raj fathin al ghiffari-fst.pdf

85
Identifikasi Struktur Bawah Permukaan Daerah Palu Menggunakan Metode First Horizontal Derivative (FHD) dan Fault Fracture Density (FFD) dengan Data Gayaberat SKRIPSI RAJ FATHIN AL GHIFFARI NIM. 11170970000004 PROGRAM STUDI FISIKA FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1442 H / 2021 M

Upload: khangminh22

Post on 25-Jan-2023

0 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Identifikasi Struktur Bawah Permukaan Daerah Palu

Menggunakan Metode First Horizontal Derivative (FHD) dan

Fault Fracture Density (FFD) dengan Data Gayaberat

SKRIPSI

RAJ FATHIN AL GHIFFARI

NIM. 11170970000004

PROGRAM STUDI FISIKA

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1442 H / 2021 M

ii

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING

Identifikasi Struktur Bawah Permukaan Daerah Palu

Menggunakan Metode First Horizontal Derivative (FHD) dan

Fault Fracture Density (FFD) dengan Data Gayaberat

SKRIPSI

Diajukan sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains (S.Si)

RAJ FATHIN AL GHIFFARI

NIM 11170970000004

Menyetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

Edi Sanjaya, M.Si Muhammad. Nafian, M.Si

NIP. 197307152002121001 NIP. 198507112020121002

Mengetahui,

Ketua Program Studi Fisika

Tati Zera, M.Si

NIP. 196906082005012002

iii

LEMBAR PENGESAHAN UJIAN

Skripsi yang berjudul Identifikasi Struktur Bawah Permukaan Daerah Palu

Menggunakan Metode First Horizontal Derivative (FHD) dan Fault Fracture

Density dengan Data Gaya Berat yang telah disusun oleh Raj Fathin Al Ghiffari

dengan NIM 11170970000004 telah diujikan dan dinyatakan lulus dalam sidang

munaqasyah Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta pada 16 Juli 2021. Skripsi ini telah diterima sebagai salah

satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sains (S.Si) pada Program Studi Fisika.

Jakarta, 16 Juli 2021

Menyetujui,

Penguji I Penguji II

Dr. Sutrisno, Dipl.Seis. Saipudin, M.Si

NIP 19690608 200501 2 002 NUP 9920113254

Pembimbing I Pembimbing II

Edi Sanjaya, M.Si. Muhammad Nafian, M.Si.

NIP 19730715 200212 1 001 NIP 19850711 202012 1 002

Mengetahui,

Dekan Fakultas Sain dan Teknologi Ketua Program Studi Fisika

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Fakultas Sain dan Teknologi

Nashrul Hakiem, S.Si., M.T., Ph.D Tati Zera, M.Si

NIP 19710608 200501 1 005 NIP 19690608 200501 2 002

iv

LEMBAR PERNYATAAN

Yang bertandatangan di bawah ini :

Nama : Raj Fathin Al Ghiffari

NIM : 11170970000004

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Identifikasi Struktur

Bawah Permukaan Daerah Palu Menggunakan Metode First Horizontal

Derivative (FHD) dan Fault Fracture Density (FFD) dengan Data Gayaberat

adalah benar merupakan karya saya sendiri dan tidak melakukan tindakan plagiat

dalam penyusunannya. Adapun kutipan yang ada dalam penyusunan karya ini

telah saya cantumkan sumber kutipannya dalam skripsi.

Demikian pernyataan ini dibuat untuk dipergunakan seperlunya.

Jakarta, 16 Juli 2021

Raj Fathin Al Ghiffari

11170970000004

hp
Stamp
hp
Typewritten Text
Raj Fathin Al Ghiffari 11170970000004

v

ABSTRAK

Palu merupakan kota yang tercatat sebagai daerah rawan gempa serta longsor

akibat aktivitas tektonik yang tinggi. Hal ini disebabkan karena pengaruh aktivitas

tektonik akibat terletak dekat dengan zona patahan aktif serta tumbukan lempeng.

Sehingga dalam mengidentifikasi keberadaan struktur geologi, digunakan metode

FHD dan FFD untuk mengetahui struktur bawah permukaan bumi termasuk

sesar/patahan. Data yang digunakan merupakan data gayaberat yang diperoleh dari

satelit TOPEX dalam bentuk data free air anomaly, latitude, longitude, dan elevasi.

Letak astronomis daerah ini terletak pada koordinat antara 0°,36”-0°,56” Lintang

Selatan dan 119°,45” – 121°,1” Bujur Timur. Daerah penelitian memiliki densitas

lineasi sebesar -1,7gr/cc -179,2 gr/cc dengan tingkat densitas yang tinggi pada

daerah Utara-Selatan. korelasi grafik FHD menunjukkan terdapat satu patahan yang

ditemukan pada tiap lintasan ditandai dengan nilai maksimum pada grafik FHD.

Keberadaan patahan berlokasi di sekitar koordinat 814289.1 UTM Y, 814645.2 UTM

Y, 814859.8 UTM Y, 816627.8 UTM Y. Arah lineament diagram rose menunjukkan

arah Utara-Selatan, patahan daerah penelitian memiliki arah Utara-Selatan. Struktur

bawah permukaan Palu didominasi 3 formasi batuan di pemodelan 2D, Granit-

Granodiorit dengan densitas 2.5-2.81 gr/cm3, Molasa Celebes Sarasin densitas 2.76

gr/cm3, dan Alluvium dan endapan pantai densitas 2.4 gr/cm3. Analisa derivative

metode FHD efektif dalam menentukan batas struktur patahan dengan korelasi

sistem patahan lembar regional Palu.

Kata kunci:Metode FHD, Fault Fractrue Density, gayaberat, Kelurusan, TOPEX.

vi

ABSTRACT

Palu is a city that is recorded as an earthquake and landslide prone area due to

high tectonic activity. Generally, this frequent disaster area is caused by the

influence of tectonic activity because it is located close to the active fault zone as

well as plate collisions. So in identifying the existence of geological structures,

FHD and FFD methods are used to determine the structure below the earth's

surface including faults. The secondary data used is heavy force data obtained

from TOPEX satellites in the form of free water data anomaly, latitude, longitude,

and elevation. The astronomical location of the research area is located at

coordinates between 0°,36"-0°,56" South Latitude and 119°,45" – 121°,1" East

Longitude. The research area has a lineation density of -1.7gr/cc -179.2 gr/cc

with a high density in north-south areas. THE FHD graph correlation shows that

there is one fault found on each path marked with the maximum value on the FHD

graph. The existence of the fault is located around coordinates 814289.1 UTM Y,

814645.2 UTM Y, 814859.8 UTM Y, 816627.8 UTM Y. Lineament direction is

shown rose diagram showing north-south direction, fault research area has

north-south direction. Palu's subsurface structure is dominated by 3 rock

formations in 2D modeling, Granite-Granodiorit with density 2.5-2.81 gr/cm3,

Molasa Celebes Sarasin density 2.76 gr/cm3, and Alluvium and coastal sediment

density 2.4 gr/cm3. Derivative analysis of FHD method is effective in determining

the boundary of fault structure with correlation of palu regional sheet fault

system.

Keywords: FHD Method, Fault Fractrue Density, Lineament, TOPEX

vii

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah

Ssubhanahuwata’ala yang telah memberikan segala karunia, nikmat iman, nikmat

islam, dan nikmat kesehatan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini

dengan sebaik-baiknya. Shalawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada Nabi

Muhammad SAW.

Penulis dapat menuntaskan penyusunan skripsi dengan judul Identifikasi

Struktur Bawah Permukaan Daerah Palu Menggunakan Metode First

Horizontal Derivative (FHD) dan Fault Fracture Density (FFD) dengan Data

Gayaberat tepat pada waktu yang telah ditentukan. Skripsi ini merupakan hasil

penelitian yang penulis telah lakukan sebagai tugas akhir pada Program Studi

Fisika Fakultas Sain dan Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang

dilakukan pada Pusat Laboratorium Terpadu di kampus UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta. Tugas akhir ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Sains (S.Si). Penulisan penelitian ini tentunya belum sempurna dan tidak

luput dari berbagai kekurangan. Walau demikian penulis berharap skripsi ini

bermanfaat dalam perkembangan penelitan-penelitian selanjutnya.

Dalam proses dan penyelesaian skripsi, penulis telah dibantu berbagai

pihak, secara akademis maupun non akademis. Tanpa bantuan dan juga doa serta

dukungan mereka penulis mungkin tidak akan mampu dalam menyelesaikan

penyusunan skripsi ini dengan sebaik-baiknya. Mereka di antaranya yang telah

berjasa dalam membantu dan terus mendukung penulis, yaitu:

1. Kedua orang tua penulis yang tiada hentinya dalam mendoakan serta terus

mendukung penulis baik dalam bentuk dukungan moral ataupun materi

sehingga penyusunan skripsi ini dapat terwujudkan sebaik mungkin.

2. Ibu Tati Zera, M.Si selaku Ketua Program Studi Fisika dan Ibu Elvan

Yuniarti, M.Si selaku Sekretaris Program Studi Fisika yang juga telah

memberikan dukungan moral kepada penulis sehingga penyusunan skripsi

ini dapat diwujudkan.

viii

3. Kepada Bapak Edi Sanjaya, M.Si selaku dosen pembimbing 1 skripsi

penulis yang telah memberikan waktu serta dukungannya sehingga penulis

dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini sebaik mungkin.

4. Kepada Bapak Muhammad Nafian, M.Si selaku dosen pembimbing 2 saya

yang telah membantu dengan memberikan waktu dan saran atas

penyelesaian penulisan skripsi ini.

5. Kepada Kak Nanda Ridki Permana, M.Si yang telah membantu dalam

memberikan arahan pada pengolahan data yang digunakan pada skripsi

penulis.

6. Kepada rekan sejawat saya Syafira Nuralifiani dan Nabila Fitria Ramadhanti

yang telah menemani dan membantu saya selama pengolahan data

dilakukan hingga penyusunan skripsi ini selesai dilaksanakan.

Penulis berharap agar seluruh pihak yang telah membantu dengan ikhlas

dalam penyusunan skripsi ini yang telah dilakukan oleh penulis, Allah SWT

ganjar dengan balasan kebaikan yang berlipat ganda dan diridhoi setiap langkah

dan kegiatan serta perbuatannya. Penulis secara moral sadar bahwa masih banyak

kekurangan yang terdapat di dalam skripsi ini karena keterbatasan kemampuan

dan pemahaman penulis yang jauh dari kata sempurna, karena sesungguhnya

kesempurnaan itu hanya milik Allah SWT.

