dominasi, hegemoni, dan kekuasaan dalam serat …
TRANSCRIPT
DOMINASI, HEGEMONI, DAN KEKUASAAN
DALAM SERAT RANGSANG TUBAN KARYA KI PADMASUSASTRA
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia
Program Studi Sastra Indonesia
Oleh
Brigitta Gangga Tribuana
NIM: 154114043
PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA
FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2019
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
i
DOMINASI, HEGEMONI, DAN KEKUASAAN
DALAM SERAT RANGSANG TUBAN KARYA KI PADMASUSASTRA
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia
Program Studi Sastra Indonesia
Oleh
Brigitta Gangga Tribuana
NIM: 154114043
PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA
FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2019
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
iv
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tugas akhir yang saya tulis ini
tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan
dalam kutipan dan daftar pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, 11 Januari 2019
Penulis
Brigitta Gangga Tribuana
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
v
Pernyataan Persetujuan Publikasi Karya Ilmiah
untuk Kepentingan Akademis
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma:
Nama : Brigitta Gangga Tribuana
NIM : 154114043
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan
Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:
Dominasi, Hegemoni, dan Kekuasaan
dalam Serat Rangsang Tuban Karya Ki Padmasusastra.
Dengan demikian, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata
Dharma hak menyimpan, mengalihkan dalam bentuk lain, mengelolanya dalam
bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas dan mempublikasikannya
di internet atau media yang lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta
izin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap
mencantumkan nama saya sebagai penulis.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di Yogyakarta
Pada tanggal 11 Januari 2019
Yang menyatakan,
Brigitta Gangga Tribuana
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
vi
PERSEMBAHAN
Jangan pernah ragu akan jarak.
Karena jarak menghasilkan rindu.
Jangan pernah takut akan waktu.
Karena waktu yang menyatukan kita.
Karya ini kupersembahkan kepada mamaku tercinta, M.G. Purwini Disriati.
Saudara-saudariku terkasih Padmo Adi dan Angela Padma Dewi.
Serta semua orang yang saya kasihi dan yang mengasihi saya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
vii
MOTTO
“Terjadilah padaku, menurut kehendak-Mu”
(Luk.1: 26-38)
“Hidup itu seperti pergelaran wayang, dimana kamu menjadi dalang atas naskah
semesta yang dituliskan oleh Tuhan mu.”
(Sujiwo Tejo)
“Bahagia adalah ketika kita lebih sering tersenyum, lebih berani bermimpi, lebih
mudah tertawa, dan lebih banyak bersyukur.”
(Merry Riana)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
viii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Tuhan Yesus Yang Maha Sempurna. Berkat
bimbingan dan pertolongan rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi yang
berjudul Dominasi, Hegemoni, dan Kekuasaan dalam Serat Rangsang Tuban
Karya Ki Padmasusastra dengan baik dan tepat pada waktunya.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak akan selesai dengan tepat waktu
jika tidak didasari dengan niat, memulai, dan menyelesaikan dengan penuh suka
cita yang terbangun dari diri penulis sendiri. Oleh karena itu, penulis ingin
mengucapkan rasa terima kasihnya kepada beberapa pihak yang sudah
memberikan bimbingan, dukungan, semangat dan motivasi dalam penulisan
skripsi ini.
Pertama, penulis mengucapkan terima kasih kepada Susilawati Endah Peni
Adji, S.S., M.Hum. sebagai Dosen Pembimbing Akademik, Kaprodi, dan
sekaligus merangkap sebagai pembimbing I yang selalu memberikan banyak
masukan berharga dan dukungan semangat bagi penulis dalam menyelesaikan
skripsi ini.
Kedua, penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Yoseph Yapi Taum,
M. Hum. sebagai pembimbing II yang telah memberikan dukungan semangat dan
mengarahkan penyusunan skripsi ini.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ix
Ketiga, penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak/Ibu dosen Sastra
Indonesia Universitas Sanata Dharma (USD), Yogyakarta. Kepada Prof. Dr.
Praptomo Baryadi, M. Hum. sebagai dosen terfavorit bagi seluruh mahasiswa
Sastra Indonesia USD, kepada Sony Christian Sudarsosno, S.S., M.A. selaku
Wakil Ketua Program Studi Sastra Indonesia USD, Drs. B Rahmanto, M. Hum.,
Maria Magdalena Sinta Wardani, S.S., M.A., Dr.Paulus Ari Subagyo, M. Hum.
(alm), dan Drs. Hery Antono, M. Hum. (alm) yang sangat berjasa dan telah
bersedia memberikan ilmunya selama saya kuliah di Program Studi Sastra
Indonesia. Serta penulis mengucapkan terima kasih kepada Staf Sekretariat
Fakultas Sastra Indonesia atas pelayanan dan bantuan yang diberikan dengan baik
selama ini.
Keempat, ucapan terima kasih khususnya untuk mama saya, M.G Purwini
Disriati yang selalu memberikan semangat dan doa yang terbaik untuk penulis.
Terima kasih sudah bekerja keras dan mengizinkan penulis meraih mimpinya di
Kota Yogyakarta. Ucapan terima kasih pula untuk kedua kakak saya, Padmo Adi
dan Angela Padma Dewi, kedua kakak ipar saya Kartika Indah dan Antonius Adi,
serta untuk kedua keponakan saya Rama Sanjaya Padmakarna dan Kidung Ayunda
yang tak hentinya memberikan semangat dan dukungan psikologis kepada saya.
Terima kasih juga kepada saudara sepupu saya Adrianus Hendry yang sama-sama
kuliah di Jogja, dia selalu ada disaat saya kesepia dan selalu memberikan semangat
terlebih ketika saya mengerjakan skripsi ini. Tak lupa saya ucapkan terima kasih
kepada bapak saya, Hadrianus Denda Surono (alm) yang memberikan inspirasi
bagi saya dalam penulisan skripsi ini.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
x
Kelima, untuk sahabat saya, yaitu Susana Saras dan Roswita Yostin yang
selalu setia menemani segala rasa selama saya kuliah di sini. Kalian selalu setia
menjadi tempat bercerita yang asyik dan menjadi tempat hiburan yang
membangkitkan semangat saya. Terima kasih juga untuk anak-anak JO LALI,
Saras, Yostin, Lana, Maya, Berta dan Anin yang menjadi teman terbaik selama
menjalani proses berdinamika di UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) Grisadha
(Grup Tari Sanata Dharma). Serta untuk seluruh mahasiswa Prodi Sastra Indonesia
angkatan 2015, terima kasih atas bantuannya selama saya kuliah di sini, teruntuk
Erline, Grey, Ina, Laras, Phelvine, Amanda, Brigitta, Genjikable, Galih, Ditho dan
Semujur.
Terakhir, saya mengucapkan terima kasih kepada Ignatius Wahyu Aji
Wibowo, teman baik saya sewaktu dibangku SMP, yang sudah kembali hadir di
waktu yang sangat tepat, menjadi kado Natal 2018 yang tak terduga bagi saya,
pertemuan singkat kita sangat berarti dan terima kasih sudah membangkitkan
semangatku. Terima kasih juga untuk kedua sahabatku, Yosephine Pratita dan
Dika Sekar, yang meski diam mengamati saja, tetap memberikan perhatian dan
semangat untuk penulis. Serta ucapan terima kasih untuk kakak dan adek temu
gedhe ku, yaitu Andreas Eka Wijaya (Pongky) dan Dioda Yotam Paninggar yang
sangat berjasa dalam membangkitkan semangat dikala saya terpuruk ketika
pengerjaan skripsi ini.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xi
Serta ucapan terima kasih kepada semua pihak, yaitu Mbah Putri, om,
tante, saudara sepupu saya, teman-teman saya, dan orang sekitar yang mengenal
saya, yang tidak dapat saya tuliskan satu-persatu. Skripsi ini adalah bentuk
tanggung jawab saya sebagai salah satu keturunan dari Ki Padmasusastra dan
dengan mengapresiasi karya beliau saya ingin megenalkan kepada dunia bahwa
ada sastrawan daerah dari Surakarta yang memiliki karya yang begitu luarbiasa
menginspirasi.
Yogyakarta, 12 Januari 2019
Penulis
Brigitta Gangga Tribuana
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xii
ABSTRAK
Tribuana, Brigitta Gangga. 2019. Dominasi, Hegemoni dan Kekuasaan dalam
Serat Rangsang Tuban Karya Ki Padmasusatra. Skripsi Strata Satu
(S-1). Yogyakarta: Sastra Indonesia. Fakultas Sastra. Universitas
Sanata Dharma.
Penelitian ini mengangkat topik tentang “Dominasi, Hegemoni, dan
Kekuasaan dalam Serat Rangsang Tuban Karya Ki Padmasusastra”. Penelitian ini
bertujuan untuk (1) menguraikan struktur cerita dalam serat Rangsang Tuban
karya Ki Padmasusastra yang mencakup tokoh, penokohan, dan latar; dan (2)
mendeskripsikan dominasi, hegemoni, dan kekuasaan menggunakan prespektif
Antonio Gramsci dan Johan Galtung dalam serat Rangsang Tuban karya Ki
Padmasusastra. Dalam menguraikan struktur cerita, penulis menggunakan kajian
strukturalis. Selain itu, untuk mendeskripsikan dan menganalisa serat tersebut,
penulis menggunakan teori dominasi dan hegemoni Antonio Gramsci, serta teori
kekuasaan menurut Johan Galtung. Penelitian sastra ini menggunakan paradigma
M. H Abrams, yaitu pendekatan objektif dan pendekatan mimetik. Metode
pengumpulan data dalam penelitian ini dengan cara metode studi pustaka, metode
analisis data, dan metode penyajian hasil analisis data.
Tokoh utama dalam serat ini adalah Prabu Warsakusuma, Prabu
Warihkusuma, dan Raden Udakawimba. Sedangkan tokoh tambahan dalam serat
ini adalah Prabu Sindupati, Kyai Umbul Mudal, Endang Wresti, Ki Patih
Toyamarta, Ki Tumenggung Jalasenggara, Prabu Hertambang, Dewi Wayi, Kyai
Buyut Wulusan atau Kyai Ageng Wulusan, Nyai Buyut Wulusan, Kyai Penghulu,
Arya Toyatuli, Raden Lodaka, dan Rara Sendang. Analisis latar dalam serat ini
terbagi menjadi tiga, yaitu latar tempat, latar waktu, dan latar sosial. Latar tempat
dalam serat ini adalah di Negeri Tuban, Gunung Mudal, Banyubiru, Desa
Sumbereja, Tirtakandas, dan Gunung Rancakarni. Latar waktu dalam serat ini
adalah tahun 1600-an, pada masa kerajaan Tuban, dan latar sosial yang terdapat
dalam serat ini adalah kehidupan masyarakat Jawa pada masa Mataram.
Penulis menemukan dominasi, hegemoni, dan kekuasaan di dalam serat
ini. Analisis dominasi yang terjadi berujung pada pemberontakan. Terdapat tiga
macam hegemoni dalam serat ini, yaitu: (1) hegemoni dalam kebijakan negara, (2)
hegemoni dalam pendidikan, dan (3) hegemoni dalam tata cara kenegaraan.
Analisis kekuasaan dalam penelitian ini terbagi atas tiga perbedaan, yaitu sebagai
berikut: (1) kekuasaan atas diri sendiri dan kekuasaan atas orang lain; (2)
kekuasaan ideologi, kekuasaan remeneratif, dan kekuasaan punitif; (3) sumber
kekuasan: “ada”, “memiliki”, dan “kedudukan”. Sumber kekuasaan yang paling
dominan dalam serat ini adalah darah biru atau kebangsawanan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xiii
ABSTRACT
Tribuana, Brigitta Gangga. 2019. Domination, Hegemony, and Power in
Romance Rangsang Tuban by Ki Padmasusastra. Undergraduate
Thesis. Yogyakarta: Indonesian Literature. Faculty of Literature.
University of Sanata Dharma.
This research talks about “Domination, Hegemony, and Power in
Romance RangsangTuban by Ki Padmasusastra”. The research wants to (1)
describe the srtucture of the story in romance Rangsang Tuban by Ki
Padmasusastra, which include personage, personification, and background;
and (2) using Antonio Gramsci and Johan Galtung‟s theories, the research
wants to describe the domination, hegemony, and power in this romance. To
describe the structure of the story, the writer uses structuralist study.
Moreover, to describe and to analyze the romance, the writer uses Gramsci‟s
theory of domination and hegemony, and Johan Galtung‟s theory of power.
This research uses the paradigm of M.H. Abrams, which is objective approach
and mimetic approach.The methods of data collecting in this research are
literature review, data analysis, and presentation of the results of data analysis.
The main characters of this romance are Prabu Warsakusuma, Prabu
Warihkusuma, and Raden Udakawimba. Meanwhile the additional characters
in this romance are Prabu Sindupati, Kyai Umbul Mudal, Endang Wresti, Ki
Patih Toyamarta, Ki Tumenggung Jalasenggara, Prabu Hertambang, Dewi
Wayi, Kyai BuyutWulusan or Kyai Ageng Wulusan, Nyai Buyut Wulusan,
Kyai Penghulu, Arya Toyatuli, Raden Lodaka, and Rara Sendang. There are
three backgrounds analysis of this romance, which are background of places,
background of time, and background of social. The background of places in
this romance areTuban Country, Mudal Mount, Banyubiru, Sumbereja
Village, Tirtakandas, and Rancakarni Mount. Background of time in this
romance is year 1600‟s, in the time of Tuban Kingdom. The background of
social in this romance is the life of Javanese people in the era of Mataram.
The writer finds domination, hegemony, and power in this romance.
There are three kinds of hegemony in this romance, which are (1) hegemony in
state policy, (2) hegemony in education, and (3) hegemony in state rules.
There are also three kinds of power in this romance, which are (1) the power to
oneself and the power to others; (2) the power of ideology, the power of
remunerative, and the power of punitive; (3) the source of power: “being”,
“having”, and “position”. The most domination source of power in this
romance is the power of being the royal blood.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xiv
DAFTAR ISI
HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING ...................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................ iii
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ........................................... iv
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI .............................. v
HALAMAN PERSEMBAHAN ............................................................................ vi
MOTTO ................................................................................................................ vii
KATA PENGANTAR ......................................................................................... viii
ABSTRAK ............................................................................................................ xii
ABSTRACT ........................................................................................................... xiii
DAFTAR ISI ........................................................................................................ xiv
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .......................................................................................... 5
1.3 Tujuan Penelitian ........................................................................................... 6
1.4 Manfaat Hasil Penelitian................................................................................ 6
1.4.1 Manfaat Teoretis ................................................................................ 6
1.4.2 Manfaat Praktis .................................................................................. 7
1.5 Tinjauan Pustaka ............................................................................................ 7
1.6 Kerangka Teori ............................................................................................ 11
1.6.1 Analisis Struktural ............................................................................ 11
1.6.2 Analisis Dominasi, Hegemoni, dan Kekuasaan ............................... 15
1.7 Metode Penelitian ........................................................................................ 19
1.7.1 Metode Pengumpulan Data .............................................................. 20
1.7.2 Metode Analisis Data ....................................................................... 21
1.7.3 Metode Penyajian Hasil Analisis Data ............................................. 21
1.7.4 Sumber Data ..................................................................................... 22
1.8 Sistematika Penyajian .................................................................................. 23
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xv
BAB II ANALISIS STRUKTUR CERITA DALAM SERAT RANGSANG
TUBAN KARYA KI PADMASUSASTRA ....................................................... 24
2.1 Pengantar ..................................................................................................... 24
2.2 Tokoh dan Penokohan ................................................................................. 24
2.2.1 Tokoh Utama .................................................................................... 25
2.2.2 Tokoh Tambahan ............................................................................. 31
2.3 Latar ............................................................................................................. 39
2.3.1 Latar Tempat .................................................................................... 39
2.3.2 Latar Waktu ...................................................................................... 44
2.3.3 Latar Sosial....................................................................................... 45
BAB III DOMINASI, HEGEMONI, DAN KEKUASAAN DALAM SERAT
RANGSANG TUBAN KARYA KI PADMASUSASTRA ................................ 47
3.1 Pengantar ..................................................................................................... 47
3.2 Dominasi dan Hegemoni ............................................................................. 47
3.2.1 Dominasi .......................................................................................... 49
3.2.2 Hegemoni ......................................................................................... 53
3.2.2.1 Hegemoni dalam Kebijakan Negara ................................. 53
3.2.2.2 Hegemoni dalam Pendidikan ............................................ 55
3.2.2.3 Hegemoni dalam Tata Cara Kenegaraan........................... 56
3.3 Kekuasaan .................................................................................................... 58
3.3.1 Kekuasaan atas Diri Sendiri dan Kekuasaan atas Orang Lain ......... 58
3.3.2 Ideologis, Remuneraif, dan Punitif .................................................. 62
3.3.3 Sumber Kekuasaan ........................................................................... 64
BAB IV PENUTUP ............................................................................................. 69
4.1 Kesimpulan .................................................................................................. 69
4.2 Saran ............................................................................................................ 72
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 73
LAMPIRAN ......................................................................................................... 75
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Karya sastra adalah karya cipta dari seorang penulis untuk tujuan
estetika kehidupan manusia. Salah satu karya sastra adalah novel. Menurut
Abrams dalam Nurgiyantoro (1995: 9), sebutan novel dalam bahasa Inggris
yang masuk ke Indonesia berasal dari bahasa Itali novella (yang dalam bahasa
Jerman: novelle). Secara harfiah novella berarti „sebuah barang baru yang
kecil‟, dan kemudian diartikan sebagai „cerita pendek dalam bentuk prosa‟.
Menurut KBBI edisi V (2016), novel adalah karangan prosa yang panjang
mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan orang di
sekelilingnya dengan menonjolkan watak dan sifat setiap pelaku. Sedangkan
prosa sendiri adalah karangan bebas (tidak terikat oleh kaidah yang terdapat
dalam puisi), KBBI edisi V (2016).
Objek yang akan menjadi pokok pembahasan dalam skripsi ini adalah
sebuah prosa sastra Jawa modern yang berbentuk serat (bahasa Jawa), dalam
segi penceritaan hampir mirip dengan novel. Serat (bahasa Jawa) berarti
sebuah karya sastra yang berisi tentang ajaran-ajaran dari leluhur yang
bertujuan untuk kebaikan. Novel dan serat memiliki perbedaan, di mana
novel menceritakan secara detail bagaimana keadaan yang terjadi dalam
cerita tersebut, sedangkan serat hanya menceritaan pokok-pokok penting
dalam ceritanya saja.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
2
Objek material pada penelitian ini adalah serat Rangsang Tuban karya
Ki Padmasusastra. Serat ini ditulis pertama kali pada tahun 1900
menggunakan tulisan tangan dalam bentuk aksara Jawa, namun baru di
publikasikan pada tahun 1912 oleh Budi Utomo di Surakarta. Pada tahun
1985 Balai Pustaka mengalih aksara Rangsang Tuban ke dalam bahasa Jawa
Latin, serta menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia supaya lebih
mudah dibaca dan dipahami oleh pembacanya. Dalam penelitian ini, peneliti
menggunakan serat Rangsang Tuban karya Ki Padmasusastra terbitan Balai
Pustaka (1985) yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia untuk
menjadi objek pada penelitiannya.
