para anggotanya memiliki kerangka ilmu yang sama yaitu yang di

30
d. Para anggotanya memiliki kerangka ilmu yang sama yaitu yang di-dasarkan atas ilmu yang jelas, sistematis, dan eksplisit; bukan hanya didasarkan atas akal sehat (common sense) belaka. e. Untuk dapat menguasai kerangka ilmu itu diperlukan pendidikan dan latihan dalam jangka waktu yang cukup lama. f. Para anggotanya secara tegas dituntut memiliki kompetensi minimum melalui prosedur seleksi, pendidikan dan latihan, serta lisensi ataupun sertifikasi. g. Dalam menyelenggarakan pelayanan kepada pihak yang dilayani, para anggota memiliki kebebasan dan tanggung jawab pribadi dalam mernberikan pendapat dan pertimbangan serta membuat keputusan tentang apa yang akan dilakukan berkenaan dengan penyelenggaraan pelayanan profesional yang dimaksud. h. Para anggotanya, baik perorangan maupun kelompok, Iebih mementingkan pelayanan yang bersifat sosial daripada pelayanan yang mengejar keuntungan yang bersifat ekonomi. i. Standar tingkah laku bagi anggotanya dirumuskan secara tersurat (eksplisit) melalui kode etik yang benar-benar

Upload: unundrapgri

Post on 24-Feb-2023

0 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

d. Para anggotanya memiliki kerangka ilmu yang sama yaitu yang

di-dasarkan atas ilmu yang jelas, sistematis, dan eksplisit;

bukan hanya didasarkan atas akal sehat (common sense)

belaka.

e. Untuk dapat menguasai kerangka ilmu itu diperlukan

pendidikan dan latihan dalam jangka waktu yang cukup lama.

f. Para anggotanya secara tegas dituntut memiliki kompetensi

minimum melalui prosedur seleksi, pendidikan dan latihan,

serta lisensi ataupun sertifikasi.

g. Dalam menyelenggarakan pelayanan kepada pihak yang dilayani,

para anggota memiliki kebebasan dan tanggung jawab pribadi

dalam mernberikan pendapat dan pertimbangan serta membuat

keputusan tentang apa yang akan dilakukan berkenaan dengan

penyelenggaraan pelayanan profesional yang dimaksud.

h. Para anggotanya, baik perorangan maupun kelompok, Iebih

mementingkan pelayanan yang bersifat sosial daripada

pelayanan yang mengejar keuntungan yang bersifat ekonomi.

i. Standar tingkah laku bagi anggotanya dirumuskan secara

tersurat (eksplisit) melalui kode etik yang benar-benar

diterapkan; setiap pelanggaran atas kode etik dapat

dikenakan sanksi tertentu.

j. Selama berada dalam pekerjaan itu, para anggotanya terus –

menerus berusaha menyegarkan dan meningkatkan kompetensinya

dengan jalan mengikuti secara cermat literatur dalam bidang

pekerjaan itu, menye¬lenggarakan dan memahami hasil-hasil

riset, serta berperan serta secara aktif dalam pertemuan-

pertemuan sesama anggota.

Secara ideal seluruh persyaratan di atas perlu dipenuhi oleh

suatu profesi. Namun, banyak di antara profesi yang ada memenuhi

persyaratan di atas tersebut secara bertahap.

B. Pengembangan Profesi Bimbingan dan Konseling

Diyakini bahwa pelayanan bimbingan dan konseling adalah

suatu profesi yang dapat memenuhi ciri-ciri dan persyaratan

tersebut. Namun, berhubung dengan perkembangannya yang masih

tergolong baru, terutama di Indonesia, dewasa ihi. pelayanan

bimbingan dan konseling belum sepenuhnya mencapai persyaratan

yang diharapkan itu. Sebagai profesi yang handal, bimbingan dan

konseling masih perlu diperkembangkan, bahkan diperjuangkan.

Pengembangan profesi bimbingan dan konseling antara lain

melalui (a) standardisasi untuk kerja profesional konselor, (b)

standardisasi penyiapan konselor, (c) akreditasi, (d)

stratifikasi dan lisensi, dan (e) pengembangan organisasi

profesi.

1. Standardisasi Unjuk Kerja Profesional Konselor

Masih banyak orang yang memandang bahwa pekerjaan bimbingan

dan konseling dapat dilakukan oleh siapa pun juga, asalkan mampu

berkomunikasi dan berwawancara. Anggapan lain mengatakan bahwa

pelayanan bimbingan dan konseling semata-mata diarahkan kepada

pemberian bantuan berkenaan dengan upaya pemecahan masalah dalam

arti yang sempit saja. Ini jelas merupakan anggapan yang keliru.

