Download - 3. Isi Prosiding(1).pdf
-
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal Intensifikasi Pengelolaan Lahan Suboptimal dalam Rangka Mendukung Kemandirian Pangan Nasional, Palembang 20-21 September 2013
ISBN 979-587-501-9
Herlinda S, Lakitan B, Sobir, Koesnandar, Suwandi, Puspitahati, Syafutri M.I, Meidalima D (Eds.) 1
Strategi Kebijakan Kementrian Pertanian dalam Optimalisasi
Lahan Suboptimal Mendukung Ketahanan Pangan Nasional
Haryono
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian
Assalaamu alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh.
Saudara Rektor dan Para Dekan dan Civitas Akademika Universitas Sriwijaya.
Para Peserta Seminar Nasional Lahan Sub Optimal yang Saya Hormati.
Merupakan suatu kehormatan bagi saya untuk menyampaikan keynote speech dengan topik
yang sangat strategis ini, di hadapan para peserta Seminar Nasional Lahan Sub-Optimal
yang terhormat.
Sektor pertanian merupakan tumpuan utama penyediaan pangan bagi 245 juta penduduk
Indonesia, penyedia sekitar 87% bahan baku industri kecil dan menengah, serta
penyumbang 15% PDB dengan nilai devisa sekitar US $ 43 Milyar. Selain itu, Sektor
Pertanian menyerap sekitar 33% tenaga kerja dan menjadi sumber utama pendapatan dari
sekitar 70% rumah tangga di perdesaan.
Di masa yang akan datang, sektor pertanian juga tetap menjadi salah satu andalan bagi
ketahanan pangan dan energi nasional. Kebutuhan pangan dan juga energi akan terus
meningkat sejalan dengan laju pertumbuhan dan peningkatan kesejahteraan penduduk.
Sebagai negara yang besar,ketahanan pangan merupakan pilar utama stabilitas nasional,
sehingga menjadi salah satu sasaran utama pembangunan pertanian yang tidak dapat
ditawar tawar. Hingga saat ini, beras masih merupakan komponen utama ketahanan pangan
nasional, sehingga swasembada beras tetap menjadi indikator utama ketahanan pangan.
Oleh sebab itu, pemerintah bertekad untuk terus meningkatkan produksi beras nasional 5%
per tahun dan menargetkan pencapaian surplus beras 10 juta ton pada tahun 2015.
Pencapaian target ketahanan pangan dan energi dibayangi-bayangi oleh beberapa ancaman
dan kendala biofisik yang harus diantisipasi dan ditanggulangi. Selain alih fungsi lahan
sawah produktif dan perubahan iklim sebagai derivasi dari pemanasan global, ancaman
serius lain yang dihadapi adalah degradasi sumberdaya lahan, air dan lingkungan (erosi,
longsor, pencemaran), serta meluasnya lahan terdegradasi dan terlantar.
Oleh sebab itu, dibutuhkan strategi yang didukung oleh kebijakan terpadu dan sinergi antar
sektor-sektor pembangunan terkait, khususnya dalam optimalisasi sumberdaya pertanian
(SDLP).
-
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal Intensifikasi Pengelolaan Lahan Suboptimal dalam Rangka Mendukung Kemandirian Pangan Nasional, Palembang 20-21 September 2013
ISBN 979-587-501-9
Herlinda S, Lakitan B, Sobir, Koesnandar, Suwandi, Puspitahati, Syafutri M.I, Meidalima D (Eds.) 2
Saudara peserta seminar,
Lahan sawah yang saat ini luasnya sekitar 8,1 juta hektar cenderung menciut akibat
konversi, bahkan dalam 10 tahun terakhir, terjadi juga alih fungsi lahan sawah menjadi
lahan perkebunan sawit. Sekitar 3,1 juta ha atau 42% lahan sawah juga dibayang-banyangi
oleh ancaman alihfungsi, terkait dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)
Kabupaten/Kota seluruh Indonesia.
Pada hal, karena keterbatasan anggaran, serta berbagai faktor sosial ekonomi, aspek
kepemilikan lahandan kendala lainnya di lapang, kemampuan pemerintah dalam
pencetakan sawah hanya sekitar 30-40 ribu hektar per tahun.
Selain itu, jika memperhatikan MP3EI, baik berdasarkan by design ataupun by accidence,
sebagian dari lahan sawah subur dan intensif di Jawa mendapat tekanan yang sangat besar
terkait dengan alih fungsi untuk penggunaan lain, terutama untuk infrastruktur dan
pengembanganindustri.Namunsebaliknya mengembangkan lahan-lahan pertanian di luar
Jawa, terutama di koridor Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua dihadapkan pada
kendala teknis karena sebagian besar dari lahan tersedia di koridor tersebut merupakan
lahan suboptimal (LSO).
Hadirin yang saya hormati,
Berdasarkan tren kebutuhan pangan nasional terutama padi, jagung, dan kedelai, maka
hingga tahun 2025 dibutuhkan 4,7 juta lahan bukaan baru. Untuk menjamin produksi beras
hingga tahun 2025, dibutuhkan perluasan areal sawahsekitar 1,4 juta ha, sedangkan untuk
kedelai sekitar 2 juta ha dan untuk tanam jagung sekitar 1,3 juta ha.
Apalagi hingga tahun 2050, diperlukan tambahan lahan sekitar 14,9 juta ha yang terdiri
dari 5 juta ha lahan sawah, 8,7 juta ha lahan kering, dan 1,2 juta ha lahan rawa. Pada hal, di
sisi lain, selain hutan primer pada umumnya lahan yang tersedia adalah lahan suboptimal
termasuk lahan yang sudah terdegradasi atau terlantar.
Oleh sebab itu, opsi utama yang harus ditempuh untuk memenuhi kebutuhan pangan dan
energi serta komoditas lainnya, adalah pengembangan dan optimalisasi lahan suboptimal
dan terdegradasi, baik melalui pendekatan intensifikasi maupun secara ekstentifikasi.
Hadirin yang saya hormati,
Secara kuantitas, Indonesia mempunyai sumberdaya lahan yang cukup luas dengan
berbagai keragaman dan karakteristik. Namun dari daratan seluas 189,1 juta ha sekitar
157,2 juta ha diantaranya merupakan lahan sub optimal (LSO), sedangkan sisanya seluas
31,9 juta ha adalah lahan subur (optimal) dengan berbagai tingkat kesuburan. Hanya saja
sebagian besar lahan tersebut sudah dimanfaatkan untuk lahan pertanian dan untuk
berbagai penggunaan.
Sebagai lahan cadangan sebagai andalan utama di masa depan, lahan sub optimal yang
secara alamiah mempunyai produktivitas rendah dan ringkih (fragile) dengan berbagai
kendala akibat faktor inheren (tanah, bahan induk) maupun faktor eksternal akibat iklim
yang ekstrim, termasuk lahan terdegradrasi akibat ekspoitasi yang kurang bijak.
Secara biofisik dan dengan sentuhan inovasi teknologi pertanian, sekitar 58% dari lahan
suboptimal tersebut potensial untuk lahan pertanian. Bahkan pada saat ini sebenarnya,
sekitar 15% lahan sawah eksisting dan sekitar 60% dari lahan pertanian lainnya juga
merupakan lahan sub-optimal yang potensial dan produktif serta sudah berkontribusi
secara signifikan terhadap ketahanan pangan dan pertumbuhan ekonomi nasional. Namun
-
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal Intensifikasi Pengelolaan Lahan Suboptimal dalam Rangka Mendukung Kemandirian Pangan Nasional, Palembang 20-21 September 2013
ISBN 979-587-501-9
Herlinda S, Lakitan B, Sobir, Koesnandar, Suwandi, Puspitahati, Syafutri M.I, Meidalima D (Eds.) 3
demikian belum semua lahan suboptimal dikelola secara optimal, terutama lahan sawah,
dengan produktivitas yang rendah.
Secara alamiah, seluas123,1 juta ha dari LSO adalah lahan kering dan 34,1 juta ha lahan
basah (rawa). Lahan kering terluas merupakan lahan kering masam atau lahan kering
beriklim basah yang tersebar hampir di seluruh wilayah Indonesia, terutama di Sumatera,
Kalimantan dan Papua. Lahan kering beriklim kering seluas 13,3 juta ha, tersebar di Jatim,
Bali, NTT, NTB. LSO basah terdiri dari 14,9 juta ha lahan gambut, seluas 11,0 juta ha
berupa lahan rawa pasang surut, dan 9,3 juta ha berupa lahan rawa lebak.
Saudara sekalian,
Sesuai dengan sifatnya yang ringkih, dan selaras dengan konsep dan tuntutan
pembangunan pertanian berkelanjutan, maka pengembangan dan optimalisasi lahan
suboptimal akan disasarkan pada beberapa aspek, yaitu: produktivitas, efisiensi produksi,
kelestarian sumberdaya dan lingkungan serta kesejahteraan petani. Keempat sasaran
tersebut dapat diwujudkan melalui dukungan inovasi teknologi dan kelembagaan.
Optimalisasi lahan suboptimal dapat ditempuh melalui dua pendekatan, yaitu:
(A) Optimalisasi pemanfaatan lahan suboptimal eksisting (baik lahan sawah maupun
lahan kering), agar lebih produktif dan lestari, melalui intensifikasi dengan dukungan
inovasi. Sasaran utamanya adalah peningkatan produktivitas dan perluasan areal
tanam/indeks pertanaman (IP).
(B) Ekstensifikasi atau perluasan areal pertanian baru dengan memanfaatkan lahan sub
optimal yang potensial dengan skala prioritas tertentu. Terkait dengan misi dari Inpres
No.06/2013 tentang Jeda Pemberian Izin atau Pembukaan Hutan dan Lahan Gambut,
maka prioritas utama perluasan areal adalah memanfaatkan lahan suboptimal
terdegradasi atau terlantar (abondance land).
Pengembangan dan optimalisasi lahan suboptimal harus berbasis science, innovation dan network. yang dapat dijabarkan pada beberapa strategi berikut :
Pertama: pengembangan lahan subpotimal harus diiringi dengan pemacuan inovasi
teknologi yang diasimilasikan dengan kearifan lokal sesuai dengan tipologi lahan.
Karena sifatnya yang fragil dan unik, pengembangan inovasi harus didukung
basis ilmiah dan akedemik yang kuat. Oleh sebab itu entri point pertama dan
utamanya adalah (a) ekplorasi dan indentifikasi sumberdaya lahan itu sendiri
secara komprehensif, (b) eksplorasi, ekspolitasi/pemanfataan dan rekayasa
sumberdaya genetik, serta (c) optimalisasi biomassa dan efisiensi karbon yang
berbasis sistem pengelolaan dan penataan lahan dan tata air.
Kedua: pengembangan model farming berbasis lingkungan dan terintegrasi (Pertanian
Ramah Lingkungan, PRL) dengan berbagai varian dan derivasinya, seperti
pendekatan pengelolaan tanaman dan sumberdaya terpadu (PTT), integrasi
tanaman dan ternak (SITT), pertanian terpadu efisiensi karbon (ICEF), pertanian
terpadu lahan kering beriklim kering (SPTLKIK/Food Smart Village), model
Kawasan Rumah Pangan Lestari (M-KRPL), dan lain-lain. Model-model farming
tersebut hanya bisa dikembangkan jika terwujud sistem lit-kaji-bang-dik-lat-luh-
rap secara efektif.