Jakarta, 19 Agustus 2020

Penulis,

Raj Fathin Al Ghiffari

ix

DAFTAR ISI

ABSTRAK v

KATA PENGANTAR vii

DAFTAR ISI ix

DAFTAR TABEL xi

DAFTAR GAMBAR xii

BAB I 1

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Identifikasi Masalah 3

1.3 Batasan Masalah 3

1.4 Rumusan Masalah 4

1.5 Tujuan Penelitian 4

1.6 Manfaat Penelitian 4

1.7 Sistematika Penulisan 5

BAB II 6

2.1 Kondisi Regional 6

2.1.1 Letak Geografis Wilayah 6

2.1.2 Kondisi Geologi Wilayah 7

2.2 Metode Gayaberat 10

2.3 Percepatan Gravitasi Teoritis 13

2.4 Reduksi Gravitasi 14

2.4.1 Koreksi Penyimpangan Alat (Instrumental Drift Correction) 14

2.4.2 Koreksi Pasang Surut (Tide Correction) 15

2.4.3 Koreksi Udara Bebas (Free Air Correction) 16

2.4.4 Koreksi Bouger (Bouger Correction) 17

2.4.5 Koreksi Medan (Terrain Correction) 18

2.5 Nilai Anomali Bouger Lengkap (Complete Bouger Anomaly) 20

2.6 Densitas Batuan 21

2.7 Analisis Spektrum 23

2.8 Pemisahan Anomali Pada Daerah Regional dan Residual 24

x

2.8.1 Metode Moving Average 25

2.9 DEMNAS 25

2.10 Kelurusan (Lineament) 26

2.11 Metode First Horizontal Derivative (FHD) 27

2.12 Metode Fault Fracture Density (FFD) 28

2.13 Patahan 30

2.14 Integrasi Ilmu 32

BAB III 34

3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian 34

3.2 Instrumen Penelitian 35

3.2.1 Perangkat Keras 35

3.2.2 Perangkat Lunak 35

3.3 Diagram Alir 37

3.4 Tahapan Penelitian 38

3.4.1 Prosedur Pengambilan Data Gayaberat 38

3.4.2 Pengolahan Data Gayaberat 38

BAB IV 47

4.1 Validasi Peta Complete Bouger Anomaly (CBA) 47

4.2 Pemisahan Anomali Regonal dan Residual 47

4.3 Densitas Kelurusan (Fault Fracture Density) 52

4.4 Hasil Analisa Batas Struktur Patahan 55

4.5 Interpretasi Pemodelan 2D Forward Modelling 58

4.5.1 Interpretasi Pemodelan Lintasan 1 58

4.5.2 Interpretasi Pemodelan Lintasan 2 59

4.5.3 Interpretasi Pemodelan Lintasan 2 61

4.5.4 Interpretasi Pemodelan Lintasan 4 62

BAB V 64

5.1 Kesimpulan 64

DAFTAR PUSTAKA 65

LAMPIRAN 69

xi

DAFTAR TABEL

Tabel 2. 1 Nilai Densitas Batuan Metamorf ......................................................... 22

Tabel 2. 2 Nilai Densitas Batuan Beku ................................................................ 22

Tabel 2. 3 Nilai Densitas Batuan Sedimen ........................................................... 23

Tabel 3. 1 Kedalaman Causative Body yang berasal dari Kurva RAPS .............. 41

xii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2. 1 Lokasi Penelitian .............................................................................. 6

Gambar 2. 2 Peta Geologi Regional Palu [5] ........................................................ 7

Gambar 2. 3 Gaya Gravitasi antar Dua Partikel [9] ............................................ 11

Gambar 2. 4 Koreksi Penyimpangan Alat[10] .................................................... 15

Gambar 2. 5 Pengaruh Pasang Surut dan Penyimpangan alat pada percepatan

gravitasi ................................................................................................................. 15

Gambar 2. 6 Koreksi Udara Bebas [2] ................................................................ 17

Gambar 2. 7 Koreksi Bouger [2] ......................................................................... 18

Gambar 2. 8 Pengaruh lembah & bukit pada perhitungan gravitasi [10] ............ 19

Gambar 2. 9 Hammer Chart [10] ......................................................................... 20

Gambar 2. 10 Pembagian zona anomali grafik In A vs K ................................... 24

Gambar 2. 11 10 x = t(x) merupakan anomali magnetik, +=g(x) merupakan

pseudogravitasi dan 0=|∂/∂x g(x)| adalah turunan pertama horizontal

pseudogravitasi [19]. ............................................................................................. 28

Gambar 3. 1 Peta Daerah Penelitian .................................................................... 34

Gambar 3. 2 Diagram Alir Penelitian .................................................................. 37

Gambar 3. 3 Grafik Densitas Batuan ................................................................... 38

Gambar 3. 4 Peta Kontur Elevasi Daerah Penelitian ........................................... 39

Gambar 3. 5 Peta Kontur CBA ............................................................................ 40

Gambar 3. 6 Kurva RAPS Hasil Reduksi Data Gayaberat ................................. 41

xiii

Gambar 3. 7 Peta Anomali Regional hasil pemisahan dengan MVA ................. 42

Gambar 3. 8 Peta Anomali Residual hasil pemisahan MVA .............................. 43

Gambar 3. 9 Peta First Horizontal Derivative (FHD) ......................................... 44

Gambar 3. 10 Overlay Patahan dengan Peta FHD .............................................. 44

Gambar 3. 11 Digitasi pada Peta Residual .......................................................... 45

Gambar 4. 1 Arah lintasan digitasi Peta CBA ..................................................... 49

Gambar 4. 2 Data digitasi pada Peta CBA .......................................................... 49

Gambar 4. 3 Proses Perhitungan Fast Fourier Transform pada line 0 ................. 50

Gambar 4. 4 Hasil Anlisa Spektrum line 0 dan line 1 ......................................... 50

Gambar 4. 5 Hasil Analisa Spektrum line 2 dan line 3 ....................................... 51

Gambar 4. 6 Proses Penentuan Lebar Jendela (N) .............................................. 51

Gambar 4. 7 Peta FFD dan Diagram Rose .......................................................... 53

Gambar 4. 8 Overlay Peta FFD dengan Patahan ................................................. 53

Gambar 4. 9 Peta Lineament ............................................................................... 54

Gambar 4. 10 Grafik Korelasi FHD line 1 .......................................................... 55

Gambar 4. 11 Grafik Korelasi FHD line 2 .......................................................... 56

Gambar 4. 12 Grafik Korelasi FHD line 3 .......................................................... 56

Gambar 4. 13 Grafik Korelasi FHD line 4 ............................................................ 57

Gambar 4. 14 Pemodelan Forward Modelling 2D pada lintasan 1 ..................... 59

Gambar 4. 15 Pemodelan Forward Modelling pada lintasan 2 ........................... 60

Gambar 4. 16 Pemodelan Forward Modelling pada Lintasan 2 .......................... 61

xiv

Gambar 4. 17 Pemodelan Forward Modelling pada lintasan 4 ........................... 62

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pulau Sulawesi menjadi wilayah pertemuan bagi ketiga jenis lempeng besar

yang berbeda, yakni lempeng Eurasia, lempeng Indo-Australia, dan lempeng

Pasifik, serta sejumlah lempeng kecil lainnya. Pada bagian selatan, pergerakan

lempeng Indo-Australia mengalami pergerakan dengan rata-rata kecepatan sebesar

7 cm/tahun, pada bagian timur, lempeng Pasifik bergerak dengan kecepatan

berkisar 6 cm/tahun, juga lempeng Eurasia yang bergerak cenderung pasif menuju

arah tenggara dengan rata-rata kecepatan sekitar 3 cm/tahun [1].

Hal ini mengakibatkan pulau Sulawesi memiliki kondisi tektonik yang

cukup kompleks karena sifat konvergen pada pertemuan ketiga lempeng besar

yang mengalami pertumbukan sehingga wilayah Sulawesi tengah juga daerah

sekitarnya memiliki tingkat kegempaan yang cukup tinggi. Kota Palu yang

merupakan ibukota Provinsi Sulawesi Tengah memiliki aktivitas tektonik yang

tinggi sehingga tercatat sebagai daerah rawan gempa serta longsor. Umumnya,

wilayah yang seringkali terjadi gempa bumi ataupun longsor sebagai imbas

pengaruh aktivitas tektonik pada dasarnya terletak dekat dengan zona patahan

aktif juga zona tumbukan lempeng.

Sehingga untuk mengidentifikasi keberadaan struktur geologi tersebut,

maka dibutuhkan metode geofisika guna mengetahui kondisi bawah permukaan

bumi termasuk di dalamnya yaitu sesar/patahan dengan melihat karakteristik

struktur bawah permukaan dengan mengikuti prinsip-prinsip fisika.

2

Salah satu metode yang dapat digunakan yaitu metode gayaberat atau yang

juga dikenal dengan metode gravitasi. Metode gayaberat ialah sebuah metode

yang berdasarkan pada pengukuran variasi percepatan gravitasi di permukaan

bumi. Berdasarkan nilai variasi medan gayaberat akibat adanya perbedaan

densitas antar batuan, sehingga dalam mengidentifikasi serta menggambarkan

struktur geologi bawah permukaan bumi metode ini dapat digunakan [2].

Dengan menggunakan analisa derivative, metode gayaberat digunakan

dalam mengidentifikasi patahan. Turunan horizontal pertama (FHD) menjadi

salah satu turunan yang seringkali digunakan dalam analisa gayaberat. FHD ini

berperan dalam menentukan batas struktur patahan. Selain menggunakan analisa

derivative turunan horizontal pertama, juga digunakan metode Fault Fracture

Density (FFD) pada penelitian ini. Metode Fault Fracture Density merupakan

pengembangan metode yang dilakukan berdasarkan peningkatan pada analisa

geospasial dalam mengetahui kondisi struktur makro pada suatu daerah dengan

menggambarkan kelurusan (lineament) dalam bentuk peta Fault Fracture Density

(densitas kelurusan) [3]. Sehingga dapat dilakukan penafsiran pada geologi suatu

daerah.

3

1.2 Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah disusun terdapat tiga identifikasi

masalah yang dapat ditentukan, yaitu:

1. Adanya aktivitas tektonik pada pulau Sulawesi terutama pada kota Palu,

Sulawesi Tengah

2. Pentingnya mengetahui batas struktur patahan untuk mengurangi dampak

bencana yang ditimbulkan akibat aktivitas tektonik

3. Pentingnya mengetahui pola kelurusan pada daerah penelitian

1.3 Batasan Masalah

Guna memfokuskan pembahasan pada penelitian ini, maka terdapat batasan

pada kajian di antaranya yaitu:

1. Data yang digunakan merupakan data sekunder yang diperoleh melalui

satelit TOPEX yang kemudian dilakukan koreksi medan dan koreksi

bouger pada metode gayaberat.

2. Proses digitasi dilakukan menggunakan peta residual yang diperoleh

melalui hasil pemisahan peta complete bouger anomaly dengan digitasi.

3. Metode analisa derivative gayaberat yang digunakan yaitu metode First

Horizontal Derivative.

4. Penafsiran geologi daerah penelitian dilakukan dengan menggunakan

metode Fault Fracture Density.

4

1.4 Rumusan Masalah

Rumusan masalah yang dibuat berdasarkan identifikasi masalah yang ada,

sebagai berikut:

1. Bagaimana struktur bawah permukaan daerah penelitian berdasarkan

pemodelan 2D Forward Modelling?

2. Bagaimana batas struktur patahan yang dihasilkan pada daerah penelitian

berdasarkan metode First Horizontal Derivative?

3. Bagaimana kelurusan yang dihasilkan menggunakan metode Fault

Fracture Density sehingga dapat menunjukkan arah serta pola kelurusan

pada daerah penelitian?

1.5 Tujuan Penelitian

Mengikuti rumusan masalah yang telah ditentukan, maka tujuan penelitian

ini meliputi:

1. Menganalisis struktur bawah permukaan daerah penelitian.

2. Menganalisis arah dan pola kelurusan daerah penelitian.

3. Menentukan batas struktur patahan pada lokasi penelitian.

1.6 Manfaat Penelitian

Berikut manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah:

1. Memahami aplikasi metode gayaberat dengan analisa derivative turunan

horizontal pertama (FHD) dalam menentukan batas struktur patahan pada

daerah penelitian.

2. Memberikan informasi kondisi bawah permukaan pada daerah penelitian.

5

3. Memberikan informasi terkait pola serta arah kelurusan pada daerah

penelitian.

4. Dapat dijadikan sebagai referensi penelitian dengan tema yang sama atau

memiliki keterkaitan.

1.7 Sistematika Penulisan

BAB I: Pendahuluan

Pada bab ini menjelaskan mengenai Latar Belakang, Identifikasi Masalah,

Batasan Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, dan

Sistematika Penulisan.

BAB II: Tinjauan Pustaka

Pada bab ini membahas mengenai keterkaitan pada kajian pustaka yang

berhubungan dengan dasar teori pada metode gayaberat yang menjadi landasan

dalam penelitian ini.

BAB III: Metode Penelitian

Bab ini menjelaskan mengenai lokasi dan waktu penelitian, instrumen penelitian,

tahapan penelitian, dan diagram alir penelitian.

BAB IV: Pembahasan

Bab ini menjelaskan mengenai hasil pengolahan data, pembahasan, dan

interpretasi.

BAB V: Kesimpulan

Merupakan kesimpulan dan saran untuk penelitian selanjutnya.

6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kondisi Regional

2.1.1 Letak Geografis Wilayah

Kota Palu yang merupakan ibukota Provinsi Sulawesi Tengah dan terletak di

kawasan dataran lembah Palu dan teluk Palu. Secara astronomi, kota Palu terletak di

antara 119°,45” – 121°,1” Bujur Timur dan 0°,36”-0°,56” Lintang Selatan sehingga

menjadikan kota ini berada di atas garis khatulistiwa pada ketinggian 0-700 meter di

atas permukaan laut. Kota Palu terdiri atas wilayah pegunungan, lembah, sungai,

teluk, dan lautan. Luas wilayah kota Palu sendiri mencapai 395,06 𝑘𝑚2 dan terbagi

atas delapan wilayah kecamatan. Di sebelah utara kota ini berbatasan dengan

Kabupaten Donggala, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Sigi, sebelah

timur berbatasan dengan Kabupaten Donggala dan Kabupaten Parigi Moutong, serta

sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Donggala [4].

