lakon wayang

510
 Drupadi SIAPAKAH yang mendengar suara Drupadi ketika ia diseret pada rambutnya yang panjang ke balairung perjudian itu? Semua. Semua mendengar. Tapi tak ada yang menolongnya. Yudhistira, suaminya, yang telah kalah dalam pertaruhan, membisu. Juga Arjuna. Juga Nakula dan Sadewa. Hanya Bima yang menggeratakkan gerahamnya dalam rasa marah yang tertahan, hanya Bima yang berbisik, bahwa Yudhistira telah berbuat berlebihan, karena bahkan pelacur pun tak dipertaruhkan dalam pertandingan dadu. ”Ketika kau jadikan kami, adik-adikmu, barang taruhan, aku diam, karena kau, kakak sulung, adalah tetua kami. Kami bahkan rela jadi budak ketika kau kalah. Ketika kau jadikan dirimu sendiri barang pembayaran, kami juga diam, karena kau sendirilah yang menanggungnya. Tapi apa hakmu mengorbankan Drupadi di tempat ini? Apa hakmu, Kakakku?” Yudhistira membisu. Semua hanya menyimak, juga para pangeran di arena itu, juga Baginda Destarastra yang—dalam gelap matanya yang buta—toh pasti mendengar, dan menyaksikan, malapetaka yang tengah terjadi: para Pandawa telah menerima tantangan berjudi para Kurawa, dan Yudhistira yang lurus hati itu dengan mudah kalah, oleh Sangkuni yang pintar, sampai milik penghabisan. Harta telah ludes. Kerajaan telah terambil. Adik-adiknya telah tersita. Juga dirinya sendiri, yang kini duduk bukan lagi sebagai orang merdeka. Lalu Drupadi, putri dari Kerajaan Pancala yang terhormat itu…. Bersalah apakah wanita ini, kecuali bahwa ia kebetulan dipersunting putra Pandu? Dursasana, yang matanya memerah saga oleh mabuk, oleh kemenangan dan berahi, menyeretnya pada rambut. ”Budak!” seru bangsawan Kurawa itu seraya mencoba merenggutkan kain Drupadi. ”Hayo, layani aku, budak!” Suara tertawa—kasar dan aneh karena gugup—terdengar di antara hadirin. Sangkuni ketawa. Duryudana ketawa. Karna ketawa. Bima, mendidih sampai ke ruas jantungnya, gemetar, mencoba menahan katup amarah, menyaksikan adegan kemenangan dan penghinaan itu. Api seperti memercik dari wajahnya, dan tinjunya yang kukuh mengencang di ujung lengan, tapi Arjuna menahannya. ”Apa boleh buat, Bima,” kata kesatria tengah Pandawa ini, ”merekalah yang menang, mereka tak menipu, dan Yudhistira tahu itu—perjudian ini juga sejak mula tak ditolaknya.” ”Baiklah, baiklah,” sahut Bima. ”Jangan tegur aku lagi. Tapi dengarlah sumpahku” (dan ia tiba-tiba berdiri, mengeraskan suaranya hingga terdengar ke segala penjuru). ”Hai, kalian, dengarlah sumpahku: kelak, dalam perang yang menentukan antara kita di sini, akan kurobek dada Dursasana dengan kuku-kuku tanganku” (dan suara Bima terdengar seperti raung, muram, menggeletar), ”lalu akan kuminum darahnya, kuminum!” Balairung seolah baru mendengarkan petir menggugur. Beberapa bangsawan Kurawa mendeham mengejek—bukankah ancaman Bima itu omong kosong, karena ia secara sah

Upload: independent

Post on 03-Dec-2023

0 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

 

DrupadiSIAPAKAH yang mendengar suara Drupadi ketika ia diseret pada rambutnya yang panjang ke balairung perjudian itu? Semua. Semua mendengar. Tapi tak ada yang menolongnya.

Yudhistira, suaminya, yang telah kalah dalam pertaruhan, membisu. Juga Arjuna. Juga Nakula dan Sadewa. Hanya Bima yang menggeratakkan gerahamnya dalam rasa marah yang tertahan, hanya Bima yang berbisik, bahwa Yudhistira telah berbuat berlebihan, karena bahkan pelacur pun tak dipertaruhkan dalam pertandingan dadu. ”Ketika kau jadikan kami, adik-adikmu, barang taruhan, aku diam, karena kau, kakak sulung, adalah tetua kami. Kami bahkan rela jadi budak ketika kau kalah. Ketika kau jadikan dirimu sendiri barang pembayaran, kami juga diam, karena kau sendirilah yang menanggungnya. Tapi apa hakmu mengorbankan Drupadi di tempat ini? Apa hakmu, Kakakku?”

Yudhistira membisu. Semua hanya menyimak, juga para pangeran di arena itu, juga Baginda Destarastra yang—dalam gelap matanya yang buta—toh pasti mendengar, dan menyaksikan, malapetaka yang tengah terjadi: para Pandawa telah menerima tantangan berjudi para Kurawa, dan Yudhistira yang lurus hati itu dengan mudah kalah, oleh Sangkuni yang pintar, sampai milik penghabisan. Harta telah ludes. Kerajaan telah terambil. Adik-adiknya telah tersita. Juga dirinya sendiri, yang kini duduk bukan lagi sebagai orang merdeka. Lalu Drupadi, putri dari Kerajaan Pancala yang terhormat itu….

Bersalah apakah wanita ini, kecuali bahwa ia kebetulan dipersunting putra Pandu? Dursasana, yang matanya memerah saga oleh mabuk, oleh kemenangan dan berahi, menyeretnya pada rambut. ”Budak!” seru bangsawan Kurawa itu seraya mencoba merenggutkan kain Drupadi. ”Hayo, layani aku, budak!” Suara tertawa—kasar dan aneh karena gugup—terdengar di antara hadirin. Sangkuni ketawa. Duryudana ketawa. Karna ketawa.

Bima, mendidih sampai ke ruas jantungnya, gemetar, mencoba menahan katup amarah, menyaksikan adegan kemenangan dan penghinaan itu. Api seperti memercik dari wajahnya, dan tinjunya yang kukuh mengencang di ujung lengan, tapi Arjuna menahannya. ”Apa boleh buat, Bima,” kata kesatria tengah Pandawa ini, ”merekalah yang menang, mereka tak menipu, dan Yudhistira tahu itu—perjudian ini juga sejak mula tak ditolaknya.”

”Baiklah, baiklah,” sahut Bima. ”Jangan tegur aku lagi. Tapi dengarlah sumpahku” (dan ia tiba-tiba berdiri, mengeraskan suaranya hingga terdengar ke segala penjuru). ”Hai, kalian, dengarlah sumpahku: kelak, dalam perang yang menentukan antara kita di sini, akan kurobek dada Dursasana dengan kuku-kuku tanganku” (dan suara Bima terdengar seperti raung, muram, menggeletar), ”lalu akan kuminum darahnya, kuminum!”

Balairung seolah baru mendengarkan petir menggugur. Beberapa bangsawan Kurawa mendeham mengejek—bukankah ancaman Bima itu omong kosong, karena ia secara sah

telah jadi budak—tapi sebagian tiba-tiba merasa ngeri: rasanya memang sesuatu yang tak pantas telah terjadi di tempat terhormat ini.

Tapi, siapakah yang akan menolong Drupadi?

Sekali lagi, Dursasana mencoba menanggalkan kain dari tubuh istri Yudhistira itu. Kain terlepas…. Tapi entah mengapa, laki-laki perkasa itu tak kunjung berhasil menelanjangi wanita yang bingung dan pasrah itu. Mungkin ada keajaiban dari langit, mungkin Dursasana terlalu meradang oleh nafsu, mungkin anggur telah memuncak maraknya di kepala: di depannya, ia seakan-akan menghadapi berlapis-lapis kain yang menjaga kulit yang lembut itu. Tiap kali selembar terenggut oleh tangannya yang gemetar, tiap kali pinggul Drupadi seolah tertutup kembali. Dan Dursasana, pada klimaksnya, terkapar.

Ruangan agung itu seolah-olah melepas napas: memang ada sesuatu yang melegakan ketika adegan yang menekan saraf itu berakhir begitu hambar. Tapi tidak: persoalan Drupadi belum selesai. Dan kini wanita itu datang, setengah merangkak, ke hadapan para bangsawan tua yang selama ini menyaksikan semuanya dengan mata sedih tapi mulut tertutup.

”Paduka, berhakkah Yudhistira mempertaruhkan diri hamba, berhakkah dia merasa memiliki diri hamba, ketika ia tidak memiliki lagi diri dan kemerdekaannya?”

Kali ini Resi Bhisma—yang termasyhur arif dan ikhlas itu—menjawab, ”Aku tak tahu, Anakku. Jalan darma sangat subtil. Mana yang benar, mana yang tidak, bahkan orang yang paling bijaksana pun kadang-kadang hanya menduga. Cobalah kau tanya Yudhistira sendiri.”

Tapi tak ada ucapan yang terdengar. Hanya, saat itu, di luar menggores jerit burung, dan suara anjing menyalak, dan langit malam seperti retak. Agaknya sesuatu, yang bukan termasuk dalam ruang judi para raja itu, yang bisa menjawab: tak seorang pun dapat memiliki orang lain, juga dalam kemenangannya yang sah. Berlapis-lapis batas tetap memisahkan antara Drupadi dan penaklukan, antara hamba dan tuan.

 

Darah yang BercahayaKematian Dursasana yang mengenaskan segera tersebar ke segala penjuru pertempuran. Dengan rasa ngeri diceritakan bagaimana Bima tidak lagi bertindak seperti manusia. Ia menghancurkan wajah Dursasana yang buruk rupa, menggocohnya sampai menjadi bubur, menyobek perutnya dengan pisau, mengeluarkan ususnya, dan menghirup darah sebanyak-banyaknya. Demikianlah diceritakan dalam Kakimpoi Bharata-Yuddha:

Pada waktu itu berbicaralah Bhima dengan suara yang lantang dan tidak menghiraukan apa yang terjadi di sekitarnya.

”Wahai kelompok pahlawan semuanya dan khususnya dewa-dewa yang menjelma di dunia ini! Lihatlah Bhima ini yang sedang akan memenuhi janjinya di tengah medan pertempuran. Darah Dussasana inilah yang akan saya minum. Lihatlah!

”Dan untuk dewi Draupadi inilah hari yang terakhir untuk mengurai rambutnya. Terima ini dengan ikhlas hati, wahai Dussasana dan rasakan pahalamu untuk membuat kejahatan yang terus menerus. Bah, bahwa kau ini tetap meronta-ronta dan tidak tinggal diam, wahai kamu anjing yang tidak sopan, pada waktu ini kamu akan dibunuh. Apa yang kau pikir dalam hatimu? Akan kau lanjutkan perbuatanmu yang jahat itu? Buktinya, kamu berusaha untuk bangkit lagi!”

Demikianlah ucapan Bhima yang pendek tegas. Setelah Bhima meringkus Dussasana dengan tangannya dan dapat memegang perutnya, perut inilah yang disudet. Pada ketika itu Dussasana telah tidak sadarkan akan dirinya lagi; kemudian dada yang telah disudet itu dibuka lebih lebar lagi. Kelihatannya seolah-olah Dussasana yang tetap hatinya dan gagah berani itu tetap dengan dendamnya mencoba untuk menerjang dan menggigit. Ketika Bhima minum darahnya itu, Dussasana secara mata gelap memukul-mukul ke kiri dan ke kanan, meronta-ronta dan mencoba memegang Bhima, padahal badannya telah berkejatan.

Sangat mengerikan kelihatannya, ketika Bhima minum darah dan dengan ketetapan hati menarik usus Dussasana dari perutnya. Kelihatannya seolah-olah ia akan menunjukkan bagaimana ia pada suatu ketika dapat memuaskan apa yang dikehendakinya. Rambutnya dapat disamakan dengan mega merah, matanya dapat disamakan dengan matahari yang dengan sinarnya yang berkilauan, sedangkan suara yang keluar dari tenggorokan dapat disamakan dengan petir dan suara yang keluar dari mulutnya sebagai tanda kepuasan dapat disamakan dengan halilintar.

Mukanya yang penuh dengan darah itu dapat disamakan dengan mega merah yang kena sinar matahari. Bhima yang berjalan dengan angkuhnya itu dapat diumpamakan sebagai gunung yang menjolak ke atas. Dengan segera ia melempar-lemparkan mayat Dussasana ke atas, disertai oleh kata-kata seperti guruh yang berkumpul. ”Inilah pembantumu, bah!” Demikianlah ucapan Bhima dan dilemparkannya mayat Dussasana itu ke arah Suyodhana. 1)

Drupadi mendengar semuanya. Ia berada dalam tenda di belakang garis pertempuran di Kurusetra. Seorang penjaga dipanggilnya.

”Bawalah bokor ini kepada Bima,” katanya.

Bima yang wajahnya penuh darah mengerti makna bokor itu. Drupadi ingin menyanggul rambutnya sekarang juga. Maka dicarinya mayat Dursasana yang telah dilemparnya. Para prajurit menyingkir ngeri melihat cara Bima memeras darah dari mayat Dursasana. Perang memang hanya kekejaman. Benar dan salah hanya kekerasan. Apakah tidak ada cara lain untuk menjadi ksatria?

”Inilah air kutukan itu, Dewi.”

Bokor itu berisi darah, namun Drupadi melihatnya sebagai tirta amerta yang bercahaya. Ia tidak berpikir tentang dendamnya terhadap Dursasana, ia ingin melengkapkan putaran roda kehidupan. Di dalam tenda diangkatnya bokor emas itu ke atas kepalanya.

Pada senja di hari kematian Dursasana itu, orang-orang melihat cahaya berkilat menyemburat ke langit dari tenda Drupadi. Cahaya terang yang memancar-mancar. Para pengawal berlarian menuju tenda itu. Namun mereka berpapasan dengan dayang-dayang yang berwajah pucat.

”Dewi Drupadi…”

”Kenapa Dewi Drupadi?”

”Mandi darah.”

Pengawal pertama yang menyibak tenda terkejut. Drupadi bersamadi dengan seluruh tubuh bersimbah darah. Cahaya memancar dari tubuhnya, semburat ke angkasa.

lunas sudah piutangmu Dursasanatak terlunaskan piutang pada kesuciansemua kejahatan ada bayarannyameski kebaikan tidak minta balasanPada malam hari Drupadi berkumpul dengan suami dan saudaranya. Hari itu Karna juga telah gugur.

”Apa hasil perang ini,” kata Drupadi, ”putra-putra Pandawa yang perkasa seperti Irawan, Abimanyu, dan Gatotkaca telah gugur. Kita akan menang, tapi apa arti kemenangan ini selain pelampiasan dendam yang tidak terpuaskan. Orang-orang yang kita hormati telah tiada. Kemenangan ini akan kita persembahkan kepada siapa?”

Kresna bicara.

”Bharatayudha adalah suatu penebusan, Drupadi. Resi Bhisma menebus kelalaiannya kepada Dewi Amba. Mahaguru Dorna menebus rasismenya kepada Ekalaya dari Nisada. Esok pagi Salya akan menebus kebenciannya terhadap Bagaspati, mertuanya sendiri. Kita hidup dalam lingkaran karma. Kodrat tak terhindarkan, tapi tidak untuk disesali. Bahkan Salya pun tidak punya niat jahat, karena ia dulu adalah Sumantri yang mengingkari Sukasrana. Bagaimanakah caranya kita menghindari diri kita Drupadi? Tidak bisa. Bharatayudha hanyalah jalan bagi setiap orang untuk memenuhi karmanya, melengkapkan perannya, untuk membersihkan dunia. Kelak anak Utari yang bernama Parikesit akan menjadi raja, saat itu dunia bersih bagai tanpa noda, tapi tetap saja ada yang bernama malapetaka. Maka hidup di dunia bukan hanya soal kita menjadi baik atau menjadi buruk, tapi soal bagaimana kita bersikap kepada kebaikan dan keburukan itu. Perang ini penuh perlambangan. Siapakah yang lebih jahat Drupadi, Dursasana yang menelanjangimu atau Bima yang menghirup darah Dursasana? Perang ini adalah sebuah pertanyaan. Apakah jalan kekerasan para ksatria bisa dibenarkan?”

Drupadi menjawab.

”Aku Drupadi, seorang perempuan, terus terang menghendaki darah Dursasana, untuk memberi pelajaran kepada penghinaan.”

”Jawabannya bisa lebih panjang Drupadi. Engkau seorang perempuan telah memberi pelajaran tentang bagaimana perempuan menghidupkan diri dengan dendam. Sama seperti dendam Amba kepada Bhisma, sama seperti dendam Gandari kepada penglihatan karena mendapat suami dalam kebutaan. Perang ini memberi peringatan, wahai Drupadi, betapa dendam bisa begitu mengerikan. Para Pandawa adalah ahli bertapa, namun di seluruh anak benua tiada pembunuh yang lebih besar daripada mereka.”

”Kresna yang bijak, ingatlah bahwa para Pandawa selalu membela kebenaran.”

”Tidak ada yang keliru, duhai Drupadi yang cerdas, bahkan mereka akan selalu dilindungi para dewa. Tapi renungkanlah kembali makna kekerasan.”

”Dunia ini penuh kekerasan, Kresna. Terutama aku, perempuan, yang selalu jadi korban.

”Maka memang menjadi pilihan, Drupadi, kita akan menghindari atau menggunakan kekerasan.”

Drupadi berdiri.

”Kresna, engkau sungguh pandai bicara. Tapi engkau belum pernah menjadi korban. Itulah masalahmu Kresna, engkau mengerti segalanya, namun engkau tidak pernah merasakannya. Aku adalah korban, dan aku menggunakan hak diriku sebagai korban untuk menjawab nasibku dengan kemarahan. Engkau mengatur segala-galanya. Kau korbankan Gatotkaca, agar Karna melepaskan Konta, sehingga Arjuna bisa menandinginya. Apakah engkau tidak pernah mendendam Kresna, engkau memutar leher Sishupala hanya karena kata-kata, engkau membunuh Salwa orang bodoh yang mengacau Dwaraka. Itukah pelajaranmu untuk dunia? Aku sudah menjadi korban, dan dari seseorang yang sudah menjadi korban, engkau memintanya berjiwa besar. Apakah itu tidak terlalu berlebihan? Biarlah Resi Bhisma atau Karna atau Yudhistira berjiwa besar, tapi aku Drupadi, seorang perempuan, menggunakan hak diriku sebagai korban untuk melakukan pembalasan.”

”Itu hanya membuktikan, wahai Drupadi, bukan hanya kejantanan menjadi korban kekerasan.”

”Kresna, Kresna, bagimu pelaku kekerasan adalah korban. Lantas harus diberi nama apa korban kekerasan itu sendiri?”

Yudhistira berdiri.

”Kresna kakakku, Drupadi istriku. Janganlah diteruskan lagi. Masih banyak yang harus kita atasi.”

Drupadi menarik nafas. Wajahnya terang dan bercahaya, dalam tatapan kagum suaminya.

 

Kidung Malam (1)Malam bulan tua itu semakin larut. Melalui cahaya bintang yang bertaburan, di langit hitam, tanah Hastinapura masih menampakkan kesuburannya. Bagi kawula yang pada umunnya bekerja di siang hari, malam itu bagaikan selimut tebal yang memberi kenyamanan untuk terlelap dalam tidur, agar esok pagi dapat bekerja kembali dengan pikiran yang jernih dan badan yang segar. Namun, tidak demikian bagi mereka yang mempunyai tugas dan kewajiban pada malam hari, terlebih bagi para petugas jaga, baik yang berada di pelosok desa maupun yang berada di pusat kota-raja. Bagi mereka, malam adalah bayangan misterius yang harus diwaspadai, karena dia dapat dengan tiba-tiba menampakkan wujudnya yang sangat mengerikan. Untuk menjaga agar malam berlalu dengan selamat, sesekali mereka melantunkan mantra kidungan; Ana kidung rumeksa ing wengi, teguh ayu luputa ing lara, luputa bilahi kabeh, jim setan datan purun, paneluhan tan ana wani, miwah panggawe ala, gunane wong luput, geni atemahan tirta, maling adoh tan wani perak mring mami, tuju duduk pan sirna

Sementara itu, di bawah cahaya lampu minyak yang ditempatkan di depan gerbang cepuri kraton, tampaklah seorang setengah baya, mukanya hitam dan kakinya pincang, berjalan diapit oleh dua orang punggawa raja. Mereka melangkah memasuki pintu cepuri, menuju sebuah ruangan.

“Kakanda Destarastra”“O, adinda Yamawidura, engkau sudah datang. Mendengar suaramu, hatiku yang gelisah menjadi pasrah.”“Terimakasih Kakanda Prabu, aku merasa sangat berarti di hadapanmu.”“Sungguh, engkau sangat berarti adikku, tidak hanya untukku, tetapi juga bagi Negara Hastinapura.”“Janganlah membuatku seorang sudra ini menjadi semakin kecil dan kerdil, karena pujian Kakanda Prabu, seorang raja besar Hastinapura.”“Memang benar, engkau lahir dari ibunda Rara Katri dari kalangan sudra, namun darah sudra tidak nampak dalam pribadimu. Pengamatanmu tajam dan waskitha, wawasanmu luas, engkau laksana seorang Brahmana. Oleh karenanya, malam ini aku memanggilmu agar engkau menyuarakan kebenaran di tengah-tengah kegelisahan hatiku.”“Kegelisahan apakah yang membuat Kakanda Prabu gundah?”“Anak-anakku menginginkan tahta Hastinapura.”“O kakanda, kegelisahan itu tidak hanya milik Kakanda Prabu, tetapi milik seluruh rakyat Hastina. Aku khawatir firasatku menjadi kenyataan”“Engkau mempunyai firasat apa, Yamawidura?”“Perang saudara kakanda”Destarastra terkesiap, matanya yang buta menerawang jauh ke masa depan, yang penuh dengan konflik untuk memperebutkan tahta Hastinapura. Apa yang diucapkan adiknya tergambar jelas di benaknya. Dan tanda-tanda ke arah perang saudara sudah mulai tampak. Semenjak meninggalnya Pandudewanata seratus anaknya, atau para Kurawa mendesak Destarastra, agar Duryudana, sebagai saudara sulung Kurawa, diangkat menjadi pangeran pati untuk disiapkan menjadi raja Hastinapura.“Yamawidura, dapatkah perang saudara dihindarkan?”“Tentu saja dapat, bergantung Kakanda Prabu”“Apa yang harus aku perbuat?”“Kakanda prabu sudah mempunyai jawabannya, di dalam lubuk hati yang paling dalam.”

Malam merambat perlahan. Sepeninggalnya Yamawidura, Dewi Gendari menghampiri Destarastra.

“Kanda Prabu, malam menjelang akhir, tidurlah, banyak tugas menanti di esok hari.”“Permaisuriku, bagiku malam dan pagi tidak ada bedanya, yang membedakan adalah perasaanku. Aku ingin menikmati malam ini sepuasnya. Sepanjang hidup belum pernah aku mengalami perasaan seperti malam ini.”“Kanda Prabu, jika demikian, tentunya malam ini menjadi malam yang sangat khusus dan istimewa, karena belum pernah terjadi sebelumnya. Untuk itu ijinkanlah aku ikut menikmati keistimewaan malam ini bersama kakanda prabu, satu-satunya laki-laki paling istimewa di seluruh bumi Hastinapura.”“Engkau memang selalu ada bersamaku Gendari. Tak terkecuali untuk malam ini. Malam yang paling menggelisahkan.”“Jika diperkenankan, bolehkah saya mengetahui tentang kegelisahan itu”“Peri hal permintaan anak-anak kita”“Mohon maaf Kanda Prabu, masih ingatkah ucapan kanda prabu, ketika anak kita berada dalam rahimku.”“Ya, aku ingat, aku akan memberikan sesuatu yang terbaik bagi anak-anak kita.”“Kanda Prabu, sesuatu yang terbaik memang pantas diberikan untuk anak kita. Maafkan kanda prabu, bukankah permintaan anak-anak kita adalah sesuatu yang terbaik? Menjadi raja, berkuasa di sebuah negara besar Hastinapura.”

“Namun bagaimanapun juga, mengangkat Duryudana menjadi raja adalah salah. Bukankah tahta Hastinapura adalah titipan dari Prabu Pandudewanata. Jika sekarang adinda Pandu wafat, tentunya hak atas tahta Hastinapura berada di tangan anak-anak Pandu, yaitu para Pandawa. Apa jadinya kalau kita memaksakan kehendak? Tentu para Pandawa akan menuntut haknya sehingga terjadilah perang saudara seperti yang dikatakan Yamawidura.”

“Negara Hastina adalah titipan, itu benar kakanda. Namun bukan dari Pandu semata, melainkan dari para pendahulu, termasuk juga rakyat Hastinapura. Ampun Kanda Prabu, sesungguhnya kita semua berhak untuk mengatur, menjaga, memelihara dan mengembangkan Negara Hastina demi kemakmuran rakyat. Jika anak-anak kita mampu untuk menjalankan tugas itu serta membawa kejayaan negeri ini di mata dunia, mengapa tidak kita beri kesempatan.?”

“Tetapi bagaimanapun juga, kata-kata Adinda Yamawidura tentang perang saudara sangat menggelisahkan.”

“Kita orang lemah Kanda Prabu. Jangan paksakan menyangga kegelisahan ini sendirian! Aku senantiasa ada di sampingmu. Kanda Prabu, kita nikmati bersama kegelisahan ini, pasrahkan kepada Hyang Maha Agung, maka akan ringanlah jadinya.”

Kata-kata yang diucapkan Gendari mengalir lembut bak selendang bidadari mengusap dadanya yang sesak karena kegelisahan. Sejenak Destarastra melupakan kegelisahannya. Diciumnya kening Gendari yang kuning bercahaya dengan penuh kasih cinta. Dan Gendari pun menyambut dengan pelukan mesra. Keduanya perlahan rebah di tilamsari nan indah. Sisa malam itu menjadi milik mereka berdua. Sementara itu, sayup-sayup

terdengar dari kejauhan mantra kidungan: Ana kidung rumeksa ing wengi .... Dan malam pun berlalu dengan selamat.

Kidung Malam (2)Tahta dan Kewibawaan

Pagi itu udara segar, langit cerah. Burung bernyanyi bersautan, ayam jantan berkokok bersusulan. Pertanda hari baru mulai dibentangkan. Negara besar yang bernama Hastinapura mengawali hari itu dengan mengadakan pasowanan agung. Sang Prabu Destarastra duduk di dampar kencana, beralaskan beludru hitam beraroma bunga melati. Sang raja memakai mahkota Jamang Mas bersusun tiga, didampingi sang prameswari Dewi Gendari, dan dikelilingi para emban, cethi, keparak, manggung. Hadir dalam pasowawan agung tersebut, Patih Sengkuni, Resi Bisma, Yamawidura, para tumenggung, mantri, bupati, demang, lurah, sentana, nayaka dan para kawula.

Menurut silsilah, Prabu Destarastra adalah anak sulung raja Hastinapura yang bernama Abiyasa atau Prabu Kresnadwipayana dengan Dewi Ambika. Namun karena ia buta, maka yang diangkat sebagai raja, anak ke duanya yang bernama Pandudewanata. Pada masa pemerintahan Pandu, Negara Hastinapura mengalami kemajuan pesat, kesejahteraan meningkat, kejayaan negeri terangkat. Namun sayang, pada puncak pemerintahannya, Pandudewanata mendapat kutuk dari Resi Kimindama. Ia beserta ke dua permaisuri, Dewi Kunthi dan Dewi Madrim, terpaksa meninggalkan tahta dan menitipkannya kepada Destarastra. Namun sebelum berhasil melepaskan kutuk, Pandu wafat. Hingga sekarang Destarastralah yang memegang tahta Hastinapura. Tahta itu telah memberinya segalanya, kesenangan kepuasan, kekuasaan, kekayaan, kebesaran, kewibawaan dan keagungan. Betapa nikmatnya tahta itu. Semakin lama duduk di atas tahta, akan semakin nikmat rasanya.

Ya itulah tahta, sesuatu yang terbaik di bumi Hastinapura. Berikanlah yang terbaik kepada anak-anak kita, kata Gendari terngiang ditelinga Destarastra. Tidak! Itu bukan yang terbaik, karena hal itu dapat menjerumuskan anak-anak kita ke dalam perang saudara. Namun dikarenakan bujukan Gendari tak pernah henti, Destarastra terombang-ambing, antara mempertahankan atau menyerahkan tahta. Jika menuruti pikirannya, tahta akan dipertahankan untuk isteri dan anak-anaknya. Namun jika menuruti kesadarannya, tahta akan diserahkan kepada anak-anak Pandudewanata.

Untuk mengatasai konflik batinnya, Destarastra mengadakan Pasowanan agung, untuk menyampaikan niatnya kepada para tetua dan penasihat negri, bagaimana pendapat mereka jika anak-anak Pandudewanata diboyong di Hastinapura, agar diantara Kurawa dan Pandawa dapat hidup berdampingan dengan damai, bahu-membahu membangun negeri dan meneruskan kejayaan Hastinapura.

“Sinuwun Prabu sesembahan hamba, hamba menyetujui rencana sinuwun Prabu memboyong anak-anak Pandudewanata, dan hamba akan mempersiapkan upacara besar-besaran menyambut kedatangan mereka.”

“Sengkuni, penyambutan itu tidak perlu dengan kemewahan. Semenjak Negara Hastina

ditinggalkan Pandudewanata, banyak kawula yang hidup dibawah garis kemiskinan. Melihat kenyataan itu, apakah engkau sampai hati menghamburkan kemewahan, di tengah-tengah kemiskinan, hanya demi sebuah upacara? Bukankah yang terpenting adalah keselamatan para Pandawa?”

“Maafkan hamba dhuh Sang Maha Resi Bisma, sesungguhnya maksud hamba tidak lain kecuali demi menjaga kewibawaan Raja.”

“Ada cara lain untuk menjaga kewibawaan raja, tidak dengan kemewahan dan kekuatan. Di tengah-tengah keprihatinan, seorang raja akan semakin berwibawa jika dia rela menanggalkan kewibawaanya dan bersama-sama dengan kawula ikut merasakan dan menjalani keprihatinan.” sahut Bisma.

“Ampun Kakanda Prabu.” Sela Yamawidura. “Benar apa yang dikatakan Paman Resi Bisma, bahwa kewibawaan tidak terletak pada kemewahan, kekuatan dan simbol-simbol raja yang ada di keraton, tetapi kewibawaan raja ada pada mereka, para kawula. Bukankah tahta dan mahkota tidak ada artinya jika tanpa kawula? Dan tepatlah kiranya jika Kakanda Prabu memboyong Pandawa di Hastinapura. Dengan kebijaksanaan tersebut, rakyat akan menilai bahwa Kakanda Prabu memperhatikan mereka, mendengarkan suara mereka, serta merasakan jeritan hati mereka yang dirundung rindu kepada anak-anak Pandudewanata.”

Yamawidura memang dikenal sebagai penasehat bijaksana dan waskitha. Para sesepuh dan Destarastra menyetujui saran Yamawidura. Maka segeralah diputuskan hari pelaksanaan memboyong Pandawa, Yamawidura diangkat menjadi duta, menemui Begawan Abiyasa di Saptarengga, untuk memboyong Kunthi dan ke lima anaknya.

Pada hari yang ditentukan, sejak pagi kawula berduyun-duyun memenuhi alun-alun dan ruas-ruas jalan yang akan di lewati anak-anak Pandu. Dengan kesadaran dan ketulusan hati, para kawula memasang umbul-umbul, rontek, bendera, penjor dan macam-macam hiasan untuk menyambut anak-anak Pandu. Hastinapura berubah wajah. Ibarat seorang gadis sedang bersolek, untuk menyambut kekasihnya yang telah lama berpisah. Waktu itu, ketika Pandudewanata, meninggalkan Hastinapura, rakyat mengiring dengan tetesan air mata. Nestapa Pandudewanata adalah duka kawula Hastinapura. Setelah lama berpisah, hari itu, kerinduan antara kawula dan raja tumpah kepada anak-anak Pandudewanata.

“Hore! Horeee! Calon Raja kita datang.”“Hidup calon Raja!”“Hidup anak Pandu!”“Hiduuup!”

Sepanjang jalan para kawula Hastinapura mengelu-elukan. Mereka saling berebut ingin melihat dari dekat putra-putra Pandudewanata. Pancaran kebijaksanaan Puntadewa, kekokohan Bimasena, ketampanan Harjuna, ketenangan Nakula dan kecerdasan Sadewa, mampu mengudang kekaguman rakyat Hastinapura. Ketika kereta yang ditumpangi Dewi Kunthi melintas di depan mereka, ada rasa iba tersembul dari ekspresi wajah rakyat Hastinapura, tatkala melihat kerut-kerut wajah wanita setengah baya itu menggoreskan penderitaan yang teramat dalam.

Sore hari, setelah upacara Pandawa Boyong usai. Jalan-jalan menuju kotaraja menjadi lengang, alun-alun kembali sepi. Prabu Destarastra termenung, merasakan peristiwa yang baru saja berlalu.

“Gendari, Benar apa yang dikatakan Yamawidura bahwa kewibawaan tidak berada pada simbol raja. Tanpa simbol-simbol raja, anak-anak Pandudewanata disambut bak raja besar, melebihi raja yang berkuasa. Itu artinya bahwa simbol-simbol raja yang aku pakai selama ini kosong, dan isinya ada di tangan anap-anak Pandu. Untuk itu sudah sepantasnya tahta Hastinapura aku berikan kepada Pandawa”

“Jangan Kanda Prabu, Kakanda harus mempertahankan tahta Hastinapura”“Mempertahankan tahta tanpa kewibawaan?”“Bukankah Kanda Prabu yang memegang kekuasaan dan menguasai negeri ini? Termasuk menguasai kewibawaan. Jika kewibawaan itu diyakini berada di tanggan Pandhawa kita akan merebutnya dan memberikan kepada para Kurawa. Ingat! Kakanda, kita belum memberikan yang terbaik untuk anak-anak kita.”

Sore menjelang malam, langit menjadi semakin merah. Cahaya matahari mulai enggan menambah panasnya Bumi Hastinapura yang kian panas, sepanas hati Dewi Gendari.

Kidung Malam (3)Menyalahgunakan Kekuasaan

Beberapa pekan berlalu, Kunthi beserta kelima anaknya tinggal di Keraton Hastinapura. Walaupun sejak kecil hidup di pegunungan, mereka tidak canggung menjalani hidup mewah di istana. Karena di Saptarengga Begawan Abiyasa menggembleng dan membekali mereka dengan berbagai ilmu, unggah-ungguh, dan hukum tatanegara. Maka tidak mengherankan, dalam usia belia, Pandawa telah menunjukkan kematangannya.

Patih Sengkuni dan ke seratus anak Destarastra, tidak senang melihat kelebihan bocah-bocah Pandawa. Padahal usia mereka sebaya dengan Kurawa. Rasa dengki dan benci merambat dari dasar hati. Mereka lupa bahwa para Pandawa adalah adik keponakannya, yang seharusnya ikut bangga karena kelebihannya. Tetapi sayang, hati mereka ditutup oleh kemewahan. Pikiran mereka dibelenggu oleh kekuasaan dan bahkan mata mereka silau akan tahta.

Harapan Destarastra memboyong Pandawa ke keraton, agar diantara Pandawa dan Kurawa hidup rukun berdampingan Namun harapan tersebut tidak kesampaian. Sesama cucu Abiyasa itu ibaratnya air dan minyak, tidak pernah rukun. Duryudana dan adik-adiknya selalu mencari dan membuat masalah. Dengan berlindung dibawah kekuasaan Prabu Destarastra, para Kurawa memamerkan kekuatan untuk menghasut kawula Hastinapura. supaya di mata rakyat, Pandawa tidak memiliki kepantasan menjadi raja.

“Hai Para kawula! Tidak sadarkah kalian, bahwa Abiyasa telah membelokkan tahta Hastinapura? Bukankah yang berhak menjadi raja adalah putra sulung laki-laki dari raja yang berkuasa? Siapakah anak sulung Abiyasa, pada waktu ia menjadi raja dengan gelar Prabu Kresnadwipayana?”

“Destarastraaa!” teriak para kawula di kasatriyan Banjarjungut.“Dan siapakah anak sulung Prabu Destarastra, raja kita sekarang?”“Duryudanaaa!”“Jelas bukan! Siapa yang lebih berhak menduduki tahta Hastinapura?“Duryudana!”“Bagus! Suara kalian adalah suara kejujuran. Dan Duryudana merupakan pilihan kejujuran. Jika negeri ini diperintah dengan jujur, tidak ada penyelewengan, maka Hastinapura akan aman dan makmur.” Dursasana menegaskan.

Lepas dari benar dan tidaknya bahwa sesungguhnya yang berhak menduduki tahta adalah Duryudana, para kawula sudah mempercayakan kewibawaan dan kebesaran Hastinapura kepada Pandawa. Maka jika nanti Prabu Destarastra memberikan tahta kepada Duryudana, putra sulungnya, kawula akan terluka. Hastinapurapun berduka.

Panas udara kotaraja Hastinapura di malam Anggorokasih itu. Dewi Gendari mengajak Destarastra keluar cepuri untuk merasakan tiupan angin malam di Taman Candrakirana, barangkali hal tersebut dapat melepas kegerahan.

“Kanda Prabu, apakah yang Kanda pikirkan. Raut muka kakanda menyisakan kekece-waan. Tidakkah kanda menikmati indahnya suasana malam di Taman Candarkirana ini?”“Dinda Gendari, apakah engkau tidak merasakan penderitaanku?”“Kakanda, derita kita adalah satu, apa yang Kanda derita, juga aku derita. Katakanlah Kanda tentang derita itu!”“Gendari. Selama aku memerintah belum pernah aku mengecewakan rakyat. Kebijaksanaan yang aku putusan selalu berdasarkan suara dan kebutuhan rakyat. Tetapi engkau merasakan sendiri, apa yang kudapat atas jerih payahku, kecuali hanya tahta kosong tanpa wahyu dan kewibawaan. Suara rakyat yang mengelu-elukan kedatangan para Pandawa, bukti bahwa mereka mendambakan raja baru yang dapat membawa kemakmuran. Itu artinya bahwa rakyat kecewa dengan pemerintahanku tanpa aku ketahui penyebabnya. Aku mulai curiga bahwa aku telah dikkianati. Laporan yang aku terima dari orang-orang kepercayaanku, tidak sesuai dengan kenyataan yang ada. Mereka memanfaatkan kebutaanku. Aku telah dihina, dikhianati, Keparaaat!! Rasakan aji lebur sekethi!” Brooll! Beteng taman di depan Destarastra hancur rata dengan tanah, digerayang tangan Destarastra yang telah dialiri aji lebur sekethi. Dewi Gendari gemetar ketakutan melihat kemarahan Destarastra.“Ampuuun Kanda Prabu, jangan hancurkan negeri ini! Apakah Kanda tega meninggalkan puing-puing kebobrokan kepada anak cucu kita?”“Gendari, jangan halangi aku! Jika engkau tidak menginginkan negeri ini luluh lantak oleh aji lebur sekethi, panggil Patih Sengkuni. Cepaaat!!”

Untuk sesaat darah Gendari berhenti mengalir mendengar nama Patih Sengkuni disebut. Apakah Destarastra mengetahui bahwa Patih Sengkuni telah berkhianat? Wah gawat! Tidak terbayangkan apa jadinya seandainya pada saat kemarahan memuncak, Sengkuni berada di depan Destarastra.

“Ampun Kanda Prabu, redakan gelombang kemarahan dan berpikirlah dengan jernih. Dalam kejernihan hati Kanda Prabu akan dapat melihat dengan jelas persoalannya dan mencari jalan keluarnya.”“Gendari, semuanya sudah jelas, bahwa aku dikhianati. dan bawa pengkhianat itu ke

hadapanku.”“Kanda Prabu, Patih Sengkuni adalah adik kandungku, aku mengetahui apa yang dikerjakan selama ini. Ia bukan seorang pengkhianat Ia telah bekerja keras siang malam demi Kanda Prabu.”“Gendari justru karena ia adikmu, engkau menutupi kesalahannya.”“Ampun Kanda Prabu, beri kesempatan untuk membuktikan bahwa kecurigaan Kakanda tidak benar.”“Jangan tunda waktu, lakukan itu!”“Baiklah Kakanda. Perintah ini adalah perintah seorang raja. Raja Hastinapura yang besar dan agung. Sebagai kawula aku akan melaksanakannya dengan penuh pengabdian dan ketulusan. Mohon doa restu Kanda Prabu, agar aku dapat segera menemukan orang yang telah merongrong kewibawaan raja dan mereka yang berkhianat.”

Destarastra sedikit lega, atas kesanggupan Dewi Gendari. Angin malam bertiup dingin. Mendinginkan hati Destarastra. Sehingga ia membiarkan tangannya dipegang lembut oleh Dewi Gendari untuk kemudian dituntun masuk ke dalam kedhaton.

Sebelum memasuki pintu kedaton, tiba-tiba mereka menghentikan langkahnya mendengar auman serigala di Taman Candrakirana. Auman itu mengingatkan tangis seorang bayi sulung yang kemudian diberi nama Duryudana. Suara si bijak Yamawidura terdengar kembali, ‘hendaknya kakanda Destarastra membuang bayi yang tangisnya menyerupai lolongan serigala itu di sungai, karena bayi yang berciri demikian akan membawa bencana besar.’

Kidung Malam (4)Awal Sebuah Pertikaian

Di dalem kasatrian Hastinapura, Puntadewa berkumpul dengan kedua adiknya, Suasana sedikit hening. beberapa pohon sawo beludru yang berada di halaman memantulkan cahaya matahari ke wajah mereka, melalui balik daun-daunnya yang berwarna ke coklat-coklatan. Siang itu, saat istirahat, wanci bedhug tengange, Semar memanfatkan waktunya untuk mengunjungi momongannya.

“Dhuh bendara kula, Puntadewa, Bimasena, Harjuna, ada goresan sendu di wajah kalian. Adakah sesuatu perkara besar yang melebihi kemampuan kalian untuk menanggungnya, sehingga menggelisahkan hati?”

“Eyang Semar, engkau sungguh seorang panakawan pinunjul, mampu merasakan apa yang kami rasakan. Memang benar, ada perasaan yang menyesak hati. Keberadaan kami di Hastinapura rupa-rupanya tidak dikehendaki oleh para Kurawa. Mereka menunjukan sikap tidak bersahabat, bahkan mengarah pada permusuhan. Gerak-gerik kami dicurigai, kami dilarang keluar masuk benteng untuk bertatap muka dengan para kawula, sehingga kami jadi serba salah untuk melakukan sesuatu.”

“Dhuh bendara kula, dengan keadaan yang kurang menguntungkan tersebut bukan berarti kalian tidak dapat berbuat sesuatu. Bagi orang bijak, waktu jangan disia-siakan. Setiap

denyutnya harus membawa manfaat. Pekerjaan itu jangan ditunggu, tetapi dikerjakan. Dharma bakti jangan dinanti, tetapi dijalani.”

“Eyang Semar, kami menjadi bingung, apa yang musti kami kerjakan?”

“Dhuh adhuh, ndara, ndara, bendara kula. Sampeyan itu bagaimana ta? Di Saptarengga eyangmu Abiyasa telah mengajari banyak hal, baru beberapa bulan hidup di istana, rasa pangrasa kalian menjadi tumpul. Apakah kalian tidak melihat dan merasakan kehidupan di lingkungan beteng jero ini. Para abdi menjadi korban kebijakan raja, hidup dalam penderitaan dan tekanan. Mereka butuh dibela, dilindungi dan dibebaskan dari berbagai ancaman. Sebagai seorang satria masihkan kalian bertanya, apa yang musti dikerjakan?” “Eyang Semar, kami telah mencoba melakukan hal itu, namun kami malahan dituduh menentang kebijaksanaan raja dan membuat onar di beteng jero ini”

“Kalian memang harus cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati. Kalian dapat melakukan sesuatu untuk sebuah keadilan, tanpa harus menimbulkan kecurigaan dan membuat keonaran. Jangan berhenti karena dihalangi! Karena sesungguhnya pekerjaan mulia tidak akan pernah selesai hanya dengan berpangku tangan dan keragu-raguan.” Tanpa menunggu jawaban, Semar segera melangkah pergi. Kakinya yang besar dan kokoh menapaki hamparan pasir, melewati sela-sela pohon Sawo Beludru. Puntadewa, Bimasena dan Harjuna terpaku diam. Mereka menatap kepergian Semar hingga hilang ditelan pintu seketeng.

Siang itu matahari tak terhalang mega, wajah mereka yang merah karena teguran Semar, semakin memerah diterpa pasir di halaman Kasatrian yang beterbangan tertiup angin. Dari pandangan matanya dapat diketahui bahwa perasaan mereka sangat terpukul. Mereka menyadari ketidak mampuannya menghadapi sebuah suasana yang sengaja dibuat untuk semakin memojokkan mereka.

Tiba-tiba siang yang hening itu pecah oleh kegaduhan para Kurawa yang datang di Dalem Kasatrian. Disertai teguran sinis, mereka menghampiri Puntadewa dan adik-adiknya. Ketiga anak Pandu itu diam saja. Suara yang tidak mengenakan dan menyakitan itu, sudah terbiasa keluar dari mulut para Kurawa.

“Huaa ha ha...! Bingung! Linglung! Pantas saja anak gunung di kraton bingung. Ha ha ha. Bukankah hidup di keraton menyenangkan? makan enak, tidur nyenyak, apakah masih kurang? Apakah menginginkan wanita sintal manis, cantik bahenol? Huaaaa ...” “Hmm, jaga mulutmu Kakang Dursasana, jika tidak ingin aku robek.”

Para Kurawa terdiam, mereka tergetar oleh kata-kata Bimasena. Puntadewa mencoba meredakan ketegangan.

“Sebagai saudara tua yang kami hormati seharusnya kalian tidak mengeluarkan kata-kata pedas menusuk, karena sesungguhnya kami ingin hidup berdampingan dengan damai. Di Hastinapura ini bukankah tidak ada perbedaan diantara kita”

“Tidak berbeda dengan kami? Hua ha ha ha. menggelikan! Kami adalah para putra raja yang hidup di keraton, sedangkan kalian adalah anak Pandhu yang hidup di hutan.”

“Tetapi Ramanda Pandhu adalah raja yang berhak atas tahta Hastinapura.”

“Orang mati tidak dapat naik tahta. Tetapi kalau memang kalian ingin diperlakukan sama seperti putra raja, silakan minta dikeloni arwah bapakmu, huaaaaa.” ejek Dursasana. “Hmm, kurang ajar.”

Bimasena tak mampu menahan amarah ketika ayahnya yang sudah meninggal dihina. Duryudana dan Dursasana yang berada dipaling depan, dihampirinya dengan kakinya, Keduanya jatuh terlentang menyentuh pasir. Para kurawa maju mengerubut. Belum berlanjut keributan itu, tiba-tiba terdengarlah suara yang sudah tidak asing di telinganya. “Bima anakku.”

Ditolehnya arah datangnya suara. Ia melihat Dewi Kunthi ibundanya dan Yamawidura pamandanya telah berada diantara Puntadewa dan Harjuna. Bersamaan dengan itu Para Kurawa meninggalkan Kasatrian.

“Bima, jaga amarahmu, tidak ada gunanya membuat onar di negri yang kita cintai ini.” “Benar kata ibumu Kunthi, jika nafsu amarahmu kau biarkan liar, akibatnya akan merugikan negri, mencelakai sesama dan menghancurkan diri sendiri.”

Tanpa sepatah katapun Bimasena berjalan memasuki dalem kasatrian, dikuti oleh Kunthi, Yamawidura dan kedua adiknya.

Sesampainya di ruang tengah, mereka duduk bersama. Dalam kesempatan tersebut, Yamawidura menyampaikan perkembangan terbaru yang menyangkut keberadaan Anak-anak Pandu di Negara Hastinapura. Ada sekelompok petinggi Negri dan para bangsawan yang membuat laporan, bahwa semenjak Pandawa memasuki kota raja, kewibawaan raja berangsur-angsur surut. Jika hal ini dibiarkan, pada saatnya nanti wahyu raja akan berpindah kepada Pandhawa. Maka jalan satu-satunya yang harus dilakukan adalah mengusir Pandawa dari Bumi Astinapura.

“Aku sudah mengingatkan kepada Raja, agar meneliti terlebih dahulu kebenaran laporan itu sebelum mengambil keputusan. Namun omongan Sengkuni dan Gendari lebih berpengaruh. Kakanda Prabu memutuskan, kalian diusir dari Hastinapura. Namun ada secercah harapan, ketika Kakanda Prabu masih mendengarkan suaraku, untuk tidak mengusir kalian keluar dari bumi Astinapura. Ia memperbolehkan aku memboyong kalian di Panggombakan, yang masih terhitung wilayah Hastinapura.”

Malam itu malam purnama, Kunthi, kelima anaknya dan Yamawidura meninggalkan kotaraja Hastinapura. Tidak seperti ketika mereka memasuki kotaraja, kali ini, disepanjang jalan yang dilaluinya, tidak ada rakyat yang mengelu-elukannya, kecuali suara binatang malam yang mengidungkan tembang kesedihan. Sementara itu, bulan bundar menyembunyikan mukanya di balik awan hitam, ia tidak sampai hati melihat ketidak adilan yang disandang anak-anak manusia.

Kidung Malam (5)Gajah Misterius

Nun jauh di perbatasan Negara Hastinapura, tersebutlah sebuah kasatrian,

Panggombakan namanya. Di kasatrian tersebut Yamawidura tinggal bersama seorang istri, Dewi Padmarini anak Prabu Dipacandra, dan dua anaknya yaitu, Sanjaya dan Yuyutsuh. Sosok Yamawidura adalah titisan Bathara Dharma, dewa keadilan dan kebenaran, sifat-sifat itu ada dalam diri Yamawidura. Oleh karenanya di bawah kepemimpinannya, Panggombakan menjadi kasatrian yang aman, tentram, damai, adil dan sejahtera.

Malam itu, ketika para kawula kasatrian Panggombakan mulai berangkat ke peraduan, Yamawidura, Dewi Kunthi dan ke lima anaknya menginjakan kakinya di Panggombakan. Kedatangan mereka memang disengaja agar tidak diketahui banyak orang, kecuali anggota dan kerabat dekat kasatrian. Dewi Padmarini, Sanjaya dan Yuyutsuh, menyambut kedatangan tamu agung dengan sukacita.

Ada suasana yang berbeda, dibandingkan dengan kotaraja Hastinapura. di panggombakan, sebagian besar penduduknya tidak gila pangkat dan kedudukan. Mereka bekerja dengan tulus, tidak semata-mata mencari uang. Prinsip hidupnya adalah ‘urip samadya, ora ngaya’ Yang didambakan adalah hidup berdampingan dengan tentram saling menghargai dan saling membantu. Itulah yang membuat Kunthi dan kelima anaknya kerasan tinggal di kasatrian Panggombakan

Namun walaupun begitu, masih ada sisa nestapa yang senantiasa membayangi Kunthi dan para Pandawa. Mengapa kepindahan mereka ke kasatrian Panggombakan disebabkan oleh tuduhan sebagai pengghasut kawula dan pengkhianat raja? Betapa hinanya sebutan itu. Ada keinginan untuk menjelaskan kepada kawula, bahwa mereka bukan penghasut, bukan pengkhianat. Namun bagaimana caranya?

“Penjelasan itu tidak perlu, ada saatnya kebusukan itu terkuak dan kebenaran akan memancar bersinar. Yang kita butuhkan adalah ketabahan dan kesabaran. Anak-anakku, percayalah, sesungguhnya kawula Hastinapura tidak bertindak semata-mata berdasarkan pikirannya, mereka bertindak berdasarkan kata hati yang jernih dan jujur. Tidaklah mudah untuk mempengaruhi mereka dengan tipudaya dan kepalsuan.”

“Maafkan kami Pamanda Yamawidura, sesungguhnya dengan sebutan pengkhianat itu, kami menjadi semakin canggung untuk melangkah dan semakin ragu untuk bertindak.” “Orang canggung akan tersandung, orang ragu bagaikan sebuah batu yang beku. Melangkah salah, berhenti mati. Ibarat wastra lungset ing sampiran. Jiwa satria yang ada pada kalian akan menjadi pudar tanpa memberi manfaat bagi hidup dan kehidupan.”

“Lantas apa yang harus kami lakukan Pamanda Yamawidura.”

“Mengapa hal itu masih engkau tanyakan Puntadewa? Bukankah kakang Semar telah banyak memberikan wejangan. Lain di Kotaraja lain pula di Panggombakan. Di sini hampir tidak ada kepalsuan dan kemunafikan. Oleh karena itu, lakukanlah sesuai dengan nurani. Jangan ditunda lagi, sudah saatnya kalian berbuat. Menunggu artinya membuang waktu. Waktu yang telah berlalu akan menjadi semakin jauh meninggalkan kita, tanpa peduli apa yang kita kerjakan”

“Hmm, Paman Widura! aku ini orang bodhoh, jangan berputar-putar, bicaralah yang jelas, kami harus berbuat apa?

“Baiklah Bima. Ada yang jauh lebih penting dari pada keinginan membasuh nama dari tuduhan pengkhianatan, yaitu manjing ajur-ajer menyatu dengan mereka, berat sama dipikul dan ringan sama dijinjing. Mendengarkan suara mereka, melayani kebutuhan mereka, sepi ing pamrih rame ing gawe. Merasakan apa yang dirasakan mereka. Jika kalian siap melakukannya, mulailah dari kasatrian Panggombakan. Sekarang juga!”

Hari demi hari dilaluinya. Kebersamaan para ksatria Saptarengga ditengah-tengah kehidupan kawula Panggombakan, membuahkan hasil yang menggembirakan. Pelan namun pasti, tanah perdikan pemberian Pandudewanata tersebut mengalami kemajuan diberbagai bidang. Sikap ikhlas dan semangat melayani yang dibangun Puntadewa, Bimasena dan Harjuna tanpa disadarinya telah membasuh namanya. Kawula Panggombakan yang juga bagian dari rakyat Hastinapura dapat menilai dari dekat bahwa Puntadewa dan adik-adiknya tidak mempunyai jiwa pengkhianat seperti yang telah dituduhkan oleh penguasa negri. Mereka adalah para ksatria luhur, rendah hati dan sakti. Di pundak merekalah kawula Panggombakan khususnya dan rakyat Astinapura pada umumnya, menggantungkan masa depan Negara Hastinapura yang lebih baik.

Hari menjelang sore, ketika langit diujung kulon temaram sinarnya. Puntadewa dan Harjuna masih sibuk membantu warga desa yang sedang membuat jembatan bambu. Tiba-tiba dari arah hutan, munculah seekor gajah. Ukuran gajah itu empat kali lipat lebih besar dibandingkan dengan gajah pada umumnya. Gajah besar bergading panjang itu mengarahkan langkahnya menuju orang-orang yang berkerumun ditempat itu. Matanya yang sipit berusaha dibuka lebar-lebar, dan tampaklah betapa tajamnya ia memandang, seakan-akan tahu bahwa ia menjadi pusat perhatian. Orang-orang mulai kecemasan ketika gajah itu melangkah semakin dekat. Mereka mulai membayangkan jika belalainya yang kuat melilitnya, dan gadingnya yang panjang menghantamnya serta kakinya yang besar menginjaknya. Puntadewa dan Harjuna memberi isyarat kepada mereka untuk tetap tenang. Keanehan terjadi. Gajah yang pada awalnya garang menakutan, tatkala melihat Puntadewa dan Harjuna berubah menjadi gajah jinak dan bersahabat. Ia menghampiri mereka dan bersimpuh, sembari mengangkat belalainya. Semua mata memandang heran. Bukankah polah gajah semacam itu hanya bisa dilakukan oleh gajah tunggangan raja? Belum habis rasa herannya, belalai gajah tersebut mengangkat Puntadewa dan Harjuna untuk diletakan dipunggungnya. Segera sesudah itu ia berdiri, berjalan meninggalkan tempat itu. Suasana takut dan cemas yang menghantui orang-orang disekitarnya, berubah menjadi kegembiraan. Mereka segera meninggalkan pekerjaannya dan berlari-lari kecil, mengikuti gajah yang membawa Puntadewa dan Harjuna. Semakin panjang jalan yang dilalui, semakin bertambah pula orang-orang yang mengiringi.

Setelah berkeliling tanah Panggombakan, gajah tersebut melangkahkan kakinya ke arah kotaraja Hastinapura. Belum jauh meninggalkan tapal batas Panggombakan, tiba-tiba Semar muncul menghadang ditengah jalan.

“He he, berhenti!”

Gajah tersebut menghentikan langkahnya. Ia kelihatan bersalah dan malu-malu, tidak berani menatap mata Semar. Orang-orang heran menyaksikan peristiwa itu.

“Ayo kembali! Cepat!”

Gajah tersebut sangat patuh, seperti layaknya seorang abdi yang mendapat perintah tuannya, ia merubah arah, menuju ke rumah induk kasatrian Panggombakan.

Hari menjelang gelap, lampu-lampu minyak mulai dinyalakan. Namun orang-orang yang mengiringi Gajah misterius justru bertambah jumlahnya. Mereka ingin menyaksikan keanehan baru yang akan di lakukan oleh seekor gajah besar bergading panjang dan bermata tajam.

QUOTE

 

Kidung Malam (6)Tradisi “JUMENENGAN”

Berita munculnya seekor gajah ramai dibicarakan. Banyak diantara para kawula Panggombakan datang ke Kasatrian, untuk melihat Gajah yang menggemparkan itu. Berbagai pertanyaan terlontar dari mulut mereka. Dari manakah gajah itu? milik siapa? Mengapa ia memperlakukan Puntadewa dan Harjuna bagaikan raja?

Seperti yang dilihat banyak orang, bahwa Gajah itu sangat patuh kepada Semar, maka dapat dipastikan bahwa Semar mengetahui asal usul dan sejarahnya. Dan karena itulah maka pada keesok harinya, Semar secara khusus menceritakan kepada orang-orang yang berkumpul di pendopo peri hal asal-usul Gajah tersebut. “Pada suatu malam, ketika Palasara bertapa di hutan Gajahoya, ia bermimpi bertemu seorang kakek tua bermahkota, begitulah Semar mengawali ceritanya. Kakek bermahkota tersebut mengaku bernama Prabu Hasti yang artinya Gajah. Ia menunjukkan sebuah dampar kayu berwarna hitam bercahaya. Dengan tersenyum ia berkata. “Aku akan membatumu untuk menjadi raja menduduki dampar ini” Palasara tertegun dengan mimpi itu. Sebagai seorang pertapa, bayangan menjadi raja jauh dari pikirannya. Apakah aku akan menjadi raja, duduk di sebuah dampar hitam bercahaya seperti di dalam mimpiku kakang Semar?

“Aku merasakan bahwa mimpi Raden akan menjadi kenyataan, walau hanya sekejap.” “Dimanakah aku mendapatkan dampar itu?” “Dampar itu ada di sekitar hutan ini.

Oleh karena mimpinya, Raden Palasara menyetujui ketika beberapa pengikutnya dan Semar mencoba membuka sebagian dari hutan Gajah Oya untuk membangun keraton. Pada saat pembangunan hampir selesai, mereka menemukan sebuah pohon hitam. Dikatakan pohon hitam, karena batang dan daunnya berwarna hitam legam. “Inikah dampar itu?” Saya menggangguk pelan. Ketika kami akan menebang pohon hitam tersebut, ada seekor gajah besar tiba-tiba muncul dan menghalangi niat kami. Palasara memerintahkan pengikutnya untuk mundur, ia sendiri yang mendekati Gajah tersebut. Dengan penuh hormat Palasara memohon. “Bolehkah pohon itu kami tebang untuk membuat dhampar?” Sungguh aneh, Gajah itu mengangguk hormat. Ia tahu apa yang dimaksudkan Raden Palasara. Maka penebangan pohon hitam dimulai. Tanpa diperintah, Gajah itu membantu merobohkannya. Tepat pada saat selesaianya pembangunan keraton, dhampar pun jadilah. Para pengikut Raden Palasara bersukacita. Hidup Palasara! Hidup Sang Raja! Hari penobatanpun dipilih. Tempat penobatan raja dihias meriah. tak

terkecuali dampar tempat calon raja. Ketika segala sesuatu telah siap dan waktu yang ditentukan tiba, Raden Palasara memakai busana kebesaran atau busana raja diiringi para pengikutnya berjalan pelan menuju dampar pusaka. Suasana sungguh hening. Para kawula yang sejak awal membantu proses pembuatan keraton menanti-nanti saat seperti ini. Mereka tidak merelakan sedikitpun matanya berkedip, karena hal tersebut akan melewatkan detik-detik peristiwa langka, penobatan seorang raja. Pada saat segalanya hening, heneng, henung, jagad raya diam sekejap, tiba-tiba ada suara memecah menggelegar, yang berasal dari Gajah besar bergading panjang. Semua mata diarahkan ke padanya. Ia dengan tenang melangkah mendekati Palasara. dan secara mengejutkan belalainya yang kokoh menyambar, mengangkat dan membawanya untuk didudukan di atas dampar pusaka. Para kawula terkesiap. Sekejap darah di tubuh mereka bagaikan berhenti mengalir. Beberapa saat kemudian baru mereka sadar bahwa penobatan raja telah selesai. Palasara duduk diatas dampar pusaka dengan agungnya. Dampar kayu hitam tersebut bercahaya memenuhi ruangan. Para kawula bertepuk tangan penuh syukur. Raja baru telah dinobatkan dengan gelar Prabu Dipakiswara. Beliau raja menamakan negaranya Hastinapura. Sejenak kemudian perhatian para kawula yang hadir beralih pada Gajah yang baru saja mendudukkan Palasara di atas dhampar. Dengan lucunya Gajah itu menyembah hormat. Melihat tingkah laku Gajah yang mencoba bersikap seperti kawula terhadap rajanya, Sang Prabu Dipakiswara teringat kepada Prabu Hasti, orang tua bermahkota yang menjumpai dalam mimpinya yang berjanji akan membantunya menjadi raja. Apakah ada hubungannya antara Prabu Hasti dan Gajah ini? Gajah misterius itu diberi nama Antisura.

Pengangkatan calon raja oleh Gajah Antisura menjadi tradisi Jumenengan di Hastinapura. Sang pewaris tahta dikatakan sah jika ia didudukkan di atas dampar pusaka oleh Gajah Antisura. Karena hanya orang yang diangkat dan didudukkan oleh Gajah Antisura yang kuat duduk di atas dampar pusaka. Para pengganti Palasara secara berurutan, yaitu Prabu Sentanu, Abiyasa dan Pandudewanata juga di dudukan oleh gajah Antisura.

Pada waktu Pandu meninggalkan keraton dan menitipkan keraton kepada Destarastra, Antisura tidak mau mengangkat Destarastra ke dampar pusaka. Karena dipaksa oleh Patih Sengkuni, Gajah Antisura lari meninggalkan Hastinapura. “Kaka Prabu Destarastra, kita hilangkan saja tradisi jumenengan yang melibatkan Gajah Antisura. Karena pada kenyataannya Antisura tidak mau mengangkat Kakanda Prabu ke dampar pusaka.” kata Patih Sengkuni kepada Destarastra. Namun sungguh aneh, ketika Destarastra mencoba sendiri duduk di atas dampar pusaka, ia terlempar. Berkali-kali dicoba, Destarastra terlempar. Maka atas saran Patih Sengkuni dhampar pusaka yang berwarna hitam bercahaya itu disingkirkan, dan diganti dengan dhampar buatan baru yang lebih mewah dan indah.

Beberapa tahun telah berlalu, orang telah mulai melupakan sosok Gajah keramat yang selalu hadir dalam upacara jumenengan dan kirab-kirab agung raja. “Tetapi mengapa gajah Antisura tiba-tiba muncul di Panggombakan dan mengangkat Puntadewa dan Arjuna”

“Saya tidak tahu persis ke mana Gajah Antisura itu pergi menyusul penobatan Destarastra, meninggalkan Hastinapura. Menurut dugaanku, ia mencari Pandudewanata untuk dibawa kembali dan didudukkan di Dampar Pusaka. Namun tidak pernah ketemu,

karena Prabu Pandu telah wafat. Maka ketika ia bertemu dengan anak-anak Pandudewanata, ia mengangkat Puntadewa dan Harjuna, yang dianggap sebagai pewaris tahta yang sah.” Demikianlah semar mengakhiri ceritanya sosok Gajah Antisura.

QUOTE

 

Kidung Malam (7)REBUTAN LENGA TALA

Gajahoya nama hutan yang kemudian dibuka oleh Palasara menjadi Negara Hastinapura, diyakini bahwa sebelumnya kawasan tersebut merupakan sebuah kerajaan besar yang bernama Gajahoya atau Limanbenawi. Tidak tahu pasti apa penyebabnya, negara Gajah Oya hilang tak berbekas. Kecuali beberapa situs yang ditemukan seperti misalnya batu ompak dan batu fondasi. Lebih dikuatkan lagi adanya peristiwa mistis dari beberapa orang yang tinggal disekitar hutan, termasuk juga Palasara. Mereka sering ditemui oleh orang tua bermahkota yang mengaku bernama Prabu Hasti. Hasti artinya Gajah, Liman juga berarti Gajah. Orang kemudian menghubungkan dengan nama Gajahoya atau Limanbenawi sebagai nama negara yang diperintah oleh Prabu Hasti. Jika kemudian Palasara membuka hutan Gajahoya dan menjadikannya sebuah keraton, artinya bahwa Palasara.memunculkan kembali sebuah keraton yang telah tenggelam. Sedangkan nama Hastinapura dapat dimaknai dengan hadirnya kembali keratonya Prabu Hasti, yang besar kuat laksana gajah.

Jika demikian gajah Antisura tidak bisa lepas dengan Hastinapura. maka tidak selayaknya jika Semar menghentikan langkahnya, ketika Gajah Antisura akan membawa Puntadewa dan Arjuna menuju Hastinapura. “Sesungguhnya aku tidak melarang Gajah Antisura kembali ke Hastinapura, namun dikarenakan Puntadewa dan Arjuna ada dipunggungnya, itulah yang akan menjadi masalah besar.” Belum waktunya mereka masuk ke Hastinapura. karena saat ini Pandhawa baru dalam pengusiran ke luar keraton.” Yamawidura membenarkan apa yang dikatakan Semar. Walaupun begitu ia menginginkan secepatnya Gajah Antisura kembali ke Gajahan keraton Hastinapura. Tidak menunda waktu, Semar bersama dengan beberapa srati gajah menuntun Gajah Antisura melangkahkan kakinya ke Bumi Hastinapura.

Destarastra tidak begitu senang dengan kembalinya gajah Antisura karena dahulu menolak untuk mengangkat di atas dampar pusaka. Namun tidak demikian dengan Patih Sengkuni. Karena Ia mempunyai rencana agar Gajah Antisura pada saatnya mau mengangkat Duryudana duduk di atas singgasana, karena dengan demikian semakin kuatlah pengakuan rakyat Hastinapura.

Seperti biasanya, pagi itu Dalem induk Panggombakan yang sekitarnya banyak ditumbuhi pohon besar kecil nan rindang, ramai oleh kicaunya burung-burung. Teristimewa suara burung prenjak bersautan persis didepan rumah sebelah kanan. Biasanya itu pertanda akan datang seorang wiku, pandhita atau panembahan. Semar meyakini pertanda itu, maka ia bersama para abdi panggombakan mempersiapkan segala sesuatu untuk menyambut tamu agung tersebut.

Keyakinan Semar dalam menanggapi pertanda alam melalui suara burung prenjak menjadi kenyataan. Tak lama kemudian, datanglah Begawan Abiyasa dari Pertapaan Saptaarga. Yamawidura, Kunthi dan Pandhawa tergopoh-gopoh menyambutnya. Kedatangan Begawan Abiyasa sungguh amat tepat, karena kerabat Pandhawa sedang gundah hatinya menyusul pengusirannya dari Negara Hastinapura. Bagaikan air kendi yang telah berusia delapan tahun menyiram kepala dan hatinya. Dingin menyegarkan. Suasana menjadi tenang tentram.

Belum genap sepekan Begawan Abiyasa tinggal di Panggombakan, tiba-tiba suasana damai dihempaskan oleh kedatangan Patih Sengkuni dan para Kurawa. Dengan alasan karena terdorong oleh kerinduannya kepada sauadaranya yaitu para Pandhawa. Namun ternyata itu sekedar basa-basi yang tidak berlangsung lama. Rupanya para Kurawa telah mengatur strategi. Beberapa orang ditugaskan untuk menjauhkan Bima dan saudaranya dengan Begawan Abiyasa. Karena yang menjadi tujuan utama adalah untuk menemui Begawan Abiyasa. Pada mulanya mereka menghaturkan sembah seperti layaknya seorang cucu kepada eyangnya yang bijak. Tetapi apa yang kemudian terjadi? Para Kurawa yang diwakili Patih Sengkuni menanyakan perihal Lenga Tala milik Begawan Abiyasa. “Kami tidak percaya bahwasanya Sang Begawan tidak membawanya. Tidak mungkin Lenga Tala lepas dari dirinya. Karena Lenga Tala merupakan minyak yang mempunuai kasiat luar biasa. Siapa saja yang sekujur badannya diolesi Lenga Tala ia tidak akan terluka oleh bermacam jenis senjata. Oleh karena itu kedatangan kami ke Panggombakan ini untuk memimta Lenga Tala sekarang juga. Jika Sang Begawan Abiyasa mengatakan bahwa Lenga Tala tidak dibawa, kami akan melepaskan semua pakaian yang menempel, untuk membuktikan bahwa Sang Begawan telah membohongi kami! He he he.”

Belum mendapat jawaban, Dursasana mulai melakukan aksinya. Ia dengan cepat menjulurkan tangannya dan menarik ubel-ubel tutup kepala yang dipakai Begawan Abiyasa. Bersamaan itu tampaklah benda bercahaya berbentuk oval, berujud cupu, jatuh dan menggelinding di lantai. Dengan cekatan Dursasana menyahut benda tersebut dan membawanya kabur, seraya terkekeh-kekeh. “Memang benar engkau tidak berhohong hai Abiyasa, bahwa dirimu tidak membawa Lenga Tala. Karena yang membawa adalah aku, hua ha ha” Dursasana berlari sambil menari-nari menimang cupu yang berisi Lenga Tala, diikuti oleh Patih Sengkuni, Duryudana dan beberapa Kurawa. Abiyasa bersama beberapa cantrik tidak mapu berbuat apa-apa. Namun dibalik raganya yang lemah, Sang Begawan Abiyasa mempunyai kekuatan lain yang jauh melebihi kekuatan ragawi manapun, yaitu dengan kekuatan sabda yang keluar dari mulutnya. “Inikah Destrarastra hasil didikkanmu? Apakah engkau tidak cemas bahwa suatu saat perilaku anak-anakmu Kurawa yang diperbuat untukku akan menimpamu pula? Bahkan lebih dari itu, mereka akan beramai-ramai menginjak-injak kepalamu, hai Destarastra. Dan engkau Sengkuni. Karena mulutmulah semua ini terjadi. Oleh karena hasutanmu, mulutmu akan menjadi lebar, selebar badanmu.”

Para cantrik mengerti bahwa apa yang di katakan Guru mereka tidak sekedar ungkapan ketidak puasan, tetapi merupakan kutukan bagi Drestarastra dan Patih Sengkuni. Maka ketika guntur menggelegar dibarengi angin bertiup kencang, para Cantrik merasa ngeri, karena hal tersebut menjadi pertanda bahwa kutukan Begawan Abiyasa benar-benar akan terjadi.

Kidung Malam (10)Kumbayana

Orang sakti bertubuh cacad itu telah mengangkat murid baru, Bimasena dan Harjuna, dan disusul Puntadewa, Nakula dan Sadewa. Dalam pernyataan awal mereka berlima berjanji akan selalu patuh kepada guru. "Ha, ha, ha, bagus-bagus! Aku tidak menyangka bertemu kalian berlima yang terkenal dengan sebutan Pandhawa Lima. Dengan suka hati aku bersedia menjadi gurumu"

Patih Sengkuni gusar. Orang asing yang berhasil mengambil Cupu Lenga Tala, telah mengangkat murid Pandhawa. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa Lenga Tala akan diberikan Pandhawa. Apalagi setelah mengetahui bahwa para Kurawa telah merebut paksa dari tangan Begawan Abiyasa. Namun sebelum kemungkinan paling buruk terjadi, Patih Sengkuni segera mendekatinya, dengan penuh hormat ia memperkenalkan diri. "Namaku Sengkuni, patih Hastinapura, dan yang berada di sekitar sumur itu adalah putra-putra raja. Jika diperbolehkan aku akan memanggilmu Kakang, seperti layaknya sebutan untuk saudara tua. Kebetulan Sang raja butuh guru sakti bagi putra-putranya. Untuk itu kakang, sekarang juga engkau aku ajak menghadap raja. Aku akan meyakinkan kesaktianmu, sehingga raja berkenan mengangkatmu menjadi guru resmi istana."

Sebenarnya orang asing tersebut tidak membutuhkan murid, selain Pandhawa lima. Namun tawaran Patih Sengkuni perlu dipertimbangkan. Karena dengan menjadi guru istana, ia dapat memanfaatkan kekuatan dan kebesaran Hastinapura untuk tujuan-tujuan pribadi. "Baiklah Adhi Sengkuni, aku terima tawaranmu, asalkan anakku Aswatama dan Pandhawa lima boleh masuk ke istana untuk bersama putra-putra raja mendapatkan ilmu dariku."

Sengkuni keberatan dengan syarat itu. Ia tidak suka Pandhawa tinggal di istana. Bahkan beberapa waktu lalu Patih Sengkuni berhasil membujuk raja untuk mengusir Pandhawa, dengan alasan bahwa Pandhawa telah menghasut rakyat untuk memusuhi raja. "Jika kalian keberatan dengan syarat itu, akupun keberatan untuk masuk istana. Maaf! Selamat tinggal! Ayo murid-muridku, ikutilah aku!"

"Adhuh celaka! Lenga Tala dibawa! Para Kurawa kejar dia!!"

Ketika Kurawa bergerak untuk mengejar mereka, tiba-tiba kabut tebal menghadang jalan. Orang sakti dan Pandawa lima lenyap di balik putihnya kabut.

Siapakah sesungguhnya orang sakti itu? Ia menuturkan riwayatnya kepada Pandawa Lima sebelum mengajarkan ilmu di Padepokan tempat tinggalnya.

Namaku Durna atau Kumbayana, artinya bejana air. Nama itu dipilih untuk mengingatkan peristiwa kelahiranku. Ketika ayahku bertapa, ia tergoda oleh seorang bidadari bernama Dewi Grahitawati, yang sedang mandi di telaga. Karena tidak kuasa menahan nafsu, maka air kama ayah jatuh ke telaga. Air kama itulah kemudian di tempatkan di dalam bejana air yang kemudian menjadi anak manusia, dan diberi nama Kumbayana.

Ayahku adalah raja di Hargajembangan, bernama Prabu Baratwaja. Sebagai anak tertua, aku disiapkan menjadi raja. Semula Hargajembangan merupakan kerajaan kecil, namun semenjak Rama Baratwaja menyimpan keris Pulanggeni pinjaman Begawan Abiyasa, guru Ramanda dari tanah Jawa, Hargajembangan menjadi sebuah negara besar. Kerajaan-kerajaan di bumi Atasangin tunduk kepada Hargajembangan. Aku tahu bahwa Ramanda Prabu berilmu hebat, namun menurutku kebesaran tahta Hargajembangan bukan karena kehebatan ramanda, melainkan karena kesaktian Pulanggeni. Bagaimana jadinya jika tanpa Pulanggeni? Apakah negara-negara Bumi Atasangin masih tetap tunduk dibawah Hargajembangan? Jika tiba saatnya nanti aku menggantikan Ramanda dengan Pulanggeni, tentunya akupun dapat menjadi raja besar. Tetapi aku heran, mengapa Begawan Abiyasa membiarkan keris Pulanggeni bertahun-tahun berada di Hargajembangan? Apakah di padepokannya masih tersimpan puluhan pusaka sekelas Pulanggeni. Betapa beruntungnya jika aku dapat bertemu dan berguru kepadanya.

Sore itu, Hargajembangan memamerkan ke kesuburannya. Tanaman padi umur lima pekan menghampar hijau bak permadani menyelimuti sebagian besar bumi Hargajembangan. Hingga sore merambat malam, para petani enggan beranjak, sebelum mereka mendengar gemericiknya air mengaliri tanamannya. Karena bagi mereka suara gemericik dari ujung petak sawahnya bagaikan kidung malam yang menghantar ke tempat peraduan, untuk berbaring tidur dalam kelegaan.

Jauh dipusat Kota, di malam itu juga, Ramanda Prabu memanggil aku dan adikku Sucitra. Rupanya ada hal yang begitu penting. Aku berdebar menghadapnya.

"Kumbayana, karena usia yang mendekati senja, kesehatanku semakin menurun, dan gampang lelah. Pada siapa lagi tahta kuserahkan, kalau bukan padamu. Oleh karenanya matangkanlah ilmumu untuk bekal menjadi raja."

"Kapan Ramanda?"

"Lebih cepat lebih baik."

Inilah saat yang kutunggu Dengan Pulanggeni aku akan menjadi raja besar, menguasai raja-raja di Bumi Atasangin. Namun belum reda getar suka-citaku, Ramanda Prabu mengambil keris Pulanggeni dan menyerahkannya kepada Sucitra "Kembalikan keris ini kepada Bapa Guru Abiyasa dan mohon doa restunya untuk penobatan Kumbayana." Debar suka citaku berhenti seketika. Menyusul keringat dingin ketakutan.

Kidung Malam (11)Pergi ke Tanah Jawa

Perasaan takut menyelinap di dalam hatiku, setelah keris Pulanggeni berada di tangan Sucitra dan segera akan dikembalikan pemiliknya di Tanah Jawa. "Rama Prabu, kalau boleh, keris Pulanggeni jangan dikembalikan terlebih dahulu, aku sangat membutuhkannya sebagai ‘sipat kandel’ menjadi raja."

"Kumbayana, pengembalian pusaka tidak mungkin untuk ditunda. Aku sudah berjanji kepada Bapa Guru

Abiyasa, jika Hargajembangan telah menjadi besar, keris Pulanggeni segera aku kembalikan. Tidakkah engkau melihatnya sekarang? Bumi Atasangin telah menjadi satu di bawah Hargajembangan. Engkau tinggal memelihara dan mempertahan-kan kebesaran negeri ini."

"Ampun Ramanda Prabu, memelihara dan mempertahankan lebih berat dari pada merintis dan

"Kumbayana, memelihara dan mempertahankan memang butuh kesabaran dan welas asih. Hal itu bukan berarti lebih berat dibandingkan dengan merintis dan membangun. Baik itu membangun atau pun memelihara, keduanya mempunyai kesulitannya masing-masing. Namun yang lebih penting bahwa engkau jangan salah mendudukan pusaka dalam hidupmu! Untuk menjadi raja yang terutama adalah ilmu dan kesiapan lahir batin.

"Ampun Ramanda, jika Ramanda telah mengambil tuah dari pusaka Pulanggeni untuk merintis dan membangun, apa salahnya aku menginginkan Pulanggeni untuk memelihara negri yang Ramanda

"Kumbayana, ada hal yang belum kau mengerti, bahwa Bapa Guru Abiyasa memberikan pusaka Pulanggeni untuk mengangkat wibawa, menebarkan rasa segan dan takut bagi yang berniat jahat dan membahayakan kelangsungan Hargajembangan. Karena dengan demikian orang akan mudah ditundukan dan diatur. Bukanlah hal tersebut telah terbukti? Namun sekarang, para raja Bumi Atasangin telah tunduk kepada kita. Mereka bukan musuh kita lagi. Mereka adalah sahabat-sahabat yang bersama-sama dengan Hargajembangan menjaga keutuhan Bumi Atasangin. Apakah engkau tega menebar rasa takut kepada para sahabat kita?"

"Jika demikian Ramanda, biarlah aku yang mengembalikan Keris Pulanggeni ke tanah Jawa, siapa tahu karena kebaikan Begawan Abiyasa, aku diberi pinjaman pusaka sekelas Pulanggeni untuk kepentingan yang berbeda, yaitu menjaga kebesaran Hargajembangan dan persatuan Bumi Atasangin.

"Kumbayana, perjalanan ke Tanah Jawa membutuhkan waktu yang tidak pendek, terlebih letak Padepokan Saptaarga yang berada di puncak gunung ke tujuh, tidak cukup ditempuh selama satu bulan. Itu artinya engkau akan membuang waktu yang seharusnya dipergunakan untuk mempersiapkan dirimu

Rama Prabu Baratwaja bergeming pada perintah semula, pengembalian keris Pulanggeni dipercayakan

Pada hari yang disepakati, pagi-pagi benar, Sucitra membawa Keris Pulanggeni, meninggalkan Hargajembangan. Firasatku mengatakan bahwa wahyu keraton telah hilang dari Bumi Atasangin. Kewibawaan Hargajembangan akan menjadi surut. Raja-raja di Bumi Atasangin yang selama ini tunduk kepada Hargajembangan akan berontak, dan yang terkuat akan menguasai Hargajembangan.

Aku menjadi takut dinobatkan, dan tidak mau menjadi raja sebelum mendapat pusaka sekelas Pulanggeni.

Maka aku berniat meninggalkan tanah tumpah darahku, Negara Hargajembangan di bumi Atasangin.

Aku pamit melalui selembar surat.

"Ramanda Prabu yang aku hormati,

Ketika Pulanggeni dibawa pergi Sucitra, ada sesuatu yang lepas dari Negara Hargajembangan. Oleh karena itu Ramanda dengan terpaksa aku meninggalkan Bumi Atasangin untuk mencari pusaka pengganti Pulanggeni di tanah Jawa.

Jika aku ditakdirkan menjadi raja, kelak aku pasti akan kembali di Bumi Atasangin. Maafkan Ramanda Prabu dan selamat tinggal."

Putranda yang durhaka

Pada tengah malam aku tinggalkan Bumi Atasangin. Niatku pergi ke tanah Jawa, menemui Begawan

Semakin jauh Negara Hargajembangan aku tinggalkan, semakin sedih rasanya.

Tidak terasa kedua pipiku basah oleh airmata. Berat juga berpisah dengan Ibunda Ratu dan Ramanda Prabu, yang sejak kecil mengasuh, mendidik dan mencintaiku.

Perjalanku terhenti di tepi Samodra. Suasana hening sepi. Berhadapan samodra luas, disertai deburan ombak besar bergulung susul menyusul, kesaktianku tidak berarti.

Apakah adikku Sucitra menyeberangi samodra ini? Bagaimana caranya?

Bagaimana aku dapat sampai ke tanah Jawa? Oh Dewa tolonglah aku.

Hanya Dewalah yang dapat menolong.

Jika Orang, pasti keturunan Dewa.

Namun jika binatang, tentu kendaraan Dewa.

Kalaupun ada yang dapat menolongku, jika wanita akan aku peristri, jika laki-laki, aku angkat menjadi

Tiba-tiba di angkasa ada benda putih terbang menuju tempat aku berdiri.

Semakin dekat, semakin jelas. Seekor Kuda Bersayap!

Binatang yang hanya aku kenal dalam dongeng tersebut, mendarat tepat di depanku.

Ke empat kakinya ditekuk, sayapnya dikibas-kibaskan, ia memberi isyarat dengan kepalanya agar aku duduk di punggungnya.

Apakah binatang ini dikirim dewa untuk menolong aku? Menyeberangkan aku ke tanah Jawa? Tanpa pikir panjang, aku naik di punggungnya.

Tiba-tiba sayapnya dikepakan.

Aku dibawa terbang. Tinggi dan semakin tinggi.

Kidung Malam (12)Batari Kuda Bersayap

Isyarat kuda bersayap itu jelas, aku diminta duduk di punggungnya.

Aku coba menuruti keinginannya. Siapa tahu aku diterbangkan ke tanah Jawa.

Sejenak setelah duduk dipunggungnya, sayapnya digepakan, ia terbang melintas samodra. Aku terkejut, berpegang lehernya erat-erat, takut akan jatuh. Kuda Bersayap mengurangi kecepatan. Ia tahu, aku ketakutan.

Beberapa waktu kemudian, aku mulai tenang, dan berani menebarkan pandangan. Oh betapa indahnya pemandangan di atas awan.

Mega berarak laksana kapas putih terbang ditiup seribu bidadari jelita. Air laut bagaikan beludru biru, selimut para Dewa.

Dari kejauhan aku melihat daratan. Itulah tanah Jawa, tempat Begawan Abiyasa tinggal. Semakin dekat tampaklah, bahwa daratan itu sangat subur.

Tanpa aku perintah, Kuda bersayap mulai merendahkan terbangnya, dan mendarat dengan lembut di tanah Jawa.

Benar-benar aneh, ia tahu tujuanku.

Aku heran dengan kejadian yang baru saja aku alami. Apakah aku sedang bermimpi? Tidak! Ini alam nyata. Aku telah berdiri di tanah Jawa. Dan kuda bersayap itu telah menolongku. Tampaknya Kuda bersayap itu tidak peduli.bahwa aku masih keheranan, ia berjalan meninggalkan aku.

Beberapa langkah kemudian, ia berhenti dan menoleh kepadaku.

Aku mulai mengerti isyaratnya, bahwa aku diminta mengikutinya. Aku penasaran, akan ku ikuti ke mana ia melangkah. Apa yang diinginkannya?

Ku perhatikan dari belakang, langkahnya gemulai, bak putri raja. Ooh! kuda itu betina

Tidak lama kemudian kami sampai di tengah taman aneka bunga indah. Tempat ini sangat romantis. Siapa pun orangnya akan merasa nyaman berada di tempat ini, terutama bagi sepasang remaja.

Ah jika aku ditemani seorang bidadari, alangkah bahagianya.

Aku dapat memadu kasih sepuasnya tanpa ada yang menggangu.

Selagi aku mengkhayal layaknya seorang jejaka yang kesepian, mulut kuda betina

menyentuh punggung tanganku dengan lembut. Aku terkejut. Kutarik tanganku cepat-cepat. Kuda betina kecewa dengan perlakuanku. Dari sorot matanya tampak kesedihan itu. Aku menyesal telah melakukannya dengan kasar. Seharusnya aku elus-elus dahinya, seperti yang aku lakukan terhadap kuda-kudaku di Hargajembangan.

Aku dekati kuda bersayap tersebut. Aku elus dahinya, kepalanya dan lehernya dengan lembut. Matanya yang sedih menjadi berbinar penuh kebahagiaan.

Hari-hari berlalu tanpa ada niatan meninggalkan tempat itu. Aku semakin akrab dengannya.

Pada suatu malam antara sadar dan mimpi, di sebuah taman bunga nan elok indah, sayup-sayup terdengar suara kidung malam yang menghanyutkan. Ada suasana romantis, sakral, agung berbaur menjadi satu. Aku tidak dapat menceritakannya dalam wujud kata-kata keelokan malam itu. Di tempat tersebut, aku bertemu dengan seorang batari jelita, Wilutama namanya. Kami berdua saling mencurahkan kasih.

Kasih antara sepasang pria dan wanita.yang jatuh cinta.

Kasih antara suami dan istri.

Ketika kami puas meneguk kenikmatan.

Aku tersadar. Tidak jauh dariku, mata kuda bersayap itu menatapku.

Berdesir hatiku melihat sorot matanya. Benarkah sorot mata Batari Wilutama?

Apa yang terjadi dengan diriku dan Kuda bersayap?

Aneh, gaib, penuh misteri.

Semenjak peristiwa tersebut, aku semakin menyayangi Kuda bersayap. Karena di dalam sorot matanya aku diingatkan kepada Sang Batari Wilutama.

Tanpa pernah aku tahu kapan mengandungnya. Tiba-tiba secara ajaib kuda bersayap itu melahirkan seorang bayi, wajahnya mirip aku.

Anakku kah ini?

"Benar. Itu anak kita."

Aku terkejut mendengar suara lembut merdu.

Astaga! Batari Wilutama? Mimpikah aku?

"Akulah Kuda bersayap itu. Bertahun-tahun aku menjalani kutukan dewa. Aku akan pulih menjadi Batari, jika dapat melahirkan manusia. Pertemuan kita merupakan akhir penantianku yang panjang. Aku menjadi bathari seperti semula."

"Wilutama, aku mencintaimu. Kita akan membangun rumah tangga yang tentram damai, untuk bersama-sama mendampingi anak kita." Maafkan kakang, kita tidak mungkin bersatu. Aku segera kembali ke kahyangan. Karena jika tidak, pasti aku mendapat hukuman yang lebih berat."

"Mengapa pertemuan kita hanya sekejap, seperti mimpi?

"Sesungguhnya, hidup ini adalah sebuah mimpi. Memang hanya sekejap, namun sangat berarti. Pertemuan ini telah melahirkan sejarah baru, Seorang bayi buah cinta kita. Namakan ia Aswatama. Jika ada kesulitan dengan anak ini, sebut namaku dan aku akan menolong."

"Lalu, bagaimana dengan hubungan kita?"

Terimalah tusuk konde ini, sebagai tanda cintaku. Jika engkau rindu padaku kecuplah benda ini, maka rindumu akan terpuaskan."

Sekejap kemudian, setelah aku terima benda pusaka pemberiannya, Batari Wilutama lenyap secara gaib.

Sedih, kecewa, menyesal bercampur menjadi satu.

Sang Batari telah merampas cintaku.

Sebagai jejaka belia aku tak kuasa menanggungnya.

Apakah aku kuwalat terhadap orang tua?

Oh Aswatama, menangislah keras-keras agar ibumu mengurungkan niatnya meninggalkan kita.

Aku berteriak keras, Wilutamaaa…!

Aku gendong anakku, aku kudang sepanjang jalan .

Kidung Malam (13)Merendam Dendam

Bagaikan orang gila aku masuk keluar dusun.Tidak mudah mendapatkan keterangan keberadaan Pertapaan Saptaarga.Karena orang pada takut berdekatan denganku.Tanah Jawa sangat luas.

Aku tersesat di Negara Pancalaradya. Dari cerita 'mbok bakul sinambi wara' bahwa Raja yang bertahta bernama Prabu Durpada. Yang menarik perhatianku bahwa sang raja adalah salah satu murid Begawan Abiyasa yang berasal dari

negeri seberang. Ada dorongan yang sangat kuat untuk bertemu kepada Prabu Durpada. Apapun yang terjadi aku ingin menghadap raja.

Niatku dihalangi oleh pengawal perbatasan.

Aku memaksakan kehendak, mereka bukan tandinganku. Dalam sekejap para pengawal perbatasan aku kalahkan dan aku masuk ke kota raja Pancalaradya. Di tengah kotaraja, aku dan anakku Aswatama dikepung prajurit. Rupanya khabar dari perbatasan telah sampai di sini.

Aku tidak gentar. Aku mengamuk setiap prajurit yang menghalangi aku robohkan. "Ayah!" aku berhenti mengamuk, ketika mendengar jerit anakku.

Aswatama disandera. Aku menjadi lemas seketika, dan menyerah, agar Aswatama tidak dilukai. Segera setelah aku berhenti melawan, ada utusan raja yang memerintahkan agar aku beserta Aswatama dibawa masuk menghadap raja. Utusan raja dan pengawal mengirid kami masuk menuju ke Bangsal Kencana, tempat Prabu Durpada menunggu. Berdebar hatiku melihat dari jauh Raja Pancalaradya. Ketika semakin dekat, benar yang aku duga, ia adalah adikku. Aku berteriak keras-keras. Sucitra! sembari mendekap erat-erat penuh sukacita.

Prabu Durpada terkejut. Ia hampir jatuh di lantai karena menahan dorongan tenagaku yang kegirangan.

Gandamana adik Durpada, kuatir keselamatan raja.

Dengan marah ia menyeret dan menghajarku.

Aku sengaja tidak melawan. Harapanku agar Sucitra keluar menghentikan perbuatan Gandamana, kemudian mengajakku dan anakku memasuki Kedaton untuk saling melepas rindu.

Sampai badanku remuk dihajar habis-habisan, Sucitra tidak keluar juga.

Aswatama menagis keras sekali, melihat aku dihajar Gandamana.

Setelah aku tak berdaya, Gandamana dan para Prajurit mengusir kami.

Sembari menagis sepanjang jalan, Aswatama yang biasanya

aku gendong, berusaha menuntunku.

Di sepanjang jalan kami tidak berjumpa orang. Mungkin mereka menyingkir ketakutan, karena menganggap aku penjahat yang di hukum raja.

Sesampainya di sebuah sendang, Aswatama membantu aku membersihkan darah disekujur badanku yang mulai mengering.

Wajahku rusak, lengan kananku remuk.

Sucitra, Sucitra, mengapa engkau sengaja membiarkan aku dihajar oleh adikmu?

Mungkinkah engkau tidak ingat lagi wajahku, suaraku, kakakmu si Kumbayana.?

Mustahil! Ataukah engkau sengaja melupakan aku, mengubur masa lalulumu?

Dhuh Dewa, apakah dosaku, benarkah aku kuwalat dengan orang tua? hinga aku mengalami nasib seperti ini?

Aswatama memandangku penuh kesedihan.

Ia tidak menangis lagi, air matanya telah habis.

Hatinya menderita.

Aku lebih menderita, bukan karena penderitaanku, melainkan karena melihat penderitaan anakku, satu-satunya harapan hidupku.

Oh ngger, bocah bagus, Aswatama.

Bersabarlah. Nanti jika saatnya tiba, akan kutunjukan didepanmu. Pembalasanku kepada Sucitra dan Gandamana.

Siang malam kami berjalan, menggendong dendam, menyusuri jalan penderitaan, memilih tempat terpencil jauh dari keramaian.

Akhirnya kami temukan tempat yang cocok sebagai tempat tinggal.

Untuk menyembuhkan luka-lukaku.

Aku memeperdalam ilmu dan mengajarkannya kepada

Aswatama.

Satu, dua orang perantau yang nyasar ketempatku, tertarik untuk berguru.

Jadilah tempat tinggalku sebagai padepokan kecil, aku namakan Soka Lima.

Diantara cantrik-cantrikku, belum kutemukan bakat menonjol, untuk kuajari ilmu-ilmu andalan. Agar dapat membalaskan dendamku.

Rata-rata mereka berkemampuan sedang, termasuk Aswatama.

Aku mendambakan murid yang pandai, bahkan teramat pandai.

Jika aku tunggu mungkin terlalu lama.

Maka saya putuskan untuk menyisihkan waktu, mencari di pusat pusat kota.

Pada akhirnya kalian tahu sendiri, kita dipertemukan pada saat para Kurawa ingin mengambil cupu lenga tala di sumur tua itu., demikian Durna mengakhiri ceritanya.

Aku merasa lega mendapat murid kalian berlima.

Dibenakku telah tergambarkan, kalianlah yang mampu mengobati sakit hatiku, dengan membalaskan dendamku kepada Durpada dan Gandamana.

Maka mulai sekarang belajarlah penuh semangat dan ketekunan.

Akan aku ajarkan ilmu-ilmu terbaik yang aku miliki.

"Cukup!! Sekarang jawab pertanyaanku, apakah para Kurawa telah menyerap semua ilmu dari mereka, terutama para guru yang digaji istana?" Eee sudah, eh belum dhing. Maksud saya semua ilmu telah diajarkan dan dipahami, tetapi belum semua di kuasai." "Bagus, lalu apa usahamu agar para Kurawa mampu menyerap ilmu para guru istana dengan baik? "

Ampun Maha Resi Bisma, jika bibir ini menjadi panjang, salah satunya karena setiap waktu aku selalu mengatakan kepada keponakanku para kurawa, belajarlah yang tekun dan rajin. Tetapi memang mempelajari ilmu-ilmu tingkat

tinggi tidak cukup dengan rajin dan tekun, tetapi membutuhkan bakat dan kemampuan" "Jadi menurutmu cucu-cucuku para Kurawa itu rajin dan tekun?" Iya, eee kadang-kadang rajin, dan kadang-kadang tekun. Eee rajin kok, tetapi" "Sengkuni, engkau akan mengatakan bahwa para Kurawa itu tekun dan rajin tetapi tidak berbakat dan tidak mampu menguasai ilmu-ilmu tinggi?" "Tidak demikian Sang Maha Resi, para Kurawa itu mempunyai bakat dan kemampuan, tetapi belum ada guru yang mampu menggali bakat dan kemampuannya"

"Sengkuni! Engkau jangan menyalahkan para guru istana! Engkau menganggap aku buta? Tidak dapat melihat kenyataan yang sebenarnya? Bukankah para Kurawa tidak dengan sungguh-sungguh menyerap ilmu dari para guru istana? Dan itu sesungguhnya menjadi tanggunggjawabmu untuk memotivasi mereka."

"Ampun Maha Resi, hamba ini seorang Patih, tugas hamba mengabdi kepada negara dan raja. Bukan sebagai pengasuh anak-anak raja." "Baik! Jika demikian jangan ikut campur dalam hal mencari guru untuk para Kurawa. Anak Prabu Destarastra, ijinkanlah aku sendiri yang akan menemui guru sakti yang diinginkan anak-anakmu. Pertimbanganku agar para Kurawa dan para Pandawa menyerap ilmu dari guru yang sama, dengan aturan dan disiplin yang sama serta sumpah ketaatan yang sama pula. Sehingga dengan demikian ada harapan untuk mempersatukan diantara mereka."

Destarastra setuju usul Resi Bisma, karena sesungguhnya ada harapan yang sama, agar diantara anak-anaknya dan anak-anak Pandudewanata hidup berdampingan dengan rukun. Tetapi entah apa sebabnya benih-benih permusuhan telah tumbuh lebih cepat dari pada benih-benih kerukunan.

Dengan pertimbangan bahwa Yamawidura mengetahui letak padepokan, tempat Pandhita Sakti berada, maka Destarastra memerintahkan kepada Yamawidura untuk mengiring Resi Bisma. Menurut keterangan Sadewa, sewaktu mohon restu kepada Ibunda Dewi Kunthi ke Panggombakan, ia beserta keempat saudaranya selama beberapa waktu tinggal di Padepokan Sokalima yang terletak di tapal batas wilayah Negara Pancalaradya, untuk berguru kepada Padhita Durna.

Pada hari yang telah disepakati, sebelum matahari terbit, Resi Bisma diiringi Yamawidura keluar dari Kestalan Keraton Hastinapura, menuju arah tenggara. Derap dari delapan kaki kuda yang mereka tumpangi, meninggalkan

debu yang terbang terbawa angin dan menempel pada lekuk-lekuk bangunan Keraton Hastinapura yang indah.

Brajadenta - Brajamusti

prabu duryodana dan para punggawa kurawa sedang bertemu di dampar agung negara hastina. mereka membicarakan krisis yang menimpa pringgondani. karena brajadenta ga mau menyerahkan kursi kepada prabo anom gatotkaca. duryodana melihat hal ini sebagai peluang. hal ini diamini oleh resi drona dan patih sengkuni. maka diutuslah patih sengkuni dan resi drona untuk bertamu ke brajadenta. maka berangkatlah utusan hastina menemui brajadenta.

dikediaman brajadenta para utusan hastina diterima. drona menceritakan bagaimana perang dengan ayah pandawa menewaskan prabu tremboko ayah dari brajadenta. kemudian ditambah cerita patih sengkuni tentang werkudoro yang membunuh kakak mereka tertua arimba. dan memanas manasi bahwa arimbi malah membelot menikah dengan werkudoro. karena dipanasi brajadenta tambah marah dan bersumpah merebut tahta pringgandani.

di pringgandani prabu anom gatotkaca menghadapi para pamanya. ada brajamusti dan kala bendana. prabu anom menanyakan kenapa

brajadenta pamanya ga pernah sowan. karena dianggap aneh maka gatotkaca mengutus dua pamanya brajamusti dan kala bendana mengunjungi kediaman brajadenta. apalagi telah santer beredar kabar bahwa brajadenta akan mengkudeta gatotkaca dari kursi raja pringgondani.

berangkatlah dua utusan tadi ke kediaman brajadenta. mereka kaget melihat adanya rombongan dari kerajaan hastina sudah ada disana. mereka masuk lalu menyampaikan pesan kedatanganya adalah karena diutus gatotkaca. untuk melihat kabar brajadenta apakah sakit kenapa kok ga pernah sowan ke sitihinggil keraton pringgondani.

brajadenta marah besar dan mengatakan dengan lantang bahwa dia akan merebut kedaton dari tangan gatotkaca. brajamusti dan kala bendana berusaha mengingatkan brajadenta. bahwa dia sudah dipengaruhi oleh drona dan sengkuni. tapi brajadenta tak mau peduli dan menyuruh kedua adiknya itu kembali membawa surat tantangan. maka keluarlah brajamusti dan kala bendana dan diikuti oleh bala tentara hastina.

bala tentara hastina disuruh untuk membunuh kedua utusan tapi mereka dikalahkan dengan mudah oleh brajamusti. dan segera mereka kembali ke kedaton

pringgondani. mereka mengatakan apa yang mereka dengar langsung dari brajadenta kepada prabu anom gatotkaca. gatotkaca menjadi resah dan merasa rikuh berhadapan dengan paman sendiri. sementara bala tentara brajadenta bersiap menuju ke istana pringgandani.

ketika pasukan brajadenta sampai terjadi pertempuran. brajadenta sakti luar biasa sehingga hampir semua mereka yang membela gatotkaca dikalahkan. sampai sampai gatotkaca sendiri maju dan dikalahkan oleh brajadenta. kemudian gatotkaca mundur dan ebrkeluh kesah kepada pamanya brajamusti. paman saya dikalahkan dan kerajaan direbut. bagaimana baiknya?. brajamusti berkata...masalah bisa beres jika tuan raja mengorbankan satu pilar kerajaan.

gatotkaca mengira pilar yg dimaksud adalah bener bener pilar bangunan keraton. maka dia mensetujui saja perkataan pamanya. tiba tiba brajamusti berkata bahwa brajadenta bisa mati asal bertarung sampai sama sama mati melawan dirinya. lalu brajamusti pamit dan melawan brajadenta. pertarungan sangat seru. keduanya seimbang. dan ahirnya sama sama mati tertusuk keris pusaka masing masing.

gatotkaca menangisi mayat

kedua pamanya. lama lama mayat itu mengecil lalu masuk ke dalam tangan kanan dan kiri gatotkaca menjadi sebuah keilmuan. dan keilmuan itu dikenal dnegan keilmuan brajadenta dan brajamusti. sementara sisa pasukan pemberontak dan hastina dipukul mundur.