-
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal Intensifikasi Pengelolaan Lahan Suboptimal dalam Rangka Mendukung Kemandirian Pangan Nasional, Palembang 20-21 September 2013
ISBN 979-587-501-9
Herlinda S, Lakitan B, Sobir, Koesnandar, Suwandi, Puspitahati, Syafutri M.I, Meidalima D (Eds.) 4
Ketiga: akselerasi pengembangan dan diseminasi inovasi tenologi pertanian, terutama
verietas unggul, teknologi pemupukan, alat mesin pertanian, pasca panen dan
model faming ramah lingkungan, dll. Akselerasi ini dapat diwuudkan dengan
sistem diseminasi multi channel, termasuk seminar nasional ini.
Keempat: pemberdayaan petani dan pengembangan sistem kelembagaan dalam berbagai
sub-sistem agribisnis pedesaan, mulai dari saprodi, alsintan hingga pemasaran.
Kelima: merupakan strategi khusus perluasan areal jangka pendek dengan memanfaatkan
lahan HTI dan perkebunan untuk pengembangan tanaman pangan.
Menurut Kementerian Kehutanan ada sekitar + 9,4 juta ha, dimana 70% dalam status aktif
dan berdasarkan kajian Badan Litbang Pertanian 5,4 juta diantarnya potensial untuk
tanaman pangan. Dengan siklus 6 sampai 7 tahun, maka setiap tahun terdapat lahan HTI
potensial ditanami seluas 570.000 ha. Berkaitan pengembangan pemanfaatan lahan
suboptimal beberapa kebijakan yang dapat ditempuh adalah:
Pertama: untuk pengembangan tanaman pangan diprioritaskan pada optimalisasi
pemanfaatan lahan potensial baik di lahan rawa maupun non rawa. Sedangkan
untuk pengembangan tanaman perkebunan diprioritaskan pada lahan kering atau
lahan rawa dengan tetap mengacu pada Permentan No. 14/ 2009.
Kedua: perluasan lahan melalui pengembangan lahan suboptimal harus diprioritas pada
lahan suboptimal terdegradasi dan terlantar di kawasan bududaya (APL), diikuti
dengan pemanfaatan lahan-lahan terlantar di kawasan hutan secara selektif.
Ketiga: akselarasi dan eskalasi kegiatan penelitian dan pengembangan pertanian, antara
lain membangun sistem konsorsium litbang pertanian dan skim penelitian lainnya.
Hadirin yang terhormat,
Selain aspek-aspek yang disebutkan di atas, juga sangat ditentukan oleh sistem koordinasi,
kerjasama dan sinergiprogram antara K/L terkait, seperti Kehutanan, PU, Transmigrasi dan
Dalam Negeri, serta Pemerintah Daerah dan Swasta/BUMN.
Demikian, terima kasih.
Wa billaahi taufiq wal hidayah, assalaamu alaikum warahmatullaahi wa barakaatuh.
Palembang, 20 September 2013
Dr. Haryono M.Sc.
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian
-
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal Intensifikasi Pengelolaan Lahan Suboptimal dalam Rangka Mendukung Kemandirian Pangan Nasional, Palembang 20-21 September 2013
ISBN 979-587-501-9
Herlinda S, Lakitan B, Sobir, Koesnandar, Suwandi, Puspitahati, Syafutri M.I, Meidalima D (Eds.) 5
Kebijakan Inovasi Teknologi untuk Pengelolaan
Lahan Suboptimal Berkelanjutan
Benyamin Lakitan1,2
dan Nuni Gofar2
1Kementerian Riset dan Teknologi
2Pusat Unggulan Riset Pengembangan Lahan Suboptimal (PUR-PLSO) Universitas
Sriwijaya Palembang
ABSTRACT
At present, Indonesia has no other option for achieving national food security than
to manage its available and suitable suboptimal lands for food production. Efforts to
increase productivity have become agronomically more difficult and economically less
feasible for farmers. Nonetheless, it should be realized that suboptimal lands have many
different characteristics and potentials. Therefore, technology development should be
prioritized to create relevant technologies for each distinctive character of suboptimal land,
financially affordable by local farmers, and in accordance with local comunities preferences and socioculture. There are two approaches could be simultaneously and
interactively implemented. Firstly, optimalizing physical, chemical, and (micro)biological
soil conditions, coupled with effort in improving water resources management to increase
effectiveness of irrigation or drainage network and water use eficiency. Secondly,
selecting suitable agricultural commodities and developing crop cultivars adaptable to
each spesific characteristics of suboptimal lands. For maintaining sustainability of
suboptimal land management, all technical and technological efforts should be evaluated
not only based on their potential economic benefits, but also needed to consider their
ecological impacts and socio-cultural values of the local community.
ABSTRAK
Indonesia saat ini tidak lagi punya banyak pilihan dalam rangka mewujudkan
ketahanan pangan nasional selain memanfaatkan lahan-lahan suboptimal yang masih
tersedia dan memungkinkan untuk dikelola sebagai lahan produksi pangan, karena upaya
peningkatan produktivitas sudah semakin sulit secara teknis agronomis dilakukan dan juga
semakin tidak ekonomis untuk diusahakan. Namun demikian, perlu dipahami bahwa
lahan-lahan yang tergolong suboptimal mempunyai beragam karakteristik dan potensinya.
Oleh sebab itu, perlu diprioritaskan pada pengembangan teknologi yang secara teknis
relevan untuk masing-masing karakteristik lahan suboptimal tersebut, secara ekonomis
terjangkau oleh petani setempat, serta diharapkan juga selaras dengan preferensi dan sosio-
kultural masyarakat setempat. Dua pendekatan yang dapat secara paralel dan interaktif
dilakukan adalah [1] optimalisasi sifat fisik, kimia, dan (mikro)biologi tanah yang
dibarengi dengan optimalisasi pengelolaan sumberdaya air agar efektif dan lebih efisien;
dan [2] seleksi jenis komoditas yang sesuai dan pengembangan varietas yang adaptif secara
spesifik untuk masing-masing karakteristik lahan suboptimal. Untuk mewujudkan
keberlanjutan pengelolaan lahan suboptimal, maka semua upaya teknis dan teknologis
yang dilakukan harus pula mempertimbangkan kemungkinan dampak ekologisnya,
kesesuaian sosiokultural dengan masyarakat lokal, selain tentunya menguntungkan secara
ekonomi bagi petani sebagai pelaku utamanya.
-
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal Intensifikasi Pengelolaan Lahan Suboptimal dalam Rangka Mendukung Kemandirian Pangan Nasional, Palembang 20-21 September 2013
ISBN 979-587-501-9
Herlinda S, Lakitan B, Sobir, Koesnandar, Suwandi, Puspitahati, Syafutri M.I, Meidalima D (Eds.) 6
PENDAHULUAN
Untuk mewujudkan ketahanan pangan secara berkelanjutan (ekologis) dan berbiaya
terjangkau petani (ekonomis), maka Indonesia tidak punya pilihan lain kecuali harus mulai
dengan sungguh-sungguh untuk mengelola lahan-lahan suboptimal yang dimiliki, terutama
di luar Pulau Jawa. Argumen utamanya adalah: [1] walaupun secara teknis proses
budidaya tanaman dapat dilakukan tanpa tanah (hidroponik dan aeroponik), namun secara
ekonomi sulit dapat melakukan budidaya tanaman secara produktif dan menguntungkan
dengan tanpa berbasis pada lahan; sedangkan [2] lahan yang subur semakin menyempit
karena dikonversi menjadi lahan untuk kepentingan non-pertanian. Usaha pertanian
tanaman pangan selalu kalah kompetitif dibandingkan dengan usaha properti, industri, dan
perdagangan, atau harus mengalah ketika akan dimanfaatkan untuk pembangunan
infrastruktur.
Mengelola lahan-lahan suboptimal tentu akan lebih rumit. Kendala
teknis/agronomis yang dihadapi butuh teknologi yang berkesesuaian. Karakteristik lahan
suboptimal yang beragam dengan intensitas tantangannya yang juga bervariasi akan
menambah kompleksitas persoalan yang dihadapi. Setiap aplikasi teknologi untuk
perbaikan sifat fisik, kimia, dan/atau biologi tanah akan secara langsung menambah biaya
usahatani.
Secara agronomis, hampir semua kendala lahan suboptimal telah diketahui dan telah
tersedia teknologi yang relevan untuk solusinya. Namun persoalan utamanya adalah
aplikasi teknologi-teknologi tersebut akan secara signifikan menambah beban biaya
usahatani, berarti secara langsung akan mengurangi keuntungan atau bahkan menyebabkan
kerugian bagi petani. Dengan demikian, maka tantangan bagi pengembang teknologi
untuk pengelolaan lahan suboptimal di masa yang akan datang harus lebih fokus pada [1]
upaya menekan nilai investasi awal dan biaya operasional alat dan mesin pertanian, serta
[2] mencari bahan baku domestik yang lebih murah dan lebih tersedia untuk pembenah dan
penyubur tanah, sehingga biayanya murah dan lebih mungkin diaplikasikan secara masif.
Dari aspek pengelolaan lahan, selain pembenahan dan penyuburan tanah, perlu pula
dilakukan pengembangan tata kelola sumberdaya air yang lebih efisien, sesuai dengan
kebutuhan tanaman, ternak, dan/atau ikan yang dibudidayakan. Jenis teknologi yang
dibutuhkan untuk masing-masing karakteristik lahan suboptimal akan berbeda. Untuk
lahan kering (upland), butuh teknologi yang efektif dan efisien dalam mengelola
sumberdaya air yang tersedia; sebaliknya, untuk lahan basah (wetland), lebih
membutuhkan teknologi tata kelola air yang pas untuk berbagai jenis komoditas pangan
yang akan dibudidayakan. Untuk lahan basah, diperlukan upaya untuk menjaga
keseimbangan dinamis antara upaya untuk memperbaiki aerasi tanah agar oksigen tersedia
bagi sistem perakaran tanaman; menjaga ketersediaan air yang sesuai kebutuhan tanaman,
ternak, atau ikan yang dibudidayakan; serta mengendalikan agar unsur-unsur yang dapat
meracuni tanaman tidak menjadi lebih tersedia dan diserap sistem perakaran tanaman.
Selain melalui upaya perbaikan sifat-sifat tanah dan pengembangan sistem tata kelola
sumberdaya air, upaya pengelolaan lahan suboptimal juga perlu secara paralel dilakukan
melalui seleksi jenis komoditas pangan yang sesuai untuk masing-masing karakteristik
lahan suboptimal. Setelah itu, dapat dilanjutkan dengan program pemuliaan tanaman,
ternak, dan ikan untuk mendapatkan varietas atau jenis yang adaptif terhadap masing-
masing kondisi agroekosistem lahan suboptimal. Karena keragaman agroekosistem lahan
suboptimal yang sangat ekstrim dan kontras, maka varietas adaptif yang dimaksud hanya
diperuntukkan bagi agroekosistem suboptimal tertentu. Sangat tidak mungkin untuk dapat
menghasilkan suatu varietas yang akan mampu beradaptasi pada semua ragam karakteristik
agroekosistem lahan suboptimal. Pendekatan lintasan ganda (perbaikan sifat
-
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal Intensifikasi Pengelolaan Lahan Suboptimal dalam Rangka Mendukung Kemandirian Pangan Nasional, Palembang 20-21 September 2013
ISBN 979-587-501-9
Herlinda S, Lakitan B, Sobir, Koesnandar, Suwandi, Puspitahati, Syafutri M.I, Meidalima D (Eds.) 7
fisik/kimia/biologi lahan dan adaptasi tanaman/ternak/ikan) yang dilakukan secara paralel
(dalam konteks dimensi waktu) dan bersifat resiprokal-dinamis secara substansial,
diharapkan mampu mempercepat proses mewujudkan lahan-lahan suboptimal sebagai
lahan usahatani yang produktif dan menguntungkan bagi masyarakat tani.
