LAPORAN PRAKTIKUM
FISIOLOGI TUMBUHAN
PERCOBAAN I
DORMANSI KARENA KULIT BIJI YANG KERAS
NAMA : JULIAR NUR
NIM : H411 10 002
KELOMPOK : I (SATU)
HARI/TGL PERC. : SELASA/22 NOVEMBER 2011
ASISTEN : JANNY JOVITA
YUNIANTI TIMANG
LABORATORIUM BOTANI JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2011
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Dormansi pada benih dapat berlangsung selama beberapa hari, semusim,
bahkan sampai beberapa tahun tergantung pada jenis tanaman dan tipe dari
dormansinya. Dormansi pada benih dapat disebabkan oleh keadaan fisik dari kulit
biji keadaan fisiologis dari embrio atau kombinasi dari kedua keadaan tersebut.
Pertumbuhan tidak akan terjadi selama benih belum melalui masa dormansinya,
atau sebelum dikenakan suatu perlakuan khusus terhadap benih tersebut
(Salisbury dan Ross, 1995).
Dormansi adalah keadaan biji yang tidak berkecambah atau dengan kata
lain tunas yang yang tidak dapat tumbuh (terhambatnya pertumbuhan) selama
periode tertentu yang disebabkan oleh faktor-faktor intern dalam biji atau tunas
tersebut. Suatu biji dikatakan dorman apabila biji tersebut tidak dapat
berkecambah, setelah periode tertentu, meski faktor-faktor lingkungan yang
dibutuhkan tersedia (Salisbury dan Ross, 1995).
Ada beberapa penyebab dormansi pada biji yaitu eksternal dan internal.
Penyebab dormansi secara eksternal yaitu berasal dari lingkungan dari biji
sedangkan secara internal yaitu berasal dari biji itu sendiri. Salah satu penyebab
internal dari biji yaitu kulit biji yang keras yang menyebabkan imbibisi atau
masuknya air ke dalam biji sulit terjadi (Dwijoseputro, 1994).
Berdasarkan landasan teori di atas, maka dilakukanlah percobaan mengenai
dormansi karena kulit biji yang keras ini.
I.2 Tujuan Percobaan
Tujuan dari percobaan kali ini adalah untuk mematahkan dormansi pada
biji Ki hujan Samania saman, jambu mete Anacardium occidentale dan biji asam
Tamarindus Indica dengan perlakuan fisik (digosok/diamplas) dan dengan
perlakuan kimia (di rendam pada air panas, HCl pekat, air dingin).
I.3 Waktu dan Tempat Percobaan
Percobaan mengenai Dormansi karena Kulit Biji yang Keras ini
dilaksanakan pada hari Selasa, tanggal 22 November 2011, pukul 15.00-17.00
WITA, bertempat di Laboratorium Botani, Jurusan Biologi, Fakultas Matematika
dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Hasanuddin, dan pengamatan dilakukan
selama 4 minggu bertempat di halaman Canopy Biologi Universitas Hasanuddin,
Makassar.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Dormansi adalah suatu keadaan berhenti tumbuh yang dialami organisme
hidup atau bagiannya sebagai tanggapan atas suatu keadaan yang tidak
mendukung pertumbuhan normal. Dengan demikian, dormansi merupakan suatu
reaksi atas keadaan fisik atau lingkungan tertentu. Pemicu dormansi dapat bersifat
mekanis, keadaan fisik lingkungan, atau kimiawi (Anonim, 2011).
Dormansi juga dapat didefinisikan sebagai suatu pertumbuhan dan
metabolisme yang terpendam, dapat disebabkan oleh lingkungan yang tidak baik
atau oleh faktor dari dalam tumbuhan itu sendiri. Seringkali jaringan yang dorman
gagal tumbuh meskipun berada dalam kondisi yang ideal (Latunra, 2011)
Banyak biji tumbuhan budidaya yang menunjukkan perilaku ini.
Penanaman benih secara normal tidak menghasilkan perkecambahan atau hanya
sedikit perkecambahan. Perlakuan tertentu perlu dilakukan untuk mematahkan
dormansi sehingga benih menjadi tanggap terhadap kondisi yang kondusif bagi
pertumbuhan. Bagian tumbuhan yang lainnya yang juga diketahui berperilaku
dorman adalah kuncup (Anonim, 2011).