  QUOTE

KaskusAd - Create an KasAD / Buat Iklan KasAD

13-05-2011, 05:44 PM   #22

izroilblackarmy aktivis kaskus 

 UserID: 509004 Join Date: Jul 2008Posts: 605

Gugurnya Salyasebelum terjadi perang bharata yudha tepatnya ketika kresna duta, salya melambai pada sri kresna, kemudian mereka bercakap cakap di beranda kerajaan hastina. saat itu memang di hastina prabu duryodana mengundang sesepuh sesepuh, termasuk bhisma begawan dari talkondo, salya mertuanya sendiri dari madraka, guru drona dari sokalima, dan karna kakak angkatnya dari kerjaan perdikan anga.

saat itu salya berkata pada kresna, "wahai titisan wisnu, aku ingin menitipkan suatu hal kepadamu jika bharata yudha benar benar akan terjadi. ya aku akan menitipkan nakula dan sadewa kepadamu, karena sesungguhny setiap melihat mereka aku selalu teringat akan adiku madrim yang wafat ketika melahirkan mereka. untung saja kunti mau untuk merwat mereka berdua seperti merawat anaknya sendiri. tolonglah jaga si kembar nakula dan sadewa untuku"dan kresna kemudian menyanggupi permintaan salya....

dan kisah berlanjut, saat itu perang bharata yudha berkecamuk, dan salya dijebak untuk berpihak kepada kurawa, salya yang merasa dijebak kemudian membalas ketika menjadi kusir kereta adipati akrna, saat adipati karna melepas panahnya prabu salya menghentakan kakinya ke kereta yang dikusirinya, dan roda kereta amblas masuk ke dalam tanah. dan panah sakti karna meleset hanya mengenai mahkota harjuna. lalu disuruhnya adipati karna untuk memperbaiki roda kereta, saat karna turun memperbaiki roda kereta pasopati melesat dan memenggal adipati karna.

alkisah sesudah gugurnya adipati akrna, prabu slya pulang ke madraka, dia tahu bahwa selepas gugurnya karna maka dia yang

kan diangkat menjadi senopati kurawa. saat itu kresna tanggap bahwa salya bukan musuh yang enteng. saat itu kresna teringat akan pembicaraanya dengan prabu salya ketika ia menjadi duta terahir pandawa ke hastina.

maka dipanggilah nakula dan sadewa, dan disuruh memakai baju putih dari kain kafan dan dengan kereta mereka disuruh memacu kudanya ke kerajaan mandaraka bertemu dengan prabu salya. pesan kresna sederhana, jika kalian sampai di depan prabu salya segeralah minta mati. nakula dan sadewa tahu bahwa dia dikorbankan oleh kresna dan mereka pun menangis dalam kegalauan hatinya dalam perjalanan. bagaimanapun mereka sangat sayang kepada pamanya salya.

sampai di mandaraka nakula dan sadewa yang berpakaian kafan itu segera bersujud di kaki pamanya, mereka menangis dan minta mati. salya terkaget kaget, dan dia berkata "siapa yang menyuruh kalian kemari keponakanku tersayang?", nakula dans adewa berusaha menyembunyikan kenyataan dan berkata "tidak ada paman, kami tidak disuruh siapa siapa". salya tersenyum dan berkata "kalian tidak bisa membohongiku, aku ini paman kalian lebih banyak makan asam garam kehidupan daripada kalian, aku tahu kalian disuruh oleh kresna, ya kan?"

nakula dan sadewa membisu. salya berkata kembali "apa yang kalian inginkan keponakan tersayang?apa yang kalian inginkan dari pamanmu ini nak?". nakula dan sadewa walau galau pun menjawab seperti yang diajarkan oleh kresna kepada mereka "paman, daripada kami mati di bharata yudha menghadapi paman, lebih baik sekarang kami minta mati sekarang paman"salya tersenyum dan matanya berkaca kaca...."anaku nakula dan sadewa, setiap aku melihat kalian, aku selalu teringat akan madrim adiku yang telah wafat ketika melahirkan kalian, maka manalah tega aku membunuh kalian anaku?, katakanlah anaku, katakanlah, aku ingin salya mati dalam bharata yudha, katakanlah anaku, katakanlah...."

nakula dan sadewa tak dapat lagi menahan air matanya, bagi mereka yang tertinggal cuma salya dalam keluarga mereka, ibu mereka madrim wafat ketika melahirkan mereka, sementara pandu ayah mereka meninggal beberapa saat kemudian karena kehabisan darah tertusuk keris prabu kala tremboko dari pringgandani, haruskah mereka kini merelakan kematian paman mereka yang sangat sayang dan kasih kepada mereka?mereka terdiam dalam tangis penuh keharuan.

prabu salya memecah keheningan "anaku, segera kembali ke kresna, katakan, besok jika aku maju menjadi senopati kurawa dalam perang bharata yudha, suruh kakakmu yudistira

menghadapi aku, sekarang segeralah pulang". lalu nakula dan sadewa emmeluk kaki salya dan untuk terahir kalinya salya memberi berkatnya kepada keponakanya yang sangat dicintai itu.malam itu, mengetahui takdir akan datang, yaitu kematianya. salya bercengkerama dengan mesra bersama istrinya ratu pujawati. bahkan seolah olah mereka sedang dalam keadaan bulan madu, seperti pasangan pengantin di malam pertama. pujawati sudah gelisah, dia menangkap kesan aneh dari suaminya. tapi salya tetap saja berusaha meyakinkan istrinya bahwa tidak akan terjadi apa apa.

ketika pagi menjelang, dewi pujawati masih lelap dalam tidurnya, salya melihat wajah istrinya yang sudah berumur tapi tetap cantik dan setia mendampinginya hingga kini, sambil menyelimuti tubuh istrinya salya berkata "mungkin ini terahir kalinya aku melihat kecantkan wajahmu. adiku, maafkan aku, aku tak mungkin memberitahukan kepadamu kematiaku". dan seperti 3 senopati kurawa sebelumnya ketika mengahadap ajalnya, prabu salya menggunakan baju perang berwarna putih putih.

seketika dilarikan keretanya ke kurusetra, dan perang pun berlanjut. candrabirawa makan korban banyak, pandawa kewalahan. saat itulah yudistira disuruh maju oleh kresna. awalnya yudistira tak mau maju perang dan bertekad tak akan pernah menyakiti siapapun juga. mendengar itu kresna pun meminta arjuna, nakula, sadewa dan bima untuk bunuh diri saja. jika yudistira tak mau maju, lebih baik seua pandawa bunuh diri, karena prabu salya tak mungkin terkalahkan kecuali jika yudistira maju. ahirnya dengan berat hati yudistira maju berperang.

dalam versi wayang diktakan bahwa salya tewas dilempar oleh jimat kalimasada. saat itu resi bagaspati masuk ke dalam tubuh yudistira, dan candrabirawa diambil kembali dari tubuh salya. kemudian yudistira melempar jimat kalimasada dan tepat mengenai dada parabu salya, seketika prabu salya gugur terkena lemparan jimat kalimasada.

di mandaraka, dewi pujawati terbangun dan menangis mengetahui suaminya sudah berangkat berperang, dan dia pun menyusul ke kurusetra. disana dia sampai ketika hari sudah sore, dan setelah mencari cari dari ribuan mayat yang tergeletak, ditemukanlah mayat suaminya. saat itu juga pujawati menikamkan keris ke dadanya. dia ikut bela pati atas gugurnya suaminya. istri yang setia, sebelum mati dia berkata kepada mayat suaminya "kakang, saya tak mampu hidup tanpa kakang, senang kita bersama, susah kita bersama, maka aku akan

menyusul kakang ke sorga"...dan keris itu merobek dada pjawati, meembus jantungnya, membuat koncat nyawanya, dan bersama sukma resi bagaspati, dan prabu salya sukma pujawati menuju sorga.

  QUOTE

13-05-2011, 05:46 PM   #23

izroilblackarmy aktivis kaskus 

 UserID: 509004 Join Date: Jul 2008Posts: 605

Kala Bendana Gugur

Kala bendana adalah anak terahir dr prabu tremboko yaitu penguasa pringgondani yang gugur di tangan prabu pandu dewanata dari hastinapura. kala bendana juga adik dari arimbi istri dari bima yang melahirkan gatotkaca. bentuk kala bendana adalah raksasa cilik atau cebol. dimana memiliki kelebihan dan keutamaan tidak bisa berbohong dan cenderung membela kebenaran. pada kisah pemberontakan brajadenta, kala bendana menjadi temens etia gatotkaca dan brajamusti. dimana kala bendana sendiri datang bersama brajamusti untuk mengingatkan bahwa tindakan saudaranya itu merebut tahta pringgondani dari keponakanya gatotkaca adalah tidak syah.

kala bendana dikisahkan memiliki akhir hidup yang tragis. saat itu negeri plangkawati sedang dilanda kesedihan karena sang pangeran abimanyu penguasa kesatrian plangkawati menghilang. istrinya siti sundari putri dari dwarawati merasa sangat sedih. saat itu yang menemani adalah gatotkaca dan kala bendana. merasa ditangisi setiap hari oleh siti sundari sambil curhat soal hilangnya abimanyu membuat kala bendana sangat sedih dan pamit mencariw arta atau kabar. maka berjalanlah kala bendana mencari kabar dimana angkawijaya atau abimanyu berada.

di negeri mastsyapati ternyata abimanyu baru aja menikah dengan utari yang kalo diurut umurnya jauh lebih tua dan bisa disebut neneknya. tetapi karena dewi utari jago spiritual maka disebutkan sang dewi awet muda. dan menurut hyang bhatara kresna sendiri, wiji mahkota para raja hanya bisa disemai di rahim dewi utari. ketika sedang berkasih kasih datanglah kala bendana. sampe disana karena kala bendana tak bisa berbohong dia hampir saja membocorkan bahwa abimanyu sudah punya istri. tapi oleh abimanyu kala bendana diusir dengan ditusuk keris, sampe ahirnya kala bendana pun lari pulang ke plangkawati.

saat itulah utari curiga dan berkata pada abimanyu. jika abimanyu sudah punya garwa pun akan diterima sebagai saudara oleh utari. tapi dasar abimanyu malah ebrbohong bahkan bersumpah akan mati dikeroyok perawan 1000 jika bohong, tapi

kepleset lidahnya jadi bersumpah akan mati dikeroyok panah seribu. dan jagad nyakseni, jagad mendengar itulah karma abimanyu. mati dalam perang bharata yudha dengan keadaan dikeroyok panah 1000 sampe tak ada sisa di tubuhnya yang tak kemasukan panah. hati hatilah dalam bersumpah!! jangan lalai terutama dalam keadaan bergembira.

kala bendana pulang ke plangkawati. disana gatotkaca menemani siti sundari. siti sundari bergembira menyambut kala bendana dan menanyakan bagaimana kabar abimanyu. kala bendana aka mengucap tapi di halang halangi oleh gatotkaca dengan kasar. tapi kala bendana yang tak bisa berbohong merasa bahwa kebenaran harus diungkapkan apapun resikonya. ketika kala bendana mengucap abimanyu ada di negera matsyapati langsung gatotkaca karena kesalnya mengayunkan tanganya ke kepala kala bendana. tak dinyana tak diduga, kepala pamanya itu langsung hancur berantakan. tak sadar gatotkaca sudah melakukan pembunuhan kejam kepada pamanya sendiri.

saat itu kala bendana badanya moksa, hilang mayatnya bersama rohnya. terdengar suara "anaku gatotkaca, aku sebenarnya sudah masuk sorga. tapi aku ga rela jika aku masuk sendirian. karena cintaku padamu maka aku akan tunggu engkau gugur di perang bharatayudha. dan kita akan masuk ke sorga bersama". gatotkaca sangat menyesal dengan kejadian ini. dan pada perang bharata yudha, kala bendana membawa konta yang dilontarkan oleh adipati karna untuk masuk menembus tubuh gatotkaca. inilah pembalasan karma gatotkaca terhadap pembunuhan pamanya kala bendana.dan ahirnya paman anak ini masuk sorga bersamaan.

  QUOTE

13-05-2011, 05:50 PM   #24

izroilblackarmy aktivis kaskus 

 UserID: 509004 Join Date: Jul 2008Posts: 605

Gojali Suta

Raja trajutisna prabu sitidja alias boma narakasura merasa sangat sedih dan kecewa. karena istrinya Dewi Hagnyawanawati atau dei Mustikawati tak mau melayaninya sebagai suami. malah sang istri mabok kepayang dengan saudaranya sendiri yaitu raden samba wisnubrata.

susana sangat suram menyelimuti paseban agung. sang raja prabu sitidja cuma diam saja. sedangkan Prabu Supala, patih Pancadnyana, Ditya Maudara, Ditya Ancak Ogra, Ditya Yayahgriwa, Ditya Sinundha cuma bisa ikutan diam sambil memandang kosong ke lantai. mereka sangat takut melihat keadaan rajanya yang sedang bermuram durja. untuk memecah

kesunyian maka sang raja prabu sitidja berkata kepada patihnya prabu supala:

"paman supala saya mengadakan pertemuan ini sengaja ingin membhas masalah raden samba dan dhiajeng Hagnyanawati. dua orang itu sudah bener bener kasmaran sampe dhiajeng Hagnyanawati dibawa pulang ke dwarawati. maksud saya daripada didengar orang luar, mending adik saya samba saya nikahkan dengan istri saya dhiajeng Hagnyanawati. lalu saya dudukan di kerajaan trajutisna dengan baik baik"

"sebentar kanjeng prabu, bukankah kelakuan adik baginda samba itu berarti telah berani melakukan tindakan mesum dan berkhianat kepada sang prabu?barani mengambil istri paduka sebagai pacarnya?bukankah itu sama dengan berani menginjak injak kepala sang prabu sendiri"

"tidak apa apa paman, karena samba itu adik saya yang paling saya sayangi. karena itu saya akan mengirim utusan ke dwarawati yaitu maudara dan ancak ogra untuk menghadap ke prabu kresna agar mau mengijinkan membawa samba dan hgnywati untuk saya nikahkan di trajutisna."

kemudian prabu sutidja memberikan perintah kepada maudara dan ancak ogra untuk berangkat ke dwarawati untuk menghadap sri baginda kresna ayahnya untuk menyampaikan keinginan prabu boma narakasura. maka maudara dan ancak ogra segera berangkat.di paseban agung kerajaan dwarawati. disana sang raja sri baginda raja bhatara kresna sedang berdiskusi dengan patih udawa dan raden setyaki. yang dibicarakan tidak lain adalah kelakuan raden samba yan telah merusak pagar ayu dengan membawa istri saudaranya sendiri untuk dijadikan sebagai kekasih. belum lama pembicaraan berlangsung datanglah ditya maudara dan ancak ogra.

setelah datang dan saling beramah tamah mereka mengatakan tujuan kedatanganya ke pada prabu kresna. lalu prabu bhatara kresna yang sudah mengetahui akan jadi apa lelakon ini mengijinkan raden samba untuk dibawa ke trajutisna. maka ditya maudara dan ancak ogra segera pamit dengan membawa raden samba ke trajutisna.

setelah kedua utusan pamit, setyaki maju menghadap bhatara kresna dan matur:" kakanda prabu kenapa kakanda ijinkan mereka membawa raden samba?iya jika kedua utusan tadi berkata benar, bagaimana jika mereka berbohong dan ingkar janji?di sana nantinya raden samba bukan akan dinikahkan mlah akan

dihukum?bagaimana kakanda prabu"

"wahai adiku setyaki, janagn berpikiran seperti itu. ingat semua itu sudah diatur takdir. walopun digedong baja sekalipun, jika sudah saatnya mati pasti terjadi. walopun dihujani tembakan peluru pun jika masih belom waktunya pasti kan selamat. adi setyaki jangan ikut campur, biarkan saja samba mau diapkan saja. yang jelas jangan sampe sitidja melawan dan melibatkan orang yang tanpa dosa!!. jika itu dilakukan apalagi melawan adi arjuna maka aku sendiri yang akan menghadapi sitidja anaku. sekarang adi setyaki bubarkan paseban pertemuan ini. saya mau tidur dan menenangkan hati"

diceritakan smapelah rombongan ditya maudara dan ancak ogra yang mengiring jaka samba ditengah hutan. disana 2 rksasa ini gak menerima kelakuan jka samba yang mengambil istri baginda rajanya. maka mereka berdua menyiksa jaka samba. sehingga jaka samba menjerit kesakitan. kebetulan saat itu datanglah arjuna yang kan menuju kerajaan dwarawati. kaget hati arjuna mendengar jeritan dari raden samba.

karena kaget maka arjuna segera bertanya dan mencegat rombongan itu:"kalo ga salah ini maudara dan samba. kenapa ini kok badan samba biru biru seperti ini?dan kalian hendak pergi kemana?"

maudara menjawab:"kalo raden arjuna bertanya maka sebenarnya saya dan ancak ogra menjalankan perintah kanjeng gusti sitidja untuk membawa anak mas raden samba ke trajutisna untuk di nikahkan dengan dewi hagnyawati. nah kenapa badan raden samba biru biru?karena kena duri dan onak di dalam hutan"

"apa benar seperti itu samba" tanya arjuna tidak percaya kepada samba.

"aduh paman itu tak benar, kenapa saya babak belur begini karena saya sebenernya digebuki oleh paman maudara dan ancak ogra"

karena marah maka maudara di tusuk oleh raden arjuna dengan pusaka pulanggeni hingga tewas dan balik ke asalnya yaitu bangkai burung dara. sementara ancak ogra diberikan surat tantangan yg ditulis arjuna untuk sitidja. karena temen seperjalananya tewas segera ancak ogra berlaripulang ke trajutisna. sementara raden samba dan dewi hagnywati untuk sementara waktu dipersilahkan menginap di kasatrian madukoro.

di kerajaan trajutisna sedang duduk prabu sitdja diatas

singgasana dengan menhadap para bawahanya. tiba tiba datanglah ancak ogra dengan ngos ngosan dan berdarah darah. prabu sitidja sangat marah membaca surat tantangan. dan langsung menyerang madukoro. prabu sitidja naik diatas garuda wilmuna sementara semua prajuritnya berbaris didaratan.

tetapi sebelum tanding dengan arjuna prabu sitidja hendak mencari terlebih dahulu dimana raden samba yang menjadi pnyebab kejadian perkara ini. sementara perang pun pecah. baladewa, arjuna, setyaki, gatotkaca berperang melawan wadya bala dr trajutisna. perang besar pun pecah di madukoro.

diluar terjadi perang besar sementara di dalamkesatrin madukoro 2 muda mudi sedang bermadu asmara. yaitu raden samba dan dewi hagnywati. mereka berdua mabuk asmara bercumbu dan juga berpeluk peluk. apalagi raden samba merasa pamanya arjuna merestui dan melindungi dirinya. karena sedang asyik masyuk tak merasa ada endung yang tiba. itulah garuda wiluma yang segera turun. dan kagetlah raden samba melihat turunya garuda yang ditunggangi kakanya sitidja. segera raden samba tergopoh gopoh menghaturkan sembah.

"sembah saya kepada kakanda prabu, saya tak menyangka kakanda prabu sendiri yang akan datang kemari. mohon kakanda prabu mau memaafkan segla kesalahan hamba"

prabu seitidja berkata"iya adiku, sebenarnya aku kesini akan marah kepada di samba, tp melihat adi seperti ini seolah hilang kemarahanku. sudahlah bukan watak trajutisna untuk marah cuma gara gara wanita"

ketika naik kembali ke garuda prabu sitidja mendengar omongan togog yang berkata:"bagaimana sih ndoro?bukankah ndoro itu hendak marah dan menjatuhkan hukuman kepada samba yang telah merebut istri paduka?kenapa jadinya ketika sudah ketemu orangnya malah batal begini?"

lalu tanpa peringatan karena sangat marah dari atas garuda prabu sitidja melemparkan senjata limpung ke arah raden samba.sehingga lukanya sekujur tubuh. kemudian mengingat perang trajutisna dan madukoro terjadi karena samba plus melihat banyaknya mayat bergelimpangan. kemarahan prabu sitidja semakin membara. di hancurkanya tubuh samba. di robek mulutnya, dihancurkan hidungnya, tanganya dipatah dan dipuntir, lalu mayatnya dijuwing juwing. melihat keadaan ini dewi hagnywati menghunus patrem dan menusukan ke tubuhnya. ikut belapati.

sesudah itu prabu sitidja mengambil sisa mayat samba dan dilemparkan ke medan perang. dan sang prabu menaiki garuda untuk mengejar jatuhnya mayat. di medan perang para pandawa merasa sangat marah karena merasa tak mampu menjaga kselamatan raden samba. arjuna segera membidikan panahkyai sarotama yang di lepaskan ke leher prabu supala. dan tewaslah seketika prabu supala.

sementara patih pancatnyana di gemplang senjata neggala oleh bladewa dan tewas seketika. semua wadyabala trajutisna mulai habis di bantai oleh gatokaca dan werkudoro serta setyaki. mengetahui ini segera prabu sitidja maju perang. terjadi perang dahsyat antara arjuna dan prabu sitidja. tetapi prabu sitidja punya ajian pancasona. mati 7 kali sehari bisa hidup kembali. jd tak ada guna. ahirnya arjuna memilih keluar dr perang dan bertapa lg dengan nama benggawan cipto ening

karena malu arjuna keluar dr perang dan memilih betapa menjadi begawan cipto ening. mengetahui keluarnya arjuna maka para pndawa segera mencari bantuan sri bhatara kresna. malah sri bhatara kresna tidur tak bisa dibangunkan. bahkan diceritakan anaknya samba mati dijuwing juga tak bangun. sri bhatara kresna hanya bangun ketika diceritakan arjuna merasa malu dan keluar serta menghilang dr perang. rupanya sri bhatara kresna mengunjungi ibunyi sitidja yaitu dewi pratiwi di kayangan sapta pratala. di sana bhatara kresna menanyakan apa kelemahan sitidja. dei pratiwi menceritakan:

"sitidja punya aji pancasona tak akan mati selama masih menyentuh tanah. nah kelemahanya adalah sebuah anjang anjang besi. dalam episode topeng waja terjadi perkelahian antara sutedja dan gatotkaca. dimana topeng waja gatot di gemplang oleh senjata gamparan kencana milik sutedja lalu terjadi salah kedaden. ahirnya topeng itu berubah wujud jd anjang anjang besi di alas pramonokoti daerah pringgondani. itu pengapesan dr anak saya sitidja"

ketika bngun prabu kresna segera bilang kepada gatotkaca:"jika nanti mayat saudaramu sitidja jatuh, segera bawa kabur ke alas pramonokoti dan baringkan di anjang anjang besi"

"baik paman prabu" kata gatotkaca

kemudian sitidja yang sedang menaiki garuda wiluma sedang terbang berputran di arena perang dilepasi senjata chakra oleh sri kresna. ahirnya tubuhnya terbelah dan jatuh kebumi lalu segera dibawa terbang oleh gatotkaca ke alas pramonoti dan diletakan di anjang anjang besi. sehingga matilah sitidja karena tak menyentuh tanah. maka berahirlah kisah perang gojali suta ini.

  QUOTE

13-05-2011, 05:51 PM   #25

izroilblackarmy aktivis kaskus 

 UserID: 509004 Join Date: Jul 2008Posts: 605

Kidung Malam (15)Sang Resi Bisma

Di tengah terik matahari, Resi Bisma dan Yamawidura sengaja tidak berhenti, agar segera sampai di Padepokan Sokalima, tempat Pandhita Durna menggembleng cantrik-cantriknya, termasuk Pandhawa Lima. Jika pun harus istirahat, sekedar untuk memberi makan minum kuda-kuda mereka. Dilihat pada garis-garis wajahnya, Resi Bisma sudah tidak muda lagi, bahkan dapat dikatakan lanjut usia, namun badannya masih tegap dan jiwanya masih tegar, jauh lebih muda dari usia yang sebenarnya. Sorot matanya tajam bagai rajawali. Segudang ilmu sakti yang ia pelajari sejak masa kanak-kanak, masih melekat kuat di badan dan jiwanya. Waktu muda ia mendapat tiga anugerah besar yaitu; umur panjang sampai tujuh turunan, tidak pernah kalah dalam berperang dan tidak dapat mati jika tidak atas permintaan sendiri. Ia menjadi putera mahkota kerajaan Hastinapura pada masa pemerintahan ayahnya, Prabu Sentanu. Namun karena Dewi Setyawati, ibu sambungnya menginginkan tahta demi anaknya, maka ia mengalah, dengan ikhlas tahta diserahkan kepada anak Setyawati. Bahkan ia berjanji untuk menjalani hidup ‘wadat’ tidak menikah, agar tidak mempunyai keturunan yang akan mengusik tahta Hastinapura, dan menimbulkan pertumpahan darah diantara saudara.

Dengan kebesaran hati, Resi Bisma telah melepaskan tahtanya dan menjalani hidup wadat. Walaupun ada godaan besar dari seorang wanita bernama Dewi Amba, Bisma tetap setia dengan janjinya untuk tidak menurunkan anak dari seorang wanita. Namun saat ini ia sangat kecewa, bukan karena ia telah merelakan tahtanya dan menjalani laku hidup wadat, tetapi lebih dikarenakan pergolakan tahta Hastinapura tidak terhindarkan karenanya. "Apakah keputusanku untuk melepaskan tahta salah? Jikakalau benar, mengapa Citragada dan Wicitrawirya anak Setyawati, belum genap hitungan tahun menduduki tahta, meninggal secara berurutan? Menurut anggapan rakyat Hastinapura, Citragada dan Wicitrawirya tidak kuat menduduki tahta, mereka kuwalat kepada pendiri Keraton dan Rakyat Hastinapura. Karena secara tidak langsung telah merebut tahta yang bukan haknya dari tanganku. Rupanya Ibunda Setyawati mempercayainya anggapan rakyat. Ia sangat menyesalkan telah mengajukan anak-anaknya untuk menduduki tahta.

Pada suatu malam, Ibunda Ratu menemuiku, dan meyapaku. Ia

selalu memanggilku dengan nama kecilku, Dewa Brata. Ketika nama itu disebut, aku diingatkan kepada ibuku Dewi Ganggawati, seorang bidadari yang memberikan nama itu. Aku rindu padanya, ingin dipeluk, dicium, dibelai dengan penuh cinta. Namun itu tak pernah aku rasakan. Sejak bayi, Ibunda telah meninggalkan aku dan ramanda Prabu Sentanu kembali ke kahyangan.

"Dewa Brata, aku telah melakukan kesalahan besar kepadamu dan rakyat Hastinapura. Semenjak kedua adik tirimu meninggal berurutan, tahta Hastinapura kosong. Aku sadar, tragedi ini merupakan peringatan ‘Hyang Akarya Jagad’ bahwa sesungguhnya hanya engkaulah yang berhak atas tahta Hastinapura."

"Bukan Ibunda yang bersalah, melainkan aku. Karena dengan memberikan tahta kepada keturunan Ibunda Dewi Setyawati, aku telah mengkhianati leluhurku, pendiri Keraton Hastinapura ini. Seakan-akan tahta Hastinapura adalah milikku, dapat aku gunakan sesukaku, boleh aku diberikan sesuai keinginanku. Demikian pula kedudukan putera mahkota yang kutanggalkan tanpa persetujuan rakyat, artinya aku telah menyelewengkan kepercayaan rakyat Hastinapura."

"Dewa Brata inilah saat yang tepat untuk menebus kesalahan kita"

"Katakan apa yang harus aku lakukan untuk menebus kesalahan."

"Jika engkau mau melakukan, kesalahku tertebus pula"

"Katakan Ibunda, katakanlah"

"Duduklah di tahta Hastinapura"

Malam itu terang benderang, tidak turun hujan. Bulan penuh menggantung di langit, kidung malam mengalun merdu. Namun kata-kata Ibunda Ratu laksana halilintar menggelegar di dada Dewa Brata. Sesungguhnya yang dikatakan Ibunda Ratu, sama dengan bisikan nuraninya bahkan sama pula dengan nurani rakyat, yang beranggapan bahwa satu-satunya orang yang berhak, pantas dan kuat menduduki tahta adalah Dewa Brata. Namun kesadarannya menolak untuk menjadi raja.

Aku mengalami goncangan yang amat hebat, jika aku tidak bersedia menjadi raja, artinya aku telah mengingkari tradisi pendiri kraton Hastinapura, dan menolak mandat yang diberikan rakyat. Namun sebaliknya jika aku bersedia menjadi raja, aku

telah mengkianati janjiku dan menghina para Dewa yang telah memberikan tiga anugerah karena kerelaanku menyerahkan tahta dan hidup wadat.

Resi Bisma menghentikan permenungan masa lalunya, ia dan Yamawidura sampai di gapura masuk padepokan Sokalima. Sang Resi Bisma banyak berharap kepada guru besar Soka Lima, untuk membantu mengurangi beban perasaan bersalah, dengan mempersatukan Pandhawa dan Kurawa, sehingga mampu meredam sengketa dan pertumpahan.

Dua orang cantrik menyambut dengan penuh hormat, sopan dan ramah, walaupun mereka tidak tahu bahwa tamunya adalah dua orang besar dari negara yang besar pula.

  QUOTE

13-05-2011, 05:57 PM   #26

izroilblackarmy aktivis kaskus 

 UserID: 509004 Join Date: Jul 2008Posts: 605

Kidung Malam 16Dendam dalam Sekam

Bisma dan Yamawidura turun dari kudanya, segera dua orang cantrik menghampirinya untuk menambatkan kuda-kuda mereka. Begitu pula dengan dua cantrik lain mengiring Bisma dan Yamawidura menuju ke bangunan induk padepokan. Sepanjang jalan, aneka bunga warna-warni menjulur tangkainya, merunduk di pinggir jalan, bagaikan pagar-ayu, menyambut datangnya kedua tamu agung. Di bibir tangga bangunan induk, Pandita Durna, beserta Puntadewa, Bimasena, Harjuna, Nakula dan Sadewa tergopoh-gopoh menyongsong mereka.

“Selamat datang di padepokan Sokalima, Sang Resi Agung Hastinapura. Sudah tiga hari ini, sepasang burung prenjak berkicau bersautan persis di depan rumah induk. Itu pertanda bahwa padepokan akan kedatangan tamu Resi Agung.”

“Pandhita Durna jangan berlebihan, aku manusia biasa seperti engkau, bukan manusia agung.”

Durna mengangguk-angguk, walaupun sesungguhnya ia tahu bahwa Bisma adalah Resinya para Resi.

Setelah mereka dipersilakan duduk, Bisma mengawali pembicaraan.

“Pandhita Durna, tentunya engkau telah mengetahui banyak tentang aku dari cucu-cucuku Pandhawa. Namun aku ingin

mengatakan bahwa hingga sat ini hidupku selalu dibayang-bayangi perasaan bersalah. Menyusul keputusanku yang pertama: ketika aku merelakan tahta kepada anak-anak Setyawati dengan Ramanda Prabu Sentanu yaitu Citragada dan Wicitrawirya, yang meninggal berurutan setelah menduduki tahta. Keputusan yang ke dua: mengangkat Abiyasa, anak Setyawati dengan Palasara trah Pertapa Saptaarga, bukan trah Hastinapura. Sejak Abiyasa menduduki tahta, Hastinpura selalu bermasalah. Terlebih lagi setelah kehadiran Kurawa dan Pandhawa perebutan tahta Hastinapura semakin meruncing.”

“Sang Resi Bisma, perjalanan hidupku rupanya juga tidak lebih baik.” Pandita Durna berkisah pula.

“Sampai saat ini perasaan bersalah seperti yang dirasakan Sang Resi juga menggelayut dalam hidupku. Ketika Ramanda Prabu Baratwaja menginginkan aku menjadi raja di Hargajembangan, aku menolak, dan memilih pergi ke Tanah Jawa, untuk berguru kepada Begawan Abiyasa. Tetapi tragedi telah menimpaku, badan dan wajahku cacat seumur hidup. Aku menggembara tak tentu arah di negeri orang, dengan membawa anak tanpa ibu.”

Mereka terdiam untuk sementara waktu, ingin saling memahami perjalanan hidup masing-masing.

“Pandita Durna, aku tahu engkau dalam penderitaan, namun engkaulah yang kurasa dapat membantu mencegah perang antara Kurawa dan Pandawa. Untuk itulah aku datang memohon engkau bersedia menjadi guru mereka. Karena dengan menjadikan mereka murid-muridmu, mereka akan menjadi saudara seperguruan, yang akan menumbuhkan perasaan senasib, seperjuangan. Bukankah hal tersebut akan memperkecil benih-benih permusuhan?”

“Pada awalnya aku lebih berminat mengangkat murid para Pandhawa. Namun setelah Sang Resi mengungkapkan tujuan mulia dibalik pengangkatan murid Para Kurawa, aku bersedia menjadi guru mereka.”

“Terimakasih Kumbayana. Tentunya dengan kesediaanmu, Prabu Destrarastra akan memberikan gelar guru istana.”

“Dhuh Sang Resi Bisma, ada yang lebih penting dari gelar itu, yaitu kebebasan mengajar setiap orang yang membutuhkan.”

Bisma dapat memahaminya, karena ia tahu persis darma seorang pandita atau resi, ialah memberikan ilmu kepada siapa saja, tidak pilih-pilih. Ibaratnya sebuah sumur yang selalu terbuka bagi yang menimba air darinya.

Sebelum kembali ke Istana Resi Bisma dan Yamawidura berpesan agar selain mengajarkan ilmu, ada hal mendasar yang wajib ditanamkan kepada Pandhawa dan Kurawa, yaitu agar diantara mereka dibangun rasa mencintai, sikap saling menghargai dan rela memberi maaf.

Membangun sikap moral tidak lebih mudah dibandingkan dengan mengajarakan ilmu kanuragan dan ilmu kebatinan. Oleh karenanya seorang guru diharuskan mempunyai otoritas penuh, teguh adil dan berwibawa. Dengan alasan tersebut, Bisma setuju bahwa tempat penggemblengan para murid, dilakukan di Sokalima.

Semenjak resmi menjadi Guru Istana Hastinapura, nama Pandita Durna terangkat karenanya. Tokoh-tokoh penting dari penjuru negara, berguru kepadanya. Kecuali dari Negara Pancalaradya. Hal tersebut dikarenakan adanya hubungan yang tidak baik antara Sucitra dan Kumbayana, antara Prabu Durpada dan Pandita Durna.

Awalnya, menyusul peristiwa penganiayaan Kumbayana oleh Gandamana, Prabu Durpada tidak tega melihat luka yang diderita Kumbayana, maka ia membiarkannya tinggal di tapal batas wilayah Pancalaradya yang bernama Sokalima. Namun saat ini Sokalima menjadi besar dan kuat. Prabu Durpada khawatir bahwa Kumbayana akan memanfaatkan kekuatan Sokalima untuk melampiasakan dendamnya.

Memang benar, dendam di hati Pandita Durna senantiasa masih menjala dalam sekamnya. Jika tiba saatnya ia akan membuka sekam itu, supaya nyalanya menjadi besar dan membakar sasaran dendamnya yaitu Prabu Durpada dan Gandamana.

  QUOTE

13-05-2011, 05:58 PM   #27

izroilblackarmy aktivis kaskus 

 UserID: 509004 Join Date: Jul 2008Posts: 605

Kidung Malam 17Mimpi Gandamana

Dendam mengandung daya penghancur yang luar biasa. Si penyimpan dendam tidak akan pernah merasakan cara kerjanya dalam proses penghancuran hidup dan kehidupan. Seperti dendam yang ditumbuhkan di hati Durna. Sebagai Maha Guru ia memang suntuk mengajarkan ilmu-ilmunya kepada para murid-muridnya, tetapi tujuan utamanya bukan untuk para murid, melainkan untuk melampiaskan dendamnya kepada Prabu

Durpada dan Gandamana. Sungguh luar biasa, dendam tidak akan pernah berhenti sebelum ‘tuan’nya hancur.

Dikarenakan yang menjadi tujuan utama pengajaran di Sokalima adalah pembalasan sakit hati, maka pesan Resi Bisma kepada Durna agar tidak lupa menanamkan rasa saling mencintai, sikap saling menghargai dan rela memberi maaf kepada Kurawa dan Pandhawa menjadi tidak begitu penting.

Dendam itu pulahlah yang telah menyeret Pandita Durna untuk memperlakukan murid-muridnya dengan tidak adil, Mban cindhe mban siladan, pilih-kasih. Murid yang satu diemban dengan kain cindhe sedangkan murid yang lain diemban dengan siladan (kulit bambu). Diantara ratusan muridnya, Bimasena dan Harjuna mendapat perlakuan istimewa melebihi Aswatama anaknya. Karerna mereka berdua yang memang sebelumnya gemar berguru kepada orang-orang sakti, mempunyai kemampuan di atas rata-rata, bahkan kesaktiannya jauh meninggalkan murid-murid yang lain. Melalui Bimasena dan Harjuna inilah, Durna berharap dendamnya kepada Prabu Durpada dan Gandamana dapat dilampiaskan.

“Salahkan aku, sebagai guru menaruh perhatian khusus kepada murid-murid berprestasi? Dosakah aku, sebagai seorang guru mencintai murid-murid yang patuh berbakti, dan menjunjung tinggi nama sang guru? Jika kalian ingin mendapat perhatian dan rasa cintaku seperti yang aku berikan kepada Bimasena dan Harjuna, berusahalah patuh dan berprestasi seperti mereka.”

Demikianlah Durna selalu membela diri, mencari alasan untuk membenarkan tindakannya. Tanpa pernah mengakui bahwa itu semua adalah buah karya dari dendamnya yang di sekam.

Walaupun tenaga Durna yang memang tidak sempurna lagi itu telah ditumpahkan untuk murid-muridnya, tidaklah mudah membentuk orang-orang sakti dalam waktu singkat. Beberapa tahun berlalu, semenjak Durna mengangkat murid Pandhawa dan Kurawa, belum ada satupun muridnya yang kemampuannya berada diatas kemampuan Gandamana, termasuk juga Bimasena dan Harjuna, murid andalannya.

Pada suatu pagi, sebelum matahari terasa panas sinarnya. Durna berdiri diatas panggungan, dengan matanya yang tajam, ia mengamati sepasang-sepasang muridnya di arena latih tanding. Ketika tiba gilirannya pasangan Bimasena dan pasangan Harjuna menunjukkan kemampuannya, ia tersenyum puas melihat ilmu kedua murid kesayangan tersebut maju dengan pesat. Namun apakah kemampuan mereka cukup memadai untuk menandingi Gandamana? Siang-malam Durna senantiasa berharap agar saat

pembalasan segera tiba. Ia ingin melunasi janjinya kepada Aswatama, sewaktu anaknya menangis melihat luka-luka yang dideritanya. “Jangan menangis Aswatama bocah bagus, bersabarlah. Nanti jika saatnya tiba, akan kutunjukan di depanmu pembalasanku kepada Sucitra (Prabu Durpada) dan Gandamana. He he he”

Di Keraton Cempalaradya pada suatu malam, Gandamana tiba-tiba terbangun dari tidurnya. Waktu tepat menunjukkan pukul dua dinihari. Jatungnya masih berdetak keras. Mimpi yang baru saja datang dalam tidurnya, membuat bergetar hatinya. Dalam mimpi tersebut ia didatangi Prabu Pandudewanata.

“Patih Gandamana, apakah engkau masih setia padaku?”

“Adhuh Sinuwun Prabu, aku selalu setia kepada Hastinapura dan Prabu Pandudewanata sampai akhir hayatku.”

“Terimakasih Gandamana, aku ingin bukti dengan apa yang engkau katakan.”

“Sinuwun Prabu, apakah yang Paduka kehendaki atas diriku ini?”

“Bersiaplah mengikuti aku ke medan perang!”

“Baiklah Sinuwun, di mana dan berapa pasukan mesthi aku persiapan?”

“Aku tidak memerlukan pasukan kerajaan. Cukup engkau seorang.” Prabu Pandudewanata tersenyum, sebentar kemudian hilang dari pandangan. Aku tiba-tiba sudah berada di medan pertempuran yang sengit. Mereka saling membunuh dengan ganas. Jantungku berdegup keras, selama menjadi Patih Hastinapura baru kali ini aku melihat pertempuran yang lebih dahsyat dari ‘Perang Pamukswa’ perang antara Hastinapura dan Pringgandani. Aku menebarkan pandangan ke delapan penjuru mata angin, dan dengan jelas melihat bahwa pertempuran tersebut melibatkan empat raja. Yang membedakan antara raja yang satu dengan raja yang lainnya adalah warna pakaiannya, termasuk bala tentaranya. Raja yang berpakaian serba Merah, bala tentaranya berpakaian serba merah. Raja yang berpakaian Hitam, bala tentaranya juga berpakaian serba Hitam. Demikian juga raja yang berpakaian Kuning dan Putih. Diantara raja-raja tersebut, aku tidak melihat Prabu Pandudewanata. Dimanakah beliau berada? Bukankah beliau yang mengajakku ke medan perang?

Sebelum pertanyaanku terjawab, tiba-tiba ke empat raja beserta

pengikutnya menyerang aku. Puluhan ribu senjata diacung-acungkan kepadaku. Sungguh mengerikan sekujur tubuhku bergetar. Sebentar lagi badanku akan lumat dicincang mereka. Namun aku tidak bisa meninggalkan medan perang. Aku bukan pengecut. Apa lagi aku telah berjanji kepada Prabu Pandudewanata untuk ikut ke medan perang, bertempur sampai titik darah penghabisan. Maka aku songsong mereka dengan muka tegak dan dada terbuka. Dhuaarr! Benturan dahsyat terjadi, aku terbangun.

Sementara kidung malam masih menyisakan suaranya, pikiran Gandamana menerawang jauh di masa lampau, ketika ia masih menjadi Maha Patih Hastinapura. Kenangan bersama Prabu Pandudewanata sungguh membangkitkan kerinduan. Rindu masa-masa kejayaan, rindu kepada Raja yang ia cintai dan ia hormati.

Namun kini semua tinggal kenangan, Prabu Pandu Dewanata telah memasuki alam keabadian. Namun ia masih berkenan mengunjungi aku. “Apakah Sang prabu juga rindu kepadaku? Aku sangat bahagia karenanya, Sang Prabu meninggalkan senyum abadi kepadaku. Meskipun hanya di dalam mimpi.

  QUOTE

13-05-2011, 05:59 PM   #28

izroilblackarmy aktivis kaskus 

 UserID: 509004 Join Date: Jul 2008Posts: 605

Kidung Malam 18Pendadaran Murid Sokalima

Belum lama gema kenthongan yang dipukul sebelas kali hilang dari pendengaran, para murid Soka Lima, yang terdiri dari Pandawa dan Kurawa memenuhi Pendapa induk padepokan. Suasana pada malam itu menjadi khusus, karena ada hal yang terlalu penting yang akan disampaikan oleh Pandita Durna kepada semua muri-muridnya, tepat pada jam sebelas malam. Temaramnya lampu minyak yang menggantung di tengah saka guru, mampu menampakan raut wajah mereka yang serius. Tidak lama kemudian Pandita Durna muncul didampingi oleh Aswatama, anak semata wayang.

Setelah duduk di antara murid-muridnya, Pandita Durna membuka pembicaraan.

“Sudah lebih dari tiga tahun kalian berlatih dengan sungguh-sungguh, Aku bangga atas kemajuan yang kalian capai. Aku menghargai kalian, seperti engkau menghormati aku. Aku mencintai kalian, seperti engkau juga mencintai aku. Selama ini

aku telah membantu kesulitan kalian, demikian pula yang aku harapkan kalian juga membantu kesulitanku.”

“Bapa guru, bukankah bantuan kami selama ini terus mengalir. Tidak sedikit harta yang kami berikan untuk membangun pendapa yang megah ini, membangun asrama para murid, membangun pintu gapura dan tembok keliling padepokan, juga membantu fasilitas-fasilitas yang lain. Namun jika semua bantuan tersebut belum dapat mengatasi kesulitan, katakan saja Bapa Guru, kesulitan apa lagi yang perlu kami bantu.”

“Anak Mas Duryudana, apa yang engkau katakan perihal bantuan itu memang benar, namun bukan itu yang aku maksudkan. Aku membutuhkan bantuan untuk menyembuhkan luka batin yang selama ini masih menganga di dalam hatiku. Oleh karenanya hidupku tidak akan pernah tenang sebelum luka itu sembuh.”

“Bapa Guru yang aku hormati, hati yang menganga karena luka dan tidak segera pulih kembali itu hanya terjadi pada hati yang darahnya dialiri dendam. Apakah Bapa Guru Durna menyimpan dendam?”

“ Benar Harjuna, engkau memang murid yang ‘lantip,’ aku menyimpan dendam. Dan demi anakku Aswatama dendam tersebut aku hidupi, sembari menunggu waktu yang tepat untuk melampiaskan.”

“Lalu, kepada siapa dendam itu akan dilampiaskan.?”

“Kepada Sucitra dan Gandamana”

Para murid terdiam, mereka tahu bahwa dua nama yang disebut Pandita Durna adalah raja dan beteng kekuatan Cempalaradya atau Pancalaradya. Bagi para Kurawa Gandamana dan Sucitra atau Prabu Durpada adalah dua orang pilih tanding, yang tidak mudah dikalahkan. Hati mereka tergetar membayangkan sepak terjang Gandamana di medan perang. Dengan aji Wungkal Bener dan Bandung Bandawasa, Gandamana mampu memporakporandakan ratusan prajurit dalam sekejap Lain halnya dengan perasaan yang berkecamuk di hati Para Pandawa. Bagi mereka Prabu Durpada dan Gandamana adalah dua orang Pepunden yang pantas di hormati. Maka jika karena janji baktinya kepada Bapa Guru Durna harus menghadapi Gandamana dan Prabu Durpada, ada perang batin yang tidak mudah untuk diselesaikannya

“Demi dendam itulah aku mengumpulkan kalian semua, untuk meminta tanda baktimu, seperti yang pernah engkau nyatakan

pada saat kalian akan menjadi muridku, sekaligus sebagai pendadaran atas ilmu yang telah aku ajarkan. Jika hal ini dianggap sebagai perintah, maka tidak ada pilihan bagi kalian selain melaksanakan perintahku. Maka perintahku adalah: Besok lusa pada hari Respati Manis, sebelum matahari tenggelam, aku menginginkan Durpada dan Gandamana sampai di depanku dalam keadaan terikat.”

Perintah Pandita Durna dapat diartikan bahwa para murid yang berhasil merangket Durpada dan Gandamana, adalah para murid yang lolos pendadaran. Keberhasilannya akan menempatkan mereka pada jenjang selanjutnya dan mendapatkan ilmu-ilmu yang lebih tinggi tatarannya. Tentunnya bagi mereka yang berhasil, mendapat perhatian khusus di hati Pandita Durna, lebih dari pada para murid yang tidak berhasil. Oleh karenanya walaupun para Kurawa tergetar hatinya mendengar nama Gandamana, mereka tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk mendapat pujian sang guru, maka Para Kurawa mendahului para Pandawa berangkat ke Cempalaradya.

Sebentar kemudian pendapa induk Padepokan Soka Lima menjadi sepi, Durna tersenyum tipis memandangi murid-muridnya yang bergegas meninggalkan pendapa, untuk mengemban tugas berat merangket Durpada dan Gandamana.

“Aswatama jangan pergi jauh-jauh dariku, karena sebentar lagi engkau akan menyaksikan peristiwa yang telah lama kita tunggu, pembalasanku kepada Sucitra dan Gandamana“

Keberanian para Kurawa yang kemudian muncul tidak terlepas dari ambisinya untuk selalu ingin berada di atas mengungguli para Pandawa. Peran Sengkuni sangat menentukan dalam mengobarkan kesombongan Duryudana dan Dursasana. Maka tidaklah heran, ketika para Kurawa dengan senjata lengkap sampai di pintu gerbang kotaraja Cempalaradya, Dursasana berteriak-teriak menantang Durpada.

“Hei! Raja penakut, Durpada! Jangan bersembunyi di balik tembok tebal, jangan berlindung di balik dada para prajurit, Jangan keenakan tidur bersama selir-selirmu keluarlah hadapi Dursasana dan Para Kurawa. Jika sampai tengah hari tidak mau keluar keraton akan saya bumihanguskan.”

Mendengar tantangan Dursasana, kepala prajurit jaga tidak dengan serta merta terpancing. Ia cukup waspada dan berhati-hati menghadapi para kurawa, sebatas tidak merusak dan menerobos masuk keraton.

Karena tidak ada tanggapan, Dursasana, Duryudana dan saudara-

saudaranya ingin menerobos prajurit jaga yang menyilangkan tombaknya di depan pintu gapura. Melihat gelagat yang membahayakan, kepala prajurit jaga menyerukan perintah.

“Tahan mereka! Jangan sampai masuk sitihinggil!”

Dursasana memandang remeh prajurit rucah yang menghadang di pintu gerbang. Sambil berteriak-teriak mata pedangnya menyambar-nyambar, bak elang mencari mangsa. Sementara itu Duryudana dengan gadanya berusaha menghancurkan setiap musuh yang menghadang di depannya.

  QUOTE

13-05-2011, 06:00 PM   #29

izroilblackarmy aktivis kaskus 

 UserID: 509004 Join Date: Jul 2008Posts: 605

Kidung Malam 19Menyerah Tanpa Perang

Bentrokan antara dua kelompok bersenjata akhirnya terjadi. Dursasana dan Duryudana sangat bernafsu untuk segera menghabisi para prajurit jaga yang menghadang di depan pintu gapura. Namun niatnya tidak segera kesampaian. Walaupun secara perorangan kemampuan para prajurit berada jauh dibawah murid-murid Sokalima, mereka adalah prajurit terlatih yang berani mati. Dapat bekerja sama dengan kompak dan disiplin, mampu saling menutupi celah-celah kelemahannya. Sehingga mereka bagaikan tembok tebal yang tidak mudah untuk ditembus.

Ketika belum ada satupun senjata yang menggores, tiba-tiba berkelebatlah bayangan yang mengacaukan para murid Sokalima. Bentrokan berhenti seketika. Semua mata memandang sesorang yang berdiri tegak diantara para prajurit jaga.

“Gandamana!”

Ucap para Kurawa hampir bersamaan.

“Benar aku Gandamana Beteng Negara Pancalaradya. Barang siapa ingin menerobos masuk ke dalam cepuri keraton dengan niatan buruk, terlebih dahulu harus mampu merobohkan aku.”

Rupanya Gandamana mau bertindak cepat untuk mengusir para Kurawa agar tidak membuat kerusakan dan ketidak tentraman di depan pintu gapura kraton, yang merupakan pintu utama bagi keluar masuknya para tamu, sahabat, kerabat raja dan kawula Pancalaradya. Maka segera di bangunlah sebuah mantra ajian

Bandung Bandawasa. Tiba-tiba terdengar suara gemuruh dari kedua telapak tangan Gandamana. Ke mana tangan digerakan, angin prahara menyapu dengan tenaga berlipat ganda, sebanding dengan tenaga seribu gajah.

Para Kurawa kesulitan untuk mendekat, apalagi untuk balas menyerang. Duryudana dan Dursasana orang yang dianggap mempunyai kelebihan dibanding dengan para Kurawa yang lain, tidak mampu membendung amukan Gandamana. Bahkan sebelum keringat mereka jatuh ke tanah, Duryudana dan Dursasana telah meninggalkan halaman pintu gerbang diikuti oleh para Kurawa dengan menyisakan debu dan umpatan kotor.

Gandamanan menghela napas lega, Pancalaradya terhindar dari bahaya. Ia tidak gentar jika para Kurawa akan datang kembali dengan membawa kekuatan yang jauh lebih besar.

Belum beranjak dari tempat ia berdiri, Pandawa Lima datang menghampiri Gandamana untuk menyembah. Menerima sembahnya Puntadewa, Bimasena, Arjuna, Nakula dan Sadewa, Gandamana melepaskan keperkasaan yang ditunjukkan sewaktu mengetrapkan aji Bandung Bandawasa.

“Ngger, cucu-cucuku Pandawa, berdirilah dan katakan apa yang kau inginkan atas diriku.”

“Eyang Gandamana sungguh berat dan tidak mungkin kami haturkan maksud kedatangan kami, tentunya Eyang Gandamana dapat membaca apa yang berkecamuk di dalam hati kami.”

Sebagai orang yang berpengalaman, Gandamana dapat membaca bahwa kedatangan para Pandawa yang adalah murid-murid Soka Lima, tentunya mempunyai tujuan yang sama dengan Kurawa. Artinya bahwa Gandamana harus menghadapi Pandawa seperti ketika ia menghadapi Kurawa.

Apakah kejadian ini merupakan gambaran nyata dari mimpiku? Ketika aku bermimpi, Prabu Pandu datang untuk menjajagi kesetiaanku dan mengajakku ke medan perang sendirian. Tetapi Gandamana tidak sampai hati berperang melawan Pandawa, apalagi sampai melukainya? Mengingat mereka adalah anak-anak Prabu Pandu Dewanata, raja yang dijunjung tinggi, dihormati, dicintai dan dirindukan. Sehingga kedatangan para Pandawa tidak dipandang sebagai musuh seperti Kurawa, namun justru menjadi pelepas rindunya kepada Prabu Pandu yang telah tiada. Dengan mata berkaca-kaca, dipandangnya Puntadewa, Bimasena, Harjuna, Nakula dan Sadewa bergantian.

“Siapa yang mewakili kalian untuk melaksanakan perintah

gurumu Resi Durna?”

“Aku Eyang!” Bimasena menyahut mantap.

“Bagus! Majulah, ikat kedua tanganku dan bawalah kepada Resi Durna.”

“Tunggu Raden Gandamana! Sebagai kepala prajurit jaga, kami tidak mebiarkan Bimasena menawan Raden tanpa perlawanan. Jika Raden tidak mau berperang kepada Pandawa, biarlah kami yang akan berperang sampai kami tidak mampu lagi berperang demi menjaga Negara Pancalaradya, Prabu Durpada dan juga Raden Gandamana.”

Gandamana tertawa. Ia membenarkan apa yang dikatakan Kepala Prajurit Jaga. Jika ia menyerah tanpa syarat, bukankah artinya ia telah mengingkari sumpahnya sebagai panglima perang tertinggi dibawah raja, dan membiarkan Prabu Durpada dengan mudah dijadikan tawanan.

“Terimakasih Kepala Prajurit, engkau telah mengingatkan aku yang lemah ini. Bimasena ayo majulah ikatlah kedua tanganku ini.”

Sembari mengulurkan kedua tangannya, diam-diam Gandamana mengetrapkan mantra aji Wungkal Bener. Ajian tersebut merupakan salah satu kesaktian Gandamana yang istimewa. Karena aji Wungkal Bener seakan-akan mempunyai mata hati, ia akan memilih untuk menghancurkan lawan yang bersalah, sedangkan lawan yang benar akan luput dari aji Wungkal Bener. Karena alasan tersebut Gandamana sengaja mengetrapkan aji Wungkal Bener karena percaya bahwa Pandawa berada dalam kebenaran, sehingga tidak terluka karenanya.

Bima waspada, melihat ke dua tangan Gandamana yang dijulurkan untuk diikat mengeluarkan asap putih. Eyang Gandamana telah mengetrapkan ajian sakti. Maka Bimasena pun tidak mau membuang waktu, ia segera mempersiapkan diri menghadapi Gandamana Namun sebelum bentrokan terjadi, Prabu Durpada yang tiba-tiba berada di tempat itu telah mencegahnya.

Seperti Gandamana, Prabu Durpada merasakan hal yang sama saat bertemu dengan Pandawa Lima. Gambaran sosok Pandu yang luhur budi muncul dari ingatannya. Ia telah membantunya memenangkan sayembara. di Pancalaradya dengan mengalahkan Gandamana sehingga mendapatkan Gandawati, anak Prabu Gandabayu Raja Pancalaradya. Setelah Gandabayu surud, Sucitra menggantikan mertuanya menjadi raja dengan gelar

Prabu Durpada. Sedangkan Gandamana diangkat Pandudewanata menjadi patihnya di Hastinapura. Maka sebagai upaya balas budi kepada Pandu Dewanata yang sudah meninggal, mikul dhuwur memdhem jero, Prabu Durpada dan Gandamana sepakat menyerahkan diri kepada Bimasena tanpa perlawanan, untuk di bawa menghadap Resi Durna sebagai tawanan.

  QUOTE

13-05-2011, 06:02 PM   #30

izroilblackarmy aktivis kaskus 

 UserID: 509004 Join Date: Jul 2008Posts: 605

Kidung Malam 20Dua Sahabat

Mata Bimasena berkaca-kaca, orang nomor dua dari lima bersaudara yang biasanya keras, tegar itu luluh oleh sikap Prabu Durpada dan Gandamana yang telah merelakan dirinya dan negaranya demi tugas ksatria yang diemban oleh Bima dan saudaranya sebagai pemenuhan janji baktinya kepada sang guru Pandita Durna. Sebelum meninggalkan Pancalaradya, Gandamana berpesan kepada kepala prajurit jaga agar mengamankan negara sebelum kekuasaan diambil alih oleh Pandita Durna yang telah menaklukannya melalui Bimasena, Harjunan dan saudara-saudaranya.

Sementara itu di Padepokan Sokalima, Resi Durna kecewa menyambut kedatangan Duryudana, Dursasana serta saudara-saudaranya. Tidak sesuai dengan sesumbarnya bahwa mereka akan dengan mudah menundukkan Durpada dan Gandamana serta membawanya sebagai tawanan dihadapannya. Namun pada kenyataannya mereka kembali di Sokalima tanpa membawa hasil. Beberapa alasan kegagalan dikemukakan oleh Patih Sengkuni yang sejak semula mengiring para Kurawa. Namun Resi Durna enggan menanggapinya, bahkan sebelum Sengkuni selesai berbicara, ia meninggalkan pendapa induk dan masuk di sanggar pamujan.

Di ruang pemujaan Durna didampingi Aswatama, melakukan SembahHyang dengan membakar dupa-ratus sehingga asapnya dapat membawa permohonannya kepada Hyang Maha Tunggal agar tugas baktinya para Pandhawa membawa Gandamana dan Durpada di Soka Lima berhasil.

Ujung malam yang masih tersisa merupakan kidung-kidung pengharapan menyongsong hari baru yang mampu menyembuhkan sakit hatinya, dan kuasa menghancurkan dendamnya yang telah mengkristal selama bertahun-tahun, kepada sahabatnya, Sucitra.

Saatnya pun tiba, waktu akhirnya berpihak pada Resi Durna. Sebelum matahari bertahta dipuncak langit, Bimasena dan para Pandhawa tiba di Sokalima, dengan membawa tawanan yang diimpi-impikan. Sebentar kemudian orang banyak yang mengikuti iring-iringan telah berkumpul di halaman pendapa.membaur dengan para Cantrik Padepokan dan para Kurawa. Gejolak perasaan Durna gembira luar biasa, melihat kedatangan para murid kepercayaan yang membawa serta Gandamana dan Durpada dalam keadaan terikat. Jika tidak menyadari bahwa dirinya seorang guru besar yang dikelilingi para cantrik-cantriknya, pandita Durna akan melepaskan emosinya dengan meloncat-loncat kegirangan. Namun karena ia menyadari kedudukkannya, maka ia dapat mengendalikan diri. Dengan kata-kata yang arif penuh persahabatan, disuruhnya Bimasena untuk melepaskan tali yang mengikat Prabu Durpada dan Gandamana serta mempersilakan duduk di kursi yang telah disediakan.

Walaupun gejolak perasaannya telah dikendalikan, dendamnya meledak pula, melihat wajah Gandamana yang telah menyiksa dirinya sehingga menderita cacad seumur hidup. Durna membuang emosinya lewat puluhan kali tamparan tangannya ke muka Gandamana, sembari mulutnya mengumpat-umpat sepuasnya. Gandamana diam dalam duduknya. Sesungguhnya hatinya menyesal telah mencelakai Resi Durnya yang ternyata adalah sahabatnya Prabu Durpada. Maka sebagai tebusannya ia membiarkan Resi Durna menyakiti sepuasnya.

Setelah puas menghajar Gandamana, Resi Durna duduk di kursi berhadapan sangat dekat dengan Prabu Durpada.

“Sucitra sahabatku, aku tidak menginginkan persahabatan kita terputus. Maka aku cari engkau di tanah Jawa Namun setelah ketemu engkau yang sudah menjadi raja malu menerimaku sebagai sahabat, karena penampilanku yang miskin dan sudra. Bahkan engkau membiarkan aku di hajar oleh Gandamana. Yah itu masa lalu, yang pasti peristiwa itu masih kita ingat. Peristiwa yang sangat menyakitkan dan menghancurkan hidupku. Tetapi rupanya Hyang Maha Tunggal masih mengasihi aku. Terbukti aku diberi kesempatan hidup dan bangkit menyongsong masa depan yang ternyata lebih indah dan cerah dari pada yang aku banyangkan sebelumnya. Coba lihatlah sekarang aku dapat duduk sejajar dengan raja agung Pancalaradya. Bahkan aku lebih berkuasa, karena engkau sudah aku taklukkan, negara seisinya dan daerah kekuasaanmu menjadi milikku. Namun sebagai sahabat aku akan memenuhi apa yang kau inginkan. Katakanlah Prabu Durpada?”

Dapat dibayangkan, perasaan Durpada saat itu. Sebagai raja besar ia telah direndahkan martabatnya di depan banyak orang. Namun jiwa ksatrianya masih kental di hatinya, maka dengan tak kalah lantang ia menjawab

“Hai Durna! Aku telah kau taklukkan. Negara dan seisinya serta daerah jajahannya menjadi milikmu, termasuk diriku berada dalam kekuasaanmu. Sesuai dengan keadaanku, sebagai seorang taklukan aku tidak akan pernah merengek meminta sesuatu. Apapun yang akan kau perbuat atasku aku terima dengan jiwa ksatria.”

“Ha ha ha, engkau mengakui bahwa aku dapat berbuat apapun atasmu? Termasuk juga mengampuni dan membebaskanmu, jika engkau minta?”

“Sekali lagi Durna, apapun yang kau kehendaki atasku, aku tidak peduli!”

“Baiklah Sang Prabu! aku ingin menunjukkan kepada orang-orang yang menjadi saksi di pendapa ini, bahwa Durna tidak ingin menguasai dan merusak Negara Cempalaradya yang telah kau bangun dengan kebaikan. Seperti halnya Padepokan Sokalima yang telah aku bangun dengan susah payah. Walaupu semula bumi Sokalima termasuk wilayah Cempalaradya, ketika masih berupa hutan sudah aku beli dengan mahal, dengan darah dan dengan sebagian besar dari semangat hidupku. Oleh karenanya bumi Sokalima sekarang menjadi kekuasaanku, engkau tidak boleh menguasainya.”

Durna mendekati Durpada, kedua pasang mata dua orang sahabat itu beradu pandang. Di bola mata sahabatnya, mereka dapat saling melihat kehidupan masa lalu, waktu masih remaja di Hargajembangan. Di bawah asuhan Prabu Baratwaja Sucitra dan Kumbayana disatukan menjadi saudara. Namun sayang gambaran masa remaja yang indah tersebut tidak berlangsung lama, karena bola mata mereka keburu basah oleh air mata sehingga pandangan mereka menjadi kabur.

“Sucitra!”

“Kakang Kumbayana!”

Keduanya berangkulan sangat erat. Ketegangan yang memenuhi tempat itu berubah menjadi keharuan. Para Cantrik dan para murid Sokalima mendapat pelajaran yang sangat berharga, bahwa seorang Raja Agung dan seorang Maha Guru adalah tetap merupakan manusia yang lemah, tak berdaya, setiap waktu dapat jatuh karena sebuah kesalahan. Salah memahami misteri

kehidupan yang menjadi kehendakNya.

  QUOTE

13-05-2011, 08:20 PM   #31

ijin menyimak mas sangat bagus sekali

QUOTE

Aji Narantaka

Di Negara Astina Prabu Duryudana, Patih Harya Sangkuni dan kerabat kerajaan Astina sedang membicarakan perihal berdiamnya keluarga Pandawa di Tegal Kuru Setra, ini menunjukan bahwa negara Astina segera ingin dikuasai lagi pihak Pandawa.

Untuk mengembalikan Negara Astina kepihak Pandawa, Prabu Duryudana merasa sayang dan tidak rela, untuk itu segala daya upaya dicari untuk membinasakan keluarga Pandawa agar tidak selalu mengusik-usik negara Astina yang memang menjadi haknya.

Begawan Dorna lalu mengusulkan agar Dursala muridnya dapat diberi tugas tersebut. Tetapi sebelum Dursala pergi ke Tegal Kuru Setra untuk membinasakan pihak Pandawa, Dursala harus tanding lebih dahulu dengan Prabu Baladewa, sebab Prabu Baladewa menyangsikan kemampuan dan kesaktian R.Dursala.

Setelah perang tanding dengan Prabu Baladewa, maka dengan diiringi bala tentara Kurawa

berangkatlah R.Dursala ke Tegal Kuru Setra.

Kedatangan R.Dursala di Tegal Kuru Setra menjadikan keributan dan perkelahian, namun para putra Pandawa dan Pandawa tak satupun mampu menandingi kesaktian R.Dursala. Dengan Aji Gineng pemberian gurunya (Pisaca ), R.Dursala mengalahkan semua kerabat Pandawa.

Kemampuan Aji Gineng bila digunakan dan mengenai seseorang, maka orang yang terkena aji Gineng akan hancur lebur, dan R,Gatotkaca terkena aji Gineng tidak mampu menahanya dan gemetar tubuhnya.

Dengan sisa-sisa tenaganya R.Gatotkaca melarikan diri untuk menghadap Resi Seta. Oleh Resi Seta, R.Gatotkaca diberi Aji Narantaka untuk menandingi Aji Gineng milik R.Dursala. Setelah mendapatkan kesaktian dan aji Narantaka, R.Gatotkaca kembali menemui Dursala.

Melihat kedatangan R.Gatokaca, Dursala lalu menghantamnya dengan aji Gineng namun dapat ditangkis dengan aji Narantaka milik Gatotkaca. Benturan Aji Gineng milik R.Dursala dan Aji Narantaka milik R.Gatotkaca menimbulkan suara yang dahsyat. Akhirnya Aji Gineng tidak dapat mengalahkan Aji Narantaka milik Gatotkaca, akibatnya tubuh R.Dursala hancur lebur terkena hantaman Aji Narantaka. Dengan kematian R.Dursala, bala tentara Kurawa kucar-kacir dan melarikan diri kembali ke negara Astina untuk memberi kabar kematian R.Dursala.

Gatotkaca dengan memiliki Aji Narantaka, sesumbar barang siapa wanita yang mampu menahan Aji Narantaka miliknya, ia akan diperistri. Ternyata Dewi Sampani mampu menahan Aji Narantaka miliknya, maka diperistrilah Dewi Sampani dan berputra Jaya Sumpena.

  QUOTE

13-05-2011, 10:01 PM   #34

izroilblackarmy aktivis kaskus 

 UserID: 509004 Join Date: Jul 2008Posts: 605

Kidung Malam 21Dendam Baru Telah

Tumbuh

Lama kedua sahabat itu berpelukan, rasa sesal Sucitra semakin dalam masuk di hatinya. Mengapa ia menempatkan jabatan berada jauh di atas sebuah perasahabatan. Baru sekarang ia menyadari dan merasakan bahwa ketulusan persahabatan lebih indah dan mulia dibandingkan dengan sebuah jabatan. Sedangkan bagi Kumbayana, ada perasaan kecewa yang amat membekas, mengapa waktu menemui Sucitra yang sudah menjadi raja, ia memperlakukannya sebagai sahabat lama. Padahal sebagai anak raja, ia tahu bagaimana subasitanya menghadap raja yang sedang bertahta.

“Kakang Kumbayana engkau pasti tidak dapat menggambarkan seberapa besar dan dalam rasa sesalku. Karena jika pun aku harus memohon ribuan maaf, badanmu tidak dapat pulih. Engkau tetap menderita seumur hidup. Jika karena pertemuan ini, aku sebagai

tawanan telah engkau bebaskan dan negara seisinya engkau kembalikan kepadaku, sesal itu akan semakin menindih sepanjang hidupku. Jika semula aku tidak mengajukan permintaan apapun, memang aku berharap engkau akan menguasai negara Pancalaradya beserta isinya yang telah kau taklukan dan kemudian menyingkirkan atau membunuh aku dan Gandamana. Hanya dengan cara itulah aku telah membayar lunas hutangku.”

“Sucitra, apakah kamu sudah tidak lagi mengenalku? Pernahkah muncul di dalam benakku ambisi untuk berkuasa? Bukankah engkau tahu kedatanganku ke tanah Jawa ini karena menolak jabatan raja di Negara Hargajembangan yang diberikan ayahanda Prabu Baratwaja? Apakah engkau juga pernah melihat aku haus darah, membunuh saudara ataupun sahabat?

“Kakang Kumbayana, dalam perjalanan hidup setiap orang akan berubah. Bukankah engkau telah merasakan perubahan pada diriku? Demikian pula yang aku rasakan bahwa kaupun telah berubah. Kita telah berubah! Kita bukan lagi sahabat. Pertemuan kita kali ini untuk menagih dan membayar hutang.”

Nada bicara Durpada meninggi. Rasa sakit hati atas perlakuan Durna di depan orang banyak telah menyingkirkan kembali rasa persahabatan yang sempat hinggap sejenak di hati.

“Baiklah! Bayarlah hutangmu dengan Bumi Sokalima.”

“Drona! Bumi Sokalima tidak akan ku berikan. Kecuali jika engkau membunuh aku dan Gandamana dan kemudian menguasai Negara Pancalaradaya.

“Engkau ini aneh Durpada, sebagai raja yang kalah perang engkau rela menyerahkan Negara Cempalaradya beserta isinya, tetapi tidak mau menyerahkan Bumi Sokalima yang merupakan bagian kecil dari Negara Pancalaradya”

“Engkau pun aneh Durna, jika engkau mau menerima Negara Cempalaradya, bukankah Bumi Sokalima menjadi milikmu?”

“Sucitra aku tidak ingin berbantahan dan bersengketa denganmu di hadapan para cantrik dan murid-muridku karena engkau adalah sahabatku. Cukup dengan merelakan Bumi Sokalima, hutangmu aku anggap lunas, dan diantara kita tidak ada masalah lagi.

“Durna! apakah kau kira aku tidak tahu kedengkian yang berada di balik jalan pikiranmu. Karena sesungguhnya engkau akan lebih berkuasa dengan mengembalikan Negara Pancalaradya kepadaku. Demikian pula ketika kami kau biarkan hidup, orang akan menilaimu sebagai seorang Guru yang penuh belas kasih. Dan itu semuanya akan semakin dikuatkan dengan keberadaanmu di Bumi Sokalima sebagai maha guru yang mempunyai pengaruh tak terbatas. Oo Durna, Durna…”

Durna tidak lagi mempedulikan omongan Durpada, Guru besar Sokalima tersebut melangkah

meninggalkan Pendapa sembari memberi isyarat kepada Bimasena untuk mengantar kembali Durpada dan Gandamana ke Negara Pancalaradya.

Napas Sucitra mulai tidak teratur, ada gejolak emosi yang sengaja diredam. Pertemuannya dengan Kumbayana selain membawa pikiran dan perasaannya mengembara ke masa lalu sebagai sahabat, tetapi juga menyadarkan bahwa mereka sekarang bukan lagi sahabat. Mereka adalah dua orang musuh yang seorang menagih hutang, sedangkan yang lain membayar hutang. Sucitra ingin membayarnya lunas hutangnya, Sedangkan Kumbayana belum mau menerima pelunasan. Ia ingin mempermainkan Sucitra sepuas-puasnya dihadapan murid-muridnya.

“Baik Durna!“ Jika sekarang engkau tidak membunuhku dan Gandamana, jangan menyesal jika suatu hari nanti akulah yang akan membunuhmu!”

Pada saat kemarahannya merambat sampai ke ubun-ubun, Puntadewa, Bimasena dan Harjuna menghampirinya dengan penuh hormat. Keuali Bimasena, mereka menyembah Prabu Durpada dan Gandamana sembari bersimpuh di hadapannya. Gejolak amarah yang memuncak berangsur turun. Mereka sungkan untuk mengumbar amarahnya di hadapan anak-anak Pandudewanata.

Sepeninggal Pandita Durna ke ruang dalam, suasana menjadi lengang, para murid dan penduduk Sokalima berangsur-angsur

meninggalkan halaman pendapa induk padepokan. Prabu Durpada dan Raden Gandamana tidak menolak ketika dibimbing Puntadewa dan Harjuna serta Bimasena untuk meninggalkan pendapa padepokan menuju gledhekan (jalan besar di depan pendapa induk). Dua ekor kuda tunggangan telah disiapkan bagi kedua orang pepundhen tersebut. Dengan senyum keramahan beberapa orang cantrik mempersilakan Prabu Durpada dan Gandamana naik ke punggung kuda. Sebelum masing-masing memacu kudanya, mereka menoleh ke arah anak-anak Pandudewanata dengan tatapan mata yang sulit diterjemahkan. Mungkin Durpada dan Gandamana bangga mempunyai cucu-cucu seperti para Pandawa. Mungkin juga orang nomor satu dan nomor dua dari Pancalaradya tersebut menganggap para Pandawalah yang menjadi penyebab Durna dapat mempermainkan mereka seenaknya di depan umum. Tetapi mungkin juga Raja dan Patih Pancalaradya tersebut mengucapkan terimakasih, karena atas jasa cucu-cucu Pandawa mereka telah terbebas dari belenggu rantai karma.. Tetapi yang pasti, di dalam hati Prabu Durpada telah tumbuh dendam baru dan tentunya dendam itu akan dihidupi di dalam hidupnya.

Suara keteprak kaki kuda yang membawa Durpada dan Gandamana meninggalkan luka di tanah. Luka itu semakin panjang, sepanjang perjalanan hidup Prabu Durpada dan Gandamana.

  QUOTE

13-05-2011, 10:03 PM   #35

izroilblackarmy aktivis kaskus 

 UserID: 509004 Join Date: Jul 2008Posts: 605

Kidung Malam 22Lahirnya "Anak-Anak Pujan"

Dengan hadirnya dua bayi tersebut, maka anak Prabu Durpada menjadi tiga, karena sebelumnya sang Permaisuri Dewi Gandawati telah mempunyai satu anak yang bernama Dewi Durpadi.

Diceritakan kembali para Kurawa dan Pandhawa yang telah menuntaskan pelajaraannya di Sokalima semakin jarang datang menghadap Pandhita Durna. Sesungguhnya sang guru sendiri menginginkan agar murid-muridnya tidak henti-hentinya belajar mengembangkan ilmu-ilmu yang telah diajarkan. Karena tanpa usaha untuk memperdalam dan mengembangkan secara pribadi, ilmu-ilmu yang telah tuntas diterima tersebut akan berhenti sebagai ilmu tanpa menghasilkan buah seperti yang diharapkan.

Diantara para murid Sokalima, dua diantaranya sangat menonjol. Baik dalam hal penguasaan terhadap ilmu yang diajarkan maupun dalam hal sikap bakti dan kesetiaan seorang murid kepada guru. Bagi Durna, dua murid yang adalah Bima dan Harjuna tersebut, sudah cukup untuk mengobati kekecewaan Durna terhadap murid-murid yang lain. Ia sangat bangga kepada Bima dan Harjuna. Jika murid lain menganggap Durna pilih kasih maka Durna selalu mengatakan: “Salahkan aku, sebagai guru menaruh perhatian khusus kepada murid-murid berprestasi? Dosakah aku, sebagai seorang guru mencintai murid-murid yang patuh berbakti, dan setia menjunjung tinggi nama sang guru? Jika kalian ingin mendapat perhatian dan rasa cintaku seperti yang aku berikan kepada Bimasena dan Harjuna, berusahalah patuh, setia dan berprestasi seperti mereka.”

Durna memang selalu memberi ukuran yang sesuai dengan ukuran yang dibutuhkan setiap pribadi murid-muridnya. Sehingga masing-masing murid menjadi berbeda-beda dalam menerima perhatian dari Guru Durna. Cara tersebut sengaja dilakukan Durna untuk dapat mengenali murid-muridnya satu-persatu secara khusus. Dari apa yang ditangkap secara lahir dan dirasakan secara batin, Durna tahu bahwa murid-muridnya terpecah menjadi dua kekuatan yang saling berhadapan dan bermusuhan. Satu dipihak Kurawa dan yang lain dipihak Pandhawa. Dari kejadian-kejadian yang disaksikan Selama bertahun-tahun, Durna mendapat firasat bahwasannya, sesama darah Barata ini kelak akan terjadi perang dahsyat. Oleh karennya Sang mahaguru Durna akan menempatkan perhatian dan kasihnya sesuai dengan yang dibutuhkan murid-muridnya.

Sehubungan dengan hal yang sangat penting dan rahasia tersebut, pada menjelang tabuh 11 malam, Durna memanggil Harjuna murid kesayangannya untuk datang menghadap di Sokalima.

  QUOTE

13-05-2011, 10:04 PM   #36

izroilblackarmy aktivis kaskus 

 UserID: 509004 Join Date: Jul 2008Posts: 605

Kidung Malam 23Mewariskan Pusaka

Menjelang tengah malam, Harjuna memasuki halaman padepokan Sokalima. Temaramnya cahaya lampu minyak menyambut wajah halus nan tampan di pintu gerbang padepokan. Wajah tersebut sudah sangat dikenal oleh para cantrik yang jaga, sehingga dengan serta-merta mereka menyambutnya dengan penuh hormat, dan mengantarnya sampai di depan pintu, tempat sang guru menanti.

Sang Guru Durna sudah cukup lama duduk bersila di ruang dalam menghadap meja dengan lampu minyak yang diletakkan di tengah-tengahnya. Di meja pendek itulah Guru Durna meletakan pusaka andalan yang berujud busur panah pemberian Batara Indra, namanya Gandewa. Kedahsyatan pusaka ini adalah, jika busur tersebut ditarik di medan perang, akan mengeluarkan anak panah dengan jumlah tak terbatas, dapat mencapai ratusan ribu, tergantung dari pemakainya. Sesungguhnya busur ini akan diwariskan kepada Aswatama, anak laki-laki satu-satunya. Namun rupanya sang guru Durna tidak cukup puas dengan kemampuan Aswatama. Dibandingkan dengan murid-murid yang lain, Aswatama tidak memiliki keistimewaan, sehingga jika pusaka Gandewa dipercayakan kepada Aswatama, ia akan mengalami kesulitan untuk menggunakannya, apalagi jika harus menarik busur Gandewa di medan perang.

Dengan mempertimbangkan kemampuan yang ada, terlebih pada penguasaan berolah senjata panah, maka Harjunalah yang mempunyai kemampuan memanah jauh meninggalkan murid-murid yang lain. Maka tidak dapat disalahkan jika Harjuna lebih diistimewakan dibanding murid-murid yang lain, termasuk juga Aswatama, karena Harjuna memang istimewa.

Suara gemerit menandakan pintu ruang tengah dibuka.

“Saya datang menghadap di tengah malam ini bapa guru,

maafkan saya”

“Masuklah Harjuna, aku telah lama menunggumu.”

Dengan langkah hati-hati Harjuna memasuki ruangan, menyembah, untuk kemudian laku dhodhok dan duduk menunduk di hadapan sang guru Durna. Mata Harjuna menatap sebuah busur yang pernah diperlihatkan kepadanya. Ada getar yang kuat di hati Harjuna melihat busur Gandewa yang sengaja diletakan dan disiapkan di meja. Sebagai murid yang lantip dan cerdas Harjuna dapat membaca bahwa ada hubungannya antara pemanggilan dirinya dengan pusaka Gandewa.

Suasana menjadi hening dan khidmat ketika Durna mengawali pembicaraan yang wigati dan serius.

“Harjuna murid yang aku kasihi, engkau tahu pusaka ini adalah pemberian Batara Indra pemimpin para Dewa. Diberikan padaku karena ketekunanku menjalani laku belajar ilmu memanah, baik secara lahir dan juga secara batin. Sehingga bagiku busur Gandewa ini merupakan tanda puncak prestasiku dalam hal ilmu memanah.

Namun sekarang aku tidak muda lagi, apalagi fisikku cacat sehingga tidak mungkin berprestasi seperti dulu lagi. Oleh karenanya, busur Gandewa ini sebaiknya aku wariskan kepada murid yang dapat mencecap ilmu memanahku dengan tuntas.

Pada mulanya aku memang berharap banyak kepada anakku Aswatama, namun dengan jujur aku mengakui bahwa ia tidak mampu mewarisi pusaka dahsyat ini, dikarenakan ilmu memanahnya tidak sempurna. Harjuna tentunya engkau dapat membaca arah pembicaraanku ini. namun pasti engkau tidak akan pernah menduga rencanaku atas pusaka ini.”

“Ampun Bapa Guru, saya tidak akan pernah mengungkapkan isi hatiku, sebelum Bapa Guru mengatakan kepadaku. Karena sesungguhnya, bapa guru dapat membaca isi hatiku.”

“He he he, Harjuna engkau memang murid yang selalu bisa membuat aku bangga. Kepatuhan, ketekunan, kemampuan dan kesetiaan yang telah engkau baktikan kepadaku selama ini adalah dasar pertimbanganku untuk memberikan semua ilmu yang ada padaku, khususnya ilmu memanah. Sehingga dengan demikian kemampuan memanah yang telah engkau kuasai sejajar dengan dengan kemampuanku. Jika aku lebih unggul dalam pengalaman, engkaupun lebih unggul dalam hal tenaga.

Harjuna bocah bagus, seorang guru sejati akan sangat berbahagia

jika dapat menghasilkan murid yang mempunyai kemampuan melebihi gurunya. Maka untuk itulah aku memanggilmu secara khusus di tengah malam ini untuk menyempurnakan ilmu memanah yang telah aku ajarkan padamu.”

Tangan Durna yang mulai menampakan keriputnya tersebut bergetar, dengan perlahan dan hati-hati ia mengambil pusaka Gandewa.

“Terimalah pusaka ini, Harjuna”

“Bapa Guru”

“Seperti ketika aku menerima pusaka ini dari Batara Indra, demikian pula aku memberikan pusaka ini kepadamu sebagai tanda penghargaan atas prestasimu dalam ilmu memanah.”

“Adhuh Bapa Guru, apakah aku cukup pantas menerima penghargaan yang demikian tinggi? Tidakkah Aswatama yang lebih berhak menerima warisan pusaka dari Bapa Guru Durna?”

“Harjuna, purbawasesa ada padaku, aku masih percaya bahwa engkau tidak akan pernah mencoba untuk tidak taat kepada perintahku.”

“Ampun bapa guru Durna, dengan penuh rasa bakti dan hormat pusaka Gandewa aku terima. terimakasih bapa guru atas penghargaan ini.”

Dengan perlahan tangan Harjuna dijulurkan menerima pusaka Gandewa.

Di sisi gelap, jauh dari jangkauan cahaya lampu minyak, ada sepasang mata yang sejak awal memperhatikan dialog antara guru dan murid tersebut. Pada saat pusaka Gandewa telah berpindah ke tangan Harjuna, dari ke dua sudut mata tersebut menyembul airmata bening berkilau. Walau hanya beberapa tetes, namun telah mampu membasahi ke dua pipinya.

  QUOTE

13-05-2011, 10:05 PM   #37

izroilblackarmy aktivis kaskus 

Adipati Karna

Beberapa jam sebelum sebelum pagi, sebelum gelombang pertempuran meledak lagi di Kurusetra, Karna tepekur sendirian di dalam kemahnya. Istrinya tidur pulas di peraduan. Karna tahu, hidupnya tak lama lagi. Karena itu, ia menulis sepucuk surat

 UserID: 509004 Join Date: Jul 2008Posts: 605

kepada Surtikanti istrinya.

“Peramal menujum aku akan tewas dalam perang ini. Tapi jangan dengarkan mereka, Surtikanti. Dengarkanlah aku. Nasib mungkin memihak musuh. Tapi aku akan menghadapi mereka - juga bila harus melalui mati.

“Mati, saat ini, rasanya bukan lagi soalku, Istriku. Mungkin karena alasan perangku lebih besar ketimbang hidup. Atau setidaknya alasan itu adalah alasan kehidupan sendiri: aku berperang untuk mengukuhkan siapa aku. Di pagi nanti, Karna tewas atau Karna menang, keduanya akan menentukan siapa dia. Sebab, siapa sebenarnya aku, Surtikanti, selama ini, selain seorang yang tak jelas kastanya, tak jelas asal-usul, tak jelas kaumnya?

“Jangan kau sedih. Aku memang mengulang kegetiranku. Di dunia kita yang telah dinubuat ini, Istriku, seseorang hanya mendapatkan dirinya tak jauh dari pintunya berangkat. Betapa menyesakkan! Sebab itu, Istriku, aku harus membuktikan bahwa seseorang ada, seseorang menjadi, karena tindakannya, karena pilihannya - bukan karena ia telah selesai dirumuskan.

Seorang resi pernah berkata: pada mulanya adalah Sabda, dan Sabda menjadi Kodrat. Bagiku, pada mulanya adalah perbuatan. Dari perbuatan lahir pengetahuan, dan dengan pengetahuan itu aku bisa merumuskan diriku. Bagiku, Surtikanti, Kodrat adalah sesuatu yang tidak ada; dewa-dewa tak pernah menyabdakannya. Telah kuduga itu ketika namaku masih Si Radheya. Dulu.

“Kini bisa kuceritakan kepadamu apa yang terjadi pada Si Radheya, ketika ia berumur 16 tahun: hari itu ia tahu bahwa ibunya bukanlah ibunya yang sebenarnya, dan bapaknya — seorang sais — bukanlah bapaknya yang sebenarnya. Ia anak pungut, Surtikanti.

Ada yang menduga, seorang putri bangsawan tinggi melahirkan bayi yang tak dikehendaki dan membuangnya ke air. Dan itulah aku. Aku menangis ketika semua itu dituturkan padaku oleh wanita yang selama ini kusebut ibuku. Ternyata, aku bukan lagi bagian seasal dari dirinya, betapapun ikhlasnya kasih sayang.

Dan mulai saat itu, aku kembali terbuang, seorang bocah yang hanyut, di sepanjang tepian.

“Lalu kucari ilmu, istriku. Kau tahu, mengapa? Ilmu akan mengukuhkan aku bukan cuma anak suta yang hina. Meskipun kukatakan kepada Radha, ibuku, bahwa ilmu tak mengenal kasta, tak memandang harta — dan karena itu di sanalah aku akan

bebas — sesungguhnya aku berjusta, juga pada diriku sendiri: diam-diam aku ingin ingkar kepada kelas orang-orang yang mengasihiku. Sebab, ternyata di dunia kita yang menyesakkan ini, Surtikanti, ilmu pun telah jadi lambang tentang mana yang rendah, mana yang tinggi.

“Aku datang berguru kepada Durna, tapi Durna menolakku karena aku bukan ningrat, bukan kesatria. Aku datang kepada Bhargawa, mengaku anak brahmana dan jadi muridnya - tapi kemudian ia mengutukku ketika ia menuduhku anak kesatria, kelas yang dibencinya itu, yang berbohong.

“Memang, setelah kukuasai semua astra dan semua senjata, aku tahu ilmu bisa melepaskan kita dari perbedaan susunan rendah dan tinggi. Tapi akhirnya hanya tindakan besar yang membebaskanku tindakan Pangeran Duryudana. Dialah yang mengangkatku jadi penguasa di Angga, istriku, dan dari sanalah aku seakan lahir kembali: kini benar aku bukan anak kasta yang dihinakan. Dan aku meminangmu.

“Ya, aku tahu mengapa Duryudana mengangkatku, ketika para Pandawa menghinaku, di pertandingan memanah di arena Hastina belasan tahun yang lalu itu; mereka menolak melawanku karena bagi mereka, anak sais tak berhak bertanding dengan anak raja.

Duryudana ingin memperlihatkan, di depan rakyat yang menonton, betapa tak adilnya para Pandawa. Dan Putra Mahkota Kurawa itu mungkin juga memperhitungkan aku bisa digunakannya buat menghadap musuhnya yang lima itu.

“Tapi apa pun niat hatinya, tindakannya adil dan kata-katanya benar: ‘Keberanian bisa datang dari siapa saja, karena seorang kesatria ada bukan hanya karena ayahbundanya, tapi toh bisa keluar dari batu gunung yang tak dikenal.

“Rasanya, akulah salah satu batu gunung itu, Surtikanti, yang menerbitkan perciknya sendiri. Inilah kemerdekaanku. Arjuna memilih pihaknya karena darah yang mengalir di tubuhnya, aku memilih pihakku karena kehendakku sendiri. Arjuna berperang untuk sebidang kerajaan yang dulu haknya, aku berperang bukan untuk memperoleh. Maka, jika aku esok mau, istriku, kenanglah kebahagiaan itu. Satu-satunya kesedihanku ialah bahwa aku tak akan lagi bisa memandangmu, ketika kau memandangku.”

Sampai di situ Karna berhenti; tangannya tergetar. Tapi segera ia mengusap busur panah di sisi duduknya. Kurusetra senyap. Malam mengerang kesakitan. Keesokan harinya, Karna memang gugur di tangan Arjuna, saudara seibunya.

  QUOTE

13-05-2011, 10:26 PM   #38

izroilblackarmy aktivis kaskus 

 UserID: 509004 Join Date: Jul 2008Posts: 605

Baratayuda : Kresna Gugah (1)By MasPatikrajaDewaku

Perang Baratayuda, perang dimana terjadi bagaimana prajurit yang maju menjadi senapati, memetik hasil dari apa yang telah ditanam dan disisi lain meluwar janji yang pernah terucap.Semua kejadian adalah bermula dari konflik keluarga keturunan langsung dari Resi Wiyasa Kresna Dwipayana.Tiga orang puteranya: Drestarastra sang cacat netra sebagai anak sulung, Pandu Dewanata anak penengah dan Arya Yamawidura sebagai anak bungsu.Ketika Prabu Wiyasa hendak menyerahkan tahta lengser keprabon Astina dan hendak menyucikan diri ke Sapta Arga, dipanggilnya ketiga puteranya. Dan dengan ikhlas disaksikan para saudara dekat termasuk Resi Bhisma atau Sang Jahnawisuta Dewabrata, yang secara garis adalah sebenarnya pewaris trah Barata, Drestarastra menyerahkan tahta haknya hingga ke anak cucu turunnya kepada adik penengah, Pandu Dewanata.Sayang, atas kelicikan dan gosok kerti sampeka sang maha julig adik ipar Drestarastra, yaitu Arya Gendara Sangkuni, seratus anak Drestarastra, dikenal sebagai trah Kurawa, menjadi manusia-manusia bermoral buruk yang kurang tata krama.Puntadewa, anak sulung trah Pandawa, anak Pandu yang telah mangkat, seorang yang tidak bisa berkata tidak, masuk dalam perangkap pokal akal-akalan Sengkuni dengan mengadakan permainan dadu.Trah Pandawa yang telah mempunyai negara sendiri, hasil dari membuka hutan Wisaamerta, dan menjadikannya sebuah istana indah bernama Indraparahasta atau kerajaan Amarta, terpaksa kalah dalam olah permainan curang Sengkuni. Perjanjian telah disepakati, pihak kalah akan dibuang ke hutan Kamyaka selama

12 tahun dan melakukan penyamaran disuatu tempat selama setahun terakhir masa pembuangan. Bila penyamaran diketahui pihak Astina, maka pembuangan harus diulang selama waktu yang sama.Tigabelas tahun hampir lewat. Ketika Astina kedatangan seorang raja seberang bernama Prabu Susarman, raja dari negara Trikarta. Bujuk rayu Susarman menghasilkan serbuan bermotif menggelar jajahan ke Negara Wirata, dan berakhir gagal.***Syahdan, dalam sidang agung Negara Astina, Sang Duryudana sangat jengkel ketika prajurit Astina kembali dengan tangan hampa ketika pulang dari Wirata dalam misi menaklukkan negara itu.Negara yang tadinya diperkirakan telah lemah karena ditinggalkan tiga orang agul-agul senapati, Sang Kencakarupa, Rupakenca dan Rajamala yang diberitakan tewas ditangan seorang jagal, ternyata berakhir dengan kegagalan telak. Malah Prabu Susarman, bala bantuan dari Negara Trikarta yang semula mengipasi agar Sang Duryudana mau menaklukkan Wirata, tewas mengenaskan.Kekuatan Wiratha menurut perhitungan semula hanya tinggal dua dari tiga putera Baginda Matswapati Raden Utara dan Raden Wratsangka. Sudah sangat berkurang kekuatan negara itu, karena Resi Seta sang putra sulung yang sakti mandraguna, lebih senang dengan olah kapanditan, dan saat itu sedang bertapa tidur di Pertapan Suhini atau Sukarini.Upaya Sang Duryudana untuk sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui, menaklukkan Wirata sambil mencari keterangan tentang adanya trah Pandawa dalam masa penyamaran, sekalian dilakukan. Bila ditemukan disana, maka mereka harus mengulang lagi masa pembuangannya selama genap tigabelas tahun bakal terlaksana.Padahal masa pembuangan duabelas tahun dan masa penyamaran satu tahun, sudah hampir berakhir ketika itu.Selesailah masa perjanjian itu, ketika perang gagal dalam menggelar jajahan berakhir“Hmm . . . . Paman Harya Sengkuni, kekalahan ini merupakan kegagalan beruntun. Pertama. . . . . . , pasti. ., negara Wirata gagal menjadi jajahan kita. Kedua, berakhirnya peperangan Astina dan Wirata, menandai habisnya waktu perjanjian pembuangan para Pandawa” Prabu Duryudana akhirnya bersabda setelah beberapa waktu diam dengan pergolakan pikiran penuh sesal atas misi yang berakhir dengan kekalahan telak yang memalukan.“Dengan berakhirnya waktu perjanjian ini pasti Pandhawa akan segera menagih haknya untuk kita mengembalikan Astina dan Indraparahasta yang dulu dipertaruhkan dalam permainan dadu” Kembali sang Duryudana menyambung pembicaraannya dengan masygul.

Prabu Salya, raja Mandaraka, mertua dari Prabu Duryudana dan Adipati Karna yang ikut hadir dalam sidang menyela “ Benar angger Prabu, sabda raja adalah perkataan yang tidak dapat diasak, tidak usahlah kiranya angger prabu kukuh dalam mempertahankan lagi hak yang seharusnya harus dilepaskan, karena perjanjian telah berakhir. Bila nanti Angger bersedia, Negara Mandaraka akan saya pasrahkan untuk angger prabu. Saya sudah tua ngger, saatnya bagiku untuk menjauhi keramaian dan aku siap menyepi, kembali ke Argabelah” .Sejenak suasana sidang sunyi.“Anak Prabu” Sang mahajulig Sengkuni memecahkan kesunyian,” Negara Mandaraka tidaklah sebesar Astina, tidak sebanding, apalagi dibandingkan luas Astina yang digabungkan dengan Amarta. Mau dikemanakan anak anakku Kurawa yang seratus itu bila hanya negara seluas Mandaraka yang diharapkan menampung sejumlah keponakanku semua . . ?” demikian Sang Patih Sengkuni memberikan alasan, ditambahkan lagi segala pertimbangan bermacam macam yang intinya tidak menyetujui jika Negara Astina beserta seluruh jajahannya diserahkan ke trah Pandawa.Demikian juga dengan Adipati Karna, seorang anak angkat kusir Radeya yang dirangkul dan dijadikan tetunggul senapati dan berpikiran menurut sudut pandang keprajuritan menambahkan :” Yayi Prabu, apakah menurut yayi, saya sebagai seorang yang sudah dibuat kenyang dengan segala kebaikan, kemurahan hati dan keluhuran yang tiada terhingga, merasa masih kurang dalam memberikan tetameng terhadap keluhuran derajat Yayi Prabu? Sehingga dengan mudahnya menyerahkan kembali negara tanpa harus mengandalkan peperangan. Jangan berpikir sebagaimana berpikirnya orang yang tua yang sudah rapuh, sehingga menganggap penyerahan negara adalah hal yang bermartabat? Tidak. Keutuhan negara harus dibela dengan pecahnya dada dan mengalirnya darah...!”Prabu Salya merasa tidak senang dengan perkataan Adipati Karna, yang dengan tanpa sengaja mengusik rasa sang Prabu Salya. Dalam hatinya perkataan itu ditujukan kepada dirinya. Kemarahan Sang Narasoma tua menggelegak. Tudingan kemarahan jatuh kepada Adipati Karna Suryatmaja sontak mengalir bagaikan banjir bandang.“ Heh Karna.!,Dari tiga orang mantuku, kamulah satu-satunya mantu yang tidak pernah memberi rasa puas terhadap mertua, celaka benar nasib anakku Surtikanti dapat suami kamu, suami yang seharusnya dahulu bukanlah kamu, tapi Arjuna. Atas kemurahan Arjuna-lah kamu menjadi mantuku. Prabu Baladewa, raja Mandura, menantuku yang gagah perkasa, tetapi didepanku menyembah kakiku. Prabu Duryudana, raja kaya raya. Didepanku takluk juga menyembah. Tetapi kamu itu siapa? Adipati kecil, tetapi tingkah lakumu selalu tidak berkenan dalam hatiku. Sudah jarang datang ke Mandaraka, juga tak

sekalipun kamu datang dengan membawa kebahagiaan, kalaupun datang pasti membawa masalah . . . . . . “ Panjang lebar Prabu Salya memarahi sang mantu dipersidangan , sekalipun beberapa kali dicoba kemarahannya dipenggal oleh menantu yang lain, Prabu Duryudana.Merasa sudah lega dengan memuntahkan segala kemarahan yang melebar kesana kemari kepada menantunya, Prabu Salya meminta diri: “ Angger Prabu, pikirlah kembali dengan beningnya hati. Tetapi apapun yang terjadi nanti, bila Angger masih berkenan dengan tenaga orang tua ini, pastilah aku akan datang kembali ke Astina”“Aku sudah kangen dengan Ibumu Setyawati. Ketika sudah tua semacam aku ini, pergi sebentar saja, rasaku gampang sekali kepengin kembali ketemu dengan ibumu” Prabu Salya berkilah.Selepas kembalinya Sang Prabu Salya ke Mandaraka, sidang menetapkan, bagaimanapun Astina dan Indraparahasta dan seluruh jajahannya tetap akan dipertahankan. Sang Pendita Durna-pun dengan berat hati setuju dengan keputusan ini. Semua menganggap, para sesepuh Astina yang maha sakti seperti Sang Bhisma Jahnawisuta dari Talkanda, tidak akan tertandingi bila sudah berkenan maju dalam peperangan nanti.Usahanya tinggal selangkah lagi, karena berdasarkan wangsit, peperangan besar Baratayuda bakal dimenangkan, bila sudah dapat menggaet Prabu Kresna yang sedang bertapa tidur di Balekambang. Usaha inipun sudah yakin dapat dicapai bila Prabu Baladewa yang merupakan kakak Sri Kresna dapat dirangkul untuk membangunkan adiknya, sekalian mengajaknya bergabung di Astina.Apa yang diperhitungkan oleh Sang Duryudana perihal akan datangnya utusan dari para Pandawa memang benar adanya. Diluar sudah menunggu ibu dari para Pandawa, Dewi Prita, Kuntitalibrata dengan ditemani sang ipar, Adipati Yamawidura dari Ksatrian Panggombakan.Setelah dipersilakan duduk, Sang Prita dengan santunnya mengutarakan maksud kedatangannya.“Anakku ngger Duryudana, seperti yang sudah tersiar luas dijagat ini, bahwa sudah pundhat masa pengasingan anak anakku Pandawa. Itu sudah masa lalu. Sekarang angger, sebagai utusan dari kelima anakku, aku meminta ketegasan, kapan waktunya peristiwa diperbolehkan kembali Pandawa ke Astina beserta dipulihkannya kedaulatan atas Negara Amarta bakal dilaksanakan. . . . ?”

Last edited by izroilblackarmy; 13-05-2011 at 11:33 PM..

  QUOTE

13-05-2011, 10:43 PM   #39

capcay666 keren gan

kaskuser 

 UserID: 2194885 Join Date: Oct 2010Posts: 281

update lagi donk

saya pengen mendapatkan pengetahuan dunia wayang

bisa di ceritakan tentang :

Pandu DewanataPrabu Sentanu

menarik sekali ini gan

QUOTE

  #40

Baratayuda : Kresna

Gugah (2)By MasPatikrajaDewaku

Sang Dewi juga mengatakan bahwa kedatangannya disertai Arya Yamawidura, adalah merupakan saksi atas ucapan kesediaannya mewujudkan janji yang telah diucapkan ketika permainan dadu hendak dilaksanakan dulu.Prabu Duryudana terdiam. Dalam hatinya bergolak pikiran bagaimana cara mengatakan tidak kepada utusan

itu, yang tak lain adalah orang yang dihormatinya. Bahkan oleh ayahandanya sendiri Adipati Drestarastra.Tetapi oleh sang pembisik disekeliling Sang Prabu yang selalu menggosoknya dan nafsu Sang Prabu terhadap kekuasaan telah sedemikaian besar, kata Sang Prabu dengan tanpa mengindahkan tata krama dan seribu alasan, malah mengusir Dewi Kunti: “ Bibi sudahlah, bibi pulang saja kemana saja bibi mau,sekarang saya belum terpikir kapan akan mengembalikan semua yang telah dijanjikan dulu”.Kunti hanya bisa meratap kepada adik iparnya, sang Yamawidura. Harapan besar yang telah diusungnya dari Wirata atas kembalinya negara Astina kepada anak-anaknya musnah sudah. Segera diboyongnya kembali Dewi Prita yang pingsan keberatan dengan beban batin, untuk sementara bermukim di Ksatrian Panggombakan.

