masjid dalam al-qur'an: studi penafsiran

130
MASJID DALAM AL-QUR’AN: STUDI PENAFSIRAN MUHAMMAD ASAD DALAM THE MESSAGE OF THE QUR’AN SKRIPSI Diajukan untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Agama (S.Ag) Disusun Oleh : Muhamad Rais 11170340000142 PROGRAM STUDI ILMU AL-QURAN DAN TAFSIR FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1442 H/ 2021 M

Upload: khangminh22

Post on 05-Apr-2023

0 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

MASJID DALAM AL-QUR’AN: STUDI PENAFSIRAN

MUHAMMAD ASAD DALAM THE MESSAGE OF THE

QUR’AN

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi persyaratan memperoleh

gelar Sarjana Agama (S.Ag)

Disusun Oleh :

Muhamad Rais

11170340000142

PROGRAM STUDI ILMU AL-QURAN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1442 H/ 2021 M

v

ABSTRAK

MUHAMAD RAIS, NIM: 11170340000142

“MASJID DALAM AL-QUR’AN: STUDI PENAFSIRAN

MUHAMMAD ASAD DALAM THE MESSAGE OF THE QUR’AN”

Secara fungsional, bagi Muslim masjid sering kali diidentikkan

dengan tempat atau bangunan untuk melaksanakan salat. Hal ini berlainan

dengan pengertian fungsional masjid di masa Rasulullah yang memiliki

pengertian tempat melakukan kegiatan ibadah dalam arti yang luas. Dalam

kaitan ini, penulis berusaha mengungkap pengertian masjid dalam

pandangan Muhammad Asad dengan fokus pembahasan ayat-ayat masjid

dalam al-Qur‟an.

Jenis penelitian ini adalah library research dengan metode

kualitatif. Penelitian ini, menggunakan metode pendekatan tokoh, yaitu

Muhammad Asad dengan tafsirnya The Message of The Quran.

Berdasarkan analisis penelitian menunjukkan bahwa: pertama,

Muhammad Asad mengartikan kata masjid dalam al-Qur‟an sebagai

houses of worship yaitu rumah-rumah peribadatan secara umum,

mencakup masjid, gereja, dan sinagoge. Bahkan secara fungsional Asad

mengartikannya sebagai peribadatan itu sendiri (ibadah dalam arti luas).

Kedua, dalam penafsirannya terhadap kata Masjid Al-Ḥarᾱm, beliau

menafsirkan dengan Inviolable House of Worship yang dalam

penafsirannya merujuk pada rumah ibadah Ibrᾱhῑm (Ka 'bah) dan sebagai

implikasinya merujuk sekitarnya (Makah). Bahkan dalam konteks tertentu

beliau memahaminya sebagai simbol dari agama-agama dan simbol

keesaan Tuhan. Ketiga, bahwa setiap tempat peribadatan yang

didedikasikan untuk Tuhan berhak mendapatkan perlindungan dan

penghormatan. Sehingga setiap bentuk tindakan yang mencegah penganut

agama untuk menyembah Tuhan atau menghancurkan tempat peribadatan

yang didedikasikan untuk Tuhan, dikategorikan sebagai orang yang paling

zalim.

Kata Kunci: Masjid, Muhammad Asad, dan kebebasan beribadah

vi

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah, Zat yang telah menampakkan berbagai

bentuk pemikiran kepada orang-orang yang memiliki akal, Zat yang telah

menyingkap setiap kabut kebodohan dari langit akal pikiran. Selawat dan

salam semoga senantiasa ter curahkan kepada nabi Muhammad saw.,

keluarga, para sahabat, serta para pengikutnya.

Skripsi dengan judul “Masjid Dalam al-Qur‟an: Studi Penafsiran

Muhammad Asad Dalam The Message of The Quran” ini dimaksudkan

untuk mengetahui pengertian masjid dalam perspektif Muhammad Asad

serta penafsirannya terhadap ayat-ayat yang mengandung kata masjid

dalam The Message of The Quran. Penelitian ini bukanlah akhir

perjalanan akademis penulis, justru ini adalah langkah awal untuk

melakukan kajian-kajian lain terkhusus di bidang keilmuan tafsir.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis mengucapkan banyak terima

kasih kepada semua pihak yang telah memberikan bimbingan, saran, serta

motivasi bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, terkhusus penulis

ucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Hj. Amany Lubis, M.A. Rektor Universitas Islam Negeri

Syarif Hidayatullah Jakarta, dan seluruh jajaran Rektorat.

2. Dr. Yusuf Rahman, M.A. Dekan Fakultas Ushuluddin UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta beserta jajarannya, yaitu Wakil Dekan 1,

Wakil Dekan II, serta Wakil Dekan III.

3. Dr. Eva Nugraha, M.A. Ketua Program Studi Ilmu al-Qur‟an dan

Tafsir serta Fahrizal Mahdi, Lc., MIRKH,. Sekretaris Program

Studi Ilmu al-Qur‟an dan Tafsir (IAT) yang telah membantu

penulis dalam proses perkuliahan dan administrasi.

vii

4. Drs. Ahmad Rifqi Muchtar, M.A. Dosen pembimbing skripsi

penulis, yang selalu memberikan masukan, arahan, dan koreksi

sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.

5. Muslih Nur Husain, Lc., M.A. Dosen Penasihat Sekaligus Dosen

Pembimbing Akademik yang telah memberikan arahan dalam

penulisan skripsi ini.

6. Segenap jajaran dosen Fakultas Ushuluddin, khususnya Prodi Ilmu

al-Qur‟an dan Tafsir yang telah membekali berbagai ilmu

pengetahuan sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.

7. Para masyᾱyikh; Aa Abdul Rasyid (alm), Hj. Rosi‟ah(alm), A.

Aang Abdul Hakim, A. Aap Abdul Padilah, Drs. K.H. Atjeng

Abdul Wahid, K.H. Atjeng Abdul Mujib, M.Ag., K.H. Atjeng Aip

Mukhtar Fauzi, K.H. Atjeng Aup Mustafal Fauzi, S.Ag., K.H.

Fahmi Ahmadi, M.A., Ama K.H. Mudrikah Hanafi, K.H. Rd.

Deden Kasyful Anwar serta segenap guru-guruku yang lain.

Semoga Allah senantiasa memberikan limpahan rahmat dan

keberkahan kepada mereka.

8. Sahabat-sahabatku; Kanda Zainal Arifin, Muhammad Fariduddin,

Iqbal Akbar, Alfi Hasanah, Zainab, Shihabussalam, Yusuf

Muchlas, rekan-rekanita PC IPNU/IPPNU Tangerang Selatan,

serta teman-teman Fakultas Ushuluddin khususnya Program Studi

Ilmu al-Qur‟an dan Tafsir kelas IAT D 2017.

9. Berbagai pihak yang telah membantu penulis baik dukungan moral

maupun materiil dalam penyusunan skripsi terutama kedua orang

tua yang sangat berjasa dalam perjalanan pendidikan penulis.

Semoga Allah membalas semua kebaikan mereka dengan sebaik-

baiknya balasan.

viii

Pada akhirnya, penulis menyadari bahwa penulisan ini masih

banyak kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat penulis

harapkan. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan para

pembaca umumnya.

Garut, 22 Mei 2021

Muhamad Rais

11170340000142

ix

x

PEDOMAN TRANSLITERASI

Pedoman Transliterasi Arab-Latin yang digunakan dalam

penulisan ini adalah Pedoman transliterasi yang merupakan hasil

Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan

Kebudayaan Republik Indonesia, Nomor: 158 Tahun 1987 dan Nomor :

0543b/U/1987.

Di bawah ini daftar huruf-huruf Arab dan transliterasinya dengan

huruf latin.

A. Konsonan

Huruf Arab Huruf Latin Keterangan

Tidak ا

dilambangkan Tidak dilambangkan

b be ب

t Te ت

ṡ es (dengan titik di atas) ث

j je ج

ḥ ha (dengan titik di bawah) ح

kh ka dan ha خ

d de د

ż zet (dengan titik di atas) ذ

xi

r er ر

z zet ز

s es س

sy es dan ye ش

ṣ es (dengan titik di bawah) ص

ḍ de (dengan titik di bawah) ض

ṭ te (dengan titik di bawah) ط

ẓ zet (dengan titik di bawah) ظ

apostrof Terbalik „ ع

g ge غ

f ef ؼ

q qi ؽ

k ka ؾ

l el ؿ

m em ـ

n en ف

xii

w we و

h ha ىػ

apostrof ‟ ء

y ye ي

Hamzah (ء) yang terletak di awal kata mengikuti vokalnya tanpa

diberi tanda apa pun. Jika hamzah (ء) terletak di tengah atau di akhir,

maka ditulis dengan tanda (‟).

B. Vokal

Vokal bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri atas

vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Vokal

tunggal bahasa Arab yang lambangnya berupa tanda atau harakat,

transliterasinya sebagai berikut:

Huruf Arab Nama Huruf Latin

ا Fatḥah a

ا Kasrah i

ا Ḍammah u

Vokal rangkap bahasa Arab yang lambangnya berupa gabungan

antara harakat dan huruf, transliterasinya berupa gabungan huruf, yaitu:

Tanda Nama Huruf Latin Nama

xiii

اي Fatḥah dan ya ai a dan i

او Fatḥah dan wau au a dan u

C. Maddah

Maddah atau vokal panjang yang lambangnya berupa harakat dan

huruf, transliterasinya berupa huruf dan tanda, yaitu:

Harkat dan

Huruf Nama

Huruf dan

Tanda Nama

Fatḥah dan alif atau ya ᾱ ياa dan garis di

atas

Kasrah dan ya ῑ ػػيi dan garis di

atas

Ḍammah dan wau ū ػػػوu dan garis di

atas

D. Ta Marbūṭah

Transliterasi untuk ta marbūṭah ada dua, yaitu: ta marbūṭah yang

hidup atau mendapat harakat fatḥah, kasrah, dan ḍammah, transliterasinya

adalah [t]. Sedangkan ta marbūṭah yang mati atau mendapat harakat

sukun, transliterasinya adalah [h].

Kalau pada kata yang berakhir dengan ta marbūṭah diikuti oleh

kata yang menggunakan kata sandang al- serta bacaan kedua kata itu

terpisah, maka ta marbūṭah itu ditransliterasikan dengan ha (h). Contoh:

rauḍah al-aṭfāl : روضة األطفاؿ

لة ديػنة الفضيػ ات : al-madīnah al-fāḍīlah

xiv

اتكمة : al-ḥikmah

E. Syaddah (Tasydīd)

Syaddah atau tasydīd yang dalam sistem tulisan Arab

dilambangkan dengan sebuah tanda tasydīd ( ـ), dalam transliterasi ini

dilambangkan dengan perulangan huruf (konsonan ganda) yang diberi

tanda syaddah. Contoh:

rabbanā : ربػنا

نا najjainā : تيػ

al-ḥaqq : اتق

al-ḥajj : اتج

nu‟‟ima : نػعم

aduwwun„ : عدو

Jika huruf ى ber- tasydīd di akhir sebuah kata dan didahului oleh

huruf berharakat kasrah ( ــ), maka ia ditransliterasi seperti huruf maddah

(ī). Contoh:

علي : „Alī (bukan „Aliyy atau „Aly)

عرب : „Arabī (bukan „Arabi atau „Araby)

F. Kata Sandang

Kata sandang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan

huruf ال yang diikuti huruf syamsiyah atau qomariyah. Kata sandang tidak

xv

mengikuti bunyi huruf langsung yang mengikutinya. Kata sandang ditulis

terpisah dari kata yang mengikutinya dan dihubungkan dengan garis

mendatar (-). Contohnya:

الشمس : al-syams (bukan asy-syams)

al-zalzalah (bukan az-zalzalah) : الزلزلة

al-falsafah : الفلسفة

البالد : al-bilādu

G. Hamzah

Aturan transliterasi huruf hamzah menjadi apostrof (‟) hanya

berlaku bagi hamzah yang terletak di tengah dan akhir kata. Namun, bila

hamzah terletak di awal kata, ia tidak dilambangkan, karena dalam tulisan

Arab ia berupa alif. Contohnya:

تأمروف : ta‟murūna

النوء : al-nau‟

شيء : syai‟un

أمرت : umirtu

H. Penulisan Kata Arab yang Lazim digunakan dalam Bahasa

Indonesia

Kata, istilah atau kalimat Arab yang ditransliterasi adalah kata,

istilah atau kalimat yang belum dibakukan dalam bahasa Indonesia. Kata,

istilah atau kalimat yang sudah lazim dan menjadi bagian dari

xvi

perbendaharaan bahasa Indonesia, atau sudah sering ditulis dalam tulisan

bahasa Indonesia, tidak lagi ditulis menurut cara transliterasi di atas.

Misalnya kata Alquran (dari al-Qur‟ān), sunnah, hadis, khusus dan umum.

Namun, bila kata-kata tersebut menjadi bagian dari satu rangkaian teks

Arab, maka mereka harus ditransliterasi secara utuh. Contoh:

Fī ẓilāl al-Qur‟ān

Al-Sunnah qabl al-tadwīn

Al-„Ibārāt Fī „Umūm al-Lafẓ lā bi khuṣūṣ al-sabab

I. Lafẓ al-Jalālah (هللا )

Kata “Allah” yang didahului partikel seperti huruf jar dan huruf

lainnya atau berkedudukan sebagai muḍāf ilaih (frasa nominal),

ditransliterasi tanpa huruf hamzah. Contoh:

دين ا : dīnullāh

Adapun ta marbūṭah di akhir kata yang disandarkan kepada lafẓ al-

jalālah, ditransliterasi dengan huruf [t]. Contoh:

ىم ف رتة ا : hum fī raḥmatillāh

J. Huruf Kapital

Walau sistem tulisan Arab tidak mengenal huruf kapital (All Caps),

dalam transliterasinya huruf-huruf tersebut dikenai ketentuan tentang

penggunaan huruf kapital berdasarkan pedoman ejaan Bahasa Indonesia

yang berlaku (EYD). Huruf kapital, misalnya, digunakan untuk

menuliskan huruf awal nama diri (orang, tempat, bulan) dan huruf pertama

pada permulaan kalimat. Bila nama diri didahului oleh kata sandang (al-),

maka yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri

tersebut, bukan huruf awal kata sandangnya. Jika terletak pada awal

xvii

kalimat, maka huruf A dari kata sandang tersebut menggunakan huruf

kapital (Al-). Ketentuan yang sama juga berlaku untuk huruf awal dari

judul referensi yang didahului oleh kata sandang al-, baik ketika ia ditulis

dalam teks maupun dalam catatan rujukan (CK, DP, CDK, dan DR).

Contoh:

Wa mā Muḥammadun illā rasūl

Inna awwala baitin wuḍi„a linnāsi lallażī bi Bakkata mubārakan

Syahru Ramaḍān al-lażī unzila fīh al-Qur‟ān

Naṣīr al-Dīn al-Ṭūs

Abū Naṣr al-Farābī

Al-Gazālī

Al-Munqiż min al-Ḍalāl

xviii

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ................................. ii

LEMBAR PENGESAHAN SIDANG MUNAQASAH ................ iii

LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ...................... iv

ABSTRAK ...................................................................................... v

KATA PENGANTAR ................................................................... vi

PENDOMAN TRANSLITERASI .................................................. x

DAFTAR ISI ............................................................................. xviii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ...................................................... 1

B. Identifikasi Masalah ............................................................ 8

C. Rumusan dan Batasan Masalah ........................................... 8

D. Tujuan Penelitian ................................................................. 8

E. Manfaat Penelitian ............................................................... 9

a. Manfaat Teoritis ............................................................ 9

b. Manfaat Praktis .............................................................. 9

F. Kajian Pustaka ..................................................................... 9

G. Metodologi Penelitian ....................................................... 11

H. Sistematika Penulisan ........................................................ 13

BAB II KAJIAN UMUM MASJID DALAM AL-QUR‟AN

A. Pengertian Masjid dan Derivasinya ................................... 15

B. Tabel Ayat Masjid dalam al-Qur‟an .................................. 18

C. Ayat-ayat Makkiyah dan Madaniyah ................................ 19

a. Ayat Makkiyah ............................................................ 19

b. Ayat Madaniyah .......................................................... 21

D. Asbabun Nuzul .................................................................. 26

xix

E. Fungsi Dasar Didirikan Masjid ......................................... 32

a. Masjid Sebagai Rumah Tauhid ................................... 32

b. Tauhid dan Takwa Dasar Mendirikan Masjid ............. 36

F. Fungsi Masjid di Masa Nabi Muhammad saw. ................. 40

BAB III BIOGRAFI MUHAMMAD ASAD DAN TAFSIR THE

MESSAGE OF THE QUR‟AN

A. Biografi Muhammad Asad ................................................ 45

1. Pendidikan .................................................................. 48

2. Karya-karya ................................................................. 50

B. The Message of The Qur‟an .............................................. 51

a. Latar Belakang Penulisan ............................................ 51

b. Sistematika Penulisan .................................................. 53

c. Sumber, Corak, dan Metodologi ................................. 54

BAB IV ANALISIS PENAFSIRAN MUHAMMAD ASAD TERHADAP

AYAT-AYAT MASJID DALAM THE MESSAGE OF THE QUR‟AN

A. Teks Ayat dan Terjemah.................................................... 59

B. Masjid dan Tafsirnya ......................................................... 65

1. Masjid Kiblat (ka‟bah) Simbol Ke-Esa-an Tuhan ....... 65

2. Masjid Sebagai Houses of Worship ............................ 79

3. Masjid Sebagai Tempat Peribadatan Agama Lain ...... 91

4. Masjid Sebagai Worship .............................................. 94

5. Masjid sebagai Tempat Peribadatan ............................ 95

6. Masjid Ḍirᾱr dan Taqwᾱ ............................................. 97

C. Fakta Sejarah Masjid di Masa Nabi .................................. 99

D. Penafsiran Asad dalam Konteks keindonesiaan .............. 101

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ...................................................................... 107

xx

B. Saran ............................................................................... 108

DAFTAR PUSTAKA .................................................................. 109

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kata masjid adalah isim makan ( isim yang menunjukkan pada

sebuah tempat) dari fi'il يسجد -سجد yang berarti tempat bersujud dan

tempat ibadah. al-Zujjāj mendefinisikan masjid sebagai setiap tempat-

tempat yang digunakan untuk beribadah maka itu dinamakan masjid.1 Ibn

'Arabῑ lebih spesifik dari al-Zujjāj ketika mendefinisikan masjid, beliau

mengatakan bahwa lafaz مسجد dengan dibaca fatḥah huruf jim nya maka

itu menunjukkan pada rumah-rumah tempat berdoa dan salat secara

berjamaah.

Sementara itu, Rᾱgib al-Aṣfahᾱnῑ dalam Mufradāt fῑ Garῑb al-

Qur'ᾱn, masjid adalah tempat untuk salat yang diekspresikan dalam

bentuk sujud kepada Allah sebagai bentuk penghambaan dirinya kepada

Allah.2 Kata masjid adalah isim makan yang diambil dari fi'il maṣdar

ṡulᾱṡi mujarrad dari akar kata سجودا -يسجد -سجد. Sujud merupakan

rukun terpenting dalam salat yang mendekatkan seorang hamba kepada

Tuhannya. Oleh sebab itu kata sujud diambil sebagai bentuk isim makan

yang menunjukkan pada tempat ibadah dan tempat untuk salat.3

1 M. Murtaḍᾱ al-Zᾱbidῑ, Tāj al-'Arủs Min Jauhar al-Qᾱmủs, jilid 2, cet. 2

(Libanon: Dᾱr Maktabah al-Hayᾱh, 2008), 371. 2 Rᾱgib al-Aṣfᾱhᾱnῑ, Mufradāt fi Garῑb al-Qur'ān ( Beirut: Dar el-Ma'rifah,

2009), 224. 3 Muḥammad Ibn „Abdillᾱh al-Zarkasyῑ, I'lām al-Sājid fῑ Aḥkām al-Masājid

(Kairo: Dᾱr al-Miṣriyah, 1403 H), 28.

2

Dalam Pengertian istilah 'urfi kata masjid diungkapkan untuk

menunjukkan tempat peribadatan secara khusus bagi kaum muslimin

yakni sebuah tempat yang digunakan untuk salat. Meski demikian, tidak

bisa dipungkiri bahwa tidak semua kata masjid dalam al-Qur'an

menunjukkan kepada masjid dalam pengertian khusus tersebut. Kata

masjid atau masājid dalam al-Qur'an tidak selalu merujuk kepada tempat

peribadatan-peribadatan umat muslim secara khusus, tetapi penggunaan

kata masjid atau masājid dalam al-Qur'an juga bisa merujuk kepada

tempat peribadatan-peribadatan agama lain. Seperti dalam Qs. al-Kahfi/

18: 2:

ها لك اعثػرنا عليهم ليػعلمو وكذ و حق واف الساعة ل ريب فيػ اذ ا اف وعد الل يانا نػهم امرىم فػقالوا ابػنػوا عليهم بػنػ قاؿ الذين غلبػوا ربػهم اعلم بم يػتػنازعوف بػيػ

مرىم لنتخذف عليهم مسجداعل ى ا "Dan demikianlah (pula) Kami perlihatkan (manusia) dengen

mereka agar mereka tahu, bahwa janji Allah benar dan bahwa

(kedatangan) hari Kiamat tidak ada keraguan padanya. Ketika

mereka berselisih tentang urusan mereka, maka mereka berkata;

dirikanlah sebuah bangunan di atas (gua) mereka, Tuhan mereka

lebih mengetahui tentang mereka. Orang yang berkuasa atas urusan

mereka berkata ; kami pasti akan mendirikan sebuah rumah ibadah

di atasnya."

للو فال تدعوا مع اللو أحداوأف المساجد " Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah kepunyaan Allah.

Maka janganlah kamu menyembah seorang pun di dalamnya di

samping (menyembah) Allah."

Kata masājid dalam ayat di atas diartikan oleh al-Qurṭubῑ sebagai

rumah-rumah yang dibangun oleh penganut agama-agama yang digunakan

untuk beribadah.4 Termasuk dalam makna masājid pada ayat di atas itu

4 Abῑ „Abdillāh Muhammad Ibn Aḥmad al-Anṣārí al-Qurṭubī, al-Jāmi' li Aḥkām

al-Qur'ān, jilid 10, cet. I ( Beirut: Dār el-Kutub al-Ilmiyah 1971), 14.

3

adalah gereja-gereja, rumah peribadatan kaum Yahudi (بيع,) dan rumah

peribadatan kalangan muslim (مسجد) seperti yang terdapat dalam kitab

Mafātiḥ al-Gaib karya Fakhr al-Dīn al-Rāzī.5

Namun sebagian mengartikan kata masājid pada ayat di atas sebagai

bumi sehingga seolah-olah firman Allah itu berbunyi: "semua bumi itu

makhluk Allah maka jangan kalian bersujud di atasnya kepada selain

Penciptanya." Di antara yang berpendapat demikian adalah al-Ḥasani dan

al-Aṣfahᾱnῑ. Bumi sebagai pengertian dari kata masājid di atas, didasarkan

pada ḥadῑṡ Nabi Muhammad saw.:

د بن سناف، قاؿ: ثػنا تم ثػنا سيار ىو أبو اتكم، قاؿ: حد ثػنا ىشيم، قاؿ: حد حدثػنا جابر بن عبد اللو، قاؿ: قاؿ رسوؿ اللو ثػنا يزيد الفقري، قاؿ: حد صلى ا -حد

د من األنبياء قػبلي: نصرت بالرعب أعطيت تسا ل يػعطهن أح : »-عليو وسلم ا رجل من أمت أدركتو الصالة مسرية شهر، وجعلت ل األرض مسجدا وطهورا، وأی

عث إل قػومو -و وسلم صلى اللو علي -فػليصل، وأحلت ل الغنائم، وكاف النب يػبػ «".خاصة، وبعثت إل الناس كافة، وأعطيت الشفاعة

"Telah menceritakan kepada kami Muhammad Ibn Sinᾱn, dia

berkata telah menceritakan kepada kami Husyaim, berkata, telah

menceritakan kepada kami Sayyᾱr (Abủ Hakam) berkata, telah

menceritakan kepada kami Yazῑd al-Faqῑr berkata, telah

menceritakan kepada kami Jᾱbir Ibn „Abdillāh berkata, Rasulullah

saw. bersabda: Aku diberi lima perkara yang tidak diberikan kepada

seorang-pun sebelumku; aku ditolong dengan diberikannya rasa

takut (kepada musuh) dalam perjalanan satu bulan (sebelum

bertemu), telah dijadikan untukku (dan untuk umatku) bumi sebagai

masjid dan sarana penyucian diri, maka barang siapa yang menemui

waktu salat, maka salatlah, dihalalkan untukku 'ganimah-ganimah',

dan semua Nabi itu diutus untuk kaumnya sendiri sedangkan aku

5 Fakhr al-Dīn al-Rāzī, Mafātiḥ al-Gaib, jilid 10, cet. I (Beirut: Dār al-Fikr,

1981),162.

4

diutus untuk seluruh manusia, dan aku diberi (wewenang) untuk

memberikan syafaat." (HR. Bukhari).6

Kata masjid dalam al-Qur'an disebut sebanyak 28 kali; 22 diungkap

dengan bentuk mufrad (tunggal), 6 diungkap dengan bentuk jamak

(plural). Kata masjid secara generik berarti ta‟at, patuh, dan tunduk

dengan penuh ta„ẓim. Oleh karena itu kata masjid dalam al-Qur'an tidak

bisa terlepas dari makna generiknya. Dalam ḥadῑṡ di atas, Rasulullah saw.

mengaitkan makna masjid dengan bumi, maka jelas bahwa masjid bukan

hanya sebagai tempat bersujud dan sarana penyucian diri. Tidak hanya

berarti bangunan tempat ṣalat atau bahkan bertayamum sebagai sarana

bersuci pengganti wuḍu, tetapi lebih dari itu masjid adalah tempat segala

aktivitas manusia yang mencerminkan kepatuhan dan ketundukan.7

Dalam perkembangannya, masjid sering diidentikkan sebagai tempat

peribadatan umat Islam. Kekonsistenan pengertian ini (masjid sebagai

tempat peribadatan umat Islam) berpotensi susah untuk memahami

pengertian masjid dalam al-Qur'an dan hadiṡ Nabi secara komprehensif

karena ketika ditelusuri lebih jauh pemaknaan kata masjid atau masājid

dalam al-Qur'an tidak hanya merujuk pada tempat 'peribadatan umat

Islam' secara khusus, melainkan bisa merujuk kepada tempat peribadatan-

peribadatan agama lain. Seperti firman Allah dalam Qs. al-Baqarah/ 2: 114

ك ما وسعى فی خرابا ٱتو ومن أظلم تن منع مسػ جد ٱللو أف يذكر فيها أولػ ىفی اخرة عذاب كاف تم أف يدخلوىا إل خا ى نيا خزی وتم فی ٱلػ عظيم تم فی ٱلد

"lalu siapakah yang lebih tepat dianggap lebih zalim dari pada

orang-orang yang melarang dan menghalang-halangi disebutnya

nama Tuhan di tempat-tempat peribadatan serta berusaha

menghancurkan tempat tersebut. Padahal mereka tidak berhak

6 Abῑ „Abdillāh Ibn Muhammad Ibn Ismᾱ‟ῑl al-Bukhᾱrī, Ṣaḥīḥ al-Bukhārí (Beirut:

Dār Ibn Kaṡīr 2002), 118. 7 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur'an:Tafsir Tematik atas Pelbagai Persoalan

Umat (Bandung: Mizan, 2012), 452

5

memasukinya kecuali dalam keadaan takut kepada Tuhan. Kelak

mereka (yang menghancurkan tempat-tempat peribadatan) akan

mendapatkan kesengsaraan di dunia dan siksaan yang berat di

akhirat".

Muhammad Asad dalam Tafsirnya The Message of The Qur'an

menafsirkan kata masājid dalam ayat di atas sebagai houses of worship

atau istilah dalam bahasa arabnya adalah معابد yaitu tempat-tempat secara

umum. Oleh karena itu, prinsip yang fundamental dalam Islam bahwa kita

wajib menghargai dan menjaga masjid-masjid (tempat peribadatan secara

umum). Karena itu segala bentuk atau tindakan untuk menghalang-halangi

para penganut agama untuk beribadah kepada Tuhannya dikategorikan

oleh al-Qur'an sebagai sebuah kezaliman yang besar.8

Indonesia sebagai Negara yang majemuk dengan bermacam-macam

suku, budaya, dan bangsa. Meskipun terdiri dari berbagai macam suku,

budaya, bahasa, dan agama namun Indonesia tetap merupakan sebuah

kesatuan yang tercermin dalam semboyan bangsa "Bhinneka Tunggal Ika"

yakni berbeda-beda tetapi tetap satu. Keberagaman itu dijadikan oleh para

leluhur bangsa sebagai modal untuk menjadi sebuah bangsa yang besar

dan berperadaban. Namun, konflik-konflik keagamaan seakan mengikis

semboyan "Bhinneka Tunggal Ika" dibuktikan dengan sejumlah

problematik pembangunan rumah-rumah peribadatan.

Problematik pendirian rumah ibadah yang terjadi di Kota Bogor

Jawa Barat pada 10 April 2012, jemaat dari Gereja Kristen Indonesia

(GKI) Yasmin yang kesulitan untuk membangun rumah peribadatan,

bahkan Walikota menyegel sepenuhnya GKI Yasmin dengan

mengerahkan Satpol-PP. Penolakan lain terjadi pada tahun 2018 di desa

8 Muhammad Asad, The Message of The Qur'an, Tranlated and Explained

(Gibralta: Dᾱr al-Andalus, 1980), 32.

6

Sentani Kabupaten Jayapura dialami oleh umat Muslim yang mendapat

penolakan dari Persekutuan Gereja-gereja Jayapura atas renovasi Masjid

Agung di Sentani. Alasan penolakan yang dialami oleh umat Islam di

Sentani adalah pembatasan dakwah Islam di Jayapura.9

Keberagaman agama di Indonesia menjadi dilema tersendiri. Di satu

sisi memberikan kontribusi positif untuk terwujudnya sebuah bangsa yang

besar. Namun di sisi lain, keberagaman agama juga dapat berpotensi

menjadi sumber konflik di kemudian hari. Dari sekian akar konflik

keagamaan yang terjadi, yang dominan disebabkan oleh pendirian rumah

ibadah dikarenakan kurang tegasnya pemerintah menegakkan regulasi.10

Penerapan regulasi pendirian rumah ibadah belum berjalan dengan baik.

Karena itu masih banyak umat beragama dari kalangan minoritas yang

kesulitan bahkan kehilangan akses untuk beribadah dengan aman dan

nyaman.

