-
39
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Pengamatan Morfologi dan Tingkah Laku Udang Vaname
Pengamatan morfologi dan tingkah laku udang vaname dilakukan secara
makroskopik yaitu dengan kasat mata. Perlakuan yang diamati adalah udang
kontrol positif (K+) yaitu udang sehat tanpa pemberian ekstrak rumput laut
Eucheuma cottoni dan tanpa infeksi virus WSSV, udang kontrol negatif (K-) yaitu
udang tanpa pemberian ekstrak rumput laut yang diinfeksi virus WSSV serta
udang perlakuan P1, udang perlakuan P2, dan udang perlakuan P3 yaitu udang
yang diberi ekstrak rumput laut dengan dosis 5gr/kg, 10 gr/kg, dan 15gr/kg yang
diinfeksi virus WSSV.
4.1.1 Pengamatan Udang Kontrol Positif (K+)
Udang perlakuan kontrol positif (K+) yaitu udang sehat tanpa pemberian
ekstrak rumput laut Eucheuma cottonii dan tanpa diinfeksi virus WSSV. Menurut
Arafani et al., 2016, udang sehat memiliki ciri – ciri yaitu tubuh udang berwarna
cerah, anggota tubuh utuh, ekor utuh, udang bergerak aktif, dan mata udang
memantulkan warna sinar merah bila terkena cahaya pada malam hari. Hasil
pengamatan morfologi dan tingkah laku udang kontrol positif dapat dilihat pada
Tabel 2.
Tabel 2. Ciri – Ciri Tingkah Laku dan Morfologi Udang Kontrol Positif (K+)
No Hari Ciri – ciri tingkah laku dan morfologi
1 1 - Nafsu makan normal, udang bergerak aktif, badan terlihat segar
2 2 - Nafsu makan masih normal, rangsangan terhadap sentuhan
masih normal, badan udang terlihat segar
3 3 - Nafsu makan normal, badan udang segar, pergerakan normal
4 4 - Nafsu makan normal, respon terhadap sentuhan normal
- Badan udang terlihat segar
5 5 - Nafsu makan normal, respon terhadap sentuhan normal
- Badan terlihat cerah
6 6 - Nafsu makan normal, pergerakan gesit, badan terlihat segar
-
40
4.1.2 Pengamatan Udang Kontrol Negatif (-)
Udang perlakuan kontrol negatif (K-) diperoleh dari udang yang telah
diberi virus WSSV tanpa pemberian ekstrak rumput laut Eucheuma cottonii.
Penginfeksian virus menggunakan metode perendaman dengan dosis 20 µg/ml.
Pengamatan dilakukan mulai hari pertama pasca infeksi hingga hari ke enam
pasca infeksi. Hasil pengamatan dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Ciri – Ciri Tingkah Laku dan Morfologi Udang Kontrol Negatif (K-)
No Hari Ciri – ciri tingkah laku dan morfologi
1 1 - Nafsu makan normal, udang bergerak aktif
- Badan terlihat segar
2 2 - Nafsu makan masih normal, rangsangan terhadap sentuhan
masih normal
- Badan udang terlihat segar
3 3 - Nafsu makan normal, tetapi ada yang tersisa
- Badan udang mulai terlihat kemerahan
- Pergerakan mulai lemah, dan tidak begitu respon terhadap
sentuhan
4 4 - Nafsu makan mulai berkurang, udang bergerak di dasar secara
lambat, badan sampai ekor terlihat kemerahan
5 5 - Nafsu makan semakin berkurang dilihat dari sisa pakan yang
masih banyak, warna merah pada udang terlihat jelas, udang
bergerak melambat di dasar kolam,
6 6 - Nafsu makan turun, pergerakan lambat dan lemas, mengalami
kematian
Berdasarkan Tabel 3 dapat diketahui bahwa pada hari ke-1 dan hari ke- 2
pasca infeksi WSSV udang masih menunjukan perilaku yang normal yaitu terlihat
dari nafsu makan yang normal dan peka terhada rangsangan. Kemudian pada
hari ke tiga nafsu makan mulai menurun, badan mulai terlihat kemerahan yang
dimungkinkan hal ini terjadi karena pengaruh dari virus WSSV yang mulai
menginfeksi udang vaname. Selanjutnya pada hari ke-4 dan ke-5 nafsu makan
dan pergerakan semakin menurun serta kemerah – merahan nampak semakin
jelas dan pada hari ke-6 udang mengalami kematian. Menurut Utami et al., 2012
-
41
gejala klinis udang yang terinfeksi WSSV yaitu nafsu makan berkurang,
berenang miring dan lemah, mendekati gelembung udara, kaki renang, telson
dan uropod kemerahan.
4.1.3 Pengamatan Udang Perlakuan P1
Udang perlakuan P1 diperoleh dari udang vaname yang dberi virus
WSSV yang sebelumnya sudah diberi ekstrak rumput laut Eucheuma cottonii
dengan dosis 5g/kg pakan. Data hasil pengamatan ciri – ciri tingkah laku dan
morfologi dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Ciri – Ciri Tingkah Laku dan Morfologi Udang Perlakuan P1
No Hari Ciri – ciri tingkah laku dan morfologi
1 1 - Udang bergerak aktif, responsif terhadap sentuhan - Nafsu makan normal, badan udang terlihat segar
2 2 - Pergerakan udang aktif, nafsu makan normal
- Respon terhadap sentuhan tinggi,
- Badan udang masih terlihat segar
3 3 - Nafsu makan masih normal, badan udang terlihat segar
- Masih respon terhadpa sentuhan
4 4 - Nafsu makan menurun, warna udang mulai memerah
- Udang masih aktif bergerak,
- Ketika diberi sentuhan masih menghindar
5 5,6 - Nafsu makan menurun, pergerakan mulai menurun
- Warna udang memerah, udang lebih banyak diam
Berdasarkan Tabel 4 dapat diketahui bahwa pada hari pertama sampai
hari ke-3 pasca infeksi udang menunjukkan perilaku normal yaitu nafsu makan
masih normal, udang bergerak aktif dan badan masih terlihat segar. Kemudian
pada hari ke-4, 5 dan ke-6 nafsu makan menurun, pergerakan mulai menurun,
badan mulai memerah dan udang lebih banyak diam, hal ini dimungkinkan
karena virus WSSV mulai menginfeksi udang vaname sehingga terjadi
perubahan tingkah laku. Menurut Kordi (2009) gejala umum udang yang
terinfeksi virus WSSV yaitu nafsu makan menurun, keadaanya lemah dan
-
42
kehilangan keseimbangan, tubuh udang berwarna merah mula – mula pada
bagian kepala dan ekor dan akhirnya ke seluruh tubuh.
