studi pola penguasaan lahan/pemanfaatan sumber daya alam masyarakat di dalam dan sekitar taman...

39
Studi Pola Penguasaan Lahan/Pemanfaatan Sumber Daya Alam Masyarakat di Dalam dan Sekitar Taman Nasional Kerinci Seblat, Provinsi Bengkulu Disusun oleh: Dedek Hendry Akar Foundation - Scale Up 2015

Upload: independent

Post on 30-Nov-2023

0 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Studi Pola Penguasaan Lahan/Pemanfaatan Sumber Daya Alam Masyarakat di Dalam dan Sekitar Taman Nasional Kerinci Seblat, Provinsi Bengkulu

Disusun oleh: Dedek Hendry

Akar Foundation - Scale Up2015

Pendahuluan

Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) dengan luas 1.389.510 hektare yang

membentang di Provinsi Bengkulu, Jambi, Sumatera Selatan dan Sumatera Barat

merupakan taman nasional terluas kedua di Indonesia. Taman nasional ini ditetapkan

sebagai Taman Nasional Warisan Asean pada 2003, dan bersama Taman Nasional

Gunung Leuser (TNGL) dan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS)

ditetapkan sebagai Warisan Dunia pada 2004. Namun, akibat tingginya ancaman

keutuhan kawasan taman nasional yang terus berlanjut, misi pengawasan warisan

dunia IUCN-UNESCO merekomendasikan TNGL, TNBBS dan TNKS masuk dalam

daftar bahaya, yang ditindaklanjuti oleh Komite Warisan Dunia dengan memasukkan

TNGL, TNBBS dan TNKS dalam daftar Warisan Dunia Dalam Bahaya pada tahun 2011

(Purwanto, 2015).

Dibandingkan TNGL dan TNBBS, laju perambahan dan luas kawasan TNKS

yang dirambah adalah tertinggi dan terbesar (Purwanto, 2015). Sepanjang 1990 –

2014, laju perambahan di TNKS adalah 2.737 hektar/tahun. Bila dibagi menjadi tiga

periodisasi, maka laju perambahan TNKS sepanjang 1990 – 2000 adalah 846,93

hektar/tahun, sepanjang 2000 – 2010 menjadi 1.414,20 hektar/tahun, dan meningkat

tajam menjadi 10.772,65 hektar/tahun sepanjang 2010 – 2014. Sedangkan untuk luas

yang dirambah hingga tahun 2014 adalah 130.322,2 hektar atau 52,6 % dari total

perambahan di TNGL, TNBBS dan TNKS (247.798 hektar).

Laju Perambahan kawasan TNKS

Tahun Laju (hektar/tahun)

1990 – 2000 846,93

2000 – 2010 1.414,20

2010 – 2014 10.772,65

1990 – 2014 2.737

Sumber: Purwanto (2015)

Perubahan tutupan lahan TNKS hingga 2014

Kelas tutupan lahan Luas (hektar)

Kebun Campuran 89.486,75

Semak 21.178,26

Pertanian lahan kering 12.654,89

Perkebunan 2.924,37

Semak rawa 2.544,06

Lahan kosong 949,37

HTI 355,82

Sawah 175,81

Pemukiman 52,86

Total 130.322,18

Sumber: Purwanto (2015)

Di Provinsi Bengkulu, sesuai dengan SK Menhut No 748/Menhut-II/2012, luas

kawasan TNKS adalah 345.841,30 hektar atau 35,8 % dari luas total hutan Provinsi

Bengkulu (924.6.31 hektar). TNKS di Provinsi Bengkulu membentang di wilayah

Kabupaten Mukomuko (150.036 hektar), Kabupaten Bengkulu Utara (71.702,70 hektar),

Kabupaten Rejang Lebong (25.815,60 hektar) dan Kabupaten Lebong (98.287,2

hektar). Khusus di Kabupaten Lebong, luas kawasan TNKS setara dengan 51 persen

dari luas wilayah Lebong (192.924 hektar). Hingga tahun 2014, luas kawasan TNKS di

wilayah Kabupaten Rejang Lebong (dan Kabupaten Lebong) yang dirambah adalah

26.528,65 hektar (Purwanto, 2015). Sementara itu, berdasarkan Peraturan Gubernur

No 36 Tahun 2013 Tentang Rencana Kehutanan Tingkat Provinsi Bengkulu Tahun

2014 – 2033, diketahui tutupan TNKS di Kabupaten Lebong berupa hutan primer

(68.729,5 hektar), hutan sekunder (9.885,3 hektar), semak belukar (1.180 hektar), non

vegetasi (19,9 hektar) dan pertanian campuran (18.467,2 hektar).

Fungsi Hutan di Kabupaten Lebong

Fungsi Luas (hektar) Persentase dari luas wilayah

CA Danau Menghijau 141,1 0,07

TNKS 98.287,2 51

TWA 2.724,5 1,4

HL Bukit Daun 15.063,2 7,8

HL Rimbo Pengadang 2.487,5 1,3

HPT Air Ketahun 45,5 0,02

Total 118.749 61,6

Sumber: Peraturan Gubernur No 36 Tahun 2013 Tentang Rencana Kehutanan Tingkat

Provinsi Bengkulu Tahun 2014 – 2033

Tutupan TNKS di Kabupaten Lebong

Tutupan Luas (hektar) Persentase dari luas total

Hutan Primer 68.729,5 70

Hutan Sekunder 9.885,3 10

Semak Belukar 1.180 1,2

Pertanian Campuran 18.467,2 18,78

Non Vegetasi 19,9 0,02

Sumber: Peraturan Gubernur No 36 Tahun 2013 Tentang Rencana Kehutanan Tingkat

Provinsi Bengkulu Tahun 2014 – 2033

Kabupaten Lebong merupakan daerah otonomi baru yang dimekarkan dari

Kabupaten Rejang Lebong berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2003

Tentang Pembentukan Kabupaten Lebong dan Kabupaten Kepahiang. Dari total luas

wilayah, diketahui wilayah Lebong yang terletak pada ketinggian 100 – 500 m diatas

permukaan laut (dpl) adalah 21.205 hektar, ketinggian 500 – 1.000 m seluas 80.384

hektar dan pada ketinggian lebih dari 1.000 m seluas 91.335 hektar, serta dengan

kemiringan lebih dari 40 derajat seluas 110.775 atau 57,41 persen dari luas wilayahnya

(Lebong Dalam Angka 2009). Penduduk Kabupaten Lebong berjumlah 105.421 jiwa

(Provinsi Bengkulu Dalam Angka 2014) dengan mayoritas bersuku Rejang dan

bermatapencarian sebagai petani kebun, dan tercatat 17,03 persen penduduknya

tergolong penduduk miskin (BPS, ).

Saat dimekarkan dari Kabupaten Rejang Lebong, jumlah kecamatan dan desa di

kabupaten Lebong adalah 5 Kecamatan dan 77 Desa/Kelurahan. Dari total jumlah

Desa/Kelurahan tersebut, tercatat 48 Desa/Kelurahan berbatasan langsung dengan

TNKS (Anonim a). Tidak adanya pemisah antara desa/kelurahan dan kawasan TNKS

dinilai menjadi faktor utama pemicu perambahan di kawasan TNKS. Di lain sisi,

keberadaan TNKS di wilayah Kabupaten Lebong telah memicu konflik dengan

Masyarakat Hukum Adat Rejang sebagai penduduk asli Kabupaten Lebong. Penetapan

dan pemasangan patok TNKS dilakukan dengan menegasikan keberadaan, hukum dan

wilayah Masyarakat Hukum Adat Rejang, melukai rasa keadilan, menghancurkan

sumber penghidupan, dan melanggar hak asasi manusia (HAM). Hingga kini, konflik

belum terselesaikan.