Pada beberapa jenis varietas tanaman tertentu, sebagian atau seluruh benih
menjadi dorman sewaktu dipanen, sehingga masalah yang sering dihadapi oleh
petani atau pemakai benih adalah bagaimana cara mengatasi dormansi tersebut.
Dormansi sendiri mempunyai pengertian adalah suatu keadaan dimana
pertumbuhan tidak terjadi walaupun kondisi lingkungan mendukung untuk
terjadinya perkecambahan. Benih yang mengalami dormansi ditandai oleh
(Anonim, 2011):
a. Rendahnya/tidak adanya proses imbibisi air
b. Proses respirasi tertekan/terhambat
c. Rendahnya proses mobilisasi cadangan makanan
d. Rendahnya proses metabolisme cadangan makanan.
Kondisi dormansi mungkin dibawa sejak benih masak secara fisiologis
ketika masih berada pada tanaman induknya atau mungkin setelah benih tersebut
terlepas dari tanaman induknya. Dormansi pada benih dapat disebabkan oleh
keadaan fisik dari kulit biji dan keadaan fisiologis dari embrio atau bahkan
kombinasi dari kedua keadaan tersebut (Agrica, 2010).
Dormansi diklasifikasikan menjadi bermacam-macam kategori
berdasarkan beberapa faktor, yaitu (Salisbury dan Ross, 1995):
a. Berdasarkan faktor penyebab dormansi
Imposed dormancy (quiscence): terhalangnya pertumbuhan aktif karena
keadaan lingkungan yang tidak menguntungkan
Imnate dormancy (rest): dormansi yang disebabkan oleh keadaan atau kondisi
di dalam organ-organ biji itu sendiri
b. Berdasarkan mekanisme dormansi di dalam biji
Mekanisme fisik, merupakan dormansi yang mekanisme penghambatannya
disebabkan oleh organ biji itu sendiri; terbagi menjadi:
- mekanis : embrio tidak berkembang karena dibatasi secara fisik
- fisik : penyerapan air terganggu karena kulit biji yang impermeabel
- kimia : bagian biji/buah mengandung zat kimia penghambat
Mekanisme fisiologis, merupakan dormansi yang disebabkan oleh terjadinya
hambatan dalam proses fisiologis; terbagi menjadi:
- photodormancy: proses fisiologis dalam biji terhambat oleh keberadaan
cahaya
- immature embryo: proses fisiologis dalam biji terhambat oleh kondisi embrio
yang tidak/belum matang
- thermodormancy: proses fisiologis dalam biji terhambat oleh suhu
c. Berdasarkan bentuk dormansi
- Kulit biji impermeabel terhadap air/O2
Bagian biji yang impermeabel: membran biji, kulit biji, nucellus, pericarp,
endocarp
Impermeabilitas dapat disebabkan oleh deposisi bermacam-macam
substansi (misalnya cutin, suberin, lignin) pada membran.
Kulit biji yang keras dapat disebabkan oleh pengaruh genetik maupun
lingkungan. Pematahan dormansi kulit biji ini dapat dilakukan dengan
skarifikasi mekanik.
Bagian biji yang mengatur masuknya air ke dalam biji: mikrofil, kulit biji,
raphe/hilum, strophiole; adapun mekanisme higroskopiknya diatur oleh
hilum.
Keluar masuknya O2 pada biji disebabkan oleh mekanisme dalam kulit biji.
Dormansi karena hambatan keluar masuknya O2 melalui kulit biji ini dapat
dipatahkan dengan perlakuan temperatur tinggi dan pemberian larutan kuat.
- Embrio belum masak (immature embryo)
Embrio secara morfologis sudah berkembang, namun masih butuh waktu
untuk mencapai bentuk dan ukuran yang sempurna.
Ketika terjadi abscission (gugurnya buah dari tangkainya), embrio masih
belum menyelesaikan tahap perkembangannya. Misal: Gnetum gnemon
(melinjo)
Embrio belum terdiferensiasi
Dormansi karena immature embryo ini dapat dipatahkan dengan perlakuan
temperatur rendah dan zat kimia. Biji membutuhkan pemasakan pascapanen
(afterripening) dalam penyimpanan kering Dormansi karena kebutuhan akan
afterripening ini dapat dipatahkan dengan perlakuan temperatur tinggi dan
pengupasan kulit (Salisbury dan Ross, 1995).