4.1.4 Pengamatan Udang Perlakuan P2
Udang perlakuan P2 diperoleh dari udang vaname yang dberi virus
WSSV yang sebelumnya sudah diberi ekstrak rumput laut Eucheuma cottonii
dengan dosis 10g/kg pakan. Data hasil pengamatan ciri – ciri tingkah laku dan
morfologi dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Ciri – Ciri Tingkah Laku dan Morfologi Udang Perlakuan P2
No Hari Ciri – ciri tingkah laku dan morfologi
1 1,2,3 - Udang bergerak aktif, respon terhadap sentuhan baik - Badan udang terlihat segar dan cerah - Nafsu makan normal
2 4 - Udang bergerak aktif
- Nafsu makan mulai menurun
- Badan udang terlihat segar
- Masih respon terhadap sentuhan
- apabila diberi cahaya pada malam hari udang mendekat
3 5 - Nafsu makan menurun
- Pergerakan lambat
- Ada sisa pakan
4 6 - Nafsu makan menurun
- Respon terhadap rangsangan rendah
- Warna udang memerah
Berdasarkan Tabel 5 pada hari ke-1 sampai hari ke-3 pasca infeksi
WSSV udang masih menunjukkan perilaku yang normal dilihat dari nafsu makan
yang normal, pergerakan normal, dan badan masih terlihat cerah dan segar.
Kemudian pada hari ke-4 udang masih bergerak aktif akan tetapi nafsu makan
menurun, hari ke-5 nafsu makan menurun dan pergerakan lambat, hari ke-6
warna udang memerah. Hal ini dimungkinkan karena pengaruh virus WSSV yang
mulai menyerang udang vaname sehingga terjadi perubahan morfologi dan
tingkah laku. Menurut Hameed (1997) dalam Amrillah et al., 2015, gejala klinis
yang timbul pada udang yang terinfeksi WSSV ditunjukkan oleh penurunan
konsumsi pakan, udang menunjukkan perilaku lesu, terjadi pelunturan warna
-
43
(diskolorisasi) pada hepatopankreas dari warna merah muda hingga menjadi
coklat kemerahan dan perubahan warna kemerahan pada abdomen.
4.1.5 Pengamatan Udang Perlakuan P3
Udang perlakuan P3 diperoleh dari udang vaname yang dberi virus
WSSV yang sebelumnya sudah diberi ekstrak rumput laut Eucheuma cottonii
dengan dosis 15g/kg pakan. Data hasil pengamatan ciri – ciri tingkah laku dan
morfologi dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Ciri – Ciri Tingkah Laku dan Morfologi Udang Perlakuan P3
No Hari Ciri – ciri tingkah laku dan morfologi
1 1 - Udang bergerak aktif, respon terhadap sentuhan baik
- Badan udang masih terlihat segar dan berwarna cerah
- Udang lebih banyak di dasar bak, nafsu makan normal
2 2 - Udang bergerak aktif, nafsu makan masih normal
- Badan udang terlihat segar dan berwarna cerah
3 3 - Nafsu makan normal, warna udang segar dan cerah, udang
bergerak normal, ketika diberi sentuhan masih menghindar
4 4 - Nafsu makan menurun, respon terhadap rangsangan baik,
udang lebih banyak diam di dasar,
5 5,6 - Nafsu makan menurun
- Pergerakan lambat
- Ada sisa pakan
- Badan memerah
Berdasarkan Tabel 6 dapat diketahui bahwa pada hari ke-1 sampai hari
ke-3 pasca infeksi WSSV udang vaname menunjukkan morfologi dan perilaku
yang normal yaitu ditandai dengan nafsu makan yang normal, udang bergerak
aktif, badan terlihat segar dan cerah. Kemudian pada hari ke-4 sampai hari ke-6
udang vaname mulai menunjukkan perubahan tingkah laku yaitu nafsu makan
turun, pergerakan lambat, ada sisa pakan dan badan memerah. Hal ini
dimungkinkan karena udang vaname mulai terinfeksi virus WSSV. Menurut
Corteel (2013), gejala udang vaname yang terserang WSSV sangat bervariasi
dan tidak spesifik. Gejala umum berupa adanya bintik-bintik putih pada karapas
bagian kepala tidak selalu ditemukan pada udang. Namun, pada udang terinfeksi
-
44
WSSV muncul warna kemerahan di kepala maupun ujung ekor. Gejala-gejala
lain WSSV, di antaranya udang bergerombol di pinggir kolam, nafsu makan
menurun drastis, tidak peka rangsangan, dan tubuhnya berwarna kuning susu.
4.2 Pengamatan Differential Haemocyte Count (DHC) Udang Vaname
Pengamatan DHC udang vaname dilakukan secara mikroskopik yaitu
dengan menggunakan mikroskop. Perlakuan yang diamati dalam penelitia ini
yaitu perlakuan kontrol positif (K+) yaitu udang sehat yang tidak diberi virus
WSSV maupun ekstrak rumput laut Eucheuma cottoni, udang perlakuan kontrol
negatif (K-) yaitu udang yang telah diinfeksi virus WSSV tanpa diberi ekstrak
rumput laut Eucheuma cottonii, udang perlakuan P1 yaitu udang yang diberi
ekstrak rumput laut yang dicampur ke pakan dengan dosis 5 g/kg pakan dan
kemudian diinfeksi virus WSSV, udang perlakuan P2 yaitu udang yang diberi
ekstrak rumput laut Eucheuma cottonii yang dicampur ke pakan dengan dosis 10
g/kg pakan dan kemudian diinfeksi virus WSSV, dan perlakuan P3 yaitu udang
yang diberi ekstrak rumput laut Eucheuma cottonii yang dicampur ke pakan
dengan dosis 15 g/kg pakan dan kemudian diinfeksi virus WSSV. Menurut Lee
dan Shiau (2001), jumlah total hemosit merupakan indikator respon
meningkatnya pertahanan tubuh udang. Parameter untuk mengetahui
kemampuan suatu zat atau senyawa untuk menstimulasi sistem pertahanan
nonspesifik udang yaitu melalui peningkatan jumlah hemosit. Selanjutnya
Hartinah et al., (2014) menyatakan bahwa perubahan jumlah hemosit dan
perubahan komposisi diferensiasi sel dapat menjadi indikator awal bagi kondisi
vitalitas juvenil udang windu secara dini. Perubahan jumlah hemosit sampai
batas tertentu, biasanya diikuti dengan perubahan komposisi diferensiasi sel-sel
hemosit. Gambar tipe – tipe sel hemosit yang ditemukan saat penelitian dapat
dilihat pada Gambar 6.