Ki Padmasusastra memproklamasikan dirinya sebagai, „Tiyang mardika
ingkang marsudi kasusastran Jawi ing Surakarta’, artinya „orang merdeka
yang menekuni kesusastraan Jawa di Surakarta‟. Ki Padmasusastra
menyatakan dirinya merdeka karena dia tidak terikat oleh aturan-aturan
keraton seperti gurunya, yaitu Ranggawarsita yang memang keturunan
keraton. Suwardi adalah nama kecil Ki Padmasusastra, beliau lahir di
Kampung Sraten, Surakarta tanggal 21 Maulud 1771 J atau tanggal 20 April
1841 Masehi dan meninggal pada hari Senin Wage tanggal 17 Rajab 1856 J
atau tanggal 1 Februari 1926 Masehi (85 tahun, mengikuti hitungan Jawa),
dengan meninggalkan puluhan karya yang berkualitas. Ki Padmasusastra
tidak hanya seorang penulis sastra fiksi dan sastra wulang (ajar), beliau juga
banyak memperhatikan dunia bahasa, sebenarnya beliau adalah seorang ahli
bahasa di masanya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
3
Serat Rangsang Tuban, (Padmasusasta, 1985: 6) petikan dari kitab
Weddha, karya Empu Manehgunna, kemudian digubah oleh Ki
Padmasusastra. Serat Rangsang Tuban, (Padmasusastra, 1985: 6)
mengisahkan tentang dua orang pangeran dari Negeri Tuban yang bernama
Pangeran Warihkusuma dan Pangeran Adipati Anom Warsakusuma. Konflik
awal terjadi ketika Pangeran Adipati Anom Warsakusuma merasa iri kepada
kakaknya Pangeran Warihkusuma yang akan menikah dengan saudara
sepupunya yang bernama Endang Wresti. Kemudian terjadilah penyerangan
dari pangeran Warsakusuma untuk Pangeran Warihkusuma, namun Pangeran
Warihkusuma tidak melawan karena dia merasa malu jika harus berperang
dengan saudaranya sendiri, terlebih bila masalahnya hanyalah
memperebutkan Endang Wresti. Hal ini terdapat dalam kutipan (1) dan (2).
(1) Ringkasnya, sri baginda saat itu masih mampu mempertahankan sikapnya
yang wajar terhadap kakaknya, akan tetapi kemudian menyatakan
keinginannya utuk langsung kembali ke istana tidak dapat menunggui
perkawinan kakaknya karena mendadak badannya merasa kurang enak
badan (Padmasusastra, 1985: 11).
(2) Pangeran Warihkusma tidak mau melaksanakan perlawanan karena
kuwatir akan menimbulkan kerusakan atau korban di kalangan rakyat.
Selain musuh terlampau besar, ia pun merasa malu bermusuhan dengan
saudara sendiri hanya karena berebut istri (Padmasusastra, 1985: 13).
Serat Rangsang Tuban karya Ki Padmasusastra dipilih sebagai topik
dalam penelitian ini didasarkan alasan sebagai berikut: (i) Novel Rangsang
Tuban merupakan serat Jawa yang membuka pintu sastra Jawa untuk
pembaca di Indonesia; (ii) Adanya persoalan dalam serat ini, yaitu domiasi,
hegemoni dan kekuasaan yang dapat dilihat dari tokoh-tokoh dalam serat
Rangsang Tuban; (iii) Peneliti tertarik dengan dominasi dan hegemoni
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
4
prespektif Antonio Gramsci dan teori kekuasaan menurut Johan Galtung,
menurut peneliti serat Rangsang Tuban cocok dianalisis dengan kedua
pendekatan tersebut; (iv) Adanya manfaat terhadap hasil penelitian, di mana
peneliti menjadi jembatan antara penulis karya sastra, teks sastra, dan
pembaca sebagai penikmat karya sastra untuk dapat lebih mengenal karya
sastrawan, terutama sastrawan daerah; (v) Belum ada penelitian serat
Rangsang Tuban yang membahas dengan kedua pendekatan tersebut; (vi)
Novel Rangsang Tuban digubah oleh sastrawan yang berasal dari daerah
Solo, bukan dari pusat Jakarta; dan (vii) Penulis memiliki tanggung jawab
secara biologis, yaitu sebagai salah satu keturunan dari Ki Padmasusastra dan
secara akademis penulis ingin mengapresiasi hasil karya dari sastrawan
daerah, yaitu Ki Padmasusastra.
Dalam penelitian ini, hal pertama yang akan dibahas adalah struktur
cerita dalam serat Rangsang Tuban. Strukturalisme adalah suatu pendekatan
penelitian terhadap karya sastra terhadap unsur-unsur yang membentuknya.
Peneliti membatasi dalam mengidentifikasi dan mengkaji unsur intrinsik serat
Rangsang Tuban hanya dengan melihat dari tokoh, penokohan, dan latar
yang menjelaskan fungsi antar unsur yang memiliki keterkaitan hubungan
keseluruhan untuk mencapai pemahaman tentang estetik, makna keseluruhan
struktur karya sastra.
Setelah itu, hal kedua yang akan dibahas dalam penelitian tentang serat
Rangsang Tuban adalah keterkaitan tokoh-tokoh dengan dominasi dan
hegemoni prespektif Antonio Gramsci, serta kekuasaan menurut Johan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
5
Galtung. Secara literal hegemoni berarti “kepemimpinan”, (Faruk, 2010:
132). Konsep hegemoni menurut Gramsci adalah sesuatu yang lebih
kompleks. Konsep yang digunakan oleh Gramsci berfungsi untuk meneliti
bentuk-bentuk politik, kultural, dan ideologis tertentu. Namun, di dalam
penelitian ini peneliti juga akan mengkalaborasikan antara teori dominasi dan
hegemoni menurut Antonio Gramsci dengan teori kekuasaan menurut Johan
Galtung. Hal ini, karena peneliti menemukan adanya kekuasaan atau
dominasi yang diawali dari sebuah hegemoni dan di akhir cerita terdapat pula
sebuah hegemoni di dalam serat Rangsang Tuban. Perlu diketahui bahwa
dominasi adalah bagian dari hegemoni. Dominasi adalah sebuah perlawanan
dan membuat orang yang terdominasi menjadi dirugikan. Sedangkan
hegemoni di sini adalah sebuah tekanan yang mengharuskan pihak yang
terhegemoni menerimanya karena beranggapan bahwa itu merupakan sebuah
takdir dan tidak dapat dilawan.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, dapat disusun
rumusan masalah sebagai berikut:
1.2.1 Bagaimana struktur cerita yang mencakup tokoh, penokohan, dan latar
dalam serat Rangsang Tuban karya Ki Padmasusastra?
1.2.2 Bagaimanakah dominasi dan hegemoni prespektif Antonio Gramsci,
serta kekuasaan menurut Johan Galtung dalam serat Rangsang Tuban
karya Ki Padmasusastra?
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
6
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah disusun di atas, tujuan
makalah ini adalah sebagai berikut:
1.3.1 Menguraikan struktur cerita dalam serat Rangsang Tuban karya Ki
Padmasusastra yang mencakup tokoh, penokohan, dan latar.
1.3.2 Mendeskripsikan dominasi dan hegemoni prespektif Antonio Gramsci,
serta kekuasaan menurut Johan Galtung dalam serat Rangsang Tuban
karya Ki Padmasusastra. Hal ini akan dibahas dalam Bab III.
1.4 Manfaat Hasil Penelitian
Manfaat hasil penelitian atau kegunaan hasil penelitian dalam serat
Rangsang Tuban karya Ki Padmasusastra dibagi menjadi dua manfaat, yaitu
manfaat teoretis dan manfaat praktis.
1.4.1 Manfaat Teoretis
Manfaat teoretis, yaitu manfaat bagi perkembangan disiplin ilmu baik
ilmu bahasa, sastra dan budaya. Dalam penelitian ini peneliti mengemukakan
disiplin ilmu dalam bidang sastra. Beberapa manfaat teoretis yang ada dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut.
1.4.1.1 Memperkaya kajian sastra Jawa modern dengan teori dominasi dan
hegemoni prespektif Antonio Gramsci.
1.4.1.2 Memperkaya kajian sastra Jawa modern dengan teori kekuasaan
menurut Johan Galtung.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
7
1.4.2 Manfaat Praktis
Manfaat praktis, yaitu berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan profesi
tertentu di luar bidang ilmu bahasa dan sastra (studi budaya dan studi gender).
Beberapa manfaat praktis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
1.4.1.3 Penulis berharap setiap pembaca memiliki pengetahuan yang mendalam
tentang cerita dalam serat Rangsang Tuban karya Ki Padmasusastra.
1.4.1.4 Pembaca dapat mengapresiasi sebuah karya sastra Jawa modern, salah
satunya adalah serat Rangsang Tuban karya Ki Padmasusastra.
1.4.1.5 Menambah semangat membaca untuk mempelajari karya sastra,
terutama novel.
1.4.1.6 Peneliti mengharapkan bahwa hasil penelitian ini dapat memberikan
sumbangan bagi siapa saja yang berprofesi dalam bidang pendidikan
maupun sastra untuk mengenal lebih mendalam tentang dominasi dan
hegemoni prespektif Antonio Gramsci, serta kekuasaan menurut Johan
Galtung.
1.4.1.7 Memperkenalkan sastrawan asal Surakarta era Hindia Belanda,
bernama Ki Padmasusastra
1.5 Tinjauan Pustaka
Berdasarkan pengamatan penulis sudah ada yang menganalisis serat
Rangsang Tuban karya Ki Padmasustra (versi novel dalam bahasa Jawa)
dalam bentuk penelitan berupa jurnal ilmiah, namun penelitian tersebut hanya
membahas analisis strukturnya saja. Peneliti juga menemukan sinopsis novel
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
8
Rangasang Tuban dalam daring. Serta beberapa skripsi yang membahas
tentang hegemoni dan kekerasan yang dapat membantu peneliti dalam
menganalisis penelitiannya tersebut. Berikut ini adalah beberapa jurnal ilmiah
dan skripsi yang menjadi bahan bacaan dari peneliti.
Analisis Struktural Novel Rangsang Tuban Karya Padmasusastra dan
Pembelajarannya di SMA dalam jurnal yang disusun oleh Isrofi, Program
Studi Pendidikan dan Sastra Jawa, Universitas Muhammadiyah Purworejo.
Hasilnya adalah aspek struktural dalam novel Rangsang Tuban karya
Padmasusastra meliputi tema, alur atau plot, tokoh dan penokohan, latar,
judul dan sudut pandang. Pembelajaran novel Rangsang Tuban karya
Padmasusastra sesuai Kurikulum 2013 diterapkan pada siswa-siswi SMA
kelas XII semester gasal. Metode pembelajaran yang digunakan adalah
dengan metode diskusi dan tanya jawab. Dalam pelaksanaan pembelajaran,
siswa membaca sinopsis novel Rangsang Tuban karya Padmasusastra,
selanjutnya siswa mendiskusikan secara berkelompok dan
mengemukakannya.
Kajian Sosiologi dalam novel Rangsang Tuban Karya Padmasusastra
dalam jurnal yang disusun oleh Kurniawan, Program Studi Pendidikan dan
Sastra Jawa, Univeritas Muhammadiyah Purworejo. Hasilnya adalah unsur
intrisik novel Rangsang Tuban karya Padmasusastra, yang terdiri dari tema
utama, tokoh dan penokohan, alur maju, latar. Aspek sosial dalam novel,
yang terdiri dari aspek kekerabatan, aspek perekonomian, aspek politik, aspek
religi atau aspek keperayaan. Namun dalam jurnal tersebut lebih ditonjolkan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
9
ke dalam aspek kekerabatan dan aspek perekonomian. Serta ada pula
moralitas dalam novel Rangsang Tuban Karya Padmasusastra, yaitu
hubungan manusia dengan diri sendiri, hubungan antar manusia dengan
lingkungan alam, dan hubungan manusia dengan Tuhan.
Bentuk-bentuk Counter-Hegemoni dalam Novel Kuil di Dasar Laut
Karya Seno Joko Suyono: Prespektif Antonio Gramsci, merupakan sebuah
Skripsi oleh Homba, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, pada Juli 2016.
Hasilnya adalah peneliti menemukan perlawanan keras yang dilakukan
dengan cara menerbitkan petisi dan aksi demonstrasi; perlawanan pasif yang
dilakukan melalui cara tapak tilas dan tirakat, menantang maut, dan mencari
ketenangan di luar negeri; perlawanan humanistik yang dilakukan melalui
negosiasi dengan penguasa; perlawanan metafisik yang dilaksanakan melalui
perjalanan spiritual ke pepunden-pepunden untuk mencari wahyu tandingan
melawan Soeharto.
Skripsi oleh Wiharjo, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, pada
tahun 2018 yang berjudul Bentuk-Bentuk Hegemoni dan Counter-Hegemoni
dalam Novel Entrok Karya Okky Mandasari Prespektif Antonio Gramasci.
Hasilnya adalah peneliti menemukan tahap bentuk-bentuk hegemoni
masyarakat sipil, para pemimpin yang berkuasa penuh terhadap masyarakat
sipil. Sementara tahapan bentuk hegemoni dalam masyarakat politik adalah
ancaman atasan terhadap bawahan, cara mempertahankan kekuasaan, dan
strategi untuk menyingkirkan penentang.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
10
Skripsi oleh Utami, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, pada
Januari 2018 yang berjudul Kekerasan Struktural dan Personal dalam Novel
Candik Ala 1965 Karya Tinuk R. Yampolsky. Hasilnya adalah peneliti
menemukan tiga jenis kekerasan struktural, yaitu (1) kekerasan strukturan
yang dialami oleh simpatisan PKI, (2) kekerasan struktural terhadap
masyarakt sipil pada masa orde baru, dan (3) kekerasa struktural terhadap
masyarakat sipil di Kamboja. Peneliti juga menemukan empat jenis kekerasan
persolan, yaitu (1) kekerasan personal terhadap anggota oraganisasi
kepemudaan, (2) kekerasan terhadap simpatisan PKI, (3) kekerasan personal
terhadap wanita, dan (4) kekerasan personal terhadap waga sipil di Kamboja.
Bentuk kekerasan yang mendominasi kekerasan personal pada novel tersebut,
yaitu (1) cara yang digunakan adalah menggunakan badan manusia itu
sendiri, (2) bentuk organisasinya adalah TNI, dan (3) sasaran pendekatannya
berbentuk anatomis.
Meski demikian, penulis ingin mendalami atau lebih fokus pada unsur
intrinsik, dominasi, hegemoni, dan kekuasaan yang terdapat dalam serat
Rangsang Tuban karya Padmasusastra, karena analisis sebelumya yang
ditemukan penulis sebagian besar menggunakan sosiologi sastra dan hanya
sebagian saja dan belum mencakup semua isi dalam serat tersebut.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
11
1.6 Kerangka Teori
1.6.1 Analisis Struktural
Sebuah karya sastra memiliki sebuah unsur pembangun yang tersusun
atas unsur-unsur intrinsik (intrinsic). Unsur intrinsik sebuah novel adalah
unsur-unsur yang (secara langsung) turut serta membangun cerita
(Nurgiyantoro, 1998: 23). Struktur tersebut dapat dilakukan dengan analisis
struktural. Analisis Struktural karya sastra, dilakukan dengan mendefinisikan,
mengkaji, dan mendeskripsikan fungsi dan antar unsur intrinsik fiksi yang
bersangkutan.
Nugiyantoro (1998: 37) menjelaskan bahwa analisis struktural
bertujuan memaparkan secermat mungkin fungsi dan keterkaitan antar
berbagai unsur karya sastra yang secara bersama menghasilkan sebuah
kemenyeluruhan. Tahap awal dapat diidentifikasi dan dideskripsikan,
misalnya bagaimana keadaan peristiwa-peristiwa, plot, tokoh dan penokohan,
latar, sudut pandang. Barulah dijelaskan bagaimana fungsi-fungsi dari
masing-masing unsur itu dalam menunjang makna keseluruhan dan
membentuk totalitas kemaknaan yang padu.
Analisis struktural dalam serat Rangsang Tuban ini akan berfokus pada
tokoh dan penokohan; latar yang terdiri dari latar tempat, latar waktu dan latar
sosial. Hal ini bertujuan agar penelitian lebih efektif dan efisien, maka
diperlukan batasan-batasan sesuai dengan kebutuan penelitian. Hasil dari
analisis tokoh, penokohan dan latar akan memudahkan peneliti dalam
merumuskan ke dalam rumusan masalah selanjutnya, yaitu bagaimana
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
12
dominasi dan hegemoni prespektif Antonio Gramsci, serta kekuasaan
menurut Johan Galtung dalam serat Rangsang Tuban.
1.6.1.1 Tokoh dan Penokohan
Tokoh adalah pelaku cerita. Tokoh adalah individu rekaan yang
mengalami sebuah peristiwa atau perlakuan di dalam berbagai peristiwa
cerita. Nurgiyantoro (1998: 165) istilah “tokoh” menunjuk pada orangnya,
pelaku cerita, misalnya sebagai jawaban terhadap pertanyaan: “Siapakah
tokoh utama novel itu?”, atau “Ada berapa orang jumlah pelaku novel itu?”,
atau “Siapakah tokoh protagonis dan anatagonis dalam novel itu?”, dan
sebagainya.
Tokoh cerita (character), menurut Abrams (1981:20) dalam
Nurgiyantoro (1998: 165-166), adalah orang(-orang) yang ditampilkan dalam
suatu karya naratif, atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki
kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam
ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan. Dari kutipan tersebut juga
dapat diketahui bahwa antara seorang tokoh dengan kualitas pribadinya erat
berkaitan dalam penerimaan pembaca. Dalam hal ini, khususnya dari
pandangan teori resepsi, pembacalah sebenarnya yang memberi arti
semuanya. Untuk kasus kepribadian seorang tokoh, pemaknaan itu dilakukan
berdasarkan kata-kata (verbal) dan tingkah laku lain (nonverbal). Pembedaan
antar tokoh yang satu dengan yang lain lebih ditentukan oleh kualitas pribadi
daripada dilihat secara fisik.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
13
Penokohan adalah hal-hal yang berkaitan dengan tokoh. Meliputi
permasalahan karakterisasi penggambaran tokoh cerita, dan metode pelukisan
tokoh. Penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang
yang ditampilkan dalam sebuah cerita. Penokohan dan karakterisasi sering
juga diartikan dengan karakter dan perwatakan, menunjuk pada penerapan
tokoh-tokoh tertentu dengan watak tertentu dalam sebuah cerita.