Sebagaimana telah diuraikan pada Bab VI, pelayanan bimbingan dan

konseling tidak semata-mata diarahkan kepada pemecahan masalah

saja, tetapi mencakup berbagai jenis layanan dart kegiatan yang

mengacu kepada terwujudnya fungsi-fungsi yang luas. Berbagai

jenis bantuan dan kegiatan itu menuntut adanya unjuk kerja

profesional tertentu. Di Indonesia memang belum ada rumusan

tentang unjuk kerja profesional konselor yang standar. Usaha

untuk merintis terwujudnya rumusan tentang unjuk kerja itu telah

dilakukan oleh Ikatan Petugas Bimbingan Indonesia (IPBI) pada

Konvensi Nasional VII IPBI di Denpasar, Bali (1989). Upaya ini

Iebih dikonlcretkan lagi pada Konvensi Nasional VIII di Padang

(1991). Rumusan unjuk kerja yang pernah disampaikan dan

dibicarakan dalam Konvensi IPBI di Padang itu dapat dilihat pada

lampiran.

Rumusan tentang unjuk kerja itu mengacu kepada wawasan dan

keterampilan yang hendaknya dapat ditampilkan oleh para lulusan

program studi Bimbingan dan Konseling. Keseluruhan rumusan unjuk

kerja itu meliputi 28 gugus yang masing-masing terdiri dari• atas

sejumlah butir unjuk kerja, sehingga semua berjumlah 225 butir.

Ke-28 gugus itu adalah:

a. Mengajar dalam bidang psikologi dan bimbingan dan konseling

(BK).

b. Mengorganisasikan program bimbingan dan konseling.

c. Menyusun program bimbingan dan konseling.

d. Memasyarakatkan pelayanan bimbingan dan konseling.

e. Mengungkapkan masalah klien.

f. Menyelenggarakan pengumpulan data tentang minat, bakat,

kemam¬puan, dan kondisi kepribadian.

g. Menyusun dan mengembangkan himpunan data.

h. Menyelenggarakan konseling perorangan.

i. Menyelenggarakan bimbingan dan konseling kelompok.

j. Menyelenggarakan orientasi studi siswa.

k. Menyelenggarakan kegiatan ko/ekstrakurikuler.

l. Membantu guru bidang studi dalam mendiagnosis kesulitan

belajar siswa.

m. Membantu guru bidang studi dalam menyelenggarakan pengajaran

perbaikan dan program pengayaan.

n. Menyelenggarakan bimbingan kelompok belajar.

o. Menyelenggarakan pelayanan penempatan siswa.

p. Menyelenggarakan bimbingan karier dan pemberian informasi

pendidikan/jabatan.

q. Menyelenggarakan konferensi kasus.

r. Menyelenggarakan terapi kepustakaan.

s. Melakukan kunjungan rumah.

t. Menyelenggarakan lingkungan klien.

u. Merangsang perubahan lingkungan klien.

v. Menyelenggarakan konsultasi khusus.

w. Mengantar dan menerima alih tangan.

x. Menyelenggarakan aiskusi profesional.

y. Memahami dan menulis karya-karya ilrniah dalam bidang BK.

z. Memahami hasil dan menyelenggarakan penelitian dalam bidang

BK.

aa. Menyelenggarakan kegiatan BK pada lembaga/lingkungan yang

berbeda.

bb. Berpartisipasi aktif dalam pengembangan profesi BK.

Walaupun rumusan butir-butir (sebanyak 225 butir) itu tampak

sudah terinci, namun pengkajian lebih lanjut masih amat perlu

dilakukan untuk menguji apakah butir-butir tersebut memang sudah

tepat sesuai dengan kebutuhan lapangan, serta cukup praktis dan

memberikan arah kepada para konselor bagi pelaksanaan layanan

terhadap klien. Hasil pengkajian itu kemungkinan besar akan

mengubah, menambah merinci rumusan¬rumusan yang sudah ada itu.

Sebagai bahan perbandingan berikut ini disajikan unjuk kerja

konselor yang ditetapkan oleh American School Counselor

Association (ASCA) dicatatkan hanya gugus-gugusnya saja:

a. Menyusun program bimbingan dan konseling.

b. Menyelenggarakan konseling perorangan.

c. Memahami diri siswa.

d. Merencanakan pendidikan dan pengembangan pekerjaan siswa.

e. Mengalihtangankan siswa.

f. Menyelenggarakan penempatan siswa.

g. Memberikan bantuan kepada orang tua.

h. Mengadakan konsultasi dengan staf.

i. Mengadakan hubungan dengan masyarakat.