Desa/Kelurahan berbatasan langsung dengan TNKS

No Nama Desa

1 Sungai Lisai

2. Seblat Ulu

3. Katenong 1

4. Katenong 2

5. Tambang Sawah

6. Air Kopras

7 Ladang Palembang

8 Lebong Tambang

9 Kampung Dalam

10 Garut

11 Taba Seberang

12 Bentangur

13. Lemeu

14 Kota Agung

15 Embong

16 Tanjung Agung

17 Gunung Alam

l18 Taba Baru I

19 Taba Baru II

20 Kota Baru Santan

21 Suko Kayo

22 Taba Baru

23 Danau

24 Atas Tebing

25 Magelang Baru

26 Ujung Tanjung I

27 Ujung Tanjung II

28 Talang Leak I

29 Talang Leak II

30 Pungguk Pedaro

31 Karang Dapo Bawah

32 Karang Dapo Atas

33 Turan Lalang

34 Turang Tingging

35 Taba Anyar

36 Tes

37 Kota Donok

38 Suka Sari

39 Talang Ratu

40 Rimbo Pengadang

41 Tanjung Bajak

42 Talang Donok

43 Topos

44 Suka Negeri

45 Bandar Agung

46 Tik Kuto

47 Air Dingin

48 Talang Baru

Sumber: Anonim a

Tujuan PenelitianPenelitian dilakukan untuk

- Mendokumentasikan pola penguasaan dan pengelolaan hutan berbasis

Masyarakat Hukum Adat Rejang

- Mendokumentasikan konflik Masyarakat Hukum Adat Rejang dan TNKS

- Menyajikan rekomendasi penyelesaikan konflik yang menghormati, mengakui

dan memenuhi hak-hak Masyarakat Hukum Adat Rejang

MetodologiStudi dilakukan dengan diskusi kelompok terfokus (FGD) pada 10 September

2015 di rumah Kepala Desa Talang Donok 1, Erwan pada 19 September 2015 di rumah

Kepala Desa Talang Donok, Hersan dan pada 13 Oktober 2015 di rumah Kepala Desa

Bajok, Sabtu. Secara keseluruhan, FGD melibatkan 58 orang yang meliputi aparatur

pemerintahan desa, tokoh adat, dan tokoh masyarakat. FGD dilakukan oleh tim Akar

Foundation yang terdiri dari Dedek Hendry, Laras Novalia, Oktari Sulastri dan Randy

Angga. Selain FGD, studi dilakukan dengan metode studi pustaka.

Pola Penguasaan Lahan dan Pengelolaan SDA Masyarakat di TNKS

Sejarah Masyarakat Hukum Adat RejangKesatuan Masyarakat Hukum Adat Rejang mengalami lima tahapan

perkembangan dari bersifat genealogis hingga teritorial, yakni meramu (genealogis),

petulai (genealogis), kutei (genealogis), kuteui (teritorial), dan marga (teritorial). Pada

masa meramu, masyarakat Rejang hidup mengembara dalam kelompok yang kecil.

Mereka menggantungkan kehidupan dari hasil hutan dan sungai. Setelah mengenal

teknik bercocok tanam, mereka mulai menetap dan membangun perkampungan yang

didiami beberapa keluarga untuk mencukupi keperluan bersama atau disebut Petulai.

Kesatuan kekeluargaan yang timbul dari sistem unilateral, dengan sistem garis

keturunan yang patrilineal, dan cara perkawinan yang eksogami (Siddik, 1980) itu

dipimpin oleh seseorang yang disebut Ajai.

Pada masa ini, masyarakat Rejang terbagi empat Petulai dengan pemimpinnya

adalah Ajai Bintang, Ajai Begelan Mato, Ajai Siang dan Ajai Tiea Keteko. Pada masa

Ajai ini datanglah empat orang utusan negara bagian Majapahit bernama Biku

Sepanjang Jiwo, Biku Bembo, Biku Bejenggo dan Biku Bermano. Kedatangan mereka

diterima baik, bahkan mereka diangkat menjadi pemimpin. Di bawah pimpinan empat

biku ini, masyarakat Rejang mulai mempunyai hukum yang mengatur kehidupan

masyarakat dan lingkungan. Sehingga, terbentuklah satu masyarakat hukum adat

dengan jumlah penduduk tidak lebih 100 orang, dan terdiri dari 10 atau 15 rumah

tangga yang disebut Kuteui. Kesatuan masyarakat hukum adat yang bersifat genealogis

dengan petulainya berciri patrilineal eksogami (Siddik, 1980) ini pemimpin oleh Tuai

Kuteui.

Seiring dengan pertambahan penduduk, masyarakat Rejang membuka kuteui-

kuteui baru yang secara perlahan tidak lagi beranggotakan orang se-petulai, tetapi

campuran orang berbagai petulai dan pendatang. Dengan demikian, Kuteui tidak lagi

merupakan satu masyarakat hukum adat bersifat genealogis, tetapi sudah menuju ke

arah masyarakat hukum adat bersifat teritorial. Lalu, pada masa penjajahan Belanda,

keberadaan Kutei diubah menjadi Marga, suatu masyarakat hukum adat yang bersifat

teritorial (Siddik, 1980). Perubahan marga dilakukan oleh asisten residen Belanda di

Keresidenan Palembang, J Walland (1861 – 1865) yang dipindahkan ke Bengkulu,

dengan mengadopsi peninggalan pemerintahan Sultan Palembang. Marga dibentuk

dari beberapa Kuteui yang disatukan di bawah pimpinan yang disebut Pasirah. Kepala

kutuei disebut proatin atau depati atau ginde. Ginde yang berdiam di kutei tempat

pasirah berdomisili disebut pembarap. Selain pasirah dan jajarannya, pada

kelembagaan marga juga terdapat Dewan Marga yang berperan membuat keputusan

bersama dengan pasirah, dan mengawasi pemerintahan pasirah dan warga marga.

Hingga tahun 1961, Siddik (1980) mencatat, Masyarakat Hukum Adat Rejang

mendiami 28 marga di wilayah Provinsi Bengkulu dan 15 marga di Sumatera Selatan.

Sebanyak 28 marga di wilayah Provinsi Bengkulu itu meliputi Marga Suku IX, Marga

Suku VIII, Marga Bermani-Jurukalang, Marga Selupu Lebong, Marga Bermani Ulu,

Marga Selupu Rejang, Marga Merigi, Marga Bermani Ilir, Marga Sindang Beliti, Marga

Suku Tengah Kepungut, Marga Selupu Baru, Marga Selupu Lama, Marga Merigi

Kelindang, Marja Jurukalang, Marga Bang Haji, Marga Semitul, Marga Bermani Sungai

Hitam, Marga Bermani Perbo, Marga Bermani Palik, Marga Air Besi, Marga Kerkap,

Marga Lais, Marga Air Padang, Marga Bintunan dan Marga Sebelat.

Sedangkan 15 marga di wilayah Provinsi Sumatera Selatan itu meliputi Marga

Muara Rupit, Marga Rupit Ilir, Marga Rupit Tengah, Marga Rupit Dalam, Marga Proatin

V, Marga Tiang Pumpung Kepungut, Marga Sindang Kelingi Ilir, Marga Batu Kuning

Lakitan, Marga Suku Tengah Lakitan Ulu, Marga Sikap Dalam Musi Ulu, Marga Tedajin,

Marga Kejatan Mandi Musi Ulu, Marga Lintang Kiri Suku Sadan, Marga Semidang,

Marga Lintang Kanan Suku Muara Pinang, Marga Lintang Kanan Suku Muara Danau

dan Marga Lintang Kanan Suku Babatan.

Pola Penguasaan Lahan-HutanHutan (imbo) bagi Masyarakat Hukum Adat Rejang merupakan sumber

kehidupan baik secara ekonomi, sosial, budaya dan lingkungan. Pada masa Kuteui,

imbo merupakan kepunyaan bersama. Imbo milik kuteui adalah imbo kepunyaan

bersama yang diwariskan oleh nenek moyang atau dikenal dengan istilah tanak tanai

utan piadan nenek muyang keme (tanah hutan piadan nenek moyang kami). Begitu

eratnya hubungan dengan imbo, masyarakat Rejang memiliki penyebutan mengenai

hutan dan tata gunanya seperti imbo lem, imbo cadang, imbo bujang, belukar, tebo,

sakea, jamai, jamai imbo, ujung taneuik, sawa air idup dan sawa bendar langit.