Tokoh-tokoh cerita dalam sebuah fiksi dapat dibedakan ke dalam
beberapa jenis penamaan berdasarkan dari sudut mana penamaan itu
dilakukan. Berdasarkan perbedaan sudut pandang dan tinjauan, seorang tokoh
dapat saja dikategorikan ke dalam beberapa jenis penamaan sekaligus,
misalnya sebagai tokoh utama-protagonis-berkembang-tipikal (Nurgiyantoro,
1998: 176).
Penelitian ini berfokus pada tokoh utamanya saja, hal tersebut karena
banyaknya tokoh yang terdapat dalam serat Rangsang Tuban, namun tokoh-
tokoh tambahan dalam serat ini juga sangat berpengaruh terhadap jalannya
cerita. Dalam serat ini terdapat tiga tokoh utama yang menjadi pusat dan
penggerak dalam alur cerita secara keseluruhan.
1.6.1.1.1 Tokoh Utama dan Tokoh Tambahan
Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan dalam sebuah penceritaan
novel yang bersangkutan. Tokoh utama selalu hadir atau paling banyak
dibicarakan sebagai pelaku yang dikenai kejadian dan konflik, mempengaruhi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
14
perkembngan plot. Tokoh utama dalam sebuah novel bisa lebih dari satu
orang.
Sedangakan tokoh tambahan adalah tokoh yang memegang peran
sebagai pelengkap atau sebagai tambahan dalam seluruh jalan cerita novel.
Tokoh tambahan muncul menurut kebutuhan cerita dalam novel. Pemunculan
tokoh tambahan dalam keseluruhan cerita terbilang lebih sedikit, tidak terlalu
dipentingkan, dan kehadirannya hanya jika ada keterkaitannya dengan tokoh
utama, baik secara langsung maupun tidak langsung.
1.6.1.2 Latar
Latar atau setting mengandung pengertian sebagai tempat, hubungan
waktu, dan lingkungan sosial termpat terjadinya peristiwa yang diceritakan.
Latar dikelompokkan bersama dengan tokoh dan penokohan, ke dalam fakta
(cerita) karena ketiga hal tersebut yang akan dialami dan dapat menjadi
imajinasi pembaca secara faktual jika membaca sebuat cerita fiksi. Latar
memberikan kesan realistik dan sungguh-sungguh terjadi. Penelitian ini
berfokus pada latar tempat, latar waktu dan latar sosial saja.
1.6.1.2.1 Latar Tempat
Latar tempat adalah lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam
sebuah cerita fiksi. Menurut Nurgiyantoro (1998: 227), penggunaan tempat
dengan nama-nama tertentu haruslah mencerminkan, atau paling tidak tak
bertentangan dengan sifat dan keadaan geografis tempat yang bersangkutan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
15
1.6.1.2.2 Latar Waktu
Latar waktu berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya
peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Latar waktu
dalam cerita fiksi dapat menjadi dominan dan fungsional jika dikerjakan
dengan teliti, khususnya jika dihubungkan dengan waktu sejarah.
1.6.1.2.3 Latar Sosial
Latar sosial menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku
kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya
fiksi (Nurgiyantoro, 1998: 233). Kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi,
keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir, dan bersikap merupakan masalah
dalam lingkup yang cukup kompleks.
Latar sosial berhubungan dengan status sosial tokoh yang bersangkutan,
seperti rendah, menenengah, dan atas. Latar sosial dapat dipandang atau
menggambarkan suasana kedaerahan, local color, warna setempat daerah
tertentu melalui kehidupan sosial masyarakat. Masalah penamaan tokoh-
tokoh juga berhubungan dengan latar sosial. Status sosial adalah salah satu
hal yang perlu diperhitungkan dalam pemilihan latar dalam cerita fiksi. Latar
sosial.
1.6.2 Analisis Dominasi, Hegemoni, dan Kekuasaan
Peneliti menggunakan dua kajian dalam analisis serat Rangsang Tuban
karya Ki Padmasusastra, yaitu dengan teori dominasi dan hegemoni
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
16
prespektif Antonio Gramsci, serta teori kekuasaan menurut Johan Galtung.
Kedua teori tersebut digunakan untuk menganalisis beberapa strategi
kekuasaan yang terdapat dalam serat Rangsang Tuban yang diawali dari
sebuah hegemoni, kemudian terdapat dominasi-dominasi kekuasaan yang ada
di dalamnya, dan diakhir cerita ditutup dengan hegemoni.
1.6.2.1 Dominasi dan Hegemoni Perspekif Antonio Gramsci
Hegemoni adalah sebuah dominasi oleh satu kelompok yang lain, tanpa
ancaman kekerasan, sebagai ide-ide yang dituntun oleh kelompok dominasi
terhadap kelompok yang didominasi atau dikuasai, diterima sebagai sesuatu
yang wajar dan tidak memberatkan. Hegemoni membuat masyarakat percaya
dengan prinsip-prinsip, aturan-aturan dan hukum yang dianggap dapat
mensejahterakan bersama, meskipun sebenarnya tidak. Menurut Faruk (2010:
144), Gramsci berpegang teguh pada penyatuan kedua aspek tersebut secara
bersama-sama. Salah satu cara yang di dalamnya “pemimpin” dan “dipimpin”
disatukan adalah lewat “kepercayaan-kepercayaan populer”.
Istilah hegemoni diturunkan dari istilah Yunani, hegeisthai yang berarti
kepemimpinan (Sehandi, 2016: 188). Konsep hegemoni banyak digunakan
oleh sosiolog untuk menjelaskan fenomena terjadinya usaha untuk
mempertahankan kekuasaan oleh pihak penguasa. Penguasa tidak hanya
terbatas pada penguasa negara (pemerintah). Teori hegemoni digunakan
untuk memahami model kekuasaan, tetapi bukan atas dasar pemaksaan,
melainkan atas dasar kesepakatan, konsensus, dan masuk akal.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
17
Hegemoni adalah suatu dominasi kekuasaan suatu kelas sosial atas
kepada kelas sosial lainnya melalui kepemimpinan intelektual dan moral yang
dibantu dengan dominasi atau penindasan. Hegemoni mendefinisikan sifat
kompleks dari hubungan antar masyarakat dengan kelompok-kelompok
pemimpin masyarakat. Pemimpin dan yang dipimpin disatukan lewat
kepercayaan-kepercayaan populer.
Ada tiga tahapan hegemoni menurut Gramsci dalam Faruk (2010: 137),
yaitu (1) dominasi, (2) kepemimpinan intektual, dan (3) hegemoni.
Kepemimpinan intelektual dan hegemoni di sini dapat diasatukan karena
memiliki arti yang hampir sama. Sedangkan dominasi berdiri sendiri karena
dominasi adalah bagian dari hegemoni tersebut. Menurut Faruk (2010: 135),
kekerasan adalah cara dominasi, yaitu penamaan kekuasaan dari kelas yang
berkuasa terhadap kelas yang tertindas dengan cara paksa, dengan melibatkan
aparat-aparat kekerasan seperti polisi dan sejenisnya, sedangkan kesetujuan
adalah cara hegemoni, yaitu penamaan kekuasaan yang sama, tetapi yang
dilakukan untuk mencapai kesepakatan dari kelas yang dikuasai, penerimaan
yang ikhlas dari kelas itu.
Menurut Gramsci dalam Taum (2015: 37), untuk melestarikan
kekuasaan, dominasi harus dilengkapi dengan hegemoni. Hegemoni adalah
asumsi-asumsi dan nilai-nilai yang membentuk makna dan mendefinisikan
realitas bagi mayoritas masyarakat dalam kebudayaan tertentu.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
18
1.6.2.2 Teori Kekuasaan Menurut Johan Galtung
Kekuasaan adalah kemampuan atau wewenang untuk menguasai orang
lain, memaksa dan mengendalikan mereka sampai mereka patuh, mencampuri
kebebasannya, dan memaksakan tindakan-tindakan dengan cara yang khusus
(Windhu, 1992: 32). Kekuasaan (power) sebagai sebuah konsep yang paling
dasar dan kaya dalam ilmu politik.
Konsep kekuasaan dibangun dalam sebuah relasi yang tidak seimbang.
Hal ini, memperlihatkan perbedaan antara otoritas atau wewenang dengan
kekuasaan. Kekuasaan lebih cenderung menaruh kepercayaan kepada
kekuatan. Sedangkan, otoritas adalah sebuah kekuasaan yang dilegitimasikan
yang telah mendapat pengakuan umum. Konsep kekuasaan Galtung betolak
dari prinsip hidup manusia, yaitu “ada” (being) dan “memiliki” (having)
(Windhu, 1992: 34). Kekerasan terjadi karena ada relasi yang tidak seimbang.
Ketidakseimbangan itu terjadi karena adanya perbedaan dalam segi ada,
memiliki dan kedudukan dalam struktur sosial.
Kekuasaan sering disebut dengan dominasi. Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia dalam daring, arti kata dominasi adalah penguasa oleh
pihak yang lebih kuat terhadap pihak yang lemah (dalam bidang politik,
militer, ekonomi, perdagangan, olahraga, dan sebagainya). Kekuasaan sama
halnya dengan dominasi namun berbeda arti dengan hegemoni.
Ada tiga dimensi kekuasaan yang dijabarkan oleh Galtung, (1)
“kekuasaan atas diri sendiri” dan “kekuasaan atas orang lain”, (2) tiga tipe
kekuasaan atas orang lain: ideologis, remuneratif dan punitif, serta (3) tiga
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
19
sumber kekuasaan, yaitu “ada”, “memiliki”, dan “kedudukan” manusia dalam
struktur sosial.
1.7 Metode Penelitian
Metode berasal dari kata methodos (bahasa Latin), yang berakar dari
kata meta (menuju, melalui, mengikuti) dan hodos (jalan, cara, arah). Metode
merupakan cara, strategi untuk memahami realitas, sebuah langkah-langkah
yang sistematis agar dapat memecahkan rangkaian sebab akibat. Secara
konkret, metode merupakan cara mengumpulkan data, menganalisis data, dan
menyajikan data yang dianalisis.
Paradigma penelitian sastra yang digunakan dalam penelitian ini adalah
paradigma M. H Abrams. Abrams membagi kritik sastra menjadi empat
pendekatan, yaitu: (1) pendekatan objektif, (2) pendekatan ekspresif, (3)
pendekatan mimetik, dan (4) pendekatan pragmatik. Dalam penelitian sastra
ini, penulis hanya memfokuskan pada dua pendekatan saja yaitu, pada
pendekatan objektif dan pendekatan mimetik. Pada pendekan objektif yang
membahas tentang struktur cerita yang mencakup tokoh, penokohan dan latar
yang terdiri dari latar tempat, latar waktu dan latar sosial. Sedangkan
pendekatan mimetik yang mencakup dua teori, yaitu teori Antonio Gramsci
yang membahas tentang dominasi dan hegemoni, serta teori dari Johan
Galtung yang membahas tentang kekuasaan yang terdapat dalam serat
Rangsang Tuban.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
20
Metode penelitian adalah cara atau prosedur yang akan ditempuh oleh
peneliti dalam memecahkan masalah dalam penelitian. Penelitian ini akan
melalui tiga tahap, yaitu metode pengumpulan data, metode analisis data, dan
metode penyajian hasil analisis data. Berikut ini akan diuraikan masing-
masing tahap serta sumber data yang diperoleh peneliti dalam melaksanakan
penelitian, kemudian akan dijabarkan pula sumber data yang diperoleh
peneliti dalam melaksanakan penelitian.
1.7.1 Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data merupakan proses pengambilan data, agar
data yang diambil dapat mewakili dan dapat memudahkan proses analisis
dalam sebuah penelitian. Metode yang digunakan dalam analisis serat
Rangsang Tuban adalah dengan studi pustaka. Peneliti menggunakan teknik
baca dan teknik studi pustaka. Teknik baca digunakan oleh peneliti untuk
membaca serat Rangsang Tuban dan teori-teori yang berkaitan dengan
penelitian. Hasil bacaan akan dicatat dan menghasilkan data. Hasil catatan
tersebut adalah poin-poin yang berkaitan dengan tokoh, penokohan, latar, dan
stategi kekuasaan hegemoni yang terdapat dalam serat Rangsang Tuban.
Metode studi pustaka digunakan untuk mendapatkan data serta
beberapa referensi yang akurat untuk menganalisis serat Rangsang Tuban
dengan teori yang akan digunakan. Studi pustaka berkaitan dengan objek
penelitan, yaitu dominasi, hegemoni, dan kekuasan dalam serat Rangsang
Tuban.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
21
1.7.2 Metode Analisis Data
Metode analisis data berupa deskripsi tentang tokoh, penokohan, dan
latar. Setelah data terklasifikasi, data tersebut akan dirumuskan dalam stategi
dominasi, hegemoni, dan kekuasaan. Analisis mengenai tokoh, penokohan,
dan latar (latar tempat, latar waktu dan latar sosial) yang sangat penting
untuk membantu peneliti dalam mengaitkan bentuk-bentuk strategi dominasi,
hegemoni, dan kekuasaan yang ada dengan konteks latar tempat, latar waktu,
dan latar sosial yang ada dalam serat Rangsang Tuban.
Metode analisis data dalam penelitian ini akan dirumuskan dengan
analisis isi dan analisis formal. Metode analisis isi atau analisis konten akan
mengungkapkan isi dari karya sastra yang dianalisis sebagai bentuk
komunikasi antara pengarang dan pembaca karya sastra. Sedangkan metode
formal atau struktural, peneliti menganalisis unsur-unsur yang ada dalam
karya sastra tersebut.
1.7.3 Metode Penyajian Hasil Analisis Data
Metode penyajian hasil analalisis data dalam penelitian ini akan
dirumuskan secara deskriptif, kualitatif. Hasil analisis data akan berupa
pemaknaan sebuah karya sastra yang disajikan secara deskriptif. Metode
penyajian hasil analisis secara kualitatif merupakan cara penyajian hasil
analisis data dengan memanfaatkan penafsiran menggunakan menyajikan
sebuah penelitian ke dalam bentuk deskriptif. Fakta sosial yang sebagaimana
ditafsirakan oleh subjek.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
22
1.7.4 Sumber Data
Sumber data yang dimaksud dalam penelitian ini adalah sumber data
tertulis yang memuat informasi yang berkaitan dengan topik penelitian.
Sumber data yang diperoleh dalam penelitian ini terdiri dari dua sumber data,
yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder.
1.7.4.1 Sumber Data Primer
Penelitian ini merupakan penelitian sastra, maka sumber datanya berupa
karya sastra Jawa modern (serat), yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia. Berikut ini rincian sumber datanya.
Judul : Rangsang Tuban
Pengarang : Ki Padmasusastra
Penerbit : Balai Pustaka
Tahun Terbit : 1985
Tebal Buku : 160 halaman
Alih Aksara : Mulyono Sastronaryatmo
Alih Bahasa : Sudibjo Z. Hadisutjipto
1.7.4.2 Sumber Data Sekunder
Sumber data sekunder dalam penelitian ini meliputi karangan ilmiah
akademis baik dalam bentuk buku maupun daring (dalam jaringan). Sumber
data tersebut sangat berkaitan dan mendukung penelitian topik sastra ini.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
23
1.8 Sistematika Penyajian
Penelitian ini akan dibagi ke dalam empat (IV) bab. Pada Bab I berisi
pendahuluan yang terdiri atas, latar belakang, rumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode
penelitian, dan sistematika penyajian. Pada Bab II akan dibahas struktur cerita
secara pendekatan struktural yaitu unsur intrinsik yang terdiri dari tokoh,
penokohan, dan latar (tempat, waktu, dan sosial) dalam serat Rangsang
Tuban. Selanjutnya pada Bab III akan dianalisis mengenai dominasi,
hegemoni, dan kekuasaan yang terdapat dalam serat Rangsang Tuban.
Terakhir adalah Bab IV berupa penutup yang berisi kesimpulan dan saran dari
penulis.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
24
BAB II
ANALISIS STRUKTUR CERITA DALAM SERAT RANGSANG TUBAN
KARYA KI PADMASUSASTRA
2.1 Pengantar
Analisis Sturktural yang akan dipaparkan dalam serat Rangsang Tuban
ini akan berfokus pada tokoh dan penokohan; serta latar yang terdiri dari latar
tempat, latar waktu dan latar sosial. Hasil dari analisis unsur intrinsik tokoh,
penokohan, dan latar ini akan memudahkan peneliti merumuskan ke dalam
rumusan masalah selanjutnya, yaitu tentang dominasi dan hegemoni
prespektif Antonio Garamsci, serta teori kekuasaan menurut Johan Galtung.
2.2 Tokoh dan Penokohan
Tokoh adalah pelaku cerita. Tokoh adalah individu rekaan yang
mengalami sebuah peristiwa atau perlakuan di dalam berbagai peristiwa
cerita. Penokohan adalah hal-hal yang berkaitan dengan tokoh. Meliputi
permasalahan karakterisasi penggambaran tokoh cerita, dan metode pelukisan
tokoh.
Tokoh-tokoh dalam serat Rangsang Tuban antara lain, Prabu Sindupati,
Prabu Warihkusuma, Prabu Warsakusuma, Kyai Umbul Mudal, Endang
Wresti, Raden Udakawimba, Ki Patih Toyamarta, Ki Tumenggung
Jalasengara, Prabu Hertambang, Dewi Wayi, Kyai Buyut Wulusan atau Kyai
Ageng Wulusan, Nyai Buyut Wulusan, Kyai Penghulu, Arya Toyatuli, Raden
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
25
Lodaka dan Rara Sendang. Nama-nama tokoh dalam serat Rangsang Tuban
banyak menggunakan nama-nama orang Jawa pada masa Mataram.
2.2.1 Tokoh Utama
Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritanya dalam novel
yang bersangkutan sesuai dengan jalannya cerita. Tokoh utama selalu hadir
sebagai pelaku, atau yang dikenai kejadian dan konflik penting yang
mempengaruhi perkembangan plot. Terdapat tiga tokoh utama dalam serat
Rangsang Tuban yaitu Prabu Warsakusuma, Prabu Warihkusuma dan Raden
Udakawimba. Ketiga tokoh tersebut dikategorikan menjadi tokoh utama
karena intensitas kemunculan mereka cukup banyak dibanding dengan tokoh-
tokoh yang lain.
2.2.1.1 Prabu Warsakusuma
Prabu Warsakusuma merupakan anak kedua dari Prabu Sindupati
dengan seorang permaisuri, putri seorang raja. Prabu Warsakusuma berperan
sebagai tokoh utama yang digambarkan sebagai tokoh yang memicu
timbulnya konflik awal dalam cerita. Awalnya Prabu Warsakusuma sangat
sayang dan manja terhadap kakaknya Prabu Warihkusuma, menganggap
seolah-olah seperti ayahnya sendiri. Namun setelah Prabu Warsakusuma
bertemu dengan calon istri dari kakaknya, dia merasa jatuh hati kepada
Endang Wresti dan merasa iri terhadap kakanya. Seketika itu juga sikapnya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
26
menjadi berubah dan sangat kejam terhadap Prabu Warihkusuma. Hal
tersebut terdapat dalam kutipan (3) dan (4).