KARAKTERISTIK DAN POTENSI LAHAN-LAHAN SUBOPTIMAL
Karakteristik Lahan Suboptimal
Lahan suboptimal pada dasarnya merupakan lahan-lahan yang secara alami
mempunyai satu atau lebih kendala sehingga butuh upaya ekstra agar dapat dijadikan lahan
budidaya yang produktif untuk tanaman, ternak, atau ikan. Kendalah tersebut dapat
berupa: [1] kesulitan dalam menyediakan air yang cukup untuk mendukung usaha tani
yang produktif dan menguntungkan; [2] sifat kemasaman tanah yang tinggi (pH rendah)
sehingga butuh upaya untuk menetralisir kemasaman tanah tersebut; [3] dinamika pasang-
surut genangan air yang sulit diprediksi sehingga dapat menyebabkan gagal tanam maupun
gagal panen; [4] lahan terpengaruh oleh intrusi air laut; [5] terdapat lapisan pirit dangkal
yang menjadi ancaman karena dapat meracuni sistem perakaran tanaman; [6] sangat
miskin unsur hara sehingga membutuhkan dosis pemupukan yang lebih tinggi; dan/atau [7]
tanah berbatu sehingga sulit diolah secara mekanis. Kondisi suboptimal ini dapat terjadi
secara alami, akibat terkena dampak dari kegiatan manusia di dan/atau sekitar lokasi yang
bersangkutan, atau akibat salah kelola pada periode sebelumnya.
Di Indonesia, lahan suboptimal yang luas hamparannya adalah agroekosistem: [1]
lahan kering masam, dengan kendala utama miskin hara, masam, dan kurang air; [2] lahan
kering pada wilayah iklim kering, dengan kesulitan utamanya adalah menyediakan air yang
cukup untuk budidaya tanaman; selain itu sering juga tanahnya berbatu dengan lapisan
topsoil yang tipis; [3] lahan rawa pasang surut, dengan masalah utama kesulitan dalam
mengatur tata airnya, keberadaan lapisan pirit, lapisan gambut tebal, dan intrusi air laut;
dan [4] lahan rawa lebak, dengan kendala kesulitan dalam memprediksi dan mengatur
tinggi genangan dan kemasaman tanah.
Potensi Lahan-lahan Suboptimal Kementerian Pertanian (2013)
1 menaksir bahwa luas lahan suboptimal di Indonesia
yang sesuai untuk pertanian mencapai 91,9 juta hektar, dimana yang terluas adalah
agroekosistem lahan kering masam yang mencapai 62,6 juta hektar (68,1%). Selanjutnya,
agroekosistem rawa pasang surut seluas 9,3 juta hektar (10,1%), lahan kering iklim kering
seluas 7,8 juta hektar (8,5%), rawa lebak seluas 7,5 juta hektar (8,2%), dan lahan gambut
seluas 4,7 juta hektar (5,1%). Pada saat ini sebagian dari lahan-lahan suboptimal ini sudah
dimanfaatkan untuk budidaya tanaman, ternak, atau ikan. Ada beberapa contoh
keberhasilan dalam pengelolaan lahan suboptimal di Indonesia. Namun secara umum
produktivitasnya masih relatif rendah.
BPS (2013) melaporkan bahwa produktivitas rata-rata padi sawah di Indonesia
telah mencapai 4,98 ton GKG/hektar tahun 2011. Angka sementara untuk tahun 2012
ditaksir sekitar 5,14 ton GKG/hektar. Akan tetapi, produktivitas padi yang dibudidayakan
petani lokal secara tradisonal di lahan rawa lebak umumnya masih kurang dari 2 ton
GKG/hektar dan hanya ditanami satu kali setahun (Endrizal dan Julistia, 2009). Namun
demikian, dengan aplikasi teknologi Pengelolaan Tanaman Terpadu, produktivitas varietas
unggul baru (VUB) untuk lahan rawa dapat ditingkatkan menjadi berkisar antara 3,88 ton
1Dikutip dari bahan presentasi Kepala Balitbang Kemtanpada Rakornas Ristek 2013 di Jakarta.
-
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal Intensifikasi Pengelolaan Lahan Suboptimal dalam Rangka Mendukung Kemandirian Pangan Nasional, Palembang 20-21 September 2013
ISBN 979-587-501-9
Herlinda S, Lakitan B, Sobir, Koesnandar, Suwandi, Puspitahati, Syafutri M.I, Meidalima D (Eds.) 8
GKG/hektar (Inpara 2) sampai 6,56 ton GKG/hektar (Indragiri) (Endrizal dan Jumakir,
2009).
Pada saat tergenang, perikanan cukup berpotensi di kawasan rawa, baik dalam
usaha penangkapan maupun dalam sistem budidaya, yang dapat dilakukan di berbagai
tipologi lahan dan berbagai tipologi luapan. Budidaya ikan yang diterapkan di lahan lebak
antara lain sistim pagar, kolam bejek dan sistim surjan. Sistim pagar lebih cocok
diterapkan pada lahan rawa yang fluktuasi air hanya sedikit (Sulistyarto et al., 2007).
Ternak itik juga cukup potensial di lahan rawa lebak dengan menggunakan paket teknologi
perlakuan pakan dan pemeliharaan secara semi intensif dan intensif. Dari hasil kajian
Suparwoto dan Waluyo (2009), sistem pemeliharaan secara intensif dapat meningkatkan
produksi telur sebesar 40,36% dengan pemberian pakan 100 g/ekor/hari.
Masganti dan Yuliani (2010) melaporkan, bahwa produktivitas padi lokal varietas
Siam Adus pada lahan pasang surut tipe luapan B di Kabupaten Kapuas Kalimantan
Tengah tertinggi mencapai 3,82 ton GKG/hektar. Sementara jika lahan pasang surut
dibudidayakan dengan tanaman jagung tanpa aplikasi teknologi, produktivitasnya sangat
rendah, hanya sebesar 2,21 ton/hektar pada areal lahan pasang surut Kabupaten Tanjung
Jabung Barat, Jambi (Jumakir dan Endrizal, 2009).
Produktivitas padi dan jagung hibrida di lahan kering Kabupaten Bone Sulsel berturut-turut
2,82 ton GKG dan 7,8 ton pipilan kering per hektar (Hadijah et al., 2009). Produktivitas
lahan suboptimal tersebut dapat ditingkatkan apabila dikelola secara berkelanjutan
memanfaatkan teknologi tepat guna hasil-hasil penelitian, melalui rekayasa fisik, kimia,
biologi serta pengelolaan tata air sesuai karakteristik tanahnya.
STRATEGI PENGEMBANGAN TEKNOLOGI
UNTUK PENGELOLAAN LAHAN SUBOPTIMAL
Sejak awal konstitusi Indonesia mengamanahkan bahwa pembangunan iptek adalah
untuk memajukan peradaban serta kesejahteraan umat manusia dengan menjunjung tinggi
nilai-nilai agama dan (menjaga) persatuan bangsa2. Oleh sebab itu, sesuai amanah
konstitusi, maka semua kegiatan riset dan pengembangan harusnya bermuara pada
tersedianya teknologi yang relevan dengan realita kebutuhan dan/atau dapat menjadi solusi
bagi persoalan nyata, sehingga teknologi yang dihasilkan tersebut lebih berpeluang untuk
digunakan. Edgerton (2006) mengungkapkan bahwa: History is changed when we put into in the technology that counts, not only the famous spectacular technologies but also
the low and ubiquitous ones. Pernyataan Edgerton tersebut menekankan bahwa untuk mengubah sejarah
bukanlah persoalan kecanggihan teknologi yang dikembangkan, tetapi lebih ditentukan
oleh apakah teknologi yang dihasilkan digunakan atau tidak digunakan dalam kegiatan
produktif untuk menghasilkan barang ataupun jasa. Dalam konteks ini, kebutuhan
teknologi untuk pengelolaan lahan-lahan suboptimal di Indonesia saat ini bukanlah
teknologi super canggih, tetapi lebih merupakan teknologi-teknologi yang secara teknis
sangat dibutuhkan dan secara finansial terjangkau oleh petani, peternak, atau pembudidaya
ikan.
Selain teknologi yang secara langsung dibutuhkan oleh petani atau komponen
masyarakat lainnya yang menggunakan lahan sebagai basis kegiatan produktifnya,
teknologi untuk menghasilkan produk dan/atau sarana produksi juga patut untuk
dikembangkan. Teknologi dimaksud termasuk teknologi untuk menghasilkan benih
2 Undang-Undang Dasar Tahun 1945, pasal 31 ayat (5).
-
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal Intensifikasi Pengelolaan Lahan Suboptimal dalam Rangka Mendukung Kemandirian Pangan Nasional, Palembang 20-21 September 2013
ISBN 979-587-501-9
Herlinda S, Lakitan B, Sobir, Koesnandar, Suwandi, Puspitahati, Syafutri M.I, Meidalima D (Eds.) 9
unggul; pupuk yang efektif, efisien, dan ekologis; bahan kimia atau organik dan
(mikro)organisme untuk pengendalian hama dan patogen tanaman, ternak, dan ikan;
hormon dan zat pengatur tumbuh; serta alat dan mesin budidaya dan pengolahan hasil
pertanian. Khusus untuk pengelolaan lahan-lahan suboptimal, maka semua teknologi ini
harus disesuaikan dengan kondisi lahan, agroklimat, kapasitas dan preferensi pengguna
potensialnya, serta kondisi sosiokultural setempat.
Ada dua alur pokok yang saling komplementer dalam pengelolaan lahan
suboptimal agar bisa dijadikan lahan pertanian yang produktif, yakni: [1] perbaikan sifat
fisika, kimia, dan biologi tanah serta tata air agar lebih optimal; dan [2] peningkatan daya
adaptasi tanaman, ternak, atau ikan terhadap karakteristik lahan dan kondisi agroklimat
yang tidak optimal (Gambar 1).
Secara umum ada empat pra-syarat untuk keberhasilan proses difusi teknologi, yakni: [1]
Teknologi yang dikembangkan secara teknis relevan dengan kebutuhan pengguna; [2]
Selain relevan secara teknis, teknologi yang ditawarkan harus sepadan dengan kapasitas
absorpsi (calon) pengguna yang disasar; [3] Teknologi yang ditawarkan mampu bersaing
dengan teknologi serupa yang tersedia di pasar; dan [4] Aplikasi teknologi yang
ditawarkan akan lebih menguntungkan dibandingkan dengan praktek bisnis yang saat ini
dilakukan.
Perbaikan Sifat Fisika, Kimia, dan Biologi Tanah
Seperti telah dijelaskan pada awal artikel ini, lahan suboptimal memiliki karakteristik
sifat fisik, kimia, dan biologi yang beragam. Upaya perbaikan untuk mengelola lahan
suboptimal menjadi optimal membutuhkan teknik pengelolaan yang tepat sesuai dengan
karakteristiknya. Melalui penerapan iptek yang benar, maka lahan suboptimal dengan
tingkat kesuburan alami yang rendah dapat dijadikan areal pertanian produktif.
Pengembangan lahan suboptimal untuk usaha pertanian umumnya dihadapkan dengan
beberapa persoalan terkait sifat fisik, kimia dan biologi tanah, diantaranya kadar liat atau
bahan organik tinggi, kemasaman tanah yang tinggi, keracunan Fe dan Al, serta kahat
unsur hara seperti N, P, K, Ca dan Mg. Berbagai teknologi unggulan di lahan rawa yang
telah dihasilkan oleh berbagai perguruan tinggi dan lembaga litbang diantaranya adalah
penataan lahan, pengelolaan air, pengelolaan tanaman, pengelolaan bahan ameliorasi dan
hara, serta pengendalian gulma.