2. Standardisasi Penyiapan Konselor

Tujuan penyiapan konselor ialah agar para (calon) konselor

memiliki wawasan dan menguasai serta dapat melaksanakan dengan

sebaik-baiknya materi dan keterampilan yang terkandung di dalam

butir-butir rumusan unjuk kerja. Penyiapan konselor itu dilakukan

melalui program pendidikan prajabatan, program penyetaraan,

ataupun pendidikan dalam jabatan (seperti penataran). Khusus

tentang penyiapan konselor melalui program pendidikan dalam

jabatan, waktunya cukup lama, dimulai dari seleksi dan penerimaan

calon mahasiwa yang akan mengikuti program sampai para lulusannya

diwisuda. Program pendidikan prajabatan konselor adalah jenjang

pendidikan tinggi.

a. Seleksi/Penerimaan Mahasiswa

Seleksi atau pemilihan calon mahasiswa merupakan tahap awal

dalam proses penyiapan konselor. Kegiatan ini memegang peranan

yang amat penting dan menentukan dalam upaya pemerolehan calon

konselor yang diharapkan. Bukankah bibit yang baik akan

menghasilkan buah yang baik pula? Komisi tugas, standar, dan

kualifikasi konselor Amerika StTikat (dalam Mortensen &

Schmuller, 1976) mengemukakan syarat-syarat pribadi yang harus

dimiliki oleh konselor sebagai berikut:

(1) Memiliki bakat skolastik yang memadai untuk mengikuti

pendidikan tingkat sarjana atau yang lebih tinggi.

Dari sisi keilmuannya, perlu diperhatikan betapa besarnya

urgensi dasar keilmuan terhadap kompetensi bimbingan dan

konseling. Dalarn hal itu perlu dikatakan bahwa praktek konseling

harus berakar secara kokoh pada ilmu. Dengan demikian segala

usaha penyiapan konselor harus dibimbing oleh suatu "body

knowledge" bimbingan dan konseling yang kokoh. Untuk dapat

menjamin hal yang demikian, pendidikan konselor harus didukung

oleh penemuan-penemuan ilmiah balk dari segi bimbingan dan

konseling sendiri maupun dari berbagai disiplin ilmu yang

relevan. Dalam hal ini, sebagaimana telah dikemukakan terdahulu,

psikologi menu¬pakan ilmu yang memberikan sumbangan besar kepada

bimbingan dan konseling (Mc. Cully, 1969). Selanjutnya dikatakan

juga bahwa orientasi terhadap ilmu raja tidak cukup. Hal-hal yang

bersifat pribadi, seperti kemampuan mengarahkan diri sendiri,

kebebasan pribadi, perbedaan perorangan, dan tujuan-tujuan

pribadi amat perlu diperhatikan dalam bimbingan dan konseling.

Kurikulum program pendidikan konselor mengacu kepada standar

kemampuan konselor yang mampu melaksanakan tugasnya dengan baik

di lapangan. Materi kurikulum program studi meliputi:

(1) Materi inti, yaitu materi tentang pertumbuhan dan

perkembangan individu, dasar-dasar ilmu sosial dan kebudayaan,

teori tentang pemberian bantuan, dinamika kelompok, gaya bidup

dan perkembangan karier, pemahaman individu, riset dan

evaluasi, orientasi profesional.

(2) Studi lingkungan dan studi khusus, yaitu materi tentang

studi lingkungan dan materi khusus sesuai dengan keperluan

mahasiswa untuk bekerja dalam lingkungan tertentu.

(3) Pengalaman tersupervisi, yaitu kegiatan praktek langsung

pelayanan bimbingan dan konseling baik melalui kegiatan di

laboratorium, praktikum dan intership, maupun praktek

pengalaman lapangan yang sesuai dengan cita-cita karier

mahasiswa, dan kesempatan berinteraksi dengan sejawat dan

organisasi profesional.

Untuk memenuhi tuntutan di lapangan yang menyangkut berbagai

variasi yang ada di masyarakat, pendidikan konselor juga perlu

mengisi program-programnya dengan pengalaman-pengalaman yang

bervariasi, misalnya yang menyangkut anak cacat, anak berbakat,

kelompok minoritas, umur dan jenis kelamin, status keluarga dan

perkawinan, dunia usaha dan industri, pertahanan dan keamanan,

perbedaan adat dan budaya, peranan seni dalam konseling, dan lain

– lain.

Penyusunan kurikulum dan program pengajaran perlu

memperhatikan prinsip-prinsip proses belajar-mengajar yang

bersifat aktif-kreatif-teknologis, kaitan antara teori dan

praktek serta pertimbangan kompetensi dan relevansi. Pengajaran

perlu menekankan hal-hal praktis, informasi dan tilikan yang

penuh makna. Lebih lanjut, sebagai dikemukakan oleh Rye (1975),

pen¬didikan konselor yang lengkap harus meliputi pengalaman dan

per¬kembangan pribadi yang menunjang pengembangan kesadaran dan

pening¬katan hubungan antarpribadi. Pendidikan konselor meliputi

terselenggaranya poses teraputik bagi para pesertanya.

