Download - %$+$6$ ,1'21(6,$ Berorientasi Sikap Bahasa
BAHASA INDONESIABerorientasi Sikap Bahasa
I Putu Mas DewantaraI Nengah SuandiI Wayan Rasna
Ida Bagus Putrayasa
BAHASA INDONESIA
BERORIENTASI SIKAP BAHASA
I Putu Mas Dewantara
I Nengah Suandi
I Wayan Rasna
Ida Bagus Putrayasa
Untuk Perguruan Tinggi
Bahasa Indonesia
Berorientasi Sikap Bahasa
Penulis
I Putu Mas Dewantara, S.Pd., M.Pd.
Prof. Dr. I Nengah Suandi, M.Hum
Prof. Dr. Drs. I Wayan Rasna, M.Pd.
Prof. Dr. Ida Bagus Putrayasa, M.Pd.
Editor
Prof. Dr. I Wayan Suastra, M.Pd.
Prof. Dr. I Nyoman Kanca, M.S.
Prof. Dr. I Nengah Martha, M.Pd.
Dr. Ni Luh Nyoman Seri Malini, SS., M.Hum
Desain cover dan tata letak
I Nyoman Laba Jayanta, S.Pd., M.Pd.
Penerbit
Undiksha Press www.undiksha.ac.id
Januari 2019
ISBN 978-602-6428-75-2
Hak cipta dilindungi oleh undang-undang.
Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian
atau keseluruhan isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit.
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan ke hadapan Ida Hyang Widhi Wasa,
Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat rahmat-Nya buku ajar yang
berjudul Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa ini dapat penulis
selesaikan tepat pada waktunya. Buku ini disusun berorientasi pada
pembentukan sikap positif terhadap bahasa Indonesia.
Buku ini terdiri atas sepuluh bab. Bab 1 membicarakan tentang sejarah
perkembangan bahasa Indonesia dan kedudukan bahasa. Bab 2
membicarakan tentang ragam bahasa. Selanjutnya di Bab 3 mengenai ejaan.
Bab 4 dibahas kesantunan berbahasa. Bab 5 terkait bahasa Indonesia yang
baik dan benar. Bab 6 mengenai karya ilmiah. Bab 7 memaparakan tentang
menulis kutipan, daftar pustaka, dan catatan kaki. Paling akhir Bab 8
mengenai berbicara dalam forum ilmiah. Buku ini dilengkapi dengan bagian
pengantar pada setiap awal bagian dan ringkasan di tiap akhir bagian. Pada
akhir setiap bagian disertakan soal-soal latihan untuk menguji pemahaman
mahasiswa terhadap bagian-bagian yang ada.
Terwujudnya buku ajar ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak.
Pihak-pihak tersebut terutama dari DRPM Dikti berupa bantuan dana
penelitian dalam pengembangan buku ajar ini. Bantuan juga penulis peroleh
dari pengampu MPK (Matakuliah Pengembangan Kepribadian) Bahasa
Indonesia baik yang berasal dari Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia maupun dari jurusan lain berupa sumbangan-sumbangan
pemikiran. Melalui kesempatan ini penulis sampaikan terima kasih yang
setulus-tulusnya kepada berbagai pihak yang telah memberikan bantuan.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa buku ajar ini masih jauh dari
sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang sifatnya membangun dari
berbagai pihak, penulis terima dengan senang hati. Namun, di balik
ketidaksempurnaannya tersebut masih tersimpan sebuah harapan, semoga
buku ajar ini ada manfaatnya bagi para pembaca.
Singaraja, Januari 2019
Penulis,
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | v
DAFTAR ISI
Prakata ………………………………………………………………………………………… iv
Daftar Isi ……………………………………………………………………………………… v Sikap Bahasa: Sebuah Pengantar …………………………………………………… vii Petunjuk Isi dan Penggunaan Buku ………………………………………………… xiii
BAB 1 Menelusuri Sejarah dan Kedudukan Bahasa Indonesia sebagai Jalan Menumbuhkan Sikap Positif terhadap Bahasa Indonesia…
1
Pengantar ……………………………………………………………………………… 1
1.1 Bahasa Persatuan …………………………………………………………….. 1 1.2 Kedudukan Bahasa Indonesia ……………………………………………. 4 1.3 Fungsi Bahasa Indonesia …………………………………………………… 7
1.4 Bahasa Indonesia di Era Globalisasi ……………………………………. 9 Ringkasan ……………………………………………………………………………… 23 Latihan …………………………………………………………………………………. 24
BAB 2 Mengenal Ragam Bahasa Sebagai Jalan Realisasi Sikap Positif
Berbahasa Indonesia…………………………………………………………… 25
Pengantar ……………………………………………………………………………… 25 2.1 Hakikat Ragam Bahasa ……………………………………………………… 25 2.2 Ragam Bahasa Indonesia ………………………………………………….. 26
Ringkasan ……………………………………………………………………………… 32 Latihan …………………………………………………………………………………. 33
BAB 3 Ejaan sebagai Norma Sikap Positif Berbahasa Indonesia ………… 35 Pengantar ……………………………………………………………………………… 35 3.1 Penulisan Huruf ……………………………………………………………….. 37 3.2 Penulisan Kata …………………………………………………………………. 43
3.3 Pemakaian Tanda Baca …………………………………………………….. 52 3.4 Penulisan Unsur Serapan ………………………………………………….. 67 Ringkasan ……………………………………………………………………………… 71
Latihan …………………………………………………………………………………. 72 BAB 4 Kesantunan Berbahasa sebagai Norma Sosiokultural Realisasi
Sikap Positif Berbahasa Indonesia ………………………………………..
73 Pengantar ……………………………………………………………………………… 73 4.1 Pembentukan Kesantunan Berbahasa ………………………………… 73
4.2 Aspek Nonlinguistik dalam Kesantunan Berbahasa ………………. 81 Ringkasan ……………………………………………………………………………… 82 Latihan …………………………………………………………………………………. 82
BAB 5 Bahasa Indonesia yang Baik dan Benar sebagai Tolok Ukur
Sikap Positif ………………………………………….…………………………… 83
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | vi
Pengantar ……………………………………………………………………………… 83
5.1 Kaidah dan Situasi Kebahasaaan ……………………………………….. 84 5.2 Aneka Kesalahan dalam Berbahasa Indonesia …………………….. 91 Ringkasan ……………………………………………………………………………… 96
Latihan …………………………………………………………………………………. 96 BAB 6 Karya Ilmiah dan Plagiarisme ………………………………………….…… 99
Pengantar ……………………………………………………………………………… 99 6.1 Etika Penulisan Ilmiah: Mengenal dan Menghindari Plagiarisme 99 6.2 Hakikat Karya Ilmiah ………………………………………………………… 101
6.3 Jenis-Jenis Karya Ilmiah ……………………………………………………. 103 6.4 Sistematika Penulisan Karya Ilmiah ……………………………………. 106 Ringkasan ……………………………………………………………………………… 121
Latihan …………………………………………………………………………………. 121 BAB 7 Kutipan, Daftar Pustaka, dan Catatan Kaki ……………………………. 123
Pengantar ……………………………………………………………………………… 123 7.1 Pengutipan dalam Karya Ilmiah …………………………………………. 124 7.2 Penulisan Daftar Pustaka (Bibliografi) ………………………………… 127 7.3 Penulisan Catatan Kaki (Footnote) ……………………………………… 131
Ringkasan ……………………………………………………………………………… 134 Latihan …………………………………………………………………………………. 135
BAB 8 Presentasi Ilmiah ……………………………………………………………….. 137 Pengantar ……………………………………………………………………………… 137 8.1 Hakikat Presentasi Ilmiah ………………………….………………………. 137
8.2 Tata Cara dan Etika Presentasi Ilmiah ………………………………… 142 8.3 Menyiapkan Bahan Presentasi Ilmiah dengan Multimedia ……… 144 8.4 Melaksanakan Presentasi Ilmiah ………………………………………… 145
Ringkasan ……………………………………………………………………………… 146 Latihan …………………………………………………………………………………. 147
Daftar Pustaka ……………………………………………………………………………… 149 Glosarium ………………………………………………………………………………….…. 153 Silabus Berorientasi Sikap Bahasa …………………………………………………… 155
Rencana Pembelajaran Semester (RPS) Berorientasi Sikap Bahasa ……. 159 Tentang Penulis ……………………………………………………………………………. 171
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | vii
Sikap Bahasa: Sebuah Pengantar
Sikap bahasa menunjukkan senang atau tidaknya seorang penutur
bahasa terhadap bahasa. Sikap terhadap bahasa akan positif jika dinilai baik
atau disukai dan akan negatif jika dinilai tidak baik atau tidak disukai. Garvin
dan Mathiot (1977) mengatakan bahwa sikap bahasa itu setidak-tidaknya
mengandung tiga ciri atau penanda pokok, yaitu kesetiaan bahasa,
kebanggaan bahasa, dan kesadaran akan norma bahasa. Ketiga penanda
tersebut merupakan ciri sikap positif terhadap suatu bahasa. Ketiga penanda
sikap bahasa dapat dijelaskan sebagai berikut.
1) Kesetiaan Bahasa
Kesetiaan terhadap bahasa Indonesia ini bukan berarti benci
terhadap bahasa asing. Hal ini sejalan dengan slogan Badan Pengembangan
dan Pembinaan Bahasa, yaitu “Utamakan Bahasa Indonesia, Lestarikan
Bahasa Daerah, dan Kuasai Bahasa Asing”. Slogan ini menunjukkan bahwa
kesetiaan dan kecintaan terhadap bahasa Indonesia tidaklah berarti
membenci bahasa yang lain.
Garvin dan Mathiot (1977) menjelaskan bahwa kesetiaan bahasa
(language loyalty) adalah keinginan seseorang atau masyarakat dalam
mendukung bahasa untuk memelihara dan mempertahankan bahasa, bahkan
kalau perlu mencegahnya dari pengaruh bahasa lain. Kesetiaan bahasa itu
sama halnya seperti nasionalisme, yaitu daya ide yang mengisi mental dan
hati manusia dengan pikiran-pikiran dan sistem yang mengendalikan manusia
untuk menerjemahkan kesadarannya dalam tingkah laku berpola. Artinya,
kesetiaan itu mengandung nilai mental dan emosi yang sangat menentukan
tingkah laku berbahasa.
Sikap setia dapat dilihat dalam tingkah laku seseorang pemakai
bahasa secara langsung, misalnya pemakai tersebut selalu menggunakan
bahasanya pada berbagai kesempatan dan berbagai media, mengoreksi
kesalahan penutur lain bahasa tersebut yang diikuti dengan memperbaiki
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | viii
kesalahan yang terjadi, mengajarkan kepada generasi selanjutnya dengan
maksud agar bahasa tersebut tidak punah (Adnyani, 2015). Penggunaan
suatu bahasa dalam komunikasi sehari-hari merupakan cara untuk
memelihara suatu bahasa. Penggunaan bahasa secara teratur merupakan
bentuk upaya pemertahanan bahasa. Pemertahanan ini diperlukan untuk
menjaga posisi suatu bahasa agar tidak tergantikan oleh bahasa lain. Dalam
proses pembelajaran, khususnya pembelajaran bahasa Indonesia,
digunakannya bahasa Indonesia secara baik dan benar oleh peserta didik
merupakan suatu usaha untuk mempertahankan bahasa dan sebagai wujud
kesetiaan terhadap bahasa Indonesia.
Penggunaan bahasa Indonesia dalam kehidupan sehari-hari
mendapatkan banyak tantangan. Sebagai contoh tantangan tersebut adalah
sikap negatif dalam wujud ketidaksetiaan terhadap bahasa Indonesia seperti
yang ditunjukkan dalam hasil penelitian St. Nujraeni, dkk. (2015). Hasil
penelitian tersebut menunjukkan bahwa kecenderungan sikap bahasa
Indonesia di kalangan pejabat daerah di provinsi Sulawesi Selatan masih
menunjukkan penggunaan bahasa yang berlaku dalam kelompok tidak
didasarkan pada peraturan yang ada. Dengan kata lain, sikap bahasa
Indonesia di kalangan pejabat daerah di provinsi Sulawesi Selatan masih
rendah.
Sikap negatif sebagai wujud ketidaksetiaan terhadap bahasa
Indonesia juga diungkapkan oleh Marsudi & Zahrok (2015) yang menyatakan
bahwa saat ini umumnya masyarakat lebih banyak menyukai kata-kata asing
(bahasa Inggris) dalam berhasanya daripada berbahasa Indonesia asli
dengan baik dan benar. Anehnya, mereka berpendapat bahwa penggunaan
bahasa Inggris tersebut supaya lebih mengena ke semua golongan
masyarakat dan juga penggunaan bahasa Inggris dianggap lebih kreatif,
efektif, dan mudah dipahami. Sikap seperti ini menunjukkan kesetiaan
masyarakat Indonesia terhadap bahasa Indonesia mengalami pelemahan
(penurunan sikap positif). Sifat suka meremehkan tampak pada perilaku
berbahasa yang “pokoknya mengerti”. Penurunan sikap positif akibat
ketidaksetiaan ini dapat ditemukan dalam berbagai macam produk industri,
nama-nama perusahaan, tema-tema dalam berbagai kegiatan, dan
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | ix
sebagainya. Nama produk industri sabun, seperti Lifebuoy, Lux, Dettol,
Vaseline, Bee and Flower, dan sebagainya. Nama-nama produksi sampo,
misalnya Pantene, Sunsilk, Rejoice, Natur, Tresemme, dan sebagainya.
Penggunaan bahasa sebagaimana yang dipaparkan di atas
merupakan pengingkaran terhadap Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009
Pasal 36 ayat (3) yang menyatakan bahwa bahasa Indonesia wajib digunakan
untuk nama bangunan atau gedung, jalan, apartemen atau permukiman,
perkantoran, kompleks perdagangan, merek dagang, lembaga usaha,
lembaga pendidikan, organisasi yang didirikan atau dimiliki oleh warga negara
Indonesia atau badan hukum Indonesia. Secara lebih luas, penggunaan
bahasa asing dalam komunikasi dengan bahasa Indonesia merupakan
pengingkaran Ikrar Sumpah Pemuda butir ketiga. Kesetiaan untuk tetap
menjunjung tinggi bahasa persatuan adalah sikap yang urgen dibutuhkan di
era globalisasi ini. Andre Ata Ujan, dkk. (2011) menyebut sikap setia terhadap
konsensus atau kesepakatan sebagai sikap reasonable. Sikap reasonable
adalah sikap menerima prinsip-prinsip pokok sebagai dasar kerja sama sosial.
2) Kebanggaan Bahasa
Penanda sikap bahasa yang lain adalah kebanggaan berbahasa
(language pride). Kebanggaan bahasa adalah suatu keyakinan terhadap
bahasa yang tertanam pada diri seseorang untuk menjadikan bahasa tersebut
sebagai identitas diri sekaligus membedakannya dari etnik lain. Kebanggaan
terhadap bahasa dan menjadikannya sebagai identitas diri terlihat seperti
yang terjadi di Ukraina setelah Euromaidan. Kulyk (2016) menjelaskan bahwa
masalah kebanggaan bahasa Ukraina sebagai identitas mendapat perhatian
besar karena kurangnya status kewarganegaraan setelah resim Soviet.
Ukraina menggunakan identitas bahasanya untuk menandai
kewarganegaraannya.
Kebanggaan bahasa diwujudkan melalui tuturan serta perilaku
seseorang. Dari aspek tuturan, seseorang yang memiliki rasa bangga
terhadap bahasa, akan bertutur menggunakan bahasa yang disukainya,
sedangkan dari aspek sikap, seseorang yang memiliki rasa bangga terhadap
bahasa, akan bersikap positif terhadap bahasa, yaitu dengan menganggap
bahasanya penting, bahkan percaya bahwa bahasanya dapat bertahan di era
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | x
globalisasi. Marsudi (2009) menyatakan bahwa sikap bangga dan cinta
terhadap bahasa nasional idealnya merupakan sebuah keniscayaan bagi
sebuah bangsa yang telah merdeka dan berdaulat penuh. Oleh karena itu,
sudah menjadi tugas semua warga negara Indonesia untuk mengembalikan
jati diri bangsa ini dimulai dari diri sendiri salah satunya dengan menggunakan
bahasa nasional di negeri sendiri. Dengan demikian, bahasa Indonesia akan
dapat tetap bertahan di era globalisasi.
Pendapat Muslich (2010) tentang sikap negatif terhadap bahasa
Indonesia merupakan contoh sikap tidak bangga terhadap keberadaan
bahasa Indonesia. Sikap tidak bangga terhadap keberadaan bahasa
Indonesia yang terjadi di tengah masyarakat Indonesia meliputi: (1) bangga
memperlihatkan kemahirannya berbahasa Inggris, meskipun penguasaan
bahasa Indonesianya masih kurang; (2) merasa dirinya lebih pandai daripada
yang lain karena telah menguasai bahasa asing dengan fasih, sekalipun
penguasaan bahasa Indonesianya kurang sempurna; (3) merasa malu
apabila tidak menguasai bahasa asing, tetapi tidak pernah merasa malu
apabila tidak menguasai bahasa Indonesia; (4) menganggap remeh bahasa
Indonesia dan tidak mau mempelajarinya karena merasa dirinya telah
menguasai bahasa Indonesia dengan baik.
3) Kesadaran Norma Bahasa
Penanda sikap bahasa yang terakhir adalah kesadaran akan norma
bahasa (awareness of the norm). Kesadaran akan norma bahasa adalah
suatu posisi atau keadaan dari diri seseorang untuk patuh terhadap suatu
aturan. Kesadaran ini mendorong seseorang untuk menggunakan bahasa
sesuai dengan kaidah atau tata bahasa baku yang berlaku dalam bahasa
tersebut. Dalam proses pembelajaran bahasa Indonesia, kesadaran akan
norma bahasa dilihat dari bagaimana siswa menggunakan bahasa sesuai
dengan kaidah kebahasaan yang ada. Pateda (dalam Muslich, 2010)
mengungkapkan beberapa perilaku berbahasa yang menunjukkan sikap
positif dalam hal penggunaan norma bahasa, seperti (1) berhati-hati
menggunakan bahasa, (2) mengoreksi kesalahan berbahasa yang terjadi, (3)
berusaha menambah pengetahuan tentang kaidah kebahasaaan, dan (4)
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | xi
menanyakan kepada ahli terkait masalah kebahasaan berbahasa yang belum
dipahami.
Tiga ciri pokok dari Garvin dan Mathiot sebagaimana yang telah
dipaparkan di atas merupakan ciri sikap positif terhadap bahasa. Sebaliknya,
jika ketiga ciri tersebut sudah menghilang atau melemah dari diri seseorang
atau kelompok masyarakat tutur, maka artinya sikap negatif terhadap suatu
bahasa telah melanda diri atau kelompok masyarakat tutur tersebut.
Ketiadaan gairah atau dorongan untuk mempertahankan kemandirian
bahasanya merupakan salah satu tanda sikap negatif di mana kesetiaan
bahasanya mulai menurun dan dapat berlanjut hingga hilang sama sekali.
Sikap negatif terhadap suatu bahasa dapat terlihat bila di dalam
perilakunya, seseorang sama sekali tidak mendukung dan menjaga
keberadaan bahasa tersebut. Hal itu dapat dilihat dari sikap kurang peduli,
tidak mau tahu dengan perkembangan bahasa tersebut, serta tidak akan
menggunakannya dalam kesempatan pembicaraan, walaupun seseorang
tersebut sebenarnya mempunyai banyak kemungkinan untuk menggunakan
bahasa tersebut. Sikap negatif juga akan lebih terasa akibat-akibatnya apabila
seseorang atau sekelompok orang tidak mempunyai kesadaran akan adanya
norma bahasa. Sikap tersebut nampak dalam tindak tuturnya. Mereka tidak
merasa perlu untuk menggunakan bahasa secara cermat dan tertib, mengikuti
kaidah yang berlaku.
Daftar Rujukan
Andayani. 2015. Problema dan Aksioma: dalam Metodologi Pembelajaran Bahasa Indonesia. Yogyakarta: Deepublish.
Garvin, Paul L. dan Madeleine Mathiot. 1977. The Urbanization of the Guarani Language”, dalam J.A. Fishman (Ed), Reading in the Sociology of Language. The Haque: Mouton.
Kulyk. 2016. “Language and identity in Ukraine after Euromaidan”. Thesis Eleven, 136(1), 90-106.
Marsudi. 2009. “Jati Diri Bahasa Indonesia di Era Globalisasi Teknologi Informasi”. Jurnal Sosial Humaniora, 2(2), 133-148.
Marsudi & Zahrok. 2015. “Kesetiaan Berbahasa Indonesia Dipertanyakan di Era Globalisasi”. Jurnal Sosial Humaniora, 8(1), 95-105.
Muslich. 2010. Bahasa Indonesia Pada Era Globalisasi: Kedudukan, Fungsi, Pembinaan, dan Pengembangan. Jakarta: Bumi Aksara.
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | xii
Nujraeni, dkk. 2015. “The Attitudes and Behavior of Using Indonesian Language among the Bureaucrats in South Sulawesi Province,” Journal of Language Teaching and Research, Vol. 6, No. 4, pp. 778-788.
Ujan, Andre Ata dkk. 2011. Multikulturalisme: Belajar Hidup Bersama dalam Perbedaan. Jakarta: Pt Indeks.
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | xiii
Petunjuk Isi dan Penggunaan Buku
Buku ini disusun dengan tujuan menumbuhkembangkan sikap positif
terhadap bahasa Indonesia. Tujuan penyusunan buku ini sejalan dengan
Keputusan Dirjen Dikti Nomor 43/DIKTI/Kep/2006 tentang tentang Rambu-
rambu Pelaksanaan Kelompok Mata kuliah Pengembangan Kepribadian
(MPK). Dalam keputusan tersebut dijelaskan bahwa kompetensi MPK Bahasa
Indonesia adalah “menjadikan mahasiswa ilmuan dan profesional yang
memiliki pengetahuan dan sikap positif terhadap bahasa Indonesia sebagai
bahasa negara dan bahasa nasional dan mampu menggunakannya secara
baik dan benar untuk mengungkapkan pemahaman, rasa kebangsaan, cinta
tanah air, dan untuk berbagi keperluan dalam bidang ilmu, teknologi, dan seni
serta profesinya masing-masing”. Dari keputusan tersebut terlihat bahwa
pembentukan sikap positif terhadap bahasa Indonesia menjadi tujuan MPK
Bahasa Indonesia.
Upaya pencapaian tujuan MPK Bahasa Indonesia sebagaimana
keputusan Dirjen Dikti dalam buku ini diharapkan dapat tercapai setelah
mempelajari bab-bab penyusun buku. Tiap bab dalam buku ini terbagi atas
empat komponen, yaitu bagian pengantar, isi, ringkasan, dan soal latihan.
Sebelum membaca buku ini, bacalah bagian pendahuluan buku yang memuat
pengatar pemahaman tentang sikap bahasa serta petunjuk isi dan
penggunaan buku sebagaimana yang ada pada bagian ini. Membaca dua
bagian ini akan membantu pembaca memahami dan menyadari tujuan dari
setiap materi yang ada dalam buku.
Bacalah setiap bagian yang ada secara berurut mulai dari bagian
pengantar sampai pada latihan soal. Bagian pengantar akan memberikan
gambaran tentang kedudukan materi yang dibahas dan memberikan landasan
berpikir sebelum mempelajari isi bab. Bagian isi bab memberikan informasi
yang diharapkan dapat menggugah rasa dan memengaruhi tingkah laku
berbahasa yang menunjukkan sikap positif terhadap bahasa Indonesia.
Setelah membaca bagian isi, bacalah bagian ringkasan untuk memperoleh
poin-poin penting dalam bab tersebut. Langkah selanjutnya adalah mencoba
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | xiv
soal latihan yang ada di akhir bab untuk menguji pemahaman terhadap materi
yang dipelajari.
Tiap bab dalam buku ini memiliki tendensi penumbuhan sikap bahasa
yang berbeda-beda, tetapi tidak berarti penumbuhan salah satu komponen
sikap bahasa mengabaikan komponen sikap bahasa yang lain. Berikut adalah
bagan tendensi pembentukan sikap positif yang ada dalam tiap bab buku ini.
Gambar Tendensi Pembentukan Sikap Bahasa pada Setiap Bab Buku
Keterangan:
Sikap Bahasa
S1: Menunjukkan sikap peduli dengan mendukung dan menjaga keberadaan bahasa Indonesia
S2: Menggunakan bahasa Indonesia dalam komunikasi sehari-hari (senang menggunakan bahasa Indonesia)
S3: Bangga menggunakan bahasa Indonesia (penanda jati diri) S4: Menunjukkan sikap yang menganggap bahasa Indonesia penting S5: Percaya atau yakin bahwa bahasa Indonesia dapat bertahan atau eksis
di era global S6: Menganggap penguasaan bahasa Indonesia perlu dikembangkan S7: Patuh terhadap kaidah bahasa (tepat/benar) S8: Patuh terhadap norma bahasa/norma sosial budaya (cermat, santun)
Dari gambar tersebut dapat dilihat perbedaan tendensi pembentukan
sikap bahasa dalam setiap bab. Pada Bab 1 misalnya, insersi lebih
difokuskan pada penumbuhan sikap peduli, bangga, anggapan bahasa
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | xv
Indonesia penting, dan keyakinan akan kemampuan bahasa Indonesia tetap
bertahan. Pola insersi seperti ini tidaklah berarti bahwa penumbuhan sikap
kesadaran akan norma bahasa dan norma budaya tidak lakukan. Sebaliknya,
pemberian pengetahuan (kognitif) yang mampu membangkitkan rasa (afektif)
peduli dan bangga adalah jalan tumbuhnya sikap yang menunjukkan
kecenderungan perilaku (konatif) yang menaati norma bahasa dan norma
sosial budaya.
Pada Bab 2, yakni bab tentang ragam bahasa, tendensi sikap
bahasa yang difokuskan adalah kemampuan menggunakan bahasa Indonesia
dalam kehidupan sehari-hari. Bab ini memberikan informasi terkait ragam
dalam bahasa Indonesia dan penggunaannya. Pengetahuan tentang berbagai
ragam bahasa yang ada dalam bahasa Indonesia memberikan alternatif
kepada penutur bahasa untuk dapat berkomunikasi sesuai dengan situasi
kebahasaan yang ada. Soal latihan dalam bab ini juga akan mampu
mengajak pembaca berpikir terkait ragam bahasa dan penggunaannya.
Pembelajaran tentang ejaan ada dalam Bab 3. Pada bab ini tendensi
pembentukan sikap bahasa terkait kesetiaan, kebanggaan, dan kesadaran
akan norma bahasa diarahkan kepada pembentukan sikap peduli dan
menjaga keberadaan bahasa Indonesia, menganggap bahasa Indonesia
penting, dan patuh terhadap kaidah kebahasaan. Dari bab ini diharapkan
diperoleh sejumlah informasi tentang aturan kebahasaan yang berkaitan
dengan ejaan dan menjadi dasar penggunaan bahasa dalam kehidupan
sehari-hari baik tulis maupun lisan. Soal latihan yang ada di akhir bab
bertujuan untuk mengasah kemampuan penggunaan ejaan pembaca.
Bab 4 buku ini membahas tentang kesantunan berbahasa. Bab ini
merupakan jawaban permasalahan kesantunan berbahasa yang terjadi dalam
kehidupan sehari-hari. Bab ini dilengkapi dengan beberapa contoh real
kesantunan berbahasa dan solusi pemecahannya. Bab ini bertujuan
membentuk sikap patuh terhadap norma bahasa dan norma sosial budaya.
Bab 5 membahas tentang bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Bab ini memberikan informasi terkait berbagai kaidah kebahasaan dan situasi
tutur yang melingkupinya. Pengetahuan ini dapat dijadikan tolok ukur
penggunaan bahasa Indonesia dalam kehidupan sehari-hari. Pengetahuan
terkait kaidah dan situasi tutur ditujukan kepada kepatuhan akan norma
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | xvi
bahasa dan norma sosial budaya serta tumbuhnya pandangan yang semakin
menganggap penting keberadaan bahasa Indonesia.
Bab 6 buku ini membahas tentang karya ilmiah dan plagiarisme.
Tendensi pembentukan sikap pada bab ini adalah kepatuhan terhadap
kaidah. Bab ini juga memberikan pemahaman tentang pentingnya kejujuran
dalam menggunakan pendapat, data, atau teori orang lain. Setelah
mempelajari bab ini diharapkan muncul pemahaman tentang karya ilmiah dan
hal-hal yang harus dihindari dalam penyusunannya.
Bab 7 membahas tentang kutipan, daftar pustaka, dan catatan kaki.
Bab ini memberi informasi tentang kaidah-kaidah pengutipan untuk
menghindari tindak plagiarisme sebagaimana yang telah dipelajari pada bab
sebelumnya. Untuk mendukung kemampuan tersebut diperlukan kemampuan
bahasa yang baik. Karena itu, setalah mempelajari bab ini diharapkan
terbentuk sikap bahasa yang menganggap penting penguasaan bahasa
Indonesia. Selain itu, akan muncul kepatuhan terhadap kaidah dalam
penggunaan bahasa Indonesia. Mencoba soal latihan di akhir bab akan
semakin menambah pemahaman mahasiswa terkait isi bab dan kemampuan
penggunaan bahasa untuk mendukung keterampilan yang menjadi tujuan
pembelajaran dalam bab ini.
Bab terakhir buku, yaitu Bab 8 membahas tentang presentasi ilmiah.
Melalui bab ini diharapkan terbentuk sikap mau menjaga keberadaan bahasa
Indonesia, bangga menggunakan bahasa Indonesia, menganggap bahasa
Indonesia penting, dan merasa perlu mengembangkan kemampuan
berbahasa Indonesia. Bab ini memberikan pemahaman terkait etika dan tata
cara presentasi di depan umum serta penggunaan bahasa dalam presentasi.
Diharapkan setelah mempelajari bab ini muncul kesadaran pentingnya
penguasaan bahasa Indonesia yang baik dan benar agar tujuan komunikasi
dapat tercapai secara efektif.
BAB 1
Menelusuri Sejarah dan Kedudukan Bahasa Indonesia
sebagai Jalan Menumbuhkan Sikap Positif
terhadap Bahasa Indonesia
Pengantar
Meluasnya minat masyarakat dunia terhadap bahasa Indonesia tentu
patut kita apresiasi. Hal ini menandakan bahwa bahasa Indonesia
diperhitungkan sebagai salah satu bahasa yang penting dalam konteks
komunikasi global. Namun, berbagai hasil kajian di dalam negeri justru
menunjukkan pelemahan sikap positif terhadap bahasa Indonesia. Sebagai
contoh adalah penggunaan kosakata bahasa asing dalam berbahasa
Indonesia dan anggapan gengsi bahasa Indonesia yang dianggap kalah
dibandingkan bahasa asing. Kecintaan, kebaanggaan, dan kesadaran akan
norma bahasa mulai melemah. Untuk itu, penelusuran terhadap sejarah dan
kedudukan bahasa diperlukan sebagai jalan menumbuhkan pemahaman
pentingnya keberadaan dan posisi bahasa Indonesia bagi kehidupan
berbangsa dan bernegara.
1.1 Bahasa Persatuan Di Indonesia banyak terdapat bahasa yang kemudian dikenal sebagai
bahasa daerah seperti bahasa Jawa, bahasa Madura, bahasa Bali, bahasa
Sunda, bahasa Bugis, dan sebagainya. Bahasa-bahasa itu merupakan alat
komunikasi etnis. Bahasa Jawa merupakan alat komunikasi etnis Jawa,
bahasa Madura merupakan alat komunikasi etnis Madura, bahasa Sunda
merupakan alat komunikasi etnis Sunda, demikian juga bahasa-bahasa
daerah yang lain. Nama bahasa itu diambil dari nama etnis pemakainya.
Namun demikian, sampai pertengahan 1928 tidak pernah dikenal dan muncul
istilah “bahasa Indonesia”.
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 2
Istilah bahasa Indonesia itu sendiri baru muncul menjelang lahirnya
sumpah pemuda 28 Oktober 1928. Pada 28 Oktober 1928 berbagai
organisasi pemuda berikrar menjunjung tinggi bahasa persatuan bahasa
Indonesia. Bahasa Indonesia yang kini dipakai sebagai bahasa resmi di
Indonesia berasal dari bahasa Melayu. Nama baru ini bersifat politis, sejalan
dengan nama negara yang diidam-idamkan. Perkembangan bahasa Melayu
menjadi bahasa Indonesia tidak terjadi dalam waktu yang singkat, tetapi
mengalami proses pertumbuhan secara perlahan dengan perjuangan yang
sangat keras.
Istilah “bahasa Indonesia” untuk menyebut “bahasa Melayu” yang
digunakan di Indonesia telah digunakan oleh sejumlah linguis Eropa.
Penggunaan istilah ini terutama terlihat setelah adanya pemilahan
pembakuan bahasa yang dipertuturkan di dua wilayah pada awal abad ke-20.
Indonesia (dulu disebut Hindia Belanda) pada tahun 1901 mengadopsi ejaan
Van Ophuijsen, sedangkan pada tahun 1904 Persekutuan Tanah Melayu
(kelak menjadi bagian dari Malaysia) di bawah Inggris mengadopsi ejaan
Wilkinson.
Penggunaan nama ‘bahasa Indonesia’ untuk menyebutkan bahasa
persatuan tentunya telah mengundang sejumlah pertanyaan. Salah satu
pertanyaan tersebut adalah, mengapa justru bahasa Melayu yang diangkat
sebagai bahasa persatuan? Padahal, jumlah penutur bahasa Jawa saat itu
hampir separuh jumlah penduduk Indonesia. Mengapa bukan bahasa Jawa,
bahasa Sunda, atau bahasa lainnya?
Berkenaan dengan hal tersebut, setidaknya ada berbagai pendapat
yang disampaikan oleh para ahli mengenai faktor diangkatnya bahasa Melayu
(yang kemudian disebut bahasa Indonesia) sebagai bahasa persatuan
(nasional). Dari pendapat-pendapat yang disampaikan oleh Slametmulyana
(1965), Suharianto (1981), dan Moelino (2000) dapat ditarik simpulan bahwa
setidaknya ada empat faktor penyebab diangkatnya bahasa Melayu
(Indonesia) sebagai bahasa persatuan (nasional), yaitu:
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 3
(1) Faktor sejarah
Sejarah telah membantu penyebaran bahasa Melayu. Bahasa Melayu
merupakan lingua franca (bahasa perhubungan atau perdagangan) di
Indonesia. Malaka pada masa jayanya menjadi pusat perdagangan dan
pengembangan agama Islam. Dengan bantuan para pedagang, bahasa
Melayu disebarkan ke seluruh pantai nusantara terutama di kota-kota
pelabuhan. Bahasa Melayu menjadi bahasa perhubungan antarindividu.
Karena bahasa Melayu itu sudah tersebar dan boleh dikatakan sudah
menjadi bahasa sebagian penduduk, pemerintah Belanda (penjajah)
melalui Gubernur Jenderal Rochusen kemudian menetapkan bahasa
Melayu sebagai bahasa pengantar di sekolah untuk mendidik calon
pegawai negeri bangsa bumiputra.
Penutur bahasa Jawa pada 1928 diperkirakan sekitar 40% dari seluruh
penduduk Hindia Belanda, tetapi bahasa ini digunakan hanya di Jawa
Tengah dan Jawa Timur, sementara bahasa Melayu (sebagaimana yang
dikuasai oleh para pemimpin bangsa waktu itu) didukung hanya sekitar
5%. Hanya saja bahasa Melayu, termasuk dialek-dialeknya di berbagai
wilayah Hindia Belanda, sudah sangat tersebar ke seluruh negeri,
terutama di wilayah-wilayah pantai dan pusat-pusat perdagangan
(Sumarsono, 2007:5).
(2) Faktor kesederhanaan sistem
Bahasa Melayu mempunyai sistem yang sangat sederhana ditinjau dari
segi fonologi, morfologi, dan sintaksis. Karena sistemnya yang
sederhana itu, bahasa Melayu mudah dipelajari. Dalam bahasa ini tidak
dikenal gradasi (tingkatan) bahasa seperti dalam bahasa Jawa atau
bahasa Sunda dan Bali, atau pemakaian bahasa kasar dan bahasa
halus.
(3) Faktor psikologis
Suku bangsa Jawa dan Sunda secara sukarela menerima bahasa
Indonesia sebagai bahasa nasional. Ada keikhlasan mengabaikan
semangat kesukuan karena sadar perlunya kesatuan dan persatuan
bangsa. Sejalan dengan hal itu, di dalam masyarakat bangsa Indonesia
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 4
tidak terjadi persaingan bahasa, yaitu persaingan di antara bahasa-
bahasa daerah untuk diangkat menjadi bahasa nasional.
(4) Faktor reseptif
Bahasa Melayu mempunyai kesanggupan untuk dipakai sebagai bahasa
kebudayaan dalam arti luas, yang memungkinkannya berkembang
menjadi bahasa yang sempurna, dalam arti dapat digunakan untuk
merumuskan pendapat secara tepat dan mengutarakan perasaan
secara jelas. Keadaan ini disebabkan oleh sifat bahasa Melayu
(Indonesia) yang reseptif, terbuka, dan mudah menerima pengaruh
dalam rangka memperkaya dan menyempurnakan diri.
1.2 Kedudukan Bahasa Indonesia
Bahasa Indonesia memiliki kedudukan yang sangat penting yang
tercantum di dalam:
1. Ikrar ketiga Sumpah Pemuda 1928 dengan bunyi, “Kami putra dan putri
Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia”.
2. Undang-Undang Dasar RI 1945 Bab XV (Bendera, Bahasa, dan lambing
Negara, serta Lagu Kebangsaan) Pasal 36 menyatakan bahwa “Bahasa
Negara ialah Bahasa Indonesia”.
Maka kedudukan bahasa Indonesia sebagai:
1. Bahasa Nasional
Kedudukan bahasa Indonesia berada di atas bahasa-bahasa daerah.
Hasil Perumusan Seminar Politik Bahasa Nasional yang diselenggarakan di
Jakarta pada 25-28 Februari 1975 menegaskan bahwa dalam kedudukannya
sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia berfungsi sebagai:
a. Lambang kebanggaan nasional
Sebagai lambang kebanggaan nasional, bahasa Indonesia
memancarkan nilai-nilai sosial budaya luhur bangsa Indonesia. Dengan
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 5
keluhuran nilai yang dicerminkan bangsa Indonesia, kita harus bangga,
menjunjung, dan mempertahankannya. Sebagai realisasi kebanggaan
terhadap bahasa Indonesia, harus memakainya tanpa ada rasa rendah
diri, malu, dan acuh tak acuh. Kita harus bangga memakainya dengan
memelihara dan mengembangkannya.
b. Lambang identitas nasional
Sebagai lambang identitas nasional, bahasa Indonesia merupakan
lambang bangsa Indonesia. Hal ini berarti melalui bahasa Indonesia
akan dapat diketahui identitas seseorang, yaitu sifat, tingkah laku, dan
watak seseorang sebagai bangsa Indonesia. Kita harus menjaga
penggunaan bahasa Indonesia agar jangan sampai ciri kepribadian kita
tidak tercermin di dalamnya. Jangan sampai bahasa Indonesia tidak
menunjukkan gambaran bangsa Indonesia yang sebenarnya.
c. Alat pemersatu berbagai masyarakat yang berbeda-beda latar belakang
sosial budaya dan bahasanya
Dengan fungsi ini memungkinkan masyarakat Indonesia yang
beragam latar belakang sosial budaya dan berbeda-beda bahasanya
dapat menyatu dan bersatu dalam kebangsaan, cita-cita, dan rasa nasib
yang sama. Dengan bahasa Indonesia, bangsa Indonesia merasa aman
dan serasi hidupnya karena tidak merasa bersaing dan tidak merasa lagi
‘dijajah’ oleh masyarakat suku lain. Hal ini diperkuat dengan adanya
kenyataan bahwa dengan menggunakan bahasa Indonesia, identitas
suku dan nilai-nilai sosial budaya daerah masih tercermin dalam bahasa
daerah masing-masing. Kedudukan dan fungsi bahasa daerah masih
tegar dan tidak tergoyahkan sedikit pun. Bahkan, bahasa daerah
diharapkan dapat memperkaya khazanah bahasa Indonesia.
d. Alat penghubung antarbudaya antardaerah
Manfaat bahasa Indonesia dapat dirasakan dalam kehidupan
sehari-hari. Dengan adanya bahasa Indonesia seseorang dapat saling
berhubungan untuk segala aspek kehidupan. Bagi pemerintah, segala
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 6
kebijakan dan strategi yang berhubungan dengan ideologi, politik,
ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, dan keamanan mudah
diinformasikan kepada warga. Apabila arus informasi antarmanusia
meningkat berarti akan mempercepat peningkatan pengetahuan
seseorang. Apabila pengetahuan seseorang meningkat berarti tujuan
pembangunan akan cepat tercapai.