Penggunaan ameliorant antara lain berupa kapur (kalsit, dolomit, dan kapur
oksida), garam, sekam padi, abu serbuk kayu gergajian, biomasa gulma, dan limbah
pertanian; sedangkan pengelolaan hara dengan cara pemberian pupuk hayati, pupuk N, P
dan K, terbukti mampu meningkatkan hasil padi, palawija dan sayuran. Intensitas dan
produktivitas yang rendah pada lahan rawa dapat ditingkatkan dengan penerapan teknologi
pola tanam terpadu dengan pemilihan varietas padi dan palawija serta sayuran yang teruji
(Alihamsyah et al., 2004).
Pemanfatan lahan rawa untuk pertanian menyebabkan perubahan sifat kimia dan
biologi tanah. Penelitian Gofar (2007) di lahan rawa lebak Sumatera Selatan menunjukkan
bahwa perbedaan tipe penggunaan lahan berpengaruh nyata terhadap penurunan pH tanah,
kadar C-organik, N-total, P-total dan populasi mikroba menguntungkan dalam tanah.
Beberapa penyebab yang mengakibatkan perbedaan tersebut antara lain: [1] lama
pengusahaan lahan, [2] intensitas pengolahan, jenis pupuk serta dosis pupuk yang
digunakan, [3] jenis tanaman yang diusahakan, [4] aktivitas organisme tanah, dan [5]
kondisi awal lahan yang diusahakan. Bahan organik merupakan penyangga biologis yang
mempunyai fungsi dalam memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah sehingga dapat
menyediakan unsur hara dalam jumlah berimbang bagi tanaman. Tanah dengan
-
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal Intensifikasi Pengelolaan Lahan Suboptimal dalam Rangka Mendukung Kemandirian Pangan Nasional, Palembang 20-21 September 2013
ISBN 979-587-501-9
Herlinda S, Lakitan B, Sobir, Koesnandar, Suwandi, Puspitahati, Syafutri M.I, Meidalima D (Eds.) 10
kandungan bahan organik yang tinggi akan meningkatkan perkembangan mikroba tanah
dan menyumbangkan unsur hara seperti N dan P sehingga tersedia bagi tanaman.
Gambar 1. Alur ganda pengelolaan lahan suboptimal
agar menjadi lahan pertanian yang produktif
Penggunaan kompos merupakan pilihan dalam mendukung peningkatan
produktivitas padi gogo di lahan kering seperti Ultisol dan padi sawah pada Inseptisol rawa
lebak. Aplikasi kompos dapat memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah, baik pada
lahan kering maupun rawa. Nilai hara kompos yang beragam dan tergolong rendah dapat
ditingkatkan jika diperkaya dengan pupuk hayati. Perlakuan pupuk kompos diperkaya
dengan pupuk hayati (penambat nitrogen, pelarut fosfat dan kalium, pemacu tumbuh)
menghasilkan bobot gabah kering panen, jumlah gabah per malai, dan produksi padi lebih
baik dibandingkan pada perlakuan pupuk anorganik pada Ultisol (Gofar dan Marsi, 2013)
dan pada Inseptisol lebak (Gofar et al., 2013).
Peningkatan produktivitas lahan suboptimal dapat dilakukan dengan pemanfaatan mikroba
tanah, baik yang hidup bebas di dalam tanah maupun yang bersimbiosis dengan tanaman.
Fitri dan Gofar (2010) melaporkan bahwa konsorsium bakteri endofitik pemacu tumbuh
hasil isolasi dari jaringan tanaman padi dengan populasi 107 spk mL
-1 mampu
meningkatkan hasil tanaman padi pada tanah asal pasang surut.
Perbaikan Tata Air
Pengaturan tata air merupakan satu hal yang sangat penting dalam pengelolaan
lahan pertanian pada ekosistem rawa. Pengaturan tata air ini bukan hanya untuk
mengurangi atau menambah ketersediaan air permukaan, melainkan juga untuk
mengurangi kemasaman tanah, mencegah pemasaman tanah akibat teroksidasinya lapisan
pirit, mencegah bahaya salinitas, bahaya banjir, dan mencuci zat beracun yang
terakumulasi di zona perakaran tanaman (Suryadi et al., 2010).
Strategi pengendalian muka air ditujukan kepada aspek upaya penahanan muka air
tanah agar selalu di atas lapisan pirit dan pencucian lahan melalui sistem drainase
-
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal Intensifikasi Pengelolaan Lahan Suboptimal dalam Rangka Mendukung Kemandirian Pangan Nasional, Palembang 20-21 September 2013
ISBN 979-587-501-9
Herlinda S, Lakitan B, Sobir, Koesnandar, Suwandi, Puspitahati, Syafutri M.I, Meidalima D (Eds.) 11
terkendali. Kondisi muka air yang diinginkan sangat tergantung kepada jenis tanaman,
jenis tanah, dan kondisi hidrologis wilayah setempat (Imanudin dan Susanto, 2008).
Permasalahan dalam budidaya tanaman non padi di lahan rawa adalah kelebihan air yang
sangat mengganggu pertumbuhan awal tanaman. Sementara itu, kalau penanaman ditunda,
maka akan terjadi kekurangan air pada fase generatif. Permasalahan status air ini dapat
diatasi dengan membangun sistem drainase yang tepat (Imanudin dan Tambas, 2002).
Pengembangan Jenis dan Varietas Adaptif
Suwignyo et al. (2010) telah mengumpulkan beberapa kultivar padi lokal rawa
lebak dari beberapa lokasi di Indonesia. Sumber genetik lokal ini akan menjadi sumber
plasma nutfah dalam program pemuliaan tanaman untuk menghasilkan varietas baru tahan
terendam berbahan genetik lokal, sehingga diharapkan akan dihasilkan galur/varietas
Pegagan-Sub1, Siam-Sub1, Rutti-Sub1, Payak Acan-Sub1, Serendah Kuning-Sub1, dan
sebagainya; sebagaimana yang telah dicontohkan di IRRI menghasilkan varietas Swarna-
Sub1, Samba Mahsuri-Sub1, dan BR11-Sub1. Perakitan varietas-varitas baru yang
tahan terendam sangat penting dilakukan dengan memperhatikan material genetik lokal
rawa lebak.
Pada tingkat nasional, dalam rangka penyediaan jenis varietas yang toleran
terhadap kondisi lahan rawa, telah dikembangkan beberapa varietas yang toleran untuk
lahan rawa, seperti varietas Inpara 1, Inpara 2, Inpara 3, Inpara 4, dan Inpara 5. Varietas
Inpara 1 adalah varietas yang cocok ditanam di daerah rawa lebak dan pasang surut.
Apabila ditanam pada kondisi lahan rawa lebak rata-rata dapat mencapai hasil 5,65 ton
GKG/ha, sedangkan jika ditanam pada kondisi lahan rawa pasang surut rata-rata hasilnya
lebih rendah, yakni 4,45 ton GKG/ha). Varietas Inpara 1 memiliki toleransi keracunan Fe
dan Al, agak tahan terhadap serangan wereng batang coklat Biotipe 1 dan 2, serta tahan
terhadap penyakit hawar daun bakteri dan blas. Varietas Inpara 2 dan Inpara 3 juga
direkomendasikan untuk budidaya di lahan rawa lebak maupun pasang surut dengan rata-
rata hasil relatif sebanding dengan varietas Inpara 1 (Balai Besar Penelitian Padi, 2010).
Lawit dan Manyapa merupakan nama varietas unggul kedelai adaptif pada lahan
pasang surut dan lahan sawah. Keistimewaan dari kedua varietas ini adalah pengujian
multilokasinya dilakukan di dua agroekologi, yaitu lahan pasang surut dan lahan sawah,
sehingga memiliki daya adaptasi yang luas. Di lahan pasang surut, kedua varietas ini dapat
ditanam di lahan dengan tipe luapan B, C, dan D, baik pada musim hujan maupun
kemarau. Pada lahan bertipe luapan C dan D, dapat ditanam pada musim hujan dan musim
kemarau tanpa pembuatan guludan. Pada musim hujan di lahan bertipe luapan B perlu
dibuat guludan untuk menghindari genangan pada saat pasang, karena genangan dapat
merusak perakaran akibat kurangnya oksigen dan akumulasi CO2 di daerah perakaran.
TANTANGAN PENGELOLAAN LAHAN SUBOPTIMAL
Pengelolaan lahan suboptimal masih banyak menghadapi permasalahan. Selain
aspek fisik lahan seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, permasalahan non fisik
antara lain rendahnya minat dan kemampuan enterpreneurship petani, lemahnya sistem
kelembagaan untuk memfasilitasi dan melindungi usahatani masyarakat, dan aplikasi
teknologi yang rendah terutama karena terkendala oleh kapasitas finansial petani yang
tidak memadai.
Dalam pengelolaan sumberdaya air, seringkali terjadi benturan kepentingan dalam
menentukan prioritas pemanfaatan air di lapangan, antara kepentingan transportasi,
pertanian, atau kegiatan lainnya. Dari aspek budidaya, kendala yang dihadapi adalah: [1]
-
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal Intensifikasi Pengelolaan Lahan Suboptimal dalam Rangka Mendukung Kemandirian Pangan Nasional, Palembang 20-21 September 2013
ISBN 979-587-501-9
Herlinda S, Lakitan B, Sobir, Koesnandar, Suwandi, Puspitahati, Syafutri M.I, Meidalima D (Eds.) 12
persiapan lahan, pemakaian benih varitas unggul, penanaman (waktu tanam, cara tanam),
pemeliharaan, pemupukan, pengendalian hama, penyakit tanaman dan gulma yang belum
dilakukan dengan baik; [2] belum dilaksanakan integrasi dengan budidaya ternak (itik,
kerbau) dan ikan sehingga produktivitas lahan suboptimal masih rendah; [3] penanganan
panen dan pasca panen belum dilakukan dengan baik dan efisien sehingga persentase
kehilangan masih tinggi.
Aksesibilitas yang rendah akibat prasarana transportasi yang belum tersedia atau
dalam kondisi yang buruk juga menjadi tantangan dalam pengelolaan lahan suboptimal.
Terbatasnya aksesibilitas menyebabkan biaya angkut hasil produksi maupun sarana
produksi relatif mahal. Kurangnya infrastruktur penunjang dalam pembangunan pertanian
di lahan suboptimal akan berdampak pada rendahnya produktivitas dan kualitas produk
serta sulitnya pemasaran. Faktor kendala lain adalah keterbatasan tenaga kerja, karena
umumnya kepadatan penduduk yang bermukim di lahan suboptmal sangat rendah.
Akibatnya, pendapatan penduduk dari pengusahaan komoditi pangan rendah, dan pada
beberapa daerah hal tersebut dapat mendorong terjadinya alih fungsi lahan tanaman pangan
ke penggunaan lain, diantaranya untuk perkebunan terutama kelapa sawit.
Daerah rawa memiliki potensi produk sampingan limbah pertanian yang potensial.
Limbah pertanian yang dominan adalah dari tanaman padi, rumput rawa, perkebunan
sawit, dan kotoran hewan yang sampai saat ini masih belum dimanfaatkan. Limbah ini
berpotensi dijadikan pupuk kompos sehingga ketergantungan menggunakan pupuk buatan
dapat dikurangi atau dimanfaatkan sebagai sumber energi untuk memenuhi kebutuhan
rumah tangga. Pengembangan teknologi pengolahan merupakan salah satu alternatif
penganekaragaman produk sebagai penunjang agroindustri yang sesuai untuk tingkat
pedesaan dan meningkatkan nilai tambah komoditas di lahan suboptimal. Dengan lebih
beragamnya produk olahan diharapkan dapat mendukung program ketahanan pangan.