-
45
Gambar 6. (a) Sel Hyalin, (b) Sel semi granular, (c) Sel Granular
(Dokumentasi Pribadi, 2017)
Differential Haemocyte Count (DHC) terdiri dari 3 jenis sel yaitu sel hyalin.
sel semi granular dan sel granular. Data DHC dapat dilihat pada Lampiran 2.
4.2.1 Nilai DHC Udang Kontrol Positif (K-)
Data hasil pengamatan menunjukkan bahwa udang kontrol positif (+)
memiliki jumlah rata – rata sel granular 43,86 %, nilai sel semi granular 21,80 %,
dan sel hyalin 34,34 %. Histogram Nilai DHC udang kontrol positif (K+) dapat
dilihat pada Gambar 7.
0
10
20
30
40
50
K +
Pro
sen
tase
sel
(%)
Perlakuan
Hialin
Semi Granular
Granular
Gambar 8. Prosentase Sel Hyalin, Semi Granular dan Sel
Granular pada Masing-masing Perlakuan Kontrol
Positif (K+)
Hemosit merupakan salah satu bentuk sistem pertahanan tubuh yang
bersifat seluler dan memainkan peranan penting dalam respon kekebalan tubuh
-
46
(Setyati, 2007). Berdasarkan klasifikasinya sel hemosit dibedakan menjadi 3
yaitu sel hyalin, sel semi granular, dan sel granular. Tipe sel hemosit yang
berbeda mempunyai fungsi yang berbeda pula dalam sistem pertahanan tubuh.
Sel hyalin dan sel semi granular mempunyai peran penting dalam sistem
pertahanan tubuh udang terutama dalam proses fagositosis (Ermantianingrum et
al., 2013). Fungsi lain dari sel hemosit dalam sistem pertahanan tubuh yaitu
berperan dalam pengaktifan sistem prophenoloxidase yang dilakukan oleh sel
semi granular dan sel granular (Andrade, 2011).
4.2.2 Nilai DHC Udang Kontrol Negatif (K-)
Data hasil pengamatan menunjukkan bahwa udang kontrol negatif (-)
memiliki jumlah rata – rata sel granular 29,91 %, nilai sel semi granular 40,65 %,
dan sel hyalin 29,44%. Histogram Nilai DHC udang kontrol positif (K+) dapat
dilihat pada Gambar 8.
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
K (-)
Pro
sen
tase
sel
(%
)
Perlakuan
Hialin
Semi Granular
Granular
Gambar 8. Prosentase Sel Hyalin, Semi Granular dan Sel
Granular pada Masing-masing Perlakuan Kontrol
Negatif (K-)
Diferensiasi hemosit merupakan pembagian jenis/tipe sel hemosit dalam
hemolim udang. Secara umum hemosit pada krustasea terdiri atas 3 tipe sel,
-
47
yakni sel hyalin, sel granular, dan sel semigranular (Kakoolaki et al., 2011). Sel
hyalin dicirikan dengan ukuran yang lebih kecil dan tanpa granular. Sel granular
ditandai dengan ukuran yang besar dan memilki granular dalam selnya
sedangkan sel semi-granular mempunyai ciri seperti sel granular akan tetapi
ukurannya cenderung lebih kecil. Hemosit merupakan faktor yang sangat penting
dalam sistem pertahanan seluler yang bersifat non spesifik. Kemampuan hemosit
dalam aktivitas fagositosis yang dapat meningkat pada kejadian infeksi,
menunjukkan pertahanan tubuh yang bersifat seluler. Menurut Jusilla (1997)
dalam Putri et al., 2012, jumlah hemosit yang bersirkulasi dalam hemolim
krustasea menunjukkan reaksi yang berbeda terhadap stressor lingkungan dan
penyakit, sehingga dapat menjadi indikator status kesehatan krustasea dan
adanya stressor lingkungan.
4.2.3 Nilai Sel Hyalin Udang Vaname
Data hasil pengamatan DHC udang vaname sebelum infeksi dan sesudah
infeksi didapatkan data bahwa rata – rata nilai sel hyalin sebelum infeksi pada
perlakuan kontrol negatif (-) sebesar 31,11 %, perlakuan P1 adaah sebesar
32,48 %, perlakuan P2 sebesar 35,26 %, perlakuan P3 sebesar 32,92 %,
sedangkan nilai sel hyalin setelah infeksi didapatkan rata – rata pada perlakuan
kontrol negatif (-) sebesar 29,44 %, perlakuan P1 sebesar 33,87 %, perlakuan P2
sebesar 39,48 %, perlakuan P3 sebesar 35,20 %. Histogram nilai sel hyalin
dapat dilihat pada Gambar 9.