2. Bahasa Negara (Bahasa Resmi NKRI)
Dalam Hasil Perumusan Seminar Politik Bahasa Nasional yang
diselenggarakan di Jakarta pada 25 s.d. 28 Februari 1975 dikemukakan
bahwa di dalam kedudukannya sebagai bahasa negara, bahasa Indonesia
befungsi sebagai:
a. Bahasa resmi kenegaraan
Bukti bahwa bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi kenegaraan
adalah digunakannya bahasa Indonesia dalam naskah proklamasi
kemerdekaan RI 1945. Mulai saat itu bahasa Indonesia digunakan
dalam segala upacara, peristiwa, dan kegiatan kenegaraan.
b. Bahasa pengantar resmi di lembaga-lembaga pendidikan
Bahasa Indonesia dipakai sebagai bahasa pengantar di lembaga-
lembaga pendidikan mulai dari taman kanak-kanak sampai dengan
perguruan tinggi. Untuk memperlancar kegiatan belajar mengajar, materi
pelajaran yang berbentuk media cetak hendaknya juga berbahasa
Indonesia. Hal ini dapat dilakukan dengan menerjemahkan buku-buku
yang berbahasa asing. Apabila hal ini dilakukan, maka akan sangat
membantu peningkatan perkembangan bahasa Indonesia sebagai
bahasa ilmu pengetahuan dan teknolologi (IPTEK).
c. Bahasa resmi di dalam perhubungan pada tingkat nasional untuk
kepentingan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan serta
pemerintahan
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 7
Bahasa Indonesia dipakai dalam hubungan antarbadan pemerintah
dan penyebarluasan informasi kepada masyarakat. Sehubungan dengan
itu hendaknya diadakan penyeragaman sistem administrasi dan mutu
media komunikasi massa. Tujuan penyeragaman dan peningkatan mutu
tersebut agar isi atau pesan yang disampaikan dapat dengan cepat dan
tepat diterima oleh masyarakat.
d. Bahasa resmi di dalam pengembangan kebudayaan dan pemanfaatan
ilmu pengetahuan serta teknologi modern
Kebudayaan nasional yang beragam berasal dari masyarakat
Indonesia yang beragam pula. Dalam penyebarluasan ilmu dan
teknologi modern agar jangkauan pemakaiannya lebih luas, penyebaran
ilmu dan teknologi, baik melalui buku-buku pelajaran, buku-buku
populer, majalah-majalah ilmiah maupun media cetak lain, hendaknya
menggunakan bahasa Indonesia. Pelaksanaan ini mempunyai
hubungan timbal-balik dengan fungsi bahasa Indonesia sebagai bahasa
ilmu yang dirintis lewat lembaga-lembaga pendidikan, khususnya di
perguruan tinggi.
1.3 Fungsi Bahasa Indonesia
Selain fungsi bahasa sebagaimana kedudukan bahasa Indonesia baik
sebagai bahasa resmi dan bahasa negara, fungsi bahasa Indonesia juga
sering dipilah menjadi 2 bagian, yaitu fungsi bahasa secara umum dan secara
khusus (Pangabean, 1981; Syamsuddin, 1986). Fungsi bahasa secara umum
antara lain:
a. Sebagai alat untuk mengekspresikan diri
Melalui bahasa kita dapat menyatakan gambaran, maksud, gagasan,
dan perasaan secara terbuka yang tersirat di dalam hati dan pikiran kita.
b. Sebagai alat komunikasi
Komunikasi merupakan akibat yang lebih jauh dari ekspresi diri.
Manusia memakai dua cara berkomunikasi, yaitu verbal dan nonverbal.
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 8
Berkomunikasi secara verbal dilakukan menggunakan alat/media
bahasa (lisan dan tulis), sedangkan berkomunikasi secara nonverbal
dilakukan menggunakan media berupa aneka simbol, isyarat, kode, dan
bunyi seperti tanda lalu lintas, sirene, kentongan, dan sebagainya yang
kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa manusia.
c. Sebagai alat berintegrasi dan beradaptasi sosial
Pada saat beradaptasi di lingkungan sosial, seseorang akan memilih
bahasa yang digunakan tergantung situasi dan kondisi yang dihadapi.
Dengan menguasai bahasa suatu bangsa memudahkan seseorang
untuk berbaur dan menyesuaikan diri dengan bangsa tersebut.
d. Sebagai alat kontrol sosial
Kontrol sosial dapat diterapkan pada diri sendiri dan masyarakat,
contohnya buku-buku pelajaran, ceramah agama, orasi ilmiah, mengikuti
diskusi serta iklan layanan masyarakat. Contoh lain yang
menggambarkan fungsi bahasa sebagai alat kontrol sosial yang sangat
mudah kita terapkan adalah sebagai alat peredam rasa marah.
Fungsi bahasa secara khusus:
a. Mengadakan hubungan dalam pergaulan sehari-hari
Manusia adalah makhluk sosial yang tidak terlepas dari hubungan
komunikasi dengan makhluk sosial lainnya. Komunikasi yang
berlangsung dapat menggunakan bahasa formal dan nonformal.
b. Mewujudkan seni (sastra)
Bahasa Indonesia dapat dipakai untuk mengungkapkan perasaan
melalui media seni, seperti syair, puisi, prosa, dan lain-lain. Terkadang
bahasa yang digunakan memiliki makna konotasi atau makna yang
terselubung. Dalam hal ini, diperlukan pemahaman yang mendalam agar
bisa mengetahui makna yang ingin disampaikan pengarangnya.
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 9
c. Mempelajari bahasa-bahasa kuno
Dengan mempelajari bahasa kuno akan dapat diketahui peristiwa atau
kejadian di masa lampau untuk mengantisipasi kejadian yang mungkin
atau dapat terjadi kembali di masa yang akan datang, atau hanya
sekadar memenuhi rasa keingintahuan tentang latar belakang dari suatu
hal. Misalnya untuk mengetahui asal dari suatu budaya, dapat ditelusuri
melalui naskah kuno atau penemuan prasasti-prasasti.
d. Mengeksploitasi IPTEK
Dengan jiwa dan sifat keingintahuan yang dimiliki manusia, serta akal
dan pikiran yang sudah diberikan Tuhan kepada manusia, maka
manusia akan selalu mengembangkan berbagai hal untuk mencapai
kehidupan yang lebih baik. Pengetahuan yang dimiliki oleh manusia
akan selalu didokumentasikan supaya manusia lainnya juga dapat
mempergunakannya dan melestarikannya demi kebaikan manusia itu
sendiri.
1.4 Bahasa Indonesia di Era Globalisasi
Era globalisasi oleh banyak orang diidentikkan dengan penginggrisan
bahasa masyarakat. Cara berpikir seperti ini tidak hanya berkembang di
tengah masyarak umum, namun juga pada pengambil keputusan di bidang
pendidikan, guru, dan dosen. Tidak heran kalau dahulu pernah ada isu
penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar di kelas-kelas rendah.
Untung saja para pemikir di bidang pendidikan bereaksi cepat dan menolak
usulan seperti itu. Bisa dibayangkan bagaimana nasib BI yang selama ini
adalah bahasa pengantar resmi dalam dunia pendidikan akan kehilangan
tempatnya jika hal tersebut benar terjadi. Tindakan seperti ini sama saja
dengan merendahkan bahasa kita sendiri.
Globalisasi hendaklah bisa kita maknai lebih bijak. Sebagai contoh, di
Jepang, globalisasi dimaknai pengglobalan bangsa atau negara bukan
pengglobalan individu melalui penginggrisan bahasa masyarakat seperti yang
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 10
terjadi di Indonesia. Di Jepang, pelajar tingkat menengah dan atas tidak harus
menunggu fasih berbahasa Inggris untuk dapat menikmati karya ilmiah atau
karya seni asing karena kebijakan pemerintah Jepang yang menerjemahkan
semua referensi berbahasa asing ke dalam bahasa Jepang. Hal ini
menyebabkan inovasi tumbuh dengan cepat dan subur di Jepang, dan
bahasa Jepang juga menikmati hasil dari kebijakan strategis ini. Pemerintah
Jepang telah mengangkat martabat bahasanya sendiri sebagai bahasa ilmu
pengetahuan.
Di Indonesia, bahasa Inggris didudukkan lebih bergengsi, tidak hanya
oleh sebagaian besar penutur bahasa Indonesia, namun pemerintah pun juga
melakukannya. Sebagai contoh, ketika seorang ingin melanjutkan studi ke
jenjang yang lebih tinggi, mencari pekerjaan, beasiswa, pengusulan nomor
induk dosen, sertifikasi dosen, dan sejenisnya, penguasaan bahasa Inggris
melalui toefl, toep, dan sejenisnya menjadi salah satu syaratnya. Sementara
itu, penguasaan bahasa sendiri, misalnya melalui UKBI (Uji Kemahiran
Berbahasa Indonesia), tidak masuk dalam syarat-syarat yang ada. Bahasa
Inggris tampaknya mendapat tempat yang istimewa. Yang menjadi
pertanyaan kita bersama adalah “Apakah ukuran penguasaan bahasa Inggris
adalah jaminan penguasaan dan perkembangan IPTEKS?” Marilah kembali
kita berkaca pada negeri sakura, Jepang.
Munculnya Kurikulum 2013 (K13) membawa angin segar bagi upaya
memartabatkan BI sebagai bahasa ilmu pengetahuan. Mahsun (2014:95)
menjelaskan bahwa menjadikan BI sebagai bahasa ilmu pengetahuan
mengandung makna adanya ikhtiar melakukan penerjemahan buku-buku ilmu
pengetahuan berbahasa asing ke dalam BI. Penerjamahan tersebut selain
akan mempermudah penyebaran ilmu pengetahaun ke berbagai lapisan
masyarakat Indonesia, juga secara tidak langsung menumbuhkan
kepercayaan diri bangsa akan kemampuan BI sebagai lambang dan jati diri
bangsa. Lebih lanjut dijelaskan oleh Mahsun bahwa seiring dengan
kepercayaan diri tersebut, dapat menciptakan motivasi untuk berani
berinovasi dengan memanfaatkan potensi diri menuju kemajuan bangsa.
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 11
Penumbuhan kepercayaan diri sebagai bangsa melalui politik identitas
merupakan upaya yang patut kita apresiasi.
Adanya ketakutan apabila buku bahasa asing diterjemahkan maka
akan mengurangi kemampuan pelajar dalam berbahasa Inggris dan
berdampak pada persaingan di era globalisasi merupakan suatu anggapan
dan ketakutan yang keliru. Perlu ditekankan kembali bahwa bersaing di era
global bukanlah merujuk ke persaingan individu, namun persaingan secara
nasional. Mengembangkan dan memartabatkan BI sebagai bahasa modern
bukan berarti meniadakan bahasa asing, namun lebih pada upaya untuk
dapat menyerap dan memahami ilmu pengetahuan secara dini agar jangan
sampai menunggu kefasihan berbahasa asing dahulu baru dapat menyerap
kemajuan teknologi.
Politik identitas melalui pemartabatan BI dalam K13 dapat dikatakan
adalah upaya penyelamatan budaya dan karakter bangsa yang mulai
memudar. Pertanyaan yang muncul adalah ‘apa hubungan antara bahasa dan
budaya-karakter bangsa?’. Ada banyak teori yang dapat digunakan untuk
menjawab hubungan antara budaya-karakter dan bahasa, seperti teori Von
Humbolt, Edward Sapir dan Benjamin Lee Whorf, Jean Piaget, Vygotsky, dan
teori tokoh-tokoh lainnya. Dari sekian teori yang ada, kebanyakan orang
mengangkat teori Edward Sapir dan Benjamin Lee Whorf untuk memberikan
penjelasan hubungan antara budaya-karakter (pikiran) dan bahasa. Dua
hipotesis yang digunakan untuk menjelaskan hal ini adalah (1) Linguistic
Relativity Hypothesis yang menyatakan bahwa perbedaan struktur bahasa
secara umum paralel dengan perbedaan kognitif nonbahasa (nonlinguistic
cognitive). Perbedaan bahasa menyebabkan perbedaan pikiran orang yang
menggunakan bahasa tersebut (Brown, 2007:46; Djojosuroto, 2007:289;
Alwasilah, 2010:87) dan (2) linguistic determinism yang menyatakan bahwa
struktur bahasa memengaruhi cara individu mempersepsi dan menalar dunia
perseptual. Dengan kata lain, struktur kognisi manusia ditentukan oleh
kategori dan struktur yang sudah ada dalam bahasa. Dua hipotesis Sapir-
Whorf menjelaskan bahwa bahasa memengaruhi pikiran (budaya dan
karakter).
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 12
Jika kita memercayai bahwa bahasa memiliki hubungan dengan
pikiran, berarti kita hendaknya bisa memercayai juga bahwa penggunaan
bahasa secara tidak taat asas juga akan berdampak pada karakter penutur
bahasa itu yang tidak memiliki pendirian terhadap bahasa dan budayanya
sendiri. Penutur bahasa yang tidak memiliki sikap positif terhadap bahasanya
sendiri tentunya akan berdampak pada martabat bahasa itu sendiri dalam
konteks global. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang toleran, namun, yang
harus diingat adalah bukan toleran terhadap perilaku abai asas dalam
penggunaan BI.
Realita Sikap Bahasa di Era globalisasi
Garvin dan Mathiot (dalam Chaer dan Agustina, 2010:153)
merumuskan tiga ciri sikap bahasa positif, yaitu:
(a) Kesetiaan Bahasa (Language Loyalty) yang mendorong masyarakat
suatu bahasa mempertahankan bahasanya dan apabila perlu mencegah
adanya pengaruh bahasa lain.
(b) Kebanggaan Bahasa (Language Pride) yang mendorong orang
mengembangkan bahasanya dan menggunakannya sebagai lambang
identitas dan kesatuan masyarakat.
(c) Kesadaran adanya norma bahasa (Awareness Of The Norm) yang
mendorong orang menggunakan bahasanya dengan cermat dan santun
merupakan faktor yang sangat besar pengaruhnya terhadap perbuatan
yaitu kegiatan menggunakan bahasa (language use).
Tiga ciri tersebut tampaknya mulai pudar pada era globalisasi
sekarang ini. Sebagai contoh, dengan mudah dapat dijumpai kalimat-kalimat
berikut dalam percakapan sehari-hari.
(1) Data itu sudah di-download kemarin.
(2) Acara besok kita cancel saja.
(3) Nanti sore kita ada meeting.
Penggunaan BI campuran yang demikian sebaiknya dihindari dengan cara
mencoba mencari padanan kata bahasa asing dalam BI. Setia berbahasa
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 13
Indonesia adalah suatu sikap positif berbahasa yang tetap berpegang teguh
untuk memelihara, menjaga, dan menggunakan BI secara baik dan benar
serta berusaha membina dan mengembangkan bahasa Indonesia dalam
menghadapi berbagai tantangan global dan mencegah pengaruh asing yang
berlebihan. Marilah bersama mencoba setia berbahasa Indonesia dengan
berusaha tidak memasukkan unsur asing dalam penggunaan BI sehari-hari.
Fenomena kebahasaan yang juga menarik untuk diperbincangkan
adalah penggunaan nama-nama asing untuk menyebut nama gedung atau
lembaga usaha, seperti temuan Nugrahani (2013) bahwa masyarakat
multikultural di Solo Raya memiliki sikap negatif terhadap BI dalam
memberikan nama terhadap hotel dan restoran karena bahasa asing
dianggap lebih bergengsi dan memiliki nilai ekonomi yang lebih tinggi. Hal ini
tentunya bertentangan dengan Pasal 36 UU No. 24 Tahun 2009 yang
berbunyi “Bahasa Indonesia wajib digunakan sebagai nama geografi di
Indonesia, nama bangunan atau gedung, nama jalan, apartemen atau
permukiman, perkantoran, kompleks perdagangan, merek dagang, lembaga
usaha, lembaga pendidikan, dan organisasi yang didirikan atau dimiliki oleh
warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia”.
Bangga berbahasa Indonesia adalah suatu sikap positif berbahasa
yang merasa berbesar hati dan gagah dengan lebih mengutamakan BI
daripada bahasa lainnya, menjunjung bahasa persatuan, dan menggunakan
BI penuh kebanggaan dan kesadaran sebagai jati diri bangsa Indonesia yang
merdeka, bersatu, dan berdaulat. Namun, belakangan ini fenomena yang
menunjukkan sikap tidak bangga terhadap BI dapat kita temui dengan mudah
di tempat-tempat umum, seperti penggunaan kata pada papan penunjuk
misalnya welcome, exit, push, dan sebagainya. Yang menjadi sorotan banyak
pihak adalah pidato elit politik bangsa ini yang sering menyelipkan bahasa
Inggris bahkan ada yang seluruhnya menggunakan bahasa Inggris. Padahal,
hal ini telah diatur dalam Undang-Undang Pasal 28 UU No. 24 Tahun 2009
yang berbunyi “Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam pidato resmi
Presiden, Wakil Presiden, dan pejabat negera yang lain yang disampaikan di
dalam atau di luar negeri”.
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 14
Sikap sadar kaidah BI yang baik dan benar, terutama patuh
menggunakan kaidah BI untuk ragam tulis dan baku, tidak sembarangan
menggunakan BI, dan dapat mengangkat harga diri sebagai bangsa yang
beradab dan bermartabat, seperti terukir dalam ungkapan “Bahasa cermin
bangsa”, “Bahasa jati diri bangsa”, “Bahasa menunjukkan bangsa” begitu
diperlukan. Masih sering kita jumpai pengguna BI yang tidak sadar kaidah
walaupun hal tersebut sudah pernah ditekankan, pengguna bahasa seakan
‘ogah’ menggunakan BI yang baik dan benar. Berikut adalah contoh
penggunaan BI yang tidak tepat yang sering dilakukan.
(4) Untuk menyingkat waktu, acara kita mulai.
(5) Kepada Bapak pemakalah, waktu dan tempat dipersilahkan.
Perbaikan kalimat-kalimat tersebut sulit dilakukan karena pengguna
bahasa sendiri yang tidak mau memperbaiki bahasanya walaupun sudah
mengetahui bahwa kalimat-kalimat tersebut salah. Kebiasaan dijadikan
alasan pembenaran dari perilaku abai kaidah tersebut. Alasan itu juga
digunakan ketika menggunakan bentukan-bentukan berikut.
Salah Seharusnya
mempesona memesona
mempengaruhi memengaruhi
mempercayai memercayai
mempedulikan memedulikan
memperkosa memerkosa
Bank BCA [ be.se.a] BCA [be.ce.a]
kepala sekolah SD kepala SD
Perilaku abai kaidah ini tentunya membutuhkan penanganan serius karena
sebaik apapun kaidah disusun namun apabila pengguna bahasa tidak mau
menaatinya, kaidah itu hanya akan menjadi pajangan.
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 15
Realita Penggunaan Bahasa di Lingkungan Keluarga
Di era globalisasi ini penggunaan BI dalam kedudukan “mengancam
dan terancam”. Dikatakan mengancam karena BI di lingkungan keluarga
mengancam penggunaan bahasa daerah. Sebagai contoh, banyak keluarga
yang memilih BI sebagai bahasa ibu untuk anaknya. Keadaan ini tidak hanya
terjadi di daerah perkotaan, tetapi juga banyak terjadi di daerah pedesaan.
Sebaliknya, BI juga dalam posisi terancam oleh penggunaan bahasa asing di
lingkungan keluarga. Belakangan ini banyak orang tua (umumnya yang
memiliki pendidikan tinggi) mengajarkan bahasa Inggris ke anaknya sebagai
bahasa ibu. Akibatnya, mereka tidak bisa bekomunikasi dengan BI. Dari hasil
wawancara yang telah dilakukan, alasan pemilihan bahasa Inggris sebagai
bahasa ibu tampaknya lebih kepada alasan gengsi (memandang bahasa
Inggris jauh lebih baik, lebih memartabatkan anak). Tidak ada kekhawatiran
orang tua akan hal-hal yang menyangkut pendidikan dan komunikasi si anak
karena dirasa banyak sekolah internasional yang tersedia dan anak nantinya
diyakini pasti bisa berbahasa Indonesia.
Alwasilah (2012:84) menyebutkan bahwa secara sosial dan kultural
bahasa ibu adalah bahasa yang padat budaya. Ketika anak belajar bahasa
dari ibunya untuk pertama kali, ia tidak hanya belajar satuan-satuan lingual
yang bisa digunakan untuk berkomunikasi, tetapi juga belajar kearifan yang
terkandung dalam budayanya. Melalui bahasa ibu identitas kulturnya
terbentuk, termasuk pandangan hidup dan cara berpikirnya. Jika demikian,
dapat dikatakan bahwa penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa ibu
selain mengancam kedudukan BI juga mengancam masalah budaya dan
karakter bangsa. Dengan kata lain, dominasi bahasa Inggris tidak hanya
berdampak pada bahasa yang kemudian menjadi subordinat atau bahkan
termaginalkan, melainkan juga berdampak pada aspek kebudayaan, seperti
berkurangnya pemahaman dan penghargaan terhadap budaya sendiri.
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 16
Realita Penggunaan Bahasa di Lingkungan Pendidikan
Dahulu sebelum Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
memutuskan untuk menghentikan penyelenggaraan pendidikan rintisan
sekolah berstandar internasional (RSBI), BI mendapat tekanan yang demikian
kuat dalam penggunaannya sebagai bahasa pengantar dalam dunia
pendidikan. Keputusan MK tersebut patutlah diapresiasi sebagai upaya
mendudukkan kembali BI sebagai bahasa pengantar dalam dunia pendidikan.
Walaupun, tekanan terhadap BI belum berhenti sampai di sana. Sebagai
contoh, banyak sekolah yang akhirnya mengajarkan bahasa asing (bahasa
Inggris) sebagai muatan lokal. Bahkan, pemilihan bahasa Inggris sebagai
muatan lokal (yang ditonjolkan) tidak hanya terjadi di sekola-sekolah tingkat
menengah dan atas, tetapi juga terjadi pada sekolah dasar dan prasekolah.
Sekolah-sekolah ini berani mengklaim diri sebagai sekolah unggul dan
memungut biaya yang lebih tinggi.
Pembelajaran bahasa asing pada usia dini sementara penguasaan
bahasa ibu atau bahasa nasional belum kokoh akan lebih banyak menjadi
gangguan atau merusak perkembangan bahasa ibu atau bahasa nasional
siswa (Bialystok & Hakuta dalam Aminudin Aziz, tt). Ada memang hasil studi
yang menunjukkan bahwa pembelajar yang dipajankan kepada beberapa
bahasa secara bersamaan dapat berhasil menguasai bahasa-bahasa itu.
Namun studi tersebut tidak secara jelas menyatakan bahwa keterampilan
berbahasa para pembelajar dalam bahasa-bahasa itu sama kuatnya,
sehingga mereka fasih dalam semua bahasa yang dipelajarinya secara
bersamaan itu. Yang justru mengkhawatirkan adalah adanya bukti-bukti dari
studi lain yang menunjukkan bahwa pemajanan sekaligus beberapa bahasa
akan lebih banyak menjadi pemicu tidak tercapainya kompetensi berbahasa
secara optimal, bukan hanya dalam satu bahasa, tetapi justru dalam semua
bahasa yang dipelajari secara bersamaan itu (Aminudin Aziz, tt).
Di tingkat pendidikan yang lebih tinggi, seperti di perguruan tinggi,
fenomena penggunaan BI oleh mahasiswa dan dosen juga tampaknya mulai
terdesak oleh bahasa Inggris dalam tataran leksikal. Jamak ditemui tuturan
mahasiswa maupun dosen yang mengandung kosakata bahasa Inggris.
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 17
Berikut adalah beberapa kata yang sering digunakan oleh mahasiswa dan
dosen dalam tuturannya.
Biasanya Seharusnya Biasanya Seharusnya
subject subjek research penelitian
next lanjut job pekerjaan
skip lewati schedule jadwal
pending tunda sample sampel
at list pada kenyataannya
you kamu
Realita Penggunaan Bahasa di Media Massa
Dari hasil wawancara penulis terhadap beberapa orang mengenai di
mana biasanya mereka menemukan kosakata baru yang digunakan dalam
komunikasi sehari-hari. Jawabannya ternyata adalah melalui media
massa/sosial. Saat ini, keterbukaan akses internet yang merambah hingga ke
pelosok desa membuat media massa/sosial betul-betul menjamur. Siapapun
bisa mengaksesnya, selama terkoneksi oleh jaringan internet.
Media massa, baik cetak maupun elektronik, memiliki posisi vital
dalam upaya pembinaan penggunaan bahasa di masyarakat. Bahasa yang
digunakan dalam media massa dengan cepat dapat dicontoh oleh masyarakat
dan sangat berpengaruh dalam kehidupan berbahasanya. Kata-kata yang
digunakan dalam media massa sering dianggap memiliki keberterimaan dan
keterfahaman yang lebih tinggi di masyarakat. Di satu sisi anggapan ini
mungkin benar adanya, tetapi di sisi lain, sering juga digunakan istilah dari
bahasa asing baik karena keterbatasan pemahaman tentang kosakata yang
dimiliki oleh pewarta ataupun karena ingin mencari sensasi terhadap berita
atau acara yang ada.
Dari hasil penelusuran terhadap judul acara televisi yang tanyang pada
12 Mei 2015 (www.jadwaltelevisi.com) diketahui bahwa bahasa yang
digunakan dalam judul acara televisi dapat dikelompokkan ke dalam 4
kategori, yaitu (1) judul acara yang menggunakan BI, (2) judul acara yang
menggunakan bahasa asing dengan konten BI, (3) judul acara berbahasa
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 18
asing dengan konten bahasa asing, dan (4) judul acara bercampur kode
antara BI dan bahasa asing. Agar lebih jelas, empat kategori tersebut dapat
dilihat pada tabel berikut.
Tabel 1.1 Judul Acara Televisi pada Selasa, 12 Mei 2015
No. Stasiun
TV
Judul Acara
Jumlah Berbahasa Indonesia
Berbahasa Asing dengan Konten
Berbahasa Indonesia
Berbahasa Asing dengan
Konten Berbahasa
Asing
Bercampur Kode antara BI
dan Bahasa Asing
1. ANTV 18 66,67% 8 29,63% - - 1 3,70% 27 100%
2. Global TV
9 39,13% 7 30,43% 6 26,09% 1 4,35% 23 100%
3. Indosiar 12 63,16% 3 15,79% 3 15,79% 1 5,26% 19 100%
4. Kompas TV
14 66,67% 3 14,29% 2 9,52% 2 9,52% 21 100%
5. Metro TV
12 52,17% 10 43,48% 1 4,35% - - 23 100%
6. MNCTV 19 61,29% 6 19,35% - - 6 19,35% 31 100%
7. NET TV 10 38,46% 14 53,85% - - 2 7,69% 26 100%
8. RCTI 14 58,33% 8 33,33% - - 2 8,33% 24 100%
9. SCTV 17 89,47% 2 10,53% - - - - 19 100%
10. TRANS TV
18 81,82% 1 4,55% - - 3 13,64% 22 100%
11. TRANS7 23 76,67% 2 6,67% 2 6,67% 3 10,00% 30 100%
12. TV One 8 40,00% 2 10,00% - 10 50,00% 20 100%
JUMLAH 174 61,05% 66 23,16% 14 4,91% 31 10,88% 285 100%
Tabel di atas menunjukkan bahwa dari 12 stasiun televisi pada Selasa,
12 Mei 2015 menanyangkan 285 mata acara. Dari 285 tersebut, 174 (61,05%)
menggunakan BI sebagai judul mata acaranya, 66 (23,16%) mata acara
menggunakan judul berbahasa asing dengan konten BI, 14 (4,91) mata acara
menggunakan BI namun dengan konten bahasa asing, dan 31 (10,88%)
menggunakan campuran kode BI dan bahasa asing. Judul acara televisi yang
berbahasa Indonesia merupakan hal yang wajar mengingat sasaran
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 19
pemirsanya adalah penduduk Indonesia. Namun, situasi berbeda terasa
ketika mata acara di televisi dinamai dengan bahasa asing yang memuat
konten berbahasa Indonesia, misalnya, Eleven Show, Wideshot, Trending
Topic, Indonesia Morning Show, Intertainment News, The Coments, Celebrity
Lypsinc Combat, Tonight Show, Go Spot, Late Night Show, On The Spot,
Coffe Break, New Family 100 Kids, dan sebagainya. Pemilihan judul mata
acara tampaknya dianggap lebih menarik (mungkin juga lebih bagus atau
lebih bergengsi) dibandingkan dengan menggunakan judul berbahasa
Indonesia.
Judul mata acara juga ada yang dibuat dengan cara menggabungkan
kode BI dan bahasa asing, misalnya, Insert (Informasi Seputas Selebritis)
Update, Tukang Bubur Naik Haji The Series, Rumpi (No Secret), Hot Kiss
(Kisah Seputas Selebritis), Pesbuker, D’T3rong Show Season 2, dan
sebagainya. Mencampuradukkan BI dengan bahasa asing atau bahkan
menggunakan bahasa asing secara sengaja untuk judul mata acara televisi,
bagaimanapun menunjukkan sikap penutur bahasa yang kurang positif
terhadap bahasanya. Sulit bagi kita untuk mencari pembenaran akan
pemilihan judul-judul mata acara televisi yang seperti ini. Tidak bijak rasanya
menyisihkan bahasa nasional kita hanya untuk tujuan mengejar sensasi
melalui judul-judul tersebut. Bahkan, semakin sulit dipahami alasan yang
melandasi penggantian huruf dengan angka dalam judul yang bercampur
antara BI dan bahasa asing, seperti kata terong yang diubah menjadi t3rong
pada judul mata acara D’T3rong Show Season 2.
Realita Penggunaan Bahasa di Masyarakat
Masyarakat biasanya menggunakan bahasa atas dasar
keterpahaman. Karena itu, masalah kaidah atau struktur tidak terlalu
dipersoalkan. Sikap abai struktur inilah yang menjadi cikal bakal melemahnya
martabat BI yang baik dan benar. Himbauan untuk menggunakan BI yang
baik dan benar hanya dianggap angin lalu karena rasa memiliki dan
kebanggaan akan bahasa sendiri yang begitu kurang. Jika kita mau jujur,
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 20
banyak di antara masyarakat kita yang merasa lebih maju, modern, dan
terhormat jika menyisipkan setumpuk istilah bahasa asing dalam percakapan
sehari-hari dan tulisan-tulisan, walaupun sudah ada padanannya dalam
bahasa Indonesia. Kaidah-kaidah yang telah disusun dengan sistematis
seringkali tidak dihiraukan, atau mungkinkah mereka tidak mengetahuinya?
Sebagai bukti rendahnya sikap bahasa masyarakat terhadap BI dapat
penulis berikan contoh di tempat-tempat umum misalnya kita lebih sering
melihat tulisan berbahasa asing yang tidak disertai terjemahannya dalam
bahasa Indonesia. Tulisan “NO SMOKING” lebih sering ditemukan dari pada
“DILARANG MEROKOK”. Kita lebih sering menggunakan tanda “EXIT” pada
pintu keluar dan tanda “OPEN/CLOSE” pada pintu-pintu toko. Bahasa asing
memang lebih sering digunakan dalam berbagai aspek kehidupan. Ini menjadi
tanda bahwa masyarakat merasa bahasa asing lebih baik dari pada bahasa
Indonesia. Jikapun BI dan bahasa asing digunakan sebagai petunjuk, bahasa
asing cenderung di tempatkan lebih dahulu. Berikut adalah beberapa contoh
lain penggunaan bahasa asing di masyarakat.
Gambar 1.1 Penggunaan Bahasa Asing pada Papan Penunjuk, Nama Acara, Slogan di Masyarakat
Jika dicermati, tampaknya alasan utama digunakannya bahasa asing
dalam contoh-contoh di atas agar lebih mudah dipahami (untuk papan
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 21
penunjuk objek wisata) dan lebih bergengsi (untuk nama acara dan slogan).
Namun, marilah kita renungkan kembali, benarkah hal ini harus dilakukan?
Haruskan memakai bahasa asing karena alasan kemudahan pemahaman
dan atau gengsi?
Upaya Pemartabatan BI di Era Globalisasi
Harus diakui bahwa upaya pemartabatan BI di era globalisasi
bukanlah persoalan mudah. Namun, tidak berarti kita hanya bisa berpasrah
diri. Berbagai upaya perlu dilakukan untuk menjadikan BI bermartabat di
negeri sendiri dan di dunia. Sudah terbukti bahwa politik bahasa yang sifatnya
hanya perintah dari atas ke bawah belum berhasil menjamin tumbuhnya
kebanggaan memiliki dan menggunakan BI di kalangan para penuturnya.
Perencanaan bahasa melalui jalur pemerolehan lewat lembaga-lembaga
pendidikan juga tidak bisa berjalan mulus. Telah disebutkan di atas bahwa
RSBI telah mendudukkan BI sebagai anak tiri dan memosikannya di bawah
bahasa asing. Padahal, pendidikan merupakan variabel yang penting dalam
mempengaruhi penggunaan bahasa sehari-hari. Di sekolahlah anak-anak
yang biasanya menggunakan bahasa daerah belajar BI.
Sesuai dengan problematika yang sedang dihadapi bangsa ini, yakni
problematika bahasa dalam hubungannya dengan masalah budaya dan
karakter bangsa, realita penggunaan bahasa di lingkungan keluarga,
pendidikan, media massa, dan masyarakat yang memberikan sinyal
rendahnya sikap bahasa kita terhadap BI maka upaya pemartabatan BI begitu
mendesak dilakukan. Perubahan/pergantian kurikulum menjadi Kurikulum
2013 yang menempatkan BI sebagai bahasa literasi hendaknya dapat
terlaksana dengan baik, salah satunya melalui penerjemahan literatur-literatur
asing sehinga di samping IPTEKS dapat diserap dengan cepat, BI pun akan
berkembang dengan pesat, misalnya dengan bertambahnya kosakata yang
dimiliki. Hal ini akan benar-benar mendudukkan BI sebagai bahasa ilmu
pengetahuan. Tidak akan ada alasan lagi bahwa kosakata BI kurang dapat
digunakan sebagai media pengungkapan ilmu pengetahuan. BI pun tidak
akan hanya berfungsi sebagai lingua franca seperti di awal pertumbuhannya,
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 22
tetapi bisa juga berfungsi dan berperan sebagai bahasa ilmu, bahasa bisnis,
bahasa sastra, dan cerminan harga diri penutur dan bangsanya. BI bukan
hanya menjadi tali pengikat antarsuku bangsa untuk bisa saling memahami isi
komunikasi di antara mereka. Lebih jauh daripada itu, BI naik perannya
menjadi instrumen yang akan digunakan penuturnya dalam setiap
komunikasinya.
Upaya lain yang bisa dilakukan untuk pemartabatan BI adalah dengan
meningkatkan nilai ekonomis BI. Indonesia adalah negara yang memiliki
potensi ekonomi tinggi karena didukung oleh sumber daya alam yang
melimpah. Tidak heran belakangan banyak negara yang memasukkan BI
pada kurikulum pendidikan mereka karena dianggap memiliki peran strategis
bagi kepentingan ekonomi. Saat ini terdapat sekitar 219 lembaga yang
mengajarkan BI untuk penutur asing di 73 negara (KOMPAS, 24/1/2008).
Pasar Indonesia yang memiliki potensi besar belum bisa menciptakan
peningkatan mobilitas ekonomi yang berarti. Pasar ini masih hanya menjadi
objek bagi pihak luar ketimbang menjadi subjek dengan mengedepankan
produk barang dan jasa dari dalam negeri sendiri. Kondisi seperti ini akan
menjadi hambatan dalam meningkatkan daya saing dan daya pakai BI pada
transaksi ekonomi. Kemajuan ekonomi pada beberapa negara berkembang
seperti China, Thailand, dan Vietnam, misalnya, telah ikut mendorong
perkembangan dan daya saing masing-masing bahasa di tengah derasnya
gelombang pengaruh penggunaan bahasa Inggris dalam produk barang dan
jasa yang mereka hasilkan. BI pun bisa berperan seperti itu apabila dukungan
politik dan sosial benar-benar berpihak kepada keinginan untuk
menumbuhkembangkan BI.
Mengingat peran media massa dan tokoh elit yang demikian besar
terhadap upaya pembinaan bahasa, maka sudah semestinya media dan
tokoh elit memungsikan dirinya sebagai pencerah bukan perusak BI. Mereka
haruslah menyadari bahwa bahasa yang mereka gunakan memiliki
kecenderungan yang besar untuk ditiru oleh pengguna bahasa lain. Tidak
hanya sampai di sana, harus pula disadari bahwa keberhasilan pembinaan
karakter melalui bahasa akan sangat bergantung kepada adanya contoh yang
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 23
diberikan oleh lingkungan pengguna dan penggunaan bahasa itu sendiri.
Peran tokoh, baik itu pemimpin formal maupun informal, mulai lingkungan
keluarga, masyarakat, tempat bekerja, menjadi sangat sentral dan
instrumental. Dengan demikian, sinergi antarunsur masyarakat sangat
diperlukan.
Pemartabatan BI juga dapat dilakukan dengan pembinaan BI melalui
media sosial. Jejaring media sosial dapat menjadi saluran yang efektif bahkan
mungkin satu-satunya cara untuk menandingi berkembangnya keragaman BI
yang tidak sesuai dengan kaidah sekaligus sarana mendidik generasi muda
agar memiliki sikap yang positif terhadap BI. Wieke Gur (2013) mengatakan
bahwa 97% dari 240 juta orang Indonesia menggunakan media sosial.
Mereka tidak lagi membaca koran atau mendengarkan radio. Menjelajah situs
pun kurang digemari. Media sosial sudah menjadi sarana komunikasi utama
tempat mereka mendulang dan berbagi berbagai informasi terkini. Orang
Indonesia lebih suka berkomunikasi di Facebook dan berkicau di Twitter.
Dengan jumlah pengguna Twitter di Indonesia sebanyak 29 Juta orang,
Indonesia menduduki peringkat kelima pengguna terbanyak setelah Amerika,
Brazil, Jepang, dan Inggris.
Media sosial sudah menjadi perangkat komunikasi yang ampuh dan
jitu untuk memasyarakatkan suatu informasi, membentuk hubungan sosial
dan berkomunikasi dengn publik secara sekaligus. Banyaknya penduduk
Indonesia yang menggunakan media sosial merupakan sebuah peluang bagi
pembinaan bahasa melalui media sosial. Model penyuluhan seperti ini
tentunya akan semakin efektif jika ditunjang tampilan penyuluhan yang
menarik selain membahas masalah-masalah yang menarik pula.
Ringkasan
Bahasa Indonesia adalah bahasa persatuan. Pemilihan bahasa
Indonesia sebagai bahasa persatuan telah melalui proses yang panjang.
Bahasa Indonesia memiliki kedudukan dan fungsi yang sangat penting dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Kedudukan bahasa Indonesia
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 24
tercantum di dalam Sumpah Pemuda 1928 dan UUD 1945. Kedudukan
bahasa Indonesia adalah sebagai bahasa nasional dan sebagai bahasa
negara. Sementara itu, fungsi bahasa dapat dibedakan menjadi dua, yaitu
fungsi bahasa secara umum dan secara khusus. Fungsi bahasa secara
umum seperti (a) sebagai alat untuk mengungkapkan perasaan atau
mengekspresikan diri, (b) sebagai alat komunikasi, (c) sebagai alat integrasi
dan adaptasi, dan (d) sebagai alat kontrol sosial. Fungsi bahasa secara
khusus meliputi (a) mengadakan hubungan, (b) mewujudkan seni/sastra, (c)
mempelajari bahasa-bahasa kuno, dan (d) mengeksplorasi IPTEK.
Kedudukan bahasa Indonesia di era globalisasi menunjukkan adanya
pergerusan di berbagai lini kehidupan. Upaya pemartabatan bahasa
Indonesia di era global merupakan sesuatu yang urgen. Pemahaman tentang
sejarah dan kedudukan bahasa Indonesia merupakan jalan menumbuhkan
sikap positif terhadap bahasa Indonesia.
Latihan
1. Mengapa bahasa Indonesia diangkat sebagai bahasa persatuan?
2. Berdasarkan Sumpah Pemuda 1928 dan UUD 1945, bahasa Indonesia
berkedudukan penting, yakni sebagai bahasa nasional dan bahasa
negara. Sebutkan dan jelaskan kedudukan bahasa Indonesia sebagai
bahasa negara!
3. Selain fungsi bahasa Indonesia sebagaimana kedudukan bahasa
Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa negara, ada juga
pemilahan fungsi bahasa Indonesia secara umu dan khusus. Jelaskan
fungsi bahasa Indonesia secara umum dan khusus tersebut!
4. Buatlah sebuah observasi singkat terkait penggunaan bahasa
Indonesia di ruang publik di era globalisasi seperti sekarang ini!
