resolusi konflik dalam al-qur'an.pdf
TRANSCRIPT
1
RESOLUSI KONFLIK PERSPEKTIF AL-QUR’AN
(Kajian Tematik Ayat-Ayat Resolusi Konflik)
Oleh ; Mohammad Barmawi
Abstrak
Plural social life is very difficult to separate from the conflict. Differences in
ethnicity, race, and faith is the most responsible for the occurrence of conflict.
Therefore, a formulation solution that could serve as the basis to minimize the
occurrence of conflict is needed.
This paper aims to uncover the formulation of conflict resolution Qur‟anic
perspectives. Al-Qur‟an serve as object of study because the Koran itself is
rahmatan lil „alamin, so that the existence of such formulations is expected to
minimize conflict.
Based on recent assessments have been conducted by the author, it can be
concluded that a conflict resolution perspective of the Koran can be classified
into two phases. First, the importance of prevention efforts before the conflict,
a) by way of imparting education about plurality in social life which is natural.
Simultaneously infuse love each other and also to the universe, b) Always start
with a consultation in setting a policy, c) if there is a difference complex, then
each party brought together to be discussed together to find common ground
that can be received each each party.
Second. Reconciling the conflict in a way; a) bring policies fairly without
discriminating, b) strict sanctions against anyone who has terbuktoi
wrongdoing.
Abstrak Bahasa Indonesia
Kehidupan bermasyarakat yang di dalamnya terdapat ragam perbedaan sangat
sulit dipisahkan dari konflik. Perbedaan suku, bangsa, dan keyakinan
merupakan hal yang paling bertanggung atas terjadinya konflik. Karenanya,
formulasi solusi yang dapat dijadikan sebagai pijakan untuk meminimalisir
terjadinya konflik ialah dibutuhkan.
Makalah ini bertujuan mengungkap formulasi resolusi konflik perspektif al-
Qur'an. Al-Qur'an dijadikan dijadikan objek kajian sebab al-Qur'an itu sendiri
bersifat rahmatan lil 'alamin, sehingga dengan adanya formulasi tersebut
diharapkan mampu meminimalisir terjadinya konflik.
Berdasarkan kajian yang telah dilakukan oleh penulis, maka dapat disimpulkan
bahwa resolusi konflik persepktif al-Qur‟an dapat diklasifikasikan menjadi dua
tahapan. Pertama, Pentingnya upaya pencegahan sebelum terjadinya konflik,
a) dengan cara menanamkan pendidikan tentang kemajmukan dalam hidup
bermasyarakat yang merupakan sunnatullah. Sekaligus menanamkan sifat
kasih sayang antar sesama dan juga kepada alam semesta, b) Selalu memulai
dengan musyawarah dalam menetapkan sebuah kebijakan, c) jika terdapat
perbedaan yang rumit, maka masing-masing pihak dipertemukan untuk
dimusyawarahkan bersama untuk menemukan titik temu yang dapat diterima
masing-masing pihak.
2
Kedua. Mendamaikan konflik yang terjadi dengan cara ; a) memunculkan
kebijakan-kebijakan yang adil tanpa membeda-bedakan, b) sangsi yang tegas
terhadap siapapun yang telah terbuktoi melakukan kesalahan.
A. Prolog
Meski secara fitrah, manusia dilahirkan dalam kondisi baik dan
mengemban amanah khalifah fi al-ard,1 yakni memiliki tugas untuk menjaga
kelestarian kehidupan di muka bumi, sehingga mengharuskan mereka untuk
bertindak tidak melanggar syari‟at.2 Namun karena di dalam jiwa manusia
terdapat sifat serakah, dengki, sombong, yang terkadang tidak bisa
dikendalikan oleh sebagian orang, maka muncul di antara manusia yang
sukanya berbuat onar. Indidividu atau kelompok yang demikian ini ialah
orang-orang yang terjebak oleh nafsu angkara (nafs al-lawwamah).3
Secara naluri, manusia selalu terdorong untuk hidup dengan penuh
kedamaian.4 Namun fitrah tersebut dikotori oleh keserakahan-keserakahan
sehingga muncullah konflik yang berdampak pada pertumpahan darah,
pembunuhan, baik disebabkan atas dasar kepentingan politik, ekonomi,
ideologi ataupun yang lainnya.5 Oleh sebab itu tidak sedikit peristiwa
percekcokan, peperangan, dan pertumpahan darah antar individu, suku,
bahkan antar bangsa di dunia.
1 Al-Razi, dalam karya monumentalnya menjelaskan bahwa, istilah khalifah fi al-ardl yang
telah digunakan al-Qur‟an yang dikhitabkan kepada umat menusia (keturunan Adam dan Hawa),
memiliki makna “penduduk bumi” yang mengemban amanah melestarikan kehidupan di muka
bumi. Maksudnya manusia sebagai makhluk yang telah diciptakan dan dipilih oleh Allah Swt.
Memiliki tugas untuk menjaga dan melestarikan kehidupan di dunia, karenanya tindakan-tindakan
pengrusakan, pembunuhan, ataupun tindakan dzalim yang lain, terlarang bagi mereka, dan bisa
demikian maka diharuskan bagi mereka untuk patuh terhadap norma-norma yang telah ditetapkan
Allah Swt. (taqwa), sebab dengan demikian mereka telah sempurna dan patut untuk disebut
sebagai khalifah di al-ardl, lihat, Abu „Abdillah Umar bin Hasan bin Husain al-Taymi al-Razi,
Mafatih al-Ghayb, j. 1, h 443
2 Ibid.
3 Mahmud „Abdu al-Razzaq, Ensiklopedi Sufi, al-Mu‟jam al-Shufi, (Kaero, Dar „Ulum al-
„Ilmiyyah), j. 10, h. 80
4 „Aunu al-Rafiq, Tafsir Resolusi Konflik, (Malang, UIN Maliki Press, 2011), h. 1
5 Ibid
3
Dalam sejarah peradaban dan agama, para nabi (anbiya‟) dan para
utusan Allah (rusul), yang terhitung dari Nabi Adam sampai Nabi Muhhamad
merupakan orang-orang pilihan yang telah ditetapkan Allah Swt. sebagai juru
damai (peace maker).6 Norma-norma yang dibawa oleh mereka bertujuan
untuk kemaslahatan umat manusia (limashalih al-„ibad),7 karenanya
kesetiaan dalam merealisasikan norma-norma dari Allah merupakan kunci
utama untuk mencapai hidup yang penuh dengan damai.
