masjid dalam al-qur'an: studi penafsiran
TRANSCRIPT
MASJID DALAM AL-QUR’AN: STUDI PENAFSIRAN
MUHAMMAD ASAD DALAM THE MESSAGE OF THE
QUR’AN
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi persyaratan memperoleh
gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Disusun Oleh :
Muhamad Rais
11170340000142
PROGRAM STUDI ILMU AL-QURAN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1442 H/ 2021 M
v
ABSTRAK
MUHAMAD RAIS, NIM: 11170340000142
“MASJID DALAM AL-QUR’AN: STUDI PENAFSIRAN
MUHAMMAD ASAD DALAM THE MESSAGE OF THE QUR’AN”
Secara fungsional, bagi Muslim masjid sering kali diidentikkan
dengan tempat atau bangunan untuk melaksanakan salat. Hal ini berlainan
dengan pengertian fungsional masjid di masa Rasulullah yang memiliki
pengertian tempat melakukan kegiatan ibadah dalam arti yang luas. Dalam
kaitan ini, penulis berusaha mengungkap pengertian masjid dalam
pandangan Muhammad Asad dengan fokus pembahasan ayat-ayat masjid
dalam al-Qur‟an.
Jenis penelitian ini adalah library research dengan metode
kualitatif. Penelitian ini, menggunakan metode pendekatan tokoh, yaitu
Muhammad Asad dengan tafsirnya The Message of The Quran.
Berdasarkan analisis penelitian menunjukkan bahwa: pertama,
Muhammad Asad mengartikan kata masjid dalam al-Qur‟an sebagai
houses of worship yaitu rumah-rumah peribadatan secara umum,
mencakup masjid, gereja, dan sinagoge. Bahkan secara fungsional Asad
mengartikannya sebagai peribadatan itu sendiri (ibadah dalam arti luas).
Kedua, dalam penafsirannya terhadap kata Masjid Al-Ḥarᾱm, beliau
menafsirkan dengan Inviolable House of Worship yang dalam
penafsirannya merujuk pada rumah ibadah Ibrᾱhῑm (Ka 'bah) dan sebagai
implikasinya merujuk sekitarnya (Makah). Bahkan dalam konteks tertentu
beliau memahaminya sebagai simbol dari agama-agama dan simbol
keesaan Tuhan. Ketiga, bahwa setiap tempat peribadatan yang
didedikasikan untuk Tuhan berhak mendapatkan perlindungan dan
penghormatan. Sehingga setiap bentuk tindakan yang mencegah penganut
agama untuk menyembah Tuhan atau menghancurkan tempat peribadatan
yang didedikasikan untuk Tuhan, dikategorikan sebagai orang yang paling
zalim.
Kata Kunci: Masjid, Muhammad Asad, dan kebebasan beribadah
vi
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah, Zat yang telah menampakkan berbagai
bentuk pemikiran kepada orang-orang yang memiliki akal, Zat yang telah
menyingkap setiap kabut kebodohan dari langit akal pikiran. Selawat dan
salam semoga senantiasa ter curahkan kepada nabi Muhammad saw.,
keluarga, para sahabat, serta para pengikutnya.
Skripsi dengan judul “Masjid Dalam al-Qur‟an: Studi Penafsiran
Muhammad Asad Dalam The Message of The Quran” ini dimaksudkan
untuk mengetahui pengertian masjid dalam perspektif Muhammad Asad
serta penafsirannya terhadap ayat-ayat yang mengandung kata masjid
dalam The Message of The Quran. Penelitian ini bukanlah akhir
perjalanan akademis penulis, justru ini adalah langkah awal untuk
melakukan kajian-kajian lain terkhusus di bidang keilmuan tafsir.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis mengucapkan banyak terima
kasih kepada semua pihak yang telah memberikan bimbingan, saran, serta
motivasi bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, terkhusus penulis
ucapkan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Hj. Amany Lubis, M.A. Rektor Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta, dan seluruh jajaran Rektorat.
2. Dr. Yusuf Rahman, M.A. Dekan Fakultas Ushuluddin UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta beserta jajarannya, yaitu Wakil Dekan 1,
Wakil Dekan II, serta Wakil Dekan III.
3. Dr. Eva Nugraha, M.A. Ketua Program Studi Ilmu al-Qur‟an dan
Tafsir serta Fahrizal Mahdi, Lc., MIRKH,. Sekretaris Program
Studi Ilmu al-Qur‟an dan Tafsir (IAT) yang telah membantu
penulis dalam proses perkuliahan dan administrasi.
vii
4. Drs. Ahmad Rifqi Muchtar, M.A. Dosen pembimbing skripsi
penulis, yang selalu memberikan masukan, arahan, dan koreksi
sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.
5. Muslih Nur Husain, Lc., M.A. Dosen Penasihat Sekaligus Dosen
Pembimbing Akademik yang telah memberikan arahan dalam
penulisan skripsi ini.
6. Segenap jajaran dosen Fakultas Ushuluddin, khususnya Prodi Ilmu
al-Qur‟an dan Tafsir yang telah membekali berbagai ilmu
pengetahuan sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.
7. Para masyᾱyikh; Aa Abdul Rasyid (alm), Hj. Rosi‟ah(alm), A.
Aang Abdul Hakim, A. Aap Abdul Padilah, Drs. K.H. Atjeng
Abdul Wahid, K.H. Atjeng Abdul Mujib, M.Ag., K.H. Atjeng Aip
Mukhtar Fauzi, K.H. Atjeng Aup Mustafal Fauzi, S.Ag., K.H.
Fahmi Ahmadi, M.A., Ama K.H. Mudrikah Hanafi, K.H. Rd.
Deden Kasyful Anwar serta segenap guru-guruku yang lain.
Semoga Allah senantiasa memberikan limpahan rahmat dan
keberkahan kepada mereka.
8. Sahabat-sahabatku; Kanda Zainal Arifin, Muhammad Fariduddin,
Iqbal Akbar, Alfi Hasanah, Zainab, Shihabussalam, Yusuf
Muchlas, rekan-rekanita PC IPNU/IPPNU Tangerang Selatan,
serta teman-teman Fakultas Ushuluddin khususnya Program Studi
Ilmu al-Qur‟an dan Tafsir kelas IAT D 2017.
9. Berbagai pihak yang telah membantu penulis baik dukungan moral
maupun materiil dalam penyusunan skripsi terutama kedua orang
tua yang sangat berjasa dalam perjalanan pendidikan penulis.
Semoga Allah membalas semua kebaikan mereka dengan sebaik-
baiknya balasan.
viii
Pada akhirnya, penulis menyadari bahwa penulisan ini masih
banyak kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat penulis
harapkan. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan para
pembaca umumnya.
Garut, 22 Mei 2021
Muhamad Rais
11170340000142
x
PEDOMAN TRANSLITERASI
Pedoman Transliterasi Arab-Latin yang digunakan dalam
penulisan ini adalah Pedoman transliterasi yang merupakan hasil
Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia, Nomor: 158 Tahun 1987 dan Nomor :
0543b/U/1987.
Di bawah ini daftar huruf-huruf Arab dan transliterasinya dengan
huruf latin.
A. Konsonan
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
Tidak ا
dilambangkan Tidak dilambangkan
b be ب
t Te ت
ṡ es (dengan titik di atas) ث
j je ج
ḥ ha (dengan titik di bawah) ح
kh ka dan ha خ
d de د
ż zet (dengan titik di atas) ذ
xi
r er ر
z zet ز
s es س
sy es dan ye ش
ṣ es (dengan titik di bawah) ص
ḍ de (dengan titik di bawah) ض
ṭ te (dengan titik di bawah) ط
ẓ zet (dengan titik di bawah) ظ
apostrof Terbalik „ ع
g ge غ
f ef ؼ
q qi ؽ
k ka ؾ
l el ؿ
m em ـ
n en ف
xii
w we و
h ha ىػ
apostrof ‟ ء
y ye ي
Hamzah (ء) yang terletak di awal kata mengikuti vokalnya tanpa
diberi tanda apa pun. Jika hamzah (ء) terletak di tengah atau di akhir,
maka ditulis dengan tanda (‟).
B. Vokal
Vokal bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri atas
vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Vokal
tunggal bahasa Arab yang lambangnya berupa tanda atau harakat,
transliterasinya sebagai berikut:
Huruf Arab Nama Huruf Latin
ا Fatḥah a
ا Kasrah i
ا Ḍammah u
Vokal rangkap bahasa Arab yang lambangnya berupa gabungan
antara harakat dan huruf, transliterasinya berupa gabungan huruf, yaitu:
Tanda Nama Huruf Latin Nama
xiii
اي Fatḥah dan ya ai a dan i
او Fatḥah dan wau au a dan u
C. Maddah
Maddah atau vokal panjang yang lambangnya berupa harakat dan
huruf, transliterasinya berupa huruf dan tanda, yaitu:
Harkat dan
Huruf Nama
Huruf dan
Tanda Nama
Fatḥah dan alif atau ya ᾱ ياa dan garis di
atas
Kasrah dan ya ῑ ػػيi dan garis di
atas
Ḍammah dan wau ū ػػػوu dan garis di
atas
D. Ta Marbūṭah
Transliterasi untuk ta marbūṭah ada dua, yaitu: ta marbūṭah yang
hidup atau mendapat harakat fatḥah, kasrah, dan ḍammah, transliterasinya
adalah [t]. Sedangkan ta marbūṭah yang mati atau mendapat harakat
sukun, transliterasinya adalah [h].
Kalau pada kata yang berakhir dengan ta marbūṭah diikuti oleh
kata yang menggunakan kata sandang al- serta bacaan kedua kata itu
terpisah, maka ta marbūṭah itu ditransliterasikan dengan ha (h). Contoh:
rauḍah al-aṭfāl : روضة األطفاؿ
لة ديػنة الفضيػ ات : al-madīnah al-fāḍīlah
xiv
اتكمة : al-ḥikmah
E. Syaddah (Tasydīd)
Syaddah atau tasydīd yang dalam sistem tulisan Arab
dilambangkan dengan sebuah tanda tasydīd ( ـ), dalam transliterasi ini
dilambangkan dengan perulangan huruf (konsonan ganda) yang diberi
tanda syaddah. Contoh:
rabbanā : ربػنا
نا najjainā : تيػ
al-ḥaqq : اتق
al-ḥajj : اتج
nu‟‟ima : نػعم
aduwwun„ : عدو
Jika huruf ى ber- tasydīd di akhir sebuah kata dan didahului oleh
huruf berharakat kasrah ( ــ), maka ia ditransliterasi seperti huruf maddah
(ī). Contoh:
علي : „Alī (bukan „Aliyy atau „Aly)
عرب : „Arabī (bukan „Arabi atau „Araby)
F. Kata Sandang
Kata sandang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan
huruf ال yang diikuti huruf syamsiyah atau qomariyah. Kata sandang tidak
xv
mengikuti bunyi huruf langsung yang mengikutinya. Kata sandang ditulis
terpisah dari kata yang mengikutinya dan dihubungkan dengan garis
mendatar (-). Contohnya:
الشمس : al-syams (bukan asy-syams)
al-zalzalah (bukan az-zalzalah) : الزلزلة
al-falsafah : الفلسفة
البالد : al-bilādu
G. Hamzah
Aturan transliterasi huruf hamzah menjadi apostrof (‟) hanya
berlaku bagi hamzah yang terletak di tengah dan akhir kata. Namun, bila
hamzah terletak di awal kata, ia tidak dilambangkan, karena dalam tulisan
Arab ia berupa alif. Contohnya:
تأمروف : ta‟murūna
النوء : al-nau‟
شيء : syai‟un
أمرت : umirtu
H. Penulisan Kata Arab yang Lazim digunakan dalam Bahasa
Indonesia
Kata, istilah atau kalimat Arab yang ditransliterasi adalah kata,
istilah atau kalimat yang belum dibakukan dalam bahasa Indonesia. Kata,
istilah atau kalimat yang sudah lazim dan menjadi bagian dari
xvi
perbendaharaan bahasa Indonesia, atau sudah sering ditulis dalam tulisan
bahasa Indonesia, tidak lagi ditulis menurut cara transliterasi di atas.
Misalnya kata Alquran (dari al-Qur‟ān), sunnah, hadis, khusus dan umum.
Namun, bila kata-kata tersebut menjadi bagian dari satu rangkaian teks
Arab, maka mereka harus ditransliterasi secara utuh. Contoh:
Fī ẓilāl al-Qur‟ān
Al-Sunnah qabl al-tadwīn
Al-„Ibārāt Fī „Umūm al-Lafẓ lā bi khuṣūṣ al-sabab
I. Lafẓ al-Jalālah (هللا )
Kata “Allah” yang didahului partikel seperti huruf jar dan huruf
lainnya atau berkedudukan sebagai muḍāf ilaih (frasa nominal),
ditransliterasi tanpa huruf hamzah. Contoh:
دين ا : dīnullāh
Adapun ta marbūṭah di akhir kata yang disandarkan kepada lafẓ al-
jalālah, ditransliterasi dengan huruf [t]. Contoh:
ىم ف رتة ا : hum fī raḥmatillāh
J. Huruf Kapital
Walau sistem tulisan Arab tidak mengenal huruf kapital (All Caps),
dalam transliterasinya huruf-huruf tersebut dikenai ketentuan tentang
penggunaan huruf kapital berdasarkan pedoman ejaan Bahasa Indonesia
yang berlaku (EYD). Huruf kapital, misalnya, digunakan untuk
menuliskan huruf awal nama diri (orang, tempat, bulan) dan huruf pertama
pada permulaan kalimat. Bila nama diri didahului oleh kata sandang (al-),
maka yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri
tersebut, bukan huruf awal kata sandangnya. Jika terletak pada awal
xvii
kalimat, maka huruf A dari kata sandang tersebut menggunakan huruf
kapital (Al-). Ketentuan yang sama juga berlaku untuk huruf awal dari
judul referensi yang didahului oleh kata sandang al-, baik ketika ia ditulis
dalam teks maupun dalam catatan rujukan (CK, DP, CDK, dan DR).
Contoh:
Wa mā Muḥammadun illā rasūl
Inna awwala baitin wuḍi„a linnāsi lallażī bi Bakkata mubārakan
Syahru Ramaḍān al-lażī unzila fīh al-Qur‟ān
Naṣīr al-Dīn al-Ṭūs
Abū Naṣr al-Farābī
Al-Gazālī
Al-Munqiż min al-Ḍalāl
xviii
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ................................. ii
LEMBAR PENGESAHAN SIDANG MUNAQASAH ................ iii
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ...................... iv
ABSTRAK ...................................................................................... v
KATA PENGANTAR ................................................................... vi
PENDOMAN TRANSLITERASI .................................................. x
DAFTAR ISI ............................................................................. xviii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ...................................................... 1
B. Identifikasi Masalah ............................................................ 8
C. Rumusan dan Batasan Masalah ........................................... 8
D. Tujuan Penelitian ................................................................. 8
E. Manfaat Penelitian ............................................................... 9
a. Manfaat Teoritis ............................................................ 9
b. Manfaat Praktis .............................................................. 9
F. Kajian Pustaka ..................................................................... 9
G. Metodologi Penelitian ....................................................... 11
H. Sistematika Penulisan ........................................................ 13
BAB II KAJIAN UMUM MASJID DALAM AL-QUR‟AN
A. Pengertian Masjid dan Derivasinya ................................... 15
B. Tabel Ayat Masjid dalam al-Qur‟an .................................. 18
C. Ayat-ayat Makkiyah dan Madaniyah ................................ 19
a. Ayat Makkiyah ............................................................ 19
b. Ayat Madaniyah .......................................................... 21
D. Asbabun Nuzul .................................................................. 26
xix
E. Fungsi Dasar Didirikan Masjid ......................................... 32
a. Masjid Sebagai Rumah Tauhid ................................... 32
b. Tauhid dan Takwa Dasar Mendirikan Masjid ............. 36
F. Fungsi Masjid di Masa Nabi Muhammad saw. ................. 40
BAB III BIOGRAFI MUHAMMAD ASAD DAN TAFSIR THE
MESSAGE OF THE QUR‟AN
A. Biografi Muhammad Asad ................................................ 45
1. Pendidikan .................................................................. 48
2. Karya-karya ................................................................. 50
B. The Message of The Qur‟an .............................................. 51
a. Latar Belakang Penulisan ............................................ 51
b. Sistematika Penulisan .................................................. 53
c. Sumber, Corak, dan Metodologi ................................. 54
BAB IV ANALISIS PENAFSIRAN MUHAMMAD ASAD TERHADAP
AYAT-AYAT MASJID DALAM THE MESSAGE OF THE QUR‟AN
A. Teks Ayat dan Terjemah.................................................... 59
B. Masjid dan Tafsirnya ......................................................... 65
1. Masjid Kiblat (ka‟bah) Simbol Ke-Esa-an Tuhan ....... 65
2. Masjid Sebagai Houses of Worship ............................ 79
3. Masjid Sebagai Tempat Peribadatan Agama Lain ...... 91
4. Masjid Sebagai Worship .............................................. 94
5. Masjid sebagai Tempat Peribadatan ............................ 95
6. Masjid Ḍirᾱr dan Taqwᾱ ............................................. 97
C. Fakta Sejarah Masjid di Masa Nabi .................................. 99
D. Penafsiran Asad dalam Konteks keindonesiaan .............. 101
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ...................................................................... 107
xx
B. Saran ............................................................................... 108
DAFTAR PUSTAKA .................................................................. 109
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kata masjid adalah isim makan ( isim yang menunjukkan pada
sebuah tempat) dari fi'il يسجد -سجد yang berarti tempat bersujud dan
tempat ibadah. al-Zujjāj mendefinisikan masjid sebagai setiap tempat-
tempat yang digunakan untuk beribadah maka itu dinamakan masjid.1 Ibn
'Arabῑ lebih spesifik dari al-Zujjāj ketika mendefinisikan masjid, beliau
mengatakan bahwa lafaz مسجد dengan dibaca fatḥah huruf jim nya maka
itu menunjukkan pada rumah-rumah tempat berdoa dan salat secara
berjamaah.
Sementara itu, Rᾱgib al-Aṣfahᾱnῑ dalam Mufradāt fῑ Garῑb al-
Qur'ᾱn, masjid adalah tempat untuk salat yang diekspresikan dalam
bentuk sujud kepada Allah sebagai bentuk penghambaan dirinya kepada
Allah.2 Kata masjid adalah isim makan yang diambil dari fi'il maṣdar
ṡulᾱṡi mujarrad dari akar kata سجودا -يسجد -سجد. Sujud merupakan
rukun terpenting dalam salat yang mendekatkan seorang hamba kepada
Tuhannya. Oleh sebab itu kata sujud diambil sebagai bentuk isim makan
yang menunjukkan pada tempat ibadah dan tempat untuk salat.3
1 M. Murtaḍᾱ al-Zᾱbidῑ, Tāj al-'Arủs Min Jauhar al-Qᾱmủs, jilid 2, cet. 2
(Libanon: Dᾱr Maktabah al-Hayᾱh, 2008), 371. 2 Rᾱgib al-Aṣfᾱhᾱnῑ, Mufradāt fi Garῑb al-Qur'ān ( Beirut: Dar el-Ma'rifah,
2009), 224. 3 Muḥammad Ibn „Abdillᾱh al-Zarkasyῑ, I'lām al-Sājid fῑ Aḥkām al-Masājid
(Kairo: Dᾱr al-Miṣriyah, 1403 H), 28.
2
Dalam Pengertian istilah 'urfi kata masjid diungkapkan untuk
menunjukkan tempat peribadatan secara khusus bagi kaum muslimin
yakni sebuah tempat yang digunakan untuk salat. Meski demikian, tidak
bisa dipungkiri bahwa tidak semua kata masjid dalam al-Qur'an
menunjukkan kepada masjid dalam pengertian khusus tersebut. Kata
masjid atau masājid dalam al-Qur'an tidak selalu merujuk kepada tempat
peribadatan-peribadatan umat muslim secara khusus, tetapi penggunaan
kata masjid atau masājid dalam al-Qur'an juga bisa merujuk kepada
tempat peribadatan-peribadatan agama lain. Seperti dalam Qs. al-Kahfi/
18: 2:
ها لك اعثػرنا عليهم ليػعلمو وكذ و حق واف الساعة ل ريب فيػ اذ ا اف وعد الل يانا نػهم امرىم فػقالوا ابػنػوا عليهم بػنػ قاؿ الذين غلبػوا ربػهم اعلم بم يػتػنازعوف بػيػ
مرىم لنتخذف عليهم مسجداعل ى ا "Dan demikianlah (pula) Kami perlihatkan (manusia) dengen
mereka agar mereka tahu, bahwa janji Allah benar dan bahwa
(kedatangan) hari Kiamat tidak ada keraguan padanya. Ketika
mereka berselisih tentang urusan mereka, maka mereka berkata;
dirikanlah sebuah bangunan di atas (gua) mereka, Tuhan mereka
lebih mengetahui tentang mereka. Orang yang berkuasa atas urusan
mereka berkata ; kami pasti akan mendirikan sebuah rumah ibadah
di atasnya."
للو فال تدعوا مع اللو أحداوأف المساجد " Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah kepunyaan Allah.
Maka janganlah kamu menyembah seorang pun di dalamnya di
samping (menyembah) Allah."
Kata masājid dalam ayat di atas diartikan oleh al-Qurṭubῑ sebagai
rumah-rumah yang dibangun oleh penganut agama-agama yang digunakan
untuk beribadah.4 Termasuk dalam makna masājid pada ayat di atas itu
4 Abῑ „Abdillāh Muhammad Ibn Aḥmad al-Anṣārí al-Qurṭubī, al-Jāmi' li Aḥkām
al-Qur'ān, jilid 10, cet. I ( Beirut: Dār el-Kutub al-Ilmiyah 1971), 14.
3
adalah gereja-gereja, rumah peribadatan kaum Yahudi (بيع,) dan rumah
peribadatan kalangan muslim (مسجد) seperti yang terdapat dalam kitab
Mafātiḥ al-Gaib karya Fakhr al-Dīn al-Rāzī.5
Namun sebagian mengartikan kata masājid pada ayat di atas sebagai
bumi sehingga seolah-olah firman Allah itu berbunyi: "semua bumi itu
makhluk Allah maka jangan kalian bersujud di atasnya kepada selain
Penciptanya." Di antara yang berpendapat demikian adalah al-Ḥasani dan
al-Aṣfahᾱnῑ. Bumi sebagai pengertian dari kata masājid di atas, didasarkan
pada ḥadῑṡ Nabi Muhammad saw.:
د بن سناف، قاؿ: ثػنا تم ثػنا سيار ىو أبو اتكم، قاؿ: حد ثػنا ىشيم، قاؿ: حد حدثػنا جابر بن عبد اللو، قاؿ: قاؿ رسوؿ اللو ثػنا يزيد الفقري، قاؿ: حد صلى ا -حد
د من األنبياء قػبلي: نصرت بالرعب أعطيت تسا ل يػعطهن أح : »-عليو وسلم ا رجل من أمت أدركتو الصالة مسرية شهر، وجعلت ل األرض مسجدا وطهورا، وأی
عث إل قػومو -و وسلم صلى اللو علي -فػليصل، وأحلت ل الغنائم، وكاف النب يػبػ «".خاصة، وبعثت إل الناس كافة، وأعطيت الشفاعة
"Telah menceritakan kepada kami Muhammad Ibn Sinᾱn, dia
berkata telah menceritakan kepada kami Husyaim, berkata, telah
menceritakan kepada kami Sayyᾱr (Abủ Hakam) berkata, telah
menceritakan kepada kami Yazῑd al-Faqῑr berkata, telah
menceritakan kepada kami Jᾱbir Ibn „Abdillāh berkata, Rasulullah
saw. bersabda: Aku diberi lima perkara yang tidak diberikan kepada
seorang-pun sebelumku; aku ditolong dengan diberikannya rasa
takut (kepada musuh) dalam perjalanan satu bulan (sebelum
bertemu), telah dijadikan untukku (dan untuk umatku) bumi sebagai
masjid dan sarana penyucian diri, maka barang siapa yang menemui
waktu salat, maka salatlah, dihalalkan untukku 'ganimah-ganimah',
dan semua Nabi itu diutus untuk kaumnya sendiri sedangkan aku
5 Fakhr al-Dīn al-Rāzī, Mafātiḥ al-Gaib, jilid 10, cet. I (Beirut: Dār al-Fikr,
1981),162.
4
diutus untuk seluruh manusia, dan aku diberi (wewenang) untuk
memberikan syafaat." (HR. Bukhari).6
Kata masjid dalam al-Qur'an disebut sebanyak 28 kali; 22 diungkap
dengan bentuk mufrad (tunggal), 6 diungkap dengan bentuk jamak
(plural). Kata masjid secara generik berarti ta‟at, patuh, dan tunduk
dengan penuh ta„ẓim. Oleh karena itu kata masjid dalam al-Qur'an tidak
bisa terlepas dari makna generiknya. Dalam ḥadῑṡ di atas, Rasulullah saw.
mengaitkan makna masjid dengan bumi, maka jelas bahwa masjid bukan
hanya sebagai tempat bersujud dan sarana penyucian diri. Tidak hanya
berarti bangunan tempat ṣalat atau bahkan bertayamum sebagai sarana
bersuci pengganti wuḍu, tetapi lebih dari itu masjid adalah tempat segala
aktivitas manusia yang mencerminkan kepatuhan dan ketundukan.7
Dalam perkembangannya, masjid sering diidentikkan sebagai tempat
peribadatan umat Islam. Kekonsistenan pengertian ini (masjid sebagai
tempat peribadatan umat Islam) berpotensi susah untuk memahami
pengertian masjid dalam al-Qur'an dan hadiṡ Nabi secara komprehensif
karena ketika ditelusuri lebih jauh pemaknaan kata masjid atau masājid
dalam al-Qur'an tidak hanya merujuk pada tempat 'peribadatan umat
Islam' secara khusus, melainkan bisa merujuk kepada tempat peribadatan-
peribadatan agama lain. Seperti firman Allah dalam Qs. al-Baqarah/ 2: 114
ك ما وسعى فی خرابا ٱتو ومن أظلم تن منع مسػ جد ٱللو أف يذكر فيها أولػ ىفی اخرة عذاب كاف تم أف يدخلوىا إل خا ى نيا خزی وتم فی ٱلػ عظيم تم فی ٱلد
"lalu siapakah yang lebih tepat dianggap lebih zalim dari pada
orang-orang yang melarang dan menghalang-halangi disebutnya
nama Tuhan di tempat-tempat peribadatan serta berusaha
menghancurkan tempat tersebut. Padahal mereka tidak berhak
6 Abῑ „Abdillāh Ibn Muhammad Ibn Ismᾱ‟ῑl al-Bukhᾱrī, Ṣaḥīḥ al-Bukhārí (Beirut:
Dār Ibn Kaṡīr 2002), 118. 7 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur'an:Tafsir Tematik atas Pelbagai Persoalan
Umat (Bandung: Mizan, 2012), 452
5
memasukinya kecuali dalam keadaan takut kepada Tuhan. Kelak
mereka (yang menghancurkan tempat-tempat peribadatan) akan
mendapatkan kesengsaraan di dunia dan siksaan yang berat di
akhirat".
Muhammad Asad dalam Tafsirnya The Message of The Qur'an
menafsirkan kata masājid dalam ayat di atas sebagai houses of worship
atau istilah dalam bahasa arabnya adalah معابد yaitu tempat-tempat secara
umum. Oleh karena itu, prinsip yang fundamental dalam Islam bahwa kita
wajib menghargai dan menjaga masjid-masjid (tempat peribadatan secara
umum). Karena itu segala bentuk atau tindakan untuk menghalang-halangi
para penganut agama untuk beribadah kepada Tuhannya dikategorikan
oleh al-Qur'an sebagai sebuah kezaliman yang besar.8
Indonesia sebagai Negara yang majemuk dengan bermacam-macam
suku, budaya, dan bangsa. Meskipun terdiri dari berbagai macam suku,
budaya, bahasa, dan agama namun Indonesia tetap merupakan sebuah
kesatuan yang tercermin dalam semboyan bangsa "Bhinneka Tunggal Ika"
yakni berbeda-beda tetapi tetap satu. Keberagaman itu dijadikan oleh para
leluhur bangsa sebagai modal untuk menjadi sebuah bangsa yang besar
dan berperadaban. Namun, konflik-konflik keagamaan seakan mengikis
semboyan "Bhinneka Tunggal Ika" dibuktikan dengan sejumlah
problematik pembangunan rumah-rumah peribadatan.
Problematik pendirian rumah ibadah yang terjadi di Kota Bogor
Jawa Barat pada 10 April 2012, jemaat dari Gereja Kristen Indonesia
(GKI) Yasmin yang kesulitan untuk membangun rumah peribadatan,
bahkan Walikota menyegel sepenuhnya GKI Yasmin dengan
mengerahkan Satpol-PP. Penolakan lain terjadi pada tahun 2018 di desa
8 Muhammad Asad, The Message of The Qur'an, Tranlated and Explained
(Gibralta: Dᾱr al-Andalus, 1980), 32.
6
Sentani Kabupaten Jayapura dialami oleh umat Muslim yang mendapat
penolakan dari Persekutuan Gereja-gereja Jayapura atas renovasi Masjid
Agung di Sentani. Alasan penolakan yang dialami oleh umat Islam di
Sentani adalah pembatasan dakwah Islam di Jayapura.9
Keberagaman agama di Indonesia menjadi dilema tersendiri. Di satu
sisi memberikan kontribusi positif untuk terwujudnya sebuah bangsa yang
besar. Namun di sisi lain, keberagaman agama juga dapat berpotensi
menjadi sumber konflik di kemudian hari. Dari sekian akar konflik
keagamaan yang terjadi, yang dominan disebabkan oleh pendirian rumah
ibadah dikarenakan kurang tegasnya pemerintah menegakkan regulasi.10
Penerapan regulasi pendirian rumah ibadah belum berjalan dengan baik.
Karena itu masih banyak umat beragama dari kalangan minoritas yang
kesulitan bahkan kehilangan akses untuk beribadah dengan aman dan
nyaman.
Tindakan seperti di atas, dikategorikan oleh al-Qur'an sebagai
tindakan kezaliman yang besar seperti yang disampaikan dalam Qs. al-
Baqarah/ 2: 144 di atas. Dari latar belakang di atas maka penulis tertarik
lebih jauh untuk memahami masjid dalam al-Qur'an perspektif
Muhammad Asad dalam The Message of The Qur'an serta
kontekstualisasinya terhadap kehidupan sosial.