Dampak pengembangan agroindustri di pedesaan antara lain dapat mendorong tumbuhnya
usaha-usaha di bidang pengolahan pangan, bengkel peralatan dan meningkatkan status gizi
masyarakat (Antalina dan Umar, 2009).
Menyeimbangkan Kepentingan Ekonomi dan Ekologi
Lahan suboptimal membutuhkan lebih banyak intervensi teknologi agar dapat
dijadikan lahan pertanian yang produktif. Upaya ini selain mahal secara ekonomi, sering
juga beresiko tinggi bagi lingkungan. Mudah untuk dipahami bahwa tidak seluruh bentang
lahan suboptimal dapat dan perlu dimanfaatkan untuk kepentingan ekonomi. Dengan
demikian maka tidak semua jengkal lahan suboptimal harus digunakan sebagai lahan
produksi; sebagian perlu tetap diperuntukan bagi kepentingan konservasi.
Kebutuhan lahan paling besar adalah untuk kepentingan pertanian. Berdasarkan
estimasi Schneider et al. (2011), pada tahun 2005, pertanian telah menggunakan sekitar 38
persen lahan secara global dan diprediksi akan menguasai separuh pada tahun 2030 dan
mencapai dua per tiga lahan dunia pada tahun 2070. Taksiran ini dilakukan dengan
memperhitungkan laju pertumbuhan penduduk yang diikuti dengan peningkatan kebutuhan
pangan dan energi. Peningkatan kebutuhan akan lahan ini juga akan terjadi di Indonesia
mengingat laju pertumbuhan penduduk Indonesia tidak berbeda jauh dengan rata-rata
pertumbuhan penduduk dunia.
Untuk memenuhi kebutuhan lahan sektor pertanian ini dan mempertimbangkan
kondisi sumberdaya lahan Indonesia, maka ekstensifikasi lahan pertanian akan merambah
ke lahan-lahan suboptimal. Menghadapi desakan ini, maka Indonesia tidak serta merta
semua lahan suboptimal yang masih belum dimanfaatkan, dibuka untuk kepentingan lahan
produksi pertanian. Pembangunan pertanian Indonesia harus dirancang agar dapat
-
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal Intensifikasi Pengelolaan Lahan Suboptimal dalam Rangka Mendukung Kemandirian Pangan Nasional, Palembang 20-21 September 2013
ISBN 979-587-501-9
Herlinda S, Lakitan B, Sobir, Koesnandar, Suwandi, Puspitahati, Syafutri M.I, Meidalima D (Eds.) 13
berkelanjutan. Oleh sebab itu, perlu dijaga keseimbangan pengelolaan lahan antara untuk
kepentingan pertanian (ekonomi) dengan kepentingan konservasi (ekologi). Sebagai
langkah antisipatif, Indonesia perlu menyiapkan peta rencana pemanfaatan lahan (land use)
untuk semua bentang lahan suboptimal di seluruh wilayah NKRI.
PENUTUP
Ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah terakumulasi melalui penelitian dan
pengalaman lapangan di berbagai tipologi lahan suboptimal perlu dijadikan modal dasar
untuk merencanakan pengelolaan lahan suboptimal berkelanjutan. Sayangnya selama ini
budaya mempublikasikan hasil penelitian di kalangan akademisi, peneliti, dan perekayasa
Indonesia masih belum baik. Hal ini diindikasikan dengan rendahnya produktivitas ilmiah
para ilmuwan Indonesia (Lakitan et al., 2012). Hasil penelitian yang tidak terdokumentasi
dan terkomunikasikan dengan baik ini akan menyulitkan dalam menghimpun data dan
informasi tentang lahan-lahan suboptimal tersebut.
Kebijakan pemerintah pada periode lima tahun terakhir ini telah memberikan
prioritas pada upaya pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam rangka
membangun kapasitas yang lebih baik untuk mengelola lahan-lahan suboptimal di masa
yang akan datang. Karena posisi lahan suboptimal yang semakin penting untuk memenuhi
kebutuhan pangan nasional, maka pemahaman yang komprehensif tentang lahan
suboptimal ini merupakan prasyarat untuk pengembangan teknologi yang secara teknis
relevan dengan kebutuhan dan secara ekonomis terjangkau oleh masyarakat lokal
setempat. Saat ini, upaya mendorong agar para pengembang teknologi fokus pada
teknologi yang relevan dengan kebutuhan dan kompetitif secara ekonomi merupakan salah
satu tantangan yang serius dalam upaya mewujudkan sistem inovasi nasional (Lakitan,
2013).
DAFTAR PUSTAKA
Alihamsyah, T. 2004. Potensi dan pendayagunaan lahan rawa untuk peningkatan produksi
padi. Ekonomi Padi dan Beras Indonesia. Dalam F. Karino, Efendi dan AM. Fagi
(Penyunting). Badan Litbang Pertanian, Jakarta.
Antalina, SS. dan S. Umar. 2009. Teknologi pengolahan komoditas unggulan mendukung
pengembangan agroindustry di lahan lebak. Prosiding Seminar Nasional Serealia.
ISBN: 978-979-8940-27-9.
Edgerton, D. 2006. The Shock of the Old: Technology and Global History Since 1900.
Profile Books Ltd, London.
Endrizal dan B. Julistia. 2009. Pengembangan dan peningkatan produktivitas padi pada
rawa lebak melalui pendekatan pengelolaan tanaman terpadu padi di Provinsi
Jambi. Prosiding Seminar Nasional Padi, Hal.800-814.
Endrizal dan Jumakir. 2009. Produktivitas beberapa VUB padi rawa lebak mendukung
desa mandiri pangan Kabupaten Batanghari. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian
Jambi.
Fitri, SNA. and N. Gofar. 2010. Increasing of rice yield by using growth promoting
endophytic bacteria from swamp land. J. Tropical Soils. 15(2): 271-276.
Gofar, N. 2007. Keragaman beberapa sifat kimia dan biologi tanah pada berbagai tipe
penggunaan lahan rawa lebak. Agritrop 26(2): 92-96.
Gofar, N. dan Marsi. 2013. Pertumbuhan dan hasil padi gogo pada Ultisol yang dipupuk
dengan kompos diperkaya pupuk hayati. Prosiding Seminar Nasional dan Rapat
-
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal Intensifikasi Pengelolaan Lahan Suboptimal dalam Rangka Mendukung Kemandirian Pangan Nasional, Palembang 20-21 September 2013
ISBN 979-587-501-9
Herlinda S, Lakitan B, Sobir, Koesnandar, Suwandi, Puspitahati, Syafutri M.I, Meidalima D (Eds.) 14
Tahunan Bidang Ilmu-ilmu Pertanian BKS-PTN Wilayah Barat tahun 2013 di
Pontianak, 19-20 Maret 2013.
Gofar, N., H. Widjajanti, dan NLPS. Ratmini. 2013. Pengembangan Teknologi Pupuk
Mikroba Multiguna untuk Meningkatkan Produktivitas Lahan Rawa Lebak.
Laporan kemajuan tengah tahun penelitian SINas Kemenristek, PUR-PLSO,
Palembang.
Hadijah, AD., Arsyad, dan Bahtiar. 2009. Dinamika Usahatani Jagung Hibrida dan
Permasalahannya pada Lahan Kering di Kabupaten Bone. Prosiding Seminar
Nasional Serealia. ISBN: 978-979-8940-27-9.
Imanudin, MS. dan D. Tambas. 2002. Penentuan jumlah dan waktu pemberian air irigasi
tanaman cabai melalui informasi data iklim, tanaman dan tanah. Jurnal Agrista
Nomor Akreditasi: 53/DIKTI/Kep/1999. ISBN: 1410-3389.
Imanudin, MS. and R.H. Susanto. 2008. Perbaikan sarana infrastruktur aringan tata air
pada berbagai tipologi Lahan rawa pasang surut Sumatera Selatan. Prosiding
Seminar Nasional Rawa (Banjarmasin, 4 Agustus 2008) Tema : Teknik
Pengembangan Sumber Daya Rawa. ISBN : 979985718-7.
Informasi Ringkas Bank Pengetahuan Tanaman Pangan Indonesia. 2010. Lawit dan
Manyapa: Varietas Unggul Kedelai untuk Lahan Pasang Surut dan Lahan Sawah.
Jumakir dan Endrizal. 2009. Produktivitas Pertanaman Jagung di Lahan Pasang Surut
Kabupaten Tanjung Jabung Barat Propinsi Jambi. Prosiding Seminar Nasional
Serealia. ISBN: 978-979-8940-27-9.
Lakitan, B. 2013. Connecting all the dots: Identifying the Actor Level challenges in establishing effective innovation system in Indonesia. Technology in Society 35:
41-54.
Lakitan, B., D. Hidayat, and S. Herlinda. 2012. Scientific productivity and the
collaboration intensity of Indonesian universities and public R&D institutions: Are
there dependencies on collaborative R&D with foreign institutions? Technology in
Society 34: 227238. Masganti dan N. Yuliani. 2010. Produktivitas Padi Lokal di Lahan Pasang Surut. Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Tengah.
Schneider, UA., P. Havlk, E. Schmid, H. Valin, A. Mosnier, M. Obersteiner, H. Bttcher,
R. Skalsky, J. Balkovic, T. Sauer, and S. Fritz. 2011. Impacts of population
growth, economic development, and technical change on global food production
and consumption. Agricultural Systems 104: 204215 Suryadi, FX., PHJ. Hollanders, and RH. Susanto. 2010. Mathematical modeling on the
operation of water control structures in a secondary block case study: Delta Saleh,
South Sumatra. Hosted by the Canadian Society for Bioengineering
(CSBE/SCGAB).Qubec City, Canada June 13-17, 2010.
Suwignyo, RA., Suharsono, M. Hasmeda, ES. Halimi, dan A. Kurnianingsih. 2010.
Pengembangan strategi pengelolaan budidaya padi rawa lebak dan perakitan
varietas tahan rendaman berbahan genetik lokal. Laporan hasil penelitian Program
Insentif Riset Terapan, Kementrian Negara Riset dan Teknologi.
Sulistiyarto, B., D. Soedharma, MF. Rahardjo, dan Sumardjo. 2007. Pengaruh musim
terhadap komposisi jenis dan kemelimpahan ikan di rawa lebak, Sungai Rungan,
Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Biodiversitas 8(4): 270-273.
Suparwoto dan Waluyo. 2009. Peningkatan pendapatan petani di rawa lebak melalui
penganekaragaman komonitas. Jurnal Pembangunan Manusia 7(1): 1-9.
-
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal Intensifikasi Pengelolaan Lahan Suboptimal dalam Rangka Mendukung Kemandirian Pangan Nasional, Palembang 20-21 September 2013
ISBN 979-587-501-9
Herlinda S, Lakitan B, Sobir, Koesnandar, Suwandi, Puspitahati, Syafutri M.I, Meidalima D (Eds.) 15
Potensi dan Strategi Pemanfaatan Lahan Kering dan Kering Masam
untuk Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Naik Sinukaban
Guru Besar Konservasi Tanah dan Air, IPB, Bogor
ABSTRAK
Tanah-tanah pertanian lahan kering di Indonesia didominasi oleh tanah-tanah
bereaksi masam, kurang subur, berlereng cukup curam dan sebagian sudah tergolong lahan
kritis. Curah hujan yang cukup tinggi dan kemiringan lereng yang landai sampai curam
menyebabkan erosi juga cukup tinggi. Pengembangan pertanian lahan kering yang masih
mungkin di daerah ini mempunyai pilihan yang tidak luas. Pembangunan pertanian lahan
kering tersebut akan berhasil apabila pengembangannya berbasis bukan tanaman pangan
tetapi campuran tanaman perkebunan, hortikultura, hutan, pangan, ternak, dan/atau ikan. .