Disisi lain, konflik merupakan realitas yang cukup sulit dipisahkan
dengan kehidupan manusia itu sendiri, Dalam satu dasawarsa terakhir,
beberapa tragedi kemanusiaan yang memilukan sekaligus mengkhawatirkan
berlangsung silih berganti di Indonesia.8 Akibat dari terjadinya konflik
tersebut tidaklah sedikit bahkan juga banyak yang terbunuh.
Banyak para pakar yang kesulitan mencari biang terjadinya konflik.
Kerumitan mengurai penyebab konflik yang mendadak sontak merebak di
hampir semua tempat di tanah air, berbuntut pada sulitnya menemukan
formulasi yang bagus sebagai resolusi atas terjadinya konflik.
Kendati yang tampak, konflik yang ada sering menggunakan simbol-
simbol agama, misalnya pembakaran dan perusakan tempat-tempat ibadah,
penyerangan dan pembunuhan terhadap penganut agama tetentu, namun
pertentangan agama dan etnis ternyata hanyalah faktor ikutan saja dari
6 Abu Hasan Ahmad bin Abdurrahman al-Syafi‟I, al-Tabihu wa ar-Raddu „ala Ahli al-
Ahwa‟ wa al-Bida‟, (Kaero, Al-Maktabah al-Asyhariyyah, 1977), h. 126
7 Dalam wacana Islam tujuan diturnkannya Agama Islam masyhur disebut dengan istilah
“maqosid syariah” yang berarti tujuan Allah dan Rasul-Nya dalam merumuskan hukum-hukum
islam. Tujuan tersebut dapat ditelusuri dalam ayat-ayat Al-Qur‟an, sunnah Rasulullah, atau bahkan
dengan rasio sebagai alasan atas rumusan suatu hukum yang berorientasi kepada kemaslahatan
umat manusia. Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqashid Syari‟ah, menurut al-Syatibi, (Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 1996), hal. 58
8 Dari data yang terekspose melalui media massa, kerusuhan-kerusuhan itu antara lain
terjadi di Purwakarta (awal Novenmber 1995); Pekalongan (akhir November 1995); Tasikmalaya
(September 1996); Situbondo (Oktober 1996); Rengasdengklok (Januari 1997); Temanggung dan
Jepara (April 1997); Pontianak (April 1997); Banjarmasin (Mei 1997); Ende di Flores dan Subang
(Agustus 1997) dan Mataram (Januari 2000). Selengkapnya lihat Jajat Burhanuddin dan Arif
Subhan, eds., Sistem Siaga Dini terhadap Kerusuhan Sosial (Jakarta: Balitbang Agama Depag RI
dan PPIM, 2000), 3.
4
penyebab konflik yang lebih kompleks dengan latar belakang sosial, ekonomi
dan politik yang pekat.9
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dipahami bahwa resolusi
konflik menempati posisi yang cukup urgen, dalam rangka meminimalisir
terjadinya konflik. Al-Qur‟an menjadi pilihan menarik untuk dijadikan objek
kajian, mengingat al-Qur‟an adalah kitab suci yang dijadikan sebagai rujukan
sentral yang diyakini kemukjizatannya. Dengan harapan perolehan dari
penelitian ini dapat dijadikan sebagai salah satu bahan pertimbangan untuk
meminimalisir terjadinya konflik di Indonesia.
B. Embrio Terjadinya Konflik
„Abid al-Jabiri sebagai sosok pakar sosial Islam, secara spesifik
mengklasifikan factor-faktor yang merupakan embrio adanya konflik menjadi
tiga bagian. Pertama ; Keragaman Suku (al-Qabilah), Kedua ; Persaingan
dalam mendapatkan materi (Ghanimah), Perbedaan Keyakinan (Aqidah).10
Tiga hal yang telah dipaparkan oleh Muhammad Abid Al-Jabiri, dapat
dijadikan sebagai „ibrah (gambaran), bahwa pada dasarnya sumber konflik
tidak bisa terlepas tiga hal tersebut. Terbukti konflik yang terjadi selama ini
ialah berkaitan erat dengan tiga hal tersebut.
Qabilah (kesukuan). Menurut „Abid al-Jabiri qabilah (suku), memiliki
peran penting atas terjadinya konflik, demikian ini karena tiap-tiap suku dan
etnis memiliki perbedaan yang cukup ketat. Tiap-tiap suku pasti memiliki
kepribadian yang melatarbelakangi kebudayannya. Tiap-tiap kebudayaan di
dalamnya terdapat sistem nilai dan norma sosial yang berbeda antara suku
yang satu dengan yang lain. Dalam masyarakat yang multidimensi, sering
terjadi pergesekan sistem nilai dan norma sosial antara satu suku dengan yang
yang lain, sehingga menjadi sangat mungkin terjadinya konflik.
9 Elly M. Setiadi dan Usman Kolip, Pengantar Sosiologi Pemahaman Fakta dan Gejala
Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi, dan Pemecahannya, (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2011), .361.
10 Muhammad Abid Al-Jabiri, Al-Aql Al-Siyyasi Al-Araby, (Markas Dirasat Al-Wahdah
Al-Arabiyyah, Bairut : 1990)
5
Konflik antar suku sejak dulu hingga kini masih kerap sekali terjadi,
semisal di Indonesia terjadi konflik yang melibatkan suku Madura dan Dayak,
di Sumatra antara Suku Bali desa Bali Nuraga dengan Suku Lampung desa
Agom Lampung selatan tahun 2002. Kerugian konflik tersebut bukan hanya
kerugian dari hal materi, melainkan juga tidak sedikit nyawa melayang akibat
dari pertikaian antar suku tersebut.
Persaingan dalam masalah materi (ghanimah), „Abid al-jabiri
menggambarkannya seperti pajak/upeti, peristiwa konflik sebab adanya upeti
juga telah tertuang dalam realitas historis, seperti pembunuhan yang terjadi
pada era kekhalifahan Abu Bakar, atas rakyatnya yang tidak mau membayar
zakat atau dikenal dengan peristiwa mani‟ al-zakat.11
Peristiwa serupa juga terjadi pada konflik Ali dengan para pengikutnya
yang hendak mengambil ghanimah dari para tentara Mu‟awiyyah yang pada
saat itu mengalami kekalahan melawan tentara Ali, namun dengan adanya
arbitrase atau lebih dikenal dengan tahkim (perjanjian perdamaian antara
kelompok Ali dan Muawiyyah), maka ghanimah yang seharusnya diperoleh
menjadi gagal diambil, dan karenanya , ada sebagian kelompok Ali
meninggalkan beliau.