Gambar 2. 1 Lokasi Penelitian

7

Kota Palu memanjang dari arah barat hingga ke timur dan terdiri atas dataran

rendah, dataran bergelombang dan dataran tinggi. Berdasarkan topografi yang

dimiliki kota Palu, terbagi atas 3 zona ketinggian yakni, sebagian kawasan pada

bagian barat di sisi timur memanjang dari arah utara hingga ke selatan, bagian timur

menuju utara dan bagian utara pada sisi barat memanjang dari utara sampai selatan

merupakan dataran rendah/pantai dengan ketinggian berkisar pada 0-100 meter di

atas permukaan laut.

Pada wilayah barat pada bagian selatan dan barat, dengan kawasan timur

menuju selatan dan bagian utara ke arah timur dengan ketinggian antara 100-500

meter di atas permukaan laut. Dan wilayah pegunungan dengan ketinggian lebih dari

500 meter di atas permukaan laut.

2.1.2 Kondisi Geologi Wilayah

Gambar 2. 2 Peta Geologi Regional Palu [5]

8

Kondisi Geomorfologi Kota Palu terbagi menjadi 3 satuan geomorfologi, yaitu:

1. Satuan Geomorfologi Dataran, dengan kenampakan morfologi berupa

topografi tidak teratur, lemah, dan merupakan wilayah dengan banjir musiman

sehingga dasar sungai meninggi sebagai akibat sedimentasi fluvial. Kemudian

morfologi ini tersusun atas material utama berupa alluvial sungai dan pantai.

Pada wilayah bagian tengah kota Palu didominasi oleh satuan geomorfologi

ini.

2. Satuan geomorfologi denudasi dan perbukitan, dengan kenampakan berupa

morfologi bergelombang lemah hingga kuat. Wilayah kipas alluvial (alluvial

fan) yang termasuk dalam satuan morfologi ini. Pada wilayah Palu, morfologi

ini meluas hingga mencapai wilayah Palu bagian Timur, Palu bagian Utara

dan menjadi batas di antara 2 wilayah morfologi yakni, wilayah morfologi

dataran dengan morfologi pegunungan.

3. Satuan Geomorfologi Pegunungan Tebing Patahan, merupakan wilayah

dengan topografi yang lebih tinggi. Kenampakan umumnya berupa tebing

terjal serta penelusuran morfologi akibat proses patahan. Arah yang dimiliki

pada pegunungan ini hampir mengarah pada bagian utara-selatan, baik di

bagian timur maupun di bagian barat.

Menurut [5], stratigrafi regional Kota Palu tersusun atas granit dan granodiorit,

kompleks batuan metamorf, formasi Tinombo yang tersusun oleh serpih batupasir,

9

konglomerat, batuan vulkanik, batugamping dan rijang. Termasuk juga filit, sabak,

kuarsit, Molasa Sulawesi, Alluvium dan endapan pantai.

Hasil penelitian sepuluh tahun terakhir menunjukkan bahwa batuan malihan

yang tersebar di Sulawesi secara stratigrafi berumur Kapur bawah hingga Eosen.

Sedangkan pada batuan sedimen berumur Jura [6].

a) Kompleks batuan Metamorf

Batuan tertua yang dipetakan dan tersingkap hanya pada bagian pematang

timur yang merupakan intinya. Kompleks ini terdiri dari amfibofit, sekis,

gneiss, dan pualam. Umur pada batuan metamorf tidak diketahui secara pasti,

namun diperkirakan mungkin berumur Pra-Tersier.

b) Formasi Tinombo

Formasi ini tersebar luas di sepanjang pematang bagian barat hingga timur.

Formasi ini terdiri dari batuan serpih, konglomerat, batupasir, rijang,

radiolarian, dan batuan gunungapi yang terendapkan di lingkungan laut.

c) Molasa Celebes Sulawesi

Endapan ini terletak pada bagian sisi yang lebih rendah dibandingkan kedua

pematang yang menindih secara tidak selaras dengan Formasi Tinombo dan

Komplek Batuan Metamorf dan mengandung rombakan dari formasi-formasi

yang lebih tua juga terdiri dari konglomerat, batupasir, batulempung,

batugamping koral, dan napal.

d) Alluvium dan Endapan Pantai

Bagian ini diperkirakan berumur holosen dan terdiri atas pasir, lanau, kerikil

dan kerakal dengan ukuran material yang tidak seragam. Terbentuk pada

10

lingkungan sungai, delta, serta laut dangkal yang merupakan sedimen termuda

pada daerah ini. Material ini menjadi penyusun utama pada wilayah bagian

lembah kota Palu [5].

Struktur geologi regional daerah Palu dan sekitarnya dikontrol oleh sesar utama

yakni sesar Palu-Koro. Sesar ini berarah utara laut-selatan tenggara. Kota Palu diduga

terletak di antara dua segmen sesar sehingga menyebabkan terbentuknya Lembah

Palu. Struktur lainnya yaitu sesar Pasangkayu juga pembentukan lembah-lembah [6].

Sesar Palu-Koro merupakan sistem sesar mendatar sinistrial yang membentuk

tinggian dan rendahan seperti lembah Palu, Danau Poso, dan Danau Matano [7].

2.2 Metode Gayaberat

Metode Gayaberat menjadi salah satu metode geofisika yang seringkali

dimanfaatkan dalam mengamati struktur geologi di bawah permukaan bumi, potensi

mineral, dan patahan [8].

Metode gayaberat memiliki prinsip pengukuran terhadap besar variasi medan

gravitasi bumi. Perbedaan densitas pada batuan atau dapat disebut dengan anomali

pada gravitasi menyebabkan adanya medan gravitasi bumi. Prinsip yang digunakan

pada metode gayaberat berkenaan dengan Hukum Newton yaitu tentang gaya tarik

yang dimiliki antara dua partikel bermassa sebesar m dan M dan dipisahkan sejauh r

hingga R dari pusat massa dan bernilai sebanding dengan perkalian antara massa m

dengan M dan berbanding terbalik dengan kuadrat jaraknya [2].

11

Persamaan hukum Newton yang menyatakan hubungan gravitasi ialah sebagai

berikut:

𝐹(𝑟) = 𝐺𝑚1𝑚2

𝑟2 (2.1)

Keterangan:

𝐹(𝑟) = Gaya tarik (N)

𝑚1𝑚2 = Massa benda (Kg)

r = Jarak antar benda (m)

G = Konstanta gravitasi (6,67 x 10−11𝑚3/𝑘𝑔/𝑠2)

Bentuk pada persamaan 2.1 dapat diilustrasikan dengan bentuk vektor dan

mendefinisikan vektor satuan 𝑟12 seperti pada (Gambar 2.3).

Gambar 2. 3 Gaya Gravitasi antar Dua Partikel [9]

Dikarenakan vektor satuan yang diarahkan menuju partikel 2 berasal dari

partikel 1, maka gaya yang akan diberikan terhadap partikel 2 oleh partikel 1 dapat

dinyatakan sebagai berikut:

𝐹12 = −𝐺

𝑚1𝑚2

𝑟2𝑟12 (2.2)

12

Dengan 𝐹12 merupakan gaya yang diberikan terhadap partikel 2 sedangkan 𝑟12

merupakan vektor satuan. Tanda negatif pada persamaan 2.2 menunjukkan bahwa

kedua partikel saling tarik menarik, kemudian berlandaskan pada hukum III Newton,

maka gaya yang diberikan terhadap partikel 1 yang bersumber dari partikel 2 ialah

𝐹21 , dan memiliki besar nilai yang sama dengan 𝐹12

dan arah sebaliknya [9]. Maka

kedua gaya ini akan membentuk pasangan aksi reaksi seperti pada persamaan di

bawah ini:

𝐹12 = −𝐹21

(2.3)

Hubungan gaya dengan percepatan didefiniskan oleh Newton pada persamaan

Hukum II Newton yang mengatakan bahwa gaya memiliki perbandingan yang sama

dengan perkalian massa benda sehingga percepatan yang dialami benda sesuai

dengan persamaan berikut:

𝐹 = 𝑚. 𝑔 (2.4)

Benda dengan massa M apabila mengalami gaya tarik akibat benda bermassa m

dengan jarak sebesar r maka akan diperoleh percepatannya dan dinyatakan dengan

persamaan di bawah ini:

𝑔 =𝐹

𝑚 (2.5)

Dan percepatan gaya tarik bumi didefiniskan sebagai berikut:

𝑔 =𝐹

𝑚= 𝐺

𝑀.𝑚

𝑚. 𝑟2= 𝐺

𝑀

𝑟2 (2.6)

13

Keterangan:

𝑔 = Percepatan gravitasi bumi (m/𝑠2)

M = Massa bumi (Kg)

m = Massa benda (Kg)

F = Gaya gravitasi (N)

r = Jaring-jaring milik bumi (6,371 x 106m)

2.3 Percepatan Gravitasi Teoritis

Secara teori, permukaan bumi memiliki bentuk bola dengan permukaan yang

rata dengan besar jari-jari nya 6.371 Km, namun nyatanya bumi berbentuk elipse

dimana terdapat selisih yang dimiliki antara jari-jari bumi bagian kutub dengan

bagian khatulistiwa. Hal ini kemudian mengakibatkan daerah kutub memiliki besaran

gravitasi lebih besar dibandingkan besaran gravitasi di wilayah khatulistiwa.

Kemudian pada tahun 1967, International Association of Geodesy merumuskan

sebuah persamaan dengan memprediksi pengaruh spheroid dan geoid bumi yang

disebut dengan Geodetic Reference System 1967 (GRS67) dan dinyatakan dalam

persamaan di bawah ini [10]:

𝑔𝑡 = 9,78031846(1 + 0,005278895sin2𝜙) (2.7)

Keterangan:

𝑔𝑡= Gravitasi teoritis pada lintang (m/𝑠2)

𝜙 = Lintang daerah

14

2.4 Reduksi Gravitasi

Bukan hanya spheroid dan geoid bumi saja yang mempengaruhi nilai variasi

gravitasi pada permukaan bumi. Selain kedua faktor tersebut, terdapat faktor-faktor

lain yang juga memengaruhi nilai variasi gravitasi diantaranya yaitu: perbedaan

derajat lintang di bumi, perbedaan elevasi/topografi, pasang surut di bumi, kemudian

efek dari topografi medan disekelilingnya, dan juga variasi densitas bawah

permukaan [2]. Terdapat beberapa koreksi dalam eksplorasi gravitasi antara lain:

2.4.1 Koreksi Penyimpangan Alat (Instrumental Drift Correction)

Koreksi penyimpangan alat adalah sebuah koreksi yang dilakukan pada data

gravitasi karena adanya perbedaan pembacaan pada nilai gravitasi pada stasiun yang

sama dengan waktu yang berbeda oleh gravitimeter. Perbedaan pembacaan nilai

gravitasi diakibatkkan karena adanya guncangan pegas juga perubahan temperatur

pada gravitimeter selama proses perjalanan dari satu stasiun menuju stasiun lainnya

[10].

Penyusun pada gravitimeter dirancang menggunakan sistem keseimbangan

pegas dan dilengkapi dengan beban massa yang digantung dibagian ujungnya. Sistem

pegas akan mengembang dan menyusut perlahan sebagai fungsi waktu disebakan

karena ketidaksempurnaan pada pegas yang tidak elastis. Maka, pada proses akuisisi

data akan dirancang sebuah lintasan tertutup sehingga besar penyimpangan dapat

diketahui sebagai upaya dalam menghilangkan efek tersebut.

15

Gambar 2. 4 Koreksi Penyimpangan Alat[10]

2.4.2 Koreksi Pasang Surut (Tide Correction)

Koreksi ini dilakukan dengan tujuan menghilangkan pengaruh gravitasi benda

diluar bumi seperti bulan serta matahari yang berubah berdasarkan lintang dan waktu.

Dalam penggunaannya pada interval waktu tertentu, koreksi ini dilakukan dengan

mengukur nilai gravitasi pada stasiun (base) yang sama. Kemudian sebuah persamaan

yang akan digunakan ketika menghitung koreksi pasang surut dihasilkan oleh

pembacaan pada gravitimeter diplot terhadap waktu. Pada pembacaan data gravitasi

akan selalu menambahkan nilai koreksi pasang surut [10].

