resolusi konflik dalam al-qur'an.pdf

23
1 RESOLUSI KONFLIK PERSPEKTIF AL-QUR’AN (Kajian Tematik Ayat-Ayat Resolusi Konflik) Oleh ; Mohammad Barmawi Abstrak Plural social life is very difficult to separate from the conflict. Differences in ethnicity, race, and faith is the most responsible for the occurrence of conflict. Therefore, a formulation solution that could serve as the basis to minimize the occurrence of conflict is needed. This paper aims to uncover the formulation of conflict resolution Quranic perspectives. Al-Quran serve as object of study because the Koran itself is rahmatan lil alamin, so that the existence of such formulations is expected to minimize conflict. Based on recent assessments have been conducted by the author, it can be concluded that a conflict resolution perspective of the Koran can be classified into two phases. First, the importance of prevention efforts before the conflict, a) by way of imparting education about plurality in social life which is natural. Simultaneously infuse love each other and also to the universe, b) Always start with a consultation in setting a policy, c) if there is a difference complex, then each party brought together to be discussed together to find common ground that can be received each each party. Second. Reconciling the conflict in a way; a) bring policies fairly without discriminating, b) strict sanctions against anyone who has terbuktoi wrongdoing. Abstrak Bahasa Indonesia Kehidupan bermasyarakat yang di dalamnya terdapat ragam perbedaan sangat sulit dipisahkan dari konflik. Perbedaan suku, bangsa, dan keyakinan merupakan hal yang paling bertanggung atas terjadinya konflik. Karenanya, formulasi solusi yang dapat dijadikan sebagai pijakan untuk meminimalisir terjadinya konflik ialah dibutuhkan. Makalah ini bertujuan mengungkap formulasi resolusi konflik perspektif al- Qur'an. Al-Qur'an dijadikan dijadikan objek kajian sebab al-Qur'an itu sendiri bersifat rahmatan lil 'alamin, sehingga dengan adanya formulasi tersebut diharapkan mampu meminimalisir terjadinya konflik. Berdasarkan kajian yang telah dilakukan oleh penulis, maka dapat disimpulkan bahwa resolusi konflik persepktif al-Qur‟an dapat diklasifikasikan menjadi dua tahapan. Pertama, Pentingnya upaya pencegahan sebelum terjadinya konflik, a) dengan cara menanamkan pendidikan tentang kemajmukan dalam hidup bermasyarakat yang merupakan sunnatullah. Sekaligus menanamkan sifat kasih sayang antar sesama dan juga kepada alam semesta, b) Selalu memulai dengan musyawarah dalam menetapkan sebuah kebijakan, c) jika terdapat perbedaan yang rumit, maka masing-masing pihak dipertemukan untuk dimusyawarahkan bersama untuk menemukan titik temu yang dapat diterima masing-masing pihak.

Upload: independent

Post on 10-Dec-2023

3 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

RESOLUSI KONFLIK PERSPEKTIF AL-QUR’AN

(Kajian Tematik Ayat-Ayat Resolusi Konflik)

Oleh ; Mohammad Barmawi

Abstrak

Plural social life is very difficult to separate from the conflict. Differences in

ethnicity, race, and faith is the most responsible for the occurrence of conflict.

Therefore, a formulation solution that could serve as the basis to minimize the

occurrence of conflict is needed.

This paper aims to uncover the formulation of conflict resolution Qur‟anic

perspectives. Al-Qur‟an serve as object of study because the Koran itself is

rahmatan lil „alamin, so that the existence of such formulations is expected to

minimize conflict.

Based on recent assessments have been conducted by the author, it can be

concluded that a conflict resolution perspective of the Koran can be classified

into two phases. First, the importance of prevention efforts before the conflict,

a) by way of imparting education about plurality in social life which is natural.

Simultaneously infuse love each other and also to the universe, b) Always start

with a consultation in setting a policy, c) if there is a difference complex, then

each party brought together to be discussed together to find common ground

that can be received each each party.

Second. Reconciling the conflict in a way; a) bring policies fairly without

discriminating, b) strict sanctions against anyone who has terbuktoi

wrongdoing.

Abstrak Bahasa Indonesia

Kehidupan bermasyarakat yang di dalamnya terdapat ragam perbedaan sangat

sulit dipisahkan dari konflik. Perbedaan suku, bangsa, dan keyakinan

merupakan hal yang paling bertanggung atas terjadinya konflik. Karenanya,

formulasi solusi yang dapat dijadikan sebagai pijakan untuk meminimalisir

terjadinya konflik ialah dibutuhkan.

Makalah ini bertujuan mengungkap formulasi resolusi konflik perspektif al-

Qur'an. Al-Qur'an dijadikan dijadikan objek kajian sebab al-Qur'an itu sendiri

bersifat rahmatan lil 'alamin, sehingga dengan adanya formulasi tersebut

diharapkan mampu meminimalisir terjadinya konflik.

Berdasarkan kajian yang telah dilakukan oleh penulis, maka dapat disimpulkan

bahwa resolusi konflik persepktif al-Qur‟an dapat diklasifikasikan menjadi dua

tahapan. Pertama, Pentingnya upaya pencegahan sebelum terjadinya konflik,

a) dengan cara menanamkan pendidikan tentang kemajmukan dalam hidup

bermasyarakat yang merupakan sunnatullah. Sekaligus menanamkan sifat

kasih sayang antar sesama dan juga kepada alam semesta, b) Selalu memulai

dengan musyawarah dalam menetapkan sebuah kebijakan, c) jika terdapat

perbedaan yang rumit, maka masing-masing pihak dipertemukan untuk

dimusyawarahkan bersama untuk menemukan titik temu yang dapat diterima

masing-masing pihak.

2

Kedua. Mendamaikan konflik yang terjadi dengan cara ; a) memunculkan

kebijakan-kebijakan yang adil tanpa membeda-bedakan, b) sangsi yang tegas

terhadap siapapun yang telah terbuktoi melakukan kesalahan.

A. Prolog

Meski secara fitrah, manusia dilahirkan dalam kondisi baik dan

mengemban amanah khalifah fi al-ard,1 yakni memiliki tugas untuk menjaga

kelestarian kehidupan di muka bumi, sehingga mengharuskan mereka untuk

bertindak tidak melanggar syari‟at.2 Namun karena di dalam jiwa manusia

terdapat sifat serakah, dengki, sombong, yang terkadang tidak bisa

dikendalikan oleh sebagian orang, maka muncul di antara manusia yang

sukanya berbuat onar. Indidividu atau kelompok yang demikian ini ialah

orang-orang yang terjebak oleh nafsu angkara (nafs al-lawwamah).3

Secara naluri, manusia selalu terdorong untuk hidup dengan penuh

kedamaian.4 Namun fitrah tersebut dikotori oleh keserakahan-keserakahan

sehingga muncullah konflik yang berdampak pada pertumpahan darah,

pembunuhan, baik disebabkan atas dasar kepentingan politik, ekonomi,

ideologi ataupun yang lainnya.5 Oleh sebab itu tidak sedikit peristiwa

percekcokan, peperangan, dan pertumpahan darah antar individu, suku,

bahkan antar bangsa di dunia.

