nama: siti khusnul khotimah npm: 1211060045 schistosoma japonicum
TRANSCRIPT
Nama: Siti Khusnul Khotimah
Npm: 1211060045
Schistosoma japonicum
A. Deskripsi
Schistosoma japonicum ini merupakan trematoda darah.
Penyebaran Schistosoma japonicum berada di Jepang,
Filipina, Thailand. Di Indonesia hanya di temukan
di dareah Danau Lindu dan Lembah Napu Sulawesi
Tengah.
B. Morfologi
Berdasarkan morfologi dan anatomi, cacing
Schistosoma di masukkan dalam kelas Trematoda
karena bentuknya seperti daun sub kelas Digenea
karena berkembang dalam tubuh tuan rumah perantara
sebelum menjadi dewasa, kemudian di masukkan dalam
super ordo Anepitheliocystidia, dari ordo
Striglatoidea, sub ordo Schistosotoidea, family
Schistosomatidae dan genus Schistoso Pada
Schistosoma japonicum tidak memiliki integumentary
tuberculation.Cacing jantan memiliki panjang 12-20
mm,diameter 0,5-0,55 mm, integument ditutupi
dengan duri- duri yang sangat halus dan lancip,
lebih menonjol pada daerah batil isap dan kanalis
ginekoporik, memiliki 6-8 buah testis.
Cacing betina memiliki panjang kurang lebih 26 mm
dengan diameter kurang lebih 0,3 mm. letak ovarium
yaitu pada pertengahan tubuh, kelenjar vitellaria
terbatas didaerah leteral ¼ bagian posterior
tubuh. Uterus merupakan saluran yang panjang dan
berisi 50-100 butir telur
Telurnya memiliki lapiran hialin, subsperis atau
oval jika dilihat dari lateral, dekat salah satu
kutub terdapat darah melekat tempat tumbuh semavam
duri rudimeter (tombol) berukuran (70-100) x (50-
65) m. telur cacing ini diletakkan dengan
memusatkan pada vena kecil pada submukosa maupun
mukosa organ yang berdekataan. Tempat telur
Schistosoma japonicum biasa ada percabangan vena
mesentrika superior yang mengalirkan darah dari
usus halus.
Telur-telur jenis Schistosoma japonicum lebih besar
dan lebih bulat dibanding dengan jenis lainnya,
berukuran 70-100 mm dan lebarnya 55,64 mm.
kerangka di telur Schistosoma japonicum lebih kecil
dan kurang mencolok dibandingkan dengan spesies
lainnya.
C. Siklus hidup
Cacing dewasa berukuran kira-kira 1,5 cm yangbetina 1,9 cm. hidup di dalam vena usus halus.Telur ditemukan di dinding usus halus dan alatlain seperti hati , paru, dan otak. Telurmempunyai knop di samping. Onconelania yang hidupdi saluran air merupakan hospes perantaranya.
Schistosoma japonicum hidup terutama didalam vena
mesentrika superior, dimana tempat ini cacing
betina akan menonjolkan tubuhnya dari yang jantan
atau meninggalkan yang jantan untuk bertelur
didalam venula-venula mesentrika kecil pada
dinding usus. Telur terbentuk oval hingga bulat
dan memerlukan waktu beberapa hari untuk
berkembang menjadi mirasidium matang didalam
rangka telur. Masa telur menyebabkan adanya
penekanan pada dinding venula yang tipis, yang
biasanya dilemahkan oleh sekresi dari kelenjar
histolitik mirasidium yang masih berada didalam
kulit telur. Didnding itu kemudian sobek, dan
telur menembus lumen usus yang kemudian keluar
dari tubuh. Pada infeksi berat, beribu-ribu cacing
ditemukan pada pembuluh darah.
Selanjutnya jika kontak dengan siput sesuai, larva
menembusjaringan lunak dalam 5-7 minggu, membentuk
generasi pertama dan kedua dari sporokista. Pada
perkembangan selanjutnya dibentuk sakaria yang
bercabang. Sakaria ini dikeluarkan jika siput
berada pada atau dibawah permukaan air. Dalam
waktu 24 jam, sarkaria menembus kulit.