-
48
Gambar 9. Prosentase Sel hyalin pada Masing-masing
Perlakuan Sebelum dan Sesudah Infeksi
Keterangan :
K (-) = perlakuan udang yang diinfeksi WSSV tanpa diberi ekstrak
Eucheuma cottonii
P1 = perlakuan udang yang diberi ekstrak Eucheuma cottoni
dicampur ke pakan sebesar 5 gr/kg dan diinfeksi WSSV
P2 = perlakuan udang yang diberi ekstrak Eucheuma cottoni
dicampur ke pakan sebesar 10 gr/kg dan diinfeksi WSSV
P3 = perlakuan udang yang yang diberi ekstrak Eucheuma
cottoni dicampur ke pakan sebesar 15 gr/kg dan diinfeksi
WSSV
Berdasarkan Gambar 9 terlihat bahwa jumlah sel hyalin tertinggi sebelum
dan sesudah infeksi WSSV ditunjukkan pada perlakuan P2 dengan dosis ekstrak
rumput laut 10gr/kg, sedangkan sel hyalin terendah pada perlakuan kontrol
negatif (K-). Hasil pengamatan menunjukkan bahwa sel hyalin sesudah infeksi
mengalami peningkatan kecuali pada perlakuan kontrol. Hal ini menunjukkan
bahwa sel hyalin berperan aktif dalam melawan adanya patogen, karena ketika
ada patogen sel hyalin lah yang berperan langsung dalam melawan patogen
tersebut. Selain itu jika dibandingkan dengan perlakuan kontrol positif (K+) yaitu
-
49
udang yang sehat tanpa perlakuan apapun menunjukkan bahwa jumlah sel
hyalin lebih tinggi, hal ini dapat disimpulkan bahwa ekstrak rumput laut
Eucheuma cottonii memiliki potensi yang tinggi untuk meningkatkan respon imun
udang vaname yang terseranng virus WSSV. Menurut Soderhall and Cerenius
(1992), sel hyalin menjadi sel utama dalam proses fagositosis dan sel semi
granular lebih berperan dalam proses enkapsulasi yang mengindikasikan adanya
penggabungan beberapa sel hemosit untuk menghalangi partikel asing dalam
peredaran darah.
Menurunnya jumlah sel hyalin pada perlakuan kontrol negatif (K-) diduga
akibat proses fagositosis yang mengakibatkan terjadinya penghancuran partikel
patogen bersama dengan sel hyalin yang tidak didukung dengan pihak lain
dalam hal ini adalah senyawa antioksidan yang terkandung dalam ekstrak rumput
laut Eucheuma cottonii. Sementara pada udang yang diberi pakan dengan
tambahan ekstrak rumput laut Eucheuma cottonii mengalami peningkatan
sesudah diinfeksi WSSV dimungkinkan karena meningkatnya proliferasi sel
seiring dengan peningkatan dosis ektrak. Menurut Soderhall dan Cerenius (1992)
yang menyatakan bahwa sistem kekebalan tubuh pada udang masih primitif dan
tidak seperti pada ikan serta mamalia yang mempunyai imunoglobulin, sehingga
imunoglobulin pada udang digantikan oleh Prophenoloxidase Activating Enzim
(PPA). PPA tersebut merupakan protein yang berlokasi di sel granular hemosit.
PPA ini dapat diaktifkan oleh lipopolisakarida dan β 1,3-Glukan, yang akan
merangsang prophenoloksidase menjadi phenoloksidase. Sebagai akibat dari
perubahan ini akan dihasilkan semacam protein Opsonin Factor yang dapat
menginduksi sel-sel hyalin untuk melakukan proses fagositosis. Van de Braak
(2002) dan Smith, et al. (2003) juga mendukung pernyataan diatas bahwa sel
hemosit tersebut akan melakukan degranulasi, dan beberapa protein akan
-
50
dilepas untuk kepentingan respon imun, seperti : meningkatnya sel-sel haemosit,
dan meningkatnya aktifitas penjeratan dan fagositosis.
4.2.4 Nilai Sel Granular Udang Vaname
Data hasil pengamatan DHC udang vaname sebelum infeksi dan sesudah
infeksi didapatkan data bahwa rata – rata nilai sel granular sebelum infeksi pada
perlakuan kontrol negatif (-) sebesar 33,33 %, perlakuan P1 adalah sebesar
37,60 %, perlakuan P2 sebesar 47,30 %, perlakuan P3 sebesar 41,25 %,
sedangkan nilai sel granular setelah infeksi didapatkan rata – rata pada
perlakuan kontrol negatif (-) sebesar 29,91 %, perlakuan P1 sebesar 33,10 %,
perlakuan P2 sebesar 44,97 %, perlakuan P3 sebesar 40,32 %. Histogram Nilai
sel granular dapat dilihat pada Gambar 10.
0
10
20
30
40
50
K- P1 P2 P3
Pro
sen
tase
sel
(%
)
Perlakuan
Sel Granular SebelumInfeksi
Sel Granular SesudahInfeksi
Gambar 10. Prosentase Sel Granular pada Masing-masing
Perlakuan Sebelum dan Sesudah Infeksi
Keterangan :
K (-) = perlakuan udang yang diinfeksi WSSV tanpa diberi ekstrak
Eucheuma cottonii
P1 = perlakuan udang yang diberi ekstrak Eucheuma cottoni
dicampur ke pakan sebesar 5 gr/kg dan diinfeksi WSSV
-
51
P2 = perlakuan udang yang diberi ekstrak Eucheuma cottoni
dicampur ke pakan sebesar 10 gr/kg dan diinfeksi WSSV
P3 = perlakuan udang yang yang diberi ekstrak Eucheuma
cottoni dicampur ke pakan sebesar 15 gr/kg dan diinfeksi
WSSV
Gambar 10 menunjukkan perbedaan persentase sel granular pada setiap
perlakuan, dimana persentase sel granular tertinggi sebelum dan sesudah infeksi
adalah pada perlakuan P2 dengan dosis ekstrak 10gr/kg. Sedangkan persentase
sel granular terendah adalah pada perlakuan kontrol negatif (K-). Hal ini
menunjukkan bahwa jumlah sel granular udang vaname yang diberi pakan
dengan tambahan ekstrak rumput laut Eucheuma cottonii lebih tinggi
dibandingkan dengan sel granular udang vaname yang tanpa pakan dengan
tambahan ekstrak rumput laut Eucheuma cottonii. Saat terjadinya serangan
patogen, sel granular dan semi granular akan melakukan proses degranulasi,
cytotoxicity dan lisis terhadap material tersebut dengan demikian jumlah sel
granular yang beredar dalam hemolim akan mengalami penurunan. Hasil proses
degranulasi adalah pelepasan peroxinectin yang akan memicu munculnya
fagositosis (Ekawati et al.,2012).