Penyebutan Hutan dan Tata Guna

Istilah Arti

Imbo Hutan

Imbo Lem Hutan belantara atau hutan larangan

Imbo Cadang Hutan cadangan

Imbo Bujang Hutan yang sudah pernah dikelola, namun telah ditinggalkan atau

ditelantarkan lebih dari 15 tahun

Belukar Hutan yang sudah pernah dikelola, namun telah ditinggalkan atau

ditelantarkan lebih dari 7 tahun

Tebo Hutan dengan kemiringan 40 derajat dan berada di bawah bukit

Sakea Hutan yang telah dibuka hingga dengan pembakaran

Jamai Ladang yang telah menghasilkan

Jamai Imbo Ladang yang sudah berubah menjadi kebun

Ujung Taneuik Lahan kosong yang berbatasan dengan Jamai yang bisa menjadi

cadangan pengelola jamai untuk memperluas lahan

Sawa Air Idup Sawah yang pengairannya bersumber dari air sungai

Sawa Bendar

Langit

Sawah yang pengairannya bersumber dari air hujan

Setelah berubah menjadi marga, imbo sebagai milik bersama kuteui berubah

menjadi milik bersama marga. Kawasan imbo milik marga yang merupakan gabungan

imbo milik beberapa kuteui itu disebut luak langgam (batas kekuasaan). Terhadap luak

langgam, marga memiliki hak untuk menguasai dan mengaturnya untuk kepentingan

warga marga. Sedangkan hak warga marga terhadap luak langgam meliputi hak untuk

membuka dan mengelola imbo; memungut dan mengambil hasil-hasil imbo, hasil

berburu binatang liar, dan hasil sungai atau danau yang berada di imbo; dan hak untuk

berdiam atau bertempat tinggal. Pada hakekatnya, terang Hazairin dalam Siddik (1980),

hak bersama marga dan hak anggota marga adalah satu. Bedanya adalah kalau

ditinjau dari sudut anggota suatu masyarakat hukum adat, ia dinamakan hak peserta.

Sedangkan kalau ditinjau dari sudut kolektivitas, ia dinamakan hak bersama. Dengan

kata lain, secara intrinsik dalam hak bersama terdapat hak peserta marga.

Dalam pelaksanaan hak, warga marga memiliki hak utama, hak pakai dan hak

milik. Hak utama adalah suatu hak yang dimiliki setiap warga marga yang mendahului

hak warga lain yang semarga. Hak utama ini berlaku untuk jangka waktu tertentu.

Sedangkan hak pakai adalah hak untuk mengelola hingga memungut hasil dari

pengelolaan hutan atau sawah. Hak pakai ini dibedakan untuk warga marga dan

pendatang, dan berlaku untuk jangka waktu tertentu. Sementara hak milik adalah hak

kepemilikan warga marga atas hutan atau sawah yang dikelola secara terus menerus.

Jenis-jenis Hak Warga Marga

Hak warga marga - Membuka dan mengelola imbo

- Memungut hasil-hasil imbo

- Memungut hasil berburu binatang liar

- Memungut hasil sungai atau danau

- Berdiam atau bertempat tinggal

Hak Utama Hak yang dimiliki setiap warga marga yang mendahului hak

warga lain yang semarga, yang berlaku dalam jangka tertentu

Hak Pakai Hak untuk mengelola hingga memungut hasil dari pengelolaan

ladang atau sawah yang berlaku dalam jangka waktu tertentu

Hak Milik Hak kepemilikan warga marga atas kebun atau sawah yang

dikelola secara terus menerus yang dapat diwariskan

Sumber: FGD (2015); Hartiman (2013); Siddik (1980)

Hak UtamaHak utama yang berlaku di MHA Rejang bervariasi menurut objek dan masa

berlakunya. Hak utama tersebut meliputi (FGD, 2015; Hartiman, 2013; Siddik, 1980) :

1. Hak utama atas imbo yang telah diletakkan balai-balai, yang akan hilang bila

balai-balai jatuh ke tanah.

2. Hak utama atas sakea berlaku selama 1 tahun. Hak utama akan hilang bila

penggarapan sakea tidak diteruskan dengan beto’o. Apabila penggarapan sakea

tidak diteruskan karena sesuatu hal yang dapat dipahami, maka warga yang

menggarapnya tidak mendapat sanksi. Tetapi bila sengaja membiarkan sakea

begitu saja, bahkan membuka imbo baru, maka warga bersangkutan dijatuhi

sanksi dengan alasan tidak bertanggungjawab dan merusak imbo.

3. Hak utama atas jamai berlaku selama tiga tahun. Setelah tiga tahun pertama

membuka dan mengelola jamai dan selanjutnya tidak dikelola lagi, jamai menjadi

hak marga. Bila di lahan jamai terdapat pohon buah-buahan yang ditanam oleh

warga yang pertamakali membuka dan mengelola jamai, maka hanya lahan yang

kembali kepada marga. Sedangkan pohon yang ditanam, tetap menjadi

kepunyaan warga yang menanamnya. Terhadap jamai yang telah kembali ke

marga, pasirah bisa memberikan izin mengelola jamai kepada warga semarga

lainnya. Hanya saja, warga marga yang mendapat izin tersebut tidak boleh

merusak pohon yang berada di jamai. Bila dirusak dan mati, maka harus diganti

dan mendapat sanksi denda.

4. Hak utama atas jamai imbo juga berlaku selama 3 tahun. Izin pengelolaan jamai

imbo juga bisa diberikan kepada warga semarga lainnya oleh pesirah dengan

syarat yang sama dengan jamai.

5. Hak utama atas ujung taneuik berlaku selama 1 tahun, setelah ujung taneuik

tersebut dibuka oleh pengelola jamai.

6. Hak utama atas sawa air idup berlaku selama tiga tahun. Bila selama tiga tahun

sawa air idup tidak dikerjakan lagi atau dibiarkan terbengkalai, maka pengelolaan

sawa air idup bisa diberikan kepada warga semarga lainnya.

7. Hak utama atas sawa bendar langit berlaku selama satu tahun. Jika selama satu

tahun sawa bendar langit tidak dikelola lagi, pengelolaan sawa bendar langit bisa

diberikan kepada warga semarga lainnya.

8. Hak untuk mengambil hasil hutan seperti damar, rotan, madu (sialang) berlaku

selama tanda sulo yang diberikan atau diletakkan tidak hilang atau rusak.

Hak Pakai

Hak pakai yang diatur dalam hukum adat Rejang hanya terhadap jamai dan

sawa bendar langit. Hak pakai diatur untuk orang yang merupakan anggota Masyarakat

Hukum Adat Rejang bukan semarga, dan orang luar atau bukan anggota Masyarakat

Hukum Adat Rejang meliputi orang luar yang beristeri orang Masyarakat Hukum Adat

Rejang dan orang luar yang tidak beristeri orang Masyarakat Hukum Adat Rejang, serta

orang bukan anggota Masyarakat Hukum Adat Rejang dan bukan semarga. Hak pakai

diberikan seizin pasirah, dengan diajukan terlebih dahulu oleh orang yang ingin

mendapatkan hak tersebut melalui tuai kuteui. Hak pakai tersebut meliputi (FGD, 2015;

Hartiman, 2013; Siddik, 1980) :

1. Hak pakai untuk anggota Masyarakat Hukum Adat Rejang bukan semarga

Hak pakai bagi kelompok ini bisa diperoleh setelah meminta izin dari pasirah,

dengan membayar sewa bumi. Bila pengelolaan jamai dan sawa bendar langit

dilakukan secara terus-menerus, maka hak pakai bisa berubah menjadi hak

milik.

2. Hak pakai untuk orang bukan anggota Masyarakat Hukum Adat Rejang

a. Beristri anggota Masyarakat Hukum Adat Rejang

Hak pakai diberikan atas izin pasirah dengan membayar sewa bumi. Hak

pakai untuk kelompok ini dapat berkembang menjadi hak milik bila hak pakai

dilakukan secara terus-menerus.

b. Tidak beristri anggota Masyarakat Hukum Adat Rejang

Hak pakai untuk kelompok ini disebut juga hak orang tumpangan. Hak pakai

ini tidak boleh dipindahkan kepada orang lain atau ahli warisnya. Hak pakai

ini habis masa berlakunya, setelah panen. Orang yang mendapatkan hak

pakai ini diwajibkan untuk menyerahkan sebagian dari hasil panen yang

digunakan untuk kepentingan bersama anggota marga.

3. Hak pakai untuk bukan anggota Masyarakat Hukum Adat Rejang dan bukan

semarga.

Hak pakai untuk kelompok ini bisa diperoleh seizin pasirah, dan membayar sewa

bumi. Hak pakai ini masa berlakunya setelah panen, tidak bisa

dipindahtangankan atau diwariskan.

