilakukan untuk mengetahui
apakah pengembangan usaha ikan kayu secara finansial layak dikembangkan atau
tidak. Analisis disusun dalam jangka waktu 5 tahun sesuai dengan umur pakai
peralatan utama. Asumsi lain adalah : 1) Semua peralatan hasil pembelian;
2) Pengrajin mengeluarkan biaya sewa tempat; 3) Seluruh tenaga kerja yang
digunakan merupakan tenaga upahan; 4) Waktu kerja efektif dalam satu tahun
sejumlah 360 hari; 5) Biaya pemasaran tidak diperhitungkan dalam analisis.
24
Modal investasi dikatagorikan atas investasi tetap dan operasional. Modal
investasi tetap meliputi peralatan dan sewa tempat, sedangkan operasional meliputi
biaya bahan baku, bahan penunjang, dan tenaga kerja. Investasi tetap dikeluarkan
pada tahun pertama pengembangan terutama untuk peralatan. Jenis peralatan yang
memiliki umur pakai lebih dari lima tahun, investasi cukup dilakukan pada tahun
pertama. Untuk peralatan yang umur pakainya lebih kecil dari satu tahun diperlukan
reinvestasi pada tahun berikutnya. Sewa tempat dibayar untuk jangka waktu lima
tahun pada tahun pertama pengembangan. Dengan pola investasi yang demikian,
pada tahun pertama penanaman modal diperlukan modal Rp 5.566.000 dan tahun
selanjutnya pengeluaran biaya investasi relatif lebih sedikit
Modal operasional digunakan untuk membiayai komponen bahan baku ikan
tongkol, bahan penunjang, dan tenaga kerja yang harganya sama sepanjang tahun.
Untuk kebutuhan operasional diperlukan modal sejumlah Rp 40.496.837,50 per
bulan
Empat kriteria akan menunjukkan layak atau tidaknya pengembangan usaha
ikan olahan khususnya ikan kayu. Usaha pengolahan ikan kayu layak diusahakan
apabila NPV positif, NBCR > 1, IRR > dari tingkat bunga yang berlaku dan BEP
terjadi di dalam umur ekonomi proyek tersebut. Tabel 11 berikut memperlihatkan
hasil analisis kelayakan usaha ikan kayu di daerah penelitian selama 5 (lima) tahun
pengembangan usaha.
Tabel 11. Analisis Kelayakan Usaha Ikan Olahan
No. Kriteria Investasi
Satuan Jumlah
1. 2. 3. 4.
NPV NBCR IRR BEP
Rp. - %
Tahun
81.855.887 2,58 54,99 4,728
Berdasar Tabel 11 diperoleh total nilai sekarang dari benefit bersih (NPV)
proyek selama 5 tahun pengembangan mencapai Rp 81.855.887 atau NPV lebih
besar dari nol dan BEP terjadi pada umur 4 tahun 8 bulan dan 22 hari. Dengan kata
lain, nilai NPV > 0 (positif), NBCR > 1, IRR > tingkat bunga yang berlaku, dan BEP
terjadi di dalam umur ekonomi proyek. Mengacu pada Kadariah et al (1978),
Soekartawi (1989) dan Gittinger (1972) maka usaha ikan kayu di daerah penelitian
secara finansial layak dikembangkan.
25
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan, maka
diperoleh kesimpulan sebagai berikut :
1. Rata-rata nilai hasil produksi ikan olahan yang diterima pengrajin adalah
Rp. 50.400.000,00 per bulan dan biaya produksi yang dikeluarkan sebesar Rp.
42.554.504,17 dan keuntungan sebesar Rp. 7.845.495,83 maka perolehan
nilai return cost ratio sebesar 1,18, artinya setiap penambahan biaya produksi
ikan kayu akan meningkatkan perolehan keuntungan bagi pengrajin sebesar
1,84. Hal ini menunjukkan bahwa usaha ikan kayu di daerah penelitian cukup
menguntungkan untuk dijalankan.
2. Nilai tambah yang dinikmati pengrajin dari usaha ikan olahan jenis ikan kayu
juga cukup besar yaitu Rp 1.806,50/kg kedelai. Nilai tambah ini sebagian besar
merupakan komponen keuntungan dan selebihnya sebagai imbalan jasa
tenaga kerja.
3. Secara finansial pengembangan usaha ikan kayu layak dilakukan. Hal ini dapat
dilihat dari NPV>0 yaitu Rp. 81.855.887, NBCR > 1, yaitu 2,58, IRR = 54,99%
lebih besar dari suku bunga yang berlaku yaitu 15% dan BEP terjadi pada
umur 4 tahun 8 bulan 22 hari.
Saran
1. Mengingat tingginya permintaan ikan kayu dan besarnya keuntungan yang
diperoleh pengrajin, hendaknya pengrajin usaha ikan kayu dapat
memanfaatkan peluang pasar dan sumberdaya seefisien mungkin serta
melakukan inovasi dalam proses pengolahan.
2. Dalam rangka meningkatkan permintaan konsumen terhadap ikan kayu,
diharapkan pemerintah dan jajarannya di sektor perdagangan dan industri
dapat membuka pasar ikan kayu ke daerah luar propinsi Nanggroe Aceh
Darussalam.
26
DAFTAR PUSTAKA
Ahrean, M.et.al, 1985. The distribution of Income and Wealth of Farm Operator Houshold, American Journal Agricultural Economic, Volume 67, pp.1087-1097.