1 Al-Razi, dalam karya monumentalnya menjelaskan bahwa, istilah khalifah fi al-ardl yang

telah digunakan al-Qur‟an yang dikhitabkan kepada umat menusia (keturunan Adam dan Hawa),

memiliki makna “penduduk bumi” yang mengemban amanah melestarikan kehidupan di muka

bumi. Maksudnya manusia sebagai makhluk yang telah diciptakan dan dipilih oleh Allah Swt.

Memiliki tugas untuk menjaga dan melestarikan kehidupan di dunia, karenanya tindakan-tindakan

pengrusakan, pembunuhan, ataupun tindakan dzalim yang lain, terlarang bagi mereka, dan bisa

demikian maka diharuskan bagi mereka untuk patuh terhadap norma-norma yang telah ditetapkan

Allah Swt. (taqwa), sebab dengan demikian mereka telah sempurna dan patut untuk disebut

sebagai khalifah di al-ardl, lihat, Abu „Abdillah Umar bin Hasan bin Husain al-Taymi al-Razi,

Mafatih al-Ghayb, j. 1, h 443

2 Ibid.

3 Mahmud „Abdu al-Razzaq, Ensiklopedi Sufi, al-Mu‟jam al-Shufi, (Kaero, Dar „Ulum al-

„Ilmiyyah), j. 10, h. 80

4 „Aunu al-Rafiq, Tafsir Resolusi Konflik, (Malang, UIN Maliki Press, 2011), h. 1

5 Ibid

3

Dalam sejarah peradaban dan agama, para nabi (anbiya‟) dan para

utusan Allah (rusul), yang terhitung dari Nabi Adam sampai Nabi Muhhamad

merupakan orang-orang pilihan yang telah ditetapkan Allah Swt. sebagai juru

damai (peace maker).6 Norma-norma yang dibawa oleh mereka bertujuan

untuk kemaslahatan umat manusia (limashalih al-„ibad),7 karenanya

kesetiaan dalam merealisasikan norma-norma dari Allah merupakan kunci

utama untuk mencapai hidup yang penuh dengan damai.

Disisi lain, konflik merupakan realitas yang cukup sulit dipisahkan

dengan kehidupan manusia itu sendiri, Dalam satu dasawarsa terakhir,

beberapa tragedi kemanusiaan yang memilukan sekaligus mengkhawatirkan

berlangsung silih berganti di Indonesia.8 Akibat dari terjadinya konflik

tersebut tidaklah sedikit bahkan juga banyak yang terbunuh.

Banyak para pakar yang kesulitan mencari biang terjadinya konflik.

Kerumitan mengurai penyebab konflik yang mendadak sontak merebak di

hampir semua tempat di tanah air, berbuntut pada sulitnya menemukan

formulasi yang bagus sebagai resolusi atas terjadinya konflik.

Kendati yang tampak, konflik yang ada sering menggunakan simbol-

simbol agama, misalnya pembakaran dan perusakan tempat-tempat ibadah,

penyerangan dan pembunuhan terhadap penganut agama tetentu, namun

pertentangan agama dan etnis ternyata hanyalah faktor ikutan saja dari

6 Abu Hasan Ahmad bin Abdurrahman al-Syafi‟I, al-Tabihu wa ar-Raddu „ala Ahli al-

Ahwa‟ wa al-Bida‟, (Kaero, Al-Maktabah al-Asyhariyyah, 1977), h. 126

7 Dalam wacana Islam tujuan diturnkannya Agama Islam masyhur disebut dengan istilah

“maqosid syariah” yang berarti tujuan Allah dan Rasul-Nya dalam merumuskan hukum-hukum

islam. Tujuan tersebut dapat ditelusuri dalam ayat-ayat Al-Qur‟an, sunnah Rasulullah, atau bahkan

dengan rasio sebagai alasan atas rumusan suatu hukum yang berorientasi kepada kemaslahatan

umat manusia. Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqashid Syari‟ah, menurut al-Syatibi, (Jakarta: PT

Raja Grafindo Persada, 1996), hal. 58

8 Dari data yang terekspose melalui media massa, kerusuhan-kerusuhan itu antara lain

terjadi di Purwakarta (awal Novenmber 1995); Pekalongan (akhir November 1995); Tasikmalaya

(September 1996); Situbondo (Oktober 1996); Rengasdengklok (Januari 1997); Temanggung dan

Jepara (April 1997); Pontianak (April 1997); Banjarmasin (Mei 1997); Ende di Flores dan Subang

(Agustus 1997) dan Mataram (Januari 2000). Selengkapnya lihat Jajat Burhanuddin dan Arif

Subhan, eds., Sistem Siaga Dini terhadap Kerusuhan Sosial (Jakarta: Balitbang Agama Depag RI

dan PPIM, 2000), 3.

4

penyebab konflik yang lebih kompleks dengan latar belakang sosial, ekonomi

dan politik yang pekat.9

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dipahami bahwa resolusi

konflik menempati posisi yang cukup urgen, dalam rangka meminimalisir

terjadinya konflik. Al-Qur‟an menjadi pilihan menarik untuk dijadikan objek

kajian, mengingat al-Qur‟an adalah kitab suci yang dijadikan sebagai rujukan

sentral yang diyakini kemukjizatannya. Dengan harapan perolehan dari

penelitian ini dapat dijadikan sebagai salah satu bahan pertimbangan untuk

meminimalisir terjadinya konflik di Indonesia.

B. Embrio Terjadinya Konflik

„Abid al-Jabiri sebagai sosok pakar sosial Islam, secara spesifik

mengklasifikan factor-faktor yang merupakan embrio adanya konflik menjadi

tiga bagian. Pertama ; Keragaman Suku (al-Qabilah), Kedua ; Persaingan

dalam mendapatkan materi (Ghanimah), Perbedaan Keyakinan (Aqidah).10

Tiga hal yang telah dipaparkan oleh Muhammad Abid Al-Jabiri, dapat

dijadikan sebagai „ibrah (gambaran), bahwa pada dasarnya sumber konflik

tidak bisa terlepas tiga hal tersebut. Terbukti konflik yang terjadi selama ini

ialah berkaitan erat dengan tiga hal tersebut.

Qabilah (kesukuan). Menurut „Abid al-Jabiri qabilah (suku), memiliki

peran penting atas terjadinya konflik, demikian ini karena tiap-tiap suku dan

etnis memiliki perbedaan yang cukup ketat. Tiap-tiap suku pasti memiliki

kepribadian yang melatarbelakangi kebudayannya. Tiap-tiap kebudayaan di

dalamnya terdapat sistem nilai dan norma sosial yang berbeda antara suku

yang satu dengan yang lain. Dalam masyarakat yang multidimensi, sering

terjadi pergesekan sistem nilai dan norma sosial antara satu suku dengan yang

yang lain, sehingga menjadi sangat mungkin terjadinya konflik.