Di samping penguasaan wawasan dan materi keilmuan serta

keterampilan, calon konselor juga perlu membina diri dalam sikap

dan keteguhan dalam penyelenggaraan pelayanan bimbingan dan

konseling. Salah satu contoh misalnya adalah pengembangan sikap

berkenaan dengan asas kerahasiaan sebagai "asas kunci" dalam

penyelenggaraan bimbingan dan konseling. Dalam diri konselor hams

benar-benar tertanam pemahaman dan tekad untuk melaksanakan aset

tersebut. Untuk itu perlu dilakukan latihan-latihan langsung

dengan ialan setiap kali mengucapkan dan mencamkan kalimat

berikut:*)

SEBAGAI KONSELOR SAYA:

………………………………

(Nama)

menyatakan bahwa saya sanggup dan

bersedia menerima, menyimpan,

memelihara, menjaga, dan

merahasiakan segala data atau

keterangan yang saya terima, baik

dari klien saya atau dari siapa

pun juga, yaitu data atau

keterangan yang tidak boleh dan

tidak layak diketahui oleh orang

lain.

*) Diambil dari Laboratorium Bimbingan dan Konseling Jurusan PPB

FIP IKIP Padang.

Materi asas tersebut juga secara langsung dilatihkan dalam

praktek, yaitu dengan menerapkan setiap kali calon konselor itu

menangani klien dalam rangka kuliah "teknik dan laboratorium

konseling".

Lebih jauh, pada akhir studi mereka, yaitu ketika mereka

diwisuda mereka diminta mengucapkan semacam ikrar atau janji di

hadapan khalayak ramai bahwa mereka akan menjalankan tugas-tugas

sebagai konselor sebagaimana diharapkan. Pengucapan ikrar atau

janji itu tampaknya hanya sekadar bersifat serimonial belaka,

tetapi apabila hal itu diucapkan dengan khidrnat dan penuh makna

mudah-mudahan peristiwa itu mereka rasakan sebagai tanda "kunci

penutup" satu tahap studi mereka di satu sisi, clan "kunci

pembuka" pengabdian mereka di lapangan pelayanan bimbingan dan

konseling secara nyata di masyarakat luas. Di saat itulah mereka

mulai melangkah sebagai sarjana, sebagai tenaga profesional dalam

bidang bimbingan dan konseling. Ikrar atau janji itu adalah**)

JANJI KONSELOR

Dengan nama Allah saya berjanji bahwa

dalam menjalankan tugas sebagai

konselor, saya:

1. Menjunjung tinggi harkat dan martabat

manusia

2. Memperhatikan sepenuhnya permasalahan

klien dan berusaha dengan sungguh-

sungguh me-menuhi kebutuhan klien

sesuai dengan harkat dan martabatnya

sebagai manusia seutuhnya.

3. Menjunjung tinggi dan melaksanakan

asas-asas dan kode-etik profesional

bimbingan dan konseling

4. Bekerja secara jujur, bersungguh-

sungguh dan penuh disiplin dengan

mendahulukan kepentingan klien.

5. Selalu memperluas wawasan serta

meningkat¬kan pengetahuan dan-

keterampilan untuk dapat melaksanakan

pelayanan bimbingan dan konseling

secara profesional.

**) Diambil dari Program Studi BK Jurusan PPB FIP IKIP Padang.

Dalam standar yang dikemukakan tersebut, pendidikan konselor

diselenggarakan minimal 2 tahun sesudah jenjang setingkat sarjana

muda. Sedangkan program doktornya meliputi 4 tahun akademi,

termasuk di dalamnya program intership selama satu tahun penuh.

Selain pengalaman tersupervisi di dalam dan di luar kampus,

mahasiwa tingkat doktoral perlu diberi kesempatan berperan serta

aktif di dalam lokakarya, seminar, konferensi, program latihan

dan kegiatan sejenis dalam bimbingan dan konseling. Calon doktor

bimbingan dan konseling akhirnya harus membina kompetensi dalam

statistik dan metode riset yang dipuncaki oleh penulisan

disertasi.

c. Akreditasi

Lembaga pendidikan konselor perlu diakreditasi untuk

menjamin mutu lulusannya. Akreditasi itu meliputi penilaian

terhadap misi, tujuan, struktur dan isi program, jumlah dan mutu

pengajar, prosedur, seleksi, mutu penye¬lenggaraan program,

penilaian keberhasilan mahasiswa dan keberhasilan program,

potensi pengembangan lembaga, unsur-unsur penunjang, dan hubungan

masyarakat. Untuk dapat diselenggarakannya akreditasi secara baik

perlu terlebih dahulu ditetapkan standar pendidikan konselor yang

berlaku secara nasional. Penyusunan standar ini menjadi tugas

bersama organisasi profesi bimbingan dan konseling dan

pemerintah.