Tindakan seperti di atas, dikategorikan oleh al-Qur'an sebagai

tindakan kezaliman yang besar seperti yang disampaikan dalam Qs. al-

Baqarah/ 2: 144 di atas. Dari latar belakang di atas maka penulis tertarik

lebih jauh untuk memahami masjid dalam al-Qur'an perspektif

Muhammad Asad dalam The Message of The Qur'an serta

kontekstualisasinya terhadap kehidupan sosial.

Penelitian terhadap masjid ini bukan yang pertama kali, sebelumnya

sudah ada penelitian-penelitian terdahulu berkaitan dengan masjid dalam

al-Qur‟an. Namun dari penelitian terdahulu hanya membahas tentang

masjid tertentu dengan fungsi terbatas, misalnya penelitian tentang

Revitalisasi Fungsi Masjid Sebagai Pusat Perekonomian dan Dakwah

Multikultural atau Masjid Ḍirar dan Takwa. Sementara itu, dalam al-

9 Desi Purnamasari, https://Tirto.id/problem umat agama minorita, 2019.

10 Saidurrahman dan Arifinsyah, Nalar Kerukunan Merawat Keragaman Bangsa

Mengawal NKR (Jakarta: Kencana, 2018), 111.

7

Qur‟an masih banyak ayat-ayat masjid, tidak hanya berkaitan dengan

Masjid Taqwᾱ atau Masjid Ḍirᾱr, tidak hanya berfungsi sebagai pusat

perekonomian dan dakwah yang belum diungkap oleh penelitian

terdahulu.

Muhammad Asad atau Leopold Weiss adalah seorang cendekiawan

muslim, mantan Duta Besar Pakistan untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa

penulis Tafsir The Message of The Qur'an sebuah karya yang didasarkan

atas kajian sepanjang hidupnya yang dihabiskan di Jazirah Arab. The

Message of The Qur'an ditulis berdasarkan research puluhan tahun atas

tafsir tradisional, hadiṡ, sejarah Nabi, dan penelitian bahasa Arab di

kalangan suku Badui Arab yang dipercaya masih memelihara tradisi

berbahasa Arab yang dipakai pada zaman Rasulullah saw.

Dalam penafsirannya Muhammad Asad merujuk pada kitab-kitab

tafsir klasik dan modern. Selain itu beliau menjadikan al-Qur'an sebagai

kumpulan Kalam Allah "yang hidup" dan rasional sehingga relevan

dengan konteks kekinian. Ayat-ayat al-Qur'an di tangan Asad tidak tinggal

sebagai suatu kitab kuno. Penafsirannya diupayakan untuk beresonansi

dengan situasi dan kondisi kontemporer. Selain itu, penafsiran Asad dalam

tafsirnya itu merupakan hasil risetnya selama belasan tahun di pedalaman

Arab; belajar bahasa arab Badui (yang dipercayai kemurniannya

sebagaimana wahyu al-Qur‟an itu diturunkan). Ini salah satu alasan

penulis memilih tafsir The Message of The Qur'an dalam penelitian ini

dengan berjudul “Masjid Dalam al-Qur'an: Studi Penafsiran

Muhammad Asad dalam The Message of The Qur'an.”

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, peneliti mengidentifikasi

beberapa permasalahan yang muncul sebagai berikut:

8

1. Kata masjid terulang sebanyak 28 kali dalam al-Qur‟an. Umumnya

masyarakat memahami masjid dalam al-Qur‟an itu sebagai

bangunan tempat salat saja. Dalam mengatasi penyempitan makna

ini maka diperlukan adanya kajian komprehensif mengenai konsep

masjid perspektif al-Qur‟an.

2. Kajian ayat-ayat masjid secara komprehensif akan menyimpulkan

makna fungsional masjid dalam pengertian ibadah yang luas tidak

hanya sebagai tempat salat.

3. Muhammad Asad adalah salah satu intelektual Islam abad 20-an

yang paling berpengaruh di Eropa. Salah satu karya besarnya

adalah tafsir The Message of The Quran sebuah tafsir kontemporer

dengan sistem penulisan ilmiah yang berkembang saat ini.

Bagaimana Muhammad Asad membicarakan dikursus ayat-ayat

masjid dalam karyanya tersebut.

4. Kesimpulan dari penafsiran Muhammad Asad kemudian perlu

dikontekstualisasikan agar tidak hanya menjadi sebuah teori tetapi

juga menjadi budi pekerti.

C. Batasan Dan Rumusan Masalah

Dalam penelitian ini, penulis memfokuskan pada point' pembahasan

ayat-ayat masjid dan penafsirannya perspektif Muhammad Asad dalam

The Message of The Qur'an.

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka rumusan penelitian

ini yaitu, bagaimana penafsiran Muhammad Asad terhadap kata masjid

dalam al-Qur‟an?

D. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui makna masjid dalam al-Qur'an

9

2. Mengetahui Penafsiran Muhammad Asad Terhadap ayat-ayat

masjid dalam al-Qur‟an

3. Mengetahui Kontekstualisasi Penafsiran Muhammad Asad

Terhadap Kehidupan Sosial

E. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

a. Memberikan sumbangsih wacana ilmiah dalam rangka

memperkaya khazanah keilmuan perspektif al-Qur'an

b. Sebagai sumbanhsih ide atau pemikiran untuk diteliti lebih

lanjut

2. Manfaat Praktis

a. Memberikan pemahaman makna masjid secara komprehensif

perspektif al-Qur'an

b. Memberi wawasan baru bagi peneliti mengenai konsep masjid

dalam al-Qur'an dan penafsirannya

F. Kajian Pustaka

Berdasarkan review kajian terdahulu, penelitian ini dirasa berbeda

dari karya ilmiah yang lain. Di samping lebih menekankan pada aspek

bahasa dan juga penelitian ini menekankan pada pemahaman masjid

dalam Qs. al-Baqarah/ 2: 114 dan penafsirannya untuk

dikontekstualisasikan terhadap kehidupan sosial perspektif Muhammad

Asad dalam The Message of The Qur'an. Adapun kajian terdahulu yang

terkait dengan penelitian ini sebagai berikut:

01

1. Dalmeri,11

tujuan dalam penelitian ini guna mengetahui

Revitalisasi Fungsi Masjid Sebagai Pusat Ekonomi dan Dakwah

Multikultural. Hasil analisis dari artikel ini menghasilkan sebuah

kesimpulan bahwa masjid bukan hanya sebatas tempat kegiatan

ibadah tetapi juga sebagai pusat dakwah dan aktivitas sosial-

ekonomi umat Islam.

2. M Saefuddin,12

dalam penelitian ini membahas tentang bagaimana

makna masjid dhirar dan masjid yang di bangun atas dasar takwa

dalam tafsir al-Qur'an serta implikasi kedua masjid tersebut dalam

kondisi kekinian. Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa

masjid seharusnya mencerminkan kesalehan individu dan sosial

dan melahirkan peradaban yang madani, tidak mudah di provokasi

dan diadu domba karena perbedaan oleh sekelompok golongan

atau individu tertentu.

3. Ridwan Mansyur,13

penelitian ini menggunakan pendekatan

sosiologis. Dalam penelitian ini, diungkap fakta sosiologis tentang

fungsi dan peran masjid dalam al-Qur'an. Hasil penelitian

mengungkapkan bahwa peran dan fungsi masjid mengalami

penyempitan yakni hanya sebatas ritual formal dan mengabaikan

aspek sosial.

11 Dalmeri, “Revitalisasi Fungsi Masjid sebagai Pusat Ekonomi dan Dakwah

Multikultural”. jurnal penelitian Sosial Keagamaan Walisongo. vol.22, no.2 (Juni 2014),

12-15. 12

M Saefuddin, “Masjid Ḍirᾱr dan Masjid Taqwᾱ dalam al-Qur'an” (Skripsi S1.,

Universitas Islam Negeri Walisongo, 2018). 13

Ridwan Mansyur, “Konsep Masjid dalam Perspektif Mufassir dan Realitasnya

dalam Masyarakat : Studi terhadap Konsep Masjid dalam Al-Quran” (Thesis S2.,

Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung, 2019).

00

4. Agung Dzikri,14

dalam Skripsi ini disebutkan bahwa masjid ḍirᾱr

sering kali ditafsirkan sebagai masjid yang dibangun oleh non-

muslim untuk memecah belah persatuan umat Muslim. Penafsiran

tersebut dinilai kurang tepat terutama ketika dikontekstualisasikan

zaman sekarang, sebab situasi dan kondisi berbeda dengan zaman

dulu. Metodologi yang dipakai penelitian ini yaitu teori Double

Movement untuk didapat ideal moral dan kontekstualisasi masjid

Ḍirᾱr. Dengan menggunakan metode double movement ini

seyogyanya masjid sebagai tempat melakukan kegiatan

peribadatan mencerminkan kenyamanan dan ketentraman tanpa

ada unsur yang mengganggu seperti digunakan oleh sebagian

kelompok dan lain sebagainya secara tertutup.

Beberapa kajian terdahulu di atas membahas mengenai makna

masjid secara khusus yaitu masjid yang digunakan oleh umat islam

sebagai tempat salat dengan berbagai macam pendekatan, sosial,

hermeneutika, dan tafsir. Sedangkan tema penelitian penulis adalah makna

masjid secara umum yaitu houses of worship berdasarkan makna generik

dari kata masjid itu sendiri dengan fokus pembahasan pada ayat-ayat

masjid dalam tafsir Muhammad Asad.

G. Metodologi Penelitian

Metode penelitian adalah suatu hal terpenting bagi seseorang yang

melakukan peneliti guna mencapai sebuah tujuan serta dapat menemukan

sebuah jawaban dari masalah penelitian.

1. Jenis Penelitian

14

Agung Dzikri, “Aplikasi Teori Double Movement Tentang Studi Masjid Dhirar:

QS at-Taubah 107-110” ( Skripsi S1., Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati

Bandung, 2019).

02

Penelitian ini adalah kualitatif yang juga dikenal dengan penelitian

kepustakaan atau library research yaitu penelitian yang

dilaksanakan berdasarkan literatur, baik berupa buku, catatan, atau

berupa laporan hasil dari kajian terdahulu yang relevan yang

berkaitan dengan tema pembahasan penelitian.15

2. Sumber Data

a. Data Primer

Sumber data primer merupakan sumber data pokok yang diperoleh

langsung dari subjek penelitian sebagai sumber utama dalam

penelitian ini. Adapun data primer dalam penelitian ini adalah al-

Qur'an dan Tafsir The Message of The Qur'an karya Muhammad

Asad serta pendapat-pendapat mufasir lain yang satu frekuensi

dengan Muhammad Asad.

b. Data Sekunder

Data sekunder merupakan data pendukung yang berkaitan dengan

penelitian ini. Data pendukung dalam penelitian ini adalah, Tafsῑr

al-Manᾱr karya Rasyῑd Riḍᾱ, Tafsῑr al-Jᾱmi‟ li Aḥkᾱm al-Qur‟ᾱn

karya al-Qurṭubῑ, Mafᾱtiḥ al-Gaib karya Fakhr al-Dῑn al-Rᾱzῑ,

Tafsῑr al-Ḥadῑs karya Muhammad „Izzah Darwazah, serta kitab

atau literatur-literatur lain baik itu berupa buku atau jurnal yang

berkaitan dengan tema penelitian ini.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data merupakan langkah utama bagi seorang

peneliti. Pengumpulan data dalam penelitian kepustakaan bisa

dilakukan dengan dokumentasi, yaitu mencari data mengenai hal-

15

Iqbal Hasan, Analisis Data Penelitian Dengan Statistik (Jakarta: Bumi Aksara

2008), 5.

03

hal atau variabel berupa catatan, buku, artikel, jurnal, dan

sebagainya.

Dari data primer dan sekunder di atas dikumpulkan kemudian

diuraikan untuk dianalisis dengan metode deskriptif-analisis, yaitu

mendeskripsikan suatu objek penelitian berdasarkan data-data yang

diperoleh.

4. Teknik Analisis Data

Teknik analisis dalam penelitian ini memakai metode interpretasi

atau tafsir teks, yaitu metode penafsiran dengan menggunakan

ayat-ayat al-Qur‟an, kemudian mengidentifikasi, mengurutkan, dan

mengelompokkan ayat-ayat al-Qur‟an yang berkaitan dengan

masjid.

Adapun metode interpretasi yang digunakan adalah metode

tematik. al-Farmawi mengartikan metode tematik, yaitu

menghimpun ayat-ayat yang mempunyai maksud yang sama atau

membicarakan topik permasalahan yang sama. Setelah itu ayat-

ayat disusun berdasarkan kronologis serta sebab turunnya,

kemudian dijelaskan untuk mengambil kesimpulan16

5. Teknik Penulisan

Teknik penulisan dalam menyusun skripsi ini berdasarkan pada

Pedoman Penulisan Karya Ilmiah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Tahun 2017. Adapun dalam pengutipan ayat-ayat al-Qur‟an,

penulis menggunakan al-Qur‟an dan terjemah dari Kementrian

Agama RI edisi tahun 2019 kecuali dalam Bab IV penulis

menggunakan terjemahan dari Muhammad Asad.

16

al-Farmawi, Metode Tafsir Mauḍu‟i, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996),

36.

04

H. Sistematika Penulisan

Penelitian ini diawali dengan bab pendahuluan, yang memuat latar

belakang masalah sebagai tolak ukur untuk merumuskan dan membatasi

ruang lingkup kajian, kemudian diikuti dengan kajian pustaka dan

metodologi sebagai metode dalam mencari atau memecahkan masalah

penelitian dengan cara sistematis.

Agar penelitian ini terarah maka pada bab dua, penelitian menyusun

kerangka teori; mulai dari definisi serta akar kata tentang masjid, fungsi

dasar didirikannya masjid sampai pada fakta dan fungsinya di masa Nabi.

Karena dalam penelitian ini menggunakan pendekatan tokoh maka

pada bab tiga ini berisi biografi Muhammad Asad mulai dari lahir sampai

wafat serta berisi tentang tafsir The message of The Qur‟an dari mulai

latar belakang penulisan, metodologi dan corak penafsirannya.

Bab keempat, penulis merumuskan tentang sub-sub bahasan

mengenai ayat-ayat masjid dan tafsirnya perspektif Muhammad Asad.

Bab kelima yaitu penutup yang terdiri dari kesimpulan; sebagai

jawaban masalah pokok yang diajukan dan saran-saran sebagai

rekomendasi penelitian selanjutnya.

15

BAB II

KAJIAN UMUM MASJID DALAM AL-QUR’AN

A. Pengertian Masjid Dengan Berbagai Derivasinya

Kata masjid terulang sebanyak dua puluh delapan kali dalam al-

Qur‟an baik dalam bentuk mufrad maupun jamak. Dari segi bahasa kata

masjid berasal dari akar kata سجد يسجد سجودا yang artinya

menghambakan diri atau tunduk. Pengertian ini mencakup semua makhluk

Allah baik itu manusia, hewan-hewan, dan tumbuh-tumbuhan.1 Misal

dalam Qs. al-Raḥmᾱn/ 55: 6

وٱلنجم وٱلشجر يسجداف“ Dan tetumbuhan dan pepohonan itu tunduk kepada-Nya.”

كة وىم ل يستكبوف  وللو يسجد ما فی ٱلسمػ و لػ ى ت وما فی ٱألرض من دا بة وٱت

“Dan segala apa yang ada di langit dan di bumi hanya bersujud

kepada Allah yaitu semua makhluk yang bergerak (bernyawa) dan

juga( para malaikat, dan mereka (malaikat) tidak menyombongkan

diri.”

Dalam kedua ayat di atas, Allah menjelaskan bahwa semua makhluk

yang ada di langit dan di bumi tunduk kepada kekuasaan Allah dan

mereka bersujud kepada Allah dengan caranya masing-masing sesuai

dengan fitrahnya yang alami. Dari pengertian dan kedua ayat di atas dapat

disimpulkan bahwa kata sujud memiliki arti tunduk, patuh, serta taat

dengan penuh hormat dan takzim kepada Allah SWT.

Kata masjid merupakan bentuk isim makan (nama yang

menunjukkan tempat salat) yang diekspresikan dengan bersujud.

1 Rᾱgib al-Aṣfahᾱnī, Mufradāt fῑ Garῑb al-Qur'ān (Beirut: Dᾱr el-Ma'rifah, t.t),

223

06

Sementara kata masjid dalam bentuk jamak masᾱjid diartikan sebagai

bumi.2 Pengertian masjid dengan bumi ini merujuk pada ḥadῑṡ Nabi

Muhammad saw.:

ثػنا سيار ىو أبو اتكم، قاؿ: ثػنا ىشيم، قاؿ: حد د بن سناف، قاؿ: حد ثػنا تم حدثػنا جابر بن عبد اللو، قاؿ: ثػنا يزيد الفقري، قاؿ: حد صلى ا -قاؿ رسوؿ اللو حد

أعطيت تسا ل يػعطهن أحد من األنبياء قػبلي: نصرت بالرعب : »-عليو وسلم ا رجل من أمت أدركتو الصالة مسرية شهر، وجعلت ل األرض مسجدا وطهورا، وأی

عث إل قػومو -صلى اللو عليو وسلم -فػليصل، وأحلت ل الغنائم، وكاف النب يػبػ «"خاصة، وبعثت إل الناس كافة، وأعطيت الشفاعة

“Telah menceritakan kepada kami Muhammad Ibn Sinᾱn, dia

berkata telah menceritakan kepada kami Husyaim, berkata, telah

menceritakan kepada kami Sayyᾱr (Abủ al-Ḥakam) berkata, telah

menceritakan kepada kami Yazῑd al-Faqῑr berkata, telah

menceritakan kepada kami Jᾱbir Ibn Abdillᾱh berkata, Rasulullah

saw. bersabda: Aku diberi lima perkara yang tidak diberikan kepada

seorang-pun sebelumku; aku ditolong dengan diberikannya rasa

takut (kepada musuh) dalam perjalanan satu bulan (sebelum

bertemu), telah dijadikan untukku (dan untuk umatku) bumi sebagai

masjid dan sarana penyucian diri, maka barang siapa yang menemui

waktu ṣalat, maka ṣalatlah, dihalalkan untukku 'ganimah-ganimah',

dan semua Nabi itu diutus untuk kaumnya sendiri sedangkan aku

diutus untuk seluruh manusia, dan aku diberi (wewenang) untuk

memberikan syafa'at." (HR. Bukhari).3

Dalam ḥadῑṡ di atas Rasulullah mengaitkan makna masjid dengan

bumi. Dari penjelasan tersebut dapat dipahami bahwa masjid bukan hanya

tempat sujud umat Islam dan bukan hanya sarana penyucian, bukan hanya

bangunan tempat ṣalat dan bertayamum sebagai sarana bersuci pengganti

wuḍu tetapi kata masjid di sini berarti tempat segala aktivitas manusia

2 Rᾱgib al-Aṣfahᾱnī, Mufradāt fῑ Garῑb al-Qur'ān, 224.

3 Abῑ 'Abdillāh Ibn Muḥammad Ibn Ismᾱ‟ῑl al-Bukhᾱrī, Ṣaḥῑḥ al-Bukhᾱrī (Beirut:

Dᾱr Ibn Kaṡīr 2002), 118.

07

yang mencerminkan ketundukan, kepatuhan, serta ketaatan kepada Allah

Swt.4

Ḥadῑṡ di atas merupakan keistimewaan bagi umat Nabi Muhammad

saw. dijadikannya kepada beliau dan umatnya bumi sebagai tempat untuk

beribadah kepada Allah. Hal ini berbeda dengan umat sebelum Nabi

sebagaimana pandangan al-Qurṭubī, hadiṡ di atas adalah sebuah

kekhususan dari Allah kepada Nabi-Nya; yaitu Allah menjadikan bumi

sebagai tempat bersujud dan bersuci. Berbeda dengan umat sebelumnya,

mereka diperbolehkan bersujud di tempat yang telah ditentukan seperti di

gereja dan kapel-kapel.”5

Pendapat al-Qurṭubī ini memberikan pemahaman bahwa masjid

tidak identik dengan sebuah bangunan yang digunakan beribadah oleh

umat Islam tetapi juga merujuk kepada tempat ibadah agama lain. Hal ini

berdasarkan penafsiran Qs. al-Jin/ 72: 18 :

وأف المساجد للو فال تدعوا مع اللو أحدا“ Dan sesungguhnya masjid-masjid itu hanyalah untuk Allah, Maka

janganlah kamu menyembah apa pun di dalamnya selain Allah”.

Mayoritas kalangan Mufasir menafsirkan kata masᾱjid dalam ayat di

atas adalah tempat-tempat yang dibangun untuk beribadah dan mengingat

Allah termasuk di dalamnya kapel-kapel, gereja, dan masjid yang

digunakan oleh umat Islam. Namun, ahli kitab ketika melakukan

peribadatan di gereja-gereja mereka menyekutukan Allah. Oleh karena itu

4 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur'an: Tafsir Tematik atas Pelbagai

Persoalan Umat (Bandung: Mizan, 2012), 452 5 Muhammad Ibn „Abdillāh al-Zarkasyī, I‟lᾱm al-Sᾱjid fī Aḥkᾱm al-Masᾱjid

(Kairo: Ihyᾱ al-Turᾱṡ al-Islᾱmī 1996), 27.

08

ayat di atas memerintahkan kepada umat Islam untuk beribadah kepada

Allah dengan ikhlas dan tauhid.6

B. Tabel Ayat-ayat Masjid dalam al-Qur'an

Kata Masjid Nama Surat dan Ayat Jumlah

al-Isrᾱ : 7 1 سجد ٱت

al-„Arᾱf : 29, 31 2 جدمس

اجدمس

al-Taubah : 107 1

al-Kahfi : 21 1

al-Taubah : 108 1 جد مس

ـ سجد ٱت ٱترا

al-Baqarah : 144, 149, 150,

191, 196 dan

217

6

al-Mᾱidah : 2 1

al-Anfᾱl : 34 1

al-Taubah : 7, 19, 28 3

al-Isrᾱ : 1 1

al-Ḥaj : 25 1

al-Fatḥ : 25, 27 2

6 Fakhr al-Dῑn al-Rᾱzῑ, Mafᾱtiḥ al-Gaib, jilid 10, cet. I (Beirut: Dar al-Fikr 1981),

162.

09

د ٱلقصا al-Isrᾱ: 1 1 ٱلمسج

د ج ـ al-Ḥajj[22]: 40 1 مس

د ج ـ مس

al-Baqarah [2]: 114 1

al-Taubah[9]: 17, 18 2

د ج ـ ٱلمس

al-Baqarah [2]: 187 1

al-Jin 18 1

Jumlah - 28

C. Ayat-ayat Makkiyah dan Madaniyah tentang Masjid

a. Ayat-ayat Madaniyah

Qs. al-A‟rāf/ 7: 29

ين لو لصی وه ت ع وٱد مسجد كل عند وجوىكم وأقيموا بٱلقسط ربی أمر قل كما ٱلد تػعودوف بدأكم

"Katakanlah, Tuhanku menyuruhku berlaku adil. Hadapkanlah

wajahmu (kepada Allah) pada setiap salat, dan sembahlah Dia

dengan mengikhlaskan ibadah semata-mata hanya kepada-Nya.

Kamu akan dikembalikan kepada-Nya sebagaimana kamu

diciptakan semula "

QS. al-A‟rāf/ 7: 31

ـ خذوا سرفی یب ل ۥإنو تسرفػو ا ول وٱشربواوكلوا مسجد كل عند زينتكميػ بنی ءاد ٱت

" Wahai anak cucu Adam! Pakailah pakaianmu yang bagus pada

setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah tetapi jangan

berlebihan."

Qs. al-Jin/ 72: 18

21

اأحد ٱللو مع تدعوا فال للو سػ جد وأف ٱت

" Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah untuk Allah, maka

janganlah kamu menyembah apa pun di dalamnya selain Allah."

Qs. al-Isrā/ 17: 1

ليال ۦبعبده أسرى ٱلذی حػ ن سبـ سجد من ٱت سجد إل ٱترا

ۥحولو بػ ركنا ٱلذی ٱألقصا ٱت

بصري سميع ٱلٱل ىو ۥإنو ءايػ تنا من ۥلنريو " Maha suci Allah, yang telah mempertahankan hamba-Nya

(Muhammad) pada malam hari dari Masjid al-Ḥarᾱm ke Masjid Al-

Aqsᾱ yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan

kepadanya sebagian tanda-tanda (kebesaran) Kami."

Qs. al-Isrā/ 17: 7

اخرة وعد جا ء فإذا فػلها أسأت وإف ألنفسكم أحسنتم أحسنتمإف وجوىكمػ وا ليسػ ٱلػ سجد وليدخلوا

تتبريا علوا ماوليتبػروا مرة أوؿ دخلوه كما ٱت

" Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik untuk dirimu

sendiri. Dan jika kamu berbuat jahat, maka (kerugian kejahatan) itu,

untuk dirimu sendiri. Apabila datang saat hukuman (kejahatan) yang

kedua, (Kami bangkitkan musuhmu) untuk menyuramkan wajahmu

lalu mereka masuk ke dalam masjid (Masjid Al-Aqsᾱ) sebagaimana

mereka memasukinya pertama kali dan mereka membinasakan apa

saja yang mereka kuasai."

Qs. al-Kahfi/ 18: 21

يػتػنػ زعوف إذ فيها ب وأف ٱلساعة ل ري حق ٱللو وعد أف ليعلمو ا عليهم أعثرنا لك  وكذ أمرىم على غلبوا ٱلذين قاؿ بم أعلم ربػهم ابنيػ ن عليهم ٱبنوا فػقالوا أمرىم بينػهم

امسجد عليهم لنتخذف " Dan demikian (pula) kami perlihatkan (manusia) dengan mereka,

agar mereka tahu bahwa janji Allah benar bahwa kedatangan hari

kiamat tidak ada keraguan padanya. Ketika mereka berselisih

tentang urusan mereka maka mereka berkata, dirikanlah bangunan di

atas (gua) mereka, Tuhan mereka lebih mengetahui tentang mereka.

Orang yang berkuasa atas urusan mereka berkata; kami pasti akan

20

mendirikan rumah ibadah di atasnya."

b. Ayat-ayat Madaniyah tentang Masjid

Qs. al-Baqarah/ 2: 114

ك خرابا فی وسعى ۥٱتو فيها كر أف يذ ٱللو مسػ جد منع تن أظلم ومن تم كاف ما أولػ ىفی إل يدخلوىا أف نيا فی تم خا ى اخرة فیوتم خزی ٱلد عظيم عذاب ٱلػ

" Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang melarang di

dalam masjid-masjid Allah untuk menyebut nama-Nya dan berusaha

merobohkannya?"

Qs. al-Baqarah/ 2: 144

هاتر قبلة فػلنػوليػنك ٱلسما ء فی وجهك تػقلب نػرى قد سجد شطر وجهك فػوؿ ضىػ ٱت

ـ ٱتق أنو ليعلموف ٱلكتػ ب أوتوا ٱلذين وإف ۥ شطره وجوىكم فػولواث ما كنتم وحي ٱترام من يعملوف عما بغػ فل ٱللو وما رب

" Kami melihat wajahmu (Muhammad) sering menengadah ke

langit, maka akan Kami palingkan engkau ke kiblat yang engkau

senangi. Maka hadapkanlah wajahmu ke arah Masjid al-Ḥarᾱm. Dan

di mana saja engkau berada, hadapkanlah wajahmu ke arah itu. Dan

sesungguhnya orang-orang yang diberi al-Kitab (Taurat dan Injil)

tahu, bahwa (pemindahan kiblat) itu adalah kebenaran dari Tuhan

mereka. Dan Allah tidak lengah terhadap apa yang mereka

kerjakan."

Qs. al-Baqarah/ 2: 149

سجد ر ش وجهك فػوؿ خرجت حيث ومن ـ ٱت ٱللو وما ربك من للحق ۥوإنو ٱترا

ملوف بغػ فل عما تع" Dan dari mana pun engkau (Muhammad) keluar, hadapkanlah

wajahmu ke arah Masjid Al-Ḥarᾱm, sesungguhnya itu benar-benar

ketentuan dari Tuhanmu. Allah tidak lengah terhadap apa yang

kamu kerjakan."

Qs. al-Baqarah/ 2: 150

22

سجد شطر وجهك فػوؿ خرجت حيث ومنـ ٱت وجوىكم فػولوا كنتم ما وحيث ٱترا

وألت وٱخشونی تشوىم فال منهم ظلموا ٱلذين إل حجة كماس عليللن يكوف لئال ۥشطره تتدوف ولعلكم عليكم نعمتی

" Dan dari mana pun engkau (Muhammad) keluar, maka

hadapkanlah wajahmu ke arah Masjid Al-Ḥarᾱm. Dan di mana saja

engkau berada, maka hadapkanlah wajahmu ke arah itu, agar tidak

ada alasan bagi manusia (untuk menentangmu) kecuali orang-orang

yang zalim di antara mereka. Janganlah kamu takut kepada mereka,

tetapi takutlah kepada-Ku, agar Aku sempurnakan nikmat-Ku

kepadamu, dan agar kamu mendapat petunjuk."

Qs. al-Baqarah/ 2: 187

سػ جد فی عػ كفوف ول تػبػ شروىن وأنتم ٱت

" Tetapi jangan campuri mereka ketika kamu beri'tikaf dalam

masjid."

Qs. al-Baqarah/ 2: 191

ول قتل أشد من ٱل وٱلفتنة أخرجوكم حيث من وأخرجوىم توىم ثقف حيث تػلوىموٱقسجد عند تػقػ تلوىم

ـ ٱت جزا ء لك  كذ فٱقتػلوىم قػ تػلوكم فإف فيو يػقػ تلوكم حت ٱترا

ٱلكػ فرين " Dan bunuhlah mereka di mana kamu temui mereka, dan usirlah

mereka dari mana mereka telah mengusir kamu. Dan fitnah itu lebih

kejam daripada pembunuhan. Dan janganlah kamu perangi mereka

di Masjid al-Ḥarᾱm, kecuali mereka memerangi kamu di tempat itu.

Jika mereka memerangi kamu, maka perangilah mereka. Demikian

balasan bagi orang kafir."