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa sel granular mengalami
penurunan setelah diinfeksi WSSV, hal ini menunjukkan bahwa sel granular
berperan dalam menjaga ketahanan tubuh udang vaname. Menurut Ekawati et
al., 2012, fungsi sel granular lebih pada proses menghasilkan enzim
phenoloksidase yang memiliki peranan penting dalam sistem pertahanan non
spesifik. Supamattaya (2002) menjelaskan granula pada sel granular hemosit
terdiri dari propenoloksidase. Dalam aktivasi prophenoloksidase (proPO) akan
membebaskan suatu enzim dari sel granular. Sistem ini juga dipacu oleh adanya
komponen mikrobial seperti β-glucan. Ekawati et al., (2012) menjelaskan pada
-
52
saat terjadinya serangan patogen, sel granular dan semi granular akan
melakukan proses degranulasi, cytotoxicity dan lisis terhadap material asing
dengan demikian jumlah sel granular yang beredar dalam hemolim akan
mengalami penurunan.
4.2.5 Nilai Sel Semi Granular Udang Vaname
Data hasil pengamatan DHC udang vaname sebelum infeksi dan sesudah
infeksi didapatkan data bahwa rata – rata nilai sel semi granular sebelum infeksi
pada perlakuan kontrol negatif (-) sebesar 34,44 %, perlakuan P1 adalah
sebesar 29,91 %, perlakuan P2 sebesar 17,44 %, perlakuan P3 sebesar 25,83
%, sedangkan nilai sel semi granular setelah infeksi didapatkan rata – rata pada
perlakuan kontrol negatif (-) sebesar 40,65 %, perlakuan P1 sebesar 29,70 %,
perlakuan P2 sebesar 15,56 %, perlakuan P3 sebesar 24,48 %. Histogram Nilai
sel semi granular dapat dilihat pada Gambar 11.
Gambar 11. Prosentase Sel Semi Granular pada Masing-
masing Perlakuan Sebelum dan Sesudah Infeksi
Keterangan :
K (-) = perlakuan udang yang diinfeksi WSSV tanpa diberi ekstrak
Eucheuma cottonii
P1 = perlakuan udang yang diberi ekstrak Eucheuma cottoni
dicampur ke pakan sebesar 5 gr/kg dan diinfeksi WSSV
-
53
P2 = perlakuan udang yang diberi ekstrak Eucheuma cottoni
dicampur ke pakan sebesar 10 gr/kg dan diinfeksi WSSV
P3 = perlakuan udang yang yang diberi ekstrak Eucheuma
cottoni dicampur ke pakan sebesar 15 gr/kg dan diinfeksi
WSSV
Gambar 11 menunjukkan adanya perbedaan persentase sel pada setiap
perlakuan. Dapat dilihat bahwa persentase sel semi granular sebelum dan
sesudah infeksi tertinggi terdapat pada perlakuan kontrol (-), sedangkan
persentase sel terendah terdapat pada perlakuan P2 dengan dosis ekstrak
rumput laut Eucheuma cottonii sebesar 10gr/kg. Hasil pengamatan menunjukkan
bahwa sel semi granular mengalami penurunan kecuali pada perlakuan kontrol
negatif, hal tersebut menunjukkan bahwa sel semi granular kurang berperan
dalam menjaga ketahanan tubuh udang. Sel semi granular merupakan
pematangan dari sel hyalin yang ketika terjadi serangan patogen maka yang
berperan pertama adalah sel hyalin, sehingga sel ini tidak berkembang menjadi
sel semi granular dan terlihat penurunan jumlah sel semi granular yang terdapat
dalam hemosit (Van De Braak,2002). Sel semi granular berperan utama dalam
proses enkapsulasi dan sedikit dalam proses fagositosis (Ekawati et al., 2012).
Sel semi granular lebih dimungkinkan mudah terinfeksi virus WSSV (Andrade,
2011) dan virus tersebut melakukan replikasi lebih cepat di sel semi granular
daripada sel granular sehingga jumlah sel semi granular secara bertahap
menurun dalam sirkulasi darah (Jiravanichpaisal et al.,2005).
4.3 Kelulushidupan Udang Vaname
Tingkat kelululushidupan atau Survival Rate udang vaname selama
penelitian paling besar adalah perlakuan P2 yaitu 43,33 % dari jumlah semua
perlakuan adalah 30 ekor dan setelah diuji tantang dengan WSSV menyisakan
-
54
13 ekor, kemudian diikuti perlakuan P3 yaitu 30 % dari jumlah semua perlakuan
30 ekor setelah diuji tantang dengan WSSV menyisakan 9 ekor, perlakuan P1
yaitu 23,33 % dari jumlah semua perlakuan 30 ekor dan setelah diuji tantang
dengan WSSV menyisakan 7 ekor dan perlakuan kontrol negatif (K-) yaitu 10 %
dari jumlah semua perlakuan 30 ekor dan setelah diuji tantang dengan WSSV
menyisakan 3 ekor.
Survival rate erat kaitannya dengan jumlah hemosit, dimana survival rate
yang tinggi menandakan adanya respon imun yang baik pada udang dan begitu
sebaliknya. Pada udang yang diberi ekstrak rumput laut Eucheuma cottonni
diketahui memiliki survival rate yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan
kontrol (-). Hal ini menunjukkan bahwa imunostimulan yang masuk ke dalam
tubuh udang dapat melindungi (bersifat protektif) pada udang vaname terhadap
adanya faktor luar yang masuk ke dalam tubuh udang, misalnya adanya infeksi
oleh patogen yang merupakan salah satu penyebab utama terjadinya kematian
udang. Hal ini disebabkan karena imunostimulan yang masuk ke dalam tubuh
udang akan merangsang aktifitas sel - sel haemosit baik agranular (hyalin)
maupun ganular, sebagai upaya untuk melawan patogen yang masuk dalam
tubuh udang tersebut (Darwantin et al., 2016). Sebagaimana diketahui bahwa
sistem pertahanan tubuh pada krustase termasuk udang vaname adalah
pertahanan tubuh yang didominasi dilakukan oleh hemolim. Apabila ada patogen
yang masuk dalam tubuh maka udang akan meningkatkan produksi hemolim di
mana dalam hemolim akan terjadi aktivitas fagositosis oleh sel hyalin dan semi-
granular, penghancuran patogen oleh aktivitas phenoloksidase (Tassanakajon et
al., 2011).