Penelitian terhadap masjid ini bukan yang pertama kali, sebelumnya
sudah ada penelitian-penelitian terdahulu berkaitan dengan masjid dalam
al-Qur‟an. Namun dari penelitian terdahulu hanya membahas tentang
masjid tertentu dengan fungsi terbatas, misalnya penelitian tentang
Revitalisasi Fungsi Masjid Sebagai Pusat Perekonomian dan Dakwah
Multikultural atau Masjid Ḍirar dan Takwa. Sementara itu, dalam al-
9 Desi Purnamasari, https://Tirto.id/problem umat agama minorita, 2019.
10 Saidurrahman dan Arifinsyah, Nalar Kerukunan Merawat Keragaman Bangsa
Mengawal NKR (Jakarta: Kencana, 2018), 111.
7
Qur‟an masih banyak ayat-ayat masjid, tidak hanya berkaitan dengan
Masjid Taqwᾱ atau Masjid Ḍirᾱr, tidak hanya berfungsi sebagai pusat
perekonomian dan dakwah yang belum diungkap oleh penelitian
terdahulu.
Muhammad Asad atau Leopold Weiss adalah seorang cendekiawan
muslim, mantan Duta Besar Pakistan untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa
penulis Tafsir The Message of The Qur'an sebuah karya yang didasarkan
atas kajian sepanjang hidupnya yang dihabiskan di Jazirah Arab. The
Message of The Qur'an ditulis berdasarkan research puluhan tahun atas
tafsir tradisional, hadiṡ, sejarah Nabi, dan penelitian bahasa Arab di
kalangan suku Badui Arab yang dipercaya masih memelihara tradisi
berbahasa Arab yang dipakai pada zaman Rasulullah saw.
Dalam penafsirannya Muhammad Asad merujuk pada kitab-kitab
tafsir klasik dan modern. Selain itu beliau menjadikan al-Qur'an sebagai
kumpulan Kalam Allah "yang hidup" dan rasional sehingga relevan
dengan konteks kekinian. Ayat-ayat al-Qur'an di tangan Asad tidak tinggal
sebagai suatu kitab kuno. Penafsirannya diupayakan untuk beresonansi
dengan situasi dan kondisi kontemporer. Selain itu, penafsiran Asad dalam
tafsirnya itu merupakan hasil risetnya selama belasan tahun di pedalaman
Arab; belajar bahasa arab Badui (yang dipercayai kemurniannya
sebagaimana wahyu al-Qur‟an itu diturunkan). Ini salah satu alasan
penulis memilih tafsir The Message of The Qur'an dalam penelitian ini
dengan berjudul “Masjid Dalam al-Qur'an: Studi Penafsiran
Muhammad Asad dalam The Message of The Qur'an.”
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, peneliti mengidentifikasi
beberapa permasalahan yang muncul sebagai berikut:
8
1. Kata masjid terulang sebanyak 28 kali dalam al-Qur‟an. Umumnya
masyarakat memahami masjid dalam al-Qur‟an itu sebagai
bangunan tempat salat saja. Dalam mengatasi penyempitan makna
ini maka diperlukan adanya kajian komprehensif mengenai konsep
masjid perspektif al-Qur‟an.
2. Kajian ayat-ayat masjid secara komprehensif akan menyimpulkan
makna fungsional masjid dalam pengertian ibadah yang luas tidak
hanya sebagai tempat salat.
3. Muhammad Asad adalah salah satu intelektual Islam abad 20-an
yang paling berpengaruh di Eropa. Salah satu karya besarnya
adalah tafsir The Message of The Quran sebuah tafsir kontemporer
dengan sistem penulisan ilmiah yang berkembang saat ini.
Bagaimana Muhammad Asad membicarakan dikursus ayat-ayat
masjid dalam karyanya tersebut.
4. Kesimpulan dari penafsiran Muhammad Asad kemudian perlu
dikontekstualisasikan agar tidak hanya menjadi sebuah teori tetapi
juga menjadi budi pekerti.
C. Batasan Dan Rumusan Masalah
Dalam penelitian ini, penulis memfokuskan pada point' pembahasan
ayat-ayat masjid dan penafsirannya perspektif Muhammad Asad dalam
The Message of The Qur'an.
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka rumusan penelitian
ini yaitu, bagaimana penafsiran Muhammad Asad terhadap kata masjid
dalam al-Qur‟an?
D. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui makna masjid dalam al-Qur'an
9
2. Mengetahui Penafsiran Muhammad Asad Terhadap ayat-ayat
masjid dalam al-Qur‟an
3. Mengetahui Kontekstualisasi Penafsiran Muhammad Asad
Terhadap Kehidupan Sosial
E. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
a. Memberikan sumbangsih wacana ilmiah dalam rangka
memperkaya khazanah keilmuan perspektif al-Qur'an
b. Sebagai sumbanhsih ide atau pemikiran untuk diteliti lebih
lanjut
2. Manfaat Praktis
a. Memberikan pemahaman makna masjid secara komprehensif
perspektif al-Qur'an
b. Memberi wawasan baru bagi peneliti mengenai konsep masjid
dalam al-Qur'an dan penafsirannya
F. Kajian Pustaka
Berdasarkan review kajian terdahulu, penelitian ini dirasa berbeda
dari karya ilmiah yang lain. Di samping lebih menekankan pada aspek
bahasa dan juga penelitian ini menekankan pada pemahaman masjid
dalam Qs. al-Baqarah/ 2: 114 dan penafsirannya untuk
dikontekstualisasikan terhadap kehidupan sosial perspektif Muhammad
Asad dalam The Message of The Qur'an. Adapun kajian terdahulu yang
terkait dengan penelitian ini sebagai berikut:
01
1. Dalmeri,11
tujuan dalam penelitian ini guna mengetahui
Revitalisasi Fungsi Masjid Sebagai Pusat Ekonomi dan Dakwah
Multikultural. Hasil analisis dari artikel ini menghasilkan sebuah
kesimpulan bahwa masjid bukan hanya sebatas tempat kegiatan
ibadah tetapi juga sebagai pusat dakwah dan aktivitas sosial-
ekonomi umat Islam.
2. M Saefuddin,12
dalam penelitian ini membahas tentang bagaimana
makna masjid dhirar dan masjid yang di bangun atas dasar takwa
dalam tafsir al-Qur'an serta implikasi kedua masjid tersebut dalam
kondisi kekinian. Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa
masjid seharusnya mencerminkan kesalehan individu dan sosial
dan melahirkan peradaban yang madani, tidak mudah di provokasi
dan diadu domba karena perbedaan oleh sekelompok golongan
atau individu tertentu.
3. Ridwan Mansyur,13
penelitian ini menggunakan pendekatan
sosiologis. Dalam penelitian ini, diungkap fakta sosiologis tentang
fungsi dan peran masjid dalam al-Qur'an. Hasil penelitian
mengungkapkan bahwa peran dan fungsi masjid mengalami
penyempitan yakni hanya sebatas ritual formal dan mengabaikan
aspek sosial.
11 Dalmeri, “Revitalisasi Fungsi Masjid sebagai Pusat Ekonomi dan Dakwah
Multikultural”. jurnal penelitian Sosial Keagamaan Walisongo. vol.22, no.2 (Juni 2014),
12-15. 12
M Saefuddin, “Masjid Ḍirᾱr dan Masjid Taqwᾱ dalam al-Qur'an” (Skripsi S1.,
Universitas Islam Negeri Walisongo, 2018). 13
Ridwan Mansyur, “Konsep Masjid dalam Perspektif Mufassir dan Realitasnya
dalam Masyarakat : Studi terhadap Konsep Masjid dalam Al-Quran” (Thesis S2.,
Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung, 2019).
00
4. Agung Dzikri,14
dalam Skripsi ini disebutkan bahwa masjid ḍirᾱr
sering kali ditafsirkan sebagai masjid yang dibangun oleh non-
muslim untuk memecah belah persatuan umat Muslim. Penafsiran
tersebut dinilai kurang tepat terutama ketika dikontekstualisasikan
zaman sekarang, sebab situasi dan kondisi berbeda dengan zaman
dulu. Metodologi yang dipakai penelitian ini yaitu teori Double
Movement untuk didapat ideal moral dan kontekstualisasi masjid
Ḍirᾱr. Dengan menggunakan metode double movement ini
seyogyanya masjid sebagai tempat melakukan kegiatan
peribadatan mencerminkan kenyamanan dan ketentraman tanpa
ada unsur yang mengganggu seperti digunakan oleh sebagian
kelompok dan lain sebagainya secara tertutup.
Beberapa kajian terdahulu di atas membahas mengenai makna
masjid secara khusus yaitu masjid yang digunakan oleh umat islam
sebagai tempat salat dengan berbagai macam pendekatan, sosial,
hermeneutika, dan tafsir. Sedangkan tema penelitian penulis adalah makna
masjid secara umum yaitu houses of worship berdasarkan makna generik
dari kata masjid itu sendiri dengan fokus pembahasan pada ayat-ayat
masjid dalam tafsir Muhammad Asad.
G. Metodologi Penelitian
Metode penelitian adalah suatu hal terpenting bagi seseorang yang
melakukan peneliti guna mencapai sebuah tujuan serta dapat menemukan
sebuah jawaban dari masalah penelitian.
1. Jenis Penelitian
14
Agung Dzikri, “Aplikasi Teori Double Movement Tentang Studi Masjid Dhirar:
QS at-Taubah 107-110” ( Skripsi S1., Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati
Bandung, 2019).
02
Penelitian ini adalah kualitatif yang juga dikenal dengan penelitian
kepustakaan atau library research yaitu penelitian yang
dilaksanakan berdasarkan literatur, baik berupa buku, catatan, atau
berupa laporan hasil dari kajian terdahulu yang relevan yang
berkaitan dengan tema pembahasan penelitian.15
2. Sumber Data
a. Data Primer
Sumber data primer merupakan sumber data pokok yang diperoleh
langsung dari subjek penelitian sebagai sumber utama dalam
penelitian ini. Adapun data primer dalam penelitian ini adalah al-
Qur'an dan Tafsir The Message of The Qur'an karya Muhammad
Asad serta pendapat-pendapat mufasir lain yang satu frekuensi
dengan Muhammad Asad.
b. Data Sekunder
Data sekunder merupakan data pendukung yang berkaitan dengan
penelitian ini. Data pendukung dalam penelitian ini adalah, Tafsῑr
al-Manᾱr karya Rasyῑd Riḍᾱ, Tafsῑr al-Jᾱmi‟ li Aḥkᾱm al-Qur‟ᾱn
karya al-Qurṭubῑ, Mafᾱtiḥ al-Gaib karya Fakhr al-Dῑn al-Rᾱzῑ,
Tafsῑr al-Ḥadῑs karya Muhammad „Izzah Darwazah, serta kitab
atau literatur-literatur lain baik itu berupa buku atau jurnal yang
berkaitan dengan tema penelitian ini.
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data merupakan langkah utama bagi seorang
peneliti. Pengumpulan data dalam penelitian kepustakaan bisa
dilakukan dengan dokumentasi, yaitu mencari data mengenai hal-
15
Iqbal Hasan, Analisis Data Penelitian Dengan Statistik (Jakarta: Bumi Aksara
2008), 5.
03
hal atau variabel berupa catatan, buku, artikel, jurnal, dan
sebagainya.
Dari data primer dan sekunder di atas dikumpulkan kemudian
diuraikan untuk dianalisis dengan metode deskriptif-analisis, yaitu
mendeskripsikan suatu objek penelitian berdasarkan data-data yang
diperoleh.
4. Teknik Analisis Data
Teknik analisis dalam penelitian ini memakai metode interpretasi
atau tafsir teks, yaitu metode penafsiran dengan menggunakan
ayat-ayat al-Qur‟an, kemudian mengidentifikasi, mengurutkan, dan
mengelompokkan ayat-ayat al-Qur‟an yang berkaitan dengan
masjid.
Adapun metode interpretasi yang digunakan adalah metode
tematik. al-Farmawi mengartikan metode tematik, yaitu
menghimpun ayat-ayat yang mempunyai maksud yang sama atau
membicarakan topik permasalahan yang sama. Setelah itu ayat-
ayat disusun berdasarkan kronologis serta sebab turunnya,
kemudian dijelaskan untuk mengambil kesimpulan16
5. Teknik Penulisan
Teknik penulisan dalam menyusun skripsi ini berdasarkan pada
Pedoman Penulisan Karya Ilmiah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Tahun 2017. Adapun dalam pengutipan ayat-ayat al-Qur‟an,
penulis menggunakan al-Qur‟an dan terjemah dari Kementrian
Agama RI edisi tahun 2019 kecuali dalam Bab IV penulis
menggunakan terjemahan dari Muhammad Asad.
16
al-Farmawi, Metode Tafsir Mauḍu‟i, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996),
36.
04
H. Sistematika Penulisan
Penelitian ini diawali dengan bab pendahuluan, yang memuat latar
belakang masalah sebagai tolak ukur untuk merumuskan dan membatasi
ruang lingkup kajian, kemudian diikuti dengan kajian pustaka dan
metodologi sebagai metode dalam mencari atau memecahkan masalah
penelitian dengan cara sistematis.
Agar penelitian ini terarah maka pada bab dua, penelitian menyusun
kerangka teori; mulai dari definisi serta akar kata tentang masjid, fungsi
dasar didirikannya masjid sampai pada fakta dan fungsinya di masa Nabi.
Karena dalam penelitian ini menggunakan pendekatan tokoh maka
pada bab tiga ini berisi biografi Muhammad Asad mulai dari lahir sampai
wafat serta berisi tentang tafsir The message of The Qur‟an dari mulai
latar belakang penulisan, metodologi dan corak penafsirannya.
Bab keempat, penulis merumuskan tentang sub-sub bahasan
mengenai ayat-ayat masjid dan tafsirnya perspektif Muhammad Asad.
Bab kelima yaitu penutup yang terdiri dari kesimpulan; sebagai
jawaban masalah pokok yang diajukan dan saran-saran sebagai
rekomendasi penelitian selanjutnya.
15
BAB II
KAJIAN UMUM MASJID DALAM AL-QUR’AN
A. Pengertian Masjid Dengan Berbagai Derivasinya
Kata masjid terulang sebanyak dua puluh delapan kali dalam al-
Qur‟an baik dalam bentuk mufrad maupun jamak. Dari segi bahasa kata
masjid berasal dari akar kata سجد يسجد سجودا yang artinya
menghambakan diri atau tunduk. Pengertian ini mencakup semua makhluk
Allah baik itu manusia, hewan-hewan, dan tumbuh-tumbuhan.1 Misal
dalam Qs. al-Raḥmᾱn/ 55: 6
وٱلنجم وٱلشجر يسجداف“ Dan tetumbuhan dan pepohonan itu tunduk kepada-Nya.”
كة وىم ل يستكبوف وللو يسجد ما فی ٱلسمػ و لػ ى ت وما فی ٱألرض من دا بة وٱت
“Dan segala apa yang ada di langit dan di bumi hanya bersujud
kepada Allah yaitu semua makhluk yang bergerak (bernyawa) dan
juga( para malaikat, dan mereka (malaikat) tidak menyombongkan
diri.”
Dalam kedua ayat di atas, Allah menjelaskan bahwa semua makhluk
yang ada di langit dan di bumi tunduk kepada kekuasaan Allah dan
mereka bersujud kepada Allah dengan caranya masing-masing sesuai
dengan fitrahnya yang alami. Dari pengertian dan kedua ayat di atas dapat
disimpulkan bahwa kata sujud memiliki arti tunduk, patuh, serta taat
dengan penuh hormat dan takzim kepada Allah SWT.
Kata masjid merupakan bentuk isim makan (nama yang
menunjukkan tempat salat) yang diekspresikan dengan bersujud.
1 Rᾱgib al-Aṣfahᾱnī, Mufradāt fῑ Garῑb al-Qur'ān (Beirut: Dᾱr el-Ma'rifah, t.t),
223
06
Sementara kata masjid dalam bentuk jamak masᾱjid diartikan sebagai
bumi.2 Pengertian masjid dengan bumi ini merujuk pada ḥadῑṡ Nabi
Muhammad saw.:
ثػنا سيار ىو أبو اتكم، قاؿ: ثػنا ىشيم، قاؿ: حد د بن سناف، قاؿ: حد ثػنا تم حدثػنا جابر بن عبد اللو، قاؿ: ثػنا يزيد الفقري، قاؿ: حد صلى ا -قاؿ رسوؿ اللو حد
أعطيت تسا ل يػعطهن أحد من األنبياء قػبلي: نصرت بالرعب : »-عليو وسلم ا رجل من أمت أدركتو الصالة مسرية شهر، وجعلت ل األرض مسجدا وطهورا، وأی
عث إل قػومو -صلى اللو عليو وسلم -فػليصل، وأحلت ل الغنائم، وكاف النب يػبػ «"خاصة، وبعثت إل الناس كافة، وأعطيت الشفاعة
“Telah menceritakan kepada kami Muhammad Ibn Sinᾱn, dia
berkata telah menceritakan kepada kami Husyaim, berkata, telah
menceritakan kepada kami Sayyᾱr (Abủ al-Ḥakam) berkata, telah
menceritakan kepada kami Yazῑd al-Faqῑr berkata, telah
menceritakan kepada kami Jᾱbir Ibn Abdillᾱh berkata, Rasulullah
saw. bersabda: Aku diberi lima perkara yang tidak diberikan kepada
seorang-pun sebelumku; aku ditolong dengan diberikannya rasa
takut (kepada musuh) dalam perjalanan satu bulan (sebelum
bertemu), telah dijadikan untukku (dan untuk umatku) bumi sebagai
masjid dan sarana penyucian diri, maka barang siapa yang menemui
waktu ṣalat, maka ṣalatlah, dihalalkan untukku 'ganimah-ganimah',
dan semua Nabi itu diutus untuk kaumnya sendiri sedangkan aku
diutus untuk seluruh manusia, dan aku diberi (wewenang) untuk
memberikan syafa'at." (HR. Bukhari).3
Dalam ḥadῑṡ di atas Rasulullah mengaitkan makna masjid dengan
bumi. Dari penjelasan tersebut dapat dipahami bahwa masjid bukan hanya
tempat sujud umat Islam dan bukan hanya sarana penyucian, bukan hanya
bangunan tempat ṣalat dan bertayamum sebagai sarana bersuci pengganti
wuḍu tetapi kata masjid di sini berarti tempat segala aktivitas manusia
2 Rᾱgib al-Aṣfahᾱnī, Mufradāt fῑ Garῑb al-Qur'ān, 224.
3 Abῑ 'Abdillāh Ibn Muḥammad Ibn Ismᾱ‟ῑl al-Bukhᾱrī, Ṣaḥῑḥ al-Bukhᾱrī (Beirut:
Dᾱr Ibn Kaṡīr 2002), 118.
07
yang mencerminkan ketundukan, kepatuhan, serta ketaatan kepada Allah
Swt.4
Ḥadῑṡ di atas merupakan keistimewaan bagi umat Nabi Muhammad
saw. dijadikannya kepada beliau dan umatnya bumi sebagai tempat untuk
beribadah kepada Allah. Hal ini berbeda dengan umat sebelum Nabi
sebagaimana pandangan al-Qurṭubī, hadiṡ di atas adalah sebuah
kekhususan dari Allah kepada Nabi-Nya; yaitu Allah menjadikan bumi
sebagai tempat bersujud dan bersuci. Berbeda dengan umat sebelumnya,
mereka diperbolehkan bersujud di tempat yang telah ditentukan seperti di
gereja dan kapel-kapel.”5
Pendapat al-Qurṭubī ini memberikan pemahaman bahwa masjid
tidak identik dengan sebuah bangunan yang digunakan beribadah oleh
umat Islam tetapi juga merujuk kepada tempat ibadah agama lain. Hal ini
berdasarkan penafsiran Qs. al-Jin/ 72: 18 :
وأف المساجد للو فال تدعوا مع اللو أحدا“ Dan sesungguhnya masjid-masjid itu hanyalah untuk Allah, Maka
janganlah kamu menyembah apa pun di dalamnya selain Allah”.
Mayoritas kalangan Mufasir menafsirkan kata masᾱjid dalam ayat di
atas adalah tempat-tempat yang dibangun untuk beribadah dan mengingat
Allah termasuk di dalamnya kapel-kapel, gereja, dan masjid yang
digunakan oleh umat Islam. Namun, ahli kitab ketika melakukan
peribadatan di gereja-gereja mereka menyekutukan Allah. Oleh karena itu
4 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur'an: Tafsir Tematik atas Pelbagai
Persoalan Umat (Bandung: Mizan, 2012), 452 5 Muhammad Ibn „Abdillāh al-Zarkasyī, I‟lᾱm al-Sᾱjid fī Aḥkᾱm al-Masᾱjid
(Kairo: Ihyᾱ al-Turᾱṡ al-Islᾱmī 1996), 27.
08
ayat di atas memerintahkan kepada umat Islam untuk beribadah kepada
Allah dengan ikhlas dan tauhid.6
B. Tabel Ayat-ayat Masjid dalam al-Qur'an
Kata Masjid Nama Surat dan Ayat Jumlah
al-Isrᾱ : 7 1 سجد ٱت
al-„Arᾱf : 29, 31 2 جدمس
اجدمس
al-Taubah : 107 1
al-Kahfi : 21 1
al-Taubah : 108 1 جد مس
ـ سجد ٱت ٱترا
al-Baqarah : 144, 149, 150,
191, 196 dan
217
6
al-Mᾱidah : 2 1
al-Anfᾱl : 34 1
al-Taubah : 7, 19, 28 3
al-Isrᾱ : 1 1
al-Ḥaj : 25 1
al-Fatḥ : 25, 27 2
6 Fakhr al-Dῑn al-Rᾱzῑ, Mafᾱtiḥ al-Gaib, jilid 10, cet. I (Beirut: Dar al-Fikr 1981),
162.
09
د ٱلقصا al-Isrᾱ: 1 1 ٱلمسج
د ج ـ al-Ḥajj[22]: 40 1 مس
د ج ـ مس
al-Baqarah [2]: 114 1
al-Taubah[9]: 17, 18 2
د ج ـ ٱلمس
al-Baqarah [2]: 187 1
al-Jin 18 1
Jumlah - 28
C. Ayat-ayat Makkiyah dan Madaniyah tentang Masjid
a. Ayat-ayat Madaniyah
Qs. al-A‟rāf/ 7: 29
ين لو لصی وه ت ع وٱد مسجد كل عند وجوىكم وأقيموا بٱلقسط ربی أمر قل كما ٱلد تػعودوف بدأكم
"Katakanlah, Tuhanku menyuruhku berlaku adil. Hadapkanlah
wajahmu (kepada Allah) pada setiap salat, dan sembahlah Dia
dengan mengikhlaskan ibadah semata-mata hanya kepada-Nya.
Kamu akan dikembalikan kepada-Nya sebagaimana kamu
diciptakan semula "
QS. al-A‟rāf/ 7: 31
ـ خذوا سرفی یب ل ۥإنو تسرفػو ا ول وٱشربواوكلوا مسجد كل عند زينتكميػ بنی ءاد ٱت
" Wahai anak cucu Adam! Pakailah pakaianmu yang bagus pada
setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah tetapi jangan
berlebihan."
Qs. al-Jin/ 72: 18
21
اأحد ٱللو مع تدعوا فال للو سػ جد وأف ٱت
" Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah untuk Allah, maka
janganlah kamu menyembah apa pun di dalamnya selain Allah."
Qs. al-Isrā/ 17: 1
ليال ۦبعبده أسرى ٱلذی حػ ن سبـ سجد من ٱت سجد إل ٱترا
ۥحولو بػ ركنا ٱلذی ٱألقصا ٱت
بصري سميع ٱلٱل ىو ۥإنو ءايػ تنا من ۥلنريو " Maha suci Allah, yang telah mempertahankan hamba-Nya
(Muhammad) pada malam hari dari Masjid al-Ḥarᾱm ke Masjid Al-
Aqsᾱ yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan
kepadanya sebagian tanda-tanda (kebesaran) Kami."
Qs. al-Isrā/ 17: 7
اخرة وعد جا ء فإذا فػلها أسأت وإف ألنفسكم أحسنتم أحسنتمإف وجوىكمػ وا ليسػ ٱلػ سجد وليدخلوا
تتبريا علوا ماوليتبػروا مرة أوؿ دخلوه كما ٱت
" Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik untuk dirimu
sendiri. Dan jika kamu berbuat jahat, maka (kerugian kejahatan) itu,
untuk dirimu sendiri. Apabila datang saat hukuman (kejahatan) yang
kedua, (Kami bangkitkan musuhmu) untuk menyuramkan wajahmu
lalu mereka masuk ke dalam masjid (Masjid Al-Aqsᾱ) sebagaimana
mereka memasukinya pertama kali dan mereka membinasakan apa
saja yang mereka kuasai."
Qs. al-Kahfi/ 18: 21
يػتػنػ زعوف إذ فيها ب وأف ٱلساعة ل ري حق ٱللو وعد أف ليعلمو ا عليهم أعثرنا لك وكذ أمرىم على غلبوا ٱلذين قاؿ بم أعلم ربػهم ابنيػ ن عليهم ٱبنوا فػقالوا أمرىم بينػهم
امسجد عليهم لنتخذف " Dan demikian (pula) kami perlihatkan (manusia) dengan mereka,
agar mereka tahu bahwa janji Allah benar bahwa kedatangan hari
kiamat tidak ada keraguan padanya. Ketika mereka berselisih
tentang urusan mereka maka mereka berkata, dirikanlah bangunan di
atas (gua) mereka, Tuhan mereka lebih mengetahui tentang mereka.
Orang yang berkuasa atas urusan mereka berkata; kami pasti akan
20
mendirikan rumah ibadah di atasnya."
b. Ayat-ayat Madaniyah tentang Masjid
Qs. al-Baqarah/ 2: 114
ك خرابا فی وسعى ۥٱتو فيها كر أف يذ ٱللو مسػ جد منع تن أظلم ومن تم كاف ما أولػ ىفی إل يدخلوىا أف نيا فی تم خا ى اخرة فیوتم خزی ٱلد عظيم عذاب ٱلػ
" Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang melarang di
dalam masjid-masjid Allah untuk menyebut nama-Nya dan berusaha
merobohkannya?"
Qs. al-Baqarah/ 2: 144
هاتر قبلة فػلنػوليػنك ٱلسما ء فی وجهك تػقلب نػرى قد سجد شطر وجهك فػوؿ ضىػ ٱت
ـ ٱتق أنو ليعلموف ٱلكتػ ب أوتوا ٱلذين وإف ۥ شطره وجوىكم فػولواث ما كنتم وحي ٱترام من يعملوف عما بغػ فل ٱللو وما رب
" Kami melihat wajahmu (Muhammad) sering menengadah ke
langit, maka akan Kami palingkan engkau ke kiblat yang engkau
senangi. Maka hadapkanlah wajahmu ke arah Masjid al-Ḥarᾱm. Dan
di mana saja engkau berada, hadapkanlah wajahmu ke arah itu. Dan
sesungguhnya orang-orang yang diberi al-Kitab (Taurat dan Injil)
tahu, bahwa (pemindahan kiblat) itu adalah kebenaran dari Tuhan
mereka. Dan Allah tidak lengah terhadap apa yang mereka
kerjakan."
Qs. al-Baqarah/ 2: 149
سجد ر ش وجهك فػوؿ خرجت حيث ومن ـ ٱت ٱللو وما ربك من للحق ۥوإنو ٱترا
ملوف بغػ فل عما تع" Dan dari mana pun engkau (Muhammad) keluar, hadapkanlah
wajahmu ke arah Masjid Al-Ḥarᾱm, sesungguhnya itu benar-benar
ketentuan dari Tuhanmu. Allah tidak lengah terhadap apa yang
kamu kerjakan."
Qs. al-Baqarah/ 2: 150
22
سجد شطر وجهك فػوؿ خرجت حيث ومنـ ٱت وجوىكم فػولوا كنتم ما وحيث ٱترا
وألت وٱخشونی تشوىم فال منهم ظلموا ٱلذين إل حجة كماس عليللن يكوف لئال ۥشطره تتدوف ولعلكم عليكم نعمتی
" Dan dari mana pun engkau (Muhammad) keluar, maka
hadapkanlah wajahmu ke arah Masjid Al-Ḥarᾱm. Dan di mana saja
engkau berada, maka hadapkanlah wajahmu ke arah itu, agar tidak
ada alasan bagi manusia (untuk menentangmu) kecuali orang-orang
yang zalim di antara mereka. Janganlah kamu takut kepada mereka,
tetapi takutlah kepada-Ku, agar Aku sempurnakan nikmat-Ku
kepadamu, dan agar kamu mendapat petunjuk."
Qs. al-Baqarah/ 2: 187
سػ جد فی عػ كفوف ول تػبػ شروىن وأنتم ٱت
" Tetapi jangan campuri mereka ketika kamu beri'tikaf dalam
masjid."
Qs. al-Baqarah/ 2: 191
ول قتل أشد من ٱل وٱلفتنة أخرجوكم حيث من وأخرجوىم توىم ثقف حيث تػلوىموٱقسجد عند تػقػ تلوىم
ـ ٱت جزا ء لك كذ فٱقتػلوىم قػ تػلوكم فإف فيو يػقػ تلوكم حت ٱترا
ٱلكػ فرين " Dan bunuhlah mereka di mana kamu temui mereka, dan usirlah
mereka dari mana mereka telah mengusir kamu. Dan fitnah itu lebih
kejam daripada pembunuhan. Dan janganlah kamu perangi mereka
di Masjid al-Ḥarᾱm, kecuali mereka memerangi kamu di tempat itu.
Jika mereka memerangi kamu, maka perangilah mereka. Demikian
balasan bagi orang kafir."
Qs. al-Baqarah/ 2: 196
يبلغ حت رءوسكم تلقوا ول ٱتدی من ٱستيسر فما فإنأحصرت للو وٱلعمرة ٱتج وأتوا أونسك صدقة من صياـ أو ففدية ۦسو ى من رأأذ ۦأوبو مريضا منكم كاف فمن ۥ تلو ٱتدی
ـ ید ل فمن ٱتدی من ٱستيسر فما ٱتج إل بٱلعمرة تتع فمن فإذا أمنتم ثػلػ ثة فصيا
23
حاضری ۥأىلو يكن ن ل لم لك ذ كاملةعشرة تلك رجعتم إذا وسبعة ج فی ٱت أياـسجد
ـ ٱت ٱلعقاب شديد ٱللو أف وٱعلمو ا وٱتػقواٱللو ٱترا
" Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah. Tetapi
jika kamu terkepung (oleh musuh), maka sembelihlah hadyu yang
mudah didapat, dan jangan kamu mencukur kepalamu sebelum
hadyu sampai di tempat penyembelihannya. Jika ada di antara kamu
yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu dia bercukur), maka
dia wajib berfidyah yaitu berpuasa, bersedekah, atau berkurban.