9 Elly M. Setiadi dan Usman Kolip, Pengantar Sosiologi Pemahaman Fakta dan Gejala

Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi, dan Pemecahannya, (Jakarta: Kencana Prenada Media

Group, 2011), .361.

10 Muhammad Abid Al-Jabiri, Al-Aql Al-Siyyasi Al-Araby, (Markas Dirasat Al-Wahdah

Al-Arabiyyah, Bairut : 1990)

5

Konflik antar suku sejak dulu hingga kini masih kerap sekali terjadi,

semisal di Indonesia terjadi konflik yang melibatkan suku Madura dan Dayak,

di Sumatra antara Suku Bali desa Bali Nuraga dengan Suku Lampung desa

Agom Lampung selatan tahun 2002. Kerugian konflik tersebut bukan hanya

kerugian dari hal materi, melainkan juga tidak sedikit nyawa melayang akibat

dari pertikaian antar suku tersebut.

Persaingan dalam masalah materi (ghanimah), „Abid al-jabiri

menggambarkannya seperti pajak/upeti, peristiwa konflik sebab adanya upeti

juga telah tertuang dalam realitas historis, seperti pembunuhan yang terjadi

pada era kekhalifahan Abu Bakar, atas rakyatnya yang tidak mau membayar

zakat atau dikenal dengan peristiwa mani‟ al-zakat.11

Peristiwa serupa juga terjadi pada konflik Ali dengan para pengikutnya

yang hendak mengambil ghanimah dari para tentara Mu‟awiyyah yang pada

saat itu mengalami kekalahan melawan tentara Ali, namun dengan adanya

arbitrase atau lebih dikenal dengan tahkim (perjanjian perdamaian antara

kelompok Ali dan Muawiyyah), maka ghanimah yang seharusnya diperoleh

menjadi gagal diambil, dan karenanya , ada sebagian kelompok Ali

meninggalkan beliau.

Selanjutnya ialah perbedaan keyakinan “„aqidah”, tidak sedikit konflik

yang diakibatkan dari perbedaan keyakinan, diantaranya adalah Ahlussunnah

dan Syi‟ah, Ahlussunnah dan Ahmadiyyah, Islam dan Kristen, dan beberapa

konflik yang lain. Realitas ini juga diakui oleh A. N. Wilson misalnya, dia

11

Pada saat itu terjadi perbedaan pandangan antara Abu Bakar Al-Shiddiq dengan para

sahabat yang lainnya, bagi Abu bakar siapapun yang telah menolak atas kewajiban zakat, maka

secara otomatis orang-orang tersebut harus diperangi, kesimpulan tersebut menuai kontroferi

dalam kalangan sahabat, bagi sahabat yang lain menyatakan, kesimpulan tersebut terlalu

berlebihan, disamping tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah, dalam hadispun yang boleh

dibunuh hanyalah orang-orang yang tidak masuk agama Islam, sedangkan mereka yang sudah

bersaksi atas ketuhanan Allah dan kerasulan Muhammad, maka jiwanya terjaga. Namun Abu

Bakar menyangkal pandangan tersebut, bagi beliau zakat juga bagian didalam agama, oleh

karenanya siapapun yang menolak atas adanya zakat maka harus diperangi. Dan akhirnya

perdebatan tersebut yang dibenarkan adalah pandangan Abu Bakar, sehingga terjadilah peperangan

antara Abu Bakar dan bala tentaranya, dengan sekelompok penentang kewajiban zakat, dan

kemenangan dipihak Abu Bakar, lihat (Muhammad Bin Abdul Wahhab Bin Sulaiman al-Tamimi.

Mukhtashor Shirat Al-Rasul SAW. (al-makan, Riyadl : tt ) juz 1, hlm. 38

6

menggap agama sebagai yang paling bertanggungjawab terhadap segala

bentuk pertikaian dan perang yang terjadi di dunia ini.

Dalam sebuah bukunya yang berjudul Againts Religion: Why We Should

Try Live Without It, ia menyatakan “Dalam al-Kitab (Bible) dikatakan bahwa

cinta uang adalah akar kejahatan. Mungkin lebih benar lagi kalau dikatakan

cinta Tuhan adalah akar segala kejahatan. Agama adalah tragedi umat

manusia. Ia mengajak kepada yang luhur, paling murni, paling tinggi dalam

jiwa manusia, namun hampir tidak ada sebuah agama yang tidak ikut

bertanggungjawab atas berbagai peperangan, tirani, dan penindasan

kebenaran. Marx menggambarkan agama sebagai candu masyarakat; tetapi

agama jauh lebih berbahaya daripada candu. Agama mendorong orang untuk

menganiaya sesamanya, untuk mengagungkan perasaan dan pendapat mereka

sendiri atas perasaan dan pendapat orang lain, untuk mengklaim bagi diri

mereka sebagai pemilik kebenaran”12

Uraian sebagaimana di atas mengantarkan kita untuk memahami, bahwa

adanya konflik bersumber dari rangkaian kehidupan sosial itu sendiri, seperti

akibat persaingan perekonomian yang tidak sehat, persinggungan antar

keyakinan, perseteruan antar budaya atau bahkan keluarga, dan aspek-aspek

sosial yang lain.

C. Historisitas Konflik dalam Al-Qur’an

Ma‟lumun bi al-dlarurah (sudah pasti dipahami), bahwa konflik

merupakan realitas yang tidak mungkin bisa terlepas dari kehidupan itu

sendiri. Bahkan terkadang konflik bisa menjadi salah satu sumber peradaban

umat manusia, artinya konflik merupakan bagian dari a dinamic change

sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Lewis Coser, menurutnya konflik

demikian ialah bersifat positif.13

12

. Lihat A. N. Wilson, Againts Religion: Why We Should Try Live Without It, (London:

Chatto and Windus, 1992), 1 sebagaimana dikutip oleh Nurcholis Madjid, Islam Agama

Kemanusiaan: Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam di Indonesia (Jakarta: Paramadina, 1995),

121.

13 Coser memang tidak menyangkal bahwa terdapat konflik yang destruktif dan berfungsi

disintegratif. Namun ia menjelaskan bahwa ada konflik sosial yang bernilai positif. Terdapat tiga

argumentasi yang mendasari pendapatnya. Pertama, situasi konflik akan meningkatkan kohesi

7

Di dalam al-Qur‟an secara historis terdapat banyak kisah konflik, bahkan

sejak awal penciptaan manusia itu sendiri, seperti dalam kasus dialog yang

terjadi antara Allah Swt., Malaikat, dan Iblis. Terjadinya dialog tersebut

manakala dipahami secara tekstual, ialah diakibatkan dari adanya persaingan

antara Malaikat, Iblis dan kompetitor baru (Manusia : Adam).