Akreditasi dikenakan terhadap lembaga pendidikan, baik milik

pemerintah maupun swasta. Penyelenggara akreditasi ialah

pemerintah dengan bantuan organisasi profesi bimbingan dan

konseling.

Akreditasi merupakan prosedur yang secara resmi diakui bagi

suatu profesi untuk mempengaruhi jenis dan mutu anggota profesi

yang dimaksud (Steinhouser & Bradley, dalam Prayitno, 1987).

Tujuan pokok akre ditasi adalah untuk memantapkan

kredibilitas profesi. Tujuan ini lebih lanjut dirumuskan sebagai

berikut:

(1) Untuk menilai bahwa program yang ada memenuhi standar yang

ditetapkan oleh profesi.

(2) Untuk menegaskan misi dan tujuan program.

(3) Untuk menarik talon konselor dan tenaga pengajar yang bermutu

tinggi.

(4) Untuk membantu para lulusan memenuhi tuntutan kredensial,

seperti lisensi.

(5) Untuk meningkatkan kemampuan program dan pengakuan terhadap

program tersebut.

(6) Untuk meningkatkan program dari penampilan dan penutupan.

(7) Untuk membantu mahasiswa yang berpotensi dalam seleksi

memakai program pendidikan konselor.

(8) Memungkinkan mahasiswa dan staf pengajar berperan serta

dalatn evaluasi program secara intensif.

(9) Membantu para pemakai lulusan untuk mengetahui program mana

yang telah standar.

(10) Untuk mendapatkan kepercayaan dari masyarakat pendidikan,

masyarakat profesi dan masyarakat pada urnumnya tentang

kemantapan pelayanan bimbingan dan konseling.

d. Sertifikasi dan Lisensi

Sertifikasi merupakan upaya lebih lanjut untuk lebih

memantapkan dan menjamin profesionalisasi bimbingan dan

konseling. Para lulusan pen¬didikan konselor yang akan bekerja di

lembaga-lembaga pemerintah, misalnya di sekolah-sekolah,

diharuskan menempuh program sertifikasi yang diselenggarakan oleh

pemerintah. Sedangkan mereka yang hendak bekerja di luar lembaga

atau badan pemerintah diwajibkan memperoleh lisensi atau

sertifikat kredensial dari organisasi profesi bimbingan dan

konseling. Hal ini semua dimaksudkan untuk menjaga

profesionalitas para petugas yang akan menangani pelayanan

bimbingan dan konseling.

Untuk dapat diselenggarakannya program akreditasi,

sertifikasi, dan lisensi itu hams terlebih dahulu disusun dan

diberlakukan undang-undang atau peraturan pemerintah. Materi

peraturan perundangan ini disusun bersama antara para pejabat

pembuat undang-undang/peraturan dengan organisasi profesi. Dengan

prosedur seperti itu, kerjasama antara pemerintah dan organisasi

profesi terjalin secara nyata dan baik. Di samping itu peranan

organisasi profesi untuk menegakkan dan menjaga standar

profesional yang menjadi bidang gerakannya dapat tepenuhi secara

mantap.

e. Pengembangan Organisasi Profesi

Organisasi profesi adala• himpunan orang-orang yang

mempunyai profesi yang sama. Sesuai dengan dasar pembentukan dan

sifat organisasi itu sendiri, yaitu profesi dan profesional, maka

tujuan organisasi profesi menyangkut hal-hal yang berbau

keilmuannya. Organisasi profesi tidak berorientasi pada

keuntungan ekonomi ataupun pada penggalangan ke-kuatan politik,

ataupun keuntungan-keuntungan yang bersifat material lainnya.

Tujuan organisasi profesi dapat dirumuskan ke dalam "tri darma

organisasi profesi", yaitu:

(1) pengembangan ilmu

(2) pengembangan pelayanan

(3) penegakan kode etik profesional

Dengan kemampuan para anggotanya yang semua bergerak dalam

profesi yang sama, organisasi profesi berkehendak untuk ikut

mengem-bangkan ilmu yang menjadi isi keprofesionalannya. Demikian

juga, mereka ingin meningkatkan darma bakti keilmuannya ke dalam

praktek pelayanan nyata di masyarakat. Darma bakti kepada

masyarakat itu hendaknya sesuai dengan tuntutan keilmuan-

keprofesionalan; yaitu benar-benar sesuai dengan kode etik

profesional yang telah ditetapkan.

Ketiga darma organisasi profesi itu saling bersankutan, yang

satu menunjang yang lain. Peningkatan keilmuan jelas menunjang

praktek di lapanRan., dan pengalaman praktek di lapangan

dianalisis dan disusun menjadi unsur-unsur keilmuan yang secara

terus-menerus menambah khasanah keilmuan. Rumusan kode etik tidak

terlepas dari dasar-dasar keilmuannya dan acuan kepraktisannya di

lapangan. Dan sebaliknya, sisi keilmuan dan pelayanan menuntut

agar kode etik itu benar-benar dijalankan. Oleh karena itu

organisasi profesi yang benar-benar mantap secara serempak

menyelenggarakan dengan baik ketiga darmanya itu.