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 25
BAB 2
Mengenal Ragam Bahasa sebagai Jalan Realisasi
Sikap Positif Berbahasa Indonesia
Pengantar Bahasa mengalami perubahan seiring dengan perubahan masyarakat.
Perubahan itu berupa variasi-variasi bahasa yang dipakai sesuai
keperluannya. Agar banyaknya variasi tidak mengurangi fungsi bahasa
sebagai alat komunikasi yang efisien, dalam bahasa timbul mekanisme untuk
memilih variasi tertentu yang cocok untuk keperluan tertentu yang disebut
ragam standar. Bahasa Indonesia memang banyak ragamnya. Hal Ini karena
bahasa Indonesia sangat luas pemakaiannya dan bermacam-macam ragam
penuturnya. Oleh karena itu, penutur harus mampu memilih ragam bahasa
yang sesuai dengan keperluannya, apapun latar belakangnya. Mengenal
ragam bahasa diharapkan akan mampu meningkatkan kesadaran akan
norma bahasa dan realisasinya secara tepat dalam komunikasi sehari-hari.
Tindak komunikasi dengan menggunakan ragam yang tepat merupakan
realisasi dari sikap positif berbahasa Indonesia.
2.1 Hakikat Ragam Bahasa
Ragam bahasa adalah variasi pemakaian bahasa yang timbul sebagai
akibat adanya sarana (cara), situasi, bidang pemakaian, dan daerah asal
penutur yang berbeda-beda. Chaer & Agustina (2004) mengatakan bahwa
variasi atau ragam bahasa dilihat sebagai akibat adanya keragaman sosial
penutur bahasa dan keragaman fungsi bahasa. Ragam bahasa yang oleh
penuturnya dianggap sebagai ragam yang baik (mempunyai prestise tinggi),
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 26
yang biasa digunakan di kalangan terdidik, di dalam karya ilmiah (karangan
teknis, perundang-undangan), di dalam suasana resmi, atau di dalam surat
menyurat resmi (seperti surat dinas) disebut ragam bahasa baku atau ragam
bahasa resmi. Sehubungan dengan penggunaan ragam bahasa resmi atau
tidak resmi, hendaknya disesuaikan dengan lawan bicara, situasi, tempat, dan
sebagainya. Sebagai contoh dalam situasi remi, seperti di sekolah, di kantor,
atau di dalam pertemuan resmi digunakan ragam bahasa baku. Sebaliknya
dalam situasi tak resmi, seperti di rumah, di taman, di pasar, kita tidak dituntut
menggunakan bahasa baku.
2.2 Ragam Bahasa Indonesia
Berikut ini adalah beberapa di antara sekian banyak ragam bahasa dalam
bahasa Indonesia.
Gambar 2.1 Beberapa Ragam Bahasa
•Ekonomi
•Hukum
•Akademik
•dll
•Lisan
•Tulis
•Resmi
•Tak Resmi
•Dialek Jawa
•Dialek Bali
•Dialek Papua
•dll
Daerah Penutur
Situasi
Bidang Pemakaian
Media
Ragam
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 27
Ragam Bahasa berdasarkan Daerah Penutur
Ragam bahasa berdasarkan daerah penutur disebut dialek. Dengan
kata lain, dialek adalah bahasa sekolompok masyarakat yang tinggal di suatu
daerah tertentu (Sumarsono, 2008:21). Batas-batas alam seperti sungai,
gunung, laut, hutan, dan semacamnya membatasi dialek yang satu dengan
dialek yang lain.
Karena pengertian dialek mengacu kepada bagian dari suatu bahasa,
maka pemakai suatu dialek bisa mengerti dialek yang lain. Dengan kata lain,
ciri penting suatu dialek adalah adanya kesalingmengertian (Sumarsono,
2008:22). Lebih lanjut mengenai dialek, Sumarsono memberi ilustrasi bahwa
sebuah bahasa A jika memiliki dialek A1 dan A2 maka dialek A1 tersebut
haruslah bisa dimengerti oleh penutur dialek A2, begitu juga sebaliknya,
dialek A2 haruslah dapat dimengerti oleh penutur A1. Jika ada orang
Jembrana (Bali) berbicara dengan bahasa Bali dialek Jembrana dengan
teman yang berasal dari Singaraja, maka teman yang dari Singaraja ini akan
dapat mengerti perkataan teman yang dari Jembrana, begitu pula sebaliknya.
Dalam lingkup yang lebih besar, contohnya saja ketika orang Jawa berbicara
dengan orang Bali dengan menggunakan bahasa Indonesia, walaupun
terdapat perbedaan (dialek), maka baik orang Jawa maupun orang Bali akan
dapat memahami ujaran masing-masing.
Ragam Bahasa Berdasarkan Situasi
(a) Ragam Bahasa Resmi
Ragam resmi adalah ragam bahasa yang dipakai dalam suasana
resmi (misal dalam surat dinas, dalam sidang pengadilan, dan
sebagainya). Ciri-ciri ragam bahasa resmi di antaranya, yaitu:
(1) digunakan dalam situasi resmi;
(2) nada bicara yang cenderung datar;
(3) kalimat yang digunakan adalah kalimat lengkap.
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 28
(b) Ragam Bahasa Tidak Resmi
Ragam bahasa tidak resmi adalah ragam bahasa yang biasa
digunakan dalam suasana tidak resmi, misalnya surat pribadi dan
surat untuk keluarga atau yang berbentuk lisan, contohnya dalam
percakapan sehari-hari. Ciri-ciri ragam bahasa tidak resmi di
antaranya, yaitu:
(1) digunakan dalam situasi tidak resmi;
(2) Sering menggunakan kalimat-kalimat yang tidak lengkap
(Otansa, 2010).
Ragam Berdasarkan Media/Cara Berkomunikasi
Berdasarkan cara berkomunikasi atau berdasarkan medianya, ragam
bahasa dapat dibedakan menjadi ragam bahasa lisan dan ragam bahasa
tulis. Ragam bahasa lisan dan tulis memang sangat berperan dalam semua
kegiatan berbahasa atau berkomunikasi. Kedua jenis ragam ini sebenarnya
memiliki hubungan yang erat. Ragam bahasa tulis yang unsur dasarnya huruf,
melambangkan ragam bahasa lisan. Oleh karena itu, sering timbul kesan
bahwa ragam bahasa lisan dan tulis itu sama. Padahal, kedua jenis ragam
bahasa itu berkembang menjadi sistem bahasa yang memiliki seperangkat
kaidah yang tidak identik benar, meskipun ada pula kesamaannya. Meskipun
ada keberimpitan aspek tata bahasa dan kosa kata, masing-masing memiliki
seperangkat kaidah yang berbeda satu dengan yang lain.
a) Ragam Lisan
Ragam bahasa lisan adalah bahasa yang dihasilkan oleh alat
ucap (organ of speech) dengan fonem sebagai unsur dasar dan
komunikasi terjadi secara langsung atau bertatap muka, sehingga terikat
oleh kondisi, situasi, dan waktu. Dalam ragam lisan, kita juga akan
berurusan dengan tata bahasa, kosa kata, dan lafal. Kita dapat
menemukan ragam lisan yang standar, misalnya pada saat orang
berpidato atau memberi sambutan dalam situasi perkuliahan, ceramah,
dan lain-lain. Sementara itu, ragam lisan yang nonstandar, misalnya
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 29
dalam percakapan antarteman, di pasar, atau dalam kesempatan
nonformal lainnya.
Seorang pembicara dapat memanfaatkan tinggi rendah suara
atau tekanan, air muka, gerakan tangan atau isyarat untuk
mengungkapkan ide, sehingga si penerima ragam bahasa lisan lebih
mudah mengerti dan lebih memahami apa yang ingin disampaikan oleh
si pembicara. Jika terjadi kesalahan atau pemakaian struktur kalimat
yang kurang baik, maka si pembicara dapat langsung menjelaskannya
pada saat itu juga. Walaupun demikian, ketepatan dalam pemilihan kata,
bentuk kata, dan kelengkapan unsur-unsur dalam struktur kalimat
tidaklah menjadi ciri kebakuan dalam ragam lisan. Hal ini disebabkan
oleh adanya pengaruh dari situasi dan kondisi pembicaraan dalam
menyampaikan pemahaman makna gagasan yang ingin disampaikan
secara lisan.
Jika ragam bahasa lisan dituliskan, ragam bahasa itu tidak dapat
disebut sebagai ragam tulis, ragam bahasa ini tetap disebut sebagai
ragam lisan, hanya saja diwujudkan dalam bentuk tulis. Oleh karena itu,
bahasa yang dilihat dari ciri-cirinya tidak menunjukkan ciri-ciri ragam
tulis, walaupun direalisasikan dalam bentuk tulis karena kedua ragam itu
masing-masing (ragam tulis dan ragam lisan) memiliki ciri kebakuan
yang berbeda. Jadi, ciri-ciri ragam bahasa lisan adalah sebagai berikut.
(1) Langsung
Pembicara dan pendengar dalam komunikasi lisan bertemu secara
langsung, baik tanpa media elektronik maupun melalui media
elektronik.
(2) Tidak terikat ejaan bahasa Indonesia
Penyampaian maksud atau tujuan pembicaraan dilakukan melaui
bahasa oral dengan memerhatikan situasi pembicaraan.
(3) Terkadang tidak efektif
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 30
Dalam berkomunikasi, seseorang terkadang menggunakan bahasa
sehari-hari sehingga banyak menggunakan kalimat yang bersifat
basa-basi dengan orang yang diajak bicara.
(4) Kalimatnya pendek-pendek
Dalam berkomunikasi, seseorang terkadang menggunakan bahasa
yang pendek-pendek dengan anggapan bahwa lawan bicara telah
memahami maksud yang ingin disampaikan.
(5) Lagu kalimat situasional
Dalam berkomunikasi, seseorang terkadang harus mengerti situasi
yang ada pada orang yang diajak bicara atau keadaan sekitarnya.
b) Ragam Tulis
Ragam bahasa tulis adalah ragam bahasa yang dihasilkan
dengan memanfaatkan tulisan dengan huruf sebagai unsur dasarnya,
jadi komunikasi yang terjadi tidak secara langsung. Penulis
menyampaikan gagasan atau idenya tidak pada saat ide itu dibuat atau
dituangkan ke dalam tulisan, sehingga jika terdapat struktur kalimat yang
kurang baik akan dapat mengganggu pembaca.
Dalam ragam tulis, kita berurusan dengan tata cara penulisan
(ejaan) di samping aspek tata bahasa dan kosa kata. Dengan kata lain,
dalam ragam bahasa tulis, dituntut adanya kelengkapan unsur tata
bahasa dan struktur kalimat seperti bentuk kata ataupun susunan
kalimat, ketepatan dan kecermatan dalam pemilihan kosa kata,
kebenaran penggunaan ejaan, dan penggunaan tanda baca dalam
mengungkapkan ide.
Ragam tulis adalah bahasa yang ditulis atau yang tercetak,
sehingga penggunaanya tidak dipengaruhi atau tidak ditunjang oleh
situasi pemakaiannya. Ragam tulis pun dapat berupa ragam tulis yang
standar maupun nonstandar. Ragam tulis yang standar dapat ditemukan
dalam buku-buku pelajaran, teks resmi, dan sebagainya, sedangkan
ragam tulis yang nonstandar dapat ditemukan dalam iklan, poster, dan
sebagainya. Jadi, setidaknya ciri-ciri ragam tulis adalah sebagai berikut.
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 31
(1) Santun
Memenuhi kaidah-kaidah yang ada dan menggunakan pilihan kata
atau istilah yang tepat dan cermat.
(2) Efektif
Hemat dan singkat, tetapi mengena dalam hal maksud yang
diungkapkannya.
(3) Bahasa disampaikan sebagai upaya komunikasi satu pihak.
Karena tidak dapat bertemu langsung, maka kita diharapkan dapat
mengomunikasikan segala apa yang ada dengan harapan orang
yang menerima tulisan tidak salah persepsi atau salah paham.
(4) Ejaan digunakan sesuai dengan pedoman
Dalam penyampaian bahasa tulis, memang ada pedoman yang
harus digunakan atau dipatuhi agar tidak menimbulkkan kesalahan
dalam pemakaian atau penulisan kata.
(5) Penggunaan kosa kata pada dasarnya sudah dibakukan.
Dalam hal ini, penggunaan kata atau pilihan kata harus tepat.
Walaupun maksud kita sama, namun, apabila kita salah dalam
memilih kata maka dapat menimbulkan makna yang berbeda.
Contoh perbedaan antara ragam bahasa lisan dan tulisan:
Ragam bahasa lisan:
a. Putri bilang kita harus belajar.
b. Ayah lagi baca koran.
c. Kita harus bikin karya tulis.
Ragam bahasa tulis:
a. Putri mengatakan bahwa kita harus belajar.
b. Ayah sedang membaca Koran.
c. Kita harus membuat karya tulis.
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 32
Ragam Bahasa Berdasarkan Bidang Pemakaian
Dalam kehidupan sehari-hari banyak pokok persoalan yang
dibicarakan. Dalam membicarakan pokok persoalan yang berbeda-beda ini
kita pun menggunakan ragam bahasa yang berbeda. Ragam bahasa yang
digunakan dalam lingkungan agama berbeda dengan bahasa yang digunakan
dalam lingkungan kedokteran, hukum, atau pers. Bahasa yang digunakan
dalam lingkungan politik, berbeda dengan bahasa yang digunakan dalam
lingkungan ekonomi atau perdagangan, olah raga, seni, atau teknologi.
Ragam bahasa yang digunakan menurut pokok persoalan atau bidang
pemakaian ini dikenal pula dengan istilah laras bahasa.
Perbedaan itu tampak dalam pilihan atau penggunaan sejumlah kata,
peristilahan, ungkapan yang khusus digunakan dalam bidang tersebut,
misalnya masjid, gereja, vihara, adalah kata-kata yang digunakan dalam
bidang agama; koroner, hipertensi, anemia, digunakan dalam bidang
kedokteran; improvisasi, maestro, kontemporer, banyak digunakan dalam
lingkungan seni; pengacara, terdakwa, digunakan dalam lingkungan hukum;
pemanasan, peregangan, wasit, digunakan dalam lingkungan olah raga.
Kalimat yang digunakan pun berbeda sesuai dengan pokok persoalan yang
dikemukakan. Kalimat dalam undang-undang berbeda dengan kalimat-kalimat
dalam sastra, kalimat-kalimat dalam karya ilmiah, kalimat-kalimat dalam
koran, majalah, dan sebagainya.
Ringkasan Ragam bahasa adalah variasi pemakaian bahasa yang timbul sebagai
akibat adanya daerah asal penutur yang berbeda-beda sarana, situasi,
media/cara, dan bidang pemakaian. Dari segi daerah penutur, ada yang
disebut dialek Jakarta, dialek Jawa, dialek Bali, dan lain-lain. Dilihat dari
situasi, ragam bahasa ada yang dikenal sebagai ragam resmi dan ragam tak
resmi. Berdasarkan sarana atau cara berkomunikasi, ragam bahasa dapat
dipilah menjadi dua, yaitu ragam lisan dan ragam tulis. Berdasarkan bidang
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 33
pemakaian, di antaranya ada ragam bahasa kedokteran, bisnis, agama,
hukum, sastra, dan lain-lain.
Latihan 1. Mengapa dalam bahasa Indonesia terdapat variasi bahasa?
2. Sebutkan dan jelaskan macam-macam variasi bahasa yang Anda
Ketahui!
3. Menurut Anda, apakah keberadaan ragam bahasa akan mengancam
keberadaan bahasa Indonesia baku? Berikan penjelasan dengan
contoh!
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 34
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 35
BAB 3
Ejaan sebagai Norma Sikap Positif
Berbahasa Indonesia
Pengantar Ejaan merupakan kaidah-kaidah cara menggambarkan bunyi-bunyi
(kata, kalimat, dan sebagainya) dalam bentuk tulisan (huruf-huruf serta
penggunaan tanda baca). Tiap negara mempunyai aturan ejaan tersendiri
dalam melambangkan bunyi-bunyi bahasa di negaranya. Ejaan merupakan
norma dalam berbahasa sesuai dengan ketentuan yang berlaku di suatu
negara. Di Indonesia, ditinjau dari sejarah penyusunannya, sejak peraturan
ejaan bahasa Melayu dengan huruf Latin ditetapkan pada tahun 1901
berdasarkan rancangan Ch. A. van Ophuijsen dengan bantuan Engku
Nawawi gelar Soetan Ma'moer dan Moehammad Taib Soetan Ibrahim, telah
dilakukan penyempurnaan ejaan dalam berbagai nama dan bentuk.
Pada 1947, bahasa Indonesia menggunakan sistem Ejaan Soewandi,
kemudian sistem Ejaan Melindo pada 1959, dan Ejaan yang Disempurnakan
(EYD) pada 1972 hingga Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PU EBI)
tahun 2015. Perkembangan ini adalah bentuk perhatian pemerintah terhadap
bahasa Negara agar bahasa Indonesia dapat mengikuti kemajuan ilmu
pengetahuan, teknologi, dan seni. Selain itu, pemerintah menginginkan
bahasa Indonesia dapat digunakan di berbagai ranah secara lisan maupun
tulisan secara lebih luas.
Adapun perbedaan yeng mendasar dari Ejaan yang Disempurnakan
dengan Ejaan Bahasa Indonesia:
• Penambahan huruf vokal diftong ei,di EYD hanya ada tiga yaitu ai, au, dan
ao;
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 36
• Penulisan huruf kapital pada EYD digunakan dalam penulisan nama orang
tidak termasuk julukan, sedangkan pada EBI huruf kapital digunakan
sebagai huruf pertama unsur nama orang, termasuk julukan.
• Penulisan huruf tebal tidak dipakai dalam cetakan untuk menegaskan atau
mengkhususkan huruf, bagian kata, kata, atau kelompok kata; untuk
keperluan itu digunakan huruf miring pada EYD, sedangkan pada EBI
Huruf tebal dipakai untuk menegaskan bagian tulisan yang sudah ditulis
miring.
• Penggunaan partikel pun, pada EYD ditulis terpisah kecuali yang sudah
lazim digunakan, maka penulisannya ditulis serangkai, sedangkan pada
EBI partikel pun tetap ditulis terpisah, kecuali mengikuti unsur kata
penghubung, maka ditulis serangkai.
• Penggunaan bilangan, pada EBI, bilangan yang digunakan sebagai unsur
nama geografi ditulis dengan huruf, sesangkan pada EYD tidak ada hal
yang mengaturnya.
• Penggunaan titik koma (;) pada EYD digunakan dalam perincian tanpa
penggunaan kata dan, sedangkan dalam EBI penggunaan titik koma (;)
tetap menggunakan kata dan.
• Penggunaan tanda titik koma (;) pada EBI dipakai pada akhir perincian
yang berupa klausa, sedangkan pada EYD tidak ada hal yang
mengaturnya.
• Penggunaan tanda hubung (-) pada EBI tidak dipakai di antara huruf dan
angka, jika angka tersebut melambangkan jumlah huruf, sedangkan pada
EYD tidak ada hal yang mengaturnya. Misalnya: LP2M, LP3I.
• Tanda hubung (-) pada EBI digunakan untuk menandai bentuk terikat
yang menjadi objek bahasan, sedangkan pada EYD tidak ada hal yang
mengaturnya.
Misalnya: pasca-, -isasi
• Penggunaan tanda kurung [( )] dalam perincian pada EYD hanya
digunakan pada perincian ke kanan atau dalam paragraf, tidak dalam
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 37
perincian ke bawah, sedangkan pada EBI tidak ada hal yang
mengaturnya.
Berikut ini dipaparkan hal-hal yang berhubungan dengan ejaan bahasa
Indonesia yang meliputi (1) pemakaian huruf, (2) penulisan kata, (3) penulisan
tanda baca, dan (4) penulisan unsur serapan.
2.1 Pemakaian Huruf
2.1.1 Huruf Abjad
Abjad yang digunakan dalam bahasa Indonesia terdiri atas 26 huruf, yaitu
a, b, c, d, e, f, g, h, i, j, k, l, m, n, o, p, q, r, s, t, u, v, w, x , y, z
2.1.2 Huruf Diftong
Di dalam bahasa Indonesia terdapat empat diftong yang di-lambangkan
dengan gabungan huruf vokalai, au, ei, dan oi.
2.1.3 Gabungan Huruf Konsonan
Gabungan huruf konsonan kh, ng, ny, dan sy masing-masing
melambangkan satu bunyi konsonan.
2.1.4 Huruf Kapital
Kaidah penulisan huruf besar atau huruf kapital adalah sebagai
berikut.
1) Huruf kapital atau huruf besar dipakai sebagai unsur pertama kata
pada awal kalimat.
Misalnya:
Dia mengantuk.
Apa maksudnya?
2) Huruf kapital digunakan sebagai huruf pertama nama orang
termasuk nama julukan
Misalnya:
Nyoman Marga
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 38
Dewa Silat
Catatan:
a) Huruf kapital tidak dipakai sebagai huruf pertama nama
orang yang merukan nama jenis atau satuan ukur.
Misalnya:
mesin disel
7 volt
b) Huruf kapital tidak digunakan untuk menulis huruf pertama
kata yang bermakna ‘anak dari’, seperti bin, binti, boru, dan
van atau huruf pertama kata tugas.
Misalnya:
Ahman bin Salim
Mutiara dari Timur
3) Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama petikan langsung.
Misalnya:
Adik bertanya, “Kapan kita pulang?”
“Kemarin engkau terlambat,” katanya.
4) Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama dalam ungkapan yang
berhubungan dengan nama Tuhan dan Kitab Suci, termasuk kata
ganti untuk Tuhan.
Misalnya:
Allah, Yang Mahakuasa, Yang Maha Pengasih, Alkitab, Quran,
Weda, Islam, Kristen.
Tuhan akan menunjukkan jalan kepada hamba-Nya
5) Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama nama gelar kehormatan,
keturunan, dan keagamaan yang diikuti nama orang.
Misalnya:
Mahaputra Yamin, Sultan Hasanuddin, Haji Agus Salim, Imam
Syafii, Nabi Ibrahim.
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 39
6) Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama unsur nama jabatan dan
pangkat yang diikuti nama orang atau yang dipakai sebagai
pengganti nama orang tertentu, nama instansi, atau nama tempat.
Misalnya:
Wakil Presiden Adam Malik, Perdana Menteri Nehru, Profesor
Supomo, Laksamana Muda Udara Husein Sastranegara,
Sekretaris Jenderal Departemen Pertanian, Gubernur Bali.
Huruf kapital tidak dipakai sebagai huruf pertama nama jabatan dan
pangkat yang tidak diikuti nama orang, nama instansi, atau nama
tempat.
Misalnya:
Siapakah gubernur yang baru dilantik itu?
Kemarin Brigadir Jenderal Ahmad dilantik menjadi mayor
jenderal.
7) Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama nama bangsa, suku
bangsa, dan bahasa.
Misalnya:
bangsa Indonesia, suku Sunda, bahasa Inggris
Huruf kapital tidak dipakai sebagai huruf pertama nama bangsa,
suku, dan bahasa yang dipakai sebagai bentuk dasar kata turunan.
Misalnya:
Mengindonesiakan kata asing
Keinggris-inggrisan
8) Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama nama tahun, bulan, hari,
hari raya, dan peristiwa sejarah.
Misalnya:
tahun Hijriah, tarikh Masehi, Agustus, bulan Maulid, Jumat, hari
Galungan, hari Lebaran, hari Natal, Perang Candu, Proklamasi
Kemerdekaan Indonesia.
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 40
Huruf kapital tidak dipakai sebagai huruf pertama peristiwa sejarah
yang tidak dipakai sebagai nama.
Misalnya:
Soekarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan
bangsanya.
Perlombaan senjata membawa resiko pecahnya perang dunia.
9) Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama nama geografi.
Misalnya:
Asia Tenggara, Banyuwangi, Bukit Barisan, Cirebon, Danau
Toba, Dataran Tinggi Dieng, Gunung Semeru, Jalan
Diponegoro, Jazirah Arab, Kali Brantas, Lembah Baliem, Ngarai
Sianok, Pegunungan Jayawijaya, Selat Lombok, Tanjung
Harapan, Teluk Benggala, Terusan Suez.
Huruf kapital tidak dipakai sebagai huruf pertama istilah geografi
yang tidak menjadi unsur nama diri.
Misalnya:
berlayar ke teluk, mandi di kali, menyeberabangi selat, pergi ke
arah tenggara
Huruf kapital tidak dipakai sebagai huruf pertama nama geografi
yang digunakan sebagai nama jenis.
Misalnya:
garam inggris, gula jawa, kacang bogor, pisang ambon
10) Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama semua unsur nama
negara, lembaga pemerintah dan ketatanegaraan, serta nama
dokumen resmi, kecuali kata seperti dan.
Misalnya:
Republik Indonesia; Majelis Permusyawaratan Rakyat;
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan; Badan
Kesejahteraan Ibu dan Anak; Keputusan Presiden Republik
Indonesia, Nomor 57, Tahun 1972.
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 41
Huruf kapital tidak dipakai sebagai huruf pertama kata yang bukan
nama negara, lembaga pemerintah dan ketatanegaraan, badan,
serta nama dokumen resmi.
Misalnya:
Menjadi sebuah republik, beberapa badan hukum, kerja sama
antara pemerintah dan rakyat, menurut undang-undang yang
berlaku.
11) Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama setiap unsur bentuk
ulang sempurna yang terdapat pada nama badan, lembaga
pemerintah dan ketatanegaraan, serta dokumen resmi.
Misalnya:
Perserikatan Bangsa-Bangsa, Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial,
Undang-Undang Dasar Repulik Indonesia, Rancangan Undang-
Undang Kepegawaian
12) Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama semua kata (termasuk
semua unsur kata ulang sempurna) di dalam nama buku, majalah,
surat kabar dan judul karangan, kecuali kata seperti di, ke, dari, dan,
yang, untuk yang tidak terletak pada posisi awal.
Misalnya:
Saya telah membaca buku Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke
Roma.
Bacalah majalah Bahasa dan Sastra.
Dia adalah agen surat kabar Sinar Pembangunan.
Ia menyelesaikan makalah “Asas-Asas Hukum Perdata”.
13) Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama unsur singkatan nama
gelar, pangkat, dan sapaan.
Misalnya:
Dr. Doktor
M.A. Master of Arts
S.E. Sarjana Ekonomi
S.H. Sarjana Hukum
S.S. Sarjana Sastra
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 42
Prof. Profesor
Tn. Tuan
Ny. Nyonya
Sdr. Saudara
14) Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama penunjuk hubungan
kekerabatan seperti bapak, ibu, saudara, kakak, adik, dan paman
yang dipakai dalam penyapaan dan pengacuan.
Misalnya:
“Kapan Bapak Berangkat?” tanya Desi.
Adik bertanya, “Itu apa, Bu?”
Surat Saudara sudah saya terima.
“Silakan duduk, Dik!” kata Mila.
Besok Paman akan datang.
Mereka pergi ke rumah Pak Camat.
Huruf kapital tidak dipakai sebagai huruf pertama kata penunjuk
hubungan kekerabatan yang tidak dipakai dalam pengacuan atau
penyapaan.
Misalnya:
Kita semua harus menghormati bapak dan ibu kita.
Semua kakak dan adik saya sudah berkeluarga.
15) Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama kata ganti Anda.
Misalnya:
Sudahkah Anda tahu?
Surat Anda telah kami terima.
2.1.5 Penulisan Huruf Miring
1) Huruf miring dalam cetakan dipakai untuk menuliskan nama buku,
majalah, dan surat kabar yang dikutip dalam tulisan.
Misalnya:
majalah Bahasa dan Sastra, buku Negarakertagama karangan
Prapanca, surat kabar Suara Rakyat.
2) Huruf miring dalam cetakan dipakai untuk menegaskan atau
mengkhususkan huruf, bagian kata, kata, atau kelompok kata.
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 43
Misalnya:
Huruf pertama kata abad adalah a.
Dia buka menipu, melainkan ditipu.
Bab ini tidak membicarakan penulisan huruf kapital.
Buatlah kalimat dengan berlepas tangan.
3) Huruf miring dalam cetakan dipakai untuk menuliskan nama ilmiah
atau ungkapan asing, kecuali yang telah disesuaikan ejaannya.
Misalnya:
Nama ilmiah buah manggis ialah Carcinia mangostama.
Politik devide et impera pernah merajalela di negeri ini.
Weltanschauung antara lain diterjemahkan menjadi ‘pandangan
dunia’
2.1.6 Huruf Tebal
1) Huruf tebal digunakan untuk menegaskan bagian tulisan yang sudah
ditulis miring.
Misalnya:
Huruf dh, seperti pada kata Ramadhan tidak terdapat dalam
ejaan bahasa Indonesia.
2) Huruf tebal digunakan untuk menegaskan bagian-bagian dalam
karangan, seperti judul buku, bab, subbab.
3.2 Penulisan Kata 3.2.1 Kata Dasar
Kata yang berupa kata dasar ditulis sebagai satu kesatuan.
Misalnya: Ibu percaya bahwa engkau tahu. Kantor pajak penuh sesak. Buku itu sangat tebal.
3.2.2 Kata Turunan
a. Imbuhan (awalan, sisipan, akhiran) ditulis serangkai dengan kata
dasarnya.
Misalnya:
bergetar, dikelola, penetapan, menengok, mempermainkan.
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 44
b. Jika bentuk dasar berupa gabungan kata, awalan atau akhiran ditulis
serangkai dengan kata yang langsung mengikuti atau
mendahuluinya.
Misalnya:
bertepuk tangan, garis bawahi, menganak sungai, sebar
luaskan.
c. Jika bentuk dasar yang berupa gabungan kata mendapat awalan
dan akhiran sekaligus, unsur gabungan kata itu ditulus serangkai.
Misalnya:
menggarisbawahi, menyebarluaskan, dilipatgandakan,
penghancurleburan
d. Jika salah satu unsur gabungan kata hanya dipakai dalam
kombinasi, gabungan kata itu ditulis serangkai.
Misalnya:
adipati, aerodinamika, antarkota, anumerta, audiogram,
awahama, bikarbonat, biokimia, caturtunggal, dasawarsa,
dekameter, demoralisasi, dwiwarna
catatan:
1) Jika bentuk terikat diikuti oleh kata yang huruf awalnya adalah
huruf kapital, di antara kedua unsur itu harus dituliskan tanda
hubung (-).
Misalnya:
non-Indonesia, pan-Afrikanisme
2) Jika kata maha sebagai unsur gabungan diikuti kata esa dan
kata yang bukan kata dasar, gabungan itu ditulis terpisah.
Misalnya:
Mudah-mudahan Tuhan Yang Maha Esa melindungi kita.
Marilah kita beersyukur kepada Tuhan Yang Maha
Pengasih.
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 45
3.2.3 Kata Ulang
Bentuk ulang ditulis secara lengkap dengan menggunakan tanda
hubung.
Misalnya:
anak-anak, buku-buku, kuda-kuda, mata-mata, hati-hati,
undang-undang, biri-biri
3.2.4 Gabungan Kata
a. Gabungan kata yang lazim disebut kata majemuk, termasuk istilah
khusus, unsur-unsurnya ditulis terpisah.
Misalnya:
duta besar, kambing hitam, mata pelajaran, meja tulis, simpang
empat.
b. Gabungan kata, termasuk istilah khusus, yang mungkin
menimbulkan kesalahan pengertian dapat ditulis dengan tanda
hubung untuk menegaskan pertalian unsur yang bersangkutan.
Misalnya:
Alat pandang-dengar, anak-istri saya, buku sejarah-baru,
mesin-hitung tangan, ibu-bapak kami, watt-jam, orang-tua
muda.
c. Gabungan kata berikut ditulis serangkai.
Misalnya:
Adakalanya, akhirulkalam, astaghfirullah, bagaimana,
barangkali, bilamana, bismillah, beasiswa, belasungkawa,
bumiputra.
3.2.5 Kata Ganti –ku-, -mu, dan –nya
Kata ganti ku ditulis serangkai dengan kata yang mengikutinya; -ku-,
mu, dan –nya ditulis serangkai dengan kata yang mendahuluinya.
Misalnya:
Apa yang kumiliki boleh kamu mabil.
Bukuku, bukumu, dan bukunya tersimpan di perpustakaan.
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 46
3.2.6 Kata Depan di, ke, dan dari
Kata depan di, ke, dan dari ditulis terpisah dari kata yang
mengikutinya, kecuali di dalam gabungan kata yang sudah lazim
dianggap sebagai satu kata seperti kepada dan daripada.
Misalnya:
Kain itu terletak di dalam lemari. Bermalam sajalah di sini. Di mana Violin sekarang? Mereka ada di rumah. Ia ikut terjun di tengah kancah perjuangan. Ke mana saja ia selama ini? Kita perlu berpikir sepuluh tahun ke depan. Mari kita berangkat ke pasar. Saya pergi ke sana-sini mencarinya. Wili datang dari Surabaya kemarin.
Catatan:
Kata-kata yang dicetak miring di bawah ini ditulis serangkai.
Si Amin lebih tua daripada si Ahmad. Kami percaya sepenuhnya kepadanya. Kesampingkan saja persoalan yang tidak penting itu. Ia masuk, lalu keluar lagi. Surat perintah itu dikeluarkan di Jakarta pada 11 Maret 1966. Bawa kemari gambar itu. Kemarikan buku itu. Semua orang terkemuka di desa hadir dalam acara itu.
3.2.7 Kata Si dan Sang
Kata si dan sang ditulis terpisah dari kata yang mengikutinya.
Misalnya:
Harimau itu marah sekali kepada sang Kancil.
Surat itu dikirimkan kembali kepada si pengirim.
3.2.8 Partikel
a. Partikel -lah, -kah, dan -tah ditulis serangkai dengan kata yang
mendahuluinya.
Misalnya:
Bacalah buku itu baik-baik.
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 47
Apakah yang tersirat dalam surat itu?
Jakarta adalah ibu kota Republik Indonesia.
Siapakah gerangan dia?
Apatah gunanya bersedih hati?
b. Partikel pun ditulis terpisah dari kata yang mendahuluinya.
Misalnya:
Apa pun yang dimakannya, ia tetap kurus.
Hendak pulang pun sudah tak ada kendaraan.
Jangankan dua kali, satu kali pun engkau belum pernah datang
ke rumahku.
Jika ayah pergi, adik pun ingin pergi.
Catatan:
Partikel pun yang merupakan unsur kata penghubung ditulis
serangkai.
Misalnya:
Adapun sebab-sebabnya belum diketahui.
Bagaimanapun juga akan dicobanya menyelesaikan tugas itu.
Meskipun sibuk, dia mengerjakan tugas itu tepat waktu.
Walaupun miskin, ia selalu gembira.
c. Partikel per yang berarti ‘mulai’, ‘demi’, dan ‘tiap’ ditulis terpisah dari
bagian kalimat yang mendahului atau mengikutinya.
Misalnya:
Pegawai negeri mendapat kenaikan gaji per 1 April.
Mereka masuk ke dalam ruangan satu per satu.
Harga kain itu Rp 2.000,00 per helai.
3.2.9 Singkatan dan Akronim
1) Singkatan adalalah salah satu hasil proses pemendekan yang berupa
huruf atau gabungan huruf yang dieja huruf demi huruf (Kridalaksana,
2008).
a. Singkatan nama orang, nama gelar, sapaan, jabatan atau pangkat
diikuti dengan tanda titik.
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 48
Misalnya:
A.S Kramawijaya Muh. Yamin Suman Hs. Sukanto S.A. M.B.A Master of Business Administration M.Sc. Master of Science S.E. Sarjana Ekonomi
b. Singkatan nama resmi lembaga pemerintah dan ketatanegaraan,
badan atau organisasi, serta nama dokumentasi resmi yang terdiri
atas huruf awal kata ditulis dengan huruf kapital dan tidak diikuti
dengan tanda titik.
Misalnya:
DPR Dewan Perwakilan Rakyat
PGRI Persatuan Guru Republik Indonesia
c. Singkatan umum yang terdiri atas tiga huruf atau lebih diikuti satu
tanda titik.
Misalnya:
dll. dan lain-lain dsb. dan sebagainya dst. dan seterusnya
Tetapi: a.n. atas nama d.a. dengan alamat u.b. untuk beliau u.p. untuk perhatian
d. Lambang kimia, singkatan satuan ukuran, takaran, timbangan, dan
mata uang tidak diikuti tanda titik.
Misalnya:
Cu cuprum TNT trinitrotulen cm sentimeter kVA kilovolt-ampere l liter kg kilogram Rp rupiah
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 49
2) Akronim adalah bentuk penyingkatan satu kata atau lebih menjadi
gabungan beberapa suku kata yang diperlakukan sebagai kata.
a. Akronim nama diri yang berupa gabungan huruf awal dari deret kata
ditulis seluruhnya dengan huruf kapital.
Misalnya:
ABRI Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
LAN Lembaga Administrasi Negara
b. Akronim nama diri yang berupa gabungan suku kata atau gabungan
huruf dan suku kata dari deret kata ditulis dengan huruf awal huruf
kaptal.
Misalnya:
Akabri Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
Iwapi Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia
c. Akronim yang bukan nama diri yang berupa gabungan huruf, suku
kata, ataupun gabungan huruf dan kata dari deret kata seluruhnya
ditulis dengan huruf kecil.
Misalnya:
pemilu pemilihan umum
radar radio detecting and ranging
tilang bukti pelanggaran
Catatan:
Jika dianggap perlu membentuk akronim, hendaknya diperhatikan
syarat-syarat berikut. (1) Jumlah suku kata akronim jangan melebihi
jumlah suku kata yang lazim pada kata Indonesia. (2) Akronim
dibentuk dengan mengindahkan keserasian kombinasi vokal dan
konsonan yang sesuai dengan pola kata Indonesia yang lazim.
3.2.10 Angka dan Lambang
a. Angka dipakai untuk menyatakan lambang bilangan atau nomor. Di
dalam tulisan lazim digunakan angka Arab atau angka Romawi.
Angka Arab: 0, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 50
Angka Romawi: I, II, III, IV, V, VI, VII, VIII, IX, X, L (50), C (100), D
(500), M (1000), V (5.000), M (1.000.000)
Pemakaiannya diatur leih lanjut dalam pasal-pasal yang berikut ini.
b. Angka digunakan untuk menyatakan (i) ukuran panjang, berat, luas,
dan isi, (ii) satuan waktu, (iii) nilai uang, dan (iv) kuantitas.
Misalnya:
0,5 sentimeter 1 jam 20 menit 5 kilogram pukul 15.00 4 meter persegi tahun 1928
c. Angka lazim dipakai untuk melambangkan nomor jalan, rumah,
apartemen, atau kamar pada alamat.
Misalnya:
Jalan Tanah Abang I No. 15
Hotel Indonesia, Kamar 169
d. Angka digunakan juga untuk menomori bagian karangan dan ayat
kitab suci.
Misalnya:
Bab X, Pasal 5, halaman 252
e. Penulisan lambang bilangan dengan huruf dilakukan sebagai berikut.
(1) Bilangan utuh
Misalnya:
Dua belas 12
Dua puluh dua 22
(2) Bilangan pecahan
Misalnya:
Setengah ½
Tiga perempat ¾
f. Penulisan lambang bilangan tingkat dapat dilakukan dengan cara
berikut.
Misalnya:
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 51
Paku Buwono X; pada awal abad XX; dalamkehidupan abad
ke-20 ini; lihan Bab II; Pasal 5; dalam bab ke-2 buku itu; di
daerah tingkat II itu; di tingkat kedua gedung itu; di tingkat ke-2
itu; kantor di tingkat II itu.
g. Penulisan lambang bilangan yang mendapat akhiran -an mengikuti
cara yang berikut.
Misalnya:
tahun ’50-an atau tahun lima puluhan
uang 5000-an atau uang lima ribuan
h. Lambang bilangan yang dapat dinyatakan dengan satu atau dua
kata ditulis dengan huruf, kecuali jika beberapa lambang bilangan
dipakai secara berurutan, seperti dalam perincian dan pemaparan.
Misalnya:
Amir menonton drama itu sampai tiga kali.
Ayah memesan tiga ratus ekor ayam.
Di antara 72 anggota yang hadir, 52 orang setuju, 15 orang
tidak setuju, dan 5 orang memberikan suara blangko.
Kendaraan yang ditempah untuk pengangkutan umum terdiri
atas 50 bus, 100 helicak, 100 bemo.
i. Lambang bilangan pada awal kalimat ditulis dengan huruf. Jika perlu,
susunan kalimat diubah sehingga bilangan yang tidak dapat
dinyatakan dengan satu atau dua kata tidak terdapat pada awal
kalimat.
Misalnya:
Lima belas orang tewas dalam kecelakaan itu.
Pak Darmo mengundang 250 orang tamu.
Bukan:
15 orang tews dalam kecelakaan itu.
