publish or perish: pelajaran berharga dari bencana

70
KISAH KISRUH DI TANAH GEMPA CATATAN PENANGANAN BENCANA GEMPA BUMI YOGYA - JATENG 27 MEI 2006

Upload: ugm

Post on 10-Jan-2023

0 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Kisah Kisruh di Tanah Gempa

Catatan Penanganan BenCana gemPa Bumi YogYa - Jateng 27 mei 2006

Cindelaras Pustaka Rakyat CerdasYogyakarta

2007

Kisah Kisruh di Tanah GempaCatatan Penanganan BenCana

gemPa Bumi YogYa - Jateng 27 mei 2006

Editor:AB. Widyanta

Diterbitkan Pertama Kali, Agustus 2007Oleh Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas

Jl. Pangkur No.19 Ganjuran, Manukan Rt 02/Rw03, CondongcaturDepok, Sleman, Yogyakarta 55281-INDONESIA

Ph.:+62 274-889611; Ph./Fax.: +62 274-889612Email:[email protected]

Copyright © 2007 Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas

Editor:AB. Widyanta

Pracetak:Retno Agustin GS. Purwanto

Design Cover:IB. Sakuntala

Tata Letak:Suwasono

Dicetak oleh CPRC Yogyakarta 2006

Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)Widyanta, AB.Kisah Kisruh di Tanah Gempa: Catatan Penanganan Bencana Gempa Bumi Yogya-Jateng 27 Mei 2006/ AB.Widyanta–Yogyakarta: Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas, 2007.

xxix + 573 hlm; 14,5 x 21 cm

ISBN 978-979-3087-31-31. Gempa Bumi 2. Manajemen Bencana I. Judul

303.485.

Catatan PenerBit

Dalam beberapa tahun terakhir, berbagai bencana alam me-nerpa Indonesia. Silih berganti, tsunami, gempa bumi, banjir, angin puting beliung, dan gunung meletus menerjang

negeri ini secara acak. Belum tuntasnya penanganan bencana alam di suatu wilayah, bencana alam lain tak sabar mengkoyak belahan wilayah Indonesia lainnya. Perjalanan sejarah negeri ini pun kian di-jejali dengan potret kelam penderitaan rakyat yang berlapis-lapis dan berkepanjangan.

Meski diamuk bencana berulangkali, nampaknya bangsa kita tetap tak bergeming untuk segera menata pola manajemen keben-canaannya. Kedodoran demi kedodoran penanganan bencana selalu berakhir dengan alasan pemakluman dan pembenaran. Lebih celaka lagi, kisah sukses dan prestasilah yang justru diumbar di mimbar-

�i KISAH KISRUH DI TANAH GEMPA

mimbar pidato para pejabat. Hal itu kian menegaskan bahwa bangsa ini memang bukanlah bangsa pembelajar, melainkan bangsa yang ge-mar melakukan kebohongan publik.

Tak ada catatan dan pelajaran yang berarti dari bencana. Segala sesuatunya menguap menjadi masa lalu yang tak pantas untuk di-petik hikmahnya. Lantaran momentum dibiarkan lenyap, wajar saja jika kesadaran dan akal sehat kembali tertidur lelap. Ancaman ben-cana dianggap enteng, bahkan diabaikan. Jujur harus diakui, sebagai bangsa kita memang sangat lemah dalam hal yang detail. Rupanya bangsa ini memang tak pernah belajar dan menjadi pemetik hikmah yang baik dari berbagai bencana yang terjadi. Bukankah kita bisa bertindak benar karena belajar dari kesalahan? Lantas mengapa kita tak mau jujur untuk mengakui kesalahan, sehingga kita bisa meme-tik hikmah dan pelajaran yang berharga darinya, agar bisa bertindak benar di kemudian hari?

Dua gugatan itulah yang mendorong sejumlah akti�is muda untuk menuliskan tiga buah buku yang mengulas tentang catatan penanganan bencana gempa bumi Yogya-Jateng. Sejalan dengan gugatan di atas, ada dua alasan mengapa mereka tergerak untuk menulis ketiga buku tersebut: pertama, untuk mendokumentasikan berbagai petikan pengalaman dan pelajaran berharga yang mereka dapatkan dalam praksis penanganan bencana. Kedua, untuk menyu-sun berbagai langkah konkrit yang mungkin ditempuh untuk per-baikan dan pengembangan kualitas kerja-kerja bersama ke depan, demi menegakkan keberpihakan kepada kaum lemah dan tertindas. Kedua tujuan tersebut dituangkan ke dalam “Trilogi” buku gempa berikut ini: Setelah Gempa 30 Juta SKalla Richter; Kisah Kisruh Di Tanah Gempa, Catatan Penanganan Bencana Gempa Bumi Yogya-Jateng 27 Mei 2006; dan Apa Kabar Yogya, Lama Tak Gempa.

Buku pertama yang berjudul Setelah Gempa 30 Juta SKalla Richter, mengulas secara satir atas kronologi penanganan bencana gempa bumi Yogya-Jateng oleh pemerintah. Diawali dengan pa-paran mengenai bencana alam gempa bumi berikut data korban

�iiCATATAN PENERBIT

dan kerusakan, buku ini lebih jauh membongkar buruknya manaje-men bencana pemerintah. Kiprah berbagai aktor yang juga turut menyumbang keruwetan dalam penanganan bencana pun tak luput dibeberkan. Bencana buatan manusia (baca: kebijakan pemerintah) ternyata tak kalah dahsyat dibandingkan bencana gempa bumi. Demikianlah realitas yang terjadi. Realitas itulah yang akhirnya diangkat ke dalam judul yang terkesan ganjil dan berbau plesetan tersebut.

Senada dengan buku tersebut di atas, Kisah Kisruh Di Tanah Gempa, Catatan Penanganan Bencana Gempa Bumi Yogya-Jateng 27 Mei 2006, juga membongkar pola manajemen bencana yang am-buradul. Kekisruhan terjadi di berbagai lapisan, mulai dari peme-rintah pusat, pemerintah pro�insi, pemerintah kecamatan, hingga pemerintah desa. Tak jelasnya keberpihakan pemerintah terhadap warga korban bencana, sangat tercermin dalam kebijakan yang dibuatnya. Berbagai pelajaran dari bencana dipaparkan secara bera-gam oleh 26 penulis yang kebetulan terlibat penuh dalam penangan-an bencana bersama warga. Berangkat dari kacamata dan concernnya masing-masing, mereka menyajikan tulisan dalam berbagai tema yang berbeda, namun dengan ruh keberpihakan yang sama, yaitu me-nyuarakan warga korban bencana terutama kaum perempuan, anak dan difable.

Sedikit berbeda dengan kedua buku di atas, buku dengan judul aneh, Apa Kabar Yogya, Lama Tak Gempa, menampilkan dua so-sok yang sudah cukup familiar bagi warga korban bencana, yaitu Kang Gempil dan Yu Nami. Dua sosok ini pernah menjadi ikon bu-letin Suara Korban Bencana, yang terbit dan diedarkan kepada warga korban bencana di setiap minggu selama 6 bulan pasca bencana. Di buku ini, berbagai kisah nyata di lapangan disajikan secara krono-logis dan dipertajam dengan gambar karikatur yang syarat guyonan kritis dan cerdas a la rakyat. Dari sudut pandang wong cilik, buku ini ingin menyampaikan pesan bahwa menempatkan musibah sebagai bagian dari penyelenggaraan Illahi adalah kebijaksanaan yang paling

�iii KISAH KISRUH DI TANAH GEMPA

unggul, mengakhiri pertentangan batin yang berkecamuk tentang penyebab bencana alam. Dalam situasi itulah Kang Gempil dan Yu Nami mengajari kepada kita tentang mupus kahanan, menghibur diri sendiri dan orang lain.

Terbitnya 3 buku tentang penanganan gempa bumi Yogya-Jateng ini pantas untuk kita maknai sebagai upaya mawas diri, me-lalui self mockery (harafiah: menertawakan diri sendiri), untuk bela-jar memetik hikmah dan menginisiasi perubahan yang lebih baik menuju keadaban publik. Terkait dengan substansi kebencanaan, semoga saja berbagai pengalaman dan buah pelajaran berharga yang tertuang di ketiga buku tersebut bisa menyumbang gagasan bagi ikhtiar semua kalangan masyarakat untuk menyemai kesadaran kri-tis tentang bencana. Sehingga kesiapsiagaan bencana bisa diiniasi sejak dini. Selamat membaca.

Yogyakarta, 27 Mei 2007 Penerbit CPRC

-abw-

1

Publish or Perish:PelaJaran Berharga dari BenCana

Pendahuluan

Pengantar Publish dunk! Begitu bunyi sebuah SMS (short message service)

super pendek dari seorang kawan, pada suatu sore. Sesaat membaca pesan pendek itu, sebuah SMS dari seorang kawan lainnya merang-sek masuk. “Aku masih di lapangan, tapi siap bergabung di perte-muan nanti malam, Kang!”, demikian bunyi SMS menyiratkan antu-siasme pengirimnya. Selang sekian detik inbox messages ditutup, HP tiba-tiba berbunyi. Begitu tut dial dipencet, dari seberang telepon terdengar seorang kawan yang lainnya lagi. Di sela-sela tawanya yang lepas, terselip apresiasi pendek, “Aku senang menerima SMS yang lugas, tegas, dan menantang seperti ini. Dengan senang hati aku pas-ti datang, Lik! Sampai ketemu nanti malam”, tegas kawan tersebut menutup pembicaraannya. Menit-menit menjelang petang terkirim

AB.Widyanta

2 KiSah KiSruh di tanah gemPa

SMS balasan dari beberapa kawan yang menegaskan kesanggupan-nya untuk hadir pada pertemuan dadakan malam itu.

Awal cerita, pada pertengahan Februari 2007, sekumpulan akti�is yang terlibat dalam penanganan bencana gempa bumi Yog-ya-Jateng, 27 Mei 2006, sepakat untuk menuliskan pengalaman lapangannya dalam format buku. Menurut rencana, buku itu akan diluncurkan persis pada saat peringatan satu tahun bencana gempa bumi terjadi, 27 Mei 2007. Sejak tercapai kata sepakat, praktis hanya tersedia waktu 3 bulan untuk proses penulisan. Dua bulan berjalan mengindikasikan komitmen yang melemah. Meski setiap seminggu sekali dijadwalkan untuk mempresentasikan draf tulisan masing-ma-sing kawan, namun finalisasi tulisan tak kunjung terealisir juga. Se-lama kurang lebih dua bulan, tak seorang kawan pun mengumpulkan tulisannya untuk segera diedit, demi mengejar tenggat waktu yang teramat mepet. Kesibukan dan keletihan melakukan pendampingan masyarakat memang menjadi alasan yang cukup masuk akal untuk tertundanya proses penulisan. Melihat gelagat kawan-kawan yang kian “tersandera” oleh akti�itas lapangan, iseng-iseng penulis me-nyebar sebuah SMS “kompor”: “Mengundang kawan-kawan pada pertemuan nanti malam, pukul 20.00 WIB, untuk menindaklanjuti rencana penerbitan buku penanganan bencana gempa bumi Yogya-Jateng. Telah disiapkan hidangan dengan menu pilihan istimewa un-tuk kita semua: Publish or Perish?”

Tak disangka-sangka, SMS iseng yang tersebar disambar begitu saja oleh antusiasme kawan-kawan, seperti yang terekspresikan di atas. Entah dari mana spirit dan energi itu berasal, hingga dalam himpitan keletihan kawan-kawan pun masih meringankan kaki dan hati demi menghadiri undangan dadakan tersebut. Malam itu, sepu-luh orang kawan berkumpul untuk menyusun draf tulisan masing-masing, dengan merelakan kawan lain mengkritisi dan memberikan masukan. Demikian seterusnya, silih berganti mereka saling saji dan bongkar draf tulisan. Pertemuan berakhir sekitar 03.00 WIB. Mas-ing-masing kawan mengantongi draf tulisan yang relatif rinci dan

3Pendahuluan

komprehensif. Hari-hari berjalan, upaya saling sharing pengalaman, mengasah ide, dan memperkaya gagasan terus berlangsung di setiap Senin sore, pukul 17.00-21.00 WIB, di PSPK-UGM. Di tempat itu-lah kawan-kawan akti�is lintas lembaga yang tergabung dalam Fo-rum Senenan (FS) menginisiasi sekaligus membidani lahirnya buku yang tengah Anda baca ini.

Berlakunya sistem jawilan (relasi kawan dekat) dan sistem ge-thok tular (pemberitaan dari mulut ke mulut) dalam relasi antar par-tisipan FS memberi peluang kepada banyak kawan untuk menyum-bang tulisan. Mengejar optimalisasi tema, persoalan kekurangan penulis pun segera bisa terpecahkan. Dari dua puluh enam tulisan yang ada di buku ini, lima di antaranya ditulis oleh kawan-kawan jaringan di luar FS. Hal itu terjadi karena beberapa kawan FS me-narik kembali kesanggupannya untuk menulis. Para partisipan FS sendiri meyakini bahwa penulisan buku ini adalah bagian yang tak terpisahkan dari akti�itas berjejaring untuk ad�okasi warga korban bencana. Dan ketika buku ini berhasil diterbitkan, kawan-kawan FS pun memaknainya sebagai sebentuk kemenangan kecil. Upaya-upa-ya untuk merancang dan mencapai berbagai bentuk kemenangan kecil semacam ini bagaimanapun juga sangat penting. Karena hal itu akan sangat berarti bagi peminimalisiran rasa bosan, lelah, dan lembeknya energi dalam gerakan sosial. Selain sebagai sarana aktual-isasi diri, akti�itas semacam itu juga bisa menjadi wahana peneguh-an komitmen para akti�is dalam kancah gerakan sosial yang tengah mereka geluti bersama. Selain itu, buku yang dihasilkan juga bisa menjadi wujud penyuaraan dan pembelaan terhadap hak-hak dasar korban yang hingga kini masih tercecer di sana-sini. Dengan cara itulah elan vital kawan-kawan bisa terbaharui lagi, dan secara praktis bisa meminimalisir terjadinya compassion fatigue1 yang lazim dialami para pekerja kemanusiaan maupun pekerja sosial.

1. Istilah Compassion Fatigue merujuk pada pengertian kelelahan psikologis yang dihadapi oleh kaum pekerja yang bergerak dalam lingkup kerja-kerja pelayanan medis maupun pelayanan sosial kemasyarakatan (karitatif dan non-karitatif). Pengertian itu

4 KiSah KiSruh di tanah gemPa

Kendati terbitnya buku ini mundur dua bulan dari rencana awal, namun kawan-kawan tetap berbesar hati, lantaran jerih payah mereka tersulihi oleh suatu kemenangan kecil. “Siapa bilang akti�is lapangan tak bisa menulis”, celetuk seorang kawan. “Kita harus tun-jukkan bahwa akti�is lapangan juga bisa menulis”, imbuh kawan lain penuh percaya diri. Memang patut diakui bahwa dengan segenap cacat dan celanya, kurang dan lebihnya, kemunculan buku ini meru-pakan buah penyelarasan kerja tangan, otak, dan hati mereka. Me-lalui buku ini, kawan-kawan berupaya menginisiasi jejaring ad�okasi untuk warga korban bencana dengan “gerakan menulis”. Menurut keyakinan mereka, sehebat apapun pengalaman lapangan seorang akti�is tak akan banyak berandil bagi gerakan sosial yang lebih be-sar, tanpa adanya diseminasi berbagai pengalaman dan hasil kerja mereka di lapangan. Dengan keyakinan itu, selain mengakar pada gerakan komunitas akar rumput, mereka bisa berjejaring di kancah gerakan yang lebih luas. Dengan demikian, pengalaman lapangan tak sekadar tertimbun di kantung-kantung sejarah personal, namun bisa menjadi materi pembelajaran bersama bagi siapa saja yang ingin mendialogkan berbagai prakarsa ke depan bagi perkembangan gerak-an masyarakat sipil yang lebih besar lagi.

Jika kita pernah mengenal bahwa credo para intelektual akade-mis adalah publish or perish2, maka bagi kaum akti�is, credo tersebut

juga sangat dekat dengan fenomena kelelahan psiko-sosial para pekerja kemanusiaan. Awalnya, istilah ini muncul pada tahun 1992, dalam tulisan Joinson (di sebuah majalah keperawatan) maupun dalam buku Jeffrey Kottler yang berjudul Compassionate Therapy. Keduanya menengarai sebuah gejala dengan mengajukan sebuah pertanyaan berikut: bagaimana dan mengapa para pekerja yang bergelut di bidang pelayanan kesehatan dan sosial kehilangan rasa simpati yang mendalam (compassion) atas penderitaan dan ketidakberuntungan orang-orang lain yang mereka layani. Indikator penting dari Compassion Fatigue ini muncul ketika para pekerja itu tak lagi berkemauan kuat (lembek, loyo, tidak lagi berpegang pada mandat dan komitmen) untuk meringankan rasa sakit/penderitaan maupun menghilangkan akar penyebab dari penderitaan tersebut. Untuk uraian lebih lanjut baca Charles R. Figley, Ph.D, Compassion Fatigue: An Introduction dalam www.greencross.org

2. Berdasarkan hasil pelacakan Eugene Garfield, credo “publish or perish” yang sangat terkenal ini, muncul pertama kali dalam tulisan Logan Wilson berjudul The Academic

5Pendahuluan

bisa diubah dan dibunyikan menjadi praxist or perish maupun write or perish. Menurut hemat penulis, tanpa berkeinginan untuk narsis, buku ini sedikit banyak telah merepresentasikan pilihan yang ad-ekuat atas ketiga credo di atas, yaitu: praxist, write, dan publish. Setelah selama lebih dari 1 tahun bergulat bersama-sama warga korban ben-cana, kawan-kawan secara riil telah berpraksis dalam pemulihan pas-ca bencana. Dari praksis itu, mereka tentu mendapatkan berbagai buah pelajaran yang sangat berharga, yang boleh jadi belum pernah diperoleh sebelumnya. Bertitik tolak dari praksis itu, mereka men-transformasikan berbagai pengalaman dan pelajaran baru tersebut ke dalam tulisan. Kendati berbagai pengalaman itu tak utuh dan masih terfragmentasi dalam penulisannya, namun secara mendasar kawan-kawan telah memilih hal terbaik yang bisa mereka lakukan. Pada akhirnya berbagai tulisan yang terfragmentasi itu dibingkai dan diterbitkan bersama dalam bentuk buku ini. Dengan alur semacam itu, disadari atau tidak, mereka telah melakukan proses dialektis, aksi-refleksi-aksi. Melalui metode dialektis itu, pengalaman bencana yang telah tertuang di buku ini bisa dijadikan sebagai acuan dalam praksis-praksis penyadaran publik, terutama yang terkait dengan manajemen risiko (risk management) dan kesiapsiagaan bencana (di-saster preparedness).

Namun, terlepas dari sisi positifnya, kumpulan kisah dan refleksi yang ditulis kawan-kawan FS di buku ini tetap menoreh-kan cacat dan kelemahannya. Harus diakui, buku ini tidak bisa di-katakan mewakili suara dan pengalaman pelaku utama yakni para penyintas (survivors) gempa. Sebagian dari suara dan pengalaman para penyintas hanya terselip di antara alur-alur pikir dan refleksi para penulisnya (akti�is dan pekerja kemanusiaan) saja. Alih-alih mewakili, tulisan para akti�is boleh jadi justru mereduksi pengala-man para penyintas gempa. Dengan kata lain, reduksi makna adalah sebuah keniscayaan dalam buku ini. Dari cacat inilah, semoga para pembaca terpicu untuk menyempurnakan agenda yang tercecer itu dalam buku yang lain, yang secara khusus mengangkat suara dan

6 KiSah KiSruh di tanah gemPa

pengalaman para penyintas gempa. Dengan demikian, para penyin-tas gempa tetap memiliki hak yang sama untuk menyuarakan dan membeberkan apa yang mereka alami dan rasakan. Dalam hal ini, mewakili kawan-kawan FS, penulis memohon maaf atas keserba-ter-batasan yang tak bisa ditolak ini.