Qs. al-Baqarah/ 2: 196

يبلغ حت رءوسكم تلقوا ول ٱتدی من ٱستيسر فما فإنأحصرت للو وٱلعمرة ٱتج وأتوا أونسك صدقة من صياـ أو ففدية ۦسو ى من رأأذ ۦأوبو مريضا منكم كاف فمن ۥ تلو ٱتدی

ـ ید ل فمن ٱتدی من ٱستيسر فما ٱتج إل بٱلعمرة تتع فمن فإذا أمنتم ثػلػ ثة فصيا

23

حاضری ۥأىلو يكن ن ل لم لك  ذ كاملةعشرة تلك رجعتم إذا وسبعة ج فی ٱت أياـسجد

ـ ٱت ٱلعقاب شديد ٱللو أف وٱعلمو ا وٱتػقواٱللو ٱترا

" Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah. Tetapi

jika kamu terkepung (oleh musuh), maka sembelihlah hadyu yang

mudah didapat, dan jangan kamu mencukur kepalamu sebelum

hadyu sampai di tempat penyembelihannya. Jika ada di antara kamu

yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu dia bercukur), maka

dia wajib berfidyah yaitu berpuasa, bersedekah, atau berkurban.

Apabila kamu dalam keadaan aman, maka barang siapa mengerjakan

umrah sebelum haji dia wajib menyembelih hadyu yang mudah

didapat. Tetapi jika dia mendapatkannya, maka dia wajib berpuasa

tiga hari setelah kamu kembali. Itu seluruhnya sepuluh hari.

Demikian itu, bagi orang yang keluarganya tidak ada (tinggal) di

Masjid al-Ḥarᾱm. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa

Allah sangat keras hukuman-Nya."

Qs. al-Baqarah/ 2: 217

ـ ٱلشهر عن ػ لونك يس ۦبو ر وصد عن سبيل ٱللو وكف فيو كبري قتاؿ قل فيو قتاؿ ٱتراسجد

ـ وٱت ٱلقتل من أكبػر وٱلفتنة ٱللو عند أكبػر منو ۦأىلو وإخراج ٱترا

" Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang berperang pada

bulan haram. Katakanlah, berperang pada bulan itu adalah (dosa)

besar. Tetapi menghalangi orang dari jalan Allah, ingkar kepada-

Nya, (menghalangi orang masuk) Masjid al-Ḥarᾱm, dan mengusir

penduduk dari sekitarnya, lebih besar dosanya dalam pandangan

Allah. Sedangkan fitnah lebih kejam daripada pembunuhan."

Qs. al-Mā'idah/ 5: 2

ول یرمنكم شنآف قػوـ أف صدوكم عن المسجد اتراـ أف تػعتدوا " Jangan sampai kebencianmu kepada suatu kaum karena mereka

menghalang-halangi kamu dari Masjid al-Ḥarᾱm, mendorongmu

berbuat melampaui batas (kepada mereka)."

Qs. al-Anfāl/ 8: 34

بػهم أل وما تم سجد عن يصدوف وىم ٱللو يػعذـ ٱت إل ۥأوليا ؤه إف ۥ أوليا ءه كانػو ا وما ٱترا

24

تػقوف يعلموف أكثػرهال ولػ كن ٱت

" Dan mengapa Allah tidak menghukum mereka padahal mereka

menghalang-halangi orang untuk mendatangi Masjid al-Ḥarᾱm dan

mereka bukanlah orang yang berhak menguasainya."

Qs. al-Ḥajj/ 22: 25

وٱ ٱللو سبيل عن ويصدوف إف ٱلذين كفرواـ سجد ت ٱلعػ كف سوا ء للناس جعلنػ و ٱلذی ٱترا

أليم عذاب من و نذق بظلم بإتاد فيو يرد ومن وٱلباد فيو " Sungguh orang-orang kafir dan menghalangi (manusia) dari jalan

Allah dan Masjid al-Ḥarᾱm yang telah Kami jadikan terbuka untuk

semua manusia, baik yang mukim di sana maupun yang datang dari

luar…"

Qs. al-Ḥajj/ 22: 40

يها ف كر ومسػ جد يذ ت  وصلو وبيع صومع تدمت ببعض بعضهم ٱلناس ٱللو دفع ل ولو عزيز لقوی ٱللو إف ۥ ينصره من ٱللو ولينصرف اكثري ٱللو م ٱس

" Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian manusia

dengan sebagian yang lain, tentu telah dirobohkan biara-biara

Nasrani, gereja-gereja, dan masjid-masjid yang di dalamnya banyak

disebut nama Allah."

Qs. al-Fatḥ/ 48: 25

سجد عن وصدوكم ىم ٱلذين كفرواـ ٱت ۥ تلو يبلغ أف معكوفا وٱتدی ٱترا

" Mereka orang-orang kafir yang menghalang-halangi kamu (masuk)

Masjid al-Ḥarᾱm dan menghambat hewan-hewan kurban sampai ke

tempat (penyembelihannya)."

Qs. al-Fatḥ/ 48: 27

سجد لتدخلن بٱتق ٱلرءيا رسولو ٱللو صدؽ لقدـ ٱت تلقی ءامنی ٱللو شا ء إف ٱترا

ا قريبافتح لك  ذ دوف من فجعل تعلموا ل ما فػعلم تافوف ل ومقصرين سكمرءو " Sungguh Allah akan membuktikan kepada Rasul-Nya tentang

kebenaran mimpinya bahwa kamu pasti akan memasuki Masjid al-

25

Ḥarᾱm jika Allah menghendaki dalam keadaan aman, dengan

menggundul rambut kepala dan memendekkannya, sedangkan kamu

tidak merasa takut."

Qs. al-Taubah/ 9: 7

عند ٱلذين إل ۦرسولو وعند ٱللو عند عهد للمشركی يكوف ف كي سجد عػ هدتـ ٱت ٱت را

تقی یب ٱللو إف تم فٱستقيموا لكم ٱستػقػ موا فما ٱت

" Bagaimana mungkin ada perjanjian (aman) di sisi Allah dan Rasul-

Nya dengan orang-orang musyrik kecuali dengan orang-orang yang

kamu telah mengadakan perjanjian (dengan mereka) di dekat Masjid

al-Ḥarᾱm (Hudaibiyah)."

Qs. al-Taubah/ 9: 17

ك بٱلكفر أنفسهم على شػ هدين ٱللو مسػ جد يعمروا أف مشركی ما كاف لل حبطت أولػ ى

ػ لدوف خ ىم ٱلنار وفی أعمػ لهم"Tidaklah pantas orang-orang musyrik memakmurkan masjid Allah,

padahal mereka mengakui bahwa mereka sendiri kafir."

Qs. al-Taubah/ 9: 18

ا يع ـ ٱلػ اخر وٱليوـ بٱللو ءامن من ٱللو مسػ جد مر إن ة وأقا ة ول ٱلصلو إل یش وءاتى ٱلزكو ك فػعسى ٱللو هتدين من يكونوا أف أولػ ى

ٱت

" Sesungguhnya yang memakmurkan masjid Allah hanyalah orang-

orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap

melaksanakan salat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada apa

pun) kecuali pada Allah."

Qs. al-Taubah/ 9: 19

سجد وعمارة ٱتا ج سقاية تمأجعلـ ٱت سبيل فی وجػ هد ٱلػ اخر وٱليوـ بٱللو ءامن كمن ٱترا

ٱللو " Apakah orang-orang yang memberi minum kepada orang-orang

26

yang mengerjakan haji dan mengurus Masjid al-Ḥarᾱm kamu

samakan dengan orang yang beriman kepada Allah dan hari

kemudian serta berjihad di jalan Allah?"

Qs. al-Taubah/ 9: 28

ا يػ أيػها ٱلذين ءامنػو ا شركوف إنسجد ربوافال يق تس ٱت

ـ ٱت ىػ ذا عامهم بعد ٱترا

" Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya orang-orang

musyrik itu najis (kotor jiwanya), karena itu janganlah mereka

mendekati Masjid al-Ḥarᾱm setelah tahun ini."

Qs. al-Taubah/ 9: 107

ؤمنی بی ا ريق ا وتفر ا ضرارا وكفمسجد وٱلذين ٱتذوا ۥورسولو ٱللو حارب ا لمنوإرصاد ٱت

لكػ ذبوف إنػهم هد و يشوٱلل ٱتسن إل إنأردنا وليحلفن قبل من" Dan (di antara orang-orang munafik itu) ada yang mendirikan

masjid untuk menimbulkan bencana (pada orang-orang beriman),

untuk kekafiran dan memecah belah di antara orang-orang yang

beriman serta menunggu kedatangan orang-orang yang telah

memerangi Allah dan Rasul-Nya sejak dahulu. Mereka dengan pasti

bersumpah, kami hanya menghendaki kebaikan. Dan Allah menjadi

saksi bahwa mereka itu pendusta."

Qs. al-Taubah/ 9: 108

رجاؿ فيو فيو تػقوـ أف أحق يوـ أوؿ من ٱلتقوى على أسس لمسجد اأبد فيو ل تػقمطهرين یب وٱللو یبوف أف يػتطهروا

ٱت" Janganlah engkau melaksanakan salat di masjid itu selama-

lamanya. Sungguh masjid yang didirikan atas dasar takwa sejak hari

pertama adalah lebih pantas engkau melaksanakan salat di

dalamnya. Di dalamnya ada orang-orang yang ingin membersihkan

diri. Allah menyukai orang-orang yang bersih."

D. Asbabun Nuzul

Qs. al-A‟rāf/ 7: 31

Ayat ini turun berkenaan dengan tradisi bangsa Arab pra-Islam

27

dalam melakukan tawaf di Ka'bah yang dilakukan dengan tidak

menggunakan pakaian kecuali kaum Quraisy dan keturunannya.

Masyarakat Arab jahiliyah berkeyakinan bahwa pakaian mereka kotor

sedangkan pakaian kaum Quraisy dan keturunannya suci. Hal ini menjadi

tradisi ibadah haji mereka sampai Allah menurunkan Surah al-A‟rāf ayat

31.7

Imām Nawawῑ mengatakan, masyarakat Arab jahiliah bertawaf

dengan telanjang. Mereka menanggalkan pakaian, melemparkannya, dan

membiarkannya terinjak-injak sampai warnanya memudar. Tradisi ini

berlangsung hingga Islam datang dan Allah memerintahkan untuk

menutup aurat melalui Qs. al-A‟rāf/ 7: 31 dan sabda Rasulullah saw. "

Jangan sampai ada lagi orang melakukan tawaf dengan telanjang di

Ka'bah.".8

Qs. al-Jin/ 72: 18

Ada dua pendapat mengenai latar belakang turunnya ayat ini:

نأت أف لنا كيف : ملسو هيلع هللا ىلصقالت اتن للنب »وأخرج ابن جرير عن سعيد بن جبػري قاؿ: سجد

ساجد و الصالة نشهد كيف أو عنك ناؤوف وتن ات

تن ناؤوف عنك فػنػزلت ﴿وأف ات

« .للو﴾ اآلية " Pertama dari Sa'īd Ibn Jubair ayat ini berkaitan dengan pertanyaan

jin, mereka berkata kepada Nabi, bagaimana mungkin kami datang

ke masjid ini sementara kami dan bagaimana kami menyaksikan

(salat bersama tuan) sementara kami jauh dari kamu." Kemudian

ayat ini turun."9

Kedua riwayat dari Ibn Munzir dari Ibn Juraij, bahwa Qs. al-Jin/ 72:

7 Mannᾱ' al-Qaṭṭᾱn, Tārīkh al-Tasyrῑ' al-Islᾱmῑ al-Tasyrῑ' wa al-Fiqhi (Riyad:

Maktabah al-Ma'ārif 2012), 149. 8 Abủ Zakariyᾱ Muhyi al-Dῑn al-Nawawῑ, al-Minhᾱj bi Syarḥi Ṣaḥīḥ Muslim Ibn

al-Hajjᾱj, jilid 9, cet. 2 (Kairo: Dᾱr al-Hadīṡ 2001), 387. 9 Jalᾱl al-Dīn al-Suyūtī, al-Durr al-Mansūr fī Tafsīr al-Ma'sūr, jilid 8, cet. 2

(Beirut: Dᾱr al-Fikr 2011), 306.

28

18 turun berkenaan dengan orang-orang musyrik.

ساجد للو﴾ اآلية. قاؿ: إف اليػهود نذر عن ابن جريج ف قػولو: ﴿وأف ات

وأخرج ابن ات

م فأمرىم أف يػوحدوه والنصار .ى إذا دخلوا بيػعهم وكنائسهم أشركوا برب

" Sesungguhnya orang Yahudi dan Nasrani ketika mereka masuk

gereja-gereja mereka, mereka menyekutukan Tuhan mereka.

Kemudian ayat ini turun memerintahkan mereka untuk menyucikan

Tuhannya."10

Qs. al-Baqarah/ 2: 114

Wahbah al-Zuhailī mengutip dua riwayat dari Ibn Abbᾱs berkenaan

dengan sebab turunnya ayat ini:11

Dari jalur periwayatan al-Kalbī, ayat ini turun berkenaan dengan

Titus Rum, mereka memerangi dan membunuh Bani Israil, mereka

merusak Taurat, menghancurkan Bait al-Maqdis.

Dari jalur periwayatan „Aṭᾱ‟i dari Ibn Abbās berpendapat bahwa

ayat ini turun berkenaan dengan orang musyrik Arab yang melarang umat

Islam menyebut nama Allah di Masjid al-Ḥarᾱm. memasuki kota Mekah

untuk melaksanakan ibadah umrah. Sementara itu, dari riwayat Ibn Jarῑr

dari Abî Zaid ayat ini (Qs. al-Baqarah/ 2: 114) berkenaan dengan orang-

orang musyrik yang menghalang-halangi Rasulullah untuk memasuki kota

Makkah pada hari Hudaibiyah.

Dari beberapa riwayat di atas mengenai sebab turunnya Qs. al-

Baqarah/ 2: 114 yang menjadi pedoman pengambilan hukum ada pada

keumuman lafaz, sebagaimana dalam teori asbabun nuzul: "al-„Ibrah bi

„umủm al-lafzi lᾱ bi khusủs al-sabab “ yang diambil sebagai pedoman

10

Jalᾱl al-Dῑn al-Suyủṭῑ, al-Durr al-Mansūr, 306. 11

Wahbah al-Zuhailῑ, Tafsῑr al-Munῑr, jilid 1, cet. 2 ( Beirut: Dᾱr al-Fikr, 1418

H), 279.

29

suatu hukum itu berdasarkan keumunan lafaz bukan ketentuan sebab.”12

Qs. al-Baqarah/ 2: 144,149, dan 150

قدس تانية تو ملسو هيلع هللا ىلصصلينا مع رسوؿ اللو »أخرج ابن ماجو، عن الباء قاؿ: بػيت ات

دينة بشهرين، وكاف رسوؿ اللو لة إل الكعبة بػعد دخولو ات عشر شهرا، وصرفت القبػ

قدس بػيت إل صلى إذا ملسو هيلع هللا ىلص نبيو قػلب من اللو وعلم السماء، ف وجهو تػقلب أكثػر ات

بػی يصعد وىو بصره يػتبعو ملسو هيلع هللا ىلصأنو يػهوى الكعبة، فصعد جبيل، فجعل رسوؿ اللو السماء﴾ ف وجهك تػقلب نرى ﴿قد : اللو فأنػزؿ بو، يأتيو ما يػنظر واألرض، السماء

" Ibn Mājah dari al-Barā berkata: kamu salat bersama Nabi

menghadap Bait al-Maqdis selama 18 bulan, kemudian

diperintahkan untuk menghadap Ka'bah setelah memasuki kota

Madinah. Ketika Rasulullah saw. salat menghadap Baitul Maqdis,

beliau sering menengadahkan wajahnya ke langit dan Allah

mengetahui hati Nabi bahwa beliau sangat mencintai (menghadap)

ke Ka'bah. Kemudian Jibril naik dan beliau melihat Jibril naik di

antara langit dan bumi dan Nabi memperhatikan apa yang dibawa

oleh Jibril. Dan Allah menurunkan ayat di atas."

Pemindahan arah kiblat ini terjadi bersamaan dengan tahun

disyariatkannya puasa Ramadhan yaitu tahun kedua Hijriah. Namun para

ulama berbeda pendapat mengenai rincian waktu pemindahan arah kiblat.

Ibnu Ishaq meriwayatkan bahwa pemindahan arah kiblat terjadi 18 bulan

pasca hijrah, sementara al-Qatᾱdah meyakininya terjadi 16 bulan pasca-

hijrah.13

Qs. al-Baqarah/ 2: 187

Terdapat beberapa riwayat terkait sebab turunnya ayat ini, di

antaranya sebagai berikut:

، عن ابن عباس ف قػولو: ﴿ول تباشروىن﴾ اآلية. قاؿ: وأخرج ابن جرير، وابن أب حات

12

Jalᾱl al-Dῑn al-Suyủṭῑ, al-Itqᾱn fῑ Ulủm al-Qur‟ᾱn, cet. 7 (Beirut: Dᾱr al-Kutub

al-Islamiyah, 2019), 50. 13

Abủ Ja'far Ibn Jarîr al-Ṭabarῑ, Tārῑkh al-Umam wa al-Mulūk, jilid 2, cet. 1

(Beirut: Dᾱr al-Kutub al-Ilmiyah 2011), 18.

31

سجد ف رمضاف أو غري رمضاف، فحرـ اللو عليو أف يػنكح ىذا ف الرجل يػعتكف ف ات

.حت يػقضي اعتكافو النساء ليال ونارا،

" Dari Ibn Jarῑr dan Ibn Abῑ Hātim dari Ibn Abbās ayat (وال تباشرهن)

di atas berkaitan dengan seorang laki-laki yang beritikaf di masjid

pada bulan Ramadhan dan bulan lainnya. Kemudian Allah

mengharamkan kepadanya untuk menikah (jima') istri-istrinya baik

di waktu malam atau siang sampai dia menyelesaikan itikafnya."14

نذر، عن الضحاؾ قاؿ: كانوا یامعوف وأخرج وكيع، وابن أب شيبة، وابن جرير، وابن ات

ساجد﴾وىم معتكفوف، حت نػزلت: ﴿ول تباشر وىن وأنػتم عاكفوف ف ات

" Wakī‟ dan Ibn Abῑ Syaibah, dan Ibn Jarīr, dan Ibn Munzir dari al-

Daḥḥāk berkata, mereka (orang-orang) menjimak istri- mereka

padahal mereka dalam keadaan beritikaf. Kemudian Allah

menurunkan ayat di atas."15

Qs. al-Baqarah/ 2: 217

Ayat ini turun berkenaan dengan perang di bulan haram

sebagaimana hukum bangsa Arab yang tidak memperbolehkan seseorang

untuk berperang di bulan haram.

، والطبان، والبػ نذر، وابن أب حاتهقي ف أخرج ابن جرير، وابن ات ، بسند “سننو ”يػ

أبا عليهم وبػعث رىطا، بػعث أنو » ،ملسو هيلع هللا ىلصصحيح، عن جندب بن عبد اللو، عن النب اللو رسوؿ إل صبابة بكى ليػنطلق ذىب فػلما اتارث، بن عبػيدة أو اتراح، بن عبػيدة و بن جحش، وكتب لو كتابا، وأمره أل يػقرأ الكتاب الل عبد مكانو وبػعث فجلس ،ملسو هيلع هللا ىلص

لغ مكاف كذا وكذا، وقاؿ: سري معك ”حت يػبػ“ . ل تكرىن أحدا من أصحابك على ات

وقاؿ: تعا وطاعة للو ولرسولو، فخبػرىم اتبػر، وقػرأ عليهم فػلما قػرأ الكتاب استػرجع الكتاب، فػرجع رجالف، ومضى بقيتػهم، فػلقوا ابن اتضرمي فػقتػلوه، ول يدروا أف ذلك

شرك ؟! فأنػزؿ اللو: اليػوـ من رجب أو تادى، فقاؿ ات وف للمسلمی: قػتػلتم ف الشهر اتراـ

14

Jalᾱl al-Dῑn al-Suyūtī, al-Durr al-Mansūr fī Tafsīr al-Ma'sūr, 485. 15

Jalᾱl al-Dῑn al-Suyūtī, al-Durr al-Mansūr fī Tafsīr al-Ma'sūr, 486.

30

﴿يسألونك عن الشهر اتراـ قتاؿ فيو﴾" Ibn Jarῑr dan Ibn Munzir, dan Ibn Abῑ Hātim, dan al-Ṭabrānῑ, dan

al-Baihaqî meriwayatkan sebuah hadis dalam kitab hadisnya dari

Jundub Ibn „Abdillāh dari Nabi saw. bahwa Nabi mengutus

sekelompok orang di antaranya adalah Abā 'Ubaidah Ibn Jarāh atau

'Ubaidah Ibn Hāriṡ, ketika mereka hendak pergi seorang sahabat

mengusulkan kepada Nabi untuk membentuk sebuah pasukan

khusus, kemudian Nabi memerintahkan „Abdullāh Ibn Jahāsy untuk

memimpin pasukan khusus itu dan memberinya sebuah surat. Nabi

memerintahkan „Abdullāh Ibn Jahāsy untuk tidak membaca surat itu

sebelum dia sampai di sebuah tempat dan Nabi di dalam surat itu

berpesan pada „Abdullāh Ibn Jahāsy untuk tidak memaksakan

pengikutnya untuk melanjutkan perjalanan bersamanya. Namun para

pengikutnya memutuskan untuk mematuhi perintah Allah dan

Rasulnya. Setelah mereka sampai di tempat yang ditunjukkan Nabi

di surat itu, mereka bertemu dengan Ibn Hadramῑ dan mereka

membunuhnya tanpa mereka sadari bahwa ini adalah bulan haram

(Rajab atau Jumadil). Orang-orang musyrik berkata kepada kaum

Muslim, kalian membunuh di bulan haram. Kemudian turunlah ayat

di atas."16

Qs. al-Mā'idah/ 5: 2

، عن زيد بن أسلم قاؿ: وأصحابو باتديبية ملسو هيلع هللا ىلصكاف رسوؿ اللو »وأخرج ابن أب حاتىم حی شركوف صد

شركی من أناس بم فمر عليهم، ذلك اشتد وقد البػيت، عن ات

من ات

شرؽ أىل نا نص : ملسو هيلع هللا ىلص النب أصحاب فقاؿ العمرة، يريدوف ات د ىؤلء كما صد

«أصحابنا، فأنػزؿ اللو: ﴿ول یرمنكم﴾ اآلية " Ibn Abῑ Hātim dari Zaid Ibn Aslam berkata: ketika Rasulullah saw.

dan para sahabatnya berada di Hudaibiyah mereka di cegah oleh

orang-orang musyrik untuk masuk ke Mekah. Hal ini membuat para

sahabat emosi. Ketika orang-orang musyrik dari timur bermaksud

untuk melaksanakan umrah sahabat Nabi berkata: kami akan

mencegah mereka sebagaimana mereka mencegah kami. Kemudian

Allah menurunkan ayat ( ول یزمنكم)."17

16

Jalᾱl al-Dῑn al-Suyūtī, al-Durr al-Mansūr fī Tafsīr al-Ma'sūr, 600. 17

Jalᾱl al-Dῑn al-Suyūtī, al-Durr al-Mansūr fī Tafsīr al-Ma'sūr, jilid 3, cet. 2

(Beirut: Dᾱr al-Fikr 2011), 9.

32

Qs. al-Fatḥ/ 48: 27

هقي ف نذر، والبػيػعن تاىد “ الدلئل ”أخرج الفرياب، وعبد بن تيد، وابن جرير، وابن ات

تلقی آمنی وأصحابو ىو مكة يدخل أنو باتديبية وىو ملسو هيلع هللا ىلصأري رسوؿ اللو »قاؿ: رين، فػلما تر اتدي باتديبية قاؿ لو أصحابو: أين رؤياؾ يا رسوؿ اللو؟ وسهم ومقص رء

فأنػزؿ اللو ﴿لقد صدؽ اللو رسولو الرؤيا باتق﴾ إل قػولو: ﴿فجعل من دوف ذلك فػتحا قبلة قريبا﴾ فػرجعوا فػفتح

«وا خيبػر ث اعتمر بػعد ذلك فكاف تصديق رؤياه ف السنة ات

" Dari Mujāhid berkata, bahwa Rasulullah saw. menceritakan

mimpinya kepada para sahabat, bahwa Nabi dan sahabatnya akan

masuk ke Mekah dalam keadaan aman, dengan menggundul rambut

kepala dan memendekkannya. Tetapi ketika mereka sampai di

Hudaibiyah (mereka dihadang oleh kaum Quraisy sebagaimana

diceritakan dalam Qs. al-Fatḥ/ 48: 25 dan Qs. al-Ḥajj/ 22: 25) para

sahabat bertanya kepada Nabi, di mana (kebenaran) mimpimu ya

Rasulullah? Maka Allah menurunkan ayat ( لقد صدؽ ا رسولو الرؤيا(.افجعل من دوف ذلك فتحا قريب sampai ayat ( باتق ) Setelah itu mereka

kembali dan kebenaran mimpi Nabi terbukti di tahun yang akan

datang (tahun 7 H).18

Qs. al-Taubah/ 9: 107 dan 108

ف قػولو: ﴿والذين اتذوا مسجدا ضرارا﴾ قاؿ: ىم أناس من األنصار »عن ابن عباس ابػتػنػوا مسجدا، فقاؿ تم أبو عامر: ابػنوا مسجدكم، واستمدوا با استطعتم من قػوة

، فأخرج تمدا وأصحابو. وسالح، فإن ذاىب إل قػيصر ، فآت بند من الروـ ملك الروـ أف فػنحب مسجدنا، بناء من فػرغنا قد : فقالوا ملسو هيلع هللا ىلصفػلما فػرغوا من مسجدىم أتػوا النب

كة. فأنػزؿ اللو: ﴿ل تػقم فيو أبدا﴾ بالبػر وتدعو فيو، تصلي

E. FUNGSI DASAR DIDIRIKAN MASJID DALAM AL-QUR’ӐN

18

Jalᾱl al-Dῑn al-Suyūtī, al-Durr al-Mansūr fī Tafsīr al-Ma'sūr, jilid 7, cet. 2

(Beirut: Dᾱr al-Fikr 2011), 538.

33

a. Masjid Sebagai Rumah Tauhid Pertama

Qs. Āli 'Imrān/ 3 :96

ی ببكة مباركا وىدى للعػ لم یوضع للناس للذ تيإف أوؿ ب “sesungguhnya rumah (ibadah) pertama yang dibangun untuk

manusia, ialah (Baitullᾱh) yang di Bakkah (Makkah) yang diberkahi

dan menjadi petunjuk bagi seluruh alam.”

Qs. al-Baqarah/ 2 :125

ذواوٱ وأمنا للناس مثابة ت بيلٱ جعلناوإذ مصلى ىػم  ر من مقاـ إب تىػم  إبر إل وعهدنا ف ی ت يأف طهرا ب ل وإتػ عي لسجودٱ لركع ٱو عػ كفی لٱو ی للطا ى

“ Dan (ingatlah), ketika Kami menjadikan bait (Ka‟bah) tempat

berkumpul dan tempat yang aman bagi manusia. Dan jadikanlah

maqam Ibrᾱhῑm itu tempat salat. Dan telah Kami perintahkan

kepada Ibrᾱhῑm dan Ismᾱ‟ῑl, “Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-

orang yang tawaf, orang yang itikaf, orang yang ruku‟ dan orang

yang sujud”.

Kedua ayat di atas menjelaskan bahwa Makkah (Ka‟bah) adalah

rumah ibadah pertama yang dibangun di atas landasan ketauhian dan

sebagai pusat rumah peribadatan untuk beribadah kepada Allah yang

Maha Esa.

ووصينا وأمرنا ابراىيم واتاعيل أف طهرا البيت من األوثاف والكفار النجاسات واتبائث من اجل الطواؼ الطائفی بو واتقيمی ف اتساجد لعبادة واتصلی فيو

راكعی ساجدين“Telah Kami wasiatkan dan perintahkan kepada Ibrāhīm dan Ismā‟īl,

untuk menyucikan rumah-Ku dari berhala-berhala, dari berbagai

bentuk kemusyrikan, najis, dan kotoran-kotoran untuk orang-orang

yang tawaf, orang-orang yang itikaf, dan orang-orang salat yang

selalu melakukan ruku dan sujud sebagai bentuk penghambaan diri

kepada Allah Swt.”19

Namun terjadi perbedaan pendapat di kalangan mufasir mengenai

masa berdirinya rumah ibadah (Ka‟bah) ini. Sebagian berpendapat bahwa

19

Wahbah al-Zuhailī, Tafsῑr al-Wajῑz (Damsyik: Dᾱr-al-Fikr, t.t.), 20.

34

pendiri rumah ibadah (Ka‟bah) ini adalah Ibrᾱhῑm dan Ismᾱ‟ῑl dengan

arsiteknya yaitu Malaikat Jibril. Sementara itu, pendapat lain mengatakan

bahwa Ka‟bah ini sudah ada sejak zaman Nabi Adam. Pendapat yang

kedua ini lebih mendekati pada kebenaran.20

Dari pendapat kedua di atas menunjukkan bahwa salat disyariatkan

kepada agama semua para nabi, mereka bersujud kepada Allah Swt. dan

Kiblat para nabi terdahulu itu adalah Ka‟bah dengan dalil Qs. Maryam/

19: 58.21

ومن ذرية ـ وتن تلنا مع نػوح و عليهم من النبی من ذرية ا د ك الذين انػعم الل اول ىل ى عليهم ا ي ت الرت ن خروا سجدا اذا تػتػ نا وتن ىد يػنا واجتبػيػ ابػر ىيم واسرا ءيل وبكيا ۩

“ Mereka itulah orang yang telah diberi nikmat oleh Allah, yaitu

dari (golongan) para nabi dari keturunan Adam, dan dari orang yang

Kami bawa (dalam kapal) bersama Nūh, dan dari keturunan Ibrᾱhῑm

dan Isrāil (Ya‟kūb) dan dari yang telah Kami beri petunjuk dan telah

Kami pilih. Apabila dibacakan ayat-ayat Allah Yang Maha Pengasih

kepada mereka, maka mereka tunduk, sujud, dan menangis.”

Yang dimaksud dengan keturunan Adam adalah Idrīs, yang

dimaksud keturunan (orang-orang yang Kami angkat bersama Nūh) adalah

Ibrᾱhῑm, dan yang dimaksud keturunan Ibrᾱhῑm adalah Isḥᾱk, Ya‟kūb,

dan Ismᾱ‟ῑl, sedangkan yang dimaksud keturunan Isrāῑl (Ya‟kūb) ialah

Mūsā, Hārūn, Zakariyᾱ, Yaḥyā, dan 'Īsᾱ putra Maryam.22

Dari ayat di atas dapat dilihat bahwa agama-agama terdahulu

terutama Yahudi, Kristen, dan Islam yang dibawa oleh Mūsā, „Īsā dan

Muhammad saw. merupakan satu kesatuan. Sejarah juga menunjukkan

20

Fakhr al-Dῑn al-Rᾱzῑ, Mafᾱtiḥ al-Gaib, 157. 21

Fakhr al-Dῑn al-Rᾱzῑ, Mafᾱtiḥ al-Gaib, 157. 22

Abủ Ja‟far Muhammad Ibn Jarῑr al-Ṭabarī, Tafsῑr al-Ṭabarī, jilid 15, cet. I

(Kairo: Dᾱr al-Ḥajar 2001), 565.