(3) Sang Prabu seketika itu hatinya berubah menjadi benci terhadap
kakaknya. Ia merasa kalah tampan, dan merasa bahwa sang putri sama
sekali tidak mengimbangi perhatiannya. Bahkan melihatnya pun tidak
(Padmasusastra, 1985: 11).
(4) Matanya melotot, wajahnya merah membara memperhatikan
kebengisannya, seolah-olah akan menyala (Padmasusastra, 1985: 13).
Sikap egois dan jahatnya semakin terlihat ketika Raden Warsakusuma
melakukan segala cara untuk mendapatkan Endang Wresti, termasuk
menangkap kakaknya dan mengadakan pemberontakan. Bukan hanya itu,
Prabu Warsakusuma juga berniat untuk membunuh Parabu Warihkusuma
agar dia dapat memiliki Edang Wresti seutuhnya. Hal tersebut terdapat dalam
kutipan (5) dan (6).
(5) Sri baginda sangat murka, lalu memanggil senapati perang Ki
Tumenggung Jalasengara, diutus segera kembali ke Mudal membawa
bala tentaranya untuk menangkap Pangeran Warihkusuma, Kyai Umul
sekeluarga, dan membakar seluruh perumahan mereka. Dakwaannya
ialah: Sang Pangeran hendak mengadakan pemberontakan
(Padmasusastra, 1985: 12).
(6) “Uwa Patih. Pergilah engkau ke penjara, lalu bunuhlah kakanda
Warihkusuma. Karena saya sudah mendengar dengan jelas dari abdi
kekasih saya bahwa kakanda ingkar janji. Sikapnya berubah, dan berniat
melakukan pemberontakan melawan kekuasaanku. Pergilah segera!”
(Padmasusastra, 1985: 14).
Prabu Warsakusuma tidak dapat menahan asmaranya terhadap Endang
Wresti, niatnya ingin menghibur kesedihan Endang Wresti namun dia selalu
ditolak dengan kata-kata pedas. Keinginan Prabu Warasakusuma untuk
memiliki Endang Wresti sangat besar dia pun melakukan segala hal sampai
berbuat hal yang tidak sopan yaitu memperkosa Endang Wresti dan tanpa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
27
sengaja Prabu Warsakusuma terbunuh dengan cara tertusuk dengan patram,
karena memang pada saat itu Endang Wresti sedang menggenggam patram.
Hal tersebut terdapat dalam kutipan (7) dan (8).
(7) “Kamu memang raja durhaka dan terkutuk di dunia. Kamu tidak tahu
malu, berwatak nista, sampai hati membunuh saudara karena hendak
merebut tunangannya. Kamu hanya akan menyentuh tubuhku jika aku
sudah menjadi bangkai. Nah, cobalah jika engkau bener-benar seorang
perwira. Terimalah patramku, sesudah itu podonglah aku.”
(Padmasusastra, 1985: 17).
(8) Sang dewi diperkosa dan tidak kuat melawan. Maklumlah tenaga
perempuan menghadapi laki-laki perkasa. Sang dewi semakin sedih dan
pilu karena pemerkosaan itu, ia terpaksa diam saja ambil memandang sri
baginda. Melihat dirinya selalu dipandang oleh sang dewi, sri baginda
mersa mendapat hati, dan lupa bahwa sang dewi masih menggenggam
patram di tangannya. Ketika sang dewi dipeluk dan dibantai dengan
tangan, ditikamnya sang baginda tepat di ulu hatinya, tembuh sampai ke
punggung, langsung meninggal tanpa mengeluh (Padmasusastra, 1985:
17).
2.2.1.2 Prabu Warihkusuma
Prabu Warihkusuma merupakan anak pertama dari Prabu Sindupati
dengan istri biasa. Prabu Warihkusuma merupakan salah satu tokoh utama
dalam novel Rangsag Tuban. Prabu Warihkusuma merupakan tokoh yang
sering muncul dalam penceritaan, dialah tokoh yang menjalankan alur dalam
cerita. Prabu Warihkusuma adalah seorang laki-laki yang tampan, tenang dan
berwibawa. Prabu Warihkusuma belum beristri, namun sejak kecil sudah
bertunangan dengan saudara sepupunya yang bernama Endang Wresti. Hal
tersebut terdapat dalam kutipan (9).
(9) Keduanya adalah saudara sepupu, dan memang sudah saling menyatakan
kesetiaannya. Sang pangeran tidak akan beristri untuk selama-lamanya
jika tidak dengan Rara Wresti. Demikian pula sebaliknya
(Padmasusastra, 1985: 10).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
28
Prabu Warihkusuma tidak jadi menikah dengan Endang Wresti karena
Prabu Warsakusuma yang iri dengan dirinya. Prabu Warsakusuma akhirnya
membatalkan pernikahan kakaknya itu dengan cara melakukan pemberontakn
saat menjelang upacara temu pengantin. Melihat hal itu Prabu Warihkusuma
juga tidak melawan, dia merasa malu bermusuhan dengan saudaranya sendiri
hanya karena berebut istri. Hal tersebut sudah dipaparkan dalam latar
belakang pada kutipan (2) .
Prabu Warihkusuma dimasukkan ke dalam penjara dan dituduh akan
melakukan suatu pemeberontakan terhadap kekuasaan adiknya dan dia pun
hendak dibunuh oleh Ki Patih suruhan Prabu Warsakusuma. Pemikiran Prabu
Warihkusuma yang tenang, diapun pasrah dengan apa yang akan dihadapinya.
Hal tersebut terdapat dalam kutipan (10) dan (11).
(10) Hati Sang Pangeran terasa pilu karena hendak dibunuh dengan tuduhan
melakukan pemberontakan. Dengan suara tersedat-sendat ia bertanya,
“Uwa. Apakah Anda berserta para menteri sudah mempertimbangkan
masak-masak mengenai tuduhan terhadap saya, yang dituduh
memberntak? Lagi pula apakah hasil musyawarah itu memutuskan
hukuman bagi saya?” (Padmasusastra, 1985: 15).
(11) “Kata-kata atau pertanyaan Sang Pangeran itu tidak ada manfaatnya.
Segala sesuatu yang sudah saya lakukan, lebih-lebih yang saya lakukan
secara pribadi, sudah pasti menggunakan pikiran yang tenang. Tidak
membabi buta. Tidak ngawur.” (Padmasusastra, 1985: 15).
Kembalinya Prabu Warihkusuma ke Negeri Tuban menyisakan dendam
terhadap adiknya dan dendam tersebut berimbas terhadap keturunan dari
Raden Warsakusuma, yaitu Raden Udakawimba. Dendam masalalu Prabu
Warihkusuma terhadap adiknya membuat dirinya menjadi tidak peduli
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
29
dengan Raden Udakawimba. Hal tersebut terdapat dalam kutipan (12), (13),
(14), dan (15).
(12) Akan tetapi di dalam hati ia sangat tidak senang terhadap anak tirinya,
Raden Udakawimba. Putra Tirinya itu dianggap sebagai tunggal pohon
kemanduh. Walaupun demikian perasaannya itu dipendamnya sehingga
kemasgulannya tidak tampak (Padmasusastra, 1985: 40).
(13) Adapun keinginan raja ialah hendak melenyapkan Raden Udakawimba
(Padmasusastra, 1985: 41).
(14) Nyatanya ia sangat dibenci oleh ayahandanya, dan sering kali dikata-
katai dengan ucapan-ucapan yang menyakiti hati, yakni diumpat sbagai
keturunan raja angkara (Padmasusastra, 1985: 41).
(15) Prabu tidak menunjukkan perhatianya. Malah menyatakan agar para
utusan menutup mulut. Jangan lagi membicarakan hilangnya rajaputra
(Padmasusastra, 1985: 42).
Prabu Warihkusuma menjadi pengecut, dia melarikan diri dari Negeri
Tuban karena penyerangan yang dikakukan oleh Raden Udakawimba
terhadap Negeri Tuban. Hal tersebut terdapat dalam kutipan (16).
(16) Kini diceritakan kembali Prabu Warihkusuma, yang melarikan diri dari
medan perang. Ia mengira negerinya sudah diduduki musuh. Apakah
musuhnya itu Raden Udakawimba atau orang lain belumlah pasti. Akan
tetapi ia sudah pasrah , dan sudah mengambil keputusan yang bulat
hendak menjadi seorang biku, lalu meneruskan perjalanannya dengan
menyimpang (Padmasusastra, 1985: 70)
2.2.1.3 Raden Udakawimba
Raden Udakawimba merupakan salah satu tokoh utama dalam novel
Rangsang Tuban. Raden Udakawimba adalah anak dari Dewi Endang Wresti
dengan Prabu Warsakusuma. Perbuatan Prabu Warsakusuma terhadap Dewi
Endang Wresti membuat sang dewi mengandung dan melahirkan bayi laki-
laki. Jika pencarian Pangeran Warihkusuma tidak berhasil, maka Raden
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
30
Udakawimba yang akan menggantikan tahta ayahandanya, Parabu
Warsakusuma. Hal tersebut terdapat dalam kutipan (17) dan (18).
(17) Dalam pada itu ternyata sang dewi mengandung. Setelah tiba waktunya
ia melahirkan seorang bayi laki-laki. Bayi itu diberi nama oleh Ki Patih:
Raden Udakawimba. Anak itu cepat menjadi besar. Hal itu membuat hati
Ki Patih Toyamarta merasa tenang, mengingat sang dewi telah
melahirkan anak laki-laki (Padmasusastra, 1985: 19).
(18) Pikir Ki Patih, jika sekiranya yang mencari Pangeran Warihkusuma tidak
berhasil menemukannya, kelak Raden Udakawimbalah yang diangkat
menggantikan ayahandanya, Prabu Warsakusuma, jika telah dewasa.”
(Padmasusastra, 1985: 19).
Raden Udakawimba memang kurang dekat dengan ibundanya. Sejak
kecil ia diasuh oleh Ki Patih Toyamarta. Kembalinya Prabu Warihkusuma ke
Negeri Tuban membuat Raden Udakawimba kebingungan, ia dibenci dan
sering dikata-katai dengan ucapan yang menyakti hati, hal tersebut sudah
dipaparkan dalam kutipan (13).
Raden Udakawimba merupakan anak yang memiliki wajah yang
menarik, cerdas, mahir dalam hal membangun, dan gagasannya sangat luas.
Hal tersebut terdapat dalam kutipan (19), (20), (21), dan (22).
(19) “Kyai Penghulu senang melihat rupa Raden Udakawimba. Bagus,
walaupun masih anak-anak namun menarik hati.” (Padmasusastra, 1985:
43).
(20) “Raden Udakawimba memang mahir dalam hal bangun-bangunan.
Dalam hati ia berkata, seandainya ada biaya dan tenanganya ia akan
sanggup membuat sebuah benteng yang sentosa dan sulit dipecahkan
musuh. (Padmasusastra, 1985: 44).
(21) “Selagi masih kanak-kanan saja Raden Udakawimba sudh mempunyai
gagasan seperti itu.” (Padmasusastra, 1985: 44).
(22) “Raden Udakawimba duduk bersila dengan sopan. Kyai Ageng
Wulusan merasa senang melihat rupa Raden Udakawimba. Bagus,
menarik, raut wajahnya pun manis, beasusila, tajam pandangan
matanya.” (Padmasusastra, 1985: 44).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
31
Meskipun sudah menikah dengan Rara Sendang dan hidup sejahtera di
desa Sumbereja, Raden Udakawimba belum merasa puas jika belum
membalas perbuatan dari pamannya Prabu Warihkusuma. Hal tersebut
terdapat dalam kutipan (23).
(23) “Raden Udakawimba sudah hidup dengan sejahtera. Akan tetapi hatinya
belum merasa puas jika ia belum dapat membalas dendam kepada
uaknya. Lama sudah Raden Udakawimba mempersiapkan diri menyusun
kekuatan bala tentara.” (Padmasusastra, 1985: 67).
2.2.2 Tokoh Tambahan
Tokoh tambahan adalah tokoh yang memegang peran sebagai
pelengkap atau sebagai tambahan dalam seluruh jalan cerita novel. Tokoh
tambahan muncul menurut kebutuhan cerita dalam novel. Pemunculan tokoh
tambahan dalam keseluruhan cerita terbilang lebih sedikit, tidak terlalu
dipentingkan, dan kehadirannya hanya jika ada keterkaitannya dengan tokoh
utama, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Tokoh tambahan dalam serat Rangsang Tuban ini terbilang cukup
banyak. Sebagian besar tokoh tambahan dalam serat ini sangat berpengaruh
dengan tokoh utamanya. Tokoh tambahan dalam serat ini yaitu Prabu
Sindupati, Kyai Umbul Mudal, Endang Wresti, Ki Patih Toyamarta, Ki
Tumenggung Jalasengara, Prabu Hertambang, Dewi Wayi, Kyai Buyut
Wulusan atau Kyai Ageng Wulusan, Nyai Buyut Wulusan, Kyai Penghulu,
Arya Toyatuli, Raden Lodaka dan Rara Sendang. Berikut ini akan dipaparkan
analisis tokoh tambahan serat Rangsang Tuban.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
32
2.2.2.1 Prabu Sindupati
Prabu Sindupati merupakan seorang maharaja di Negeri Tuban. Prabu
Sindupati adalah orang yang keperwiraan, keberanian dan keahliannya
menerapkan siasat dalam perang, membuat para raja yang belum dikuasi oleh
Negeri Tuban merasa takut. Prabu Sindupati beristrikan sembilan puluh
sembilan orang, namun hanya mempunyai dua orang putra yang bernama
Raden Warihkusuma dan Raden Warsakusuma. Sri Baginda bertahta selama
lima puluh tahun, dan mencapai usia 75 tahun, sampai pada suatu ketika
seluruh tubuhnya merasa sakit. Sri baginda telah merasa akan akhir hayatnya,
dan akhirnya meninggal dunia.
2.2.2.2 Kyai Umbul Mudal
Kyai Umbul Mudal adalah ayah dari Endang Wresti. Meraka tinggal di
Gunung Mudal. Kyai Umubul Mudal sangat hormat kepada Raden
Warihkusuma dan Ki Patih Toyamarta. Hal tersebut terdapat dalam kutipan
(24).
(24) Kyai Umbul Mudal berdatang sembah, “Gusti. Hamba merasa beruntung
karena hadirnya raja keturunan dewa, hendak member karunia kepada
hamba. Hamba memberanikan diri menyampaikan selamat datang
kepada paduka serta kakanda paduka Sang Pangeran. Hamba
menghaturkan sembah ke bawah duli paduka.” (Padmasusastra, 1985:
10).
2.2.2.3 Endang Wresti
Endang Wresti adalah anak dari Kyai Umbul Mudal. Endang Wresti
merupakan tunangan dari Prabu Warihkusma, hal tersebut sudah dipaparkan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
33
dalam kutipan (9). Endang Wresti merupakan gadis yang sederhana dan
cantik rupanya, membuat Sang Pangeran terpaku melihatnya. Hal tersebut
terdapat dalam kutipan (25), (26), dan (27).
(25) Sang dewi tidak berani membantah kemauan kakaknya, akan tetapi tidak
mau mengenakan pakaian yang indah. Ia hanya mengenakan kain harian
biasa untuk mandi, yakni belacu berwarna kuning buatan Kustasawit.
Bajunya dipeniti sehingga kutangnya tidak kelihatan (Padmosusastra,
1985: 10-11).
(26) Dengan cara demikian hanya kecemerlangan lehernya saja yang tampak
berkilauan bagaikan sinar kilat. Buah dadanya yang tampak baru mulai
bertumbuh kelihatan nyata karena terhimpit bajunya. Sinar matanya
bagaikan bintang kesiangan. Ditambah lagi karena rambut sinomnya
yang tidak teratur maka tampaklah ia seperti baru saja bangun tidur.” (Ki
Padmasusastra, 1985: 11).
(27) Gerak langkahnya seperti pohon pinang tertiup angin. Telapak kakinya
bersinar seperti meteor beralih. Melihat kecantikan sang dewi hati sang
raja berdebaran. Keringatnya bercucuran, nafasnya memburu, hingga
sulit ketika hendak berkata-kata karena mendadak terpaku melihat sang
putri (Padmasusastra, 1985: 11).
Endang Wresti yang tidak jadi menikah dengan Prabu Warihkuma dan
dibawa ke istana secara paksa oleh Prabu Warsakusuma, membuat hati
Endang Wresti menjadi sangat tidak tertarik terhadap Prabu Warsakusuma.
Hal tersebut terdapat dalam kutipan (28).
(28) Tekad Endang Wresti, “Jika sri baginda mendekat, pasti akan kuserang
dengan patram.” Demikian tekad sang dewi yang diceritakan oleh
seorang abdi perempuan (Padmasusastra, 1985: 16).
Tidak hanya mengancam, namun Endang Wresti selalu menjawab
dengan kata-kata pedas dan tidak menggunakan bahasa yang sopan terhadap
Prabu Warsakusuma. Sikap Prabu Warsakusuama yang bringas membuat dia
terbunuh secara tidak sengaja oleh Endang Wresti, kedua hal tersebut sudah
dipaparkan dalam kutipan (7) dan (8).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
34
2.2.2.4 Ki Patih Toyamarta
Ki Patih Toyamarta adalah patih Prabu Sindupati, kemudian menjadi
Patih Prabu Warsakusuma. Ketika kekuasaan Prabu Warsakusuma menguasai
Negeri Tuban dan hendak membunuh Prabu Warihkusuma, Ki Patih
Toyamartalah yang menjadi penengah dan menyelamatkan nyawa dari Prabu
Warihkusuma, meski awalnya ia harus mengiyakan keinginan Prabu
Warsakusuma untuk membunuh kakaknya sendiri. Hal tersebut terdapat
dalam kutipan (29) dan (30).
(29) Ki Patih merasa kurang senang. Ia mengiyakan perintah raja sambil
berpikir: apa seyogyanya yang harus ia lakukan, lalu bersembah, “Gusti.
Rasanya lebih baik jika kakanda paduka dibunuh di dalam hutan saja
agar tidak diketahui oleh rakyat banyak. Kebaikkanya ialah, paduka tidak
akan dimasyurkan sebagai raja yang sampai hati membunuh saudaranya
sendiri. sayalah yang akan melaksanakan perintah paduka.”
(Padmasusastra, 1985: 14).
(30) Dengan suara tersendat Ki Patih menjawab, “Anaknda. Tenang kehendak
sri baginda yang tidak benar itu sudah kami bicarakan dengan teman-
teman saya delapan orang menteri, dan sudah dicapai kesempatan yang
bulat, Anaknda tidak akan kami bunuh. Namun pergilah Anaknda dari
wilayah Negeri Tuban. Tunggulah kehendak dewa atas Anaknda. Tadi
saya menangis pilu karena terpaksa harus berpisah.” (Padmasusastra,
1985: 16).
Ki Patih Toyamarta adalah orang yang mengasuh Raden Udakawimba
waktu kecil. Hal tersebut terdapat dalam kutipan (31).