Namun, meski terjadi reduksi dalam berbagai tulisan di buku ini, semoga saja tidak ditangkap dan diartikan sebagai upaya untuk mengecilkan arti pentingnya hak-hak para penyintas gempa untuk bersuara. Bagaimanapun juga, buku ini ditulis kawan-kawan FS un-tuk memberikan penyadaran dan peneguhan komitmen keberpi-hakan, paling tidak untuk diri kami sendiri, untuk tak kenal lelah memperbaiki semangat dan kapasitas pelayanan bagi para penyin-tas. Dengan demikian, kami menjadi terlecut untuk selalu belajar dan berupaya menggenggam komitmen moral dalam menegakkan dan memperjuangkan hak-hak warga korban bencana di masa-masa mendatang.

Kiprah Forum Senenan (FS)

Tak pernah terbayang sebelumnya bahwa buku ini akan ter-bit dan terlahir dari jejaring lintas person dari berbagai lembaga yang sistem keanggotaannya teramat cair, seperti FS. Ditilik dari namanya saja sudah terkesan bahwa forum itu hanya perkumpulan biasa yang tak perlu diperhitungkan keberadaannya. Di forum ini tak ada aturan maupun struktur formal yang mengikat para parti-sipannya. Masing-masing partisipan yang datang dan terlibat di FS adalah representasi pribadi dan bukan lembaga. Oleh karena itu, siapapun—tanpa mempedulikan dari lembaga manapun—bisa ber-gabung dan turut terlibat dalam diskusi yang diadakan setiap Senin sore tersebut. Tema diskusi tentu saja terkait dengan berbagai per-soalan aktual yang dihadapi warga korban bencana. Karena seba-gian besar partisipan FS adalah community organizer, maka berbagai temuan kasus di lapangan tak pernah habis untuk dijadikan bahan kajian bersama. Dalam format ikatan yang serba luwes, longgar, dan egaliter, forum ini bisa menciptakan ruang untuk saling berbagi

7Pendahuluan

dan meng-update informasi, mengasah pisau analisis kritis, menggali metode dan strategi pengorganisiran, dan lain sebagainya. Bertitik tolak dari kasus-kasus riil di lapangan, mereka mewacanakan dan mengkajinya lebih jauh dengan berbagai macam perspektif. Tak ja-rang, berbagai persoalan mikro melesat jauh hingga terpautkan de-ngan persoalan-persoalan di tingkat makro, baik nasional maupun internasional. Bahkan dalam beberapa kesempatan, sejumlah nara sumber yang kompeten (warga korban, akademisi, jurnalis, dll) pun berhasil “diculik” dan dihadirkan untuk mempertajam analisis pada suatu kajian tertentu.

Terkait dengan program-program yang dirancang FS, persoal-an anggaran selalu dirembug dan dipecahkan bersama-sama. Budaya bantingan (iuran uang berdasarkan pada asas kerelaan dan tanggung renteng perorangan) yang berlangsung sejak awal berdirinya FS, ternyata cukup efektif untuk mendanai keberlangsungan beberapa agenda dan program yang dirancang bersama. Kemunculan buku ini pun bisa menjadi salah satu bukti riil dari budaya bantingan tersebut. Bantingan dana juga terjadi pada program pengkajian dan pengkri-tisan atas Rancangan Undang-Undang Penanggulangan Bencana. Sekitar pertengahan bulan Februari 2007, seorang kawan, pakar kemanusiaan yang kebetulan turut terlibat dalam penyusunan draf UUPB, melontarkan gagasan—salah satunya kepada FS—untuk se-cepatnya mengkritisi draf UUPB sebelum disyahkan oleh DPR pada 29 Maret 2007. Menimbang penginformasian yang mendadak dan tenggat waktu yang teramat mepet (1 bulan) untuk urusan sepenting itu, kawan-kawan FS berinisiatif menggelar pertemuan intensif guna memelototi berbagai kelemahan dalam rancangan UUPB tersebut. Berturut-turut, lima kali pertemuan diselenggarakan setiap hari, pada pukul 16.00-23.00 WIB. Bak parlemen yang tengah bersidang, mereka pun menghasilkan berlembar-lembar draf masukan, kritik, berikut Daftar In�entarisasi Masalah (DIM), tentu saja �ersi FS. Malang tak dapat di tolak, kawan-kawan FS nampaknya harus mu-lai belajar memahami bahwa tak selamanya niat, gagasan, cara, dan mekanisme yang baik akan secara otomatis diterima baik pula oleh

8 KiSah KiSruh di tanah gemPa

orang-orang yang tengah dirasuki kepentingan politik. Bertarung timpang dalam kancah politik yang syarat kepentingan, FS akhirnya memilih mundur dan menyimpan hasil jerih payah mereka sendiri. Kendati toh merasa masgul, kawan-kawan FS tetap memetik pelajar-an berharga dari kasus ini: tak ada kata sia-sia demi membela hak-hak warga korban yang terabaikan. Kegagalan adalah pangkal ke-berhasilan, demikian petuah bijak bertutur. Akan tiba juga saatnya nanti, ikhtiar yang baik akan berbuah yang baik pula.

Kali kedua, FS menangkap lontaran gagasan dari kawan-kawan UNDP tentang penyusunan Rencana Aksi Daerah (RAD) untuk Pengurangan Risiko Bencana (PRB). Masih dengan semangat yang menyala, kawan-kawan FS berproses bersama kawan-kawan lain di jejaring aktor penanganan bencana yang ada di Yogyakarta. Di tingkatan internal FS, kawan-kawan menyepakati untuk mengga-rap serius tentang muatan kearifan lokal dalam RAD Pengurangan Risiko Bencana ini. Sejak pukul 15.00 WIB, tanggal 21 April 2007, dua puluh orang partisipan FS mulai mendiskusikan dan membedah esensi Pengurangan Risiko Bencana dari sudut pandang kearifan lokal. Berjibaku semalam suntuk, Draf Rancangan RAD itu akhir-nya terselesaikan juga keesokan harinya, pada pukul 09.00 WIB, 22 April 2007. Selang satu jam kemudian, pukul 10.00 WIB, Draf Rancangan RAD tersebut dipresentasikan oleh kawan-kawan FS di Pusat Studi Penanggulangan Bencana (PSPB) UGM.3

Man: A Study in Sociology of a Profession (New York: Oxford Uni�ersity Press, 1942). Dalam bab berjudul Prestige and the Research Function, Wilson menyatakan bahwa: “The prevailing pragmatism forced upon the academic group is that one must write something and get it into print. Situational imperatives dictate a ‘publish or perish’ credo within the ranks”. Namun Garfield meragukan bahwa frase “publish and perish” itu adalah istilah yang orisinil dari Wilson sendiri. Setelah dilacak lebih lanjut, Garfield menduga bahwa istilah itu muncul dari guru Wilson, seorang sosiolog di era sebelum Perang Dunia II, Robert K. Merton. Garfield menegaskan: “Merton and others familiar with pre-war academy believe that “publish or perish” was a term in fairly common usage at the time. Baca lebih lanjut dalam Eugene Garfield, What Is The Primordial Reference For The Phrase ‘Publish Or Perish’? The Scientist, Vol:10, #12, p.11, June 10, 1996.

3. Hasil Draf Rencana Aksi Daerah tentang Pengurangan Risiko Bencana tersebut bisa dibaca di Halaman Lampiran buku ini.

9Pendahuluan

Dari uraian di atas, kita bisa mencermati bahwa kiprah FS terkesan relatif responsif, lentur, tak terkendala hierarki senioritas dan kelembagaan, dan selalu longgar waktu pertemuannya. Topang-an utama kerja-kerja maraton dan spartan FS sendiri terbatas pada dasar ikatan komitmen moral dan kepedulian terhadap warga kor-ban bencana. Tak lebih. Maka bisa dimaknai bahwa munculnya FS ini, di satu sisi bisa dimaknai sebagai subculture,4 namun di sisi lain bisa juga dimaknai sebagai counter-culture5 dari forum-forum for-mal yang terbentuk pasca bencana. Warna dan karakter forum ini pun berbeda dengan forum-forum formal tersebut, bahkan dalam beberapa sistem relasi dan kerja-kerjanya berseberangan dengan je-jaring forum yang formal. Kendati sistem dan kulturnya berbeda, kehadiran FS tidak berarti menandingi atau menggantikan forum-forum formal yang ada, namun melengkapinya. Dari perspektif so-sial, kelompok semacam ini bisa dikategorikan sebagai kelompok subaltern.6 Pengertian dari subaltern di sini merujuk pada kondisi di-mana sekelompok orang lebih banyak menekankan kepeduliannya pada warga korban bencana ketimbang para elit birokrasinya. Ken-

4. Pada dasarnya, subkultur (sub-culture) terbentuk dari proses “pemisahan sosial” masyarakat yang berkecenderungan menghasilkan diferensiasi kultural. Karakteristik struktur sosial, pola kepentingan, dan bentuk-bentuk perilaku tertentu menjadi basis utama bagi pemisahan sosial dan formasi subkultur ini. Subkultur ini eksis di dalam relasi dengan budaya dan sistem sosial yang lebih besar. Hubungan-hubungan yang mungkin berbeda itu bisa dipandang sebagai hal yang biasa-biasa saja, bisa dipandang sebagai hal yang positif, namun juga bisa dipandang sebagai hal yang negatif (karena memang sudah dicap menyimpang). Tidak jarang diferensiasi kultural itu pada akhirnya bergeser ke posisi yang bukan sekadar berbeda, namun bertentangan dengan nilai-nilai kultural arus utama (mainstream). Sejak itulah kontra-budaya (counter-culture) terjadi. Baca Adam Kuper & Jessica Kuper, Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial, Jakarta: Rajawali Press, 2000, hlm. 1069.

5. Konsep ini terkait dengan subkultur di atas. Counter-culture merujuk pada pengertian suatu subkultur dan kultur tandingan yang memiliki tatanan kepercayaan dan nilai-nilai yang berbeda dengan kultur utama yang dominan (mainstream culture). Baca Da�id Jary & Julia Jary, Collins Disctionary of Sociology, Great Britain: Harper Collins, 1991, hlm.125. Bandingkan Adam Kuper & Jessica Kuper, Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial, Jakarta: Rajawali Press, 2000, hlm.1069.

6. Istilah subaltern ini awalnya muncul dalam karya seorang Marxist Italia, Antonio Gramsci (1881–1937). Secara harafiah, istilah itu merujuk pada pemahaman tentang

10 KiSah KiSruh di tanah gemPa

dati berfokus pada non-elit (semisal elit birokrasi pemerintahan, elit birokrasi LSM, dan lain-lain) namun kelompok ini tentu saja akan bersinggungan dengan elit juga ketika mewacanakan dan beretorika dalam proses penguatan gerakan sosial dan politik demi membela kepentingan basis massanya tersebut.

RKMSY: Awal Mula Forum Senenan (FS)

Awal terbentuknya FS ini tak bisa dilepaskan dari sejarah pem-bentukan aliansi masyarakat sipil pasca bencana gempa bumi Yogya-Jateng. Aliansi yang diberi nama Rembug Konsolidasi Masyarakat Sipil Yogyakarta (RKMSY) itu merupakan gabungan dari berbagai elemen masyarakat sipil, di antaranya adalah: Komite Kemanusiaan Yogyakarta (KKY), Forum Suara Korban Bencana, Jogja Recovery, Forum Jogja Bangkit, Merti Jogja, Gerakan Jogja Bangkit, FKKJ, Forum LSM DIY, Forum Korban Bencana (ForKoB), Gabun-gan Posko Rakyat (GPR), Paguyuban Korban Gempa Yogyakarta (PKGY), AJI Jogja, WALHI DIY, LBH Yogyakarta, Sappurata, PSM Yogyakarta, dan berbagai elemen masyarakat sipil lainnya.

Pembentukan aliansi besar itu dilatarbelakangi oleh tiga alasan dasar: pertama, “Jangan jadikan Yogya seperti Aceh”. Catatan bu-ruk tentang penanganan pasca bencana gempa bumi dan tsunami di Aceh rupanya menginspirasi kalangan masyarakat sipil Yogyakarta untuk mengupayakan penanganan pasca bencana yang lebih baik. Mereka tak ingin penanganan bencana Yogya seperti yang terjadi di Aceh. Tak rela Yogya dijadikan sebagai Aceh kedua, berbagai elemen masyarakat sipil mendesakkan kepada pemerintah pro�insi untuk menerapkan aturan yang jelas dan tegas kepada lembaga-lem-baga pemberi bantuan baik lokal, nasional, maupun internasional.

Kedua, selama dua bulan pasca gempa, penanganan bencana yang dilakukan oleh seluruh pemangku kepentingan (stakeholders), nampaknya telah memunculkan preseden buruk. Di sana-sini terjadi kekisruhan, kesemrawutan, ketidakmerataan, tumpang tindih ban-tuan, dan bahkan muncul kasus program bantuan yang tak mendidik pula, semisal cash for work. Melihat perkembangan situasi yang kian memprihatinkan itu, maka berbagai elemen tergerak untuk mengini-

11Pendahuluan

siasi lahirnya gerakan masyarakat sipil lintas jaringan yang mampu meminimalisir berbagai dampak buruk bantuan pasca bencana.

Ketiga, pentingnya menjumbuhkan gerak pikir dan langkah da-lam koordinasi kerja-kerja lintas lembaga dan forum. Terkait dengan capaian ini, dalam serangkaian pertemuan besar yang digelar di salah satu ruang Pusat Studi Perdesaan dan Kawasan (PSPK)-UGM, selu-ruh elemen RKMSY bersama-sama mendiskusikan persoalan aktual warga korban bencana berikut solusi, strategi, dan pendekatannya. Demi tercapainya tujuan itu, maka agenda utama dari RKMSY ini adalah penyusunan Code of Conduct dalam penanganan bencana Yog-ya. Penyusunan Kode Etik itu dirasa sangat penting untuk dilaku-kan, agar seluruh proses penanganan bencana bisa terkoordinir, ti-dak tumpang-tindih, tidak menimbulkan konflik di masyarakat, dan selalu mengedepankan nilai-nilai keadilan maupun kearifan lokal masyarakat.

Semua itu merupakan prasyarat utama bagi pemenuhan hak-hak dasar warga korban bencana. Dengan adanya Kode Etik terse-but, seluruh pemangku kepentingan dalam penanganan bencana bisa menghargai martabat warga korban bencana dan pola-pola pemberi-an bantuan tidak mengakibatkan ketergantungan bagi masyarakat. Secara rinci, berbagai hal penting yang tercakup dalam agenda RK-MSY itu di antaranya adalah sebagai berikut: (a) Code of Conduct (kesamaan prinsip-prinsip cara bertindak, episentrumnya harus dari perspektif korban); (b) Perencanaan rehabilitasi/ rekonstruksi; (c) Pendekatan/cara-cara; (d) Pembagian peran; dan (e) Identifikasi sumber daya dan partisipasi masyarakat.7

orang atau kelompok yang terkategorikan berada di tingkatan dan tataran inferior, yang disebabkan oleh karena ras, kelas, gender, orientasi seks, etnis, agama dan lain sebagainya. Dalam perkembangannya, istilah subaltern ini kadang diterapkan juga pada cara pandang dan pendekatan yang lebih luas lagi. Kajian subaltern ini misalnya lebih menekankan pada keutamaan untuk membeberkan sejarah dari bawah (akar rumput), dan lebih memusatkan perhatian lebih pada apa yang terjadi dan dialami oleh massa rakyat di tingkat akar rumput ketimbang kaum elitnya. Baca lebih jauh dalam “http://en.wikipedia.org/wiki/Subaltern_Studies”

7. Notulensi pertemuan Rembug Konsolidasi Masyarakat Sipil Yogyakarta, 29 Juli 2006. Untuk mengetahui poin-poin penting dalam Rancangan Code of Conduct

12 KiSah KiSruh di tanah gemPa

Mengawali agenda besar itu, muncul kesepakatan bersama un-tuk melakukan latihan “pemanasan”. Rencana aksi massa pun diran-cang dan diuji-cobakan di awal-awal RKMSY berdiri. Terbentuklah ketika itu aliansi gerakan aksi massa untuk menagih janji dana ban-tuan pemerintah sebesar 10, 20, dan 30 juta untuk setiap rumah war-ga yang rusak ringan, sedang, dan berat/roboh. Aliansi yang diberi nama Gerakan Aksi Tagih Janji (GANTI) tersebut digelar pada 19 Juli 2006, bertepatan dengan kunjungan Wapres Jusuf Kalla di Yo-gyakarta.8 Meski pada saat e�aluasi bersama ternyatakan bahwa aksi jalanan tersebut berhasil digelar secara damai dan bisa menggerak-kan ribuan orang, namun muncul beberapa catatan kelemahan. Satu di antaranya adalah kurang solidnya elemen-elemen masyarakat sipil yang tergabung di dalam RKMSY itu sendiri.

Pasca aksi jalanan, RKMSY meneruskan agenda besarnya dalam beberapa kali pertemuan, dengan tingkat partisipasi yang nampak kian merosot dari waktu ke waktu. Seiring dengan meningkatnya kesibukan lembaga-lembaga partisipan di wilayah dampingan ma-sing-masing, aliansi RKMSY pun benar-benar mengendur, dan akh-irnya lenyap bagai ditelan bumi. Akti�itas RKMSY praktis hanya berlangsung kurang lebih tiga bulan. Memasuki bulan keempat pas-ca bencana, akti�itas-akti�itas RKMSY tak lagi terdengar kabarnya. Tak diketahui secara pasti, kapan RKMSY ini bubar. Meski pada awal-awal proses perumusan Kode Etik Penanganan Bencana di Yogyakarta banyak partisipan masih terlibat aktif, namun akhirnya proses perumusan itu tak juga tertuntaskan hingga kini.

Meningkatnya kompleksitas persoalan penanganan bencana, justru ditandai oleh merosotnya soliditas dalam jejaring gerakan ma-syarakat sipil di Yogyakarta. Kendati respon atas lemahnya penanga-nan bencana tetap muncul dari elemen-elemen gerakan masyarakat

Penanganan Pasca Bencana Gempa Bumi Yogya-Jateng, baca lebih jauh di halaman lampiran buku ini.

8. Baca Batal 30 Juta, Tuntut Minta Maaf dalam Buletin Suara Korban Bencana, Edisi Susulan ke 7, 1 Agustus 2006, hlm.4-5.

13Pendahuluan

sipil, namun itu toh hanya berskala kecil, sporadis, dan tak terpadu. Dalam situasi seperti itu, posisi tawar (bargaining position) mereka tak cukup memadai untuk merubah keadaan. Merasakan kepriha-tinannya meradang, beberapa kawan eks-RKMSY tetap berupaya keras untuk menghidupi harapan yang telah ada. Dengan sisa-sisa harapan itu, kawan-kawan secara rutin menggelar pertemuan setiap Senin sore. Selepas mendampingi masyarakat di wilayah masing-ma-sing, mereka selalu berkumpul di tempat lahirnya RKMSY, yaitu di Pusat Studi Perdesaan dan Kawasan (PSPK)-UGM. Salah satu proponen RKMSY, Mas Susetiawan, sosok intelektual gaek yang bersemangat muda, merelakan waktu, tenaga, dan pikirannya untuk menjadi sparing partner yang setia dalam diskusi kawan-kawan. Jika meminjam petuah Ki Hajar Dewantara tentang laku seorang pendi-dik yang musti selalu ing ngarso sung tuladha, ing madya mbangun karsa, tutwuri handayani, maka Mas Susetiawan inilah sosok riilnya. Lanta-ran pertemuan selalu diadakan setiap hari Senin, maka sejak itulah kelompok ini mendapat julukan Forum Senenan, sekadar identitas pengenal saja.