Gambar 2. 5 Pengaruh Pasang Surut dan Penyimpangan alat pada percepatan gravitasi

16

Apabila dengan interval per jam dilakukan pengukuran gravitasi pada titik yang

sama selama beberapa hari, maka hal ini kemudian akan menunjukkan perubahan

gravitasi ±0,2-mGal dalam periode sekitar 13 jam oleh variasi sinusoidal. Hal ini

karena pengaruh pasang surut bumi (+ 1m) sebagai akibat pengaruh tarikan gravitasi

bulan setiap 25 jam yang berputar mengelilingi bumi mengakibatkan terjadinya

pasang surut air laut [11]. Sehingga pembacaan pada gravitasi akan dipengaruhi oleh

pasang surut laut. Maka diberikan persamaan berikut sebagai koreksi pasang surut:

𝑈𝑚 = 𝐺(𝑟) (𝐶

𝑅)3

[3 (1

3− 𝑠𝑖𝑛2∅) (

1

3− 𝑠𝑖𝑛2∅) − 𝑠𝑖𝑛2∅𝑠𝑖𝑛2𝛿𝑐𝑜𝑠𝑡 + 𝑐𝑜𝑠2∅𝑐𝑜𝑠2𝛿𝑐𝑜𝑠2𝑡] (2.8)

Dimana:

C = Jarak rata-rata ke bulan

∅ = sudut lintang

𝛿 = sudut lintang

t = sudut waktu bulan

2.4.3 Koreksi Udara Bebas (Free Air Correction)

Free air correction bertujuan dalam mereduksi kedalaman titik pengukuran

atau perbedaan nilai gravitasi yang terletak di geoid (main sea level) dan pengaruh

elevasi dengan gravitasi yang terukur dengan nilai elevasi h.

17

Gambar 2. 6 Koreksi Udara Bebas [2]

Koreksi udara bebas diberikan dengan persamaan sebagai berikut [10]:

𝛿𝑔𝐹𝐴 = 𝑔0 − 𝑔ℎ =2𝑔𝑜ℎ

𝑅= 0,3082ℎ (2.9)

Keterangan:

𝛿𝑔𝐹𝐴 = Koreksi udara bebas (mGal)

𝑔0 = Nilai gravitasi pada daerah mean sea level

R = Jari-jari bumi

h = Elevasi (m)

Sehubungan dengan pertimbangan bahwa bumi berbentuk elipse, maka nilai dari

koreksi udara bebas akan menggunakan persamaan di bawah ini:

𝛿𝑔𝐹𝐴 = 0,3086ℎ (2.10)

2.4.4 Koreksi Bouger (Bouger Correction)

Koreksi bouger menghitung massa pada batuan yang terdapat di antara stasiun

pengukuran dengan bidang geoid. Koreksi ini dilakukan dengan menghitung tarikan

18

gravitasi yang disebabkan oleh batuan berupa slab dengan ketebalan H dan densitas

rata-rata 𝜌 yang ditunjukkan pada (Gambar 2.7).

Gambar 2. 7 Koreksi Bouger [2]

Nilai koreksi bouger dapat dihitung dengan menggunakan persamaan berikut

[2]:

𝛿𝑔𝐵 = 2𝜋𝐺𝜌ℎ = 0,04192 𝜌ℎ (2.11)

Keterangan:

𝛿𝑔𝐵 = Koreksi Bouger (mGal)

𝜌 = Densitas batuan ( 𝑔/𝑐𝑚3 = 𝑀𝑔/𝑚3)

ℎ = Ketinggian/ketebalan slab (m)

2.4.5 Koreksi Medan (Terrain Correction)

Koreksi medan atau topografi dilakukan guna mengoreksi adanya pengaruh

penyebaran massa yang tidak teratur di sekitar titik pengukuran. Dalam koreksi

medan, titik pengukuran di lapangan diasumsikan terletak pada sebuah budang datar

yang sangat luas. Sehingga kenyataan pada lapangan memiliki topografi yang tidak

merata seperti adanya lembah dan juga bukit. Oleh karena itu, apabila hanya

19

dilakukan koreksi bouger saja maka hasil yang diperoleh akan kurang lengkap [10].

Pengaruh yang dimiliki oleh koreksi medan ditunjukkan pada (Gambar 2.8).

Gambar 2. 8 Pengaruh lembah & bukit pada perhitungan gravitasi [10]

Perhitungan koreksi topografi dilakukan dengan menggunakan chart yang

dikembangkan oleh Sigmund Hammer pada tahun 1982 bernama hammer. Hammer

chart membagi area ke dalam beberapa zona dan juga segmen. Pendekatan dilakukan

oleh Hammer dengan menggunakan suatu cincin yang digambarkan pada (Gambar

2.9).

20

Gambar 2. 9 Hammer Chart [10]

2.5 Nilai Anomali Bouger Lengkap (Complete Bouger Anomaly)

Anomali gravitasi merupakan perbedaan nilai percepatan gravitasi bumi pada

data hasil pengukuran dengan nilai percepatan gravitasi bumi teoritis dalam datum

referensi tertentu. Setelah proses perhitungan koreksi telah dilakukan, maka akan

diperoleh nilai yang disebut sebagai anomali bouger. Anomali bouger ialah adanya

variasi densitas secara lateral yang menimbulkan nilai anomali pada bidang geoid.

Untuk memperoleh nilai anomali bouger lengkap pada daerah penelitian, maka

akan digunakan perhitungan menggunakan rumus yang dinyatakan sebagai berikut:

𝐺𝐶𝐵𝐴 = 𝑔𝑜𝑏𝑠 − 𝑔𝑛 + 𝑔𝑓𝑎 − 𝑔𝐵𝑆 + 𝑔𝑡 (2.12)

Keterangan:

𝐺𝐶𝐵𝐴 = nilai dari Complete Bouger Anomaly

𝑔𝑜𝑏𝑠 = nilai gravitasi pengamatan

𝑔𝑛 = nilai gravitasi normal

𝑔𝑓𝑎 = nilai koreksi free air

21

𝑔𝐵𝑆 = nilai koreksi bouger

𝑔𝑡 = nilai koreksi medan

Nilai anomali bouger dikenal juga dengan sebutan Complete Bouger Anomaly

(CBA). Untuk bouger anomaly yang diperoleh tanpa koreksi medan yang

dimasukkan dalam perhitungan dinamakan dengan Simple Bouger Anomaly (SBA).

Penelitian yang dilakukan ini mengandalkan data sekunder yang diperoleh dari

satelit geodesi TOPEX, dimana data yang diperoleh berupa data Free Air Anomaly

(FAA) yang sudah terkoreksi sampai koreksi udara bebas namun belum menghitung

efek massa batuan sehingga perlu memasukkan koreksi bouger dalam

perhitungannya.

2.6 Densitas Batuan

Densitas batuan merupakan massa per satuan volume. Densitas dapat dianggap

pula sebagai jumlah massa titik yang mewakili material per satuan volume.

Percepatan gravitasi yang teramati tidak bergantung oleh densitas mutlak suatu

material, melainkan bergantung pada perbedaan densitas (density contrast) dengan

daerah sekitarnya [12]. Parameter yang digunakan dalam eksplorasi gravitasi ialah

variasi densitas lokal.

Dengan mengetahui nilai densitas dari tipe batuan bawah permukaan, dapat

menginterpretasikan formasi struktur di bawah permukaan. Namun dikarenakan

variasi densitas maksimum antar batuan yang sangat kecil serta umumnya sulit dalam

mengukur densitas secara lokal, maka perlu adanya suatu tabulasi densitas batuan dan

mineral seperti pada tabel nilai densitas rata-rata batuan berikut ini [2]:

22

Tabel 2. 1Nilai Densitas Batuan Metamorf

Rock Type Range Average (wet)

(g/𝒄𝒎𝟑)

Rock Type Range Average (wet)

(g/𝒄𝒎𝟑)

Quartzite 2.50-2.70 2.60 Serpentine 2.40-3.10 2.78

Schists 2.39-2.90 2.64 State 2.70-2.90 2.79

Granywacke 2.60-2.70 2.65 Gneiss 2.59-3.00 2.80

Granulite 2.52-2.73 2.65 Chlorotic state 2.75-2.98 2.87

Phylite 2.68-2.80 2.74 Amphibolite 2.90-3.04 2.96

Marble 2.60-2.90 2.75 Eclogite 3.20-3.54 3.37

Quartzitic state 2.63-2.91 2.77 Methamorphic-Av 2.40-3.10 2.74

Tabel 2. 2 Nilai Densitas Batuan Beku

Rock Type Range Average (wet)

(g/𝒄𝒎𝟑)

Rock Type Range Average (wet)

(g/𝒄𝒎𝟑)

Rhyolite glass 2.20-2.28 Quartz dorite 2.62-2.96 2.79

Obsidian 2.20-2.40 Diorite 2.72-2.99 2.85

Vitrophyre 2.36-2.53 Lavas 2.80-3.00 2.90

Rhyolite 2.35-2.70 Diabase 2.50-3.20 2.91

Decite 2.35-2.80 Essexite 2.69-3.14 2.91

Phonolite 2.45-2.71 Norite 2.70-3.24 2.92

Trachyte 2.42-2.80 Basalt 2.74-3.30 2.99

Andresite 2.40-2.80 Gabbro 2.70-3.50 3.03

Nephelite-Syemite 2.53-2.70 Homblede-Gabbro 2.98-3.18 3.08

Granite 2.50-2.81 Peridotite 2.78-3.37 3.15

Granodiorite 2.67-2.79 Pyroxenite 2.93-3.34 3.17

Porphyry 2.60-2.89 Acid igneus 2.30-3.11 2.61

23

Syenite 2.60-2.95 Basic icneous 2.69-3.17 2.79

Anorthosite 2.64-2.94 - - -

Tabel 2. 3 Nilai Densitas Batuan Sedimen

Rock Type Range Average (wet)

(g/𝒄𝒎𝟑)

Rock Type Range Average (wet)

(g/𝒄𝒎𝟑)

Alluvium 1.96-2.10 2.05 1.00-1.60 1.40

Clays 1.63-2.60 2.21 1.30-2.40 1.70

Gracial drift - 1.80 - -

Gravels 1.70-2.40 2.00 1.40-2.20 1.95

Loess 1.40-1.93 1.64 0.75-1.60 1.20

Sand 1.70-2.30 2.00 1.40-1.80 1.60

Sand and clays 1.70-2.50 2.10

Silt 1.80-2.20 1.93 1.20-1.80 1.53

Soils 1.20-2.40 1.92 1.00-2.00 1.46

Sandstones 1.61-2.76 2.35 1.60-2.68 2.24

Shales 1.77-3.20 2.40 1.56-3.20 2.10

Limestone 1.93-2.90 2.55 1.74-2.76 2.11

Dolomite 2.28-2.90 2.70 2.04-2.54 2.30

2.7 Analisis Spektrum

Analisa spektrum dilakukan guna mengestimasi kedalaman dari anomali

gravitasi dengan melihat respon anomali yang berasal dari zona regional, residual,

dan juga noise. Metode analisis spektrum menggunakan metode transformasi Fourier

24

digunakan dalam memeperoleh sebuah fungsi dalam bilangan gelombang atau

frekuensi dengan mengubah suatu fungsi dengan jarak atau waktu [13].

Analisis spektrum dilakukan dengan membuat lintasan yang dianggap mewakili

daerah penelitian. Hasil transformasi Fourier kemudian dibuat dalam grafik antara In

A (amplitudo) pada sumbu-y vs K (bilangan gelombang) sebagai sumbu-x.

Gambar 2. 10 Pembagian zona anomali grafik In A vs K

Regresi linear pada masing-masing zona dilakukan dengan mengestimasi

kedalaman pada setiap anomali. Regresi linier dilakukan pada zona regional untuk

memperoleh kedalaman regional, begitu pula dengan kedalaman pada residual dan

juga noise.

2.8 Pemisahan Anomali Pada Daerah Regional dan Residual

Pada suatu medan gravitasi nilai anomali yang telah terukur ataupun telah

terkoreksi diketahui terdapat 3 zona anomali yaitu, zona dalam (regional), zona

dangkal (residual), serta zona noise. Pada pemisahan anomali, dapat dilakukan

25

dengan menggunakan metode kontinuasi, moving average, dan metode polinomial.