Apabila kamu dalam keadaan aman, maka barang siapa mengerjakan
umrah sebelum haji dia wajib menyembelih hadyu yang mudah
didapat. Tetapi jika dia mendapatkannya, maka dia wajib berpuasa
tiga hari setelah kamu kembali. Itu seluruhnya sepuluh hari.
Demikian itu, bagi orang yang keluarganya tidak ada (tinggal) di
Masjid al-Ḥarᾱm. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa
Allah sangat keras hukuman-Nya."
Qs. al-Baqarah/ 2: 217
ـ ٱلشهر عن ػ لونك يس ۦبو ر وصد عن سبيل ٱللو وكف فيو كبري قتاؿ قل فيو قتاؿ ٱتراسجد
ـ وٱت ٱلقتل من أكبػر وٱلفتنة ٱللو عند أكبػر منو ۦأىلو وإخراج ٱترا
" Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang berperang pada
bulan haram. Katakanlah, berperang pada bulan itu adalah (dosa)
besar. Tetapi menghalangi orang dari jalan Allah, ingkar kepada-
Nya, (menghalangi orang masuk) Masjid al-Ḥarᾱm, dan mengusir
penduduk dari sekitarnya, lebih besar dosanya dalam pandangan
Allah. Sedangkan fitnah lebih kejam daripada pembunuhan."
Qs. al-Mā'idah/ 5: 2
ول یرمنكم شنآف قػوـ أف صدوكم عن المسجد اتراـ أف تػعتدوا " Jangan sampai kebencianmu kepada suatu kaum karena mereka
menghalang-halangi kamu dari Masjid al-Ḥarᾱm, mendorongmu
berbuat melampaui batas (kepada mereka)."
Qs. al-Anfāl/ 8: 34
بػهم أل وما تم سجد عن يصدوف وىم ٱللو يػعذـ ٱت إل ۥأوليا ؤه إف ۥ أوليا ءه كانػو ا وما ٱترا
24
تػقوف يعلموف أكثػرهال ولػ كن ٱت
" Dan mengapa Allah tidak menghukum mereka padahal mereka
menghalang-halangi orang untuk mendatangi Masjid al-Ḥarᾱm dan
mereka bukanlah orang yang berhak menguasainya."
Qs. al-Ḥajj/ 22: 25
وٱ ٱللو سبيل عن ويصدوف إف ٱلذين كفرواـ سجد ت ٱلعػ كف سوا ء للناس جعلنػ و ٱلذی ٱترا
أليم عذاب من و نذق بظلم بإتاد فيو يرد ومن وٱلباد فيو " Sungguh orang-orang kafir dan menghalangi (manusia) dari jalan
Allah dan Masjid al-Ḥarᾱm yang telah Kami jadikan terbuka untuk
semua manusia, baik yang mukim di sana maupun yang datang dari
luar…"
Qs. al-Ḥajj/ 22: 40
يها ف كر ومسػ جد يذ ت وصلو وبيع صومع تدمت ببعض بعضهم ٱلناس ٱللو دفع ل ولو عزيز لقوی ٱللو إف ۥ ينصره من ٱللو ولينصرف اكثري ٱللو م ٱس
" Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian manusia
dengan sebagian yang lain, tentu telah dirobohkan biara-biara
Nasrani, gereja-gereja, dan masjid-masjid yang di dalamnya banyak
disebut nama Allah."
Qs. al-Fatḥ/ 48: 25
سجد عن وصدوكم ىم ٱلذين كفرواـ ٱت ۥ تلو يبلغ أف معكوفا وٱتدی ٱترا
" Mereka orang-orang kafir yang menghalang-halangi kamu (masuk)
Masjid al-Ḥarᾱm dan menghambat hewan-hewan kurban sampai ke
tempat (penyembelihannya)."
Qs. al-Fatḥ/ 48: 27
سجد لتدخلن بٱتق ٱلرءيا رسولو ٱللو صدؽ لقدـ ٱت تلقی ءامنی ٱللو شا ء إف ٱترا
ا قريبافتح لك ذ دوف من فجعل تعلموا ل ما فػعلم تافوف ل ومقصرين سكمرءو " Sungguh Allah akan membuktikan kepada Rasul-Nya tentang
kebenaran mimpinya bahwa kamu pasti akan memasuki Masjid al-
25
Ḥarᾱm jika Allah menghendaki dalam keadaan aman, dengan
menggundul rambut kepala dan memendekkannya, sedangkan kamu
tidak merasa takut."
Qs. al-Taubah/ 9: 7
عند ٱلذين إل ۦرسولو وعند ٱللو عند عهد للمشركی يكوف ف كي سجد عػ هدتـ ٱت ٱت را
تقی یب ٱللو إف تم فٱستقيموا لكم ٱستػقػ موا فما ٱت
" Bagaimana mungkin ada perjanjian (aman) di sisi Allah dan Rasul-
Nya dengan orang-orang musyrik kecuali dengan orang-orang yang
kamu telah mengadakan perjanjian (dengan mereka) di dekat Masjid
al-Ḥarᾱm (Hudaibiyah)."
Qs. al-Taubah/ 9: 17
ك بٱلكفر أنفسهم على شػ هدين ٱللو مسػ جد يعمروا أف مشركی ما كاف لل حبطت أولػ ى
ػ لدوف خ ىم ٱلنار وفی أعمػ لهم"Tidaklah pantas orang-orang musyrik memakmurkan masjid Allah,
padahal mereka mengakui bahwa mereka sendiri kafir."
Qs. al-Taubah/ 9: 18
ا يع ـ ٱلػ اخر وٱليوـ بٱللو ءامن من ٱللو مسػ جد مر إن ة وأقا ة ول ٱلصلو إل یش وءاتى ٱلزكو ك فػعسى ٱللو هتدين من يكونوا أف أولػ ى
ٱت
" Sesungguhnya yang memakmurkan masjid Allah hanyalah orang-
orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap
melaksanakan salat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada apa
pun) kecuali pada Allah."
Qs. al-Taubah/ 9: 19
سجد وعمارة ٱتا ج سقاية تمأجعلـ ٱت سبيل فی وجػ هد ٱلػ اخر وٱليوـ بٱللو ءامن كمن ٱترا
ٱللو " Apakah orang-orang yang memberi minum kepada orang-orang
26
yang mengerjakan haji dan mengurus Masjid al-Ḥarᾱm kamu
samakan dengan orang yang beriman kepada Allah dan hari
kemudian serta berjihad di jalan Allah?"
Qs. al-Taubah/ 9: 28
ا يػ أيػها ٱلذين ءامنػو ا شركوف إنسجد ربوافال يق تس ٱت
ـ ٱت ىػ ذا عامهم بعد ٱترا
" Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya orang-orang
musyrik itu najis (kotor jiwanya), karena itu janganlah mereka
mendekati Masjid al-Ḥarᾱm setelah tahun ini."
Qs. al-Taubah/ 9: 107
ؤمنی بی ا ريق ا وتفر ا ضرارا وكفمسجد وٱلذين ٱتذوا ۥورسولو ٱللو حارب ا لمنوإرصاد ٱت
لكػ ذبوف إنػهم هد و يشوٱلل ٱتسن إل إنأردنا وليحلفن قبل من" Dan (di antara orang-orang munafik itu) ada yang mendirikan
masjid untuk menimbulkan bencana (pada orang-orang beriman),
untuk kekafiran dan memecah belah di antara orang-orang yang
beriman serta menunggu kedatangan orang-orang yang telah
memerangi Allah dan Rasul-Nya sejak dahulu. Mereka dengan pasti
bersumpah, kami hanya menghendaki kebaikan. Dan Allah menjadi
saksi bahwa mereka itu pendusta."
Qs. al-Taubah/ 9: 108
رجاؿ فيو فيو تػقوـ أف أحق يوـ أوؿ من ٱلتقوى على أسس لمسجد اأبد فيو ل تػقمطهرين یب وٱللو یبوف أف يػتطهروا
ٱت" Janganlah engkau melaksanakan salat di masjid itu selama-
lamanya. Sungguh masjid yang didirikan atas dasar takwa sejak hari
pertama adalah lebih pantas engkau melaksanakan salat di
dalamnya. Di dalamnya ada orang-orang yang ingin membersihkan
diri. Allah menyukai orang-orang yang bersih."
D. Asbabun Nuzul
Qs. al-A‟rāf/ 7: 31
Ayat ini turun berkenaan dengan tradisi bangsa Arab pra-Islam
27
dalam melakukan tawaf di Ka'bah yang dilakukan dengan tidak
menggunakan pakaian kecuali kaum Quraisy dan keturunannya.
Masyarakat Arab jahiliyah berkeyakinan bahwa pakaian mereka kotor
sedangkan pakaian kaum Quraisy dan keturunannya suci. Hal ini menjadi
tradisi ibadah haji mereka sampai Allah menurunkan Surah al-A‟rāf ayat
31.7
Imām Nawawῑ mengatakan, masyarakat Arab jahiliah bertawaf
dengan telanjang. Mereka menanggalkan pakaian, melemparkannya, dan
membiarkannya terinjak-injak sampai warnanya memudar. Tradisi ini
berlangsung hingga Islam datang dan Allah memerintahkan untuk
menutup aurat melalui Qs. al-A‟rāf/ 7: 31 dan sabda Rasulullah saw. "
Jangan sampai ada lagi orang melakukan tawaf dengan telanjang di
Ka'bah.".8
Qs. al-Jin/ 72: 18
Ada dua pendapat mengenai latar belakang turunnya ayat ini:
نأت أف لنا كيف : ملسو هيلع هللا ىلصقالت اتن للنب »وأخرج ابن جرير عن سعيد بن جبػري قاؿ: سجد
ساجد و الصالة نشهد كيف أو عنك ناؤوف وتن ات
تن ناؤوف عنك فػنػزلت ﴿وأف ات
« .للو﴾ اآلية " Pertama dari Sa'īd Ibn Jubair ayat ini berkaitan dengan pertanyaan
jin, mereka berkata kepada Nabi, bagaimana mungkin kami datang
ke masjid ini sementara kami dan bagaimana kami menyaksikan
(salat bersama tuan) sementara kami jauh dari kamu." Kemudian
ayat ini turun."9
Kedua riwayat dari Ibn Munzir dari Ibn Juraij, bahwa Qs. al-Jin/ 72:
7 Mannᾱ' al-Qaṭṭᾱn, Tārīkh al-Tasyrῑ' al-Islᾱmῑ al-Tasyrῑ' wa al-Fiqhi (Riyad:
Maktabah al-Ma'ārif 2012), 149. 8 Abủ Zakariyᾱ Muhyi al-Dῑn al-Nawawῑ, al-Minhᾱj bi Syarḥi Ṣaḥīḥ Muslim Ibn
al-Hajjᾱj, jilid 9, cet. 2 (Kairo: Dᾱr al-Hadīṡ 2001), 387. 9 Jalᾱl al-Dīn al-Suyūtī, al-Durr al-Mansūr fī Tafsīr al-Ma'sūr, jilid 8, cet. 2
(Beirut: Dᾱr al-Fikr 2011), 306.
28
18 turun berkenaan dengan orang-orang musyrik.
ساجد للو﴾ اآلية. قاؿ: إف اليػهود نذر عن ابن جريج ف قػولو: ﴿وأف ات
وأخرج ابن ات
م فأمرىم أف يػوحدوه والنصار .ى إذا دخلوا بيػعهم وكنائسهم أشركوا برب
" Sesungguhnya orang Yahudi dan Nasrani ketika mereka masuk
gereja-gereja mereka, mereka menyekutukan Tuhan mereka.
Kemudian ayat ini turun memerintahkan mereka untuk menyucikan
Tuhannya."10
Qs. al-Baqarah/ 2: 114
Wahbah al-Zuhailī mengutip dua riwayat dari Ibn Abbᾱs berkenaan
dengan sebab turunnya ayat ini:11
Dari jalur periwayatan al-Kalbī, ayat ini turun berkenaan dengan
Titus Rum, mereka memerangi dan membunuh Bani Israil, mereka
merusak Taurat, menghancurkan Bait al-Maqdis.
Dari jalur periwayatan „Aṭᾱ‟i dari Ibn Abbās berpendapat bahwa
ayat ini turun berkenaan dengan orang musyrik Arab yang melarang umat
Islam menyebut nama Allah di Masjid al-Ḥarᾱm. memasuki kota Mekah
untuk melaksanakan ibadah umrah. Sementara itu, dari riwayat Ibn Jarῑr
dari Abî Zaid ayat ini (Qs. al-Baqarah/ 2: 114) berkenaan dengan orang-
orang musyrik yang menghalang-halangi Rasulullah untuk memasuki kota
Makkah pada hari Hudaibiyah.
Dari beberapa riwayat di atas mengenai sebab turunnya Qs. al-
Baqarah/ 2: 114 yang menjadi pedoman pengambilan hukum ada pada
keumuman lafaz, sebagaimana dalam teori asbabun nuzul: "al-„Ibrah bi
„umủm al-lafzi lᾱ bi khusủs al-sabab “ yang diambil sebagai pedoman
10
Jalᾱl al-Dῑn al-Suyủṭῑ, al-Durr al-Mansūr, 306. 11
Wahbah al-Zuhailῑ, Tafsῑr al-Munῑr, jilid 1, cet. 2 ( Beirut: Dᾱr al-Fikr, 1418
H), 279.
29
suatu hukum itu berdasarkan keumunan lafaz bukan ketentuan sebab.”12
Qs. al-Baqarah/ 2: 144,149, dan 150
قدس تانية تو ملسو هيلع هللا ىلصصلينا مع رسوؿ اللو »أخرج ابن ماجو، عن الباء قاؿ: بػيت ات
دينة بشهرين، وكاف رسوؿ اللو لة إل الكعبة بػعد دخولو ات عشر شهرا، وصرفت القبػ
قدس بػيت إل صلى إذا ملسو هيلع هللا ىلص نبيو قػلب من اللو وعلم السماء، ف وجهو تػقلب أكثػر ات
بػی يصعد وىو بصره يػتبعو ملسو هيلع هللا ىلصأنو يػهوى الكعبة، فصعد جبيل، فجعل رسوؿ اللو السماء﴾ ف وجهك تػقلب نرى ﴿قد : اللو فأنػزؿ بو، يأتيو ما يػنظر واألرض، السماء
" Ibn Mājah dari al-Barā berkata: kamu salat bersama Nabi
menghadap Bait al-Maqdis selama 18 bulan, kemudian
diperintahkan untuk menghadap Ka'bah setelah memasuki kota
Madinah. Ketika Rasulullah saw. salat menghadap Baitul Maqdis,
beliau sering menengadahkan wajahnya ke langit dan Allah
mengetahui hati Nabi bahwa beliau sangat mencintai (menghadap)
ke Ka'bah. Kemudian Jibril naik dan beliau melihat Jibril naik di
antara langit dan bumi dan Nabi memperhatikan apa yang dibawa
oleh Jibril. Dan Allah menurunkan ayat di atas."
Pemindahan arah kiblat ini terjadi bersamaan dengan tahun
disyariatkannya puasa Ramadhan yaitu tahun kedua Hijriah. Namun para
ulama berbeda pendapat mengenai rincian waktu pemindahan arah kiblat.
Ibnu Ishaq meriwayatkan bahwa pemindahan arah kiblat terjadi 18 bulan
pasca hijrah, sementara al-Qatᾱdah meyakininya terjadi 16 bulan pasca-
hijrah.13
Qs. al-Baqarah/ 2: 187
Terdapat beberapa riwayat terkait sebab turunnya ayat ini, di
antaranya sebagai berikut:
، عن ابن عباس ف قػولو: ﴿ول تباشروىن﴾ اآلية. قاؿ: وأخرج ابن جرير، وابن أب حات
12
Jalᾱl al-Dῑn al-Suyủṭῑ, al-Itqᾱn fῑ Ulủm al-Qur‟ᾱn, cet. 7 (Beirut: Dᾱr al-Kutub
al-Islamiyah, 2019), 50. 13
Abủ Ja'far Ibn Jarîr al-Ṭabarῑ, Tārῑkh al-Umam wa al-Mulūk, jilid 2, cet. 1
(Beirut: Dᾱr al-Kutub al-Ilmiyah 2011), 18.
31
سجد ف رمضاف أو غري رمضاف، فحرـ اللو عليو أف يػنكح ىذا ف الرجل يػعتكف ف ات
.حت يػقضي اعتكافو النساء ليال ونارا،
" Dari Ibn Jarῑr dan Ibn Abῑ Hātim dari Ibn Abbās ayat (وال تباشرهن)
di atas berkaitan dengan seorang laki-laki yang beritikaf di masjid
pada bulan Ramadhan dan bulan lainnya. Kemudian Allah
mengharamkan kepadanya untuk menikah (jima') istri-istrinya baik
di waktu malam atau siang sampai dia menyelesaikan itikafnya."14
نذر، عن الضحاؾ قاؿ: كانوا یامعوف وأخرج وكيع، وابن أب شيبة، وابن جرير، وابن ات
ساجد﴾وىم معتكفوف، حت نػزلت: ﴿ول تباشر وىن وأنػتم عاكفوف ف ات
" Wakī‟ dan Ibn Abῑ Syaibah, dan Ibn Jarīr, dan Ibn Munzir dari al-
Daḥḥāk berkata, mereka (orang-orang) menjimak istri- mereka
padahal mereka dalam keadaan beritikaf. Kemudian Allah
menurunkan ayat di atas."15
Qs. al-Baqarah/ 2: 217
Ayat ini turun berkenaan dengan perang di bulan haram
sebagaimana hukum bangsa Arab yang tidak memperbolehkan seseorang
untuk berperang di bulan haram.
، والطبان، والبػ نذر، وابن أب حاتهقي ف أخرج ابن جرير، وابن ات ، بسند “سننو ”يػ
أبا عليهم وبػعث رىطا، بػعث أنو » ،ملسو هيلع هللا ىلصصحيح، عن جندب بن عبد اللو، عن النب اللو رسوؿ إل صبابة بكى ليػنطلق ذىب فػلما اتارث، بن عبػيدة أو اتراح، بن عبػيدة و بن جحش، وكتب لو كتابا، وأمره أل يػقرأ الكتاب الل عبد مكانو وبػعث فجلس ،ملسو هيلع هللا ىلص
لغ مكاف كذا وكذا، وقاؿ: سري معك ”حت يػبػ“ . ل تكرىن أحدا من أصحابك على ات
وقاؿ: تعا وطاعة للو ولرسولو، فخبػرىم اتبػر، وقػرأ عليهم فػلما قػرأ الكتاب استػرجع الكتاب، فػرجع رجالف، ومضى بقيتػهم، فػلقوا ابن اتضرمي فػقتػلوه، ول يدروا أف ذلك
شرك ؟! فأنػزؿ اللو: اليػوـ من رجب أو تادى، فقاؿ ات وف للمسلمی: قػتػلتم ف الشهر اتراـ
14
Jalᾱl al-Dῑn al-Suyūtī, al-Durr al-Mansūr fī Tafsīr al-Ma'sūr, 485. 15
Jalᾱl al-Dῑn al-Suyūtī, al-Durr al-Mansūr fī Tafsīr al-Ma'sūr, 486.
30
﴿يسألونك عن الشهر اتراـ قتاؿ فيو﴾" Ibn Jarῑr dan Ibn Munzir, dan Ibn Abῑ Hātim, dan al-Ṭabrānῑ, dan
al-Baihaqî meriwayatkan sebuah hadis dalam kitab hadisnya dari
Jundub Ibn „Abdillāh dari Nabi saw. bahwa Nabi mengutus
sekelompok orang di antaranya adalah Abā 'Ubaidah Ibn Jarāh atau
'Ubaidah Ibn Hāriṡ, ketika mereka hendak pergi seorang sahabat
mengusulkan kepada Nabi untuk membentuk sebuah pasukan
khusus, kemudian Nabi memerintahkan „Abdullāh Ibn Jahāsy untuk
memimpin pasukan khusus itu dan memberinya sebuah surat. Nabi
memerintahkan „Abdullāh Ibn Jahāsy untuk tidak membaca surat itu
sebelum dia sampai di sebuah tempat dan Nabi di dalam surat itu
berpesan pada „Abdullāh Ibn Jahāsy untuk tidak memaksakan
pengikutnya untuk melanjutkan perjalanan bersamanya. Namun para
pengikutnya memutuskan untuk mematuhi perintah Allah dan
Rasulnya. Setelah mereka sampai di tempat yang ditunjukkan Nabi
di surat itu, mereka bertemu dengan Ibn Hadramῑ dan mereka
membunuhnya tanpa mereka sadari bahwa ini adalah bulan haram
(Rajab atau Jumadil). Orang-orang musyrik berkata kepada kaum
Muslim, kalian membunuh di bulan haram. Kemudian turunlah ayat
di atas."16
Qs. al-Mā'idah/ 5: 2
، عن زيد بن أسلم قاؿ: وأصحابو باتديبية ملسو هيلع هللا ىلصكاف رسوؿ اللو »وأخرج ابن أب حاتىم حی شركوف صد
شركی من أناس بم فمر عليهم، ذلك اشتد وقد البػيت، عن ات
من ات
شرؽ أىل نا نص : ملسو هيلع هللا ىلص النب أصحاب فقاؿ العمرة، يريدوف ات د ىؤلء كما صد
«أصحابنا، فأنػزؿ اللو: ﴿ول یرمنكم﴾ اآلية " Ibn Abῑ Hātim dari Zaid Ibn Aslam berkata: ketika Rasulullah saw.
dan para sahabatnya berada di Hudaibiyah mereka di cegah oleh
orang-orang musyrik untuk masuk ke Mekah. Hal ini membuat para
sahabat emosi. Ketika orang-orang musyrik dari timur bermaksud
untuk melaksanakan umrah sahabat Nabi berkata: kami akan
mencegah mereka sebagaimana mereka mencegah kami. Kemudian
Allah menurunkan ayat ( ول یزمنكم)."17
16
Jalᾱl al-Dῑn al-Suyūtī, al-Durr al-Mansūr fī Tafsīr al-Ma'sūr, 600. 17
Jalᾱl al-Dῑn al-Suyūtī, al-Durr al-Mansūr fī Tafsīr al-Ma'sūr, jilid 3, cet. 2
(Beirut: Dᾱr al-Fikr 2011), 9.
32
Qs. al-Fatḥ/ 48: 27
هقي ف نذر، والبػيػعن تاىد “ الدلئل ”أخرج الفرياب، وعبد بن تيد، وابن جرير، وابن ات
تلقی آمنی وأصحابو ىو مكة يدخل أنو باتديبية وىو ملسو هيلع هللا ىلصأري رسوؿ اللو »قاؿ: رين، فػلما تر اتدي باتديبية قاؿ لو أصحابو: أين رؤياؾ يا رسوؿ اللو؟ وسهم ومقص رء
فأنػزؿ اللو ﴿لقد صدؽ اللو رسولو الرؤيا باتق﴾ إل قػولو: ﴿فجعل من دوف ذلك فػتحا قبلة قريبا﴾ فػرجعوا فػفتح
«وا خيبػر ث اعتمر بػعد ذلك فكاف تصديق رؤياه ف السنة ات
" Dari Mujāhid berkata, bahwa Rasulullah saw. menceritakan
mimpinya kepada para sahabat, bahwa Nabi dan sahabatnya akan
masuk ke Mekah dalam keadaan aman, dengan menggundul rambut
kepala dan memendekkannya. Tetapi ketika mereka sampai di
Hudaibiyah (mereka dihadang oleh kaum Quraisy sebagaimana
diceritakan dalam Qs. al-Fatḥ/ 48: 25 dan Qs. al-Ḥajj/ 22: 25) para
sahabat bertanya kepada Nabi, di mana (kebenaran) mimpimu ya
Rasulullah? Maka Allah menurunkan ayat ( لقد صدؽ ا رسولو الرؤيا(.افجعل من دوف ذلك فتحا قريب sampai ayat ( باتق ) Setelah itu mereka
kembali dan kebenaran mimpi Nabi terbukti di tahun yang akan
datang (tahun 7 H).18
Qs. al-Taubah/ 9: 107 dan 108
ف قػولو: ﴿والذين اتذوا مسجدا ضرارا﴾ قاؿ: ىم أناس من األنصار »عن ابن عباس ابػتػنػوا مسجدا، فقاؿ تم أبو عامر: ابػنوا مسجدكم، واستمدوا با استطعتم من قػوة
، فأخرج تمدا وأصحابو. وسالح، فإن ذاىب إل قػيصر ، فآت بند من الروـ ملك الروـ أف فػنحب مسجدنا، بناء من فػرغنا قد : فقالوا ملسو هيلع هللا ىلصفػلما فػرغوا من مسجدىم أتػوا النب
كة. فأنػزؿ اللو: ﴿ل تػقم فيو أبدا﴾ بالبػر وتدعو فيو، تصلي
E. FUNGSI DASAR DIDIRIKAN MASJID DALAM AL-QUR’ӐN
18
Jalᾱl al-Dῑn al-Suyūtī, al-Durr al-Mansūr fī Tafsīr al-Ma'sūr, jilid 7, cet. 2
(Beirut: Dᾱr al-Fikr 2011), 538.
33
a. Masjid Sebagai Rumah Tauhid Pertama
Qs. Āli 'Imrān/ 3 :96
ی ببكة مباركا وىدى للعػ لم یوضع للناس للذ تيإف أوؿ ب “sesungguhnya rumah (ibadah) pertama yang dibangun untuk
manusia, ialah (Baitullᾱh) yang di Bakkah (Makkah) yang diberkahi
dan menjadi petunjuk bagi seluruh alam.”
Qs. al-Baqarah/ 2 :125
ذواوٱ وأمنا للناس مثابة ت بيلٱ جعلناوإذ مصلى ىػم ر من مقاـ إب تىػم إبر إل وعهدنا ف ی ت يأف طهرا ب ل وإتػ عي لسجودٱ لركع ٱو عػ كفی لٱو ی للطا ى
“ Dan (ingatlah), ketika Kami menjadikan bait (Ka‟bah) tempat
berkumpul dan tempat yang aman bagi manusia. Dan jadikanlah
maqam Ibrᾱhῑm itu tempat salat. Dan telah Kami perintahkan
kepada Ibrᾱhῑm dan Ismᾱ‟ῑl, “Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-
orang yang tawaf, orang yang itikaf, orang yang ruku‟ dan orang
yang sujud”.
Kedua ayat di atas menjelaskan bahwa Makkah (Ka‟bah) adalah
rumah ibadah pertama yang dibangun di atas landasan ketauhian dan
sebagai pusat rumah peribadatan untuk beribadah kepada Allah yang
Maha Esa.
ووصينا وأمرنا ابراىيم واتاعيل أف طهرا البيت من األوثاف والكفار النجاسات واتبائث من اجل الطواؼ الطائفی بو واتقيمی ف اتساجد لعبادة واتصلی فيو
راكعی ساجدين“Telah Kami wasiatkan dan perintahkan kepada Ibrāhīm dan Ismā‟īl,
untuk menyucikan rumah-Ku dari berhala-berhala, dari berbagai
bentuk kemusyrikan, najis, dan kotoran-kotoran untuk orang-orang
yang tawaf, orang-orang yang itikaf, dan orang-orang salat yang
selalu melakukan ruku dan sujud sebagai bentuk penghambaan diri
kepada Allah Swt.”19
Namun terjadi perbedaan pendapat di kalangan mufasir mengenai
masa berdirinya rumah ibadah (Ka‟bah) ini. Sebagian berpendapat bahwa
19
Wahbah al-Zuhailī, Tafsῑr al-Wajῑz (Damsyik: Dᾱr-al-Fikr, t.t.), 20.
34
pendiri rumah ibadah (Ka‟bah) ini adalah Ibrᾱhῑm dan Ismᾱ‟ῑl dengan
arsiteknya yaitu Malaikat Jibril. Sementara itu, pendapat lain mengatakan
bahwa Ka‟bah ini sudah ada sejak zaman Nabi Adam. Pendapat yang
kedua ini lebih mendekati pada kebenaran.20
Dari pendapat kedua di atas menunjukkan bahwa salat disyariatkan
kepada agama semua para nabi, mereka bersujud kepada Allah Swt. dan
Kiblat para nabi terdahulu itu adalah Ka‟bah dengan dalil Qs. Maryam/
19: 58.21
ومن ذرية ـ وتن تلنا مع نػوح و عليهم من النبی من ذرية ا د ك الذين انػعم الل اول ىل ى عليهم ا ي ت الرت ن خروا سجدا اذا تػتػ نا وتن ىد يػنا واجتبػيػ ابػر ىيم واسرا ءيل وبكيا ۩
“ Mereka itulah orang yang telah diberi nikmat oleh Allah, yaitu
dari (golongan) para nabi dari keturunan Adam, dan dari orang yang
Kami bawa (dalam kapal) bersama Nūh, dan dari keturunan Ibrᾱhῑm
dan Isrāil (Ya‟kūb) dan dari yang telah Kami beri petunjuk dan telah
Kami pilih. Apabila dibacakan ayat-ayat Allah Yang Maha Pengasih
kepada mereka, maka mereka tunduk, sujud, dan menangis.”
Yang dimaksud dengan keturunan Adam adalah Idrīs, yang
dimaksud keturunan (orang-orang yang Kami angkat bersama Nūh) adalah
Ibrᾱhῑm, dan yang dimaksud keturunan Ibrᾱhῑm adalah Isḥᾱk, Ya‟kūb,
dan Ismᾱ‟ῑl, sedangkan yang dimaksud keturunan Isrāῑl (Ya‟kūb) ialah
Mūsā, Hārūn, Zakariyᾱ, Yaḥyā, dan 'Īsᾱ putra Maryam.22
Dari ayat di atas dapat dilihat bahwa agama-agama terdahulu
terutama Yahudi, Kristen, dan Islam yang dibawa oleh Mūsā, „Īsā dan
Muhammad saw. merupakan satu kesatuan. Sejarah juga menunjukkan
20
Fakhr al-Dῑn al-Rᾱzῑ, Mafᾱtiḥ al-Gaib, 157. 21
Fakhr al-Dῑn al-Rᾱzῑ, Mafᾱtiḥ al-Gaib, 157. 22
Abủ Ja‟far Muhammad Ibn Jarῑr al-Ṭabarī, Tafsῑr al-Ṭabarī, jilid 15, cet. I
(Kairo: Dᾱr al-Ḥajar 2001), 565.