Otokritik Kiprah LSM Pasca GempaPada dasarnya, konstalasi sosial turut memicu berdirinya FS.

Sejumlah forum yang formal tingkat kerentanannya ternyata rela-tif lebih tinggi. Ibarat baru seumur jagung saja, forum-forum terse-but sudah mulai loyo dan mengendur. Bahkan ada pula yang bubar. Artinya, mereka tidak mampu lagi menjalankan mandat, fungsi, dan perannya secara ajeg, berkelanjutan, dan mandiri. Pilihan rasional untuk tidak terperangkap dalam formalitas itu memungkinkan FS mampu bertahan hingga saat ini. Pola relasi dan kerja-kerjanya pun bisa dibilang tak kalah serius ketimbang forum-forum yang formal. Bila ditelisik lebih jauh, berdirinya FS itu memang dipicu oleh kepri-hatinan yang sama atas tumpang-tindihnya kiprah LSM (baik yang lokal, nasional, maupun internasional) pasca bencana.

Sekilas, menilik kembali perjalanan setahun penanganan pasca gempa Yogya dan Jateng, tentu saja kita tak bisa menafikan peran

14 KiSah KiSruh di tanah gemPa

yang signifikan dari kalangan LSM yang terlibat di dalamnya. Tak terbayangkan, apa jadinya tanpa adanya andil dari kalangan LSM tersebut. Semisal, dalam situasi serba darurat pada hari naas hingga tujuh hari pasca gempa, kalangan LSM bersama-sama warga dan berbagai elemen masyarakat sipil lainnya melakonkan penanganan darurat yang mengagumkan. Di kepung oleh situasi yang chaotic, para akti�is LSM sebisanya berbagi sumberdaya yang mereka mi-liki, membuat jejaring sosial, dan mengerahkannya demi menolong warga korban yang tertimpa musibah gempa bumi. Harus diakui, peran LSM dalam penanganan pasca gempa Yogya-Jateng jauh lebih cepat ketimbang pemerintah.

Kendati responnya terhitung cepat, namun terkait dengan per-soalan koordinasi dan manajemen, kiprah LSM tetap saja tak jauh berbeda dengan pemerintah. Tidak ada koordinasi dan guideline (gerak pikir dan tindakan) yang sama di antara LSM lokal sendiri. Meskipun mungkin sudah terwadahi dalam satu forum bersama, na-mun koordinasi di antara mereka tetap tidak bisa optimal. Terkait dengan data misalnya, forum-forum LSM lokal tidak berhasil meng-umpulkan dan saling sharing data-data yang penting. Jaringan di an-tara mereka pun masih terpecah dan tidak padu. Ada kesan, forum dibentuk sekadar untuk memenuhi prasyarat “rasa aman” (simptom-simptom mental kawanan) saja, bukan atas dasar kebutuhan yang substansial. Muncul kesan juga bahwa forum dibentuk lebih karena untuk kepentingan penggalangan dana (fund rising) secara bersama-sama.

Ketika penggalangan dana berhasil, forum biasanya bertambah partisipannya, namun tidak dengan tingkat koordinasinya. Setelah masing-masing lembaga partisipan forum menjalankan proyek kerja di wilayah masing-masing, koordinasi bersama menjadi semakin me-lemah dan terabaikan. Tak jarang, di antara anggota forum sendiri pun muncul ri�alitas yang tak sehat. Beberapa kasus saling tuding dan menjelek-jelekan (black campaign) di antara LSM lokal sudah la-zim terjadi. Perbedaan dasar ideologi, strategi, dan pendekatan ma-

15Pendahuluan

sing-masing LSM ternyata cukup menentukan pola relasi semacam itu.9 Ujung-ujungnya, warga korban bencana menerima getahnya juga. Warga korban bencana yang semestinya dibantu, justru harus membantu menyelesaikan tumpang tindihnya pendekatan antar LSM tersebut. Alih-alih bersepakat untuk saling menakar kekurang-an dan kelebihan masing-masing di dalam suatu forum koordinasi, kedua LSM yang terlibat konflik itu tetap bersikeras untuk bekerja sendiri-sendiri.

Diakui atau tidak, LSM lokal di Yogya-Jateng secara umum bisa dikatakan tidak/belum siap melakukan penanganan bencana. Banyak LSM lokal tidak memiliki pengalaman dalam penanganan darurat bencana. Sebagian besar dari mereka masih berada pada taraf belajar, learning by doing, dalam penanganan bencana gempa bumi Yogya-Jateng itu. Ditakar dari mandat kelembagaannya, tidak banyak LSM lokal yang memiliki sistem manajemen dan kapasitas pengalaman yang memadai untuk bergerak di emergency unit ini. Lan-taran tidak memiliki mandat (tercermin di dalam misi dan �isi lem-baga), praktis sebagian besar dari mereka tidak menyiapkan segenap resources (seperti human resource, skill, financial, dan berbagai institu-tional management lainnya) untuk darurat bencana tersebut. Maka tak mengherankan jika banyak LSM lokal yang terlihat kedodoran

9. Black campaign ini biasanya dilakukan karena ada kepentingan tersembunyi dari pelakunya. Misalnya, rebutan akses resources/funding menggiring LSM ke persaingan yang tidak sehat. Antar LSM berupaya mengunggulkan namanya dengan cara menyebar gosip yang menjelek-jelekkan pihak lain. Dalam konteks ini, kiranya benar pepatah jawa yang menuturkan dahwen ati open. Pepatah itu secara harafiah berarti demikian: Perasaan iri karena tidak berhasil memiliki, membuat orang jadi dengki dan suka omongkan kejelekan pihak lain yang jadi ri�alnya. Terkait dengan urusan “dapur” ini memang cukup menentukan pilihan pendekatan, program, strategi, metode pengorganisiran di lapangan. Di sini, godaan pragmatisme sering dihadapi LSM, yaitu bagaimana caranya untuk “menghemat” dana agar dapur tetap ngebul. Dalam konteks seperti ini, warga korban bencana lagi-lagi terkorbankan haknya. Warga korban menjadi prioritas kedua, terkalahkan oleh kepentingan LSM itu sendiri.

16 KiSah KiSruh di tanah gemPa

ketika harus menangani warga korban bencana, terutama ketika di masa emergency.10

Kendati tidak memiliki mandat untuk bergerak di bidang emer-gency, sebagian besar LSM lokal “terpaksa” harus melakukan itu. “Didesak” oleh situasi (lantaran warga korban butuh bantuan mau-pun banyak lembaga donor asing perlu mitra LSM lokal untuk me-nyalurkan bantuan), LSM lokal memposisikan diri sebagai “media-tor” untuk dua kutub kepentingan itu. Situasi itulah yang ditangkap LSM lokal sebagai suatu peluang (oportunity) ataupun momentum. Tentu saja, momentum/peluang itu sangat tergantung pada motif dari masing-masing LSM lokal itu sendiri (untuk kepentingan mem-bantu warga korban, belajar manajemen bencana, maupun meng-hidupkan kembali “dapur” lembaga, dan lain-lain). Bisa dikatakan, nyaris semua LSM lokal terlibat dalam penanganan bencana gempa bumi Yogya-Jateng, meski dengan tingkat keterlibatan yang ber-beda-beda. Ada korelasi positif antara besarnya akses dana bantuan yang dimiliki LSM lokal dengan besarnya tingkat keterlibatan LSM lokal dengan warga korban bencana. Mereka yang memiliki akses lebih besar kepada lembaga donor maka semakin besar/luas pula tingkat keterlibatan ke warga. Bagi mereka yang aksesnya relatif ke-cil kepada lembaga donor, maka relatif kecil pula keterlibatan/akti-�itas mereka dengan warga korban bencana.11

10. Secara umum dan mendasar, LSM di Indonesia memang masih memiliki banyak kelemahan dan keterbatasan seperti: kurangnya dana, tingginya keterantungan pada donor, rendahnya tingkat efisiensi manajerial dan kredibilitas sosial, rendahnya profesionalisme, tingginya bias yang terjadi di LSM, dan lain-lain. Beberapa catatan tentang kelemahan dan keterbatasan LSM ini baca Suharko, Merajut Demokrasi, Hubungan NGO, Pemerintah, dan Pengembangan Tata Pemerintahan Demokratis (1966-2001); Yogyakarta: Tiara Wacana, hlm.115-120. Bandingkan Binny Buchori, Peta Permasalahan LSM dalam Kompas, LSM Menyuarakan Nurani Menggapai Kesetaraan, Jakarta: Kompas, 2004, hlm.3-16.

11. Situasi ini memang menjadi dilema bagi banyak LSM lokal. Sebagian besar dari mereka masih berpegang pada keyakinan dan komitmen bahwa untuk memfasilitasi, menganimasi, dan gerak pemberdayaan masyarakat tak selalu butuh dana yang besar. Celakanya, dalam situasi pasca bencana, warga korban bencana memiliki logika sendiri

17Pendahuluan

Mencermati situasi tersebut, bisa dikatakan di sini bahwa dalam upaya membantu memenuhi hak-hak dasar warga korban bencana, LSM lokal sangat tergantung kepada dana bantuan dari lembaga donor. Besarnya tingkat ketergantungan ini boleh jadi akan sangat berdampak pada beberapa hal berikut:12 pertama, LSM lo-kal tidak memiliki posisi tawar (bargaining position) terhadap lem-baga donor tersebut. Konsekuensinya, berbagai “pesan khusus” yang dipaksakan oleh lembaga donor harus diterima, meski tidak sesuai �isi misi lembaga dan kebutuhan warga korban bencana sekalipun.13 Misalnya, lembaga donor menunjuk dan menentukan sendiri ko-munitas yang akan menerima bantuan. Munculnya kapling-kapling wilayah komunitas di antara LSM lokal pun menjadi tak terhindar-kan. Konflik antar LSM lokal ini tak urung juga menimbulkan kon-flik dengan warga korban yang akan menerima bantuan tersebut.14 Kedua, LSM lokal tidak leluasa untuk menerapkan berbagai program partisipatif yang disesuaikan dengan kebutuhan warga korban ben-cana. Misalnya, karena terpaksa harus mengejar jumlah sasaran dan tenggat waktu yang mepet dari lembaga donor, LSM lokal tidak bisa mewujudkan capaian nilai-nilai (semisal partisipasi, kearifan lokal,

yang berbeda, bahkan bertolak belakang dengan itu. Banyak kasus menunjukkan, LSM lokal ditolak warga lantaran tidak membawa bantuan yang “riil”. LSM yang tidak membawa bantuan diharap menyingkir. Harus diakui, derasnya kucuran dana bantuan dari donor pasca bencana berpotensi menciptakan ketergantungan, baik bagi LSM sendiri maupun warga masyarakat.

12. Ancaman dari ketergantungan pada bantuan ini telah diuraikan secara gamblang dan detail oleh penulis Jerman, Erler. Ada anekdot satir tentang itu: Ambilah proyek ini! Bukankah orang sulit membuktikan bahwa ia telah membawa dampak negatif. Baca Brigitte Erler, Bantuan Mematikan, Catatan Lapangan tentang Bantuan Asing; Jakarta: LP3ES, hlm. 28.

13. Terkait dengan relasi yang asimetris dan timpang ini, baca Suharko, Merajut Demokrasi, Hubungan NGO, Pemerintah, dan Pengembangan Tata Pemerintahan Demokratis (1966-2001); Yogyakarta: Tiara Wacana, hlm.119-120.

14. Ada banyak kasus lain tentang pemaksaan oleh lembaga donor ini. Sejumlah donor memaksakan kepada LSM lokal untuk menyalurkan bantuan karitatif pasca emergensi, yang menurut kalangan LSM lokal itu sendiri sesungguhnya tidak

18 KiSah KiSruh di tanah gemPa

dan lain-lain), ataupun mengontrol kualitas fasilitas bantuan yang diberikan kepada warga korban.15 Ketiga, LSM lokal sebagai “media-tor” terperangkap dalam konflik kepentingan. Konflik kepentingan seperti ini semakin membuat LSM lokal menjadi semakin tergiring pada pragmatisme klasik-paternalis: Asal Bapak Senang (ABS) atau Asal Donor Senang (ADS). Didesak oleh pragmatisme itu, keberpi-hakan LSM lokal kepada warga korban bencana akhirnya terbajak. LSM lokal lupa akan hakikat dirinya. Kewajiban utamanya untuk melayani dan membela warga korban bencana, dengan mudah terka-lahkan oleh kepentingan untuk melayani dan “membela yang bayar”, yaitu lembaga donor.16

Jika kultur semacam itu terus menerus dikembangkan, maka LSM lokal akan terjebak dalam pola perilaku yang menurut pepatah

mendidik warga. Ada donor yang memaksakan untuk menyalurkan bantuan bukan kepada warga miskin namun kepada industri-industri kelas menengah dengan alasan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah (GDP). Ada juga donor yang sengaja menuntut prasyarat yang cukup memberatkan warga. Semisal terkait dengan pengucuran dana bantuan untuk industri kerajinan, lembaga donor menuntut bahwa design handycraft warga tersebut harus diserahkan dan menjadi hak milik lembaga donor. Contoh lainnya, sebuah lembaga donor dari Jerman (sekaligus implementator di daerah Klaten) tetap memaksakan pendekatan yang tidak tepat dalam penyaluran bantuan. Meski telah menimbulkan konflik horisontal di masyarakat, seorang wakil dari lembaga donor itu dengan pongahnya mengatakan bahwa: “Kami sudah berupaya membantu. Tidak ada yang salah dengan bantuan yang telah kami serahkan kepada warga. Jika bantuan yang telah kami serahkan itu akhirnya bermasalah (tidak merata/menimbulkan konflik), maka itu urusan warga dan bukan urusan kami.” Jawaban semacam ini bisa dibaca sebagai fenomena ketidakpedulian lembaga donor asing terhadap warga korban bencana. Terkait dengan bantuan yang menjerat warga, baca Basilica D. Putranti dan Y. Tri Subagya, Jerat Bantuan, Jerit Pengungsi, Penanganan Kesehatan Reproduksi di Poso Pasca Konflik, Yogyakarta: PSKK UGM dan Ford Foundation, 2005.

15. Dalam bingkai oto-kritik, di kalangan akti�is LSM sendiri muncul istilah “LSM kurir” (delivery NGO) untuk melukiskan peran LSM lokal yang terkesan lalu lalang, sekadar menjadi pengirim bantuan dari donor kepada warga. Fenomena ini banyak dijumpai terutama pada masa emergensi.

16. Muncul banyak godaan bagi LSM untuk bias donor dan menjauh dari konstituen (warga masyarakat). Tanpa sadar, LSM “tergoda” untuk lebih “mengabdi” lembaga donor ketimbang warga. Dari sudut pandang semiotik, baca Zaim Zaidi, As’as

19Pendahuluan

Jawa diistilahkan sebagai “milik nggendong lali”.17 Tergiur oleh loba dan mental tamak demi meraup keuntungan dari “berkah bencana” ini, hak-hak dasar dan kebutuhan warga korban bencana pun akan mudah dikorbankan oleh LSM. Demi mengisi pundi-pundinya, LSM bisa mudah tergiur melakukan mark up atau menggeser beberapa alokasi budget, sehingga tak sesuai dengan MoU dengan lembaga donor (semisal operation cost yang mestinya sebesar 10 % dari total dana bantuan, dalam praktiknya melebihi prosentase tersebut). Di-sinyalir, pola-pola korupsi dana bantuan semacam ini acap terjadi di lingkup LSM, terutama dalam proyek-proyek pasca bencana.18

Dari beberapa kasus, LSM lokal sangat lemah untuk mendesak-kan idealismenya kepada lembaga donor. Semua itu tentu karena besarnya tingkat ketergantungan LSM kepada donor asing. Tentu saja tidak semua donor asing memaksakan “pesan-pesan khusus” itu kepada LSM lokal. Banyak juga dari mereka yang mempercayakan sepenuhnya alokasi dana bantuan itu kepada LSM lokal. Rasa saling percaya di antara donor asing dan LSM lokal seperti ini biasanya telah terbangun sejak lama, jauh sebelum bencana gempa bumi itu sendiri terjadi. Relasi seperti ini tentu saja memudahkan LSM lo-kal mensinergikan berbagai pendekatan yang sesuai dengan konteks masyarakat lokal. Bahkan, dengan adanya relasi kemitraan yang telah

Nugroho, dan Hamid Abidin, Merebut Hati Lembaga Donor, Kiat Sukses Pengembangan Program, Manual dan Panduan Menyusun Proposal dengan Teknik Analisis Kerangka Logis; Jakarta:Piramedia, 2004.

17. Pepatah milik nggendong lali ini secara harafiah berarti barang siapa yang menyimpan hasrat, niat dan maksud ingin memiliki, maka ia akan melupakan berbagai nilai keutamaan dalam hidup. Tujuan hidup yang mulia bisa terkorbankan oleh karena hasrat ingin memiliki tersebut. Dalam konteks penanganan bencana, nafsu besar LSM untuk meraup keuntungan dari dana bantuan niscaya akan menghilangkan komitmen dan keberpihakannya kepada warga korban bencana.

18. Menurut John Clark, masalah petangungjawaban keuangan ini telah ditengarai sebagai salah satu kelemahan LSM. Baca John Clark, NGO dan Pembangunan Demokrasi; Yogyakarta: Tiara Wacana, 1995, hlm.78-79. Bandingkan dengan persoalan korupsi di LSM dalam Suharko, Merajut Demokrasi, Hubungan NGO, Pemerintah, dan Pengembangan Tata Pemerintahan Demokratis (1966-2001); Yogyakarta: Tiara Wacana, hlm.116.

20 KiSah KiSruh di tanah gemPa

lama berjalan itu, program-program jangka menengah dan panjang pun sangat mungkin dirancang oleh LSM lokal tersebut bersama masyarakat. Dengan demikian, bantuan kepada masyarakat bukan bersifat karitatif (biasanya pada masa emergency), tetapi yang bersifat memberdayakan dan memandirikan para beneficiaries-nya.

Terlepas apakah relasi dengan lembaga donor asing itu baru terjalin sebelum atau setelah gempa terjadi, LSM lokal memang me-miliki prosedur baku untuk proyek penyaluran bantuan. LSM lokal harus mengajukan proposal ke lembaga donor terlebih dulu. Setelah diterima dan disetujui donor, bantuan baru bisa disalurkan oleh LSM lokal kepada warga. Kondisi prosedural ini tentu saja menjadi kendala yang cukup prinsipil bagi kalangan LSM untuk merespon segera situasi darurat bencana. LSM juga kerepotan dan nyaris tidak mungkin merancang program bersama warga, sehingga benar-benar merepresentasikan kebutuhan komunitas akar rumput. Sejumlah kasus menunjukkan warga terlambat menerima bantuan karena mekanisme prosedural tersebut. Hal itu tentu saja mengandung im-plikasi bahwa bantuan tidak lagi tepat waktu, tepat guna, dan te-pat sasaran. Kondisi semacam itu tentu saja rawan bagi LSM yang kurang menekankan aspek pemberdayaan, dan cenderung karitatif dengan sifatnya yang suka menebar janji kepada masyarakat. Dam-pak risiko yang lebih besar bisa terjadi ketika proposal yang diajukan LSM ditolak donor. Karena terlanjur dijanjikan sesuatu, maka keti-ka janji itu tak terealisasi, warga pasti akan merasa dikecewa. Bukan tidak mungkin itu akan merusak relasi antara warga dan LSM itu sen-diri. Bahkan muncul sejumlah kasus, LSM diusir oleh warga lantaran urung memberikan bantuan yang telah dijanjikan sebelumnya.