Pada dialog tersebut, Malaikat berkomentar “adakah engkau akan

menciptakan makhluk perusak”14

dan kemudian dilanjutkan dengan kata

“sedangkan kami adalah ciptaan engkau yang selalu setia dan

mensucikanmu”,15

secara semantik kata tersebut memiliki makna, bahwa

Malaikat merasa bahwa diri mereka ialah lebih pantas untuk menduduki gelar

khalifah fi al-ardl dibanding dengan calon kompetitornya, sehingga terjadi

dialog antara Malaikat dengan Allah Swt.

Selanjutnya ialah Iblis. disaat Allah Swt. memerintahkannya untuk

bersujud kepada Nabi Adam, mereka menolak perintah tersebut sebab mereka

merasa bahwa mereka ialah lebih mulia dibanding kompetitor barunya

tersebut, dalam dialog itu Iblis berkata “Saya lebih baik daripadanya: Engkau

ciptakan saya dari api sedang Dia Engkau ciptakan dari tanah”.16

Penolakan

Iblis atas perintah Allah berakibat pada dinilainya Iblis sebagai makhluk Allah

yang sombong, sehingga dilaknat oleh Allah Swt.

Dialog di atas menunjukkan tentang adanya gesekan yang terjadi antara

Malaikat, Iblis, dan Adam sebagai kompetitor baru. Adam dianggap sebagai

makhluk yang belum teruji untuk ditempatkan pada posisi yang lebih unggul

dibanding Malaikat dan Iblis. Malaikat adalah makhluk Allah yang selalu

mensucikan Allah dan setia atas apapun yang telah diperintahkan Allah Swt.

Sehingga merasa lebih unggul dibanding Adam, demikian pula Iblis yang

internal dari kelompok-kelompok terkait; kedua, mampu menciptakan assosiasi-assosiasi dan

koalisi-koalisi baru dan ketiga, dengan konflik akan terbangun kesimbangan kekuatan antar

kelompok terlibat Lihat, Lewis Coser, The Function of Social Conflict, (New York: Free Press,

1965)

14 Al-Baqarah (2) : 3

15 Al-Baqarah (2) : 30

16 Al-A‟raf (7) : 12

8

diciptakan dari bahan dasar api, mereka merasa lebih mulia dibanding Adam

yang hanya diciptakan dari tanah.

Fenomena konflik berikutnya ialah antara Qabil dan Habil, Habil

terbunuh akibat dari kemenangan yang diperolehnya dalam memperebutkan

seorang perempuan cantik yang bernama Iqlima untuk dinikahinya, Qabil

merasa tersisihkan oleh Habil. berbeda dengan konflik sebelumnya, dalam

fenomena pembunuhan Habil oleh Kabil ialah akibat dari persaingan dalam

mendapatkan perempuan yang akan dinikahinya.17

Selanjutnya ialah konflik-konflik para Nabi dengan para penduduk

setempat, kisah Nabi Nuh, Nabi lut, Nabi Ibrahim, Nabi Isa hingga Nabi

Muhammad Saw.. semua konflik yang terjadi ialah konflik yang terjadi adalah

konflik yang erat hubungannya dengan persinggungan antar keyakinan yang

satu dengan keyakinan yang lain kemudian terjadi konflik.18

Berdasarkan uraian di atas maka embrio konflik yang tergambar di dalam

al-Qur‟an dapat diklasifikasikan menjadi tiga. Pertama ; kepentingan

kelompok („ashabiyyah). Tidak sedikit konflik yang melibatkan perseteruan

antar suku, seperti yang terjadi dikalimantan antara suku madura dan suku

dayak, konflik sara di Ambon, Sumatra, lain-lain, beberapa konflik tersebut

pada dasarnya ialah diakibatkan dari demda masa lalu, persaingan, dan

fanatisme kesukuan.

Kedua ; persaingan dalam menguasai hal-hal yang bersifat materi

(dunyawiyyah), persengketaan yang terjadi akibat dari perebutan materi antar

individu ataupun kelompok juga sering menelan korban. Seperti akibat dari

persaingan memperebutkan harta, tahta, dan wanita. Di antara kasus yang

telah terjadi dan diliput oleh media, kasus sengketa lahan di Madura,

perebutan lahan antara perusahaan sawit di Sumatra dan Kalimantan. Konflik

carok di Madura dalam kasus perempuan, ataupun konflik dalam persaingan

bisnis.

17

Abdul Hamid Jaudah, Qabil wa Habil, ( Mesir, Maktabah Mesir, t.t), h. 9-10

18 Muhammad al-Mutawalli al-Sya’rawi, Qashash al-Anbiya’, (Beirut, Dar al-Quds, 2006)

9

Ketiga, konflik yang terjadi akibat kepercayaan yang berbeda

(i‟tiqadiyyah), Konflik Ambon yang terjadi atara penganut agama Islam dan

Keristen, kasus Sunni dan Syi‟ah di Sampang, Parung Bogor, Sukabumi,

Kuningan Cirebon, Ciampea Bogor, Makasar, NTB dan berbagai daerah

lainnya.

D. Pemecahan Konflik (Conflict Resolution) ; Kajian Tematik Ayat-Ayat

Tentang Penyelesaian Konflik

Meskipun konflik merupakan realitas yang tidak mungkin dihindari

dalam kehidupan itu sendiri, namun bisa dipastikan bahwa pada hakekatnya

masing-masing individu tidaklah senang dengan konflik itu sendiri. Sebab,

sebagaimana kodratnya manusia pasti mendambakan kedamaian. 19

Berikut

diuraikan beberapa ayat yang membahas tentang pemecahan atas konflik yang

terjadi :

1. Konsep Sadd al-Darai‟ (Mencegah Konflik Sebelum Terjadi)

Di dalam istilah ushul terdapat istilah yang disebut dengan sad‟u al-

dara‟i, istilah tersebut dijadikan sebagai sebuah pedoman untuk mencegah

akan terjadinya sebuah kejadian yang dinilai negativ oleh syari‟at, semisal

agar terhindar dari perzinahan, maka seseorang harus menghindari hal-hal

yang dapat mengantarkan perzinahan, seperti bersama dengan ajnabiyyah

kecuali setelah menjadi istrinya.20

Hubungannya dengan resolusi konflik

ialah bahwa, konflik yang tidak bisa terpisah dengan kehidupan manusia

itu sendiri, sebab dengan keragaman budaya dan keyakinan, dapat

diminimalisir dengan mencegahnya sebelum terjadi.

19

Agus Purnomo. Ideologi Kekerasan: Argumentasi Teologis – Sosial Radikalisme Agama.

Cet. I (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2009) hlm. 1. 20

Menurut al-Qarafi, sadd adz-dzari‟ah adalah memotong jalan kerusakan

(mafsadah) sebagai cara untuk menghindari kerusakan tersebut. Meski suatu perbuatan

bebas dari unsur kerusakan (mafsadah), namun jika perbuatan itu merupakan jalan atau

sarana terjadi suatu kerusakan (mafsadah), maka kita harus mencegah perbuatan tersebut.