Pola Pengelolaan HutanUntuk mengelola imbo, setiap warga marga mengawalinya dengan melakukan

survei. Setelah menemukan hamparan imbo yang belum dikelola, berada di dekat aliran

sungai atau mata air dan dianggap layak untuk dibuka, calon pembuka imbo akan

membuat pemberitahuan terlebih dahulu. Calon pembuka imbo akan menerangi atau

menebas semak belukar dengan ukuran 2 - 4 meter persegi di sudut-sudut hamparan

lahan imbo yang akan dibuka, dan memancangkan tiga kayu yang diikat dengan akar

dan di tengahnya digantungi kayu atau disebut balai-balai, di lahan yang diterangi. Bila

warga semarga lainnya melihatnya, warga tersebut tidak akan mengganggu, apalagi

sampai menghalang-halangi rencana calon pembuka imbo.

Pemberitahuan itu dilakukan selama 3 bulan. Setelah itu, calon pembuka imbo

akan melakukan ritual tabeus untuk menyampaikan permintaan izin kepada roh halus

atau leluhur penjaga imbo. Ritual dilakukan dengan meninggalkan sesaji dan

mengambil secuil tanah untuk dibawa pulang ke rumah dan diletakkan di bawah bantal.

Apabila rencana membuka imbo tidak disetujui, calon pembuka imbo akan

mendapatkan mimpi buruk. Selama 3 bulan tidak pernah mendapatkan mimpi buruk,

maka calon pembuka imbo meminta izin kepada pasirah melalui tuai kuteui. Bila tidak

terdapat pelanggaran hukum adat, permintaan izin dipenuhi oleh pasirah. Berbekal izin

dari pasirah, calon pengelola imbo meneruskan rencananya dengan menebas akar-

akar pepohonan dan semak belukar. Tiga hingga 6 bulan setelah menebas akar pohon

dan semak belukar, calon pengelola imbo menebangi pohon-pohon. Biasanya,

penebangan pohon dilakukan menjelang akhir musim kemarau.

Setelah dibiarkan selama 3 – 6 bulan, maka kayu-kayu pohon dibakar atau

neme’un. Pembakaran lazimnya dilakukan menjelang awal musim penghujan. Sebelum

neme’un, pengelola lahan akan membersihkan bagian pinggir lahan sebagai batas agar

api tidak menjalar ke luar lahan atau menggeges. Batas yang dibuat berjarak 1 – 2

meter. Sewaktu neme’un, pengelola lahan mengawasi api. Bila api menjalar keluar

lahan dan membakar semak belukar dan pohon-pohon di luar lahan yang digarap,

pengelola lahan dikenakan sanksi juluak tujua. Yakni, mengumpulkan seluruh sisa

pembakaran menjadi tujuh tumpukan.

Apabila hasil pembakaran belum memadai, pengelola lahan mengumpulkan

kayu-kayu sisa pembakaran untuk dibakar lagi atau disebut ngepoa. Lahan yang

digarap hingga ngepoa disebut sakea. Sakea kemudian dibiarkan begitu saja hingga

dibasahi air hujan. Sembari menunggu hujan turun, pengelola lahan membuat pancuran

air, dan serudung atau tempat beristirahat sewaktu mengelola lahan. Bila hujan turun

dan sakea telah diguyur oleh air hujan, aktivitas selanjutnya adalah beto’o (menugal),

membuat lubang-lubang kecil di tanah menggunakan sebatang kayu yang diruncingi,

menaburi benih pada ke lubang-lubang kecil, dan menutupnya dengan tanah.

Beto’o dilakukan secara bergotong-royong. Pengelola lahan menyiapkan

makanan untuk orang-orang yang bergotong-royong. Bubua tingting yang terbuat dari

tepung beras, dan nasi dengan lauk umbut aren dan ikan kering. Bubua tingting yang

disiapkan bukan hanya untuk orang-orang bergotong-royong, tetapi juga keluarganya.

Saat pulang, orang-orang yang bergotong-royong diberikan bubua tingting di dalam

kaceung tebet yang terbuat dari bulua (bambu) kapea untuk dibawa pulang. Kegiatan

bergotong-royong ini dilakukan secara bergiliran atau disebut ali bilai (ganti hari).

Setelah berumur 5 - 6 bulan, padi mulai berbuah. Semakin intensif merawat dan

menjaga padi, pengelola lahan membuat pondok. Pembuatan pondok juga dilakukan

dengan bergotong-royong. Pengelola lahan juga menghidangkan makanan persis sama

dengan makanan yang disiapkan saat melakukan aktivitas beto’o. Setelah panen,

dilakukan acara syukuran atau meket poi. Dalam acara, pengelola lahan menyediakan

lemang untuk orang yang menghadiri, dan sesaji seperti pisang emas, sirih, gambir dan

lainnya untuk dipersembahkan kepada Dewi Sri. Ladang yang telah menghasilkan inilah

yang disebut jamai.

Awalnya imbo dibuka dan dikelola untuk bertanam padi atau ketan. Namun,

secara perlahan juga ditanami dengan tanaman muda yang bermanfaat untuk

memenuhi kebutuhan sayur, rempah-rempah (bumbu), obat-obatan dan tradisi (ritual).

Biasanya, lahan mulai ditanami dengan tanaman keras yang bermanfaat untuk

memenuhi kebutuhan kayu dan buah setelah dua kali panen padi. Selain untuk

berladang dan berkebun (kebun campur atau agroforestry), tidak sedikit pula warga

marga membuka imbo untuk dikelola menjadi sawa bendar langit dan sawa air idup.

Pola Memanen Hasil HutanUntuk mengambil atau memanen hasil imbo seperti kayu, damar, rotan dan

madu, setiap warga marga bisa melakukannya. Langkah yang dilakukan adalah

membersihkan semak belukar di bawah pohon dan memancangkan sebatang pohon

bambu yang di bagian atasnya telah dipecahkan dan dijepitkan batang bambu lainnya.

Tanda terbuat dari bambu itu disebut sulo. Selain sulo, cukilan-cukilan di batang juga

bisa menjadi tandanya. Setelah memasang sulo atau membuat cukilan-cukilan, warga

tersebut melaporkan kepada tuai kutei. Untuk mengambil hasil hutan tidak diperlukan

izin pasirah. Kecuali untuk mengambil hasil hutan di daerah imbo cadang yang telah

ditetapkan oleh dewan marga, dibutuhkan izin pasirah.

Larangan dalam Pengelolaan HutanSelain imbo cadang yang ditetapkan oleh dewan marga dan pasirah, dan imbo

lem yang ditetapkan pasirah dan pemerintahan hindia Belanda yang dilarang untuk

dibuka, Masyarakat Hukum Adat Rejang juga memiliki sejumlah larangan untuk

membuka imbo atau menebang pohon (FGD, 2015; Hartiman, 2013), diantaranya:

Tidak boleh menebang pohon yang berumur ratusan tahun dan dipercaya dihuni

oleh roh halus

Tidak boleh menebang pohon di bantaran atau pinggir sungai

Tidak boleh membuka imbo yang terdapat mata air

Tidak boleh membuka imbo di lahan-lahan yang curam

Tidak boleh membuka imbo di dekat air terjun

Tidak boleh menimbun atau merusak mata air

Tidak boleh membuka imbo atau menebang pohon di hulu sungai

Tidak boleh membuka imbo di atas tebing

TNKS dan Dampak Terhadap Masyarakat

Sejarah TNKS TNKS dibentuk dari 17 kelompok hutan yang merupakan bagian hutan lindung

register tahun 1921-1926 yang ditetapkan oleh pemerintah Belanda (dikenal oleh

masyarakat dengan istilah BW), cagar alam dan suaka margasatwa yang ditetapkan

pada kurun 1978-1981, ditambah dengan kawasan hutan produksi (Anonim b;

Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Kementerian Kehutanan,

2003; Purwanto, 2015; Wantoro dan Adam, 2001). Pengusulan membentuk TNKS

dilakukan berdasarkan hasil penelitian Direktorat Jenderal Perlindungan dan

Pelestarian Alam dan WWF yang disponsori FAO (Food and Agriculture Organization)

pada 1977 – 1980. Usulan tersebut ditanggapi Departemen Pertanian (kala itu

membidangi sektor kehutanan), Departeman Penerangan, Menteri Negara PPLH dan

Meneg Ristek dengan mengeluarkan pernyataan bersama dan konsep “Strategi

Konservasi Alam di Indonesia” pada 6 Maret 1980.