- Biji membutuhkan suhu rendah
Biasa terjadi pada spesies daerah temperate, seperti apel dan Familia
Rosaceae. Dormansi ini secara alami terjadi dengan cara: biji dorman selama
musim gugur, melampaui satu musim dingin, dan baru berkecambah pada musim
semi berikutnya. Dormansi karena kebutuhan biji akan suhu rendah ini dapat
dipatahkan dengan perlakuan pemberian suhu rendah, dengan pemberian aerasi
dan imbibisi (Salisbury dan Ross, 1995).
Ciri-ciri biji yang mempunyai dormansi ini adalah (Anonim, 2011):
- Jika kulit dikupas, embrio tumbuh
- Embrio mengalami dormansi yang hanya dapat dipatahkan dengan suhu
rendah
- Embrio tidak dorman pada suhu rendah, namun proses perkecambahan biji
masih membutuhkan suhu yang lebih rendah lagi
- Perkecambahan terjadi tanpa pemberian suhu rendah, namun semai tumbuh
kerdil
- Akar keluar pada musim semi, namun epicotyl baru keluar pada musim semi
berikutnya (setelah melampaui satu musim dingin)
Teknik Pematahan Dormansi Biji
Biji yang telah masak dan siap untuk berkecambah membutuhkan kondisi
klimatik dan tempat tumbuh yang sesuai untuk dapat mematahkan dormansi dan
memulai proses perkecambahannya. Pretreatment skarifikasi digunakan untuk
mematahkan dormansi kulit biji, sedangkan stratifikasi digunakan untuk
mengatasi dormansi embryo (Lakitan, 2007).
Skarifikasi merupakan salah satu upaya pretreatment atau perawatan awal
pada benih, yang ditujukan untuk mematahkan dormansi, serta mempercepat
terjadinya perkecambahan biji yang seragam. Upaya ini dapat berupa pemberian
perlakuan secara fisis, mekanis, maupun kimia, Hartmann (1997)
mengklasifikasikan dormansi atas dasar penyebab dan metode yang dibutuhkan
untuk mematahkannya (Lakitan, 2007).
Teknik skarifikasi pada berbagai jenis benih harus disesuaikan dengan
tingkat dormansi fisik. Berbagai teknik untuk mematahkan dormansi fisik antara
lain seperti (Anonim, 2011):
a. Perlakuan mekanis (skarifikasi)
Perlakuan mekanis (skarifikasi) pada kulit biji, dilakukan dengan cara
penusukan, pengoresan, pemecahan, pengikiran atau pembakaran, dengan bantuan
pisau, jarum, kikir, kertas gosok, atau lainnya adalah cara yang paling efektif
untuk mengatasi dormansi fisik (Anonim, 2011).
Setiap benih ditangani secara manual, maka dapat diberikan perlakuan
individu sesuai dengan ketebalan biji. Pada hakekatnya semua benih dibuat
permeabel dengan resiko kerusakan yang kecil, asal daerah radikel tidak rusak
(Schmidt, 2002).
Seluruh permukaan kulit biji dapat dijadikan titik penyerapan air. Pada
benih legum, lapisan sel palisade dari kulit biji menyerap air dan proses pelunakan
menyebar dari titik ini keseluruh permukan kulit biji dalam beberapa jam. Pada
saat yang sama embrio menyerap air. Skarifikasi manual efektif pada seluruh
permukaan kulit biji, tetapi daerah microphylar dimana terdapat radicle, harus
dihindari. Kerusakan pada daerah ini dapat merusak benih, sedangkan kerusakan
pada kotiledon tidak akan mempengaruhi perkecambahan (Schmidt, 2002).
b. Air Panas
Air panas mematahkan dormansi fisik padaleguminosae melalui tegangan
yang menyebabkan pecahnya lapisan macrosclereids. Metode ini paling efektif
bila benih direndam dengan air panas. Pencelupan sesaat juga lebih baik untuk
mencegah kerusakan pada embrio karena bila perendaman paling lama, panas
yang diteruskan kedalam embrio sehingga dapat menyebabkan kerusakan. Suhu
tinggi dapat merusak benih dengan kulit tipis, jadi kepekaan terhadap suhu
berfariasi tiap jenis. Umumnya benih kering yang masak atau kulit bijinya relatif
tebal toleran terhadap perendaman sesaat dalam air mendidih (Anonim, 2011).
c. Perlakuan kimia
Perlakuan kimia dengan bahan-bahan kimia sering dilakukan untuk
memecahkan dormansi pada benih. Tujuan utamanya adalah menjadikan agar
kulit biji lebih mudah dimasuki oleh air pada waktu proses imbibisi. Larutan asam
kuat seperti asam sulfat dengan konsentrasi pekat membuat kulit biji menjadi
lunak sehingga dapat dilalui air dengan mudah (Anonim, 2011).