Syihab ad-Din Abu al-Abbas al-Qarafi, Tanqih al-Fushul fi „Ilm al-Ushul, dalam Kitab

Digital al-Marji‟ al-Akbar li at-Turats al-Islami, (Syirkah al-Aris li Kumbiutar, tt).

10

Di antara ayat-ayat yang membahas tentang pencegahan terhadap

konflik ialah :

a) Pendidikan Sifat Rahmah Atas Keberagaman

Pendidikan nilai kasih sayang atas seluruh makhluk Allah

(rahmatan lil „alamin) di dalam Agama Islam menempati posisi yang

cukup urgen, mengingat dasar kasih sayang yang kokoh akan

menjadikan manusia sebagai makhluk Allah yang berperilaku baik

(shalihin). Sebab, dengan kasih sayang mereka akan menjadi individu

yang peduli baik terhadap masnusia yang lain, atau bahkan terhadap

lingkungannya.

Dalam hal ini Allah berfirman :

وجعلناكم شعوبا وق بائل يا أي ها الناس إنا خلقناكم من ذكر وأن ثى إن الل ل مم خب م إن أكرم م ن الل أ قاكم لت عارفوا

Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari

seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu

berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-

mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu

disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu.

Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.(al-

Hujarat : 13)

Firman Allah di atas menyeru agar umat manusia memiliki

kesadaran, bahwa keberagaman suku, bangsa, dan bahasa, perbedaan

warna kulit, dan juga budaya, merupakan sebuah keniscayaan yang

keberadaannya harus dimaklumi.

Bahkan umat manusia juga diseru oleh-Nya agar saling mengenal

antara yang satu dengan yang lainnya. Sebab, meski berbeda, pada

dasarnya mereka ialah dari keturunan yang satu yakni dari Nabi Adam

dan Hawa. Sehingga dengan adanya kesadaran tersebut perbedaan

bukanlah hal yang dapat menjadi embrio munculnya konflik, bahkan

11

yang terjadi ialah kehidupan yang saling menghormati dan

menyayangi.21

Menanamkan kesadaran tentang keberagaman ialah sangat urgen,

sebab dengan pendidikakan tersebut tiap-tiap indiviu memiliki bentuk

kesadaran bahwa pada hakekatnya manusia ialah bersaudara, meskipun

suku, bangsa, bahasa, dan juga budayanya ialah berbeda. Dan dengan

ditanamnya pendidikan tersebut fanatisme kesukuan yang merupakan

salah satu embrio terjadinya konflik akan menjadi terkurangi. 22

Selain itu, Allah Swt juga telah menegaskan tentang ketidak

bolehan saling merendahkan antar satu kelompok dengan kelompok

yang lain, antar individu dengan individu yang lain. Sebab bisa jadi,

kelompok yang direndahkan yang justru lebih utama disisi Allah Swt.,

artinya tidak ada satupun yang mengetahui antar satu kelompok dengan

kelompok yang lebih unggul.

Allah berfirman :

هم را من يا أي ها الذين آمنوا ل يسخر ق ومم من ق وم سى أن ي ونوا خ هن ول لمزوا أن فس م ول را من ول نساءم من نساء سى أن ي ن خ

ميان ومن ل ي تب فأولئك ناب زوا باللقاب بئس السم الفسوق ب ع ال م اللالمون

Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-

laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang

ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula

sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh

jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela

dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang

21

Dalam hal ini Musa Asy‟ari menyatakan ; dalam kehidupan masyarakat yang plural,

sikap dasar yang seharusnya dikembangkan adalah sikap bersedia untuk menghargai adanya

perbedaan masing-masing anggota masyarakat, sehingga perbedaan akan dipandang sebagai hak

fundamental dari setiap anggota masyarakat, maka diperlukan sikap arif dan rendah hati dalam

menghadapi dan memberlakukan adanya pluralitas. Sehingga, dapat dihindari adanya konflik

sosial yang destruktif dan tidak terkendali, seperti yang terjadi di masyarakat akhir-akhir ini Musa

Asy‟Arie. Dialektika Agama untuk Pembebasan Spriritual. (Yogyakarta: LESFI, 2002) hlm. 111 22

Abudin Nata. Manajemen Pendidikan Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam

di Indonesia. (Jakarta: Prenada Media,2003) hlm. 127

12

mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan)

yang buruk sesudah iman dan barang siapa yang tidak bertobat,

maka mereka itulah orang-orang yang zalim. (QS.Al-Hujurat ayat

11)

Pendidikan yang telah ditanamkan dalam ayat tersebut ialah

bahwa tidak dianjurkan bagi tiap-tiap individu ataupun kelompok untuk

kemudian beradu kebolehan yang tujuannya untuk pamer dan merasa

paling unggul dibanding dengan kelompok yang lain. pendidikan yang

demikian ini memicu adanya kesadaran bahwa, tiap-tipa individu,

ataupun kelompok memiliki keunggulan dibidangnya masing-masing,

sedangkan disisi Allah Swt. tidak ada yang pasti mengetahuinya.

Sedangkan yang dianjurkan ialah berlomba-lomba melakukan kebaikan

agar menjadi seorang yang dicintai oleh Allah Swt.

Implikasi dari pendidikan tersebut ialah akan menjadikan umat

manusia dapat memiliki kasih sayang tak terbatas, bukan hanya

mengayomi terhadap sesama manusia, melainkan juga terhadap alam

semesta, dan tentu saja sifat yang demikian ini sesuai dengan titah

diturunkannya Agama Islam itu sendiri yakni rahmatan lil „alamin.

Sebagaimana sifat Rasulullah Saw.

b) Musyawarah untuk Mencapai Kesepakatan

Selain menanamkan sikap persaudaraan, di dalam al-Qur‟an juga

dianjurkan untuk berembug apabila hendak menentukan, melakukan,

ataupun dalam menyikapi sebuah kasus. Sebab dengan didahului

musyawarah penetapan tentang sesuatu, selain sama-sama mengetahui,

kesepakatan juga akan dihargai bersama. Dalam hal ini Allah Swt.

dengan tegas menyatakan :

نا م ن هم وما رزق م وأقاموا الصلة وأمر م شورى ب والذين استجابوا لربه ينفقون

Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan

Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka

(diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka

13

menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada

mereka. Asy-Syura ayat ( 38)

Firman Allah tersebut menjelaskan tentang urgensi musyawarah,

yakni bahwa perkara apapun yang menyangkut kebaikan, baik dalam

persoalan keluarga, ataupun persoalan kemasyarakatan, harus di dahului

dengan proses musyawarah.23

Dalam masalah kemasyarakatan

sebagaimana tertuang dalam surat Ali-„Imraan (3) ayat 159,

digambarkan bahwa Rasulullah selalu bermusyawarah dengan umatnya

tentang urusan yang akan dijalankan supaya mereka mengetahui hakikat

urusan tersebut dan agar mereka mengikuti jejaknya.24

Namun kewajiban melaksanakan musyawarah bukan hanya

dibebankan untuk Nabi saja melainkan juga kepada umatnya secara

menyeluruh. Lebih-lebih dalam masyarakat moderen yang

permasalahannya semakin kompleks.