35
bahwa ketiga agama itu memang mempunyai asal yang satu. Hal ini lebih
ditegaskan dalam Qs. Ᾱli „Imrᾱn/ 3 :84:
و وما نا انزؿ قل ا منا بالل ق ويػعقوب و ابػر ىيم عل ى انزؿ وما عليػ ات عيل واسح ى اوت والسباط وما ى موس م من والنبيػوف وعيس هم احد بػی نػفرؽ ل رب منػ
مسلموف لو وتن
“ Katakanlah (Muhammad), Kami beriman kepada Allah dan
kepada apa yang diturunkan kepada kami, kepada apa yang
diturunkan kepada Ibrāhīm, Ismā‟īl, Ishāk, Ya‟kūb dan anak
cucunya, dan kepada apa yang diturunkan kepada Mūsā, 'Īsā serta
para nabi dari Tuhan mereka. Kami tidak membeda-bedakan
seorang pun di antara mereka dan hanya kepada-Nya kami berserah
diri.”
Kata al-muslimủn diartikan oleh al-Zamakhsyarī sebagai al-
muwahhidủn yaitu orang-orang yang meng-Esa-kan Allah dan tidak
menisbatkan kemusyrikan kepada selain Allah.23
Sementara Muhammad
Asad, merujuk pada kemunculannya kata muslimủn pada sejarah
pewahyuan al-Qur‟an. Beliau mengartikannya sebagai: "one who
surrenders [or "has surrendered"] himself to God", and "man's self-
surrender to God" yaitu orang-orang yang memasrahkan dirinya secara
total kepada Tuhan. Adapun penggunaan kata muslim “yang sudah
terlembagakan” yang hanya merujuk pada pengikut Nabi Muhammad, itu
merupakan perkembangan yang terjadi setelah masa pewahyuan al-
Qur‟an, karena itu, harus dihindari dalam penerjemahan al-Qur‟an.24
Dari uraian di atas jelas kiranya bahwa tidak hanya agama yang
didatangkan kepada Ibrᾱhῑm, tetapi agama yang didatangkan kepada para
nabi terdahulu adalah sama dengan agama yang diturunkan kepada Nabi
23
al-Zamakhsyarī, Tafsῑr al-Kasyᾱf, jilid 3, cet. 3 (Beirut: Dar al-Ma‟rifah 2009),
180. 24
Muhammad Asad, The Message of The Qur‟an: Translated and Explained,
(Gibralta: Dᾱr al-Andalus, 1980), 903.
36
Muhammad. Mereka disifati oleh Allah sebagai orang yang kharrủ sujjada
yakni patuh, tunduk, serta mereka adalah orang-orang yang menyerahkan
dirinya secara total kepada Tuhan Yang Maha Esa.
b. Tauhid Dan Takwa Sebagai Dasar Mendirikan Masjid
Qs. at-Taubah/9: 107-108
والذين اتذوا مسجدا ضرارا وكفرا وتػفريقا بػی المؤمنی وإرصادا لمن حارب اللو ورسولو من قػبل
“ Dan (di antara orang-orang munafik itu) ada yang mendirikan
masjid untuk menimbulkan bencana (pada orang-orang beriman),
untuk kekafiran dan memecah belah di antara orang-orang yang
beriman serta menunggu orang-orang yang telah memerangi Allah
dan Rasul-Nya sejak dahulu, mereka dengan pasti bersumpah, “kami
hanya menghendaki kebaikan.” Dan Allah menjadi saksi bahwa
mereka itu pendusta (dalam sumpahnya).”
لمسجد أسس على التػقوى من أوؿ يػوـ أحق أف تػقوـ فيو “ Janganlah engkau melaksanakan salat dalam masjid itu selama-
lamanya. Sungguh, masjid yang didirikan atas dasar takwa, sejak
hari pertama adalah lebih pantas engkau melaksanakan salat di
dalamnya. Di dalamnya ada orang-orang yang ingin membersihkan
diri. Allah menyukai orang-orang yang bersih.”
Ibn Abbᾱs, Mujᾱhid, Qatᾱdah, dan sebagian besar ahli tafsir
meriwayatkan bahwa ada 12 orang dari kelompok orang munafik yang
membangun masjid dan Allah menyifati mereka dengan empat sifat:25
masjid yang dibangun mereka itu difungsikan untuk ضرارا .1
menimbulkan kemudaratan kepada orang-orang beriman.
25
Fakhr al-Dῑn al-Rᾱzῑ, Mafᾱtiḥ al-Gaib, 198.
37
Ibn Abbᾱs meriwayatkan bahwa masjid tersebut selain كفرا .2
difungsikan untuk menimbulkan bencana kepada orang-orang
beriman juga untuk mengingkari kenabian Muhammad saw .
-dan sebagai upaya memecah belah antara orang وتفريقا بی اتؤمنی .3
orang yang beriman. Mereka membangun masjid dan mereka
melaksanakan salat di dalamnya tetapi di belakang Nabi mereka
tidak salat.
menjadikan tempat perlindungan bagi وارصادا تن حارب ا ورسولو .4
orang-orang yang biasa memerangi agama Allah dan Rasul-Nya.
Oleh karena itu, Allah melarang Nabi Muhammad saw untuk salat di
masjid yang dibangun oleh orang-orang munafik. Atas dasar itu Allah
menegaskan kepada Rasul-Nya, bahwa masjid yang dibangun atas dasar
takwa adalah lebih baik untuk dijadikan tempat beribadah kepada Allah
Swt.
Adapun mengenai masjid yang dibangun atas dasar takwa, terjadi
perbedaan pendapat di kalangan mufassir. Ibn Umar, Zaid Ibn Ṡᾱbit, Abū
Sa‟īd al-Khudrī berpendapat masjid yang dibangun atas dasar takwa dalam
ayat di atas adalah Masjid Rasulullah atau Masjid Madinah berdasarkan
sebuah ḥadīṡ:
ثػ نا تمد بن عيسى ما أخبػرنا إتاعيل بن عبد القاىر، أنػبأنا عبد الغافر بن تمد، حدثػنا تم ثػنا مسلم بن اتجاج، حد ثػنا إبػراىيم بن تمد بن سفياف، حد د اتلودي، حد
عت أبا سلم ثػنا یي بن سعيد، عن تيد اتراط قاؿ: ت ، حد ة عبد الرتن بن حاتعت أباؾ يذكر ف قاؿ: مر ب عبد الرتن بن أب سعيد، قاؿ: فػقلت لو: كيف ت
ملسو هيلع هللا ىلصالمسجد الذي أسس على التػقوى؟ فػقاؿ: قاؿ أب: دخلت على رسوؿ اللو نسائو فػقلت: يا رسوؿ اللو أي المسجدين الذي أسس على التػقوى؟ ف بػيت بػعض
38
قاؿ: فأخذ كفا من اتصباء فضرب بو األرض، ث قاؿ: ىو مسجدكم ىذا، مسجد عت أباؾ ىكذا يذكرهالمدينة، قاؿ: فػقلت: أشهد أن ت
“ Telah mengabarkan kepada kami Ismᾱ‟ῑl Ibn „Abd al-Qᾱhir, telah
mengabarkan kepada kami „Abd al-Gᾱfir Ibn Muḥammad, telah
menceritakan kepada kami Muḥammad Ibn „Īsā al-Julūdī, telah
menceritakan kepada kami Ibrāhῑm Ibn Muḥammad Ibn Sufyān,
telah menceritakan kepada kami Muslim Ibn Ḥajjāj, telah
menceritakan kepada kami Muḥammad Ibn Ḥātim, telah
menceritakan kepada kami Yahyā Ibn Sa‟īd dari Humaid al-Kharrāṭ
ia berkata, aku mendengar Abū Salamah Ibn „Abd al-Raḥmān ia
berkata; „Abd al-Raḥmān Ibn Abū Sa‟īd al-Khudrī pernah lewat di
hadapanku dan aku bertanya kepadanya “ Bagaimana kamu
mendengar dari bapakmu ketika disebutkan masjid yang dibangun
atas dasar takwa?” ia menjawab; Bapakku berkata; Aku pernah
menemui Rasulullah di dalam rumah salah satu istrinya dan
bertanya, “ Ya Rasulullah, Manakah di antara dua masjid yang
dibangun atas dasar takwa? Beliau (Rasulullah) mengambil
segenggam pasir kemudian dibuang kembali ke tanah, dan beliau
bersabda: “ Ini Masjid kalian (Masjid Madinah).” maka aku berkata
(Abủ Salamah), “ Aku bersaksi bahwa aku sungguh mendengar
bapakku menyebutkan seperti itu.”26
Sebagian golongan berpendapat bahwa masjid yang dibangun atas
dasar takwa adalah masjid Quba. Pendapat ini diriwayatkan dari Ibn
Abbās, Aḍḍahāk, dan Ḥasan, mereka menghubungkan pendapat itu
dengan kalimat “ من اوؿ يـو “. Masjid Quba adalah masjid yang dibangun
pertama kali oleh Nabi Muhammad ketika beliau di Madinah.27
Fakta sejarah pendirian Masjid Qubᾱ sebagai masjid yang pertama
kali dibangun oleh Nabi ketika beliau melakukan perjalanan hijrah ke
Madinah tahun ke-13 Kenabian. Masjid Qubᾱ itulah Nabi dan para
sahabat melakukan salat berjamaah. Selanjutnya Nabi mendirikan masjid
26
Ḥusain Ibn Muḥammad al-Bagᾱwῑ, Ma‟ᾱlim al-Tanzῑl, jilid 4, cet. I (Riyad:
Dᾱr Tayyibah 1998), 95. 27
al-Qurṭubī, al-Jᾱmi‟ li Ahkᾱm al-Qur‟ᾱn, jilid 10, cet. I (Beirut: al-Risᾱlah
2006), 378
39
lain yang kemudian yaitu Masjid Nabawῑ sebagai pusat aktivitas Nabi dan
pusat kendali seluruh urusan umat Muslim.28
Terlepas dari ikhtilaf ulama terhadap masjid yang dibangun atas
dasar takwa, fokus kajian pada Qs. al-Taubah/ 9:108 di atas adalah takwa
dan ketulusan sebagai dasar pendirian sebuah masjid sebagaimana
pendirian kedua masjid pertama yang dibangun oleh Nabi dan para
sahabat di Madinah (Masjid Qubᾱ dan Masjid Madinah) sejak awal
pendirian dibangun atas dasar takwa kepada Allah Swt.
Takwa dalam pandangan Nurcholish Madjid adalah gambaran sikap
dan kesadaran akan kehadiran Tuhan (God-Consciousness). Pengalaman
dan kesadaran ketuhanan tersebut merupakan kesadaran dan pengalaman
kerohanian yang sangat tinggi. Beliau menyatakan: “ Dalam wujudnya
yang sempurna, pengalaman ketuhanan adalah yang dimaksud dengan
kasyaf dan tajalli dalam terjemahan kaum sufi dapat diterjemahkan
sebagai penyingkapan yaitu pengalaman tersingkap tabir pancaran ilahi.
Suatu pengalaman yang hanya diperoleh seseorang yang telah mencapai
tingkat yang sangat tinggi dalam perkembangan kehidupan kerohanian.
Dengan kesadaran seperti itu, menurut Nurcholis Madjid akan mendorong
kita untuk hidup mengikuti garis-garis yang diridai-Nya, sesuai dengan
ketentuan-Nya. Maka kesadaran itu memperkuat kecenderungan alami
manusia untuk berbuat baik.”29
Lebih lanjut Nurcholis Madjid mengatakan:
“ kesadaran akan Hadirat Ilahi merupakan inti hakikat kemanusiaan
yang merupakan lanjutan dari perjanjian primordial manusia dengan
Tuhan, berwujud persaksikan bahwa Allah adalah satu-satunya Zat
yang Haq disembah. Karena itu, manusia adalah makhluk
ketuhanan, dalam arti bahwa manusia adalah makhluk yang menurut
28
M. Saifuddin, “Masjid Ḍirar dan Masjid Taqwa” (Skripsi S1., Universitas
Islam Negeri Wali Songo Semarang, 2018), 63. 29
Nurcholish Madjid, Islam Agama Peradaban (Jakarta: Paramadina 1995), 45.
41
tabiat dan alam hakikat sejak masa primordialnya selalu mencari dan
merindukan Tuhan.”30
Masjid Takwa adalah asas hidup yang benar. Semua asas hidup yang
dibangun tidak berdasarkan ketakwaan kepada Tuhan dan keredaan-Nya
laksana membangun sebuah bangunan di tepi jurang yang runtuh, lalu
bangunan itu roboh bersama orang-orang yang mendirikannya.
Sebagaimana Firman Allah:
“ Maka apakah orang-orang yang mendirikan bangunan (masjid)
atas dasar takwa kepada Allah dan keredaan-Nya itu lebih baik,
ataukah orang-orang yang mendirikan bangunannya di tepi jurang
yang runtuh, lalu (bangunan) itu roboh bersama-sama dengan dia ke
dalam neraka Jahanam? Allah tidak memberi petunjuk kepada
orang-orang yang zalim.”
Orientasi takwa sebagai semangat kehadiran Tuhan akan
membimbing manusia menuju budi pekerti yang luhur, berperilaku baik
dengan akhlak yang tinggi; baik akhlak terhadap Allah, kepada sesama
manusia, dan terhadap alam.
F. Fungsi Masjid di Masa Nabi Muhammad saw.
Qs. al-Nūr/ 24: 36-37
“Bertasbihlah kepada Allah di masjid-masjid yang telah
diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya
pada waktu pagi dan petang, orang-orang yang tidak dilalaikan oleh
perniagaan, dan tidak pula oleh jual beli, atau aktivitas apapun dari
mengingat Allah, dan dari mendirikan salat, membayar zakat,
mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan
penglihatan menjadi guncang.”
Kata tasbih di ambil dari kata السبح Rᾱgib al-Aṣfahᾱnῑ mengartikan
kata tersebut sebagai “ berlari dengan sangat cepat di dalam air (berenang)
30
Nurcholish Madjid, Islam Agama Peradaban, 191.
40
atau di udara (terbang)” pengertian tersebut digunakan sebagai pergerakan
bintang di langit (Qs. al-Anbiyā/ 21: 33,31 kecepatan kuda ketika berlari,
dan kecepatan manusia dalam beramal (al-Muzammil/ 73: 7.32
Sementara itu, التسبيح ( menyucikan Allah) diartikan sebagai lari
dengan cepat (bersegera) dalam rangka menghambakan diri kepada Allah.
Makna tersebut bisa berarti bersegera dalam melaksanakan kebaikan-
kebaikan dan menjauhi segala keburukan. Dengan demikian makna tasbih
merupakan ibadah yang umum, mencakup perkataan, perbuatan, bahkan
niat yang kita lakukan.33
Berdasarkan pengertian di atas, bertasbih tidak hanya berarti
mengucapkan subhanalah, melainkan lebih luas lagi sesuai dengan makna
yang dicakup oleh kata tersebut beserta konteksnya. Makna dan konteks-
konteks dari kata tersebut dapat disimpulkan dengan kata takwa.
Sedangkan takwa sendiri tidak hanya diwujudkan dalam hubungan
dengan Allah tetapi juga hubungan dengan manusia serta hubungan
dengan alam, sebagaimana pengertian takwa yang diungkapkan oleh
Nurcholis Madjid di atas.
Sejarah mencatat, masjid pertama yang dibangun oleh Nabi adalah
masjid Qubᾱ dan masjid Madinah yang keduanya dibangun di atas dasar
ketakwaan. Oleh karena itu setiap masjid memiliki landasan dan fungsi
seperti itu.
Fungsi masjid Nabi di Madinah tidak hanya berfungsi sebagai
tempat untuk beribadah tetapi juga melahirkan peranan masjid yang
beraneka ragam. Quraish Shihab dalam bukunya “Wawasan al-Qur‟an”
31
“ Dan Dialah yang telah menciptakan malam dan siang, matahari dan bulan.
Masing-masing beredar pada garis edarnya.” 32
“ Sesungguhnya pada siang hari engkau sangat sibuk dengan urusan-urusan
yang panjang.” 33
Rᾱgib al-Aṣfahᾱnī, Mufradāt fῑ Garῑb al-Qur'ān, 292.
42
menyebutkan tidak kurang dari sepuluh peranan yang diemban oleh
Masjid Nabi di Madinah, yaitu:34
1. Tempat ibadah (salat dan zikir)
2. Tempat konsultasi dan komunikasi (masalah ekonomi-sosial
budaya)
3. Tempat pendidikan
4. Tempat santunan sosial
5. Tempat latihan militer dan persiapan alat-alatnya
6. Tempat pengobatan para korban perang
7. Tempat perdamaian dan pengadilan sengketa
8. Aula dan tempat menerima tamu
9. Tempat menawan tahanan
10. Pusat penerangan atau pembelaan agama
Sementara itu Sidi Gozalba mengemukakan fungsi masjid sebagai
pusat peradaban Islam. Beliau mengemukakan bahwa masjid di zaman
Rasulullah, terutama masjid yang dibangun di atas tanah Bani Najjᾱr
memainkan berbagai fungsi sosial dan kultural sebagai berikut:35
1. Tempat ibadah
2. Tempat pengembangan pengetahuan
3. Bait al-Mal
4. Tempat penyelesaian perkara
5. Pengumuman masalah sosial
6. Menyalatkan orang meninggal
7. Penginapan bagi musafir
Nampaknya masjid yang didirikan Nabi di Madinah, selain sebagai
sebuah tempat untuk melakukan ibadah ritual. Pada zaman Rasulullah
34
Quraish Shihab, Wawasan al-Qur‟an, 455. 35
Sidi Gazalba, Mesjid Pusat Ibadat dan Kebudayaan Islam (Jakarta: al-Husna,
1983, 129.
43
masjid berperan sebagai tempat menyelesaikan berbagai persoalan umat
dan pusat pemberdayaan masyarakat, tempat membangun ekonomi dan
kesejahteraan, serta tempat berbagai kegiatan yang mengarah pada
terwujudnya masyarakat madani.
Berdasarkan hal di atas maka sejarah pendirian masjid merupakan
awal atau rancangan utama peradaban Islam. Setidaknya ada dua poin
utama dari fungsi masjid di zaman Rasulullah: pertama, sebagai fasilitas
peribadatan umat Islam yang sangat sakral. Di sini manusia diharapkan
mampu secara khusyuk “bertemu” dengan Tuhan. Masjid pada poin
pertama ini sesuai dengan landasan dasar berdirinya masjid yaitu atas
dasar ketakwaan sebagaimana diungkapkan oleh Nurcholis Majid di atas.
Kedua, tempat aktivitas sosial. Di sini kita bisa melihat peran masjid
menyatukan umat dari berbagai kalangan, terlepas dari perbedaan suku,
kelas sosial, dan identitas. Di sini peran masjid sebagai sebuah lembaga
sosial keumatan mampu menembus sekat-sekat kelompok tertentu menuju
sebuah lembaga yang lebih inklusif dan mengarah pada kemaslahatan
bersama.
45
BAB III
BIOGRAFI MUHAMMAD ASAD
Leopold Weiss adalah seorang wartawan lepas di Eropa, penulis,
ahli bahasa, sejarawan, negarawan, dan diplomat dengan pengetahuan
mendalam tentang Alkitab dan Talmud merupakan keturunan tokoh agama
Yahudi yang lahir pada tahun 1900 di Lemberg, Galicia. Beliau masuk
agama Islam pada tahun 1926 dan mengadopsi nama “Muhammad Asad”.
Asad adalah salah satu intelektual Islam Eropa paling berpengaruh
abad 20-an. Salah satu magnum opusnya adalah The Message of The
Qur‟an sebuah tafsir kontemporer dengan sistem penulisan ilmiah yang
berkembang saat ini.
A. Biografi Muhammad Asad
Muhammad Asad atau Leopold Weiss lahir pada 2 Juli 1900 di kota
Lemberg yang sekarang bernama Low, Galicia yang sebelumnya
merupakan wilayah Austria.1 Beliau terlahir dalam lingkungan keluarga
Yahudi dan secara turun-temurun keluarganya adalah rabi (pemuka agama
Yahudi).2
Sebagai orang yang lahir dalam lingkungan keluarga rabi Yahudi
ortodoks, sejak berumur 13 tahun dia tidak hanya mahir membaca bahasa
Ibrani dengan lancar, bahkan dapat berbicara dalam bahasa itu dengan
fasih, dan memiliki pengetahuan luar biasa tentang bahasa Aram, yang
kemudian menjadi modal dasar Asad dalam belajar bahasa Arab di
kemudian hari.3
1 Sekarang masuk ke dalam wilayah Polandia dan Ukraina
2 Muhammad Asad, The Message of The Qur‟an: Translated and explained
(Gibraltar: Dar al-Andalus, 1980), 1320 3 Muhammad Asad, The Road to Mecca (Delhi: Islamic Book Service, 2004), 55.
46
Pada tahun 1922 Weiss melakukan perjalanan sebagai seorang
koresponden Frankfurter Zeitung, sebuah surat kabar Eropa terkemuka di
wilayah Timur Dekat. Kariernya sebagai jurnalistik ini dia lakukan
sepanjang waktunya di Timur Tengah: Palestina, Mesir, Suriah, Irak,
Persia, Yordania, Jazirah Arab, dan Afghanistan.4
Pengembaraan Weiss di Timur Tengah memberikan kesan
mendalam terhadap suatu sistem kehidupan masyarakat yang secara
fundamental berbeda dengan kehidupan orang Eropa. Di sini beliau
melihat sistem kehidupan yang insani dan konsepsi hidup yang lebih
damai dari kehidupan di Eropa.5
Tahun 1920-an adalah masa-masa kekacauan di Eropa pasca-Perang
dunia I: manusia Eropa dari berbagai bangsa saling bunuh dalam perang
yang mengerikan. Bangsa Eropa juga menyerbu dan menjajah bangsa-
bangsa lain untuk memperluas kekuasaan dan kekayaan. Eropa dilanda
kehampaan jiwa, relativisme, dan ketiadaan harapan akan masa depan
manusia. Benar-salah diukur hanya dari segi pragmatisme dan sukses
materiel. Sebagaimana ditulis Asad:6
“ Saya melihat sendiri betapa hidup kami di Eropa menjadi kacau
balau, membingungkan, dan tidak bahagia; alangkah renggang
pergaulan antara sesama manusia dan tiada jalinan hubungan yang
sejati antar insan, terlepas dari segala gagasan mengenai
„masyarakat‟ dan „bangsa‟ yang disuarakan dengan amat lantang dan
nyaris histeris; alangkah jauhnya kita telah tersesat, menyimpang
dari naluri bawaan kita; dan betapa sempit, picik, dan berkaratnya
jiwa kita. Saya merasakan dunia yang tak serasi, pahit, dan
serakah.”
4 Muhammad Asad, Islam di Simpang Jalan, terj. M. Hashem (Surabaya: YAPI
1967), 2 5 Muhammad Asad, Islam di Simpang Jalan, 3.
6 Muhammad Asad, Islam di Simpang Jalan, 5.
47
Dengan adanya perbedaan mode hidup membawa Weiss pada suatu
penyelidikan tentang sebab-sebab perbedaan dan ketertarikannya pada
ajaran-ajaran agama Islam. Beliau mengungkapkan pandangannya
mengenai Islam:
“Islam appears to me like a perfect work of architecture. All its
parts are harmoniously conceived to complement and support each
other; nothing is superfluous and nothing lacking; and the result is a
structure of absolute balance and solid composure.”7
“ bagi saya Islam tampak seperti sebuah karya arsitektur yang
sempurna. Semuanya disusun secara harmonis untuk saling
melengkapi dan mendukung satu sama lain, tidak ada yang
berlebihan dan tidak ada yang kurang, dan hasilnya adalah struktur
keseimbangan absolut dan ketenangan yang solid.”
Pada saat itu, ketertarikan Leopold Weiss terhadap ajaran-ajaran
Islam belum lah kuat untuk membuatnya memeluk agama Islam. Namun,
ketertarikan Weiss pada saat itu telah membuka matanya terhadap suatu
perspektif baru mengenai sistem masyarakat yang “berkemajuan”,
masyarakat dengan konflik internal paling kecil, dan rasa persaudaraan
sejati yang besar. Akan tetapi, kenyataan hidup orang-orang Muslim
dewasa ini tampak sangat jauh berbeda dengan kemungkinan-
kemungkinan idealnya ajaran agama Islam. Apa pun yang diajarkan Islam
merupakan pergerakan dan kemajuan, di kalangan umat Muslim akhirnya
berubah menjadi kemalasan dan kemandekan.8
Adanya ketidakcocokan antara kenyataan umat Muslim pada masa
dahulu dan masa kini mendorong Weiss untuk mendekati permasalahan
tersebut dengan sudut pandang yang lebih intim dengan membayangkan
dirinya sebagai bagian di dalam lingkungan Islam. Dari riset ilmiah yang
dilakukan Weiss sampai pada sebuah kesimpulan bahwa satu-satunya
7 Muhammad Asad, The Road to Mecca, 301
8 Muhammad Asad, The Message of The Qur‟an, 1312
48
penyebab “pembusukan” sosial dan kultural umat Islam pada masa kini
terletak pada kenyataan bahwa mereka secara berangsur-angsur telah
berhenti mengikuti spirit ajaran Islam. Islamnya masih ada, namun ia
bagaikan tubuh tanpa jiwa.9
Dari perjalanan intelektual Leopold Weiss tersebut, sebagai seorang
non-Muslim yang berbicara dengan orang-orang Muslim dengan semangat
membela Islam dari kelalaian dan kemalasan hingga pada tahun 1925, di
pegunungan Afghanistan, seorang Gubernur berujar padanya: “ Tapi Anda
(Weiss) adalah seorang Muslim, hanya saja Anda tidak menyadarinya”.10
Pada tahun 1926 Leopold Weiss masuk Islam sebagai konsekuensi
logis dari sikap dan sepak terjangnya selama ini setelah melakukan
pengembaraan panjang di Timur Tengah. Namun secara resmi,
Muhammad Asad memeluk Islam pada 27 April 1927 di Kairo, Mesir, dan
menikah dengan Elsa (Aziza) Schiemann, seorang pelukis berkebangsaan
Jerman. Namun Aziza meninggal dunia akibat terserang malaria di
Makkah ketika hendak menjalankan ibadah haji, kemudian dimakamkan
di Makkah.11
Muhammad Asad Kemudian menetap di Hijaz, Arab menjadi teman
dekat Emir „Abd al-„Azīz. Pada masa ini Asad mempelajari bahasa arab
Badui dan menenggelamkan diri dalam mempelajari Islam dan kultur
Arab. Pada saat itu juga Muhammad Asad menikah yang kedua kalinya
dengan seorang putri bangsawan Arab, yakni Munira binti Ḥusain al-
Syammarῑ.12
9 Muhammad Asad, The Message of The Qur‟an, 1312
10 Muhammad Asad, Islam di Simpang Jalan, 3.
11 Muhammad Asad, Islam di Simpang Jalan, 4.
12 Muhammad Asad, The Message of The Qur‟an, 1321
49
Muhammad Asad meninggal di Mijas, domisili terakhirnya di
Provinsi Malaga, Spanyol, pada 20 Februari 1992 dan beliau dimakamkan
di Pemakaman Muslim di Granada.
1. Pendidikan Muhammad Asad
Leopold Weiss, sebagai salah seorang cucu dari rabi Yahudi,
pendidikan pertamanya mempelajari kitab-kitab Yahudi dan menguasai
bahasa Ibrani dengan fasih yang di kemudian hari menjadi modal dasar
Weiss dalam mempelajari bahasa Arab.
Pada tahun 1918 Leopold Weiss mengikuti wajib militer dan
bergabung dengan Angkatan Bersenjata Austria. Namun, Kerajaan Austria
beberapa minggu kemudian runtuh. Karena itu, Leopold Weiss memulai
karir pendidikan akademiknya di Universitas Wina, Austria. Di sana
Weiss mempelajari biologi, filsafat, dan sejarah seni.13
Pada tahun 1930-an Asad menghabiskan bertahun-tahun hidupnya
dengan mengembara di gurun pasir bersama suku Arab Badui pedalaman,
sehingga akhirnya Asad bisa menguasai bahasa lisan Arab klasik yang
masih murni. Secara formal, Asad juga belajar bahasa Arab di Universitas
al-Azhar, Mesir. Di al-Azhar Asad bertemu dan mendapat bimbingan dari
Syaikh Muṣṭᾱfā al-Marᾱgī, seorang mufasir juga seorang murid dari
Syaikh Muhammad „Abduh, tokoh pembaharu Islam modern, mufasir dan
juga rektor al-Azhar.14
Selanjutnya, selama masa lima tahun Asad tinggal di Madinah ,
Asad juga mempelajari ilmu hadiṡ di Masjid Nabawi sehingga pada usia
35 tahun Muhammad Asad mampu menerbitkan secara bertahap
terjemahan dan komentarnya atas kitab hadis Sahīh al-Bukhᾱri: The Early
13
Muhammad Asad, The Road to Mecca, 74. 14
Muhammad Chirzin, “The Message of The Qur‟an Karya Muhammad Asad:
Kajian Metodologi Terjemah dan Tafsir”, Jurnal Ilmu al-Qur‟an dan Tafsir, vol.4,
no.1, (Januari-Juni2019): 181.
51
Years of Islam. Tidak hanya itu, setelah 17 tahun pengembaraannya di
Timur Tengah beliau menerbitkan maha karyanya, sebuah terjemahan dan
tafsir atas al-Qur‟an, The Message of The Qur‟an yang mengantarkan
beliau menjadi intelektual Muslim paling berpengaruh pada abad 20-an di
dunia Barat.15
Tafsir yang ringkas dengan penjelasannya yang tepat dan mendalam
ini hadir tentulah berkat riwayat hidup dan latar belakang pendidikannya
yang amat kaya sebagaimana telah disampaikan di atas.
2. Karya-Karya Muhammad Asad
Di antara karya-karya beliau sebagai berikut:16
1).Unromantisches Morgenland: Aus dem Tagebuch einer Reise,
Frankfurt/Main: Verlag der Frankfurter Societäts-Druckerei (1924);
bukunya yang pertama ditulis dalam bahasa Jerman, tentang catatan
perjalanannya di Timur Tengah, 2). Islam at the Crossroads, Delhi:
Arafat Publications (1934), bukunya yang kedua ditulis dalam
bahasa Inggri, berisi analisisnya terhadap kemunduran umat Islam
dalam peradaban dunia dan langkah yang harus ditempuh demi
kebangkitannya, 3). Shahih al-Bukhari: The Early Years of Islam
(1935-1938), sebuah terjemah dan komentar terhadap sebagian kitab
hadis Shahih Bukhari: bab permulaan wahyu, kisah para Sahabat,
dan periode Madinah awal, 4). Jurnal: “Arafat: A Monthly Critique
of Muslim Thought” (1946-1948). Sebuah jurnal pemikiran Islam,
berbahasa Inggris dan terbit hingga sepuluh edisi, 5). The Road to
Mecca (1954), New York: Simon and Schuster; London: Max
Reinhardt. Sebuah autobiografi yang mengisahkan perjalanan Asad
dari Eropa ke Timur Tengah, pergaulannya dengan para raja, amir,
ulama, dan pemimpin Muslim dari berbagai negeri, dan bagaimana
akhirnya dia memeluk agama Islam, 6). Islam and Abendland.