Organisasi profesi bimbingan dan konseling dikehendaki dapat

menjalankan ketiga darmanya itu sebagaimana diharapkan.

Keikutsertaan dalam program akreditasi lembaga pendidikan

konselor, sertifikasi dan pemberian lisensi tidak lain adalah

wujud dari pelaksanaan ketiga darma itu. Demikian juga perumusan

untuk kerja dan pembinaan serta pengem-bangan melalui pendidikan

konselor tidak terlepas dari upaya pengembangan profesi yang

menjadi sisi organisasi profesi bimbingan dan konseling.

IPBI sebagai organisasi profesi di bidang bimbingan dan

konseling sejak awal telah berusaha melaksanakan ketiga darma

organisasi itu. Selain unjuk kerja konselor, IPBI telah pula

menyusun kode etik anggota IPBI (terlampir). Di samping itu IPBI

berusaha bekerja sama dengan lembaga pendidikan konselor dalam

rangka penyusunan kurikulum pendidikan konselor, berpartisipasi

dalam penataran para petugas bimbingan di sekolah, dan

melaksanakan upaya-upaya lainnya demi pengembangan pelayanan

bimbingan dan konseling secara luas.

C. Perkembangan Gerakan Bimbingan di Indonesia

Sejalan dengan pertumbuhan dan perkembangan sistem

pendidikan di Indonesia semakin dirasakan pula kebutuhan akan

adanya pelayanan khusus bimbingan dan konseling, baik di sekolah

maupun di luar sekolah. Kemerdekaan Republik Indonesia yang

diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945, telah menghasilkan

berbagai perubahan yang mendasar bagi pelaksanaan pendidikan.

Sejak itu, perubahan demi perubahan dalam bidang pendidikan

terus-menerus dilancarkan oleh pemerintah untuk dapat mewujudkan

cita-cita yang terkandung di dalam Pembukaan Undang¬Undang Dasar

1945, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Anak-anak yang masuk

sekolah tidak lagi terbatas pada hanya anak-anak yang bersifat

dari golongan masyarakat tertentu saja. Setiap anak berhak

mendapat pendidikan. Oleh karena itu mereka memiliki kesempatan

yang sama untuk mendapat pendidikan tanpa memandang latar

belakangnya (orang tua, ekonomi, kemampuan, dan sebagainya).

Akibatnya, sekolah harus menampung semua anak yang beraneka

tingkat kemampuan, bakat, minat, dan berbagai latar belakang.

Pelajaran klasikal saja tidak mungkin dapat melayani kebutuhan

seinua anak yang beraneka ragam itu. Untuk itu diperlukan adanya

pelayanan khusus yang disebut bimbingan dan konseling.

Pembangunan dan pembaruan di bidang pendidikan tidak hanya

ber¬langsung pada tingkat pendidikan dasar, tetapi juga pada

tingkat pendidikan menengah dan perguruan tinggi. Pada pendidikan

tingkat menengah dikenal adanya sekolah menengah kejuruan (STM,

SMEA, dan sebagainya) dan sekolah menengah umum (SMU). Masing-

masing sekolah itu meliputi beberapa jurusan. Bagaimana

menyalurkan siswa ke jurusan-jurusan yang sesuai dengan bakat,

kemauan dan minat murid, merupakan sebuah pertanyaan yang tidak

begitu mudah dijawab. Memperhatikan hal-hal tersebut, maka pada

tahun 1960 (tepatnya tanggal 20-24 Agustus 1960) diadakanlah

konferensi fakultas keguruan dan ilmu pendidikan (disingkat FKIP

atau sekarang IKIP) di Malang untuk membantu masalah tersebut.

Salah satu hasil dari konferensi itu ialah dimasukkannya ke dalam

dunia pendidikan di Indonesia apa yang sekarang disebut

"bimbingan dan konseling". Inilah langkah awal perkembangan

bimbingan dan konseling di Indonesia.

Langkah itu selanjutnya pada tahun 1964 diikuti dengan

pendirian jurusan bimbingan dan penyuluhan di beberapa IKIP di

Indonesia (antara lain IKIP Bandung dan IKIP Malang). Pada tahun-

tahun berikutnya disusul oleh IKIP/FKIP lain. Selanjutnya mulai

tahun 1984/1985 jurusan bimbingan dan penyuluhan menjelma menjadi

jurusan psikologi pendidikan dan bimbingan (disingkat PPB), yang

meliputi dua program studi yaitu prog¬ram studi psikologi

pendidikan dan program studi bimbingan dan konseling. Di samping

itu, pada awal 1980-an di IKIP Bandung dan IKIP Malang mulai

dibuka program pasca sarjana bimbingan dan konseling.