Dua ratus lima puluh orang tamu diundang Pak Darmo.
j. Angka yang menunjukkan bilangan utuh secara besar dapat dieja
Misalnya:
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 52
Perusahaan itu baru saja mendapat pinjaman 250 juta rupiah.
Penduduk Indonesia berjumlah lebih dari 200 juta orang.
k. Bilangan tidak perlu ditulis dengan angka dan huruf sekaligus dalam
teks, kecuali di dalam dokumen resmi seperti akta dan kuitansi.
Misalnya:
Kantor kami mempunyai dua puluh orang pegawai.
Di lemari itu tersimpan 805 buku dan majalah.
Bukan:
Kantor kami mempunyai 20 (dua puluh) orang pgawai.
Di lemari itu tersimpan 805 (delapan ratus lima) buku dan
majalah.
l. Jika bilangan dilambangkan dengan angka dan huruf, penulisannya
harus tepat.
Misalnya:
Saya lampirkan tanda terima uang sebesar Rp 999,75
(Sembilan ratus sembilan puluh sembilan dan tujuh puluh lima
perseratus rupiah).
Bukan:
Saya lampirkan tanda terima uang sebesar 999,75 (Sembilan
ratus Sembilan puluh Sembilan dan tujuh puluh lima
perseratus) rupiah.
3.3 Pemakaian Tanda Baca
3.3.1 Tanda Titik (.)
a. Tanda titik dipakai pada akhir kalimat yang bukan pertanyaan atau
seruan.
Contoh:
Saya suka makan nasi.
Apabila dilanjutkan dengan kalimat baru, harus diberi jarak satu
ketukan.
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 53
b. Tanda titik dipakai pada akhir singkatan nama orang.
Contoh:
▪ Irwan S. Gatot
▪ George W. Bush
Apabila nama itu ditulis lengkap, tanda titik tidak dipergunakan.
Contoh: Anthony Tumiwa
c. Tanda titik dipakai pada akhir singkatan gelar, jabatan, pangkat, dan
sapaan.
Contoh:
▪ Dr. (doktor)
▪ S.E. (sarjana ekonomi)
▪ Kol. (kolonel)
▪ Bpk. (bapak)
d. Tanda titik dipakai pada singkatan kata atau ungkapan yang sudah
sangat umum. Pada singkatan yang terdiri atas tiga huruf atau lebih
hanya dipakai satu tanda titik.
Contoh:
▪ dll. (dan lain-lain)
▪ dsb. (dan sebagainya)
▪ tgl. (tanggal)
▪ hlm. (halaman)
e. Tanda titik dipakai untuk memisahkan angka jam, menit, dan detik
yang menunjukkan waktu atau jangka waktu.
Contoh:
▪ Pukul 7.10.12 (pukul 7 lewat 10 menit 12 detik)
▪ 0.20.30 jam (20 menit, 30 detik)
f. Tanda titik dipakai untuk memisahkan bilangan ribuan atau
kelipatannya.
Contoh:
Kota kecil itu berpenduduk 51.156 orang.
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 54
g. Tanda titik tidak dipakai untuk memisahkan bilangan ribuan atau
kelipatannya yang tidak menunjukkan jumlah.
Contoh:
▪ Nama Ivan terdapat pada halaman 1210 dan dicetak tebal.
▪ Nomor Giro 033983 telah saya berikan kepada Mamat.
h. Tanda titik tidak dipakai dalam singkatan nama resmi lembaga
pemerintah dan ketatanegaraan, badan atau organisasi, serta nama
dokumen resmi maupun di dalam akronim yang sudah diterima oleh
masyarakat.
Contoh:
▪ DPR (Dewan Perwakilan Rakyat)
▪ SMA (Sekolah Menengah Atas)
▪ PT (Perseroan Terbatas)
▪ WHO (World Health Organization)
i. Tanda titik tidak dipakai dalam singkatan lambang kimia, satuan
ukuran, takaran, timbangan, dan mata uang.
Contoh:
▪ Cu (tembaga)
▪ 52 cm
▪ l (liter)
▪ Rp350,00
j. Tanda titik tidak dipakai pada akhir judul yang merupakan kepala
karangan atau kepala ilustrasi, tabel, dan sebagainya.
Contoh:
▪ Latar Belakang Pembentukan
▪ Sistem Acara
3.3.2 Tanda Koma (,)
a. Tanda koma dipakai di antara unsur-unsur dalam suatu pemerincian
atau pembilangan.
Contoh:
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 55
Saya menjual baju, celana, dan topi.
Contoh penggunaan yang salah:
Saya membeli udang, kepiting dan ikan.
b. Tanda koma dipakai untuk memisahkan kalimat setara yang satu
dari kalimat setara yang berikutnya, yang didahului oleh kata seperti
tetapi dan melainkan.
Contoh:
Saya bergabung dengan Wikipedia, tetapi tidak aktif.
c. 1. Tanda koma dipakai untuk memisahkan anak kalimat dari induk
kalimat apabila anak kalimat tersebut mendahului induk kalimatnya.
Contoh:
▪ Kalau hari hujan, saya tidak akan datang.
▪ Karena sibuk, ia lupa akan janjinya.
2. Tanda koma tidak dipakai untuk memisahkan anak kalimat dari
induk kalimat apabila anak kalimat tersebut mengiringi induk kalimat.
Contoh:
Saya tidak akan datang kalau hari hujan.
d. Tanda koma dipakai di belakang kata atau ungkapan penghubung
antara kalimat yang terdapat pada awal kalimat. Termasuk di
dalamnya oleh karena itu, jadi, lagi pula, meskipun begitu, akan
tetapi.
Contoh:
▪ Oleh karena itu, kamu harus datang.
▪ Jadi, saya tidak jadi datang.
e. Tanda koma dipakai di belakang kata-kata seperti o, ya, wah, aduh,
kasihan, yang terdapat pada awal kalimat.
Contoh:
▪ O, begitu.
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 56
▪ Wah, bukan main.
f. Tanda koma dipakai untuk memisahkan petikan langsung dari
bagian lain dalam kalimat.
Contoh:
Kata adik, "Saya sedih sekali".
g. Tanda koma dipakai di antara (i) nama dan alamat, (ii) bagian-bagian
alamat, (iii) tempat dan tanggal, dan (iv) nama tempat dan wilayah
atau negeri yang ditulis berurutan.
Contoh:
▪ Bali, 7 Februari 1987
▪ Bali, Indonesia.
h. Tanda koma dipakai untuk menceraikan bagian nama yang dibalik
susunannya dalam daftar pustaka.
Contoh:
Lanin, Ivan. 1999. Cara Penggunaan Wikipedia. Jilid 5 dan 6.
Jakarta: PT Wikipedia Indonesia.
i. Tanda koma dipakai di antara bagian-bagian dalam catatan kaki.
Contoh:
1. Gatot, Bahasa Indonesia untuk Wikipedia. (Bandung: UP
Indonesia, 1990), hlm. 22.
j. Tanda koma dipakai di antara nama orang dan gelar akademik yang
mengikutinya untuk membedakannya dari singkatan nama diri,
keluarga, atau marga.
Contoh:
Rinto Jiang, S.E.
k. Tanda koma dipakai di muka angka persepuluhan atau di antara
rupiah dan sen yang dinyatakan dengan angka.
Contoh:
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 57
▪ 33,5 m
▪ Rp10,50
l. Tanda koma dipakai untuk mengapit keterangan tambahan yang
sifatnya tidak membatasi.
Contoh:
Pengelola perpustakaan favorit saya, Lin, pandai sekali.
m. Tanda koma dipakai untuk menghindari salah baca di belakang
keterangan yang terdapat pada awal kalimat.
Contoh:
Dalam pembinaan dan pengembangan bahasa, kita
memerlukan sikap yang bersungguh-sungguh.
Bandingkan dengan:
Kita memerlukan sikap yang bersungguh-sungguh dalam
pembinaan dan pengembangan bahasa.
n. Tanda koma tidak dipakai untuk memisahkan petikan langsung dari
bagian lain yang mengiringinya dalam kalimat jika petikan langsung
itu berakhir dengan tanda tanya atau tanda seru.
Contoh:
"Di mana Vio tinggal?" tanya Wili.
3.3.3 Tanda Titik Koma (;)
a. Tanda titik koma dapat dipakai untuk memisahkan kalimat yang
setara di dalam suatu kalimat majemuk sebagai pengganti kata
penghubung.
Contoh:
Ayah mengurus tanamannya di kebun; ibu sibuk bekerja di
dapur; adik menghafalkan nama-nama pahlawan nasional;
saya sendiri asyik mendengarkan siaran pilihan pendengar.
b. Tanda titik koma digunakan pada akhir perincian yang berupa
klausa.
Contoh:
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 58
Syarat minimal menjadi pegawai di perusahaan ini adalah
1. berkewarganegaraan Indonesia;
2. berijazah sarjana;
3. berbada sehat; dan
4. bersedia ditempatkan di semua cabang.
c. Tanda titik koma digunakan untuk memisahkan bagian perincian
dalam kalimat yang sudah menggunakan tanda koma.
Contoh:
Wili membeli jeruk, apel, dan anggur; baju, celana, dan kaus.
3.3.4 Tanda Titik Dua (:)
a. Tanda titik dua dipakai pada akhir suatu pernyataan lengkap bila
diikuti rangkaian atau pemerian.
Contoh:
▪ Kita sekarang memerlukan perabotan rumah tangga: kursi,
meja, dan lemari.
▪ Fakultas itu mempunyai dua jurusan: Ekonomi Umum dan
Ekonomi Perusahaan.
b. Tanda titik dua dipakai sesudah kata atau ungkapan yang
memerlukan pemerian.
Contoh:
Ketua : Vica
Wakil Ketua : Vio
c. Tanda titik dua dipakai dalam teks drama sesudah kata yang
menunjukkan pelaku dalam percakapan.
Contoh:
Rius : "Jangan lupa perbaiki halaman bantuan situs!"
Lin : "Siap kerjakan!"
d. Tanda titik dua dipakai (i) di antara jilid atau nomor dan halaman, (ii)
di antara bab dan ayat dalam kitab-kitab suci, atau (iii) di antara judul
dan anak judul suatu karangan.
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 59
Contoh:
(i) Tempo, I (1971), 34:7
(ii) Surah Yasin:9
(iii) Karangan Ali Hakim, Pendidikan Seumur Hidup:
Sebuah Studi, sudah terbit.
e. Tanda titik dua dipakai untuk menandakan nisbah (angka banding).
Contoh:
Nisbah siswa laki-laki terhadap perempuan ialah 2:1.
f. Tanda titik dua tidak dipakai kalau rangkaian atau pemerian itu
merupakan pelengkap yang mengakhiri pernyataan.
Contoh:
Kita memerlukan kursi, meja, dan lemari.
3.3.5 Tanda Hubung (-)
a. Tanda hubung menyambung unsur-unsur kata ulang.
Contoh:
anak-anak, berulang-ulang, kemerah-merahan
Tanda ulang singkatan (seperti pangkat 2) hanya digunakan pada
tulisan cepat dan notula, dan tidak dipakai pada teks karangan.
b. Tanda hubung menyambung huruf kata yang dieja satu per satu dan
bagian-bagian tanggal.
Contoh:
▪ k-e-t-u-a
▪ 17-2-1988
c. Tanda hubung dapat dipakai untuk memperjelas hubungan bagian-
bagian ungkapan.
Bandingkan:
▪ ber-evolusi dengan be-revolusi
▪ dua puluh lima-ribuan (20×5000) dengan dua-puluh-lima-
ribuan (1×25000).
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 60
▪ Istri-perwira yang ramah dengan istri perwira-yang ramah
d. Tanda hubung dipakai untuk merangkaikan (a) se- dengan kata
berikutnya yang dimulai dengan huruf kapital; (b) ke- dengan angka,
(c) angka dengan -an, dan (d) singkatan berhuruf kapital dengan
imbuhan atau kata, (e) kata dengan kata ganti Tuhan, (f) huruf dan
angka, dan (g) kata ganti ku, mu, nya dengan singkatan yang berupa
huruf kapital.
Contoh:
▪ se-Indonesia
▪ hadiah ke-2
▪ tahun 50-an
▪ ber-SMA
▪ ciptaan-Nya
▪ D-3, S-1
▪ KTP-mu
Catatan:
Tanda hubung tidak digunakan antara huruf dan angka jika angka
tersebut melambangkan jumlah huruf.
Contoh:
▪ LP2M
▪ LP3M
e. Tanda hubung dipakai untuk merangkaikan unsur bahasa Indonesia
dengan unsur bahasa asing.
Contoh:
▪ di-charter
▪ pen-tackle-an
f. Tanda hubung digunakan untuk menandai bentuk terikat yang
menjadi objek bahasan.
Contoh:
Kata pasca- berasal dari bahasa Sansekerta.
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 61
3.3.6 Tanda Pisah (—)
a. Tanda pisah em (—) membatasi penyisipan kata atau kalimat yang
memberikan penjelasan khusus di luar bangun kalimat.
Contoh:
Wikipedia Indonesia —saya harapkan— akan menjadi
Wikipedia terbesar.
Tanda pisah em (—) menegaskan adanya posisi atau keterangan
yang lain sehingga kalimat menjadi lebih tegas.
Contoh:
Rangkaian penemuan ini —evolusi, teori kenisbian, dan kini
juga pembelahan atom— telah mengubah konsepsi kita
tentang alam semesta.
b. Tanda pisah en (–) dipakai di antara dua bilangan atau tanggal yang
berarti sampai dengan atau di antara dua nama kota yang berarti 'ke'
atau 'sampai'.
Contoh:
▪ 1919–1921
▪ Medan–Jakarta
▪ 10–13 Desember 1999
Tanda pisah en (–) tidak dipakai bersama perkataan dari dan antara,
atau bersama tanda kurang (−).
Contoh:
▪ dari halaman 45 sampai 65, bukan dari halaman 45–65
▪ antara tahun 1492 dan 1499, bukan antara tahun 1492–
1499
▪ −4 sampai −6 °C, bukan −4–−6 °C
3.3.7 Tanda Elipsis (...)
a. Tanda elipsis dipakai dalam kalimat yang terputus-putus, misalnya
untuk menuliskan naskah drama.
Contoh:
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 62
Kalau begitu ... ya, marilah kita bergerak.
b. Tanda elipsis menunjukkan bahwa dalam suatu kalimat atau naskah
ada bagian yang dihilangkan, misalnya dalam kutipan langsung.
Contoh:
Sebab-sebab kemerosotan ... akan diteliti lebih lanjut.
Jika bagian yang dihilangkan mengakhiri sebuah kalimat, perlu
dipakai empat buah titik; tiga buah untuk menandai penghilangan
teks dan satu untuk menandai akhir kalimat.
Contoh:
Dalam tulisan, tanda baca harus digunakan dengan hati-
hati ....
3.3.8 Tanda Tanya (?)
a. Tanda tanya dipakai pada akhir tanya.
Contoh:
▪ Kapan ia berangkat?
▪ Saudara tahu, bukan?
b. Tanda tanya dipakai di dalam tanda kurung untuk menyatakan
bagian kalimat yang disangsikan atau yang kurang dapat dibuktikan
kebenarannya.
Contoh:
▪ Ia dilahirkan pada tahun 1683 (?).
▪ Uangnya sebanyak 10 juta rupiah (?) hilang.
3.3.9 Tanda Seru (!)
a. Tanda seru dipakai sesudah ungkapan atau pernyataan yang berupa
seruan atau perintah yang menggambarkan kesungguhan,
ketidakpercayaan, ataupun rasa emosi yang kuat.
Contoh:
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 63
▪ Alangkah mengerikannya peristiwa itu!
▪ Bersihkan meja itu sekarang juga!
Oleh karena itu, penggunaan tanda seru umumnya tidak digunakan
di dalam tulisan ilmiah atau ensiklopedia. Hindari penggunaannya
kecuali dalam kutipan atau transkripsi drama.
3.3.10 Tanda Kurung ((...))
a. Tanda kurung mengapit keterangan atau penjelasan.
Contoh:
Bagian Keuangan menyusun anggaran tahunan kantor yang
kemudian dibahas dalam RUPS (Rapat Umum Pemegang
Saham) secara berkala.
b. Tanda kurung mengapit keterangan atau penjelasan yang bukan
bagian integral pokok pembicaraan.
Contoh:
▪ Satelit Palapa (pernyataan sumpah yang dikemukakan
Gajah Mada) membentuk sistem satelit domestik di
Indonesia.
▪ Pertumbuhan penjualan tahun ini (lihat Tabel 9)
menunjukkan adanya perkembangan baru dalam pasaran
dalam negeri.
c. Tanda kurung mengapit huruf atau kata yang kehadirannya di dalam
teks dapat dihilangkan.
Contoh:
▪ Kata cocaine diserap ke dalam bahasa Indonesia
menjadi kokain(a).
▪ Pembalap itu berasal dari (kota) Medan.
d. Tanda kurung mengapit angka atau huruf yang memerinci satu
urutan keterangan.
Contoh:
Bauran Pemasaran menyangkut masalah (a) produk, (b)
harga, (c) tempat, dan (c) promosi.
Hindari penggunaan dua pasang atau lebih tanda kurung yang
berturut-turut. Ganti tanda kurung dengan koma, atau tulis ulang
kalimatnya.
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 64
Contoh:
▪ Tidak tepat: Nikifor Grigoriev (c. 1885–1919) (dikenal juga
sebagai Matviy Hryhoriyiv) merupakan seorang pemimpin
Ukraina.
▪ Tepat: Nikifor Grigoriev (c. 1885–1919), dikenal juga
sebagai Matviy Hryhoriyiv, merupakan seorang pemimpin
Ukraina.
▪ Tepat: Nikifor Grigoriev (c. 1885–1919) merupakan
seorang pemimpin Ukraina. Dia juga dikenal sebagai
Matviy Hryhoriyiv.
3.3.11 Tanda Kurung Siku ([...])
a. Tanda kurung siku mengapit huruf, kata, atau kelompok kata sebagai
koreksi atau tambahan pada kalimat atau bagian kalimat yang ditulis
orang lain. Tanda itu menyatakan bahwa kesalahan atau kekurangan
itu memang terdapat di dalam naskah asli.
Contoh:
Sang Sapurba men[d]engar bunyi gemerisik.
b. Tanda kurung siku mengapit keterangan dalam kalimat penjelas
yang sudah bertanda kurung.
Contoh:
Persamaan kedua proses ini (perbedaannya dibicarakan di
dalam Bab II [lihat halaman 35–38]) perlu dibentangkan di
sini.
3.3.12 Tanda Petik ("...")
a. Tanda petik mengapit petikan langsung yang berasal dari
pembicaraan dan naskah atau bahan tertulis lain.
Contoh:
▪ "Saya belum siap," kata Mira, "tunggu sebentar!"
▪ Pasal 36 UUD 1945 berbunyi, "Bahasa negara ialah
Bahasa Indonesia."
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 65
b. Tanda petik mengapit judul syair, karangan, atau bab buku yang
dipakai dalam kalimat.
Contoh:
▪ Bacalah "Bola Lampu" dalam buku Dari Suatu Masa, dari
Suatu Tempat.
▪ Karangan Andi Hakim Nasoetion yang berjudul "Rapor
dan Nilai Prestasi di SMA" diterbitkan dalam Tempo.
▪ Sajak "Berdiri Aku" terdapat pada halaman 5 buku itu.
c. Tanda petik mengapit istilah ilmiah yang kurang dikenal atau kata
yang mempunyai arti khusus.
Contoh:
▪ Pekerjaan itu dilaksanakan dengan cara "coba dan ralat"
saja.
▪ Ia bercelana panjang yang di kalangan remaja dikenal
dengan nama "cutbrai".
d. Tanda petik penutup mengikuti tanda baca yang mengakhiri petikan
langsung.
Contoh:
Kata Tono, "Saya juga minta satu."
e. Tanda baca penutup kalimat atau bagian kalimat ditempatkan di
belakang tanda petik yang mengapit kata atau ungkapan yang
dipakai dengan arti khusus pada ujung kalimat atau bagian kalimat.
Contoh:
▪ Karena warna kulitnya, Budi mendapat julukan "Si Hitam".
▪ Bang Komar sering disebut "pahlawan"; ia sendiri tidak
tahu sebabnya.
3.3.13 Tanda Petik Tunggal ('...')
a. Tanda petik tunggal mengapit petikan yang tersusun di dalam
petikan lain.
Contoh:
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 66
▪ Tanya Basri, "Kau dengar bunyi 'kring-kring' tadi?"
▪ "Waktu kubuka pintu depan, kudengar teriak anakku, 'Ibu,
Bapak pulang', dan rasa letihku lenyap seketika," ujar Pak
Hamdan.
b. Tanda petik tunggal mengapit makna, terjemahan, atau penjelasan
kata atau ungkapan asing.
Contoh:
feed-back 'balikan'
3.3.14 Tanda Garis Miring (/)
a. Tanda garis miring dipakai di dalam nomor surat dan nomor pada
alamat dan penandaan masa satu tahun yang terbagi dalam dua
tahun takwim.
Contoh:
▪ No. 7/PK/1973
▪ Jalan A.Yani III/10
b. Tanda garis miring dipakai sebagai pengganti kata tiap, per atau
sebagai tanda bagi dalam pecahan dan rumus matematika.
Contoh:
▪ harganya Rp125,00/lembar (harganya Rp125,00 tiap
lembar)
▪ kecepatannya 20 m/s (kecepatannya 20 meter per detik)
▪ 7/8 atau 7⁄8
▪ xn/n!
Tanda garis miring sebaiknya tidak dipakai untuk menuliskan tanda
aritmetika dasar dalam prosa. Gunakan tanda bagi ÷ .
Contoh: 10 ÷ 2 = 5
Di dalam rumus matematika yang lebih rumit, tanda garis miring atau
garis pembagi dapat dipakai.
Contoh:
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 67
c. Tanda garis miring sebaiknya tidak dipakai sebagai pengganti
kata atau dan tiap.
Misalnya:
dikirimkan lewat darat/laut
‘dikirim lewat darat atau laut’
harganya Rp25,00/lembar
‘harganya Rp25,00 tiap lembar’
3.3.15 Tanda Penyingkat (Apostrof)(')
Tanda penyingkat menunjukkan penghilangan bagian kata atau
bagian angka tahun.
Contoh:
▪ Ali 'kan kusurati. ('kan = akan)
▪ Malam 'lah tiba. ('lah = telah)
▪ 1 Januari '88 ('88 = 1988)
Sebaiknya bentuk ini tidak dipakai dalam teks prosa biasa.
3.4 Penulisan Unsur Serapan
Dalam perkembangannya, bahasa Indonesia menyerap unsur dari
pelbagai bahasa lain, baik dari bahasa daerah maupun dari bahasa asing,
seperti Sansekerta, Arab, Portugis, Belanda, atau Inggris. Berdasarkan taraf
integrasinya, unsur pinjaman dalam bahasa Indonesia dapat dibagi atas dua
golongan besar. Pertama, unsur pinjaman yang belum sepenuhnya terserap
ke dalam bahasa Indonesia, seperti reshuffle, shuttle cock, l’axplanation de
l’homme. Unsur-unsur yang dipakai dalam konteks bahasa Indonesia, tetapi
pengucapannya masih mengikuti cara asing. Kedua, unsur pinjaman yang
pengucapan dan penulisannya disesuaikan dengan kaidah bahasa Indonesia.
Dalam hal ini diusahakan agar ejaannya hanya diubah seperlunya sehingga
bentuk Indonesianya masih dapat dibandingkan dengan bentuk asalnya.
Berikut ini disajikan data mengenai jumlah kata serapan dalam bahasa
Indonesia.
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 68
Tabel 3.1 Seranai Kata Serapan dalam Bahasa Indonesia
Asal Bahasa Jumlah Kata
Arab 1.495 kata
Belanda 3.280 kata
Tionghoa 290 kata
Hindi 7 kata
Inggris 1.610 kata
Parsi 63 kata
Portugis 131 kata
Sanskerta-Jawa Kuna 677 kata
Tamil 83 kata
Ada empat cara yang biasanya ditempuh untuk menyerap bahasa
asing ke dalam bahasa Indonesia, yaitu (1) adopsi, (2) adaptasi, (3)
penerjemahan, dan (4) kreasi. Cara adopsi terjadi apabila pemakai bahasa
mengambil bentuk dan makna kata asing yang diserap secara keseluruhan.
Kata supermarket, plaza, mall, hotdog merupakan contoh cara penyerapan
adopsi.
Cara adaptasi terjadi apabila pemakai bahasa hanya mengambil
makna kata asing yang diserap dan ejaan atau cara penulisannya
disesuaikan ejaan bahasa Indonesia. Kata-kata seperti pluralisasi,
akseptabilitas, maksimal, dan kado merupakan contoh kata serapan adaptasi.
Kata-kata tersebut mengalami perubahan ejaan dari bahasa asalnya
(pluralization dan acceptability dari bahasa Inggris, maximaal dari bahasa
Belanda, serta cadeu dari bahasa Prancis). Pedoman pengadaptasiannya
adalah Pedoman Penulisan Istilah dan Ejaan Bahasa Indonesia yang
Disempurnakan yang dikeluarkan oleh Pusat Bahasa, Departemen
Pendidikan Nasional.
Cara penerjemahan terjadi apabila pemakai bahasa mengambil
konsep yang terkandung dalam kata bahasa asing kemudian mencari
padanannya dalam bahasa Indonesia. Kata-kata seperti tumpang-tindih,
percepatan, proyek rintisan, dan uji coba adalah kata-kata yang lahir karena
proses penerjemahan dari bahasa Inggris overlap, acceleration, pilot project,
Sumber: Senarai Kata Serapan dalam Bahasa Indonesia (1996) yang disusun oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (sekarang bernama Pusat Bahasa)
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 69
dan try out. Penerjemahan istilah asing memiliki beberapa keuntungan. Selain
memperkaya kosakata bahasa Indonesia dengan sinonim, istilah hasil
terjemahan juga meningkatkan daya ungkap bahasa Indonesia. Dalam
pembentukan istilah lewat penerjemahan perlu diperhatikan pedoman berikut.
a. Penerjemahan tidak harus berasas satu kata diterjemahkan satu kata.
Misalnya:
psychologist → ahli psikologi
medical practitioner → dokter
b. Istilah asing dalam bentuk positif diterjemahkan ke dalam istilah
Indonesia bentuk positif, sedangkan istilah dalam bentuk negatif
diterjemahkan ke dalam istilah Indonesia bentuk negatif pula.
Misalnya:
inorganic → takorganik
able → mampu
c. Kelas kata istilah asing dalam penerjemahan sedapat-dapatnya
dipertahankan pada istilah terjemahannya.
Misalnya:
merger (nomina) → gabung usaha (nomina)
transparent (adjektiva) → bening (adjektiva)
d. Dalam penerjemahan istilah asing dengan bentuk plural, pemarkah
kejamakannya ditinggalkan pada istilah Indonesia.
Misalnya:
master of ceremonies → pengatur acara
Cara kreasi terjadi apabila pemakai bahasa hanya mengambil konsep
dasar yang ada dalam bahasa sumbernya kemudian mencari padanannya
dalam bahasa Indonesia. Meskipun sekilas mirip perjemahan, cara terakhir ini
memiliki perbedaan. Cara kreasi tidak menuntut fisik yang mirip seperti pada
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 70
penerjemahan. Kata yang dalam bahasa aslinya ditulis dua atau tiga kata
dalam bahasa Indonesianya boleh hanya satu kata saja atau sebaliknya,
misalnya:
effective → berhasil guna
shuttle → ulang alik
spare parts → suku cadang
Bentuk-bentuk serapan dari bahasa asing yang lain adalah dari bahasa
Belanda, bahasa Sanskerta, bahasa Latin, dan bahasa Arab. Contoh serapan
dari bahasa Belanda:
paal pal octaaf oktaf
riem rim politiek politik
Contoh serapan dari bahasa Sanskerta:
catur-caturwarga caturwarga
sapta-saptamarga saptamarga
dasa-dasawarsa dasawarsa
Contoh serapan dari bahasa Arab:
khalal halal
tawaqal tawakal
Berikut ini beberapa contoh lain penulisan unsur serapan dari bahasa asing.
1) c di muka e, i, oe, dan y menjadi s
central sentral
cent sen
cybernetics sibernetika
circulation sirkulasi
cylinder silinder
2) cc di muka o, u dan konsonan menjadi k
accomodation akomodasi
acculturation akulturasi
acclimatization aklimatisasi
accumulation akumulasi
3) kh (Arab) tetap kh
khusus khusus
akhir akhir
4) ie (Belanda) menjadi i jika lafalnya i
politiek politik
riem rim
5) ie tetap ie jika lafalnya bukan i
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 71
variety varietas
patient pasien
afficient efisien
6) oo (Belanda) menjadi o
komfoor kompor
provoost provos
7) oo (Inggris) menjadi u
cartoon kartun
proof pruf
8) ph menjadi f
phase fase
physiology fisiologi
spectograph spektograf
9) q menjadi k
aquarium akuarium
frequency frekuensi
10) rh menjadi r
rhythm ritme
rhetoric retorika
11) xc di muka e dan i menjadi ks
exception eksepsi
excess ekses
12) y manjadi y jika lafalnya i
dynamo dinamo
Ringkasan
Selain berhubungan dengan penulisan huruf, penulisan kata, dan
penggunaan tanda baca, penulisan ejaan juga berhubungan dengan
penulisan unsur serapan. Penulisan hurup menyangkut dua hal, yaitu
penulisan huruf besar atau huruf kapital dan penulisan huruf miring. Penulisan
kata berhubungan dengan penulisan kata dasar, kata turunan, kata ulang,
gabungan kata, kata ganti, kata depan, kata sandang, patikel, singkatan-
akronim, dan huruf-lambang. Pemakaian tanda baca berhubungan dengan
penggunaan tanda titik, tanda koma, tanda titik koma, tanda titik dua, tanda
hubung, tanda pisah, tanda elipsis, tanda tanya, tanda seru, tanda kurung,
tanda kurung siku, tanda petik, tanda petik tunggal, tanda garis miring, dan
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 72
tanda penyingkat. Sementara itu penulisan unsur serapan menyangkut
penulisan kata-kata yang berasal dari proses adopsi, adaptasi, terjemahan,
dan kreasi. Ejaan bahasa Indonesia merupakan norma yang harus diikuti oleh
pemakai bahasa Indonesia sebagai wujud sikap positif berbahasa Indonesia.
Latihan
Tulis kembali kalimat-kalimat berikut ini dengan ejaan yang benar!
1. Ia membaca buku yang bejudul pengaruh bulan romadhon terhadap
perekonomian rakyat dari hari ke hari.
2. Masihkah anda mempunyai bapak dan ibu?
3. Sejak dilantik menjadi presiden, presiden megawati tinggal diistana.
4. Jangan kau perhatikan kejadian ditempat itu.
5. Ia mengendarai mobil dengan kecepatan 2 km permenit
6. Nama ilmiah buah manggis ialah caicinia mangortama.
7. bambang prakosa s.t. (sarjana teknik) ditempat itu digaji 2 juta
rupiah perbulan.
8. Tuhan maha esa, maha kasih, dan maha mengetahui
9. Tepat pukul 12:30.10 w.i.b. acara itu dibuka.
10. Dua puluh lima mahasiswa mengadakan bakti sosial ke daerah
terpencil.
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 73
BAB 4
Kesantunan Berbahasa sebagai Norma
Sosiokultural Realisasi Sikap Positif
Berbahasa Indonesia
Pengantar
Sebagai mahluk sosial manusia menggunakan bahasa untuk
berkomunikasi secara lisan maupun tulisan. Dalam berkomunikasi, manusia
hendaknya memerhatikan norma sosiokultural yang ada di masyarakat agar
tindak komunikasi berterima dengan baik bagi masyarakat tutur bahasa
tersebut. Bahasa pertama diperoleh melalui alami di lingkungan keluarga.
Karena itu, peranan keluarga begitu krusial dalam pemerolehan bahasa anak
termasuk di dalamnya perolehan mengenai pola atau aturan tindak
komunikasi. Anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan keluarga yang
mengedepankan kesantunan dalam berbahasa cenderung akan mengikuti
pola kesantunan sebagaimana yang dijumpai atau dilakukannya di rumah.
Kesantunan merupakan salah satu tolok ukur sikap positif dalam
berbahasa Indonesia. Kesantunan berbahasa merupakan realisasi dari
pemahaman akan penggunaan bahasa dengan memerhatikan hal-hal lain di
luar bahasa, seperti mitra tutur, waktu tutur, suasana, dan sebagainya.
Masalah kesantunan menyangkut nilai rasa dalam berbahasa dengan
memerhatikan unsur-unsur nonlinguistik.
4.1 Pembentukan Kesantunan Berbahasa
Penggunaan bahasa untuk bersosialisasi tidak lepas dari faktor–faktor
penentu tindak komunikasi dan prinsip–prinsip sopan santun (politeness
principle), dan direalisasikan dalam tindak komunikasi. Kesantuanan
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 74
merupakan cara bertutur atau berperilaku dengan budi yang halus, nilai rasa
yang baik, dan penuh kesopanan, serta berusaha menghindari konflik antara
pembicara dengan lawan berbicaranya di dalam proses berkomunikasi.
Budaya Indonesia menilai berbicara dengan menggunakan bahasa yang
santun akan memperlihatkan sejatinya sebagai manusia yang beretika,
berpendidikan dan berbudaya yang mendapat penghargaan sebagai manusia
yang baik.
Kesantunan berbahasa tercermin dalam tatacara berkomunikasi lewat
tanda verbal atau tatacara berbahasa. Ketika berkomunikasi, kita tunduk pada
norma-norma budaya, tidak hanya sekedar menyampaikan ide yang kita
pikirkan. Tatacara berbahasa harus sesuai dengan unsur-unsur budaya yang
ada dalam masyarakat tempat hidup dan dipergunakannya suatu bahasa
dalam berkomunikasi. Apabila tatacara berbahasa seseorang tidak sesuai
dengan norma-norma budaya, maka ia akan mendapatkan nilai negatif,
misalnya dituduh sebagai orang yang sombong, angkuh, tak acuh, egois,
tidak beradat, bahkan tidak berbudaya.
Kesantunan berbahasa pada hakikatnya harus memperhatikan empat
prinsip (Leech, 1986). Pertama, penerapan prinsip kesopanan (politeness
principle) dalam berbahasa. Prinsip ini ditandai dengan memaksimalkan
kesenangan/kearifan, keuntungan, rasa salut atau rasa hormat, pujian,
kecocokan, dan kesimpatikan kepada orang lain dan (bersamaan dengan itu)
meminimalkan hal-hal tersebut pada diri sendiri.
Dalam berkomunikasi, di samping menerapkan prinsip kerja sama
(cooperative principle) dengan keempat maksim (aturan) percakupannya,
yaitu maksim kuantitas, maksim kualitas, maksim relevansi, dan maksim cara;
juga menerapkan prinsip kesopanan dengan keenam maksimnya, yaitu (1)
maksim kebijakan yang mengutamakan kearifan bahasa, (2) maksim
penerimaan yang menguatamakan keuntungan untuk orang lain dan kerugian
untuk diri sendiri, (3) maksim kemurahan yang mengutamakan kesalutan/rasa
hormat pada orang lain dan rasa kurang hormat pada diri sendiri, (4) maksim
kerendahan hati yang mengutamakan pujian pada orang lain dan rasa rendah
hati pada diri sendiri, (5) maksim kecocokan yang mengutamakan kecocokan
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 75
pada orang lain, dan (6) maksim kesimpatisan yang mengutakan rasa simpati
pada orang lain. Dengan menerapkan prinsip kesopanan ini, orang todak lagi
menggunakan ungkapan-ungkapan yang merendahkan orang lain sehingga
komunikasi akan berjalan dalam situasi yang kondusif.
Kedua, penghindaran pemakaian kata tabu. Pada kebanyakan
masyarakat, kata-kata yang berbau seks, kata-kata yang merujuk pada organ-
organ tubuh yang lazim ditutupi pakaian, kata-kata yang merujuk pada
sesuatu benda yang menjijikkan, dan kata-kata "kotor" dan "kasar" termasuk
kata-kata tabu dan tidak lazim digunakan dalam berkomunikasi sehari-hari,
kecuali untuk tujuan-tujuan tertentu. Contoh berikut ini merupaka kalimat yang
menggunakan kata tabu karena diucapkan oleh mahasiswa kepada dosen
ketika perkuliahan berlangsung.
- Pak, mohon izin keluar sebentar, saya mau berak!
- Mohon izin, Bu, saya ingin kencing!
Ketiga, sehubungan dengan penghindaran kata tabu, penggunaan
eufemisme, yaitu ungkapan penghalus dapat dilakukan. Penggunaan
eufemisme ini perlu diterapkan untuk menghindari kesan negatif. Contoh
kalimat mahasiswa yang tergolong tabu di atas akan menjadi ungkapan
santun apabila diubah dengan penggunaan eufemisme. Yang perlu diingat
bahwa eufemisme harus digunakan secara wajar, tidak berlebihan. Jika
eufemisme telah menggeser pengertian suatu kata, bukan untuk
memperhalus kata-kata yang tabu, maka eufemisme justru berakibat
ketidaksantunan, bahkan pelecehan. Misalnya, penggunaan eufemisme
dengan menutupi kenyataan yang ada, yang sering dikatakan pejabat. Kata
"miskin" diganti dengan "prasejahtera", "kelaparan" diganti dengan "busung
lapar", "penyelewengan" diganti "kesalahan prosedur, "ditahan" diganti
"dirumahkan", dan sebagainya. Di sini terjadi kebohongan publik.
Kebohongan itu termasuk bagian dari ktidaksantunan berbahasa.
Keempat, penggunaan pilihan kata honorifik, yaitu ungkapan hormat
untuk berbcara dan menyapa orang lain. Penggunaan kata-kata honorifik ini
tidak hanya berlaku bagi bahasa yang mengenal tingkatan (undha-usuk,
Jawa) tetapi berlaku juga pada bahasa-bahasa yang tidakmengenal tingkatan.
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 76
Hanya saja, bagi bahasa yang mengenal tingkatan, penentuan kata-kata
honorifik sudah ditetapkan secara baku dan sistematis untuk pemakaian
setiap tingkatan. Misalnya, bahasa krama inggil (laras tinggi) dalam bahasa
Jawa perlu digunakan kepada orang yang tingkat sosial dan usianya lebih
tinggi dari pembicara; atau kepada orang yang dihormati oleh pembicara.
Walaupun bahasa Indonesia tidak mengenal tingkatan, sebutan kata diri
Engkau, Anda, Saudara, Bapak/bu mempunyai efek kesantunan yang
berbeda ketika kita pakai untuk menyapa orang. Keempat kalimat berikut
menunjukkan tingkat kesantunan ketika seseorang pemuda menanyakan
seorang pria yang lebih tua.
(1) Engkau mau ke mana?
(2) Saudara mau ke mana?
(3) Anda amau ke mana?
(4) Bapak mau ke mana?
Dalam konteks ini, kalimat (1) dan (2) tidak atau kurang sopan
diucapkanoleh orang yang lebih muda, tetapi kalimat (4)-lah yang sepatutnya
diucapkan jika penuturnya ingin memperlihatkan kesantunan. Kalimat (3)
lazim diucapkan kalau penuturnya kurang akrab dengan orang yang
disapanya, walaupun lebih patut penggunaan kalimat (4).
Percakapan yang tidak menggunakan kata sapaan pun dapat
mengakibatkan kekurangsantunan bagi penutur. Percakapan via telepon
antara mahasiswi dan istri dosen berikut merupakan contoh
kekurangsopanan.
Mahasiswi : Halo, ini rumah Suparmo, ya? Istri Dosen : Betul. Mahasiswi : Ini adiknya, ya? Istri Dosen : Bukan, istrinya. Ini siapa? Mahasiswi : Mahasiswinya. Dia kan dosen pembimbing saya.
Sudah janjian dengan saya di kapus. Kok saya tunggu-tunggu tidak ada.
Istri Dosen : Oh, begitu, toh. Mahasiswi : Ya, sudah, kalau begitu.
(Telepon langsung ditutup.)
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 77
Istri dosen tersebut menganggap bahwa mahasiswa yang baru saja
bertelepon itu tidak sopan, hanya karena si mahasiswa tidak mengikuti norma
kesantunan berbahasa, yaitu tidak menggunakan kata sapaan ketika
menyebut nama dosennya. Bahasa mahasiswa seperti itu bisa saja tepat di
masyarakat penutur bahasa lain, tetapi di masyarakat penutur bahasa
Indonesia dinilai kurang (bahkan tidak) santun. Oleh karena itu, pantas saja
kalau istri dosen tersebut muncul rasa jengkel setelah menerima telepon
mahasiswi itu. Ditambah lagi tatacara bertelepon mahasiswi yang juga tidak
mengikuti tatakram, yaitu tidak menunjukkan identitas atau nama sebelumnya
dan diakhiri tanpa ucapan penutup terima kasih atau salam.