Selanjutnya ialah perbedaan keyakinan “„aqidah”, tidak sedikit konflik
yang diakibatkan dari perbedaan keyakinan, diantaranya adalah Ahlussunnah
dan Syi‟ah, Ahlussunnah dan Ahmadiyyah, Islam dan Kristen, dan beberapa
konflik yang lain. Realitas ini juga diakui oleh A. N. Wilson misalnya, dia
11
Pada saat itu terjadi perbedaan pandangan antara Abu Bakar Al-Shiddiq dengan para
sahabat yang lainnya, bagi Abu bakar siapapun yang telah menolak atas kewajiban zakat, maka
secara otomatis orang-orang tersebut harus diperangi, kesimpulan tersebut menuai kontroferi
dalam kalangan sahabat, bagi sahabat yang lain menyatakan, kesimpulan tersebut terlalu
berlebihan, disamping tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah, dalam hadispun yang boleh
dibunuh hanyalah orang-orang yang tidak masuk agama Islam, sedangkan mereka yang sudah
bersaksi atas ketuhanan Allah dan kerasulan Muhammad, maka jiwanya terjaga. Namun Abu
Bakar menyangkal pandangan tersebut, bagi beliau zakat juga bagian didalam agama, oleh
karenanya siapapun yang menolak atas adanya zakat maka harus diperangi. Dan akhirnya
perdebatan tersebut yang dibenarkan adalah pandangan Abu Bakar, sehingga terjadilah peperangan
antara Abu Bakar dan bala tentaranya, dengan sekelompok penentang kewajiban zakat, dan
kemenangan dipihak Abu Bakar, lihat (Muhammad Bin Abdul Wahhab Bin Sulaiman al-Tamimi.
Mukhtashor Shirat Al-Rasul SAW. (al-makan, Riyadl : tt ) juz 1, hlm. 38
6
menggap agama sebagai yang paling bertanggungjawab terhadap segala
bentuk pertikaian dan perang yang terjadi di dunia ini.
Dalam sebuah bukunya yang berjudul Againts Religion: Why We Should
Try Live Without It, ia menyatakan “Dalam al-Kitab (Bible) dikatakan bahwa
cinta uang adalah akar kejahatan. Mungkin lebih benar lagi kalau dikatakan
cinta Tuhan adalah akar segala kejahatan. Agama adalah tragedi umat
manusia. Ia mengajak kepada yang luhur, paling murni, paling tinggi dalam
jiwa manusia, namun hampir tidak ada sebuah agama yang tidak ikut
bertanggungjawab atas berbagai peperangan, tirani, dan penindasan
kebenaran. Marx menggambarkan agama sebagai candu masyarakat; tetapi
agama jauh lebih berbahaya daripada candu. Agama mendorong orang untuk
menganiaya sesamanya, untuk mengagungkan perasaan dan pendapat mereka
sendiri atas perasaan dan pendapat orang lain, untuk mengklaim bagi diri
mereka sebagai pemilik kebenaran”12
Uraian sebagaimana di atas mengantarkan kita untuk memahami, bahwa
adanya konflik bersumber dari rangkaian kehidupan sosial itu sendiri, seperti
akibat persaingan perekonomian yang tidak sehat, persinggungan antar
keyakinan, perseteruan antar budaya atau bahkan keluarga, dan aspek-aspek
sosial yang lain.
C. Historisitas Konflik dalam Al-Qur’an
Ma‟lumun bi al-dlarurah (sudah pasti dipahami), bahwa konflik
merupakan realitas yang tidak mungkin bisa terlepas dari kehidupan itu
sendiri. Bahkan terkadang konflik bisa menjadi salah satu sumber peradaban
umat manusia, artinya konflik merupakan bagian dari a dinamic change
sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Lewis Coser, menurutnya konflik
demikian ialah bersifat positif.13
12
. Lihat A. N. Wilson, Againts Religion: Why We Should Try Live Without It, (London:
Chatto and Windus, 1992), 1 sebagaimana dikutip oleh Nurcholis Madjid, Islam Agama
Kemanusiaan: Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam di Indonesia (Jakarta: Paramadina, 1995),
121.
13 Coser memang tidak menyangkal bahwa terdapat konflik yang destruktif dan berfungsi
disintegratif. Namun ia menjelaskan bahwa ada konflik sosial yang bernilai positif. Terdapat tiga
argumentasi yang mendasari pendapatnya. Pertama, situasi konflik akan meningkatkan kohesi
7
Di dalam al-Qur‟an secara historis terdapat banyak kisah konflik, bahkan
sejak awal penciptaan manusia itu sendiri, seperti dalam kasus dialog yang
terjadi antara Allah Swt., Malaikat, dan Iblis. Terjadinya dialog tersebut
manakala dipahami secara tekstual, ialah diakibatkan dari adanya persaingan
antara Malaikat, Iblis dan kompetitor baru (Manusia : Adam).
Pada dialog tersebut, Malaikat berkomentar “adakah engkau akan
menciptakan makhluk perusak”14
dan kemudian dilanjutkan dengan kata
“sedangkan kami adalah ciptaan engkau yang selalu setia dan
mensucikanmu”,15
secara semantik kata tersebut memiliki makna, bahwa
Malaikat merasa bahwa diri mereka ialah lebih pantas untuk menduduki gelar
khalifah fi al-ardl dibanding dengan calon kompetitornya, sehingga terjadi
dialog antara Malaikat dengan Allah Swt.
Selanjutnya ialah Iblis. disaat Allah Swt. memerintahkannya untuk
bersujud kepada Nabi Adam, mereka menolak perintah tersebut sebab mereka
merasa bahwa mereka ialah lebih mulia dibanding kompetitor barunya
tersebut, dalam dialog itu Iblis berkata “Saya lebih baik daripadanya: Engkau
ciptakan saya dari api sedang Dia Engkau ciptakan dari tanah”.16
Penolakan
Iblis atas perintah Allah berakibat pada dinilainya Iblis sebagai makhluk Allah
yang sombong, sehingga dilaknat oleh Allah Swt.
Dialog di atas menunjukkan tentang adanya gesekan yang terjadi antara
Malaikat, Iblis, dan Adam sebagai kompetitor baru. Adam dianggap sebagai
makhluk yang belum teruji untuk ditempatkan pada posisi yang lebih unggul
dibanding Malaikat dan Iblis. Malaikat adalah makhluk Allah yang selalu
mensucikan Allah dan setia atas apapun yang telah diperintahkan Allah Swt.