Begegnung zweier Welten (1960). Sebuah buku yang menceritakan
tentang Islam dan Barat: bagaimana dua dunia ini bertemu, 7). The
Principles of State and Government in Islam (1961), Berkeley and
Los Angeles: University of California Press. Buku yang berisi
15
Muhammad Asad, The Message of The Qur‟qn, 1319 16
Muhammad Asad, The Message of The Qur’an, v-vi.
50
pandangan-pandangan Muhammad Asad tentang ketatanegaraan dan
pemerintahan dalam Islam, 8). The Message of The Qur‟an,
Translated and explained by Muhammad Asad (1980), Gibraltar:
Dar al-Andalus. Sebuah karya terjemah dan tafsir al-Qur‟an
kontemporer, 9). This Law of Ours and Other Essays (1987),
Gibraltar: Dar al-Andalus. Berisi pandangan-pandangan Muhammad
Asad mengenai hukum Islam, Syariat, fiqih, ijtihad, dan taqlid. Di
dalam buku ini juga terdapat kumpulan esai dengan berbagai topik:
tentang agama, Tuhan, peradaban Barat-Islam, masalah Yerusalem-
Israel-Palestina, hijrah, dan lain-lain.
B. The Message of The Qur’an
a. Latar Belakang Penulisan Dan Metodologi Terjemah
Muhammad Asad adalah seorang intelektual Islam terbesar abad ke-
20 yang berasal dari Barat. Karya beliau yang berjudul The Message of
The Qur‟an didasarkan atas kajian panjang Muhammad Asad yang
dihabiskan di Jazirah Arab. Ini merupakan suatu upaya pertama untuk
menghasilkan terjemahan atas pesan al-Qur‟an secara eksplanatoris dan
idiomatis ke dalam sebuah bahasa Eropa.17
Karena itu, tidak seperti buku mana pun, makna dan sajian bahasa
al-Qur‟an membentuk satu keseluruhan yang tidak dapat dipisahkan.
Posisi setiap kata dalam suatu kalimat, ritme dan suara dari frasa-frasanya
dan konstruksi sintaksisnya, pola bagaimana sebuah metafora mengalir
hampir secara tidak terasa ke dalam suatu pernyataan pragmatis,
penggunaan penekanan bunyi yang semata-mata bukan dalam rangka
retorika, melainkan juga sebagai sarana untuk mengacu secara tidak
langsung kepada gagasan-gagasan yang tidak diungkapkan tetapi tersirat
secara jelas: semua ini membuat al-Qur‟an pada akhirnya bersifat unik dan
tidak dapat diterjemahkan.18
17
Muhammad Asad, The Message of The Qur‟an, Ivii. 18
Muhammad Asad, The Message of The Qur‟an, Iix.
52
Sungguhpun demikian, meskipun mustahil untuk “mereproduksi” al-
Qur‟an dalam bahasa lain, tidak mustahil untuk menerjemahkan pesannya
sehingga dapat dipahami oleh orang-orang, seperti kebanyakan orang
Barat, tidak mengetahui bahasa Arab atau sebagai halnya kebanyakan
muslim non-Arab yang terpelajar-tidak memiliki kapasitas memadai untuk
dapat memahaminya tanpa bantuan. 19
Setelah masuk Islam Asad menyibukkan dirinya untuk tenggelam
dan mengkaji serta memahami sumber Islam, al-Qur‟an sambil memulai
kajian intensif atas bahasa Arab klasik. Kajian atas bahasa Arab beliau
tidak hanya ditempuh dalam dunia akademik tetapi beliau juga ikut serta
tinggal bersama orang Arab Badui di Arab Tengah dan Timur. Hal ini
dilakukan oleh Asad karena berdasarkan bahasa lisan dan asosiasi
linguistik bahasa Arab Badui pada dasarnya tidak berubah sejak zaman
Nabi Muhammad saw. ketika al-Qur‟an pertama kali diwahyukan. Ini
memungkinkannya sekaligus menghayati “rasa” naluriah dan ruh bahasa
Arab. Kemampuan ini mustahil diperoleh oleh orang yang hanya
mempelajari bahasa Arab secara akademis saja.20
Asad juga tinggal selama lima tahun di Madinah, tenggelam dalam
perpustakaan, mempelajari ilmu hadis, dan sejarah Islam di Masjid
Nabawi. Dari hasil studi hadisnya, lahirlah terjemah dan komentar yang
memukau atas Ṣaḥῑḥ al-Bukhᾱrῑ dalam bahasa Inggris pada 1938. Bekal
kerja-riset selama 17 tahun, Asad menyajikan magnum opus-nya, The
Message of The Qur‟an, sebuah terjemahan dan tafsir al-Qur‟an dalam
bahasa Inggris.21
19
Muhammad Asad, The Message of The Qur‟an, Iix. 20
Muhammad Chirzin, “The Message of The Qur‟an Karya Muhammad Asad:
Kajian Metodologi Terjemah dan Tafsir, 184. 21
Muhammad Asad, The Message of The Qur‟an, 1322.
53
b. Sistematika Penulisan The Message of The Qur‟an
Penulisan tafsir The Message of The Qur‟ᾱn mengikuti sistematika
muṣḥafi, yaitu sistematika penulisan tafsir yang berdasarkan urutan surat-
surat dalam muṣḥaf uṡmani dengan bentuk penafsiran yang disajikan
dalam tiga bentuk. Pertama, tafsiran-tafsiran Asad terhadap ayat-ayat al-
Qur‟an diletakkan di bagian bawah terjemah, yang dikenal sebagai
footnote. Sistematika penulisan tafsir yang digunakan oleh Asad ini
merupakan salah satu ciri tafsir kontemporer.22
Kedua, ulasan umum mengenai surat yang akan dibahas, meliputi
penamaan surat, nama-nama lain dari surat, kategorisasi surat berdasarkan
tempat turunnya (makiyah atau Madaniya), tema-tema yang dikandung
oleh surat tersebut secara ringkas, serta penyebutan beberapa ayat yang
menarik dalam surat tersebut.
Ketiga, “appendix” atau lampiran-lampiran yang disajikan oleh
Muhammad Asad di halaman akhir. Appendix tersebut yaitu; Symbolism
And Allegory In The Qur‟an, al-Muqatta‟at, On The Term And Concept of
Jinn, dan The Night Journey.
c. Sumber, Corak, dan Metodologi Tafsir The Message of The
Qur‟an
Sumber penafsiran The Message of The Qur‟an, Asad mengambil
rujukan baik itu dari al-Qur‟an sendiri berupa cross reference, pendapat
para mufasir baik klasik maupun modern, hadis Nabi, kamus-kamus,
sejarah umum, ensiklopedia, dan bahkan merujuk pada Bible dan
pemikirannya sendiri.
22
Muhammad Chirzin, “The Message of The Qur‟an Karya Muhammad Asad:
Kajian Metodologi Terjemah dan Tafsir, 184.
54
Dalam penafsirannya, Muhammad Asad memberikan perhatian
khusus pada aspek kebahasaan sebagai upaya menjaga ketersampaian
makna al-Qur‟an. Beliau mengungkapkan dalam Prakata Tafsirnya bahwa
penerjemah harus senantiasa dipandu oleh penggunaan linguistik yang
berlaku pada masa pewahyuan al-Qur‟an.23
Perhatian khusus Asad pada aspek kebahasaan misalnya ketika
menafsirkan kata hadῑd dalam surah Saba‟/ 3:10, yang diterjemahkan oleh
beliau sebagai “sharpness in him” yakni ketajaman dan kerasnya jiwa,
sehingga terjemahan surat Saba‟/ 34: 10 bukan “ Kami telah melunakkan
besi untuknya (Daud)” melainkan “ Kami telah melunakkan segala
ketajaman dalam dirinya (Daud)”.24
Contoh lain dari penafsiran Muhammad Asad adalah surah al-
A‟rᾱf/7: 40:
ها ل تػفتح تم أبػواب السماء ول يدخلوف ات بوا بآياتنا واستكبػروا عنػ نة إف الذين كذلك تزي المجرمی حت يلج اتمل ف سم اتياط وكذ
“ Sungguh, bagi orang-orang yang mendustakan pesan-pesan Kami
dan meremehkannya karena kesombongan mereka, pintu-pintu
gerbang surga tidak akan dibukakan; dan mereka tidak akan masuk
surga sebagaimana mustahilnya tali yang tersimpul dapat masuk
melalui lubang jarum: sebab demikianlah Kami memberikan
pembalasan kepada orang-orang yang tenggelam”.
Dalam ayat di atas terjemahan kata al-Jamal sebagai unta adalah
keliru. Sebagaimana diungkapkan oleh al-Zamakhsyarī (dikuatkan oleh
para mufasir klasik, termasuk al-Rᾱzῑ), Ibn Abbᾱs biasa melafalkannya
jummal yang berarti “tali yang besar” atau “tali yang bersimpul” dan
dikatakan bahwa Sayyidina „Alῑ juga melafalkannya demikian (Tᾱj al-
23
Muhammad Asad, The Message of The Qur‟an, Iix. 24
Muhammad Asad, The Message of The Qur‟an, 824 dan Muhammad Chirzin,
"The Message of The Qur‟an Karya Muhammad Asad: Kajian Metodologi Terjemah dan
Tafsir, 186.
55
„Arủs). Hendaknya diperhatikan bahwa kata ini (al-Jamal) memiliki
beberapa ragam ejaan, yakni jumal, juml, jumul dan akhirnya jamal
(sebagaimana dalam versi al-Qur‟an yang diterima secara umum), yang
semuanya menunjukkan “tali yang besar dan tersimpul” (al-Jauhᾱrῑ), dan
pengertian ini juga digunakan oleh beberapa sahabat Nabi dan para
generasi penerus setelahnya. Al-Zamakhsyarī juga mengutip Ibn „Abbᾱs
yang berkata bahwa Allah tidak mungkin telah menciptakan suatu
perumpamaan yang tidak rasional seperti itu, yakni “seekor unta melewati
lubang jarum” artinya tidak ada hubungan antara unta dan lubang jarum,
padahal di sisi lain terdapat hubungan yang jelas antara lubang jarum dan
tali (yang bagaimanapun, merupakan benang yang sangat tebal). Karena
itu, kata al-Jamal dalam konteks ayat di atas jauh lebih tepat
diterjemahkan menjadi “tali yang tersimpul”.25
Fakta terjemahan “unta” itu juga terdapat dalam Injil Sinoptik versi
bahasa Yunani (Matius 19: 24, Markus 10: 25, Lukas 18: 25) tidaklah
mempengaruhi pernyataan ini. Perlu diingat bahwa Kitab Injil pada
mulanya ditulis dalam bahasa Aram (bahasa Palestina pada zaman Nabi
Isa) dan naskah-naskah dalam bahasa Aram itu kini telah hilang. Sangat
mungkin bahwa, karena tiadanya tanda-tanda vokal dalam penulisan
bahasa Aram, para penerjemah Injil ke dalam bahasa Yunani itu salah
memahami pengejaan konsonan g-m-l (yang sejajar dengan ejaan dalam
bahasa Arab j-m-l), dan memahaminya sebagai “seekor unta”: suatu
kesalahan yang sejak saat itu terus diulangi berkenaan dengan
penerjemahan ayat al-Qur‟an di atas baik itu dilakukan oleh banyak
Muslim maupun semua orientalis non-Muslim.
Penafsiran Muhammad Asad di atas ditinjau dari karakteristik
penafsirannya tergolong ke dalam corak adabi ijtima‟i yaitu sebuah
25
Muhammad Asad, The Message of The Qur‟an, 256-257.
56
penafsiran yang menitik beratkan pada makna leksikal kosa kata al-
Qur‟an sebagai sarana untuk mengetahui makna lokusi yang dikehendaki
dalam konteks pembicaraan serta sebuah corak penafsiran yang
melibatkan semua ayat yang bercerita tentang topik yang sama.26
Penafsiran Muhammad Asad di atas tidak hanya menafsirkan
berdasarkan pendapat para sahabat dan mufasir klasik, beliau juga
menafsirkan al-Qur‟an dengan panduan dari penguasaan bahasa yang kuat,
Asad mampu menerjemahkan ayat-ayat al-Qur‟an dengan interpretasi
rasional dengan tetap menjaga nilai-nilai transendental al-Qur‟an itu
sendiri.
Dari sumber rujukan yang digunakan Muhammad Asad, maka
penafsiran beliau dapat dikategorikan sebagai sebuah tafsir bi al-ra‟yi
dengan metodologi penafsirannya yaitu metode analisis (tahlili).
Dari uraian di atas penulis menyimpulkan bahwa Muhammad Asad
seorang intelektual Muslim kelahiran Lemberg, Austria-Hongaria pada 2
Juli 1900 adalah keturunan dari garis keturunan rabi Yahudi.
Ketertarikannya pada Islam menyebabkan perpindahan agama pada tahun
1962 di Berlin. The Message of The Qur‟an adalah salah satu karyanya
yang paling terkenal yang didasarkan pada studi bertahun-tahun di Arab
terutama studinya dalam menyelami bahasa Arab original bersama orang-
orang Badui selama bertahun-tahun untuk menghasilkan maha karyanya
dalam bidang Tafsir. Selain itu kontribusinya dalam khazanah keislaman;
The Road to Mecca, The Principles of State And Government in Islam, dan
lain-lain.
26
Muhammad Chirzin, "The Message of The Qur‟an Karya Muhammad Asad:
Kajian Metodologi Terjemah dan Tafsir, 186.
58
BAB IV
ANALISIS PENAFSIRAN MUHAMMAD ASAD TERHADAP
AYAT-AYAT MASJID
Ibadah merupakan sebuah ritual dari agama-agama termasuk Islam,
Kristen, Yahudi dan agama lainnya. Ia adalah ajaran satu kesatuan dari
Agama. Islam punya Masjid, Kristen ada Gereja, Yahudi memiliki
Sinagoge, semuanya merupakan tempat ritual-ritual peribadatan untuk
menghambakan diri mereka kepada Tuhan. Dalam al-Qur‟an kata masjid
atau masᾱjid disebut sebanyak 28 kali. Uniknya dalam penelitian ini
Muhammad Asad menerjemahkan kata masjid atau masᾱjid sebagai
houses of worship yaitu tempat peribadatan yang merujuk pada agama-
agama yang di sebut di atas.
A. Teks Ayat-Ayat Masjid Dalam al-Qur’an
Qs. al-Baqarah/ 2: 114
وسعى ف خراباومن أظلم تن منع مساجد اللو أف يذكر فيها اتو " Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang melarang di
dalam masjid-masjid Allah untuk menyebut nama-Nya dan berusaha
merobohkannya?"
Qs. al-Baqarah/ 2: 144
ـ فػوؿ وجهك شطر المسجد اترا" Maka hadapkanlah wajahmu ke arah Masjid al-Ḥarᾱm "
Qs. al-Baqarah/ 2: 149
ـ ومن حيث خرجت فػوؿ وجهك شطر المسجد اترا" Dan dari mana pun engkau (Muhammad) keluar, maka
hadapkanlah wajahmu ke arah Masjid al-Ḥarᾱm."
59
Qs. al-Baqarah/ 2: 150
ـ ومن حيث خرجت فػوؿ وجهك شطر المسجد اترا" Dan dari mana pun engkau (Muhammad) keluar, maka
hadapkanlah wajahmu ke arah Masjid al-Ḥarᾱm."
Qs. al-Baqarah/ 2: 187
ول تػباشروىن وأنتم عاكفوف ف المساجد “Tetapi jangan kamu campuri mereka, ketika kamu beri'tikaf dalam
masjid”
Qs. al-Baqarah/ 2: 191
ول تػقاتلوىم عند المسجد اتراـ حت يػقاتلوكم فيو " Dan janganlah kamu perangi mereka di Masjid al-Ḥarᾱm. "
Qs. al-Baqarah/ 2: 196
ول تلقوا رءوسكم فإف أحصرت فما استػيسر من اتدي وأتوا اتج والعمرة للو لغ اتدي تلو فمن كاف منكم مريضا أو بو أذى من رأسو ففدية من صياـ حت يػبػفإذا أمنتم فمن تتع بالعمرة إل اتج فما استػيسر من أو صدقة أو نسك
ـ ثالثة أيا اتدي عة إذا رجعتم فمن ل ید فصيا تلك عشرة ـ ف اتج وسبػلك لمن ل يكن أىلو حاضري المسجد اتراـ كاملة واتػقوا اللو واعلموا أف ذ
اللو شديد العقاب " Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah. Tetapi
jika kamu terkepung (oleh musuh), maka sembelihlah 'hadyu' yang
mudah didapat, dan jangan kamu mencukur kepalamu, sebelum
'hadyu' sampai di tempat penyembelihannya. Jika ada di antara kamu
yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu dia bercukur), maka
dia wajib berfidyah, yaitu berpuasa, bersedekah, atau berkurban.
Apabila kamu dalam keadaan aman, maka barang siapa mengerjakan
umrah sebelum haji, dia (wajib menyembelih) 'hadyu' yang mudah
didapat. Tetapi jika dia tidak mendapatkannya, maka dia wajib
berpuasa tiga hari dalam (musim) haji dan tujuh (hari) setelah kamu
kembali. Itu seluruhnya sepuluh (hari). Demikian itu, bagi orang
61
yang keluarganya tidak ada (tinggal) di Masjid al-Ḥarᾱm.
Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras
hukuman-Nya."
Qs. al-Baqarah/ 2: 217
وصد عن سبيل اللو وكفر بو والمسجد اتراـ وإخراج أىلو منو أكبػر عند اللو " Menghalangi (orang) dari jalan Allah, ingkar kepada-Nya,
(menghalangi orang masuk) Masjid al-Ḥarᾱm, dan mengusir
penduduk dari sekitarnya, lebih besar dosanya dalam pandangan
Allah."
Qs. al-Māidah/ 5: 2
ول یرمنكم شنآف قػوـ أف صدوكم عن المسجد اتراـ أف تػعتدوا" Jangan sampai kebencianmu) kepada suatu kaum karena mereka
menghalang-halangi kamu dari Masjid al-Ḥarᾱm, mendorongmu
berbuat melampaui batas (kepada mereka)."
Qs. al-A‟rāf / 7: 29
ين وأقيموا وجوىكم عند كل مسجد وادعوه تلصی لو الد" Hadapkanlah wajahmu (kepada Allah) pada setiap salat, dan
sembahlah Dia dengan mengikhlaskan ibadah semata-mata hanya
kepada-Nya. Kamu akan dikembalikan kepada-Nya sebagaimana
kamu diciptakan semula "
Qs. al-A'rāf/ 7: 31
ـ خذوا زينتكم عند كل مسجد وكلوا واشربوا ول تسرفوا يا بن آد" Wahai anak cucu Adam! Pakailah pakaianmu yang bagus pada
setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah tetapi jangan
berlebihan."
Qs. al-Anfāl/ 8: 34
بػهم اللو وىم يصدوف عن المسجد اتراـ وما كانوا أولياءه وما تم أل يػعذ
60
" Dan mengapa Allah tidak menghukum mereka padahal mereka
menghalang-halangi orang untuk mendatangi Masjid al-Ḥarᾱm dan
mereka bukanlah orang yang berhak menguasainya."
Qs. al-Taubah/ 9: 7
ـ كيف يكوف للمشركی عهد عند اللو وعند رسولو إل الذين عاىدت عند المسجد اترا" Bagaimana mungkin ada perjanjian (aman) di sisi Allah dan Rasul-
Nya dengan orang-orang musyrik kecuali dengan orang-orang yang
kamu telah mengadakan perjanjian (dengan mereka) di dekat Masjid
al-Ḥarᾱm (Hudaibiyah)."
Qs. al-Taubah/ 9: 17
ما كاف للمشركی أف يػعمروا مساجد اللو شاىدين على أنفسهم بالكفر "Tidaklah pantas orang-orang musyrik memakmurkan masjid Allah,
padahal mereka mengakui bahwa mereka sendiri kafir."
Qs. al-Taubah/ 9: 18
ا يػع ـ الصالة وآتى الزكاة ول یش إل إن اللو مر مساجد اللو من آمن باللو واليػوـ اآلخر وأقا" Sesungguhnya yang memakmurkan masjid Allah hanyalah orang-
orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap
melaksanakan salat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada apa
pun) kecuali pada Allah."
Qs. al-Taubah/ 9: 19
سبيل أجعلتم سقاية اتاج وعمارة المسجد اتراـ كمن آمن باللو واليػوـ اآلخر وجاىد ف اللو
" Apakah orang-orang yang memberi minum kepada orang-orang
yang mengerjakan haji dan mengurus Masjid al-Ḥarᾱm kamu
samakan dengan orang yang beriman kepada Allah dan hari
kemudian serta berjihad di jalan Allah?"
Qs. al-Taubah/ 9: 28
ذايا أيػها ـ بػعد عامهم ى ا المشركوف تس فال يػقربوا المسجد اترا الذين آمنوا إن
62
" Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya orang-orang
musyrik itu najis (kotor jiwanya), karena itu janganlah mereka
mendekati Masjid al-Ḥarᾱm setelah tahun ini."
Qs. al-Taubah/ 9: 107
رسولو والذين اتذوا مسجدا ضرارا وكفرا وتػفريقا بػی المؤمنی وإرصادا لمن حارب اللو و من قػبل
" Dan (di antara orang-orang munafik itu) ada yang mendirikan
masjid untuk menimbulkan bencana (pada orang-orang beriman),
untuk kekafiran dan memecah belah di antara orang-orang yang
beriman serta menunggu kedatangan orang-orang yang yang telah
memerangi Allah Rasul-Nya sejak dahulu."
Qs. al-Taubah/ 9: 108
لمسجد أسس على التػقوى من أوؿ يػوـ أحق أف تػقوـ فيو " Sungguh masjid yang didirikan atas dasar takwa sejak hari pertama
adalah lebih pantas engkau melaksanakan salat di dalamnya."
Qs. al-Isrā/ 17: 1
ي أسرى بعبده ليال من المسجد اتراـ إل المسجد األقصى الذي باركنا سبحاف الذ حولو لنريو من آياتنا
" Maha suci Allah, yang telah mempertahankan hamba-Nya
(Muhammad) pada malam hari dari Masjid al-Ḥarᾱm ke Masjid Al-
aqsᾱ yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan
kepadanya sebagian tanda-tanda (kebesaran) Kami."
Qs. al-Isrā/ 17: 17
ليتبػروا ما فإذا جاء وعد اآلخرة ليسوءوا وجوىكم وليدخلوا المسجد كما دخلوه أوؿ مرة و علوا تػتبريا
" Apabila datang saat hukuman (kejahatan) yang kedua, (Kami
bangkitkan musuhmu) untuk menyuramkan wajahmu lalu mereka
masuk ke dalam masjid (Masjid al-Aqsᾱ) sebagaimana mereka
63
memasukinya pertama kali dan mereka membinasakan apa saja yang
mereka kuasai."
Qs. al-Kahfi/ 18: 21
قاؿ الذين غلبوا على أمرىم لنتخذف عليهم مسجدا " Orang yang berkuasa atas urusan mereka berkata, kami pasti akan
mendirikan sebuah rumah ibadah di atasnya."
Qs. al-Ḥajj/ 22: 25
اكف إف الذين كفروا ويصدوف عن سبيل اللو والمسجد اتراـ الذي جعلناه للناس سواء الع فيو والباد
" Sungguh orang-orang kafir dan menghalangi (manusia) dari jalan
Allah dan Masjid al-Ḥarᾱm yang telah Kami jadikan terbuka untuk
semua manusia, baik yang mukim di sana maupun yang datang dari
luar..."
Qs. al-Ḥajj/ 22: 40
مت صوامع وبيع وصلوات ومساجد د يذكر فيها ولول دفع اللو الناس بػعضهم ببػعض ت اسم اللو كثريا
" Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian manusia
dengan sebagian yang lain, tentu telah dirobohkan biara-biara
Nasrani, gereja-gereja, dan masjid-masjid yang di dalamnya banyak
disebut nama Allah."
Qs. al-Fatḥ/ 48: 25
لغ تلو ىم الذين كفروا وصدوكم عن المسجد اتراـ واتدي معكوفا أف يػبػ" Mereka orang-orang kafir yang menghalang-halangi kamu (masuk)
Masjid al-Ḥarᾱm dan menghambat hewan-hewan kurban sampai ke
tempat (penyembelihannya)."
Qs. al-Fatḥ/ 48: 27
ـ إف شاء اللو آمنی تلقی رءوسكم ومقصرين ل تافوف لتدخلن المسجد اترا
64
" Kamu pasti akan memasuki Masjid al-Ḥarᾱm jika Allah
menghendaki dalam keadaan aman, dengan menggundul rambut
kepala dan memendekkannya, sedangkan kamu tidak merasa takut."
Qs. al-Jin/ 72: 18
وأف المساجد للو فال تدعوا مع اللو أحدا " Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah untuk Allah, maka
janganlah kamu menyembah apa pun di dalamnya selain Allah."
B. Masjid Dan Tafsirnya Perspektif Muhammad Asad
1). Masjid sebagai Kiblat (Ka'bah), simbol keesaan Tuhan dan daerah
sekitarnya (Makkah)
Qs. al-Baqarah/ 2:144
ها لةقب نك يػ فػلنػول لسما ء ٱ فی وجهك تػقلب نػرى قد شطر وجهك فػوؿ ترضىػ ٱـ ت ٱ جد ست كتػ ب لٱأوتوا ن يلذ ٱوإف ۥ شطره وجوىكم فػولواما كنتم ث يوح رام ق ت ٱأنو لموف عي ل ملوف عي بغػ فل عما للو ٱ وما من رب
"We have seen thee [O Prophet] often turn thy face towards heaven
[for guidance]: and now We shall indeed make thee turn in prayer
in a direction which will fulfil the desire. Turn, then, thy face
towards the Inviolable House of Worship; and wherever you all may
be, turn your faces towards it [in prayer]."1
Qs. al-Baqarah/ 2: 149
ٱ شطر وجهك فػوؿ ت خرج ث حيومن ـ ت ٱ سجد ت وما ربك من حق لل ۥوإنو را
ملوف بغػ فل عما تع للو ٱ
"Thus, from wherever thou mayest come forth, turn thy face [in
prayer] towards the Inviolable House of Worship for, behold, this
1 Muhammad Asad, The Message of The Qur'an: Translated and Explained
(Gibralta: Dᾱr al-Andalus 1980), 68.
65
[commandment] comes in truth from thy Sustainer; and God is not
unaware of what you do."2
Qs. al-Baqarah/ 2:150
ٱ شطر وجهك فػوؿ ت خرج ث حيومن ـ ت ٱ سجد ت فػولوا ما كنتم ث يوح را
ة إل كميللناس عل كوف ي لئال ۥشطره وجوىكم تشوىم فال منهمظلموا ن يلذ ٱحج وف تتد ولعلكم كميعل یت م وألت نع شونیخوٱ
"Hence, from wherever thou mayest come forth, turn thy face [in
prayer] towards the Inviolable House of Worship; and wherever you
all may be, turn your faces towards it, so that people should have no
argument against you unless they are bent upon wrongdoing. And
hold not them in awe, but stand in awe of Me, and [obey Me,] so
that I might bestow upon you the full measure of My blessings, and
that you might follow the right path."3
Masjid al-Ḥarᾱm pada tiga ayat di atas diterjemahkan oleh
Muhammad Asad sebagai Inviolable House of Worship yaitu rumah
ibadah yang tidak dapat diganggu gugat. Dalam penafsirannya, Masjid al-
Ḥarᾱm ini merujuk pada Kiblat (arah salat) yaitu Ka'bah yang dipahami
oleh Asad sebagai simbol ke-Esa-an Tuhan dan titik temu kesatuan
ideologi Islam.
ketiga ayat di atas erat hubungannya dengan rangkaian ayat
sebelumnya nya yaitu Qs. al-Baqarah/ 2: 142 dan 143 yang secara garis
besar membahas perpindahan arah kiblat dari Bait al-Maqdis ke Masjid al-
Ḥarᾱm. Nabi Muhammad saw. dan kaum Muslim ketika di Mekah
melaksanakan salat menghadap ke Bait al-Maqdis sebagaimana ajaran
kebanyakan para nabi sebelumnya.
Di dalam tafsirnya The Message of The Qur'an, Asad
menyampaikan:
2 Muhammad Asad, The Message of The Qur'an, 69
3 Muhammad Asad, The Message of The Qur'an, 69.
66
"Since he was aware of the sanctity of Jerusalem - the other holy
centre of the unitarian faith - the Prophet prayed, as a rule, before
the southern wall of the Ka'bah, towards the north, so as to face
both the Ka'bah and Jerusalem. After the exodus to Medina he
continued to pray northwards, with only Jerusalem as his qiblah
(direction of prayer). About sixteen months after his arrival at
Medina, however, he received a revelation (verses 142-150 of this
surah) which definitively established the Ka'bah as the qiblah of the
followers of the Qur'an."4
Dalam tafsirnya tersebut, beliau mengatakan bahwa Nabi menyadari
kesucian Yerusalem (Bait al-Maqdis) sebagai tempat suci agama tauhid.
Ketika di Makkah Nabi biasa melaksanakan salat di sebelah selatan
Ka'bah seolah-olah menghadap ke Ka'bah dan Yerusalem (Bait al-
Maqdis). Setelah hijrah ke Madinah, Nabi tidak bisa melakukan hal itu
lagi, sehingga hanya menghadap ke Yerusalem sebagai kiblat dan
berlangsung selama 16 bulan sampai wahyu datang kepada Nabi yang
menetapkan Ka'bah sebagai kiblat bagi para pengikut al-Qur'an.