Di era digital seperti sekarang, cara paling praktis untuk menghubungi
dosen, selain menelpon seperti contoh di atas, adalah mengirim pesan
singkat. Namun, pesan singkat yang dikirim kepada dosen sering tidak
mendapatkan balasan. Penyebab pesan tidak dibalas oleh dosen di
antaranya:
1) Pulsa habis
2) Lebih suka ditelpon
3) Salah waktu
4) Menggunakan bahasa yang tidak baku, seperi bahasa gaul dan
singkatan-singkatan yang tidak lazim
5) Isi pesan tidak sopan atau tidak berkenan di hati
Untuk penyebab nomor 1 dan 2 merupakan keadaan di luar unsur
sopan santun. Nomor 3, 4, dan 5 merupakan penyebab yang berhubungan
dengan kesantunan. Untuk masalah waktu, mahasiswa hendaknya
memahami waktu-waktu yang tepat untuk menghubungi dosen, misalnya
jangan menghubungi dosen pada jam istirahat malam. Penggunaan bahasa
dan isi pesan yang tidak sopan sering menjadi keluhan dosen. Karena itu, di
perguruan tinggi kerap dijumpai pengumuman dalam banner tata cara
berkomunikasi dengan dosen seperti berikut ini.
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 78
Sumber: https://www.google.com/search?q=contoh+ujaran+santun+ sms+mahasiswa+ke+dosen
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 79
Gambar 4.1 Ketentuan Mengirim Pesan kepada Dosen di Berbagai Perguruan Tinggi
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 80
Dari banner-banner tersebut dapat kesamaan tata cara yang
disampaiakan, yaitu:
1) Memperhatikan waktu mengirim pesan
2) Menggunakan bahasa yang baik dan benar
3) Mengapa dengan sopan/mengucapkan salam
Walau dosen Anda terlihat ramah atau gaul, upayakan mengapa dengan
bahasa formal
4) Memperkenalkan diri
Dosen tentunya memiliki banyak mahasiswa dan tidak menyimpan semua
nomor telp. Oleh karena itu, perkenalkan diri Anda terlebih dahulu
sebelum menyampaiakan maksud atau tujuan mengirim pesan.
5) Menjelaskan maksud atau tujuan
Utarakan maksud atau tujuan dengan singkat dan jelas. Hindari
penggunaan singkatan, kecuali singkatan yang sudah lazim digunakan,
contoh: dll., dsb.
6) Menyatakan permohonan maaf karena teah mengganggu atau menyita
waktu dosen. Permohonan maaf juga dapat diberikan di awal setelah
ucapan salam.
7) Sampaikan terima kasih di akhir pesan
Contoh pesan:
Contoh 1: Contoh 2:
Selamat siang Bapak, mohon maaf mengganggu waktu Bapak. Saya Diani Putri, mahasiswa semester V Prodi Akuntansi. Saya berencana untuk bimbingan karya ilmiah dengan Bapak, kapan sekiranya Bapak ada waktu dan bisa membimbing saya? Terima kasih, Bapak.
Selamat siang Ibu, Saya Wili Dewanata, mahasiswa semester I Prodi Pendidikan Bahasa Inggis. Saya berencana untuk bimbingan tugas penulisan opini dengan Ibu, mohon izin Bu. Kapan sekiranya Ibu bisa saya temui untuk bimbingan? Mohon maaf telah mengganggu waktu Ibu, terima kasih.
Contoh 1 dan 2 tersebut menunjukkan pesan santun yang dikirim oleh
mahasiswa kepada dosennya. Perbedaan struktur kedua contoh tersebut
terletak pada penyampaian permohonan maaf. Pada contoh 1, permohonan
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 81
maaf disampaikan di awal sebelum mengutarakan tujuan sedangkan pada
contoh 2 disampaikan setelah pengutaraan maksud atau tujuan pesan.
Dapat disimpulkan bahwa tujuan utama kesantunan berbahasa adalah
memperlancar komunikasi. Oleh karena itu, pemakaian bahasa yang sengaja
dibelit-belitkan, yang tidak tepat sasaran, atau yang tidak menyatakan yang
sebenarnya karena enggan kepada orang yang lebih tua juga merupakan
ketidaksantunan berbahasa. Kenyataan ini sering dijumpai di masyarakat
Indonesia kaena terbawa oleh budaya "tidak terus terang" dan menonjolkan
perasaan. Dalam batas-batas tertentu masih bisa ditoleransi jika penutur tidak
bermaksud mengaburka komunikasi sehingga orang yang diajak berbicara
tidak tahu apa yang dimaksudkannya.
4.2 Aspek Nonlinguistik dalam Kesantunan Berbahasa
Unsur-unsur nonverbal yang dimaksud adalah unsur-unsur
paralinguistik, kinetik, dan proksemika. Pemerhatian unsur-unsur ini juga
dalam rangka pencapaian kesantunan berbahasa. Unsur-unsur paralinguistik
berkaitan dengan ciri-ciri bunyi yang dihasilkan dari ujaran seseorang seperti
suara berbisik, suara meninggi, suara sedang, suara rendah, dan suara keras
yang digunakan oleh penutur dalam berkomunikasi. Pengubahan intonasi
disesuaikan dengan situasi yang dihadapi oleh penutur maupun mitra tutur.
Hal tersebut dilakukan apabila dalam komunikasi tersebut ingin menerapkan
prinsip kesantunan. Contohnya, dalam situasi formal atau resmi seperti
seminar maka sebagai peserta yang menerapkan prinsip kesopanan apabila
ingin berbicara dengan teman sebelahnya, peserta tersebut akan
menggunakan suara yang rendah atau berbisik jika ingin berbicara dengan
temannya agar tidak menganggu penutur yang ada di depan sebagai wujud
menghargai atau menghormati.
Unsur kinesik yaitu unsur nonverbal yang terkait gerak isyarat atau
gestur. Gerak isyarat tersebut meliputi gerak tangan, anggukan kepala,
kedipan mata, dan ekspresi wajah. Unsur ini berfungsi untuk memperjelas
unsur bahasa yang disampaikan oleh penutur untuk mendukung santun atau
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 82
tidaknya komunikasi yang terjalin. Contohnya, ekspresi wajah yang terlihat
senyum ketika menyambut tamu yang datang merupakan salah satu aspek
yang menciptakan kesantunan dan begitu pula sebaliknya.
Unsur proksemika yaitu unsur yang terkait dengan penjagaan jarak
akibat adanya perbedaan faktor-faktor sosial seperti perbedaan status jabatan
dan usia. Dalam hal tersebut bahasa yang digunakan tentu akan berbeda
yang akan menyesuaikan dengan adanya perbedaan tersebut. Misalnya,
bahasa yang digunakan oleh sesama mahasiswa dan mahasiswa dengan
dosen tentu berbeda akibat adanya perbedaan status. Bahasa yang
digunakan untuk berkomunikasi dnegan dosen tentu bahasa Indonesia yang
resmi sedangkan pembicaraan antarsesama mahasiswa akan enggunakan
bahasa Indonesia yang kurang formal.
Ringkasan
Manusia sebagai mahluk sosial menggunakan bahasa untuk
berkomunikasi. Hal yang memainkan peranan penting dalam peristiwa
komunikasi tersebut adalah kesantunan. Kesantunan berbahasa tercermin
dalam tatacara berkomunikasi lewat tanda verbal atau tatacara berbahasa.
Kesantuna berbahasa diterapkan degan memperhatikan empat prinsip, yaitu
prinsip kesantunan, penghindaran penggunaan kata tabu, penggunaan
eufemisme, dan penggunaan bentuk honorifik. Selain prinsip tersebut,
kesantunan berbahasa juga dipengaruhi oleh faktor nonlinguistik, seperti
paralinguistik, kinestik, dan proksemika.
Latihan
1. Amatilah beberapa situasi penggunaan bahasa yang menunjukkan
penggunaan bahasa yang tidak santun!
2. Bagaimanakah solusi menghilangkan ketidaksantunan dalam
berbahasa?
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 83
BAB 5
Bahasa Indonesia yang Baik dan Benar sebagai
Tolok Ukur Sikap Positif
Pengantar
Bahasa Indonesia yang baik adalah bahasa Indonesia yang digunakan
sesuai dengan situasi pemakaiannya, sedangkan bahasa Indonesia yang
benar adalah bahasa Indonesia yang taat atau patuh pada kaidah-kaidah
kebahasaan yang berlaku. Karena adanya situasi pemakaian yang
bermacam-macam, bahasa yang baik tidaklah selalu benar, sebaliknya,
bahasa yang benar tidaklah selalu baik. Jadi, penggunaan bahasa Indonesia
yang baik dan benar semestinya mempertimbangkan situasi atau konteks
kebahasaan yang dihadapi, di samping kaidah-kaidah bahasa Indonesia yang
telah dibakukan.
Bertolak dari uraian tersebut, terdapat dua syarat utama yang harus
dipenuhi oleh setiap pengguna bahasa Indonesia agar bahasa yang
digunakannya itu baik dan benar. Kedua syarat tersebut, yaitu (1) memahami
kaidah bahasa Indonesia dan (2) memahami situasi kebahasaan yang
dihadapi (Sudiara, 2006:112). Dalam sebuah situasi resmi, tuntutan terhadap
pemahaman kaidah kebahasaan akan dirasakan semakin besar jika
dibandingkan dengan situasi tidak resmi. Pengguna bahasa dalam situasi
resmi dituntut mampu menggunakan bahasa baku dan menerapkan ekonomi
bahasa.
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 84
5.1 Kaidah dan Situasi Kebahasaan
Beberapa Kaidah Dasar Bahasa Indonesia
(1) Susunan kata bahasa Indonesia mengikuti hukum DM (diterangkan-
menerangkan)
Susunan kata bahasa Indonesia mengikuti hukum DM berarti bahwa
kata yang penting (diterangkan) disebutkan atau dituliskan lebih dulu,
sesudah itu barulah bagian keterangannya. Berpegangan pada hukum
tersebut, jelaslah bahwa susunan kata lain kali, lanjut usia, dan sejenisnya
bukanlah susunan yang benar. Susunan seperti itu, yang mendahulukan
susunan yang menerangkan daripada yang diterangkan, merupakan susunan
kata dalam bahasa Indo-German (seperti bahasa Inggris, Belanda, dan
Jerman). Dalam usaha berbahasa Indonesia yang baik dan benar,
penggunaan kata-kata tersebut harus diganti atau diubah susunannya
menjadi kali lain dan usia lanjut.
Akan tetapi, sebagaimana umumnya, kaidah bahasa itu tidak mutlak
sifatnya. Dalam hal ini, susunan diterangkan-menerangkan tersebut pun
mempunyai kekecualian. Kekecualian hukum tersebut antara lain terdapat
pada frase-frase berikut:
a) Kata depan, seperti dalam
- Nike berasal dari desa.
- Violin pergi ke kampus.
b) Kata bilangan, seperti dalam
- Semua orang harus membayar pajak.
- Wili memiliki lima buah bola.
c) Kata keterangan, seperti dalam
- Mereka sedang berdiskusi.
- Anak itu sangat nakal.
d) Kata kerja bantu, seperti dalam
- Saya pasti datang.
- Para undangan mau pulang.
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 85
e) Kata majemuk, seperti dalam
- keras hati
- besar kepala
f) Kata majemuk dari bahasa asing, seperti dalam
- mahasiswa
- purbakala
(2) Tidak mengenal perubahan bentuk kata benda akibat penjamakan
Untuk menyatakan jamak atau banyak, bahasa Indonesia
menggunakan reduplikasi atau pengulangan kata (seperti kertas-kertas dan
batu-batu) serta kata bilangan jamak, baik kata bilangan tentu (seperti dua,
empat, lima, seratus) maupun kata bilangan tidak tentu (seperti beberapa,
sejumlah, sebagian, sekelompok). Dengan demikian, yang ada dalam bahasa
Indonesia adalah bentukan lima ekor ayam, sepuluh buah rumah, dan
beberapa orang mahasiswa; bukan lima ekor ayam-ayam, sepuluh buah
rumah-rumah, dan beberapa orang mahasiswa-mahasiswa.
Di samping itu, dalam bahasa Indonesia dikenal pula kata-kata tertentu
yang mengandung pengertian jamak, seperti gabungan, rombongan, para,
daftar, kaum, regu, ikatan, dan persatuan. Oleh karena itu, apabila sudah ada
salah satu kata penunjuk jamak tersebut, kata benda di belakangnya atau
yang mengikutinya tidak boleh diulang atau dijamakkan lagi. Dengan begitu
menurut aturan bahasa Indonesia, yang benar adalah bentukan para peneliti,
regu penembak, ikatan mahasiswa, dan rombongan petani; bukan para
peneliti-peneliti, regu penembak-penembak, ikatan mahasiswa-mahasiswa,
dan rombongan petani-petani.
Dalam bahasa Indonesia sehari-hari sering pula dijumpai bentuk-
bentuk para alumni, kaum politisi, rombongan musisi, dan regu medisi.
Karena kata-kata alumni, politisi, musisi, dan medisi sudah menunjukkan
pengertian jamak dari kata-kata alumnus, politikus, musikus, dan medikus,
menurut aturan bahasa Indonesia, bentukan yang benar cukup dengan
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 86
mengatakan para alumnus atau alumni, kaum politikus atau politisi,
rombongan musikus atau musisi, dan regu medikus atau medisi.
(3) Bahasa Indonesia tidak mengenal tingkatan dalam pemakaiannya
Bahasa Indonesia tidak mengenal tingkatan dalam pemakaiannya;
tidak mengenal perubahan bentuk kata kerja sehubungan dengan orang yang
melakukan pekerjaan tersebut. Hal ini tentunya berbeda dengan bahasa-
bahasa daerah yang ada. Dalam bahasa daerah Jawa dan Bali, misalnya,
tingkatan bahasa itu memang ada. Sebagai akibat pengaruh bahasa daerah
yang dijadikan bahasa ibu tersebut, banyak pemakai bahasa Indonesia yang
menyelipkan kata-kata yang dirasa lebih hormat dari bahasa mereka ketika
berbicara dengan lawan tutur yang mereka anggap pantas untuk dihormati
(baik karena usia maupun status sosial). Seperti beberapa contoh kesalahan
berbahasa berikut ini.
a) Atas kerawuhan Bapak-bapak, kami mengucapkan terima kasih.
b) Sebelum ngerayunang, Ratu Peranda diaturi malinggih dulu.
Agar kalimat-kalimat tersebut benar-benar merupakan bahasa Indonesia
baku, sebaiknya diubah menjadi:
a) Atas kedatangan Bapak-bapak, kami mengucapkan terima kasih.
b) Sebelum bersantap, Ratu Peranda disilakan duduk dulu.
Situasi Kebahasaan
Seperti telah dikemukakan, bahasa yang baik haruslah cocok dengan
situasi pemakaiannya. Atas dasar itu, sudah pada tempatnyalah setiap
pemakai bahasa mengetahui benar situasi kebahasaan itu. Dengan
mengetahui situasi kebahasaan dan persyaratan bahasa yang digunakan,
setiap pemakai bahasa dapat menyesuaikan diri dengan keadaan itu. Ada
dua macam situasi kebahasaan, yaitu situasi resmi dan situasi tidak resmi
atau situasi santai.
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 87
(1) Situasi resmi
Situasi resmi merupakan situasi kebahasaan yang berhubungan
dengan masalah-masalah kedinasan dan atau keilmuan. Proses belajar-
mengajar, ceramah, seminar, surat-menyurat resmi, dan pembuatan laporan
adalah beberapa contoh situasi resmi.
(2) Situasi tidak resmi atau situasi santai
Pemakaian bahasa dalam pergaulan sehari-hari yang berhubungan
dengan masalah-masalah pokok yang bersifat keseharian tergolong situasi
kebahasaan yang tidak resmi. Obrolan di pasar, bertegur sapa dengan teman
di jalan, bercanda di kampus adalah beberapa contoh di antara sekian banyak
situasi kebahasaan yang tidak resmi. Pada situasi seperti ini, peranan bahasa
hanya semata-mata sebagai sarana penghubung. Asalkan lawan bicara
memahaminya, sudah memadailah bahasa tersebut.
Bahasa Indonesia Baku
Berbicara mengenai bahasa baku atau bahasa standar berarti kita
berada dalam situasi formal, baik lisan maupun tulisan. Adapun beberapa
fungsi bahasa Indonesia baku atau bahasa Indonesia standar seperti (1)
dipergunakan dalam wacana teknis (seperti dalam proposal penelitian,
makalah seminar, laporan penelitian, dan sebagainya), (2) sebagai sarana
komunikasi resmi (seperti dalam surat-surat keputusan, surat menyurat resmi,
undang-undang, dan sebagainya), (3) dipakai dalam pembicaraan-
pembicaraan keilmuan (seperti dalam proses pembelajaran, berseminar, dan
sebagainya), dan (4) dipakai untuk berbicara dengan orang-orang yang
dihormati termasuk di dalamnya berbicara dengan orang-orang yang belum
akrab atau baru dikenal.
8) Sifat-sifat bahasa baku
a) Kemantapan dinamis
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 88
Kemantapan dinamis berarti kaidah dan aturan bahasa baku tetap.
Bahasa baku tidak dapat berubah setiap saat. Kaidah pembentukan kata
yang memunculkan bentuk-bentuk perasa, petani, perusuh dengan taat
asas harus menghasilkan bentuk: perajin, perusak, petenis, pesepak
bola bukan pengrajin, pengrusak, penenis, pensepak bola/penyepak
bola.
PeN- + l, r, y, w, m, n, ng, ny Pe- (sejalan dengan MeN-)
PeN- + [ k ], g, h, kh, q, x, vokal Peng-
Contohnya: pengupas, penggila, penghapus, pengalus
Selain afiksasi, kesalahan yang juga sering muncul adalah pada
ungkapan penghubung (sifatnya idiomatik, tetap, tidak bisa diganti,
dipertukarkan, atau dikurangi), seperti:
- baik … maupun … (salah : baik … ataupun …)
- antara … dan … (salah : antara … dengan ….)
- tidak … tetapi … (salah : tidak … melainkan ….)
- bukan … melainkan … (salah : bukan … tetapi ….)
b) Cendikia
Ragam baku bersifat cendikia karena dipakai pada tempat-tempat resmi.
Perwujudan dalam kalimat, paragraf, dan satuan bahasa lain yang lebih
besar mengungkapkan penalaran atau pemikiran yang logis, teratur, dan
masuk akal.
c) Seragam
Pada hakikatnya, proses pembakuan bahasa ialah proses
penyeragaman bahasa. Dengan kata lain, pembakuan bahasa adalah
pencarian titik-titik keseragaman.
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 89
9) Beberapa kreteria bahasa baku
a) Memakai ucapan baku
Ucapan baku atau benar berkaitan dengan penggunaan bahasa lisan.
Sampai sekarang pembakuan pelafalan agak sulit dilakukan. Sebagai
acuan, pelafalan yang baik adalah pelafalan yang tidak terpengaruh oleh
ucapan-ucapan bahasa daerah dan ucapan asing.
b) Mamakai ejaan resmi
c) Pemakaian fungsi gramatikal (subjek, predikat, ….) secara eksplisit dan
konsisten.
d) Pemakaian konjungsi bahwa atau karena (bila diperlukan) secara
eksplisit dan konsisten.
Tidak Baku Baku
Dia tidak percaya tanahnya telah habis terjual.
Dia tidak percaya bahwa tanahnya telah habis terjual.
Dia tidak masuk dia sakit. Dia tidak masuk karena sakit.
e) Menghindari pemakaian bentuk-bentuk mubazir atau bersinonim
Contohnya:
para ibu-ibu, banyak orang-orang, para hadirin sekalian,
serangkaian lagu-lagu, hanya….saja, sangat …. sekali, kalau
seandainya, adalah merupakan, demi untuk, seperti misalnya, dan
sebagainya.
f) Pemakaian awalan meN- atau ber (kalau ada) secara eksplisit dan
konsisten
Tidak Baku Baku
Anak-anak tamatan SMA banyak kerja di toko.
Anak-anak tamatan SMA banyak bekerja di toko.
Mereka aniaya orang itu. Mereka menganiaya orang itu.
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 90
g) Penggunaan partikel lah, kah, pun (bila ada) secara konsisten.
Tidak Baku Baku
Kerjakan tugas itu dengan baik.
Kerjakanlah tugas itu dengan baik.
Harga BBM naik, harga barang lain naik.
Harga BBM naik, harga barang lain pun naik.
h) Penggunaan kata depan “di” dan “pada” secara tepat
Badudu (1989:139) memberikan aturan penggunaan kata depan pada
dan di sebagai berikut.
Kata pada digunakan:
1) di depan kata ganti orang: pada saya, pada kami, pada ibu;
2) di depan kata bilangan: pada seorang murid, pada suatu hari, pada
sebuah negeri; dewasa ini orang mengatakan: di suatu hari, di
sebuah negeri, pemakaian di tersebut mengakibatkan kata depan
pada sulit dipertahankan, sehingga boleh memilih di atau pada.
3) di depan kata yang menyatakan waktu: pada malam itu, pada saat
itu, pada zaman seperti sekarang ini;
4) di depan kata benda abstrak: pada pikiranku, pada pertimbangan
kami. Pada kata benda bilangan abstrak kata pada biasanya
diganti dengan kata menurut: menurut pendapat saya; menurut
pertimbangan kami.
Kata depan di digunakan di depan kata benda: di toko, di pasar, di
dinding, dan juga untuk menyatakan tempat: di samping, di depan.
i) Pemakaian pola: aspek–pelaku–tindakan secara konsisten.
Tidak Baku Baku
Prosedur yang benar saya telah lalui.
Prosedur yang benar telah saya lalui. (Saya telah melaui prodedur yang benar)
Saya akan cari orang itu. Akan saya cari orang itu. (Saya akan mencari orang itu)
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 91
5.2 Aneka Kesalahan dalam Berbahasa Indonesia
Kesalahan berbahasa dilihat dari efek komunikasi dapat dipilih ke
dalam dua kategori, yaitu kesalahan lokal dan kesalahan global. Kesalahan
lokal adalah tipe kesalahan berbahasa yang efeknya tidak mengganggu
pemahaman mitra tutur, sedangkan kesalahan global adalah tipe kesalahan
berbahasa yang menimbulkan kesalahan pemahaman pada mitra tutur.
Dilihat dari sudut pandang perkembangan bahasa, kedua kategori kesalahan
ini berdampak tidak baik bagi bahasa Indonesia. Pada paparan berikut,
dipaparkan beberapa berbahasa dalam suatu peristiwa komunikasi. Cobalah
untuk mengelompokkan kesalahan-kesalahan tersebut jika ditinjau dari efek
komunikasi yang ditimbulkan.
Kalimat Kontaminasi
Istilah kontaminasi dipungut dari bahasa Inggris contamination
(pencemaran). Dalam ilmu bahasa, kata itu diterjemahkan dengan
'kerancuan'. Rancu artinya 'kacau' dan kerancuan artinya 'kekacauan'.
Kontaminasi dapat terjadi dalam tataran bentukan kata, susunan kata, dan
kalimat. Kekacauan terjadi karena dua pikiran yang masing-masing berdiri
sendiri (dan benar) dijadikan satu perserangkaian baru yang tidak
berpadanan. Oleh karena itu, bentukan bahasa yang kacau ini dapat
dikembalikan menjadi dua bentukan yang benar.
Gejala kontaminasi timbul karena dua kemungkinan, yaitu:
1) Orang kurang menguasai penggunaan bahasa yang tepat, baik dalam
menyusun kalimat, frase atau dalam mempergunakan beberapa
imbuhan sekaligus untuk membentuk kata.
2) Kontaminasi terjadi tak dengan sengaja karena ketika seseorang akan
menuliskan atau mengucapkan sesuatu, dua pengertian atau dua
bentukan yang sejajar timbul sekaligus dalam pikirannya sehingga
yang dilahirkannya itu sebagian diambilnya dari yang pertama dan
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 92
bagian yang lain diambilnya dari yang kedua. Gabungan ini melahirkan
susunan yang kacau (Badudu, 1981 ).
Pada contoh berikut ini segera dapat diidentifikasi bahwa butir a merupakan
bentukan yang rancu, sedangkan butir b dan c adalah perbaikannya.
Contoh kontaminasi bentukan kata:
a) Mereka mengenyampingkan pendapat orang tuanya.
b) Mereka menyampingkan pendapat orang tuanya.
c) Mereka mengesampingkan pendapat orang tuanya.
(bentukan yang sama untuk memperlebarkan [yang benar: memperlebar dan
melebarkan], dipertinggikan [dipertinggi dan ditinggikan])
Contoh kontaminasi susunan kata:
a) Dia seringkali membolos.
b) Dia sering membolos.
c) Dia berkali-kali membolos.
(susunan kata yang sama untuk acapkali [acap dan berkali-kali], berulang kali
[berulang-ulang dan berkali-kali], dan lain sebagainya [dan lain-lain dan dan
sebagainyai])
Contoh kontaminasi kalimat:
a) Di sekolah murid-murid dilarang tidak boleh merokok.
b) Di sekolah murid-murid dilarang merokok.
c) Di sekolah murid-murid tidak boleh merokok.
Kalimat Pleonastis
Suatu kalimat dikatakan pleonastis jika kalimat itu mengandung sifat
berlebih-lebihan. Setidaknya ada empat penyebab terjadinya kalimat
pleonastis, yaitu:
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 93
1) dalam satu frase terdapat dua atau lebih ungkapan kata yang
bersinonim;
2) bentuk jamak yang dinyatakan dua kali;
3) pengertian suatu kata sudah terkandung dalam kata yang lain
pembentuk frasa itu; dan
4) kata penanda jamak diikuti oleh bentukan jamak.
Contoh:
a) Demi untuk kekasihnya, dia mau melakukan apa saja. (tidak baku)
b) Demi kekasihnya, dia mau melakukan apa saja. (baku)
c) Untuk kekasihnya, dia mau melakukan apa saja. (baku)
d) Para hadirin dimohon berdiri. (tidak baku)
e) Hadirin dimohon berdiri. (baku)
f) Para undangan dimohon berdiri. (baku)
g) Mereka menabung di Bank BNI. (tidak baku)
h) Mereka menabung di BNI. (baku)
Kalimat Ambigu
Ambiguitas berasal dari bahasa Inggris yaitu ambiguity yang berarti
suatu konstruksi yang dapat ditafsirkan lebih dari satu arti. Ambiguitas sering
juga disebut ketaksaan. Ketaksaan dapat diartikan atau ditafsirkan memiliki
lebih dari satu makna akan sebuah konstruksi sintaksis. Tidak dapat
dipungkiri keambiguan yang mengakibatkan terjadinya lebih dari satu makna
ini dapat terjadi saat pembicaraan lisan ataupun dalam keadaan tertulis.
Saat pembicaraan lisan mungkin dapat diantisipasi dengan
pengucapan yang agak perlahan, sedangkan untuk yang tertulis apabila
kurang sedikit saja tanda baca maka kita akan menafsirkan suatu kalimat atau
kata menjadi berbeda dari makna yang diinginkan oleh penulis.
Contoh:
a) Mobil dekan yang baru itu sudah diganti.
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 94
Terhadap kalimat tersebut, bisa ditanyakan, apakah yang baru itu
mobil atau dekan. Apabila yang baru itu dekan, kalimat itu selayaknya disusun
menjadi Mobil dekan-baru itu sudah diganti. Pada sisi lain, jika yang baru
adalah mobil, kalimat itu semestinya disusun menjadi Mobil-baru dekan itu
sudah diganti.
Pada contoh-contoh berikut, bagaimanakah Anda menafsirkannya?
b) Rumah sang jutawan yang aneh itu akan dijual.
c) Istri kapten yang nakal itu mengalami kecelakaan.
d) Made bagus mencintai istrinya, saya juga.
e) Kucing makan tikus mati.
f) Mereka sangat menyukai lukisan Bung Karno.
Kalimat Paralel
Kesejajaran satuan dalam kalimat, menempatkan ide atau gagasan
yang sama penting dan sama fungsinya ke dalam struktur atau bentuk
gramatis. Jika sebuah gagasan (ide) dalam suatu kalimat dinyatakan dengan
frase (kelompok kata), maka gagasan lain yang sederajat harus dinyatakan
dengan frase. Jika sebuah gagasan dalam suatu kalimat dinyatakan dengan
kata benda (misalnya pe-an, ke-an), maka gagasan yang lain harus sederajat
dengan kata benda juga. Demikian halnya bila sebuah gagasan dalam suatu
kalimat dinyatakan dengan kata kerja (misalnya bentuk me-kan, di-kan) maka
gagasan lainnya yang sederajat harus dinyatakan dengan jenis kata yang
sama. Kesejajaran (paralelisme) membantu memberi kejelasan kalimat
secara keseluruhan.
Perhatikan contoh berikut ini!
Penyakit aids adalah salah satu penyakit yang paling mengerikan dan
berbahaya, sebab pencegahan dan pengobatannya tidak ada yang tahu.
Dalam kalimat di atas penggunaan yang sederajat ialah kata
mengerikan dengan berbahaya dan kata pencegahan dengan
pengobatannya. Oleh sebab itu, bentuk yang dipakai untuk kata-kata yang
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 95
sederajat dalam kalimat di atas harus sama (paralel) sehingga kalimat itu kita
tata kembali menjadi kalimat di bawah ini.
Penyakit Aids adalah salah satu penyakit yang paling mengerikan dan
membahayakan, sebab pencegahan dan pengobatannya tak ada yang
tahu.
Kalimat Tidak Logis
Yang dimaksud dengan kelogisan ialah ide kalimat itu dapat diterima
oleh akal dan sesuai dengan kaidah yang berlaku. Kelogisan berhubungan
dengan penalaran, yaitu proses berpikir untuk menghubung-hubungkan fakta
yang ada sehingga sampai pada suatu simpulan. Dengan perkataan lain,
penalaran (reasoning) ialah proses mengambil simpulan (conclicusion,
interference) dan bahan bukti atau petunjuk (evidence) ataupun yang
dianggap bahan bukti atau petunjuk (Moeliono, 1988: 124-125).
Contoh:
(1) Mayat wanita yang ditemukan itu sebelumnya sering mondar-mandir
di daerah tersebut.
Jika kita bertanya, “Siapa yang mondar-mandir?”, tentu jawabannya
mayat wanita. Jelaslah bahwa kalimat tersebut salah nalar. Kalimat itu berasal
dari dua pernyataan, yaitu (1) Mayat wanita ditemukan di kompleks itu dan (2)
Sebelum menjadi mayat, wanita itu sering mondar-mandir. Penulis
menggabungkan kedua kalimat tersebut tanpa mengindahkan pikiran yang
jernih sehingga lahirlah kalimat yang tidak logis. Untuk memperjelas
pemahaman kita mengenai kalimat tidak logis dapat diperhatikan contoh
berikut ini.
(2) Bapak pemakalah, waktu dan tempat kami silakan.
(3) Untuk menyingkat waktu, kita lanjutkan acara ini.
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 96
Kalimat (2) tersebut tidak logis karena waktu dan tempat adalah benda mati
yang tidak dapat dipersilakan. Sementara itu, pada kalimat (3),
ketidaklogisannya terletak pada menyingkat waktu. Waktu tidak dapat
disingkat namun dapat dihemat. Oleh karena itu, kedua kalimat tersebut akan
menjadi logis jika diubah sebagai berikut.
(4) Bapak, kami persilakan untuk menyampaikan makalah.
(5) Untuk menghemat waktu, kita lanjutkan acara ini.
Ringkasan
Bahasa Indonesia yang baik dan benar adalah bahasa Indonesia yang
sesuai dengan situasi dan kaidah kebahasaan. Situasi kebahasaan dapat
dipilah menjadi dua bagian, yaitu situasi santai dan situasi resmi. Sementara
kaidah dasar bahasa Indonesia menyangkut hukum DM, tidak mengenal
perubahan bentuk kata akibat penjamakan, dan tidak mengenal tingkatan.
Penggunaan bahasa Indonesia di ruang resmi tidak bisa dilepaskan dari
bahasa baku. Oleh karena itu, penguasaan sifat dan kaidah bahasa baku
menjadi hal yang mutlak diperlukan.
Dilihat dari efek komunukasi kesalahan berbahasa dapat dikategorikan
ke dalam kategori kesalahan lokal dan global. Kesalahan lokal adalah
kesalahan yang efek komunikasinya tidak menyebabkan kesalahpahaman,
sedangkan kesalahan global sebaliknya, yaitu dapat menyebabkan adanya
kesalahpahaman. Aneka kesalahan yang sering terjadi seperti kesalahan
berupa kalimat kontaminasi, pleonasti, ambigu, paralel, dan tidak logis.
Latihan
1. Jelaskan dan berikan contoh tentang bahasa Indonesia yang baik dan
benar!
2. Lafalkanlah kalimat-kalimat berikut dengan benar:
a) Dia tinggal di Banyuning Blok C.
b) AC di ruang itu terlalu dingin.
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 97
c) Tolong kirimkan pulsa ke nomor 08180054201.
d) Sehabis olahraga tadi, kami minum Coca Cola di warung sebelah.
3. Tunjukkan letak kesalahan, alasan, dan berikan perbaikan terhadap
kalimat-kalimat tidak efektif berikut!
a) Para siswa diharapkan memiliki buku tata bahasa baru.
b) Mereka tidak paham dan mengerti masalah politik.
c) Jalan-jalan di pagi hari menyehatkan badan.
d) Untuk itu, waktu dan tempat kami persilakan.
e) Saya melihatnya dengan mata kepala sendiri.
4. Catatlah kesalah-kesalahan berbahasa yang ditemukan pada ruang-
ruang publik dan perbaiki sehingga menjadi bahasa Indonesia yang baik
dan benar!
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 98
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 99
BAB 6
Karya Ilmiah dan Plagiarisme
Pengantar
Harus diakui bahwa tidak semua orang memiliki kegemaran untuk
menulis. Namun, harus disadari bahwa mau tidak mau, suka tidak suka
mahasiswa akan berhadapan dengan kegiatan menulis, yaitu menulis karya
ilmiah yang dapat berupa makalah, artikel, proposal, laporan, dan
sebagainya. Bagi mahasiswa yang biasa menulis, menulis karya ilmiah dapat
menjadi tantangan tersendiri, namun bagi mahasiswa yang tidak terbiasa,
menulis karya ilmiah sering dianggap sebuah rintangan besar. Menulis karya
ilmiah dianggap sebagai sesuatu yang sulit dilakukan. Untuk mengenal karya
ilmiah lebih dekat, pada bab ini kita akan melihat berbagai jenis karya ilmiah
dan komponen-komponennya. Selain itu, hal penting yang juga harus diingat
dan diikuti dalam menulis karya ilmiah adalah etika dalam penulisan ilmiah
6.1 Etika Penulisan Ilmiah: Mengenal dan Menghindari
Plagiarisme
Beberapa waktu belakangan istilah ‘plagiarisme’ atau ‘plagiat’ sering
kita dengar. Berbagai kasus yang terjadi menjadi perhatian kita bersama.
Dalam Peraturan Menteri Pendidikan RI Nomor 17 Tahun 2010 dinyatakan
bahwa plagiat adalah perbuatan sengaja atau tidak sengaja dalam
memperoleh atau mencoba memperoleh kredit atau nilai untuk suatu karya
ilmiah, dengan mengutip sebagian atau seluruh karya dan atau karya ilmiah
pihak lain yang diakui sebagai karya ilmiahnya, tanpa menyatakan sumber
secara tepat dan memadai. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008)
Plagiat diartikan sebagai pengambilan karangan (pendapat dan sebagainya)
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 100
orang lain dan menjadikannya seolah-olah karangan (pendapat) sendiri. Jadi,
Plagiarisme atau plagiat adalah penjiplakan atau pengambilan karangan,
pendapat, dan sebagainya dari orang lain dan menjadikannya seolah
karangan dan pendapat sendiri. Plagiat dapat dianggap sebagai tindak pidana
karena mencuri hak cipta orang lain. Beberapa tipe plagiarisme adalah
sebagai berikut.
1) Plagiarisme kata demi kata (Word for word Plagiarism): mengutip karya
orang lain secara kata demi kata tanpa menyebutkan sumbernya.
Plagiarisme dianggap terjadi karena skala pengutipannya sangat
substansial sehingga seluruh idea atau gagasan penulisnya benar-benar
terambil.
2) Plagiarisme kepengarangan (Plagiarism of Authorship): terjadi apabila
seseorang mengaku sebagai pengarang dari karya tulis yang disusun oleh
orang lain. Tindakan ini terjadi atas kesadaran dan motif kesengajaan
untuk “membohongi” publik. Misalnya, mengganti cover (sampul) buku
atau karya tulis orang lain dengan sampul atas namanya sendiri.
3) Plagiarisme atas sumber (Plagiarism of Source): menggunakan gagasan
orang lain tanpa memberikan pengakuan yang cukup (tanpa menyebutkan
sumbernya secara jelas).
4) Swaplagiat (Self Plagiarism): termasuk dalam tipe ini adalah penulis
mempublikasikan satu artikel pada lebih dari satu redaksi publikasi.
Termasuk swaplagiaat adalah memproduksi karya tulis yang pernah
dibuat sendiri untuk memenuhi suatu tugas mata kuliah lain tanpa
perubahan yang signifikan.
Plagiarisme kerap terjadi di sekitar kita karena beberapa hal, di
antaranya adalah:
1) Keterbatasan waktu untuk menulis karya ilmiah. Hal ini mendorong
seseorang menyalin tempel (copy paste) karya orang lain. Untuk
menghindari hal ini, mahasiswa hendaknya dapat membagi waktu dengan
baik agar tugas-tugas kuliah dapat dikerjakan secara bertahap dan berurut
sesuai dengan waktu dan tuntutan tugas kuliah. Sering terjadi, mahasiswa
tidak mengerjakan tugas di waktu yang tersedia dan baru mengerjakannya
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 101
di akhir-akhir tenggang waktu pengumpulan tugas. Hal ini mengakibatkan
mahasiswa kewalahan dan semakin merasa ‘terdesak’ dengan adanya
tugas dari mata kuliah lain yang juga harus diserahkan.
2) Kurang paham tentang tata cara mengutip. Hal ini jamak terjadi pada
mahasiswa. Sebagai contoh, saat menulis makalah, mahasiswa jarang
yang menggunakan teknik mengutip saat menggunakan ide atau gagasan
orang yang diperoleh dari buku atau sumber lain. Mahasiswa menulis
seolah pernyataan atau gagasan tersebut adalah gagasannya sendiri.
Untuk itu, pada buku ini juga dijelaskan tentang teknik melakukan kutipan
dan daftar pustaka.
3) Rendahnya minat membaca. Hal ini dapat mendorong seseorang ingin
melakukan cara mudah untuk menyelesaikan suatu karya ilmiah, yakni
dengan cara mengambil potongan karya orang lain untuk digabungkan
dengan karya-karya sejenis lainnya dan mengklaim sebagai karya sendiri.
4) Kurangnya perhatian guru atau dosen terhadap plagiarisme. Untuk
mengurangi dan menghilangkan plagiarisme, guru dan dosen memiliki
peran penting untuk memberikan pemahaman dan mengecek karya ilmiah
yang dibuat oleh peserta didiknya.
6.2 Hakikat Karya Ilmiah
Karya ilmiah adalah suatu karya yang memuat dan mengkaji suatu
masalah tertentu dengan menggunakan kaidah-kaidah keilmuan (Prayitno
dkk.,2000:14; Djuroto dan Suprijadi, 2005:12). Sesuai dengan definisi itu,
esensi dari karya ilmiah adalah mengkaji suatu masalah. Selajutnya dalam
mengkaji masalah itu menggunakan kaidah-kaidah pengetahuan. Brotowijoyo
(1985:8-9) menyatakan bahwa karya ilmiah adalah karya berdasarkan ilmu
pengetahuan yang menyajikan fakta umum dan ditulis menurut metodologi
penulisan yang baik dan benar. Beranjak dari pendapat-pendapat tersebut
dapat ditarik simpulan bahwa karya ilmiah adalah karya tulis yang menyajikan
gagasan, deskripsi atau pemecahan masalah secara sistematis, disajikan
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 102
secara objektif dan jujur, dengan menggunakan bahasa baku, serta didukung
oleh fakta, teori, dan atau bukti-bukti empirik.
Istilah “ilmiah” yang mengikuti kata “karya” menunjukkan bahwa karya
ilmiah merupakan sebuah karya yang disusun secara ilmiah, mengikuti
standar keilmuan tertentu, dan harus disusun dengan format yang sangat
baku. Karya ilmiah harus disusun dengan mengikuti langkah-langkah metode
ilmiah, yaitu (1) menemukan masalah; (2) merumuskan hipotesis; (3)
mengumpulkan data; (4) mengambil simpulan; dan (5) menguji simpulan
kembali (Martono, 2012). Metode ilmiah tersebut merupakan roh sebuah
proses penulisan karya ilmiah. Penulisan semua bentuk karya ilmiah pasti
akan melewati proses-proses tersebut.
