ragam kiasan dalam al-quran - pustaka syiah
TRANSCRIPT
RAGAM KIASAN DALAM AL-QURAN
Judul asli: al-Amtsâl fi al-Qur`ân (Perumpamaan dalam Al-Quran)
Penulis: Syekh Ja’far Subhani
Penerjemah: Muhammad Ilyas
Penyunting: Rudy M.
Bismillâhir rahmânir rahîm
Sebelum memasuki inti pembahasan, perlu disajikan beberapa mukadimah
berikut ini:
-1-
Matsal dalam Bahasa
Kata matsal ( مثل ) atau “perumpamaan” dalam kamus bahasa Arab, Lisân al-
‘Arab dan al-Qâmus al-Muhith, mempunyai bermacam-macam makna, antara lain:
nazhîr (“sifat”; “seperti”), atau ‘ibrah (“peringatan”; “pelajaran”). Makna kata matsal
.”yang lain adalah “yang menjadi contoh bagi yang lain”; atau “yang ditiru ( مثل )
Selain beberapa makna ini, kata matsal juga mempunyai makna yang lain.P0F
1
Fairuz Abadi mengatakan: “Kata mitsl ( مثل ) berarti syibh atau “serupa”.
Bentuk jamak mitsl adalah amtsâl. Kata matsal berarti hujjah atau “bukti”; “alasan”;
“sifat”. Sedangkan kata mitsâl ( مثال ) berarti miqdâr atau “ukuran”; yang juga berarti
qishâsh atau “pembalasan yang sepadan”, selain arti-arti yang lain.”P1F
2
Penulis kitab Mu’jam al-Maqâyis menyatakan bahwa makna-makna yang
disebutkan di atas merupakan gambaran luar saja. Banyaknya makna kata tersebut
muncul karena terjadi pencampur-adukan pemahaman. Sebuah kata atau lafaz
semestinya hanya memiliki satu atau dua makna saja. Apabila lebih dari itu, maka
1 Lisan al-‘Arab, 13/22, Matsal 2 Al-Qamus al-Muhith, 4/49, Matsal
makna yang dikemukakan hanyalah merupakan gambaran dari pemahaman kata
dimaksud.
Lebih lanjut ia mengatakan: Kata mitsl dan mitsal menunjuk pada satu
makna, yaitu: sesuatu yang menjadi contoh bagi yang lain. Ibn Faris berkata: ‘Mitsl
menunjukkan bahwa sesuatu seperti sesuatu yang lain: ‘yang ini adalah seperti yang
itu!’, atau ‘yang ini serupa dengan yang itu’. Kata mitsl dan mitsâl memiliki satu
makna. Sedangkan kata matsîl ( مثيل ) adalah seperti kata syabîh atau “yang serupa”.
Orang Arab misalnya mengatakan: amtsala as-sulthânu fulânan, maksudnya: sang
sultan melakukan sesuatu serupa dengan yang telah dilakukan si fulan. Atau, sang
sultan menjatuhkan hukuman kepada si fulan setimpal dengan perbuatannya.
Kata mitsl juga mempunyai arti yang sama seperti pada kata matsal, yaitu
syibh dan syabah, yang berarti “serupa”. Dan matsal atau perumpamaan yang dibuat
ialah diambil dari makna keserupaan itu, karena matsal menyebutkan “hal yang
memperlihatkan sesuatu yang bermakna seperti dia”.
Kalimat matstsala bihi (مثل به:) atau “ia membuat contoh”, misalnya, juga
muncul dari maksud keserupaan. Makna di dalam kalimat itu ialah izdâ nukkala bihi,
yaitu: “ia menjadikan yang seperti itu sebagai contoh, atau perumpamaan, atau
penyerupaan, bagi siapa saja yang melakukan tindakan atau yang menginginkan
demikian”.
Kata matsulât ( مثالت: ), jamak dari kata mutsul ( مثل: ), juga bermakna serupa
atau keserupaan. Seperti terdapat dalam ayat al-Quran:
وقد خلت من قبلهم المثالت
“dan telah terjadi bermacam-macam contoh siksa sebelum mereka.P2F
3
3 QS. ar-Ra’d: 6
Matsulât adalah ‘uqûbât, artinya, bermacam-macam contoh siksaan yang
dijelaskan, dan diharapkan dapat mencegah manusia dari perilaku yang menyebabkan
ia disiksa. Kata matsulât memiliki bentuk tunggal mutsul.4
Selain itu, kata mitsl mempunyai kemungkinan makna-makna yang lain, yaitu
washf atau “penyifatan” dan shifah atau “sifat”. Kata ini digunakan baik dalam
haqîqah (makna hakiki) maupun dalam majâz (makna kiasan). Ibn Manzhur
menisbatkan penggunaan makna ini seperti yang dipakai oleh Yunus bin Habib an-
Najwa (wafat 182 H), Muhammad bin Salam al-Jamhi (wafat 232 H) dan Abu
Manshur ats-Tsa’âlibi (wafat 429 H).
Az-Zarkasyi (wafat 794 H) berkata: Menurut ahli bahasa, secara lahir, kata
mistl berarti “sifat”. Tetapi, nukilan dari Abu Ali al-Farisi (wafat 377 H) yang
menyebut kata mitsl bermakna “sifat” itu, tampaknya tidak umum dalam istilah
bahasa Arab. Kata mistl di sini lebih tepat atau lebih dekat maksudnya dengan makna
tamtsil (penggambaran, memberi contoh)”5.
Apa yang disampaikan penulis Lisân al-‘Arab menunjukkan tentang adanya
pilihan mayoritas ahli bahasa ketika menyatakan: Umar bin Abi Khalifah berkata:
‘Aku mendengar Muqâtil, penulis at-Tafsir, menanyakan kepada Abu ‘Amr bin al-
‘Alâ` tentang firman Allah: “matsalu al-jannah (perumpamaan surga)”. Muqâtil
bertanya: “Apakah matsal surga?” Abu ‘Amr menjawab: “(yang) Di dalamnya ada
sungai-sungai dari air yang tiada berubah rasa dan baunyaP5F
6P.”
Muqâtil bertanya lagi: “Lalu apa mastal-nya?”. Abu ‘Amr diam (tak
menjawab). Lalu Muqâtil berkata: “Mengenainya aku tanyakan kepada Yunus. Lalu ia
(Yunus) menjawab: matsaluhâ adalah shifatuhâ, atau sifat surga.
4 Mu’jam Maqâyis al-Lughah, 5/296 5 Al-Burhan fi ‘Ulum al-Quran, 1/490 6 QS. Muhammad: 15
Muhammad bin Salam berkata: Contoh untuk matsal itu ialah firman Allah
SWT: dzâlika matsaluhum fi at-taurah wa matsaluhum fi al-injil, artinya, demikianlah
sifat mereka dalam Taurat dan (begitulah) sifat mereka dalam Injil7. Matsaluhum
artinya “sifat” mereka.
Abu Manshur berkata: “Contoh yang demikian diriwayatkan dari Ibn Abbas.
Adapun jawaban Abu ‘Amr terhadap pertanyaan Muqâtil: Apa matsal (perumpamaan)
surga? Abu ‘Amr berkata; “Di dalamnya ada sungai-sungai dari air yang tiada
berubah rasa dan baunya”, kemudian Muqâtil bertanya lagi: Apa matsalnya?. Abu
‘Amr diam. Sesungguhnya Abu ‘Amr telah menjawabnya dengan jawaban yang
memuaskan. Ketika ia melihat Muqâtil tetap pada pendiriannya, Abu ‘Amr diam saja.
Dengan demikian, ayat yang berbunyi “matsalu al-jannah” adalah sebuah interpretasi
bagi ayat: “Sesungguhnya Allah memasukkan orang-orang yang beriman dan
mengerjakan amal saleh ke dalam surga-surga yang di bawahnya mengalir sungai-
sungai”8. Ayat ini tampaknya hendak menyifati atau menggambarkan tentang surga.
Maka ia pun berkata: “matsalu l-jannati l-lati wa shifatuhâ (matsal surga dan
sifatnya). Yang demikian itu adalah seperti ayat: “dzâlika matsaluhum fi t-taurâti wa
matsaluhum fi l-injiil”, artinya, “demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan
sifat-sifat mereka dalam Injil”; yakni, demikianlah sifat Muhammad saw dan para
sahabatnya di dalam Taurat. Selain itu, aku mengetahui bahwa sifat mereka di dalam
Injil seperti sebuah tanaman.9
Selanjutnya, perbedaan antara kata mumâtsalah dan musâwâh. Musâwâh
digunakan untuk mengaitkan dua hal yang berlainan tapi sama dalam golongan,
karena ‘saling sama’ (tasâwi) berarti saling cukup (takâfu`) dalam ukuran tidak lebih
7 QS. al-Fath: 29 8 QS. al-Hajj: 14 9 Lisan al-‘Arab, materi Matsal.
dan tidak kurang. Sedangkan kata mumâtsalah hanya digunakan untuk dua hal yang
sama atau bersamaan10.
Kata lain – dalam bahasa Arab – yang memiliki perbedaan adalah kata
mumâtsalah dan musyâbahah. Kata mumâtsalah diterapkan untuk dua hal yang
bersamaan dalam esensi dan realitas (hakikat), sedangkan kata musyâbahah umumnya
digunakan untuk dua hal yang berlainan esensi tapi sama dalam sifat khususnya.
Kita dapat mengetahui bahwa kata yang bermakna serupa dapat diterapkan
pada eksperimen yang dilakukan atas dua obyek, yang sama persis dan tidak berlainan
dalam hakikat, seperti semua logam memuai ketika terkena api (baca: dipanaskan).
Hal itu berbeda dengan makna kata istiqrâ (penelitian secara cermat), yang
penerapannya untuk perkara-perkara yang beragam, seperti pada kalimat: “setiap
binatang, rahang bawahnya bergerak ketika mengunyah”. Dalam hal ini, kata istiqrâ
diterapkan pada golongan yang berlainan, seperti pada kambing, sapi, dan unta.
Selain itu, muncul pertanyaan yang secara berulang-ulang diungkapkan oleh
para penulis kamus Arab tentang kata matsal dan mistl, dua kata yang sama seperti
kata syabah dan syibh. Sementara itu, mereka melihat bahwa al-Quran menafikan
mistl (kesamaan, keserupaan) bagi Allah, seperti dalam ayat: “laisa ka mitslihi syai”
(“tiada yang serupa dengan Dia”)11. Dan pada saat yang sama ditetapkan matsal (sifat,
hujjah) bagi-Nya, yaitu ayat lain: “lil ladzina lâ yu`minuuna bi l-âkhirati matsalu s-
suu`i wa li l-lâhi l-matsalu l-a’lâ wa huwa l-‘aziizu l-hakiim” (“orang-orang yang
tidak beriman kepada kehidupan akhirat mempunyai sifat yang buruk, dan Allah
mempunyai sifat Maha Tinggi; dan Dia-lah Yang Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana”)12.
10 Lisan al-‘Arab, ibid. 11 QS. asy-Syura: 11 12 QS. an-Nahl: 60
Jawaban untuk pertanyaan tersebut ialah, tidak ada pertentangan antara
penafian mitsl (keserupaan) bagi Allah dan penetapan matsal (penetapan sifat) bagi-
Nya. Mitsl adalah ibarat wujud individu terhadap Wajibul Wujud (Allah) yang
menyamai-Nya dalam “ada” tapi berbeda dengan-Nya dalam kekhususan. Maka
keserupaan (mitsl) dalam kekhususan di sini menjadi perkara mustahil yang
kemustahilannya berlaku terus-menerus dan tetap pada posisinya. Adapun matsal
adalah sifat terpuji yang dengannya Allah SWT dikenal, seperti asmâ`ul husnâ atau
sifat-sifat-Nya Yang Maha Tinggi. Dengan demikian, matsal dalam ayat di atas dan
ayat-ayat serupa bermakna sesuatu yang disifati, atau sesuatu dilukiskan dengan sifat,
keadaan, dan kekhususan.
Kutipan ayat ke-60 surat an-Nahl di atas menegaskan bahwa tiadanya
keimanan pada akhirat menjadi sumber sifat-sifat buruk dan segala keburukan.
Sebaliknya, mengimani akhirat adalah sumber segala kebaikan, kebajikan, dan
keberkahan. Dengan kalimat lain, setiap sifat buruk yang menghampiri manusia
(sesungguhnya) datang dari tiadanya keimanan pada akhirat. Sebaliknya, setiap sifat
baik yang dimiliki manusia berasal dari keimanan pada akhirat. Karena itu, jelaslah
maksud dari firman Allah SWT: “Orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan
akhirat mempunyai sifat yang buruk”. Dalam ayat ini tampak adanya kelaziman
(mulâzamah) bagi orang-orang yang beriman pada akhirat, yakni bagi mereka adalah
matsal (sifat) yang baik.
Adapun kalimat “Dan Allah mempunyai sifat yang Maha tinggi”, bermakna
Dia suci dari penyifatan segala sesuatu yang buruk dan tercela, seperti sifat zhulm
(aniaya). Allah SWT berfirman: “Dan Tuhanmu tidak menganiaya seorang pun”13.
Selain keagungan dan ketinggian, Dia disifati dengan sifat-sifat yang terpuji.
13 QS. al-Kahfi: 49
Jadi, setiap sifat yang dibenci tabiat dan ditolak akal pasti bukan milik-Nya.
Dia adalah yang kuasa dan tidak memiliki kelemahan, Dia hidup dan tidak mati, Dia
memiliki seluruh sifat terpuji, berbeda dengan seluruh tabiat dan sifat lemah.
Banyak ayat lain mengisyaratkan hal ini, di antaranya: “dan Dia mempunyai
sifat yang maha tinggi di langit dan di bumi”14; atau ayat, “Dia mempunyai nama-
nama yang baik”15. Di sini kata amtsâl (bentuk jamak dari matsal atau mitsl) ada yang
bersifat rendah (dâniyah) dan tinggi (‘âliyah). Dan sesungguhnya yang tetap bagi
Allah adalah sifat-sifat yang tinggi (‘âli) bahkan yang tertinggi (a’lâ)16.
Dengan demikian, apabila digunakan kata amtsâl, bentuk jamak dari mistl,
maka sesungguhnya Maha Suci Allah dari mistl dan amtsâl (keserupaan). Tetapi
apabila bentuk jamak dari matsal bermakna washf (sifat) yang terpuji bagi-Nya, maka
bagi-Nya-lah amtsâl atau sifat yang maha tinggi dan Asmâ`ul Husnâ, sebagaimana
dijelaskan sebelumnya.
-2-
Matsal dalam Istilah
Matsal adalah termasuk di antara kata-kata bijak atau bagian dari kata-kata
yang mengandung hikmah. Hikmah atau kebijaksanaan dalam kata atau kalimat
muncul dalam sebuah kejadian karena kesesuaian dan keserupaan suatu peristiwa.
Selanjutnya, orang-orang atau masyarakat tertentu menggunakan kembali kata atau
kalimat itu dalam kejadian-kejadian serupa yang menimpanya kemudian tanpa
mengubah makna, baik dalam ringkasan, keganjilan, kesamaran, ataupun
penggambarannya .
14 QS. ar-Rum: 27 15 QS. Thaha: 8 16 Lihat, Tafsir al-Mizan: 12/249
Kata yang mengandung hikmah (kalimah hakîmah) ada dua macam: Pertama,
kalimah sâ`irah atau kata yang beredar dan umum dikenal di tengah masyarakat dan
berlaku dalam bahasa komunikasi mereka. Kata atau kalimat hikmah seperti ini
disebut matsal. Kedua, ialah kata hikmah yang bermakna khusus dan tidak berlaku
secara umum (kalimah ghairu sâ`irah)17 di tengah masyarakat. Selain itu,
perumpamaan yang beredar (matsal sâ`irah) juga memiliki sifat dapat menjelaskan
(qaid taudhihi), bukan bersifat memisahkan (qaid ihtirâzi).
Hal ini tampak dari ungkapan Abu Hilal al-‘Askari (wafat ± 400 H.) ketika
mengatakan: “Setiap hikmah yang beredar (hikmah sâ`irah) merupakan matsal. Tak
jarang, muncul pembicara di kalangan masyarakat yang mengeluarkan ungkapan
hikmah. Si pembicara bisa saja mengeluarkan kata-kata hikmah atau bijak tetapi ia
belum atau tidak disepakati keberlakuannya secara umum, sehingga ungkapan
tersebut tidak dapat disebut sebagai matsal.”18
Oleh karena itu, seringkali kepopuleran dari penggunaan ucapan orang-orang
di lingkungan masyarakat tertentu dapat digunakan sebagai pembeda antara hikmah
dan matsal. Perkataan yang benar namun tidak populer yang muncul dari suatu
pengalaman tertentu dinamakan hikmah. Sedangkan ucapan bijak yang sering
digunakan orang-orang dan umum digunakaan dalam kesempatan yang berbeda-beda
disebut matsal.
Berkenaan dengan ini, seorang penyair mengatakan:
Kau cuma perumpamaan yang beredar
yang dimengerti si bodoh dan si pintar
17 Istilah ini tambahan dari penerjemah, diambil dari mafhum mukhâlafahnya atau antonimnya. 18 Jamharatu Amtsâl al-‘Arab: 1/5
Penyebutan sesuatu dengan menggunakan kata “mitsâl” maksudnya ialah
untuk kesesuaian dan kemiripan antara dua hal –dalam bentuk perumpamaan–yang
memiliki keserupaan. Ibn as-Sakit (wafat tahun 244 H) berkata: “Matsal
(perumpamaan) adalah sebuah kata atau kalimat tertentu yang berbeda dengan kata
atau kalimat lain yang diumpamakan. Makna matsal selaras dengan arti kata atau
kalimatnya. Sebuah matsal merupakan perumpamaan dengan keserupaan lain yang
sesuai untuknya”19.
Adanya bentuk keserupaan dan kesesuaian itulah yang menjadi sebab bagi
pengungkapan hikmah tertentu yang ditujukan pada satu perkara dengan mengikutkan
perkara yang lain. Jika bentuk serupa muncul dalam hal yang khusus maka matsal
menjadi sebuah tanda bagi kesesuaian yang menyeluruh di antara tanda-tanda yang
berlainan.
Al-Mubarrad berkata: Hakikat matsal ialah sesuatu yang diciptakan, seperti
ilmu bagi penyerupaan dengan keadaan yang pertama. Misalnya dalam kata-kata
Ka’ab bin Zuhair: “Janji muslihat memuat satu matsal. Dan janjinya cuma omong
kosong”. Artinya, janji dalam tipu daya adalah pengetahuan tentang segala sesuatu
untuk janji-janji yang tidak dibenarkan20.
Oleh karena itulah, perumpamaan yang beredar (matsal sâ`ir) dikenal. Seperti
kalimat: “Di musim panas kosonglah air susu”, yang berarti pengetahuan bagi setiap
orang yang menyia-nyiakan dan membuang-buang kesempatan. Atau seperti sabda
Nabi Muhammad saw: “Tidak tanduk menanduk di dalamnya dua kambing betina”,
yang berarti pengetahuan untuk setiap perkara yang tidak perlu diperhatikan21. Atau,
seperti ungkapan pemuka syuhada, Imam Husien bin Ali bin Abi Thalib as: “Andai ia
19 Majmâ’u al-Amtsâl: 1/6 20 Ibid.. 21 Ibid, 2/225
tinggalkan burung-burung itu dalam semalam, pasti ia tertidur”. Imam membuat
perumpamaan ketika menjawab pertanyaan adiknya, Zainab as, yang artinya:
Pengetahuan bagi seseorang tidak ditinggalkan dalam satu keadaan; atau Orang yang
dibawa karena sesuatu yang dibenci tanpa diinginkannya. Selain contoh ini, masih
banyak matsal lain yang beredar.
-3-
Manfaat-manfaat Amtsâl Sâ`irah
Berikut ini adalah nama para sastrawan yang menyebutkan manfaat matsal
sâirah:
1- Ibn Muqanni’ (wafat tahun 143 H) berkata: “Bila pembicaraan (kalam)
menjadi sebuah matsal, maka ia menjadi yang paling jelas bagi lisan, paling elok
untuk pendengaran, dan paling luas diketahui oleh bangsa-bangsa baru”.
2- Ibrahim an-Nizham (wafat tahun 231 H) berkata: “Dalam matsal terhimpun
empat hal yang tidak dimiliki oleh kalam lain: “Pertama, keringkasan kata atau
kalimat. Kedua, ketepatan makna. Ketiga, kebagusan penyerupaan. Dan keempat,
keindahan kiasan. Dengan empat hal itulah sebuah ungkapan dapat disebut telah
mencapai puncak kefasihan”.
Selain manfaat yang disebutkan oleh dua sastrawan di atas, disebutkan pula
bahwa hikmah-hikmah yang dibenarkan akal dinamakan amtsâl, karena gambaran-
gambarannya menancap kokoh dalam akal. Kata amtsâl, yang berakar dari kata
mutsul, berarti kekokohan22.
Ibn Qayim al-Jauziyah (wafat tahun 751 H) menukil kalam nizham, dengan
bentuk yang sempurna, sambil berkata: “Allah dan Rasul-Nya telah memberikan
misal-misal (amtsâl) bagi manusia untuk dapat mendekatkan dan menyampaikan
22 Majma’ul Amtsal: 1/6
maksud serta memahamkan makna dalam pikiran si pendengar. Sebab, seringkali,
dengan menghadirkan sesuatu yang serupa tersebut dapat lebih mendekatkan
sampainya maksud, dalam hubungan, pemahaman, penguasaan, dan penghadirannya.
Hal ini tak bisa dipungkiri karena ‘diri’ senang dengan keserupaan dan kemiripan, dan
sebaliknya, tidak senang dengan keasingan, kesendirian dan tiadanya kemiripan.”
Di dalam amtsâl terdapat kesenangan ‘diri’ itu, karena di dalam perumpamaan
terdapat kemudahan dan kelebih-jelasan penggambaran tentang suatu kebenaran
untuk bisa diterima. Selain itu, dengan sifatnya yang kokoh, sebuah amtsâl dapat
memberikan ungkapan tentang sebuah perkara yang tidak dapat ditolak dan diingkari
oleh siapapun. Setiap kali amtsâl dimunculkan akan selalu memberi makna yang lebih
terang bagi pemerhatinya. Amtsâl, dapat dikatakan pula, sebagai bukti-bukti makna
yang dimaksudkan tentang perkara tertentu. Ia juga merupakan keistimewaan dan
buah akal23.
3-Abdul Qahir al-Jurjani (wafat tahun 371 H) berkata: “Ketahuilah, tamtsil
yang disepakati oleh para pemikir ialah apabila ia datang membawa makna-makna,
atau makna-makna itu ditampilkan secara lugas dengan perumpamaan yang
ditunjukkan, dan memberi gambaran asli dengan kemasan yang indah, menghimpun
sesuatu dengan bijak, dengan meninggikan takarannya, dapat mengobarkan semangat,
berkekuatan ganda dalam menggugah jiwa, mengajak kalbu kepadanya,
membangkitkan hati dengan kecintaan yang meluap dan menyala, serta memaksa
watak untuk memberikan cinta dan kasih sayang.
Oleh karena itu, apabila tamtsil itu berupa celaan maka sentuhannya lebih
menyakitkan, kekerasannya lebih membakar, mengena dengan lebih dahsyat, dan
membedakan secara lebih tajam. Apabila berupa hujjah, argumentasinya lebih terang,
23 A’lâmu al-Muqi’in: 1/291
kekuatannya lebih mengalahkan, dan penjelasannya lebih cemerlang. Apabila berupa
kebanggaan maka posisinya lebih menguntungkan, kemuliaannya paling mujur, dan
lisannya paling sengit. Apabila berupa alasan, ia paling dekat diterima, paling
memikat hati, lebih dapat menghilangkan dendam dan kedengkian, lebih meluluhkan
kekerasan murka, lebih melegakan dalam janji dan sumpah, dan lebih mengarahkan
pada sebaik-baiknya rujuk. Dan apabila berupa nasihat maka ia lebih menyejukkan
dada, lebih mengajak berpikir, lebih menyentuh dalam peringatan dan pencegahan,
lebih layak untuk memperjelas pengamanan dan menyingkap tujuan, lebih
menyembuhkan penyakit dan melegakan puncak kehausan24.”
4-Abu Sa’ud (wafat tahun 982 H) berkata: Tamtsil adalah menzhahirkan
makna sesuatu yang dimaksud dengan menunjukkan perkara lain yang masyhur,
menghiasi rasio dengan kepekaan jiwa, dan melukis celah-celah makna dengan bentuk
yang disenangi guna menepis keragu-raguan, serta menjauhkan pertentangan dengan
akal dalam menjangkau hakikat yang tersembunyi, dan untuk memahami kedalaman
yang agung. Oleh karena itu, amtsâl merebak di dalam kitab-kitab ilahiyah dan sabda-
sabda nabawiyah, juga meluas dalam ibarat-ibarat para sastrawan dan isyarat-isyarat
para filosof.
Tamtsil merupakan mediator paling halus untuk mengalahkan keraguan
pikiran dan menghindarkan pikiran dari pelanggaran aturan logika serta menjadi
sarana paling kuat untuk memahamkan orang bodoh dan menghanguskan gambaran
orang bengal yang angkuh. Tamtsil dapat mengangkat hijab dari wajah rasionalitas
yang tersembunyi, memunculkannya ke hadapan pelupuk kepekaan jiwa yang terang,
24 Asrâr al-Balâghah: 101-102
menampakkannya pada orang yang mengingkari bentuk-bentuk yang dikenal, dan
memperlihatkan kebenaran pada orang liar dalam bentuk yang digemarinya.25
As-Suyuthi, dalam al-Mazhar-nya, dengan menukil dari Abu Ubaid,
menyatakan: “Amtsâl adalah hikmah bagi bangsa Arab di masa jahiliyah dan Islam,
dan dengan itu masyarakat Arab menjauhi ucapannya (yang biasa) sehingga mereka
sampai pada ungkapan-ungkapan kiasan untuk menyampaikan keperluan-keperluan
mereka.”26
Namun demikian, amtsâl bukan hanya menjadi ciri khas bangsa Arab saja.
Setiap kaum juga memiliki amtsâl dan aturan bahasa tertentu yang dengannya mereka
dapat mendekatkan dan memahamkan maksud dan tujuannya kepada setiap lawan
bicara. Tidak mustahil pula apabila suatu matsal tertentu ternyata menyebar di antara
kaum-kaum yang beragam kemudian dan menjadi sebuah matsal yang berlaku
nasional atau bahkan internasional.
Ath-Thabari meriwayatkan dari Muhallab bin Abu Shafrah: “Muhallab
memanggil anak-anaknya untuk berkumpul. Ia meminta dengan sungguh-sungguh
(sembari menggenggam panah-panah) sehingga suasana menjadi serius dan tegang,
sehingga setiap yang hadir seolah merasa sesak nafas. Muhallab bertanya: “Apakah
kalian melihat orang-orang yang memecahkan sesuatu secara bersama-sama?”
“Tidak”, kata mereka.
Ia berkata: “Apakah kalian melihat orang-orang yang memecah sesuatu (itu) secara
bercerai-berai (sendiri-sendiri)?
Mereka berkata: “Ya”.
“Begitulah jama’ah”, kata Muhallab.
25 Hamisy tafsir al-Fakhru ar-Razi: 1/156 26 Al-Mazhar: 1/288
Muhallab bukanlah orang pertama yang mengungkapkan matsal ini melalui
ucapannya, karena sudah ada orang lain yang mendahuluinya.
Abu Hilal al-Askari dalam Jamharah-nya meriwayatkan dari Qais bin Ashim
at-Tamimi (wafat tahun 20 H) tentang sebuah matsal yang juga dituangkan dalam
syair berikut ini:
Bila damai antara dua, akan lama hidupmu
meski panjang atau pendek umurku
Sampai lunak hati dan watak kerasmu
yang pemberani atau yang tidak di antaramu
Gelas berhimpun, apa yang dimau
ialah pecah di tangan si kepala batu
Mulialah kaum yang tak pecah meski pisah
Mudah pecah hanya bagi yang suka pecah
Tentang pribadi Abdul Malik bin Marwan, al-Mas’udi menukilkan: “Al-Walid
adalah orang yang sangat menyayangi saudara-saudaranya, dan memperhatikan semua
wasiat Abdul Malik kepadanya. Ia sering membacakan bait-bait syair yang ditulis
Abdul Malik dalam wasiatnya; antara lain:
Buanglah kedengkian di antara kamu
baik dalam hadir maupun tidak hadir
Gelas berhimpun, apa yang dimau
ialah pecah di tangan si kepala batu
Mulialah kaum yang tak pecah meski pisah
Mudah pecah hanya bagi yang suka pecah
Kitab-kitab Amtsâl Arab
Banyak sekali kitab amtsâl bahasa Arab yang dapat ditemui saat ini, dari yang
klasik sampai yang kontemporer. Kitab terlengkap tentang amtsâl ditulis oleh Ahmad
bin Muhammad bin Ibrahim an-Naisaburi al-Maidani (wafat tahun 518 H) dengan
judul Majma’ al-Amtsâl, yang memuat enam ribu lima ratus (matsal) [Majma’ al-
Amtsâl: 1/5].
-4-
Perumpamaan-perumpamaan dalam Al-Qur`ân
Tidak sedikit dari ayat al-Quran memuat amtsâl (perumpamaan-
perumpamaan). Allah SWT membuat perumpamaan bagi umat manusia agar mereka
berpikir dan menjadikannya pelajaran. Allah berfirman: “Kalau sekiranya Kami
menurunkan al-Quran ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihat ia tunduk
runtuh terpecah belah disebabkan takut kepada Allah. Dan perumpamaan-
perumpamaan itu Kami buat untuk manusia agar mereka berpikir” [al-Hasyr: 21].
Juga disebutkan bahwa ar-Ruh al-Amin (malaikat Jibril) turun dengan amtsâl, dan
merupakan sosok matsal tatkala turun ke dalam kalbu pemuka para rasul (Muhammad
saw). Itulah pelajaran dari ayat-ayat al-Quran.
Matsal merupakan ungkapan yang dilontarkan untuk suatu kejadian karena
kesesuaian maksud yang menuntut sebuah pengungkapan untuk tujuan tertentu.
Selanjutnya, perkataan atau kalimat yang diungkapkan tersebut bisa berlaku di
sepanjang zaman dalam konteks kejadian-kejadian serupa yang dialami masyarakat
dan bangsa-bangsa di dunia.
Matsal dalam makna seperti ini tidak dapat dijumpai dalam al-Quran.
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, bahwa tegaknya amtsâl adalah karena ia
beredar pada lisan-lisan (baca: ucapan-ucapan) dan berlaku di antara bangsa-bangsa.
Kekhususan inilah yang tidak dimiliki ayat-ayat al-Quran. Sebab, bagaimana mungkin
terjadi pertautan, di satu sisi telah beredar perumpamaan atau matsal dalam budaya
lisan bangsa-bangsa Arab sedemikian rupa, sementara di sisi lain Nabi Muhammad
saw belum menerima ayat-ayat al-Quran (wahyu) yang disampaikannya kepada umat,
tapi kemudian Tuhan memberi nama ayat-ayatnya dengan matsal. Artinya, tidak ada
tempat untuk makna matsal yang lain ketika mengikuti perumpamaan ayat-ayat al-
Quran selain bahwa ia merupakan tamtsîl qiyâsi, sebagaimana disebutkan para ahli
balâghah dalam Ilmu Bayan, dan ia tegak dengan tasybîh, isti’ârah, kinâyah dan
majâz.
Dalam kitabnya, Talkhish al-Miftah, al-Qazwini mengistilahkan matsal
dengan kiasan yang tersusun (al-majâz al-murakkab). Al-Qazwini berkata:
“Sesungguhnya matsal adalah kata-kata tersusun yang dipakai untuk sesuatu yang
diserupakan dengan maknanya yang asli, yakni kata atau kalimat perumpamaan secara
dilebihkan (mubâlaghah) dalam penyerupaan. Sebagai contoh adalah perumpamaan
dalam surat Yazid bin Walid kepada Marwan bin Muhammad ketika Marwan
terlambat membai’atnya; “Amma ba’du, aku melihatmu mendahulukan seorang laki-
laki dan mengakhirkan yang lain. Bila suratku ini sampai kepadamu maka
berpeganglah pada yang manapun yang kau mau dari keduanya! Wassalam.” [al-
Idhâh: 304, at-Talkhish: 322].
Dengan demikian, tamtsil tidak mempunyai kedudukan apabila untuk makna
yang dimaksud digunakan kata-kata yang khusus. Seandainya Yazid mengatakan:
“(Tentang) keterlambatanmu dari bai’atku itu telah sampai kepadaku, maka jika sudah
sampai suratku ini kepadamu, berbai’atlah, atau tidak!” Kata-kata yang disampaikan
ini sama sekali tidak memiliki makna tamtsil, atau kalimat ini bukan (berbentuk)
tamtsil.
Umumnya, amtsâl di dalam al-Quran termasuk dalam salah satu bentuk
tamtsîl, tapi bukan mitsâl (permisalan) secara terminologis. Selain itu, perbedaan
antara tasybih, isti’ârah, kinâyah dan majâz (istilah-istilah dalam Ilmu Bayan) itu
merupakan perkara yang jelas dan tidak memerlukan uraian lebih panjang. Hal itu
dijelaskan oleh para ahli balâghah di dalam Ilmu Bayan, yang kemudian dilontarkan
pula oleh ulama ushul tatkala mereka menguraikan tentang lafaz. Untuk itu,
keterangan berikut ini mencoba menghantar para pembaca kepada kitab-kitab yang
menerangkan tentangnya.
Sebagian dari mereka menyatakan bahwa tamtsîl merupakan salah satu dari
makna matsal. Al-Alusi berkata: Matsal diambil dari kata mutsûl, yang berarti
kedudukan, seperti dikatakan dalam hadis: “Barangsiapa yang cinta kedudukan di
mata manusia, maka bersiap-siaplah tempat tinggalnya di neraka”.
Selanjutnya, tamtsil diistilahkan sebagai ungkapan fasih yang indah dan
tersebar yang mencakup penyerupaan (tasybiih) tetapi tidak sama; atau perumpamaan
(isti’ârah) yang memikat secara proporsional; atau hikmah dan nasihat yang
bermanfaat; atau kiasan (kinâyah) yang indah mengagumkan; atau syair dari
ungkapan-ungkapan ringkas yang bermakna luas. [Ruh al-Ma’ani: 1/163].
Sekiranya kita tidak menggunakan kata “yang tersebar” (syâyi’), maka
sesuailah ibarat kata perumpamaan (matsal) ini dengan tamtsil qiyâsi (proporsi
silogis).
Keistimewaan bentuk perumpamaan al-Quran (shîghah matsal Qur`âni) ialah
bahwa bentuk dan isinya tidak menukil dari peristiwa atau kejadian fiktif yang
diulang-ulang. Matsal Qur`âni diciptakan tanpa meniru, dan ia belum pernah ada
sebelumnya. Ia (perumpamaan al-Quran) bersifat artistik, unik, dan kontemporer,
sehingga ia memiliki bentuk tersendiri dalam pengungkapan, penyusunan dan
pengisyaratan.
Perumpamaan dalam al-Quran bukanlah perumpamaan terminologis, dan
bukan pula bagian yang bertolok ukur hanya pada kata dan arti kata semata.
Perumpamaan dalam al-Quran adalah jenis perumpamaan lain, yang al-Quran sendiri
menyebutnya dengan “matsal”, jauh sebelum masyarakat mengetahui ilmu sastra
matsal dan sebelum disebut sebagai jenis sastra tak beraturan, bahkan sebelum para
sastrawan matsal mendefinisikannya, [ash-Shuratu al-Fanniyah fi al-Matsal al-
Qurani: 72, menukil dari kitab al-Matsal karya Munir al-Qadhi].
-5-
Pembagian Tamtsîl
Sebagaimana disebutkan sebelumnya, tamtsil adalah memberikan kedudukan
sesuatu bagi sesuatu yang lain, melalui jalan penyerupaan (tasybih) atau pengkiasan
(isti’ârah) atau majâz, atau lainnya. Tamtsil terbagi dalam beberapa macam:
1- Penggambaran simbolik (at-tamtsil ar-ramzi): ialah bentuk simbol dan
penggambaran dengan menukil bahasa burung, tumbuhan, dan pepohonan, menjadi
kiasan yang memberi makna-makna mendalam. Jenis tamtsil ini diungkapkan dalam
kitab Kalilah wa al-Dimnah karya Ibn al-Muqaffa’. Metode ini digunakan oleh
penyair arif al-‘Aththar an-Naisyaburi dalam kitab karangannya, Mantiqu ath-Thair.
Kitab Kalilah wa al-Dimnah beredar di masa sebelum Islam. Sejarawan
menceritakan, seorang tabib bangsa Persia menemukan kitab Kalilah wa al-Dimnah
yang berbahasa Sansekerta di India, lalu diterjemahkan ke dalam bahasa Pahlevi.
Selanjutnya kitab itu sampai ke tangan Abdullah bin al-Muqaffa’ (106-143 H), yang
lalu menerjemahkannya ke dalam bahasa Arab. Selanjutnya, kitab itu dinukil oleh
Nashrullah bin Muhammad bin Abdul Hamid, penulis terkenal abad ke-6, dan
diterjemahkan ke dalam bahasa Parsi. Kitab itu populer dalam kajian-kajian ilmiah
masa kini. Pada abad ke-9, kitab ini dinukil dalam bahasa Parsi oleh Husein bin
Wa’izh al-Kasyifi. Selain itu, kitab terjemahan dari Ibn al-Muqaffa’ itu, diubah ke
dalam puisi oleh Rudaki, seorang penyair, dengan menggunakan bahasa Parsi.
Dalam buku-buku sejarah disebutkan, sebagian dari permisalan atau
perumpamaan dalam kitab Kalilah wa Dimnah telah tersebar ke tengah-tengah bangsa
Arab dan populer dalam bahasa di masa Risalah atau setelahnya. Diriwayatkan bahwa
Ali bin Abi Thalib as mengomentari sesuatu dengan perumpamaan “Sesungguhnya
aku dimakan pada hari sapi putih dimakan”. Perumpamaan seperti ini juga terdapat
dalam kitab Kalilah wa Dimnah tersebut.
Di dalam kitab itu terdapat semacam upaya yang hendak menyimpulkan
bahwa seluruh kisah Quraniyah termasuk ke dalam perumpamaan jenis simbolik,
yakni simbol bagi hakikat-hakikat keluhuran tanpa harus memiliki realitas di balik
pikiran. Dengan cara demikian, mereka menafsirkan kisah Adam dengan setan
sebagai keberhasilan setan atas Adam as. Seperti juga kisah bersaudara putra Adam,
Habil dan Qabil, tatkala Qabil membunuh saudaranya itu. Atau seperti percakapan
semut dengan Sulaiman, dan kisah-kisah lainnya.
Upaya semacam ini berlawanan dengan penjelasan al-Quran. Sebab, al-Quran
menyebut kisah-kisah yang menceritakan tentang hakikat-hakikat kegaiban itu tidak
diketahui oleh Nabi Muhammad saw (sebelumnya), dan oleh orang lain. Allah SWT
berfirman: “Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi
orang-orang yang mempunyai akal. Al-Quran itu bukanlah cerita yang dibuat-buat,
akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala
sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum beriman” [Yusuf: 111].
Ayat ini menjelaskan bahwa kisah-kisahnya bukan sebagai perkara yang
dibuat-buat, dan ayat-ayat lainnya pun menunjukkan bahwa seluruh ayat al-Quran
adalah haq, tanpa sedikitpun disertai kebatilan.
2-At-Tamtsil al-Qashashi (penggambaran novelistik); ialah menjelaskan
keadaan umat-umat terdahulu, yang bertujuan mengambil pelajaran (‘ibrah) karena
kesamaan keadaan atau kejadiannya. Allah SWT berfirman: “Allah membuat istri Nuh
dan istri Luth perumpamaan bagi orang-orang kafir. Keduanya berada di bawah
pengawasan dua orang hamba yang saleh di antara hamba-hamba Kami; lalu kedua
istri itu berkhianat kepada kedua suaminya, maka kedua suaminya itu tiada dapat
membantu mereka sedikitpun dari (siksa) Allah; dan dikatakan (kepada keduanya);
“Masuklah ke neraka bersama orang-orang yang masuk (neraka)” [at-Tahrim: 10].
Kisah-kisah tentang keadaan umat-umat masa lampau yang diceritakan
kembali oleh al-Quran merupakan penyerupaan (tasybiih) yang jelas dan tersembunyi.
Tujuannya ialah untuk mengambil hikmah dan pelajaran.
3-At-Tamtsil ath-Thabi’i (penggambaran alami); ialah penyerupaan yang tak
tersentuh dengan yang tersentuh, yang tak terlihat dengan yang terlihat. Syarat tamtsil
seperti ini ialah, yang diserupakan (al-musyabbah bihi) merupakan perkara natural
(takwiniyah). Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya perumpamaan kehidupan
duniawi itu, adalah seperti air (hujan) yang Kami turunkan dari langit, lalu
tumbuhlah tanam-tanaman bumi dengan subur karena air itu, di antaranya ada yang
dimakan manusia dan binatang ternak. Hingga apabila bumi itu telah sempurna
keindahannya, dan memakai (pula) perhiasannya, dan pemilik-pemiliknya mengira
bahwa mereka pasti menguasainya, tiba-tiba datanglah kepadanya azab Kami di
waktu malam atau siang, lalu Kami jadikan (tanaman-tanamannya) laksana tanam-
tanaman yang sudah disabit, seakan-akan belum pernah tumbuh kemarin.
Demikianlah Kami menjelaskan tanda-tanda kekuasaan (Kami) kepada orang-orang
yang berpikir.” [Yunus: 24].
Selanjutnya dikatakan bahwa al-Amtsâl al-Qur`âniyah beredar sebagai tamtsil
qashashi dan tamtsil tabi’i. Sedangkan Amtsâl al-Qur`âniyah dalam bentuk tamtsil
ar-ramzi hanya dinyatakan oleh para ahli ta’wil.
-6-
Al-Amtsâl Al-Qur`âniyah di dalam Hadis
Al-Amtsâl al-Qur`âniyah merupakan nasihat dan pelajaran atau hikmah. Para
Imam Ahlulbait as –dalam hadis-hadis– menganjurkan kepada manusia agar
merenungi perumpamaan-perumpamaan dalam al-Quran. Di antara anjuran mereka
adalah sebagai berikut:
1- Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as berkata: “Telah kalian analisa dan
renungi perkara-perkara, telah dinasihati kalian dengan orang-orang sebelum kalian,
telah dibuatkan perumpamaan-perumpamaan bagi kalian, dan telah diseru kalian pada
perkara yang terang. Maka tidak tuli dari hal demikian melainkan yang tuli, dan tidak
buta dari hal demikian melainkan yang buta. Orang yang tidak diberi Allah
kemanfaatan dari cobaan dan pengalaman, tidak dapat memperoleh manfaat dari
dakwah” (Nahjul Balaghah: 176).
2- Imam Ali as juga berkata: “Kitab Tuhan kalian (al-Quran) ada pada kalian,
yang menjelaskan halal dan haram, fardu-fardu dan keutamaan-keutamaan,
keringanan-keringanan dan keharusan-keharusan, yang khusus dan yang umum,
‘ibrah-‘ibrah dan perumpamaan-perumpamaan.” (Nahjul Balaghah: 176).
3- Ia juga berkata: “Al-Quran turun memuat seperempat-seperempat.
Seperempat tentang kami (Ahlulbait), seperempat tentang musuh-musuh kami,
seperempat tentang sunnah-sunnah dan perumpamaan-perumpamaan, dan seperempat
lagi tentang kewajiban-kewajiban dan hukum-hukum” (Bihar al-Anwar: 24/305, hadis
1, bab Ta`wil mâ Nazala fiihim).
4- Imam ja’far ash-Shadiq as meriwayatkan dari datuknya, bahwa Imam Ali
bin Abi Thalib as bertanya kepada seorang hakim: ‘Tahukan Anda tentang perkara
nasikh dari mansukh?’ ‘Tidak’, jawabnya. ‘Mengertikah Anda akan maksud Allah
tentang perumpamaan-perumpamaan al-Quran?’ tanya Imam lagi. ‘Tidak’, jawab si
hakim sekali lagi. Kemudian Imam Ali as berkata: ‘Jika begitu Anda binasa dan
membinasakan. Seorang mufti (hakim) membutuhkan pengetahuan tentang makna
ayat-ayat al-Quran, hakikat-hakikat sunnah, rahasia-rahasia isyarat, etika, ijma’ dan
ikhtilaf. Selain itu, seorang hakim harus memahami ushul yang telah disepakati
atasnya dan apa-apa yang telah diperselisihkan. Ia juga harus berperilaku baik,
beramal saleh, memahami hikmah, bertakwa; dan dengan semua itu ia dapat dianggap
sebagai telah mampu.’ (Bihar al-Anwar: 2/121, bab an-Nahi ‘ani l-Qaul bi Ghairi l-
‘ilmi, kitab al-Ilmi).
5- Amirul mukminin Ali bin Abi Thalib as berkata: “Mereka yang diberi nama
dengan sebagus-bagus perumpamaan oleh al-Quran ialah Itrah Nabi Muhammad saw.
Ini air tawar yang segar, maka minumlah kalian! Itu air garam yang amat asin maka
jauhilah!” (Bihar al-Anwar 92/116, bab 12, kitabu al-Quran).
6- Imam Ali Zain al-Abidin as (as-Sajjad) dalam untaian doanya, Khatmu al-
Quran, berkata: “Ya Allah, Engkau telah membantuku dalam mengkhatamkan kitab-
Mu (al-Quran) yang Engkau turunkan sebagai cahaya, dan Engkau jadikan al-Quran
sebagai pembenar semua kitab yang telah Engkau turunkan… Ya Allah, jadikanlah al-
Quran penghibur bagi kami di kegelapan malam, melindungi kami dari rayuan setan
dan bisikan was-was, menahan langkah kaki kami kepada perbuatan maksiat,
menghalangi anggota-anggota tubuh kami dari berbuat dosa, dan memaparkan
renungan pertimbangan ketika kelalaian sirna dari kami. Sehingga dengan al-Quran
yang meresap ke dalam hati, kami memahami keajaiban-keajaibannya, kandungan dan
perumpamaannya, yang karena beratnya kandungan-kandungan itu gunung-gunung
yang kokoh pun mengaku lemah untuk memikul al-Quran” (ash-Shahifah as-
Sajjadiyah).
7- Imam as-Sajjad as juga berkata: “Hai hamba-hamba Allah, bertakwalah
kepada Allah! Ketahuilah bahwa Allah Azza wa Jalla tidak pernah menyukai
keindahan dunia yang cepat berlalunya itu diperuntukkan bagi para auliyâ`-Nya, dan
tidak pernah menganjurkan mereka menyukai dunia, atau menyukai keindahannya
yang segera sirna. Sesungguhnya Allah SWT menciptakan dunia dan penghuninya
untuk menguji mereka di dalamnya, manakah dari mereka yang lebih baik amalnya
untuk akhirat. Demi Allah, Dia telah membuat perumpamaan-perumpamaan di dalam
al-Quran bagi kalian dan menurunkan ayat-ayat-Nya bagi kaum yang berakal, dan
tiada kekuatan melainkan dengan (kekuatan) Allah” (al-Kafi: 8/75).
8- Imam Muhammad al-Baqir as berkata kepada saudaranya Zaid bin Ali:
“Tahukah kamu wahai saudaraku, tentang sesuatu yang telah kamu nisbahkan dirimu
kepadanya; lalu kamu harus datang dengan membawa saksi Kitabullah, atau hujjah
dari Rasulullah, atau kamu yang membuat perumpamaan dengannya. Sesungguhnya
Allah Azza wa Jalla menghalalkan yang halal dan mengharamkan yang haram,
membuat perumpamaan-perumpamaan, dan menetapkan sunnah-sunnah.” (Bihar al-
Anwar: 46/204, bab 11).
9- Al-Kulaini meriwayatkan dari Ishaq bin Jarir, yang berkata: “Aku diminta
oleh seorang perempuan untuk memohonkan izin agar ia dapat bertemu dengan Abu
Abdillah (Imam Ja’far ash-Shadiq) as. Lalu ia diizinkan bertemu. Ia pun masuk
bersama seorang temannya, dan berkata: “Wahai Aba Abdillah, apakah maksud
firman Allah Azza wa Jalla: zaituunatin lâ syarqiyatin wa lâ gharbiyatin27 ?”. Imam
Shadiq as menjawab: “Hai perempuan, sesungguhnya Allah tidak pernah membuat
perumpamaan untuk pohon, tetapi Dia membuat perumpamaan untuk anak keturunan
Adam” (al-Kafi: 5/551, hadis 2, bab as-Suhq min Kitab an-Nikah).
10- Daud bin Katsir meriwayatkan dari Abu Abdillah as, yang berkata
kepadanya: “Hai Daud, sesungguhnya Allah menciptakan kami (ahlulbait), lalu
memuliakan tabiat dan kebajikan kami, dan menjadikan kami kepercayaan dan
pengawal-Nya, serta sebagai juru bicara-Nya atas apa yang ada di langit dan di bumi.
Dia menetapkan kami mempunyai para penentang dan musuh-musuh, lalu
menamakan kami dalam kitab-Nya, dan memberi julukan kepada kami dari nama-
nama kami dengan asmâ` yang terindah dan yang paling disukai-Nya. Dan menyebut
para penentang dan musuh-musuh kami dengan julukan dari nama-nama mereka di
dalam kitab-Nya, dan membuat perumpamaan-perumpamaan dengan nama-nama
yang paling Dia benci di dalam kitab-Nya..” (al-Bihar: 24/303, hadis 14).
* * * * *
Telah terhimpun perumpamaan-perumpamaan (al-amtsâl) al-Qur`âniyah atas
kepedulian para ulama, cendikiawan, dan mereka memberikan keterangan tentang
pentingnya al-amtsâl dan kedudukannya di dalam al-Quran:
1- Hamzah bin al-Hasan al-Ishbahani (wafat tahun 351 H) menerangkan: “Al-
amtsâl yang diciptakan bangsa Arab, dan an-nazhâ`ir (penyerupaan-penyerupaan)
yang dihadirkan ulama, memiliki kedudukan yang kuat. Ia bukan merupakan rahasia
dalam menampakkan rahasia-rahasia mendalam dan mengangkat tirai-tirai hakikat,
yang dengannya tergantikan khayalan (menjadi) bentuk kenyataan, keraguan
(menjadi) bentuk keyakinan, dan yang ghaib seolah hadir. Dan dalam membuat
27 Baca: pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah berat(nya). [QS. an-Nur: 35]
perumpamaan (dharbu al-amtsâl), musuh yang besar permusuhannya menjadi luluh,
yang mogok keras dan yang angkuh menjadi tunduk. Dharbu al-amtsâl memberikan
kesan pada kalbu yang tidak tertembus oleh penyifatan akan sesuatu pada dirinya.
Karena itu Allah SWT memperbanyak perumpamaan-perumpamaan di dalam kitab-
Nya. Dan di dalam salah satu surat dalam Injil terdapat surat bernamakan surat al-
Amtsâl, dan itu tersebar dalam ucapan Nabi Muhammad saw, ucapan anbiya dan para
filosof” (ad-Durratu al-Fakhirah fi al-Amtsal as-Sa’irah: 1/59-60). Yang
menakjubkan adalah, nash ini diuraikan secara utuh dalam kitab al-Kasyaf, tentang
tafsir ayat-6 surat al-Baqarah. (Lihat, al-Kasyaf: 1/149).
2- Abul Hasan al-Mawardi (wafat tahun 450 H): “Salah satu ilmu teragung al-
Quran adalah ilmu amtsâl-nya, tetapi orang-orang tidak mengetahui karena mereka
sibuk dengan perumpamaannya dan melalaikan obyek-obyek perumpamaan
(mumatstsalât). Padahal perumpamaan tanpa yang diumpamakan (mumatstsal) seperti
kuda tanpa kekang atau seperti onta tanpa kendali.” (al-Itqan fi Ulum al-Quran:
2/1041).
3- Az-Zamakhsyari (wafat tahun 538 H) tentang tafsir ayat 17 surat al-Baqarah
yang berbunyi “Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api”,
menyatakan bahwa bangsa Arab membuat al-amtsâl dan ulama menghadirkan
peribahasa dan penyerupaan-penyerupaan. Dan selanjutnya ialah seperti keterangan
yang telah dinukil dari al-Ishbahani di atas. (al-Kasysyaf: 1/72).
4- Ar-Razi (wafat tahun 606 H) berkata: “Maksud dari dharbu al-amtsal
adalah memberi kesan mendalam pada hati tanpa menyifatinya dengan suatu perkara.
Ini disebabkan oleh tujuan perumpamaan (matsal) sendiri, yakni memberikan
penyerupaan yang samar dengan yang jelas dan yang ghaib dengan yang hadir.
Sehingga menguatkan pemahaman atas hakikat sesuatu, dan indera menjadi sesuai
dengan akal. Yang demikian itu merupakan puncak kejelasan. Bukankah ketika
seseorang melihat suatu anjuran (kebenaran atau kebaikan), apabila anjuran itu hampa
dari perumpamaan maka keberadaannya dalam hati tidak akan kokoh. Seperti
keimanan, yang akan kokoh tertanam dalam hati jika diumpamakan atau diserupakan
dengan cahaya. Atau anjuran untuk menjauhi kufur yang dilakukan hanya dengan
sebutan semata, maka keburukan kufur tidak menetap di dalam akal. Lain halnya
apabila kufur di-matsal-kan dengan kegelapan, maka kesannya akan menetap dalam
akal. Atau, misal yang lain, jika mengungkap kelemahan sesuatu disertai dengan
membuat perumpamaannya seperti rajutan (rumah) laba-laba, maka yang demikian itu
lebih menyentuh dalam menerangkan bentuk atau keadaan amalan seseorang
ketimbang semata-mata mengungkap kelemahan perbuatan yang dimaksud. Oleh
karena itu, Allah SWT memperbanyak perumpamaan-perumpamaan di dalam kitab-
Nya (al-Quran) dan semua kitab-kitab-Nya. Allah SWT berfirman: “Dan
perumpamaan-perumpamaan ini Kami buatkan untuk manusia; dan tiada yang
memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu” [al-Ankabut: 43]. (lihat: Mafatihu
al-Ghaib: 2/72-73).
5- Syeikh ‘Izzuddin Abdus Salam (wafat tahu 660 H) berkata: “Sesungguhnya
Allah membuat al-amtsâl dalam al-Quran, sebagai pengingat dan pemberi nasihat.
Perumpamaan yang dibuat di dalam al-Quran itu meliputi, di antaranya, perbedaan
dalam pahala, menggugurkan amal, atau atas pujian dan celaan, dan yang
semacamnya. Hal tersebut berarti menunjukkan suatu perumpamaan atas hukum-
hukum. (al-Itqan fi Ulum al-Quran: 2/1041).
6- Az-Zarkasyi (wafat tahun 794 H): “Di dalam dharbul amtsal – antara lain –
menjelaskan maksud tertentu yang bukan merupakan rahasia, yang bertujuan untuk
memperserupakan yang samar dengan yang jelas, yang hadir dengan yang ghaib.
Contohnya, perkara iman. Jika iman diumpamakan dengan cahaya maka maksudnya
menjadi kuat mempengaruhi hati. Begitu pula dengan anjuran untuk menjauhkan diri
dari kekufuran. Bila kekufuran diumpamakan dengan kegelapan, maka menguatlah
keburukan kufur dalam diri seseorang. Sungguh, Allah SWT telah memperbanyak
perumpamaan-perumpamaan di dalam al-Quran dan di dalam kitab-kitab-Nya yang
lain” (al-Burhan fi Ulum al-Quran: 1/388).
Namun demikian, apa yang dikatakan az-Zamakhsyari, ar-Razi, dan az-
Zakarsyi adalah tentang al-amtsâl yang bukan ad-dharb. Artinya, mereka berpendapat
bahwa al-amtsâl adalah satu hal dan dharbul amtsâl merupakan hal lain. Sebab,
memunculkan khayalan dalam bentuk realitas, dan keraguan di panggung keyakinan
bukanlah perkara penting dalam dharbul amtsal, tetapi ia menjadi milik al-amtsâl.
Hal tersebut menunjukkan bahwa makna-makna universal sebenarnya tampil dalam
pikiran secara global dan samar, sehingga sulit menembus dan mengambilnya serta
mengeluarkan rahasianya. Dan al-matsal (kata tunggal dari al-amtsâl) ialah yang
merinci keglobalan dan menjelaskan kesamarannya. Al-matsal adalah neraca, standar,
lentera, dan pelita kefasihan. (Lihat Tafsir al-Manar: 1/237).
-7-
Kitab-kitab Al-Amtsâl Al-Qur’âniyah
Begitu pentingnya masalah ini, sehingga tidak sedikit dari ulama, baik klasik
maupun kontemporer, telah membuat karya-karya dan buku tentang al-Amtsâl al-
Qur`âniyah. Di antaranya kami sebutkan sebagai berikut:
1- Amtsâl al-Quran, karya al-Junaid bin Muhammad al-Qawariri (wafat 298
H).
2- Amtsâl al-Quran, karya Ibrahim bin Muhammad bin Arafah bin Mughirah,
dikenal dengan nama Nafthawaih (wafat 323 H).
3- Ad-Durrah al-Fakhirah fi al-Amtsal as-Sairah, karya Hamzah bin al-Hasan
al-Ishbahani (wafat 351 H).
4- Amtsâl al-Quran, karya Abu Ali Muhammad bin Ahmad bin Junaid al-
Iskafi (wafat 381 H).
5- Amtsâl al-Quran, karya Syeikh Abu Abdurrahman Muhammad bin Husein
as-Salmi an-Naisaburi (wafat 412 H).
6- Al-Amtsâl al-Quraniyah, karya Abul Hasan bin Ali bin Muhammad bin
Habib al-Mawardi asy-Syafi’I (wafat 450 H).
7- Amtsâl al-Quran, karya Syeikh Syamsuddin Muhammad bin Abu Bakar bin
Qayim al-Jauziyah (wafat 754 H). Karya ini telah dicetak beberapa waktu yang lalu.
8- Al-Amtsâl al-Quraniyah, karya Abdurrahman Hasan Hanbakah al-Maidani.
9- Amtsâl al-Quran, karya Maula Ahmad bin Abdullah al-Kuzkinani at-
Tabrizi (wafat 1327 H). Karya ini tercetak di atas batu di Tabriz tahun 1324 H.
10- Amtsâl al-Quran, karya Mahmud bin asy-Syarif.
11- Al-Amtsâl fi al-Quran al-Karim, karya Dr. Muhammad Jabir al-Fayadhi.
12- Ash-Shuratu al-Fanniyah fi al-Matsal al-Qurani, karya Dr. Muhammad
Husein Ali ash-Shaghir.
13- Amtsâl al-Quran (dalam bahasa Parsi), karya Ali Ashghar Hikmat.
14- Tafsir Amtsâl al-Quran (dalam bahasa Parsi), karya Dr. Ismail Isma’ili.
-8-
Pembagian Al-Amtsâl Al-Quran: Yang Jelas dan Yang Samar
Badruddin az-Zarkasyi menyebutkan bahwa al-Amtsâl terbagi menjadi dua
bagian: pertama, yang tampak (zhâhir); ialah yang menyebutkan kata matsal secara
terang dalam ucapan atau kalimatnya. Kedua, yang tersembunyi (kâmin); ialah yang
tidak disebutkan kata matsal di dalam ucapan atau kalimatnya, tetapi ucapan atau
kalimat itu memiliki hukum al-amtsal (al-Burhan fi Ulum al-Quran: 1/571).
As-Suyuthi mengutip beberapa nash dan mencoba menginterpretasikan al-
matsal al-kâmin, dan berkata: “Ini bukan nash az-Zarkasyi. Adapun contoh-contoh
yang pertama (yakni al-matsal azh-zhâhirah) antara lain ialah firman Allah SWT:
“perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api..” [al-Baqarah: 17-
20]. Dalam ayat ini Allah membuat dua perumpamaan bagi kaum munafik; yakni
yang pertama mengumpamakan dengan api, dan yang kedua mengumpamakan
dengan hujan.
Kemudian ia berkata: Adapun perumpamaan yang tersembunyi (al-kâminah),
maka al-Mawardi berkata: “Aku mendengar Abu Ishaq Ibrahim bin Mudharib bin
Ibrahim berkata: ‘Aku mendengar ayahku berkata: ‘Aku berkata kepada al-Husein bin
Fadl; Anda melontarkan perumpamaan-perumpamaan Arab dan ‘Ajam dari al-Quran,
apakah Anda menemukan di dalam Kitabullah kalimat “khairul umuur awsathuhâ”
(“sebaik-baik perkara adalah tengah-tengahnya”)?”
Ia (al-Husein bin Fadhl) berkata: “Ya, dalam empat tempat: Firman Allah: “yang tidak
tua dan yang tidak muda” [al-Baqarah: 68]. “Dan orang-orang yang apabila
membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula kikir), dan
adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara demikian” [al-Furqan: 67]. “Dan
janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu
terlalu mengulurkannya” [al-Isra: 29]. Dan “Dan janganlah kamu mengeraskan
suaramu dalam salatmu dan jangalah pula merendahkannya, dan carilah jalan
tengah di antara kedua itu” [al-Isra: 110]”.
Aku (ayah Abu Ishaq) bertanya: “Apakah Anda menemukan dalam Kitabullah
kalimat “man jahila syai`an ‘âdâhu” (“orang yang tidak tahu sesuatu maka ia
menjauhinya?”)
Ia menjawab: Ya, di dua tempat, yaitu: “Yang sebenarnya, mereka mendustakan apa
yang mereka belum mengetahuinya dengan sempurna” [Yunus: 39]. Dan “Dan
karena mereka tidak mendapat petunjuk dengannya, maka mereka akan berkata: “Ini
adalah dusta yang lama” [al-Ahqaf: 11].
Dan, soal atau tanya jawab itu sebagai berikut:
S: Apakah Anda menemukan dalam Kitabullah: ihdzar syarra man ahsanta ilahi
(waspadalah akan keburukan orang yang telah kamu berbaik kepadanya)?”
J: “Ya; “dan mereka tidak mencela (Allah dan Rasul-Nya), kecuali karena Allah dan
rasul-Nya telah melimpahkan karunia-Nya kepada mereka” [at-Taubah: 73].
S: Apakah Anda menemukan dalam kitab Allah: laisa l-khabaru ka l-‘iyân (bukanlah
khabar itu yang sudah jelas-jelas)?”
J: Dalam al-Quran disebutkan: “Allah berfirman: “Apakah kamu belum percaya?
Ibrahim menjawab: “Saya telah percaya, akan tetapi agar bertambah tetap hati
saya” [al-Baqarah: 26].
S: Apakah Anda menemukan fi l-harakât al-barakât (dalam gerakan-gerakan terdapat
keberkahan-keberkahan)?”
J: Dalam firman-Nya: “Barangsiapa yang berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka
mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezki yang banyak” [an-
Nisa: 100].
S: Apa Anda menemukan: kamâ tadiinu tudânu (sebagaimana kamu taat, maka kamu
pun diganjar)?
J: Dalam firman-Nya: “Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan
diberi pembalasan dengan kejahan itu” [an-Nisa: 123].
S: Apakah Anda menemukan di dalam al-Quran perkataan mereka; hiina taqlii tadri
(akan kau ketahui ketika kau menggoreng)?”.
J: “Dan mereka kelak akan mengetahui di saat mereka melihat azab, siapa yang
paling sesat jalannya” [al-Furqan: 42].
S: Apakah Anda menemukan kalimat lâ yuldaghu l-mu`min min juhrin marratain
(orang mukmin tidak dipatuk dalam satu sarang sebanyak dua kali)?”.
J: “Bagaimana aku mempercayakannya (Bunyamin) kepadamu, kecuali seperti aku
telah mempercayakan saudaranya (Yusuf) kepada kamu dahulu” [Yusuf: 64].
S: Apakah Anda menemukan juga: man a’âna zhâliman sullitha ‘alaihi (barangsiapa
yang membantu orang zalim maka ia telah dikuasainya)
J: “Telah ditetapkan terhadap setan itu, bahwa barangsiapa yang berkawan dengan
dia, tentu dia (setan) akan menyesatkannya, dan membawanya ke azab neraka” [al-
Hajj: 4].
S: Bagaimana dengan perkataan mereka: lâ talidu l-hayyah illa l-hayyah (ular tidak
melahirkan kecuali ular).
J: Firman Allah: “dan mereka tidak akan melahirkan selain anak yang berbuat
maksiat lagi sangat kafir” [Nuh: 27].
S: Apakah Anda menemukan: li l-hiithân âdzân (dinding-dinding itu punya telinga)?.
J: “dan di antara kamu ada orang-orang yang amat suka mendengarkan perkataan
mereka” [at-Taubah: 47].
S: Bagaimana dengan kalimat: al-jâhil marzuuq wa l-âlim mahruum (orang bodoh
diberi rezki dan orang alim tertahan rezkinya.).
J: “Barangsiapa yang berada di dalam kesesatan, maka biarlah Tuhan Yang Maha
pemurah memperpanjang tempo baginya” [Maryam: 75].
S: Apakah Anda menemukan dalam al-Quran kalimat: al-halâl lâ ya`tiika illâ quutan
wa l-harâm lâ ya`tiik illâ jazâfan (yang halal tidak datang kepadamu kecuali makanan
pokok, dan yang haram tidak datang kepadamu kecuali barang yang tanpa ditakar)?”
J: “di waktu datang kepada mereka ikan-ikan (yang berada di sekitar) mereka
terapung-apung di permukaan air, dan di hari-hari yang bukan Sabtu, ikan-ikan itu
tidak datang kepada mereka” [al-A’raf: 163]” (al-Itqan fi Ulum al-Quran: 2/1045-
1046).
Kita dapat menyimpulan dari perumpamaan-perumpamaan di atas: “Bahwa
jika Anda benar-benar memperhatikan apa yang disebutkan al-Mawardi di atas, yakni
perumpamaan (matsal) Qur’âni dengan ta’bir makna perumpamaan tersembunyi
(matsal kâmin), menunjukkan bahwa al-Mawardi tidak pernah menukil matsal kâmin
dari al-Husein bin Fadhl. Sebab, al-Mawardi tidak menamakan yang demikian itu
sebagai matsal kâmin, tetapi ia mendatangkan sebuah riwayat untuk membandingkan
(muqâranah) antara sesuatu dengan sesuatu yang lain yang mungkin dipandang
sebagai perumpamaan dari ungkapan bangsa Arab dan ‘Ajam. Setelah melakukan itu
ia meletakkan katalog pilihan yang diambilnya dari ayat-ayat al-Quran yang
mengalahkan ungkapan orang-orang Arab dan ‘Ajam sebagai bukti bahwa amtsal
Qurani jauh lebih tinggi di atas amtsâl mereka.
Jadi, penamaan yang dipilih as-Suyuthi adalah mengikuti az-Zarkasyi, yang
dengan nama itu ia mencocokkan contoh-contoh tersebut. Menurut as-Suyuthi semua
itu termasuk amtsâl kâminah. Tetapi, yang jelas bahwa ibarat-ibarat Quraniyah
tersebut bukan termasuk dalam bab al-amtsâl. Soal pencakupan ibarat atas makna
yang ada di dalam matsal, tidaklah cukup untuk memutlakkan sebutan al-matsal atas
ibarat tersebut, sehingga bentuk yang diriwayatkan itu adalah rukun yang asas dalam
matsal.
Oleh karena itu, yang dapat dilihat ialah bahwa pengistilahan ulama atas
penamaan ibarat Quraniyah di sini (-yaitu- amtsâl kâminah), adalah pengupayaan
yang tidak bersandar pada dalil, baik secara nash maupun secara historis. (Lihat, ash-
Shuratu al-Fanniyah fi al-Matsal al-Qurani: 118, nukilan dari kitab al-Amtsal fi an-
Natsri al-‘Arabi al-Qadim).
Interpretasi Lain bagi Al-Matsal al-Kâmin
Mungkin saja, perumpamaan yang tersembunyi (al-matsal al-kâmin)
ditafsirkan dengan bentuk proporsional (at-tamtsilât) tanpa bersambung dengan kata
at-tasybiih atau penyerupaan (yakni kata matsal dan huruf kâf). Namun kenyataannya,
hal itu merupakan tamtsil yang sangat indah dalam hakikat (secara aqliyah), meskipun
ia kurang indah apabila ditangkap secara emosional. Dalam hal ini, beberapa ayat al-
Quran dapat dipetik untuk dijadikan contoh:
1- “Maka apakah orang-orang yang mendirikan masjidnya atas dasar takwa
kepada Allah dan keridhaan(-Nya) itu yang baik, ataukah orang yang mendirikan
bangunannya di tepi jurang yang runtuh, lalu bangunannya itu jatuh bersama dia ke
dalam neraka Jahannam? Dan Allah tidak memberikan petunjuk kepada orang-orang
yang zalim” [at-Taubah: 109].
Sesungguhnya Allah SWT menyerupakan bangunan yang didirikan orang
zalim atau munafik seperti bangunan di tepi jurang. Sebagai orang yang membangun
di tepi jurang, maka bangunannya berbahaya, labil, dan sangat mudah runtuh. Artinya,
bangunan mereka akan runtuh dan segera jatuh di neraka jahannam. Ayat ini
menunjukkan bahwa tidak sama antara amal orang bertakwa dengan amal orang
munafik. Amal orang mukmin yang bertakwa itu kokoh dan tangguh, pondasinya
ditanam di atas landasan yang benar dan kuat, sedangkan amal orang yang munafik
tidak kokoh dan segera runtuh (Majma’ al-Bayan: 3/73).
2- “Sesungguhnya orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan
menyombongkan diri terhadapnya, sekali-kali tidak akan dibukakan bagi mereka
pintu-pintu langit dan tidak (pula) mereka masuk surga, hingga unta masuk ke lubang
jarum. Demikianlah Kami memberi pembalasan kepada orang-orang yang berbuat
kejahatan” [al-A’raf: 40].
Dahulu Arab menyerupakan sesuatu yang jauh dijangkau, dengan perkataan:
“Aku tidak berbuat demikian sampai gagak beruban, sampai batu hitam memutih”.
Atau dengan pepatah-pepatah lain. Seorang penyair berkata: Jika gagak beruban
kudatangi istriku. Dan apabila batu hitam telah menjadi seperti air susu.
Dalam surat al-A’raf ayat-40 di atas Allah SWT menyerupakan kemustahilan
orang kafir masuk ke surga dengan ungkapan: “orang-orang kafir akan masuk surga
apabila sudah tiba waktunya unta masuk ke dalam lubang jarum”. Ungkapan ini
menunjukkan bahwa mereka tidak akan pernah masuk surga selama-lamanya.
3- “Dan tanah yang baik, tanaman-tanamannya subur dengan seizin Allah;
dan tanah yang tidak subur, tanaman-tanamannya hanya tumbuh merana.
Demikianlah Kami mengulangi tanda-tanda kebesaran (Kami) bagi orang-orang
yang bersyukur” [al-A’raf: 58].
Ayat ini memberikan perumpamaan untuk orang mukmin dan orang kafir.
Semua tanah adalah satu jenis, ada yang baik, lembut, dan subur, yang lunak oleh
hujan, tanah yang cocok untuk tumbuhan dan banyak hasilnya. Tetapi, ada pula yang
tandus, tidak menumbuhkan tanaman apapun, dan kalau menumbuhkan pun tidak
memberikan manfaat yang berarti bagi manusia.
Demikian juga dengan kalbu atau hati manusia, yang secara fisik terdiri dari
darah dan daging. Di antara hati manusia itu ada yang lunak (baca: mudah) menerima
nasihat, tapi ada pula yang kering dan keras serta tidak mau menerima nasihat. Maka,
hendaklah bersyukur kepada Allah orang-orang yang lunak hatinya, yang selalu
mengingat-Nya (Majma’ al-Bayan: 2/ 432).
Potongan ayat selanjutnya berbunyi; “kadzâlika nusharrifu l-âyât”
(“Demikianlah Kami mengulangi tanda-tanda kebesaran Kami”). Maknanya,
pengetahuan yang disampaikan melalui tamtsil memiliki kedudukan penting,
sebagaimana juga terdapat pada ayat selanjutnya.
4- Allah SWT berfirman: “Apakah ada salah seorang di antaramu yang ingin
kebun kurma dan anggur yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; di dalam kebun
itu dia mempunyai segala macam buah-buahan, kemudian datanglah masa tua pada
orang itu sementara dia mempunyai keturunan yang masih kecil. Maka kebun itu
ditiup angin keras yang mengandung api, lalu terbakarlah. Demikianlah Allah
menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kamu agar kamu memikirkannya” [al-Baqarah:
266].
Al-Bukhari meriwayatkan dari Ibn Abbas: Suatu hari Umar bin Khatthab
berkata kepada para sahabat Nabi as: “Tentang siapa ayat ini turun; “Apakah ada
salah seorang di antaramu yang menginginkan kebun kurma dan anggur..”?
“Allah Maha Mengetahui”, jawab mereka.
Umar marah lalu berkata: “Katakanlah, kami tahu atau tidak tahu!”.
Lalu Ibn Abbas berkata: “Dari ayat itu aku memiliki sesuatu”.
“Wahai anak saudaraku, katakanlah! Janganlah menutup diri”, kata Umar.
Ibn Abbas berkata: “Aku membuat matsal dalam amal”.
“Amal apakah itu?”, tanya Umar.
Ibn Abbas berkata: “Seorang lelaki kaya mempunyai sebuah amal ketaatan
kepada Allah, kemudian Allah mengutus setan kepadanya, kemudian ia berbuat
maksiat sehingga menenggelamkan amal-amal(baik)nya” [Shahih al-Bukhari: at-
Tafsir; Tafsir surat al-Baqarah, bab Qauluhu: Ayawaddu ahadukum.., No. 4273].
Kesimpulan pembahasan ini adalah: Perumpamaan atau penyerupaan di dalam
al-Quran memiliki beberapa ciri, antara lain: pertama, bergandengan dengan kata
matsal. Kedua, bergandengan dengan matsal yang disertai kata dharbu, yang Allah
SWT memilih dharb menjadi bagian yang besar dalam amtsâl al-Quran. Ketiga,
diiringi dengan huruf yang bermakna penyerupaan (kâf at-tasybiih). Keempat, dengan
menyebutkan materi matsal tanpa bergandengan dengan salah satu dari keduanya
(dharb atau matsal), seperti pada ayat: “wa l-baladu th-thayyibu yakhruju nabâtuhu bi
idznihi rabbihi, wa l-ladzii khabutsa lâ yakhruju illâ nakidan” (“dan tanah yang baik
yang tanamannya subur dengan seizin Allah; dan tanah yang tidak subur yang
tanamannya hanya tumbuh merana”. [al-A’raf: 58].
-9-
Maksud Dharbul Matsal
Al-Quran menggunakan dua kata, al-matsal dan al-mitsl, dalam beberapa
ayatnya, yang jumlah penggunaannya hampir delapan puluh kali. Kata al-mitsl
digunakan satu kali lebih banyak dari kata al-matsal. Kata al-amtsâl merupakan
bentuk jamak bagi keduanya. Tetapi kedua kata atau lafaz ini berbeda maksud sesuai
dengan ada tidaknya pasangan katanya (qariinah). Kalimat dalam surat al-A’raf ayat-
194: “inna l-ladziina tad’uuna min duuni llâhi ‘ibâdun amtsâlukum” (“sesungguhnya
berhala-berhala yang kamu seru selain Allah itu adalah makhluk yang lemah yang
serupa juga dengan kamu”) menunjukkan bahwa kata amtsâl pada ayat tersebut
merupakan bentuk jamak dari al-mits. Buktinya adalah, Allah menilai tuhan-tuhan
kaum musyrik seperti diri mereka dalam kebutuhan dan kemungkinan (imkân), yakni,
tuhan-tuhan buatan itu adalah makhluk atau keberadaan yang membutuhkan sebab.
Dalam al-Hasyr ayat-21 disebutkan: “tilka l-amtsâlu nadhribuhâ li n-nâsi
la’allahum yatafakkaruun” (“dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk
manusia supaya mereka berpikir”. Dalam ayat ini, kata al-amtsâl dan adh-dharb
diletakkan bergandengan. Hal ini merupakan bukti atas bentuk jamak matsal. Yang
penting dalam masalah ini adalah mempelajari makna adh-dharb dan semacamnya,
mengingat tak sedikit kata al-matsal yang bergandengan kata adh-dharb. Misalnya
dalam surat Ibrahim ayat-24: “dharaba-llâh matsalan” (“Allah telah membuat
perumpamaan kalimat yang baik”) dan “wa laqad dharabnâ li n-nâsi fi hâdza l-
qur`âni min kulli matsalin la’allahum yatafakkarun” (“Sesungguhnya telah Kami
buatkan bagi manusia dalam al-Quran ini setiap macam perumpamaan supaya mereka
dapat pelajaran.” [az-Zumar: 27].
Dalam hal ini para mufasir berbeda pendapat ketika menafsirkan kata adh-
dharb. Setelah mereka bersepakat bahwa adh-dharb dalam bahasa bermakna
penjatuhan sesuatu atas sesuatu, yaitu menjatuhkan dengan tangan atau dengan
tongkat atau dengan alat pemukul lainnya. Seperti terdapat dalam ayat: “ani dhrib bi
‘ashâka l-hajar” (“pukullah batu itu dengan tongkatmu!”). [al-A’raf: 160]. Dalam hal
ini, mereka menyebutkan beberapa segi:
1- Bahwa adh-dharb dalam masalah ini bermakna al-matsal, dan yang
dimaksud adalah at-tamtsil. Pengertian ini yang dipilih oleh Ibn Manzhur, dengan
dalil ayat: “wa dhrib lahum mastalan ashhâba l-qaryati idz jâ`ahâ l-mursalun”
[Yasin: 13], yakni: “matstsil lahum matsalan hâla ashhâbi l-qaryah…” (“buatlah bagi
mereka suatu perumpamaan, yaitu keadaan penduduk suatu negeri”), dan itu adalah
keadaan ashhâbul qaryah. Dan ayat: “yadhribu llâhu l-haqqa wa l-bâthil” [ar-Ra’d:
17], adalah: yamtsilu llâhu l-haqqa wa l-bâthil.
2- Bahwa adh-dharb bermakna sifat dan penjelasan. Sebagaimana
diriwayatkannya dari Muqatil bin Sulaiman yang menafsirkan ayat: “wa dharaba
llâhu matsalan ‘abdan mamluukan lâ yaqdiru ‘alâ syai`in” [an-Nahl: 75].
3- Bahwa adh-dharb bermakna kepercayaan dan pengukuhan. Inilah pilihan
tafsir dari Syeikh ath-Thusi (wafat 460 H) dalam at-Tibyan fi Tafsir al-Quran: 7/302;
az-Zamakhsyari dalam al-Kasyaf: 2/553, dan al-Alusi (wafat 1270 H) dalam ar-Ruuhu
al-Ma’ani: 1.207. Mereka menafsirkan ayat-73 surat al-Hajj: “yâ ayyuha n-nâsu
dhuriba matsalun fa stami’uu lah” dengan makna tersebut.
4- Bahwa adh-dharb dalam kedudukan ini termasuk dalam perkara “bepergian
dan menempuh perjalanan” (adh-dharb fi l-ardh wa qath’u l-masiir). Dharbul matsal
adalah menjadikan matsal menempuh perjalanan ke negeri-negeri, seperti dalam
dharaba fi l-ardh. Dan kata dhârib dinamakan juga mudhârib (yang berspekulasi)
(lihat, al-Hukum wa al-Amtsal: 79).
Jadi jika adh-dharb bermakna menempuh dan melintasi benua, maka dharbul
matsal adalah menjadikan perumpamaan sesuatu yang berlaku di antara kaum-kaum
dan bangsa-bangsa. Perumpamaan itu berjalan dan terus berjalan hingga menembus
kalbu-kalbu.
Pada kedudukan ini Ibn Qayim mengungkapkan beberapa kemungkinan,
antara lain: Allah SWT membuat untuk hamba-Nya perumpamaan-perumpamaan,
Rasulullah saw membuat perumpamaan-perumpamaan bagi umatnya, dan orang-
orang bijak, ulama dan pendidik pun membuat perumpamaan-perumpamaan. Lalu,
apa makna dharbul matsal?