Segera Sang Yamawidura mengutus seseorang untuk mengabarkan apa yang terjadi terhadap Dewi Prita kepada anak anaknya di Wirata.*Prabu Drupada, raja Pancalaradya, yang datang kemudian atas inisiatif sendiri, sebagai duta juga dipandang remeh, dihinanya Sucitra tua itu yang hanya bisa menahan marah, dan keluar tanpa pamit dari sidang agung.Keriuhan dalam sidang sampai juga ditelinga Adipati Destarastra, Adipati cacat netra ini segera minta dituntun sang istri, Dewi Gendari, menuju sidang agung yang sudah ditinggalkan oleh Dewi Kunti dan Prabu Drupada dengan perasaan masygul.“Heh anakku Duryudana, aku dengar dari dalam tadi ada pertengkaran. Apa yang terjadi ngger, baiknya jujur saja katakan kepada bapakmu ini??”. Dengan plintat-plintut Duryudana menceritakan apa yang baru saja terjadi. Terperangah

sang Drestarastra. Segera dia minta dipertemukan dengan Prabu Drupada, yang dengan kesaktiannya pasti mampu menaklukkan anaknya, untuk dimintai seribu maaf atas kurangnya tata susila yang dilakukannya tadi.***Balekambang. Sebenarnyalah Sri Kresna sedang meraga sukma. Secara kewadagan kelihatan Sri Kresna tertidur dalam bertapa, namun sebenarnya sukma sang Kesawa sedang pergi menghadap haribaan Sang Hyang Guruloka untuk mecari keterangan mengenai isi kitab Jitapsara. Kitab skenario pelaksanaan Perang Baratayuda yang berdasarkan jangka kadewatan sudah saatnya dibuat oleh Hyang Jagatnata dan ditulis oleh Batara Penyarikan, sekretaris Kahyangan.Maka ketika Para Kurawa datang hendak membangunkan dan mengajaknya bergabung, tidak satupun berhasil

membangunkan. Mereka satu persatu melakukan usaha untuk mencoba dengan caranya sendiri sendiri.Prabu Karna datang membangunkan dengan meraba leher sang Sri Kresna, menandakan leher adipati Karna akan terpenggal dan tewas dalam Baratayuda. Terkena pagar kesaktian diri Sri Kresna, Adipati Karna seketika terbanting tak sadarkan diri.Demikian juga dengan Arya Dursasana yang datang membangunkan dengan menggerayangi dan menggoyang seluruh tubuh dan persendian Sri Kresna. Kejadian ini sebagai pertanda akan terpotong potongnya jasad Arya Dursasana dalam Baratayuda. Walat atau pagar diri Sri Kresna juga berlaku ketika Resi Durna mencoba membangunkan dengan memegang leher Sang Tapa.Prabu Duryudana akhirnya datang sendiri dengan memegang dan mengelus paha Sri Kresna, ini sebagai

pertanda bahwa kelak pada peperangan Baratayudha, Prabu Duryudana akan tewas dengan tertebas Gada Rujakpolo, gada Raden Werkudara, pada paha kirinya.Karena tidak kunjung terbangun, makin lama semakin keras menggoyang paha Sri Kresna. Terkena walat sang Kresna seketika Prabu Duryudana juga sama dengan para bawahannya, terbanting tidak sadarkan diri. Geger para prajurit yang lain, seketika itu tidak ada satupun Kurawa yang berani mencoba membangunkan.Ketika suasana sudah bisa diatasi dan tenang kembali, kesepakatan rembuk terjadi, mereka mengundurkan diri terlebih dulu sambil menunggu datangnya Prabu Baladewa sebagai usaha mereka yang terakhir.*Para Pandawa datang juga akhirnya. Waspada Prabu Yudistira, bahwa Sri Kresna sejatinya tidak sedang bertapa tidur, melainkan sedang

meraga sukma, ditinggalkannya wadag. sementara sukma sang Narayana pergi entah kemana.“Adikku Werkudara, kamu sudah pernah merasakan, bagaimana bertemu sang Guru Sejatimu, DewaRuci, tatkala kamu menceburkan dirimu ke samudera Minangkalbu dahulu. Sekarang ketemukan kakang Kresna. Ajaklah kembali ke raganya dan persilakan beliau untuk pulang bersama kita ke Wirata, untuk menjadikannya jaya trah kita Pandawa dalam perang Baratayudha bila benar akan terjadi nanti adimas”“Apa gunanya Si Arjuna yang lebih dari sakti, yang juga merupakan tukang tapa, sesama titis Wisnu dan lebih dekat dengan Kresna, kenapa dia tidak ada usaha yang mestinya tidak lagi harus diberi perintah??!”. Tukas sang WerkudaraSang Arjuna yang dari tadi diam disindir kakaknya Bima, sejatinya sedang mengheningkan cipta, meraga sukma

mencari dimana gerangan sukma kakak iparnya, Sukma Wicara, berada.Arjuna adalah sesama titisan Wisnu yang membelah diri bagaikan api dan panasnya. Ketika melihat raga Sri Kresna yang sedang tergolek, tak ada keraguan baginya bahwa Sri Kresna tidak bersukma. Ikutlah sang Arjuna meraga sukma dengan nama Sukma Langgeng meninggalkan raga dan saudara-saudaranya.***

Diceritakan, ketika itu di Kahyangan Jonggiri Kaelasa atau Jonggring Salaka, Batara Guru sedang bersidang menetapkan siapa saja yang masuk dalam agenda perang Baratayuda.Batara Panyarikan dengan pena ditangan dan tinta dihadapannya menulis skenario apa yang dikatakan oleh Sang Jagad nata.Telah ditulisnya sabda dari Batara Guru, dari awal skenario:Raden Utara dan Salya bertanding , Utara terbunuh oleh

Prabu Salya.Raden Wratsangka bertanding dengan Resi Durna, Wratsangka terbunuh oleh Resi Durna.Raden Rukmarata terbunuh oleh panah Resi Seta.Resi Bhisma perang tanding dengan Resi Seta dan terbunuh oleh Resi Bhisma, dan seterusnya.Ketika sampai pada kalimat Prabu Baladewa tanding dengan Antareja dan hendak ditulisnya kedalam daftar skenario, tumpahlah tinta dihadapan Batara Panyarikan ditabrak seekor kumbang penjelmaan Sang Sukma Wicara, sukma dari Batara Kresna yang sedang memata-matai bagaimana Baratayuda tergelar. Gagallah kalimat itu dituliskan.Marahlah Sang Girinata, ditangkapnya kumbang itu, seketika berubah menjadi Sukma Wicara.“Heh Kaki Kresna. . ! kenapa kamu sebagai titahku menggagalkan usahaku dalam menulis naskah ini?”

tanya Batara Guru.“Duh Pukulun, jujur saja, rasa sayang hamba terhadap kakak kandung hamba Prabu Baladewa-lah yang menyebabkan hamba menggagalkan alur kejadian Baratayuda itu. Bukanlah tandingannya bila kakak hamba diadu dengan Antareja”. Jawab Sukma Wicara.“Baik, adakah sesuatu yang dapat kamu berikan menjadi tetukar terhadap jalan cerita Baratayuda dan dapatkah kamu memberikan jalan cerita yang lain sehingga hal yang kamu tidak sukai itu dapat terhindar?” sahut Batara Guru.“Pukulun, saya rela menukarnya dengan pusaka andalan hamba Kembang Wijayakusuma, sangatlah adil dan berharga nyawa kakak hamba bila dibandingkan dengan kembang yang merupakan penghidupan orang yang belum dalam pepasti akhir hidup, pukulun” demikian Sri Kresna menawarkan taruhan atas nyawa sang kakak dengan

pusaka yang merupakan warisan dari Sang Guru, Resi Padmanaba.“Dengan penyerahan ini Pukulun, maka dirasa akan fair-lah perang itu karena hamba tidak dapat lagi menghidupkan kawan yang telah terbunuh”. Tambah Sri Kresna seraya menghiba atas kearifan Sang Jagat Nata.“Sedangkan bagaimana caranya agar kakak hamba Kakrasana agar tidak ikut dalam perang Baratayudha kelak serahkan kepada hamba” Kresna meneruskan.Demikianlah, setelah barter terjadi dan Sukma Wicara telah diberitahu bagaimana jalan cerita dituliskan dalam Jitapsara maka pulanglah Sang Sukma kembali ke menuju raganya.Diperjalanan ketemulah Sang Sukma Wicara dengan Sukma Langgeng.Sukma Langgeng memaksa memberikan kitab skenario kepadanya, tetapi dijelaskan bahwa ini adalah rahasia para dewa dan iapun tidak

diberikan kitabnya hanya diberitahu jalan ceritanya. Sukma Langgeng tidak percaya dengan keterangan itu, dan terjadi perkelahian diantara keduanya.Gegerlah Jonggring Salaka oleh tanding seimbang dan tidak akan berkesudahan. Diutusnya Batara Naradda oleh Hyang Girinata untuk memisahkan keduanya.“ Heh cucu-cucuku. . .!!, Berhentilah . . . !!, Tidak ada gunanya kalian berkelahi, segera masuklah kembali ke raga masing masing. Tugas suci sudah menunggu. Sukma Langgeng percayakan kepada Sukma Wicara yang kelak menjadi pengatur laku dalam peperangan besar nanti !!” Batara Naradda datang dengan memberikan penjelasan panjang lebar kepada Sukma Langgeng atas apa yang terjadi ketika Sukma Wicara menghadap di Kahyangan Jonggring Salaka.Keduanya segera mematuhi titah sang Naradda, turun kembali ke arcapada

masuk ke raga masing masing.

 

Baratayuda : Kresna Gugah (3)By MasPatikrajaDewaku

Gembiralah para Pandawa setelah menerima kesanggupan Sri Kresna untuk diboyong ke Wirata.Belum sempat mereka semua beranjak dari Balekambang, ketika datang Prabu Baladewa menghadang langkah para Pandawa dan Sri Kresna, sambil berkata:“Sukurlah yayi Prabu sudah bangun dari tapamu…! Sekarang marilah adikku, pergi bersama kakakmu ini ke Astina, begitu kan kehendak yayi Prabu Duryudana?” sang Baladewa menegaskan juga ke Prabu Duryudana“Benar kakanda…! Marilah datang berkumpul ke Astina. Disana kakanda bakal saya beri kemukten, asalkan kanda sudi kami boyongi” sang Duryudana juga merayu Sri Kresna.Sri Kresna yang selalu waspada, dengan tidak ketara manampik dan berusaha untuk tidak melukai hati Sang Baladewa, menanyakan kepada Prabu Duryudana: “ Yayi, tujuan akhir yayi memboyong kakakmu ini adalah memenangkan Baratayudha, bukankan begitu?”“Benar kakang Kresna” Dengan nada yakin Duryudana menyahut.“Kalau begitu bukankan lebih baik bila kakakmu yang satu ini ditukar seribu raja beserta para nayakanya sekalian sehingga kekuatan negara Astina niscaya akan lebih kuat sentosa?!” Kresna berusaha memberi alternatif, sambil berusaha bagaimana agar Duryudana mau dirayu.Belum sempat sang Baladewa mencegah jawaban sang Duryudana yang sudah diduganya, dengan cepat Prabu Duryudana menyanggupi menukar satu orang Sri Kresna dengan seribu raja lengkap dengan hulubalangnya. Dalam pikirannya apalah kekuatan satu orang dibandingkan dengan kekuatan yang hendak dibarternya.“Heh yayi Prabu Duryudana, semula apa yang direncanakan dari Astina datang ke Balekambang? Apakah yayi Prabu lupa akan wangsit dewata bahwa siapa yang bisa mendatangkan Kresna bakal unggul dalam perang itu? Bukankan aku didatangkan kemari hendak diutus melakukan itu? Aduh yayi Prabu, alangkah malangnya Kurawa memiliki raja seperti yayi ini . . . . . . . . !!”.Panjang lebar sang Baladewa memarahi Prabu Duryudana. Sri Kresna menyela: “ Sudahlah kanda, sabda raja adalah perkataan suci, harus konsisten, sekali dia berkata, tak layaklah dia mencabut kembali kalimatnya”Segera Sang Kresna menepuk batang beringin tempat bernaung dalam tapanya, seketika daun daun yang berguguran berubah menjadi seribu raja beserta para punggawanya.

“Silakan yayi Prabu Duryudana , pulanglah ke Astina beserta para raja yang kelak menjadi beteng dalam perang yang pasti akan terjadi nanti”.Demikian Kresna bermaksud menyudahi persoalan.“Mari Kakang Prabu, kita segera kembali ke Wirata”, Werkudara segera mengajak Sri Kresna pulang, ”persoalan kita sudah selesai” tambah Bima“Belum !!” bentak Prabu Baladewa“Apa maumu?”sahut Bima kembali “ Kresna harus ikut aku!!” Baladewa kembali membentakTentu saja Bima tidak berkenan, terjadilah perkelahian diatara keduanya. Kekuatan kedua ksatria ini memang hampir seimbang. Baladewa menggunakan kecepatan dan kekuatan untuk mencoba mengalahkan Bima, namun Werkudara juga memiliki kekuatan yang lebih tangguh dalam melawan Prabu Baladewa.Merasa keteteran, Baladewa menggunakan senjata Nenggala. Waspada sang Kresna, didekatinya Werkudara dan dibisiki untuk memancing agar senjata Nenggala menancap ke tanah.Demikianlah, atas pancingan itu senjata Nenggala yang hendak ditujukan ke Werkudara dan dihindari akhirnya menembus tanah dan terjepit hingga tidak bisa dicabut kembali.Sri Kresna mendekati Baladewa yang berusaha keras mencabut pusakanya dari jepitan, disapanya prabu Baladewa: “ Kakang Prabu, paduka tidak dapat melepaskan senjata dari dalam tanah karena sebenarnya kakanda berdosa. Tanah yang tidak bersalah paduka kenai senjata sakti. Akhirnya kejadian inilah yang menyebabkan senjata kanda tidak dapat dicabut kembali. Kandapun nanti akan mendapat kemalangan terjepit bumi dan tidak dapat keluar dari malapetaka itu”.“Aduh adikku, sial benar aku. Bagaimana cara agar aku dapat keluar dari laknat bumi ini yayi??”.ratap Prabu Baladewa “Kanda, paduka harus melakukan penebusan berupa memberikan dana bagi siapapun yang meminta”.*Tersebutlah seorang pengemis, hendak meminta sesuatu kepada Prabu Baladewa yang mendengar kabar Sang Prabu sedang berkelililng membagikan dana.Ia dengan tidak sungkan meminta istri sang prabu, Dewi Erawati, untuk dijadikan sebagai istri. Tidak ingat akan kesanggupannya, marahlah Prabu Baladewa dan dikeluarkan senjata Nenggala dan ditujukan kepada si pengemis. Pengemis itu menghindar dan terserempet senjata itu, dan berubah ujud menjadi Arjuna.Malang kembali menimpa Prabu Baladewa, senjata Nenggala kembali mengenai bumi dan menyebabkan tanah itu berlubang.Ketika hendak mengambil senjata dan masuk kedalam lubang, segera bumi menjepit Sang Prabu hingga sebatas dada.Sekuat tenaga Sang Prabu berusaha melepaskan diri, namun tetap tidak bisa keluar dari jepitan. Sekali lagi ia meminta tolong adiknya.“Kanda Prabu, sekarang dosa kanda makin besar, penebusannya pun semakin besar pula”. Kresna memberikan penjelasan.

Dengan rasa putus asa Baladewapun menyerah atas ampunan dosa yang ia lakukan:“Baik sebesar apapun aku sanggup melakukan penebusan itu asalkan aku terhindar dari dosa yang aku telah perbuat ini”.“Baik, kanda prabu harus melakukan tapa di Grojogan Sewu (air terjun dengan seribu alur). Kanda akan kami sertai dengan anak saya Setyaka. Jangan sekali-kali paduka menyelesaikan laku tapa kanda, bila saya belum menjemput kanda nanti”. Dalam hati Sri Kresna, sekaranglah saatnya mulai untuk mengubah jalan nasib kakaknya itu.Dengan ditemani keponakannya, Prabu Baladewa berangkat bertapa di air terjun dengan bunyi gemuruh, hingga segala bebunyian apapun akan terkalahkan dengan gemuruhnya suara air terjun dengan seribu alur. Raden Setyaka sudah dibekali pesan pesan dari ayahandanya dan dirajah tapak tangannya agar dapat menenangkan sang uwak dengan memegang dadanya, bila Sang Baladewa terlihat gelisah.Inilah sebenarnya usaha Sri Kresna dalam mengubah alur skenario, agar sang Baladewa tidak terlibat dalam perang Baratayuda, seperti janjinya kepada Sang Hyang Guru ketika itu.*Satu masalah selesai. Lalu bagaimana dengan Antareja? Tidak kurang akal dipanggilnya Werkudara,“ Sena, Baratayuda nanti akan terlaksana. Setujukah yayi akan hal ini, termasuk syarat srana yang harus ditempuh agar Pandawa unggul dalam perang?” “Setuju, apapun syarat nya”.sahut Arya Werkudara.“ Nah, syarat itu berujud tumbal berrupa anakmu Antareja, bila dia masih ada, maka Baratayuda yang berrupa perang suci tempat para manusia mengunduh apa yang mereka tanam dan sarana meluwar segala janji, akan gagal. Tidak ada seorangpun yang dapat menandingi kesaktian anakmu yang satu itu”Seketika itu sang Bhima berbalik tidak setuju. Dengan segala cara bujuk rayu dan pemberian pengertian akhirnya dengan berat hati putra Bhima mengerti dan merelakan anaknya sebagai tumbal akan kejayaan Pandawa.Memang demikian, kesaktian Raden Antareja memang luar biasa. Kesaktian turunan dari Sang Hyang Anantaboga, dewa ular, kakeknya. Kesaktian yang berupa lapisan gigi taring dan bisa anta pada lidahnya. Tapak kaki siapapun yang terjilat bakal langsung melepuh dan tewas. Bahkan bekas telapak manusia yang dijilatpun bakal tewas seketika itu juga.Segera dipanggilnya Antareja. “Antareja, sudahkan kamu siap menjadi senapati dengan akan berlangsungnya perang besar nanti?” Seberapa kesaktian yang kamu punyai untuk membuat jaya trah-mu?“Sudah siap uwa, kami bersedia untuk memberi bukti akan kesaktian putramu ini” Antareja mantap menjelaskan.“Baik ikutlah aku, jilatlah tapak kaki yang aku tunjuk” perintah Kresna.

Segera Sri Kresna menunjuk bekas tapak kaki disuatu tempat yang sudah ditandainya. Gugurlah seketika sang Anantareja setelah menjilat tapak yang tercetak di tanah, yang ternyata bekas telapak kakinya sendiri. Diiringi wangi bunga tawur dari para bidadari, arwah Sang Antareja diiring para dewa dan bidadari ke sorga lapis sembilan.***

  QUOTE

KaskusAd - Create an KasAD / Buat Iklan KasAD

13-05-2011, 10:52 PM   #42

izroilblackarmy aktivis kaskus 

 UserID: 509004 Join Date: Jul 2008Posts: 605

Quote:

Originally Posted by capcay666 keren gan

update lagi donk

saya pengen mendapatkan pengetahuan dunia wayang

bisa di ceritakan tentang :

Pandu DewanataPrabu Sentanu

menarik sekali ini gan

Tunggu aja bro, nanti juga muncul cerita yg menyangkut Pandu dan Sentanu.Banyak koleksi Cerita n moga aja ane bisa terus update.

  QUOTE

13-05-2011, 10:57 PM   #43

izroilblackarmy aktivis kaskus 

 UserID: 509004 Join Date: Jul 2008Posts: 605

Baratayuda: Hari-hari Menjelang Pecah Perang (1)

By MasPatikrajaDewaku

Negara Wirata, dimana Negara ini menjadi tempat berkumpulnya Pendawa selama masa penyamaran dan sebelum pecah perang besar itu. Disana para Pandawa ditunjang kekuatan dari Prabu Matswapati dalam rencananya mengambil kembali haknya atas Negara Astina beserta seluruh jajahannya. Termasuk Negara yang dibangun atas keringat dan darah Para Pandawa sendiri, Amarta.Sang baginda Matswapati menerima kembali dengan suka cita para Pandawa yang sudah berhasil memboyong Prabu Kresna sebagai syarat atas kemenangan dalam perang besar nanti, bila usaha dalam mengirim duta ibu Pandawa, Kunti dan Prabu Drupada tidak ada hasil.Memang demikian, ketika sudah diketahui hasil awal duta yang dikirim, Prabu Matswapati menasihati Yudistira agar segera mengambil tindakan perang terhadap para Kurawa.Prabu Puntadewa yang berhati halus mengusulkan kepada Prabu Matswapati: “Baginda, perang nanti merupakan perang antar saudara sendiri, kalau mungkin, kami para Pendawa rela bila kami diberi separohnya saja, maka perang tidak harus terjadi”“Kakaku sulung, bila separopun tidak diberi, Negara Astina harus diberikan seutuhnya dengan cara berperang” Werkudara menyahut sigap.Sebenarnyalah Sri Kresna sudah tidak ada syak lagi bahwa Baratayudha pasti akan terjadi. Namun untuk meyakinkan sekali lagi, ia pun sanggup menjadi duta terakhir sekalian menjajagi sampai dimana kesiapan para Kurawa dalam menghadapi perang itu.“Eyang Matswapati, sekaranglah saatnya untuk hamba melaksanakan tugas duta yang terakhir kalinya. Bila nanti memang semua tidak dapat dilakukan dengan cara perundingan, maka satu-satunya jalan adalah mengambil hak adik adikku dengan cara perang” Mantap Sri Kresna memohon ijin kepada Sang Baginda Matswapati.Sambung Kresna Kemudian:“Sekarang ijinkan hamba berangkat, dan adik hamba Setyaki akan kuajak serta sebagai kusir kereta

Jaladara, untuk menyingkat waktu agar segera menjadi jelas apa yang bakal terjadi”.Restu Sang Baginda Matswapati, raja tua yang masih sentosa, beserta para Pandawa mengantarkan kepergian Sri Kresna dengan kereta Jaladara, disertai kusir adik iparnya Raden Setyaki, Singamulangjaya.Kereta Jaladara adalah kereta hadiah dewa, dibuat oleh Mpu Ramayadi dan Mpu Hanggajali.Dengan ditarik kuda empat ekor berwana kemerahan, hitam, kuning dan putih yang punya kesaktian sendiri sendiri. Kuda berwarna kemerahan dari benua barat hadiah dari Batara Brahma, dengan kesaktiannya mampu masuk kedalam kobaran api, bernama Abrapuspa. Kuda hitam dari benua paling selatan bernama Ciptawelaha pemberian Sang Hyang Sambu, mampu berjalan didalam tanah. Kuda yang bernama Surasakti yang dapat berjalan diatas air berwarna kuning, pemberian Batara Basuki dari jagad timur. Sedangkan kuda putih murni bernama Sukanta pemberian dari Batara Wisnu dari bumi utara, kesaktiannya mampu terbang.Bila sudah dirakit dalam satu kereta, satu sama yang lain saling berbagi kesaktian dan saling melindungi.Diceritakan, cepatnya lari kereta Jaladara segera sampai diluar kota Wirata, melewati di kaki gunung, sampailah di batas wilayah pemerintahan Astina dengan gapura yang terlihat demikian indah dan megah. Geger para kawula cilik dipedesaan dan lereng gunung kebawah Astina, mereka segera mambunyikan tetabuhan menyambut datangnya duta agung para Pandawa.Lain halnya dengan pandangan mata Sri Kresna, setiap benda yang ditemuinya, pohon, bunga, burung burung termasuk lelawa, bahkan batu beserta lumut kering bagaikan menyapanya dengan sedih, mereka, dalam telinganya menanyakan mengapa para Pandawa tidak ikut serta dalam meminta negaranya separuh. Mereka terutama merindukan kedatangan Sang Arjuna ksatria sempurna meliputi seluruh jiwa, raga dan kesaktiannya.Sesampainya di tegal Kuru, tanah lapang luas kebawah pemerintahan Astina, kereta dihentikan empat dewa : Rama Parasu, Kanwa dan Janaka, ketiga dewa yang dahulu kala adalah manusia luhur yang dihadiahi derajat tinggi menjadi dewa karena tekun dalam semedi, besar jasanya terhadap menjaga ketenteraman dunia, mengiring Sang Hyang Naradda, parampara pepatih Kahyangan Jonggring Salaka.Segera Sri Kresna turun menyapa keempat dewa : “ Duh pukulun, ada apakah gerangan pukulun berempat menghentikan laju kereta hamba?”“Heh Kresna titah ulun, kami berempat datang menghentikan laju kereta tidak lain bermaksud untuk bersama datang ke Astina. Kami berempat hendak menjadi saksi bagaimana Duryudana bertindak, apapun yang akan ia lakukan akan aku saksikan dan menjadi ketetapan cerita yang akan berlangsung”.“Baiklah, kami persilakan pukulun berempat naik ke kereta kami,

agar kami mendapatkan kekuatan moral yang lebih besar dalam menjalankan duta kali ini pukulun” Kresna meminta keempatnya bersama dalam satu kereta. Diambil alihnya sais dari adiknya, Harya Setyaki. Dalam hati Sri Kresna bersyukur bahwa apa yang akan dilakukan Prabu Duryudana akan mendapatkan legitimasi dengan tataran yang lebih tinggi, apapun bentuknya.Maka kata sepakat bersambut, bergabunglah bersama keempat dewa dalam satu kereta menuju kerajaan Astina.*****Syahdan, Duryudana telah mendengar akan segera datangnya Sri Kresna. Sambutan kenegaraan berlangsung meriah. Gelaran karpet merah terhampar panjang, pada kedua sisi berjajar para prajurit pengawal yang serba sentosa. Disepanjang jalan para penduduk kota berjajar rapat menyaksikan tamu agung yang sayang apabila terlewat sekejap-pun.Para sesepuh yang menyambut kedatangan tamu diantaranya Sang Bhisma Jahnawisuta, Resi Durna; guru kedua trah Wiyasa, Resi Krepa; adik ipar Resi Durna dan para sesepuh lain termasuk Adipati Drestarastra. Sangat gembira dengan kedatangan sang duta. Mereka berharap kali ini perdamaian akan terciptaTidak demikian dengan Patih Sangkuni, segera ia mendekati Duryudana dan membisikkan rencana atas kedatangan duta kali ini. Segera dipanggilnya Dursasana adiknya, diberitahukan segera agar para Kurawa menerapkan baris pendem, baris rahasia, untuk menumpas Kresna, raja Dwarawati, yang sejatinya adalah pengawak Pandawa, bila sewaktu waktu dia berjalan dengan cara yang tidak sesuai dengan rencana yang disusun.Segera para tamu, Sri Kresna, Batara Naradda, Batara Rama Parasu, Batara Kanwa dan Batara Janaka dipersilakan masuk ke ruang penyambutan. Segala macam hidangan digelar untuk menjamu kedatangan para tamu. Khusus untuk Sri Kresna juga dihidangkan segala makanan dan minuman untuk sang duta.”Silakan dinikamati hidangan yang sudah kami persiapkan untuk sang duta yang sudah datang dari jauh dan tentunya sangat lelah” Duryudana menawari hidangan dihadapannya.Dengan halus Sri Kresna menampik: “Terimakasih atas kebaikan yayi Prabu, besok baru kami akan datang kembali untuk menyampaikan segala keperluan kami, karena hari sudah menjelang malam.”.“Kami akan bermalam di Kasatrian Panggombakan sekalian ketemu dengan bibi Kunti” sambung Sri Kresna dengan kewaspadaan tinggi.Diluar sidang Sri Kresna pamit kepada keempat dewa, dan berjanji besok hari akan segera menyampaikan maksudnya sebagai duta.********Kasatrian Panggombakan. Dengan rasa masygul sang Prita dihadapan Arya Yamawidura, menceritakan bagaimana Duryudana dan Karna yang tak lain adalah ibu kandungnya tak mengindahkan apa yang dia minta atas hak anak anaknya.

“Sudahlah bibi, masalah ini pasrahkan saja pada kemenakanmu ini. Nanti aku akan datang juga pada putramu Karna. Aku ingin bicara empat mata dengannya. Aku merasakan adanya hal yang tidak sewajarnya dengan sikap putramu Karna, bibi”.Kresna menyampaikan isi hatinya.“Aku percaya sepenuhnya atas tindakan yang kamu lakukan nanti, sampaikan rasa sesal-sedihku kepadanya. Sebagai seorang ibu, naluri kasih sayangku kepadanya tak akan pudar, walaupun dalam kenyataannya, aku telah membuangnya ketika masih bayi merah dulu ngger”.demikian sang Prita berdesah pasrah.******Tak diceritakan keindahan malam di negara Astina, terutama didalam istana tempat kediaman sang Parameswari Banuwati. Istana yang serba berhiaskan memanik yang bersinar bak nyala hingga ke ujung langit, Istana tempat Duryudana memanjakan Parameswari jelita yang memiliki kecantikan sempurna.Dan ketika matahari pagi sudah merekah, kesiapan di Panggombakan akan perginya sang duta ke sidang agung Astina dilakukan.Dan ketika matahari naik sepenggalah, sidang sudah dipenuhi para agung dan sesepuh, diantaranya Adipati Drestarastra, Resi Bhisma, Begawan Durna, Resi Krepa, Prabu Salya, Adipati Karna, Patih Sangkuni dan parampara praja yang lain termasuk Arya Yamawidura.Setelah berbasa basi sejenak, Sri Kresna mengutarkan maksud kedatangannya :“ Paman Drestarastra, kedatangan hamba kemari adalah ujud dari duta, utusan dari adik adikku para Pandawa. Karena sudah menjadi kesepakatan sebelumnya, dalam permainan dadu, bahwa setelah genap duabelas tahun pembuangan dan satu tahun masa penyamaran berjalan mulus tanpa diketahui, maka Pandawa berhak kembali atas negara Astina beserta Indraparahasta”.“Namun demikian paman, karena Kurawa juga adalah darah daging sendiri, maka atas kesediaan yayi Puntadewa, cukuplah Astina dibagi dua, dan yayi Duryudana melepaskan Indraprasta, yang negara ini merupakan perasan keringat darah Pandawa. Itu sudah cukup”.sambung Sri Kresna.Para sesepuh sangat berkenan dengan tawaran yang diajukan oleh Prabu Puntadewa. “Aduh anakku Puntadewa . . . , demikian luhur budi yang mengeram dalam jiwamu ngger. Tawaranmu atas negara Astina adalah hal yang sangat adil. Bukankah begitu anakku Duryudana. . . . ?” demikian antara lain sang Drestarastra mengatakan.

Last edited by izroilblackarmy; 13-05-2011 at 11:34 PM..

  QUOTE

13-05-2011, 10:59 PM   #44

izroilblackarmy aktivis kaskus 

 UserID: 509004 Join Date: Jul 2008Posts: 605

Baratayuda: Hari-hari Menjelang Pecah Perang (2)

By MasPatikrajaDewaku

Ibu sang Duryudana; Gendari, juga menyetujui kehendak suaminya. Rasa sayangnya atas anak anaknya, dengan firasatnya akan ketidak mampuan anaknya dalam mengatasi kekuatan para Pandawa mendorongnya mengatakan: “ Benar apa yang dikatakan ayahmu ngger, terimalah tawaran yang diajukan saudaramu itu, rasa persaudaraan akan jauh lebih indah daripada kemukten yang kamu sandang selama ini!”.Duryudana diam membisu. Dihadapan para raja, sesepuh dan keempat dewa, mau tidak mau Duryudana menandatangani pakta perjanjian atas perdamaian itu dengan perasaan masygul.Demikianlah, ketika pakta telah ditandatangani dalam satu surat yang sudah disiapkan Sri Kresna, maka mohon pamitlah keempat dewa pulang kembali ke kahyangan.Merasa sudah tidak ada lagi yang perlu dirasai sungkan, diliriknya sang paman, Arya Sangkuni serta Adipati Karna, meminta pendapat. Keduanya memang sama sama menginginkan akan tetap mempertahankan negara dengan jalan perang. Sang paman mengerti sasmita dari keponakannya, gatuknya tetanda dari keduanya membuat Duryudana dengan tanpa suba sita menyambar surat perjanjian yang masih tergeletak diatas meja, disobeknya dan langsung meninggalkan sidang agung diiringi sang paman.Tercenganglah para yang hadir atas sikap Duryudana, segera sang Gendari berlari berusaha menenangkan suasana batin anaknya yang kurang trapsila dihadapan para agung.******Diluar sidang agung. Arya Setyaki masih duduk diatas kereta Jaladara menunggu kembalinya sang kakak ipar yang sedang dalam tugas.Burisrawa, putra sang Prabu Salya, yang selalu berada dilingkungan para Kurawa, oleh sebab kaulnya sendiri ketika gagal mempersunting Wara Subadra, tidak akan kembali ke Mandaraka bila tidak bisa mempersunting kekasih hatinya itu, atau setidak tidak nya wanita yang sejajar kecantikannya dengan Subadra.Dengan rasa benci Burisrawa menyaksikan ulah Setyaki yang dipandangnya kurang tata, tetap duduk diatas kereta, duduk dengan seenaknya dan tidak mau turun.“Hoi Setyaki . . . .!! Turun datang kesini. Mari kita minum tuak bersama!! panggil Burisrawa mencari masalah.“Terimakasih kakang Burisrawa, aku tidak minum seperti kamu” Setyaki mencoba berlaku sopan.“He, apakah perlu aku paksa kamu minum dengan cara kekerasan?” sambar Burisrawa yang sedari tadi memang bermaksud memanasi Setyaki

Pertengkaran sengit terjadi, dari saling tuding, saling colek terjadilah perkelahian antar keduanya.Burisrawa yang berbadan tinggi besar dan kasar merasa yakin akan unggul berhadapan dengan Setyaki yang berperawakan kecil padat.Saling serang antar keduanya berlangsung seru. Walaupun Setyaki lebih kecil tetapi sejatinya tersimpan kekuatan dari penjelmaan raja raksasa Singamulangjaya, yang pernah ditaklukkannya sewaktu Setyaki menjadi utusan dewa sewaktu masih kecil. Belum terlihat siapa yang diperkirakan unggul ketika para Kurawa yang datang kemudian mendengar keributan antara keduanya, seketika ikut larut dalam perkelahian.Tentu membantu Burisrawa, mereka mencoba menangkap Setyaki.Pertempuran tidak imbang terjadi. Ketika mulai terdesak, Setyaki yang marah dicurangi menghindar dan bersumpah nanti dalam perang yang sesungguhnya akan berhadapan dengan Burisrawa, satu lawan satu, menyambung perkelahian yang terjadi tadi.Ia berlari dikejar para Kurawa naik ke balairung dan mengadukan atas kejadian yang dialaminya.Kaget Sri Kresna ketika melihat Setyaki dalam kejaran para Kurawa dan turun menghadapi ulah penyerang yang sebenarnya sudah siap dengan segala senjata untuk menumpas para duta yang datang kali ini.Marahlah Sang Kesawa ketika melihat dirinya sebagai objek kebrutalan Kurawa. Triwikrama adalah hal yang terpikir ketika melihat prajurit segelar sepapan hendak menghancurkannya. Seketika Sri Kresna berubah wujud menjadi raksasa dengan sepuluh anggauta badan, diliputi kobaran api yang menyambar nyambar .Dengan langkah yang menimbulkan gempa dan suara sesumbar yang menggelegar bagai halilintar, seketika membuat nyali para Kurawa gentar :“Hayo amuklah aku Kurawa, apakah kamu sanggup mengatasi kesaktianku………..!!!”. Hawa panas yang ditimbulkan bahkan sampai ditepi samudra, airpun menggelegak, hingga mengambangkan satwa laut serta banyak kura kura sekalipun yang bercangkang keras.Bubar mawut para Kurawa, jeri melihat amuk Sang Triwikrama, penjelmaan Sang Wisnu Batara, bagaikan hendak melebur seisi bumi.CatatanDalam versi pedalangan Mataraman dan Banyumasan, kala terjadi Triwikrama, Prabu Drestarastra dan Dewi Gendari Tewas tertimpa tembok baluwarti. Dalam tulisan ini, Prabu Drestarastra sekalian Dewi Gendari akan diceritakan setelah perang Baratayuda usai.Batara Naradda yang ternyata masih mengawasi segala yang terjadi atas peristiwa di Astina waspada, segera mendekati Sang Triwikrama:“ Titah ulun Kresna…..!, dinginkan hatimu, bila dengan cara ini kamu menaklukkan Kurawa, maka kamu berdosa, membuat cerita Jitapsara yang sudah disepakati menjadi berantakan” Naradda berusaha menghentikan amukan sang Triwikrama.

Dengan segera Kresna meracut ajiannya, dan menghaturkan sembah kepada sang Naradda, Kanekaputra.“Sudahlah, pulanglah kembali ke Wirata, bukankah kamu datang bukan sebagai orang yang diberi wasesa, tapi datang sebagai pengawak duta? dan sebenarnya kamu sudah tahu apakah yang bakal terjadi nanti. Bahwa perang Baratayuda harus terjadi?”.Batara Naradda menasihati Kresna.“Aduh pukulun, seketika hamba tidak waspada, ketika para Kurawa datang bagai air bah mendekati kami dan Setyaki dengan senjata ditangan masing masing. Maafkan hamba pukulun, ijinkanlah sekarang kami kembali ke Wirata”.Jawab Sri Kresna membela diri.******Sebelum kembali ke Wirata, kembali Kresna teringat akan kesanggupannya menyampaikan sesuatu kepada Karna, putra Kunti dari kecelakaan dalam menerapkan ajian ajaran Resi Druwasa ketika itu, sehingga Kunti hamil karena ulah Sang Hyang Surya.Bertemulah Kresna dengan Karna, disampaikan salam dari sang ibu yang dalam hatinya tetap menyayanginya.Ketika Kresna dengan jujur mengatakan apa yang dilihatnya dengan mata hatinya, hati Karna merasa tersentuh. Akhirnya dia mengatakan hal yang menjadi rahasia hatinya selama ini.“Kanda Kresna, mungkin hal ini tidak mengagetkan kanda. Tapi isi hati ini akan saya tumpahkan dihadapan kanda, sejujur jujurnya tanpa ada yang aku simpan lagi” Tutur Karna Basusena“Sebenarnya kenapa adikmu berlaku seperti ini adalah, pertama, dinda bermaksud membalas budi kepada Prabu Duryudana atas kebaikan yang selama ini. Yang telah tertumpah kepadaku siang dan malam. Sepantasnyalah nyawaku aku pertaruhkan membelanya”. Mulailah Karna menjelaskan ikhwal atas apa yang terjadi sesungguhnya.“Kedua, sewaktu dulu ketika saya bertempur memperebutkan senjata Kunta Wijayandanu, perang tanding kedua adikmu, antara saya dengan Arjuna telah disaksikan oleh Sang Hyang Naradda, bahwa bila nanti perang besar darah Barata terjadi, tanding itu akan dilanjutkan hingga satu diantaranya akan tewas, kanda. Dan hal itu sudah menjadi garis pepasti”.“Ketiga, angkara murka harus segera lenyap dari muka bumi, sebab itu niat adikmu ini adalah segera menjadikannya Baratayuda menjadi ajang tumpasnya angkara murka yang disandang oleh kakang Duryudana dari atas bumi Astina, kanda”.Karna melanjutkan : “Biarlah putra bibi Kunti ini tetap lima, seandainya nanti aku bertanding melawan Arjuna, dan salah satunya gugur dalam palagan nanti”.Termangu Sri Kresna mendengar pengakuan jujur dari Adipati Karna, dirangkulnya saudara sepupunya, saudara dari orang tua kakak beradik antara ayahnya, Prabu Basudewa sebagai ayah sri Kresna dengan adiknya Kuntitalibrata sebagai ibu Karna itu.Setelah berjanji untuk tetap merahasiakan semua yang terucap itu. Minta dirilah Sri Kresna untuk pulang kembali ke Wirata.

******Tersiar kabar luas bahwa Perang Baratayuda akan segera berlangsung. Para negara sekutu dari kedua belah pihak mulai bersiap datang dari berbagai penjuru dunia.Sementara itu sesaji tawur dihidangkan kepada para dewa junjungan dari kedua belah pihak. Sang Dursasana dipasrahi tugas untuk mencari manusia sebagai tawur bebanten sebagai syarat akan keunggulan dalam perang nanti.Berangkatlah Arya Dursasana mencari manusia yang sanggup dijadikan tumbal. Tanpa pilih pilih lagi, ketika sampai di pinggir kali Cingcingguling, sepasang kakak adik kembar penambang (tukang menyeberangkan orang dengan perahu) Sarka dan Tarka, dirayu untuk dijadikan tumbal dengan janji anak istrinya bakal dimuliakan di negara Astina. Keduanya menolak, tapi Dursasana tetap memaksa. Dibunuhnya Sarka dan Tarka dengan keji.Sukma dua penambang itu melayang dengan sumpah akan membalas kematiannya segera.Dipersembahkannya tumbal itu keharibaan Batara Kala, yang dengan gembira menerima dan sanggup untuk menumpas Pandawa yang memang salah satu sukerta yang berhak dimakannya. Berangkatlah Batara Kala diiringi harapan besar para Kurawa.Sampailah Batara Kala dikediaman para Pandawa. “ Heee. . . sudah lama aku mengidamkan makanan satria-satria trah Pandawa, sekaranglah saatnya tidak ada yang menghalangi. Kresna yang telah kehilangan kembang Wijayakesuma, tak akan mampu menghalangiku memakan darah daging Pandawa” Kegirangan Batara Kala setelah mengetahui Kresna tak lagi mampu menghalangi maksudnya.Kresna yang ditakuti Kala bila hendak memangsa manusia-manusia sukerta, jenis manusia dengan ikatan kekeluargaan tertentu dan berbuat sesuatu yang ditentukan, yang dijanjikan ayahnya Batara Guru boleh dimakan, tak kuasa menaklukkan Kala dengan cepat. Seluruh kekuatan dan mantra Sri Kresna yang sekarang hanya memiliki satu dari sepasang pusaka sakti Cakrabaswara dan kembang Wijayakusuma, dapat ditandingi oleh Kala.******

  QUOTE

13-05-2011, 11:01 PM   #45

izroilblackarmy aktivis kaskus 

 

Baratayuda: Hari-hari Menjelang Pecah Perang (3)

By MasPatikrajaDewaku

Kahyangan Ondar-Andir Bawana. Ketika itu Raden Wisanggeni, Putra Arjuna dari Dewi Dersanala, sedang menghadap Sang Hyang Wenang, ayah penguasa Kahyangan Jonggring Salaka,

UserID: 509004 Join Date: Jul 2008Posts: 605

Batara Guru.Wisanggeni manusia setengah dewa karena ibunya adalah putri dari Sang Hyang Brahma, mengetahui apa yang sedang terjadi di Wirata dan mengajak bicara sang Hyang Wenang “Kaki Wenang, sebenarnya Baratayuda itu jadi nggak sih?”“Kenapa kamu tanyakan itu Wisanggeni, bukankah garis besar cerita tentang kejadian dijagat ini kamu sudah mengetahui, kecuali nasib dirimu sendiri, tidak ada yang menghalangi kemampuanmu melihat ke masa depan”.Sang Hyang Wenang dengan sengaja mencoba menyelidiki kemauan Wisanggeni yang sebenarnya sudah ia pahami.“Kalau begitu kaki Wenang, kenapa sekarang Kala memaksakan kehendak dengan menumpas Pandawa saat ini, kaki?” sahut Wisanggeni dengan santai.“Ya, aku sudah tau maksudmu, turunlah ke Wirata. Bawalah senjata gada ini sebagai ganti senjata andalan Kresna yang mampu mengalahkan Kala dalam maksudnya makan manusia manusia sukerta” Sang Hyang Wenang segera memberikan senjata gada kepada Wisanggeni.“Nanti setelah selesai tugasmu segera kembalikan kemari lagi. Ada sesuatu yang aku hendak katakan kepadamu, Wisanggeni”.sambung Hyang Wenang.Segera Wisanggeni melesat turun dari haribaan Sang Hyang Wenang.Kresna yang kehilangan akal dalam membendung serangan Kala segera didekatinya dan diberikan gada pemberian Hyang Wenang.“Uwa, kamu nggak akan bisa kalahkan Kala, bukankah uwa Kresna sudah tak lagi mempunyai sepasang pusaka andalan itu, wa?”“Lho kamu kulup, tahu saja orang tuamu ada dalam kerepotan, kemarikan gada itu kulup, biar aku hadapi kembali Batara Kala itu”.Maju kembali Sri Kresna Menghadapi Sang Batara Kala. Kali ini tidak dua kali kerja. Ketika tanding kembali dan Kala lengah, gada inten segera menghajar tubuh Kala, dan segera Kala terkapar, bertobat dan mengaku kalah.“Baiklah Kala, sekarang aku ampuni bila kamu tidak lagi lagi memakan dan mengganggu manusia sukerta. Sanggupkah kamu?”Setelah menyanggupi syarat dari Kresna, pulanglah kembali Kala ke Pasetran Gandamayit.Catatan: Versi lain menyebutkan Batara Kala tewas saat itu bersama dengan Batari Durga ketika, Kresna yang menyamar sebagai Batara kala mengelabuhi Durga agar menyimpan gada inten pada kutangnya.Wisanggeni yang sudah berjanji untuk datang kembali ke hadapan Sang Hyang Wenang, kembali datang setelah menerima

kembali gada pemberian pinjam itu.“Kaki Wenang, sekarang aku sudah kembali, apa yang hendak kaki katakan mengenai hal penting itu kaki?” tanya Wisanggeni“Wisanggeni, kamu pasti akan memilih Baratayuda akan dimenangkan para orang tuamu bukan?” Hyang Wenang pura pura bertanya.“Itu sudah pasti, nggak perlu ditanyakan lagi” kembali jawab Wisanggeni masih dengan santainya.Lanjut Sang Wenang: “Apakah kamu rela menjadi tumbal atas kemenangan orang tuamu?”“Kalau kaki Wenang sudah menggariskan seperti itu, apa keberatanku” saahut Wisanggeni. “Ayolah kaki Wenang, sempurnakan kematianku sekarang”Segera sang Hyang Wenang menatap Wisanggeni dengan tajam. Pandangan Sang Hyang Wenang diiringi tatapan yang fokus menyebabkan tubuh Wisanggeni makin mengecil dan mengecil, akhirnya menjadi debu tertiup angin.*******Terkisah tiga orang manusia bernama Resi Janadi beserta kedua cantriknya Cantrik Rawan dan Cantrik Sagatra. Ketiganya bertekat untuk mati sebagai tawur para Pandawa. Maka menghadaplah mereka kehadapan para Pandawa.“Gusti, perkenankan kami bertiga hendak meraih kemukten swargaloka dengan perantara paduka. Ini kami lakukan demi kejayaan trah paduka nanti di dalam perang agung nanti” begitu tutur Resi Janadi kepada Prabu Puntadewa.Prabu puntadewa adalah manusia pengasih, tidak dapat menolak memberi atau menerima apapun yang orang lain minta atau berikan kepadanya.“Yayi Arjuna, segera berikan apapun maksud ketiga orang ini”Arjuna menghunus Pasupati, dilepaskan panah hadiah dewata ketika bertapa di Gunung Indrakila. Panah dengan tajam berbentuk bulan sabit itu menghembuskan kobaran api dan membakar ketiga manusia yang dengan sukarela menjadi tawur dalam kejayaan Perang Besar Baratayuda.******Goa Selamangleng, sebuah negara para rasaksa dengan kerajaan yang dibangun dalam goa batu dilereng gunung. Jangan samakan goa itu dengan tempat kumuh dan kotor, namun sejatinya kerajaan goa itu indah mengagumkan, berhiaskan dengan batu permata mutu manikam nan gemerlap, bagaikan berrebut sinar dengan sorot sang surya.Pagi itu sang penguasa, seorang raseksi, perempuan dengan sosok tinggi besar bernama Dewi Jatagini sedang duduk di balairung dihadap oleh anak semata wayangnya Kalasrenggi. Pemuda raksasa sebesar lumbung padi dengan muka seram bermulut manyun dihias gigi gerigi tajam, bak tajamnya batuan karang di lereng jurang pantai.Catatan:

Dalam versi Mataraman dan Banyumasan, anak Dewi Jatagini ada yang menyebutkan sebagai anak kembar, yaitu Kalasrenggi dan Srenggisrana.Kalasrenggi berketetapan hati untuk mengutarakan isi hati yang telah dipendamnya sedari kecil hingga menganggap sudah waktunya perasaan itu dimuntahkan dihadapan ibunya:“ Ibu, aku merasa sudah cukup waktu untuk mengetahui, siapakah sejatinya diri kami ini” Kalasrenggi memulai pembicaraan setelah sekian lama terdiam ragu untuk mengutaraakan hal ini.“Sedari kecil hingga dewasa, saya tidak pernah merasakan bagaimana rasa seorang anak dibimbing oleh bapaknya. Walaupun ajaran kesaktian kanuragan telah dipenuhi oleh ibunda yang sakti mandraguna, tapi rasa ini tidak dapat dibohongi, rasa kedekatan anak lelaki dengan ayahnya adalah idaman setiap anak lelaki, ibunda” sambung Kalasrenggi.Termangu dewi Jatagini mendengar penuturan anaknya yang sebelumnya diperkirakan pasti suatu hari akan menanyakan hal itu.“Baiklah anakku, mungkin sudah saatnya aku beritahukan hal tentang kedua orang tuamu yang sebenarya, hingga kamu hadir didunia sekarang”. Kemudian Jatagini menceritakan apa yang terjadi pada dirinya hingga terlahir Kalasrenggi.******Syahdan, ketika itu kakak beradik Prabu Jatayaksa dan Jatagini muda sedang kasmaran. Prabu Jatayaksa merindukan Dewi Subadra, yang sudah bersuamikan Arjuna, sedangkan Jatagini kasmaran dengan satria penengah Pandawa, Arjuna.Jatayaksa berangkat ke Madukara sendiri hendak menculik Subadra, sedangkan Jatagini dengan diam-diam juga pergi dari Selamangleng hendak mencari Arjuna.Keduanya memang sakti mandraguna dapat menjelma menjadi siapa saja yang diangankan.Keduanya berubah menjadi orang orang yang dianggap dapat menaklukkan hati kekasih idamannya.Nasib berkehendak lain, mereka bertemu dan memadu kasih sekembalinya ke Selamangleng. Lahirlah Kalasrenggi kemudian, seorang anak dengan ujud raksasa.Curigalah keduanya dan berubah ujud kembali ke semula setelah saling mengaku kesejatian dirinya.Dendam Jatayaksa dengan seribu rasa atas dipermalukannya keluarga Selamangleng tertumpah kepada Arjuna. Berangkatlah dia dengan lasykarnya menuju Madukara. Pertempuran terjadi antara prajurit Selamangleng dengan Madukara. Pertempuran Jatayaksadan Arjuna tidak dapat dielakkan lagi. Kesaktian Jatayaksa yang hebat membuat Arjuna keteteran yang akhirnya melepaskan panah Ardadedali mengenai dada Jatayaksa dan tewaslah sang raja Selamangleng.*****

“Itulah anakku kejadian yang sebenarnya, ayahmu yang juga uwakmu berpesan padaku, untuk memberikan segenap kesaktian kepada kamu, dan setelah kamu dewasa carilah Arjuna, balaslah dendam yang tertanam dalam-dalam didadaku ini, anakku”pesan sang ibu mengakhiri penjelasan asal usul kejadian yang telah lalu itu.“ Ibu ijinkalah anakmu berangkat sekarang juga. Berikan aku ciri ciri satria itu” tidak seranta Kalasrenggi hendak menuntaskan dendam kedua orang tuanya.Sebenarnya keraguan Jatagini, harap akan keselamatan anaknya bercampur aduk dengan ijin yang diberikan.“ Baiklah, tetapi menurut prajurit pangisepan telik sandi, saat ini Pandawa sedang berada di Wirata dan kamu tidak dapat mengenali Arjuna kalau tidak aku beri ciri cirinya” sambung sang ibu, yang kemudian menerangkan ciri target utama balas dendam.*****Adalah Bambang Irawan, yang baru turun gunung dari Pertapaan Yasarata atau Candibungalan. Cucu Resi Jayawilapa, memaksa turun gunung ingin mengabdikan diri demi kejayaan trah-nya, Pandawa, karena ia adalah anak Arjuna. Tanpa restu sang Panembahan dan ibunya Dewi Manuhara, Bambang Irawan berangkat ke Wirata seorang diri.Setelah bertemu dengan ayahnya dan para saudaranya yang lain, Irawan menyatakan kesanggupannya menjadi bebanten bagi kejayaan keluarga, keluarlah Irawan dari balirung dan berkumpul dengan para prajurit yang siap siaga menuju tegal Kuru keesokan harinya.Nasib naas menimpanya, ketika Kalasrenggi yang tengah berupaya mencari tahu keberadaan Arjuna melihat satria dengan ciri ciri yang hampir sama dengan yang disebutkan oleh ibundanya. Kalasrenggi rasaksa sakti yang dapat terbang itu segera turun, dan tanpa ba bi bu menyambar leher Bambang Irawan dengan moncongnya. Putus leher satria muda itu. Namun sebelum itu, sempat Bambang Irawan menancapkan pusakanya kedalam dada Kalasrenggi. Gugurlah Bambang Irawan berbarengan dengan lepasnya nyawa Kalasrenggi.

  QUOTE

13-05-2011, 11:06 PM   #46

izroilblackarmy aktivis kaskus 

Baratayuda: Perang Besarpun Dimulai di Hari Pertama (1)

By MasPatikrajaDewaku

 UserID: 509004 Join Date: Jul 2008Posts: 605

Suara gemerincing kendali dan kerepyak ladam kuda membentur bebatuan jalan, bercampur dengan irama tidak beraturan tangkai tombak yang saling beradu menambah hingar bingarnya suara barisan. Kemeriahan barisan ditingkah dengan suara tetabuhan tambur, suling, kendang dan bende serta kelebatnya bendera bersimbol warna warni, bagai hiasan pesta, indah dipandang mata ! Debu akhir kemarau membubung tinggi dibelakang barisan menambah dramatis dalam pandangan siapapun yang melihat.Diatas awan para dewa, dewi, hapsara, hapsari menyebar bunga mewangi, memuji, hendaknya barisan Pandawa dan sekutunya akan unggul dalam perang.Pada barisan terdepan adalah lasykar setia dari Jodipati berbendera hitam dengan gambar gajah. Terlihat sang Werkudara yang selamanya tidak pernah berkendara, tetap dengan jalan kaki menggenggam gada super besar ditangannya. Dibelakangnya Patih Gagakbongkol mengiring langkah gustinya dengan tegap.Berikutnya nampak Arjuna dengan kereta kencananya yang berhias sesotya gemerlap, lasykarnya berbendera merah keemasan dengan gambar kera ditengahnya. Disampingnya duduk istrinya, Wara Srikandi, anak Prabu Drupada, seorang wanita berwatak prajurit.Susul menyusul dibelakangnya sesama barisan saudara Pandawa yang lain, Prabu Punta dengan memangku surat Jamus Kalimasadda, duduk diatas kereta. Disampingnya duduk Wara Drupadi dengan rambut terurai melambai ditiup angin. Dalam

benak Sang Dewi terpikir, inilah saat yang ditunggu untuk keramas dengan darah Dursasana, seorang yang coba mempermalukannya pada pesta permainan dadu dahulu. Atas perlindungan dewa, kain kemben yang coba dilepas sang Dursasana menjadi tak berujung. Saat itulah Draupadi bersumpah untuk tidak bergelung sebelum keramas dengan darah Dursasana.Susul menyusul dibelakangnya, kembar bungsu Pandawa Nakula dan Sadewa, dengan berbendera ungu bergambar dewa kembar, Batara Aswin-Aswan.Pada barisan sekutu, barisan Dwarawati dipimpin Prabu Kresna beserta sang adik ipar Arya Setyaki, disambung barisan dari Wirata dengan pengawak Prabu Matswapati diiring kedua Putranya Utara dan Wiratsangka. Resi Seta, putra Sulung baginda Matswapati yang sedang dalam semedi di Selaperwata atau Sukarini-pun segera disusul utusan untuk memintanya turun gunung, diberi warta bahwa Baratayuda segera terjadi.Dibelakangnya, lasykar Pancalareja/Pancalaradya prabu Drupada didampingi Pangeran Pati Arya Drestajumna, atau Trustajumena. Dibelakangnya kembali menyusul raja raja sekutu yang lain yang mengharap kemukten dengan ikut serta dalam perang suci ini.Tak ketinggalan barisan yang dipimpin anak-anak muda Pandawa, Gatutkaca dengan pasukan raksasa dan manusia biasa dari Pringgandani, kemudian putra sang Arjuna, Abimanyu, putra sang Punta, Pancawala dan saudara muda yang lain.Sampailah barisan di tepi lapangan yang maha luas, tegal Kurukasetra. Barisan yang mengumpul menjadi satu bagaikan pasangnya air samudra yang meleber ke daratan. Beberapa pesanggrahan dibangun untuk menjadi base camp dibeberapa tepi strategis. Prabu Puntadewa beserta para sesepuh menamai pesanggrahan utama sebagai Pesanggrahan Randuwatangan. Dengan penguat batang kayu pohon randu, dipadu patut dengan segala hiasan hingga menyerupai istana.Pesanggrahan untuk para senapati dengan nama pasanggrahan Randugumbala, pesanggrahan dengan bahan kayu semak randu, sedang pesanggrahan untuk prajurit garda depan dengan nama Glagahtinunu, pasanggrahan dengan lahan rumput glagah yang dibakar terlebih dahulu.******Begitupun juga di pihak Kurawa, mereka membuat pesanggrahan yang dihias bagaikan istana yang sesungguhnya, dinamakan Pesanggrahan Bulupitu, pesanggrahan utama dimana para calon senapati dihimpun dalam satu naungan, sementara para prajurit melingkup disekitar pesanggrahan.Ditempat lain Adipati Karna menempati pesanggrahan Ngurnting, Prabu Salya mesanggrah di Karangpandan.******Persiapan di pihak Pandawa dimatangkan, Dewi Kunti sudah datang diantar kembali iparnya Arya Yamawidura beserta putra

sang Yamawidura, Arya Sanjaya ke Randuwatangan.“Kanjeng Ibu, putra putra paduka mengharap restumu untuk mengemban tugas suci ini”. Puntadewa memulai pokok pembicaraan setelah haru biru berlalu, menyesali mengapa perang harus terjadi. Tetapi pada dasarnya mereka adalah kesatria waskita, yang dianugrahi hati penuh kebijaksanaan.Kunti dengan penuh wibawa menguatkan batin anak anaknya,“Anak anakku, watak satria adalah mempunyai hati yang teguh. Tidak pernah merasa ragu dalam bertindak. Bila sudah dikatakan dahulu bahwa negara akan dikembalikan setelah masa perjanjian lewat, maka janji itu adalah hutang yang harus dibayar, dan kalian pantas untuk mendapatkan apa yang dijanjikan”.“Sedangkan kamu semua adalah kesatria yang diidamkan oleh ayahmu dahulu, semua anak Pandu adalah anak anak yang teguh memegang janji. Sekarang ini adalah saat yang tepat untuk kalian semua berbakti kepada mendiang ayahmu, menjaga kebanggaan akan sikap yang ditanamkan sejak kamu masih kecil”Sementara kebulatan tekad terlahirkan, Yamawidura , paman para Pandawa dan Kurawa, tidak tega ikut dalam perang, dalam pikirannya masih berkecamuk rasa sesal, kedua pihak adalah bagian dari darah dagingnya. Dan minta pamitlah Arya Yamawidura kembali ke Panggombakan, kadipaten dalam lingkungan kerajaan Astina.******Pesanggrahan Bulupitu. Prabu Duryudana dalam sidang darurat penetapan senapati.Hadir didalamnya Prabu Salya dari Mandaraka sudah diundang datang. Demikian juga Resi Bisma dan Begawan Durna.“ Para sesepuh semua dan saudaraku, tidak sabar rasaku ini hendak mulai menumpas Pandawa yang tidak tahu tata”. Duryudana mengambil inisiatif awal dengan menunjuk seorang senapati.“Eyang Bisma, dengan segala hormat, kami para Kurawa meminta kanjeng Eyang menjadi senapati pertama”. Strategi Duryudana menunjuk. Dalam pikirnya, Baratayuda akan dibuat sesingkat mungkin.Ia berkesimpulan, siapapun dari pihak Pandawa tidak akan mampu menanggulangi krida Sang Bisma Jahnawisuta, satria dengan nama muda Dewabrata, sarat dengan ilmu kaprawiran dilambari kesaktian hasil dari mesu raga olah batin pada sepinya pertapan Talkanda menjadikannya seolah tanpa tanding.Sebenarnyalah Resi Bisma ada dalam situasi batin yang bertentangan dengan pihak yang ia bela. Dalam hatinya, kesatria Pandawa-lah yang terkasih ini tersimpan dalam relungnya.Tetapi intuisi seorang Pandita waskita mengatakan, “inilah saatnya bagiku untuk mengunduh segala pakrti yang aku pernah perbuat dimasa lalu”.

Dalam benaknya terbayang, ketika ia pernah muda dan salah langkah, membunuh putri Kasi bernama Dewi Amba tanpa sengaja, untuk menghindari batalnya sumpah kepada sang ibu sambung, dewi Durgandini, bahwa ia akan menjalani hidup sebagai brahmacarya, seorang yang tak kan pernah menyentuh perempuan.Terngiang dalam telinganya akan ajakan sang Dewi Amba ketika menjelang ajalnya menjemput, bahwa ia akan menggandeng tangan sang Dewabrata saat ia akan bertarung dengan prajurit wanita entah kapan. Dan dalam pengamatannya prajurit wanita yang pantas menjadi sarana kemuliaan adalah prajurit Pandawa. Kelompok satria utama yang pantas mengantarnya kembali ke alam tepet suci.Satu hal lagi, Bisma akan kembali bertarung dengan Seta, seorang putra sulung raja Wirata yang sama sama gemar bertapa. Ketika itu mereka sepakat akan kembali bertarung mengadu kesaktian akibat dipisahkan Hyang Naradda, karena pertempuran mereka oleh suatu sebab menimbulkan panas hingga sampai ke Kahyangan Jonggring Salaka. Dan momen ini tak dapat ia tinggalkan melihat Wirata ada di pihak Pandawa.*******

Demikianlah, Senapati utama telah ditunjuk, dengan senapati pendamping Prabu Salya dan Pandita Durna. Formasi serangan mematikan telah disusun sesuai dengan ambisi sang Prabu Duryudana yang tidak mau mengulur waktu segera mengeluarkan jurus maut berisi orang orang sakti andalan.Kata sepakat telah bulat, strategi telah disusun, pilihan jatuh pada gelar Wukir Jaladri, gunung karang ditepi laut dengan deburan ombaknya. Kokohnya pertahan karang laut dengan gerakan ombak laut yang dahsyat siap melumat barisan prajurit Pandawa. Gemuruh langkah cepat prajurit yang bergerak maju bagaikan membelah langit. Jumlah besar prajurit dari ujung hingga ke ujung lainnya hampir tak kelihatan, ditambahkan dengan pandangan yang tertutup debu yang mengepul. Kembali bebunyian penyemangat ditalu, tambur, suling, kendang, gong beri ditabuh membahana memekakkan telinga.Randuwatangan. Segala kemungkinan sedang dirembug, Baginda Matswapati memberikan usul, “ Anak anak dan cucu cuku, negaraku, bahkan jiwaku beserta anak- anakku sudah aku pertaruhkan untuk kejayaan Pandawa. Sumpahku telah terucap, ketika cucu Pandawa sudah menyelamatkan keselamatan keluarga dan negara Wirata dari musuh dari dalam, Kencakarupa, Rupakenca dan Rajamala, dan musuh dari luar Para Kurawa lan sraya prajurit dari Trikarta Prabu Susarman”. Demikian Matswapati membuka usulannya.“Dari itu, perkenankan sebagai senapati, angkatlah anak anakku. Ketiganya sekalian aku serahkan segala strategi gelar peperangan kepadamu sekalian”.

“Sebagai pengayom dan pengarah laku, segala tindak yang akan dilakukan untuk aku serahkan kepada Kanda Prabu Kresna” Puntadewa meminta Kresna untuk mengambil alih segala kebijakan dan strategi.“Baiklah Eyang dan adikku para pandawa, aku terima usul eyang Baginda Matswapati. Uuntuk maju pertama kali sebagai senapati adalah eyang Seta sebagai senapati pertama dan utama, sedangkan sebagai pendamping adalah eyang Utara dan eyang Wirasangka”. Kresna memberikan ketetapan.

Last edited by izroilblackarmy; 13-05-2011 at 11:36 PM..

  QUOTE

13-05-2011, 11:10 PM   #47

izroilblackarmy aktivis kaskus 

 UserID: 509004 Join Date: Jul 2008Posts: 605

Baratayuda: Perang Besarpun Dimulai di Hari Pertama (2)

By MasPatikrajaDewaku

Gegap gempita penyambutan para prajurit. Siapa yang tak tahu Resi Seta? Putra pertama Baginda Matswapati, guru sang Gatutkaca yang memiliki ajian Narantaka. Ajian yang bisa disejajarkan dengan ajian Lebur Seketi kepunyaan ayah Duryudana, Adipati Drestarastra. Bahkan bila Lebur seketi dapat meleburkan benda apapun yang diraba, maka Narantaka lebih dari itu, perbawa sekelilingnyapun menjadi panas terbakar bila aji ini dirapal.Kesaktian Resi Seta bila dibandingkan, jauh diatas dari kesaktian adik adiknya, Utara, apalagi Wratsangka yang agak penakut.Walaupun para Pendawa menyebut ketiga putra Wirata sebagai eyang, namun itu hanya sebatas sebutan menurut garis keturunan. Karena sesungguhnya Utara dan Wiratsangka adalah orang orang yang masih sebaya dengan para Pandawa, bahkan saking panjangnya umur Baginda Matswapati, putra pertama Resi Seta adalah sebaya Bisma sedangkan putri terakhir, Dewi Utari, malah sebaya dengan anak anak Pandawa.Ketika strategi perang belum dibicarakan, Wara Srikandi yang bertugas mengamati garda depan di Glagahtinunu dengan tergesa menghadap sidang. Lapornya “Semua yang hadir, sekarang para Kurawa sudah mendatangi palagan dengan menggelar strategi perang Wukir Jaladri. Kami di garda depan sudah sempat berhadapan dengan barisan depan mereka, tetapi kami sendiri dan Setyaki serta kakang Udawa berkesimpulan untuk kembali terlebih dulu sebagai wujud kita semua menggelar peperangan ini bukanlah perang ampyak, melainkan perang dengan memakai aturan “.Braja Tiksna Lungid. Gelar serupa seberkas bola api meteor dirancang Sri Kresna untuk menghadapi gelar lawan, meteor panas dan tajam

yang mampu meremukkan karang laut sekalipun. Gelar frontal yang dirancang langsung berhadapan antar kedua senapati utama, untuk menghindari kelemahan para pendamping, Utara dan Wratsangka. Namun sewaktu waktu gelar dapat dirubah menjadi Garuda Nglayang dengan kedua sayap diisi senapati pendamping, dengan back up Werkudara terhadap Arya Utara dan Arjuna terhadap Arya Wratsangka disisi kiri dan kanan.Diceritakan, kedua pihak barisan telah berhadapan. Gemetar sang Arjuna melihat suasana yang tergelar didepan mata. Keraguan hati Arjuna disikapi Sri Kresna. Didekatinya Arjuna yang berdiri termangu.“Kanda Kresna, apalah artinya peperangan ini. Perang yang terjadi sesama saudara. Mereka yang saling berhadapan adalah kakaknya, adiknya, keponakan, paman dan seterusnya. Bahkan guru dan murid juga terlibat” demikian sang Arjuna tersentuh rasa kemanusiaannya.Lanjutnya “Apakah masih ada gunanya saya meneruskan suasana seperti ini, apakah tidak sebaiknya apa yang terlihat didepan mata disudahi saja?”.“Iparku, bukankan sudah menjadi ketetapan dalam sidang bahwa inti dari peperangan ini bukan lagi berkisar pada kembalinya Astina sebagai hal yang utama, walaupun demikianlah kenyataannya” Kresna mulai mencoba menghilangkan keraguan yang kembali meliputi batin Arjuna”.“Tetapi darma dari satria yang tersandang dalam jiwa adalah menegakkan aturan yang sudah ditetapkan. Dan lagi, perang ini bukan sekedar perang memperrebutkan negara, tetapi dibalik itu, perang ini adalah sarana memetik hasil pakarti para manusia didalamnya dan juga alat untuk meluwar janji yang telah terucap, perang idaman para brahmana, jangka para dewa. . . . . . . .. . . .” banyak banyak nasihat yang dikatakan Kresna untuk menguatkan hati Arjuna.“Tetapi apakah aku dapat tega melepas anak panah, bila dihadapanku adalah orang yang aku agungkan?” tanya Arjuna.“Dalam perang bukanlah tempat untuk murid membalas jasa kepada guru, bukan membalas kebaikan antara yang memberi dan menerima kebaikan, tetapi dalam peperangan itu adalah berhadapannya kebaikan dan angkara murka. Lagi pula banyak satria yang akan membantu menghadapi orang yang kau agungkan, jadi tidak perlulah kamu sendiri yang menghadapinya. Tapi bila memang harus bertanding juga, sembahlah terlebih dulu para junjunganmu sebelum kamu bertempur, niscaya beliaupun akan menghormati kamu, Arjuna” Kresna menjelaskan.Demikianlah, maka perang campuh berlangsung sengit. Suara dentang pedang beradu memekakkan telinga. Gesekannya memancarkan bunga api bagai keredap kilat, mengerikan. Saling bunuh terjadi, siapa yang terlena akan terkena senjata lawan. Teriakan kesakitan para prajurit dan hewan tunggangan yang terkena senjata membuat giris prajurit yang berhati lemah. Dilain pihak, prajurit yang haus darah terus merangsek penuh nafsu membunuh. Sementara di angkasa hujan anak panah bagai ditumpahkan dari langit.Pertempuran antara kedua senapati utama Seta dan Bisma juga

berlangsung seru, keduanya pernah beradu kesaktian kala itu, kembali bertempur dengan peningkatan ilmu kanuragan yang tak pernah mereka tinggalkan pengasahannya, sehingga tingkat kemampuan bertempur mereka berdua semakin tinggi. Arena pertarungan seakan menjadi kepunyaan mereka, karena lingkaran hawa panas keluar dari lingkaran peperangan, sebab tak ada prajurit yang berani mendekati arena pertarungan antar keduanya.Ditempat lain, pertempuran senapati pendamping juga berlangsung seru. Senapati Kurawa, walaupun keduanya sudah tua, namun mereka dengan kesaktiannya yang mapan dan matang mampu mengatasi kekuatan dua anak muda Wirata. Tidak heran, karena semasa muda keduanya adalah satria pilih tanding. Bahkan Durna dengan kekurangan fisik, walau hanya bertangan tunggal, tetapi posisinya selalu diatas angin. Sehingga terus merangsek dan mendesak Wratsangka.Ketika matahari sudah tergelincir kearah barat, Durna menyudahi pertempuran. Wratsangka terkena pusaka Cundamanik, gugur sebagai tawur perang.“Wratsangka tewas . . . , Wratsangka tewas . . . . .!!” teriakan para prajurit Kurawa memberikan kipasan angin segar kepada kawan kawannya.Motivasi prajurit Kurawa yang sudah mengendor kelelahan, berkobar kembali ketika mendengar tewasnya Wiratsangka.Dilain pihak, gugurnya Wiratsangka membuat kedua kakaknya menjadi makin liwung, beringas. Seta dengan ajiannya, Narantaka, kobaran api dari kedua tapak tangannya meluluh lantaklah prajurit kecil yang menghalanginya. Hewan tunggangan para senapati seperti kuda, gajah bahkan kereta perang banyak remuk redam dan gosong terkena amuk Resi Seta. Demikian juga kroda sang Utara, yang tak lama kemudian mampu merobohkan pertahanan Prabu Salya. Kereta yang ditumpanginya Salya terkena sabetan gada Utara, pecah berantakan. Prabu Salya selamat namun si kusir, patih Mandaraka Tuhayata, ikut tewas tertebas.Putra Salya, Arya Rukmarata yang mencoba melidungi ayahnya akhirnya tewas terkena panah Resi Seta yang sementara menghindari peperangan dengan Bisma ketika mendengar adiknya terkasih tewas ditangan Durna.Dendam membara menguasai hati Sang Seta. Dicarinya Durna yang segera dilindungi rapat oleh para pengikut setianya. Bisma tak tinggal diam, dibayanginya Seta hingga tidak dengan leluasa melampiaskan dendamnya kepada Durna.Sementara itu, Prabu Salya sangat terpukul. Anak lelaki tampan kekasih hatinya tewas melindunginya. Tewas dengan dada tertembus panah. “Jagad dewa batara..!, anakku …., kau yang aku harapkan menjadi penggantiku kelak, ternyata malah mendahului aku. Seperti apa derasnya air mata yang tertumpah, bila ibumu Setyawati mendengar kabar tentang kematianmu ngger….. “. Bagai kehilangan seluruh kekuatannya, Prabu Salya membelai jasad anak tercintanya.Tiba tiba Prabu Salya berdiri. Disapunya pandangan dengan nanar,

mencari dimana Utara berada. Kemarahannya menggelegak dengan hebatnya. Sementara Utara yang sedang ganti berhadapan dengan Kartamarma dan Durjaya segera diterjang.“Berikan lawanmu Kartamarma, Durjaya, orang ini pantas menjadi korbanku hari ini!!!”Kembali pertempuran yang terputus berlangsung. Kemarahannya memaksa mengeluarkan raksasa bajang dari dalam tubuhnya. Tertebas gada sang Utara, raksasa bajang bukannya mati, malah membelah diri menjadi dua. Dua dua tertebas, raksasa bajang bertambah banyak dengan jumlah ganda. Itulah ajian Candabirawa. Aji pemberian mertuanya, Resi Bagaspati.Kerepotan Utara melayani lawan yang semakin banyak. Terlena sang Utara, panah Prabu Salya, Kyai Candrapati yang dari tadi tertuju kepadanya segera dilepaskan, mengena tubuh Utara, gugur pula ia sebagai kusuma bangsa dalam peperangan pada ujung hari.Senja telah datang di hari pertama itu. Dan hari pertama pertempuran telah ditetapkan berakhir ketika sangkakala ditiupkan. Bangkai kuda, gajah kendaraan para prajurit terkapar bersama ribuan sekalian prajurit.Hari pertama itu mengawali delapan belas hari pertempuran yang akan berlangsung penuh hingga selesai, dan empatbelas hari diantaranya berlangsung ketika Bisma madeg senapati.

  QUOTE

13-05-2011, 11:20 PM   #48

izroilblackarmy aktivis kaskus 

 UserID: 509004 Join Date: Jul 2008Posts: 605

Baratayuda: Hari-hari Panjang di Padang Kurusetra (1)

By MasPatikrajaDewaku

Malam telah larut. Api pancaka sudah hampir padam. Api suci yang membakar kedua putra Wirata, Arya Utara dan Wratsangka, yang gugur sebagai prajurit gagah berani. Kesunyian malam mulai mencekam, bintang dilangit berkelipan menyebar, sebagian berkelompok membuat rasi. Menjadi pedoman bagi manusia atas arah

mata angin diwaktu malam mati bulan, serta menjadi titi waktu kegiatan manusia sepanjang tahun, yang akan berulang dan terus berulang entah sampai kapan. Angin semilir menyebarkan bau harum bunga liar. Lebah malam terbang dengan dengung khasnya mencari bunga dan menghisap sari kembang.Para prajurit yang letih dalam perang seharian memanfaatkan malam itu sebagai pemulihan tenaga yang esok hari peperangan pasti dilakoninya kembali. Dalam pikiran mereka berkecamuk pertanyaan, apakah besok masih dapat menikmati kembali terbenamnya matahari? Bagi para prajurit pihak Pandawa, kalah menang adalah darma. Kebajikan dalam membela kebenaran akan memberi kemukten dialam kelanggengan bila tewas, atau mendapatkan kedua duanya, dialam fana juga dialam baka nanti, bila nyawa masih belum terpisahkan dari raga.Malam itu Resi Seta duduk gelisah. Rasa sasar sebelum mampu membalaskan dendam kematian adik adiknya masih terus berkecamuk. Sesal kenapa perang cepat berlalu hingga tak sempat dendam itu terlampiaskan saat itu juga.“Belum lega rasaku sebelum aku dapat membekuk kedua manusia yang telah menyebabkan kematian kedua adikku”. Sayang, aturan perang tidak mengijinkan perang diwaktu malam terus berlangsung.Resi Seta terus terjaga, hingga ayam hutan berkokok untuk pertama kali barulah mata terpejam. Didalam mimpinya yang hanya sekejap, terlihat kedua adiknya tersenyum melambaikan tangannya. Mereka sangat bahagia, mengharap, bila saatnya ketiganya akan berkumpul kembali.*********Hari baru telah menjelang. Kembali hingar bingar membangunkan Seta dari tidur.Hari itu gelar perang masih memakai formasi sehari lalu.Belum matahari naik sejengkal campuh pertempuran berlangsung kembali. Kali ini Salya dan Durna disimpan agak kebelakang. Sebagai gantinya, Gardapati dan Wersaya , dua raja sekutu Kurawa di masukkan dalam barisan depan sebagai pengganti tombak kembar penggedor pertahanan lawan.Dari pihak Randuwatangan, Werkudara dan Arjuna menjadi pengganti posisi Utara dan Wratsangka untuk mengimbangi laju serang dua sayap Kurawa.Dari jauh hujan panah sudah berlangsung. Seta dengan amukannya mencari biang kematian kedua adiknya. Direntangnya busur dan anak panah ditujukan kepada Salya, sayang luput dan hanya mengenai kereta perangnya yang kembali remuk.Kartamarma dengan gagah berani menghadang, tetapi bukan tandingan Seta. Kembali nasib baik masih menaungi Kartamarma, hanya kendaraannya yang remuk, sementara Kartamarma selamat.Bisma mencoba membantu, dilepas anak panah kearah Seta, terkena di dadanya, tetapi tidak tedas, bahkan anak panah patah berkeping.Bukan main marah Seta, kembali ia mengamuk semakin liwung. Kali ini Durna sebagai sasaran anak panahnya, namun Duryudana membayangi, yang kemudian terkena anak panah Seta. Walau tidak

terluka, Duryudana mundur kesakitan dengan menggandeng Durna menyingkir mencari selamat.Sebagai Senapati utama dari kedua pihak, Bisma dan Seta kembali bertarung. Saling serang dengan gerakan yang semakin lama makin cepat. Seta yang sebenarnya memiliki kesaktian lebih tinggi dari Bisma tidak bisa lekas menyudahi pertempuran. Perhatiannya masih terpecah dengan rasa penasaran untuk membela kematian adik adiknya. Dengan sengaja Seta menggeser arena pertandingan mendekati Durna. Namun kesempatan itu tidak dapat ditemukannya. Durna sangat dilindungi, demikian juga dengan Salya, keduanya seakan dijauhkan dari dendam membara Seta.*********Hari berganti, pertempuran seakan tak hendak padam. Sudah berjuta prajurit tewas, tak terhitung lagi remuknya kereta perang dan bangkai kuda serta gajah kendaraan para prajurit petinggi. Bau anyir darah dan jasad yang mulai membusuk, mengundang burung burung pemakan bangkai terbang berkeliaran diatas arena pertempuran. Pertarungan kedua senapati linuwih hanya dapat dipisahkan oleh tenggelamnya matahari.********Hingga suatu hari, keseimbangan kekuatan keduanya mulai goyah, kelihatan Seta lebih unggul dari Bisma, secara fisik maupun kesaktian. Mulai merasa diatas angin Seta sesumbar“Hayo Bisma, keluarkan semua kesaktianmu, setidaknya aku akan mundur walaupun setapak”.“Jangan merasa jadi lelaki sendirian dimuka bumi ini, lawan aku, hingga tetes darah penghabisan pun aku tak akan menyerah”. Bisma tidak mau kalah menyahut.Tetapi apa daya, tenaga Seta yang sedikit lebih muda mampu terus mendesak pertahanan Bisma. Merasa terus terdesak, tak terasa posisi Bisma sampai hingga ketepi bengawan Gangga. Terjatuh ia dari tepi jurang bengawan yang kelewat luas dan dalam.Tertegun Seta dibibir jurang, ditungguinya timbul Bisma ke permukaan air beberapa saat, namun hingga sekian lama jasad Bisma tak kunjung muncul.***********

Last edited by izroilblackarmy; 13-05-2011 at 11:39 PM..

  QUOTE

13-05-2011, 11:23 PM   #49

izroilblackarmy aktivis kaskus 

Baratayuda: Hari-hari Panjang di Padang Kurusetra (2)

By MasPatikrajaDewaku

Diceritakan, Bisma yang terjerumus kedalam palung bengawan,

 UserID: 509004 Join Date: Jul 2008Posts: 605

ternyata tidak tewas. Samar terdengar ditelinganya sapaan seorang perempuan, “Dewabrata, inilah saat yang aku tunggu, kemarilah ngger. . . !” Dicarinya suara itu yang ternyata keluar dari mulut seorang wanita cantik dengan dandanan serba putih.“Siapakah paduka sang dewi, yang mengerti nama kecil hamba. Pastilah paduka bukan manusia biasa. Malah dugaanku padukalah yang hendak menjemput hamba dari alam fana ini….” Dewabrata menjawab dengan seribu tanya.Wanita itu menggeleng “ Bukan . . . , akulah Gangga ibumu”“Benarkan itu, selamanya aku belum pernah melihatnya. Dan seumur hidup ini aku selalu merindukan wajah itu.”“Ya, akulah ibumu ini”, sang dewi mendekat membelai anaknya. Ibu yang dahulu adalah seorang bidadari yang dipersunting Prabu Sentanu. “Pantaslah kamu tidak mengenal wajah ibumu ini, karena aku telah meninggalkan kamu sewaktu masih bayi”. sambung Sang Batari.********Beginilah cerita singkatnya ngger anakku :“Pada suatu hari ayah Prabu Sentanu, ayahmu, yaitu Prabu Pratipa sedang bertapa. Saat sudah mencapai hari matangnya semadi, aku duduk dipangkuan sang Prabu Pratipta, nyata kalau aku terpesona oleh aura sang prabu yang bersinar kemilau dan juga ketampanannya.Dari kencantikan yang aku punya, sebenarnya Prabu Pratipa juga sangat terpesona denganku, namun tujuan utamanya bukanlah jodoh yang sang Prabu dikehendaki. Maka Prabu Pratipa berjanji, bila dia mempunyai anak lelaki kelak, maka ia akan menjodohkannya dengan diriku, disaksikanlah janji itu oleh alam semesta.Benar, takdir mempertemukan kembali aku dengan anak Prabu Pratipa, Raja Muda Sentanu, ketika Sang Prabu sedang cengkerama berburu.Demikianlah, aku dan ayahmu saling jatuh cinta, dan kembali ke Astina bersama sama.Sayang seribu kali sayang, ada satu permintaan ku yang diasa kelewat berat ketika diutarakan kepada ayahmu. Setiap aku melahirkan, maka anak itu harus dihanyutkan di bengawan Gangga.Sekian lama ayahmu, Sentanu tidak dapat memutuskan persoalan yang maha berat baginya.Asmara akhirnya mengalahkan logika. Kecantikanku yang selalu belalu dihadapannya setiap waktu, memancing gairah kelelakian Prabu Sentanu hingga disanggupinya permitaan yang satu itu.Hari berganti, bulan berlalu dan tahun tahunpun susul menyusul menjelang. Lahir satu demi satu anak anakku. Belum sampai menyusu, bayi merah dihanyutkan di Bengawan Gangga. Hingga akhirnya lahir anakku yang ke sembilan. Anak yang lahir ini sangat mempesona Prabu Sentanu, dengan aura cahaya cemerlang, senyum cerah dan tingkah lucu meluluhkan cinta sang Sentanu terhadapku. Anak itu adalah kamu Dewabrata! Tambahan lagi kesadaran ayahmu terhadap rasa kemanusiaan, mengalahkan cinta berlandas birahi terhadap diriku.Pertengkaran sebab dari perbedaan pendapat berlangsung setelah itu

dari hari kehari, hingga terucap kata kataku, bahwa aku harus meninggalkan Astina kembali ke alam kawidodaren”.Demikan Sang Batari Gangga mengakhiri cerita masa lalunya.Memang demikaian adanya. Prabu Sentanu saat ditinggal istrinya, sangat kesulitan mencarikan susuan untuk anaknya. Ratusan wanita tewas ketika mengharap dapat dipersunting Sang Prabu, sebagai ganti atas air susu yang dilahap putera kerajaan, Raden Dewabrata, atau Jahnawisuta alias Raden Ganggaya . Kelak Sang Sentanu dapat menemukan kembali pengganti ibu Dewabrata sekaligus istrinya, yaitu Dewi Durgandini, kakak Raden Durgandana yang ketika bertahta menggantikan ayahndanya bergelar Sang Baginda Matswapati.Durgandini sendiri mengalami cerita asmara rumit antara Palasara kakek moyang Pandawa, dan Sentanu.Itulah kenapa Bisma Jahnawisuta, Sang Putra Bengawan, tidak pernah bertemu ibunya hingga saat Baratayuda tiba.“Nah sekarang katakan, ada apa denganmu, kenapa kamu ada disini, anakku..?” sang Batari menyelidik atas peristiwa yang tak terduga ini.Lalu Dewabrata menceritakan dari awal hingga ia terjerumus kedalam lautan.“Pertolongan ibu sangat aku harapkan, agar aku tidak mendapat seribu malu atas tanggung jawab Negara yang telah dibebankan diatas pundak ini, ibu!”“Baiklah, sekarang kembalilah ke medan pertempura, Aku bekali dengan senjata panah sakti bernama Cucuk Dandang, lepaskan kearah lawanmu”. Kasih ibu sekali ini memberikan tunjangan terhadap anak yang sedang dalam kesulitan.Gembira sang Bisma menerima pusaka itu. Niat untuk berlama lama melepas kangen dengan sang ibu diurungkan. Segera ia memohon pamit.********Seta kembali mengamuk di palagan setelah yang ditunggu tidak juga timbul. Tandangnya membuat giris siapapun yang ada didekatnya. Namun tidak sampai separuh hari, kembali ia dikagetkan dengan kemunculan Bisma.“ Seta, jangan kaget, aku telah kembali. Waspadalah, apa yang kau lihat?” Bisma datang dengan senyum lebar. Menggenggam busur serta anak panah ditangan, kali ini ia yakin dapat mengatasi kroda sang Seta.“ Hmm . . . , Bisma, apakah kamu baru berguru kembali? Atau kamu kembali datang hendak menyerahkan nyawa?” Seta menyahut dengan masih menyimpan percaya diri yang besar.Segera tanpa membuang waktu, Bisma merentang busur dengan terpasang anak panah Kyai Cucuk Dandang. Panah dengan bagian tajam berbentuk paruh burung gagak hitam, melesat dengan suara membahana dari busurnya, tembus dada hingga kejantung. Menggelegar tubuh sang resi terkena panah , jatuh kebumi seiring muncratnya darah dari dada sang satria.Sorak sorai para Kurawa membelah langit senja. Dursasana terbahak kegirangan. Durmagati berceloteh riang. Kartamarma dan adipati Sindureja Jayadrata menari bersama, Srutayuda, Sudirga, Sudira dan

saudara lainnya memainkan senjatanya seakan perang telah berakhir dengan kemenangan didepan mata.Sementara itu, para Pendawa dan anak anaknya mendekati Resi Seta yang berjuang melawan maut. Dengan lembut Arjuna memangku Seta dengan kasih. Perlahan Seta membuka mata, “Cucuku Pendawa . . . . . sudah tuntas … Perjuanganku sudah berakhir, tetaplah berjuang… kebenaran ada pada pihakmu . . . . . “Kresna sangat marah dengan kematian Resi Seta, dihunusnya panah Cakrabaswara hendak ditujukan kepada Resi Bisma.Waspada sang Resi Bisma, didatanginya Kresna sambil mengingatkan “Duh Pukulun Sang Wisnu yang aku hormati, apakah paduka Sang Kesawa hendak mengubah jalannya sejarah yang sudah ditetapkan. Bukankan sumpah dewi Amba, yang akan menjemput titah paduka adalah prajurit wanita”Tersadar Kresna dengan perkataan itu, segera Kresna mundur dari peperangan.Begitu pula Werkudara, melihat junjungannya tewas Werkudara mengamuk hebat, dicabutnya pohon randu besar dan disapunya para prajurit lawan didepannya hingga terpental bergelimpangan. Jadilah mereka korban yang tak sempat menghindar. Yang masih sempat berkelit melarikan diri kocar kacir mencari selamat.Senja hari menyelamatkan barisan Kurawa hingga korban yang lebih besar terhindarkan.Catatan:Versi lain menyebutkan Seta tewas oleh panah Bargawastra, panah pusaka warisan guru Resi Bisma, Rama Parasu atau Rama Bargawa. Tidak ada pertemuan dengan Dewi Gangga sebelumnya ketika Bisma mengalahkan Seta.

Kembali Matswapati kehilangan putranya. Bahkan sekarang ketiga tiganya telah sirna. Kesedihannya sangat mendalam, hilang semua putra yang diharapkan menjadi penggantinya kelak. Pupus sudah harapan akan kejayaan penerus keluarga Matswa. Tetapi dasarnya ia adalah raja besar yang menggenggam sabda brahmana raja. Tak ada kata sesal yang terucap.“Cucu-cucuku, jangan kamu semua merasa bersalah atas putusnya darah Matswa, aku masih punya satu harapan besar atas darah keturunanku. Lihatlah di Wirata, eyangmu Utari sudah mengandung jalan delapan bulan, anak dari Abimanyu, anakmu itu Arjuna !” Matswapati memberikan pijar sinar kepada Pandawa, agar rasa bersalah atas terlibatnya dengan dalam Wirata dalam perang.“Bukankah keturunanku dan keturunanmu nanti sudah dijangka, akan menjadi raja besar setelah keduanya, Abimanyu dan Utari, mendapat anugrah menyatunya Batara Cakraningrat dan Batari Maninten?” Relakan eyang-eyangmu Seta, Utara dan Wratsangka menjalani darma sehingga dapat meraih surga. Aku puas dengan labuh mereka, yang nyata gagah berani menjalani perannya sebagai prajurit utama, yang gugur sebagai kusuma negara.”Malam itu Matswapati memberikan nasihat pembekalan kepada

pemuka pihak Pandawa yang hadir dalam sidang di pesanggrahan Randuwatangan, setelah upacara pembakaran jenasah Seta selesai dilakukan.

  QUOTE

13-05-2011, 11:54 PM   #50

izroilblackarmy aktivis kaskus 

 UserID: 509004 Join Date: Jul 2008Posts: 605

Baratayuda : Akhir Perjalanan Sang Jahnawisuta (1)

By MasPatikrajaDewaku

Segala bentuk kegembiraan terpancar pada setiap wajah yang hadir pada sidang yang digelar di pesanggrahan Bulupitu. Malam setelah tewasnya senapati Pendawa, Resi Seta. Prabu Duryudana dengan senyum sumringah duduk pada kursi dampar kebesaran yang direka persis bagaikan dampar yang ada di balairung istana Astina.“Eyang Resi, kemenangan lasykar Kurawa sudah diambang pintu! “ Dada Prabu Duryudana membuncah penuh dengan rasa pengharapan besar bahwa saat kemenangan akan segera datang.Lanjutnya “ Tidak percuma perang yang melelahkan selama tigabelas hari telah berlangsung. Ditangan senapati seperti Eyang Bisma, tiada satupun prajurit Pendawa yang akan dapat menandingi kesaktian paduka, Eyang!”“Tidaklah berlaku, wangsit Dewata yang sebelumnya mengatakan, bahwa siapapun yang mendapat perlindungan dari Prabu Kresna akan jaya dalam perang. Pada kenyataannya siapa yang dapat menandingi tokoh sepuh sakti mandraguna seperti Eyang Bisma?!!” berkata lantang Prabu Duryudana, dengan mulut penuh dalam jamuan yang diselenggarakan malam itu menyambut kemenangan.

Demikan pula raja seberang sekutu Kurawa seperti Prabu Gardapati dari Negeri Kasapta dan Wersaya dari Negara Windya yang sudah datang saat perang dimulai serta, Prabu Bogadenta yang juga datang menyusul dari Turilaya serta semua yang hadir sepakat, bahwa perang segera berakhir dengan kemenangan ditangan.Setelah menghela nafas panjang, dengan sareh Sang Jahnawi Suta menyahut “Ngger Cucu Prabu, jangan merasa sudah tak ada lagi rintangan yang harus dilalui. Walaupun banyak orang menganggap, kalau aku sebagai manusia sakti tanpa tanding, tetapi ada pepatah mengatakan, diatas langit masih ada langit. Jalan didepan kita masih panjang. Angger tahu, kekuatan Pandawa ada dipundak kedua saudaramu yang juga musuhmu, Werkudara dan Arjuna. Bila angger sudah dapat mengatasinya, barulah kekuatan Pandawa akan berkurang dengan nyata!!.”“Apalagi, dibelakang mereka ada berdiri Prabu Kresna, seorang penjelmaan Wisnu yang sungguh waskita dalam memberikan pemecahan berbagai masalah. Jadi tetaplah waspada!!”Sidang malam itu menetapkan, mereka akan menggelar formasi perang Garuda Nglayang di esok hari, barisan mengembang dengan kedua sayap dihuni Prabu Salya di sayap kiri, Resi Bisma di sayap kanan. Harya Suman pada kepala serta Pandita Durna yang sudah terbebas dari ancaman Resi Seta menjadi paruh serangan.Sementara pada anggota badan Garuda, terdapat Prabu Duryudana diapit dan dilindungi oleh para raja telukan, dibelakangnya Harya Dursasana siap pada daerah pertahanan untuk menghalau para prajurit musuh yang dapat diperkirakan menyusup kedalam.Rencana telah ditetapkan ketika sidang berakhir. Malam itu Prabu Duryudana tidur mendengkur dengan nyenyaknya, seiring dengan kepuasan hati dan kenyangnya perut. Mimpi indahlah Prabu Duryudana bertemu istrinya yang molek jelita, Dewi Banuwati, yang segera dipondongnya keatas tilam rum.***Malam bertambah larut, dalam malam tak ada yang dapat diceritakan selain sinar rembulan yang tengah purnama menerangi jagat raya. Sinarnya yang temaram mampu membuat hati manusia terpengaruh menjadi romantis, terkadang bagi pribadi lain akan menyebabkan kelakuannya menjadi lebih beringas, sebagian lain menjadi murung.Burung malam melenguh membuat suara giris bagi yang mendengar dengan hati dan pikiran yang kalut dan ketakutan, namun bagi yang sedang gembira, suara itu bagaikan nyanyian malam pengantar tidur. Sementara serigala pemukim hutan sekeliling Tegal Kurukasetra menggonggong dengan suara panjang membuat bulu roma berdiri, gerombolan liar itu tengah mengendus, kapan kiranya suasana menjadi aman bagi mereka untuk memulai pesta pora.Kembali fajar menyapa, segenap para prajurit dari kedua belah pihak kembali siaga dengan senjata ditangan. Jumlah barisan yang semakin menyusut tidak menjadi alasan bagi mereka berkecil hati. Bahkan mereka bangga menjadi prajurit linuwih yang mampu melewati hari-

hari panjang dan sulit mengatasi musuh hingga saat ini, ternyata nyawa mereka masih tetap mengait pada raga.Bende beri bersuara mengungkung, bersambut seruling yang ditiup dengan irama pembangkit semangat dan ditingkah suara tambur bertalu berdentam menggetarkan dada, berirama senada detak jantung yang mulai terpacu.Pada malam sebelumnya juga sudah digelar sidang di pesanggrahan Randuwatangan atau Hupalawiya. Garuda Nglayang, gelar sebelumnya yang ditiru oleh prajurit Astina masih tetap dipertahankan. Prabu Kresna yang sudah paham dengan apa yang harus dilakukan setelah bertemu dengan Resi Bisma hari kemarin, masih menyimpan Wara Srikandi dibarisan tengah, yang sewaktu waktu dipanggil untuk mengatasi kroda sang Dewabrata.Sedangkan Drestajumna, adik Wara Srikandi, menjadi senapati utama. Drestajumna, putra Prabu Drupada, dengan tameng baja menyatu didada sejak lahir sebagai manusia yang dipuja dari kesaktian ayahnya, ditakdirkan menjadi prajurit trengginas sesuai dengan perawakannya yang langsing sentosa.Kembali hujan panah dari Resi Bisma bagai mengucur dari langit. Segera Arjuna melindungi barisan dengan melepas panah pemunah. Bertemunya ribuan anak panah diangkasa bagaikan gemeratak hujan deras menimpa hutan jati kering diakhir musim kemarau panjang.Bertemunya kedua barisan besar dengan formasi yang sama campuh satu sama lain terdengar seperti bertemunya gelombang samudra menerpa tebing laut. Gemuruh mengerikan.Pedang kembali ketemu pedang atau pedang itu menerpa tameng. Dentangnya memekakkan telinga dibarengi dengan berkeradap bunga api yang semakin membakar semangat. Kembali teriakan kemenangan mengatasi lawan bercampur teriakan kesakitan prajurit yang roboh sebagai pecundang.Disisi lain, Werkudara dengan gada besar Rujakpolo yang tetap melekat di genggaman tangannya yang kokoh, menyapu prajurit yang mencoba menghadang gerakannya. Gemeretak tubuh patah dan remuk membuat giris prajurit kecil hati, membuat gerakan Sang Bima makin masuk kedalam barisan Kurawa. Bantuan dari Setyaki yang sama-sama mempertontonkan cara mengerikan dalam membantai musuh dengan gada Wesikuning, membuat kalang kabut barisan sayap itu. Tak terhitung banyaknya korban prajurit dan adik-adik Prabu Duryudana seperti Durmuka, Citrawarman, Kanabayu, Jayawikatha, Subahu dan banyak lagi. Bahkan kuda dan gajah tunggangan bergelimpangan. Juga kereta perang yang remuk tersabet gada kedua satria yang mengamuk dengan kekuatan tenaga yang menakjubkan.Bubarlah sayap kiri yang dihuni pendamping Prabu Salya, seperti Resi Krepa, Adipati Karna dan Kartamarma serta Jayadrata. Mereka terdesak ke sayap kanan mengungsi dibelakang sayap seberang yang masih terlindung oleh Sang Resi Bisma.Waspada Sang Bisma dengan keadaan ini, kembali panah sakti neracabala dikaitkan pada busurnya, mengalirlah ribuan anak panah yang menghalangi laju serangan. Bahkan Bima dibidik dengan panah

sakti Cucukdandang yang mengakhiri krida Resi Seta sebagai senapati Pandawa.Oleh kehendak dewata, Werkudara tidak terluka dengan hantaman panah sakti itu tetapi rasa kesakitan hantaman anak panah itu menyebabkan mundurnya serangan bergelombang yang sedari tadi sulit untuk ditahan.Kali ini Sri Kresna tidak lagi menunda korban yang berjatuhan.“Yayi Wara Srikandi, sekarang tiba saatnya bagimu untuk menyumbangkan jasa bagi kemenangan Pandawa. Kemarilah sebentar!” Prabu Kresna melambaikan tangannya kearah Wara Srikandi untuk berdiri lebih mendekat.“Apa yang harus aku lakukan Kakang Prabu?!” Srikandi maju mendekat dengan segenap pertanyaan bergulung dibenaknya.“Sekarang sudah tiba waktu bagimu untuk mengantar Eyang Bisma menuju peristirahatannya yang terakhir” Prabu Kresna mengawali penjelasannya.“Apakah adikmu yang perempuan ini mampu mengatasi kesaktian Eyang Bisma . . .?! Sedangkan prajurit lelaki dengan otot bebayu yang lebih sentosa tak mampu untuk membuat kulit Eyang Bisma tergores sedikitpun..!”“Nanti dulu, akan aku jelaskan masalahnya. . . . . !” Tersenyum Prabu Kresna melihat kebimbangan dalam hati Wara Srikandi.Sambungnya sambil memancing ingatan Wara Srikandi yang pernah diceritakan oleh suaminya, Arjuna, “Mungkin yayi Srikandi sudah mendengan cerita asmara tak sampai dari Dewi Amba ketika Eyang Bisma masih bernama Dewabrata ?!”“Aku tahu, tapi apa hubungannya dengan adikmu ini?! Apakah aku yang diharapkan dapat menjadi sarana bagi Dewi Amba untuk menjemput Eyang Dewabrata?”“Nah, ternyata otakmu masih encer seperti dulu !” Prabu Kresna masih sambil tertawa mendengar jawaban dari madu adiknya, Subadra.Tersipu Wara Srikandi dengan pujian yang dilontarkan oleh kakak iparnya. Hatinya menjadi sumringah oleh harapan dapat mengatasi kesulitan yang tengah dialami oleh keluarga suaminya, Arjuna.Arjuna yang dari tadi ada juga didekatnya juga tersenyum lega. Segera dipegang lengan istrinya dan mengajakanya dengan lembut “ Ayolah istriku, jangan lagi membuang waktu, kasihan para prajurit yang rusak binasa oleh amukan Eyang Bisma.”Segera Wara Srikandi digandeng Arjuna naik kereta perang.*******

  QUOTE

13-05-2011, 11:56 PM   #51

izroilblackarmy aktivis kaskus 

Baratayuda : Akhir Perjalanan Sang Jahnawisuta (2)

 UserID: 509004 Join Date: Jul 2008Posts: 605

By MasPatikrajaDewaku

Diceriterakan, arwah sang Dewi Amba yang masih menunggu saat untuk menjemput kekasih hatinya, segera menyatu dalam panah Wara Srikandi, Sarotama, pinjaman sang suami. Kegembiraan sang Amba teramat sangat. Cinta Dewi Amba yang terhalang oleh hukum dunia, sebentar lagi sirna, berganti dengan cinta abadi di alam kelanggengan.Resi Bisma ketika melihat majunya Wara Srikandi ke medan pertempuran tersenyum. Dalam hatinya mengatakan -“Inilah saatnya bagiku untuk bertemu dengan cinta sejatiku Dewi Amba sekaligus mengakhiri do’a ibundaku”. Memang benar kata hati Resi Bisma, bahwa Dewabrata waku itu dimintakan kepada Dewa oleh Dewi Durgandini dapat menjadi orang yang berumur panjang dan tidak mudah dikalahkan bila bertemu musuh, sebagai pengganti atas pengorbanannya tidak mengusik keturunan ayahnya dengan Dewi Durgandini.Permintaan ini juga sudah dibuktikan ketika Dewabrata bertemu sang guru sakti Rama Parasu. Ketika itu Dewabrata dicoba ilmu kesaktiannya oleh sang guru sambil dengan diam-diam mengajarkan dan menurunkan ilmu kesaktian selama berbulan-bulan tanpa henti.Seketika sang Jahnawisuta menarik nafas panjang sambil memejamkan mata. Dalam benaknya bergulung-gulung peristiwa masa lalu bagiakan gambar-gambar yang diputar ulang bingkai demi bingkai, menjadikannya seakan-akan peristiwa perjalanan hidupnya itu baru saja terjadi.Ketika membuka matanya kembali, didepan matanya Wara Srikandi dengan senyum mengambang di bibirnya sudah dalam jarak ideal untuk melepas anak panah. Berdebar gemuruh jantung Dewabrata ketika melihat wajah Srikandi bagai senyum kekasih hatinya, Dewi amba. Tak pelak lagi, kekuatan sang Dewabrata bagaikan dilolosi otot bebayu dalam raganya. Memang demikian, ketika panah Sarutama yang tergenggam ditangan Srikandi, seketika perbawa Dewi Amba seakan melekat pada raganya. Tiada salahlah pandangan Resi Bisma saat ini.Maka ketika panah sakti melesat dari busur dalam genggaman Dewi Wara Srikandi, maka terpejamlah matanya, seakan pasrah tangannya digandeng oleh Dewi Amba.Titis bidikan Srikandi yang terkenal sebagai murid terkasih olah senjata panah Sang Arjuna. Terkena dada Sang Resi panah Sarotama menembus jantungnya, rebah seketika di tanah berdebu Padang Kurusetra.Seketika itu juga perang berhenti tanpa diberi aba-aba. Prabu Duryudana dan Prabu Puntadewa seketika berlari sambil mengajak adik adik mereka masing-masing, menyongsong raga sang senapati yang rebah ditanah basah tergenang merah darah yang membuncah.Kedua belah pihak seakan melupakan permusuhan sejenak,

karena kedua raja ini memangku bersama raga pepunden mereka.*****“ Duryudana, Puntadewa, sudah cukup kiranya perjalanan hidupku ini. Lega rasa dalam dada ketika kamu berdua datang pada saat bersamaan menyongsong raga rapuh, melupakan segala permusuhan dan peperangan menjadi terhenti. . . .” tersendat dan gemetar suara Resi Bisma kepada kedua cucu trah Barata.“ Terimakasihku kepada kalian berdua yang telah datang menyongsong aku dan mendukung ragaku ini. Perlakuanmu berdua adalah tanda bakti yang tak terhingga kepadaku”. Sambil sesekai nafasnya tersengal ia melanjutkan, “Kalian berdua ada pada jalanmu masing-masing, teruskanlah peperangan ini, untuk membuktikan pendapat diri siapa yang benar dalam peristiwa ini”.Terdiam kedua pihak dengan pikiran menggelayut pada benak masing masing. Seakan tanpa sadar mereka berdua mendekap raga eyangnya dengan erat. “Lepaskan sejenak ragaku ini ngger, eyang mau berbaring”. Akhirnya mereka tersadar atas permintaan Resi Bisma kali ini.“Dursasana, ambilkan bantal untuk eyangmu !!” perintah Prabu Duryudana gemetar.Seketika Dursasana pergi dan kembali dengan bantal putih bersih ditangannya.Kecewa Prabu Duryudana ketika Bisma berkata “Bukan itu ngger yang aku mau . . . Aku menghendaki bantal layaknya seorang prajurit di medan perang”.Kali ini Werkudara yang juga berdiri disisi raga eyangnya segera melompat tanpa diperintah. Ketika kembali ditangannya tergenggan beberapa potong gada patah dan pecah. Disorongkan barang barang itu ke bawah kepala sang resi.Tersenyum Bisma merasa puas, “Nah beginilah seharusnya bantal seorang prajurit . . . .!”Melotot jengkel Prabu Duryudana kepada Werkudara dengan pandangan kurang senang.Nafas satu demi satu mengalir dari hidung sang Resi Bisma, sebenar bentar wajahnya menyeringai menahan sakit didadanya. Darah yang masih mengalir dari dadanya membuat cairan tubuhnya berkurang. Sekarang yang terasa adalah haus yang tak tertahankan. Terpatah patah perintah Sang Resi kepada cucu-cucunya, “Kerongkonganku kering, tolong aku diberi minum walau hanya setetes”.Melompat Prabu Duryudana tak hendak tertinggal langkah. Segera kembali kehadapan sang Senapati sepuh yang sedang meregang nyawa, dibawanya secawan anggur merah segar.“Eyang pasti akan hilang rasa hausnya kalau mau merasakan anggur mewah kerajaan”. Bangga Prabu Duryudana bersujud dihadapan eyangnya hendak meneteskan minuman.