Karya ilmiah memiliki sejumlah karakteristik, yaitu:
(1) Mengacu kepada teori
Artinya karangan ilmiah wajib memiliki teori yang dijadikan sebagai
landasan berpikir/kerangka pemikiran/acuan dalam pembahasan
masalah.
Fungsi teori:
a) tolok ukur pembahasan dan penjawaban persoalan;
b) dijadikan data sekunder/data penunjang (data utama: fakta);
c) digunakan untuk menjelaskan, menerangkan, mengekspos dan
mendeskripsikan suatu gejala;
d) digunakan untuk mendukung dan memperkuat pendapat penulis.
(2) Berdasarkan fakta
Artinya setiap informasi dalam kerangka ilmiah selalu apa adanya,
sebenarnya, dan konkret.
(3) Logis
Artinya setiap keterangan dalam karya ilmiah selalu dapat ditelusuri,
diselidiki dan diusut alasan-alasannya, rasional dan dapat diterima akal.
(4) Objektif
Artinya dalam karya ilmiah semua keterangan yang diungkapkan tidak
pernah subjektif, senantiasa faktual dan apa adanya, serta tidak
diintervensi oleh kepentingan baik pribadi maupun golongan.
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 103
(5) Sistematis
Baik penulisan atau penyajian maupun pembahasan dalam karangan
ilmiah disajikan secara teratur, kronologis, sesuai dengan prosedur dan
sistem yang berlaku, terurut, dan tertib.
(6) Valid
Artinya baik bentuk maupun isi karangan ilmiah sudah sah dan benar
menurut aturan ilmiah yang berlaku.
(7) Jelas
Artinya setiap informasi dalam karangan ilmiah diungkapkan sejernih-
jernihnya, gamblang, dan sejelas-jelasnya sehingga tidak menimbulkan
pertanyaan dan keraguan-raguan dalam benak pembaca.
(8) Seksama
Baik penyajian maupun pembahasan dalam karangan ilmiah dilakukan
secara cermat, teliti, dan penuh kehati-hatian agar tidak mengandung
kesalahan betapapun kecilnya.
(9) Tuntas
Pembahasan dalam karangan ilmiah harus sampai ke akar-akarnya.
Jadi, supaya karangan tuntas, pokok masalah harus dibatasi, tidak boleh
terlalu luas.
(10) Bahasanya Baku
Bahasa dalam kerangka ilmiah harus baku artinya harus sesuai dengan
bahasa yamg dijadikan tolok ukur atau standar bagi betul tidaknya
penggunaan bahasa.
(11) Penulisan sesuai dengan aturan standar (nasional atau internasional).
Akan tetapi, tata cara penulisan laporan penelitian yang berlaku di
lembaga tempat penulis bernaung tetap harus diperhatikan.
6.3 Jenis-Jenis Karya Ilmiah
Jenis-jenis karya ilmiah setidaknya dapat dikelompokkan menjadi empat,
yaitu (1) paper dan makalah, (2) laporan praktikum, (3) artikel, dan (4) tugas
akhir.
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 104
(1) Paper dan Makalah
Paper dan Makalah merupakan rumusan atau simpulan pemikiran
sebagai hasil telaah atau pengkajian sederhana dari sebuah referensi
bacaan, pemikiran tokoh, ilmuwan atau penulis sebelumnya. Karya
ilmiah jenis ini biasa diberikan oleh dosen atau guru kepada mahasiswa
atau siswanya. Tujuannya adalah untuk memberikan ruang bagi peserta
didik dalam menuangkan gagasan ilmiahnya untuk mengasah
kemampuan intelektualnya dalam menanggapi permasalahan yang
berkembang. Makalah biasanya disajikan dalam forum seminar,
lokakarya, workshop, dan sejenisnya. Sering dikatakan bahwa paper
merupakan bentuk karya ilmiah yang lebih ringkas dari makalah.
(2) Laporan praktikum
Laporan praktikum biasanya merupakan laporan tertulis dari
serangkaian kegiatan praktikum yang telah dilakukan oleh seorang atau
sekelompok siswa/mahasiswa. Dalam menuliskan laporan unsur
kronologis menjadi sangat penting karena praktik kerja baik di lapangan
maupun di laboratorium terdiri atas tahapan-tahapan yang sistematis
yang harus dilaporkan secara sistematis juga. Dengan demikian penulis
laporan praktikum dituntut untuk menyampaikan sebuah kegiatan secara
sistematis, runtut, dan terperinci.
(3) Artikel
Artikel merupakan gagasan tertulis dari penulis tentang suatu
permasalahan yang didasarkan pada kajian pustaka atau hasil
penelitian. Artikel merupakan diseminasi pemikiran dari ahli atau
seseorang yang secara intens mengamati permasalahan tertentu. Artikel
hampir mirip dengan makalah, yang membedakan adalah ruang
publikasinya. Apabila makalah disampaikan dalam forum seminar atau
workshop, artikel dipublikasikan di media massa baik jurnal ilmiah
maupun media massa seperti koran atau majalah, yang biasa disebut
artikel ilmiah populer.
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 105
(4) Tugas akhir
Baik skripsi (tingkat S1), thesis (S2) maupun disertasi (S3) merupakan
karya ilmiah yang ditujukan untuk mengakhiri studi di perguruan tinggi.
Tugas akhir biasanya berupa hasil penelitian dari bidang tertentu (sesuai
jurusan atau program studi yang diambil) yang kemudian diujikan secara
lisan untuk memperoleh derajat kelulusan dan kelayakan karya tersebut.
Pengelompokan mengenai jenis karya ilmiah lain dilakukan dengan
membedakannya dari segi materi, susunan, tujuan, serta panjang-pendeknya
karya tulis ilmiah tersebut. Penentuan jenis atau macam karya ilmiah
biasanya disesuaikan dengan peruntukan karya ilmiah tersebut. Djuroto dan
Suprijadi (2005:24) secara garis besar mengklasifikasikan karya ilmiah
menjadi dua, yaitu karya ilmiah pendidikan dan karya ilmiah penelitian.
(1) Karya ilmiah pendidikan
(a) Karya ilmiah pendidikan digunakan untuk tugas meresume
pembelajaran serta sebagai prasyarat mencapai suatu gelar
pendidikan. Karya ilmiah pendidikan terdiri atas:
- Paper atau makalah
- Pra skripsi (untuk memperoleh gelar sarjana muda)
- Skripsi
- Tesis
- Disertasi
(b) Karya ilmiah panduan
- Panduan pengajaran (textbook)
- Buku pegangan (handbook)
- Buku pelajaran (diklat)
(c) Karya ilmiah referensi
- Kamus
- Ensiklopedi
(2) Karya ilmiah penelitian
(a) Makalah seminar
(b) Laporan hasil penelitian
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 106
(c) Jurnal penelitian
6.4 Sistematika Penulisan Karya Ilmiah
Sampai sekarang format penyajian karya ilmiah belum ada yang baku.
Format karya ilmiah standar LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia)
dengan penulisan skripsi, tesis, ataupun disertasi pada perguruan tinggi tidak
sama. Bahkan, perguruan tinggi yang satu dengan perguruan tinggi yang lain,
dalam menentukan format tulisan ilmiah sering berbeda. Oleh karena itu,
penulis karya ilmiah harus menyadari terlebih dahulu untuk siapa tulisan itu
nanti akan diajukan. Jika penulisan karya ilmiah itu untuk mendapatkan angka
kredit dari LIPI, maka format tulisannya harus mengikuti format LIPI. Demikian
juga karya ilmiah untuk meraih gelar sarjana, format penulisannya mengikuti
format perguruan tinggi.
Meskipun berbeda dalam format penulisannya, penyajian atau
pemaparan suatu karya ilmiah antara LIPI dan perguruan tinggi tetap sama,
yaitu logis dan empiris. Logis artinya masuk diakal, sedangkan empiris artinya
dibahas secara mendalam dengan kaidah-kaidah keilmuah. Berikut ini adalah
contoh sistematika penulisan ilmiah.
BAGIAN AWAL i. Halaman Judul ii. Lembar Persetujuan iii. Abstrak iv. Prakata v. Daftar Isi vi. Daftar Tabel (tentatif) vii. Daftar Gambar (tentatif) viii. Dafar Lampiran (tentatif)
BAGIAN INTI BAB I PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah 2. Rumusan Masalah 3. Tujuan Penelitian 4. Manfaat Penelitian
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 107
BAB II KERANGKA TEORI 1. Landasan Teori 2. Kajian Hasil Penelitian Sejenis 3. Kerangka Berpikir 4. Hipotesis Penelitian (tentatif)
BAB III METODE PENELITIAN 1. Jenis Penelitian 2. Populasi dan Sampel Penelitian 3. Jenis, Sumber, dan Teori Pengumpulan Data 4. Teknik Analisis Data
BAB IV PEMBAHASAN PENELITIAN 1. Gambaran Umum Objek Penelitian 2. Deskripsi Hasil Penelitian 3. Pembahasan
BAB V PENUTUP 1. Simpulan 2. Saran
BAGIAN AKHIR 1. Daftar Pustaka 2. Lampiran
Untuk memenuhi prasyarat memperoleh gelar, seorang mahasiswa
dituntut untuk membuat karya ilmiah berupa tugas akhir (TA)/skripsi.
Pembuatan TA/skripsi diawali dengan pembuatan proposal penelitian.
Proposal penelitian untuk menyusun tugas akhir dan atau skripsi terdiri atas
komponen yang sama (Undiksha, 2009:6). Demikian juga komponen tugas
akhir atau skripsi. Letak perbedaan antara keduanya terletak pada kadar
kedalamannya. Berikut ini dipaparkan komponen-komponen penyusun
proposal dan komponen penyusun TA/skripsi yang berlaku di Undiksha.
(1) Sistematika Proposal Penelitian
A. Halaman Sampul B. Lembar Persetujuan Pembimbing C. Latar Belakang Masalah Penelitian D. Perumusan Masalah Penelitian E. Tujuan Penelitian F. Manfaat Hasil Penelitian
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 108
G. Kajian Teori H. Metode Penelitian I. Jadwal Waktu Penelitian J. Daftar Pustaka
(2) Sistematika Tugas Akhir atau Skripsi LEMBAR ADMINISTRATIF (a) Sampul (b) Halaman Judul (c) Lembar Persetujuan Pembimbing (d) Lembar Persetujuan Penguji (e) Lembar Persetujuan Panitia Ujian (f) Lembar Pernyataan Karya sendiri (g) Lembar Motto (tentatif)
BAGIAN ISI PRAKATA ABSTRAK DAFTAR ISI DAFTAR TABEL (tentatif) DAFTAR GAMBAR (tentatif) DAFTAR LAMPIRAN DAFTAR SINGKATAN (tentatif) BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah 1.2 Perumusan Masalah 1.3 Tujuan Penelitian 1.4 Manfaat Hasil Penelitian 1.5 Penjelasan Istilah (jika dipandang perlu)
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 ………………………………….. 2.2 ………………………………….. 2.3 ………………………………….. 2.4 Hipotesis Penelitian (jika ada)
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Rancangan Penelitian 3.2 Lokasi Penelitian (untuk penelitian kualitatif) 3.3 Subjek Penelitian/Populasi dan Sampel 3.4 Instrumen Penelitian 3.5 Pengumpulan Data 3.6 Analisis Data
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 109
4.2 Pembahasan
BAB V PENUTUP 5.1 Simpulan 5.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
Berikut ini dijabarkan satu per satu bagian laporan TA/skripsi.
Lembar Administratif
(a) Sampul
Sebagai halaman terdepan yang pertama dibaca dari suatu karya ilmiah,
halaman sampul harus dapat memberikan informasi singkat, jelas, dan
tidak bermakna ganda (ambigu) kepada pembaca tentang karya ilmiah
tersebut yang berupa judul, jenis karya ilmiah (skripsi/tesis/disertasi),
identitas penulis, institusi, dan tahun pengesahan.
(b) Halaman Judul
Secara umum informasi yang diberikan pada halaman judul sama
dengan halaman sampul, tetapi pada halaman judul dicantumkan
informasi tambahan, yaitu untuk tujuan dan dalam rangka apa karya
ilmiah itu dibuat.
(c) Lembar Persetujuan
Terdapat tiga lembar halaman persetujuan, yaitu lembar persetujuan
pembimbing, lembar persetujuan penguji, dan lembar persetujuan
panitia ujian. Halaman ini memuat tanggal, bulan, dan tahun
dilaksanakannya ujian, nama pembimbing, nama penguji, nama panitia
ujian, NIP masing-masing pembimbing, penguji, dan panitia ujian.
(d) Lembar Pernyataan Karya Sendiri
Halaman ini berisi pernyataan tertulis dari penulis bahwa tugas akhir
yang disusun adalah hasil karyanya sendiri dan ditulis dengan mengikuti
kaidah penulisan ilmiah.
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 110
(e) Lembar Motto (tentatif)
Lembar motto adalah lembar yang memuat slogan yang mampu
menginspirasi penulis dalam melaksanakan penulisan karya ilmiah pada
khususnya dan menjalankan kehidupan akademik pada umumnya.
Bagian Isi
(a) Prakata
Halaman prakata memuat pengantar singkat atas karya ilmiah. Prakata
memuat ucapan terima kasih atau penghargaan kepada berbagai pihak
yang telah membantu dalam penyusunan tugas akhir. Sebaiknya,
ucapan terima kasih atau penghargaan tersebut juga mencantumkan
bantuan yang mereka berikan, misalnya bantuan dalam memperoleh
masukan, data, sumber informasi, serta bantuan lain dalam
menyelesaikan tugas akhir.
(b) Abstrak
Abstrak merupakan ikhtisar suatu tugas akhir yang memuat
permasalahan, tujuan, metode penelitian, hasil, dan kesimpulan. Abstrak
dibuat untuk memudahkan pembaca mengerti secara cepat isi tugas
akhir dan untuk memutuskan apakah perlu membaca lebih lanjut atau
tidak.
(c) Daftar Isi
Daftar Isi memuat semua bagian tulisan beserta nomor halaman
masing-masing yang ditulis sama dengan isi yang bersangkutan.
(d) Daftar Tabel, Daftar Gambar, Daftar Lampiran, dan Daftar Singkatan
Daftar tabel, gambar, dan singkatan bersifat tentatif atau opsional. Daftar
tabel memuat semua tabel yang ada dalam karya ilmiah yang diurutkan
secara runtut. Begitu pula halnya dengan daftar gambar dan daftar
singkatan yang diurut secara runtut. Sementara itu, daftar lampiran
memuat semua lampiran yang berisikan nomor lampiran, judul lampiran,
dan halaman tempat lampiran itu berada yang juga diurutkan secara
runtut.
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 111
(e) Pendahuluan
(1) Latar Belakang Masalah
Latar belakang masalah mengemukakan kesenjangan antara
harapan dan kenyataan, baik kesenjangan teoritik maupun praktis
yang melatarbelakangi masalah yang diteliti.
(2) Perumusan Masalah
Rumusan masalah adalah suatu pertanyaan yang akan dijawab
dalam sebuah penelitian. Oleh karena itu, hendaknya disusun secara
singkat. Rumusan masalah yang baik akan menampakkan variabel-
variabel yang diteliti, jenis atau sifat hubungan antara variabel
tersebut, dan subjek penelitian. Selain itu, rumusan masalah
hendaknya dapat diuji secara empiris atau dengan kata lain
memungkinkan dikumpulkannya data untuk menjawab pertanyaan
yang diajukan.
Contoh:
(3) Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian mengungkapkan sasaran yang ingin dicapai dalam
penelitian. Isi dan rumusan tujuan penelitian mengacu pada isi dan
rumusan masalah penelitian. Perbedaannya terletak pada cara
merumuskannya. Masalah penelitian dirumuskan dengan
menggunakan kalimat tanya, sedangkan tujuan penelitian dinyatakan
dalam bentuk pernyataan.
1) Faktor-faktor apa sajakah yang menyebabkan kesulitan
belajar siswa kelas VIIE SMPN 5 Negara dalam
pembelajaran keterampilan berbicara?
2) Bagaimanakah strategi guru SMPN 5 Negara untuk
mengatasi faktor penyebab kesulitan belajar siswa kelas
VIIE?
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 112
Contoh:
(4) Manfaat Hasil Penelitian
Manfaat penelitian memuat kontribusi yang diharapkan dari hasil
penelitian itu sendiri. Perumusan manfaat penelitian akan
memperkuat dan meningkatkan kelayakan sebuah pokok persoalan
atau masalah untuk dikaji berdasarkan langkah-langkah akademis.
(5) Penjelasan Istilah
Penjelasan istilah dapat dicantumkan jika penulis merasa ada hal-hal
yang perlu dijelaskan agar penggunaan istilah-istilah tertentu tidak
mengakibatkan perbedaan pandangan atau ambigu antara penulis
dengan pembaca atau antara pembaca dan pembaca yang lain.
(f) Kajian Pustaka
Penelitian sebagai kegiatan ilmiah di dalamnya memerlukan
dugaan atau jawaban sementara sebagai dasar argumentasi dalam
mengkaji persoalan. Dengan cara demikian akan diperoleh jawaban
yang dapat diandalkan. Sebelum mengajukan hipotesis, peneliti wajib
mengkaji teori-teori atau hasil penelitian sebelumnya yang relevan
dengan masalah yang akan diteliti. Dalam mengkaji suatu teori, tidak
hanya teori yang relevan saja, teori yang bertentantan juga diperlukan
sebagai kerangka berpikir peneliti.
Kajian pustaka memuat dua hal pokok. Pertama, deskripsi teoritis
tentang objek (variabel) yang diteliti dan kesimpulan tentang kajian yang
Berdasarkan rumusan masalah yang ingin dipecahkan,
dapat dirumuskan tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut.
1) mendeskripsikan dan menganalisis faktor-faktor
penyebab kesulitan belajar siswa kelas VIIE SMPN 5
Negara dalam pembelajaran keterampilan berbicara.
2) mendeskripsikan dan menganalisis strategi guru SMPN 5
Negara untuk mengatasi faktor penyebab kesulitan
belajar siswa kelas VIIE.
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 113
antara lain berupa argumentasi atas hipotesis yang diajukan dalam bab
yang mendahuluinya. Untuk dapat memberikan deskripsi teoritis
terhadap variabel yang diteliti, diperlukan adanya kajian teori yang
mendalam. Kedua, argumentasi atas hipotesis yang diajukan menuntut
peneliti untuk mengintegrasikan teori yang dipilih sebagai landasan
penelitian dengan hasil kajian mengenai temuan penelitian yang relevan.
Prinsip bahan pustaka yang dikaji didasarkan pada dua kriteria,
yaitu:
(1) Prinsip kemutakhiran, prinsip kemutakhiran penting karena ilmu
pengetahuan terus berkembang dengan cepat. Sebuah teori yang
efektif pada suatu periode mungkin sudah ditinggalkan pada
periode berikutnya. Dengan prinsip kemutakhiran, peneliti dapat
berargumentasi berdasarkan pada teori-teori yang pada waktu itu
dipandang paling representatif. Hal yang serupa juga berlaku
terhadap telaah laporan-laporan penelitian.
(2) Prinsip relevansi, hal ini diperlukan untuk menghasilkan kajian
pustaka yang erat kaitannya dengan masalah yang diteliti.
(g) Metode Penelitian
(1) Rancangan penelitian
Penjelasan mengenai rancangan atau desain penelitian yang
digunakan perlu diberikan untuk setiap jenis penelitian. Rancangan
penelitian diartikan sebagai strategi untuk mengatur latar penelitian
agar peneliti memperoleh data yang valid sesuai dengan
karakteristik variabel dan tujuan penelitian.
(2) Lokasi penelitian
Lokasi penelitian menunjukkan tempat atau letak di mana data
penelitian yang diperlukan itu diambil.
(3) Subjek penelitian/populasi dan sampel
Istilah populasi dan sampel tepat digunakan jika penelitian yang
dilakukan menggunakan sampel sebagai subjek penelitian. Akan
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 114
tetapi jika sasarannya adalah seluruh anggota populasi, akan lebih
cocok digunakan istilah subjek penelitian.
Penjelasan yang akurat tentang karakteristik populasi penelitian
perlu diberikan, agar banyaknya sampel dan cara pengambilannya
dapat ditentukan secara tepat. Tujuannya agar sampel yang dipilih
benar-benar representatif atau dapat mencerminkan keadaan
populasinya secara cermat.
(4) Instrumen penelitian
Pada bagian ini dikemukakan instrumen yang digunakan untuk
mengukur variabel yang diteliti. Setelah itu, baru dipaparkan
prosedur pengembangan instrumen pengumpul data atau alat dan
bahan yang digunakan dalam penelitian. Dengan cara ini akan
terlihat apakah instrumen yang digunakan sesuai dengan variabel
yang diukur, paling tidak ditinjau dari segi isinya.
(5) Pengumpulan data
Bagian ini menguraikan (1) langkah-langkah yang ditempuh dan
teknik yang digunakan untuk mengumpulkan data, (2) kualifikasi dan
jumlah petugas yang terlibat dalam proses pengumpulan data, serta
(3) jadwal waktu pelaksanaan pengumpulan data.
Jika peneliti menggunakan orang lain sebagai pengumpul data,
perlu dijelaskan cara pemilihan serta upaya mempersiapkan mereka
untuk menjalankan tugas. Proses mendapatkan izin penelitian,
menemui pejabat berwenang, dan hal lain yang sejenis tidak perlu
dilaporkan. Walaupun hal ini adalah sesuatu yang tidak dapat
dilewatkan dalam proses pelaksanaan penelitian.
(6) Analisis data
Subbab ini memuat tentang teknik analisis data yang digunakan.
Pemilihan jenis analisis data sangat ditentukan oleh jenis data yang
dikumpulkan dengan tetap berorientasi pada tujuan yang hendak
dicapai atau hipotesis yang hendak diuji. Oleh karena itu, yang lebih
penting untuk diperhatikan dalam analisis data adalah ketepatan
teknik analisisnya, bukan kecanggihannya.
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 115
(h) Hasil Penelitian dan Pembahasan
Bagian ini merupakan laporan hasil penelitian dengan menyajikan
data, fakta, dan temuan berikut pembahasan atau pengembangan dari
temuan penelitian. Hasil penelitian disajikan dalam ragam bahasa tulis
baku dan didukung oleh tabel, grafik, gambar, foto, atau bentuk lain
yang mampu mempertegas atau mempertajam makna hasil penelitian.
Jika terdapat hipotesis, bagian ini merupakan medium pengujian
hipotesis. Untuk itu, pada bagian ini perlu dikemukakan kembali
rumusan hipotesis nol dan hasil pengujiannya beserta penjelasannya
yang dikemukakan secara ringkas dan jelas.
(i) Penutup
Bagian ini terdiri atas dua sub, yaitu simpulan dan saran. Isi
simpulan harus terkait langsung dengan rumusan masalah dan tujuan
penelitian. Dengan kata lain, simpulan terikat secara substantif terhadap
temuan-temuan penelitian yang mengacu pada tujuan yang telah
ditetapkan sebelumnya. Simpulan juga dapat ditarik dari hasil
pembahasan, namun yang benar-benar relevan dan mampu
memperkaya temuan penelitian yang diperoleh.
Sementara itu, saran yang diajukan hendaknya selalu bersumber
pada temuan penelitian, pembahasan, dan kesimpulan hasil penelitian.
Saran hendaknya tidak ke luar dari batas-batas lingkup dan implikasi
penelitian. Saran yang baik dapat dilihat dari rumusannya yang bersifat
rinci dan operasional. Artinya, jika orang lain hendak melaksanakan
saran tersebut ia tidak mengalami kesulitan dalam menafsirkan atau
melaksanakannya. Saran dapat ditujukan kepada sebuah intitusi
perguruan tinggi, pemerintah atau swasta, atau pihak lain yang dianggap
layak.
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 116
(j) Daftar Pustaka
Istilah lain untuk daftar pustaka adalah daftar rujukan. Dalam daftar
rujukan bahan pustaka yang dimasukkan harus sudah dimasukkan
dalam teks sebelumnya. Artinya, bahan pustaka yang dipakai sebagai
bahan bacaan akan tetapi tidak dirujuk dalam teks tidak perlu
dimasukkan dalam daftar pustaka. Sebaliknya untuk semua bahan
pustaka yang telah disebutkan dalam teks, harus tercantum dalam daftar
pustaka.
(k) Lampiran
Lampiran hendaknya berisi keterangan-keterangan yang dipandang
penting untuk sebuah karya ilmiah, misalnya instrumen penelitian, data
mentah, hasil penelitian, rumus-rumus statistik yang diperlukan, hasil
perhitungan statistik, surat izin dan bukti telah melaksanakan penelitian,
serta lampiran lain yang dianggap perlu. Untuk mempermudah
pemanfaatnya, setiap lampiran harus diberi nomor urut lampiran dengan
menggunakan angka Arab.
Selain membuat laporan untuk tugas akhir, mahasiswa juga dituntut
mampu menyusun artikel. Telah dibahas pada paparan sebelumnya bahwa
artikel merupakan gagasan tertulis dari penulis tentang suatu permasalahan
yang didasarkan pada kajian pustaka atau hasil penelitian. Pada era 50-an,
masyarakat Eropa dan Amerika berpandangan bahwa setiap tulisan yang
dimuat di media cetak disebut artikel. Namun, setelah profesi tulis-menulis
berkembang, mulailah dibedakan antara tulisan yang berisi peristiwa dan
proses (feature), tulisan yang berisi pendapat (opini), dan artikel. Feature
merupakan bentuk tulisan yang berupa berita, sedangkan opini merupakan
gagasan pribadi penulis (KBBI, 2005:308). Sementara itu, artikel diartikan
sebagai sebuah tulisan yang isinya fakta berikut masalah-masalah yang
saling berkaitan diikuti dengan pendirian subjektif yang disertai argumentasi
berdasarkan teori keilmuan dan data-data empiris yang mendukung pendirian
itu.
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 117
Ditinjau dari segi teknik penulisan dan media yang akan dituju, artikel
dapat dibedakan atas dua macam, yaitu artikel ilmiah dan artikel populer.
Yang pertama biasanya dikirim ke majalah ilmiah atau jurnal, sedangkan yang
kedua biasanya dikirim ke media cetak seperti koran. Artikel ilmiah ini pun
masih dapat dibedakan atas dua macam, yaitu artikel ilmiah yang berupa
rangkuman hasil penelitian dan artikel ilmiah yang berupa kajian pustaka
(gagasan konseptual). Perbedaan sistematika kedua artikel ilmiah tersebut
hanya terletak pada subjudul metode penelitian.
Tabel 6.1 Sistematika Artikel dalam Jurnal Ilmiah
Artikel
Hasil Penelitian Kajian Pustaka
Judul artikel
Identitas penulis
Abstrak
A. Pendahuluan
B. Metode Penelitian
C. Pembahasan
D. Penutup
Daftar Pustaka
Judul artikel
Identitas penulis
Abstrak
A. Pendahuluan
B. Pembahasan
C. Penutup
Daftar Pustaka
Berikut ini dijelaskan satu per satu bagian artikel ilmiah.
(1) Judul artikel
Judul artikel ilmiah sebaiknya ditulis singkat. Jumlah kata dalam judul
sebaiknya tidak melebihi 15 kata dan ditulis sesuai dengan ejaan yang resmi
berlaku (EYD).
(2) Identitas penulis
Nama penulis ditulis secara lengkap. Apabila nama penulis cukup
panjang, maka sebaiknya nama belakang penulis tidak disingkat. Nama yang
disingkat adalah nama depan atau nama tengah. Selain nama penulis
dicantumkan pula instansi tempat penulis bernaung dan alamat email penulis.
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 118
(3) Abstrak
Abstrak merupakan istilah yang cukup asing bagi mahasiswa. Abstrak
merupakan deskripsi singkat yang memuat informasi mengenai isi artikel
ilmiah secara singkat. Istilah abstrak sangat berbeda dengan ringkasan.
Abstrak berisi hal-hal yang lebih khusus daripada ringkasan. Perbedaan ini
dapat dilihat dari panjang dan isinya. Panjang abstrak lebih pendek daripada
ringkasan. Panjang abstrak umunya hanya satu paragraf saja atau antara 150
sampai 200 kata, namun harus menjelaskan garis besar laporan penelitian.
Setelah abstrak, diberikan kata-kata kunci atau key words. Ringkasan lebih
panjang daripada abstrak. Ringkasn menjelaskan isi artikel secara lebih
detail, dari pendahuluan sampai simpulan. Kita tidak perlu menuliskan latar
belakang masalah dalam abstrak. Abstrak ditulis 1 spasi.
(4) Pendahuluan
Bagian ini menjelaskan hal-hal yang mendasari atau melatarbelakangi
munculnya masalah atau ketertarikan kita pada masalah yang akan dibahas.
Pada bagian ini dijelaskan berbagai argumentasi yang menguatkan bahwa
masalah tersebut memang layak untuk dikaji. Selain itu, pada bagian ini juga
dijelaskan “apakah masalah tersebut penting untuk dikaji?”; “apa menariknya
masalah yang akan dikaji?”; “apa yang menjadi dasar bahwa fenomena sosial
tersebut dianggap sebagai sebuah permasalahan?” Untuk keperluan tersebut,
kita dapat menguraikan berbagai ketimpangan yang terjadi antara kondisi
ideal (das sollen) dan kondisi sosial yang real terjadi (das sein).
Untuk memperkuat argumentasi, dapat ditampilkan dasar teori atau
data yang memperkuat argumentasi tersebut sehingga pembaca menjadi
yakin dan tertarik atau berminat untuk membaca hasil penelitian kita. Ini
berarti, dalam pendahuluan juga terdapat kajian teori yang digunakan dalam
penelitian. Penulis menjelaskan berbagai konsep utama yang berkaitan
dengan masalah yang dikaji dengan berbagai argumentasi teoritis. Selain itu,
kita juga perlu menyertakan hasil-hasil studi sebelumnya yang relevan
dengan penelitian yang akan dilakukan. Hal ini perlu dilakukan karena jika
masalah penelitian tersebut ternyata pernah dikaji orang lain, maka kita harus
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 119
dapat menjelaskan apa yang membedakan tulisan kita dengan tulisan yang
pernah dipublikasikan sebelumnya. Hal ini juga dilakukan untuk menghindari
adanya indikasi plagiatisme atau penjiplakan hasil karya orang lain. Uraian
dalam kajian pustaka ini dapat menjadi dasar perumusan hipotesis penelitian.
Pendahuluan dalam artikel juga menjelaskan rumusan masalah dan tujuan
penulisan.
Pada beberapa instansi ada juga yang memisahkan bagian
pendahuluan dan bagian kajian teori ke dalam sub yang berbeda. Yang perlu
diingat adalah ke mana kita akan mengajukan artikel yang dibuat, maka
aturan penulisan itu yang harus diikuti. Dalam aturan penulisan artikel pada
Jurnal Pendidikan dan Pengajaran Undiksha, antara bagian pendahuluan dan
kajian teori dirangkum menjadi satu kesatuan. Selain itu, kata “pendahuluan”
tidak dinyatakan secara ekslisit (contoh artikel dapat dilihat pada lampiran).
(5) Metode Penelitian
Bagian ini hanya ada dalam artikel ilmiah hasil penelitian. Bagian ini
menjelaskan metode penelitian yang digunakan secara singkat, tidak perlu
mendetail seperti dalam laporan penelitian. Ada beberapa komponen yang
perlu dijelaskan dalam bagian ini, yaitu:
a) Metode penelitian. Pada bagian ini dijelaskan metode penelitian yang
digunakan.
b) Sasaran penelitian. Sasaran penelitian atau sering disebut objek
penelitian menunjuk pada orang, individu atau kelompok yang menjadi
unit atau satuan yang diteliti.
c) Lokasi penelitian. Bagian ini menjelaskan lokasi tempat penelitian
berlangsung. Lokasi penelitian hanya ada dalam penelitian lapangan,
sedangkan untuk penelitian analisis isi dan analisis data sekunder,
tidak perlu menjelaskan lokasi penelitian karena bukan penelitian
lapangan.
d) Teknik sampling. Teknik sampling merupakan metode atau cara dalam
penentuan atau pengambilan sampel.
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 120
e) Hipotesis (bila ada). Hipotesis dapat dinyatakan secara tertulis
(menggunakan kalimat) atau dengan menggambarkan hubungan
geometris antarvariabel.
f) Metode pengumpulan data. Pada bagian ini, peneliti menjelaskan
bagaimana peneliti mengumpulkan data yang diperlukan untuk
menjawab masalah penelitian.
g) Metode analisis data. Analisis data dalam penelitian kuantitatif
menggunakan statistik sebagai alat bantu dalam membuat kesimpulan.
Penelitian kualitatif, tentu saja ada banyak metode analisis yang dapat
dipilih.
(6) Pembahasan
Bagian pembahasan merupakan bagian inti yang menjadi jantung
sebuah artikel ilmiah. Di sinilah orisinalitas sebuah artikel ilmiah akan
ditunjukkan. Bagian ini merupakan bagian yang menguraikan berbagai
temuan, berbagai hasil pemikiran penulis yang bertujuan untuk menjelaskan
masalah yang dikaji. Pemikiran atau argumentasi penulis dapat dituangkan
dalam bagian ini.
(7) Penutup
Bagian penutup terdiri atas simpulan dan saran. Simpulan merupakan
jawaban akhir masalah yang sedang dikaji. Simpulan harus konsisten dengan
rumusan masalah. Untuk itu, jumlah simpulan perlu disesuaikan dengan
jumlah rumusan masalah, sehingga ada konsistensi antara rumusan masalah
dan simpulan.
Bagian terakhir artikel ilmiah adalah saran. Bagian ini merupakan
bagian yang tidak selalu ada, artinya artikel ilmiah (terutama artikel gagasan
konseptual) boleh tidak menyertakan saran. Saran merupakan sebuah uraian
singkat mengenai “apa yang dapat kita rekomendasikan kepada pihak lain
yang berkepentingan berdasarkan hasil temuan kita”. Saran disusun
berdasarkan simpulan, untuk itu, saran harus sejalan dengan simpulan.
Berikut ini merupakan gambaran hubungan unsur-unsur dalam artikel ilmiah.
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 121
Gambar 6.1 Hubungan Antarunsur dalam Artikel Ilmiah
Sumber: Martono (2012)
Ringkasan
Karya ilmiah adalah suatu karya yang memuat dan mengkaji suatu
masalah tertentu dengan menggunakan kaidah-kaidah keilmuan. Karya ilmiah
mempunyai sejumlah karakteristik seperti mengacu kepada teori, logis,
objektif, seksama, dan sebagainya. Jenis karya ilmiah meliputi (1) makalah,
(2) kertas kerja, (3) laporan praktik kerja, (4) skripsi, (5) tesis, dan (6)
disertasi.
Latihan
1. Apa yang menjadi karakteristik sebuah karya ilmiah?
2. Sebutkan dan jelaskan jenis-jenis karya ilmiah yang Anda ketahui!
3. Jelaskan sistematika sebuah karya ilmiah!
4. Buatlah sebuah karya tulis berupa artikel ilmiah kajian pustaka
dengan mengangkat masalah yang sesuai dengan ketertarikan Anda!
Latar belakang masalah
Rumusa masalah 1
Rumusa masalah
2
Kajian Pustaka
Simpulan 1
Simpulan 2
Saran 1
Saran 2
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 122
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 123
BAB 7
Kutipan, Daftar Pustaka, dan Catatan Kaki
Pengantar
Dalam kegiatan menulis, terlebih menulis karya ilmiah, seorang penulis
kerap menemukan kendala-kendala dalam pelaksanaannya. Pengetahuan
yang minim mengenai hakikat karya ilmiah merupakan salah satu faktor
penyebabnya. Selain itu, kendala lain muncul dari ketidakpahaman mengenai
masalah teknis penulisan, seperti masalah penulisan kutipan dan daftar
pustaka.
Dalam membuat sebuah karya ilmiah, penulis karya ilmiah tentunya
akan meramu pendapat dari berbagai ahli untuk menunjang, memperkuat,
atau membandingkan pendapat-pendapat yang ada. Proses pemindahan
pendapat dari sebuah buku, jurnal, atau karya lain yang diajukan oleh
seseorang ke dalam sebuah tulisan inilah yang dinamakan pengutipan.
Pengutipan bisa dilakukan secara langsung ataupun tidak langsung. Untuk
mengetahui dan sebagai pertanggungjawaban atas pengutipan yang
dilakukan, seorang penulis membuat sebuah daftar identitas di mana kutipan
tersebut diperoleh. Daftar itu setidaknya memuat nama penulis kutipan, tahun,
judul, dan identitas penerbitan. Daftar identitas inilah yang disebut dengan
daftar pustaka.
Selain dengan cara menaruh keterangan di tubuh teks, seorang
penulis juga sering ingin memberikan keterangan dan komentar, menjelaskan
sumber kutipan atas apa yang telah ditulisnya pada bagian bawah atau kaki
teks. Cara yang seperti itulah disebut catatan kaki atau footnote. Catatan kaki
atau footnote ditulis di bagian bawah setiap lembaran atau akhir bab
karangan ilmiah.
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 124
7.1 Pengutipan dalam Karya Ilmiah
Apabila kita perhatikan makalah ataupun jenis karya ilmiah yang lain,
penulis karya ilmiah tersebut mengemukakan pendapat orang lain yang
berasal dari buku atau sumber lain seperti artikel, laporan penelitian, dan
sebagainya. Pendapat orang lain itu ditandai dengan adanya keterangan
dalam tanda kurung, seperti (Prayitno dkk.,2000: 14-15). Pendapat orang lain
itu memperkuat pendapat yang dikemukakan oleh penulis karya ilmiah
tersebut. Pendapat yang dikutip itu disebut kutipan. Prabawa (2000:185)
menyatakan bahwa kutipan adalah pinjaman kalimat atau pendapat seorang
pengarang atau ucapan orang terkenal yang terdapat dalam buku, majalah,
jurnal, surat kabar, antologi, hasilpenelitian, dan penerbitan-penerbitan lain.
Lebih jauh dari itu, Prabawa (2000) menyatakan bahwa tujuan membuat
kutipan, yaitu (a) sebagai barang bukti untuk menunjang pendapat penulis; (b)
sebagai bahan bukti untuk membedakan dengan pendapat penulis; (c)
sebagai bahan bukti untuk perbandingan dengan pendapat penulis; dan (d)
sebagai bahan bukti yang disanggah penulis.
Kutipan dibedakan antara kutipan langsung dan kutipan tidak
langsung. Kutipan langsung adalah kutipan yang langsung mengambil dari
sumber asli tanpa mengubah bahasanya. Sementara itu, kutipan tidak
langsung adalah kutipan yang hanya mengambil inti sarinya saja, bahasa
yang dituangkan dalam kutipan menggunakan bahasa penulis karya ilmiah itu
sendiri. Untuk memperjelas pemahaman mengenai kutipan langsung dan
tidak langsung, dapat diperhatikan dalam uraian berikut.
a) Kutipan langsung
Kutipan langsung dapat diartikan meminjam pendapat para ahli secara
utuh atau lengkap baik itu berupa frase atau kalimat. Kutipan langsung dapat
dibedakan pula atas:
(1) Kutipan langsung yang kurang atau sama dengan empat baris (kutipan
langsung pendek);
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 125
(2) Kutipan langsung yang lebih dari empat baris (kutipan langsung
panjang).
Teknik penulisan kutipan langsung pendek:
(1) kutipan ditulis serangkai dengan teks;
(2) spasi kutipan menyesuaikan dengan teks (biasanya 1,5 spasi pada
makalah dan proposal, sedangkan 2 spasi pada skripsi ataupun
tesis);
(3) memakai tanda petik dua di awal dan akhir kutipan;
(4) menuliskan nama belakang pengarang, tahun terbit, dan halaman
tempat mengutip; penulisan nama pengarang dapat di awal kutipan
atau di belakang kutipan.
Contoh:
Atau:
Teknik penulisan kutipan langsung panjang:
(1) dipisahkan dari teks;
(2) spasi dalam kutipan adalah satu spasi
(3) dapat menggunakan tanda petik dua atau tidak (opsional) (Sofyan,
dkk., 2007:83);
(4) menuliskan nama belakang pengarang, tahun terbit, dan halaman
tempat mengutip; penulisan nama pengarang dapat di awal kutipan
atau di belakang kutipan.
……(teks)….. King (2007:xvi) berpendapat bahwa “berbicara
merupakan bentuk komunikasi manusia yang paling mendasar, yang
membedakan kita sebagai suatu spesies”. ……(teks)…..
……(teks)….. “berbicara merupakan bentuk komunikasi manusia
yang paling mendasar, yang membedakan kita sebagai suatu spesies”
(King, 2007:xvi). ……(teks)…..