Kawasan Hutan yang Membentuk TNKS

No Unit Hutan Status Tanggal Provinsi

1 Bayang HL 08-06-1921 Sumatera Barat

2 Batang Hari HL 31-01-1921 Sumatera Barat

Kambang HL 19-02-1921 Sumatera Barat

3 Indrapura CA 09-12-1929 Sumatera Barat

Indrapura CA 05-11-1980 Jambi

4 Sangir 1 HL 25-04-1921 Sumatera Barat

Jujuhan HL 08-06-1921 Sumatera Barat

5 Hutan tidak berstatus TS - Sumatera Barat

6 Danau Gunung Tujuh CA 1976 Jambi

7 Sangir Ulu HL 29-06-1926 Jambi

Batang Tebo HL - Jambi

Batang Tahir HL - Jambi

Sangir Ulu SM - Jambi

Batang Tebo SM - Jambi

Batang Tahir SM - Jambi

8 Batang Tebo HL - Jambi

9 Batang Merangin Timur HL 29-06-1926 Jambi

10 Hutan tidak berstatus TS - Jambi

11 Gunung Sumbing

Masurai

HL - Jambi

12 Batang Merangin Barat SM - Jambi

13 Bukit Tapan CA 1978 Jambi

14 Bukit Kayu Embun SM - Bengkulu

15 Bukit Gedang Seblat SM 1980 Bengkulu

16 Bukit Rengas HL 08-03-1926 Bengkulu

Hulu Sulup HL 08-03-1926 Bengkulu

17 Rawas Hulu Rakitan SM 05-07-1979 Sumatera

Selatan

Sumber: Anonim b, Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam

Kementerian Kehutanan (2003), Purwanto (2015); Wantoro dan Adam (2001).

Lalu, pada Kongres Taman Nasional Sedunia III di Bali tahun 1982, pemerintah

menetapkan rencana taman nasional untuk 11 kawasan, termasuk Kerinci Seblat. Surat

Menteri Pertanian No.736/ Mentan/X/1982, tertanggal 14 Oktober 1982, menetapkan

TNKS seluas 1.484.660 hektar. Dalam perkembangannya, luas TNKS berkurang

menjadi 1.386.000 hektar berdasarkan SK Menteri Kehutanan nomor 192/Kpts-II/1996,

tertanggal 1 Mei 1996. Akibat terjadi penyusutan, dilakukan revisi dengan melakukan

tata batas. Setelah pemancangan pal batas dan rekonstruksi, Menteri Kehutanan

melalui Surat Keputusan No. 901/Kpts- II/1999, tertanggal 14 Oktober 1999,

menetapkan kawasan TNKS dengan luas 1.375.349 hektar. Lalu, berdasarkan SK

Menhut No.420/Menhut-II/2004, tertanggal 19 Oktober 2004, luas TNKS menjadi

1.389.510 hektar.

Dampak TNKS Terhadap MasyarakatPenetapan kawasan dan batas TNKS yang membentang di wilayah Kabupaten

Lebong telah memicu konflik berkepanjangan dengan Masyarakat Hukum Adat Rejang.

Konflik disebabkan penetapan TNKS yang didasarkan dengan paradgima “hak

menguasai negara” serta paradigma pengelolaan kawasan yang dilindungi harus

terbebas dari aktivitas manusia telah menegasikan keberadaan Masyarakat Hukum

Adat Rejang, wilayahnya, dan hukum adat Rejang. Dalam menetapkan kawasan dan

batas TNKS, pemerintah tidak pernah mengajak Masyarakat Hukum Adat Rejang

memusyawarahkannya, tidak pernah mengumumkannya, bahkan Masyarakat Hukum

Adat Rejang dipaksa untuk menerima keputusan yang dibuat (Barber dkk, 1997; FGD,

2015; Hartiman, 2013; Hartiman dkk, 2001). Sehingga, tidak sedikit lahan milik

masyarakat seperti sawah, kebun dan pemanfaatan hasil hutan nonkayu secara

tradisional masuk dalam kawasan taman nasional (FGD, 2015; Hartiman, 2013;

Hartiman dkk, 2001; Wantoro dan Adam, 2001).

Pemaksaan untuk menerima penetapan kawasan dan batas TNKS yang

dilakukan oleh pemerintah dengan menggunakan pendekatan refresif, intensif dilakukan

pada 1992-1993-an. Kala itu, Masyarakat Hukum Adat Rejang yang mengelola kebun

yang diwariskan secara turun temurun diusir dan dilarang untuk melanjutkan aktivitas.

Pondok di kebun dihancurkan dan dibakar, tanaman di kebun ditebang, pengelola

kebun dikumpulkan dan dipaksa menggunakan kalung yang bertuliskan “perambah”

dan difoto oleh petugas. Selanjutnya, mereka disuruh menaiki mobil dan dibawa keliling

untuk diperlihatkan kepada masyarakat lainnya. Perlakuan refresif petugas balai TNKS

yang melibatkan aparat keamanan bersenjata api itu meninggalkan kesan mendalam.

Bagi Masyarakat Hukum Adat Rejang, penetapan kawasan dan batas TNKS

dianggap telah merampas hak, menghancurkan sumber penghidupan, mempersempit

ruang hidup, menggerogoti hukum adat Rejang, melakukan kriminalisasi, dan

melanggar hak asasi manusia (FGD, 2015). Selain itu, penetapan kawasan dan batas

TNKS dianggap telah memutuskan mata rantai kehidupan ekonomi dengan lingkungan

tanah-hutan (Hartiman dkk, 2001), dan menghilangkan rasa memiliki dan

tanggungjawab kolektif masyarakat hukum adat terhadap hutan (Yamani, 2011).

Perlakuan negara tersebut dinilai lebih buruk daripada Pemerintah Hindia

Belanda yang menggunakan teoretikal domein verklaring untuk menguasai tanah yang

tidak dikuasai secara langsung oleh kesatuan masyarakat adat. Pada saat ingin

menetapkan kawasan hutan lindung (BW) pada 1926, Pemerintah Hindia Belanda

mengajak dan melibatkan masyarakat hukum adat Rejang memusyawarahkannya dan

pemasangan patok BW (FGD, 2015; Hartiman, 2013; Hartiman dkk, 2001). Singkatnya,

bila Pemerintah Hindia Belanda menghormati dan mengakui keberadaan Masyarakat

Hukum Adat Rejang, wilayah adat dan hukum adat Rejang, sementara pemerintah

Indonesia malah menafikannya.

Kendati dipaksa untuk menerima keputusan yang dibuat oleh pemerintah, namun

Masyarakat Hukum Adat Rejang tetap mentaati hukum adat Rejang, khususnya

mengenai hukum tanah. Ketaatan itu berlaku secara otomatis spontan (FGD, 2015;

Hartiman, 2013; Hartiman dkk, 2001). Sehingga, terhadap wilayah adat yang telah

dikelola menjadi kebun dan sawah yang masuk dalam kawasan TNKS, mereka

beranggapan tetap berhak untuk mengelolanya. Hanya saja, aktivitas mengelola dan

memungut hasil dari kebun dan sawah tersebut dilakukan laksana main “kucing-

kucingan” karena dibayangi rasa cemas, tidak nyaman dan was-was. Apabila

mendapatkan informasi mengenai kedatangan petugas balai TNKS, mereka langsung

meninggalkan kebun dan sawah, dan berharap petugas tidak merusak pondok dan

menebang tanaman yang ditanam.

Upaya Memperoleh Pengakuan Hak dan Penyelesaian Masalah

Sebelum keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012, dapat

dikatakan belum ada upaya yang terencana dan sistematis yang dilakukan Masyarakat

Hukum Adat Rejang untuk memperoleh pengakuan atas haknya dan menyelesaikan

konflik. Upaya yang dilakukan hanya sebatas menyuarakannya kepada pejabat atau

anggota DPRD yang kebetulan melakukan kegiatan di desa. Kendati berulang kali

menyuarakannya, namun tidak membuahkan hasil. Hal serupa sewaktu Masyarakat

Hukum Adat Rejang didampingi oleh sejumlah LSM lokal, upaya yang dilakukan tidak

membuahkan hasil. Belum terangnya proses legal untuk memperoleh pengakuan

keberadaan Masyarakat Hukum Adat dan hak-haknya, dan minimnya keberpihakan

pejabat dan anggota DPRD Lebong menjadi pemicunya.