Sistem Pertanian Konservasi diperkirakan adalah sistem terbaik untuk diterapkan dalam
pembangunan pertanian lahan kering yang berkelanjutan. Penerapan modifikasi
teknologi pertanian di lahan kering berlereng (MSALT) kiranya dapat digunakan dalam
mengembangkan Sistem Pertanian Konservasi
PENDAHULUAN
Pertanian lahan kering pada umumnya terletak di daerah yang landai,
bergelombang, berbukit, dan bergunung yang didominasi (78%) oleh tanah-tanah
Inceptisols, Ultisols, Entisols, dan Oxisols (Subagio et.al., 2000). Curah hujan yang tinggi
dan kemiringan lereng yang curam menyebabkan lebih dari 10,7 juta ha dikawasan
budidaya telah tergolong pada lahan kritis dan sangat kritis (Tabel 1a dan 1). Dengan
kondisi biofisik daerah yang tidak terlalu menguntungkan tersebut maka strategi
pembangunan pertanian di daerah ini harus dirumuskan secara lebih cermat dengan
mempertimbangkan kondisi biofisik dan sosial ekonomi daerah setempat.
Tabel 1. Distribusi lahan yang potensial dikembangkan menjadi pertanian lahan kering
di Indonesia
Luas dan status degradasi lahan (1000 ha)
Potensial + agak kritis kritis+sgt kritis Jumlah
1. Sumatera
2. Jawa dan Madura
3. Kalimantan
4. Sulawesi
5. Bali+NTB+NTT
7. Maluku
8. Irian Jaya
12055
3211
9074
3300
1571
393
350
3651
804
1979
1264
2524
176
269
15706
4015
11053
4564
4095
569
619
Jumlah 29954 10667 40621 1 )
Diolah dari Data Lahan Kritis Nasional 2007 (Dit PEP DAS, 2007)
-
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal Intensifikasi Pengelolaan Lahan Suboptimal dalam Rangka Mendukung Kemandirian Pangan Nasional, Palembang 20-21 September 2013
ISBN 979-587-501-9
Herlinda S, Lakitan B, Sobir, Koesnandar, Suwandi, Puspitahati, Syafutri M.I, Meidalima D (Eds.) 16
POTENSI PENGEMBANGAN PERTANIAN LAHAN KERING SUBOPTIMAL
Sebagian besar (sekitar 55%) jenis tanah di Indonesia, seperti Ultisols, Oxisols,
sebagian Inceptisols (Dystrudepts), Entisols (Psamments and Aquents) dan Spodosols
mempunyai kesuburan alami yang rendah dan hanya mampu mendukung pertumbuhan
beberapa musim tanam tanaman semusim bila tanpa pemberian pupuk. Tanah yang relatif
subur antara lain adalah sebagian Inceptisols (Eutrudepts), Mollisols, Vertisols, Andisols,
Alfisols dan sebagian Entisols (Orthents and Fluvents), namun luasnya terbatas (Tabel 1a)
(Subagjo et al., 2000). Tanah yang subur inipun akan menurun produktivitasnya apabila
digunakan untuk pertanian secara terus menerus tanpa pemupukan atau bila pupuknya
tidak cukup dan tidak berimbang dan/atau bila tidak menerapkan teknik konservasi tanah
dan air yang memadai terutama di lahan berlereng curam. Luas lahan kering yang potensial
untuk dikembangkan menjadi daerah pertanian dengan sistim pertanian konservasi (SPK)
dengan melibatkan agroteknologi yang memadai dapat mencapai lebih dari 40 juta ha
(Tabel 1).
Dalam keadaan alami pada umumnya tanah-tanah di Indonesia mempunyai kelas
kemampuan lahan yang rendah untuk pertanian, terutama pertanian tanaman pangan. Hal
ini disebabkan karena faktor kemiringan lereng yang bergelombang, curam sampai sangat
curam, curah dan intensitas hujan yang tinggi, dan rendahnya cadangan dan ketersediaan
hara pada beberapa jenis tanah. Namun dengan penerapan teknologi pengelolaan tanah
yang tepat, maka tanah-tanah tersebut, walaupun termasuk tanah kurang sesuai, dapat
berproduksi secara memuaskan dan menguntungkan. Areal pertanaman untuk komoditas
dengan insentif ekonomi tinggi, seperti kelapa sawit berkembang dengan pesat (Gambar
1). Areal untuk komoditas lain, walaupun secara nasional berfungsi sangat strategis, seperti
lahan sawah, hampir tidak mengalami perluasan, bahkan cenderung terkonversi menjadi
areal penggunaan lain.
Berbagai pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa penggunaan lahan untuk
tegalan meluas sampai ke perbukitan berlereng curam yang berdasarkan aspek lingkungan
hanya cocok untuk sistem berbasis pohon-pohonan atau bahkan sebagai kawasan lindung.
Perluasan tegalan ke lahan yang tidak sesuai antara lain disebabkan oleh
termarjinalisasinya sebagian penduduk miskin karena pesatnya pembangunan untuk
perkebunan dan perkotaan di dataran rendah dengan relief datar dan bergelombang.
Penggunaan lahan perkebunan dan pepohonan buah-buahan relatif terlindung dari
erosi dibandingkan dengan areal tanaman pangan yang diolah secara intensif. Untuk itu
lahan pertanian, terutama lahan tegalan dan lahan pertanian di daerah berlereng
bergelombang sampai curam sangat memerlukan penerapan berbagai teknik konservasi
tanah dan air yang memadai (Sinukaban, 1994; Agus dan Widianto, 2004). Selain itu
perimbangan antara areal tanaman pangan dengan perkebunan perlu dijaga untuk
menjamin dan mensukseskan target swasembada pangan mulai tahun 2014 dan mencegah
masuknya areal tanaman pangan ke areal marginal dan lahan di kawasan lindung/berfungsi
lindung.
-
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal Intensifikasi Pengelolaan Lahan Suboptimal dalam Rangka Mendukung Kemandirian Pangan Nasional, Palembang 20-21 September 2013
ISBN 979-587-501-9
Herlinda S, Lakitan B, Sobir, Koesnandar, Suwandi, Puspitahati, Syafutri M.I, Meidalima D (Eds.) 17
Keterangan : Beberapa data hilang pada tahun 2010 diisi dengan cara extrapolasi dari tahun lainnya.
Sumber : http://aplikasi.deptan.go.id/bdsp/index.asp dan www.bps.co.id diunduh tanggal 14 Februari
2013)
Gambar 1. Perkembangan Luas Lahan Pertanian Indonesia Periode 2000-2010
TANTANGAN PEMBANGUNAN PERTANIAN
DI LAHAN KERING SUBOPTIMAL
Berdasarkan rujukan yang ada ternyata areal yang masih mungkin dikembangkan
untuk pertanian sangat terbatas dengan kemiringan lereng yang bergelombang, curam
sampai sangat curam, tipe tanah yang bereaksi masam dan kurang subur, dan sangat
kondusif untuk terjadinya erosi (Pusat Penelitian Tanah 1989).
Dalam berusahatani, baik tanaman pangan maupun tanaman perkebunan di daerah
ini, petani pada umumnya belum menerapkan tindakan konservasi tanah dan air yang
memadai, bahkan dibanyak tempat penerapan teknik konservasi tanah dan air belum
dikenal sama sekali. Oleh sebab itu sebagian areal pertanian di daerah ini lahannya telah
rusak dan produktivitasnya telah menurun tajam. Dengan demikian pembangunan
pertanian didaerah tersebut akan menghadapi kendala/tantangan yang cukup berat, seperti
kualitas lahan (fisik dan kimia) yang tidak baik, kemiringan lahan yang relatif curam,
curah hujan yang tinggi, tingkat erosi yang tinggi, pilihan komoditi yang relatif tidak luas,
dan kemampuan petani dalam menerapkan teknologi konservasi tanah dan air masih
rendah. Berdasarkan kendala/tantangan di atas maka penerapan sistim pertanian
konservasi adalah salah satu alternatif yang perlu diprogramkan untuk membangun
pertanian yang berkelanjutan di daerah ini (Sinukaban, 1994).
PENERAPAN SISTEM PERTANIAN KONSERVASI
DI LAHAN KERING SUBOPTIMAL
Sistem pertanian Konservasi (SPK, Conservation Farming Systems) adalah sistem
pertanian yang mengintegrasikan teknik konservasi tanah dan air kedalam sistem pertanian
yang telah ada dengan tujuan untuk meningkatkan pendapatan petani, meningkatkan
kesejahteraan petani dan sekaligus menekan erosi sehingga sistem pertanian tersebut dapat
berlanjut secara terus menerus tanpa batas (lestari, sustainable). Jadi tujuan utama sistim
pertanian konservasi bukanlah menerapkan tindakan konservasi tanah saja tetapi untuk
mempertahankan pertanian yang lestari
Dalam sistem pertanian konservasi akan ditemui ciri-ciri berikut: (a) produksi
pertanian cukup tinggi sehingga petani tetap bergairah melanjutkan usahanya, (b)
-
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal Intensifikasi Pengelolaan Lahan Suboptimal dalam Rangka Mendukung Kemandirian Pangan Nasional, Palembang 20-21 September 2013
ISBN 979-587-501-9
Herlinda S, Lakitan B, Sobir, Koesnandar, Suwandi, Puspitahati, Syafutri M.I, Meidalima D (Eds.) 18
pendapatan petani cukup tinggi, sehingga petani dapat mendisain masa depan keluarganya
(c) teknologi yang diterapkan, baik teknologi produksi maupun teknologi konservasi
adalah teknologi yang dapat diterapkan sesuai kemampuan (applicable) dan diterima
(acceptable) oleh petani dengan senang hati sehingga sistem pertanian tersebut dapat
diteruskan oleh petani dengan kemampuannya tanpa bantuan dari luar secara terus-
menerus, (d) komoditi yang diusahakan adalah komoditi yang sesuai dengan kondisi
biofisik daerah, dapat diterima oleh petani, dan laku di pasar, (e) erosi rendah - sangat
rendah (erosi ` Etol) sehingga produktivitas tetap dapat dipertahankan/ditingkatkan (produktivitas cukup tinggi secara lestari) (Gambar 2), (f) penguasaan lahan dapat
menjamin keamanan investasi jangka panjang (Longterm Invesment Security).
Dari ciri diatas terlihat bahwa sistem pertanian konservasi itu adalah sistem
pertanian yang khas kondisi setempat (site specific). Dengan demikian sistem pertanian
konservasi di suatu tempat belum tentu cocok di tempat lain. Oleh karena itu dalam
merencanakan sistem pertanian konservasi langkah-langkah berikut perlu diperhatikan.
1. Inventarisasi sumberdaya bio-fisik seperti : tanah, penggunaan lahan, topografi dan iklim (untuk menentukan kelas kemampuan/kesesuaian lahan untuk komoditi tertentu,
agro teknologi yang diperlukan, teknik konservasi yang memadai, serta tingkat
kerusakan lahan yang sudah terjadi.
2. Inventarisasi keadaan sosial ekonomi petani seperti besarnya keluarga, pendidikan, keadaan ekonomi, tujuan keluarga, pemilikan lahan, pengetahuan tentang teknologi
pertanian dan sebagainya.
3. Inventarisasi pengaruh luar seperti pasar/pemasaran hasil, keadaan dan jarak ketempat pemasaran, perangkat penyuluhan/latihan, koperasi, lembaga keuangan pedesaan serta
organisasi kemasyarakatan yang berkaitan dengan petani.