Aziz, M.Amin, 1990. Pokok-pokok Pikiran Pengembangan Agribisnis menyongsong Pembangunan Jangka Panjang. Pidato Ilmiah dalam Rangka Wisuda Sarjana Institut Pertanian Malang.
Assauri. 1993. Manajemen Pemasaran. PT. Rajawali. Jakarta.
Barry P.J, Steven T, Sonka and Kaouthar Lajili, 1992. Vertcaloordination Financial Structure and The Cahnging Theory of The Firm, American Journal Agricultural Economic, Volume 74, pp. 1219-1225.
Chiboola O. And Bruce Bjornson, 1996. Market Environment and Valuation of Invested Capital in Food Manufacturing and Distribution, Agribusiness, Volume 12, Nomor 2, pp 135-146.
Choliq. 1994. Evaluasi Proyek (suatu Pengantar). Jaya. Bandung. Dirjen Bina Gizi Masyarakat dan Puslitbang Gizi Depkes RI. (1991) Daftar komposisi
bahan makanan dalam Bunga Rampai Tempe Indonesia (Eds. Sapuan dan Noer Soetrisno), 127, Indonesian Tempe Foundation, Jakarta.
Hayami. (1987) Agricultural marketing and processing in up land java: a
prospective from Sunda vilage. dalam Ratna Mustika Wardhani (1999) Analisis Nilai Tambah Komoditas Melinjo Pada Agroindustri Emping di Kabupaten Madiun. Thesis, Universitas Brawijaya. Malang.
Ibrahim. 1998. Studi Kelayakan Bisnis. Rineka Cipta. Jakarta.
Junianto. 2002. Kiat Memilih Ikan Segar & Produk Olahannya. Pikiran Rakyat. 21 Juli 2002.
Jensen, H.H and Salant, 1985, “The Role of Fringe Benefits in Operator Off Farm Labor Supply”, American Journal Agricultural Economic Volume 67, pp. 1095-1099.
Kadariah. 1978. Pengantar Evaluasi Proyek. Lembaga Penerbit F.E. UI. Jakarta.
Koswara, S.T. 1992. Teknologi Pengolahan Kedelai. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta.
Munawir, S. 1981. Analisa Laporan Keuangan. Liberty. Jakarta.
Semaoen dan S.M Kiptiyah, 1997, “Peluang dan Tantangan Pengembangan Agribisnis pada Abad 21”, dalam Wahono, dkk, Prosiding Seminar Nasional reorientasi Dunia Pertanian dalam Rangka Menciptakan Pelaku Agribisnis Tangguh pada Abad 21, UMM Press, Malang.
27
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
1. Nama : Muhammad Arifai, SE.,Ak 2. Tempat dan Tanggal Lahir : Lhokseumawe, 10 Juli 1978 3. Jenis Kelamin : Laki-laki 4. Fakultas/Program Studi : Tata Niaga/Akuntansi 5. Pangkat/Golongan/NIP : III/b/132 299 784 6. Bidang Keahlian : Ekonomi Akuntansi 7. Tahun Perolehan Gelar Akademik : 2002 8. Alamat Kantor : Politeknik Negeri Lhokseumawe Telepon/Faksimili : (0645) 42670 e-mail : Alamat rumah : Jl Darussalam Gg Perwira No.14
Lhokseumawe Telepon/Faksimili : 08126927289 10. Pengalaman dalam Bidang Penelitian : No Judul Tahun Kedudukan
Dalam Tim 1 2 3 4 5 6
Pengaruh Tindakan Supervisi Auditor terhadap Kepuasan Kerja Bawahan melalui pendekatan dyadic (studi Kasus pada Auditor BPKP Provinsi NAD) Pengaruh Pengalaman Akuntan Pemeriksa Terhadap Kemampuan dalam mengidentifikasi Kecurangan (Frauds) Persepsi Penilai terhadap Profesionalisme Mahasiswa Praktik Kerja lapangan Prodi Akuntansi PNL Analisis Akuntabilitas dan Aksesibiltas Baitul Mal (Studi Kasus Baitul Mal Banda aceh) Pengaruh Tindakan Sceptisme Profesional Auditor Terhadap Penentuan Bukti Audit oleh Auditor Bawasda kota Lhokseumawe Analis Nilai Tambah dan Kelayakan Usaha Pengolahan Ikan di Kota Lhokseumawe (Studi Kasus di desa Pusong)
2003 2003 2005 2006 2008
Ketua Ketua Ketua Ketua Ketua Ketua
28
11. Pengalaman di Bidang Pengabdian No Judul Tahun Kedudukan
1 2 3 4 5
Pelatihan akuntansi sederhana bagi Small Business di Kota Lhokseumawe Penguatan Ketentuan dan Tata Cara Perpajakan bagi Bendaharawan Politeknik Negeri Lhokseumawe Pelatihan Pembukuan Bagi Usaha Ibu Rumah Tangga di Kecamatan Blang Mangat Pelatihan Administrasi Pemerintahan Desa Bagi Aparatur Gampong Jeulikat Kota Lhokseumawe Pelatihan Penguatan Kelompok Perempuan dalam meningkatkan ekonoomi Keluarga di Kota Lhokseumawe
2006 2007 2008 2008 2008
Pelaksana Pelaksana Pelaksana Pelaksana Pelaksana
Lhokseumawe, 12 Januari 2009 Tertanda, (Muhammad Arifai, SE.,Ak) NIP 132 299 784