و ذا ي نبغي أن يشاور ف كله أمر فإن اهلل عال أمر رسول صلى اهلل شاورة ف المور ول ي ن أفطن من ومع ذالك أمر

عال ل وسلم بامل

ع المور وائ الب شاورة وكان يشاور أص اب ف بامل

Wahai ingatlah, seperti itulah, patutnya sebagai pelajar untuk

bermusyawarah, berbincang dalam setiap perkara. Bahwasannya

Allah Swt memerintahkan Rasulnya untuk bermusyawarah

dalam setiap perkara, padahal tidak ada yang lebih pandai dari

beliau Rasulullah Saw. serta pun begitu beliau tetap

memerintahkan untuk bermusyawarah. Sedangkan beliau

Rasulullah Saw. bermusyawarah dengan para sahabat dalam

setiap perkara hinggapun kbutuhan rumah.

c) Dialog

Firman Allah yang menyinggung tentang masalah dialog, banyak

merujuk kepada proses Islam untuk berkompetisi dengan ajaran di luar

Islam. Dialog merupakan salah satu sarana yang dipergunakan para

23

Waryono Abdul Ghafur, Tafsir Sosial Mendialohkan Teks dan Konteks,(Yogyakarta:El-

Saq Press, 2005) hal. 155

24 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an, Vol. 2,

(Jakarta: Lentera Hati, 2000), Cet. I, h. 244-245.

14

Nabi Allah untuk menanggapi segala tuduhan terhadap ajaran Islam,

sekaligus dipergunakan sebagai sarana untuk meyakinkan fihak lain

(sebagian besar ditujukan terhadap orang kafir, munafik). Sebagaimana

dalam firman Allah yang artinya “Serulah (manusia) kepada jalan

Tuhan-mu dengan hikmah (Hikmah: ialah Perkataan yang tegas dan

benar yang dapat membedakan antara yang hak dengan yang bathil)

dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.

Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa

yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-

orang yang mendapat petunjuk.25

Mengomentari ayat tersebut Ibn Katsir dalam tafsirnya “Tafsir al-

Qur‟an al-„Adzim” menegaskan bahwa term dialog yang terdapat pada

ayat tersebut, merupakan perintah dan pengajaran terhadap Rasulullah

Saw. dalam menghadapi orang-orang kufur. sedangkan penyampaian

ajakan beliau terhadap mereka26

ialah dengan hikmah, maksudnya ialah

sebuah ajakan yang dilandasi ketegasan dan berdasar pada pesan-pesan

yang telah dimandatkan Allah secara langsung seperti mengenai tauhid

dan yang lainnya,27

dan juga dengan mau‟idlah hasanah (wejangan)

dengan baik, sekaligus mengajak mereka untuk berdialog kalau

seandainya mereka mengingkari ajakan Rasul dengan dialog yang

sangat sopan dan merendahkan diri, argument ini diperkuat dengan

firman Allah pada surat Al-Ankabut : (46)

Tema dialog yang telah dinyatakan di dalam al-Qur‟an merupakan

salah satu tema yang menunjukkan tentang konflik antar kelompok,

dalam hal ini ialah Islam dan Kafir. Antara kuffar Makkah memiliki

keyakinan yang bertentangan dengan Agama yang telah dibawa

Rasulullah Saw. dengan perbedaan keyakinan tersebut muncul celaan-

25

Al-nahl : 125

26 Abu Al-Fida‟ Isma‟il Bin Umar Bin Kathir Al-Qurasyiyyi Al-Damsaqiyyi, Tafsir Al-

Qur‟an Al-„Adzim, (Dar Al-Thaybah, tp : 1999) juz. 4, hlm. 613

27 Ibid

15

celaan yang disematkan kepada Nabi Muhammad Saw. atas dasar itulah

untuk bisa saling meyakinkan masing-masing pihak terjadilah dialog.

2. Melerai Konflik yang Terjadi

a) Al-„Adl ; Keadilan Sebagai Jalan al-Ternatif atas Konflik yang Sedang

Terjadi

Keadilan merupakan kunci utama dalam merealisasikan resolusi

konflik (conflic resolution), sebab tidak sedikit pertikaian yang terjadi

baik pertiakain antara individu ataupun kelompok, ialah bersumber dari

adanya ketidak adilan, sehingga terjadilah konflik. Persaingan ekonomi,

budaya, ataupun masalah aqidah embrionya ialah ketidak adilan.

Menurut Qutb keadilan yang bersifat mutlak ialah bersumber dari al-

Qur‟an, sebuah kitab suci yang diturunkan Allah Swt. dalam rangka

mewujudkan kemaslahatan umat manusia. Karenanya untuk dapat

melaksanakannya dengan tepat, Islam berpegang teguh pada ketentuan

yang terang dan jelas, yakni hati nurani sang hakim dan pengamatan

masyarakat atas pelaksanaan hukum. Setiap orang dalam masyarakat

Muslim berkewajiban mencegah ketidak adilan, memperingatkan

pemimpin yang tindakannya melampaui batas, dan menasehati para

hakim ketika mereka membuat kekeliruan. 28

Untuk menunjukkan makna „adil di dalam ayat-ayat al-Qur‟an

terdapat beberapa istilah, di antaranya dengan kata al‟adl dengan

berbagai derivasinya kurang lebih diulang 35 kali, berikutnya dengan

istilah al-Qisth sebanyak 24 kali, istilah al-wazn terulang 23 kali, dan

al-washt sebanyak 5 kali.29

Inti dari semua istilah yang telah digunakan

al-Qur‟an ialah bermuara pada satu tujuan, yakni sikap tengah yang

berkeseimbangan dan juga jujur.

Adil yang telah dijelaskan dalam al-Qur‟an, tidak hanya bertujuan

untuk proses penetapan hukum atau terhadap pihak yang berselisih,

28

Sayyid Qutb, Jalan Pembebesan Rintisan Islam Menuju Perdamaian Dunia, trj. Bedril

Saleh, (Yogyakarta, Salahuddin Press, 1985), 104

29 Muhamad Fu`ad Abdul Bagi, Mu`jam Mufahras li Alfad al- Qur`an.

16

namun juga bentuk keadilan atas pribadi masing-masing individu,

seperti dalam firman Allah berikut “Dan apabila kamu berkata, maka

hendaklah kamu berlaku adil walaupun terhadap kerabat” (Q.S. al-

An‟am [6]: 152).“Dan hendaklah ada di antara kamu seorang penulis

yang menulis dengan adil” (Q.S. al-Baqarah [2]: 282). Kedua itu

menunjukkan tentang keharusan berlaku adil terhadap diri masing-

masing individu, baik adil terhadap segala aktifitas baik yang bersifat

dzahir (kongkrit) ataupun yang bersifat bathin (abstrak) atau perilaku

hati. Sedangkan timbangan adil dalam mengukur perilaku yang adil

ataupun tidak ialah al-Qur‟an dan al-Sunnah, sebagaimana firman Allah

yang artinya “Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul, dengan

membawa bukti-bukti nyata, dan telah Kami turunkan bersama mereka

al-Kitab dan neraca (keadilan) agar manusia dapat melaksanakan

keadilan” (Q.S. al-Hadid [57]: 25).