(31) “Barang tentu Ki Patih tidak pangling, karena Raden Udakawimba itu dia
asuh sejak kecil.” (Padmasusastra, 1985: 69).
2.2.2.5 Ki Tumenggung Jalasengara
Ki Tumenggung Jalasengara adalah senapati perang dari Negeri Tuban.
Dia sangat tunduk pada tuannya Prabu Warsakusuma meski perintah yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
35
diberikan terkadang tidak benar. Hal tersebut terdapat dalam kutipan (32)
dan (33).
(32) Walaupun perintah itu tidak benar, akan tetapi Ki Tumenggung tidak
berpikir lain kecuali hendak melaksanakan perintah rajanya, menepati
kedudukannya sebagai seorang senapati. Walaupun dilempar ke gunung
batu sekalipun ia pasti tidak akan ingkar. Melawan musuh yang sakti
selalu menjadi dambaannya (Padmasusastra, 1985: 12).
(33) Begitulah beratnya menerima tugas dari raja, ditambah pula telah
menjadi tugas kewajiban seorang senapati, maka tidak ada pilihan lain
bagi Ki Tumenggung Jalasengara kecuali harus mengamuk sekuat tenaga
walaupun harus mengorbankan nyawanya (Padmasusastra, 1985: 12).
2.2.2.6 Prabu Hertambang
Parabu Hertambang merupakan penguasa di Negeri Banyubiru, gagah
berani di medan perang. Prabu Hertambang merupakan ayah dari seorang
putri yang bernama Retna Wayi. Hal tersebut terdapat dalam kutipan (34) dan
(35).
(34) Di negeri itu yang bertahta sebagai raja bergelar Prabu Hertambang.
Masyur gagah berani di medan perang, banyak raja bawahannya yang
takluk kepada Negeri Banyu biru (Padmasusastra, 1985: 19).
(35) Tersebutlah Sang Prabu Hertambang itu hanya mempunyai putra seorang
bernama Retna Wayi, yang didambakan menjadi putri mahkota
(Padmasusastra, 1985: 23).
2.2.2.7 Dewi Wayi
Dewi Wayi atau Retna Wayi adalah anak dari Prabu Hertambang,
dialah yang didambakan menjadi putri mahkota kerajaan Banyubiru. Dewi
Wayi pintar dalam ketatanegaraan, karena Prabu Hertambang memang
menyiapkan Dewi Wayi untuk kelak menggantikan dirinya memimpin Negeri
Banyubiru. Hal tersebut terdapat dalam kutipan (36).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
36
(36) Ia dijejali pelajaran tentang ilmu tatanegara, undang-undang negara, serta
kepandaian berperang sehingga sempurna dalam mentrampilkan siasat
yang rumit. Sebab kehendak Sang Prabu walaupun ia wanita namun
diharapkan dapat menggantikan tahta kerajaan (Padmasusastra, 1985:23).
Selain pandai dalam ketatanegaraan dan berperang ia juga ditakdirkan
menjadi wanita yang sempurna, tidak hanya itu Dewi Wayi juga pandai
dalam bermain catur. Hal tersebut terdapat dalam kutipan (37), (38), dan (39).
(37) Pada waktu itu sang putri mengenakan kain harian. Yakni kain batik
corak Angreni yang sudah agak kusam. Kembennnya kain pelangi buatan
India Muka, tidak berbaju, mengenakan rimong berenda berwarna biru
langit. Tubuhnya seperti ikan terjerat jala, putih bak bunga melati. Bagian
buah dadanya yang membeludag seperti hendak menjebolkan baju
kutang yang merupakan bendungannya (Padmasusastra, 1985: 24).
(38) Hati Sang Pangeran selalu berdebar-debar melihat rupa sang dewi. Ia
banyak miripnya dengan Dewi Wayi, bahkan lebih padat dan mempesona
(Padmasusastra, 1985: 25).
(39) Sang Putri diminta bermain catur melawan Sang Pangeran, sedangkan
Sang Prabu menjagoi. Sang Prabu dan Sang Pangeran seringkali berbeda
pendapat dalam menjalankan anak catur. Sang putri selalu tertawa,
seolah-olah menenrtawakan oran lain. Padahal dalam menjalankan anak
catur sang putri berlaku cepat sekali, seolah-olah tidak dipikirkan dulu.
sungguh menkjubkan. Sampai tiga kali bermain Sang Pangeran selalu
kalah (Padmasusastra, 1985: 29).
2.2.2.8 Arya Toyatuli
Arya Toyatuli merupakan anak tertua dari Ki Patih Toyamarta yang
sebenarnya kurang pandai sehingga ia hanya diangkat menjadi bupati daerah
perbatasan. Namun, karena kedatangan Prabu Warihkusuma akhirnya dia
dangkat menjadi patih dengan maksud agar tidak membantah kehendak sang
raja. Hal tersebut terdapat dalam kutipan (40).
(40) Adapun maksud raja mengangkat Arya Toyatuli menjad patih ialah agar
tidak membantah kehendak raja. Sebab utamanya ialah karena raja masih
menyimpan rahasia, dan berharap jangan sampai keinginannya diketahui
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
37
atau gagal karena dihalang-halangi oleh patihya (Padmasusastra, 1985:
41).
2.2.2.9 Kyai Buyut Wulusan
Kyai Buyut Wulusan atau Kyai Ageng Wulusan tinggal di Desa
Sumbereja, bekerja sebagai pejala ikan di sungai. Kyai Buyut Wulusan yang
menemukan bayi Prabu Warihkusuma dengan Dewi Wayi di sungai, dia
menamakan bayi itu dengan nama Rara Sendang karena bayi tersebut
ditemukan di air.
Kyai Ageng Wulusan meninggalkan Agama Budha dan memeluk
Agama Islam. Kyai Ageng Wulusan sangat rajin dan memperdalam ilmunya
sambil mengajar siswa pilihan. Hal tersebut terdapat dalam kutipan (41) dan
(42).
(41) Karena tertariknya pada ilmu yang baru, Kyai Ageng Wulusan
meninggalkan agama Budha, termasuk keluarga dan semua teman-
temannya telah memeluk agama Ismlam. Mereka mendirikan salat Jumat
dan membangun mesjid besar (Padmasusastra, 1985: 42).
(42) Siang-malam Kyai Ageng tinggal di situ memperdalam ilmunya sambil
mengajar para iswa pilihan. Pelajaran bersama diadakan di serambi.
Gurunya ialah Kya Penghulu dan para khatib. Siang-malam tidak pernah
berhenti baca Kuran (Padmasusastra, 1985: 43)
2.2.2.10 Nyai Buyut Wulusan
Nyai Buyut Wulusan adalah istri dari Kyai Buyut Wulusan. Sudah tiga
kali melahirkan namun anaknya selalu saja mati. Nyai Buyut Wulusan sangat
sayang terhadap Rara Sendang dan menganggapnya seperti anaknya sendiri.
Hal tersebut terdapat dalam kutipan (43).
(43) Rara Sendang dipelihara dan disusui oleh Nyai Buyut Wulusandi desa
Sumbereja (Padmasusastra, 1985: 33).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
38
2.2.2.11 Kyai Penghulu
Kyai Penghulu merupakan guru dari Kyai Ageng Wulusan. Kyai
Penghulu yang pertama bertemu dengan Raden Udakawimba di mesjid,
meminta Raden Udakawimba untuk tinggal di rumahnya dan menggembala
kerbau. Hal tersebut terdapat dalam kutipan (44).
(44) Demikian Raden Udakawimba tinggal di rumah Kyai Penghulu. Setiap
waktu para penggembala melepas ternaknya, ia pun turut menggembala
kerbau sambil membuat wayang dari rumput jaruman (Padmasusastra,
1985: 43-44).
2.2.2.12 Raden Lodaka
Raden Lodakan merupakan salah satu putra dari Ki Patih Toyamarta
yang menjadi senapati perang dan sudah diangkat menjadi menteri negara. Dia
juga menjadi patih Raden Warihkusuma ketika bertahta di Negeri Tuban.
2.2.2.13 Rara Sendang
Rara Sendang adalah anak dari Prabu Warihkusuma dengan Dewi
Wayi. Namun dirinya kurang beruntung, ibunya (Dewi Wayi) meninggal saat
melahirkan dia dan akhirnya dia dilabuh ke sungai oleh suruhan Prabu
Hertambang (kakeknya). Setelah dirinya dilabuh ternyata Dewi Wayi
mendapat karunia dari dewa dan hidup kembali, namun sayang Rara Sendang
sudah ditemu oleh Kyai Buyut Wulusan dan dijadikan anak dan tidak pernah
menyusahkan Kyai Buyut Wulusan dan Nyai Buyut Wulusan. Hal tersebut
terdapat dalam kutipan (45) dan (46).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
39
(45) “Anak itu cepat besar, dan tidak pernah sakit. Pertumbuhannya seperti
dimandikan dengan air gege, sehingga pertumbuhan Rara Sendang
sungguh luar biasa.” (Padmasusastra, 1985: 33)
(46) Sang dara sudah mulai berkembang birahinya, dan sdah mulai mencoba-
coba mengenakan kain kemben. Sebab jika hanya mengenakan mekak
atau baju pendek, buah dadanya sudah membeludag. Akan tetapi yang
dikenakannya masih sabuk wala, yakni kain kemben panjang yang hanya
selapis karena kalau mengenakan kain kemben panjang masik kikuk
sehingga sering kali lepas (Padmasusastra, 1985: 64).
2.3 Latar
Latar atau setting yang disebut juga sebagai landas tumpu menyaran
pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat
terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan (Abrams, 1981: 175) dalam
Nurgiyantoro, 1995: 216. Unsur latar dapat dibedakan menjadi tiga bagian
pokok yaitu latar tempat, latar waktu dan latar sosial.
2.3.1 Latar Tempat
Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang
diceritakan dalam sebuah karya fiksi (Nurgiyantoro, 1995: 227). Latar
tempat yang akan dianalisis dalam serat Rangsang Tuban antara lain, Negeri
Tuban, Gunung Mudal, Banyubiru, Desa Sumbereja, Tirtakandas dan Gunung
Rancakharni.
2.3.1.1 Negeri Tuban
Negeri Tuban merupakan latar tempat awal penceritaan serat ini. Negeri
Tuban merupakan daerah kekuasaan seorang maharaja bergelar Prabu
Sindupati. Istri Prabu Sindupati yang berjumlah sembilan puluh sembilan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
40
orang, namun sri baginda hanya memiliki dua orang anak putra saja dari
permaisuri dan dari istri biasa. Kedua putranya yakni Raden Warihkusma dan
Raden Warsakusuma. Mereka hidup dengan rukun, yang tua sangat
mengemong, menghormati dan mencintai adiknya, menyadari akan tugas dan
kedudukannya sebagai seorang pangeran agung. Sang adik sangat sayang dan
merasa terlindungi oleh kakaknya.
Setelah Prabu Sindupati meninggal dunia, barulah malapetaka itu
dimulai. Negeri Tuban yang kini dikuasai Raden Warsakusuma menjadi
tidak nyaman lagi. Hanya karena Raden Warsakusuma iri terhadap kakaknya
yang akan menikah dengan Endang Wresti, ia pun merencanakan
pembantaian dan ingin membunuh kakaknya sendiri. Perbuatan Raden
Warsakusuma yang tidak sopan terhadap Endang Wresti membuat dia
mendapat akibatnya. Raden Warsakusuma tidak sengaja ditikam dengan
patram tepat pada ulu hatinya sampai tembus ke punggung dan langsung
meninggal dunia.
Hasil perbuatan Raden Warsakusuma terhadap Endang Wresti
menghasilkan buah daging, anak itu diberi nama Raden Udakawimba. Dialah
yang nantinya memberontak Negeri Tuban untuk membalas dendam terhadap
pamannya atau ayah tirinya yaitu Prabu Warihkusuma.
2.3.1.2 Gunung Mudal
Gunung Mudal merupakan tempat tinggal Kyai Umbul Mudal berseta
keluarganya. Tempat tersebut merupakan tempat Pangeran Warihkusuma
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
41
menjenguk Endang Wresti tunangannya. Hal tersebut terdapat dalam kutipan
(47).
(47) Setiap delapan hari sekali Sang Pangeran pergi ke Mudal menjenguk
tunangannya (Padmasusastra, 1985: 10).
Gunung Mudal adalah tempat di mana PangeranWarihkusuma dan
Endang Wresti akan menikah, namun sebelum keduanya resmi menikah
pernikahan mereka dihancurkan oleh Prabu Warsakusuma. Bala tentara
perang Ki Tumenggung Jalasengara suruhan Prabu Warihkusuma menangkap
Pangeran Wrihkusuma beserta Kyai Umbul Mudal sekeluarga. Hanya sang
dewi yang dibawa ke istana. Perumahan mereka dibakar dan pembantaian
dimana-mana.
2.3.1.3 Banyubiru
Negeri Banyubiru terletak di sebelah barat daya Negeri Tuban. Hal
tersebut terdapat dalam kutipan (48).
(48) Dalam pada itu Sang Pangeran Warihkusuma berjalan ke arah barat
daya, seolah-olah dilempar oleh dewata sampai ke Negeri Banyubiru
(Padmasusastra, 1985: 19).
Di Negeri Banyubiru bertahta seorang raja yang bergelar Prabu
Hertambang. Negeri Banyubiru adalah tempat yang jauh di bawah Negeri
Tuban. Di Negeri Banyubiru adalah tempat orang-orang bodoh, berbeda
dengan Negeri Tuban yang banyak sarjana yang karanganya banyak ditiru
oleh raja-raja.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
42
Negeri Banyubiru merupakan tempat pelarian Pangeran Warihkusuma
dari Negeri Tuban. Di tempat inilah dia mengabdi kepada Prabu Hertambang
dan akhirnya menikah dengan Rara Wayi anak dari Prabu Hertambang.
Setahun menikah akhirnya Pangeran Warihkusuma beserta Rara Wayi
dikarunia seorang anak perempuan. Namun nasib berkata lain, anak itu
selamat dan nyawa Rara Wayi tidak tertolong. Hal itu membuat Pangeran
Warihkumua harus diusir dari Negeri Tuban, karena Prabu Hertambang
mengira bahwa Pangeran Warihkusumalah yang menjadi penyebab
meninggalnya Rara Wayi.
Negeri Banyubiru juga menjadi saksi dipertemukannya Rara Wayi
dengan Rara Sendang. Diceritakan bahwa Rara Wayi hidup kembali setelah
anaknya dilarung di sungai. Bertahun-tahun mereka tidak bertemu dan setelah
Rara Wayi menangkap Raden Udakawimba terbongkarlah rahasia bahwa
Rara Sendang merupakan anaknya yang dilarung dulu. Akhirnya dosa Raden
Udakawimba diampuni dan ia tetap diakui sebagai menantu Rara Wayi.
2.3.1.4 Desa Sumbereja
Desa Sumbereja merupakan daerah tempat tinggal dari Kyai Buyut
Wulusan beserta istrinya Nyai Buyut Wulusan. Di Desa Sumbereja mereka
menemukan dan merawat Rara Sendang. Di Desa Sumbereja inilah Kyai
Buyut Wulusan atau Kyai Ageng Wulusan mendirikan salat Jumat dan
membangun masjid besar.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
43
Di Desa Sumbereja merupakan tempat Raden Udakawimba melarikan
diri dari Negeri Tuban. Dengan menyusuri aliran sungai, akhirnya raden
Udakawimba sampai di Desa Sumbereja. Di Desa Sumbereja Raden
Udakwaimba tinggal bersama Kyai Penghulu, selain ikut belajar mengaji
Raden Udakawimba juga mengembala kerbau. Di Desa Sumbereja ini juga
Raden Udakawimba bertemu dengan tambatan hatinya, yakni Rara Sendang.
2.3.1.5 Tirtakandas
Tirakandas merupakan sebuah istana yang sudah lama kosong namun di
dalamnya masih terdapat harta yang tersimpan. Awalnya Raden Udakawimba
merasa heran dengan pemandangan di dasar jurang. Dia pun menyelidiki ke
dasar goa, ternyata terdapat tangga batu hitam yang sudah tertutup rumput
merak. Raden Udakawimba semakin heran melihat ada tangga batu di jurang
itu. Sesampainya di bawah Raden Udakawimba dbuat menlongo melihat pasir
merah bercampur butiran-butiran emas serta permata aneka warna berkelip-
kelip.
Dia semakin heran, tidak mengira bahwa yang tampak merah itu adalah
pintu gerbang masuk istana. Raden Udakawimba memberanikan diri masuk
ke dalam istana tersebut dan ia heran karena tidak ada yang rusak, semuanya
masih utuh. Dibukalah khazanah istana, disitu adalah tempat seluruh harta
tersimpan (uang emas dan uang perak). Di tempat itulah mulai muncul
gagasan dalam hati Raden Udakawimba, salah satunya adalah mendirikan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
44
sebuah istana di puncak gunung dan disekeliling gunung dibangun benteng,
serta dasar jurang itu tetap menjadi khazanah utama.
2.3.1.6 Gunung Rancakarni
Gunung Rancakarni merupakan tempat pelarian Prabu Warihkusuma
setelah Negeri Tuban diserang oleh Raden Udakawimba. Di kaki Gunung
Rancakarni dekat pesanggrahan Prabu Hertambang yang sekaligus sebagai
tempat pemberhentian jenazah. Prabu Warihkusuma berniat menjadi biku, dia
berniat untuk menetap disebuah goa untuk bertapa dan tak henti-hentinya
memusatkan indranya dalam samadi. Di goa Gunung Rincakarni inilah Prabu
Warihkusuma dan Rara Wayi dipertemukan kembali.
2.3.2 Latar Waktu
Latar waktu berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya
peristiwa-peristiwa yang dceritakan dalam sebuah karya fiksi (Nurgiyantoro,
1995: 230).
2.3.2.1 Pada Tahun 1600-an
Memang tidak dijelaskan atau dituliskan secara pasti kapan latar waktu
yang digunakan dalam serat ini. Namun, jika keluar dari kapan ditulisnya
serat Rangsang Tuban ini, secara penceritaan serat ini menceritakan tentang
kerajaan di tanah Jawa pada masa Mataram sekitar tahun 1600-an, di mana
kerajaan pada masa tersebut masih sangat kuno, salah satunya menceritakan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
45
kejadian di Negeri Tuban. Sebuah cerita yang hanya menceritakan tentang
tahta, kekuasaan, dan perang.
2.3.3 Latar Sosial
Latar sosial menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku
kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya
fiksi (Nurgiyantoro, 1995: 233).
2.3.3.1 Masyarakat Jawa Mataram
Budaya dan kehidupan yang mendominasi dalam serat ini adalah
kehidupan masyarakat Jawa pada masa Mataram. Hal ini disebabkan karena
penyebutan nama setiap tokoh dalam novel yang menggunakan “Prabu”,
“Raden”, “Ki”, “Nyai”, dan “Rara”. Bukan hanya penamaan setiap tokoh,
namun dalam penggunaan pakaian untuk anak gadis yang digambarkan dalam
serat Rangsang Tuban ini masih kental dengan budaya Jawa yaitu
menggunakan kain batik, kemben, dan sabuk wala.