Kiranya hubungan triadik: donor-LSM-masyarakat pasca ben-cana memang terasa sangat penting dan urgen untuk ditelisik dan dikaji lebih jauh lagi. Karena, pemetaan atas pola relasi di antara ketiganya itu akan sangat berarti untuk menyikapi pergeseran atas berbagai aspek keberdayaan, kemandirian, dan keberlanjutan hidup masyarakat. Pasca gempa telah muncul kecenderungan pola relasi

21Pendahuluan

itu semakin asimetris dan timpang. Baik warga maupun LSM sema-kin tersubordinasi dan tergantung kepada donor. Hal itu tentu saja menjadi kendala bagi tumbuhnya gerakan kemandirian masyarakat. Itulah tantangan bagi kiprah LSM dan berbagai elemen masyarakat sipil ke depan. Waktunya bagi seluruh kalangan masyarakat untuk memaknai bencana sebagai momentum perubahan menuju ke situ-asi yang lebih baik.

Bencana sebagai Momentum: Petikan HikmahBertolak pada oto-kritik atas cacat dan lemahnya kiprah LSM

pasca gempa di atas, berikut ini kita perlu menegaskan lagi beberapa hikmah dan pelajaran berharga yang bisa kita jadikan modal untuk kerja-kerja ke depan. Dengan belajar pada kesalahan, kita diberi peluang untuk menjajal pendekatan lain yang musti dijumbuhkan kembali dengan kithah LSM berikut mandat moral yang diemban-nya.19 Dalam konteks penanganan pasca gempa itu, mandat moral yang musti dikukuhkan kembali itu adalah bahwa segala daya upaya yang responsif, kompeten, berkeadilan, dan bermartabat harus di-maksimalkan agar warga korban terposisikan sebagai subyek yang aktif dan bukannya obyek yang pasif; sebagai subyek yang otonom dan bukan obyek yang tergantung. Dengan berpegang pada komit-men moral itu maka gerak pikir dan langkah LSM akan lebih ter-fokus dan berpihak kepada komunitas akar rumput, bukan kepada lembaga donor.

19. Menurut Eldrige (1995:38), orientasi dasar LSM di antaranya adalah: (1). Memperkuat kelompok masyarakat sebagai basis pembentukan masyarakat yang sehat, dan sebagai kekuatan pengimbang terhadap kekuasaan pemerintah; (2). Mencari strategi baru untuk menghadapi kebutuhan sosial yang terus berubah, dan untuk menghadapi kemunculan kelompok lemah dan miskin; (3). Berkomitmen kuat pada cita-cita partisipasi rakyat dalam mendefinisikan dan mengimplementasikan program. Uraian ini dikutip dari Suharko, Merajut Demokrasi, Hubungan NGO, Pemerintah, dan Pengembangan Tata Pemerintahan Demokratis (1966-2001); Yogyakarta: Tiara Wacana, hlm.115.

22 KiSah KiSruh di tanah gemPa

Inilah hikmah dan pelajaran yang paling utama dan berharga bagi kalangan LSM pasca gempa. Bencana telah mengajarkan ke-pada kita tentang arti pentingnya penguatan jejaring sosial untuk menghadapi datangnya masa dan situasi yang sulit, seperti halnya bencana alam yang muncul tiba-tiba itu. Kuatnya jejaring sosial ini tentu saja bisa menjadi jaminan atas terakumulasinya modal sosial sebagai basis utama bagi perubahan yang radikal, massif, dan me-nentukan. Memang, dalam situasi krisis seperti itu, orang cenderung abai terhadap berbagai peluang yang terkandung di dalamnya. Pada-hal krisis sejatinya bisa menjadi momentum bagi kita untuk menyu-sun langkah-langkah strategis dan taktis guna menghadapi berbagai risiko bencana yang akan datang. Bencana mesti diposisikan sebagai titik tolak dan daya dorong bagi seluruh elemen masyarakat untuk menyusun agenda berikut langkah-langkah konkritnya ke depan. Di dalam bencana yang memilukan terkandung oase harapan untuk menata kembali masa depan yang lebih baik.

Dalam kerangka itu, menurut catatan lapangan para akti�is LSM yang tersebar di seluruh tulisan di buku ini, beberapa agenda yang mendesak untuk ditindaklanjuti bersama-sama akan diuraikan lebih jauh dalam paparan berikut ini.

Pertama, munculnya kesadaran baru di kalangan masyarakat tentang ancaman bencana. Berpijak pada kesalahan dan kelemahan-nya, LSM merasa perlu menginisiasi, menyemai, dan menguatkan kesadaran tentang risiko dan ancaman bencana yang berpotensi menghancurkan lingkungan fisik, tatanan sosial, dan budaya masya-rakat. Di sini, beragam bentuk fasilitasi penyadaran publik, melalui jalur pendidikan formal dan informal, perlu mendapat atensi dan kepedulian yang lebih besar ketimbang masa-masa sebelumnya. Di tingkatan praksis, secara partisipatif, organisasi berbasis komunitas (Community Based Organization) atau kelembagaan lokal yang terse-bar di seluruh pelosok desa mesti terlibat penuh dalam proses pe-nyadaran ini. Dengan demikian, kesadaran baru itu bisa tersebarluas-kan secara massif dan partisipatoris. Seluruh ikthiar penyadaran ini

23Pendahuluan

tentu saja mengarah pada tercapainya tahapan yang lazim disebut sebagai kesiapsiagaan bencana (disaster preparedness) di masyarakat kita. Kesiapsiagaan bencana bisa dirancang dan diimplementasikan melalui intensifikasi praksis sosial dan kultural yang menyasar pada upaya pengurangan risiko bencana (disaster risk reduction).

Kedua, munculnya kebutuhan untuk meningkatkan dan mem-perkuat kapasitas kelembagaan dalam manajemen bencana. Bagi kalangan LSM, bencana telah memicu dan mendorong semangat untuk segera memperbaiki dan mengembangkan kapasitas (capacity building) manajerial LSM yang terkait dengan penanganan bencana seperti: skill pendataan, analisis data, penggalangan dana, distribusi bantuan, penentuan efekti�itas bantuan, penentuan prioritas target dan sasaran (terutama anak-anak, perempuan dan difable), penen-tuan strategi dan pendekatan partisipatoris (participatory approach), akuntabilitas, transparansi anggaran, koordinasi, penguatan jejaring (networking), pengorganisasian masyarakat, pemberdayaan masyara-kat, penyadaran publik, ad�okasi kebijakan, dan lain sebagainya. Se-luruh aspek itu harus dibingkai kembali dengan mandat moral (�isi dan misi) lembaga. Menyangkut relasi dengan lembaga donor, LSM lagi-lagi harus mendudukkan mandat moral tersebut sebagai pan-duan (guideline) dalam melobi dan menandatangani nota kesepakat-an dengan lembaga donor. Dalam hal ini, LSM harus mampu me-negakkan jati diri lembaganya maupun warga korban yang mereka dampingi. Bagaimanapun lembaga donor harus diajari juga untuk menghormati kedaulatan dan otonomi warga juga. Sehingga donor tidak bisa seenaknya memaksakan seluruh kepentingannya. Di sini, LSM harus bisa berperan sebagai tameng (barrier) sekaligus saring-an atas dampak-dampak negatif dari bantuan. Prinsip selektif dan penuh kehati-hatian (precautionary principle) dalam memilih mitra (donor) tetap harus dipegang teguh oleh LSM. Alat verifikasinya jelas, yaitu �isi dan misi lembaga. Jika pemberian bantuan itu sendiri sudah dipaket dengan “pesan sponsor” yang rigid maupun berbagai macam kepentingan donor yang hegemonik, maka LSM pantas un-

24 KiSah KiSruh di tanah gemPa

tuk menolaknya. Demi tetap tegaknya keberpihakan kepada warga korban, LSM harus berfikir masak-masak atas risiko ketergantung-an yang melekat dalam pemberian bantuan dari donor tersebut. Mesti disadari, warga tidak melulu butuh duit, namun lebih butuh pendampingan. Tiba saatnya bagi LSM, bersama warga masyarakat, mulai berlatih menata diri sendiri menyongsong kemandirian.

Ketiga, munculnya kesadaran baru tentang pentingnya penguat-an koordinasi di antara LSM di Yogyakarta. Sebelum bencana ter-jadi, koordinasi antar LSM masih sangat lemah. Masing-masing LSM bergerak sendiri-sendiri, terpisah, dan nyaris tak pernah saling taut dan tersinergikan, bahkan mereka bersaing tak sehat. Namun pasca bencana, penguatan koordinasi lintas LSM di Yogyakarta berpeluang besar untuk semakin diintensifkan. Beberapa kalangan LSM sudah memasukkan isu ini kedalam agenda lembaga dan mulai menggelar forum-forum kecil yang terbuka guna merembug peri-hal koordinasi lintas program maupun wilayah dampingan (semisal menggelar pelatihan community organizer dan berbagai program lain-nya secara bersama-sama). Seperti telah disinggung di atas, kalang-an LSM di Yogyakarta telah mulai merintis penyusunan Kode Etik (Code of Conduct) dalam kerja-kerja pasca bencana. Kendati masih berupa embrio, namun bukan tidak mungkin itu akan segera tersu-sun dan terimplementasikan, jika benar-benar digeluti dan dimaui bersama.20 Jika dilihat dari latar belakang warga Yogyakarta yang relatif terdidik (well educated), cita-cita kalangan LSM itu akan ber-peluang besar untuk tersinergikan dalam praksis mereka di tingkat

20. Terkait dengan Kode Etik Penanganan Bencana oleh kalangan ormas dan LSM di Yogya, kita bisa merujuk dan membandingkan dengan gagasan Kode Etik bagi LSM yang pernah muncul di Indonesia. Tujuan dari gagasan ini adalah mewujudkan LSM Indonesia yang efektif, efisien, transparan, akuntabel, dan etikal, sehingga kepercayaan pihak luar (pemerintah, swasta, donor, serta publik yang lebih luas) terhadap integritas komunitas LSM semakin meningkat. Baca Tim Fasilitasi LP3ES untuk Kode Etik, Mengapa LSM Membutuhkan Kode Etik? dalam Hamid Abidin & Mimin Rukmini (edt), Kritik & Otokritik LSM, Membongkar Kejujuran dan Keterbukaan Lembaga Swadaya Masyarakat Indonesia, Jakarta: Piramedia; 2004, hlm 157-179.

25Pendahuluan

akar rumput. Lebih jauh, jika menimbang kembali kultur LSM Yog-yakarta yang memang bertumbuh dari spirit gerakan dan pikiran yang terbuka (open mind), maka penguatan koordinasi antar LSM itu bisa terwujud dan bisa menginspirasi gerakan serupa di berbagai wilayah lain di Indonesia. Bermodalkan pikiran yang terbuka itu, mereka mudah menyadari atas kelemahan dan kekurangannya, hing-ga mudah tergerak pula untuk segera berbenah dan belajar memper-baiki kelemahan dan kesalahan itu secara bersama-sama.

Keempat, Munculnya kesadaran baru tentang penguatan jeja-ring (networks) masyarakat sipil di Yogyakarta. Terkait erat dengan kepedulian kalangan LSM dalam koordinasi di atas, penguatan jeja-ring masyarakat sipil ini pada dasarnya merupakan agenda lanjutan yang tak terpisahkan. Hanya saja lingkup dan cakupan jejaring ini jauh lebih luas lagi. Cakupannya bukan hanya kalangan LSM saja, melainkan berbagai elemen masyarakat sipil lainnya (ormas, organ-isasi berbasis komunitas, partai, pelaku bisnis, dan lain sebagainya).

Kelima, munculnya kesadaran baru tentang pentingnya penguat-an kembali secara lebih intensif atas praksis-praksis pemberdayaan masyarakat pasca bencana. Sangat disadari, bencana telah merubah tatanan fisik, sosial, dan budaya masyarakat secara radikal dan mas-sif. Jika perubahan itu tidak dikawal dan dimonitoring secara inten-sif maka bisa dipastikan berbagai dampak negatif dari bantuan akan segera menggumpal menjadi sistem dan tatanan sosial dan budaya baru yang tidak sehat. Berbagai residu dan ekses sosial yang negatif dari bantuan (terutama bantuan asing) harus ditangani dan dikorek-si segera melalui inter�ensi penyadaran publik. Penggalian kembali atas keutamaan nilai-nilai tradisi, pengetahuan, dan kearifan lo-kal pun perlu diprioritaskan dalam kerja-kerja praksis penyadaran publik di komunitas akar rumput tersebut. Dengan menggunakan pendekatan yang partisipatoris, kendali perubahan sosial dan bu-daya pasca bencana bisa dipegang dan digerakkan bersama-sama melalui sinergi kekuatan jejaring masyarakat sipil yang ada. Dengan kata lain, perubahan radikal dan massif akibat bencana itu harus di-

26 KiSah KiSruh di tanah gemPa

ikuti juga dengan rehabilitasi dan rekonstruksi yang radikal, massif, dan menyeluruh pula (bukan rekonstruksi yang bias fisik seperti saat ini). Terkait dengan dampak-dampak negatif yang merusak tatanan dunia sosial masyarakat, rupanya kita juga harus segera mengerah-kan seluruh kapasitas, kekuatan, dan kompetensi untuk melaku-kan rekonstruksi sosial yang mendasar. Untuk itu, jalan menuju kemandirian masyarakat melalui program-program pemberdayaan harus mulai ditentukan titik-titik arahan, target, dan sasarannya. Di sini, LSM harus memahami sungguh-sungguh kapan waktu yang te-pat untuk mengucurkan bantuan dan kapan kucuran bantuan itu ha-rus dihentikan. Jika kalangan LSM sendiri tidak punya kemampuan untuk memahami dan menganalisis situasi dan kondisi warga, maka LSM tersebut tidak akan pernah tahu kapan ia akan menghentikan bantuan. Bagaimanapun juga diperlukan transfer pengetahuan dan nilai perihal ancaman berbentuk bantuan ini bagi warga masyarakat. Rekonstruksi sosial inilah yang menjadi agenda besar dan berat yang mesti kita garap dan tuntaskan ke depan, tentu saja dengan keterli-batan dan partisipasi aktif dari seluruh elemen masyarakat sipil yang ada.

Epilog: Menuntaskan Rekonstruksi SosialMenyadari bahwa program rehabilitasi dan rekonstruksi dari

pemerintah sangat bias fisik, maka koreksi bersama atas itu menjadi tugas yang mendesak untuk dilakukan oleh jejaring masyarakat sipil. Jejaring itulah yang akan menghidupkan modal sosial di masyara-kat. Harus diakui, para penyintas (survivors) sendiri memang benar-benar telah menunjukkan prestasi pengakumulasian modal sosial yang sangat mengagumkan selama masa tanggap darurat (emergency). Secara laten, harta karun sosial (seperti partisipasi aktif dari warga, solidaritas sosial, gotong-royong, voluntarisme, spirit filantropis) yang mereka rawat dan hidupi selama ini, tiba-tiba muncul menjadi energi sosial yang sangat kuat hingga mampu meredam kekalutan massa. Energi sosial itu pun telah berfungsi efektif sebagai jejaring

27Pendahuluan

pengaman yang mampu menyelamatkan banyak nyawa. Di tengah absennya negara, secara tiba-tiba, tak terduga, dan tanpa adanya komando, warga penyintas bersama-sama elemen-elemen masyara-kat lainnya berhasil menyelenggarakan tata kelola kebencanaannya sendiri (disaster governance).21

Sayangnya, negara telah salah urus atas menguatnya modal sosial dalam wujud partisipasi aktif dari warga dalam penanganan bencana ini. Dengan memaksakan kebijakan yang top down, negara melupakan pentingnya suara korban bencana sebagai landasan ke-bijakan yang pro rakyat. Kalau suara korban pun dinisbikan, alih-alih diafirmasi dan diperkuat, partisipasi maupun modal sosial justru dipatahkan oleh negara. Pendekatan kebijakan teknokratik yang dibangun oleh state apparatus tidak saja berimplikasi pada terabai-kannya hak warga korban namun juga terlewatkannya pertimbangan sosial budaya yang berbasiskan keberagaman lokal.

Karakter kebijakan negara yang terkesan gebyah-uyah dan di-seragamkan pada setiap komunitas masyarakat yang berbeda-beda telah menyebabkan kebijakan negara—semisal POKMAS (Ke-lompok Masyarakat)—menuai kecaman dan resistensi dari warga korban. Lebih celaka lagi, karena lembeknya kapasitas manajemen dan monitoring pemerintah, program rehabilitasi dan rekonstruksi akhirnya justru menciptakan konflik vertikal maupun horisontal di masyarakat. Bermacam pola penilepan yang massif atas dana ban-tuan dana DIPA (Daftar Isian Proyek Anggaran) juga telah men-jadi dampak buruk ikutan yang kian memprihatinkan. Pemerintah menutup mata atas itu. Pembiaran atas praktik penilepan yang me-rambah ke berbagai le�el itu membuktikan bahwa pemerintah telah abai terhadap aspek keadilan sosial di masyarakat. Praktik birokrasi yang korup telah menular dan menjalar ke lapisan akar rumput. Pro-gram rehabilitasi dan rekonstruksi terbukti telah menjadi azab bagi

21. Baca Benny D. Setianto, Go�ernance by Accident in Indonesia Disaster Mitigation: A Theoritical Literary Re�iew Disaster dalam Jurnal Renai, Governance Bencana, Tahun VII No.1 2007, hlm5-36.

28 KiSah KiSruh di tanah gemPa

ikhtiar menggapai keadaban publik. Dan itu merupakan ujian yang berat bagi upaya rekonstruksi sosial pasca gempa.22

Terkait dengan agenda rekonstruksi sosial itu, perlu disadari, masyarakat pra bencana memang tak seromantis kehidupan masya-rakat pada masa feodal yang acap digambarkan tanpa konflik. Se-belum terjadi bencana, masyarakat pada dasarnya telah bertinggal bersama dan tentu saja berkonflik bersama. Namun demikian, ma-syarakat juga belajar untuk meresolusikan konflik melalui kearifan lokal serta modalitas sosial yang dipunya. Seharusnya kebijakan ke-bencanaan juga diibangun dengan belajar pada basis historis yang jelas sehingga mampu memperhitungkan potensi konflik dalam masyarakat dan bukannya semakin memperuncing jurang konflik dalam masyarakat.

Bagi masyarakat yang sadar pada bahaya kebijakan negara yang tidak ramah dengan kearifan lokal mereka, kritik maupun resistensi merupakan saluran untuk menyuarakan ketidakberdayaan warga dalam bernegosiasi dengan kebijakan yang tidak ramah pada kearif-an lokal mereka. Sebagaimana tercermin dalam gerakan GANTI (Gerakan Aksi Tagih Janji) yang menuntut pemenuhan hak rakyat sekaligus menyuarakan ketidakrelaan masyarakat apabila masyara-kat terpecah belah akibat gempa susulan 30 juta skala rupiah yang “diguncangkan” Sang Wakil Presiden, Jusuf Kalla.

Sementara bagi banyak warga korban yang lain, ketidakber-dayaan tercermin dari kepatuhan untuk melaksanakan setiap juk-lak-juknis peraturan kebencanaan yang tidak sesuai dengan konteks mereka sehari-hari. Kebijakan yang tak menghitung rakyat sebenar-nya bukan barang baru di negeri ini, tapi bila kebijakan itu dipak-sakan untuk diterima dan dilaksanakan rakyat, contoh konkretnya adalah POKMAS dan Bagitas (pembagian dana bantuan menurut

22. Mengenai penisbian modal sosial ini, baca lebih lanjut AB. Widyanta, Modal Sosial: Partisipasi Warga Yang Selalu Dinisbikan Dalam Go�ernance Kebencanaan (Belajar Dari Penanganan Gempa Bumi Yogya-Jateng) dalam Jurnal Renai, Governance Bencana, Tahun VII No.1 2007, hlm 96-116.