Penulis menggunakan metode moving average dalam penelitian pada skripsi ini.

2.8.1 Metode Moving Average

Peratarataan pada nilai anomali dilakukan pada metode moving average untuk

menghasilkan anomali regional dengan memperkirakan nilai regional. Persamaan

moving average dalam 1-D ialah:

∆𝑇𝑟𝑒𝑔(𝑖, 𝑗) =∆𝑇(𝑖−𝑛,𝑗−𝑛) + ⋯+ ∆𝑇(𝑖+𝑛,𝑗+𝑛)

𝑁 (2.18)

n = 𝑁−1

2, dengan N merupakan bilangan ganjil yang wajib [14]. Setelah diperoleh

∆𝑇𝑟𝑒𝑔, maka nilai ∆𝑇𝑟𝑒𝑠, sehingga persamaannya menjadi:

∆𝑇𝑟𝑒𝑠 = ∆𝑇 − ∆𝑇𝑟𝑒𝑔 (2.19)

Yaitu ∆𝑇𝑟𝑒𝑠 ialah nilai pada anomali residual, ∆𝑇 adalah nilai pada Complete Bouger

Anomaly (CBA) dan ∆𝑇𝑟𝑒𝑔 adalah nilai pada anomali regional.

2.9 DEMNAS

DEM Nasional merupakan sumber data yang dikumpulkan meliputi IFSAR

dengan resolusi 5m, TERRASAR-X resolusi 5m, dan ALOS PALSAR dengan

resolusi 11,25m, dengan menambahkan data masspoint hasil streo-plotting. Resolusi

spasial yang dimiliki DEMNAS ialah 0,27-arcsecond, dengan menggunakan datum

vertikal EGM2008. Dengan menggunakan GMT-SURFACE tension 0,32 dilakukan

metode penambahan data masspoint ke dalam Digital Surface Model/DSM (IFSAR,

TERASAR-X ATAU ALOS-PALSAR) [15].

26

Ground Control Point (GCP) yang dilakukan pengukuran serta Jaring Kontrol

Geodesi (JKG) digunakan dalam mevalidasi dan menguji akurasi data DEMNAS dan

model data tinggi lainnya. Pada Pulau Sumatera hasil validasi yang telah dilakukan

menunjukkan bahwa akurasi pada DEMNAS apabila dibandingkan dengan model

data tinggi yang terbentuk dari DTM (breakline), masspoint, dan spotheight jauh

lebih baik.

Konversi datum tinggi pada EGM96 menjadi EGM2008 menimbulkan efek

yang ditunjukkan pada DSM yang masih menggunakan EGM96 dan DEMNAS yang

merujuk kepada EGM2008. Selanjutnya, terlihat pada data DTM yang diperoleh dari

masspoint dan breakline hasil interpretasi streo-plotting di daerah bagian selatan

masih menunjukkan nilai anomali yang tinggi, dengan data DSM yang lebih rendah

dibanding DTM, 10m atau lebih. Pemotongan dilakukan pada data DEMNAS yang

dirilis sesuai dengan Nomor Lembar Peta (NLP) dengan skala 1:25.000 atau

1:50.000 untuk setiap Kepulauan maupun Pulau.

2.10 Kelurusan (Lineament)

Kelurusan atau lineament merupakan sebuah fitur linier sederhana atau

majemuk pada permukaan bumi yang terpetakan pada skala ≥ 1:25.000, dengan fitur

linier yang memiliki arah penjajaran yang rectilinier atau curvilinear, serta memiliki

pola yang berbeda dengan fitur di daerah sekitarmya sehingga dianggap dapat

mencerminkan fitur dan fenomena pada bawah permukaan [16]. Sementara menurut

[17], kelurusan adalah sebuah garis yang signifikan di permukaan bumi yang

menyingkap arsitektur tersembunyi dari batuan dasar (basement).

27

Oleh [17] kelurusan yang dianggap penting ialah kelurusan yang

menggambarkan puncak dari punggungan bukit/pegunungan atau batas daerah yang

tinggi dengan yang rendah, drainase sungai, garis pesisir, dan batas satuan/formasi

batuan. Studi yang berhubungan dengan lineament mulai dipelajari sejak awal abad

ke-19, dimana para ahli geologi mulai menyadari hubungan antara rekahan

(fractures) dan bentukan lahan terutama yang dikontrol oleh sistem rekahan,

sehingga erosi batuan dan bentukan alam mencerminkan proses struktur geologi yang

bekerja pada suatu daerah [18].

Interpretasi kelurusan dapat dibuat secara visual dengan memperhatikan

beberapa aspek, yaitu:

1. Perubahan ketinggian secara tiba-tiba

2. Perubahan pada pola

3. Perubahan gradien kelerengan/kecuraman

4. Perpindahan daripada bidang referensi/datum

Umumnya hasil analisis kelurusan ditampilkan dalam bentuk lineament

statistics yang terdiri dari lineament density maps dan rosette diagram.

2.11 Metode First Horizontal Derivative (FHD)

Turunan horizontal pertama merupakan nilai anomali gravitasi yang mengalami

perubahan secara horizontal pada jarak tertentu yang memiliki puncak maksimum

serta minimum, sehingga anomali gravitasi dapat menampilkan batas kontak kontras

pada densitas.

28

Gambar 2. 11 10 x = t(x) adalah anomali magnetik, +=g(x) hasil pseudogravitasi dan 0=|∂/∂x g(x)|

merupakan turunan pertama horizontal pseudogravitasi [19].

Untuk melakukan perhitungan pada persamaan nilai turunan horizontal pertama

(FHD) dapat dilakukan dengan persamaan [19]:

𝑓(𝑥, 𝑦) = √(𝜕𝑔

𝜕𝑥)2

+ (𝜕𝑔

𝜕𝑦)2

(2.20)

Turunan pertama dilakukan dalam finite differences dalam persamaan (2.15)

dapat sehingga dihasilkan sebuah persamaan yang diturunkan sebagai berikut:

𝜕𝑔

𝜕𝑥≈

𝑔(𝑖 + 1. 𝑓) − 𝑔(𝑖 − 1𝑓)

2∆𝑥,𝜕𝑔

𝜕𝑦≈

𝑔(𝑖 + 1. 𝑓) − 𝑔(𝑖 − 1𝑓)

2∆𝑥 (2.21)

Dengan ∆𝑥 adalah selisih antara jarak pada lintasan (m) dan g merupakan nilai

anomali (mgal).

2.12 Metode Fault Fracture Density (FFD)

Metode FFD (Fault Fracture Density) ialah metode sederhana yang digunakan

dalam menentukan daerah yang memiliki kerapatan struktur tinggi yang terbentuk

29

oleh interkoneksi antara sesar dan juga rekahan, serta daerah tersebut diasosiasikan

dengan keberadaan reservoir panas bumi di kedalaman [20].

Daerah yang telah mengalami proses faulting geologi kemudian akan

menghasilkan fracturing yang signifikan sehingga menciptakan zona permeabel di

kedalaman [21], sehingga zona permeabel tersebut dapat menjadi jalur bagi fluida

panas bumi untuk mengalir dari reservoir menuju permukaan [20].

Hubungan antara sesar dengan sumur pemboran yang produktif telah banyak

diteliti dan dapat disimpulkan bahwa sesar dan zona rekahan menjadi faktor

pengontrol utama dalam sistem panas bumi konvektif [22]. Sehingga studi mengenai

sesar dan rekahan dengan menganalisis kelurusan menjadi bagian penting dalam

mendeliniasi bagian produktif dari reservoir panas bumi [23].

Metode FFD dilakukan dengan melakukan penarikan kelurusan yang dapat

dilakukan menggunakan beragam data, namun umumnya digunakan peta topografi

konvensional ataupun foto udara. Menurut [22], peta topografi konvensional dengan

skala kecil ≥ (1:50.000) hanya mampu digunakan untuk mengidentifikasi kelurusan

yang menonjol sehingga kurang cocok digunakan untuk melakukan analisis kelurusan

pada lapangan panas bumi yang cenderung memiliki luasan yang lebih kecil,

sementara foto udara yang memiliki kelurusan-kelurusan yang tidak mencerminkan

struktur, seperti kelurusan batas hutan, batas peternakan, jalan raya, pagar, jaringan

kabel tiang listrik, dan fitur antropogen lainnya.

Hasil terhadap analisis kelurusan ialah rosette diagram dan parameter yang

disebut sebagai fault fracture density (FFD), yaitu pengukuran total panjang

kelurusan per satuan luas [22]. Untuk melakukan komputasi FFD, daerah penelitian

30

dibagi menjadi grid-grid dengan ukuran grid yang umumnya 1x1 km. kemudian hasil

dari penarikan kelurusan kemudian dilakukan pengukuran nilainya dengan membagi

total panjang kelurusan di dalam grid dengan luas dari grid tersebut, lalu nilai nya

diposisikan di bagian tengah grid dan dibuatlah peta kontur FFD. Peta kontur FFD

menunjukkan daerah yang telah mengalami pensesaran dan perekahan yang

diasosiasikan dengan keberadaan reservoir panas bumi di kedalaman.

2.13 Patahan

Patahan merupakan pergeseran yang terjadi pada sebuah rekahan. Pergeseran

ini berkisar beberapa milimeter hingga ratusan meter dengan panjang mulai dari

beberapa desimeter hingga ribuan meter [24]. Berbagai jenis batuan dengan beragam

tipe dapat mengalami peristiwa sesar. Sesar yang terjadi pada struktur batuan

mengakibatkan perubahan ataupun perkembangan topografi, mengubah aliran air di

bawah dan di atas permukaan hingga merusak stratigrafi batuan dan lain-lain.

Patahan terjadi ketika retakan terjadi pada suatu batuan dan hal ini

berhubungan dengan gaya yang diperoleh pada batuan dengan tekanan serta kekuatan

sehingga menimbulkan keretakan (fracture). Perubahan pada batuan akibat tekanan

yang diberikan dalam jangka waktu yang lama sehingga pergerakan ditimbulkan

dengan jarak beberapa milimeter hingga beberapa meter.

Beberapa parameter digunakan untuk mengetahui jenis patahan. Parameter ini

disebut dengan parameter bidang sesar dan terdiri dari:

31

1. Strike/jurus (𝜑), ialah bidang sesar yang memiliki garis horizontal yang

diukur dengan mengasumsikan hanging wall terletak di sebelah kanan (0° ≤

𝜑 ≤ 360°) searah dengan jarum jam dari arah utara.

2. Dip/kemiringan (𝛿), ialah kemiringan pada bidang horizontal pada foot wall

dengan sudut (0° ≤ 𝛿 ≤ 90°).

3. Rake/sudut pergeseran (𝜆), ialah strike dengan sudut di antaranya mengikuti

arah garis pada bidang sesar yang merupakan hanging wall. Rake pada sesar

naik bernilai positif dan untuk sesar normal atau turun bernilai negatif.

Patahan dapat dikategorikan menjadi beberapa jenis berdasarkan

pergerakannya, yakni:

A. Normal Faults

Patahan normal ialah patahan yang terjadi pada salah satu bagian batuan yang

mengalami pergerakan yang memungkinkan bagian footwall nya mengalami

pergerakan ke atas terhadap hanging wall terhadap posisi bawah keadaan

asalnya. Kemiringan pada sudut yang dimiliki patahan normal bernilai besar

sehingga mendekati 90 derajat menjadi ciri dari jenis patahan ini [25].

B. Patahan Naik

Merupakan patahan dengan arah footwall yang relatif turun apabila

dibandingkan dengan hanging wall. Sudut kemiringan kurang dari 45 derajat

menjadi ciri yang dimiliki oleh jenis patahan ini [2].

C. Patahan Geser

32

Patahan jenis ini memiliki arah yang cenderung mendatar ke kiri maupun ke

kanan. Tidak sepenuhnya seluruh lapisan bergerak dengan arah mendatar

namun beberapa ada yang bergerak dengan arah vertikal. Apabila patahan

bergerak ke arah kanan maka patahan ini dinamakan dengan patahan geser

sinistrial sedangkan patahan geser dekstral merupakan patahan yang bergerak

ke arah kiri [26].

2.14 Integrasi Ilmu

Allah SWT menciptakan Bumi dengan sebaik-baiknya dan penuh manfaat.