Rangkuman
Demikian analisis struktural dalam serat Rangsang Tuban karya Ki
Padmasusastra. Melalui analisis di atas dapat disimpulkan bahwa, dalam serat
tersebut terdapat tiga tokoh utama, yaitu Prabu Warsakusuma, Prabu
Warihkusuma dan Raden Udakawimba. Kehadiran mereka sangat penting
dalam jalannya cerita. Bukan hanya ada tokoh utama, namun dalam serat ini
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
46
juga terdapat 13 tokoh tambahan, yaitu Prabu Sindupati, Kyai Umbul Mudal,
Endang Wresti, Ki Patih Toyamarta, Ki Tumenggung Jalasengara, Prabu
Hertambang, Dewi Wayi, Kyai Buyut Wulusan atau Kyai Ageng Wulusan,
Nyai Buyut Wulusan, Kyai Penghulu, Arya Toyatuli, Raden Lodaka dan Rara
Sendang.
Dalam segi analisis latar dapat disimpulkan bahwa latar tempat dalam
serat ini, yaitu Negeri Tuban, Gunung Mudal, Banyubiru, Desa Sumbereja,
Tirtakandas dan Gunung Rancakharni. Latar waktu dalam serat ini adalah
pada tahun 1600-an, kerajaan Jawa Mataram, yaitu di Negeri Tuban. Latar
sosial dalam serat ini adalah masyarakat Jawa Mataram.
Pemaparan pada bab II ini sudah begitu jelas tentang kekuasaan yang
terjadi di dalam serat Rangsang Tuban karya Ki Padmasusastra. Tindakan
kekuasaan itu bermula dari sebuah hegemoni yang berlanjut pada dominasi
yang terjadi pada setiap tokoh utama dalam novel tersebut, dan untuk dapat
meneyelesaikan persoalan mereka diakhiri dengan hegemoni. Hal-hal tersebut
akan lebih jelas dipaparkan dalam bab selanjutnya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
47
BAB III
DOMINASI, HEGEMONI, DAN KEKUASAAN
DALAM SERAT RANGSANG TUBAN KARYA KI PADMASUSASTRA
3.1 Pengantar
Pada bab sebelumnya sudah dipaparkan oleh penulis tetang struktur
cerita yang mencakup tokoh dan penokohan; serta latar yang terdiri dari latar
tempat, latar waktu, dan latar sosial. Dalam bab ini penulis akan membahas
tentang dominasi dan hegemoni prespektif Antonio Gramsci, serta kekuasaan
menurut Johan Galtung dalam serat Rangsang Tuban karya Ki
Padmasusastra.
Jika dilihat lebih lanjut, serat ini lebih banyak mengandung dominasi
yang diawali dari hegemoni, di mana sudah terlihat dengan jelas bahwa
kedudukan tahta yang lebih tinggi akan lebih berkuasa dari pada kedudukan
yang lebih rendah. Ketiga tokoh utama memiliki kesempatan dalam
mendominasi tokoh utama yang lain dan tokoh tambahan yang ada dalam
novel. Adanya sebuah peluang untuk membalaskan dendam masalalu, namun
berakhir dengan sebuah kesepakatan, yaitu hegemoni yang diterima oleh
semua tokoh yang ada dalam novel tersebut.
3.2 Dominasi dan Hegemoni
Hegemoni didefinisikan sebagai dominasi oleh suatu kelompok
terhadap kelompok lainnya, dengan atau tanpa ancaman kekerasan, sehingga
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
48
ide-ide yang didiktekan oleh kelompok dominan terhadap kelompok yang
didominasi diterima sebagai sesuatu yang wajar
(www.google.co.id/amp/s/sosiologibudaya.wordpress.com/2011/04/13/hegem
oni/amp. Diunduh: 30.05/2018, 09:42). Dominasi adalah bagian dari
hegemoni. Sebuah kekuasaan dapat berjalan dengan baik jika dominasi
melengkapi hegemoni yang terdapat dalam kedua kelompok tersebut
(kedudukan yang lebih tinggi terhadap kedudukan yang lainnya atau yang
lebih rendah). Dominasi menurut KBBI edisi V (2016) megandung arti
sebagai penguasaan oleh pihak yang lebih kuat terhadap yang lebih lemah.
Menurut Gramsi (Faruk, 2012a: 144 dalam Sehadi, 2016: 189), kriteria
metodologis yang menjadi dasar studinya bertolak dari asumsi bahwa
supremasi suatu kelompok sosial ditunjukkan dalam dua cara, yakni (1)
sebagai dominasi, dan (2) sebagai kepemimpinan moral dan intelektual. Suatu
kelompok sosial mendominasi kelompok-kelompok antagonustik yang
cenderung ia hancurkan atau ia taklukkan dengan kekuatan tentara, atau
kelompok tersebut memimpin kelompok yang sama dan beraliansi
dengannya.
Suatu kelompok sosial dapat melaksanakan kepemimpinan sebelum
memenangkan kekuasaan pemerintah. Ia menjadi dominan apabila
menjalankan kekuasaan, tetapi apabila ia sudah memegang dominasi itu ia
harus meneruskan untuk memimpinnya. Kepemimpinan itulah yang oleh
Antonio Gramsci disebut sebagai hegemoni.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
49
3.2.1 Dominasi
Dominasi yang terdapat dalam serat Rangsang Tuban ini selalu
dilakukan oleh setiap penguasa yang lebih kuat. Kebanyakan dominasi yang
terjadi berujung pada pemberontakan untuk membalaskan dendam masa lalu.
Dominasi dimulai dari tokoh yang bernama Raden Warsakusuma terhadap
Raden Warihkusuma. Dominasi Raden Warihkusuma terhadap Raden
Udakawimba sebagai keturunan dari Raden Warsakusuma. Dominasi Raden
Udakawimba terhadap Raden Warihkusuma. Kemudian diakhir cerita
dominasi dari Dewi Wayi yang senantiasa membantu suaminya Raden
Warihkusuma untuk membalaskan perbuatan Raden Udakawimba. Mereka
adalah pemimpin yang mendominasi pihak yang lebih lemah, karena adanya
sebuah balasan dendam masa lalu yang masih terpendam dalam kehidupan
mereka.
Dominasi yang terlihat dalam serat Rangsang Tuban adalah kekuasaan
yang dimiliki oleh Raden Warsakusuma yang digunakan untuk merebut calon
istri dari Raden Warihkusuma, yaitu Endang Wresti. Hal tersebut pula yang
membuat Raden Warsakusuma mengikuti saran dari Kyai Patih untuk
menghabisi nyawa kakaknya, di mana sebenarnya Kyai Patih tidak benar-
benar menghabisi nyawa Raden Warihkusma, ia hanya ingin menyelamatkan
Raden Warihkusuma dari kekejaman Raden Warsakusuma.
Dalam hal tersebut Raden Warsakusuma menjadi orang yang
mendominasi Raden Warihkusuma, karena pada saat itu dia yang berkuasa di
Negeri Tuban menggantikan ayahnya Prabu Sidupati untuk menjadi Raja.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
50
Dengan kekuasaanya Raden Warsakusuma bebas untuk melakukan hal apa
saja tanpa harus melakukan suatu persetujuan dengan pihak yang lain, jadi
apapun yang dilakukannya berasal dari niatnya sendiri tanpa memikirkan
penderitaan orang lain yang ia dominasi.
Raden Warsakusuma juga mendominasi Endang Wresti, namun sayang
Raden Warsakusuma terbunuh tanpa sengaja oleh Endang Wresti karena dia
telah melakukan hal yang tidak sopan sehingga menghasilkan buah daging.
Anak itu pun diberi nama Raden Udakawimba oleh Ki Patih dan
dibesarkannya, anak itu dipersiapkan untuk menggantikan tahta ayahandanya
yaitu Raden Warsakusuma.
Dominasi yang terlihat dalam serat Rangsang Tuban selanjutnya adalah
ketika Raden Warihkusuma kembali ke Negeri Tuban dan menjadi penguasa
di sana. Raden Warihkusuma mendominasi Raden Udakawimba sehingga
Raden Udakawimba bingung dengan sikap pamannya tersebut, karena Raden
Warihkusuma bersikap seolah dia sangat benci terhadap Raden Udakawimba.
Hal tersebut membuat Raden Udakawimba memutuskan untuk pergi
meninggalkan negeri Tuban dan menacari kedamaian dan sampailah Raden
Udakawimba di desa Sumbereja.
Kepergian Raden Udakawimba membuahkan hasil yang luar biasa.
Raden Udakawimba bertemu dengan Kyai Ageng Wulusan di desa
Sumbereja. Di sanalah Raden Udakawimba mengasah kemampuannya dalam
belajar ilmu batin (keagamaan dan bertapa) serta dalam belajar tentang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
51
strategi perang, hal tersebut bertujuan untuk memperisiapkan membalaskan
dendamnya terhadap pamannya, yaitu Raden Warihkusuma.
Raden Udakawimba sudah hidup dengan bahagia dan sejahtera dengan
istrinya yang bernama Rara Sendang. Namun hatinya belum merasa puas bila
belum membalas dendamnya kepada pamannya yang sudah membuatnya
tertekan sewaktu di Tuban. Akhirnya dia membentuk enam kelompok
prajurit. Prajurit Suralodra (bersenjata lembing dan perisai), prajurit
Surapanglawung (bersenjata tombak), prajurit Surawarastra (bersenjatakan
panah), prajurit Surapawaka (bersenjata senapan), prajurit Suradahan
(bersenjata meriam), dan prjurit Surapati (pasukan pilihan yang menjadi
pengawal pribadi). Prajurit-prajurit itulah yang nantinya akan menyerang
Negeri Tuban, terutama menjatuhkan kekuasaan Raden Warihkusuma.
Kepemimpinan moral dan intelektual yang tergambar dalam serat
Rangsang Tuban ini adalah ketika Raden Udakawimba menemukan sebuah
istana yang bernama Tirtakandas. Di dalam istana tersebut terdapat sebuah
khazanah yang menyimpan uang emas dan uang perak yang begitu banyak.
Disaat itu juga pemikiran intelektual dari Raden Udakawimba keluar. Hal
tersebut terdapat dalam kutipan (49).
(49) Raden Udakawimba berpikir dalam hati, “ Sekiranya harta sebanyak ini
tetap menjadi milikku, maka kekayaanku pasti melebihi para raja
sedunia yang terkenal kaya. Akan tetapi jika salah-salah langkah sampai
ketahuan oleh raja yang menguasai desa Sumbereja ini, aku tentu gagal
menjadi kaya. Harta ini dimiliki orang lain, diri sendiri hanya diperintah
belaka.” (Padmasusastra, 1985: 62).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
52
Raden Udakawimba yang mahir dalam hal bangun-bangunan, akhirnya
menghegemoni pikirannya ayahnya Kyai Ageng Wulusan untuk tidak
menghalangi dirinya dalam membangun desa Sumbereja untuk menjadi lebih
makmur. Raden Udakawimba mengaku kepada Kyai Ageng Wulusan bahwa
dia dapat mengubah pasir menjadi butiran emas, padahal Raden Udakawimba
hanya cukup mengambil butiran emas itu di dalam khazanah yang dulu
pernah ia temukan di jurang. Hal tersebut terdapat dalam kutipan (50).
(50) Pagi hari ia turun ke jurang, lalu masuk ke gua istana, membuka
khazanah. Sesudah mengambil butir-butir emas sekarung penuh lalu
pulang menemui ayahandanya (Padmasusastra, 1985: 63).
Selain Raden Udakawimba, ada pula Rara Wayi yang sudah menjadi
seorang raja ratu menggantikan tahta Prabu Hertambang, ayahnya. Sedari
dulu belajar tentang ketatanegaraan dan perang, membuat Rara Wayi
menyukai sebuah tantangan. Sebuah perjalanan menghantarkannya bertemu
dengan suaminya Raden Warihkusuma yang saat itu sedang bertapa di
Gunung Mudal. Mendengar cerita dari Raden Warihkusuma yang diserang
oleh prajurit Sumbereja, akhirnya Rara Wayi mau membantu menyelesaikan
masalah Raden Warihkusuma. Dengan pengetahuannya tentang bagaiamana
strategi dalam berperang membuat prajurit yang dipimpin oleh Rara Wayi
dapat mengalahkan Raden Udakawimba. Hal tersebut terdapat dalam kutipan
(51) dan (52).
(51) Melihat gelar dapat disusupi musuh, Sang Ratu merubah gelarnya
menjadi Gelar Setubanda Ambrol, yakni Formasi Bendungan Jebol.
Akibatnya pasukan Sumbereja hanyut terserap ke dalam gelar. Raden
Udakawimba kehabisan pasukan (Padmasusastra, 1985: 78).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
53
(52) Para prajurit yang lain menyerang dari arah belakang, dan berhasil
membuat kerusakan di pihak musuh. Raden Udakawimba gugup
karena terkejut dengan datangnya musuh yang sangat tiba-tiba dari
angkasa, yang kecepatannya laksana angin. Tata barisan Sumbereja
berantakan karena diserang mendakak dari arah belakang. Raden
Udakawimba sudah sangat terdesak, lalu ditangkap oleh senapati dan
dibelenggu dengan cindai, kemudian dbawa menghadap Sang Ratu
sekalian, yang waktu itu sudah duduk di pendapa besar
(Padmasusastra, 1985: 79).
3.2.2 Hegemoni
Setalah dipaparkan tentang dominasi dalam serat Rangsang Tuban,
berikut ini akan dipaparkan tentang hegemoni yang terdapat dalam serat
Rangsang Tuban. Hegemoni yang tergambar dalam serat ini yaitu, hegemoni
dalam kebijakan negara, hegemoni dalam pendidikan, dan hegemoni dalam
tata cara kenegaraan.
3.2.2.1 Hegemoni dalam Kebijakan Negara
Dalam serat ini, hegemoni dalam kebijakan negara terjadi ketika anak
dari seorang permaisuri lebih tinggi derajatnya dibandingkan dengan anak
dari seorang istri biasa meskipun ayah mereka adalah satu orang yang sama.
Jadi, hegemoni yang sudah tertanam dalam serat ini adalah bahwa seorang
anak dari seorang permaisuri yaitu Raden Warsakusuma lebih tinggi
derajatnya dibandingkan dengan Raden Warihkusuma yang hanya anak dari
istri biasa, meskipun ayah mereka adalah satu orang yang sama. Dengan
demikian yang berhak mewarisi tahta kerajaan atau yang akan berkuasa di
Negeri Tuban jika Prabu Sindupati meninggal dunia adalah Raden
Warsakusuma, meski dia adalah anak kedua setelah Raden Warihkusuma.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
54
Hegemoni dalam kebijakan negara yang terlihat selanjutnya adalah
ketika Endang Wresti mengandung anak dari Raden Warsakusuma, secara
tidak langsung Endang Wresti sudah menjadi bagian dari seseorang yang
terhegemoni oleh kekuasaan Raden Warsakusuma, karena mau tidak mau
harus menjadi permaisuri dari Raden Warsakusuma. Meski akhirnya Raden
Warsakusuma tidak sengaja mati tertusuk patram yang sedang digenggam
oleh Endang Wresti, karena Raden Warsakusuma telah meluapkan rasa
cintanya secara paksa sehingga membuat Endang Wresti mengandung anak
laki-laki. Anak yang dilahirkan oleh Endang Wresti itu diberi nama Raden
Udakawimba, dan secara tidak langsung Raden Udakawimba yang akan
menjadi pewaris dari Negeri Tuban karena ayahandanya sudah tiada sejak ia
masih berada dalam kandungan. Namun, jika Raden Warihkusuma segera
kembali ke Negeri Tuban, makan dialah yang akan menggantikan kekuasaan
adiknya, karena usia Raden Udakawimba yang belum cukup dewasa untuk
memimpin suatu negeri.
Hegemoni dalam kebijakan negara atau kerajaan yang terlihat
selanjutnya adalah ketika wewenang Retna Wayi mengetahui bahwa istri dari
Raden Udakawimba adalah anaknya yang dulu dilarungkan ke sungai oleh
Raden Hertambang. Dengan mengetahui hal tersebut, akhirya segala
kesalahan dari Raden Udakawimba dimaafkan dan tetap diakui sebagai
saudara sepupu. Raden Udakawimba akhirnya kembali ke Negeri Tuban
bersama Rara Sendang dan bertahta di sana ditemani oleh Endang Wresti
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
55
ibunya. Sedangkan Prabu Warihkusuma tidak kembali ke Negeri Tuban, dia
menemani Sang Ratu di Banyubiru.
3.2.2.2 Hegemoni dalam Pendidikan
Hegemoni dalam pendidikan yang terdapat dalam serat ini ketika
seorang anak keturunan bangsawan, yaitu Raden Udakawimba harus
mendapatkan pendidikan atau ajaran sejak dini dalam hal kerajaan dan ilmu
berperangan. Bukan hanya di Negeri Tuban saja, namun ketika Raden
Udakawimba kabur dari Tuban diapun tetap belajar mengenai kerajaan dan
keagamaan di desa Sumbereja. Raden Udakawimba memperbanyak menyepi
atau bertapa ke gunung-gunung dan jurang-jurang untuk mendapatkan
pengetahuan yang lebih dalam tentang ilmu batin. Gagasannya tentang
perkembangan kerajaan juga semakin luas, diapun berfikiran untuk
mendirikan sebuah kerajaan baru yang lebih kokoh dari negeri Tuban, dengan
hal itu memudahkan dia untuk menghancurkan atau membalaskan
dendamnya terhadap pamannya yaitu Raden Warihkusuma yang sudah
menindasnya karena pembalasan dendam dari perbuatan ayahnya Raden
Warsakusuma yang sudah tiada.
Hegemoni dalam pendidikan yang terlihat selanjutnya adalah ketika
satu-satunya Putri Mahkota dari Negeri Banyubiru yang harus mendapat ilmu
tentang perang dan kerajaan. Retna Wayi adalah anak sematawayang Raja
Hertambang dari Kerajaan Banyubiru. Retna Wayi diharapkan akan
menggantikan tahta kerajaan ayahandanya. Ilmu dalam perang sangat terlihat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
56
ketika dia membantu suaminya Raden Warihkusuma dalam melawan
penyerangan dari Raden Udakawimba. Retna Wayilah yang memimpin
pasukan perang dan berhasil menangkap Raden Udakawimba dengan siasat
perangnya. Walaupun, pada kahirnya Retna Wayi memaafkan segala
kesalahan dari Raden Udakawimba.
3.2.2.3 Hegemoni dalam Tata Cara Kenegaraan
Hegemoni dalam tata cara kenegaraan yang terlihat dalam serat ini
adalah bahwa keturunan dari seorang raja yang akan mewariskan tahta
kerajaan, baik itu laki-laki atau bahkan perempuan. Namun, dilihat lagi dari
mana asal usul ibunya. Seperti halnya Raden Warihkusuma dengan Raden
Warsakusuma. Meski, kakak tertuanya adalah Raden Warihkusuma, namun
jika ibunya adalah seorang biasa tetap saja yang akan menjadi raja adalah
Raden Warsakusuma karena ibunya adalah seorang permaisuri yang sudah
pasti derajatnya lebih tinggi.