Tertembusnya kulit ini sebagai hasil kerja dari
kelenjar penetrasi yang menghasilkan enzim
proteolitik, menuju aliran kapiler, kedalam
sirkulasi vena menuju jantung kanan dan paru-paru,
terbawa sampai ke jantung kiri menuju sirkulasi
sistemik. Tidak sepenuhnya rute perjalanan ini
diambil oleh schistosoma muda pada migrasi mereka
dari paru-paru ke hati. Schistosoma merayap melawan
aliran darah sepanjang aarteri pulmonaris, jantung
kanan dan vena cava menuju kehati melalui vena
hepatica. Infeksi dapat berlangsung dalam jangka
waktu yang tidak terbatas.
Menetasnya telur berlangsung didalam air walaupun
dipengaruhi kadar garam, pH, suhu dan aspek
penting lainnya. Migrasi Schistosoma japonicum
dimulai dari masuknya cacing tersebut kedalam
pembuluh darah kecil, kemudian ke jantung dan
sistem peredaran darah. Cacing yang sedang
bermigrasi jarang menimbulkan kerusakan atau
gejala. Tetapi kadang menimbulkan reaksi hebat
pada tubuh penderita.
D. Epidemologi
Schistosomiasis japonicum merupakan salah satu dari
trematoda darah pada manusia yang ditemukan di
daerah cina yang mana merupakan penyebab
Schistosoma japonica yang merupaka salah satu penyakit
yang terjadi didaerah danau dan rawa. Schistosomiasis
merupakan infeksi yang disebabkan oleh cacing
Schistosoma japonicum memiliki sifat yang menular
antara Schistosoma lainnya. Infeksi pada Schistosoma
diikuti demam katanya akut. Penyakit ini sangat
endemic di daerah katayama, jepang.
Apabila tidak diobati, maka penyakit ini akan
berkembang menjadi penyakit kronis yang ditandai
dengan penyakit hepatosclemic dan perkembangan
fisik yang terganggu. Tingkat keparahan dari
Schistosoma japonicum muncul dalam 60% dari penyakit
saraf karena migrasi telur ke otak.
Strain bersifat geographical. Di Indonesia,
khususnya di pulau Sulawesi, dengan demikian
dengan keadaan endemic tinggi terdapat di daerah
danau lundu. Pada tahun 1971, dari pemeriksaan
tinja didapatkan infeksi Schistosoma japonicum
sebanyak 53% dari 126 penduduk pada usia antara 7-
70 tahun.
E. Potologi Dan Gejala Klinis
Setelah parasit memasuki tubuh inang dan
memproduksi telur, parasit menggunakan sistem
kekebalan inang (granuloma) untuk transportasi
telur ke dalam usus. Telur merangsang pembentukan
granuloma disekitar mereka. Granuloma yang terdiri
dari sel motil membawa telur kedalam lumen usus.
Ketika di dalam lumen, sel granuloma meninggalkan
telur untuk dibuang dalam veses. Sekitar 2/3 dari
telur tidak dikeluarkan, sebaliknya mereka
berkembang diusus. Hal ini dapat menyebabkan
terjadinya fibrosis. Pada kasus yang kronis,
Schistosoma japonicum merupakan pathogen dari
sebagian besar spesies Schistosoma yang
menghasilkan 3000 telur per hari dimana jumlah
telur yang dikeluarkan ini sepuluh kali lebih
besar dari Schistosoma mansini
Sebagai penyakit kronis, parasit ini dapat
menyebabkan demam katayama, fibrosis hati, sirosis
hati, hipertensi hati portal, spinomegali dan
ascitus. Beberapa telur mungkin masuk kedalam
paru-paru, sistem saraf dan organ lain dimana
mereka dapat mempengruhi kesehatan individu yang
terinfeksi.
Kelainan bergantung kepada beratnya infeksi.
Stadium I : gejala-gejala (ulticaria) gejalainteraksi disertai demam, hepatomegali,dan eosinofilia tinggi
Stadium II :sindrom disentri disertai demam
Stadium III :sirrhobis hepatis, emasiasi,
splenomegali, mungkin terdapat gejala
saraf dan paru-paru
F. Diagnosis
ditegakkan dengan menemukan telur dalam tinja ataudalam tinja rangsangan biopsi dan reaksiimmunologi. Telur Schistosoma japonicum kira-kira 85
mikron lebih lebar dan kebanyakan berbentuk agakbulat hanya mempunyai duri lateral yang kecil,berhubung karena permukaan telur ynag agaklengket, partikel-partikel tinja melekat padanya.