Sehingga merasa lebih unggul dibanding Adam, demikian pula Iblis yang
internal dari kelompok-kelompok terkait; kedua, mampu menciptakan assosiasi-assosiasi dan
koalisi-koalisi baru dan ketiga, dengan konflik akan terbangun kesimbangan kekuatan antar
kelompok terlibat Lihat, Lewis Coser, The Function of Social Conflict, (New York: Free Press,
1965)
14 Al-Baqarah (2) : 3
15 Al-Baqarah (2) : 30
16 Al-A‟raf (7) : 12
8
diciptakan dari bahan dasar api, mereka merasa lebih mulia dibanding Adam
yang hanya diciptakan dari tanah.
Fenomena konflik berikutnya ialah antara Qabil dan Habil, Habil
terbunuh akibat dari kemenangan yang diperolehnya dalam memperebutkan
seorang perempuan cantik yang bernama Iqlima untuk dinikahinya, Qabil
merasa tersisihkan oleh Habil. berbeda dengan konflik sebelumnya, dalam
fenomena pembunuhan Habil oleh Kabil ialah akibat dari persaingan dalam
mendapatkan perempuan yang akan dinikahinya.17
Selanjutnya ialah konflik-konflik para Nabi dengan para penduduk
setempat, kisah Nabi Nuh, Nabi lut, Nabi Ibrahim, Nabi Isa hingga Nabi
Muhammad Saw.. semua konflik yang terjadi ialah konflik yang terjadi adalah
konflik yang erat hubungannya dengan persinggungan antar keyakinan yang
satu dengan keyakinan yang lain kemudian terjadi konflik.18
Berdasarkan uraian di atas maka embrio konflik yang tergambar di dalam
al-Qur‟an dapat diklasifikasikan menjadi tiga. Pertama ; kepentingan
kelompok („ashabiyyah). Tidak sedikit konflik yang melibatkan perseteruan
antar suku, seperti yang terjadi dikalimantan antara suku madura dan suku
dayak, konflik sara di Ambon, Sumatra, lain-lain, beberapa konflik tersebut
pada dasarnya ialah diakibatkan dari demda masa lalu, persaingan, dan
fanatisme kesukuan.
Kedua ; persaingan dalam menguasai hal-hal yang bersifat materi
(dunyawiyyah), persengketaan yang terjadi akibat dari perebutan materi antar
individu ataupun kelompok juga sering menelan korban. Seperti akibat dari
persaingan memperebutkan harta, tahta, dan wanita. Di antara kasus yang
telah terjadi dan diliput oleh media, kasus sengketa lahan di Madura,
perebutan lahan antara perusahaan sawit di Sumatra dan Kalimantan. Konflik
carok di Madura dalam kasus perempuan, ataupun konflik dalam persaingan
bisnis.
17
Abdul Hamid Jaudah, Qabil wa Habil, ( Mesir, Maktabah Mesir, t.t), h. 9-10
18 Muhammad al-Mutawalli al-Sya’rawi, Qashash al-Anbiya’, (Beirut, Dar al-Quds, 2006)
9
Ketiga, konflik yang terjadi akibat kepercayaan yang berbeda
(i‟tiqadiyyah), Konflik Ambon yang terjadi atara penganut agama Islam dan
Keristen, kasus Sunni dan Syi‟ah di Sampang, Parung Bogor, Sukabumi,
Kuningan Cirebon, Ciampea Bogor, Makasar, NTB dan berbagai daerah
lainnya.
D. Pemecahan Konflik (Conflict Resolution) ; Kajian Tematik Ayat-Ayat
Tentang Penyelesaian Konflik
Meskipun konflik merupakan realitas yang tidak mungkin dihindari
dalam kehidupan itu sendiri, namun bisa dipastikan bahwa pada hakekatnya
masing-masing individu tidaklah senang dengan konflik itu sendiri. Sebab,
sebagaimana kodratnya manusia pasti mendambakan kedamaian. 19
Berikut
diuraikan beberapa ayat yang membahas tentang pemecahan atas konflik yang
terjadi :
1. Konsep Sadd al-Darai‟ (Mencegah Konflik Sebelum Terjadi)
Di dalam istilah ushul terdapat istilah yang disebut dengan sad‟u al-
dara‟i, istilah tersebut dijadikan sebagai sebuah pedoman untuk mencegah
akan terjadinya sebuah kejadian yang dinilai negativ oleh syari‟at, semisal
agar terhindar dari perzinahan, maka seseorang harus menghindari hal-hal
yang dapat mengantarkan perzinahan, seperti bersama dengan ajnabiyyah
kecuali setelah menjadi istrinya.20
Hubungannya dengan resolusi konflik
ialah bahwa, konflik yang tidak bisa terpisah dengan kehidupan manusia
itu sendiri, sebab dengan keragaman budaya dan keyakinan, dapat
diminimalisir dengan mencegahnya sebelum terjadi.
19
Agus Purnomo. Ideologi Kekerasan: Argumentasi Teologis – Sosial Radikalisme Agama.
Cet. I (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2009) hlm. 1. 20
Menurut al-Qarafi, sadd adz-dzari‟ah adalah memotong jalan kerusakan
(mafsadah) sebagai cara untuk menghindari kerusakan tersebut. Meski suatu perbuatan
bebas dari unsur kerusakan (mafsadah), namun jika perbuatan itu merupakan jalan atau
sarana terjadi suatu kerusakan (mafsadah), maka kita harus mencegah perbuatan tersebut.
Syihab ad-Din Abu al-Abbas al-Qarafi, Tanqih al-Fushul fi „Ilm al-Ushul, dalam Kitab
Digital al-Marji‟ al-Akbar li at-Turats al-Islami, (Syirkah al-Aris li Kumbiutar, tt).
10
Di antara ayat-ayat yang membahas tentang pencegahan terhadap
konflik ialah :
a) Pendidikan Sifat Rahmah Atas Keberagaman
Pendidikan nilai kasih sayang atas seluruh makhluk Allah
(rahmatan lil „alamin) di dalam Agama Islam menempati posisi yang
cukup urgen, mengingat dasar kasih sayang yang kokoh akan
menjadikan manusia sebagai makhluk Allah yang berperilaku baik
(shalihin). Sebab, dengan kasih sayang mereka akan menjadi individu
yang peduli baik terhadap masnusia yang lain, atau bahkan terhadap
lingkungannya.
Dalam hal ini Allah berfirman :
وجعلناكم شعوبا وق بائل يا أي ها الناس إنا خلقناكم من ذكر وأن ثى إن الل ل مم خب م إن أكرم م ن الل أ قاكم لت عارفوا
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-
mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu
disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.(al-
Hujarat : 13)
Firman Allah di atas menyeru agar umat manusia memiliki
kesadaran, bahwa keberagaman suku, bangsa, dan bahasa, perbedaan
warna kulit, dan juga budaya, merupakan sebuah keniscayaan yang
keberadaannya harus dimaklumi.