Sekali lagi kekecewaan Duryudana terpancar dari wajahnya ketika Resi Bisma kembali menolak pemberiannya.Habis kesabaran dua kali ditolak pemberiannya, dengan sugal ia memerintahka kepada adik adiknya untuk meninggalkan raga sang resi dengan suara lantang, “Dursasana, Kartamarma, Citraksa dan kalian semua!! Tinggalkan orang tua yang sedang sekarat itu!! Tidak ada guna lagi kalian menunggu hingga ajalnya tiba.! Ayo semua kembali ke pakuwon masing masing . . . !”Prabu Kresna yang sedari tadi juga berada di tempat kejadian, segera membisikan sesuatu kepada Raden Arjuna, “Yayi, celupkan ujung anak panahmu Pasupati ke wadah kecil berisi air minum kuda perang, berikan kepada Eyangmu”.Tanpa sepatah kata bantahan, Arjuna mematuhi perintah kakak iparnya. Dipersembahkan air minum itu kepada Resi Bisma yang tersenyum meneguk air pemberian cucunya itu. Senyum untuk terakhir kali.Kidung layu-layu berkumandang. Sementara itu, taburan bunga sorga para bidadari dari langit, mengalir bagaikan banjaran sari wewangian, mengantar kepergian satria pinandita sakti berhati bersih. Ia telah menjalani hidup dengan cara brahmacari, tidak akan menyentuh perempuan, demi kebahagiaan ayah dan ibunda tercintanya. Perjalanan hidup yang kontradiktif dengan jiwa yang bersemayam dalam raga yang berumur panjang. Sekarang segalanya telah berakhir dengan senyum.Bergandeng tangan dengan kekasih yang sangat memujanya selama ini, kekasih yang dengan sabar menanti kapan kiranya dapat bersatu tanpa halangan dari hukum dunia yang selama ini mengungkung mereka berdua, Dewi Amba dan Raden Dewabrata, hingga mereka berdua tak mampu bersatu didunia. Sekaranglah saat bahagia itu menjelang.

  QUOTE

14-05-2011, 07:58 AM   #52

izroilblackarmy aktivis kaskus 

 UserID: 509004 Join Date: Jul 2008Posts: 605

Kidung Malam 24Aswatama

Aswatama sakit hati melihat haknya direbut oleh orang lain. Bagaimana tidak? Bukankah ia adalah anak semata wayang, satu-satunya pewaris dari sang Guru Durna, tetapi mengapa dengan enaknya, tanpa pembicaraan dan pemberitahuan lebih dulu, bapanya telah mewariskan mustikaning pusaka Gandewa pemberian Dewa Indra itu kepada Harjuna. Siapakah Harjuna itu? Bukankah ia hanyalah salah satu murid Sokalima? Tidak ada hubungan darah sama sekali dengan Sang Guru Durna?

“Dhuh Dewa!!!” Aswatama merebahkan diri di lantai, air matanya akan menetes, namun tiba-tiba ditahannya, ketika ia mendengar langkah kaki yang tidak asing di telinga mendekati dirinya. Dengan segera ia bangkit. Panas hatinya telah mengeringkan air di matanya. Sebelum suara langkah kaki tersebut sampai ditempat itu, ia lari menembus kegelapan malam. Langkah Durna dipercepat agar dapat mengetahui kemana Aswatama mengarahkan larinya.

Di tanah lapang ujung dusun Aswatama menghentikan larinya. Ia berbaring terlentang dirumput yang mulai dibasahi embun malam. Walaupun malam itu bulan sedang tidak bertahta, langit tidak menjadi gelap-pekat karena bertaburnya berjuta bintang. Aswatama membiarkan rasa dingin mulai menyentuh kulit, merambat ke aliran darah menuju ke jantung dan meyebar ke hati, ke otak dan ke seluruh tubuh.

Proses pendinginan itulah yang kemudian membuat Aswatama tidak mampu lagi membendung air matanya. Ia menagis tersedu-sedu bukan karena pusaka Gandewa, tetapi lebih kepada bahwa keberuntungan tidak pernah berpihak padanya. Dhuh Sang Hyang Tunggal, tidakah Engkau cabut saja nyawaku, dari pada hidupku hanya akan menambah cacatan buruk bagi sejarah manusia.

Dalam keadaan seperti itu biasanya Aswatama mulai berimajinasi tentang ibunya yang adalah seorang bidadari bernama Wilutama. Dengan cara demikian maka semua persoalan hidup akan terlupakan. Yang ada adalah sebuah kerinduan untuk berjumpa dengan seorang ibu yang pernah melahirkannya.

Dicarinya wajah ibunya diantara bintang-bintang yang berserakan, namun tidak pernah ditemukan. Bahkan senyumnyapun tidak.

Malam mulai merambat pagi. Matanya mulai lelah, dan selanjutnya tertidurlah ia. Ketika hari telah berganti pagi, sebelum fajar merekah, Aswatama dikejutkan oleh datangnya sepasang manusia, yang sungguh sempurna sebagai manusia. Dengan ramah mereka datang menghampiri Aswatama untuk menanyakan letaknya padepokan Sokalima. Aswatama tidak segera menjawab. Dipandanginya ke dua orang tersebut secara bergantian, ia sangat terpana dengan wanita yang berada di depannya. Cantik sekali! Seperti inikah Batari Wilutama.

“Maaf kisanak, dimanakah padepokan Sokalima berada?” Aswatama tersadar. Untuk menutupi rasa malu, ia segera mengantarkan keduanya ke Padepokan Sokalima.

“Aku bernama Ekalaya seorang raja dari Paranggelung, dan ini adalah isteriku bernama Dewi Anggraeni. Kami berdua datang ke Sokalima untuk berguru kepada Begawan Durna.”

Berdesir hati Aswatama mendengar bahwa wanita yang cantik jelita bak bidadari tersebut akan berguru kepada bapa Durna. Itu artinya bahwa ia akan sering ketemu. Ah betapa bahagianya. Wajahnya berseri penuh keceriaan. Rasa sakit hati atas sikap bapanya karena telah mewariskan pusaka Gandewa kepada Harjuna untuk sesaat terlupakan.

Di Padepokan Sokalima Ekalaya dan Anggraeni diterima Pandhita Durna. Sebagai seorang yang berilmu tinggi Pandita Durna dapat menangkap dan merasakan bahwa Ekalaya mempunyai kemampuan yang luar biasa, seperti kemampuan yang dimiliki para dewa. Oleh karenanya jika Durna mau memerima murid istimewa tersebut maka tentunya Durna dapat berharap banyak kepadanya. Namun tidaklah sesederhana itu untuk mengangkat murid baru. Banyak hal yang harus dipertimbangkan. Maka dalam menunggu keputusan Pandita Durna, Ekalaya dan Dewi Anggraeni dipersilakan untuk tinggal sementara di Sokalima.

Itulah kesempatan yang paling diharapkan Aswatama. Karena dengan demikian ia dapat menjalin hubungan yang lebih akrab dengan Dewi Anggraeni. Bagi Aswatama kehadiran mereka berdua terlebih Dewi Anggraeni, merupakan magnet yang sangat kuat sehingga mampu menyedot seluruh budi, pikiran yang ada dalam pribadi Aswatama.

Anggraeni, Anggraeni, mengapa aku menjadi tak berdaya karenamu? Sungguh kecantikanmu melebihi semua wanita yang pernah aku jumpai. Selayaknya engkau tidak hidup di bumi yang kotor dan jelek ini, tetapi hidup di kahyangan yang indah mulia.

Seperti itukah wajah seorang bidadari?

Seperti itukah ibuku Bidadari Wilutama?

Jika benar, beruntunglah aku.mempunyai ibu secantik Anggraeni.

Sepekan berlalu Durna belum memutuskan apakah Ekalaya diangkat murid atau ditolak. Memang pada umumnya seorang Pandita mempunyai kebebasan penuh dalam hal mengangkat murid. Namun apakah kebebasan tersebut masih di perolehnya setelah Durna resmi menjadi guru istana.

Memang ketika aku diangkat menjadi guru istana, Resi Bisma dan Begawan Abiyasa mengatakan bahwa selama mengajar Para Kurawa dan Pandawa, aku tidak diperkenankan mengangkat murid baru. Tetapi itu dulu. Sekarang secara resmi tugasku telah selesai. Semua ilmu telah aku ajarkan kepada Pandawa dan Kurawa. Walaupun begitu aku masih memberi kesempatan kepada mereka untuk sewaktu-waktu datang di padepokan guna menuntaskan, mematangkan dan mengembangkan ilmu yang telah aku berikan. Dan aku pikir sekarang aku boleh mengangkat murid baru

Kehadiran Ekalaya dan Anggraeni membuat padepokan Sokalima semarak. Banyak orang datang ingin menghaturkan sembah kepada Raja Paranggelung beserta prameswarinya yang sangat cantik jelita. kepada

Disore yang indah, ketika matahari segera berangkat ke peraduan, Durna memanggil Ekalaya, Anggraeni dan Aswatama.

  QUOTE

14-05-2011, 07:59 AM   #53

izroilblackarmy aktivis kaskus 

 UserID: 509004 Join Date: Jul 2008Posts: 605

Kidung Malam 25Hidup menjadi Indah

Ada perasaan menyesal menggelayut di dada Durna, ketika di pagi buta, pusaka Gandewa telah dibawa pergi oleh Harjuna. Walaupun langkah itu sudah digelar-digulung sebelumnya, toh kekecewaan masih juga menghampiri perasaannya. Ia membenarkan kata Aswatama, bahwa Harjuna tidak berhak atas pusaka Gandewa itu. Tetapi bagaimana lagi keputusan sudah dijalankan, dan pusaka telah dibawa Harjuna ke Panggombakan.

Perasaan bersalah kepada Aswatama itulah yang kemudian ingin ditebus dengan keinginannya untuk membahagiakan anak semata wayang. Melalui ketajaman naluri, Resi Durna mampu melihat bahwasanya semenjak kedatangan Ekalaya dan Anggraeni, Aswatama senantiasa memperlihatkan keceriaannya. Ekalaya, raja besar yang mewarisi kerajaan ayahnya, Prabu Hiranyadanu dari negeri Nisada, yang kemudian lebih dikenal dengan nama Paranggelung. Melihat sikap Astatama, Sang Resi harus berpikir seribu kali untuk menolak Ekalaya. Karena jika hal itu dilakukan, tentunya Ekalaya dan Anggraeni segera angkat kaki dari bumi Sokalima. Akibatnya, Aswatama akan bersedih dan kecewa. Maka mau tidak mau, demi kebahagiaan anaknya, Durna harus menahan Ekalaya, khususnya Anggraeni, agar Aswatama tidak terpukul hatinya untuk yang ke dua kali.

Sang Resi sendiri mengakui bahwa Raja Paranggelung serta prameswarinya itu merupakan pasangan yang sempurna. Keduanya tampan dan cantik jelita, ramah, santun, rendah hati dan sangat menghormati sesamanya. Sehingga setiap orang yang berjumpa dan berbincang-bincang dengan mereka akan merasa berharga sebagai manusia.

Malam itu Ekalaya, Anggraeni dan Aswatama memenuhi panggilan Sang Resi datang di pendapa induk padepokan. Sembah yang diberikan Ekalaya membuat Durna layak untuk berbesar hati. Lebih-lebih prameswarinya, Anggraeni, yang santun dan selalu memperlihatkan senyumnya, akan membuat siapa saja enggan meninggalkan sapaan lembut yang menyejukkan sanubari.

“Ekalaya, walaupun dalam pengamatanku engkau sudah menampakan kesungguhan berguru kepadaku, untuk saat ini aku belum akan mengangkatmu sebagai murid. Namun jangan berkecil hati, engkau aku beri kesempatan belajar pengetahuan tentang ilmu yang aku ajarkan kepada murid-muridku di Sokalima.”

Bagi Ekalaya, kesempatan yang diberikan oleh Pandita Durna sudah lebih dari cukup. Oleh karenanya Ekalaya berjanji ingin menggunakan kesempatan berharga tersebut dengan sebaik-baiknya.

Sejak awal, Ekalaya yang juga bernama Palgunadi, datang ke Sokalima untuk memperdalam ilmu memanah. Karena bagi Ekalaya, raja Nisada atau Paranggelung, ilmu dan ketrampilan memanah merupakan pelajaran wajib bagi seluruh rakyat di negeri itu. Maka ketika mendengar bahwa di Sokalima diajarkan ilmu memanah tingkat tinggi, Ekalaya berkeinginan memperdalam ilmu memanah kepada Resi Durna, Guru Besar di padepokan Sokalima.

Waktu berjalan cepat, tak terasa sudah hampir setahun Ekalaya belajar kepada Pandita Durna. Tidak peduli dengan predikat murid yang belum didapat, Ekalaya telah menyerap pengetahuan ilmu-ilmu Sokalima, termasuk ilmu memanah. Namun ilmu saja belum cukup, oleh karenanya Ekalaya ingin mempraktekkan ilmu yang didapat dari Pandita Durna, terutama ilmu memanah.

Suatu malam Ekalaya bermimpi sedang belajar memanah di sebuah taman asri di tengah hutan. Di sudut taman terdapat patung Pandita Durna yang sedang tersenyum, seakan-akan bangga melihat kemampuan muridnya. Bagi Ekalaya, belajar memanah di depan patung Pandita Durna tersebut terasa

mendapat energi yang luar biasa sehingga dapat menggugah jiwa dan mengobarkan semangat dalam belajar.

Sejak mimpi itu, Ekalaya berkeinginan membuat tempat latihan seperti pada gambaran mimpinya tersebut. Dewi Anggraeni, sebagai isteri setia, menyetujui niat suaminya. Aswatama dengan penuh kebaikan melayani segala sesuatu yang dibutuhkan demi kelancaran Ekalaya dalam menuntut ilmu. Sehingga bagi Ekalaya dan Anggraeni, Aswatama mendapat tempat khusus di hati keduanya karena jasa-jasanya.

Pernah terlintas dibenak Ekalaya dan Anggraeni, kelak jika tugasnya di Sokalima telah selesai, mereka berkeinginan memboyong Aswatama ke Paranggelung untuk diberi kedudukan tinggi sebagai sahabat raja.

Waktu satu tahun selama perjumpaannya dengan Ekalaya dan Anggraeni khususnya, telah mampu menggeser semua sejarah hidup Aswatama yang sudah hampir mendekati 30 tahun. Hidup lama telah diganti hidup baru. Bagi Aswatama, pasangan Ekalaya dan Anggraeni telah mampu mengubah hidupnya secara luar biasa. Aswatama yang semula merasa lebih rendah atau tidak lebih berharga dibandingkan dengan para ksatria Pandhawa, ternyata ia sangat berharga di mata raja besar Paranggelung beserta prameswarinya. Jika selama ini Aswatama tidak percaya diri akan kemampuannya di hadapan orang tuanya, kini mulai menemukan banyak kelebihan dihadapan sang Raja sakti dari negara Nisada. Sungguh ajaib, perjumpaannya dengan Ekalaya dan Anggraeni yang penuh kasih dan rendah hati, membuat hidup Aswatama indah berseri bagai pelangi.

Keindahan malam itu, malam bulan purnama, menjadi semakin indah ketika dari bibir nan lembut indah, mengalun suara kidungan yang merdu menyusup kalbu.

“Anggraeni-Anggraeni, engkau manusia nan sempurna Karena kesempurnaanmu sebagai manusia, engkau bak bidadari yang turun ke dunia. Seperti ia kah ibuku Bidadari Wilutama?

Ibu, ibu, aku rindu padamu.”

  QUOTE

14-05-2011, 08:00 AM   #54

izroilblackarmy aktivis kaskus 

Kidung Malam 26Bertepuk Sebelah Tangan

 UserID: 509004 Join Date: Jul 2008Posts: 605

Ekalaya membuktikan tekadnya untuk belajar tuntas ilmu memanah dari Pandita Durna. Walaupun setahun lebih keberadaannya di Sokalima ia secara resmi belum diangkat menjadi murid, ia telah memanfaatkan pertemuannya dengan Pandita Durna untuk menyerap berbagai ilmu yang diajarkan di Sokalima. Bahkan mulai menginjak tahun kedua, Ekalaya dengan dibantu Anggraeni dan Aswatama dan beberapa cantrik padepokan telah membuat sanggar di tengah hutan kecil di pinggiran wilayah Sokalima. Di sanggar yang suasana dan penataannya disesuaikan dengan gambaran mimpinya, Ekalaya dengan tekun belajar praktek memanah.

Patung pandita Durna yang diletakkan di altar sanggar mampu memberikan energi yang luar biasa bagi Ekalaya untuk belajar dan terus belajar. Mata patung yang dipahat cekung ke dalam seakan-akan menatap penuh waspada manakala Ekalaya mulai menarik busurnya. Sudut bibir patung yang dipahat sedikit naik ke atas, sepertinya sang Guru tersenyum bangga menyaksikan anak panah si murid satu-persatu melesat cepat, tepat mengenai sasaran. Tangan patung sebelah kiri kelihatan seperti mempersilakan apa pun yang akan dicoba dan dilatih oleh sang murid. Sementara tangan patung sebelah kanan memegang tasbih, dapat diartikan bahwa sang guru senantiasa berdoa bagi muridnya agar dapat berhasil menuntaskan ilmu yang telah dipelajarinya.

Anggraeni tidak berani mengganggu suaminya yang sedang berkonsentrasi tinggi dalam usahanya menyempurnakan ilmu memanah. Namun sebagai seorang isteri ia tidak pernah melepaskan pendampingannya. Siang malam Anggraeni, sang prameswari paranggelung, berada di sanggar, selalu siap sedia sewaktu-waktu suaminya membutuhkan bantuan yang perlu segera dipenuhi. Kelancaran Ekalaya dalam proses penyerapan ilmu-ilmu Sokalima, khususnya ilmu berolah senjata panah serta segala fasilitasnya, tidak lepas dari peran Aswatama.

Sesungguhnya di balik kebaikan Aswatama terhadap keduanya, terkandung maksud yang hingga saat ini masih tersimpan rapat di hatinya. Sejak awal pertemuannya dengan Anggraeni khususnya, Aswatama telah jatuh hati. Ia ingin selalu bertemu dan berdampingan dengannya, bahkan lebih dari itu. Oleh karenanya Aswatama memakai berbagai cara dan straregi untuk dapat selalu bersama dengan Anggraeni.

Aswatama tidak menyadari bahwa kesempatan yang selalu memungkinkan untuk dapat bersama-sama dengan Anggraeni dan Ekalaya tidak lepas dari peran Pandita Durna. Keberadaan Ekalaya yang bertahan hingga tahun kedua di Sokalima, memang disengaja oleh Durna. Sebenarnya status Ekalaya di

Sokalima masih menggantung. Dikatakan sebagai murid Sokalima, Durna belum mengangkatnya secara resmi. Namun jika tidak dianggap murid Sokalima, nyatanya ia telah menyerap sebagian besar ilmu-ilmu Sokalima. Hal tersebut memang tidak penting bagi Pandhita Durna, karena yang diutamakan adalah supaya Aswatama bergaul semakin akrab dengan Anggraeni. Karena ia tahu bahwa anaknya telah jatuh hati dengan prameswari Paranggelung tersebut.

Namun setelah menginjak tahun kedua, benih cinta Aswatama semakin mengakar kuat, dan rupanya hal tersebut justru menjadi semakin sulit dilepaskan. Ada penyesalan yang kemudian datang terlambat, mengapa Durna tidak menolak Ekalaya dan Anggraeni lebih awal.

Oh ngger anakku, mengapa kamu jatuh cinta kepada seseorang yang sudah bersuami?

Sebenarnya bukan hanya Aswatama, siapapun orangnya akan jatuh hati melihat keelokan paras Anggraeni. Terlebih lagi jika sudah bertatap muka, saling menyapa, bergaul akrab dengannya, dapat dipastikan akan menumpuk rasa kagum yang menggunung dan rasa terpana yang tak berkesudahan. Oleh karenanya Aswatama tidak bersalah jika di hatinya telah tumbuh pohon cinta yang semakin lebat, karena tanpa disadari, Anggraeni telah menyiraminya setiap hari.

Sesungguhnya Anggraeni tahu bahwasanya Aswatama jatuh hati kepada dirinya. Namun bagi Anggraeni itu adalah urusan Aswatama. Sedangkan urusan Anggraeni adalah menjaga kemurnian perkimpoiannya dengan Ekalaya, tanpa harus menyakiti orang lain. Itulah yang selama ini dilakukan oleh Anggraeni ketika harus bergaul dengan orang lain, tak terkecuali Aswatama. Maka jika rasa hormatnya karena Aswatama adalah anak dari guru suaminya, dan rasa terimakasihnya karena Aswatama telah banyak membantu usahanya diartikan lain, sekali lagi itu adalah urusan Aswatama.

Aswatama pun tahu bahwa wanita seperti Anggraeni tidak mungkin akan menodai perkimpoiannya dengan Ekalaya, ia lebih baik mati daripada mengingkari kesetiaannya. Keramahan, kebaikan, sendau-gurau dan rasa hormat yang diberikan Anggraeni sangat terukur, tidak pernah melebihi batas-batas yang telah dibuatnya. Kejelasan dan ketegasan Anggraeni yang menandai hubungannya dengan Aswatama seharusnya sudah cukup bagi Aswatama untuk menarik diri dan perlahan-lahan membiarkan pohon cinta di hatinya kering dan kemudian mati. Namun yang terjadi justru sebaliknya, sikap Anggraeni yang tegas, suci dan mulia itu justru membuat Aswatama semakin

jatuh cinta. Memang berat rasanya bertepuk sebelah tangan. Namun tetap mengasyikkan untuk diteruskan.

  QUOTE

14-05-2011, 08:02 AM   #55

izroilblackarmy aktivis kaskus 

 UserID: 509004 Join Date: Jul 2008Posts: 605

Kidung Malam 27Panah Misterius

“Bapa Pandita aku datang.”

Durna mempersilakan anaknya masuk ke ruang dalam dan duduk mendekat, dan sangat dekat. Matanya yang sudah sipit semakin disipitkan. Di balik pelupuk matanya, Durna memandangi anaknya tajam sekali.

“Aswatama dapatkah aku membantumu?”

“Tentu Bapa Pandita, aku sangat membutuhkannya.”

“Katakan anakku.”

Aswatama tidak segera mengatakan maksudnya. Mulutnya terasa berat untuk membuka, mengucapkan kata-kata yang sesuai dengan hatinya. Durna sengaja membiarkan Aswatama mengatasi gejolak hatinya sehingga mulutnya dapat menyampaikan maksud hati yang sesungguhnya.

Berat rasanya beban itu disimpan sendirian. Ia ingin berbagi kepada orang yang paling dekat dengan dirinya, yaitu Bapa Pandita Durna.

“Bapa Pandita, maafkan anakmu ini, karena aku telah jatuh cinta kepada Anggraeni.”

Pernyataan Aswatama tersebut tidak mengejutkan Durna. Namun keberanian Aswatama mengatakan ya

Semenjak ia bergaul akrab dengan Ekalaya dan Anggraeni, Aswatama mengalami kemajuan yang sangat pesat di dalam pengelolaan terhadap diri sendiri dan pandangan-pandangannya mengenai hidup dan kehidupan.

Pernyataannya bahwa dirinya telah jatuh cinta kepada Dewi Anggraeni, isteri Prabu Ekalaya, adalah bukti bahwa Aswatama berani berkata dari kejujurann hatinya. Walaupun ia menyadari bahwa Aswatama tidak mungkin meminang Aggraeni, kata

hatinya harus diungkapkan bahwa ia telah jatuh cinta kepada Anggraeni.

“Aswatama anakku, apa yang engkau katakan kepadaku ini juga telah engkau katakan kepada Anggraeni?”

“Tidak Bapa, tidak ada gunanya aku mengatakan kepada Dinda Anggraeni, karena aku berkeyakinan bahwa sesungguhnya Dinda Anggraeni sudah tahu bahwa aku benar-benar jatuh cinta kepadanya. Bahkan bisa jadi pernyataanku akan menjauhkan persahabatanku dengan mereka.”

“Bagus anakku, artinya engkau menyadari bahwa cinta antara pria dan wanita yang bergelora di hatimu tidak mendapatkan tempat di hati Anggraeni?”

“Benar Bapa, demikian adanya.”

“Oh ngger anakku Aswatama, aku tidak menyesalkan nasibmu yang kurang beruntung, tetapi aku mensyukurinya bahwa engkau mampu berpikir jernih. Sebagai titah yang lemah, engkau tidak kuasa menolak dorongan cinta yang kuat. Tetapi sebagai titah yang dicintai dewa, engkau diberi kekuatan untuk menghadapi semuanya itu. Aswatama anakku, mataku terbuka, engkau benar-benar telah dewasa.”

Aswatama mendekap lutut Pandita Durna erat-erat, dan Pandita Durna mengelus-elus kepalanya dengan penuh haru dan kasih sayang. Tanpa sengaja benak dan pikiran mereka mengingat pada sosok yang sama bernama Batari Wilutama. Durna dahaga akan kasih sayang isteri yang dengan kesejukannya mendampingi dalam membangun keluarga yang bahagia dan sejahtera. Sedangkan Aswatama lebih membayangkan jika ia sejak kecil mendapatkan kasih sayang seorang ibu tentunya akan lain jadinya.

Beberapa saat kemudian, Durna dan Aswatama menuju sanggar pamujan. Mereka sepakat ingin mendapatkan kekuatan dan jalan keluar dari segala permasalahan yang membelenggu hidupnya.

Siang itu langit biru bersih tanpa awan. Sang surya bersinar dengan sempurna. Namun walaupun begitu panasnya tidak mampu menembus lebatnya pepohonan di hutan kecil yang berada di sekitar Padepokan Sokalima. Di ujung jalan setapak yang diapit oleh rimbunnya semak belukar, ada serombongan bangsawan sedang berburu binatang hutan. Salah satu di antaranya adalah Harjuna dengan membawa anjing pelacak. Tanpa seorang pun mengetahui apa yang terjadi, tiba-tiba si anjing menyalak dengan keras dan berlari menuju arah tertentu.

Tanpa diberi aba-aba Harjuna dan saudara-saudaranya mengikuti anjing pelacak tersebut.

Cep! Langkah mereka terhenti, demikian juga nyalak anjing pelacak diam seketika. Perlahan-lahan Harjuna mendekati anjing kesayangannya yang sudah tidak bergerak. Hatinya berdesir, keringat dingin membasahi sekujur tubuhnya. Kesatria luar biasa, murid andalan Sokalima tersebut tak kuasa menahan gejolak hatinya. Kemarahan besar meledak-ledak di dadanya. Selama hidupnya belum pernah ia mendapat malu seperti saat ini. Sebagai satu-satunya murid Sokalima yang ahli berolah senjata panah telah dihadapkan kenyataan bahwa tingkat kemampuan menggunakan senjata panah yang dikuasai Harjuna masih berada di bawah seorang yang melepaskan anak panahnya ke kepala anjing pelacak tersebut. Dengan seksama Harjuna dan saudara-saudaranya meneliti panah yang tepat menancap di antara kedua mata anjingnya dengan sempurna. Ada tujuh anak panah yang menancap hampir bersamaan pada satu titik yang sama. Sehingga cukup menyisakan satu anak panah rangkap tujuh. Sangat luar biasa.

“Kurang ajar, siapa orang yang telah memanah anjing kesayanganku!?”

Bima, Puntadewa, Sadewa dan Nakula, lebih heran lagi dibandingkan dengan Harjuna. Mata mereka tidak melihat ketika ada tujuh panah yang hampir bersamaan menghujam otak si anjing pelacak yang hanya berjarak beberapa jengkal di depannya.

  QUOTE

14-05-2011, 08:04 AM   #56

izroilblackarmy aktivis kaskus 

 UserID: 509004 Join Date: Jul 2008Posts: 605

Kidung Malam 28Ilmu Sapta Tunggal

Harjuna adalah seorang ksatria yang gemar ‘tapa ngrame’, selalu siap sedia menolong sesamanya yang membutuhkan, melindungi yang lemah, membela yang teraniaya. Ia senantiasa memperjuangkan kebenaran dan menentang yang durhaka. Maka tidak mengherankan, jika pada saat Sang Harjuna menyusuri jalan-jalan pedesaan, mereka berebut untuk menawarkan agar Harjuna berkenan singgah di rumahnya, untuk memberikan cunduk bunga melati, lambang dari cinta dan kasih sayang. Oleh karenanya bagi keluarga yang dikunjungi Harjuna menjadi berkah akan berkelimpahan.

“Hore! Hore! Hore! Sang Pekik datang, kita sambut dia, kita taburkan bunga mawar warna-warni. Ayo jongkok, ayo jongkok, jongkok. Beri sembah hormat kepadanya. Sang Pekik mampirlah di gubuk kami, mangga pinarak Raden, Raden Harjuna. Horeee!”

Suara suka-cita para kawula pedesaan yang terngiang di telinga berhenti seketika. Demikian pula suasana penuh kasih yang pernah singgah di sanubari lenyap tak berbekas. Ketika sang Harjuna melihat anjing kesayangannya tergeletak mati ditembus tujuh anak panah sekaligus. Yang ditinggal adalah sebuah kemarahan, yang semakin menjadi besar.

“Kurang ajar! Siapa yang berani menghina Harjuna, ayo keluarlah! Perang tanding melawan panengah Pandawa.”

Suasana hening sepi, tidak ada suara yang menanggapi tantangan Harjuna. Puntadewa cemas akan keadaan adiknya.

“Dinda Harjuna, mengapa jiwamu menjadi ringkih, engkau tidak dapat mengendalikan amarahmu ketika melihat panah luar biasa.”

“Karena anjing kesayanganku dibunuh.”

“Bukan Dinda Harjuna, bukan karena anjing kesayanganmu yang telah mati, tetapi karena pembunuhnya adalah orang yang sangat luar biasa dalam menggunakan senjata panah, melebihi kemampuanmu. Bukankah begitu Harjuna. Seharusnya engkau menjadari, bahwa di atas langit masih ada langit.”

“Kakanda Punta, bukankah langit di atasku adalah Bapa Guru Durna? Mungkinkah yang melakukan ini adalah Bapa Guru Durna? Karena hanya Bapa Guru yang mempunyai ilmu panah Sapta Tunggal yaitu melepaskan tujuh anak panah pada satu titik sasaran. Namun selama aku menjadi muridnya, Bapa Guru Durna belum pernah memberi contoh ilmu panah Sapta Tunggal sesempurna kali ini. Bapa Durna! Aku datang menghadap.”

Sembari membopong anjingnya yang telah mati, Harjuna diiring oleh Puntadewa, Bimasena, Nakula dan Sadewa menuju ke Padepokan Sokalima. Di balik rimbunnya pepohonan yang dilaluinya, ada dua pasang mata memandang tajam rombongan Pandawa. Mereka adalah Aswatama dan Anggraeni. Sejak Anggraeni dan Ekalaya tinggal di Sokalima, Aswatama menyarankan kepada mereka berdua agar selalu berusaha untuk tidak bertemu dengan murid-murid lain, baik itu para Pandawa atau para Kurawa. Dan saran Aswatama tersebut dipatuhi oleh Ekalaya dan Anggraeni. Demikian juga para cantrik padepokan

selalu patuh kepada Aswatama, ikut merahasiakan kehadiran Ekalaya dan Anggraeni. Sehingga sampai memasuki tahun ketiga tidak ada seorang pun tahu bahwa di padepokan Sokalima ada seorang murid luar biasa yang melebihi murid-murid yang lain.

Kedahsyatan murid Sokalima yang tersembunyi ini, telah dirasakan oleh Harjuna. Diawali dari lolongan anjing pelacak yang sangat mengganggu laku semedi yang sedang dijalani, sehingga Ekalaya terpaksa melepaskan panahnya untuk menghentikan lolongan anjing yang ternyata adalah milik Harjuna.

Kedatangan Harjuna dan saudara-saudaranya disambut Pandita Durna dengan wajah berseri-seri. Maklumlah, Harjuna dan Bimasena adalah murid-murid kesayangan yang menjadi andalan Sokalima. Namun rupanya keceriaan wajah sang guru terhenti. Dahinya yang memang sudah keriput semakin keriput ketika ditatapnya Harjuna membawa anjing yang mati tertancap panah di dahinya dengan ilmu Sapta Tunggal.

Hatinya berdesir. Ia tahu siapa yang melakukannya, siapa lagi kalau bukan Ekalaya. Tetapi bagaimana jika Harjuna tahu tentang Ekalaya?

“Apakah Bapa Guru yang telah melakukan ini?”

Durna menggelengkan kepalanya

“Lalu siapa yang telah menguasai ilmu Sapta Tunggal, salah satu ilmu panah andalan Sokalima dengan sempurna?”

Durna berusaha untuk menyembunyikan nama Ekalaya terutama di hadapan Harjuna. Karena ia tahu jika Harjuna mengetahui bahwa ada murid Sokalima yang lebih pandai dibandingkan dirinya, akan fatal jadinya.

“Harjuna, akhir-akhir ini hutan di sekitar Sokalima sering didatangi pemburu asing, mungkin salah satu di antaranya yang telah melepaskan panah itu.”

“Ampun Bapa Guru, apakah ilmu Sapta Tunggal juga diajarkan di luar Sokalima?”

“Tidak Harjuna, tetapi ada ribuan ilmu memanah yang diajarkan di luar Sokalima. Dan bisa saja beberapa di antaranya mirip dengan ilmu Sapta Tunggal.”

  QUOTE

14-05-2011, 08:05 AM   #57

izroilblackarmy aktivis kaskus 

 UserID: 509004 Join Date: Jul 2008Posts: 605

Kidung Malam 29PATUNG DURNA

Lolongan anjing yang terus-menerus dirasa dapat mengganggu semedinya, maka Ekalaya melepaskan anak panah dari jarak jauh dan diarahkan ke suara anjing. Namun ternyata tindakan yang dilakukan Ekalaya tersebut berbuntut panjang. Pasalnya anjing yang terkena panah bukan anjing hutan, dan bukan pula anjing milik penduduk sekitar, seperti yang diduga oleh Ekalaya. Namun anjing tersebut ternyata anjing pelacak milik Harjuna.

Ketika Harjuna membawa bangkai anjingnya kepada Pandita Durna, dan menanyakan perihal panah yang menancap, Harjuna belum sepenuhnya lega atas keterangan Sang Guru Durna. Ia akan mencari sampai ketemu, siapa sesungguhnya orang berilmu tinggi yang telah membunuh anjingnya. Maka Harjuna segera mohon pamit untuk kembali ke hutan kecil di pinggiran Sokalima.

Melihat kegelisahan Harjuna, Aswatama yang sejak awal mengamati dari kejauhan, diam-diam mendahului Harjuna masuk ke tengah hutan untuk mengabarkan kepada Ekalaya dan Anggraeni. Demi keselamatan dua sahabatnya Aswatama menyarankan agar keduanya pergi ke tempat yang aman untuk sementara.

Sejatinya Ekalaya tidak gentar sedikit pun berhadapan dengan Harjuna, namun jika ia dan Anggraeni mau menyingkir ke tempat yang aman, tindakan itu merupakan penghargaannya kepda Aswatama sahabatnya. Tidak beberapa lama sejak kepergian Ekalaya dan Anggraeni, Harjuna sampai di sanggar Ekalaya.

Mata Harjuna teperanjat melihat ada patung Pandita Durna di tengah. Siapa yang membuat patung ini? Patung yang diletakkan sedemikian rupa itu sangat hidup. Mata dan senyum bibirnya akan membuat getar siapa pun yang memandangnya. Pandangan Harjuna ditebarkan mengamati tempat di sekitarnya. Dilihat dari kebersihan dan perlengkapan yang ada, tempat ini masih aktif digunakan untuk latihan memanah. Lalu siapa orangnya? Apakah ia yang memanah anjingku? Sembunyi di mana ia?

Harjuna, satria berbudi halus dan suka menolong tersebut, perlahan-lahan dirambati perasaan marah. Darahnya menghangat dan mulai mendidih.

“Kurang ajar! Jika engkau satria keluarlah! Hadapi aku, satria Madukara Raden Harjuna.”

Tantangan itu dilontarkan dengan menggunakan getar jarak jauh, sehingga mampu menyusup sampai ke tempat di mana Ekalaya berada. Ekalaya tidak terpancing oleh tantangan itu. Ia bersama Anggraeni dan Aswatama justru semakin menjauh dari tempat Harjuna berada.

Hari menjelang sore, Harjuna tidak menemukan orang yang membunuh anjing kesayangannya. Namun ada satu hal yang dicatat Harjuna tentang patung Pandita Durna dan sesorang yang belajar memanah. Dan hal tersebut sudah cukup bagi Harjuna untuk menarik kesimpulan bahwa ada saling keterkaitan antara panah di kepala anjingnya dan orang yang belajar memanah di depan patung Pandita Durna. Dan tentunya pula keberadaan Patung Pandita Durna menunjukan bahwa orang yang belajar memanah itu mempunyai hubungan dengan Pandita Durna.

“Ampun Bapa Guru, dengan kenyataan yang ada, lepas dari apakah ia yang membunuh anjingku atau bukan, tentunya Bapa Guru mengetahui siapakah orang yang telah mematungkan Bapa Guru di sanggar di tengah hutan itu.”

Durna tidak mungkin serta merta mengatakan bahwa orang yang dimaksud Harjuna adalah Ekalaya. Namun sebagai maha guru ia pun tidak mungkin berbohong. Oleh karenanya ia lebih memilih menyampaikan jawaban atas pertanyaan Harjuna itu dalam bentuk cerita.

Di sebuah negara besar bertahtalah raja muda yang tampan rupawan. Ia sangat dicintai rakyatnya karena berhasil memerintah dengan adil dan bijaksana. Di negara Paranggelung itulah semua kawula dewasa, baik laki-laki maupun perempuan diajari berolah senjata panah. Maka dapat dipastikan bahwa sang raja muda itu pandai berolah senjata panah. Namun dikarenakan kerendahan hatinya sang raja merasa bahwa ilmu panahnya belumlah apa-apa. Maka ia berusaha mencari guru panah yang sakti. Dan tibalah raja muda itu di sebuah padepokan tempat sang guru sakti mengajarkan ilmu memanah.

  QUOTE

14-05-2011, 08:06 AM   #58

izroilblackarmy aktivis kaskus 

Kidung Malam 30Dua Murid Berseteru

 UserID: 509004 Join Date: Jul 2008Posts: 605

Harjuna adalah murid Pandhita Durna yang masuk kategori lantip, cerdas dan cepat tanggap akan sasmita perlambang yang diberikan gurunya. Oleh karenanya sebelum sang Guru Durna menyelesaikan ceritanya, Harjuna sudah mampu menangkap bahwa Gurunya secara tidak langsung telah mengangkat raja muda Paranggelung sebagai muridnya.

“Bapa Guru yang aku hormati, jika berkenan sebaiknya cerita mengenai raja muda yang rupawan, sakti dan rendah hati dicukupkan. Kami sesungguhnya tidak mempunyai hak untuk melarang sang Guru mengangkat murid baru. Demikian pula kiranya seorang Guru tidak berhak melarang muridnya berguru kepada guru yang lain. Tetapi bukankah selama ini pengangkatan murid-murid Sokalima selalu melibatkan saudara tua perguruan? Adakah kekhususan untuk murid yang satu ini? Adakah rahasia yang tidak boleh diketahui oleh murid-murid yang lain?”

“Herjuna jangan terlalu jauh berprasangka. Jika engkau mau dengan sabar mendengarkan ceritaku sampai selesai, tentunya akan menjadi jelas bahwa prasangkamu mengenai diriku keliru. Berhubung engkau telah memotong ceritaku, maka aku tegaskan bahwa Raja muda itu telah tiba di Sokalima dan belajar ilmu-ilmu Sokalima, tetapi aku tidak mengangkatnya sebagai murid.”

“Ampun Bapa Guru, maafkan saya yang khilaf ini.”

Harjuna menyesal. Karena merasa dirinya diremehkan oleh orang lain, hatinya panas terbakar, sehingga tanpa sadar ia telah berani memotong cerita Sang Guru. Nampaknya Durna kecewa atas tindakan murid yang dikasihi tersebut. Ia tidak ingin memperpanjang suasana yang tidak mengenakkan ini. Maka segeralah ia masuk ke ruang dalam, meninggalkan Harjuna dan empat saudaranya.

Karena kedudukannya sebagai murid papan atas di Sokalima telah tergeser oleh murid lain, padahal keberadan murid tersebut tidak diketahui sebelumnya, dan tiba-tiba menjadi orang istimewa di Sokalima, Harjuna merasa kesulitan untuk mengendalikan emosinya, menjernihkan pikirannya dan mendinginkan hatinya. Oleh karenanya ia ingin segera bertemu dengan raja muda Paranggelung untuk membuktikan sejauh mana ketampanannya dan menakar seberapa tinggi ilmunya.

Jika pada awalnya Ekalaya atau juga sering disebut Palgunadi ingin menghindari Harjuna atas saran Aswatama, namun setelah mendengarkan cerita dari para cantrik ia tidak sampai hati membiarkan Sang Guru Durna dipojokkan oleh desakan Harjuna. Maka atas pertimbangan dan kesepakatan Ekalaya,

Aswatama dan Anggraeni, mereka berniat menemui Pandita Durna untuk memohon agar sang Guru memperkenankan Palgunadi meladeni tantangan Harjuna.

Pada teriknya siang, mereka bertiga tiba di halaman padepokan Sokalima. Sebelum kaki-kaki mereka menapaki lantai pendapa induk untuk menemui Guru Durna, ada lima orang datang menghampiri. Sebelum mereka saling menyapa, Aswatama memperkenalkan Ekalaya dan Anggraeni kepada Harjuna, Puntadewa, Bimasena, Nakula dan Sadewa. Pada kesempatan tersebut, Ekalaya memohon maaf terutama kepada Harjuna, karena khilaf ia telah membunuh anjing pelacak milik Harjuna. Namun permintaan maaf yang tulus tersebut tidak menyelesaikan masalah. Karena sesungguhnya bukan itu permasalahannya. Nampaknya Harjuna gagal dalam mencoba mengendalikan gejolak hatinya yang sangat luar biasa.

Sulit rasanya menerima kenyataan bahwa Ekalaya secara penampilan mampu mengimbangi dirinya yang selama ini mendapat julukan lelananing jagad dan lancuring bawana yang berarti laki-laki tampan yang mampu memberi warna keindahan bagi dunia. Apalagi ketika dilihatnya Anggreni, wanita yang mendampingi Ekalaya, darah Harjuna mengalir lebih cepat. Kecantikan dan kemolekan Anggraeni tidak kalah dibandingkan dengan isteri-isteri Harjuna. Bahkan pendamping Ekalaya ini mempunyai daya tarik sangat luar biasa yang tidak dimiliki oleh wanita-wanita lain, termasuk isteri-isteri Harjuna. Keempat saudara Harjuna pun merasakan bahwa pasangan Ekalaya dan Anggraeni merupakan pasangan ideal yang mempunyai daya magnet kuat. Siapa saja akan merasa bangga mengenal dan mendapat kesempatan berbincang-bincang dengan pasangan raja dan ratu dari Negara Paranggelung tersebut.

Tentunya dapat dimaklumi jika Harjuna tak kuasa menyiram bara api cemburu yang menyala di hatinya. Bahkan kesempurnaan Anggraeni sebagai isteri setia Ekalaya bak minyak yang memercik, maka sekejap kemudian bara api di hati Harjuna mulai menyala tak terkendali.

“Bocah Bagus aku ingin mengajakmu bertanding, seperti kebiasaan di Padepokan Sokalima yang belum pernah engkau jalani.”

“Maaf Kisanak, aku perlu mendapat ijin dari Bapa Guru Durna.”

“Jangan mengaku guru kepada seseorang yang tidak pernah mengangkatmu sebagai murid.”

“Aku tidak peduli! Siapa pun yang telah membantuku menuju

kesempurnaan hidup, beliau adalah guruku. Demikian juga jika engkau dapat membantuku menerapkan ilmu-ilmu Sokalima dalam arena pertandingan, engkau pun menjadi guruku.”

“Baiklah, aku ajari engkau cara menarik panah dengan baik!”

Reeeet!! Dengan gerakan halus namun mengandung daya luar biasa Harjuna menarik busurnya dan diarahkan ke dada Palgunadi. Semua orang tegang melihatnya. Mereka dapat merasakan ada kemarahan besar di balik gemeretnya suara busur Harjuna. “Jangan Adinda, jangan lakukan itu.” pinta Puntadewa, saudara sulung Harjuna.

“Maaf Kakanda Punta, bukankah Kakanda juga pernah mengalami jiwa Ksatria yang terkoyak?”

Kata-kata Harjuna mengingatkan ketika Puntadewa menjelma menjadi raksasa putih sebesar gunung karena tak kuasa menahan amarahnya. Maka dibiarkannya adiknya memilih cara untuk mengatasi kemarahannya yang tidak mudah dikendalikan.

Busur Harjuna semakin melengkung tajam. Anak panahnya siap menembus dada Ekalaya yang dibiarkannya terbuka wajar. Tidak lebih dari lima hitungan maka panah Harjuna akan meninggalkan busurnya menembus dada Ekalaya tanpa perlawanan. Anggraeni memejamkam matanya dan menggigit bibirnya, tidak tega melihat suaminya ditembus anak panah Harjuna. Namun ia tidak berbuat apa pun, karena percaya bahwa suaminya akan mampu menyelamatkan diri.

Satu … dua … tiga…

Wuuuss, tiba-tiba Sang Guru Durna berdiri di antara Ekalaya dan Harjuna.

  QUOTE

14-05-2011, 08:16 AM   #59

izroilblackarmy aktivis kaskus 

 UserID: 509004 Join Date: Jul 2008

Dewa Ruci

Arya Sena berguru kepada Dahyang Durna. Iia disuruh menceri tirtamarta untuk mensucikan dirinya. Ia meinta

Posts: 605 diri kepada saudara-saudaranya, meskipun mereka menahan agar sena tidak berangkat, namun ia berangkat juga. Tidak ada yang menemaninya, kecuali angin ribut. Ia minta diri kepada Dahyang durna, yang diberi ansehat bila ia mendapatkan air itu maka akan mempunyai pengetahuan yang sempurna, menonjol di dunia dan akan melindungi orang tuanya yang dihormati karena dirinya. Dikatakan oleh dahyang durna air itu ada di hutan Tikbrasara, di gadamadana pada lereng gunung Candramuka. Suyudana (pura-pura) menahan kepergian Werkudara, namun Werkudara berangkat juga.

Setelah sampai di gunung Candramuka, dibongkarnya gunung itu namun ia tidak mendapatkan iar

yang dicari, tetapi bertemu dengan raksasa Rukmuka dan rukmalkala, yang ketika melihat Werkudara amat marah sehingga kelihatan seperti Batara Berawa yang akan menggempur bumi. Werkudara membanting kedua raksasa itu di batu hingga hancur luluh. Tiba-tiba muncul Hyang Indra dan Hyang Bayu yang menyatakan terima kasih kepada Werkudara karena telah meruwatnya. Mereka kena tulah Hyang Pramesti sehingga berupa raksasa. Ia mendengar suara dari Hyang Indra dan Bayu) yang memberitahukan bahwa iar kehidupan itu memang ada tetapi tempatnya bukan di gunung Candramuka. Ia disuruh minta penjelasan kepada dahyang Durna lagi.

Ketika kembali ke Astina dahyang durna mengatakan

bahwa ia hanya diuji keteguhan hatinya dan baktinya kepad agurunya, lalu diberitahu bahwa iar itu ada di pusat samudra.

Sebelum berangkat lagi ia lebih dahulu pergi ke Amarta. Ia menolak permintaan saudara-saudaranya agar mngurungkan niatnya dan ia segera berangkat. Setelah sampai di pinggir samudera lalu terjun ke laut. Ia ingat bahwa mempunyai Aji Jalasengara. Ia bertemu dengan seekor naga besar yang membelitnya, naga itu ditusuk dengan kuku Pancanaka hingga tewas.

Karena saudara-saudara Werkudara amat bersedih, Kresna menenangkannya dengan mengatakan bahwa Werkudara tidak akan mati, bahkan akan mendapat anugerah dewata, ia akan kembali dalam keadaan

suci.

Werkudara naik ke sebuah pulau dan bertemu dengan mahkluk kecil yang menyerupai dirinya, dan yang mengatakan bernamma Dewaruci. Setelah berdialog, karena kekagumannya ia minta diberi wejangan. Ia disuruh masuk ke perun Dewaruci melalui telinag kirinya. Di dalam perut Dewaruci ia melihat laut amat luas, seolah-olah tidak bertepi. Ketika ditanya apa yang dilihatnya, ia menjawab bahwa ia merasa bingung sehingga tidak jelas penglihatannya. Tiba-tiba ia telkah berhadapan dengan Dewaruci, lalu ia dapat melihat Timur, Barat, selatan dan Utara atas dan bawah. Di dalam dunia yang terbalik (jagad walikan) ia juga melihat matahari. Ketika ia disuruh melihat lainnya, ia melihat empat macam warna

yaitu hitam, merah kuning dan putih. Dewaruci mengatakan bahwa warna merah, kuning, merah dan putih itu menjadi penghalang tindakannya yang baik, yang menuju ke penyatuan dengan Hyang Suksma. Bila ketiga hal itu dapat dihilangkan ia akan dapat bersatu dengan Hyang illahi. Putih menunjukkan kesucian dan kesejahteraan, hanya yang putihlah yang dapat menerima petunjuk ke arah kesatuan antara manusia dengan Tuhan (pamoring Kawula Gusti). Bila warna yang empat itu telah menghilang akan terlihat atu nyala dengan delapan warna yaitu kesatuan sejati (sejatining tunggal). Selanjutnya dikatakan bahwa semua warna itu ada dalam dirinya, berupa isi bumi yang digambarkan sebagai badannya, dan

bahwa jagad besar dan jagad kecil itu tidak ada bedanya. Bila semua wwarna itu telah menghilang yang tinggal adalah bentuk yang sebenarnya. Ketika Werkudara melihat sebuah boneka putih, ia bertanya apakah itu zat yang sedang ia cari. Dijawab oleh Dewaruci bahwa bukan itu yang dicari. Yang dicari itu tak dapat dilihat, tak berwujud, tak berwarna, dan tak bertempat tinggal. Ia hanya dapat dilihat oleh orang yang telah jernir pandangannya. Yang kelihatan itu disebut Pramana, yang ada dalam tubuhnya.

Werkudara minta diberi ajaran sampai tuntas, dan ia tidak mau keluar dari perut Dewaruci, karena disitu ia merasa nikmat. Namun Dewaruci tidak mengijinkannya, Karen ahanya dengan kematian hal itu dapat dicapai. Ia diberi

busana berupa cawat kain poleng bang bintulu yang sebenarnya telah diterimanya dari Hyang Guru sejak masih berada di dalam bungkus. Cawat poleng bang bintulu itu akan menyebabkan ia mampu menghilangkan kesombongan.

Akhirnya Werkudara kembali ke Amarta.

  QUOTE

14-05-2011, 08:18 AM   #60

izroilblackarmy aktivis kaskus 

 UserID: 509004 Join Date: Jul 2008Posts: 605

Bima Suci

Di Kerajaan Astina, prabu Duryudana mengkhawatirkan keamanan negaranya dengan adanya pendeta baru di perbatasan Astina (Sumur Jalatunda/Gunung Argakelasa) yang bernama Begawan Bimasuci. Semakin hari semakin banyak rakyat Astina yang berguru pada pendeta tersebut. Hal ini dipandang

Duryudana akan mengurangi kewibawaan bahkan bisa dianggap merongrong kedudukannya. Kekawatiran ini didukung Sengkuni yang selanjutnya menyalahkan Pandita Drona. Karena sudah bisa diketahui bahwa Begawan Bimasuci tidak lain adalah Werkudara yang merupakan murid Drona. Kenapa Drona yang bersedia mencelakakan Bima tapi justru sebaliknya, Bima telah berhasil mendapatkan ilmu kasampurnan dan setelah itu tidak langsung kembali ke Amarta tapi justru mendirikan pertapaan di wilayah Astina. Semua tuduhan Duryudana maupun Sengkuni dibantah oleh Drona, bahwa keberhasilan Bima mendapatkan ilmu kasampurna adalah berkat ketekunan dan ketabahan Bima dalam

menghadapi segala cobaan dan rintangan hal ini lain dengan Kurawa. Sedang kenapa Bima tidak langsung kembali ke Amarta dan justru mendirikan pertapaan di wilayah Astina ini merupakan strateginya, satu sisi ini justru menguntungkan Astina karena Bima berperan ikut mendidik dan membina moral rakyat Astina disisi lain untuk meringkihkan negara Amarta. Karena kekuatan Pandawa terletak pada Bima, kalau Bima tidak berada di kerajaan berarti kerajaan Amarta kehilangan kekuatannya sehingga akan mudah dihancurkan. Maka untuk menunjukkan kebenaran pendapatnya dan kesetiaannya pada raja, Drona memanggil siswa barunya untuk datang dan membantu menyerang Amarta. Sedang dirinya justru

akan menemui Bima supaya selalu tekun tetap berada di pertapaan. Duryudana menyetujuinya, selanjutnya memerintahkan Sengkuni membawa para Kurawa membantu Raja sabrang untuk menyerbu Amarta.

Di Kerajaan Amarta, Pandawa dirundung kesedihan karena kepergian Bima yang sehabis mendapatkan ilmu kasampurna tidak kembali ke kerajaan tapi malah menghilang entah dimana keberadaannya disamping itu juga disusul kepergian Arjuna yang tampa pemberitahuan saudara-saudaranya pergi entah kemana. Hal ini akan membahayakan keselamatan negara. Tidak lama kemudian datanglah Patih Tambak Ganggeng yang melaporkan adanya musuh

yang akan menyerang Negara Amarta. Selanjutnya Puntadewa memerintahkan para putra-putra Pandawa untuk menghadapi serangan musuh.Dalam peperangan para putra-putra Pandawa kewalahan menghadapi raja sabrang yang didukung prajurit Astina, semua dibentak jadi terlempar entah kemana jatuhnya. Sedang prajurit lainya kocar-kacir menyelamatkan diri.

Di Kahyangan Jonggring Saloka, Batara Guru mengkawatirkan keberadaan Bimasuci yang mengajarkan ilmu kasampurnan. Hal ini akan mengurangi eksistensi keberadaan dan kedudukan para dewa. Karena dengan mendalami ilmu kasampurnan, manusia tidak lagi mau menyembah dan berbakti pada Dewa. Untuk itu

Batara Guru memerintahkan para prajurit Dewa untuk mengusir Bimasuci dari pertapaannya. Yang menerima perintah selanjutnya sama berangkat yang dipimpin Batara Bayu, Brama, Endra dll.

Ditengah hutan Arjuna merasa sedih mencari keberadaan Bima yang sehabis memperoleh ilmu kasampurnan tidak pulang tapi justru menghilang pergi entah kemana keberadaannya. Atas saran Semar Arjuna disuruh pergi ke wilayah negara Astina nanti akan menemukan dimana Bima berada.

Di Gunung Argakelasa/Sumur Jalatunda Bima sedang menerima kedatangan Anoman, niat awal Anoman mengingatkan Bima untuk segera pulang ke Amarta namun setelah tahu kedudukan

Bimasuci sebenarnya justru Anoman malah berguru kepadanya. Tidak lama kemudian datanglah Drona, dengan maksud menyanjung dan mendorong Bima untuk tetap berada di pertapaan. Tak lama kemudian datang juga Arjuna yang bermaksud juga mengingatkan kakaknya untuk segera pulang ke Amarta, karena kalau ditinggal terlalu lama akan membayakan keselamatan negara. namun setelah menerima alas an dan wejangan dari Bima, Arjuna justru berguru sama Bimasuci dan ingin tetap tinggal bersama di pertapaan.

Untuk sementara Drona, Anoman dan Arjuna diminta meninggalkan tempat oleh Bimasuci karena akan kedatangan para dewa. Batara Bayu, Brama, Endra datang ingin mengusir Bima karena

lewat perdebatan para dewa kewalahan selanjutnya para dewa menjatuhkan guntur api, angin, air namun semuanya dapat diatasi Bimasuci. Karena para prajurit Dewa tidak berhasil mengusir Bimamsuci, Batara Guru menghadapi sendiri. Terjadilah Bantah tentang kedudukan dan eksistensi para dewa sebenarnya yang dikaitkan dengan ketauhitan. Batara Guru kewalahan menghadapi Bimasuci dan mengetahui siapa sebenarnya yang sedang bersemayan dalam jiwa Bima suci yang tidak lain adalah Sang Hyang Wenang. Setelah bertobat akhirnya pergi Batara Guru pergi mmeninggalkan Bimasuci. Setelah itu Sang Hyang Wenang keluar dari dalam tubuh Bima kembali ke Kahyangan.

Arjuna, Anoman,

Drona menghadap Bimasuci kembali, tak lama kemudian datanglah Kresna yang mengingatkan Bimasuci, bahwa usaha untuk mencapai kesempurnaan tidak harus dengan laku ibadat yang terus meninggalkan keduniaan. Tapi juga dengan darma dengan kehidupan sehari-hari . Siapa yang berbuat baik ikut memayu hayuning bawana ddilandasi dengan rasa iklas dan pasrah pada Tuhan maka insya Allah amalnya akan diterima dan akan mencapai kesempurnaan hidupnya baik di dunia maupun di akhirat. Selanjutnya Kresna juga mengingatkan bahwa Kerajaan Amarta sekarang dalam bahaya karena mendapat serangan dari musuh untuk itu Bima diminta segera pulang ke Amarta menyelamatkan

negara dan rakyatnya menuju kedamaian dan ketentraman yang abadi. Tiba-tiba Gatutkaca, Antarja tiba (jatuh) tanpa sadarkan diri, setelah disadarkan Bima, mereka melaporkan keadaan negara Amarta yang porak poranda diserbu Musuh. Bima segera tergugah hatinya segera berangkat ke Amarta dengan para putera-puteranya.

Setelah tiba di Amarta, Bima, Arjuna dan para putra-putra Pandawa segera mengusir para musuh. Namun untuk menghadapi raja sabrang semua kewalahan akhirnya Semar yang menghadapinya. Raja sabrang dapat ditundukkan dan kembali ke wujudnya asli yakni Batara Kala. Tujuan Batara Kala menyamar lalu membuat onar tidak lain adalah

ingin mengingatkan Bima supaya segera kembali ke Amarta. Para Kurawa merasa malu terus mengamuk namun dapat diusir Bima.

Para pandawa bersyukur dengan kembalinya Bima dan bersatunya kembali Pandawa, sehingga ketentraman, kedamaian dan kesejahteraan dapat hidup kembali di bumi Amarta.

Usaha Perdamaian

Seperti yang telah dikisahkan sebelumnya, bahwa Pendita dari Negeri Pancala telah dikirim ke Hastinapura untuk membawa pesan perdamaian dari Pandawa. Pendita utusan raja Drupada itu tiba di istana Raja Drestarastra dan diterima dengan upacara penghormatan.

Setelah memperkenalkan diri, Pendita itu berkata, "Drestarastra dan Pandu adalah putra Wicitrawirya. Menurut tradisi, keduanya berhak mewarisi harta peninggalan ayah mereka. Berlawanan dengan kelaziman ini, putra-putra Drestarastra menyatakan bahwa seluruh kerajaan Hastina adalah hak mereka. Putra-putra Pandu dinyatakan tidak memiliki warisan apa-apa. Hal ini tidaklah adil".

Kemudian Pendita itu melanjutan, "Wahai keturunan bangsa Kuru yang saya muliakan, Pandawa menginginkan perdamaian. Mereka bersedia melupakan semua penderitaan yang mereka alami selama di pengasingan. Mereka tidak menghendaki peperangan sebab mereka sadar bahwa peperangan tidak akan membawa kebaikan, melainkan hanya kemusnahan. Karena itu, berikanlah apa yang patut mereka miliki".

Tiba-tiba saja Karna menyela, "Wahai Brahmana, apakah yang kau

katakan itu adalah sesuatu yang baru ? Tak ada gunanya mengulang cerita lama. Yudhistira tak berhak menuntut miliknya yang sudah dipertaruhkannya di meja judi, karena ia kalah. Kalau ia masih ingin memiliki bagian dari kerajaannya, dia harus memintanya sebagai pemberian.

Tetapi nyatanya, dengan sombong ia menuntut sesuatu yang bukan haknya sebab ia merasa kuat berkat dukungan sekutu-sekutunya, terutama dati Matsya dan Pancala. Baiknya aku jelaskan di sini bahwa tidak sesuatu apapun akan diperolehnya dari Duryodhana karena telah terbukti dalam tahun ke tigabelas seharusnya Pandawa bersembunyi sebaik-baiknya. Jangan sampai keberadaan mereka diketahui. Tetapi, nyatanya mereka ketahuan sebelum bulan keduabelas dari tahun ketigabelas berakhir. Menurut perjanjian seharusnya mereka menjalani pengasingan lagi selama dua belas tahun".

Bisma yang bijaksana berkata, "Karna, jangan engkau berkata demikian. Kalau kita tidak mendengarkan pesan yang disampaikan utusan itu, perang akan pecah. Ketahuilah, kita pasti kalah dan musnah".

Raja Drestarastra yang sedari tadi hanya diam mendengarkan, kemudian berdiri dan dengan dituntun oleh Sanjaya, pembantu dan penasehat setianya, ia naik ke mimbar dan berkata, "Demi keselamatan kita semua dan kesejahteraan Pandawa, aku putuskan untuk mengirim Sanjaya berunding dengan Pandawa. Pulanglah wahai sang duta. Sampaikan hal ini kepada Yudhistira".

Kemudian Drestarastra memberikan pesan-pesan kepada Sanjaya, "Pergilah menemui putra-putra Pandu. Sampaikan salam kasihku kepada mereka dan salam hormatku kepada Kresna, Setyaki dan Wirata. Pergilah atas namaku dan berundinglah dalam suasana kekeluargaan untuk menghindari peperangan".

Maka berangkatlah Sanjaya ke Upaplawya dengan membawa pesan perdamaian. Dalam pertemuan khusus yang diadakan untuk menyambut kedatangannya, Sanjaya berkata singkat, "Dharmaputra, merupakan kebahagiaan dan kehormatan bagiku mendapat kesempatan untuk bertemu dengan putra-putra Pandu. Engkau dikelilingi sanak saudara dan sahabat-sahabatmu. Itu membuatku merasa lega. Raja Drestarastra mengutusku untuk menyampaikan salam kasih dan doa restunya bagimu. Ia tidak menginginkan perang. Ia menginginkan persaudaraan, persahabatan dan perdamianan dengan Pandawa".

Mendengar kata-kata Sanjaya, dengan senang hati Yudhistira menjawab, "Kalau memang demikian, berarti putra-putra Drestarastra telah sadar. Kita semua bisa tenang. Kalau kerajaan kami dikembalikan, kami bersedia melupakan segala perselisihan kita dan kepahitan yang kami alami di masa lalu".

Sanjaya berkata lagi, "Yudhistira, janganlah berharap bahwa putra-putra Drestarastra akan sadar. Mereka tidak seperti yang kau bayangkan. Mereka tetap menentang ayah mereka dan menginginkan perang. Tetapi kuharap engkau tidak kehilangan kesabaran. Yudhistira, engkau selalu bertindak adil dan jujur serta bersikap tegas dalam menjunjung kebenaran.

Mari kita hindari peperangan. Pandawa mungkin mampu menaklukkan dunia tanpa batas. Tetapi apa gunanya memiliki kerajaan dengan jalan membunuh sanak kerabat sendiri ? Duryodhana dan saudara-saudaranya memang jahat dan serakah, tetapi janganlah sampai engkau terbawa nafsu dan hilang kesabaran. Walaupun mereka tidak mau mengembalikan kerajaanmu, janganlah engkau tinggalkan jalan kemuliaan".

Yudhistira menjawab, "Sanjaya, apa yang engkau katakan itu benar. Memegang kebenaran adalah harta terbaik. Tapi, bukankah kami tidak melakukan kejahatan ? Kresna tahu akan hakikat kebenaran. Ia pasti mengharapkan kita, kedua belah pihak, selamat dan sentosa. Aku akan minta pendapatnya".

Kresna lalu berkata, "Aku menginginkan kesejahteraan bagi Pandawa. Aku juga mengharapkan Drestarastra dan putra-putranya bahagia. Ini sulit. Aku pikir, mungkin aku bisa menyelesaikan masalah ini dengan pergi sendiri ke Hastinapura. Kalau kita bisa mencapai persetujuan yang tidak merugikan Pandawa, aku senang. Kalau aku berhasil berbuat demikian, berarti Kurawa dapat diselamatkan dari kemusnahan. Kalau dengan jalan perdamaian Pandawa bisa memperoleh apa yang mereka kehendaki, mereka akan tetap menaruh hormat kepada Drestarastra. Tetapi kalau perang tak dapat dihindari, Pandawa siap menghadapinya. Dari dua kemungkinan ini, silahkan Drestarastra memilih. Perang atau damai. Damai atau perang".

Akhirnya Yudhistira berkata kepada utusan Raja Drestarastra, "Wahai Sanjaya, kembalilah ke Hastinapura dan sampaikan pesanku ini kepada Paman Drestarastra"."Bukankah berkat ketulusan hati Paman, kami memperoleh sebagian wilayah kerajaan sebagai warisan ketika kami masih muda ? Paman pernah menjadikan aku sebagai raja dan Paman seharusnya mengakui hak kami sebagai pewaris yang sah. Paman seharusnya tidak mengusir kami, hingga kami terpaksa hidup seperti pengemis yang menggantungkan nasib pada belas kasihan orang. Paman yang kami hormati, sesungguhnya kerajaan kita cukup luas untuk dibagi dua. Karena itu, mari hindari permusuhan di antara kita".

"Demikian hendaknya engkau sampaikan pesanku kepada Raja Drestarastra. Sampaikan salam hormat dan kasihku kepada kakek Bisma dan mohon restunya agar semua cucunya hidup bahagia dan

bersatu, tanpa permusuhan. Salam juga untuk Widura. Ia adalah orang yang paling bisa melihat dengan lurus dan dapat memberi nasehat dengan adil".

Kemudian Yudhistira melanjutkan lagi, "Tolong sampaikan pesanku ini kepada Duryodhana""Saudaraku tercinta, engkau telah menyebabkan kami, putra-putra pamanmu, hidup mengembara di hutan dan mengenakan pakaian kulit kayu. Engkau menghina dan menyeret istri kami di depan orang banyak. Kami terima semua itu dengan sabar. Kini, kembalikan milik kami yang sah. Kami ini berlima, setidak-tidaknya kembalikan lima desa kepada kami. Dan marilah kita berdamai. Sambutlah uluran tangan kami dengan hati yang ikhlas".

"Ya, Sanjaya, sampaikan ini kepada Duryodhana. Kami siap menempuh jalan damai, tapi jika Kurawa menghendaki, kamipun siap menempuh jalan perang".

Demikianlah, Sanjaya kembali ke Hastinapura dengan membawa pesan penting untuk Drestarastra dan Duryodhana.

  QUOTE

KaskusAd - Create an KasAD / Buat Iklan KasAD

14-05-2011, 08:24 AM   #62

izroilblackarmy aktivis kaskus 

 UserID: 509004 Join Date: Jul 2008Posts: 605

Durna Tapa (1)Syahdan raja Astina prabu Kurupati berkenan memerintahkan kepada adipati Karna dan wasi Aswatama putra pendita Durna , untuk segera berangkat menjaga keamanan pendita Durna yang mendapatkan tugas dari raja untuk bertapa, demi terlaksananya maksud prabu Kurupati.

Konon prabu Suyudana menginginkan wadyabalanya hendak unggul di medan laga kelak kemudian hari dalam perang Baratayuda, apalagi sekarang dirasanya paran Pandawa mendapatkan sekutu yang kuat dari raja-raja lain negara, untuk itulah pendita Durna bertapa di hutan pagedangan.

Dipati Karna dan wasi Aswatama segera bermohon diri untuk menunaikan tugasnya, diiringi oleh segenap para Korawa, tampak patih arya Sakuni, raden arya Dursasana, raden Kartamarma, raden Durmagati, raden Citraksa dan raden Citraksi.

Di kerajaan Jurangparang, tersebutlah seorang raja bergelar prabu Kalakalpika, jatuh asmara dengan putri raja Astina, Dewi Lesmanawati. Kepada embannya yang bernama Cantekawerdi

raja menyampaikan maksudnya, emban mengusulkan sebaiknya utusan terlebih dahulu menyampaikan surat lamaran kepada raja Astina. Usul diterima, kepada yaksa Kalabangcuring, Kalakarumba, Kalakalapa, kyai Togog dan Sarawita ditugaskan untuk segera berangkat membawa surat lamaran ke negara Astina, mereka segera bermohon diri untuk berangkat ke karajaan Astina.

Di pertengahan perjalanannya mereka bertemu dengan wadyabala Astina, terjadilah perselisihan dan peperangan. Kedua-duanya berusaha untuk mengindarinya, sehingga akhirnya mereka meneruskan perjalanannya masing-masing.

Resi Abyasa di pertapaan wukir Retawu menerima kedatangan cucundanya raden Angkawijaya beserta para punakawan, mereka Nalagareng dan Petruk. Raden Ankawijaya menyampaikan maksud kedatangannya yang tak lain diutus oleh ayahandanya yalah raden Janaka untuk memohon saran, dikarenakan kyai lurah Semar sakit, usaha apakah kiranya yang harus diperuntukkannya. Resi Abyasa menjelaskan tiada satu obatpun yang menjadi sarana kesembuhannya, namun segala hal ihwal dan sebab musababnya kepada raden Angkawijaya sang Pendita telah membuka takbirnya. Bermohon dirilah raden Angkawijaya dikuti oleh Nalagereng dan Petruk, dalam perjalanannya di tengah hutan bertemu dengan para yaksa dan praja Jurangparang, dan terjadilah peperangan. Para raksasa dapat dibunuhnya, kayai Togog dan Sarawita dapat menghindarkan diri dan melarikan diri kembali ke praja untuk melapor kepada raja.

Di kahyangan Jonggringsalaka hyang Guru mengadakan pertemuan dengan hyang Kanekaputra, hyang Bayu, hyang Yamadipati dan hyang Kuwera. Masalah yang dibicarakan tak lain huru-hara di dunia, dilaporkan kepada hyang Guru bahwasanya kesemuanya itu terjadi dikarenakan bagawan Lanabrata atau pendita Durna menggentur tapa di hutan padedangan, permohonannya tak lain hendak kyai Semar sebagai botohmya para Pandawa dikelak prang Barayuda, mati terlebih dahulu. Hyang Guru bersabda kepada hyang Yamadipati, untuk segera turun ke mretyapada dalam rangka tugas mencabut nyawa kyai lurah Semar, adapun hyang Bayu diperintahkan untuk bertindak mencabut nyawa begawan Durna. Keduanya segera bermohon diri turun ke bumi, untuk menunaikan tugas mereka masing-masing.

Begawan Lanabrata kelihatan sedang bertapa brata dengan khusuknya, lama sudah sang begawan berdiam di hutan pagedangan, seluruh anggota badannya penuh dengan penyakit, sangat menyedihkan keadaan sang begawan Lanabrata. Para

Korawa yang meninjau begawan sangat iba hatinya, apalagi putra sang begawan yang bernama wasi Aswatama dengan menangis mendekati ayahandanya sambil meratapinya, bermohon hendaknya jangan diteruskan lagi menggemtur tapa.Namun sang begawan tak sedikit pun terusik dengan keadaan disekitarnya. Hyan Bayu yang ditugaskan untuk mencabut nyawaBegawan Lanabrata segera mendekati diarah kepala sang begawan, mengenai kedatangannya tak seorang pun yang melihatnya, hanya sang begawan menyadri namun tak kusa lagi untuk, berucap, hanya kelihatan tangannya saja meraba-raba,mulutnya berkumat-kumit. Segera tubuh begawan Lanabrata dibawa hyang Bayu ke kahyangan, para Korawa menyaksikan terngkatnya badan begawan Lanabrata, segera mengejarnya dan terus mengikuti, demikian pula wasi Aswatama juga mengejarnya. Sampailah sudah para Korawa dihadapan pintu masuk ke kahyangan Jonggringsalaka, namanya kori Selamatangkep dijaga oleh hyang Cingkarabala. Para Korawa dicegah untuk masuk ke kahyangan, terjadilah peperangan para Korawa dapat diundurkan oleh hyang Cingkarabala. Namun wasi Aswatama dapat meloloskan diri dari amukan hyang Cingkarabala, mengikuti terus perjalanan hyang Bayu yang membawa begawan Lanabrata.

Di Madukara, raden Janaka ditemani oleh wara Sumbadra, Dewi Srikandi dan niken Larasati menunggui kyai Semar yang sedang sakit. Mereka menangisinya, sangat dirundung malang keadaan kyai Semar, keadaannya sangat parah.

Selagi mereka menangisi jyai lurah Semar, datanglah sri Kresna diiringkan prabu Puntadewa, raden arya Wrekodara, raden Nakula, raden Sadewa. Mereka pun sangat iba hati melihat manyaksikan keadaan kyai lurah Semar, tak lama datang pula raden Angkawijaya yang diiringkan oleh Nalagareng dan Petruk. Kepada Prabu Puntadewa, sri Kresna dan para Pandawa raden Angkawijaya melapor bahwa mengenai sakitnya kyai lrah Semar, eyang Abyasa bersabda tak ada obatnya, akan tetapi tidak menjadikan ajalnya, namun akan terjadi huru-hara yang akan menimpa para Pandawa. Sri Kresna dan para Pandawa sangat prihatin dengan sabda begawan Abyasa. Selagi mereka berbincang-bincang, datanglah hyang Yamadipati mendekati kyai lurah Semar, tak seorang pun yang menyaksikan kedatangannya, kyai lurah Semar berkomat-kamit, tanganya digerak-gerakkan, namun tak seorang juapun yang tanggap akan gerak-gerik Semar. Hyang Yamadipati segera membawa kyai lurah Semar menuju kahyangan, para Pandawa menyaksikan hilangnya kyai lurah Semar sangat bingung, segera tampak hyang Yamadipati membawa serta kyai Semar, diikutinya.

  QUOTE

14-05-2011, 08:25 AM   #63

izroilblackarmy aktivis kaskus 

 UserID: 509004 Join Date: Jul 2008Posts: 605

Durna Tapa (2)

Di tengah perjalanan bertemu dengan hyang Kuwera, para Pandawa dipersilahkan kembali, menolak. Hyang Kuwera segera mengeluarkan kesaktiannya, batu sebesar gunung-gunung dan angin ribut keluar memalang menghalang para Pandawa, hanya kyai Petruk saja yang dapat lolos dari amukan ajinya hyang Kuwera, diikutinya hyang Yamadipati.

Di kahyangan Jonggringsalaka hyang Guru dihadap oleh hyang Endra, hyang Brama, hyang Panyarikan, hyang Kuwera, hyang Patuk dan hyang Temboro. Datanglah menghadap hyang Bayu dengan membawa serta pandita Durna yang sudah kembali sehat walafiat, kepadanya ditanyakan gerangan apakah yang menjadikan menggentur tapa di hutan pagedangan. Durna melapor bahwasanya dia menginginkan matinya kyai Semar, sebab selama kyai lurah Semar tidak mati terlebih dahulu, para Korawa dalam prang Baratayuda tak akan dapat mengalahkan para Pandawa, apalagi para Korawa hanya dijagoi oleh seorang saja ialah pandita Durna.

Kepada pandita Durna, ditanyakan akan bersedia bertanding dengan hyang Asmarasanta, dan disanggupinya. Datanglah hyang Yamadipati membawa kyai lurah Semar, demikian pula keadaannya sudah kembali sehat, kepadanya segera ditanyakan apakah bersedia diadu dengan pandita Durna, yang menyebabkan sakitnya Semar tadi, disanggupinya.Demikian pula wasi Aswatama mendukung akan kelangsungannya, apalagi Petruk menjagoi pula bapaknya, kyai Semar. Bertandinglah kyai Semar dengan pandita Durna, Petruk dengan wasi Aswatama, sangat seru dan rame. Kedua pasangan serba bertanding dengan aji kesaktiannya, bergelut bergumul berguling-guling sehingga mereka lupa bahwasanya sudah terbenam di kawah siksaan Yomani, musnahlah mereka kesemuanya ditelan lumpur Yomani. Tak lama muncullah sepasang ksatriya rupawan dari kawah Yomani,agaknya ksatriya yang berjalan dahulu kelihatan lebih wibawa diiringkan ksatriya yang kemudian sedikit takut-takutan, wasi Aswatama dan Petruk mengiringkan pula kedua ksatriya tadi dari belakang, wasi Aswatama kelihatan pucat dan sangat takut.

Mereka segaera menghadap hyang Girinata, ksatriya yang satu bernama Cahyandadari dan dibelakangnya tak lain Kumbayana, kepada hyang Girinata Kumbayana berjanji tak berani lagi kepada kyai Semar, mundurlah sudah mereka dari hadapan hyang Girinata, kembali turun ke bumi.

Di praja Amarta, prabu Puntadewa dan Sri Kresna membicarakan sirnanya kyai lurah Semar, mereka yang mendengarkan termasuk arya Wrekodara, raden Janaka, raden Nakula dan Sadewa sangat sedih hatinya.Tak lama berita terdengarm bahwasanya diluaran ada tampak ksatriya mengamuk, para Pandawa yang bertugas menghadapinya kalah, raden Janaka maju melayaninya. Ksatriya rupawan yang bernama Cahyandadari dipanah,babar kyai Semar.Adapun ksatriya Kumbayana ketika dipanah, babar pandita Durna. Dihadapan para Pandawa, kyai Semar bercerita dari awal sampai akhir perihal keadaannya, demikian pula Petruk yang turut hilang dengan kyai Semar, telah melapor pula. Keadaan pendita Durna meski sudah sehat, kelihatan kurus kering. Para Pandawa sangat iba hatinya, kepada Raden Janaka dan raden arya Wrekodara ditugaskan untuk mengawal mengantarkan kembali pandita Durna kekediamannya. Wasi Aswatama yang selalu setia kepada ayahandanya, tak turut ketinggalan, segera bermohon diri.

Di kerajaan Astina, prabu Suyudana dihadap oleh patih arya Sakuni dan adipati Wangga Karna. Kepada raja mreka melapor bahwasanya pandita Durna dibawa serta ke kahyangan oleh hyang Bayu, meski para Korawa telah berusaha untuk mencegahnya dan membawanya kembali, namun di pintu utama selamatangkep, mereka diubdurkan oleh hyang Cingkarabala. Selagi berbincang-bincang datanglah pandita Durna, diantar oleh raden arya Wrekodara dan raden Janaka.

Pendita Durna dihadap raja Suyudana, dan para Korawa menceritakan dari awal sampai akhir segala lelakonnya, manakala dewa telah bersabda kepadanya, jangan sampai memberanikan diri lagi mengusik kyai Semar, dan Sri Kresna. Selanjutnya jalan kerukunan sajalah yang harus ditempuh oleh para Korawa terhadap para Pandawa. Selagi mereka dengan asyiknya mendengarkan laporan pandita Durna, tersiarlah berita musuh dari Jurangparang datang, Janaka keluar memapakan raja yaksa Kalakalpika, terjadilah peperangan yang sangat rame. Prabu Kalakalpika dilepasi panah oleh raden Janaka, mati. Arya Wrekodara mengamuk, seluruh wadyabala Jurangparang dapat dimusnahkannya.

Di pendapa Astina, diadakan pesta pora memperingati kembalinya pandita Durna, dan tersingkirnya sudah marabahaya yang mengancam kerajaan Astina, disaksikan oleh prabu Suyudana, dipati Karna, arya Sakuni, raden Wrekodara, raden Janaka, dan segenap keluarga Korawa.

  QUOTE

14-05-2011, 08:29 AM   #64

izroilblackarmy aktivis kaskus 

 UserID: 509004 Join Date: Jul 2008Posts: 605

Irawan Maling

Irawan dan Antasena setelah menyaksikan kematian Bambang Jenggala terus mengembara. Dalam pengembaraannya mereka datang di Astina, masuk ke istana dengan sangat berani.

Irawan melarikan kuda kendaraan raja dan Antasena membawa gajah milik Duryudana dan bendera Astina. Dengan hasil rampokannya itu mereka kembali ke Pertapaan Yasarata, tempat kediaman Bambang Irawan.

Para Kurawa berusaha menangkapnya tetapi sia-sia karena para pencuri itu terlalu pandai. Untuk menutupi kegagalannya, Begawan Drona melaporkan kepada Suyudana bahwa pencurinya dapat dikenali yakni Gatotkaca dan Angkawijaya. Sebagai hukuman lebih baik diserahkan pada Prabu Yudistira.

Sementara Prabu Yudistira setelah menerima pengaduan dari Adipati Karna ia mengutus Nakula untuk pergi ke Madukara. Sedangkan Arjuna pada waktu menerima laporan Nakula sangat terkejut sebab pada waktu peristiwa itu terjadi, Angkawijaya dan Gatotkaca tidak pergi dan berada di kasatrian.

Arjuna kemudian memerintahkan kedua ksatria itu mencari pencurinya. Di perjalanan mereka bertemu dengan Irawan dan Antasena dari Pertapaan Yasarata, mereka berusaha menangkapnya tetapi keduanya dapat meloloskan diri.

Selanjutnya Irawan masuk ke Istana Gajah Oya, di keputren ia mengadakan hubungan gelap dengan putri raja yang bernama Tisnawati putrinya Prabu Jayadimurti yang sedang dilamar Suyudana. Pada waktu Jayadimurti masuk ke keputren, dengan gesit Irawan meloloskan diri, dan Sang Raja memberitahukan kepada Suyudana.

Setelah meninggalkan Gajah Oya, Irawan belum puas, ia masuk ke kedaton Astina dan berhubungan asmara dengan Lesmanawati putri Suyudana. Pada waktu akan ditangkap, lagi-lagi ia dapat meloloskan diri. Maka Suyudana memutuskan akan menyerang Amarta sebab yakin bahwa pencurinya adalah Angkawijaya.

Sementara Angkawijaya yang disertai Semar, Gareng, dan Petruk tertidur kecapaian karena mengejar pencuri.

Tiba-tiba Irawan datang dan mencuri keris Angkawijaya, tetapi

kali ini ia sial karena setelah membawa keris ia jatuh pingsan dan dibawa lari Antasena kembali ke Pertapaan Yasarata. Angkawijaya yang kehilangan keris meminta Semar untuk mencarinya, maka abdinya itu segera datang di Yasarata dan menjelaskan kepada Resi Kanwa yang selanjutnya keris diambil kembali oleh Semar.

Pada waktu keris dibawa, Irawan sembuh kembali dan mengejar Semar. Akibatnya peperangan terjadi antara Irwan yang membawa panah Saratama melawan Angkawijaya membawa panah Pasopati. Kedua panah saling bertemu di udara, tiba-tiba Kresna datang memberitahukan bahwa keduanya masih saudara satu ayah lain ibu, putra Arjuna dan diminta menghentikan peperangan.

Kurawa datang menyerang Amarta tetapi dapat diusir Arjuna.

  QUOTE

14-05-2011, 09:59 AM   #65

izroilblackarmy aktivis kaskus 

 UserID: 509004 Join Date: Jul 2008Posts: 605

JALADARA RABI (1)

Syahdan raja Mandraka prabu Salya, berkehendak akan menjodohkan putrinya yang bernama Dewi Erawati dengan prabu anom Kakrasana atau wasi Jaladara. Pada suatu waktu, di praja Mandraka prabu Salya menerima kedatangan Prabu Kurupati dari kerajaan Astina, beserta patih Sakuni, tak lain yang dibicarakan juga masalah perkimpoian Dewi Erawati. Prabu Kurupati menyarankan kepada raja Mandraka prabu Salya, hendaknya dalam perkimpoian sang Dewi, kepada ca;on penganten laki, ditetapkan adanya upeti, syarat-syarat perkimpoian, adanya perlengkapan putri-putri remaja berjumlah 40, pengiring temanten hendaknya diiringi tetabuhan gamelan Lokananta, sepasang kembar-mayang yang berasal dari swargaloka. Prabu Mandraka sangat sedih hatinya mendengar usulan prabu Kurupati, namun dengan penuh kebijaksanaannya, diutusnyalah raden Rukmarata, untuk menyampaikan kelengkapan persyaratan perkimpoian temanten laki, ke praja Mandura, dan berangkatlah dengan diiringi raden Burisrawa, patih Tuhayata menunaikan tugas tersebut.

Prabu Kurupati beserta patih Sakuni, kembali ke praja Astina, raja Salya masuk ke dalam kraton, kepada permaisuri raja bercerita pula bahwasanya putranya, raden Rukmarata ke praja Mandura, menyampaikan usulan kelengkapan persyaratan temanten laki. Dewi Setyawati, dengan putri-putrinya Dewi Erawati, Dewi Surtikanti, dan Dewi Banowati segera mengiringkan raja Salya masuk ke ruangan bersantap di istana .

Konon, ada orang raja di kerajaan Giridasar, namanya prabu Rudradarimuka, jatuh cinta kepada putri Mandraka, Dewi Erawati. Diputuskannyalah oleh raja, mengutus menyampaikan surat peminangan kepada sang raja. Dan wadya yaksa yang diduta setelah menerima surat tersebut segera berangkat menuju praja Mandraka. Di pertengahan jalan wadyabala Giridasar bertemu dengan wadyabala dari Mandraka. Terjadilah perselisihan pendapat, dan peperangan. Untunglah bagi mereka tidak terlalu dalam melibatkan dalam pertempuran, sehingga kedua-duanya berusaha menghindarkan diri dari keterlibatan yang lebih dalam, sehingga kedua-duanya berusaha untuk melanjutkan perjalanannya masing-masing.

Di praja Mandura, prabu anom Kakarsana menerima kedatangan raden Rukmarata, yang menyampaikan titah raja Salya, bahwasanya kepada calon temanten laki, dibebani untuk kelengkapan perkimpoiannya, pengiring temanten nantinya para remaja putri berjumlah 40, diiringi dengan tetabuhan gamelan Lokananta, beserta sepasang kembar mayang yang berasal dari swargaloka. Prabu anom menyanggupkan diri, raden Rukmarata mengundurkan diri, kembali ke praja Mandraka. Kepada adiknya yang bernama raden Narayana, dan pula kepada patih Pragota diperintahkan untuk mencarikannya. Mereka bermohon diri, berangkat menuju Gandamadana.

Di tengah hutan, raden Pamade sedang duduk bersusah hati, merenungkan nasibnya. Raden Pamade sangat bersedih hati, manakala maksudnya akan memperistri rara Ireng, belum terlaksana juga,panakawan kayia Semar, Nalagareng dan Petruk berusaha melipur raden Pamade.

Setelah agak terhibur hatinya, raden Pamade segera meneruskan perjalanannua diikuti oleh para panakawan, ditengah-tengah hutan mereka berjumpa dengan wadyabala yaksa dari praja Giridasar, dan terlibatlah dalam peperangan, wadyabala raksasa dari Giridasar dapat ditumpas oleh raden Pamade. Dalam kelanjutan perjalanannya, sampailah di hutan yang sangat berbahaya, namanya Krendawahana. Agaknya penunggu hutan, yang menjadi wadyabala batari Pramuni, menggodanya. Raden Pamade tak kuasa digoda, akhirnya hyang Pramuni menemuinya, dan bertanya apa sebab susah hatinya. Raden Pamade menguraikan isi hatinya dari awal sampai akhir, hyang Pramuni sangat berkenan dalam hati, segera raden Pamade didandani menjadi seorang putri, dengan nama Endang Wrediningsih. Kyai Lurah Semar, Nalagareng dan Petruk dibusanani pula secara wanita, dengan berganti nama nyai Melik, Melok dan nyai Jagaplok. Kepada mereka diperintahkan untuk menuju ke praja Mandura, di mana hyang Pramuni menegaskan, itulah sarana

yang harus ditempuh untuk bertemu dengan rara Ireng, mereka bermohon diri, melanjutkan perjalanannya. Di tengah jalan, Endang Wrediningsih beserta pengiring-pengiringnya bertemu dengan patih Pragota, kepada mereka dijalaskan maksud untuk dijadikan pengiring temanten, dan Endang Wrediningsih menyanggupkan diri, segera mereka berangkat menuju praja Mandura.

Di pertapaan Gandamadana, Kapijembawan beserta iatrinya Dewi Trijata,dihadap oleh putrinya bernama Dewi Jembawati, menerima tamu dari Mandura, raden Narayana beserta patih Udawa. Kepada Kapijembawan, raden Narayana menyampaikan maksud kedatangannya, yang tak lain mohon diperkenankan membawa Dewi Jembawati, utnuk dijadikan kelengkapan persyaratan perkimpoian kakanya wasi Jaladara, dijadikan patah pengiring temanten, dan Kapijembawan meluluskan permintaan raden Kakarsana, kepada raden Narayana Dewi Jembawati diserahkan, segera mereka bermohon diri, untuk kembali ke praja Mandura.

Raden Rukamarata setelah sampai di praja Mandraka, melapor keayahandanya prabu Salya, bahwasanya prabuanom Kakarsana menyanggupkan diri, untuk memenuhi segala persyaratan perkimpoian. Raja Salya sangat berkenan dihati, namun prabu Kurupati yang sudah hadir pula seakan-akan tidak mempercayainya, kalau prabu Mandura Baladewa kuasa mengadakan sarana-sarana perkimpoiannya. Sang raja Salya segera bertitah kepada anandanya raden Rukmarata, untuk segera mempersiapkan segala sesuatunya, khususnya terhadap diri Dewi Erawati sudah dimasukkan dalam pengawasan yang ketat, dalam menjelang perkimpoiannya.

Oleh raja Salya, yang telah berembug pula dengan permaisuri Dewi Setyawati, putrinya Dewi Erawati dimasukkan dalam sengkeran, disimpan ke dalam cincin saktinya, untuk menjaga keselamatan sanga putri menjelang hari-hari perkawainannya.

  QUOTE

14-05-2011, 10:01 AM   #66

izroilblackarmy aktivis kaskus 

 

JALADARA RABI (2)

Namun apa yang sebenarnya terjadi, yang masuk ke dalam kraton tadi bukan prabu Salya yang sebenarnya, hal ini baru diketahui setelah Rukamrata yang mengemban perintah ayahandanya menemukan di dalam kraton, bahwasanya Dewi Erawati sebenarnya telah disandera, dilarikan maling aguna (sakti). Laporlah kepada Raja, yang kebetulan masih pula

UserID: 509004 Join Date: Jul 2008Posts: 605

berbincang-bincang dengan prabu Kurupati, gegerlah seisi istana.

Kepada raden Rukmarata segera diutus untuk menyampaikan kejadian tesebut ke praja Mandura, sekaligus memberitahukannya bahwasanya kepada raden Kakarsana hanya diwajibkan menemukan kembali Dewi Erawati, yang disandera dan dilarikan maling aguna, perihal sarana kelengkapan-kelengkapan lainnya tidak usah diadakan, berangkatlah raden Rukmarata untuk melapor ke praja Mandura.

Di praja Mandura, raden Kakrasana menerima laporan patih Pragota yang menyerahkan patah wanita remaja, bernama Endang Werdiningsih. Kepada Pragota, diperintahkan untuk menyerahkan Endang Werdiningsih kepada rara Ireng. Bersukacitalah rara Ireng, menerima penyerahan Endang Werdiningsih, beserta wanita-wanita lainnya. Kepada mereka diajarkan budi-pekerti, dan segala tatakrama yang baik. Menjelang rara Ireng akan tidur, kepada Endang Werdiningsih diperintahkan untuk memijatinya, apa hendak dikata manakala berdua di dalam ruang praduan, Endang Werdiningsih babar dalam wujudnya semula, menjadi raden Permadi, demikian pula wanita-wanitanya semula lainnya, babar menjadi Semar, Nalagareng dan Petruk. Tentu saja Ireng sangat terperanjat, dan malu, larilah sambil menjerit-jerit, di dalam kraton ada maling aguna.

Raden Kakrasana menerima laporan adiknya rara Ireng, setelah dibuktikan ke dalam ruang peraduan adiknya, benarlah yang menjadi maling, tak lain raden Pamade. Kepada adiknya yang di kadipaten, ialah raden Narayana, diberitakan bahwa sanya adiknya rara Ireng menakala sedang beranjak diperaduan, telah diganggu oleh seorang lelaki, tak ubahnya dia itu maling aguna. Namun setelah dijelaskan bahwasanya raden Pamadelah yang menjadi maling aguna, kesepakatan terjadi, sebaiknya raden Pamade saja dipanggil dan diberi pengertian. Menghadaplah raden Pamadem,dan kepadanya telah diberitakan, bahwasanya rara Ireng, kelak kemudian hari akan menjadi jodohnya.

Selagi mereka berbincang-bincang, datanglah raden Rukmarata, menjelaskan maksud kedatangannya, yang tak lain menyampaikan pesan prabu Salya, bahwasanya Dewi Erawati hilang disandera maling aguna, yang berwujud raksasa. Kepada raden Kakrasana diwajibkan untuk menemukan kembali, manakala hal tersebut dapat dipenuhi, jadilah perkimpoiannya, akan halnya sarana-sarana kelengkapan perkimpoian lainnya, tak usah diadakan. Jelaslah sudah bagi raden Kakrasana, setelah raden Rukmarata mengundurkan diri, kepada raden Narayana dan raden Pamade si raden Kakrasana menyerahkan

terlaksananya tugas tersebut mereka menyanggupkan diri, dan berangkat.Raden Narayana telah mengetahui dengan pasti, bahwasanya Dewi Erawati, disandera di dalam kraton Giridasar, tak ayal lagi mereka menuju ke sana.Konon, utusan raja orabu Rudradarimuka, raksasa yang berhasil membawa lari Dewi Erawati, telah berdatang sembah, dan mengeluarkan Dewi Erawati dari cincin saktinya, diterima oleh prabu Rudradarimuka. Di dalam kraton, berusahalah prabu Darimuka menghimbau Dewi Erawati untuk melayani maksudnya, tetapi manakala prabu Rudradarimuka masuk ke dalam kraton, tempat penyembunyian Dewi Erawati, bertemulah dengan raden Pamade dan raden Narayana. Segera perkelahian terjadi, raden Pamade menempeleng prabu Rudradarimuka, mati. Gegerlah wadyabala dari Giridasar, mereka segera mengamuk akan membela kematian rajanya. Para raksasa dari Giridasar dapat dikalahkan kesemuanya, oleh raden Pamade dan raden Narayana.

Di praja Mandura prabu Kakrasana menerima laporan raden Narayana dan raden Pamade, dan penyerahan Dewi Erawati. Segeralah oleh raden Kakrasana diperintahkan mempersiapkan segala sesuatunya bagi iring-iringan temanten laki, menuju ke praja Mandraka, Selagi mereka bersiap-siap, datanglah hyang Narada dari kahyangan diiringi para dewa Suralay dan bidadari, membawa segala kelengkapan temanten, laki kereta kencana, kembar mayang Dewandaru, gamelan Lokananta. Kepada raden Kakrasana oleh hyang Narada, diberinya busana raja, beserta senjata sakti yang bernama Alugora, kendaraan berwujud gajah bernama Puspadenta, diberinya nama pula, prabu Baladewa. Atau Balarama, iring-iringan temanten laki, berangkat menuju ke praja Mandraka. Raden Pamade mendahuluinya, membawa serta Dewi Erawati, untuk diserahkan kepada raja Salya, dan telah diterima, demikian pula segala sesuatu mengenai akan keberangkatan temanten, juga telah dilaporkannya. Prabu Salya, dan para tamu lainnya, ialah prabu Puntadewa, raden arya Bratasena, Pinten dan Tangsen segera menerima calon temanten lelaki, prabu Baladewa. Hyang Narada segera bertitah untuk secepat mungkin temanten dipertemukan, setelah selesai, kembalilah para dewa ke kahyangan.

Di samping suasana yang riang gembira di dalam istana Mandraka, terjadi lagi kerusuhan yang ditimbulkan oleh sri Kurupati beserta Kurawanya, raden arya Bratasena segera maju, dan para Korawa dapat diundurkan kesemuanya. Kembali seisi istana Mandraka bersuka ria, bersabda bersama-sama.

Pamade = ArjunaJaladara = Baladewa

  QUOTE

14-05-2011, 10:08 AM   #67

izroilblackarmy aktivis kaskus 

 UserID: 509004 Join Date: Jul 2008Posts: 605

Kangsa Adu JagoSyahdan, putra prabu Basudewa, yang lahir dari Dewi Maerah, dan bernama Raden Jakamaruta atau Raden Kangsa, berdatang sembah ke hadapan sang raja,”Ayahanda, prabu Basudewa, perkenankanlah ananda mengadakan aduan jago. Tetapi bukannya jago hewan yang akan ananda adu, tetapi jago manusia. Kadipaten nantinya akan mengeluarkan jago, pamanda Suratimantra. Terserah pada ramanda prabu, siapa yang akan melawannya.”Usul tersebut meski berat, disetujui juga oleh raja. Kangsa memohon diri kembali ke kadipaten.

Raja memerintahkan kepada Arya Prabu Bismaka untuk pergi ke Widarakandang. Arya Ugrasena diperintahkan untuk mencari jago melawan Suratimantra. Kyai Antagopa dan Nyai Sagopi, yang diserahi prabu Basudewa untuk membesarkan dan mendidik Raden Kakrasana, Narayana, dan Rara Ireng, pada waktu ditanya Prabu Bismaka ke mana dan dimana kedua putera keponakannya, tak dapat menjawab. Marahlah prabu Bismaka lalu dihajarlah Kyai Angopa sebab kelalaiannya. Kepadanya juga ditanyakan, mengapa sampai kadipaten Sengkapura telah mendengar tentang Rara Ireng. Inilah yang nantinya akan menjadi pangkal huru-hara di Mandura.

Raden Kakrasana yang mengetahui Kyai Antagopa dihajar oleh Arya Prabu Bismaka, segera memberikan bantuan. Arya Prabu dilawan, kalah mengundurkan diri, segera pula Kakrasana minta diri, untuk bertapa di gunung Argasonya.

Belum selesai masalah yang satu, disusul datangnya prajurit dari kadipaten, utusan Jakamaruta. Mereka mengetahui adanya seorang puteri cantik putera Nyai Sagopi. Diminta dengan paksa, tetapi permintaan ditolak. Terjadilah huru-hara lagi di Widarakandang. Rara Ireng dapat dilarikan oleh Nyai Sagopi, menuju ke hutan.

Para yaksa, prajurit kadipaten, mengejarnya ke hutan. Raden Parta, beserta panakawannya, Semar, Nalagareng, dan Petruk, yang sedang berada di hutan, bertemu dengan Rara Ireng dan Nyai Sagopi. Kepada Raden Parta telah disampaikan segala hal ihwalnya. Jelasnya mereka dikejar-kejar yaksa Kadipaten, untuk itu dimintainya bantuan, sanggup. Prajurit dari kadipaten banyak yang terbunuh oleh raden Parta, manakala mereka sedang bertempur, Nyai Sagopi yang mengira Raden Parta kalah, melarikan diri bersama rara Ireng, menuju ke praja Mandura.

Akhirmya Parta menyadari dan pergi untuk mencari rara Ireng.

Diceritakan Raden Narayana yang sedang berguru pada Bagawan Padmanaba di pertapaan Ardi Liman. Ia diberi bunga Jayakusuma dna senjata Cakra. Setelah itu, bagawan Padmanaba minta Narayana untuk menyempurnakan diri Begawan Padmanaba. Senjata cakra dilepaskan pada begawan Padmanaba, matilah beliau. Jenazah dibakar, Padmanaba menitis ke Narayana.

Demikian pula Raden Kakrasana yang bertapa di Argasonya, ditemui Hyang Brahma, diberi pusaka nanggala, dan dianjurkan untuk pergi ke Mandura.

Ditengah perjalanan , Kakrasana bertemu dengan Narayana, demikian pula rara Ireng tak lama juga bertemu dengan mereka. Raden Partapun datang kemudian, sehingga berkumpullah mereka. Maksud mereka akan pergi ke Mandura, untuk melihat aduan jago manusia, berangkatlah mereka, tak lupa Rara Ireng turut serta kakandanya, raden Narayana.

Raden Arya Ugrasena, sekembalinya dari Amarta telah membawa Raden Bratasena, untuk dijadikan jago, di adu dengan jago kadipaten Suratimantra.

Di Mandura, telah dipersiapkan peraduan jago, Mandura dengan jago Bratasena, Sengkapura jagonya Suratimantra. Diadulah sudah kedua jago tersebut, ramai sekali perangnya. Pada kalanya Suratimantra melihat, bahwa diantara penonton ada yang berkulit putih, tak lain adalah Raden Kakrasana, segera meninggalkan peperangan, beralih segera menangkapRaden Kakrasana, tetapi akhirnya Kakrasana dapat juga membunuh Suratimantra. Jakamaruta (Kangsa) mengetahui matinya Suratimantra oleh Kakrasana, segera akan membunuh Kakrasana, Narayana yang melihat gelagat ini segera melepaskan senjata cakranya, demikian pula Kakrasana mengayunkan nenggalanya ke arah Kangsa, lebur-luluhlah Kangs amati.

Prabu Basudewa, segera merayakan kemenangan putera-puteranya terhadap musuh negara Mandura, matinya Jakamaruta (Kangsa) terhindarlah negara Mandura dari ancaman-ancaman bahaya.