Identifikasi telur dalam feses atau urin merupakan
metode yang paling praktis untuk diagnosis.
Pemeriksaan feses harus dilakukan ketika orang
tersebut dicurigai terinfeksi Schistosoma japonicum
dan pemeriksaan urin dilakukan bila ada kecurigaan
terinfeksi Schistosoma haemotobium. Feses dapat
mengandung telur dari semua spesies Schistosoma.
Pemeriksaan dapat dilakukan pada pap sederhana
(pap untuk 1 sampai 2 mg feses). Telur dapat
ditularkan dalam jumlah yang sangat kecil. Dimana
pendeteksian akan ditingkatkan dengan pemeriksaan
ulang atau melakukan prosedur konsentrasi (seperti
formalin – teknik etil asetat). Selain itu, untuk
melakukan surve di lapangan, volume pengeluaran
telur dapat di ukur dengan metode kato-katz yang
mana memerlukan 20-50 mg feses. Telur dapat
ditemukan dalam urin yang terinfeksi Schistosoma
haemotobium (waktu yang disarankan untuk
mengeluarkan urin yaitu pada waktu siang hari
maupun sore hari). Selain itu, diperlukan
setrifugasi untuk melakukan pemeriksaan sadimen.
Ukuran telur Schistosoma yang kecil, memerlukan
adanya diaknosa teknik. Dimana sebagian besar
diperlukan untuk menguji schistomiasis kronis
tanpa telur.
Tes dengan metode ELISA dapat juga dilakukan untuk
menguji antibody spesifik untuk Schistosoma. Hasil
positif menunjukkan infeksi saat ini. Pemeriksaan
ultrasonografi (USG) dapat dilakukan untuk menilai
sejauh mana morbiditas hati dan limfa terkait.
G. Pengonatan
Pengobatan dapat dilakukan dengan memberikan
prazikuantel. Selain itu dapat juga digunakan
natrium antimony tartrat. Obat lainnya tidak
memberikan hasil yang memuaskan karena sebenarnya
tidak ada obat khusus untuk parasit ini. Obat-obat
tersebut akan menyebabkan cacing dewasa terlepas
dari pembuluh darah, sehingga akan tersapu kedalam
hati oleh sirkulasi portal.
H. Pencegahan
Kontrol infeksi Schistosoma japonicum memerlukan
beberapa upaya pencegahan penting yang terdiri
dari pendidikan, menghasilkan penyakit dari orang
yang terinfeksi, pengendalian vaktor dan
memberikan vaksin perlindungan.
Pendidikan dapat menjadi cara yang efektif, tetapi
sulit dengan kurangnya sumber daya. Dilakukan juga
untuk meminta orang untuk mengubah kebiasaan,
tradisi dan prilaku dapat menjadi tugas yang
sulit.
Kotoran manusia harus dibuang secara hieginis.
Kotoran manusia didalam air bila dibertemu dengan
hospes intermedient berupa siput Oncomelania
merupakan penyebab utama untuk kelangsungan hidup
cacing Schistosoma. Maka sisa kotoran manusia tidak
boleh digunakan untuk nightsoiling (pemupukan
tanaman dengan kotoran manusia). Untuk menghindari
infeksi, individu harus menghindari kontak dengan
air yang terkontaminasi oleh kotoran manusia
maupun hewan.
Sesaat sebelum masuk kedarah air yang berpotensi
terinfeksi, salep cercaricial dapat dioleskan pada
kulit. Barrier kirim dengan basis dimenthicone
disarankan untuk perlindungan tinggi selama
minimal 48 jam.
DAFTAR PUSTAKA
Widodo, Hendro. 2013. Parasitologi Kedokteran. Yogyakarta:
D-medika
Safar, Rosdiana. 2009. Protozologi, Helmintologi, Entomologi.
Bandung : CV yrama widya
Irianto, Koes. 2013. Parasitologi Media. Bandung : Penerbit
Alfabeta
Sutanto, Inge. Dkk. 2011. Parasitologi Kedokteran. Jakarta :
FKUI
http://www.academia.edu/4092737/
TREMATODA_DARAH_SCHISTOSOMA di akses pada tangal
19 desember 2014 pada pukul 10:13