- Dharbul matsal berasal dari kalimat: dharaba fi l-ardh (berjalan melintasi
negeri-negeri). Maka makna dharbul matsal adalah menjadikan matsal tersebar,
tersiar dan berjalan melintasi negeri-negeri. Ini yang dipilih oleh Abu Hilal dalam
mukadimah kitabnya. (lihat: Jamharatu al-Amtsal).
- Dharbul matsal bisa bermakna menegakkan matsal bagi masyarakat dengan
cara memasyhurkannya, yakni dengan menggunakannya sebagai argumentasi dalam
benak dan pikiran, sebagaimana mata-mata mereka menjadi dalil atas sesuatu yang
ditegakkan. Dalam konteks ini, dharbul matsal berasal dari perkataan mereka:
dharabtu l-khibâ` (telah kudirikan atau kupasang kemah).
Dalam surat ar-Ra’d ayat-17: “kadâlika yadhribu llâhu l-haqqa wa l-bâthil”,
yakni Allah SWT yanshibu (memasang) petunjuk kebenaran dan kebatilan serta
menjelaskan tanda-tanda keduanya, agar para mukallaf mengenal kebenaran berikut
tanda-tandanya sehingga mereka menujunya; dan agar mereka mengetahui pula
kebatilan dengan tanda-tandanya sehingga menjauhinya. Sebagaimana yang dikatakan
asy-Syarif ar-Radhi (358-406 H) dalam kitabnya Talkhish al-Bayan fi Majâzâti al-
Quran: “Terkadang dharbul matsal dimaknai sebagai membuat perumpamaan
(matsal), yang berasal dari kalimat; dharbul laban (membuat susu) dan dharbul
khatam (membuat cincin). Atau dimaknai dengan, “menetapkan sesuatu atas sesuatu”.
(lihat, Talkhish al-Bayan fi Majâzâti al-Quran: 107)
- Dharbul matsal berasal dari dharbu ad-darâhim (mencetak dirham-dirham);
yakni menempelkan huruf-huruf atau gambar atas dirham untuk dicetak dengannya.
Maksudnya, matsal dimaknai dengan kesesuaian atas suatu keadaan, yakni matsal
hadir untuk menjelaskan suatu sifat tertentu yang bersesuaian. Ringkasnya; dharbul
matsal diangkat dari beberapa kemungkinan, yaitu: (1) Bermakna sâra (berjalan); dari
dharaba fi l-ardh; atau (2) Bermakna nashaba (menegakkan); dari dharabahu li n-
nâs; atau (3) Bermakna shana’a (membuat); atau (4) Bermakna menetapkan sesuatu
atas sesuatu. (al-Amtsal fi al-Quran al-Karim: 20-21)
Dengan demikian terungkap tafsir ayat: “..Dan orang-orang yang zalim itu
berkata: “Kamu sekalian tidak lain hanyalah mengikuti seorang lelaki yang kena
sihir”. Perhatikanlah, bagaimana mereka membuat perbandingan-perbandingan
tentang kamu, lalu sesatlah mereka, mereka tidak sanggup (mendapatkan) jalan
(untuk menentang kerasulanmu)” [al-Furqan: 8-9].
Ayat ini menjelaskan sikap orang-orang musyrik yang menyifati atau
menyamakan Nabi Muhammad saw dengan seorang laki-laki yang tersihir. Tapi Allah
SWT menegaskan dalam firman-Nya: Perhatikanlah wahai Nabi, “kaifa dharabuu
laka l-amtsâl”; yakni bagaimana mereka menyifatimu sebagai orang yang tersihir.
Padahal siirah-mu bersaksi atas kebalikan dari penyifatan kaum musyrikin itu. Ayat-
ayat yang dilantunkan Nabi saw adalah firman Allah SWT, yang tidak ada
hubungannya dengan sihir, dan apa yang mereka lihat dari al-Quran sungguh menarik
akal dan memikat segenap hati. Hal itu disebabkan oleh kemanisan, keindahan dan
kemukjizatan al-Quran yang luar biasa. Lalu bagian manakah yang disebut sihir?
Dengan demikian, makna yang sesuai untuk penafsiran ayat 8-9 surat al-
Furqan di atas ialah, kata adh-dharb ditafsirkan sebagai sifat. Dan telah dikatakan
sebelumnya bahwa sifat merupakan salah satu dari makna adh-dharb, seperti
dinyatakan oleh Ibn Manzhur: “lihatlah, bagaimana mereka menyifatimu dengan
tersihir?”
Sedangkan untuk kata adh-dharb yang ditafsirkan sebagai tamtsil atau
perumpamaan (bukan sifat) dengan mengatakan: “lihatlah bagaimana mereka
memperumpamakan bagimu suatu misal atau tamtsil”, maka hal ini sama sekali tidak
sempurna. Sebab menyifati Nabi Muhammad saw dengan tersihir, bukanlah matsal
sâ`ir (perumpamaan yang berlaku/beredar), juga bukan merupakan tamtsil qiyâsi
(proporsi silogisme).
Tafsir yang serupa ialah adh-dharb dengan qath’u l-ardh (melintasi bumi atau
dunia). Kaum musyrikin tidak menyifati Nabi saw dengan itu untuk memasyhurkan
beliau, sehingga mereka mengatakan sairan fi l-ardh (berjalan atau melintasi negeri-
negeri).
-10-
Al-Amtsâl Al-Qur’âniyah dan Kesesuaiannya dengan Kondisi
Setiap pembicara, tidak diragukan lagi, dipengaruhi oleh lingkungan (situasi
dan kondisi) yang melingkupi hidupnya. Karena itu, setiap pembicaraan kemudian
dengan mudah dapat dibedakan, mana yang dari kota dan mana yang dari desa, atau
dari pedalaman. Hal ini terjadi karena lingkungan termasuk salah satu dari tiga hal
yang membentuk pribadi manusia. (dua hal yang lain adalah keluarga dan pendidikan,
penj.) Dari sisi ini seorang muhaqqiq yang ahli dalam sejarah dapat membedakan
antara syi’ir jahiliyah dengan syi’ir pada masa Islam, syi’ir pada masa Umayah
dengan syi’ir di masa Abbasiyah. Hal ini sebagai sebuah kesimpulan dari pemantulan
keadaan atas jejak sastra. Tetapi al-Quran, yang merupakan firman Allah SWT, bersih
dari ketidaksempurnaan ini. Sebab, Allah SWT adalah Pencipta segala sesuatu. Dia
Maha Suci dari pengaruh selain-Nya.
Di samping itu, al-Amtsâl al-Qur’aniyah turun sebagai hidayah bagi manusia,
dan karena itu mesti diperhatikan tujuan diturunkannya. Kita mendapati “tanda”
Mekah pada ungkapan al-Amtsâl al-Makkiyah dan “tanda” Madinah pada uraian al-
Amtsâl al-Madaniyah.
Al-Amtsal al-Makkiyah menjadi semacam balai pusat penanganan penyakit
yang melanda masyarakat Mekah. Di masa itu, misalnya, Nabi Muhammad saw
memberikan argumentasi kepada kaum musyrikin, menilai bodoh pikiran-pikiran
mereka, mengajak mereka untuk beriman kepada Tuhan Yang Esa dan hari akhir, dan
menyuruh mereka meninggalkan berhala-berhala. Dalam besar dan luasnya cakupan
pergulatan ini, al-Quran datang dengan bahasa perumpamaan yang memukau dengan
memperserupakan tuhan-tuhan buatan yang mereka pegang rumbai-rumbainya itu
dengan sarang laba-laba, yang tidak lebih kuat dari hembusan angin, dan tidak lebih
kokoh dari tetesan rintik hujan.
Allah SWT berfirman: “Perumpamaan orang-orang yang mengambil
pelindung-pelindung selain Allah adalah seperti laba-laba yang membuat rumah.
Dan sesungguhnya rumah yang paling lemah ialah rumah laba-laba kalau saja
mereka mengetahui” [Al-Ankabut: 41].
Tuhan-tuhan yang mereka jadikan sebagai benteng-benteng penjaga,
diserupakan dengan garis-garis (benang) laba-laba. Dengan itulah Allah SWT
merendahkan dan menghina musyrikin.
Sebagaimana dalam ayat lain, mereka diserupakan dengan lalat; “Hai
manusia, telah dibuat perumpamaan-perumpamaan, maka dengarkanlah olehmu
perumpamaan itu. Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah sekali-kali tidak
dapat menciptakan seekor lalatpun, walaupun mereka bersatu untuk menciptakannya.
Dan jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka, tiadalah mereka dapat merebutnya
kembali dari lalat itu. Amat lemahlah yang menyembah dan amat lemah (pula) yang
disembah” [al-Hajj: 73].
Konon kaum Quraisy menyembah 360 tuhan. Mereka memolesi tuhan-tuhan
itu dengan minyak za’faron sampai kering, lalu datanglah lalat-lalat merampas (baca:
menghisap) minyak itu, dan tuhan-tuhan mereka itu tidak mampu membela diri. Allah
SWT berfirman: “dha’ufa th-thâbi wa l-mathluub” (“begitu lemahnya si
pencari/penyeru dan yang dicari/diseru”). Yakni, si pencari adalah lalat dan yang
diseru adalah tuhan berhala.
Mastal dalam ayat ini sangat memukul kaum musyrikin, yang
mengumpamakan tuhan-tuhan mereka dengan serangga yang rendah. Dan
perumpamaan ini beredar di tengah umat manusia sejak al-Quran melontarkannya
empat belas abad silam. Matsal Qurani kerapkali ditujukan kepada para pembesar,
pejuang, dan tokoh-tokoh cendekiawan, dan selalu unggul mengatasi orang-orang
yang tertipu oleh kebanggaan, kebatilan, dan jebakan atas nama penemuan-penemuan
seputar keluar-biasaan pengetahuan. Segolongan orang menyalin hasil temuan
mereka, bergabung untuk membunuh lalat, atau membebaskan dan melindungi
sesuatu yang diserang oleh rombongan serangga kecil ini. Mereka mematikan
serangga kecil itu dengan hawa yang disemprotkan dari pemusnah serangga. Namun,
lalat-lalat tetap saja mampu menyangkal penemuan pemusnah kehidupan serangga
tersebut, dan dengan sentuhan lembutnya justru terus saja membawa kuman penyakit
yang mematikan kepada mereka. (ash-Shuratu al-Fanniyah fi al-matsal al-Qurani:
99, menukil dari kitab al-Quran wa Qadhaya al-Insan karya Bintu asy-Syathi`).
Demikianlah ayat Kitab Suci memberi perumpamaan tentang lemahnya
penyembahan orang-orang musyrik dan kafir (kaum penolak kebenaran) kepada
patung-patung berhala. Sedangkan mengenai orang-orang yang condong memilih
dunia dan berpaling dari akhirat, al-Quran membawakan sebuah perumpamaan yang
menunjukkan bahwa dunia hanyalah seperti bayangan, yang akan hilang dan cepat
berlalu. Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya perumpamaan kehidupan duniawi itu,
adalah seperti (hujan) yang Kami turunkan dari langit, lalu tumbuhlah dengan
suburnya karena air itu tanam-tanaman bumi, di antaranya ada yang dimakan
manusia dan binatang ternak. Hingga apabila bumi itu telah sempurna
keindahannya, dan memakai (pula) perhiasannya, dan pemilik-pemiliknya mengira
bahwa mereka pasti menguasainya, tiba-tiba datanglah kepadanya azab Kami di
waktu malam atau siang, lalu Kami jadikan (tanaman-tanamannya itu) laksana
tanaman yang sudah disabit, seakan-akan belum pernah tumbuh kemarin.
Demikianlah Kami menjelaskan tanda-tanda (Kami) kepada orang-orang yang
berpikir” [Yunus: 24]. Ayat yang mengutarakan al-amtsâl untuk tauhid dan cara
pandang manusia terhadap pilihan hidupnya ini (dunia atau akhirat) banyak turun di
Mekah.
Tanda “Madinah” tampak pada al-amtsâl yang turun di Madinah. Amtsâl ini
ditujukan untuk menangani penyakit-penyakit yang melanda masyarakat Madinah dan
sekitarnya waktu itu; yaitu penyakit-penyakit moral yang memunculkan kesyirikan,
keberhalaan, dan pengingkaran terhadap kehidupan ukhrawi. Karena itu, wahyu yang
turun di Madinah memusatkan pada penanganan jenis penyakit-penyakit tersebut
dengan tamtsil-tamtsil yang akan diisyaratkan selanjutnya.
Ketika berhijrah, Rasulullah saw dan para sahabat setianya diganggu oleh
sepak terjang kaum munafik yang terus menyimpan kekufuran dalam tampilan
keislaman dengan tujuan merusak pemerintahan Islam yang baru dibangun. Dalam
masa penuh ujian bagi golongan mukminin itu tampak bahwa al-amtsal al-Madaniyah
dalam banyak ayat menyerang kaum munafik dan menjelaskan aksi-aksi mereka
terhadap Islam dan muslimin. Di antaranya; Allah SWT membuat perumpamaan bagi
mereka dengan api dan hujan: “Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang
menyalakan api. Maka setelah api itu menerangi sekelilingnya, Allah hilangkan
cahaya (yang menyinari) mereka itu, dan membiarkan dalam kegelapan (sehingga
mereka) tidak dapat melihat. Mereka tuli, bisu dan buta, maka tidaklah mereka akan
kembali (ke jalan yang benar). Atau seperti (orang-orang yang ditimpa) hujan lebat
dari langit disertai gelap gulita, guruh dan kilat; mereka menyumbat telinganya
dengan jari-jemarinya, karena (mendengar suara) petir, sebab takut akan mati. Dan
Allah meliputi orang-orang yang kafir” [al-Baqarah: 17-19].
Ketika itu, di dalam masyarakat Madinah terdapat tiga kelompok bangsa
Yahudi, yaitu bani Qainuqa’, bani Nadhir, dan bani Quraidhah. Mereka memiliki
watak membuat makar dan tipu muslihat. Sebenarnya, mereka sudah membaca tanda-
tanda kerasulan Muhammad saw dalam kitab Taurat, tapi mereka mengabaikan ayat-
ayat Taurat tersebut dan hanya memandangnya sebagai bacaan yang tidak enak dibaca
dan ditulis. Sifat kaum Yahudi ini digambarkan di dalam al-Quran melalui
penyerupaan mereka dengan keledai yang membawa kitab-kitab berharga tanpa
mengambil manfaat sedikitpun darinya. Allah SWT berfirman: “Perumpamaan
orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat, tapi kemudian mereka tidak
memikulnya adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal. Sangat
buruk sifat kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah itu. Dan Allah tidak memberi
petunjuk kepada kaum yang zalim”. [al-Jum’ah: 5]
Di sisi lain, kaum muslimin yang hidup bersama Nabi Muhammad saw
memang tidak sepi dari berbagai ujian. Karena itu, mereka selalu membutuhkan
hidayah ilahiyah yang dapat memperbaiki akhlak mereka. Sebagian dari mereka yang
menginfakkan harta karena riyâ` dan tidak mengharap keridhaan Allah, atau berinfak
dengan rasa pamrih dan menyakiti hati si penerima, diberi teguran keras melalui
perumpamaan khusus. Sebuah perumpamaan yang menjelaskan sikap penginfak di
jalan Allah dan penginfak yang berpamrih, riya’, dan menyakiti si penerima tampak
dalam ayat berikut ini: “Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang
yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang
menumbuhkan tujuh butir, pada tiap-tiap butir (tumbuh lagi) seratus biji. Allah
melipat gandakan (pahala) bagi siapa saja yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha luas
(karunianya) lagi Maha mengetahui”. [al-Baqarah: 261].
Sedangkan ayat selanjutnya menjelaskan: “Hai orang-orang beriman,
janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya
dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya
karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian.
Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian
batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka
tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak
memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir” [al-Baqarah: 264].
Inilah gambaran sekilas tentang al-Amtsâl al-Quraniyah yang turun sebelum
dan sesudah Hijrah. Selanjutnya akan dibasah al-amtsal dalam tafsir satu persatu ayat.
-11-
Mengingkari Al-Amtsâl Al-Qur`âniyah
Sebagian ayat al-Quran mengungkapkan adanya kelompok yang mengingkari
perumpamaan al-Quran. Hal itu disebabkan oleh fakta penyingkapan al-Quran atas
niat (busuk) kaum musyrik dan munafik dan mengungkapkan realitas keyakinan
mereka serta menilai bodoh cara berpikir mereka. Pengetahuan yang disampaikan al-
Quran itulah yang membuat para pengingkar kebenaran gelisah dan terguncang. Yang
demikian itu, secara mengesankan diajarkan oleh Allah SWT melalui perumpamaan
binatang seperti lalat, laba-laba, dan nyamuk, atau anjing dan keledai.
Allah SWT berfirman: “Maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu
menghalaunya dijulurkan lidahnya dan jika kamu biarkan dia menjulurkan lidahnya
(juga)” [al-A’raf: 176].
“Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat, kemudian
mereka tiada memikulnya adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab tebal”
[al-Jum’ah: 5].
Allah SWT memperlihatkan pengingkaran mereka dalam firman-Nya:
“Sesungguhnya Allah tiada segan membuat perumpamaan berupa nyamuk atau yang
lebih rendah dari itu. Adapun orang-orang yang beriman, maka mereka yakin bahwa
perumpamaan itu benar dari Tuhan mereka, tetapi mereka yang kafir mengatakan
apakah maksud Allah menjadikan ini untuk perumpamaan? Dengan perumpamaan itu
banyak orang yang disesatkan Allah, dan dengan perumpamaan itu (pula) banyak
yang diberi-Nya petunjuk. Dan tidak ada yang disesatkan Allah kecuali orang-orang
yang fasik” [al-Baqarah: 26].
Az-Zamakhsyari berkata: “Tamtsil dibuat untuk menyingkap makna-makna
dan menguraikan yang samar menjadi tampak. Jika yang diperumpamakan besar,
maka begitu pula dengan yang dituju oleh perumpamaan itu. Demikian juga jika
perumpamaannya kecil atau rendah, ia pun berlaku demikian.” (al-Itqan fi ‘Ulumi al-
Quran: 2/1042).
Barangkali karena kesamaran makna ayat itu masih terjadi sampai masa kini,
sebagian masyarakat mengingkari perumpamaan dengan jenis serangga dan perkara-
perkara yang rendah dan hina lainnya. Mereka lalai bahwa ‘ibrah yang terkandung di
dalam al-amtsal bukanlah pada perantara-perantaranya, tapi pada hakikat dan
tujuannya. Tidak ada orang yang mengetahui rahasia kemukjizatan susunan kerangka
tubuh nyamuk sebagai sebuah perumpamaan, dan tidak pula mengetahui pembuatan,
perencanaan dan persiapan di dalam susunan kerangka tersebut. Mungkin saja, dalam
ketidak-tampakan pandangan mata, terdapat rahasia tertentu yang tidak dimiliki oleh
kebanyakan kerangka binatang lain yang secara fisik lebih besar. Yang pasti, pembuat
semua itu adalah Allah SWT, dan cukuplah demikian. “Allah, adalah Tuhan (bagi)
yang kecil dan yang besar, Pencipta nyamuk dan gajah. Mukjizat pada nyamuk
substansinya sama dengan mukjizat pada gajah. Nyamuk adalah mukjizat kehidupan,
memiliki rahasia yang tertutup yang tidak diketahui kecuali oleh Allah SWT. ‘Ibrah
di dalam perumpamaan ayat bukan dilihat dari ukuran fisik (besar dan kecilnya)
contoh perumpamaannya, tetapi ia semata-mata alat dan perantara untuk penerangan
dan pencerahan. Tiada dalam pembuatan perumpamaan itu sesuatu yang tercela, dan
tiada tempat rasa malu untuk menyebutkannya. Allah –Yang begitu agung hikmah-
Nya– hendak menguji kalbu dan jiwa manusia”. (Fi Zhilalu al-Quran: 1/57).
-12-
Perumpamaan-Perumpamaan Al-Quran
Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa perumpamaan yang beredar
(matsal sâ`ir) bukanlah tamtsil yang ada dalam al-Quran. Ketika al-Quran
menyebutkan: “Dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia
supaya mereka berpikir” [al-Hasyr: 21], ia menghendaki tamtsil, bukan matsal sâ`ir.
Dan tamtsil ini adalah sebuah metode Ulumul Quran dan merupakan bab besar
tentang pengetahuan-pengetahuan.
Tidak sedikit para peneliti dan ulama menuliskan penjelasan rumus-rumusnya
dalam kitab-kitab dan makalah-makalah. Sebagiannya telah disebutkan dalam deretan
daftar khusus, meskipun mungkin masih lebih banyak lagi dari apa dapat disebutkan
itu.
Untuk dapat memahami ayat-ayat yang akan diuraikan dalam pembahasan
buku ini, akan disampaikan perumpamaan al-Quran (tamtsil Quraniyah) menurut
urutan surat-surat yang memuatnya. Adalah DR Muhammad Husein Ali ash-Shaghir
yang menghimpun ayat-ayat perumpamaan itu dalam bukunya, ash-Shuratu al-
Fanniyah fi al-Matsal al-Qurani, meskipun ia melewati beberapa ayat karena
dianggap bukan bagian dari tamtsil. Marilah kita perhatikan ayat-ayat al-Quran
sebagai berikut:
1- “Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api, maka setelah
api itu menerangi sekelilingnya Allah hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka,
dan membiarkan dalam kegelapan, tidak dapat melihat. Mereka tuli, bisu dan buta,
maka tidaklah mereka akan kembali (kejalan yang benar)” [al-Baqarah: 17-18].
2- “Atau seperti (orang-orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit disertai guruh
dan kilat serta gelap gulita; mereka menyumbat telinga dengan jari-jemarinya karena
suara petir itu; sebab mereka takut akan mati. Dan Allah meliputi orang-orang yang
kafir. Hampir-hampir kilat itu menyambar penglihatan mereka. Setiap kali kilat itu
menyinari mereka, mereka berjalan di bawah sinar itu, dan bila gelap menimpa
mereka, mereka berhenti. (padahal) Kalau Allah menghendaki, niscaya Dia
melenyapkan pendengaran dan penglihatan mereka. Sesungguhnya Allah berkuasa
atas segala sesuatu” [al-Baqarah: 19-20].
3- “Sesungguhnya Allah tidak segan membuat perumpamaan berupa nyamuk atau
yang lebih rendah dari itu. Adapun orang-orang yang beriman maka mereka yakin
bahwa perumpamaan itu benar dari Tuhan mereka. Tetapi mereka yang kafir
mengatakan, apakah maksud Allah menjadikan itu untuk perumpamaan? Dengan
perumpamaan itu banyak orang yang disesatkan, dan dengan perumpamaan itu
(pula) banyak yang diberi petunjuk. Dan tidak ada yang disesatkan Allah kecuali
orang-orang fasik, (yaitu) orang-orang yang melanggar perjanjian Allah sesudah
perjanjian itu teguh, memutuskan apa-apa yang diperintahkan Allah untuk
menghubungkannya, dan membuat kerusakan di muka bumi. Mereka itulah orang-
orang yang merugi” [al-Baqarah: 26-27].
4- “Dan perumpamaan (orang yang menyeru) orang-orang kafir adalah seperti
pengembala yang memanggil binatang yang tidak mendengar selain panggilan dan
seruan. Mereka tuli, bisu dan buta, maka (oleh sebab itu) mereka tidak mengerti” [al-
Baqarah: 171].
5- “Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang
kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang sebelum kamu? Mereka
ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-
macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman
bersamanya: ‘Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat!’”. [al-
Baqarah: 214].
6- “Atau apakah( kamu tidak memperhatikan) orang yang melalui suatu negeri yang
(temboknya) telah roboh menutupi atapnya. Dia berkata: Bagaimana Allah
menghidupkan kembali negeri ini setelah roboh?” Maka Allah mematikan orang itu
seratus tahun, kemudian menghidupkannya kembali. Allah bertanya: “Berapakah
lamanya kamu tinggal di sini?” Ia menjawab: “Saya tinggal di sini sehari atau
setengah hari”. Allah berfirman: “Sebenarnya kamu telah tinggal di sini seratus
tahun lamanya; lihatlah kepada makanan dan minumanmu yang belum lagi berubah;
dan lihatlah kepada keledai kamu (yang telah menjadi tulang): Kami akan
menjadikan kamu sebagai tanda kekuasaan Kami bagi manusia; dan lihatlah kepada
tulang belulang keledai itu, kemudian Kami menyusunnya kembali, kemudian Kami
menutupnya dengan daging.” Maka tatkala telah nyata kepadanya (bagaimana Allah
menghidupkan yang telah mati) dia pun berkata: “Saya yakin bahwa Allah Maha
Kuasa atas segala sesuatu”[al-Baqarah: 259].
7- “Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan di
jalan Allah) adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir,
pada tiap-tiap bulir (tumbuh lagi) seratus biji. Allah melipatgandakan (karunia) bagi
siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha
Mengetahui.” [al-Baqarah: 261].
8- “Hai orang-orang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekah
dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang
yang menafkahkan hartanya karena riya’ kepada manusia dan (dia) tidak beriman
kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpaman orang itu seperti batu licin yang
di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia
bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka
usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir”[al-
Baqarah: 264].
9- “Dan perumpamaan orang-orang yang membelanjakan hartanya karena mencari
keridhaan Allah dan untuk keteguhan jiwa, seperti sebuah kebun yang terletak di
dataran tinggi yang di siram oleh hujan lebat, maka kebun itu menghasilkan buahnya
dua kali lipat. Jika hujan lebat tidak menyiraminya, maka hujan gerimis (pun
memadai). Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu perbuat.” [al- Baqarah: 265].
10- “Apakah ada salah seorang di antara kamu yang ingin mempunyai kebun kurma
dan anggur yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; di dalam kebun itu dia
memiliki segala macam buah-buahan, kemudian datanglah masa tua pada orang itu
sedang dia mempunyai keturunan yang kecil-kecil. Maka kebun itu ditiup angin keras
yang mengandung api, lalu terbakar. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya
kepada kamu supaya kamu memikirkannya.” [al-Baqarah: 266].
11- “Sesungguhnya misal (penciptaan) ‘Isa di sisi Allah, adalah seperti (penciptaan)
Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya:
“Jadilah” (seorang manusia), maka jadilah dia.” [al-Imran: 59].
12- “Perumpamaan harta yang mereka nafkahkan di dalam kehidupan dunia ini
adalah seperti perumpamaan angin yang mengandung hawa sangat dingin, yang
menimpa tanaman kaum yang menganiaya diri sendiri, lalu angin itu merusaknya.
Allah tidak menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka
sendiri.” [al-Imran: 117].
13- “Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami hidupkan dan Kami
berikan kepadanya cahaya terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di
tengah-tengah masyarakat, adalah serupa dengan orang yang keadaannya berada
dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar dari kegelapan itu?
Demikianlah Kami jadikan orang yang kafir itu memandang baik apa yang telah
mereka kerjakan” [al-An’am: 122].
14- “Dan tanah yang baik, tanaman-tanamannya subur dengan seizin Allah; dan
tanah yang tidak subur, tanaman-tanamannya hanya tumbuh merana. Demikianlah
Kami mengulangi tanda-tanda kebesaran (Kami) bagi orang-orang yang bersyukur”
[al-A’Raf: 58].
15- “Dan beritakanlah kepada mereka tentang orang yang telah Kami berikan ayat-
ayat Kami (pengetahuan tetang isi al-Kitab), kemudian dia melepaskan diri dari ayat-
ayat itu, lalu dia diikuti oleh setan (sampai dia tergoda), maka jadilah dia termasuk
orang-orang yang sesat. Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami
tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan
menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing. Jika
kamu menghalaunya dijulurkan lidahnya dan jika kamu biarkan dia menjulurkan
lidahnya (juga). Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-
ayat Kami. Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berpikir.
Amat buruklah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan
kepada diri mereka sendirilah mereka berbuat zalim.” [al-A’Raf: 175-177].
16- “Sesungguhnya perumpaman kehidupan dunia itu adalah seperti air (hujan) yang
Kami turunkan dari langit, lalu tumbuhlah dengan suburnya tanam-tanaman bumi
karena air, yang di antaranya ada yang di makan manusia dan binatang ternak.
Hingga apabila bumi itu telah sempurna keindahannya, dan memakai (pula)
perhiasannya, dan pemilik-pemiliknya mengira bahwa pasti menguasainya, tiba-tiba
datanglah azab Kami kepadanya di saat malam atau siang, lalu Kami jadikan
(tanamannya) laksana tanaman yang sudah disabit, yang seakan-akan belum pernah
tumbuh sebelumnya. Demikianlah Kami menjelaskan tanda-tanda kekuasaan (Kami)
kepada orang-orang yang berpikir”[Yunus: 24].
17- “Perbandingan kedua golongan itu (orang-orang kafir dan orang-orang
mukmin), seperti orang buta dan tuli dengan orang yang dapat melihat dan
mendengar. Adakah kedua golongan itu sama keadaan dan sifatnya? Maka tidakkah
kamu mengambil pelajaran (dari pada perbandingan itu)?” [Hud: 24].
18- “Hanya bagi Allah-lah (hak mengabulkan) do’a yang benar. Dan berhala-berhala
yang mereka sembah selain Allah tidak dapat memperkenankan sesuatupun bagi
mereka, (keadaan mereka) seperti orang yang membukakan kedua telapak tangannya
ke dalam air supaya air sampai ke mulutnya, padahal air itu tidak dapat sampai ke
mulutnya. Dan do’a (ibadat) orang-orang kafir itu, hanyalah sia-sia belaka” [ar-
Ra’d: 14].
19- “Allah telah menurunkan air (hujan) dari langit, maka mengalirlah air di lembah-
lembah menurut ukurannya, maka arus itu membawa buih yang mengembang. Dan
dari apa (logam) yang mereka lebur dalam api untuk membuat perhiasan atau alat-
alat, ada (pula) buihnya seperti buih arus itu. Demikianlah Allah membuat
perumpamaan (bagi) yang benar dan batil. Buih itu akan hilang sebagai sesuatu yang
tidak berharga; sedangkan yang memberi manfaat kepada manusia, ia tetap di bumi.
Demikianlah Allah membuat perumpamaan-perumpamaan.” [ar-Ra’d: 17].
20- “Perumpamaan surga yang dijanjikan kepada orang-orang yang bertakwa ialah
(seperti taman) yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; pohonnya tak henti-henti
berbuah berikut naungannya (demikian pula). Itulah tempat kesudahan bagi orang-
orang bertakwa; sedang tempat kesudahan bagi orang-orang kafir adalah neraka.”
[ar-Ra’d: 35].
21- “Orang-orang yang kafir kepada Tuhannya, amalan-amalan mereka seperti abu
yang ditiup angin dengan keras pada suatu hari yang berangin kencang. Mereka
tidak dapat mengambil manfaat sedikitpun dari apa yang telah mereka usahakan (di
dunia). Yang demikian itu adalah kesesatan yang jauh.” [Ibrahim: 18].
22- “Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan
kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya
(menjulang) ke langit. Pohon itu memberikan buahnya pada tiap musim dengan seizin
Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya
mereka selalu ingat.” [Ibrahim: 24-25].
23- “Dan perumpamaan kalimat yang buruk seperti pohon yang buruk, yang telah
dicabut akar-akarnya dari permukaan bumi; dia tidak dapat tetap (tegak) sedikitpun”
[Ibrahim: 26].
24- “Dan kamu telah berdiam di tempat-tempat kediaman orang-orang yang
menganiaya diri mereka sendiri, telah nyata bagimu bagaimana Kami berbuat
terhadap mereka, dan telah Kami berikan kepadamu beberapa perumpamaan”
[Ibrahim: 45].
25- “Orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat, mempunyai sifat
yang buruk; dan Allah mempunyai sifat yang maha tinggi; dan Dia-lah Yang Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana” [an-Nahl: 60].
26- “Allah membuat perumpamaan melalui seorang hamba sahaya yang dimiliki,
yang tidak dapat bertindak terhadap sesuatupun, dan seseorang yang Kami beri rezki
yang baik, lalu dia menafkahkan sebagian dari rezki itu secara sembunyi dan terang-
terangan. Adakah mereka itu sama? Segala puji hanya bagi Allah, tetapi kebanyakan
mereka tidak mengetahui.” [an-Nahl: 75].
27- “Dan Allah membuat (pula) perumpamaan dengan dua orang laki-laki; yang
seorang bisu, tidak dapat berbuat apa-apa dan menjadi beban atas penanggungnya,
ke mana saja dia disuruh oleh penanggungnya itu, dia tidak dapat mendatangkan
kebajikan apapun. Samakah orang itu dengan orang yang menyuruh berbuat
keadilan, dan yang selalu berada di atas jalan yang lurus?” [an-Nahl: 76].
28- “Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benang
yang sudah dipintalnya dengan kuat hingga menjadi cerai berai kembali. Kamu
menjadikan sumpah (perjanjian)mu sebagai alat penipu di antaramu, disebabkan
adanya satu golongan yang lebih banyak jumlahnya dari golongan yang lain.
Sesungguhnya Allah hanya menguji kamu dengan hal itu. Dan sesungguhnya di hari
kiamat akan dijelaskan kepadamu apa yang dahulu kamu perselisihkan itu.” [an-
Nahl: 91-92].
29- “Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang
dahulunya aman dan tenteram, rezki yang melimpah-ruah datang kepada
penghuninya dari segenap tempat, tetapi mereka mengingkari nikmat-nikmat Allah;
karena itu Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan,
disebabkan apa yang selalu mereka perbuat” [an-Nahl: 112].
30- “Dan berikanlah kepada mereka sebuah perumpamaan dua orang laki-laki. Kami
jadikan bagi seorang di antara keduanya (yang kafir) dua buah kebun anggur yang
dikelilingi dengan pohon-pohon kurma, dan di antara kedua kebun itu Kami buatkan
ladang. Kedua kebun itu menghasilkan buah, dan kebun itu tidak pernah kurang
buahnya sedikitpun, dan Kami alirkan sungai di celah-celah kedua kebun itu, dan dia
mempunyai kekayaan besar. Maka ia berkata kepada kawannya (yang mukmin) ketika
sedang bercakap-cakap: “Hartaku lebih banyak daripada hartamu dan pengikutku
lebih kuat”. Dan dia memasuki kebunnya sedang dia zalim terhadap dirinya sendiri;
ia berkata: “Aku kira kebun ini tidak akan binasa selama-lamanya, dan aku tidak
percaya hari kiamat itu akan datang, dan jika sekiranya aku dikembalikan kepada
Tuhanku, pasti aku akan mendapat tempat kembali yang lebih baik daripada kebun-
kebunku ini”. Kawannya (yang mukmin) berkata kepadanya: “Apakah kamu kafir
kepada (Tuhan) yang menciptakan kamu dari tanah, kemudian dari setetes air mani,
lalu Dia menjadikan kamu seorang laki-laki yang sempurna? Tetapi aku percaya
bahwa: Dialah Allah, Tuhanku, dan aku tidak mempersekutukan apapun dengan
Tuhanku. Dan mengapa kamu tidak mengatakan – ketika kamu memasuki kebunmu
itu – masya Allah, tidak ada kekuatan kecuali dengan (pertolongan) Allah? Jika kamu
anggap aku lebih sedikit daripada kamu dalam hal harta dan pengikut, maka mudah-
mudahan Tuhanku, akan memberi kepadaku (kebun) yang lebih baik daripada
kebunmu (ini); dan mudah-mudahan Dia mengirimkan ketentuan (petir) dari langit
kepada kebun-kebunmu, hingga (kebun itu) menjadi tanah yang licin; atau airnya
menjadi surut ke dalam tanah, sehingga kamu sekali-kali tidak dapat menemukannya
lagi”. Dan harta kekayaan orang yang ingkar pun dibinasakan, lalu ia membolak-
balikkan kedua tangannya (menyesal) terhadap apa yang ia telah belanjakan untuk
itu, sedang pohon anggur itu roboh bersama para-paranya dan dia berkata: “Aduhai
kiranya dulu aku tidak mempersekutukan Tuhan dengan seorangpun”. Dan tidak ada
bagi dia segolonganpun yang akan menolongnya selain Allah; dan sekali-kali ia tidak
dapat membela dirinya. Di sana pertolongan itu hanya dari Allah yang Haq. Dia
adalah sebaik-baik Pemberi pahala dan sebaik-baik Pemberi balasan.” [al-Kahfi: 32-
43].
31- “Dan berilah perumpamaan kepada mereka (manusia), bahwa kehidupan dunia
adalah laksana air hujan yang Kami turunkan dari langit, maka menjadi suburlah
tumbuh-tumbuhan di muka bumi ini karenanya, kemudian tumbuh-tumbuhan itu
menjadi kering karena diterbangkan angin. Dan adalah Allah Maha kuasa atas
segala sesuatu” [al-Kahfi: 45].
32- “Hai manusia, telah dibuat perumpamaan-perumpamaan, maka dengarkanlah
olehmu perumpamaan itu. Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah sekali-
kali tidak dapat menciptakan seekor lalatpun, walaupun mereka bersatu untuk
menciptakannya. Dan jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka, tiadalah mereka
dapat merebutnya kembali dari lalat itu. Amat lemahlah yang menyembah dan amat
lemah (pulalah) yang disembah.” [al-Hajj: 73].
33- “Allah (pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah,
adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar.
Pelita itu berada di dalam kaca, dan kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya)
seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya,
(yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di
sebelah barat(nya), yang minyaknya saja hampir-hampir menerangi, walaupun tidak
disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada
cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah membuat perumpamaan-
perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.” [an-Nur:
35].
34- “Dan untuk orang-orang yang kafir, amal-amal mereka seperti fatamorgana di
atas tanah datar yang disangka air oleh orang-orang yang haus dahaga. Bila air itu
didatangi, dia tidak mendapati sesuatu apapun. Dan dia mendapati (ketetapan) Allah
di sisinya, lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan amal-amal dengan cukup,
dan Allah sangat cepat perhitungan-Nya.” [an-Nur: 39].
35- “Atau seperti gelap gulita di laut dalam, yang diliputi ombak, yang di atasnya
ombak (pula), di atasnya (lagi) awan; kegelap-gulitaan yang bertumpuk-tumpuk.
Apabila dia mengeluarkan tangannya, dia tidak dapat melihatnya, (dan) barangsiapa
yang tidak diberi cahaya (petunjuk) Allah, dia tidak akan mempunyai cahaya
sedikitpun.” [an-Nur: 40].
36- “Perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung selain Allah
adalah seperti laba-laba yang membuat rumah. Dan sesungguhnya rumah yang
paling lemah adalah rumah laba-laba, jika mereka mengetahui.” [al-Ankabut: 41].
37- “Dan Dia-lah yang menciptakan (manusia) dari permulaan, kemudian
mengembalikan (menghidupkan)nya kembali, dan menghidupkan kembali itu lebih
mudah bagi-Nya. Dan bagi-Nya sifat yang Mahatinggi di langit dan di bumi; dan Dia
adalah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” [ar-Rum: 27].
38- Dia membuat perumpamaan untuk kamu dari dirimu sendiri. Apakah ada di
antara hamba-sahaya yang dimiliki oleh tangan kananmu, sekutu bagimu dalam
(memiliki) rezki yang telah Kami berikan kepadamu, maka kamu pun sama dengan
mereka dalam (hak mempergunakan) rezki itu, dan kamu takut kepada mereka
sebagaimana kamu takut kepada dirimu sendiri. Demikianlah Kami jelaskan ayat-
ayat bagi kaum yang berakal.” [ar-Rum: 28].
39- “Dan tidak sama (antara) dua laut; yang satu tawar, segar, dan sedap diminum
dengan air lain, yang asin lagi pahit. Dari masing-masing laut itu kamu dapat
memakan daging yang segar dan dapat mengeluarkan perhiasan yang kamu bisa
memakainya, dan pada masing-masingnya kamu melihat kapal-kapal berlayar
membelah laut supaya kamu dapat mencari karunia-Nya dan supaya kamu
bersyukur.” [Fathir: 12].
40- “Dan tidaklah sama orang yang buta dengan orang yang melihat. Dan tidak sama
gelap gulita dengan cahaya. Dan tidak sama yang teduh dengan yang panas terik.
Dan tidak (pula) sama orang-orang yang hidup dan orang-orang yang mati.
Sesungguhnya Allah memberikan pendengaran kepada siapa yang dikehendaki-Nya
dan kamu sekali-kali tidak akan sanggup menjadikan orang yang di dalam kubur
dapat mendengar.” [Fathir: 19-22].
41- “Dan buatlah bagi mereka suatu perumpamaan, yaitu penduduk suatu negeri
ketika utusan-utusan datang kepada mereka; (yaitu) ketika Kami mengutus kepada
mereka dua orang utusan, lalu mereka mendustakan keduanya; kemudian Kami
kuatkan dengan (utusan) yang ketiga. Ketiga utusan itu berkata: “Sesungguhnya kami
adalah orang-orang yang diutus kepadamu”. Mereka menjawab: “Kamu tidak lain
hanyalah manusia seperti kami dan Allah Yang Maha Pemurah tidak menurunkan
sesuatupun, kamu tidak lain hanyalah pendusta belaka”. Para utusan itu berkata:
“Tuhan kami mengetahui bahwa sesungguhnya kami adalah orang yang diutus
kepada kamu, dan kewajiban kami tidak lain hanyalah menyampaikan (perintah
Allah) dengan jelas. Mereka menjawab: “Sesungguhnya kami bernasib malang
karena kamu, sesungguhnya jika kamu tidak berhenti (menyeru kami), niscaya kami
akan merajam kamu dan kamu pasti akan mendapat siksa yang pedih dari kami”.
Utusan-utusan itu berkata: “kemalanganmu adalah karena kamu sendiri. Apakah jika
kamu diberi peringatan (maka kamu bernasib malang)? Sebenarnya kamu adalah
kaum yang melampaui batas”. Dan datanglah dari ujung kota seorang laki-laki, yang
sambil bergegas mengatakan: “Hai kaumku, ikutilah utusan-utusan itu, ikutilah
orang yang tidak pernah meminta balasan kepadamu; dan mereka adalah orang-
orang yang mendapat petunjuk. Mengapa aku tidak menyembah (Tuhan) yang telah
menciptakanku dan yang hanya kepada-Nya lah kamu (semua) akan dikembalikan?
Mengapa aku menyembah tuhan-tuhan selain-Nya yang jika (Allah) Yang Maha
Pemurah menghendaki kemudaratan terhadapku niscaya syafaat mereka tidak
memberi manfaat sedikitpun bagi diriku dan mereka tidak dapat menyelamatkanku?
Kalau begitu, sesungguhnya aku pasti berada dalam kesesatan yang nyata.
Sesungguhnya aku telah beriman kepada Tuhanmu; maka dengarkanlah (pengakuan
keimanan)ku. Dikatakan (kepadanya): “Masuklah ke surga” Ia berkata: “Alangkah
baiknya sekiranya kaumku mengetahui, apa yang menyebabkan Tuhanku memberi
ampun kepadaku dan menjadikan aku termasuk orang-orang yang dimuliakan”. Dan
Kami tidak menurunkan kepada kaumnya sesudah dia (meninggal) suatu pasukanpun
dari langit, dan Kami tidak layak menurunkannya. Tidak ada siksaan atas mereka
melainkan satu teriakan saja; maka tiba-tiba mereka semuanya mati. Alangkah
besarnya penyesalan terhadap hamba-hamba itu, tiada datang seorang rasulpun
kepada mereka melainkan mereka selalu memperolok-olokkannya.” [Yasin: 13-30].
42- “Dan apakah manusia tidak memperhatikan bahwa Kami menciptakannya dari
air (mani), maka tiba-tiba ia menjadi penantang yang nyata. Dan dia membuat
perumpamaan bagi Kami; dan dia lupa kepada kejadiannya; dia berkata: “Siapakah
yang dapat menghidupkan tulang-belulang, yang telah hancur luluh”. Katakanlah:
“Ia akan dihidupkan oleh Tuhan yang telah menciptakannya pertama kali. Dan Dia
Maha Mengetahui tentang seluruh makhluk.” [Yasin: 77-79].
43- “Allah membuat perumpamaan (yaitu) seorang laki-laki (budak) yang dimiliki
oleh beberapa orang yang berserikat yang berada dalam perselisihan, dan seorang
budak yang menjadi milik penuh dari seorang laki-laki (saja). Adakah kedua budak
itu sama keadaannya? Segala puji bagi Allah, tetapi kebanyakan mereka tidak
mengetahui.” [az-Zumar: 29]
44- “Padahal apabila salah seorang di antara mereka diberi kabar gembira dengan
apa yang dijadikan permisalan bagi Allah Yang Maha pemurah; jadilah mukanya
hitam pekat sedang dia amat menderita menahan sedih.…” [az-Zukhruf: 17-18]
45- “Maka tatkala mereka membuat Kami murka, Kami pun menghukum mereka.
Lalu Kami tenggelamkan mereka semuanya (di laut), dan Kami jadikan mereka
sebagai pelajaran dan contoh bagi orang-orang yang datang kemudian.” [az-
Zukhruf: 55-56]
46- “Dan tatkala putra Maryam (Isa) dijadikan perumpamaan, tiba-tiba kaummu
(Qurays) bersorak karenanya. Dan mereka berkata: “Manakah yang lebih baik
tuhan-tuhan kami atau dia (Isa)? Mereka tidak memberikan perumpamaan itu
kepadamu melainkan dengan maksud membantah saja, sebenarnya mereka adalah
kaum yang suka bertengkar. Isa tidak lain hanyalah seorang hamba yang Kami
berikan kepadanya (nikmat/kenabian) dan Kami jadikan dia sebagai tanda bukti
(kekuasaan Allah) untuk Bani Israil.” [az-Zukhruf: 57-59]
48- “Perumpamaan surga yang dijanjikan kepada orang-orang yang bertakwa, yang
di dalamnya ada sungai-sungai dari air yang tidak pernah berubah rasa dan baunya,
sungai-sungai dari air susu yang tak pernah berubah rasanya, sungai-sungai dari
khamar yang lezat rasanya bagi para peminumnya dan sungai-sungai dari madu yang
disaring, dan di dalamnya mereka memperoleh segala macam buah-buahan dan
ampunan dari Tuhan mereka itu, apakah sama dengan orang yang kekal dalam
neraka dan diberi minuman dengan air yang mendidih yang memotong-motong
ususnya”. [Muhammad: 15]
51- “(Mereka adalah) seperti orang-orang yang belum lama sebelum mereka telah
merasakan akibat buruk dari perbuatan mereka, dan bagi mereka azab yang pedih. ”
[al-Hasyr: 15]
52- “Bujukan orang-orang munafik itu adalah seperti (bujukan) setan ketika dia
berkata kepada manusia: “kafirlah kamu”, maka tatkala manusia itu telah kafir ia
berkata: “Sesungguhnya aku berlepas diri dari kamu karena sesungguhnya aku takut
kepada Allah, Tuhan semesta alam”. [al-Hasyr: 16]
53- “Kalau sekiranya Kami menurunkan al-Quran ini kepada sebuah gunung, pasti
kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah, disebabkan takut kepada Allah. Dan
perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia supaya mereka berpikir”.
[l-Hasyr: 21].
54- “Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan Taurat kepadanya, kemudian
mereka tidak memikulnya adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang
tebal. Amatlah buruknya perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah itu.
Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang zalim” [al-Jum’ah: 5]
55- “Allah membuat istri Nuh dan istri Luth perumpamaan bagi orang-orang kafir.
Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang saleh di antara
hamba-hamba Kami; lalu kedua istri itu berkhianat kepada kedua suaminya, maka
kedua suaminya itu tidak dapat membantu mereka sedikitpun (keluar) dari (siksa)
Allah; dan dikatakan kepada keduanya: “Masuklah ke neraka bersama orang-orang
yang masuk (neraka)” [at-Tahrim: 10].
56- “Dan Allah membuat istri Fir’aun perumpamaan bagi orang-orang yang
beriman; ia berkata: Ya Tuhanku, bangunlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam
surga dan selamatkanlah aku dari Fir’aun dan perbuatannya dan selamatkanlah aku
dari kaum yang zalim. Dan (ingatlah) Maryam putri Imran yang memelihara
kehormatannya, maka Kami tiupkan ke dalam rahimnya sebagian dari ruh (ciptaan)
Kami, dan dia membenarkan kalimat Tuhannya dan Kitab-kitab-Nya, dan adalah dia
termasuk orang-orang yang taat”. [at-Tahrim: 11-12]
57- “Dan tidak Kami jadikan penjaga neraka itu melainkan dari malaikat; dan
tidaklah Kami jadikan bilangan mereka itu melainkan untuk menjadi cobaan bagi
orang-orang kafir, agar orang-orang yang diberi al-Kitab menjadi yakin, dan supaya
orang-orang yang beriman bertambah imannya, dan supaya orang-orang yang diberi
al-Kitab dan orang-orang mukmin itu tidak ragu, dan supaya orang-orang yang di
dalam hatinya ada penyakit dan orang-orang kafir (mengatakan): “Apakah yang
dikehendaki Allah dengan bilangan ini sebagai suatu perumpamaan?” Demikianlah
Allah membiarkan sesat orang-orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk
kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan tidak ada yang mengetahui tentara
Tuhanmu melainkan Dia sendiri. Dan itu tidak lain hanyalah peringatan bagi
manusia” [al-Mudatstsir: 31].
Itulah ayat-ayat yang diambil oleh Dr. M. Husein Ali Shaghir. Meskipun
demikian, ayat-ayat yang dikumpulkannya itu belum mencakup keseluruhan, karena
masih ada ayat-ayat lain yang memuat tamtsil. Meskipun di dalam ayat-ayat lain itu
tidak terdapat kata matsal atau huruf tasybih, tetapi ayat-ayat itu membuat tamtsil dan
memenuhi rukun-rukunnya. Seperti ayat: “Orang-orang yang makan (mengambil)
riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan
lantaran (tekanan) penyakit gila.” [al-Baqarah: 275]. Dalam ayat ini, pemakan riba
diserupakan dengan orang yang dirasuki sakit gila, sehingga ia menjadi orang yang
linglung, tidak punya akal, dan kehilangan kesadaran dirinya. Dan masih ada ayat-
ayat yang lain.
Sebagian ulama mengatakan bahwa kita dapat mengambil banyak hal
bermanfaat dari dharbul al-Amtsâl di dalam al-Quran, antara lain: peringatan, nasihat,
anjuran dan pencegahan, pertimbangan, penetapan, pendekatan makna bagi akal, dan
penggambaran dalam bentuk inderawi. Al-amtsal merupakan pengambaran makna-
makna dalam bentuk yang lebih visual (baca: tampak mata), karena al-amstal
mengukuhkan sebuah tanda di dalam pikiran untuk membantu pemikiran atau
pandangan melalui reaksi panca indera. Tujuan pengungkapan seruan melalui
perumpamaan adalah penyerupaan (tasybih) yang samar dengan yang terang, yang
gaib dengan yang hadir.
Perumpamaan al-Quran mencakup penjelasan tentang perbedaan ganjaran dan
balasan, pujian dan celaan, pahala dan siksaan, meninggikan dan merendahkan
perkara, dan membenarkan dan membatilkan perkara. [Riyadhu as-Salikin: 5/461].
Berikut ini adalah ayat-ayat al-Quran yang secara jelas memuat (kata) matsal.
Kata yang terletak sebelum tanda kurung dalam ayat-ayat di bawah ini adalah arti dari
matsal atau amtsâl.
1-“Dan sesungguhnya Kami telah mengulang-ulang kepada manusia dalam al-Quran
ini tiap-tiap macam perumpamaan (al-matsal)” [al-Isra: 89].
2- “Dan sesungguhnya Kami telah mengulang-ulang bagi manusia dalam al-Quran
ini bermacam-macam perumpamaan (al-matsal)” [al-Kahfi: 54].
3- “Dan Allah mempunyai sifat (al-matsal) yang Mahatinggi; dan Dia-lah Yang Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana” [an-Nahl: 60]
4- “Dan bagi-Nya-lah sifat (al-matsal) yang maha tinggi di langit dan di bumi; dan
Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” [ar-Rum: 27].
5- “Dan sesungguhnya telah Kami buat dalam al-Quran ini segala macam
perumpamaan (al-matsal) untuk manusia” [ar-Rum: 58].
6- “Dan sesungguhnya telah Kami buatkan bagi manusia dalam al-Quran ini setiap
macam perumpamaan (al-matsal) supaya mereka dapat pelajaran” [az-Zumar: 27].
7- “Demikianlah Allah membuat perumpamaan-perumpamaan (al-amtsâl)” [ar-Ra’d:
17].
8- “Allah membuat perumpamaan-perumpamaan (al-amtsâl) itu untuk manusia
supaya mereka selalu ingat” [Ibrahim: 25].
9- “Dan telah nyata bagimu bagaimana Kami telah berbuat terhadap mereka dan
telah Kami berikan kepada kamu beberapa perumpamaan (al-amtsâl).
10- “Dan Allah membuat perumpamaan-perumpamaan (al-amtsâl) bagi manusia, dan
Allah Maha Mengetahui segala sesuatu” [an-Nur: 35].
11- “Dan perumpamaan-perumpamaan (al-amtsâl) ini Kami buatkan untuk manusia;
dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu” [Al-Ankabut: 43].
12- “Dan perumpamaan-perumpamaan (al-amtsâl) itu dibuat untuk manusia supaya
mereka berpikir” [al-Hasyr: 21].
13- “Demikianlah Allah membuat untuk manusia perbandingan-perbandingan (al-
amtsâl)”.
14- “Dan sesungguhnya Kami telah menurunkan kapada kamu ayat-ayat yang
memberi penerangan, dan contoh-contoh (matsal) dari orang-orang yang terdahulu
sebelum kamu dan pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa” [an-Nur: 34].
15- “Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang
ganjil (matsal), melainkan Kami datangkan kepadamu sesuatu yang benar dan yang
paling baik penjelasannya” [al-Furqan: 33].
Comment [ :[surat dan ayat berapa
Comment [ :[surat dan ayat berapa
Perumpamaan dalam al-Quran (al-amtsal) itu mencakup ayat-ayat yang
memuat lafaz matsal dan yang menggunakan huruf kâf at-tasybih, sebagaimana telah
disinggung sebelumnya.
-13-
Ayat-Ayat yang Berlaku sebagai Matsal
Al-Quran secara keseluruhan berisi hikmah dan nasihat, berita dan ‘ibrah.
Banyak muhaqqiq berupaya menguak hikmah-hikmah yang terkandung di dalam ayat-
ayat al-Quran, berupa perumpamaan yang beredar (amtsâl sâ’irah) pada kurun waktu
tertentu, untuk diedarkan melalui budaya lisan dalam kehidupan dan perbuatan
keseharian mereka. Telah dibicarakan sebelumnya bahwa ayat-ayat ini tidak turun
dalam bentuk matsal, sebab matsal merupakan kalam yang beredar melalui lisan atau
pengucapan sampai menjadi amtsâl sâ`irah. Yang jelas, bahwa hikmah-hikmah yang
terkandung di dalam al-Quran turun dan menyebar dengan hikmah-hikmah tinggi
tanpa ada yang menyamainya. Jadi, ketika hikmah-hikmahnya turun, belum ada
penyifatan (atau penamaan) matsal pada saat itu. Baru setelah beberapa waktu
kemudian, penyifatan matsal disandangkan atas hikmah-hikmah tersebut di sepanjang
zaman, dan menyebar melalui perantaraan lisan-lisan.
Ja’far bin Syamsul Khilafah28 (wafat tahun 622 H) telah menghimpun satu bab
tentang kata-kata al-Quran yang berlaku sebagai matsal, dan dinukil oleh as-Suyuthi
dalam kitabnya, al-Itqan, sambil menyatakan: “Ini adalah macam al-badi’29 yang
diistilahkan dengan irsâlu l-matsal (penyampaian perumpamaan).
Berikut ini adalah ayat-ayat yang dimaksud:
28 Ia adalah Abul Fadhl Ja’far bin Muhammad Syamsul Khilafah al-Afdhali al-Bashri, lahir tahun 543 H. Diterangkannya oleh Ibn Khalkan dalam kitab Wafayat al-A’yan, penulis kitab al-Adab, sebuah kitab ringkas tentang hikmah-hikmah dan amtsâl dari prosa dan sya’ir, yang dicetak di Mesir tahun 1349 H. 29 Ilmu Badi (dalam sastra Arab).
1- “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu” [al-Baqarah:
216].
2- “Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang
banyak” [al-Baqarah: 249].
3- “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya” [al-
Baqarah: 286].
4- “Kamu sekali-kali tidak sampai pada kebaktian (yang sempurna), sebelum kamu
menafkahkan sebagian hartamu yang kamu cintai” [Al Imran: 92].
5- “Kewajiban Rasul tidak lain hanyalah menyampaikan” [al-Maidah: 99].
6- “Katakanlah: “Tidak sama yang buruk dengan yang baik” [al-Maidah: 100].
7- “Untuk tiap-tiap berita (yang di bawa oleh para rasul) ada (waktu) terjadinya” [al-
An’am: 67].
8- “Kalau kiranya Allah mengetahui kebaikan ada pada mereka, tentulah Allah
menjadikan mereka dapat mendengar” [al-Anfal: 23].
9- “Tidak ada jalan sedikitpun untuk menyalahkan orang-orang yang berbuat baik”
[at-Taubah: 91].
10- “Apakah sekarang (baru kamu percaya), padahal sesungguhnya kamu telah
durhaka sejak dahulu” [Yunus: 91].
11- “Bukankah subuh itu sudah dekat” [Hud: 81].
12- “Telah diputuskan perkara yang kamu berdua menanyakannya (kepadaku)”
[Yusuf: 41].
13- “Sekarang jelaslah kebenaran itu” [Yusuf: 51].
14- “Katakanlah tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing” [al-
Isra: 84].
15- “Demikian itu adalah disebabkan perbuatan yang dikerjakan oleh kedua tangan
kamu dahulu” [al-Hajj: 10].
16- “Amat lemahlah yang menyembah dan amat lemah (pulalah) yang disembah” [al-
Hajj: 73].
17- “Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan
mereka” [ar-Rum: 32].
18- “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut” [ar-Rum: 41].
19- “Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang berterima kasih” [as-Saba’: 13].
20- “Dan dihalangi antara mereka dengan apa yang mereka ingini” [as-Saba’: 54].
21- “Dan tidak ada yang dapat memberi keterangan kepadamu sebagaimana yang
diberikan oleh Yang Maha Mengetahui” [Fathir: 14].
22- “Rencana yang jahat itu tidak akan menimpa selain orang yang
merencanakannya sendiri” [Fathir: 43].
23- “Dan dia membuat perumpamaan bagi Kami, dan dia lupa pada kejadiannya”
[Yasin: 78].
24- “Untuk kemenangan serupa ini hendaklah berusaha orang-orang yang bekerja”
[ash-Shaffat: 61].
25- “Dan amat sedikitlah mereka ini” [Shad: 24].
26- “Tidak ada yang akan menyatakan terjadinya hari itu selain Allah” [an-Najm:
58].
27- “Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula)” [ar-Rahman: 60].
28- “Maka ambillah (kejadian itu) sebagai suatu pelajaran, hai orang-orang yang
memiliki pandangan” [al-Hasyr: 2].
29- “Kamu kira mereka itu bersatu, sedang hati mereka berpecah-belah” [al-Hasyr:
14].
30- “Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya” [al-
Mudatstsir: 38].
Inilah yang dinukil oleh as-Suyuthi dalam kitabnya, al-Itqan, dari kitab al-
Aadâb, karya Ja’far bin Syamsul Khilafah. Kitab al-Aadâb menyebutkan tidak lebih
dari 69 ayat, dan ayat-ayat ini telah menjadi amtsâl sâ`irah (perumpamaan yang
beredar) di zamannya” (Al-Itqan: 2/46).
Syihabuddin Muhammad bin Ahmad Abul Fath al-Absyihi al-Mahalli (790-
850 H) dalam kitabnya, al-Mustathraf fi Fanni Mustazhraf, menyebutkan hikmah-
hikmah dalam al-Quran yang berlaku sebagai al-amtsal lebih banyak daripada yang
dinukil oleh as-Suyuthi dalam al-Itqan yang diambilnya dari al-Aadâb.
Syihabuddin berkata: “Al-amtsal memiliki kandungan paling tinggi daripada
pembicaraan lain, yang dengannya orang-orang pandai sampai (kepada maksud), dan
rangkaian tulisannya (terasa) lezat dalam menyampaikan kandungannya. Sungguh, al-
Quran telah berbicara, dan ia adalah kitab yang paling tinggi –jauh sekali– daripada
kitab-kitab lain yang diturunkan. Dan sabda Rasulullah saw tidak pernah lepas
darinya, sementara beliau adalah orang dari Arab yang paling fasih lisannya dan
paling sempurna penjelasannya. Beliau banyak sekali menggunakan matsal dalam
ungkapan dan pembicaraan, dan semua pembesar lemah (kalah) menghadapi beliau
dalam balaghah.
Beberapa matsal al-Quran itu ialah: “Allah tidak membebani seseorang
melainkan sesuai dengan kesanggupannya” [al-Baqarah: 286], “Sekarang jelaslah
kebenaran itu” [Yusuf: 51], “Telah diputuskan perkara yang kamu berdua
menanyakannya (kepadaku)” [Yusuf: 41], dan ayat-ayat lainnya yang telah
disebutkan” (Lihat, al-Mustathraf fi Fanni Mustazhraf: 1/27).
Kemudian, sebagian penulis kitab tentang amtsal al-Quran mengikuti
keduanya (Ja’far bin Syamasul Khilafah dan Syihabuddin) ketika mengutip hikmah-
hikmah yang telah menjadi matsal di tengah khalayak, yang jumlahnya melebihi 245
ayat. (lihat, Amtsal al-Quran karya Ali Ashghar Hikmat). Doktor Muhammad Husein
ash-Shaghir menyebutkan hal semacam ini dalam bagian akhir kitabnya, yaitu sampai
pada 495 ayat (Lihat, ash-Shuratu al-Fanniyah fi al-Matsal al-Qurani: 387-402).
Namun demikian, yang dilewatkan oleh mereka adalah pemusatan atas
anggapan bahwa ayat-ayat yang dinukil tersebut bukan matsal pada saat wahyu
tersebut diturunkan, tetapi ia merupakan hikmah. Ayat-ayat itu menjadi matsal ketika
sudah beredar pada zaman sesudahnya.
Akhirnya, perlu juga ditambahkan ayat-ayat lain selain yang telah disebut di
atas, yaitu ayat-ayat yang lebih banyak beredar melalui lisan-lisan di sebagian besar
negeri-negeri Islam. Di bawah ini hanya disebutkan sebagian darinya, dan barangkali
pula di antaranya terdapat dalam kitab al-Aadâb. Ayat-ayat yang dimaksud adalah:
1- “Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan” [al-A’raf: 31].
2- “Inilah perpisahan antara aku dan kamu” [al-Kahfi: 78].
3- “Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis)” [an-Nur: 35].
4- “Dan tidak lain kewajiban rasul itu melainkan menyampaikan (amanat Allah)
dengan terang” [an-Nur: 54].
5- “Dia mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari
yang hidup” [ar-Rum: 19]
6- “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak
mengetahui” [az-Zumar: 9].
7- “Tangan Allah di atas tangan-tangan mereka” [al-Fath: 10].
8- “Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula)” [ar-Rahman: 60].
9- “Mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan” [ash-Shaff: 2].
10- “Untukmulah agamamu, dan untukkulah agamaku” (al-Kafirun: 6].
Itulah sepuluh ayat yang telah menjadi perumpamaan yang beredar (matsal
sâ`irah) di tengah mayoritas kaum muslimin.
Baha`uddin al-‘Amili (tahun 953-1030), salah seorang muhaqqiq, menulis satu
pasal berjudul “Fi mâ Warada min Kitabillah Ta’ala Munasiban li Kalamil ‘Arab”.
Dalam tulisan al-‘Amili itu ditunjukkan perbandingan-perbandingan dalam kalam
Arab dengan hikmah dalam al-Quran. Ia menyebutkan ayat-ayat yang dimaksud dan
amtsal berikut:
1- Orang Arab mengatakan tentang jelasnya suatu perkara dengan kalimat: qad
wadhaha sh-shubhu ladzâ ‘ainain (“sungguh subuh telah terang di kedua mata”).
Ayat al-Quran menyatakan: aal-âna hashhasha l-haqq (“Sekarang jelaslah kebenaran
itu”) [Yusuf: 51].
2- Mereka mengungkapkan tentang ketinggalan suatu perkara, dengan perkataan:
sabaqa s-saifu l-‘adla (“pedang telah mendahului keadilan”). Ayat al-Quran
mengatakan: qudhiya l-amru l-ladzi fiihi tastafiyân (“Telah diputuskan perkara yang
kamu berdua menanyakannya (kepadaku)”) [Yusuf: 41].
3- Tentang memperbaiki perbuatan buruk, mereka mengatakan: ‘âda ghaitsun ‘alâ mâ
afsadahu (“hujan kembali (membawa manfaat) pada apa yang telah merusak”). Al-
Quran menyebutkan: makâna s-saiyi`ati l-hasanata (“Kami ganti kesusahan itu
dengan kebaikan”) [Al-A’raf: 95].
4- Tentang berbuat buruk bagi orang yang tidak menerima perbuatan baik, mereka
mengungkapkan: a‘thi akhâka tsamratan fa in abâ fa jamratan (“berilah saudaramu
buah-buahan, bila menolak berilah ia kerikil). Ayat al-Quran mengatakan: wa man
ya’syu ‘an dzikri r-rahmâni nuqaiyidh lahu syathânan fa huwa lahu qariin
(“Barangsiapa yang berpaling dari pengajaran Tuhan Yang Maha pemurah (al-Quran),
maka adakan baginya setan (yang menyesatkan) maka setan itulah yang menjadi
teman yang selalu menyertainya”) [Az-Zukhruf: 36].
5- Untuk faedah balasan, mereka mengatakan: al-qatlu anfâ li l-qatl (“pembunuhan
(balas) itu meniadakan pembunuhan”). Ayat menyatakan: wa lakum fi l-qishâshi
hayâtun yâ uli l-albâb (“dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup
bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa”).
6- Untuk wilayah suluh, disebutkan: li kulli maqâm maqâl (“setiap kedudukan
mempunyai perkataan”). Al-Quran menyebutkan: li kulli naba`in mustaqar (“Untuk
tiap-tiap berita (yang di bawa oleh Para rasul) ada (waktu) terjadinya”) [al-An’am:
67]” (dalam Asrar al-Balaghah: 616-617).
Baha’uddin al-‘Amili juga mengangkat topik ini dalam kitabnya yang lain, al-
Mikhlât, dengan menukil sebagian dari amtsal Arab yang diambil oleh orang-orang
Arab dari al-Quran. Maka jelaslah, bahwa al-Quran menjadi sumber pokok bagi
amtsal ini. Baha’uddin berkata:
1- Ucapan mereka, mâ tazra’ tahshud (“apa yang kamu tanam akan kamu peroleh”);
dalam al-Quran dinyatakan: man ya’mal yujza bihi (artinya: [an-Nisa: 132].
2- Mereka mengucapkan: li l-hiithâni âdzânun (“dinding-dinding punya telinga”)30,
dan Kitabullah mengungkapkan: wa fiikum sammâ’uuna lahum (“sedang di antara
kamu ada orang-orang yang amat suka mendengarkan perkataan mereka...” [at-
Taubah: 47].
3- Kata mereka, ihdzar syarra man ahsanta ilahi, dan ayat al-Quran menyebut: wa mâ
naqamuu illâ an aghnâhumu llâhu wa rasuuluhu min fadhlih (“..dan mereka tidak
30 Sebagai peringatan agar hati-hati dalam bicara.
Comment [ :[surat adan ayat berapa
Comment [ :[132ini bukan an Nisa ay
Comment [ :[arti bahasa Indonesianya a?
mencela (Allah dan Rasul-Nya), kecuali karena Allah dan Rasul-Nya telah
melimpahkan karunia-Nya kepada mereka....” [at-Taubah: 74].
4- Mereka menyebut, Lâ talidu l-haiyatu illâ haiyyatan; al-Quran menyatakan: wa lâ
yaliduu illâ fâjiran kuffâran (“...dan mereka tidak akan melahirkan selain anak yang
berbuat maksiat lagi sangat kafir.” [Nuh: 27]” (dalam al-Mikhlât: 307).
Beberapa kalimat yang disebutkan Syeikh Bahauddin al-‘Amili tersebut
disebutkan sebelumnya dalam pembicaraan ulama lain, antara lain dalam kitab al-
Amtsal al-Kâminah. Dan mungkin saja, apa yang dikatakan oleh Ibn Syamsul
Khilafah, as-Suyuthi, dan al-Bahauddin al-‘Amili di atas hanyalah bagian yang
sederhana dari hikmah-hikmah yang berlaku dan digunakan di tengah masyarakat, dan
menjadi contoh bagi amtsal lain yang ada di baliknya. Bagaimana tidak, sementara
Rasulullah saw sendiri bersabda: “Tak terukur keajaiban-keajaiban al-Quran dan tak
terkira pula keutamaan-keutamaannya” (al-Kafi: 2/599, kitab “Fadhlu al-Quran”,
hadist 2).
-14-
Peribahasa atau Perumpamaan an-Nabawiyah
Jika makna perumpamaan atau peribahasa (matsal) ialah menampakkan
makna yang dimaksud di panggung perkara yang disaksikan, melukiskan hal yang
rasional dengan lukisan inderawi, dan menurunkan hakikat yang sulit dijangkau
pemahaman menjadi sederhana dicerna pikiran, maka matsal sesungguhnya adalah
sebuah alat tabligh dan ta’lim. Oleh karena itu, peribahasa dalam al-Quran, sabda
Rasulullah saw, riwayat para Imam Ahlulbait as, isyarat ulama, dan ibarat dari para
sastrawan dan isyarat para bijak pun tersiar luas.
Para ahli hadits mengumpulkan peribahasa (amtsal) yang disampaikan Nabi
Muhammad saw dalam sabda-sabdanya. Seorang muhaqqiq kontemporer, Syeikh
Comment [ :[arti bahasa Indonesianya a?
Muhammad al-Gharwi –semoga Allah menjaganya– dalam mukadimah kitabnya, al-
Amtsal an-Nabawiyah, menulis kurang lebih sepuluh kitab yang memuat al-amtsal
an-nabawiyah. Ia telah menukil ibarat dari Abdul Majid Mahmud, penulis kitab
Amtsâl al-Hadits, berikut ini: “Amtsâl (perumpamaan-perumpamaan) hadis tidak
mendapatkan perhatian seperti terhadap amtsâl al-Quran dan amtsal Arab umumnya.
Saya tidak melihat seorangpun dari para penulis Kutubus Sittah (enam kitab-kitab
standar hadis) yang menulis secara terpisah atau satu bab saja dalam kitabnya, kecuali
Imam Turmudzi. Ia khususkan amtsal al-hadist di satu tempat dalam kitab Jami’-nya
dengan judul: “Abwâb al-Amtsal ‘an Rasulillah saw” (Bab-bab peribahasan dari
Rasulullah saw)’. Di bawah judul ini, ia hanya menyebutkan empat belas hadis. Oleh
karena itu, Ibn ‘Arabi mengatakan: “Aku tidak melihat seorangpun dari para ahli
hadis yang menyusun satu bab tersendiri selain Abu ‘Isa (at-Turmudzi). Sungguh dia
telah membuka satu pintu dan telah membangun satu istana. Walaupun ia (at-
Turmudzi) hanya menulis sedikit, tapi kami merasa cukup puas dan berterima kasih
kepadanya”31.
Syeikh al-Gharwi mengumpulkan al-amtsal an-nabawiyah secara tidak
beraturan dalam dua juz disertai penafsirannya. Tetapi ia menulisnya secara tertib
menurut huruf-huruf hijâ`iyah, lalu tulisan itu diberi nama al-Amtsal an-Nabawiyah
dan dicetak di Beirut.
Selain itu, kami bawakan contoh-contoh al-amtsal an-nabawiyah yang
dikumpulkan oleh as-Suyuthi dalam kitabnya, al-Jami’ ash-Shaghir, untuk
melengkapi buku ini:
1- Perumpamaan iman seperti baju, terkadang dipakai dan terkadang dilepas.
31 Amtsal al-Hadits: 8
2- Perumpamaan orang kikir dan orang bersedekah, ialah ibarat dua orang laki-
laki yang menutupi bagian dadanya sampai dua tulang selangkangannya dengan jubah
besi. Yang bersedekah berarti, jubahnya melebar dan meliputi kulitnya hingga
menutupi ujung jari dan menghapus sidik jarinya. Sedangkan yang kikir, jubahnya
menutupi bagian badannya dengan sempit, lalu dia berusaha memperlebarnya, tetapi
tidak juga melebar”.
3- Perumpamaan rumah yang di dalamnya dibaca dan yang tidak dibaca
dzikirullah, adalah seperti orang hidup dan orang mati.
4- Perumpamaan teman yang saleh dan teman yang buruk, ialah seperti pemilik
misik dan ubupan tukang besi; tidak menghilang apa yang berasal dari si pemilik
misik, baik anda membelinya atau hanya mendapatkan baunya. Sedangkan ubupan
tukang besi, akan membakar rumah atau pakaian, atau ikut menerima bau yang tak
sedap darinya.
5- Perumpamaan teman yang saleh seperti tukang parfum, walaupun tidak
memberikan parfumnya, dia tetap terkena aromanya.
6- Perumpamaan râfilah (perempuan yang melepaskan ujung kainnya ke bawah
dan berjalan tidak biasa) dalam berhias untuk selain keluarganya (suaminya) demi
mendapat perhatian lain adalah seperti kegelapan di hari kiamat, yang tidak ada
cahaya sedikitpun baginya.
7- Perumpamaan salat lima waktu ibarat sebuah sungai yang mengalirkan air
segar pada pintu seseorang. Setiap hari lima kali orang itu mandi dengan air mengalir
tersebut, sehingga tidak ada kotoran yang tersisa.
8- Perumpamaan orang berilmu yang mengajarkan kebaikan kepada orang lain
dan melupakan (kebaikan) dirinya, laksana lampu menerangi orang-orang sementara
dirinya sendiri terbakar.
9- Perumpamaan hati seperti bulu yang terombang-ambing oleh angin di sahara.
10- Perumpamaan orang merdeka di saat mati, seperti orang yang memberi
hadiah bila sudah kenyang.
11- Perumpamaan orang yang belajar ilmu kemudian ia tidak
menyampaikannya, seperti menyimpan harta lalu tidak menginfakkannya.
12- Perumpamaan orang yang belajar ilmu di masa kecil seperti mengukir di
atas batu, dan perumpamaan orang yang belajar di masa dewasa seperti menulis di
atas air.
13- Perumpamaan orang yang duduk mendengarkan hikmah dan tidak
membicarakan tentang sahabatnya kecuali keburukan yang dia dengar, adalah seperti
orang yang datang kepada si pengembala lalu berkata: “hai pengembala, potongkan
seekor kambingmu untukku”. Lalu si pengembala berkata: “Silahkan ambil seekor
kambing dengan menarik pangkal telinganya”. Maka ia langsung pergi sambil
memegang telinga anjingnya.
14- Perumpamaan orang yang berbicara di hari Jum’at sementara imam sedang
berkhotbah, seperti keledai memikul kitab-kitab tebal, dan yang akan dikatakan
kepadanya: “Diamlah, tiada Jum’at bagimu!”.
15- Perumpamaan orang mengajarkan kebaikan kepada orang-orang dan ia
melupakan dirinya, adalah seperti sumbu lampu yang menerangi orang-orang
sementara ia membakar dirinya.
16- Perumpamaan orang yang membantu kaumnya atas selain kebenaran,
seperti unta berpakaian sambil menarik ekornya.
17- Perumpamaan orang-orang yang berperang dari umatku dan mendapat upah,
lalu menjadi kuat dengannya terhadap musuh, seperti ibu Musa, yang menyusui
anaknya dan mendapat upah.
18- Perumpamaan orang mukmin seperti tukang parfum, jika duduk bersamanya
ia memberikan manfaat, jika berjalan bersamanya ia memberikan manfaat, dan jika
menyertainya, ia pun memberikan manfaat.
19- Perumpamaan orang mukmin ialah seperti pohon kurma, apapun yang
diambil darinya akan memberikan manfaat.
20- Perumpamaan orang-orang mukmin ialah, jika ia berjumpa dengan orang
mukmin (lainnya) ia mengucapkan salam, mereka seperti bangunan yang saling
menopang satu dengan yang lain.
21- Perumpamaan orang mukmin seperti lebah (madu), tidak makan kecuali
yang baik dan tidak mengeluarkan kecuali yang baik.
22- Perumpamaan orang mukmin seperti bulir, terkadang menunduk dan
terkadang tegak.
23- Perumpamaan orang mukmin seperti bulir, sesekali berdiri dan sesekali
menunduk. Dan perumpamaan orang kafir seperti padi, selalu tegak lurus hingga jatuh
dan tidak merasakannya.
24- Perumpamaan orang mukmin seperti kulit, kadang memerah dan kadang
menguning. Sedang orang kafir seperti padi.
25- Perumpamaan orang mukmin seperti kulit tanaman, apabila angin
menerpanya ia merasa cukup dan apabila reda ia tetap stabil. Begitulah orang
mukmin! Ia dibolak-balikkan dengan cobaan. Sedangkan perumpamaan orang ahli
maksiat ialah seperti padi yang pekak sampai Allah SWT membinasakannya dengan
kehendak-Nya
26- Perumpamaan orang mukmin yang membaca al-Quran seperti limau yang
berbau sedap dan rasanya lezat, dan perumpamaan orang mukmin yang tidak
membaca al-Quran seperti kurma yang tidak berbau dan rasanya manis. Perumpamaan
orang munafik yang membaca al-Quran seperti kemangi, berbau harum dan rasanya
pahit, dan perumpamaan orang munafik yang tidak membaca al-Quran seperti jenis
labu, tak berbau dan rasanya pahit.
27- Perumpamaan orang mukmin seperti lebah, ia hanya memakan makanan
yang baik dan hanya mengeluarkan yang baik. Perumpamaan orang mukmin seperti
batang emas, apabila ditiupkan hawa kepadanya maka akan memerah, dan jika
ditimbang ia tidak berkurang”.
28- Perumpamaan orang mukmin itu seperti rumah yang rusak luarnya, tapi bila
dimasuki, ia menenteramkan. Dan perumpamaan orang ahli maksiat seperti kuburan
yang megah, menarik dilihat tapi dalamnya penuh kebusukan”
29- Perumpamaan orang-orang mukmin dalam cinta dan kasih satu dengan yang
lain, seperti satu badan; jika satu anggota dari badan mengeluh maka terundang
seluruh anggota badan dengan bangun malam dan kesakitan.
30- Perumpamaan mujahid di jalan Allah, seperti orang puasa yang suka bangun
malam dengan istiqamah, tidak lesu karena puasa dan sedekah sampai ia dipanggil
kembali (pulang). Dan Allah SWT telah menjamin mujahid di jalan-Nya ketika Allah
memanggilnya, yaitu dengan surga atau dikembalikan (ke rumahnya) dalam selamat
dengan membawa pahala atau harta rampasan.
31- Perumpamaan perempuan salehah di antara kaum perempuan, seperti gagak
bergelang yang salah satu kakinya putih.
32- Perumpamaan orang munafik seperti domba mengembara di antara dua
kambing, kadang mengikuti yang ini dan kadang mengikuti yang itu, tidak tahu yang
mana yang harus diikutinya.
33- Perumpamaan anak Adam ialah di sisinya ada sembilan puluh sembilan
angan-angan, apabila angan-angannya itu menyalahinya niscaya ia menjadi pikun
sampai mati.
34- Perumpamaan sahabatku seperti garam di makanan, tidak baik makanan
kecuali dengan garam.
35- Perumpamaan umatku laksana hujan, tidak diketahui apakah di awalnya
baik atau di akhirnya.
36- Perumpamaan Ahlulbaitku seperti kapal Nuh, siapa yang menaikinya
selamat dan siapa yang berpaling darinya tenggelam.