Berikutnya ialah adil dalam masalah kepemimpinan yang

berimplikasi terhadap munculnya tanggung jawab (amanah) untuk

menentang kezaliman dan menegakkan keadilan. Dalam firmannya

Allah menegaskan “Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu (hai

Ibrahim) pemimpin untuk seluruh manusia.” Dia (Ibrahim) berkata,

(Saya bermohon agar) termasuk juga keturunan-keturunanku “ Allah

berfirman, “Perjanjian-Ku ini tidak akan diterima oleh orang-orang

yang zalim” (Q.S. al-Baqarah [2]: 124). Demikian terlihat bahwa

kepemimpinan dalam pandangan ayat tersebut bukan sekadar kontrak

sosial, tetapi juga menjadi kontrak atau perjanjian antara Allah dan sang

pemimpin untuk menegakkan keadilan. Bahkan al-Qur‟an menegaskan

bahwa alam raya ini ditegakkan atas dasar keadilan: “Dan langit

ditegakkan dan Dia menetapkan al-mizan (neraca kesetimbangan)”

(Q.S. al-Rahman [55]: 7).

Walhasil, dalam al-Qur‟an dapat ditemukan pembicaraan tentang

keadilan, dari perspektif tauhid sampai keyakinan mengenai hari

kebangkitan, dari nubuwwah (kenabian) hingga kepemimpinan, dan

17

dari individu hingga masyarakat. Keadilan adalah syarat bagi

terciptanya kesempurnaan pribadi, standar kesejahteraan masyarakat,

dan sekaligus jalan terdekat menuju kebahagiaan ukhrawi. Beberapa

ayat yang telah disebut itu sekaligus dapat menunjukkan betapa kuatnya

aspirasi keadilan dalam Islam.

1) Al-„Adl ; Keadilan dalam Konteks Keseimbangan

Keadilan dalam konteks keseimbangan, memiliki peran yang

cukup penting dalam mencapai sebuah tujuan bersama. Karenanya

dibutuhkan aturan-aturan khusus agar masing-masing bagian

memiliki ukuran yang cocok. Selama aturan-aturan tersebut dapat

terpenuhi dan terlaksana dengan baik, niscaya akan dapat mencapai

tujuan yang diinginkan. Tidak sedikit ayat-ayat yang menunjukkan

konsep al-„adl dalam konteks keseimbangan, seperti penciptaan

langit diimbangi dengan penciptaan bumi, penciptaan Adam

diimbangi dengan Hawa, siang dan malam, neraka dan surga, dan

lain-lain.

Bentuk keseimbangan yang telah diciptakan oleh Allah tersebut

pada hakekatnya ialah memiliki tujuan munculnya kehidupan yang

nyaman, diciptakaannya siang memiliki makna agar makhluk Allah

yang kehidupannya bergantung pada cahaya bisa meneruskan

kehidupannya pada siang hari dengan mencari pangan, kemudian

dilanjutkan dengan munculnya malam, demikian ini bertujuan agar

bisa beristirahat, demikian sebaliknya.

Konsep keseimbangan tersebut memiliki makna penting dalam

rangka mencapai sebuah tujuan. Semisal dalam masalah lapangan

pekerjaan, baik dalam konteks bisnis, buruh, kesehatan, ataupun

bekerja dibidang jasa membutuhkan konsep keadilan dalam arti

keseimbangan. Sebab manakala terdapat sebuah kebijakan yang

tidak melihat biasnya maka akan terjadi tumpang tindih, antara

kebijakan yang tujuannya adalah kebaikan, akan menjadi sebaliknya.

Seperti kebijakan dalam bidang kebidanan, maka manakala

18

kebijakan tersebut tidak diimbangi dengan diciptakannya lapangan

pekerjaan bagi para lulusan akademi kebidanan, maka akan timbul

konflik.

Demikian juga kesadaran tentang ragam suku, budaya,

keyakinan, yang berada di Indonesia membutuhkan penyeimbang

agar tidak terjadi pertikaian. Maka dicetuskanlah bahasa persatuan

yakni bahasa Indonesia, selanjutnya juga diusung doktrin rasa cinta

tanah air, rasa persaudaraan, dan semua itu terdapat dalam falasafah

pancasila.

2) Al-„Adl ; Keadilan Dalam Konteks Kesamaan Hak

Keadilan dalam konteks kesamaan hak dan menghilangkan

segala bentuk diskriminasi. Maksud adil dalam konteks persamaan di

sini bukanlah perlakuan yang mutlak sama antara setiap orang

dengan tanpa melihat pada perbedaan kemampuan, tugas dan

fungsinya, tetapi merupakan suatu perlakuan yang sama terhadap

orang-orang yang memiliki hak yang sama. Dengan demikian

persamaan ini lebih menekankan pada kepemilikan hak.

Dalam Q.S. surat al-Nisa‟ (4): 58 dinyatakan bahwa, “Apabila

kamu memutuskan perkara di antara manusia, maka hendaklah

engkau memutuskannya dengan adil.” Kata “adil” dalam ayat ini -

bila diartikan “sama”- hanya mencakup sikap dan perlakuan hakim

pada saat proses pengambilan keputusan. Ayat ini menuntun sang

hakim untuk menempatkan pihak-pihak yang bersengketa di dalam

posisi yang sama, misalnya ihwal tempat duduk, penyebutan nama

(dengan atau tanpa embel-embel penghormatan), keceriaan wajah,

kesungguhan mendengarkan, dan memikirkan ucapan mereka, dan

sebagainya yang termasuk dalam proses pengambilan keputusan.

Apabila persamaan dimaksud mencakup keharusan mempersamakan

apa yang mereka terima dari keputusan, maka ketika itu persamaan

tersebut menjadi wujud nyata kezaliman.

3) Al-„Adl ; Dalam Konteks Proporsionalisme

19

Pengertian adil pada bagian ini memiliki arti profesionalisme

atas hak-hak masing-masing individu, atau dengan kata lain

“memberikan hak kepada yang berhak” Pengertian inilah yang

menjadi lawan kata dzalim (menempatkan sesuatu bukan pada

tempatya) dalam arti pelanggaran terhadap hak-hak pihak lain.

Keadilan dalam konteks ini akan melahirkan sebuah kehidupan

sosial yang mapan, antara yang satu dengan yang lain akan saling

menghargai dan menghormati. Kesenjangan sosial, baik antar

kelompok atau individu yang terjadi akibat ketidak adilan tidak akan

terjadi.