Larutan asam untuk perlakuan ini adalah asam sulfat pekat (H2SO4) asam
ini menyebabkan kerusakan pada kulit biji dan dapat diterapkan pada legum
maupun non legume. Tetapi metode ini tidak sesuai untuk benih yang mudah
sekali menjadi permeable, karena asam akan merusak embrio. Lamanya perlakuan
larutan asam harus memperhatikan 2 hal, yaitu (Lakitan, 2007):
1). kulit biji atau pericarp yang dapat diretakkan untuk memungkinkan imbibisi
2). larutan asam tidak mengenai embrio.
Tabel tipe-tipe dormansi dan pematahannya (Anonim, 2011) :
Tipe dormans
i
Karakteristik Contoh spesies
Metode pematahan dormansiAlami Buatan
Immature embryo
Benih secara fisiologis belum mampu berkecambah, karena embryo belum masak walaupun biji sudah masak
Fraxinus excelcior, Ginkgo biloba, Gnetum gnemon
Pematangan secara alami setelah biji disebarkan
Melanjutkan proses fisiologis pemasakan embryo setelah biji mencapai masa lewat-masak (after-ripening)
Dormansi mekanis
Perkembangan embryo secara fisis terhambat karena adanya kulit biji/buah yang keras
Pterocarpus, Terminalia sp, Melia volkensii
Dekomposisi bertahap pada struktur yang keras
Peretakan mekanis
Dormansi fisis
Imbibisi/penyerapan air terhalang oleh lapisan kulit
Beberapa Legum & Myrtaceae
Fluktuasi suhu
Skarifikasi mekanis, pemberian air
biji/buah yang impermeable
panas atau bahan kimia
Dormansi chemis
Buah atau biji mengandung zat penghambat (chemical inhibitory compound) yang menghambat perkecambahan
Buah fleshy (berdaging)
Pencucian (leaching) oleh air, dekomposisi bertahap pada jaringan buah
Menghilangkan jaringan buah dan mencuci bijinya dengan air
Foto
dormansi
Biji gagal berkecambah tanpa adanya pencahayaan yang cukup. Dipengaruhi oleh mekanisme biokimia fitokrom
Sebagian besar spesies temperate, tumbuhan pioneer tropika humida seperti eucalyptus dan Spathodea
Pencahayaan Pencahayaan
Thermo
dormansi
Perkecambahan rendah tanpa adanya perlakuan dengan suhu tertentu
Sebagian besar spesies temperate, tumbuhan pioneer daerah tropis-subtropis kering, tumbuhan pioneer tropika humida
Penempatan pada suhu rendah di musim dingin
Pembakaran
Pemberian suhu yang berfluktuasi
Stratifikasi atau pemberian perlakuan suhu rendah
Pemberian suhu tinggi
Pemberian suhu berfluktuasi
BAB III
METODE PERCOBAAN
III.1 Alat Percobaan
Alat yang digunakan dalam percobaan ini adalah botol/gelas sampel,
amplas, pinset, pipet tetes, polybag.
III.2 Bahan Percobaan
Bahan yang digunakan dalam percobaan ini adalah biji Ki hujan Samania
saman, air panas, air dingin, air biasa, larutan HCl, jambu mete Anacardium
occidentale, biji asam Tamarindus indica, tissue, dan kertas label.
III.3 Prosedur Kerja
Prosedur kerja dari percobaan ini adalah :
1. Membagi biji Ki hujan Samania saman, jambu mete Anacardium occidentale,
biji asam Tamarindus indica menjadi lima kelompok dengan perlakuan yang
beda masing-masing dengan 3 biji.
2. Perlakuan I, Menghilangkan sebagian kulit biji masing-masing buah pada
bagian yang tidak ada lembaganya dengan alat gosok kemudian merendam
dalam air selama 10 menit, kemudian menanam di dalam polybag telah diisi
tanah.
3. Perlakuan II, merendam biji dengan menggunakan air panas selama 10 menit,
kemudian menanam di dalam polybag yang telah berisi tanah dengan
kedalaman dan jarak yang sama.