29Pendahuluan

prioritas), maka konflik sosial horisontal adalah sebuah realitas yang diciptakan oleh struktur kebijakan. Konflik ini adalah gejala mani-fest dari ketidakberdayaan masyarakat untuk bersuara di hadapan pemerintah dan negaranya. Mereka adalah komunitas subaltern yang mengalami penindasan bertubi dari struktur yang seharusnya melindungi.

Membaca kapasitas, potensi dan kerentanan masyarakat da-lam menghadapi terjangan gempa sebagai gejala alam dan gejala so-sial, perlu dilakukan LSM dengan hati-hati dan tanggap. Dengan menghitung masyarakat di dalam kebijakan, LSM dapat mendesain program yang dibutuhkan masyarakat sekaligus mengad�okasikan problem masyarakat (baca: menyuarakan). Namun bila pengabaian dilakukan, niscaya kekeruhan di aras akar rumput merupakan capai-an kerja LSM yang mengadopsi pola kerja birokrasi negara. Maka, kembali kepada sebuah upaya untuk melihat bencana sebagai mo-mentum, bencana bisa menjadi momentum baik maupun momen-tum buruk. Di tengah kondisi anomi dan chaotic karena rusaknya tatanan sosial lama, LSM bisa mengambil peran untuk mengkerang-kai kapasitas dan potensi masyarakat dengan nilai-nilai demokrasi, pemberdayaan dan lain sebagainya. Upaya itu juga harus didukung dengan kerja konkret untuk menghitung mereka yang tak pernah dihitung, menyuarakan mereka yang tak berani bersuara.

Sebagai contoh, kelompok rentan, minoritas maupun kelas so-sial bawah adalah bagian dari masyarakat yang sebelum terjadi ben-cana telah mengalami sekian banyak pengabaian. Melalui bencana sebagai momentum, kelompok-kelompok ini harus didukung untuk berani bersuara dan diakui kapasitasnya oleh masyarakatnya sendiri. Keterlibatan kelompok-kelompok marginal di atas akan mendorong demokratisasi dan penciptaan struktur sosial baru yang lebih baik. Maka kembali kepada agenda rekonstruksi sosial yang radikal, mas-sif, dan menyeluruh, LSM harus bersungguh-sungguh melakukan pendidikan dan penyadaran publik yang partisipatoris di tingkat ba-sis. Di tingkat praksis, kalangan LSM harus mendelegasikan kepada

30 KiSah KiSruh di tanah gemPa

para stafnya (community organizer) yang berkompeten, berkomitmen, dan berpengalaman sungguh-sungguh untuk itu. Jangan lagi, agenda seserius itu dijadikan ajang uji coba bagi para staf lapangan yang baru atau bahkan para �olunteer di LSM tersebut. Sementara, para staf LSM yang berkapasitas dan berpengalaman (biasanya staf senior) justru semakin jarang atau bahkan sudah tidak terlibat sama sekali di komunitas basis, lantaran telah menjadi kaum elit LSM. Jujur ha-rus diakui, pola manajeman yang salah kaprah semacam itulah yang seringkali terjadi di LSM selama ini. Demi kesuksesan rekonstruksi sosial itu, kalangan LSM harus berani menata dan mengubah dirinya untuk kembali ke kithah.

Kiranya, merupakan tugas besar bagi seluruh pemangku ke-pentingan (stakeholders), terutama pemerintah, untuk merombak sesat pikir dan sesat tindakan atas sumbangan modal sosial berupa partisipasi aktif warga korban di atas. Terkaitan dengan modal so-sial itu, Fukuyama telah mengingatkan kepada kita bahwa:23

Pemerintah mampu membentuk modal sosial, tapi juga bisa meng-hancurkannya... Negara-negara yang tidak berhasil menjamin ke-amanan masyarakat atau hak milik pribadi cenderung menghasilkan warga yang tidak saja tidak percaya kepada pemerintah, melainkan juga kepada sesama warga lainnya dan sulit menjalin ikatan dengan orang lain. Pertumbuhan negara-negara kesejahteraan modern, pemusatan fungsi-fungsinya, dan campur tangannya dalam hampir semua bidang kehidupan cenderung memperlemah hubungan spon-tan antarwarga. Negara sebagai sekutu dan sebagai seteru modal sosial.

Di sini, seluruh pemangku kepentingan, terutama kalangan pemerintah, harus belajar memahami dan mengimplementasikan hakikat dari partisipasi itu. Secara fundamental, partisipasi sangat dibutuhkan untuk menjaring informasi terpercaya, dan kemudian

23. Francis Fukuyama, Guncangan Besar, Jakarta: Gramedia, hlm.316-318

31Pendahuluan

dipergunakan sebagai alat kontrol yang riil, dan akhirnya berfungsi sebagai penjaga gawang dari setiap tindakan pemerintah. Dari sisi berbeda, partisipasi juga sangat dibutuhkan sebagai taji penghujam yang mampu mendorong kinerja pemerintah untuk lebih efisien dan menciptakan pengaruh balik bagi layanan publik. Ini merupakan sesuatu yang penting untuk mengawasi akses dan kualitas pelayanan publik oleh negara. Berbagai bukti empirik mengindikasikan bahwa sebuah masyarakat sipil yang kuat dan kaya dengan modal sosial akan mampu memerankan peran kritis di dalam mendorong gover-nance kebencanaan yang handal.24

Kiranya inilah hikmah yang bisa kita petik bersama dari bencana gempa bumi Yogya-Jateng setahun silam. Bencana telah memberi kita momentum untuk mawas diri dan membenahi segala kekilafan, kecacatan, dan kelemahan dalam keberagaman dan kebersamaan yang kokoh. Dengannya kita bisa saling menguatkan hakikat peran masing-masing untuk sebuah sinergi keberpihakan yang riil kepada warga korban bencana ke depan. Dengan mengenang para syuhada gempa, semoga kita mampu menginisiasi diri menjadi bangsa pem-belajar dan pemetik hikmah yang baik. Sehingga kita bisa mewujud-kan kesadaran baru bahwa hidup harus dirawat, diperjuangkan, dan dijaga keberlangsungan dan keadabannya demi anak, cucu, dan cicit generasi kita mendatang. Untuk menuntaskan rekonstruksi sosial itu, seberapa tangguhkah kita?[]

24. AB. Widyanta, Modal Sosial: Partisipasi Warga Yang Selalu Dinisbikan Dalam Go�ernance Kebencanaan (Belajar Dari Penanganan Gempa Bumi Yogya-Jateng) dalam Jurnal Renai, Governance Bencana, Tahun VII No.1 2007, hlm.114

32 KiSah KiSruh di tanah gemPa

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Hamid & Rukmini, Mimin (edt), 2004; Kritik & Otokritik LSM, Membongkar Kejujuran dan Keterbukaan Lembaga Swadaya Masyarakat Indonesia, Jakarta: Piramedia;

Buletin Suara Korban Bencana, Edisi Susulan ke 7, 1 Agustus 2006Clark John, 1995, NGO dan Pembangunan Demokrasi; Yogyakarta: Tiara

Wacana.Draf Rencana Aksi Daerah tentang Pengurangan Risiko BencanaErler, Brigitte, 1989, Bantuan Mematikan, Catatan Lapangan tentang Bantuan

Asing; Jakarta: LP3ES. Eugene Garfield, 199, What Is The Primordial Reference For The Phrase ‘Publish

Or Perish’? The Scientist, Vol:10, #12, p.11, June 10, Figley, Charles R. Ph.D, Compassion Fatigue: An Introduction dalam www.

greencross.org Fukuyama, Francis, 2005, Guncangan Besar (terjemahan bahasa Indonesia

oleh Masri Maris), Jakarta: Gramedia.Jary, Da�id & Jary, Julia, 1991, Collins Disctionary of Sociology, Great Britain:

Harper Collins. Kompas, 2004, LSM Menyuarakan Nurani Menggapai Kesetaraan; Jakarta:

KompasKuper, Adam & Kuper, Jessica, 2000, Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial, Jakarta:

Rajawali Press Notulensi Rembug Konsolidasi Masyarakat Sipil Yogyakarta, 29 Juli 2006

tentang Rancangan Code of Conduct Penanganan Pasca Bencana Gempa Bumi Yogya-Jateng.

Putranti, Basilica D. & Subagya, Y. Tri, 2005, Jerat Bantuan, Jerit Pengungsi, Penanganan Kesehatan Reproduksi di Poso Pasca Konflik, Yogyakarta: PSKK UGM dan Ford Foundation.

Suharko, 2005, Merajut Demokrasi, Hubungan NGO, Pemerintah, dan Pengembangan Tata Pemerintahan Demokratis (1966-2001); Yogyakarta: Tiara Wacana

Zaidi, Zaim; Nugroho, As’ad; Abidin, Hamid, 2004, Merebut Hati Lembaga Donor, Kiat Sukses Pengembangan Program, Manual dan Panduan Menyusun Proposal dengan Teknik Analisis Kerangka Logis; Jakarta:Piramedia.

287

KiSah rumah di tanah gemPanaPaK tilaS tradiSi memBangun

rumah tradiSional Jawa1

AB. Widyanta2

“Kabeh niku mboten wonten sing tahan gempa.”

(Samijo)

“Pas enten gempa wingi griya kula njondhil-njondhil, gendhenge sami

mawut, cagake anjlok saking umpak,bar niku namung dhoyong. Mboten

ambruk.” (Ngatimin)

“Susunan konstruksi tradisional, dengan bahan kayu yang elastis fleksibel, ber-

pondasi titik dari tiang-tiangpendukung tanpa pembebanan pada

dinding-dinding, memungkinkan seluruh bangunan bisa “melenggang”

menyesuaikan diri secara elastis dengan getaran.”

(YB. Mangunwijaya)

1. Tulisan ini merupakan pengembangan dari tulisan berjudul Rumah Punya Sejarah, Napak Tilas Pembangunan Rumah Tradisional Jawa. Tulisan yang pernah dimuat

288 KISAH KISRUH DI TANAH GEMPA

Mitos Rumah Tahan Gempa: Suatu Pengantar

Kosa kata “tahan gempa” mendadak nge-pop di masyarakat Yogya dan Jateng pasca gempa 27 Mei 2006. Simaklah bagaimana masyarakat menggunakan kosa kata itu dalam

berbagai kesempatan. Mulai dari rasanan warga di angkringan, per-bincangan warga di gardu ronda, rapat RT, rembug desa, hingga rapat kedinasan di kantor-kantor pemerintah, kata itu nyaris tak pernah absen. Memasuki masa rekonstruksi, kosa kata itu kian santer diperbincangkan. Sebutan rumah “tahan gempa”, bangunan “tahan gempa”, konstruksi “tahan gempa”, dan semacamnya semakin familiar di telinga khalayak. Berbagai media masa (cetak dan elek-tronik) pun tak luput memakai kosa kata itu dalam berragam pemberitaannya. Iklan-iklan layanan masyarakat dan ad�ertensi komersial ternyata juga tak mau kalah untuk itu. Entah mengapa, kosa kata rumah “tahan gempa” sangat populer di kawasan Yogya dan Jateng. Hingga kelatahan pun tak terelakkan. Seakan tak afdol tanpa menyebutnya.

Memang, propaganda rumah “tahan gempa” diam-diam te-ngah menjadi akti�itas yang acap tak disadari dampaknya oleh

di www.suarakorbanbencana.org itu merupakan hasil wawancara penulis dengan Ir. Mahatmanta, Pengajar Perkembangan Arsitektur di UKDW. Dalam rangka refleksi 1 tahun penanganan pasca gempa Yogya-Jateng, tulisan ini diangkat kembali dan ditambahi dengan berbagai kasus dan persoalan aktual yang terjadi di masyarakat selama pasca gempa. Secara khusus, penulis mengucapkan terimakasih kepada Mas Anto, arsitek populis-kultural-mengagumkan, yang telah berkenan memperkaya pemahaman penulis tentang nilai-nilai kultural yang terkandung dalam arsitektur rumah Jawa. Untuk itu, penulis mendedikasikan tulisan ini secara khusus untuk Mas Anto, para warga korban, dan siapa saja yang peduli dan tak kenal lelah berpraksis untuk nguri-uri berbagai nilai kearifan lokal.

2. AB. Widyanta adalah staf peneliti di Cindelaras Institute for Rural Empowerment and Global Studies dan Mantan Koordinator Forum Suara Korban Bencana. Forum SUARA (Solidaritas untuk Emergensi, Ad�okasi, dan Rehabilitasi) adalah forum koordinasi organisasi non-pemerintah yang dideklarasikan oleh 26 ORNOP yang bekerja di wilayah Yogyakarta dan Jawa Tengah pada tanggal 29 Mei 2006, dua hari setelah gempa melanda kedua wilayah tersebut.

289KISAH RUMAH DI TANAH GEMPA

berbagai kalangan masyarakat. Andil terbesar boleh jadi muncul dari kalangan staf pemerintah, akademisi, arsitek, pakar teknik sipil, dan tak ketinggalan akti�is-akti�is LSM. Berbagai kajian ilmiah perihal rumah “tahan gempa” yang digelar oleh dinas Pekerjaan Umum misalnya saja—dengan melibatkan para kaum cerdik cendikia dari berbagai uni�ersitas ternama—telah menjadi bukti atas itu. Kiranya tidaklah berlebihan jika kita menyebut mereka (kaum biro-krat dan intelektual) sebagai produsen utama atas jargon rumah “tahan gempa” itu. Berbagai gagasan ilmiah perihal rumah “tahan gempa” yang diyakini “sahih” akhirnya berhasil direpetisikan hingga termassifikasi dengan sangat baik di kalangan masyarakat. Kaum cerdik cendikia benar-benar sukses sebagai trend setter bahasa (baca: jargon).

Menyoal bahasa, kita mungkin teringat gagasan Jacques Lacan perihal pikiran manusia yang dibentuk oleh bahasa. Baginya, begitu besar kekuatan yang terkandung dalam bahasa. Entah bagaimana realitas yang sesungguhnya, namun yang jelas apa yang dikatakan dianggap sebagai kebenaran. Bahasa telah menjadi realitas yang memuat kebenarannya sendiri. Dalam konteks ini, pemikiran Lacan menemukan rele�ansinya. Di mata masyarakat, jargon “tahan gempa” telah diyakini sebagai sesuatu yang benar adanya. “Tahan gempa” telah menjadi kebenaran itu sendiri. Bagaimanakah realitas atau kenyataan yang sesungguhnya? Apakah rumah “tahan gempa” yang diucapkan itu merujuk pada kenyataan atas rumah yang benar-benar tahan terhadap gempa? Di sinilah letak persoalannya. Jargon rumah “tahan gempa” yang dikontruksi kaum cerdik cendikia tak merujuk pada realitas atau kenyataan yang sesungguhnya. Tepatnya, rumah tahan gempa itu hanyalah mitos. Kenyataan telah menunjukkan bahwa rumah dan bangunan kokoh dengan konstruksi baja yang kuat sekalipun ternyata rontok juga oleh guncangan gempa Sabtu Wage, 27 Mei 2006 silam. Ada banyak kesaksian warga tentang itu. Rumah bisa tahan terhadap gempa atau tidak, hanya bisa diuji oleh gempa itu sendiri, dan bukan oleh kaum cendikia—yang memproduksi jargon rumah “tahan gempa”—tersebut.

290 KISAH KISRUH DI TANAH GEMPA

Ada satu contoh menarik perihal itu. Di pinggiran jalan raya, sebelum memasuki gapura kota Bantul, berdiri sebuah rumah yang baru saja di bangun setelah gempa terjadi. Oleh si pemilik, rumah tersebut diberi label “Rumah Contoh Tahan Gempa” Rangka Rumah “Harapan”.3 Jika dibaca sekilas, tak ada yang lucu dalam tulisan itu. Namun bila tulisan itu ditautkan dengan konteks bahwa rumah itu dibangun setelah gempa berlalu, maka barulah kelucuan muncul. Ditilik dari kronologi waktu, terasa ganjil jika rumah yang dibangun setelah gempa kok diberi label “Rumah Contoh Tahan Gempa”. Ironi. Argumen “tahan gempa” dalam tulisan tersebut sejatinya telah ternegasikan dengan sendirinya ketika kita meletakkannya dalam konteks kronologi waktu. Mustinya predikat tahan gempa hanya layak diatributkan pada rumah yang didirikan sebelum gempa terjadi, dan pasca guncangan gempa rumah itu masih tetap berdiri kokoh. Itulah rumah tahan gempa dalam arti yang sesungguhnya. Rumah tahan gempa mustinya merujuk pada kenyataan bahwa rumah itu benar-benar telah teruji oleh guncangan gempa, dan bukannya jargon kosong yang jauh dari realitas sesungguhnya.

Sebutan “Rumah Tahan Gempa” itu sendiri, jika ditilik dari kultur Jawa, secara implisit memuat simtom-simtom sikap nggege mongso dan grusah-grusuh. Kata nggege mongso itu kira-kira menjelaskan tentang sebentuk keinginan dan harapan semata yang serba abai terhadap konteks waktu, situasi, dan kondisi yang sesungguhnya. Sementara, kata grusah-grusuh menjelaskan perihal sikap yang se-nantiasa tergesa-gesa hingga tindakan serba tidak tepat. Lebih jauh lagi, pengertian nggege mongso itu sendiri merujuk pada situasi dari sebuah keinginan yang sama sekali tidak didasari dan ditopang oleh adanya sarana-sarana pendukung yang riil dan memadai. Sebutan “Rumah Tahan Gempa” itu pada hakikatnya hanya sekadar keinginan dan harapan belaka tanpa merujuk kondisi dan kualitas riilnya.

3. Pemberitaaan satir mengenai Rumah Contoh Tahan Gempa ini pernah muncul dalam Buletin Suara Korban Bencana Edisi Susulan ke-20, 1 No�ember 2006, hlm.2.

291KISAH RUMAH DI TANAH GEMPA

Tidaklah masuk di akal saja jika rumah yang baru kemarin sore dibangun sudah disebut, bahkan lebih celaka lagi dipropagandakan, sebagai rumah tahan gempa. Bukankah itu merupakan sebutan yang nggege mongso, prematur, dan terlalu dini untuk dimunculkan (lantaran kualitas belum teruji oleh gempa sungguhan)? Sebutan itu sendiri sebenarnya masih berkadar “harapan”, dan bukan realitas yang mengandung kualitas (tahan gempa) yang senyatanya.

Pembacaan atas fenomena “Rumah Tahan Gempa” sebagai sekadar harapan dan bukan realitas itu lebih jauh bisa dianalogikan dengan kasus berikut. Tatkala ada orang tua menamai anak lelakinya yang baru lahir dengan nama Joko Prakoso, itu berarti si orang tua berkeinginan agar anaknya kelak bisa menjadi sosok yang sesuai dengan makna yang terkandung dalam nama tersebut. Dalam bahasa Jawa, joko berarti anak laki-laki. Sementara, prakoso berarti gagah, kuat, dan perkasa. Dengan demikian, tatkala memilih dan memberi nama kepada anaknya yang baru lahir itu, si orang tua pastilah tengah menyemai harapan agar kelak di kemudian hari anak tersebut bisa tumbuh dan dewasa sebagai seorang lelaki yang senantiasa sehat, kuat, gagah, dan perkasa layaknya Bima.4 Tapi benarkah si anak itu senyatanya akan menjadi lelaki yang gagah, kuat dan perkasa? Realitas kadang tak seturut harapan. Acap kali harapan yang dititipkan dalam sebutan nama tak senantiasa menunjuk pada kualitas makna atau sifat baik dari realitas yang sesungguhnya. Contoh analogi ini kiranya bisa menjelaskan argumen bahwa merebaknya fenomena “Rumah Tahan Gempa” adalah fenomena tentang idealisasi harapan. Lantaran di-propagandakan dan didesakkan seolah-olah sebagai realitas, maka sejak itulah muncul konsep yang lazim disebut sebagai jargon.