  QUOTE

15-05-2011, 02:35 PM   #68

izroilblackarmy aktivis kaskus 

Baratayuda: Rekadaya Durna, Sang Senapati Tua (1)

 UserID: 509004 Join Date: Jul 2008Posts: 605

By MasPatikrajaDewaku

Bagai tersaput kabut suasana dalam sasana Bulupitu. Gelap pekat dalam pandangan Prabu Duryudana. Kesedihan yang teramat dalam dibarengi dengan kekhawatiran akan langkahnya kedepan setelah gugurnya Resi Bisma, membuat Duryudana duduk tanpa berkata sepatahpun. Sebentar sebentar mengelus dada, sebentar sebentar memukul pahanya sendiri. Sebentar kemudian mengusap usap keningnya yang berkerut. Hawa sore yang sejuk menjelang malam, tak menghalangi keluarnya keringat dingin yang deras mengucur dan sesekali disekanya, namun tetap tak hendak kering. Dalam hatinya sangat masgul, malah lebih jauh lagi, ia memaki maki dewa didalam hati, kenapa mereka tidak berbuat adil terhadapnya.Tak sabar orang sekelilingnya dalam diam, salah satunya adalah Prabu Salya. Dengan sabar ia menyapa menantunya. “Ngger, apa jadinya bila pucuk pimpinan terlihat patah semangat, bila itu yang terjadi, maka prajuritmu akan terpengaruh menjadi rapuh sehingga gampang rubuh bila terserang musuh”.Terdiam sejenak Prabu Salya mengamati air muka menantunya. Ketika dilihat tak ada perubahan, kembali ia melanjutkan, “Jangan lagi memikirkan apa yang sudah terjadi. Memang benar, kehilangan senapati sakti semacam Resi Bisma, eyangmu itu, tak mudah untuk digantikan oleh siapapun. Namun tidakkah angger melihat, aku masih berdiri disini. Lihat, raja sekutu murid-murid Pandita Durna, yang disana ada Gardapati raja besar dari Kasapta. Disebelah sana lagi ada Prabu Wersaya dari Negara Windya, sedangkan disana berdiri Raja sentosa bebahunya, Prabu Bogadenta dari Negara Turilaya, Prabu Hastaketu dari Kamboja, Prabu Wrahatbala dari Kusala, disebelah sana ada lagi Kertipeya, Mahameya, Satrujaya, Swarcas *) dan tak terhitung raja raja serba mumpuni olah perang lainnya yang aku tidak dapat disebu satu persatu. Para manusia sakti mandraguna masih berdiri disekelilingmu. Belum lagi gurumu Pandita Durna masih berdiri dengan segudang kesaktian dan perbawanya. Ada kakakmu Narpati Basukarna. Dan jangan remehkan juga pamanmu Sangkuni, manusia dengan ilmu kebalnya. Masih kurangkah mereka menjadi penunjang berdirinya kekuatan Astina?”Sekali lagi Prabu Salya mengamati wajah menantunya yang sebentar air mukanya berubah cerah, mengikuti gerakan tangan mertuanya menunjuk para raja dan parampara yang ada di balairung.Sejenak kemudian, pikiran dan hati Prabu Duryudana mencair, tergambar dari air mukanya yang menjadi cerah.Tak lama kemudian, sabda Prabu Duryudana terdengar “ Rama Prabu Mandaraka, Bapa Pandita Durna, Kakang Narpati

Basukarna dan para sidang semua, terliput mendung tebal seluruh jagatku, tatkala gugurnya Eyang Bisma, seakan akan patah semua harapan yang sudah melambung tinggi, tiba-tiba tebanting di batu karang, remuk redam musnah segalanya”.Sejenak Prabu Duryudana terdiam. Setelah menarik nafas dalam dalam, ia melanjutkan “Namun setelah Rama Prabu Salya membuka mata saya, bahwa ternyata disekelilingku masih banyak agul agul sakti, terasa terang pikirku, terasa lapang dadaku!. Terimakasih Rama Prabu, paduka telah kembali membangkitkan semangat anakmu ini”.“Ngger anak Prabu, sekarang anak Prabu tinggal memilih, siapakah gerangan yang hendak diwisuda untuk menjadi senapati selanjutnya. Silakan tinggal menunjuk saja. Ssemua sudah menanti titah paduka, angger Prabu”. Pandita Druna memancing dan mencadang tandang dan mengharap menjadi senapati pengganti.“Baiklah, besok hari, mohon perkenannya Paman Pandita Durna untuk menyumbangkan segala kemampuan gelar perang, mengatur strategi bagaimana agar secepatnya para Pandawa tumpas tanpa sisa”Gembira Pandita Durna terlihat dari wajahnya yang berseri seri. “Inilah yang aku harap siang dan malam, agar menjadi pengatur strategi yang nyatanya sudah aku mengamati dari hari kehari, apa yang seharusnya aku lakukan untuk kejayaan keluarga Kurawa”.“Sukurlah kalau demikan, ternyata tak salah aku memilih Paman Pandita yang sudah mengamati bagaimana cara menumpas musuh. Perkenankan Paman Pandita membuka gelar strategi itu”. Kali ini senyum Prabu Duryudana makin lebar.“Begini ngger, seperti yang sudah pernah diutarakan oleh Resi Bisma, kekuatan Pendawa itu sebenarnya ada pada Werkudara dan Arjuna. Nah, sekarang mereka menggelar perang dengan formasi Garuda Nglayang, dengan sayap kiri ditempati oleh Werkudara, sedangkan di sayap kanan ada di pundak Arjuna”.“Bila kedua sayap itu dibiarkan utuh, maka kita akan keteteran menghadapi serangan kedua orang itu. Cara satu satunya adalah bagaimana kita melepas tulang sayap itu sehingga kekuatannya akan menjadi hilang. Satu hari saja mereka dipisahkan dari barisan, segalanya akan berjalan mulus untuk kemenangan kita”. Sejenak Pandita Durna menghentikan beberan strategi. Matanya mengawasi para yang hadir didalam balairung. Setelah yakin bahwa semua penjelasan awal dimengerti, terlihat dari anggukan hadirin, Durna meneruskan.“Sekarang bagaimana caranya?” kembali ia berhenti. Matanya kembali menyapu satu demi satu hadirin dengan percaya diri sangat tinggi. Lanjutnya “Nak angger, untuk memuluskan langkah kita melolosi kekuatan Pandawa satu demi satu, besok hari akan digelar barisan dengan tata gelar Cakrabyuha. Gelar ini diawaki ruji-ruji terdiri dari Prabu Salya, Nak Mas Adipati

Karna, Adipati Jayadrata, Yayi Resi Krepa , Kartamarma, Prabu Bogadenta, Dursasana , Aswatama, Prabu Haswaketu, Kertipeya serta Wrahatbala. Semuanya membentuk lingkaran, sedangkan dalam poros adalah anak Prabu Duryudana”.Merasa tidak disebut, Prabu Gardapati dan Prabu Wresaya berbareng mengajukan pertanyaan, “Adakah kekurangan kami sehingga kami tedak dipercaya terlibat dalam susunan gelar?”Terkekeh tawa Pandita Durna mengamati mimik muka ketidak puasan yang terpancar dari kedua Raja Seberang ini.”Jangan khawatir, justru kamu berdua akan aku beri peran yang cukup besar untuk gelar strategi perang esok hari !” sambungnya sambil memainkan tasbih yang selalu melekat ditangannya.Wajah wajah yang tadinya menampakkan rasa kecewa, wajah Prabu Gardapati dan Prabu Wersaya kembali sumringah “Apakah peran kami berdua ? Sebesar apa sumbangan yang bisa kami berikan agar jasa kami selalu dikenang dibenak saudara-saudara kami Kurawa?” Tak sabar Gardapati mengajukan pertanyaan.“Naaa . . . Begini Gardapati, Wersaya, besok secara pelan dan pasti, pancing kedua sayap kanan dan kiri Werkudara dan Janaka untuk mejauh dari barisan utama dan ajaklah mereka bertempur hingga ke pinggir hutan pinggir pantai. Anak Prabu Gardapati dan Wersaya, segera tancapkan senjata saktimu ketanah berpasir, bukankah senjata pusakamu dapat membuat pasir menjadi hidup dan berlumpur, mereka terperosok masuk dalam perangkap pasir itu. Semakin kuat mereka bergerak, pasir hidup itu akan menarik mereka kedalam. Pasti keduanya akan segera tewas”.******Sementara itu di Pesanggrahan Randuwatangan, Prabu Matswapati, Prabu Puntadewa dan Prabu Kresna serta segenap para prajurit utama juga mengadakan pertemuan membahas langkah yang dituju untuk mencapai posisi unggul di esok hari.Namun sebelumnya, mereka mengadakan upacara pembakaran jasad Resi Bisma secara sederhana, namun dilimputi dengan suasana tintrim dan khidmad. Walau sejatinya Resi Bisma adalah senapati lawan, namun kecintaan para Pandawa terhadap leluhurnya taklah menjadi sekat terhadap rasa bakti mereka.Prabu Punta yang duduk berdiam diri dengan rasa sedih atas kematian Resi Bisma, tak juga memulai sidang. Namun Prabu Kresna segera memecah kesunyian, menyapa Prabu Punta. Tetapi yang terlontar dari jawaban Prabu Puntadewa, adalah penyesalan diri. Mengapa perang terjadi sehingga menyebabkan tewasnya Resi Bisma.Kembali Kresna menasihati adik-adiknya. Semua diuraikan lagi, mengapa perang ini harus berlangsung dan intisarinya perang Baratayuda sesungguhnya apa.Cair kebekuan hati Prabu Punta, segera inti pembicaraan sidang ditanyakan kepada Prabu Puntadewa.“Yayi Prabu, sidang sudah menanti titah paduka untuk langkah yang akan kita arahkan

besok hari. Adakah yang perlu yayi sampaikan dalam sidang ini ?”“Terimakasih kakang Prabu yang selama ini sudah membimbing kami semua, pepatah mengatakan kakang Prabu dan kita semua, sudah terlanjur basah, alangkah lebih baik kita mencebur sekalian” Prabu Puntadewa sejenak terdiam. Dalam pikirannya masih diliputi dengan peristiwa yang sore tadi berlangsung. Selain itu dalam hal strategi, siapa yang tak kenal dengan Raja Dwarawati yang diketahui memiliki ide-ide cemerlang. Maka tidak ragu lagi Prabu Punta melanjutkan. ”Selanjutnya, segala pengaturan langkah, silakan kakang Batara untuk mengatur langkah kita dibawah perintah paduka “.“Dhuh yayi, kehormatan yang diberikan kepadaku akan aku junjung tinggi, segala kepercayaan akan kami jalankan demi kejayaan kebenaran”.“Senapati yang kemarin belum akan diganti, masih ada ditangan Adimas Drestajumna. Kemarilah lebih mendekat, yayi Drestajumna, Paparkan semua strategi gelar yang akan dimas terapkan besok hari”. Prabu Kresna mulai mengatur kekuatan langkah.Segera Drestajumna maju menghaturkan sembahnya “Kanda Prabu, segala tata gelar yang kemarin dijalankan, ternyata ampuh untuk mengusir dan mendesak majunya prajurit Kurawa. Dari itu kanda, besok, gelar itu masih saya pertahankan”“Bagus! Kali ini berhati-hatilah, mereka masih punya banyak orang sakti”. Prabu Kresna mengingatkan.Dengan tegas Drestajumna melanjutkan “Saya harap, semua para satria yang ada pada posisi penting, jangan sampai keluar dari tata baris yang digariskan. Hal ini penting agar kekuatan kita merata sehingga sentosa menghalau serangan musuh.*****

  QUOTE

15-05-2011, 02:37 PM   #69

izroilblackarmy aktivis kaskus 

 UserID: 509004 Join Date: Jul 2008Posts: 605

Baratayuda: Rekadaya Durna, Sang Senapati Tua (2)

By MasPatikrajaDewaku

Demikianlah. Cakrabyuha dan Garuda Nglayang berbenturan pagi itu, selagi matahari masih belum menuntaskan basahnya embun. Ringkik kuda dan sorak prajurit yang bertenaga segar di pagi itu memicu semangat tempur semua lasykar yang sudah berhari-hari terperas keringatnya. Kali ini, para generasi muda mulai menampakkan kematangannya setelah pengalaman hari hari kemarin. Pancawala anak Prabu Puntadewa mengamuk

disekitar Raden Drestajumna. Tandangnya trampil memainkan senjata membuat banyak korban dari Pihak Kurawa semakin banyak berguguran.Sementara tak kalah pada sayap seberang, krida pemuda bernama Sanga-sanga, putra Arya Setyaki, bersenjata gada, juga mengamuk membuat giris lawan. Gerakan dan perawakannya yang bagai pinang dibelah dua dengan sang ayah, hanya beda kerut wajah membuat banyak lawan tertipu. Kedua orang ini sepertinya nampak ada dimana-mana.Tak hanya itu, dibagian lain terlihat dua satria yang kurang lebih sama bentuk perawakan dan kesaktiannya, Raden Gatutkaca dan Raden Sasikirana, kedua orang bapak anak tak mudah dibedakan caranya berperang membuata terperangah prajurit lawan. Tak kurang ratusan prajurit Astina tewas ditangan keduanya termasuk patih dari Negara Windya dan Giripura.Sementara di sayap gelar garuda nglayang, Werkudara segera dihadang oleh Gardapati. Setelah bertempur sekian lama, kelihatan bahwa Gardapati bukanlah tanding bagi Bimasena. Khawatir segera dapat dibekuk, Gardapati segera bersiasat sesuai yang dipesankan oleh Pandita Durna “Werkudara! Ternyata perang ditempat ramai seperti ini membuat aku kagok. Ayoh kita mencari tempat sepi, agar kita tahu siapa sesungguhnya yang memang benar benar sakti. Kejar aku..!!”Lupa pesan panglima perang, Werkudara menyangupi “Ayo. .! Apa maumu akan aku layani. Dimanapun arenanya, aku akan hadapi kamu”.Gembira Gardapati sambil terus bercuap sesumbar, memancing langkah lawannya menuju ketempat yang ditujunya.Disisi sayap lain Wersaya menjadi lawan tanding Arjuna. Sama halnya dengan Gardapati, Wersaya mengajak Janaka pergi menyingkir menjauh dari arena di Kurusetra.Diceritakan, sepeninggal kedua pilar kanan kiri barisan, angin kekuatan berhembus di pihak Kurawa. Semangat yang tadinya kendor oleh amukan para satria muda Pendawa, kembali berkobar. Tak sampai setengah hari, Garuda nglayang dibuat kucar-kacir oleh barisan Cakrabyuha Kurawa. Kali ini banyak prajurit Hupalawiya yang menjadi korban amukan dari sekutu Kurawa. Haswaketu, Wrahatbala dengan leluasa mengobrak abrik pertahanan lawan. Dursasana dan Kartamarma serta Jayadrata demikian juga. Ketiganya segera merangsek maju hingga mendekati pesanggrahan para Pandawa. “Maju terus, kita sudah hampir mendekati pesanggrahan Randuwatangan” teriak prajurit Kurawa.Disisi lain, teriakan dari dalam barisan membahana memecah langit “Bakar pesanggrahan Randu watangan kita akan terus melaju”. Tanpa adanya kedua kekuatan di kedua sayap, Garuda nglayang bagaikan garuda lumpuh. Keadaan barisan Randuwatangan makin kacau, mereka berlarian salang tunjang tanpa ada yang dapat mengatur ulang barisan yang makin

terpecah belah.Murka sang Drestajumna melihat barisannya terdesak hebat. Segera dicari tahu sebabnya. Dipacu kereta perangnya melihat apa yang terjadi. Begitu sudah ketemu sebab musababnya, segera ia memacu kembali kereta kearah Prabu Kresna.“Duh kakang Prabu, lebih baik saya melepas gelar senapati. Akan aku lepas kalungan bunga tanda senapati ini bila kejadiannya seperti ini”. Ucap Drestajumna memelas.“Bila saya sudah tidak dianggap lagi, perintah saya kepada kakang Arjuna dan Werkudara dianggap bagai angin lalu, saya sudahi saja peran saya sampai disini” sambungnya sambil bersiap melepas kalungan bunga tanda peran senapati.“Lho . . ! nanti dulu. Ada rembuk kita rembuk bersama”. Kresna tetap tersenyum tanpa terpengaruh kisruh yang menimpa prajurit Randuwatangan atau Mandalayuda, meredakan kisruh hati Raden Drestajumna.Katanya lagi “Tidaklah pantas bagi satria sakti semacam Drestajumna, satria pujan yang terjadi dari api suci yang ketika ayahmu Prabu Drupada bersemadi meminta seorang putra sakti mandraguna. Karana yang lahir terdahulu adalah selalu anak perempuan” sejenak Prabu Kresna berhenti, menelan ludah “Tidaklah pantas seorang yang telahir sudah bertameng baja didada dan punggungnya menggendong anak panah, melepas tanggung jawab yang sudah diberikan”.Tersadar Sang Senapati dengan apa yang sudah terjadi “ Aduh kakang Prabu, seribu salah yang telah aku perbuat, kiranya kakang Prabu dapat memberi pintu maaf seluas samudra. Apakah yang harus aku perbuat untuk memulihkan kekuatan, kakangmas”.“Baiklah. . ! Bila satu rencana gagal, tentu rencana cadangan harus kita terapkan. Kita panggil satria lain sebagai pilar pengganti dan kita ubah gelar yang sesuai dengan keadaan saat ini”. Kresna membuka nalar Drestajumna.Siapakah menurut kakanda yang pantas untuk keadaan seperti saat ini?” Sambar Drestajumna.“Tak ada lain, keponakanmu, anak Arjuna, Abimanyu. Segera kirim utusan untuk menjemput dia” Sri Kresna memberi putusan******Syahdan. Ksatrian Plangkawati, Raden Abimanyu atau Angkawijaya sedang duduk bertiga. Ketika itu ia diminta pulang ke Plangkawati terlebih dulu menunggui kandungan Retna Utari yang sedang menjelang kelahiran putranya. Disamping kiri kanannya duduk putri Sri Kresna, Dewi Siti Sundari. Sedang disisi lain Dewi Utari yang tengah mengandung tua. Kedua tangan Dewi Siti Sundari dan Dewi Utari tak hendak lepas dari tangan sang suami.“Mimpiku semalam sungguh tidak enak kakangmas, siang ini jantungku merasa berdebar tak teratur. Gelisah kala duduk, berdiri berasa lemas kaki ini. Apa gerangan yang akan terjadi”

demikian keluh Utari kepada suaminya.“Utari, jangan dirasa rasa. Mungkin itu bawaan dari anakmu didalam kandungan. Aku sendiri tidak merasai apapun” hibur Abimanyu.Siti Sundari juga tak juga diam, pegangan tangannya semakin erat menggelendoti suami tercintanya. “Akupun begitu, malah dari kemarin, banyak perabot yang aku pegang, terlepas pecah. Aku punya firasat buruk kakang”. Semakin menggelayut pegangan Siti Sundari.“Aku tidak mengandung seperti keadaan eyang Utari, apakah ini tanda tanda aku juga mau hamil kakang”.Tambah Siti Sundari yang menyebut madunya masih dengan garis keturunan, eyang.“Mudah mudahan dewata menjadikan ucapanmu menjadi nyata” hibur Abimanyu sambil tersenyum kearah Siti Sundari. Senyum itulah yang membuat anak dari Prabu Kresna itu, rela menerjang tata susila, ketika kunjungan Abimanyu ke Dwarawati selalu diajaknya Abimanyu kedalam keputren, hingga mereka segera dikimpoikan.Terpotong pembicaraan suami dengan kedua istrinya, ketika Raden Gatutkaca sampai dengan cepat, setelah diberi perintah oleh Sang Senapati. Dengan terbang di angkasa, tanpa membuang waktu sampailah ia di Plangkawati.“Adimas, mohon maaf atas kelancanganku mengganggu kemesraan kalian bertiga. Sesungguhnya kedatanganku, adalah sebagai utusan dari para sesepuh yang sedang dalam kesulitan di arena peprangan. Dimas diminta sumbangan tenaganya untuk bergabung dengan kami di Kurusetra”.Gatutkaca mencoba mengawali pembicaraan. Dalam hatinya ia sangat tidak enak karena mengganggu kemesraan mereka, karena kedua istri adiknya dilihatnya tengah menggelayut dipundak sang adik.Kaget seketika para istri Abimanyu. Seketika itu juga, pecahlah tangis mereka.Namun lain halnya dengan Abimanyu sendiri. Tersenyum sang Angkawijaya. Wajahnya cerah bagai kanak-kanak mendapat mainan baru. “Sudahlah Utari, Siti Sundari istriku, tak ada yang perlu kamu berdua khawatirkan atas keselamatanmu, aku akan menjaga diriku baik-baik”.Seribu ucapan Abimanyu menjelaskan arti dari tugas negara disampaikan kepada istrimya, namun tangis keduanya malah be tambah tambah.Semakin erat kedua istri Angkawijaya memegangi lengan suaminya. Ketika Angkawijaya berdiri hendak pergi, keduanya masih juga memegangi erat selendang sang suami. Tanpa ragu, diirisnya selendang hingga keduanya terlepas. Dengan cepat ia berjalan memanggil Raden Sumitra, saudara seayah. Sesampai Angkawijaya ke istal, kandang kuda, diajaknya serta saudaranya itu.Sekelabatan lenyaplah kuda sang Angkawijaya yang bernama

bernama Kyai Pramugari yang berlari kencang, diiringi tangis kedua istrinya.

  QUOTE

15-05-2011, 02:44 PM   #70

izroilblackarmy aktivis kaskus 

 UserID: 509004 Join Date: Jul 2008Posts: 605

Baratayuda: Lunaslah Janji Abimanyu (1)

By MasPatikrajaDewaku

Nggemprang Kuda Pramugari bagai lari kijang dengan meninggalkan debu mengepul diudara. Gerak lajunya bagai tak menapak tanah. Tak lama Abimanyu sudah ada dihadapan Prabu Kresna dan Raden Trustajumna.“Anakku yang bagus, sudah datang kiranya disini. Aku minta tenagamu kali ini, ngger !” sapa Prabu Kresna. Hatinya bergolak antara rasa tak tega kepada sang menantu menyongsong kematian atau membiarkannya maju memperbaiki formasi baris. Tetapi isi kitab jalan certita Baratayuda, Jitapsara di dalam ingatannya, membawanya mengatur laku apa yang seharusnya terjadi. Isi kitab itu lebih berpengaruh dalam benaknya.Bersembah Abimanyu kehadapan ayah mertua, juga uwaknya,“ Sembah bektiku saya berikan keharibaan uwa prabu. Bahagia rasanya dapat terlibat dalam perkara yang sedang menggayuti para orang tua orang tua kami”“Baiklah, karena rusaknya barisan Hupalawiya sudah sangat parah, sekaranglah saatnya bagimu anakku, untuk membereskan kembali barisan dan gantilah dengan tata gelar baru”. Perintah sang uwa“Uwa prabu, saya minta gelar apapun yang hendak dibangun, perkenankan saya untuk ditempatkan pada garda depan”. Pinta Abimanyu“Yayi Drestajumna, apa gelar yang hendak kamu bangun?” Kembali Prabu Kresna menegaskan kepada Raden Drestajumna.“Kiranya yang cocok dengan keadaan saat ini adalah Supit Urang, atas permintaan anakmas Abimanyu, kami tempatkan kamu dalam posisi sungut !”. Demikian putusan Sang Senapati.Segera, dengan sandi, dikumandangkan, para prajurit yang sudah kocar kacir perlahan lahan membentuk diri lagi. Drestajumna menempati capit kiri sedangkan Gatutkaca ada pada sisi capit kanan. Arya Setyaki ada pada bagian kepala, sedangkan pada ekor adalah Wara Srikandi.Perlahan namun pasti, barisan Pandawa Mandalayuda dapat kembali solid. Demikian besar pengaruh kedatangan Abimanyu dalam membuat tegak kepala para prajurit Randuwatangan. Amukan Abimanyu diatas punggung kuda Pramugari, bagaikan

banteng terluka. Kuda tunggangan Abimanyu yang bagai mengerti segenap kemauan penunggangnya, berkelebat mengatasi musuh yang mengurung. Gerakannya gesit bagai sambaran burung sikatan. Olah panah yang dimiliki penungangnya untuk menumpas musuh dari jarak jauh, dan keris Pulanggeni untuk merobohkan musuh didekatnya tak lama membawa puluhan korban. Tak kurang beberapa orang Kurawa seperti Citraksi, Citradirgantara, Yutayuta, Darmayuda, Durgapati, Surasudirga dan banyak lagi, telah tewas. Bahkan Arya Dursasana yang hendak meringkus terkena panah Abimanyu. Walaupun tidak tedas, namun kerasnya pukulan anak panah menjadikannya ia muntah darah. Lari tunggang langgang Arya Dursasana menjauhi palagan.Haswaketu yang mencoba menandingi kesaktian Abimanyu, tewas tersambar Kyai Pulanggeni warisan sang ayah, Arjuna. Raungan kesakitan berkumandang dari mulut Haswaketu membuat jeri kawannya, Prabu Wrahatbala dari Kusala.Namun, malu Wrahatbala, bila diketahui perasaanya oleh kawan maupun lawan, ia terus maju mendekati Abimanyu. Sekarang keduanya telah berhadapan. Gerakan Wrahatbala gagap, kalah wibawa dengan Abimanyu yang masih sangat muda, tetapi dengan gagah berani telah mampu memulihkan kekuatan barisan dan bahkan telah menewaskan ratusan prajurit dalam waktu singkat. Oleh rasa yang sudah kadung rendah diri, gerakannya menjadi serba canggung. Tak lama ia menyusul temannya dari Kamboja terkena oleh pusaka yang sama. Tersambar Kyai Pulanggeni, raga Wrahatbala roboh tertelungkup diatas kudanya dan tak lama jatuh bergelimpang ke tanah.Namun bukan dari pihak Bulupitu saja yang tewas, ketika Bambang Sumitra yang maju bersama Abimanyu dengan amukannya, terlihat oleh Adipati Karna. Niat Adipati Karna sebenarnya hanya mengusir anak Arjuna agar tidak maju terlalu ketengah dalam pertempuran. Perasaan seorang paman terhadap keponakannya kadang masih menggelayuti hatinya. Teriakannya untuk mengusir keponakannya tak dihiraukan, maka lepas anak panah menuju ke kedua satria anak Arjuna. Abimanyu luput namun Sumitra terkena didadanya. Gugurlah salah satu lagi putra Arjuna.Dibagian lain juga terjadi hal yang sama, Bambang Wilugangga terkena panah Prabu Salya rebah menjadi kusuma negara.Sementara itu, para raja seberang, ketika melihat dua raja telah tewas dalam waktu singkat menjadi jeri. Mahameya mendekati salah satu temannya Swarcas, membisikkan strategi bagaimana cara menjatuhkan Abimanyu. Ditetapkan kemudian mereka berempat, Mahameya, Swarcas, Satrujaya dan Suryabasa akan maju bersama mengeroyok Abimanyu. Tak peduli hal itu tindakan ksatria atau tidak, yang penting mereka dapat menghabisi tenaga baru yang berhasil memukul balik kekuatan baris para Kurawa.

Namun bukan Abimanyu bila tidak mampu mengatasi serangan empat raja sakti dari berbagai penjuru. Licin bagai belut, Abimanyu menghindari serangan bergelombang dengan senjata ditangan masing masing lawannya. Bahkan sesekali Abimanyu dapat mengenai pertahanan mereka satu persatu. Makin gemas ke empat lawannya yang malah bagai dipedayai.Kelihatanlah kekuatan masing masing pihak, tak lama kemudian.Ketika pedang Mahameya terpental karena lengannya terpukul Abimanyu, sebab dari rasa kesemutan yang hebat memaksa ia melepaskan pedangnya. Pada saat itulah Kyai Pulanggeni menusuk lambungnya. Kembali satu lawan roboh dari atas punggung kudanya. Tiga lawan tersisa menjadi ciut nyalinya. Gerakannyapun menjadi semakin tidak terarah, satu persatu lawan Abimanyu dapat diatasi. Kali ini Swarcas menjadi korban selanjutnya.Gerak kordinasi antar ketiga lawan tidak lagi serempak menjadikan mereka saling serang. Swarcas terkena tombak dari Satrujaya. Meraung kesakitan Swarcas, jatuh terguling tak bangun lagi.Satrujaya dan Suryabasa gemetaran, mereka tak percaya dengan apa yang barusan sudah terjadi.“Hayuh, majulah kalian berdua, pandanglah bapa angkasa diatasmu, dan menunduklah ke ibu pertiwi, saatnya aku antarkan kamu berdua ke Yamaniloka !”. kata kata Abimanyu hampir saja tak terdengar oleh mereka, karena kerasnya dentam detak jantung kedua raja seberang yang semakin tak dapat menguasai dirinya lagi.Dengan sisa keberaniannya keduanya sudah kembali menyerang lawannya dari kedua arah. Gerakannya yang semakin liar tak terkendali, tanda keputus-asaan, membuat Abimanyu dengan mudah membulan-bulani mereka berdua. Tanpa membuang waktu lagi, disudahi pertempuran keroyokan itu dengan sekali ayunan Kyai Pulanggeni. Jerit ngeri keduanya mau tak mau membuat hampir semua mata mengarahkan pandangannya kearah kejadian.Pandita Durna sangat kagum dengan kroda prajurit muda belia itu. Dalam hatinya ia mengatakan,“Weleh . . . . ,tidak anak, tidak bapak.! Keduanya ternyata sama saktinya. Kalau hal seperti ini dibiarkan, tak urung binasalah barisan prajurit Kurawa. . !”.Segera dipanggilnya Sangkuni dan Adipati Karna serta Jayadrata. Setelah mereka menghadap, Pandita Durna menguraikan karti sampeka akal akalannya,“Adi Sangkuni, nak angger Adipati serta Jayadrata, bila dengan cara okol kita tidak dapat mengatasi amukan Abimanyu, maka kita harus menggunakan kekuatan akal kita. Setuju Adi Sengkuni ?”“Eee. . . kakang Durna, kalau masalah itu jangan lagi ditanyakan ke saya. Pasti setuju!” Sangkuni mengamini.

“Terus anak Angger Adipati, kali ini tak ada jalan lain. Bila hal ini diterus teruskan, maka akan kalah kita . Minta pendapatnya nak angger Adipati! ”. Seakan Durna minta pertimbangan, padahal didalam otaknya sudah tersimpan rencana licik bagaimana cara mengatasi keadaan yang sudah mengkawatirkan itu.“Terserahlah paman pendita, kali ini aku menurut kemauanmu ! ”. Jawab Narpati Basukarna sekenanya.“Nah begitulah seharusnya. Kali ini aku meminta jasamu nak angger Adipati. Anak angger yang aku pilih karena memang seharusnya anak anggerlah yang dapat mengatasi masalah ini”. Durna mulai membuka strategi.“Baik Paman Pendita, apa yang harus aku lakukan?” berat hati Karna menyahut.“Begini, Adi Sengkuni, segeralah naikkan bendera putih tanda menyerah. Kemudian Anak Angger Adipati segera mendekati Abimanyu. Rangkul dan rayulah. Katakan kehebatannya dan pujilah ia. Selanjutnya Jayadrata, panahlah Abimanyu dari belakang. Bila sudah terkena satu panah, tidak lama lagi pasti akan gampang langkah kita”. Pandita Durna menjelaskan strateginya.“Baiklah Paman Pendita, mari kita bagi bagi peran masing masing”. Adipati Awangga itu segera melangkah menjalankan strategi yang telah dirancang.Demikianlah. Maka akal culas Pendita Durna mulai dilakukan. Kibaran bendera putih Patih Harya Suman membuat hingar bingar peperangan perlahan terhenti. Dalam hati para prajurit tempur saling bertanya, kenapa perang dihentikan? Sementara orang mengerti, bila perang terus berlanjut, maka kebinasaan pihak Kurawa tinggal menunggu waktu.

  QUOTE

15-05-2011, 02:48 PM   #71

izroilblackarmy aktivis kaskus 

 UserID: 509004 Join Date: Jul 2008Posts: 605

Baratayuda: Lunaslah Janji Abimanyu (2)

By MasPatikrajaDewaku

Kali ini giliran Adipati Karna mengambil peran, didekatinya Abimanyu:“Berhentilah anakku bagus . .!, Kemarilah. Sungguh hebat anakku yang masih remaja sudah dapat membuat takluk barisan Kurawa. Uwakmu sungguh ikut bangga dengan apa yang kamu perbuat . . . ” Setelah mendekat, dipeluknya Abimanyu dengan hangat, layaknya seorang paman terhadap keponakan yang telah

berhasil berbuat hal yang menakjubkan.“Apakah sungguh begitu uwa Narpati . ! Bila memang barisan uwa sudah takluk, dan memang demikian adanya, segera eyang Durna dibawa kemari, layaknya seorang senapati takluk terhadap lawan”. Bangga Abimanyu.Kebanggaan itu ternyata tidak berlangsung lama, Jayadrata dengan kemampuan memainkan gada yang luar biasa adalah juga seorang pemanah ulung. Dibidiknya punggung Abimanyu, seketika jatuh terduduk Abimanyu dengan darah menyembur dari lukanya.Tak sepenuhnya tega Adipati Karna memegangi keponakannya yang terluka, mundurlah ia menjauhi arena peperangan. Ditemui Pandita Durna untuk diberi laporan.“Paman Pendita, sekarang rencana paman sudah berhasil. Abimanyu terluka dipunggungnya, untuk tindakan selanjutnya, saya tidak ikut mencampuri urusan lagi”. Tutur Adipati Karna.Terkekeh kekeh tawa Sang Pandita mengetahui rencananya sudah berhasil. Pikirnya biarlah tanpa Adipati Karna pun kemenangan sudah sebagian besar dicapai kembali. Segera Karna menjauh balik ke pesanggrahan.Sepeninggal Adipati Karna, segera Durna memberi aba-aba untuk kembali menyerang. Namun Abimanyu tidaklah gentar, malah ia semakin bergerak maju menyongsong serangan.“Heh para Kurawa . .!, Memang dari dulu sifat culas itu tidak akan pernah hilang. Akan aku kubur sifat culas kalian, sekalian dengan yang raga menyandangnya. Hayo majulah kalian bersama-sama. Tak akan mundur walau setapakpun walau Duryudana sekalipun yang maju !!”. Walau terluka, ternyata Abimanyu masih segar bugar. Suaranya masih lantang dan berdirinya masih tetap tegar.Melihat lawannya terkena panah yang masih menancap di punggungnya, aba aba keroyok bersahut sahutan. Dari jauh anak panah lain dilepaskan oleh warga Kurawa, sementara yang dekat melontarkan tombak dan nenggala serta trisula bertubi tubi. Dalam waktu singkat, segala macam senjata menancap ditubuh satria muda itu.Namun hebatnya satria muda yang terluka parah ini masih maju dengan amukannya. Dari kejauhan gerakan sang prajurit muda itu bagai gerak seekor landak, oleh banyaknya anak panah dan tombak yang menancap di sekujur tubuhnya. Malah bila digambarkan lebih jauh lagi, ujud dari satria tampan ini bagaikan penganten sedang diarak. Kepala yang penuh senjata seperti karangan bunga yang terrangkai sementara tubuhnya bagaikan kembar mayang yang mengelilingi raganya. Ada sebagian senjata tajam mengiris perutnya. Usus yang memburai yang disampirkan pada duwung yang terselip di pinggangnya, seperti halnya untaian melati menghiasi pinggang.Darah yang mengalir deras bagaikan lulur penganten yang membuatnya menjadi makin berkilau diterpa sinar matahari.

Tidaklah berbau anyir darah Abimanyu, malah mewangi sundul ke angkasa raya. Saat itulah para bidadari turun menyaksikan kegagahan sang prajurit muda belia. Dalam pendengaran para bidadari, suasana yang dilihat bercampur dengan kembalinya denting padang yang beradu dan tetabuhan kendang, suling serta tambur penyemangat, bagaikan pesta penganten yang berlangsung dengan iringan gamelan berirama Kodok Ngorek!Dilain pihak, dalam pikiran Abimanyu teringat akan sumpahnya kala menghindar dari pertanyaan istri pertamanya, Retna Siti Sundari, ketika curiga bahwa sang suami sudah beristri lagi. Sumpah yang diiringi gemuruh petir, bahwa bila ia berlaku poligami, maka bolehlah orang senegara meranjap tubuhnya dengan senjata apapun.Saat itu ia terhindar dari tuduhan Siti Sundari, namun setelah Kalabendana raksasa boncel lugu, paman Raden Gatutkaca, membocorkan rahasia perkimpoiannya dengan Putri Wirata, kusuma Dewi Utari, akhirnya terbuka juga rahasia yang tadinya tertutup rapi. Walau tak terjadi apapun akhirnya antar kedua istri pertama dengan madunya, namun sumpah tetaplah sumpah, ia berketatapan hati, inilah bayaran atas janjinya.Diceritakan, Lesmana Mandrakumara alias Sarjakusuma, putra Prabu Duryudana yang baru saja mendapat ijin dari sang ibu untuk pergi ke peperangan. Padahal selamanya sebagai anak manja, ia tak banyak ia berkecimpung dalam keprajuritan, sehingga sifat penakutnya sangat kentara.Dengan jumawa, kali ini ia melangkah menghampiri Abimanyu. Lesmana menghina Abimanyu dengan kenesnya, diiringi kedua abdinya yang selama ini memanjakannya, Abiseca dan Secasrawa.Segera Sarjakusuma menghunus kerisnya untuk menamatkan riwayat Abimanyu. Anggapannya, ialah yang akan menjadi pahlawan atas gugurnya satru sakti yang akan dipamerkan kepada ayahnya.“E . . e . . e . . . , Abimanyu, bakalan tak ada lagi yang menghalangi aku menjadi penganten bila aku kali ini membunuhmu. Atau jandamu biar aku ambil alih. Rama Prabu pasti gembira tiada terkira, kalau aku berhasil memotong lehermu”.Dengan langkah yang masih seperti kanak-kanak sedang bermain main, ia maju semakin mendekat masih dalam kawalan kedua abdinya yang sedikit membiarkannya, memandang enteng kejadian didepan matanya.Abimanyu yang melihat kedatangan Lesmana Mandrakumara mendapat ide, tidak dapat membunuh Duryudana-pun tak apa, bila putra mahkota terbunuh, maka akan hancur juga masa depan uwaknya itu. Makin dekat langkah Sarjakusuma yang ingin segera menamatkan penderitaan sepupunya. Tapi malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih, dengan tenaga terakhir , sang prajurit muda masih mampu menusukkan Kyai Pulanggeni

ke dada tembus ke jantung putra mahkota Astina, tak ayal lagi tewaslah Lesmana Mandrakumara, berbarengan dengan senyum terakhir mengembang dibibir prajurit muda gagah berani itu. Abimanyu telah tunai melunasi janjinya.Kembali suasana menjadi gempar. Gugurnya kedua satria muda dengan beda karakter bumi dan langit membuat perang berhenti, walau matahari belum lama beranjak dari kulminasi. Kedua pihak bagai dikomando segera menyingkirkan pahlawan mereka masing masing.Syahdan, Retna Siti Sundari yang hanya diiring oleh abdi emban menyusul ke peperangan, telah sampai pada saat yang hampir bersamaan dengan gugurnya sang suami tercinta. Oleh istri tuanya, Utari tidak diperkenankan pergi bersamanya , sebab dalam kandungan tuanya terkadang terasa ada pemberontakan didalam, seakan sang jabang bayi sudah tak sabar hendak mengikut kedalam perang besar keluarga besarnya. Kemauan besar Retna Utari untuk ikut serta kemedan perang, terhalang oleh madu dan anaknya yang masih ada di dalam gua garba. Bahkan sang ibu mertua, Wara Subadra juga melarang Utari untuk pergi.Ketika terdengar teriakan gemuruh menyatakan Abimanyu telah gugur, jantung wanita muda ini makin berdegup kencang. Ia segera berlari ketengah palagan tanpa menghiraukan bahaya yang mengintip diantara tajamnya kilap bilah-bilah pedang dan runcingnya ujung tombak. Sesampai di hadapan jenasah suaminya yang tetancap ratusan anak panah. Tidak terbayang sebelumnya akan keadaannya yang begitu mengenaskan, Siti Sundari lemas dan kemudian tak sadarkan diri. Suasana kesedihan bertambah mencekam dengan pingsannya sang istri prajurit muda itu.Bumi seakan berhenti berputar, awanpun berhenti berarak. Burung burung didahan tak hendak berkicau, kombangpun berhenti menghisap madu. Jangankan sulur gadung dan bunga bakung yang bertangkai lembek, bahkan bunga perdu, seperti bunga melati dan cempaka ikut tertunduk berkabung terhadap satu lagi kusuma negara yang gugur, di lepas siang .Sebentar kemudian, setelah siuman, Retna Siti Sundari yang telah sadar apa yang terjadi di sekelilingnya segera menghunus patrem, keris kecil yang terselip dipinggangnya. Dihujamkan senjata itu ke ulu hati. Segera arwah sang prajurit muda, Abimanyu, menggandeng tangan sukma istrinya, mengajaknya meniti tangga tangga kesucian abadi menuju swargaloka. Raga sepasang suami istri muda belia tergolek berdampingan. Mereka telah kembali ke pangkuan ibu pertiwi.

  QUOTE

16-05-2011, 08:37 AM   #72

izroilblackarmy Baratayuda: Ricuh di Bulupitu (1)

aktivis kaskus 

 UserID: 509004 Join Date: Jul 2008Posts: 605

MasPatikrajaDewaku

Sementara itu, ketika Harya Werkudara dan Raden Arjuna yang dipancing jauh keluar arena oleh Prabu Gardapati dan Wersaya, telah lupa akan pesan dari senapati pengatur perang, Drestajumna.Mereka punya pertimbangan bahwa tidak sepantasnya seorang kesatria menghindar dari tantangan musuh.Maka ketika mereka sudah terlepas dari induk peperangan, tak ada lagi perasaan bahwa mereka telah masuk dalam perangkap licik lawan.Tanding antara mereka dalam dua kelompok terjadi dengan sengit. Tetapi sebetulnya tidaklah berat bagi kedua satria Pendawa ini untuk mengakhiri tanding itu.Tepat ketika matahari diatas kepala, dikenakai senjata sakti Gardapati dan Wersaya tanah yang diinjak kedua satria Pandawa dengan cepat amblas berubah menjadi pasir lumpur yang menyedot tubuh Arjuna dan Werkudara. Semakin mereka melawan tenaga sedot pasir lumpur, makin mereka tenggelam.Gardapati terbahak menyaksikan lawannya terperangkap dalam pasir lumpur yang bagaikan hidup, menyeret tubuh didalamnya semakin dalam.“Kalian berdua, berdoalah kepada dewa, pamitlah kepada saudara saudaramu, bicaralah kepada ayahmu Pandu, bahwa hari ini kalian akan menyusul ayahmu ke Candradimuka menggantikannya jadi kerak neraka itu”.Memang demikian, ketika itu, Pandu, ayah Werkudara adalah penghuni Kawah Candradimuka, sebelum Werkudara sebagai anaknya mampu mengentaskan ayahnya dari penderitaan atas kesanggupannya menghuni kawah itu, ketika atas tangis istri mudanya, Dewi Madrim, yang ingin beranjangsana menaiki lembu Andini, tunggangan Batara Guru.“Tidak bertindak ksatria, bila dengan cara begini perangmu. Dunia akan mengenangmu sebagai raja dengan cara perang yang paling pengecut!” Arjuna menyahut dengan gerakan hati hati, karena bila ia bergerak, maka sedotan lumpur makin menyeretnya tenggelam.Dilain pihak, Werkudara adalah satria yang telah tertempa lahir dan batinnya. Perjuangan menempuh kesulian dalam alur hidupnya telah menjadikannya kokoh luar dalam. Maka ketika sedang terjepit seperti ini tak lah ia patah semangat. Ajian Blabag Pengantol-antol dikerahkan untuk mendorongnya keluar dari seretan lumpur. Tidak percuma, ketika berhasil melompat keluar dari pasir berlumpur maka Gardapati yang lengah segera digebuk dengan Gada Rujakpolo, pecah kepalanya seketika tewaslah salah satu andalan perang pihak Kurawa.Pada saat yang sama Arjuna sudah dapat merayu Wersaya agar

mendekat. Namun setelah pancingannya mengena, ditariknya tangan Wersanya. Dengan meminjam tenaga lawan keluarlah Arjuna dari kubangan lumpur. Pertarungan sengit kembali terjadi, namun seperti semula, kesaktian Arjuna jauh diatas Wersaya. Dengan tidak membuang waktu, diselesaikan pertempuran itu dengan tewasnya Wersaya diujung keris Kyai Kalanadah.Kedua satria yang telah kembali dari pertempuran yang jauh dari induknya, dan mendapati perang telah usai. Namun mereka pulang dengan menemukan suasana duka mendalam yang terjadi di pesanggrahan Randuwatangan.Melihat kenyataan didepan mata, Arjuna yang sangat menyesal telah meninggalkan peperangan terjatuh pingsan. Kehilangan anak kesayangannya membuatnya sangat terpukul. Demikian juga sang istri Wara Subadra tak henti hentinya menangisi kepergian putra tunggalnya yang masih belia.Tak ketinggalan Retna Utari yang tak diperbolehkan bela pati oleh Prabu Kresna, duduk dihadapan jasad kedua orang yang sangat dicintai dengan lelehan air mata bagai hendak terkuras dari kedua matanya.Sore itu juga, api pancaka segera dinyalakan untuk membakar kedua raga suami istri belia itu. Suasana petang sebelum matahari tenggelam, seolah mendadak seperti dipercepat waktunya oleh mendung yang menutup suasana sore seperti mendung yang menggelayut pada semua yang hadir dalam upacara itu.********Begitu hening suasana balairung di Pasanggrahan Bulupitu siang menjelang sore itu karena perang berhenti lebih cepat dari biasanya. Bahkan keheningan itu menjadikannya helaan nafas berat Prabu Duryudana terdengar satu satu. Kadang ia berdiri berjalan mondar mandir, kemudian duduk kembali. Sebentar sebentar ia mengelus dada dan bergumam dengan suara tidak jelas.Suasana itu juga berimbas pada keadaan di sekelilingnya. Namun orang orang disekelilingnya sangatlah paham apa yang bergejolak dalam benak Prabu Duryudana. Mereka mengerti betapa berat keadaan yang membebani jiwa raja mereka. Putra lelaki satu satunya sebagai penerus generasi trah Kurawa telah gugur, maka tiada satupun yang berani membuka mulutnya.Bahkan Prabu Salya pun. Ia juga tersangkut dalam peristiwa tewasnya Lesmana Mandrakumara, karena Lesmana adalah cucunya juga.Lama pikiran Prabu Duryudana mengembara kemana mana dengan kenangan terhadap pangeran pati yang dicintainya. Akibatnya ia merasa raganya menjadi bagai lumpuh.Setengah hari telah berlalu, pada akhirnya bagai bergumam, ia memanggil nama pamannya.“Paman Harya Sangkuni!”

Yang dipanggil setengah kaget, ia merasa bersalah dengan kejadian yang telah berlangsung. Dalam pikirnya, hukuman apakah yang hendak dijatuhkan terhadap dirinya atas keteledoran membiarkan sang pangeran memasuki palagan peperangan. Namun ditegarkan hatinya ia menjawab.“Daulat sinuwun memanggil hamba ““Ini siang atau malam?” Pertanyaan Duryudana melegakan. Kelegaan yang menyesak dada Sangkuni terasa terurai. Dengan suara lembut malah ia balik bertanya.“Mengapa begitu paduka anak angger membuka sidang ini dengan mempertanyakan waktu, ini siang atau malam, “Bagai terbuka saluran beban yang memberati hatinya, Prabu Duryudana mengeluarkan isi pikirannya.“Siapa orangnya yang kuat menjalani, kejadian yang menimpa para Kurawa, Duryudana dan para saudaranya. Seberat-beratnya beban yang disandang manusia adalah, bila sudah menjadi lawan para dewata. Tetapi saya lebih percaya bila bukan itu yang sedang terjadi, yang salah bukan para dewa.” “Yang saya percaya adalah, bahwa ada salah satu Pandawa yang menyelonong untuk meminta kepada dewa, bila terjadi perang, maka maksudnya adalah supaya membuat gelap jagad saya, seperti yang disandang sekarang ini”. Setelah menarik nafas panjang ia melanjutkan.“Anak lelaki yang hanya satu, satria Sarujabinangun, Lesmana Mandrakumara yang siang malam aku mengharap, saya rancang, setelah selesai Baratayuda Jayabinangun akan saya lungsuri keprabon, supaya “nyakrawati mbahudenda” di dunia, di negara Astina. Tidak terduga apa yang akan terjadi sebelumnya, cucu andika, gugur dalam peperangan”.“Gugurnya Lesmana tidak urung membuat lumpuh bahu saya kanan dan kiri”. Sejenak sang Prabu kembali terdiam. Banyak kata yang hendak ia sampaikan berjejalan untuk segera dilepaskan dari sesak didadanya.“Kata para pintar dan piwulang para brahmana, sabda para muni, manusia diberi wenang mepunyai cita cita apa saja. Walau lakunya lewat banyak jalan, ada yang berusaha melewati cara dengan kerasnya bekerja, ada pula yang meraihnya dengan cara laku tapa. Diumpamakan mereka tidak takut berjalan dalam lelayaran luasnya samudra atau bertapa didalam gua gelap, tapi kemuliaan yang hanya untuk kepentingan pribadi itu tidaklah berlaku apa apa dalam hidup. Buatku, yang membuat laku kerja keras, itu adalah laku untuk mejadikan mukti keturunanku, supaya besok aku dapat memperpanjang jaya keterunanku, dengan cara menang dalam perang Baratayuda”.Bicara Prabu Duryudana yang tadinya bagai bergumam, tiba tiba menjadi ketus.“Tetapi semuanya menjadi terbalik, semuanya menjadi terbalik!

“Yang terjadi adalah, para orang tua hanya yang ikut mengayom dalam kemuliaanku diam saja. Bertopang dagu, duduk ngedangkrang tidak ikut dalam repotnya penandang ! Padahal pada kenyataannya para orang tua itu tidak hanya ngayom kepada kemuliaan negara. Padahal semestinya mereka bergerak tanpa memperoleh perintah, tanpa harus diberi aba aba dan keluh kesah saya. Semestnya mereka mengerti bahwa mereka mempunyai pekerjaan luhur, Yaitu menjalankan perang dalam Baratayuda. Tetapi semuanya tidak ada nyatanya, semua hanya berhenti dalam kata kata. Cuma berhenti dalam rembug, yang dirembug siang malam hanya rembug yang tak ada kenyataannya. Padahal rembug kalau tidak dilakukan tidaklah ada nyatanya !’“Apakah harus saya sendiri yang melangkah kedalam peperangan menyerang para Pandawa”.Terdiam kembali Prabu Duryudana setelah segenap sesak di dadanya dialirkan dihadapan semua parampara dan para prajurit yang hadir. Satu persatu yang sedang hadir dalam sidang dipandanginya. Namun semua wajah menunduk diam. Mereka terlihat memberi kesempatan kepada rajanya untuk mengeluarkan segala unek unek yang terpendam didadanya.

  QUOTE

16-05-2011, 08:40 AM   #73

izroilblackarmy aktivis kaskus 

 UserID: 509004 Join Date: Jul 2008Posts: 605

Baratayuda: Ricuh di Bulupitu (2)

MasPatikrajaDewaku

Namun tidak dengan Resi Krepa, kelihat keheningan yang kembali melingkup sidang, ia membuka mulutnya.“Seribu maaf, anak prabu. Saya dari Timpurusa ipar Pandita Durna .Saya yang sanggup menjadi kekeset paduka, saya yang bernama Krepa”. Krepa memperkenalkan kembali keberadaannya dalam sidang. Setelah diawasinya semua yang menghadap di Bulupitu, ia melanjutkan.“Awalnya saya pergi dari Timpurusa karena tertarik dan ada hubungannya dengan persaudaraan ku dengan Pendita Durna. Karena kakak saya adalah wanita bernama Kerpi. Karena kecintaanya kepada kakak ipar hamba Kumbayana. Kkarena paduka menjadikannya sebagai penasihat Kurawa, saya juga tidak akan ketinggalan. Walaupun tidak disuruh, hamba mengabdi datang ke Astina karena terdorong oleh gregetnya hati, dalam pengharapan hamba, agar hamba tidaklah terpisah dari saudara ipar hamba, kakang Kumbayana. Tetapi apa yang terjadi, ada kalanya bergeser dari rancangan semula. Semula hamba datang tujuannya adalah ikut menikmati kemuliaan. Ikut

memperlindungi raga saya yang tak lagi muda, tetapi saya menemukan keadaan Astina telah menjadi glagah alang alang, karena tersaput oleh api perangan. Sebab dari telah terjadinya perang Baratayda Jaya Binangun”. Setelah sejenak menelan ludah membasahi kerongkongannya, kembali Krepa dengan percaya diri meninggi, melanjutkan jual dirinya.“Mesti saja, tidak besar atau kecil, tua atau muda, saya terkodrat jadi lelaki. Sekali lelaki tetaplah lelaki, dan saya sebagai lelaki pastilah berbekal keberanian. Dan bila sinuwun hendak menanyakan berani dalam hal apa, silakan sinuwun menanyakan”.Krepa memancing.“Berani dalam hal apa paman. Akan aku dengarkan”.Penasaran, Prabu Duryudana menyahut.“Bicaralah Krepa,akan saya dengarkan tidak hanya akan aku dengarkan dengan telinga, tapi aku juga akan mendengarkan dengan rasa”.Mendapat angin, Krepa makin percaya diri.“Sukurlah, apakah sebabnya bila saya berbekal keberanian. Berapa lama manusia hidup dalam dunia, lumrahnya hidup didunia ini hanya diumpamakan cuma mampir minum. Ada kalanya orang harus memilih, hamba juga bisa memilih negara yang lain. Hamba juga dapat memilih raja yang lain. Terapi memang dari awal hamba sudah memilihnya, walaupun menjadi gagang keringpun akan aku lakukan”.“Tidak ada satupun orang yang mempunyai cita cita mengabdi dengan sepenuh hati tak akan memperoleh nama harum, namun para orang yang sebaliknya, mengabdi dengan setengah hati, itu adalah terserah mereka sendiri”.“Dan pengabdian saya akan saya berikan dalam bentuk pengorbanan jiwa raga dari atas pucuk rambut hinggga ke bawah keujung kaki”.“Tetapi saat ini belum ada sarana yang bisa hamba pakai untuk membuktikan, sebab perang Baratayuda ini sudah ditata oleh sang senapati. Yaitu orang yang telah didapuk menjadi pengatur perang”.Merasa dikenai hatinya atas segala ucapannya diawal pembicaraan, Prabu Duryudana memotong.“Kalau begitu, kalau yang aku bilang tadi, mencaci orang lain, terapnya kurang tepat?!”.Makin berani Krepa dengan kepala yang makin besar.“Baiklah, silakan untuk dirasakan sendiri. Sekarang bila menggunakan hitung hitungan waktu, kalau saya dianggap kurang berkemauan, saya dimarahi karena saya hanya ikut merasakan kemukten saja. Apakah hal itu sudah benar? Karena saya mengabdi ke Astina belumlah selama yang lain!”. “Dan bila saya mengatakan berdasarkan keheranan, disini ada yang lebih lama dan yang juga mempunyai babat, bibit, bobot

dan bebetnya”.“Maksud paman Krepa?”Duryudana meminta keterangan lebih lanjut karena dengan jumawa Krepa memandangnya dengan sedikit memancing.Kerpa menggeser duduknya yang mulai dirasa kurang nyaman, lanjutnya,“Bibit disini ada yang tadinya hanya sekedar anak kusir, terus babatnya hanya ikut orang tuanya, bebetnya, keadaannya hanyalah orang biasa , sekarang bobotnya mempunyai jabatan tinggi karena dalam jabatannya ia adalah telah diberi gelar senapati perang dan seharusnya ikut campur tangan dalam menata negara. Tidak kurang kurang paduka telah memberkatinaya setinggi langit, dan meluberinya segala kemewahan termasuk memberikannya kadipaten yang tidak aku sebut namanya”.“Sekarang ia telah dihormati, dan punya nama harum. Namun bukan oleh karena kepribadiannya, tetapi karena diperolehnya dari pengayoman dari paduka sinuwun. Lagi pula dia sebenarnya bukanlah manusia yang biasa saja. Sebenarnya dialah seseorang turun dewa yang memberi kecerahan siang”. “Tetapi kesulitan yang paduka sandang hingga membawa korban cucu hamba Lesmana Mandrakumara, tetap menjadikannya orang tersebut hanya berdiam diri. Tidaklah ia memberikan pemecahan masalah yang membuat beban yang paduka sandang menjadi ringan. Orang itu hanya membutakan mata, menulikan terlinga. Bila aku umpamakan, orang itu, bila berdiri, berdirinya adalah condong. Condongnya dalam berdiri bukanlah memberikan cagak kekuatan kepada teman, tetapi condongnya adalah mengayomi lawan”.“Yang ditunjang oleh orang itu adalah musuh, yang pada kenyataanya adalah masih saudara tunggal wadah. Dengan demikian, paduka hendaknya sekali sekali mendindak orang yang bersalah. Sekali sekali hendaknya sinuwun menindak orang yang membuat kekuatan Kurawa menjadi ringkih!”.Sebenarnya apa yang dimaui Krepa sudah dirasakan oleh Adipati Karna. Ia tidak syak lagi, bahwa Krepa menyindirnya. Namun demikian ia tahu siapa Krepa. Dibiarkannya ia mengoceh dihadapan adik iparnya.Dilain pihak, ipar Krepa, Begawan Durna Kumbayana, menjadi khawatir dengan kata kata nyinyir Krepa. Akhirnya Durna berusaha mendinginkan suasana.“Sinuwun, perkenankan hamba memadamkan api yang belum terlanjur berkobar. “Mengapa diumpamakan begitu?”Duryudana yang sebenarnya sudah paham akan keadaan yang terjadi mempertanyakan.“Hamba mengerti, yang dimaui Krepa itu adalah orang yang hari ini juga ikut duduk bersama sinuwun”. Kemudian sambung Durna memohon.

“Bila saya diperkenankan hamba akan wawancara dengan adik ipar saya resi Krapa”.“Terserahlah Paman Pendita, bila hasilnya adalah untuk memperkuat persatuan Kurawa silakan Paman”. Pesan Prabu Duryudana.“Krapa!! Kamu itu pintar tetapi jangan keterlaluan. Pintar boleh tapi jangan hendaknya untuk meminteri. Kamu memang sudah terkenal doyan bicara, tetapi kata katamu hendaknya membuat dingin suasana. Berkatalah dengan lambar air kesabaran”.Berkata Pendita Durna dengan mata tajam memandangi adik iparnya. Yang dipandang hanya diam menunduk membuat Pendita Durna melanjutkan.“Kalau api yang kau sulut itu akhirnya akan mengobarkan ketentraman. Kalau yang terbakar hanya sebagian saja tidak mengapa. Lha kalau yang berkobar adalah seluruh keluarga besar, merambat kepada para pembesar, tidak urung akan merambat kepada semua rakyat!”“Ketahuilah Krepa, bertindak selangkah, berbicara satu kalimat saja, selalu menjadi perhatian para rakyat kecil, baik buruknya rakyat kecil adalah bagaimana para pejabat berlaku.

  QUOTE

16-05-2011, 08:42 AM   #74

izroilblackarmy aktivis kaskus 

 UserID: 509004 Join Date: Jul 2008Posts: 605

Baratayuda: Ricuh di Bulupitu (3)

MasPatikrajaDewaku

Para pejabat seharusnya merasa dijadikan panutan oleh rakyat kecil. Semua harus bisa menjadi contoh!”“Pejabat yang kau sebut tadi diam bukannya tidak merasa. Ketahuilah Krapa! Kamu datang ke negara Astina bukanlah siapa siapa yang membawa. Tetapi aku yang membawa. Datang ke Astina kamu diberi jabatan sebagai penasihat. Disini aku mengingatkan kepadamu, kata katamu tadi hendaknya kamu cabut. Sebelum kejadian yang tidak diinginkan terjadi!Karena itu jangan biasakan memanaskan suasana, karena disini suasananya sudah terlanjur menjadi makin panas !”.“Sumbanglah para Kurawa dengan ide ide yang bermanfaat agar semua menjadi tenteram sehingga perang dimenangkan oleh Para Kurawa. Itu mauku !!”Panjang lebar Durna memberikan nasehat kepada adik iparnya yang dikenal berhati batu itu.“Benar apa yang dikatakan paman Pendita Durna. Ibarat orang yang melangkah di samudra pasir, melangkah dipadang pasir. Ia tidak berharap menemukan emas sebakul, namun yang diharap adalah setetes air pengobat dahaga.”Prabu Duryudana menyahut mengamini.

Namun kaget semua yang hadir, ketika Krepa menjawab dengan perasaan tinggi hati.“Hamba minta maaf sebesar besarnya sinuwun, tetapi, bila kata kata yang telah aku sampaikan aku cabut kembali maka betapa malunya aku”.“Bila diumpamakan kata kata hamba tadi adalah seperti halnya hamba melepaskan anak panah, siapakah yang merasa perih ialah yang terkena anak panah tadi”.Adipati Karna yang dari tadi terdiam menahan sabar, sudah mencapai batas ledakan didadanya. Segera ia melangkah kehadapan sang Prabu Duryudana.“Mohon maaf yayi prabu Duryudana”.Merasa apa yang hendak terjadi adalah kobaran api amarah, maka prabu Duryudana malah berkata dengan nada memelas.“Kakang Prabu kami minta pengayoman”“Apa dasarnya”.Jawab Karna.“Pengayoman itu adalah hendaknya kakang prabu berlaku sabar”. Kembali Duryudana berusaha meredam kemarahan kakak iparnya.“Saya tidak ingin menanggapi suara sumbang, yang suara itu bermaksud memecah barang yang utuh. Suara itu kami anggap angin liwat, tetapi bila kemarahan yang terpendam ini tidak tersalurkan dalam ledakan didada, maka tindakan yang aku lakukan mejadi ngawur. Tidak aku salahkan bila sementara orang yang tega memotong leher orang bila sudah terjadi hal yang seperti ini”.Disambarnya tangan Krepa. Diseretnya ia keluar dari arena pertemuan.Kaget setengah mati Krepa diperlakukan seperti itu. Namun tak ada lagi kesempatan membela diri, dihajarnya Krepa hingga babak belur.Tak hanya itu, segera dicabutnya keris pusaka Kaladete dari warangka, tanpa ragu dipotong leher Krepa. Tewas seketika.Geger para Kurawa melihat kejadian yang berlangsung tiba tiba itu. Semua tidak menyangka kejadian yang sangat cepat akan membawa korban.Aswatama adalah seorang yang semasa kecil ditinggal ayahnya, Pandita Durna Kumbayana. dan selalu dalam asuhan Ibu tirinya Dewi Kerpi dan sang paman Arya Krepa. Melihat apa yang terjadi terhadap pamannya, dengan segera ia melompat mendekati Adipati Karna yang berdiri puas menyaksikan menggelundungnya kepala orang pandir yang nyinyir menyindir dirinya.Aswatamam memandang apa yang terjadi didepan matanya merasa bagai dipukul dadanya dengan palu godam, marahnya hingga mencapai ubun ubun. Merah menyala dadanya. Matanya menyala nyalang, gemeratak giginya dengan sudut bibir yang

bergetar. Seluruh badannya bergetar memerah bagai warna bunga wora wari.“Karna bila kamu memang lelaki jantan ini Aswatama yang akan sanggup berhadapan dengan saling adu dada. Tidak sepantasnya kamu membunuh paman Krepa dengan tidak memberi kesempatan membela diri”. Berdiri Aswatama dengan berkacak pinggang, mata melotot dan memelintir kumisnya.Tersenyum sinis Karna mendengar tantangan Aswatama.“Heh Aswatama! Kamu anak Kumbayana kan? Anak dari guru para Pandawa dan Kurawa sekaligus. Kalau memang kamu sebagai orang sakti keturunan bidadari selingkuh macam Wilutama. Majulah kesini akan aku susulkan kamu kepada pamanmu yang kurang ajar itu!”Pertarungan tanpa diberi aba dimulai. Saling serang kedua orang yang dibakar kemarahan hanya berlangsung sekejap. Para petinggi di balairung yang menyusul keluar Adipati Karna telah sampai dipinggir arena.Prabu Duryudana memegangi Adipati Karna sedangkan Pandita Durna memegangi anaknya. Aswatama.“Anakku Aswatama ayolah segera meminta maaf kepada sinuwun Prabu Duryudana. Kamu telah membuat malu bapakmu!”Menurut apa yang dikatakan bapaknya, segera Aswatama menghaturkan sembah.“Sinuwun apapun yang hendak paduka lakukan terhadap hamba, tak akan hamba menolaknya”.“Mulai hari ini aku perintahkan kepadamu Aswatama, segera menjauh dari pandangan mataku. Aku muak melihat tampangmu. Jangan sekali sekali mendekat, bila tidak aku panggil!”Lemas Aswatama mendengar perkataan junjungannnya. Dengan gontai dan wajah menunduk dilangkahkan kakinya menjauh dari pandangan mata bapaknya yang berkaca kaca, melihat anak kesanyangannya pergi dengan hati remuk.Aswatama telah kehilangan paman kesayangannya yang mengasuhnya dengan rasa sayang bagai seorang ayah kandung, dan kehilangan kepercayaan sebagai seorang prajurit negara.

Catatan: Versi lain, menyebutkan Krepa tidak dibunuh Adipati Karna, namun hanya diusir Prabu Duryudana bersamaan dengan Aswatama.

  QUOTE

16-05-2011, 01:58 PM   #75

capcay666 kaskuser 

ayo gan di lanjut lagii

 UserID: 2194885 Join Date: Oct 2010Posts: 281

  QUOTE

17-05-2011, 07:46 AM   #76

izroilblackarmy aktivis kaskus 

 UserID: 509004 Join Date: Jul 2008Posts: 605

Baratayuda: Ricuh juga di Kadilengeng (1)

By MasPatikrajaDewaku

Diceritakan, yang ada didalam taman sari Astina. Taman yang bernama Kadilengeng.Yang tengah duduk dibawah pohon Nagasari, duduk diatas batu yang tertata rapi, itulah prameswari raja Astina, putri dari raja Mandaraka Prabu Salya, yang bernama Dyah Banuwati atau Banowati.Bila diceritakan kecantikannya, maka tak ada kata kata yang sanggup menggambarkan. Dari pucuk rambut hingga ujung jari kaki, sedikitpun tiada cacatnya. Kulit kuning bagai sepuhan emas. Kenes serba pantas, menarik hati. Bila berbicara ceriwis, namun tetap pandai menata kata. Lirikan matanya dan senyum bibirnya, menampakkan aura yang menyinar. Dasarnya ia adalah wanita yang pandai mempadu padan busananya, maka tiadalah aneh, bila ia selalu menjadi buah bibir.Jangankan golongan jelata atau lebih lagi para satria, bahkan para raja pun banyak yang terpikat akan kecantikannya. Ketika Dyah Banuwati masih belia hingga kinipun, sang Prameswari masih menjadi inspirasi kidung cinta. Panjang rambutnya ketika tertiup angin bagai melambai lambai merayu. Dadanya yang terlilhat padat berisi, siapapun yang melihat akan terpesona karena Sang Dewi adalah wanita yang pandai merawat diri dengan segala jejamuan yang menyebabkannya awet muda. Walau kini sang dewi menginjak sudah setengah umur, namun tetap, kecantikannya bagai berrebut dengan sinar rembulan.Ketika itu, siang dan malam ia merasa prihatin dengan terjadinya perang Baratayuda Jayabinangun.Keheranan sang dewi, ketika terbuka pintu taman, terlihat datangnya sang suami. Seketika ia bergegas menyambut

kedatangannya, ia menghaturkan sembah sebelumnya, kemudian ia menggandeng tangan sang Prabu.“Sembah bektiku kepada kakanda prabu”. Dengan senyum yang mesra disambutnya sang Prabu. Senyum yang mesra itu sebenarnya adalah senyum sandiwara, karena selamanya sang dewi tak kan pernah mencintai Prabu Duryudana.“Ya! Kanjeng ratu, sembah bektimu bagiku, menjadikanku bagai tersiram sejuknya air pegunungan”. Prabu Duryudana juga tersenyum melihat istrinya menghaturkan sembah.“Kenapa begitu bicara kakanda Prabu?” Sang Dewi seolah tak mengerti.“Itu karena rinduku kepada kanjeng ratu telah memenuhi isi dadaku. Ketika aku melangkah ke peperangan, pisah dengan istri, mulailah rasa rindu itu tertimbun dihatiku”.Dengan segala kejujuran hati, Prabu Duryudana menyampaikan rasa rindunya. Bila perang telah berhenti dan kesibukan mengatur lasykar sudah usai di hari hari kemarin yang melelahkan, yang tertinggal dalam benak sang Prabu selama ini adalah bayangan istri tercintanya.Rasa cinta sang Prabu terhadap istrinya, Banuwati, tercurah habis kepadanya. Tetapi sebaliknya, bagi Dewi Banuwati, kenangan indah semasa muda bercengkerama dengan Permadi, Arjuna muda, membekas dalam dihatinya. Sehingga kimpoi paksa yang terjadi dengan Prabu Duryudana, tak pelak lagi menjadikan rasa penasaran yang tak kunjung terlampiaskan dan membuahkan sebuah janji serta selingkuh berkepanjangan.“Kita kan sudah bukan lagi penganten baru, sudah berusia lebih dari tigapuluh tahun dan sudah berputra dewasa. Harusnya tidak lagi perasaan itu dimunculkan!”. Tukas sang dewi.“Ya, terus terang saja . . . . , rasa itu yang telah menggelayut dalam dadaku”. Jawab Duryudana terus terang.Akhirnya Duryudana mengalihkan pembicaraan.“Aku hendak menanyakan beberapa hal. Pertama, sejak aku meninggalakan puraya agung ke peperangan, bagaimana keadaannya semua yang ada di Kedaton ini ?”. “Para abdi saling bergilir berjaga jaga, tak ada yang melalaikan pekerjaanya”. Banuwati menjawab singkat.“Sukurlah . Yang kedua, lalu bagaimana mengenai kesehatanmu ?”. Pertanyaan basa basi terlontar dari mulut Prabu Duryudana.“Tetep sehat sehat saja. Tetapi bila menanyakan ketentraman hati hamba , pastilah tidak tenteram. Negara yang dalam ancaman pastilah berakibat pada ketenteraman batin hamba, sinuwun”. Jawaban basa basi membalas pertanyaan suaminya.“Ya !”, jawab singkat Duryudana sambil mengangukkan kepalanya.“Apakah perang sudah selesai sehingga paduka kembali ?”. Tanya Dewi Banuwati ketika sang Prabu terdiam sejenak.“Nanti dulu. Yang Ketiga, kamu jangan kaget. Karena kanjeng

ratu dan aku sendiri, telah kehilangan harta yang nilainya melebihi seluruh isi istana !.” Ragu Prabu Duryudana hendak mengatakan hal yang sebenarnya terjadi.Tak sabar Banuwati mengejar. “Sabda paduka yang tersirat demikian mohon dibuat terang saja, mengapa mengatakan hal yang mengandung perumpamaan seperti itu ?”“Nanti dulu . . . . , akan aku pikirkan bagaimana caranya aku akan mengatakan kepadamu. Karana dalam hitungan, jangan jangan setelah aku mengatakan berita ini kepadamu, jangan sampai kanjeng ratu menjadi sakit bahkan meninggal. Kalau hal ini yang terjadi lebih baik aku yang menggantikannmu. . . .” Prabu Duryudana terdiam. Demikian juga istrinya yang makin penasaran, namun tetap memberikan waktu bagi suaminya. Dengan lirih akhirnya coba memulai dengan cerita yang hendak dipanjang panjangkannya.“Yayi kanjeng ratu . . . , memang bukan kemauanku. Pesanggrahan anakmu yang dikepung wadya penjaga yang jagaannya begitu sangat rapat. Tetapi apa sebabnya, Lesmana yang selalu dalam pandangan mataku. Tanpa ijin dariku, ia maju ke medan pertempuran”. Kemudian Prabu Duryudana terdiam lagi.“Saya percaya, walaupun begitu Pandawa tak ada satupun yang tega membunuh Lesmana, terutama Arjuna. Kalaupun ia tega maka ia berarti tega terhadap “anunya” sendiri” !. Tak sabar sang Dyah Banuwati menyambar, sampai sampai ia menyerempet menyebut nama selingkuhannya.“Aku tidak mengerti”. Pura pura tak mengerti Duryudana menjawab dengan tidak senang.“Anunya itu, artinya keponakannya sendiri”. Banuwati berkilah sekenanya. Pikirnya, diketahui suaminyapun, ia tak akan berani memarahi. Ia mengetahui benar, bahwa Duryudana adalah tipe suami takut istri.“Tapi ini beda dengan pengharapanmu, Lesmana bukan bertanding dengan Arjuna”. Pelahan Duryudana memberi penjelasan“Lalu siapa ?”. Tak sabar Banuwati hendak mencari tahu.“Ketika itu ia bertanding dengan Abimanyu. Sewaktu ia berada di peperangan ia mendekati Abimanyu dengan membawa pusakanya kyai Kokop Ludira. Namun ia kalah cepat, ia terkena pusaka Abimanyu. Hari itu anakmu gugur di medan peperangan !!”.Bersiap Duryudana hendak menangkap istrinya yang dikira akan kaget atau jatuh pingsan, atau lebih jauh lagi akan terhenti detak jantungnya. Namun apa yang terjadi, ia cuma memandang dengan tatapan kosong, termangu, malah sejenak kemudian ia menyalahkan anak dan suaminya.“Jadi anak selalu semaunya sendiri, bertindak tanpa ijin dari orang tua, ya begitulah jadinya !”.Terheran Duryudana, sambil menggelengkan kepala, ia

bergumam “Dikabari anaknya mati bukannya sedih, susah, malah tidak kaget sama sekali . . . . .”.“Apakah susah dan sedih harus dipamerkan? Kejadian seperti itu bukan salah Lesmana tetapi salah paduka, kalau hamba boleh mengatakan!”. Jawab Banuwati ketus.“Salahku ada dimana?” Dikerasi istrinya, Duryudana melembek.“Paduka itu kurang waspada sinuwun”, kali ini ia menyalahkan suaminya.“Baratayuda bukan perang yang hanya memperhatikan orang seseorang, selain harus menjaga diriku sendiri, aku juga harus bertanggung jawab atas keselamatan semua, tanggung jawab ada pada pundakku . Dan aku tidak menyangka, bahwa ia berani beraninya maju ke peperangan !”. Ia memberikan alasan.“Ya itulah, kenapa Lesmana tidak menerima perintah paduka ! ”. Kembali Banuwati menyalahkan anaknya.“Begitukah ?” Bingung Prabu Duryudana menghadapi keadaan ini.“Penyesalanku, sedihku, itu harus berdasarkan apa ?” Kembali Banuwati mempertanyakan hal mengapa ia harus menyesal. “Bila ia tunduk dan patuh kepada orang tuanya, makanya tidaklah aku harus menyesal. Hidupnya Lesmana kebanyakan menambah nambah rasa malu, tak ada lain !”.Kekesalan Banuwati mulai mengungkit ungkit peristiwa lama. “Berapa kali ia gagal menikah? Berapa kali …..? Apakah itu namanya tidak memalukan orang tua…. ? Jadi anak kok begitu sialnya !, yang ditiru itu siapa sih sebenarnya ?!”Tak mau berlarut larut dalam ketegangan, Duryudana mengalihkan perhatian. “Tetapi ada sebagian yang membuatku bangga, tidak ada yang melebihi kebanggaan itu. Matinya juga membawa kematian si Abimanyu !”.

  QUOTE

17-05-2011, 07:47 AM   #77

izroilblackarmy aktivis kaskus 

 UserID: 509004 Join Date: Jul 2008Posts: 605

Baratayuda: Ricuh juga di Kadilengeng (2)

By MasPatikrajaDewaku

Kali ini justru Prabu Duryudana menjadi bertambah heran, terperangah dengan peristiwa yang ada dihadapannya. Dewi Banuwati yang diberitahu kematian Abimanyu malah menangis tersedu sedu. Maka, setengah menggumam, ia menumpahkan rasa herannya.“Aneh sekali, aneh sekali kejadian ini. Dikabari anaknya, Lesamana, mati, marah marah kepadaku, menyalahkan Lesmana. Tetapi dikabari Abimanyu tewas, kamu malah menangis

sesenggrukan….. !” Setelah beberapa saat didiamkan dalam tangisnya oleh Prabu Duryudana, Banuwati menjawab disela sela sedunya. “Kalau Lesmana mati kan hanya saya dan paduka yang bersedih. Tetapi kalau Abimanyu yang tewas pastilah banyak orang yang ikut merasakan sedihnya. Seperti Arjuna, aku membayangkan betapa ia kehilangan, bagaimana sikapnya. Yang kedua adalah Wara Subadra, ia telah kehilangan anak nya yang tunggal, belum lagi istri istrinya Siti Sundari dan Utari. Padahal Eyang Utari sedang mengandung, bagaimana rasanya dia.”Setengah sugal, Duryudana menjawab. “Itu bukan urusanku . . . . !, itu bukan perkaramu !. Abimanyu isrinya dua atau selusinpun, masa bodoh amat !! “Ternyata rasa cintamu itu telah berpaling . . . . ! “Kali ini Prabu Duryudana yang marah marah,“Siang malam tak ada gunanya aku menyellimutimu dengan sutra. Aku basuh kakimu dengan air mawar, makan aku ladeni minum aku bawakan, dimanja setinggi langit, aku jaga bagai jimat. Tetapi apa yang terjadi, apakah dasarnya kamu memprihatinkan musuh ?”.“Hamba manusia juga sinuwun”. Mencoba berkilah Banuwati.“Ya memang !”. Tak senang dengan jawab istrinya, prabu Duryudana menyahut sekenanya.“Kalau manusia itu harus menggunakan rasa kemanusiaan !”. Namun yang terjadi justru sang Dewi yang meneruskan kalimatnya.Makin tak senang , ditantangnya istrinya berdebat. “Yang tidak mempunyai rasa kemanusiaan itu aku atau Pendawa ?”“Paduka berkata begitu itu atas dasar apa ?!” yang diajak berdebat malah makin galak.“Tidak lah aneh kalau Pandawa itu mengerti bahwa Kurawa itu adalah saudara tuanya. Kalau manusia yang masih waras harusnya ingat itu !. Bisma itu gurunya, itupun Pandawa berani membunuhnya !”. “Jelas, Bisma itu mengikut Kurawa ! Tapi begitu aku melihat gugurnya satria tiga, Seta, Utara dan Wratsangka, yang pernah dingengeri, yang memberi tumpangan ketika ia telah selesai menjalankan pembuangannya selama duabelas tahun, menjadi pengemis sudra. Dihidupi oleh orang Wirata, tetapi akhirnya ia membalasnya dengan mengorbankan orang-orang yang telah berbuat baik. Itulah tandanya bahwa ia adalah orang orang yang terbuang sebenar-benarnya !” “Pandawa sudah bagaikan hewan hutan yang lapar, yang hendak memakan tuannya !”.Diungkitnya kejelekan Pandawa dari sudut pandangnya sendiri.“Sinuwun, apakah aku diperkenankan mengatakan sesuatu kembali ?” Disalahkan para Pandawa yang menjadi pujaan hatinya, panas hati Dewi Banuwati.Dengan ketus Prabu Duryudana menjawab. “Boleh saja, tetapi

aku tidak mau kau kalahkan !”. beringsut Prabu Duryudana, dan kemudian berdiri mendekati jendela. Panas hati dan suasana telah memaksanya mencari semilirnya sejuk angin.“Hamba tak mau mengalahkan sinuwun ! Tetapi bila Pandawa dikatakan telah kehilangan rasa kemanusiaan apakah memang begitu semestinya ?! “ Jawab Banuwati dengan nada tinggi.“Memang begitu !” kembali ketus jawaban Duryudana.“Yang tipis rasa kemanusiaanya sebenarnya adalah paduka sendiri !”. Jawab Banuwati terus terang.“Perkara yang mana ?” kembali tanya Duryudana dengan pandangan yang tajam.Makin meruncing pertengkaran, tetapi sang istri semakin berani menyampaikan rasa yang tersimpan dalam di lubuk hatinya.“Tetapi sebenarnya hamba agak takut mengatakannya dan ini adalah sebuah rahasia. Sudah lama hamba menahannya tetapi lama kelamaan sudah tidak kuat lagi menahannya. Saya mengatakannya sekarang juga !”.“Tunggu apa lagi, katakan !” Duryudana mempersilakan istrinya kembali membuka isi hatinya.“Sebenarnya yang tipis rasa kemanusiaannya adalah paduka sendiri. Kalau dalam lubuk hati paduka yang paling dalam mengatakan, seharusnya yang bertahta di Astina itu Pandawa atau Kurawa ! Namun kapankan Pandawa itu menagih haknya ?.Tidak pernah ! Bahkan mereka mampu membuat negara dari keringatnya sendiri, Negara Amarta !. Pandawa tidak diberikan secuwilpun tanah Astina. Tapi mereka selalu diusahakan untuk selalu disengsarai, difitnah. Akhirnya dengan dalih permainan dadu, Astina dan Amarta dijadikan taruhan dan para Pendawa diusir paksa, sehingga mereka menjadi manusia hutan selama bertahun tahun. Jadi yang tipis rasa kemanusiaannya itu sebenarnya Pendawa atau Kurawa ?!”Bagai bendungan yang jebol, segala unek unek ditumpahkan dihadapan suaminya. Dalam hati, inilah saatnya, selagi ia ditantang untuk terus terang.“Aku tidak peduli . . . . . ! Aku – tidak – peduli . . . ! Tetapiakujugapeduli !!” jawab Duryudana tandas.“Silakan sinuwun mengatakan !” kali ini Sang Dewi yang menantang.“Perkara permainan dadu, kamu jangan menyalahkan aku. Dimanapun yang namanya permainan pasti tidak ada yang mau kalah !”.“Itu bab permainan dadu. Lalu bagaimana mengenai negara Astina itu ?!” Saling bantah makin seru.“Mereeka tidak becus mengurus negara. Sudah terlalu lama mereka bergaul dengan segala macam binatang hutan !”. Alasan sekenanya disampaikan, berharap ia tak diserang lagi.Namun kembali ia dicecar pertanyaan.“Itu kan waktu setelah pembuangan di hutan ! Bagaiman mengenai sebelum itu ?”

“Itu salah mereka, mengapa mereka tiada pernah meminta negara Astina !”. Jengkel Prabu Duryudana dengan tarik urat yang berlarut larut.“Itu namanya paduka seperti mengulum madu, terasa manis, hingga tak hendak melepehnya. Sinuwun kalaupun kata kataku sebagai istri, sebagai belahan jiwa, tak ada satupun yang hendak diperhatikan, bila demikian halnya, silakan hamba dikembalikan saja ke Mandaraka”. Tak lagi hendak berlarut larut bertengkar, sang Dewi menantang.“Baik . . . , kapan ?!” Keceplosan kata, sang Prabu menerima tantangan istrinya.. “Ketimbang aku melihat runtuhnya negara Astina atas angkara murka paduka, sekarang juga lebih baik segera pulangkan hamba ke Mandaraka !.” jawab senang Banuwati“Kamu menantang ?!” gertak Prabu Duryudana.“Sukurlah bila kehendakku paduka laksanakan !”Berbalik badan Banuwati hendak pergi dari hadapan suaminya. Tetapi langkahnya tertahan oleh cengkeraman tangan sentosa Prabu Duryudana dilengannya.Sadar apa yang dilakukan, Prabu Duryudana kemudian ia mengendurkan pegangannya. Katanya memelas.“Mau kemana ?”“Bukankan sinuwun sudah mengatakan, bahwa sinuwun merelakan saya kembali ke Mandaraka ?!” masih dengan setengah marah dan nada merajuk, Banuwati bertanya balik.Jurus bujuk rayu diterapkan oleh sang Prabu, agar sang Dewi tetap berada di istananya, Kadilengeng, tempat ia memanjakan istrinya setinggi langit, Itulah kenyataannya, di kedalaman hatinya, seluruh jiwa, rasa dan raga serta cinta buta Prabu Duryudana mengatakan, tak ada wanita lain yang sanggup menggantikan keberadaan istri yang cantik molek itu.Tak kasat mata, bagaimanapun jerat kecantikan Banuwati telah mencengkeram Sang Prabu hingga ke tulang sungsumnya, jauh melebihi kekuatan cengkeraman, tangan sentosa Duryudana . . . . .

  QUOTE

17-05-2011, 07:50 AM   #78

izroilblackarmy aktivis kaskus 

 UserID: 509004

Baratayuda : Sihir Sakti Sempani (1)

By MasPatikrajaDewaku

Ketika itu di Pesanggrahan Bulupitu, segala kebijakan gelar perang tetap ada di tangan senapati Pandita Durna. Tekad sang Senapati kali ini adalah hendak mengembalikan nama baik yang tercoreng tebal, setelah kecolongan dengan tewasnya putra Pangeran Pati Astina Raden Lesmana Mandrakumara. Kematian

Join Date: Jul 2008Posts: 605

Pangeran Pati yang berbuntut panjang dengan kericuhan di pasanggrahan Bulupitu hingga menewaskan iparnya Krepa dan diusirnya anak semata wayangnya Aswatama, mengharuskan kali ini nama baiknya akan pulih, dengan memenangkan peperangan kali ini.Maka ditunjuknya pendamping sakti dari negara sebrang.“Baik, sekarang aku minta anakmas Setyarata dan Setyawarman menjadi pendamping senapati”.Pandita Durna menujuk kedua orang yang disebut itu dengan jempolnya. Yang ditunjuk sejenak kaget namun kemudian menjadi berseri seri. Kehormatan sebagai pendamping senapati Durna adalah hal yang merupakan kehormatan tiada tara bagi mereka.“Sedangkan anakmas Kertipeya akan saya beri tugas khusus untuk menghadang Werkudara agar tidak mudah menumpahkan dendamnya kepada Jayadrata”. Kertipeya mengiyakan dengan perasaan bangga dan keyakinan diri tinggi.“Dan untuk perkara membekuk Arjuna, menurut telik sandi saat ini Arjuna sedang dalam keadaan tertekan jiwanya dan tidak memperdulikan peperangan, karena kematian anak kesayangannya. Nah dengan keadaan yang dialami Arjuna, akan aku jalankan cara khusus untuk menawan Arjuna, yaitu dengan perangkap asmara.” Pendita Durna adalah ahli strategi, maka diuraikan kepada kedua pendamping senapati, mengenai strategi yang hendak dirancangnya itu.“Kalau Arjuna masuk dalam perangkap asmara, maka tak akan lama ia bakal tertawan dan tinggal dengan gampang membunuhnya”. Kembali Pendita Durna berhenti bicara. Kemudian mendekat kearah Prabu Bogadenta. “Bukankan anakmas Bogadenta datang bersama dengan Saudara perguruanmu yang cantik itu? Anak angger Bogadenta dan saudara seperguruanmu akan aku pasrahi untuk menawan Arjuna”.Bogadenta belum sepenuhnya mengerti akan rancana Pandita Durna “Bagaimana maksud paman Pendita? Apakah aku harus mencari keberadaan Arjuna, dan aku harus bersama Murdaningsih dan gajah tunggangan saudara seperguruanku Murdaningkung, ?“Benar anakmas, nanti bila Arjuna sudah diketemukan, saudara seperguruanmu harus merayu Arjuna agar lengah, kemudian bunuhlah dengan belalai tunggangan gajah Murdaningkung !”. Durna memutus.Memang benarlah demikian. Prabu Bogadenta yang datang dari kerajaannya, Turilaya, ke Astina, disertai dengan saudara perguruannya seorang wanita cantik, liar dan sakti bernama Murdanigsih yang memiliki hewan Gajah putih bernama Murdaningkung.Pertemuan itu terjadi ketika mereka berguru bersama sama menuntut ilmu kanuragan. Bahkan setelah penuh ilmu, mereka

dihadiahi suatu ajian, yang membuat mereka akan hidup kembali ketika salah satunya terbunuh, bila salah satunya menetesi air mata kesedihan terhadap kawan seperguruannya“Kemudian aku utus anakmas Kertipeya menghadapi Werkudara, secara fisik aku kira tak beda jauh kekuatannya dibanding Werkudara, bila Werkudara sudah dilumpuhkan, maka menawan Puntadewa adalah hal yang sangat mudah !”. Secara fisik Prabu, Kertipeya memang gagah perkasa tinggi besar sehingga layak ditandingkan dengan Werkudara.“Nah sekarang anak angger Bogadenta kami persilakan untuk berangkat ke sisi hutan Minangsraya, perbatasan Kurusetra, kebiasaan Arjuna diwaktu sedang sedih, biasanya dia akan pergi ke tempat sepi untuk menyegarkan kembali kelelahan jiwanya”.Selesai segala petunjuk sang senapati, sambil menghaturkan sembah, mundurlah Bogadenta untuk memenuhi tugas meringkus Arjuna.Sepeninggal Raja Turilaya, Pandita Durna segera memulai pasang strategi kesukaannya yang dianggap ampuh untuk memenangkan peperangan hari ini. Dalam pikirannya hanya muridnya, Arjuna yang dapat memecah gelar Cakrabyuha, kecuali Abimanyu yang telah tewas di hari kemarin.“Untuk yang akan melakukan tugas di peperangan Kurusetra, gelar yang hendak aku rakit adalah Cakrabyuha. Walau gelar ini telah dapat diobrak abrik oleh Abimanyu waktu itu, namun akan aku bangun kembali, dengan kepercayaan, tak akan lagi gelar dapat dihancurkan tanpa adanya Arjuna yang tengah pergi entah kemana, karena setengah gila memikirkan tewasnya anak kesayangannya itu”.**********Dilain pihak, Pesanggrahan Randugumbala, Gelar Perang Garuda Nglayang dari pihak Pandawa diterapkan kembali, setelah mengubahnya kemarin hari dengan Supiturang. Dengan sayap kanan ditempati Raden Werkudara, dan disebelah kiri, karena ketiadaan Arjuna, adalah Arya Setyaki sebagai pengganti. Paruh garuda ditempati Sang Senapati Raden Drestajumna sedangkan pada ekor ditempati oleh Wara Srikandi.Berangkatlah kedua wadyabala kedua belah pihak, dengan suara gemuruh menuju medan peperangan dihari itu.Segera setelah barisan lawan masing masing terlihat, pecahlah perang campuh kembali. Bagaikan kilat kelebat batang gada sang Setyaki mengamuk dengan Wesi Kuning ditangannya. Banyak prajurit kecil terpukul gada pecah brantakan tulang belulangnya, bahkan yang menunggang kuda terguling beserta kuda kuda tunggangannya. Porak poranda tertebas gada satu sisi gelar Cakrabyuha.Dihadapannya menghadang Raden Durcala salah satu saudara Prabu Duryudana. Sama sama bersenjata gada, ia tak tahan melihat banyaknya korban yang jatuh pada salah satu juring ruji barisan.

Heh Setyaki ! jangan hanya berani melawan prajurit kecil. Datanglah kemari hadapi Durcala kalau kamu sebagai seorang prajurit sejati !”.Segera setelah keduanya berhadapan, saling pukul dan gada serta hindaran pukulan berlangsung sengit. Durcala tak lama kemudian keteteran menahan serangan lawannya. Menyesal ia berhadapan dengan lawan ini. Ia salah memperkirakan kehebatan lawannya. Namun sudah kepalang basah, dengan sekuat tenaga ia menahan serangan lawan yang bertubi tubi datangnya bagaikan banjir bandang. Lama kelamaan susutnya tenaga mengharuskan ia bersembunyi disela sela rapatnya prajurit lain yang sedang beradu tenaga dengan lawannya masing masing.Setyaki yang panas, tak hendak melepaskan lawannya yang sudah diujung kekuatannya. Maka ketika melihat lawannya terjebak dalam sudut yang tak lagi memungkinkan ia menghindar, karena dibelakangnya terdapat reruntuhan kereta perang, maka sabetan gada Wesi Kuning mengakhiri perlawanan Durcala.Citrabahu yang melihat saudaranya terpupuh gada, marah bukan kepalang. Segera pertempuran antara Setyaki dengan Citrabahu memperpanjang amukan Setyaki. Tenaga Setyaki yang bertubuh kecil padat, sejatinya ia bertenaga raksasa. Citrabahu yang bertempur dalam keadaan marah dan kehilangan akal seakan akan menjadi bulan bulanannya. Tanpa perlawanan berarti, dihentikan gerak limbung Citrabahu dengan sekali pukul dikepalanya. Pecahnya kepala Citrabahu tanpa sempat ia berteriak.Raden Upamandaka dan Citrawarman bersepakat maju bersama untuk menghentikan korban yang semakin besar. Dikerubutnya Arya Setyaki dari dua arah dengan cecaran secara bergelombang. Namun Setyaki bukan prajurit lemah, walau serangan keduanya bagai siraman air bah, tetapi tetap dapat ditahannya, bahkan dengan garangnya ia menyerang keduanya bergantian, hingga membuat kedua lawannya kerepotan menyerang dan berkelit berganti ganti. Sama dengan lawan sebelumnya, kewaspadaan Upamandaka yang terkesima dengan kegarangan Setyaki, menurun. Terlena sekejap dibayar dengan mahal. Penggungnya tersenggol gada Setyaki yang menyebabkan ia kehilangan keseimbangan. Tak menyia-nyiakan kesempatan yang terpampang didepan matanya, sekali lagi dikenainya pinggang Upamandaka dengan kekuatan penuh, terkapar Upamandaka tak bisa bangun selama lamanya.

  QUOTE

17-05-2011, 07:52 AM   #79

izroilblackarmy aktivis kaskus 

Baratayuda : Sihir Sakti

 UserID: 509004 Join Date: Jul 2008Posts: 605

Sempani (2)

By MasPatikrajaDewaku

Melihat saudaranya terkapar tak bangun lagi Citrawarman gemetaran. Sukmanya bagai ikut tercabut bersama lepas sukma Upamandaka. Tak ayal lagi gerakannya menjadi kacau balau. Tak ada lagi harapan untuk menang, ia melarikan diri. Namun kejaran Setyaki yang dilambari tenaga raksasanya berhasil menghentikan langkah Citrawarman dengan menebas kakinya. Teriakan ngeri menghambur dari mulut Citrawarman yang kemudian terhenti, ketika sekali lagi gada Wesi Kuning menerpa kepalanya.Tak ada lagi Kurawa berani mendekati amukan Setyaki membuat bubar mawut, satu sisi ruji CakrabyuhaDibagian lain Wara Srikandi juga mengamuk dengan luncuran anak panahnya. Salah satu musuh yang

memperhatikan datangnya anak panah mendekatinya dengan tujuan menghentikan hujan panah yang membawa banyak korban. Ia adalah Wiringsakti.Dengan mengendap endap ia berhasil mendekati kearah Wara Srikandi, tanpa ragu dihadapinya untuk mengadu kesaktian“Siapa kamu yang berani mengganggu kerjaku ?!” Srikandi yang merasa terusik, menghentikan lepasan anak panahnya.“Inikah Srikandi, yang telah berhasil membunuh Eyang Bisma ?!” Yang ditanya tidak segera menjawab pertanyaan Srikandi, malah ia kembali balik bertanya.“Sekali lagi siapa namamu sebelum kamu mati tanpa membawa nama ?. Dari ciri cirinya pastilah kamu salah satu saudara Kurawa !” Tak sabar, tanpa mempedulikan pertanyaan balik si pengganggu, Srikandi menghardik.“Akulah Wiringsakti ! salah seorang Kurawa yang hendak

membalaskan kematian Eyang Bisma !” Jumawa Wiringsakti akhirnya menjawab. Senang hatinya ketika ia berhadapan langsung dengan Srikandi, karena dalam hatinya mengatakan, inilah kesempatan memperlihatkan jasanya terhadap kakak sulungnya, Prabu Kurupati-Duryudana, bila berhasil nanti.“Jangan banyak cakap, majulah akan aku antarkan kau kehadapan Eyang Bisma !”Semula Wiringsakti menganggap enteng prajurit wanita ini. Ia hendak meringkusnya dengan tangan kosong. Harapannya ia akan menangkap hidup hidup sebagati sandera. Karena lama kelamaan Wiringsakti terdesak, senjata pedang sudah ada dalam genggamannya. Tetap saja, ia tak juga berhasil mengenai tubuh lawannya dengan senjatanya, mulailah ia geregetan. Dengan gerakan yang mulai makin kasar, tak ragu lagi ia hendak meringkus

lawannya dengan secepat cepatnya. Namun yang terjadi adalah hal yang sebaliknya. Ketika ada jarak terbuka diantara mereka, dengan cepat Wara Srikandi memasangkan anak panah pada busurnya. Kelincahan gerak pemanah wanita ini tidak diragukan lagi, lepasnya anak panah yang meluncur dari jarak yang tak terlampau jauh, mengenai dada Wiringsakti tembus ke jantung, menggelepar Wiringsakti, jatuh di tanah berdebu.Subasta, Suwarman, Habayuda dan beberapa saudaranya tak ragu lagi untuk meringkus Wara Srikandi bersama-sama. Harapan mereka, satu tawanan bila dapat diringkusnya, akan sangat berharga untuk membuat semakin lemah dan semakin hancur jiwa Arjuna, bila mengetahui istrinya ada dalam tangan Kurawa.Namun yang diharapkan, menjadi mentah kembali. Gatutkaca yang melihat keroyokan terjadi, segera turun

dari angkasa, satu demi satu para pengeroyok itu dipuntir lehernya, tak sanggup mereka bangun kembali selamanya.Diceritakan, adalah amukan ditempat lain, Werkudara yang terbawa dendam atas kematian Abimanyu mencari keberadaan Jayadrata si biang kematian kemenakannya. Berteriak Werkudara dan prajurit Jodipati termasuk Patih Gagak bongkol dan juga anak Antareja , Danurwenda, serta anak Gatutkaca, Sasikirana, mengamuk sambil memanggil nama Jayadrata yang hendak dibunuhnya. Sapuan gada Rujakpolo ditangan Wekudara-Bimasena mobat mabit kanan kiri menyasar lawan didepannya. Korban berjatuhan banyaknya tak terhitung lagi. Dengan cara seperti ini, jeri prajurit Kurawa lari tunggang langgang. Banyak para Kurawa yang tewas, membuat Kertipeya segera menghadang Werkudara untuk menghindari lebih banyak lagi prajurit

yang menjadi korban.Merasa dihalangi dalam menambah kurban ditangannya, tambah tambah liwung amukannya. Tak pelak lagi Kertipeya menjadi sasaran amukan berikutnya. Namun Kertipeya bukan prajurit rucah, tanding kekuatan berlangsung sengit. Silih ungkih singa lena. Bagaimanapun akhirnya dapat ditebak. Kematangan tempur Werkudara yang tertempa kerasnya ujian alam, telah berhasil mengungguli Kertipeya. Terlena sekejap Kertipeya, tahu tahu gada Rujakpolo telah berada didepan mukanya. Tak sanggup menghindar karena sudah dekat senjata lawan, ia hanya bisa berteriak ketika pusaka super berat itu menimpa kepalanya. Pecah kepala Kertipeya dengan isi otak yang berceceran. Satu lagi sekutu Kurawa menjadi korban.Satyarata dan Setyawarman maju berbarengan. Anggapan mereka, tenaga mereka masing masing

masih masih dibawah Kertipeya. Bila digabungkan, maka pikirnya akan melebihi kekuatan temannya, Kertipeya. Tanpa ragu mereka berdua menghadang amukan Bimasena. Keroyokan terjadi kembali kali ini. Pusat perhatian Bima terpecah dengan serangan dari dua arah. Bila salah satu dicecar, yang lain mengganggunya. Jengkel Werkudara dibuatnya. Dapat akal yang lebih mudah, diletakkan gadanya, dengan tangan kosong dicengkeramnya musuh satu persatu, kemudian saling dibenturkan kepalanya. Kembali teriakan kedua pecundang mengakhiri perlawanan.Begawan Durna yang tidak heran dengan tandang muridnya itu segera waspada. Dipanggilnya Patih Sangkuni dan Jayadrata.“Adi Cuni, kamu melihat Werkudara mengamuk itu ?”“Ya Wakne Gondel, para prajurit Jodipati yang dipimpinannya meneriakkan nama

Jayadrata. Menurutmu bagaimana, kakang ?” minta penjelasan Patih Sengkuni. “Sekarang aku minta kamu segera temani Jayadrata. Segera serahkan Jayadrata untuk sementara ke orang tuanya di pesanggrahan Giri Ancala. Katakan alasannya dengan tepat kepada Resi Sempani, ayahnya agar tidak salah paham !”. perintah Durna Kumbayana.“Baik wakne Gondel, segera aku jalankan perintahmu”,Sengkuni bersiap mengajak Jayadrata.Tetapi Jayadrata yang diperintahkan mundur dulu oleh Durna dan Sangkuni keberatan.“Saya tidak takut dengan Werkudara .Kenapa saya harus diminta mundur ?!”“Tidak ragu aku dengan kesaktianmu, tapi aku berharap hari ini saja, anakku Jayadrata mundur dahulu “ Durna memberikan pengertian.“Tapi ini bukan ciri Jayadrata yang menghindar dari musuh. Mati adalah batas terakhir

bisanya hamba mundur dari pertempuran, bapa” kembali Jayadrata mengemukakan keberatannya.“Hari ini saja, sebab banyak hal yang aku hendak lakukan untuk menumpas Pendawa. Bila saatnya tiba, kembali anakmas Jayadrata aku perkenankan untuk mengambil peran dalam perang besar ini ngger !”Bujuk rayu Durna sementara berhasil mengantarkan kembali Jayadrata kehadapan ayahnya, Sempani.“Raden Patih Sangkuni, apakah perang sudah berakhir sehingga andika datang ke pesanggrahan kami ini ?”“Maafkan kami kakang Panembahan atas gangguanku terhadap semadi paduka kakang, yang siang malam memuji unggulnya Kurawa” Sangkuni memulai penjelasannya.“Perang belum berakhir, tetapi ada bahaya yang mengancam jiwa putramu Jayadrata. Untuk itu aku sementara aku mengembalikan

putramu ke pesanggrahan ini demi keselamatannya”.Keheranan Sempani mendengar tutur Patih Sengkuni.“ Andika meremehkan anak saya ? Dari kecil saya mengajarkan ilmu jayakawijayan dan sikap sebagai prajurit sejati. Didalamnya terdapat salah satu watak prajurit yang ditanamkan, menjunjung tinggi sikap dan harga diri seorang prajurit yang tidak mengenal menyerah. Tidak ! Kami keberatan untuk menerima anakku !”“Dasarnya adalah begini kakang. Bila ini adalah dikatakan mundur, maka jangan dikatakan ini mundur yang sebenarnya, ini mundur untuk maju kembali dengan kemenangan . Ini adalah strategi. Pada saatnya nanti Jayadrata akan diberi peran yang lebih besar dalam perang ini. Untuk hari ini saja, karena ini hanya untuk memancing rasa penyesalan Pandawa lebih panjang. Seperti halnya penasaran dan sesal

dalam yang dialami oleh Arjuna. Setengah gila dan tiada lagi mengambil peran dalam peprangan ini. Bila ini yang terjadi, maka amukan Bima yang sia sia, akan melumpuhkan perasaannya. Sehingga selanjutnya makin gampang untuk meringkusnya”. Sengkuni menjelaskan strategi yang hendak dijalankan oleh Pandita Durna.Sejenak Begawan Sempani berpikir. Kemudian katanya.“Bila untuk meringkus Bima, serahkan kepadaku ! Anakku Jayadrata, masuklah ke gedung baja perlindungan. Bila terjadi apa apa, ada suara apapun yang ada diluar, jangan sekali kali kamu mencoba untuk mengintipnya dari jendela udara, apalagi keluar dari baja perlindungan itu, sampai aku kembali menemuimu.”Syahdan, sesampainya di medan peperangan, segera Begawan Sempani mempreteli tasbihnya yang terbuat dari butiran buah gemitri.

Dengan disertai rapal mantra saktinya, dipuja butir butir tasbihnya menjadi Jayadrata-Jayadrata tiruan yang segera mengamuk merubung sang Bimasena.Digebuk satu terbelah menjadi dua, digebuk dua terbelah menjadi empat, digebuk empat menjadi duabelas Jayadrata dan seterusnya, hingga Jayadrata tiruan memenuhi palagan peprangan. Jengkel Werkudara mengatasi keadaan itu, diletakkan gadanya kemudian digulingkannya dengan kakinya.Tergilas Jayadrata tiruan. Lebur satu persatu, namun bangun menjadi berlipat lipat ganda. Ngeri Werkudara melihat kejadian itu !Hilang akal, ia yang segera mundur dengan seribu tanya, bagaimana untuk mengatasi tiruan Jayadrata alias Tirtanata. Orang yang sebenarnya terjadi karena air rendaman bungkus yang melingkup Bratasena, Werkudara muda ketika lahir.

  QUOTE

17-05-2011, 07:55 AM   #80

izroilblackarmy aktivis kaskus 

 UserID: 509004 Join Date: Jul 2008Posts: 605

Kidung Malam 31

Antara Hidup dan

Mati

Kedatangan Durna di tengah-tengah mereka memaksa pertikaian antara Harjuna dan Ekalaya berhenti sementara.

“Aku dapat merasakan apa yang kalian rasakan. Sebagai seorang ksatria, perang tanding merupakan cara penyelesaian pamungkas yang terbaik. Kecuali jika salah satu di antara kalian mau mengalah atau mengaku kalah sebelum bertanding. Itu pun tidak mungkin kalian lakukan. Pasti! Karena aku tahu watak keduanya. Maka jangan salah sangka jika aku melarang kalian ber perang tanding. Silakan berperang tanding, asalkan jelas alasannya.”