Bahkan umat manusia juga diseru oleh-Nya agar saling mengenal
antara yang satu dengan yang lainnya. Sebab, meski berbeda, pada
dasarnya mereka ialah dari keturunan yang satu yakni dari Nabi Adam
dan Hawa. Sehingga dengan adanya kesadaran tersebut perbedaan
bukanlah hal yang dapat menjadi embrio munculnya konflik, bahkan
11
yang terjadi ialah kehidupan yang saling menghormati dan
menyayangi.21
Menanamkan kesadaran tentang keberagaman ialah sangat urgen,
sebab dengan pendidikakan tersebut tiap-tiap indiviu memiliki bentuk
kesadaran bahwa pada hakekatnya manusia ialah bersaudara, meskipun
suku, bangsa, bahasa, dan juga budayanya ialah berbeda. Dan dengan
ditanamnya pendidikan tersebut fanatisme kesukuan yang merupakan
salah satu embrio terjadinya konflik akan menjadi terkurangi. 22
Selain itu, Allah Swt juga telah menegaskan tentang ketidak
bolehan saling merendahkan antar satu kelompok dengan kelompok
yang lain, antar individu dengan individu yang lain. Sebab bisa jadi,
kelompok yang direndahkan yang justru lebih utama disisi Allah Swt.,
artinya tidak ada satupun yang mengetahui antar satu kelompok dengan
kelompok yang lebih unggul.
Allah berfirman :
هم را من يا أي ها الذين آمنوا ل يسخر ق ومم من ق وم سى أن ي ونوا خ هن ول لمزوا أن فس م ول را من ول نساءم من نساء سى أن ي ن خ
ميان ومن ل ي تب فأولئك ناب زوا باللقاب بئس السم الفسوق ب ع ال م اللالمون
Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-
laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang
ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula
sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh
jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela
dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang
21
Dalam hal ini Musa Asy‟ari menyatakan ; dalam kehidupan masyarakat yang plural,
sikap dasar yang seharusnya dikembangkan adalah sikap bersedia untuk menghargai adanya
perbedaan masing-masing anggota masyarakat, sehingga perbedaan akan dipandang sebagai hak
fundamental dari setiap anggota masyarakat, maka diperlukan sikap arif dan rendah hati dalam
menghadapi dan memberlakukan adanya pluralitas. Sehingga, dapat dihindari adanya konflik
sosial yang destruktif dan tidak terkendali, seperti yang terjadi di masyarakat akhir-akhir ini Musa
Asy‟Arie. Dialektika Agama untuk Pembebasan Spriritual. (Yogyakarta: LESFI, 2002) hlm. 111 22
Abudin Nata. Manajemen Pendidikan Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam
di Indonesia. (Jakarta: Prenada Media,2003) hlm. 127
12
mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan)
yang buruk sesudah iman dan barang siapa yang tidak bertobat,
maka mereka itulah orang-orang yang zalim. (QS.Al-Hujurat ayat
11)
Pendidikan yang telah ditanamkan dalam ayat tersebut ialah
bahwa tidak dianjurkan bagi tiap-tiap individu ataupun kelompok untuk
kemudian beradu kebolehan yang tujuannya untuk pamer dan merasa
paling unggul dibanding dengan kelompok yang lain. pendidikan yang
demikian ini memicu adanya kesadaran bahwa, tiap-tipa individu,
ataupun kelompok memiliki keunggulan dibidangnya masing-masing,
sedangkan disisi Allah Swt. tidak ada yang pasti mengetahuinya.
Sedangkan yang dianjurkan ialah berlomba-lomba melakukan kebaikan
agar menjadi seorang yang dicintai oleh Allah Swt.
Implikasi dari pendidikan tersebut ialah akan menjadikan umat
manusia dapat memiliki kasih sayang tak terbatas, bukan hanya
mengayomi terhadap sesama manusia, melainkan juga terhadap alam
semesta, dan tentu saja sifat yang demikian ini sesuai dengan titah
diturunkannya Agama Islam itu sendiri yakni rahmatan lil „alamin.
Sebagaimana sifat Rasulullah Saw.
b) Musyawarah untuk Mencapai Kesepakatan
Selain menanamkan sikap persaudaraan, di dalam al-Qur‟an juga
dianjurkan untuk berembug apabila hendak menentukan, melakukan,
ataupun dalam menyikapi sebuah kasus. Sebab dengan didahului
musyawarah penetapan tentang sesuatu, selain sama-sama mengetahui,
kesepakatan juga akan dihargai bersama. Dalam hal ini Allah Swt.
dengan tegas menyatakan :
نا م ن هم وما رزق م وأقاموا الصلة وأمر م شورى ب والذين استجابوا لربه ينفقون
Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan
Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka
(diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka
13
menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada
mereka. Asy-Syura ayat ( 38)
Firman Allah tersebut menjelaskan tentang urgensi musyawarah,
yakni bahwa perkara apapun yang menyangkut kebaikan, baik dalam
persoalan keluarga, ataupun persoalan kemasyarakatan, harus di dahului
dengan proses musyawarah.23
Dalam masalah kemasyarakatan
sebagaimana tertuang dalam surat Ali-„Imraan (3) ayat 159,
digambarkan bahwa Rasulullah selalu bermusyawarah dengan umatnya
tentang urusan yang akan dijalankan supaya mereka mengetahui hakikat
urusan tersebut dan agar mereka mengikuti jejaknya.24
Namun kewajiban melaksanakan musyawarah bukan hanya
dibebankan untuk Nabi saja melainkan juga kepada umatnya secara
menyeluruh. Lebih-lebih dalam masyarakat moderen yang
permasalahannya semakin kompleks.
و ذا ي نبغي أن يشاور ف كله أمر فإن اهلل عال أمر رسول صلى اهلل شاورة ف المور ول ي ن أفطن من ومع ذالك أمر
عال ل وسلم بامل
ع المور وائ الب شاورة وكان يشاور أص اب ف بامل
Wahai ingatlah, seperti itulah, patutnya sebagai pelajar untuk
bermusyawarah, berbincang dalam setiap perkara. Bahwasannya
Allah Swt memerintahkan Rasulnya untuk bermusyawarah
dalam setiap perkara, padahal tidak ada yang lebih pandai dari
beliau Rasulullah Saw. serta pun begitu beliau tetap
memerintahkan untuk bermusyawarah. Sedangkan beliau
Rasulullah Saw. bermusyawarah dengan para sahabat dalam
setiap perkara hinggapun kbutuhan rumah.
c) Dialog
Firman Allah yang menyinggung tentang masalah dialog, banyak
merujuk kepada proses Islam untuk berkompetisi dengan ajaran di luar
Islam. Dialog merupakan salah satu sarana yang dipergunakan para
23
Waryono Abdul Ghafur, Tafsir Sosial Mendialohkan Teks dan Konteks,(Yogyakarta:El-
Saq Press, 2005) hal. 155
24 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an, Vol. 2,
(Jakarta: Lentera Hati, 2000), Cet. I, h. 244-245.