-
55
4.4 Analisis Sidik Ragam DHC Sebelum dan Sesudah Infeksi
4.4.1 Analisis Sidik Ragam Sel Hyalin Sebelum Infeksi
Berikut merupakan Tabel sidik ragam nilai DHC sel hyalin pada
udang vaname sebelum diinfeksi WSSV yang disajikan pada Tabel 7.
Tabel 7. Sidik Ragam Sel Hyalin Sebelum Infeksi
F tabel
SK dB JK KT F hit F 0,05 F 0,01
Perlakuan 3 26,88597 8,961989 0,530835 4,07 7,59
Galat 8 135,06 16,88283
Total 11 161,95
Berdasarkan hasil pada analisis ragam ANOVA dari perhitungan
rancangan acak lengkap pada Tabel 7 diketahui nilai F hitung lebih kecil dari
pada F tabel sehingga tidak dilakukan uji lanjut. Nilai sel hyalin sebelum infeksi
tidak menunjukkan adanya perbedaan, hal ini dikarenakan nilai sel hyalin pada
setiap perlakuan hampir sama dan ekstrak rumput laut berperan sebagai
imunomodulator. Imunomodulator membantu tubuh untuk mengoptimalkan fungsi
sistem imun yang merupakan sistem utama yang berperan dalam pertahanan
tubuh di mana kebanyakan orang mudah mengalami gangguan sistem imun.
Fungsi imunomodulator adalah memperbaiki sistem imun yaitu dengan cara
stimulasi (imunostimulan) atau menekan/menormalkan reaksi imun yang
abnormal (imunosupresan) (Suhirman dan Winarti, 2014). Sel hyalin merupakan
tipe sel yang paling kecil dengan ratio nukleus sitoplasma tinggi dan tanpa atau
hanya sedikit granula sitoplasma. Sel hyalin berperan dalam proses fagositosis
(Manopo dan Kolopita, 2014). Fagositosis merupakan mekanisme pertahanan
non-spesifik yang secara umum mampu melindungi adanya serangan penyakit
(Darwantin et al., 2016).
-
56
4.4.2 Analisis Sidik Ragam Hyalin Sesudah Infeksi
Berikut merupakan Tabel sidik ragam nilai DHC sel hyalin pada udang
vaname sesudah diinfeksi WSSV yang disajikan pada Tabel 8.
Tabel 8. Sidik Ragam Sel Hyalin Sesudah Infeksi
F tabel
SK dB JK KT F hit F 0,05 F 0,01
Perlakuan 3 153,6704 51,22348 2,299999 4,07 7,59
Galat 8 178,17 22,27108
Total 11 331,84
Berdasarkan hasil pada analisis ragam ANOVA dari perhitungan
rancangan acak lengkap pada Tabel 8 diketahui nilai F hitung lebih kecil dari
pada F tabel sehingga tidak dilakukan uji lanjut. Nilai sel hyalin sesudah infeksi
tidak menunjukkan adanya perbedaan, hal ini dikarenakan ekstrak rumput laut
berperan sebagai imunomodulator. Imunomodulator merupakan suatu senyawa
yang dapat meningkatkan mekanisme pertahanan tubuh baik secara spesifik
maupun non spesifik. Pertahanan non spesifik terhadap antigen ini disebut
paraimunitas dan zat bersangkutan disebut penginduksi paraimunitas. Induktor
semacam ini biasanya tidak atau sedikit sekali kerja antigennya, bahkan
sebagian bekerja sebagai mitogen yaitu menaikkan proliferasi sel yang berperan
pada imunitas. Sel target dari imunomodulator adalah makrofag, granulosit,
limfosit T dan B, karena induktor paraimunitas ini terutama menstimulasi
mekanisme pertahanan seluler (Parlinaningrum et al., 2014). .Sel hyalin biasa
juga disebut sel darah mudah yang akan dilepaskan oleh inang bila terjadi
serangan bakteri atau benda asing (Braak, 2000). Sel hyalin merupakan tipe
yang paling kecil dengan rasio nukleus sitoplasma tinggi dan bertanggung jawab
dalam proses fagositosis (Johansson et al., 1989).
-
57
4.4.3 Analisis Sidik Ragam Sel Semi Granular Sebelum Infeksi
Berikut merupakan Tabel sidik ragam nilai DHC sel hyalin pada udang
vaname sebelum diinfeksi WSSV yang disajikan pada Tabel 9.
Tabel 9. Sidik Ragam Sel Semi Granular Sebelum Infeksi
F tabel
SK dB JK KT F hit F 0,05 F 0,01
Perlakuan 3 470,0445 156,6815 8,175515 4,07 7,59
Galat 8 153,32 19,16473
Total 11 623,36
Berdasarkan hasil pada analisis ragam ANOVA dari perhitungan
rancangan acak lengkap pada Tabel 9 diketahui nilai F hitung lebih besar dari
pada F tabel. Karena F hitung lebih besar dari pada F tabel maka dilakukan uji
lanjut dengan menggunakan uji BNT. Dari analisis uji BNT diketahui bahwa
setiap perlakuan berbeda nyata, yaitu K- , P1, P2, dan P3 masing – masing
berbeda dengan taraf 5%. Sel semi granular dikarakteristikkan dengan
terdapatnya granula pada sitoplasma. Sel ini mampu merespon polisakarida dari
dinding sel bakteri atau β-glucan yang berasal dari jamur. Sel semi granular ini
dapat melakukan proses enkapsulasi dan sedikit berperan dalam proses
fagositosis (Johansson et al., 2000). Menurut Danwattananusorn (2009),
enkapsulasi adalah merupakan reaksi pertahanan melawan partikel dalam
jumlah yang besar dan tidak mampu difagosit oleh sel hemosit.
4.4.4. Analisis Sidik Ragam Sel Semi Granular Sesudah Infeksi
Berikut merupakan Tabel sidik ragam nilai DHC sel hyalin pada udang
vaname sesudah diinfeksi WSSV yang disajikan pada Tabel 10.