Paska keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 dan

sejumlah peraturan perundang-undangan lainnya, upaya yang dilakukan mulai

terencana dan sistematis. Hal ini diakibatkan proses legal untuk memperoleh

pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat dan hak-haknya mulai terang

benderang. Proses legal dilakukan dengan mengkaji definisi masyarakat hukum adat,

syarat untuk memperoleh pengakuan, dan posisi peraturan daerah yang mengakui

keberadaan masyarakat hukum adat berdasarkan peraturan dan perundang-undangan.

Untuk definisi masyarakat hukum adat, sejumlah peraturan dan perundang-undangan

yang menjadi rujukannya antara lain:

Undang-Undang No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan

Hidup

Pasal 1 ayat (31)

Masyarakat hukum adat adalah kelompok masyarakat yang secara turun temurun

bermukim di wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan pada asal usul leluhur,

adanya hubungan yang kuat dengan lingkungan hidup, serta adanya sistem nilai yang

menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, dan hukum.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2014 Tentang Perkebunan

Pasal 1 ayat (6)

Masyarakat Hukum Adat adalah sekelompok orang yang secara turun-temurun

bermukim di wilayah geografis tertentu di Negara Kesatuan Republik Indonesia karena

adanya ikatan pada asal usul leluhur, hubungan yang kuat dengan Tanah, wilayah,

sumber daya alam yang memiliki pranata pemerintahan adat dan tatanan hukum adat di

wilayah adatnya.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang

Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil

Pasal 1 ayat (33)

Masyarakat Hukum Adat adalah sekelompok orang yang secara turun-temurun

bermukim di wilayah geografis tertentu di Negara Kesatuan Republik Indonesia karena

adanya ikatan pada asal usul leluhur, hubungan yang kuat dengan tanah, wilayah,

sumber daya alam, memiliki pranata pemerintahan adat, dan tatanan hukum adat di

wilayah adatnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun

1999 Tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat

Pasal 1 ayat (3)

Masyarakat hukum adat adalah sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum

adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat

tinggal ataupun atas dasar keturunan.

Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor : P.62/Menhut-Ii/2013

Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.44/Menhut-Ii/2012

Tentang Pengukuhan Kawasan Hutan

Pasal 18a.

Masyarakat hukum adat adalah sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum

adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat

tinggal ataupun atas dasar keturunan.

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 Tentang Pedoman Pengakuan

Dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat

Pasal 1 ayat (1)

Masyarakat Hukum Adat adalah Warga Negara Indonesia yang memiiki karakteristik

khas, hidup berkelompok secara harmonis sesuai hukum adatnya, memiliki ikatan pada

asal usul leluhur dan atau kesamaan tempat tinggal, terdapat hubungan yang kuat

dengan tanah dan lingkungan hidup, serta adanya sistem nilai yang menentukan

pranata ekonomi, politik, sosial, budaya, hukum dan memanfaatkan satu wilayah

tertentu secara turun temurun.

Peraturan Menteri Negara Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional

Nomor 5 Tahun 2015 Tentang Tata Cara Penetapan Hak Komunal Atas Tanah

Masyarakat Hukum Adat dan Masyarakat Yang Berada Dalam Kawasan Hutan

Pasal 1 ayat (3)

Masyarakat hukum adat adalah sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum

adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat

tinggal ataupun atas dasar keturunan.

Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.32/Menlhk-Setjen/2015

Tentang Hutan Hak.

Pasal 1 ayat (11)

Masyarakat hukum adat adalah kelompok masyarakat yang secara turun temurun

bermukim di wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan pada asal usul leluhur,

adanya hubungan yang kuat dengan lingkungan hidup, serta adanya sistem nilai yang

menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, dan hukum.

Sedangkan mengenai syarat untuk memperoleh pengakuan dan posisi peraturan

daerah yang mengakui keberadaan masyarakat hukum adat, peraturan dan perundang-

undangan yang menjadi rujukannya adalah :

Undang-Undang Dasar 1945

Pasal 18 B ayat (2)

Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat

beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan

perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang

diatur dalam Undang-undang.

Undang-Undang No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Paska Putusan MK No

35/PPU-X/2012)

Pasal 1 angka 6

Hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat.

Pasal 4 ayat (3)

Penguasaan hutan oleh Negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat,

sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip

Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dengan undang-undang.

Pasal 5 ayat (1)

Hutan berdasarkan statusnya terdiri dari:

a. hutan negara,

b. hutan adat; dan

c. hutan hak.

Pasal 5 ayat (3)

Pemerintah menetapkan status hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan hutan

adat ditetapkan sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang

bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya.

Pasal 67 ayat (1)

Masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui

keberadaannya berhak:

a. melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari

masyarakat adat yang bersangkutan;

b. melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan

tidak bertentangan dengan undang-undang; dan

c. mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya.

Pasal 67 ayat (2)

Pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

Undang-Undang No 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan

Hidup

Pasal 63 ayat (1) huruf (t)

Dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, Pemerintah bertugas dan

berwenang antara lain menetapkan kebijakan mengenai tata cara pengakuan

keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal, dan hak masyarakat hukum adat

yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

Pasal 63 ayat (2) huruf (n)

Dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, Pemerintah Provinsi bertugas

dan berwenang antara lain menetapkan kebijakan tata cara pengakuan keberadaan

masyarakat hukum adat, kearifan lokal, dan hak masyarakat hukum adat yang terkait

dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

Pasal 63 ayat (3) huruf (k)

Dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, Pemerintah Kabupaten/Kota

bertugas dan berwenang antara lain melaksanakan kebijakan tata cara pengakuan

keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal, dan hak masyarakat hukum adat

yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup pada tingkat

kabupaten/kota.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012

Dalam putusan ini, MK berpendapat adapun tentang pengukuhan dan hapusnya

masyarakat hukum adat ditetapkan dengan Peraturan Daerah dan ketentuan lebih

lanjut diatur dalam Peraturan Pemerintah, menurut Mahkamah merupakan delegasi

wewenang yang diatur dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan “Negara

mengakui dan menghormati kesatuan kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-

hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan

masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam

undang-undang“.

Undang-Undang yang diperintahkan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 hingga saat ini

belum terbentuk. Oleh karena kebutuhan yang mendesak, banyak peraturan

perundang-undangan yang lahir sebelum Undang-Undang yang dimaksud terbentuk.

Hal tersebut dapat dipahami dalam rangka mengisi kekosongan hukum guna menjamin

adanya kepastian hukum. Dengan demikian, pengaturan yang ditetapkan dengan

Peraturan Pemerintah dan Peraturan Daerah dapat dibenarkan sepanjang peraturan

tersebut menjamin kepastian hukum yang berkeadilan.

Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27

Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil

Pasal 22 ayat (2)

Masyarakat Hukum Adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan

pengakuannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

UU No 6 Tahun 2014 Tentang Desa

Pasal 96

Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota

melakukan penataan kesatuan masyarakat hukum adat dan ditetapkan menjadi Desa

Adat.

Pasal 97 ayat (1)

Penetapan Desa Adat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 memenuhi syarat:

a. kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya secara nyata masih

hidup, baik yang bersifat teritorial, genealogis, maupun yang bersifat fungsional;

b. kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya dipandang sesuai

dengan perkembangan masyarakat; dan

c. kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sesuai dengan prinsip

Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pasal 97 ayat (2)

Kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya yang masih hidup

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus memiliki wilayah dan paling kurang

memenuhi salah satu atau gabungan unsur adanya:

a. masyarakat yang warganya memiliki perasaan bersama dalam kelompok;

b. pranata pemerintahan adat;

c. harta kekayaan dan/atau benda adat; dan/atau

d. perangkat norma hukum adat.

Pasal 97 ayat (3)

Kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) huruf b dipandang sesuai dengan perkembangan masyarakat apabila:

a. keberadaannya telah diakui berdasarkan undang-undang yang berlaku sebagai

pencerminan perkembangan nilai yang dianggap ideal dalam masyarakat dewasa ini,

baik undang-undang yang bersifat umum maupun bersifat sektoral; dan

b. substansi hak tradisional tersebut diakui dan dihormati oleh warga kesatuan

masyarakat yang bersangkutan dan masyarakat yang lebih luas serta tidak

bertentangan dengan hak asasi manusia.

Pasal 97 ayat (4)

Suatu kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) huruf c sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik

Indonesia apabila kesatuan masyarakat hukum adat tersebut tidak mengganggu

keberadaan Negara Kesatuan Republik lndonesia sebagai sebuah kesatuan politik dan

kesatuan hukum yang:

a. tidak mengancam kedaulatan dan integritas Negara Kesatuan Republik lndonesia;

dan

b. substansi norma hukum adatnya sesuai dan tidak bertentangan dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan.