Selama perkemhangannya sejak awal sampai dewasa ini terdapat

beberapa peristiwa penting yang menjadi tonggak-tonggak sejarah

per-kembangan bimbingan dan konseling di Indonesia, yaitu:

a. Tahuri 1971:

Berdirinya proyek perintis sekolah pembangunan (PPSP) pada

delapan yaitu IKIP Padang, IKIP Jakarta, IKIP Bandung, IKIP

Yogyakarta, IKIP Malang, IKIP Surabaya, dan. IKIP Malang.

Melalui proyek itu, pelayanan bimbingan dan konseling

ikut dikembangkan. Setelah beberapa kali lokakarya yang

dihadiri oleh beberapa pakar pada waktu itu, berhasil disusun

buku "Pola Dasar Rencana dan Pengembangan Bimbingan Penyuluhan

pada Proyek Perintis Sekolah Pembangunan". Selanjutnya buku

ini dimodifikasi menjadi buku "Pedoman Operasional Pelayanan

Bimbingan pada Proyek-Proyek Perintis Sekolah Pembangunan".

b. Tabun 1975:

Lahir dan berlakunya kurikulum sekolah menengah umum yang di-

sebut Kurikulum SMA 1975 sebagai pengganti kurikulum

sebelumnya (Kurikulum 1968). Kurikulum 1975 memuat beberapa

pedoman pelaksanaan kurikulum ter'sebut, yang salah satu di

antaranya adalah buku Pedoman Bimbingan dan Penyuluhan.

c. Tahun 1975:

Diadakannya Konvensi Nasional Bimbingan I di Malang. Konvensi

ini berhasil menelurkan beberapa keputusan penting, yaitu:

1. terbukanya organisasi profesi Ikatan Petugas Bimbingan

Indone¬sia (IPBI);

2. tersusunnya AD/ART IPBI, kode etik jabatan konselor, dan

prog¬ram kerja IPBI periode 1976-1978. Selanjutnya konvensi

ini diikuti oleh beberapa kali konvensi dan kongres, yang

diadakan secara berturut-turut di Salatiga, Semarang,

Bandung, Yogyakarta, Denpasar, dan Padang.

d. Tahun 1978:

Diselenggarakannya program PGSLP dan PGSLA bimbingan dan

penyuluhan sebagai suatu upaya pengangkatan tamatan jurusan BP

yang telah dihasilkan oleh IKIP tetapi belum ada jatah

jabatannya, di samping untuk mengisi kekosongan jabatan guru

bimbingan di sekolah. Agaknya tamatan program-program itulah

yang•pertama kali diangkat sebagai konselor atau guru

bimbingan di sekolah.

e. Tahun 1989:

Lahirnya Surat Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara

No. 026/Menpan/1989 tentang Angka Kredit bagi Jabatan Guru

dalam lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Di

dalam Kepmen tersebut ditetapkan secara resmi adanya kegiatan

pelayanan bimbingan dan penyuluhan di sekolah. Di samping itu

disinggung pula adanya pengaturan kenaikan pangkat jabatan

guru pembimbing, kendatipun tidak begitu tegas.

f. Tahun 1989:

Lahirnya Undang-Undang Republik Indonesia No. .2 Tahun 1989

tentang Sistem Pendidikan Nasional. Undang-undang ini

selanjutnya disusul dengan lahirnya Peraturan. Pemerintah (PP)

No. 28 dan 29 yang secara tegas mencantumkan adanya pelayanan

bimbingan dan konseling pada satuan-satuan pendidikan (masing-

masing Bab X Pasal 25, Bab X Pasal 27).

g. Tahun 1991 s.d. 1993:

(1) Dibentuk divisi-divisi dalam IPBI, yaitu:

a) Ikatan Pendidikan Konselor Indonesia (IPKON)

b) Ikatan Guru Pembimbing Indonesia (IGPI)

c) Ikatan Sarjana Konseling Indonesia (ISKIN)

(2) Diperjuangkan oleh IPBI jabatan fungsional tersendiri

bagi petugas bimbingan di sekolah. Diyakini apabila jabatan

fungsional tersendiri itu terwujud, maka upaya

profesionalisasi pelayanan bimbingan dan konseling akan

lebih terjamin untuk dapat terlaksana dengan berhasil.

Suatu pekerjaan dinamakan profesi apabila pekerjaan itu

memenuhi sejumlah ciri atau persyaratan, baik dilihat dari

fungsi dan maknanya, penampilan kegiatannya terhadap sasaran

layanan, dasar-dasar keilmuan yang dimilikinya, kompetensi

para pekerjanya, penyiapan para calon pekerjanya untuk mampu

menyelenggarakan pekerjaan itu, kode etiknya, serta sikap para

pekerja terhadap pengembangan pekerjaan itu. Berkenaan dengan

ciri atau syarat-syarat tersebut diyakini pelayanan bimbingan

dan konseling merupakan pekerjaan profesional.