37- Perumpamaan Bilal adalah seperti lebah, siang dia makan yang manis dan
yang pahit kemudian sore harinya menjadi manis seluruhnya.
38- Perumpamaan Bal’am bin Ba’aura` di Bani Israil seperti Umayah bin Abi
ash-Shalt di umat ini.
39- Perumpamaan Mina seperti rahim dalam sempitnya, apabila telah hamil
maka Allah meluaskannya.
40- Perumpamaan dunia ini seperti baju yang robek di awal sampai akhirnya,
sehingga dia terus bergantung pada jahitan di akhirnya, dan jahitan akhir itu hampir
putus.
41- Perumpamaanku dan perumpamaan kalian adalah seperti dua kuda pacu;
Perumpamaanku dan perumpamaan kalian seperti seorang lelaki yang diutus ke garis
depan, ketika ia merasa menang ia lambai-lambaikan kain bajunya: “Kalian menang,
kalian menang!”; Akulah itu! Akulah itu!”
42- Perumpamaanku dan perumpamaan kalian seperti seorang laki-laki yang
menyalakan api, lalu kawanan laron dan belalang menghampiri api maka si laki-laki
melindungi mereka yang menghampiri itu dari api; Aku bertindak menahan kalian
dari api, tetapi kalian berpaling dari tanganku.
-15-
Peribahasa Al-‘Alawiyah (Imam Ali as)
Amirul mukminin Ali bin Abi Thalib as adalah mata air kefasihan dan
balâghah. Dari Imam Ali as tersingkap rahasia bahasa dan komunikasi serta terpetik
kaidah-kaidah sastra. Para orator meniru perumpamaan-perumpamaan yang
disampaikannya; para penyuluh yang bijak meminjam ungkapan dan perkataannya.
Perkataan Imam Ali as merupakan tetesan dari ilmu Ilahiah yang di dalamnya selalu
mengikuti jejak ucapan Rasulullah saw. Banyak ahli kefasihan dan balaghah
menghimpun keutamaan kalamnya, dari untaian-untaian kalimatnya baik yang ringkas
maupun panjang, yang mencapai hingga 12 ribu lebih. Abdul Wahid al-Amadi telah
mengumpulkan untaian kalam fasih yang berhikmah itu dalam kitabnya, Ghurar al-
Hikam wa Durar al-Kalim, yang cukup memuaskan para pencari kebenaran.
Sedangkan tamtsil dalam untaian lisan dan tulisan para imam Ahlulbait (Dua
Belas Imam) banyak sekali riwayatnya. Itulah yang berusaha dikumpulkan dengan
sungguh-sungguh oleh muhaqqiq al-Gharwi, lalu disusun menjadi semacam
ensiklopedia. Semoga Allah tidak menyia-nyiakan usaha dan upaya yang indah itu.
-16-
Peribahasa Luqman Al-Hakim
Berbagai pandangan muncul mengomentari kepribadian Luqman al-Hakim.
Ibn Umar meriwayatkan: “Aku mendengar Rasulullah saw bersabda: “Luqman bukan
seorang nabi. Tapi dia adalah hamba yang banyak tafakur dan memiliki keyakinan
yang kuat dan bagus. Ia mencintai Allah dan Allah mencintainya serta memberinya
karunia hikmah”32.
Ucapannya telah sampai pada tingkatan hikmah yang oleh Allah dimuat dalam
al-Quran. Allah SWT menurunkan satu surat yang diberi nama seperti namanya,
Luqman. Tidak sedikit ulama yang mengumpulkan hikmahnya yang beredar dalam
kitab-kitab.
Aminul Islam, ath-Thabrasi, menukil sebagian hikmah Luqman al-Hakim
dalam tafsirnya. Imam ash-Shadiq as menyifati Luqman al-Hakim seperti ini: “Demi
Allah, Luqman tidak dikaruniai hikmah karena kedudukan, harta dan penampilan
fisiknya. Luqman adalah seorang laki-laki sejati, yang kokoh dalam urusan Allah,
bertakwa kepada Allah dalam diam dan tenang, berpandangan dalam, berpikir luas
dan berpandangan tajam; tidak pernah sekalipun tidur siang; tidak pernah menyia-
nyiakan sesuatu; tak seorangpun melihatnya buang air kecil dan besar bahkan
mandinya, karena kuatnya penghijaban dan penjagaannya dalam setiap urusan; dia tak
pernah tertawa oleh sesuatu, tak pernah marah karena takut dosa dalam agamanya, tak
pernah mencandai seorang pun; tak pernah merasa senang dengan pemberian duniawi,
tidak pernah merasa sedih karena (kehilangan) sesuatu; tak pernah melewati (tanpa
peduli) antara dua orang yang saling membunuh dan berkelahi, melainkan ia
damaikan antara keduanya, dan tidak akan berlalu dari keduanya sebelum keduanya
lerai; tak pernah ia mendengar satu perkataan yang dianggapnya benar dari seseorang
sebelum dia bertanya dahulu apa penjelasannya dan dari siapa dia mengutip; Ia sering
duduk bersama fuqaha dan ulama, mendatangi para hakim, raja dan penguasa; ia
merasa kasihan terhadap para hakim karena kesulitan yang mereka hadapi; ia
mengasihi para raja dan penguasa yang mengagungkan Allah dan berlaku adil karena-
32 Majma’ al-Bayan: 4/315
Nya. Ia belajar mengalahkan dirinya, memerangi hawa nafsunya dan waspada dari
penguasa. Ia obati dirinya dengan tafakur dan mengambil ‘ibrah. Ia telusuri sesuatu
yang memberinya manfaat dan memikirkan sesuatu yang dapat membantunya. Karena
semua ini, ia dikaruniai hikmah dan hujjah”33.
Surat al-Baqarah
Tamtsîl 1
و إذا لقوا الذين آمنوا قالوا آمنا و إذا خلوا ألى شياطينهم قالوا إنا معكم إنما نحن مستهزئون* هللا يستهزئ بهم و
يمدهم في طغيانهم يعمهون* أولئك الذين اشتروا الضاللة بالهدى فما ربحت تجارتهم و ما كانوا مهتدين* مثلهم
استوقد نارا فلما أضاءت ما حوله ذهب هللا بنورهم و تركهم في ظلمات ال يبصرون* صم بكم عمي كمثل الذي
فهم ال يرجعون*
“Dan bila mereka berjumpa dengan orang-orang yang beriman, mereka mengatakan:
“Kami telah beriman”. Dan bila mereka kembali kepada setan-setan, mereka
mengatakan: “Sesungguhnya kami sependirian dengan kamu, kami hanyalah berolok-
olok”. Allah akan (membalas) olok-olokan mereka dan membiarkan mereka
terombang-ambing dalam kesesatan mereka. Mereka itulah yang membeli kesesatan
dengan petunjuk, maka tidaklah beruntung perniagaannya dan tidaklah mereka
mendapat petunjuk. Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan
api, maka setelah api itu menerangi sekelilingnya Allah hilangkan cahaya (yang
menyinari) mereka, dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat.
Mereka tuli, bisu dan buta, maka tidaklah mereka akan kembali (kejalan yang
benar)”P33F
34P.
Tafsir Ayat:
33 Majma’ al-Bayan: 4/317-318 34 QS. al-Baqarah: 14-18
Kata al-waqud35 bermakna al-hathab (kayu bakar), atau berarti istauqada
nâran atau auqada nâran (menyalakan api), sebagaimana kata istaujaba yang berarti
aujaba (menjawab).
Allah SWT memulai firman-Nya dalam surat al-Baqarah dengan menjelaskan
keadaan tiga golongan, yaitu kaum mukmin, yang digambarkan dalam dua ayat; kaum
kafir, yang disebutkan dalam satu ayat; dan kaum munafik, yang keadaan dan tanda-
tanda mereka diungkapkan dalam dua belas ayat.
Pembagian seperti ini menjelaskan bahwa kemunafikan (nifâq) adalah sesuatu
yang berbahaya. Orang-orang munafik menyembunyikan satu kepentingan besar
terhadap masyarakat Islam. Allah mengungkapkan dua sifat buruk mereka guna
menyadarkan manusia akan niat, tabiat, dan kekufuran yang mereka sembunyikan.
Pada kutipan ayat di atas dijelaskan tentang posisi kaum munafik sebagai
golongan yang menyembunyikan kekufuran dan menampakkan keimanan: “Dan bila
mereka berjumpa dengan orang-orang yang beriman, mereka mengatakan: “Kami
telah beriman”. Dan bila mereka kembali kepada setan-setan, mereka mengatakan:
“Sesungguhnya kami sependirian dengan kamu, kami hanyalah berolok-olok”.
Karena niat, sikap dan perbuatan mereka itu, Allah SWT memberi balasan
untuk mereka: “Allah akan membalas olok-olokan mereka dan membiarkan mereka
terombang-ambing dalam kesesatan mereka”.
Selain itu, kaum munafik digambarkan dengan: “Mereka itulah yang membeli
kesesatan dengan petunjuk, maka tidaklah beruntung perniagaannya dan tidaklah
mereka mendapat petunjuk”. Artinya, mereka memilih meninggalkan petunjuk demi
jalan kesesatan. Mereka menukar keimanan dengan kekufuran. Maka, mereka tidak
35 al-waqud merupakan akar kata dari kata istauqada, artinya menyalakan (dalam ilmu sharaf berwazan istaf’ala), -penerj.
akan beruntung dalam perniagaan dan pertukaran. Sifat dan keadaan mereka itu
digambarkan melalui tamtsil berikut ini.
Seorang sedang tersesat di padang pasir yang gersang di tengah kegelapan
malam gulita. Ia ingin memotong jalan yang ditempuhnya tanpa perhitungan dan
mengabaikan petunjuk. Dalam keadaan seperti ini, yang dapat ia lakukan ialah
menyalakan api agar bisa berjalan di bawah sinarnya dan menghindari jurang-jurang
berbahaya. Sayangnya, setelah menyalakan api, seketika datang angin kencang
memadamkan api yang telah dinyalakan itu. Maka buyarlah harapannya, dan ia
kembali pada keadaan semula (kebingungan).
Begitulah keadaan yang dialami orang munafik. Keadaan itu seperti keadaan
orang yang pada awalnya beriman, tersinari cahaya keimanan dan berjalan di bawah
sinarannya. Tapi, mereka menukar keimanan dengan kekufuran. Maka, mereka pun
diliputi kegelapan, kekufuran, dan tidak mendapatkan jalan petunjuk lagi. Penjelasan
ini berdasarkan perkataan bahwa, kaum munafik sebelumnya telah beriman, kemudian
mereka berpindah pada kekufuran.
Sedangkan penjelasan yang berdasarkan pada perkataan bahwa mereka sudah
tidak beriman sejak awal, ialah bahwa api yang telah mereka nyalakan itu kembali
pada dalil cahaya fitrah yang selalu menuntun manusia ke jalan kebenaran. Namun
kemudian mereka memadamkannya dengan kekufuran atau pengingkaran terhadap
ayat-ayat Allah SWT.
Alhasil, keadaan orang-orang munafik ketika mereka menampakkan keimanan
dan menyembunyikan kekufuran adalah seperti keadaan orang yang tersesat di jalan,
di tengah kegelapan, dan di tempat yang penuh marabahaya. Lalu ia menyalakan api
untuk menerangi jalan. Tapi tiba-tiba datang angin topan memadamkannya, dan ia
berada dalam kesendirian di kegelapan yang tiada petunjuk jalan.
Tamtsil yang digambarkan al-Quran ini menerangkan tentang keadaan kaum
munafik di masa dakwah Rasulullah saw. Menurut tamtsil ini, orang-orang munafik
itu sebenarnya pernah mendapat petunjuk. Namun, cahaya petunjuk itu dipadamkan
atas izin Allah SWT. Maka, mereka pun menjadi tuli, bisu, dan buta, serta tidak
memperoleh petunjuk.
Api untuk menerangi jalan adalah ibarat untuk cahaya al-Quran dan sunnah
Rasulullah saw. Ketika Rasulullah saw hadir di tengah-tengah mereka dengan
memberi penjelasan dan hujjah melalui setiap keterangan saat membacakan ayat al-
Quran, sesungguhnya merupakan kehormatan bagi masyarakat di sana. Kondisi
mereka ini diibaratkan seperti orang yang menyalakan api untuk menerangi jalan. Di
saat api menyala, mereka seperti memperoleh penerangan jalan dan ajaran kebenaran.
Tetapi sayangnya, mereka kemudian bertindak sewenang-wenang, ingkar, dan
munafik terhadap kebenaran. Mereka keluar dari jatidiri seorang manusia yang layak
mendapatkan petunjuk. Lalu, Allah menimpakan ammârah (hal mengajak pada
kejahatan), dan mereka pun memilih hawa nafsu yang nista sebagai jalan. Maka,
jadilah gelap kesesatan meliputi mereka sebagai akibat dari sikap dan perilaku buruk.
Itulah yang mendasari penjelasan atas ayat: “Perumpamaan mereka adalah
seperti orang yang menyalakan api, maka setelah api itu menerangi sekelilingnya...”.
Sampai di sini perumpamaan kalimat (ayat) ini sempurna. Kalimat selanjutnya
menyebutkan hal yang diperumpamakan; “Allah hilangkan cahaya (yang menyinari)
mereka, dan membiarkan dalam kegelapan, (mereka) tidak dapat melihat...”.
Jika ditanyakan: Lalu apa jawaban bagi huruf syarat lammâ (“ketika”) dalam
“falammâ adhâ`at” (“maka setelah api itu menerangi”)? Jawabannya: dihapus
(mahdzuf) untuk meringkas, yang berarti khamadat (“lalu padam”).
Jika ditanyakan: Berkaitan dengan apakah ayat “dzahaballahu bi nurihim”
(“Allah hilangkan cahaya mereka”)? Jawabnya: Itu sebagai pembicaraan awal (kalâm
musta`nif), yang kembali pada penjelasan keadaan yang diperumpamakan, yang kira-
kira berkata demikian: “Api itu padam setelah menerangi sekelilingnya. Mereka tetap
dalam keadaan asing di kegelapan, kebingungan karena cahaya padam, dan
mengalami kegagalan setelah kerja keras (menyalakan api)”.
Seperti itulah keadaan kaum munafik; mereka menyalakan api untuk
mendapatkan penerangan, tapi “Allah hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka,
dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat”.
Ringkasnya, kalimat-kalimat yang kami sebutkan di atas merupakan
pemahaman atas ayat secara ringkas tanpa menyulitkan (al-îjâz bilâ ta’qîd), yang
termasuk bagian dari ilmu Bâlaghah36.
Kalimat “Allah hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka”, bermakna: itulah
akibat dari kemunafikan dan perbuatan melampaui batas. Orang-orang munafik itu
menghancurkan sendiri potensinya dalam memperoleh cahaya kebenaran (hidayah).
Dan kalimat, “dan membiarkan dalam kegelapan, (mereka) tidak dapat melihat”,
yakni mereka tetap dalam hawa nafsu dan perilaku yang buruk. Keadaan mereka
kacau-balau dalam gelap kesesatan, tidak dapat melihat petunjuk dan jalan kebenaran.
Dengan uraian di atas, tampak jelas bahwa tamtsil dalam ayat al-Quran
memuat makna-makna yang dalam dan sarat dengan ibarat-ibarat ringkas. Jika al-
Quran memilih ciri khas penjelasan makna-makna tersebut di luar jalur perumpamaan
(tamtsil), akan mengharuskannya menjelaskan dengan pembicaraan seperti di atas.
Itulah salah satu manfaat perumpamaan, yakni ia memuat makna yang sarat dengan
ibarat-ibarat ringkas.
36 Lihat, Al-Kasyaf: 1/153
Selain itu, orang-orang munafik digambarkan sebagai orang yang telah
menyia-nyiakan pendengaran, lisan-lisan, dan penglihatan mereka, sehingga mereka
menjadi tuli, bisu, dan buta: “Mereka tuli, bisu dan buta, maka tidaklah mereka akan
kembali (kejalan yang benar)”.
Yang dimaksud ta’thîl (penyia-nyiaan) dalam ayat ini ialah, mereka tidak
memanfaatkan (atau menyalahgunakan) sarana-sarana inderawi sebagai alat bantu
yang dapat mengantarkan pada pengetahuan akan hakikat. Akibatnya, mereka tidak
dapat mendengar ayat-ayat Allah dan tidak dapat melihat bukti-bukti tentang kenabian
yang begitu terang benderang di hadapannya, dan justru berada dalam keraguan37.
Sampai di sini, sempurnalah penguraian keadaan kaum munafik melalui
(ibarat) keadaan orang menyalakan api untuk mendapatkan penerangan yang segala
usahanya itu mengalami kegagalan.
Selain itu, ayat di atas juga memberi isyarat bahwa pada mulanya kaum
munafik itu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, tapi kemudian sifat kemunafikan
mencengkeram mereka dan mereka pun menjadi kelompok yang melampaui batas.
Ayat menyebutkan: “Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka telah
beriman, (tapi) kemudian menjadi kafir, lalu hati mereka dikunci mati, karena itulah
mereka (menjadi) tidak dapat mengerti”.38
Isyarat bahwa Islam merupakan cahaya yang menerangi hati dan jiwa, tertuang
dalam ayat: “Maka apakah orang-orang yang dibukakan Allah hatinya untuk
(menerima) agama Islam lalu ia mendapat cahaya dari Tuhannya (sama dengan
orang yang membatu hatinya)? Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang
37 Majma’ al-Bayan: 1/54. Alâ` ar-Rahmân: 1/73 38 QS. al-Munafiqun: 3
telah membatu hatinya untuk mengingat Allah. Mereka itu berada dalam kesesatan
yang nyata”39.
Sedangkan kegelapan yang meliputi mereka setelah kemunafikan dan
menjadikan mereka tuli, bisu, dan buta, ialah gelap kesesatan yang di dalamnya tidak
terlihat jalan hidayah dan petunjuk, terungkap dalam ayat: “Dan orang-orang yang
kafir, pelindung-pelindungnya ialah thâghut, yang mengeluarkan mereka dari cahaya
kepada kegelapan (kekafiran). Mereka itu adalah penghuni nereka; mereka kekal di
dalamnya”40.
Oleh karena itu, pendapat yang menyebutkan bahwa “kegelapan” (yang
memadamkan cahaya) dalam ayat ini sebagai kegelapan alam kubur, atau kehidupan
barzakh, dan alam setelahnya berupa hisab dan balasan, tampaknya kurang tepat.
Meskipun memang benar bahwa di sana ada kegelapan ukhrawi bagi orang-orang
munafik, tetapi kegelapan yang dimaksud dalam ayat ini adalah bagian dari akibat-
akibat kegelapan duniawi.
Dengan demikian, pandangan penulis Tafsir al-Manâr yang memaknai
“kegelapan” (zhulmah) sebagai kegelapan alam kubur dan Barzakh dengan dalil ayat:
“Pada hari ketika orang-orang munafik laki-laki dan perempuan berkata kepada
orang-orang yang beriman: “Pandanglah kami supaya kami dapat mengambil
sebagian dari cahayamu”. Dikatakan: “Kembalilah kamu ke belakang dan carilah
sendiri cahaya (unukmu)...”41 adalah tidak tepat. Sebab, ayat ini berbicara tentang
keadaan orang-orang munafik di tengah lingkungan keimanan dan cahaya kenabian,
yang kemudian diselimuti kegelapan dan kesesatan karena sifat munafik, dan bukan
berbicara soal keadaan setelah kematian.
39 QS. az-Zumar: 22 40 QS. al-Baqarah: 257 41 QS. al-Hadid: 13
Soal-Jawab
Tuntutan kefasihan (balâghah) biasanya dengan menghadirkan bentuk jamak
untuk memelihara kesesuaian antara penyerupa atau yang diserupakan (musyabbah)
dengan yang dijadikan penyerupa (musyabbah bihi). Sedangkan Allah SWT
menyampaikan kalamnya dalam bentuk tunggal bagi yang dijadikan penyerupa:
“seperti orang yang menyalakan api”, dan bentuk jamak bagi yang diserupakan:
“perumpamaan mereka”, “Allah hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka”. Lantas,
apa maksudnya?
Penulis al-Manâr menjawab: “Orang Arab menggunakan kata “al-ladzi”
dalam bentuk jamak seperti kata “mâ” dan “man”. Dalam al-Quran antara lain
dikatakan: “wa khudhtum ka al-ladzi khâdhu” (“dan kalian mempercakapkan
sebagaimana mereka mempercakapkannya”)42. Jika berlaku bentuk tunggal bagi kata
“al-ladzi”, hal itu disebabkan oleh bentuk jamak yang ia miliki, dan kata-nya tetap
terpelihara dalam kata “istauqada” dalam ayat. Dan ayat: “dzahaba Allahu bi
nurihim”, merupakan maknanya (bagi lafaz “al-ladzî”). Kefasihan yang ada di dalam
ayat ialah, memperhatikan pengucapan lafaz, dan sekaligus maknanya. Sementara
keberagaman dalam mengembalikan kata ganti-kata ganti (dhamâ`ir) merupakan
contoh yang dipakai oleh para sastrawan”43.
Seiring penjelasan di atas, terdapat dugaan lain, yaitu: apa yang disampaikan
berdasarkan ayat: “Allah hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka, dan
membiarkan dalam kegelapan, tidak dapat melihat”, ialah dalam penyempurnaan
perumpamaan dan pemilahan bagi yang dijadikan penyerupa. Tetapi, perbedaannya,
perumpamaan itu sudah sempurna pada ayat: “Allah hilangkan cahaya (yang
menyinari) mereka”, dengan menghapus jawaban bagi lammâ (huruf syarat) karena
42 QS. at-Taubah: 69 43 Tafsir al-Manar: 1/169
kedudukannya sudah dimaklumi melalui kalimat: “memadamkan apinya”, sehingga ia
berada dalam kegelapan dengan rasa takut dan bingung.
Selain itu, seandainya ayat “Allah hilangkan cahaya (yang menyinari)
mereka” merupakan satu dari bagian musyabbih bihi dan kembali pada “orang yang
telah menyalakan api”, maka kalimat “tuli, bisu dan buta” seharusnya juga demikian,
sebab ia termasuk dalam salah satu dari sifat “si penyala api”. Padahal, tidak
diragukan lagi bahwa itu merupakan sifat orang munafik. Dan seandainya mau
menghilangkan musyabbah dan musyabbah bihi dengan ibarat yang terpisah, maka
dapat dikatakan bahwa yang diserupakan ialah orang yang menyalakan api untuk
sekitarnya, lalu (api itu) padam, dan yang dijadikan penyerupa ialah orang-orang
munafik yang telah mendapatkan sinar dengan cahaya Islam, kemudian Allah
menghilangkan cahaya mereka dan membiarkan mereka dalam kegelapan, sehingga
mereka tidak dapat melihat; mereka tuli, bisu, buta, dan mereka tidak akan kembali.
Adapun sisi bentuk tunggalnya ialah: apabila terdapat penyerupaan (tasybih)
di antara semua yang ada, maka ia harus sesuai. Karena tiap-tiap sesuatu berbeda satu
dengan yang lain. Oleh karena itu, penyerupaan hanya berlaku di antara sesuatu
apabila kesesuaian bentuk jamak dan tunggalnya terjaga. Seperti pada ayat-ayat:
“mereka adalah seakan-akan kayu yang tersandar”44, dan: “seakan-akan mereka
tunggul-tunggul pohon kurma yang telah kosong (lapuk)”45.
Jika penyerupaan di antara perbuatan-perbuatan itu, tidak harus menjadi
‘kesesuaian’ bagi kesatuan perbuatan dari segi hakikat dan kekhususan; seperti dalam
satu perumpamaan: mâ âf’âlukum ka fi’li al-kalbi: atau “Perbuatan-perbuatan kalian
tiada lain melainkan seperti perbuatan anjing”.
44 QS. al-Munafiqun: 4 45 QS. al-Hâqqah: 7
Barangkali dapat pula dikatakan bahwa kata sambung al-ladzi mempunyai arti
jamak; sebagaimana dalam ayat: “Dan orang yang (al-ladzi’) membawa kebenaran
dan membenarkannya, mereka itulah orang-orang yang bertakwa”46.47
Tamtsîl 2
أو كصيب من السماء فيه ظلمات و رعد و برق يجعلون أصابعهم في آذانهم من الصواعق حذر الموت و هللا
محيط بالكافرين* يكاد يخطف أبصارهم كلما أضاء لهم مشوا فيه و إذا أظلم عليهم قاموا و لو شاء هللا لذهب
بسمعهم و أبصارهم إن هللا على كل شيء قدير*
“Atau seperti (orang-orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit disertai gelap
gulita, guruh dan kilat; mereka menyumbat telinga dengan jari-jemarinya, karena
(mendengar suara) petir, sebab takut akan mati. Dan Allah meliputi orang-orang
yang kafir. Hampir-hampir kilat itu menyambar penglihatan mereka. Setiap kali kilat
itu menyinari mereka, mereka berjalan di bawah sinar itu, dan bila gelap menimpa
mereka, mereka berhenti. Jika Allah menghendaki, niscaya Dia melenyapkan
pendengaran dan penglihatan mereka. Sesungguhnya Allah berkuasa atas segala
sesuatu”P47F
48P.
Tafsir Ayat
Kata shayyib berarti hujan, atau semua yang turun dari atas ke bawah.
Dikatakan: shâba-yashûbu merupakan sambungan (‘ataf) dari ayat (sebelumnya) “ka
matsali lladzi stauqada nâran” (“perumpamaan mereka adalah seperti orang yang
menyalakan api”).
Matsal kedua ini juga merupakan matsal bagi kaum munafik. Menurut kaidah,
kalimat “wa ka shayyibin” menempati kalimat “au ka shayyibin”, sebab huruf ‘au’
(“atau”) kadang-kadang juga digunakan dalam makna ‘wa’ (“dan”). Seperti pada
46 QS. az-Zumar 47 At-Tibyan fi Tafsir al-Quran: 1/86 48 QS. al-Baqarah: 19-20
Comment [ :[?az-Zumar ayat brapa
kalimat penyair yang berkata: nâla al-khilâfata au kânat lahu qadran; kamâ atâ
rabbahu musâ ‘alâ qadrin (Khilafah telah diraihnya dan itu baginya satu kemampuan;
Sebagaimana Tuhan mendatangi Musa sesuai dengan kemampuannya). Barangkali,
penggunaan huruf “au” adalah untuk pilihan, yakni bahwa kaum munafik itu
diumpamakan sebagai si penyala api atau orang yang ditimpa hujan.
Kata ra’d (guruh) berarti suara yang terdengar dari balik kumpulan gumpalan-
gumpalan awan. Kata barq (kilat) ialah sinar berkilau karena pertemuan gumpalan
awan. Guruh dan kilat itu terjadi akibat muatan-muatan tertentu yang bersinggungan
dalam awan. Kata shâi’qah (petir) berarti api besar yang terkadang turun di tengah
hujan dan kilat. Penyebabnya adalah pembongkaran muatan-muatan listrik yang ada
di awan dengan kekuatan daya tarik tertentu yang menariknya ke permukaan bumi.
Kata ihâthah bisy sya`i49 berarti mengelilingi sesuatu dari segala sisi. Kata
khathaf (menyambar) ialah merampas dan mengambil dengan cepat. Kata ini – bukan
kata khatfah (sekali renggut) – juga bermakna nuhbah (perampasan). Sedangkan
potongan ayat yang berbunyi “wa idzâ azhlama” (bila gelap menimpa), bermakna
“bila kamu takut sinar kilat”.
Demikianlah penjelasan melalui penafsiran terhadap kosa kata (mufradât)
ayat. Dengan itu, selanjutnya dapat dilihat penjelasan hakikat tamtsil dalam ayat yang
mengungkapkan kondisi kaum munafik. Yakni, keadaan yang diserupakan
(musyabbah) diketahui melalui keadaan yang dijadikan penyerupa (musyabbah bihi).
Jadi, dalam hal ini, yang penting adalah mencari tahu musyabbih bihi.
49 Kalimat ini menjadi bentuk umum yang diambil dari ayat di atas ‘muhithun bil kâfirin’ yang artinya: Dia meliputi orang-orang yang kafir. Penerj.
Ayat di atas menetapkan bahwa perumpamaannya bermula dari: “Atau50
seperti (orang-orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit” dan berakhir sampai
kalimat: “bila gelap menimpa mereka, mereka berhenti”.
Sedangkan ayat: “Dan Allah meliputi orang-orang yang kafir” adalah susunan
kontradiksi (jumlah muta’arridhah), yang ditampilkan di tengah tamstil, dan setelah
selesai kalimat tamtsil itu, kalimat penutupnya berbunyi: “Jika Allah menghendaki,
niscaya Dia melenyapkan pendengaran dan penglihatan mereka. Sesungguhnya Allah
berkuasa atas segala sesuatu”. Kalimat penutup ini kembali pada yang diserupakan,
yakni keadaan kaum munafik. Ini adalah sesuatu yang kembali pada kosa kata ayat
dan bentuk keselarasannya, dan yang penting ialah bagaimana ayat ini
menggambarkan kesaksian yang mengerikan itu.
Contoh: suatu kaum berjalan di padang sahara di tengah langit terbuka yang
diliputi kegelapan yang pekat. Tiba-tiba turun hujan yang sangat lebat menimpa
mereka. Ada guruh-guruh yang menggelegar dan kilat berkilauan yang hampir
menyambar penglihatan mereka lantaran begitu dahsyatnya dengan disertai petir yang
amat mengerikan. Mereka dikuasai rasa takut, ngeri dan terkejut, yang memaksa
mereka menutupi telinga dengan jari-jemari karena takut mati. Mereka tidak mau
mendengar suara yang mengerikan itu. Di saat itu, mereka berhenti dalam
kebingungan, tidak tahu harus melihat ke arah mana. Tiba-tiba kilauan cahaya kilat
menerangi jalan, mereka pun dapat berjalan dengan tenang. Tapi ketika cahaya kilat
itu tertutupi, mereka kembali lagi diliputi kegelapan yang menyebabkan langkah
mereka terhenti.
Ringkasan dari kesaksian seperti ini ialah, bahwa ketakutan, kengerian, dan
kebingungan telah menguasai benak kaum munafik, yang tidak tahu harus berbuat
50 Pada pembahasan sebelumnya kata “au” bisa bermakna ‘dan’.
apa. Begitulah keadaan yang dialami kaum munafik. Sebagai pendekatan, dapatlah
disimak penjelasan di bawah ini:
Penjelasan pertama: penyesuaian yang terpisah (tathbiq mufarraq) bagi setiap
kata dalam musyabbah bihi, yaitu hujan lebat, kegelapan, petir, dan kilat- bagi
musyabbah. Mengenai hal ini para mufasir menyebutkan beberapa segi, yang paling
utama adalah segi ketiga, yang diangkat oleh at-Thabarsi.
Ia berkata: Itu adalah sebuah matsal bagi Islam, karena di dalamnya ada
kehidupan, sebagaimana di dalam hujan ada kehidupan. Dan keserupaan “kegelapan”
dengan “menyimpan kekufuran” di balik keislaman mereka. “Guruh” dengan ajaran
Islam berupa “kewajiban jihad dan takut perang serta ancaman akhirat yang mereka
takuti” disebabkan keraguan mereka terhadap agama (Islam). “Kilat” dengan
“penyelamatan darah, para perempuan, dan harta warisan mereka” dengan cara
menampakkan keislamannya. Dan “petir” dengan “hentakan atau lecutan hukuman”,
sebagaimana di dalam Islam terdapat hukum-hukum yang harus dilaksanakan, baik
dalam waktu cepat maupun lambat. Penafsiran seperti ini dikuatkan dengan riwayat
dari Imam Hasan bin Ali as, yang pernah berkata: “Perumpamaan keislaman orang
munafik, seperti hujan lebat. Inilah sifatnya”51.
Selain itu, ada juga penafsiran yang berbeda, seperti yang dipetik oleh
muhaqqiq Muhammad Jawad al-Balaghi (wafat 1352 H). Al-Balaghi berkata: Bagi
masyarakat dan tatanan sosial, Islam seperti hujan. Hujan memberikan air yang dapat
menghidupkan dan menyuburkan tanah. Dan aturan atau penataan terhadap aliran air
hujan (dengan irigasi) akan memberikan hasil tanaman yang sangat berguna bagi
masyarakat. Di dalam Islam ada seperangkat ajaran dan aturan bagi kehidupan dan
kebahagiaan mereka di dunia dan di akhirat, karena dengan ajaran dan aturan itu
51 Majma’ al-Bayan: 1/57
timbul keindahan bumi dengan keadilan, kedamaian, ketentraman dan hubungan
sosial yang baik.
Namun penentangan terhadap kebenaran (Islam) dan ahli kebenaran,
menjadikan Islam seperti hujan lebat, yang memuat kegelapan yang hebat, seperti
timbulnya peperangan dan permusuhan dari kaum musyrikin. Gemuruh hujan adalah
peperangan, pembunuhan, dan ancaman-ancaman yang menggelisahkan bagi kaum
yang tidak sabar terhadap kaum yang berjiwa lapang dan terang yang memurahkan
diri mereka di jalan Allah dalam mencapai kebahagiaan. Bagi mereka yang berjiwa
lapang, kilat-kilat seperti pertanda kemenangan, harapan selamat, memperoleh hasil
yang menguntungkan, penjagaan dan pemberian (dari Allah) dengan mulia. Ketika
mendengar petir-petir peperangan, kaum musyrikin dikuasai oleh rasa takut dan
kengerian akan pembunuhan. Dalam hal ini kondisi mereka serupa dengan ‘mereka
menyumbat telinganya dengan anak jarinya, karena (mendengar suara) petir, sebab
takut akan mati...’. Mereka takut, seakan-akan hati mereka hendak lepas karena ngeri
mendengar suara petir. Pikiran mereka dungu, tak tahu harus ke mana melarikan diri
dari kematian. Rasa takut memberikan kengerian kepada mereka, dan Allah
menguasai orang-orang kafir52.
Pejelasan kedua: penyesuaian yang tersusun (tathbiq murakkab), ialah bahwa
tujuan di balik tamtsil ini ada tiga perkara yang kembali kepada penjelasan keadaan
kaum munafik.
Sebelum mengangkat pembahasan tentangnya, perlu disebutkan terlebih
dahulu perkataan az-Zamakhsyari, yang mengatakan: “Yang benar, yang dijelaskan
secara tidak tertulis oleh ulama bahwa dua tamtsil itu merupakan keseluruhan dari
gabungan tamtsil-tamtsil yang tersusun berurutan, bukan yang terpisah”
52 Al-kasysyaf: 1/162-163
Tiga perkara yang menerangkan keadaan kaum munafik yang dimaksud
adalah: Pertama: Rasa takut yang mendominasi (ihâthah) kaum munafik terjadi
setelah tersebarnya Islam ke berbagai penjuru jazirah Arab. Kekuatan Islam semakin
bertambah yang antara lain disebabkan oleh banyaknya kabilah-kabilah Arab yang
datang memeluk Islam mendatangkan rasa takut dalam hati kaum musyrikin
menggelisahkan jiwa mereka. Orang-orang musyrik terguncang menyaksikan
perkembangan Islam yang datang seperti menghimpit, seolah mereka ditimpa hujan
lebat dari langit membuat suasana jadi gelap diiringi kilat dan petir. Dalam firman-
Nya: “Atau seperti (orang-orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit disertai gelap
gulita, guruh dan kilat”.
Kedua: di zaman Nabi Muhammad saw, ketika Nabi saw memberitakan
kepada masyarakat tentang masa depan yang gelap bagi orang-orang kafir dan mereka
yang menolak Islam dan iman, terutama setelah kematian, maka berita itu seperti petir
yang menyambar kepala mereka. Mereka lari mencari persembunyian tatkala
mendengar ayat-ayat Allah dan merasa takut pada “petir” argumentasi dan bukti-
bukti-Nya yang berkilauan. Ketika orang-orang mukmin mengambil manfaat dari
cahaya kilat firman Tuhan, orang-orang kafir dan musyrik malah menjauhinya.
Menjauh dari kebenaran seperti ini adalah puncak kepandiran. Sebab, menyumbat
telinga bukanlah merupakan perisai dari sambaran petir dan datangnya maut. Allah
SWT mengisyaratkan tentang hal ini: “Mereka menyumbat telinga dengan jari-
jemarinya, karena (mendengar suara) petir, sebab takut akan mati. Dan Allah
meliputi orang-orang yang kafir”.
Ketiga: Di masa permulaan perkembangan Islam itu, Nabi Muhammad saw
mengajak umat manusia kepada agama yang suci. Nabi saw melantunkan ayat-ayat
yang jelas dan membawakan hujjah-hujjah yang tak terbantahkan kepada mereka,
sehingga, saat itu teranglah kebenaran bagi mereka. Boleh jadi mereka telah berniat
mengikuti langkah Nabi saw dan berjalan di belakang pemikiran-pemikiran beliau,
tetapi keadaan ini tidak berlangsung lama. Mereka cepat kembali mengikuti jejak
bapak-bapak mereka secara buta dan memilih tunduk pada kegelapan hawa nafsu dan
ketidakjelasan (syubhât). Dalam hal ini Allah berfirman: “Hampir-hampir kilat itu
menyambar penglihatan mereka. Setiap kali kilat itu menyinari mereka, mereka
berjalan di bawah sinar itu, dan bila gelap menimpa mereka, mereka berhenti”.
Sampai di sini selesailah tathbiq murakkab.
Al-Quran melanjutkan tamtsil-nya dengan menyatakan: “Jikalau Allah
menghendaki, niscaya Dia melenyapkan pendengaran dan penglihatan mereka.
Sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu”. Yakni bahwa Allah SWT mampu
menjadikan mereka tuli dan buta, sehingga nasihat tidak akan mempan bagi mereka
dan hidayah tidak akan masuk kepada mereka. Hilangnya pendengaran dan
penglihatan mereka tidak lain adalah akibat perbuatan buruk mereka sendiri, yang
mengakibatkan pintu taufik di hadapan mereka tertutup. Maka mereka menjadi tuli,
bisu dan buta.
Selanjutnya ayat-ayat al-Quran menguraikan keadaan memprihatinkan yang
menguasai jiwa orang-orang munafik di tempat hijrah Nabi saw (Madinah). Mereka
gelisah, berjaga-jaga dan takut terhadap turunnya ayat yang dapat menyingkap niat-
niat jahat mereka. Allah SWT berfirman: “Orang-orang yang munafik itu takut akan
diturunkan terhadap mereka sesuatu surat yang menerangkan apa yang tersembunyi
dalam hati mereka. Katakanlah kepada mereka: teruskanlah ejek-ejekanmu (terhadap
Allah dan Rasul-Nya)! Sesungguhnya Allah akan menampakkan apa yang kalian
takuti itu”53.
53 QS. at-Taubah: 64
Di sisi lain, mereka menyaksikan perkembangan kekuaasan dan bertambahnya
kekuatan Islam dalam bentuk kemampuan melenyapkan mereka dari muka bumi,
Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya jika tidak berhenti orang-orang munafik,
orang-orang yang berpenyakit dalam hatinya dan orang-orang yang menyebarkan
kabar bohong di Madinah itu, dari menyakitimu, niscaya Kami perintahkan kamu
(untuk memerangi mereka), kemudian mereka tidak menjadi tetanggamu (di
Madinah) melainkan dalam waktu yang sebentar, dan dalam keadaan terlaknat.
Dimana saja mereka dijumpai, mereka ditangkap dan dibunuh dengan sehebat-
hebatnya”54.
Inilah sebagian yang dapat dikatakan tentang tamtsil yang di dalamnya
terdapat uraian mengenai orang-orang munafik. Sungguhpun begitu, menyesuaikan
tamtsil atas orang-orang munafik di masa kini adalah menjadi tugas terpenting bagi
para mufasir dalam mempelajari keadaan kaum munafik kontemporer. Yaitu, bahwa
hakikat kemunafikan adalah satu, ialah kembali pada menampakkan keimanan dan
menyembunyikan kekufuran; ia bertujuan mencelakakan Islam dan kaum muslimin.
Mereka selalu berada dalam ketakutan dan kekhawatiran, dan pada saat yang sama
mereka tuli, bisu, dan buta dan mereka tidak akan kembali.
Tamtsîl 3
قال سبحانه: إن هللا ال يستحي أن يضرب مثال ما بعوضة فما فوقها فأما الذين آمنوا فيعلمون أنه الحق من ربهم و
أما الذين كفروا فيقولون ماذا أراج هللا بهذا مثال يضل به كثيرا و يهدي به كثيرا وما يضل به إال الفاسقين* الذين
ما أمر هللا به أن يوصل و يفسدون في األرض اولئك هم الخاسرون*ينقضون عهد هللا من بعد ميثاقه و يقطعون
Firman Allah: “Sesungguhnya Allah tiada segan membuat perumpamaan berupa
nyamuk atau yang lebih rendah dari itu. Adapun orang-orang yang beriman maka
mereka yakin bahwa perumpamaan itu benar dari Tuhan mereka, tetapi mereka yang
54 QS. al-Ahzab: 60-61
kafir mengatakan apakah maksud Allah menjadikan ini untuk perumpamaan? Dengan
perumpamaan itu banyak orang yang disesatkan Allah, dan dengan perumpamaan itu
(pula) banyak yang diberi-Nya petunjuk. Dan tidak ada yang disesatkan Allah kecuali
orang-orang fasik, (yaitu) orang-orang yang melanggar perjanjian Allah sesudah
perjanjian itu teguh, dan memutuskan apa yang diperintahkan untuk
menghubungkannya dan membuat kerusakan di muka bumi. Mereka itulah orang-
orang yang rugi” [al-Baqarah: 26-27].
Tafsir Ayat
Kata al-hayâ` (akar kata istihyâ` dalam ayat) berarti perubahan dan kelemahan
yang menyertai manusia karena takut dicela. Dikatakan: Fulan yastahyi an yaf’la
kadzâ, yang artinya: fulan malu atau enggan berbuat demikian. Maksudnya, ia
menahan diri dari melakukan sesuatu.
Jadi, al-hayâ, atau malu, merupakan suatu reaksi. Maka, bagaimana mungkin
kata tersebut dinisbatkan kepada Allah SWT padahal mustahil bagi-Nya untuk
mengikuti perubahan, takut, dan cela?
Jawab: Penisbatan kata atau sifat al-hayâ`, seperti penisbatan sifat al-ghadhab
(murka) dan ar-ridhâ kepada Allah, bahwa semua sifat itu dinisbatkan kepada Allah
terlepas dari dampak-dampak materi, dan diambil dari akibat-akibat. Mereka
mengatakan: khudzuu l-ghâyât watrukuu l-mabâdi`, artinya, raihlah tujuan dan
tinggalkan prinsip. Jadi sifat al-hayâ` (malu) menahan manusia dari melontarkan
perkataan yang disembunyikannya. Dan Allah SWT menafikan penahanan seperti
(manusia) itu. Artinya, tidak ada sesuatupun yang mencegah-Nya dari menampakkan
sesuatu yang benar (kebenaran). Allah berfirman: “dan bila kamu selesai makan,
keluarlah kamu tanpa asyik memperpanjang percakapan. Sesungguhnya yang
demikian itu akan mengganggu Nabi lalu Nabi malu kepadamu (untuk menyuruh
kamu keluar), dan Allah tidak malu (menerangkan) yang benar” (al-Ahzab: 53).
Adapun membuat perumpamaan (dharbul matsal) –pada ayat– sebagaimana
telah dibicarakan sebelumnya ialah, bahwa penggunaan kalimat dharbul matsal di
dalam tamtsil dengan berbagai permisalan mempunyai beberapa bentuk
pertimbangan, antara lain:
Dharbul matsal disebutkan di dalam pembicaraan ialah karena ada satu hal
yang bersesuaian, sehingga tampaklah kebagusan dan kejelekan, kebenaran dan
kekeliruan, di mana sebelumnya tidak tampak. (Istilah) ini diambil dari kalimat
dharbu adh-dharâhim (mencetak dirham-dirham), yaitu istilah dengan ciri tertentu
yang dapat menimbulkan dampak. Dengan kata lain, dharbul matsal mengetuk
gendang telinga si pendengar hingga meresap ke dalam hati si pendengar. Tapi ia
tidak terkesan menghina dan menjelekkan pribadi siapa pun selain menyerupakan si
pendengar dengan sesuatu yang berlaku pada umumnya. Apabila kalimat dalam
dharbul masal itu mengandung argumentasi nyata maka siapa pun yang dituju
perumpamaan itu merasa terhina dan tidak senang (Tafsir al-Maraghi: 1/70).
Al-ba’udhah (nyamuk) –pada ayat– adalah binatang kecil berbelalai yang
bentuk belalainya mirip belalai gajah, berongga, dan dapat menghisap serta menyerap
darah. Allah SWT memberi nyamuk kekuatan menyerap dan membuang, serta telinga
dan sayap, yang sempurna sesuai dengan kondisi kehidupannya. Nyamuk sangat
sensitif, mampu melarikan diri dengan kemahiran yang menakjubkan ketika datang
bahaya mengancamnya. Bentuk tubuhnya yang kecil dan ringan menjadi kelebihan
baginya, selain merupakan pertahanan juga dapat membuat kewalahan binatang-
binatang besar dengan manuver-manuvernya. Para pakar biologi belakangan berhasil
menyingkapkan bahwa nyamuk mampu menyadap gerak mangsanya hingga jarak
sejauh enam puluh lima kilometer.
Tentang kebenarannya, Imam Ali bin Abi Thalib as berkata: “Bagaimana
mungkin? Sekalipun semua hewan bumi, burung atau hewan buas, ternak yang
dikandang atau yang merumput di padang, dari berbagai asal dan jenis, orang bodoh
dan manusia arif –bergabung bersama– berusaha untuk menciptakan (sekalipun
hanya) seekor nyamuk, mereka tidak akan mampu membuatnya dan tidak pernah
mengetahui bagaimana cara penciptaannya. Pikiran mereka justru bingung sekaligus
takjub. Kekuatan mereka terlampau kurang, percobaan mereka gagal, dan akhirnya
kembali dengan letih dan kecewa. Mereka mendapati bahwa sesungguhnya mereka
dikalahkan, dan mengakui ketidakmampuan mengadakan atau menciptakannya.
Mereka menyadari pula bahwa mereka terlalu lemah (sekalipun) hanya untuk
menghancurkannya” (Nahjul Balaghah: 186).
Tentang penciptaan binatang kecil ini, Imam Ja’far Shadiq as mengatakan:
“Sesungguhnya Allah membuat perumpamaan dengan nyamuk yang bertubuh kecil.
Allah menciptakan segenap apa yang ada padanya juga seperti yang Dia ciptakan
pada gajah yang bertubuh besar, dan (dengan) tambahan dua anggota (tubuh) yang
lain. Allah berkehendak memperingatkan kepada orang-orang mukmin atas
kelembutan dan keunikan ciptaan-Nya” (Majmâ’ al-Bayan: 1/67).
Sampai di sini uraian penafsiran dari sisi kosakata ayat selesai. Adapun tafsir
ayat secara keseluruhan, para mufasir memilih cara penukilan sebab turun (asbabun
nuzul) ayat dengan dua segi atau cara pandang:
Pertama; ketika Allah SWT membuat dua perumpamaan bagi kaum munafik
sebelum ayat ini, yaitu pada ayat: “Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang
menyalakan api” dan “Atau seperti (orang-orang yang ditimpa) hujan lebat dari
langit”. Orang-orang munafik berkata: Allah Maha Tinggi dan Maha Agung dari
membuat perumpamaan-perumpamaan seperti ini. Kemudian, Allah SWT
menurunkan ayat (al-Baqarah: 26-27) ini.
Kedua; bahwa ketika Allah SWT membuat perumpamaan dengan lalat dan
laba-laba, kaum musyrikin berkomentar mengenai perumpamaan yang dibuat itu
dengan mencela penyebutannya. Lalu, Allah SWT menurunkan ayat ini (Majmâ’ al-
Bayan: 1/67).
Pada segi yang pertama di atas mengandung kelemahan. Orang-orang munafik
tidak memungkiri dharbul matsal, tapi mereka mengingkari dua perumpamaan yang
dibawa oleh ayat tersebut, yaitu mengumpamakan (baca: menyerupakan) keadaan
mereka dengan dua matsal tadi. Padahal, tamtsil dengan nyamuk bukanlah sebuah
jawaban untuk membalas pengingkaran mereka. Karena mereka telah mengingkari
dua matsal yang datang membawa kebenaran itu. Maka tiadanya istihyâ (segan atau
malu) Allah mentamtsilkan nyamuk sama sekali bukanlah untuk membalas
penentangan mereka.
Dan segi kedua, (ayat) dharbul matsal dengan lalat dan laba-laba termasuk
dalam ayat-ayat Makkiyah. Yakni, ayat pertama (lalat) ada di dalam surat al-Hajj dan
ayat kedua (laba-laba) ada di dalam surat al-‘Ankabut yang keduanya turun di Mekah.
Sementara ayat ini (tentang nyamuk) turun di Madinah. Maka bagaimana mungkin
ayat yang turun di Madinah (tempat hijrah Nabi saw) menjadi jawaban atas penolakan
kaum musyrikin di Mekah (tanah air beliau)?.
Alhasil, ayat di atas menjelaskan bahwa tolok ukur kebenaran tamtsil bukanlah
pada berat atau besarnya sesuatu yang diumpamakan dengannya. Jadi bukanlah
tamstil dengan nyamuk itu menjadi aib, dan bukan pula tamtsil dengan onta dan gajah
itu sempurna. Sesungguhnya yang bisa disebut kesempurnaan dalam perkara ini ialah
bila suatu matsal mampu menjadi penjelas bagi hakikat yang sebenarnya, yang
dilupakan oleh orang yang diajak bicara (mukhathab), tanpa membedakan komponen
yang dibuat perumpamaan (penyerupaan), baik perumpamaan kecil atau besar.
Dengan ibarat lain; ketika target perumpamaan adalah kesan dan pengaruh
pada diri pihak yang dituju, maka kalimat yang digunakan menuntut perumpamaan-
perumpamaan dari sesuatu yang mengena, seperti mengambil perumpamaan nyamuk
yang mempunyai sifat rendah yang – sifat rendahnya itu – cenderung dijauhi dalam
kebiasaan masyarakat. Jadi, tolok ukurnya adalah kegunaan matsal untuk merealisasi
apa yang diinginkan si pembicara (mutakallim), tanpa perlu membedakan antara kecil
dan besarnya unsur perumpamaan yang dibawanya. Sebagaimana firman Allah SWT:
Sesungguhnya Allah tiada segan membuat perumpamaan berupa nyamuk”, bahkan
yang lebih kecil lagi, seperti kuman-kuman yang tak dapat dilihat kecuali dengan
menggunakan mikroskop. Persis seperti kalau kita mengatakan: “Fulan tidak peduli
berbakhil dengan setengah dirham fa mâ fauqahâ (baca: atau bahkan lebih sedikit lagi
dari itu)”.
Seandainya maksud fa mâ fauqahâ adalah “banyaknya”, maka kata yang
selayaknya digunakan adalah fadhlan ‘an atau (apalagi) satu dan dua dirham.
Pendapat sebagian orientalis yang menyatakan, “yang seharusnya dikatakan
ialah fa mâ duunahu (bahkan yang di bawahnya) adalah tidak sempurna. Mengapa?
Sebab, untuk membedakan antara kalimat fa mâ fauqahâ dan kalimat fadhlan ialah,
kalimat pertama yang di situ terdapat pasangan kata (qarinah) posisi, bermakna fa mâ
fauqahâ di dalam kecil dan kerendahan, bukan bermakna fadhlan (apalagi).
Barangkali, tafsiran ayatnya mengatakan: Allah tidak malu membuat
perumpamaan berupa nyamuk fa mâ fauqahâ di dalam besar(nya). Akan tetapi,
pendapat yang pertama (yakni fa mâ fauqahâ di dalam kecilnya) lebih sesuai bagi
maksud mutakallim. Sebagaimana dikatakan: “Lantaran kau berbuat kejahatan untuk
satu dinar, bal fauqahu (bahkan di atasnya), yakni setengah dinar. Dan yang dimaksud
fauqiyah (sifat di atas) itu adalah fauqiyah di dalam kerendahan.
Az-Zamakhsyari melontarkan pertanyaan pada dirinya sendiri: “Bagaimana
Allah membuat perumpamaan pada “sesuatu di bawah nyamuk”, sedangkan nyamuk
adalah binatang terkecil? Ia menjawab: Bahwa sayap nyamuk lebih rendah dan lebih
kecil kedudukannya, dan Rasulullah saw telah membuat perumpamaan bagi dunia.
Dalam ciptaan Allah terdapat binatang yang lebih kecil dari nyamuk dan bahkan lebih
kecil lagi dari sayapnya. Mungkin Anda telah melihat secara tekun dan jeli
keberadaan kitab-kitab kuno yang tulisannya nyaris tidak terang lagi bagi penglihatan
mata kita yang tajam, kecuali dengan cara digerak-gerakkan. Karena Bila didiamkan,
tulisannya akan tertutupi. Kemudian bila (tulisannya) ditampakkan dengan tangan,
maka akan menyimpang dan miring. Mahasuci Dia yang mengetahui gambar itu dan
anggota-anggotanya yang lahir maupun yang batin berikut kedetailan bentuknya. Dia
melihat penglihatannya dan mengetahui kedalamannya, bahkan barangkali yang
paling kecil dan super kecil dalam ciptaan-Nya; Maha suci (Allah) Yang menciptakan
semuanya (makhluk) berpasangan dari apa yang ditumbuhkan tanah dan dari diri-diri
mereka serta dari apa yang tidak mereka ketahui. (al-Kasysyaf: 205-206).
Al-Baidhawi berkata: “Ketika ada ayat-ayat yang sebelumnya memuat
bermacam-macam tamtsil maka setelah itu dilanjutkan dengan menjelaskan
keindahannya. Kebenaran apa yang dimiliki dan syarat apa yang ada di dalamnya
ialah sebuah kenyataan yang diambil dari al-mumatstsal lahu (yang
diperumpamakan), di sisi mana tamtsil tersebut berkaitan dengannya dalam kebesaran
dan kerendahan, kehinaan dan kemuliaannya, tanpa menyangkut al-mumatstsal (yang
diumpamakan). Artinya, tamtsil dibuat untuk menyingkap makna al-mumatstsal lahu,
mengangkat tirai yang menutupinya dan menampakkan sesuatu dalam bentuk yang
bisa diinderai, guna membantu akal memahami keadaan sesungguhnya dan
mempertemukan dengan dirinya. Makna itu sendiri dijangkau oleh akal disertai
perbedaan dan perselisihan pemahaman. Sebab, hal itu sudah merupakan tabiat
manusia yang condong pada indera dan senang pada persamaan. Oleh karena itu al-
amtsal populer di dalam kitab-kitab Ilahiyah dan tersebar dalam ibarat-ibarat para
sastrawan dan dalam isyarat-isyarat para filosof. Maka diperumpamakanlah orang
hina dengan yang hina, sebagaimana orang besar dengan yang besar. Meskipun al-
mumatstsal (yang diumpamakan) lebih besar (agung) dari semua yang besar.
Sebagaimana perumpamaan di dalam Injil; mengumpamakan dada dengan pohon
kurma, mengumpamakan hati yang keras dengan kerikil dan mengumpamakan
bergaul dengan orang-orang dungu dengan memuliakan tabuhan. Dalam perbincangan
bahasa Arab misalnya dikenal perkataan: lebih mendengar dari kutu binatang, lebih
gegabah dari kupu-kupu dan lebih mulia dari otak nyamuk (al-Baidhawi: 1/43).
Barangkali ada pendapat yang mengatakan bahwa tamtsil dengan sesuatu yang
rendah dan hina tidak sesuai dengan kalam para sastrawan. Sehingga, al-Quran yang
mencantumkan semut, lalat, laba-laba, dan lebah di dalamnya, tidak bisa disebut fasih,
apalagi berkedudukan sebagai mukjizat.
Shadru Muta’allihin asy-Syirazi (Mulla Shadra), wafat 1050 H, menjawab:
“Sesungguhnya kehinaan seperti itu tidak bertentangan dengan tamtsil, jika syarat
dalam perumpamaan itu sesuai dengan mumatstsal lahu, yakni dari arah mana tamtsil
itu mengundangnya dengan sesuatu, seperti kebesaran dan kerendahan, kemuliaan dan
kehinaan, dan bukan atas dasar kesesuaian dengan sesuatu yang menjadi obyek
tamtsil dan yang dibuat permisalan. Karena tujuan asli dari tamtsil adalah
menjelaskan makna rasional dan menghapus kesamaran ketika muncul dalam bentuk
yang bisa diinderai, dengan maksud membantu akal untuk memahaminya. Sebab,
sebagaimana maklum, akal manusia selama berhubungan dengan kekuatan inderawi,
tidak dapat menjangkau kedalaman makna tanpa adanya waham dan persamaannya,
yang salah satu tabiatnya ialah seperti setan-setan yang bermain dalam takhayul tanpa
ketetapan dalam sebuah gambaran.
Oleh karena itu, al-amtsâl beredar di dalam kitab-kitab samawi, tersebar
dalam ibarat orang-orang fasih Arab dan Ajam, dan termaktub dalam isyarat dan
kaidah-kaidah para filosof, tertuang dalam suhuf-suhuf dan lembaran-lembaran tulisan
mereka. Semuanya dirangkai dalam ungkapan yang menyempurnakan terawang
imajinasi dan penglihatan indera. Di dalam tamtsil ada berlipat-lipat sentuhan yang
membangkitkan potensi jiwa, pada awalnya memperumpamakan rasional dengan
imajinasi, lalu memperumpamakan imajinasi dengan bentuk gambar yang terinderai,
yang terukur dan berbentuk. (Tafsir al-Quran al-Karim: 2/192-193).
Penafsiran terhadap ayat al-Quran menyatakan, Allah SWT menyebutkan
posisi manusia yang terbagi dua di hadapan al-amtsal:
1- Kaum mukmin. Mereka adalah orang-orang yang posisinya tergambar
seperti dalam firman Allah SWT: “Adapun orang-orang yang beriman maka mereka
yakin bahwa perumpamaan itu benar dari Tuhan mereka”.
2- Kaum kafir. Mereka adalah orang-orang yang kedudukannya tampak seperti
dalam firman Allah SWT: “tetapi mereka yang kafir mengatakan apakah maksud
Allah menjadikan ini untuk perumpamaan?”. Dalam ayat ini tampak bahwa ucapan
mereka, “mâ arâda llâh” (“apa maksud Allah”) adalah bermaksud mengejek seruan
Rasulullah saw yang menyatakan bahwa matsal (perumpamaan) yang
disampaikannya adalah wahyu dari Allah SWT. Atau, lebih gamblangnya, orang-
orang kafir dan munafik itu sebenarnya mengingkari wahyu Ilahi.
Oleh karena itu, kita dapat melihat bahwa keberadaan sesuatu bisa menjadi
sebab datangnya hidayah bagi satu golongan tapi juga dapat menimbulkan kesesatan
bagi golongan yang lain. Semua itu tidak lain karena adanya perbedaan penerimaan
pada tiap orang. Bagi orang yang siap menerima kebenaran dan hakikat, maka ayat-
ayat Ilahiyah menjadi sebab hidayah. Sedangkan bagi yang menentang, sesungguhnya
mereka adalah orang-orang yang tuli dari mendengar kalimat al-haq, mereka
mengingkari ayat-ayat, dan menjadi kufur.
Ayat al-Quran yang berbunyi, “Dengan perumpamaan itu banyak orang yang
disesatkan Allah, dan dengan perumpamaan itu (pula) banyak yang diberi-Nya
petunjuk. Dan tidak ada yang disesatkan Allah kecuali orang-orang yang fasik”, ialah
kalam Allah SWT yang tidak ada kaitannya dengan perkataan kaum yang ingkar.
Kalam-Nya tetap sempurna, dan ayat: “bi hâdaâ matsalan” (dengan perumpamaan
ini), berarti amtsal itu berkesan bagi satu kaum, namun tidak pada kaum yang lain.
Kemudian Allah SWT menjelaskan penyebab kesesatan orang-orang yang
tidak beriman dalam kalimat; “Dengan perumpamaan itu banyak orang yang
disesatkan Allah”. Al-fisq –dalam etimologi– adalah isi buah kurma, dan dalam
terminologi ialah orang yang keluar dari ketaatan Allah, baik itu seorang muslim biasa
atau kafir yang fasik.
Para mufasir merinci makna kalimat akhir ayat; “Dengan perumpamaan itu
banyak orang yang disesatkan Allah, dan dengan perumpamaan itu (pula) banyak
yang diberi-Nya petunjuk”, dengan tafsiran bahwa bagian ayat tersebut ingin
mengisyaratkan pada konsep keterpaksaan (jabr). Meskipun tidak sedikit pula dari
mereka yang mencoba menafsirkan ayat ini dengan bentuk lain, yaitu yang selaras
dengan konsep ikhtiar. Namun demikian, ke mana maksud ayat ini tertuju ialah
menjelaskan bahwa nasihat-nasihat sejuk dan untaian-untaian hikmah sesungguhnya
mempunyai pengaruh yang efektif; hati manusia dapat menerima kesan positif dan
akal menolak kesan negatif. Inilah barangkali tafsiran ayat yang di atas!.
Selain itu, dapat diduga pula bahwa ayat di atas tidak berada dalam posisi
menjelaskan dharbul matsal dengan nyamuk seperti dharbul matsal dengan laba-laba
dan lalat. Tetapi ayat itu keluar dari ruang dhabul matsal dalam makna
terminologisnya. Ayat di atas sebenarnya hendak menjelaskan qudrat Ilahiah, tentang
sifat-sifat kamal (keindahan) dan jalal (Keagungan)-Nya. Juga ingin menjelaskan
bahwa Allah tidak malu berargumentasi atas qudrat-Nya, keagungan dan keindahan-
Nya dengan menciptakan makhluk-makhluk-Nya, baik yang besar dan agung seperti
langit dan bumi, maupun yang kecil dan rendah seperti nyamuk dan lalat. Jadi makna
dharbul matsal di sini adalah mengagungkan Allah SWT dengan sifat-sifat agung dan
sempurna.
Sebagian mufasir berusaha menunjukkan bahwa Allah SWT berargumentasi
atas jalal dan kamal-Nya dengan menciptakan langit dan bumi: “Hai manusia,
sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu,
agar kamu bertakwa. Dialah Yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan
langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia
menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezki untukmu; Karena
itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu
mengetahui” [al-Baqarah: 21-22].
Atas konsep di atas terlintas dua hal:
Pertama, apabila maksud dari dharbul matsal adalah penyifatan Allah dengan
qudrat yang agung, maka yang lazim setelah ayat 21-22 al-Baqarah ini ialah ayat di
atas (al-Baqarah 26-27). Sementara pemisah antara keduanya, yakni tiga ayat (ayat
23-25 al-Baqarah) terfokus pada mukjizat al-Quran dan tantangannya, dan berpaling
pada taman surga dan buah-buahannya, sebagaimana kita bisa merujuk al-Quran.
Kedua, al-Quran pada sebagiannya menafsirkan sebagian yang lain. Dalam
ayat di atas Allah SWT berfirman: “Adapun orang-orang yang beriman maka mereka
yakin bahwa perumpamaan itu benar dari Tuhan mereka”. Setelah menggambarkan
al-haqq dan al-bâthil dengan matsal yang indah (yang nanti akan di bahas pada
tamtsil ke 21), Allah SWT berfirman: “Allah telah menurunkan air (hujan) dari
langit, maka mengalirlah air di lembah-lembah menurut ukurannya.., -sampai pada
ayat- Demikianlah Allah membuat perumpamaan-perumpamaan”. Dan: “Adakah
orang yang mengetahui bahwa apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itu
adalah benar sama dengan orang buta? Hanyalah orang-orang yang berakal saja
yang dapat mengambil pelajaran, (yaitu) orang-orang yang memenuhi janji Allah dan
tidak merusak perjanjian” [ar-Ra’d: 17-20].
Kita dapat mengatakan bahwa ayat-ayat dalam surat al-Baqarah dan ar-Ra’d
bagaikan satu batang emas, yang saling menafsirkan satu sama lain. Dalam surat al-
Baqarah disebutkan dharbul matsal dengan nyamuk, sebagaimana termuat dalam
surat ar-Ra’d sebuah matsal mengenai al-haqq dan al-bâthil.
Dalam surat al-Baqarah, Allah SWT berfirman: “Adapun orang-orang yang
beriman maka mereka yakin bahwa perumpamaan itu benar dari Tuhan mereka”.
Dan di dalam surat ar-Ra’d, Allah berfirman: “Adakah orang yang mengetahui bahwa
apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itu adalah benar sama dengan orang
buta? Hanyalah orang-orang yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran”.
Firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah berbunyi: “Dan tidak ada yang
disesatkan Allah kecuali orang-orang yang fasik”, ditafsirkan dengan ayat: “(yaitu)
orang-orang yang melanggar perjanjian Allah sesudah perjanjian itu teguh”.
Dalam surat ar-Ra’d, ulil albâb (baca: orang-orang yang berakal) ditafsirkan
dengan: “(yaitu) orang-orang yang memenuhi janji Allah dan tidak merusak
perjanjian”.
Dengan membandingkan ayat-ayat ini maka terungkap bahwa maksud dari
dharbul matsal adalah makna yang sudah dikenal. Yakni, tamtsil dengan nyamuk
ialah untuk menghinakan sesembahan-sesembahan orang-orang musyrik atau yang
semacamnya.
Barangkali riwayat yang telah kami nukil dari Imam Ja’far ash-Shadiq as di
muka dapat menguatkan maksud dari kesimpulan penjelasan ini. Maka renungilah!
Tamtsîl 4
ثم قست قلوبكم من بعد ذلك فهي كالحجارة أو أشد قسوة و إن من الحجارة لما يتفجر منه األنهار و إن منها لما
يشقق فيخرج منه الماء و إن منها لما يهبط من خشية هللا و ما هللا بغافل عما تعملون*
“Kemudian setelah itu hatimu menjadi keras seperti batu, bahkan lebih keras lagi.
Padahal di antara batu-batu itu sungguh ada yang mengalir sungai-sungai
daripadanya dan di antaranya sungguh ada yang terbelah lalu keluarlah mata air
daripadanya dan di antaranya sungguh ada yang meluncur jatuh, karena takut
kepada Allah. Dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang kamu kerjakan” [al-
Baqarah: 74].
Tafsir Ayat
Ayat ini turun setelah kisah sapi yang disembelih Bani Israil. Masyarakat Bani
Israil membantah nabinya, Musa as, dengan maksud hendak berlepas diri dari perintah
“menyembelih sapi”. Tetapi pada akhirnya mereka dapat melaksanakan
penyembelihan dan hampir saja mereka tidak melakukannya.
Penyembelihan sapi yang diperintahkan Nabi Musa as adalah upaya untuk
menentukan secara tegas identitas seorang pembunuh licik, yang melontarkan tuduhan
pembunuhan kepada seseorang dari Bani Israil. Keluarga dari Bani Israil mengelak
dan membela diri dari tuduhan tersebut. Kemudian mereka datang kepada Nabi Musa
as meminta jalan keluar menyelesaikan masalah tersebut. Dan Allah SWT
berkehendak menampakkan hakikat perkara tersebut melalui hal yang menakjubkan.
Nabi Musa as berkata kepada mereka; “Sesungguhnya Allah SWT memerintahkan
agar kalian menyembelih sapi”. Ketika mereka telah menyembelihnya –setelah
melewati perdebatan panjang– lalu Nabi Musa as menyuruh mereka (atas perintah
Allah SWT) agar memukul (mayat) yang terbunuh dengan sebagian anggota sapi,
sehingga mayat itu hidup (kembali) dan menunjuk siapa pembunuhnya.
Allah SWT berfirman: “Lalu Kami berfirman: “Pukullah mayat itu dengan
sebagian anggota sapi betina itu?”. Demikianlah Allah menghidupkan kembali
orang-orang yang telah mati, dan memperlihatkan padamu tanda-tanda kekuasaan-
Nya agar kamu mengerti” [al-Baqarah: 73].
Dengan melihat mukjizat agung Nabi Musa as itu, sempurnalah hujjah kepada
masyarakat. Mukjizat itu bertujuan untuk menambah keimanan dan ketaatan mereka
kepada Nabi Musa as. Tetapi sayangnya, hati mereka keras (qasâwat), sebagaimana
terungkap dalam ayat, “Kemudian setelah itu hatimu menjadi keras seperti batu,
bahkan lebih keras lagi”.
Di satu sisi, masyarakat mengenal batu sebagai benda yang keras, dan Allah
SWT menyerupakan hati mereka dengan batu; yaitu hati mereka “seperti batu,
bahkan lebih keras lagi”. Huruf “aw” dalam ayat ini mengganti posisi huruf “bal”
(bahkan).
Kemudian, kalbu-kalbu (al-qulûb); bisa bermakna jiwa-jiwa yang berpikir (an-
nufus an-nâthiqah). Maka, dalam konteks seperti ini, hubungan kerasnya hati pada
ruh adalah hubungan atau nisbah yang bersifat hakiki. Atau, maksud dari al-quluub
adalah anggota (tubuh) yang terletak di dada sisi kiri, yang berperan sebagai
pembersih darah dan mengirimkan darah ke segenap anggota tubuh. Jika maksudnya
seperti penjelasan yang kedua ini maka hubungannya menjadi bersifat majazi. Dan
sebenarnya, kekerasan atau keras (qasâwat) tersebut dinisbatkan pada bagian anggota
tubuh ini, karena anggota ini (hati atau quluub) adalah bagian dari fenomena
kehidupan insaniyah, dan merupakan anggota pertama yang tergerak oleh perkara-
perkara psikologis, seperti senang, marah, sedih, dan takut. Maka tidak ada
pertentangan di dalam kandungan maksud ayat. Sebab, keberadaan pencapai (mudrik)
adalah jiwa yang berpikir, meskipun kaitan pencapaian (idrâk) pada hati adalah benar.
Allah SWT menerangkan, hati para pengingkar kebenaran itu lebih keras dari
batu, dan menjelaskan penyebab kekerasan itu dengan tiga perkara: (1)- “Padahal di
antara batu-batu itu sungguh ada yang mengalir sungai-sungai daripadanya”. (2)-
“Dan di antaranya sungguh ada yang terbelah lalu keluarlah mata air daripadanya”.
(3)- “Dan di antaranya sungguh ada yang meluncur jatuh, karena takut kepada
Allah”.
Yang pertama; sungai-sungai yang memancar dari batu-batuan, seperti mata
air yang mengalir dari gunung yang berbatu. Yang kedua; seperti mata air yang
muncul ketika terjadi gempa yang menimbulkan pecahan tanah dan batu, lalu
memancar air dari celah batu itu, yang melancarkan aliran sungai-sungai. Dan ketiga;
seperti runtuhan batu dari bukit tinggi ke lembah yang menurun, karena takut kepada
Allah SWT.
Tidak menutup kemungkinan juga bahwa runtuhan batu itu (hubûth) terjadi
karena sebab natural, seperti karena adanya sambaran petir yang menimpa bebatuan,
dan ada pula karena sebab spiritual, yakni ketika wahyu Ilahiah mengungkap
tentangnya. Atau, batu itu runtuh karena takut kepada Allah SWT. Dengan kata lain,
meskipun batu itu keras, tetapi ia bisa tergerak karena faktor-faktor di atas. Sementara
hati Bani Israil, tetap keras dan tidak bereaksi mendengar dan melihat wahyu serta
hujjah Ilahiah yang dibawa oleh Rasul-Nya. Jadilah jiwa mereka tidak merasa takut
dan tunduk terhadap perintah dan larangan-Nya.
Hal yang mengherankan ialah karena Bani Israil melihat dengan mata kepala
mereka sendiri kelunakan batu-batu tatkala Nabi Musa as mencari air untuk kaumnya,
lalu Nabi Musa as diperintah Allah SWT memukul batu itu dengan tongkatnya.
Ketika batu dipukul, memancarlah air darinya menjadi dua belas mata air –sesuai
bilangan al-Asbâth (Imam Dua Belas as).
Ayat ini secara lahiriah menjelaskan kondisi batu yang bisa runtuh karena
takut kepada Allah SWT. Inilah hakikat ilmiah yang hendak diungkap oleh wahyu
Ilahi, meskipun orang-orang tidak dapat menjangkaunya melalui panca indera. Mulla
Shadra mengatakan: Alam ciptaan dengan segenap bagiannya bertasbih dan memuji
Allah SWT karena mereka berperasaan. Setiap wujud dari segala yang ada di alam
semesta ini memiliki perasaan dan pencapaian sendiri sesuai potensi yang dimilikinya.
Dengan perasaan itu, segala maujud bertasbih kepada penciptanya, yaitu Tuhan Yang
Maha Suci dari segala aib dan kekurangan.
Mulla Shadra melanjutkan: Ilmu, perasaan, dan pengetahuan, semuanya ada
pada tingkatan-tingkatan wujud. Pertama bermula dari Wajibul Wujud (Allah) sampai
pada tetumbuhan dan benda-benda mati. Setiap maujud menunjukkan dirinya dengan
tingkatan wujud dan mendapat bagian berupa sifat-sifat umum seperti ilmu, perasaan,
hidup, dan lain sebagainya. Dan setiap maujud tidak pernah lepas dari kondisi
demikian. Tujuan dari rangkaian keterkaitan wujud ini ialah bahwa sifat-sifat itu
kadang-kadang tak tampak pada diri kita karena wujud kita sedang lemah dan surut.
Hal itu menunjukkan tentang posisi sesungguhnya dari setiap maujud ciptaan,
yakni semakin ia menjauh dari (tingkat) materi dan mendekati pada tajarrud (lepas
dari materi), atau menjadi mujarrad secara aktual, maka semakin besar, kuat, dan
jelaslah sifat-sifat tersebut baginya. Tapi sebaliknya, maujud yang semakin dekat
dengan materi dan hanyut di dalamnya, maka sifat-sifat miliknya itu semakin lemah
dan surut sehingga menghilang sekali waktu. Seolah-olah lenyap dan kosong dari
pengetahuan, perasaan, dan pencapaian. Meskipun sebenarnya bukanlah demikian –
sebagaimana yang kita duga–, sebab maujud tersebut tetap memiliki pengetahuan dan
perasaan, hanya saja ia berada dalam keadaan lemah dan surut. Dalam kondisi seperti
ini ia tidak mungkin mencapai kekuatan dan ketinggian dengan cepat dan mudah. (al-
Asfar: 1/118, dan 6/ 139, 140).
Tidak hanya ayat di atas yang mengungkapkan tentang masalah ini. Tidak
sedikit ayat lain yang menguatkan keberadaan perasaan dalam setiap maujud alam
ciptaan, mulai dari atom-atom atau ion-ion hingga ke galaksi-galaksi. Allah SWT
berfirman: “Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih
kepada Allah. Dan tak ada satupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi
kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah maha
penyantun lagi maha pengampun” [al-Isra: 44].
Telah dipaparkan pada bagian pertama buku ini mengenai penisbatan perasaan
pada seluruh bagian alam. Oleh karena itu, di sini penjelasannya hanya singkat saja.
Bagi yang menginginkan pembahasan secara lebih rinci, hendaknya merujuk pada
tempat atau bagian tersendiri.
Tamtsîl 5
و مثل الذين كفروا كمثل الذي ينعق بما ال يسمع إال دعاء و نداء صم بكم عمي ال يعقلون
Artinya: “Dan perumpamaan (orang-orang yang menyeru) orang-orang kafir adalah
seperti pengembala yang memanggil binatang yang tidak mendengar selain
panggilan dan seruan saja. Mereka tuli, bisu dan buta, maka (oleh sebab itu) mereka
tidak mengerti” [al-Baqarah: 171].
Tafsir Ayat
An-na’iiq; ialah suara bentakan pengembala kepada kambingnya. Dikatakan
na’iqa-yan’iqu-na’iiq ar-rrâ’i li ghanamihi (atau: pengembala berteriak kepada
kambingnya dengan membentak).
An-nidâ`; asal kata nâdâ-yunâdii-munâdâh, berarti memanggil. Kata ini lebih
khusus dari kata ad-du’â` (doa). Di dalam kata an-nidâ` ada pengerasan suara (jahr)
dan semacamnya, yang berbeda dengan kata ad-du’â`.
Penafsiran ulama terhadap ayat di atas ada beberapa macam: Pertama, ayat
tersebut ingin menyerupakan orang-orang kafir dengan seorang pengembala yang
membentak kambing gembalanya. Penyerupaan ini tidaklah benar kecuali jika si
pengembala itu tuli. Maka maknanya menjadi: sesungguhnya orang-orang kafir yang
tak mempedulikan dakwah Ilahiyah adalah seperti orang tuli yang berteriak
membentak dengan suara lantang yang dirinya tidak mendengar dan tidak dapat
membedakan makna-makna teriakannya sendiri secara rasional, kecuali hanya suatu
panggilan atau seruan keras yang tak bermakna.
Titik penyerupaannya ialah si pengembala itu tuli, sebagaimana orang-orang
kafir itu tuli, bisu dan buta, tidak menggunakan akal sehat. Dalam makna ini, maka
yang diserupakan adalah orang-orang kafir yang tidak mengerti seruan Nabi
Muhammad saw, kecuali hanya sebagai suara dan seruan yang tidak bermakna. Dan
yang dijadikan serupa adalah seorang pengembala yang berteriak membentak
kambing gembalaannya, tapi ia tidak mendengar dari suara bentakan itu kecuali
panggilan dan seruan tanpa makna apa-apa.
Meskipun penafsiran pertama ini tampaknya sesuai dengan bunyi lahir ayat,
tetapi dari sisi makna masih kurang tepat. Karena seandainya tujuannya adalah bahwa
orang-orang kafir itu tuli, bisu dan buta, serta tidak berpikir, maka cukuplah
penyerupaan mereka dengan binatang yang keadaannya juga demikian. Lalu apa
bentuk bagi penyerupaan mereka dengan manusia berakal yang hilang pendengaran
dan tidak mendengar suara bentakannya sendiri kecuali sekadar suara dan seruan?
Kedua, bahwa yang diserupakan adalah Nabi Muhammad saw, dan yang
dijadikan serupa adalah pengembala kambing. Maknanya: perumpamaan yang
disampaikan oleh Nabi Muhammad saw dalam menyeru orang-orang kafir adalah
seumpama dengan pengembala yang berteriak memanggil binatang-binatang ternak
yang tidak mendengar maksud panggilan itu kecuali hanya suara teriakan atau seruan
belaka. Lalu binatang itu terhalau hanya dengan bentakan suara yang didengarnya
tanpa memikirkan seruan tersebut. Dengan ungkapan lain, orang-orang kafir itu
menulikan diri tidak mendengar ucapan yang bermanfaat bagi mereka, membisukan
diri tidak berbicara sesuatu yang manfaat, dan membutakan diri tidak mau melihat
hujjah di depan mata. Jadilah, mereka tidak mengerti apapun. Seruan dan sentuhan
yang menjadikan berpikir pun terkunci oleh mereka.
Dengan demikian yang tampak dalam pembicaraan ini mengandung satu
perhatian yang mendalam, yaitu perumpamaan dengan menyerupakan orang yang
memanggil dengan sesuatu yang dia sendiri tidak mendengar kecuali sekadar seruan
semata. Seperti orang yang menyeru kepada hidayah, tapi bukan seperti kaum kafir
yang diseru kepada hidayah. Dari perumpamaan itu disimpulkan ada tiga sifat dari
mereka yang tidak mau mendengar, seperti disampaikan pada kalimat berikutnya pada
ayat, yaitu; tuli, bisu dan buta, maka (oleh sebab itu) mereka tidak mengerti.
Bilamana orang-orang kafir bersifat demikian, maka jelas mengharuskan
perumpamaan itu ditujukan pada orang-orang kafir, bukan kepada Rasulullah (saw).