14
Nabi Allah untuk menanggapi segala tuduhan terhadap ajaran Islam,
sekaligus dipergunakan sebagai sarana untuk meyakinkan fihak lain
(sebagian besar ditujukan terhadap orang kafir, munafik). Sebagaimana
dalam firman Allah yang artinya “Serulah (manusia) kepada jalan
Tuhan-mu dengan hikmah (Hikmah: ialah Perkataan yang tegas dan
benar yang dapat membedakan antara yang hak dengan yang bathil)
dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.
Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa
yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-
orang yang mendapat petunjuk.25
Mengomentari ayat tersebut Ibn Katsir dalam tafsirnya “Tafsir al-
Qur‟an al-„Adzim” menegaskan bahwa term dialog yang terdapat pada
ayat tersebut, merupakan perintah dan pengajaran terhadap Rasulullah
Saw. dalam menghadapi orang-orang kufur. sedangkan penyampaian
ajakan beliau terhadap mereka26
ialah dengan hikmah, maksudnya ialah
sebuah ajakan yang dilandasi ketegasan dan berdasar pada pesan-pesan
yang telah dimandatkan Allah secara langsung seperti mengenai tauhid
dan yang lainnya,27
dan juga dengan mau‟idlah hasanah (wejangan)
dengan baik, sekaligus mengajak mereka untuk berdialog kalau
seandainya mereka mengingkari ajakan Rasul dengan dialog yang
sangat sopan dan merendahkan diri, argument ini diperkuat dengan
firman Allah pada surat Al-Ankabut : (46)
Tema dialog yang telah dinyatakan di dalam al-Qur‟an merupakan
salah satu tema yang menunjukkan tentang konflik antar kelompok,
dalam hal ini ialah Islam dan Kafir. Antara kuffar Makkah memiliki
keyakinan yang bertentangan dengan Agama yang telah dibawa
Rasulullah Saw. dengan perbedaan keyakinan tersebut muncul celaan-
25
Al-nahl : 125
26 Abu Al-Fida‟ Isma‟il Bin Umar Bin Kathir Al-Qurasyiyyi Al-Damsaqiyyi, Tafsir Al-
Qur‟an Al-„Adzim, (Dar Al-Thaybah, tp : 1999) juz. 4, hlm. 613
27 Ibid
15
celaan yang disematkan kepada Nabi Muhammad Saw. atas dasar itulah
untuk bisa saling meyakinkan masing-masing pihak terjadilah dialog.
2. Melerai Konflik yang Terjadi
a) Al-„Adl ; Keadilan Sebagai Jalan al-Ternatif atas Konflik yang Sedang
Terjadi
Keadilan merupakan kunci utama dalam merealisasikan resolusi
konflik (conflic resolution), sebab tidak sedikit pertikaian yang terjadi
baik pertiakain antara individu ataupun kelompok, ialah bersumber dari
adanya ketidak adilan, sehingga terjadilah konflik. Persaingan ekonomi,
budaya, ataupun masalah aqidah embrionya ialah ketidak adilan.
Menurut Qutb keadilan yang bersifat mutlak ialah bersumber dari al-
Qur‟an, sebuah kitab suci yang diturunkan Allah Swt. dalam rangka
mewujudkan kemaslahatan umat manusia. Karenanya untuk dapat
melaksanakannya dengan tepat, Islam berpegang teguh pada ketentuan
yang terang dan jelas, yakni hati nurani sang hakim dan pengamatan
masyarakat atas pelaksanaan hukum. Setiap orang dalam masyarakat
Muslim berkewajiban mencegah ketidak adilan, memperingatkan
pemimpin yang tindakannya melampaui batas, dan menasehati para
hakim ketika mereka membuat kekeliruan. 28
Untuk menunjukkan makna „adil di dalam ayat-ayat al-Qur‟an
terdapat beberapa istilah, di antaranya dengan kata al‟adl dengan
berbagai derivasinya kurang lebih diulang 35 kali, berikutnya dengan
istilah al-Qisth sebanyak 24 kali, istilah al-wazn terulang 23 kali, dan
al-washt sebanyak 5 kali.29
Inti dari semua istilah yang telah digunakan
al-Qur‟an ialah bermuara pada satu tujuan, yakni sikap tengah yang
berkeseimbangan dan juga jujur.
Adil yang telah dijelaskan dalam al-Qur‟an, tidak hanya bertujuan
untuk proses penetapan hukum atau terhadap pihak yang berselisih,
28
Sayyid Qutb, Jalan Pembebesan Rintisan Islam Menuju Perdamaian Dunia, trj. Bedril
Saleh, (Yogyakarta, Salahuddin Press, 1985), 104
29 Muhamad Fu`ad Abdul Bagi, Mu`jam Mufahras li Alfad al- Qur`an.
16
namun juga bentuk keadilan atas pribadi masing-masing individu,
seperti dalam firman Allah berikut “Dan apabila kamu berkata, maka
hendaklah kamu berlaku adil walaupun terhadap kerabat” (Q.S. al-
An‟am [6]: 152).“Dan hendaklah ada di antara kamu seorang penulis
yang menulis dengan adil” (Q.S. al-Baqarah [2]: 282). Kedua itu
menunjukkan tentang keharusan berlaku adil terhadap diri masing-
masing individu, baik adil terhadap segala aktifitas baik yang bersifat
dzahir (kongkrit) ataupun yang bersifat bathin (abstrak) atau perilaku
hati. Sedangkan timbangan adil dalam mengukur perilaku yang adil
ataupun tidak ialah al-Qur‟an dan al-Sunnah, sebagaimana firman Allah
yang artinya “Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul, dengan
membawa bukti-bukti nyata, dan telah Kami turunkan bersama mereka
al-Kitab dan neraca (keadilan) agar manusia dapat melaksanakan
keadilan” (Q.S. al-Hadid [57]: 25).