Gambar 2. Laju Erosi Pada Berbagai Sistem Pertanian
Semua data tersebut diperlukan untuk merumuskan sistem pertanian konservasi
yang sesuai didaerah setempat. Berdasarkan data yang diperlukan dan ciri pertanian
konservasi terlihat bahwa dalam merencanakan pertanian konservasi, kemampuan dan
pendapatan petani sangat menentukan. Dengan kata lain, perumusan sistim pertanian
konservasi harus dimulai dari petani/masyarakat petani. Pendekatan seperti ini dikenal
dengan pendekatan dari bawah (Bottom up approach) (Douglas, 1990).
-
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal Intensifikasi Pengelolaan Lahan Suboptimal dalam Rangka Mendukung Kemandirian Pangan Nasional, Palembang 20-21 September 2013
ISBN 979-587-501-9
Herlinda S, Lakitan B, Sobir, Koesnandar, Suwandi, Puspitahati, Syafutri M.I, Meidalima D (Eds.) 19
STRATEGI PENERAPAN SISTEM PERTANIAN KONSERVASI
DI LAHAN KERING SUBOPTIMAL
Seperti dikemukakan diatas bahwa penerapan SPK harus melalui pendekatan dari
bawah. Disamping itu sistem ini juga memerlukan pengetahuan/keterampilan yang bersifat
interdisipliner, karena SPK tersebut menggunakan gabungan banyak disiplin ilmu seperti
ilmu tanah/konservasi, agronomi (tanaman pangan, perkebunan, hutan), ternak, perikanan,
sosiologi, ekonomi dan sebagainya dalam satu sistem produksi yang disebut SPK. Oleh
sebab itu penerapan SPK di lahan kering dengan kondisi yang dimiliki sekarang
seyogyanya dilakukan secara bertahap dengan perencanaan yang cermat. Kelihatannya
penerapan SPK di lahan kering harus ditunjang oleh hal-hal berikut:
1. Peningkatan jumlah dan kualitas Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL). 2. Penataan sistem pemilikan/penyewaan lahan agar menjamin keamanan investasi jangka
panjang dalam pengembangan pertanian.
3. Penataan lembaga pemasaran hasil pertanian untuk menjamin harga yang baik dan untuk merangsang peningkatan produksi.
4. Penataan lembaga keuangan di desa untuk menyediakan modal/kredit untuk petani.
PILIHAN SISTEM PERTANIAN KONSERVASI
DI LAHAN KERING SUBOPTIMAL
Untuk menetapkan pilihan SPK yang tepat di lahan kering seperti telah
dikemukakan diatas, maka harus dilakukan inventarisasi data yang diperlukan terlebih
dahulu sebab penerapan SPK adalah bersifat khas (site specific). Oleh sebab itu pemilihan
SPK harus dilakukan secara detail; hal tersebut tidak dapat dilakukan dalam paper ini.
Paper ini hanya memberikan arahan /pedoman tentang SPK yang cocok dengan data umum
yang telah dikemukakan diatas.
Berdasarkan data umum yang ada dan pengalaman pengembangan pertanian di
Sumatera, Kalimantan, Jawa dan NTB/NTT, maka SPK di lahan kering yang berlereng
seyogyanya dikembangkan dengan basis bukan tanaman pangan. Tanaman pangan
memang masih diperlukan untuk keamanan pangan (food security) tetapi hanya dalam
proporsi yang kecil untuk kebutuhan keluarga saja (subsistence). Daerah perbukitan
tersebut seyogyanya dikembangkan dengan SPK berbasis tanaman perkebunan dan/atau
hutan yang disertai ternak (Agrosylvopasture) (Serrano, 1990) . Keseluruhan tanaman ini
(tanaman pangan, perkebunan dan/atau hutan, serta ternak) ditata dengan baik dalam satu
Sistem Pertanian Konservasi. Penataan SPK ini dapat dilakukan dengan modifikasi
pendekatan SALT (Modified Sloping Agricultural Land Technology = MSALT). Dalam
MSALT ini semua tanaman ditanam mengikuti kontur dan diatur secara baik dalam strip
atau tanaman lorong; dimana tanaman kayu-kayuan, perkebunan, leguminosae tidak hanya
satu baris tetapi diatur dalam strip (lorong) yang lebar (Gambar 3) (Palaniappan, 1989) .
Apabila lahan pertaniannya didaerah datar, maka arah lorong dapat ditata mengikuti arah
Timur-Barat.
tanaman
pangan
Hutan
-
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal Intensifikasi Pengelolaan Lahan Suboptimal dalam Rangka Mendukung Kemandirian Pangan Nasional, Palembang 20-21 September 2013
ISBN 979-587-501-9
Herlinda S, Lakitan B, Sobir, Koesnandar, Suwandi, Puspitahati, Syafutri M.I, Meidalima D (Eds.) 20
Gambar 3. Diagram Penataan Pertanaman Dalam SPK Di Lahan Kering Berlereng
Kemudian tanaman pangan dan tanaman pakan ditanam dalam strip di antara
lorong tanaman kayu-kayuan/perkebunan/leguminosae. Strip tanaman pakan dan tanaman
pangan dapat digilir/diubah dengan rotasi tertentu (1, 2, atau 3 tahunan) tergantung pada
keadaan tanah. Penetapan jenis tanaman pakan, pangan, kayu-
kayuan/perkebunan/leguminosae harus disesuaikan dengan kemampuan dan/atau
kesesuaian lahan, keinginan petani atau kemampuan petani, serta permintaan pasar. Di
antara strip tanaman pangan atau pakan dengan lorong tanaman kayu/perkebunan/legume
dibangun saluran air yang dapat mengakomodasikan aliran permukaan dengan aman ke
saluran pembuangan air yang lebih besar. Lebar setiap strip harus disesuaikan dengan
kemiringan lereng dengan jarak tegak (vertical distance) maksimum setiap saluran
pembuangan air atau tepi strip adalah satu meter.
Apabila tanaman legume dalam lorong telah tumbuh dengan baik maka daun-
daunnya dipangkas dan dipakai sebagai mulsa pada pertanaman tanaman pangan atau
dijadikan pakan ternak. Demikian juga dengan sisa-sisa pakan dan pupuk kandang dari
ternak yang dihasilkan supaya digunakan sebagai pupuk di daerah pertanaman pakan dan
pangan Penerapan SPK berbentuk Agrosylvopasture untuk menanggulangi lahan
terdegradasi di NTB mampu meningkatkan pendapatan petani dari Rp 54000 Rp 252000 per bulan menjadi Rp 2034000 Rp 4041000 per bulan setelah SPK berumur 2,5 tahun. Keseluruhan pendapatan ini berasal dari tanaman pangan sebesar Rp 683000, ternak
sebesar Rp 492000 dan dari kayu turi sebesar Rp 2000000 per bulan ( Tabel 2, 3, dan 4);
pendapatan ini adalah rata rata dari pendapatan 17000 petani peserta setelah program SPK
Agrosylvopasture berumur 6 tahun. Dengan pengaturan dan pengelolaan SPK seperti itu
diharapkan pertanian yang dikembangkan akan berproduksi tinggi secara terus-menerus
(sustainable).
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan uraian di atas maka dapat ditarik beberapa kesimpulan berikut:
1. Lahan kering yang masih dapat dikembangkan di daerah berlereng landai, bergelombang sampai curam dapat mencapai lebih dari 40 juta ha.
2. Pengembangan lahan kering di daerah berlereng landai, bergelombag sampai curam mempunyai banyak kendala/tantangan.
3. Pengembangan pertanian lahan kering di daerah berlereng landai, bergelombag sampai curam sebaiknya berbasis tanaman perkebunan/kayu-kayuan. ( bukan tanaman pangan)
4. Sistem pertanian konservasi akan memberikan prospek yang cerah dalam pembangunan pertanian di lahan kering.
Tanaman Pangan
Tanaman pakan
-
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal Intensifikasi Pengelolaan Lahan Suboptimal dalam Rangka Mendukung Kemandirian Pangan Nasional, Palembang 20-21 September 2013
ISBN 979-587-501-9
Herlinda S, Lakitan B, Sobir, Koesnandar, Suwandi, Puspitahati, Syafutri M.I, Meidalima D (Eds.) 21
DAFTAR PUSTAKA
Agus, F. dan Widianto. 2004. Petunjuk Praktis Konservasi Tanah Lahan Kering, World
Agroforestry Centre (ICRAF), Southeast Asia, Bogor, 102 pp,.
Douglas, M. G. 1990. Land use planning for smallholder farming. Asocon Training on
RLPDCFS. June 25 - July 12 1990. Agoo Playa. Philippines Palaniappan, Sp. 1989. Cropping systems in the tropics principles and management.
Asocon Training on RPLDCFS, June 25 July 12, 1990. Agoo Playa. Philippines. Serrano, R. C. 1990. Agroforestry based farming systems for smallholder farmers.
Asocon Training on RLPDCFS, June 25 July 12, 1990. Agoo Playa, Philippines. Dit PEP DAS. 2007. Data Lahan Kritis Nasional. Buku I. Direktorat Pengelolaan Daerah
Aliran Sungai. Jakarta 2007.
Sinukaban, Naik. 1990. Land degradation on various farming systems in indonesia. Proc.
of Int. Seminar on Agric. Change and Development in South East Asia
(ISACDESA), Jakarta 20 23 November 1989. Sinukaban, N. 1994. Membangun Pertanian Menjadi Industri yang Lestari dengan
Pertanian Konservasi. Orasi Ilmiah, Guru Besar Tetap Ilmu Konservasi dan
Pengelolaan Tanah dan Air, IPB. 3 Des. 1994, IPB Bogor.
Subagjo, H., N. Suharta, dan A. B. Siswanto. 2000. Lahan Pertanian Indonesia Hal. 21 66 dalam Sumberdaya Lahan Indonesia dan Pengelolaannya. Center for Soil and
Agroclimate Research and Develoment, Bogor.
Tabel 1a. Jenis tanah di Indonesia dan Sebarannya (Subagjo et al., 2000).
No Jenis Tanah Luas
Sebaran Juta Ha %
1 Ultisols 45,8 24 Sumatera, Jateng, Jabar, Kalimantan,
Sulawesi, Papua
2 Oxisols 14,1 7 Sumatera, Kalimantan, Sulawesi,
Papua
3 Inceptisols 70,5 37 Sumatera, Kalimantan, Papua
4 Entisols 18,0 10 Nusa Tenggara Timur, dan beberapa
pulau lainnya
5 Andisols 5,4 3 Jawa, Sumatra, Sulawesi
6 Histosols1)
14,9 8 Sumatera, Kalimantan, Papua
7 Lainnya (Vertisols,
Alfisols, Mollisols,
Spodosols)
21,0 11 Jawa Tengah, Jawa Timur, NTT,
Sumatra
Total 189,72)
100 1)
Ritung et al. (2011). 2)
Total luas tidak termasuk badan air (danau, sungai dan waduk).