Sehingga bunyi tamtsilnya adalah penyerupaan dengan hati! (al-Mizan: 420)
Penulis tafsir al-Manar menafsirkan ayat ini dengan bentuk yang pertama di
atas, bahwa: matsalu l-ladziina kafaruu (perumpamaan orang-orang yang kafir), yakni
sifat mereka dalam mengikuti (taklid buta kepada) ayah-ayah dan pemimpin-
pemimpin mereka, ialah seperti orang yang tidak mendengar kecuali panggilan dan
seruan saja. Yakni seperti sifat pengembala binatang ternaknya yang mendengar,
membentak dan menjerit, menggiring mereka menuju padang gembala, memanggil
menuju air dan melindungi mereka dari kepanasan. Ternak itu mengindahkan seruan
dan tergerak oleh hentakan suara teriakan yang dilakukan secara berulang-ulang.
Keadaan mereka (orang-orang kafir) diserupakan dengan keadaan pengembala yang
memanggil, dan kambing yang menyambut. Ia menghalau dan kambing pun terhalau.
Kambing itu tidak mengerti apapun yang dikatakan pengembalanya, tidak tahu arti
apa-apa. Ia hanya mendengar suara-suara yang datang, sebagian mengikuti yang lalu
diikuti sebagian yang lain secara kebiasaan, tanpa mengerti sebab datang dan perginya
suara teriakan itu (Tafsir al-Manar: 2/93-94).
Dengan demikian, boleh dikatakan bahwa ayat tersebut bermaksud mencela
orang-orang kafir. Mereka tidak berpegang pada keimanan dan tidak melaksanakan
perintah serta larangan Tuhan. Oleh karena itu, ayat tersebut menjadi semacam ujian
bagi mereka. Sebab, seandainya mereka seperti binatang-binatang ternak yang
mendengar, mereka menjawab panggilan Nabi (saw) seperti ternak menyambut
panggilan pengembala, dan tergerak dengan halauan seperti terhalaunya ternak oleh
halauan si pengembala. Demikian ini berbeda dengan apa yang dimaksud, karena
yang dimaksud adalah bahwa mereka dengan bukti firman Allah: “tuli, bisu dan
buta”, tidak mendengar perkataan Nabi saw, tidak memahami kebenaran dan tidak
melihat ayat-ayat Allah, mereka berada di satu lembah dan Nabi (saw) di lembah yang
lain. Adakah “binatang-binatang ternak” yang berada di bawah kendali pengembala
dapat mendengar sehingga bisa berhenti karena larangannya?
Tamtsîl 6
من قبلكم مستهم البأساء و الضراء و زلزلوا حتى يقول أم حسبتم أن تدخلوا الجنة و لما يأتيكم مثل الذين خلوا
الرسول و الذين آمنوا معه متى نصر هللا أال إن نصر هللا قريب
Artinya: “Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum
datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum
kamu? Mereka ditimpa malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan
bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang yang beriman
bersamanya: “Bilakah datangnya pertolongan Allah?” Ingatlah, sesungguhnya
pertolongan Allah itu amat dekat”. [al-Baqarah: 214]
Ayat ini turun tatkala kaum muslimin berada dalam keadaan terkepung dan
mulai dihinggapi rasa takut yang mencekam di perang al-Ahzab. Lalu turunlah ayat
ini untuk meneguhkan hati mereka dan menjanjikan kemenangan kepada mereka.
Diriwayatkan pula; Abdullah bin Ubay berkata kepada kaum muslimin ketika
mereka gagal dalam perang Uhud: “Sampai kapan kalian mengalami peperangan.
Seandainya Muhammad seorang nabi, kalian tidak akan menghadapi tawanan dan
pembunuhan”. Lalu turunlah ayat ini.
Tafsir Ayat
Lafadz “am” –pada ayat– adalah kata pemutus dari kalimat sebelumnya dan
mengandung makna istifhâm (pertanyaan) yang maknanya; “...bal a hasibtum an
tadkhulu l-jannata...” (baca: apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga)
Al-ba`sâ`, adalah malapetaka yang menimpa manusia dilihat dari sebelah luar
dirinya, seperti kerugian harta benda, kedudukan, dan keluarga.
Ad-dharrâ`, ialah bencana yang menimpa diri manusia, seperti luka dan
pembunuhan. Disebutkan bahwa: al-ba`sâ` adalah antonim an-na’mâ`, dan adh-
dharrâ` adalah antonim as-sarrâ. Al-zalzalah adalah gerakan yang keras, al-zilzâl
adalah karena kerasnya gerak, yang memiliki bentuk jamak zalâzil, dan berakar dari
kata zalla as-sya`i ‘an makânihi (baca: sesuatu yang menyimpang dari tempatnya).
Digandakan katanya dengan penggandaan makna, seperti kata sharâ dan sharshara,
shalâ dan shalshala. Jika guncangnya sedikit, maka maknanya adalah berulang-ulang
menggerakkan dari tempatnya.
Selain itu, ada ayat-ayat lain yang mempunyai kedekatan arti, di antaranya
firman Allah SWT: “Dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan
dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan
mereka itulah orang-orang yang bertakwa”[al-Baqarah: 177].
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus (rasul-rasul) kepada umat-umat
yang sebelum kamu, kemudian Kami siksa mereka dengan (menimpakan)
kesengsaraan dan kemelaratan, supaya mereka bermohon (kepada Allah) dengan
tunduk merendahkan diri” [al-An’am: 42].
“Kami tidaklah mengutus seorang nabi pun kepada sebuah negeri, (lalu
penduduknya mendustakan nabi itu), melainkan Kami timpakan kepada penduduknya
kesempitan dan penderitaan supaya mereka tunduk sambil merendahkan diri” [al-
A’raf: 94]. Ayat-ayat tersebut menunjukkan pemberian cobaan dan ujian secara terus-
menerus bagi seluruh umat, khususnya umat Islam.
Perlu diingat pula bahwa motif dari ujian bagi umat manusia –salah satunya–
adalah untuk penggalian ilmu dan kecakapan yang teruji. Dalam ujian itu Allah SWT
bermaksud mengeluarkan atau mewujudkan kesempurnaan yang masih berupa potensi
(bil-quwah) menjadi kesempurnaan aktual (fi’liyah). Satu contoh paripurna adalah
pada Nabi Ibrahim as, yang selalu merasa senang memberi yang dapat memfanakan
dirinya karena Allah. Nabi Ibrahim as selalu memberikan apa yang dimilikinya di
jalan Allah, namun pemberian itu belum tampak manfaat langsungnya secara faktual.
Ketika beliau masuk dalam arena ujian, maka tampak dan terasakanlah sifat rahman
(pemberi) itu secara aktual dan faktual setelah sebelumnya berupa bil quwah.
Sebagai tambahan dan penguat penjelasan dari petikan ayat-ayat di atas, perlu
disimak khotbah Imam Ali bin Abi Thalib as sebagai berikut:
“Janganlah seorang di antara kalian mengatakan, “Ya Allah, aku berlindung
kepada-Mu dari fitnah”, karena tiada seorangpun yang tidak terkena fitnah; tetapi
barangsiapa yang memohon perlindungan, hendaklah ia memohon perlindungan
(kepada Allah) dari fitnah-fitnah yang menyesatkan. Karena Allah SWT berfirman:
“Dan ketahuilah bahwa harta bendamu dan anak-anakmu merupakan fitnah”, yang
maknanya ialah bahwa Allah SWT menguji manusia dengan harta benda dan anak-
anak supaya menjadi jelas orang yang tidak senang pada rezki (yang diberikan)-Nya
dengan orang yang ridha atas bagian (yang diberikan)-Nya, meskipun Allah SWT
Maha Mengetahui tentang diri mereka. Namun, Allah menyuruh manusia untuk
melakukan hal itu untuk menampakkan perbuatan-perbuatan yang layak diberi pahala
dan siksaan” (Nahjul Balaghah: hikmah 93).
Demikianlah penjelasan makna kosa kata ayat dan sebab turun ayat, selain
keterangan dari ayat-ayat lain yang memperjelas tentang bagaimana kedudukan
seluruh umat. Jika telah memahami penjelasan tersebut, kita kembali pada tafsir ayat.
Allah SWT mengatakan, bahwa cobaan dengan al-ba`sâ` dan adh-dharrâ`
adalah sunnatullah yang berlaku pada seluruh umat, dan tidak dikhususkan hanya
pada umat Islam saja. Jadi penyaringan dan pemisahan orang mukmin yang sabar
dengan yang tidak sabar adalah tergantung pada bagaimana menghadapi cobaan itu.
Tidak akan pernah mengkristal keimanan seorang muslim melainkan apabila ia telah
menempuh perjalanan hidup yang penuh ujian hingga mampu menyelesaikan ujian
dengan baik dan menjadi orang suci. Dan tidak akan kokoh keimanan dalam hatinya
kecuali dengan melalui keteguhan dan ketetapan menghadapi begitu sarat dan
ganasnya badai-badai fitnah.
Seolah-olah, ayat ini menjadi penghibur Nabi saw dan para sahabatnya dari
apa yang mereka alami, berupa gangguan kaum musyrikin dan semacamnya. Jika
menyimak berita-berita umat terdahulu maka akan lebih memudahkan pembicaraan
dan penjelasan kepada umat. Dan bahwa cobaan tidak dikhususkan kepada mereka,
tetapi juga meliputi umat-umat lain selain mereka. Oleh karena itu dikatakan; “am
hasibtum”; atau “apakah kalian pikir dan sangka wahai orang-orang yang beriman,
bahwa kalian akan masuk surga”. “Padahal belum datang kepadamu (cobaan)
sebagaimana halnya orang-orang terdahulu (juga mengalaminya) sebelum kamu?”;
yakni, sedangkan kalian belum diuji dengan cobaan seperti cobaan dan ujian yang
telah dialami umat-umat terdahulu. Maka hendaklah kalian tabah dan sabar
sebagaimana umat-umat itu juga telah tabah dan sabar.
Dengan demikian, salah satu makna matsal adalah sifat pada manusia. Firman
Allah SWT yang berbunyi: “padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana
halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa malapetaka dan
kesengsaraan” adalah, belum datang kepada kalian sifat orang-orang yang telah
berlalu sebelum kalian. Maka, mereka tidak akan masuk ke pagar iman yang
sempurna kecuali mereka mempunyai sifat seperti sifat orang-orang yang telah
menghadapi musibah-musibah dan fitnah-fitnah itu dengan sabar, tabah dan tegar.
Orang-orang mukmin terdahulu telah berhasil melewati berbagai kesusahan
dan goncangan-goncangan hidup. Kedudukan orang-orang mukmin itu disebutkan:
“dan (mereka) digoncangkan (hatinya) dengan goncangan yang hebat” [al-Ahzab:
11]. Dalam menunaikan ujian itu mereka menghabiskan segala daya upaya, dengan
terus mengharapkan turunnya rahmat melalui doa para rasul (salam atas mereka) dan
orang saleh dari kaum mukminin. Sebagaimana firman Allah SWT: “sehingga
berkatalah Rasul dan orang yang beriman bersamanya: “Bilakah datangnya
pertolongan Allah?”. Seluruh kandungan kalimat ini tiada lain merupakan
permohonan untuk kemenangan yang telah Allah janjikan bagi para rasul-Nya dan
orang-orang beriman yang memohon kepada-Nya. Sebagaimana firman-Nya: “Dan
sesungguhnya telah tetap janji Kami kepada hamba-hamba Kami yang menjadi rasul,
(yaitu) sesungguhnya mereka itulah yang pasti mendapat pertolongan” [ash-Shaffat:
171-172], dan: “Allah telah menetapkan: “Aku dan rasul-rasul-Ku pasti menang” [al-
Mujadalah: 21].
Az-Zamakhsyari menyatakan: “Maknanya adalah mencari dan berharap
dengan kesabaran selama berada dalam masa sulit hingga mencapai puncak kesulitan
dan panjangnya masalah dalam kesukaran. Apabila sudah tak tersisa lagi kesabaran
bagi para rasul hingga mereka menjerit, maka puncak kesulitan itu adalah keadaan
ketika tiada hasrat lagi di baliknya.
Lalu kepada mereka dikatakan; “Tidakkah sesungguhnya pertolongan Allah
itu amat dekat”. Yakni, inilah jawaban bagi mereka atas ketabahan dan permohonan
mereka akan pertolongan segera. (al-Kasyaf: 1/270, tentang tafsir ayat ini).
Di dalam ayat, bacaan yang dikenal adalah rafa’; “hattâ yaquulu r-rasuul”,
bukan yaquula. Sehingga jumlah kalimat menjadi sebuah hikayat tentang keadaan
umat-umat dahulu. Dan selain rafa’, juga bisa dibaca nashab; “yaquula”, maka
jumlah kalimat menempati tujuan bagi sebelumnya, yaitu; masstahumu l-ba`sâ`u wa
dh-dharrâ`u dan zulziluu. Dan barangkali bacaan pertama, yaitu rafa’, adalah yang
afdhal, karena jauhnya jumlah kalimat sebagai tujuan bagi massu l-ba`sâ`, adh-
dharrâ` dan zulziluu.
Sebagaimana jelas dinyatakan sebelumnya bahwa matsal bermakna
perumpamaan (tamtsil) dan penyerupaan (tasybih), maka penyerupaan keadaan umat
Islam dengan umat-umat terdahulu ialah keadaan malapetaka, kesengsaraan, dan serta
digoncangkan. Dan jika telah dekat penghabisan daya dan upaya serta ketegaran
mereka di dalam pertempuran dan peperangan, Rasulullah saw dan orang-orang
mukmin yang bersama beliau berdoa memohon kemenangan, kejayaan dan
keberhasilan bagi mereka.
Selain itu, sebagian mufasir menetapkan tiga ayat yang termasuk al-amtsal al-
Quraniyah dalam kitab-kitab karangan mereka, yaitu55:
1- “Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim tentang
Tuhannya (Allah) karena Allah telah memberikan kepada orang itu pemerintahan
(kekuasaan). Ketika Ibrahim mengatakan: “Tuhanku ialah Yang menghidupkan dan
mematikan”. Orang itu berkata: “Saya dapat menghidupkan dan mematikan”.
Ibrahim berkata: “Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, maka
terbitkanlah matahari itu dari barat:. Lalu heran terdiamlah orang kafir itu; dan
Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-rang yang zalim” [al-Baqarah: 258].
55 DR Muhammad Husein Ali ash-Shaghir: ash-Shuratu al-Fanniyah fi al-Matsal al-Qurani:
144, dan DR Ismail Ismaili: Tafsir Amtsal al-Quran.
2- “Atau apakah (kamu tidak memperhatikan) orang yang melalui suatu
negeri yang (temboknya) telah roboh menutupi atapnya? Dia berkata: “Bagaimana
Allah menghidupkan kembali negeri ini setelah roboh?”. Maka Allah mematikan
orang itu seratus tahun, kemudian menghidupkannya kembali. Allah bertanya:
“Berapa lama engkau tinggal di sini?”. Ia menjawab: “Saya telah tinggal di sini
sehari atau setengah hari”. Allah berfirman: “Sebenarnya kamu telah tinggal di sini
selama seratus tahun; lihatlah kepada makanan dan minumanmu yang belum
berubah; dan lihatlah kepada keledai kamu (yang telah menjadi tulang belulang);
Kami akan menjadikan kamu tanda kekuasaan Kami bagi manusia; dan lihatlah
kepada tulang belulang keledai itu. Kemudian Kami menyusunnya kembali, kemudian
Kami menutupnya dengan daging”. Maka tatkala telah nyata kepadanya (bagaimana
Allah telah menghidupkan yang telah mati) diapun berkata: “Saya yakin bahwa Allah
Mahakuasa atas segala sesuatu” [al-Baqarah: 259].
3-“Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata: “Ya Tuhanku, perlihatkanlah
kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang-orang mati”. Allah berfirman:
“Apakah kamu belum percaya?”. Ibrahim menjawab: “Saya telah percaya, tetapi
agar bertambah tetap hati saya”. Allah berfirman: “(Kalau demikian) ambillah
empat ekor burung, lalu jinakkanlah burung-burung itu untukmu, kemudian
letakkanlah tiap-tiap seekor daripadanya pada tiap-tiap bukit (itu). Setelah itu
panggillah dia, niscaya dia akan datang kepada kamu segera”. Dan ketahuilah
bahwa Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana” [al-Baqarah: 260].
Tidak samar lagi bahwa terdapat kelemahan dalam pandangan terhadap ayat-
ayat ini:
Sebagaimana diketahui, yang dimaksud tamtsil ialah penyerupaan (tasybih)
yang di dalamnya –biasanya– menggambarkan yang tidak terinderakan (ghairul
mahsuus) dengan yang terinderakan (al-mahsuus) dan mendekatkan makna ke dalam
pikiran lawan bicara. Pada ayat pertama di atas, penyerupaan (tasybih) yang diangkat
oleh pendebat (munâzhir) Nabi Ibrahim as, bukanlah penyerupaan yang benar. Sebab,
ketika Ibrahim as menyifati Tuhan bahwa Dia menghidupkan dan mematikan, yang
dimaksud adalah “Siapakah yang memberikan kehidupan bagi janin, dan mencabut
nyawanya ketika menjadi tua”. Sedangkan ungkapan pendebatnya ditafsirkan dalam
bentuk umum melalui kalimat: “aku juga menghidupkan dan mematikan”. Kata
“menghidupkan” baginya ialah dengan membebaskan orang yang ditetapkan dibunuh
olehnya, atau membunuh orang yang ingin hidup. Karena itu, terdapat perbedaan yang
amat jauh antara menghidupkan dan mematikan dalam ucapan Ibrahim as dengan
ucapan munâzhir. Sehingga kita dapat mengatakan bahwa tidak ada penyerupaan
apapun kecuali permainan kata (mughâlathah) yang jelas.
Kita juga mengetahui bahwa di dalam tamtsil disyaratkan adanya perbedaan
antara al-musyabbah (yang diserupakan) dan al-musyabbah bihi (yang dijadikan
perserupaan) secara spesies. Seperti taysbih seorang laki pemberani dengan singa.
Pada ayat kedua di atas, tidak ada penyerupaan di dalamnya. Ayat suci tersebut justru
mengadakan contoh bagi ‘yang diserupakan’. Seorang lelaki ketika melewati suatu
desa yang tiang-tiangnya telah runtuh, menyaksikan penduduknya binasa, dan melihat
tulang belulang di tanah sudah rusak. Ia berkata: Bagaimana Allah menghidupkan
tulang belulang setelah kematian ini? Lalu Allah mematikan orang itu selama seratus
tahun, kemudian menghidupkannya kembali, sebagaimana makna lahir ayat. Atas
uraian itu kemudian (Allah) mengadakan sebuah contoh (mitsl) bagi yang diserupakan
dengan satu spesies, yang perbedaannya hanyalah terletak pada sifat (ash-shinf).
Sementara yang kita ketahui bahwa keharusan dalam tamtsil ialah adanya perbedaan
dan kontradiksi spesies (tabâyun nau’i) antara al-musyabbah dan al-musyabbah bihi.
Pada ayat ketiga, maknanya adalah bahwa Ibrahim as seorang yang
mengimani kekuasaan-Nya atas menghidupkan orang-orang mati. Tetapi ia meminta
‘menghidupkan’ supaya melihatnya sendiri dengan matanya. Karena melihat secara
nyata memiliki dampak besar dalam memantapkan dan mengukuhkan makrifat di
dalam hati. Ingin melihat ialah agar hatinya menjadi mantap dan keyakinan
bertambah. Lalu Allah SWT mengatakan kepadanya: “(Kalau demikian) ambillah
empat ekor burung, lalu jinakkanlah burung-burung itu untukmu,”, yakni
“...kemudian letakkanlah tiap-tiap seekor daripadanya pada tiap-tiap bukit (itu).”
Kalimat ini merupakan bukti bahwa Tuhan telah memerintahkan kepada Ibrahim as
untuk menyembelih dan memotong burung-burung itu. Dan kalimat selanjutnya
berbunyi, “Sesudah itu panggillah dia, niscaya dia akan datang kepada kamu
segera”. Dan, tidak disebutkan di dalam ayat bagaimana sikap Nabi Ibrahim as
setelah itu.
Jadi, demikianlah pengertian ayat tersebut. Dan ayat-ayat ini bukanlah sebuah
perumpamaan (matsal), sebab tidak memenuhi syarat-syarat matsal.
Tamtsîl 7
مثل الذين ينفقون أموالهم في سبيل هللا كمثل حبة أنبتت سبع سنابل في كل سنبلة مائة حبة و هللا يضاعف لمن
يشاء و هللا واسع عليم* الذين ينفقون أموالهم في سبيل هللا ثم ال يتبعون ما أنفقوا منا و ال أذى لهم أجرهم عند
و مغفرة خير من صدقة يتبعها أذى و هللا غني حليم*ربهم و ال خوف عليهم و ال هم يحزنون* قول معروف
Artinya: “Perumpamaan (yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkannya
di jalan Allah adalah serupa dengan butir benih yang menumbuhkan tujuh butir, pada
tiap-tiap butir tumbuh seratus biji. Allah melipatgandakan (keuntungan) bagi siapa
yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha luas (karuniaNya) lagi Maha mengetahui.
Orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, kemudian mereka tidak
mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebutnya dan dengan
tidak menyakiti (perasaan si penerima), (maka) mereka memperoleh pahala di sisi
Tuhan mereka. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka
bersedih hati. Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik dari sedekah yang
diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah Mahakaya
lagi Mahapenyantun” [al-Baqarah: 261-263].
Tafsir Ayat
Dalam banyak ayat al-Quran, dijelaskan mengenai janji yang berlipat ganda
dari Allah SWT kepada hambaNya. Seperti dalam surat al-Baqarah ayat 245 berikut
ini: “Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik
(menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan memlipatgandakan
pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak, dan Allah yang
menyempitkan dan melapangkan (rezki), dan kepada-Nyalah kamu dikembalikan”.
Sebagai pendekatan terhadap pembahasan ini dibawakan tamtsil sebagai
berikut: Perumpamaan berinfak di jalan Allah ialah seperti menanam sebutir benih
yang menumbuhkan batang yang bercabang tujuh, setiap cabang keluar butir berisi
seratus butir, sehingga satu butir menjadi tujuh ratus butir. Jadi, satu butir kebaikan
yang ditanam itu dilipatgandakan oleh Allah SWT. Tamtsil yang menyebut bilangan
tujuh ini amat menyentuh batin. Ia mengisyaratkan tentang amal-amal saleh yang
dikaruniai Allah SWT sangat banyak seperti hasil yang diperoleh orang yang
menanam biji-bijian di tanah subur.
Pada lahiriyah ayat, yang diserupakan adalah penginfak, sedangkan yang
dijadikan serupa adalah butir yang berkembang menjadi tujuh ratus butir. Namun
demikian, penurunan ayat di atas pada realitasnya ialah salah satu dari dua hal berikut:
1- Penyerupaan (tasybih) penginfak dengan penanam butir.
2- Penyerupaan infak dengan butir yang ditanam.
Tamtsil yang dibawa al-Quran bukanlah perkara pahaman dan perumpamaan
imajiner, tetapi ia merupakan perkara nyata yang mungkin terjadi. Bahkan, bisa jadi,
satu butir itu tumbuh menjadi lebih dari jumlah bilangan yang disebutkan. Beberapa
petani menerangkan bahwa mereka memanen satu batang padi yang memiliki banyak
bulir berisi sekian ratus butir. Dengan demikian, kita meyakini sesungguhnya bahwa
Allah SWT adalah yang menyempitkan rizki (qâbidh) dan yang melapangkan rizki
(basith).
Kemudian Allah SWT mengharuskan penginfak di jalan-Nya agar ridha dan
lapang dada atau memberi maaf, tanpa menyertakan yang diinfakkan itu dengan
menyebut-nyebut kembali sambil menyakiti perasaan si penerima.
Kata al-mann dalam ayat berarti si pemberi yang mengungkit-ungkit
pemberian kepada orang yang diberi, dengan mengatakan: ‘bukankah aku telah
memberimu’, atau ‘bukankah aku telah berbuat baik padamu’. Yang demikian ini
disebut ‘mengungkit-ungkit atau memperpanjang masalah’ (istithâlah). Adapun kata
al-adzâ berarti menyakiti perasaan yang menerima.
Mereka –para penginfak yang disebut dalam ayat– yang tidak menyertakan
infak mereka dengan al-mann dan al-adzâ, akan “memperoleh pahala di sisi Tuhan
mereka. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih
hati”.
Lalu Allah SWT mengajarkan kepada orang-orang yang tak punya agar
berperilaku baik kepada kaum fakir yang meminta kepada mereka, yaitu dengan
bersikap: (1)- Mengeluarkan perkataan yang baik (qaul ma’ruf), memperlembut
perkataan dalam menanggapi para peminta, menyatakan uzur atas ketak-sanggupan
memberi, dan mendoakan mereka. (2)- Memberikan maaf (maghfirah) atas desakan
para peminta dan mencemaskan mereka dalam meminta. Dengan mengamalkan dua
perilaku tersebut, akan “lebih baik dari sedekah yang diiringi sesuatu yang
menyakitkan (perasaan si penerima)”.
Sesungguhnyalah, atas segala keadaan, yang maha kaya adalah Allah SWT,
sebagaimana firman-Nya: “Allah Maha Kaya”, yang dengan keluasan karunia-Nya
mencukupi kebutuhan si peminta. Tetapi sebagai maslahat dan kebaikan manusia di
dunia dan akhirat, Allah SWT seakan meminjam tangan manusia yang lain dalam
bentuk sedekah dan pemberian. Dan “Allah Maha Penyantun”, maka hendaklah
kalian wahai hamba-hamba Allah, santun dan pemaaf atas desakan si peminta.
Tamtsîl 8
طلوا صدقاتكم بالمن و األذى كالذي ينفق ماله رئاء الناس و ال يؤمن با� و اليوم اآلخر يا أيها الذين آمنوا ال تب
ال يقدر على شيء مما كسبوا و هللا ال يهدي القوم فمثله كمثل صفوان عليه تراب فأصابه وابل فتركه صلدا
الكافرين*
Artinya: “Hai orang-orang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala)
sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima),
seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia serta tidak
beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu
licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu
menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa
yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang
kafir” [al-Baqarah: 264].
Tafsir Ayat
Ar-ri`â (riya) berasal dari kata ar-ru`yah (melihat). Orang yang berbuat
sesuatu dengan tujuan agar orang lain melihatnya disebut murâ`i.
Lafaz ash-shafwân mempunyai bentuk kesatuan shafwânah, seperti lafaz
sa’dân-sa’dânah dan marjân-marjânah, yang bermakna batu licin.
Al-wâbil berarti hujan yang amat lebat.
Ash-shald artinya batu licin atau keras, dan dari tanah yang tidak
menumbuhkan sesutupun karena begitu kerasnya.
Telah disebutkan dalam tamtsil ke-7, bahwa melembutkan perkataan dalam
membalas perilaku para peminta dan menyatakan uzur kepadanya serta memberi maaf
atas desakan dan perbuatan mencemaskan darinya, adalah lebih utama ketimbang
infak seseorang yang disertai menyakiti perasaan si penerima.
Mengapa demikian? Allah SWT menjelaskan dalam tamtsil ini, bahwa al-
mann dan al-adzâ membatalkan infak tersebut. Sebab, syarat diterimanya pahala atas
infak adalah dengan meninggalkan al-mann (mengungkit-ungkit pemberian) dan al-
adzâ (menyakiti perasaan si penerima). Apabila seseorang mengiringi amal-infaknya
dengan salah satu dari dua hal tersebut, maka pemberian atau infaknya tidak
memenuhi syarat untuk memperoleh hak pahala.
Dengan ini, ayat di atas tidak menunjukkan apapun atas batalnya kebaikan
oleh keburukan. Karena makna habth (batal) adalah pembatalan pahala yang tertulis
oleh perbuatan buruk. Ayat ini tidak menunjukkan hal itu sebagaimana berlaku
kemungkinan pahala atas infak –di awal pembahasan– dengan syarat bahwa infak
yang dikeluarkan tersebut tidak disertai al-mann dan al-adzâ pada masa berikutnya.
Tapi jika seseorang menyertakan amal dengan salah satu dari keduanya, berarti ia
tidak melakukan kewajiban atau anjuran dalam bentuk yang diinginkan. Maka, tidak
ada pahala yang tertulis, atau pahala yang hendak diberikan itu dihapus oleh al-mann
dan al-adzâ.
Penggunaan kata ibthâl (membatalkan) dalam ayat, menunjukkan adanya
sesuatu yang diperlukan (muqtadhâ) bagi terwujudnya pahala, yaitu infak. Meskipun
hal demikian bukan berarti pengharusan pewujudan pahala dan ketentuan-
ketentuannya atas Allah bagi hamba yang berinfak.
Sedangkan habth, yang bermakna keburukan menghapus kebaikan-kebaikan
serta pahala-pahala secara mutlak, padahal itu mengarah pada kezaliman, adalah batil
secara aqli dan syar’i. Secara aqli; ketika ditetapkan oleh akal bahwa hal itu
mengarah pada kezaliman, maka bagi orang yang berbuat buruk dan berbuat taat, jika
perbuatan buruknya lebih banyak, berdasarkan pandangan ihbâth (pembatalan
pahala), akan menjadi orang yang tidak pernah berbuat baik. Sebaliknya, jika
perbuatan baiknya lebih banyak, maka ia menjadi orang yang tidak pernah berbuat
buruk. Dan jika sama, tidak ada yang lebih banyak antara perbuatan baik dan
buruknya, maka ia menjadi orang yang berbuat baik dan berbuat buruk (atau tidak
pernah berbuat baik dan tidak pernah berbuat buruk, penerj.) (Kasyfu al-Murâd:
Maqshad ke-6, masalah ke-7).
Sedangkan penjelasan secara syar’i, ialah keterangan dalam al-Quran yang
menyebutkan: “Barangsiapa yang berbuat kebaikan seberat dzarrah, niscaya dia
akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang berbuat kejahatan seberat
dzarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya juga.” [al-Zalzalah: 7-8].
Dalam hal ini Muhaqqiq ath-Thusi mengisyaratkan pada dua segi, dengan
mengatakan: “Al-ihbât adalah batil, karena mengarah pada kezaliman. Juga karena
keterangan dari firman Allah SWT: “Barangsiapa yang berbuat kebaikan seberat
dzarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya”. (Kasyful Murad: Maqshad ke-6,
masalah ke-7).
Sementara itu bagi hamba, sebagai orang yang tidak memiliki sesuatupun
melainkan Allah SWT telah memberi dan mencukupinya; dia –sebenarnya– berinfak
dari perbendaharaan Allah SWT. Karena dia dan sesuatu yang ada di tangannya pada
hakikatnya adalah milik Allah. Dengan kata lain, dia adalah seorang hamba yang
tidak memiliki apapun kecuali Allah yang membuatnya memiliki sesuatu. Maka,
tuntutan dari kaidah tersebut ialah agar ia berinfak karena Allah dan di jalan Allah,
dan tidak mengiringi amalnya dengan al-mann dan al-adzâ. Artinya, hakikat
penghambaan (‘ubudiyah) adalah bergerak dan diam karena Allah SWT. Bagi seorang
‘abid adalah tidak mungkin ia membiarkan diri menyertakan amalnya dengan al-
mann dan al-adzâ.
Oleh karena itu Allah SWT berfirman: “Hai orang-orang beriman, janganlah
kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti
(perasaan si penerima)”.
Allah SWT menyerupakan pelaku-pelaku al-mann dan al-adzâ dengan orang
yang riya (murâ`i), yang tidak menghendaki amalnya demi keridhaan Allah, dan tidak
pula berniat karena-Nya. Pelaku al-mann dan al-adzâ pada awalnya beramal demi
keridhaan Allah, lalu ia serta-merta menyebut-nyebut pemberiannya dan menyakiti
perasaan si penerima. Perbuatan tersebut membatalkan dalam arti sebagaimana yang
dijelaskan sebelumnya (yakni membatalkan amal, bukan pahala, penerj.). Sedangkan
murâ`i berarti beramal dengan tidak berniat karena Allah SWT, sehingga amalnya
batal sama sekali. Karena itu benarlah penyerupaan keduanya (pelaku al-mann dan al-
adzâ) dengan murâ`i, seperti penyerupaan yang lemah dengan yang kuat.
Sedangkan penjelasan hakikat tamtsil ayat di atas adalah sebagai berikut:
Pertama, contoh dengan sebuah tanah bebatuan yang keras dan licin yang di atasnya
diberi tanah secukupnya. Sebut saja, pada awalnya tanah itu adalah tanah yang
bermanfaat dan cocok untuk tanam-tanaman. Kemudian tanah itu ditimpa hujan lebat
yang menghanyutkan tanah di permukaan batu itu, hingga menjadi bersih tidak
bertanah dan licin. Maka tempat itu tidak bisa ditanami apapun. Allah SWT
berfirman: “seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa
hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai
sesuatupun dari apa yang mereka usahakan”.
Jadi amal pelaku riya (murâ`i) memiliki lahir yang indah dan batin yang mati.
Manusia yang tidak mengetahui hakikat niat si‘âmil (orang beramal) tentu mengira
bahwa amal itu akan menghasilkan sesuatu. Seperti seseorang melihat batu licin yang
diatasnya tanah cukup, ia berkhayal bahwa tanah itu cocok untuk ditanami tanaman.
Namun ketika hujan lebat menimpanya dan melenyapkan tanah di permukaan batu
itu, menjadi teranglah bahwa batu licin itu tidak cocok lagi untuk ditanami. Demikian
halnya dengan amal si murâ`i, ketika tersingkap (di hadapannya) kenyataan-
kenyataan dan terangkat tirai-tirai penutup maka menjadi terang bahwa amal (yang
diperbuatnya itu) lenyap dan mandul, tidak menghasilkan apa-apa.
Selain itu, para pelaku al-mann dan pelaku al-adzâ setelah berinfak lebih
mirip dengan amal si murâ`i.
Tamtsîl 9
و مثل الذين ينفقون أموالهم ابتغاء مرضاة هللا و تثبيتا من أنفسهم كمثل جنة بربوة أصابها وابل فآتت أكلها ضعفين
فإن لم يصبها وابل فطل و هللا بمل تعملون بصير*
Artinya: “Dan perumpamaan orang-orang yang membelanjakan hartanya karena
mencari keridhaan Allah dan untuk keteguhan jiwa mereka, ialah seperti sebuah
kebun yang terletak di dataran tinggi yang disiram oleh hujan lebat, maka kebun itu
menghasilkan buahnya dua kali lipat. Jika hujan tidak menyiraminya, maka hujan
gerimis (pun memadai). Dan Allah maha melihat apa yang kamu perbuat” [al-
Baqarah: 265].
Tafsir Ayat
Ar-rabwah; ialah dataran tinggi.
Ath-thall: ialah hujan ringan (gerimis), dikatakan; athallati s-samâ` (langit
menurunkan hujan gerimis). Raudhatun thallatun nadiyah (taman yang elok dan
basah).
Dalam tamtsil yang lalu Allah SWT telah menyerupakan amal pelaku al-mann
dan al-adzâ setelah berinfak dan pelaku amal yang riya dengan tanah keras yang di
atasnya terdapat tanah lembut dan subur. Lalu tanah lembut subur itu ditimpa hujan
lebat yang menghanyutkannya, hingga tidak tampak lagi kecuali tinggal permukaan
batu karena teksturnya yang keras. Kebalikan dari tamtsil dalam ayat ini, dengan
menyerupakan amal penginfak yang mencari keridhaan Allah SWT dengan taman
yang hijau dan matang. Taman yang berada di atas dataran tinggi yang subur,
menyambut angin sepoi berseri dan hujan yang sarat manfaat. Ini merupakan kaitan
antara yang dijadikan penyerupa dengan kebun di dataran tinggi, mengingat dampak
matahari dan hawa yang sempurna. Jadilah pemandangan yang paling indah dan
buahnya paling bersih. Adapun tempat-tempat dataran rendah (atau tanah miring),
pada ghalibnya tidak terkena matahari kecuali hanya sedikit sehingga tidak sebagus
seperti kebun yang pertama.
Ar-Razi mengatakan: “makna ar-rabwah adalah tanah yang rata-rata bagus,
yang semakin baik dengan turunnya hujan, sebagaimana firman Allah: “ialah seperti
sebuah kebun yang terletak di dataran tinggi yang disiram oleh hujan lebat, maka
kebun itu menghasilkan buahnya dua kali lipat. Jika hujan tidak menyiraminya, maka
hujan gerimis (pun memadai)”. Proposisi ini diperkuat dengan pendapat bahwa matsal
ini merupakan kebalikan dari penjelasan tentang batu keras yang licin (shafwân) yang
tidak efektif ditanami dengan adanya hujan.
Yang dimaksud adalah, jenis tanah bagus itu jika ditimpa atau disiram oleh
hujan lebat, akan menghasilkan buahnya dua kali lipat. Buah seperti yang dihasilkan
kebun-kebun subur sebagaimana biasanya. Dan jika hujan tidak menyiraminya, maka
hujan gerimis pun cukup memberikan zat-zat yang menghasilkan buah yang bisa
diharapkan dari kebun itu.
Jadi orang-orang yang menafkahkan harta mereka di jalan Allah menyerupai
kebun tersebut, yang berpenghasilan melimpah, bermanfaat, dan memuaskan.
Selanjutnya, ayat yang berbunyi: “karena mereka mencari keridhaan Allah
dan untuk keteguhan jiwa”, menjelaskan tentang motivasi infak. Pertama, karena
mencari keridhaan Allah. Kedua, untuk menguatkan ruh keimanan dalam hati.
Mungkin rahasia di balik kata “min” pada kalimat ‘min anfusihim’ yang
berkedudukan sebagai maf’uul (atau obyek dalam nahwu) untuk kalimat ‘tatsbiitan’
(yang menjadi predikat), adalah untuk menjelaskan bahwa munfiq (yang berinfak)
menginfakkan hartanya berangkat dari dirinya sendiri yang ia latih dalam rangka
ketaatan. Ia mendermakan harta yang banyak karena Allah. Ia tetapkan niat dalam
infaknya, meneguhkan dirinya atas ketaatan kepada Allah SWT dan mencari
keridhaan-Nya di masa depan.
Tamtsîl 10
أصابه الكبر و أيود أحدكم أن تكون له جنة من نخيل و أعناب تجري من تحتها األنهار له فيها من كل الثمرات و
له ذرية ضعفاء فأصابها إعصار فيه نار فاحترقت كذلك يبين هللا لكم اآليات لعللكم تتفكرون*
Artinya: “Apakah ada salah seorang di antara kamu yang ingin mempunyai kebun
kurma dan anggur yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; dia mempunyai dalam
kebun itu segala macam buah-buahan, kemudian datanglah masa tua pada orang itu
sedang dia mempunyai keturunan yang masih kecil-kecil. Maka kebun itu ditiup angin
keras yang mengandung api, lalu terbakarlah. Demikianlah Allah menerangkan ayat-
ayat-Nya kepada kamu supaya kamu memikirkannya” [al-Baqarah: 266]
Tafsir Ayat
Wadda syai` berarti mencintai sesuatu. Al-jannah berarti pohon-pohon
berjumlah banyak yang mengumpul rapat membentuk lingkungan seperti kebun.
Dinamakan demikian karena pohon-pohon itu menutupi tanah (tajunnu l-ardh) dan
menjaganya dari terik matahari dan yang semacamnya.
An-nakhiil merupakan bentuk jamak dari kata nakhl (pohon kurma)
Al-a’nâb adalah bentuk jamak dari kata ‘inab, yang berarti buah anggur. Dan
al-Quran menyebut buah anggur dengan buahnya, dan pohon kurma dengan pohonnya
bukan dengan buahnya.
Al-i’shâr; adalah angin topan yang berputar di tanah kemudian menjulur ke
langit berbentuk seperti tiang dengan membawa debu-debu dan material lainnya. Kata
ini memiliki bentuk jamak al’âshiir. Kata ini digunakan khusus dengan mengandung
makna “api” di dalamnya. Kalimat dalam ayat yang berbunyi: “i’shârun fiihi nâr”,
(angin keras yang mengandung api), mengandung beberapa pengertian:
1- Angin yang menyerap panas yang melewati sesuatu yang terbakar, lalu
membawa api itu ke tempat-tempat yang jauh.
2- Angin badai diiringi petir yang menimpa tanah dan mengubah tanah itu
menjadi abu.
3- Angin dingin yang menusuk, yang apabila menimpa sesuatu ia akan
merusaknya meskipun dengan mengeringkan bagian basahnya.
Pengertian yang diambil, dalam konteks ini, ialah pada yang pertama dan
kedua, tanpa mengikutkan yang ketiga. Sebab, jika kemungkinan pengertian ketiga
diikutkan, maka ayat tersebut akan berbunyi; kamatsali riihin sharr (seperti angin
yang amat dingin). Tentang sedekah dan nafkah (yang dikeluarkan) oleh orang-orang
kafir, Allah SWT berfirman: “Perumpamaan harta yang mereka nafkahkan di dalam
kehidupan ini, adalah seperti perumpamaan angin yang mengandung hawa yang
sangat dingin, yang menimpa tanaman kaum yang menganiaya diri sendiri, lalu angin
itu merusaknya. Allah tidak menganiaya mereka, tetapi merekalah yang menganiaya
diri mereka sendiri.” [Al Imran: 117].
Apabila kata ash-sharr ditafsirkan sebagai “angin yang panas yang
mematikan” (lihat, Majma’ al-Bayan: 1/491), maka dua ayat ini, yaitu al-Baqarah ayat
266 dan Al Imran ayat 117, mempunyai makna yang sama, dengan makna ayat di atas
adalah turunnya bala pada kebun-kebun sehingga berakibat pada kehancurannya
secara cepat.
Di tengah ayat tersebut disebutkan: “sebuah kebun kurma dan anggur”; yang
tampak pada kebun itu adalah dikelilingi oleh pohon kurma dan buah anggur. Dan
dinyatakan pula: “dalam kebun itu (ada) segala macam buah-buahan”. Karenanya,
bagaimana mungkin dua kalimat itu dapat berkumpul?
Yang tampak adalah, pohon-pohon kurma dan buah-buah anggur ketika
keduanya merupakan pohon yang terbaik dan terbanyak manfaatnya, tanaman itu
disebutkan secara khusus yang berarti kebun tersebut terdiri dari tanaman kurma dan
anggur. Yakni, meskipun kebun itu berisi semua pohon, namun keduanya (kurma dan
anggur) mendominasi tanaman yang lain. Sampai di sini selesailah tafsiran atas kosa
kata ayat.
Adapun tamtsil-nya, terdiri dari yang diserupakan dan yang dijadikan
penyerupa. Yang diserupakan adalah adalah orang yang beramal saleh tapi ditopang
dengan keburukan. Sebagaimana riwayat dari Ibn Abbas yang menyebutkan
pengertian ayat tersebut: orang yang berinfak lalu mengiringi amalnya dengan al-
mann dan al-adzâ.
Sedangkan Az-Zamakhsyari mengatakan: “Ayat ini adalah perumpamaan bagi
orang kaya yang melakukan kebaikan-kebaikan, kemudian Allah mengutus setan
kepadanya lalu ia terjerembab mengikuti hasutan setan untuk berbuat maksiat,
sehingga hancur tenggelamlah semua amal-amalnya” (Al-Kasysyaf: 1/299).
Adapun yang dijadikan penyerupa adalah seorang laki-laki yang lanjut usia. Ia
mempunyai anak yang masih kecil-kecil yang tidak bisa berbuat apa-apa. Ia
mempunyai kebun yang dikelilingi pohon kurma dan buah anggur, di bawahnya
mengalir sungai-sungai dan kebun itu mempunyai segala macam buah-buahan. Si
laki-laki tua itu menggantungkan harapan-harapan besar dan tinggi atas keberadaan
kebun itu, tapi secara tiba-tiba datang angin badai panas berhembus lalu membakar
kebun itu dan membinasakannya tanpa tersisa.
Lalu, bagaimanakah keadaan orang itu? Ia dalam kesedihan, frustasi,
kekecewaan mendalam dan kesialan, setelah mendapati harapan-harapannya hancur
lebur. Maka, orang yang berinfak di jalan Allah, yang membekali dirinya dengan
pahala dan ganjaran akhirat dapat menggantungkan harapan-harapannya dengan janji
Allah SWT. Namun, jika ia mengiringi amalnya itu dengan kemaksiatan, maka amal-
amal baiknya itu tergulung angin badai yang membakar, yang membinasakan semua
gantungan dan harapan.
Tamtsîl 11
تعالى: الذين يأكلون الربوا ال يقومون إال كما يقوم الذي يتخبطه الشيطان من المس ذلك بأنهم قالوا إنما البيع قال
مثل الربوا و أحل هللا البيع و حرم الربوا فمن جاءه موعظة من ربه فانتهى فله ما سلف و أمره إلى هللا و من عاد
*فأولئك أصحاب النار هم فيها خالدون
Artinya: “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan
seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila.
Keadaan demikian itu disebabkan oleh perkataan mereka, sesungguhnya jual-beli itu
sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan
riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhan itu, lalu
berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu
(sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. (sedangkan)
orang-orang yang mengulangi (terus mengambil riba), maka orang itu adalah
penghuni-penghuni neraka, (dan) mereka kekal di dalamnya” [al-Baqarah: 275]
Tafsir Ayat
Ar-ribâ; ialah tambahan, seperti dikatakan: rabâ (yarbuu) sy-syai`u (yakni,
sesuatu yang bertambah). Riba adalah tambahan dalam modal, yakni: ketika si fulan
meminjamkan (nilai) sepuluh kepada seseorang dalam jangka waktu tertentu, lalu
pada akhir waktu itu si fulan mengambil lebih dari yang dipinjamkan, maka apabila
tambahan (lebihan) itu menjadi syarat dalam perjanjian, itu adalah riba.
At-takhabbuth; dan khabth adalah satu makna, yaitu berjalan secara tidak
stabil. Dikatakan “khabatha l-bashiiru” (tidak terarah jalannya) untuk orang yang
bertindak dalam satu perkara tanpa mendapatkan petunjuk. Ia berjalan dalam
kegelapan, yakni langkahnya tak terarah dan tak beraturan.
Jadi, yang dimaksudkan oleh kalimat dalam ayat; “yatakhabbatu sy-syaithânu”
(kemasukan setan), yakni karena setan memukulinya dengan keras, kemudian
membantingnya.
As-salaf; ialah yang lampau. Dikatakan salafa-yaslufu-suluufan (dalam ilmu
sharaf, artinya: yang mendahului). Kata ini juga bermakna: umat-umat dahulu.
Adapun kalimat “mina l-mass” (karena tekanan) dalam ayat, zharaf (من)
berkaitan dengan kalimat yaquum, artinya: mereka tidak berdiri melainkan seperti
berdirinya orang yang terbanting karena tekanan.
Hasil makna ayat ini ialah pemakan riba tidak berdiri melainkan seperti
berdirinya orang yang dipukuli setan lalu dibanting. Sebagaimana orang yang tidak
stabil berdiri, maka begitulah pemakan riba.
Penyerupaan ini terjadi pada berdirinya pemakan riba dan orang terbanting
karena kemasukan setan. Dari sini muncul dua pertanyaan: Pertama, apa maksud dari
pemakan riba tidak berdiri kecuali berdirinya orang terbanting? Kedua, apa maksud
dari kejadian pembantingan oleh tekanan setan?
Untuk menjawab yang pertama, para mufasir mempunyai pandangan yang
berbeda: (1)- Mayoritas dari mereka berpendapat bahwa mereka berdiri pada hari
kiamat seperti orang-orang yang kerasukan. Para pemakan riba seolah dibangkitkan
dalam keadaan gila, dan gila itu sebagai tanda khusus bagi pemakan riba sehingga
diketahui bahwa ia adalah pemakan riba. Dengan demikian, ayatnya bermakna:
mereka berdiri dalam kegilaan seperti orang yang ditekan oleh setan.
(2)- Ketika dibangkitkan dari kubur-kubur, mereka keluar dengan cepat;
“mereka keluar dari kuburan” [al-Qamar: 7] kecuali pemakan riba. Pada hari kiamat,
pemakan riba berdiri lalu jatuh lagi, karena Allah menimpakan sesuatu dalam
perutnya sehingga memberatkannya untuk berdiri kokoh. Mereka berdiri lalu jatuh,
dan hendak buru-buru berdiri tegap tapi tidak pernah bisa.
Pandangan ini dikuatkan oleh riwayat dari Nabi Muhammad saw, yang
mengatakan: “Di waktu Isrâ`ku ke langit, aku melihat sekumpulan laki-laki yang
perut-perut mereka seperti rumah, terlihat dari luar perut mereka di dalamnya terdapat
ular-ular. Aku bertanya: “Siapa mereka hai Jibril?” Jibril menjawab: “Mereka adalah
pemakan riba.”
3- Yang dimaksud al-mass bukanlah gila, meskipun kata ini juga bisa
digunakan pada makna (gila) ini. Kata al-mass di sini berarti orang yang mengikuti
setan dan menyambut seruannya. Seperti juga kata al-hâl (keadaan) dalam ayat:
“Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa bila mereka ditimpa was-was dari setan,
mereka ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-
kesalahannya” [al-A’raf: 201]. Yang demikian itu ialah karena setan selalu mengajak
pada pencarian kesenangan, nafsu syahwat, dan kesibukan dengan selain Allah. Inilah
yang dimaksud massu sy-syaithân. Orang yang seperti ini selalu dirasuki setan dalam
urusan dunia. Kadang-kadang setan mendorongnya untuk mengikuti hawa nafsu, dan
terkadang fitrah mengajak (kembali) pada agama dan ketakwaan, sehingga
keadaannya terguncang dan dilanda kegelisahan.
Tak diragukan lagi bahwa si pemakan riba akan menjadi orang yang
berlebihan dalam cinta dunia dan ia akan hancur karenanya. Akibatnya, kehidupan
materinya menjadi kehidupan yang tak beraturan dan labil.
Selain pandangan-pandangan di atas, ada juga pandangan yang disampaikan
oleh Sayyid Husain Thabathaba`i, antara lain: Bahwa manusia yang tertekan atau gila,
yang telah rusak kekuatan pembedanya (akalnya) tidak dapat membedakan antara
yang baik dan yang buruk, yang bermanfaat dan yang merugikan, antara kebaikan dan
kejahatan. Demikian pula dengan keadaan periba dalam penerimaannya untuk riba.
Orang yang diseru fitrahnya supaya ber-mu’amalah dengan menukarkan harta yang
dimilikinya dengan rasa cukup mengambil harta sesuai yang dibutuhkan. Bagi mereka
yang memberi pinjaman harta dan menerima pengembalian senilai pemberian plus
tambahan (bunga), maka hal itu sama dengan menghancurkan kecenderungan fitrah
dan asas mata pencaharian. Oleh sebab itu, pemakan riba terseret pada penggelapan
harta dari tangan penghutang dan harta-harta pun tertimbun di tangan pemakan riba.
Harta seperti ini selalu berkembang dan bertambah, dan ia tidak berkembang kecuali
karena tambahan dari harta pinjaman itu. Di satu sisi ada harta yang berkurang dan
terpisah, dan di sisi lain ada harta yang bertambah dan terkumpul.
Di pihak peminjam riba, jelas akan memaksanya pada keadaan yang tertekan
seiring dengan bertambahnya pengeluaran, lewatnya waktu, sampai batas yang (boleh
jadi) tak terselesaikan seiring bertambahnya kebutuhan. Semakin banyak pengeluaran,
riba berkembang dan meningkat, maka kebutuhan semakin bertambah tanpa dapat
menutupi dan memperbaiki kekurangan. Dalam keadaan demikian, hancurlah
kehidupan si peminjam.
Jadi riba pada hakikatnya bertentangan dengan kestabilan sosial dan akan
merusak sistem yang berlaku di atas jalan lurus manusiawi yang ditunjukkan oleh
fitrah ilahiyiah.
Inilah al-khabth (kelabilan) yang menimpa para periba, seperti keadaan orang
gila. Riba mendorongnya untuk merusak asas mu’amalah dan penukaran (barang atau
uang), sehingga ia tidak dapat membedakan antara penjuaalan atau jual-beli (al-bai’)
(penjualan) dan riba. Ketika ia diseru agar meninggalkan riba dan mengambil jual
beli, ia menjawab: bahwa al-bai’ seperti riba, tidak menambah keisitimewaan atas
riba, sehingga membuatnya mengambil riba dan meninggalkan jual beli. Karena itu,
Allah SWT berargumen atas labilnya para periba, dengan mengungkapkan perkataan
mereka; “sesungguhnya jual-beli itu sama dengan riba” (Al-Mizan: 2/411).
Dari kalimat itu timbul pertanyaan: Mengapa dikatakan bahwa jual-beli seperti
riba, bahkan mereka mengatakan: “riba sama dengan jual-beli”. Dan pembicaraannya
adalah mengenai riba, bukan jual-beli sehingga mereka harus menyerupakan riba
dengan jual-beli, bukan sebaliknya?
Jawab: Mereka menyamakan jual-beli dengan riba ialah sebagai mubalaghah
(hal yang dilebihkan), yakni mereka meletakkan riba sebagai bentuk asal dan jual-beli
sebagai cabangnya, sehingga mengatakan jual-beli seperti riba. Ini adalah perkara
pertama.
Perkara kedua ialah, menjadi gila karena setan telah merasukinya. Yang
tampak pada ayat, bahwa kegilaan merupakan akibat bertindak gila si orang gila.
Padahal ilmu pengetahuan (science) belakangan ini telah mengungkap sebab kegilaan,
yaitu karena terjadinya kerusakan pada saraf-saraf penjangkauan. Kalau begitu,
bagaimana bisa berkumpul antara makna ayat dengan apa yang disingkap oleh ilmu
pengetahuan. Ini termasuk silang pandangan dalil naql dan ‘aql.
Sebagian mufasir menjawab seperti ini: Tasybih (penyerupaan) adalah
termasuk yang berlaku di tengah masyarakat yang memiliki keyakinan-keyakinan
yang tidak benar, di mana mereka yakin atas tindakan gila terhadap orang-orang gila.
Dalam hal ini tentu tidak masalah, karena sekedar penyerupaan yang kosong dari
penilaian, sampai menjadi sesuatu yang salah dan tidak sesuai dengan realitas.
Hakikat makna ayat ialah, keadaan para pemakan riba itu seperti keadaan
orang gila yang dirasuki setan. Sedangkan menjadi gila dengan bersandar pada
kemasukan setan adalah hal yang tidak mungkin. Sebab Allah SWT Maha Adil dari
menguasakan setan terhadap akal hamba-Nya, atau terhadap hamba-Nya yang
beriman (Al-Mizan: 2/413, Tafsir al-Manar: 3/95).
Sayyid Thaba’thaba’i menjawab permasalahan di atas sebagai berikut: Allah
SWT Maha Agung dari sandaran pada firman-Nya yang batil, dan penyimpangan
perkataan dengan bentuk sandaran apapun, kecuali penjelasan kebatilannya itu
dibawakan bersama pada si pembicara. Dan tentang sifat wahyu, Allah SWT
berfirman: “Dan sesungguhnya al-Quran itu adalah kitab yang mulia, yang tidak
datang kepadanya kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang
diturunkan dari Tuhan Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji” [Fushshilat: 41-42].
Allah juga mengaskan: “Sesungguhnya al-Quran itu benar-benar firman yang
memisahkan antara yang haq dan yang batil, dan sekali-kali dia bukanlah senda
gurau” [ath-Thariq: 13-14].
Adapun menyandarkan gila pada tindakan setan dan hilangnya akal itu
bertentangan dengan keadilan-Nya. Bertentangan karena penyandaran hilangnya akal
mereka ialah pada faktor-faktor alami, dan bahwa menghilangnya akal tersebut pada
akhirnya bersandar kepada Allah SWT disebabkan faktor-faktor tersebut” (Al-Mizan:
2/412).
Dari keterangan tersebut ada ungkapan lain dari Sayyid Thaba`thaba`i yang
mudah-mudahan bisa mengangkat kekaburan pengertian: “Bahwa menyandarkan gila
pada setan adalah lemah dan tanpa alasan, tetapi gila karena faktor-faktor alami
seperti karena kerusakan saraf otak adalah faktor-faktor yang lebih mendekati
ketimbang karena setan. Sebagaimana macam-macam karomah yang menyandarkan
pada malaikat dengan merasuknya faktor-faktor alami ke dalam diri seseorang. Hal
serupa terungkap dalam ayat tentang kisah Nabi Ayub as sebagai berikut:
“Sesungguhnya aku diganggu setan dengan kepayahan dan siksaan” [Shad: 41]; dan:
“sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau Tuhan Yang Maha penyayang
di antara semua penyayang”. Kata adh-dhurr dalam ayat ini adalah penyakit dan
memiliki faktor-faktor alami yang tampak di badan. Kemudian dikaitkanlah suatu
penyakit yang disandarkan pada sebab-sebab alami itu kepada setan” (Al-Mizan:
2/413).
Surat Al Imran
Tamtsîl 12
إن مثل عيسى عند هللا كمثل آدم خلقه من تراب ثم قال له كن فيكون* الحق من ربك فال تكن من الممترين*
Artinya: “Sesungguhnya misal (penciptaan) Isa di sisi Allah, adalah seperti
(penciptaan) Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman
kepadanya: “Jadilah” (seorang manusia), maka jadilah dia. (Apa yang telah Kami
ceritakan itu), itulah yang benar, yang datang dari Tuhanmu, karena itu janganlah
kamu termasuk orang-orang yang ragu-ragu” [Al Imran: 59-60].
Tafsir Ayat
Allah SWT menyebutkan bentuk kelahiran al-Masih dari ibunya, Maryam si
perawan. Allah memulai penjelasan-Nya dengan berfirman: “Ketika Malaikat
berkata: “Hai Maryam, sesungguhnya Allah menggembirakan kamu (dengan
kelahiran seorang putra yang diciptakan) dengan kalimat (yang datang) dari pada-
Nya, namanya al-Masih..”, dan mengakhirinya dengan firman-Nya: “Maryam
berkata: Ya Tuhanku, betapa mungkin aku mempunyai anak, padahal aku belum
pernah disentuh oleh seorang laki-lakipun”. Allah berfirman (dengan perantara
Jibril): “Demikianlah Allah menciptakan apa yang dikehendaki-Nya. Apabila Allah
berkehendak menetapkan sesuatu, maka Allah hanya cukup berkata kepadanya:
Jadilah, lalu jadilah ia” [Al Imran: 45-47].
Dengan demikian, tetaplah bahwa al-Masih adalah makhluk Allah SWT, yang
dilahirkan dari ibunya yang perawan dan tidak tersentuh oleh seorang laki-laki pun.
Dia (Isa) as adalah satu ayat (tanda kebesaran) dari ayat-ayat Allah SWT. Sementara
kaum Nasrani menuhankan al-Masih dan menetapkannya sebagai salah satu trinitas
ketuhanan; Tuhan, Putra dan Ruh Qudus. Kaum Nasrani meyakini bahwa dia adalah
anak Tuhan, karena dia putra Maryam tanpa ayah.
Ketika kaum Nasrani berhujjah di hadapan Nabi Muhammad saw, ayat di atas
turun kepada beliau sebagai jawaban atas kesalahan argumentasi mereka. Rasulullah
saw menyampaikan wahyu bahwa bentuk penciptaan al-Masih itu menyerupai bentuk
penciptaan Adam. Di mana Adam (as) diciptakan dari tanah tanpa ayah dan ibu. Jika
ini adalah perkara yang mumkin (tidak mustahil bagi Allah), maka perkara kelahiran
al-Masih dari seorang ibu tanpa ayah adalah serupa. Maka ini adalah perkara yang
lebih mudah kemungkinannya (bil imkân) dari yang sebelumnya (yakni penciptaan
Adam as).
Dengan ibarat lain; bahwa al-Masih seperti Adam pada satu segi (yakni tanpa
ayah), dan cukuplah dalam persamaan itu sebagai sifat. Dan pada hakikatnya ini
termasuk dari tasybiih al-ghariib bil aghrâb (penyerupaan yang langka dengan yang
lebih langka), agar ‘lebih meyakinkan’ bagi pendebat dan ‘lebih memastikan’ bagi hal
yang meragukan (syubhat).
Salah satu pertanyaan yang mengejutkan ialah seputar firman Allah SWT:
“kemudian Allah berfirman kepadanya: kun fa yakuun (jadilah, maka jadilah dia)”,
yang lebih sesuai seharusnya mengatakan; kun fa kân ( jadilah, maka telah jadi). Lalu
kenapa Allah berfirman: fa yakuun, sementara perintah pernyataan-Nya (amr bit
tahaqquq) adalah perkara yang menetapi pernyaatan sesuatu secara otomatis?
Jawab: Allah meletakkan mudhâri’ (fi’il yang mengandung masa sekarang dan
akan datang) di tempat mâdhi (fi’il mengandung masa lampau), dan itu dibolehkan.
Hal penting di dalamnya adalah soal penggambaran keadaan lampau; bahwa
penjadian Adam adalah perkara yang terjadi secara bertahap, bukan secara langsung.
Boleh dikatakan juga bahwa firman-Nya; kun (jadilah), walaupun
menunjukkan atas tiadanya tahapan, tetapi itu (berlaku) bagi Allah SWT. Adapun bagi
(tingkatan) makhluk maka hal itu terjadi atas dua bagian; yakni bagian yang tidak
bertahap seperti jiwa dan akal universal, dan bagian yang menjadi perkara yang
bertahap sebagai hasil bagi sebab-sebab yang bertahap. Jika memperhatikan sesuatu
pada Allah SWT (sebagai wajibul-wujud), tidak ada tahapan dan tidak pula ada
senggangan. Sebab dalam tingkatan rubuubi (ketuhanan) tiada masa dan gerakan.
Karena itu Allah berfirman: “Dan perintah Kami hanyalah satu perkataan seperti
kejapan mata” [al-Qamar: 50]. Sedangkan jika memperhatikan sesuatu bagi wujud
mumkin (makhluk, sebagai mumkinulwujud) dan sebab-sebabnya, maka realitas
perkaranya adalah bertahap. Dan jumlah kalimat; ‘fa yakuun’, menunjukkan keadaan
lampau (Al-Mizan: 3 3/212, Al-Manar: 3/319).
Sementara itu al-Balaghi, salah seorang muhaqqiq, menyebutkan segi lain
dalam menafsirkan ayat tersebut. Kalimat “fa yakuun” dalam ayat ini, kata al-Balaghi,
adalah pencabangan atas kalimat “yaquulu”. Ia bukanlah balasan (jazâ`) bagi kalimat
“kun” (fi’il amr). Karena kejadian (kaun) setelah huruf “fâ” adalah kejadian yang
diperintah melalui “kun”, bukan balasan bagi “kun” yang diurutkan atasnya, serta
disangka bahwa kejadian itu sebagai balasan bagi esensi permintaan “jadilah!”.
Sebab, jika benar demikian maka kalimat “yakuunu” –pada akhir ayat– harus nashab
(yakni dibaca “yakuuna”), sedangkan (kalimat “yakuunu”) adalah rafa’ (yakni dibaca
“yakuunu”). (Âlâ`u ar-Rahmân: 1/120).
Atas segala kemungkinan, al-Quran berargumen atas batilnya ketuhanan al-
Masih melalui berbagai segi, di antaranya ialah pentasybihan kelahiran al-Masih
dengan Adam. Dan tamtsil di atas hendak menjelaskan perkara ini juga. Selain itu,
sebenarnya ayat di atas mengarah pada dua dalil yang tiap satu dari keduanya
menetapkan penafian ketuhanan terhadap al-Masih:
1-Bahwa Isa adalah makhluk Allah, meskipun kelahirannya tak berayah. Dan
makhluk seperti itu adalah hamba, bukan Tuhan.
2-Bahwa kejadian Isa as tidak lebih di atas kejadian Adam as. Jika ini
menunjukkan asal penciptaannya untuk disebut tuhan dengan satu segi, maka
penciptaan Adam menunjukkan demikian pula, bahkan lebih pantas. Sementara
mereka jelas-jelas tidak pernah menyebut tuhan pada Adam as. Karena itu,
seharusnyalah mereka juga tidak mengatakan demikian pada Isa as, karena adanya
kemiripian.
Yang terang dari ayat di atas bahwa penciptaan Isa as adalah seperti
penciptaan Adam as yang terjadi secara natural, meskipun tidak biasa bagi
sunnatullah yang berlaku dalam keturunan umumnya; bahwa untuk lahir seorang anak
biasanya memerlukan seorang ayah (al-Mizan: 3/212).
Tamtsîl 13
إن الذين كفروا لن تغني عنهم أموالهم و ال أوالدهم من هللا شيئا و أولئك أصحاب النار هم فيها خالدون* مثل
ماينفقون في هذه الحياة الدنيا كمثل ريح فيها صر أصاب حرث قوم ظلموا أنفسهم فأهلكته و ما ظلمهم هللا و لكن
أنفسهم يظلمون*
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang kafir baik harta mereka maupun anak-anak
mereka sekali-kali tidak dapat menolak azab Allah dari mereka sedikitpun. Dan
mereka adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. Perumpamaan harta
yang mereka nafkahkan di dalam kehidupan dunia ini, adalah seperti perumpamaan
angin yang mengandung hawa yang sangat dingin, yang menimpa tanaman kaum
yang menganiaya diri sendiri, lalu angin itu merusaknya. Allah tidak menganiaya
mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri” (Al Imran 116-
117).
Tafsir Ayat
As-shirr atau angin dingin, seperti sharshar, angin kencang atau amat dingin.
Ath-Thabrasi menukil dari az-Zujaj yang berkata: “Shirr adalah hembusan angin pada
api yang sedang melahap sesuatu”. Dia menambahkan: “boleh juga dikatakan bahwa
shirr adalah angin yang amat dingin”.
Dari segala kemungkinan itu, makna yang dapat digunakan untuk shirr ialah
angin beracun yang merusak tanaman. Dan makna dari ayat; “tanaman kaum yang
menganiaya diri sendiri”, ialah orang-orang yang bercocok tanam di tempat yang
salah dan bukan pada waktu yang tepat. Kemudian angin kencang menerpa tanaman
itu, lalu lenyaplah tanaman itu tanpa bekas. Sebagaimana kita tahu bahwa waktu atau
cuaca dan tempat atau kondisi tanah sangat menentukan pertumbuhan tanaman.
Sedangkan angin sepoi-sepoi yang berhembus membalut tanaman yang ditanam pada
waktu yang tepat dan tanah yang subur, menjadi faktor positif dalam pertumbuhan
dan kesehatan tanaman.
Itulah al-musyabbah bihi (yang dijadikan penyerupa). Maka orang kafir ketika
menafkahkan hartanya di dunia dengan tujuan atau kepentingan materi (kedudukan,
harta dan semacamnya), maka ia tak ubahnya seperti orang yang menanam bukan
pada tempat dan waktu yang semestinya. Karena itu, ia tidak pernah memperoleh
manfaat apa-apa dari infaknya. Kekufuran dan kecenderungan hawa nafsu dapat
merusak setiap infaknya. Oleh sebab itu, Allah SWT memperingatkan anak Adam
sebagai berikut: “Sesungguhnya orang-orang kafir baik harta mereka maupun anak-
anak mereka sekali-kali tidak dapat menolak azab Allah dari mereka sedikitpun”.
Tamtsîl 14
أ و من كان ميتا فأحييناه و جعلناه نورا يمشي به في الناس كمن مثله في الظلمات ليس بخارج منها كذلك زين
للكافرين ما كانوا يعملون*
Artinya: “Dan apakah orang yang sudah mati kemudian Kami hidupkan dan Kami
berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di
tengah-tengah masyarakat manusia serupa dengan orang yang keadaannya berada
dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar daripadanya? Demikianlah
Kami jadikan orang yang kafir itu memandang baik apa yang telah mereka kerjakan”
[al-An’am: 122].
Tafsir Ayat
Ayat ini turun berkenaan dengan Hamzah bin Abdul Muthalib dan Abu Jahal
bin Hisyam. Ketika itu, Abu Jahal menyakiti Rasulullah saw, dan tindakan keterlaluan
Abu Jahal itu sampai kepada Hamzah. Hamzah (waktu itu) berada di pihak agama
kaumnya. Mendengar berita itu, Hamzah marah lalu bergegas mendatangi Abu Jahal
dengan membawa busur. Hamzah memukul Abu Jahal, dan Hamzah kemudian
termasuk orang beriman. Demikian riwayat dari Ibn Abbas.
Dalam riwayat lain dikatakan: Ayat ini turun berkenaan dengan ‘Ammar bin
Yasir –ketika telah beriman– dan Abu Jahal. Ini diriwayatkan dari Abu Ja’far.
Meskipun demikian, yang jelas bahwa ayat ini umumnya berkenaan dengan posisi
setiap orang mukmin dan orang kafir. Dan bersamaan dengan itu pula tidak menutup
kemungkinan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan dua pribadi tertentu.
Dalam ayat ini terdapat beberapa tamtsil dan tasybih, yang ditetapkan
termasuk dalam tasybih murakkab (penyerupaan yang tersusun). Selanjutnya akan
kami sebutkan secara berurut sebagai berikut:
1- Kalimat awal ayat menyatakan: “Dan apakah orang yang sudah mati
kemudian Kami hidupkan”; orang kafir diserupakan dengan orang mati atau al-mait
(yâ` tanpa tasydid) yang merupakan peringanan dari al-maiyit (yâ` bertasydid), dan
orang mukmin dengan orang hidup.
Ayat ini bukanlah satu-satunya yang mengungkapkan penyerupaan tersebut.
Ada juga ayat lain yang memperserupakan orang mukmin dengan orang hidup dan
orang kafir dengan orang mati, Allah SWT berfirman: “Maka sesungguhnya kamu
tidak akan sanggup menjadikan orang-orang yang mati itu dapat mendengar” [ar-
Rum: 52], “Supaya dia (Muhammad) memberi peringatan kepada orang-orang yang
hidup (hatinya)” [Yasin: 70] dan “dan tidak sama orang-orang yang hidup dan
orang-orang yang mati” [Fathir: 22].
2- Kalimat kedua ayat berbunyi: “dan Kami berikan kepadanya cahaya yang
terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat
manusia”; Allah menyerupakan al-Quran dengan nuur (cahaya), dan dengan cahaya
al-Quran itu orang mukmin dapat menelusuri jalan kebahagiaan. Allah SWT
mengingatkan: “Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu bukti kebenaran
dari Tuhan, (Muhammad dengan mukjizatnya) dan telah Kami turunkan kepadamu
cahaya yang terang benderang (al-Quran)” [an-Nisa: 174]. Dan Allah SWT
berfirman: “Sebelumnya kamu tidak mengetahui apakah al-Kitab (al-Quran) dan
tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan al-Quran itu
cahaya” [asy-Syura: 52]. Benarlah, al-Quran itu menerangi jalan orang-orang
mukmin.
3- Dan kalimat berikutnya menyatakan: “serupa dengan orang yang
keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar
daripadanya”. Maka, kata azh-zhulmah (kegelapan) –dalam ayat– bisa bermakna kufr
(kekafiran) atau jahl (kebodohan). Bila maknanya kekafiran, ini didukung oleh ayat;
“Allah pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari
kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman)” [Al-Baqarah: 257].
Selain itu, Allah SWT juga menyerupakan orang kafir dengan orang yang
tinggal di kegelapan-kegelapan dan tidak mendapat petunjuk, sebagaimana firman-
Nya: “ka man matsaluhu fi zh-zhulumât” (“serupa dengan orang yang keadaannya
berada dalam gelap gulita”). Dan tidak mengatakan; ka man huwa fi zh-zhulumât
(orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita). Dalam ayat di atas disertakan
lafaz “matsal” di tengahnya, yakni: “ka man matsaluhu fi zh-zhulumât”. Barangkali
bentuk perumpamaan ini untuk menjelaskan bahwa orang yang dimaksud telah
sampai pada puncak kekafiran dan kebingungan. Demikianlah tafsir ayat secara rinci
(tafshil).
Sedangkan kesimpulan ayatnya adalah: perumpamaan bagi orang yang diberi
petunjuk oleh Allah SWT setelah berada dalam kesesatan, berarti ia diberi taufik
untuk yakin sehingga dapat membedakan antara yang membenarkan dan yang
membatilkan, memilah antara yang mendapat petunjuk dengan yang sesat.
Perumpamaannya adalah seperti orang yang tadinya mati lalu dihidupkan oleh Allah
SWT dan diberi cahaya yang menerangi jalannya sehingga dapat berjalan di tengah
masyarakat, dan dapat membedakan sebagian dari sebagian yang lain.
Itulah perumpamaan orang mukmin. Maka tidak benar mengkiaskan orang
mukmin seperti orang yang masih ada kekufuran padanya atau kekufuran tidak keluar
darinya, yang berjalan –tanpa petunjuk– dalam gelap gulita, yang kebingungan tidak
mendapat petunjuk ke jalan yang benar.
Pada hakikatnya ayat di atas mencakup dua bagian:
1- Penyerupaan (tasybiih) orang mukmin dengan orang mati yang dihidupkan
oleh cahaya (petunjuk) yang kemudian menyertai (memandu)nya.
2- Penyerupaan orang kafir dengan orang mati yang kehilangan cahaya, yang
masih dalam gelap gulita. Dan fokusnya, bahwa orang mukmin termasuk dalam
penyerupaan yang pertama, bukan yang kedua.
Surat al-A’raf
Tamtsîl 15
و هو الذين يربل الرياح بشرا بين يدي رحمته حتى إذا أقلت سحابا ثقاال سقناه لبلد ميت فأنزلنا به الماء فأخرجنا
به من كل الثمرات كذلك نخرج الموتى لعلكم تذكرون* و البلد الطيب يخرج نباته بإذن ربه و الذي خبث ال
)58-57رف اآليات لقوم يشكرون* (األعراف يخرج إال نكدا كذلك نص
Artinya: “Dan Dialah yang meniupkan angin sebagai pembawa berita gembira
sebelum kedatangan rahmat-Nya (hujan); hingga apabila angin itu telah membawa
awan yang mendung, Kami halau ke suatu daerah yang tandus, lalu Kami turunkan
hujan di daerah itu, maka dengan sebab hujan itu Kami keluarkan pelbagai macam
buah-buahan. Seperti itulah Kami membangkitkan orang-orang yang telah mati,
mudah-mudahan kamu mengambil pelajaran. Dan (pada) tanah yang baik, tanaman-
tanamannya tumbuh subur dengan seizin Allah; dan (pada) tanah yang tidak subur,
tanaman-tanamannya hanya tumbuh merana. Demikianlah Kami mengulangi tanda-
tanda kebesaran (Kami) bagi orang-orang yang bersyukur” [al-A’raf: 57-58].
Tafsir Ayat
Aqall, berasal dari kata al-iqlâl, berarti membawa sesuatu dengan amat mudah.
An-Nakid; ialah kesulitan yang menghalangi dari pemberian kebaikan. Jika
seseorang bakhil ketika dimintai sesuatu, ia dikatakan nakid.
Al-naladu ath-thayib berarti bumi yang bagus tanahnya. Pada tanah seperti itu
tumbuh tanaman yang bersih tanpa usaha keras penanamnya. Semua itu terjadi karena
izin Allah SWT.
Al-balad al-khabits adalah tanah berair (yang lembab dan asin), tanah yang
buruk, tidak produktif kecuali amat sedikit. Tanah seperti ini tidak memberi (hasil)
kecuali sangat sedikit, dan itupun dengan kesulitan-kesulitan. Dan ungkapan tashriifu
al-âyât berarti mengulang-ulang tanda-tanda (kebesaran-Nya).
Pada ayat pertama Allah SWT menyebutkan bahwa Dia mengirim angin
sebagai pembawa berita gembira sebagai rahmat-Nya. Jika angin itu membawa
mendung tebal berisi air, lalu menuangkan air (menurunkan hujan) ke negeri yang
tandus, maka hiduplah bumi (negeri) itu dan mengeluarkan hasil-hasilnya.
Pada ayat kedua Allah SWT sekali lagi menjelaskan bahwa hujan yang turun
menyirami lahan-lahan tanah adalah bagian dari sesuatu yang sangat diperlukan untuk
keluarnya tumbuh-tumbuhan. Selain itu, ada syarat lain (yang harus dipenuhi) yakni
kondisi tanah yang harus subur jika digunakan untuk bercocok-tanam, bukan tanah
yang jelek. Inilah keadaan yang dijadikan penyerupa.
Adapun yang diserupakan, bahwa Allah menyerupakan orang mukmin dengan
tanah yang baik, lembut oleh bilasan air hujan dan menghasilkan tanaman bagus dan
tumbuh secara sangat produktif. Sebagaimana hati orang kafir diperumpamakan
dengan tanah yang berair (lumpur) tidak menumbuhkan tanaman apapun. Jadi, hati
orang mukmin seperti tanah yang bagus, sedangkan hati orang kafir seperti tanah yang
jelek.
Tamtsîl 16
منها فأتبعه الشيطان فكان من الغاوين* و لو شئنا لرفعناه بها و لكنه أخلد و اتل عليهم نبأ الذي آتيناه آياتنا فانسلخ
إلى األرض و اتبع هواه فمثله كمثل الكلب إن تعمل عليه يلهث أو تتركه يلهث ذلك مثل القوم الذين كذبوا بآياتنا
يظلمون* فاصص القصص لعلهم يتفكرون* ساء مثال القوم الذين كذبوا بآياتنا و أنفسهم كانوا
Artinya: “Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan
kepadanya ayat-ayat Kami (pengetahuan tentang isi al-Kitab), kemudian dia
melepaskan diri dari ayat-ayat itu, lalu dia diikuti oleh setan (sampai dia tergoda),
maka jadilah dia termasuk orang-orang yang sesat. Dan kalau Kami menghendaki,
sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia
cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka
perumpamaannya seperti anjing, jika kamu menghalaunya dijulurkan lidahnya dan
jika kamu membiarkannya dia julurkan lidahnya (juga). Demikian itulah
perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakan
(kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berpikir. Amat buruklah perumpamaan
orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan kepada diri mereka sendirilah
mereka berbuat zalim” [al-A’raf: 175-177].
Tafsir Ayat
Kata an-naba` berarti berita tentang perkara yang besar. Kata an-nubuwah
(kenabian) berasal dari akar kata an-naba’ ini. Istilah akhlada ilâ l-ardhi bermakna
menetap atau condong ke dunia.
Kata as-salakh berarti mencabut, dan kalimat dalam ayat “akhlada ilâ l-arhdi”
(dia cenderung kepada dunia) bermaknya melekat dengan dunia. Dan al-lahts berarti
(seperti anjing) menjulurkan lidahnya karena haus. Dan al-luhâts berarti panas
kehausan.
Demikianlah tafsir dari kosa kata yang menjadi perhatian dalam ayat.
Kandungan ayatnya ialah: Ayat ini merupakan tamtsil yang mengandung musyabbah
(yang diserupakan) dan musyabbah bihi (yang dijadikan penyerupa). Para mufasir
memberikan berbagai pandangan tentang yang diserupakan. Mayoritas dari mereka
mengatakan bahwa yang diserupakan itu adalah Bal’am bin Ba’aurâ`, konon seorang
alim dari Bani Israil yang berasal dari bangsa al-Kan’âniyun. Ia dianugerahi ilmu
pengetahuan dari sebagian Kitabullah, tetapi dia menolak petunjuk dan
mengesampingkan Kitabullah di belakang punggungnya. Maka setan pun mengikuti
dan menjadi kawan baginya, sehingga masuklah ia ke dalam golongan orang-orang
sesat lagi kafir.
Pendalaman ayat ini menerangkan tentang sampainya seorang lelaki
berkedudukan tinggi dalam ilmu dan dirâyah (pengetahuan), yang terjatuh ke dalam
jurang yang dalam. Hal yang menunjukkan hal tersebut –dalam ayat– sebagai berikut:
1- Kata an-naba`; mengambarkan bahwa hal itu merupakan berita besar,
bukan kabar yang sepele.
2- Ayat; “orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami
(pengetahuan tentang isi al-Kitab)”; menceritakan tentang penguasaan orang itu
dalam rumus, dalil dan penjelasan-penjelasan , serta mengetahui kitab-kitab samawi.
3- Potongan ayat selanjutnya; “kemudian dia melepaskan diri dari pada ayat-ayat itu”
menunjukkan bahwa ayat-ayat dan ilmu pengetahuan ilahiyah telah meliputinya
seperti kulit menyelimuti (sekujur) badan, tetapi ia keluar darinya. Penafsiran seperti
ini didukung oleh keterangan ayat lain yang menggambar takwa dengan pakaian,
antara lain ayat: “dan pakaian takwa itulah yang paling baik” [al-A’raf: 26].