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 126
Contoh:
b) Kutipan tidak langsung
Kutipan tidak langsung dapat diartikan meminjam pendapat para ahli tidak
secara utuh. Penulis mengambil intinya atau topiknya saja, lalu
dikembangkan dengan pendapat penulis (tak terdapat perbedaan).
Teknik penulisan kutipan tidak langsung:
(1) kutipan disatukan dengan teks;
(2) spasi kutipan menyesuaikan dengan teks;
(3) tanpa adanya tanda petik dua;
(4) mencantumkan nama (belakang) pengarang, tahun, dan halaman.
Contoh:
Kutipan tidak langsung bila kutipan bersumber dari kutipan lain
Seorang penulis kadang kala mengutip pendapat ahli dari buku ataupun teks
lain karena tidak menemukan sumber asli dari pendapat ahli tersebut. Jika
demikian, penulis haruslah mengemukakan tempat di mana ia memperoleh
kutipan tersebut. Berikut adalah contoh kutipan yang dikutip dari kutipan lain.
……(teks)….. Lebih luas dari itu, Tarigan dan Suhender (1986:23)
menyatakan sebagai berikut.
Berbicara adalah kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atau kata-kata untuk mengekspresikan, menyatakan, serta menyampaikan pikiran, gagasan, dan perasaan. Berbicara lebih dari sekadar mengucapkan bunyi-bunyi atau kata-kata. Berbicara untuk mengomunikasikan gagasan yang disusun serta dikembangkan sesuai dengan kebutuhan pendengar.
……(teks)…..………………………………………….
……………………………………(teks)…..Berbicara adalah suatu keterampilan
menyampaikan pesan secara lisan (Wendra, 2006:4).
…(teks)…………………………
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 127
7.2 Penulisan Daftar Pustaka (Bibliografi)
Daftar putaka adalah daftar atau senarai yang ada dalam karya ilmiah
(misalnya makalah atau skripsi) yang berisikan identitas buku dan pengarang
yang disusun secara alfabetis. Daftar pustaka memiliki sejumlah fungsi,
seperti (1) menunjukkan bahwa tulisan itu ilmiah (bersifat ilmu pengetahuan);
(2) menginformasikan bahwa karya ilmiah itu (penelitian) memiliki referensi
dan akumulasi dari karya ilmiah terdahulu; dan (3) merupakan alat kontrol
pada landasan teoretis atau tinjauan pustaka.
Daftar pustaka berisi data seperti berikut:
(1) nama pengarang, dengan nama akhir diletakkan di bagian depan,
dipisahkan tanda koma. Gelar akademik tidak ditulis,
(2) tahun terbit,
(3) judul,
(4) tempat terbit, dan
(5) nama penerbit
Contoh:
Penulis satu orang
Keterangan:
Nama penulis dibalik, dipisahkan oleh tanda koma.
Penulis dua orang
Djamarah, Syaiful Bahri dan Aswan Zain. 2002. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta.
………………………..……(teks)…………… Thompson (dalam Mudini dan
Purba, 2009:18) menyatakan bahwa komunikasi merupakan fitur
mendasar dari kehidupan sosial dan bahasa merupakan komponen
utamanya. …… (teks) …….
Badudu, J.S. 1989. Inilah Bahasa Indonesia yang Benar III. Jakarta: PT Gramedia.
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 128
Keterangan:
Nama penulis kedua ditulis biasa, tanpa ada pembalikan nama.
Penulis tiga orang atau lebih
Keterangan:
Hanya nama penulis pertama yang dicantumkan. Nama-nama penulis lainnya
diganti dengan et.al atau dkk. (dan kawan-kawan).
Terdapat beberapa cara penulisan daftar pustaka sesuai dengan jenis
karangannya (buku, artikel, dokumen resmi, dsb). Berikut akan dijelaskan
satu per satu teknik-teknik penulisan daftar pustaka tersebut.
Sumber berupa buku
Teknik penulisan daftar pustaka yang bersumber dari buku menggunakan
teknik sebagaimana yang telah dipaparkan pada bagian sebelumnya, baik
buku yang ditulis oleh satu orang pengarang, dua orang pengarang, maupun
tiga orang pengarang atau lebih. Jika pengarangnya memiliki dua buku yang
diterbitkan dalam tahun yang sama dengan judul buku yang berbeda, maka
teknik yang digunakan adalah dengan menambahkan huruf (a,b) di belakang
tahun terbit buku tersebut (Undiksha, 2011:37).
Contoh:
Sumber berupa buku terjemahan memiliki teknik penulisan yang berbeda.
Dalam hal ini, nama pengarang yang disebutkan adalah nama pengarang asli,
tahun terbitnya adalah tahun terbit naskah terjemahan, ditambahkan kata
Isjoni, H., dkk. 2007. Pembelajaran Visioner: Perpaduan Indonesia-Malaysia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Djamarah, Syaiful Bahri. 2002a. Psikologi Belajar. Jakarta: Rineka Cipta.
Djamarah, Syaiful Bahri. 2002b. Rahasia Sukses Belajar. Jakarta: Rineka Cipta.
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 129
terjemahan diikuti nama penerjemah serta judul naskah asli dan tahun
terbitnya, terakhir adalah kota penerbit dan penerbit terjemahan.
Contoh:
Sumber berupa artikel
Sebuah artikel bisa terdapat dalam buku kumpulan karangan atau bisa juga
dalam jurnal, makalah, buletin, dan koran. Dalam hal ini, judul artikel
ditempatkan di antara tanda petik rangkap (“….”), hurufnya dicetak biasa.
Contoh:
Bentuk sumber yang ditulis mirib dengan artikel ialah makalah. Dalam hal ini,
yang perlu ditambahkan pada daftar pustaka makalah adalah nama temu
ilmiah di mana makalah itu disajikan dan tanggal penyelenggaraannya.
Contoh:
Dantes, Nyoman. 2009. “Penelitian Kuantitatif” (makalah). Disajikan pada Workshop Penelitian Bagi Dosen UNHI Bali, tanggal 23-24 Oktober 2009.
Gagne, Robert M. 1990. Kondisi belajar dan Teori Pembelajaran. Terjemahan Munandir, disunting oleh Handy Kartawirata. The Conditions of Learning and Theory of Instruction (Fourth Edition). 1977. Jakarta: Antar Universitas/IUC (Bank Dunia XVII).
Lasmawan, Wayan dkk. 2009. “Vonis Mati Terhadap Mayat: Rekonstruksi Pemakaian Adat Istiadat pada Masyarakat Hindu Bali”. Media Komunikasi Ilmu Sosial, Volume 3, Tahun ke XVII (halaman 75-79).
Wibisono, Encep. 2009. “Meretas Nilai-nilai Demokrasi dalam Praktek Pendidikan di Era Otonomi”. Pikiran Rakyat, 21 Januari 2009, halaman 5, kolom 2-6.
Dantes, Nyoman. 2007. “Pengembangan Materi dan Model Pendidikan Multikultur dalam Pembelajaran IPS SMP” (halaman 21-26). Jurnal Pendidikan dan Humaniora. Singaraja: Lembaga Penelitian Undiksha.
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 130
Sumber dari internet
Untuk sumber dari internet, maka penulisannya dapat dilakukan dengan
mengacu pada contoh berikut.
Sumber-sumber lain
Sumber lain yang dimaksud bisa berupa dokumen resmi, seperi undang-
undang, peraturan pemerintah, keputusan presiden, awig-awig desa adat, dan
lain-lain. Dalam hal ini kadang-kadang penerbitnya tidak disebutkan atau ada
lembaga yang bertanggung jawab menerbitkan, tetapi pasti bukan penulis
perorangan. Untuk itu, cara penulisannya dapat dilakukan sebagaimana
contoh berikut.
Untuk materi atau sumber yang diambil dari skripsi, tesis, dan atau disertasi,
maka penulisannya dapat dilakukan dengan mengacu pada contoh berikut.
Estherlydia. 2011. “Hubungan Guru dan Murid”. Dalam http:// hal 022-049 Faktor-faktor Kesulitan Belajar Akuntansi Siswa IPS SMAK BPK PENABUR Sukabumi. Diunduh 4 Januari 2012.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2009 tentang Tata cara Pengelolaan keuangan Negara. 2009. Jakarta: Kementerian Keuangan RI.
Dirjendikti. 2008. Pedoman Umum Pengelolaan Dana Bantuan Operasional Sekolah. Jakarta: Kementerian Pendidikan Nasional RI.
Atmadja, I Nengah Bawa. 1998. Memudarnya Demokrasi Desa. Disertasi. (tidak diterbitkan). Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia.
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 131
7.3 Penulisan Catatan Kaki (Footnote)
Catatan kaki dicantumkan sebagai pemenuhan kode etik yang berlaku,
sebagai penghargaan terhadap karya orang lain. Catatan kaki dipergunakan
sebagai pendukung keabsahan penemuan atau pernyataan penulis yang
tercantum di dalam teks atau sebagai petunjuk sumber; tempat memperluas
pembahasan yang diperlukan, tetapi tidak relevan jika dimasukkan di dalam
teks, penjelasan ini dapat berupa kutipan pula; referensi silang, yaitu petunjuk
yang menyatakan pada bagian mana/halaman berapa, hal yang sama
dibahas di dalam tulisan; tempat menyatakan penghargaan atas karya atau
data yang diterima dari orang lain.
Catatan kaki dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu:
1) Catatan kaki referensi: berisi tentang catatan sumber yang dikutip
2) Catatan kaki isi: berisi komentar terhadap konsep yang kita kutip
atau catatan tambahan yang sifatnya melengkapi tulisan.
Catatan kaki dicantumkan pada kaki halaman karangan atau di setiap
akhir bab karangan. Jika mengunakan computer tekanlah tombol insert –
refrensi lalu pilihlah Footnote/Endnote. Gunakan alenia menjolok.
Selanjutnya, penomoran catatan kaki dilakukan dengan menggunakan angka
Arab (1,2, dan seterusnya) di belakang bagian yang diberi catatan kaki, agak
ke atas sedikit, beri spasi tanpa memberikan tanda baca apapun.
Penyusunan catatan kaki dapat dilakukan dengan cara seperti berikut:
1 Nama belakang penulis, Judul Buku (Tempat : Penerbit, Tahun), halaman
2 Nama belakang penulis, “Judul Artikel”, dalam Nama Surat Kabar, Tanggal,
Bulan, dan Tahun, Halaman
3 Nama belakang penulis, “Judul Artikel”, dalam Nama Majalah, Edisi/ Nomor,
halaman.
4 Nama belakang penulis, “Judul Artikel”, dalam Nama Antologi dan Penulis
(Tempat Penerbit, Tahun), Halaman
5 Nama belakang penulis, “Judul Makalah”, Data Publikasi, Halaman
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 132
6 Nama belakang penulis, “Judul Laporan Tugas Akhir”, (Tempat : Nama
Perguruan Tinggi, Tahun), Halaman
7 Nama belakang penulis, “Judul Skripsi/Tesis/Disertasi” (Tempat : Nama
Lembaga/Perguruan Tinggi), Halaman
8 Nama belakang penulis, “Judul Artikel”, dalam Alamat Website Internet,
Catatan Kaki Singkat
Sering kita hanya mengutip sekali dari satu sumber bacaan, tetapi dua,
tiga, atau lebih kita mengambil kutipan dari sumber bacaan tersebut. Cara
praktis yang dapat kita terapkan adalah pencantumkan catatan kaki singkat.
Ada tiga istilah dalam catatan kaki singkat, yaitu sebagai berikut:
1) Ibid, adalah bentuk singkat dari ibidium, artinya sama dengan di
atasnya. Ibid digunakan untuk catatan kaki yang tepat di atasnya. Cara
penulisan ibidium yaitu Ibid di bawah sumber bacaan yang diacu.
2) Loc.cit. adalah bentuk singkat dari loco citati, artinya tempat yang
telah dikutip. Loc.cit, digunakan untuk pencantuman sumber bacaan
yang sama, tetapi sudah diselingi oleh sumber bacaan yang lain. Cara
penulisannya : nama pengarang loc.cit, (tanpa nomor halaman).
3) Op. cit. adalah bentuk singkat dari opera citati, artinya dalam karya
yang telah dikutip. Op.cit dipergunakan untuk catatan kaki dari sumber
yang pernah dikutip, tetapi halaman berbeda dan telah disisipi catatan
kaki dari sumber lain. Urutannya : nama pengarang, op.cit, dan nomor
halaman. Penulisan singkat ibid, loc.cit, dan op.cit dilakukan dengan
menggunakan huruf kecil karena merupakan singkatan ungkapan
umum dan ditulis dengan menggunakan huruf miring, karena berupa
istilah asing. Berikut adalah contoh penerapan notasi ibid, loc.cit., dan
op.cit. Perhatikan contoh footnote pada makalah Bab I Pendahuluan
dan penjelasannya.
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 133
Contoh:
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Arsyad1 mengatakan bahwa ekonomi manajerial adalah cabang ilmu ekonomi yang mempelajari penerapan prinsip-prinsip ekonomi dalam proses pengambilan keputusan di dunia bisnis. Ia2 juga berpendapat bahwa ekonomi manajerial atau Ekonomi Mikro Terapan kerap kali didefinisikan sebagai penerapan teori ekonomi dan metodelogi ilmu pengambilan keputusan untuk memecahkan masalah pengambilan keputusan.
Keputusan tersebut diambil untuk mendapatkan cara yang terbaik untuk melakukan suatu kegiatan ekonomi. Selanjutnya, Sukrino3 berpendapat yang dimaksud dengan kegiatan ekonomi adalah kegiatan seseorang atau suatu perusahaan ataupun suatu masyarakat untuk memproduksi barang dan jasa maupun mengkonsumsinya.
Saat ini untuk melakukan kegiatan ekonomi atau suatu transaksi dapat menggunakan jasa pelayanan bank. Bank bersalah dari bahasa Itali yaitu baco yang artinya bangku. Bank termasuk perusahaan industri jasa karena prosduknya hanya memberikan pelayanan jasa kepada masyarakat. Pierson4 mengemukakan definisi bahwa bank adalah suatu badan usaha yang menerima kredit, tetapi tidak memberikan kredit.
Dalam dunia pelayaran, transaksi dilakukan dengan sistem pembayaran melalui bank5. Untuk kegiatan impor dan ekspor, pembayaran ke luar negeri dilakukan dengan cara sebagai berikut:
__________
1Arsyad, Ekonomi Menejerial (Yogyakarta : BPEE, 2000), hlm.3
2Ibid.
3Sukirno, Pengantar Teori Mikroekonomi (Jakarta : Rajawali Pers, 2002), hlm.4
4Melayu, dasar-dasar Perbankan (Jakarta : Bumi Aksara, 2005), hlm 12
5Arsyad, loc.cit
1
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 134
1Arsyad, Ekonomi Menejerial (Yogyakarta : BPEE, 2000), hlm.3
Artinya untuk Footnote yang pertama, Anda mengambil kutipan dari buku
yang berjudul Ekonomi Manajerial karangan Lincoln Arsyad, halaman ke-3
yang diterbitkan oleh BPEE pada 2000 di Yogyakarta. 2Ibid.
Artinya, sumber bacaan yang kedua sama dengan sumber bacaan di atas
(footnote 1) 3Sukirno, Pengantar Teori Mikroekonomi (Jakarta : Rajawali Pers, 2002),
hlm.4
Artinya, sumber bacaan yang ketiga berasal dari buku Pengantar Teori
Ekonomi halaman ke-4 yang ditulis Sadono Sukirno. Buku ini diterbitkan di
Jakarta oleh Rajawali Press pada 2002. 4Melayu, dasar-dasar Perbankan (Jakarta : Bumi Aksara, 2005), hlm 12
Berarti, Footnote keempat ini diambil dari buku Dasar-dasar Perbankan
halaman ke-12 yang ditulis oleh Melayu pada tahun 2005 dan diterbitkan
oleh Bumi Aksara. 5Arsyad, loc.it
Berarti, Footnote ini bersumber sama (nama penulis, judul buku, penerbit,
tahun dan halaman) dengan di atas (footnote nomor I atau buku yang ditulis
oleh Arsyad yang sudah diselingi sumber bacaan lain (diselingi oleh sumber
bacaan dari pengarang Sukirno dan Melayu).
Ringkasan
Dalam sebuah karya ilmiah, penulis menggunakan teori-teori yang
bersumber dari pendapat-pendapat tokoh atau ahli. Teori atau pendapat-
pendapat tersebut dikutip dengan berbagai teknik yang dapat dikelompokkan
menjadi dua, yaitu (1) kutipan langsung dan (2) kutipan tidak langsung.
Sumber-sumber yang memuat teori atau pendapat yang telah dikutip
selanjutnya dibuatkan daftar yang kemudian disebut daftar pustaka atau
bibliografi. Penulisan daftar pustaka juga memiliki sejumlah teknik sesuai
dengan jumlah pengarang dan sumbernya (makalah, buku, tesis, jurnal dan
sebagainya). Teknik pengutipan yang lain dan atau menambahkan komentar
adalah catatan kaki atau footnote. Catatan kaki biasa digunakan untuk
memberikan keterangan atau komentar dan menjelaskan sumber kutipan.
Catatan kiki atau footnote dapat dibedakan atas catatan kaki atau footnote
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 135
referensi dan catatan kaki atau footnote isi. Ada tiga istilah dalam catatan kaki
singkat, yakni ibid, loc.cit., dan op.cit.
Latihan
1. Identitas buku:
Judul : Strategi: Konsep dan Aplikasinya
Penulis : Prof. Dr. Marimin Yamis, M.Hum., Prof. Dr. Iskandar Maeru,
M.Hum., Dr. Wasid Asak, M.Si.
Diterbitkan oleh CV Angkasa
Jl. Sawo Raya No.18
Jakarta 13220
Cetakan pertama, Juni 2011
Apabila Anda ingin membuat kutipan langsung pendek untuk memperoleh
materi mengenai definisi kesulitan belajar, bagaimanakah Anda
melakukannya dan bagaimanakah Anda membuat daftar pustakanya!
2. Buatlah masing-masing sebuah contoh kutipan langsung dan tidak
langsung yang bersumber dari internet dan jurnal, kemudian cobalah buat
daftar pustakanya!
3. Buatlah masing-masing contoh penulisan catatan kaki isi dan catatan kaki
referensi!
……………………………………………………………………………………………
Kesulitan belajar merupakan kumpulan gangguan yang bervariasi manifestasinya,
berupa kesulitan dalam memeroleh dan menggunakan kemampuan mendengar,
berbicara, membaca, menulis, berpikir, dan berhitung. Dalam praktek sering
dijumpai kesulitan belajar pada bidang yang satu bisa juga berhubungan dengan
bidang yang lainnya. Masalah kesulitan belajar tidak hanya dijumpai pada siswa di
daerah pedesaan saja, masalah ini juga dijumpai pada siswa yang mengenyam
pindidikan di daerah perkotaan. Hal ini menandakan bahwa fasilitas yang lengkap
tidak menjamin anak terhindar dari masalah belajar.
12
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 136
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 137
BAB 8
Presentasi Ilmiah
Pengantar
Seorang penulis karya ilmiah dituntut tidak hanya mampu menuliskan
gagasannya dalam bentuk karya ilmiah yang sistematis melainkan juga
dituntut memiliki kemampuan untuk mempresentasikan karya ilmiah tersebut
dalam sebuah forum resmi. Mempunyai keterampilan berbicara terlebih di
forum resmi tidaklah semudah yang dibayangkan.
Banyak orang yang pandai dalam menulis suatu artikel ilmiah, namun
kurang mampu untuk menyampaikannya dalam forum ilmiah. Selain itu,
sering juga kita menyaksikan suatu karya ilmiah yang sangat bagus namun
disajikan (dipresentasikan) dengan tidak bagus, sehingga mengurangi
sasaran yang ingin dicapai dalam karya ilmiah tersebut, selain itu juga dapat
mengurangi kualitas dari suatu karya ilmiah (Arsjad dan Mukti, 1993:1;
Kardhinata, 2009).
Melihat begitu pentingnya keterampilan berbicara dalam presentasi
ilmiah, maka keterampilan berbicara perlu terus dilatihkan. Tarigan (1998:43)
menyatakan bahwa keterampilan berbicara merupakan keterampilan yang
mekanistis. Semakin banyak berlatih berbicara, semakin dikuasai
keterampilan berbicara itu. Dalam bab ini akan diuraikan beberapa hal yang
perlu dipersiapkan oleh seorang pembicara sebelum dan saat
mempresentasikan karya ilmiahnya di forum ilmiah.
8.1 Hakikat Presentasi Ilmiah
Presentasi ilmiah merupakan kegiatan yang lazim dilakukan dalam
dunia ilmiah. Kegiatan itu berfungsi untuk menyebarkan informasi ilmiah.
Karena mahasiswa merupakan intelektual yang berkewajiban menyebarkan
ilmu yang dimilikinya, kemahiran untuk melakukan presentasi ilmiah
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 138
merupakan suatu kebutuhan. Agar presentasi ilmiah dapat berjalan dengan
efektif, ada kiat-kiat yang perlu diterapkan, yakni (1) menarik minat dan
perhatian peserta, (2) menjaga agar presentasi tetap fokus pada masalah
yang dibahas, dan (3) menjaga etika ketika tampil di depan forum ilmiah
(Haryanta, 2009).
Untuk menarik minat dan perhatian pada topik atau masalah yang
dibahas, seorang penyaji dapat menggunakan media yang menarik (media
visual seperti gambar dengan warna yang menarik, ilustrasi, dan lain-lain),
mengetahui latar belakang peserta, dan menjaga suara agar tidak monoton
serta terdengar jelas oleh seluruh peserta yang berada di suatu ruangan.
Untuk menjaga agar presentasi tetap fokus pada masalah yang
dibahas dan komunikasi tetap efektif, faktor kebahasaan dan nonkebahasaan
menjadi hal yang mutlak untuk dipahami. Berikut ini dijelaskan lebih rinci
mengenai faktor kebahasaan dan nonkebahasaan dalam berbicara (Arsjad
dan Mukti, 1993:17).
1) Faktor Kebahasaan
(a) Ketepatan ucapan
Seseorang pembicara harus membiasakan diri mengucapkan bunyi-
bunyi bahasa secara tepat. Pengucapan bunyi bahasa yang kurang tepat
dapat mengalihkan perhatian pendengar. Sudah tentu pola ucapan dan
artikulasi yang digunakan tidak selalu sama. Masing-masing mempunyai
gaya tersendiri dan gaya yang dipakai berubah-ubah sesuai dengan
pokok pembicaraan, perasaan, dan sasaran. Demikian juga halnya
dengan pengucapan tiap suku kata. Tidak jarang kita dengar orang
mengucapkan kata-kata yang tidak jelas suku katanya. Ada suku kata
yang diucapkan berdempet, ada yang kadang-kadang hilang bunyi
tertentu. Misalnya kata dapat diucapkan dapateb, dan diucapkan dane,
waktu diucapkan waktub.
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 139
(b) Penempatan tekanan, nada, sendi, dan durasi yang sesuai
Kesesuaian tekanan, nada, sendi, dan durasi merupakan daya tarik
tersendiri dalam berbicara. Bahkan, kadang-kadang merupakan faktor
penentu. Walaupun masalah yang dibicarakan kurang menarik, dengan
penempatan tekanan, nada, sendi, dan durasi yang sesuai, akan
menyebabkan masalahnya menjadi menarik. Sebaliknya jika
penyampaiannya datar saja, hampir dapat dipastikan akan menimbulkan
kejemuan dan keefektifan berbicara tentu berkurang.
Demikian juga halnya dalam pemberian tekanan pada kata atau
suku kata. Tekanan suara yang biasanya jatuh pada suku kata terakhir
atau suku kata kedua dari belakang, kemudian kita tempatkan pada suku
kata pertama. Misalnya kata penyanggah, pemberani, kesempatan, kita
beri tekanan pada pe-, pem-, ke-, tentu kedengarannya janggal. Dalam hal
ini perhatian pendengar dapat beralih kepada cara berbicara pembicara,
sehingga pokok pembicaraan atau pesan yang disampaikan kurang
diperhatikan. Akibatnya keefektifan komunikasi tentu terganggu.
(c) Pilihan kata (diksi)
Pilihan kata hendaknya tepat, jelas, dan bervariasi. Jelas maksudnya
mudah dimengerti oleh pendengar yang menjadi sasaran. Pendengar
akan lebih terangsang dan akan lebih paham, kalau kata-kata yang
digunakan kata-kata yang sudah dikenal oleh pendengar. Kalau si
pembicara memaksakan diri memilih kata-kata yang tidak dipahaminya
dengan maksud supaya lebih mengesankan, malah akibatnya akan
sebaliknya. Timbul kesan seolah-olah dibuat-buat dan berlebihan. Selain
itu, pilihan kata juga disesuaikan dengan pokok pembicaraan.
(d) Ketetapan sasaran pembicaraan
Hal ini menyangkut pemakaian kalimat. Pembicara yang
menggunakan kalimat efektif akan memudahkan pendengar menangkap
pembicaraannya. Susunan penuturan kalimat sangat besar pengaruhnya
terhadap keefektifan penyampaian. Seorang pembicara harus mampu
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 140
menyusun kalimat efektif, kalimat yang mengenai sasaran, sehingga
mampu menimbulkan pengaruh, menimbulkan kesan, atau menimbulkan
akibat.
2) Faktor Nonkebahasaan
Keefektifan berbicara tidak hanya didukung oleh faktor kebahasaan,
tetapi juga ditentukan oleh faktor nonkebahasaan. Yang termasuk faktor
nonkebahasaan adalah sebagai berikut.
(a) Sikap wajar, tenang, dan tidak kaku
Pembicara yang tidak tenang, lesu, dan kaku tentulah akan
memberikan kesan pertama yang kurang menarik. Padahal, kesan
pertama itu sangat penting untuk menjamin adanya kesinambungan
perhatian pendengar. Dari sikap yang wajar saja sebenarnya pembicara
sudah dapat menunjukan otoritas dan integritasnya. Tentu saja sikap ini
sangat banyak ditentukan oleh situasi, tempat, dan penguasaan materi.
(b) Pandangan harus diarahkan kepada lawan bicara
Supaya pendengar dan pembicara benar-benar terlibat dalam dalam
kegiatan berbicara, pandangan pembicara sangat membantu. Hal ini
sering diabaikan oleh pembicara. Pandangan yang hanya tertuju pada
satu arah akan menyebabkan pendengar lain merasa kurang diperhatikan.
(c) Gerak-gerik dan mimik yang tepat
Gerak-gerik dan mimik yang tepat dapat pula menunjang keefektifan
berbicara. Hal-hal yang penting selain mendapat tekanan, biasanya juga
dibantu dengan gerak tangan atau mimik. Hal ini dapat menghidupkan
komunikasi. Namun perlu diingat, gerak-gerik yang berlebihan justru dapat
mengganggu keefektifan berbicara.
(d) Kenyaringan suara
Tingkat kenyaringan suara tentu disesuaikan dengan situasi, tempat,
dan jumlah pendengar. Tetapi perlu diperhatikan jangan berteriak.
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 141
Pengaturan kenyaringan suara diperlukan supaya dapat didengar oleh
semua pendengar dengan jelas. Hal ini juga mengingat adanya
kemungkinan gangguan dari luar.
(e) Kelancaran
Seorang pembicara yang lancar berbicara akan memudahkan
pendengar menangkap pesan yang disampaikan pembicara. Pembicara
yang berbicara dengan terputus-putus atau adanya bagian-bagian tertentu
yang diselipi bunyi-bunyi tertentu, tentu akan mengganggu penangkapan
pendengar. Misalnya menyelipkan bunyi ee, oo, aa, dan sebagainya.
Sebaliknya, pembicara yang terlalu cepat berbicara juga akan menyulitkan
pendengar menagkap pokok pembicaraan yang disampaikan.
(f) Relevansi/Penalaran
Gagasan demi gagasan haruslah berhubungan dengan logis. Proses
berpikir untuk sampai pada suatu kesimpulan haruslah logis. Hal ini berarti
hubungan bagian-bagian dalam kalimat, hubungan kalimat dengan kalimat
harus logis dan berhubungan dengan pokok pembicaraan.
(g) Penguasaan topik
Pembicaraan formal selalu menuntut persiapan. Tujuannya tidak lain
supaya topik yang dipilih betul-betul dikuasai. Penguasaan topik yang baik
akan memunculkan keberanian dan kelancaran. Jadi, penguasaan topik
sangatlah penting, bahkan merupakan faktor utama dalam berbicara.
Sementara itu, untuk menjaga etika dalam suatu forum ilmiah, dapat
dilakukan dengan cara menghindari hal-hal yang dapat merugikan
(menyinggung perasaan) orang lain. Butir-butir rinci tentang etika dan tata
cara yang perlu ditaati dalam forum ilmiah akan diuraikan berikut ini.
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 142
8.2 Tata Cara dan Etika Presentasi Ilmiah
Presentasi ilmiah akan berhasil jika penyaji menaati tata cara yang
lazim. Pertama, penyaji perlu memberi informasi kepada peserta secara
memadai. Informasi tersebut akan dipahami dengan baik jika peserta
memperoleh bahan tertulis, baik bahan lengkap maupun bahasan presentasi
power point. Jika diperlukan, bahan dapat dilengkapi dengan ilustrasi yang
relevan. Apabila bahan ditayangkan, harus dipastikan bahwa semua peserta
dapat melihat layar dan dapat membaca tulisan yang disajikan. Kedua,
penyaji menyajikan bahan dalam waktu yang tersedia. Untuk itu, penyaji perlu
merencanakan penggunaan waktu dan menaati panduan yang diberikan oleh
moderator. Ketiga, penyaji menaati etika yang berlaku di forum ilmiah. Hal itu
karena forum ilmiah merupakan wahana bagi ilmuwan dan akademisi dari
berbagai disiplin ilmu saling asah otak dan hati serta bertukar berbagai
informasi akademik, baik sebagai hasil pemikiran maupun hasil penelitian.
Dalam forum ilmiah ada beberapa peran yang dimainkan oleh aktor
yang berbeda, yakni penyaji, pemandu (moderator), notulis, peserta, dan
teknisi. Semua pihak wajib melakukan tugasnya dan menjaga agar jalannya
presentasi ilmiah dapat berjalan dengan lancar sesuai dengan aturan main
yang telah ditetapkan.
Etika berkaitan dengan keyakinan dan prinsip mengenai mana yang
benar dan mana yang salah serta mana yang patut dan mana yang tidak
patut. Satu nilai yang harus dipegang dalam menjaga etika adalah “menjaga
perilaku agar tidak merugikan orang lain”. Kerugian mencakup hak atau
kesempatan, kehilangan muka, dan tersinggung perasaannya. Hak dalam
forum ilmiah meliputi hak berbicara, hak membela dan mempertahankan
pendapatnya, serta hak untuk mendapatkan pengakuan. Kehilangan muka
dapat terjadi apabila aib atau kekurangan diungkapkan secara vulgar.
Sementara itu, apabila seseorang telah melakukan sesuatu yang sangat
berharga, ia mempunyai hak untuk mendapatkan pengakuan. Etika dalam
forum ilmiah harus dijaga agar tujuan forum dapat tercapai dengan baik.
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 143
Hal lain yang perlu diperhatikan oleh penyaji dalam etika adalah
kejujuran. Dalam dunia ilmiah, kejujuran merupakan butir etis terpenting.
Setiap orang wajib bersikap sangat terbuka dalam segala hal menyangkut
informasi yang dsajikan. Jika menyajikan data, penyaji harus secara jujur
menyebutkan apakah data itu hasil penelitiannya ataukah diambil dari sumber
lain. Jika diambil dari sumber lain, harus disebutkan secara lengkap sesuai
dengan kelaziman dunia ilmiah.
Adapun etika yang harus dijaga oleh peserta antara lain adalah
sebagai berikut. Pertama, setiap peserta harus jujur pada diri sendiri. Artinya,
dia akan bertanya jika memang tidak tahu, akan mencari klarifikasi apabila
masih bingung atau belum yakin, akan mengecek apakah pemahamannya
sudah benar ataukah belum, dan sebagainya. Kedua, setiap peserta wajib
menghargai pendapat atau gagasan orang lain dan hal ini mensyaratkan
bahwa dia wajib menyimak apabila ada orang yang berbicara (atau bertanya).
Misalnya, ketika orang lain telah mengusulkan gagasan, dia tidak akan
berbicara seolah-olah dialah pengusul pertama gagasan tersebut. Ketika
pertanyaan telah diajukan oleh peserta lain, dia tidak akan mengulangi
pertanyaan itu. Ketika peserta lain telah menyatakan sesuatu dan dia
menyetujuinya, dia dapat mengungkapkan dukungannya.
Terkait dengan perilaku bertanya untuk memperoleh klarifikasi atau
informasi, satu kewajiban penanya adalah menyimak jawaban dari penyaji.
Akan lebih bagus jika penanya menunjukkan apresiasi positif terhadap
jawaban yang telah diberikan. Apabila dengan terpaksa penanya
meninggalkan ruangan sebelum jawaban diberikan, dia wajib meminta maaf
dan meminta izin untuk meninggalkan ruangan. Jalannya forum ilmiah banyak
ditentukan oleh moderator sebagai pemandu. Etika yang harus dijaganya
adalah bahwa dia harus adil. Artinya, semua peserta sedapat-dapatnya
memperoleh kesempatan yang relatif sama dalam berpartisipasi aktif selama
forum berlangsung.
Keseimbangan tempat duduk peserta dan kesetaraan gender harus
benar-benar dijaga. Demikian juga keseimbangan dalam hal waktu atau
jumlah pertanyaan yang boleh diajukan oleh peserta. Selain adil, seorang
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 144
moderator juga harus menaati jadwal atau waktu yang telah ditentukan.
Pertama, moderator seyogianya tidak terlalu banyak mengambil waktu untuk
berkomentar yang tidak fungsional. Kedua, moderator harus mengatur waktu
yang digunakan oleh semua pihak, baik penyaji maupun peserta. Oleh sebab
itu, moderator harus punya keberanian untuk menginstruksi dengan santun
pembicaran seseorang agar taat waktu.
Semua hal yang terungkap selama forum, baik inti uraian penyaji,
pertanyaan, maupun jawaban perlu dicatat secara rapi oleh notulis. Hasil
catatan yang telah ditata ringkas sebaiknya dicetak dan dibagikan minimal
kepada semua orang yang terlibat dalam forum tersebut. Hal ini memberi
kesempatan bagi pemilik gagasan atau konsep untuk meluruskannya jika ada
hal-hal yang kurang tepat. Selain notulis, terdapat juga teknisi dalam suatu
forum ilmiah. Teknisi wajib memastikan bahwa peralatan teknologi yang
digunakan bekerja dengan baik. Dia harus melakukan cek terakhir sebelum
forum dimulai dan secara teratur mengontrol jalannya persidangan dari segi
teknologi. Apabila terjadi sesuatu pada teknologi, dia harus secara cepat
bertindak menyelamatkan jalannya kegiatan.
8.3 Menyiapkan Bahan Presentasi Ilmiah dengan Multimedia
Dalam era teknologi informasi, presentasi ilmiah dengan memakai
multimedia sudah menjadi kebutuhan karena beberapa alasan. Pertama,
presentasi akan menjadi menarik karena penyaji dapat membuat manuver
dalam memvariasi teknik penyajian bahan, termasuk melalui animasi. Kedua,
penyaji dapat menghemat waktu karena dapat mengoreksi bahan sewaktu-
waktu diperlukan. Ketiga, penyaji dapat memberikan penekanan pada butir
permasalahan yang dikehendaki secara menarik. Keempat, penyaji sangat
dimudahkan karena membawa bahan dalam bentuk flashdisc. Kelima, bahan
presentasi dapat sangat ringkas sehingga membantu peserta menangkap
esensi bahan yang dibahas. Keenam peserta dapat langsung mengopi file
presentasi yang diperlukan.
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 145
Agar manfaat multimedia dapat dinikmati, presentasi multimedia perlu
disiapkan dengan baik. Dalam menyiapkan presentasi multimedia, langkah-
langkah yang dapat ditempuh adalah sebagai berikut.
1) Tentukan butir-butir terpenting bahan yang dibahas. Penyebutan butir
hendaknya tidak boleh terlalu singkat, tetapi juga tidak boleh terlalu
elabratif karena elaborasi akan dilakukan secara lisan oleh penyaji.
2) Atur butir-butir tersebut agar alur penyajian runtut dan runut (koheren
dan kohesif).
3) Kerangka pikir perlu diungkapkan atau disajikan dalam diagram atau
bagan alir untuk menunjukkan alur penalarannya.
4) Tuliskan semuanya dalam bingkai power point dengan ukuran huruf atau
gambar yang memadai.
5) Pilih rancangan slide yang cocok (ingat, kontras warna dan animasi
sangat penting. Namun, jangan sampai terjadi dekorasi lebih menarik
daripada butir bahasan).
6) Uji coba tayang untuk memastikan bahwa semua bahan yang disajikan
dalam slide dapat terbaca oleh peserta dalam ruangan yang tersedia.
7) Cetak bahan dalam slide tersebut untuk digunakan sebagai pegangan
dalam penyajian.
8.4 Melaksanakan Presentasi Ilmiah
Presentasi ilmiah pada dasarnya adalah mengomunikasikan bahan
ilmiah kepada peserta forum ilmiah. Oleh karena itu, dalam presentasi ilmiah
berlaku prinsip-prinsip komunikasi. Beberapa prinsip komunikasi berikut dapat
dipertimbangkan.
A. Mengurangi gangguan komunikasi secara antisipatif
1) Memastikan kecukupan pencahayaan dan ruang gerak;
2) Memerhatikan tingkat kapasitas peserta ketika memilih bahasa dan
media;
3) Menghindari kemungkinan multitafsir ungkapan yang dipilih;
4) Berpikir positif tentang peserta;
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 146
5) Membuat peserta dihormati dan dihargai;
6) Mempertimbangkan budaya peserta;
7) Bersikap terbuka terhadap perbedaan sikap dan pendapat orang
lain; dan
8) Memastikan bahwa pakaian yang akan dipakai tepat pilihan dari segi
situasi formal dan budaya setempat.
B. Memaksimalkan efektivitas dalam proses presentasi
1) Memastikan bahwa suaranya dapat didengar oleh semua peserta;
2) Memastikan bahwa penyaji dapat melihat semua peserta;
3) Menjadi penyimak/pendengar yang baik jika ada peserta yang
bertanya;
4) Memberi kesempatan kepada peserta untuk bertanya;
5) Mendorong peserta untuk aktif terlibat; dan
6) Menggunakan media yang menarik dan tepat guna.
Ringkasan
Mempresentasikan suatu karya ilmiah membutuhkan beberapa
persyaratan tertentu karena presentasi merupakan cara untuk menjelaskan
sesuatu kepada kumpulan orang yang dapat dilakukan baik dengan bantuan
teknologi maupun tidak. Tata cara dan etika perlu diperhatikan agar sebuah
presentasi dapat berlangsung dengan lancar dan mencapai sasaran yang
telah ditargetkan. Tahap selanjutnya yang perlu dilakukan setelah memahami
cara dan etika presentasi adalah menyiapkan bahan dan media presentasi.
Bahan yang disiapkan hendaknya dibuat secara singkat dan sederhana
dengan bantuan media untuk mempermudahnya. Tahap terakhir adalah
menyampaikan karya ilmiah di depan umum dengan berpegangan pada
persiapan yang telah dilakukan.
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 147
Latihan
1. Sebutkan dan jelaskan hal-hal yang harus diperhatikan pada tahap
persiapan dan pelaksanaan presentasi ilmiah!
2. Presentasikanlah karya ilmiah yang telah dibuat sebelumnya!
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 148
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 149
DAFTAR PUSTAKA Adler, Mortimer J. & Charles Van Doren. 2007. How to Read a Book: Cara
Jitu Mencapai Puncak Tujuan Membaca. Jakarta: Indonesia Publishing.
Ahmadi, Mukhsin. 1990. Penyusunan dan Pengembangan Paragraf Serta
Penciptaan Gaya Bahasa Karangan. Malang: Yayasan Asah Asih Asuh Malang (YA3 Malang).
Alwasilah, Chaedar. 2010. Filsafat Bahasa dan Pendidikan. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya.
Alwasilah, Chaedar. 2012. Pokoknya Rekayasa Literasi. Bandung: PT. Kiblat Buku Utama.
Arsjad, Maidar G. dan Mukti U.S.1993. Pembinaan Kemampuan Berbicara
Bahasa Indonesia. Jakarta: Erlangga. Aziz, Aminudin.Tt. “Upaya Memartabatkan Bahasa Nasional di Tengah
Beratnya Terpaan”. Dalam http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/sites/default/files/Kumpulan%20Makalah%20KBI%20X_subtema%203_0.pdf. Diakses 2 Mei 2015.