Pasal 98 ayat (1)

Desa Adat ditetapkan dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah

Pembagian Urusan Pemerintahan Konkuren Antara Pemerintah Pusat Dan Daerah

Provinsi Dan Daerah Kabupaten/Kota

K. Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang Lingkungan Hidup

Sub Bidang Pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat (MHA), kearifan lokal dan

hak MHA yang terkait dengan PPLH

Penetapan pengakuan MHA, kearifan lokal atau pengetahuan tradisional dan hak

kearifan lokal atau pengetahuan tradisional dan hak MHA terkait dengan PPLH yang

berada di Daerah kabupaten/kota merupakan urusan Pemerintah Daerah

Kabupaten/Kota

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 Tentang Perkebunan

Pasal 13

Masyarakat Hukum Adat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) ditetapkan

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehutanan, Menteri PU, Kepala

BPN No 79 Tahun 2014 Tentang Tata Cara Penyelesaian Penguasaan Tanah yang

Berada di Dalam Kawasan Hutan

Pasal 1 ayat (12)

Pengakuan hak masyarakat hukum adat adalah pengakuan pemerintah terhadap

keberadaan hak-hak masyarakat hukum adat sepanjang pada kenyataan masih ada

Pasal 9

Pengakuan hak masyarakat hukum adat dilaksanakan sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 Tentang Pedoman Pengakuan

Dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat

Pasal 2

Gubernur dan bupati/walikota melakukan pengakuan dan perlindungan masyarakat

hukum adat.

Peraturan Menteri Negara Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional

Nomor 5 Tahun 2015 Tentang Tata Cara Penetapan Hak Komunal Atas Tanah

Masyarakat Hukum Adat dan Masyarakat Yang Berada Dalam Kawasan Hutan

Pasal 15

Pengakuan hak masyarakat hukum adat adalah pengakuan pemerintah terhadap

keberadaan hak-hak masyarakat hukum adat sepanjang pada kenyataan masih ada

Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.32/Menlhk-Setjen/2015

Tentang Hutan Hak

Pasal 6 ayat 1 huruf a

Terdapat masyarakat hukum adat atau hak ulayat yang telah diakui oleh pemerintah

daerah melalui produk hukum daerah

Proses legal untuk memperoleh pengakuan dan perlindungan keberadaan

masyarakat hukum adat Rejang dan hak-haknya dilakukan secara bertahap. Diawali

dengan mendorong keluarnya Perda tentang Perlindungan dan Pengakuan Masyarakat

Hukum Adat Rejang, mendorong keluarnya Perbup atau SK Bupati tentang Penetapan

Wilayah dan Hutan Adat, dan mendorong keluarnya SK Menteri KLHK tentang

Penetapan Hutan Adat. Upaya mendorong keluarnya Perda tentang Perlindungan dan

Pengakuan Masyarakat Hukum Adat Rejang telah dilakukan melalui serangkaian

kegiatan yang bermuara pada konsultasi publik dan penyerahan draft Naskah

Akademik dan Raperda Tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum

Adat Rejang ke DPRD Lebong di ruang rapat DPRD Lebong pada Sabtu, 24 Oktober

2015. Konsultasi dilakukan melibatkan aparatur pemerintah desa, tokoh adat,

Laboratorium Hukum Fakultas Hukum Universitas Bengkulu, Pemda beserta satuan

perangkat kerja daerah (SKPD) terkait dan DPRD Lebong. Hasil konsultasi, DPRD

Kabupaten Lebong dan Pemda Lebong menyepakati pembentukan Raperda tentang

Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Rejang menjadi inisiatif DPRD

Lebong, dan akan diagendakan dalam Prolegda 2016 untuk dibahas dan disahkan

pada 2016.

Kesimpulan

Putusan MK No 35/PUU-X/2012 merupakan koreksi mendasar terhadap konsep

dan praktik negara menegasikan keberadaan dan hak masyarakat hukum adat atas

hutan, dan penguasaan hutan. MK berpendapat, Pasal 1 angka (6) Undang-Undang

Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan bahwa “Hutan adat adalah hutan negara

yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat” adalah bertentangan dengan

Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 bahwa “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-

kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih

hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan

Republik Indonesia, yang diatur dalam Undang-undang”, dan merupakan pengabaian

terhadap hak-hak masyarakat hukum adat. Sehingga, MK memutuskan Pasal 1 angka

6 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi “Hutan adat

adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat”.

Koreksi mendasar yang dilakukan negara itu selaras dengan pergeseran

pendekatan penetapan dan pengelolaan kawasan konservasi yang merampas hak dan

mengusir masyarakat hukum adat. Pendekatan yang menegasikan keberadaan dan

hak masyarakat hukum adat atas hutan di dalam kawasan konservasi dan masyarakat

hukum adat dianggap sebagai bagian masalah dalam pengelolaan kawasan konservasi

itu dikoreksi secara mendasar dengan mengkaitkannya dengan hak asasi manusia,

khususnya hak masyarakat hukum adat sebagaimana tertuang dalam Deklarasi

Perserikatan Bangsa-Bangsa atas Hak-hak Masyarakat Hukum Adat. Pendekatan baru

ini dikenal dengan pendekatan berbasis hak (Campese, 2009; Greiber, 2009; Rights

and Resources Initiative, 2015).

Merujuk pada Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa atas Hak-hak Masyarakat

Hukum Adat, koreksi yang dilakukan negara melalui putusan MK No 35/PUU-X/2012

selaras dengan Pasal 26 Ayat 1 bahwa “Masyarakat adat memiliki hak atas tanah-

tanah, wilayah-wilayah dan sumber daya-sumber daya yang mereka miliki atau duduki

secara tradisional atau sebaliknya tanah-tanah, wilayah-wilayah dan sumber daya-

sumber daya yang telah digunakan atau yang telah didapatkan”, dan Pasal 26 ayat 2

bahwa “Masyarakat adat memiliki hak untuk memiliki, menggunakan, mengembangkan

dan mengontrol tanah-tanah, wilayah-wilayah dan sumber daya-sumber daya yang

mereka miliki atas dasar kepemilikan tradisional atau penempatan dan pemanfaatan

secara tradisional lainnya, juga tanah-tanah, wilayah-wilayah dan sumber daya-sumber

daya yang dimiliki dengan cara lain”. Namun, hak masyarakat adat bukan hanya seperti

tercantum pada Pasal 26 ayat (1) dan Pasal 26 ayat (2). Masih banyak hak yang diatur

Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa atas Hak-hak Masyarakat Hukum Adat, antara

lain:

Pasal 10

Masyarakat adat tidak boleh dipindahkan secara paksa dari tanah atau wilayah mereka.

Tidak boleh ada relokasi yang terjadi tanpa persetujuan bebas dan sadar, tanpa

paksaan dari masyarakat adat yang bersangkutan, dan hanya boleh setelah ada

kesepakatan perihal ganti kerugian yang adil dan memuaskan, dan jika memungkinkan,

dengan pilihan untuk kembali lagi.

Pasal 16

Masyarakat adat mempunyai hak untuk membentuk media mereka sendiri dalam

bahasa-bahasa mereka sendiri, dan memiliki akses terhadap semua bentuk media

umum tanpa diskriminasi

Pasal 18

Masyarakat adat mempunyai hak untuk berpartisipasi dalam proses pembuatan

keputusan berkenaan dengan hal-hal yang akan membawa dampak pada hak-hak

mereka, melalui perwakilan-perwakilan yang mereka pilih sesuai dengan prosedur

mereka sendiri, dan juga untuk mempertahankan dan mengembangkan pranata

pembuatan keputusan yang mereka miliki secara tradisional.

Pasal 23

Masyarakat adat memiliki hak untuk menentukan dan mengembangkan prioritas-

prioritas dan strategi-strategi untuk melaksanakan hak-hak mereka atas pembangunan.

Terutama, masyarakat adat memiliki hak untuk terlibat secara aktif dalam

pengembangan dan menentukan program-program kesehatan, perumahan dan

program-program ekonomi dan kemasyarakatan yang mempengaruhi mereka, dan

sejauh mungkin mengelola program-program tersebut melalui lembaga-lembaga

mereka sendiri.