4- Potongan ayat berikutnya lagi: “lalu dia diikuti oleh setan (sampai dia tergoda)”,
menunjukkan bahwa setan (telah) putus asa menyeret orang itu pada kekafiran dan
memutuskan hubungan dengannya. Namun ketika dia melepaskan diri dari pada ayat-
ayat Ilahi, maka setan pun (kembali) mengejarnya, mengikuti dan mewas-wasinya
setiap hari hingga berhasil membelenggu dan menyeretnya ke dalam golongan orang-
orang yang sesat.
Begitulah tafsiran terhadap ayat pertama. Ayat kedua memuat hakikat
qur`âniyah yang menegaskan bahwa Allah SWT Mahakuasa mengangkat derajat,
mensucikan dan mendekatkan seorang hamba kepada-Nya. Tetapi Allah tidak
menghendaki, karena kehendak (masyi`ah)-Nya berlawanan dengan hidayah untuk
orang yang mengikuti hawa nafsunya dan berpaling dari-Nya. Bagaimana mungkin
kehendak Allah SWT berhubungan dengan hidayah orang yang berpaling dari-Nya
dan mendustakan ayat-ayat-Nya?
Oleh sebab itu Allah SWT berfirman: “Dan kalau Kami menghendaki,
sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu”, ‘tetapi Kami tidak
menghendaki’, dan demikian itu bukan berarti kebakhilan dari-Nya, Sang Maha
Pemurah. Tetapi karena tiadanya wadah (ardhiyah) yang patut pada orang tersebut,
karena dia telah cenderung kepada dunia dan melekatkan diri dengannya. Ini seolah
menjadi kiasan atas kecenderungan kepada bersenang-senang dengan kenikmatan-
kenikmatan duniawi. Bagi yang memilih terikat kesenangan duniawi itu, bagaimana
bisa mereka diliputi oleh inâyah Ilahi.
Selanjutnya, Allah SWT mengisyaratkan pada sisi lain tentang tiadanya
hubungan kehendak-Nya dengan hidayah ini; yaitu, bahwa manusia yang tersesat itu
telah menjadikan kekafiran sebagai perangai dan tabiat baginya. Suatu tingkatan atau
keadaan di mana ruh, jiwa, dan fitrahnya telah bercampur penolakan terhadap ayat-
ayat Allah SWT. Sehingga ia mendustakan dan membelakangi ayat-ayat yang sampai
kepadanya. Oleh karena itu, nasihat dan siraman kebaikan dari orang yang menasihati
tidak berpengaruh lagi baginya.
Untuk pendekatan perkara ini, kami bawakan sebuah tamtsil dalam tamtsil:
“Maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya dijulurkan lidahnya
dan jika kamu membiarkan dia menjulurkan lidahnya (juga)”. Perumpamaan ini
digunakan karena penjuluran lidah (lahts) adalah dampak alami bagi perangai anjing,
maka tidak mungkin ia melepaskan diri dari perangai itu.
Itulah yang dijadikan serupa yang menjelaskan bahwa hidayah dan kesesatan
(dhalâl) itu ada di tangan Allah SWT. Dan kehendak-Nya berhubungan dengan
hidayah manusia dengan syarat di dalamnya terpenuhi wadah atau lahan (ardhiyah)
yang subur yang bisa menerima hubungan kehendak Allah SWT dengannya. Jadi
orang yang cenderung pada dunia dan melekatkan diri dengannya, yakni cenderung
pada materi dan material, maka hidayah Ilahi tidak akan mendekatinya. Bahkan dia
pun berpredikat sesat yaitu kesesatan secara ikhtiyari atau kesesatan yang dipilihnya
secara sadar, bukan karena keterpaksaan. Begitulah keadaan yang dijadikan
penyerupa, dan kita telah mengetahui sebelumnya bahwa tamtsil bisa mengandung
tamtsil yang lain.
Sedangkan untuk yang diserupakan, para mufasir mengajukan berbagai
pandangan. Di antara yang dimaksud itu adalah seorang penyair, Umayah bin Abu
ash-Shalt ats-Tsaqafi. Alkisah, bahwa Umayah telah membaca kitab-kitab dan
mengetahui bahwa Allah SWT mengutus rasul-rasul, dia berharap bahwa waktu itu
dialah yang diangkat menjadi seorang rasul. Namun ketika Allah mengutus
Muhammad (sebagai Rasul-Nya), dia merasa iri, dengki, dan hasut kepada Nabi
Muhammad. Suatu ketika, Umayah melewati peperangan Badar, lalu ia menanyakan
tentang keadaan pengikut Muhammad saw. Dikatakan; “Mereka membunuh dalam
perang mereka bersama Nabi”. Umayah berkata: “Kalau memang ia (Muhammad)
seorang nabi, maka tentulah para kerabatnya tidak membunuhnya”.
Umayah pergi ke Thaif dan mati di sana. Lalu saudarinya, al-Fâri’ah, datang
kepada Rasulullah saw yang lalu menanyakan tentang kematian Umayah kepadanya.
Lalu al-Fâri’ah menyebutkan keadaan saudaranya (Umayah) menjelang kematiannya
yang melantunkan sya’ir:
Segenap hidup meski lama waktunya
Cuma sekali hidup lalu mati
Sekiranya dulu sebelum kini telah jelas bagiku
Di puncak pegunungan, aku gembalakan kambing hutan
Hari perhitungan adalah hari besar
Maka cepat berubanlah yang muda karena hari yang berat (itu)
Kemudian Rasulullah saw berkata kepada perempuan itu: “Bacakanlah sedikit
syair dari saudaramu itu”.
Maka ia membaca:
Segala puji, nikmat dan karunia bagi-Mu, Tuhan kami
Tiada yang lebih tinggi dan lebih mulia dari-Mu
Engkau Raja Penguasa ‘arasy langit
Di hadapan ‘izzah-Nya tunduk dan sujudlah seluruh wajah
Lalu perempuan itu melantunkan syair Umayah:
Kepada Pemilik ‘arasy lah kalian kan menghadap
Dia mengetahui yang terang dan yang tersembunyi
Di hari Rahmân akan datang sedang Dia Maha penyayang
Dia pasti tepati janji-Nya
Tuhanku, bila Engkau maafkan daku, ku yakin Engkau melindungiku
Dan bila Engkau siksa aku, maka Engkau takkan menyiksa manusia
Lalu Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya saudaramu beriman lahirnya,
tapi kafir hatinya”. Maka turunlah ayat ini. (Majma’ al-Bayan: 2/499-500).
Pandangan lain menyatakan bahwa orang (dalam ayat) itu adalah Abu ‘Amir
bin an-Nu’man bin Shaifi, seorang rahib yang disebut fasik oleh Nabi. Ia adalah rahib
di masa jahiliyah dan mengubah gaya pakaiannya, lalu datang ke Madinah. Ia berkata
kepada Nabi saw: “Apa ini yang Anda datang dengannya?”.
“Aku datang dengan agama yang lurus, agama Ibrahim”, jawab Nabi.
Ia berkata: “Akulah di atas agama ini”.
“Anda tidak di atasnya, tetapi Anda telah memasukkan ke dalamnya sesuatu
yang bukan darinya”, kata Nabi.
Abu ‘Amir berkata: “Semoga Allah mematikan si pendusta dari kami dengan
terusir dalam kesendirian”. Kemudian Abu ‘Amir pergi menemui penduduk Syam dan
mengirim (surat) kepada kaum munafik agar mereka menyiapkan senjata. Lalu Kaisar
datang dengan tentaranya untuk mengusir Nabi saw dari Madinah. Dan Abu ‘amir
mati di syam dalam keadaan terusir kesendirian.
Yang tampak bahwa yang diserupakan bukanlah khusus pada dua orang laki-
laki ini (Umayah si penyair dan Abu ‘Amir si rahib), tetapi sebagaimana yang
disabdakan Imam Baqir as: “Aslinya berkenaan dengan Bal’am, kemudian Allah
menjadikan ia sebagai perumpamaan bagi setiap orang dari ‘ahli Kiblat’56 yang
memilih mengikuti hawa nafsunya ketimbang berjalan di bawah naungan hidayah
Allah” (Majma’ al-Bayan: 2/500).
Di dalam ayat terdapat sebuah petunjuk yang jelas bahwa ‘ibrah dalam
mengetahui akibat manusia adalah ke-ukhrawiyah-an hidupnya. Boleh jadi manusia,
menjadi seorang mukmin di masa mudanya dan murtad dari agama (Islam) di masa
tuanya. Maka kesalehan manusia dan keberhasilannya di masa awal dewasa, bukanlah
dalil atas kesalehan dan keberhasilan di akhir usianya.
Oleh karena itu, yang dapat dimengerti bahwa tuntutan ridha al-Quran dari
kaum Muhajirin dan Anshar ialah dalam firman Allah SWT: “Sesungguhnya Allah
telah ridha terhadap mereka orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia
kepadamu di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka
lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka
dengan kemenangan yang dekat (waktunya)” [al-Fath: 18].
Tambahan pula, seperti yang telah kami sebutkan bahwa Allah SWT
menentukan zharaf atau syarat ridha dengan firman-Nya: “ketika mereka berjanji
setia kepadamu”, dan itu bukan menjadi dalil atas ridha-Nya untuk sepanjang hidup
mereka. Kalaupun satu dalil menunjukkan ketergelinciran salah seorang dari mereka,
maka dalil kedua yang diambil (ini) telah menjamak di antara dua dalil.
Dan sungguh jelas firman Allah SWT: “Orang-orang yang terdahulu lagi
yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan
56 Ialah Bani Israil. Penj
orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan
mereka pun ridha kepada Allah, dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga
yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-
lamanya. Itulah kemenangan yang besar” [at-Taubah: 100].
Bahwa ayat ke 100 surat at-Taubah ini menunjukkan pencakupan ridha Allah
bagi mereka, dan ayat ini dipilih selama tidak ada dalil pasti yang menunjukkan atas
kebalikannya. Seandainya terbukti dengan dalil mutawâtir atau dengan khabar yang
ditengahi dengan qarinah (pasangan kalimat) tentang murtadnya seorang dari mereka,
atau karena perbuatan dosa besar atau kecil yang dilakukannya, maka dalil kedua (ini)
yang diambil. Dan di antara dua dalil itu tidak saling bertentangan, dan bukan maqam
sahabat dan tabi’in lebih tinggi dari maqam apa yang terkait dalam ayat itu. Maksud
penjelasan ini ialah menerangkan tentang keberadaan seseorang yang dikaruniai ayat-
ayat oleh Allah dan ia menjadi ulama ruhani (pada mulanya), tetapi (kemudian)
mengikuti hawa nafsunya lalu dia melepaskan diri dari pada ayat-ayat kebenaran itu.
Barangkali, yang dapat kita perhatikan ialah persoalan ijmak beberapa mufasir
melalui ayat-ayat ini atas keadilan (‘adâlah) semua sahabat Nabi, yang seakan-akan
melupakan makna keseluruhan ayat dan tidak menyelami apa yang dilakukan
beberapa sahabat berupa kesalahan dan kemaksiatan. Padahal, Allah SWT maha
mengetahui.
Tamtsîl 17
إن و الذين اتخذوا مسجدا ضرار و كفرا تفريقا بين المؤمنين و إرصادا لمن حارب هللا و رسوله من قبل و ليحلفن
أردنا إال الحسنى و هللا يشهد إنهم لكاذبون* ال تقم فيه أبدا لكسجد أسس على التقوى من أول يوم أحق أن تقوم فيه
رجال يحبون أن يتطهروا و هللا يحب المطهرين* أ فمن أسس بنيانه على تقوى من هللا و رضوان خير أم من
نار جهنم و هللا ال يهدي القوم الظالمين*أسس بنيانه على شفا جرف هار فانهار به في
Artinya: “Dan di antara orang-orang munafik itu ada orang-orang yang mendirikan
masjid untuk menimbulkan kemudharatan (pada orang-orang mukmin) dan karena
kekafiran(nya), dan untuk memecah belah antara orang-orang mukmin serta
menunggu kedatangan orang-orang yang telah memerangi Allah dan Rasul-Nya sejak
dahulu. Mereka sesungguhnya bersumpah: “kami tidak menghendaki selain
kebaikan”. Dan Allah menjadi saksi bahwa sesungguhnya mereka itu adalah
pendusta (dalam sumpahnya). Janganlah kamu bersembahyang dalam masjid itu
selama-lamanya. Sesungguhnya masjid yang didirikan atas dasar takwa (masjid
Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu bersembahyang di dalamnya. Di
dalamnya ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan Allah menyukai
orang-orang yang bersih. Maka apakah orang-orang yang mendirikan masjidnya
atas dasar takwa kepada Allah dan keridhaan (Nya) itu yang baik, ataukah orang-
orang yang mendirikan bangunannya di tepi jurang yang runtuh, lalu bangunannya
itu jatuh bersama-sama dengan dia ke dalam neraka Jahannam? Dan Allah tidak
memberikan petunjuk kepada orang-orang yang zalim” [at-Taubah: 107-109].
Tafsir Ayat
Adh-dhirâr berarti mengadakan madharat atas penentangan. Sedangkan al-
irshâd artinya persiapan. Al-bunyân (bangunan), berasal dari kata banâ (membangun).
Dan at-taqwâ berarti bagian dari taat, dengan takwa terjaga dari hukuman. Huruf wau
pada kata taqwâ sebagai ganti dari huruf yâ`, karena ia dari kata waqayat.
Kata syafâ (contoh), dalam syafâ l-bi`ri artinya ‘tepi sumur’. Dan matsal yang
dibuat untuk menggambarkan dekatnya dengan kehancuran. Dan kata juruf (contoh),
dalam jurfu al-wâdi artinya samping lembah yang asalnya berlubang oleh air, hanyut
oleh banjir hingga menjadi lemah.
Ar-Raghib menerangkan makan kata itu begini: “Digunakan untuk tempat
yang dimakan banjir dan menghanyutkannya, yakni lenyap oleh banjir.
Hâra al-binâ` wa tahawar adalah bangunan runtuh.
Para mufasir menyebutkan bahwa Bani ‘Amr bin ‘Auf mendirikan masjid
Quba. Mereka mengundang Rasulullah saw agar datang kepada mereka. Lalu beliau
datang dan melakukan salat di dalam masjid itu. Sekelompok orang munafik dari Bani
Ghanam bin ‘Auf yang hasud kepada Bani ‘Amr mengatakan: “Kami membangun
sebuah masjid dan salat di dalamnya dan tidak hadir pada jemaah Muhammad”.
Mereka ada 12 (atau) dikatakan 15 orang laki-laki: Tsa’labah bin Hathib, Mu’tab bin
Qusyair dan Nabtal bin al-Harts. Mereka mendirikan sebuah masjid di samping
masjid Quba, setelah rampung mereka datang kepada Rasulullah saw yang sedang
bersiap-siap ke Tabuk.
Mereka berkata: “Ya Rasulullah, kami telah membangun masjid bagi yang
berkepentingan, membutuhkan, yang bermalam lepas dan bermalam dingin. Kami
ingin Anda datang kepada kami dan Anda salat di dalamnya untuk kami dan berdoa
dengan keberkahan”.
Rasulullah saw bersabda: “Aku sudah hendak pergi safar, kalau kami kembali,
kami akan datang kepada kalian insya Allah, kami akan salat untuk kalian di
dalamnya”. Ketika Rasulullah saw pergi menuju Tabuk, turunlah ayat ini berkenaan
dengan kedudukan masjid tersebut.
Ayat di atas mengisyaratkan pada perbedaan yang terang antara orang yang
membangun bangunan di atas dasar yang kokoh dengan orang yang membangun di
atas tepi jurang yang runtuh. Pembangun (atau bangunan) pertama itulah yang
langgeng di sepanjang zaman dan terpelihara dengan sepenuhnya di tengah peristiwa-
peristiwa yang membinasakan. Sebaliknya, yang kedua, akan hancur karena runtuh
tidak kuat menahan hantaman angin.
Dengan demikian, orang mukmin yang mengikat imannya di atas pondasi
yang kuat dan kokoh, maka itulah al-haqq, berupa ketakwaan dan keridhaan kepada
Allah SWT. Sedangkan orang munafik, ia membangun imannya di atas pondasi yang
amat lemah, dan amat lembek bangunannya, maka itulah al-bathil. Dengan kata lain,
iman dan agama seorang mukmin merupakan ekstensi dari firman Allah SWT: “Maka
apakah orang-orang yang mendirikan masjidnya di atas dasar takwa kepada Allah
dan keridhaan (Nya)”. Sedangkan iman dan agama orang munafik digambarkan
seperti: “orang yang mendirikan bangunannya di tepi jurang yang runtuh”, maka
sangat mungkin bangunannya itu jatuh bersama-sama dengan dia ke dalam neraka
jahannam.
Surat Yunus
Tamtsîl 18
إنما مثل الحياة الدنيا كماء أنزلناه من السماء فاختلط به نبات األرض مما يأكل الناس و األنعام حتى إذا أخذت
األض زخرفها وازينت و ظن أهلها أنهم قادرون عليها أتاها أمرنا ليال أو نهارا فجعلناها حصيدا كأن لم تغن
يدعو إلى دار السالم و يهدي من يشاء إلى صراط مستقيم*باألمس كذلك نفصل اآليات لقوم يتفكرون* و هللا
Artinya: “Sesungguhnya perumpamaan kehidupan duniawi itu, adalah seperti air
(hujan) yang Kami turunkan dari langit, lalu tumbuh suburlah karena air itu tanam-
tanaman bumi, di antaranya ada yang dimakan manusia dan binatang ternak. Hingga
apabila bumi itu telah sempurna keindahannya, dan memakai (pula) perhiasannya,
dan pemilik-pemiliknya mengira bahwa mereka pasti menguasainya, tiba-tiba
datanglah kepadanya azab Kami di waktu malam atau siang, lalu Kami jadikan
(tanaman-tanamannya) laksana tanaman yang sudah disabit. Seakan-akan belum
pernah tumbuh kemarin. Demikianlah Kami menjelaskan tanda-tanda kekuasaan
(Kami) kepada orang-orang yang berpikir. Allah menyeru (manusia) ke Darussalam
(surga), dan menunjuki orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus
(Islam)” [Yunus: 24-25].
Tafsir Ayat
Firman Allah: fakhtalatha bihi nabâtu l-ardhi, kalau kita katakan huruf bâ`
dalam ayat ini untuk penyertaan (mushâhabah), maka maknanya menjadi “bersama
air itu tumbuhlah tanaman-tanaman bumi”. Karena hujan menyerap di sela-sela
tumbuh-tumbuhan. Dan jika huruf bâ untuk penyebaban (sababiyah) maka maknanya
adalah “disebabkan air itu bercampurlah tanaman satu dengan yang lain”, di mana air
menjadi sebab bagi perkembangan tumbuhan dan kecenderungan tanaman satu
dengan yang lain.
Izzayanat (memakai perhiasan) berasal dari kata tazayyanat, di mana huruf
“tâ`” di-idghom-kan dengan “zai” dan “zai” di-sukun-kan, dan diletakkan pada ta`
(yang sukun) sebelumnya alif washal.
Kalimat dalam ayat yang berbunyi; “bumi itu telah sempurna keindahannya,
dan memakai (pula) perhiasannya”, adalah ungkapan indah di mana bumi berlaku
menampilkan keindahannya, seumpama pengantin ketika memakai baju-baju mewah
dari berbagai warna, ia mengenakannya dan berhias dengan aneka warna yang indah
(untuk dilihat orang lain).
Sedangkan ayat: “mereka pasti menguasainya” ialah, mereka mampu
mengambil hasil dan manfaat sesuai dengan aturan yang berlaku di bumi. Dan
potongan ayat berikutnya: “atâha amrunâ” (tiba-tiba datanglah ‘perkara’ Kami
kepadanya) adalah kiasan dari turunnya hama-hama (bala) atas kebun-kebun dan
ladang-ladang yang berisi tanaman-tanaman mereka – ‘hashiidan’– laksana tanaman-
tanaman yang sudah disabit.
Lalu, kalimat “ka an lam taghna”, menduduki kalimat ka an lam yanbut
zar’uhâ, artinya seakan-akan tidak pernah tumbuh tanamannya. Dan kalimat
“darussalam” menunjukkan tentang salah sifat surga, sebab penghuni surga selamat
dari segala hal yang tak disukai. Sedangkan lawan dari “darussalam” adalah dârul
balâ` (neraka). Demikianlah tafsir terhadap kosa kata dalam ayat di atas.
Selanjutnya, kita mengandaikan seperti ini: Ada sebidang tanah yang subur
dan bagus serta cocok untuk ditanami berbagai jenis tumbuhan. Si pemilik tanah ingin
memetik hasil dari semua tanaman yang ditanamnya, dan tanaman itu terus
dipeliharanya dan memperoleh siraman hujan yang cukup. Tak lama kemudian
sebidang tanah dengan tanaman-tanaman itu menjadi sebuah taman yang lebat penuh
dengan pepohonan dan aneka tumbuhan lainnya. Tampak areal tanah itu seolah
menjadi pengantin yang memakai perhiasan dan menampilkan keindahannya pada
yang lain.
Melihat itu, para pemilik merasa bangga dengannya (sombong). Mereka
mengira bahwa karena usahanyalah tanah-tanah menjadi berkilauan, dan dengan
kehendaknya pula lahan-lahan bumi berhias. Mereka menganggap diri mereka sebagai
ahli dalam urusan itu yang tiada siapa dan apapun yang menandinginya. Lalu mereka
tetapkan harapan-harapan panjang pada lahan-lahannya. Akan tetapi, dalam kebesaran
harapan-harapan itu tiba-tiba datanglah perkara Allah SWT di malam atau siang hari
yang menjadikan kebun, sawah, dan lahan-lahan mereka melemah dan kering, seolah-
olah di sana belum pernah ada satu kebun dan tamanpun.
Demikianlah keadaan yang dijadikan penyerupa. Allah SWT
memperumpamakan dunia dengan perumpamaan seperti itu. Sesungguhnya manusia
kerap kali tertipu oleh dunia, dan berlebihan dalam mengharap dan
mengangankannya, padahal dunia amat cepat hilang dan lenyap, dan dunia tidak
memiliki ketetapan dan kekekalan.
Muayiduddin al-Isfahani mengatakan:
Kau berharap kekal dunia yang tiada ketetapan
Pernahkah kau dengar bayangan yang tak pindah
Allah SWT menyebut kekayaan di bumi sebagai kesenangan kehidupan dunia,
dan membedakan dengan (kesenangan) kehidupan akhirat yang Dia namakan dengan
darussalam dalam firman-Nya; “Allah menyeru (manusia) ke darussalam (surga)”.
Selain itu, yang tampak dari ungkapan ath-Thabrasi bahwa tamtsil ini
termasuk proporsi tunggal (tamtsil mufrad). Ath-Thabrasi menyebutkan beberapa
pandangan sebagai berikut:
1-Bahwa Allah SWT memperserupakan kehidupan dunia dengan air, karena
air dapat diambil manfaatnya kemudian berhenti.
2-Bahwa Allah SWT memperserupakan kehidupan dunia dengan tumbuh-
tumbuhan yang sifatnya menipu, yang berakhir pada kelenyapan. (dari al-Juba`i dan
Abu Muslim).
3-Bahwa Allah SWT memperserupakan kehidupan dunia dengan kehidupan
yang ditetapkan sesuai dengan sifat-sifat yang dimilikinya. (Majma’ al-Bayan: 3/102).
Yang benar ialah, bahwa tamtsil ini termasuk kategori perumpamaan
proporsional (isti’ârah tamtsiliyah), di mana dunia diibaratkan dengan tiadanya
ketetapan dan ketenangan, sebagaimana yang ada dalam matsal di atas. Dan yang
patut menjadi tempat sandaran keinginan adalah darussalam yang memiliki sifat
keselamatan atau kesejahteraan (salam)secara mutlak, yang di dalamnya tidak
mengandung kejelekan dan keburukan.
Allah SWT mengaitkan darussalam dalam ayat di atas dengan ungkapan:
‘inda rabbihim (di sisi Tuhan mereka), sebagai petunjuk atas dekatnya kehadirannya
dan tiadanya kelalaian dari Allah SWT di sana.
Matsal ini dekat dengan ayat 45 surat al-Kahfi yang berbunyi: “Dan berilah
perumpamaan kepada mereka (manusia), (bahwa) kehidupan dunia adalah sebagai
air hujan yang Kami turunkan dari langit, maka menjadi subur karenanya tumbuh-
tumbuhan di muka bumi ini, kemudian tumbuh-tumbuhan itu menjadi kering yang
diterbangkan oleh angin. Dan adalah Allah Mahakuasa atas segala sesuatu”.
Begitu pula dalam surat al-Hadid ayat 20: “Ketahuilah, bahwa sesungguhnya
kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan sesuatu yang melalaikan, perhiasan
dan bermegah-megah antara kamu, serta berbangga-banggaan tentang banyaknya
harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani;
kemudian tanaman itu menjadi kering, dan kamu lihat warnanya kuning kemudian
menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah
serta keridhaan-Nya, dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang
menipu”.
Surat Hud
Tamtsîl 19
ذين آمنوا و عملوا الصالحات و أخبتوا إلى ربهم أولئك أصحاب الجنة هم فيها خالدون* مثل الفريقين إن ال
كاألعمى و األصم و البصير و السميع هل يستويان مثال أفال تذكرون*
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal
saleh dan merendahkan diri kepada Tuhan mereka, mereka itu adalah penghuni-
penghuni surga; mereka kekal di dalamnya. Perbandingan kedua golongan itu
(orang-orang kafir dan orang-orang mukmin), seperti orang buta dan tuli dengan
orang yang dapat melihat dan dapat mendengar. Adakah kedua golongan itu sama
keadaan dan sifatnya? Maka tidakkah kamu mengambil pelajaran (dari pada
perbandingan itu)?”
Tafsir Ayat
Allah SWT menggambarkan orang kafir seperti orang buta dan tuli, dan
menyebutkan orang mukmin seperti yang dapat melihat dan mendengar, lalu
menafikan kesamaan antara keduanya –sebagaimana jelas dipahami. Tamtsil dalam
ayat menyajikan sifat yang diberikan oleh Allah terhadap dua golongan yang memiliki
sifat-sifat khas.
Tentang orang-orang kafir dikatakan: “Mereka selalu tidak dapat mendengar
(kebenaran) dan mereka selalu tidak dapat melihat(nya)” [Hud: 20]. Maknanya:
mereka memiliki telinga dan mata, tetapi mereka tidak menggunakannya untuk
mendengar dan melihat ayat-ayat Ilahi dan hakikat-hakikat. Penafian dengan sebutan
“tidak mendengar” adalah kiasan dari “tidak menggunakan pendengaran”,
sebagaimana sebutan “tidak melihat” adalah kiasan untuk “tidak menggunakan
penglihatan”.
Selanjutnya Allah SWT menyifati orang mukmin dengan tiga sifat, yaitu: (1)
beriman kepada Allah; (2) beramal saleh; dan (3) tunduk kepada Allah, ketika
mengatakan: “dan merendahkan diri kepada Tuhan mereka”. Jadi, orang mukmin
yang saleh adalah buah dari pohon keimanan, sebagaimana tunduk dan pasrah
(tasliim) serta yakin akan janji Allah juga termasuk buah dari keimanan. Orang
mukmin selalu mau mendengar dan melihat ayat-ayat-Nya di jalan pengukuhan iman
di dalam hati dan perolehan buahnya dengan amal.
Kemudian Allah SWT memperumpamakan orang kafir dan orang mukmin
dengan tamtsil berikut: “Perbandingan kedua golongan itu (orang-orang kafir dan
orang-orang mukmin), seperti orang buta dan tuli dengan orang yang dapat melihat
dan dapat mendengar. Adakah kedua golongan itu sama keadaan dan sifatnya? Maka
tidakkah kamu mengambil pelajaran (dari pada perbandingan itu)?”.
Artinya, perumpamaan golongan mukmin seperti orang yang melihat dan
mendengar, dan perumpamaan golongan kafir seperti orang yang buta dan tuli.
Karena orang beriman memanfaatkan panca inderanya dalam mengenal Sang pemberi
nikmat, sifat-Nya dan af’âl-Nya. Sedangkan orang-orang kafir hanya menyia-
nyiakannya, sehingga jadilah mereka sebagai orang-orang yang tidak melihat dan
tidak mendengar.
Di tengah peletakan antara yang buta dan yang tuli sebagaimana di tengah
peletakan antara yang melihat dan yang mendengar, adalah untuk memberikan
banyaknya penyerupaan yang berarti:
Keadaan orang kafir seperti keadaan orang buta dan orang tuli. Sedangkan
keadaan orang mukmin seperti orang yang melihat dan mendengar. Kesimpulannya
adalah: tidak sama orang yang dapat melihat dan dapat mendengar dengan orang yang
buta dan tuli. Maka, orang mukmin dan kafir juga tidak sama.
Surat ar-Ra’d
Tamtsîl 20
له دعوة الحق و الذين يدعون من دونه ال يستجيبون لهم بشيء إال كباسط كفيه إلى الماء ليبلغ فاه و ما هو ببالغه
و دعاء الكافرين إال في ضالل*
Artinya: “Hanya bagi Allah-lah (hak mengabulkan) do’a yang benar. Dan berhala-
berhala yang mereka sembah selain Allah tidak dapat memperkenankan sesuatupun
bagi mereka, melainkan seperti orang yang membukakan kedua telapak tangannya ke
dalam air supaya air sampai ke mulutnya, padahal air itu tidak dapat sampai ke
mulutnya. Dan do’a (ibadat) orang-orang kafir itu, hanyalah sia-sia belaka” [ar-
Ra’d: 14].
Tafsir Ayat
Kalimat “lahu da’watu l-haqq” (bagi-Nyalah –hak menerima– seruan yang
benar), dhorf “lâm” didahulukan untuk memberikan makna hashr (hanya), yang
dikuatkan oleh kalimat berikutnya yang menafikan seruan dari selain yang benar.
Sebagaimana penyandaran (idhâfah) kata ad-da’wah pada kata al-haqq
merupakan idhâfah yang disifati (mausuuf) pada sifatnya; yakni ad-da’watu l-haqqu
lahu (seruan/doa yang benar bagi-Nya). Karena seruan atau doa (ad-da’wah) itu
adalah pengarahan (atau pencarian) perhatian Yang diseru (al-mad’uu) pada yang
menyeru (ad-dâ’ii). Sedangkan pengabulan (al-ijâbah) adalah menghadapnya (iqbâl)
al-mad’uu pada ad-dâ’ii. Kedua hal ini khusus bagi Allah Yang Maha Agung nama-
Nya. Adapun selain-Nya, tidak dapat memberi madharrat dan manfaat, tidak dapat
memberi hidup dan mati, dan tidak punya hari kiamat, maka bagaimana mungkin ia
menjawab doa si penyeru.
Kesimpulannya adalah, seruan yang benar yang dapat menghasilkan
pengabulan hanyalah seruan yang ditujukan kepada Allah SWT, Yang Mahahidup,
Mahaberkehendak yang tidak dipaksa, Maha Kuasa atas segala sesuatu dan Maha
Kaya.
Dengan demikian, seruan atau doa itu ada dua macam: (1) seruan yang benar
(da’wah haqqah), dan (2) seruan yang batil (da’wah bâthilah). Seruan yang benar
adalah bagi Allah. Dan seruan selain kepada-Nya adalah seruan yang batil. Sebab
selain-Nya tidak mendengar dan tidak berkehendak, tidak melihat dan tidak kuasa.
Indikasi pada seruan yang batil ini terlihat dalam ayat: “Dan berhala-berhala yang
mereka sembah selain Allah tidak dapat memperkenankan sesuatupun bagi mereka”.
Jadi, telah diketahui bersama tentang wajah tiadanya pengabulan (istijabah) itu.
Allah SWT mengecualikan satu gambaran dari tiadanya pengabulan, dengan
pengecualian konseptual (istitsnâ` shuri) dalam ayat: “melainkan seperti orang yang
membukakan kedua telapak tangannya ke dalam air supaya air sampai ke mulutnya,
padahal air itu tidak dapat sampai ke mulutnya”. Jadi, menyeru patung-patung
berhala dan meminta hajat kepada mereka, itu lebih mirip dengan keadaan orang
dahaga yang jauh dari air, seperti yang orang duduk di atas bibir sumur lalu ia
membuka kedua telapak tangannya ke dalam sumur supaya air sampai ke mulutnya,
sementara jarak antara ia dan air itu jauh sekali.
Ath-Thabrasi berkata: “Ini adalah matsal yang dibuat Allah bagi setiap orang
yang menyembah dan berdoa kepada selain-Nya, yang berharap dapat memberi
manfaat kepadanya. Perumpamaannya seperti orang yang membuka kedua telapak
tangannya ke air dari jarak yang jauh, untuk diminumnya dan melepaskan dahaganya.
Dan air tersebut tidak sampai ke mulutnya lantaran jauhnya jarak antara keduanya.
Demikian halnya orang-orang musyrik yang menyembah berhala-berhala, yang tidak
memberi manfaat kepada mereka dan tidak dapat mengabulkan doa mereka” (Majma’
al-Bayan: 3/287).
Mungkin saja ayat di atas ditafsirkan dengan bentuk lain. Misalnya seperti ini:
“Berhala itu tidak mengabulkan sebagaimana pengabulan air bagi orang dahaga yang
membuka kedua telapak tangan kepadanya, yang berharap agar air itu bergerak ke
mulut orang yang meminta atau mendekatkan mulut ke air. Padahal air adalah benda
mati yang tidak merasakan pembukaan kedua telapak tangan orang itu, kehausan dan
kebutuhannya, dan air itu pun tidak mampu mengabulkan doa dan menyampaikan
mulutnya. Demikian pula halnya dengan apa yang mereka seru adalah benda mati
yang tidak merasakan doa mereka, tidak mampu mengabulkan apapun dan tidak pula
memberi manfaat” (al-Kasysyaf: 2/ 162).
Yang tampak lebih jelas dan kuat adalah tafsir yang pertama. Sebab tuhan-
tuhan, baik benda mati yang tidak berperasa, atau malaikat, atau jin, arwah, yang
meskipun berperasa, mereka tidak memiliki kekuatan apapun untuk mengabulkan.
Pandangan dari tafsir untuk ayat ini tertuju khusus pada tuhan-tuhan yang merupakan
benda mati, bukan selainnya.
Pada kalimat selanjutnya: “Dan do’a (ibadat) orang-orang kafir itu, hanyalah
sia-sia belaka (dhalâl)”, menunjukkan bahwa dhalâl berarti keluar dari jalan dan/atau
perjalanan yang tidak menyampaikan seseorang pada tujuan. Doa kepada selain-Nya
adalah keluar dari jalan yang mengantar kepada tujuan. Sebab, tujuan dari berdoa
adalah penghadapan (tawajjuh) dan kemudian pengabulan (ijabah). Jadi tuhan-tuhan
palsu itu sama saja, mereka itu hampa dari penghadapan dan juga tidak mampu
mengabulkan. Maka, kesia-siaan (dhalâl) manakah yang lebih jelas dari ini.
Tamtsîl 21
أنزل من السماء ماء فسالت أودية بقدرها فاحتمل السيل زبدا رابيا و مما يوقدون عليه في النار ابتغاء حلية أو
ا الزبد فيذهب جفاء و أما ما ينفع الناس فيمكث في األرض متاع زبد مثله كذلك يضرب هللا الحق و الباطل فأم
كذلك يضرب هللا األمثال*
Artinya: “Allah telah menurunkan air (hujan) dari langit, maka mengalirlah air di
lembah-lembah menurut ukurannya, dan arusnya membawa buih yang mengembang.
Dan dari apa (logam) yang mereka lebur dalam api untuk membuat perhiasan atau
alat-alat, ada (pula) buihnya seperti buih arus itu. Demikianlah Allah membuat
perumpamaan (bagi) yang benar dan yang bathil. Adapun buih itu, akan hilang
sebagai sesuatu yang tak ada harganya; adapun yang memberi manfaat kepada
manusia, maka ia tetap di bumi. Demikianlah Allah membuat perumpamaan-
perumpamaan” [ar-Ra’d: 17].
Tafsir Ayat
Al-wâdi adalah kaki bukit besar, yang merendah yang menghimpun dan
menyimpan air hujan di dalamnya. Barangkali, kata al-wâdi berasal dari kata ad-diyah
(diyat), karena diyat adalah pengumpulan harta dalam jumlah besar yang ditunaikan
karena pembunuhan.
Al-qadar berarti bersambungnya sesuatu dengan yang lain tanpa penambahan
dan pengurangan. Jika keduanya sama maka itulah al-qadar, dan qadr dan qadar
adalah dua kata seperti syibr dan syabar.
Al-ihtimâl berarti mengangkat sesuatu di atas punggung dengan kekuatan si
pembawa. Dan az-zabad berarti kotoran yang meluap, di antaranya kotoran buih dan
kotoran banjir.
Al-jufâ` seperti dalam kalimat ajfa`ata l-qidra bi zabadihâ, artinya
melemparkan buihnya. Al-iiqâd sama dengan menaruh kayu bakar dalam api. Al-
matâ’ adalah sesuatu yang disenangi.
Al-haqq –dalam etimologi– berarti perkara yang tetap, yang berlawanan kata
dengan al-bathil. Mafhum al-haqq sangat luas meliputi segala maujud dan ajaran
yang tetap dan tidak berubah, termasuk kaidah-kaidah matematika, arsitek dan banyak
lagi di antara pengetahuan-pengetahuan tabiat. Jika suatu ketetapan sudah sampai
pada tingkatan tinggi maka itulah al-haqq yang tiada cacat baginya. Dan al-makts
berarti keberadaan di tempat sepanjang zaman.
Jika arti kata-kata di atas telah dimengerti, maka ketahuilah bahwa ayat ini
memperumpamakan haq dan batil dalam sebuah perumpamaan yang mengandung
beberapa tamtsil berikut:
Pertama, bahwa air bah yang turun deras dari ketinggian bukit atau gunung,
yang mengalir di lembah-lembah itu juga membawa buih yang mengembang ikut
bersamanya. Al-haqq seperti air banjir, dan al-bathil seperti buih atau kotoran (zabad)
yang meluap di atasnya.
Kedua, bahwa barang tambang atau logam yang dicairkan dengan api yang
menyala dalam wadah atau tungku itu mencair dan luapan di atasnya ada berupa
kotoran. Tujuan mencairkan adalah untuk memisahkan logam yang bernilai dari
kotoran dan buihnya. Artinya, al-haqq seperti logam mulis, emas, perak dan tambang-
tambang berharga lainnya. Sedangkan al-bâthil seperti kotoran dan buihnya yang
kotor.
Ketiga, bahwa yang memiliki kelanggengan, keabadian, ketetapan dan
bermanfaat bagi manusia – seperti air dan sesuatu yang diambil untuk perhiasan dan
kesenangan – menyerupai al-haqq. Dan sesuatu yang bukan demikian, seperti buih
banjir dan kotoran periuk yang hilang dibuang, menyerupai al-bâthil.
Penjelasan detailnya diuraikan melalui keterangan berikut: “Allah telah
menurunkan air (hujan) dari langit, maka mengalirlah air di lembah-lembah”, yang
terjadi di lahan atau daerah hujan yang berlainan pada yang luas maupun sempit, pada
yang besar maupun yang kecil; “menurut ukurannya”, yakni semua teraliri dan
mengambil atau menyerap dengan kemampuan masing-masing. Jadi limpahan karunia
Allah SWT bersifat umum tanpa dibatasi apapun. Pembatasan terletak pada yang
menerima, masing-masing mengambil menurut potensinya sendiri. Potensi tumbuh-
tumbuhan berbeda dengan potensi binatang dan manusia. Tiap maujud dilimpahi
sesuai dengan potensinya. Sebagaimana banjir yang mengalir deras dari ketinggian
bukit adalah mutlak tanpa memilih, namun setiap lekukan lereng dan lembah
mengambil air menurut potensi dan muatannya.
“Maka arus itu membawa buih yang mengembang”, yakni yang mengapung di
atas air. Begitulah keterangan untuk tamtsil pertama.
Kata zabad pengertiannya tidak terbatas hanya pada “banjir yang
menghanyutkan” saja, tetapi juga berarti “buih yang mengapung di atas permukaan
berbagai logam dan tambang yang dicairkan”, tempat dicelupkan antara lain permata
untuk perhiasan dan kesenangan. Begitu yang dapat diambil dari kalimat: “Dan dari
apa (logam) yang mereka lebur dalam api untuk membuat perhiasan atau alat-alat,
ada (pula) buihnya seperti buih arus itu”.
Demikian keterangan untuk tamtsil kedua, sebagaimana firman Allah SWT,
“Demikianlah Allah membuat perumpamaan-perumpamaan”, yakni demikianlah al-
haqq dan al-bâthil disifati untuk dapat diambil (dipilih) jalannya di antara manusia.
Selanjutnya, ayat memberi isyarat pada tamtsil ketiga, bahwa di antara tanda-
tanda al-haqq ialah kelanggengan dan manfaatnya bagi manusia. Namun sebaliknya,
“Adapun buih itu, akan hilang sebagai sesuatu yang tak ada harganya”, yakni buih
air bah dan buih sesuatu yang mereka nyalakan, akan lenyap dalam waktu sekejap.
Seakan-akan tidak pernah disebut-sebut sebelumnya, hilang sia-sia, batil, dan musnah.
“Adapun yang memberi manfaat kepada manusia, maka ia tetap di bumi”, yakni air
yang bersih atau tambang yang murni, yang dimanfaatkan oleh manusia akan tetap
berada di bumi.
Kemudian Allah menutup ayat ini dengan kalimat; “Demikianlah Allah
membuat perumpamaan-perumpamaan”. Sebagaimana telah disinggung dalam
mukadimah tentang makna dharbu l-matsal (membuat perumpamaan, peribahasa),
dan telah disebutkan bahwa yang dimaksud dharbu l-matsal adalah menggambarkan
dan menjelaskan keadaan yang diserupakan).
Demikianlah mengenai tafsir makna lahiriyah ayat. Dan ayat ini termasuk
salah satu permulaan ayat-ayat Qur`âniyah yang membahas tentang karakter al-haqq
dan al-bathil, tentang geraknya, bentuk kemunculannya, dan dampak-dampak yang
akan berlaku atasnya. Tak salah apabila kita merujuk pada ayat:
1- Bahwa keimanan dan kekufuran adalah salah satu mishdaq paling jelas bagi
kebenaran dan kebatilan. Di bawah naungan iman kepada Allah SWT terdapat
kehidupan bagi masyarakat, keadilan dan solidaritas kemanusiaan. Jadi suatu umat
yang tidak memiliki keimanan akan terjerambab dalam kezaliman, keegoisan dan
terlepas dari ikatan kemanusian yang akan segera menerbangkan masyarakat ke udara
dan kemudian lenyap.
2- Bahwa buih sangat mirip dengan hijab yang menutupi wajah al-haqq dalam waktu
sekejap. Ketika lenyap dengan cepat, muncul wajah hakikat, ialah air dan logam-
logam yang bermanfaat.
Demikianlah karakter al-bâthil. Kebatilan bisa menutupi wajah kebenaran
melalui propaganda-propaganda yang menjenuhkan, namun kemunculannya tidak
akan lama dan akan segera hilang bagai buih yang cepat menghilang. Allah SWT
berfirman: “Dan katakanlah: ‘Yang benar telah datang dan yang batil telah lenyap’.
Sesungguhnya yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap” [al-Isra: 81].
Dan firman-Nya: “Dan Allah menghapuskan yang batil dan membenarkan yang haq
dengan kalinat-kalimat-Nya” [asy-Syura: 24].
3- Bahwa air dan logam-logam adalah sumber keberkahan dan kebaikan bagi
manusia, sedangkan buih adalah kotoran yang tidak bermanfaat. Demikian pula yang
benar dan yang batil. Yang benar itu seperti keimanan dan keadilan, yang bermanfaat
bagi manusia. Sedangkan yang batil itu seperti kufur dan kezaliman, yang tidak
bermanfaat.
4- Bahwa air adalah karunia material yang Allah limpahkan dari langit ke atas
lembah-lembah dan padang sahara. Masing-masing mendapatkan bagiannya sesuai
ukuran luasnya. Lembah besar menampung air banyak, lembah kecil menampung air
lebih sedikit. Demikian pula keadaan dalam ruh dan jiwa. Setiap jiwa memperoleh
bagian dari pengetahuan-pengetahuan ilahiyah sesuai potensinya. Ada jiwa yang
seperti ‘Arsy ar-Rahman, dan ada jiwa yang sempit penampungannya. Allah SWT
berfirman: “Padahal Dia sesungguhnya telah menciptakan kamu dalam beberapa
tingkatan kejadian” [Nuh: 14].
Rasulullah saw bersabda: “Manusia-manusia adalah tambang-tambang seperti
tambang-tambang emas dan perak” (Bihar al-Anwar: 4/405). Imam Ali bin Abi
Thalib as berkata kepada Kumail: “Sesungguhnya kalbu-kalbu ini adalah wadah-
wadah, dan kalbu yang terbaik adalah yang lebih luas (muatannya)” (Nahjul
Balaghah, al-Hikam No. 127). Jadi pengetahuan-pengetahuan ilahiyah seperti bah
yang deras, dan kalbu-kalbu seperti lembah-lembah dengan berbagai macam bentuk
dan ukurannya).
Barangkali pula, kalimat “bi qadrihâ” –pada bagian ayat– adalah indikasi pada
maksud lainnya, yaitu bahwa air yang deras adalah air kehidupan yang menumbuhkan
tanaman-tanaman yang berbuah di tanah-tanah yang subur, bukan di tanah-tanah
tandus yang tidak tumbuh padanya melainkan duri-duri.
5- Bahwa air berada di dalam perut bumi, menyerap dan menetap di sana sepanjang
kurun waktu yang lama, sehingga manusia dapat mengambil manfaat darinya dengan
mengeluarkannya. Begitu pula dengan al-haqq, ia tetap dan tidak lenyap. Al-haq
bersifat langgeng, tidak musnah, yang berlawanan dengan al-bâthil. Jadi yang benar
berwilayah sedangkan yang batil berdebu dan beterbangan tak menentu dan lalu
lenyap.
6- Kebatilan tampak dalam berbagai macam bentuk, sebagaimana buih yang
mengapung di atas air dan di atas cairan-cairan tambang pada sisi-sisi yang berlainan.
Tetapi kebenaran adalah satu dan berwajah satu. Adapun yang batil beraneka ragam
wajah..
7- Kebatilan bergantung pada keberadaan haq. Ibarat tanpa keberadaan air, maka
tiadalah buih. Maka pandangan-pandangan dan kepercayaan-kepercayaan yang batil
terbangun bahan-bahannya menumpang pada keyakinan-keyakinan yang haq.
Kebatilan muncul melalui perwujudan tahrif (perubahan) dalam rukun-rukun dan
peniruan-peniruannya terhadap kebenaran. Seandainya kebenaran tidak memiliki
wilayah, maka kebatilan tidak memiliki perjalanan sama sekali. Allah SWT
berfirman: “maka arus itu membawa buih yang mengembang”.
8- Penyerupaan al-haqq dengan air dan al-bâthil dengan buih adalah sebuah petunjuk
yang halus, bahwa al-bâthil seperti buih, sebagaimana ia berjalan di air deras yang
bergelombang dan mengalir tidak tenang. Begitulah kebatilan, ia muncul dalam
kondisi-kondisi yang terombang-ambing tak beraturan dan tiada ketetapan.
9- Gerak al-bâthil meski sementara waktu, ia berada dalam sepanjang gerak al-haqq
dan menembus dalam hati. Al-bâthil menunggangi gelombang al-haqq untuk sampai
tujuan-tujuannya. Ia laksana buih menaiki gelombang air untuk mempertahankan
keberadaannya.
10- Kebatilan di samping tidak memiliki tempat dalam hakikat, bilamana terlepas dari
hakikat, ia tidak akan berdaya untuk tampil diri meskipun dalam sekilas waktu.
Kebatilan mencari jati diri dengan berbaur dengan al-haqq sehingga ia bisa muncul di
tengah masyarakat. Buih terbentuk dari bagian-bagian yang berair, dan karena itu jika
terlepas sebagian darinya, niscaya ia binasa. Begitu pula kebathilan dalam pandangan
dan keyakinan.
Imam Ali bin Abi Thalib as berkata: “Apabila kebatilan murni dan tidak
bercampur dengan haq, (maka) ia tidak sembunyi dari orang-orang yang mencarinya.
Dan apabila yang haq murni dan tidak bercampur dengan yang batil, orang-orang
yang menaruh kebencian kepadanya akan dibungkamkan. Namun, yang kerap terjadi
ialah sesuatu yang diambil dari sana, dan keduanya bercampur. Pada tahap ini iblis
menaklukkan teman-temannya, dan yang melepaskan diri hanyalah mereka yang
sebelumnya telah diberi kebajikan oleh Allah SWT” (Nahjul Balaghah: 49).
***
Sebagian kitab-kitab tentang amtsâl al-Quran, memasukkan ayat berikut ini
dalam al-amtsâl:
مثل الجنة التي وعد المتقون تجري من تحتها األنهار أكلها دائم و ظلها تلك عقبى الذين اتقوا و عقبى الكافرين
النار*
Artinya: “Perumpamaan surga yang dijanjikan kepada orang-orang yang bertakwa
ialah (seperti taman) yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; tak henti-henti
berbuah sedang naungannya (demikian pula). Itulah tempat kesudahan bagi orang-
orang yang bertakwa; sedang tempat kesudahan bagi orang-orang kafir ialah
neraka” [ar-Ra’d: 35].
Namun demikian, yang tampak dalam ayat ini bukanlah dalam kategori
tamtsil, karena ia merupakan cabang adanya musyabbah (yang diserupakan) dan
musyabbah bihi (yang dijadikan penyerupa). Sementara ayat ini dalam menerangkan
balasan orang-orang yang takwa dan orang-orang kafir, dengan mengatakan: Balasan
orang-orang yang takwa adalah bahwa mereka menempati surga yang di bawahnya
mengalir sungai-sungai, tak henti-henti berbuah dan naungannya demikian juga
(menaungi) .
Hal ini berbeda (keadaanya) dengan orang-orang kafir, yakni balasan mereka
adalah siksaan neraka. Dan di sini tidak ada empat perkara, tetapi hanya dua perkara.
Karena itu, matsal dalam ayat ini bermakna sifat, yakni beginilah keadaan surga dan
sifatnya yang dijanjikan kepada orang-orang yang bertakwa.
Memang, ath-Thabarsi pernah menyebutkan satu noktah menunjukkan bahwa
barangkali ayat ini merupakan sebuah matsal, karena itu perhatikanlah! (Majma’ al-
Bayan: 3/296).
Surat Ibrahim
Tamtsîl 22
مثل الذين كفروا بربهم أعمالهم كرماد اشتدت به الريح في يوم عاصف ال يقدرون مما كسبوا على شيء ذلك هو
الضالل البعيد*
Artinya: “Orang-orang yang kafir kepada Tuhannya, amalan-amalan mereka adalah
seperti abu (atau debu) yang ditiup angin dengan keras pada suatu hari yang
berangin kencang. Mereka tidak dapat mengambil manfaat sedikitpun dari apa yang
telah mereka usahakan (di dunia). Yang demikian itu adalah kesesatan yang jauh”
[Ibrahim: 18].
Tafsir Ayat
Al-‘ashf adalah angin kencang, dan “yaumun ‘ashif” ialah hari ketika banyak
angin ribut. Penggunaan kata al-‘ashf digunakan untuk memberi sifat pada hari, yang
dengan begitu – dalam bahasa – berarti mubâlaghah. Seolah kedudukan hembusan
angin kencang itu membuat hari berangin kencang, sebagaimana dikatakan; lailun
ghâimun wa yaumun mâthirun (malam mendung dan hari hujan).
Sesungguhnya Allah SWT memperserupakan amal orang-orang kafir yang sia-
sia itu dengan abu dalam tiupan angin kencang. Sebagaimana halnya tiada seorang
pun yang mampu mengumpulkan abu yang berterbangan dihempas angin kencang,
maka begitu pula dengan upaya-upaya orang-orang kafir. Mereka tidak kuasa dari apa
yang telah mereka peroleh, sehingga amal-amal mereka tidak membawa manfaat
apapun.
Dalam ayat lain Allah SWT berfirman: “Dan Kami hadapi segala amal yang
mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan”
[al-Furqan: 23].
Yang dimaksud amal-amal mereka adalah bentuk amal saleh dalam pandangan
umum, seperti melakukan silaturahim, membebaskan budak, menebus tawanan dan
menolong orang-orang teraniaya (dan lain-lain). Ini terjadi sebagai konsekuensi dari
amal-amal mereka yang dibangun di atas pondasi selain keimanan kepada Allah
SWT. Tanpa beriman kepada Allah SWT maka mereka tidak mendapatkan hak apa-
apa atas amal-amal mereka.
Sedangkan untuk perbuatan-perbuatan berupa maksiat adalah keluar dari
konteks dan kandungan ayat, mengingat begitu jelasnya maksud kandungannya. Dan
ayat di atas merupakan dalil atas orang kafir yang tidak mendapatkan pahala atas
amal-amal salehnya pada hari kiamat, disebabkan amal yang bukan karena Allah
SWT.
Tentu saja, seandainya mereka melakukan amal-amal itu demi mengharap
ridha dan keridhaan-Nya, maka mereka pasti dibalas dengan kebaikan pula dan akan
menjadi perantara untuk meringankan penderitaan dari azab Allah SWT.
Tamtsîl 23
ين بإذن ربها و ألم ترى كيف ضرب هللا مثال كلمة طيبة أصلها ثابت و فرعها في السماء* تؤتي أكلها كل ح
يضرب هللا األمثال للناس لعلهم يتذكرون*
Artinya: “Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan
kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya
(menjulang) ke langit. Pohon itu memberikan buahnya pada tiap musim dengan seizin
Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya
mereka selalu ingat” [Ibrahim: 24-25].
Tafsir Ayat
Allah SWT memperumpamakan al-haqq dan al-bâthil, atau kufur dan iman
dengan tamtsil-tamtsil yang bermacam-macam. Dalam ayat ini terdapat tamtsil yang
memperumpamakan iman seperti pohon yang memiliki sifat-sifat berikut ini:
1- “Thayyibah”; pohon yang suci dan bersih, yang berbeda dengan pohon
khabiitsah. Pohon ada dua macam: pertama, pohon yang berbuah pilihan, seperti buah
tin, kurma, zaitun dan lain-lain. Kedua, pohon berbuah buruk, seperti jenis labu (yang
pahit rasanya).
2- “Ashluhâ tsâbit”; pohon yang mempunyai akar-akar kuat menancap di
dalam perut bumi, tak tergoyahkan oleh angin topan, dan tidak pula goyah oleh
ombak-ombak besar.
3- “Far’hâ fi s-samâ`”; pohon yang memiliki dahan dan ranting yang
menjulang ke langit yang menyerap cahaya, udara, dan air. Juga memiliki akar-akar
yang kokoh bertahan dan menyerap air dan makanan dari tanah. Banyaknya cabang-
cabang atau ranting-ranting ini tidak mengganggu satu sama lain, sebagaimana ia juga
tidak tercemari oleh apa yang ada di permukaan bumi.
4- “Tu’thii ukulahâ kulla hiin” (Pohon itu memberikan buahnya pada tiap
musim); “pada setiap musim dan masa” bukan berarti setiap hari dan setiap bulan ia
berbuah. Sampai dikatakan bahwa bukanlah sesederhana yang dibayangkan sebagai
jenis pohon berbuah.
Dengan ibarat lain; bahwa pohon semacam ini tidak berkurang dengan
memberikan (buahnya). Tetapi selalu berbuah dalam setiap saat yang Allah tentukan
waktunya dan buah-buahnya untuk berbuah. Begitulah keadaan yang dijadikan
penyerupa.
Sementara tentang keadaan yang diserupakan, muncul berbagai pendapat dan
ungkapan tetapi kurang dikuatkan oleh dalil. Yang tampak adalah bahwa yang
diserupakan adalah keyakinan akan al-haqq yang kokoh; yaitu Tauhid, Keadilan (al-
‘adl), dan konsekuensi dari keduanya yang disebut dengan al-ma’âd (hari
kebangkitan).
Inilah aqidah yang kokoh lagi thayyibah, yang bersih dari setiap kesyirikan
dan kesesatan. Yakni aqidah yang mempunyai buah-buah (hasil) pada dua kehidupan
(dunia dan akhirat).
Yang menunjukkan atas hal demikian ialah firman Allah SWT pada ayat
setelahnya; “Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan
yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat..” [Ibrahim: 27]. Pernyataan
yang teguh bermakna aqidah yang lurus, yang mengejawantahkan kalimat tauhid
sebenarnya dan syahadat (kesaksian) akan al-ma’âd dan lainnya. Allamah Sayyid
Husain Thabathaba`i mengatakan: “Pernyataan keesaan (Allah) dan konsisten atasnya,
adalah kebenaran pernyataan yang memiliki akar yang kuat terpelihara dari segala
perubahan, kemusnahan dan kebatilan. Yakni, Allah Yang Agung nama-Nya dan
wilayah hakikat-hakikat. Dan, (pernyataan yang haq itu) memiliki cabang-cabang
yang tumbuh tanpa rintangan yang menghalangi, berupa keyakinan-keyakinan yang
haq, akhlak yang mulia, dan amal-amal saleh, yang dengannya orang mukmin
menghidupkan kehidupan thayyibah dan membangun alam insani dengan sebenar-
benarnya. Cabang-cabang itu selaras dengan perjalanan sistem penciptaan yang
mengantarkan pada keberadaan manusia yang tampak dengan keyakinan yang haq
dan amal salehnya. (al-Mizan: 12/52).
Kemudian Allah SWT menutup ayat ini dengan menegaskan: “Allah membuat
perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat”, yakni
agar mereka kembali pada fitrah mereka. Sehingga mereka dapat meyakinkan bahwa
kebahagiaan itu tergantung pada keyakinan yang benar yang memberi buah sehat bagi
manusia di dua kehidupan (dunia dan akhirat).
Dengan demikian, dapat dimaklumi dari apa yang dikatakan oleh sebagian
mufasir, bahwa yang dimaksud kalimat tauhid oleh mereka tidak bertentangan dengan
apa yang telah kami katakan. Karena yang dimaksud di sini adalah tamtstsul
(pengamalan) kalimat tauhid, bukan sekedar ucapan lisan saja. Sebab Allah SWT
berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: ‘Tuhan kami ialah Allah’,
kemudian mereka tetap istiqamah, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka
dan mereka tiada (pula) berduka cita.” [al-Ahqaf: 13]. Maksud firman ini adalah pada
perwujudannya (tahaqquq); bahwa pernyataan “rabbunâ Allâh” bukanlah sekadar
pengucapan lisan semata. Dan Allah SWT telah memberikan indikasi pada aqidah
yang benar, seperti dalam firman-Nya: “Siapa saja yang menghendaki kemuliaan,
maka bagi Allah-lah kemuliaan itu semuanya. Kepada-Nya naik perkataan-perkataan
yang baik, dan amal yang saleh dinaikkan-Nya. Dan orang-orang yang
merencanakan kejahatan, bagi mereka azab yang keras, dan rencana jahat mereka
akan hancur.” [Faathir: 10].
Ibarat dari kalimat “al-kalimu th-thayyib” adalah aqidah, dan amal saleh
mengangkat aqidah tersebut.
Dan telah dimaklumi bahwa segenap aqidah yang benar pastilah memiliki
akar-akar kuat dalam hati. Ia juga memiliki cabang-cabang dan ranting-ranting dalam
kehidupan. Cabang-cabang itu mempunyai daun dan buah-buahan, maka keyakinan
kepada al-Wâjib (Allah) Yang Mahaadil lagi Mahabijaksana yang membangkitkan
manusia setelah kematian pastilah akan melahirkan ketetapan dalam hidup serta
menjauhkan dari kezaliman, kesia-siaan dan kebinasaan. Dan selanjutnya, pondasi
keyakinan ini memiliki cabang, yaitu keyakinan-keyakinan lainnya yang lurus.
Sampai di sini, selesailah uraian mastal pertama bagi orang mukmin dan orang
kafir, atau bagi keimanan dan kekufuran.
Dalam ibarat lain, dikatakan pula bahwa tokoh-tokoh mulia dari orang-orang
mukmin adalah perwujudan konkret dari kalimatullah yang thayyibah. Kehidupan
mereka adalah akar keberkahan, seruan mereka mengundang gerakan. Karya, tulisan,
ungkapan, murid-murid dan sejarah mereka, bahkan kuburan mereka, semuanya
mengilhamkan, menghidupkan dan membimbing masyarakat (ke jalan yang benar).
Cuma saja, dalam permasalahan ini, konotasi ayat kurang mendukung,
mengingat Allah SWT menafsirkan “al-kalimah ath-thayyibah” (kalimat yang baik)
sebagaimana telah diketahui, dengan firman-Nya: “Allah meneguhkan (iman) orang-
orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di
akhirat...”. Yang dimaksud dengan “al-qaul ats-tsâbit’” (perkataan yang tetap) –pada
ayat ini– adalah “al-kalimah ath-thayyibah”. Sedangkan kalbu orang mukmin adalah
al-ardhu at-thayyibah (tanah yang baik), tempat akar-akar pohon tersebut melekat
kuat di dalamnya.
Tamtsîl 24
يثة كشجرة خبيثة اجتثت من فوق األرض ما لها من قرارو مثل كلمة خب
Artinya: “Dan perumpamaan kalimat yang buruk seperti pohon yang buruk, yang
telah dicabut akar-akarnya dari permukaan bumi; tidak dapat tetap (tegak)
sedikitpun” [Ibrahim: 26].
Tafsir Ayat
Allah SWT memperumpamakan aqidah yang lurus dengan matsal yang telah
lalu, dan memperumpamakan aqidah yang batil dengan kontradiksi matsal
sebelumnya (tamtsil ke 23). Penjelasannya adalah sebagai berikut:
Kekufuran laksana pohon yang mempunyai sifat-sifat berikut:
1- “Khabiitsah”; lawan dari thayibah. Khabiitsah adalah tidak baik buahnya,
atau pohon yang berbuah pahit rasanya.
2- “Ijtatstsat min fauqi l-ardh” (“yang telah dicabut akar-akarnya dari
permukaan bumi”) berlawanan dengan – bagian ayat 24– “ashluhâ tsabitun” (yang
teguh akarnya). Kata “ijtitsâts” bermakna melepaskan sesuatu dari akarnya, yakni
mengambil, mencabut ,dan melepaskan akar-akarnya dari tanah.
3- “Mâ lahâ min qarâr” (“tidak dapat tetap (tegak) sedikitpun”); yakni pohon
itu tidak mempunyai ketetapan, sehingga sangat mudah dirobohkan dan diterbangkan
angin. Pohon itu juga tidak memiliki cabang-cabang dan ranting-ranting atau buah-
buahan.
Itulah keadaan yang dijadikan penyerupa. Adapun yang diserupakan ialah
berupa aqidah yang sesat dan kufur, yang tidak bersandar pada argumentasi dan dalil,
yang selalu diguncang kekaburan dan keraguan.
Maka sesuailah awal ayat ke-27 surat Ibrahim berikut ini dengan tamtsil
pertama (tamtsil ke-23); “Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman
dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat..”.
Sedangkan akhir ayat ke-27 surat Ibrahim yang berbunyi; “Dan Allah
menyesatkan orang-orang yang zalim dan berbuat apa yang Dia kehendaki” sesuai
dengan tamtsil kedua ini (tamtsil ke-24). Yakni, Allah SWT menyesatkan Ahlulkitab
karena berpaling dari hidayah-Nya. Hal itu disebabkan oleh sikap dan perbuatan
mereka sendiri yang membatasi diri untuk tidak memanfaatkan petunjuk umum yang
diberikan kepada setiap manusia, yakni petunjuk “fitrah” dan “seruan para nabi”.
Dan pada akhir ayat 27 ini, “yaf’alu man yasyâ`” (“berbuat apa yang Dia
kehendaki”) bermakna bahwa kehendak Allah SWT berhubungan dengan menetapkan
dan menolong orang-orang mukmin, dan menyesatkan dan menghinakan orang-orang
yang zalim sesuai yang mereka lakukan. Dan kehendak Allah tidak pernah hampa
kecuali muncul dari hikmah yang tinggi.
Tamtsîl 25
و أنذر الناس يوم تأتيهم العذاب فيقول الذين ظلموا ربنا أخرنا إلى أجل قريب نجب دعوتك و نتبع الرسل أو لم
مساكن الذين ظلموا أنفسهم و تبين لكم كيف فعلنا بهم و تكونوا أقسمتم من قبل ما لكم من زوال* و سكنتم في
ضربنا لكم األمثال* و قد مكروا مكرهم و عند هللا مكرهم و إن كان مكرهم لتزول منه الجبال*
Artinya: “Dan berikanlah peringatan kepada manusia terhadap hari (yang pada
waktu itu) datang azab kepada mereka, maka berkatalah orang-orang yang zalim:
“Ya Tuhan kami, beri tangguhlah kami (kembalikanlah kami ke dunia) walaupun
dalam waktu yang sedikit, niscaya kami akan mematuhi seruan Engkau dan akan
mengikuti rasul-rasul”. (Kepada mereka dikatakan): “Bukankah kamu telah
bersumpah dahulu (di dunia) bahwa, sekali-kali kamu tidak akan binasa?, dan kamu
telah berdiam di tempat-tempat kediaman orang-orang yang menganiaya diri mereka
sendiri, dan telah nyata bagimu bagaimana Kami berbuat terhadap mereka, dan
Kami berikan kepadamu beberapa perumpamaan”. Dan sesungguhnya mereka telah
berbuat makar yang besar, padahal di sisi Allah-lah (balasan) makar mereka itu. Dan
sesungguhnya makar mereka itu (amat besar) sehingga gunung-gunung dapat lenyap
karenanya” [Ibrahim: 44-46].
Tafsir Ayat
Sesungguhnya ayat memperumpamakan keadaan kaum yang telah
menyaksikan bagaimana turunnya bagian dari azab dan bala. Mereka mengaku
menyesal atas perbuatan-perbuatan yang dibenci dan memohon penangguhan,
sehingga mereka dapat memperbaiki apa-apa yang telah mereka sia-siakan, berupa
keimanan dan amal saleh. Allah SWT berfirman: “Dan berikanlah peringatan kepada
manusia terhadap hari (yang pada waktu itu) datang azab kepada mereka”, yakni
menyaksikan turunnya azab di dunia dengan bukti permohonan tangguh mereka,
seperti dalam kalimat: “maka berkatalah orang-orang yang zalim: “Ya Tuhan kami,
beri tangguhlah kami (kembalikanlah kami ke dunia) walaupun dalam waktu yang
sedikit, niscaya kami akan mematuhi seruan Engkau dan akan mengikuti rasul-rasul”.
Namun Allah menolak seruan mereka, karena permohonan itu bukanlah
permohonan yang tulus. mereka dikembalikan kepada-Nya dengan melihat azab.
Lalu Allah SWT menyeru mereka: “(Kepada mereka dikatakan): “Bukankah
kamu telah bersumpah dahulu (di dunia) bahwa, sekali-kali kamu tidak akan
binasa?”.
Dengan demikian, makna ayat menjadi: Kalian telah bersumpah sebelum azab
turun, bahwa kalian tidak akan binasa dalam kesenangan sampai diazab. Dan kalian
menyangka bahwa kalian –dengan memiliki daya dan upaya– adalah umat yang kekal
lagi menguasai kendali semua urusan, lalu kenapa (sekarang) memohon
penangguhan? Juga dikatakan kepada mereka, dengan bentuk jawaban yang lain; “dan
kamu telah berdiam di tempat-tempat kediaman orang-orang yang menganiaya diri
mereka sendiri, dan telah nyata bagimu bagaimana Kami telah berbuat terhadap
mereka dan telah Kami berikan kepadamu beberapa perumpamaan”. Yakni kalian
telah mendiami tempat-tempat orang-orang yang mendustakan para rasul, di mana
Allah membinasakan mereka. Dan kalian mengetahui apa yang telah turun kepada
mereka berupa bala, kehancuran dan azab seperti kaum ‘Ad dan Tsamud. Dan Kami
(Allah) telah membuat perumpamaan-perumpamaan untuk kalian, dan telah pula
memberitahu kalian tentang keadaan orang-orang terdahulu agar kalian dapat
merenunginya. Namun kalian tidak mau dinasihati.
Dari keterangan di atas, maka al-musyabbah bihi adalah keadaan umat-umat
yang binasa disebabkan perbuatan-perbuatan mereka yang lalim. Sedangkan al-
musyabbah adalah umat-umat setelah mereka, yang telah menyaksikan azab dan
memohon penangguhan untuk tidak dimatikan, sambil menyesal. Padahal, pada saat
itu sudah bukan saatnya untuk lari melepaskan diri.
Surat an-Nahl
Tamtsîl 26
و يجعلون � البنات سبحانه و لهم ما و يجعلون لما ال يعلمون نصيبا مما رزقناهم تا� لتسألن عما كنتم تقترون*
يشتهون* و إذا بشر أحدهم باألنثى ظل وجهه مسودا و هو كظيم* يتوارى من القوم من سوء ما بشر به أ يمسكه
على هون أم يدسه في التراب أال ساء ما يحكمون* للذين ال يؤمنون باآلخرة مثل السوء و � المثل األعلى و هو
العزيز الحكيم*
Artinya: “Dan mereka sediakan untuk berhala-berhala yang mereka tiada mengetahui
(kekuasaannya), satu bahagian dari rezki yang telah Kami berikan kepada mereka.
Demi Allah, sesungguhnya kamu akan ditanyai tentang apa yang telah kamu ada-
adakan. Dan mereka menetapkan bagi Allah anak-anak perempuan). Maha suci
Allah, sedang untuk mereka sendiri (mereka tetapkan) apa yang mereka sukai (yaitu
anak laki-laki). Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran)
anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah. Ia
menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang
disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung
kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ketahuilah
akhirat, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu. Orang-orang yang tidak
beriman kepada kehidupan akhirat, mempunyai sifat yang buruk; dan Allah
mempunyai sifat yang maha tinggi; dan Dia-lah Yang Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana” [an-Nahl: 56-60]
Tafsir Ayat
Sesungguhnya Allah SWT adalah Maha Wajib lagi Maha Kaya dari segala
sesuatu. Allah berfirman: “Hai orang-orang, kalian adalah fakir kepada Allah, dan
Allahlah Yang Maha Kaya lagi Maha Terpuji” [Fathir: 15]. Allah tidak menyifati diri-
Nya dengan sesuatu yang berbau kefakiran dan kebutuhan. Tetapi kaum musyrikin
yang tidak mengenal Allah telah menyifati-Nya dengan sifat-sifat yang berkesan
kefakiran dan kebutuhan. Allah SWT menceritakan tentang ini di dalam beberapa
ayat, antara lain; “Dan mereka memperuntukkan bagi Allah satu bahagian dari
tanaman dan ternak yang telah diciptakan Allah, lalu mereka berkata: ‘Ini untuk
Allah dan ini untuk berhala-berhala kami’. Maka sajian-sajian yang diperuntukkan
bagi berhala-berhala mereka tidak sampai kepada Allah; dan sajian-sajian yang
diperuntukkan bagi Allah, maka sajian itu sampai kepada berhala-berhala mereka.
Amat buruklah ketetapan mereka itu” [al-An’am: 136].
Orang-orang kafir itu salah dalam dua perkara:
1- Tanah rendah antara dua anak bukit adalah bagian milik Allah, yang
berisikan tanaman dan ternak. Orang-orang ingkar menganggap seolah Allah fakir,
lalu mereka menyisihkan bagian untuk-Nya dari tanaman yang mereka tanam dan
ternak yang mereka pelihara.
2- Ketidak-adilan dalam membagi dan menentukan. Mereka memberikan apa
yang sesungguhnya milik Allah kepada sekutu-sekutu (berhala-berhala) dan tidak
sebaliknya. Ini tiada lain melainkan kebodohan mereka akan kedudukan Allah SWT,
asma, dan sifat-Nya.
Secara detail telah diisyaratkan surat al-An’am dalam bentuk yang ringkas:
“Dan mereka sediakan untuk berhala-berhala yang mereka tiada mengetahui
(kekuasaannya), satu bahagian dari rezki yang telah kami berikan kepada mereka.
Demi Allah, sesungguhnya kamu akan ditanyai tentang apa yang telah kamu ada-
adakan...”.
Seperti dikatakan sebelumnya bahwa mereka membenci anak perempuan dan
menentapkannya bagi Allah, dan mereka menyenangi anak laki-laki dan
menetapkannya untuk diri mereka. Hal ini disebutkan dalam ayat: “Dan mereka
menetapkan bagi Allah anak-anak perempuan. Maha suci Allah, sedang untuk mereka
sendiri (mereka tetapkan) apa yang mereka sukai (yaitu anak laki-laki)”. Dan yang
dimaksud makna al-maushul (sebagai kata sambung dalam nahwu) dalam potongan
ayat “mâ yasytahuun” (“apa yang mereka sukai”), ialah anak laki-laki.
Dengan demikian makna ayat: “Orang-orang yang tidak beriman kepada
kehidupan akhirat, mempunyai sifat yang buruk”, adalah kaum musyrikin yang
mengingkari hari akhirat, menyifati Allah dengan sifat-sifat yang buruk yang dicela
dan dihinakan oleh akal (sehat). Persis seperti bentuk penyifatan mereka terhadap
Allah dengan kefakiran, butuh, kekurangan, dan imkân (mungkin). Padahal Allah
SWT adalah Maha Kaya Mutlak, Dia Maha Tinggi dari disifati dengan sifat-sifat
buruk.
Sebaliknya, seorang muwahhid (yang bertauhid kepada Allah) menyifati-Nya
dengan kesempurnaan (sifat al-Kamâl), antara lain: hidup, ilmu, qudrat, mulia, agung
dan perkasa. Dan Allah SWT dalam pandangan orang-orang mukmin adalah: “Dialah
Allah Yang tiada tuhan selain Dia, Raja, Yang Maha suci. Yang Maha sejahtera,
Yang Maha mengaruniakan keamanan, Yang Maha memelihara, Yang maha perkasa,
Yang Maha kuasa, yang memiliki segala keagungan, Maha suci Allah dari apa yang
mereka persekutukan. Dialah Allah Yang menciptakan, Yang mengadakan, Yang
membentuk rupa, Yang mempunyai al-asmâ`ul-husnâ” [al-Hasyr: 23-24], “Dan bagi-
Nyalah sifat yang Maha tinggi di langit dan di bumi” [ar-Rum: 27] dan “Dia
mempunyai al-asmâ`ul-husnâ” [Thaha: 8].
Dari penjelasan di atas, muncul jawab soal yang telah dilontarkan ath-Thabarsi
dalam kitab tafsir Majma’ al-Bayân. Pertanyaannya adalah, bagaimana mungkin
bergabung antara ayat; “Dan bagi-Nyalah sifat (al-matsal) yang Maha tinggi” dengan
ayat; “Maka janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu (al-amtsâl) bagi Allah.
Sesungguhnya Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui” [an-Nahl: 74]?
Jawabannya: Yang dimaksud dharbu l-amtsâl (membuat perumpamaan-
perumpamaan) di sini adalah menyifati-Nya dengan sesuatu yang menunjukkan
kefakiran dan butuh, atau menyerupakan-Nya dengan perkara-perkara material. Dan
telah disebutkan di atas bahwa kaum musyrikin telah menetapkan bagi Allah bagian
tanaman dan ternak, sebagaimana mereka juga menetapkan malaikat sebagai anak-
anak perempuan bagi-Nya; “Dan mereka menjadikan malaikat-kalaikat yang mereka
itu adalah hamba-hamba Allah Yang Maha pemurah, sebagai orang-orang
perempuan” [az-Zukhruf: 19], dan; “Dan mereka adakan (hubungan) nasab antara
Allah dan antara jin” [ash-Shaffat: 158], serta sifat-sifat lain. Maha Suci Allah dari
semua itu. Tamstil semacam ini adalah perkara terlarang, dan inilah yang dimaksud
dalam kalimat ayat: “Maka janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu (al-amtsâl)”
Adapun penyifatan bagi Allah SWT dengan sesuatu yang patut seperti
keagungan, kebesaran, ilmu, qudrat dan lain sebagainya, al-Quran telah menjawab
atas itu dan tidak ada larangan di dalamnya. Dengan bukti bahwa setelah melarang
perumpamaan penyerupaan terhadap-Nya, melontarkan dua perumpamaan bagi diri-
Nya, sebagaimana yang akan dijelaskan dalam tamtsil berikutnya.
Dalam jawaban disebutkan bahwa kata al-amtsâl pada ayat di atas adalah
bentuk jamak dari kata al-mitsl, yang bermakna an-nidd (sepadan). Jadi ukuran
(wazân) ayat; lâ tadhribuu lllâha l-amtsâl seperti wazân ayat; lâ taj’aluu li llâhi
andâdan (maka janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah) dalam al-
Baqarah ayat-22. Tetapi, ini makna yang jauh. Sebab kata al-matsal digunakan
bersama kata adh-dharb (menjadi kalimat dharbu l-matsl. Penerj.), bukan al-mitsl
yang bermakna sepadan, yang kata adh-dharb tidak pernah terlihat bersamanya.
Dan apa yang telah dijelaskan dalam keterangan buku ini tidak jauh dengan
ungkapan Syeikh ath-Thabarsi ketika mengatakan: Bahwa yang dimaksud al-amtsâl
adalah al-asybâh (keserupaan-keserupaan), yakni; janganlah memperserupakan Allah
dengan sesuatu. Dan yang dimaksud dengan “al-matsalu l-a’lâ” ialah “al-wasfu l-
a’lâ” (sifat yang tinggi), yang mana Dia Maha dahulu, Maha kuasa, Maha mengetahui
lagi Maha hidup, tiada serupa sesuatupun dengan-Nya.
Dikatakan bahwa, yang dimaksud “al-matsalu l-a’lâ” adalah “al-matsalu l-
madhrub bi l-haqq” (perumpamaan yang dibuat dengan kebenaran), dan kalimat dari
bagian ayat: “lâ tadhribu llâha bi l-amtsâl” ialah perumpamaan-perumpamaan yang
dibuat dengan kebatilan (Majma’ al-Bayan: 3/367).
Di akhir pembahasan ini, disinggung pula satu hal, bahwa firman Allah SWT:
“Orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat, mempunyai sifat yang
buruk; dan Allah mempunyai sifat yang Maha Tinggi; dan Dia-lah Yang Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana” yang dimasukkan dalam kategori al-am’tsâl al-
qur`âniyah belum diterima kebenarannya. Sebab, ayat ini menjelaskan penafian
penyifatan-Nya dengan sifat-sifat yang cela dan buruk, dan menetapkan penyifatan
dengan sifat-sifat yang agung. Karena itu, manakah tamtsil(nya)?
Tetapi dikatakan, bahwa penyerupaan diangkat dari kumpulan sifat yang
dilontarkan oleh kaum musyrikin. Di mana mereka menyerupakan Allah dengan
manusia yang amat butuh pada tanaman dan ternak, punya anak perempuan dan
berhubungan dengan jin dan sifat-sifat buruk lainnya. Karena itu ayat ini tidak
tergolong tamtsil yang diistilahkan. Atau, dapat dikatakan, pada hakikatnya adalah
menolak tamtsil, atau mengarahkan orang mukmin pada penyifatan-Nya dengan
Asmâ`u l-husnâ dan ash-shifâtu l-‘ulyâ (sifat-sifat agung).
Tamtsîl 27
و يعبدون من دون هللا ما ال يملك لهم رزقا من السموات و األرض شيئا و ال يستطيعون* فال تضربوا هللا األمثال
إن هللا يعلم و أنتم ال تعلمون* ضرب هللا مثال عبدا مملوكا ال يقدر على شيء و من رزقنا منا حسنا فهو ينفق منه
هم ال يعلمون*سرا و جهرا هل يستوون الحمد � بل أكثر
Artinya: “Dan mereka menyembah selain Allah, sesuatu yang tidak dapat
memberikan rezki kepada mereka sedikitpun dari langit dan bumi, dan tidak berkuasa
(sedikit juapun). Maka janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah.