Berikutnya ialah adil dalam masalah kepemimpinan yang
berimplikasi terhadap munculnya tanggung jawab (amanah) untuk
menentang kezaliman dan menegakkan keadilan. Dalam firmannya
Allah menegaskan “Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu (hai
Ibrahim) pemimpin untuk seluruh manusia.” Dia (Ibrahim) berkata,
(Saya bermohon agar) termasuk juga keturunan-keturunanku “ Allah
berfirman, “Perjanjian-Ku ini tidak akan diterima oleh orang-orang
yang zalim” (Q.S. al-Baqarah [2]: 124). Demikian terlihat bahwa
kepemimpinan dalam pandangan ayat tersebut bukan sekadar kontrak
sosial, tetapi juga menjadi kontrak atau perjanjian antara Allah dan sang
pemimpin untuk menegakkan keadilan. Bahkan al-Qur‟an menegaskan
bahwa alam raya ini ditegakkan atas dasar keadilan: “Dan langit
ditegakkan dan Dia menetapkan al-mizan (neraca kesetimbangan)”
(Q.S. al-Rahman [55]: 7).
Walhasil, dalam al-Qur‟an dapat ditemukan pembicaraan tentang
keadilan, dari perspektif tauhid sampai keyakinan mengenai hari
kebangkitan, dari nubuwwah (kenabian) hingga kepemimpinan, dan
17
dari individu hingga masyarakat. Keadilan adalah syarat bagi
terciptanya kesempurnaan pribadi, standar kesejahteraan masyarakat,
dan sekaligus jalan terdekat menuju kebahagiaan ukhrawi. Beberapa
ayat yang telah disebut itu sekaligus dapat menunjukkan betapa kuatnya
aspirasi keadilan dalam Islam.
1) Al-„Adl ; Keadilan dalam Konteks Keseimbangan
Keadilan dalam konteks keseimbangan, memiliki peran yang
cukup penting dalam mencapai sebuah tujuan bersama. Karenanya
dibutuhkan aturan-aturan khusus agar masing-masing bagian
memiliki ukuran yang cocok. Selama aturan-aturan tersebut dapat
terpenuhi dan terlaksana dengan baik, niscaya akan dapat mencapai
tujuan yang diinginkan. Tidak sedikit ayat-ayat yang menunjukkan
konsep al-„adl dalam konteks keseimbangan, seperti penciptaan
langit diimbangi dengan penciptaan bumi, penciptaan Adam
diimbangi dengan Hawa, siang dan malam, neraka dan surga, dan
lain-lain.
Bentuk keseimbangan yang telah diciptakan oleh Allah tersebut
pada hakekatnya ialah memiliki tujuan munculnya kehidupan yang
nyaman, diciptakaannya siang memiliki makna agar makhluk Allah
yang kehidupannya bergantung pada cahaya bisa meneruskan
kehidupannya pada siang hari dengan mencari pangan, kemudian
dilanjutkan dengan munculnya malam, demikian ini bertujuan agar
bisa beristirahat, demikian sebaliknya.
Konsep keseimbangan tersebut memiliki makna penting dalam
rangka mencapai sebuah tujuan. Semisal dalam masalah lapangan
pekerjaan, baik dalam konteks bisnis, buruh, kesehatan, ataupun
bekerja dibidang jasa membutuhkan konsep keadilan dalam arti
keseimbangan. Sebab manakala terdapat sebuah kebijakan yang
tidak melihat biasnya maka akan terjadi tumpang tindih, antara
kebijakan yang tujuannya adalah kebaikan, akan menjadi sebaliknya.
Seperti kebijakan dalam bidang kebidanan, maka manakala
18
kebijakan tersebut tidak diimbangi dengan diciptakannya lapangan
pekerjaan bagi para lulusan akademi kebidanan, maka akan timbul
konflik.
Demikian juga kesadaran tentang ragam suku, budaya,
keyakinan, yang berada di Indonesia membutuhkan penyeimbang
agar tidak terjadi pertikaian. Maka dicetuskanlah bahasa persatuan
yakni bahasa Indonesia, selanjutnya juga diusung doktrin rasa cinta
tanah air, rasa persaudaraan, dan semua itu terdapat dalam falasafah
pancasila.
2) Al-„Adl ; Keadilan Dalam Konteks Kesamaan Hak
Keadilan dalam konteks kesamaan hak dan menghilangkan
segala bentuk diskriminasi. Maksud adil dalam konteks persamaan di
sini bukanlah perlakuan yang mutlak sama antara setiap orang
dengan tanpa melihat pada perbedaan kemampuan, tugas dan
fungsinya, tetapi merupakan suatu perlakuan yang sama terhadap
orang-orang yang memiliki hak yang sama. Dengan demikian
persamaan ini lebih menekankan pada kepemilikan hak.
Dalam Q.S. surat al-Nisa‟ (4): 58 dinyatakan bahwa, “Apabila
kamu memutuskan perkara di antara manusia, maka hendaklah
engkau memutuskannya dengan adil.” Kata “adil” dalam ayat ini -
bila diartikan “sama”- hanya mencakup sikap dan perlakuan hakim
pada saat proses pengambilan keputusan. Ayat ini menuntun sang
hakim untuk menempatkan pihak-pihak yang bersengketa di dalam
posisi yang sama, misalnya ihwal tempat duduk, penyebutan nama
(dengan atau tanpa embel-embel penghormatan), keceriaan wajah,
kesungguhan mendengarkan, dan memikirkan ucapan mereka, dan
sebagainya yang termasuk dalam proses pengambilan keputusan.
Apabila persamaan dimaksud mencakup keharusan mempersamakan
apa yang mereka terima dari keputusan, maka ketika itu persamaan
tersebut menjadi wujud nyata kezaliman.
3) Al-„Adl ; Dalam Konteks Proporsionalisme
19
Pengertian adil pada bagian ini memiliki arti profesionalisme
atas hak-hak masing-masing individu, atau dengan kata lain
“memberikan hak kepada yang berhak” Pengertian inilah yang
menjadi lawan kata dzalim (menempatkan sesuatu bukan pada
tempatya) dalam arti pelanggaran terhadap hak-hak pihak lain.
Keadilan dalam konteks ini akan melahirkan sebuah kehidupan
sosial yang mapan, antara yang satu dengan yang lain akan saling
menghargai dan menghormati. Kesenjangan sosial, baik antar
kelompok atau individu yang terjadi akibat ketidak adilan tidak akan
terjadi.