“Ampun Bapa Guru, orang ini telah

membunuh anjing pelacakku.”

“Ampun Sang Maha Resi, aku telah meminta maaf.”

“Bagus! Sisi lain dari seorang ksatria adalah mau mengakui kesalahannya.”

“Bagaimana dengan pihak yang tidak melakukan kesalahan, tetapi pihak yang dirugikan?”

“Itu tergantung orangnya. Jika yang dirugikan seorang Brahmana tentunya ia akan memaafkan, karena yang bersangkutan telah mengakui kesalahannya. Jika yang dirugikan seorang raja, ia akan memberi ampun tetapi bersyarat. Syaratnya bisa hukuman, denda atau yang lain. Jika yang dirugikan adalah seorang Ksatria, ia dapat memilih di antara keduanya, seperti raja atau seperti brahmana.”

“Ampun Bapa Guru, bolehkah saya tidak memilih di antara keduanya?”

“Boleh! Boleh! Apa yang kau pilih Harjuna?”

“Cara Ksatria sejati. Perang tanding!”

“Bagaimana Ekalaya?”

”Perang tanding untuk apa? jika untuk anjing yang mati aku tidak mau. Lebih baik aku mengaku kalah dan minta maaf.”

Harjuna terdiam. Ia kebingungan. Sesungguhnya untuk apa perang tanding? Yang pasti tidak untuk seekor anjing, melainkan untuk sebuah martabat dan harga diri.

“Bagaimana jawabmu Harjuna?”

Durna melemparkan pertanyaan Ekalaya.

“Sebagai saudara tua seperguruan aku ingin menjajal ilmu Ekalaya.”

“Bagus Harjuna! Sesungguhnya aku pun ingin menjajal seberapa tinggi tingkat ilmu seorang lelananging jagad.”

Darah muda Ekalaya mulai panas. Ia mulai tidak senang,

bahkan cenderung muak melihat sikap ksatria besar seperti Harjuna bersifat arogan, meremehkan sesamanya. Maka ia sengaja membakar hati Harjuna yang sudah membara. Seperti dikomando, keduanya melakukan sembah kepada Sang Guru Durna dan memberi hormat kepada Aswatama, Anggraeni, Puntadewa, Bimasena, Nakula, Sadewa dan para cantrik-mentrik.

Maka mulailah mereka bertempur. Keduanya sama-sama sakti dan mempunyai bekal ilmu yang cukup. Jurus demi jurus mereka keluarkan. Ilmu demi ilmu mereka benturkan, namun keadaan masih berimbang. Mereka yang menyaksikan tegang berdebar menyaksikan kedua orang sakti beradu ilmu. Beberapa di antaranya menjadi pusing menyaksikan gerakan-gerakan Harjuna dan Ekalaya. Maka mereka lebih memilih menjauhi arena pertempuran dan duduk di bibir

pendapa.

Hari menjelang sore, pertempuran belum berakhir. Keduanya sama-sama muda, sama-sama sakti, sama-sama tampan-rupawan, dan sama-sama menggunakan ilmu-ilmu Sokalima.

“Luar biasa, ternyata ilmu-ilmu Sokalima sangat dahsyat. Tetapi mengapa aku yang sudah belasan tahun menjadi cantriknya tidak dapat seperti mereka ya?” celetuk seorang cantrik.

“Lha iya jelas, wong kamu kalau diajari malah tidur,” timpal cantrik yang lain.

Karena hari mulai gelap dan keduanya sudah kehabisan tenaga maka Durna menghentikan pertempuran. Dengan wajah cemas Anggraeni memapah suaminya, diajak masuk ke bilik untuk kemudian dirawat dengan penuh kasih dan kesetiaan. Sedangkan di pihak Harjuna, Nakula dan Sadewa yang cemas sejak awal pertempuran berlari mendapati Harjuna untuk diajak berjalan

memasuki salah satu bilik yang biasa ditempati Harjuna. Sementara Aswatama dan para cantrik-mentrik meninggalkan arena pertempuran untuk menceritakan kepada sanak saudara tentang pengalaman luar biasa yang baru sekali disaksikan sepanjang hidup mereka.

Suasana memang menjadi sangat sepi. Durna masih duduk sendirian, tidak ada satu cantrik pun yang berani mendekat. Tampaklah garis-garis wajahnya semakin dalam, sedalam kesenduan hatinya, menyaksikan kedua murid pilihan bertaruh antara hidup dan mati. Jika saat ini keduanya masih hidup, tentunya pada saatnya nanti hanya ada satu yang hidup. Ekalaya atau Harjuna.

 

Kidung Malam 32Antara Hidup dan Mati

Sejatinya yang menjadi harapan Durna, pertikaian antara Ekalaya dan Harjuna tidak usah dilanjutkan. Keduanya sama-sama sakti,

ibarat dua sayap Sokalima yang perkasa. Mereka dapat membawa terbang nama Sokalima tinggi-tinggi, ke segala penjuru dunia. Sangat disayangkan jika satu di antaranya gugur pada medan harga diri. Namun itu tidaklah mungkin, karena di antara keduanya masih menyisakan bara api didadanya. Dinginnya malam di Sokalima tak kuasa mendinginkan hati mereka yang bertikai.

Dari masing-masing bilik yang ditempati Harjuna dan Ekalaya memancar energi yang saling bertemu sehingga bagi para cantrik yang kebetulan lewat di antara kedua bilik tersebut, pasti akan terkejut, dikarenakan ada sengatan hawa panas yang tidak mengenakkan.

Walau di dalam komplek padepokan Sokalima ada perbawa hawa panas, di depan pintu gerbang padepokan menebar energi lembut penuh kedamaian lewat kidungan cantrik jaga yang terbawa angin. Jika yang sedang bertikai mau membuka jendela hati dan membiarkan kidungan malam itu menyusup ke relung-relungnya, niscaya tidak mustahil pertempuran lanjutan yang tentunya lebih dahsyat tidak akan pernah terjadi.

Tidak peduli didengar atau pun tidak didengar, dirasakan maupun diabaikan, kidung malam tetap mengalun dari bibir cantrik tua yang berkulit kehitam-hitaman.

Ana kidung rumeksa ing wengingreksa jiwa nala ingkang papaingkang ringkih sakabehesaking rasa kumingsunngongasake diri pribadingegungake priyanggakebak watak umuktan gadhah ambeg welasmarang sapada-padhaning dumaditan purun angalaha.

Tidak beberapa lama kemudian, cantrik tua yang menjadi sumber suara kidungan tak kuasa menahan kantuknya, ia berbaring di gardu jaga. Akhirnya kidung malam yang mengingatkankan bahwa manusia ini lemah tak berdaya tetapi congkak dan tinggi hati, tak mau mengakui kelemahannya, hilang tak berbekas, tertutup suara burung hantu kutu-kutu walang ataga atau serangga-serangga malam yang saling bersahutan. Dengan demikian daya kidungan tersebut tak pernah menembus bilik mereka yang bertikai. Bilik hati Harjuna dan Ekalaya

Malam kian larut, tidak ada lagi senda gurau di antara para cantrik yang jaga, tidak terdengar lagi kidung malam. Hari menjelang dini hari, tidak seperti biasanya Guru Durna duduk sendirian di ruang

tengah. Disorot lampu temaram, tampaklah bahwa ia sedang berduka, duka yang sangat dalam. Baru kali ini sebagai guru besar ia tak kuasa menghentikan pertikaian kedua muridnya. Yah walaupun secara resmi Ekalaya tidak diangkat menjadi muridnya, tetapi jujur saja secara batin Durna telah mengangkat Ekalaya sebagai muridnya. Apalagi diperkuat dengan adanya patung Durna di Sanggar Ekalaya yang dijadikan pusat konsentrasi dalam mempelajari ilmu-ilmu Sokalima.

Selagi masih ada kesempatan, Durna berusaha mencegah kemungkinan yang paling buruk yaitu kematian salah satu di antara keduanya. Namun usaha Durna hanya mampu menunda saatnya. Karena permasalahannya sudah merambah pada harga diri, hal yang paling berharga bagi seorang kesatria. Dan penyelesaiannya hanya satu yaitu perang tanding. Dua hari lagi di saat bulan purnama mereka akan berperang tanding antara hidup dan mati.

Kabar tentang perang tanding antara Harjuna dan Ekalaya telah tersebar tidak hanya di wilayah padepokan Sokalima, tetapi jauh di luar Sokalima. Di tanah lapang yang biasanya menjadi tempat pendadaran murid-murid Sokalima, malam itu menjadi istimewa. Sejak sore hari ribuan orang mulai berdatangan. Mereka ingin meyaksikan lanjutan pertandingan maha dahsyat di abad ini.

Di tengah kerumunan orang yang jumlahnya mencapai ribuan, Durna berdiri tegar di antara keduanya, Harjuna dan Ekalaya. Detik-detik purnama telah muncul di ufuk timur. Harjuna dan Ekalaya telah mempersiapkan diri. Demi sebuah harga diri, mereka telah siap menghadapi kemungkinan yang paling buruk, yaitu kematian.

Sebentar kemudian perang tanding dimulai. Bayangan keduanya tidak dikenali lagi yang mana Ekalaya dan yang mana Harjuna. Seperti pertandingan pertamanya, sebagian besar dari mereka pandangannya kabur dan kepalanya menjadi pusing.

Sebelum menyadari apa yang terjadi tiba-tiba Harjuna terlempar ke luar arena. Sorak membahana dari penonton menambah bara api di dada Harjuna menjadi semakin menyala. Ia mulai tak sabar, tangannya manyambar busur yang telah disiapkan di pinggir arena. Bruull! Ribuan anak panah keluar dari busurnya. Dengan tenang Ekalaya menyambut hujan panah yang diluncurkan Harjuna. Hanya hitungan detik patahan anak panah jatuh berserakan di antara Harjuna dan Ekalaya.

Perang adu kesaktian ilmu memanah berlangsung lama. Pada akhirnya Harjuna mengeluarkan pusaka andalan Sokalima yang diwariskan Guru Durna kepadanya yaitu pusaka Gandewa. Pusaka tersebut memancarkan cahaya berkilau yang menyilaukan mata.

Reketek!! Pusaka gandewa ditarik oleh Harjuna. Durna sangat terkejut, ia ingin mencegahnya namun terlambat. Dari pusaka gandewa telah meluncur ribuan anak panah yang tak habis-habisnya, mengarah pada Ekalaya. Semua penonton tercengang memandangnya. Sungguh luar biasa.

  QUOTE

KaskusAd - Create an KasAD / Buat Iklan KasAD

17-05-2011, 07:58 AM   #82

izroilblackarmy aktivis kaskus 

 UserID: 509004 Join Date: Jul 2008Posts: 605

Kidung Malam 33Keduanya Tidak Berdaya

Aswatama yang pernah kecewa karena Rama Durna telah mewariskan pusaka dahsyat kyai Gandewa kepada Harjuna, mencemaskan keselamatan Ekalaya sahabatnya yang dihujani ribuan anak panah yang muntah dari busur Gandewa. Wah gawat!! Namun setelah menyaksikan bagaimana Ekalaya menyambut hujan panah yang dilontarkan Harjuna, dengan busur pusaka yang tak kalah dahsyatnya dengan pusaka Gandewa, kecemasan Aswatama berkurang. Namun ketegangan justru semakin bertambah. Tidak saja bagi Aswatama, tetapi juga dirasakan oleh mereka yang menyaksikan ribuan anak panah saling beradu dan meledak-ledak di angkasa Sokalima.

Malam bulan purnama semakin bercahaya karena dihiasai oleh percikan-percikan api warna-warni akibat beradunya ribuan anak panah yang dilontarkan Harjuna dan Ekalaya. Kejadian yang luar biasa tersebut membuat Kahyangan Jonggring Saloka gonjang-ganjing. Ada hawa panas menebar di seluruh wilayah para dewa tersebut, di tempat Batara Guru bertahta. Karena terusik kenyamanannya diutuslah Patih Narada untuk melerai pertikaian antara Harjuna dan Ekalaya. Dalam perjalanan menuju ke Marcapada, Hyang Narada tertegun melihat pemandangan di depannya, tepat di atas langit Soka Lima. Ada percikan cahaya api warna-warni silih berganti. Sampai sehebat inikah kesaktian keduanya? Layak jika pengaruhnya sampai ke Kahyangan Jonggring Saloka. Maka tanpa membuang waktu, Dewa nomor dua di Kahyangan Jonggring Saloka tersebut segera turun ke arah yang sedang bertikai. Namun niat Patih Narada terhalangi oleh asap hitam pekat yang muncul tiba-tiba menyusul suara ledakan menggelegar. Awan hitam tersebut semakin tebal bergulung-gulung menyelimuti langit Soka Lima. Bersamaan dengan suara ledakan dahsyat, Batara Guru diiringi para Dewa dan Dewi turun dari Kahyangan ingin menyaksikan apa yang terjadi di Marcapada.

Suasana menjadi sangat mencekam. Malam bulan purnama yang sebelumnya semakin mempesona dengan adanya percikan-percikan api warna-warni kini menjadi gelap gulita dan sepi mencekam. Tidak ada lagi sorak sorai dan tepuk tangan dari para penonton yang menyaksikan perang-tanding antara Ekalaya dan Harjuna. Melihat keadaan yang semakin tidak nyaman, Batara Guru memerintahkan agar para Dewa-Dewi menaburkan bunga-bunga dengan aroma nan wangi untuk menyingkirkan asap hitam yang menyelimuti Soka Lima. Sekejap kemudian hujan bunga telah mengguyur Soka Lima. Daya dan aromanya mampu menyibak asap hitam yang menutupi kejadian besar yang ada di Soka Lima. Pelan tapi pasti, asap hitam pekat yang menutupi padepokan Soka Lima berangsur-angsur menghilang. Malam bulan purnama menjadi sempurna kembali. Malam menjadi mempesona. Ribuan penonton perang tanding yang sejak sore berdatangan di Soka Lima belum beranjak dari tempatnya. Mereka yang telah menumpahkan perhatiannya dengan segenap rasa-perasaan dan emosinya di dalam perang tanding tersebut semakin dibuat terheran-heran dengan kejadian berikutnya.

Tanah lapang di Soka Lima, tempat Harjuna dan Ekalaya bertanding, kini penuh bertaburan bunga warna-warni dengan aroma keharumannya masing-masing. Asap tebal yang muncul akibat ledakan yang ditimbulkan karena beradunya kedua busur pusaka milik Harjuna dan Ekalaya kini telah berganti dengan para Dewa-Dewi yang mengiringi Batara Guru yang menyusul Batara Narada untuk menghentikan yang sedang bertikai.

“Kang! Bermimpikah aku?”

“Coba aku cubit lenganmu”

“Aduh! Sakit kang.”

“Itu namanya kamu tidak sedang bermimpi. Kau dan aku berada di dalam alam sadar.”

“Tetapi lihatlah itu kang, langit di sekeliling kita penuh dengan gambar para dewa yang sangat mempesona dan para dewi yang amat jelita.”

“Ssst! Jangan keras-keras dan gumunan isteriku, itu adalah para Dewa dan para Dewi yang mengiringi Batara Guru dan Batara Narada, ingin melerai perang tanding antara Harjuna dan Ekalaya.”

Sepasang suami isteri tersebut tidak memperpanjang pembicaraannya. Mereka bersama-sama ribuan penonton yang lain lebih memilih memusatkan perhatiannya dengan apa yang

akan dilakukan Batara Guru dan Batara Narada terhadap Harjuna dan Ekalaya yang tergeletak tak berdaya. Dikarenakan mereka berdua telah menguras tenaga dan ilmunya untuk memuntahkan puluhan ribu anak panah melalui busur pusakanya masing masing. Pada puncaknya Busur Gandewa milik Harjuna dan busur pusaka milik Ekalaya saling menyedot dan beradu. Maka terjadilah ledakan amat dahsyat disertai asap hitam pekat yang bergulung-gulung, menggulung kedua busur pusaka hingga hilang tak berbekas.

Durna tergopoh-gopoh menyembah rajanya dewa serta pengiring yang menginjakkan kakinya di Soka Lima. Setelah menanggapi sembah Durna dan juga sembah dari ribuan orang yang hadir, Batara Guru didampingi Batara Narada mendekati Ekalaya dan Harjuna untuk kemudian memercikkan air kehidupan kepada mereka. Setelah itu didekatinya orang nomor satu di Soka Lima sembari bersabda:

“Durna selesaikan pertikaian di antara muridmu dengan adil.”

Sekejap kemudian Batara Guru dan seluruh pengiringnya meninggalkan Soka Lima. Malam pun pulih seperti malam purnama sebelumnya, sebelum ada pertikaian yang menimbulkan hawa panas ke seluruh alam semesta dan mengusik kenyamanan alamnya para Dewa-Dewi. Soka Lima berangsur-angsur pulih seperti hari-hari biasa yang tenang dan damai jauh dari mereka yang bertikai.

Orang-orang mulai melangkah pulang dengan perasaan yang sulit digambarkan dan terlalu banyak untuk diceritakan. Namun di masing-masing hati masih tersisa pertanyaan bagaimanakah akhir dari pertikaian antara hidup dan mati. Dan kalau boleh mereka berharap bahwa pertikaian akan berubah menjadi perdamaian dan persahabatan.

Memang benar, di sisa malam itu Soka Lima boleh menikmati ketenangan dan ketentraman, dikarenakan yang bertikai terbaring tak berdaya. Bahkan mungkin jika Sang Hyang Guru tidak memercikkan air kehidupannya di raga mereka yang lemah, tidak ada kehidupan lagi. Dengan demikian tentunya akan tamatlah pertikaian mereka bersama kerapuhan raganya.

  QUOTE

17-05-2011, 07:59 AM   #83

izroilblackarmy aktivis kaskus 

Kidung Malam 34Cincin Mustika Ampal

 UserID: 509004 Join Date: Jul 2008Posts: 605

Sepekan telah berlalu sejak perang tanding yang belum menampakkan siapa yang kalah dan siapa yang menang. Keadaan Ekalaya dan Harjuna semakin membaik. Itu artinya bahwa tidak lama lagi perang tanding untuk yang ketiga kali akan dilanjutkan, sampai ada satu di antaranya yang kalah.

Seiring dengan pulihnya kekuatan mereka, bara di hati keduanya mulai membara kembali. Malam bergeser sangat lambat. Durna berjalan modar-mandir di antara bilik Harjuna dan bilik Ekalaya yang letaknya kurang lebih berjarak 300 meter. Masih terngiang di telinga sang guru Sokalima sabda Sang Hyang Guru

“Durna selesaikan pertikaian di antara muridmu dengan adil.”

Memang seharusnya Durna dapat menghentikan pertikaian mereka. Karena jika pertikaian terjadi lagi, kahyangan akan gonjang-ganjing. Para Dewa-Dewi akan pada lari kepanasan.

Tidaklah salah jika diperlukan tindakan tegas dan sedikit memaksa bagi seorang guru dalam menghadapi muridnya yang tidak mengindahkan perintah sang Guru. Bahkan bagi murid yang melanggar aturan perguruan pantas diberi sanksi atau pun hukuman yang setimpal. Tetapi siapa yang pantas mendapat teguran dan sanksi selaras dengan pelanggarannya? Apakah Ekalaya? Tidak! Bukankah Ekalaya belum secara resmi menjadi muridnya? Tetapi jika bukan kepada Ekalaya, mungkinkah Harjuna yang dihukum? Wah sungguh amat berat. Kayaknya tidak mungkin. Karena Harjuna adalah orang yang pertama kali melakukan sembah dan mohon menjadi muridnya sebelum disusul oleh saudara-saudaranya Pendawa dan warga Kurawa. Dan oleh karena daya tariknya kepada Harjuna dan juga Bimasena Durna berkenan mengajarkan ilmu-ilmunya, maka kemudian berdirilah Padepokan yang semakin hari semakin besar, Sokalima namanya. Belasan tahun berlalu, Sokalima masih megah bertahan. Ratusan murid telah dihasilkan. Mereka menyebar di seluruh penjuru negeri. Dengan kenyataan yang ada, tidaklah mudah untuk menjatuhkan sanksi atau pun menghukum kepada Harjuna, murid berprestasi, murid kesayangan, murid yang amat patuh dan sekaligus murid cikal-bakal padepokan Sokalima.

Maka ketika sang guru Durna bersikeras bahwa pertikaian harus dihentikan, dan bagi yang tidak tunduk dengan perintahnya akan diberi sanksi, maka secara tidak sadar Durna melangkah kakinya ke bilik Ekalaya.

“Ekalaya, tahukah engkau apa yang sedang menggelisahkan pikiranku?”

“Ampun Bapa Resi, maafkan saya, sesungguhnya yang membuat Bapa Resi gelisah karena pertikaianku dengan Harjuna.”

“Bagus Ekalaya! Engkau anak yang cerdas. Jika demikian tentunya hanya satu jalan untuk dapat menghilangkan rasa gelisahku yang berlebihan, yaitu pertikaian dihentikan. Sanggupkah engkau Ekalaya?”

“Sejak awal aku memang berniat untuk berdamai dengan Harjuna dengan meminta maaf atas kelancangannku membunuh anjing kesayangan. Namun Harjuna menginginkan penyeselsaian perkara tersebut dengan cara kesatria. Jika sekarang aku menyerah dan mengaku kalah artinya saya mengulangi tawaran awal yang tidak dimaui Harjuna.”

“Ekalaya, sebagai seorang guru, tentunya aku tidak pernah menginginkan kehilangan salah satu murid-murid terbaik Soka Lima. Aku tahu apa yang diinginkan Harjuna dan apa yang kau inginkan. Harjuna menginginkan kemenangan dan itu mutlak. Jika tidak, lebih memilih mati. Sedangkan engkau masih bisa ditawar antara menang dan mengalah. Oleh karenanya supaya pertikaian segera berakhir dan keduanya selamat, pada pertempuran yang ketiga nanti engkau berpura-puralah kalah di hadapan banyak orang yang menyaksikan. Ekalaya, aku percaya kepadamu bahwa kamu akan dapat menyelesaikannya dengan baik dan selamat.”

“Maafkan aku Bapa Resi, hal itu tidak mungkin dapat aku lakukan. Aku tidak dapat berpura-pura untuk kalah. Karena ketika tangganku telah menarik busur dan memegang anak panah, ada daya luar biasa yang terhimpun dengan sendirinya di seluruh budi, pikiran dan sekujur tubuhku serta otot bebayuku, guna menghadang serangan musuh.”

“Oo lole, lole blegudhug monyor-monyor prit gantil buntute bedhug. Lalu ilmu apa yang engkau gunakan?“

“Maafkan aku Bapa Resi Durna, pada tataran luar aku menggunakan ilmu Sapta Tunggal, ilmu andalan Soka Lima, tetapi tenaga dalamnya berasal dari pusaka Mustika Ampal.”

“Mustika Ampal?”

”Bapa Resi, Mustika Ampal adalah pusaka pemberian Sang Hyang Wenang, wujudnya adalah cincin. Menurut Ramanda Prabu Hiranyandanu, cincin Mustika Ampal dianugerahkan ketika Ramanda sedang melakukan tapa guna memohon agar anak yang ada dalam kandungan sang prameswari kelak dapat memimpin Negara Nisada dengan adil dan bijaksana. Ramanda

juga mengisahkan bahwa cincin Mustika Ampal mempunyai daya sangat luar biasa dan ketepatan yang akurat pada saat digunakan untuk menarik busur dan melepaskan anak panah. Sehingga sudah menjadi kehendakNyalah Mustika Ampal dianugerahkan kepada calon raja di Negara Nisada, di mana seluruh rakyatnya terampil menggunakan panah.

Bapa Resi, dikarenakan Cincin Mustika Ampal dikenakan di ibu jariku sejak bayi, hingga sekarang setelah aku menjadi raja di Negara Nisada atau Paranggelung menggantikan Ramanda Prabu yang telah wafat, cincin tersebut telah berada di bawah kulit dan di luar daging, menyatu dengan ibu jari tanganku. Oleh karena Cincin Mustika Ampal itulah aku tidak mungkin untuk berpura-pura kalah. Kecuali jika serangan musuh lebih dahsyat daripada kekuatan Cincin Mustika Ampal.”

Pantas, pusaka Gandewa dapat dihadang dengan kekuatan Mustika Ampal. Bahkan pusaka pemberian Dewa Indra yang baru saja diwariskan kepada Harjuna tersebut hancur lebur musnah tak berbekas.

Tiba-tiba hati Pandita Durna terusik. Ilmu-ilmu yang digunakan Ekalaya tidak murni ilmu Sokalima, tetapi telah dipadukan dengan sipat kandel pribadi yang didapat sejak masih bayi. Walaupun Harjuna juga menimba ilmu di banyak tempat, ilmu-ilmu yang digunakan dalam perang tanding adalah ilmu-ilmu yang diajarkan di Sokalima.

Membandingkan di antara keduanya sang Guru besar tersebut tak kuasa lagi berdiri di tengah secara adil. Ia mulai berpihak kepada Harjuna, murid mula pertama yang patuh berbakti dan telah mengangkat nama Sokalima melambung tinggi berkat ilmu-ilmu yang selalu digunakannya. Tak terkecuali ketika berperang tanding melawan Ekalaya.

“Ekalaya, jika niatmu tidak berubah, mau mengalah dengan cara berpura-pura kalah dalam perang tanding, ada cara yang dapat ditempuh, yaitu jika Cincin Mustika Ampal tersebut dilepas untuk sementara.”

“Ampun Bapa Resi Durna, bagaimana bisa dilepas, Mustika Ampal telah jadi satu dengan ibu jari tangan kananku.”

“Ekalaya, apakah engkau tidak percaya bahwa aku dapat melakukannya?”

“Ampun Bapa Resi, maafkan aku yang bodoh ini, maafkan aku.”

Dengan tergopoh-gopoh Ekalaya menyembah Sang Resi Durna,

beringsut mendekat, sembari mengulurkan ibu jari tangan kanannya, tempat Cincin Mustika Ampal berada.

  QUOTE

17-05-2011, 08:00 AM   #84

izroilblackarmy aktivis kaskus 

 UserID: 509004 Join Date: Jul 2008Posts: 605

Kidung Malam 35Tangis Anggraeni

Sang Guru bertanya kepada muridnya,

“Tidak percayakah engkau padaku Ekalaya?”

“Ampun Bapa Resi, bukan maksudku untuk tidak mempercayai kemampuan Bapa Resi Durna. Aku percaya, Bapa Resi mampu melakukannya. Silakan Bapa Resi, ambilah cincin Mustika Ampal ini dari ibu jari tanganku.”

Pandita Durna ingin menunjukkan bahwa dirinya adalah guru yang mumpuni dan menguasai berbagai ilmu tingkat tinggi. Sehingga tidak akan kesulitan dalam melepas Cincin Mustika Ampal, walaupun sudah manjing menjadi satu dengan ibu jari tangan kanan Ekalaya.

Ekalaya memberikan tangan kanannya kepada seorang yang sangat ia hormati. Tangan itu bergetar tanpa dapat dicegahnya. Dengan amat perlahan Durna mencoba mengeluarkan cincin Mustika Ampal itu.

Satu kali, dua kali usaha Durna belum berhasil. Cincin tersebut masih terpendam rapat di antara kulit dan daging. Walaupun tidak kelihatan mencolok, Durna telah mengerahkan sebagian besar tenaga dalamnya, sehingga keringatnya susul menyusul meninggalkan dahinya yang semakin berkerut. Dikarenakan tangan Ekalaya bergetar, Durna menganggap bahwa Ekalaya telah menghimpun energi untuk menghalangi pengambilan Mustika Ampal

“Ekalaya, jangan berusaha menahan cincin Mustika Ampal.”

“Ampun Bapa Resi, aku tidak menahannya. Tangan ini bergetar dengan sendirinya.”

Durna mencoba lagi. Kali ini ia mengerahkan seluruh kemampuannya. Tangan Ekalaya dan tangan Pandita Durna bergetar semakin cepat dan semakin kuat. Pusaran hawa panas memancar dari kedua tangan tersebut.

Panas, panas dan semakin panas.

“Aduh! ”

Tiba-tiba Ekalaya mengeluh pendek. Kemudian terkulai di lantai bilik.

Mendengar bahwa suaminya dalam bahaya, Anggraeni segera masuk ke biliknya,

“Kangmaaass!”

Anggraeni menubruk Ekalaya yang tergeletak tidak sadarkan diri. Sungguh amat mengejutkan, ibu jari Ekalaya telah tiada. dan meninggalkan luka memilukan. Anggraeni tahu bahwa di ibu jari itulah pangkal kesaktian suaminya. Jika sekarang ibu jari tersebut telah tiada, artinya bahwa kesaktiannya telah lenyap.

Cincin Mustika Ampal yang diambil paksa oleh Durna merupakan tragedi seorang murid yang memilukan. Sosok guru yang jauh-jauh dicari dan diharapkan dapat menambah keilmuannya ternyata malah tega merampas harta ilmu yang telah dimiliki si murid. Ekalaya telah terhempas dari harapannya. Ia menjadi tumbal ambisi Durna yang tidak menginginkan ilmu-ilmu Sokalima berada setingkat lebih rendah dibandingkan dengan ilmu-ilmu dari luar Sokalima.

Dengan kejadian tersebut, Durna dihadapkan pada suatu kenyataan bahwa pusaka Gandewa yang diandalkan dan ilmu-ilmu Sokalima tingkat tinggi yang dikuasai Harjuna belumlah cukup untuk menandingi Cincin Mustika Ampal.

Namun sekarang Cincin Mustika Ampal yang telah mempecundangi nama besar Sokalima di hadapan orang banyak berada dalam genggamannya. Apa yang dapat kau lakukan, Ekalaya, menghadapi Harjuna tanpa Cincin Mustika Ampal. Tiba-tiba hati Durna telah dibakar oleh sakit hatinya, karena ilmu-ilmu Sokalima yang diperagakan dengan sempurna oleh Harjuna, murid kesayangannya, tak mampu mengalahkan Ekalaya.

Durna menimang-nimang Cincin Mustika Ampal, menuju bilik Harjuna. Namun sebelum tangan Durna mengetuk pintu, Harjuna telah membukakannya.

“Silakan masuk Bapa Guru Durna.”

“Harjuna, aku membawa pusaka dahsyat, namanya Cincin

Mustika Ampal. Dengan pusaka ini engkau dapat mengalahkan Ekalaya dengan mudah. Kenakanlah pusaka ini pada ibu jari tangan kananmu, serta tunjukkan kepadanya dan kepada banyak orang bahwa ilmu Sokalima tak terkalahkan.”

Harjuna menyembah, kemudian memberikan tangan kanannya. Pandita Durna segera mengenakan Cincin Mustika Ampal di ibu jari Harjuna sebelah kanan.

Sungguh ajaib!

Dengan masih menyisakan rasa herannya, Durna dan Harjuna mengamati keajaiban itu. Jari tangan Harjuna bertambah satu, sehingga jumlahnya menjadi enam.

“Dimanakah Cincin Mustika Ampal yang disebut-sebut Bapa Guru?”

“Ada di dalam ibu jari yang baru itu Harjuna.”

Harjuna juga ingin membuktikan daya kekuatan dari Cincin Mustika Ampal. Maka segeralah satria Panengah Pandawa tersebut menyahut busur serta anak panahnya, lalu pergi keluar dari biliknya. Di tengah gulita malam, Harjuna melepaskan anak panahnya ke arah pohon beringin yang berdiri angker di sudut halaman komplek bilik-bilik siswa Sokalima. Jari tangan yang berjumlah enam menjadi sangat pas untuk membidikan anak panah. Bagai suara ribuan kumbang, anak panah itu telah melesat meninggalkan busurnya. Sekejap kemudian, luar biasa akibatnya, ribuan sulur pohon beringin putus berserakan menumpuk di tanah. Sehingga pohon yang semula dinamakan beringin wok, pohon beringin yang mempunyai brewok itu, menjadi bersih tanpa brewok lagi.

Harjuna tertegun atas daya luar biasa yang ditimbulkan oleh pusaka Cincin Mustika Ampal pemberian Bapa Guru Durna. Segera setelahnya, Harjuna memberi sembah dan mengucap terimakasih yang tak terhingga atas pusaka dahsyat pemberian sang guru besar Sokalima itu. Kemudian Harjuna berjanji akan mengalahkan Ekalaya pada pertemuan yang ke tiga kalinya nanti, dengan ilmu-ilmu Sokalima yang dilambari Cincin Mustika Ampal.

Waktu belum bergeser jauh dari tengah malam, di biliknya Ekalaya mulai pulih kesadarannya. Aswatama yang sejak tadi membantu Anggraeni merawat Ekalaya merasa iba terhadap tragedi yang menimpa sahabatnya.

“Kakang Mbok Anggraeni sudahlah, janganlah kau habiskan air

matamu di bilik yang sempit ini. Bukankah dengan demikian hatimu akan bertambah sesak?”

“Dhimas Aswatama, sesungguhnya tangisku bukanlah tangis yang menyesakkan dada, tetapi tangis yang membebaskan. Bebas dari kekhawatiran setelah tidak mempunyai Cincin Mustika Ampal. Aku terharu karena masih diperkenankan mendampingi Kakangmas Ekalaya yang saat ini sudah mulai sadar. Batinku mengatakan bahwa hidup suamiku jauh lebih berharga dibandingkan dengan Cincin Mustika Ampal. Bagiku peristiwa ini bukan tragedi nasib kami berdua, melainkan wujud dari belas kasihNya.”

  QUOTE

17-05-2011, 08:01 AM   #85

izroilblackarmy aktivis kaskus 

 UserID: 509004 Join Date: Jul 2008Posts: 605

Kidung Malam 36Selamat Tinggal Sokalima

Aswatama bermaksud membesarkan hati Anggraeni dan Ekalaya yang sedang berada dalam keterpurukan. Ia menggarisbawahi pendapat Anggraeni, bahwa hidup yang dianugerahkan jauh lebih berharga dibandingkan dengan pusaka andalan Paranggelung yang dimiliki Ekalaya sejak bayi. Walaupun kini pusaka yang diandalkan itu telah lepas dari dirinya dan Ekalaya menjadi orang biasa yang tidak berilmu dahsyat, Anggraeni mengalami suka cita ketika didapati suaminya mulai sadar dan lukanya berangsur-angsur pulih.

Ekalaya bangkit untuk duduk. Ia memandangi tangannya yang luka. Dan mencoba mengingat apa yang baru saja terjadi pada dirinya. Ia melihat Anggraeni yang berada sangat dekat dengan dirinya. Juga Aswatama yang berada tidak jauh dari dirinya. Ya, di bilik inilah ia telah mempersembahkan pusaka andalannya kepada Sang Guru Durna.

“Terima kasih Anggraeni, terima kasih Aswatama. Kalian telah merawat aku. Mungkin saat ini adalah saat akhir kita saling bertemu. Karena apa yang berharga dalam hidupku telah hilang, aku persembahkan kepada Guru Durna.”

“Jangan berkata begitu Kangmas, bukankah yang paling berharga dalam hidup ini adalah hidup itu sendiri? Dan Kangmas Ekalaya masih memilikinya?”

“Engkau benar isteriku. Namun hidup tanpa ilmu dan kesaktian tidak lebih berharga dibandingkan dengan daun jati kering.”

“Tidak demikian Kangmas Ekalaya, engkau sangat berharga bagiku, karena cinta dan.kebijaksanaan masih ada padamu.”

“Anggraeni, engkau tahu ketika kita pergi berguru, rakyat Paranggelung berjubel mengantar kita hingga tapal batas negaragung Paranggelung. Harapannya adalah, kelak ketika Sang Raja pulang kembali tentu kesaktiannya akan semakin dahsyat. Tetapi apa yang terjadi? Yang terjadi adalah sebaliknya.. Bukan raja berilmu dahsyat yang didapat, tetapi raja yang lemah tak berdaya tidak mempunyai kesaktian apa-apa. Tentu saja rakyat akan kecewa.”

“Menurutku tidak demikian Kangmas, karena kejadian ini bukan kehendak kita dan bukan salah kita. Jika kita ceritakan dengan jujur, rakyat tentu akan menerimanya, dan bahkan bangga mempunyai raja bijaksana dan penuh cinta. Karena sesungguhnya dua hal itulah yang paling dibutuhkan rakyat.”

Mata Ekalaya berkaca-kaca. Dari kata-kata yang telah diungkapkan isterinya, ia mampu melihat cahaya harapan di tengah tragedi hidup yang gelap pekat.

Walaupun berat, Ekalaya berusaha membangunkan sikap batin untuk bangkit menyongsong masa depan dengan penuh semangat.

“Yah! Memang benarlah, aku masih mempunyai kebijaksanaan serta masih mencintai rakyatku. Anggreni, aku mau pulang ke Paranggelung. Ingin segera mengabarkan kepada rakyatku bahwasanya aku telah terperdaya oleh sosok guru yang aku hormati dan aku kagumi.”

“Baik Kangmas, aku siapkan segala sesuatunya. Namun sebaiknya, di sisa malam ini Kangmas beristirahat sejenak, nanti sebelum wajar menyingsing kita akan mengucapkan selamat tinggal kepada bumi Sokalima.”

Ekalaya mengangguk perlahan. Matanya mulai dipejamkan. Sebelum benar-benar terlelap, sayup-sayup terdengar kidung malam yang lembut menusuk kalbu.

Nalikanira ing daluwong agung mangsah semedisirep kang bala wanarasadaya wus sami gulingnadyan ari sudarsanawus dangu nggenira guling.

Kukusing dupa kumelunngeningken tyas sang apekikkawengku sagung jajahannanging sanget angikipisang Resi Kanekaputraanjog saking wiyati

Kidung Kinanthi yang dikumandangkan dari samping Pendopo Agung Sokalima oleh Bekele Gandok tersebut menceritakan kebiasaan Prabu Rama Wijaya, Raja Pancawatidenda ketika malam mulai tiba. Pada saat balatentara kera telah lama terlelap dalam tidur, termasuk juga Lesmana Widagda adiknya, sang raja melakuan meditasi, untuk kemudian membakar dupa dan berdoa, memohon kepada Sang Hyang Wenang, agar seluruh balatentara dan rakyat yang termasuk dalam wilayah kekuasaannya mendapatkan berkah ketenteraman, keselamatan, serta terhindar dari segala marabahaya. Dari syair kidung yang ditulis, doa Prabu Ramawijaya dikabulkan, yang ditandai dengan turunnya Resi Kanekaputra untuk memberikan anugerah. Oleh karena sikap Prabu Ramawijaya, rakyat Pancawatidenda merasa tenteram dan bahagia mempunyai sosok raja yang memperhatikan dan mencintai rakyatnya. Bahkan dalam suasana perang pun, yaitu ketika balatentara kera yang dipimpin Prabu Ramawijaya sedang mendirikan perkemahan di Swelagiri untuk menyerang Alengkadiraja, rasa tenteram dan bahagia tidak lepas dari hati mereka.

Benar juga kata Anggraeni. Sesungguhnya hal utama yang dibutuhkan rakyat adalah dicintai dan diperlakukan dengan adil. Prabu Rama telah memilih yang terbaik untuk diberikan kepada balatentara dan kawulanya di seluruh wilayah jajahannya.

Ekalaya merasa bangga mempunyai isteri Anggraeni, yang mampu membesarkan hatinya dalam ketidakberdayaan. Memberikan cahaya ketika gelap gulita melanda jiwanya. Oleh karenannya Sang Ekalaya masih mampu menggenggam ketenteraman dan menumbuhkan semangatnya dalam keadaan yang paling terpuruk. Buktinya, ia segera terlelap tidur, sesaat setelah kidung malam dikidungkan.

Pagi-pagi benar, seorang cantrik yang bertugas membersihkan bilik Ekalaya mendapati ruangan bilik telah kosong. Di atas meja bambu ditemukan selembar daun lontar yang bertuliskan:

Bapa Resi Durna aku mohon pamit, walaupun Bapa Resi tidak akan pernqh menyesalkan kepergian kami, Bapa Resi akan terkejut karena putranda Aswatama ikut bersama kami. Maafkan kami, seperti kami pun juga memaafkan Bapa Resi.Selamat tinggal. Ekalaya

“Adhuh Ngger Aswatama anakku, jangan tinggalkan bapamu ya Ngger!”

Sokalima menjadi geger. Durna kebingungan. Ia berjalan ke sana-kemari, memasuki bilik yang satu ganti bilik yang lain, untuk mendapatkan Aswatama. Guru Besar Sokalima tersebut berperilaku seperti anak kecil, ia tidak percaya bahwa Aswatama benar-benar telah meninggalkan Sokalima.

Aswatama, Aswatamaa!Cantriiik!Cekeeel!Geluntunggg!Ulu-guntunggg!Indung-indunggg!Dimana Aswatamaaa!“Oh Ngger anakku, mengapa engkau sungguh tega meninggalkan Bapamu sebatang kara ini?”

Resi Durna teramat takut kehilangan putranya. Karena sejak isteri tercinta Batari Wilutama meninggalkan dirinya, kasih dan perhatiannya tercurah kepada Aswatama, satu-satunya anak hasil hubungannya dengan sang Batari Wilutama....

Catatan:Sebutan yang berkaitan dengan tugas pekerjaan di lingkungan PadepokanCantrik : pembantu umumCekel : petugas yang mengurusi tanamanGeluntung : petugas yang mencari kayu dan airUlu-guntung etugas yang membagi tugas sesuai dengan pekerjaannyaIndung-indung : magang atau calon

  QUOTE

17-05-2011, 08:02 AM   #86

izroilblackarmy aktivis kaskus 

 UserID: 509004

Kidung Malam 37Kembali ke Paranggelung

Adakah yang mengecewakanmu Ngger anakku si Aswatama? Hingga tanpa pamit tanpa berita engkau tinggalkan begitu saja bapakmu ini dan bumi Sokalima. Tidakkah engkau menyayangiku Ngger? Apa salahku Tole?

Join Date: Jul 2008Posts: 605

Dalam kebingungan Durna menemui Harjuna, untuk memasrahkan anak semata wayang si Aswatama yang tanpa pamit telah meninggalkan Sokalima bersamaan dengan Ekalaya dan Anggraeni sahabatnya.

“Harjuna, Harjuna, tolonglah aku, susullah Aswatama, dan ajak kembali, jangan perbolehkan ia pergi meninggalkan aku sendirian.”

Melihat kecemasan dan kebinggungan sang guru, Harjuna merasa iba. Maka dengan serta-merta Harjuna menyanggupi untuk mencari Aswatama.dan segera berangkat meninggalkan Sokalima. Durna sedikit lega. Ia memandangi Harjuna hingga hilang dari pandangan, kemudian masuk ke ruang dalam untuk menenangkan hati. Jika sudah demikian tak ada cantrik yang berani mengganggu.

Matahari baru sepenggalah. Walaupun Harjuna sudah meningkatkan kemampuannya untuk memacu kudanya dengan cepat, ketiga orang yang dimaksud belumlah tersusul. Ekalaya, Anggraeni dan Aswatama seakan hilang ditelan bumi.

Syahdan, perjalanan Ekalaya, Anggraeni dan Aswatama telah memasuki pintu gerbang tapal batas Negara Paranggelung. Kabar segera tersiar bahwa Raja yang telah pergi lebih dari tiga tahun kini telah datang. Kawula Paranggelung mulai berdatangan di sepanjang jalan yang dilalui Sang Raja. Di hadapan kawula yang mengelu-elukannya Ekalaya yang berada di punggung kuda, dibarengi oleh Anggraeni dan Aswatama, mencoba menutupi deritanya dengan senyum dan keramahan.

“Raja datang!”“Raja jaya!”“Hidup Sang Raja”“Hidup!!!”

Mata Rakyat adalah kejujuran. Hati rakyat adalah ketulusan. Oleh karenanya ketika sang Raja membalas sambutan rakyat dengan senyuman dan lambaian tangan, mereka telah menangkap, ada sesuatu yang tidak wajar telah terjadi. Terlebih lagi ketika dilihatnya tangan kanan sang raja sudah tidak utuh lagi, tanpa ibu jari. Tentunya ada derita dalam di balik lukanya. Bagaimana tidak! Bagi kawula Paranggelung, yang sebagian besar rakyatnya pandai berolah senjata panah, tentunya akan sangat kehilangan jika tangan kanannya tidak dapat digunakan sebagaimana mestinya. Oh alangkah menderitanya rajaku. Sang Prabu apa yang terjadi? Siapakah yang telah menganiaya paduka?

Teriakan gegap gempita dari rakyat Paranggelung itu pun akhirnya berangsur-angsur surut, hambar dan kemudian berubah menjadi isak tangis kesedihan.

Jangan cemas rakyatku yang setia, akan kujelaskan dengan sejujurnya apa yang telah menimpa diriku. Yang pasti tidak ada derita. Jika pun ada derita pasti ringan jadinya karena kesetiaan rakyatku yang rela ikut memikulnya.

Memang sejak Ekalaya menjadi raja menggantikan ayahnya, hubungan antara raja dan rakyatnya itu terjalin dengan harmonis, penuh ketulusan. Rakyat sungguh mencintai rajanya, karena sang raja lebih dahulu mencintai rakyatnya. Antara raja dan kawulanya saling berbagi, saling melengkapi.

Lepas dari perhatian orang banyak, ternyata Harjuna sudah berada di antara Rakyat Paranggelung. Perkiraannya tepat bahwa Aswatama akan mengikuti pasangan Ekalaya ke Paranggelung. Maka ketika ia mencari tahu letak Negara Paranggelung, bergegaslah sang Harjuna dengan ilmu cepatnya memacu kudanya menuju Paranggelung. Bahkan Harjuna lebih dahulu memasuki wilayah Paranggelung, dibandingkan dengan Ekalaya, Anggraeni dan Aswatama. Oleh karenanya Harjuna boleh menyaksikan, mengalami dan merasakan, betapa besar cinta rakyat kepada rajanya, dan cinta raja kepada rakyatnya. Ada perasaan menyesal mengapa dirinya bermusuhan dengan Ekalaya. Sebab sama pula artinya bahwa dirinya telah memusuhi semua kawula Paranggelung. Lalu bagaimana caranya menyelesaikan persoalan pribadinya dengan Ekalaya tanpa harus melibatkan kawula Paranggelung, dan sekaligus mengajak Aswatama pulang dengan cara damai, atau jika perlu dengan cara kekerasan.

Saat yang ditunggu oleh pembesar negeri dan rakyat Paranggelung telah tiba. Sang Prabu Ekalaya duduk di singgasana --didampingi Dewi Anggraeni dan Aswatama, yang diperkenalkan sebagai sahabatnya-- lalu menceritakan kisah perjalanannya dalam upaya mencari guru ilmu berolah senjata panah yang mumpuni.

Bapa Dorna adalah guru yang pilih tanding. Cacat pada fisiknya tidak mengurangi kesaktian yang dikuasainya. Namun entah mengapa ia melakukan tindakan yang tidak pantas dilakukan oleh seorang guru kepada muridnya. Atas tragedi getir yang menimpa Ekalaya, seluruh rakyat Paranggelung merasakan kegetirannya

Malam panglong, malam gelap tanpa bulan. Ekalaya dan Anggraeni belum tidur Menurut perasaannya, malam ini tidak

seperti malam-malam sebelumnya. Entah mengapa malam ini begitu sepi, gelap mencekam. Kegetiran yang telah dibeberkan kepada rakyatnya justru menjadi bumerang bagi diri sendiri. Ia semakin menderita melihat rakyatnya menderita. Ia semakin bersedih merasakan rakyatnya bersedih. Dalam ketermanguan itu Ekalaya mengatakan sesuatu kepada Anggraeni.

“Diajeng Anggraeni, rasa-rasanya telah tiba saatnya apa yang paling berharga dari kita pun akhirnya akan diambil pula. Sehingga kita tidak punya apa-apa lagi. Yah kita tidak punya apa-apa lagi, termasuk hidup itu sendiri.”

“Pasti Kakangmas, hidup ini akan diambil kembali oleh yang mempunyai hidup dan akan diabadikan. Tetapi kapan waktunya tidak ada seorang pun tahu. Oleh karena itu jangan cemas Kakangmas, aku senantiasa berada di sampingmu.”

Selesai berkata demikian, Anggraeni terkejut melihat raut muka suaminya berubah mendadak.

“Ada apa Kakangmas?!”

Ekalaya merasakan daya aji Pameling yang masuk di telinganya dan menyusup ke hatinya. “Ekalaya, aku tunggu engkau dan Aswatama di luar batas negara Paranggelung, sekarang juga. Dari Harjuna.”

  QUOTE

17-05-2011, 08:03 AM   #87

izroilblackarmy aktivis kaskus 

 UserID: 509004 Join Date: Jul 2008Posts: 605

Kidung Malam 38Menuju Kesempurnaan

Tidak seperti malam ini, Anggraeni yang biasanya kuat, tegar tak mengenal takut, tiba-tiba hatinya berdesir cemas.

“Ada apa Kakangmas?”

“Harjuna menantangku melalui daya aji Pameling.”

“Harjuna?!”

Ekalaya mengangguk lemah.

“Ia tidak ingin melibatkan rakyat Paranggelung, cukup Aswatama yang dijadikan saksi.”

“Apakah Kakangmas akan memenuhi tantangan itu?”

“Ya, sebagai seorang ksatria.”

“Dengan kondisi lemah tak berdaya?”

“Iya Anggraeni. Apakah menurutmu lebih baik aku bersembunyi, tidak memenuhi tantangannya?”

Anggraeni menggeleng lemah.

“Memang seorang ksatria lebih memilih memenuhi tantangan daripada bersembunyi. Tetapi memenuhi tantangan dengan kondisi yang tak berdaya bukankah sama halnya dengan bunuh diri?”

“Aku tidak memilih bunuh diri Anggraini, aku akan berperang tanding.”

“Perang tanding? Dengan Harjuna yang sakti mandraguna?”

“Iya Anggraeni, perang tanding dengan Harjuna yang sakti mandraguna dan tampan!”

“Oh, bukan maksudku...”

Anggraeni tersadar bahwa kata-katanya telah membuat Ekalaya cemburu.

“Maafkan aku Kakangmas, aku telah salah bicara. Aku tidak bermaksud mengunggulkan Harjuna, tetapi bukankah saat ini Kakangmas Ekalaya belum mampu menarik anak panah dari busurnya.”

“Aku tidak takut Anggraeni.”

“Aku percaya bahwa Kakangmas Ekalaya tidak pernah merasa takut, tetapi bukankah Kakangmas juga mempunyai perhitungan yang cermat dan matang terhadap calon lawannya.”

Ekalaya bimbang. Dari luar ia kelihatan diam seribu bahasa, namun di dalam hatinya ramai akan berbagai macam pertimbangan yang harus dipilih. Bersembunyi atau berperang tanding. Jika bersembunyi apa alasannya, namun jika memenuhi tantangan apa andalannya. Lama keduanya terdiam. Anggraeni memberi kesempatan sepenuh-penuhnya kepada suaminya untuk memutuskan langkah.

Permenungan Ekalaya menukik masuk ke jagad jati diri Ekalaya

yang paling dalam. Di sana tergambar sebuah peristiwa yang menakjubkan.

“Di sebuah padang rumput hijau segar dengan ditumbuhi bunga seribu warna dan kolam yang jernih airnya yang berbatas cakrawala, aku berjumpa dengan makhluk bercahaya putih kemilau, di depan gapura megah menjulang ke langit. Suasananya sejuk tanpa semilirnya angin, dan terang tanpa sinar matahari.

“Selamat datang Ekalaya, tugasmu telah aku anggap selesai. Aku menyambutmu dengan suka cita. Maukah engkau tinggal bersamaku sekarang juga dan untuk selamanya?” sambut makhluk bercahaya putih itu sembari tangannya menunjuk pada pintu gerbang di belakangnya. Aku tercengang dibuatnya karena tiba-tiba saja makhluk bercahaya putih kemilau itu lenyap dari hadapanku. Tinggallah aku sendirian di tempat itu.

Walaupun sebelumnya yang ada di sekitarku, seperti rumput, aneka bunga, air mega dan yang lainnya pernah aku lihat, saat ini suasananya berbeda sama sekali Aku merasa damai tenteram tinggal dalam suasana seperti itu. Lama ditunggu, makhluk bercahaya tersebut tidak muncul lagi. Aku mencoba bangkit berdiri menuju pintu gerbang nan indah menjulang. Karena aku berkeyakinan bahwa makhluk bercahaya tersebut ada di dalamnya.

Aku beranikan diri naik di tangga gerbang. Wouw! Luar biasa! Dengan apa aku harus menceritakan suasana indah yang demikan eloknya? Rasa penasaran mendorongku untuk melangkah ke tangga yang lebih tinggi lagi sehingga akan semakin jelas pemandangan apa yang ada di dalamnya. Namun sebelum kakiku menginjak tangga berikutnya, tiba-tiba ada cahaya terang benderang menerpa wajahku. Aku tak kuat memandangnya, dan terhempas seperti melayang, untuk kemudian sadar dari permenunganku.”

Anggraeni memeluk Ekalaya erat-erat dan tak hendak melepaskannya.

“Maafkan aku Anggraeni, terima kasih atas kesetianmu.”

“Ada apa denganmu, Kakangmas?”

“Diajeng, tugasku telah dianggap selesai, dan aku akan tinggalkan Paranggelung untuk selamanya.”

“Kangmas!”

Ekalaya bangkit berdiri menyahut gandewa pusaka, melangkah keluar menembus kegelapan malam. Aggraeni menyadari bahwa ia tidak mungkin untuk mencegahnya, karena apa yang dilakukan Ekalaya sepertinya bukan atas kehendaknya sendiri. Maka yang dilakukan adalah mengikuti ke mana suaminya melangkahkan kaki.

Setelah berjalan beberapa lama, sampailah Ekalaya di perbatasan Paranggelung. Ekalaya menebarkan pandangannya ke segala arah. Dan tampaklah tubuh ringan berkelebat mendekati Ekalaya.

“Harjuna!”

“Engkau memenuhi tantanganku Ekalaya.”

Kemudian tanpa bicara lagi, keduanya mengambil jarak, bersiap untuk berperang tanding.

Harjuna sebagai sang penantang mempersilakan Ekalaya melepaskan senjata terlebih dahulu. Segeralah Ekalaya memasang anak panah dan menarik gandewanya. Gandewa pusaka itu bercahaya, menerangi sekelilingnya. Harjuna memandang tajam, memusatkan kesaktiannya menghadapi serangan Ekalaya. Namun Harjuna heran dengan apa yang dilihatnya. Tangan Ekalaya bergetar tak beraturan, sehingga menyebabkan arah bidikannya kurang tepat sasaran.

“Ekalaya, jangan meremehkan aku, seranglah aku dengan sungguh-sungguh.”

“Jika aku meremehkanmu aku tidak mungkin datang memenuhi tantanganmu dalam keadaanku yang seperti ini,” jawab Ekalaya sembari menunjukkan tangan kanannya yang tanpa ibu jari.

“Apa yang terjadi dengan ibu jari tanganmu?”

“Bapa Durna telah memotongnya.”

Bagai disambar geledhk Harjuna terkejut mendengar jawaban Ekalaya.

“Jadi.. jadi ibu jari yang menempel di ibu jari tanganku ini ibu jarimu?!”

Harjuna menunjukkan jari tangannya yang berjumlah enam.

Ekalaya tak kalah terkejutnya. Ia tidak mengira bahwa pusaka Cincin Mustika Ampal yang dipersembahkan dengan tulus

kepada Sang Guru Durna telah menempel pada musuh bebuyutannya.

“Baiklah Harjuna! Kini saatnya telah tiba, giliranmu menyerang aku. Aku semakin mantap bahwa pusakaku Mustika Ampal pemberian Sang Hyang Pada Wenang itulah yang akan mengantar aku ke pangkuanNya. Harjuna, engkau adalah musuhku, engkau adalah sesamaku, dan engkaulah yang mendapat tugas untuk menyempurnakan hidupku. Terima kasih Harjuna. Lakukanlah!”

  QUOTE

17-05-2011, 08:04 AM   #88

izroilblackarmy aktivis kaskus 

 UserID: 509004 Join Date: Jul 2008Posts: 605

Kidung Malam 39Kembali Kepangkuan Keabadian

Sementara itu, Aswatama yang mengikuti kedua sahabatnya ke Paranggelung, ditempatkan di ruang tengah Baluwerti. Di sini Aswatama merasa lebih dihargai dibandingkan dengan di Sokalima atau di Hastinapura. Oleh Ekalaya ia diperkenalkan sebagai sahabat raja, sehingga tentu saja para pejabat negeri dan terlebih rakyat Paranggelung sangat menghormati Aswatama. Ada sebuah paradigma baru baginya, agar seorang raja tidak mabuk kuasa, tetapi penuh perhatian kepada rakyatnya, dan dengan tulus mencintai rakyatnya.

Kepergian Aswatama tanpa pamit ke Paranggelung adalah merupakan ungkapan sikap ketidaksetujuannya atas tindakan Drona bapaknya. Ada perasaan kecewa yang amat dalam, mengapa bapanya telah tega mencelakai Ekalaya. Karena dengan memotong ibu jari Ekalaya, artinya memotong harapan hidupnya. Lagi pula ia menilai bapanya adalah seorang guru yang pilih kasih. Lebih mengasihi Harjuna.

Di malam itu, entah apa yang menyebabkan Aswatama gelisah dan tidak dapat segera tidur. Perasaannya mendorong-ndorong untuk bangun dan melangkah ke luar Baluwerti. Inikah kegelisahan itu? Ketika Aswatama berada di regol halaman, dilihatnya Ekalaya dan Anggraeni berjalan dengan sangat ringan, seperti terbang ke arah luar kota raja. Aneh ya, ada apa dengan mereka berdua? Malam-malam begini, tanpa pengawalan, seorang raja dan prameswarinya meninggalkan keraton dengan diam-diam. Timbul rasa khawatir yang berlebihan, ketika tiba-tiba saja Ekalaya dan Anggraeni hilang di telan gelapnya malam. Tidak salahkah mataku memandangnya? Benarkah mereka Ekalaya dan Anggraeni? Aswatama penasaran, dengan hati-hati

diikutinya bayangan keduanya yang sudah jauh memasuki pekatnya malam.

Kembali ke perbatasan, Harjuna termangu. Busur pusaka yang telah dipegangnya tidak juga segera ditarik. Tangan kanannya bergetar tak beraturan. Ia merasa bersalah setelah mengetahui bahwa ibu jari yang menempel ini adalah ibu jari Ekalaya, musuh utamanya. Jika pun dalam perang tanding kali ini Harjuna menang, apakah arti kemenangan itu? Gagahkah seorang kesatria dapat mengalahkan musuhnya dengan senjata hasil rampasan dari musuh yang bersangkutan?

“Harjuna, lepaskan segera panah itu. Jangan merasa bersalah bahwa engkau telah merampas pusakaku. Dan jangan ragu menggunakan pusaka Mustika Ampal untuk mengalahkan aku. Karena sesungguhnya hanya dengan Cincin Mustika Ampal itulah engkau dapat mengalahkan aku. Bukankah engkau sendiri mengakui bahwa sebagian besar ilmu-ilmu Sokalima yang engkau kuasai, tidak mampu mengalahkan aku? Maka segera tariklah Gandewa itu. Inilah kesempatan yang engkau miliki untuk memenangkan pertandingan.”

Apa yang dikatakan Ekalaya memang benar, tetapi hal tersebut membuat hati Harjuna panas. Ditambah lagi pada saat itu Harjuna sempat melirik Anggraeni, istri Ekalaya, yang kecantikannya sempurna, menyapa dengan penuh persahabatan orang yang baru datang, yaitu Aswatama. Entah apa yang muncul di hatinya, tetapi yang jelas Harjuna tidak senang melihat Anggraeni bergaul akrab dengan Aswatama. Jika mau berkata jujur, sejak pertama Harjuna melihat Anggraeni hatinya berdesir tidak karuan. Banyak wanita cantik yang telah dijumpai di dalam hidupnya, namun tidak seperti Anggraeni. Ia sungguh sangat menawan. Rasa terpana Harjuna ternyata berlanjut menjadi rasa cemburu, tatkala melihat bahwa kelebihan dan kesempurnaan Anggraeni sebagai wanita dan isteri hanya ditumpahkan kepada Ekalaya seorang. Huh! Mentang-mentang kau Ekalaya, sepertinya di dunia ini hanya engkau seorang yang laki-laki.

Mungkin itulah yang menyebabkan Harjuna berambisi untuk mengalahkan Ekalaya. Sebagai penyandang gelar lelananging jagad, Harjuna tidak suka lelanang atau lelaki lain yang berada di atasnya, baik dari kesaktian maupun dari daya tariknya kepada wanita. Oleh karena itu selagi ada kesempatan untuk mengalahkan saingannya yang memang sukar dikalahkan dari segalanya, Harjuna ingin memanfatkan kesempatan tersebut dengan sebaik-baiknya. Padahal akhirnya secara tidak langsung Harjuna mengiyakan kata-kata Ekalaya musuhnya, “Harjuna lepaskan segera panah itu. Jangan merasa bersalah bahwa

engkau telah merampas pusakaku. Dan jangan ragu menggunakan pusaka Mustika Ampal untuk mengalahkan aku. Karena sesungguhnya hanya dengan Cincin Mustika Ampal itulah engkau dapat mengalahkan aku.”

Maka kemudian Harjuna telah benar-benar menarik busurnya. Sungguh luar biasa daya cincin Mustika Ampal yang sudah berpindah tuan tersebut. Dari mata anak panah yang telah lepas dari busurnya itu munculah bola api berwarna kebiru-biruan. Bola api itu semakin besar sehingga mengakibatkan tanaman perdu yang ada di sekitarnya layu terbakar. Dengan cepat bagai kilat dan gesit laksana petir api yang berwarna biru itu telah menggulung Ekalaya. Bersamaan dengan kejadian itu nampak bayangan berkelebat masuk kedalam api tersebut dibarengi dengan teriakan Aswatama, “Anggraeni!!!”

Dalam sekejap api yang berwarna kebiru-biruan itu berubah menjadi kehijau-hijauan, kekuning-kuningan dan jadilah cahaya putih yang terang benderang. Dari cahaya putih bak salju itu nampaklah Ekalaya dan Anggraeni dikelilingi para dewa-dewi yang menyambutnya tersenyum bahagia. Rangkaian peristiwa amat menakjubkan itu hanya disaksikan oleh Aswatama dan Harjuna. Keduanya tersadar ketika suasana kembali seperti sebelumnya. Sisa malam itu masih menampakkan kegelapannya. Dengan cahaya bintang keduanya mampu menatap untuk saling mengatakan bahwa baru saja keduanya mengalami mimpi yang sama, peristiwa yang tidak bisa diceritakan keindahannya yang baru sekali ini muncul dalam hidupnya.

Namun bagi Aswatama peristiwa yang mencengangkan itu menyisakan duka yang amat dalam Kedua sahabat yang telah mengangkat harga dirinya, memulihkan rasa percaya dirinya itu kini telah pergi untuk selamanya. Aswatama kecewa kepada Durna bapanya dan juga Harjuna yang telah bersekongkol untuk melenyapkan Ekalaya sahabatnya yang berbudi luhur itu.Secepat kidang Aswatama lari dari tempat tersebut sambil meninggalkan teriakan sebagai katup pembuka kesesakan hati yang menghimpitnya. Tinggallah Harjuna termangu sendirian. Ada sedikit kelegaan karena telah berhasil memenangkan pertandingan dengan musuh yang sukar dikalahkan. Jika pun ada penyesalan tentunya bukan karena lenyapnya Ekalaya, melainkan karena Dewi Anggraeni, si cantik sempurnya telah ikut lenyap.

Semilir angin yang semakin basah menandakan bahwa pagi segera tiba. Bersamaan dengan itu terdengarlah suara kumrosak mengiringi datangnya para prajurit dan rakyat Paranggelung yang menelusur arah sang Raja yang dicintai pergi. Harjuna memutuskan untuk meninggalkan mereka. Ia tidak mau lagi

berurusan dengan rakyat Paranggelung. Maka dengan kesaktiannya Harjuna telah jauh meninggalkan tempat lenyapnya Ekalaya dan Anggraeni tanpa diketahui oleh mereka.

  QUOTE

17-05-2011, 08:06 AM   #89

izroilblackarmy aktivis kaskus 

 UserID: 509004 Join Date: Jul 2008Posts: 605

Kidung Malam 40Paranggelung, Oh Paranggelung

Tidak beberapa lama dari peristiwa mukswa-nya Ekalaya dan Anggraeni, para prajurit dan sebagian rakyat Paranggelung sampai di sekitar tugu perbatasan. Mereka meyakini bahwa cahaya kemilau warna-warni yang menakjubkan itu berasal dari tempat ini, tempat raja dan prameswari berhenti. Namun mereka amat kecewa, karena tidak mendapatkan Ekalaya dan Anggraeni. Lalu ke mana perginya sang raja serta permaisurinya?

Perlu diketahui bahwa sejak Ekalaya meninggalkan cepuri Keraton diikuti Dewi Anggraeni, Panglima perajurit jaga merasakan firasat yang tidak baik. Oleh karenanya ia bersama beberapa pasukannya, diam-diam mengawal dari kejauhan. Ketika sang Raja berhenti diperbatasan, Panglima beserta perajuritnya, berhenti pula di kejauhan. Namun tidak beberapa kemudian, mata mereka terbelalak melihat cahaya berwarna kebiru-biruan di atas langit, tempat Ekalaya dan Anggraeni berada. Cahaya tersebut kemudian berubah menjadi kehijau-hijauan, kekuning-kuningan dan jadilah cahaya putih yang terang benderang. Namun dicahaya putih tersebut mereka tidak melihat Ekalaya dan Anggraeni disambut para bidadari, seperti yang dilihat Harjuna dan Aswatama.

Sang Panglima meyakini bahwa di tempat perbatasan inilah, Sang Raja beserta permaisurinya yang amat mereka cintai telah mukswa mencapai nirwana. Ceceran abu yang berserakan ditempat itu dihayati sebagai abu dari jasad sang junjungan yang ditaburkan di bumi Paranggelung. Sebagai ucapan selamat jalan, masing-masing dari mereka, mengoleskan abu itu ke wajah nya yang basah oleh air mata.

Semenjak peristiwa itu negara Paranggelung tidak pernah berhubungan lagi dengan Sokalima. Namun kabar yang didengar, bahwa kemakmuran Paranggelung tak pernah surut. Semangat pelayanan penuh welasasih yang diteladankan Ekalaya, diwarisi oleh Raja penggantinya yang adalah keturunan Ekalaya

Beberapa tahun sepeninggal Ekalaya, rasa bersalah masih

bergelayut di hati Durna. Ia mempunyai trauma yang sangat dalam. Tragedi Ekalaya telah dicatat sejarah, bahwa ada seorang guru besar tega membunuh murid yang berprestasi. Rasa bersalah semakin menenggelamkan semangatnya, tatkala, Aswatama, anak semata wayang, ikut kehilangan keceriaan hidupnya, semenjak ditinggal Anggraeni dan Ekalaya.

”Dhuh Dewa, Dewa..., dengan apakah aku harus menebus kesalahan besar dalam tugasku sebagai guru? Apakah harus dengan karma? Tidakah ada jalan lain selain melalui hukum karma? Jika demikian, artinya bahwa pada saatnya aku akan mati oleh muridku sendiri? Dhuh Jawata Agung, ampunilah kesalahanku, dan hindarkanlah aku dari hukuman karma.

Walaupun diakhir hidupnya Ekalaya tidak pernah mengucapkan kutukan atas Sang Guru Durna, Bayang-bayang Ekalaya selalu hadir pada setiap murid Sokalima. Sehingga ketakutan akan sebuah kematian ditangan muridnya tidak pernah dapat dihapuskannya.

Lain di padepokan Sokalima lain pula di Hastinapura. Di padepokan sokalima masalah yang dihadapi selalu berkisar antara guru dan murid. Sedangkan di Hastinpura masalah yang terjadi adalah tahta dan kekuasaan. Dua keluarga besar yaitu keluarga Pandhawa dan Keluarga Kurawa sama-sama merasa paling berhak atas tahta Hastinapura. Dasar yang dipakai oleh keluarga Pandhawa adalah bahwa negara Hastinapura sebelum diperintah oleh Destarastra seperti sekarang ini, yang menjadi raja adalah ayahnya yang bernama Prabu Pandudewanata. Seperti telah didengar dari saksi sejarah rakyat Hastinapura, bahwa di jaman pemerintahan Pandudewanata, negara Hastinapura gemah ripah lohjinawi, subur makmur sejahtera berkelimpahan. Namun pada saat puncak kejayaan, tragedi menimpa sang raja. Di hutan perburuan, Prabu Pandu memanah sepasang kidang yang sedang berpasihan. Kidang betina lari ketakutan meninggalkan Kidang jantan yang mati ditembus oleh panah Pandu. Keanehan terhjadi, bangkai Kidang berubah wujud menjadi seorang Resi, Kimimdama namanya. Ia marah kepada Pandu yang telah merampas paksa kebebasan dan kenikmatannya bersama isteri satu-satunya yang amat dicintai. Kemarahan besar dan kesedihan yang mendalam itulah nyang kemudian munculmenjadi sebuah kutukan.

“He Prabu Pandu, engkau seorang raja yang bodoh!“ Kata Resi Kimindama. Sorot matanya tajam penuh kemarahan. “Apakah engkau tidak pernah merasakan betapa nikmatnya menjadi seekor kijang, berpasihan diatas rumput hijau yang jadi makanannya dan di pinggir sendang yang jadi minumannya? Oo,… Pandu, Pandu, dengan paksa engkau telah merenggut

kenikmatan sakral anugerah Hyang Widi Wasa yang sedang dinikmati sepasang suami istri. Perbuatanmu itu pantas mendapat Kutuk DariNya yang memberikan kesemua itu. Ingat-ingatlah Pandu, bahwa engkau akan binasa sewaktu berpasihan dengan istrimu.”

Bagi Pandu kutukan Sang Resi Kimindama ibaratnya luka ditusuk gunting. Dua kepedihan terjadi dan dirasakan pada waktu yang bersamaan. Pertama, sebagai raja besar ia bersama kedua isterinya, Kunthi dan Madrim, belum dianugerahi anak. Kedua, ia akan mati pada berhubungan intim dengan isterinya.

Pandu ingin menebus kesalahannya. Hatinya gundah. Apapun akan ia lakukan agar terbebas dari kutukan Resi Kimimdama. Tahta dan kekuasaan menjadi tidak berarti. Setelah berembug dengan Kunthi dan Madrim, mereka sepakat untuk meninggalkan tahta Hastinapura dan menitipkan kepada Destarastra yang waktu itu menjadi Adipati di Gajahoya.

Pandhudewanata dengan didampingi oleh kedua isterinya, memutuskan untuk bertapa di Girisarangan, kompleks pertapaan Saptarengga, untuk mohon ampunan agar terhindar dari kutuk yang menimpanya. Namun sayang, walaupun akhirnya atas jasa Dewi Kunthi, Pandu mempunyai lima anak laki-laki yang dinamakan Pandawa, , toh kutuk Sang Resi tak pernah dapat dihindari. Di malam bulan purnama yang indah, Hyang Yama menjemput Pandu dan Madrim pada saat mereka sedang berpasihan.

Setelah Kini anak-anak Pandu sudah menginjak dewasa, tentunya Sang Prabu Destarastra akan segera mengembalikan tahta Hastinapura yang dititipkan Pandudewanata. Namun pada kenyataannya Destarastra tidak pernah berbicara masalah tahta kepada Kunti dan anak-anaknya. Bahkan ada usaha dari orang-orang terdekat raja untuk mengkukuhi tahta dan menyingkirkan Pandhawa.

Sejatinya Destarastra sendiri ikhas mengembalikan tahtanya kepada keponakannya, namun Dewi Gendari permasuri raja yang bekerjasama dengan Sengkuni, adik kandungnya yang menjabat Patih tidak rela kalau tahta diberikan kepada anak-anak Pandu, tetapi diberikan kepada anak-anak Destarastra. Alasannya adalah bahwa Destarastra merupakan pewaris yang sah, bukan Pandu. Karena Destarastra adalah anak sulung laki-laki dari raja sebelumnya Prabu Abiyasa.

Usaha untuk menyingkirkan Pandawa telah diawali ketika Kunthi dan Pandawa diusir secara halus dari kota raja Hastinapura dan dititipkan kepada Yamawidura pamannya di

Panggombakan. Walaupun sudah tidak menjadi satu di kota raja, namun bagi Gendari dan Patih Sengkuni Pandawa masih menjadi ancaman nyata atas kelangsunga tahta Hastinapura. Terlebih lagi ketika Kurawa dan Pandawa berguru bersama di Sokalima, kemampuan Pandawa dalam menyerap Ilmu yang diberikan Pandita Durna berada di atas Kurawa.

  QUOTE

19-05-2011, 01:15 AM   #90

capoengx kaskuser 

 UserID: 468791 Join Date: Jun 2008Posts: 210

Lungguh ndoprok nyemil kacang godhog... monggo di lanjut mbah...

  QUOTE

22-05-2011, 05:58 PM   #91

kusumadewa86 kaskus addict 

 UserID: 1320603 Join Date: Jan 2010Location: jakartaPosts: 2,304

permisi sepuh numpang gabung disini, salam kenal n maaf kalau lancang, aku mohon di babar tentang lakon Cantrik Jonoloka mas,,,

rahayu

  QUOTE

25-05-2011, 02:43 AM   #92

capcay666 kaskuser 

ayo monggo agan TS di lanjut

request saya tentang Sentanu & Pandu belum di babar disini

 UserID: 2194885 Join Date: Oct 2010Posts: 281

trims

  QUOTE

25-05-2011, 10:34 AM   #93

izroilblackarmy aktivis kaskus 

 UserID: 509004 Join Date: Jul 2008Posts: 605

Quote:

Originally Posted by capcay666 ayo monggo agan TS di lanjut

request saya tentang Sentanu & Pandu belum di babar disini

trims

Untuk Sentanu ada sdikit disini http://www.kaskus.us/showpost.php?p=...4&postcount=49

tentang pandu di postingan berikutnya

  QUOTE

25-05-2011, 10:35 AM   #94

izroilblackarmy aktivis kaskus 

 UserID: 509004 Join Date: Jul 2008Posts: 605

Pandu Lahir

Syahadan, sekembali prabu Abyasa, raja Astina, dari berburu binatang di hutan, di istana permaisuri raja yang muda, bernama Dewi Ambaini, melahirkan putra, amat bagus rupanya. Hyang Narada pun hadir dalam kelahiran bayi tersebut, dan berkatalah Hyang Narada kepada prabu Abyasa, “ Wahai, prabu Abyasa, putramu sudarma, atas kehendak hyang Girinata, akan diadu dengan raja Kiskenda, prabu Nagapaya. Agaknya memang prabu Nagapaya tak dapat diundurkan kemauannya untuk memperoleh jodho Dewi Supraba”. Prabu Abyasa berdatang sembah,” Hyang Narada, sesungguhnya meski kamipun telah pernah disaraya (dimintai bantuan) dewa untuk mengundurkan balatentara dari Kiskenda, namun tak kuasalah kami mengundurkannya, semoga Sudarma, bayi tersebut dapat memenuhi keinginan hyang Girinata”. Hyang Narada segera pergi ke Suralaya dengan

membawa bayi si Sudarma.

Kahyangan telah dikepung oleh prabu Nagapaya dan segenap prajurit raksasa. Sedatang hyang Narada, bayi diadu dengan prabu Nagapaya. Bayi dibanting, dilemparkan keras ke arah Hyang Narada, matilah si Sudarma. Dihadapan Hyang Girinata, Hyang Narada melapor, dan Hyang Girinata bersabda,” Kakanda Narada, mandikanlah bayi yang telah tewas tersebut dengan air kehidupan, hiduplah sibayi lagi, dengan menyandang panah dan busurnya, dan bayi bertempur lagi dengan raja Kiskenda, Prabu Nagapaya. Anak panah dilepaskan oleh Sudarma, yang juga bernama Raden Pandu, matilah raja Kiskenda, terkena senjata raden Pandu.

Demikian pula semua wadyabalanya terkikis habis oleh jago dewa, raden Pandu. Sukacitalah seluruh kahyangan, atas kemenangan bantuan dewa, putra prabu Abyasa, raden Pandu. Hyang Girinata, menganugrahi kepadanya minyak tala, dan diberinya nama lagi, raden Pandudewanata. Bermohon dirilah Raden Pandudewanata, kembali ke negara Astina, diterima oleh ayahanda prabu Abyasa, beserta ibu, Dewi Ambaini, dan segenap keluarga istana Astina. Amat sukacita hati seluruh isi istana Astina. Patih Jayaprayitna, berdatang sembah, melapor ada musuh dating dari Awu-awu Langit, prabu Swarka beserta prajuritnya merusakkeadaan desa-desa Astina. Prabu Abyasa segera memerintahkan kepada Raden Pandudewanata untuk menanggulanginya. Prabu Swarka dengan seluruh balatentaranya dapat dibasmi.

  QUOTE

25-05-2011, 10:38 AM   #95

Teghe kaskuser 

 UserID: 926437 Join Date: Jun 2009Posts: 313

saya request tentang sang barata aja

  QUOTE

25-05-2011, 10:38 AM   #96

izroilblackarmy aktivis kaskus 

 UserID: 509004 Join Date: Jul 2008Posts: 605

Pandu Winisudha

Di Negara Astina, Prabu Kresnadwipayana sedang memikirkan suksesi kerajaan untuk menggantikan dirinya. Ia merasa sudah tua dan saatnya untuk diganti yang lebih muda. Hal itu untuk melancarkan jalannya tata pemerintahan dan menghindari adanya konflik baik dari dalam maupun dari luar.

Tetapi Prabu Kresna Dwipayana merasa gundah karena sesuai adat hukum kerajaan bahwa yang berhak menggantikannya adalah putra tertua yakni Raden Drestarasta tetapi ia mempunyai kekurangan yakni cacat netra. Hal ini akan menimbulkan ketidaklancaran jalannya pemerintahan, sehingga bisa menimbulkan ringkihnya kerajaan. Tapi bila ia memilih anaknya yang kedua, inipun akan dianggap menyalahi adat hukum kerajaan, yang nantinya akan menimbulkan ketidakpuasaan disisi lain. Apalagi memilih anaknya yang ketiga, jelas tidak mungkin. Untuk itu ia tidak ingin memaksakan kehendak, justru ia menyerahkan kepada ketiga anaknya untuk berfikir siapa yang lebih mampu dan berhak untuk menggantikan dirinya

R. Drestarasta mengusulkan R. Pandu untuk menggantikan raja Astina. Ia merasa, walau sebagai putra tertua, namun ia menyadari akan kekurangannya. Sebagai seorang raja harus sempurna lahir dan batin hal ini untuk menjaga kewibawaan raja dan lancarnya pemerintahan. Namun R. Pandu tidak bersedia, ia berpedoman sesuai adat hukum kerajaan bahwa yang berhak menduduki raja adalah putra tertua, bila dipaksakan dikawatirkan dikemudian hari akan menimbulkan masalah. R. Yamawidura juga menolak karena merasa paling muda dan belum cukup umur untuuk memikul tanggung jawab sebagai raja.

Prabu Kresnadwipayana pertama merasa senang ternyata anak-anaknya dapat berfikir dengan hati nuraninya, menyadari akan kekurangan yang ada dalam dirinya dan bisa mendudukkan posisinya masing-masing, sehingga tidak saling berebut kekuasaan yang bisa menimbulkan perpecahan dan persaudaraan. Tapi Prabu Kresnadwipayana juga semakin gundah, bila suksesi tidak segera dilakukan akan menimbulkan ringkihnya kerajaan dan kurang lancarnya tata pemerintahan, hal ini akan menimbulkan ancaman baik dari luar maupun dari dalam kerajaan.

Disaat suasana semakin sedih dan gundahgulana tiba-tiba dikejutkan datangnya laporan bahwa Astina kedatangan musuh dari negara Lengkapura yang dipimpin Prabu Wisamuka. Prabu Krenadwipayana semakin gundah tapi satu sisi ia merasa dapat jalan, dalam dirinya berfikir inilah jalan untuk menguji ketiga

putranya, siapa diantara ketiga putranya yang berhasil mengusir musuh sehingga disitu dapat dijadikan alasan untuk menetapkan jadi raja, sehingga rakyat nanti betul-betul menilai pemimpinnya sudah teruji dam mampu menyelamatkan rakyat, bangsa dan negaranya. Akhirnya ketiga putranya berangkat ke medan perang menghadapi Prabu Wisamuka .

Di medan pertempuran ketiga putra Astina berhadapan dengan Prabu Wisamuka. Namun karena kesaktian Prabu Wisamuka, ketiga putra Astina dapat dikalahkan, sehingga mengundurkan diri dan kembali ke Istana, tetapi R. Pandu, tidak kembali ke istana tapi masuk ke hutan mencari sarana untuk dapat mengalahkan musuh.

Dalam perjalanan di hutan, R. Pandu betemu dengan Batara bayu dan Kamajaya yang sebelumnya menyamar menjadi raksasa dan menyerang Pandu setelah dikalahkan kembali ke ujudnya . Oleh Bayu Pandu mendapat Aji Bargawastra dan di aku anak oleh Bayu dan diberi nama Gandawrakta dan oleh Kamajaya diberi keris Kyai Sipat Kelor. Setelah mendapatkan kesaktian R. Pandu kembali ke istana.

Di Negara Amarta, Prabu Kresnadwipayana merasa sedih karena kepergian R. Pandu yang tidak berpamitan sebelumnya, apalagi negara dalam keadaan bahaya. Tiba-tiba R. Pandu datang dan menceritakan maksud kepergiannya. Selanjutnya R. Pandu bermaksud ingin mengusir musuh dari Negara Astina. Maka dengan dibantu sahabat-sahabat kerajaan Astina, antara lain Prabu Kuntiboja dari Mandura, Prabu Mandradipa dari Kerajaan Mandraka, Pandu berangkat ke medan pertempuran.

Dengan kesaktian R. Pandu, Prabu Wisamuka dapat dibunuh dan bala tentaranya melarikan diri. Negara Astina kembali dalam keadaan aman, Pandu kembali ke Istana. Dengan keberhasilan R. Pandu mengusir musuh dan menyelamatkan negara ini, mendorong hati saudara tua maupun mudanya yakni R. Drestarasta dan R. Yamawidura untuk mendukung sepenuhnya R. Pandu untuk menggantikan Raja Astina. Prabu Kresna Dwipayana juga sependapat dengan anak-anaknya bahwa Pandu dianggap yang paling mampu memimpin negara Astina. Resi Bisma yang hadir di negara Astina saat itu juga mendukung pengangkatan R. Pandu untuk menjadi raja Astina. Maka dengan dukungan penuh baik dari kakek, ayah, saudara dan rakyat Astina, Pandu dinobatkan menjadi raja Astina menggantikan Prabu Kresna Dwipayana dengan gelar Prabu Pandu Dewanata.

  QUOTE

25-05-2011, 10:41 AM   #97

izroilblackarmy aktivis kaskus 

 UserID: 509004 Join Date: Jul 2008Posts: 605

Pandu Papa

Di balairung negeri Astina, raja Pandu sedang memperbincnagkan rencananya hendak berburu. Patih Jayayitna dan para pembantunya lalu bersiap-siap. Kepada patih Samarasanta raja Pandu memerintahkan supaya merubah tata hias istana Astina, disesuaikan dengan tata hias Endrabawana. Kedua patih menyatakan kesanggupannya. Pandu lalu kembali ke Adstina.

Setibanya di dalam istana, Pandu lalu duduk bersama kedua permaisurinya yakni Dewi Kunti dan Dewi Madrim. Setelah menjelaskan apa yang diperintahkan kepada kedua patihnya, Pandu lalu masuk ke dalam pemujaan.

Di luar, yakni di paseban, kedua patih Astina membagi tugas. Patih Jayayitma mempersiapkan segala keperluan untuk berburu ke hutan. Sedangkan patih Smarasanta memerintahkan Arya Sakata untuk melakukan segala persipan dalam tugasnya merubah tata hias istana Astina.

Tersebutlah di bukit Mestri, Resi Metreya baru saja selesai bersemedi. Ia mendapat anugerah dewata berupa mantra yang dapat mendatangkan apa saja yang ia minta. Melihat istrinya yang tampak sedih karena melaratnya, resi Metreya menghibur, agar tidak bersedih karena sudah ada isyarat yang dapat menghilangkan kesedian. Akan tetapi ternyata yang diminta oleh Endang Basusi, demikian nama istri Resi Metreya, bukanlah harta, melainkan agar dirinya yang sudah tampak tua lagi jelek, dapat berubah menjadi muda kembali serta cantik jelita. Keinginannya dikabulkan. Endang Basusi menjadi wanita mudalagi sangat cantik parasnya. Hal ini menjadikan dirinya menjadi sangat terkenal sehingga banyak sekali orang laki-laki yang datang melihatnya, dan tidak jarang di antara mereka yang datang itu menggodanya. Tentu saja hal itu membuat resi Metreya cemburu. Bagi Endang Basusi sendiri pun hal itu tidak menyenangkan. Resi Metreya lalu mengucapkan mantranya agar istrinya kembali menjadi jelek. Demikian jeleknya hasil mantra resi Metreya, karena istrinya menjadi mirip seekor anjing. Manusia mirip anjing ini pun menjadi tontonan orang. Hal ini membuat Endang Basusi beserta Metreya sangat malu. Mantranya hanya tinggal sekali lagi saja dapat ia pakai. Resi Metreya lalu mengucapkan mantranya, dengan permohonan agar istrinya kembali ke rupa asalnya semula. Kedua suami istri itu mohon ampun kepada dewa, dan akhirnya mendapat anugerah lagi, yakni mantra yang dapat merubah sesuatu benda menjadi emas. Dengan emas hasil mantra itu kehidupan Resi Metreya dapat tertolong. Dari kehidupan yang sangat melarat nberubah

menjadi kecukupan.

Begawan Sapwani di Giyacala dengan tekun memohon kepada dewata agar dikaruniani anak. Permohonannnya lalu dikabulkan. Tak lama kemudian istrinya mengandung, lalu melahirkan seorang anak laki-laki, yang setelah besar menjadi pemuda gagah. Begawan Sapwani selalu memohon kepada dewa agar anaknya selalu mendapat lindngan dewa.

Di Astina patih Jayayitna melapor bahwa p[ersiapan untuk berburu telah selesai,. Raja Pandu sangat gembira lalu segera berangkat ke Hutan perburuan.

Para dewa hendak menghukum raja Pandu yang telah berani merubah tata hias Astina menjadi kesupa dengan Endrabawana. Untuk itu dewa menurunkan putra Batara Yama ke bukit Kisasa. Anak dewa Yama menjadi pendeta di Kilasabergelar Resi Suhatra. Resi Suhatra jatuh cinta kepada anak empu Dwara yang bernama Ragu, namun empu Dwara tidak memberikannya karena Suhatra berujud raksasa yang menakutkan. Resi Suhatra akhirnya memanggil rara Rgau dengan daya ciptanya, Rara Ragu dan Suhatra berubah duirinya menjadi dua ekor kijang jantan betina, kemudian masuk ke dalam hutan dan leluasa kasih-kasihan. Empu Dwara yang kehilangan anaknya lelu berangkat mencarinya dibantu oleh sanak keluarganya.

Di tempat perburuan raja Pandu, Kijang penjelmaan Ragu dan Suhatra terperangkap ke dalam perangkap. Kijang betina berkeluh kesah seperti layaknya manusia, sehingga menarik perhatian Pandu. Ketika Pandu mendekat, kijang jantan segera mengata-nngatai Pandu dengan ucapan-ucapan yang membangkitkan amarah. Raja Pandu marah dan kedua kijang itu segera ia panah sampai mati. Kijang jantan musnah, sedangkan kijang betina berubah menjadi mayat seorang wanita. Mayat Ragu diserahkan kepada Empu Dwara dengan memberikan uang duka secukupmnya.

Di Suralaya, Indra sedang membicarakan laknat yang akan dijatuhkan kepada raja Pandu. Keputusannya, raja Pandu akan dicabut nyawanya, dan beserta raganya akan dimasukkan ke dalam kawah Candradimuka. Yang diberi tugas adalah batara Yama.

Di Astina, raja Pandu tiba-tiba sakit parah. Segala macam obat tidak ada yang mampu mengurangi penyakitnya. Resi Abiyasa menasehati Dewi Kunti supaya bersabar dan pasrah, karena sudah takdirnya raja Pandu akan sampai ajalnya, bersama-sama Dewi Madrim. Ketika jiwa dan raga raja Pandu sudah dibawa oleh batara Yama ke Suralaya dan akan dimasukkan ke dalam

kawah Candradimuka datanglah resi Abiyasa ke kahyangan, minta kepada para dewa mengampuni Pandu. Hukuman atas semua kekeliruan-kekeliruan Pandudewanata, untuk itu resi Abiyasa akan menebus kesalahannya, dengan jalan, keturunan prabu Pandudewanatalah (Pandawa) yang nantinya akan menebus segala kesalahannya.Hyang Surapati berkenan dihatinya, dan memerintahkan prabu Pandudewanata dan Dewi Madrim untuk selanjutnya dimasukkan di surga, tidak dikawah Candradimuka, tempat menghukum para manusia yang dianggap berdosa terhadap dewa.

Resi Abyasa segera memohon diri, di Astina segera bersabda kepada resi Bisma, “Mulai sekarang, hendaknya disaksikan, bahwasanya kakak prabu Pandudewanata, prabu Dretarastra, akan menggantikan kedudukannya, menjadi raja di Astina, dengan gelar prabu Dretanagara.” Selanjutnya, segala pusaka antara lain pusaka Kalimasada, minyak tala yang dahulunya dimiliki oleh prabu Pandudewanata, sekarang dihimpun oleh resi Abyasa, dengan penjelasan, dikelak kemudian hari akan dibagi-bagikan kepada siapa yang berhak menerimanya.

Resi Abyasa dengan membawa Dewi Kunti, pula cucunya dan para sesepuh abdi prabu Pandudewanta ke gunung Saptaarga. Tentramlah kerajaan Astina, dibawah pemerintahan prabu Dretarastra, atau prabu Dretanagara.

  QUOTE

25-05-2011, 10:44 AM   #98

izroilblackarmy aktivis kaskus 

 UserID: 509004 Join Date: Jul 2008Posts: 605

Quote:

Originally Posted by Teghe saya request tentang sang barata aja

untuk cerita tentang Barata belom ada bro.. tar kalo dah dpt ane p[ost dsini.

  QUOTE

25-05-2011, 10:49 AM   #99

izroilblackarmy aktivis kaskus

Baratayuda :

 

 UserID: 509004 Join Date: Jul 2008Posts: 605

Terjerat Jerat Cinta,

Arjuna-Murdaningsi

h 1

By MasPatikrajaDewaku

Dursilawati. Satu satunya wanita trah Kurawa. Ia adalah istri dari Jayadrata-Tirtanata.Atas hubungan adik kakak ipar inilah Jayadrata, anak Raja Sindu, menjalin persaudaraan rapat dengan para Kurawa. Sejatinya Jayadrata adalah anak kepenginan dari Dewi Drata dan Prabu Sempaniraja karena telah bertahun tahun tidak mempunyai anak. Maka ditemukan sarana atau cara untuk mendapatkan anak. Atas wangsit dewata, dengan meminumkan air rendaman bungkus Bima-Werkudara, kepada istri Sang Prabu Sempani. Kebetulan kala itu bungkus yang melimput Bratasena, nama Werkudara muda, setelah bungkus pecah. Pecah oleh kekuatan Gajah Sena. Namun kedekatan secara

kejadian, tidak membuat Jayadrata rapat terhadap para Pendawa.Di kasatrian Banakeling itu, sang Dewi Dursilawati hanya duduk berdua dengan anak tunggal kesayangannya Raden Wisamuka. Masih muda belia, namun berjiwa keras, menurun dari sang ayah Raden Jayadrata.“Ibu, apakah ibu akan bangga bila mempunyai anak yang dapat mengangkat derajat keluarga sehingga ke tataran yang lebih tinggi ?” Wisamuka memancing ibunya ketika basa basi telah usai dibicarakan.“Apa maksud pertanyaanmu anakku ?” terheran sang ibu ketika anaknya menanyakan hal yang tak terduga.“Tolong jawab dulu pertanyaanku, ibu. Setelah itu akan aku sampaikan maksudku” tanpa menghiraukan pertanyaan ibunya Wisamuka mengejar jawaban ibunya.“Baiklah, semua orang tua, pasti mengharapkan agar anaknya menjadi manusia atau satria yang berguna bagi nusa, bangsa, agama. Pada akhirnya harkat

dan derajat manusia itu akan terangkat oleh laku budi luhur itu. Perilaku anak itu secara langsung maupun tidak, membawa naik martabat bagi orang tua si anak” Jawab sang ibu akhirnya.“Bila demikian, cita cita atau keinginan kanjeng ibu dapat terujud dalam waktu singkat”Bahagia terpancar dari raut wajah Wisamuka, ketika ibunya menjawab runtut pertanyaanya.“Sekarang katakan maksudmu dengan pertanyaan yang kau ajukan itu”. Ibunya tidak sabar dengan perubahan raut muka anak kesayangannya. Anak satu satunya.“Aku telah mendengar berita yang santer, bahwa pada perang Baratayuda, ada prajurit muda belia yang seumur denganku, tetapi telah dapat mengobrak abrik barisan Kurawa. Alangkah gagahnya dia. Bila ia tidak ditahan dengan akal akalan oleh para Kurawa, saya yakin, ia adalah prajurit yang dapat mengakhiri perang dengan kemenangan. Alangkah bangganya orang tuanya”. Bicara

Wisamuka , tak tahu bahwa ayahnya terlibat dalam kecurangan itu. Jiwa mudanya yang bergelora hanya berpikir, bagaimana ia ingin memperlihatkan akan keberadaannya, sebagai anak muda yang merasa setingkat kemampuannya dengan anak Janaka.Ia meneruskan ketika ibunya hanya memandanginya penuh selidik.“Aku juga bisa seperti Abimanyu itu. Dan belajar dari kejadian yang lalu, kuncinya adalah kewaspadaan agar tidak terkena reka daya. Dengan waspada itu perkenankan anakmu hendak maju ke peperangan “.Wisamuka menyatakan maksud yang sebenarnya.“Jangan gegabah, anakku, Apalagi ayahmu sudah berpesan agar jangan sekali-kali kamu berangkat ke palagan, bila tidak mendapat ijin dan restu dari ayahmu !”. Larang ibunya.“Tidak ibu, kapan lagi aku dapat memperlihatkan kepiawaianku terhadap penguasa negara. Apakah aku harus menunggu perang menjadi

selesai. Tidak ! Sekaranglah saatnya !”. Wisamuka yang tadinya duduk manis disamping ibunya, kemudian berdiri. Sang ibupun ikut bangkit dari kursinya, kemudian dipeganginya tangan anaknya.“Wisamuka, sekarang ibu mau bertanya kepadamu nak, Apakah kamu sayang terhadap ibumu ?”. dibimbingnya anak muda itu kembali duduk. Wisamuka tak hendak menurut perlakuan ibunya. Namun ibunyalah sekarang yang duduk kembali, dan melihat kedalaman mata anaknya seakan hendak menyelami isi dalam hati buah hatinya.“Pasti ibu, bukankan yang hendak aku lakukan adalah ujud rasa sayangku kepada keluarga Banakeling, terutama ibuku ?”. Wisamuka malah kembali bertanya.“Bukan ! Bukan seperti itu caranya. Bila kamu sayang ibumu, maka turuti apa yang ayah ibumu katakan”. Si ibu menyanggah pertanyaan anaknya.“Aku bukan anak kecil lagi, yang bila jatuh masih menangis dan berlari

kepangkuan ibunya. Sekarang anakmu sudah dewasa, sudah dapat memilih mana yang harus aku lakukan atau mana yang tidak. Aku mohon pamit, ibu”. Kembali anaknya membantah.Dengan lemah lembut layaknya seorang ibu, didekatinya kembali anaknya setelah sang ibu bangkit dari duduknya. Diraihnya kepala anaknya yang sudah lebih tinggi jauh diatas ibunya. Dielus rambut itu sambil berkata.“Wisamuka, kasihani ibumu. Apa kata ayahmu nanti bila mengetahui anaknya dibiarkan pergi tanpa ijinnya. Apakah kamu tega bila ibumu dimarahi ayahmu ?”.“Sudahlah ibu, nanti aku akan ketemu dulu dengan ayah. Boleh atau tidaknya serahkan kepada ayah setelah nanti aku ketemu disana”.Dursilawati tahu tabiat anaknya. Dijeratnya pasti dia akan memutus jerat itu dan dipalang jalannya ia akan melompat. Akhirnya dilepaskan pegangannya, anak itu menyembah khidmat dihadapan ibunya. Itulah sembah anaknya yang

terakhir.Kenapa demikian ? Sebelum ia bertemu dengan ayahnya di pesanggrahan Bulupitu, Wisamuka, dalam perjalanannya ketemu dengan Arjuna di hutan tempat ia berjalan tanpa tujuan dengan jiwa yang kosong.Jiwa yang setengah sakit ditinggal anaknya yang sangat dicintainya, membuat Arjuna bagaikan menemukan segarnya udara alam swargaloka, ketika Wisamuka terlihat berjalan sendirian. Dalam pandangan matanya, Abimanyu-lah yang berjalan mendekatinya.Memang secara fisik, ciri Abimanyu dengan Wisamuka tidak jauh berbeda, keduanya masih muda belia dengan sosok dan ciri yang hampir sama. Makin kaburlah pandangan Arjuna Janaka menyaksikan satria remaja dengan ciri yang bagai pinang dibelah dua dengan anaknya.“Anakku tampan, kemarilah, aku sudah rindu dengan kamu, anakku”.Wisamuka tercengang. Tak dinyana ia bertemu dengan Arjuna ditempat yang tak

terduga. Setahu Wisamuka, pamannya sedang ada dalam larutnya peperangan di Kurusetra. Belum sempat ia menjawab, rangkulan Arjuna membuat ia kaget. Tetapi karana yang keluar dari mulut Arjuna – lah, yang akhirnya membuat ia makin mengerti sebab musababnya.“Abimanyu anakku, mengapa sekian lama kamu baru datang ? Kemana sajakah selama ini ? tidakkah kamu kasihan terhadap ayah dan ibumu yang sangat rindu akan kedatanganmu ?”Sejenak Wisamuka tak tahu ia harus berbuat apa. Namun otak cemerlangya segera bekerja. Inilah kesempatan yang ia idamkan ! Gelar pahlawan akan dengan mudah didapatnya, karena pamannya itu sedang tidak sepenuhnya sadar diri. Terpikir ia segera melakukan tindakannya, tapi pertimbangannya menyarankan untuk menguji kewaspadaan pamannya terlebih dahulu.“Paman Janaka, aku Wisamuka anak Banakeling. Aku bukan Abimanyu !”.“Jangan main main,

ayolah kita pulang. Ibumu pasti sudah menunggu setelah sekian lama kamu pergi.”. Jawaban pamannya membuat ia makin yakin, kali ini ia akan menjadi pahlawan.

  QUOTE

25-05-2011, 10:50 AM   #100

izroilblackarmy aktivis kaskus 

 UserID: 509004 Join Date: Jul 2008Posts: 605

Baratayuda : Terjerat

Jerat Cinta, Arjuna-

Murdaningsih 2

By MasPatikrajaDewaku

Segera ia melepaskan pelukan Arjuna. Tanpa ragu dipukulnya tubuh Arjuna dengan sekuat tenaga. Harapannya segera ia dapat melumpuhkan Arjuna dan dipersembahkan ke hadapan Prabu Duryudana.Namun harapan itu tak terpenuhi. Bahkan dengan senyum dibibirnya, Arjuna malah merayunya.Kembali tangan Wisamuka mengayun memukul bertubi tubi ke dada Arjuna.“Pukulanmu masih kuat, tapi jangan main

main begitu. Nanti aku akan ajarkan cara memukul yang lebih baik bila kamu ingin menjadi prajurit yang tanpa tanding”.Tak menyangka diperlakukan seperti itu, Wisamuka melolos senjatanya. Sebilah keris sakti sudah siap ditangannya untuk menamatkan riwayat pamannya. Tidak menangkap hidup hiduppun tak apa. Cukuplah dengan kepala Arjuna yang gampang ditenteng, bukti sebagai pahlawan akan tersemat didadanya.Ditusuknya dada Arjuna dengan sigap. Tak menghindar Arjuna, bahkan kembali senyumnya membayang.“Sudahlah Abimanyu, jangan bermain dengan senjata, marilah pulang bersamaku. Kamulah satu satunya yang aku harapkan siang malam dalam segala laku prihatin yang pernah aku jalani. Nanti juga aku berikan keris yang lebih sakti dengan pamor yang lebih berkilau. Bila kamu mau pulang sekarang juga, sekarangpun aku berikan keris Kalanadah melengkapi pusakamu

yang telah aku berikan sebelumnya, Kyai Pulanggeni”.Diceritakan, Batara Narada yang kepanasan, karena sesuatu tak wajar terjadi di arcapada, yang berkekuatan hendak merobah alur cerita Baratayuda. Ia segera menerawang, mencari penyebab keanehan. Setelah diketahui penyebabnya, sukma Abimanyu segera diperintahkan untuk menggugah alam sadar ayahnya. Sesampainya di hadapan ayahnya, segera ia menyembah. Arjuna adalah satria sakti kesayangan para dewa. Dengan hanya badan halus, kedatangan Abimanyu menggugah kesadarannya, setelah sapaan anaknya menyentuh kalbu.“Kanjeng rama, perkenankan putramu menjelaskan, jangan lagi kanjeng rama menyesali kematianku, anakmu sudah menemukan kebahagiaan sejati”.“Sekarang bangkitlah rama ! Dihadapanmu adalah trubusan musuh, anak uwa Jayadrata. Bila rama berkenan, rama dapat menuntaskan utang yang disandang uwa

Jayadrata !”Terang benderang hati sang Arjuna, terlihat Wisamuka tak jauh darinya, didekatinya Wisamuka yang tak mengira Arjuna sudah sadar. Kaget Wisamuka ketika rambutnya dijambak dan tangannya ditelikung, segera dipagas leher Wisamuka, tak bernyawa ia.Bersamaan dengan jatuhnya raga di rerumputan hutan.Terceriterakan, Dewi Dursilawati yang tak tega melepas anaknya sendirian, menyusul bersama Patih Sindulaga. Sempat tersusul oleh kedua orang itu, namun keadaan sudah terlambat. Yang terlihat dihadapannya adalah, tubuh orang kesayangannya yang telah terpisah dengan kepalanya. Darah segar masih mengucur dari luka akibat luka terkena keris Arjuna.Melihat anak junjungannya tewas, Patih Sindulaga, hendak bela pati. Tidak ada keraguan bagi patih Sindulaga terhadap siapa yang mengakhiri hidup anak junjungannya, karena yang terlihat didepannya, adalah hanya manusia yang dikenalnya dengan

nama Arjuna.Melihat Sindulaga menyerang, maka dilolos anak panah dari gendongannya, terpasang pada busur, segera direntang dan dilepas dengan suara membahana. Panah meluncur mengenai dada Patih Sindulaga tembus ke jantung, tewas Sindulaga menyusul Wisamuka.Tak rela anaknya terbunuh, kemudian pengawal setianya juga menyusulnya, Dewi Dursilawati menghunus patremnya, rasa sesal sedih campur aduk, membawa tangannya ringan mengayunkan keris kecilnya kedada. Tamat riwayat Dursilawati.Termangu Arjuna melihat ketiga orang yang ada hubungannya dengan Jayadrata. Biang kematian anaknya. Kembali melihat kematian, kembali pula kesedihan membeban di hatinya.Terucap dalam cerita. Dewi Murdaningsih wanita liar yang cantik dan mempunyai daya pikat luar biasa, telah sampai ke tempat Arjuna berada.Murdaningsih yang muda tetapi telah matang, datang dengan dandanan

serba menantang. Dadanya yang setengah terbuka menampakkan sekilas sisi cengkir gading. Kukunya dibiarkan sedikit panjang dengan pulasan warna merah dadu serasi dengan kulit sang dewi yang kuning gading cenderung putih. Matanya yang sedikit sipit dihiasi sekeliling kelopaknya dengan pulasan lembut serasi. Begitu juga bibirnya yang terpulas warna merah delima, kontras dengan kulit putih wajahnya. senyum merekah dibibirnya, memperlihatkan giginya yang putih tertata bagai deretan mutiara. Maka semakin menambah daya tarik ia terhadap lawan jenis. Bau harum merangsang kelelakian juga menghambur dari tubuh sang Dewi. Siapapun akan terpesona dengan kecantikan dan gerak geriknya.Berkendara seekor gajah putih yang berjalan dengan anggun. Terpesona Arjuna melihat apa yang tampak dihadapannya. “Bidadari manakah gerangan yang hendak menyejukkan hati yang terlanjur gersang

ini ?” Pikir Arjuna.Tempat hening dan kondisi jiwa Arjuna yang labil, ditambah watak dasar Arjuna yang memang gampang jatuh cinta, menyebabkan semakin mudah jerat asmara mengurung sukmanya.“Bidadari manakah yang ada dihadapanku ini, selama aku merajai taman surga, belum pernah aku melihat sosok seperti andika. Siapakah gerangan andika sang Dewi ?” sapa Arjuna dengan senyum terkulum. Senyum yang sanggup menjerat wanita manapun, hingga ia digilai para wanita. Memang demikian apa yang terjadi di masa lalu, atas hadiah mengenyahkan Prabu Niwatakawaca waktu hendak meminang Dewi Supraba, oleh Sang Hyang Jagatnata, Arjuna dihadiahi tahta di karang kawidadaren dengan jejuluk Prabu Kiritin atau Kirita. Tak pelak lagi, hampir semua sosok bidadari dikenalnya.Namun kali ini, wanita asing dihadapannya datang dengan ciri ciri yang belum pernah dikenalnya, dirasa lebih cantik dari yang

pernah ia temui. Biasalah demikian, tak perlu diceritakan lagi.Pertanyaan Arjuna dibalas dengan lirikan mata dan tebaran pesona yang membuat Arjuna semakin mabuk kepayang.