Sesungguhnya Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. Allah membuat
perumpamaan dengan seorang hamba sahaya yang dimiliki yang tidak dapat
bertindak terhadap sesuatupun dan seorang yang Kami beri rezki yang baik dari
kamu, lalu dia menafkahkan sebagian dari rezki itu secara sembunyi dan secara
terang-terangan, adakah mereka itu sama? Segala puji hanya bagi Allah, tetapi
kebanyakan mereka tidak mengetahui” [an-Nahl: 73-75].
Tafsir Ayat
Allah SWT mengungkap keburukan perbuatan kaum musyrikin, yaitu
menyembah selain Allah Yang Maha Esa. Sembahan-sembahan mereka tidak
memberi rezki, manfaat dan madharrat kepada mereka. Bagaimana mereka
menyembahnya sedangkan (berhala-berhala) itu tak ubahnya benda mati yang tidak
dapat diharapkan kebaikan dan keburukan darinya; sungguh, betapa bodohnya
mereka. Sesungguhnya, setiap ibadah hanyalah hak Tuhan, Sang pemberi rezki dan
penjawab doa!?
Allah SWT juga memperumpamakan sembahan-sembahan orang-orang
musyrik dan al-Haqq yang patut disembah dengan tamtsil berikut ini:
Misalkan, yang termiliki (mamluuk) yang tidak kuasa atas segala sesuatu dan
tidak memiliki sesuatu bahkan dirinya adalah seutuhnya sebagai manifestasi kefakiran
dan kebutuhan. Sedangkan pemilik (mâlik) ialah memiliki rezki dan kuasa atas
menggunakan seluruh miliknya, sehingga ia (si pemilik) dapat memanfaatkan dan
memberikan miliknya sekehendaknya. Nah, apakah dua karakter ini sama? Tentu saja,
tidak!
Dengan misal itu, tuhan-tuhan palsu mereka diumpamakan seperti seorang
budak sahaya yang dimiliki, bukan pemilik apapun. Dan mengumpamakan Allah
seperti pemilik kekayaan (kenikmatan), yang kuasa mendermakan dan menggunakan
kekayaan itu sekehendaknya.
Yang demikian ini ialah karena sifat al-wujud al-imkâni (yakni selain Allah)
adalah kefakiran dan kebutuhan seutuhnya, yang tidak memiliki sesuatu dan tidak
kuasa atas sesuatu pun.
Sedangkan Allah SWT, Dialah Yang Terpuji dengan segala puji, dan Pemberi
Nikmat kepada segala sesuatu. Dialah al-Mâlik, Sang Pemilik ciptaan, rezki, rahmat,
ampunan, ihsân dan kenikmatan. Bagi-Nya segala pujian yang indah. Dialah Tuhan
Yang Memelihara (ar-Rabb). Yang selain-Nya adalah hamba yang dipelihara (al-
marbuub). Lalu, dari keduanya, manakah yang patut disembah dan ditunduki?
Allah SWT membatasi pujian hanya untuk-Nya; segala puji bagi Allah, yakni
bukan bagi selain-Nya. Jadi, pujian hanyalah milik Allah SWT. Bersamaan dengan itu
kita dapat dibenarkan memuji kepada yang lain atas perbuatan-perbuatan ikhtiyâri
yang terpuji. Kita memuji si pemberi atas pemberian-Nya, memuji si pengajar karena
pengajarannya, memuji si ayah atas didikan dan bimbingan terhadap anak-anaknya.
Bentuk keseluruhan pujian mereka itu adalah pujian majazi. Sebab, apapun
upaya si pemberi atau si pengajar atau si ayah tidak pernah sebagai pemilik pujian.
Sesungguhnya pujian hanyalah milik Allah SWT, Yang Maha Kuasa atas perbuatan-
perbuatan terpuji mereka. Maka pujian atas mereka kembali ke pujian-Nya. Karena
itulah benar ketika kita mengatakan, bahwa pujian hanyalah kepada Allah, bukan
kepada selain-Nya. Sehingga benarlah firman Allah dalam ayat di atas: “Segala puji
hanya bagi Allah, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui”, yakni syukur bagi
Allah atas segala nikmat-Nya. Ath-Thabarsi berkata: “Di dalamnya terdapat indikasi
bahwa dari-Nya lah segala kenikmatan (Majmâ’ al-Bayan: 3/375).
Tamtsîl 28
ضرب هللا مثال رجلين أحدهما أبكم ال يقدرون على شيء و هو كل على مواله أينما يوجهه ال يأتي بخير هل
يستوي هو و من يأمر بالعدل و هو على صراط مستقيم*
Artinya: “Dan Allah membuat (pula) perumpamaan: dua orang lelaki yang seorang
bisu, tidak dapat berbuat sesuatupun dan dia menjadi beban atas penanggungnya, ke
mana saja dia disuruh oleh penanggungnya itu, dia tidak dapat mendatangkan suatu
kebajikanpun. Samakah orang itu dengan orang yang menyuruh berbuat keadilan,
dan dia berada pula di atas jalan yang lurus?” [an-Nahl: 76].
Tafsir Ayat
Tamtsil yang lalu menjelaskan kedudukan tuhan-tuhan palsu berkaitan dengan
ibadah dan ketundukan, dan kedudukan Allah SWT atas segala sesuatu. Pada tamtsil
ayat ini menjelaskan tentang tindakan penyembah patung-patung berhala dan tindakan
orang-orang mukmin dan mereka yang tulus. Tindakan golongan pertama (kaum
musyrik) diserupakan dengan hamba sahaya yang bisu, yang tidak kuasa atas
sesuatupun. Dan tindakan golongan kedua (kaum mukmin) dan orang merdeka yang
menyerukan keadilan dan berada di atas jalan yang lurus.
Rincian sifat-sifat seorang hamba sahaya itu sebagai berikut ini:
1- Bisu, tidak bisa bicara dan sudah tentu tidak bisa mendengar, sebagaimana
kelaziman antara bisu dan tidak mendengar; bahkan bisu adalah akibat tuli. Bilamana
alat pendengaran tidak berfungsi maka alat bicara juga tidak berfungsi. Jika seseorang
hilang pendengaran maka ia tidak mampu belajar bahasa.
2- Lemah, tidak kuasa atas sesuatupun. Dengan adanya sifat ini, boleh
dikatakan, dia juga tidak dapat melihat. Sebab, kalau dia melihat maka tidak dapat
disebut tidak kuasa atas sesuatupun.
3- Kalimat “kallun ‘alâ maulâhu” (beban atas penanggungnya), bermakna
begitu berat dan susah atas si tuan yang mengatur urusannya.
4- Kalimat “ainmâ yuwajjihuhu lâ ya`ti bi khairin” (ke mana saja dia disuruh
oleh penanggungnya itu, dia tidak dapat mendatangkan suatu kebajikanpun), karena
tiadanya kemampuan untuk membawa kebaikan. Maka ia tidak memberi manfaat
kepada tuannya, seandainya dia diutus pada sebuah perkara, ia tidak bisa kembali
dengan kebaikan.
Dan berikut ini dua sifat bagi orang yang merdeka: (1)- Menyeru keadilan.
Dan (2)- berada di atas jalan yang lurus.
Yang pertama, ia (insan merdeka) mengungkapkan hakikat dirinya sebagai
yang dapat berbicara, berkeinginan kuat, dan pejuang gigih yang ingin memperbaiki
masyarakat. Ini semua merupakan kumpulan sifat-sifat mulia. Maka, ia tidak bisu,
tidak pengecut, tidak lemah, dan tidak mudah putus asa untuk memperbaiki umat dan
masyarakat. Jika ia menyeru keadilan, ia memahami keadilan (pengamal keadilan),
sehingga ia menjadi seorang yang stabil dalam hidupnya, ibadah dan pergaulannya,
dan menjadikan keadilan sebagai rumus kehidupan.
Yang kedua, ia berada di atas jalan yang lurus, yakni berperilaku hidup dengan
laku saleh dan meniti di atas agama yang lurus.
Matsal ini menjelaskan tentang sikap orang mukmin dan sikap orang kafir
terhadap hidayah Ilahiyah. Allah SWT memberi isyarat pada inti tamtsil ini dalam
ayat lain: “maka apakah orang-orang yang menunjuki kepada kebenaran itu lebih
berhak diikuti atau orang-orang yang tidak dapat memberi petunjuk kecuali (bila)
diberi petunjuk? Mengapa kamu (berbuat demikian)? Bagaimanakah kamu
mengambil keputusan” [Yunus: 35].
Tafsir ini berdasar pada suatu pandangan bahwa perumpamaan ini hendak
menjelaskan sikap orang mukmin dan sikap orang kafir, sementara di dalamnya
terdapat kemungkinan lain; bahwa tamtsil ini adalah penekanan terhadap tamtsil yang
lalu, yang menjelaskan kedudukan tuhan-tuhan palsu dan kedudukan Tuhan yang
sesungguhnya.
Tamtsîl 29
و أوفوا بعهد هللا أذا عاهدتم و ال تنقضوا األيمان بعد توكيدها و قد جعلتم هللا عليكم كفيال إن هللا يعلم ما تفعلون* و
ال تكونوا كالتي نقضت غزلها من بعد قوة أنكاثا تتخذون أيمانكم دخال بينكم أن تكون أمة هي أربى من أمة إنما
مة ما كنتم فيه تختلفون*يبلوكم هللا به و ليبينن لكم يوم القيا
Artinya: “Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan
janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah(mu) itu, sesudah meneguhkannnya,
sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah-sumpah itu).
Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat. Dan janganlah kamu
seperti seorang perempuan yang menguraikan benang yang sudah dipintalnya
dengan kuat, menjadi cerai berai kembali, kamu menjadikan sumpah (perjanjian)mu
sebagai alat penipu di antaramu, disebabkan adanya satu golongan yang lebih
banyak jumlahnya dari golongan yang lain. Sesungguhnya Allah hanya menguji kamu
dengan hal itu. Dan sesungguhnya di hari kiamat akan dijelaskan-Nya kepadamu apa
yang dahulu kamu perselisihkan itu” [an-Nahl: 91-92].
Tafsir Ayat
At-taukiid ialah at-tasydiid atau penekanan. Dikatakan “aukadahâ ‘aqduka
{perjanjianmu menguatkannya (syaddahu)} ialah bahasa penduduk Hijaz. Al-Inkâts
adalah al-inqâdh atau pembatalan-pembatalan, penggagalan-penggagalan; dan tiap
sesuatu yang menggagalkan setelah pembukaan. Atau mengurai (kembali) tali atau
benang.
Ad-dakhl berarti yang dimasukkan dalam sesuatu untuk kerusakan. Mungkin
kata ad-dakhl digunakan untuk penipuan. Sebenarnya kata ini digunakan untuk
pembatalan perjanjian, karena ia berarti masuk ke dalam untuk meninggalkan
kelanggengan. Menurut Abu Ubaidah, tiap perkara yang tidak pernah benar itulah ad-
dakhl. Dan setiap sesuatu yang dimasuki aib, disebut madkhuul (yang dirasuki).
Demikian tafsir kata dan kalimat dalam ayat.
Adapun mengenai turunnya ayat, dinukil dari al-Kalbi bahwa: seorang
perempuan pandir dari Quraisy memintal benang bersama beberapa tetangga
perempuannya hingga tengah hari. Kemudian ia menyuruh teman-temannya untuk
membatalkan pemintalan mereka, dan begitulah kebiasaan yang dilakukannya.
Namanya Raithah binti ‘Amr bin Ka’b bin Sa’d bin Tamim bin Murrah, dan ia
dijuluki Farqâ` Makkah (al-Mizan: 12/335).
Sesungguhnya keharusan melaksanakan perjanjian adalah termasuk perkara
fithriyah yang atasnya manusia diciptakan. Karena itu, kita bisa melihat seorang ayah
yang menjanjikan sesuatu kepada anaknya lalu ia tidak menepatinya, maka si anak
(bisa-bisa) akan menentang ayahnya. Ini menyingkapkan bahwa kewajiban
melaksanakan akad dan perjanjian merupakan perkara fitrah yang atasnya manusia
diciptakan. Oleh karena itu, kewajiban melaksanakannya menjadi salah satu perbuatan
bijak dan berakhlak, yang disepakati oleh semua yang berakal.
Tidak sedikit ayat yang mendukung kewajiban melaksanakan perjanjian,
khususnya jika perjanjian itu dilakukan kepada Allah. Allah SWT berfirman: “Dan
penuhilah janji; sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya” [al-
Isra: 34].
Juga, “Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya)
dan janji-janjinya” [al-Mu`minun: 8].
Dan, “Dan penuhilah janjimu kepada-Ku, niscaya Aku penuhi janji-Ku
kepadamu” [al-Baqarah: 40].
Sedangkan perintah dan larangan melaksanakan sesuatu, Allah SWT
menyatakannya sebagai berikut:
1- Allah berfirman: “Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu
berjanji”. Perintah menepati perjanjian dengan Allah, yakni perjanjian-perjanjian
yang diputuskan oleh manusia bersama Allah. Misalnya, perjanjian yang disepakati
bersama Nabi saw dan para Imam as. Semua itu adalah perjanjian-perjanjian ilahiyah
dan bai’at di jalan ketaatan kepada Allah SWT.
2- Allah juga berfirman: “dan janganlah kamu membatalkan sumpah-
sumpah(mu) itu, sesudah meneguhkannnya”. Kata aimân (sumpah-sumpah) – dalam
ayat ini– adalah bentuk jamak dari kata yamiin.
Ada perbedaan di dalam ayat yang sedang kita bahas ini. Yang tampak pada
ayat pertama ialah pengkhususan perjanjian yang dipastikannya (yakni ‘uhuud)
bersama Allah, seperti dikatakan: “Telah kubuat perjanjian dengan Allah supaya aku
melaksanakannya dengan sungguh-sungguh”. Atau, “telah kubuat perjanjian dengan
Allah agar aku tidak melakukannya”.
Sedangkan yang tampak pada ayat kedua, bahwa yang dimaksud sumpah ialah
yang dilakukan dalam bermu’amalah dengan hamba-hamba Allah.
Dengan memperhatikan dua kalimat ayat di atas dapat dimaklumi bahwa Allah
SWT menekankan pengamalan semua perjanjian yang ditetapkan atas nama Allah
SWT, baik kepada Allah maupun kepada makhluk-Nya (manusia).
Kemudian Allah mengaitkan sumpah-sumpah (al-aimân) dengan mengatakan:
“ba’da taukiidihâ” (setelah mengokohkan sumpah-sumpah). Ini disebabkan
keberadaan sumpah-sumpah itu ada dua macam: Pertama, bersumpah dengan tanpa
niat sungguh-sungguh dalam hati dan penekanan, seperti biasanya sumpah seseorang
dengan mengatakan; tallâhi, wallâhi.
Kedua, adalah sumpah yang ditegaskan. Yakni penekanan sumpah dengan niat
sungguh-sungguh dan berjanji atas sumpah itu. Dalam surat al-Maidah ayat-89
ditegaskan: “Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak
dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-
sumpah yang kamu sengaja”.
Lalu Allah SWT menerangkan sebab pengharaman membatalkan perjanjian,
dalam firman-Nya: “sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap
sumpah-sumpah itu). Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat”.
Maksudnya, kalian telah menetapkan Allah sebagai penanggung penepatan janji,
maka bagi siapa saja yang bersumpah dengan atau atas nama Allah, maka seolah dia
membebaskan Allah atas tanggungan menepati janji.
Orang yang bersumpah ketika mengatakan: “Demi Allah, sungguh aku akan
melakukan demikian atau akan meninggalkan demikian”, maka ia telah menegaskan
apa yang telah ia sumpahkan semacam penegasan kepada Allah, bahwa ia telah
menjadikan (dirinya) sebagai penjaminan atasnya dalam menepati sumpah yang telah
ia ikatkan. Jika sumpah itu dilanggar dan tidak ditepati, maka si penanggung janji
harus menunaikan perjanjiannya. Dan setiap pelanggaran sumpah itu berarti
penghinaan dan peremehan di hadapan kemuliaan.
Di dalam ayat, Allah SWT melukiskan perbuatan melanggar janji itu seperti
seorang perempuan yang mengurai benang setelah ia memintalnya dengan kuat, lalu
benang cerai berai. Seperti yang disebutkan: “....dan janganlah kamu seperti seorang
perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi
cerai berai kembali”, mengisyaratkan pada seorang perempuan yang telah diceritakan
di atas dan menerangkan apa yang diperbuatnya, yaitu ketika wol dan benang telah
dipintal lalu ia uraikan (kembali) apa yang telah ia pintal itu. Sedangkan ungkapan
hamqâ` (orang-orang pandir) menunjukkan keadaan orang yang telah memastikan
perjanjian dengan Allah atas nama-Nya, lalu ia melanggarnya. Maka perbuatan itu
seperti perbuatan perempuan tersebut, bahkan lebih buruk lagi ketika menunjukkan
atas jatuhnya kepribadian dan martabatnya.
Allah SWT juga menjelaskan batasan bagi pelanggaran sumpah. Allah
menyatakan: pertama, si pelanggar mengambil sumpah sebagai alat untuk
muslihatnya. Dan kedua, di balik pelanggaran janji dan sumpahnya ia menginginkan
manfaat lebih besar buat dirinya dan demi kepentingannya atas perjanjian itu. Allah
SWT berfirman: “kamu menjadikan sumpah (perjanjian)mu sebagai alat penipu di
antaramu, disebabkan adanya satu golongan yang lebih banyak jumlahnya dari
golongan yang lain”.
Kata arbâ –dalam ayat ini– berasal dari kata ribâ yang berarti tambah. Jadi, si
pelanggar mengambil sumpahnya untuk suatu muslihat. Ia mengambil keuntungan
tertentu dengan jalan melanggar perjanjian dan dengan tidak melaksanakan apa yang
telah dijanjikan. Sebenarnya, si pelanggar (janji atau sumpah) telah melalaikan ujian
Allah, sebagaimana firman-Nya; Sesungguhnya Allah hanya menguji kamu dengan
hal itu. Dan sesungguhnya di hari kiamat akan dijelaskan-Nya kepadamu apa yang
dahulu kamu perselisihkan itu”.
Artinya: demikian itu adalah ujian ilahi yang Allah ujikan kepada kalian. Dan
sungguh Dia akan menjelaskan pada hari kiamat kepada kalian apa yang telah kalian
perselisihkan. Ketika itu, kalian akan mengetahui hakikat atau kebenaran yang kalian
perbuat di hari itu, yaitu tamak atas dunia dan menempuh jalan kebatilan untuk
menjauhi dan membantah kebenaran. Lalu, menjadi jelas bagi kalian pada hari itu,
siapa yang sesat dan siapa yang mendapat petunjuk (al-Mizan: 12/336).
Tamtsîl 30
ضرب الل مثال قرية كانت آمنة مطمئنة يأتيها رزقها رغدا من كل مكان فكفرت بأنعم هللا فأذاقها هللا لباس و
الجوع و الخوف بما كانوا يصنعون* و لقد جاءهم رسول منهم فكذبوه فأخذهم العذاب و هم ظالمون
Artinya: “Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri
yang dahulunya aman lagi tentram, rezkinya datang kepadanya melimpah ruah dari
segenap tempat, tetapi (penduduk)nya mengingkari nikmat-nikmat Allah; karena itu
Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa
yang selalu mereka perbuat. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka seorang
rasul dari mereka sendiri, tetapi mereka mendustakannya; karena itu mereka
dimusnahkan oleh azab, dan mereka adalah orang-orang yang zalim” [an-Nahl: 112-
113].
Tafsir Ayat
Kata raghad, yang dikatakan dalam ‘aisy raghad dan raghiid bermakna hidup
yang baik dan lapang. Kalimat dalam ayat, “...wa kulâ minhâ raghadan...” berarti
“...dan makanlah makan-makanannya yang banyak lagi baik...” [al-Baqarah: 35].
Allah SWT menerangkan sebuah negeri yang maju dengan tiga sifat:
1- Âminah; yakni negeri yang aman. Negeri yang memberikan rasa aman bagi
penghuninya, tidak meresahkan mereka dan tidak mengajak mereka membunuh
nyawa, menculik anak-anak dan merampas harta. Juga, negeri yang aman dari
bencana-bencana alam (karena ulah manusia, peny.), seperti banjir, longsor, dan lain-
lain.
2- Muthmainnah; yakni negeri yang nyaman dan tenteram bagi penghuninya. Mereka
tidak perlu berpindah dari negerinya karena rasa takut dan kesulitan. Sebenarnya,
masalah migrasi merupakan akibat tiadanya ketetapan. Orang meninggalkan
kampungnya, menempuh sahara, mengarungi samudera dan memikul beban yang
berat adalah karena tiadanya kepercayaan akan hidup yang baik dan lapang di
negerinya, dan ketenangan merupakan salah satu jaminan ketetapan dan rasa aman.
3- “Rezkinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat”. Kata ganti
(dhamir) ya`tiihâ pada kalimat kembali pada negeri –dalam ayat– bermakna
“kehadiran apa-apa yang berada di sekitar negeri”. Dalil atas makna ini adalah kisah
tentang putra Ya’qub; “Dan tanyalah (penduduk) negeri yang kami berada di situ,
dan kafilah yang kami datang bersamanya, dan sesungguhnya kami adalah orang-
orang yang benar ” [Yusuf: 82]. Dan yang dimaksud negeri di sini adalah Mesir,
negeri yang besar dan maju waktu itu.
Jadi, negeri (qaryah) dalam ayat di atas ialah yang ketika itu hadir apa-apa
yang berada di sekitarnya distrik-distrik, seperti berbagai komoditas yang ditanam dan
dipanen, yang datang ke negeri itu untuk diniagakan. Itu berarti, tiga sifat tersebut
mencerminkan kenikmatan-kenikmatan materi yang melimpah, yang dikaruniakan
Allah bagi negeri itu.
Kemudian Allah SWT mengisyaratkan pada kenikmatan lain atas negeri itu
berupa kenikmatan spiritual. Yaitu dengan kehadiran seorang rasul pada mereka;
sebagaimana diisyaratkan dalam ayat kedua; “Dan sesungguhnya telah datang kepada
mereka seorang rasul dari mereka sendiri”.
Tetapi, di hadapan kenikmatan-kenikmatan lahir dan batin ini, mereka
mengganti ‘syukur’ dengan ‘kufur’ kepada Allah. Kenikmatan batin atau nikmat
spiritual yang mereka dustakan, adalah seorang rasul –sebagaimana ketegasan ayat
kedua. Sedangkan kenikmatan lahir atau material tidak tampak dibicarakan dalam
ayat. Dan banyak riwayat yang mengungkapkan bentuk pengkufuran nikmat tersebut.
Al-‘Ayyasyi meriwayatkan dari Hafsh bin Salim; bahwa Imam Shadiq as
berkata: “Ada satu kaum di Bani Israil; didatangkan kepada mereka makanan sampai
mereka menjadikan darinya (makanan itu) patung-patung di kota-kota yang berada di
negeri mereka. Mereka benar-benar menikmatinya. Lalu Allah membiarkan keadaan
itu hingga mereka merasa perlu pada patung-patung itu. mereka pun menjualnya dan
memakannya, inilah firman Allah: “Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan
(dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tentram, rezkinya datang
kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduk)nya mengingkari
nikmat-nikmat Allah; karena itu Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan
dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat” (Tafsir Nur ats-
Tsaqalain: 3/91, hadis 247).
Allah SWT memberi hukuman kepada orang-orang yang mengingkari nikmat-
nikmat material dan spiritual; seperti diisyaratkan-Nya dalam dua ayat ini. Pertama:
“Karena itu Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan,
disebabkan apa yang selalu mereka perbuat”. Dan kedua: “Karena itu mereka
dimusnahkan azab dan mereka adalah orang-orang yang zalim”.
Pada ayat pertama, mereka dibalas dengan rasa lapar dan ketakutan karena
tidak mensyukuri nikmat. Di sini muncul sebuah pertanyaan yang kerap diajukan
sejak dahulu; yaitu, pada ayat pertama Allah SWT menggabung antara kata dzauq
(rasa) dan libâs (pakaian): “karena itu Allah merasakan kepada mereka pakaian
kelaparan”. Padahal penggunaan yang cocok bagi kata dzauq adalah kata tha’m
dengan mengatakan; fa adzâqahâ llâh tha’ma l-juu’ (maka Allah membuatnya
merasakan rasa kelaparan). Sementara itu, kata libâs digunakan dalam kalimat; fa
kasâhumu llâh libâs l-juu’ (maka Allah memakaikan mereka pakaian kelaparan).
Lalu, mengapa berpindah dari dua kalimat ayat tersebut ke ayat ketiga, yang tiada
hubungannya –menurut kaca mata lahir– yaitu menggabungkan dua kata tersebut
(dzauq dan libâs)?
Jawabannya adalah, untuk membuat arah yang jelas dari dua kata tersebut.
Penggunaan kata libâs adalah untuk menjelaskan cakupan rasa lapar dan takut bagi
segenap sisi-sisi kehidupan mereka. Seolah lapar dan takut menguasai mereka dari
segala sisi seperti pakaian yang meliputi atau menutupi tubuh. Karena itu ada ayat
menyatakan: “libâsa l-juu’i wa l-khauf” (“pakaian kelaparan dan ketakutan”), bukan
mengatakan: “al-juu’ wa l-khauf”, dikarenakan hilang maknanya ketika lepas dari
kata libâs.
Sedangkan penggunaan kata dzauq ialah untuk menjelaskan keadaan rasa lapar
yang sangat. Manusia sangat dekat dengan perasaan terhadap makanan. Dan kata
dzauq (merasa) lapar digunakan ketika seseorang telah sampai pada kelaparan dan
kehausan serta ketakutan yang dirasakannya dari dalam dirinya. Oleh karena itu
dikatakan: “fa adzâqahâ llâh libâs l-juu’ wa l-khauf” (“maka Allah merasakan kepada
mereka pakaian kelaparan dan ketakutan”).
Demikianlah tafsiran untuk ayat di atas. Adapun makna “negeri” dengan tiga
sifat tersebut, kita telah mengetahui kekhususannya melalui riwayat dan hadis.
Mungkin saja, yang dimaksud negari adalah penduduk Mekah, karena waktu
itu mereka berada dalam keadaan aman, tenteram dan penuh kemewahan. Kemudian
Allah memberi nikmat kepada mereka dengan nikmat yang agung, yaitu Muhammad
saw. Lalu mereka tidak mengimaninya dan (bahkan) menyakitinya. Maka, kemudian
mereka akan ditimpa bala.
Para mufasir berkata: Allah memberi azab kepada mereka dengan kelaparan
(al-juu’) selama tujuh tahun, sampai mereka memakan bangkai dan tulang. Sedangkan
ketakutan (al-khauf), ialah ketika Nabi Muhammad saw mengutus pasukan perang
kepada mereka, tiba-tiba mereka dalam ketakutan.
Kemungkinan-kemungkinan ini didukung oleh ayat tentang tanah Mekkah,
yang berbunyi: “Dan apakah Kami tidak meneguhkan kedudukan mereka dalam
daerah haram yang aman, yang didatangkan ke tempat itu buah-buahan dari segala
macam (tumbuahn-tumbuhan)” [al-Qashash: 57].
Surat al-Isra
Tamtsîl 31
قال تعالى: وال تجعل يدك مغلولة إلى عنقك وال تبسطها كل البسط فتقعد ملوما محسورا* إن ربك يبسط الرزق
لمن يشاء ويقدر إنه كان بعباده خبيرا بصيرا
Artinya: “Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan
janganlah kamu terlalu mengulurkannya karena itu kamu menjadi tercela dan
menyesal. Sesungguhnya Tuhanmu melapangkan rezki kepada siapa yang Dia
kehendaki dan menyempitkannya; sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Maha
Melihat akan hamba-hamba-Nya” [al-Isra: 29-30].
Tafsir Ayat
Al-ghull artinya belenggu (di tangan atau di leher). Kata jamaknya adalah
aghlâl. Dan makna ayat “maghluulatan ilâ ‘unuqika” ialah (lehermu) terikat olehnya.
Al-hasrah adalah sedih karena kehilangan sesuatu dan menyesal atasnya.
Menjadi “mahsuuran” (“menyesal”) adalah ‘athaf tafsir bagi kata “maluuman”
(“tercela”). Akan tetapi kata hasrah, dalam bahasa, berarti menyingkap (perkara) yang
tertutup atau tidak jelas oleh sesuatu. Karena itu kata hasrah bermakna yang terbuka.
Ayat ini memuat tamtsil bagi pelitnya orang kikir dan royalnya orang boros,
dan ada kesederhanaan yang letaknya di antara pemborosan dan terlampau hemat.
Pelitnya orang bakhil serupa dengan orang yang tangannya terbelenggu pada
lehernya, tidak kuasa memberi dan menyumbang. Ini adalah sebuah penyerupaan
untuk puncak mubâlaghah dalam pelarangan akan pemborosan dan pengetatan
(harta). Demikian pula dengan pengeluaran orang boros (musrif) atas segala miliknya
yang serupa dengan orang yang mengobral tangannya sampai tak tersisa sesuatu
sedikitpun di tangannya. Inilah kiasan bagi pemborosan.
Kemudian yang ketiga, berupa kandungan lain dalam ayat meskipun tidak
eksplisit termaktub; yakni penghematan di dalam pengeluaran. Hal ini diisyaratkan
dalam ayat lain; “Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka
tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di
tengah-tengah antara demikian” [al-Furqan: 67].
Di dalam sebab turunnya (sabab nuzul) ayat terdapat penjelasan tentang
makna. Ath-Thabari meriwayatkan; tentang seorang perempuan yang mengirim
anaknya kepada Rasulullah saw. Ia mengatakan: “Katakan kepadanya bahwa ibuku
meminta sebuah baju besi kepada Anda! Jika dia mengatakan: ‘(Tunggulah) sampai
datang sesuatu kepada kami’, maka katakan kepadanya: ‘Bahwa dia (ibuku) meminta
pakaian kemeja Anda’.
Lalu datanglah ia (anak itu) dan mengatakan apa yang telah dikatakan (ibunya)
kepada Rasulullah saw. Maka Rasul pun melepaskan kemeja beliau lalu memberikan
kepadanya. Dan turunlah ayat di atas.
Sebagaimana pernah diriwayatkan bahwa Rasulullah saw tinggal di suatu
rumah yang tidak ada satu pakaianpun yang dapat beliau pakai, dan beliau tidak dapat
keluar rumah untuk salat, hingga orang-orang kafir pun mencela beliau. Dan mereka
berkata: “Muhammad (kini) sibuk dengan tidur dan lalai dari salat. إن ربك يبسط الرزق لمن
Sesungguhnya Tuhanmu melapangkan rezki kepada siapa yang Dia) يشاء ويقدر
kehendaki dan menyempitkannya); yakni sesekali memperluas dan sesekali
mempersempit, menurut maslahatnya bersama keluasan khazanah kekayaan-Nya
(Majmâ’ al-Bayan: 3/412).
Al-Kulaini meriwayatkan dari Abdul Malik bin ‘Amr al-Ahul, bahwa Abu
Abdillah (Imam Ja’far ash-Shadiq as) melantunkan ayat ini: “Dan orang-orang yang
apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir,
dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara demikian”.
Abu Abdillah mengambil kerikil dan menggenggamnya dengan erat di tangan
sambil berkata: “Inilah kekikiran (iqtâr) yang disebut Allah dalam kitab-Nya.
Kemudian beliau menggenggam segenggam pasir yang lain, lalu melepaskan telapak
tangannya selebar-lebarnya. Dan berkata: “Inilah pemborosan (isrâf). Kemudian
beliau menggenggam segenggam lagi dan melepaskan sebagiannya, seraya berkata:
inilah qawâm (tengah-tengah)” (al-Burhan fi Tafsir al-Quran: 3/173).
Demikianlah keterangan masalah ini dengan merujuk pada penafsiran ayat.
Dastur Ilahi diambil melalui sunnatullah di alam ciptaan, sedangkan sunnatullah
berlaku atas adanya saling hubungan antara anggota atau bagian alam. Dan setiap
komponen di alam ini mengeluarkan apa yang lebih dari yang dibutuhkan kepada
anggota alam lain yang membutuhkannya. Matahari mengirim 450 juta ton dari
jisimnya dalam bentuk sinar panas (yang mengandung ultra violet) ke sekitar penjuru
tata surya, dan bumi memperoleh darinya saham yang terbatas sehingga sinar dan
panasnya berubah menjadi materi-materi makanan yang diserap oleh tumbuh-
tumbuhan, binatang dan seluruh isi bumi. Dengan itu, pepohonan dan bunga-bunga
dapat tumbuh dengan baik.
Sesungguhnya lebah menyerap sari-sari bunga, mengambil manfaat darinya
menurut kadar kebutuhannya, dan mengeluarkan yang selebihnya berupa madu.
Demikianlah, semua itu menunjukkan adanya hubungan saling membantu, atau
menyumbangkan, sisa yang lebih dari kebutuhannya. Ini merupakan sunnatullah yang
dengannya tegaklah kehidupan insani.
Islam menentukan infak dan menghinakan ifrâth dan tafrith (berlebih-lebihan
dan melampaui batas), melarang kekikiran sebagaimana (pula) melarang pemborosan
dalam pengeluaran.
Sunnah seperti ini tampaknya tidak hanya dalam urusan pengeluaran
kekayaan, tetapi juga dalam urusan kehidupan manusia lainnya. Allah SWT
mengabarkan bagaimana Luqman al-Hakim menasihati putranya: “Dan
sederhanakanlah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya
seburuk-buruknya suara ialah suara keledai” [Luqman: 19].
Bahkan, sifat dan sikap sederhana merupakan fitrah yang tampak dalam
perasaan manusia. Rasulullah saw menegaskan bahwa alamat lahiriyah orang mukmin
adalah cinta (kepada) Ali bin Abi Thalib as (lihat, Hilyatu al-Auliya: 1/86). Dan Imam
Ali bin Abi Thalib as berkata: “Hancurlah karenaku dua (orang): Pertama, pecinta
yang ‘gila’ dan kedua, pembenci yang anti” (Bihar al-Anwar: 34/307).
Makna-makna mendalam yang disebutkan dalam ayat dan riwayat di atas
menunjukkan dengan jelas bahwa dalam ajaran Islam, kesederhanaan dalam hidup
merupakan pondasi yang utama. Itulah sebabnya mengapa umat Islam juga disebut
dengan al-ummat al-wasath, dalam firman Allah: “Dan demikian (pula) Kami telah
menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil agar kamu menjadi saksi atas
(perbuatan) manusia” [al-Baqarah: 143].
Berikut ini ungkapan Imam Ali as tentang i’tidâl (kesederhaan, tengah-
tengah): “Imam datang mengunjungi seorang sahabatnya (ke rumahnya), al-‘Alâ` bin
Ziyad al-Haritsi. Ketika melihat besar rumah bin Ziyad beliau berkata: “Apa yang
telah engkau perbuat dengan rumah ini di dunia, padahal engkau lebih
memerlukannya di akhirat? Apabila hendak membawanya ke akhirat, maka kamu
dapat menerima (menyambut) tamu sebaik-baiknya, menyambung tali persaudaraan,
dan menjalankan semua kewajiban sesuai nilai besarnya. Dengan jalan itu kamu dapat
membawanya ke akhirat”.
Al-‘Alâ` berkata: “Wahai Amirul mukminin, saya mengadu kepada Anda
tentang saudaraku ‘Ashim bin Ziyad”.
“Ada apa dengannya?”, tanya Imam.
“Ia memakai baju kasar dan menjauhi dunia” jawabnya.
Imam berkata: “Hadapkan dia kepadaku”.
Ketika ia (‘Ashim) datang, Imam berkata: “Hai musuh dirimu sendiri, Iblis
telah menyesatkanmu! Apakah kamu tidak merasa kasihan kepada istri dan anakmu?
Apakah kamu percaya bahwa apabila kamu mengenakan pakaian yang dihalalkan
Allah bagimu maka Dia lalu membencimu? Kamu terlalu tidak penting bagi Allah
untuk hal itu”. Ia berkata: “Wahai Amirul mukminin, Anda pun mengenakan pakaian
kasar dan makan makanan kasar dan kering!”.
Imam berkata: “Celakalah engkau, aku tidak sepertimu! Sesungguhnya Allah
SWT telah mewajibkan pada setiap pemimpin yang sesungguhnya agar mereka
memelihara dan mengukur dirinya pada rakyat yang rendah, sehingga orang miskin
tidak menangis karena kemiskinannya” (Nahjul Balaghah: 209).
Surat al-Kahfi
Tamtsîl 32
قال تعالى: و اضرب لهم مثال رجلين جعلنا ألحدهما جنتين من أعناب و حففناهما بنخل و جعلنا بينهما زرعا*
را* و كان له ثمر فقال لصاحبه و هو يحاوره أنا كلتا الجنتين آتت أكلها و لم تظلم منه شيئا و فجرنا خاللهما نه
أكثر منك ماال و أعز نفرا* و دخل جنته وهو ظالم لنفسعه قال ما أظن أن تبيدها هذه أبدا* و ما أظن الساعة
قائمة و لئن رددت إلى ربي ألجدن خيرا منها منقلبا* قال له صاحبه و هو يحاوره أكفرت بالذي خلقك من تراب
ثم سواك رجال* لكنا هو هللا ربي و ال أشرك بربي أحدا* و لوال إذ دخلت جنتك قلت ما شاء الل ال قوة إال با� إن
ترن أنا أقل منك ماال و ولدا* فعسى ربي أن يؤتين خيرا من جنتك و يرسل عليها حسبانا من السماء فتصبح
ه طلبا* و أحيط بثمره فأصبح يقلب كفيه على ما أنفق فيها و صعيدا زلقا* أو يصبح ماؤها غورا فلن تستطيع ل
هي خاوية على عروشها ويقول يا ليتني لم أشرك بربي أحدا* و لم تكن له فئة ينصرونه من دون هللا و ما كان
*منتصرا
Artinya: “Dan berikanlah kepada mereka sebuah perumpamaan dua orang laki-laki,
Kami jadikan bagi seorang di antara keduanya (yang kafir) dua buah kebun anggur
yang Kami kelilingi kedua kebun itu dengan pohon-pohon kurma, dan di antara kedua
kebun itu Kami buatkan ladang. Kedua buah kebun itu menghasilkan buah, dan kebun
itu tiada kurang buahnya sedikitpun, dan Kami alirkan sungai di celah-celah kedua
kebun itu, dan dia mempunyai kekayaan besar. Maka ia berkata kepada kawannya
(yang mukmin) ketika sedang bertemu: “Hartaku lebih banyak daripada hartamu,
dan pengikut-pengikutku lebih kuat”. Dan dia memasuki kebunnya sedang dia zalim
terhadap dirinya sendiri; ia berkata: “Aku kira kebun ini tidak akan binasa selama-
lamanya, dan aku tidak mengira hari kiamat itu akan datang, dan jika sekiranya aku
dikembalikan kepada Tuhanku, pasti aku akan mendapat tempat kembali yang lebih
baik daripada kebun-kebun ini”. Kawannya (yang mukmin) berkata kepadanya:
“Apakah kamu kafir kepada (Tuhan) yang menciptakan kamu dari tanah, kemudian
dari setetes air mani lalu Dia menjadikan kamu seorang laki-laki yang sempurna?
Tetapi aku percaya bahwa Dialah Allah, Tuhanku, dan aku tidak mempersekutukan
seorangpun dengan Tuhanku. Dan mengapa kamu tidak mengatakan waktu kamu
memasuki kebunmu (dengan berkata) masya Allah tidak ada kekuatan kecuali dengan
(pertolongan) Allah? Jika kamu anggap aku lebih kurang daripada kamu dalam hal
harta dan anak, maka mudah-mudahan Tuhanku, akan memberi kepadaku (kebun)
yang lebih baik daripada kebunmu (ini); dan mudah-mudahan Dia mengirimkan
ketentuan (petir) dari langit kepada kebun-kebunmu, hingga (kebun itu) menjadi
tanah yang licin; atau airnya menjadi surut ke dalam tanah, maka sekali-kali kamu
tidak dapat menemukannya lagi”. Dan, harta kekayaannya dibinasakan, lalu ia
membolak-balikkan kedua tangannya (tanda menyesal) terhadap apa yang ia telah
belanjakan untuk itu (selama ini), sedang pohon-pohon anggur itu roboh bersama
para-paranya dan dia berkata: “Aduhai kiranya dulu aku tidak mempersekutukan
seorangpun dengan Tuhanku”. Dan tidak ada bagi dia segolonganpun yang akan
menolongnya selain Allah; dan sekali-kali ia tidak dapat membela dirinya” [al-Kahfi:
32-43].
Tafsir Ayat
Kata al-haff; dalam haffa l-qaumu bi sy-syai` (kaum mengelilingi sesuatu) dan
hafâfu sy-syai` (sisi sesuatu) berarti (pada) dua sisinya, seolah keduanya mengelilingi
sesuatu. Maka ayat; “wa hafafnâhumâ”, bermakna “Kami jadikan pohon kurma
mengelilingi keduanya”, dan dalam ayat; “mâ azhunnu an tabiidahâ”; kata bâda (-
yabiidu-bayâdan) sy-syai` berarti terpisah-pisah di padang sahara.
Kata husbânan, makna asli kata husbân, artinya: panah yang dilemparkan.
Husbân adalah sesuatu yang diperhitungkan (atau siksaan), atau dibalas sesuai
dengannya. Api dan angin menjadi salah satu siksaan itu. Dalam hadis tentang angin
Nabi Muhammad saw bersabda: “Ya Allah, janganlah Engkau jadikan angin sebagai
suatu azab dan siksaan (husbânan)”.
Kata Ash-sha’iid, dipakai untuk arti permukaan tanah. Kata zalaqan berarti
licin, lahan yang tidak ada tumbuhan di situ. Kata ini bersinonim dengan kata shald
(yang licin) seperti dalam ayat: “fa tarakahu shaldan” (“lalu menjadilah ia bersedih
(tidak bertanah)” [al-Baqarah: 264].
Demikianlah uraian dengan merujuk pada kosa kata ayat.
Adapun penjelasan tafsir ayatnya adalah: Ayat ini merupakan sebuah tamtsil
bagi orang mukmin dan orang kafir yang mengingkari kehidupan akhirat. Yang
mukmin bersandar pada keluasan rahmat-Nya, dan yang kafir berpegang pada dunia
dan merasa nyaman dengannya. Tamtsil berikut akan lebih memperjelasnya:
Sebagian orang kafir membanggakan harta dan para pendukungnya atas kaum
fakir dan miskin dari muslimin. Allah SWT membuat perumpamaan, untuk
menjelaskan apa yang mereka banggakan itu, bahwa kekayaan sementara waktu tiada
berharga, dan itu akan lenyap dengan sia-sia. Yang harus dibanggakan ialah
penyerahan diri manusia dan ketaatannya kepada Allah SWT.
Hakikat tamtsil tersebut, bahwa dua orang lelaki bersaudara, yang ayah
mereka meninggal dunia dan meninggalkan harta yang melimpah. Lalu salah satu dari
mereka berdua mengambil hak (waris) dari ayahnya, ia seorang mukmin yang
mendekatkan diri kepada Allah dengan berbuat ihsân dan shadaqah. Sementara orang
kedua yang juga mengambil haknya, dengan warisan itu hidup dalam limpahan harta
di antara dua taman. Lalu saudara yang kaya itu membanggakan diri terhadap
saudaranya yang fakir dengan mengatakan: “Hartaku lebih banyak daripada hartamu
dan pengikut-pengikutku lebih kuat”. Dia memiliki dua kebun anggur dan pohon
kurma yang mengelilingi kedua kebun itu, dan di antara dua kebun itu terdapat
banyak tanaman. Hasratnya terpaut dengan dua kebun yang menghasilkan buah-
buahan yang bagus dan tidak berkurang sedikitpun itu. Di celah-celah kebun terdapat
sungai yang airnya meluap, dan pemilik dua kebun itu merasa senang dan bangga
akan banyaknya air dan dukungan.
Setiap kali memasuki kebunnya, ia berkata: “Aku tidak pernah percaya bahwa
kebunku dan buah-buahan ini akan binasa –milikku ini akan kekal selamanya.” Dan ia
mendustakan hari kiamat dengan mengatakan: “Tidak pernah kukira kiamat akan
datang”. Seandainya benar apa yang dikatakan oleh orang-orang yang bertauhid
tentang adanya kiamat, maka ketika aku dibangkitkan pada hari itu pun niscaya
Tuhanku akan memberiku taman yang lebih baik dari taman (dunia) ini, dengan
kesaksian bahwa aku memberi taman di dunia ini di hadapan kalian. Dan ini adalah
bukti atas kemuliaanku atasnya.”
Inilah ucapan yang dilontarkannya dan dia berjalan di kebun dan tamannya
dengan sombong. Di saat itu saudaranya (yang mukmin) menuturkan kata hikmah dan
memberi nasihat yang baik, dengan perkataan: “Bagaimana kamu kafir kepada Allah
SWT padahal kamu dulu adalah tanah lalu menjadi nuthfah kemudian menjadi
seorang laki-laki yang tegap. Lalu siapakah yang memindahkanmu dari satu keadaan
ke keadaan yang lain, dan menjadikanmu berpostur tegap dan kokoh ini?”
Sesungguhnya, saudara yang kafir itu tidak secara langsung mengingkari Sang
Khalik dalam ungkapannya. Ia mengingkari al-Ma’âd (hari kebangkitan). Dan dengan
menolak hari kebangkitan ia pun harus mengingkari Tuhan.
Kata si mukmin: “Jika kamu membanggakan harta, maka aku membanggakan
bahwa aku adalah seorang hamba Allah, aku tidak mempersekutukan seorangpun
dengan Tuhanku.” Dan dia (si mukmin) mengingatkan saudaranya akan akibat buruk
yang akan menimpanya dengan ucapan: “Mengapa kamu ketika memasuki kebunmu
tidak mengucapkan mâsyâ Allah? Bahwasannya dua kebun itu adalah salah satu
nikmat Allah SWT, walaupun kamu berupaya keras dalam membangunnya, maka
sesungguhnya itu semua adalah karena kekuasaan Allah SWT, Yang Maha Kuasa dan
Bijaksana.
Kemudian ia mengisyaratkan kepada dirinya sendiri; “meskipun harta dan
anakku lebih sedikit darimu, tetapi aku berharap Tuhanku memberiku pahala yang
lebih baik di akhirat ketimbang kebun duniamu ini.” Aku pun berharap Allah
mengirim azab dari langit menimpa kebunmu, sehingga menjadilah (kebunmu itu)
tanah yang tandus tidak tumbuh sesuatupun. Atau menjadikan airnya lenyap ke bawah
tanah, lahanmu kering tidak dapat menghasilkan air.
Si mukmin mengungkapkan cela saudaranya yang kafir, memperingatkan akan
akibat kekufuran dan kesesatan yang terus menerus, dan menyampaikan kepadanya
masa datang yang gelap. Maka ketika datang azab sebagai akibat kesombongannya, di
saat itu si kafir tergugah dari kelelapannya. Ia menyesal dan bersedih hati setelah
mengeluarkan harta untuk membangun dua tamannya, menyesali diri karena telah
mempersekutukan Allah SWT; “Aduhai kiranya dulu aku tidak mempersekutukan
Tuhanku”. Akan tetapi penyesalan seperti itu tiada berguna, karena tidak menjadi
penghalang dari azab Allah, dan tidak ada seorangpun yang menjadi penolongnya.
Inilah kesimpulan tamtsil, dan Allah SWT menjelaskannya secara ringkas
dalam ayat: “Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-
amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih
baik untuk menjadi harapan” (al-Kahfi 46).
Para mufasir meriwayatkan bahwa Allah SWT mengisyaratkan untuk tamtsil
ini dalam surat ash-Shaffat; “Berkatalah salah seorang di antara mereka:
“Sesungguhnya aku dahulu (di dunia) mempunyai seorang teman, yang berkata:
“Apakah kamu sungguh-sungguh termasuk orang-orang yang membenarkan (hari
berbangkit)? Apakah bila kita telah mati dan kita telah menjadi tanah dan tulang
belulang, lalu sesungguhnya kita benar-benar (akan dibangkitkan) untuk diberi
pembalasan?” Berkata pulalah ia: “Maukah kamu menngunjungi (temanku itu)?”
Maka ia mengunjunginya, lalu ia melihat temannya itu di tengah-tengah neraka
menyala-nyala” (ayat 51-55).
Sampai di sini, jelaslah perngertian dan maksud tamtsil. Kita juga dapat
mendalami tafsiran kalimat dan kosa kata ayat seperti diuraikan di atas, yang cukup
jelas dan tampaknya tidak memerlukan pada tafsir ayat lagi. Namun, di bawah ini
akan diuraikan secara ringkas:
“Wa dhrib lahum” artinya “dan berikanlah kepada orang-orang kafir dengan
orang-orang mukmin. Yaitu “mastalan rajulaini ja’alnâ li ahadihima” atau “sebuah
perumpamaan dua orang laki, (yang) Kami jadikan bagi seorang di antara keduanya
yakni yang kafir”: “jannatain” (“dua kebun”). Kebun itu adalah “min a’nâbin wa
hafaffnâhuma” (“kebun anggur dan Kami kelilingi kedua kebun itu dengan pohon-
pohon kurma”). Lalu, “wa ja’alnâ bainahumâ zar’â” (“dan Kami buatkan di antara
kedua kebun itu tanaman yang dapat dikonsumsi”). Dan “kiltâ l-jannataini âtat
ukulahâ” (“kedua buah kebun itu menghasilkan buahnya”), yang “lam tazhlim minhu
syai`an” (“tiada berkurang sedikitpun darinya”) “wa fajjarnâ khilâlahumâ” (“dan
Kami alirkan di celah-celah kedua kebun itu sebuah sungai yang mengalir di antara
keduannya”). “Wa kâna lahu” (“dan dengan dua kebun itu dia mempunyai”),
“tsamarun fa qâla lishhibihi” (“kekayaan besar, maka ia berkata kepada kawannya
yang mukmin”), “wa huwa yuhâwiruhi” (“ketika ia bercakap-cakap sambil
membangga-banggakan diri di hadapan temannya”), ia berkata: “anâ aktsaru minka
mâlan wa a’azzu nafaran” (hartaku lebih banyak dari hartamu dan orang-orang
dekatku lebih kuat”). “Wa dakhala jannatahu” (“dan dia memasuki kebunnya dengan
kawannya itu sambil mengelilingi kebun dan memperlihatkan buah-buahannya), “wa
huwa zhâlimun li nafsihi” (“sedang dia zalim terhadap dirinya sendiri karena
kekufuran”). “Qâla mâ azhunnu an tabiida” (“ia berkata: ‘Aku kira kebun ini tidak
akan binasa’”). “...hâdzihi abadan wa mâ azhunnu s-sâ’ata qâ`imatun wa lain rudidtu
ilâ rabbii”) (“.....selama-lamanya, dan aku tidak mengira hari kiamat itu akan datang,
dan jika sekiranya aku dikembalikan kepada Tuhanku (di akhirat atas dalihmu”),
maka “la ajidanna khairan minhâ muqalaban” (“pastilah aku akan mendapat tempat
kembali yang lebih baik dari kebun itu”). “Qâla lahu shâhibuhu wa huwa
yuhâwiruhu” (“Kawannya (yang mukmin) berkata kepadanya sedang dia bercakap-
cakap (yakni berdebat) dengannya”). “A kafarta bi l-ladzii khalaqaka min turâbin”
(“apakah kamu kafir kepada Tuhan yang menciptakanmu dari tanah (sebab Adam
diciptakan darinya)); “tsumma min nuthfatin tsumma sawwâka” (“kemudian dari
setetes air mani, lalu Dia (meluruskan dan) menjadikanmu”), “rajulan” (seorang laki-
laki). Adapun aku, kukatakan; “lâkinnâ huwa llahu rabbi lâ usyriku bi rabbii ahadan
wa laulâ izd dakhalta jannataka qulta” (“tetapi aku (percaya bahwa) Dia lah Allah,
Tuhanku, dan aku tidak mempersekutukan seorangpun dengan Tuhanku. Dan
mengapa ketika memasuki kebunmu kamu tidak mengatakan begini ketika
mengaguminya”: “Mâ syâ`a llâh lâ quwwata illâ bi llâh” (“masya Allah! tidak ada
kekuatan kecuali dengan (pertolongan) Allah”). Dan “in tarani ana aqalla minka
mâlan wa waladan fa ‘âsâ rabbii an yu`tiyani khairan min jannatika wa yursila
‘alaihâ husbânan” (“jika kamu anggap aku lebih kurang daripada kamu dalam hal
harta dan anak maka mudah-mudahan Tuhanku, akan memberi kepadaku (kebun)
yang lebih baik daripada kebunmu (ini); dan mudah-mudahan Dia mengirimkan
ketentuan (petir) kepadamu”), “mina s-samâ`i fa tushbiha sha’iidan zalaqan” (“dari
langit kepada kebunmu, hingga (kebun itu) menjadi tanah yang licin; tanah yang tidak
lagi memiliki tumbuh-tumbuhan, yang tidak dapat dipijaki kaki, “au yushbiha mâ`uhâ
ghauran” (atau airnya menjadi surut ke dalam tanah, kering”). “Fa lan tastathii’a
lahu thalaban” (maka sekali-kali kamu tidak dapat menemukannya lagi, siasat untuk
mendapatkan air. “Wa uhiitha bi tsamarihi” (“Dan harta kekayaannya pun
dibinasakan, hancur bersamaan dengan kebunnya hancur”). “Fa asshbaha yuqallibu
kaffaihi” (“lalu ia membolak-balikkan kedua tangannya (tanda menyesal); menyesali
diri dan bersedih hati”), “‘alâ mâ anfaqa fiihâ” (“terhadap apa yang ia telah
belanjakan untuk itu; dalam pembangunan kebunnya”), “wa hiya khâwiyatun”
(“sedang pohon anggur itu roboh”), “‘alâ ‘uruusyihâ” (“bersama para-paranya dan
tiang-tiang untuk pohon anggur, ketika bangunan kebun itu runtuh lalu –pada
gilirannya– pohon anggurnya pun runtuh”). “Wa yaquulu yâ laitanii” (“Dan dia
berkata: ‘Aduhai kiranya dulu aku....; seolah ia mengingat nasihat saudaranya”). “Lam
usyrika bi rabbii ahadan wa lam takun lahu fi`atun” (“tidak mempersekutukan
seorangpun dengan Tuhanku. Dan tidak ada bagi dia segolong pun”), “yansuruunahu
min duuni llâh” (“yang akan menolongnya selain Allah; di saat kebun hancur.”), “mâ
kâna muntashiran” (“dan sekali-kali ia tidak dapat membela dirinya; ketika kebun itu
binasa dengan sendirinya”), “hunâlika” (“di sana, yakni hari kiamat”). “Al-wilâyatu”;
(“kerajaan, milik”). “Li llâhi l-haqq” (“hanya dari Allah Yang haq”).
(as-Suyuthi: Tafsir al-Jalâlain, tafsir Surat al-Kahfi).
Tamtsîl 33
و اضرب لهم مثل الحياة الدنيا كماء أنزلناه من السماء فاختلط به نبات األرض فأصبح هشيما تذروه الرياح و كان
هللا على كل شئ مقتدرا
Artinya: “Dan berilah perumpamaan kepada mereka (manusia), bahwa kehidupan
dunia adalah sebagai air hujan yang Kami turunkan dari langit, maka menjadi subur
karenanya tumbuh-tumbuhan di muka bumi ini, kemudian tumbuh-tumbuhan itu
menjadi kering yang diterbangkan oleh angin. Dan adalah Allah Maha kuasa atas
segala sesuatu” [al-Kahfi: 45].
Tafsir Ayat
Al-hasyiim berarti sesuatu yang memecah pada keringnya tetumbuhan. Adz-
dzurr dan at-tazdriyah ialah angin yang menerbangkan segala sesuatu yang ringan ke
setiap arah.
Tamtsil yang lalu membicarakan tentang tiadanya kesinambungan
kenikmatan-kenikmatan dunia yang biasanya menjadi sandaran orang kafir. Sebagai
penekanan atas pandangan tersebut, al-Quran menampilkan tamtsil lain yang di
dalamnya menggambarkan keadaan kehidupan duniawi yang tidak memiliki ketetapan
melalui tamtsil indah yang memuat turunnya rintik hujan di tanah-tanah yang subur
yang berpotensi menumbuhkan biji-bijian yang tertanam di dalamnya. Biji-bijian
mula-mula bergerak dengan membelah tanah, tumbuh, dan dengan menyerap matahari
biji-bijian itu sampai pada bentuk seikat bunga yang indah.
Manusia kadangkala mengkhayalkan kelanggengannya. Padahal, ketika tiba-
tiba angin kencang atau topan datang menerjangnya, jadilah bunga-bunga itu patah,
layu lalu mengering seperti rumput kering, dan rusaklah semuanya seakan-akan tak
pernah ada sebelumnya. Lalu hembusan angin menebarkan abunya ke segenap sisi.
Kehidupan dan kematian semacam ini berulang-ulang sepanjang tahun, dan manusia
menyaksikan dengan mata kepalanya tanpa mempedulikan isyaratnya. Untuk inilah
tamtsil dibuat.
Allah SWT berfirman: “Dan berilah perumpamaan kepada mereka (manusia),
bahwa kehidupan dunia adalah sebagai air hujan yang Kami turunkan dari langit,
maka menjadi subur karenanya tumbuh-tumbuhan di muka bumi ini” dalam bentuk
berselubung satu sama lain, keadaannya mencengangkan manusia. Tumbuhan itu
terus berubah dalam keadaan sedemikian sampai kita temukan hikmahnya. Inilah
yang diungkap al-Quran dengan kalimat; “fa ashbaha hasyiiman” (“kemudian
tumbuh-tumbuhan itu menjadi kering”) yakni, banyak tumbuhan yang hancur diterpa
angin, lalu berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Begitulah ibarat perubahan
dunia, seperti perubahan tumbuh-tumbuhan ini; “Dan adalah Allah Maha kuasa atas
segala sesuatu”.
Kemudian Allah SWT memperserupakan harta dan anak seperti bunga atau
kembang yang tumbuh mekar pada tanaman-tanaman. Bentuk keserupaannya adalah
bahwa tanpa diduga bunga itu dapat lenyap dengan cepat. Begitu pula harta dan anak-
anak.
Ya, sesungguhnya itu semua hanyalah perhiasan bagi kehidupan di dunia, dan
jika hakikatnya adalah sementara waktu dan segera lenyap, maka apa sangkaan kita
terhadap perhiasan tersebut? Tidak akan ditetapkan kekekalan bagi sesuatu yang
kembali pada dunia. Artinya, tidak benarlah secara akal, jika kita bersandar pada
sesuatu yang segera hilang. Ayat al-Quran mengungkapkan: “Harta dan anak-anak
adalah perhiasan kehidupan dunia”.
Sebaik-baik kekal adalah bagi amal saleh yang memiliki akibat-akibat yang
bersinar di kehidupan ukhrawi. Firman Allah menegaskan: “Dan amal-amal saleh
yang kekal itu lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu dan lebih baik kesudahannya”
(Maryam 76).
Selanjtunya, Allah SWT menekankan atas kelenyapan dan ketidak-abadian
dunia dengan membuat perumpamaan-perumpamaan. Dan ruh atau isi kandungan
tamtsil ini telah disebutkan sebelumnya dalam surat Yunus (lihat: tamtsil ke 14 (surat
Yunus ayat-25). Begitu pula seperti kandungan yang disebutkan dalam tamtsil surat
al-Hadid ayat-20.
Perlu Diperhatikan
Barangkali ayat berikut ini juga termasuk dari amtsâl al-Quran;
و لقد صرفنا في هذا القرآن للناس من كل مثل و كان اإلنسان أكثر شيء جدال
Artinya: “Dan sesungguhnya Kami telah mengulang-ulang bagi manusia dalam al-
Quran ini bermacam-macam perumpamaan. Dan manusia adalah makhluk yang
paling banyak membantah” [al-Kahfi: 54].
Tetapi, sebetulnya, ayat ini bukanlah tamtsil yang mandiri. Ayat di atas lebih
menekankan penyebutan contoh-contoh amtsâl, khususnya dalam hal-hal yang
kembali pada kehidupan masa lampau yang ternyata mengandung banyak i’brah.
Dalam kalimat “wa laqad sharrafnâ” (“telah Kami jelaskan di dalam al-Quran
ini kepada manusia dengan segala perumpamaan”), kandungan makna tabyiin
(pengungkapan yang menjelaskan) dengan kata tashrif (dalam ayat) adalah sebagai
isyarat pada bentuk perumpamaan yang bermacam-macam. Yakni agar manusia
berpikir dari sisi-sisi yang berlainan. Kalimat terakhir ayat, “Dan manusia adalah
makhluk yang paling banyak membantah”; menunjukkan bahwa kebanyakan manusia
lebih memilih perselisihan dan perdebatan tanpa bertujuan mengambil hidayah dari
apa yang dilihat atau dirasakannya guna menuju hakikat.
Surat al-Hajj
Tamtsîl 34
يا أيها الناس ضرب مثل فاستمعوا له إن الذين تدعون من دون هللا لن يخلقوا ذبابا و لو اجتمعوا له و إن يسلبهم
الذباب شيئا ال يستنقذوه منه ضعف الطالب و المطلوب* ما قدروا هللا حق قدره إن هللا لقوي عزيز*
Artinya: “Hai manusia, telah dibuat perumpamaan-perumpamaan, maka
dengarkanlah olehmu perumpamaan itu. Sesungguhnya segala yang kamu seru selain
Allah sekali-kali tidak dapat menciptakan seekor lalatpun, walaupun mereka bersatu
untuk menciptakannya. Dan jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka, tiadalah
mereka dapat merebutnya kembali dari lalat itu. Amat lemahlah yang menyembah
dan amat lemah (pulalah) yang disembah. Mereka tidak mengenal Allah dengan
sebenar-benarnya. Sesunggunya Allah benar-benar Maha kuat lagi Maha perkasa”
[al-Hajj: 73-74].
Tafsir Ayat
Pada masa Jahiliyah, bangsa Arab dapat dikatakan sudah bertauhid dalam
khâliqiyah (Allah adalah Sang Maha Pencipta). Mereka mengungkapkan keyakinan
mereka itu dengan mengatakan bahwa tiada pencipta di alam semesta ini melainkan
Allah. Dan Allah SWT mengabarkan tentang hal itu dalam al-Quran, antara lain; “dan
sungguh jika kamu tanyakan kepada mereka: ‘Siapakah yang menciptakan langit dan
bumi?’, niscaya mereka akan menjawab: Semuanya diciptakan oleh Yang Maha
Perkasa lagi Maha Mengetahui” [az-Zukhruf: 9].
Tetapi, mereka syirik dalam tauhid ar-rububiyah (pemeliharaan). Mereka
menyatakan bahwa Allah SWT menciptakan langit dan bumi, dan (lalu) menyerahkan
(urusan) pemeliharaan ciptaannya kepada tuhan-tuhan yang mereka sebut-sebut itu.
Hal ini terungkap melalui sebutan kaum musyrikin tentang kata al-arbâb (tuhan-
tuhan) yang mereka cantumkan dalam semua perjanjian, yaitu atas (nama) tuhan-
tuhan yang mereka panggil. Allah SWT berfirman: “manakah yang baik, tuhan-tuhan
yang bermacam-macam itu ataukah Allah Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa”
[Yusuf: 39]. Meskipun ayat ini menjelaskan tentang keyakinan kaum musyrikin di
masa Nabi Yusuf as, namun keadaan serupa juga terjadi pada kaum musyrik di Mekah
pada masa Nabi Muhammad saw. Ayat ini turun sebagai bukti yang mengungkap cela
dan merendahkan aqidah mereka yang batil.
Ada juga ayat-ayat al-Quran lain yang menyingkap kesyirikan mereka dalam
tauhid rububiyah, antara lain:
“Mereka mengambil sembahan-sembahan selain Allah agar mereka mendapat
pertolongan” [Yasin: 74], yakni, mereka menyembah tuhan-tuhan mereka supaya
mereka menang di medan-medan peperangan. Dan, “.....Dan mereka telah mengambil
sembahan-sembahan selain Allah, agar sembahan-sembahan itu menjadi pelindung
mereka” [Maryam: 81].
Motif dari ketundukan di hadapan tuhan palsu itu adalah memohon kekuatan
dalam menghadapi berbagai masalah dari tuhan-tuhan itu. Di dalam beberapa ayat
lain juga ditunjukkan bahwa orang-orang musyrik di masa Rasulullah saw tidak
bertauhid dalam al-rububiyah, dan demikian pula halnya dalam al-khâliqiyah.
Tidak sedikit ayat yang menjelaskan tentang keadaan patung-patung berhala
yang tidak mampu mengangkat madharat dan tidak mempunyai manfaat apapun. Dan
mereka tidak memberi kemenangan dalam perang, tidak pula kekuatan dalam hidup.
Keterangan itu menunjukkan bahwa kaum musyrik meyakini bahwa tuhan-tuhan
mereka memiliki kekuatan dan kekuasaan yang dapat melepaskan madharat dan
memberi manfaat bagi mereka.
Berikut ini ibarat lain tentang sangkaan terhadap pemeliharaan (tadbiir) tuhan-
tuhan itu untuk kehidupan manusia, Allah SWT berfirman: “Katakanlah: ‘Panggillah
mereka yang kamu anggap (tuhan) selain Allah, maka mereka tidak akan mempunyai
kekuasaan untuk menghilangkan bahaya daripadamu dan tidak pula
memindahkannya” [al-Isra: 56]. Juga: “Dan janganlah kamu menyembah apa-apa
yang tidak memberi manfaat dan tidak (pula) memberi madharat kepadamu selain
Allah” [Yunus: 106].
Serta ayat: “Jika kamu menyeru mereka, mereka tiada mendengar seruanmu..”
[Fathir: 14]. Dan ayat-ayat lain yang membatilkan tadbiir tuhan-tuhan palsu kaum
musyrik.
Dengan memahami penjelasan di atas, maka ketahuilah bahwa dalam maqâm
ini Allah SWT membuat perumpamaan-perumpamaan yang membatilkan rububiyah
patung-patung berhala, dengan penjelasan yang begitu kontras berikut ini:
Orang-orang musyrik itu menganggap bahwa lalat adalah binatang terlemah.
Tetapi, ternyata tuhan-tuhan mereka tidak mampu menciptakan lalat. Bahkan, apabila
lalat-lalat merampas sesuatu dari mereka, mereka tidak dapat merebutnya kembali.
Diriwayatkan, dahulu bangsa Arab selalu memolesi badan patung-patung
berhala mereka dengan za’faron dan memolesi bagian kepalanya dengan madu,
sementara mereka menutup pintu-pintu di hadapan patung-patung itu. Lalu beberapa
ekor lalat masuk dari lubang dan celah-celah yang luput dari tutup mereka dan
kemudian memakannya. Dalam al-Quran diungkapkan: “Hai manusia, telah dibuat
perumpamaan-perumpamaan, maka dengarkanlah olehmu perumpamaan itu.
Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah.......”; yakni mereka
menyembahnya. Dan kata “ad-du’â” (“menyeru”) –pada ayat di atas– bermakna
“‘ibâdah”, sebagaimana disebutkan dalam ayat: “Dan Tuhanmu berfirman:
“Berdoalah kepada-Ku, niscaya Kuperkenankan untukmu. Sesungguhnya orang-
orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam
dalam keadaan hina dina” [Ghafir: 60]. Maka, kata du’â` (menyeru) kepada Allah
SWT adalah beribadah kepada-Nya, sebagaimana ‘menyeru’ kepada tuhan-tuhan
palsu –sebagai tuhan-tuhan orang musyrik– juga adalah ibâdah atau menyembah
kepada mereka.
Lanjutan kalimat dalam ungkapan al-Quran di atas berbunyi: “...... Sekali-kali
tidak dapat menciptakan seekor lalatpun, walaupun mereka bersatu untuk
menciptakannya” –meskipun lalat itu begitu kecil dan lemah– “dan jika lalat itu
merampas sesuatu dari mereka, tiadalah mereka dapat merebutnya kembali dari lalat
itu”. Dalam riwayat di atas, dapat diketahui bahwa lalat-lalat itu boleh jadi memakan
madu yang ada di kepala-kepala patung berhala.
Kalimat “dha’ufa ath-thâlib wa l-mathluub” (“lemahlah yang menyembah dan
lemah pula yang disembah”) dalam ayat ini memiliki beberapa kemungkinan
penjelasan sebagai berikut:
Pertama, bahwa yang dimaksud “ath-thâlib wa l-mathlub” adalah penyembah
dan yang disembah. “Ath-thâlib” atau “manusia” itu lemah, sebagaimana penjelasan
dalam ayat lain: “Dan manusia dijadikan bersifat lemah” [an-Nisa: 28]. Sedangkan
“al-mathlub” atau “patung” (seperti ath-thâlib), karena ia benda mati yang tidak kuasa
atas sesuatupun.
Kedua, bahwa yang dimaksud ath-thâlib adalah lalat yang mencari sesuatu
yang dioleskan pada patung. Dan al-mathlub adalah patung yang menuntut bebas dari
sesuatu yang merampas darinya. Dan ketiga, yang dimaksud ath-thâlib adalah tuhan-
tuhan yang mereka tuntut untuk penciptaan lalat, namun tidak mampu menyelamatkan
sesuatu yang terampas dari mereka. Dan al-mathlub adalah lalat yang dituntut untuk
membebaskan mereka dari serangannya.
Tujuan tamtsil ini adalah menjelaskan kelemahan tuhan-tuhan itu dan untuk
merendahkannya pada kedudukan paling rendah dari binatang dalam perasaan dan
kemampuan.
Kemudian Allah SWT kembali menjelaskan faktor penolakan kaum musyrik
dan kafir dari menyembah Allah itu sebagai berikut; “mereka tidak mengenal Allah
dengan sebenar-benarnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha
Perkasa”. Artinya, sebenarnya mereka tidak menempatkan Allah pada posisi yang
seharusnya dan mereka tidak memperlakukan-Nya sebagaimana mestinya. Karena itu,
mereka lalu berpaling dari menyembah Sang Khalik, dan berpihak serta menyembah
pada makhluk yang tiada memberi manfaat dan madharat secuilpun. Sekiranya
mereka mengenal Allah SWT dan asmâul husnâ serta sifat-sifat agung-Nya, niscaya
mereka mengakui bahwa tiada pencipta dan tiada tuhan (pemelihara) selain Dia. Atas
dasar itulah keyakinan bahwa tiada yang disembah melainkan Dia. Sayangnya,
mereka justru tidak memandang Allah SWT sebagaimana mestinya. Mereka memilih
menyekutukan-Nya dengan makhluk yang terlemah dan terhina. Padahal yang
sesungguhnya, “Dia Maha Kuat lagi Maha Perkasa”, yang berbeda dengan tuhan-
tuhan mereka yang lemah dan hina dina.
Surat an-Nur
Tamtsîl 35
هللا نور السموات و األرض مثل نوره كمشكوة فيها مصباح المصباح في زجاجة الزجاجة كأنها كوكب دري يوقد
ي هللا لنوره من من شجرة مباركة زيتونة ال شرقية و ال غريبة يكاد زيتها و لو تمسسه نار نور على نور يهد
يشاء و يضرب هللا األمثال للناس و هللا بكل شيء عليم
Artinya: “Allah (pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya
Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita
besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya)
seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya,
(yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di
sebelah barat(nya), yang minyaknya saja hampir-hampir menerangi, walaupun tidak
disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada
cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah membuatkan perumpamaan-
perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu”.
Tafsir Ayat
Al-misykât adalah sebuah lubang yang tak tembus. Dalam tradisi masyarakat
tertentu lubang ini dibuat pada dinding rumah tempat sebagian perabotan diletakkan,
antara lain pelita. Dari lubang itu pemilik rumah bisa mengawasi halamannya dan ia
dapat menutupi lubang itu dengan kaca untuk menjaga pelita dari angin sekaligus
untuk menerangi halaman dan kamar.
Penjaga pelita (semacam semprong) dibuat dalam bentuk kerucut terbuat dari
kaca yang diletakkan melingkupi pelita agar terjaga dari angin dan di atasnya diberi
sebuah lubang tempat keluarnya asap.
Al-mishbâh adalah pelita atau lampu (minyak). Al-mishbâh merupakan alat
yang terdiri dari empat bahan: 1) wadah minyak; 2) sumbu lampu yang menyala
dengan minyak; 3) kaca yang mengitari nyala sumbu; dan 4) alat pengapit sumbu.
Jenis minyak yang paling bagus untuk nyala api diambil dari pohon zaitun
yang ditanam di tempat di mana cahaya matahari dapat menyinari pohon itu dari
segala sisi, sehingga (minyak dari pohon ini) menjadi minyak paling jernih dan cepat
menyala. Ini berbeda dengan kondisi pohon yang ditanam di sebelah timur atau di
sebelah barat, sebab posisi seperti ini tidak menerima sinar matahari melainkan hanya
pada waktu tertentu saja.
Allamah Sayyid Husain Thabathaba`i berkata:
“Yang dimaksud dengan pohon yang tumbuh tidak di timur dan tidak di barat
ialah bahwa pohon itu tidak tumbuh di sebelah timur dan tidak pula di sebelah barat,
sehingga sinar matahari hanya mengenainya pada salah satu sisi (dari dua sisi) siang,
dan sisi lain cuma memperoleh bayangan. Keadaan seperti itu menjadikan pohon
tidak memberikan buah yang matang benar, minyak yang diambil tidak jernih dan
tidak memberikan penerangan” (al-Mizan: 15/124).
Demikian penjelasan ayat dari sisi kosa-katanya. Dengan demikian, al-
musyabbah adalah “misykât” yang terdiri dari; api atau lampu di bagian dalamnya dan
kaca yang mengelilingi api atau lampu di sebelah luarnya.
Al-musyabbah bihi adalah cahaya yang bersinar dari kaca yang menjaga
pelita, menyala dari minyak terpilih yang jernih yang ditaruh pada wadah misykât.
Cahaya pelita ditampung oleh misykât dan dipantulkannya, sehingga semakin
bersinar.
Adapun kalimat dalam ayat yang berbunyi “nuur ‘alâ nuur”, atau cahaya yang
berlapis-lapis yang tersusun dari inti hingga bagian sinar terluar, dalam struktur
kalimat ayat ini ialah sinar atau cahaya dari kaca yang berasal dari cahaya lampu.
Allamah Thaba`thaba`i berkata:
Misykât diangkat sebagai perumpamaan ialah untuk menunjukkan adanya
perhimpunan cahaya di pusat inti api misykât dan pemantulannya ke seluruh ruangan
rumah. Dan pengibaratan minyak dari pohon zaitun yang “lâ syarqiyah wa lâ
gharbiyah”, untuk menunjukkan atas nyala cahaya dari minyak jernih dan bagus yang
mengesankan dilihat dari kejernihan dan kecemerlangan cahayanya yang bersinar.
Kecemerlangan cahaya yang menyinari setiap sesuatu itu disebabkan oleh
keberadaan minyaknya yang hampir menyinari walau tidak tersentuh api. Sedangkan
pengungkapan cahaya di atas cahaya ialah untuk menunjukkan berlipatnya cahaya,
yaitu kenyataan adanya cahaya kaca sebagai hasil dari cahaya lampu”. (al-Mizan:
15/125).
Demikianlah keadaan yang dijadikan penyerupa, hal mana pembicaraan
sebenarnya mengenai yang diserupakan dan setiap kelompok matsal tersebut sesuai
dengan apa yang diinginkan. Berikut ini ada beberapa perkataan (qaul) atau
penjelasan sebagai tambahan keterangan:
Qaul pertama, al-musyabbah bihi adalah hidayah Allah. Ketika telah sampai
dalam kemunculan dan kejelasan(nya) pada puncak tujuan dan telah menjadi seperti
misykât yang berkaca bening dan di dalam kaca terdapat pelita yang menyala dengan
minyak yang paling jernih.
Sedangkan tiadanya keserupaan misykât dengan sinar matahari yang memiliki
sinar sangat dominan pada bumi, namun yang dimaksud dalam konteks perumpamaan
ini ialah sifat cahaya yang sempurna di tengah kegelapan. Sebab, yang umum dalam
imajinasi makhluk hidup (khususnya manusia) adalah keraguan (syubhât) dan
kekaburan yang bagaikan kegelapan, dan hidayah Allah SWT di tengah kondisi
demikian seperti sinar yang sempurna yang terang dan menerangi di tengah
kegelapan.
Qaul kedua, “an-nuur” yang dimaksud adalah al-Quran. Allah SWT
berfirman: “Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan kitab yang
menerangkan” [al-Maidah: 15].
Qaul ketiga, yang dimaksud adalah Rasulullah saw. Sebab, beliau adalah
seorang mursyid. Allah SWT berfirman tentang beliau: “....dan untuk menjadi cahaya
yang menerangi” [al-Ahzab: 46]. Dan barangkali marja’ (sumber) dua qaul yang
akhir ini (kedua dan ketiga) adalah qaul yang pertama, karena al-Quran dan
Rasulullah saw termasuk bentuk hidayah Allah SWT.
Qaul keempat, yang dimaksud adalah ma’rifat agama di dalam kalbu orang-
orang mukmin. Di dalam al-Quran, Allah SWT menyifati keimanan (al-iimân) adalah
cahaya dan kekafiran (al-kufr) adalah kegelapan, yakni: “....Maka apakah orang-
orang yang dibukakan Allah hatinya untuk (menerima) agama Islam lalu ia mendapat
cahaya dari Tuhannya (sama dengan orang yang membatu hatinya).......?” [az-
Zumar: 22].
Dalam surat Ibrahim ayat 1 dinyatakan: “supaya kamu mengeluarkan manusia
dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang”. Dan kesimpulannya, bahwa
keimanan seorang mukmin ialah yang telah mencapai batas cahaya pelita yang jernih
dari syubhât dan terpisah dari kegelapan kesesatan.
Dengan demikian, tamtsil dalam bentuk tunggal (mufrad), adalah penyerupaan
hidayah dengan sesuatu yang mendekatinya, yakni cahaya pelita. Dan ia tidak harus
menjadi pembeda semua perkara yang dimiliki musyabbah bihi itu ada di dalam
musyabbah. Hal ini berbeda dengan qaul berikut ini.
Qaul kelima, bahwa yang dimaksud adalah kekuatan-kekuatan yang
menjangkau dengan lima tingkatannya, yaitu kekuatan indera, kekuatan khayâliyah
(imajinasi), kekuatan aqliyah (rasional), kekuatan fikriyah (berpikir), dan kekuatan
qudsiyah (kesucian).
Hal ini sebagaimana diisyaratkan oleh dalam ayat suci al-Quran: “Dan
demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (al-Quran) dengan perintah Kami.
Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah al-kitab (al-Quran) dan tidak pula
mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan al-Quran itu cahaya, yang
Kami tunjuki dengan dia siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami”
[asy-Syura: 52].
Dengan mengetahui kekuatan-kekuatan tersebut maka semua itu dapat disebut
cahaya-cahaya, hal mana dengan kekuatan itu menjadi tampak bermacam-macam
karakter maujud. Lima tingkatan tersebut barangkali menyerupai lima perkara yang
disebutkan dalam ayat, yaitu: al-misykât, az-zujâjah, al-mishbâh, asy-syajarah dan az-
zait.
Atas penjelasan ini maka tamtsil dalam bentuk tersusun (murakkab) ialah
seperti qaul berikut ini:
Qaul keenam, bahwa diri insani menerima makrifat dan pengetahuan non-
materi. Pada tahap pertama ia bersih dari segala pengetahuan, ini dinamakan akal
hayulâni, yaitu al-misykât. Pada tahap kedua, ia memperoleh pengetahuan-
pengetahuan aksiomatis, yang dengan menyusun pengetahuan ini dapat sampai pada
pengetahuan-pengetahuan teoritis. Lalu, jika perpindahan (dari pengetahuan
aksiomatis ke teoritis) memungkinkan padanya, bentuk perpindahan yang lemah maka
itulah asy-syajarah (pohon), tapi bila lebih kuat maka itulah az-zait (minyak), bila
lebih besar kekuatannya maka itu adalah az-zujâjah (kaca) yang laksana bintang
kejora, dan apabila berada dalam puncak tertinggi maka itulah an-nafsu al-qudsiyah
atau diri yang suci yang khusus bagi para nabi; itulah makna kalimat “yang
minyaknya saja hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api”.