Uraian tentang beberapa konteks keadilan sebagaimana di atas
memberikan „ibrah (gambaran), bahwa terjadinya kemunculan
konflik embrio utamanya ialah ketidak adilan, sehingga sebuah
kelompok ataupun individu yang merasa terdzalimi akan
memunculkan konflik untuk menunjukkan bahwa dirinya berhak
untuk melakukan demikian. Karenanya untuk melerainya dibutuhkan
sebuah aturan/ norma-norma yang di dalamnya mencakup undang-
undang yang bisa menjaga hak-hak masing-masing individu ataupun
kelompok.
b) Ketegasan dalam Menindak Pelanggaran
Tegaknya hukum dengan tidak memihak dan membeda-bedakan
dalam sebuah kepemimpinan merupakan hal yang sangat dibutuhkan
dalam mewujudkan perdamaian, lebih-lebih dalam melerai konflik
yang terlanjur terjadi. Guna mencapai sebuah kepemimpinan yang
memang benar-benar adil dan juga bisa menegakkan hukum dengan
bijak, maka dibutuhkan seorang pemimpin yang memiliki sifat jujur
(shidiq), amanah (terpercaya), tabligh (terbuka), fathanah (cerdas).
Empat sifat pemimpin sebagaimana tersebut dalam agama Islam
menempati posisi yang cukup urgen, seorang pemimpin yang
demikian akan mampu menciptakan kebijakan dengan baik, dan akan
mampu menegakkan hukum dengan tepat, dan tentu bijaknya sosok
20
pemimpin yang adil akan mampu bertindak tegas atas segala tindakan
yang bersifat dzalim.
Sebuah kondisi damai, tentram, dan sejahtera dalam bingkai
ragam budaya, suku dan agama pernah terjadi pada masa
kepemimpinan Rasulullah Saw., yang dalam hal ini dikenal dengan
piagam Madinah. Perbuatan melanggar peraturan yang dibentuk
berdasarkan kesepakatan seluruh pihak akan ditindak dengan tegas
oleh seorang pemimpin yang terpercaya, jujur dan cerdas.
E. Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan, bahwa resolusi
konflik dalam menurut al-Qur‟an dapat dipilah menjadi dua bagian :
1. Pencegahan Konflik
a) Untuk mencegah terjadinya konflik yang ditimbulkan dari perbedaan
suku, budaya, bahasa, dan keyakinan dibutuhkan penanaman sifat
rahmah (saling mengasihi) antara yang satu dengan yang lain.
Sekaligus ditanamkan pendidikan tentang realitas pluralisme yang
merupakan sunnatullah (alamiyyah).
b) Setiap memunculkan sebuah kebijakan selalu didahului dengan proses
musyawarah yang melibatkan semua unsur. Sehingga kebijakan yang
telah disepakati akan menjadi hukum bersama.
c) Apabila terjadi ketidak sepahaman antar individu atau kelompok
bermasalah maka dipertemukan dalam sesi dialog yang santun, di
mana argumentasinya bisa disimak dan dimengerti oleh masing-
masing pihak, yang pada endingnya bisa saling menghormati.
2. Peleraian Konflik yang Terlanjur Terjadi
a) Dibutuhkan sebuah keputusan yang adil dari seorang pemimpin
(wilayat al-amr)
b) Dibutuhkan ketegasan terhadap individu atau kelompok yang
melakukan kedzaliman terhada individu atau kelompok yang lain oleh
seorang pemimpin yang baik.
22
Daftar Pustaka
„Aunu al-Rafiq, Tafsir Resolusi Konflik, (Malang, UIN Maliki Press, 2011)
A. N. Wilson, Againts Religion: Why We Should Try Live Without It, (London:
Chatto and Windus, 1992)
Abu Al-Fida‟ Isma‟il Bin Umar Bin Kathir Al-Qurasyiyyi Al-Damsaqiyyi, Tafsir
Al-Qur‟an Al-„Adzim, (Dar Al-Thaybah, tp : 1999)
Abu Hasan Ahmad bin Abdurrahman al-Syafi‟I, al-Tabihu wa ar-Raddu „ala Ahli
al-Ahwa‟ wa al-Bida‟, (Kaero, Al-Maktabah al-Asyhariyyah, 1977)
Abudin Nata. Manajemen Pendidikan Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di
Indonesia. (Jakarta: Prenada Media,2003)
Agus Purnomo. Ideologi Kekerasan: Argumentasi Teologis – Sosial Radikalisme
Agama. Cet. I (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2009)
Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqashid Syari‟ah, menurut al-Syatibi, (Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 1996)
Elly M. Setiadi dan Usman Kolip, Pengantar Sosiologi Pemahaman Fakta dan
Gejala Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi, dan Pemecahannya, (Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2011), .361.
Jajat Burhanuddin dan Arif Subhan, eds., Sistem Siaga Dini terhadap Kerusuhan
Sosial (Jakarta: Balitbang Agama Depag RI dan PPIM, 2000), 3.
Lewis Coser, The Function of Social Conflict, (New York: Free Press, 1965)
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an,
Vol. 2, (Jakarta: Lentera Hati, 2000)
Mahmud „Abdu al-Razzaq, Ensiklopedi Sufi, al-Mu‟jam al-Shufi, (Kaero, Dar
„Ulum al-„Ilmiyyah)
Muhammad Abid Al-Jabiri, Al-Aql Al-Siyyasi Al-Araby, (Markas Dirasat Al-
Wahdah Al-Arabiyyah, Bairut : 1990)
Muhammad Bin Abdul Wahhab Bin Sulaiman al-Tamimi. Mukhtashor Shirat Al-
Rasul SAW. (al-makan, Riyadl : tt ) juz 1, hlm. 38
Musa Asy‟Arie. Dialektika Agama untuk Pembebasan Spriritual. (Yogyakarta:
LESFI, 2002)
Nurcholis Madjid, Islam Agama Kemanusiaan: Membangun Tradisi dan Visi
Baru Islam di Indonesia (Jakarta: Paramadina, 1995), 121.
23
Sayyid Qutb, Jalan Pembebesan Rintisan Islam Menuju Perdamaian Dunia, trj.
Bedril Saleh, (Yogyakarta, Salahuddin Press, 1985)
Syihab ad-Din Abu al-Abbas al-Qarafi, Tanqih al-Fushul fi „Ilm al-Ushul, dalam
Kitab Digital al-Marji‟ al-Akbar li at-Turats al-Islami, (Syirkah al-Aris li
Kumbiutar, tt).
Waryono Abdul Ghafur, Tafsir Sosial Mendialohkan Teks dan
Konteks,(Yogyakarta:El-Saq Press, 2005)
Abdul Hamid Jaudah, Qabil wa Habil, ( Mesir, Maktabah Mesir, t.t)
Muhammad al-Mutawalli al-Sya‟rawi, Qashash al-Anbiya‟, (Beirut, Dar al-Quds,
2006)