4. Perlakuan III, merendam biji dengan air dingin selama 10 menit, kemudian
menanam di dalam polybag yang telah berisi tanah dengan kedalaman dan
jarak yang sama.
5. Perlakuan IV, merendam biji dengan menggunakan larutan HCl selama 10
menit lalu dibilas dengan air, kemudian menanam di dalam polybag yang
telah berisi tanah dengan kedalaman dan jarak yang sama.
6. Perlakuan V, sebagai kontrol, merendam biji dalam air selama 10 menit
dengan menggunakan air biasa lalu menanam di dalam polybag yang berisi
tanah dengan kedalaman dan jarak yang sama.
7. Melakukan pengamatan minggu hari selama 4 minggu.
8. Melakukan pengamatan pada tinggi tanaman dan jumlah daun.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
IV.1 Hasil Pengamatan
a. Perlakuan dengan dikikir
Biji ke-Minggu ke- (cm)
I II III IV
I
II
III
-
0,2
-
0,8
1,5
0,7
1,7
2,2
1,6
3,4
4,2
3,4
Rata-rata 0,2 1 1,83 3,6
b. Perlakuan dengan air panas
Biji ke-Minggu ke- (cm)
I II III IV
I
II
III
-
-
-
-
0,1
0,2
-
2,4
1,8
-
3,8
3,2
Rata-rata - 0,15 2,1 3,5
c. Perlakuan dengan air dingin
Biji ke-Minggu ke- (cm)
I II III IV
I - 0,3 0,6 1,3
II
III
-
-
0,1
0,2
0,3
0,6
1,5
1,8
Rata-rata - 0,33 0,5 1,5
d. Perlakuan dengan larutan HCl pekat
Biji ke-Minggu ke- (cm)
I II III IV
I
II
III
0,3
0,2
0,3
1,4
2
1,5
2,5
3
2,8
3,4
4,2
3,8
Rata-rata 0,26 1,63 2,76 3,8
e. Kontrol
Biji ke-Minggu ke- (cm)
I II III IV
I
II
III
-
-
-
0,4
0,6
0,2
1,2
1,9
1,4
2,3
3,1
2,4
Rata-rata - 0,4 1,5 2,6
IV.2 Pembahasan
Dengan bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian perlakuan fisik
dan kimia tertentu terhadap usaha pematahan dormansi Ki hujan Samania saman.
Adapun bentuk-bentuk perlakuan fisik yang diberikan pada biji yakni berupa
pengamplasan pada bagian kulit biji tempat keluarnya kotiledon dan perendaman
biji dengan air panas dan air dingin. Pengamplasan yang dilakukan bertujuan
untuk membuat kulit biji yang tebal dan keras menjadi lebih tipis sehingga
memudahkan imbibisi air sehingga diharapkan kotiledon akan lebih cepat keluar
menembus kulit biji. Perlakuan dengan air panas dan air dingin bertujuan untuk
memberikan suhu yang ekstrim tinggi pada biji sehingga kulit biji yang tebal
dapat lebih mudah tembus oleh kotiledon. Perlakuan kimia yang diberikan ialah
perendaman biji dalam asam sulfat pekat. Hal ini diharapkan dapat merangsang
zat-zat kimia didalam biji sehingga mendorong kotiledon untuk lebih cepat keluar
menembus kulit biji yang keras.
Berdasarkan data yang diperoleh pada minggu I nampak bahwa biji-biji Ki
hujan Samania saman yang ditanam telah berkecambah. Dimana pada perlakuan
dengan HCl pekat yang tumbuh ada tiga dengan rata-rata tingginya sekitar 0,26
cm. Pada perlakuan dengan air panas yang tumbuh tidak ada. Pada perlakuan
dengan kikir yang tumbuh hanya satu dengan rata-rata tingginya sekitar 0,2 cm.
Pada perlakuan dengan air dingin yang tumbuh belum ada. Pada kontrol yang
tumbuh belum ada.
Pada minggu II diperoleh hasil yakni. Pada perlakuan dengan HCl pekat
dengan rata-rata tingginya sekitar 2 cm. Pada perlakuan dengan air panas yang
tumbuh ada dua biji dengan rata-rata tingginya sekitar 0,15 cm. Pada perlakuan
dengan kikir tumbuh tiga kecambah dengan rata-rata tingginya sekitar 1 cm. Pada
perlakuan dengan air dingin tumbuh tiga kecambah dengan tinggi rata-rata sekitar
0,33 cm. Pada kontrol tumbuh tiga kecambah dengan rata-rata tinggi sekitar 0,4
cm.