Badudu, J.S. 1989. Inilah Bahasa Indonesia yang Benar III. Jakarta: PT Gramedia.
Badudu, J.S. 1981. Pelik-pelik Bahasa Indonesia. Bandung: Pustaka Prima. Brown, Douglas H. 2007. Prinsip Pembelajaran dan Pengajaran Bahasa.
Diterjemahkan Noor Cholis dan Yusi Avianto P. Amerika serikat: Pearson Education, Inc.
Chaer, Abdul. 2007. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta. Chaer, A dan Leoni Agustina. 2004. Sosiolinguistik: Perkenalan Awal. Jakarta:
Rineka Cipta. Chaer, Abdul dan Agustina, Leonie. 2010. Sosiolinguistik: Perkenalan Awal.
Jakarta: Rineka Cipta. Djojosuroto, Kinayati. 2007. Filsafat Bahasa. Yogyakarta: Pustaka Book
Publisher.
Djuroto, Totok dan Bambang Suprijadi. 2005. Menulis Artikel dan Karya Ilmiah. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 150
Finoza, Lamuddin. 2009. Komposisi Bahasa Indonesia: Untuk Mahasiswa
Nonjurusan Bahasa (Edisi 3). Jakarta: Diksi Intan Mulia. Gur, Weike. 2013. “Meningkatkan Kesadaran Berbahasa Indonesia yang Baik
dan Benar dengan Media Sosial”. Makalah disajikan dalam Kongres Bahasa Indonesia X di Jakarta 28-31 Oktober 2013.
Haryanta, Kasdi. 2009. “Teknik Presentasi Ilmiah”. Dalam http://kasdiharyanta-kasdih.blogspot.com/2009/09/teknik-presentasi-ilmiah.html. Diakses 7 Juli 2012.
http://www.kamusbesar.com/56609/ ragam-resmi. Diakses 23 Mei 2012. Indowebster. 2010. “Sejarah Singkat Ejaan yang Disempurnakan”. Dalam
http://www.sejarah-ejaan-di-indonesia/forum-dari -kami-yang-terbaik-untuk-kamu.html. Diakses 7 Februari 2012.
Kardhinata, Harso E. 2009. “Teknik Presentasi” (makalah). Disampaikan pada
Pelatihan Pembuatan Karya Tulis Mahasiswa dan Artikel Populer di Universitas Sumatera Utara, 21 Februari 2009.
Keraf, Gorys. 2004. Komposisi: Suatu Pengantar Kemahiran Berbahasa.
Ende: Nusa Indah. KOMPAS. 2008. “Bahasa Indonesia Diajarkan di 73 Negara”. Dalam
http://cabiklunik.blogspot.com/2008/01/bahasa-indonesia-diajarkan-di-73-negara.html. Diakses 27 Mei 2015.
Kridalaksana, Harimurti. 2008. Kamus Linguistik (edisi ke-Edisi Keempat). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Kridalaksana, Harimurtu. 1983. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia. Leech, Geofrey. 1993. Prinsip-prinsip Pragmatik. Jakarta: Universitas
Indonesia.
Mahsum. 2014. Teks dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia Kurikulum 2013. Jakarta: Rajawali Pers.
Martono, Nanang. “Menulis Artikel dalam Jurnal Ilmiah”. Dalam http://nanang-martono.blog.unsoed.ac.id/files/2012/07/Menulis-Karya-Ilmiah-untuk-Skripsi1.pdf. Diakses 7 Agustus 2012.
Moeliono, Anton M. 2000. Kedudukan dan Fungsi Bahasa Indonesia (dalam
Hasan Alwi, dkk. ed) Bahasa Indonesia dalam Era Globalisasi. Jakarta: Pusat Pembinaan dan pengembangan bahasa.
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 151
Moeliono, Anton M. 1989. Kembara Bahasa. Jakarta: PT Gramedia. Nugrahani, Farida. 2013. “Menurunnya Kebanggaan Masyarakat terhadap
Bahasa Indonesia sebagaiJatidiri Bangsa”. Makalah disajikan dalam Kongres Bahasa Indonesia X di Jakarta 28-31 Oktober 2013.
Nurhadi. 1987. Membaca Cepat dan Efektif. Bandung: C.V. Sinar Baru. Otansa. 2010. “Ragam Bahasa Resmi dan Ragam Bahasa Tidak Resmi”.
Dalam http://markootansa.blogspot.com/2010/01/ragam-bahasa-resmi-ragam-bahasa-tidak.html. Diakses 23 Mei 2012.
Pangabean, Maruli. 1981. Bahasa Pengaruh dan Peranannya. Jakarta:
Gramedia.
Pasal 28 UU No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, Serta Lagu Kebangsaan
Pasal 36 UU No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, Serta Lagu Kebangsaan
Prayitno, Harun Joko dkk. (ed). 2000. Pembudayaan Penulisan Karya Ilmiah. Surakarta: Muhammadiyah University Press.
Pusat Bahasa. 2010. Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang
Disempurnakan. Jakarta: Pusat Bahasa. Pusat Bahasa. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat
Bahasa. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1996. “Senarai Kata Serapan
dalam Bahasa Indonesia”. Dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Kata_serapan_dalam_bahasa_Indonesia. Diakses 7 Mei 2012.
Putrayasa, Ida Bagus. 2010. Bahasa Indonesia: Teori dan Aplikasinya (Buku
Ajar). Singaraja: Undiksha. Ramlan, M. 1996. Sintaksis. Yogyakarta: CV Karyono. Soedarso. 2002. Speed Reading: Sistem Membaca Cepat dan Efektif.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Sofyan, Agus Nero, dkk. 2007. Bahasa Indonesia dalam Penulisan Karya
Ilmiah. Bandung: Universitas Widyatama. Slametmulyana. 1965. Politik Bahasa Nasional. Jakarta: Jambatan.
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 152
Sudiana, I Nyoman. 2007. Membaca. Malang: Universitas Negeri Malang. Sudiara, I Nyoman Seloka. 2006. Pembinaan dan Pengemabangan Bahasa
Indonesia (Modul). Singaraja: Undiksha. Suharianto, S. 1981. Kompas Bahasa: Pengantar Berbahasa Indonesia yang
Baik dan Benar. Surakarta: Widya Duta. Sumarsono. 2007. “Mengapa Harus Bahasa Indonesia” (makalah).
Disampaikan dalam Seminar Peringatan Bulan Bahasa 2007, tanggal 22 Oktober 2007 Kampus Bawah Universitas Pendidikan Ganesha, di Singaraja.
Sumarsono. 2008. Sosiolinguistik. Yogyakarta: SABDA. Sumowijoyo, Gatot Susilo. 1990. “Kalimat Baku Bahasa Indonesia” Makalah
Penataran Bahasa Indonesia untuk Karyawan Pmdu Jawa Timur. Surabaya: IKIP Surabaya.
Syamsuddin, A.R. 1986. Sanggar Bahasa Indonesia. Jakarta: Universitas
Terbuka. Tarigan, Djago.dkk. 1998. Pengembangan Keterampilan Berbicara. Jakarta:
Depdikbud Bagian Proyek Penataran Guru SLTP setara D III. Tarigan, Henry Guntur. 1987. Membaca: Sebagai Suatu Keterampilan
Berbahasa. Bandung: Angkasa. Tugino. 2011. “Jenis-Jenis Karya Ilmiah”. Dalam://http
tugino230171.wordpress.com/2011/01/08/jenis-jenis-karya-ilmiah. Diakses 7 Mei 2012.
Undiksha. 2011. Panduan Penulisan Tesis (Revisi 3). Singaraja: Undiksha. Undiksha. 2009. Pedoman Penulisan Skripsi dan Tugas Akhir. Singaraja:
Undiksha. Widagdho, Djoko. 1997. Bahasa Indonesia: Pengantar Kemahiran Berbahasa
di Perguruan Tinggi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. www.jadwaltelevisi.com
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 153
GLOSARIUM
artikel : karangan faktual secara lengkap dengan
panjang tertentu yang dibuat untuk
dipublikasikan (melalui koran, majalah, buletin,
dsb) dan bertujuan menyampaikan gagasan dan
fakta yang dapat meyakinkan, mendidik, dan
menghibur.
bibliografi daftar buku atau karangan yang merupakan
sumber rujukan dari sebuah tulisan atau
karangan atau daftar tentang suatu subjek ilmu;
daftar pustaka.
bumiputra : sebutan bagi orang Indonesia di zaman kolonial
dialek : ragam bahasa dari sekelompok penutur yang
jumlahnya relatif yang berada pada suatu
tempat, wilayah, atau daerah tertentu. Meskipun
memiliki idiolek masing-masing, para penutur
dalam suatu wilayah tertentu memiliki ciri khas
tersendiri yang membedakannya dengan penutur
lainnya.
ideologi : kumpulan konsep bersistem yang dijadikan asas
pendapat (kejadian) yang memberikan arah dan
tujuan untuk kelangsungan hidup.
kalimat paralel : penataan kalimat dengan mengatur elemen-
elemen kalimat dengan fungsi yang sama
menggunakan pola gramatikal yang sama.
kalimat periodik : sebuah kalimat yang klausa utama muncul di
ujungnya.
lagu kalimat : sebutan lain untuk intonasi. Intonasi kalimat ialah
gabungan dari bermacam-macam gejala yang
umumnya disebut tekanan nada, tempo, dan
jeda dalam mengucapkan satu kalimat.
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 154
lingua franca : sebuah istilah linguistik yang artinya adalah
"bahasa pengantar" atau "bahasa pergaulan" di
suatu tempat di mana terdapat penutur bahasa
yang berbeda-beda.
linguistik : ilmu tentang bahasa atau ilmu yang menjadikan
bahasa sebagai objek kajiannya.
mengutip : proses pengambilan gagasan
mubazir : sia-sia atau tidak berguna; terbuang-buang
(karena berlebihan).
orasi ilmiah : adalah sebuah pidato formal, atau komunikasi
oral formal yang disampaikan kepada khalayak
ramai
reseptif : Kemampuan untuk dapat menerima
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 155
SILABUS BERORIENTASI SIKAP BAHASA
I. IDENTITAS MATA KULIAH Program Studi : - (Semua Prodi di Lingkungan Undiksha) Mata Kuliah : Bahasa Indonesia Kode : MPK1201 Semester : Ganjil/Genap Sks : 2 Prasayarat : - Dosen Pengampu : I Putu Mas Dewantara, S.Pd., M.Pd.
II. CP MATA KULIAH A. CP. Sikap
1) Menunjukkan sikap peduli dengan mendukung dan menjaga keberadaan bahasa Indonesia (S1)
2) Menggunakan bahasa Indonesia dalam komunikasi sehari-hari (senang menggunakan bahasa Indonesia) (S2)
3) Bangga menggunakan bahasa Indonesia (penanda jati diri) (S3) 4) Menunjukkan sikap yang menganggap bahasa Indonesia penting
(S4) 5) Percaya atau yakin bahwa bahasa Indonesia dapat bertahan atau
eksis di era global (S5) 6) Menganggap penguasaan bahasa Indonesia perlu dikembangkan
(S6) 7) Patuh terhadap kaidah bahasa (tepat/benar) (S7) 8) Patuh terhadap norma bahasa/norma sosial budaya (cermat, santun)
(S8)
B. CP. Pengetahuan 1) Mampu memahami sejarah perkembangan bahasa Indonesia dan
kedudukan bahasa Indonesia (P1) 2) Mampu memahami ragam bahasa Indonesia dan menggunakannya
sesuai dengan konteks (P2) 3) Mampu memahami ejaan bahasa Indonesia dan mampu
menerapkannya dalam bahasa tulis dengan tepat (P3) 4) Mampu menggunakan bahasa Indonesia secara santun (P4) 5) Mampu menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar
(P5) 6) Mampu memahami bagian-bagian karya ilmiah, seperti makalah,
artikel, proposal, dan laporan serta mampu menyusunnya untuk berbagai keperluan (P6)
7) Mampu memahami cara membuat kutipan, daftar pustaka, dan catatan kaki serta mampu mengaplikasikannya untuk berbagai keperluan (P7)
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 156
8) Mampu berbicara dalam forum ilmiah dengan menggunakan bahasa yang baik dan benar (P8)
C. CP. Keterampilan Umum
1) Mampu menerapkan pemikian logis, kritis, sistematis, dan inovatif dalam konteks pengembangan atau implementasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang memperhatikan dan menerapkan nilai humaniora yang sesuai dengan bidang keahliannya (KU1)
2) Mampu menunjukkan kinerja mandiri, bermutu dan terukur. (KU2) 3) Mampu mengambil keputusan secara tepat dalam konteks
penyelesaian masalah di bidang keahliannya, berdasarkan hasil analisis informasi dan data. (KU4)
D. CP. Keterampilan Khusus
1) Mampu menggunakan bahasa Indonesia dengan memperhatikan kaidah kebahasaan (KK1)
2) Mampu menggunakan bahasa Indonesia yang santun dengan memperhatikan kaidah sosial budaya (KK2)
III. GARIS BESAR RENCANAAN PEMBELAJARAN (GBRP)
No Capaian Pembelajaran
Indikator Pencapaian CP (kemampuan akhir yg
ingin dicapai)
Bahan Kajian/Materi Pokok Pembelajaran
1. S1, S3, S4, S5, P1, KU1, KK1
1. Dapat memahami sejarah perkembangan bahasa Indonesia dan kedudukan bahasa Indonesia
1.1. Sejarah perkembangan bahasa Indonesia
1.2. Kedudukan bahasa Indonesia
1.3. Fungsi bahasa Indonesia
1.4. Kedudukan bahasa Indonesia di era globalisasi
2. S2, P2, KK2
2. Dapat memahami ragam bahasa Indonesia dan menggunakannya sesuai dengan konteks
2.1. Ragam bahasa Indonesia berdasarkan daerah penutur
2.2. Ragam bahasa Indonesia berdasarkan situasi
2.3. Ragam bahasa Indonesia berdasarkan media
2.4. Ragam bahasa Indonesia berdasarkan bidang pemakaian
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 157
3. S1, S4, S7, P3, KU1, KK1
3. Dapat memahami ejaan bahasa Indonesia dan mampu menerapkannya dalam bahasa tulis dengan tepat
3.1. Penulisan huruf 3.2. Penulisan kata 3.3. Tanda baca 3.4. Kaidah penyerapan
unsur asing
4. S8, P4, KK2
4. Dapat menggunakan bahasa Indonesia secara santun
4.1. Kesantunan berbahasa
4.2. Aspek-aspek nonlinguistik yang memengaruhi kesantunan berbahasa
5. S6, S7, S8, P5, KU4, KK1, KK2
5. Dapat menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar
5.1 Bahasa Indonesia yang baik dan benar
5.2 Aneka kesalahan berbahasa Indonesia
6. S7, P6, KU1, KK1
6. Mampu memahami memahami bagian-bagian makalah, artikel, proposal, dan laporan serta mampu menyusunnya untuk berbagai keperluan
6.1 Makalah 6.2 Artikel 6.3 Proposal 6.4 Laporan
7. S6, S7, P7, KU2, KK1
7. Dapat membuat kutipan, daftar pustaka, dan catatan kaki untuk berbagai keperluan
7.1. Kutipan 7.2. Daftar pustaka 7.3. Catatan kaki
8. S1, S3, S4, S6, P8, KU2, KK1, KK2
8. Dapat berbicara dalam forum ilmiah dengan menggunakan bahasa yang baik dan benar
8.1. Hakikat berbicara di forum ilmiah
8.2. Etika berbicara di forum ilmiah
8.3. Penyiapan bahan dan media presentasi
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 158
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 159
RENCANA PEMBELAJARAN SEMESTER (RPS)
BERORIENTASI SIKAP BAHASA
I. IDENTITAS MATA KULIAH
Program Studi : (Semua Prodi di Lingkungan Undiksha) Mata Kuliah : Bahasa Indonesia Kode : MPK1201 Semester : Ganjil/Genap Sks : 2 Prasayarat : - Dosen Penampu : I Putu Mas Dewantara, S.Pd., M.Pd.
II. CP MATA KULIAH
A. CP. Sikap
1) Menunjukkan sikap peduli dengan mendukung dan menjaga
keberadaan bahasa Indonesia (S1)
2) Menggunakan bahasa Indonesia dalam komunikasi sehari-hari
(senang menggunakan bahasa Indonesia) (S2)
3) Bangga menggunakan bahasa Indonesia (penanda jati diri) (S3)
4) Menunjukkan sikap yang menganggap bahasa Indonesia penting (S4)
5) Percaya atau yakin bahwa bahasa Indonesia dapat bertahan atau
eksis di era global (S5)
6) Menganggap penguasaan bahasa Indonesia perlu dikembangkan (S6)
7) Patuh terhadap kaidah bahasa (tepat/benar) (S7)
8) Patuh terhadap norma bahasa/norma sosial budaya (cermat, santun)
(S8)
B. CP. Pengetahuan
1) Mampu memahami sejarah perkembangan bahasa Indonesia dan
kedudukan bahasa Indonesia (P1)
2) Mampu memahami ragam bahasa Indonesia dan menggunakannya
sesuai dengan konteks (P2)
3) Mampu memahami ejaan bahasa Indonesia dan mampu
menerapkannya dalam bahasa tulis dengan tepat (P3)
4) Mampu menggunakan bahasa Indonesia secara santun (P4)
5) Mampu menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar (P5)
6) Mampu memahami bagian-bagian karya ilmiah, seperti makalah,
artikel, proposal, dan laporan serta mampu menyusunnya untuk
berbagai keperluan (P6)
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 160
7) Mampu memahami cara membuat kutipan, daftar pustaka, dan catatan
kaki serta mampu mengaplikasikannya untuk berbagai keperluan (P7)
8) Mampu berbicara dalam forum ilmiah dengan menggunakan bahasa
yang baik dan benar (P8)
C. CP. Keterampilan Umum
1) Mampu menerapkan pemikian logis, kritis, sistematis, dan inovatif
dalam konteks pengembangan atau implementasi ilmu pengetahuan
dan teknologi yang memperhatikan dan menerapkan nilai humaniora
yang sesuai dengan bidang keahliannya (KU1)
2) Mampu menunjukkan kinerja mandiri, bermutu dan terukur. (KU2)
3) Mampu mengambil keputusan secara tepat dalam konteks
penyelesaian masalah di bidang keahliannya, berdasarkan hasil
analisis informasi dan data. (KU4)
D. CP. Keterampilan Khusus
1) Mampu menggunakan bahasa Indonesia dengan memperhatikan
kaidah kebahasaan (KK1)
2) Mampu menggunakan bahasa Indonesia yang santun dengan
memperhatikan kaidah sosial budaya (KK2)
III. DESKRIPSI MATA KULIAH
Mata kuliah bahasa Indonesia sebagai MPK menekankan keterampilan
menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara dan bahasa
nasional secara baik dan benar untuk menguasai, menerapkan, dan
mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni sebagai wujud
kecintaan dan kebanggaan terhadap bahasa Indonesia. Substansi kajian
MPK Bahasa Indonesia terdiri atas sejarah perkembangan bahasa
Indonesia dan kedudukan bahasa, ragam bahasa, ejaan, kesantunan
berbahasa, bahasa Indonesia yang baik dan benar, karya ilmiah,
menulis kutipan, daftar pustaka, dan catatan kaki, serta berbicara dalam
forum ilmiah. Substansin kajian MPK Bahasa Indonesia berorientasi
pada penumbuhan sikap positif terhadap bahasa Indonesia terutama
pada penumbuhan kesadaran terhadap norma bahasa dan norma
budaya.
IV. RINCIAN KEGIATAN PERKULIAHAN
Tatap muka/
Minggu ke
Capaian Pembela-
jaran
Kemampuan akhir yg
diharapkan
Indikator Bahan Kajian/Materi Pokok/ Rincian
Materi
Metode
[Estimasi Waktu]
Pengalaman Belajar
Bobot Penilaian
(%)
I,II
S1, S3,
S4, S5,
P1,
KU1,
KK1
1. Dapat memahami sejarah perkembangan bahasa Indonesia dan kedudukan bahasa Indonesia
1.1 Ketepatan menjelaskan sejarah perkembangan bahasa Indonesia
1.2 Ketepatan menjelaskan mengenai kedudukan bahasa Indonesia
1.3 Ketepatan menjelaskan fungsi bahasa Indonesia
1.4 Ketepatan menjelaskan kedudukan bahasa Indonesia di era globalisasi
1.1 Sejarah perkembangan bahasa Indonesia
1.2 Kedudukan bahasa Indonesia
1.3 Fungsi bahasa Indonesia
1.4 Kedudukan bahasa Indonesia di era globalisasi
- Kuliah dan diskusi [TM: 2(2x50”)]
- Tugas 1: membuat ringkasan dari hasil membaca (buku dan artikel jurnal/prosiding) mengenai kedudukan bahasa Indonesia di era global [BT+BM: (1+1)x(2x60”)]
Melalui kuliah dan diskusi mahasiswa memperoleh pengalaman mengidentifikasiperkembangan bahasa Indonesi, kedudukan, dan fungsi bahasa Indonesia. Pnugasan memberikan pengalaman dalam mengidentifikasi dan merumuskan kedudukan bahasa Indonesia di era globalisasi dari hasil membaca berbagai sumber seperti buku, artikel jurnal/ prosiding, dll.)
10
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 162
Tatap muka/
Minggu ke
Capaian Pembela-
jaran
Kemampuan akhir yg
diharapkan
Indikator Bahan Kajian/Materi Pokok/ Rincian
Materi
Metode
[Estimasi Waktu]
Pengalaman Belajar
Bobot Penilaian
(%)
III S2, P2,
KK2
2. Dapat
memahami
ragam bahasa
Indonesia dan
menggunakan
-nya sesuai
dengan
konteks
2.1 Ketepatan
menjelaskan
ragam bahasa
Indonesia
berdasarkan
daerah penutur
2.2 Ketepatan
menjelaskan
ragam bahasa
Indonesia
berdasarkan
situasi
2.3 Ketepatan
menjelaskan
ragam bahasa
Indonesia
berdasarkan
media
2.4 Ketepatan
menjelaskan
ragam bahasa
2.1 Ragam bahasa
Indonesia
berdasarkan
daerah penutur
2.2 Ragam bahasa
Indonesia
berdasarkan
situasi
2.3 Ragam bahasa
Indonesia
berdasarkan
media
2.4 Ragam bahasa
Indonesia
berdasarkan
bidang pemakaian
- Kuliah dan diskusi dalam kelompok kecil [TM: 1(2x50”)]
- Tugas 2: studi kasus penggunaan ragam bahasa dalam berkomunikasi [BT+BM: (1+1)x(2x60”)]
Melalui kuliah dan diskusi kelompok kecil, mahasiswa mendapatkan pengalaman dalam Mengidenti-fikasi ragam bahasa berdasarkan aspek-aspek tertentu dari buku, artikel jurnal/prosiding, dll. dan memahami penggunaannya dalam berbagai konteks komunikasi dari telaah kasus yang dilakukan. Penugasan akan memperkaya pemahaman
10
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 163
Tatap muka/
Minggu ke
Capaian Pembela-
jaran
Kemampuan akhir yg
diharapkan
Indikator Bahan Kajian/Materi Pokok/ Rincian
Materi
Metode
[Estimasi Waktu]
Pengalaman Belajar
Bobot Penilaian
(%)
Indonesia
berdasarkan
bidang
pemakaian
mahasiswa terhadap ragam bahasa dan penggunaannya dalam berbagai konteks.
IV S1, S4,
S7, P3,
KU1,
KK1
3. Dapat
memahami
ejaan bahasa
Indonesia dan
mampu
menerapkann
ya dalam
bahasa tulis
dengan tepat
3.1. Ketepatan
penulisan
huruf
3.2. Ketepatan
penulisan
kata
3.3. Ketepatan
pengunaan
tanda baca
3.4. Ketepatan
menjeaskan
kaidah
penyerapan
unsur asing
3.1 Penulisan huruf
3.2 Penulisan kata
3.3 Tanda baca
3.4 Kaidah
penyerapan unsur
asing
- Kuliah dan diskusi dalam kelompok kecil [TM: 1(2x50”)]
- Tugas 3: analisis kesalahan ejaan pada karya ilmiah atau artikel dalam koran/majalah [BT+BM: (1+1)x(2x60”)]
Melalui tatap muka dan diskusi, mahasiswa dapatmemahami kaidah ejaan dan menggunakan ejaan bahasa Indonesia secara benar. Analisis kesalahan ejaan juga akan memberikan pengalaman serta penguatan terhadap kaidah-kaidah ejaan (kesadaran adanya norma
10
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 164
Tatap muka/
Minggu ke
Capaian Pembela-
jaran
Kemampuan akhir yg
diharapkan
Indikator Bahan Kajian/Materi Pokok/ Rincian
Materi
Metode
[Estimasi Waktu]
Pengalaman Belajar
Bobot Penilaian
(%)
bahasa)
V S8, P4,
KK2
4. Dapat
menggunakan
bahasa
Indonesia
secara santun
Kemahiran
menggunakan
bahasa Indonesia
secara santun
4.1 Kesantunan
berbahasa
4.2 Aspek-aspek
nonlinguistik yang
memengaruhi
kesantunan
berbahasa
- Kuliah dan diskusi [TM: 1(2x50”)]
- Tugas 4: studi kasus terkait masalah kesantunan dalam berbahasa Indonesia [BT+BM: (1+1)x(2x60”)]
Diskusi yang dilakukan memberikan pemahaman tentang kesantunan dan aspek-aspek yang memengaruhi-nya. Latihan analisis kasus memberikan pengalaman terkait ketepatan penggunaan bahasa sesuai kaidah sosial budaya
10
VI,VII, VIII S6, S7,
S8, P5,
KU4,
KK1,
KK2
5. Dapat
menggunakan
bahasa
Indonesia
dengan baik
dan benar
5.1. Kemahiran
menggunakan
bahasa
Indonesia
secara baik dan
benar
5.1 Bahasa
Indonesia yang
baik dan benar
5.2 Aneka kesalahan
berbahasa
Indonesia
- Kuliah, diskusi dalam kelompok kecil, dan presentasi [TM: 3(2x50”)]
- Tugas 5: studi
Melalui kulih dan diskusi pengalaman belajar yng diperoleh adalah terkait
20
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 165
Tatap muka/
Minggu ke
Capaian Pembela-
jaran
Kemampuan akhir yg
diharapkan
Indikator Bahan Kajian/Materi Pokok/ Rincian
Materi
Metode
[Estimasi Waktu]
Pengalaman Belajar
Bobot Penilaian
(%)
5.2. Ketepatan
pemahaman
aneka
kesalahan
berbahasa
Indonesia
kasus mengenai penggunaan bahasa Indonesia di berbagai ranah kehidupan [BT+BM: (2+2)x(2x60”)]
penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar dan aneka kesalahan berbahasa Indonesia. Diskusi kelompok kecil dan presentasi memberikan pengalaman terkait kasus penggunaan bahasa untuk menumbuhkan kecintaan, kebanggaan, dan kesadaran adanya norma bahasa.
IX UTS Dapat
menguasai
materi dan
keterampilan
Ketepatan dan
keterampilan dalam
menggunakan
bahasa Indonesia
(Materi Pertemuan I-
VII)
Presentasi opini terkait penggunaan bahasa Indonesia
Menunjukkan sikap, pengetahuan, dan keterampilan
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 166
Tatap muka/
Minggu ke
Capaian Pembela-
jaran
Kemampuan akhir yg
diharapkan
Indikator Bahan Kajian/Materi Pokok/ Rincian
Materi
Metode
[Estimasi Waktu]
Pengalaman Belajar
Bobot Penilaian
(%)
yang telah
dilatihkan pada
Pertemuan I-VII
dan berbagai solusi pemartabatan bahasa Indonesia di era global. Setiap mahasiswa memiliki waktu 10-15 menit untuk mempresentasi-kan artikelnya. (Sebelumnya mahasiswa diminta menyusun artikel dari hasil studi kasus, telaah kasus, dan perumusan solusi dari kasus kebahasaan yang diangkat) [TM: 1(2x50”)
berbahasa Indonesia
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 167
Tatap muka/
Minggu ke
Capaian Pembela-
jaran
Kemampuan akhir yg
diharapkan
Indikator Bahan Kajian/Materi Pokok/ Rincian
Materi
Metode
[Estimasi Waktu]
Pengalaman Belajar
Bobot Penilaian
(%)
X, XI S7, P6,
KU1,
KK1
6. Mampu
memahami
bagian-bagian
makalah,
artikel,
proposal, dan
laporan serta
mampu
menyusunnya
untuk berbagai
keperluan
Ketepatan
pemahaman bagian-
bagian makalah,
artikel, proposal,
dan laporan
6.1. Makalah
(perbedaan
makalah dengan
karya ilmiah lain,
bagian-bagian
makalah, teknik
menyusun
makalah)
6.2. Artikel (perbedaan
artikel kajian
pustaka dan hasil
penelitian, bagian-
bagian dalam
artikel kajian
pustaka dan hasil
penelitian)
6.3. Proposal (bagian-
bagian proposal)
6.4. Laporan (bagian-
bagian laporan)
- Kuliah dan diskusi [TM: 2(2x50”)]
- Tugas 6: Mengkaji bagian-bagian makalah, artikel, proposal, dan laporan di perpustakaan [BT+BM: (1+1)x(2x60”)]
Melalui kuliah dan diskusi, mahasiswa memperoleh pengalaman mengkaji komponen-komponen penyusun makalah, artikel, proposal, dan laporan serta berlatih menulisnya untuk berbagai keperluan Penugasan juga memberi pengalaman memahami lebih mendalam materi yang dipelajari.
10
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 168
Tatap muka/
Minggu ke
Capaian Pembela-
jaran
Kemampuan akhir yg
diharapkan
Indikator Bahan Kajian/Materi Pokok/ Rincian
Materi
Metode
[Estimasi Waktu]
Pengalaman Belajar
Bobot Penilaian
(%)
XII, XIII S6,
S7,
P7,
KU2,
KK1
7. Dapat
membuat
kutipan,
daftar
pustaka,
dan catatan
kaki untuk
berbagai
keperluan
7.1 Ketepatan
menulis kutipan
langsung, tidak
langsung,
kutipan dalam
kutipan
7.2 Ketepatan
menulis daftar
pustka dari
berbagai
sumber
7.3 Ketepatan
menulis catatan
kaki
7.1 Kutipan (kutipan
langsung, tidak
langsung, kutipan
dalam kutipan)
7.2 Daftar pustaka dari
berbagai sumber
(buku, artikel jurnal,
prosiding, undang-
undang, dll)
7.3 Catatan kaki
(catatan kaki isi dan
catatan kaki
referensi serta
catatan kaki
singkat)
- Diskusi dan presentasi kelompok [TM: 2(2x50”)]
- Tugas 7: Telaah penulisan kutipan, daftar pustaka, dan catatan kaki pada karya ilmiah [BT+BM: (1+1)x(2x60”)]
Diskusi dan presentasi kelompok memberikan pengalaman mengkaji berbagai teknik mengutif, membuat daftar pustaka, dan mebuat catatan kaki. Penugasan akan semakin melatih kemampuan siswa dalam menelaah dan menulis kutipan, daftar pustaka, dan catatan kaki.
15
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 169
Tatap muka/
Minggu ke
Capaian Pembela-
jaran
Kemampuan akhir yg
diharapkan
Indikator Bahan Kajian/Materi Pokok/ Rincian
Materi
Metode
[Estimasi Waktu]
Pengalaman Belajar
Bobot Penilaian
(%)
XIV,XV S1,
S3,
S4,
S6,
P8,
KU2,
KK1,
KK2
8. Dapat
berbicara
dalam forum
ilmiah dengan
menggunakan
bahasa yang
baik dan
benar
8.1 Ketepatan
pemahaman
hakikat
berbicara di
forum ilmiah
8.2 Mampu
berkomunikasi
di forum ilmiah
dengan
memperhatikan
etika berbicara
8.3 Kemampuan
penyiapan
bahan dan
media
presentasi
8.1. Hakikat
berbicara di
forum ilmiah
8.2. Etika berbicara
di forum ilmiah
8.3. Penyiapan
bahan dan
media
presentasi
- Kuliah dan diskusi dalam kelompok kecil [TM: 1(2x50”)]
- Praktik berbicara di forum ilmiah [TM: 1(2x50”)]
- Tugas 8: Mengkaji berbagai kasus praktik berbicara di forum ilmiah [BT+BM: (1+1)x(2x60”)]
Kuliah dan diskusi dalam kelompok kecil memberikan pemahaman dalam mengkaji hakikat berbicara di forum ilmiah, etika, dan penyiapan bahan serta media presentasi. Praktik berbicara memberikan pengalaman untuk meningkatkan keterampilan berbicara di forum ilmiah.
15
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 170
Tatap muka/
Minggu ke
Capaian Pembela-
jaran
Kemampuan akhir yg
diharapkan
Indikator Bahan Kajian/Materi Pokok/ Rincian
Materi
Metode
[Estimasi Waktu]
Pengalaman Belajar
Bobot Penilaian
(%)
XVI UAS Dapat mengkaji
masalah dan
menunjukkan
sikap,
pengetahuan,
dan
keterampilan
berbahasa
Indonesia
dengan baik dan
benar
Ketepatan
mengaplikasikan
berbagai teori
dengan
menunjukkan sikap,
pengetahuan, dan
keterampilan
berbahasa
Indonesia dengan
baik dan benar
(Menguasai
penguasaan dan
menunjukkan
keterampilan
berbahasa Indonesia
dengan baik dan
benar)
Tes tulis [TM: 1(2x50”)]
Menunjukkan sikap, pengetahuan, dan keterampilan berbahasa Indonesia dan mampu mengkaji berbagai masalah/problematika yang ada
Keterangan:
(1) TM : Tatap Muka, BT: Belajar Terstruktur, BM: Belajar Mandiri (2) [TM: 1(2x50”)] dibaca: kuliah tatap muka 1 kali (minggu) x 2sks x 50 menit (3) [BT+BM: (1+1)x(2x60”)] dibaca: belajar terstruktur 1 kali (minggu) dan belajar mandiri 1 kali (minggu) x 2 sks x 60 menit
Tentang Penulis
I Putu Mas Dewantara, S.Pd., M.Pd. adalah dosen Prodi
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas
Bahasa dan Seni, Universitas Pendidikan Ganesha
(Undiksha). Lahir di Yehkuning, Jembrana Bali pada 7
Februari 1987. Menyelesaikan pendidikan S1 tahun 2009
di Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Undiksha. Melanjutkan ke S2 tahun 2010 dan lulus tahun
2012 di Prodi Pendidikan Bahasa Indonesia Pascasarjana
Undiksha. Saat ini sedang menempuh studi S3 di Pascasarjana Universitas
Pendidikan Ganesha.
Penulis dari tahun 2012-2015 bekerja sebagai dosen kontrak di bawah Unit
MPK Undiksha. Selama menjadi dosen kontrak selain mengajar mata kuliah
Bahasa Indonesia MPK, aktif di berbagai kegiatan seminar, lokakarya,
workshop baik sebagai pembicara, peserta, maupun panitia kegiatan. Tahun
2015 diangkat sebagai CPNS dosen pada Prodi Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia Universitas Pendidikan Ganesha.
Prof. Dr. I Nengah Suandi, M.Hum. lahir di Klungkung
pada 31 Desember 1956. Jenjang pendidikan S1
diselesaikan pada Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan,
Universitas Udayana pada tahun 1982; S2 di Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta tahun 1997; dan S3 di
Universitas Udayana pada tahun 2007. Jabatan guru
besar diraih pada tahun 2010 dalam bidang linguistik. Sebelum menjadi
dosen Universitas Pendidikan Ganesha pernah menjadi dosen honor di IKIP
PGRI Denpasar pada tahun 1983-1985. Saat ini berkedudukan sebagai
dosen tetap pada Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas
Bahasa dan Seni Universitas Pendidikan Ganesha (Undiksha) dengan
mengasuh beberapa mata kuliah, seperti mata kuliah umum Bahasa
Indonesia, Sosiolinguistik, Metode Penelitian, Analisis Kesalahan Berbahasa
Indonesia (semuanya pada program S1), Pragmatik, Analisis Wacana Kritis,
Problema Bahasa Indonesia (semuanya pada Program Pascasarjana
Undiksha).
Jabatan yang pernah dipangku antara lain Ketua Jurnal Pendidikan dan
Pengajaran IKIP Negeri Singaraja (sekarang Undiksha), Sekretaris Lembaga
Penelitian Undiksha, Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa Program
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 172
Pascasarjana Undiksha, Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada
Masyarakat Undiksha. Buku ajar yang telah disusun adalah Analisis
Kesalahan Berbahasa (1986), Metode Penelitian Bahasa dan Sastra (1990),
Keterampilan Berbahasa Indonesia Berorientasi Integrasi Nasional dan
Harmoni Sosial (2011), dan Sosiolinguistik (2014).
Prof. Dr. Drs. I Wayan Rasna, M.Pd. lahir di Klungkung
pada 4 Juni 1960. Jenjang pendidikan S1 diselesaikan
pada Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia,
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas
Udayana pada tahun 1983; S2 pada bidang ilmu
Pengajaran Bahasa di IKIP Bandung pada tahun 1996;
dan S3 pada bidang Linguistik Kebudayaan di Universitas
Udayana pada tahun 2010. Jabatan guru besar diraih
pada tahun 2012.
Saat ini berkedudukan sebagai dosen tetap di Prodi Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Pendidikan
Ganesha. Mata kuliah yang diasuh adalah Semantik (S1), Psikolinguistik (S1),
Bahasa Indonesia (S1), Sosiolinguistik (S2), Linguistik Terapan (S2), Filsafat
Ilmu (S2), Etnopedagogi (S2), Pengembangan Kurikulum dan Bahan Ajar
(S2), Filsafat Bahasa (S3), dan Psikolinguistik Lanjut (S3). Jabatan yang
diampu saat ini adalah Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa S2 dan
Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa S3.
Prof. Dr. Ida Bagus Putrayasa, M.Pd. lahir di Desa
Banjar, Buleleng Bali 10 Februari 1960. Jenjang
pendidikan S1 diselesaikan pada bidang ilmu Pendidikan
Bahasa, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan,
Universitas Udayana pada tahun 1984; S2 pada bidang
ilmu Pendidikan Bahasa di IKIP Bandung pada tahun
1998; dan S3 pada bidang Pendidikan Bahasa di UPI
Bandung pada tahun 2001. Jabatan guru besar diraih
pada tahun 2004.
Sebagai dosen tetap di Universitas Pendidikan Ganesha mata kuliah yang diampu adalah Sintaksis I, Sintaksis II, Bahasa Indonesia, Evaluasi Bahasa Indonesia, Tes BIPA, Pragmatik, Landasan Pembelajaran, Linguistik Lanjut,
Bahasa Indonesia Berorientasi Sikap Bahasa | 173
Perkembangan Mutakhir Metode Pembelajaran Bahasa Indonesia, Seminar Bahasa dan Sastra Indonesia. Buku yang sudah dipublikasikan adalah Bahasa Indonesia: Teori dan Aplikasinya (2010), Kajian Morfologi Cetakan II (2010), Jenis Kalimat dalam Bahasa Indonesia Cetakan II (2012), Landasan Pembelajaran (2013), Analisis Kalimat Cetakan IV (2014), Kalimat Efektif (Edisi Revisi) Cetakan IV (2014), Pragmatik (2014), Tata Kalimat Bahasa Indonesia Cetakan IV (2016), Sintaksis (Memahami Kalimat Tunggal) (2017), dan Evaluasi Pembelajaran (2018).
BAHASA INDONESIA
Bahasa Indonesia sebagai mata kuliah wajib di perguruan tinggi dikelompokkan ke dalam Mata Kuliah Pengembangan Keperibadian (MPK). Tujuan MPK Bahasa Indonesia adalah menumbuhkan sikap positif terhadap bahasa Indonesia sebagai bahasa negara dan bahasa nasional dan mampu menggunakannya secara baik dan benar untuk mengungkapkan pemahaman, rasa kebangsaan, cinta tanah air, dan untuk berbagi keperluan dalam bidang ilmu, teknologi, dan seni serta profesinya masing-masing. Untuk mencapai tujuan tersebut, buku ini dikembangkan dengan orientasi penumbuhkembangan sikap positif terhadap bahasa Indonesia. Buku ini mendudukkan bahasa Indonesia sebagai perajut nasionalisme dalam bingkai kebhinekaan. Substansi kajian MPK Bahasa Indonesia dalam buku ini terdiri atas sejarah perkembangan bahasa Indonesia dan kedudukan bahasa, ragam bahasa, ejaan, kesantunan berbahasa, bahasa Indonesia yang baik dan benar, karya ilmiah, menulis kutipan, daftar pustaka, dan catatan kaki, serta berbicara dalam forum ilmiah.
Berorientasi Sikap Bahasa