Setelah Raden Warsakusuma tewas dan Raden Warihkusuma telah
pergi dari Negeri Tuban. Endang Wrestilah yang menggantikan tahta kerajaan
untuk sementara waktu, karena dialah permaisuri dari mendiang Raden
Warsakusuma. Meskipun Raden Warsakusuma memiliki keturunan anak laki-
laki, namun belum saatnya Raden Udakawimba menggantikan tahta
ayahandanya. Sembari menunggu kembalinya Raden Warihkusuma ke Negeri
Tuban, pihak kerajaan tetap mencari keberadaan Raden Warihkusum. Namun
jika tidak berhasil menemukan dan membawa Raden Warihkusuma ke Negeri
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
57
Tuban, kelak jika Raden Udakawimba sudah dewasa dan siap untuk
memimpin Negeri Tuban, maka Raden Udakawimbalah yang akan
menggantikan tahta ayahandanya, Raden Warsakusuma. Ternyata, sebelum
Raden Udakawimba menggantikan tahta ayahandanya, Raden Warihkusuma
sudah kembali ke Negeri Tuban dan secara langsung dialah yang menguasai
negeri tersebut dengan kekuasaannya, hal tersebut membuat Raden
Udakawimba tertekan dengan segala sikap yang diberikan oleh pamannya.
Sehingga Raden Udakawimba berniat untuk melarikan diri dari Negeri Tuban
karena tidak kuat dengan sikap pamannya.
Kemudian di kerajaan Banyubiru, pewaris tahta kerajaan adalah anak
perempuan, yaitu Retna Wayi. Dialah yang akan menggantikan tahta
ayahandanya, Prabu Hertambang. Berbekal ilmu perang dan ilmu tentang
kerajaan, Retna Wayi diharapkan dapat mempimpin kerajaan Banyubiru
dengan bijaksana, ditemani oleh suaminya yaitu Raden Warihkusuma. Pada
akhir cerita Retna Wayi yang berhasil mengkap dan mengintrogasi tujuan dari
pemberontakan yang diakukan oleh Raden Udakawimba terhadap Raden
Warihkusuma, suaminya. Dengan kekuasaannya di Banyubiru, akhirnya
Retna Wayi memaafkan dan membebaskan segala kesalahan dari Raden
Udakawimba, karena setelah diselidiki ternyata istri dari Raden Udakawimba
adalah anaknya yang dulu dihanyutkan oleh ayahandanya sewaktu Retna
Wayi dikatakan telah tiada.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
58
3.3 Kekuasaan
Kekuasaan menurut Galtung cenderung menaruh kepercayaan pada
kekuatan. Sebelum adanya sebuah relasi, kekuasaan itu belum terjadi.
Kekuasaan di sini sama halnya dengan dominasi.
Dimensi-dimensi kekuasaan yang terbagi menjadi tiga perbedaan. Tiga
dimensi kekuasaan yang dijabarkan oleh Galtung antara lain: (1) “Kekuasaan
atas diri sendiri” dan “kekuasaan atas orang lain”. Kekuasaan atas diri sendiri,
oleh Galtung disebut sebagai otonomi. Otonomi adalah sebuah kekuasaan
tandingan dari kekuasaan atas orang lain; (2) Tiga tipe kekuasaan atas orang
lain: ideologis, remuneratif dan punitif. Kekuasaan ideologis adalah
kekuasaan normatif. Kekuasaan remuneratif adalah sebuah kekuasaan yang
mempunyai barang untuk dapat ditawarkan. Kekuasaan punitif adalah sebuah
kekuasaan karena mempunyai kejahatan yang dapat menghancurkan; dan (3)
tiga sumber kekuasaan: (a) kekuasaan yang diperoleh karena pembawaan
sejak lahir dan berhubungan dengan “ada”, (b) kekuasaan yang diperoleh
karena “memiliki” sumber kemakmuran, (c) kekuasaan yang diperoleh karena
“kedudukan”-nya dalam suatu struktur.
3.3.1 Kekuasaan atas Diri Sendiri dan Kekuasaan atas Orang Lain
Kekuasaan atas diri sendiri dan kekuasaan atas orang lain dalam serat
ini dialami oleh setiap tokoh utamanya, yaitu Raden Warsakusuma, Raden
Warihkusuma, dan Raden Udakawimba. Ketiga tokoh utama dalam serat ini
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
59
selalu mengalami masa di mana mereka menguasai diri mereka sendiri dan
bahkan mereka menguasi orang lain baik itu untuk tokoh utama yang lain
atau untuk tokoh tambahan yang ada dalam cerita tersebut.
Raden Warsakusuma terlihat menguasai diri sendiri ketika ia
menggantikan tahta ayahandanya Prabu Sindupati yang telah tiada. Dengan
tahta tersebut dia berkuasa atas segalanya yang ada di Negeri Tuban,
termasuk untuk menguasai sikap egoisnya terhadap rasa cintanya kepada
calon istri dari kakaknya sendiri. Awalnya, Raden Warsakusuma masih dapat
bersikap bijaksana namun ketika ia bertemu dengan Endang Wresti untuk
pertama kalinya sikap egoisnya memuncak, ia merasa jatuh hati kepada
Endang Wresti. Raden Warsakusuma melakukan segala cara agar bisa
mendapatkan Endang Wresti seutuhnya, termasuk melakukan pemberontakan
terhadap kakaknya sendiri ketika mereka akan melangsungkan upacara
pernikahan di Gunung Mudal.
Raden Warsakusuma dalam melakukan kekuasaan atas orang lain
terlihat jelas ketika ia sudah menangkap kakaknya, yaitu Raden
Warihkusuma. Raden Warihkusuma ditangkap dan dipenjarakan karena
sempat terdengar kabar bahwa ia akan membalas perbuatan dari adiknya
tersebut. Bukan hanya itu, Raden Warsakusuma pun menyuruh patihnya
untuk segera membunuh Raden Warihkusuma. Seluruh keluarga Endang
Wresti juga ikut ditangkap dan di penjarakan. Kecuali Endang Wresti sendiri,
dia dibawa ke istan disambut dengan baik oleh Raden Warsakusuma. Namun,
sayang Endang Wresti selalu memberikan tanggapan yang kurang baik
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
60
terhadap sikap Raden Warsakusuma. Sampai suatu ketika Raden
Warsakusuma mati tertusuk patram yang ada di genggaman Endang Wresti.
Raden Warihkusuma, adalah salah satu tokoh utama yang ada dalam
novel ini. Kekuasaan atas diri sendiri yang terlihat dari Raden Warihkusuma
adalah ketika ia tetap tenang dan pasrah dengan segala keadaan yang akan
terjadi terhadap dirinya. Diberontak oleh adiknya sediri dan ia sama sekali
tidak melawan karena Raden Warihkusuma malu jika harus bermusuhan
dengan saudaranya sendiri hanya karena harus berebut istri. Ketika Raden
Warihkusuma dipenjara dan akan dibunuh oleh suruhan adiknya karena
dituduh akan melakukan pemberontakan setalah penyerangan dari Raden
Warsakusuma, sontak hatinya merasa sangat sedih. Raden Warihkusuma
tetap mengusai dirinya sendiri dengan mengharapkan sebuah kepastian akan
kesalahan yang ia perbuat dan apakah ia pantas mendapatkan hukuman mati,
walaupun akhirnya ia tidak jadi dibunuh dan memilih pergi menjauh dari
Negeri Tuban.
Sikap menguasai orang lain yang dimiliki Raden Warihkusuma dalam
serat ini, adalah ketika ia bertemu dengan Prabu Hertambang penguasa
Negeri Banyubiru. Di tempat itu Raden Warihkusuma sangat dihormati
karena kecerdasannya. Raden Warihkusuma mengambil hati Prabu
Hertambang dengan kebijaksanaannya dan kemahirannya dalam
membicarkan masalah pemerintahan dan negara. Hingga akhirnya Prabu
Hertambang menjodohkan Raden Warihkusuma dengan putri
sematawayangnya yang bernama Rara Wayi. Menikah dengan Rara Wayi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
61
adalah salah satu cari bagi Raden Warihkusuma untuk membalaskan
dendamnya terhadap adiknya dulu. Menikah dengan anak putri raja akan
mengangkat derajatnya, meski pada akhirnya dia harus diusir dari Negeri
Banyubiru karena seusai melahirkan Rara Wayi harus meninggal dunia. Mau
tidak mau Raden Warihkusuma harus meninggalkan Banyubiru, meski
ternyata Rara Wayi hanya mati suri. Namun, semua itu sudah terlambat.
Raden Warihkusuma sudah pergi dari Banyubiru dan kembali ke Tuban.
Anak yang dilahirkan Rara Wayi sudah dihanyutkan ke suangat oleh perintah
Prabu Hertamabang , sedangkan Rara Wayi sudah hidup kembali.
Sikap menguasai orang lain yang dimiliki oleh Raden Warihkusuma
yang lain adalah ketika ia kembali ke Negeri Tuban dan mulai menguasai
pemerintahan di sana. Upacara penghormatan yang besar dilaksanakan,
bergelarkan Sang Prabu Warihkusuma. Rasa sakit hati yang masih tertanam
dalam hatinya ia limpahkan kepada keturunan dari adiknya yang bernama
Raden Udakawimba. Selama Raden Udakawimba masih berada di Negeri
Tuban, selama itulah Prabu Warihkusuma akan bersikap benci terhadap
keponakannya itu.
Tokoh ketiga yang melakukan kekuasaan atas dirinya dan orang lain
adalah Raden Udakawimba. Sikapnya yang terlihat dalam menguasai dirinya
sendiri adalah ketika ia melarikan diri dari Negeri Tuban dan sampailah ia ke
Desa Sumbereja. Di sana Raden Udakawimba bertemu dengan Kyai Ageng
Wulusan, ia belajar tentang agama. Sejak ia masih kecil, Raden Udakawimba
sudah diajarkan dalam ilmu ketatanegaraan, ilmu perang dan ia pun sudah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
62
mahir dalam membuat kerajianan. Pemikirannya tentang mengembangkan
desa Sumbereja sangat tinggi. Raden Udakawimbapun sering bertapa
kegunung-gunung atau jurang-jurang untuk mendapatkan kekuatan ilm yang
lebih dalam dari dirinya.
Raden Udakawimba dalam menguasai orang lain terlihat ketika ia dapat
mengambil simpati Kyai Ageng Wulusan dengan kecerdasan yang
dimilikinya. Dengan kecerdasannya itu Kyai Ageng Wulusan berniat untuk
menjodohkan anaknya, yaitu Rara Sendang dengan Raden Udakawimba.
Hidup sejahtera bersama Rara Sendang dan membangun desa Sumbereja
menjadi lebih baik, tidak membuat hidupnya jadi merasa tenang. Masih ada
hal yang perlu ia selesaikan termasuk membalas dendam masa lalu dengan
pamannya Raden Warihkusuma. Sikap pamannya yang dulu sangat kasar
terhadapnya membuatnya harus memberi pelajar yang sama dengan apa yang
sudah dia dapatkan sewaktu tinggal di Tuban.
3.3.2 Ideologis, Remuneraif, dan Punitif
Kekuasaan ideologis atau kekuasaan normatif yang terdapat dalam serat
ini adalah ketika Raden Warsakusuma mendapat sebuah gagasan dari
patihnya untuk membunuh Raden Warihkusuma dan dia pun menyetujui
gagasan tersebut, namun Raden Warsakusuma tidak mengetahui bahwa
tindakan dari patihnya itu adalah untuk menyelamalamatkan Raden
Warihkusuma dari kekejaman Raden Warsakusuma.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
63
Kekuasaan remuneratif yang terdapat dalam serat ini adalah ketika
Raden Udakawimba menemukan harta yang berlimpah di Tirtakandas.
Dengan harta yang ditemukan tersebut Raden Udakawimba dapat membuat
desa Sumbereja menjadi lebih baik dari kerajaan lainnya. Dengan
penemuannya tersebut, Raden Udakawimba akan menjadi penguasa yang
makmur dan dengan mudah dapat mendominasi pamannya, Raden
Warihkusuma.
Kekuasaan punitif yang terdapat dalam serat ini adalah ketika setelah
Raden Warishkusuma kembali ke Negeri Tuban dan bertemu dengan Raden
Udakawimba. Raden Warihkusuma sudah tidak senang dengan keberadaan
keponakannya tersebut. Raden Warihkusuma ingin menghancurkan
kehidupan keponakannya, sampai Raden Udakawimba melarikan diri dari
Negeri Tuban.
Kekuasaan punitif yang terlihat lainnya adalah ketika Raden
Udakawimba membangun kerajaan di desa Sumbereja. Mempersiapkan bala
tentara untuk menyerang Raden Warihkusuma di Negeri Tuban dengan tujuan
pembalasana dendam akan masalalunya. Pemberontakan tersebut membuat
Raden Warihkusuma takut dan melarikan dari Negeri Tuban. Raden
Warsakusuma menyembunyikan diri dan menjadi biku, dia bertapa digunung-
gunung, hingga akhirnya bertemu lagi dengan Rara Wayi.
Yang terakhir adalah ketika Raden Warihkusuma bersembunyi dan
bertapa di Gunung Rancakarni. Dia bertemu dengan istrinya, Rara Wayi yang
hidup kembali dan kini sudah menjadi raja ratu di Negeri Banyubiru. Raden
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
64
Warihkusuma menceritakan yang sudah ia alami, akhirnya Rara Wayi
bersedia membantu untuk menangkap Raden Udakawimba. Akhirnya Raden
Udakawimba berhasil tertangkap dengan jebakan yang sudah dibuat oleh
Rara Wayi bersama bala pasukannya dari Banyubiru.
3.3.3 Sumber Kekuasaan
Sumber kekuasaan yang paling dominan di dalam serat Rangsang
Tuban adalah hegemoni darah biru atau keturunan bangsawan. Hegemoni
darah biru ini terlihat jelas ketika ketiga tokoh utama, yaitu Warsakusuma,
Warihkusuma, dan Udakawimba merupakan keturunan darah biru atau
bangsawan sejak mereka dilahirkan. Segala bentuk kekuasaan yang terdapat
dalam cerita ini selalu dimenangkan oleh tokoh yang memiliki derajat yang
lebih tinggi. Meski sama-sama keturunan darah biru atau bangsawan, namun
jika dilahirkan dari seorang istri biasa tetap saja derajatnya masih kalah
dengan keturunan yang dilahirkan oleh seorang permaisuri.
Sumber yang liannya adalah ketika tokoh utama memliki “ada”nya
sebuah kesempatan untuk saling menghancurkan satu sama lain karena
memiliki kekuasaan secara remuneratif di mana mereka memiliki harta yang
melebihi dari tokoh yang didominasi. Selain memiliki kekuasaan secara
remuneratif, tokoh tersebut juga “memiliki” sebuah “kedudukan” yang lebih
tinggi derajatnya membuat mereka berani untuk menghancurkan meski
mereka masih ada hubungan darah atau masih saudara. Tidak lagi
memandang dengan rasa kasihan terhadap orang lain, namun yang terpenting
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
65
adalah dengan mendominasi pihak yang lebih lemah, yang diawali oleh
sebuah hegemoni menjadikan sumber kekuasaan menjadi lebih lengkap.
Dominasi-dominasi kekuasaan yang dilakukan oleh setiap tokoh utama
terhadap tokoh utama yang lain atau bahkan untuk mendominasi tokoh yang
lain. Dominasi yang diawali dari sebuah hegemoni, di mana yang
menghegemoni menerima saja apa yang sudah dicetuskan oleh pihak yang
lebih berkuasa. Akhirnya segala pemberontakan yang terjadi disetiap daerah
baik itu di Tuban dan Sumbereja, kemudian dapat diselesaikan oleh bantuan
dari Rara Wayi, sebagai Raja Ratu di Negeri Banyubiru.
Rangkuman
Tabel 1
Berdasarkan paparan penelitian dari dominasi, hegemoni, dan kekuasaan pada
Bab III, dapat disimpulkan dalam tabel berikut.
Dominasi dan Hegemoni yang terdapat dalam tokoh utama:
No. Tokoh Dominasi Hegemoni
1. Warsakusuma
(Anak kedua dari
Prabu Sindupati
dengan
Permaisuri).
Warsakusuma
mendominasi
Warihkusuma.
Warsakusuma
mendominasi Endang
Wresti (calon istri dari
Warihkusuma).
Hegemoni dalam
kebijakan negara: Warsakusuma
menggantikan ayahnya
menjadi raja di Negeri
Tuban karena
derajatnya lebih tinggi
meski dia adalah adik
dari Warihkusuma.
Hegemoni dalam
kebijakan negara:
Endang Wresti yang
terhegemoni karena
sudah mengandung
anak dari
Warsakusuma.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
66
Hegemoni dalam
pendidikan:
Setiap keturunan
bangsawan harus
mendapat pendidikan
dalam hal kerajaan dan
ilmu perang.
Hegemoni dalam tata
cara kenegaraan: Keturunan seorang raja
akan mewarisi tahta
kerajaan, meski kakak
tertuanya adalah
Warihkusuma namun
tetap saja yang menjadi
raja di Negeri Tuban
adalah Warsakusuma,
karena ibunya
merupakan seorang
permaisuri yang sudah
pasti derajatnya lebih
tinggi.
2. Warihkusuma
(Anak pertama
dari Prabu
Sindupati dengan
istri biasa).
Warihkusuma
mendominasi
Udakawimba.
Hegemoni dalam
pendidikan: Setiap keturunan
bangsawan harus
mendapat pendidikan
dalam hal kerajaan dan
ilmu perang.
Hegemoni dalam
tahta cara kerajaan: Kembalinya
Warihkusuma ke
Negeri Tuban dan
secara langsung dia
menjadi penguasa di
Negeri Tuban, karena
Udakawiba belum
cukup dewasa untuk
memimpin Negeri
Tuban.
3. Udakawimba
(Anak hasil
perkosaan dari
Warihkusuma
terhadap Endang
Wresti).
Udakawiba mendominasi
Warihkusuma. Hegemoni dalam
kebijakan negara:
Udakawimba yang
terhegemoni oleh Rara
Wayi, segala
kesalahannya diampuni
karena istrinya yang
ternyata adalah anak
dari Dewi Wayi dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
67
Warihkusuma.
Hegemoni dalam
pendidikan: Setiap keturunan
bangsawan harus
mendapat pendidikan
dalam hal kerajaan dan
ilmu perang.
4. Retna Wayi
(Anak Prabu
Hertambang
penguasa
Banyubiru.
Penerus dari tahta
ayahandanya dan
istri dari
Warihkusuma).
Retna Wayi membantu
Warihkusuma untuk
mendominasi
Udakawiba.