Baratayuda: Teror Kepala Jayadrata 1

By MasPatikrajaDewaku

Pelahan atas perintah Dewi Murdaningsih, si gajah merunduk. Mambiarkan tuannya turun dari punggungnya. Dengan luwesnya Dewi Murdaningsih turun dari punggung gajah dan segera berjalan semakin dekat ke tempat Arjuna berada.Kenes ia berputar disekeliling Arjuna dengan senyum yang tak pernah lepas dari bibirnya. Bagai kerbau tercocok hidungnya, Arjuna ikut berputar badannya mengikuti gerak sang Dewi.Kemudian tangan Murdaningsih yang lembut meraih kedua tangan Arjuna dan berkata memuji. Tetap ia tak berhenti bergerak lincah.“Ternyata tanah Jawa terdapat lelaki yang sempurna segalanya, tak ada tandingannya dibanding di negaraku. Satria bagus, siapa nama andika ?” Pujian Murdaningsih mengabaikan pertanyaan mengenai namanya.“Tadinya aku berpikir, hanya rupamu yang cantik, sehingga jiwaku terpasung, mataku tak sanggup untuk berkedip. Tetapi begitu andika sang Dewi mengucapkan kata kata, sekalimat demi sekalimat, hatiku runtuh terbawa sapuan arus kidung cinta yang mengalun bersama sapa suaramu, sang Dewi ?” Aku Arjuna penengah Pendawa”. Arjuna menyebut nama memperkenalkan diri.“Ooh, inikah satria dengan nama harum yang menjadi inspirasi kidung cinta ? Inikah satria dengan sorot mata yang mampu meruntuhkan hati wanita siapapun. Bahkan wanita dengan keangkuhan setinggi langitpun, akan takluk dihadapan yang namanya Raden Arjuna. Saking orang banyak yang memuja, sampai sampai ada yang mengatakan, kerikilpun, bila andika berjalan, mereka minta andika pijak ?”“Bahagianya hatiku, karena tidak sia sia aku datang dari jauh, ketemu dengan andika Raden, seakan sukmaku telah tertawan ditanah ini, dan tak hendak aku pulang ke Turilaya”. Kembali pujian yang dikatakannya melupakan perintah kakak seperguruannya, tentang tugas yang sebenarnya diemban.“Puja pujimu teramat tinggi sang Dewi, membawaku terbang ke awan. Melayang sukmaku mendengar pujian dari bibirmu yang

sungguh bagus itu. Tapi siapakah sang Dewi sebenarnya ?” kembali Arjunapun yang lalai akan kewajiban yang seharusnya dilaksanakan, ia menanyakan nama wanita itu.“Masihkan aku perlu menyebut namaku ?” Murdaningsih manja mengulur rasa penasaran lawan bicaranya.“Ya sudahlah aku pergi saja, kalau kamu tak mau memperkenalkan dirimu”. Sambil melepaskan pegangan tangan Murdaningsih, Arjuna kemudian melangkah pergi, jurus rayu itu diterapkan.“Eeh…, nanti dulu, jadi lelaki kok merajuk !” Murdaningsih mengejar, menyambar tangan Arjuna. “Bukan merajuk, tapi apa gunanya aku berhadapan muka dengan orang yang tak aku kenal”Arjuna menyanggah.“Aku Murdaningsih, sengaja datang kemari untuk menemuimu, Raden. Nama dan cerita yang beredar di negaraku, membuat sasar rasaku, sehingga jauh jauh aku datang untuk membuktikan kebenaran cerita itu”. Kali ini Murdaningsih menumpahkan isi hatinya.“Terus apa yang andika lihat pada diriku, sang Dewi ?” pancing Arjuna.“Seperti yang aku katakan tadi, aku tak akan lagi pulang ke Turilaya. Hatiku telah tertambat disini, bawalah diriku kemana Raden pergi”.Suasana hutan yang sunyi sungguh gampang berubah menjadi suasana romantis, membuat kedua insan yang dimabuk asmara itu lupa segala galanya. Arjuna lupa akan tugas negara sebagai prajurit, sedangkan Murdaningsih lupa bahwa tujuannya adalah untuk meringkus Arjuna. Sekarang yang ada hanyalah puja puji serta kidung asmara, berisi rayuan yang berhamburan dari mulut kedua asmarawan dan asmarawati itu.Namun tidak demikian dengan gajah Murdaningkung. Ia adalah seekor gajah dengan sifat yang sudah bagaikan manusia. Melihat keadaan tidak sesuai dengan apa yang digariskan, tidak ada keraguan dalam otaknya segera mendekati kedua insan yang tengah memadu kasih. Diulurkan belalai, Arjuna yang tidak waspada, diangkat tinggi dan dilempar dari sisi Murdaningsih.Terjerembab Arjuna ditanah hutan yang lembab. Belum sempat ia berdiri sempurna, gajah Murdaningkung kembali memburunya. Tak ada usaha lain kecuali Arjuna menghindar melompat dari raihan belalai yang kembali hendak meringkusnya. Kemarahan yang amat sangat merasuki ubun ubunnya karena terganggu kesenangannya. Segera diraihnya anak panah yang tersandang dipunggungnya dan dilepas busur yang tersandang dibahunya. Terpasang anak panah pada busurnya, segera ditarik tali busur dan meluncur mengenai kepala gajah itu. Lelehan otak bercampur darah mengalir dari tubuh besar yang terguling. Mati seketika gajah Murdaningkung.Dewi Murdaningsih yang terpana melihat kejadian yang begitu cepat membunuh gajah kesayangannya, kemudian berlari memburu kearah gajah kesayangannya sambil menangis.

Air mata sang Dewi yang jatuh ditubuh gajah itu secara ajaib membangunkan sang gajah dari kematian.Terheran Arjuna melihat kejadian itu. Begitu juga Murdaningsih yang baru kali ini membuktikan kesaktian yang diberikan gurunya.Pada saat itu, Prabu Bogadenta yang dari tadi mengikuti perjalanan adik seperguruannya , muncul ditengah kejadian.Taulah sekarang Arjuna siapa mereka sebenarnya ketika mendengar Prabu Bogadenta memarahi adik seperguruannya.“Adikku yang cantik, sekali ini kamu terjebak oleh ketampanan lawanmu. Tadinya aku tak ragu lagi untuk melepaskan kamu sendiri. Tapi setelah kamu tak mampu menahan godaan Arjuna . Sekarang aku ambil alih peran kamu.”“Arjuna ,Ssekarang kamu sudah ada dalam genggamanku jangan sampai kamu melawan, percuma hanya membuang tenaga. Sekarang mendekatlah ulurkan kedua tanganmu akan aku ikat tanganmu dan aku bawa kehadapan Prabu Duryudana. !”“Siapa kamu !” tanya Arjuna penasaran“Prabu Bogadenta dari Turilaya.” Bangga sang Prabu memperkenalkan dirinya“Kamu boleh menawanku kalau kamu sudah bisa melangkahi jasadku.” Arjuna menantang.“Rupanya kamu hendak meraih sorga. Majulah !”Kali ini Arjuna mendapatkan lawan yang sepadan. Saling serang dengan tempo tinggi terjadi hingga hutan menjadi riuh oleh geretak ranting patah dan tumbangnya pepohonan runtuh tersapu serangan kedua pihak. Kali ini Arjuna tidak membuang waktu. Ketika serangan agak berkurang, Arjuna melompat mundur, kemudian bidikan anak panah meluncur mengenai dada Prabu Bogadenta. Tewas seketika sang Prabu.Gajah Murdaningkung berlari mendekati tuannya dan meneteskan air mata sedih atas kematiannya. Keajaiban kembali terjadi, bagai terbangun dari tidur, bangkit kembali Prabu Bogadenta dari kematiannya.Pusing Arjuna mengatasi lawan yang tiga tiganya saling bisa menolong sesama kawannya.Prabu Kresna yang dari kemarin mencari Arjuna mendengar keributan yang terjadi segera menghampiri yang dicari cari.“Aduh adikku, ternyata kamu ada disini !”Melihat kedatangan Prabu Kresna segera Arjuna bersimpuh “Sembah baktiku kanda”Penuh selidik Prabu Kresna berkata “Ya aku terima, tetapi lain kali jangaan seperti ini. Aku tahu betapa remuk hatimu dengan kematian anak kesayanganmu. Darma satria sudah kau lupakan sekarang. Padahal seandainya kamu masih ingat akan janji setia Pandawa, bahwa mati salah seorang Pandawa, maka yang lain akan mengikuti kematian yang satu itu. Bila itu terjadi, maka kamu yang akan dituduh sebagai biang dari kematian saudaramu. Alangkah malunya kamu. Jiwa satriamu akan luntur dan menjadi contoh buruk sepanjang tergelarnya jagad”.

“Kanda, adikmu minta pengayoman “ Tercetus kata pasrah Arjuna.“Apa yang bisa aku ayomi” jawah Kresna.“Saya keteteran menghadapi lawan lawan itu.” aku Arjuna“Baik aku sekarang mengerti. Tapi tegakah kamu dengan wanita cantik itu ?”. Tanpa ada yang tersembunyi dari mata Arjuna, alasan Kresna menanyakan tentang wanita cantik itu. “Terpaksa kanda”. Sekenanya Arjuna menjawab.“Penyakitmu belum sembuh sembuh juga ! Aku tahu, aku percaya. Kamu adalah jago memanah tanpa tanding. Kecepatan memanahmu dalam satu waktu dengan jumlah lepasan anak panahnya tak ada yang bisa mengalahkan. Itu yang belum kamu lakukan !”.Belum habis bicara Prabu Kresna, Arjuna sudah bersiap dengan ketiga anak panahnya yang terpasang dalam satu busur. Dengan cara yang tidak mudah ditiru siapapun, anak panah yang terluncur dari satu busur menuju sasaran masing masing. Mengenai ketiga pendatang dari Turilaya, tamat riwayat ketiganya bersamaan.“Ayoh Arjuna, kita segera pulang. Jangan lagi berpaling, jangan lagi menyesali yang sudah terjadi. Istrimu sudah menunggumu”.Tersipu malu Arjuna mendengar kata kakak iparnya.*******

  QUOTE

KaskusAd - Create an KasAD / Buat Iklan KasAD

25-05-2011, 10:54 AM   #102

izroilblackarmy aktivis kaskus 

 UserID: 509004 Join Date: Jul 2008Posts: 605

Baratayuda: Teror Kepala Jayadrata 2

By MasPatikrajaDewaku

Sampai ke palagan peperangan Kurusetra, Arjuna kaget dengan keadaan pasukannya yang terdesak hebat oleh amukan Jayadrata tiruan yang jumlahnya tak terhitung, membuat ngeri siapapun yang melihatnya. Bahkan kakaknya, Werkudara mundur.Setelah diberi keterangan oleh Prabu Kresna mengenai kejadian yang sebenarnya, segera Arjuna melepaskan panah neracabala. Ribuan anak panah segera terlepas dari busurnya menghalau amukan ribuan Jayadrata, setelah itu disapunya seluruh bangkai Jayadrata dengan ajian Guntur Wersa, berupa hujan lebat dengan banjir yang menyapu hebat seluruh padang Kurusetra didepan Arjuna. Ia telah diberitahu sebelumnya oleh Prabu Kresna, bahwa Jayadrata tiruan akan tak dapat berbuat apapun jika dalang yang menggerakkannya telah dilumpuhkan.Ketika banjir melanda Kursetra di pertahanan prajurit Randuwatangan, Bagawan Sempani yang tak mau terlanda hujan terpaksa meninggalkan pabaratan, kembali buru buru ke

pesanggrahannya, tidak kuat dengan air hujan dan kerasnya arus banjir yang hendak melandanya.Lenyap ribuan Jayadrata tiruan, tetapi rasa penasaran Arjuna belum sirna. Yang diarah dari usaha yang sebenarnya adalah Jayadrata asli. Jayadrata yang menjadi penyebab gugurnya Abimanyu anaknya. Betapapun matinya Wersakusuma masih saja belum memuaskan rasa dihatinya.Dari rasa penasaran itu, yang keluar dari mulut Arjuna akhirnya sepotong kalimat sumpah.“Kakanda Prabu, bila nanti sampai matahari tenggelam hari ini, Jayadrata asli tidak dapat aku bunuh, maka hamba akan naik pancaka, untuk bakar diri !”.Sumpah Arjuna terdengar oleh banyak orang yang segera bersambung lidah mencapai telinga lawan. Geger lawan yang segera menutup rapat jalan kearah persembunyian Jayadrata.Sedangkan Prabu Kresna terdiam sejenak, kemudian kata tanya ditujukan kepada Arjuna “Begitukah ? Padahal hari sudah mendekati sore. Apa usahamu untuk melaksanakan sumpahmu ?” Tanya Prabu Kresna menjajagi sumpah adik iparnya.“Semua usaha akan aku pasrahkan kepada kanda Prabu”. Ternyata Arjuna mengandalkan kakak iparnya.Tersenyum Prabu Kresna. “ Oooh begitu, akhirnya aku juga yang kau andalkan !” Bila memang itu maumu ayo ikut aku !Prabu Kresna mengajak Arjuna mencari tempat yang strategis dalam menlihat tempat persembunyian Jayadrata.“Tunggu disini. Lihat apa yang ada didepanmu?” Itulah tempat berlindungnya Jayadrata !”“Apa yang harus hamba lakukan sekarang kanda Prabu ?”“Aku akan membuat suasana menjadi petang seakan matahari sudah tenggelam. Bila nanti itu sudah terjadi, segera nyalakan api pancaka, berpakaianlah serba putih, dan perintahkan seluruh prajurit untuk berhenti dan menyaksikan ritual kematianmu dalam api suci !”Berbalik badan Kresna melangkah dengan masih berkata.“Tunggulah sebentar, akan aku atur segala sesuatu yang bersangkut dengan bagaimana kamu harus melakukan pancingan agar Jayadrata dapat ditemukan”.Segera bergerak Prabu Kresna mendekati saudara saudara Pendawa, untuk menjelaskan apa yang hendak dilakukan, kemudian ia melepaskan senjata Cakra Baswara keangkasa.Senjata cakra adalah senjata sakti yang sejatinya adalah bagaikan senjata yang terkendali oleh rasa yang ada pada hati dan diri Prabu Kresna. Mempunyai kesaktian triwikrama sebagaimana yang berlaku pada diri Prabu Kresna.Segera dalam keremangan sore setelah prahara hujan buatan dari Arjuna, maka tak terasalah bahwa sinar matahari yang tertutup senjata cakra bagai menyambung ke masa senja yang sebenarnya.

Api pancaka sudah disulut, para Pandawa yang sudah dibisiki oleh Prabu Kresna akan tindakan yang hendak dilakukan, mengenakan pakaian serba putih. Tidak hanya para prajurit Pandawa yang hendak menyaksikan peristiwa itu, para Kurawapun ikut juga tersulut rasa penasarannya, menyaksikan dengan kegembiraan yang tiada terkira. Dalam hatinya mereka mengatakan, bahwa sekaranglah saatnya salah satu bahu Pendawa akan lumpuh dengan kematian Arjuna.Arjuna yang sudah diberi pembekalan segera naik ke panggung , bersembunyi dalam kobaran api berseberangan dengan tempat Jayadrata berada.Jayadrata, seorang manusia keras hati, pada dasarnya ia tidak rela dengan keadaan yang memaksanya bersembunyi bagai seorang pecundang. Rasa penasaran mengalahkan ingatannya yang telah ditanamkan pada benaknya, bahwa ia tak boleh terpengaruh oleh apapun yang terjadi disekitarnya. Maka ketika suasana makin meriah dengan teriakan yang menyebutkan Arjuna bakar diri, pertama yang dilakukan adalah melihat dari celah lubang udara. Gelapnya suasana membuat ia tak dapat melihat dengan jelas apa yang terjadi diluar. Makin penasaran, sekarang lehernya dikeluarkan untuk melihat dengan lebih jelas yang terjadi diluar sana.Kejadian berlangsung sangat cepat. Ketika kepala Jayadrata keluar dari lubang persembunyian, matahari muncul kembali setelah Cakra dikendalikan untuk segera bergeser dari tempatnya. Secepat itu pula, Kyai Pasopati segera dilepaskan. Putus leher Jayadrata menggelinding keluar dari bunker baja.Kembali suasana terang matahari sore membuat gaduh suasana. Werkudara sigap segera mengejar kepala Jayadrata. Saking geregetan ditendangnya kepala Jayadrata yang jatuh itu menjadi bulan bulanan para prajurit Hupalawiya. Kepala itu pada akhirnya mendarat didepan Resi Sempani.Orang tua itu menangis memelas, melihat betapa nista jasad anaknya yang dibuat permainan itu.“Jayadrata anakku, walau kamu sudah tidak berbadan lagi, sebenarnya kamu belumlah mati. Kamu masih hidup !”Ajaib. Kepala yang tadinya tak berdaya, dengan mata terbuka, menyala dendam terpancar dari bola mata itu !“Gigitlah patrem ini, mengamuklah kamu atas kemauanku !” sabda sang Resi melayangkan kepala tanpa badan kembali ke medan pertempuran. Kembali geger suasana di Kurusetra. Sepotong kepala mengamuk dengan keris tergigit di giginya. Perasaan ngeri menghinggapi seluruh prajurit Randuwatangan melihat kejadian yang membuat bulu tengkuk berdiri. Puluhan prajurit kecil menjadi korban disisa hari dengan cara yang tak terkira. Tidak hanya itu, putra lain Arjuna, Raden Gandawardaya, Raden Gandakusuma dan dan Raden Prabukusuma tewas oleh amukan kepala yang melayang layang mengerikan. Sepotong kepala

dengan senjata dimulutnya !Tidak mau banyak lagi yang menjadi korban, Kresna segera mencari tahu dimana Resi Sempani yang diketahuinya menjadi penyebab kejadian mengerikan ini. Setelah ditemukan, segera dihampiri Sempani yang tengah mengucapkan berulang ulang ucapan sakti penyebab amukan kepala anaknya. “Hiduplah Jayadrata, jangan mati”.Berulang kalimat ini diucapkan.Kresna hendak mengganggu dengan membalikkan kata kata namun awas perasaan Sempani dengan akal akalan Kresna. Tetap ia mengucapkan kata mantra dengan benar.Tidak mau kalah akal Prabu Kresna, segera menjadi lalat yang mengganggu bibir dan hidung. Sehingga salahlah ia mengucapkan kata mantra sakti hingga terbalik, “ Matilah Jayadrata ! Sadar dengan ucapannya, dan kaget dalam hatinya yang segera ia maju ke peperangan. Tidak terima ia dengan akal akalan yang dilakukan Kresna.Kepala Jayadrata yang kembali terkulai ditanah, kali ini tak dibiarkan utuh, gada Rujakpolo atau gada Lukitasari Werkudara, segera menghancurkan kepala itu menjadi tak berbentuk lagi.Namun bahaya belum berakhir, sekarang berganti bahaya datang dari amukan Sempani. Pendeta tua, bekas raja sakti itu mendesak maju dengan sebilah pedang menebas-nebas ganas bengis, siapapun yang menghalangi krodanya. Drestajumna mencoba menghentikan amukan Sempani. Sesama menggunakan pedang ia mencoba melayani permainan pedang jago tua itu. Tetapi kekuatan orang tua itu tidak dapat dianggap enteng. Saling serang berlangsung hingga matahari sudah menyentuh ufuk.Tidak mau bertele tele, Kresna segera mendekati Arjuna. “Adimas, segera kembali turunkan hujan, Sempani adalah orang yang tidak tahan terhadap dinginnya hujan”.Demikianlah, tak percuma Arjuna bernama Indratanaya, yang berarti anak Batara Indra, dewa hujan. Maka hujan senja hari kembali turun dengan lebat.Ternyata memang tidak salah, orang tua itu menggigil kedinginan, terkena hujan yang turun dingin dilangit senja. Ia jatuh terduduk tak berdaya yang kemudian napas tuanya memburu keluar satu persatu dan akirnya satu tarikan nafas mengakhiri hidup ayah prajurit sakti Jayadrata.Jayadrata seorang yang sejatinya mempunyai kedekatan kejadian dengan Bimasena, tetapi sepanjang hidupnya ada dipihak lawan, karena hubungan kekerabatan kakak adik ipar yang dekat dengan Prabu Duryudana , ia lebih memilih tinggal di kesatrian Banakeling, daripada menjadi raja di tlatah Sindu . . .

  QUOTE

25-05-2011, 10:57 AM   #103

izroilblackarmy Baratayuda: Akhir Dendam yang

aktivis kaskus 

 UserID: 509004 Join Date: Jul 2008Posts: 605

Terpendam 1

By MasPatikrajaDewaku

Pegal, sebal, rasa Prabu Duryudana. Kembali ke Astina disela sela perang, dirancang bakal mengendurkan rasa tegang. Tetapi yang terjadi adalah rancangan yang berubah menjadi mentah. Yang ditemui di taman Kadilengeng bukan layanan penuh kasih sang istri yang didadamba siang dan malam sepeninggalnya dari istana. Yang ditemui ternyata hanyalah keruwetan yang menambah kusut masai keadaan hati didalam. Ricuh di taman Kadilengeng masih meninggalkan rasa sebah tetapi rindu terhadap sang istri, belum terlampiaskan. Sehingga rasa hati itu akhirnya terbayang diwajah kusut sang Prabu.Untuk mengobati segala rasa itu, segera ia mandi. Didalam mandinya, tetap yang terbayang adalah sang istri, Dewi Banowati.Setelah mandi ia berganti busana kependitaan hendak bersamadi menenangkan batin. Ubarampe persembahan utama telah disediakan berupa sebongkah kemenyan sebesar kepala kerbau yang diletakkan diatas pedupaan. Segera disulut dengan api secara hati hati, namun berkali kali gagal. Dalam sekian kali usaha akhirnya berhasil ia menyalakan pedupaan itu. Segera upacara dilakukan dengan duduk bersila, ia berusaha memusatkan perasaan heningnya, menutup semua sembilan lubang tubuhnya.Bau kembang gadung dan semerbak bunga menur tercampur akar akaran, mewangi tercampur dengan asap dupa yang berkeluk meliuk naik keangkasa berbaur mega, yang bila terlihat bagai bayangan sosok dewata.Tak lagi samar akan sinar pamor sang suksma yang melayang dikeheningan sepi. Yang tersimpan didalam kalbu sang Prabu hanyalah kunci pembuka pintu hati. Dalam keadaan yang setengah sadar, bagai pesat laju lepasnya mimpi, sang sukma Duryudana menyusup dalam kesejatian rasa.Namun belum tuntas dalam melakukan ritual itu, bayangan Dewi Banowati kembali membayang menggoda pemusatan rasa sang Prabu. Gagal sang Prabu mencapai puncak pemuja, kembali ia berusaha dari awal. Namun kembali ia gagalBerkali kali berusaha, berkali itu pula ia gagal dan gagal lagi. Murka sang Prabu Duryudana, ditendangnya pedupaan hingga pecah berantakan. Dalam hatinya ia memaki dewata yang dikiranya berbuat rencana buruk buat dirinya.Merasa tak lagi ada gunanya ia kembali ke Astina, segera dipanggilnya tunggangan sang Prabu, berrupa gajah putih bernama Kyai Pamuk. Segera dipacu tunggangan itu kembali ke Pesanggrahan Bulupitu, dengan secepat cepatnya. Ia hendak melampiaskan kekesalan yang menggunung tumpuk menumpuk

didadanya.Tak beberapa lama saking cepat lari sang gajah, sore itu sudah kembali ke pesanggrahan Bulupitu, yang ditinggalkan setelah ricuh tempo hari.Kembali ia menemukan kenyataan sangat pahit. Berita kematian adik iparnya, Jayadrata, membuatnya semakin murka.“Paman Pendita Durna, sudah berapa hari andika menjadi senapati ? Kesanggupan andika paman dalam menumpas Pandawa, meringkus Puntadewa selama itu tak kelihatan nyatanya ! Gugurnya anakku yang merupakan kehilangan lebih dari seisi harta kekayaan negara, sekarang telah andika tambahi dengan menyusulnya adipati Banakeling, Jayadrata ! Itukah yang andika telah lakukan dalam ujud pengabdian sebagai senapati ! Kalau boleh aku sebut, andika adalah seorang guru yang telah melakukan pilih kasih. Paduka sang Penembahan telah melakukan perbuatan dengan standar ganda. Raga andika ada di sekitar para Kurawa,namun dikedalaman hati, para Pandawalah yang bersemayam dalam hati. “Itu dapat dilihat dari pencapaian selama andika menjadi senapati. Hanya matinya Abimanyu-kah yang dapat andika lakukan ? Taklah itu seimbang dengan gugurnya Pangeran Pati Astina, satu satunya anakku lelaki sebagai penyambung keturunanku. Apakah aku sendiri yang harus maju menjadi senapati !” Pandita Durna yang dicerca sedemikian bertubi tubi, malu dalam hatinya. Melihat Prabu Duryudana masih hendak menyambung kata katanya, tak tahan ia. Segera pergi ia tanpa pamit. Dalam lubuk hatinya, sangatlah sakit diperlakukan demikian. Apalagi peristiwa kemarin hari, yang menyebabkan tewasnya adik iparnya, dan diusirnya Aswatama, membuat ia merasa bagai terkeping keping hancurnya hati.Kejadian di Bulupitu menjadikan Prabu Salya sangat prihatin. “Aduh anak Prabu, sudahkah anak Prabu berpikir jernih dengan kata katamu tadi ?” Salya yang dari tadi diam, berbicara ia mengingatkan. “Akan susut kekuatan Kurawa bila ia tidak lagi ada pada pihak kita. Ia belumlah melangkah ke palagan dengan kekuatan dirinya. Selama ini ia baru menggunakan kekuatan orang orang disekelillingnya. Seharusnya anak Prabu memberi kesempatan kepadanya dengan lebih luas untuk meringkus para Pandawa dengan kekuatannya sendiri.”Sesal sang Prabu tiada guna. Dipanggilnya patih Sangkuni “Paman Harya, segera susul Pandita Durna, sampaikan rasa sesalku yang tak kuat menahan beban rasa yang menggelayut didadaku. Mintalah ia segera untuk kembali ke Bulupitu”.“Daulat titah anak Prabu. Malam ini juga akan aku cari beliau. Tak akan pamanmu pulang, sebelum Kakang Durna ditemukan. Namun bolehkah hamba ditemani Aswatama ?”Tanya Sangkuni ragu, karena setahu ia , Aswatama telah menjadi orang yang tak disukai sang Prabu, ketika terjadi ricuh di

Bulupitu. Namun otaknya yang encer mengatakan, Aswatama-lah yang hendak dijadikan pasal untuk merayu kembalinya Dahyang Durna, bila ia ketemu nanti.“Terserahlah Paman mau ditemani siapa. Yang penting adalah kembalinya Pandita Durna”.Mundur Patih Harya Sangkuni sambil menghaturkan sembah. Sesampainya diluar, diperintahkan prajurit pecalang untuk menghadirkan Aswatama. Malam gelap itu ia ditemani anak Durna berjalan tanpa tujuan, mencari seseorang dengan jejak yang tak nampak. Sasar susur kedua orang itu malam yang pekat mencari keberadaan Pandita Durna. Tak terasa mereka telah jauh meninggalakan medan Kurusetra.Sementara di Bulupitu, merenung Prabu Duryudana memikirkan situasi yang terjadi atas barisannya. Setengah menyerah, setengah semangat berganti ganti terrasa didalam hatinya. Bagaimanapun juga, adanya orang tua itu telah menjadikan rasa dan pikirnya semangat, karena kesaktian gurunya itu sebenarnya sejajar dengan keberadaan Resi Bisma ketika itu, yang sama sama murid dari Ramaparasu. Petapa sakti yang panjang umurnya. Pertapa yang hidup sebelum jaman Ramayana berlaku hingga ia mempunyai murid Dewabrata dan Kumbayana yang kemudian ia dipanggil dewata sebagai penghuni kahyangan.Prabu Duryudana akhirnya ia berpikir akan negaranya, Astina, bila ia maju sendiri ke peperangan sebagai senapati.Bahkan sempat terlintas dipikirannya, bila ia mati dalam peperangan, maka suksesi kepemimpinan akan dikemanakan.Teringat tentang hal ini, dipanggilnya adiknya Arya Dursasana. Dalam pikirnya, ia harus menyiapkan pangeran pati baru sebagai pengganti anak sulungnya Lesmana Mandrakumara.“Adikku Dursasana, tahukah kenapa aku panggil kamu ?” Duryudana membuka pembicaraan dengan maksud menjajagi hati adik kesayangannya.“Tidak kanda prabu. Kalaupun hamba sudah dipanggil pastilah hamba bakal dipercaya menjadi senapati. Ngiler rasanya bagaikan ngidam rujak cempaluk. Cepatlah kanda Prabu mengatakan, sekaranglah hamba harus melangkah kemedan pertempuran sebagai seorang senapati melawan Pandawa”. Sudah menunggu sekian lama saya mengharap maju sebagai senapati, ikut perang di hari hari kemarinpunpun serba dibatasi. Apalagi dijadikan senapati. Hari ini hamba dipanggil, gembiranya hati adikmu ini bagaikan mendapat ganjaran yang tiada ternilai harganya. Perkenankan adikmu ini, untuk segera melangkah ke peperangan “. Harapan akan tugas sebagai senapati memenuhi dada Dursasana.“Jauh dari yang kamu harapkan”. Tegas kata sang Prabu.“Hah . . . bagaimana sebenarnya ?. Kecewa berat Dursasana mendengar jawaban kakak sulungnya itu dengan seribu tanya dihatinya.“ Hari ini, kamu saya suruh kamu pulang ke istana”. Makin tak

mengerti ia mendengar jawaban kakaknya. Belum jelas apa yang dimaksud kakaknya, ia melanjutkan “Apakah ada musuh yang menerabas dari belakang ?”“Ada pekerjaan yang harus kamu lakukan. Jagalah kakak mu Banuwati” Kaget setengah tak percaya ia mendengar titah kakaknya. Sampai sampai ia menanyakan kembali perintah itu, tapi jawabannya sama saja.Tidak puas Dursasana menawar “Bagaimanapun saya seorang prajurit, yang seharusnya maju ke medan perang. Kenapa haru kembali ke istana ? Kalau boleh kali ini hamba menolak perintah paduka”“Apa kamu tidak takut aku ?” tanya Duryudana mempengaruhi adiknya.“Takut ? Pasti. Karena kanda prabu adalah raja hamba, juga kakak sulung hamba”. Kecewa Dursasana makin dalam. Keringat dingin yang mengalir diwajahnya dibiarkan mengalir. Ia tak peduli dengan keadaan dirinya ketika batinnya berontak hebat.“Yang saya ingin sampaikan adalah, kekhawatiranku akan terjadinya apa apa terhadap kakak iparamu dan terhadap kamu sendiri”. Dijelaskannya maksud dari semua perintah terhadap adiknya.Tabiat Dursasana dikenal sebagai seorang Kurawa pemberani cenderung ugal ugalan. Maka ketika diberi tugas menjaga wanita, batinnya sangat tidak terima. Tetapi apa daya, rasa bakti terhadap kakaknya mengalahkan segalanya.Maka berangkatlah dengan langkah gontai, Raden Arya Prawira Dursasana. Semangat menggebu gebu diawal, terkubur oleh perintah kakaknya yang menyebabkan ia merasa, seakan didandani dengan bedak tebal dimukanya, dipoles bibirnya dengan gincu, sementara gelung rambutnya dirubah seperti bentuk gelung malang, gelung para wanita. Dalam perasaannya ia juga bagai dipakaikan kain minting minting bak dandanan wanita.**********

  QUOTE

25-05-2011, 10:59 AM   #104

izroilblackarmy aktivis kaskus 

 UserID: 509004

Baratayuda: Akhir Dendam yang Terpendam

By MasPatikrajaDewaku

Hari telah berganti lagi, pagi baru menjelang. Kekosongan senapati membuat putra Mandaraka, Burisrawa, adik Banuwati, tanpa diperintah telah mengambil alih peran Pandita Durna.

Join Date: Jul 2008Posts: 605

Segera ia menyusun barisan tanpa pola menyerang maju ke padang Kuru dengan ampyak awur awur, serabutan membabi buta.Ketika dilapori bahwa hari itu pasukan Bulupitu datang dengan pimpinan Burisrawa, Werkudara yang sedang berjaga di garis depan, pesanggrahan Randugumbala segera bersiap menghadang.Tetapi Setyaki, yang dari dulu sudah menjadi musuh bebuyutan, segera menyelonong kehadapan Arya Werkudara.“Kanda Arya, ini yang aku tunggu dari kemarin ! Sekaranglah waktunya yang tepat untuk menuntaskan dendam berkepanjangan antara aku dengan Burisrawa” ingatan Setyaki berbalik ke masa masa lalu, yang berkali kali gagal menuntaskan permusuhan bebuyutan dengan Burisrawa. Terakhir kali ingatnya, ia bertempur sewaktu mengikut Prabu Kresna ketika didaulat menjadi kusirnya sebagai duta terakhir sebelum pecah perang.“Bungkik, apa yang menjadi bekal kamu dalam menghadapi Burisrawa yang berbadan lebih besar dan kekuatan bagaikan orang hutan” Tanya Werkudara meyakinkan tekad Setyaki.“Yang paling utama adalah tekad !” jawab Setyaki yakin.“Tekad tidak cukup !” kembali Werkudara menjawab“Jadi harus bagaimana ?” tanya Setyaki memancing.“Sebelum kamu maju menghadapi Burisrawa, akan aku uji dulu kekuatanmu !“ Werkudara menawarkan cara“Silakan kanda Arya !” Setyaki bersiap diri.“Angkat Gada Lukitasari punyaku, bila kau sanggup mengangkatnya, kamu pantas menghadapi Burisrawa”. Ujian pertama ditawarkan.Segera disorongkan batang gada kehadapan Setyaki, dengan sekali usaha, terangkat gada super berat Arya Bimasena.“Bagus , kamu memang pantas menyandang nama Bima Kunting !” . Bima Kunting artinya adalah Bima dengan tubuh kecil. Dijuluki demikian, Setyaki tetap bangga.“Tapi itu belum cukup ! Satu lagi, bila kamu bisa kuat menerima pukulan gadaku ini, kamu boleh berangkat sekarang !.” Kembali ujian kedua ditawarkan.“Silakan kanda.” Kembali Setyaki bersiap diri.Dipukulnya Setyaki dengan gada Rujakpolo. Gelegar suara benturan badan Setyaki dengan batang gada bahkan menggetarkan tanah tempat Setyaki berpijak. Gelegar suara itu bagai menerpa batang baja. Setyaki tetap bergeming. Gembira Werkudara menyaksikan kekuatan adik misannya.“Ayoh berangkat akan aku awasi dari jauh !” Werkudara memberi aba abaBangga Setyaki lulus dalam ujian yang tidak ringan itu.Semakin percaya diri Setyaki menghadapi Burisrawa. Iapun sesumbar. “Nanti siapapun yang kalah, tak ada seorangpun yang boleh membantu !”

Maka berhadapanlah kedua satria yang sudah lama saling mendendam. Bara dendam memercikkan semangat untuk saling mengalahkan dalam arena resmi ini. Mereka berdua bertekad untuk menyelesaikan adu kekuatan dengan kemenangan.“Heee Setyaki yang datang menjemput aku, sudah bosan rasanya aku melihat kamu lagi. Kali ini adalah kali yang terakhir. Aku tak mau melihat tampangmu lagi. Biar aku tekuk kamu sekarng ! Tidak mungkin kamu mengalahkan aku !”“Apapun katamu, sekarang tak ada lagi yang bakal menunda kematianmu !”.“Apa yang kamu andalkan ? Besarnya badan, lebih besar aku. Kekuatan pasti lebih kuat aku. Majulah kemari orang kecil, terkena sambaran kakiku lunas nyawamu !”“Jangan banyak mulut, serang aku sekarang juga !”Adu kekuatan mulanya berjalan seimbang. Pukulan tangan kosong dada Setyaki dilancarkan Burisrawa. Berkelit sambil memiringkan badan Setyaki menghindar sambil mengayunkan sapuan kaki kanannya. Tak mau terkena sasaran kaki Setyaki, Burisrawa meloncat. Sambil berbalik badan, kakinya mengarah ke leher Setyaki.Kali ini benturan tak dapat dielakkan lagi, Setyaki merunduk sambil mengerahkan kekuatan ditangannya, kaki Burisrawa ditebas dengan tangan berkekuatan penuh. Benturan keras terjadi. Sementara tangan Setyaki kesemutan, Burisrawa mendaratkan kakinya dengan terpincang pincang.Kembali adu kekuatan kaki dan tangan keduanya berlangsung silih berganti. Saling serang dengan kekuatan raksasa, diselingi dengan ketangkasan beradu gada.Setengah hari telah berlalu. Lama kelamaan kekuatan tenaga dari kedua satria itu makin dapat ditebak keseimbangannya. Walaupun Setyaki bertenaga raksasa penjelmaan raksasa Singa Mulangjaya, namun Burisrawa adalah anak raja Mandaraka yang hampir tak pernah betah tinggal di istana. Ia lebih suka berkelana dihutan hutan hingga kesisi lautan. Berguru pada berbagai orang sakti, hingga Batari Durga dan Betara Kala sekalipun pernah menjadi gurunya. Tak heran ia menjadi manusia dengan kekuatan gorila, karena rajinnya ia mencari kesaktian dan menyadap kekuatan alam.Maka pada suatu saat, Setyaki terkunci oleh gerak pitingan Burisrawa. Setyaki mengerahkan seluruh kekuatannya, tetapi bagai terjepit ragum baja raksasa, rontaannya tak sanggup ia lepas dari jepitan kekuatan raksasa Burisrawa.Bangga Burisrawa akan usahanya menjepit Setyaki “Disini akhir hidupmu Setyaki. Akan aku patahkan tulang belulangmu sedikit demi sedikit, agar kamu tahu, betapa sakitnya berani beraninya melawan Burisrawa !”.Belas kasih Prabu Kresna melihat adik istrinya, Setyaboma, terjepit oleh kekuatan raksasa Burisrawa. Tapi di awal sudah ada perjanjian antar keduanya, bahwa peperangan tanding itu tidak

boleh dibantu oleh siapapun. Tak kurang akal, Kresna memanggil Arjuna hendak melakukan sandiwara agar adik iparnya itu dapat ditolong.“Arjuna, aku masih ragu terhadap trauma atas kematian anak anakmu. Apakah jiwamu sudah penuh kembali seperti semula atau belum ! Karena masih banyak para sakti yang masih bermukim di pesanggrahan Bulupitu. Ujian akan aku berikan, hingga aku tahu sampai dimana kembalinya pemusatan pikirmu. Sekarang aku uji pemusatan pikiranmu, dengan memanah sehelai rambut yang ada ditanganku ini, kenai dengan panahmu Kyai Pasopati . . !”“Marilah kanda Prabu, akan aku buktikan kembalinya kekuatan jiwa ragaku” mantap Arjuna menerima tantangan ujian itu.Terlepas panah Pasupati memutus rambut yang terpegang Prabu Kresna, tetapi sejatinya, arah yang diharapkan Prabu Kresna adalah searah dengan keberadaan Burisrawa yang tengah memiting Setyaki. Maka tak ayal lagi terserempet Kyai Pasupati, lengan Burisrawa terputus, tergeletak jatuh ketanah.Merasa pitingan lawan kendor, disertai raungan kesakitan Burisrawa, Setyaki punya kesempatan meraih gadanya. Dipukul kepala Burisrawa berkali kali, tewas seketika Burisrawa.Bangga Setyaki melihat lawannya tergeletak tak bernyawa lagi. “Huh Burisrawa . . . ! Sumbarmu bagai hendak memecahkan langit ! Kepentok kesaktianku, mati kamu sekarang !” berkacak pinggang Setyaki didepan jasad Burisrawa.“Setyaki siapa yang membunuh Burisrawa ?” Kresna yang menyusul kearah Setyaki menjajagi rasa bangga Setyaki.“Tentu saja adikmu yang gagah sentosa ini !” kebanggaan Setyaki belum habis juga“Coba lihat sekali lagi, apa penyebab kamu bisa lepas dari pitingan lawanmu ?” tanya Kresna.“Oooh . . . . . jadi lengannya telah putus lebih dulu sebelum hamba pukul kepalanya ?”“Makanya jadi orang jangan pandir, hayuh minggir , lihat ayah Burisrawa, Prabu Salya tidak terima !” Buru buru Setyaki diseret Prabu Kresna agar menjauhi jasad Burisrawa.Memang yang terjadi adalah Prabu Salya hendak maju kemedan perang. Tapi tak tega Prabu Duryudana segera memegangi Prabu Salya, agar berlaku sabar terlebih dulu. Duryudana merasa belum saatnya sang mertua untuk bertindak walaupun tahu betapa sedihnya hati orang tua itu tatkala melihat anaknya lelaki yang tinggal satu itu, setelah kematian kakak Burisrawa, Rukmarata, maka yang tertinggal adalah ketiga anak perempuannya, Erawati, Surtikanti dan Banuwati.

  QUOTE

25-05-2011, 11:13 AM   #105

izroilblackarmy Baratayuda:

aktivis kaskus 

 UserID: 509004 Join Date: Jul 2008Posts: 605

Mahalnya Sebuah

Harga Diri 1

By MasPatikrajaDewaku

Kembali kita ke taman Kadilengeng. Siang belum lagi menjelang, Dewi Banowati mencoba menyenangkan hati dengan berjalan jalan ditaman sari. Taman yang jalur jalannya lajur demi lajur dihampar batu akik hijau merah biru putih dan keemasan. Diterpa sinar matahari yang belum naik sempurna memancarkan sinar semburat bagai warna pelangi. Disuatu tempat yang menjadi kesukaannya, sang Dewi duduk diatas batu marmer putih mengkilap yang direka pokok kayu. Terpesona sang Dewi memandang taman yang asri itu dengan berbagai macam tanaman. Tanaman hias dalam jambangan yang ditata teliti, berpasang pasang, serasi warnanya dengan paduan bunga bunga yang

harum mewangi. Tidak hanya dalam jambangan, bunga bunga perdu juga menghias hamparan taman bergerombol disela sela rumput lembut.Bertambah indah suasana taman dengan terbangunnya rekaan telaga yang berair biru bening dengan berbagai macam ikan warna emas, merah, putih dan warna tembaga yang ditebar. Bila diterpa sinar matahari, seakan ikan ikan itu bagaikan bintang bintang malam yang saling bertukar tempat.Tersenyum puas sang Dewi dengan kerja para abdi dalem yang setiap waktu memelihara dengan penuh cinta. Sejenak ia melupakan keresahan hati memikirkan perang yang belum juga usai. Resah hati yang membawanya setiap malam membakar sesaji dengan pedupaan yang bertumpuk tumpuk. Dalam setiap pemujaan sang Dewi selalu berharap, agar segeralah selesai perang yang sedang berkecamuk. Untuk

kemenangan siapa, hanya Dewi Banowati saja yang tahu.Belum puas Sang Dewi menikmati indahnya suasana, kali ini ia kembali kaget dengan kedatangan adik iparnya, Raden Dursasana. Ketika diketahui yang datang adalalah adik ipar yang tidak ia senangi, yang bertingkah laku mirip dengan adiknya sendiri, Burisrawa, setengah malas ia melambaikan tangannya agar iparnya itu segera mendekat. Dursasana segera menyampaikan sembahnya, kemudian duduk dengan takzim.Terheran Dewi Banowati dengan kedatangan adik iparnya bergantian dengan suaminya yang hari hari kemarin datang. Dalam hatinya ia bertanya, ada kejadian apa lagi di peperangan. Siapa lagikah korban peperangan yang hendak dilaporkannya. Mudah mudahan hati ini kuat mendengar apapun yang terjadi. Atau

ada sesuatukah yang sangat perlu, hingga adik iparnya yang dikenal sebagai manusia yang penuh kekerasan meninggalkan peperangan yang keras itu, tetapi malah datang ke taman sari. Tempat indah penuh kelembutan. Seribu tanya ia simpan sejenak.Basa basi sang Dewi bertanya, “Baik baik sajakah kedatanganmu, adikku ?”.“Sembah hamba kehadapan kakanda Banowati”. Dursasana menghaturkan baktinya.“Apakah perang sudah selesai ?” tak sabar sang Dewi ingin mengetahui apa yang terjadi.Dursasanapun mulai mengawali menceriterakan kenapa ia diminta untuk kembali ke istana.“Pertama, kami mengabarkan kepada kanda Dewi, bahwa adik paduka Arya Burisrawa telah tewas dalam peperangan”. Dewi Banuwati kembali hanya terdiam sesaat, seperti yang pernah terjadi ketika

putranya, Lesmana Mandrakumara, tewas. Ia hanya melihat kedepan dengan tatapan kosong, tak ada rasa sedih yang terbersit dari wajahnya.Banuwati dan Burisrawa, walaupun kakak beradik, dan pada kesehariannya keduanya sering bersama ada di Astina. Tetapi keduanya tidaklah seperti kakak beradik yang dekat dihati satu sama lain. Banuwati malah lebih dekat kepada adiknya yang jauh, dan lebih senang bersama ayah ibunya di Mandaraka, Arya Rukmarata, yang kini juga telah tewas.Sama seperti adik iparnya, Dursasana, Burisrawa adalah manusia yang liar dan cenderung ugal ugalan. Kesamaan itu yang membuat Burisrawa dekat dengan Dursasana. Mereka hanya renggang bila Burisrawa sudah bosan dengan suasana resmi istana, dan kabur ke hutan hingga berbulan bulan, baru ia kembali lagi ke Astina. Apalagi setelah Burisrawa

gagal mempersunting Wara Sumbadra kala itu, hingga ia bersumpah, tak akan ia pulang ke Mandaraka, bila ia belum bisa mempersunting dewi impiannya yang gagal, atau memperistri wanita yang mirip dengan Sumbadra, seperti yang pernah diceriterakan.Akhirnya setelah diam sebentar, kata pasrahlah yang terucap dari bibir Banuwati “Perang itu, kalau tidak kalah ya menang. Kalau tidak membunuh, ia akan dibunuh. Kalau Burisrawa terbunuh, itu adalah bagian dari kodrat perang itu sendiri”Mahfum dengan watak kakak iparnya, Dursasana kembali melanjutkan, “Yang kedua, adikmu diutus kanda Prabu, untuk kembali ke istana”.“Dan hal inilah yang saya tidak mengerti, kenapa saya sebagai pangeran sepuh yang sekarang dijadikan pangeran pati sekaligus, harus disingkirkan, dan harus dikembalikan ke istana. Terus terang saja, kali ini

saya ditugaskan oleh kakanda Prabu, untuk menjagai keberadaan paduka kanda Banowati”.“Kalau begitu, kanda Prabu sebenarnya sedikit banyak mempunyai rasa curiga terhadap aku, begitukah ? Banuwati mulai kesal dengan apa yang sebenarnya terjadi. Pikirnya, apakah ini buntut dari kericuhan kemarin ketika suaminya datang ?“Ya, kira kira begitu. Saya juga tidak pernah bertanya lebih jauh kepada kanda Prabu, karena saya ini apalah. Hanya sebagai adiknya dan hanya sebagai abdinya. Dititahkan apapun hamba tidak akan sanggup menolak”. Dursasana sudah mulai jengah. Inilah suasana yang sudah ia ia bayangkan sebelumnya. Suasana yang paling tidak senangi, bergaul dengan wanita, apalagi wanita itu adalah kakak iparnya yang walau cantik, namun dimatanya ada sinar yang warna cahayanya sebagai sorot warna ndaru braja, komet

berracun. Hal inilah yang membuat Dursasana menjadi serba salah duduknya. Bergeser geser mencari posisi yang enak, namun tak juga ia menemukan posisi duduk yang nyaman. Gerah rasa seluruh tubuhnya, walau angin pagi masih tersisa bertiup membawa uap embun yang baru saja kering. Tak urung keringat sudah membasahi seluruh tubuhnya.

  QUOTE

  #106

izroilblackarmy aktivis kaskus 

 UserID: 509004 Join Date: Jul 2008Posts: 605

Baratayuda: Mahalnya

Sebuah Harga Diri 2

By MasPatikrajaDewaku

“ Menungguiku, apaku yang ditunggui. Katakan ! Kamu itu jadi seorang satria kok begitu bodoh, begitu dungunya ! “ berubah menjadi galak Dewi Banuwati. Suasana indahnya taman sudah hilang dari perasaannya.

“Apa sebabnya, saya yang hanya diperintah, kenapa saya dibodoh-bodohkan, didungu dungukan. Silakan kanda Dewi menjelaskan . . ” Dursasana menyabarkan diri. Mungkin bila ini bukan istri kakaknya ia sudah berdiri marah atau bahkan tangannya sudah melayang. Tabiat Dursasana yang tidak sabaran sebenarnya sudah mencapai ambang batas kekuatan menahan, namun rasa hormat kepada kakak sulungnya, tak pelak lagi mengorbankan habis sifat urakan yang menjadi ciri dari lahir. Bahkan gerakan tangannya yang biasanya tak pernah diam seakan terkunci ketat erat.“Sebenarnya kamu itu sedang dicoba oleh kakakmu itu. Satria itu seharusnya berperang. Tetapi kakakmu mengatakan kamu harus kembali ke istana. Kenapa kamu menerima perintah itu dengan begitu lugunya. Apakah itu bukan dikatakan sebagai satria bodoh yang penakut dan jeri akan tumpahnya

darah !” Menuding nuding sang Dewi sambil bangkit dari duduknya dan berkacak pinggang. Panas hatinya dicurigai akan berbuat yang tidak tidak.“Bukan itu kanda Dewi, yang memerintah tidak salah, yang diperintah juga tidak salah. Tetapi kenapa hamba yang diperintah dimarahi seperti ini ? Tapi terus terang kemarahan ini menjadi bahan pelajaran dimasa datang. Dan takut hamba terhadap kemarahan paduka kanda Dewi, hamba lebih takut akan kemurkaan kanda Prabu Duryudana”. Masih mencoba sabar Dursasana. “Dan bila hamba disuruh maju perang, maka betapapun saktinya lawan, akan hamba laksanakan titah kanda Prabu dengan senang hati”.“Duh . . Sumbarmu ! Seperti bisa memecahkan balok besi, menjilat panasnya besi membara ! Sinis dewi Banawati berkata.“Dapat hamba buktikan ! Bila

kanda Dewi mengatakan hamba ini satria bodoh yang takut perang, hal itu adalah sebaliknya. Dan bila hamba diperintah untuk menjagai wanita, yang terjadi sebenarnya adalah . . . . . , kanda Prabu itu orang yang kelewat sabar . .”. Berhenti sejenak Dursasana ragu mengatakan, namun sejurus kemudian ia melanjutkan. “Tidak ada orang yang sabar didunia ini melebihi kanda Prabu. Walaupun di istana ini sebenarnya terdapat tanaman yang sangat berbisa, yang selalu tumbuh dan tumbuh dengan subur, yang pada akhirnya akan membuat gatal orang senegara. Tapi karena besarnya cinta kanda Prabu terhadap tanaman itu, maka yang terlihat, hanya bentuk dan rupanya yang cantik saja, sementara bisa racunnya tidak dihiraukan . . . “.Kamu mengatakan begitu, aku ini kamu anggap apa ? bagaikan mendidih, darah diubun ubun dewi Banuwati, yang merasa dikenai hatinya.

“Nanti dulu . . , kalaupun hamba mengatakan perumpamaan terdapat tanaman berbisa yang dipelihara kanda Prabu, terus terang saja kanda Banowati, yang sebagai istri kanda Prabu, sebenarnya, paduka kanda Dewi tidak cinta lahir batin kepada kanda Prabu Duryudana. Kalau dilihat sepintas, perilaku kanda Dewi terhadap kanda Prabu itu seperti cinta yang sebenar benarnya. Tetapi hal itu hanya terhenti dalam tata lahir, dan dalam hati kanda Dewi yang sebenarnya, orang dinegara Astina ini sudah tahu semuanya. Termasuk hamba sendiri”. Keterus terangan Dursasana makin menjadi-jadi, ia memuntahkan seluruh isi hatinya. Ia melampiaskan belenggu rasa yang dari tadi menjerat erat“Bagaimana ? Apa yang kamu ucapkan tadi itu, dihatiku cinta sama siapa ?” Banuwati menantang. Walaupun jawaban yang akan diucapkan

oleh adik iparnya itu sebenarnya dirasa mudah untuk ditebak jawabannya, tapi ia masih hendak mencoba mencocokkan dengan perkiraannya.“Terus terang tadinya hamba tidak akan mengatakan sampai kesitu, tapi karena kanda Dewi sendiri yang menantang, akan hamba buka yang sebenarnya terjadi. Kanda pasti tahu, sesuatu yang tersimpan dihati kelamaan akan menjadi penyakit, sekarang sebaiknya hamba keluarkan unek unek dihati hamba”.Dibawah sorot mata tajam kakak iparnya ia melanjutkan curahan isi hatinya. Terlanjur basah, mandi sajalah sekalian, pikirnya. Masalah ada aduan yang sampai kepada kakak sulungnya, itu soal nanti. Sekarang sekarang, nanti ya nanti. Kebiasaannya dalam berpikir pendek, menjadikannya ia meneruskan kata katanya dengan lancar.“Saya memperhatikan setiap kali ada

perang tanding antara Kurawa dan Pandawa, bila ada warga Pandawa yang menang, paduka bergembira dengan membagi bagikan hadiah kepada abdi dalem dan siapapun. Itu salah satu buktinya. Sebaliknya ? Contoh terakhir, ketika putra Paduka, Lesmana Sarojakusuma tewas, paduka menyalahkan kanda Prabu dan putra paduka sendiri, tetapi ketika Abimanyu yang tewas, paduka menangis histeris. Itu kejadiannya !Maka pada setiap semedi, paduka kanda Dewi selalu memohon dewata, kapan kiranya Baratayuda berakhir dan Kurawa kalah serta musnah. Dengan demikian kanda Dewi dapat segera melaksanakan keinginan kanda Dewi untuk menjadi keset Arjuna. Iya kan ? Habis sudah, tumpah ruah segala kesah hati Dursasana tercurah.“Keparat kamu Dursasana ! Kamu megucapkan sesuatu tanpa perhitungan. Ketahuan kamu sebagai satria yang

takut darah, malah menguak rahasia orang lain. Kalau memang kamu sebagai satria sejati, dan kalau aku diberi wewenang untuk menjagokan, kamu aku adu dengan Arjuna, berani kamu ? Habis kesabaran Banuwati. Kebanggaanya akan Arjuna dimunculkan dengan tidak malu malu lagi.“Jangankan Arjuna, Pendawa lima maju bersama tak akan hamba mundur sejangkah !” Kembali Dursasana sesumbar. Panas hatinya sudah semakin membakar perasaannya. Bahkan tempat yang didudukinya sudah terasa bagai beralaskan paku membara.“Sumbarmu ! Tetapi kamupun bisa menang bila aku adu kamu dengan Arjuna, bila sudah terjadi kodok memakan liang nya !” Banuwati yang sudah terkena dengan telak isi hati dan kelakuan dibelakang suaminya serta bosan dengan kericuhan yang terjadi segera berbalik badan meninggalkan

Dursasana yang tertawa senang sekaligus panas hatinya karena kata kata kakak iparnya.Berdiri Arya Dursasana, setelah ditinggalkan Banuwati, lega rasanya seakan ia sudah terbebas sangkar yang mengurungnya. Dipandanginya kepergian Banuwati dengan berkacak pinggang dan muka yang ditengadahkan. Puas tetapi panas.“Kena kamu Banuwati ! lagakmu seperti orang yang suci, tidak menengok ke tengkuk sendiri menuduh orang yang tidak tidak. Aku buka rahasiamu, mencak mencak seperti orang kalap. Kamu anggap aku ini apa ? Kalau kamu bukan istri kakakku sudah aku . . . . . . . Huhh . . ! Apakah aku kelihatan seperti orang yang bergelung malang dengan bibir berpoles gincu, diberi bedak tebal mukaku dan dipakaikan kemben tubuhku ? Lihat apa yang akan aku lakukan untuk membuktikan kata kataku.

Hari ini tak usah aku meminta ijin dari kanda Prabu, akan aku penggal kepala Arjuna, sekaligus semua saudaranya”. Panas hati Dursasanamembawa keputusannya untuk kembali melangkah ke hamparan padang Kuru.

KumbayanaSyahdan prabu Kurupati mengadakan pembicaraan dengan para Korawa, tampak hadir patih Sakuni, raden arya Dursasana, Durmagati, Kartamarma, Surtayu, Citraksa dan Citraksi. Masalahnya berkisar pada kehendak raja untuk mendapatkan pusaka mendiang prabu Pandudewanata ( Gandawastra ) yang bernama cupu Madiwara, konon berisi lisah (minyak) tala, sangat sakti dan bertuah. Barang siapa yang dapat memilikinya, akan terkabul segala permintaannya, sayang sekali pusaka tersebut sekarang jauh di dalam sumur Jalatundha. Kehendak raja tiada berubah untuk memilikinya, patih arya Sakuni beserta para Korawa ditugaskan oleh raja untuk pergi ke sumur Jalatundha mendapatkan cupu Madiwara tersebut, maka berangkatlah mereka menunaikan tugasnya.

Raja pun segera pergi melapor kepada ayah dan ibundanya, ialah bagawan Dastarastra dan Dewi Anggendarim bahwasanya hari itu telah mengutus arya Sakuni dan para Korawa pergi ke sumur Jalatundha untuk mendapatkan cupu Madiwara yang berisi lisah Tala. Bagawan Dastarastra beserta permaisuri sangat bersukacita mendengarnya.

Di kerajaan Bulukatiga, prabu Krepaya berputra dua orang, yang tertua bernama raden Krepa, dan yang muda adiknya bernama Dewi Krepini, yang sudah dewasa juga. Prabu Krepaya berkehendak akan mengawinkan anaknya raden Krepa, patih Dendapati mendukung akan maksud raja. Raja bersabda pula bahwasanya tersiar berira, di seberang daratan negara tetangga, ada suatu kerajaan namanya Cempalareja, raden arya Gandamanalah yang memerintahnya. Pada waktu ini raden Gandamana mengadakan sayembara prang, barang siap yang dapat mengalahkannya dalam pertempuran dengan raden Gandamana, akan mendapat putri boyongan adiknya, yang bernama Dewi Gandawati, lagipula akan dinobatkan menjadi raja di kerajaan Cempalareja.

Kepada raden Krepa, ayahandanya menanyakan apakah bersedia dikimpoikan dengan Dewi Gandawati, dijawab bersedia. Selanjutnya raja bertitah kepada wadyabala raksasanya, utnuk memasuki sayembara prang, kelak jika mereka menang, kepadanya akan diberikan hadiah dan penghargaan. Berangkatlah utusan raja, wadyabala rotadanawa terdiri dari Kalasaramba, Kalasarana, Kalakardana, dan pandu jalannya kyai Togog dan Sarawita, berangkat menuju Cempalareja. Dipertengahan jalan, mereka bertemu dengan wadyabala Astina, sehingga terjadi peperangan.Mereka masing-masing berkehendak untuk melibatkan lebih jauh dalam perselisihan, sehingga kedyua-duanya pun melanjutkan perjalanannya masing-masing.

Di pertapaan Retawu begawan Abyasa duduk di sanggar pemujaan dihadap cucundanya raden Pamade, beserta para panakawan kyai lurah Semar, Nalagareng, dan Petruk. Telah putus segala ilmu pengetahuan kebijaksanaan dan keperwiraan yang diberikan begawan Abyasa kepada cucunya raden Pamade, kepadanya diperintahkan pada hari itu juga harus cepat-cepat kembali ke praja Amarta. Selanjutnya diberitakan pula, bahwasanya bagawan Abyasa mendapat petunjuk dewata, bahwasanya akan datang di tanah Jawa, pandita yang sangat arif dan bijaksana, lagipula pandita tersebut sangat menguasai segala ilmu dan aji kawijayan. Kepada Para Pandawa ditugaskan untuk mendekati begawan pandita tersebut, dan kepadanya hendaknya yang berisi lisah (minyak) Tala, konon cupu Madiwara tersebut milik prabu Pandudewanata yang dibuwangnya kedalam sumur Jalatunda. Radem Pamade setelah menerima segala sabda sang begawan Abyasa, segera bermohon diri, untuk segera menuju praja Amarta, tak ketinggalan kyai lurah Semar, Nalagareng dan Petruk turut mengiringkannya. Dalam perjalanan menuju Amarta, di tengah hutan bertemu dengan raksasa, terjadilah peperangan, raden Pamade dapat membunuhnya.

Ada seorang raja 'namanya Baratmeja, sangat arif dan bijaksana , algipula sang raja juga seorang resi dan padanya sifat-sifat kepanditaannya sangat menonjol, terkenallah sudah dengan sebutannya raja pandita gunung Jebangan, di tanah Atasangin.Pada suatu ketika raja pandita Baratmeja berkenan berbincang-bincang dengan putranya, yang bernama Bambang Kumbayana, dia tak ubahnya dengan sang raja pandita, muda bijaksana dan sangat sakti memiliki segala ilmu keprajuritan, lagi pula rupawan dan baik hati. Kepadanya raja pandita Baratmeja menyampaikan keinginannya, Bambang Kumbayana diharapkan dengan sangat untuk mencari jodoh, manakala pula sudah waktunya mempersunting kenya. Agaknya Bambang Kumbayana tak dapat memenuhi anjuran ayahandanya untuk segera mencari pasangan hidupny, kepadanya diceritakan pula oleh sang raja pandita bahwasanya di kerajaan Cempalareja tersiar kabar diadakan sayembara prang. Maksud sayembara prang. Maksud sayembara tersebut, barang siapa dapat

bertanding dan mengalahkan ksatriya Cempalareja yang bernama Gandamana, si pemenang akan dirajakan di Cempalareja, lagipula akan diperjodohkan dengan saudara tuanya yang bernama retna Gandawati, raja pandita selanjutnya menjelaskan bahwasanya banyak raja-raja yang menginginkan retna andawati, malahan keponakannya sendiri, ialah raden Sucitra malahan telah mendahului pergi memasuki sayembara, Bambang Kumbayana segera diseyogyakan untuk menyusul keberangkatan raden sucitra.Setelah jelas segala yang dipesankan oleh ayahandanya, berangkatlah Bambang Kumbayana ke kerajaan Cempalareja.

Dalam perjalanannya, sampailah sudah Bambang Kumbayana di tepian bengawan yang baru pasang airnya, sangat susahlah Bambang Kumbayana menghadapi keadaan yang demikian itu, sehingga tercetuslah ungkapan janjinya, barang siapa saja yang dapat membawanya ke seberang, kalau lelaki akan dijadikan saudaranya, dan kalau wanita akan dijadikan jodohnya. Janji Bambang Kumbayana didengar pula oleh para Dewa, maka muncullah seekor kuda betina dihadapan Bambang Kumbayana. Sangat senang Bamabng Kumbayana menemukan seekor kuda tinggangan, segera dinaikinya dan dibawanya menyeberang. Manakala sedang di atas kuda, Bambang Kumbayana melamun akan keindahan paras Dewi Gandawati, sehingga dengan tak disadarinya keluarlah airmaninya.

Airmani yang jatuh berubah menjadi buih-buih, k uda betina menjilatinya buih-buih tadi, selama dalam penyeberangan, sudah menjadi kehendak Dewa kuda betina mengandung. Sampailah sudah di seberang bengawan. Bamabng Kumbayana turun dari punggung kuda, namun kuda yang telah dileas, tak mau juga untuk pergi menjauh. Berjkali-kali diusir, sekian kali mendekat pula. Bambang Kumbayana ingat akan janji yang telah diucapkannya, menjadari tindakan kuda betina sangat mencurigakan, jika sekiranya bukan kuda tentu saja gerak-geriknya mengajak untuk bermain asmara. Sangat malu Bambang Kumbayana melihat kejadian tersebut, diunusnya kerisnya dan ditikam, mati. Keluarlah dari bekas goresan keris yang diperut kuda seorang bayi menangis merengek-rengek, namun bangkai kuda hilang tak berbekas. Bamabng Kumbayana terheran-heran, bayi didekatinya. Tak lama tampaklah seorang bidadari amat cantik turun ke bumi mendekati Bambang Kumbayana, namanya Dewi Wilutama. Sang Dewi mengata-katai Bambang Kumbayana, di mana sudah ingkar akan janjinya. Sadar akan kekeliruannya, Bambang Kumbayana segera memungut bayi, dan menamakan Bambang Aswatama, melanjutkan perjalannya.

Prabu Krepaya, raja dari kerajaan Bulukatiga yang sedang dihadap oleh petihnya yang bernama Dendapati, menerima laporan inang karaton. Bahwasanya putra raja bernama Dewi Krepini, tak sadarkan diri, apa yang menyebabkan inang pengasuh tadi tak dapat

melaporkan, tentu saja raja sangat gugup mendengar laporan tersebut, segera raja pergi ke tempat parduan putrinya di dalam kraton.

Setelah raja bertemu dengan permaisuri ialah Dewi Astuti, segera dilaporkannya bahwa putri raja telah sadarkan diri, dan bahwasanya putri raja dalam tidurnya telah bermimpi bertemu dengan seorang ksatriya yang sangat rupawan bernama Bambang Kumbayana, berasal dari Atasangin. Mendengar laporan permaisuri, raja bertekad menemukan Bambang Kumbayana , dan kepada permaisuri raja bersabda akan pergi sendiri, kepada putrinya diperintahkan untuk bersuci diri, memandikan seluruh anggota badannya dengan Wewangian.

Bambang Kumbayana yang merasa dirinya sangat letih menggendong bayi Bambang Aswatama, beristirahat di bawah pohon yang rindang di tengah hutan. Datanglah prabu Krepaya, setelah dipersilahkan duduk, mereka terlihat dalam percakapan-percakapan yang menarik. Bambang Kumbayana setelah memperkenalkan diri, kepadanya diajukan pengusulan apakah bersedia dijodohkan dengan putri prabu Krepaya yang bernama Dewi Krepini, Bambang Kumbayana menolak. Akhirnya terjadilah peperangan, Bambang Kumbayana dapat ditundukan, dan dibawanya ke kerajaan Bulutiga. Sesampai di istana, Bambang Kumbayana diperintahkan menunggu di luar kadhataon, prabu Krepaya menemui Dewi Astuti sang permaisuri dan putrinya Dewi Krepini, kepada mereka dijelaskan bahwasanya Bambang Kumbayana telah berada di luar kedhaton. Raja memutuskan mereka segera dijodohkan, Dewi Krepini menjadi istri Bambang Kumbayana. Pada suatu malam penganten, Bambang Kumbayana terpaksa menerangkan kepada istrinya ialah Dewi Krepini, bahwasanya bayi yang dibawanya adalah putra Bambang Kumbayana, Dewi Krepini menyadarinya, kepadanya segera disarankan untuk mengambil putra dan untuk disusui bayi bayi Bambang Aswatama, sudah menjadi kehendak dewa. Bayi yang tidak terlahir dari rahim Dewi Krepini, namun keluar juga air susuibu dari Dewi Krepini. Seluruh istana, para kawula praja, prabu Krepaya dan permaisuri Dewi Astuti, sangat bergembira mendapatkan cucu seorang bayi rupawan, menganggapnya sebagai putra pujan (ciptaan). Bambang Kumbayana, pada suatu malam, dikala seluruh isi penghuni istana lelap tidur, pergi meninggalkan istri dan istana Bulutiga, untuk melanjutkan perjalanannya, tak seorangpun yang tahu kemana perginya.

  QUOTE

12-06-2011, 08:41 AM   #114

izroilblackarmy aktivis kaskus

Kumbayana

 

 UserID: 509004 Join Date: Jul 2008Posts: 605

2

Raden arya Gandamana, dihadap patih Trustaketu dan wadyabalanya menerima kedatangan ksatriya rupawan dari Atasangin, bernama Bambang Sucitra. Setelah diketahui bahwa kedatangannya tak lain akan memasuki sayembara prang, segera radem arya Gandamana memerintahkan kepada patih Trustaketu untuk mempersiapkan papan laga di alun-alun, di mana keduanya segera memasuki arena pertarungan. Raden arya Gandamana dan Bambang Sucutra bertarung dengan segala kekuatan, mengadu segala kesaktian, namun dengan gada sakti Bambang Sucitra, dan selanjutnya hendaknya dinobatkan menjadi raja menggantikan arya Gandamana, tak lupa segeralah dijodohkan dengan Dewi Gandawati. Jadilah sudah Bambang Sucitra menjadi raja di kerajaan Cempalareja,

beristrikan Dewi Gandawati, adapun radem arya Gandamana lolos dari kerajaan pergi menurutkan kehendak hatinya, melanglang bumi.

Dalam perjalanannya, di tengah jalan bertemu dengan Bambang Kumbayana, dan setelah kedua-duanya menjelaskan nama beserta asal lagi pula maksud dan tujuannya, raden arya Gandamana bangkit kemarahannya kepada Bambang Kumbayana, dipukulnya dihajar habis-habisan Bambang Kumbayana . Kadua lengannya dibengkokan, Bambang Kumbayana mengaduh kesakitan, dan jatuh tak sadarkan diri. Bambang Kumbayana segera dilempar jauh-jauh oleh raden arya Gandamana, konon jatuh di bawah pohon Soka yang jumlahnya 5 buah. Hyang Narada dan hyang Bayu turun ke bumi, mendekati Bambang Kumbayana, dan dirinya segera

ditetesi air Kamandanu, seketika bangkit dari ketidaksadarannya, akan tetapi sebagian anggota tubuhnya masih teta[ cacadm kaki hidung tangan dan lengan kesemuanya tak sempurna lagi. Bambang Kumbayana setelah menyadari bahwa para dewa mendatanginya, segera memohon kepadanya lebih baik dibunuh saja, daripada cacad diri. Akan tetapi hyang Narada dan hyang Bayu tak mengijinkan Bambang Kumbayana untuk bunuh diri, kepadanya disabdakan bahwa kelak kuasa dewa menjadikannya sebagai guru besar dari para ksatriya di seluruh bumi, lagi pula kepadanya diberi nama Durna, diperkenankan melestarikan tempat di mana dia jatuh sebagai pasramannya, dengan nama Sokalima, bergelarkan pandita, setelahnya para dewa kembali ke kahyangan. Seungkurnya para dewa, para Pandawa

yang terdiri dari prabuanom Puntadewa, raden arya Bratasena, raden Pamade, Pinten dan Tangsen menghadap pandita Durna. Sang resi sangat suka hatinya, dan berkenan pula mengajarinya segala ilmu keprajuritan dan kesaktian.

Pada suatu hari, para Pandawa memaksa kepada gurunya sudilah kiranya mengambilkan cupu Madiwara yang berisi lisah Tala, yang konon milik Prabu Pandudewanata almarhum, yang masih merupakan orang tuanya sendiri, sang resi menurutinya untuk mengambilkan cupu Madiwara, mereka segera berangkat menuju sumur Jalatunda.

Dalam perjalanannya menuju sumur Jalatunda, bertemulah mereka dengan prabu Kurupati besrta para Korawa dan patih Sakuni, di mana para Korawa sesuai dengan pertunjuk ayahnya ialah prabu Destarastra, bahwa kelak kemudian hari

cupu Madiwara dapat diangkat dari sumur Jalatunda oleh pandita asal dari Atasangin. Bak pucuk dicinta ualam tiba, prabu Kurupati dan adik-adiknya Korawa segera mengaku guru juga kepada pandita Durna, dan sang panditapun menerima mereka sebagai siswa-siswanya. Lajulah mereka menuju ke sumur Jalatunda, mengiringkan kepergian sang pandita Durna. Para Korawa dan Pandawa berdiri berjajar-jajar ditepian sumur Jalatunda, segera pandita Durna memuja mengeluarkan senjata saktinya, berwujud panah barawakan burung, namanya Sarutama. Resi Durna memerintahkan kepada Sarutama utnuk masuk ke dalam sumur mengambil cupu yang di dalam, segera burung Sarutama terbang meluncur ke dalam sumur masuk di air keluar paruhnya sudah memagut membawa serca cupu sakti Madiwara, diterima

oleh resi Durna.

Korawa dan Pandawa keduduanya bersikeras untuk mendapatkan cupu Madiwara, resi Durna sangat repot putusannya, sehingga diperintahkan kepada mereka untuk bersabar terlebih dahulu. Pandawa mengusulkan seyoganya cupu diberikan kepada mereka , sebab para Korawa telah diberinya duluan Pandawa tak rela, mengajukan persyaratan sebaiknya sekarang mana lagi yang berat merekalah yang memilikinya Para Korawa diperintahkan oleh prabu Kurupati menyelesaikan timbangan raksasa, para Korawa menikmatinya daya upaya yang sedemikian itu, tentu saja Pandawa yang hanya berjumlah 5 orang akan kalah kalau di timbang dengan Korawa yang berjumlah 100 jumlahnya. Raden arya Bratasena yang mengetahui saudara-saudaranya susah dan menangis segera

bangkit kemarahannya, dan timbangan yang telah dimuati oleh 100 orang Korawa, dan timbangannya yang diperuntukan Pandawa, segera dinaiki sendiri oleh raden arya Bratasena, entah dukarenakan apa kemungkinan raden arya Bratasena mengumpulkan segala kekuatannya timbangan yang telah memuat 100 orang Korawa, Akhirnya tak dapat mengimbangi berat badan raden Bratasena, malahan pada waktu raden arya Bratasena naik timbangan, Korawa kocar-kacir terpelanting jatuh semuanya.

Setelah kejadian tersebut. Para Korawa masih mendesakkan maksudnya hendaknya pandita Durna berkenan meluluskan permintaan Korawa memiliki cupu Madiwara, Durna menjawabnya, " Kalian anak-anakku. Korawa dan Pandawa, saya akan menyucikan diri, hendaknya kalian membuatkan sungai yang jernih airnya.

Siapa yang terlebih dahulu selesai, kepadanya cupu Madiwara kuberikan," para Korawa serempak bekerja membuat sungai yang diharapkan nantinya akan segera mewadahi dan mengalirkan air guna susuci pandita Durna, malahan sungai hampir selesai dibuat oleh para Korawa. Para Pandawa, terutama prabu Yudistira, raden Pamade, Pinten dan Tangsen bertangisan, dalam hati mereka mana bisa 5 orang akan menandingi kecepatan 100 orang Korawa, tentu saja cupu Madiwara akan doperoleh orang-orang Korawa, Raden Arya Bratasena merasa dirinya dihina oelh para Korawa kepada saudara-saudaranya diseyogyakan berdiam diri jangan menangis,dia sendiri yang akan melebur para Korawa. Semar yang mengetahui kesusahan para Pandawa segera bersemadi, dipujanya seorang wanita yang sangat cantik, kepada wanita itu diperintahkan untuk

berjalan kian kemari dihadapan raden arya Bratasena , seakan-akan meledeknya.

Malahan ditegaskan kepadanya, hendaknya bertingkah apa saja sehingga nantinya raden Bratasena dapat bangkit kebirahiannya. Sudah menjadi kehendak dewa, agaknya raden arya Bratasena memang terlena melihat tingkah laku wanita yang berjalan mondar-mandir dihadapannya dengan penuh membangkitkan selera napsunya. Tak disadarinya keluarlah air maninya,jatuh membasahi bumi tenggelam ke dalam , membentur sumber air yang di dalam bumi, air jernih segera tersembul mancur keluar bak banjir, terjadilah sudah bengawan yang airnya sangat jernih. Pandita Durna yang mengetahui bengawan buatan para Korawa meski sudah jadi tetapi belum mengeluarkan air, segera merendam diri menyucikan diri di

bengawan buatan para Pandawa, sesudah selasai segera naik ke darat, selanjutnya bengawan tersebut dinamakan kali Sarayu. Agaknya sudah menjadi kehendak para dewa kalau Korawa selalu mengakali para Pandawa akan selalu menemui kegagalan. Kepada para Korawa dan Pandawa, begawan Durna meminta kesediaannya yang terakhir, barang siapa yang dapat mengalahkan membunuh raden Gandamana, dialah yang berhak akan cupu Madiwara. Korawa setelah menerima pernyataan tersebut segera berangkat mencari raden Gandamana, demikian pula para Pandawa mengikuti keberangkatan para Korawa.

Bertemulah sudah para Korawa dengan raden Gandamana yang sesungguhnya masih pamandanya sendiri. Kepada raden Gandamana prabu Kurupati menyampaikan maksud yang sebenarnya, demikian halnya

raden Gandamana menanggapinya dengan marah, dan terjadilah peperangan, Korawa dapat dipukul mundur. Para Pandawa yang mengetahui para Korawa dapat dikalahkan oleh raden Gandamana, akhirnya mendekati raden Gandamana, dan dengan segala kerendahan hatinya mereka menyampaikan maksud kedatangan nya, tak lain diutus oleh begawan Durna untuk membunuhnya, sebab jika hal tersebut terlaksana kepada mereka akan diberikan cupu Madiwara yang berisi lisah tala, yang konon milik almarhum orang tua mereka sendiri saja Pandudewanata. Raden Gandamana dengan asyik mendengar uraian para Pandawa, dan iba hatinya kepada mereka.

Kepada arya Bratasena raden Gandamana menyarankan seyogyanya dia yang menandingi dalam adu kesaktian, jadilah sudah mereka bergelut

disaksikan oelh begawan Durna. Berkatalah begawan Durna kepada arya Bratasena, " Wahai anakku Bratasena, lekas bunuhlah si Gandamana."

Arya Bratasena pura-pura membunuhnya, dengan jalan dilemparkannya jauh-jauh raden Gandamana, dan segera melapor bahwa dia telah membunuh raden Gandamana, begawan Durna senang hatinya mendengar laporan arya Bratasena.

Cupu Sarutama dihadiahkan kepada raden Pamade, kembalilah sabg begawan kepertapaan Sokalima, para Pandawa kembali pula ke tempat masing-masing. Korawa masih juga mengamuk, manakala mengetahui cupu Madiwara diberikan kepada raden arya Bratasena, namun dapat dikalahkan.

  QUOTE

12-06-2011, 08:43 AM   #115

izroilblackarmy aktivis kaskus

PANDAWA APUS

 

 UserID: 509004 Join Date: Jul 2008Posts: 605

( DIPERDAYAKAN)

Prabu Suyudana, dari negara astina menerima kedatangan saudara-saudaranya Pandawa, prabu Yudistira raden Wrekudara, Arjuna Nakula dan Sadewa. Mereka diundang untuk suatu keperluan pesta-pora di Astina, tetapi maksud yang sebenarnya kedatangan mereka di Astina, akan dibunuh kesemuannya. Terlaksanalah maksud prabu Suyudana, setelah minuman dan makanan diedarkan dan diminum, disantap oleh para Pandawa, matilah mereka. Prabu Suyudana segera memerintahkan, untuk melabuh jenazah Yudistira, Nakula, dan Sadewa ke gua Srigangga, jenazah Wrekudara ke sumur Jalatunda, Arjuna jenasahnya dilabuh ke samudra.

Syahdan Hyang Baruna menemukan jenazah raden Arjuna, segera dihidupkan kembali, kepadanya dipertemukan dengan puterinya Dyah Suyakti, dan dianjurkan untuk segera pergi ke gua Srigangga untuk menemui Dewi Suparti istri Hyang Anantaboga, berangkatlah Raden Arjuna ke gua Srigangga.

Di tengah hutan, bertemulah dengan sepasang yaksa, terjadilah peperangan, akhirnya mereka ditewaskan oleh Raden Arjuna, sehingga jenazah sepasang raksasa tersebut, kelihatanlah Hyang Kamajaya dan Dewi ratih. Arjuna diberi penjelasan-penjelasan yang perlu dan kepadanya dipersilahkan melanjutkan perjalanannya ke gua Srigangga.

Di Saptapratala, Hyang Anantaboga menerima kedatangan Dewi Nagagini, yang membawa jenazah Raden Werkudara. Segera oleh Hyang Anantaboga dihidupkan kembali dan kepadanya diberitakan untuk segera berkumpul dengan saudara-saudaranya di gua Srigangga sebab semuanya telah selamat. Berangkatlah Werkudara menuju gua Srigangga.

Raden Arjuna yang telah menghadap Dyah Suparti, memohon hendaknya berkenan menghidupkankembali ketiga jenasah saudara-saudaranya, sang dewi menyanggupinya, segera mereka dihidupkan kembali. Dyah Superti segera bersabdakepada mereka, “ wahai puteraku Pandawa, pergilah kalian kembali ke negaramu Amarta, sebab dipati Karna telah merampas Amarta,” sebelum mereka memohon diri, randen Sena pun telah menghadap mereka kesemuanya memohon diri.

Di Amarta, Karno bersepakat dengan Patih Arya Sakuni dan para Korawa untuk membawa Dewi drupadi dan para wanita di istana Amarta, sebelum maksudnya terlaksana, Gatotkaca dan Antasena masuk istana, terjadilah peperangan. Dipati Karna maju, karena merasa para Korawa kalah perangnya dengan Gatotkaca,

dilepasinya Gatotkaca dengan senjata panah Wijayadanu, matilah Gatotkaca, bangkainya terbuang jauh.

Diperjalanan, ditengah hutan, Prabu Yudistira menemukan jenasah kedua kemenakannya raden gatotkaca dan Antasena. Melihat bahwasanya kedua putera kemenakannya telah tewas, marahlah semuanya, bertekad bulad akan membalsa kematianmereka, akan membunuh para Korawa. Bertemulah mereka dengan para Korawa, terjadilah peperangan, Korawa kalah, Adipati Karna berlaga dengan raden Arjuna, rame sekali. Resi Abiyasa, segera meniup dari akasa, melerai peperangan antara Arjuna dan Adipati Karna, belum masanya mereka bertempur mati-matian. Segera resi Abiyasa membawa semua cucunya ke Saptaarga. Dipati Karna yang mengetahui campur tangan resi Abiyasa,, merasa dirugikan segera mngerahkan prajurit Kurawa, untuk segera menyusulnya ke Saptaarga.

Terjadilah peperangan di Gnung Saptaarga, Korawa dapat diundurkan Rwerkudara dam Arjuna. Banyak petuah-petuah yang diberikan Abiyasa kepada para Pandawa, kepada mereka selalu diingatkan hendaknya selalu merendahkan diri, ingat kepada Hyang Sukmakawekas, berhati-hati dalam segala ucap dan langkah.

Para Pandawa kesemuanya menyanggupkan diri menaati petuah Resi abiyasa, demikian pula jenasah Antasena telah diserahkan kepada Hyang Antaboga untuk dihidupkan kembali. Selesai peperangan ereka merayakan dengansenang hati, sebab terhindar dari malapetaka yang menimpanya.

  QUOTE

12-06-2011, 08:44 AM   #116

izroilblackarmy aktivis kaskus 

 UserID: 509004 Join Date: Jul 2008Posts: 605

Pandawa Pitu

Duryudana, sangat kecewa karena Prabu Baladewa akhir-akhir ini lebih sering menyatu dengan para Pandawa, seperti juga Prabu Kresna.

Dengan demikian, Pandawa bukan hanya lima, tetapi tujuh (pitu - Bhs. Jawa).

Di Keraton Amarta, Prabu Baladewa, Prabu Kres-na dan kelima Pandawa memang sedang berkumpul. Mereka mendengarkan wejangan Bima, mengenai ilmu Kawruh Panunggal.

Penyebaran ilmu itu membuat para dewa marah, sehingga Batara Guru menugasi Batara Narada untuk memanggil Bima ke

kahyangan untuk dijatuhi hukuman. Bima bersedia dihukum, tetapi para Pandawa lainnya dan Prabu Baladewa serta Kresna setia kawan. Mereka juga ikut ke kahyangan untuk menerima hukuman.

Sementara itu di Kerajaan Tunggulmalaya, Batari Durga memberitahukan tentang Pandawa yang pergi ke kahyangan untuk menerima hukuman. Ia menyuruh Dewasrani menaklukkan Amarta, agar Dewasrani dapat menjadi Jagoning dewa menggantikan Arjuna. Namun, serbuan Dewasrani berhasil ditumpas para putra Pandawa.

Di Kasatrian Madukara, Dewi Dewi Subadra dan Dewi Srikandi sangat sedih dan marah karena para Pandawa akan mendapat hukuman dari dewa. Mereka lalu triwikrama, berubah ujud menjadi brahala, Badrayaksa dan Kandiyaksa.

Kedua rakseksi itu pergi ke kahyangan untuk menuntut dipulangkannya para Pandawa.

Tak lama kemudian, di kahyangan, para Pandawa berbantah dengan Batara Guru. Karena murka, oleh Batara Guru para Pandawa akan dimasukkan ke dalam Kawah Candradimuka. Sementara itu ketika Arjuna akan masuk ke Kawah Candradimuka, semua bidadari akan ikut mencebur pula.

Pada sat itu, Badrayaksa dan Kandiyaksa telah sampai di kahyangan, dan langsung mengamuk. Para dewa tak ada yang sanggup menandingi.

Atas seizin Batara Guru, Batara Narada lalu minta agar Pandawa menghadapi kedua brahala yang mengamuk itu. Jika berhasil, Pandawa akan dibebaskan dari hukuman. Bima tidak mau. Dia dan saudara-saudaranya baru akan turun ke gelanggang perang, kalau Pandu Dewanata dan Dewi Madrim dikeluarkan dari neraka dan dipindahkan ke sorga. Tuntutan itu dipenuhi.

Setelah para Pandawa berperang tanding dengan Badrayaksa dan Kandiyaksa, kedua brahala itu beralih ujud kembali menjadi Dewi Subadra dan Srikandi.

  QUOTE

12-06-2011, 08:47 AM   #117

izroilblackarmy aktivis kaskus 

PANDAWA PUTER PUJA

Syahdan Raja Astina Parbu Suyudana hadir di pasewakan dihadap oelh putra mahkota Raden Lesmana Mandrakumara,

 UserID: 509004 Join Date: Jul 2008Posts: 605

pendita praja Astina Dhahyang Drona, Patih Sakuni, Adpati Awangga Karna dan segenap para Korawa, Raden Arya Dursasana, Raden Kartamarma, Raden Durmagati, Raden Citraksa, dan Raden Citraksi. Pokok perembugan raja berkisar pada sabda jawata yang diterimanya, bahwasanya sang Raja diperintahkan untuk mengadakan semadi di laladan luar istana Astina, jika akan mencapai terlabulnya cita-cita. Raja berkebulatan hati untuk melaksanakan puter puja, kepada Pandita Durna diperintahkan turut serta. Adapun Patih Arya Sakuni, dan para Korawa ditugaskan tinggal di istana menjaga tata-tirtib keamanan selama raja melaksanakan hajatnya.

Permaisuri raja Dewi Banowati tak ketinggalan diberitahu juga oleh raja, demikian pula putri raja yang bernama Dewi Lesmanawati. Seluruh istana Astina berharap semoga puter puja yang dilaksanakan oleh raja akan lulus selesai tak ada aral yang merintanginya. Setelah segala sesuatu persiapan selesai, berangkatlah raja diiringi Pandita Praja Dhahyang Drona menuju hutan Krendawahana, suatu tempat terkenal keganasannya dikarenakankahyangannya Batari Dirga.

Di kerajaan Nungsakambang, Prabu Jayabirawa dihadap oleh Patih Siwanda dan beberapa wadyabala yaksa. Raja Nungsakambang berkenan mengutarakan isi hatinya, bahwasanya tersiar berita pada waktu ini ratu-ratu di tanah Jawa sedang tekun mengadakan puter puja bertempat di hutan Krendayana, Kepada Patih Siwanda dijelaskan pula, usaha raja-raja tanah Jawa mengadakan puter puja itu harus dihalangi jangan sampai terlaksana, sebab akan berbahaya bagi raja Nungsakambang. Wadyabala raja yang berujud siluman si Jaramaya, Sadumiya, dan Doramiya diperintahkan oleh raja untuk segera berangkat ke hutan Krendayana mencari raja yang sedang puter puja, tugas utamanya mengoda dan menghalangi terlaksananya usaha tersebut. Lengkaplah sudah wadyabala Nungsakambang yang akan melaksanakan tugas, dalam perjalanannya menuju ke hutan Krendayana bertemu dengan prajurit-prajurit dari Astina. Ternyata kedua-duanya tak dapat menghindarkan diri dari peperangan, namun tak sampailah peperangan itu meluas. Sehingga kedua pasukan merasa perlu untuk melanjutkan tugasnya masing-masing.

Di pertapaan Retawu Resi Abyasa dihadap oleh cantrik, tan jauh dari sang Resi kelihatan pula cucu sang Begawan ialah Raden Angkawijaya dan Raden Arya Gatutkaca, yang selalu diikuti oleh Kyai Semar, Nalagareng, dan Petruk. Masalah pokok yang dibicarakan mengenai permohonan mengenai permohonan doa restu kepada para pepunden Pandawa yang sedang mengadakan puter puja. Resi Abyasa setelah memberikan restunya, Raden Angkawijaya dan Raden Arya Gatutkaca segera diseyogyakan

untuk kembali. Lajulah kedua satriya tadi dalam perjalanannya diikuti oleh ketiga panakawan, Kyai Semar, Nalagareng, dan Petruk. Sekembalinya para satriya sanga Bagawan segera masuk ke dalam sanggar pamujan, memohon kepada dewata semoga cucundanya Pandawa yang sedang mengadakan puter puja dalam keadaan selamat.

Tersebutlah dtya seluman utusan dari Prabu Jayabirawa Nungsakambang dalam tugasnya menuju ke hutan Krendayana, dipertengahan perjalanannya bertemu dengan Raden Angkawijaya dan Raden Arya Gatutkaca. Kedua ksatriya setelah mengetahui bahwasanya mereka itu tak lain pra-aditya yang akan mengganggu lulusnya para Pandawa mengadakan puter puja, terlihat dalam percecokan akhirnya memuncak menjadi peperangan. Kadua-duanya bertempur dengan segala akal dan kekuatan, namun kedua ksatriya tersebut tak kuasa menandinginya. Meski para dtya tadi tidak dapat mati, namun dirasakan juga berlaga menghadapi kedua kesatriya ini pun tak semudah apa yang diduga. Sehingga ajhirnya kemarahan mereka timbul, segeralah mereka mempergunakan aji panglimunannya, serta melepaskan aji kemayan dan lisah(minyak) Muksala. Raden Angkawijaya dan Raden Arya Gatutkaca setelah kedua-duanya terkena aji kemayan, barulah mereka menjadi arca. Kyai Semar, Nalagareng dan Petruk yang mengetahui kedua Gusti mereka berubah wujudnya menjadi arca segera meninggalkan medan laga untuk segera melapor ke praja Madukara.

Konon Parabu Suyudana yang menjalankan hajat mengadakan puter puja telah sampai di hutan Krendayana, dengan ditemani oleh Pendita Astina Dhahyang Drona. Para Korawa yang mengantarkan telah diperintahkan untuk segera kembali ke Astina. Prabu Suyudana dan Dhahyang Drona di dalam hutan Krendayana bertemu dengan seorang pertapa yang menjalankan tapanya dengan cara membisu. Sang Raja bertanya kepada Begawan Lanowa, " Hai sang Begawan, apakah kiranya tapa anda itu mempunyai maksud-maksud tertentu. Jika anda tidak berkeberatan, sudilah kiranya kepada kami diberitakannya ", namun sang Begawan Lanowa tetap membisu, tak sepatah kata pun terucap. Pandita Drona yang telah mengetahui keadaan sang Begawan Lanowa, segera menghimbaunya dan menerangkannya panjang-lebar kepada Begawan Lanowa. Bahwasanya kedatangannya di hutan Krendayana, tak lain mengantarkan Raja Suyudana melaksanakan pesan jawata mengadakan puter puja. Kepada Begawan yang membisu, pertanyaan terucap dari Dhahyang Drona, " Sang Begawan, apakah gerangan yang menjadi tujuan anda bertapa di dalam hutan Krendayana yang sangat berbahaya dan gawat ini ?" Begawan Lanowatertegun sejenak, dan sudi menjawabnya," Wahai para pendatang, ketahuilah bahwasanya yang menjadi tujuan bertapa di dalam

hutan Krendayana ini, bukanlah semata-mata bertapa untuk keperluanku pribadi. Melainkan aku menggentur tapa ini, untuk anak menantu saya yang bernama Raden Arjuna." Prabu Suyudana yang mendengarkan jawaban dan keterangan Begawan Lanowa teramat marahnya, akhirnya Begawan Lanowa dibunuh. Namun Prabu Suyudana, " Hai Prabu Suyudana, apalah salahnya orang tua yang sangat mengasihi anak menantunya, menapakannya. Kathuilah, kematianku ini akan kutuntut balas kepadamu, besuk kelak jika sekiranya waktu telah datang mengskala Baratayuda terjadi." Setelah bersuara muksalah badan sang Begawan Lanowa, Raja Suyudana dan Pandita Durna tertegun sejenak mendengarkan ancaman Begawan Lanowa, namun tiada berapa lama segeralah Raja Suyudana melanjutkan hajatnya menunaikan puter-puja dengan didampingi oleh Pandita Durna.

Dipraja Madukara Raden Arjuna dihadap oleh para istrinya, Dewi Subadra dan Dewi Srikandi. Selagi mereka berbincang-bincang masuklah Kyai Semar sambil menangis, tersendat-sendat ucapnya melapor kepada Raden Arjuna, " Raden, ketahuilah putramu Raden Angkawijaya sekembalinya dalam perjalanannya pulang, dengan putramu Raden Arya Gatutkaca telah disergap oleh raksasa-raksasa yang sangat tangguh dan ampuh. Terbukti dalam peperangan itu, putra-putramu telah dikalahkan dan kesemuanya telah berubah ujud menadi arca. Raden akan hal ini terserah Raden saja bagaimana jalan sebaiknya untuk mengatasi keadaan yang gawat ini." Raden Arjuna yang dengan tekun mendengarkan laporan panakawannya Kyai Semar, tak terkendalikan lagi amarahnya.Kepada kedua istrinya berpamit akan menyelesaikan masalah Raden Angkawijaya dan Raden Arya Gatutkaca. Kadua istrinya sangat bersyukur, dan memanjatkan doa semoga apa yang dilakukan suaminya dapat berhasil, dijauhkan dari aral yang melintang. Raden Arjuna segera laju mencari putra-putranya diiringkan oleh Semar,Nalagareng, dan Petruk.

Namun dalam perjalanannya menuju ke hutan Krendayana, belum lagi sampai baru menginjak di hutan tarataban, bertemulah sang Arjuna dengan Hyang Batari Durga yang telah merubah wajahnya menjadi seorang wanita yang sangat cantik wajahnya, bernama Dewi Talimendang. Pada pandangannya yang pertama Raden Arjuna sudah sangat tertarik dengan Dewi Talimendang, tidaklah mengherankan cita-citanya harus tercapai. Namun ketika Dewi Talimendang dikejar-kejar oleh Raden Arjuna, berubahlah Dewi Talimendang menjadi ujud semula ialah Hyang Batari Durga. Raden Arjuna diumpatinya disumpah-sumpah, " Hai anaku Arjuna, tingkah-lakumu tidak senonoh, ksatriya bagaikan seekor banteng." Abda Hyang Batari kepada Raden Arjuna merubah keadaan Raden Arjuna dari seorang

satriya menjadi wujud binatang banteng. Manakala berubah wujudnya menjadi seekor banteng Hyang Batari Durga masih diburunya, namun manakala pula tampak olehnya wajahnya berubah wujudnya menjadi wujud binatang banteng, Raden Arjuna sangat sedih hati dan menghentikan pemburuannya terhadap Hyang Batari Durga. Kyai Semar Nalagareng, dan Petruk yang merasa ketinggalan oleh kepergiaannya Raden Arjuna segera kembali, adapun si banteng sendiri laju menuju ke kerajaan Dwarawati.

  QUOTE

12-06-2011, 08:48 AM   #118

izroilblackarmy aktivis kaskus 

 UserID: 509004 Join Date: Jul 2008Posts: 605

PANDAWA PUTER PUJA 2

Di Kerajaan Dwarawati Prabu Kresna menerima laporan dari Patih Udawa, bahwasanya di luar kraton tampak olehnya seekor banteng mengamuk. Sri Kresna segera tanggap sasmita dan meninggalkan pendapa kraton. Segera menuju ke luar untuk menyongsong banteng yang sedang mengamuk. Setelah tampak olehnya, agaknya banteng pun merasa dirinya tidak asing lagi dengan Sri Kresna. Di dekatinya Sri Kresna, tingkah-lakunya si Banteng menunjukkan iba hatinya Sri Kresna. Segeralah Sri Kresna merubah dirinya menjadi seprang anak bajang (pendek dan kecil keadaan tubuhnya) dengan nama Jaka Sungkana. Kepada banteng yang sedang mencium-cium kaki Sri Kresna seakan-akan banteng menghaturkan sembahnya, Sri Kresna yang telah merubah dirinya menjadi anak bajang bernama Jaka Sungkana mengajaknya untuk pergi. Banteng sekarang bernama Andini, dengan gembalanya anak bajang bernama Jaka Sungkana laju melesat menuju ke Kerajaan Nungsakambang.

Di Kerajaan Amarta, Prabu Puntadewa berkata kepada adiknya Raden Arya Wrekodara, " Duhai adik-adikku kesemuanya, Arya Wrekodara, Nakula, dan Sadewa. Kiranya hari ini waktu yang baik sekali bagi kita semua untuk melakukan hajat semadi, melaksanakan puter puja. Kalian kesemuanya menyertaiku ", segeralah Prabu Puntadewa diiringi oelh adik-adiknya pergi menuju ke hutan Krendayana untuk melaksanakan puter puja.

Di tengah hutan Krendayana Prabu Puntadewa bersama-sama adiknya dalam perjalanannya menemukan arca, berbentuk seekor gajah. Konon arca yang berbentuk gajah putih tersebut, menunjukkan tempat bekas Raden Gajahhoya. Di tempat itulah Sri Puntadewa dan adik-adiknya memulai samadi, tak lama turunlah Hyang Narada dan Hyang Endra dari Suralaya mendekati Sri Puntadewa dan adik-adiknya. Berkatalah Hyang Narada, " Wahai Kaki Puntadewa, kedatanganku adalah diutus

oleh Hyang Girinata untuk menjelaskan membaritahukan kepada hal-hal sebagai berikut. Bahwasanya kaki Puntadewa dikehendaki oleh dewa untuk menjadi raja di Pulau Jawa, selanjutnya para Pandawa besuk akan keluar sebagai pemenang dalam perang Bratayuda, lagi pula segala peraturan-peraturan undang-undang yang telah aku jelaskan kepadamu sebagai penetap agama hendaknya ditaati," Sri Yudhistira dan adik-adiknya sangat bersyukur kepada dewa atas karuniah yang telah dilimpahkan kepadanya dan saudara-saudaranya. Setelah bertemu agak lama, kembalilah Hyang Narada dan Hyang Endra ke Suralaya. Sri Puntadewa dan adik-adiknya kembali manuju ke pura Amarta.

Prabu Birawa raja Nusakambang sedang menerima kedatangan Hyang Batari Durga, di samping Patih Siwanda. Diberitakan oleh Batari Durga bahwasanya Raden Arjuna sekarang telah mati, suka-citalah Prabu Birawa mendengarkannya. Setelah menjelaskan hal tersebut, kembalilah Batari Durga ke kahyangannya. Di alun-alun Nungsakambang terlihat banteng mengamuk dengan penggembalanya seorang anak kecil, yang tiada lain Jaka Sungkana dengan banteng Andini. Keadaan menjadi kacau oleh amukan banteng, raja Birawa menerima laporan perihal tersebut. Keluarlah sang Raja dari istana, menuju ke alun-alun dengan maksud akan menghalau banteng tadi. Oleh kesaktiannya Patih Siwanda merubah dirinya menjadi seekor harimau dan bertanding dengan banteng Andini, terjadilah pertarungan seru dan sengit.

Demikian pula Raden Jaka Sungkana bertanding melawan Prabu Birawa,lama-kelamaan banteng Andini kembali berujud Raden Arjuna, Raden Jaka Sungkana kembali ujudnya menjadi Sri Kresna. Sadarlah Sri Kresna lawan apa yang dihadapinya, segera senjata sakti berujud cakra dilepaskan, Prabu Birawa terkena babar kembali menjadi Hyang Kala. Adapun Patih Siwanda kembali ujud mulanya menjadi Hyang Kalayuwana. Kedua-duanya setelah babar kembali ujud semulanya, laju ke kahyangannya amsing-masing.Sri Kresna dan Raden Arjuna segera melanjutkan usahanya untuk menemukan saudara-saudara Pandawa lainnya. Sampailah mereka di hutan tarataban, dilihatnya ada sepasang arca bagus-bagus rupanya. Menyadari ada hal-hal yang janggal, Sri Kresna segera mendekati kedua arca tersebut dan bersemadi untuk memohon ruwatnya (hilangnya gangguan) kedua arca tersebut. Dewata mengabulkan, kedua arca teruwat kembali asalnya. Berujud Raden Angkawijaya dan Raden Gatutkaca. Setelah mereka melapor dari awal sampai akhir kepada Sri Kresna dan Raden Arjuna, kembalilah mereka bersama-sama menuju ke praja Amarta. Selagi mereka dalam perjalanannya menuju ke praja Amarta, bertemulah dengan Sri Puntadewa, Raden Arya Wrekodara,

Raden Nakula dan Raden Sadewa. Agak lama pertemuan itu terjadi, saling melepaskan kerinduannya masing-masing. Akhirnya bersepakat kesemuanya kembali ke praja Amarta.