Pemindahan arah kiblat kiranya lebih tepat disebut sebagai
pengembalian arah kiblat, merujuk pada Qs. al-Baqarah[2]: 143:
"Kami tidak menjadikan kiblat yang (dahulu) kamu (berkiblat)
kepadanya melainkan agar Kami mengetahui siapa yang mengikuti
Rasul dan siapa yang berbalik ke belakang."5
Hal ini disampaikan oleh Asad:
"Before his call to prophethood, and during the early Meccan period
of his ministry, the Prophet - and his community with him - used to
turn in prayer towards the Ka'bah. This was not prompted by any
specific revelation, but was obviously due to the fact that the Ka'bah
although it had in the meantime been filled with various idols to
which the pre-Islamic Arabs paid homage - was always regarded as
the first temple ever dedicated to the One God."6
4 Muhamad Asad, The Message of The Qur'an: Translated and Explained
(Gibralta: Dᾱr al-Andalus 1980), 67. 5 Muhammad Asad, The Message of The Qur‟an, 67.
6 Muhammad Asad, The Message of The Qur'an, 67
67
Asad menyampaikan bahwa pada periode pertama dakwah Nabi di
Makkah, Nabi beserta kaum Muslim terbiasa salat menghadap Ka'bah
meskipun pada waktu itu, Ka'bah dipenuhi patung-patung berhala yang
dihormati oleh bangsa Arab pra-Islam. Menghadap Ka'bah (ketika salat)
yang dilakukan Nabi ketika periode awal dakwahnya di Mekah, bukan
berdasarkan wahyu tertentu melainkan karena fakta, bahwa Ka'bah selalu
dipandang sebagai the first temple yang didedikasikan untuk Tuhan yang
Maha Esa.
Penetapan Ka'bah sebagai arah kiblat ini merupakan ujian berat
sebagian Muslim, sebagaimana lanjutan dari ayat 2:143:
"for this was indeed a hard test for all but those whom God has
guided aright.” (Qs. al-Baqarah/ 2: 143)
Tafsir: The "hard test" (kabirah) consisted in the fact that ever since
their exodus to Medina the Muslims had become accustomed to
praying towards Jerusalem - associated in their minds with the
teachings of most of the earlier prophets mentioned in the Qur'an -
and were now called upon to turn in their prayers towards the
Ka'bah, which at that time (in the second year after the hijrah) was
still used by the pagan Quraysh as a shrine dedicated to the worship
of their numerous idols. As against this, the Qur'an states that true
believers would not find it difficult to adopt the Ka'bah once again
as their qiblah: they would instinctively realize the divine wisdom
underlying this commandment which established Abraham's Temple
as a symbol of God's oneness and a focal point of the ideological
unity of Islam.7
Penetapan Ka'bah sebagai kiblat (arah salat) menjadi "ujian berat"
bagi sebagian Muslim. Hal ini dalam pandangan Asad terletak pada fakta
bahwa sejak hijrah ke Madinah, kaum Muslim sudah terbiasa berkiblat ke
Yerusalem (Bait al-Maqdis) - sesuai dengan ajaran kebanyakan para nabi
sebelumnya yang disebutkan dalam al-Qur'an - dan sekarang mereka
diperintahkan mengubah kiblat mereka menghadap Ka'bah yang pada
7 Muhammad Asad, The Message of The Qur'an, 68.
68
waktu itu (tahun kedua hijriah) masih digunakan oleh musyrik Quraisy
sebagai tempat suci yang diabadikan untuk menyembah berbagai bentuk
patung berhala. Berlawanan dengan hal itu, al-Qur'an menegaskan bahwa
Mukmin sejati tidak akan sulit menjadikan Ka'bah sebagai kiblat mereka
kembali: secara naluriah, mereka akan menyadari kebijaksanaan Allah
yang mendasari perintah ini dan menetapkan rumah ibadah Ibrahim
sebagai simbol keesaan Tuhan dan titik temu kesatuan ideologi Islam.
Problematik penetapan Ka'bah sebagai kiblat juga datang dari kaum
kafir Quraisy. Mereka mengingkari penetapan Ka'bah sebagai kiblat.
Mereka berkata:
لة قالوا: قد اشتاؽ تمد إل مولده وعن قريب كفار قػريش لما أنكروا تويل القبػ . يػرجع إل دينكم، وقالت اليػهود: قد التبس عليو أمره وتري
"Muhammad rindu pada tempat kelahirannya (Makkah) tidak lama
lagi dia akan kembali kepada agama kalian (menghadap ke
Yerusalem). Sementara orang Yahudi berkata: bahwa Muhammad
bingung dalam beragama."8
Ditetapkannya Ka'bah sebagai kiblat, seharusnya tidak menjadikan
perselisihan di antara umat agama, betapa pun pentingnya makna simbolis
arah sembahyang (kiblat) bukanlah merupakan hal yang esensial dalam
agama. Seperti ditegaskan dalam al-Qur'an:
"for, every community faces a direction of its own, of which He is
the focal point."9
Sebab, setiap umat memiliki suatu arah dan menghadap ke arahnya
masing-masing dengan Dia sebagai titik pusatnya. Muhammad Asad
menjelaskan beberapa poin penting terkait pernyataan al-Qur'an (Qs. al-
Baqarah/ 2: 148) sebagai berikut:
8 al-Qurṭubi, al-Jᾱmi‟ li Aḥkᾱm al-Qur‟ᾱn, jilid 1, cet. 2 (Beirut: Dᾱr al-Kutub al-
Ilmiyah 1971),100. 9 Muhammad Asad, The Message of The Qur'an, 69.
69
"The statement that "every community faces a direction of its own"
in its endeavour to express its submission to God implies, firstly,
that at various times and in various circumstances man's desire to
approach God in prayer has taken different forms (e.g., Abraham's
choice of the Ka'bah as his qiblah. the Jewish concentration on
Jerusalem, the eastward orientation of the early Christian churches,
and the Qur'anic commandment relating to the Ka'bah); and,
secondly, that the direction of prayer however important its
symbolic significance may be - does not represent the essence of
faith as such: for, as the Qur'an says, "true piety does not consist in
turning your faces towards the east or the west" (2:177), and,
"God's is the east and the west" (2:115 and 142)."10
Tafsiran Asad di atas, bahwa dalam upaya mengekspresikan
ketaatannya kepada Tuhan mempunyai beberapa implikasi; pertama,
bahwa dalam berbagai masa dan keadaan, hasrat manusia untuk
mendekatkan diri kepada Tuhan memiliki berbagai bentuk, Ibrahim dan
Ismail memilih Ka'bah sebagai Kiblatnya, kaum Yahudi menjadikan
Yerusalem sebagai titik pusatnya, gereja Kristen awal memilih menghadap
ke timur, dan al-Qur'an memerintahkan menghadap Ka'bah. Kedua, betapa
pun pentingnya makna simbolis arah sembahyang (kiblat), bukanlah hal
yang esensial dalam agama: sebab, seperti yang ditegaskan al-Qur'an,
“kesalehan sejati diraih bukan karena menghadapkan wajah ke arah
timur atau barat" dan "kepunyaan Allah timur dan barat”.
Hal serupa disampaikan oleh Rasyῑd Riḍᾱ bahwa esensi dari agama
bukanlah menghadapkan wajah ke arah timur atau barat, melainkan esensi
dan mutiara agama adalah اتسارعة إل اتري yakni berlomba-lomba dalam
kebaikan dan bersegera menuju tempat-tempat yang baik (mabarrah).11
Berdasarkan uraian penafsiran di atas, Masjid al-Ḥarᾱm yang
diterjemahkan oleh Muhammad Asad sebagai Inviolable House of
10
Muhammad Asad, The Message of The Qur'an, 69. 11
Rasyῑd Riḍᾱ, Tafsῑr al-Manār, jilid 2, cet. II (Kairo: Dᾱr el-Manᾱr 1947), 23.
71
Worship merujuk pada rumah ibadah Ibrᾱhῑm yang sekarang dikenal
dengan Ka'bah (simbol ke-Esa-an Tuhan dan titik temu kesatuan ideologi
Islam) bukan merujuk pada bangunan Masjid al-Ḥarᾱm. Hal ini
ditegaskan oleh Qs. al-Mā'idah/ 5: 97:
"Allah telah menjadikan Ka'bah, rumah suci itu, sebagai perlambang
bagi seluruh manusia."
Namun pada saat itu, Ka'bah (rumah suci atau Masjid al-Ḥarᾱm)
masih berada dalam kekuasaan orang Quraisy, padahal mereka bukanlah
orang yang berhak atas itu sebagaimana dijelaskan dalam firman-Nya:
Qs. al-Anfᾱl/ 8: 34
بػهم اللو وىم يصدوف عن المسجد اتراـ وما كانوا أولياءه وما تم أل يػعذ"But what have they [now] in their favour that God should not
chastise them - seeing that they bar [the believers] from the
Inviolable House of Worship, although they are not its [rightful]
guardians."12
Tafsir: At the time of the revelation of this surah (the year 2 H.)
Mecca was still in the possession of the hostile Quraysh, and no
Muslim was allowed to enter it. Owing to their descent from
Abraham, the Quraysh considered themselves entitled to the
guardianship of the Ka'bah ("the Inviolable House of Worship"),
which had been built by Abraham as the first temple ever dedicated
to the One God.13
Dalam penafsiran Asad, surah ini diwahyukan pada tahun 2 H, Kota
Mekah pada waktu itu masih dalam kekuasaan kaum Quraisy dan tidak
ada seorang Muslim yang diizinkan memasuki kota itu. Karena mereka
keturunan Nabi Ibrᾱhῑm a.s., kaum Quraisy menganggap diri mereka
memiliki hak sebagai penjaga Ka'bah (rumah ibadah yang suci atau
Masjid al-Ḥarᾱm), yang dibangun oleh Nabi Ibrᾱhῑm sebagai tempat
12
Muhammad Asad, The Message of The Qur‟an, 276. 13
Muhammad Asad, The Message of The Qur'an, 277.
70
pertama yang didedikasikan untuk Tuhan yang Maha Esa. Sikap sombong
kaum Quraisy ini disebutkan di dalam al-Qur'an:
Qs. al-Taubah/ 9: 19
أجعلتم سقاية اتاج وعمارة المسجد اتراـ كمن آمن باللو واليػوـ اآلخر وجاىد ف سبيل اللو
“Do you, perchance, regard the [mere] giving of water to pilgrims
and the tending of the Inviolable House of Worship as being equal to
[the works of] one who believes in God and the Last Day and strives
hard in God's cause? These [things] are not equal in the sight of
God. And God does not grace with His guidance people who
[deliberately] do wrong.14
Secara tidak langsung ayat ini berbicara tentang kesombongan sikap
kelompok pagan Quraisy, sebelum penaklukan Makkah (Fatḥ Makkah)
oleh kaum Muslimin, bahwa mereka lebih unggul dari pada kelompok
yang lain lantaran kedudukan mereka sebagai penjaga Ka'bah (Masjid al-
Ḥarᾱm) dan penyedia air (siqàyah) bagi orang-orang yang berziarah ke
Ka'bah.
Tafsir: A short time afterwards the above Qur'an-verse was revealed
to the Prophet. It would, therefore, appear that what is meant here is
the superior value of faith in God and struggle in His cause as
compared with acts which, however meritorious, are concerned only
with outward forms: in brief, the immense superiority of real self-
surrender to God over mere ritual.15
Dalam pandangan Asad, bahwa yang dimaksud dalam ayat ini
adalah Allah sangat menekankan aspek esoterik (iman) dibandingkan
eksoterik (ritual). Maka yang di maksud ayat ini adalah bahwa nilai
keimanan kepada Tuhan dan berjuang di jalan-Nya adalah lebih tinggi
dibandingkan perbuatan-perbuatan, betapa pun bermanfaat hanya
menekankan pada bentuk-bentuk lahiriah. Simpulnya, sikap berserah diri
14
Muhammad Asad, The Message of The Qur‟an, 292. 15
Muhammad Asad, The Message of The Qur'an, 293.
72
secara total kepada Tuhan jauh lebih tinggi derajatnya dari pada tindakan
yang semata-mata bersifat ritual.
Qs. al-Baqarah/ 2: 196
لك لمن ل يكن أىلو حاضري المسجد واتػقوا اللو واعلموا أف اللو شديد اتراـذ العقاب
" All this relates to him who does not live near the Inviolable House
of Worship."16
Ayat ini berkenaan dengan ibadah haji dan umrah. Di permulaan
ayat disebutkan:
“AND PERFORM the pilgrimage and the pious visit [toMecca] in
honour of God; and if you are held back, give instead whatever
offering you can easily afford.” (Qs. al-Baqarah/ 2: 196)
Perintah melaksanakan haji dan umrah ke Makkah untuk
mengagungkan Allah ini selagi tidak ada halangan. "and if you are held
back, give instead whatever offering you can easily afford" jika kalian
terhalang, sebagai gantinya, maka berikanlah persembahan apa saja yang
mudah kalian peroleh.17
Para mufasir berpendapat bahwa ayat ini turun pada tahun terjadinya
perjanjian Hudaibiyah ketika Nabi dan sahabatnya bermaksud untuk
mengunjungi ka‟bah, namun orang musyrik Makkah melarang Nabi
hingga akhirnya terjadi perjanjian Hudaibiyah, dan Nabi baru bisa
mengunjungi Mekah pada tahun berikutnya yaitu tahun 7 H.18
Qs. al-Fatḥ/ 48: 25
لغ تلو ىم الذين كفروا وصدوكم عن المسجد اتراـ واتدي معكوفا أف يػبػ
16 Muhammad Asad, The Message of The Qur‟an, 80.
17 Muhammad Asad, The Message of The Qur‟an, 81.
18 Muhammad „Izzah Darwazah, Tafsῑr al-Hadῑṡ, jilid 6, cet. 2 (Beirut: Dᾱr al-
Garab al-Islᾱmῑ, 2000), 340.
73
"it was they who were bent on denying the truth, and who debarred
you from the Inviolable House of Worship and prevented your
offering from reaching its destination."19
Ayat ini mengisyaratkan kepada kejadian bersejarah yaitu perjalanan
Rasulullah dan sahabatnya menuju Makah untuk berziarah ke Masjid al-
Ḥarᾱm yang kemudian dihadang oleh kaum musyrik sebagaimana
disebutkan di atas.20
Masjid al-Ḥarᾱm dalam ayat ini oleh Asad yaitu; the
Ka'bah, which, until the year 7 H., the Muslims were not allowed to
approach (Ka'bah yang sampai tahun ke-7 H. kaum Muslim dilarang
mengunjunginya.)21 Hal serupa terdapat pada Qs. al-Hajj/ 22: 25:
ا ويصدوف عن سبيل اللو والمسجد اتراـ الذي جعلناه للناس سواء إف الذين كفرو العاكف فيو والباد
"BEHOLD, as for those who are bent on denying the truth and bar
[others] from the path of God31 and from the Inviolable House of
Worship which We have set up for all people alike - [both] those
who dwell there "22
Tafsir: "According to Ibn 'Abbas, as quoted by Ibn Hisham, this
verse was revealed towards the end of the year 6 H., when the pagan
Quraysh refused the Prophet and his followers, who had come on
pilgrimage from Medina, the right of entry into Mecca, and thus into
the sanctuary of the Ka'bah (the "Inviolable House of Worship").
But whether or not this claim is correct - and we have no definite
historical evidence in either sense - the purport of the above verse is
not restricted to any historical situation but relates to every attempt
at preventing believers, be it physically or through intellectual
seduction, from going on pilgrimage to this symbolic centre of their
faith, or at destroying its sanctity in their eyes."23
19
Muhammad Asad, The Message of The Qur‟an, 813. 20
Muhammad „Izzah Darwazah, Tafsῑr al-Hadῑs, 35. 21
Muhammad Asad, The Message of The Qur‟an, 813. 22
Muhammad Asad, The Message of The Qur‟an, 542. 23
Muhammad Asad, The Message of The Qur‟an, 542.
74
Dalam tafsirnya di atas, Muhammad Asad mengutip pendapat Ibn
Abbās bahwa ayat ini diwahyukan pada akhir tahun keenam hijriyah
ketika kaum pagan Quraisy yang menghalang-halangi Nabi dan
pengikutnya untuk memasuki Mekah dan Ka‟bah. Di ayat ini Allah
menjelaskan bahwa Masjid al-Ḥarᾱm itu terbuka bagi semua manusia
secara merata serta memberikan ancaman kepada siapapun yang berusaha
mencemarinya (ilhᾱd) yakni melakukan penyelewengan terhadap ajaran-
ajaran agama diancam oleh Allah dengan siksaan yang pedih.
Terlepas dari peristiwa sejarah itu, Asad memahami ayat ini berlaku
umum, mengacu pada setiap usaha yang dilakukan untuk mencegah orang-
orang yang beriman menuju pusat simbolis iman itu atau setiap usaha
merusak kesuciannya. Paralel dengan hal itu, di dalam Qs. al-Baqarah/ 2:
114 Allah mengategorikan orang-orang yang mencegah bahkan merusak
rumah-rumah ibadah umat yang berketuhanan yang Maha Esa sebagai
orang-orang yang paling zalim dan ingkar terhadap eksistensi Tuhan.
Qs. al-Fatḥ/ 48: 27
ـ إف شاء اللو آمنی تلقی رء وسكم ومقصرين ل تافوف لتدخلن المسجد اترا"Indeed, God has shown the truth in His Apostle's true vision: most
certainly shall you enter the Inviolable House of Worship, if God so
wills, in full security, with your heads shaved or your haircut
short,39 without any fear"24
Tafsir: Shortly before the expedition which ended at Hudaybiyyah,
the Prophet had a dream in which he saw himself and his followers
entering Mecca as pilgrims. This dream-vision was destined to be
fulfilled a year later, in 7 H., when the Muslims were able to
perform their first peaceful pilgrimage to the Holy City.25
Dalam ayat ini Allah menunjukkan kebenaran kepada Rasulullah
dalam mimpinya bahwa beliau dan para sahabatnya akan memasuki
24
Muhammad Asad, The Message of The Qur‟an, 814. 25
Muhammad Asad, The Message of The Qur‟an, 814-815.
75
Masjid al-Ḥarᾱm dengan rasa aman tanpa ada rasa ketakutan sedikit pun
setelah terjadinya peristiwa Hudaibiyah yang menjadikan Rasulullah dan
sahabatnya tidak bisa memasuki kota Makkah.
Dalam menafsirkan ayat ini, Muhammad Asad menjelaskan bahwa
tidak lama sebelum ekspedisi yang berakhir di Hudaibiyah, Nabi
bermimpi melihat dirinya dan sahabatnya memasuki kota Mekah untuk
melaksanakan haji. Mimpi ini terwujud pada tahun 7 H. (satu tahun
setelah perjanjian Hudaibiyah). Pada tahun ke-7 itu, Nabi dan sahabatnya
bisa berziarah pertama dengan tenang ke kota suci Makah. Tidak hanya
itu, Allah pun menjanjikan kemenangan di masa depan kepada Nabi.
Kemenangan di masa depan ini, ditafsirkan oleh Asad sebagai "a prophecy
of the almost bloodless conquest of Mecca in the year 8 H." yaitu sebuah
ramalan tentang penaklukan Mekah pada tahun 8 H.26
Qs. al-Màidah/ 5: 2
عن المسجد اتراـ أف تػعتدواول یرمنكم شنآف قػوـ أف صدوكم " And never let your hatred of people who would bar you from the
Inviolable House of Worship lead you into the sin of aggression."27
Tafsir: At the time of the revelation of this surah Mecca was already
in the possession of the Muslims, and there was no longer any
question of their being barred from it by the Quraysh, almost all of
whom had by then embraced Islam. We must, therefore, conclude
that the above injunction cannot be circumscribed by a historical
reference but has a timeless, general import: in other words, that it
refers to anybody who might endeavour to bar the believers -
physically or metaphorically - from the exercise of their religious
duties (symbolized by the "Inviolable House of Worship") and thus
to lead them away from their faith. In view of the next sentence,
moreover, this interpretation would seem to be the only plausible
one.28
26
Muhammad Asad, The Message of The Qur‟an, 815. 27
Muhammad Asad, The Message of The Qur‟an, 176. 28
Muhammad Asad, The Message of The Qur'an, 176.
76
Ayat di atas turun pada tahun 10 H. Pada saat ayat ini diturunkan,
Mekah sudah berada dalam kekuasaan orang Islam (sebagaimana janji
Allah pada Qs. al-Fatḥ/ 48: 27) sehingga dalam pandangan Asad di atas
mengenai persoalan pengadangan kaum Quraisy terhadap mereka (umat
Islam) sudah tidak ada lagi, bahkan dalam pandangan Asad, bahwa kaum
Quraisy pada waktu itu hampir semuanya sudah masuk Islam. Karena itu,
harus disimpulkan bahwa perintah (Qs. al-Mᾱidah/ 5: 2) tidak terbatas
pada sejarah tertentu, tetapi memiliki makna yang bersifat umum; dengan
kata lain, perintah tersebut berlaku untuk setiap orang yang berusaha
menghalang-halangi orang beriman secara fisik atau kiasan yang hendak
menjalankan perintah-perintah agama mereka (yang disimbolkan dengan
Masjid al-Ḥarᾱm).
Qs. al-Taubah/ 9: 7
كيف يكوف للمشركی عهد عند اللو وعند رسولو إل الذين عاىدت عند المسجد ـ اترا
"HOW COULD they who ascribe divinity to aught beside God be
granted a covenant by God and His Apostle, unless it be those [of
them] with whom you [O believers] have made a covenant in the
vicinity of the Inviolable House of Worship? [As for the latter,] so
long as they remain true to you, be true to them: for, verily, God
loves those who are conscious of Him."29
Tafsir: The "covenant" alluded to is the truce-agreement concluded
in 6 H. at Hudaybiyyah, in the vicinity of Mecca, between the
Prophet and the pagan Quraysh, which was (and was obviously
intended to remain) a model of the self-restraint and the tolerance
expected of true believers with regard to such of the unbelievers as
are not openly hostile to them.30
29
Muhammad Asad, The Message of The Qur‟an, 290. 30
Muhammad Asad, The Message of The Qur‟an, 291.
77
Ayat ini turun setelah fatḥu makkah dan setelah orang-orang Quraisy
masuk Islam.31
Ayat ini memberitahu umat Islam agar membatalkan
perjanjian dengan suku-suku di sekitar kota Mekah kecuali Bani Damrah
yang sebelumnya (Bani Damrah) itu menjadi sekutu kaum Quraisy pada
perjanjian Hudaibiyah tahun 6 H. Perintah pembatalan ini di karena kan
mereka telah melanggar perjanjian sebagaimana dulu mereka melanggar
perjanjian Hudaibiyah.32
Dalam tafsiran Asad di atas bahwa perjanjian terhadap kaum tidak
beriman yang tidak memusuhi Islam adalah suatu model toleransi yang
diharapkan kaum Mukmin.
Qs. al-Taubah/ 9: 28
ذا ـ بػعد عامهم ى ا المشركوف تس فال يػقربوا المسجد اترا ياأيػها الذين آمنوا إن"O YOU who have attained faith! Those who ascribe divinity to
aught beside God are nothing but impure: and so they shall not
approach the Inviolable House of Worship from this year
onwards."33
Setelah penaklukan kota Mekah (Fatḥu Makah) orang-orang
beriman diperintahkan untuk tidak membiarkan orang musyrik (yang
menisbahkan ketuhanan kepada selain Allah) memasuki Masjid al-Ḥarᾱm
setelah tahun ini ( yaitu setelah tahun 9 H, pada saat ayat ini diwahyukan).
Berdasarkan uraian penafsiran di atas, kata Masjid al-Ḥarᾱm dalam
teks asalnya diterjemahkan oleh Muhammad Asad menjadi inviolable
House of Worship yang secara harfiah berarti Rumah Ibadah yang bebas
gangguan. Namun, yang dimaksud dengan Masjid al-Ḥarᾱm ( rumah
ibadah yang suci) tentu saja adalah Ka'bah dan sebagai implikasinya
31
Muhammad „Izzah Darwazah, Tafsῑr al-Hadῑs, jilid 9, cet. 2 (Beirut: Dᾱr al-
Garab al-Islᾱmῑ, 2000), 368. 32
Muhammad Khᾱzin, al-Tawῑl fī Ma'ānī al-Tanzῑl, jilid 3, cet. 2 (Beirut: Dᾱr al-
Fikr 1979 M), 63. 33
Muhammad Asad, The Message of The Qur‟an, 295.
78
mencakup pula keseluruhan wilayah Makah. Bahkan dalam konteks
tertentu Asad mengartikannya sebagai sebuah simbol dari agama-agama
seperti yang terdapat dalam Qs. al-Mᾱ‟idah/ 5: 2 di atas.
Dalam ayat lain Masjid al-Ḥarᾱm juga diungkapkan dengan
redaksi bait atau buyủt dan bait al-„atῑq yang sama-sama merujuk pada
sejarah berdiri atau protipe Ka‟bah yang dibangun oleh Ibrᾱhῑm dan
Ismᾱ‟ῑl.34
2). Masjid sebagai Houses of Worship
Qs. al-Taubah/ 9: 17
للمشركی أف يػعمروا مساجد اللو شاىدين على أنفسهم بالكفر ما كاف
"IT IS NOT for those who ascribe divinity to aught beside God to
visit or tend26 God's houses of worship, the while [by their beliefs]
they bear witness against themselves that they are denying the truth.
It is they whose works shall come to nought, and they who in the fire
shall abide!”35
Qs. al-Taubah/ 9: 18
ـ الصالة وآتى ا يػعمر مساجد اللو من آمن باللو واليػوـ اآلخر وأقا الزكاة ول یش إن إل اللو
"Only he should visit or tend God's houses of worship who believes
in God and the Last Day, and is constant in prayer, and spends in
charity, and stands in awe of none but God: for [only such as] these
may hope to be among the rightly guided!”36
Tafsir: Some of the commentators conclude from this versus that
"those who ascribe divinity to aught beside God" are not allowed to
enter mosques ("God's houses of worship"). This conclusion,
however, is entirely untenable in view of the fact that in 9 H. - that
is, after the revelation of this surah - the Prophet himself lodged a
deputation of the pagan Band Thaqif in the mosque at Medina
(Razi). Thus, the above verse expresses no more than the moral
34
Lihat Bab II. 35
Muhammad Asad, The Message of The Qur‟an, 292. 36
Muhammad Asad, The Message of The Qur‟an, 292.
79
incongruity of the unbelievers' "visiting or tending God's houses of
worship.37
Berdasarkan ayat ini, dalam tafsiran Asad di atas disebutkan bahwa
sejumlah mufasir menyimpulkan "orang-orang yang menisbahkan
ketuhanan kepada selain Allah" (kaum musyrik) tidak diperkenankan
untuk masuk ke dalam masjid (rumah ibadah yang didedikasikan untuk
Tuhan). Namun bagi Asad, kesimpulan tersebut sama sekali tidak dapat
dipertahankan dengan melihat fakta bahwa pada 9 H Nabi sendiri
menyediakan tempat penginapan bagi rombongan utusan dari kelompok
musyrik Banu Ṡaqῑf di masjid, di Madinah.38
Dengan demikian, Asad menyimpulkan bahwa ayat tersebut sekedar
mengungkapkan ke tidak-pantasan moral dari tindakan orang yang tidak
beriman dalam mengunjungi atau memelihara rumah ibadah yang
didedikasikan untuk Tuhan.
"Only he should visit or tend God's houses of worship who believes
in God and the Last Day, and is constant in prayer, and spends in
charity, and stands in awe of none but God: for [only such as] these
may hope to be among the rightly guided!”39
Mengenai kaum musyrik, terdapat perbedaan pendapat di kalangan
para ulama. Apakah ahli kitab atau dalam bahasa Asad disebut (the
followers of the earlier revelations) apakah termasuk kategori orang-orang
musyrik yang tidak diperbolehkan mengunjungi dan memelihara rumah
ibadah dalam konteks ini adalah masjid utama umat Islam yakni Ka‟bah?.
Dalam Qs. al-Ḥajj/ 22: 17, disebutkan:
“Sesungguhnya orang-orang beriman, orang Yahudi, orang Sabi‟in,
orang Nasrani, orang Majusi dan orang musyrik, Allah pasti
37
Muhammad Asad, The Message of The Qur‟an, 292. 38
Abῑ al-Ḥasan „Alῑ Ibn Ḥabῑb al-Mawardῑ, al-Ḥᾱwῑ al-Kabῑr, jilid 14, cet. I
(Beirut: Dᾱr al-Kutub al-„Ilmiyah, 1994), 328., dan Muhammad Asad, The Message of
The Qur‟an, 192. 39
Muhammad Asad, The Message of The Qur‟an, 292.
81
memberi keputusan di antara mereka pada hari Kiamat. Sungguh,
Allah menjadi saksi atas segala sesuatu.” (Qs. al-Ḥajj/ 22: 17)
Dalam penafsiran Muhammad Asad, the followers of the earlier
revelations tidak dikategorikan sebagai kaum musyrik, meskipun orang-
orang Kristen dan Majusi (pengikut Zoroaster) menganggap bahwa sifat-
sifat ketuhanan terdapat pada makhluk-makhluk lain selain Allah, tetapi
mereka menganggap makhluk-makhluk itu tidak lebih manifestasi
pengejawantahan (atau inkarnasi) Tuhan yang Esa. Dalam keyakinan
mereka sendiri, mereka benar-benar menyembah Allah. Sedangkan
mereka (orang-orang yang menisbatkan ketuhanan kepada makhluk-
makhluk selain Allah, jelas menolak prinsip keesaan Tuhan dan keunikan-
Nya.40
Berkenaan dengan kepercayaan yang dinisbahkan orang-orang
Yahudi bahwa „Uzair (Ezra) adalah “anak Allah” perlu dicatat bahwa
hampir seluruh mufasir klasik setuju bahwa yang dimaksud dalam tuduhan
ini hanyalah kelompok Yahudi Arab, bukan semua orang Yahudi. Tidak
dikategorikannya Ahli Kitab ke dalam kaum musyrik ini sangat penting
terutama dalam hal-hal praktis (yang timbul dari konsekuensi hukum
tentang Ahli Kitab) tersebut, terlebih dalam kehidupan masyarakat plural,
seperti yang akan diuraikan dalam ayat berikut:
Qs. al-Baqarah/ 2: 114
ومن أظلم تن منع مساجد اللو أف يذكر فيها اتو وسعى ف خرابا “Hence, who could be more wicked than those who bar the mention
of God's name from [any of] His houses of worship and strive for
their ruin, [although] they have no right to enter them save in fear
[of God]?95 For them, in this world, there is ignominy in store; and
for them, in the life to come, awesome suffering..”41
40
Muhammad Asad, The Message of The Qur‟an, 541. 41
Muhammad Asad, The Message of The Qur‟an, 62.