Pasal 25

Masyarakat adat memiliki hak untuk memelihara dan memperkuat hubungan spiritual

yang khas dengan tanah, wilayah, air dan pesisir pantai dan sumber daya yang lainnya,

yang digunakan atau dikuasai secara tradisional, dan untuk menjunjung tinggi tanggung

jawab mereka terhadap generasi-generasi mendatang.

Pasal 28

Masyarakat adat memiliki hak untuk mendapatkan ganti kerugian, dengan cara-cara

termasuk restitusi atau, jika ini tidak memungkinkan, kompensasi yang layak dan adil,

atas tanah, wilayah dan sumber daya yang mereka miliki secara tradisional atau

sebaliknya tanah, wilayah dan sumber daya yang dikuasai atau digunakan, dan yang

telah disita, diambil alih, dikuasai, digunakan atau dirusak tanpa persetujuan bebas

tanpa paksaan dari mereka terlebih dahulu.

Pasal 31

Masyarakat adat memiliki hak untuk menjaga, mengontrol, melindungi dan

mengembangkan warisan budaya mereka, pengetahuan tradisional dan ekspresi-

ekspresi budaya tradisional, seperti juga manifestasi ilmu pengetahuan mereka,

teknologi-teknologi dan budaya-budaya, termasuk sumber daya manusia dan sumber

daya genetik lainnya, benih-benih, obat-obatan, permainan-permainan tradisional dan

seni pentas. Mereka juga memiliki hak untuk menjaga, mengontrol, melindungi dan

mengembangkan kekayaan intelektual, warisan budaya, pengetahuan tradisional, dan

ekspresi-ekspresi budaya mereka.

Pasal 32

Masyarakat adat memiliki hak untuk menentukan dan mengembangkan prioritas-

prioritas dan strategi-strategi untuk pembangunan atau penggunaan tanah-tanah atau

wilayah mereka dan sumber daya lainnya.

Pasal 33 ayat (2)

Masyarakat adat mempunyai hak untuk menentukan susunan, dan untuk memilih

keanggotaan dari, kelembagaankelembagaan mereka sesuai dengan prosedur mereka

sendiri.

Pasal 34

Masyarakat adat mempunyai hak untuk memajukan, membangun dan

mempertahankan stuktur-struktur kelembagaan mereka dan kebiasaan-kebiasaan

mereka yang khas, spiritualitas, tradisi-tradisi, prosedur dan praktik-praktik dimana

mereka berada, system-sistem peradilan atau kebiasaan-kebiasaan, sesuai dengan

standar-standar hak asasi manusia yang diakui secara internasional.

Pasal 40

Masyarakat adat memiliki hak atas akses ke, dan untuk memperoleh keputusan secara

cepat melalui prosedur-prosedur yang adil dan disetujui secara bersama bagi,

penyelesaian konflik dan sengketa dengan Negara dan pihak-pihak yang lain, dan juga

bagi pemulihan yang efektif untuk semua pelanggaran hak-hak individual dan kolektif

mereka. Keputusan seperti itu harus mempertimbangkan adat, tradisi, peraturan-

peraturan dan sistem hukum dari masyarakat adat yang bersangkutan dan hak asasi

manusia internasional.

Saran dan RekomendasiUpaya Masyarakat Hukum Adat Rejang yang berhasil mendorong DPRD

Kabupaten Lebong berinisatif membentuk Perda tentang Pengakuan dan Perlindungan

Masyarakat Hukum Adat Rejang merupakan bagian dari jalan panjang untuk

memperoleh penghormatan, pengakuan dan pemenuhan hak-hak Masyarakat Hukum

Adat Rejang, sekaligus menyelesaikan konflik dengan negara yang telah menetapkan

kawasan TNKS dengan merampas dan mengusir Masyarakat Hukum Adat Rejang.

Mengingat masih panjangnya jalan tersebut, maka upaya konsolidasi dan

peningkatakan kapasitas masyarakat hukum adat Rejang, negosiasi dan advokasi perlu

terus dilakukan secara berkesinambungan. Oleh karena itu, upaya peningkatan

kapasitas Masyarakat Hukum Adat Rejang agar dapat bernegosiasi secara efektif

dengan negara dan melakukan advokasi, serta peningkatan pemahaman mengenai

hak-hak masyarakat hukum adat seperti Free and Prior Informed Consent (FPIC)

sangat penting untuk dilakukan. Selain itu, upaya memfasilitasi Masyarakat Hukum

Adat Rejang untuk membangun media sendiri sebagai sarana informasi, edukasi,

negosiasi dan advokasi juga sangat penting untuk dilakukan (Hendry, 2014; Hendry,

2015)..

Daftar Pustaka

Anomim a, Desa-desa yang Berbatasan Langsung dengan TNKS di Kabupaten Rejang

Lebong

Anonim b, Status Awal Kawasan Sebelum Ditetapkan sebagai Taman Nasional

Barber, Victor dkk, 1997, Meluruskan Arah Pelestarian Keanekaragaman Hayati dan

Pembangunan di Indonesia, Yayasan Obor Indonesia

Campese, Jessica, 2009, Rights-based Approaches to Conservation: An Overview of

Concepts and Questions dalam Campese, J Jessica. et al (Eds.), 2009, Rights-based

Approaches: Exploring Issues and Opportunities for Conservation. CIFOR and IUCN.

Bogor, Indonesia.

Directorate General Of Forest Protection And Nature Conservation Ministry Of Forestry,

2003, Tropical Rainforest Heritage Of Sumatra By The Government Of The Republic Of

Indonesia To Be Included In The World Heritage List

Hartiman, Andry Harijanto dkk, 2001, Ketaatan Masyarakat Pada Hukum Adat Dalam

Pelestarian Keanekaragaman Hayati Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) Di

Kabupaten Rejang Lebong Propinsi Bengkulu, Pusat Studi Lingkungan Lembaga

Penelitian UNIB

Hartiman, Andry Harijanto, 2013, Antropologi Hukum: Studi Kasus di Bengkulu, Komis-

FH Unib Press

Hendry, Dedek, 2014, Masyarakat Adat Rejang Buat Media, Mungkinkah?,

http://www.akar.or.id/index.php/2014/02/20/masyarakat-adat-rejang-buat-media-

mungkinkah/

Hendry, Dedek, 2015, Jurnalisme dan Perlindungan Hak-hak Masyarakat Adat,

https://www.academia.edu/10111672/Jurnalisme_dan_Perlindungan_Hak-hak_Masyarakat_Adat

Greiber, Thomas (Ed.) 2009. Conservation with Justice. A Rights-based Approach.

IUCN, Gland, Switzerland.

Lebong Dalam Angka 2009, BPS Kabupaten Lebong

Provinsi Bengkulu Dalam Angka 2014, BPS Provinsi Bengkulu

Purwanto, E, 2015. Strategi Anti-Perambahan di Kawasan Warisan Hutan Tropis

Sumatra (TRHS): Menuju Paradigma Baru, Tropenbos International Indonesia

programme dan UNESCO Jakarta

Rights and Resources Initiative, 2015, Protected Areas and the Land Rights of

Indigenous Peoples and Local Communities:Current Issues and Future Agenda,

Siddik, Abdullah, 1980, Hukum Adat Rejang, PN Balai Pustaka

Wantoro, Untung dan Adam, 2001, Sejarah Terbentuknya TN Kerinci Seblat, Alam

Sumatera, Volume I - No. 2/September 2001

Yamani, Muhammad, 2011, Strategi Perlindungan Hutan Berbasis Hukum Lokal di

Enam Komunitas Adat Daerah Bengkulu, JURNAL HUKUM NO. 2 VOL. 18 APRIL

2011: 175 – 192

UN Declaration on the Rights of Indigenous Peoples

Undang-Undang Dasar 1945

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan

Lingkungan Hidup

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 Tentang Perkebunan

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang

Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 Tentang Perkebunan

Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehutanan, Menteri PU, Kepala

BPN Nomor 79 Tahun 2014 Tentang Tata Cara Penyelesaian Penguasaan Tanah yang

Berada di Dalam Kawasan Hutan

Peraturan Menteri Agraria Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian

Permasalahan Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat,

Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor

5 Tahun 2015 Tentang Tata Cara Penetapan Hak Komunal Atas Tanah Masyarakat

Hukum Adat dan Masyarakat Yang Berada Dalam Kawasan Hutan

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 Tentang Pedoman Pengakuan

Dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat

Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Kehutanan Nomor P.32/Menlhk-Setjen/2015

Tentang Hutan Hak

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012