Pengembangan peketjaan menjadi suatu pekerjaan

profesional biasa¬nya tidak sekaligus jadi. Demikian juga,

untuk mengernbangkan pelayanan bimbingan dan konseling menjadi

pekerjaan profesional memerlukan upaya¬upaya tersebut, bahkan

perjuangan. Perumusan unjuk kerja profesional merupakan upaya

pokok untuk memberikan pedoman tentang hal-hal apa saja yang

harus dilakukan oleh seorang konselor profesional dalam

memberikan jasa kepada sasaran layanannya. Pembinaan dan

pengembangan unjuk kerja tersebut sampai benar-benar dikuasai

oleh (calon) konselor diselenggarakan melalui program

pendidikan konselor, baik pendidikan prajabatan maupun

jabatan.

Pendidikan konselor yang bersifat prajabatan dan

berjenjang pen-didikan tinggi memakan waktu yang cukup lama,

minimum empat tahun -,etelah SLTA (yaitu untuk jenjang S-1

atau sarjana). Selesai calon rnahasiswa, penyusunan kurikulum,

dan penyelenggaraan pendidikan dan latihan (termasuk di

dalamnya praktikum dan intership) perlu dilaksanakan secara

cermat dan tepat. Pengembangan kemampuan yang mantap tidak

hanya dari segi ilmu dan keterampilannya saja, tetapi juga

dari segi pengembangan pribadi yang meliputi kemampuan

berkomunikasi, sikap, pemahaman dan penerapan niiai-nilai,

serta tanggung jawab melaksanakan tugas profesional.

Program akreditasi, sertifikasi dan lisensi merupakan

upaya agar pelayanan bimbingan dan konseling itu benar-benar

profesional, sejak dari pendidikan konselornya sampai kepada

penempatannya di lapangan kerja, baik di lembaga-lembaga

pemerintah maupun non-pemerintah. Lebih jauh, organisasi

profesi dalam mengupayakan profesionalitas anggota dan

pelayanannya, melalui pelaksanaan tridarmanya, yaitu

pengembangan ilmu, pengembangan pelayanan, dan penegakan kode

etik. Ketiga darma organisasi profesi perlu berjalan serempak

apabila organisasi profesi itu perlu benar¬benar taat asas

dengan profesionalitasnya.

Gerakan bimbingan di Indonesia dimulai dengan memasukkan

upaya "bimbingan dan penyuluhan" ke dunia persekolahan.

Gerakan ini terns berkembang dan makin kuat keberadaannya di

sekolah. Hal itu sudah dikuatkan oleh peraturan perundangan

yang berlaku dalam rangka pendidikan nasional. Bahkan sekarang

sedang diperjuangkan ditetapkan jabatan fungsional tersendiri

bagi petugas bimbingan di sekolah.

Organisasi profesi bimbingan, yaitu IPBI juga semakin

kuat, terutama dengan terbentuknya divisi-divisi di lingkungan

IPBI, yaitu IPKON, IGPI, IPBI juga dengan sekuat tenaga

melaksanakan ketig-a tridarma organisasi profesi.

Tugas

1. Ciri-ciri profesi telah dinyatakan dengan jelas.

Diskusikanlah, sampai berapa jauh pelayanan bimbingan dan

konseling dapat rnemenuhi ciri-ciri tersebut, sehingga dapat

disebut profesi secara penuh.

Apabila ada di antara ciri-ciri tersebut yang belum dapat

terpenuhi, bagaimanakah usaha pemenuhannya? Jelaskan jawaban

Anda dengan disertai contoh!

2. Bandingkanlah gugus dan butir-butir uniuk kerja profesional

konselor yang dirumuskan dan dibicarakan dalam konvensi IPBI

di Padang dengan gugus yang dikemukakan oleh ASCA.

Bagaimanakah pendapat Anda? Jelaskan secara rinci dengan

disertai contoh!

3. Penyiapan calon konselor: Bagaimanakah pendapat Anda

tentang:

a. Syarat-syarat pribadi yang dimiliki oleh para calon

konselor yang sekarang ada dan sedang dididik di lembaga

pendidikan konselor Anda?

b. Cara-cara seleksi calon mahasiswa calon konselor yang

Anda jalani sewaktu akan masuk ke program studi bimbingan

dan konseling?

c. Kurikulum program studi BK yang berlaku di lembaga

pendidikan konselor Anda?

d. Proses belajar-mengajar, latihan, praktikum, dan kegiatan

penga¬laman lapangan yang terlaksana di lembaga

pendidikan konselor Anda?