Dalam penciptaannya Bumi terdiri dari beberapa lapis seperti yang dijelaskan dalam

Al-Qur’an Surah Al Mu’minun 17 dan 18:

( وأنزلنا من ١٧ )غافلين ق لخل ن اولقد خلقنا فوقكم سبع طرائق وما كنا ع ﴿

﴾( ١٨قادرون )ل هاب به لى ذ ا ع السماء ماء بقدر فأسكناه في الرض وإن

Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan di atas kamu tujuh buah jalan (tujuh buah

langit); dan Kami tidaklah lengah terhadap ciptaan (Kami). Dan Kami turunkan air

dari langit menurut suatu ukuran; lalu Kami jadikan air itu menetap di bumi, dan

sesungguhnya Kami benar-benar berkuasa menghilangkannya.

Demikianlah kuasa Allah untuk menciptakan manusia melalui tahapan-tahapan

yang sangat mengagumkan. Begitu besar nikmat yang Allah karuniakan kepada

manusia. Sungguh dan di antara nikmat itu adalah bahwa, kami telah menciptakan

tujuh lapis langit di atas kamu, dan kami tidaklah lengah terhadap ciptaan kami. Kami

33

akan selalu menjaganya untuk kebaikan manusia dan makhluk hidup lainnya. Dan di

antara bentuk pemeliharaan kami adalah air tawar diturunkan oleh kami dalam

berbagai bentuk, dari butiran es hingga dalam bentuk cair, dari langit dengan suatu

ukuran bagi makhluk ciptaan kami; lalu untuk memudahkan pemanfaatannya kami

jadikan air itu menetap dan tersimpan di bumi, dan pasti kami berkuasa pula untuk

melenyapkannya, namun kami tidak melakukannya karena rahmat kami kepada para

makhluk [27].

34

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian dengan judul “Identifikasi Patahan Daerah Palu Berdasarkan

Metode First Horizontal Derivative (FHD) dan Fault Fracture Density (FFD)

dengan Data Gayaberat” ini dilaksanakan pada bulan Maret 2021 – Juni 2021.

Pengolahan data dilakukan di Pusat Laboratorium Terpadu Geofisika, Jurusan Fisika,

Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Gambar 3. 1 Peta Daerah Penelitian

35

3.2 Instrumen Penelitian

Data yang digunakan pada penilitian ini ialah data sekunder berupa data

gayaberat yang diperoleh dari satelit TOPEX (https://topex.ucsd.edu/cgi-

bin/get_data.cgi). Data yang diperoleh berupa data free air anomaly, kemudian

latitude, longitude, dan elevasi. Letak astronomis daerah penelitian terdapat pada

koordinat antara 0°,36”-0°,56” Lintang Selatan dan 119°,45” – 121°,1” Bujur Timur.

Jumlah data yang dimiliki sejumlah 150 titik sebaran dengan luas daerah penelitian

sebesar 224 𝑘𝑚2dengan perimeter nya sebesar 63 km.

3.2.1 Perangkat Keras

Perangkat keras yang digunakan dalam penelitian ini adalah satu buah

Notebook PC merk Hp dengan sistem operasi windows 2010, RAM 4GB prosessor

Core I3 7th Gen

3.2.2 Perangkat Lunak

Perangkat lunak Surfer 11, RockWorks 17, Google Earth Pro, Microsoft Word

2010, Microsoft Excel 2010, Notepad, PCI Geomatica, ArcMap 10.8, Global Mapper

18, Geosoft Oasis Montaj.

a. Perangkat lunak Google Earth Pro digunakan untuk menentukan lokasi

penelitian yang kemudian koordinatnya digunakan dalam memperoleh data

gravitasi dan elevasi pada satelit TOPEX

b. Perangkat lunak Notepad digunakan untuk menampilkan hasil data topografi

dan gravitasi yang telah diunduh melalui website (https://topex.ucsd.edu/cgi-

bin/get_data.cgi)

36

c. Perangkat lunak Microsoft Excel 2010 digunakan untuk mengolah hasil data

topografi dan gravitasi yang telah diunduh. Setelahnya dilakukan koreksi

medan dan juga koreksi bouger, serta dilakukan perhitungan densitas batuan

dan spektrum disertai lebar jendela dengan filter moving average

d. Perangkat lunak Microsoft Word 2010 yang digunakan untuk membuat dan

menyusun draft skripsi

e. Perangkat lunak Rockworks 17 digunakan dalam membuat Diagram Rose

f. Perangkat lunak PCI Geomatica digunakan dalam membuat lineament dengan

menggunakan tools focus pada perangkat ini secara otomatis terhadap peta

DEMNAS yang telah diperoleh

g. Perangkat lunak Arcmap 10.8 digunakan dalam proses pembuatan peta Fault

Fracture Density (FFD)

h. Perangkat lunak Surfer 11 digunakan dalam memperoleh UTM X dan UTM Y

i. Perangkat lunak Global Mapper 18 digunakan dalam pemetaan DEM lokal

dan regional, melakukan koreksi medan serta melakukan overlay patahan

j. Perangkat lunak Geosoft Oasis Montaj digunakan dalam pembuatan peta

kontur complete bouger anomaly, regional, residual, topografi, first horizontal

derivative, fault fracture density, dan pemodelan 2D forward modelling

37

3.3 Diagram Alir

Gambar 3. 2 Diagram Alir Penelitian

38

3.4 Tahapan Penelitian

3.4.1 Prosedur Pengambilan Data Gayaberat

Data yang digunakan pada penelitian ini menggunakan data sekunder yang

diperoleh dengan memasukkan longitude serta latitude daerah penelitian yang dipilih

menggunakan perangkat lunak google earth pro pada website TOPEX. Data yang

diperoleh berupa data FAA (Free Air Anomaly) dan juga data topografi. Kemudian

data tersebut selanjutnya dimasukkan ke dalam notepad dan dipindahkan ke

perangkat lunak microsoft excel 2010 untuk dilakukan pengolahan data tahap

berikutnya.

3.4.2 Pengolahan Data Gayaberat

Pada awal proses pengolahan data gayaberat, dilakukan beberapa koreksi dan

reduksi hingga diperoleh peta kontur anomali bouger lengkap. Terdapat proses

perhitungan dalam menentukan densitas pada daerah penelitian, yaitu:

Gambar 3. 3 Grafik Densitas Batuan

39

Dari (Gambar 3.3) terlihat besar densitas yang digunakan sebagai nilai densitas

rata-rata dari daerah penelitian yaitu sebesar 1.98 g/cc. Nilai densitas yang diperoleh

tersebut kemudian digunakan dalam proses pengolahan data gayaberat.

Setelah data gayaberat telah dilakukan beberapa jenis koreksi kemudian

dibuatlah peta kontur elevasi daerah penelitian pada (Gambar 3.4).

Gambar 3. 4 Peta Kontur Elevasi Daerah Penelitian

Data gayaberat yang telah diperoleh dan dilakukan koreksi medan dan koreksi

bouger, kemudian akan direduksi menggunakan persamaan (2.12), kemudian

menghasilkan peta kontur CBA pada (Gambar 3.5). tidak ada nya korelasi yang

berhubungan antara peta CBA dan peta elevasi menjadi sebuah ciri yang baik dalam

melakukan validasi. Peta Complete Bouger Anomaly pada survei gayaberat

merupakan superposisi yang berasal dari anomali regional dan residual yang terletak

di bawah permukaan daerah penelitian dengan tingkatan frekuensi yang bervariasi.

40

Nilai CBA sendiri merupakan nilai total anomali sebagai akibat pengaruh rapat

massa yang dimiliki batuan yang berasal dari kerak hingga permukaan bumi yang

kemudian dilakukan pemisahan dalam memperoleh anomali regional serta residual.

Diperlukan sebuah pemisahan yang dilakukan berdasarkan perhitungan matematis

ketika ingin memisahkan dua anomali pada gayaberat sehingga akan diperoleh

pembagian yang jelas pada daerah regional serta residual. Distribusi anomali

percepatan pada gayaberat ditunjukkan dalam bentuk peta kontur complete bouger

anomaly.

Gambar 3. 5 Peta Kontur CBA

Berdasarkan peta kontur CBA yang telah diperoleh pada (Gambar 3.5),

kemudian selanjutnya dilakukan proses penghitungan kurva RAPS (Radially

Average Power Spectrum) pada (Gambar 3.6).

41

Gambar 3. 6 Kurva RAPS Hasil Reduksi Data Gayaberat

Komponen Slope Depth

Regional -13.982 -1.11265

Residual -12.117 -0.96424

Tabel 3. 1 Kedalaman Causative Body yang berasal dari Kurva RAPS

Kurva RAPS pada (Gambar 3.6) terdiri atas beberapa komponen yaitu

komponen anomali regional, dan anomali residual. Melalui kemiringan pada masing-

masing garis yang terdapat pada kurva RAPS, diperoleh kedalaman regional dan

residual berdasarkan komponen-komponen yang ada pada RAPS dengan

menggunakan rumus yaitu kedalaman dibagi dengan 4𝜋. Sehingga diperoleh

beberapa kedalaman causative body seperti (Tabel 3.1).

Proses analisis spektrum biasa dilakukan dalam satu dimensi dan dilakukan

menggunakan transformasi Fourier dengan tujuan mengubah sinyal menjadi

penjumlahan beberapa sinyal.

42

Pada (Tabel 3.1) dapat ditentukan kedalaman anomali regional dengan

kedalaman 1.11265 km, kemudian residual dengan kedalaman 0.96424 km. Proses

pemisahan anomali regional dan residual dilakukan menggunakan filter moving

average dengan bantuan perangkat lunak Geosoft Oasis Montaj. Pemisahan ini

dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui pola anomali pada masing-masing

kedalaman.

Pada prosesnya sendiri, pemisahan antara anomali regional dan residual

dilakukan dengan menyeleksi frekuensi rendah yang berhubungan dengan kedalaman

regional dengan menggunakan filter moving average. Frekuensi rendah yang

diloloskan berdasarkan pergerakan lebar jendela menjadi cara bekerja dari filter ini.

Dengan menggunakan filter moving average maka diperoleh peta kontur anomali

regional serta residual pada (Gambar 3.7 dan 3.8).

Gambar 3. 7 Peta Anomali Regional hasil pemisahan dengan MVA

43

Gambar 3. 8 Peta Anomali Residual hasil pemisahan MVA

Metode FHD dilakukan dalam menentukan keberadaan suatu patahan pada

daerah penelitian. Pada metode ini, adanya struktur yang menjadi batas pada daerah

penelitian di antara dua anomali ditunjukkan dengan nilai FHD yang tinggi. Struktur

yang dimaksud pada penelitian ini merujuk sebagai struktur sebuah patahan. peta

FHD diperoleh dengan menurunkan peta anomali residual.

Dengan menggunakan tools grid math pada perangkat lunak Geosoft Oasis

Montaj FHD dapat diperoleh. Pada peta FHD ini, keberadaan struktur ditunjukkan

dengan nilai FHD yang tinggi. Berikut peta FHD yang diperoleh setelah dilakukan

penurunan peta anomali residual.

44

Gambar 3. 9 Peta First Horizontal Derivative (FHD)

Setelah peta FHD diperoleh kemudian selanjutnya dilakukan korelasi grafik

FHD. Proses awal dilakukannya korelasi grafik FHD yakni dengan melakukan

digitasi pada grid FHD dengan melihat overlay FHD dengan peta patahan yang

ditunjukkan pada (Gambar 3.10) menggunakan perangkat lunak Global Mapper 10.8.

Gambar 3. 10 Overlay Patahan dengan Peta FHD

45

Selanjutnya korelasi dilakukan sesuai dengan arah digitasi yang telah

dilaksanakan. Apabila diperoleh grafik puncak pada FHD maka hal itu menandakan

adanya struktur patahan pada titik tersebut. Grafik ini dibuat berdasarkan lintasan

yang telah dilakukan pada (Gambar 3.11).

Nilai yang diperoleh pada setiap grafik kemudian dilakukan normalisasi dengan

tujuan memudahkan dalam proses pembacaannya. Dengan membagi semua nilai

dengan nilai maksimal keseluruhan pada tiap-tiap nilai mutlak yang terdapat di dalam

grafik merupakan cara dalam melakukan normalisasi.