-
58
Tabel 10. Sidik Ragam Sel Semi Granular Sesudah Infeksi
F tabel
SK dB JK KT F hit F 0,05 F 0,01
Perlakuan 3 988,0268 329,3423 29,83837 4,07 7,59
Galat 8 88,30 11,03754 Total 11 1076,33
Berdasarkan hasil pada analisis ragam ANOVA dari perhitungan
rancangan acak lengkap pada Tabel 10 diketahui nilai F hitung lebih besar dari
pada F tabel. Karena nilai F hitung lebih besar dari pada F tabel maka dilakukan
uji lanjut dengan menggunakan uji BNT. Dari analisis uji BNT diketahui bahwa
setiap perlakuan berbeda nyata, yaitu K- , P1, P2, dan P3 masing – masing
berbeda dengan taraf 5%. Sel semi granular memiliki sejumlah granul kecil. Sel
ini bertanggung jawab untuk mengenal dan merespon molekul asing atau bakteri
patogen yang masuk ke dalam tubuh krustasea (Soderhall dan Cerenius, 1992).
4.4.5 Analisis Sidik Ragam Sel Granular Sebelum Infeksi
Berikut merupakan tabel sidik ragam nilai DHC sel hyalin pada udang
vaname sebelum diinfeksi WSSV yang disajikan pada Tabel 11.
Tabel 11. Sidik Ragam Sel Granular Sebelum Infeksi
F tabel
SK dB JK KT F hit F 0,05 F 0,01
Perlakuan 3 274,1522 91,38405 2,421485 4,07 7,59
Galat 8 301,91 37,73884
Total 11 576,06
Berdasarkan hasil pada analisis ragam ANOVA dari perhitungan
rancangan acak lengkap pada Tabel 11 diketahui nilai F hitung lebih kecil dari F
Tabel sehingga tidak dilakukan uji lanjut. Sel granular sebelum infeksi tidak
menunjukkan adanya perbedaan hal ini dikarenakanan rumput laut berperan
sebagai imunomodulator. Imunomodulator adalah substansi atau obat yang
-
59
dapat memodulasi fungsi dan aktivitas sistem imun. Imunomodulator dibagi
menjadi 3 kelompok: i) imunostimulator, berfungsi untuk meningkatkan fungsi
dan aktivitas sistem imun, ii) imunoregulator, artinya dapat meregulasi sistem
imun, dan iii) imunosupresor yang dapat menghambat atau menekan aktivitas
sistem imun (Wiedosari, 2007). Fungsi lain dari sel hemosit dalam sistem
pertahanan tubuh yaitu berperan dalam pengaktifan sistem prophenoloxidase
yang dilakukan oleh sel semi granular dan sel granular (Andrade, 2011).
Pengaktifan sistem prophenoloxidase ini merupakan salah satu asepek penting
dalam sistem pertahanan tubuh udang. Sritunyalucksana and Soderhall (2000)
menyatakan bahwa prophenoloxidase mempunyai peran penting dalam respon
imun krustasea yang sering disertai dengan adanya proses melanisasi.
4.4.6 Analisis Sidik Ragam Sel Granular Sesudah Infeksi
Berikut merupakan Tabel sidik ragam nilai DHC sel granular pada udang
vaname sesudah diinfeksi WSSV yang disajikan pada Tabel 12.
Tabel 12. Sidik Ragam Sel Granular Sesudah Infeksi
F tabel
SK dB JK KT F hit F 0,05 F 0,01
Perlakuan 3 365,7345 121,9115 2,895867 4,07 7,59
Galat 8 336,79 42,09844
Total 11 702,52
Berdasarkan hasil pada analisis ragam ANOVA dari perhitungan
rancangan acak lengkap Tabel 12 diketahui nilai F hitung lebih kecil dari pada F
tabel sehingga tidak dilakukan uji lanjut. Nilai sel granular sesudah infeksi tidak
menunjukkan adanya perbedaan, hal ini dikarenakan ekstrak rumput laut
berperan sebagai imunomodulator. Imunomodulator merupakan senyawa yang
mengubah aktivitas sistem imun tubuh dengan dinamisasi regulasi selsel imun
seperti sitokin. Cara kerja Imunomodulator meliputi mengembalikan fungsi imun
-
60
yang terganggu (imunorestorasi), memperbaiki fungsi sistem imun (imunostimulasi)
dan menekan respons imun (imunosupresi) (Puspitanisngrum et al., 2015). Jumlah
hemosit dapat sangat bervariasi berdasarkan spesies, respon terhadap infeksi,
stres lingkungan, aktivitas endokrin selama siklus molting (Johansson et al. 2000).
Granulosit merupakan jaringan untuk sistem pertahanan seluler melawan infeksi,
sel ini akan bermigrasi ke daerah-daerah yang mengalami infeksi. Granulosit
mengandung granula di dalam sitoplasmanya (Darwantin et al., 2016).
4.5 Kualitas Air
Hasil pengukuran kualitas air sebagai parameter penunjang dalam
penelitian ini meliputi pengukuran suhu, DO (Oksigen terlarut), pH, salinitas dan
amonia. Data hasil dari pengukuran dapat dilihat pada Tabel 13.
Tabel 13. Data Parameter Kualitas Air
Perlakuan
Kisaran Nilai Kualitas Air
Suhu (°C) DO (mg/l) pH Salinitas
(Ppt)
Amonia
(mg/l)
Kontrol (+) 27,9-29,5 4,45-7,59 8-8,5 10 0,01-0,02
Kontrol (- ) 27,8-29,4 5,75-7,8 8,1-8,4 10 0,02-0,04
P1 27,9-29,6 4,85-7,26 7,5-8,4 10 0,01-0,03
P2 27,6-29,4 5,56-7 8-8,6 10 0,02-0,05
P3 27,6-29,2 4,43-7,68 8-8,6 10 0,01-0,06
Standart Baku Mutu
Air 28-32* >3,0* 7,5-8,5* 5-40*
-
61
4.5.1 Parameter Fisika
a. Suhu
Data hasil pengamatan suhu didapatkan suhu terendah yaitu 27,6°C dan
suhu tertinggi yaitu 29,6°C . Suhu tersebut masih dalam kisaran optimal sesuai
dengan pendapat Kordi dan Tancung (2007) yang menyatakan bahwa Kisaran
suhu yang optimum untuk pertumbuhan udang vaname yaitu 28-31°C dan
tumbuh dengan baik pada suhu 24-34°. Suhu yang rendah dapat menyebabkan
rendahnya laju konsumsi pakan pada udang, sedangkan suhu yang tinggi
menyebabkan tingkat konsumsi pakan menjadi berhenti (Arsad et al.,2017). Suhu
air sangat berkaitan erat dengan konsentrasi oksigen terlarut dan laju konsumsi
oksigen hewan air. Toksisitas suatu senyawa kimia dipengaruhi oleh derajat
keasaman suatu media. Sedang titik batas kematian organisme air tehadap pH
adalah 4 dan 11 (Sucipto, 2005 dalam Jalaludin. 2014).