Pada tahap ketiga, ia memperoleh pengetahuan teoritis (nazhariyât) dari
pengetahuan aksiomatis. Pada tahap ini, tidak akan muncul secara aktual (bil fi’l),
kecuali ketika pemilik tahap ini menginginkan kehadirannya sesuai kemampuan, dan
inilah yang dinamakan akal bil fi’l, yaitu pelita.
Pada tahap keempat, pengetahuan-pengetahuan (nazhari) tersebut muncul
secara aktual. Inilah yang dinamakan akal mutafâdan (yang diperoleh). Dan begitulah
“nuur ‘alâ nuur” (cahaya di atas cahaya). Sebab, al-hikmah adalah tabiat (malakah)
cahaya dan munculnya sesuatu di atas cahaya sebagai suatu tabiat adalah cahaya lain.
Pengetahuan-pengetahuan ini muncul dalam ruh-ruh manusia, yang kemunculan itu
sebenarnya berasal dari subtansi ruhani, yang dinamakan akal yang efektif.
Qaul ketujuh, Allah SWT menyerupakan dada dengan misykât, hati dengan
zujâjah dan makrifat dengan mishbâh. Dan mishbâh (pelita) ini akan menyala dari
syajarah mubârakah (pohon yang banyak berkah), yakni dari ilham-ilham malakuti.
Dia menyerupakan malaikat dengan syajarah mubârakah dikarenakan banyaknya
manfaat mereka. Tetapi Allah menyifati syajarah ini tidak di sebelah timur sesuatu
dan tidak juga di sebelah baratnya, karena ia adalah ruhaniyah. Allah menyifati
mereka (malaikat) dengan firman-Nya; “yang minyaknya saja hampir-hampir
menerangi, walaupun tidak disentuh api” dikarenakan melimpahnya ilmu
pengetahuan mereka akan rahasia-rahasia malakut Allah SWT.
Qaul kedelapan, bahwa yang dimaksud “matsalu nuurihi” (perumpamaan
cahaya-Nya) ialah perumpamaan cahaya keimanan di hati Muhammad saw seperti
misykât (lampu minyak) yang di dalamnya sebuah pelita. Al-misykât seperti sulbi
Abdullah (ayahanda Nabi), zujâjah (kaca) adalah jasad Muhammad saw dan al-
mishbâh seperti keimanan dalam hati Muhammad saw atau seperti kenabian di dalam
hati beliau.
Qaul kesembilan, bahwa al-misykât seperti Ibrahim as, az-zujâjah seperti
Ismail as, al-mishbah seperti jasad Muhammad saw dan asy-syajarah seperti kenabian
dan risalah.
Qaul kesepuluh, bahwa kalimat “matsalu nuurihi”(perumpamaan cahaya-Nya)
adalah kembali pada orang mukmin. (Lihat, Tafsir al-Fakhru ar-Razi: 23/231-235).
Sesungguhnya, al-musyabbah adalah cahaya Allah yang menyinari kalbu
orang-orang mukmin. Sedangkan al-musyabbah bihi adalah cahaya yang memancar
dari kaca. Sementara kalimat “yahdi llâhu li nuurihi man yasyâ`” (“Allah
membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki”) adalah suatu keadaan
permulaan yang didominasi secara khusus oleh orang-orang mukmin dengan cahaya
keimanan dan makrifat yang tidak dimiliki oleh selain mereka. Hal ini telah
dimaklumi sebelumnya bahwa yang dimaksud dalam kalimat “man yasyâ`” adalah
orang-orang yang disebut oleh Allah setelah ayat; “laki-laki yang tidak dilalaikan oleh
perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allah” [an-Nur: 37]. Jadi
yang dimaksud dengan “man yasyâ`” ialah orang-orang mukmin dengan sifat
keimanan sempurna. Artinya, bahwa Allah SWT menunjuki orang-orang yang
melebur dengan kesempurnaan keimanan ke dalam cahaya-Nya, dan ini tidak berlaku
bagi orang-orang yang melebur dengan kekufuran (al-Mizan: 18/125-126).
Kalimat akhir dalam ayat yang kita bahas di atas: “..... dan Allah membuat
perumpamaan-perumpamaan bagi manusia...” mengisyaratkan bahwa perumpamaan
yang dibuat setelah itu adalah sebuah tingkatan ilmu. Sebenarnya, dipilihnya
“perumpamaan” adalah karena ia merupakan jalan termudah untuk menjelaskan
hakikat dan rahasia kepada manusia. Di dalamnya berlaku baik bagi orang alim
maupun orang awam, sehingga seluruh manusia dapat menerima maksud
perumpamaan itu. Allah SWT berfirman: “Dan perumpamaan-perumpamaan ini
Kami buatkan untuk manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang
yang berilmu” [al-Ankabut: 43].
Tamtsîl 36
والذين كفروا أعمالهم كسراب بقيعة يحسبه الظمآن ماء حتى إذا جاءه لم يجده شيئا و وجد هللا عنده فوفاه حسابه
وهللا سريع الحساب*
Artinya: “Dan orang-orang yang kafir, amal-amal mereka adalah laksana
fatamorgana di atas tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang
dahaga, tetapi bila didatangi air itu dia tidak mendapatinya sesuatu apapun. Dan
didapatinya (ketetapan) Allah di sisinya, lalu Allah memberikan kepadanya
perhitungan amal-amal dengan cukup dan Allah adalah sangat cepat perhitungan-
Nya” [an-Nur: 39].
Tafsir Ayat
Kata as-sarâb atau fatamorgana ialah sesuatu yang terlihat di tengah padang
sahara akibat sinar kuat matahari di siang hari, yang membentuk semacam aliran air di
atas permukaan tanah. Dari kejauhan tampaklah ia seperti air yang mengalir.
Sedangkan kata al-qii’ah yang bermakna al-qâ’ (lembah) atau bentuk jamaknya qâ’,
ialah tanah yang terbentang datar. Dan kata azh-zham`ân berarti orang-orang yang
dahaga.
Dalam ayat ini Allah SWT menyerupakan amal-amal orang kafir dengan
fatamorgana, sebagaimana pada tamtsil yang akan datang. Dan barangkali, yang
diserupakan pada yang pertama adalah kebaikan-kebaikan mereka, dan pada yang
kedua adalah keburukan-keburukan perbuatan mereka.
Tamtsil yang diuraikan dalam ayat ini adalah sebagai berikut:
Kalimat “wa l-ladziina kafaruu a’mâluhum”; yakni apa yang mereka perbuat
berupa ketaatan-ketaatan, berkurban dan bacaan-bacaan untuk mendekatkan diri pada
tuhan-tuhan mereka, perumpamaannya adalah “laksana fatamorgana di atas tanah
yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga”.
Orang-orang yang dahaga disifati dengan beberapa sifat: Pertama, menduga
fatamorgana adalah air; “laksana fatamorgana di atas tanah yang datar, yang
disangka air oleh orang-orang yang dahaga”. Kedua, ketika orang dahaga itu sampai
di fatamorgana ia tidak mendapati sesuatu yang bermanfaat; “tetapi bila didatanginya
air itu dia tidak mendapatinya sesuatu apapun”. Yang terjadi pada orang-orang
dahaga itu ialah fatamorgana itu terlihat seperti air setiap kali mereka memandangnya.
Keadaan yang dimaksud di sini adalah datangnya si pemandang fatmorgana, dan tidak
didatangi fatamorgana itu kecuali agar orang-orang dahaga dapat meminum air dan
melepaskan dahaganya. Ketiga, ketika mendekati fatamorgana, ternyata tidak ada air
sedikitpun. Yang diperoleh hanyalah ketetapan Allah SWT di hadapannya; “dan
didapatinya (ketetapan) Allah di sisinya..”.
Inilah berita kepada dan tentang “orang-orang dahaga” (azh-zham`ân), namun
yang dimaksud dalam konteks kalimat ini adalah “orang-orang kafir”, dan maknanya
adalah mereka mendapati ketetapan dan balasan Allah SWT. Hal tersebut rapat sekali
ketika ia memasuki kematian dan kedekatannya kepada akhirat.
Orang-orang kafir berpikir bahwa setiap yang ia sajikan, berupa kurban-
kurban dan bacaan-bacaan, akan memberikan manfaat baginya ketika mati dan setelah
kematiannya, dan tuhan-tuhan mereka akan memberikan syafaat. Namun yang tampak
oleh mereka itu adalah lain dari yang sebenarnya, dan bahwa ketentuan sesungguhnya
adalah ketentuan Allah SWT, bukan ketentuan selain-Nya. Nyatalah, bahwa mereka
tidak memperoleh keuntungan dari ketuhanan tuhan-tuhan mereka.
Seketika itu, mereka mendapati balasan atas perbuatan-perbuatan mereka;
“lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan amal-amal dengan cukup”. Dan
Allah SWT menyifati diri-Nya dengan berfirman: “dan Allah adalah sangat cepat
perhitungan-Nya”.
Dengan demikian menjadi jelas bahwa ayat ini menerangkan tentang keadaan
orang-orang dahaga yang sebenarnya (hakiki). Kalimat: “dia tidak mendapatinya
sesuatu apapun”, dan kalimat: “dan didapatinya..” adalah pada azh-zham`ân namun
bermakna majâzi.
Hasil dari perumpamaan yang dibuat ini adalah bahwa ketaatan, ibadah dan
taqarrub semua makhluk adalah karena Allah SWT. Oleh karena itu, bagi siapa saja
yang melaksanakannya kepada Allah dan karena Allah, maka ia telah menanam benih
dalam tanah yang subur yang dengan demikian kelak akan bermanfaat “ketika”
menemui-Nya.
Adapun orang yang menyembah selain-Nya, yang mempersembahkan
taqarrub kepadanya dengan berharap manfaat, maka harapannya tak beda dengan
harapan orang-orang kehausan terhadap fatamorgana yang mengira bahwa
fatamorgana adalah air, sehingga ia mendatanginya. Namun, bukan mendapatkan apa
yang diharapkan, justru ia kekecewaan yang diperolehnya.
Demikianlah persamaan antara orang haus dengan orang kafir, yakni yang
menyerupakan dan yang diserupakan. Tetapi yang diserupakan, yakni orang kafir
yang menyerupai orang dahaga adalah khusus pada beberapa perkara lain: Pertama,
pada kedatangannya ke tempat yang diinginkan dengan amal perbuatannya. Ia
mendapati Allah, tiada lain sebagai sesuatu yang majazi. Kedua, bahwa Allah
membalas perbuatan-perbuatannya. Ketiga, lalu Allah memberikan perhitungannya
kepadanya.
Dengan keterangan yang telah disebutkan di atas, maka yang dimaksud
dengan kata yang tampak, azh-zham`ân, adalah azh-zham`ân yang sebenarnya
(hakiki). Dan yang dimaksud tiga dhair dalam kalimat wajada, waffâhu dan hisâbuhu
adalah azh-zham`ân yang majazi, yakni orang kafir yang kecewa.
Tamtsîl 37
أو كظلمات في بحر لجي يغشاه موج من فوقه سحاب ظلمات بعضها فوق بعض إذا أخرج يده لم يكده يراه و من
لم يجعل هللا له نورا فما له من نور*
Artinya: “Atau seperti gelap gulita di lautan yang dalam, yang diliputi ombak, yang
di atasnya ombak (pula), di atasnya (lagi) awan; gelap gulita yang tindih-bertindih,
apabila dia mengeluarkan tangannya, dia tidak dapat melihatnya, (dan) barangsiapa
yang tidak diberi cahaya (petunjuk) Allah (maka) tiadalah ia mempunyai cahaya
sedikitpun” [an-Nur: 40].
Tafsir Ayat
Kata al-lujjiy dinisbatkan pada kata al-lujjah, yang dalam bahasa diartikan
sebagai laut yang luas dan dalam. Tapi kata ini biasanya digunakan pada makna
ombak lautan yang bergerak berbolak-balik. Keadaan laut, semakin dalam dan luas
maka ia semakin besar ombaknya. Maksud kalimat “bahrin lujjiyin” dalam ayat di
atas adalah laut yang berbenturan.
Kata as-sahâb berarti al-qhuyuum (awan yang mengandung hujan), berbeda
dengan kata al-ghaim (awan) yang memiliki makna lebih umum. Penggunaan kata as-
sahâb dalam ayat adalah untuk menjadi sebab bagi bertambahnya kegelapan.
Pada ayat sebelumnya Allah SWT menyerupakan amal-amal orang-orang
kafir dengan fatamorgana yang disangka air oleh orang-orang dahaga, untuk
menunjukkan bahwa amal-amal itu tidak memberikan keuntungan apa-apa bagi
mereka. Dalam ayat ini Allah menyerupakan amal-amal mereka dengan kegelapan
dan kekosongan dari cahaya kebenaran di laut yang amat dalam, di atasnya awan
berhujan yang gelap dan di atas airnya ada ombak di atas ombak. Orang yang berada
di laut seperti ini diliputi oleh kegelapan yang dahsyat. Ia tidak melihat sesuatu pun di
hadapannya, sehingga kalapun mengeluarkan tangannya ia tidak dapat melihatnya
meskipun teramat dekat.
Begitulah yang dijadikan penyerupa. Sedangkan yang diserupakan ialah
bahwa amal-amal yang dilakukan oleh orang kafir adalah batil sepenuhnya, yang tiada
di dalamnya kebenaran sedikitpun, seperti laut yang dalam nan luas yang diliputi
gelapnya kegelapan yang tiada cahaya setitikpun.
Ayat di atas juga memberi isyarat melalui tiga kegelapan: Pertama, kegelapan
laut yang terhalang dari cahay; kedua, kegelapan ombak yang berbenturan; ketiga,
awan hitam yang berhujan. Bertumpuk-tumpuknya tiga kegelapan ini menghijab
semua cahaya untuk menembusnya. Beginilah keadaan yang dialami orang-orang
kafir atas amal-amalnya. Dan tiga isyarat kegelapan di atas mungkin juga dapat
dijelaskan dari sudut pandang lain sebagai berikut: Pertama: gelapnya keyakinan,
gelapnya perkataan dan gelapnya perbuatan. Kedua: kegelapan hati, gelapnya
penglihatan dan gelapnya pendengaran. Dan ketiga: gelapnya kebodohan, gelapnya
kebodohan dengan kebodohan, dan gelapnya konsepsi kebodohan akan pengetahuan.
(lihat: Tafsir al-Fakhru ar-Razi: 24/8-9).
Barangkali kegelapan-kegelapan yang bertumpuk-tumpuk ini mengisyaratkan
pada perkara lain, yaitu ketetapan bagi orang kafir yang berlipat-lipat atas
kekufurannya dan keburukan amal perbuatannya.
Karena itu Allah SWT menyifati orang kafir dengan; “(dan) barangsiapa yang
tiada diberi cahaya (petunjuk) Allah tiadalah dia mempunyai cahaya sedikitpun”.
Perlu Diperhatikan
Mengenai amtsâl al-Quran, sebagian para penulis menyebut ayat berikut ini
termasuk salah satu dari al-amtsâl al-Quran:
“Dan mereka berkata: ‘Mengapa rasul ini memakan makanan dan berjalan di pasar-
pasar? Mengapa tidak diturunkan kepadanya seorang malaikat agar malaikat itu
memberikan peringatan bersama-sama dengan dia?, atau (mengapa tidak)
diturunkan kepadanya perbendaharaan, atau (mengapa tidak) ada kebun baginya,
yang dia dapat makan dari (hasil)nya?’. Dan orang-orang yang zalim itu berkata:
‘Kamu sekalian tidak lain hanyalah mengikuti seorang yang kena sihir’.
Perhatikanlah, bagaimana mereka membuat perbandingan-perbandingan tentang
kamu, lalu sesatlah mereka, mereka tidak sanggup (mendapatkan) jalan (untuk
menentang kerasulanmu)”. [al-Furqan: 7-9].
Memang, di dalam ayat ini terdapat kata “al-amtsâl”, namun ia bukan
termasuk tamtsil. Sesungguhnya ayat ini memberitahukan tentang apa yang dikatakan
orang-orang kafir ketika menyifati Nabi Muhammad saw, bahwa dia makan makanan
dan berjalan di pasar, sehingga – menurut orang-orang kafir itu – dia tidak patut
membawa risalah.
Mereka lalu mencela Nabi Muhammad saw dengan kata-kata tak berdasar
semacam: “kami terima kalau dia seorang rasul, tetapi kenapa tidak turun kepadanya
seorang malaikat lalu dia menjadi seorang pemberi peringatan bersamanya, agar
peringatannya itu bersambung dengan yang ghaib melalui malaikat?”
Kemudian orang-orang kafir juga mencela dengan perkataan: “mengapa tidak
turun kepadanya harta dari langit, sehingga dia dapat menggunakannya dalam
kebutuhan-kebutuhan materialnya? Atau mengapa tidak ada baginya surga yang dapat
ia makan darinya?” Lalu pada bagian akhir ayat, mereka menyifati Nabi saw sebagai
orang yang tersihir.
Tetapi Allah SWT menolak perkataan mereka dan mengungkapkan aib mereka
yang telah keliru menyifati Nabi Muhammad saw: “Perhatikanlah, bagaimana,
mereka membuat perbandingan-perbandingan tentang kamu, lalu sesatlah mereka,
mereka tidak sanggup (mendapatkan) jalan (untuk menentang kerasulanmu)”. Yakni
lihatlah bagaimana mereka menyifati Muhammad saw yang: 1) makan dan berjalan di
pasar; 2) tiadanya malaikat yang menyertai; 3) miskin; dan 4) tersihir, sambil
mengkhayal bahwa dia (Muhammad saw) adalah seorang rasul yang didatangi
malaikat wahyu dengan risalah dan al-kitab.
Di sini tidak ada musyabbah, tidak ada musyabbah bihi, dan tidak ada pula
tamtsil untuk menjelaskan sikap Nabi Muhammad saw. Dan untuk itu telah kami
jelaskan di dalam mukadimah bahwa bentuk seperti ini bukanlah merupakan amtsâl
al-Quran.
Surat al-Ankabut
Tamtsîl 38
و إن أهون البيوت لبيت العنكبوت لو كانوا مثل الذين اتخذوا من دون هللا أولياء كمثل العنكبوت اتخذوا بيتا
يعلمون* إن هللا يعلم ما يدعون من دونه من شيء وهو العزيز الحكيم* و تلك األمثال نضربها للناس و ما يعقلها
إال العالمون*
Artinya: “Perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung selain
Allah adalah seperti laba-laba yang membuat rumah. Dan sesungguhnya rumah yang
paling lemah adalah rumah laba-laba kalau mereka mengetahui. Sesungguhnya Allah
mengetahui apa saja yang mereka seru selain Allah dan Dia Maha perkasa lagi Maha
bijaksana. Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buatkan untuk manusia; dan
tiada yang memahaminya kecuali orang yang berilmu” [al-Ankabut: 41-43].
Tafsir Ayat
Di satu tempat, Allah SWT membuat perumpamaan untuk tuhan-tuhan kaum
musyrikin dengan lalat, di tempat lain dengan rumah laba-laba. Untuk perumpamaan
yang pertama telah dibahas sebelumnya. Sedangkan yang kedua ialah mengenai
penyerupaan tuhan-tuhan kaum musyrikin dan sesembahan-sesembahan buatan
mereka dengan rumah yang paling lemah, yakni rumah laba-laba.
Dalam penjelasan yang lalu dikatakan bahwa penyerupaan (tasybih) memberi
kesan mendalam pada jiwa manusia, seperti pengaruh dalil dan argumentasi. Seperti
tentang ghibah, yang disebutkan: “Janganlah mengumpat! Sesungguhnya mengumpat
itu mendatangkan azab dan meninggalkan siksaan”. Atau mengumpamakan perbuatan
ghibah dengan: “bahwa perumpamaan orang yang mengumpat itu seperti orang yang
memakan daging mayit, karena kamu telah mencaci orang ini dalam keadaan tidak
hadir, dan tidak mengetahui dan mendengar apa-apa yang kamu katakan sampai ia
membalas(mu). Celaanmu kepadanya seperti perbuatan orang yang makan daging
mayit yang tidak mengetahui apa yang diperbuatnya (si pemakan) dan tidak dapat
menghindar.”
Selain itu, tujuan dari penyerupaan tuhan-tuhan bikinan dengan singa dan
serangga-serangga tanah seperti nyamuk, lalat dan laba-laba, adalah untuk
merendahkan kedudukannya dan menghinakannya.
Sesungguhnya, laba-laba adalah sejenis serangga yang dikenal. Dalam Biologi
dikatakan, bentuk fisik laba-laba jantan lebih kecil dari yang betina. Laba-laba
termasuk hewan pemakan serangga yang terperangkap di sarang atau jala yang
dibuatnya membentang pada dinding-dinding rumah atau pohon-pohon. Sarangnya
terbuat dari bahan yang disaring dari bagian di dalam perutnya, mengandung cairan
lengket yang dikeluarkan dari lubang kecil tubuhnya. Bahan itu berubah sifat setelah
terkena udara dan berubah menjadi semacam benang dalam bentuk pintalan dengan
ketelitian tinggi. Mangsa akan terjerat di sarang itu sampai laba-laba dapat
menyerangnya dan meletupkan racun yang menghentikan gerakan-gerakan mangsa,
sehingga mangsa tidak dapat menghindar darinya.
Meskipun demikian, kenyataan lain menunjukkan bahwa rumah rajutan laba-
laba itu adalah rumah yang paling lemah, bahkan tidak layak untuk sebutan rumah,
yang terdiri dari tembok besar, atap tinggi, pintu dan jendela. Rumah laba-laba bukan
hanya tidak mempunyai kelengkapan seperti itu, bahkan rumah laba-laba akan lenyap
hanya dengan sedikit terpaan angin dalam siklus fenomena alami. Sebuah hembusan
angin ringan yang menerpanya sudah dapat mengoyak rajutan atau sarang laba-laba
itu. Bisa juga, dengan setetes air yang jatuh tepat kepadanya jala-jala itu akan koyak.
Jala-jala atau sarang itu juga mudah terbakar bila dekat api, dan mudah tercabik bila
terkena terbaran debu.
Inilah keadaan yang dijadikan penyerupa (yakni sarang laba-laba). Dan al-
Quran memperumpamakan keadaan tuhan-tuhan buatan orang-orang kafir itu dengan
perumpamaan yang memukau ini; bahwa tuhan-tuhan itu tidak bermanfaat, tidak
menciptakan, tidak memberi rezki, dan tidak mampu mengabulkan permintaan apa
pun.
Bahkan keadaan tuhan-tuhan palsu dan dusta itu lebih buruk dari rumah-
rumah laba-laba. Laba-laba merajut rumahnya untuk dapat memangsa serangga dan
tanpa melakukan itu ia akan mati kelaparan. Sedangkan patung-patung berhala tidak
memberikan sesuatupun pada orang kafir. Dengan demikian, dapatlah dipahami
kebesaran tamtsil ini dalam firman-Nya: “Dan sesungguhnya rumah yang paling
lemah adalah rumah laba-laba...”.
Selanjutnya, yakni ayat “kalau mereka mengetahui”, bukanlah sebagai syarat
terhadap ayat; “Dan sesungguhnya rumah yang paling lemah adalah rumah laba-
laba...”. Sebab, sudah jelas sekali tentang rumah laba-laba sebagai puncak kelemahan
(sebagai rumah). Kalimat ayat ini merupakan penyempurna bagi kalimat;
“ittakhadzuu” (“mereka telah menjadikan”). Yakni, kalau mereka mengetahui bahwa
menyembah tuhan-tuhan itu seperti laba-laba yang menjadikan (membuat) sebuah
rumah yang lemah, maka dengan begitu barangkali mereka dapat berpaling dari
(menyembah)nya.
Kemudian Allah SWT mengikutkan perumpamaan dengan ayat berikutnya:
“Sesungguhnya Allah mngetahui apa saja yang mereka seru selain Allah dan Dia
Maha perkasa lagi Maha bijaksana”. Yang tampak dalam kalimat ini, bahwa huruf
“mâ” dalam ayat “mâ tad’uuna” adalah maushuulah (bermakna “yang”), yakni bahwa
Allah SWT mengetahui apa yang disembah orang-orang kafir dan apa yang mereka
jadikan pelindung-pelindung selain-Nya. Tetapi pengetahuan mereka itu (atau
seandainya pun mereka tahu keadaan ini) tidak berpengaruh karena Dia Maha perkasa
yang tidak terkalahkan, dan Dia Maha Bijaksana dalam segala perbuatan-Nya.
Kemudian ayat di atas diakhiri dengan kalimat: “Dan perumpamaan-
perumpamaan ini Kami buatkan untuk manusia; dan tiada yang memahaminya
kecuali orang yang berilmu”. Yakni, disebutkan al-amtsal tersebut, dan tidak
dipahami melainkan oleh orang-orang yang berilmu.
Surat ar-Rum
Tamtsîl 39
الخلق ثم يعيده و هو أهون عليه و له المثل و له من في السموات و األرض كل له قانتون* و هو الذي يبدؤ
األعلى في السموات و األرض و هو العزيز الحكيم* ضرب لكم مثال من أنفسكم هل لكم من ما ملكت أيمانكم من
شركاء في ما رزقناكم فأنتم فيه سواء تخافونهم كخيفتكم أنفسكم كذلك نفصل اآليات لقوم يعقلون*
Artinya: “Dan kepunyaan-Nya lah siapa saja yang ada di langit dan di bumi.
Semuanya hanya tunduk kepada-Nya. Dan Dia adalah yang menciptakan (manusia)
dari permulaan, kemudian mengembalikan (menghidupkan)nya kembali, dan
menghidupkan kembali itu adalah lebih mudah bagi-Nya. Dan bagi-Nya lah sifat
Yang Maha Tinggi di langit dan di bumi; dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana. Dia membuat perumpamaan untuk kamu dari dirimu sendiri. Apakah ada
di antara hamba-sahaya yang dimiliki oleh tangan kananmu, sekutu bagimu dalam
(memiliki) rezki yang telah Kami berikan kepadamu; maka kamu sama dengan
mereka dalam (hak mempergunakan) rezki itu, kamu takut kepada mereka
sebagaimana kamu takut kepada dirimu sendiri. Demikianlah kami jelaskan ayat-ayat
bagi kaum yang berakal” [ar-Rum: 26-28].
Tafsir Ayat
Kata al-qânit berarti yang tunduk, yang taat. Dalam Kalimat “kullun lahu
qânituun”; kata “qânituun” bermakna tunduk dan taat kepada-Nya dalam hidup, mati
dan kebangkitan. Artinya, semua yang ada di alam ciptaan tunduk kepada Allah SWT.
Sesungguhnya ayat di atas memuat sebuah dalil atas adanya hari kebangkitan
(al-ma’âd) dan sebuah tamtsil atas kebatilan syirik dalam ibadah. Adapun muatan
dalil dalam kalimat: “Dan kepunyaan-Nya lah siapa saja yang ada di langit dan di
bumi. Semuanya hanya tunduk kepada-Nya”; huruf “lâm” dalam kata “lahu” adalah
untuk kepemilikan (milkiyah), yakni kepemilikan secara penciptaan atau alami
(takwini), sebagaimana ketundukan mereka pun secara takwini. Makna ayatnya adalah
bahwa tali kendali di alam ciptaan ini berada di tangan Allah, dan semuanya pasrah
kepada kehendak-Nya, baik orang-orang saleh maupun orang-orang thâlih (yang keji).
Demikian itu karena Allah SWT adalah Pencipta yang mengurus alam ini sesuai
kehendak-Nya. Dan hamba yang dipelihara (al-marbuub) berpasrah diri kepada
Tuhan yang memeliharanya (ar-Rabb).
Setelah itu Allah menyinggung masalah hari kebangkitan (al-ma’âd), dengan
berfirman: “Dan Dia lah yang menciptakan (manusia) dari permulaan, kemudian
mengembalikan (menghidupkan)nya kembali, dan menghidupkan kembali itu adalah
lebih mudah bagi-Nya”.
Hasil argumentasinya, bahwa Allah maha kuasa menciptakan dari ketiadaan –
sebagaimana yang dinyatakan dalam ayat– dan Dia maha kuasa untuk
mengembalikannya (setelah manusia dimatikan oleh-Nya). Hal demikian bukan
berarti pengembalian dari ketiadaan, tetapi pengembalian bagi bentuk bagian-bagian
yang saling berkaitan dan menyusun kembali yang terpisah. Artinya, mencipta sesuatu
dari yang sebelumnya tiada lebih unggul daripada mencipta dari sesuatu yang pernah
ada sebelumnya.
Sifat keunggulan ini menurut pandangan dan pemikiran kita, atau perkara-
perkara yang bersifat mungkin bagi kehendak-Nya tidak memiliki perbedaan. Imam
Ali bin Abil Thalib as berkata: “Dan tiada yang besar dan yang halus, yang berat dan
yang ringan, yang kuat dan yang lemah dalam ciptaan-Nya melainkan sama saja
(bagi-Nya)” (Nahjul Balaghah, khutbah 185).
Untuk menjelaskan makna ini, Allah SWT berfirman: “Dan bagi-Nya lah sifat
Yang Maha Tinggi di langit dan di bumi; dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana”. Kata al-matsal –dalam ayat ini– bermakna sifat, dan yang dimaksud al-
matsal al-a’lâ adalah sifat yang paling tinggi dan paling sempurna. Dialah Allah SWT
yang adalah ilmu seluruhnya, qudrah seluruhnya dan hidup seluruhnya. Tiada batas
bagi sifat-sifat-Nya.
Demikianlah yang diargumentasikan al-Quran (yakni perkara pertama)
mengenai adanya kebangkitan (al-ma’âd). Selanjutnya tentang perkara kedua, yaitu
pencelaan terhadap syirik dalam ibadah, melalui tamtsil berikut.
Allah SWT memberikan perumpamaan dalam bentuk pertanyaan yang bersifat
pengingkaran (istifhâm inkâri), dan kesimpulannya, seperti ini: Apakah kalian rela
pada diri kalian sendiri bahwa budak-budak kalian itu menjadi serikat bagi kalian
(turut campur) dalam harta yang telah diberikan kepada kalian? Atau dalam arti kalian
takut menggunakan harta milik kalian itu tanpa seizin budak-budak itu dan kalian
ridha kepada mereka, sebagaimana kalian takut kepada para serikat yang merdeka.
Jawabnya, tentu saja tidak! Tidaklah mungkin menjadi demikian selamanya.
Sebab, tidak mungkin yang termiliki atau budak menjadi serikat bagi tuannya di
dalam harta (milik tuannya). Maka, kalau demikian faktanya: (lalu) bagaimana kalian
membolehkan hal itu terhadap Allah, dan menjadikan sebagian dari hamba-hamba-
Nya seperti malaikat dan jin menjadi sekutu bagi-Nya, baik dalam mencipta,
memelihara, dan dalam ibadah.
Alhasil, dalam perumpamaan ini hamba yang dimiliki secara peletakan tidak
benar memiliki hak tuannya dan berserikat dengannya dalam harta. Demikian pula
dengan hamba yang dimiliki secara penciptaan, tidak mungkin memiliki derajat
Pencipta dan Pemelihara, sehingga ia bisa bersekutu dengan-Nya dalam perbuatan.
Seolah ia menjadi Pencipta (Khâliq) dan Pemelihara (Mudabbir), atau memiliki sifat
tertentu seolah ia menjadi yang disembah.
Jadi, sesuatu yang tidak kalian ridhai untuk diri kalian sendiri, bagaimana
mungkin kalian meridhainya untuk Allah SWT, sementara Dia adalah Tuhan semesta
alam. Matsal atau perumpamaan demikian ini diisyaratkan dalam ayat: “Dia membuat
perumpamaan untuk kamu dari dirimu sendiri”; yakni Allah SWT membuat bagi
kalian perumpamaan yang diambil diri kalian, dan diangkat dari keadaan-keadaan
kalian, seperti: “Apakah ada di antara hamba-sahaya yang dimiliki oleh tangan
kananmu, sekutu bagimu dalam (memiliki) rezki yang telah Kami berikan kepadamu”.
Kalimat “hal lakum” (apakah bagi kalian) merupakan permulaan pada perumpamaan
yang dibuat, dan pertanyaan itu adalah untuk pengingkaran. Huruf “mâ” dalam ayat
“mimmâ malakat” adalah mengisyaratkan pada suatu golongan (an-nau’), yakni salah
satu golongan yang dimiliki oleh tangan kanan kalian berupa budak sahaya.
Kalimat dalam ayat: “sekutu bagimu dalam (memiliki) rezki yang telah Kami
berikan kepadamu; maka kamu sama dengan mereka dalam (hak mempergunakan)
rezki itu” adalah penjelas bagi persekutuan yang dimaksud. Kata “syurakâ`” pada ayat
ialah sebagai mubtada`, dan kata setelahnya, “zharaf”, sebagai khabar-nya. Yakni
sekutu di dalam apa yang telah Kami berikan, dalam arti bahwa kalian adalah sama.
Atas itu orang yang ada di dalam syurakâ` adalah sebagai tambahan.
Sedangkan kalimat: “kamu takut kepada mereka sebagaimana kamu takut
kepada dirimu sendiri” adalah keterangan (bayân) bagi persekutuan, yakni budak
sahaya menjadi seperti para sekutu yang merdeka. Sebagaimana seorang sekutu takut
kepada para sekutu (lain)nya yang merdeka, demikian pula ia takut kepada hambanya
yang diketahui bahwa ia adalah sekutu seperti semua sekutu lainnya.
Kemudian ayat tersebut diakhiri dengan kalimat: “Demikianlah kami jelaskan
ayat-ayat ini bagi kaum yang berakal”. Atas penjelasan demikian maka al-musyabbah
adalah memposisikan makhluk pada derajat khalik. Sedangkan al-musyabbah bihi
adalah menempatkan yang termiliki sebagai sekutu bagi si pemilik.
Surat Fathir
Tamtsîl 40
و تستخرجون حلية و ما يستوي البحران هذا عذب فرات سائغ و هذا ملح أجاج و من كل تأكل لحما طريا
تلبسونها و ترى الفلك فيه مواخر لتبتغوا من فضله و لعلكم تشكرون*
Artinya: “Dan tiada sama (antara) dua laut; yang ini tawar, segar, sedap diminum
dan yang lain asin lagi pahit. Dari masing-masing laut itu kamu dapat memakan
daging yang segar dan dapat mengeluarkan perhiasan yang dapat kamu memakainya,
dan pada masing-masingnya kamu lihat kapal-kapal berlayar membelah laut agar
kamu dapat mencari karunia-Nya dan supaya kamu bersyukur” [Fathir: 12]
Tafsir Ayat
Kata al-furât berarti air tawar, yang digunakan untuk kata tunggal dan jamak.
Dalam kalimat: “wa asqainâkum mâ`an furâtan” (“dan Kami beri minum kamu
dengan air yang tawar”), kata “tawar” menjadi syarat yang bersifat menjelaskan (qaid
taudhihi).
Kata al-ujâj berarti sangat asin dan amat panas, sebagaimana perkataan orang-
orang, ajiiju n-nâr yang berarti kerasnya panas api. Sedangkan kata mawâkhir, dari
kata makhr, terdapat dalam kalimat “makharati s-safiinatu makhran (kapal itu
berjalan membelah air, kapal itu membelah air dengan halauan di hadapannya.
Ayat di atas membuat perumpamaan tentang hak (atau akibat) kekufuran dan
keimanan, atau tentang keadaan orang kafir dan orang mukmin. Mereka tidak sama
dalam hal kebaikan dan manfaat, seperti dijelaskan dalam ayat: “Dan tiada sama
(antara) dua laut; yang ini tawar, segar, dan sedap diminum, dan yang lain asin lagi
pahit”. Orang kafir berada dalam keadaan paling buruk ketimbang air laut yang amat
asin, dan laut asin ini berbagi dengan laut yang tawar dalam dua hal: Pertama, keluar
dari keduanya daging segar yang dimakan manusia, sebagaimana ayat: “Dari masing-
masing laut itu kamu dapat memakan daging yang segar”. Dan kedua, keluar dari
keduanya suatu karunia (permata) yang muncul dari laut dengan cara menyelam, yang
dengan itu manusia memakainya atau menjadikannya perhiasan. Sampai di sini
selesailah tamtsil ayat.
Kemudian Allah SWT menjelaskan nikmat-nikmat-Nya: “...dan pada masing-
masingnya kamu lihat kapal-kapal berlayar membelah laut supaya kamu kamu dapat
mencari karunia-Nya dan supaya kamu bersyukur”. Sedangkan untuk dalil bahwa
bagian ayat ini bukan termasuk dari matsal adalah berubahnya isi perkataan. Matsal
ini dimulai dalam bentuk lampau; “wa mâ yastawi l-bahrân” (“dan tiada sama
(antara) dua laut”). Namun kalimat berikutnya dalam bentuk lawan bicara
(mukhâthab), “wa tarâ l-fulka” (“kamu lihat kapal-kapal”). Dan inilah dalil bahwa
bagian ini bukan termasuk bagian dari matsal atau perumpamaan.
Bersandar pada kandungan maksud ayat di atas terdapat penjelasan yang
berhubungan, seperti dalam surat an-Nahl: “Dan Dialah, Allah yang menundukkan
lautan (untukmu), agar kamu dapat memakan daripadanya daging yang segar (ikan),
dan kamu mengeluarkan dari lautan itu perhiasan yang kamu pakai; dan kamu
melihat bahtera berlayar padanya, dan supaya kamu mencari (keuntungan) dari
karunia-Nya, dan supaya kamu bersyukur” [an-Nahl: 14].
Dengan keterangan demikian tampak bahwa muatan ayat tersebut seperti
muatan pada ayat; “Kemudian setelah itu hatimu menjadi keras seperti batu, bahkan
lebih keras lagi. Padahal di antara batu-batu itu sungguh ada yang mengalir sungai-
sungai dari padanya dan di antaranya sungguh ada yang terbelah lalu keluarlah
mata air dari padanya dan di antaranya sungguh ada yang meluncur jatuh, karena
takut kepada Allah. Dan sekali-kali Dia tidak lengah dari apa yang kamu kerjakan”
[al-Baqarah: 74]
Sebagaimana batu itu lebih lunak dari hati mereka, maka begitu pula dengan
garam yang amat asin masih lebih afdhal dari orang kafir, mengingat garam itu
bermanfaat.
Tamtsîl 41
“Wa mâ yastawi l-a’mâ wa l-bashir. Wa lâ zh-zhulumât wa lâ n-nur. Wa lâ zh-zhillu
wa lâ l-harur. Wa mâ yastawi l-ahyâ`u wa lâ l-amwâtu inna l-llâha yusmi’u man
yasyâ`u wa mâ anta bi musmi’in man fi l-qubur”
Artinya: “Dan tidaklah sama orang yang buta dengan orang yang melihat.
Dan tidak (pula) sama gelap gulita dengan cahaya. Dan tidak (pula) sama yang teduh
dengan yang panas. Dan tidak (pula) sama orang-orang yang hidup dan orang-orang
yang mati. Sesungguhnya Allah memberikan pendengaran kepada siapa yang
dikehendaki-Nya dan kamu sekali-kali tiada sanggup menjadikan orang yang di
dalam kubur dapat mendengar”. [Fathir: 19-22]
Tafsir Ayat
Kata al-harur yang berarti kerasnya panas matahari, mempunyai makna lain
yaitu samum atau angin panas, sebagaimana yang dikatakan ar-Raghib.
Inilah tamtsil bagi orang kafir dan orang mukmin. Orang kafir menyerupakan sifat-
sifatnya seperti berikut ini: 1- Al-a’mâ (yang buta). 2- Azh-zhulumât (gelap gulita). 3-
Al-harur (yang sangat panas). 4- Al-amwât (orang-orang yang mati).
Sedangkan orang mukmin menyerupakan kebalikan dari sifat-sifat tersebut,
yaitu: 1- Al-bashir (yang melihat). 2- An-nur (cahaya). 3- Azh-zhill (yang teduh). 4-Al-
ahyâ (orang-orang yang hidup).
Karena orang kafir tidak memiliki keimanan kepada Allah, sifat-Nya dan
perbuatan-Nya maka ia buta, penglihatannya diliputi kegelap-gulitaan dan tidak dapat
melihat sesuatupun di balik dunia, dan dikelilingi api (neraka). Keadaan seperti ini
juga dijelaskan dalam ayat lain, seperti: “Dan sesungguhnya Jahannam itu benar-
benar meliputi orang-orang kafir” [at-Taubah: 49]. Yang tampak pada ayat, bahwa
api meliputi mereka di dunia ini meskipun mereka tidak merasakannya, sebagaimana
orang mati tidak mendengar seruan para nabi. Berbeda dengan orang mukmin; yang
melihat sesuatu dengan cahaya Allah, dan jalannya diliputi cahaya yang bersinar.
Orang mukmin melihat pada keabadian hidup setelah kematian. Ia berada di bawah
naungan rahmat-Nya yang teduh dan selalu mendengarkan seruan para nabi dan
mengimaninya.
Pendek kata, bahwa orang-orang kafir menjadi petarung dan penentang
(kebenaran), sedangkan orang-orang mukmin adalah mereka yang berkesadaran dan
merenungkan ayat-ayat Tuhan.
Surat Yasin
Tamtsîl 42
“Wa dhrib lahum matsalan ashhâbu l-qaryati idz jâ`a hâ l-mursalun* idz arsalnâ
ilahimu tsnaini fa kadzdzabu humâ fa’azzaznâ bi tsâlitsin fa qâlu innâ ilaikum
mursalun* qâlu mâ antum illâ basyarun mitslunâ wa mâ anzalnâ r-rahmânu min
syai`in in antum illâ takdzibun* qâlu rabbunâ ya’lamu innâ ilaikum lamur salun* wa
mâ ‘alainâ illâ l-balâghu l-mubin* qâlu innâ tathayyarnâ bikum lain lam tantahu
lanarjumannakum wa layamassannkum minnâ ‘adzâbun alim* qâlu thâirukum
ma’akum ain dzukkirtum bal antum qaumun musrifun* wa jâ`a min aqshâ l-madinati
rajulun yas’â qâla yâ qaumi ttabi’u l-mursalin* ittabi’u man lâ yas`alukum ajran wa
hum muhtadun* wa mâ liya lâ a’budu l-ladzi fatharani wa ilaihi turja’un* a attakhidzu
min dunihi âlihatan in yuridni r-rahmânu bi dhurrin lâ tughni ‘anni syafâ’atuhum
syai`an wa lâyunqidzun* inni idzan lafi dhalâlin mubin* inni âmantu bi rabbikum fa
sma’un* qila dkhuli l-jannata qâla yâ laitani qaumi ya’lamun* bi mâ ghafara li rabbi
wa ja’alani mina lmukramin* wa mâ anzalnâ ‘alâ qaumihi min ba’dihi min jundin
mina s-samâ`I wa mâ kunnâ munzalin* in kânat illâ shaihatan wâhidatan fa idzâ hum
khâmidun* yâ hasratan ‘alâ l-‘ibâdi mâ ya`tihim min rasulin illâ kânu bihi
yastahzi`un*”
Artinya: “Dan buatlah bagi mereka suatu perumpamaan, yaitu penduduk
suatu negeri ketika utusan-utusan datang kepada mereka; (yaitu) ketika Kami
mengutus kepada mereka dua orang utusan, lalu mereka mendustakan keduanya;
kemudian Kami kuatkan dengan (utusan) yang ketiga, maka ketiga utusan itu berkata:
‘Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang diutus kepadamu’. Mereka menjawab:
‘Kamu tidak lain hanyalah manusia seperti kami dan Allah Yang Maha Pemurah
tidak menurunkan sesuatupun, kamu tidak lain hanyalah pendusta belaka’. Mereka
berkata: ‘Tuhan kami mengetahui bahwa sesungguhnya kami adalah orang yang
diutus kepada kamu. dan kewajiban kami tidak lain hanyalah menyampaikan
(perintah Allah) dengan jelas. Mereka menjawab: ‘Sesungguhnya kami bernasib
malang karena kamu, sesungguhnya jika kamu tidak berhenti (menyeru kami),
niscaya kami akan merajam kamu dan kamu pasti akan mendapat siksa yang pedih
dari kami’. Utusan-utusan itu berkata: ‘kemalangan kamu adalah karena kamu
sendiri. Apakah jika kamu diberi peringatan (kamu bernasib malang)? Sebenarnya
kamu adalah kaum yang melampaui batas’. Dan datanglah dari ujung kota, seorang
laki-laki dengan bergegas-gegas ia berkata: ‘Hai kaumku, ikutilah utusan-utusan itu,
ikutilah orang yang tiada minta balasan kepadamu; dan mereka adalah orang-orang
yang mendapat petunjuk. Mengapa aku tidak menyembah (Tuhan) yang telah
menciptakanku dan yang hanya kepada-Nya kamu (semua) akan dikembalikan?
Mengapa aku menyembah tuhan-tuhan selain-Nya jika (Allah) Yang Maha Pemurah
menghendaki kemudaratan terhadapku, niscaya syafaat mereka tidak memberi
manfaat sedikitpun bagi diriku dan mereka tidak (pula) dapat menyelamatkanku?
Sesungguhnya aku kalau begitu pasti berada dalam kesesatan yang nyata.
Sesungguhnya aku telah beriman kepada Tuhanmu; ‘maka dengarkanlah (pengakuan
keimanan)ku. Dikatakan (kepadanya): ‘Masuklah ke surga’, Ia berkata: ‘Alangkah
baiknya sekiranya kaumku mengetahui, apa yang menyebabkan Tuhanku memberi
ampun kepadaku dan menjadikan aku termasuk orang-orang yang dimuliakan’. Dan
Kami tidak menurunkan kepada kaumnya sesudah dia (meninggal) suatu pasukanpun
dari langit dan tidak layak Kami menurunkannya. Tidak ada siksaan atas mereka
melainkan satu teriakan saja; maka tiba-tiba mereka semuanya mati. Alangkah
besarnya penyesalan terhadap hamba-hamba itu, tiada datang seorang rasulpun
kepada mereka melainkan mereka selalu memperolok-olokkannya” [Yasin: 13-30]
Tafsir Ayat
Kata at-ta’ziz berarti kemenangan disertai pemuliaan, sebagaimana Allah
SWT mengabarkan tentang sifat Nabi Muhammad saw; “Maka orang-orang yang
beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya....” [al-A’raf: 157].
Kata thayyara berarti fulan meramalkan tidak baik. Makna asalnya adalah
optimis akan datangnya keburukan. Kemudian –kata ini– digunakan pada setiap
ungkapan meramalkan hal yang tidak baik. Jadi, kalimat ayat: “innâ tathayyarnâ
bikum”, bermakna “tasyâamnâ”, yakni kami meramalkan datangnya keburukan
(terjemahan ayatnya: “Sesungguhnya kami bernasib malang karena kamu”).
Dengan demikian, makna ayat tersebut berbunyi: “innamâ thâ`irukum
ma’akum” atau “kemalangan kamu adalah karena kamu sendiri”, yaitu sesungguhnya
yang harus kalian malangkan adalah nasib kalian. Maksudnya adalah keadaan kalian
yang berpaling dari kebenaran (Tauhid), dan pilihan kalian menetap atas kebatilan.
Kata ar-rajm berarti melempar dengan batu. Dan kata ash-shaihah artinya
mengangkat suara (teriakan).
Perumpamaan ini bersifat pemberitaan (tamtsil ikhbâri). Ia memberitakan
keadaan kaum tempat para rasul diutus Allah untuk menyeru mereka. Lalu mereka
mendustakan para rasul-Nya sambil mendebat dengan dalil-dalil yang amat lemah.
Kemudian seorang laki-laki datang kepada mereka dari ujung kota, yang
menyeru kepada mereka agar mengikuti para rasul itu dengan hujjah bahwa risalah
utusan Allah adalah risalah yang haq. Tetapi kaum itu menyia-nyiakannya dan bahkan
membunuhnya. Pada saat itu suara keras (teriakan) melingkupi para pendusta dan
sekejap kemudian membinasakan mereka seketika.
Begitulah kisah garis besarnya. Adapun cerita detailnya adalah sebagai
berikut:
Para mufasir menyebutkan bahwa al-Masih (Nabi Isa as) mengutus dari al-
Hawariyun dua orang utusan bernama Syam’un dan Yohanna ke wilayah Anthakiyah.
Mereka berdua menyeru penduduk Anthakiyah pada keesaan Tuhan dan mencela
keberhalaan, sementara kaum dan raja mereka hanyut dalam keberhalaan. Mereka
berdua memanggil penduduk dan menjelaskan kedudukannya sebagai utusan. Namun
mereka berdua didustakan dan dipukuli oleh sebagian penduduk. Lalu Allah
menguatkan kedua utusan itu dengan utusan ketiga. Para mufasir berselisih mengenai
nama utusan yang ketiga, dan bagi kami tidak (terlalu) penting menentukan siapa
namanya. Beberapa mufasir mengatakan utusan yang ketiga itu bernama Bulis. Ketika
itu, kaum Anthakiyah mengambil sikap menantang, menentang, dan congkak, sambil
berhujjah dengan dalil-dalil yang lemah. Dalil yang mereka lontarkan antara lain:
a.) Bahwa kalian (hai para rasul) adalah manusia biasa seperti kami dan tiada
keistimewaan kalian atas kami. Dan risalah Tuhan yang kalian serukan itu adalah
dakwahan dusta. Para rasul menjawab dan berusaha meyakinkan penduduk, bahwa
Allah SWT mengetahui keberadaan mereka yang diutus kepada seluruh penduduk.
Dan rasul hanyalah menyampaikan sebagaimana haknya sebagai rasul Tuhan.
b.) Bahwa kami bernasib malang karena kalian. Berhujjah seperti ini adalah
hujjah orang lemah yang tidak mampu berdalil dengan sesuatupun, sehingga
bersandar pada tuduhan kepada para rasul dengan ramalan nasib buruk yang akan
dialaminya.
c.) Bahwa ancaman rajam bagi para utusan itu jika mereka tetap terus
menyampaikan risalah dan mengajak penduduk pada tauhid dan melarang
menyembah berhala.
Para rasul itu menjawab dengan dua jawaban: Pertama; “bernasib malang
adalah karena kalian sendiri. Yakni, sebagai akibat dari amal perbuatan dan sikap
kalian menjauh dari kebenaran, dan memilih menetap dengan kebatilan yang
menjerumuskan kalian pada celaka dan petaka. Kedua, sesungguhnya kalian adalah
kaum yang melampaui batas.
Para rasul berhujjah menggunakan dalil yang terang dan membantah alasan-
alasan lemah para penentang dengan jawaban-jawaban di atas. Di tengah keadaan
seperti itu datanglah seorang laki-laki dari ujung kota yang akan menolong dan
menguatkan perkataan dua utusan dan dakwah mereka dengan berhujjah bahwa
mereka adalah utusan yang benar. Hal demikian karena beberapa perkara sebagai
berikut (seperti diucapkan utusan ketiga):
Pertama, dakwah mereka bukanlah untuk mencari harta, kedudukan dan
jabatan. Ini adalah bukti keikhlasan mereka dalam berdakwah, dan mereka sungguh
telah menanggung beban perjalanan yang jauh dan tidak meminta sesuatu sedikitpun.
Kedua, sesungguhnya yang patut disembah adalah yang mencipta dan memelihara
alam (ciptaan-Nya). Di tangan-Nya ditentukan nasib makhluk di dunia dan akhirat,
Dia-lah Allah SWT yang memberiku manfaat. Maka bagaimana mungkin aku
tinggalkan menyembah Sang Khalik yang di tangan-Nya segala sesuatu, dan berpaling
pada menyembah makhluk (tuhan palsu) yang tidak mampu melindungiku dari
marabahaya dan syafa’atnya tidak memberiku manfaat? Seandainya aku berpegang
pada tuhan selain-Nya niscaya aku dalam kesesatan yang nyata.
Ketika telah sempurna hujjah terhadap kaum penentang dan mengokohkan
para rasul sebelumnya serta menjelaskan burhân keharusan mereka untuk taat, maka
ia memberitahu kepada seluruh penduduk; “Sesungguhnya aku telah beriman kepada
Tuhanmu, maka dengarkanlah (pengakuan keimanan)ku”.
Dari hubungan pasangan kata dan kalimat dalam ayat tampak bahwa kaum
pembangkang itu menyerang dan membunuh utusan tersebut. Allah SWT membalas
amalnya dan memasukkannya ke surga. Ia berbahagia dan senang andai kata kaumnya
mengetahui nasib baiknya di sisi Allah SWT.
Ketika telah jelas penentangan penduduk yang diseru, yang membunuh orang
yang menyampaikan hujjah kuat kepada mereka, maka turunlah azab Allah. Para
penentang itu dikalahkan oleh satu teriakan yang mematikan dan mereka menjadi
seperti benda mati.
Ketika manusia memilih kesesatan di atas petunjuk, dan mengambil kebatilan
di atas kebenaran, maka tepatlah firman Allah SWT: “Alangkah besarnya penyesalan
terhadap hamba-hamba itu, tiada datang seorang rasulpun kepada mereka melainkan
mereka selalu memperolok-olokkannya”. Inilah hakikat kisah itu, yang terungkapkan
setelah pendalaman ayat-ayat di atas. Sebagian mufasir berlebihan dalam mengutip
kisah-kisah dengan mengambil cerita dari kepercayaan Ahlulkitab yang telah
menyebarkan cerita-cerita yang tidak ada sumbernya di tengah kaum muslimin,
sehingga apa yang dibawa ahlulkitab itu tidak dapat dijadikan sandaran.
Dari Ayat-ayat di atas terdapat beberapa poin yang layak untuk ditelaah:
Pertama, sebagian mufasir menyebutkan bahwa dua utusan bukanlah dua
utusan dari Allah secara langsung. Akan tetapi mereka berdua diutus oleh al-Masih,
seperti juga utusan yang ketiga. Ketika al-Masih mengutus atas perintah Allah, maka
tindakan al-Masih dinisbatkan kepada Allah SWT; “ketika Kami mengutus kepada
mereka dua orang utusan”.
Kedua, kita memahami bahwa kaum bersikap membantah dan menentang.
Mereka mengatakan: “Kamu tidak lain hanyalah manusia seperti kami”, dan dari
kalimat itu kemungkinan muncul beberapa segi: 1) kalian hai para rasul adalah
manusia, sedangkan manusia bukanlah seorang rasul dari Allah. Karenanya tidaklah
diterima risalah-risalah mereka sebab para pembawanya adalah manusia;
2) penolakan dakwah risalah ialah karena tiadanya keistimewaan yang lebih
pada diri para rasul itu –yang mereka lihat– sehingga harus mengutamakan para rasul
itu dari umat. Demikian yang tampak dari kata “mitslunâ” (“seperti kami”). Atau
paling tidak, seandainya para rasul itu dibekali sesuatu yang lain, barangkali tidak
benar juga menjadikan persamaan antarmereka untuk beralasan kepada Tuhan.
3) kisah itu menerangkan bahwa logika kekuatan adalah logika perlawanan.
Ketika kaum itu lemah dalam membalas burhân (para rasul), mereka lantas bersandar
pada logika kekuatan dengan membunuh para penyeru dan penegak kebenaran;
“sesungguhnya jika kamu tidak berhenti (menyeru kami), niscaya kami akan merajam
kamu”.
4) meramalkan nasib buruk adalah senjata (alasan) para penentang dan
penantang. Senjata itu di tangan para pembangkang kebenaran, yang meramalkan
nasib buruk mereka lantaran seorang hamba (penyembah Allah) dan yang lainnya.
5) yang tampak di permulaan ayat bahwa para rasul itu diutus ke suatu wilayah
atau desa. Dan kalimat seperti itu biasanya digunakan pada lingkup masyarakat yang
besar atau kecil, tetapi kalimat: “Dan datanglah dari ujung kota seorang laki-laki...”
menunjukkan bahwa wilayah itu adalah sebuah kota dan masyarakat besar atau kecil.
6) Allah menyifati seseorang yang datang kemudian dan bangkit mendukung
sikap para rasul, sebagai orang yang datang dari ujung kota. Hal ini menekankan
bahwa tidak ada hubungan antara ia dengan para rasul. Karena itu kata yang
terungkap; “aqshâ l-madinah” (ujung kota) kepada si pelaku yang seorang laki-laki,
dalam kalimat “Dan datanglah dari ujung kota seorang laki-laki..”.
7) Ungkapan dalam ayat: “Mengapa aku tidak menyembah (Tuhan) yang telah
menciptakanku...” merupakan bukti bahwa ibadah adalah ketundukan yang lahir dari
keyakinan akan Dzat yang disembah yang mencipta dan memelihara (alam semesta),
sebagai sifat-sifat yang dekat dalam penglihatan hamba. Artinya, dengan keimanan
dan ketauhidanlah ia menyembah Allah SWT; “Mengapa aku tidak menyembah
(Tuhan) yang telah menciptakanku....” Dan dengan itu pula ia membatasi ibadahnya
(hanya) kepada Allah SWT dan menolak menyembah selain-Nya, karena yang selain-
Nya adalah lemah dan tidak memiliki syafaat apapun.
8) Pasangan-pasangan kata –dalam ayat– membuktikan bahwa orang yang
bangkit berdakwah di jalan para rasul itu terbunuh dalam dakwahnya, dan Allah
membalasnya dengan surga. Yang dimaksud surga –dalam ayat itu– adalah
kebahagiaan di alam barzakh, bukan surga abadi di mana manusia tidak akan
memasukinya sebelum tiba hari kiamat.
9) Dalam pesan yang disampaikan oleh orang laki-laki yang terbunuh itu;
“Alangkah baiknya sekiranya kaumku mengetahui, apa yang menyebabkan Tuhanku
memberi ampun kepadaku” terkandung sebuah dalil atas adanya hubungan antara
kehidupan barzakh dan materi (dunia). Ia berharap agar kaumnya mengetahui apa
yang Allah berikan kepadanya berupa kenikmatan setelah kematian. Allah SWT
berfirman: “Dikatakan (kepadanya): “Masuklah ke surga” Ia berkata: “Alangkah
baiknya sekiranya kaumku mengetahui”.
Tamtsîl 43
“A wa lam yara l-insânu annâ khalaqnâhu min nuthfatin fa idzâ huwa khashimun
mubin* wa dharaba lanâ matslan wa nasiya khalqahu wa qâla man yuhyi l-‘izhâma wa
hiya ramim* qul yuhyihâ l-ladzi ansya`ahâ awwala marratin wa huwa bi kulli khalqin
‘alim*”
Artinya: “Dan apakah manusia tidak memperhatikan bahwa Kami
menciptakannya dari air (mani), maka tiba-tiba ia menjadi penantang yang nyata!
Dan dia membuat perumpamaan bagi Kami; dan dia lupa kepada kejadiannya; ia
berkata: “Siapakah yang dapat menghidupkan tulang-belulang, yang telah hancur
luluh”. Katakanlah: “Ia akan dihidupkan oleh Tuhan yang menciptakannya pertama
kali. Dan Dia Maha Mengetahui tentang segala makhluk” [Yasin: 77-79].
Tafsir Ayat
Para mufasir meriwayatkan: Ubay bin Khalaf atau al-‘Ash bin Wail menemui
Rasulullah saw dengan membawa tulang yang remuk dan rusak sambil berkata: “Hai
Muhammad! Apakah kamu punya dalil bahwa Allah akan membangkitkan ini?”.
Rasulullah saw menjawab: “Ya!”. Lalu turunlah ayat di atas: “Dan apakah manusia
tidak memperhatikan..”.
Orang-orang kafir membuat perumpamaan dengan ucapan: ‘Bagaimana Allah
menghidupkan tulang-belulang yang hancur lebur?’ Dan Allah SWT membuat
perumpamaan lain dengan kalimat: ‘bahwa yang menghidupkannya adalah yang
menciptakannya pertama kali. Yang mampu menciptakannya pertama kali akan
mampu mengembalikannya, dan mengembalikan itu lebih mudah dari menciptakan
dan mengawalinya. Ungkapan “lebih mudah” hanyalah dilihat dari kaca mata
manusia. Sedangkan bagi Allah Azza wa Jalla segala sesuatu adalah sama di hadapan-
Nya.
Allah SWT berfirman: “Dan dia membuat perumpamaan bagi Kami”, yakni
orang kafir itu membuat perumpamaan dalam mengingkari pembangkitan tulang
belulang yang hancur lebur. Ia seolah terheran-heran dengan mengatakan, apakah
mungkin Allah menghidupkan kembali tulang belulang yang sudah hancur luluh itu,
dan ia telah lupa pada kejadiannya sendiri: “Siapakah yang dapat menghidupkan
tulang-belulang, yang telah hancur luluh”.
Tapi Allah SWT membalasnya dengan ungkapan yang begitu indah dan kuat:
“Katakanlah: “Ia akan dihidupkan oleh Tuhan yang menciptakannya pertama kali.
Dan Dia Maha Mengetahui tentang segala makhluk” Tuhan mengetahui,
menciptakan, dan membangkitkannya. Perumpamaan ini telah diungkapkan
sebelumnya dengan kalimat yang lain: “Dan Dia lah yang menciptakan (manusia)
dari permulaan, kemudian mengembalikan (menghidupkan)nya kembali, dan
menghidupkan kembali itu adalah lebih mudah bagi-Nya” [ar-Rum: 27].
Surat az-Zumar
Tamtsîl 44
“Wa laqad dharabnâ fi hâdza l-qur`âni min kulli matsalin la’alahum yatadzkkarun*
qur`ânan ‘arabiyya ghaira dzi ‘iwajin la’allahum yattaqun* dharaba l-llâhu matsalan
rajulan fihi syurakâ`u mutasyâkisun wa rajulan salaman li rajulin hal yastawiyâni
matsalan al-hamdu li l-llâhi bal aktsarahum lâ ya’lamun*”
Artinya: “Sesungguhnya telah Kami buatkan bagi manusia dalam al-Quran ini
setiap macam perumpamaan supaya mereka mendapat pelajaran. (Yakni) al-Quran
dalam bahasa Arab yang tidak ada kebengkokan (di dalamnya) supaya mereka
bertakwa. Allah membuat perumpamaan (yaitu) seorang laki-laki (budak) yang
dimiliki oleh beberapa orang yang berserikat yang sedang berselisih dan seorang
budak yang menjadi milik penuh dari seorang laki-laki (saja); Adakah kedua budak
itu sama keadaannya? Segala puji bagi Allah, tetapi kebanyakan mereka tidak
mengetahui”. [Az-Zumar: 27-29]
Tafsir Ayat
Kata asy-syakis berarti yang jelek akhlaknya. Kalimat: syurakâ`u
mutasyâkisun, berarti orang-orang yang berserikat yang berselisih karena buruknya
akhlak mereka. Sedangkan kata salaman artinya (budak itu) murni hanya dimiliki
seorang saja dan ia hanya mengabdi kepada (tuan)nya.
Ayat di atas memisalkan keadaan orang kafir dan orang mukmin. Jadi, ada
yang diserupakan dan ada yang diserupai.
Yang diserupakan adalah seorang budak yang mempunyai beberapa orang
berserikat yang berakhlak buruk dan saling bertengkar. Yang satu memerintahkannya
dan yang lain melarangnya. Setiap dari mereka menginginkan budak itu hanya
berkhidmat padanya. Sebaliknya adalah keberadaan seorang budak bagi seorang laki-
laki. Si budak patuh dan mengabdi hanya padanya, dan si budak tidak menyekutukan
(orang laki-laki itu) dengan orang lain. Maka jelaslah, keadaan dua orang yang
termiliki itu tidak sama.
Sedangkan yang diserupai ialah keadaan orang kafir. Keadaannya seperti
budak yang dimiliki oleh orang-orang yang berserikat yang sedang berselisih. Ia
menyembah tuhan-tuhan dengan bermacam-macam perintah, larangan, dan
pengabdiannya. Adalah mustahil baginya untuk menggabungkan pandangan dan
keinginan yang bermacam-macam itu. Hal ini berbeda dengan kondisi orang mukmin,
yang hanya mengerjakan perintah Sang Khalik saja, Sang Maha Bijaksana, Maha
Kuasa, dan Maha pemurah.
Meskipun perumpamaan ini merupakan perumpamaan yang jelas, sederhana,
dan mudah dipahami oleh semua lapisan manusia, tetapi di dalamnya terdapat rahasia
(makna batin) yang tidak diketahui melainkan hanya oleh mereka yang ber-tadabbur
tentang al-Quran. Allah SWT memberi argumentasi atas Tauhid seperti ini:
“Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah dua-duanya
telah rusak binasa. Maka Maha Suci Allah yang mempunyai ‘Arsy dari pada apa
yang mereka sifatkan.” [al-Anbiya: 22]. Juga dengan ungkapan pertanyaan:
“Manakah yang baik, tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu ataukah Allah Yang
Maha Esa lagi Maha Perkasa?” [Yusuf: 39].
Surat az-Zukhruf
Tamtsîl 45
“wa kam arsalnâ min nabiyyin fi l-awwalin* wa mâ ya`tihim min nabiyyin illâ kânu
bihi yastahzi`un* fa ahlaknâ asyadda minhum bathsyan wa madhâ matsalu l-
awwalin.”
Artinya: “Berapa banyaknya nabi-nabi yang telah Kami utus kepada umat-
umat yang terdahulu. Dan tiada seorang nabipun yang datang kepada kecuali mereka
selalu memperolok-olokkannya. Maka telah Kami binasakan orang-orang yang
memiliki kekuatan lebih besar dari mereka itu (musyikin Mekkah) dan telah terdahulu
(tersebut dalam Al-Quran ) perumpamaan umat-umat masa dahulu”. [Az-Zukhruf: 6-
8]
Tafsir Ayat
Kata al-bathsy ialah sesuatu telah berkuasa, yang dan barangkali bermakna
kekuatan dan pertahanan. Dalam ayat ini disebutkan tentang umat-umat dahulu yang
telah diutus para rasul Allah kepada mereka. Tetapi dengan kejahilan dan kebodohan
mereka yang berlebihan, mereka meningkari dan mencemooh para utusan Allah
tersebut. Maka, akibat perbuatan itu, Allah membinasakan mereka dengan bermacam-
macam azab meskipun mereka mempunyai kekuatan dan keberanian.
Inilah keadaan yang dipersamakan, yaitu umat-umat dahulu. Sedangkan yang
diserupai, ialah kaum musyrikin di masa risalah Muhammad saw diturunkan. Mereka,
kaum kafir dan musyrik Mekah memperolok-olok Nabi Muhammad saw. Maka Allah
SWT mengancam mereka dengan sesuatu yang pernah dialami umat-umat dahulu,
yang hancur binasa meskipun mempunyai kekuatan jauh lebih besar ketimbang yang
(kekuatan) dimiliki orang-orang Quraisy dan para pengikut mereka. Maka hendaklah
mereka mempertimbangkan keadaan mereka.
Allah SWT berfirman: “Berapa banyaknya nabi-nabi yang telah Kami utus
kepada umat-umat yang terdahulu. Dan tiada seorang nabipun datang kepada
mereka selalu memperolok-olokkannya”. Begitulah yang terjadi pada umat-umat
dahulu dalam sejarah, dan Allah, Yang Maha Bijaksana, tidak berpaling dari mereka.
Allah SWT memberikan hukuman kepada mereka; “Maka telah Kami binasakan
orang-orang yang lebih besar kekuatannya dari mereka itu (musyikin Mekkah) dan
telah terdahulu (tersebut dalam Al-Quran) perumpamaan umat-umat masa dahulu”.
Allah mengabarkan keadaan kaum penentang risalah yang sangat mengherankan itu
sehingga layak untuk diperumpamakan dengan umat-umat terdahulu.
Dengan kata lain, orang-orang kafir Mekah telah melangkah dalam pendustaan
dan kekufuran, seperti langkah orang-orang zalim sebelum mereka. Oleh karena itu,
Allah SWT memperingatkan agar mereka waspada terhadap turunnya bencana seperti
telah dialami umat-umat sebelumnya. Perumpamaan serupa disebutkan dalam surat
al-Furqan ayat-39: “Dan Kami jadikan masing-masing mereka tamtsil ibarat”.
Perlu Diperhatikan
Barangkali ayat berikut ini dianggap sebagai matsal al-Quran: “Padahal
apabila salah seorang di antara mereka diberi kabar gembira dengan apa yang
dijadikan misal bagi Allah Yang Maha Pemurah; jadilah mukanya hitam pekat
sedang dia amat sangat (dalam) menahan sedih”. [az-Zukhruf: 17].
Orang-orang musyrik di zaman Jahiliyah menduga bahwa malaikat adalah
para perempuan dan sebagai putri-putri Tuhan, seperti disebutkan dalam ayat
berikutnya (ayat-19); “Dan mereka menjadikan malaikat-malaikat hamba Allah Yang
Maha pemurah itu sebagai orang-orang perempuan”. Atas pernyataan mereka itu
Allah SWT menjelaskan: “Apakah mereka menyaksikan penciptaan malaikat-
malaikat itu? Kelak akan dituliskan persaksian mereka dan mereka akan dimintai
pertanggung-jawaban”.
Begitu pula dengan firman-Nya: “Dan mereka menetapkan bagi Allah anak-
anak perempuan. Maha suci Allah, sedang untuk mereka sendiri (mereka tetapkan)
apa yang mereka sukai (yaitu anak-anak laki-laki)” [an-Nahl: 57]. Ayat-ayat ini
mengungkap pandangan kaum musyrikin yang menganggap malaikat sebagai anak-
anak perempuan Allah Yang Maha Suci.
Di samping itu, dalam ayat ke-17 Surat az-Zukhruf di atas juga menceritakan
tentang ciri khas kaum musyrikin, bahwa jika mereka dikaruniai anak-anak
perempuan, muka-muka mereka menjadi suram karena diliputi kemarahan dan
menahan kepedihan. Allah SWT berfirman: “Padahal apabila salah seorang di
antara mereka diberi kabar gembira dengan apa yang mereka jadikan misal pada
Allah Yang Maha pemurah.......”, karena mereka menyatakan bahwa Allah memiliki
malaikat sebagai anak-anak perempuan-Nya. “.......jadilah mukanya hitam pekat
sedang dia amat menahan sedih”.
Ayat ini termasuk perumpamaan bersifat pemberitahuan (matsal ikhbâri) dan
bukan bersifat pengarangan (matsal insyâ`i). Sesungguhnya ayat ini bermakna sifat,
yakni mereka telah menyifati Allah bahwa Dia mempunyai anak-anak perempuan.
Dan mereka adalah para pembohong dalam sifat tersebut. Oleh sebab itu, maka tidak
benar bila ayat ini termasuk dalam ayat-ayat perumpamaan (matsal).
Tamtsîl 46
“Fa stakhaffa qaumahu fa athâ’ahu innahum kânu qauman fâsiqin* fa lamma âsafunâ
ntaqamnâ minhum fa aghraqnâhum ajma’in* fa ja’alnâhum salafan wa matsalan li
lâkhirin*
Artinya: “Maka Fir’aun mempengaruhi kaumnya (dengan perkataan itu) lalu
mereka patuh kepadanya. Karena sesungguhnya mereka adalah kaum yang fasik.
Maka tatkala mereka membuat Kami murka, Kami menghukum mereka, lalu Kami
tenggelamkan mereka semuanya (di laut), dan Kami jadikan mereka sebagai
pelajaran dan contoh bagi orang-orang yang kemudian”. [az-Zukhruf: 54-56].
Tafsir Ayat
Kata âsafunâ diambil dari kata asafa - asafan (amat sedih), suasana ketika
kemarahan bertambah.
Ar-Raghib mengatakan: al-âsif ialah sedih sekaligus marah. Juga dikatakan
kata ini maknanya sedih saja atau marah saja. Pada ayat ini al-âsif bermakna marah.
Sedangkan as-salaf artinya yang dahulu.
Dengan demikian Allah SWT memberitahukan tentang murka-Nya terhadap
Fir’aun dan pengikutnya; “fa lammâ âsafunâ”, artinya “Maka tatkala mereka
membuat Kami murka”. Murka itu terjadi disebabkan oleh perbuatan mereka yang
berlebihan dalam kemaksiatan (melampaui batas), sehingga mereka dibalas dengan
azab; sebagaimana firman Allah SWT: intaqamnâ minhum (Kami menghukum
mereka). Kemudian Dia menjelaskan bentuk murka-Nya; “fa aghraqnâhum ajma’in”
(“Kami tenggelamkan mereka semuanya (di laut)”). Maka tiada seorangpun dari
mereka yang selamat; “fa ja’alnâhum salafan wa matsalan li lâkhirin” (“dan Kami
jadikan mereka sebagai pelajaran dan contoh bagi orang-orang yang kemudian”);
yakni Kami jadikan mereka sebuah ‘ibrah dan peringatan bagi orang yang datang
kemudian supaya dapat mengambil pelajaran dari kaum terdahulu.
Jadi yang dipersamakan adalah kaum Fir’aun dan kebinasaan mereka,
sedangkan yang diserupai adalah orang-orang musyrik dan kafir Mekah. Maka,
hendaklah mereka menjadikan keadaan kaum dahulu sebagai contoh (gambaran)
lampau bagi nasib mereka.
Tamtsîl 47
“Wa lammaa dhuriba bnu maryam matsalan idzaa qaumuka minhu yashudduun* wa
qaalu aalihatunaa khairun am huwa maa dahrabuuhu laka illaa jadalan bal hum
qaumun khashimuun* in huwa illaa ‘abdun an’amnaa ‘alaihi wa ja’alnaahu matsalan
libanii israa`iil* wa lau nasyaa`u laja’alnaa minkum malaa`ikatan fii l-ardhi
yakhlufuun* wa innahu la’ilmun li ssaa’ati fa laa tamtarunna bihaa wa ttabi’uuni
haadzaa shiraathun mustaqiim*
Artinya: “Dan tatkala putra Maryam (Isa) dijadikan perumpamaan tiba-tiba
kaummu (Quraiys) bersorak karenanya. Dan mereka berkata: “Manakah yang lebih
baik tuhan-tuhan kami atau dia (Isa)? Mereka tidak memberikan perumpamaan itu
kepadamu melainkan dengan maksud membantah saja, sebenarnya mereka adalah
kaum yang suka bertengkar. Isa tidak lain hanyalah seorang hamba yang Kami
berikan kepadanya (nikmat (kenabian) dan Kami jadikan dia sebagai tanda bukti
(kekuasaan Allah) untuk Bani Israil. Dan kalau Kami kehendaki benar-benar Kami
jadikan sebagai gantimu di muka bumi malaikat-malaikat yang turun temurun. Dan
sesungguhnya Isa itu benar-benar memberikan pengetahuan tentang hari kiamat.
Karena itu janganlah kamu ragu-ragu tentang kiamat itu dan ikutilah Aku, inilah
jalan yang lurus”. [az-Zukhruf: 57-61]
Tafsir Ayat
Kata ash-shad bermakna berpaling dari sesuatu, dan kalimat “yashudduuna
‘anka shuduudan” berarti “menghalangi dengan sekuat-kuatnya darimu”. Tetapi yang
dimaksud dalam ayat di atas adalah “teriakan seorang pembantah ketika merasakan
kemenangan”. Dan kata tamtarunna dari kata miryah (atau muryah), yakni ragu-ragu
akan suatu perkara.
Para mufasir menyebutkan sebab turun ayat di atas, bahwa Rasulullah saw
ketika melantunkan ayat 98-100 surat al-Anbiya yang artinya: “Sesungguhnya kamu
dan apa yang kamu sembah selain Allah, adalah umpan Jahannam, kamu pasti masuk
ke dalamnya. Andai kata berhala-berhala itu tuhan, tentulah mereka tidak masuk
neraka. Dan semuanya akan kekal di dalamnya. Mereka merintih di dalam api dan di
dalamnya tidak bisa mendengar”, kaum Quraisy menjadi marah besar.
Abdullah bin az-Zibi’ra, seorang pemuka Quraisy berkata: “Hai Muhammad,
apakah itu khusus bagi kami dan tuhan-tuhan kami, atau bagi semua umat?”
Rasulullah saw menjawab: “Itu adalah bagi kalian dan tuhan-tuhan kalian serta untuk
semua umat”.
Ibn az-Zibi’ra berkata lagi: “Demi Tuhan Ka’bah, aku memusuhi engkau!
Bukankah engkau menyatakan bahwa Isa putra maryam adalah seorang nabi dan
engkau memuji Isa dan ibunya. Sementara engkau tahu bahwa kaum Nashrani tetap
menyembah mereka berdua, menyembah ‘Uzair, dan juga menyembah malaikat-
malaikat, meskipun mereka berada di neraka. Kami sungguh rela, diri kami dan tuhan-
tuhan kami tinggal bersama mereka (kaum Nashrani). Lalu mereka gembira dan
tertawa.” (al-Kasysyâf: 3/100, lihat juga, Sirah Ibn Hisyam: 1/385).
Pada kegembiraan dan teriakan mereka, Allah SWT mengisyaratkan dengan
firman-Nya: “idzaa qaumuka minhu yashudduun” (“tiba-tiba kaummu (Quraiys)
bersorak karenanya”). Ketika mereka menyatakan bahwa mereka mendapati perisai
untuk menolak Nabi Muhammad saw dan membatilkan dakwah beliau, maka turunlah
ayat di atas sebagai jawaban atas bantahan mereka yang lemah itu. Allah SWT
berfirman: “Dan tatkala putra Maryam (Isa) dijadikan perumpamaan”, yakni ketika
kaum musyrikin menyodorkan putra Maryam (Isa as) sebagai sebuah perumpamaan
dan kesamaan bagi tuhan-tuhan mereka; “tiba-tiba kaummu (Quraiys) bersorak
karenanya”. Artinya, tamtsil menunjukkan bahwa kaum pengingkar merasa gembira
sekali dan tertawa ketika mereka berusaha membuat Nabi Muhammad saw diam atas
bantahan mereka. Mereka mendebat Nabi saw dengan mengatakan: “Manakah yang
lebih baik tuhan-tuhan kami atau dia (Isa)?”. Maksud pertanyaan mereka bahwa
tuhan-tuhan kami menurutmu tidak lebih baik dari Isa, dan apabila Isa merupakan
umpan neraka maka tuhan-tuhan kami adalah hina dan lemah.
Karena itu lalu diketahui, bahwa kaum musyrikin adalah orang-orang yang
membuat perumpamaan di mana mereka menjadikan al-Masih sebagai perumpamaan
dan penyerupaan dengan tuhan-tuhan mereka. Dan mereka rela bila tuhan-tuhan
mereka (harus) berada di neraka. Apabila al-Masih juga demikian keadaannya maka
bertambahlah kegembiraan kaum musyrikin. Mereka menyangka telah berlindung
pada sandaran kuat di hadapan logika Nabi saw.
Allah SWT mengisyaratkan dalam ayat-ayat sebelumnya pada kisah di atas
secara global, dan menjawab argumentasi Ibn az-Zibi’ra;
Pertama, sebenarnya mereka hanya ingin mendebat dan membantah dengan
tamtsil ini dan tidak bertujuan mencari kebenaran. Itu dikarenakan watak mereka yang
suka menantang dan menentang. Allah SWT berfirman: “Mereka tidak memberikan
perumpamaan itu kepadamu melainkan dengan maksud membantah saja”.
Kedua, mereka berpegang pada perumpamaan ini untuk membantah, padahal
mereka mengetahui kebatilan argumen mereka; karena tidak semua yang disembah
adalah umpan Jahannam. Akan tetapi yang disembah seperti Fir’aun yang mengajak
orang-orang untuk menyembahnya, bukan seperti al-Masih yang adalah seorang
hamba Allah yang menentang kesyirikan. Jadi argumentasi mereka bersandar pada
membantah dan mengingkari kebenaran. Inilah yang dimaksud dalam ayat; “Mereka
tidak memberikan perumpamaan itu kepadamu melainkan dengan maksud
membantah saja”.