-
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal Intensifikasi Pengelolaan Lahan Suboptimal dalam Rangka Mendukung Kemandirian Pangan Nasional, Palembang 20-21 September 2013
ISBN 979-587-501-9
Herlinda S, Lakitan B, Sobir, Koesnandar, Suwandi, Puspitahati, Syafutri M.I, Meidalima D (Eds.) 22
Tabel 2. Pendapatan tahunan dari tanaman pangan SPK Agrosylpopasture
Komponen Tanaman
Pangan ASP
Produktivitas
(ton/ha/yr)
Pendapatan Bersih
(US $)
Rp
Jagung
Padi Gogo
Kacang Panjang
Cabe
Tomat
Tanaman Lain
3.0
2.5
1.1
0.4
1.3
-
167*
189
100
167
111
178
1 500 000
1 700 000
900 000
1 500 000
1 000 000
1 600 000
Total - 912 8 200 000
*1 US $ = Rp. 9000,-
Tabel 3. Pendapatan tahunan dari ternak SPK Agrosylvopasture setelah 1 2 tahun
Jenis ternak
Existing Potensi pengembangan
Jumlah
ternak
Pendapatan
(US $) Rp
Jumlah
ternak
pendapatan
(US $) Rp
..Pengembangan ternak
Kambing 7 267 2450000 15 583 5 250 000
Domba 7 267 2450000 15 583 5 250 000
Sapi 2 111 1000000 3 389 3 500 000
..Penggemukan ternak.
Kambing 4 89 800 000 25 556 5 000 000
Domba 4 89 800 000 25 556 5 000 000
Sapi 2 444 4000 000 5 1111 10 000 000
*1 US $ = Rp. 9000,-
Tabel 4. Pendapatan tambahan tahunan dari tanaman pangan setelah 2 tahun
Jenis Tanaman Produktivitas
(kg/ha/th)
Pendapatan/tahun
US $ Rp
Jagung
Kacang Panjang
Cabe
Kacang Tanah
Kedele
400
180
80
50
40
31
20
27
16
11
280 000
180 000
240 000
140 000
100 000
Total 105 940 000
*1 US $ = Rp. 9000,-
-
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal Intensifikasi Pengelolaan Lahan Suboptimal dalam Rangka Mendukung Kemandirian Pangan Nasional, Palembang 20-21 September 2013
ISBN 979-587-501-9
Herlinda S, Lakitan B, Sobir, Koesnandar, Suwandi, Puspitahati, Syafutri M.I, Meidalima D (Eds.) 23
Optimalisasi Lahan Sub Optimal
bagi Penguatan Ketahanan Pangan Indonesia
Sobir
Pusat Kajian Hortikultura Tropika, IPB, Bogor
PENDAHULUAN
Terdapat beberapa difinisi tentang ketahanan pangan.Menurut FAO (1996)
ketahanan pangan ada ketika semua orang, setiap saat, memiliki akses fisik dan ekonomi
yang memadai terhadap makanan yang aman dan bergizi untuk memenuhi kebutuhan
pangan mereka sesuai dengan preferensi pangan untuk hidup aktif dan sehat.Sedangkan
menurut Bank Dunia (1986) ketahanan pangan berarti adanya akses oleh semua orang
sepanjang waktu terhadap pangan yang cukup untuk hidup aktif dan sehat. Dalam UU
Pangan No. 18/2012, ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi negara
sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik
jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak
bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat,
aktif, dan produktif secara berkelanjutan. Dalam ini pula filosofi ketahanan pangan adalah
Kedaulatan Pangan yang merupakan hak negara dan bangsa yang secara mandiri
menentukan kebijakan Pangan yang menjamin hak atas Pangan bagi rakyat dan yang
memberikan hak bagi masyarakat untuk menentukan sistem Pangan yang sesuai dengan
potensi sumber daya lokal.
Permasalahan utama dalam mewujudkan ketahanan pangan di Indonesia saat ini
adalah permintaan terhadap pangan lebih cepat daripada penyediaannya.Permintaan yang
meningkat cepat merupakan resultan dari peningkatan jumlah penduduk, pertumbuhan
ekonomi, peningkatan daya beli masyarakat, dan perubahan selera.Laju populasi penduduk
pada saat ini 1.49 % dan konsumsi beras tetap, yaitu 125.3 kg/kapita/tahun, berarti pada
tahun 2030 penduduk Indonesia mencapai 329.4 juta, membutuhkan pangan sebesar 90.4
juta ton setara GKG, dengan asumsi pertumbuhan produksi 1.3%, maka Indonesia akan
defisit pangan sebesar 4.2 juta ton (Poerwanto et al, 2012). Defisit ini akan makin
meningkat dengan perubahan pola konsumsi sesuai dengan peningkatan pendapatan.
Sementara itu kapasitas penyediaan pangan makin berkurang karena konversi lahan,
kompetisi dengan lahan untuk produksi bahan baku industry, degradasi kesuburan lahan,
stagnasi pertumbuhan produktifitas lahan dan tenaga kerja pertanian.
Penurunan kapasitas terbesar karena adanya konversi lahan, data kementrian
pertanianmenunjukkan bahwa laju konversi lahan sawah ke bukan sawah seluas 187.720
ha/tahun, dengan rincian dari sawah ke non pertanian sebanyak 110.164 ha/tahun dan dari
sawah ke pertanian lainnya seluas 77.556 ha/tahun (Kementerian Pertanian, 2009).Kondisi
ini jelas perlu adanya tidakan nyata, karena kalau tidak Indonesia dapat terjebak menjadi
Negara gagal pangan, salah satu upaya yang harus segera dilakukan adalah peningkatan
kapasitas produksi pangan melalui extensifikasi dan intensifikasi. Untuk intensifikasi
tantangannya adalah pwningkatan kapasitas genetik yang sudah stagnan, sedangkan secara
intensifikasi perluasan hanya bias dilakukan ke lahan suboptimal yang potensial untuk
pertanian yang masih tersedia sebesar 91.9 juta ha, yang terdiri dari lahan kering masam
(68.2%); lahan kering iklim kering (8.4); lahan rawa pasang surut (10.1%); lahan rawa
lebak (8.2), dan gambut (5.1%).
-
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal Intensifikasi Pengelolaan Lahan Suboptimal dalam Rangka Mendukung Kemandirian Pangan Nasional, Palembang 20-21 September 2013
ISBN 979-587-501-9
Herlinda S, Lakitan B, Sobir, Koesnandar, Suwandi, Puspitahati, Syafutri M.I, Meidalima D (Eds.) 24
Tantangan lain mengenai lahan sub-optimal adalah pertambahan populasi
penduduk yang akan meningkatkan persaingan sumberdaya air, serta adanya perubahan
iklim yang memicu pemanasan global dan anomaly iklim, kondisi ini jelas akan merubah
beberapa lahan yang optimal untuk produksi pertanian menjadi lahan sub optimal.
Keadaan ini menuntut perubahan arah pengembangan produksi pertanian menuju
peningkatan penggunaan lahan suboptimal secara meluas, dan menjaga pemanfaatan lahan-
lahan optimal secara berkelanjutan.
Lahan suboptimal secara alamiah mempunyai produktivitas rendah (karena faktor
internal seperti sifat fisik, kimia dan biologi tanah, dan/atau faktor eksternal seperti iklim,
lingkungan) sehingga pendekatan yang sudah biasa dilakukan pada lahan optimal tidak
bias diterapkan pada lahan suboptimal. Beberapa hal yang perlu dilakukan adalah
perbaikan kapasitas genetic tanaman, naik secara konvensional maupun bioteknologi,
pengembangan system produksi di lahan sub optimal, pengembangan infrastruktur
pertanian pendukung, serta peningkatan kapasitas teknik dan kelembagaan petani sebagai
pelaku produksi utama.
PEMANFAATAN SDG DAN PEMULIAAN
Pendekatan paling efisien dalam pemanfaatan lahan suboptimal adalah penggunaan
varietas yang toleran terhadap cekaman abiotic dan biotik.Cekaman abiotic yang menjadi
tantangan antara lain cekaman air, baik kelebihan maupun kekurangan (hampir pada semua
lahan suboptimal), keracunan mineral seperti Al pada lahan masam, NaCl pada lahan dekat
dengan pantai, dan suhu tinggi. Cekaman biotik berupa tingginya serangan penyakit, hama
dan kecepatan tumbuhnya gulma disekitar tanaman produksi. Tantangan lainnya adalah
berkembangnya tuntutan pasar, sehingga toleransi terhadap berbagai cekaman menjadi
tidak cukup, karena pasar meminta standar produk tertentu yang meyebabkan
pengembangan varietas di lahan sub optimal menjadi lebih kompleks.
Cekaman kekurangan air umumnya terkait dengan kekeringan dan kelebihan
garam, upaya yang harus dilakukan adalah penyediaan gen-gen yang mampu menjaga
tekanan osmotic sel seperti gen-gen yang mampu memproduksi asam amino (prolin),
senyawa onium (glycinebetaine), dan senyawa poliol (manitol); gen-gen yang mampu
menghasilkan senyawa menyerap radikal bebas akibat adanya cekaman kekeringan
(Reactive Oxygen Species/ROS scavenging and detoxification), serta gen-gen yang mampu
menjaga pertumbuhan dalam keadaan tercekam (Shinozaki and Yamaguchi-Shinozaki,
1999). Pada kondisi kelebihan air diperlukan gen yang mampu mendorong akar melakukan
penyediaan oksigen bagi metabolism dan pertumbuhan akar pada kondisi tergenang.
Pada lahan masam, masalah utama adalah keracunan logam terutama Al, pola
toleransi tanaman umumnya penghindaran masuknya logam kedalam sel akar, melalui
produksi asam organic seperti asam oksalat (talas), sitrat (jagung, kedelai) dan malat
(Triticum) yang mampu mengikat ion Al disekitar wilayah perakaran, selanjutnya beberapa
mode toleransi juga terkait dengan detoxifikasi Al yang masuk kedalam sel tanaman
dengan melibatkan asam organic maupun senyawa ROS scavenging and detoxification.
Penyediaan gen untuk tolerasi terhadap cekaman abiotic seringkali terhambat, karena
memang tidak tersedia pada gene pool tanaman tersebut, seperti gen toleran suhu tinggi
pada kentang, karena kentang merupakan tanaman dataran tinggi, dan gen adaptasi kedelai
terhadap lingkungan tropis karena kedelai merupakan tanaman temperate. Oleh karena itu
perlu upaya khusus untuk mendapatkan gen toleransi tersebut. di Pusat Kajian Hortikultura
Tropika pada saat ini sedang dilakukan penelitian melalui mutasi dengan irradiasi sinar
gamma untuk mendapatkan gen adaptasi ketang terhadap suhu tinggi agar produksi
-
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal Intensifikasi Pengelolaan Lahan Suboptimal dalam Rangka Mendukung Kemandirian Pangan Nasional, Palembang 20-21 September 2013
ISBN 979-587-501-9
Herlinda S, Lakitan B, Sobir, Koesnandar, Suwandi, Puspitahati, Syafutri M.I, Meidalima D (Eds.) 25
kentang dapat dipertahankan walaupun suhu di lahan produksi suhunya meningkat baik
karena pemanasan global maupun tekanan populasi.
Upaya yang dilakukan di Pusat Kajian Hortikultura Tropika antara lain penyediaan
varietas cabai yang sesuai untuk lahan kering yaitu Seloka, dimana varietas tersebut
mampu tumbuh dengan baik pada lahan yang kecukupan airnya terbatas dan genjah,
sehingga mampu berproduksi dengan baik dengan umur genjah pada populasi tinggi.
Penyediaan varietas Seloka diharapkan mampu memperluas penanaman cabai ke lahan
kering. Varietas lain yang dikembangkan adalah tomat dataran rendah yang ukurannya
setara dengan tomat dataran tinggi dan toleran terhadap pecah buah, sehingga dapat
memperluas penanaman tomat di dataran rendah dan mengurangi penanaman di dataran
tinggi yang sebaiknya dijadikan lahan konservasi.
Pendekatan lain yang dapat dilakukan adalah pengembangan komoditas local yang
toleran terhadap lingkungan lahan sub-optimal, sebagai pengganti komoditas yang menjadi
ke