4.5.2 Parameter Kimia
a. pH
Data hasil pengamatan pH didapatkan nilai pH terendah yaitu 7,5 dan pH
tertinggi yaitu 8,6. Nilai tersebut masih dalam kisaran normal. Amri (2003),
menyatakan pada nilai pH diatas 10 dapat membunuh udang, sementara nilai pH
dibawah 5 mengakibatkan pertumbuhan udang terhambat. Nilai pH perairan
merupakan parameter yang dikaitkan dengankonsentrasi karbon dioksida (CO2)
dalam ekosistem. Semakin tinggi konsentrasi karbon dioksida, pH perairan
semakin rendah. Penurunan karbondioksida dalam ekosistem akan
meningkatkan pH perairan. Sebaliknya, proses respirasi oleh semua komponen
ekosostem akan meningkatkan jumlah karbon dioksida, sehingga pH perairan
menurun (Wetzel, 1983).
-
62
b. DO
Data hasil pengukuran oksigen terlarut didapatkan nilai terendah sebesar
4,43 mg/l dan nilai tertinggi sebesar 7,68 mg/l. Nilai oksigen tersebut masih
dalam batas yang normal sesuai pernyataan Haliman dan Adijaya (2005) bahwa
kadar oksigen terlarut yang baik berkisar 4-6 mg/l. Oksigen terlarut merupakan
suatu faktor yang sangat penting di dalam ekosistim perairan, terutama sekali
dibutuhkan untuk respirasi bagi sebagian besar organisme air. Oksigen terlarut
dalam air merupakan parameter kualitas air yang paling kritis. Konsentrasi
oksigen terlarut dalam perairan selalu mengalami perubahan yang dinamik, oleh
karena itu pemantauan oksigen terlarut dalam kegiatan budidaya harus selalu
dilakukan sehingga apabila terjadi kritis oksigen maka dapat diambil suatu
tindakan untuk mengantisipasi hal yang dapat berpengaruh buruk terhadap
organisme yang dibudidayakan (Hendrajat et al., 2014).
Kecepatan difusi oksigen dari udara, tergantung dari beberapa faktor,
seperti kekeruhan, air, suhu, salinitas, pergerakan massa air, dan udara. Pada
lapisan permukaan, kadar oksigen akan lebih tinggi, karena adanya proses difusi
antara air dengan udara bebas serta adanya proses fotosintesis. Kandungan
oksigen terlarut minimum adalah 2 mg/L dalam keadaan normal dan tidak
tercemar oleh senyawa beracun (toksik). Kandungan oksigen terlarut minimum
ini sudah cukup mendukung kehidupan organisme (Swingle, 1968 dalam Fitria,
2012).
Menurut Purba dan Khan (2010), Oksigen terlarut memegang peranan
sangat penting dalam perairan dalam fungsinya sebagai salah satu yang
dibutuhkan oleh organisme perairan. Salah satu yang memengaruhi kadar
oksigen terlarut di perairan adalah suhu. Oksigen terlarut juga menentukan
kuantitas organisme suatu perairan. Selain itu oksigen terlarut juga dipengaruhi
faktor lain seperti tekanan uap air dan salinitas. Oksigen larut di kolom air dengan
-
63
berbagai reaksi dan proses-proses kimia yang berlangsung di perairan, namun
fluktuasi suhu akan menimbulkan perubahan konsentrasi oksigen terlarut di
perairan.
c. Salinitas
Data salinitas didapatkan yaitu 10 ppt. Nilai tersebut masih dalam kisaran
normal sesuai pernyataan McGraw dan Scarpa (2002) dalam Sahrijana dan
Sahabbudin (2014) bahwa udang vaname dapat hidup pada kisaran 0,5-45 ppt.
Salinitas merupakan salah satu parameter lingkungan yang mempengaruhi
proses biologi dan secara langsung akan mempengaruhi kehidupan organisme
antara lain yaitu mempengaruhi laju pertumbuhan, jumlah makanan yang
dikonsumsi, nilai konversi makanan, dan daya sintasan (Andrianto, 2005).
d. Amonia
Data amonia didapatkan dengan nilai terendah 0,01 mg/l, dan nilai
tertinggi yaitu 0,06 mg/l. Nilai tersebut masih dalam kisaran normal. Sesuai
pernyataan Amri dan Khana (2008) bahwa kadar amonia dalam perairan tidak
boleh lebih dari 0,1 mg/l. Amonia merupakan parameter kualitas air yang harus
diketahui kadarnya di lingkungan perairan atau tambak. Udang yang
menggunakan protein sebagai sumber energi menghasilkan amonia dalam
metabolisme. Sumber utama amonia dalam tambak adalah ekskresi dari udang
atau ikan maupun timbunan bahan organik dari sisa pakan dan plankton yang
mati. (Sahrijana dan Sahabbudin, 2014). Konsentrasi amonia yang melebihi 0,45
mg/l dapat menghambat pertumbuhan udang sampai 50%. Level amonia yang
tinggi di perairan dapat meningkatkan konsentrasi amonia dalam darah sehingga
mengurangi aktifitas darah (hemocyanin) dalam mengikat oksigen. Selain itu
tingginya kadar amonia juga dapat meningkatkan kerentanan udang terhadap
penyakit (Kilawati dan Maimunah, 2015).