Gambar 3. 11 Digitasi pada Peta Residual

Selanjutnya dilakukan proses pembuatan peta densitas lineament dengan

menggunakan data DEM Nasional. Pembuatan peta ini dilakukan dengan

menggunakan metode Fault Fracture Density yang mengasumsikan kelurusan yang

berkaitan dengan struktur atau refleksi topografi berupa struktur sesar maupun

rekahan, kelurusan sungai, kelurusan lembah, dan lain-lain. Koreksi geometrik

Line 01

Line 02

Line 03

Line 04

46

ataupun radiometrik tidak perlu dilakukan pada data DEM Nasional dalam proses

pengolahannya.

Dengan perangkat lunak PCI Geomatica lineament dibuat pada daerah

penelitian dibuat dengan menggunakan tools focus sehingga kelurusan akan diperoleh

secara otomatis mengikuti data DEM Nasional yang telah `dikonversi menggunakan

perangkat lunak Global Mapper 18. Kemudian dengan bantuan perangkat lunak

ArcMap 10.8 dilakukan line corrector dan juga split line dan dilanjutkan dengan

pembuatan diagram rose dengan menganalisis lineament menggunakan perangkat

lunak Rockworks 17.

47

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Validasi Peta Complete Bouger Anomaly (CBA)

Memberikan kebenaran atau kepastian pada proses pengolahan yang telah

dilakukan sebelumnya menjadi tujuan dilakukannya validasi pada peta CBA. Validasi

sendiri menjadi sangat penting dalam membantu tahap pengerjaan yang akan

dilakukan setelahnya. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa pengolahan data yang

dilakukan sudah benar dan interpretasi terhadap data dapat dilakukan.

Antara peta elevasi dengan peta CBA dilakukan korelasi sebagai parameter

validasi yang dilakukan. Berdasarkan teori bahwa peta CBA yang diperoleh ialah

hasil dari anomali yang mengandung nilai percepatan bumi di dalamnya akibat karena

adanya keberadaan anomali di bawah permukaan. Teori ini didukung dengan proses

pengolahan koreksi serta reduksi yang telah dilaksanakan. Oleh karenanya pengaruh

elevasi permukaan tidak berakibat dalam hasil peta CBA.

Terlihat perbedaan pola yang dimiliki antara peta CBA pada (Gambar 3.5)

dengan peta elevasi pada (Gambar 3.4) berdasarkan hasil yang telah diperoleh maka

dapat dikatakan bahwa terdapat bentuk korelasi positif di antara kedua peta.

4.2 Pemisahan Anomali Regonal dan Residual

Proses pemisahan anomali regional serta residual dilakukan menggunakan

metode moving average berdasarkan matriks MVA 5x5 untuk menghasilkan output

dalam bentuk anomali regional. Untuk memperoleh anomali regional, digitasi

dilakukan pada peta CBA sebanyak 4 kali digitasi yang mencakup semua anomali

48

sesuai dengan (Gambar 4.1). setelah digitasi dilakukan dan diperoleh koordinat UTM

X dan UTM Y, serta nilai CBA (Gambar 4.2) maka kemudian diperoleh nilai k yaitu

bilangan gelombang dan In A dengan menggunakan fast fourier transform pada

(Gambar 4.3) lalu di plot menjadi bentuk kurva RAPS (Radially Average Power

Spectrum) pada (Gambar 4.4 dan 4.5) sehingga dapat menentukan zona dalam

(regional) maupun zona dangkal (residual), serta penentuan kedalaman pada tiap zona

dengan gradient grafik.

Dari keempat lintasan yang telah ada, diperoleh empat nilai kedalaman yang

berkaitan dengan zona regional maupun residual pada daerah penelitian. Dari

keempaat nilai tersebut, kemudian dilakukan rata-rata pada nilai sebagai bentuk yang

mewakili nilai kedalaman pada masing-masing zona yang kemudian nilai tersebut

digunakan dalam mencari nilai lebar window sebagai syarat dalam dilakukannya

filter MVA dan juga dilakukan perhitungan dalam mencari batas frekuensi cut-off

serta panjang gelombang (Gambar 4.6)

49

Gambar 4. 1 Arah lintasan digitasi Peta CBA

Gambar 4. 2 Data digitasi pada Peta CBA

50

Gambar 4. 3 Proses Perhitungan Fast Fourier Transform pada line 0

Gambar 4. 4 Hasil Anlisa Spektrum line 0 dan line 1

51

Gambar 4. 5 Hasil Analisa Spektrum line 2 dan line 3

Gambar 4. 6 Proses Penentuan Lebar Jendela (N)

Peta kontur CBA pada (Gambar 3.5) menunjukkan bahwa nilai anomali

berkisar antara 4,4 mgal hingga 132,5 mgal. Dimana anomali positif yang

ditunjukkan dengan kontur berwarna merah menunjukkan bahwa distribusi densitas

bawah permukaan daerah tersebut lebih tinggi apabila dibandingkan dengan daerah

52

sekitarnya. Sedangkan untuk anomali negatif yang ditunjukkan dengan warna biru

menunjukkan kemungkinan bahwa densitas bawah permukaan daerah tersebut

memiliki nilai yang rendah bila dibandingkan dengan daerah sekitarnya.

Peta kontur anomali regional pada (Gambar 3.7) menunjukkan bahwa nilai

anomali berkisar dari 3,1-18,2 mgal. Sedangkan pada peta kontur anomali residual

ditunjukkan nilai anomali berkisar dari 0,2-114,8 mgal. Peta kontur anomali residual

sendiri mencerminkan daerah penelitian yang bersifat lokal atau dangkal, serta

frekuensi yang tinggi menjadi ciri pada anomali residual. Sedangkan peta kontur

regional merupakan peta yang dihasilkan melalui filter dengan tujuan menghilangkan

efek massa batuan yang bersifat luas dan memiliki ciri frekuensi yang rendah.

4.3 Densitas Kelurusan (Fault Fracture Density)

Berdasarkan data DEM SRTM yang juga dilakukan shaded relief image dengan

tujuan untuk menginterpretasikan sesar dan rekahan dengan menampilkan lineament

(kelurusan) dalam bentuk peta Fault Fracture Density (FFD) yang menunjukkan arah

dan pola berdasarkan kelurusan pada daerah penelitian.

Trend kelurusan pada daerah penelitian memiliki arah dominan Utara-Selatan

yang ditunjukkan pada diagram rose valid karena patahan pada daerah penelitian

memliki dominasi yang berarah Utara-Selatan. Sedangkan pada hasil peta FFD yang

ditunjukkan pada (Gambar 4.7) diketahui bahwa daerah penelitian memiliki densitas

lineasi sebesar -1,7gr/cc sampai dengan 179,2 gr/cc dengan tingkat densitas yang

tinggi pada daerah Utara-Selatan. Berdasarkan hasil overlay peta FFD yang

ditunjukkan pada (Gambar 4.8) menunjukkan bahwa terdapat similaritas antara data

Fault Fractrue Density dengan peta geologi daerah penelitian.

53

Gambar 4. 7 Peta FFD dan Diagram Rose

Gambar 4. 8 Overlay Peta FFD dengan Patahan

54

Gambar 4. 9 Peta Lineament

Daerah dengan densitas yang tinggi memiliki total kelurusan (lineament) yang

banyak. Hal ini ditunjukkan berdasarkan (Gambar 4.9) yang menampilkan jumlah

lineament yang dominan di daerah Utara-Selatan sehingga memiliki kesesuaian

dengan tingkatan densitas yang tinggi dengan arah dominan pada bagian Utara-

Selatan. Sehingga membuktikan bahwa daerah ini dilalui oleh struktur patahan.

55

4.4 Hasil Analisa Batas Struktur Patahan

Korelasi pada grafik FHD dilakukan dengan tujuan menentukan letak suatu

patahan dengan melihat nilai tinggi atau nilai maksimum pada grafik FHD. Grafik ini

dibuat berdasarkan lintasan yang telah dilakukan digitasi pada grid residual pada

(Gambar 3.11).

Pada (Gambar 3.11) dilakukan 4 lintasan digitasi pada grid residual dan

diperoleh koordinat UTM X, UTM Y dan nilai anomali gravitasi pada setiap grid

residual, dan FHD.

Gambar 4. 10 Grafik Korelasi FHD line 1

Pada (Gambar 4.10) terlihat bahwa korelasi grafik FHD terdapat satu batas

struktur patahan yang ditemukan pada lintasan 1 yang ditandai dengan nilai

maksimum/titik puncak pada jarak 1199.957 meter dari titik digitasi pada grafik FHD

lintasan 1. Keberadaan patahan pada lintasan ini berlokasi di sekitar koordinat

814289.1 UTM X dan 9901288.4 UTM Y .

-1

-0.5

0

0.5

1

1.5

812000 813000 814000 815000 816000 817000 818000

FHD

X

FHD_LINE 01 (N)

FH…

P

56

Gambar 4. 11 Grafik Korelasi FHD line 2

Kemudian pada (Gambar 4.11) terdapat titik puncak pada jarak 899.9512 meter

dari titik digitasi dengan koordinat 814645.2 UTM X dan 9897661.6 UTM Y dengan

nilai maksimum pada grafik yaitu 1. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat

keberadaan batas struktur patahan yang berlokasi di sekitar daerah tersebut.

Gambar 4. 12 Grafik Korelasi FHD line 3

-2

-1.5

-1

-0.5

0

0.5

1

1.5

813000 814000 815000 816000 817000 818000

FHD_LINE 02 (N)

FHD_LINE 02

P

-1.5

-1

-0.5

0

0.5

1

1.5

814000 815000 816000 817000 818000 819000

FHD_LINE 03 (N)

FHD_LINE 03

P

57

Selanjutnya pada grafik lintasan 3 yang ditunjukkan pada (Gambar 4.12),

terdapat nilai maksimum pada grafik pada jarak 0 meter dari titik dilakukannya

digitasi. Hal ini mengindikasikan bahwa terdapat batas struktur patahan pada lintasan

3 yang berlokasi di sekitar 814859.8 UTM X dan 9892252 UTM Y.

Gambar 4. 13 Grafik Korelasi FHD line 4

Pada grafik lintasan 4 yang ditunjukkan pada (Gambar 4.13) menunjukkan ada

nya struktur patahan yang ditandai dengan nilai maksimum pada jarak 0 meter dari

titik dilakukannya digitasi yang terdapat pada grafik lintasan tersebut. Struktur

patahan ini berlokasi di sekitar 816627.8 UTM X dan 9889138.9 UTM Y. Nilai pada

setiap grafik pada masing-masing lintasan telah dilakukan normalisasi dengan

membagi keseluruhan nilai maksimum dari masing-masing nilai mutlak pada grafik

dengan tujuan memudahkan dalam pembacaannya.

-0.6

-0.4

-0.2

0

0.2

0.4

0.6

0.8

1

1.2

816500 817000 817500 818000 818500 819000 819500

FHD_LINE 04 (N)

FHD_LINE 04

P

58

4.5 Interpretasi Pemodelan 2D Forward Modelling

Setelah analisa patahan selesai dilakukan, maka selanjutnya dilakukan

pemodelan 2D menggunakan metode forward modelling dengan menggunakan tool

pada perangkat lunak Geosoft Oasis Montaj yang dinamakan dengan GM-SYS.

Forward modelling sendiri merupakan sebuah proses dalam perhitungan data yang

diperoleh melalui hasil teori yang teramati pada permukaan bumi dengan syarat

parameter modelnya telah diketahui. Proses trial and error seringkali digunakan

dalam melakukan pemodelan forward modelling. Efek yang dihasilkan dari forward

modelling dengan melakukan perhitungan matematis yang berasal dari kondisi bawah

permukaan sehingga merubah parameter model dengan tingkat korelasi yang dapat

diterima berdasarkan pembanding pada anomali residual.

Letak digitasi pada pemodelan ini sama dengan digitasi yang dilakukan ketika

melakukan analisa patahan. Digitasi dilakukan pada grid anomali residual sebanyak 4

kali digitasi sehingga pemodelan yang dihasilkan sebanyak 4 lintasan. Pada (Gambar

3.11) merupakan 4 lintasan digitasi yang dilakukan pada grid residual, sehingga akan

diperoleh pemodelan pada masing-masing lintasan dengan menggunakan metode

forward modelling.