80
Tafsir: It is one of the fundamental principles of Islam that every
religion which has belief in God as its focal point must be accorded
full respect, however much one may disagree with its particular
tenets. Thus, the Muslims are under an obligation to honour and
protect any house of worship dedicated to God, whether it be a
mosque or a church or a synagogue (cf. the second paragraph of
22:40); and any attempt to prevent the followers of another faith
from worshipping God according to their own lights is condemned
by the Qur'an as a sacrilege. A striking illustration of this principle
is forthcoming from the Prophet's treatment of the deputation from
Christian hijran in the year 10 H. They were given free access to the
Prophet's mosque, and with his full consent celebrated their
religious rites there, although their adoration of Jesus as "the son
of God" and of Mary as "the mother of God" was fundamentally at
variance with Islamic beliefs.42
Asad memahami ayat di atas sebagai salah satu prinsip fundamental
dalam Islam, dalam tafsirnya di atas disebutkan bahwa setiap agama yang
menjadikan iman kepada Tuhan sebagai inti ajarannya harus memperoleh
penghargaan penuh, betapa pun banyak ajaran khasnya yang tidak
disepakati. Karena itu, Muslim wajib menghormati dan melindungi setiap
tempat ibadah yang dipersembahkan untuk Tuhan, baik itu masjid, gereja,
maupun sinagoge.
Berkenaan dengan ayat di atas, terdapat beberapa versi mengenai
sebab turunnya ayat tersebut. Asbᾱb al-nuzủl adalah salah satu dari ilmu
al-Qur‟an yang mengkaji latar belakang suatu ayat atau beberapa ayat al-
Qur‟an diturunkan. Imᾱm al-Ja‟bᾱrῑ mengatakan bahwa latar belakang
turunnya al-Qur‟an itu terbagi menjadi dua bagian: satu bagian turun tidak
ada sebab musababnya, sedangkan bagian yang lainnya turun disertai
dengan adanya peristiwa atau adanya pertanyaan.43
Qs. al-Baqarah/ 2: 114
42
Muhammad Asad, The Message of The Qur‟an, 62. 43
Jalᾱl al-Dῑn al-Suyủṭi, al-Itqᾱn fῑ Ulủm al-Qur‟ᾱn, cet. 7 (Beirut: Dᾱr al-Kutub
al-Islamiyah, 2019), 48.
82
termasuk pada bagian yang kedua. Berikut adalah beberapa riwayat
mengenai sebab turunnya Qs. al-Baqarah/ 2: 144 :
Pertama, berdasarkan periwayatan dari al-„Aufῑ dalam kitab
tafsirnya dari Ibn Abbᾱs sehubungan dengan makna Qs.al-Baqarah/ 2:
114, Mujᾱhid mengatakan bahwa mereka adalah orang-orang Nasrani,
mereka melemparkan kotoran ke dalam Bait al-Maqdis dan menghalang-
halangi manusia untuk melakukan salat.
Wahbah al-Zuhailī mengutip dua riwayat dari Ibn Abbās berkenaan
dengan sebab turunnya ayat ini:44
Dari jalur periwayatan al-Kalbī, ayat ini turun berkenaan dengan
Titus Rum mereka memerangi dan membunuh Bani Isrāil, mereka
merusak Taurat, menghancurkan Bait al-Maqdis.
Dari jalur periwayatan „Aṭᾱ‟i dari Ibn Abbᾱs berpendapat bahwa
ayat ini turun berkenaan dengan orang musyrik Arab yang melarang umat
Islam menyebut nama Allah di Masjid al-Ḥarᾱm. memasuki kota Mekah
untuk melaksanakan ibadah umrah. Sedangkan dari jalur periwayatan Ibn
Hātim dari Ibn Abbās: bahwa orang-orang Quraisy mencegah Nabi
Muhammad saw. untuk melaksanakan salat di Masjid al-Ḥarᾱm,
kemudian Allah menurunkan Qs.al-Baqarah/ 2: 114.
Sementara itu, dari riwayat Ibn Jarῑr dari Abῑ Zaid ayat ini (Qs. al-
Baqarah/ 2: 114) berkenaan dengan orang-orang musyrik yang
menghalang-halangi Rasulullah untuk memasuki kota Makkah pada hari
hudaibiyah.45
Dari beberapa riwayat di atas mengenai sebab turunnya Qs. al-
Baqarah/ 2: 114 yang menjadi pedoman pengambilan hukum ada pada
keumuman lafaz, sebagaimana dalam teori Asbabun nuzul: al-„Ibrah bi
44
Wahbah al-Zuhailī, Tafsῑr al-Munῑr, jilid 1, cet. 2 (Beirut: Dᾱr al-Fikr, 1418 H),
279. 45
Wahbah al-Zuhailī, Tafsῑr al-Munῑr, 280.
83
„umủm al-lafẓi lᾱ bi khusủs al-sabab “ yang diambil sebagai pedoman
suatu hukum itu berdasarkan keumuman lafaz bukan ketentuan sebab.”46
Oleh karena itu, ahli kitab tercakup ke dalam ayat ini dan berlaku
pada Titus Rumani yang memasuki Bait al-Maqdis sekitar tahun 70 dan
mereka menghancurkan Bait al-Maqdis, merobohkan Kuil Sulaiman, dan
membakar sebagian kitab Taurat. Seperti itu juga berlaku pada kaum
musyrik Mekah yang mencegah Nabi Muhammad saw. dan para
Sahabatnya memasuki kota Makkah. Seperti itu juga berlaku pada
golongan salibiyyin yang menyerang Bait al-Maqdis dan mencegah orang-
orang beribadah di Masjid al-Aqsa dan mereka banyak menghancurkan
masjid-masjid di Negara Islam.47
Dengan demikian kandungan hukum yang terdapat dalam Qs. al-
Baqarah/ 2: 114 adalah wajib menghormati setiap rumah ibadah yang di
dalamnya disebut nama Allah; baik itu dengan salat ataupun tasbih dan
mengharamkan setiap usaha untuk menghancurkan rumah-rumah
peribadatan. Oleh karena itu setiap tindakan yang menghalang-halangi
manusia untuk beribadah dikategorikan sebagai orang yang paling zalim.
Prinsip fundamental Islam seperti yang ditegaskan oleh Muhammad
Asad dalam menafsirkan Qs. al-Baqarah/ 2: 114 di atas, bahwa Muslim
berkewajiban menghormati dan melindungi setiap rumah peribadatan yang
didedikasikan untuk Tuhan. Dalam menafsirkan hal ini, beliau merujuk
pada Qs. al-Ḥajj/ 22:40
مت صوامع وبيع وصلوات د يذكر ومساجد ولول دفع اللو الناس بػعضهم ببػعض ت فيها اسم اللو كثريا
“For, if God had not enabled people to defend themselves against
one another, [all] monasteries and churches and synagogues and
46
Jalᾱluddῑn al-Suyủti, al-Itqᾱn fῑ Ulủm al-Qur‟ᾱn, 50. 47
Wahbah al-Zuhailī, Tafsῑr al-Munῑr, 280.
84
mosques - in [all of] which God's name is abundantly extolled -
would surely have been destroyed [ere now].”48
عال لألنبياء واتؤمنی من قتاؿ األعداء لستول أىل الشرؾ وعطلوا لول ما شرعو ا تما بينتو أرباب الديانات من مواضع العبادات, ولكنو دفع بأف أوجب القتاؿ ليتفرغ
أىل الدين للعبادة“ Seandainya Allah tidak mensyariatkan kepada para Nabi dan
orang-orang beriman untuk memerangi musuh, niscaya orang
musyrik itu akan berkuasa dan mereka akan menghancurkan apa
yang sudah dibangun oleh para pemeluk agama yakni tempat-tempat
ibadah. Akan tetapi Allah menolak kehancuran itu dengan kewajiban
berperang agar para pemeluk agama itu tenang dalam
mendedikasikan dirinya untuk beribadah.”49
Ayat ini erat kaitannya dengan ayat sebelumnya, yakni Qs. al-Ḥajj/
22: 39 yang mengumumkan kebolehan untuk berperang secara fisik dalam
rangka mempertahankan diri. Prinsip untuk mempertahankan diri ini telah
dirinci lebih lanjut dalam Qs. al-Baqarah/ 2:190-193:50
“AND FIGHT in God's cause against those who wage war against
you, but do not commit aggression - for, verily, God does not love
aggressors..”
“ And slay them wherever you may come upon them, and drive them
away from wherever they drove you away - for oppression is even
worse than killing. And fight not against them near the Inviolable
House of Worship unless they fight against you there first; but if they
fight against you, slay them: such shall be the recompense of those
who deny the truth.”
“ But if they desist behold, God is much-forgiving, a dispenser of
grace.”
48
Muhammad Asad, The Message of The Qur‟an, 546. 49 al-Qurṭubī, al-Jᾱmi‟ li Ahkᾱm al-Qur‟ᾱn, jilid 7, cet. I (Beirut: al-Risᾱlah,
2006), 408. 50
Muhammad Asad, The Message of The Qur‟an, 79.
85
“ Hence, fight against them until there is no more oppression and
all worship is devoted to God alone;170 but if they desist, then all
hostility shall cease, save against those who [wilfully] do wrong..”
Ayat-ayat di atas dengan tegas menetapkan bahwa perang hanya
dibolehkan bagi kaum Muslim untuk membela diri. Kata lᾱta‟tadủ dalam
ayat 190 berarti “ janganlah melancarkan agresi” (do not commit
aggression); sedangkan al-mu‟tadіn berarti “orang-orang yang
melancarkan agresi”. Selanjutnya, karakter defensif perang “di jalan
Allah” yaitu yang sesuai dengan prinsip etis yang diperintahkan Allah,
terlihat jelas dalam sebutan “orang-orang yang memerangi kalian” dan
sudah dijelaskan lebih lanjut dalam Qs. al-Ḥajj/ 22: 39 “ izin untuk
berperang telah diberikan kepada orang-orang yang telah diperangi secara
zalim” yang menurut semua riwayat hadis yang ada, merupakan ayat
paling awal yang membahas masalah perang suci.51
Pengertian “bunuhlah mereka di mana saja kalian menjumpai
mereka” sejalan dengan perintah sebelumnya hanya sah dilakukan dalam
konteks permusuhan yang sedang berlangsung, berdasarkan pemahaman
bahwa “mereka yang memerangi kalian” adalah para agresor atau
penindas sehingga perang dari pembebasan dari ketertindasan menjadi
perang di jalan Allah. Kata fitnah dalam ayat di atas diterjemahkan oleh
Asad menjadi oppression (penindasan) didukung dengan alasan bahwa
istilah ini diterapkan untuk menunjukkan berbagai penderitaan.52
Berdasarkan hal di atas, maka makna tersirat yang terkandung dalam
Qs. al-Ḥajj/ 22: 40 yaitu bahwa alasan utama yang membolehkan bahkan
mengharuskan mengangkat senjata adalah untuk mempertahankan
51
Muhammad Asad, The Message of The Qur‟an, 79. 52
Muhammad Asad, The Message of The Qur‟an, 79.
86
kebebasan beragama (religious freedom).53
Lebih lanjut ditegaskan oleh
Qs. al-Baqarah/ 2: 193:
“Karena itu, perangilah mereka hingga tiada lagi penindasan dan
seluruh peribadatan di persembahkan hanya untuk Allah.”
Dalam konteks ayat ini istilah dῑn diterjemahkan Asad sebagai
“peribadatan” (worship), sebab kata itu meliputi aspek doktrinal dan moral
agama. Sehingga terjemahannya adalah “ dan seluruh peribadatan di
persembahkan hanya untuk Allah” yakni, hingga Allah dapat disembah
tanpa rasa takut akan penganiayaan dan tiada seorang pun dipaksa tunduk
karena gentar di hadapan manusia lainnya.54
Dari penafsiran silang yang dilakukan Muhammad Asad, dapat
dipahami bahwa Islam sangat menghormati perbedaan dalam peribadatan
dengan kata lain, Islam sangat menjunjung tinggi religious freedom atau
kebebasan beragama. Konsekuensi logis dari kebebasan beragama adalah
menjaga dan menghormati rumah-rumah peribadatan dengan segala
bentuk ritual keagamaannya. Dengan demikian segala bentuk tindakan
anarkis; merusak rumah ibadah, melarang orang untuk melakukan
peribadatan baik itu masjid, gereja, atau sinagoge merupakan tindakan
yang menurut al-Qur'an disebut sebagai tindakan yang paling zalim.
Religious Freedom mencakup di dalamnya kebebasan beribadah
tercermin pada sikap Nabi Muhammad saw. ketika rombongan Nasrani
Najran mendatangi Nabi di Madinah. Nabi menerima rombongan Nasrani
Najran di dalam masjid dan Nabi memperkenankan mereka untuk
melakukan ritual keagamaan di dalamnya.55
53
Muhammad Asad, The Message of The Qur‟an, 547. 54
Muhammad Asad, The Message of The Qur‟an, 79. 55
Syauqi „Allᾱm, Ḥimᾱyah al-Kanᾱ`isi fī al-Islᾱm, Kementrian Agama Mesir
2016, 7.
87
Hal serupa disampaikan oleh Ibn Qayyim dalam “ al-Aḥkᾱm Ahl Al-
Ẓimmah” :56
ب صلى ا عليو وسلم انو انزؿ وفد نصارى تراف ىف مسجده وحانت وقد صح عن الن صالتم فصلوا فيو
“ Sebuah riwayat yang menceritakan bahwa Nabi saw. menerima
rombongan Nasrani Najran di masjidnya, ketika itu tiba waktu salat
mereka dan mereka pun salat di dalam masjid itu.”57
Dalam riwayat di atas, Nabi saw. mengizinkan kaum Nasrani Najran
melakukan salat di dalam masjid ( kaum Muslim), apalagi di gereja-gereja
mereka (di mana mereka biasa melakukan peribadatan dan ritual-ritual
keagamaan) maka menjaga tempat peribadatan mereka serta menjaga hak
mereka dalam beribadah merupakan perbuatan yang sangat agung dan
mulia.
Peristiwa sejarah ini dikutip oleh Asad dalam tafsirnya, dari kitab al-
Ṭabaqāh karya Ibn Sa‟ad. beliau mengatakan bahwa peristiwa ini
merupakan contoh yang mencolok tentang prinsip menghormati
peribadatan umat lain. Terlihat dari perilaku Nabi Muhammad saw.
terhadap utusan Nasrani Najrᾱn pada tahun 10 H. Mereka diberi
kebebasan memasuki masjid Nabi, dan dengan persetujuan penuh dari
Nabi melaksanakan ritual keagamaan mereka di dalamnya.58
Golongan Muslim dan Kristen Najrᾱn secara terbuka mendiskusikan
perihal pemerintah, politik, dan agama. Mereka bersepakat dalam banyak
persoalan, tetapi mereka juga sepakat untuk tidak bersepakat dalam
56
Ibn Qayyim, Aḥkᾱm Ahli Ẓimmah, jilid I, cet. I (Ramaῑi al-Naysr, 1997), 397. 57 Ibn Qayyim, Aḥkᾱm Ahli Ẓimmah, 397. 58
Muhammad Asad, The Message of The Qur‟an, 62.
88
persoalan-persoalan teologis. Kalau ada frase yang bisa menyimpulkan
pertemuan mereka, maka itu adalah "saling menghormati".59
Sikap Nabi di atas juga terlihat pada diri al-Fārūq Umar Ibn Khaṭṭᾱb
ketika menaklukkan Yerusalem (Elia), beliau menuliskan sebuah
perjanjian keamanan yang sekarang dikenal dengan al-„Ahdah al-
Umariyah (Perjanjian Umar). Berikut adalah naskah perjanjian tersebut:60
" Ini adalah jaminan perlindungan keamanan yang diberikan hamba
Allah, Amῑrul Mu‟minῑn „Umar Ibn Khaṭṭᾱb kepada penduduk Elia.
Ia memberikan jaminan keamanan jiwa raga, harta benda, gereja-
gereja, salib, orang yang sakit, orang yang menderita, dan seluruh
aliran kepercayaan mereka. Gereja-gereja mereka tidak boleh
dirusak dan dihancurkan, tidak boleh diganggu dan tidak boleh
diambil alih, dan tidak boleh dirampas hartanya sedikit pun. Mereka
tidak boleh dipaksa melepaskan agamanya…."
Dari dua riwayat di atas mengisyaratkan bahwa Islam memberikan
dasar yang kuat untuk menjaga semua rumah ibadah dari golongan yang
berbeda dengan keyakinan umat Islam sendiri. Ini merupakan nilai dasar
menuju kehidupan damai, toleran, dan berkeadilan. Muhammad Asad
kemudian mengaitkan peristiwa di atas dengan Qs. al-Baqarah/ 2: 114 di
atas.
Hal ini menunjukkan bahwa Nabi Muhammad saw. mengajarkan
semangat al-Qur‟an secara langsung untuk menghormati setiap rumah
peribadatan. Namun, sikap inklusif Nabi ini dikotori oleh kaum intoleran,
kaum ekstrem yang merusak rumah-rumah peribadatan bahkan melakukan
pemboman terhadap rumah-rumah peribadatan seperti yang terjadi baru-
baru ini di Makassar , Sulawesi Selatan, merupakan sebuah tindakan yang
menurut al-Qur‟an dikategorikan sebagai orang yang paling zalim.
59
Craig Considine, Muhammad Nabi Cinta: Catatan Seorang Nasrani Tentang
Nabi Muhammad saw (Jakarta: Noura publishing 2018), 6. 60
Fathi Zaghrut, al-Nawᾱzil al-Kubrᾱ fi al-Tᾱrikh al-Islᾱmi: Bencana-Bencana
Besar dalam Sejarah Islam, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2014), 231.
89
al-Ṭabarῑ mengategorikan orang-orang yang berusaha menghalang-
halangi bahkan mencoba menghancurkan tempat-tempat peribadatan
sebagai orang yang ingkar akan eksistensi Tuhan.
وأي امرئ أشد تعديا وجراءة على ا وخالفا ألمره من امرئ منع مساجد ا اف يعبد ا فيها
“Dan siapakah yang lebih ingkar kepada Allah dan bertentangan dan
menentang perintahnya selain dari orang-orang yang berusaha
menghalang-halangi menyebut nama Allah di rumah-rumah ibadah-
Nya untuk beribadah di dalamnya.”61
Jelaslah dalam pandangan ini, al-Ṭabarῑ mengategorikan orang yang
menghancurkan rumah peribadatan baik itu masjid, gereja, sinagoge
sebagai orang yang ingkar akan eksistensi Tuhan. Oleh karena itu, Islam
mengutuk segala bentuk aksi kejahatan untuk menghancurkan rumah-
rumah peribadatan, karena itu bertentangan dengan misi Islam sebagai
agama yang membawa ajaran rahmat bagi semesta alam.
Berdasarkan uraian di atas, bahwa masjid sebagai houses of worship
yakni rumah peribadatan yang didedikasikan untuk Tuhan yang Maha Esa
dan yang berhak mengunjungi serta memeliharanya hanyalah orang-orang
yang menjadikan keimanan kepada Tuhan sebagai inti dari ajarannya.
Adapun mereka yang menghalang-halangi manusia bahkan
menghancurkan rumah-rumah peribadatan dikategorikan oleh al-Qur‟an
sebagai orang yang paling zalim dan ingkar terhadap eksistensi Tuhan.
Qs. al-Baqarah/ 2: 187
ول تػباشروىن وأنتم عاكفوف ف المساجد “ But do not lie with them skin to skin when you are about to abide
in meditation in houses of worship.”62
61
al-Ṭabarῑ, Jᾱmi‟ al-Bayᾱn „an Ta‟wῑl Ayat min Ayyil Qur‟ān, jilid 2, cet. II
(Mesir: Maktabah Ibn Taimiyah, 1980), 519. 62
Muhammad Asad, The Message of The Qur‟an, 77.
91
Tafsir: It was the practice of the Prophet to spend several days and
nights during Ramadan - and occasionally also at other times - in
the mosque, devoting himself to prayer and meditation to the
exclusion of all worldly activities; and since he advised his followers
as well to do this from time to time, seclusion in a mosque for the
sake of meditation, called i'tikaf, has become a recognized though
optional - mode of devotion among Muslims, especially during the
last ten days of Ramadan.63
Dalam ayat di atas, Muhammad Asad menerjemahkan „ᾱkifủn
dengan meditasi yaitu pengasingan diri yang kemudian dalam Islam
dikenal dengan „itikaf yaitu sebuah praktik ritual yang populer terutama
selama sepuluh akhir bulan Ramaḍan.
Meditasi bukanlah hal baru dalam agama semitik. Dalam agama
Yahudi misalnya para mistikus Yahudi memandang meditasi sebagai jalan
menuju defakut (sebuah konsep Yahudi yang mengacu pada kedekatan
dengan Tuhan.) atau dalam bahasa Ibrani meditasi termasuk hitbodedut,
secara harfiah adalah pengasingan diri atau kontemplasi (seperti yang
dilakukan oleh Muhammad di Gua Hira). Meditasi juga terdapat dalam
ajaran Kristen dengan tujuan mempererat hubungan pribadi dengan dasar
cinta akan Allah. Meditasi meupakan jalan pengetahuan tentang Tuhan
dan kebenaran, dengan penyembahan dan meditasi seseorang berusaha
menjadi tersatukan (to becomeunited) dengan Tuhan.64
Penafsiran Muhammad Asad di atas membawa angin segar terhadap
keberagamaan di dunia, terutama Indonesia. Seperti yang disebutkan di
Bab II, bahwa semua agama bersatu di wilayah transenden (batin),
sementara dalam wilayah lahiriah agama itu beraneka ragam. Perbedaan
seseorang dalam menyebut nama Tuhan, berdoa, dan zikir, tidak membuat
satu agama dan agama lain berbeda karena itu merupakan kehendak
63
Muhammad Asad, The Message of The Qur‟an, 78. 64
Zainal Muttaqin, “Jalan Menuju Yang Ilahi: Mistisme dalam Agama-agama.”
Ushuluna: Ilmu Ushuluddin, vol.3, no.1 (Juni 2017): 106.
90
Tuhan. Dalam bentuk perbedaan tersebut agama tetap membawa manusia
menuju Tuhan.
masᾱjid sebagai houses of worship dalam konteks ayat ini, kata
kuncinya adalah ᾱkifủn yaitu meditasi yang telah dipraktikkan oleh
agama-agama terdahulu (Yahudi, Kristen) bahkan juga dipraktikkan oleh
agama-agama semi monoteisme yaitu Hindhu-Budhha dengan tujuan yang
sama yaitu Tuhan.
3). Masjid Sebagai Tempat Peribadatan Agama Lain
Qs. al-Isrᾱ/ 17: 1
اتراـ إل المسجد األقصى الذي باركنا سبحاف الذي أسرى بعبده ليال من المسجد حولو لنريو من آياتنا
“LIMITLESS in His glory is He who transported His servant by
night from the Inviolable House of Worship [at Mecca] to the
Remote House of Worship [,at Jerusalem] - the environs of which
We had blessed.”65
Tafsir: The above short reference to the Prophet's mystic experience
of the "Night Journey" (al-isra') to Jerusalem and the subsequent
"Ascension" (mi'raj) to heaven is fully discussed in Appendix IV at
the end of this work. - "The Inviolable House of Worship" (al-masjid
al-haram is one of the designations given in the Qur'an to the
Temple of the Ka'bah, the prototype of which owed its origin to
Abraham (see surah 2, note 102) and was "the first Temple set up
for mankind" (3:96), i.e., the first ever built for the worship of the
One God. "The Remote [lit., "farthest"] House of Worship", on the
other hand, denotes the ancient Temple of Solomon - or, rather, its
site - which symbolizes here the long line of Hebrew prophets who
preceded the advent of Muhammad and are alluded to by the phrase
"the environs of which We had blessed". The juxtaposition of these
two sacred temples is meant to show that the Qur'an does not
inaugurate a "new" religion but represents a continuation and the
65
Muhammad Asad, The Message of The Qur‟an, 450.
92
ultimate development of the same divine message which was
preached by the prophets of old.66
Pertama, dalam ayat di atas disebut Masjid al-Ḥarᾱm, salah satu
sebutan yang digunakan al-Qur‟an terhadap bangunan Suci Ka‟bah, yang
prototipenya dibangun oleh Nabi Ibrāhīm. Bangun suci pertama ini
dibangun untuk manusia yang difungsikan sebagai “the first ever built for
the worship of the One God” yakni, bangunan pertama yang dibangun
untuk menyembah Tuhan Yang Maha Esa. Kedua, Masjid al-Aqsᾱ
menunjukkan pada “the ancient Temple of Solomon” yakni, Kuil Kuno
Sulaiman atau menunjukkan pada daerahnya, yang di sini melambangkan
deretan panjang nabi-nabi Ibrani yang mendahului Nabi Muhammad saw.
Dalam sejarahnya, Yerusalem dibangun oleh Nabi Dāud dan
menguasai kota itu dari masyarakat Yebusi. Beliau mendirikan dan
mengembangkan Yerusalem sebagai ibu kota kerajaannya. Tahta kerajaan
Nabi Daud itu kemudian digantikan oleh Sulaimān, Nabi Sulaiman
membangun sebuah Haekal atau Harem (tempat yang mulia) di kota itu.
Para ahli sejarah Yahudi menyatakan, Nabi Sulaimān atau Solomon
membangun sebuah kuil yang diberi nama baitullᾱh. Di tengah Haekal
itulah terdapat sebuah batu hitam bernama shakhrah al-Muqaddasah.
Berlandaskan batu itu, Rasulullah melanjutkan perjalanan Mi‟raj menuju
Sidrah al-Muntahᾱ, menghadap Allah untuk menerima perintah ṣalat lima
waktu.67
Bait Suci atau Kuil Kuno Sulaimān ini dibangun sekitar abad ke- 10
SM untuk menggantikan Kemah Suci yang dibangun Nabi Mủsᾱ.
Bangunan ini dihancurkan oleh bangsa Babel di bawah Nebukadnezar
pada tahun 586 SM. Berdasarkan hal di atas, asumsi penulis bahwa
66
Muhammad Asad, The Message of The Qur‟an, 450. 67
Syahruddin el-Fikri, Situs-Situs dalam al-Qur‟ᾱn Dari Hebron Hingga
Borobudur, (Jakarta: Republika Penerbit, 2013), 11.
93
penerjemahan kata masjid sebagai peribadatan umat lain yang dilakukan
Asad merujuk pada penelitian sejarah dan juga kitab agama lain (bible)
seperti yang dinyatakan oleh beliau di dalam muqaddimah tafsirnya.
Qs. al-Isrā'/ 17: 7
وجوىكم وليدخلوا المسجد كما دخلوه أوؿ مرة وليتبػروا ما فإذا جاء وعد اآلخرة ليسوءوا علوا تػتبريا
“And so, when the prediction of the second [period of your iniquity]
came true, [We raised new enemies against you, and allowed them]
to disgrace you utterly, and to enter the Temple as [their
forerunners] had entered it once before, and to destroy with utter
destruction all that they had conquered..”68
Kata Masjid dalam ayat di atas oleh Asad diterjemahkan sebagai
“the Temple”. Dalam tafsirnya, beliau berpendapat bahwa:“Most
probably, this passage relates to the destruction of the Second Temple
and of Jewish statehood by Titus in the year 70 of the Christian era.”
(kemungkinan besar, ayat ini berhubungan dengan dihancurkannya Bait
Allah kedua dan diruntuhkannya pemerintahan Yahudi oleh Titus pada
tahun 70 M.).69
Kedua kata masjid dalam Qs. al-Isrᾱ‟/ 17: 1 dan 7 di atas merujuk
pada tempat peribadatan agama terdahulu. Disebutkannya dua bangunan
suci ini, memberikan isyarat bahwa al-Qur‟an tidak mendirikan suatu
agama “baru” tetapi merepresentasikan suatu kontinuitas dan
perkembangan mutakhir dari pesan ketuhanan yang sama, yang diajarkan
oleh nabi-nabi terdahulu.
4). Masjid Sebagai Worship
68
Muhammad Asad, The Message of The Qur‟an, 452. 69
Muhammad Asad, The Message of The Qur‟an, 452.
94
Qs. al-A'rāf / 7: 29
ين وأقيموا وجوىكم عند كل مسجد وادعوه تلصی لو الد“ Sustainer has [but] enjoined the doing of what is right; and [He
desires you to] put your whole being into every act of worship, and
to call unto Him, sincere in your faith in Him alone. As it was He
who brought you into being in the first instance, so also [unto Him]
you will return:”70
Qs. al-A‟rᾱf/ 7: 31
ـ خذوا زينتكم عند كل مسجد وكلوا واشربوا ول تسرفوا يا بن آد“O CHILDREN of Adam! Beautify yourselves for every act of
worship, and eat and drink [freely], but do not waste: verily, He
does not love the wasteful!”71
Qs. al-Jin/ 72: 18
وأف المساجد للو فال تدعوا مع اللو أحدا “And [know] that all worship14 is due to God [alone]: hence, do not
invoke anyone side by side with God!.”72
Masjid, yang biasanya menunjukkan waktu atau tempat sujud ketika
ṣalat, dalam konteks ini diterjemahkan oleh Asad sebagai segala bentuk
kegiatan ibadah sebagai “for any act of worship” atau "the places of
worship" (al-masajid): i.e., worship as such ” yaitu peribadatan itu
sendiri.73
Kata masjid dan masᾱjid dalam ayat di atas diartikan oleh Asad
sebagai majᾱz mursal:
اطلقت اتسجد او اتساجد اى تل العبادة الت ىي ال وأريد با العبادة الت ىي اتاؿ . ارادة تازية تازا مرسال من باب إطالؽ ال وارادة اتاؿ
70
Muhammad Asad, The Message of The Qur‟an, 241. 71
Muhammad Asad, The Message of The Qur‟an. 241. 72
Muhammad Asad, The Message of The Qur‟an, 914. 73
Muhammad Asad, The Message of The Qur‟an, 916.
95
Tafsir: Take to your adornment (zinah)". According to Raghib (as
quoted in Lane III, 1279 f.), the proper meaning of zinah is "a
[beautifying] thing that does not disgrace or render unseemly ...
either in the present world or in that which is to come": thus, it
signifies anything of beauty in both the physical and moral
connotations of the word.74
Zῑnah dalam Qs. al-A'rᾱf/ 7: 31 diartikan oleh Asad bahwa makna
yang tepat dari zῑnah adalah sesuatu yang memperindah yang tidak
memalukan atau menjadikan tidak pantas baik di dunia maupun di
akhirat.75
Jadi hal itu menunjukkan segala sesuatu yang indah, baik dalam
arti fisik maupun moral. Sehingga maksud dari ayat di atas adalah bahwa
perintah untuk memperindah bukan ketika masuk masjid tapi yang di
maksud adalah ibadahnya tidak hanya salat tetapi yang dimaksud adalah
setiap laku ibadah.
Demikian halnya dalam Qs. al-Jin/ 72: 18 kata masājid adalah majaz
mursal, yang dimaksud bukan masjid-masjid adalah hak Allah melainkan
pengertiannya adalah ibadah hanya hak untuk Allah.
5). Masjid sebagai Tempat Peribadatan
Qs. al-Ḥajj/ 22: 40
م د ت صوامع وبيع وصلوات ومساجد يذكر فيها ولول دفع اللو الناس بػعضهم ببػعض ت اسم اللو كثريا
“For, if God had not enabled people to defend themselves against
one another,58 [all] monasteries and churches and synagogues and
mosques - in [all of] which God's name is abundantly extolled -
would surely have been destroyed [ere now].”76
74
Muhammad Asad, The Message of The Qur‟an, 241. 75
Muhammad Asad, The Message of The Qur‟an, 254. 76
Muhammad Asad, The Message of The Qur‟an, 546.
96
Berbeda dengan ayat-ayat masjid atau masᾱjid sebelumnya, di ayat
ini Muhammad Asad mengembalikan kata masᾱjid dengan makna hakikat
yaitu sebagai mosques (masjid-masjid umat Islam). Hal ini berkaitan
dengan tidak adanya „alaqah (penghubung) untuk mengalihkan makna
masᾱjid ke dalam pengertian rumah-rumah peribadatan secara umum,
sebagaimana ketentuan dalam ilmu balagah, dalam konteks ini adalah
ḥaqῑqah dan majᾱz.
Dengan demikian makna ayat di atas adalah:
ولول دفع ا الناس بعضهم ببعض تدمت ىف شريعة كل نب مكاف صالتم تدـ ف زمن موسى الكنائس وف زمن عيسى البيع والصوامع وف زمن تمد صلى ا عليو وسلم
اتساجد“ Seandainya Allah tidak memberikan kemampuan kepada manusia
untuk mempertahankan diri mereka terhadap satu sama lainnya,
sungguh akan hancur tempat salat yang terdapat dalam syariat para
nabi: seperti gereja-gereja akan hancur di zaman Nabi Mủsᾱ, biara-
biara di zaman Nabi „Ỉsᾱ, dan masjid-masjid di zaman Nabi
Muhammad Saw.”77
Berdasarkan hal itu, bahwa masjid tidak hanya merujuk pada tempat
peribadatan umat Islam tetapi juga merujuk pada tempat peribadatan-
peribadatan agama lain. Kiranya Muhammad Asad tepat menafsirkan kata
masᾱjid dalam Qs. al-Baqarah/ 2: 114 di atas sebagai house of worship.
Oleh karena itu, Muslim wajib melindungi dan menghormati setiap tempat
ibadah yang dipersembahkan untuk Tuhan, baik itu masjid, gereja,
maupun sinagoge, dan setiap upaya mencegah penganut agama lain
menyembah Tuhan, menurut pandangan agamanya itu sendiri, dikecam
oleh al-Qur‟an sebagai pelanggaran atau sebagai sebuah kezaliman yang
besar.
77
al-Bagᾱwī, Ma‟ᾱlim al-Tanzῑl (Beirut: Dᾱr Ibn Hazm, 2002), 870.
97
6). Masjid Ḍirᾱr dan Masjid Taqwᾱ (Masjid Qubᾱ)
Qs. al-Taubah/ 9: 107
والذين اتذوا مسجدا ضرارا وكفرا وتػفريقا بػی المؤمنی وإرصادا لمن حارب اللو ورسولو من قػبل
“AND [there are hypocrites] who have established a [separate]
house of worship in order to create mischief, and to promote
apostasy and disunity among the believers, and to provide an
outpost for all who from the outset have been warring against God
and His Apostle”.78
Ayat ini berkaitan dengan kelompok orang munafik yang
memerangi Allah dan Rasul-Nya yakni sebelum perjalanan ke Tabuk.
Muhammad Asad meringkas peristiwa sejarah tersebut sebagai berikut:
sejak hijrah Nabi ke Madinah, Nabi telah ditentang dengan keras oleh
seorang Abủ „Ᾱmir salah seorang anggota terkemuka dari suku Khazraj
yang telah menjadi sekutu musuh-musuh Nabi, kaum Quraisy Mekah,
serta memihak mereka dalam perang Uhud (3 H). Tidak lama setelah
perang Uhud, dia pindah ke Suriah dan melakukan segala cara untuk
membujuk Kaisar Bizantium, Heraklius agar menyerbu Madinah dan
menumpas kaum Muslim.
Pada tahun 9 H Abū „Āmir menginformasikan kepada pengikutnya
(yang berada di Madinah) bahwa Heraklius telah setuju untuk mengirim
pasukan ke Madinah untuk menyerang kaum Muslim. Abū „Āmir
menyarankan pengikutnya agar membangun sebuah masjid di Desa Qubᾱ
(sebuah desa yang berdekatan dengan Madinah) sehingga meniadakan
keharusan untuk berkumpul di masjid yang dibangun oleh Nabi sendiri di
desa yang sama.79
78
Muhammad Asad, The Message of The Qur‟an, 314. 79
Muhammad Asad, The Message of The Qur‟an, 315.
98
Yang dibicarakan ayat di atas, dalam penafsiran Asad adalah
“masjid tandingan”. Masjid itu dihancurkan berdasarkan perintah Nabi
setelah Nabi kembali dari perjalanan Tabuk.
Qs. al-Taubah/ 9: 108
لمسجد أسس على التػقوى من أوؿ يػوـ أحق أف تػقوـ فيو “Only a house of worship founded, from the very first day, upon
God consciousness is worthy of thy setting foot therein - [a house of
worship] wherein there are men desirous of growing in purity: for
God loves all who purify themselves.”80
Setelah berbicara tentang masjid yang dibangun oleh pengikut Abủ
„Ᾱmir untuk menciptakan perpecahan di kalangan Muslim, ayat ini
menegaskan bahwa sungguh yang paling pantas dan layak adalah sebuah
rumah ibadah yang dibangun berdasarkan kesadaran akan Allah (takwa).
Sebagian mufasir percaya bahwa ayat ini bercerita tentang masjid yang
dibangun oleh Nabi di Qubᾱ. Namun, terdapat hadis-hadis yang
menerangkan bahwa Nabi juga menggunakan istilah “rumah ibadah yang
dibangun berdasarkan kesadaran akan Allah) untuk masjid yang dibangun
belakang oleh Nabi di Madinah.
Berkenaan dengan masjid yang dibangun atas dasar kesadaran
kepada Tuhan, Asad menyatakan:
“It is, therefore, reasonable to assume that it applies to every
mosque sincerely dedicated by its founders, to the worship of God: a
view which is supported by the next verse.”81
Dengan demikian bagi Asad masjid yang dibangun atas dasar
kesadaran akan Tuhan tidak hanya berlaku pada masjid yang dibangun
Nabi di Madinah, beliau mengasumsikan bahwa sebutan itu (masjid
80
Muhammad Asad, The Message of The Qur‟an, 315. 81
Muhammad Asad, The Message of The Qur‟an, 316.
99
takwa) berlaku untuk setiap rumah ibadah yang didirikan secara tulus
untuk beribadah kepada Tuhan.
C. Fungsi dan Fakta Sejarah Masjid di Zaman Nabi
Pada tahun 14 kenabian (tahun pertama Hijriyah) saat Nabi
Muhammad saw. melakukan perjalanan (hijrah) ke Yatsrib, beliau
membangun sebuah tempat peribadatan di sebelah tenggara kota Yatsrib;
yaitu Masjid Qubᾱ dan selanjutnya Masjid Nabawῑ yang dibangun oleh
beliau di kota Yatsrib.82
Kedua masjid ini (Qubᾱ dan Nabawῑ) adalah sebuah rumah ibadah
yang dibangun berdasarkan kesadaran akan Allah (takwa), merupakan
masjid pertama yang dibangun oleh Nabi dan pengikutnya.83
Quraish Shihab dalam bukunya “Wawasan al-Qur‟an” menyebutkan
tidak kurang dari sepuluh peranan yang diemban oleh Masjid Nabi di
Madinah, yaitu:84
1. Tempat ibadah (salat dan zikir)
2. Tempat konsultasi dan komunikasi (masalah ekonomi-sosial
budaya)
3. Tempat pendidikan
4. Tempat santunan sosial
5. Tempat latihan militer dan persiapan alat-alatnya
6. Tempat pengobatan para korban perang
7. Tempat perdamaian dan pengadilan sengketa
8. Aula dan tempat menerima tamu
9. Tempat menawan tahanan
82
H. Mursidin, “Sejarah Masjid Nurul Ikhsan Walambenowite Kecamatan Parigi
Kabupaten Muna”, Jurnal Penelitian Pendidikan Sejarah, vol.4, no.2, (April 2019): 119. 83
Lihat Bab II. 84
Quraish Shihab, Wawasan al-Qur‟an, 455.
011
10. Pusat penerangan atau pembelaan agama
Hal ini menggambarkan bahwa masjid tidak hanya sekedar tempat
ritual saja, tetapi ada fungsi lain yang didasarkan atas ketakwaan kepada-
Nya. Orientasi takwa sebagai semangat kehadiran Tuhan akan
membimbing manusia menuju budi pekerti yang luhur, berperilaku baik
dengan akhlak yang tinggi; baik akhlak terhadap Allah, kepada sesama
manusia, dan terhadap alam. Sehingga jelaslah, Muhammad Asad dalam
menerjemahkan kata masjid dalam al-Qur‟an di sebagian ayat beliau
menerjemahkannya sebagai “worship” yaitu peribadatan itu sendiri yang
cakupannya tidak hanya bersujud tetapi segala bentuk aktivitas termasuk
sosial yang mengarah pada semangat akan kehadiran Tuhan (takwa).
D. Penafsiran Muhammad Asad Dalam Konteks keindonesiaan
Indonesia sebagai Negara Pluralistis dengan beragam suku, etnik,
bahasa, dan agama namun tetap merupakan satu kesatuan sebagaimana
tercermin dalam semboyan bangsa “Bhineka Tunggal Ika”, berbeda-beda
tetapi tetap satu jua. Melalui semboyan ini, Indonesia bisa dipersatukan
dan semua keberagaman tersebut menjadi satu bagian dari Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Indonesia merupakan negara yang berdasarkan prinsip Ketuhanan
Yang Maha Esa dan merupakan negara yang menjamin kemerdekaan
penduduknya untuk memeluk agamanya masing-masing, dan untuk
beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Hal di atas secara jelas ditegaskan dalam Pasal 29 ayat (2) Undang-
Undang Dasar 1945 juga dalam sila kesatu Pancasila yaitu negara
010
berdasarkan ketuhanan yang maha esa. Presiden pertama Indonesia
menyatakan dalam pidatonya, sebagai berikut:85
“ saya mengajak semua orang Indonesia bukan hanya kaum
nasionalis, Muslim, Kristen, Budha, dan mereka yang tanpa agama
untuk memahami zaman di mana kita hidup. Saya tidak ingin
membatasi hak asasi manusia untuk menyebarkan ideologi mereka;
orang Islam untuk menyebarkan Islam mereka, orang komunis untuk
menyebarkan komunisme mereka. Saya sekedar mengajak,
menekankan, dan mengingatkan untuk memahami zaman di mana
kita tinggal.”
Pernyataan visioner dari Soekarno di atas tentang kebebasan
beragama. Beliau menekankan satu visi tentang negara yang ber-Tuhan
dengan tanpa egoisme agama. Tujuannya adalah menjadikan Indonesia
menjadi negara yang setiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan
cara leluasa. Pernyataan Soekarno itu satu visi dengan penafsiran
Muhammad Asad (Qs. al-Baqarah/ 2: 114 bahwa setiap agama yang
menjadikan iman kepada Tuhan sebagai inti ajarannya harus memperoleh
penghargaan penuh, betapa pun banyak ajaran khasnya yang tidak di
sepakati.86
Islam dengan Masjidnya, Kristen Protestan dan Katolik dengan
gerejanya, Hindu dengan puranya, Buddha dengan viharanya, dalam
mewujudkan pengabdian kepada Tuhan, masing-masing memiliki ajaran
khas atau ritual yang berbeda antara satu dengan yang lain.
Dengan demikian kebebasan untuk beribadah menurut agamanya
masing-masing mengandung suatu pengertian bahwa kebebasan beragama
itu mencakup kebebasan untuk menyediakan atau mengadakan prasarana
bagi terlaksananya kegiatan peribadatan. Karena aspek peribadatan dan
tempat peribadatan merupakan suatu pengertian yang tidak dapat
85
Mentary Meidiana, “Menguatkan konsep Kebebasan Beragama di Indonesia
Dengan Pancasila Dalam mempertahankan Kesatuan Bangsa”, Jurnal Defendonesia. vol.
3, no.1 (Desember 2017): 39. 86
Muhammad Asad, The Message of The Qur‟an, 62.
012
dipisahkan. Dan setiap pengingkaran terhadap hak pemeluk agama untuk
melakukan peribadatan baik itu di masjid, gereja, pura ataupun vihara
disebut sebagai pengingkaran terhadap kebebasan beragama bahkan al-
Qur‟an mengategorikan sebagai orang yang paling zalim dan ingkar
terhadap eksistensi Tuhan.87
Persoalan mengenai pendirian rumah ibadah di Indonesia diatur
dalam Peraturan Bersama Menteri Agama Dan Menteri Dalam Negeri
nomor 8 dan 9 tahun 2006 tentang pedoman pelaksanaan tugas Kepala
Daerah dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama, pemberdayaan
forum kerukunan umat beragama, dan pendirian rumah ibadat pada Bab
IV sebagai berikut:88
Pasal 13:
1. Pendirian rumah ibadat didasarkan pada keperluan nyata dan
sungguh-sungguh berdasarkan komposisi jumlah penduduk bagi
pelayanan umat beragama yang bersangkutan di wilayah kelurahan/
desa.
2. Pendirian rumah ibadat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan tetap menjaga kerukunan umat beragama, tidak
mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum, serta mematuhi
peraturan dan perundang-undangan.
3. Dalam hal keperluan nyata bagi pelayanan umat beragama di
wilayah kelurahan/ desa sebagaimana dimaksud ayat (1) tidak
terpenuh, pertimbangan komposisi jumlah penduduk digunakan
batas wilayah kecamatan atau kabupaten/ kota atau provinsi.
Pasal 14:
1. Pendirian rumah ibadah harus memenuhi persyaratan
administratif dan persyaratan teknis bangunan gedung.
2. Selain memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) pendirian rumah ibadat harus memenuhi persyaratan khusus
meliputi:
87
Nugroho. “Kebijakan Dan Konflik Pendirian Rumah Ibadah Di Indonesia”
Jurnal Studi Agama vol.4, no.2, (September 2020): 2. 88
Siti Aminah dan Uli Parulian Sihombing, Memahami Kebijakan Rumah Ibadah
(Jakarta: The Indonesia Legal Resource Center, 2020), 34.
013
a. Daftar nama dan Kartu Tanda Penduduk pengguna rumah
ibadat paling sedikit 90 (sembilan puluh) orang yang disahkan
oleh pejabat setempat sesuai dengan tingkat batas wilayah
sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 ayat (3);
b. Dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 (enam puluh)
orang yang disahkan oleh lurah/ kepala desa;
c. Rekomendasi tertulis kepala kantor departemen agama
kabupaten/ kota; dan
d. Rekomendasi tertulis FKUB kabupaten/ kota.
3. Dalam persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a
terpenuhi sedangkan persyaratan huruf b belum terpenuhi,
pemerintah daerah berkewajiban memfasilitasi tersedianya lokasi
pembangunan rumah ibadah.
Pasal 15:
Rekomendasi FKUB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2)
huruf b merupakan hasil musyawarah dan mufakat dalam rapat
FKUB, dituangkan dalam bentuk tertulis.
Pasal 16:
1. Permohonan pendirian rumah ibadat sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 14 diajukan oleh panitia pembangunan rumah ibadat
kepala Bupati/ Wali Kota untuk memperoleh IMB rumah ibadat.
2. Bupati/ Wali Kota memberikan keputusan paling lambat 90
(sembilan puluh) hari sejak permohonan pendirian rumah ibadat
diajukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 17:
Pemerintah daerah memfasilitasi penyediaan lokasi baru bagi
bangunan gedung rumah ibadat yang telah memiliki IMB yang
dipindahkan karena perubahan rencana tata ruang wilayah.
Dalam Pasal 14 ayat (2) dalam Peraturan Bersama Menteri Agama
Dan Menteri Dalam Negeri nomor 8 dan 9 tahun 2006 yaitu persyaratan
khusus minimal 90 orang pengguna rumah ibadah menunjukkan adanya
diskriminasi terhadap minoritas pemeluk agama di wilayah Indonesia.
Karena kelompok mayoritas akan lebih mudah memperoleh 90 orang
pengguna ibadah dan dukungan dari 60 orang masyarakat setempat. Di
sinilah letak diskriminasi dalam bentuk pembedaan perlakuan khususnya
014
terhadap kelompok minoritas keagamaan. Sehingga ketentuan ini
bertentangan dengan pernyataan founding fathers Indonesia dan juga jauh
dari pada nilai-nilai ajaran Islam sebagaimana disampaikan oleh
Muhammad Asad dalam menafsirkan Qs. al-Baqarah/ 2: 114 di atas.
Selain itu, ketentuan ini bertentangan dengan kewajiban positif negara
untuk melindungi rumah ibadah secara efektif, layak, dan tepat.
Dari pemaparan di atas, penulis berkesimpulan bahwa masjid dalam
al-Qur‟an sebagai “house of worship” yang mencakup di dalamnya masjid
(sebagai tempat peribadatan umat Islam), Gereja, maupun sinagoge harus
dilindungi dan dihormati sebagai sebuah tempat yang didedikasikan untuk
Tuhan. Sirr al-Aḥkām yang terkandung dalam Qs. al-Baqarah/ 2: 114
bahwa Muslim harus menghormati gereja-gereja ahli kitab (بيع / صوامع)
dan menghormati rumah peribadatan orang yang serupa dengan ahli kitab
seperti Majusi dan Sabi'in.89
Penafsiran Asad ini didasarkan atas pemahamannya tentang agama-
agama yang merupakan satu kesatuan. Adapun perbedaan-perbedaan
dalam perkembangannya merupakan perbedaan dalam ritual belaka yang
tujuannya satu yaitu Tuhan.
Dalam konteks Negara Bangsa, Indonesia menjadi garda terdepan
untuk memberikan jaminan kebebasan beribadat kepada para pemeluk
agama yang tergabung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia
sebagai konsekuensi dari kebebasan beragama. Oleh karena itu, setiap
peraturan atau tindakan yang menjurus pada anarkis atau menghalang-
halangi setiap pemeluk agama untuk melakukan ritual keagamaan
dikategorikan oleh al-Qur‟an sebagai orang yang paling zalim dan orang
yang ingkar terhadap eksistensi Tuhan.
89
Rasyῑd Riḍā, Tafsīr al-Manār, jilid 1, cet. II (Kairo: Dar el-Manār 1947), 433.
106
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari hasil penelitian penafsiran Muhammad Asad dalam terhadap
The Message of The Quran dapat disimpulkan antara lain sebagai berikut:
Masjid dalam al-Qur'an terulang sebanyak 28 kali baik itu dalam
bentuk mufrad maupun jamak. Dalam penafsirannya Muhammad Asad
memahami kata masjid atau masᾱjid sebagai houses of worship. Dalam
pemahamannya beliau menitikberatkan kajiannya pada aspek kebahasaan,
masjid atau masᾱjid diartikan كل ما يتعبد فيو فهو مسجد setiap tempat yang
di dalamnya difungsikan untuk beribadah kepada (Tuhan Yang Maha Esa)
maka itu dinamakan masjid.
Pemahaman tersebut diafirmasi oleh ayat-ayat lain yang
menunjukkan bahwa masjid atau masᾱjid dalam al-Qur'an tidak hanya
merujuk pada tempat peribadatan orang Islam tetapi juga merujuk pada
tempat peribadatan agama lain bahkan lebih luas lagi merujuk pada
peribadatan itu sendiri. Seperti dalam Qs. al-Jin/ 72: 18 dalam ayat ini,
masᾱjid merupakan bentuk majaz mursal. Redaksinya menyatakan makna
tempat (masᾱjid) tetapi yang di maksud adalah hal yaitu ibadah.
sedangkan untuk redaksi masjid al-haram beliau mengartikan sebagai
inviolable house of worship yang dalam penafsirannya merujuk pada
rumah ibadah Ibrᾱhῑm (Ka‟bah) dan sebagai implikasinya merujuk
Mekah. bahkan dalam beberapa konteks beliau mengartikannya sebagai
simbol dari agama-agama.
Dari pemahaman tersebut maka sebuah keharusan untuk seorang
Muslim menjaga serta menghormati seluruh tempat peribadatan yang
didedikasikan untuk Tuhan. Penafsiran Asad ini berdasarkan pemahaman
017
beliau pada ayat sebelumnya bahwa al-Qur'an selalu menegaskan, terdapat
unsur kebenaran dari semua agama yang berdasarkan Wahyu Ilahi atau
The Followers of The Early Revelations terlepas dari segala perbedaan
doktrin yang ada. Pada hakikatnya Yahudi, Islam, Kristen merupakan
suatu kesatuan yang mengajarkan ketauhidan meskipun dalam beberapa
ajaran khasnya tidak disepakati. Setiap agama yang mengajarkan
ketundukan dan kepatuhan kepada ketuhanan Yang Maha Esa dan
menjadikannya sebagai inti dari ajarannya maka harus dihormati dan
dilindungi betapa pun banyak ajaran khasnya yang tidak disepakati.
Dari uraian di atas, maka setiap tindakan yang menghalang-halangi
manusia menyembah Tuhan atau bahkan merusak tempat peribadatan
maka dikategorikan oleh al-Qur'an sebagai orang yang paling zalim
bahkan menafikan terhadap eksistensi Tuhan.
B. SARAN-SARAN
1. penulis mengharapkan adanya penelitian lebih lanjut, karena dalam
penelitian ini penulis hanya menggunakan perspektif tertentu
(Muhammad Asad) dan metodologi semi tematik. oleh karena itu,
penulis menyarankan bagi penelitian selanjutnya menggunakan
perspektif atau pendekatan lain, baik itu pendekatan sejarah
maupun keilmuan lain guna memperkaya khazanah keilmuan al-
Qur‟an dan tafsir.
2. Dengan memahami pengertian Muhammad Asad terhadap kata
masjid serta penafsirannya atas ayat-ayat masjid diharapkan
mampu mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
108
DAFTAR PUSTAKA
„Allᾱm, Syauqῑ. Ḥimᾱyah al-Kanᾱ`isi fῑ al-Islᾱm, Kementrian Agama
Mesir 2016.
Aminah, Siti. dan Sihombing, Memahami Kebijakan Rumah Ibadah.
Jakarta: The Indonesia Legal Resource Center, 2020.
Asad, Muhammad. Islam di Simpang Jalan, terj. M. Hashem. Surabaya:
YAPI 1967.
-------. The Message of The Qur'an Translated and Explained Gibralta:
Dᾱr al-Andalus, 1980.
-------. The Road to Mecca, Delhi: Islamic Book Service, 2004.
al-Aṣfahᾱnī, Rᾱgib. Mufradāt fῑ Garῑb al-Qur'ān. Beirut: Dᾱr el-Ma'rifah,
t.t.
al-Bagᾱwῑ, Ḥusain Ibn Muhammad. Ma‟ᾱlim al-Tanzῑl, jilid 4, cet. I.
Riyad: Dᾱr Tayyibah 1998.
al-Bukhᾱrī, Abī „Abdillāh Ibn Muhammad Ibn Ismᾱ‟ῑl. Ṣaḥῑḥ al-Bukhᾱrī,
Beirut: Dᾱr Ibn Katsīr, 2002.
Chirzin, Muhammad. "The Message of The Qur‟an Karya Muhammad
Asad: Kajian Metodologi Terjemah dan Tafsir". Jurnal Ilmu al-
Qur‟an dan Tafsir, Vol. 4, No. 1, (Januari-Juni 2019): 177-192.
Considine, Craig. Muhammad Nabi Cinta: Catatan Seorang Nasrani
Tentang Nabi Muhammad saw. Jakarta: Noura publishing 2018.
Darwazah, Muhammad „Izzah. Tafsῑr al-Hadῑṡ, jilid 6, cet. 2. Beirut: Dᾱr
al-Garab al-Islᾱmῑ, 2000.
al-Farmawi, Metode Tafsir Mauḍu‟i, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
1996.
el-Fikri, Syahruddin. Situs-Situs dalam al-Qur‟ᾱn Dari Hebron Hingga
Borobudur. Jakarta: Republika Penerbit, 2013.
Gazalba, Sidi. Mesjid Pusat Ibadat dan Kebudayaan Islam. jakarta: al-
Husna, 1983.
019
Hasan, Iqbal. Analisis Data Penelitian Dengan Statistik, Jakarta: Bumi
Aksara 2008.
Khᾱzin, Muhammad. al-Tawῑl fī Ma'ānī al-Tanzῑl, Juz iii Beirut: Dār al-
Fikr 1979 M.
al-Tabarῑ, Abū Ja‟far Ibn Muhammad Ibn Jarīr, jilid 15, cet. I, Kairo: Dᾱr
al-Hajar 2001.
al-Jauziyah, Ibn Qayyim. Aḥkᾱm Ahli Ẓimmah, jilid I, cet. I. Ramadiy al-
Naysr, 1997.
Madjid, Nurkholis. Islam Agama Peradaban. Jakarta: Paramadina 1995.
Meidiana, Mentary. “Menguatkan konsep Kebebasan Beragama di
Indonesia Dengan Pancasila Dalam mempertahankan Kesatuan
Bangsa”, Jurnal Defendonesia. vol. 3, no. 1, (Desember 2017): 12-
22.
al-Mawardῑ, Abῑ al-Ḥasan „Alῑ Ibn Ḥabῑb. al-Ḥᾱwῑ al-Kabῑr, jilid 14, cet.
I. Beirut: Dᾱr al-Kutub al-„Ilmiyah, 1994.
Mursidin, H. "Sejarah Masjid Nurul Ikhsan Walambenowite Kecamatan
Parigi Kabupaten Muna", Jurnal Penelitian Pendidikan Sejarah, vol.
4, no. 2, (April 2019): 117-123.
Muttaqin, Zaenal. “Jalan Menuju Yang Ilahi: Mistisme dalam Agama-
agama”. Ushuluna: Ilmu Ushuluddin, vol. 3, no. 1 (Juni 2017): 105-
129.
al-Nawᾱwi, Abủ Zakariya Muhyi al-Dῑn. al-Minhᾱj bi Syarḥi Ṣaḥῑḥ
Muslim Ibn al-Ḥajjāj, jilid 9, cet. 2. Kairo: Dᾱr al-Hadīs 2001.
Nugroho, M. “Kebijakan Dan Konflik Pendirian Rumah Ibadah Di
Indonesia” Jurnal Studi Agama vol. 4, no. 2, (September 2020): 1-
17.
Purnamasari, Desi. "Problem Umat Agama Minoritas: Susah Mendirikan
Rumah Ibadah". Diakses 16 Mei 2019, https://tirto.id/dJeE./2019/05.
al-Qaṭṭᾱn, Mannᾱ‟. Tārῑkh al-Tasyrī' al-Islᾱmī al-Tasyrī‟ wa al-Fiqhi,
Riyad: Maktabah al-Ma'ārif 2012.
001
al-Qurṭubῑ, Abî „Abdillāh Muhammad Ibn Ahmad al-Anṣᾱrῑ. al-Jāmi' Li
Ahkām al-Qur'ān, jilid 7, cet. 1. Beirut: Dᾱr el-Kutub al-Ilmiyah, 1971.
-------. al-Jᾱmi‟ li Ahkᾱm al-Qur‟ᾱn, jilid 5, cet. I. Beirut: al-Risalah,
2006.
al-Rᾱzῑ, Fakhruddῑn. Mafātiḥ al-Gaib, jilid 10, Beirut: Dᾱr el-Fikr, 1981.
Riḍᾱ, Rasyῑd. Tafsīr al-Manār, juz 1, cet. II. Kaira: Dᾱr el-Manār, 1947.
Saefuddin, Muhammad. “Majid Ḍirar dan Masjid Takwa” Skripsi S1.,
Universitas Islam Negeri Wali Songo Semarang, 2018.
Saidurrahman, dan Arifinsyah. Nalar Kerukunan Merawat Keragaman
Bangsa Mengawal NKRI, Jakarta: Kencana 2018.
Shihab, M. Quraish. Wawasan al-Qur'an: Tafsir Tematik atas Pelbagai
Persoalan Umat. Bandung: Mizan, 2012.
al-Suyủṭῑ, Jalᾱl al-Dῑn. al-Itqᾱn fῑ Ulủm al-Qur‟ᾱn, cet. 7. Beirut: Dᾱr al-
Kutub al-Islamiyah, 2019.
-------. al-Durr al-Mansūr fī Tafsīr al-Ma'sūr, jilid 8, Beirut: Dᾱr al-Fikr
2011.
al-Ṭabarῑ, Abu Ja'far Muhammad bin Jarῑr bin Yazῑd bin Kaṡῑr bin Ghᾱlib
al-Amali. Jᾱmi‟ al-Bayᾱn „an Ta‟wῑl Ayat min Ayyil Qur‟ᾱn, jilid
2, cet. II. Mesir: Maktabah Ibn Taimiyah, t.t.
al-Zabῑdῑ, Muhammad Murtaḍᾱ. Tāj al-'Arus Min Jauhar al-Qāmủs,
jilid 2,cet. 2 Libanon: Dᾱr Maktabah al-Ḥayah, t.t.
Zaghrut, Fathi. al-Nawᾱzil al-Kubrᾱ fī al-Tᾱrīkh al-Islᾱmī: Bencana-
Bencana Besar dalam Sejarah Islam. Jakarta: Pustaka al-Kautsar,
2014.
al-Zamahksyarῑ, Tafsῑr al-Kasyᾱf, jilid 3, cet. 3, Beirut: Dᾱr al-Ma‟rifah
2009.
al-Zarkasyῑ, Muhammad Ibn „Abdillāh. I'lām al-Sājid fῑ Aḥkām al-
Masājid. Kairo: Dᾱr al-Misriyah, 1403 H.
al-Zuhailī, Wahbah. Tafsῑr al-Munῑr, jilid 1, cet. 2. Beirut: Dᾱr al-Fikr,
1418 H.