Karena itu, Allah memulai penjelasannya tentang sikap al-Masih, ibadah dan
ketakwaannya kepada Allah, dan bahwa ia adalah salah satu ayat Allah SWT: “Isa
tidak lain hanyalah seorang hamba yang Kami berikan kepadanya (nikmat (kenabian)
dan Kami jadikan dia sebuah matsal untuk Bani Israil”; yakni sebagai ayat (tanda
bukti kekuasaan) Allah untuk Bani Israil. Maka kelahirannya adalah mukjizat,
perkataannya di masa bayi adalah mukjizat kedua dan ia mampu menghidupkan orang
mati sebagai mukjizat ketiga. Ia sama sekali tidak pernah menyeru siapa pun agar
menyembah dirinya.
Kemudian, untuk mengangkat kekaburan bahwa Allah butuh pada ibadah
manusia, Dia berfirman: “Dan kalau Kami kehendaki benar-benar Kami jadikan
sebagai gantimu di muka bumi malaikat-malaikat yang turun temurun”; yang mereka
itu taat dan selalu menyembah Allah. Jadi tidaklah Allah menekankan ibadah dan
ketauhidan manusia itu kecuali untuk kebahagiaan mereka, dan bukanlah manusia
beribadah (kepada-Nya) untuk memenuhi kebutuhan Allah. Jika manusia tidak
beribadah kepada-Nya, maka dengan kekuasaan-Nya yang luas Dia kuasa
menciptakan malaikat-malaikat yang tunduk pada perintah-Nya (apabila Dia
menghendakinya).
Kemudian Allah mengisyaratkan pada kekhususan al-Masih, yaitu bahwa
turunnya Isa al-Masih as dari langit pada akhir zaman sebagai sebuah ayat (tanda)
dekatnya as-sâ’ah (hari kiamat).
Sampai di sini selesailah penafsiran atas ayat. Sedangkan perumpamaannya
telah dijelaskan sebelumnya tatkala mereka menyamakan tuhan-tuhan mereka dengan
al-Masih, dan mereka rela jika tuhan-tuhan itu bersama al-Masih berada di satu
tempat walaupun tempat itu adalah neraka. Yang cocok sebagai perumpamaan ialah
pada ayat; “Dan tatkala putra Maryam (Isa) dijadikan perumpamaan”, dan Anda
mengetahui bahwa yang membuat perumpamaan dalam ayat adalah Ibn az-Zibi’ra.
Adapun firman Allah; “dan Kami jadikan dia sebuah matsal untuk Bani Israil”, kata
matsal pada ayat ini bermakna ayat (tanda kekuasaan Allah).
Perlu Diperhatikan
Barangkali ayat berikut ini terhitung sebagai matsal qur`âni; “Dan orang-
orang yang beriman (kepada Allah) dan mengerjakan amal-amal yang saleh serta
beriman (pula) kepada apa yang di turunkan kepada Muhammad dan itulah yang hak
dari Tuhan mereka, Allah menghapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan
memperbaiki keadaan mereka. Yang demikian adalah karena sesungguhnya orang-
orang kafir mengikuti yang batil dan orang-orang yang beriman mengikuti yang hak
dari Tuhan mereka. Demikian Allah membuat untuk manusia perbandingan-
perbandingan bagi mereka.” [Muhammad: 2-3]. Yang tampak bahwa matsal pada
ayat ini bermakna sifat, bukan bermakna tamtsil yang diistilahkan (yakni
menyerupakan sesuatu dengan sesuatu). Ini diketahui melalui penafsiran ayat.
Tafsir Ayat
Kata baal berarti haal atau (keadaan) yang diperhatikan. Karena itu dalam
ungkapan disebutkan: mâ balaitu bi kadzâ bâlatan, artinya tidak aku perhatikan
(keadaan) itu. Kalimat dalam ayat: “kaffara ‘anhum sayyi`âtihim wa ashlaha
bâlahum” yang artinya “Allah menghapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan
memperbaiki keadaan mereka”, dan ayat lain: “fa mâ bâlu l-qutuunn l-uulâ” yang
berarti: “Maka bagaimanakah keadaan umat-umat yang dahulu..?” [Thaha: 51];
adalah keterangan tentang keadaan dan kabar mereka. Dan kata al-bâl diibaratkan
sebagai keadaan yang terpusat pada manusia, maka dikatakan; khathara kadza bi bâli
yang artinya terlintas demikian ini dalam benakku. (Mufradât ar-Raghib; 67, materi
“Bâl”).
Ayat ke 2-3 dalam Surat Muhammad ini, dengan melihat pada ayat
sebelumnya, menjelaskan tentang keadaan orang-orang kafir Quraisy dan orang-orang
musyrik Mekah yang menyulutkan sumbu peperangan; “Orang-orang kafir dan
menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah..”; yakni mereka merintangi setiap
anggota masyarakat dari mendapatkan petunjuk dan hidayah Islam. Karena itu, Allah
merusak amal-amal mereka. Maksudnya, menjadikan amal-amal mereka sia-sia,
bagaikan debu berterbangan. Maka ketidak-bergunaan amal-amal sedekah dan
pemberian mereka itu mengisyaratkan bahwa malapetaka (yang dialami) kaum
Quraisy yang telah mengorbankan onta pada hari Badr itu bukan terjadi sekali saja,
tapi sudah mereka rasakan sebelumnya.
Kebalikan dengan keadaan mereka adalah kaum mukmin, sebagimana firman
Allah SWT: “Dan orang-orang yang beriman (kepada Allah) dan mengerjakan amal-
amal saleh serta beriman (pula) kepada apa yang di turunkan kepada Muhammad
dan itulah yang hak dari Tuhan mereka.....”.
Di satu sisi, Allah SWT melenyapkan amal-amal kaum kafir dan menjadikan
sedekah-sedekah mereka sia-sia. Tapi di sisi lain, Dia menjadikan amal-amal saleh
orang-orang mukmin sebagai penghapus keburukan-keburukan mereka dan
menjadikan amal itu perbaikan bagi keadaan mereka.
Jadi, perbedaan yang jauh antara keadaan orang kafir dan yang berpaling dari
jalan Allah, yang amalnya disia-siakan, dengan orang mukmin billâh dan mengimani
apa yang telah diturunkan kepada Muhammad saw, yang keburukannya dihapus dan
diperbaiki amal-amalnya.
Dengan kontradiksi tersebut, maka dapat dimaklumi kedudukan orang kafir
dan orang mukmin, sebagaimana juga dimaklumi akibat-akibat dari amal perbuatan
mereka. Argumentasinya adalah bahwa orang-orang kafir telah mengikuti jejak
kebatilan, sehingga lenyaplah amal perbuatan mereka. Sedangkan orang-orang
mukmin mengikuti kebenaran, sehingga amal perbuatan mereka membawa manfaat.
Allah SWT menegaskan: “Yang demikian adalah karena sesungguhnya orang-orang
kafir mengikuti yang batil dan sesungguhnya orang-orang yang beriman mengikuti
yang hak dari tuhan mereka”.
Dan pada akhir ayat kedua di atas Allah berfirman: “Demikian Allah membuat
untuk manusia perbandingan-perbandingan bagi mereka...”, yakni demikianlah Allah
menjelaskan keadaan orang mukmin dan orang kafir serta akibat-akibat dari amal
perbuatan dua golongan ini.
Atas dasar itulah, ayat di atas tidak dapat dimasukkan dalam kelompok tamtsil
al-Quran. Tetapi ayat itu bermakna sifat, yakni: demikian itu Allah menyifati
(menerangkan) kepada umat manusia perihal keadaan orang kafir dan orang mukmin
berikut akibat dari (kekufuran atau keimanan) mereka. Jadi, tidak ada penyerupaan
dalam ayat dimaksud. Tapi, tiga ayat ini terkonotasi untuk menjelaskan hakikat. Ayat
pertama, mengisyaratkan pada orang kafir dan akibat dari amal perbuatannya. Ayat
kedua, mengisyaratkan pada orang mukmin dan dampak dari amal perbuatannya. Dan
ayat ketiga, bahwa orang kafir menyerap air yang keruh ketika mengikuti kebatilan,
sedang orang mukmin meminum air tawar (yang jernih dan segar), maka ia mengikuti
kebenaran.
Surat Muhammad
Tamtsîl 48
“Matsalu l-jannati llatii wu’ida l-muttaquun fiihaa anhaarun min mâ`in ghairi aasinin
wa anhaarun min labanin lam yataghayyar tah’muhu min khamrin ladzdzatin li sy-
syaaribin wa anhaarun min ‘asalin mushfan wa lahum fiihaa min kulli ts-tsamaraati
wa maghfiratun min rabbihim kaman huwa khaalidun fi n-naari wa suquu maa`an
hamiiman fa qaththa’a am’aa`ahum.”
Artinya: “perumpamaan surga yang dijanjikan kepada orang-orang yang
bertakwa yang di dalamnya ada sungai-sungai dari air yang tiada berubah rasa dan
baunya, sungai-sungai dari air susu yang tiada berubah rasanya, sungai-sungai dari
khamar yang lezat rasanya bagi para peminumnya dan sungai-sungai dari madu yang
disaring; dan mereka memperoleh di dalamnya segala macam buah-buahan dan
ampunan dari Tuhan mereka, sama dengan orang yang kekal dalam neraka, dan
diberi minuman dengan air yang mendidih sehingga memotong-motong ususnya”.
[Muhammad: 15]
Tafsir Ayat
Kata âsin dalam ungkapan asina l-mâ`a berarti air telah berubah (rasa, bau dan
warnanya), dan pada kalimat mâ`u ghairu âsin artinya air yang tidak bau.
Kata al-hamiim ialah air yang sangat panas.
“Matsalu l-jannah” menunjukkan sifat dan keadaan surga, yang dalam ilmu
nahwu berperan sebagai mubtadâ`. Sementara mahdzuf (terhapus) sebagai khabar-
nya, yang artinya: “surga yang di dalamnya (mengalir) sungai-sungai”. Jika kami
ingin menjadikan ayat ini termasuk dalam ayat-ayat tamtsil, maka ia harusl
menggambarkan tentang yang diserupakan (musyabbah), yakni surga yang dijanjikan;
dan yang diserupai (musyabbah bihi), yakni surga dunia dengan ciri-ciri khususnya.
Sementara yang tampak ialah bahwa ayat ini terbentuk untuk menjelaskan
keadaan surga, sifat-sifat dan tanda-tandanya, yang dapat dipilah sebagai berikut:
1- Di dalamnya ada empat sungai, yaitu:
1) “ada sungai-sungai dari air yang tiada berubah rasa dan baunya” dan warnanya,
karena kekekalannya yang panjang.
2) “sungai-sungai dari air susu yang tiada berubah rasanya”; yakni tidak akan rusak
dengan berlalunya zaman.
3) “sungai-sungai dari khamar yang terasa lezat bagi para peminumnya”, (kata
khamar yang lezat bagi para peminumnya ialah untuk membedakan dari khamar
dunia. Dalam ayat lain Allah SWT menyebut khamar surga sebagai berikut;
“Diedarkan kepada mereka gelas yang berisi khamar dari sungai yang mengalir.
(Warnanya) putih bersih, sedap rasanya bagi orang-orang yang minum. Tidak ada
dalam khamar itu alkohol dan mereka tiada mabuk karenanya” [ash-Shaffat: 45-47].
Jadi kalimat: “lezat terasa bagi para peminumnya”; bermakna di dalamnya tiada
khamar dunia yang berasa pahit dan tidak disukai. Dan kalimat: “tiada dalam khamar
itu alkohol”, yakni minuman itu tidak merampas kesadaran dan menghilangkan akal;
dan “mereka tiada mabuk karenanya”. Oleh karena itu, khamar akhirat jauh berbeda
dengan khamar dunia.
4) “Sungai-sungai dari madu yang disaring”, yang steril dan asli.
Empat sungai tersebut mempunyai manfaat dan tujuan masing-masing, yaitu;
Pertama, air untuk diminum sepuasnya. Kedua, untuk dikonsumsi. Ketiga, untuk
membangkitkan semangat dan ruh. Dan keempat, untuk mewujudkan kekuatan.
2- Di dalamnya terdapat buah-buahan, sebagaimana dikabarkan melalui
firman-Nya: “mereka memperoleh di dalamnya segala macam buah-buahan”, yang
mudah diambil oleh tangan-tangan para penghuninya, yang belum pernah tergambar
oleh mata, belum terdengar telinga dan belum terlintas dalam benak manusia
sebelumnya.
3- Di dalamnya terdapat kenikmatan-kenikmatan spiritual; sebagaimana
ditegaskan dalam al-Quran: “ampunan dari Tuhan mereka”.
Setelah penjelasan tentang sifat surga dan keadaan orang-orang yang bertakwa
di dalamnya, pada bagian akhir ayat di atas dijelaskan tentang keadaan penghuni
neraka (al-Jahim); “....sama dengan orang yang kekal dalam neraka...”. Inilah sifat
ahli neraka. Mereka meminum air yang amat panas, dan meminumnya bukan atas
kemauan diri mereka sendiri melainkan dituangkan kepada mereka; “diberi minuman
dengan air yang mendidih sehingga memotong-motong ususnya”.
Jadi, sekiranya kami mengatakan bahwa ayat ini menunjukkan penyerupaan
surga akhirat dengan surga dunia yang di dalamnya demikian dan demikian, itu
termasuk tamtsil. Tapi jika bukan, maka ayat di atas dibentuk untuk menjelaskan sifat
surga akhirat; bahwa di dalamnya terdapat sungai-sungai, buah-buahan dan ampunan.
Dan yang tampak sebenarnya adalah keterangan yang kedua, yakni tentang sifat
surga, bukan tamtsil. Sedangkan keterangan pertama tidak terhitung amtsal
qur`âniyah. Demikianlah, karena kami mengutipnya mengikuti (ayat-ayat tamtsil)
lainnya.
Surat al-Fath
Tamtsîl 49
“Huwa l-ladzii arsala rasuulahu bi l-hudaa wa diini l-haqqi li yuzhhirahu ‘alaa d-diini
kullihi wa kafaa bi l-laahi syahiidan* muhammadun rasuulu llaahi wa l-ladziina
ma’ahu asyiddaa`u ‘ala l-kuffaari ruhamaa`u bainahum taraahum rukka’an sujjadan
yabtaghuuna fadhlan mina llaahi wa ridhwaanan siimaahum fi wujuhihim min atsari
s-sujuud dzaalika matsaluhum fi t-tauraati wa matsaluhum fi l-injiili ka zar’in ahkraja
syath`ahu fa aazarahu fa staghlazha fa stawaa ‘alaa suuqihi yu’jibu z-zurraa’a li
yaghiizha bihimu l-kuffaara wa’ada llaahu l-ladziina aamanuu wa ‘amiluu sh-
shaalihaati minhum maghfiratan wa ajran ‘azhiima*”
Artinya: “Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan
agama yang haq agar dimenangkan-Nya terhadap semua agama. Dan cukuplah Allah
sebagai saksi. Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama
dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka:
kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-
tanda mereka tampak pada muka mereka bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka
dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang
mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman kuat lalu menjadi
besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati
penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir
(dengan kekuatan orang-orang mukmin): Allah menjanjikan kepada orang-orang
yang beriman dan mengerjakan amal saleh di antara mereka ampunan dan pahala
yang besar” [al-Fath: 28-29].
Tafsir Ayat
Kata siimaa` berarti tanda. Kalimat dalam ayat “siimaahum fi wujuhihim”
(“tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka”), bermakna tanda keimanan
mereka terlihat pada wajah mereka.
Istilah syath`u z-zar’ bermakna tunas tanaman, yakni yang keluar darinya
sesuatu dan bercabang di dua sisinya. Kata isythâ` adalah bentuk jamak kata syath`,
yang diibaratkan dengan bunga-bunga.
Kata azr berarti kekuatan yang besar. Istilah âzarahu bermakna membantu dan
menguatkannya. Kata ghilzhah (tebal, kasar) adalah lawan dari kata riqqah (tipis,
halus). Kata suuq disebut sebagai bentuk jamak dari sâq ( tonggak).
Dalam dua ayat ini, al-Quran berbicara tentang Nabi Muhammad saw dan para
sahabat beliau:
Ayat di atas menerangkan bahwa: “Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan
membawa petunjuk dan agama yang haq agar dimenangkan-Nya terhadap semua
agama”, kata ganti (dhamir) dari kata “li yuzhhirahu” kembali kepada agama yang
haq, bukan kepada Rasulullah saw. Sebab maksud kata ini adalah keunggulah
(dhuhur) suatu agama atas agama yang lain, bukan keunggulan seseorang atas agama.
Dhuhur yang dimaksud adalah kemenangan dalam pembuktian (argumentasi) dan
penyebaran. Dan Allah SWT memberikan karunia dengan mewujudkan hal itu dan
kelak wilayah penyebaran Islam akan meluas, sehingga Islam tetap kokoh di segala
penjuru. Khususnya ketika bangkitnya Imam Mahdi (as) yang dinanti-nanti.
Allah SWT berfirman: “Muhammad adalah utusan Allah”, yakni Rasulullah
saw yang akan memenangkan agama Islam atas semua agama. Pada ayat (kedua) ini
Allah menyebut nama-Nya secara jelas (rasulullâh), sedangkan pada ayat pertama
tidak (secara jelas) atau ijmâl; arsala rasuulahu.
Demikian penjelasan sifat-sifat Nabi Muhammad saw ada tanda-tandanya.
Adapun sifat-sifat para sahabat, telah disebutkan tentang mereka di dalam Taurat dan
Injil.
Taurat menyebutkan sifat-sifat mereka sebagai berikut:
1- “Dan orang-orang yang bersama dia adalah keras terhadap orang-orang kafir”;
orang-orang kafir yang tidak mengerti kecuali logika pemaksaan dengan kekuatan.
Karena itu para sahabat menjadi keras terhadap mereka.
2- “Tetapi berkasih sayang sesama mereka”; Rasulullah saw bersabda:
“Perumpamaan orang-orang mukmin dalam mencintai dan mengasihi satu sama lain
laksana satu badan, jika mengeluh satu anggota darinya maka seluruhnya saling
mengundang tidak tidur dan sakit” (Musnad Ahmad bin Hambal: 4; 268, 270, dan
274).
3- “Kamu lihat mereka ruku’ dan sujud”, sifat ini meleburkan keadaan lahir mereka
dan bahwa mereka sangat tekun dalam beribadah. Karena itu ayat menyebutkan:
“kamu lihat mereka ruku’ dan sujud”, yakni, kamu melihat mereka dalam beribadah,
yang merupakan tanda sikap pasrah dan patuh kepada perintah Allah SWT.
Di samping itu, mereka tidak menginginkan upah dalam ibadah, tetapi
mengharap karunia Allah, yaitu; “mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya”.
Mungkin saja, pasangan kata (qaid) pada bagian akhir kalimat mengisyaratkan bahwa
tujuan bagi amal perbuatan mereka adalah mencari ridha Allah.
Tanda-tanda mereka yang lain adalah, terdapat bekas sujud di dahi-dahi
mereka, yaitu; “tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka bekas sujud”. Jadi
mereka dikenali sebagai orang yang banyak ibadah dari wajah-wajah mereka, karena
mereka banyak ruku’ dan sujud kepada Allah SWT. Inilah sifat-sifat mereka yang
disebutkan di dalam Injil.
Sesungguhnya para sahabat Nabi Muhammad saw senantiasa bertambah
konsisten dalam potensi dan kekuatan, yang dengan itu mampu menjengkelkan orang-
orang kafir. Mereka bagaikan tanaman yang kuat, besar dan tegak di atas akar dan
batangnya, yang menyenangkan hati para penanamnya dengan perkembangan yang
baik. Mereka senantiasa aktif dan tekun, di satu sisi mereka menyembah Allah dengan
mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya tanpa riyâ` dan sum’ah (pencarian reputasi). Dan
di sisi lain mereka berjihad di jalan Allah dengan berharap tersebarnya Islam, dengan
meninggikan panji Tauhid di segenap penjuru dunia.
Sikap mereka menjengkelkan orang-orang kafir dan menyenangkan orang-
orang mukmin; “sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang
mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman kuat lalu menjadi
besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati
penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir”.
Jadi, masyarakat Islami ialah yang dengan keimanan, amal, jihad, dan gerak yang
sungguh-sungguh menuju kesempurnaan itu melahirkan kekaguman kawan dan
kejengkelan lawan.
Tak hanya itu, Allah SWT pun menjanjikan ampunan dan pahala besar bagi
sekelompok khusus dari sahabat Rasulullah saw, mengingat orang-orang munafik
juga menyelinap di tengah barisan para sahabat secara umum. Maka, tidak benar jika
dikatakan bahwa Allah SWT menjanjikan ampunan bagi setiap atau semua sahabat
Nabi saw sementara hatinya kosong dari keimanan; (di mana sahabat di sini
didefinisikan sebagai orang yang telah melihat dan hidup bersama Nabi saw).
Oleh sebab itu, Allah SWT berfirman: “Allah menjanjikan kepada orang-
orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan
dan pahala yang besar...” Kata “minhum” pada ayat ini menerangkan tentang
ampunan yang tidak meliputi semua sahabat, tetapi dikhususkan pada kelompok
tertentu yang memang sungguh-sungguh dalam keimanan dan amal salehnya.
Apabila dikatakan bahwa kata “min” –pada ayat di atas– merupakan kata
bersifat penjelasan (bayâniyah) dan bukan menunjukkan sebagian (tabi’dhiyah),
maka argumennya tidak sempurna. Sebab, yang termasuk kata bayâniyah tidak masuk
ke dalam kata ganti (dhamir). Argumen ini didukung oleh kabar yang jelas dalam al-
Quran: “wa min ahli l-madiinati maraduu ‘alaa n-nifaaq laa ta’lamuhum nahnu
na’lamuhum” (“dan di antara penduduk Madinah, mereka keterlaluan dalam
kemunafikan. Kamu (Muhammad) tidak mengetahui mereka, (tetapi) Kami-lah yang
mengetahui mereka”. [at-Taubat: 101].
Yang mudah dipahami ialah bahwa tidak mungkin ampunan dan pahala yang
besar dapat dikatakan meliputi seluruh sahabat Nabi (saw) tanpa kecuali, sementara
pada diri mereka terdapat bermacam-macam karakter, sifat dan amalan. Mereka itu
antara lain; pertama, ada orang munafik yang diketahui, sebagaimana firman Allah
SWT: “Apabila orang-orang munafik datang kepadamu..” [al-Munafiqun: 1].
Kedua, orang munafik lain yang tidak beliau ketahui; “dan di antara penduduk
Madinah, mereka keterlaluan dalam kemunafikan. Kamu (Muhammad) tidak
mengetahui mereka, (tetapi) Kami lah yang mengetahui mereka” [at-Taubah: 101].
Ketiga, Allah menyifati mereka sebagai orang yang hatinya berpenyakit; “Dan
ingatlah ketika orang-orang yang munafik dalam hatinya berkata: “Allah dan rasul-
Nya tidak menjanjikan kepada kami melainkan tipu daya” [al-Ahzab: 12].
Keempat, istilah sammâ’uun berarti orang-orang yang suka mendengarkan
suara apa saja setiap kali berbunyi. Dan mereka itu seperti bulu dalam hembusan
angin, yang kadangkala condong pada muslimin dan kadang-kadang condong pada
orang-orang kafir. Allah SWT menyifati mereka seperti ini: “Jika mereka berangkat
bersama-sama kamu, niscaya mereka tidak menambah kamu selain dari kerusakan
belaka, dan tentu mereka akan bergegas-gegas maju ke muka di celah-celah
barisanmu, untuk mengadakan kekacauan di antaramu; sedang di antara kamu ada
orang-orang yang amat suka mendengarkan perkataan mereka. Dan Allah
mengetahui orang-orang yang zalim” [at-Taubah: 47].
Kelima, mencampurkan amal saleh dengan keburukan, yakni: “Dan (ada pula)
orang-orang lain yang mengakui dosa-dosa mereka, mencampur-baurkan pekerjaan
yang baik dengan pekerjaan lain yang buruk” [at-Taubah: 102].
Keenam, mereka dalam kemurtadan, seperti dalam ayat: “sedang segolongan
lagi telah dicemaskan oleh diri mereka sendiri; mereka menyangka yang tidak benar
terhadap Allah seperti sangkaan Jahiliyah. Mereka berkata: “Apakah ada bagi kita
barang sesuatu (hak campur tangan) dalam urusan ini?. Katakanlah: ‘Sesungguhnya
urusan itu seluruhnya di tangan Allah’. Mereka menyembunyikan dalam hati mereka
apa-apa yang tidak mereka terangkan kepadamu.” [Al Imran: 154].
Ketujuh, al-Quran menyebut tentang orang fasik, yaitu: “hai orang-orang yang
beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita maka periksalah
dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa
mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu”.
[al-Hujurat: 6]. Dalam konteks asbabun nuzul ayat ini, orang yang dimaksud adalah
al-Walid bin ‘Uqbah, seorang sahabat yang disebut fasik. Selain itu, Allah SWT juga
menegaskan posisi orang fasik di hadapan-Nya; “Sesungguhnya Allah tidak ridha
kepada orang-orang yang fasik” [at-Taubah: 96].
Kedelapan, al-Quran menyebut mereka muslim, bukan mukmin, dan
menegaskan perihal tiadanya iman dalam hati mereka, seperti ini: “Orang-orang
badui itu berkata: ‘Kami telah beriman!’. Katakanlah (kepada mereka): ‘Kamu belum
beriman, tetapi katakanlah ‘kami telah tunduk’, karena iman itu belum masuk ke
dalam hatimu....” [al-Hujurat: 14].
Kesembilan, mereka mengaku Islam hanya untuk memperoleh sedekah
(zakat). Mereka disebut dengan orang yang terbujuk hatinya; “Sesungguhnya zakat-
zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus
zakat, para muallaf yang terbujuk hatinya..” [at-Taubah: 60].
Kesepuluh, mereka yang lari dari pasukan musuh sebagaimana larinya
kambing menjauhi srigala. Allah SWT berfirman: “Hai orang-orang yang beriman,
apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir yang sedang menyerangmu, maka
janganlah kamu membelakangi mereka (mundur). Barangsiapa yang membelakangi
mereka (mundur) di waktu itu, kecuali berbelok untuk (siasat) perang atau hendak
menggabungkan diri dengan pasukan yang lain, maka sesungguhnya orang itu
kembali dengan membawa kemurkaan dari Allah, dan tempatnya ialah neraka
Jahannam. Dan amat buruklah tempat kembalinya” [al-Anfal: 15-16].
Fakta sejarah menyebutkan, tidak sedikit jumlah sahabat yang lari dari medan-
medan peperangan. Tentang perang Uhud, Allah SWT berfirman: “Ketika kamu lari
dan tidak menoleh kepada seorangpun, sedang rasul yang berada di antara kawan-
kawanmu yang lain memanggil kamu” [Al-Imran: 153]. Kata “farrâr” (“yang lari dari
perang”) tidak hanya terjadi pada perang Uhud, tapi juga disebutkan terjadi di perang
Hunain, seperti diungkapkan al-Quran: “Sesungguhnya Allah telah menolong kamu
(hai orang-orang mukmin) di medan peperangan yang banyak, dan (ingatlah)
peperangan Hunain, yaitu di waktu kamu menjadi congkak karena banyaknya
jumlahmu, maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat kepadamu
sedikitpun, dan bumi yang luas itu telah terasa sempit olehmu, kemudian kamu lari ke
belakang dengan cerai-berai” [at-Taubah: 25].
Begitulah sekelumit gambaran tentang macam-macam sifat para sahabat Nabi
saw yang dijelaskan al-Quran. Jika demikian, mungkinkah Allah SWT, Yang Maha
Bijaksana, menjanjikan ampunan bagi seluruh sahabat yang bermacam-macam sifat
itu tanpa terkecuali? Belum lagi penjelasan ayat-ayat al-Quran yang lain tentang amal
perbuatan mereka.
Tentu saja, di antara mereka tidak sedikit orang-orang yang ikhlas. Allah SWT
menunjukkan dengan tegas tentang kedudukan mereka di dalam al-Quran dengan
keterangan yang tak dapat dipungkiri. Kesimpulannya, bahwa Allah SWT
menjanjikan ampunan bagi kelompok tertentu dari mereka, tapi bukan untuk seluruh
mereka. Sebagaimana sifat adil mereka pun demikian, yakni, tidak semua sahabat itu
adil.
Surat al-Hadid
Tamtsîl 50
“I’lamuu annamaa l-hayaatu d-dunyaa la’bun wa lahwun wa ziinatun wa tafaakhurun
bainakum wa takaatsurun fi l-amwaali wa l-aulaadi kamatsali ghaitsin a’jaba l-
kuffaara nabaatuhu tsumma yahiiju fa taraahu mushfarran tsumma yakuunu
huthaaman wa fi l-aakhirati ‘adzaabun syadiidun wa maghfiratun mina llaahi wa
ridhwaanun wa maa l-hayaatu d-dunyaa illaa mataa’u l-ghuruur
Artinya: “Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah
permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu
serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang
tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering
dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti)
ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya, dan kehidupan
dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu” (al-Hadid 20)
Tafsir Ayat
Kata al-kuffâr; jamak dari al-kâfir, berarti menutupi. Makna yang dimaksud
dalam konteks ayat ini ialah az-zâri’ (yang menanam). Seorang disebut al-kâfir billâh
(yang tidak beriman kepada Allah) ialah karena ia menutupi kebenaran. Penggunaan
kata az-zâri’ bermakna ia menutupi cintanya di bawah tanah. Kata ini terdapat dalam
ayat “ka zar’in” (“seperti tanaman”) dan “yu’jib z-zurrâ’a” (“yang menyenangkan
hati para penanamnya”).
Kata haij; seperti dikatakan dalam hâja (-yahiiju) al-baqalu berarti sayur itu
layu. Kalimat “tsumma yahiiju” dalam ayat ini berarti “kemudian menjadi kering”,
dan kalimat “fa tarâhu mushfarran” artinya “kamu melihatnya menguning”.
Kata al-huthâm bermakna pecahnya sesuatu atau hancur. Dalam ayat lain
dikatakan “la yahthimannakum sulaimânu wa junuuduhu”, artinya “agar kamu tidak
diinjak oleh Sulaiman dan tentaranya, sedangkan mereka tidak menyadari” [an-
Naml: 18].
Alhasil, dua ayat di atas memuat dua perkara; Pertama: penggambaran
kehidupan dunia dan beberapa macam tingkatan yang akan dilalui manusia; 1)
permainan; 2) hiburan; 3) perhiasan; 4) bermegah-megah; 5) berbangga-banggaan
tentang banyaknya harta dan anak. Kedua: penyerupaan awal-akhir dunia dengan
tanaman yang menyenangkan hati para penanamnya atas berkembang dan
kehijauannya, yang dengan cepat berubah menjadi rumput kering yang dihamburkan
angin.
Yang dapat diambil dari tamtsil ini, bahwa: kehidupan dunia ialah kesenangan
yang menipu. Dunia hanyalah sebuah perantara bagi tipuan dan kesenangan. Para
penghuni dunia seringkali tertipu, sebab mereka membayangkan dunia juga sebagai
akhir dan tujuan kehidupan. Berbeda dengan sebagian orang mukmin, yang
menganggap dunia hanya sebagai sebuah jembatan untuk menuju kehidupan yang
lain. Karena itulah mereka tidak tertipu oleh dunia. Mereka bahkan mengambil (atau
mengumpulkan) bekal dari dunia untuk kehidupan ukhrawi-nya.
Inilah gambaran global dalam memahami ayat di atas. Sedangkan untuk
tamtsil yang ada pada bagian kedua, kita kembali melihat pada penafsiran dari setiap
dua perkara tersebut.
Perkara pertama: Kehidupan manusia mulai dari lahir hingga akhir hayatnya
terbentuk dari lima tingkatan: pertama; ialah la’ibun (permainan). Bermain adalah
tempat yang diatur untuk obyek fantasi (khayal) seperti permainan anak-anak.
Tingkatan ini menyertai kehidupan manusia sejak kanak-kanak dan masa belianya.
Permainan itu beraneka ragam bentuk sesuai tingkat usia. Dan permainan merupakan
perkara yang sensitif bagi anak-anak kecil.
Kedua; lahwun (hiburan). Hiburan adalah sesuatu yang menyibukkan (atau
melalaikan) manusia. Tingkatan ini berawal ketika manusia menginjak usai baligh
dan mulai tumbuh dewasa, yang dalam dirinya terdapat kecenderungan pada tempat-
tempat hiburan dan hal-hal yang melalaikan. Ketiga: Hubbuz ziinah (senang pada
perhiasan). Perhiasan seperti pakaian mahal, kendaraan mewah, rumah megah, dan
kecenderungan pada segala keindahan dan kemewahan yang lain.
Keempat: tafâkhur (bermegah-megah). Ketika manusia mempunyai sarana
perhiasan dan kekayaan, ia menjadikannya untuk membangga-bangga diri. Dan
kelima: Takâtsur (bersaing atau berbangga-banggaan) tentang banyaknya harta dan
anak. Pada tingkatan ini, manusia sampai pada usia memikirkan tentang banyak harta
dan banyak anak, sampai pada usia tua (beruban).
Pembagian tingkatan kehidupan yang dilalui manusia menjadi lima itu bukan
berarti bahwa semua manusia harus melewati semua tingkatan itu tanpa terkecuali.
Maksudnya adalah bahwa manusia secara garis besar akan mengalami lima tingkatan
tersebut.
Namun demikian, untuk sebagian manusia, bisa saja kepribadian mereka dari
awal sampai akhir hayatnya terbatas pada dua tingkatan yang pertama (yakni
tingkatan pertama dan kedua). Mereka, misalnya, menganggap bermain dan hiburan
adalah hal yang terpenting dalam kehidupan mereka. Sebagaimana ada sebagian lain
yang terbatas pada tingkat ketiga dan keempat saja. Mereka senang mengenakan
pakaian-pakaian mahal dan berbangga-bangga atas kekayaan yang dimilikinya.
Di riwayatkan dari Syeikh al-Baha`i bahwa lima perkara yang disebut dalam
ayat tersebut merupakan tahapan menurut tingkatan usia manusia dan tingkat-tingkat
kehidupannya. Manusia pertama menyukai bermain; ia sebagai anak kecil atau ketika
berusia hendak memasuki baligh. Selanjutnya, ketika sudah baligh dan tumbuh
remaja ia menyenangi hiburan dan tempat-tempat hiburan. Lalu, ketika dewasa, ia
sibuk dengan perhiasan berupa pakaian mahal, kendaraan mewah dan rumah yang
megah, atau menyenangi keindahan dan kemewahan. Kemudian, ketika menginjak
usia 30-50an, ia berbangga-bangga dengan kekayaan dan keturunan. Setelah itu
menginjak masa tua (beruban), ia berusaha memperbanyak harta dan anak. (al-Mizan:
9/164).
Perkara kedua; ialah tamtsil yang menggambarkan keadaan dunia yang
menyerupai tanah subur yang ditimpa hujan lebat. Lalu tanamannya tumbuh, mekar
dan berkembang, yang keadaannya memuaskan hati para penanamnya. Tetapi
kesegaran dan perkembangannya ternyata berubah sangat cepat; karena tanaman-
tanaman itu menjadi kuning dan mengering, yang di setiap sisinya mudah
dihamburkan angin. Tanaman-tanaman yang rusak itu pun tak lagi berbentuk
sebagaimana sebelumnya. Pada saat itu tampaklah hakikat di hadapan manusia,
bahwa ia tertipu oleh kesegaran taman-taman yang dipeliharanya selama ini.
Demikianlah keadaan dunia! Manusia tertipu olehnya karena ia merasa akan
hidup kekal di dalamnya. Padahal kehidupan dunia berlalu sangat cepat, wajah
hakikat pun tersingkap dalam waktu yang tak lama. Pendeknya, ayat di atas bertujuan
mencela (keterikatan pada) dunia dan memuliakan (kecenderungan pada) akhirat.
Surat al-Hasyr
Tamtsîl 51
“Lâ yuqâtilunakum jami’an illâ fi quran muhashshanatin au min warâ`i judurin
ba`suhum bainahum syadidun tahsabuhum jami’an wa qulubuhum syattâ dzâlika bi
annahum qaumun lâ ya’qilun. Ka matali l-ladzina min qablihim qariban dzâqu wabâla
amrihim wa lahum ‘adzâbun alim.”
Artinya; “Mereka tidak akan memerangi kamu dalam keadaan bersatu padu,
kecuali dalam kampung-kampung yang berbenteng atau di balik tembok. Permusuhan
antara sesama mereka adalah sangat hebat. Kamu kira mereka iu bersatu sementara
hati mereka berpecah belah. Yang demikian itu karena sesungguhnya mereka adalah
kaum yang tiada mengerti. (Mereka adalah) seperti orang-orang yang belum lama
sebelum mereka telah merasai akibat buruk dari perbuatan mereka, dan bagi mereka
azab yang pedih ”. al-Hasyr 14-15)
Tafsir Ayat
Kata al-hishn (benteng) berbentuk jamak hushun. Kalimat “al-qurâ al-
muhashshanah” (kampung-kampung yang berbenteng) maksudnya “yang diliputi oleh
benteng-benteng yang kuat yang menghalangi masuknya musuh-musuh”.
Kata al-ba`s dan al-ba`sâ` berarti bencana. Kata al-wabâl artinya adalah
perkara yang ditakuti bahayanya.
Ayat ini menerangkan tentang keadaan Bani an-Nadhir, kaum Yahudi yang
telah diusir Rasulullah (saw), dan mereka berkomplot untuk membunuh beliau.
Bentuk komplotan mereka disebutkan dalam buku-buku sejarah. Nabi Muhammad
saw memerintahkan kepada Bani Nadhir agar berpindah dan meninggalkan harta
benda mereka. Namun mereka tidak mematuhi perintah tersebut. Sementara itu, kaum
munafik yang mendukung bani Nadhir tidak berpindah dan membantu mengobarkan
semangat peperangan di tengah mereka guna melawan kaum muslimin. Kemudian
Bani an-Nadhir tinggal beberapa hari di dalam benteng-benteng mereka dan sengaja
tidak keluar sambil mengharap datangnya bala bantuan yang dapat memperkokoh
kekuatan mereka.
Ayat ini menguraikan keadaan mereka secara mendalam dan mengabarkan
bahwa “Mereka tidak akan memerangi kalian” wahai orang-orang mukmin! “Kecuali
(mereka berada) dalam kampung-kampung yang berbenteng”; yakni mereka tidak
akan menampakkan diri dalam memerangi kalian (mukminin) karena takut kepada
kalian. Mereka akan memerangi kalian dengan memakai baju besi di benteng-benteng
mereka, atau di balik tembok pertahanan mereka. Yakni, mereka akan menyerang
kalian (mukminin) dari balik tembok dengan anak panah dan batu.
Ungkapan dalam ayat: “Ba`suhum bainahum syadidun”; kata al-ba`s berarti
permusuhan; yakni permusuhan antara sesama mereka sebenarnya sangat hebat.
Sesungguhnya mereka tidak sehati. Karena itu ayat berikutnya mengatakan; “wa
qulubuhum syattâ” (“sedang hati mereka berpecah belah”). Hal yang demikian itu
disebabkan oleh ketidak-mengertian mereka; “dzâlika bi annahum qaumun lâ
ya’qilun” (“yang demikian itu karena sesungguhnya mereka adalah kaum yang tiada
mengerti”).
Kemudian mereka diumpamakan dengan: Sesungguhnya perumpamaan bagi
mereka ialah tipuan mereka akan jumlah, potensi, dan kekuatan mereka. Kalimat “ka
matsali l-ladzina min qablihim” [“(Mereka adalah) seperti orang-orang yang belum
lama sebelum mereka”]; yaitu mereka adalah orang-orang musyrik Quraisy yang telah
berperang di Badr enam bulan sebelum pengusiran Bani an-Nadhir. Kemungkinan
lain yang dimaksud dengan mereka di sini adalah kabilah Bani Qainuqâ’ yang diusir
oleh Rasulullah saw sepulang dari perang Badr, karena mereka telah melanggar
perjanjian.
Mereka adalah orang-orang yang “dzâqu wabâla amrihim” (telah merasai
akibat buruk dari perbuatan mereka); yakni akibat kekufuran mereka; dan balasan
yang sesuai bagi mereka ialah azab yang pedih.
Tamtsîl 52
“Kamatsali sy-syaithâni izd qâla li l-insâni kfur fa lammâ kafara qâla inni bari`un
minka inni akhâfu llâha rabba l-‘âlamin
Artinya: “(Bujukan orang-orang munafik itu adalah) seperti (bujukan) setan
ketika dia berkata kepada manusia: “kafirlah kamu”, maka tatkala manusia itu telah
kafir ia berkata: “Sesungguhnya aku berlepas diri dari kamu karena sesungguhnya
aku takut kepada Allah, Tuhan semesta alam”).” [al-Hasyr: 16]
Tafsir Ayat
Ayat ini juga menceritakan tentang keadaan Bani an-Nadhir yang
bersekongkol melawan Nabi Muhammad saw karena Nabi saw memerintahkan
mereka agar keluar dari Madinah. Tetapi kaum munafik menjanjikan pertolongan
kepada mereka dengan mengatakan; “Jika kalian diusir maka kamipun akan keluar
bersama kalian; dan kami selama-lamanya tidak akan patuh kepada siapapun untuk
(menyusahkan) kalian, dan jika kalian memerangi (yang mengusir kalian) pasti kami
akan membantu kalian..” [al-Hasyr: 11].
Tetapi janji itu adalah bohong, dan Allah SWT menegaskan: “..Dan Allah
menyaksikan, bahwa sesungguhnya mereka benar-benar pendusta. Sesungguhnya jika
mereka diusir, orang-orang munafik itu tidak akan keluar bersama mereka, dan
sesungguhnya jika mereka berperang, niscaya orang-orang munafik itu tidak akan
menolong mereka; sesungguhnya jika orang-orang munafik (hendak) menolong
niscaya akan berpaling lari ke belakang, kemudian mereka tiada akan mendapat
pertolongan (lagi)” [al-Hasyr: 12].
Sungguh pengalaman telah membenarkan berita itu. Maka Rasulullah saw
mengusir mereka (Bani an-Nadhir) dengan kuat dan keras. Dan ternyata tidak ada
pertolongan, bantuan, dan dukungan apapun dari kaum munafik. Janji mereka (kaum
munafik) dusta seperti janji setan, yang mengatakan kepada manusia ‘kafirlah!’. Lalu
setelah manusia kafir maka setan berkata; ‘sesungguhnya aku berlepas diri dari kamu,
karena sesungguhnya aku takut kepada Allah, Tuhan semesta alam’. Artinya, setan
menyuruh manusia untuk kafir, tetapi pada akhirnya ia akan berlepas diri dari manusia
yang telah kafir itu.
Apakah mukhâthab (yang diajak bicara) melalui kalimat ‘kafirlah kamu!’ itu
adalah ditujukan kepada seluruh manusia yang tertipu oleh bujukan setan dan janji-
janji palsunya, yang kemudian setan akan meninggalkan dan berlepas diri dari
manusia (yang tertipu). Ataukah (mukhâthab)nya tertuju kepada pribadi-pribadi
tertentu? Di sini memang dapat dilihat dari dua segi.
Jika kami katakan yang kedua, maka sesungguhnya setan telah menjanjikan
kemenangan bagi Quraisy di perang Badr. Sebagaimana yang terungkap dalam firman
Allah SWT: “Dan ketika setan menjadikan mereka memandang baik pekerjaan
mereka dan mengatakan: “Tidak ada seorang manusia pun yang dapat menang
terhadap kamu pada hari ini, dan sesungguhnya kami ini adalah pelindungmu”.
Maka tatakala kedua pasukan itu telah dapat saling melihat (berhadapan), setan pun
berbalik ke belakang sambil berkata: “Sesungguhnya kami berlepas diri dari kalian;
sesungguhnya kami dapat melihat apa yang kamu sekalian tidak dapat melihat;
sesungguhnya kami takut kepada Allah”. Dan (sesungguhnya) Allah sangat keras
siksa-Nya”. [al-Anfal: 48].
Selain itu, di sini masih ada pendapat ketiga. Yaitu, setan memberi janji
kepada seorang hamba ahli ibadah dari Bani Israil bernama Barshishâ, yang akhirnya
terpedaya oleh tipu daya setan dan menjadi kafir. Dan pada saat-saat yang
menentukan, setan berlepas dari dirinya. Para mufasir menyebutkan bahwa Barshishâ
menyembah Allah SWT di sepanjang hidupnya, sehingga ia (mendapatkan kemuliaan
dari Allah SWT, penj.) bisa menyembuhkan orang-orang gila yang datang kepadanya
hanya dengan doanya. Suatu hari ia kedatangan seorang perempuan terhormat yang
terjangkit gila. Perempuan itu diantar oleh saudara-saudaranya dan ditinggalkan di
tempat Barshisha (untuk diobati). Ketika itulah, setan selalu membujuk Barshisha
sampai akhirnya Barshisha menzinahi perempuan itu, hingga kemudian hamil. Ketika
kehamilan perempuan itu tampak, Barshisha membunuh si perempuan dan
menguburnya. Setelah melakukan semua itu, setan pun pergi dan menemui salah
seorang saudara si perempuan. Setan menceritakan apa yang telah diperbuat si rahib
bernama Barshisha itu dan bahwa ia telah menguburnya di satu tempat. Kemudian
setan mendatangi saudara laki-lakinya yang lain satu persatu dan menceritakan hal
yang dialami saudara perempuan mereka. Sampai suatu ketika, seorang saudara laki-
laki dari mereka menemui saudaranya yang lain, dan mengatakan: “Demi Allah, telah
datang orang asing kepadaku sambil mengatakan suatu hal yang sangat
mengejutkanku”. Setiap dari mereka pun satu sama lain menyebutkan hal yang sama,
hingga masalah ini sampai di telinga raja mereka. Maka bangkitlah raja dan orang-
orang mendatangi Barshisha untuk menghukumnya. Raja memerintahkan
mensalibnya. Ketika Barshisha telah berada di atas kayu salibnya, setan menjelmakan
diri di hadapannya dan berkata: “Akulah yang telah menjerumuskan kamu dalam hal
ini! Apakah kamu mentaatiku terhadap apa yang akan kukatakan kepadamu, lalu aku
akan menyelamatkanmu dari apa yang kamu alami ini?”.
“Ya”, jawab Barshisha.
Setan berkata: “Bersujudlah kepadaku sekali sujud!”.
Ia berkata: “Bagaimana aku (bisa) bersujud padamu sementara aku dalam
keadaan seperti ini!?”.
Setan berkata: “Cukup bagiku kamu menjadi hambaku”. Kemudian ia
diperintahkan untuk bersujud dan mau mengikuti perintah setan. Lalu, ia pun kafir
kepada Allah, dan dibunuh. [Majmâ al-Bayan: 5/265].
Tamtsîl 53
“Lau anzalnâ hâdza l-qur`âna ‘alâ jabalin laraitahu khâsyi’an mutashaddi’an min
khasyyati l-llâh wa tilka l-amtsâlu nadhribuhâ li n-nâsi la’allahum yatafakkarun.”
Artinya: “Kalau sekiranya Kami menurunkan al-Quran ini kepada sebuah
gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan takut kepada
Allah. Dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia agar mereka
mau berpikir”. [al-Hasyr: 21].
Tafsir Ayat
Kata al-khuyu’ pada ayat di atas bermakna adh-dharâ’ah atau permohonan
yang sangat dengan merendahkan diri (tadharru’). Al-khusyu’ lebih banyak digunakan
pada hal-hal yang bersifat lahiriyah (jawârih), sedangkan adh-dharâ’ah lebih banyak
dihubungkan dengan perkara hati.
Diriwayatkan bahwa kalimat: “idzâ dhara’a l-qalbu khays’ati l-jawârih”,
berarti “jika hati merendah maka tunduklah anggota-anggota badan.” Hal ini
dikuatkan oleh pernyataan bahwa Allah SWT menyebutkan al-khusyu’ pada suara dan
penglihatan. Seperti dalam firman-Nya: “khasya’ati l-ashwât”, “khâsyi’atun
abshâruhum” dan “abshâruhum khâsyi’ah”.
Sebetulnya, al-khusyu’ adalah ketenangan yang menguasai anggota badan
(jawârih), disebabkan oleh perhatian yang sungguh-sungguh dalam meresapi ayat-
ayat Ilahiah dan menghayati keagungan Sang Khalik.
Kata at-tashadduq pada ayat di atas berarti terpecah belah sesudah keadaan
stabil.
Dalam tafsir ayat ini para mufasir mempunyai dua pandangan: Pertama,
seandainya al-Quran diturunkan kepada sebuah gunung, yang amat keras, besar,
kokoh, dan tak tergoyahkan oleh bencana alam, niscaya gunung itu akan tergetar dan
terpecah belah karena takut kepada Allah. Jika demikian keadaan gunung, maka
semestinyalah manusia lebih patut tunduk kepada Allah SWT ketika melantunkan
ayat-ayat-Nya. Maka, betapa kerasnya hati mereka yang kafir dan betapa kerasnya
watak mereka yang tidak terpengaruh ketika mendengarkan, menyimak dan membaca
al-Quran.
Kedua, segala wujud (ciptaan) mempunyai pengetahuan dan perasaan, yang
salah satu di antaranya adalah gunung. Gunung pun mempunyai pengetahuan,
sebagaimana firman Allah SWT: “Padahal di antara batu-batu itu sungguh ada yang
mengalir sungai-sungai dari padanya dan di antaranya ada yang terbelah lalu
keluarlah mata air dari padanya dan di antaranya ada yang meluncur jatuh, karena
takut kepada Allah”. [al-Baqarah: 74].
Jadi, ayat di atas yang menyatakan bahwa sekiranya al-Quran turun kepada
sebuah gunung niscaya akan hancur lebur dan merendah diri karena takut kepada
Allah. Hanya saja al-Quran tidak diturunkan kepada gunung.
Atas dua makna tersebut, maka ayat ini bukanlah termasuk tamtsil
(penyerupaan sesuatu dengan sesuatu), tetapi ini merupakan salah satu penyebutan
sifat al-Quran dan menerangkan keagungannya yang memuat pondasi-pondasi dan
hakikat. Ayat di atas menunjukkan sifat berikut: “Kalau sekiranya Kami menurunkan
al-Quran kepada sebuah gunung, pasti akan menjadi demikian dan demikian”.
Mungkin dapat dikatakan sebagai lâzimnya makna ayat seperti penyerupaan
(tasybih), bahwa Allah SWT menyerupakan hati orang kafir dan âshi (pelaku maksiat)
dengan gunung dan batu, yang tidak terpengaruh oleh sentuhan al-Quran. Dan,
kalaupun tidak begitu keras, hati mereka laksana batu. kenyataannya bahwa batu pun
bisa dipecahkan oleh (air) sungai atau dia terjatuh karena takut kepada Allah. Oleh
karena itu, ayat di atas dapat dikategorikan sebagai tamtsil jika dilihat dari adanya
makna konsekuensitas (iltizâmi) di dalam ayat.
Surat al-Jumu’ah
Tamtsîl 54
مثل الذين حمل التوراة ثم لم يحملوها كمثل الحمار يحمل أسفارا بئس مثل القوم الذين كذبوا بآيات هللا و هللا ال
يهدي القوم الظالمين
“Matsalu l-ladzina hummilu t-taurâta tsumma lam yahmiluha kamatslai l-himâri
yahmilu asfâran bi`sa matsalu l-qaumi l-ladzina kadzdzabu bi âyâti l-llâhi wa l-llâhu
lâ yahdi l-qauma zh-zhâlimin.”
Artinya: “Perumpamaan bagi orang-orang yang dipikulkan kepadanya
Taurat, kemudian mereka tiada memikulnya adalah seperti keledai yang membawa
kitab-kitab yang tebal. Amatlah buruknya perumpamaan kaum yang mendustakan
ayat-ayat Allah itu. Dan Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang zalim”. [al-
Jum’ah: 5]
Tafsir Ayat
Kata al-asfâr –dari kata tunggal as-safar – yang bermakna membuka tutup,
digunakan khusus untuk makna “kepala”, seperti pada kalimat: safara al-‘imâmatu
‘anir-ra`si, artinya, membuka serban dari kepala). Juga kalimat: wa l-khimâr mina l-
wajhi, artinya, dan tudung dari wajah. Sedangkan kata as-sifr, berbentuk jamak asfâr,
bermakna kitab yang ditalamnya ditulis tentang hakikat.
Para mufasir menyebutkan, ketika Allah SWT berfirman bahwa Dia mengutus
Muhammad saw kepada al-umiyyin (orang-orang buta huruf), orang-orang Yahudi
menjadikan ayat ini sebagai dalih pengingkar atas keluasan risalah Rasulullah saw.
Mereka mengatakan; Sesungguhnya Muhammad diutus khusus kepada Arab dan tidak
kepada mereka. Ketika itulah turun ayat ini, dan menyerupakan mereka seperti keledai
yang membawa kitab-kitab tetapi tidak pernah mengambil manfaat darinya. Sebab, di
dalam Taurat disebutkan tentang Muhammad saw dan memberi kabar gembira akan
kedatangannya dan mengajak mereka untuk memasuki agama Rasulullah saw
tersebut.
Selain itu, perumpamaan ayat tersebut tertuju kepada keadaan orang yang
memahami makna al-Quran tetapi tidak mengamalkannya, dan justru berpaling
darinya dengan tidak membutuhkannya. Yang dimaksud “hummilu” ialah dibebankan
untuk mengamalkannya (Taurat). Disebutkan dalam riwayat bahwa kata ini bukanlah
berasal dari kata “al-haml” (membawa) di atas punggung, tetapi dari kata “al-
hamâlah” yang bermakna al-kafâlah wa adh-dhamân (jaminan, tanggungan). Oleh
sebab itu, al-kafil dikatakan bermakna al-hamil (yang menjamin, menanggung). Atau
bermakna “orang-orang yang menjamin hukum-hukum Taurat” kemudian mereka
‘lam yahmiluha’ (tidak memikulnya), yakni tidak menunaikan haknya dan tidak
membawa yang diamanatkan dengan sebenar-benarnya. Maka, mereka tidak ubahnya
seperti keledai, sebagaimana firman Allah SWT: “seperti keledai yang membawa
kitab-kitab yang tebal”.
Dipilih keledai di antara semua binatang karena keledai mempunyai sifat
rendah dan hina yang tidak dimiliki binatang lainnya, yang bodoh dan pandir, di
samping karena adanya kesesuaian kata antara kata al-asfâr (kitab-kitab) dan al-himâr
(keledai).
Jadi, ayat di atas mengungkapkan cela kaum Yahudi, dan pada saat yang sama
memperingatkan kepada seluruh kaum muslimin agar mereka tidak jatuh ke dalam
keadaan seperti yang terjadi pada kaum Yahudi. Sebuah keadaan merugi, disebabkan
tidak mau mengambil manfaat dari Al-Kitab yang diturunkan (al-Quran), yang di
dalamnya terdapat obat segala penyakit dan penyembuh setiap luka di dalam dada.
Sungguh sangat disayangkan, apabila al-Quran yang berada di tengah kaum
muslimin lalu ditinggalkan, dan hanya dijadikan pelengkap atau alat mencari berkah
di dalam pesta-pesta perkawinan, atau menjadi jimat-jimat bagi anak-anak kecil, atau
penghias rak-rak perpustakaan, atau dibaca di kuburan-kuburan, dan sebagainya.
Sungguh, kerugian besar apabila mereka memandang al-Quran tidak dengan cara pikir
ber-tadabbur (merenungi kandungannya).
Kemudian Allah SWT menyifati kaum Yahudi sebagai kaum yang
mendustakan al-Quran dan ayat-ayatnya, sebagaimana terungkap pada bagian akhir
ayat ke-5 surat al-Jumu’ah di atas: “.........Amatlah buruknya perumpamaan kaum
yang mendustakan ayat-ayat Allah itu. Dan Allah tiada memberi petunjuk kepada
kaum yang zalim”.
Surat at-Tahrim
Tamtsîl 55
“Dharaba l-llâhu matsalan lilladzina kafaru mra`ata nuhin wa mra`ata luthin kânatâ
tahta ‘abdaini min ‘ibâdinâ shâlihin fa khânatâhumâ fa lam yughniyâ ‘anhumâ mina l-
llâhi syai`an wa qila d-khulâ n-nâra ma’a d-dâkhilin
Artinya: “Allah membuat istri Nuh dan istri Luth perumpamaan bagi orng-
orang kafir. Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang saleh di
antara hamba-hamba Kami; lalu kedua istri itu berkhianat kepada kedua suaminya,
maka kedua suaminya itu tiada dapat membantu mereka sedikitpun dari (siksa) Allah;
dan dikatakan (kepada keduanya); “Masuklah ke neraka bersama orang-orang yang
masuk (neraka)”. [at-Tahrim: 10]
Tafsir Ayat
Salah satu metode pendidikan ialah dengan menampilkan contoh nyata dari
keberadaan orang yang telah mencapai puncak kemuliaan akhlak, atau orang yang
telah jatuh dalam titik rendah keburukan. Pada ayat ini al-Quran menampilkan dua
istri nabi (Nuh dan Luth – salam atas mereka) yang telah berbuat munafik dan
melakukan pengkhianatan. Dan upaya untuk mendekati mereka tidak akan pernah
memberikan manfaat apapun.
Motivasi dari tamtsil ini adalah mengungkapkan aib dua istri Rasulullah saw,
yang telah bersekutu dalam menyebar-luaskan rahasia beliau. Tujuannya adalah
memberitahukan bahwa kedudukan mereka sebagai istri-istri Rasul sama sekali tidak
menjamin keselamatan mereka dari azab. Sebagaimana istri Nabi Nuh as dan Nabi
Luth as yang tidak memperoleh manfaat atas statusnya sebagai istri seorang nabi, dan
para isteri itu menerima azab yang pedih.
Allah SWT menyebutkan kisah penyebaran rahasia Rasulullah saw melalui
sebagian istri beliau; “Dan ingatlah ketika Nabi membicarakan secara rahasia
kepada salah seorang dari istri-istrinya (Hafsah) suatu peristiwa. Maka tatkala
(Hafsah) menceritakan peristiwa itu kepada (Aisyah) dan Allah memberitahukan hal
itu (semua pembicaraan antara Hafsah dengan Aisyah) kepada Muhammad lalu
Muhammad memberitahukan sebagian (yang diberitakan Allah kepadanya) dan
menyembunyikan sebagian yang lain (kepada Hafsah). Maka tatkala (Muhammad)
memberitahukan pembicaraan (antara Hafsah dan Aisyah) lalu Hafsah bertanya:
“Siapakah yang telah memberitahukan hal ini kepadamu?” Nabi menjawab: Telah
diberitahukan kepadaku oleh Allah Yang Maha mengetahui lagi Maha mengenal”.
[at-Tahrim: 3].
Ayat ini secara ringkas mencakup beberapa masalah berikut ini:
Pertama, Nabi Muhammad saw merahasiakan sebuah perkataan kepada
sebagian istri beliau, sebagaimana firman Allah: “Dan ketika Nabi membicarakan
secara rahasia kepada salah seorang dari istri-istrinya (Hafsah) suatu peristiwa”.
Adapun rahasia yang telah beliau bicarakan secara rahasia kepadanya tidaklah jelas,
sehingga kita tidak dapat begitu saja berpegang pada apa yang disebutkan di dalam
tafsir-tafsir mengenai pengharaman madu atas diri beliau dan orang lain.
Kedua, Nabi saw berbicara kepada istrinya secara rahasia tetapi dia tidak
memegang rahasia suaminya, bahkan menyebarkannya. Ia bicarakan (rahasia itu)
kepada istri Nabi saw yang lain, seperti disebutkan dalam ayat: “Maka tatkala ia
menceritakan peristiwa itu”. Para mufasir sepakat bahwa dua perempuan itu, yang
pertama adalah Hafshah, dan yang kedua adalah Aisyah. Ia telah berbicara buruk dan
telah menyebarkan rahasia Rasulullah saw, padahal ia wajib menutupi rahasia itu.
Ketiga, Allah SWT memberitahukan (pembicaraan itu) kepada Nabi saw,
yakni: “dan Allah memberitahukan hal itu (semua pembicaraan antara Hafsah
dengan Aisyah) kepada Muhammad”.
Keempat, Nabi saw memberitahukan kepada Hafshah (hanya) sebagian apa
yang telah ia sebut, dan beliau enggan menyebutkan semua (rahasia) yang telah ia
sebarkan. Nabi saw mengetahui semua percakapan itu namun beliau berpegang pada
kemuliaan akhlak, sehingga tidak mau menyebutkan kepadanya semua isi
pembicaraan. Dan, melupakan kesalahan orang termasuk akhlak yang mulia. Dalam
matsal (pepatah) disebutkan: mâ istaqshâ karimun qaththu, artinya: seorang pemurah
tidak pernah ingin tahu mendalam (urusan orang lain).
Kelima, Ketika Rasulullah memberitahukan apa yang diperolehnya dari Allah,
Hafshah bertanya: “Siapakah yang telah memberitahumu akan hal ini?”. Rasulullah
saw menjawab: “Yang Maha Mengetahui dan Maha Mengerti yang telah
memberitahuku”: “Maka tatkala (Muhammad) memberitahukan pembicaraan (antara
Hafsah dan Aisyah) lalu Hafsah bertanya: “Siapakah yang telah memberitahukan hal
ini kepadamu?” Nabi menjawab: Telah diberitahukan kepadaku oleh Allah Yang
Maha mengetahui lagi Maha mengenal”.
Dalam hal ini, si pendengar rahasia juga berdosa seperti si penyebar. Lalu
Allah SWT mengungkapkan cela mereka dan memerintahkan agar mereka bertaubat
karena hati mereka telah menyimpan dosa. Dan seandainya mereka tidak berhenti
menyakiti Rasulullah saw, maka mereka memaklumi bahwa Allah adalah penjaga dan
penolongnya; amin al-wahy (Jibril as) juga penolong Nabi saw; dan orang-orang saleh
dari kaum mukminin, serta orang-orang pilihan, pasti akan membela beliau. Dan
setelah mereka lalu para malaikat Allah yang menolong beliau. Seperti disebutkan
dalam kelanjutan ayat di atas (at-Tahrim ayat 4): “....hendaknya kalian berdua
bertaubat kepada Allah, setelah hati kamu berdua condong (pada dosa). Dalam
terjemahan al-Quran yang dikeluarkan Depag tertulis “.....condong (untuk menerima
kebaikan). Dan jika mereka bekerja sama untuk menyakiti Nabi saw, maka
sesungguhnya Allah SWT adalah pelindungnya, juga Jibril, orang saleh dari kaum
mukminin, dan para malaikat akan menolong Nabi saw, [at-Tahrim:4].
Dua ayat al-Quran [at-Tahrim: 3-4] ini memberitahukan tentang dua istri
(yang seharusnya) menunaikan tugas dan kewajiban sebagai istri, yakni menjaga
amanat suaminya tapi justru menyebarkannya. Ayat ke-4 surat at-Tahrim
mengemukakan posisi mereka berdua di hadapan Allah, dengan memberikan pilihan
kepada mereka: Bertaubat dari dosa, atau tidak berhenti dalam kesesatan mereka. Jika
mereka tetap condong kepada dosa, maka akan sia-sia saja segala yang mereka
niatkan terhadap Nabi. Sebab, Nabi saw mempunyai pelindung dan penolong; yaitu
Allah SWT, para malaikat, dan orang saleh dari kaum mukmin.
Surat ini (at-Tahrim) menjelaskan bahwa Allah menyebutkan perumpamaan
keadaan mereka berdua seperti dua istri nabi sebelumnya (Nuh dan Luth – salam atas
mereka) yang telah menyebarkan rahasia dan mengkhianati suami. Di mana
pengkhinatan mereka bukanlah pengkhianatan fujur (berbuat mesum), sebagaimana
disebutkan dalam beberapa riwayat. Sebab, istri seorang nabi sama sekali tidak akan
berbuat zina. Pengkhianatan mereka sebenarnya adalah pengkhianatan dalam agama.
Ibn Abbas berkata: “Istri Nuh adalah kafir yang telah mengatakan kepada
orang-orang bahwa ia (Nuh) adalah orang gila. Dan apabila ada seseorang beriman
kepadanya, maka ia (istri Nuh) memberitahu kepada penguasa bahwa orang itu adalah
kaum Nuh. Sebagaimana istri Luth yang memberitahukan siapa orang-orang yang
telah mengunjungi Luth”.
Ala kullihal, keempat perempuan tersebut adalah sama di dalam menyebarkan
rahasia suami-suami mereka. Karena itu, mereka telah menjadi contoh yang jelas
dalam pengkhianatan.
Mereka mengira bahwa kedekatan dengan para rasul bisa menjauhkan mereka
dari azab Allah. Mereka tidak menyadari bahwa sekedar kedekatan tidaklah cukup
untuk memberikan manfaat, tanpa adanya keimanan dan amal saleh. Allah SWT
berfirman: “Apabila sangkakala ditiup maka tidaklah ada lagi pertalian nasab di
antara mereka pada hari itu, dan tidak ada pula mereka saling bertanya” [al-
Mu`minun: 101]. Allah SWT berfirman kepada anak keturunan Adam: “Hai anak-
anak Adam, jika datang kepadamu rasul-rasul daripada kamu yang menceritakan
kepadamu ayat-ayat-Ku, maka barangsiapa yang bertakwa dan mengadakan
perbaikan, tidak akan ada kekhawatiran bagi mereka dan tidak (pula) mereka
bersedih hati”. [al-A’raf: 35].
Dari sini dapat disimpulkan bahwa kedekatan dengan Rasulullah saw tidak
akan bermanfaat bila tidak disertai keimanan yang tulus dan amal saleh. Menjadi
teman bergaul seorang Rasul bukanlah bukti satu-satunya bukan pula menjamin
bahwa ia seorang yang adil dan selamat. Di mata Allah, para sahabat Nabi saw tidak
beda dengan tâbi’in. Dia akan menghukum mereka sebagaimana menghukum tâbi’in,
sebagaimana golongan kedua (tâbi’in) di antara mereka ada yang saleh dan ada yang
thâleh (yang keji). Para sahabat Nabi saw pun sebagian ada yang saleh dan sebagian
lain ada yang thâleh.
Tamtsîl 56
“Wa dharaba l-llâhu matsalan li l-ladzina âmanu mra`ata fir’auna idz qâlat rabbi bni li
‘indaka batan fi l-jannah wa najjini min fir‘auna wa ‘amalihi wa najjini mina l-qaumi
zh-zhâlimin. Wa maryama bnata ‘imrâna l-lati ahshanat farjahâ fa nafakhnâ fihi min
ruhinâ wa shadaqat bi kalimâti rabbihâ wa kutubihi wa kânat mina l-qânitin
Artinya: “Dan Allah membuat istri Fir’aun perumpamaan bagi orang-orang
yang beriman, ketika ia berkata: Ya Tuhanku, bangunkanlah untukku sebuah rumah
di sisi-Mu dalam surga dan selamatkanlah aku dari Fir’aun dan perbuatannya dan
selamatkanlah aku dari kaum yang zalim. Dan (ingatlah) Maryam putri Imran yang
memelihara kehormatannya, maka Kami tiupkan ke dalam rahimnya sebagian dari
ruh (ciptaan) Kami, dan dia membenarkan kalimat Tuhannya dan Kitab-kitab-Nya,
dan adalah dia termasuk orang-orang yang taat”. [at-Tahrim: 11-12]
Tafsir Ayat
Kata hishn – yang berbentuk jamak hushun – berarti benteng. Kata ini
digunakan untuk perempuan ‘afifah (yang menjauhi barang syubhat). Karena, ia
menjaga dirinya dengan cara menjauhi perbuatan hina (‘afâf) , atau dengan menikah.
Sedangkan qunuth ialah keharusan taat yang disertai ketundukan. Makna kata
qânitun ialah khâdhi’un, yaitu orang-orang yang tunduk.
Setelah al-Quran memberikan perumpamaan dengan contoh-contoh nyata
tentang kekejian sebagian perempuan, dalam ayat ini al-Quran menyebutkan contoh
lain, yaitu tentang ketakwaan dan ke’afifahan sebagian perempuan yang lain.
Ketakwaan dan keimanan mereka mencapai kedudukan yang agung. Mereka
tinggalkan kehidupan duniawi dan kesenangannya demi menjaga keimanan mereka.
Al-Quran menampilkan Asiyah binti Muzahim, istri Fir’aun, sebagai perempuan yang
telah mencapai keimanan dan ketakwaan tinggi. Asiyah memohon kepada Allah SWT
untuk dibangunkan sebuah rumah di surga. Ia mengimani Musa as tatkala
menyaksikan mukjizat-mukjizatnya yang memukau dan dalil-dalilnya yang terang. Ia
tidak menyembunyikan keimanannya tanpa merasa takut akan kekerasan Fir’aun.
Diriwayatkan bahwa Fir’aun menancapkan empat pasak pada tubuh Asiyah dan
menjemurnya di bawah terik matahari.
Inilah perempuan sempurna yang telah berkorban (di jalan Allah) demi
mempertahankan aqidahnya. Ia menyambut syahadah dengan lapang dada dan
sedikitpun tidak pernah menginginkan dunia dan segala kemilaunya. Tatkala kematian
menjemputnya, ia meneriakkan: “Ya Tuhanku, bangunlah untukku sebuah rumah di
sisi-Mu dalam surga dan selamatkanlah aku dari Fir’aun dan perbuatannya, dan
selamatkanlah aku dari kaum yang zalim”.
Kata ‘indaka (di sisi-Mu) yang diucapkan Asiyah mengarah pada dekatnya ia
dengan rahmat Allah, dan kata fi l-jannah (di surga) menjelaskan kedudukan qurb
(dekat) dengan-Nya.
Ia telah memilih berdekatan dan qurb dengan Allah SWT, dan lebih
mengutamakan sebuah rumah yang dibangun-Nya ketimbang istana Fir’aun yang
menggiurkan. Keindahan kehidupan dunia baginya adalah kenikmatan yang fana,
yang tidak dapat dibandingkan dengan kenikmatan abadi (di sisi Allah SWT).
Selanjutnya, Allah SWT membuat perumpamaan lain bagi kaum mukminat,
yaitu Maryam binti Imran; “Dan (ingatlah) Maryam putri Imran yang memelihara
kehormatannya, maka Kami titipkan ke dalam rahimnya sebagian dari ruh (ciptaan)
Kami, dan dia membenarkan kalimat Tuhannya dan Kitab-kitab-Nya, dan adalah dia
termasuk orang-orang yang taat”.
Dalam ayat ini, Allah SWT menyifati Maryam dengan sifat-sifat berikut:
Pertama, “ahshanat farjahâ” (ia telah memelihara kehormatannya). Ia
menjadi seorang perempuan yang ‘afifah dan mulia. Sifat ini melawan kebohongan
yang dibuat-buat kaum Yahudi terhadapnya, sebagaimana diungkapkan dalam firman
Allah: “..dan tuduhan mereka terhadap Maryam dengan kedustaan besar” [an-Nisa:
156]. Dan: “.....Dan (Maryam) yang telah memelihara kehormantannya, lalu Kami
tiupkan ke dalam (tubuh)nya ruh dari Kami..” [al-Anbiya: 91].
Kedua, “Fa nafakhnâ fihi min ruhinâ” (“maka Kami titipkan ke dalam
rahimnya sebagian dari ruh (ciptaan) Kami”); yakni keadaannya (Maryam) adalah
‘afifah dan terpelihara kesuciannya, ia patut dipuji dan dibalas kebaikan. Maka Allah
pun mengamanatkan ruh al-Masih kepadanya, hal mana menyandarkan ruh kepada
Allah berarti penyandaran pengagungan. Dia (Maryam) adalah perempuan yang tak
bersuami (tapi) beranak dan anaknya menjadi seorang nabi Allah yang agung.
Dua sifat ini telah disinggung dalam surat al-Anbiya: “Dan (Maryam) yang
telah memelihara kehormantannya, lalu Kami tiupkan ke dalam (tubuh)nya ruh dari
Kami dan Kami jadikan dia dan anaknya sebagai tanda (kekuasaan Allah) yang besar
bagi semesta alam”.
Di dalam dua ayat di atas terdapat perbedaan kata ganti nama (dhamir):
pertama, dalam surat al-Anbiya ayat 91 ber-dhamir perempuan (muannats); “Fa
nafakhnâ fihâ min ruhinâ”. Dan dalam surat at-Tahrim ayat 12 ber-dhamir laki-laki
(mudzakkar); “fa nafakhnâ fihi min ruhinâ”.
Berikut ini disebutkan bahwa dhamir pada ayat 91 surat al-Anbiya kembali
kepada Maryam, namun kedudukannya kembali pada Isa (as). Dan disebutkan (pula)
kata fihâ (dhamir muannats) kembali pada nafs (diri) Isa. Dan kata nafs (dalam
bahasa Arab) termasuk kategori muannats.
Menurut penulis, hal ini tidak sesuai dengan lahiriyah ayat. Sebab (dalam ayat
itu) Allah SWT hendak menerangkan balasan bagi Maryam karena ia telah
memelihara kehormatannya. Sedangkan kata nafkh (meniupkan ruh) pada ayat adalah
tentang Isa (al-Masih) yang merupakan pemuliaan baginya, bukan tentang balasan
bagi Maryam.
Ketiga, “Wa shadaqat bi kalimâti rabbihâ wa kutubihi” (“dan dia
membenarkan kalimat Tuhannya dan Kitab-kitab-Nya”). Kata yang dimaksud “al-
kalimât” dalam ayat ini barangkali adalah syariat di masa lampau. Dan “al-kutub”
ialah kitab-kitab yang turun, yang kemungkinannya adalah wahyu yang tidak
berbentuk kitab.
Keempat, “wa kânat mina l-qânitin”; ia (Maryam) adalah perempuan yang taat
kepada Allah dan dia termasuk orang-orang yang taat, tunduk dan konsisten dalam
kepatuhan kepada-Nya. Sebagian besar dari mufasir menerangkan, bahwa ia
dimasukkan dalam bentuk mudzakkar (seperti mina l-qanitin dan bukan mina l-
qânitât yang merupakan bentuk muannats, penj.). Sebagaimana firman Allah: “yâ
maryamu qnuti li rabbika wa sjudi wa raka’i ma’a râli’in” [Al Imran: 43], dan bukan
mengatakan; “ma’a râki’ât” yang merupakan bentuk muannats.
Pembahasan ini kami akhiri dengan menyebutkan tiga riwayat sebagai berikut:
1- Ath-Thabari meriwayatkan dari Abu Musa bahwa Rasulullah saw bersabda:
“Banyak yang sempurna dari kaum laki-laki, dan tiada yang sempurna dari kaum
perempuan melainkan empat orang: Asiyah binti Muzahim istri Fir’aun, Maryam binti
Imran, Khadijah binti Khuwailid dan Fatimah binti Muhammad (saw)” [Majmâ’ al-
Bayan: 5/320].
2- Al-Hakim meriwayatkan dari Ibn Abbas bahwa Rasulullah saw bersabda:
“Kaum perempuan penghuni surga yang paling utama ialah: “Khadijah binti
Khuwailid, Fatimah binti Muhammad (saw), Maryam binti Imran dan Asiyah binti
Muzahim istri Fir’aun, sebagaimana Allah mengisahkan kepada kita tentang mereka;
“Ya Tuhanku, bangunlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam surga.” [Ad-Durr
al-Mantsur: 8/229].
3- Ath-Thabrani meriwayatkan dari Sa’d bin Janadah bahwa Rasulullah saw
bersabda: “Sesungguhnya Allah menikahkan aku di surga: Maryam binti ‘Imran,
perempuan Fir’aun (Asiyah binti Muzahim) dan saudari Musa” [Ad-Durr al-Mantsur:
8/229].
Surat al-Mulk
Tamtsîl 57
“ Amman hâdzâ l-ladzi yarzuqukum in amsaka rizqahu bal lajju fi ‘utuwwin wa nufur.
A fa man yamsyi mukibban ‘alâ wajhihi ahdâ amman yamsyi sawiyyan ‘alâ shiratin
mustaqim.”
Artinya: “Atau siapakah dia ini yang memberi kamu rezki jika Allah menahan
rizki-Nya? Sebenarnya mereka terus-menerus dalam kesombongan dan menjauhkan
diri? Maka apakah orang yang berjalan terjungkal di atas mukanya itu lebih banyak
mendapat petunjuk ataukah orang yang berjalan tegap di atas jalan yang lurus?”.
[QS. al-Mulk: 21-22]
Tafsir Ayat
Kata lajj diangkat dari kata lajâj, bermakna terus menerus menentang di dalam
mengambil tindakan yang dihalangi. Kata ‘utuww berarti durhaka, congkak; dan kata
nufur bermakna menjauhi kebenaran.
Kata mukibb bermakna kabw (jatuh tersungkur), yaitu menjatuhkan sesuatu
pada wajahnya. Seperti dalam ayat: “fa kubbat wujuhuhum fi n-nâr”, artinya: “maka
disungkurkanlah muka mereka ke dalam neraka.” [QS. an-Naml: 90].
Ungkapan menyebutkan: “inna l-jawâd qad yaqbu”; yakni “yasquth”, artinya:
kuda balap terkadang jatuh. Dan yang dimaksud dengan “qarinah” (pasangan) di sini
ialah lawan kata dari “muqibban”; “yamsyi sawiyyan”, yakni yang berjalan dan
mukanya (tunduk) ke tanah, bukan yang jatuh (ke tanah). Ath-Thabarsi mengatakan:
“Menundukkan kepalanya ke tanah, dan ia tidak melihat jalan, atau bukan menghadap
ke jalan”.
Sedangkan ayat yang berbentuk pertanyaan kepada orang-orang sesat yang
terus-menerus dalam kesombongan dan menjauhkan diri dari kebenaran serta masih
berpegang pada patung-patung berhala, dan kepada orang-orang yang mendapat
petunjuk yang berjalan di jalan lebar tauhid dan tidak menyembah apapun kecuali
Allah Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu, memberikan sebuah perumpamaan yang
khas.
Perumpamaan mereka (yang sesat dan tidak mendapat petunjuk) ialah seperti
orang yang berjalan di atas tanah yang berliku-liku dan tidak lurus yang sarat dengan
kesukaran-kesukaran. Yang sesat ibarat ia jatuh terjungkal dan mukanya terjerembab
ke tanah. Sedangkan yang mendapat petunjuk seperti orang yang berjalan di atas
tanah lebar yang benar dan lurus tanpa mengalami halangan dan kesukaran, sehingga
dengan mudah sampai pada tujuan.
Perbedaan antara dua golongan ini bukanlah pada cara berjalannya, tetapi pada
jalan yang mereka pilih; jalan orang-orang kafir itu berliku-liku dan banyak kesulitan,
sementara jalan orang-orang yang mendapat petunjuk lurus dan lapang. Akibatnya, ia
yang melewati jalan yang pertama akan tergelincir dan terjerembab di atas tanah,
sedangkan ia yang melalui jalan kedua sampai pada tujuan dengan aman dan selamat.
Jadi, ta`wil ayatnya ialah; Maka apakah orang yang berjalan di jalan yang tidak lurus
bahkan berliku-liku dan terjungkal di atas mukanya (terbalik) itu lebih banyak
mendapat petunjuk, ataukah orang yang berjalan tegap dan lurus di atas jalan yang
lapang dan lurus?.
Allamah Husain Thabathaba`i berkata: “Maksudnya adalah mereka terus-
menerus berada dalam kecongkakan, kesombongan dan menjauh dari kebenaran.
Seperti orang yang berjalan di sebuah jalan dalam keadaan wajahnya jatuh terjungkal,
yang tidak melihat ketinggian, kerendahan, kelicinan dan kesulitan jalan itu. Maka
yang berjalan ini bukanlah seperti orang yang berjalan secara tegap di jalan yang
lapang dan lurus, sehingga ia dapat melihat langkah kakinya dan jalan yang
dihadapinya dengan tertib serta dapat melihat tujuan yang ditempuh secara jelas.
Mereka yang kafir menempuh jalan kehidupan sambil menentang kebenaran
yang mereka ketahui, sehingga mereka gelap dari pengetahuan kebenaran yang harus
diketahui dan jauh dari amal yang harus diamalkan. Mereka tidak tunduk pada
kebenaran meskipun mereka mengetahui perkara dengan jelas. Maka, mereka pun
percaya (dan memilih) kehancuran.” [al-Mizan: 19/360-1]. []