4.5.1 Interpretasi Pemodelan Lintasan 1

Pada (Gambar 4.14) menunjukkan pemodelan pada lintasan 1 yang telah

dilakukan dengan forward modelling diperoleh 3 lapisan bawah permukaan. Lapisan

pertama terdiri atas granit dan granodiorit dengan nilai densitas batuan granit yaitu

2,50-2,81 gr/𝑐𝑚3 sedangkan granodiorit rentang densitasnya mulai dari 2,67-2,79

59

gr/𝑐𝑚3. Letak patahan pada lintasan ini terletak pada koordinat 814289.1 UTM X dan

9901288.4 UTM Y berdasarkan grafik FHD pada lintasan 1 yang dapat dilihat pada

(Gambar 4.10). Kemudian pada lapisan kedua, terdapat Formasi Molasa Celebes

Sarasin yang tersusun atas batu konglomerat, batupasir, batu lumpur, dan batu

gamping dengan rentang densitas batuan sebesar 1,61 - 2,76 gr/𝑐𝑚3.

Pada lapisan ketiga, terdapat lapisan Alluvium dan Endapan Pantai yang mana

terdiri atas kerikil, pasir, lumpur, serta batugamping koral dengan rentang densitas

sebesar 1,96 - 2,10 gr/𝑐𝑚3. Lapisan ketiga ini merupakan lapisan yang paling muda

umurnya diantara ketiga lapisan yang ada yang terbentuk sebagai hasil rombakan

pada wilayah perbukitan yang membatasinya. Error yang diperoleh dalam pemodelan

ini sebesar 2,13.

Gambar 4. 14 Pemodelan Forward Modelling 2D pada lintasan 1

4.5.2 Interpretasi Pemodelan Lintasan 2

Pada (Gambar 4.15) menunjukkan pemodelan pada lintasan 2 yang telah

dilakukan dengan forward modelling diperoleh sebanyak 3 lapisan bawah

60

permukaan. Lapisan pertama terdiri atas Formasi Tinombo Ahlberg. Formasi ini

merupakan suatu rangkaian yang tersingkap dengan ukuran yang luas yang di

dalamnya terdapat pembongkaran yang berasal dari batuan metamorf, juga endapan

yang tersusun atas batuan metamorf, batupasir, konglomerat, serta batu gamping yang

diendapkan dalam lingkungan laut. Densitas yang dimiliki pada lapisan pertama ini

berkisar antara 1,82-3,2 gr/𝑐𝑚3.

Gambar 4. 15 Pemodelan Forward Modelling pada lintasan 2

Koordinat batas struktur patahan pada lintasan 2 ini terletak di 814645.2 UTM

X dan 9897661.6 UTM Y yang diperoleh berdasarkan grafik FHD lintasan 2 yang

dapat dilihat pada (Gambar 4.11). Pada lapisan selanjutnya, yakni lapisan kedua

terdapat Formasi Molasa Celebes Sarasin yang terdiri atas batu konglomerat,

batupasir, batu lumpur, dan batu gamping dengan besar densitas batuan sebesar 2,76

gr/𝑐𝑚3.

Kemudian pada lapisan ketiga, terdapat lapisan Alluvium dan Endapan Pantai

yang mana terdiri atas kerikil, pasir, lumpur, serta batugamping koral dengan densitas

61

batuan sebesar 2,4 gr/𝑐𝑚3. Error yang diperoleh pada lintasan ini lebih besar apabila

dibandingkan dengan error pada lintasan 1, yaitu sebesar 3,107.

4.5.3 Interpretasi Pemodelan Lintasan 2

Pada (Gambar 4.16) menunjukkan pemodelan pada lintasan 3 yang telah

dilakukan dengan forward modelling diperoleh sebanyak 3 lapisan bawah permukaan.

Lapisan pertama terdiri dari granit dan granodiorit dengan jangkauan nilai densitas

batuan sebesar 2,5 – 2,81 gr/𝑐𝑚3. Letak patahan pada lintasan 3 ini terletak pada

koordinat 814859.8 UTM X dan 9892252 UTM Y berdasarkan grafik FHD pada

lintasan 3 pada (Gambar 4.12). Kemudian pada lapisan yang kedua yaitu Molasa

Celebes Sarasin yang terdiri atas batu konglomerat, batupasir, batu lumpur, dan batu

gamping dengan besar densitas batuan sebesar 2,61 gr/𝑐𝑚3.

Gambar 4. 16 Pemodelan Forward Modelling pada Lintasan 2

Selanjutnya pada lapisan ketiga yakni lapisan Alluvium dan Endapan Pantai

yang terdiri atas kerikil, pasir, lumpur, serta batugamping koral dengan densitas

62

batuan sebesar 2,4 gr/𝑐𝑚3. Lintasan 3 memiliki jenis lapisan yang sama dengan

lintasan 1. Error yang diperoleh pada lintasan 3 ini sebesar 4,56. Sejauh ini error

yang dimiliki pada lintasan 3 merupakan error terbesar di antara error-error yang

dimiliki lintasan lainnya.

4.5.4 Interpretasi Pemodelan Lintasan 4

Pada (Gambar 4.17) menunjukkan pemodelan pada lintasan 4 yang telah

dilakukan dengan forward modelling diperoleh sebanyak 3 lapisan pada bawah

permukaan. Lapisan yang terdapat pada lintasan 4 sama dengan lapisan pada lintasan

1 dan lintasan 3. Dengan lapisan pertama terdiri dari granit dan granodiorit dengan

jangkauan nilai densitas batuan sebesar 2.5-2,81 gr/𝑐𝑚3. Letak batas struktur patahan

pada lintasan 4 ini terletak pada koordinat 816627,8 UTM X dan 9889138.9 UTM Y

berdasarkan grafik FHD pada (Gambar 4.13).

Gambar 4. 17 Pemodelan Forward Modelling pada lintasan 4

63

Selanjutnya pada lapisan kedua yaitu Molasa Celebes Sarasin yang terdiri atas

batu konglomerat, batupasir, batu lumpur, dan batu gamping dengan besar densitas

batuan sebesar 2,76 gr/𝑐𝑚3. Kemudian pada lapisan ketiga yakni lapisan Alluvium

dan Endapan Pantai yang terdiri atas kerikil, pasir, lumpur, serta batugamping koral

dengan densitas batuan sebesar 2,4 gr/𝑐𝑚3. Error yang terdapat pada lintasan ini

sebesar 3,56.

64

BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan pada bab

sebelumnya, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Struktur bawah permukaan pada daerah penelitian didominasi dengan 3 jenis

formasi pada tiap-tiap pemodelan yang telah dilakukan, yaitu granit-

granodiorit dengan densitas 2.5-2.81 gr/𝑐𝑚3, kemudian formasi Molasa

Celebes Sarasin dengan densitas 2.76 gr/𝑐𝑚3, dan Alluvium dan endapan

pantai dengan densitas 2.4 gr/𝑐𝑚3.

2. Arah dominan lineament pada daerah penelitian yang ditunjukkan pada

diagram rose menunjukkan ke arah Utara-Selatan. Sehingga dapat diduga

bahwa patahan pada daerah penelitian memiliki arah dominasi Utara-Selatan.

3. Analisa derivative pada metode gayaberat terutama metode First Horizontal

Derivative terbukti efektif dalam menentukan batas struktur patahan dengan

mengkorelasi sistem patahan pada lembar regional daerah penelitian.

65

DAFTAR PUSTAKA

[1] K. M.S., H. Ronald, and Nurhamdan, “Perkembangan Tektonik dan

Implikasinya terhadap Potensi Gempa dan Tsunami di Kawasan Pulau

Sulawesi,” 2011.

[2] T. W. M, G. L.P, and S. R. E., Applied Geophysics. Cambridge: Cambridge

University Press, 1990.

[3] T. R.G., “Automatic Extraction and Geospatial Analysis of Lineaments and

their Tectonic Significance in some areas of Northern Iraq using Remote

Sensing Techniques and GIS,” Int. J. Enhanc. Res. Sci. Technol. Eng. Bull.,

vol. 2, 2013.

[4] P. K. Palu, “Letak Geografis.” palukota.go.id (accessed Jun. 23, 2021).

[5] S. R, “Reconnaissance Geologic Map of Palu Area, Sulawesi Geological

Survey of Indonesia,” Bandung, 1973.

[6] Surono, Geologi Sulawesi. Jakarta: LIPI Press, 2013.

[7] J. A. Katili, “PAST ANR PRESENT GE ~ TECTONIC INDONESIA

POSITION OF SULAWESI , Numerous geological problems center around

Sulawesi ( Celebes ), the peculiar K-shaped island situated in the central part

of the Indonesian Archipelago ( Fig . 1 ) , In his classical work Th,”

Tectonophysics, vol. 45, pp. 289–322, 1978.

66

[8] W. N and M. E, “Identifikasi Struktur Lapisan Bawah Permukaan Daerah

Potensial Mineral dengan Menggunakan Metode Gravitasi di Lapangan ‘A’,

Pongkor, Jawa Barat,” J. Sains dan Seni ITS, vol. 7(1), pp. 32–37, 2018.

[9] S. R. A. and J. J. W., Physics for Scientists and Engineers with Modern

Physics, Ninth. New York: Brooks/Cole Cengange Learning, 2014.

[10] R. J. M., An Introduction to Applied and Environmental Geophysics.

Chichester: John Wiley & Sons, 2011.

[11] F. J. D., “Advances in Gravity and Magnetic Processing and Interpretation,”

EAGE Publ., 2016.

[12] F. A. Kurniawan, “Pemanfaatan Data Anomali Gravitasi Citra GEOSAT dan

ERS-1 Satellite untuk Memodelkan Struktur Geologi Cekungan Bentarsari

Brebes,” vol. 2, no. 2, 2012.

[13] B. Richard. J., Potential Theory in Gravity and Magnetic Application.

Cambridge: Cambridge University Press, 1995.

[14] E. T. A., “The Second Derivative Method of Gravity Interpretation,”

Geophysics, 1951.

[15] “DEMNAS Seamless Digital Elevation Model (DEM) dan Batimetri

Nasional.” http://tides.big.go.id/DEMNAS/ (accessed Jun. 24, 2021).

67

[16] O. D.W. and F. J.D., “Towards a workable lineament symbology,” in

Proceedings of the third international Conference on the new basement

tectonics, Basement Tectonics Committee Publication #3, 1978, pp. 29–31.

[17] H. W. H, “Lineaments of the Atlantic border regions,” Geol. Soc. Am. Bull. 15,

pp. 483–506, 1903.

[18] S. Tiren, “Swedish Radiation Safety Authority Report No. 2010:33-Lineament

interpretation Short review and methodology,” 2010, [Online]. Available:

www.stralsakerhetsmyndigheten.se.

[19] C. L. and V. J. . Grauch, “Mapping basement magnetization zones from

aeromagnetic data in the San Juan basin New Mexico The utility of regional

gravity and magnetic anomaly maps,” SEG, 1895.

[20] Suryantini and H. Wibowo, “Application of Fault and Fracture Density (FFD)

Method for Geothermal Exploration in Non-Volcanic Geothermal System; a

Case Study in Sulawesi-Indonesia,” Proc. World Geotherm. Congr., no. April,

pp. 25–29, 2010.

[21] T. L. Cook, F. H. Harlow, B. J. Travis, T. J. Bartel, and C. E. Tyner, Heat and

Mass Transfer in Porous Media. 1981.

[22] S. Soengkono, “Te Kopia geothermal system (New Zealand) - the relationship

between its structure and extent,” Geothermics, vol. 28, no. 6, pp. 767–784,

1999, doi: 10.1016/S0375-6505(99)00042-5.

68

[23] R. L. and M. L.J.P., Geothermal systems: Principles and case histories. New

York: John Wiley Sons Ltd, 1981.

[24] T. H.D., “Changes of sea level in the south- ern part of the south China Sea

during Quaternaty times,” ESCAP, CCOP, Tech. Pub, pp. 11–36, 1977.

[25] H. Jr., B. F., Introduction to Geophysics. New York: McGraw-Hill, 1950.

[26] A. Gradient and H. Graviti, “UNTUK KONFIRMASI AWAL SESAR

PERMUKAAN DI TAPAK BANTEN,” pp. 72–80, 2011.

[27] T. Al et al., “Hidayatul Insan,” vol. 3.

69

LAMPIRAN

Lampiran 1. Data Complete Bouger Anomaly (CBA) pada daerah penelitian

70

Lampiran 2. Data First Horizontal Derivative (FHD) Line 1 Daerah penelitian

71

Lampiran 3. Data Fault Fracture Density (FFD) daerah penelitian