Uraian tentang beberapa konteks keadilan sebagaimana di atas

memberikan „ibrah (gambaran), bahwa terjadinya kemunculan

konflik embrio utamanya ialah ketidak adilan, sehingga sebuah

kelompok ataupun individu yang merasa terdzalimi akan

memunculkan konflik untuk menunjukkan bahwa dirinya berhak

untuk melakukan demikian. Karenanya untuk melerainya dibutuhkan

sebuah aturan/ norma-norma yang di dalamnya mencakup undang-

undang yang bisa menjaga hak-hak masing-masing individu ataupun

kelompok.

b) Ketegasan dalam Menindak Pelanggaran

Tegaknya hukum dengan tidak memihak dan membeda-bedakan

dalam sebuah kepemimpinan merupakan hal yang sangat dibutuhkan

dalam mewujudkan perdamaian, lebih-lebih dalam melerai konflik

yang terlanjur terjadi. Guna mencapai sebuah kepemimpinan yang

memang benar-benar adil dan juga bisa menegakkan hukum dengan

bijak, maka dibutuhkan seorang pemimpin yang memiliki sifat jujur

(shidiq), amanah (terpercaya), tabligh (terbuka), fathanah (cerdas).

Empat sifat pemimpin sebagaimana tersebut dalam agama Islam

menempati posisi yang cukup urgen, seorang pemimpin yang

demikian akan mampu menciptakan kebijakan dengan baik, dan akan

mampu menegakkan hukum dengan tepat, dan tentu bijaknya sosok

20

pemimpin yang adil akan mampu bertindak tegas atas segala tindakan

yang bersifat dzalim.

Sebuah kondisi damai, tentram, dan sejahtera dalam bingkai

ragam budaya, suku dan agama pernah terjadi pada masa

kepemimpinan Rasulullah Saw., yang dalam hal ini dikenal dengan

piagam Madinah. Perbuatan melanggar peraturan yang dibentuk

berdasarkan kesepakatan seluruh pihak akan ditindak dengan tegas

oleh seorang pemimpin yang terpercaya, jujur dan cerdas.

E. Kesimpulan

Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan, bahwa resolusi

konflik dalam menurut al-Qur‟an dapat dipilah menjadi dua bagian :

1. Pencegahan Konflik

a) Untuk mencegah terjadinya konflik yang ditimbulkan dari perbedaan

suku, budaya, bahasa, dan keyakinan dibutuhkan penanaman sifat

rahmah (saling mengasihi) antara yang satu dengan yang lain.

Sekaligus ditanamkan pendidikan tentang realitas pluralisme yang

merupakan sunnatullah (alamiyyah).

b) Setiap memunculkan sebuah kebijakan selalu didahului dengan proses

musyawarah yang melibatkan semua unsur. Sehingga kebijakan yang

telah disepakati akan menjadi hukum bersama.

c) Apabila terjadi ketidak sepahaman antar individu atau kelompok

bermasalah maka dipertemukan dalam sesi dialog yang santun, di

mana argumentasinya bisa disimak dan dimengerti oleh masing-

masing pihak, yang pada endingnya bisa saling menghormati.

2. Peleraian Konflik yang Terlanjur Terjadi

a) Dibutuhkan sebuah keputusan yang adil dari seorang pemimpin

(wilayat al-amr)

b) Dibutuhkan ketegasan terhadap individu atau kelompok yang

melakukan kedzaliman terhada individu atau kelompok yang lain oleh

seorang pemimpin yang baik.

21

22

Daftar Pustaka

„Aunu al-Rafiq, Tafsir Resolusi Konflik, (Malang, UIN Maliki Press, 2011)

A. N. Wilson, Againts Religion: Why We Should Try Live Without It, (London:

Chatto and Windus, 1992)

Abu Al-Fida‟ Isma‟il Bin Umar Bin Kathir Al-Qurasyiyyi Al-Damsaqiyyi, Tafsir

Al-Qur‟an Al-„Adzim, (Dar Al-Thaybah, tp : 1999)

Abu Hasan Ahmad bin Abdurrahman al-Syafi‟I, al-Tabihu wa ar-Raddu „ala Ahli

al-Ahwa‟ wa al-Bida‟, (Kaero, Al-Maktabah al-Asyhariyyah, 1977)

Abudin Nata. Manajemen Pendidikan Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di

Indonesia. (Jakarta: Prenada Media,2003)

Agus Purnomo. Ideologi Kekerasan: Argumentasi Teologis – Sosial Radikalisme

Agama. Cet. I (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2009)

Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqashid Syari‟ah, menurut al-Syatibi, (Jakarta: PT

Raja Grafindo Persada, 1996)

Elly M. Setiadi dan Usman Kolip, Pengantar Sosiologi Pemahaman Fakta dan

Gejala Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi, dan Pemecahannya, (Jakarta:

Kencana Prenada Media Group, 2011), .361.

Jajat Burhanuddin dan Arif Subhan, eds., Sistem Siaga Dini terhadap Kerusuhan

Sosial (Jakarta: Balitbang Agama Depag RI dan PPIM, 2000), 3.

Lewis Coser, The Function of Social Conflict, (New York: Free Press, 1965)

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an,

Vol. 2, (Jakarta: Lentera Hati, 2000)

Mahmud „Abdu al-Razzaq, Ensiklopedi Sufi, al-Mu‟jam al-Shufi, (Kaero, Dar

„Ulum al-„Ilmiyyah)

Muhammad Abid Al-Jabiri, Al-Aql Al-Siyyasi Al-Araby, (Markas Dirasat Al-

Wahdah Al-Arabiyyah, Bairut : 1990)

Muhammad Bin Abdul Wahhab Bin Sulaiman al-Tamimi. Mukhtashor Shirat Al-

Rasul SAW. (al-makan, Riyadl : tt ) juz 1, hlm. 38

Musa Asy‟Arie. Dialektika Agama untuk Pembebasan Spriritual. (Yogyakarta:

LESFI, 2002)

Nurcholis Madjid, Islam Agama Kemanusiaan: Membangun Tradisi dan Visi

Baru Islam di Indonesia (Jakarta: Paramadina, 1995), 121.

23

Sayyid Qutb, Jalan Pembebesan Rintisan Islam Menuju Perdamaian Dunia, trj.

Bedril Saleh, (Yogyakarta, Salahuddin Press, 1985)

Syihab ad-Din Abu al-Abbas al-Qarafi, Tanqih al-Fushul fi „Ilm al-Ushul, dalam

Kitab Digital al-Marji‟ al-Akbar li at-Turats al-Islami, (Syirkah al-Aris li

Kumbiutar, tt).

Waryono Abdul Ghafur, Tafsir Sosial Mendialohkan Teks dan

Konteks,(Yogyakarta:El-Saq Press, 2005)

Abdul Hamid Jaudah, Qabil wa Habil, ( Mesir, Maktabah Mesir, t.t)

Muhammad al-Mutawalli al-Sya‟rawi, Qashash al-Anbiya‟, (Beirut, Dar al-Quds,

2006)