35

bahwa ketiga agama itu memang mempunyai asal yang satu. Hal ini lebih

ditegaskan dalam Qs. Ᾱli „Imrᾱn/ 3 :84:

و وما نا انزؿ قل ا منا بالل ق ويػعقوب و ابػر ىيم عل ى انزؿ وما عليػ ات عيل واسح ى اوت والسباط وما ى موس م من والنبيػوف وعيس هم احد بػی نػفرؽ ل رب منػ

مسلموف لو وتن

“ Katakanlah (Muhammad), Kami beriman kepada Allah dan

kepada apa yang diturunkan kepada kami, kepada apa yang

diturunkan kepada Ibrāhīm, Ismā‟īl, Ishāk, Ya‟kūb dan anak

cucunya, dan kepada apa yang diturunkan kepada Mūsā, 'Īsā serta

para nabi dari Tuhan mereka. Kami tidak membeda-bedakan

seorang pun di antara mereka dan hanya kepada-Nya kami berserah

diri.”

Kata al-muslimủn diartikan oleh al-Zamakhsyarī sebagai al-

muwahhidủn yaitu orang-orang yang meng-Esa-kan Allah dan tidak

menisbatkan kemusyrikan kepada selain Allah.23

Sementara Muhammad

Asad, merujuk pada kemunculannya kata muslimủn pada sejarah

pewahyuan al-Qur‟an. Beliau mengartikannya sebagai: "one who

surrenders [or "has surrendered"] himself to God", and "man's self-

surrender to God" yaitu orang-orang yang memasrahkan dirinya secara

total kepada Tuhan. Adapun penggunaan kata muslim “yang sudah

terlembagakan” yang hanya merujuk pada pengikut Nabi Muhammad, itu

merupakan perkembangan yang terjadi setelah masa pewahyuan al-

Qur‟an, karena itu, harus dihindari dalam penerjemahan al-Qur‟an.24

Dari uraian di atas jelas kiranya bahwa tidak hanya agama yang

didatangkan kepada Ibrᾱhῑm, tetapi agama yang didatangkan kepada para

nabi terdahulu adalah sama dengan agama yang diturunkan kepada Nabi

23

al-Zamakhsyarī, Tafsῑr al-Kasyᾱf, jilid 3, cet. 3 (Beirut: Dar al-Ma‟rifah 2009),

180. 24

Muhammad Asad, The Message of The Qur‟an: Translated and Explained,

(Gibralta: Dᾱr al-Andalus, 1980), 903.

36

Muhammad. Mereka disifati oleh Allah sebagai orang yang kharrủ sujjada

yakni patuh, tunduk, serta mereka adalah orang-orang yang menyerahkan

dirinya secara total kepada Tuhan Yang Maha Esa.

b. Tauhid Dan Takwa Sebagai Dasar Mendirikan Masjid

Qs. at-Taubah/9: 107-108

والذين اتذوا مسجدا ضرارا وكفرا وتػفريقا بػی المؤمنی وإرصادا لمن حارب اللو ورسولو من قػبل

“ Dan (di antara orang-orang munafik itu) ada yang mendirikan

masjid untuk menimbulkan bencana (pada orang-orang beriman),

untuk kekafiran dan memecah belah di antara orang-orang yang

beriman serta menunggu orang-orang yang telah memerangi Allah

dan Rasul-Nya sejak dahulu, mereka dengan pasti bersumpah, “kami

hanya menghendaki kebaikan.” Dan Allah menjadi saksi bahwa

mereka itu pendusta (dalam sumpahnya).”

لمسجد أسس على التػقوى من أوؿ يػوـ أحق أف تػقوـ فيو “ Janganlah engkau melaksanakan salat dalam masjid itu selama-

lamanya. Sungguh, masjid yang didirikan atas dasar takwa, sejak

hari pertama adalah lebih pantas engkau melaksanakan salat di

dalamnya. Di dalamnya ada orang-orang yang ingin membersihkan

diri. Allah menyukai orang-orang yang bersih.”

Ibn Abbᾱs, Mujᾱhid, Qatᾱdah, dan sebagian besar ahli tafsir

meriwayatkan bahwa ada 12 orang dari kelompok orang munafik yang

membangun masjid dan Allah menyifati mereka dengan empat sifat:25

masjid yang dibangun mereka itu difungsikan untuk ضرارا .1

menimbulkan kemudaratan kepada orang-orang beriman.

25

Fakhr al-Dῑn al-Rᾱzῑ, Mafᾱtiḥ al-Gaib, 198.

37

Ibn Abbᾱs meriwayatkan bahwa masjid tersebut selain كفرا .2

difungsikan untuk menimbulkan bencana kepada orang-orang

beriman juga untuk mengingkari kenabian Muhammad saw .

-dan sebagai upaya memecah belah antara orang وتفريقا بی اتؤمنی .3

orang yang beriman. Mereka membangun masjid dan mereka

melaksanakan salat di dalamnya tetapi di belakang Nabi mereka

tidak salat.

menjadikan tempat perlindungan bagi وارصادا تن حارب ا ورسولو .4

orang-orang yang biasa memerangi agama Allah dan Rasul-Nya.

Oleh karena itu, Allah melarang Nabi Muhammad saw untuk salat di

masjid yang dibangun oleh orang-orang munafik. Atas dasar itu Allah

menegaskan kepada Rasul-Nya, bahwa masjid yang dibangun atas dasar

takwa adalah lebih baik untuk dijadikan tempat beribadah kepada Allah

Swt.

Adapun mengenai masjid yang dibangun atas dasar takwa, terjadi

perbedaan pendapat di kalangan mufassir. Ibn Umar, Zaid Ibn Ṡᾱbit, Abū

Sa‟īd al-Khudrī berpendapat masjid yang dibangun atas dasar takwa dalam

ayat di atas adalah Masjid Rasulullah atau Masjid Madinah berdasarkan

sebuah ḥadīṡ:

ثػ نا تمد بن عيسى ما أخبػرنا إتاعيل بن عبد القاىر، أنػبأنا عبد الغافر بن تمد، حدثػنا تم ثػنا مسلم بن اتجاج، حد ثػنا إبػراىيم بن تمد بن سفياف، حد د اتلودي، حد

عت أبا سلم ثػنا یي بن سعيد، عن تيد اتراط قاؿ: ت ، حد ة عبد الرتن بن حاتعت أباؾ يذكر ف قاؿ: مر ب عبد الرتن بن أب سعيد، قاؿ: فػقلت لو: كيف ت

ملسو هيلع هللا ىلصالمسجد الذي أسس على التػقوى؟ فػقاؿ: قاؿ أب: دخلت على رسوؿ اللو نسائو فػقلت: يا رسوؿ اللو أي المسجدين الذي أسس على التػقوى؟ ف بػيت بػعض

38

قاؿ: فأخذ كفا من اتصباء فضرب بو األرض، ث قاؿ: ىو مسجدكم ىذا، مسجد عت أباؾ ىكذا يذكرهالمدينة، قاؿ: فػقلت: أشهد أن ت

“ Telah mengabarkan kepada kami Ismᾱ‟ῑl Ibn „Abd al-Qᾱhir, telah

mengabarkan kepada kami „Abd al-Gᾱfir Ibn Muḥammad, telah

menceritakan kepada kami Muḥammad Ibn „Īsā al-Julūdī, telah

menceritakan kepada kami Ibrāhῑm Ibn Muḥammad Ibn Sufyān,

telah menceritakan kepada kami Muslim Ibn Ḥajjāj, telah

menceritakan kepada kami Muḥammad Ibn Ḥātim, telah

menceritakan kepada kami Yahyā Ibn Sa‟īd dari Humaid al-Kharrāṭ

ia berkata, aku mendengar Abū Salamah Ibn „Abd al-Raḥmān ia

berkata; „Abd al-Raḥmān Ibn Abū Sa‟īd al-Khudrī pernah lewat di

hadapanku dan aku bertanya kepadanya “ Bagaimana kamu

mendengar dari bapakmu ketika disebutkan masjid yang dibangun

atas dasar takwa?” ia menjawab; Bapakku berkata; Aku pernah

menemui Rasulullah di dalam rumah salah satu istrinya dan

bertanya, “ Ya Rasulullah, Manakah di antara dua masjid yang

dibangun atas dasar takwa? Beliau (Rasulullah) mengambil

segenggam pasir kemudian dibuang kembali ke tanah, dan beliau

bersabda: “ Ini Masjid kalian (Masjid Madinah).” maka aku berkata

(Abủ Salamah), “ Aku bersaksi bahwa aku sungguh mendengar

bapakku menyebutkan seperti itu.”26

Sebagian golongan berpendapat bahwa masjid yang dibangun atas

dasar takwa adalah masjid Quba. Pendapat ini diriwayatkan dari Ibn

Abbās, Aḍḍahāk, dan Ḥasan, mereka menghubungkan pendapat itu

dengan kalimat “ من اوؿ يـو “. Masjid Quba adalah masjid yang dibangun

pertama kali oleh Nabi Muhammad ketika beliau di Madinah.27

Fakta sejarah pendirian Masjid Qubᾱ sebagai masjid yang pertama

kali dibangun oleh Nabi ketika beliau melakukan perjalanan hijrah ke

Madinah tahun ke-13 Kenabian. Masjid Qubᾱ itulah Nabi dan para

sahabat melakukan salat berjamaah. Selanjutnya Nabi mendirikan masjid

26

Ḥusain Ibn Muḥammad al-Bagᾱwῑ, Ma‟ᾱlim al-Tanzῑl, jilid 4, cet. I (Riyad:

Dᾱr Tayyibah 1998), 95. 27

al-Qurṭubī, al-Jᾱmi‟ li Ahkᾱm al-Qur‟ᾱn, jilid 10, cet. I (Beirut: al-Risᾱlah

2006), 378

39

lain yang kemudian yaitu Masjid Nabawῑ sebagai pusat aktivitas Nabi dan

pusat kendali seluruh urusan umat Muslim.28

Terlepas dari ikhtilaf ulama terhadap masjid yang dibangun atas

dasar takwa, fokus kajian pada Qs. al-Taubah/ 9:108 di atas adalah takwa

dan ketulusan sebagai dasar pendirian sebuah masjid sebagaimana

pendirian kedua masjid pertama yang dibangun oleh Nabi dan para

sahabat di Madinah (Masjid Qubᾱ dan Masjid Madinah) sejak awal

pendirian dibangun atas dasar takwa kepada Allah Swt.

Takwa dalam pandangan Nurcholish Madjid adalah gambaran sikap

dan kesadaran akan kehadiran Tuhan (God-Consciousness). Pengalaman

dan kesadaran ketuhanan tersebut merupakan kesadaran dan pengalaman

kerohanian yang sangat tinggi. Beliau menyatakan: “ Dalam wujudnya

yang sempurna, pengalaman ketuhanan adalah yang dimaksud dengan

kasyaf dan tajalli dalam terjemahan kaum sufi dapat diterjemahkan

sebagai penyingkapan yaitu pengalaman tersingkap tabir pancaran ilahi.

Suatu pengalaman yang hanya diperoleh seseorang yang telah mencapai

tingkat yang sangat tinggi dalam perkembangan kehidupan kerohanian.

Dengan kesadaran seperti itu, menurut Nurcholis Madjid akan mendorong

kita untuk hidup mengikuti garis-garis yang diridai-Nya, sesuai dengan

ketentuan-Nya. Maka kesadaran itu memperkuat kecenderungan alami

manusia untuk berbuat baik.”29

Lebih lanjut Nurcholis Madjid mengatakan:

“ kesadaran akan Hadirat Ilahi merupakan inti hakikat kemanusiaan

yang merupakan lanjutan dari perjanjian primordial manusia dengan

Tuhan, berwujud persaksikan bahwa Allah adalah satu-satunya Zat

yang Haq disembah. Karena itu, manusia adalah makhluk

ketuhanan, dalam arti bahwa manusia adalah makhluk yang menurut

28

M. Saifuddin, “Masjid Ḍirar dan Masjid Taqwa” (Skripsi S1., Universitas

Islam Negeri Wali Songo Semarang, 2018), 63. 29

Nurcholish Madjid, Islam Agama Peradaban (Jakarta: Paramadina 1995), 45.

41

tabiat dan alam hakikat sejak masa primordialnya selalu mencari dan

merindukan Tuhan.”30

Masjid Takwa adalah asas hidup yang benar. Semua asas hidup yang

dibangun tidak berdasarkan ketakwaan kepada Tuhan dan keredaan-Nya

laksana membangun sebuah bangunan di tepi jurang yang runtuh, lalu

bangunan itu roboh bersama orang-orang yang mendirikannya.

Sebagaimana Firman Allah:

“ Maka apakah orang-orang yang mendirikan bangunan (masjid)

atas dasar takwa kepada Allah dan keredaan-Nya itu lebih baik,

ataukah orang-orang yang mendirikan bangunannya di tepi jurang

yang runtuh, lalu (bangunan) itu roboh bersama-sama dengan dia ke

dalam neraka Jahanam? Allah tidak memberi petunjuk kepada

orang-orang yang zalim.”

Orientasi takwa sebagai semangat kehadiran Tuhan akan

membimbing manusia menuju budi pekerti yang luhur, berperilaku baik

dengan akhlak yang tinggi; baik akhlak terhadap Allah, kepada sesama

manusia, dan terhadap alam.

F. Fungsi Masjid di Masa Nabi Muhammad saw.

Qs. al-Nūr/ 24: 36-37

“Bertasbihlah kepada Allah di masjid-masjid yang telah

diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya

pada waktu pagi dan petang, orang-orang yang tidak dilalaikan oleh

perniagaan, dan tidak pula oleh jual beli, atau aktivitas apapun dari

mengingat Allah, dan dari mendirikan salat, membayar zakat,

mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan

penglihatan menjadi guncang.”

Kata tasbih di ambil dari kata السبح Rᾱgib al-Aṣfahᾱnῑ mengartikan

kata tersebut sebagai “ berlari dengan sangat cepat di dalam air (berenang)

30

Nurcholish Madjid, Islam Agama Peradaban, 191.

40

atau di udara (terbang)” pengertian tersebut digunakan sebagai pergerakan

bintang di langit (Qs. al-Anbiyā/ 21: 33,31 kecepatan kuda ketika berlari,

dan kecepatan manusia dalam beramal (al-Muzammil/ 73: 7.32

Sementara itu, التسبيح ( menyucikan Allah) diartikan sebagai lari

dengan cepat (bersegera) dalam rangka menghambakan diri kepada Allah.

Makna tersebut bisa berarti bersegera dalam melaksanakan kebaikan-

kebaikan dan menjauhi segala keburukan. Dengan demikian makna tasbih

merupakan ibadah yang umum, mencakup perkataan, perbuatan, bahkan

niat yang kita lakukan.33

Berdasarkan pengertian di atas, bertasbih tidak hanya berarti

mengucapkan subhanalah, melainkan lebih luas lagi sesuai dengan makna

yang dicakup oleh kata tersebut beserta konteksnya. Makna dan konteks-

konteks dari kata tersebut dapat disimpulkan dengan kata takwa.

Sedangkan takwa sendiri tidak hanya diwujudkan dalam hubungan

dengan Allah tetapi juga hubungan dengan manusia serta hubungan

dengan alam, sebagaimana pengertian takwa yang diungkapkan oleh

Nurcholis Madjid di atas.

Sejarah mencatat, masjid pertama yang dibangun oleh Nabi adalah

masjid Qubᾱ dan masjid Madinah yang keduanya dibangun di atas dasar

ketakwaan. Oleh karena itu setiap masjid memiliki landasan dan fungsi

seperti itu.

Fungsi masjid Nabi di Madinah tidak hanya berfungsi sebagai

tempat untuk beribadah tetapi juga melahirkan peranan masjid yang

beraneka ragam. Quraish Shihab dalam bukunya “Wawasan al-Qur‟an”

31

“ Dan Dialah yang telah menciptakan malam dan siang, matahari dan bulan.

Masing-masing beredar pada garis edarnya.” 32

“ Sesungguhnya pada siang hari engkau sangat sibuk dengan urusan-urusan

yang panjang.” 33

Rᾱgib al-Aṣfahᾱnī, Mufradāt fῑ Garῑb al-Qur'ān, 292.

42

menyebutkan tidak kurang dari sepuluh peranan yang diemban oleh

Masjid Nabi di Madinah, yaitu:34

1. Tempat ibadah (salat dan zikir)

2. Tempat konsultasi dan komunikasi (masalah ekonomi-sosial

budaya)

3. Tempat pendidikan

4. Tempat santunan sosial

5. Tempat latihan militer dan persiapan alat-alatnya

6. Tempat pengobatan para korban perang

7. Tempat perdamaian dan pengadilan sengketa

8. Aula dan tempat menerima tamu

9. Tempat menawan tahanan

10. Pusat penerangan atau pembelaan agama

Sementara itu Sidi Gozalba mengemukakan fungsi masjid sebagai

pusat peradaban Islam. Beliau mengemukakan bahwa masjid di zaman

Rasulullah, terutama masjid yang dibangun di atas tanah Bani Najjᾱr

memainkan berbagai fungsi sosial dan kultural sebagai berikut:35

1. Tempat ibadah

2. Tempat pengembangan pengetahuan

3. Bait al-Mal

4. Tempat penyelesaian perkara

5. Pengumuman masalah sosial

6. Menyalatkan orang meninggal

7. Penginapan bagi musafir

Nampaknya masjid yang didirikan Nabi di Madinah, selain sebagai

sebuah tempat untuk melakukan ibadah ritual. Pada zaman Rasulullah

34

Quraish Shihab, Wawasan al-Qur‟an, 455. 35

Sidi Gazalba, Mesjid Pusat Ibadat dan Kebudayaan Islam (Jakarta: al-Husna,

1983, 129.

43

masjid berperan sebagai tempat menyelesaikan berbagai persoalan umat

dan pusat pemberdayaan masyarakat, tempat membangun ekonomi dan

kesejahteraan, serta tempat berbagai kegiatan yang mengarah pada

terwujudnya masyarakat madani.

Berdasarkan hal di atas maka sejarah pendirian masjid merupakan

awal atau rancangan utama peradaban Islam. Setidaknya ada dua poin

utama dari fungsi masjid di zaman Rasulullah: pertama, sebagai fasilitas

peribadatan umat Islam yang sangat sakral. Di sini manusia diharapkan

mampu secara khusyuk “bertemu” dengan Tuhan. Masjid pada poin

pertama ini sesuai dengan landasan dasar berdirinya masjid yaitu atas

dasar ketakwaan sebagaimana diungkapkan oleh Nurcholis Majid di atas.

Kedua, tempat aktivitas sosial. Di sini kita bisa melihat peran masjid

menyatukan umat dari berbagai kalangan, terlepas dari perbedaan suku,

kelas sosial, dan identitas. Di sini peran masjid sebagai sebuah lembaga

sosial keumatan mampu menembus sekat-sekat kelompok tertentu menuju

sebuah lembaga yang lebih inklusif dan mengarah pada kemaslahatan

bersama.

44

45

BAB III

BIOGRAFI MUHAMMAD ASAD

Leopold Weiss adalah seorang wartawan lepas di Eropa, penulis,

ahli bahasa, sejarawan, negarawan, dan diplomat dengan pengetahuan

mendalam tentang Alkitab dan Talmud merupakan keturunan tokoh agama

Yahudi yang lahir pada tahun 1900 di Lemberg, Galicia. Beliau masuk

agama Islam pada tahun 1926 dan mengadopsi nama “Muhammad Asad”.

Asad adalah salah satu intelektual Islam Eropa paling berpengaruh

abad 20-an. Salah satu magnum opusnya adalah The Message of The

Qur‟an sebuah tafsir kontemporer dengan sistem penulisan ilmiah yang

berkembang saat ini.

A. Biografi Muhammad Asad

Muhammad Asad atau Leopold Weiss lahir pada 2 Juli 1900 di kota

Lemberg yang sekarang bernama Low, Galicia yang sebelumnya

merupakan wilayah Austria.1 Beliau terlahir dalam lingkungan keluarga

Yahudi dan secara turun-temurun keluarganya adalah rabi (pemuka agama

Yahudi).2

Sebagai orang yang lahir dalam lingkungan keluarga rabi Yahudi

ortodoks, sejak berumur 13 tahun dia tidak hanya mahir membaca bahasa

Ibrani dengan lancar, bahkan dapat berbicara dalam bahasa itu dengan

fasih, dan memiliki pengetahuan luar biasa tentang bahasa Aram, yang

kemudian menjadi modal dasar Asad dalam belajar bahasa Arab di

kemudian hari.3

1 Sekarang masuk ke dalam wilayah Polandia dan Ukraina

2 Muhammad Asad, The Message of The Qur‟an: Translated and explained

(Gibraltar: Dar al-Andalus, 1980), 1320 3 Muhammad Asad, The Road to Mecca (Delhi: Islamic Book Service, 2004), 55.

46

Pada tahun 1922 Weiss melakukan perjalanan sebagai seorang

koresponden Frankfurter Zeitung, sebuah surat kabar Eropa terkemuka di

wilayah Timur Dekat. Kariernya sebagai jurnalistik ini dia lakukan

sepanjang waktunya di Timur Tengah: Palestina, Mesir, Suriah, Irak,

Persia, Yordania, Jazirah Arab, dan Afghanistan.4

Pengembaraan Weiss di Timur Tengah memberikan kesan

mendalam terhadap suatu sistem kehidupan masyarakat yang secara

fundamental berbeda dengan kehidupan orang Eropa. Di sini beliau

melihat sistem kehidupan yang insani dan konsepsi hidup yang lebih

damai dari kehidupan di Eropa.5

Tahun 1920-an adalah masa-masa kekacauan di Eropa pasca-Perang

dunia I: manusia Eropa dari berbagai bangsa saling bunuh dalam perang

yang mengerikan. Bangsa Eropa juga menyerbu dan menjajah bangsa-

bangsa lain untuk memperluas kekuasaan dan kekayaan. Eropa dilanda

kehampaan jiwa, relativisme, dan ketiadaan harapan akan masa depan

manusia. Benar-salah diukur hanya dari segi pragmatisme dan sukses

materiel. Sebagaimana ditulis Asad:6

“ Saya melihat sendiri betapa hidup kami di Eropa menjadi kacau

balau, membingungkan, dan tidak bahagia; alangkah renggang

pergaulan antara sesama manusia dan tiada jalinan hubungan yang

sejati antar insan, terlepas dari segala gagasan mengenai

„masyarakat‟ dan „bangsa‟ yang disuarakan dengan amat lantang dan

nyaris histeris; alangkah jauhnya kita telah tersesat, menyimpang

dari naluri bawaan kita; dan betapa sempit, picik, dan berkaratnya

jiwa kita. Saya merasakan dunia yang tak serasi, pahit, dan

serakah.”

4 Muhammad Asad, Islam di Simpang Jalan, terj. M. Hashem (Surabaya: YAPI

1967), 2 5 Muhammad Asad, Islam di Simpang Jalan, 3.

6 Muhammad Asad, Islam di Simpang Jalan, 5.

47

Dengan adanya perbedaan mode hidup membawa Weiss pada suatu

penyelidikan tentang sebab-sebab perbedaan dan ketertarikannya pada

ajaran-ajaran agama Islam. Beliau mengungkapkan pandangannya

mengenai Islam:

“Islam appears to me like a perfect work of architecture. All its

parts are harmoniously conceived to complement and support each

other; nothing is superfluous and nothing lacking; and the result is a

structure of absolute balance and solid composure.”7

“ bagi saya Islam tampak seperti sebuah karya arsitektur yang

sempurna. Semuanya disusun secara harmonis untuk saling

melengkapi dan mendukung satu sama lain, tidak ada yang

berlebihan dan tidak ada yang kurang, dan hasilnya adalah struktur

keseimbangan absolut dan ketenangan yang solid.”

Pada saat itu, ketertarikan Leopold Weiss terhadap ajaran-ajaran

Islam belum lah kuat untuk membuatnya memeluk agama Islam. Namun,

ketertarikan Weiss pada saat itu telah membuka matanya terhadap suatu

perspektif baru mengenai sistem masyarakat yang “berkemajuan”,

masyarakat dengan konflik internal paling kecil, dan rasa persaudaraan

sejati yang besar. Akan tetapi, kenyataan hidup orang-orang Muslim

dewasa ini tampak sangat jauh berbeda dengan kemungkinan-

kemungkinan idealnya ajaran agama Islam. Apa pun yang diajarkan Islam

merupakan pergerakan dan kemajuan, di kalangan umat Muslim akhirnya

berubah menjadi kemalasan dan kemandekan.8

Adanya ketidakcocokan antara kenyataan umat Muslim pada masa

dahulu dan masa kini mendorong Weiss untuk mendekati permasalahan

tersebut dengan sudut pandang yang lebih intim dengan membayangkan

dirinya sebagai bagian di dalam lingkungan Islam. Dari riset ilmiah yang

dilakukan Weiss sampai pada sebuah kesimpulan bahwa satu-satunya

7 Muhammad Asad, The Road to Mecca, 301

8 Muhammad Asad, The Message of The Qur‟an, 1312

48

penyebab “pembusukan” sosial dan kultural umat Islam pada masa kini

terletak pada kenyataan bahwa mereka secara berangsur-angsur telah

berhenti mengikuti spirit ajaran Islam. Islamnya masih ada, namun ia

bagaikan tubuh tanpa jiwa.9

Dari perjalanan intelektual Leopold Weiss tersebut, sebagai seorang

non-Muslim yang berbicara dengan orang-orang Muslim dengan semangat

membela Islam dari kelalaian dan kemalasan hingga pada tahun 1925, di

pegunungan Afghanistan, seorang Gubernur berujar padanya: “ Tapi Anda

(Weiss) adalah seorang Muslim, hanya saja Anda tidak menyadarinya”.10

Pada tahun 1926 Leopold Weiss masuk Islam sebagai konsekuensi

logis dari sikap dan sepak terjangnya selama ini setelah melakukan

pengembaraan panjang di Timur Tengah. Namun secara resmi,

Muhammad Asad memeluk Islam pada 27 April 1927 di Kairo, Mesir, dan

menikah dengan Elsa (Aziza) Schiemann, seorang pelukis berkebangsaan

Jerman. Namun Aziza meninggal dunia akibat terserang malaria di

Makkah ketika hendak menjalankan ibadah haji, kemudian dimakamkan

di Makkah.11

Muhammad Asad Kemudian menetap di Hijaz, Arab menjadi teman

dekat Emir „Abd al-„Azīz. Pada masa ini Asad mempelajari bahasa arab

Badui dan menenggelamkan diri dalam mempelajari Islam dan kultur

Arab. Pada saat itu juga Muhammad Asad menikah yang kedua kalinya

dengan seorang putri bangsawan Arab, yakni Munira binti Ḥusain al-

Syammarῑ.12

9 Muhammad Asad, The Message of The Qur‟an, 1312

10 Muhammad Asad, Islam di Simpang Jalan, 3.

11 Muhammad Asad, Islam di Simpang Jalan, 4.

12 Muhammad Asad, The Message of The Qur‟an, 1321

49

Muhammad Asad meninggal di Mijas, domisili terakhirnya di

Provinsi Malaga, Spanyol, pada 20 Februari 1992 dan beliau dimakamkan

di Pemakaman Muslim di Granada.

1. Pendidikan Muhammad Asad

Leopold Weiss, sebagai salah seorang cucu dari rabi Yahudi,

pendidikan pertamanya mempelajari kitab-kitab Yahudi dan menguasai

bahasa Ibrani dengan fasih yang di kemudian hari menjadi modal dasar

Weiss dalam mempelajari bahasa Arab.

Pada tahun 1918 Leopold Weiss mengikuti wajib militer dan

bergabung dengan Angkatan Bersenjata Austria. Namun, Kerajaan Austria

beberapa minggu kemudian runtuh. Karena itu, Leopold Weiss memulai

karir pendidikan akademiknya di Universitas Wina, Austria. Di sana

Weiss mempelajari biologi, filsafat, dan sejarah seni.13

Pada tahun 1930-an Asad menghabiskan bertahun-tahun hidupnya

dengan mengembara di gurun pasir bersama suku Arab Badui pedalaman,

sehingga akhirnya Asad bisa menguasai bahasa lisan Arab klasik yang

masih murni. Secara formal, Asad juga belajar bahasa Arab di Universitas

al-Azhar, Mesir. Di al-Azhar Asad bertemu dan mendapat bimbingan dari

Syaikh Muṣṭᾱfā al-Marᾱgī, seorang mufasir juga seorang murid dari

Syaikh Muhammad „Abduh, tokoh pembaharu Islam modern, mufasir dan

juga rektor al-Azhar.14

Selanjutnya, selama masa lima tahun Asad tinggal di Madinah ,

Asad juga mempelajari ilmu hadiṡ di Masjid Nabawi sehingga pada usia

35 tahun Muhammad Asad mampu menerbitkan secara bertahap

terjemahan dan komentarnya atas kitab hadis Sahīh al-Bukhᾱri: The Early

13

Muhammad Asad, The Road to Mecca, 74. 14

Muhammad Chirzin, “The Message of The Qur‟an Karya Muhammad Asad:

Kajian Metodologi Terjemah dan Tafsir”, Jurnal Ilmu al-Qur‟an dan Tafsir, vol.4,

no.1, (Januari-Juni2019): 181.

51

Years of Islam. Tidak hanya itu, setelah 17 tahun pengembaraannya di

Timur Tengah beliau menerbitkan maha karyanya, sebuah terjemahan dan

tafsir atas al-Qur‟an, The Message of The Qur‟an yang mengantarkan

beliau menjadi intelektual Muslim paling berpengaruh pada abad 20-an di

dunia Barat.15

Tafsir yang ringkas dengan penjelasannya yang tepat dan mendalam

ini hadir tentulah berkat riwayat hidup dan latar belakang pendidikannya

yang amat kaya sebagaimana telah disampaikan di atas.