Jika sekadar jargon, maka berarti propaganda kepalsuan tengah berlangsung. Label “Rumah Contoh Tahan Gempa” di atas benar-benar kebenaran palsu. Memang, sudah teramat lazim dalam

4. Bima yang merupakan nama lain dari Wijaksena, alias Werkudoro, ayahanda Gatotkaca, adalah salah seorang tokoh dalam pewayangan yang menggambarkan seorang ksatria berperawakan besar, gagah, dan perkasa.

292 KISAH KISRUH DI TANAH GEMPA

keseharian hidup kita menjumpai sindroma pedagang obral “obat panasea penyembuh se-abreg-serombongan penyakit”, “kecap nomor satu”, dan berbagai ungkapan serupa. Terkait dengan jargon rumah “tahan gempa” ini rupanya kita pun tengah menghadapi sindroma sejenis. Selidik punya selidik, tak jauh dari praduga, bahwa ternyata si pemilik “Rumah Contoh Tahan Gempa” tadi adalah sebuah per-usahaan rancang bangun perumahan yang tengah melakukan pro-mosi produk sekaligus jasa konstruksi.

Kekhawatiran pun meruyak. Sindroma pengobral obat rupanya tengah menjadi endemi. Tanpa sadar, kita semua andil dalam me-reproduksi sulapan bahasa yang jauh dari rujukan kebenaran. Boleh jadi kita tengah ingkar atas pentingnya sebuah bahasa kebenaran yang musti ditegakkan. Sampai-sampai kita rela menggadaikan martabat dan memilih jadi pesulap-pesulap yang tengah berupaya menyembunyikan modus demi meraup fulus. Terbukti benar ung-kapan Lacan, bahasa memiliki kekuatannya sendiri. Dengan ba-hasa, kaum intelektual bisa membungkus kepentingan sekaligus mengendarai pikiran banyak orang demi kepentingannya. Dalam konteks ini, rezim teknokratis sungguh-sungguh berfungsi sangat efektif dalam mendongkrak jargon rumah “tahan gempa” yang pada hakikatnya adalah mitos. Benar-benar suatu kekhawatiran yang tak terpalingkan.

Sedemikian parahkah implikasi dari jargon rumah “tahan gempa” di atas? Bukankah bantuan rumah “tahan gempa” yang te-ngah marak dibangun Kelompok Masyarakat (Pokmas) saat ini ter-bukti diterima dan berguna juga bagi masyarakat? Boleh jadi itulah gugatan benak kita. Gugatan itu tidaklah salah. Namun bila ditilik mendalam, jawabnya tak sesederhana itu. Harus diakui, bantuan rumah pasca bencana biasanya tak menyajikan banyak pilihan bagi penyitas (survivors). Sebagaimana lazimnya, bantuan cenderung tak ramah kebutuhan warga. Ketergopohan respon pasca bencana meniscayakan rancangan dan implementasi kebijakan abai terhadap kultur lokal. Kasus penanganan pasca gempa Yogya dan Jateng telah

293KISAH RUMAH DI TANAH GEMPA

membeber fakta itu. Kita tentu mafhum mengenai fakta seputar mekanisme bantuan berikut konstruksi standar rumah “tahan gem-pa” dari pemerintah yang diinstruksikan ke seluruh Kelompok Masyarakat (Pokmas).

Contoh lain yang lebih spektakuler bisa kita simak pada kasus pembangunan rumah a la Teletubbies (rumah dome) di Padukuhan Sengir, Kelurahan Sumberharjo, Kecamatan Prambanan, Sleman, Yogyakarta.5 Sekadar mengusung proyek ber-jargon rumah “tahan gempa”, sebuah lembaga bantuan asing—yang tentu saja atas seijin Pemerintah Kabupaten Sleman6 dan Pemerintah Propinsi—berkolaborasi dengan arsitek dan staf lokal membangun rumah beton berbentuk parabola tengkurap. Pembangunan rumah dome itu sungguh-sungguh abai terhadap kebutuhan warga. Misalnya, berapapun jumlah anggota keluarga yang akan menghuni, bangunan rumah tetap dirancang seragam. Itu berarti, rumah ini sama sekali tidak mengenal konsep rumah tumbuh layaknya rumah Jawa yang serba luwes untuk dideformasi sewaktu-waktu. Bangunan yang seragam dengan desain “mati” semacam itu merupakan simbolisasi kematian jiwa-jiwa kreatif penghuninya.

5. Di area tanah seluas 2,5 hektar, sebanyak 81 rumah dome didirikan dengan rincian 73 rumah tinggal, 2 masjid, 6 MCK. Menurut kalkulasi mereka, biaya pembangunan rumah dome ini berbiaya di bawah 15 juta. Namun biaya paling besar dalam pembangunan rumah dome ini adalah biaya pengadaan balon untuk mempola bangunan parabola tersebut. Balon-balon tersebut didatangkan dari Amerika Serikat. Konon rumah Dome ini oleh donatur pernah dibangun di beberapa negara seperti Kenya, India, Thailand, dan Chili. Menurut seorang nara sumber, rencana awalnya rumah Dome ini akan dibangun di wilayah Bantul. Lantaran Bupati Bantul tidak mengijinkan dan bahkan menolak mentah-mentah, maka bermigrasilah rumah Dome ini ke wilayah yang lebih mudah diajak “kompromi”, Sleman. Konon, “pembawa” rumah Dome ini adalah seorang mantan menteri di era kabinet Abdurahman Wahid (Gus Dur).

6. Sebuah ungkapan ironis muncul dari Bupati Sleman. Secara khusus Sang Bupati justru merasa beruntung lantaran Sleman memiliki rumah-rumah dome ini. Secara panjang lebar ia mengungkapkan: “Dengan bentuknya yang unik bisa saja rumah dome tersebut menjadi monumen peristiwa gempa 27 Mei, serta menjadi aset wisata yang menarik untuk dikunjungi wisatawan. Kawasan itu juga bakal menjadi situs budaya yang mengingatkan kita akan semangat hidup dan semangat gotong royong.” Dikutip dari Kedaulatan Rakyat, Minggu Wage 27 Mei 2007, hlm.3

294 KISAH KISRUH DI TANAH GEMPA

Merujuk pada kultur Jawa, omah (rumah) acap diyakini sebagai semah (belahan jiwa, soulmate, layaknya istri atau suami). Omah merupakan simbolisasi dari kelekatan tata relasi fisik dan ekspresi jiwa para penghuni sebagai ruhnya. Konsep omah ini juga dipakai pada saat orang jawa memasuki jenjang perkawinan atau hendak membangun hidup baru bernama keluarga. Menurut kultur Jawa, orang yang memasuki jenjang perkawinan atau hidup baru itu lazim disebut sebagai omah-omah. Artinya, persoalan berumah tangga dalam perkawinan Jawa bukanlah sekedar membangun bangunan fisik artifisial berupa omah semata. Melampaui itu, filosofi omah-omah melukiskan perihal totalitas relasi dan dialog dua hati yang padu dalam lingkup jagad mikro bernama omah. Di sini, omah dimaknai sebagai ruang pri�at yang selalu menanti untuk diisi, dihidupi, dan dijiwai oleh penghuninya. Itulah sebabnya mengapa bangunan rumah Jawa tidak statis, melainkan luwes dan dinamis sesuai dengan kebutuhan semasa dari penghuninya.

Bentuk-bentuk rumah Jawa pun akan selalu mengikuti dinamika anggota keluarga. Tatkala ada anggota keluarga yang hendak melakukan omah-omah, maka tidak jarang bentuk rumah akan berubah. Beberapa bagian rumah diberikan sebagai sangu warisan bagi keluarga baru itu. Harapannya, meski terpisah oleh jarak, namun keluarga baru tersebut masih tetap mewarisi ruh omah lama. Maka di manapun keluarga baru itu tinggal, mereka telah menjadi satu kesatuan yang utuh dan tak akan pernah terpisahkan. Itulah sebab mengapa kekerabatan di masyarakat Jawa begitu kuat. Dalam konteks kultural semacam ini, tak sulit bagi kita untuk melukiskan dampak kultural rumah dome tersebut bagi masyarakat Sengir kelak di kemudian hari.

Di sinilah letak dimana kita mesti mempertanyakan kembali akar persoalan dari kebijakan rekonstruksi yang sangat massif dan abai kelokalan warga. Rumah yang dibantukan dan bahkan di-bangunkan oleh wong liya (orang lain) boleh jadi adalah hal yang samasekali baru bagi kamus masyarakat Jawa. Kita tidak tahu apa

295KISAH RUMAH DI TANAH GEMPA

yang terjadi dengan jagad mikro (dunia pri�at) masing-masing warga tatkala mereka tidak melibatkan otak, tangan, dan hatinya dalam membangun sendiri rumah yang akan mereka huni nanti. Inilah gugatan fundamental yang pantas kita renungkan bersama.

Secara umum kita bisa menegaskan bahwa pembangunan rumah dome sungguh-sungguh telah mengabaikan berbagai aspek-aspek ekologis, sosial, dan budaya masyarakat. Warga yang biasanya menghuni rumah kampung, limasan, ataupun joglo, kini harus tinggal di dalam tempurung beton. Layaknya oven roti, bisa dipastikan, cuaca panas akan memanggang seluruh penghuni rumah. Terlalu sepele bagi rasio modern untuk memecahkan persoalan itu. Air Conditioner (AC) adalah solusinya. Luar biasa. Penggagas rumah dome ini benar-benar tak kurang akal. Lantaran berlebih akal, yang kemudian terjadi adalah proyek akal-akalan. Sesat pikir tepatnya. Nalar sederhananya, pastilah AC itu butuh kapasitas listrik yang sangat besar. Di tengah membumbungnya biaya-biaya pelayanan publik seperti listrik saat ini, tidakkah mereka berfikir bahwa bantuan itu justru akan memasung warga nantinya? Tidakkah mereka berfikir bahwa dengan bantuan semacam itu, warga menjadi tergantung kepada teknologi yang sama sekali tak memiliki basis topangan kultural maupun sumberdaya lokal? Kiranya, nalar sehat akan mengerti bahwa bantuan semacam itu tidak membantu, tapi justru membebani warga. Kiranya sejarah juga telah mencatat perihal kasus-kasus bantuan yang mematikan. Dan inilah salah satu contoh riilnya. Sungguh tak pernah terbayangkan sebelumnya bahwa rumah dome akan benar-benar berdiri di wilayah Yogyakarta. Boleh jadi, inilah kali pertama sejarah mencatat masuknya rumah dome dalam kasanah arsitektur rumah Jawa.

Sayang, gayung terlanjur bersambut. Para warga nampak gembira menerimanya. Menurut penuturan warga: “Sudah mending-an kami dapat bantuan rumah, Mas. Namanya saja bantuan, kami sadrema mung nampa seneng (semata-mata hanya bisa menerima dengan senang hati).” “Namanya bantuan kalau tidak di terima ya

296 KISAH KISRUH DI TANAH GEMPA

mubazir, mas!” Begitulah warga menyodorkan beragam argumen, seolah menegaskan adagium orang Jawa yang berbunyi: “Ora ilok nampik pawehing lian” (pamali menampik pemberian orang). Bantuan materi sebentuk omah batok-beton (rumah tempurung dari beton) tanpa disangka-sangka hadir sebagai rejeki nomplok atau bahkan anugerah besar yang terlalu sayang jika ditolak. Benar-benar Klop. Sempurnalah sudah. Jika sudah sedemikian situasinya, lantas siapa yang musti bertanggungjawab atas carut marutnya pengelolaan bantuan asing yang tak ramah terhadap kearifan lokal dan pada akhirnya justru menjerat dan memasung warga semacam ini? Da-lam situasi semacam ini, muncul satu pertanyaan yang senantiasa menggelitik dan menuntut jawaban. Sejauh mana kita menentukan tolok ukur bahwa bantuan itu merupakan berkah atau bencana? Inilah dilema yang mau tak mau harus kita hadapi dan pecahkan bersama.

Bagaimanapun juga, gempa secara kasat mata telah merubah tata sosial dan kultural masyarakat. Wacana kultural semakin berkelit berkelindan dengan wacana ekonomi politik bantuan. Dramaturgi sosial pasca gempa nampaknya kian kompleks. Namun patut kita sadari bahwa repitisi latah atas jargon rumah “tahan gempa” telah menghilangkan kesadaran kritis orang. Sampai-sampai terasa sulit memilah antara mitos dan realitas. Secara gamblang, jargon rumah “tahan gempa” yang nge-trend pasca bencana telah membeberkan fakta bahwa masyarakat kita ternyata lebih menggandrungi mitos ketimbang realitas. Itulah wajah dunia sosial kita pasca gempa.

Segala Sesuatu Tak Ada yang Tahan Gempa7 Di tengah hiruk pikuknya jargon rumah “tahan gempa”, suara-

suara lirih warga muncul sesekali di sana-sini. Terdengar lirih lantaran mereka terkucilkan oleh mainstream jargon rumah “tahan gempa”. Suara-suara itu bermunculan dari para warga yang menjadi saksi

297KISAH RUMAH DI TANAH GEMPA

mata atas kelenturan berbagai model rumah tradisional Jawa tatkala gempa mengguncang. Adalah Ngatimin, seorang warga dari dusun Karangasem RT 02, Muntuk, Dlingo, Bantul, yang menuturkan perihal rumahnya saat terjadi gempa. Dengan berbahasa Jawa kromo, lebih jauh ia mengisahkan:8

“Pas enten gempa wingi griya kula njondhil-njondhil, gendhenge sami mawut, cagake anjlok saking umpak, bar niku namung dhoyong. Mboten ambruk.”

(Ketika gempa terjadi, rumah saya berjingkrakan, genteng berjatuhan, ujung bawah tiang rumah terperosok anjlok dari atas umpak, setealah itu rumah hanya miring. Tidak ambruk.)

Begitulah Ngatimin mengisahkan pentas tarian alam rumah limasan-nya saat gempa bertandang di dusunnya. Ingatan Ngatimin ternyata berhasil merekam dengan baik bahwa di RT 02 tersebut sebagian besar rumah warga adalah rumah tradisional bergaya limas-an. Itulah sebabnya, menurut argumen Ngatimin, hanya ada 2 rumah dan 1 mushola yang roboh. Padahal jika ditilik dari letak geografis, Desa Muntuk sangat berdekatan dengan lokasi pusat gempa, yaitu di tempuran Opak-Oya.

Kisah serupa ditemui juga di daerah Nglatiyan II, Ngentak Rejo, Lendah Kulon Progo. Suparno, pemilik rumah tradisional Jawa bergaya joglo, menceritakan kembali perihal rumah joglo yang tetap melenggang saja meski gempa mengguncangnya. Menurut penuturan Suparno:9

7. Sub judul ini merupakan terjemahan dari pendapat Samijo (64 tahun) yang mengatakan: “Kabeh niku mboten wonten sing tahan gempa”. Kutipan diambil dari Buletin Suara Korban Bencana Edisi Susulan ke 23, 22 No�ember 2006, hlm.2.

8. Buletin Suara Korban Bencana, Edisi Lebaran 25 Oktober 2006, hlm. 2.9. Buletin Suara Korban Bencana Edisi Susulan Ke-22, 15 No�ember 2006, hlm.2.

298 KISAH KISRUH DI TANAH GEMPA

Saya dan seluruh keluarga sudah berada di luar sehingga bisa melihat rumah ini berayun-ayun. Padahal pada waktu kejadian itu sepertinya sudah mau roboh ke utara, tapi ya nggak jadi.

Benar-benar mengejutkan. Rumah joglo berusia hampir 50 tahun itu terbukti sanggup mengatasi ayunan gempa berskala 5,9 skala richter.

Tak kalah mengejutkan dari itu adalah kisah rumah kuno Mbah Mangun Sumarto (86 tahun). Rumah limasan berusia lebih dari 100 tahun itu terletak di RT 06, Dusun Gandikan, Kaligondang, Sumbermulyo, Bambanglipuro, Bantul. Kisah rumah kuno Mbah Mangun kian menyempurnakan dua kisah rumah tradisional Jawa di atas. Menurut sejarahnya, rumah tersebut pernah digoyang gempa pada tahun 1942, dan terbukti masih sanggup mengatasi gempa pada 27 Mei 2006 silam. Lebih jauh, Mbah Mangun menuturkan, rumah limasan yang dihuninya tidak berubah dari dulu hingga kini. Bahan baku yang digunakan masih asli semuanya. Sambungan antar kayu menggunakan semacam paku/kancing kayu berbentuk bulat atau yang biasa disebut sunduk kili. Pada saat gempa terjadi, rumah kuno Mbah Mangun ini juga hanya meliuk ke kanan dan ke kiri. “Mung doyong sisih kidul kuwi” (hanya miring sebelah selatan itu), begitu tutur ringan Mbah Mangun dengan bahasa Jawa ngoko-nya.10

Berbagai kisah unik yang dituturkan oleh Ngatimin, Suparno, dan Mbah Mangun di atas hanyalah contoh kecil dari sekian banyak kisah warga yang tak sempat terpaparkan kepada khalayak secara memadai. Kendati demikian, kalangan masyarakat sebenarnya te-ah mendengar dan memperoleh impresi khusus mengenai kisah “kandang-kandang sapi” yang masih tetap berdiri kokoh meski gempa dahsyat menerpanya. Banyak sekali kasus di lapangan menunjukkan bahwa para warga akhirnya justru “menggusur” ternak-ternak dan memanfaatkan kandang sebagai hunian sementara. Inilah kisah

10. Uraian ini dikutip dari Buletin Suara Korban Bencana Edisi Susulan Ke-23, 22 No�ember 2006, hlm.2.

299KISAH RUMAH DI TANAH GEMPA

yang sesungguhnya sarat dengan nilai-nilai kearifan lokal. Sayangnya, nilai-nilai itu sering dianggap usang, tradisional, tak modern, dan lebih celaka lagi, tak memiliki makna apapun, kecuali sebagai cerita lalu yang hanya pantas dikenang saja. Belajar dari kisah kandang itu, kita sejatinya bisa memetik buah refleksi tentang bagaimana se-sungguhnya prinsip dan konstruksi rumah yang responsif/tanggap terhadap gempa, dan bukannya rumah tahan gempa sebagai jargon yang justru latah dan menyesatkan.

Memang itulah sesat pikir yang telah mewabah di wilayah pu-blik. Hingga teramat sulit untuk meluruskannya kembali. Terkait dengan konsep rumah modern yang kini marak dibangun pasca gem-pa, baik yang didanai oleh pemerintah maupun berbagai lembaga donor, menurut Ir. Mahatmanto, seorang pengajar perkembangan arsitektur, bisa diibaratkan tak lebih seperti membuat “kontainer”. Lebih jauh ia berargumen bahwa “kontainer-kontainer” semacam ini jelas-jelas tidak membiarkan energi alam lewat tetapi justru menahan, melawan, bahkan merusak alam.11 Argumen tentang konstruksi rumah yang selaras dengan alam juga dilontarkan oleh guru besar arsitektur bermatra kearifan lokal, YB Mangunwijaya. Menurutnya, sudah terbukti, bahwa gedung-gedung berkonstruksi modern yang dirancang kaku (rigid) hancur, sedangkan yang ber-konstruksi tradisional bisa bertahan. Pada hakekatnya, lebih jauh Mangunwijawa mengungkapkan:12

“Susunan konstruksi tradisional, dengan bahan kayu yang elastis fleksibel, berpondasi titik dari tiang-tiang pendukung tanpa pembebanan pada dinding-dinding, memungkinkan seluruh bangun-an bisa “melenggang” menyesuaikan diri secara elastis dengan getaran.”

11. Hasil wawancara penulis dengan Ir. Mahatmanto, 2 Oktober 2006. 12. Mangunwijaya YB, Pasal-Pasal Penghantar Fisika Bangunan, Jakarta: Gramedia,

1980, hlm 89

300 KISAH KISRUH DI TANAH GEMPA

Senada dengan dua argumen di atas, argumen Yuskar Lase juga menegaskan perihal karakter-karakter dasar rumah tradisional yang responsif/tanggap terhadap gempa. Berdasarkan pada hasil wawancara dan reportase E�awani Ellisa yang termuat di majalah National Geographic, lebih jauh Lase menegaskan:13

“Bangunan tahan gempa seperti ilalang. Sifat ilalang yang ringan dan fleksibel menyebabkan tanaman ini tak akan tercerabut dari akarnya walau diterpa angin kencang. Kunci untuk membuat struktur bangunan yang fleksibel terhadap gaya gempa terletak pada sistem sambungan ductile atau sambungan yang mampu berdeformasi besar tanpa harus berkurang kekuatannya.”

Secara khusus, reportase ini muncul dilatarbelakangi oleh sebuah fenomena menarik pasca gempa Nias. Alkisah, pasca gempa Nias terdapat sebuah rumah adat Nias berukuran besar dan berusia lebih dari satu abad yang masih tetap sanggup berdiri kokoh kendati gempa telah meratakan rumah-rumah warga sekitarnya.

Dalam konteks ini, kiranya menjadi penting bagi kita untuk mulai serius mengkaji berbagai prinsip dan nilai kultural yang ter-kandung dalam konstruksi rumah tradisional di berbagai wilayah Nusantara. Bila kita mencermati sungguh-sungguh, konstruksi ru-mah tradisional yang bertebaran di seantero negeri ini secara umum memiliki prinsip yang hampir sama. Semuanya nampak merujuk pada prinsip-prinsip hidup yang selaras, seimbang, dan harmonis dengan alam. Kajian semacam itu tentu saja sangatlah penting, terlebih ketika kita semakin paham bahwa wilayah Nusantara ini ternyata adalah wilayah langganan/jalur gempa (ring of fire). Dengan memahami dan mengkaji secara lebih mendalam perihal nilai-nilai kearifan lokal yang terkandung dalam konstruksi rumah-rumah tradisional itu, kita akan menjadi sadar bahwa ternyata warisan

13. Yuskar Lase, dalam National Geographic April 2006, hasil wawancara E�awani Ellisa, Teknologi Gempa Bumi, hlm. 77)

301KISAH RUMAH DI TANAH GEMPA

budaya nenek moyang kita sangatlah kaya dengan berbagai pilihan sikap arif dan bijak. Ibarat buku, warisan budaya itu selalu terbuka untuk kita baca dan cecapi kandungan nilai-nilai di dalamnya. Kini, tinggal bagaimana kita menyikapinya.

Selama masa rekonstruksi pasca gempa Yogya dan Jateng, kita tahu persis bagaimana kebijakan pemerintah diimplementasikan. Tak ada afirmasi kebijakan atas nilai-nilai kearifan lokal itu. Warisan budaya dinisbikan. Para local genius tak dilibatkan dalam rancangan dan implementasi kebijakan. Jangankan dilibatkan, didengar dan dimintai pendapat pun tidak. Tak ayal, apa yang terjadi kini adalah gambar dari suatu bangsa yang tak beridentitas dan tak berkarakter. Bangsa ini serba gado-gado, tak yakin akan potensi dirinya. Dalam kondisi demikian, maka bukanlah hal yang aneh jika pada masa re-konstruksi pasca gempa itu, implementasi kebijakan tidak berakar pada kultur lokal. Kultur luar yang dibawa dan diperkenalkan oleh agensi-agensi asing pengelola bantuan, jauh lebih diperhatikan oleh pemerintah. Tanpa memasang filter, semisal code of conduct, pemerintah sangat terbuka dan bahkan permisif terhadap bantuan agensi-agensi asing yang sebenarnya berpotensi merusak. Sungguh, bangsa ini telah kehilangan identitasnya.

Secara kasat mata kita bisa cermati contoh pilihan tunggal ke-bijakan rekonstruksi berupa rumah tahan gempa di atas. Jika saja pemerintah kita mau sedikit arif, rakyat mustinya diberi beberapa alternatif pilihan model rumah yang akan dibangun kembali. Namun nampaknya pemerintah tak mau dibuat repot untuk itu. Berdalih efisiensi dan efektifitas untuk program rekonstruksi, pe-merintah secara sentralistis mendesakkan model tunggal konstruksi rumah beton dengan pondasi, sloof, ring dan tiang besi cor-coran ala standarisasi pemerintah yang implementasinya dikawal oleh Departemen Pekerjaan Umum. Harus diakui, proyek semacam itu memang lebih enteng, praktis, dan lebih “menjanjikan”. Nampak-nya warga pun pada akhirnya tak punya banyak pilihan, kecuali me-nerimanya. Semata-mata demi kepentingan pragmatis dan efisiensi,

302 KISAH KISRUH DI TANAH GEMPA

hakekat warga sebagai subyek pembangunan pun menjadi tak rele�an dan tak penting lagi. Hal yang sama berlaku juga pada rumah tahan gempa, apakah itu realitas atau mitos, sudah tidak rele�an dan tak penting lagi digagas. Semuanya toh sekadar pragmatisme dan efisiensi. Dalam konteks ini, pemerintah benar-benar telah mem-posisikan warga sebagai obyek pasif, yang tak mampu berfikir dan bersikap kritis terhadap berbagai kebijakan pembangunan, yang sesungguhnya tak lebih dari sekadar mitos belaka.

Menyoal mitos kebijakan rumah tahan gempa, sebenarnya bangsa ini bisa belajar dari pandangan arif warganya, yang boleh jadi tak mengenyam pendidikan tinggi seperti Samijo (64 tahun) berikut ini. Warga Dusun Gandikan, Kaligondang, Sumbermulyo, Bambanglipuro, Bantul, ini lebih jauh mengungkapkan:14

Kabeh niku mboten wonten sing tahan gempa (segala sesuatu itu tak ada yang tahan gempa). Hanya saja rumah yang terbuat dari kayu lebih aman ketika terjadi gempa, karena penghuninya masih memiliki cukup waktu untuk menyelamatkan diri. Kalau pun ada penghuni yang terjebak, menyelamatkannya juga lebih mudah, karena kayu kan ringan.”

Sekilas, penuturan Samijo di atas terdengar biasa-biasa saja. Namun bila didalami lebih jauh, argumen bersahaja itu mampu membongkar dan meruntuhkan mitos rumah tahan gempa yang di-propagandakan oleh para cerdik cendikia. Dalam keugahariannya sebagai seorang warga dusun, ungkapan Samijo di atas sesungguhnya telah menggelar suatu wacana tandingan. Secara implisit Lik Samijo hendak memaknakan bahwa tak akan ada yang mampu melawan kekuatan gempa. Gempa merupakan keniscayaan perubahan alam yang kekuatannya tak bisa dibendung oleh siapapun. Untuk itu, gem-pa tak perlu disikapi secara berlebihan. Karena pada dasarnya gem-

14. Uraian ini dikutip dari Buletin Suara Korban Bencana Edisi Susulan Ke-23, 22 No�ember 2006, hlm.2.

303KISAH RUMAH DI TANAH GEMPA

pa adalah kenyataan yang musti dihadapi, bukannya dilawan atau ditentang. Gempa bukanlah musuh yang mengancam. Gempa hanya salah satu peristiwa alam biasa yang musti disikapi dengan arif dan bijak. Menghadapi dan menyikapinya secara arif dan bijak itulah yang musti selalu dipikirkan. Tercermin dalam ungkapannya, Samijo nampak terbiasa melakukan proses nggelar-nggulung kahanan (arti harafiahnya: proses dialektis aksi-refleksi atas realitas kehidupan). Dalam kerangka kultur dan kearifan lokalnya, Samijo hadir sebagai sosok local genius yang mampu membongkar mitos rumah tahan gem-pa yang saat ini tengah diagung-agungkan.

Konstruksi sosial atas tata nilai dan tradisi dalam menghadapi perubahan alam itu sendiri bermula dari pengalaman yang kemudian melahirkan pengetahuan lokal atas konstruksi rumah tradisional Jawa yang responsif/tanggap terhadap gempa sehingga relatif aman. Pengetahuan itu dari waktu ke waktu ditradisikan sehingga menjadi apa yang biasa diistilahkan sebagai indigenous knowledge. Cakupan indigenous knowledge itu sendiri, dalam dinamika peradaban masyarakat, senantiasa ditapakkan dalam ranah praksis atau laku hidup keseharian yang kontekstual. Padupadan dialektis antara pengetahuan, nilai-nilai keyakinan, dan praksis hidup sosial itulah yang pada akhirnya melahirkan sebentuk kearifan-sosial-khusus yang biasa kita sebut sebagai local wisdom. Dalam berbagai kisah kandang sapi dan berbagai macam tipe rumah tradisional Jawa (kampung, limasan, joglo) di atas, sebetulnya tersimpan dasar filosofi dan perangkat nilai kultural masyarakat Jawa yang sangat penting untuk dijadikan tuntunan dalam mempertimbangkan dan menyikapi secara arif dan bijak berbagai risiko yang ditimbulkan oleh gempa dan berbagai wujud perubahan alam lainnya. Jika saat ini buku UN International Strategy for Disaster Reduction bertitel Living with Risk15 tengah menjadi mainstream atau bahkan menjadi “kitab suci” bagi banyak lembaga dalam penanganan bencana, maka sebenarnya Lik

15. Living with Risk: A Global View of Disaster Reduction Initiatives; Gene�a: UN International Strategy for Disaster Reduction, 2002.

304 KISAH KISRUH DI TANAH GEMPA

Samijo jauh-jauh sebelumnya telah menerjemahannya ke dalam prak-sis. Ia riil berpraksis. Di sini kerangka pikir, pengetahuan lokal, telah diimplementasikannya dalam tindakan nyata.

Rupanya, Samijo adalah orang Jawa yang paham betul perihal laku hidup yang selalu “eling lan waspada” dan tidak gampang kaget lan gumunan (tidak gampang terkaget-kaget dan gampang terheran-heran) terhadap arus perubahan di sekitarnya. Ia tetap teguh dan ber-akar dalam keyakinannya. Terbukti pendapatnya berbeda dan bah-kan bertolak belakang dengan pendapat para cendikia. Kata “eling lan waspada” memiliki makna tentang sadar dan waspada terhadap segala kemungkinan yang terjadi dan yang akan terjadi dalam hidup. Kata itu juga melukiskan suatu daya upaya/ikhtiar manusia untuk selalu berpijak ke bumi, praksis hidup yang riil, dan bukan di awang-awang. Dengan kata lain, kesadaran (kritis) dan kewaspadaan itulah instrumen yang sangat penting dalam praksis kehidupan.

Tanpa bermaksud simplistis, boleh jadi inilah sistem peri-ngatan dini (early warning system) dalam �ersi kearifan lokal. Sistem peringatan dini yang kultural ini bersifat lebih organik dan jauh dari bias perangkat keras bernama teknologi mutakhir yang harganya mencapai jutaan atau bahkan hingga milyaran rupiah. Sikap peka, tanggap, dan tangguh dalam kultur lokal semacam ini sesungguhnya merupakan sumber-sumber pengetahuan yang sangat berharga untuk dikaji. Hal itu perlu didesakkan agar implementasi kebijakan penanganan bencana yang dilakukan pemerintah tak menafikan kearifan lokal masyarakat. Harapannya, kesiapsiagaan bencana (disaster preparedness) senantiasa menjadi mudah untuk diinisiasi. Sehingga gerakan penyadaran sesungguhnya atas disaster preparedness berbasis kearifan lokal tersebut bisa terarah pada suatu sistem yang terpadu dalam masyarakat. Itulah potensi kekayaan yang sejatinya teramat berharga, jika saja bangsa ini mau mengerti.

Menimbang betapa berharganya kearifan lokal yang ada di masyarakat kita, tulisan berikut akan menguraikan lebih jauh se-jarah, filosofi, prinsip, dan nilai yang terkandung dalam konstruksi

305KISAH RUMAH DI TANAH GEMPA

rumah tradisional Jawa. Dengan paparan ini, diharapkan kita akan terinsipirasi dan teryakinkan untuk senantiasa berupaya me-ngembangkan berbagai nilai kearifan lokal dalam konteks pem-bangunan yang tengah kehilangan dimensi kerakyataannya saat ini. Diawali dari filosofi rumah tradisional Jawa, tulisan berikut ini lebih jauh lagi akan memaparkan beberapa perubahan bentuk rumah Jawa yang diakibatkan oleh pengadopsian kultur-kultur yang dibawa masuk oleh para saudagar dan bangsa-bangsa kolonial dari berbagai belahan dunia. Pertemuan dengan jagad-jagad kultural dari berbagai belahan dunia itu pada akhirnya menghasilkan konstruksi rumah tradisional Jawa seperti yang umum kita kenal saat ini.

Sejarah dan Filosofi Rumah Tradisional Jawa

Rumah Jawa sebenarnya ada banyak ragamnya. Selain karena tanah Jawa—tempat dibangunnya rumah itu—beragam secara geologis, rumah Jawa itu sendiri mengalami perkembangan, tidak statis. Rumah-rumah Jawa sebagaimana digambarkan dalam relief percandian abad VIII-XII berbeda dari rumah-rumah Jawa yang kita lihat pada masa kini. Ada perubahan dan perkembangan yang selalu mencari kecocokan dengan kebutuhan semasa.

Pada hakikatnya, rumah adalah “alam kedua” bagi orang Jawa yang bisa melindungi mereka dari berlebihnya (ganasnya) kekuatan alam semesta (cuaca, binatang buas, dan lain sebagainya). Karena merupakan alam kedua, maka prinsipnya ia tidak bertentangan, tidak berlawanan dengan alam pertama yang melingkupinya. Alam kedua itu justru menjadi bagian utuh yang tak terpisahkan dari “alam pertama” (alam semesta). Alam kedua tersebut tersusun dari bahan-bahan yang diambil dari alam pertama, yang dirangkai sedemikian rupa agar memberi kesempatan kepada alam semesta untuk mengalirkan energinya tanpa ada hambatan.

Alam Kedua itu seperti anak yang terlahir dari rahim alam sebagai ibunya: merupakan “buah tubuh” dari alam yang ditaburi benih budidaya/kultur manusia. Dalam filosofi semacam itu maka

306 KISAH KISRUH DI TANAH GEMPA

bangunan yang didirikan pun harus mencakup dimensi keselarasan antara manusia yang menghuninya, kultur dan alam. Berasal dari turunan nilai tradisi dan kultur besar itu, maka bangunan rumah Jawa memiliki konsep dan karakteristik seperti dalam uraian berikut ini.

Bangunan rumah Jawa tidak bersifat kaku (rigid), tidak meng-agungkan kekokohan yang acap mencirikan keangkuhan. Bila disimak, sistem sambungan yang merangkai bagian-bagiannya, ru-mah Jawa bersifat sangat longgar, elastis (memiliki prinsip seperti rumput ilalang), fleksibel (melenggang) dan mudah diurai. Demikian pula prinsip yang sama dapat dilihat pada desain busana Jawa yang longgar, serba kain ubel (jarik, stagen, udeng, dan lain-lain). Ia tidak mengenal konsep ngunci atau tali pati. Karakter dominan dalam ru-mah Jawa sangatlah organik, luwes, gampang diudhari (diurai), dan mudah dipretheli (dilepas satu-persatu). Sehingga kalau pun rubuh, bisa dengan mudah ditegakkan kembali.

Jabaran berbagai karakter itu mengindikasikan bahwa rumah Jawa adalah rancangan rumah tumbuh. Dalam keluwesannya itu, ia bisa berubah, tumbuh, dan berkembang seturut perkembangan jumlah anggota keluarga di rumah tangga yang menghunginya. Dengan luwesnya, rumah induk/utama akan berkembang menyamping seturut perkembangan jumlah anggota keluarga. Alasan itu pula yang menyebabkan batas-batas teritori rumah Jawa tidaklah kaku, tidak seperti rumah modern. Hal itu bisa dicermati dalam realitas masyarakat Jawa bahwa beberapa KK tinggal dalam rumah yang sama. Satu rumah ada beberapa pawon (dapur), dan lain-lain.

Oleh karena itu, terkait dengan struktur fisik, rumah Jawa lebih menekankan struktur rangka yang fleksibel dan bukan dinding yang kaku. Tengoklah kasus-kasus seperti rumah Jawa yang tidak mengenal struktur kerangka yang mati. Kerangka rumah dirancang dengan kayu yang ditumpuk-tumpuk untuk mendapatkan sifatnya yang fleksibel. Sambungan antar batang kayu selalu menggunakan sindik atau pasak (paku dan baut tidak dikenal samasekali dalam kamus arsitektur tradisional), sehingga memudahkan penghuninya

307KISAH RUMAH DI TANAH GEMPA

ketika sewaktu-waktu ingin mendeformasi bentuk rumahnya. Sambungan untuk interseksi antar lajur kayu (reng dan usuk) yang menggunakan tali (tutus= tali dari pelintiran bilah-bilah bambu, atau pelintiran tali ijuk yang dianyam) sebagai penguatnya.

Dengan titik tumpu pada struktur kerangka, maka dinding bukanlah unsur baku dalam rumah Jawa. Bagi orang Jawa, dinding hanya sebatas sebagi penanda sekat fleksibel (slintru, gebyok, tirai (wand) dan bukan dinding penanggungbeban (muur). Itulah sebabnya mengapa dalam kultur Jawa dinding sewaktu-waktu bisa dipindah, diboyong seturut keinginan dan kebutuhan penghuninya. Ditinjau dari aspek tata cahaya dalam rumah, yang kala itu hanya bersumber pada lampu senthir dari minyak jarak, atau lampu teplok dari mi-nyak tanah, dinding penyekat yang serba luwes itu bisa gampang disesuaikan dengan sumber penerangan tersebut. Dalam kasus gebyok, ukir-ukiran yang tembus antar permukaan gebyok, selain berfungsi untuk �entilasi udara, ia juga berfungsi untuk menyiasati pencahayaan ruang dari sumber penerangan yang selembut senthir tadi. Jika ditilik dari implikasi sosial, konsepsi pri�asi bagi orang Jawa tidaklah begitu ketat. Dalam pandangan orang Jawa dinding ketat, kaku, dan permanen hanya difungsikan sebagai properti pembungkus benda-benda sakral bagi orang Jawa. Sakralitas haruslah ditempatkan di ruang yang memang primpen, terpisah, dan berbeda dari ruangan-ruangan yang lain.

Berkaitan dengan aspek atap, sejalan dengan prinsip selaras dengan energi alam tersebut, orang Jawa memilih atap yang sangat fleksibel untuk melindungi mereka dari berbagai macam cuaca yang berubah-ubah (panas, dingin, lembab, dan lain sebagainya). Bahan yang dipilih pun sangat dekat dengan unsur alam seperti: kayu, ijuk, daun tebu/rapak, daun kelapa, dan lain lain.

Terkait dengan topangan dasar bagi struktur bangunan Jawa tersebut, kultur Jawa tidak pernah mengenal pondasi. Untuk me-numpukan tiang-tiang penyangga utama struktur kerangka ter-sebut, orang Jawa—dan juga berbagai suku di Indonesia lainnya—

308 KISAH KISRUH DI TANAH GEMPA

menggunakan apa yang biasa disebut sebagai umpak. Pada awalnya umpak ini terbut dari batu-batu bulat biasa. Dalam perkembangannya disesuaikan dengan semakin tingginya kesadaran akan berbagai aspek potensi risiko dan juga perkembangan cita rasa artistik dan fungsinya, maka umpak tadi berubah bentuk kotak dengan bagian bawah yang berukuran lebih lebar. Kegunaan umpak ini selain sebagai penyangga dasar bagi struktur bangunan, ia juga difungsikan sebagai pengaman bagi struktur agar tidak mudah lapuk, baik termakan rayap, air, api, dan lain-lain. Di beberapa wilayah, bentuk umpak ini berbeda-beda. Misalnya di daerah Kudus, umpak bentuknya lebih tinggi dibandingkan dengan umpak di rumah-rumah Jawa bagian selatan. Disinyalir, bentuk umpak yang tinggi ini terjadi ketika di daerah Kudus tersebut genangan air ketika musim penghujan cukup tinggi, sehingga dibutuhkan umpak yang tingginya melampaui tingginya genangan air.

Perubahan Kultur dan Bentuk Rumah Tradisional JawaSejalan dengan perkembangan peradaban manusia, orang

Jawa tak luput dari perjumpaan kultur dengan masyarakat luar. Dalam konteks perjumpaan antar jagad-jadag kultural tersebut, maka keniscayaan atas perubahan pun tak bisa ditampik. Tidak mengherankan jika pola/konstruksi pikir dan konstruksi sosial dan kultural atas kehidupan pun berubah, termasuk di dalamnya “artefak” rumah tradisional tersebut di atas. Tiga elemen utama rumah yang dikenalkan itu adalah: pondasi, dinding tembok, atap genting, dan jendela.

Berikut adalah catatan pergeseran bentuk dan fungsi dari rumah tradisional Jawa. Pergeseran bentuk itu diantaranya meliputi: pondasi, dinding tembok, atap genting, dan jendela.

PondasiMeski pondasi tidak dikenal oleh kultur rumah Jawa (dan ber-

bagai suku (tribes) di Indonesia), namun pada suatu titik sejarah, kultur pondasi ini juga mulai muncul dan diadopsi oleh orang

309KISAH RUMAH DI TANAH GEMPA

Jawa. Berdasarkan catatan sejarah, kultur pondasi rumah ini di-perkenalkan oleh bangsa-bangsa dari luar kawasan tropik. Pada hakikatnya, pondasi ini difungsikan sebagai elemen dasar bagi bangunan berdinding bebatuan kokoh dan kaku, yang mengepung seluruh sisinya.

Konteks wilayah yang melatarbelakangi konsep bangunan se-macam itu tentu saja adalah wilayah-wilayah yang berhawa sangat dingin. Maka konteks alam semacam itu memunculkan kultur pi-kir bahwa masyarakat di sana sangat membutuhkan perlindungan ekstra tebal/ketat dari ancaman hawa dingin yang siap membekukan darah.

Demi menopang dinding bebatuan tebal itu maka pondasi merupakan titik tumpu utama yang tak tergantikan. Tengoklah bangunan di wilayah Eropa, Cina di bagian Utara, atau rumah orang Eskimo, dan lain-lain.

Dinding Tembok

Serupa dengan pondasi, tradisi rumah Jawa tidak mengenal adanya dinding bebatuan kokoh semacam itu. Dinding bebatuan yang juga dikenalkan oleh para saudagar dan kaum kolonial itu pada awalnya terbuat dari pecahan-pecahan batu alam yang kemudian ditata �ertikal untuk menopang struktur kerangka atap yang berat.

Dalam perkembangannya, karena langkanya bebatuan, material bebatuan itu bergeser ke material batu-batu yang dicetak dari ta-nah liat dan dibakar terlebih dulu. Kultur tembikar semacam ini diperkenalkan oleh para saudagar Cina, yang mana di wilayah Cina sendiri material semacam itu digunakan untuk membangun benteng kokoh pertahanan di kompleks kerajaan. Karenanya dinding ini menjadi elemen utama kedua setelah pondasi.

Atap GentingTak berbeda dengan kedua elemen di atas, atap genting me-

rupakan elemen utama ketiga yang diperkenalkan kepada masya-

310 KISAH KISRUH DI TANAH GEMPA

rakat Jawa dan berbagai suku-suku di Nusantara. Genting yang proses pembuatannya hampir sama dengan pembuatan batu-bata, diperkenalkan juga oleh bangsa Cina.

JendelaJendela tidak dikenal oleh kultur Jawa. Kita tidak punya kon-

sep “melubangi” dinding. Bila ada bukaan pun itu terjadi karena kita membiarkan bidang yang dibingkai rangka dinding itu terbuka. Bangunan Jawa modern menggunakan konsep jendela karena mengadopsi kultur dinding dari luar. Istilah “jendela” ini sendiri berasal dari Bahasa Portugis.

Tak terelakkannya difusi kebudayaan baru dengan kultur masyarakat Jawa itu tentu saja membawa berbagai implikasi yang perlu diurai lebih jauh. Namun ada satu hal mendasar yang perlu dicatat bahwa pada prinsipnya, semua kultur yang ada di dunia ini muncul dari rasionalisasi seting kehidupan masyarakat yang kontekstual. Kultur nenek moyang orang Jawa dilatarbelakangi oleh kondisi alam yang tentu saja teramat berbeda dengan Cina dan Eropa.

Epilog: Siapa Buntung - Siapa Untung?Setelah mencermati seluruh uraian di atas, tulisan ini akhirnya

sampai pada epilog. Epilog singkat ini bukanlah catatan kesimpulan, melainkan justru catatan pembuka yang akan mengantar kita untuk menelusuri dan mengkaji lebih jauh perihal nilai-nilai kearifan lokal yang tercecer dan terserak dalam penanganan pasca gempa Yogya dan Jateng. Boleh dikata, epilog ini merupakan undangan sekaligus tantangan bagi kita semua, untuk melakukan kajian mendalam atas berbagai warisan budaya yang ada di seluruh masyarakat negeri ini. Dengannya kita akan menuai petuah-petuah arif dan bijak yang bisa dijadikan bekal untuk menghadapi anomali kehidupan berupa bencana. Dalam konteks ini, diskursus “rumah tahan gempa” versus rumah tradisional Jawa di atas masih menunggu kajian lanjutan dari

311KISAH RUMAH DI TANAH GEMPA

kita. Agenda ini penting dilakukan agar berbagai bentuk pengabaian terhadap nilai-nilai lokal tidak terulang lagi dalam penanganan pasca bencana di masa-masa mendatang.

Secara prinsipil, bantuan haruslah memerdekakan, bukannya membelenggu atau bahkan membunuh. Jika suatu bantuan telah mengabaikan atau bahkan sengaja melanggar nilai-nilai kearifan lokal, maka bisa dipastikan bantuan itu sendiri tak akan membantu, namun justru menjerat. Itu berarti bantuan itu tak memerdekakan beneficiaries. Dalam kesengajaan itu, secara prematur bantuan itu sendiri berarti telah ingkar terhadap hakikat warga sebagai subyek yang aktif dan otonom. Dengan segenap dalih efisiensi, efektifitas, dan pragmatisme, bantuan itu hanya akan menimbulkan petaka yang tidak jarang justru jauh lebih dahsyat ketimbang bencana alam itu sendiri. Dalih-dalih itu secara khusus mencerminkan watak tekno-kratis yang terbiasa berfikir cupet, dan tak mau repot oleh persoalan yang kompleks. Dalam dimensi waktu, cupet pikir itu dengan mudah bisa dikenali dalam pilihan-pilihan kebijakan yang serba berjangka pendek, dan tak menimbang implikasi-implikasinya dalam jangka panjang. Dalam dimensi cakupan aspek, cupet pikir itu biasanya tercermin dalam pilihan kebijakan yang bias pada beberapa aspek-aspek dominan saja, dan kurang memperhitungkan keterkaitan berbagai aspek secara utuh dan menyeluruh (holistik).

Andai saja bangsa ini mau bersikap arif, pastilah kearifan lokal akan dijadikan sebagai elemen utama dalam berbagai kebijakannya. Dengan begitu, warga merasa eksistensinya dihargai, diindahkan, dan ditempatkan sebagai subyek otonom yang berdaulat dan bermartabat dalam segala akti�itas pembangunan di Negeri ini. Andai saja bangsa ini mau menalar jernih, pastilah harta karun sosial di masyarakat kita itu akan dimaknai dan diposisikan sebagai kekayaan paling berharga melampaui apapun. Sehingga modal sosial akan didorong, difasilitasi, diafirmasi, dan diperkuat oleh negara, bukan sebaliknya. Andai saja bangsa ini mau bertindak secara bijaksana, pastilah program-program yang dijalankan dalam penanganan bencana akan

312 KISAH KISRUH DI TANAH GEMPA

berkiblat pada pengutamaan atas hak-hak dasar korban dan program pemulihan (recovery) yang pro-lingkungan.

Jika kita menimbang fakta bahwa letak geografis kepulauan Nusantara ini merupakan jalur gempa potensial, maka adalah suatu kemendesakkan bagi bangsa ini untuk bergegas menginisiasi secara serius program-program mitigasi atau kesiap-siagaan bencana di seluruh wilayah di Nusantara. Program itu tentu saja harus berbasis pada kearifan lokal masyarakat sebagaimana terurai di atas. Lebih jauh, penyusunan dan pengimplementasian kode etik (code of conduct) dalam pengelolaan bantuan juga menjadi agenda pokok lainnya yang harus segera dibakukan. Hal itu penting dilakukan demi mengantisipasi terjadinya praktik-praktik penyimpangan oleh berbagai lembaga bantuan. Seluruh tindakan itu ditempuh demi memproteksi dan menghargai martabat warga sebagai subyek yang aktif. Inilah PR besar yang musti kita rampungkan.

Untuk menggenapi PR itu, pertanyaan mendasar yang tak kalah penting untuk direfleksikan adalah siapa sesungguhnya yang paling untung dan siapa yang paling buntung dalam rekonstruksi rumah pasca gempa bumi Yogya dan Jateng? Untuk menjawab hal itu, bolehlah kita bermain hitung-hitungan sejenak siapa sesungguhnya yang paling diuntungkan dari bantuan yang serba diproyekkan se-macam itu. Dari sekian banyak kebutuhan material bangunan yang digunakan untuk membangun “rumah tahan gempa” tersebut (seperti besi, semen, pasir, kayu, batu-bata), material mana saja yang bisa dipenuhi sendiri oleh warga/masyarakat lokal? Jawabannya mungkin dua atau tiga jenis material terakhir. Dari sekian jenis itu, material manakah yang paling mahal biayanya? Jawabannya bisa dipastikan, besi dan semen.

Berdasarkan hitungan seorang nara sumber—yang kebetulan adalah seorang sekretaris Pokmas—untuk membangun rumah ber-ukuran 6 x 6 m2 (ukuran sesuai dengan peraturan rumah tahan gempa �ersi pemerintah), warga membutuhkan 55 lonjor besi ber-ukuran 12mm, dengan harga Rp. 45.000/lonjor, sehingga total

313KISAH RUMAH DI TANAH GEMPA

biaya besi lonjoran sebesar Rp. 2.475.000. Dibutuhkan besi begel sebanyak 60 kg, dengan harga Rp. 7500/kg, jadi total biaya begel sebesar Rp. 450.000. Kebutuhan semen mencapai 60 sak, dengan harga Rp.30.000/sak, jadi total biaya semen sebesar Rp.1.800.000. Hitungan tersebut berasumsi jumlah kebutuhan materialnya paling minimal. Selain itu, fase pembangunannya terhitung sampai pada tahapan rumah berdiri dengan tembok yang belum di-lepo. Asumsi lainnya, harga-harga tersebut stabil, tidak menghitung harga pasar yang dari hari ke hari cenderung meningkat. Sedangkan, kebutuhan material lainnya dicukupi dengan menggunakan sisa-sisa material lama yang masih bisa dipakai.

Dari hasil kalkulasi itu, total biaya yang dibutuhkan warga untuk membeli besi dan semen adalah sebesar Rp. 4.725.000 (nyaris sepertiga dari total bantuan pemerintah Rp.15.000.000). Jika perkiraan jumlah rumah yang dibangun di Yogyakarta mencapai 160.109 rumah, maka total biaya dari DIPA (Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran) yang terbelanjakan untuk besi dan semen akan mencapai sebesar Rp.756.515.025.000 (Rp.756,5 M). Perhitungan rincinya, total biaya besi sebesar Rp. 468.318.825.000 (Rp.468,3 M) dan total biaya semen sebesar Rp. 288.196.200.000 (Rp.288, 2 M).

Dari uraian di atas, kita bisa menerka kemana larinya uang sebesar itu. Pihak-pihak yang paling diuntungkan tidak ada lain kecuali pabrik besi dan pabrik semen. Tak tanggung-tanggung lagi, prosentasenya pun cukup fantastis, yaitu 30% dari total ban-tuan pemerintah. Tampak jelas betapa warga masyarakat, yang se-mestinya menjadi pihak yang paling berhak dilayani dan dibantu, pada akhirnya hanya menjadi jalur pintas bagi keluar masuknya dana bantuan. Bantuan yang dikucurkan pemerintah tak tertampung di warga, tapi justru “bocor” dan menggerojok ke pabrik-pabrik besi dan semen. Realitas jauh semakin terasa masgul lagi ketika kita tahu bahwa sebagian besar saham dari pabrik-pabrik besi dan semen tersebut ternyata dimiliki oleh pengusaha-pengusaha asing. Lag-lagi, bantuan pemerintah untuk rakyat pun akhirnya harus tersedot dan mengalir jauh ke negeri orang.

314 KISAH KISRUH DI TANAH GEMPA

Sementara, warga yang masih harus membeli bahan material lain (seperti kayu, batu-bata, genting, pernik-pernik material lain-nya) dan membayar tenaga tukang yang semakin mahal, terpaksa harus meliyak-liyukkan dana bantuan yang cupet itu agar rumah mereka tetap bisa berdiri. Di tengah cupetnya dana bantuan ter-sebut, persoalan warga semakin diperparah lagi oleh perilaku rent-seeker berikut “sunatan massal” dana bantuan dengan segala modus-nya. Sunatan terjadi dengan angka nominal yang sangat �ariatif, mulai dari ratusan ribu hingga hitungan jutaan pun terjadi. Pelakunya juga ber�ariasi, mulai dari ketua Pokmas, ketua RT, Dukuh, Lurah, hingga Fasilitator Kelompok, dan lain-lain. Secara telanjang, “sunatan massal” dana bantuan telah menjadi persoalan sosial yang kian memprihatinkan. Hingga kini, tidak/belum ada penegakan hukum yang signifikan atas itu. Berbagai kasus di atas menjadi tanda atas menguatnya kaotik sosial masyarakat Yogyakarta pasca gempa.

Menyoal kembali tentang mitos Rumah Tahan Gempa di atas, waktunya bagi kita untuk kembali merenungkan implikasi panjang dari penciptaan mitos tersebut. Bila kita timbang-timbang lagi perihal Rumah Tahan Gempa yang sarat dengan material besi dan semen, bukankah dua material itu merupakan hasil eksplotasi perut bumi kita? Bukankah eksploitasi itu telah berandil pada kerapuhan bumi yang berpotensi bencana? Dan bukankah material-material itu adalah sumberdaya alam yang tak terbarui? Bukankah akan lebih baik jika donasi yang mencampai hingga trilyunan itu dikelola penggunaannya agar pembelanjaan semaksimal mungkin beredar di wilayah lokal, sehingga bisa menghidupkan sektor perekonomian lokal warga, bukannya justru menguap keluar dan memperkaya ko-cek para pemilik pabrik besi dan semen? Jika demikian, bukankah para kapitalis yang justru mereguk untung dan wargalah yang me-nanggung buntung? Bukankah akan jauh lebih bijaksana jika dalam penyusunan kebijakan rekonstruksi, pemerintah berkiblat pada nilai-nilai budaya/kearifan lokal, sehingga pembangunan rumah yang relatif lebih responsif terhadap gempa dan lebih ramah lingkungan—

315KISAH RUMAH DI TANAH GEMPA

seperti tercermin dalam rumah tradisional Jawa—bisa menjawab berbagai kebutuhan warga?

Logika semacam itu tentu tak akan pernah mudah diterima oleh orang kebanyakan yang telah terbiasa hidup di kultur kapitalistik. Banyak orang akan sangat menyangsikan bahwa itu bisa terjadi. Pasalnya, Negeri ini telah kelewat gandrung pada developmentalism dan pemuja neoliberalism nomor wahid. Maka tak heran jika pola pikir kita pun merupakan replikasi dari kondisi makro pembangunan yang tidak pro-rakyat dan pro-lingkungan tersebut. Seperti tercermin dalam implementasi kebijakan penanganan pasca gempa Yogya dan Jateng, apa yang terjadi tak lebih dari sekadar akti�itas penanganan pasca bencana yang didominasi oleh logika proyek dan bisnis. Dalam lanskap bencana, pestapora loba berebut rente (profit) tengah kita gelar dan rayakan, tanpa rasa malu dan bersalah. Naga-naganya kita telah jauh keblinger (sesat pikir) lantaran sengaja membutakan nalar dan nurani bahwa dalam euforia kultur kapitalistik itu, kita sesungguhnya tengah beramai-ramai menenggelamkan bumi, tempat bergantungnya hidup ordo primata bernama manusia ini.

Andai saja kita mau belajar dari pengetahuan hidup para local genius seperti Kang Ngatimin, Lik Suparno, Mbah Mangun, dan Lik Samijo di atas, pastilah kita akan belajar untuk bersikap ugahari dan teguh mempertahankan jatidiri. Dari merekalah kita bisa belajar makna dan arti hidup yang selaras dan harmonis dengan alam. Kisah rumah Mbah Mangun Sumarto telah mencelekkan mata kita bahwa tanpa propaganda apapun rumah tradisional Jawa berusia 100 tahun tetap tegak dan berdiri kokoh. Darinya pula kita diajarkan kebenaran dan pelajaran hidup yang teramat berharga bahwa pada hakikatnya rumah punya sejarah, rumah punya kenangan, dan rumah punya jasa: telah menyelamatkan penghuninya dari gebalau gempa bumi Sabtu Wage 27 Mei 2006, setahun silam. Alhamdulillah. Matur nuwun, Gusti! Thanks God!

Terimakasih Kang Ngatimin, Lik Suparno, Mbah Mangun, dan Lik Samijo, atas tutur dan petuah berharga untuk kami. Semoga kami bisa belajar untuk semakin arif dan bijak. Wallahualam bisawab.

316 KISAH KISRUH DI TANAH GEMPA

DAFTAR PUSTAKA

Buku UN International Strategy for Disaster Reduction, Living with Risk:

A Global View of Disaster Reduction Initiatives; Gene�a: UN International Strategy for Disaster Reduction, 2002.

Mangun Wijaya, Pasal-Pasal Penghantar Fisika Bangunan ; Jakarta: Gramedia, 1981

Buletin Buletin Suara Korban Bencana Edisi Susulan ke-20, 1 No�ember

2006 Buletin Suara Korban Bencana Edisi Susulan Ke-22, 15 No�ember

2006Buletin Suara Korban Bencana Edisi Susulan Ke-23, 22 No�ember

2006Buletin Suara Korban Bencana, Edisi Lebaran 25 Oktober 2006

KoranKedaulatan Rakyat, Minggu Wage 27 Mei 2007

MajalahNational Geographic April 2006 (Teknologi Gempa Bumi)

Website www.suarakorbanbencana.org