Pada minggu III diperoleh hasil yakni. Pada perlakuan dengan HCl pekat
dengan rata-rata tingginya sekitar 2,76 cm dengan jumlah daun helai. Pada
perlakuan dengan air panas dengan rata-rata tingginya sekitar 2,1 cm dengan
jumlah daun rata-rata 2 helai. Pada perlakuan dengan kikir dengan rata-rata
tingginya sekitar 1,83 cm dengan jumlah daun rata-rata 2. Pada perlakuan dengan
air dingin dengan tinggi rata-rata sekitar 0,5 cm. Pada kontrol dengan rata-rata
tinggi sekitar 1.5 cm.
Pada minggu IV diperoleh hasil yakni. Pada perlakuan dengan HCl pekat
dengan rata-rata tingginya sekitar 3,8 cm dengan jumlah daun rata-rata 2 helai.
Pada perlakuan dengan air panas dengan rata-rata tingginya sekitar 3,5 cm dengan
jumlah daun rata-rata 2 helai. Pada perlakuan dengan kikir dengan rata-rata
tingginya sekitar 3,6 cm dengan jumlah daun rata-rata 2 helai. Pada perlakuan
dengan air dingin dengan tinggi rata-rata sekitar 1,5 cm dengan jumlah daun rata-
rata 2 helai . Pada kontrol dengan rata-rata tinggi sekitar 2,6 cm dengan jumlah
daun rata-rata 2 helai.
Dari data yang diperoleh dapat dilihat bahwa terjadi perbedaan pada
mulainya perkecambahan, pada air panas semuanya berkecambah pada minggu
ke-2. pada HCl pekat berkecambah pada minggu pertama lalu pada kontrol
berkecambah pada minggu kedua lalu pada yang dikikir ada yang berkecambah
pada minggu pertama dan ada yang minggu kedua selanjutnya dari perlakuan air
dingin berkecambah pada minggu kedua.
Terjadinya perbedaan nilai dari beberapa variable diatas disebabkan oleh
perlakuannya yang berbeda. Berdasarkan teorinya, biji yang kulit luarnya dikikir
akan mengalami perkecambahan lebih cepat dikarenakan air yang akan memulai
proses perkecambahan akan lebih mudah terimbibisi masuk kedalam biji. Pada air
panas, air dingin, dan HCl pekat merupakan salah satu perlakuan kimia yang akan
menyebabkan kulit luar pada biji Ki hujan Samania saman lebih mudah
mengalami imbibisi. Berdasarkan teorinya seharusnya perkecambahan pada biji
yang dikikir seharusnya lebih tinggi jauh dari kontrol.
Data yang diperoleh merupakan perhitungan secara kasar namun tetap
dapat menunjukkan bahwa dari data yang diperoleh menunjukkan hasil yang tidak
sesuai dengan yang diharapkan karena justru yang tidak mendapat perlakuan yang
pertumbuhannya tidak berbeda jauh dari pada yang mendapat perlakuan. Hal ini
dapat terjadi karena mungkin kelalaian dalam proses pengerjaannya yang salah
sehingga hasilnya pun tidak sesuai.
DAFTAR PUSTAKA
Agrica, 2010, Dormansi Biji, http://agrica.wordpress.com, diakses pada tanggal 23 November 2011, pukul 22.17 WITA.
Anonim, 2011, Dormansi, http://id.wikipedia.org/wiki/Dormansi, diakses pada tanggal 23 November 2011, pukul 22.15 WITA.
Dwidjoseputro, D., 1994, Pengantar Fisiologi Tumbuhan, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Lakitan, Benyamin, 2007, Dasr-dasar Fisiologi Tumbuhan, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Latunra, A. Ilham, 2011, Penuntun Praktikum Fisiologi Tumbuhan, Laboratorium Botani Jurusan Biologi FMIPA UNHAS, Makassar.
Salisbury, F.R., dan C.W. Ross, 1995, Fisiologi Tumbuhan Jilid III, Institut Teknologi Bandung, Bandung.
Schmidt, A., 2002, An Introduction to Crop Physiology Second Edition, Cambridge University Press, Cambridge.