2. Karya-Karya Muhammad Asad

Di antara karya-karya beliau sebagai berikut:16

1).Unromantisches Morgenland: Aus dem Tagebuch einer Reise,

Frankfurt/Main: Verlag der Frankfurter Societäts-Druckerei (1924);

bukunya yang pertama ditulis dalam bahasa Jerman, tentang catatan

perjalanannya di Timur Tengah, 2). Islam at the Crossroads, Delhi:

Arafat Publications (1934), bukunya yang kedua ditulis dalam

bahasa Inggri, berisi analisisnya terhadap kemunduran umat Islam

dalam peradaban dunia dan langkah yang harus ditempuh demi

kebangkitannya, 3). Shahih al-Bukhari: The Early Years of Islam

(1935-1938), sebuah terjemah dan komentar terhadap sebagian kitab

hadis Shahih Bukhari: bab permulaan wahyu, kisah para Sahabat,

dan periode Madinah awal, 4). Jurnal: “Arafat: A Monthly Critique

of Muslim Thought” (1946-1948). Sebuah jurnal pemikiran Islam,

berbahasa Inggris dan terbit hingga sepuluh edisi, 5). The Road to

Mecca (1954), New York: Simon and Schuster; London: Max

Reinhardt. Sebuah autobiografi yang mengisahkan perjalanan Asad

dari Eropa ke Timur Tengah, pergaulannya dengan para raja, amir,

ulama, dan pemimpin Muslim dari berbagai negeri, dan bagaimana

akhirnya dia memeluk agama Islam, 6). Islam and Abendland.

Begegnung zweier Welten (1960). Sebuah buku yang menceritakan

tentang Islam dan Barat: bagaimana dua dunia ini bertemu, 7). The

Principles of State and Government in Islam (1961), Berkeley and

Los Angeles: University of California Press. Buku yang berisi

15

Muhammad Asad, The Message of The Qur‟qn, 1319 16

Muhammad Asad, The Message of The Qur’an, v-vi.

50

pandangan-pandangan Muhammad Asad tentang ketatanegaraan dan

pemerintahan dalam Islam, 8). The Message of The Qur‟an,

Translated and explained by Muhammad Asad (1980), Gibraltar:

Dar al-Andalus. Sebuah karya terjemah dan tafsir al-Qur‟an

kontemporer, 9). This Law of Ours and Other Essays (1987),

Gibraltar: Dar al-Andalus. Berisi pandangan-pandangan Muhammad

Asad mengenai hukum Islam, Syariat, fiqih, ijtihad, dan taqlid. Di

dalam buku ini juga terdapat kumpulan esai dengan berbagai topik:

tentang agama, Tuhan, peradaban Barat-Islam, masalah Yerusalem-

Israel-Palestina, hijrah, dan lain-lain.

B. The Message of The Qur’an

a. Latar Belakang Penulisan Dan Metodologi Terjemah

Muhammad Asad adalah seorang intelektual Islam terbesar abad ke-

20 yang berasal dari Barat. Karya beliau yang berjudul The Message of

The Qur‟an didasarkan atas kajian panjang Muhammad Asad yang

dihabiskan di Jazirah Arab. Ini merupakan suatu upaya pertama untuk

menghasilkan terjemahan atas pesan al-Qur‟an secara eksplanatoris dan

idiomatis ke dalam sebuah bahasa Eropa.17

Karena itu, tidak seperti buku mana pun, makna dan sajian bahasa

al-Qur‟an membentuk satu keseluruhan yang tidak dapat dipisahkan.

Posisi setiap kata dalam suatu kalimat, ritme dan suara dari frasa-frasanya

dan konstruksi sintaksisnya, pola bagaimana sebuah metafora mengalir

hampir secara tidak terasa ke dalam suatu pernyataan pragmatis,

penggunaan penekanan bunyi yang semata-mata bukan dalam rangka

retorika, melainkan juga sebagai sarana untuk mengacu secara tidak

langsung kepada gagasan-gagasan yang tidak diungkapkan tetapi tersirat

secara jelas: semua ini membuat al-Qur‟an pada akhirnya bersifat unik dan

tidak dapat diterjemahkan.18

17

Muhammad Asad, The Message of The Qur‟an, Ivii. 18

Muhammad Asad, The Message of The Qur‟an, Iix.

52

Sungguhpun demikian, meskipun mustahil untuk “mereproduksi” al-

Qur‟an dalam bahasa lain, tidak mustahil untuk menerjemahkan pesannya

sehingga dapat dipahami oleh orang-orang, seperti kebanyakan orang

Barat, tidak mengetahui bahasa Arab atau sebagai halnya kebanyakan

muslim non-Arab yang terpelajar-tidak memiliki kapasitas memadai untuk

dapat memahaminya tanpa bantuan. 19

Setelah masuk Islam Asad menyibukkan dirinya untuk tenggelam

dan mengkaji serta memahami sumber Islam, al-Qur‟an sambil memulai

kajian intensif atas bahasa Arab klasik. Kajian atas bahasa Arab beliau

tidak hanya ditempuh dalam dunia akademik tetapi beliau juga ikut serta

tinggal bersama orang Arab Badui di Arab Tengah dan Timur. Hal ini

dilakukan oleh Asad karena berdasarkan bahasa lisan dan asosiasi

linguistik bahasa Arab Badui pada dasarnya tidak berubah sejak zaman

Nabi Muhammad saw. ketika al-Qur‟an pertama kali diwahyukan. Ini

memungkinkannya sekaligus menghayati “rasa” naluriah dan ruh bahasa

Arab. Kemampuan ini mustahil diperoleh oleh orang yang hanya

mempelajari bahasa Arab secara akademis saja.20

Asad juga tinggal selama lima tahun di Madinah, tenggelam dalam

perpustakaan, mempelajari ilmu hadis, dan sejarah Islam di Masjid

Nabawi. Dari hasil studi hadisnya, lahirlah terjemah dan komentar yang

memukau atas Ṣaḥῑḥ al-Bukhᾱrῑ dalam bahasa Inggris pada 1938. Bekal

kerja-riset selama 17 tahun, Asad menyajikan magnum opus-nya, The

Message of The Qur‟an, sebuah terjemahan dan tafsir al-Qur‟an dalam

bahasa Inggris.21

19

Muhammad Asad, The Message of The Qur‟an, Iix. 20

Muhammad Chirzin, “The Message of The Qur‟an Karya Muhammad Asad:

Kajian Metodologi Terjemah dan Tafsir, 184. 21

Muhammad Asad, The Message of The Qur‟an, 1322.

53

b. Sistematika Penulisan The Message of The Qur‟an

Penulisan tafsir The Message of The Qur‟ᾱn mengikuti sistematika

muṣḥafi, yaitu sistematika penulisan tafsir yang berdasarkan urutan surat-

surat dalam muṣḥaf uṡmani dengan bentuk penafsiran yang disajikan

dalam tiga bentuk. Pertama, tafsiran-tafsiran Asad terhadap ayat-ayat al-

Qur‟an diletakkan di bagian bawah terjemah, yang dikenal sebagai

footnote. Sistematika penulisan tafsir yang digunakan oleh Asad ini

merupakan salah satu ciri tafsir kontemporer.22

Kedua, ulasan umum mengenai surat yang akan dibahas, meliputi

penamaan surat, nama-nama lain dari surat, kategorisasi surat berdasarkan

tempat turunnya (makiyah atau Madaniya), tema-tema yang dikandung

oleh surat tersebut secara ringkas, serta penyebutan beberapa ayat yang

menarik dalam surat tersebut.

Ketiga, “appendix” atau lampiran-lampiran yang disajikan oleh

Muhammad Asad di halaman akhir. Appendix tersebut yaitu; Symbolism

And Allegory In The Qur‟an, al-Muqatta‟at, On The Term And Concept of

Jinn, dan The Night Journey.

c. Sumber, Corak, dan Metodologi Tafsir The Message of The

Qur‟an

Sumber penafsiran The Message of The Qur‟an, Asad mengambil

rujukan baik itu dari al-Qur‟an sendiri berupa cross reference, pendapat

para mufasir baik klasik maupun modern, hadis Nabi, kamus-kamus,

sejarah umum, ensiklopedia, dan bahkan merujuk pada Bible dan

pemikirannya sendiri.

22

Muhammad Chirzin, “The Message of The Qur‟an Karya Muhammad Asad:

Kajian Metodologi Terjemah dan Tafsir, 184.

54

Dalam penafsirannya, Muhammad Asad memberikan perhatian

khusus pada aspek kebahasaan sebagai upaya menjaga ketersampaian

makna al-Qur‟an. Beliau mengungkapkan dalam Prakata Tafsirnya bahwa

penerjemah harus senantiasa dipandu oleh penggunaan linguistik yang

berlaku pada masa pewahyuan al-Qur‟an.23

Perhatian khusus Asad pada aspek kebahasaan misalnya ketika

menafsirkan kata hadῑd dalam surah Saba‟/ 3:10, yang diterjemahkan oleh

beliau sebagai “sharpness in him” yakni ketajaman dan kerasnya jiwa,

sehingga terjemahan surat Saba‟/ 34: 10 bukan “ Kami telah melunakkan

besi untuknya (Daud)” melainkan “ Kami telah melunakkan segala

ketajaman dalam dirinya (Daud)”.24

Contoh lain dari penafsiran Muhammad Asad adalah surah al-

A‟rᾱf/7: 40:

ها ل تػفتح تم أبػواب السماء ول يدخلوف ات بوا بآياتنا واستكبػروا عنػ نة إف الذين كذلك تزي المجرمی حت يلج اتمل ف سم اتياط وكذ

“ Sungguh, bagi orang-orang yang mendustakan pesan-pesan Kami

dan meremehkannya karena kesombongan mereka, pintu-pintu

gerbang surga tidak akan dibukakan; dan mereka tidak akan masuk

surga sebagaimana mustahilnya tali yang tersimpul dapat masuk

melalui lubang jarum: sebab demikianlah Kami memberikan

pembalasan kepada orang-orang yang tenggelam”.

Dalam ayat di atas terjemahan kata al-Jamal sebagai unta adalah

keliru. Sebagaimana diungkapkan oleh al-Zamakhsyarī (dikuatkan oleh

para mufasir klasik, termasuk al-Rᾱzῑ), Ibn Abbᾱs biasa melafalkannya

jummal yang berarti “tali yang besar” atau “tali yang bersimpul” dan

dikatakan bahwa Sayyidina „Alῑ juga melafalkannya demikian (Tᾱj al-

23

Muhammad Asad, The Message of The Qur‟an, Iix. 24

Muhammad Asad, The Message of The Qur‟an, 824 dan Muhammad Chirzin,

"The Message of The Qur‟an Karya Muhammad Asad: Kajian Metodologi Terjemah dan

Tafsir, 186.

55

„Arủs). Hendaknya diperhatikan bahwa kata ini (al-Jamal) memiliki

beberapa ragam ejaan, yakni jumal, juml, jumul dan akhirnya jamal

(sebagaimana dalam versi al-Qur‟an yang diterima secara umum), yang

semuanya menunjukkan “tali yang besar dan tersimpul” (al-Jauhᾱrῑ), dan

pengertian ini juga digunakan oleh beberapa sahabat Nabi dan para

generasi penerus setelahnya. Al-Zamakhsyarī juga mengutip Ibn „Abbᾱs

yang berkata bahwa Allah tidak mungkin telah menciptakan suatu

perumpamaan yang tidak rasional seperti itu, yakni “seekor unta melewati

lubang jarum” artinya tidak ada hubungan antara unta dan lubang jarum,

padahal di sisi lain terdapat hubungan yang jelas antara lubang jarum dan

tali (yang bagaimanapun, merupakan benang yang sangat tebal). Karena

itu, kata al-Jamal dalam konteks ayat di atas jauh lebih tepat

diterjemahkan menjadi “tali yang tersimpul”.25

Fakta terjemahan “unta” itu juga terdapat dalam Injil Sinoptik versi

bahasa Yunani (Matius 19: 24, Markus 10: 25, Lukas 18: 25) tidaklah

mempengaruhi pernyataan ini. Perlu diingat bahwa Kitab Injil pada

mulanya ditulis dalam bahasa Aram (bahasa Palestina pada zaman Nabi

Isa) dan naskah-naskah dalam bahasa Aram itu kini telah hilang. Sangat

mungkin bahwa, karena tiadanya tanda-tanda vokal dalam penulisan

bahasa Aram, para penerjemah Injil ke dalam bahasa Yunani itu salah

memahami pengejaan konsonan g-m-l (yang sejajar dengan ejaan dalam

bahasa Arab j-m-l), dan memahaminya sebagai “seekor unta”: suatu

kesalahan yang sejak saat itu terus diulangi berkenaan dengan

penerjemahan ayat al-Qur‟an di atas baik itu dilakukan oleh banyak

Muslim maupun semua orientalis non-Muslim.

Penafsiran Muhammad Asad di atas ditinjau dari karakteristik

penafsirannya tergolong ke dalam corak adabi ijtima‟i yaitu sebuah

25

Muhammad Asad, The Message of The Qur‟an, 256-257.

56

penafsiran yang menitik beratkan pada makna leksikal kosa kata al-

Qur‟an sebagai sarana untuk mengetahui makna lokusi yang dikehendaki

dalam konteks pembicaraan serta sebuah corak penafsiran yang

melibatkan semua ayat yang bercerita tentang topik yang sama.26

Penafsiran Muhammad Asad di atas tidak hanya menafsirkan

berdasarkan pendapat para sahabat dan mufasir klasik, beliau juga

menafsirkan al-Qur‟an dengan panduan dari penguasaan bahasa yang kuat,

Asad mampu menerjemahkan ayat-ayat al-Qur‟an dengan interpretasi

rasional dengan tetap menjaga nilai-nilai transendental al-Qur‟an itu

sendiri.

Dari sumber rujukan yang digunakan Muhammad Asad, maka

penafsiran beliau dapat dikategorikan sebagai sebuah tafsir bi al-ra‟yi

dengan metodologi penafsirannya yaitu metode analisis (tahlili).

Dari uraian di atas penulis menyimpulkan bahwa Muhammad Asad

seorang intelektual Muslim kelahiran Lemberg, Austria-Hongaria pada 2

Juli 1900 adalah keturunan dari garis keturunan rabi Yahudi.

Ketertarikannya pada Islam menyebabkan perpindahan agama pada tahun

1962 di Berlin. The Message of The Qur‟an adalah salah satu karyanya

yang paling terkenal yang didasarkan pada studi bertahun-tahun di Arab

terutama studinya dalam menyelami bahasa Arab original bersama orang-

orang Badui selama bertahun-tahun untuk menghasilkan maha karyanya

dalam bidang Tafsir. Selain itu kontribusinya dalam khazanah keislaman;

The Road to Mecca, The Principles of State And Government in Islam, dan

lain-lain.

26

Muhammad Chirzin, "The Message of The Qur‟an Karya Muhammad Asad:

Kajian Metodologi Terjemah dan Tafsir, 186.

58

BAB IV

ANALISIS PENAFSIRAN MUHAMMAD ASAD TERHADAP

AYAT-AYAT MASJID

Ibadah merupakan sebuah ritual dari agama-agama termasuk Islam,

Kristen, Yahudi dan agama lainnya. Ia adalah ajaran satu kesatuan dari

Agama. Islam punya Masjid, Kristen ada Gereja, Yahudi memiliki

Sinagoge, semuanya merupakan tempat ritual-ritual peribadatan untuk

menghambakan diri mereka kepada Tuhan. Dalam al-Qur‟an kata masjid

atau masᾱjid disebut sebanyak 28 kali. Uniknya dalam penelitian ini

Muhammad Asad menerjemahkan kata masjid atau masᾱjid sebagai

houses of worship yaitu tempat peribadatan yang merujuk pada agama-

agama yang di sebut di atas.

A. Teks Ayat-Ayat Masjid Dalam al-Qur’an

Qs. al-Baqarah/ 2: 114

وسعى ف خراباومن أظلم تن منع مساجد اللو أف يذكر فيها اتو " Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang melarang di

dalam masjid-masjid Allah untuk menyebut nama-Nya dan berusaha

merobohkannya?"

Qs. al-Baqarah/ 2: 144

ـ فػوؿ وجهك شطر المسجد اترا" Maka hadapkanlah wajahmu ke arah Masjid al-Ḥarᾱm "

Qs. al-Baqarah/ 2: 149

ـ ومن حيث خرجت فػوؿ وجهك شطر المسجد اترا" Dan dari mana pun engkau (Muhammad) keluar, maka

hadapkanlah wajahmu ke arah Masjid al-Ḥarᾱm."

59

Qs. al-Baqarah/ 2: 150

ـ ومن حيث خرجت فػوؿ وجهك شطر المسجد اترا" Dan dari mana pun engkau (Muhammad) keluar, maka

hadapkanlah wajahmu ke arah Masjid al-Ḥarᾱm."

Qs. al-Baqarah/ 2: 187

ول تػباشروىن وأنتم عاكفوف ف المساجد “Tetapi jangan kamu campuri mereka, ketika kamu beri'tikaf dalam

masjid”

Qs. al-Baqarah/ 2: 191

ول تػقاتلوىم عند المسجد اتراـ حت يػقاتلوكم فيو " Dan janganlah kamu perangi mereka di Masjid al-Ḥarᾱm. "

Qs. al-Baqarah/ 2: 196

ول تلقوا رءوسكم فإف أحصرت فما استػيسر من اتدي وأتوا اتج والعمرة للو لغ اتدي تلو فمن كاف منكم مريضا أو بو أذى من رأسو ففدية من صياـ حت يػبػفإذا أمنتم فمن تتع بالعمرة إل اتج فما استػيسر من أو صدقة أو نسك

ـ ثالثة أيا اتدي عة إذا رجعتم فمن ل ید فصيا تلك عشرة ـ ف اتج وسبػلك لمن ل يكن أىلو حاضري المسجد اتراـ كاملة واتػقوا اللو واعلموا أف ذ

اللو شديد العقاب " Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah. Tetapi

jika kamu terkepung (oleh musuh), maka sembelihlah 'hadyu' yang

mudah didapat, dan jangan kamu mencukur kepalamu, sebelum

'hadyu' sampai di tempat penyembelihannya. Jika ada di antara kamu

yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu dia bercukur), maka

dia wajib berfidyah, yaitu berpuasa, bersedekah, atau berkurban.

Apabila kamu dalam keadaan aman, maka barang siapa mengerjakan

umrah sebelum haji, dia (wajib menyembelih) 'hadyu' yang mudah

didapat. Tetapi jika dia tidak mendapatkannya, maka dia wajib

berpuasa tiga hari dalam (musim) haji dan tujuh (hari) setelah kamu

kembali. Itu seluruhnya sepuluh (hari). Demikian itu, bagi orang

61

yang keluarganya tidak ada (tinggal) di Masjid al-Ḥarᾱm.

Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras

hukuman-Nya."

Qs. al-Baqarah/ 2: 217

وصد عن سبيل اللو وكفر بو والمسجد اتراـ وإخراج أىلو منو أكبػر عند اللو " Menghalangi (orang) dari jalan Allah, ingkar kepada-Nya,

(menghalangi orang masuk) Masjid al-Ḥarᾱm, dan mengusir

penduduk dari sekitarnya, lebih besar dosanya dalam pandangan

Allah."

Qs. al-Māidah/ 5: 2

ول یرمنكم شنآف قػوـ أف صدوكم عن المسجد اتراـ أف تػعتدوا" Jangan sampai kebencianmu) kepada suatu kaum karena mereka

menghalang-halangi kamu dari Masjid al-Ḥarᾱm, mendorongmu

berbuat melampaui batas (kepada mereka)."

Qs. al-A‟rāf / 7: 29

ين وأقيموا وجوىكم عند كل مسجد وادعوه تلصی لو الد" Hadapkanlah wajahmu (kepada Allah) pada setiap salat, dan

sembahlah Dia dengan mengikhlaskan ibadah semata-mata hanya

kepada-Nya. Kamu akan dikembalikan kepada-Nya sebagaimana

kamu diciptakan semula "

Qs. al-A'rāf/ 7: 31

ـ خذوا زينتكم عند كل مسجد وكلوا واشربوا ول تسرفوا يا بن آد" Wahai anak cucu Adam! Pakailah pakaianmu yang bagus pada

setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah tetapi jangan

berlebihan."

Qs. al-Anfāl/ 8: 34

بػهم اللو وىم يصدوف عن المسجد اتراـ وما كانوا أولياءه وما تم أل يػعذ

60

" Dan mengapa Allah tidak menghukum mereka padahal mereka

menghalang-halangi orang untuk mendatangi Masjid al-Ḥarᾱm dan

mereka bukanlah orang yang berhak menguasainya."

Qs. al-Taubah/ 9: 7

ـ كيف يكوف للمشركی عهد عند اللو وعند رسولو إل الذين عاىدت عند المسجد اترا" Bagaimana mungkin ada perjanjian (aman) di sisi Allah dan Rasul-

Nya dengan orang-orang musyrik kecuali dengan orang-orang yang

kamu telah mengadakan perjanjian (dengan mereka) di dekat Masjid

al-Ḥarᾱm (Hudaibiyah)."

Qs. al-Taubah/ 9: 17

ما كاف للمشركی أف يػعمروا مساجد اللو شاىدين على أنفسهم بالكفر "Tidaklah pantas orang-orang musyrik memakmurkan masjid Allah,

padahal mereka mengakui bahwa mereka sendiri kafir."

Qs. al-Taubah/ 9: 18

ا يػع ـ الصالة وآتى الزكاة ول یش إل إن اللو مر مساجد اللو من آمن باللو واليػوـ اآلخر وأقا" Sesungguhnya yang memakmurkan masjid Allah hanyalah orang-

orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap

melaksanakan salat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada apa

pun) kecuali pada Allah."

Qs. al-Taubah/ 9: 19

سبيل أجعلتم سقاية اتاج وعمارة المسجد اتراـ كمن آمن باللو واليػوـ اآلخر وجاىد ف اللو

" Apakah orang-orang yang memberi minum kepada orang-orang

yang mengerjakan haji dan mengurus Masjid al-Ḥarᾱm kamu

samakan dengan orang yang beriman kepada Allah dan hari

kemudian serta berjihad di jalan Allah?"

Qs. al-Taubah/ 9: 28

ذايا أيػها ـ بػعد عامهم ى ا المشركوف تس فال يػقربوا المسجد اترا الذين آمنوا إن

62

" Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya orang-orang

musyrik itu najis (kotor jiwanya), karena itu janganlah mereka

mendekati Masjid al-Ḥarᾱm setelah tahun ini."

Qs. al-Taubah/ 9: 107

رسولو والذين اتذوا مسجدا ضرارا وكفرا وتػفريقا بػی المؤمنی وإرصادا لمن حارب اللو و من قػبل

" Dan (di antara orang-orang munafik itu) ada yang mendirikan

masjid untuk menimbulkan bencana (pada orang-orang beriman),

untuk kekafiran dan memecah belah di antara orang-orang yang

beriman serta menunggu kedatangan orang-orang yang yang telah

memerangi Allah Rasul-Nya sejak dahulu."

Qs. al-Taubah/ 9: 108

لمسجد أسس على التػقوى من أوؿ يػوـ أحق أف تػقوـ فيو " Sungguh masjid yang didirikan atas dasar takwa sejak hari pertama

adalah lebih pantas engkau melaksanakan salat di dalamnya."

Qs. al-Isrā/ 17: 1

ي أسرى بعبده ليال من المسجد اتراـ إل المسجد األقصى الذي باركنا سبحاف الذ حولو لنريو من آياتنا

" Maha suci Allah, yang telah mempertahankan hamba-Nya

(Muhammad) pada malam hari dari Masjid al-Ḥarᾱm ke Masjid Al-

aqsᾱ yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan

kepadanya sebagian tanda-tanda (kebesaran) Kami."

Qs. al-Isrā/ 17: 17

ليتبػروا ما فإذا جاء وعد اآلخرة ليسوءوا وجوىكم وليدخلوا المسجد كما دخلوه أوؿ مرة و علوا تػتبريا

" Apabila datang saat hukuman (kejahatan) yang kedua, (Kami

bangkitkan musuhmu) untuk menyuramkan wajahmu lalu mereka

masuk ke dalam masjid (Masjid al-Aqsᾱ) sebagaimana mereka

63

memasukinya pertama kali dan mereka membinasakan apa saja yang

mereka kuasai."

Qs. al-Kahfi/ 18: 21

قاؿ الذين غلبوا على أمرىم لنتخذف عليهم مسجدا " Orang yang berkuasa atas urusan mereka berkata, kami pasti akan

mendirikan sebuah rumah ibadah di atasnya."

Qs. al-Ḥajj/ 22: 25

اكف إف الذين كفروا ويصدوف عن سبيل اللو والمسجد اتراـ الذي جعلناه للناس سواء الع فيو والباد

" Sungguh orang-orang kafir dan menghalangi (manusia) dari jalan

Allah dan Masjid al-Ḥarᾱm yang telah Kami jadikan terbuka untuk

semua manusia, baik yang mukim di sana maupun yang datang dari

luar..."

Qs. al-Ḥajj/ 22: 40

مت صوامع وبيع وصلوات ومساجد د يذكر فيها ولول دفع اللو الناس بػعضهم ببػعض ت اسم اللو كثريا

" Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian manusia

dengan sebagian yang lain, tentu telah dirobohkan biara-biara

Nasrani, gereja-gereja, dan masjid-masjid yang di dalamnya banyak

disebut nama Allah."

Qs. al-Fatḥ/ 48: 25

لغ تلو ىم الذين كفروا وصدوكم عن المسجد اتراـ واتدي معكوفا أف يػبػ" Mereka orang-orang kafir yang menghalang-halangi kamu (masuk)

Masjid al-Ḥarᾱm dan menghambat hewan-hewan kurban sampai ke

tempat (penyembelihannya)."

Qs. al-Fatḥ/ 48: 27

ـ إف شاء اللو آمنی تلقی رءوسكم ومقصرين ل تافوف لتدخلن المسجد اترا

64

" Kamu pasti akan memasuki Masjid al-Ḥarᾱm jika Allah

menghendaki dalam keadaan aman, dengan menggundul rambut

kepala dan memendekkannya, sedangkan kamu tidak merasa takut."

Qs. al-Jin/ 72: 18

وأف المساجد للو فال تدعوا مع اللو أحدا " Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah untuk Allah, maka

janganlah kamu menyembah apa pun di dalamnya selain Allah."

B. Masjid Dan Tafsirnya Perspektif Muhammad Asad

1). Masjid sebagai Kiblat (Ka'bah), simbol keesaan Tuhan dan daerah

sekitarnya (Makkah)

Qs. al-Baqarah/ 2:144

ها لةقب نك يػ فػلنػول لسما ء ٱ فی وجهك تػقلب نػرى قد شطر وجهك فػوؿ ترضىػ ٱـ ت ٱ جد ست كتػ ب لٱأوتوا ن يلذ ٱوإف ۥ شطره وجوىكم فػولواما كنتم ث يوح رام ق ت ٱأنو لموف عي ل ملوف عي بغػ فل عما للو ٱ وما من رب

"We have seen thee [O Prophet] often turn thy face towards heaven

[for guidance]: and now We shall indeed make thee turn in prayer

in a direction which will fulfil the desire. Turn, then, thy face

towards the Inviolable House of Worship; and wherever you all may

be, turn your faces towards it [in prayer]."1

Qs. al-Baqarah/ 2: 149

ٱ شطر وجهك فػوؿ ت خرج ث حيومن ـ ت ٱ سجد ت وما ربك من حق لل ۥوإنو را

ملوف بغػ فل عما تع للو ٱ

"Thus, from wherever thou mayest come forth, turn thy face [in

prayer] towards the Inviolable House of Worship for, behold, this

1 Muhammad Asad, The Message of The Qur'an: Translated and Explained

(Gibralta: Dᾱr al-Andalus 1980), 68.

65

[commandment] comes in truth from thy Sustainer; and God is not

unaware of what you do."2

Qs. al-Baqarah/ 2:150

ٱ شطر وجهك فػوؿ ت خرج ث حيومن ـ ت ٱ سجد ت فػولوا ما كنتم ث يوح را

ة إل كميللناس عل كوف ي لئال ۥشطره وجوىكم تشوىم فال منهمظلموا ن يلذ ٱحج وف تتد ولعلكم كميعل یت م وألت نع شونیخوٱ

"Hence, from wherever thou mayest come forth, turn thy face [in

prayer] towards the Inviolable House of Worship; and wherever you

all may be, turn your faces towards it, so that people should have no

argument against you unless they are bent upon wrongdoing. And

hold not them in awe, but stand in awe of Me, and [obey Me,] so

that I might bestow upon you the full measure of My blessings, and

that you might follow the right path."3

Masjid al-Ḥarᾱm pada tiga ayat di atas diterjemahkan oleh

Muhammad Asad sebagai Inviolable House of Worship yaitu rumah

ibadah yang tidak dapat diganggu gugat. Dalam penafsirannya, Masjid al-

Ḥarᾱm ini merujuk pada Kiblat (arah salat) yaitu Ka'bah yang dipahami

oleh Asad sebagai simbol ke-Esa-an Tuhan dan titik temu kesatuan

ideologi Islam.

ketiga ayat di atas erat hubungannya dengan rangkaian ayat

sebelumnya nya yaitu Qs. al-Baqarah/ 2: 142 dan 143 yang secara garis

besar membahas perpindahan arah kiblat dari Bait al-Maqdis ke Masjid al-

Ḥarᾱm. Nabi Muhammad saw. dan kaum Muslim ketika di Mekah

melaksanakan salat menghadap ke Bait al-Maqdis sebagaimana ajaran

kebanyakan para nabi sebelumnya.

Di dalam tafsirnya The Message of The Qur'an, Asad

menyampaikan:

2 Muhammad Asad, The Message of The Qur'an, 69

3 Muhammad Asad, The Message of The Qur'an, 69.

66

"Since he was aware of the sanctity of Jerusalem - the other holy

centre of the unitarian faith - the Prophet prayed, as a rule, before

the southern wall of the Ka'bah, towards the north, so as to face

both the Ka'bah and Jerusalem. After the exodus to Medina he

continued to pray northwards, with only Jerusalem as his qiblah

(direction of prayer). About sixteen months after his arrival at

Medina, however, he received a revelation (verses 142-150 of this

surah) which definitively established the Ka'bah as the qiblah of the

followers of the Qur'an."4

Dalam tafsirnya tersebut, beliau mengatakan bahwa Nabi menyadari

kesucian Yerusalem (Bait al-Maqdis) sebagai tempat suci agama tauhid.

Ketika di Makkah Nabi biasa melaksanakan salat di sebelah selatan

Ka'bah seolah-olah menghadap ke Ka'bah dan Yerusalem (Bait al-

Maqdis). Setelah hijrah ke Madinah, Nabi tidak bisa melakukan hal itu

lagi, sehingga hanya menghadap ke Yerusalem sebagai kiblat dan

berlangsung selama 16 bulan sampai wahyu datang kepada Nabi yang

menetapkan Ka'bah sebagai kiblat bagi para pengikut al-Qur'an.

Pemindahan arah kiblat kiranya lebih tepat disebut sebagai

pengembalian arah kiblat, merujuk pada Qs. al-Baqarah[2]: 143:

"Kami tidak menjadikan kiblat yang (dahulu) kamu (berkiblat)

kepadanya melainkan agar Kami mengetahui siapa yang mengikuti

Rasul dan siapa yang berbalik ke belakang."5

Hal ini disampaikan oleh Asad:

"Before his call to prophethood, and during the early Meccan period

of his ministry, the Prophet - and his community with him - used to

turn in prayer towards the Ka'bah. This was not prompted by any

specific revelation, but was obviously due to the fact that the Ka'bah

although it had in the meantime been filled with various idols to

which the pre-Islamic Arabs paid homage - was always regarded as

the first temple ever dedicated to the One God."6

4 Muhamad Asad, The Message of The Qur'an: Translated and Explained

(Gibralta: Dᾱr al-Andalus 1980), 67. 5 Muhammad Asad, The Message of The Qur‟an, 67.

6 Muhammad Asad, The Message of The Qur'an, 67

67

Asad menyampaikan bahwa pada periode pertama dakwah Nabi di

Makkah, Nabi beserta kaum Muslim terbiasa salat menghadap Ka'bah

meskipun pada waktu itu, Ka'bah dipenuhi patung-patung berhala yang

dihormati oleh bangsa Arab pra-Islam. Menghadap Ka'bah (ketika salat)

yang dilakukan Nabi ketika periode awal dakwahnya di Mekah, bukan

berdasarkan wahyu tertentu melainkan karena fakta, bahwa Ka'bah selalu

dipandang sebagai the first temple yang didedikasikan untuk Tuhan yang

Maha Esa.

Penetapan Ka'bah sebagai arah kiblat ini merupakan ujian berat

sebagian Muslim, sebagaimana lanjutan dari ayat 2:143:

"for this was indeed a hard test for all but those whom God has

guided aright.” (Qs. al-Baqarah/ 2: 143)

Tafsir: The "hard test" (kabirah) consisted in the fact that ever since

their exodus to Medina the Muslims had become accustomed to

praying towards Jerusalem - associated in their minds with the

teachings of most of the earlier prophets mentioned in the Qur'an -

and were now called upon to turn in their prayers towards the

Ka'bah, which at that time (in the second year after the hijrah) was

still used by the pagan Quraysh as a shrine dedicated to the worship

of their numerous idols. As against this, the Qur'an states that true

believers would not find it difficult to adopt the Ka'bah once again

as their qiblah: they would instinctively realize the divine wisdom

underlying this commandment which established Abraham's Temple

as a symbol of God's oneness and a focal point of the ideological

unity of Islam.7

Penetapan Ka'bah sebagai kiblat (arah salat) menjadi "ujian berat"

bagi sebagian Muslim. Hal ini dalam pandangan Asad terletak pada fakta

bahwa sejak hijrah ke Madinah, kaum Muslim sudah terbiasa berkiblat ke

Yerusalem (Bait al-Maqdis) - sesuai dengan ajaran kebanyakan para nabi

sebelumnya yang disebutkan dalam al-Qur'an - dan sekarang mereka

diperintahkan mengubah kiblat mereka menghadap Ka'bah yang pada

7 Muhammad Asad, The Message of The Qur'an, 68.

68

waktu itu (tahun kedua hijriah) masih digunakan oleh musyrik Quraisy

sebagai tempat suci yang diabadikan untuk menyembah berbagai bentuk

patung berhala. Berlawanan dengan hal itu, al-Qur'an menegaskan bahwa

Mukmin sejati tidak akan sulit menjadikan Ka'bah sebagai kiblat mereka

kembali: secara naluriah, mereka akan menyadari kebijaksanaan Allah

yang mendasari perintah ini dan menetapkan rumah ibadah Ibrahim

sebagai simbol keesaan Tuhan dan titik temu kesatuan ideologi Islam.

Problematik penetapan Ka'bah sebagai kiblat juga datang dari kaum

kafir Quraisy. Mereka mengingkari penetapan Ka'bah sebagai kiblat.

Mereka berkata:

لة قالوا: قد اشتاؽ تمد إل مولده وعن قريب كفار قػريش لما أنكروا تويل القبػ . يػرجع إل دينكم، وقالت اليػهود: قد التبس عليو أمره وتري

"Muhammad rindu pada tempat kelahirannya (Makkah) tidak lama

lagi dia akan kembali kepada agama kalian (menghadap ke

Yerusalem). Sementara orang Yahudi berkata: bahwa Muhammad

bingung dalam beragama."8

Ditetapkannya Ka'bah sebagai kiblat, seharusnya tidak menjadikan

perselisihan di antara umat agama, betapa pun pentingnya makna simbolis

arah sembahyang (kiblat) bukanlah merupakan hal yang esensial dalam

agama. Seperti ditegaskan dalam al-Qur'an:

"for, every community faces a direction of its own, of which He is

the focal point."9

Sebab, setiap umat memiliki suatu arah dan menghadap ke arahnya

masing-masing dengan Dia sebagai titik pusatnya. Muhammad Asad

menjelaskan beberapa poin penting terkait pernyataan al-Qur'an (Qs. al-

Baqarah/ 2: 148) sebagai berikut:

8 al-Qurṭubi, al-Jᾱmi‟ li Aḥkᾱm al-Qur‟ᾱn, jilid 1, cet. 2 (Beirut: Dᾱr al-Kutub al-

Ilmiyah 1971),100. 9 Muhammad Asad, The Message of The Qur'an, 69.

69

"The statement that "every community faces a direction of its own"

in its endeavour to express its submission to God implies, firstly,

that at various times and in various circumstances man's desire to

approach God in prayer has taken different forms (e.g., Abraham's

choice of the Ka'bah as his qiblah. the Jewish concentration on

Jerusalem, the eastward orientation of the early Christian churches,

and the Qur'anic commandment relating to the Ka'bah); and,

secondly, that the direction of prayer however important its

symbolic significance may be - does not represent the essence of

faith as such: for, as the Qur'an says, "true piety does not consist in

turning your faces towards the east or the west" (2:177), and,

"God's is the east and the west" (2:115 and 142)."10

Tafsiran Asad di atas, bahwa dalam upaya mengekspresikan

ketaatannya kepada Tuhan mempunyai beberapa implikasi; pertama,

bahwa dalam berbagai masa dan keadaan, hasrat manusia untuk

mendekatkan diri kepada Tuhan memiliki berbagai bentuk, Ibrahim dan

Ismail memilih Ka'bah sebagai Kiblatnya, kaum Yahudi menjadikan

Yerusalem sebagai titik pusatnya, gereja Kristen awal memilih menghadap

ke timur, dan al-Qur'an memerintahkan menghadap Ka'bah. Kedua, betapa

pun pentingnya makna simbolis arah sembahyang (kiblat), bukanlah hal

yang esensial dalam agama: sebab, seperti yang ditegaskan al-Qur'an,

“kesalehan sejati diraih bukan karena menghadapkan wajah ke arah

timur atau barat" dan "kepunyaan Allah timur dan barat”.

Hal serupa disampaikan oleh Rasyῑd Riḍᾱ bahwa esensi dari agama

bukanlah menghadapkan wajah ke arah timur atau barat, melainkan esensi

dan mutiara agama adalah اتسارعة إل اتري yakni berlomba-lomba dalam

kebaikan dan bersegera menuju tempat-tempat yang baik (mabarrah).11

Berdasarkan uraian penafsiran di atas, Masjid al-Ḥarᾱm yang

diterjemahkan oleh Muhammad Asad sebagai Inviolable House of

10

Muhammad Asad, The Message of The Qur'an, 69. 11

Rasyῑd Riḍᾱ, Tafsῑr al-Manār, jilid 2, cet. II (Kairo: Dᾱr el-Manᾱr 1947), 23.

71

Worship merujuk pada rumah ibadah Ibrᾱhῑm yang sekarang dikenal

dengan Ka'bah (simbol ke-Esa-an Tuhan dan titik temu kesatuan ideologi

Islam) bukan merujuk pada bangunan Masjid al-Ḥarᾱm. Hal ini

ditegaskan oleh Qs. al-Mā'idah/ 5: 97:

"Allah telah menjadikan Ka'bah, rumah suci itu, sebagai perlambang

bagi seluruh manusia."

Namun pada saat itu, Ka'bah (rumah suci atau Masjid al-Ḥarᾱm)

masih berada dalam kekuasaan orang Quraisy, padahal mereka bukanlah

orang yang berhak atas itu sebagaimana dijelaskan dalam firman-Nya:

Qs. al-Anfᾱl/ 8: 34

بػهم اللو وىم يصدوف عن المسجد اتراـ وما كانوا أولياءه وما تم أل يػعذ"But what have they [now] in their favour that God should not

chastise them - seeing that they bar [the believers] from the

Inviolable House of Worship, although they are not its [rightful]

guardians."12

Tafsir: At the time of the revelation of this surah (the year 2 H.)

Mecca was still in the possession of the hostile Quraysh, and no

Muslim was allowed to enter it. Owing to their descent from

Abraham, the Quraysh considered themselves entitled to the

guardianship of the Ka'bah ("the Inviolable House of Worship"),

which had been built by Abraham as the first temple ever dedicated

to the One God.13

Dalam penafsiran Asad, surah ini diwahyukan pada tahun 2 H, Kota

Mekah pada waktu itu masih dalam kekuasaan kaum Quraisy dan tidak

ada seorang Muslim yang diizinkan memasuki kota itu. Karena mereka

keturunan Nabi Ibrᾱhῑm a.s., kaum Quraisy menganggap diri mereka

memiliki hak sebagai penjaga Ka'bah (rumah ibadah yang suci atau

Masjid al-Ḥarᾱm), yang dibangun oleh Nabi Ibrᾱhῑm sebagai tempat

12

Muhammad Asad, The Message of The Qur‟an, 276. 13

Muhammad Asad, The Message of The Qur'an, 277.

70

pertama yang didedikasikan untuk Tuhan yang Maha Esa. Sikap sombong

kaum Quraisy ini disebutkan di dalam al-Qur'an:

Qs. al-Taubah/ 9: 19

أجعلتم سقاية اتاج وعمارة المسجد اتراـ كمن آمن باللو واليػوـ اآلخر وجاىد ف سبيل اللو

“Do you, perchance, regard the [mere] giving of water to pilgrims

and the tending of the Inviolable House of Worship as being equal to

[the works of] one who believes in God and the Last Day and strives

hard in God's cause? These [things] are not equal in the sight of

God. And God does not grace with His guidance people who

[deliberately] do wrong.14

Secara tidak langsung ayat ini berbicara tentang kesombongan sikap

kelompok pagan Quraisy, sebelum penaklukan Makkah (Fatḥ Makkah)

oleh kaum Muslimin, bahwa mereka lebih unggul dari pada kelompok

yang lain lantaran kedudukan mereka sebagai penjaga Ka'bah (Masjid al-

Ḥarᾱm) dan penyedia air (siqàyah) bagi orang-orang yang berziarah ke

Ka'bah.

Tafsir: A short time afterwards the above Qur'an-verse was revealed

to the Prophet. It would, therefore, appear that what is meant here is

the superior value of faith in God and struggle in His cause as

compared with acts which, however meritorious, are concerned only

with outward forms: in brief, the immense superiority of real self-

surrender to God over mere ritual.15

Dalam pandangan Asad, bahwa yang dimaksud dalam ayat ini

adalah Allah sangat menekankan aspek esoterik (iman) dibandingkan

eksoterik (ritual). Maka yang di maksud ayat ini adalah bahwa nilai

keimanan kepada Tuhan dan berjuang di jalan-Nya adalah lebih tinggi

dibandingkan perbuatan-perbuatan, betapa pun bermanfaat hanya

menekankan pada bentuk-bentuk lahiriah. Simpulnya, sikap berserah diri

14

Muhammad Asad, The Message of The Qur‟an, 292. 15

Muhammad Asad, The Message of The Qur'an, 293.

72

secara total kepada Tuhan jauh lebih tinggi derajatnya dari pada tindakan

yang semata-mata bersifat ritual.

Qs. al-Baqarah/ 2: 196

لك لمن ل يكن أىلو حاضري المسجد واتػقوا اللو واعلموا أف اللو شديد اتراـذ العقاب

" All this relates to him who does not live near the Inviolable House

of Worship."16

Ayat ini berkenaan dengan ibadah haji dan umrah. Di permulaan

ayat disebutkan:

“AND PERFORM the pilgrimage and the pious visit [toMecca] in

honour of God; and if you are held back, give instead whatever

offering you can easily afford.” (Qs. al-Baqarah/ 2: 196)

Perintah melaksanakan haji dan umrah ke Makkah untuk

mengagungkan Allah ini selagi tidak ada halangan. "and if you are held

back, give instead whatever offering you can easily afford" jika kalian

terhalang, sebagai gantinya, maka berikanlah persembahan apa saja yang

mudah kalian peroleh.17

Para mufasir berpendapat bahwa ayat ini turun pada tahun terjadinya

perjanjian Hudaibiyah ketika Nabi dan sahabatnya bermaksud untuk

mengunjungi ka‟bah, namun orang musyrik Makkah melarang Nabi

hingga akhirnya terjadi perjanjian Hudaibiyah, dan Nabi baru bisa

mengunjungi Mekah pada tahun berikutnya yaitu tahun 7 H.18

Qs. al-Fatḥ/ 48: 25

لغ تلو ىم الذين كفروا وصدوكم عن المسجد اتراـ واتدي معكوفا أف يػبػ

16 Muhammad Asad, The Message of The Qur‟an, 80.

17 Muhammad Asad, The Message of The Qur‟an, 81.

18 Muhammad „Izzah Darwazah, Tafsῑr al-Hadῑṡ, jilid 6, cet. 2 (Beirut: Dᾱr al-

Garab al-Islᾱmῑ, 2000), 340.

73

"it was they who were bent on denying the truth, and who debarred

you from the Inviolable House of Worship and prevented your

offering from reaching its destination."19

Ayat ini mengisyaratkan kepada kejadian bersejarah yaitu perjalanan

Rasulullah dan sahabatnya menuju Makah untuk berziarah ke Masjid al-

Ḥarᾱm yang kemudian dihadang oleh kaum musyrik sebagaimana

disebutkan di atas.20

Masjid al-Ḥarᾱm dalam ayat ini oleh Asad yaitu; the

Ka'bah, which, until the year 7 H., the Muslims were not allowed to

approach (Ka'bah yang sampai tahun ke-7 H. kaum Muslim dilarang

mengunjunginya.)21 Hal serupa terdapat pada Qs. al-Hajj/ 22: 25:

ا ويصدوف عن سبيل اللو والمسجد اتراـ الذي جعلناه للناس سواء إف الذين كفرو العاكف فيو والباد

"BEHOLD, as for those who are bent on denying the truth and bar

[others] from the path of God31 and from the Inviolable House of

Worship which We have set up for all people alike - [both] those

who dwell there "22

Tafsir: "According to Ibn 'Abbas, as quoted by Ibn Hisham, this

verse was revealed towards the end of the year 6 H., when the pagan

Quraysh refused the Prophet and his followers, who had come on

pilgrimage from Medina, the right of entry into Mecca, and thus into

the sanctuary of the Ka'bah (the "Inviolable House of Worship").

But whether or not this claim is correct - and we have no definite

historical evidence in either sense - the purport of the above verse is

not restricted to any historical situation but relates to every attempt

at preventing believers, be it physically or through intellectual

seduction, from going on pilgrimage to this symbolic centre of their

faith, or at destroying its sanctity in their eyes."23

19

Muhammad Asad, The Message of The Qur‟an, 813. 20

Muhammad „Izzah Darwazah, Tafsῑr al-Hadῑs, 35. 21

Muhammad Asad, The Message of The Qur‟an, 813. 22

Muhammad Asad, The Message of The Qur‟an, 542. 23

Muhammad Asad, The Message of The Qur‟an, 542.

74

Dalam tafsirnya di atas, Muhammad Asad mengutip pendapat Ibn

Abbās bahwa ayat ini diwahyukan pada akhir tahun keenam hijriyah

ketika kaum pagan Quraisy yang menghalang-halangi Nabi dan

pengikutnya untuk memasuki Mekah dan Ka‟bah. Di ayat ini Allah

menjelaskan bahwa Masjid al-Ḥarᾱm itu terbuka bagi semua manusia

secara merata serta memberikan ancaman kepada siapapun yang berusaha

mencemarinya (ilhᾱd) yakni melakukan penyelewengan terhadap ajaran-

ajaran agama diancam oleh Allah dengan siksaan yang pedih.

Terlepas dari peristiwa sejarah itu, Asad memahami ayat ini berlaku

umum, mengacu pada setiap usaha yang dilakukan untuk mencegah orang-

orang yang beriman menuju pusat simbolis iman itu atau setiap usaha

merusak kesuciannya. Paralel dengan hal itu, di dalam Qs. al-Baqarah/ 2:

114 Allah mengategorikan orang-orang yang mencegah bahkan merusak

rumah-rumah ibadah umat yang berketuhanan yang Maha Esa sebagai

orang-orang yang paling zalim dan ingkar terhadap eksistensi Tuhan.

Qs. al-Fatḥ/ 48: 27

ـ إف شاء اللو آمنی تلقی رء وسكم ومقصرين ل تافوف لتدخلن المسجد اترا"Indeed, God has shown the truth in His Apostle's true vision: most

certainly shall you enter the Inviolable House of Worship, if God so

wills, in full security, with your heads shaved or your haircut

short,39 without any fear"24

Tafsir: Shortly before the expedition which ended at Hudaybiyyah,

the Prophet had a dream in which he saw himself and his followers

entering Mecca as pilgrims. This dream-vision was destined to be

fulfilled a year later, in 7 H., when the Muslims were able to

perform their first peaceful pilgrimage to the Holy City.25

Dalam ayat ini Allah menunjukkan kebenaran kepada Rasulullah

dalam mimpinya bahwa beliau dan para sahabatnya akan memasuki

24

Muhammad Asad, The Message of The Qur‟an, 814. 25

Muhammad Asad, The Message of The Qur‟an, 814-815.

75

Masjid al-Ḥarᾱm dengan rasa aman tanpa ada rasa ketakutan sedikit pun

setelah terjadinya peristiwa Hudaibiyah yang menjadikan Rasulullah dan

sahabatnya tidak bisa memasuki kota Makkah.

Dalam menafsirkan ayat ini, Muhammad Asad menjelaskan bahwa

tidak lama sebelum ekspedisi yang berakhir di Hudaibiyah, Nabi

bermimpi melihat dirinya dan sahabatnya memasuki kota Mekah untuk

melaksanakan haji. Mimpi ini terwujud pada tahun 7 H. (satu tahun

setelah perjanjian Hudaibiyah). Pada tahun ke-7 itu, Nabi dan sahabatnya

bisa berziarah pertama dengan tenang ke kota suci Makah. Tidak hanya

itu, Allah pun menjanjikan kemenangan di masa depan kepada Nabi.

Kemenangan di masa depan ini, ditafsirkan oleh Asad sebagai "a prophecy

of the almost bloodless conquest of Mecca in the year 8 H." yaitu sebuah

ramalan tentang penaklukan Mekah pada tahun 8 H.26

Qs. al-Màidah/ 5: 2

عن المسجد اتراـ أف تػعتدواول یرمنكم شنآف قػوـ أف صدوكم " And never let your hatred of people who would bar you from the

Inviolable House of Worship lead you into the sin of aggression."27

Tafsir: At the time of the revelation of this surah Mecca was already

in the possession of the Muslims, and there was no longer any

question of their being barred from it by the Quraysh, almost all of

whom had by then embraced Islam. We must, therefore, conclude

that the above injunction cannot be circumscribed by a historical

reference but has a timeless, general import: in other words, that it

refers to anybody who might endeavour to bar the believers -

physically or metaphorically - from the exercise of their religious

duties (symbolized by the "Inviolable House of Worship") and thus

to lead them away from their faith. In view of the next sentence,

moreover, this interpretation would seem to be the only plausible

one.28

26

Muhammad Asad, The Message of The Qur‟an, 815. 27

Muhammad Asad, The Message of The Qur‟an, 176. 28

Muhammad Asad, The Message of The Qur'an, 176.

76

Ayat di atas turun pada tahun 10 H. Pada saat ayat ini diturunkan,

Mekah sudah berada dalam kekuasaan orang Islam (sebagaimana janji

Allah pada Qs. al-Fatḥ/ 48: 27) sehingga dalam pandangan Asad di atas

mengenai persoalan pengadangan kaum Quraisy terhadap mereka (umat

Islam) sudah tidak ada lagi, bahkan dalam pandangan Asad, bahwa kaum

Quraisy pada waktu itu hampir semuanya sudah masuk Islam. Karena itu,

harus disimpulkan bahwa perintah (Qs. al-Mᾱidah/ 5: 2) tidak terbatas

pada sejarah tertentu, tetapi memiliki makna yang bersifat umum; dengan

kata lain, perintah tersebut berlaku untuk setiap orang yang berusaha

menghalang-halangi orang beriman secara fisik atau kiasan yang hendak

menjalankan perintah-perintah agama mereka (yang disimbolkan dengan

Masjid al-Ḥarᾱm).

Qs. al-Taubah/ 9: 7

كيف يكوف للمشركی عهد عند اللو وعند رسولو إل الذين عاىدت عند المسجد ـ اترا

"HOW COULD they who ascribe divinity to aught beside God be

granted a covenant by God and His Apostle, unless it be those [of

them] with whom you [O believers] have made a covenant in the

vicinity of the Inviolable House of Worship? [As for the latter,] so

long as they remain true to you, be true to them: for, verily, God

loves those who are conscious of Him."29

Tafsir: The "covenant" alluded to is the truce-agreement concluded

in 6 H. at Hudaybiyyah, in the vicinity of Mecca, between the

Prophet and the pagan Quraysh, which was (and was obviously

intended to remain) a model of the self-restraint and the tolerance

expected of true believers with regard to such of the unbelievers as

are not openly hostile to them.30

29

Muhammad Asad, The Message of The Qur‟an, 290. 30

Muhammad Asad, The Message of The Qur‟an, 291.

77

Ayat ini turun setelah fatḥu makkah dan setelah orang-orang Quraisy

masuk Islam.31

Ayat ini memberitahu umat Islam agar membatalkan

perjanjian dengan suku-suku di sekitar kota Mekah kecuali Bani Damrah

yang sebelumnya (Bani Damrah) itu menjadi sekutu kaum Quraisy pada

perjanjian Hudaibiyah tahun 6 H. Perintah pembatalan ini di karena kan

mereka telah melanggar perjanjian sebagaimana dulu mereka melanggar

perjanjian Hudaibiyah.32

Dalam tafsiran Asad di atas bahwa perjanjian terhadap kaum tidak

beriman yang tidak memusuhi Islam adalah suatu model toleransi yang

diharapkan kaum Mukmin.

Qs. al-Taubah/ 9: 28

ذا ـ بػعد عامهم ى ا المشركوف تس فال يػقربوا المسجد اترا ياأيػها الذين آمنوا إن"O YOU who have attained faith! Those who ascribe divinity to

aught beside God are nothing but impure: and so they shall not

approach the Inviolable House of Worship from this year

onwards."33

Setelah penaklukan kota Mekah (Fatḥu Makah) orang-orang

beriman diperintahkan untuk tidak membiarkan orang musyrik (yang

menisbahkan ketuhanan kepada selain Allah) memasuki Masjid al-Ḥarᾱm

setelah tahun ini ( yaitu setelah tahun 9 H, pada saat ayat ini diwahyukan).

Berdasarkan uraian penafsiran di atas, kata Masjid al-Ḥarᾱm dalam

teks asalnya diterjemahkan oleh Muhammad Asad menjadi inviolable

House of Worship yang secara harfiah berarti Rumah Ibadah yang bebas

gangguan. Namun, yang dimaksud dengan Masjid al-Ḥarᾱm ( rumah

ibadah yang suci) tentu saja adalah Ka'bah dan sebagai implikasinya

31

Muhammad „Izzah Darwazah, Tafsῑr al-Hadῑs, jilid 9, cet. 2 (Beirut: Dᾱr al-

Garab al-Islᾱmῑ, 2000), 368. 32

Muhammad Khᾱzin, al-Tawῑl fī Ma'ānī al-Tanzῑl, jilid 3, cet. 2 (Beirut: Dᾱr al-

Fikr 1979 M), 63. 33

Muhammad Asad, The Message of The Qur‟an, 295.

78

mencakup pula keseluruhan wilayah Makah. Bahkan dalam konteks

tertentu Asad mengartikannya sebagai sebuah simbol dari agama-agama

seperti yang terdapat dalam Qs. al-Mᾱ‟idah/ 5: 2 di atas.

Dalam ayat lain Masjid al-Ḥarᾱm juga diungkapkan dengan

redaksi bait atau buyủt dan bait al-„atῑq yang sama-sama merujuk pada

sejarah berdiri atau protipe Ka‟bah yang dibangun oleh Ibrᾱhῑm dan

Ismᾱ‟ῑl.34

2). Masjid sebagai Houses of Worship

Qs. al-Taubah/ 9: 17

للمشركی أف يػعمروا مساجد اللو شاىدين على أنفسهم بالكفر ما كاف

"IT IS NOT for those who ascribe divinity to aught beside God to

visit or tend26 God's houses of worship, the while [by their beliefs]

they bear witness against themselves that they are denying the truth.

It is they whose works shall come to nought, and they who in the fire

shall abide!”35

Qs. al-Taubah/ 9: 18

ـ الصالة وآتى ا يػعمر مساجد اللو من آمن باللو واليػوـ اآلخر وأقا الزكاة ول یش إن إل اللو

"Only he should visit or tend God's houses of worship who believes

in God and the Last Day, and is constant in prayer, and spends in

charity, and stands in awe of none but God: for [only such as] these

may hope to be among the rightly guided!”36

Tafsir: Some of the commentators conclude from this versus that

"those who ascribe divinity to aught beside God" are not allowed to

enter mosques ("God's houses of worship"). This conclusion,

however, is entirely untenable in view of the fact that in 9 H. - that

is, after the revelation of this surah - the Prophet himself lodged a

deputation of the pagan Band Thaqif in the mosque at Medina

(Razi). Thus, the above verse expresses no more than the moral

34

Lihat Bab II. 35

Muhammad Asad, The Message of The Qur‟an, 292. 36

Muhammad Asad, The Message of The Qur‟an, 292.

79

incongruity of the unbelievers' "visiting or tending God's houses of

worship.37

Berdasarkan ayat ini, dalam tafsiran Asad di atas disebutkan bahwa

sejumlah mufasir menyimpulkan "orang-orang yang menisbahkan

ketuhanan kepada selain Allah" (kaum musyrik) tidak diperkenankan

untuk masuk ke dalam masjid (rumah ibadah yang didedikasikan untuk

Tuhan). Namun bagi Asad, kesimpulan tersebut sama sekali tidak dapat

dipertahankan dengan melihat fakta bahwa pada 9 H Nabi sendiri

menyediakan tempat penginapan bagi rombongan utusan dari kelompok

musyrik Banu Ṡaqῑf di masjid, di Madinah.38

Dengan demikian, Asad menyimpulkan bahwa ayat tersebut sekedar

mengungkapkan ke tidak-pantasan moral dari tindakan orang yang tidak

beriman dalam mengunjungi atau memelihara rumah ibadah yang

didedikasikan untuk Tuhan.

"Only he should visit or tend God's houses of worship who believes

in God and the Last Day, and is constant in prayer, and spends in

charity, and stands in awe of none but God: for [only such as] these

may hope to be among the rightly guided!”39

Mengenai kaum musyrik, terdapat perbedaan pendapat di kalangan

para ulama. Apakah ahli kitab atau dalam bahasa Asad disebut (the

followers of the earlier revelations) apakah termasuk kategori orang-orang

musyrik yang tidak diperbolehkan mengunjungi dan memelihara rumah

ibadah dalam konteks ini adalah masjid utama umat Islam yakni Ka‟bah?.

Dalam Qs. al-Ḥajj/ 22: 17, disebutkan:

“Sesungguhnya orang-orang beriman, orang Yahudi, orang Sabi‟in,

orang Nasrani, orang Majusi dan orang musyrik, Allah pasti

37

Muhammad Asad, The Message of The Qur‟an, 292. 38

Abῑ al-Ḥasan „Alῑ Ibn Ḥabῑb al-Mawardῑ, al-Ḥᾱwῑ al-Kabῑr, jilid 14, cet. I

(Beirut: Dᾱr al-Kutub al-„Ilmiyah, 1994), 328., dan Muhammad Asad, The Message of

The Qur‟an, 192. 39

Muhammad Asad, The Message of The Qur‟an, 292.

81

memberi keputusan di antara mereka pada hari Kiamat. Sungguh,

Allah menjadi saksi atas segala sesuatu.” (Qs. al-Ḥajj/ 22: 17)

Dalam penafsiran Muhammad Asad, the followers of the earlier

revelations tidak dikategorikan sebagai kaum musyrik, meskipun orang-

orang Kristen dan Majusi (pengikut Zoroaster) menganggap bahwa sifat-

sifat ketuhanan terdapat pada makhluk-makhluk lain selain Allah, tetapi

mereka menganggap makhluk-makhluk itu tidak lebih manifestasi

pengejawantahan (atau inkarnasi) Tuhan yang Esa. Dalam keyakinan

mereka sendiri, mereka benar-benar menyembah Allah. Sedangkan

mereka (orang-orang yang menisbatkan ketuhanan kepada makhluk-

makhluk selain Allah, jelas menolak prinsip keesaan Tuhan dan keunikan-

Nya.40

Berkenaan dengan kepercayaan yang dinisbahkan orang-orang

Yahudi bahwa „Uzair (Ezra) adalah “anak Allah” perlu dicatat bahwa

hampir seluruh mufasir klasik setuju bahwa yang dimaksud dalam tuduhan

ini hanyalah kelompok Yahudi Arab, bukan semua orang Yahudi. Tidak

dikategorikannya Ahli Kitab ke dalam kaum musyrik ini sangat penting

terutama dalam hal-hal praktis (yang timbul dari konsekuensi hukum

tentang Ahli Kitab) tersebut, terlebih dalam kehidupan masyarakat plural,

seperti yang akan diuraikan dalam ayat berikut:

Qs. al-Baqarah/ 2: 114

ومن أظلم تن منع مساجد اللو أف يذكر فيها اتو وسعى ف خرابا “Hence, who could be more wicked than those who bar the mention

of God's name from [any of] His houses of worship and strive for

their ruin, [although] they have no right to enter them save in fear

[of God]?95 For them, in this world, there is ignominy in store; and

for them, in the life to come, awesome suffering..”41

40

Muhammad Asad, The Message of The Qur‟an, 541. 41

Muhammad Asad, The Message of The Qur‟an, 62.

80

Tafsir: It is one of the fundamental principles of Islam that every

religion which has belief in God as its focal point must be accorded

full respect, however much one may disagree with its particular

tenets. Thus, the Muslims are under an obligation to honour and

protect any house of worship dedicated to God, whether it be a

mosque or a church or a synagogue (cf. the second paragraph of

22:40); and any attempt to prevent the followers of another faith

from worshipping God according to their own lights is condemned

by the Qur'an as a sacrilege. A striking illustration of this principle

is forthcoming from the Prophet's treatment of the deputation from

Christian hijran in the year 10 H. They were given free access to the

Prophet's mosque, and with his full consent celebrated their

religious rites there, although their adoration of Jesus as "the son

of God" and of Mary as "the mother of God" was fundamentally at

variance with Islamic beliefs.42

Asad memahami ayat di atas sebagai salah satu prinsip fundamental

dalam Islam, dalam tafsirnya di atas disebutkan bahwa setiap agama yang

menjadikan iman kepada Tuhan sebagai inti ajarannya harus memperoleh

penghargaan penuh, betapa pun banyak ajaran khasnya yang tidak

disepakati. Karena itu, Muslim wajib menghormati dan melindungi setiap

tempat ibadah yang dipersembahkan untuk Tuhan, baik itu masjid, gereja,

maupun sinagoge.

Berkenaan dengan ayat di atas, terdapat beberapa versi mengenai

sebab turunnya ayat tersebut. Asbᾱb al-nuzủl adalah salah satu dari ilmu

al-Qur‟an yang mengkaji latar belakang suatu ayat atau beberapa ayat al-

Qur‟an diturunkan. Imᾱm al-Ja‟bᾱrῑ mengatakan bahwa latar belakang

turunnya al-Qur‟an itu terbagi menjadi dua bagian: satu bagian turun tidak

ada sebab musababnya, sedangkan bagian yang lainnya turun disertai

dengan adanya peristiwa atau adanya pertanyaan.43

Qs. al-Baqarah/ 2: 114

42

Muhammad Asad, The Message of The Qur‟an, 62. 43

Jalᾱl al-Dῑn al-Suyủṭi, al-Itqᾱn fῑ Ulủm al-Qur‟ᾱn, cet. 7 (Beirut: Dᾱr al-Kutub

al-Islamiyah, 2019), 48.

82

termasuk pada bagian yang kedua. Berikut adalah beberapa riwayat

mengenai sebab turunnya Qs. al-Baqarah/ 2: 144 :

Pertama, berdasarkan periwayatan dari al-„Aufῑ dalam kitab

tafsirnya dari Ibn Abbᾱs sehubungan dengan makna Qs.al-Baqarah/ 2:

114, Mujᾱhid mengatakan bahwa mereka adalah orang-orang Nasrani,

mereka melemparkan kotoran ke dalam Bait al-Maqdis dan menghalang-

halangi manusia untuk melakukan salat.

Wahbah al-Zuhailī mengutip dua riwayat dari Ibn Abbās berkenaan

dengan sebab turunnya ayat ini:44

Dari jalur periwayatan al-Kalbī, ayat ini turun berkenaan dengan

Titus Rum mereka memerangi dan membunuh Bani Isrāil, mereka

merusak Taurat, menghancurkan Bait al-Maqdis.

Dari jalur periwayatan „Aṭᾱ‟i dari Ibn Abbᾱs berpendapat bahwa

ayat ini turun berkenaan dengan orang musyrik Arab yang melarang umat

Islam menyebut nama Allah di Masjid al-Ḥarᾱm. memasuki kota Mekah

untuk melaksanakan ibadah umrah. Sedangkan dari jalur periwayatan Ibn

Hātim dari Ibn Abbās: bahwa orang-orang Quraisy mencegah Nabi

Muhammad saw. untuk melaksanakan salat di Masjid al-Ḥarᾱm,

kemudian Allah menurunkan Qs.al-Baqarah/ 2: 114.

Sementara itu, dari riwayat Ibn Jarῑr dari Abῑ Zaid ayat ini (Qs. al-

Baqarah/ 2: 114) berkenaan dengan orang-orang musyrik yang

menghalang-halangi Rasulullah untuk memasuki kota Makkah pada hari

hudaibiyah.45

Dari beberapa riwayat di atas mengenai sebab turunnya Qs. al-

Baqarah/ 2: 114 yang menjadi pedoman pengambilan hukum ada pada

keumuman lafaz, sebagaimana dalam teori Asbabun nuzul: al-„Ibrah bi

44

Wahbah al-Zuhailī, Tafsῑr al-Munῑr, jilid 1, cet. 2 (Beirut: Dᾱr al-Fikr, 1418 H),

279. 45

Wahbah al-Zuhailī, Tafsῑr al-Munῑr, 280.

83

„umủm al-lafẓi lᾱ bi khusủs al-sabab “ yang diambil sebagai pedoman

suatu hukum itu berdasarkan keumuman lafaz bukan ketentuan sebab.”46

Oleh karena itu, ahli kitab tercakup ke dalam ayat ini dan berlaku

pada Titus Rumani yang memasuki Bait al-Maqdis sekitar tahun 70 dan

mereka menghancurkan Bait al-Maqdis, merobohkan Kuil Sulaiman, dan

membakar sebagian kitab Taurat. Seperti itu juga berlaku pada kaum

musyrik Mekah yang mencegah Nabi Muhammad saw. dan para

Sahabatnya memasuki kota Makkah. Seperti itu juga berlaku pada

golongan salibiyyin yang menyerang Bait al-Maqdis dan mencegah orang-

orang beribadah di Masjid al-Aqsa dan mereka banyak menghancurkan

masjid-masjid di Negara Islam.47

Dengan demikian kandungan hukum yang terdapat dalam Qs. al-

Baqarah/ 2: 114 adalah wajib menghormati setiap rumah ibadah yang di

dalamnya disebut nama Allah; baik itu dengan salat ataupun tasbih dan

mengharamkan setiap usaha untuk menghancurkan rumah-rumah

peribadatan. Oleh karena itu setiap tindakan yang menghalang-halangi

manusia untuk beribadah dikategorikan sebagai orang yang paling zalim.

Prinsip fundamental Islam seperti yang ditegaskan oleh Muhammad

Asad dalam menafsirkan Qs. al-Baqarah/ 2: 114 di atas, bahwa Muslim

berkewajiban menghormati dan melindungi setiap rumah peribadatan yang

didedikasikan untuk Tuhan. Dalam menafsirkan hal ini, beliau merujuk

pada Qs. al-Ḥajj/ 22:40

مت صوامع وبيع وصلوات د يذكر ومساجد ولول دفع اللو الناس بػعضهم ببػعض ت فيها اسم اللو كثريا

“For, if God had not enabled people to defend themselves against

one another, [all] monasteries and churches and synagogues and

46

Jalᾱluddῑn al-Suyủti, al-Itqᾱn fῑ Ulủm al-Qur‟ᾱn, 50. 47

Wahbah al-Zuhailī, Tafsῑr al-Munῑr, 280.

84

mosques - in [all of] which God's name is abundantly extolled -

would surely have been destroyed [ere now].”48

عال لألنبياء واتؤمنی من قتاؿ األعداء لستول أىل الشرؾ وعطلوا لول ما شرعو ا تما بينتو أرباب الديانات من مواضع العبادات, ولكنو دفع بأف أوجب القتاؿ ليتفرغ

أىل الدين للعبادة“ Seandainya Allah tidak mensyariatkan kepada para Nabi dan

orang-orang beriman untuk memerangi musuh, niscaya orang

musyrik itu akan berkuasa dan mereka akan menghancurkan apa

yang sudah dibangun oleh para pemeluk agama yakni tempat-tempat

ibadah. Akan tetapi Allah menolak kehancuran itu dengan kewajiban

berperang agar para pemeluk agama itu tenang dalam

mendedikasikan dirinya untuk beribadah.”49

Ayat ini erat kaitannya dengan ayat sebelumnya, yakni Qs. al-Ḥajj/

22: 39 yang mengumumkan kebolehan untuk berperang secara fisik dalam

rangka mempertahankan diri. Prinsip untuk mempertahankan diri ini telah

dirinci lebih lanjut dalam Qs. al-Baqarah/ 2:190-193:50

“AND FIGHT in God's cause against those who wage war against

you, but do not commit aggression - for, verily, God does not love

aggressors..”

“ And slay them wherever you may come upon them, and drive them

away from wherever they drove you away - for oppression is even

worse than killing. And fight not against them near the Inviolable

House of Worship unless they fight against you there first; but if they

fight against you, slay them: such shall be the recompense of those

who deny the truth.”

“ But if they desist behold, God is much-forgiving, a dispenser of

grace.”

48

Muhammad Asad, The Message of The Qur‟an, 546. 49 al-Qurṭubī, al-Jᾱmi‟ li Ahkᾱm al-Qur‟ᾱn, jilid 7, cet. I (Beirut: al-Risᾱlah,

2006), 408. 50

Muhammad Asad, The Message of The Qur‟an, 79.

85

“ Hence, fight against them until there is no more oppression and

all worship is devoted to God alone;170 but if they desist, then all

hostility shall cease, save against those who [wilfully] do wrong..”

Ayat-ayat di atas dengan tegas menetapkan bahwa perang hanya

dibolehkan bagi kaum Muslim untuk membela diri. Kata lᾱta‟tadủ dalam

ayat 190 berarti “ janganlah melancarkan agresi” (do not commit

aggression); sedangkan al-mu‟tadіn berarti “orang-orang yang

melancarkan agresi”. Selanjutnya, karakter defensif perang “di jalan

Allah” yaitu yang sesuai dengan prinsip etis yang diperintahkan Allah,

terlihat jelas dalam sebutan “orang-orang yang memerangi kalian” dan

sudah dijelaskan lebih lanjut dalam Qs. al-Ḥajj/ 22: 39 “ izin untuk

berperang telah diberikan kepada orang-orang yang telah diperangi secara

zalim” yang menurut semua riwayat hadis yang ada, merupakan ayat

paling awal yang membahas masalah perang suci.51

Pengertian “bunuhlah mereka di mana saja kalian menjumpai

mereka” sejalan dengan perintah sebelumnya hanya sah dilakukan dalam

konteks permusuhan yang sedang berlangsung, berdasarkan pemahaman

bahwa “mereka yang memerangi kalian” adalah para agresor atau

penindas sehingga perang dari pembebasan dari ketertindasan menjadi

perang di jalan Allah. Kata fitnah dalam ayat di atas diterjemahkan oleh

Asad menjadi oppression (penindasan) didukung dengan alasan bahwa

istilah ini diterapkan untuk menunjukkan berbagai penderitaan.52

Berdasarkan hal di atas, maka makna tersirat yang terkandung dalam

Qs. al-Ḥajj/ 22: 40 yaitu bahwa alasan utama yang membolehkan bahkan

mengharuskan mengangkat senjata adalah untuk mempertahankan

51

Muhammad Asad, The Message of The Qur‟an, 79. 52

Muhammad Asad, The Message of The Qur‟an, 79.

86

kebebasan beragama (religious freedom).53

Lebih lanjut ditegaskan oleh

Qs. al-Baqarah/ 2: 193:

“Karena itu, perangilah mereka hingga tiada lagi penindasan dan

seluruh peribadatan di persembahkan hanya untuk Allah.”

Dalam konteks ayat ini istilah dῑn diterjemahkan Asad sebagai

“peribadatan” (worship), sebab kata itu meliputi aspek doktrinal dan moral

agama. Sehingga terjemahannya adalah “ dan seluruh peribadatan di

persembahkan hanya untuk Allah” yakni, hingga Allah dapat disembah

tanpa rasa takut akan penganiayaan dan tiada seorang pun dipaksa tunduk

karena gentar di hadapan manusia lainnya.54

Dari penafsiran silang yang dilakukan Muhammad Asad, dapat

dipahami bahwa Islam sangat menghormati perbedaan dalam peribadatan

dengan kata lain, Islam sangat menjunjung tinggi religious freedom atau

kebebasan beragama. Konsekuensi logis dari kebebasan beragama adalah

menjaga dan menghormati rumah-rumah peribadatan dengan segala

bentuk ritual keagamaannya. Dengan demikian segala bentuk tindakan

anarkis; merusak rumah ibadah, melarang orang untuk melakukan

peribadatan baik itu masjid, gereja, atau sinagoge merupakan tindakan

yang menurut al-Qur'an disebut sebagai tindakan yang paling zalim.

Religious Freedom mencakup di dalamnya kebebasan beribadah

tercermin pada sikap Nabi Muhammad saw. ketika rombongan Nasrani

Najran mendatangi Nabi di Madinah. Nabi menerima rombongan Nasrani

Najran di dalam masjid dan Nabi memperkenankan mereka untuk

melakukan ritual keagamaan di dalamnya.55

53

Muhammad Asad, The Message of The Qur‟an, 547. 54

Muhammad Asad, The Message of The Qur‟an, 79. 55

Syauqi „Allᾱm, Ḥimᾱyah al-Kanᾱ`isi fī al-Islᾱm, Kementrian Agama Mesir

2016, 7.

87

Hal serupa disampaikan oleh Ibn Qayyim dalam “ al-Aḥkᾱm Ahl Al-

Ẓimmah” :56

ب صلى ا عليو وسلم انو انزؿ وفد نصارى تراف ىف مسجده وحانت وقد صح عن الن صالتم فصلوا فيو

“ Sebuah riwayat yang menceritakan bahwa Nabi saw. menerima

rombongan Nasrani Najran di masjidnya, ketika itu tiba waktu salat

mereka dan mereka pun salat di dalam masjid itu.”57

Dalam riwayat di atas, Nabi saw. mengizinkan kaum Nasrani Najran

melakukan salat di dalam masjid ( kaum Muslim), apalagi di gereja-gereja

mereka (di mana mereka biasa melakukan peribadatan dan ritual-ritual

keagamaan) maka menjaga tempat peribadatan mereka serta menjaga hak

mereka dalam beribadah merupakan perbuatan yang sangat agung dan

mulia.

Peristiwa sejarah ini dikutip oleh Asad dalam tafsirnya, dari kitab al-

Ṭabaqāh karya Ibn Sa‟ad. beliau mengatakan bahwa peristiwa ini

merupakan contoh yang mencolok tentang prinsip menghormati

peribadatan umat lain. Terlihat dari perilaku Nabi Muhammad saw.

terhadap utusan Nasrani Najrᾱn pada tahun 10 H. Mereka diberi

kebebasan memasuki masjid Nabi, dan dengan persetujuan penuh dari

Nabi melaksanakan ritual keagamaan mereka di dalamnya.58

Golongan Muslim dan Kristen Najrᾱn secara terbuka mendiskusikan

perihal pemerintah, politik, dan agama. Mereka bersepakat dalam banyak

persoalan, tetapi mereka juga sepakat untuk tidak bersepakat dalam

56

Ibn Qayyim, Aḥkᾱm Ahli Ẓimmah, jilid I, cet. I (Ramaῑi al-Naysr, 1997), 397. 57 Ibn Qayyim, Aḥkᾱm Ahli Ẓimmah, 397. 58

Muhammad Asad, The Message of The Qur‟an, 62.

88

persoalan-persoalan teologis. Kalau ada frase yang bisa menyimpulkan

pertemuan mereka, maka itu adalah "saling menghormati".59

Sikap Nabi di atas juga terlihat pada diri al-Fārūq Umar Ibn Khaṭṭᾱb

ketika menaklukkan Yerusalem (Elia), beliau menuliskan sebuah

perjanjian keamanan yang sekarang dikenal dengan al-„Ahdah al-

Umariyah (Perjanjian Umar). Berikut adalah naskah perjanjian tersebut:60

" Ini adalah jaminan perlindungan keamanan yang diberikan hamba

Allah, Amῑrul Mu‟minῑn „Umar Ibn Khaṭṭᾱb kepada penduduk Elia.

Ia memberikan jaminan keamanan jiwa raga, harta benda, gereja-

gereja, salib, orang yang sakit, orang yang menderita, dan seluruh

aliran kepercayaan mereka. Gereja-gereja mereka tidak boleh

dirusak dan dihancurkan, tidak boleh diganggu dan tidak boleh

diambil alih, dan tidak boleh dirampas hartanya sedikit pun. Mereka

tidak boleh dipaksa melepaskan agamanya…."

Dari dua riwayat di atas mengisyaratkan bahwa Islam memberikan

dasar yang kuat untuk menjaga semua rumah ibadah dari golongan yang

berbeda dengan keyakinan umat Islam sendiri. Ini merupakan nilai dasar

menuju kehidupan damai, toleran, dan berkeadilan. Muhammad Asad

kemudian mengaitkan peristiwa di atas dengan Qs. al-Baqarah/ 2: 114 di

atas.

Hal ini menunjukkan bahwa Nabi Muhammad saw. mengajarkan

semangat al-Qur‟an secara langsung untuk menghormati setiap rumah

peribadatan. Namun, sikap inklusif Nabi ini dikotori oleh kaum intoleran,

kaum ekstrem yang merusak rumah-rumah peribadatan bahkan melakukan

pemboman terhadap rumah-rumah peribadatan seperti yang terjadi baru-

baru ini di Makassar , Sulawesi Selatan, merupakan sebuah tindakan yang

menurut al-Qur‟an dikategorikan sebagai orang yang paling zalim.

59

Craig Considine, Muhammad Nabi Cinta: Catatan Seorang Nasrani Tentang

Nabi Muhammad saw (Jakarta: Noura publishing 2018), 6. 60

Fathi Zaghrut, al-Nawᾱzil al-Kubrᾱ fi al-Tᾱrikh al-Islᾱmi: Bencana-Bencana

Besar dalam Sejarah Islam, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2014), 231.

89

al-Ṭabarῑ mengategorikan orang-orang yang berusaha menghalang-

halangi bahkan mencoba menghancurkan tempat-tempat peribadatan

sebagai orang yang ingkar akan eksistensi Tuhan.

وأي امرئ أشد تعديا وجراءة على ا وخالفا ألمره من امرئ منع مساجد ا اف يعبد ا فيها

“Dan siapakah yang lebih ingkar kepada Allah dan bertentangan dan

menentang perintahnya selain dari orang-orang yang berusaha

menghalang-halangi menyebut nama Allah di rumah-rumah ibadah-

Nya untuk beribadah di dalamnya.”61

Jelaslah dalam pandangan ini, al-Ṭabarῑ mengategorikan orang yang

menghancurkan rumah peribadatan baik itu masjid, gereja, sinagoge

sebagai orang yang ingkar akan eksistensi Tuhan. Oleh karena itu, Islam

mengutuk segala bentuk aksi kejahatan untuk menghancurkan rumah-

rumah peribadatan, karena itu bertentangan dengan misi Islam sebagai

agama yang membawa ajaran rahmat bagi semesta alam.

Berdasarkan uraian di atas, bahwa masjid sebagai houses of worship

yakni rumah peribadatan yang didedikasikan untuk Tuhan yang Maha Esa

dan yang berhak mengunjungi serta memeliharanya hanyalah orang-orang

yang menjadikan keimanan kepada Tuhan sebagai inti dari ajarannya.

Adapun mereka yang menghalang-halangi manusia bahkan

menghancurkan rumah-rumah peribadatan dikategorikan oleh al-Qur‟an

sebagai orang yang paling zalim dan ingkar terhadap eksistensi Tuhan.

Qs. al-Baqarah/ 2: 187

ول تػباشروىن وأنتم عاكفوف ف المساجد “ But do not lie with them skin to skin when you are about to abide

in meditation in houses of worship.”62

61

al-Ṭabarῑ, Jᾱmi‟ al-Bayᾱn „an Ta‟wῑl Ayat min Ayyil Qur‟ān, jilid 2, cet. II

(Mesir: Maktabah Ibn Taimiyah, 1980), 519. 62

Muhammad Asad, The Message of The Qur‟an, 77.

91

Tafsir: It was the practice of the Prophet to spend several days and

nights during Ramadan - and occasionally also at other times - in

the mosque, devoting himself to prayer and meditation to the

exclusion of all worldly activities; and since he advised his followers

as well to do this from time to time, seclusion in a mosque for the

sake of meditation, called i'tikaf, has become a recognized though

optional - mode of devotion among Muslims, especially during the

last ten days of Ramadan.63

Dalam ayat di atas, Muhammad Asad menerjemahkan „ᾱkifủn

dengan meditasi yaitu pengasingan diri yang kemudian dalam Islam

dikenal dengan „itikaf yaitu sebuah praktik ritual yang populer terutama

selama sepuluh akhir bulan Ramaḍan.

Meditasi bukanlah hal baru dalam agama semitik. Dalam agama

Yahudi misalnya para mistikus Yahudi memandang meditasi sebagai jalan

menuju defakut (sebuah konsep Yahudi yang mengacu pada kedekatan

dengan Tuhan.) atau dalam bahasa Ibrani meditasi termasuk hitbodedut,

secara harfiah adalah pengasingan diri atau kontemplasi (seperti yang

dilakukan oleh Muhammad di Gua Hira). Meditasi juga terdapat dalam

ajaran Kristen dengan tujuan mempererat hubungan pribadi dengan dasar

cinta akan Allah. Meditasi meupakan jalan pengetahuan tentang Tuhan

dan kebenaran, dengan penyembahan dan meditasi seseorang berusaha

menjadi tersatukan (to becomeunited) dengan Tuhan.64

Penafsiran Muhammad Asad di atas membawa angin segar terhadap

keberagamaan di dunia, terutama Indonesia. Seperti yang disebutkan di

Bab II, bahwa semua agama bersatu di wilayah transenden (batin),

sementara dalam wilayah lahiriah agama itu beraneka ragam. Perbedaan

seseorang dalam menyebut nama Tuhan, berdoa, dan zikir, tidak membuat

satu agama dan agama lain berbeda karena itu merupakan kehendak

63

Muhammad Asad, The Message of The Qur‟an, 78. 64

Zainal Muttaqin, “Jalan Menuju Yang Ilahi: Mistisme dalam Agama-agama.”

Ushuluna: Ilmu Ushuluddin, vol.3, no.1 (Juni 2017): 106.

90

Tuhan. Dalam bentuk perbedaan tersebut agama tetap membawa manusia

menuju Tuhan.

masᾱjid sebagai houses of worship dalam konteks ayat ini, kata

kuncinya adalah ᾱkifủn yaitu meditasi yang telah dipraktikkan oleh

agama-agama terdahulu (Yahudi, Kristen) bahkan juga dipraktikkan oleh

agama-agama semi monoteisme yaitu Hindhu-Budhha dengan tujuan yang

sama yaitu Tuhan.

3). Masjid Sebagai Tempat Peribadatan Agama Lain

Qs. al-Isrᾱ/ 17: 1

اتراـ إل المسجد األقصى الذي باركنا سبحاف الذي أسرى بعبده ليال من المسجد حولو لنريو من آياتنا

“LIMITLESS in His glory is He who transported His servant by

night from the Inviolable House of Worship [at Mecca] to the

Remote House of Worship [,at Jerusalem] - the environs of which

We had blessed.”65

Tafsir: The above short reference to the Prophet's mystic experience

of the "Night Journey" (al-isra') to Jerusalem and the subsequent

"Ascension" (mi'raj) to heaven is fully discussed in Appendix IV at

the end of this work. - "The Inviolable House of Worship" (al-masjid

al-haram is one of the designations given in the Qur'an to the

Temple of the Ka'bah, the prototype of which owed its origin to

Abraham (see surah 2, note 102) and was "the first Temple set up

for mankind" (3:96), i.e., the first ever built for the worship of the

One God. "The Remote [lit., "farthest"] House of Worship", on the

other hand, denotes the ancient Temple of Solomon - or, rather, its

site - which symbolizes here the long line of Hebrew prophets who

preceded the advent of Muhammad and are alluded to by the phrase

"the environs of which We had blessed". The juxtaposition of these

two sacred temples is meant to show that the Qur'an does not

inaugurate a "new" religion but represents a continuation and the

65

Muhammad Asad, The Message of The Qur‟an, 450.

92

ultimate development of the same divine message which was

preached by the prophets of old.66

Pertama, dalam ayat di atas disebut Masjid al-Ḥarᾱm, salah satu

sebutan yang digunakan al-Qur‟an terhadap bangunan Suci Ka‟bah, yang

prototipenya dibangun oleh Nabi Ibrāhīm. Bangun suci pertama ini

dibangun untuk manusia yang difungsikan sebagai “the first ever built for

the worship of the One God” yakni, bangunan pertama yang dibangun

untuk menyembah Tuhan Yang Maha Esa. Kedua, Masjid al-Aqsᾱ

menunjukkan pada “the ancient Temple of Solomon” yakni, Kuil Kuno

Sulaiman atau menunjukkan pada daerahnya, yang di sini melambangkan

deretan panjang nabi-nabi Ibrani yang mendahului Nabi Muhammad saw.

Dalam sejarahnya, Yerusalem dibangun oleh Nabi Dāud dan

menguasai kota itu dari masyarakat Yebusi. Beliau mendirikan dan

mengembangkan Yerusalem sebagai ibu kota kerajaannya. Tahta kerajaan

Nabi Daud itu kemudian digantikan oleh Sulaimān, Nabi Sulaiman

membangun sebuah Haekal atau Harem (tempat yang mulia) di kota itu.

Para ahli sejarah Yahudi menyatakan, Nabi Sulaimān atau Solomon

membangun sebuah kuil yang diberi nama baitullᾱh. Di tengah Haekal

itulah terdapat sebuah batu hitam bernama shakhrah al-Muqaddasah.

Berlandaskan batu itu, Rasulullah melanjutkan perjalanan Mi‟raj menuju

Sidrah al-Muntahᾱ, menghadap Allah untuk menerima perintah ṣalat lima

waktu.67

Bait Suci atau Kuil Kuno Sulaimān ini dibangun sekitar abad ke- 10

SM untuk menggantikan Kemah Suci yang dibangun Nabi Mủsᾱ.

Bangunan ini dihancurkan oleh bangsa Babel di bawah Nebukadnezar

pada tahun 586 SM. Berdasarkan hal di atas, asumsi penulis bahwa

66

Muhammad Asad, The Message of The Qur‟an, 450. 67

Syahruddin el-Fikri, Situs-Situs dalam al-Qur‟ᾱn Dari Hebron Hingga

Borobudur, (Jakarta: Republika Penerbit, 2013), 11.

93

penerjemahan kata masjid sebagai peribadatan umat lain yang dilakukan

Asad merujuk pada penelitian sejarah dan juga kitab agama lain (bible)

seperti yang dinyatakan oleh beliau di dalam muqaddimah tafsirnya.

Qs. al-Isrā'/ 17: 7

وجوىكم وليدخلوا المسجد كما دخلوه أوؿ مرة وليتبػروا ما فإذا جاء وعد اآلخرة ليسوءوا علوا تػتبريا

“And so, when the prediction of the second [period of your iniquity]

came true, [We raised new enemies against you, and allowed them]

to disgrace you utterly, and to enter the Temple as [their

forerunners] had entered it once before, and to destroy with utter

destruction all that they had conquered..”68

Kata Masjid dalam ayat di atas oleh Asad diterjemahkan sebagai

“the Temple”. Dalam tafsirnya, beliau berpendapat bahwa:“Most

probably, this passage relates to the destruction of the Second Temple

and of Jewish statehood by Titus in the year 70 of the Christian era.”

(kemungkinan besar, ayat ini berhubungan dengan dihancurkannya Bait

Allah kedua dan diruntuhkannya pemerintahan Yahudi oleh Titus pada

tahun 70 M.).69

Kedua kata masjid dalam Qs. al-Isrᾱ‟/ 17: 1 dan 7 di atas merujuk

pada tempat peribadatan agama terdahulu. Disebutkannya dua bangunan

suci ini, memberikan isyarat bahwa al-Qur‟an tidak mendirikan suatu

agama “baru” tetapi merepresentasikan suatu kontinuitas dan

perkembangan mutakhir dari pesan ketuhanan yang sama, yang diajarkan

oleh nabi-nabi terdahulu.

4). Masjid Sebagai Worship

68

Muhammad Asad, The Message of The Qur‟an, 452. 69

Muhammad Asad, The Message of The Qur‟an, 452.

94

Qs. al-A'rāf / 7: 29

ين وأقيموا وجوىكم عند كل مسجد وادعوه تلصی لو الد“ Sustainer has [but] enjoined the doing of what is right; and [He

desires you to] put your whole being into every act of worship, and

to call unto Him, sincere in your faith in Him alone. As it was He

who brought you into being in the first instance, so also [unto Him]

you will return:”70

Qs. al-A‟rᾱf/ 7: 31

ـ خذوا زينتكم عند كل مسجد وكلوا واشربوا ول تسرفوا يا بن آد“O CHILDREN of Adam! Beautify yourselves for every act of

worship, and eat and drink [freely], but do not waste: verily, He

does not love the wasteful!”71

Qs. al-Jin/ 72: 18

وأف المساجد للو فال تدعوا مع اللو أحدا “And [know] that all worship14 is due to God [alone]: hence, do not

invoke anyone side by side with God!.”72

Masjid, yang biasanya menunjukkan waktu atau tempat sujud ketika

ṣalat, dalam konteks ini diterjemahkan oleh Asad sebagai segala bentuk

kegiatan ibadah sebagai “for any act of worship” atau "the places of

worship" (al-masajid): i.e., worship as such ” yaitu peribadatan itu

sendiri.73

Kata masjid dan masᾱjid dalam ayat di atas diartikan oleh Asad

sebagai majᾱz mursal:

اطلقت اتسجد او اتساجد اى تل العبادة الت ىي ال وأريد با العبادة الت ىي اتاؿ . ارادة تازية تازا مرسال من باب إطالؽ ال وارادة اتاؿ

70

Muhammad Asad, The Message of The Qur‟an, 241. 71

Muhammad Asad, The Message of The Qur‟an. 241. 72

Muhammad Asad, The Message of The Qur‟an, 914. 73

Muhammad Asad, The Message of The Qur‟an, 916.

95

Tafsir: Take to your adornment (zinah)". According to Raghib (as

quoted in Lane III, 1279 f.), the proper meaning of zinah is "a

[beautifying] thing that does not disgrace or render unseemly ...

either in the present world or in that which is to come": thus, it

signifies anything of beauty in both the physical and moral

connotations of the word.74

Zῑnah dalam Qs. al-A'rᾱf/ 7: 31 diartikan oleh Asad bahwa makna

yang tepat dari zῑnah adalah sesuatu yang memperindah yang tidak

memalukan atau menjadikan tidak pantas baik di dunia maupun di

akhirat.75

Jadi hal itu menunjukkan segala sesuatu yang indah, baik dalam

arti fisik maupun moral. Sehingga maksud dari ayat di atas adalah bahwa

perintah untuk memperindah bukan ketika masuk masjid tapi yang di

maksud adalah ibadahnya tidak hanya salat tetapi yang dimaksud adalah

setiap laku ibadah.

Demikian halnya dalam Qs. al-Jin/ 72: 18 kata masājid adalah majaz

mursal, yang dimaksud bukan masjid-masjid adalah hak Allah melainkan

pengertiannya adalah ibadah hanya hak untuk Allah.

5). Masjid sebagai Tempat Peribadatan

Qs. al-Ḥajj/ 22: 40

م د ت صوامع وبيع وصلوات ومساجد يذكر فيها ولول دفع اللو الناس بػعضهم ببػعض ت اسم اللو كثريا

“For, if God had not enabled people to defend themselves against

one another,58 [all] monasteries and churches and synagogues and

mosques - in [all of] which God's name is abundantly extolled -

would surely have been destroyed [ere now].”76

74

Muhammad Asad, The Message of The Qur‟an, 241. 75

Muhammad Asad, The Message of The Qur‟an, 254. 76

Muhammad Asad, The Message of The Qur‟an, 546.

96

Berbeda dengan ayat-ayat masjid atau masᾱjid sebelumnya, di ayat

ini Muhammad Asad mengembalikan kata masᾱjid dengan makna hakikat

yaitu sebagai mosques (masjid-masjid umat Islam). Hal ini berkaitan

dengan tidak adanya „alaqah (penghubung) untuk mengalihkan makna

masᾱjid ke dalam pengertian rumah-rumah peribadatan secara umum,

sebagaimana ketentuan dalam ilmu balagah, dalam konteks ini adalah

ḥaqῑqah dan majᾱz.

Dengan demikian makna ayat di atas adalah:

ولول دفع ا الناس بعضهم ببعض تدمت ىف شريعة كل نب مكاف صالتم تدـ ف زمن موسى الكنائس وف زمن عيسى البيع والصوامع وف زمن تمد صلى ا عليو وسلم

اتساجد“ Seandainya Allah tidak memberikan kemampuan kepada manusia

untuk mempertahankan diri mereka terhadap satu sama lainnya,

sungguh akan hancur tempat salat yang terdapat dalam syariat para

nabi: seperti gereja-gereja akan hancur di zaman Nabi Mủsᾱ, biara-

biara di zaman Nabi „Ỉsᾱ, dan masjid-masjid di zaman Nabi

Muhammad Saw.”77

Berdasarkan hal itu, bahwa masjid tidak hanya merujuk pada tempat

peribadatan umat Islam tetapi juga merujuk pada tempat peribadatan-

peribadatan agama lain. Kiranya Muhammad Asad tepat menafsirkan kata

masᾱjid dalam Qs. al-Baqarah/ 2: 114 di atas sebagai house of worship.

Oleh karena itu, Muslim wajib melindungi dan menghormati setiap tempat

ibadah yang dipersembahkan untuk Tuhan, baik itu masjid, gereja,

maupun sinagoge, dan setiap upaya mencegah penganut agama lain

menyembah Tuhan, menurut pandangan agamanya itu sendiri, dikecam

oleh al-Qur‟an sebagai pelanggaran atau sebagai sebuah kezaliman yang

besar.

77

al-Bagᾱwī, Ma‟ᾱlim al-Tanzῑl (Beirut: Dᾱr Ibn Hazm, 2002), 870.

97

6). Masjid Ḍirᾱr dan Masjid Taqwᾱ (Masjid Qubᾱ)

Qs. al-Taubah/ 9: 107

والذين اتذوا مسجدا ضرارا وكفرا وتػفريقا بػی المؤمنی وإرصادا لمن حارب اللو ورسولو من قػبل

“AND [there are hypocrites] who have established a [separate]

house of worship in order to create mischief, and to promote

apostasy and disunity among the believers, and to provide an

outpost for all who from the outset have been warring against God

and His Apostle”.78

Ayat ini berkaitan dengan kelompok orang munafik yang

memerangi Allah dan Rasul-Nya yakni sebelum perjalanan ke Tabuk.

Muhammad Asad meringkas peristiwa sejarah tersebut sebagai berikut:

sejak hijrah Nabi ke Madinah, Nabi telah ditentang dengan keras oleh

seorang Abủ „Ᾱmir salah seorang anggota terkemuka dari suku Khazraj

yang telah menjadi sekutu musuh-musuh Nabi, kaum Quraisy Mekah,

serta memihak mereka dalam perang Uhud (3 H). Tidak lama setelah

perang Uhud, dia pindah ke Suriah dan melakukan segala cara untuk

membujuk Kaisar Bizantium, Heraklius agar menyerbu Madinah dan

menumpas kaum Muslim.

Pada tahun 9 H Abū „Āmir menginformasikan kepada pengikutnya

(yang berada di Madinah) bahwa Heraklius telah setuju untuk mengirim

pasukan ke Madinah untuk menyerang kaum Muslim. Abū „Āmir

menyarankan pengikutnya agar membangun sebuah masjid di Desa Qubᾱ

(sebuah desa yang berdekatan dengan Madinah) sehingga meniadakan

keharusan untuk berkumpul di masjid yang dibangun oleh Nabi sendiri di

desa yang sama.79

78

Muhammad Asad, The Message of The Qur‟an, 314. 79

Muhammad Asad, The Message of The Qur‟an, 315.

98

Yang dibicarakan ayat di atas, dalam penafsiran Asad adalah

“masjid tandingan”. Masjid itu dihancurkan berdasarkan perintah Nabi

setelah Nabi kembali dari perjalanan Tabuk.

Qs. al-Taubah/ 9: 108

لمسجد أسس على التػقوى من أوؿ يػوـ أحق أف تػقوـ فيو “Only a house of worship founded, from the very first day, upon

God consciousness is worthy of thy setting foot therein - [a house of

worship] wherein there are men desirous of growing in purity: for

God loves all who purify themselves.”80

Setelah berbicara tentang masjid yang dibangun oleh pengikut Abủ

„Ᾱmir untuk menciptakan perpecahan di kalangan Muslim, ayat ini

menegaskan bahwa sungguh yang paling pantas dan layak adalah sebuah

rumah ibadah yang dibangun berdasarkan kesadaran akan Allah (takwa).

Sebagian mufasir percaya bahwa ayat ini bercerita tentang masjid yang

dibangun oleh Nabi di Qubᾱ. Namun, terdapat hadis-hadis yang

menerangkan bahwa Nabi juga menggunakan istilah “rumah ibadah yang

dibangun berdasarkan kesadaran akan Allah) untuk masjid yang dibangun

belakang oleh Nabi di Madinah.

Berkenaan dengan masjid yang dibangun atas dasar kesadaran

kepada Tuhan, Asad menyatakan:

“It is, therefore, reasonable to assume that it applies to every

mosque sincerely dedicated by its founders, to the worship of God: a

view which is supported by the next verse.”81

Dengan demikian bagi Asad masjid yang dibangun atas dasar

kesadaran akan Tuhan tidak hanya berlaku pada masjid yang dibangun

Nabi di Madinah, beliau mengasumsikan bahwa sebutan itu (masjid

80

Muhammad Asad, The Message of The Qur‟an, 315. 81

Muhammad Asad, The Message of The Qur‟an, 316.

99

takwa) berlaku untuk setiap rumah ibadah yang didirikan secara tulus

untuk beribadah kepada Tuhan.

C. Fungsi dan Fakta Sejarah Masjid di Zaman Nabi

Pada tahun 14 kenabian (tahun pertama Hijriyah) saat Nabi

Muhammad saw. melakukan perjalanan (hijrah) ke Yatsrib, beliau

membangun sebuah tempat peribadatan di sebelah tenggara kota Yatsrib;

yaitu Masjid Qubᾱ dan selanjutnya Masjid Nabawῑ yang dibangun oleh

beliau di kota Yatsrib.82

Kedua masjid ini (Qubᾱ dan Nabawῑ) adalah sebuah rumah ibadah

yang dibangun berdasarkan kesadaran akan Allah (takwa), merupakan

masjid pertama yang dibangun oleh Nabi dan pengikutnya.83

Quraish Shihab dalam bukunya “Wawasan al-Qur‟an” menyebutkan

tidak kurang dari sepuluh peranan yang diemban oleh Masjid Nabi di

Madinah, yaitu:84

1. Tempat ibadah (salat dan zikir)

2. Tempat konsultasi dan komunikasi (masalah ekonomi-sosial

budaya)

3. Tempat pendidikan

4. Tempat santunan sosial

5. Tempat latihan militer dan persiapan alat-alatnya

6. Tempat pengobatan para korban perang

7. Tempat perdamaian dan pengadilan sengketa

8. Aula dan tempat menerima tamu

9. Tempat menawan tahanan

82

H. Mursidin, “Sejarah Masjid Nurul Ikhsan Walambenowite Kecamatan Parigi

Kabupaten Muna”, Jurnal Penelitian Pendidikan Sejarah, vol.4, no.2, (April 2019): 119. 83

Lihat Bab II. 84

Quraish Shihab, Wawasan al-Qur‟an, 455.

011

10. Pusat penerangan atau pembelaan agama

Hal ini menggambarkan bahwa masjid tidak hanya sekedar tempat

ritual saja, tetapi ada fungsi lain yang didasarkan atas ketakwaan kepada-

Nya. Orientasi takwa sebagai semangat kehadiran Tuhan akan

membimbing manusia menuju budi pekerti yang luhur, berperilaku baik

dengan akhlak yang tinggi; baik akhlak terhadap Allah, kepada sesama

manusia, dan terhadap alam. Sehingga jelaslah, Muhammad Asad dalam

menerjemahkan kata masjid dalam al-Qur‟an di sebagian ayat beliau

menerjemahkannya sebagai “worship” yaitu peribadatan itu sendiri yang

cakupannya tidak hanya bersujud tetapi segala bentuk aktivitas termasuk

sosial yang mengarah pada semangat akan kehadiran Tuhan (takwa).

D. Penafsiran Muhammad Asad Dalam Konteks keindonesiaan

Indonesia sebagai Negara Pluralistis dengan beragam suku, etnik,

bahasa, dan agama namun tetap merupakan satu kesatuan sebagaimana

tercermin dalam semboyan bangsa “Bhineka Tunggal Ika”, berbeda-beda

tetapi tetap satu jua. Melalui semboyan ini, Indonesia bisa dipersatukan

dan semua keberagaman tersebut menjadi satu bagian dari Negara

Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Indonesia merupakan negara yang berdasarkan prinsip Ketuhanan

Yang Maha Esa dan merupakan negara yang menjamin kemerdekaan

penduduknya untuk memeluk agamanya masing-masing, dan untuk

beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

Hal di atas secara jelas ditegaskan dalam Pasal 29 ayat (2) Undang-

Undang Dasar 1945 juga dalam sila kesatu Pancasila yaitu negara

010

berdasarkan ketuhanan yang maha esa. Presiden pertama Indonesia

menyatakan dalam pidatonya, sebagai berikut:85

“ saya mengajak semua orang Indonesia bukan hanya kaum

nasionalis, Muslim, Kristen, Budha, dan mereka yang tanpa agama

untuk memahami zaman di mana kita hidup. Saya tidak ingin

membatasi hak asasi manusia untuk menyebarkan ideologi mereka;

orang Islam untuk menyebarkan Islam mereka, orang komunis untuk

menyebarkan komunisme mereka. Saya sekedar mengajak,

menekankan, dan mengingatkan untuk memahami zaman di mana

kita tinggal.”

Pernyataan visioner dari Soekarno di atas tentang kebebasan

beragama. Beliau menekankan satu visi tentang negara yang ber-Tuhan

dengan tanpa egoisme agama. Tujuannya adalah menjadikan Indonesia

menjadi negara yang setiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan

cara leluasa. Pernyataan Soekarno itu satu visi dengan penafsiran

Muhammad Asad (Qs. al-Baqarah/ 2: 114 bahwa setiap agama yang

menjadikan iman kepada Tuhan sebagai inti ajarannya harus memperoleh

penghargaan penuh, betapa pun banyak ajaran khasnya yang tidak di

sepakati.86

Islam dengan Masjidnya, Kristen Protestan dan Katolik dengan

gerejanya, Hindu dengan puranya, Buddha dengan viharanya, dalam

mewujudkan pengabdian kepada Tuhan, masing-masing memiliki ajaran

khas atau ritual yang berbeda antara satu dengan yang lain.

Dengan demikian kebebasan untuk beribadah menurut agamanya

masing-masing mengandung suatu pengertian bahwa kebebasan beragama

itu mencakup kebebasan untuk menyediakan atau mengadakan prasarana

bagi terlaksananya kegiatan peribadatan. Karena aspek peribadatan dan

tempat peribadatan merupakan suatu pengertian yang tidak dapat

85

Mentary Meidiana, “Menguatkan konsep Kebebasan Beragama di Indonesia

Dengan Pancasila Dalam mempertahankan Kesatuan Bangsa”, Jurnal Defendonesia. vol.

3, no.1 (Desember 2017): 39. 86

Muhammad Asad, The Message of The Qur‟an, 62.

012

dipisahkan. Dan setiap pengingkaran terhadap hak pemeluk agama untuk

melakukan peribadatan baik itu di masjid, gereja, pura ataupun vihara

disebut sebagai pengingkaran terhadap kebebasan beragama bahkan al-

Qur‟an mengategorikan sebagai orang yang paling zalim dan ingkar

terhadap eksistensi Tuhan.87

Persoalan mengenai pendirian rumah ibadah di Indonesia diatur

dalam Peraturan Bersama Menteri Agama Dan Menteri Dalam Negeri

nomor 8 dan 9 tahun 2006 tentang pedoman pelaksanaan tugas Kepala

Daerah dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama, pemberdayaan

forum kerukunan umat beragama, dan pendirian rumah ibadat pada Bab

IV sebagai berikut:88

Pasal 13:

1. Pendirian rumah ibadat didasarkan pada keperluan nyata dan

sungguh-sungguh berdasarkan komposisi jumlah penduduk bagi

pelayanan umat beragama yang bersangkutan di wilayah kelurahan/

desa.

2. Pendirian rumah ibadat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dilakukan dengan tetap menjaga kerukunan umat beragama, tidak

mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum, serta mematuhi

peraturan dan perundang-undangan.

3. Dalam hal keperluan nyata bagi pelayanan umat beragama di

wilayah kelurahan/ desa sebagaimana dimaksud ayat (1) tidak

terpenuh, pertimbangan komposisi jumlah penduduk digunakan

batas wilayah kecamatan atau kabupaten/ kota atau provinsi.

Pasal 14:

1. Pendirian rumah ibadah harus memenuhi persyaratan

administratif dan persyaratan teknis bangunan gedung.

2. Selain memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) pendirian rumah ibadat harus memenuhi persyaratan khusus

meliputi:

87

Nugroho. “Kebijakan Dan Konflik Pendirian Rumah Ibadah Di Indonesia”

Jurnal Studi Agama vol.4, no.2, (September 2020): 2. 88

Siti Aminah dan Uli Parulian Sihombing, Memahami Kebijakan Rumah Ibadah

(Jakarta: The Indonesia Legal Resource Center, 2020), 34.

013

a. Daftar nama dan Kartu Tanda Penduduk pengguna rumah

ibadat paling sedikit 90 (sembilan puluh) orang yang disahkan

oleh pejabat setempat sesuai dengan tingkat batas wilayah

sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 ayat (3);

b. Dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 (enam puluh)

orang yang disahkan oleh lurah/ kepala desa;

c. Rekomendasi tertulis kepala kantor departemen agama

kabupaten/ kota; dan

d. Rekomendasi tertulis FKUB kabupaten/ kota.

3. Dalam persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a

terpenuhi sedangkan persyaratan huruf b belum terpenuhi,

pemerintah daerah berkewajiban memfasilitasi tersedianya lokasi

pembangunan rumah ibadah.

Pasal 15:

Rekomendasi FKUB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2)

huruf b merupakan hasil musyawarah dan mufakat dalam rapat

FKUB, dituangkan dalam bentuk tertulis.

Pasal 16:

1. Permohonan pendirian rumah ibadat sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 14 diajukan oleh panitia pembangunan rumah ibadat

kepala Bupati/ Wali Kota untuk memperoleh IMB rumah ibadat.

2. Bupati/ Wali Kota memberikan keputusan paling lambat 90

(sembilan puluh) hari sejak permohonan pendirian rumah ibadat

diajukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 17:

Pemerintah daerah memfasilitasi penyediaan lokasi baru bagi

bangunan gedung rumah ibadat yang telah memiliki IMB yang

dipindahkan karena perubahan rencana tata ruang wilayah.

Dalam Pasal 14 ayat (2) dalam Peraturan Bersama Menteri Agama

Dan Menteri Dalam Negeri nomor 8 dan 9 tahun 2006 yaitu persyaratan

khusus minimal 90 orang pengguna rumah ibadah menunjukkan adanya

diskriminasi terhadap minoritas pemeluk agama di wilayah Indonesia.

Karena kelompok mayoritas akan lebih mudah memperoleh 90 orang

pengguna ibadah dan dukungan dari 60 orang masyarakat setempat. Di

sinilah letak diskriminasi dalam bentuk pembedaan perlakuan khususnya

014

terhadap kelompok minoritas keagamaan. Sehingga ketentuan ini

bertentangan dengan pernyataan founding fathers Indonesia dan juga jauh

dari pada nilai-nilai ajaran Islam sebagaimana disampaikan oleh

Muhammad Asad dalam menafsirkan Qs. al-Baqarah/ 2: 114 di atas.

Selain itu, ketentuan ini bertentangan dengan kewajiban positif negara

untuk melindungi rumah ibadah secara efektif, layak, dan tepat.

Dari pemaparan di atas, penulis berkesimpulan bahwa masjid dalam

al-Qur‟an sebagai “house of worship” yang mencakup di dalamnya masjid

(sebagai tempat peribadatan umat Islam), Gereja, maupun sinagoge harus

dilindungi dan dihormati sebagai sebuah tempat yang didedikasikan untuk

Tuhan. Sirr al-Aḥkām yang terkandung dalam Qs. al-Baqarah/ 2: 114

bahwa Muslim harus menghormati gereja-gereja ahli kitab (بيع / صوامع)

dan menghormati rumah peribadatan orang yang serupa dengan ahli kitab

seperti Majusi dan Sabi'in.89

Penafsiran Asad ini didasarkan atas pemahamannya tentang agama-

agama yang merupakan satu kesatuan. Adapun perbedaan-perbedaan

dalam perkembangannya merupakan perbedaan dalam ritual belaka yang

tujuannya satu yaitu Tuhan.

Dalam konteks Negara Bangsa, Indonesia menjadi garda terdepan

untuk memberikan jaminan kebebasan beribadat kepada para pemeluk

agama yang tergabung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia

sebagai konsekuensi dari kebebasan beragama. Oleh karena itu, setiap

peraturan atau tindakan yang menjurus pada anarkis atau menghalang-

halangi setiap pemeluk agama untuk melakukan ritual keagamaan

dikategorikan oleh al-Qur‟an sebagai orang yang paling zalim dan orang

yang ingkar terhadap eksistensi Tuhan.

89

Rasyῑd Riḍā, Tafsīr al-Manār, jilid 1, cet. II (Kairo: Dar el-Manār 1947), 433.

015

106

BAB V

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Dari hasil penelitian penafsiran Muhammad Asad dalam terhadap

The Message of The Quran dapat disimpulkan antara lain sebagai berikut:

Masjid dalam al-Qur'an terulang sebanyak 28 kali baik itu dalam

bentuk mufrad maupun jamak. Dalam penafsirannya Muhammad Asad

memahami kata masjid atau masᾱjid sebagai houses of worship. Dalam

pemahamannya beliau menitikberatkan kajiannya pada aspek kebahasaan,

masjid atau masᾱjid diartikan كل ما يتعبد فيو فهو مسجد setiap tempat yang

di dalamnya difungsikan untuk beribadah kepada (Tuhan Yang Maha Esa)

maka itu dinamakan masjid.

Pemahaman tersebut diafirmasi oleh ayat-ayat lain yang

menunjukkan bahwa masjid atau masᾱjid dalam al-Qur'an tidak hanya

merujuk pada tempat peribadatan orang Islam tetapi juga merujuk pada

tempat peribadatan agama lain bahkan lebih luas lagi merujuk pada

peribadatan itu sendiri. Seperti dalam Qs. al-Jin/ 72: 18 dalam ayat ini,

masᾱjid merupakan bentuk majaz mursal. Redaksinya menyatakan makna

tempat (masᾱjid) tetapi yang di maksud adalah hal yaitu ibadah.

sedangkan untuk redaksi masjid al-haram beliau mengartikan sebagai

inviolable house of worship yang dalam penafsirannya merujuk pada

rumah ibadah Ibrᾱhῑm (Ka‟bah) dan sebagai implikasinya merujuk

Mekah. bahkan dalam beberapa konteks beliau mengartikannya sebagai

simbol dari agama-agama.

Dari pemahaman tersebut maka sebuah keharusan untuk seorang

Muslim menjaga serta menghormati seluruh tempat peribadatan yang

didedikasikan untuk Tuhan. Penafsiran Asad ini berdasarkan pemahaman

017

beliau pada ayat sebelumnya bahwa al-Qur'an selalu menegaskan, terdapat

unsur kebenaran dari semua agama yang berdasarkan Wahyu Ilahi atau

The Followers of The Early Revelations terlepas dari segala perbedaan

doktrin yang ada. Pada hakikatnya Yahudi, Islam, Kristen merupakan

suatu kesatuan yang mengajarkan ketauhidan meskipun dalam beberapa

ajaran khasnya tidak disepakati. Setiap agama yang mengajarkan

ketundukan dan kepatuhan kepada ketuhanan Yang Maha Esa dan

menjadikannya sebagai inti dari ajarannya maka harus dihormati dan

dilindungi betapa pun banyak ajaran khasnya yang tidak disepakati.

Dari uraian di atas, maka setiap tindakan yang menghalang-halangi

manusia menyembah Tuhan atau bahkan merusak tempat peribadatan

maka dikategorikan oleh al-Qur'an sebagai orang yang paling zalim

bahkan menafikan terhadap eksistensi Tuhan.

B. SARAN-SARAN

1. penulis mengharapkan adanya penelitian lebih lanjut, karena dalam

penelitian ini penulis hanya menggunakan perspektif tertentu

(Muhammad Asad) dan metodologi semi tematik. oleh karena itu,

penulis menyarankan bagi penelitian selanjutnya menggunakan

perspektif atau pendekatan lain, baik itu pendekatan sejarah

maupun keilmuan lain guna memperkaya khazanah keilmuan al-

Qur‟an dan tafsir.

2. Dengan memahami pengertian Muhammad Asad terhadap kata

masjid serta penafsirannya atas ayat-ayat masjid diharapkan

mampu mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.

108

DAFTAR PUSTAKA

„Allᾱm, Syauqῑ. Ḥimᾱyah al-Kanᾱ`isi fῑ al-Islᾱm, Kementrian Agama

Mesir 2016.

Aminah, Siti. dan Sihombing, Memahami Kebijakan Rumah Ibadah.

Jakarta: The Indonesia Legal Resource Center, 2020.

Asad, Muhammad. Islam di Simpang Jalan, terj. M. Hashem. Surabaya:

YAPI 1967.

-------. The Message of The Qur'an Translated and Explained Gibralta:

Dᾱr al-Andalus, 1980.

-------. The Road to Mecca, Delhi: Islamic Book Service, 2004.

al-Aṣfahᾱnī, Rᾱgib. Mufradāt fῑ Garῑb al-Qur'ān. Beirut: Dᾱr el-Ma'rifah,

t.t.

al-Bagᾱwῑ, Ḥusain Ibn Muhammad. Ma‟ᾱlim al-Tanzῑl, jilid 4, cet. I.

Riyad: Dᾱr Tayyibah 1998.

al-Bukhᾱrī, Abī „Abdillāh Ibn Muhammad Ibn Ismᾱ‟ῑl. Ṣaḥῑḥ al-Bukhᾱrī,

Beirut: Dᾱr Ibn Katsīr, 2002.

Chirzin, Muhammad. "The Message of The Qur‟an Karya Muhammad

Asad: Kajian Metodologi Terjemah dan Tafsir". Jurnal Ilmu al-

Qur‟an dan Tafsir, Vol. 4, No. 1, (Januari-Juni 2019): 177-192.

Considine, Craig. Muhammad Nabi Cinta: Catatan Seorang Nasrani

Tentang Nabi Muhammad saw. Jakarta: Noura publishing 2018.

Darwazah, Muhammad „Izzah. Tafsῑr al-Hadῑṡ, jilid 6, cet. 2. Beirut: Dᾱr

al-Garab al-Islᾱmῑ, 2000.

al-Farmawi, Metode Tafsir Mauḍu‟i, Jakarta: Raja Grafindo Persada,

1996.

el-Fikri, Syahruddin. Situs-Situs dalam al-Qur‟ᾱn Dari Hebron Hingga

Borobudur. Jakarta: Republika Penerbit, 2013.

Gazalba, Sidi. Mesjid Pusat Ibadat dan Kebudayaan Islam. jakarta: al-

Husna, 1983.

019

Hasan, Iqbal. Analisis Data Penelitian Dengan Statistik, Jakarta: Bumi

Aksara 2008.

Khᾱzin, Muhammad. al-Tawῑl fī Ma'ānī al-Tanzῑl, Juz iii Beirut: Dār al-

Fikr 1979 M.

al-Tabarῑ, Abū Ja‟far Ibn Muhammad Ibn Jarīr, jilid 15, cet. I, Kairo: Dᾱr

al-Hajar 2001.

al-Jauziyah, Ibn Qayyim. Aḥkᾱm Ahli Ẓimmah, jilid I, cet. I. Ramadiy al-

Naysr, 1997.

Madjid, Nurkholis. Islam Agama Peradaban. Jakarta: Paramadina 1995.

Meidiana, Mentary. “Menguatkan konsep Kebebasan Beragama di

Indonesia Dengan Pancasila Dalam mempertahankan Kesatuan

Bangsa”, Jurnal Defendonesia. vol. 3, no. 1, (Desember 2017): 12-

22.

al-Mawardῑ, Abῑ al-Ḥasan „Alῑ Ibn Ḥabῑb. al-Ḥᾱwῑ al-Kabῑr, jilid 14, cet.

I. Beirut: Dᾱr al-Kutub al-„Ilmiyah, 1994.

Mursidin, H. "Sejarah Masjid Nurul Ikhsan Walambenowite Kecamatan

Parigi Kabupaten Muna", Jurnal Penelitian Pendidikan Sejarah, vol.

4, no. 2, (April 2019): 117-123.

Muttaqin, Zaenal. “Jalan Menuju Yang Ilahi: Mistisme dalam Agama-

agama”. Ushuluna: Ilmu Ushuluddin, vol. 3, no. 1 (Juni 2017): 105-

129.

al-Nawᾱwi, Abủ Zakariya Muhyi al-Dῑn. al-Minhᾱj bi Syarḥi Ṣaḥῑḥ

Muslim Ibn al-Ḥajjāj, jilid 9, cet. 2. Kairo: Dᾱr al-Hadīs 2001.

Nugroho, M. “Kebijakan Dan Konflik Pendirian Rumah Ibadah Di

Indonesia” Jurnal Studi Agama vol. 4, no. 2, (September 2020): 1-

17.

Purnamasari, Desi. "Problem Umat Agama Minoritas: Susah Mendirikan

Rumah Ibadah". Diakses 16 Mei 2019, https://tirto.id/dJeE./2019/05.

al-Qaṭṭᾱn, Mannᾱ‟. Tārῑkh al-Tasyrī' al-Islᾱmī al-Tasyrī‟ wa al-Fiqhi,

Riyad: Maktabah al-Ma'ārif 2012.

001

al-Qurṭubῑ, Abî „Abdillāh Muhammad Ibn Ahmad al-Anṣᾱrῑ. al-Jāmi' Li

Ahkām al-Qur'ān, jilid 7, cet. 1. Beirut: Dᾱr el-Kutub al-Ilmiyah, 1971.

-------. al-Jᾱmi‟ li Ahkᾱm al-Qur‟ᾱn, jilid 5, cet. I. Beirut: al-Risalah,

2006.

al-Rᾱzῑ, Fakhruddῑn. Mafātiḥ al-Gaib, jilid 10, Beirut: Dᾱr el-Fikr, 1981.

Riḍᾱ, Rasyῑd. Tafsīr al-Manār, juz 1, cet. II. Kaira: Dᾱr el-Manār, 1947.

Saefuddin, Muhammad. “Majid Ḍirar dan Masjid Takwa” Skripsi S1.,

Universitas Islam Negeri Wali Songo Semarang, 2018.

Saidurrahman, dan Arifinsyah. Nalar Kerukunan Merawat Keragaman

Bangsa Mengawal NKRI, Jakarta: Kencana 2018.

Shihab, M. Quraish. Wawasan al-Qur'an: Tafsir Tematik atas Pelbagai

Persoalan Umat. Bandung: Mizan, 2012.

al-Suyủṭῑ, Jalᾱl al-Dῑn. al-Itqᾱn fῑ Ulủm al-Qur‟ᾱn, cet. 7. Beirut: Dᾱr al-

Kutub al-Islamiyah, 2019.

-------. al-Durr al-Mansūr fī Tafsīr al-Ma'sūr, jilid 8, Beirut: Dᾱr al-Fikr

2011.

al-Ṭabarῑ, Abu Ja'far Muhammad bin Jarῑr bin Yazῑd bin Kaṡῑr bin Ghᾱlib

al-Amali. Jᾱmi‟ al-Bayᾱn „an Ta‟wῑl Ayat min Ayyil Qur‟ᾱn, jilid

2, cet. II. Mesir: Maktabah Ibn Taimiyah, t.t.

al-Zabῑdῑ, Muhammad Murtaḍᾱ. Tāj al-'Arus Min Jauhar al-Qāmủs,

jilid 2,cet. 2 Libanon: Dᾱr Maktabah al-Ḥayah, t.t.

Zaghrut, Fathi. al-Nawᾱzil al-Kubrᾱ fī al-Tᾱrīkh al-Islᾱmī: Bencana-

Bencana Besar dalam Sejarah Islam. Jakarta: Pustaka al-Kautsar,

2014.

al-Zamahksyarῑ, Tafsῑr al-Kasyᾱf, jilid 3, cet. 3, Beirut: Dᾱr al-Ma‟rifah

2009.

al-Zarkasyῑ, Muhammad Ibn „Abdillāh. I'lām al-Sājid fῑ Aḥkām al-

Masājid. Kairo: Dᾱr al-Misriyah, 1403 H.

al-Zuhailī, Wahbah. Tafsῑr al-Munῑr, jilid 1, cet. 2. Beirut: Dᾱr al-Fikr,

1418 H.

000

-------. Tafsīr al-Wajīῑz. Damsyik: Dᾱr-al-Fikr, t.t..