Hegemoni dalam
pendidikan:
Retna Wayi, harus
mendapat ilmu tentang
perang dan kerajaan,
karena kelak dialah
yang akan
menggantikan tahta
ayahandanya di
Banyubiru, meski dia
anak perempuan.
Hegemoni dalam tata
cara kenegaraan: Retna Wayi adalah
penerus tahta kerajaan
di banyubiru,
meskipun sebagai anak
perempuan dia sangat
diaharapkan dapat
menggantikan
ayahandanya.
Tabel 2
Sumber Kekuasaan:
No. Tokoh Darah Biru atau
Bangsawan
Remuneratif Ada, Mimiliki, dan
Kedudukan
1. Warsakusuma Anak kedua dari
Prabu Sindupati
dengan Permaisuri.
Pewaris tahta
Negeri Tuban
menggantikan
Prabu Sindupati.
Adanya kesempatan
untuk mendominasi
Warihkusuma dan
Endang Wresti.
Adanya kesempatan
memliki tahta Negeri
Tuban, sehingga
dengan kekuasaan
tersebut dengan
mudah dia
mendominasi tokoh
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
68
yang lebih lemah.
2. Warihkusuma Anak pertama dari
Prabu Sindupati
dengan istri biasa.
Warihkusuma
suami dari Dewi
Wayi, maka secara
tidak langsung
derajatnya naik,
karena Dewi Wayi
adalah penerus
tahta Negeri
Banyubiru.
Adanya kesempatan
untuk kembali ke
Negeri Tuban, di
sana Warihkusuma
mendominasi
Udakawimba.
Meski melarikan diri
dari serangan
Udakawimba,
Warihkusuma
mendapat bantuan
dari istrinya, Dewi
Wayi. Dewi Wayilah
yang berhasil
menangkap
Udakawimba dalam
pertempuran.
3. Udakawimba Anak hasil
perkosaan
Warsakusuma
terhadap Endang
Wresti.
Mengembangkan
desa Sumbereja
dengan harta yang
ditemukan di
Tirtakandas.
Membuat desa
Sumbereja lebih
unggul dari
kerajaan yang
lainnya.
Adanya kesempatan
besar dalam
menyiapkan
balatentara untuk
mendominasi atau
menyerang
Warihkusuma untuk
membalaskan
dendamnyaa.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
69
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Penelian sastra ini berjudul Dominasi, Hegemoni, dan Kekuasaan
dalam Serat Rangsang Tuban Karya Ki Padmasusastra. Hal pertama yang
dibahas dalam penelitian ini adalah struktur cerita yang mencakup tokoh,
penokohan, serta latar yang terdiri dari latar tempat, latar waktu, dan latar
sosial. Kemudian hal berikutnya membahas tentang dominasi dan hegemoni
prespektif Antonio Gramsci, serta kekuasaan menurut Johan Galtung.
Struktur cerita dalam penelitian ini berfokus pada unsur intrinsik serat
Rangsang Tuban ini mengarah pada tokoh dan penokohan serta latar yang
terdiri dari latar tempat, latar waktu, dan latar sosial. Tokoh-tokoh yang
terdapat dalam serat Rangsang Tuban antara lain, Prabu Sindupati, Prabu
Warihkusuma, Prabu Warsakusuma, Kyai Umbul Mudal, Endang Wresti,
Raden Udakawimba, Ki Patih Toyamarta, Ki Tumenggung Jalasengara,
Prabu Hertambang, Dewi Wayi, Kyai Buyut Wulusan atau Kyai Ageng
Wulusan, Nyai Buyut Wulusan, Kyai Penghulu, Arya Toyatuli, Raden
Lodaka, dan Rara Sendang.
Sedangkan latar tempat dalam serat Rangsang Tuban antara lain, Negeri
Tuban, Gunung Mudal, Banyubiru, Desa Sumbereja, Tirtakandas dan Gunung
Rancakharni. Latar waktu dalam serat ini tidak dijelaskan secara pasti, namun
jika dilihat dari awal penulisan serat ini menceritakan tentang kejadian di
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
70
tanah Jawa Mataram, sekitar tahun 1600-an, pada era Kerajaan Tuban. Latar
sosial dalam serat ini adalah masyarakat Jawa, pada masa Mataram.
Setelah mendeskripsikan tentang struktur ceritanya, pada bab III penulis
mendeskripsikan tentang dominasi dan hegemoni prespektif Antonio
Gramsci, serta kekuasaan menurut Johan Galtung yang terdapat dalam serat
Rangsang Tuban. Dominasi dan hegemoni yang tergambar dalam serat ini
begitu jelas, yaitu di mana kedudukan tahta yang lebih tinggi itulah yang akan
berkuasa. Barulah terjadilah dominasi-dominasi antar tokoh utama yang satu
dengan tokoh utama yang lainnya bahkan mendominasi tokoh yang lain, dan
akhirnya terjadi kesepakatan dengan melakukan sebuah hegemoni yang
membuat semua tokoh menyetuju kesepakatan tersebut. Dominasi adalah
bagian dari hegemoni. Sebuah kepemimpinan itulah yang disebut sebagai
hegemoni.
Hegemoni yang terdapat dalam serat ini terbagi menjadi tiga bagian,
yaitu (1) hegemoni dalam kebijakan negara atau kerajaan, (2) hegemoni
dalam pendidikan, dan (3) hegemoni dalam tata cara kenegaraan atau upacara
kenegaraan. Pertama, hegemoni dalam kebijakan negara atau kerajaan adalah
ketika seseorang anak dari permaisuri lebih tinggi derajatnya dibandingkan
dengan anak dari istri biasa, meski kedua ayah mereka adalah satu orang yang
sama. Raden Warsakusuma lebih tinggi derajatnya dari pada Raden
Warihkusuma. Ketika Endang Wresti terpaksa menjadi orang yang
terhegemoni oleh Raden Warsakusuma yang telah menghamili dirinya. Serta
ketika Rara Wayi menggunakan kekuasaannya untuk menghegemoni Raden
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
71
Udakawimba dan memafkan segala kesalahan yang telah dilakukannya
terhadap Raden Warihkusuma. Kedua, hegemoni dalam pendidikan bahwa
setiap anak keturunan bangsawan harus mendapatkan ilmu tentang
ketatanegaraan dan ilmu tentang perang. Pendidikan itu diharuskan untuk
keturunan laki-laki ataupun perempuan yang ada dalam kerajaan tersebut.
Ketiga, hegemoni dalam tata cara kenegaraan atau upacara kenegaraan.
Dalam serat ini terdapat beberapa tata cara kenegaraan, yaitu dalam mewarisi
tahta kerajaan haruslah keturunan dari seorang raja. Kemudian jika pewaris
kerajaan adalah seorang anak perempuan itu tidaklah masalah, yang
terpenting adalah keturunan raja.
Terdapat pula dimensi-dimensi kekuasaan yang terbagi atas tiga
perbedaan: (1) Kekuasaan atas diri sendiri dan orang lain, hal tersebut dialami
oleh ketiga tokoh utama, yaitu Raden Warsakusuma, Raden Warihkusuma,
dan Raden Udakawimba. (2) Kekuasaan ideologis, remuneratif dan punitif.
Kekuasaan ideologis yang tergambar dalam serat ini ketika Raden
Warsakusuma menyetujui gagasan dari patihnya untuk membunuh Raden
Warihkusuma. Kekuasaan remuneratif yang tergambar dalam novel ini adalah
ketika Raden Udakawimba menemukan harta yang berlimpah di Tirtakandas.
Kekuasan punitive yang tergambar dalam novel ini adalah ketika Raden
Udakawimba membangun kembali desa Sumbereja menjadi lebih kokoh dari
kerajaan yang lainnya. (3) Sumber kekuasaan yang paling dominan dalam
serat ini adalah darah biru atau kebangsawanan, kemudian barulah “ada”
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
72
kesmpatan untuk saling menghancurkan satu sama lain, serta “memiliki”
sebuah “kedudukan” yang derajatnya lebih tinggi.
4.2 Saran
Peneliti menganalisis serat Rangsang Tuban karya Ki Padmasusastra ini
menggunakan teori dominasi dan hegemoni prespektif Antonio Gramsci, serta
kekuasaan menurut Johan Galtung. Dalam menganalisis dominasi peneliti
mendeskripsikan dominasi-dominasi yang tergambar dalam serat tersebut.
Dalam menganalisis hegemoni yang terdapat dalam serat, peneliti menemukan
tiga bagian, yaitu hegemoni dalam kebijakan negara, hegemoni dalam
pendidikan, dan hegemoni dalam tata cara kenegaraan. Selanjutnya dalam
menganalisis tentang kekuasaan yang terdapat dalam serat, penulis
mengemukakan bahwa ada tiga dimensi kekuasaan menurut Johan Galtung,
yaitu kekuasaan atas diri sendiri dan orang lain, kekuasaan ideologis,
remuneratif, dan punitif, serta sumber kekuasaan. Peneliti menyarankan
bahwa, jika ingin melanjutkan penelitian ini, dapat menganalisis dengan lebih
fokus ke dominasi dan hegemoninya saja atau bisa menganalisisnya dengan
tindak kekerasan baik itu kekerasan struktural maupun kekerasan personal
menurut Johan Galtung.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
73
DAFTAR PUSTAKA
Faruk. 2010. Pengantar Sosiologi Sastra-dari Strukturalisme Genetik sampai
Post-modernisme. Yogyakarta: Puataka Belajar.
Homba,Carlos Venansius. 2016. “Bentuk-Bentuk Counter-Hegeoni Dalam Novel
Kuil di Dasar Laut Karya Seno Joko Suyono: Prespektif Antonio Gramsci”.
Skripsi pada Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas
Sanata Dharma, Yogyakarta.
Isrofi, Nur. 2015. “Analisis Struktural Novel Rangsang Tuban karya
Padamsusastra dan Pembelajarannya di SMA”. Jurnal, Program Studi
Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa, Universitas Muhammadiyah, Purworejo.
Kurniawan, Riyan Tri. 2014. “Kajian Sosiologi Novel Rangsang Tuban Karya
Padmasusastra”. Jurnal Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa
Unversitas Muhammadiyah, Purworejo.
Nurgiyantoro, Burhan. 1998. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Padmasusastra, Ki. 1985. Rangsang Tuban. Alih Aksara oleh Mulyono
Sastronaryatmo dan Alih Bahasa oleh Sudibjo Z. Hadisutjipto. Jakarta: Balai
Pustaka.
Sehandi, Yohanes. 2016. Mengenal 25 Teori Sastra. Yogyakarta: Ombak.
Semi, M.Atar. 1990. Metode Penelitian Sastra. Bandung: Angaksa.
Supardi, Imam. 1961. Ki Padmosusastro. Surabaja: Panjebar Semangat.
Taum, Yoseph Yapi. 2015. Sastra dan Politik. Representasi Tragedi 1965 dalam
Negara Orde Baru. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma.
Taum, Yoseph Yapi. 2017. “Kritik Sastra Diskursif: Sebuah Reposisi”. Kumpulan
Makalah Nasional Kritik Sastra. Kritik Sastra yang Memotivai dan
Menginspirasi.
Utami, Marcellina Ungti Putri. 2017. “Kekerasan Struktural dan Personal dalam
Novel Candik Ala 1965 Karya Tinuk R. Yampolsky”. Skripsi pada Program
Studi Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
74
74
Wiharjo, Fransisaka Rini. 2018. “Bentuk-Bentuk Hegemoni dan Counter-
Hegemoni dalam Novel Entrok Karya Okky Mandasari Prespektif Antonio
Gramasci”. Skripsi pada Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas Sastra,
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Windu, I. Marsana. 1992. Kekuasaan dan Kekerasan Menurut Johan Galtung.
Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Sumber Daring:
Ataghaitsa. 2013. “Hegemoni dan Kekuasaan”. Strable URL:
www.google.co.id/amp/s/ataghaitsa.wordpress.com/2013/04/24/hegemoni-
dan-kekuasaan/amp. (Diunduh: 30/05/2018, 09:09.
kbbi.web.id/dminasi. https://kbbi.web.id. Diunduh: 12/12/2018, 03:19.
“Ki Padmosustro Pujopustoko,” Strable URL: https://www.geni.com/people/Ki-
Padmo-susastro-Pujopustoko-M-Ng/6000000000551445549.
NN. 2012. “Ki Padmosusastro dan Karya-karyanya,” Strable URL:
https://kalong.blogspot.co.id/2012/05/ki-padmosusastro-dan-karya-
karyanya.html?m=1. Diunduh: 21/03/2018, 14:17.
“Rangsang Tuban,” Strable URL:
https://ps://jv.wikipedia.org/wiki/Rangsang_Tuban. Diunduh: 21/03.2018,
18:38.
Sulcani, Ana, dkk. 2011. “Konsep Hegemoni”. Strable URL:
www.google.co.id/amp/s/sosiologibudaya.wordpress.com/2011/04/13/hegem
oni/amp. Diunduh: 30.05/2018, 09:42
2016. KBBI V. Strable URL: https://kbbi.kemdikbud.go.id. Diunduh: 21/03/2018,
13:05.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
75
Lampiran
Sinopsis Serat Rangsang Tuban Karya Ki Padmasusastra
Novel Rangsang Tuban Karya Ki Padmasusastra mengisahkan tentang
dua orang pangeran dari Negeri Tuban yang bernama Pangeran Warihkusuma
dan Pangeran Warsakusuma. Konflik awal dimulai ketika Pangeran
Warsakusuma yang iri terhadap kakaknya. Dia pun menggagalkan pernikahan
kakaknya dengan Endang Wresti. Pangeran Warsakusuma melakukan
pembantaian, menangkap dan memenjarakan kakaknya serta berniat akan
membunuh kakaknya.
Pangeran Warihkusuma yang tidak jadi dibunuh, akhirnya pergi
meninggalkan Negeri Tuban dan sampalah ia ke Negeri Banyubiru. Raja yang
bertatahta di negeri itu adalah Prabu Hertambang. Pangeran Warihkusuma
mengabdi kepada Prabu Hertambang dan menikah dengan putrinya yang
bernama Rara Wayi.
Sebelum itu, di Negeri Tuban terjadilah pertumpahan darah, kejadian
itu tanpa unsur kesengajaan. Sri Baginda Warsakusuma yang tidak sabar
ingin memiliki Endang Wresti akhirnya melakukan perbuatan yang tidak
sopan. Akhirnya tanpa sengaja Pangeran Warsakusuma terbunuh oleh Endang
Wresti yang saat itu masih menggenggam patram di tangannya. Kejadian
tersebut membuahkan buah daging seorang anak laki-laki dan anak itu diberi
nama Raden Udakawimba oleh Ki Patih. Ki Patih berharap kelak jika anak itu
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
76
sudah tumbuh dewasa dan Pangeran Warihkusuma belum juga kembali ke
Negeri Tuban, Raden Udakawimbalah yang nantinya akan menggantikan
tahta ayahnya (Pangeran Warsakusuma).
Setahun setelah Pangeran Warihkusuma menikah dengan Rara Wayi,
akhirnya mereka dikaruniai seorang anak permpuan. Namun sayang nyawa
Rara Wayi tidak dapat tertolong. Pangeran Warihkusuma akhirnya diusir dari
Negeri Banyubiru, karena dia dianggap sebagai penyebab dari kematian Rara
Wayi. Sedangkan anaknya dilabuh di sungai dan ditemukan oleh Kyai Buyut
Wulusan. Anak itu diberi nama Rara Sendang oleh Kyai Buyut Wulusan
karena anak itu ditemukannya di air.
Pangeran Warihkusuma yang telah diusir oleh Prabu Hertambang
akhirnya kembali ke Negeri Tuban dan menjadi sesembahan rakyat (Pangeran
Adipati) Negeri Tuban. Dalam hati Sang Pangeran tetap tidak senang dengan
adanya Raden Udakawimba. Ia sangat benci dan sering mengeluarkan ucapan
yang menyakiti hati Raden Udakawimba serta mengatakan kalau Raden
Udakawimba adalah keturunan raja angkara. Raden Udakawimba sangat
bngung dengan sikap ayahandanya itu dan pada suatu malam Raden
Udakawimba pergi meninggalkan Negeri Tuban. Ia pergi dan sampailah ia ke
Desa Sumbereja, daerah tempat tinggal Kyai Buyut Wulusan.
Di Desa Sumbereja, Raden Udakawimba tinggal bersama Kyai
Penghulu. Ia belajar mengaji dan setelah itu menggembalakan tanah. Setelah
selesai menghabiskan ajarannya, Raden Udakawimba menyepi ke gunung-
gunung dan jurang-jurang. Di sana Raden Udakawimba mendapat gagasan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
77
dalam hatinya untuk membangun sebuah istana dengan benteng yang gagah.
Raden Udakawimba sudah merencanakan pemberontakan terhadap Prabu
Warihkusuma. Setelah menikah dengan Rara Sendang, dia mempersiapkan
bala tentara dan setiap hari berlatih.
Berita bahwa di Desa Sumbereja ada barisan perusuh sudah sampai
pada telinga Prabu Warihkusuma. Ki Patih Toyamarta mengetahui bahwa
pemimpin barisan itu adalah Raden Udakawimba. Saat pemberontakan itu
Prabu Warihkusuma melarikan diri dan tidak mau tahu dengan keadaan d
Negeri Tuban, ia pun memutuskan untuk bertapa dan mejadi biku (nama lain
dari biksu).
Diceritakan bahwa Rara Wayi hidup kembali dari kematiannya. Kini
dia menggantikan ayahnya Prabu Hertambang. Suatu hari pergilah Rara Wayi
ke sebuah gua dan bertemulah ia dengan Prabu Warihkusuma (suaminya).
Rara Wayilah yang membantu Prabu Warihkusma menangkap Raden
Udakawimba, karena memang Rara Wayi sangat pintar dalam hal
peperangan.
Setelah Raden Udakawimba ditangkap dan ditanya-tanyai, ternyata dia
sudah berkeluarga. Dipanggilan keluarganya ke hadapan Rara Wayi. Ternyata
istri dari Raden Udakawimba sangat mirip dengan Rara Wayi. Kyai Buyut
Wulusan ikut ditanyai tentang asal-usul anaknya tersebut, ternyata benar anak
itu adalah anak pungut yang ditemukan dalam keranda yang hanyut di sungai.
Setelah dselidiki, ternyata benar Rara Sendang adalah anak dari Rara Wayi
dengan Prabu Warihkumua.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
78
Akhirnya dosa Raden Udakawimba diampuni dan dia diakui sebagai
menantu dari Rara Sendang. Setelah kurang lebih dari setahun tinggal di
Banyubiru, Raden Udakawimba dinobatkan menjadi raja di Negeri Tuban
atas wewenang Sang Ratu. Sedangkan Prabu Warihkusuma tidak mau lagi
kemabali ke Tuban, dia tetap menjad pendamping istrinya Rara Wayi.
Sedangkan Endang Wresti bertugas mendampingi putranya Raden
Udakawimba di Tuban dan tetap diakui sebaga saudara sepupu.
TAMAT
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI