para anggotanya memiliki kerangka ilmu yang sama yaitu yang di
TRANSCRIPT
d. Para anggotanya memiliki kerangka ilmu yang sama yaitu yang
di-dasarkan atas ilmu yang jelas, sistematis, dan eksplisit;
bukan hanya didasarkan atas akal sehat (common sense)
belaka.
e. Untuk dapat menguasai kerangka ilmu itu diperlukan
pendidikan dan latihan dalam jangka waktu yang cukup lama.
f. Para anggotanya secara tegas dituntut memiliki kompetensi
minimum melalui prosedur seleksi, pendidikan dan latihan,
serta lisensi ataupun sertifikasi.
g. Dalam menyelenggarakan pelayanan kepada pihak yang dilayani,
para anggota memiliki kebebasan dan tanggung jawab pribadi
dalam mernberikan pendapat dan pertimbangan serta membuat
keputusan tentang apa yang akan dilakukan berkenaan dengan
penyelenggaraan pelayanan profesional yang dimaksud.
h. Para anggotanya, baik perorangan maupun kelompok, Iebih
mementingkan pelayanan yang bersifat sosial daripada
pelayanan yang mengejar keuntungan yang bersifat ekonomi.
i. Standar tingkah laku bagi anggotanya dirumuskan secara
tersurat (eksplisit) melalui kode etik yang benar-benar
diterapkan; setiap pelanggaran atas kode etik dapat
dikenakan sanksi tertentu.
j. Selama berada dalam pekerjaan itu, para anggotanya terus –
menerus berusaha menyegarkan dan meningkatkan kompetensinya
dengan jalan mengikuti secara cermat literatur dalam bidang
pekerjaan itu, menye¬lenggarakan dan memahami hasil-hasil
riset, serta berperan serta secara aktif dalam pertemuan-
pertemuan sesama anggota.
Secara ideal seluruh persyaratan di atas perlu dipenuhi oleh
suatu profesi. Namun, banyak di antara profesi yang ada memenuhi
persyaratan di atas tersebut secara bertahap.
B. Pengembangan Profesi Bimbingan dan Konseling
Diyakini bahwa pelayanan bimbingan dan konseling adalah
suatu profesi yang dapat memenuhi ciri-ciri dan persyaratan
tersebut. Namun, berhubung dengan perkembangannya yang masih
tergolong baru, terutama di Indonesia, dewasa ihi. pelayanan
bimbingan dan konseling belum sepenuhnya mencapai persyaratan
yang diharapkan itu. Sebagai profesi yang handal, bimbingan dan
konseling masih perlu diperkembangkan, bahkan diperjuangkan.
Pengembangan profesi bimbingan dan konseling antara lain
melalui (a) standardisasi untuk kerja profesional konselor, (b)
standardisasi penyiapan konselor, (c) akreditasi, (d)
stratifikasi dan lisensi, dan (e) pengembangan organisasi
profesi.
1. Standardisasi Unjuk Kerja Profesional Konselor
Masih banyak orang yang memandang bahwa pekerjaan bimbingan
dan konseling dapat dilakukan oleh siapa pun juga, asalkan mampu
berkomunikasi dan berwawancara. Anggapan lain mengatakan bahwa
pelayanan bimbingan dan konseling semata-mata diarahkan kepada
pemberian bantuan berkenaan dengan upaya pemecahan masalah dalam
arti yang sempit saja. Ini jelas merupakan anggapan yang keliru.
Sebagaimana telah diuraikan pada Bab VI, pelayanan bimbingan dan
konseling tidak semata-mata diarahkan kepada pemecahan masalah
saja, tetapi mencakup berbagai jenis layanan dart kegiatan yang
mengacu kepada terwujudnya fungsi-fungsi yang luas. Berbagai
jenis bantuan dan kegiatan itu menuntut adanya unjuk kerja
profesional tertentu. Di Indonesia memang belum ada rumusan
tentang unjuk kerja profesional konselor yang standar. Usaha
untuk merintis terwujudnya rumusan tentang unjuk kerja itu telah
dilakukan oleh Ikatan Petugas Bimbingan Indonesia (IPBI) pada
Konvensi Nasional VII IPBI di Denpasar, Bali (1989). Upaya ini
Iebih dikonlcretkan lagi pada Konvensi Nasional VIII di Padang
(1991). Rumusan unjuk kerja yang pernah disampaikan dan
dibicarakan dalam Konvensi IPBI di Padang itu dapat dilihat pada
lampiran.
Rumusan tentang unjuk kerja itu mengacu kepada wawasan dan
keterampilan yang hendaknya dapat ditampilkan oleh para lulusan
program studi Bimbingan dan Konseling. Keseluruhan rumusan unjuk
kerja itu meliputi 28 gugus yang masing-masing terdiri dari• atas
sejumlah butir unjuk kerja, sehingga semua berjumlah 225 butir.
Ke-28 gugus itu adalah:
a. Mengajar dalam bidang psikologi dan bimbingan dan konseling
(BK).
b. Mengorganisasikan program bimbingan dan konseling.
c. Menyusun program bimbingan dan konseling.
d. Memasyarakatkan pelayanan bimbingan dan konseling.
e. Mengungkapkan masalah klien.
f. Menyelenggarakan pengumpulan data tentang minat, bakat,
kemam¬puan, dan kondisi kepribadian.
g. Menyusun dan mengembangkan himpunan data.
h. Menyelenggarakan konseling perorangan.
i. Menyelenggarakan bimbingan dan konseling kelompok.
j. Menyelenggarakan orientasi studi siswa.
k. Menyelenggarakan kegiatan ko/ekstrakurikuler.
l. Membantu guru bidang studi dalam mendiagnosis kesulitan
belajar siswa.
m. Membantu guru bidang studi dalam menyelenggarakan pengajaran
perbaikan dan program pengayaan.
n. Menyelenggarakan bimbingan kelompok belajar.
o. Menyelenggarakan pelayanan penempatan siswa.
p. Menyelenggarakan bimbingan karier dan pemberian informasi
pendidikan/jabatan.
q. Menyelenggarakan konferensi kasus.
r. Menyelenggarakan terapi kepustakaan.
s. Melakukan kunjungan rumah.
t. Menyelenggarakan lingkungan klien.
u. Merangsang perubahan lingkungan klien.
v. Menyelenggarakan konsultasi khusus.
w. Mengantar dan menerima alih tangan.
x. Menyelenggarakan aiskusi profesional.
y. Memahami dan menulis karya-karya ilrniah dalam bidang BK.
z. Memahami hasil dan menyelenggarakan penelitian dalam bidang
BK.
aa. Menyelenggarakan kegiatan BK pada lembaga/lingkungan yang
berbeda.
bb. Berpartisipasi aktif dalam pengembangan profesi BK.
Walaupun rumusan butir-butir (sebanyak 225 butir) itu tampak
sudah terinci, namun pengkajian lebih lanjut masih amat perlu
dilakukan untuk menguji apakah butir-butir tersebut memang sudah
tepat sesuai dengan kebutuhan lapangan, serta cukup praktis dan
memberikan arah kepada para konselor bagi pelaksanaan layanan
terhadap klien. Hasil pengkajian itu kemungkinan besar akan
mengubah, menambah merinci rumusan¬rumusan yang sudah ada itu.
Sebagai bahan perbandingan berikut ini disajikan unjuk kerja
konselor yang ditetapkan oleh American School Counselor
Association (ASCA) dicatatkan hanya gugus-gugusnya saja:
a. Menyusun program bimbingan dan konseling.
b. Menyelenggarakan konseling perorangan.
c. Memahami diri siswa.
d. Merencanakan pendidikan dan pengembangan pekerjaan siswa.
e. Mengalihtangankan siswa.
f. Menyelenggarakan penempatan siswa.
g. Memberikan bantuan kepada orang tua.
h. Mengadakan konsultasi dengan staf.
i. Mengadakan hubungan dengan masyarakat.
2. Standardisasi Penyiapan Konselor
Tujuan penyiapan konselor ialah agar para (calon) konselor
memiliki wawasan dan menguasai serta dapat melaksanakan dengan
sebaik-baiknya materi dan keterampilan yang terkandung di dalam
butir-butir rumusan unjuk kerja. Penyiapan konselor itu dilakukan
melalui program pendidikan prajabatan, program penyetaraan,
ataupun pendidikan dalam jabatan (seperti penataran). Khusus
tentang penyiapan konselor melalui program pendidikan dalam
jabatan, waktunya cukup lama, dimulai dari seleksi dan penerimaan
calon mahasiwa yang akan mengikuti program sampai para lulusannya
diwisuda. Program pendidikan prajabatan konselor adalah jenjang
pendidikan tinggi.
a. Seleksi/Penerimaan Mahasiswa
Seleksi atau pemilihan calon mahasiswa merupakan tahap awal
dalam proses penyiapan konselor. Kegiatan ini memegang peranan
yang amat penting dan menentukan dalam upaya pemerolehan calon
konselor yang diharapkan. Bukankah bibit yang baik akan
menghasilkan buah yang baik pula? Komisi tugas, standar, dan
kualifikasi konselor Amerika StTikat (dalam Mortensen &
Schmuller, 1976) mengemukakan syarat-syarat pribadi yang harus
dimiliki oleh konselor sebagai berikut:
(1) Memiliki bakat skolastik yang memadai untuk mengikuti
pendidikan tingkat sarjana atau yang lebih tinggi.
Dari sisi keilmuannya, perlu diperhatikan betapa besarnya
urgensi dasar keilmuan terhadap kompetensi bimbingan dan
konseling. Dalarn hal itu perlu dikatakan bahwa praktek konseling
harus berakar secara kokoh pada ilmu. Dengan demikian segala
usaha penyiapan konselor harus dibimbing oleh suatu "body
knowledge" bimbingan dan konseling yang kokoh. Untuk dapat
menjamin hal yang demikian, pendidikan konselor harus didukung
oleh penemuan-penemuan ilmiah balk dari segi bimbingan dan
konseling sendiri maupun dari berbagai disiplin ilmu yang
relevan. Dalam hal ini, sebagaimana telah dikemukakan terdahulu,
psikologi menu¬pakan ilmu yang memberikan sumbangan besar kepada
bimbingan dan konseling (Mc. Cully, 1969). Selanjutnya dikatakan
juga bahwa orientasi terhadap ilmu raja tidak cukup. Hal-hal yang
bersifat pribadi, seperti kemampuan mengarahkan diri sendiri,
kebebasan pribadi, perbedaan perorangan, dan tujuan-tujuan
pribadi amat perlu diperhatikan dalam bimbingan dan konseling.
Kurikulum program pendidikan konselor mengacu kepada standar
kemampuan konselor yang mampu melaksanakan tugasnya dengan baik
di lapangan. Materi kurikulum program studi meliputi:
(1) Materi inti, yaitu materi tentang pertumbuhan dan
perkembangan individu, dasar-dasar ilmu sosial dan kebudayaan,
teori tentang pemberian bantuan, dinamika kelompok, gaya bidup
dan perkembangan karier, pemahaman individu, riset dan
evaluasi, orientasi profesional.
(2) Studi lingkungan dan studi khusus, yaitu materi tentang
studi lingkungan dan materi khusus sesuai dengan keperluan
mahasiswa untuk bekerja dalam lingkungan tertentu.
(3) Pengalaman tersupervisi, yaitu kegiatan praktek langsung
pelayanan bimbingan dan konseling baik melalui kegiatan di
laboratorium, praktikum dan intership, maupun praktek
pengalaman lapangan yang sesuai dengan cita-cita karier
mahasiswa, dan kesempatan berinteraksi dengan sejawat dan
organisasi profesional.
Untuk memenuhi tuntutan di lapangan yang menyangkut berbagai
variasi yang ada di masyarakat, pendidikan konselor juga perlu
mengisi program-programnya dengan pengalaman-pengalaman yang
bervariasi, misalnya yang menyangkut anak cacat, anak berbakat,
kelompok minoritas, umur dan jenis kelamin, status keluarga dan
perkawinan, dunia usaha dan industri, pertahanan dan keamanan,
perbedaan adat dan budaya, peranan seni dalam konseling, dan lain
– lain.
Penyusunan kurikulum dan program pengajaran perlu
memperhatikan prinsip-prinsip proses belajar-mengajar yang
bersifat aktif-kreatif-teknologis, kaitan antara teori dan
praktek serta pertimbangan kompetensi dan relevansi. Pengajaran
perlu menekankan hal-hal praktis, informasi dan tilikan yang
penuh makna. Lebih lanjut, sebagai dikemukakan oleh Rye (1975),
pen¬didikan konselor yang lengkap harus meliputi pengalaman dan
per¬kembangan pribadi yang menunjang pengembangan kesadaran dan
pening¬katan hubungan antarpribadi. Pendidikan konselor meliputi
terselenggaranya poses teraputik bagi para pesertanya.
Di samping penguasaan wawasan dan materi keilmuan serta
keterampilan, calon konselor juga perlu membina diri dalam sikap
dan keteguhan dalam penyelenggaraan pelayanan bimbingan dan
konseling. Salah satu contoh misalnya adalah pengembangan sikap
berkenaan dengan asas kerahasiaan sebagai "asas kunci" dalam
penyelenggaraan bimbingan dan konseling. Dalam diri konselor hams
benar-benar tertanam pemahaman dan tekad untuk melaksanakan aset
tersebut. Untuk itu perlu dilakukan latihan-latihan langsung
dengan ialan setiap kali mengucapkan dan mencamkan kalimat
berikut:*)
SEBAGAI KONSELOR SAYA:
………………………………
(Nama)
menyatakan bahwa saya sanggup dan
bersedia menerima, menyimpan,
memelihara, menjaga, dan
merahasiakan segala data atau
keterangan yang saya terima, baik
dari klien saya atau dari siapa
pun juga, yaitu data atau
keterangan yang tidak boleh dan
tidak layak diketahui oleh orang
lain.
*) Diambil dari Laboratorium Bimbingan dan Konseling Jurusan PPB
FIP IKIP Padang.
Materi asas tersebut juga secara langsung dilatihkan dalam
praktek, yaitu dengan menerapkan setiap kali calon konselor itu
menangani klien dalam rangka kuliah "teknik dan laboratorium
konseling".
Lebih jauh, pada akhir studi mereka, yaitu ketika mereka
diwisuda mereka diminta mengucapkan semacam ikrar atau janji di
hadapan khalayak ramai bahwa mereka akan menjalankan tugas-tugas
sebagai konselor sebagaimana diharapkan. Pengucapan ikrar atau
janji itu tampaknya hanya sekadar bersifat serimonial belaka,
tetapi apabila hal itu diucapkan dengan khidrnat dan penuh makna
mudah-mudahan peristiwa itu mereka rasakan sebagai tanda "kunci
penutup" satu tahap studi mereka di satu sisi, clan "kunci
pembuka" pengabdian mereka di lapangan pelayanan bimbingan dan
konseling secara nyata di masyarakat luas. Di saat itulah mereka
mulai melangkah sebagai sarjana, sebagai tenaga profesional dalam
bidang bimbingan dan konseling. Ikrar atau janji itu adalah**)
JANJI KONSELOR
Dengan nama Allah saya berjanji bahwa
dalam menjalankan tugas sebagai
konselor, saya:
1. Menjunjung tinggi harkat dan martabat
manusia
2. Memperhatikan sepenuhnya permasalahan
klien dan berusaha dengan sungguh-
sungguh me-menuhi kebutuhan klien
sesuai dengan harkat dan martabatnya
sebagai manusia seutuhnya.
3. Menjunjung tinggi dan melaksanakan
asas-asas dan kode-etik profesional
bimbingan dan konseling
4. Bekerja secara jujur, bersungguh-
sungguh dan penuh disiplin dengan
mendahulukan kepentingan klien.
5. Selalu memperluas wawasan serta
meningkat¬kan pengetahuan dan-
keterampilan untuk dapat melaksanakan
pelayanan bimbingan dan konseling
secara profesional.
**) Diambil dari Program Studi BK Jurusan PPB FIP IKIP Padang.
Dalam standar yang dikemukakan tersebut, pendidikan konselor
diselenggarakan minimal 2 tahun sesudah jenjang setingkat sarjana
muda. Sedangkan program doktornya meliputi 4 tahun akademi,
termasuk di dalamnya program intership selama satu tahun penuh.
Selain pengalaman tersupervisi di dalam dan di luar kampus,
mahasiwa tingkat doktoral perlu diberi kesempatan berperan serta
aktif di dalam lokakarya, seminar, konferensi, program latihan
dan kegiatan sejenis dalam bimbingan dan konseling. Calon doktor
bimbingan dan konseling akhirnya harus membina kompetensi dalam
statistik dan metode riset yang dipuncaki oleh penulisan
disertasi.
c. Akreditasi
Lembaga pendidikan konselor perlu diakreditasi untuk
menjamin mutu lulusannya. Akreditasi itu meliputi penilaian
terhadap misi, tujuan, struktur dan isi program, jumlah dan mutu
pengajar, prosedur, seleksi, mutu penye¬lenggaraan program,
penilaian keberhasilan mahasiswa dan keberhasilan program,
potensi pengembangan lembaga, unsur-unsur penunjang, dan hubungan
masyarakat. Untuk dapat diselenggarakannya akreditasi secara baik
perlu terlebih dahulu ditetapkan standar pendidikan konselor yang
berlaku secara nasional. Penyusunan standar ini menjadi tugas
bersama organisasi profesi bimbingan dan konseling dan
pemerintah.
Akreditasi dikenakan terhadap lembaga pendidikan, baik milik
pemerintah maupun swasta. Penyelenggara akreditasi ialah
pemerintah dengan bantuan organisasi profesi bimbingan dan
konseling.
Akreditasi merupakan prosedur yang secara resmi diakui bagi
suatu profesi untuk mempengaruhi jenis dan mutu anggota profesi
yang dimaksud (Steinhouser & Bradley, dalam Prayitno, 1987).
Tujuan pokok akre ditasi adalah untuk memantapkan
kredibilitas profesi. Tujuan ini lebih lanjut dirumuskan sebagai
berikut:
(1) Untuk menilai bahwa program yang ada memenuhi standar yang
ditetapkan oleh profesi.
(2) Untuk menegaskan misi dan tujuan program.
(3) Untuk menarik talon konselor dan tenaga pengajar yang bermutu
tinggi.
(4) Untuk membantu para lulusan memenuhi tuntutan kredensial,
seperti lisensi.
(5) Untuk meningkatkan kemampuan program dan pengakuan terhadap
program tersebut.
(6) Untuk meningkatkan program dari penampilan dan penutupan.
(7) Untuk membantu mahasiswa yang berpotensi dalam seleksi
memakai program pendidikan konselor.
(8) Memungkinkan mahasiswa dan staf pengajar berperan serta
dalatn evaluasi program secara intensif.
(9) Membantu para pemakai lulusan untuk mengetahui program mana
yang telah standar.
(10) Untuk mendapatkan kepercayaan dari masyarakat pendidikan,
masyarakat profesi dan masyarakat pada urnumnya tentang
kemantapan pelayanan bimbingan dan konseling.
d. Sertifikasi dan Lisensi
Sertifikasi merupakan upaya lebih lanjut untuk lebih
memantapkan dan menjamin profesionalisasi bimbingan dan
konseling. Para lulusan pen¬didikan konselor yang akan bekerja di
lembaga-lembaga pemerintah, misalnya di sekolah-sekolah,
diharuskan menempuh program sertifikasi yang diselenggarakan oleh
pemerintah. Sedangkan mereka yang hendak bekerja di luar lembaga
atau badan pemerintah diwajibkan memperoleh lisensi atau
sertifikat kredensial dari organisasi profesi bimbingan dan
konseling. Hal ini semua dimaksudkan untuk menjaga
profesionalitas para petugas yang akan menangani pelayanan
bimbingan dan konseling.
Untuk dapat diselenggarakannya program akreditasi,
sertifikasi, dan lisensi itu hams terlebih dahulu disusun dan
diberlakukan undang-undang atau peraturan pemerintah. Materi
peraturan perundangan ini disusun bersama antara para pejabat
pembuat undang-undang/peraturan dengan organisasi profesi. Dengan
prosedur seperti itu, kerjasama antara pemerintah dan organisasi
profesi terjalin secara nyata dan baik. Di samping itu peranan
organisasi profesi untuk menegakkan dan menjaga standar
profesional yang menjadi bidang gerakannya dapat tepenuhi secara
mantap.
e. Pengembangan Organisasi Profesi
Organisasi profesi adala• himpunan orang-orang yang
mempunyai profesi yang sama. Sesuai dengan dasar pembentukan dan
sifat organisasi itu sendiri, yaitu profesi dan profesional, maka
tujuan organisasi profesi menyangkut hal-hal yang berbau
keilmuannya. Organisasi profesi tidak berorientasi pada
keuntungan ekonomi ataupun pada penggalangan ke-kuatan politik,
ataupun keuntungan-keuntungan yang bersifat material lainnya.
Tujuan organisasi profesi dapat dirumuskan ke dalam "tri darma
organisasi profesi", yaitu:
(1) pengembangan ilmu
(2) pengembangan pelayanan
(3) penegakan kode etik profesional
Dengan kemampuan para anggotanya yang semua bergerak dalam
profesi yang sama, organisasi profesi berkehendak untuk ikut
mengem-bangkan ilmu yang menjadi isi keprofesionalannya. Demikian
juga, mereka ingin meningkatkan darma bakti keilmuannya ke dalam
praktek pelayanan nyata di masyarakat. Darma bakti kepada
masyarakat itu hendaknya sesuai dengan tuntutan keilmuan-
keprofesionalan; yaitu benar-benar sesuai dengan kode etik
profesional yang telah ditetapkan.
Ketiga darma organisasi profesi itu saling bersankutan, yang
satu menunjang yang lain. Peningkatan keilmuan jelas menunjang
praktek di lapanRan., dan pengalaman praktek di lapangan
dianalisis dan disusun menjadi unsur-unsur keilmuan yang secara
terus-menerus menambah khasanah keilmuan. Rumusan kode etik tidak
terlepas dari dasar-dasar keilmuannya dan acuan kepraktisannya di
lapangan. Dan sebaliknya, sisi keilmuan dan pelayanan menuntut
agar kode etik itu benar-benar dijalankan. Oleh karena itu
organisasi profesi yang benar-benar mantap secara serempak
menyelenggarakan dengan baik ketiga darmanya itu.
Organisasi profesi bimbingan dan konseling dikehendaki dapat
menjalankan ketiga darmanya itu sebagaimana diharapkan.
Keikutsertaan dalam program akreditasi lembaga pendidikan
konselor, sertifikasi dan pemberian lisensi tidak lain adalah
wujud dari pelaksanaan ketiga darma itu. Demikian juga perumusan
untuk kerja dan pembinaan serta pengem-bangan melalui pendidikan
konselor tidak terlepas dari upaya pengembangan profesi yang
menjadi sisi organisasi profesi bimbingan dan konseling.
IPBI sebagai organisasi profesi di bidang bimbingan dan
konseling sejak awal telah berusaha melaksanakan ketiga darma
organisasi itu. Selain unjuk kerja konselor, IPBI telah pula
menyusun kode etik anggota IPBI (terlampir). Di samping itu IPBI
berusaha bekerja sama dengan lembaga pendidikan konselor dalam
rangka penyusunan kurikulum pendidikan konselor, berpartisipasi
dalam penataran para petugas bimbingan di sekolah, dan
melaksanakan upaya-upaya lainnya demi pengembangan pelayanan
bimbingan dan konseling secara luas.
C. Perkembangan Gerakan Bimbingan di Indonesia
Sejalan dengan pertumbuhan dan perkembangan sistem
pendidikan di Indonesia semakin dirasakan pula kebutuhan akan
adanya pelayanan khusus bimbingan dan konseling, baik di sekolah
maupun di luar sekolah. Kemerdekaan Republik Indonesia yang
diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945, telah menghasilkan
berbagai perubahan yang mendasar bagi pelaksanaan pendidikan.
Sejak itu, perubahan demi perubahan dalam bidang pendidikan
terus-menerus dilancarkan oleh pemerintah untuk dapat mewujudkan
cita-cita yang terkandung di dalam Pembukaan Undang¬Undang Dasar
1945, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Anak-anak yang masuk
sekolah tidak lagi terbatas pada hanya anak-anak yang bersifat
dari golongan masyarakat tertentu saja. Setiap anak berhak
mendapat pendidikan. Oleh karena itu mereka memiliki kesempatan
yang sama untuk mendapat pendidikan tanpa memandang latar
belakangnya (orang tua, ekonomi, kemampuan, dan sebagainya).
Akibatnya, sekolah harus menampung semua anak yang beraneka
tingkat kemampuan, bakat, minat, dan berbagai latar belakang.
Pelajaran klasikal saja tidak mungkin dapat melayani kebutuhan
seinua anak yang beraneka ragam itu. Untuk itu diperlukan adanya
pelayanan khusus yang disebut bimbingan dan konseling.
Pembangunan dan pembaruan di bidang pendidikan tidak hanya
ber¬langsung pada tingkat pendidikan dasar, tetapi juga pada
tingkat pendidikan menengah dan perguruan tinggi. Pada pendidikan
tingkat menengah dikenal adanya sekolah menengah kejuruan (STM,
SMEA, dan sebagainya) dan sekolah menengah umum (SMU). Masing-
masing sekolah itu meliputi beberapa jurusan. Bagaimana
menyalurkan siswa ke jurusan-jurusan yang sesuai dengan bakat,
kemauan dan minat murid, merupakan sebuah pertanyaan yang tidak
begitu mudah dijawab. Memperhatikan hal-hal tersebut, maka pada
tahun 1960 (tepatnya tanggal 20-24 Agustus 1960) diadakanlah
konferensi fakultas keguruan dan ilmu pendidikan (disingkat FKIP
atau sekarang IKIP) di Malang untuk membantu masalah tersebut.
Salah satu hasil dari konferensi itu ialah dimasukkannya ke dalam
dunia pendidikan di Indonesia apa yang sekarang disebut
"bimbingan dan konseling". Inilah langkah awal perkembangan
bimbingan dan konseling di Indonesia.
Langkah itu selanjutnya pada tahun 1964 diikuti dengan
pendirian jurusan bimbingan dan penyuluhan di beberapa IKIP di
Indonesia (antara lain IKIP Bandung dan IKIP Malang). Pada tahun-
tahun berikutnya disusul oleh IKIP/FKIP lain. Selanjutnya mulai
tahun 1984/1985 jurusan bimbingan dan penyuluhan menjelma menjadi
jurusan psikologi pendidikan dan bimbingan (disingkat PPB), yang
meliputi dua program studi yaitu prog¬ram studi psikologi
pendidikan dan program studi bimbingan dan konseling. Di samping
itu, pada awal 1980-an di IKIP Bandung dan IKIP Malang mulai
dibuka program pasca sarjana bimbingan dan konseling.
Selama perkemhangannya sejak awal sampai dewasa ini terdapat
beberapa peristiwa penting yang menjadi tonggak-tonggak sejarah
per-kembangan bimbingan dan konseling di Indonesia, yaitu:
a. Tahuri 1971:
Berdirinya proyek perintis sekolah pembangunan (PPSP) pada
delapan yaitu IKIP Padang, IKIP Jakarta, IKIP Bandung, IKIP
Yogyakarta, IKIP Malang, IKIP Surabaya, dan. IKIP Malang.
Melalui proyek itu, pelayanan bimbingan dan konseling
ikut dikembangkan. Setelah beberapa kali lokakarya yang
dihadiri oleh beberapa pakar pada waktu itu, berhasil disusun
buku "Pola Dasar Rencana dan Pengembangan Bimbingan Penyuluhan
pada Proyek Perintis Sekolah Pembangunan". Selanjutnya buku
ini dimodifikasi menjadi buku "Pedoman Operasional Pelayanan
Bimbingan pada Proyek-Proyek Perintis Sekolah Pembangunan".
b. Tabun 1975:
Lahir dan berlakunya kurikulum sekolah menengah umum yang di-
sebut Kurikulum SMA 1975 sebagai pengganti kurikulum
sebelumnya (Kurikulum 1968). Kurikulum 1975 memuat beberapa
pedoman pelaksanaan kurikulum ter'sebut, yang salah satu di
antaranya adalah buku Pedoman Bimbingan dan Penyuluhan.
c. Tahun 1975:
Diadakannya Konvensi Nasional Bimbingan I di Malang. Konvensi
ini berhasil menelurkan beberapa keputusan penting, yaitu:
1. terbukanya organisasi profesi Ikatan Petugas Bimbingan
Indone¬sia (IPBI);
2. tersusunnya AD/ART IPBI, kode etik jabatan konselor, dan
prog¬ram kerja IPBI periode 1976-1978. Selanjutnya konvensi
ini diikuti oleh beberapa kali konvensi dan kongres, yang
diadakan secara berturut-turut di Salatiga, Semarang,
Bandung, Yogyakarta, Denpasar, dan Padang.
d. Tahun 1978:
Diselenggarakannya program PGSLP dan PGSLA bimbingan dan
penyuluhan sebagai suatu upaya pengangkatan tamatan jurusan BP
yang telah dihasilkan oleh IKIP tetapi belum ada jatah
jabatannya, di samping untuk mengisi kekosongan jabatan guru
bimbingan di sekolah. Agaknya tamatan program-program itulah
yang•pertama kali diangkat sebagai konselor atau guru
bimbingan di sekolah.
e. Tahun 1989:
Lahirnya Surat Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara
No. 026/Menpan/1989 tentang Angka Kredit bagi Jabatan Guru
dalam lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Di
dalam Kepmen tersebut ditetapkan secara resmi adanya kegiatan
pelayanan bimbingan dan penyuluhan di sekolah. Di samping itu
disinggung pula adanya pengaturan kenaikan pangkat jabatan
guru pembimbing, kendatipun tidak begitu tegas.
f. Tahun 1989:
Lahirnya Undang-Undang Republik Indonesia No. .2 Tahun 1989
tentang Sistem Pendidikan Nasional. Undang-undang ini
selanjutnya disusul dengan lahirnya Peraturan. Pemerintah (PP)
No. 28 dan 29 yang secara tegas mencantumkan adanya pelayanan
bimbingan dan konseling pada satuan-satuan pendidikan (masing-
masing Bab X Pasal 25, Bab X Pasal 27).
g. Tahun 1991 s.d. 1993:
(1) Dibentuk divisi-divisi dalam IPBI, yaitu:
a) Ikatan Pendidikan Konselor Indonesia (IPKON)
b) Ikatan Guru Pembimbing Indonesia (IGPI)
c) Ikatan Sarjana Konseling Indonesia (ISKIN)
(2) Diperjuangkan oleh IPBI jabatan fungsional tersendiri
bagi petugas bimbingan di sekolah. Diyakini apabila jabatan
fungsional tersendiri itu terwujud, maka upaya
profesionalisasi pelayanan bimbingan dan konseling akan
lebih terjamin untuk dapat terlaksana dengan berhasil.
Suatu pekerjaan dinamakan profesi apabila pekerjaan itu
memenuhi sejumlah ciri atau persyaratan, baik dilihat dari
fungsi dan maknanya, penampilan kegiatannya terhadap sasaran
layanan, dasar-dasar keilmuan yang dimilikinya, kompetensi
para pekerjanya, penyiapan para calon pekerjanya untuk mampu
menyelenggarakan pekerjaan itu, kode etiknya, serta sikap para
pekerja terhadap pengembangan pekerjaan itu. Berkenaan dengan
ciri atau syarat-syarat tersebut diyakini pelayanan bimbingan
dan konseling merupakan pekerjaan profesional.
Pengembangan peketjaan menjadi suatu pekerjaan
profesional biasa¬nya tidak sekaligus jadi. Demikian juga,
untuk mengernbangkan pelayanan bimbingan dan konseling menjadi
pekerjaan profesional memerlukan upaya¬upaya tersebut, bahkan
perjuangan. Perumusan unjuk kerja profesional merupakan upaya
pokok untuk memberikan pedoman tentang hal-hal apa saja yang
harus dilakukan oleh seorang konselor profesional dalam
memberikan jasa kepada sasaran layanannya. Pembinaan dan
pengembangan unjuk kerja tersebut sampai benar-benar dikuasai
oleh (calon) konselor diselenggarakan melalui program
pendidikan konselor, baik pendidikan prajabatan maupun
jabatan.
Pendidikan konselor yang bersifat prajabatan dan
berjenjang pen-didikan tinggi memakan waktu yang cukup lama,
minimum empat tahun -,etelah SLTA (yaitu untuk jenjang S-1
atau sarjana). Selesai calon rnahasiswa, penyusunan kurikulum,
dan penyelenggaraan pendidikan dan latihan (termasuk di
dalamnya praktikum dan intership) perlu dilaksanakan secara
cermat dan tepat. Pengembangan kemampuan yang mantap tidak
hanya dari segi ilmu dan keterampilannya saja, tetapi juga
dari segi pengembangan pribadi yang meliputi kemampuan
berkomunikasi, sikap, pemahaman dan penerapan niiai-nilai,
serta tanggung jawab melaksanakan tugas profesional.
Program akreditasi, sertifikasi dan lisensi merupakan
upaya agar pelayanan bimbingan dan konseling itu benar-benar
profesional, sejak dari pendidikan konselornya sampai kepada
penempatannya di lapangan kerja, baik di lembaga-lembaga
pemerintah maupun non-pemerintah. Lebih jauh, organisasi
profesi dalam mengupayakan profesionalitas anggota dan
pelayanannya, melalui pelaksanaan tridarmanya, yaitu
pengembangan ilmu, pengembangan pelayanan, dan penegakan kode
etik. Ketiga darma organisasi profesi perlu berjalan serempak
apabila organisasi profesi itu perlu benar¬benar taat asas
dengan profesionalitasnya.
Gerakan bimbingan di Indonesia dimulai dengan memasukkan
upaya "bimbingan dan penyuluhan" ke dunia persekolahan.
Gerakan ini terns berkembang dan makin kuat keberadaannya di
sekolah. Hal itu sudah dikuatkan oleh peraturan perundangan
yang berlaku dalam rangka pendidikan nasional. Bahkan sekarang
sedang diperjuangkan ditetapkan jabatan fungsional tersendiri
bagi petugas bimbingan di sekolah.
Organisasi profesi bimbingan, yaitu IPBI juga semakin
kuat, terutama dengan terbentuknya divisi-divisi di lingkungan
IPBI, yaitu IPKON, IGPI, IPBI juga dengan sekuat tenaga
melaksanakan ketig-a tridarma organisasi profesi.
Tugas
1. Ciri-ciri profesi telah dinyatakan dengan jelas.
Diskusikanlah, sampai berapa jauh pelayanan bimbingan dan
konseling dapat rnemenuhi ciri-ciri tersebut, sehingga dapat
disebut profesi secara penuh.
Apabila ada di antara ciri-ciri tersebut yang belum dapat
terpenuhi, bagaimanakah usaha pemenuhannya? Jelaskan jawaban
Anda dengan disertai contoh!
2. Bandingkanlah gugus dan butir-butir uniuk kerja profesional
konselor yang dirumuskan dan dibicarakan dalam konvensi IPBI
di Padang dengan gugus yang dikemukakan oleh ASCA.
Bagaimanakah pendapat Anda? Jelaskan secara rinci dengan
disertai contoh!
3. Penyiapan calon konselor: Bagaimanakah pendapat Anda
tentang:
a. Syarat-syarat pribadi yang dimiliki oleh para calon
konselor yang sekarang ada dan sedang dididik di lembaga
pendidikan konselor Anda?
b. Cara-cara seleksi calon mahasiswa calon konselor yang
Anda jalani sewaktu akan masuk ke program studi bimbingan
dan konseling?
c. Kurikulum program studi BK yang berlaku di lembaga
pendidikan konselor Anda?
d. Proses belajar-mengajar, latihan, praktikum, dan kegiatan
penga¬laman lapangan yang terlaksana di lembaga
pendidikan konselor Anda?