Prabu Suyudana dan Dhahyang Drona berembug dengan Patih Sakuni dan para Korawa perihal gagalnya raja mengadakan puter puja, dan hal-hal yang mengkhawatirkan raja dikarenakan telah dibunuhnya seorang pendeta yang tidak berdosa bernama Begawan Lanowa. Apa lagi raja sangat menyesalinya mengingat akan kutukan-kutukan sang Begawan keoada raja, bahwasanya besok akan kalah perangnya dalam Bratayuda. Tresiarnya berita bahwasanya para Pandawa telah berhasil mendapatkan perlindungan-perlindungan dari para dewa, terbukti para Pandawa kelihatan berhasil pula dalam menjalankan puter pujanya di hutan Krendayana. Raja sangat mengiri kepada para Pandawa, diperintahkanya para Korawa untuk segera menyerang dan menghancurkan para Padawa. Wadyabala Astina laju menuju ke pura Amarta, dengan segala kekuatanya.

Sekembalinya Sri Yudhistira dan adik-adiknya, beserta Sri Kresna di Amarta tiada lain yang dibicarakan perihal berhasilnya para Pandawa melaksanakan puter puja, di hutan Krendayana. Sebaliknya Sri Kresna pun menguraikan dari awal sampai akhir segala kejadian yang dialaminya menghadapi Kerajaan Nungsakambang. Selagi mereka berbincang-bincang mengenang pengalaman masing-masing, tersiarlah berita bahwasanya di lur ramai dibicarakan para wadyabala datangnya para Korawa yang mengamuk. Sri Puntadewa memerintahkan kepada adiknya Raden Arya Wrekodara untuk menanggulangi para Korawa yang akan merusak menyerang praja Amarta, dikarenakan tidak senang melihat para Pandawa berhasil dalam melakukan puter pujanya di hutan Kredayana. Arya Wrekodara tampil ke depan berhadapan dengan para Korawa, perang seru dan ramai terjadi. Namun para Korawa yang terdiri dari pemuka-pemukanya, tampak antaranya Raden Arya Dursasana, Raden Arya Jayadrata, Raden Kartamarma, Raden Durmagati, Raden Citraksa, Raden Citraksi dengan segenap prajuritnya dapat dipukul mundur oleh Raden Arya Wrekodara. Kembalilahpara Pandawa berkumpul, utnuk berucap syukur kepada dewa dikarenakan telah terhindar dari aral yang melintang ,berhasil dalam melakukan hajat puja. Amanlah sudah Kerajaan Amarta, para kawula praja turut bersuka-cita.

  QUOTE

12-06-2011, 08:49 AM   #119

izroilblackarmy aktivis kaskus 

Pandu Papa

 UserID: 509004 Join Date: Jul 2008Posts: 605

Di balairung negeri Astina, raja Pandu sedang memperbincnagkan rencananya hendak berburu. Patih Jayayitna dan para pembantunya lalu bersiap-siap. Kepada patih Samarasanta raja Pandu memerintahkan supaya merubah tata hias istana Astina, disesuaikan dengan tata hias Endrabawana. Kedua patih menyatakan kesanggupannya. Pandu lalu kembali ke Adstina.

Setibanya di dalam istana, Pandu lalu duduk bersama kedua permaisurinya yakni Dewi Kunti dan Dewi Madrim. Setelah menjelaskan apa yang diperintahkan kepada kedua patihnya, Pandu lalu masuk ke dalam pemujaan.

Di luar, yakni di paseban, kedua patih Astina membagi tugas. Patih Jayayitma mempersiapkan

segala keperluan untuk berburu ke hutan. Sedangkan patih Smarasanta memerintahkan Arya Sakata untuk melakukan segala persipan dalam tugasnya merubah tata hias istana Astina.

Tersebutlah di bukit Mestri, Resi Metreya baru saja selesai bersemedi. Ia mendapat anugerah dewata berupa mantra yang dapat mendatangkan apa saja yang ia minta. Melihat istrinya yang tampak sedih karena melaratnya, resi Metreya menghibur, agar tidak bersedih karena sudah ada isyarat yang dapat menghilangkan kesedian. Akan tetapi ternyata yang diminta oleh Endang Basusi, demikian nama istri Resi Metreya, bukanlah harta, melainkan agar dirinya yang sudah tampak tua lagi jelek, dapat berubah menjadi muda kembali serta cantik jelita. Keinginannya dikabulkan. Endang Basusi menjadi wanita

mudalagi sangat cantik parasnya. Hal ini menjadikan dirinya menjadi sangat terkenal sehingga banyak sekali orang laki-laki yang datang melihatnya, dan tidak jarang di antara mereka yang datang itu menggodanya. Tentu saja hal itu membuat resi Metreya cemburu. Bagi Endang Basusi sendiri pun hal itu tidak menyenangkan. Resi Metreya lalu mengucapkan mantranya agar istrinya kembali menjadi jelek. Demikian jeleknya hasil mantra resi Metreya, karena istrinya menjadi mirip seekor anjing. Manusia mirip anjing ini pun menjadi tontonan orang. Hal ini membuat Endang Basusi beserta Metreya sangat malu. Mantranya hanya tinggal sekali lagi saja dapat ia pakai. Resi Metreya lalu mengucapkan mantranya, dengan permohonan agar istrinya kembali ke rupa asalnya semula. Kedua suami istri itu

mohon ampun kepada dewa, dan akhirnya mendapat anugerah lagi, yakni mantra yang dapat merubah sesuatu benda menjadi emas. Dengan emas hasil mantra itu kehidupan Resi Metreya dapat tertolong. Dari kehidupan yang sangat melarat nberubah menjadi kecukupan.

Begawan Sapwani di Giyacala dengan tekun memohon kepada dewata agar dikaruniani anak. Permohonannnya lalu dikabulkan. Tak lama kemudian istrinya mengandung, lalu melahirkan seorang anak laki-laki, yang setelah besar menjadi pemuda gagah. Begawan Sapwani selalu memohon kepada dewa agar anaknya selalu mendapat lindngan dewa.

Di Astina patih Jayayitna melapor bahwa p[ersiapan untuk berburu telah selesai,. Raja Pandu sangat gembira lalu segera berangkat

ke Hutan perburuan.

Para dewa hendak menghukum raja Pandu yang telah berani merubah tata hias Astina menjadi kesupa dengan Endrabawana. Untuk itu dewa menurunkan putra Batara Yama ke bukit Kisasa. Anak dewa Yama menjadi pendeta di Kilasabergelar Resi Suhatra. Resi Suhatra jatuh cinta kepada anak empu Dwara yang bernama Ragu, namun empu Dwara tidak memberikannya karena Suhatra berujud raksasa yang menakutkan. Resi Suhatra akhirnya memanggil rara Rgau dengan daya ciptanya, Rara Ragu dan Suhatra berubah duirinya menjadi dua ekor kijang jantan betina, kemudian masuk ke dalam hutan dan leluasa kasih-kasihan. Empu Dwara yang kehilangan anaknya lelu berangkat mencarinya dibantu oleh sanak keluarganya.

Di tempat perburuan raja Pandu, Kijang penjelmaan Ragu dan Suhatra terperangkap ke dalam perangkap. Kijang betina berkeluh kesah seperti layaknya manusia, sehingga menarik perhatian Pandu. Ketika Pandu mendekat, kijang jantan segera mengata-nngatai Pandu dengan ucapan-ucapan yang membangkitkan amarah. Raja Pandu marah dan kedua kijang itu segera ia panah sampai mati. Kijang jantan musnah, sedangkan kijang betina berubah menjadi mayat seorang wanita. Mayat Ragu diserahkan kepada Empu Dwara dengan memberikan uang duka secukupmnya.

Di Suralaya, Indra sedang membicarakan laknat yang akan dijatuhkan kepada raja Pandu. Keputusannya, raja Pandu akan dicabut nyawanya,

dan beserta raganya akan dimasukkan ke dalam kawah Candradimuka. Yang diberi tugas adalah batara Yama.

Di Astina, raja Pandu tiba-tiba sakit parah. Segala macam obat tidak ada yang mampu mengurangi penyakitnya. Resi Abiyasa menasehati Dewi Kunti supaya bersabar dan pasrah, karena sudah takdirnya raja Pandu akan sampai ajalnya, bersama-sama Dewi Madrim. Ketika jiwa dan raga raja Pandu sudah dibawa oleh batara Yama ke Suralaya dan akan dimasukkan ke dalam kawah Candradimuka datanglah resi Abiyasa ke kahyangan, minta kepada para dewa mengampuni Pandu. Hukuman atas semua kekeliruan-kekeliruan Pandudewanata, untuk itu resi Abiyasa akan menebus kesalahannya, dengan jalan,

keturunan prabu Pandudewanatalah (Pandawa) yang nantinya akan menebus segala kesalahannya.Hyang Surapati berkenan dihatinya, dan memerintahkan prabu Pandudewanata dan Dewi Madrim untuk selanjutnya dimasukkan di surga, tidak dikawah Candradimuka, tempat menghukum para manusia yang dianggap berdosa terhadap dewa.

Resi Abyasa segera memohon diri, di Astina segera bersabda kepada resi Bisma, “Mulai sekarang, hendaknya disaksikan, bahwasanya kakak prabu Pandudewanata, prabu Dretarastra, akan menggantikan kedudukannya, menjadi raja di Astina, dengan gelar prabu Dretanagara.” Selanjutnya, segala pusaka antara lain pusaka Kalimasada, minyak tala yang dahulunya dimiliki

oleh prabu Pandudewanata, sekarang dihimpun oleh resi Abyasa, dengan penjelasan, dikelak kemudian hari akan dibagi-bagikan kepada siapa yang berhak menerimanya.

Resi Abyasa dengan membawa Dewi Kunti, pula cucunya dan para sesepuh abdi prabu Pandudewanta ke gunung Saptaarga. Tentramlah kerajaan Astina, dibawah pemerintahan prabu Dretarastra, atau prabu Dretanagara.

  QUOTE

12-06-2011, 08:50 AM   #120

izroilblackarmy aktivis kaskus 

 UserID: 509004 Join Date: Jul 2008Posts: 605

Semar Kuning

Prabu Kresna yang ingin menikahkan Siti Sundari anaknya dengan Abimanyu, anak Arjuna. Karena Prabu Kresna tahu bahwa Abimanyu mendapatkan wahyu raja yang akan menurunkan raja-raja di Tanah Jawa. Namun perkimpoian itu ditentang Semar

karena karena saat itu Arjuna sedang bepergian dan supaya menunggu terlebih dahulu.

Tapi nasehat Semar ini ditolak Kresna bahkan Semar dituduh menentang kebijaksanaan raja, dan atas perintah Kresna, Abimanyu berani meludahi kuncung (rambut kepala yang berada di depan).

Hal ini manimbulkan kekecewaan dan kepri-hatinan Semar, sehingga ia pergi dari istana.Perlakuan sewenang-wenang raja Dwarawati terhadap Semar ini menimbulkan kemarahan para dewa. Para dewa kemudian menimpakan bencana di Kerajaan Dwarawati baik kerusuhan, kebakaran, bahkan banjir yang disertai angin besar menimpa di istana, rakyat menjadi kacau balau, sehingga raja Dwarawati sampai meng-ungsikan diri dan mencari perlindungan ke

Kerajaan Amarta.

Semua bencana yang terjadi di Kerajaan Dwarawati ini bisa redam setelah Prabu Kresna yang disertai para Pandawa menemui Semar dan meminta pengampunan. Semar yang saat itu sedang bersemedi dirasuki Sang Hyang Wenang sehingga tubuhnya memancarkan cahaya kekuning-kuningan menerima kedatangan para Pandawa dan Kresna. Dengan kearifan Semar mengampuni kesalahan Prabu Kresna, tetapi mengatakan bahwa perkimpoian Abimanyu dengan Siti Sundari tidak akan membuahkan keturunan (anak), dan kembalilah kedamaian dan ketentraman di dunia.

Last edited by izroilblackarmy; 12-06-2011 at 08:56 AM..

rjuna Sasra Lahir

Prabu Kartawirya alias Partawirya mengundang Bambang Suwandageni, saudara sepupunya, untuk hadir pada upaca siraman, karena permaisurinya, Dewi Danuwati telah mengandung tujuh bulan.

Sesaat setelah upacara itu selesai, datanglah utusan dari Kerajaan Lokapala, bernama Gohmuka, yang menyampaikan pesan agar Dewi Danuwati boleh dibawa ke Lokapala untuk dijadikan permaisuri Prabu Wisrawana alias Danaraja.

Mendengar permintaan itu Suwandageni marah dan menghajar Gohmuka, yang lalu lari pulang ke negaranya. Setelah melaporkan kegagalan tugasnya, Prabu Danaraja lalu menyiapkan bala tentaranya untuk menyerbu Maespati. Ia juga minta bantuan seorang brahmana sakti yang berujud raksasa, bernama Begawan Wisnungkara.

Sementara itu di kahyangan, Batara Wisnu diperintahkan oleh Batara Guru untuk turun ke dunia guna memelihara ketentraman. Batara Wisnu dengan senjata Cakra lalu merasuk ke janin bayi yang dikandung oleh Dewi Danuwati.

Beberapa saat kemudian, Dewi Danuwati melahirkan seorang putra, yang oleh Prabu Kartawirya diberi nama Arjunawijaya, alias Arjuna Sasrabahu. Anehnya, bayi itu lahir dengan menggenggam senjata Cakra.

Sementara itu balatentara Kerajaan Lokapala yang dipimpin oleh Prabu Danaraja telah sampai di tapal batas Maespati. Prabu Kartawirya bersama Suwandageni berangkat untuk menghadang musuh. Senjata Cakra yang digenggam putranya yang baru lahir dibawa ke medan perang.

Dalam perang tanding antara Begawan Wisnungkara dengan Suwandageni berlangsung seru. Prabu Kartawirya lalu meminjamkan senjata Cakra pada Suwandageni. Dengan senjata itu Begawan Wisnungkara tak bisa berbuat apa-apa. Badannya hancur lebur terkena senjata Cakra.

Prabu Danaraja yang berhadapan dengan Prabu Kartawirya yang bersenjatakan Cakra, seketika luluh semangatnya. Prabu Danaraja sadar bahwa ia berhadapan dengan senjata sakti dari kahyangan. Karena itu ia segera lari pulang ke Lokapala.

  QUOTE

KaskusAd - Create an KasAD / Buat Iklan KasAD

12-06-2011, 08:53 AM   #122

izroilblackarmy aktivis kaskus 

Parikesit Lahir

 UserID: 509004 Join Date: Jul 2008Posts: 605

Lakon ini menceritakan tentang peristiwa setelah Suyudana setelah gugur, Aswatama, Resi Krepa, Kartamarma, dan Dewi Banowati berada di Kerajaan Tirtatinalang. Pada suatu hari Dewi Banowati menghilang dan ternyata pergi menggabungkan diri dengan Arjuna. Aswatama. Krepa dan Kartamarma lalu pergi secara sembunyi-sembunyi ke Astina untuk menyelidiki.

Sementara Utari melahirkan putra dan diberi nama Parikesit, dan rencananya kelak akan diangkat menjadi raja di Astina.

Dewi Banowati merawat bayi itu dan membantu Drupadi dan Utari. Karena lelah, Dewi Banowati istirahat di Taman Kadilengleng. Tiba-tiba Aswatama dan pengikutnya menemukan Dewi Banowati dan membunuhnya, karena dianggap berkhianat pada Kurawa.

Aswatama, Kartamarma dan Krepa lalu masuk istana secara diam-diam dan menemukan Parikesit, mereka berpikir kelak bayi ini menjadi pewaris takhta Astina. Aswatama hendak membunuhnya tetapi sang Bayi menjerit dan kakinya menendang-nendang. Panah pusaka Pasopati, yang diletakkan Arjuna di pembaringannya tertendang, mental mengenai dada Aswatama dan tewa seketika.

Kartamarma dan Krepa bersembunyi di taman tetapi kepergok dan ditangkap Bima lalu dibanting ke tanah, tewas seketika. Jiwa mereka berubah menjadi brengkutis (kewangwung, serangga pemakan kotoran).

Arjuna sangat sedih atas kematian Dewi Banowati, maka Kresna berusaha menghiburnya dan ditawari putri yang amat mirip dengan Banowati yaitu Dewi Citrahoyi, istri Prabu Arjunapati dari Kerajaan Sriwedari.

Arjunapati bersedia menyerahkan istrinya kepada Arjuna, tetapi harus melangkahi mayatnya lebih dahulu. Akhirnya Arjunapati terbunuh oleh Kresna, sehingga Dewi Cintrahoyi dapat dipersunting Arjuna.

  QUOTE

12-06-2011, 08:59 AM   #123

izroilblackarmy aktivis kaskus 

Parikesit Grogol

 UserID: 509004 Join Date: Jul 2008Posts: 605

Parikesit setelah naik takhta di negara Astina bergelar Prabu Kresnadipayana menggantikan Yudistira. Pada suatu hari sang Raja memutuskan untuk menyaksikan dari dekat bagaimana cara berburu babi hutan dan ia juga ingin turut berburu. Oleh karena itu memerintahkan abdinya agar membuat rumah sementara (pesanggrahan) di tengah hutan guna melihat dari dekat para abdinya yang menangkap hewan tanpa senjata.

Patih Dwara, Patih Danurweda, Sukarta, Sumarma, Suhtrasta dan Subala berangkat ke hutan untuk membuat persiapan serta pesanggrahan untuk raja. Di dalam hutan Dwara bertemu dengan anak perempuan yang keluar dari semak belukar serta mengaku bernama Rara Suyati, maka anak tersebut diangkat sebagai anaknya dan dibawa pulang ke rumahnya. Setelah pesanggrahan selesai maka Prabu Parikesit yang diikuti Semar, Nala Gareng dan Petruk masuk ke dalam bangunan rumah yang telah disediakan dan melihat para abdinya melawan binatang buas yang digiring kehadapan sang Raja.

Pada suatu malam hari Prabu Parikesit ke luar dari kamarnya tanpa sepengetahuan siapapun ia masuk ke dalam hutan. Kepergian sang Raja itu diketahui oleh Semar dan dilaporkan kepada Patih Dwara maka sang Patih berusaha mencarinya ke dalam hutan. Ia tersesat masuk ke taman sari Manikmaya di mana Begawan Sidiwacana dalam keadaan cemas karena kehilangan putrinya Rara Suyati. Semar dan anak-anaknya juga mencari ke dalam hutan dan dapat menemukan Prabu Parikesit, tetapi sang Raja enggan kembali ke pesanggrahan dan terus melanjutkan perjalanannya yang diikuti abdi setia Semar, Gareng dan Petruk.

Dipayana tiba di puncak Gunung Lodra melihat seorang pertapa keras, berdiri tegak tanpa bergerak dan berbicara juga tidak menjawab pertanyaan sang Raja, maka hilang kesabaran raja, pertapa itu ditusuk dengan senjata. Setelah jenazahnya hilang muncullah Batara Basuki yang mendidik Sang Raja serta memberi pengalaman baru dan memberi nama Dipayana atau Yudiswara.

Selanjutnya sang Raja melanjutkan perjalanannya, ia bertemu orang naik sapi liar dan memberi isyarat kepadanya, maka sang Raja marah dengan melepaskan anak panahnya, dan berubahlah menjadi Batara Gana yang memberikan pengalaman tentang keberanian serta memberi nama baru Mahabrata. Setelah Gana menghilang datanglah burung garuda yang besar dihadapkan sang Raja. Dibunuhlah burung itu dan tampak Batara Sambu, yang memberikan pendidikan tentang keberanian serta memberi nama baru Darmasarana. Dalam meneruskan perjalanan Prabu

Parikesit menyelamatkan orang yang dikejar ular besar, orang itu adalah Prabu Praswati dari Gilingwesi, yang mempunyai putri bernama Dewi Sritatayi. Putri ini bermimpi kimpoi dengan Dipayana. Setelah Praswati mengutarakan maksudnya maka sang Raja menerima. Selanjutnya bertemu dengan Sritatayi dan dikimpoii.

Pertemuan dan bulan madu dengan istrinya, Dewi Sritatayi telah berlangsung lama, sang Raja segera meninggalkan istana dan masuk ke hutan dan ia bertemu Prabu Yasakesti dari Mukabumi yang mempunyai putri Dewi Niyata. Putri itu jatuh cinta dengan Parikesit. Semula sang Raja menolak untuk diajak Yasakesti tetapi akhirnya Parikesit mengawini Dewi Niyata. Juga disini Dipayana dengan cepat meninggalkan istrinya yang muda, mengembara di hutan lagi. Pada suatu hari ia bertemu dengan raksasa Srubisana dari Manimantaka yang diutus Prabu Niradakawaca untuk membalas dendam pada Parikesit atas kematian ayahnya Niwatakawaca yang terbunuh oleh Arjuna.

Maka terjadi peperangan tetapi Parikesit dapat dilempar ke udara dan jatuh di Pertapaan Manikmaya ditemukan oleh Begawan Sidiwacana serta putrinya yang bernama Rara Setapi. Prabu Parikesit tertarik panah milik Rara Setapi dan menginginkannya dan oleh yang punya dijawab bahwa barang siapa mengambil panah itu harus harus juga mengambil yang empunya.Karena putri itu jelek maka Parikesit menolak tetapi sang Putri dapat dirubah wajahnya menjadi cantik oleh ayahnya, maka sang Raja tidak keberatan mengambilnya. Setelah lama berada di pertapaan akhirnya Parikesit kembali ke Astina.

Dalam perjalanannya ia bertemu raksasa Begawan Sukanda yang mempunyai putri, sukandi dan Sukanda mengatakan bahwa putrinya mimpi bertemu Prabu Parikesit. Namun usul itu tidak diperhatikan oleh sang Raja. Tiba-tiba datang dihadapannya musuh yang ditakuti yakni Srubisana, ia terkejut dan tidak senang mengulangi peperangan lagi, maka Parikesit mene-mukan akal, ia berjanji kepada Begawan Sukanda bahwa akan mengambil putrinya asalkan sang Begawan dapat membunuh Srubisana.

Dalam tempo yang singkat Sukanda dapat dibunuhnya, tetapi sekarang Dipayana menyesal pada janji yang telah diucapkan dan menolak turut serta dengan Begawan Sukanda. Dengan mantranya Parikesit tertidur dan segera dibawanya dan dipertemukan dengan putrinya. Setelah melihat kecantikan Dewi Sukandi, maka rasa berat Parikesit hilang seketika dan mengawininya.

Pada hari berikutnya Dipayana melanjutkan perjalanannya

kembali ke Astina dan negeri tersebut mendapat serangan dari Manimantaka Prabu Ni-radakawaca. Prabu Baladewa memimpin pertempuran itu tetapi tidak kuat menahan kesaktian raja raksasa, sehingga negara Astina porak poranda.

Tiba-tiba Dipayana datang dan menghadapi musuh yang menyerang Astina, akhirnya raja raksasa itu dapat dibunuh oleh Prabu Kresna Dipayana.

  QUOTE

12-06-2011, 09:00 AM   #124

izroilblackarmy aktivis kaskus 

 UserID: 509004 Join Date: Jul 2008Posts: 605

Peksi Anjaliretna

Syahdan, raja Dwarawati sri Kresna, menerima kedatangan kakandanya ialah prabu Mandura, raja Dwarawati segera membuka pembicaraan, berkisar perihal lolosnya ipar raja, raden janaka. Demikian pula, prabu Dwarawati melaporkan, bahwasanya raden arya jayadrata melamar Dewi Subadra. Setelah prabu Baladewa menerima laporan, bahwasanya raden arya jayadrata melamar Dewi subadra. Setelah prabu Baladewa menerima laporan, bahwasanyaksatriya banakeling raden arya Jayadrata mengajukan lamara, disetujuinya. Perihal persyaratannya, bahwasanya Subadra meminta kelengkapan perkimpoian sebagai upeti, ialah diwujudkannya burung (peski) Anjaliretna, beserta pengiring temanten (patah) nya harus ksatria yang rupawan, disanggupi akan disampaikan kepada ksatriya Banakeling.

Sri baladewa segera mengundurkan diri, akan menyampaikannya kepada raden arya jayadrata yang sedang menunggu jawaban di pasanggrahan. Sri Kresna segera memerintahkan kepada para narapraja yang menghadap, untuk segera membubarkan diri. Raja menuju ke dalam kraton bertemu dengan permaisuri-permaisurinya, ialah Dewi Jembawati, Dewi Rukmini dan Dewi setyaboma. Kepada permaisuri, telah diuraikan perihal putusan raja, terhadap lamaran raden arya Jayadrata, mereka menyetujui akan maksud kehendak raja.

Terlihatlah di paseban luar, sri Baladewa dihadap segenap wadyabala ialah putra mahkota raden Wisata, raden arya Samba, Setyaki, patih Udawa, patih Pragota dan patih Prabawa. Kepada raden Wisata, prabu baladewa memerintahkannya untuk menyampaikan segala pesan persyaratan kelengkapan perkimpoiannya dengan Dewi Subadra, kepada ksatriya Banakeling, pamandanya raden arya Jayadrata. Sri Baladewa segera menuju ke pesanggrahannya, yang bernama

randugumbala. Berangkatlah raden arya Wisata menunaikan tugasnya, menyampaikan pesan ke Mandura, ke Banakeling diikuti wadyabala mandura.

Konon, raja Widarba prabu Citragada, mempunyai seorang putri bernama Dewi Kumalarini. Pada suatu ketika , burung kesayangannya hilang tak berbekas. Raja Citradenta yang pada waktu itu sedang mengadakan pasewakan, membicarakannya dengan patih Dendabahu, bahwasanya laporan permaisuri raja bernama dewi hagnyarini, mengatakan burung Anjaliretna milik putrinyaDewi Kumalarini hilang. Raja juga menegaskan, bahwasanya tersiar berita, burung itu sekarang berada ditelatah kerajaan Banakeling. Prabu Citradenta segera memerintahkan kepada wadyayaksanya, bernama kalagodaka dan Kalakutila, untuk segera berangkat ke wilayah Banakeling, mencari jejak dan menemukan kembali, burung Anjaliretna yang dapat bertingkah selayaknya manusia. Bearngkatlah wadyabala Widarba, dengan pimpinan ditya Kalagodaka, dan Kalakutila beserta pandu jalannya Kyai Togog dan Kyai Sarawita. Di pertengahan perjalanan, mereka berjumpa dengan wadyabala Mandura, sehingga terjadi perselisihan , dan peperangan. Kedua-duanya berusaha tidak melibatkan terlalu lama dan jauh dalam peperangannya, sehingga mereka pun berusaha untuk melanjutkan perjalanannya masing-masing.

Raden Jayadrata, ksatriya Banakeling sedang mengadakan pasewakan, dihadap oleh patih Atmagatra, dan Atmasubala, Abirawa. Sedang mereka berbincnag-bincang, masuklah raden Wisata menemui pamandanya raden Arya Jayadrata, menyampaikan pesan Baladewa, bahwasanya perihal maksud perkimpoianya Jayadrata dengan Dewi Subadra, dipersyaratkan adanya kelengkapan perkimpoian, ialah adanya burung Anjaliretna yang dapat bertingkah laku selayaknya manusia, beserta patah ksatriya rupawan. Setelah laporan diterima, raden Wisata segera mengundurkan diri, raden jayadrata memerintahkan kepada wadyabalanya untuk mempersiapkan patyah ksatria yang rupawan, sebab burung Anjaliretna telah dimiliki raden Jayadrata. Mereka segera mengundurkan diri untuk melaksanakan tugas.

Patih Atmagatra sebelum menunaikan tugasnya, kembali terlebih dahulu ke kepatihan, menemui istrinya Dewi Diwati. Kepada sang Dewi, patih Atmagatra berkata, raja sedang mencari kelengkapan persyaratan perkimpoianya dengan Dewi Subadra seorang patah ksatriya yang rupawan. Putra patih Atmagatra, terkenal sangat rupawan, apalagi ksatria, bernama raden Nilawarna, itulah yang ditakutkan, jangan-jangan raden jayadrata, memaksanya menyerahkan Raden Nilawarna, bagi kelengkapan perkimpoiannya nanti, untuk itu kepada Dewi

Retna Diwati, diperintahkan untuk mengamankan menyembunyikan raden Nilawarna, datanglah dsang dewi Retna Diwati menemui putranya, segala maksud patih Atmagatra dijelaskan, raden Nilawarna menyadari akan maksud ibunya, segera pamit untuk menyembunyikan diri, lajulah raden Nilawarna menuju ke hutan, diiringi oleh para panakawannya, Kyai Semar, nalagareng dan Petruk.

Di tengah hutan, raden Nilawarna bertemu denga wadyabala yaksa dari Widarba, terjadilah peperangan, yaksa dapat dimatikan. Kyai Togog dan sarawita dapat menyelamatkan diri, segera meninggalkan hutan, untuk segera melapor kepada raja Citradenta. Selagi melangkah maju , bertemu pula raden Nilawarna, dengan wadyabala dari banakeling, yang dipimpin oleh raden Abirawa dan raden Atmasubala. Kepada raden Nilawarna, mereka mengajukan usul, apakah bersedia dijadikan patah temanten lelaki, ditolaknya. Peperangan terjadi, wadya Banakeling dapat diundurkan, dengan kata-kata yang tegas dan menantang, raden Nilawarna memberitakan, bahwasanya dia adalah putranya patih Banakeling, ialah raden Atmagatra. Terperanjatlah mereka, segera mengundurkan diri, untuk melapor kepada raden Jayadrata. Adapun raden Nilawarna, meneruskan perjalanannya menuju kerajaan Widarba.

  QUOTE

12-06-2011, 09:02 AM   #125

izroilblackarmy aktivis kaskus 

 UserID: 509004 Join Date: Jul 2008Posts: 605

Peksi Anjaliretna 2

Raden Arya Jayadrata, menerima laporan dari raden Abirawa dan Atmasubala, bahwasanya gagal mereka menunaikan tugas mencari patah ksatria yang rupawan. Dilaporkannya , ditengah hutan bertemu dengan ksatria rupawan, karena perselisihan pendapat terjadi peperangan, malahan ksatria tersebut menantangnya, dan menyatakan dirinya sebagai raden Nilawarna, putra patih Banakeling, Atmagatra. Raden arya Jayadrata sangat marah mendengarnya, patih Atmagatra setelah dihajar, bersama istrinya diusir dari kerajaan Banakeling.

Raja Widarba, prabu Citradenta menerima laporan Kyai Togog dan sarawita, bahwasanya wadyabala Widarba yang ditugaskan pergi melacak ke Banakeling, ditengah hutan diganggu, dan dibunuh oleh ksatria bernama Nilawarna. Prabu Citradenta sangat murka, segenap wadyabala diperintahkan berangkat menuju ke Banakeling.

Manakala prabu Citradenta mengerahkan wadyabala pergi ke

Banakeling, raden Nilawarna yang mengubah dirinay sebagai abdi kinasih raja, berdatang sembah ke permaisuri prabu Citradenta, ialah deri Retna Hagnyarini, bahwasanya sang puteri bersama puteri Dewi Kumalarini, dipersilakan datang ke Banakeling, sebab peksi (burung) Anjaliretna, telah ditemukan kembali. Berangkatlah mereka bersama-sama diiringkan raden Nilawarn, yang bersandi sebagai abdi kinasih, ke Banakeling, dengan perasaan sukacita.

Raden Jayadrata sangat sedih hatinya , mengingat hanya satu persyaratan lagi yang belum dipenuhinya, ialah patah ksatria rupawan. Manakala sedang merenung- renung , wadyabala ;lapor, bahwasanya musuh dari kerajaan Widarba , dengan rajanya Prabu Cittadenta datang menyerang. Raden Jayadrata beserta wadyabala menyongsong kedatangan musuh dari kerajaan Widarba, banyak sudah wadyabala Banakeling dipukul mundur, raden Jayadrata maju, bertempur melawan prabu Citradenta, kalah jua. Patih Atmagatra yang mengetahui bahwasanya rajanya kalah perang, berusaha menolongnya, tetapi dapat pula dikatakan oleh prabu Citradenta. Kedua-duanya melarikan diri, mencari keselamatan. Konon, Dewi Hagnyanawati telah bersiap-siap dengan putranya raden Atmabala, beserta para punggawa untuk berangkat ke kerajaan Dwarawati. Demikian pula raden jayadrata berpasangan dengan Patih Atmagatra, beserta patahnya ialah raden Nilawarna, berangkat juga naikkereta, tak lupa Dewi Kumalarini dengan menggendong burung Anjaliretna, mengiringinya.

Raden Werkudara dari Pamenang, mendengar berita, bahwasanya raden Jayadrata telah diberangkatkan ke kerajaan Dwarawati dengan segala kelengkapannya persyaratan perkimpoiannya. Kepada putranya, yang bernama raden gatotkaca diperintahkan untuk segera pergi ke Dwarawati, melapor ke raja Dwarawati, bahwasanya ramandanya ialah raden Werkudara akan menghadap.

Di kerajaan Dwarawati, sri Kresna dihadap oleh putra mahkota raden arya Samba, Setyaki dan patih Udawa disamping datang pula prabu Baladewa, raja Mandura. Tal lama datanglah raden Werkudara, raden gatotkaca , kepada Si Kresna arya Werkudara meminta keterangan , kapan timbulnya Arjuna, dijawab hendaknya bersabar terlebih dahulu, tak lama lagi tentu akan timbul. Datanglah iring-irinagn temanten lelaki, ialah raden Arya Jayadrata beserta pengiring-pengiringnya. Setelah segala sesuatunya siap, raden arya Samba diperintahkan oleh sri Kresna untuk menerima penyerahan peksi (burung) Anjaliretna. Sri Baladewa, mempersilakan kepada sri Kresna, untuk segera mempertemukan temanten lelaki dengan temanten puteri , ialah Dewi Subadra. Arya Samba segera mengawal raden jayadrata ke

ruangan yang telah dipersiapkan untuk upacara. Masuklah terlebih dahulu raden samba dengan membawa peksi Anjaliretna, segera diserahkan kepada Dewi Subadra. Setelah diterima mundurlah raden Samba, burung Anjaliretna ditangan Dewi Subadra, berubah menjadi raden Janaka. Pertemuan mereka sangat menyenangkan, masuklah raden Jayadrata untuk menemui Dewi Subadra, dicegah oleh raden gatotkaca, menyusulah raden Nilawarna. Raden Jayadrata dapat diundurkan, raden Nilawarna kalah perangnya dengan Gatotkaca, berubah menjadi raden Angkawijaya.

Raden Jayadrata, setelah kalah perangnya dengan gatotkaca, datang melapor ke kadipaten. Prabu Baladewa yang menerima laporannya sangat marah., segera keluar untuk mencari Gatotkaca, belum lagi ketemu yang dicarinya, raden arya Werkudara datang mengajak berkelahi. Sri Baladewa, kalah perangnya dengan Werkudara. Wadyabala juga tak dapat menang bertanding dengan Werkudara. Sri Kresna dengan dihadap oleh raden arya Werkudara, Janaka, gatotkaca, Angkawijaya, samba, setyaki patih Udawa dan segenap naraprajanya, merayakan kemenangan prajurit-prajurit Dwarawati. Seisi istana Dwarawati dan para kawulanya sungguh berbangga hati, bersyukur telah terhindar dari marabahaya peperangan.

  QUOTE

12-06-2011, 09:04 AM   #126

izroilblackarmy aktivis kaskus 

 UserID: 509004 Join Date: Jul 2008Posts: 605

Dan Langit Pun Menangis 1

Padang luas itu masih mengepulkan sisa-sisa asap pertempuran. Bau darah yang anyir membekas kuat, seakan mengingatkan hadirnya mayat bergelimpangan yang memenuhi tempat itu. Senjata, pedang berbagai ukuran, anak-anak panah yang telah patah, topi-topi prajurit berserakan, meminta dikembalikan kepada tuan-tuan mereka, baik yang telah memperoleh kemenangan maupun yang tinggal kenangan. Mati diterjang ujung senjata lawan.

Sosok itu berdiri mematung di sisa-sisa senja. Wajahnya dingin dan tak perduli. Panca inderanya sudah mati. Ya, sudah mati! Betapa tidak? Anak lelaki kebanggaannya, yang paling ia harapkan menjadi penerusnya, kini harus bernasib sama dengan onggokan tulang belulang di Kurusetra. Tubuhnya yang gagah, hancur diterjang puluhan panah yang mengantar lelaki muda itu menemui penciptanya.

Arjuna masih mematung. Sungguh, ia benar-benar telah kehabisan air mata untuk mengungkapkan kesedihannya. Perang ini tidak pernah ia kehendaki. Lelaki itu masih lebih memilih menjadi pengelana hutan daripada kehilangan semua anak-anaknya.Anak-anak dari berbagai ibu, yang bahkan banyak di antara mereka yang tak pernah merasakan asuhannya, tiba-tiba datang dan menyatakan ingin membantu Pandawa memenangkan perang.

Masih segar dalam ingatan Arjuna masa kecil yang terpatri begitu dalam di hati dan benaknya. Itulah kebahagiaan sempurna yang bisa didapat seorang anak tanpa ayah, dengan status putra raja yang tak kunjung diberikan.

Ada sosok lain lagi yang berjalan mendekat. Tubuh hitam kelam dengan pakaian kebesaran seorang raja. Sengaja sosok itu berdiri agak jauh, mengamat-amati saudara sepupunya yang sudah seperti adiknya sendiri, bahkan lebih. "Menyesali perang ini lagi, adikku?"

Arjuna menoleh. Cepat-cepat ia berjalan mendekati sosok titisan Batara Wisnu itu dan memberi penghormatan. "Kalau saya berkata jujur, kanda. Tentu saya tak ingin perang ini terjadi."

"Dan membiarkan angkara murka berkuasa di muka bumi?" Suara Kresna tetap tenang. Arjuna terdiam. Dia selalu saja kehilangan segala kata-kata di depan tokoh yang ia kagumi ini.

Sang Dananjaya menatap Prabu Kresna dengan ragu-ragu dan berkata perlahan. "Kalau saja Bharatayudha tidak terjadi, kita tidak akan kehilangan eyang Bisma, guru Dhorna, anak-anak Pandawa dan ribuan prajurit yang tidak berdosa." Arjuna berkeras, masih berusaha mendebat walaupun keyakinan di hatinya mulai goyah.

Kresna mendehem. "Apakah kau sadar bahwa perang ini adalah takdir? Kita tidak akan pernah tahu apa maksud sebenarnya peperangan ini. Bukankah kau mengaku ksatria, Arjuna?! Mana tanda-tanda kesatriaanmu? Apakah kau kira dengan pakaian senopati, membawa senjata dan berkereta kuda, kau seorang ksatria? Jangan buat malu para dewa yang sudah membekalimu kesaktian selama ini!"

"Apakah membunuh itu dharma ksatria, Kanda?" Arjuna mencoba mendebat lagi, melawan segala kesedihan yang sudah menghancurkan hatinya. "Kau membunuh untuk kebenaran. Dan segala yang terjadi pada perang ini adalah jalan karma bagi setiap manusia. Resi Bhisma sudah rela untuk memberikan nyawanya demi menebus segala dosanya. Apa kau pikir kalau ia

dibiarkan hidup ia akan bahagia, Arjuna? Pergunakanlah otakmu! Jangan memakai hatimu untuk menyelesaikan persoalan ini."

Arjuna berlutut dan mengambil sepotong anak panah yang telah patah. "Kanda, benarkah benda ini yang telah mengantar anakku ke akhirat? Mungkinkah pasopatiku pun akan kugunakan untuk cara yang sama? Mengantar seseorang yang menjadi tumpuan harapan orangtuanya ke alam baka?" Arjuna menggigit bibirnya. "Lebih baik saya kembalikan saja pasopati ke Hyang Indra."

Batara Kresna menghela nafas. "Ayolah adikku, kita segera kembali ke perkemahan. Tak ada gunanya berdiam terus disini dan menyalahkan dirimu sendiri." Cepat raja besar itu memutar tubuhnya dan meninggalkan sang Dananjaya yang masih berdiri termangu-mangu di keheningan Kurusetra, ditemani teriakan burung pemakan bangkai yang siap berpesta pora.

***

"Ananda Kresna, bagaimana strategi yang paling tepat untuk menyelesaikan perang ini? Korban semakin banyak berjatuhan. Hari ini telah banyak pula yang mati. Dan kita tidak tahu siapa yang akan menyusul besok. Eyang sangat ingin perang ini segera diakhiri." Prabu Wirata itu terbatuk. Raut wajahnya yang memancarkan wibawa dan kebijaksanaan tampak diliputi garis-garis kesedihan yang mendalam.

Prabu Kresna menghaturkan sembah. "Sebaiknya kita segera mengangkat senopati baru, Kakek Prabu. Hamba dengar pihak Astina sudah siap mengangkat senopati baru. Sebaiknya kita juga mengangkat senopati baru sebagai tandingan." Suara Kresna yang jelas dan bening mengisi keheningan ruang pertemuan itu.

Di pintu masuk tampak Bima yang berdiri menjaga, wajahnya diliputi kesedihan, yang hampir tak pernah membayang sebelumnya. Arjuna hanya duduk termangu-mangu, tidak mendengarkan. Para raja dan sekutu mereka duduk dengan khidmat, sesekali berbicara pada rekan di sebelahnya.

"Saya setuju dengan usul Anda, Batara Kresna." Seorang raja mengangkat tangannya dan berdiri untuk berbicara. "Tapi siapakah senopati baru Astina, dan siapa senopati tandingan dari pihak kita?" Batara Kresna tersenyum puas, mengangkat sebelah tangannya untuk memberi isyarat agar raja sahabat itu duduk, sementara ia sendiri berdiri untuk menjawab. "Kakek Prabu Matswapati dan hadirin sekalian yang saya hormati, menurut pendapat saya, pihak Astina pasti akan mengangkat Adipati

Karna sebagai senopati agung, dan lawannya tidak lain adalah adik saya, Arjuna!"

Suara Prabu Kresna yang lantang membuat Arjuna terkesiap. Suasana ruang itu agak gaduh sejenak, sementara Prabu Kresna tersenyum puas, senang akan keputusannya barusan.

"Saya tidak bersedia, Kanda!" Suara Arjuna yang biasanya lembut berubah keras dan gugup. "Kenapa adikku? Jangan kau bilang kalau kau takut menghadapi Karna." Prabu Kresna tetap tenang. Sebaliknya, Arya Werkudara yang memang tidak sabaran mulai naik darah.

"Jelamprong adikku, apa kau takut menghadapi Karna? Ayolah, kau bukan anak kemarin sore yang masih harus disusui ibunya!"

"Saya tidak takut, Kanda. Hanya… Saya masih dalam keadaan berkabung karena kematian Angkawijaya. Sementara, saya tidak ingin berperang, apalagi menghadapi Kanda Karna." Wajah Arjuna yang tampan memerah. Arya Werkudara menggeram. Mendung mulai bergayut kembali di wajahnya. Teringat akan sang Gatotkaca yang pergi mendahului ayah bundanya.

"Sudahlah, Arjuna, kalau kau tidak bersedia, kau boleh pergi dan menenangkan diri sekarang. Kresna anakku, siapkanlah senopati cadangan, kalau-kalau adikmu benar-benar tidak bersedia menghadapi Karna." Prabu Matswapati menengahi. Ia tidak menginginkan suasana memanas. "Baiklah Eyang, semua saya serahkan kepada Eyang." Kresna berkata hormat, sementara Arjuna menghaturkan sembah dan lekas pergi, menyendiri, jauh dari segala hiruk pikuk dentingan pedang dan desingan panah.

Arjuna memasuki hutan rimba yang lebat di sisi Kurusetra. Tubuhnya menggigil. Bukan karena takut, karena bagi Arjuna hutan rimba yang lebat dan penuh dengan setan, jin, iblis, genderuwo dan segala jenis makhluk halus lainnya sudah seperti rumah keduanya. Ia lebih sering bersama 4 punakawannya mondar-mandir keluar masuk hutan daripada berada di Madukara.

Bayangan Karna berkelebat di depannya. Ah, dia bahkan tidak tahu bagaimana perasaannya yang sesungguhnya kepada laki-laki itu. Rasa benci? Sayang kepada saudara? Marah? Atau menyesali keputusan Karna untuk membela pihak musuh?

Arjuna tetap merasa bahwa apapun pilihan Karna bukanlah urusannya. Tapi lain akibatnya bila mereka berdua harus berhadapan sebagai sesama senopati. Arjuna merasa telah banyak mengalami kehilangan, dan kehilangan Karna bukanlah

pilihan terbaik yang ia inginkan.

Bagaimanapun Karna adalah saudara seibu, yang sedari kecil bahkan belum pernah merasakan belaian tangan dan air susu Kunti, ibunya sendiri. Arjuna merasa ia jauh lebih beruntung dari saudaranya itu, setidaknya dapat merasakan indahnya masa kecil, yang diliputi kasih sayang ibu dan saudara-saudaranya.

  QUOTE

12-06-2011, 09:05 AM   #127

izroilblackarmy aktivis kaskus 

 UserID: 509004 Join Date: Jul 2008Posts: 605

Dan Langit Pun Menangis 2

Masih segar dalam ingatan Arjuna, bagaimana Karna dapat menyamai kepandaian memanah yang ia pamerkan dalam adu ketangkasan antara Pandawa dan Kurawa ketika mereka masih remaja dahulu. Dan bagaimana ia dan kakaknya Bima telah menghina Karna dengan menyebutkan keturunan putra dewa surya itu.Memang, Karna adalah anak angkat kusir Adirata, tapi apakah ia dan Bima pantas menghina lelaki itu? Arjuna menutup wajahnya dengan kedua belah tangan, menahan air matanya yang hendak menetes jatuh.

***

"Akhirnya kau datang juga adikku." Bibir Karna menyunggingkan seulas senyuman melihat sosok gagah di atas kereta kuda yang dikusiri Prabu Kresna yang agung. Hati Karna mendadak seperti ditoreh oleh sebilah pisau tajam.

Ada rasa sakit yang tiba-tiba menyerangnya melihat adik yang nyaris tak pernah menghabiskan waktu bersama dengannya tiba-tiba harus ia hadapi. Dan bahkan ia musnahkan untuk mencapai kemenangan.

"Ya, ini saya, Kanda." Arjuna berkata dengan kaku. Suaranya bergetar. Prabu Kresna menoleh dan tersenyum pada sang Palguna untuk menyemangatinya. Dengan lihai titisan Wisnu itu memacu kuda-kudanya mendekati kereta kuda Karna.

"Cepatlah kau lepas panahmu Arjuna! Makin cepat kau lepas panahmu, makin cepat pula aku bisa menggunakan panahku untuk mengakhiri hidupmu!" Karna berteriak menantang, mencoba menandingi teriakan-teriakan dalam hatinya sedari tadi. Kuda-kuda dari kereta yang dikusiri mertuanya turut meringkik-ringkik, seakan mendukung setiap perkataan penumpangnya.

Kresna tersenyum. Raja besar yang arif itu tahu betul apa yang berkecamuk di dada kedua saudara seibu itu. Tapi inilah tugasnya. Untuk mengobarkan Bharatayudha dan menumpas bibit angkara di muka bumi. Tugas yang harus diembannya sebagai titisan Wisnu.

Waktu di Kurusetra seakan terhenti. Para prajurit yang ratusan ribu jumlahnya, meletakkan pedang, perisai, dan senjata apapun yang mereka pegang untuk menonton pertandingan akbar itu. Tidak ada yang bergerak. Semuanya berdiri, menonton dengan perasaan tegang, dan hati masing-masing memanjatkan doa, berharap agar gusti mereka memenangkan pertempuran itu.

Kresna berpaling pada saudara sepupu sekaligus iparnya itu. "Ayo Arjuna, lepas panahmu! Apa kau akan membiarkan senja turun dan pertempuran harus berlanjut esok?"

Arjuna menggigit bibir, mengambil sebatang panah dan melepasnya. Karna tersenyum, melepas sebatang panah pula untuk mengatasi panah Arjuna, kemudian dengan sigap ia mematahkan panah itu menjadi dua.

"Arjuna! Apa hanya ini senjatamu? Mana hasil bertapamu? Alangkah sayangnya waktu yang kaugunakan untuk bertapa dan berguru, kalau hanya ini hasilnya!" Karna tersenyum mengejek. Dilepasnya sebatang panah lagi, kali ini seolah memamerkan keahliannya. Panah itu berdesing, dan seakan berjiwa, mengarah tepat ke dada Arjuna. Tapi kesigapan Kresna mengendarai kudanya telah menyelamatkan lelanang ing jagad yang tengah berkecamuk hatinya itu.

Kuda-kuda pengendara kereta itu pun seakan berubah menjadi kuda-kuda binal yang siap menerkam siapa saja. Langkah kaki mereka mengepulkan debu yang memperpanas suasana Kurusetra.

Arjuna menengadah ke langit, melihat kehadiran dewa-dewa, dewi-dewi istrinya dan segala penghuni kahyangan yang hadir hanya untuk menyaksikannya. Ribuan helai bunga telah mereka taburkan untuk menambah semangat juang Arjuna, meredam gejolak hatinya yang meningkah tajam.

Tapi yang lebih menarik perhatiannya adalah sosok Abimanyu di kejauhan, yang di matanya terlihat berlari-lari, memanggil-manggilnya ayah. Seakan-akan ia mendekati ayahnya, dan membisikkan kata-kata agar Arjuna terus maju, memenangkan pertempuran ini dan membalaskan dendam kematiannya.

Arjuna terperangah. Tangannya telah bergerak, hendak

membelai kepala putra tertuanya. Tetapi mendadak bayangan Abimanyu lenyap, terbawa angin yang menerbangkan debu-debu ke atas.

"Ada apa, Arjuna?" Prabu Kresna menoleh, keheranan melihatnya terpaku. "Tidak, Kanda. Seakan-akan tadi saya melihat Angkawijaya disini." Arjuna masih tak percaya. Tatapan matanya menerawang jauh.

Prabu Kresna tertawa. "Kau lihat, Arjuna? Bahkan putra kesayanganmu pun telah rela menjadi perantara malaikat maut untuk membalas kematiannya." Arjuna masih tertunduk, raut wajahnya sulit diterka.

"Nah, kalau begitu apa yang akan kau lakukan sekarang Arjuna? Tetap diam dan membiarkan dirimu mati konyol ditembus panah Karna? Atau melawan dan memperoleh kemenangan?" Prabu Kresna menatap adiknya dengan seulas senyum di bibirnya.

Arjuna menggigit bibir sambil merapal doa. Diliriknya sekali lagi wajah legam saudara ipar sekaligus sepupu yang sangat ia hormati itu. Diambilnya Pasopati andalannya, sembari bersiaga menarik temali busur. Segenap penghuni Kurusetra menahan nafas, waktu yang hanya beberapa detik seakan beberapa abad. Kresna memiawik keras, "Sekarang, Arjuna!"

Sesaat setelah itu, Pasopati melaju lincah, merenggut jiwa senopati Hastinapura. Memisahkan kepala bermahkota itu dari tubuh yang berhiaskan pakaian kebesaran senopati. Serentak terdengar hiruk pikuk dari barisan Pandawa maupun Kurawa. Barisan Pandawa karena gembira, sedangkan barisan Kurawa karena sedih dan kecewa. Bersamaan dengan itu terdengar bunyi terompet, menandakan perang hari itu telah berakhir. Prabu Salya yang mengusiri kereta hanya termangu memandangi tubuh menantunya tanpa kepala, sebelum sadar apa yang harus ia lakukan. Cepat dihelanya kereta kuda itu menuju garis belakang.

Prabu Kresna pun memacu kudanya ke garis belakang. Siap memberikan laporan pertempuran hari itu dan merancang strategi selanjutnya. Matanya sempat melirik ke arah sepupunya. Arjuna tengah tertunduk dengan tubuh bermandikan keringat. Prabu Kresna tidak berkomentar, terus mengendarai kudanya dengan tenang. Ia melayangkan pandangan ke langit senja itu, sedikit terkejut karena langit yang tadi cerah mendadak gelap. Seolah-olah turut bersedih, langit senja itu pun menangis, mengiringi kepergian sang putra matahari.

***

Sinopsis : Musuh terkuat adalah diri sendiri, yang selalu mengintai dan mempertanyakan tentang masa lalu dan masa depan. Bahkan Seorang pria yang disebut-sebut lelanang ing jagad (lelakinya dunia) pun bisa menjadi lemah dan tak berdaya. Di Kurusetra, disaksikan jutaan pasang mata, haruskah Arjuna takluk di tangan Karna? Atau haruskah ia menaklukkan Karna dengan segenap upayanya? Sementara untuk menaklukkan dirinya sendiri pun ia tak sanggup.

  QUOTE

12-06-2011, 09:09 AM   #128

izroilblackarmy aktivis kaskus 

 UserID: 509004 Join Date: Jul 2008Posts: 605

Telaga Ajaib

Pada suatu hari, ketika Pandawa sedang melakukan perjalanan menjelajahi hutan dalam masa-masa akhir pengasingannya, mereka bertemu dengan seorang brahmana. Brahmana tersebut lalu meminta bantuan kepada Pandawa untuk menangkap seekor kijang yang telah melarikan tempat pedupaannya. "Wahai Pandawa, kijang itu membawa lari pedupaanku. Tolonglah aku, aku tidak mampu mengejar binatang itu", kata brahmana itu.

Pandawa kemudian memburu kijang itu beramai-ramai dan mengepungnya dari berbagai arah. Tetapi, rupanya itu bukanlah seekor kijang biasa. Ia berhasil menghindar dari kejaran Pandawa dan terus berlari menjauh. Ia selalu berhasil lolos dari kepungan Pandawa. Hingga tanpa sadar Pandawa telah jauh masuk ke dalam hutan dan seakan kijang itu hilang ditelan rimba raya. Pandawa yang lelah, menghentikan pengejaran dan beristirahat di bawah sebatang pohon yang besar dan rindang.

Nakula mengeluh, "Alangkah merosotnya kekuatan kita sekarang. Menolong seorang brahmana dalam kesulitan sekecil ini saja kita tidak bisa. Bagaimana dengan kesulitan yang lebih besar ?"

"Engkau benar. Ketika Drupadi dipermalukan di depan orang banyak, seharusnya kita bunuh saja manusia-manusia kurang ajar itu. Tetapi, kita tidak berbuat apa-apa. Dan sekarang inilah akibatnya." kata Bhima sambil memandang Arjuna.

Dengan sikap membenarkan, Arjuna berkata, "Ya, benar. Aku juga tidak berbuat apa-apa ketika dihina oleh anak sais kereta itu. Inilah upahnya sekarang".

Yudhistira merasakan kesedihan hati saudara-saudaranya. Mereka kehilangan semangat juang mereka. Untuk mengalihkan

pikiran, ia berkata kepada Nakula, "Adikku, panjatlah pohon itu. Lihatlah baik-baik, barangkali di dekat-dekat sini ada sungai atau telaga. Aku haus sekali".

Nakula lalu naik ke pohon yang tinggi. Setelah melihat sekelilingnya, ia berteriak, "Di kejauhan kulihat ada air tergenang dan burung-burung bangau. Mungkin itu telaga".Yudhistira menyuruhnya turun dan pergi untuk mengambil air.

Nakulapun pergi dan memang menemukan sebuah telaga. Karena sangat haus, ia berpikir untuk minum dulu sebelum membawakan air untuk saudara-saudaranya. Baru saja ia hendak mencelupkan tangannya ke dalam air, tiba-tiba terdengar suara, "Janganlah engkau tergesa-gesa. Telaga ini milikku, hai anak Dewi Madrim. Jawablah dulu pertanyaanku. Jika kau bisa menjawab, barulah kau boleh minum". Nakula sangat terkejut mendengar suara itu, tetapi karena sangat haus, ia tidak memperdulikannya. Ia langsung mencedokkan tangannya, mengambil air dan meminumnya. Seketika itu juga ia jatuh tidak sadarkan diri.

Setelah lama menunggu dan Nakula tidak juga kembali, Yudhistira menyuruh Sadewa mencarinya. Setelah mencari-cari beberapa lama, Sadewa terkejut melihat Nakula yang terbaring tak sadarkan diri di tepi telaga. Tetapi karena merasa sangat haus, ia memutuskan untuk minum dulu. Tiba-tiba suara tadi terdengar lagi, "Wahai Sadewa, telaga ini telagaku. Jawab dulu pertanyaanku, baru engkau boleh menghilangkan dahagamu". Sadewa tidak peduli. Ia mencedokkan tangannya mengambil air yang jernih dan segar itu. Begitu minum seteguk, ia jatuh tersungkur tak sadarkan diri.

Bingung memikirkan kedua saudaranya yang belum kembali, Yudhistira menyuruh Arjuna mencari Nakula dan Sadewa. "Tetapi jangan lupa untuk kembali membawa air", katanya kepada Arjuna.

Arjuna pergi berlari dan menemukan kedua saudaranya terbaring tak sadarkan diri. Ia sangat terkejut dan mengira mereka tewas dianiaya musuh. Ia marah dan ingin menghancurkan siapapun yang telah membunuh saudara-saudaranya. Tetapi karena haus, Arjuna memutuskan untuk minum dulu. Tiba-tiba suara itu terdengar lagi, "Jawab dulu pertanyaanku, sebelum engkau minum air telaga ini. Telaga ini punyaku. Kalau engkau tidak mau menurut, engkau akan mengalami nasib yang sama dengan kedua saudaramu itu".

Arjuna sangat marah mendengar suara itu dan berteriak, "Hai, siapa engkau ? Tunjukkan dirimu !. Jangan pengecut ! Kubunuh

kau !". Sambil berkata demikian, Arjuna membidikan panahnya ke arah datangnya suara itu. Suara itu tertawa mengejek, "Panahmu hanya akan melukai angin. Jawab pertanyaanku dulu, baru kau boleh memuaskan dahagamu. Bila engkau minum tanpa menjawab pertanyaanku, engkau akan mati".

Arjuna senang karena bisa berhadapan dengan pembunuh adik-adiknya. Tetapi ia tak kuasa menahan rasa hausnya. Iapun minum seteguk air telaga itu. Seketika itu iapun jatuh tak sadarkan diri.

Setelah lama menunggu dan Arjuna tak kunjung kembali, Yudhistira berkata kepada Bhima, "Arjuna belum juga datang. Sesuatu yang aneh mungkin saja terjadi. Carilah mereka dan bawakan air untukku. Aku haus sekali".

Begitu mendapat perintah dari Yudhistira, Bhima segera berangkat. Sampai di tepi telaga, ia sedih melihat ketiga saudaranya terbaring tak bergerak. "Ini pasti perbuatan para jin dan raksasa jahat", pikirnya. "Akan kumusnahkan mereka ! Tetapi aku sangat haus. Setelah minum, akan kutamatkan pembunuh itu". Lalu ia turun ke tepi telaga.

Suara gaib itu terdengar lagi, "Hati-hatilah, hai Bhima. Engkau boleh minum setelah menjawab pertanyaanku. Engkau juga akan mati jika tidak mau mendengar kata-kataku".Mendengar itu Bhima berteriak, "Siapa engkau ? Berani benar memerintah aku !".Lalu ia minum air telaga itu. Seketika itu juga otot dan tulang Bhima yang liat bagai kawat baja dan keras bagai besi menjadi lemas. Seperti saudara-saudaranya, ia jatuh tak sadarkan diri.

Yudhistira menunggu dengan cemas. Dahaganya serasa tak tertahankan. Terbayang dalam pikirannya, "Apakah mereka terkena kutukan ? Apakah mereka lenyap ditelan rimba dan tak tahu jalan kembali ? Apakah mereka mati karena kehausan ?". Kemudian Yudhistira bangkit dan berjalan mengikuti jejak-jejak kaki saudara-saudaranya. Ia memperhatikan setiap semak yang dilaluinya dengan teliti. Ia melihat jejak kijang dan babi hutan, semuanya menuju arah yang sama. Ia menengadah melihat burung-burung bangau beterbangan, pertanda ada bentang air di dekat situ.

Setelah berjalan beberapa lama, ia sampai ke tanah terbuka. Di depannya terbentang telaga. Airnya berkilau jernih bagaikan cermin cemerlang. Dan di tepi telaga itu ia melihat keempat saudaranya tergeletak tak bergerak. Dihampirinya satu persatu, dirabanya kaki, tangan, dahi dan denyut jantung mereka. Yudhistira berkata dalam hati, "Apakah ini berarti akhir dari

sumpah yang harus kita jalani ? Hanya beberapa hari sebelum berakhirnya masa pengasingan kita, kalian mati mendahului aku. Rupanya para dewata hendak membebaskan kita dari kesengsaraan".

Menatap wajah Nakula dan Sadewa, pemuda-pemuda yang di masa hidupnya periang dan perkasa tapi kini terbujur dingin tak bergerak, hati Yudhistira sedih. "Haruskah hatiku terbuat dari baja agar aku tidak menangisi kematian saudara-saudaraku ? Apakah hidupku masih ada gunanya setelah keempat saudaraku mati ? Untuk apa aku hidup ? Aku yakin ini bukan peristiwa biasa", pikir Yudhistira. Ia tahu, tak seorang ksatriapun akan mampu membunuh Bhima dan Arjuna tanpa melewati pertarungan hebat. "Tak ada luka di badan mereka. Wajah mereka tidak seperti wajah orang kesakitan. Mereka kelihatan tenang, seperti sedang tidur dalam damai". Hatinya terus bertanya-tanya. "Sama sekali tak ada jejak kaki, apalagi bekas tanah atau rumput yang terinjak-injak dalam perkelahian. Ini pasti peristiwa gaib. Mungkinkah ini tipu muslihat Duryodhana ? Mungkinkah Duryodhana telah meracuni air telaga ini ?".

  QUOTE

12-06-2011, 09:10 AM   #129

izroilblackarmy aktivis kaskus 

 UserID: 509004 Join Date: Jul 2008Posts: 605

Telaga Ajaib 2

Dengan berbagai pikiran di kepalanya, perlahan-lahan ia turun ke tepi telaga. Ia ingin melepaskan dahaganya yang sudah tak tertahankan lagi. Tiba-tiba suara gaib itu terdengar lagi, "Saudara-saudaramu telah mati karena tak menghiraukan kata-kataku. Jangan engkau ikuti mereka. Jawab dulu pertanyaanku, setelah itu baru puaskan hausmu. Telaga ini milikku".Yudhistira yakin, suara itulah yang menyebabkan saudara-saudaranya mati. Ia berpikir, mencari cara untuk mengatasi situasi itu. Kemudian Yudhistira berkata kepada suara yang tidak berwujud itu, "Silahkan ajukan pertanyanmu".

Suara gaib itu mulai mengajukan pertanyaan kepada Yudhistira."Apa yang dapat menolong manusia dari semua marabahaya ?"Yudhistira menjawab, "Keberanian adalah pembebas manusia dari marabahaya".Suara gaib: "Apa yang lebih mulia dan lebih menghidupi manusia daripada bumi ini ?"Yudhistira : "Ibu, yang melahirkan dan membesarkan anak-anaknya, lebih mulia dan lebih menghidupi daripada bumi ini".Suara gaib : "Apa yang lebih tinggi dari langit ?"Yudhistira : "Bapa"Suara gaib : "Apa yang lebih kencang dari angin ?"

Yudhistira : " Pikiran"Suara gaib : "Apa yang lebih berbahaya dari jerami kering di musim panas ?"Yudhistira : "Hati yang menderita duka dan menyimpan dendam"Suara gaib : "Apakah kebahagiaan itu ?"Yudhistira : "Kebahagiaan adalah buah dari tingkah laku dan perbuatan baik"Suara gaib : "Kehilangan apakah yang menyebabkan orang bahagia dan tidak sedih ?"Yudhistira : "Amarah. Kehilangan amarah membuat kita tidak lagi diburu oleh kesedihan"Suara gaib : "Apakah itu, jika orang meninggalkannya ia dicintai oleh sesamanya ?"Yudhistira : "Keangkuhan. Dengan meninggalkan keangkuhan orang akan dicintai sesamanya"Suara gaib : "Apakah itu, jika orang membuangnya jauh-jauh, ia menjadi kaya ?"Yudhistira : "Hawa nafsu. Dengan membuang hawa nafsu orang menjadi kaya"

Demikianlah suara gaib itu memberikan pertanyaan-pertanyan kepada Yudhistira. Dan Yudhistira menjawab semuanya tanpa ragu. Pertanyaan terakhir yang diajukan oleh suara gaib itu langsung berkaitan dengan saudara-saudaranya.

Suara gaib : "Wahai Yudhistira, seandainya salah satu saudaramu boleh tinggal denganmu sekarang, siapakah yang engkau pilih ? Dia akan hidup kembali ".

Yudhistira terdiam dan berpikir sesaat, lau menjawab, "Kupilih Nakula, saudaraku yang kulitnya bersih bagai awan berarak, matanya indah bagai bunga teratai, dadanya bidang dan lengannya ramping. Tetapi kini ia terbujur kaku bagai sebatang kayu jati".

Suara gaib itu belum puas akan jawaban Yudhistira, dan iapun bertanya lagi, "Kenapa engkau memilih Nakula, bukan Bhima yang kekuatan raganya lebih besar dari kekuatan gajah ? Lagipula, kudengar engkau sangat mengasihi Bhima. Atau mengapa bukan Arjuna yang mahir menggunakan segala macam senjata, terampil olah bela diri dan jelas dapat melindungimu ? Jelaskan, mengapa engkau memilih Nakula !"

Yudhistira pun menjawab, "Dewi Kunti dan Dewi Madrim adalah istri ayahku dan mereka adalah ibuku. Aku, anak Kunti, masih hidup. Jadi dewi Kunti tidak kehilangan keturunan. Dengan pertimbangan yang sama dan demi keadilan, biarlah Nakula, putra dewi Madrim, hidup bersamaku".

Suara gaib itu puas sekali demi mendengar jawaban Yudhistira yang membuktikan bahwa ia adil dan berjiwa besar. Ternyata, kijang dan suara gaib itu adalah penjelmaan dari dewa Yama, dewa Kematian, yang ingin menguji kekuatan batin Yudhistira. Batara itupun lalu menghidupkan kembali semua saudara Yudhistira.

Lalu di hadapan Pandawa, batara Yama berkata, "Beberapa hari lagi masa pengasingan kalian di hutan rimba akan selesai. Di tahun ke tigabelas, kalian harus hidup dengan menyamar. Yakinlah, masa itupun akan dapat kalian lewati dengan baik. Tidak seorang musuhpun akan mengetahui keberadaan kalian. Kalian pasti lulus dalam ujian yang berat ini ".Setelah berkata demikian, batara Yama menghilang.

  QUOTE

12-06-2011, 06:14 PM   #130

izroilblackarmy aktivis kaskus 

 UserID: 509004 Join Date: Jul 2008Posts: 605

Sena Rodra

Sri Batara Kresna yang bergelar Sang Padmanaba dari Dwarawati membicarakan Werkudara yang sedang menyebarkan ajaran yang didapatnya dari Barat, dan yang berganti nama menjadi Bagawan Senarodra. Ia menyebarkan ajarannya di Unggul Pawenang, dan banyak orang berguru kepadanya, termasuk Satyaka. Para dewa merasa tidak senang karena merasa disamai dan menganggap Senarodra akan memberontak terhadap para dewa. Menurut Batara Kresna Senarodra hanya ingin agar manusia itu berpandangan luas, mendapat kesempurnaan hidup, dan jangan mendapat kepapaan. Sri Kresna ingin mengunjungi dan melihat sendiri keadaannya, dan menyuruh Setyaki berangkat mendahuluinya.

Di Tunggulmalaya Batari Durga dihadap oleh para makhluk halus dan juga Dewasrani, anaknya. Dewasrani melaporkan bahwa banyam orang mengikuti ajaran Sena rodra sehingga tidak menghaormati para Dewa lagi. Batari Durga lalu pergi ketempat Bahgawan Senarodra dan memerintahkan agar para makhluk halus itu mengganggu orang-orang yangh sedang berguru. Di tengah jalan ia bertemu dengan Batara Kresna. Ketika ditanya keperluannya Batari Durga mengatakan akan menyadarkan Senarodra karena telah mengajarkan agar orang-orang membelakangi para dewa. Batara Kresna tidak sependapat, oleh karenanya minta agar Batari Durga mengurungkan niatnya. Namu ia tidak mau, karenanya terjadi pergulatan antara keduanya. Ketika Batari Durga hampir dikalahkan, ia marah

sekali dan memperlihatkan taringnya. Hal ini diimbangi oleh Batara Kresna yang lalu tiwikrama menjadi raksasa sebesar gunung. Batari Durga ketakutan dan karenanya akan memenuhi kemauan Sri Kresna.Mereka lalu berpisah. Namun Batari Durga ternyata masih melanjutkan usahanya dengan cara menyuruh anak buahnya yang berupa makhluk halus untuk mengganggu mereka dengan pergi ke Zjodipati, karena disitulah sumber dari perkumpulan orang-orang Jawa. Batari Durga sendiri pergi ke Suranadi untuk melaporkan tindakan Senarodra ke Hyang Pramesti Guru.

Di Jodipati Bagawan Senarodra dikelilingi oleh anak-anaknya dan orang-orang Jawa yang ingin mendapatkan ilmu dari Barat tersebut, berupa Ilmu Kesempurnaan Hidup. Dengan mempelajari ilmu itu hilanglah sifat angkara murka. Mareka hidup layak dan tenteram, di pekarangannya dibangun masjid kecil yang di bawahnya terdapat tempat berwudhu. Setyaki yanga datang menyatakan leinginnannya mendapat ajaran baru itu.Dikatakan oleh Begawan Senarodra bahwa ada empat hal yang penting,yaitu : syarat, tarekat, hakekat, dan makrifat. Syariat adalah bagian dari Rukun Islam, yaitu : syahadat, solat, puasa, memberi zakat, dan naik haji. Syariat adalah ' tindakan badaniah', tarekat'tindakan batiniah'. Sifat-sifat manusia dilambangkan oleh empat warna, yaitu hitam, merah, kuning. Melawan yang putih; aluamah, amarah, supiyah melawan mutmainah. Aluamah berarti nafsu angkara murka, amarah berarti hati yang mudah berang, supiah keinginan barang yang bagus-bagus, sedangkan mutmainah berterimakasih atas apa yang didapat. Hakekat artinya mengetahui adanya Tuhan yang mempunyai sifat dua puluh. Sedangkan makrifat artinya mengetahui adanya dua hal yang menyatu, yaitu persatuan antara kawula dan Gusti, sehingga orang yang telah sampai makrifat dapat mengatahui hal-hal yang jasmaniah maupun yang rohaniah, baik yang kasar maupun yang halus.

Atas pertanyaan Setyaki begaimana cara mendapatkannya, karena ia merasa bodoh sekali. Bagawan Senarodra menjawab ia tak usah memaksakan diri, lebih baik berada di di tengah-tengah. Sebagai seorang satriya secara lahiriah ia harus menjalankan tugas sebagai menjaga negara, secara batiniah ia harus dapat menguasai nafsunya.

Batara Guru yang mendengar bahwa Bagawan Senarodra mengajarkan ilmu kesempurnaan Hidup merasa khawatir kekuasaan para dewa akan berkurang. Karenanya ia memerintahkan Yamadipati untuk mengambil Senarodra, tetapi karena belum waktunya mati maka agar Senarodra dimasukkan ke dalam cupu Retna Dumilah yang berisi gambar sorga. Sena rodra patuh ketika diminta memasuki Retna Dumilah, saudara-

saudaranya mengikutinya, juga Batara Kresna, semar, Gareng dan Petruk.

Di Nusakambangan, raja raja raksasa Kala Srenggi memerintahkan patih Kala Srenggini dan Kala Srenggana bersiap-siap untuk menyerang Suralaya dengan maksud meminta semua bidadari agar menjadi isterinya. Ia juga meminta raja Astina tunduk kepadanya dan ikut menyerang Suralaya. Dalam pertempuran semua dewa-dewa dikalahkan oleh pasukan Kala Srenggi. Atas pertanyaan Hyang Pramesti siapa yang kiranya dapat melawan raksasa tersebut. Narada mengusulkan agar para Pandawa yang dikurung dalam Retna Dumilah dikeluarkan dan diminta melawan perusuh yang datang. Hyang Pramesti menyetujui namun masih minta jaminan bahwa Senarodra tidak akan mengajarkan ilmunya yang dapat menurunkan wibawa para dewa. Maka Hyang Narada membuka Retna Dumilah dan minta agar Pandawa melawan para penyerang Suralaya itu. Mereka segera berangkat meskipun mereka mengatakan bahwa sebenarnya sudah merasa nikmat berada di dalam Retna Dumilah, karena tidak merasakan lapar dan haus atau pun susah.

Katika para raja Jawa mengetahui bahwa lawannya adalah para Pandawa, mereka mengundurkan diri dan kembali ke negara masing-masing; tinggallah para raksasa dan pemimpinnya.

Danaraja maju ke medan perang dengan naik kereta, Senarpdra hanya berjalan kaki dengan membawa gadanya Rujakpolo. Kala Srenggini dan Kala Srenggana dapat dipanah oleh Dananjaya, dan seketika berubah menjadi Batara Kamajaya dan Batari Kamaratih, sedangkan Kala Srenggi berubah menjadi Sanghyang Tunggal. Melihat hal itu para Pandawa segera bersujud di hadapan mereka. Sanghyang Tunggal menyampaikan bahwa perbuatannya itu karena tindakan para dewa sudah dianggap melanggar aturan yang berlaku.Setelah menyampaikan nasehat kepada Hyang Pramesti dan minta agar Senarodra diijinkan tetap mengajarkan ilmunya, maka Sanghyang Tunggal menghilang. selanjutnya para dewa menyampaikan terimaksih kepada para Pandawa yang telah berhasil mengatasi keributan di Suralaya.

  QUOTE

12-06-2011, 06:16 PM   #131

izroilblackarmy aktivis kaskus 

Suryaputra Rabi 1

Syahdan raja Mandraka prabu salya duduk di singgasana dihadap oleh putra mahkota raden Rukmarata dan patih praja bernama Tuhayata. Raja membicarakan perihal perkimpoian putra-

 UserID: 509004 Join Date: Jul 2008Posts: 605

putrinya yang bernama Dewi surtikanti dan prabu Jayapitana dari kerajaan Astina.

Selagi mereka berbincang-bincang, datanglah patih Astina Arya Sakuni. Kepada raja dilaporkan perihal persiapan Prabu Jayapitana mengenahi akan perkimpoiannya dengan putra-putri raja, dan berdatang sembah memohon kapan kiranya temanten lelkai dapat diarak untuk dipertemukan dengan calon temanten perempuan. Raja menjawanya, bahwasanya sebelum dipertemukan, prabu Jayapitana harus melaksanakan permintaan syarat perkimpoian puterinya, ialah diadakan patah (pengiringtemanten) temanten, ialah seorang ksatria rupawan , dan tiada lagi cacat pada dirinya. Manakala persyaratan telah diwujudkan, setiap saat prabu Jayapitana akan dipertemukan dengan Dewi Surtikanti. Banyak para tamu yang menyaksikannya, antara lain prabu Baladewa raja Mandura, raja Amarta prabu Puntadewa beserta sudara-sudaranya, ialah raden arya Werkudara, raden Pinten dan Tansen. Setelah raja bersabda, mundurlah patih skauni kembali ke praja Astina. Raja pun segera kembali ke dalam kraton, menemui prameswari Dewi Setyawati. Kepadanya diuraikan apa yang telah terjadi dipasewakan, usai raja berbincang-bincang, lajulah ke sasana pambojanan, diiringkan oleh permaisuri, tak ketinggalan putra-putrinya Dewi Banowati.

Para tamu bersinggah dipemondokan mandraka, yang dipersiapkan oleh patih Tuhayata.

Di praja Petapralaya, prabu Radeya mengadakan perembugan dengan putranya yang bernama raden Suryanirada, Dewi Suryawati dan patih praja ialah Druwajaya. Masalahnya berkisar perihal lolosnya putra sulung raja, yang bernama raden Suryaputra, sebab kepadanya pernah diajukan saran, hendaknya mempersiapkan diri untuk dikimpoikan. Agaknya raden Suryaputra pergi meninggalkan praja Petapralaya, dengan alasan tidak atau belum berkehendak dikimpoikan oleh ayahanda raja. Kepada patih Druwajaya diperintahkan untuk melacak kepergian raden Suryaputra, sekaligus menemukan membawanya kembali ke praja. Patih segera memohon diri, untuk segera melaksanakan tugasnya.

Tersebutlah raja yaksa bernama prabu Kalakarna, negaranya bernama Awangga. Raja yaksa sangat jatuh hati kepada putra-putrinya raja Mandraka Dewi Surtikanti. Semula raja bermaksud akan pergi sendiri ke praja Mandraka Dewi Surtikanti. Semula raja bermaksud akan pergi sendiri ke praja Mandraka, tetapi pengasuh raja yang setia bernama Kidanganti menyarankan, sebaiknya mengirimkan duta terlebih dahulu, sekaligus untuk menyampaikan surat lamaran raja. Prabu kalakarna

menyetujuinya, dan kepada yaksa Kalakurenda, beserta teman-temannyaa Kalamamrang, Kalagutaka, diperintahkan untuk segera berangkat. Dalam perjalanannya bertemulah para yaksa dengan wadyabala Mandraka, terjadilah perselisihan dan peperangan, tetapi kedua-duanya berusaha menghindarkan diri sehingga kedua-duanya melanjutkan perjalanannya masing-masing.

Resi Abiyasa dipertapaannya Wukir Retawu, dihadap oleh cucundanya bernama raden pamadi, tak lupa turut serta Kyai Semar, Nalagareng, dan Petruk. Resi Abiyasa menyarankan kepada raden Pamadi untuk segera kembali ke praja dikarenakan akan besar manfaatnya. Kembalilah raden Pamadi diikuti oleh panakawan, ditengah hutan bertemu dengan para yaksa dari Awangga, sehingga terjadilah peperangan. Raden Pamade dapat mebunuhnya, dan lajulah raden Pamade menuju Amarta.

Di Kahyangan Jonggringsalaka, Hyang Girinata yang sedang dihadap oleh para dewa, tampak hadir resi Narada, sa\ng Hyang Brahma, Hyang Panyarikan. Hyang Girinata bersabda kepada Narada, hendaknya segera turun ke Marcapada untuk meberikan anugerah pusaka yang bernama Kunta kepada raden Pamade. Turunlah Narada ke Madyapada dengan membawa senjata Kunta, untuk dianugerahkan kepada raden Pamade.

Di kaki gunung Jamurdipa, raden Suryaputra yang sedang bertapa, didatangi resi Narada, yang mengiranya raden Pamade. Kepada Raden Suryaputra yang dikira raden Pamade , resi Narada menguraikan maksudnya, bahwa kedatangannya tak lain diutus oleh Hyang Girinata untuk menemuinya dan memberikan anugerah dewa senjata sakti berwujud Kunta, namanya Wijayadanu. Setelah raden Suryaputra menerima pemberian dewa, kepada resi Narada mengakulah bahwasanya dia bukan raden Pamade, melainkan putra raja Petapralaya, dan dia sendiri bernama raden Suryaputra. Resi Narada merasakan kekeliruannya, dan berusaha minta kembali saenjata skti berwujud panah tersebut. Raden Suryaputra mempertahankan sehingga hanya tempatnya saja yang dapat direbut oleh narada, selanjutnya kembalilah sang resi ke Kahyangan Jonggringsalaka untuk melapor kepada Hyang Girinata. Raden Suryaputra bertemu dengan patih Druwajaya, dan mereka melanjutkan perjalannya.

Patih sakuni melapor kepada prabu Kurupati yang disaksikan pula oleh para kurawa, yakni raden Dursasana, Durmagati Citraksa dan Citraksi, bahwasanya raja Mandraka mengajukan persyaratan kelengkapan temanten laki, adanya patah temanten seorang ksatriya yang rupawan dan lagi pula harus tampa cacat sedikitpun. Prabu Kurupati mendengarkan dengan penuh

perhatian, tak ada upaya lain kecuali mengusahakannya. Kepada patih sakuni diperintahkannya Pamade dijadikan patahnya. Berangkatlah raden Sakuni beserta para Korawa menuju ke praja Amarta.Dewi Kunti yang tinggal di istana Amarta, menerima kedatangan raden Pamade beserta para Pnaakawannya. Tak lama datang pula Sakuni, setelah berdatang sembah diuraikannya maksud dan kehendak prabu Kurupati, bahwasanya raden Pamade dimohon bantuannya untuk bersedia dijadikan patah bagi calon temanten laki, yang tak lain prabu Kurupati. Dewi Kunti memperkenankannya, arya Sakuni memohon diri, kembali ke praja Astina diikuti oleh raden Pamade, dan para Panakawannyaa.

  QUOTE

12-06-2011, 06:17 PM   #132

izroilblackarmy aktivis kaskus 

 UserID: 509004 Join Date: Jul 2008Posts: 605

Suryaputra Rabi 2

Kedatangannya patih arya Sakuni dengan mebawa pula raden Pamade sangat melegakan hati prabu Kurupati. Segera diperintahkan, untuk mempersiapkan keberangkatannya ke praja Mandraka, tak lupa raden Pamade diikutsertakan sebagai patah.

Di kerajaan mandraka, prabu salya menerima para tamu, ialah prabu Baladewa raja Mandraka, prabu Puntadewa raja Amarta, arya Bratasena, Pinten dan tansen. Raja menerima laporan bahwa pesanggrahan tempat untuk calon temanten laki dan rombongannya telah selesai.

Tak lama datanglah rombongan temanten laki dari Astina, raja Salya menerima calon temanten laki. Kepadanya dan rombongan dari Astina, dan para tamu lainnya segera dipersilahkan untuk beristirahat di pesanggrahan, raden Pamade dibawa langsung menuju ke kradenayon, diserahkan kepada Dewi Banowati.

Dewi Banowati sebenarnya jatuh cinta kepada raden Pamade, demikian pula raden Pamade melayaninya. Kepada Raden Pamade Dewi Banowati menceritakan, bahwa di tempat peraduan kakaknya ialah Dewi Surtikanti terlihat ada seorang ksatriya, yang sengaja ulah asmara dengan sang dewi, tindakan tersebut tak ubahnya sebagai pencuri asmara saja. Raden Pamade yang menerima laporan berusaha untuk mebuktikannya, dan seteklah sampai di kamarnya Dewi Surtikanti, tak ayal lagi memang benar bahwasanya ditempat peraduan sang dewi terlihat ada bayangan manusia berusaha melarikan diri, yang tak lain raden Suryaputra. Raden Pamade segera mengejarnya diikuti oleh raden Bratasena, dan Prabu Baladewa. Peperangan terjadi

antara raden Bratasena dan pengikut raden Suryaputra ialah patih Druwajaya, dan raden Suryanirada bertemu dengan prabu Baladewa, akhirnya mereka menghindarkan diri untuk berkumpul dengan raden Suryaputra.

Konon raden Pamade mengejar raden Suryaputra langsung ke praja Petapralaya, diterima oleh Prabu radeya, diskasikan oleh putra-putri raja Dewi suryanawati. Sang Dewi tidak menyangka akan raden pamade yang disangkanya raden Suryaputra. Dengan alasan sudah rindu kepada saudaranya segera dipeluknaya, demikian pula raden Pamade menimbanginya. Kepada raja Radeya, raden Pamade melaporkan bahwasanya sang raden telah memboyongi putri Mandraka, bernama Dewi Surtikanthi sekarang dalam perjalanan ke praja Petapralaya. Raden Pamade mengutarakan maksudnya, untuk menemani sang dewi, dewi Suryanawati dimintakan izin kepada prabu radeya. Raj radeya memperkenankan dan dibawalah sang dewi bersama-sama meninggalkan praja Petapralaya.

Seusai raden Pamade bermohon diri, datanglah raden Suryaputra, tentu saja sang raja terheran-heran, mengapa sang raden cepat kembali. Lebih terheran-heran lagi raden Suryaputra dalam hatinya sudah menyangka bahwasanya tak lain tentu ulah raden Pamade. Kepada ayahandanya diceritakan segala permasalahannya yang menimpa dirinya, dan bermohon diri untuk mengejar raden Pamade. Bertemulah raden Suryaputra dengan raden Pamade yang membawa Dewi Suryanawati, peperangan terjadi. Raden Suryaputra dapat dilukai pelipisnya oleh raden Pamade, selagi mereka berperang rame-ramenya Hyang Narada turun ke bumi untuk melerainya. Kepada mereka dijelaskan, bahwa raden Suryaputra sebenarnya masih saudaranya sendiri, malahan dia yang tertua dari keluarga Pandawa, terlahir satu ibu dari Ibu Kunti. Pada waktu bayi dihanyutkan di samodra, ditemukan oleh Prabu radeya, selanjutnya diangkat sebagai putra pribadi. Kepada raden Pamade diminta bantuannya untuk menyelesaikan perkimpoian saudara tuanya, ialah raden Suryaputa yang akan mempersunting putri Mandraka benama Dewi Surtikanthi, dan rtaden Pamade menyanggupkan diri, keduanya berangkat, resi Narada kembali ke kahyangan.

Dewi Surtikanthi yang sendirian ditempat peraduannya dengan didampingi oleh emban malihan ialah raksasa bernama Kidanganti, yang segera mnyergapnya membawa lari snag dewi. Seisi kraton geger, mencari hilangnya sang Dewi Surtikanthi, salah satu inang pengasuhnya segera melapor pada praja perihal hilangnya sang dewi.

Selagi inang melapor, raja sedang menerima kedatangan raden

Pamade beserta Surayputra, segera raja memerintahkan kepada Pamade untuk menagkap pencuri dan membawanya kembali Dewi Surtikanthi, raden Pamade menyanggupkan diri dengan permohonan, nantinya jika telah kembali sang dewi dimohonkannya untuk diperjodohkan dengan raden Suryaputra, raja Salya memberikan kesanggupannya, raden Pamade berangkat mencari penyandera sang dewi, diikuti oleh saudara tuanya raden Suryaputra dan raden Burisrawaa.

Datanglah Ditya wanita Kidanganti, Dewi Surtikanthi sgerera diserahkan kepada raja Awangga prabu Kalakarna, sang raja sangat bersukacita menerima Dewi Surtikanthi, segera diperintahkan untuk segera diistirahatkan di iostana kraton Awangga. Akan halnya raden Pamade, raden Suryaputra dan raden Bratasena lebih dahulu berada di Kraton Awangga.

  QUOTE

12-06-2011, 06:18 PM   #133

izroilblackarmy aktivis kaskus 

 UserID: 509004 Join Date: Jul 2008Posts: 605

Suyudana Rabi

Konon prabu Jayapitana dari kerajaan Astina berkehendak akan mempersunting putri Mandraka Dewi Banowati. Datanglah di istana Astina utusan raja Mandraka, ialah raden Rukmarata, menyampaikan pesan raja, bahwasanya hajad perkimpoian prabu Kurupati, harus diwujudkan dengan persyaratan kelengkapannya ialah patah penganten berwujud lelaki yang rupawan, beserta patah wanita dua jumlahnya yang rupawan juga. Akan halnya permintaan raja Mandraka tersebut, prabu Jayapitana menyanggupinya, setelah raden Rukmarata bermohon diri, sang prabu segera memerintahkan kepada patih sakuni, untuk segera berangkat menuju pertapaan wukir Ratawu, menghadap resi Abiyasa , memohon diperkenankannya cucundanya bernama raden Janaka untuk dijadikan patah dari perkimpoian Prabu Jayapitana, demikian pula utusan diperintahkan untuk menghadap raja Mandura prabu Baladewa, memohon diperkenankannya prabu Jayapitana meminjam raden Narayana dan wara Subadra, untuk dijadikan juga kelengkapan iringan temanten, menjadi patah.

Prabu Jayapitana di dalam kraton, bertemu dengan adiknya yang bernama Dewi Dursilawati, kepadanya dijelaskan bahwa sang dewi akan dijadikan patah, berpasangan dengan wara Subadra, adapun Janaka berpasangan dengan Raden Narayana. Sang Dewi Dursilawati, tidak berkebertaan akan kehendak kakandanya prabu Jayapitana.

Tersebutlah raja raksasa bernama Garbaruci dari Sindunggarba,

bermimpi mempersunting putri Mandraka. Kepada patihnya bernama Garbasangkalya dan emban raja bernama Pracima disampaikan maksud raja akan pergi sendiri ke praja Mandraka, mereka mencegahnya. Usul mereka diterima, bahwasanya raja akan mengirimkan utusan melamarnya terlebih dahulu, segera wadyabala raksasa dipanggil, dan diperintahkannya pergi ke praja Mandraka, menyampaikan surat pinangan raja, mereka segera berangkat bersama-sama. Di pertengahan jalan, bertemu dengan wadyabala dari Astina, sehingga terjadilah perselisihan pendapat, dan peperangan. Mereka berusha menghindarkan keterlibatan peperangan yang dalam, sehingga redalah peperangan antar mereka, lajulah masing-masing meneruskan perjalanannya.

Kedatangan patih Sakuni di pertapaan wukir Retawu, diterima dengan senang hati oleh resi Abiyasa. Kepada sang Begawan, patih Sakuni menguraikan maksudnya, yang tak lain diutus Prabu Jayapitana, meminjam raden Arjuna bagi kelengkapan persyaratan perlawinannya dengan putri Mandraka, akan dijadikan patah temamten. Sang Begawan merelakan , dan kepada Arjuna diperintahkan untuk mengikuti. Mundurlah patih Arya Sengkuni dari hadapan Resi Abiyasa, diikuti oleh raden Permadi dan Kyai Semar, Nalagareng dan Petruk menuju kerajaan Astina, patih Sengkuni menuju praja Mandura. Perjalanan raden Arjuna di tengah hutan bertemu dengan para wadyabala raksasaa dari Sindunggarba, terjadilah peperangan. Para yaksa dapat ditumpas olehnya, raden Arjuna melanjutkan perjalanannya.

Di kerajaan Mandura, prabu Baladewa menerima kedatangan patih Sangkuni, menyampaikan pesan raja Kurupati, bahwasanya sang raja berkehendak memohon pinjam raden Narayanaa dan Wara Subadra, kedua-duanya akan dijadikan pasangan patah, bagi raden Arjuna dan Dewi dursilawati. Prabu Baladewa meluluskan permintaan Patih Sengkuni, kepada patih Pragota diperintah memberitahukan ke Widarakandang bersama-samma patih Sengkuni.

Di Widarakandang kedatangan patih Pragota diterima oleh raden Narayana, akan halnya kehendak prabu Kurupati yang menghendakinya dijadikan patah bersama pula retna Subadra, dapat disetujui. Mundurlah patih Pragota, dan patih Sengkuni, raden Narayana mempersiapkan diri untuk berangkat.

Datanglah sudah raden Rukmarata di istana Mandraka, melapor pada prabu Salya, bahwasanya segala kehendak raja dapat dipenuhi, raden Arjuna menyanggupkan diri. Raja sangat berkenan di hati, hadir pula di istana prabu Baladewa, sri Yudistira, bupati Awangga. Segera raja memerintahkan pada

narapraja untuk segera mempersiapkan segala sesuatunya.

Akan halnya raden Narayana, telah pula mempersiapkan diri untuk segera berangkat, kepada adiknya War Subadra, disarankan untuk berbusna secara gadis taani, setelah selesai berangkatlah mereka berssama-sama.

Di kerajaan Astina, kelihatan kesibukan yang luar biasa. Prabu Kurupati telah mengenakan busana penganten, demikian pula patah-patahnya. Raden Premadi dan Retn Dursilawati telah selesai berdandan. Agaknya keakraban raden Premadi dan retna Dursilawati sangat menjadikan irihati raden Jayadrata dikarenakan Jayadrata menaruh hati dengan Dursilawati.

Perjalanan raden Narayana, retna Subadra diiringkan juga dengan patih Udawa, sudah sampai alun-laun kerajaan Mandraka. Sesampai mereka di dekat pohon beringin di tengah alun-alun, datanglah bahaya mengancam Retna Subadra, yang tak lain dari raden Burisrawaa. Agaknya kecantikan Subadra mendorongnya untuk menggoda, sehingga manakalla raden Burisrawa mengganggunya, Narayana segera turun tangan mengamankan adiknya, Raden Burisrawa ditempelengnya, lari terbirit-birit. Patih Tuhayata membelanya, dilayani oleh Patih Udawa , sehingga terjadilah huru-hara di pergelaran Mandraka.

Di pasewakan, kelihatan raden Rukmarata melapor kepada raja Salya kejadian di alun-alun Mandraka, Prabu Baladewa yang hadir pada waktu itu sudah menduga, tak lain mesti aadiknya sendiri, ialah raden Narayana yang telah membikin huru-hara. Keluarlah Prabu Baladewa akan menyaksikan keadaan tersebut, dan benar juga ditemuinya adiknya kedua-duanya, beserta patih Udawa. Prabu Baladewa sangat menyayangkan tindakan adiknya, dimana tidak dapat membedakan antara watak pribadi yang keras dan suka berkelahi, dan keadaan baru berjamu di kerajaan mandraka, apapun dalih yang diajukan oleh raden Narayana.

Kepada adiknya berdua, segera dibawanya menghadap prabu salya. Kedatangan raden Narayana disambut dengan mesra oleh Prabu salya, keadaan istana menjadi suka-cita. Segala sesuatunya sudah diperintahkan siap oleh raja, upacara perkimpoian akan segera dimulai. Prabu Suyudana didampingi oleh patah lelaki Arjuna, berjajar bersanding dengan patah wanita cantik ialah retna Dursilawati, raden Arya Jayadrata ditugaskan membawa payung kebesaran temanten, sekaligus memayunginya.

Di dalam keraton, Prabu salya dengan didampingi para tamu , tampak prabu Baladewa, Yudistiram, dan para tamu-tamu lainnya bersiap-siap menyongsong kedatangan temanten laki-

laki. Terdengarlah pengumuman, bahwasanya temanten laki-laki telah menginjak di halaman istana, segenap prayagung istana Mandraka menyongsongnya, prabu Baladewa menggandeng temanten laki-laki, dibawanya menuju tempat pelaminan di pendapa, dilanjutkan ke tempat upacara pertemuan temanten. Segera perkimpoian dimulai, dan bertemulah sudah prabu Suyudana dengan temanten putri, Dewi banowati. Menjelang sore hari , para tamu beristirahat di pesanggrahan masing-masing, demikian pula raden Arjuna dan raden Narayana , Retna Subadra tak jauh tempatnya dengan Dewi dursilawati. Agaknya raden Jayadrata tak dapat menerima keakraban antara Arjuna dan Dewi dursilawati, dalam hatinya timbul was-was jangan-jangan Dewi Dursilawati direbut oleh Arjuna nantinya, tak ayal lagi raden Jayadrata berkehendak akan memperdayakan aArjuna malam itu juga.

Malam itu Arjuna dan Narayana beserta Subadra sedang berbincang-bincang, Jayadrata mempergunakan kesempatan tersebut, Arjuna yang duduk di dekat pintu pesanggrahan dengan Subadra dan Narayana, diserang oleh Jayadrata. Raden Janaka yang tidak menyangka adanya serangan dari jayadrata tentu saja tercengang-cengang,sheingga menjatuhkan Aarjuna ke pangkuan Subadra. Bagi yang tidak mengetahui memang tersiar berita, bahwasanya Arjuna mati di pangkuan Wara Subadra. Bratasena menerima laporan bingung dan menanyakan hal itu kepada prabu Baladewa, dan dijawab bahwasanya Arjuna tidak mati, adapun penylesaiannya prabu Baladewa akan menanggungnya.

Di istana Mandraka, prabu Duryudana memohon pamit kepada ayah mertuanya, ialah prabu salya. Sekaligus permaisuri nya ialah Dewi Banowati akan diboyongnya pula. Selagi iring-iringan temanten dipersiapkan, datang patih Mandraka Tuhayata, melapaor pada raja bahwasanya kerajaan Mandraka diancam bahaya, musuh dari kerajaan Sindunggarba datang menyerang. Di istana tampak pada waktu itu, prabu Baladewa, Yudistira adipati Awangga Karna, kepada merekalah dibebani tugas untuk menanggulangi musuh dan mereka menyanggupkan diri.

Balatentara Ssindunggarba, yang dipimpin sendiri oleh rajanya bernama Garbaruci bertanding dengan Baladewa, patih Garbasagka tanding dengan adipati Awangga Karna, musuh dapat ditumpas nya. Arya Bima mengamuk sehingga wadyabalaaa Sindunggarba lari kocar-kacir. Kembalilah prabu Baladewa, Yudistira dipati Awangga dan Bratasena menghadap prabu Salya, raja sangat berkenan di hati. Seluruh istana merayakan kemenangan mereka bersuka-ria, amanlah sekarang kerajaan Mandraka tiada gangguan satu apapun juga.

  QUOTE

12-06-2011, 06:19 PM   #134

izroilblackarmy aktivis kaskus 

 UserID: 509004 Join Date: Jul 2008Posts: 605

Wahyu Cakraningrat

Raja Suyudana menyuruh Lesmana Mandrakumara mencari Wahyu cakraningrat. Lesmana Mandrakumara pergi ke hutan Krendawahana, para prajurit mengawalnya, dipimpin oleh Patih Sengkuni, Kartamarma, Citraksa dan Citraksi.

Batari Durga datang di Kerajaan Tunggul Malaya, emnyuruh agar raja Dewasrani bersemedi di Hutan Krendawahana. Dikatakannya sang Hyang Guru hendak m,enurunkan wahyu kerajaan. Dewasrani menurut perintah sang batari, lalu berangkat, dikawal Jaramaya dan Rinumaya.

Lesmana Mandrakumara bertemu Dewasrani . Karena sama tujuan terjadilah perang. Tetapi masing-masing menyimpang jalan.

Prabu Kresna menyuruh samba supaya pergi ke hutan Krendawahana mencari wahyu . Samba menunjung perintah Prabu Kresna , lalu berangkat, diiringi Patih Udawa.

Angkawijaya dan gatotkaca menghadap Begawan Abiaysa di wukir Ratawu, sang Begawan memberitahu bahwa dewa akan menurunkan wahyu. Angkawijaya dan Gatotkaca disuruh disuruh mencarinya. Mereka berdua berangkat , para panakawan mengawalnya. Ditengah hutan bertemu raksasa dari Tunggul Malaya. Terjadilah perang , prajurit raksasa habis binasa.

Sang Hyang Guru dihadap para dewa, Sang Hyang menyuruh agar Batara Cakraningrat turun ke dunia bersama Batari Widayat. Batara Cakraningrat agar merasuk kepada Angkawijaya , barati Widayat merasuk kepada Barati Utari. Batara Cakraningrat dan Batari Utari menjungjung perintah Sang Hyang Guru.

Dewasrani menerima laporan bahwa para prajurit raksasa mati dibunuh Angkawijaya. Dewasrani marah, lalu akan mencari Angkawijaya.

Batara cakraningrat bertemu Samba, dan bertanya maksud kedatangan Samba di Hutan. Samba menjawab, bahwa ia mencari wahyu. Batara Cakraningrat memberi saran, agar tidak mendekat perempuan selama empat puluh hari. Samba menurut saran batara Cakraningrat, tetapi ketika bertemu Batari Widayat samba jatuh cinta. Batari Widayat menolak . Tiba-tiba Batara

Cakraningrat datang dan berkata, bahwa wahyu tidak mau masuk pada oranges eperti Samba. Kemudia telpak tangan Samba dirajah Batara Cakraningrat lalu disuruh kembali ke Dwarawati.

Samba bertemu dengan prajurit Kuarwa, Samba dikira telah memperolah wahyu cakraningrat, maka mereka meminta wahyu itu, terjadilah perang. Korawa kalah, lalu lapor kepada Suyudana.

Batara Cakraningrat memasuki Angkawijaya, batari Widayat ke Wirata, mencari Utari. Raja Dewasrani bersama prajurit datang hendak merebut wahyu. Gatotkaca melawan, prajurit Dewasrani lari ketakutan.

Lesmana Mandrakumara bersama Sengkuni datang di Astina seraya menangis. Sengkuni berkata, bahwa wahyu direbut oleh Samba, Suyudana marah, Pendeta Durna menyarankan agar Adipati Karna ke Amarta, minta wahyu, sebab keluarga Dwarawati dan Pandawa berkumpul di Amarta.

Angkawijaya dan Panakawan datang di Amarta disusul kedatangan Samba. Samba berkata, bahawa tidak bisa memperoleh wahyu . Kemudian Hyang Narada datang memberitahu bahwa Angkawijaya telah memperoleh wahyu, kelah keturunannya akan menjadi raja. Narada kembali ke kahyangan.

Adipati Karna dan prajurut Kurawa mengamuk. Arjuna datang melawan Karna. Arjuna datang melawan Karna, Werkudara mengamuk, prajurit Kurawa lari ketakutan . Keluarga Pandawa dan Dwarawati pesta besar atas karunia wahyu cakraningrat yang diperoleh oleh Angkawijaya.

  QUOTE

12-06-2011, 06:20 PM   #135

izroilblackarmy aktivis kaskus 

 UserID: 509004 Join Date: Jul 2008Posts: 605

Rajamala

Diam-diam Permadi telah sampai di Kerajaan Wirata dan menyaksikan pertempuran antara Rajamala dan Kakaknya Bratasena. Dia sengaja tidak menampakkan diri kepada kakaknya Bratasena atau pada Puntadewa atau si Pinten dan Tangsen dahulu agar hal ini juga tidak diketahui oleh musuh kakaknya yaitu ketiga ksatria sakti yang sombong itu. Demikian juga ia berpesan pada para punakawan agar menyamar menjadi rakyat biasa.

Pada suatu ketika setelah kakaknya mengalahkan Rajamala untuk yang kesekian kali Jagabilawa merobek perut Jagabilawa dan ususnya dihamburkan keluar. Permadi diam-diam mengamati mayat Rajamala yang ternyata oleh Raden Rupakenca dan Raden Kencakarupa dikumpulkan lagi semua usus dan jeroan yang sudah terburai itu dan dibawa lari ke suatu tempat pada saat hari sudah mulai gelap.

Permadi melesat mengikuti mereka, dan berhenti pada saat kedua orang itu sampai pada sebuah rumah. Mereka berdua menuju halaman belakang rumah. Permadi berlari memutar dan pergi kearah belakang rumah itu. Permadi menemui ada sebuah kolam kecil dibalik rerimbunan daun. Sesaat dilihatnya Kencakarupa dan Rupakenca bersama-sama menggotong tubuh Rajamala. Kemudian perlahan-lahan mereka meletakkan tubuh itu kedalam kolam.

Permadi terkejut ketika dilihatnya bahwa tubuh Rajamala dengan isi yang telah terurai keluar itu menyatu lagi dan sembuh seperti semual. Nampak Rupakenca dan Kencakarupa sedang menunggu proses penyembuhan dan penghidupan kembali sekutu mereka Rajamala sambil duduk bersemadi.

Setelah itu Permadi menjadi paham bahwa yang menghidupkan kembali Rajamala dari kematiannya adalah Kolam itu. Apa yang harus dilakukannya untuk membantu kakaknya.

Dia harus bertemu dengan kakak-kakaknya dan mengatakan hal itu.

Permadi bertemu dengan kakaknya, Puntadewa, Bratasena dan adik-adiknya Pinten dan Tangsen. Permadi dan Punakawan diperkenalkan dengan Raja Prabu Matswapati dan anggota keluarganya.

Pandawa membuka samaran mereka

Kemudian akhirnya Puntadewa mengaku bahwa mereka sebenarnya adalah Pandawa dari Astina putra Prabu Pandudewanata.

Prabu Matswapati yang terkejut memohon maaf karena tidak begitu kenal dan meminta maaf apabila selama ini ia kurang sopan kepada Pendawa lima pewaris kerajaan Astina itu.

Permadi kemudian menjelaskan tentang Kolam yang mampu menghidupkan kembali si Rajamala itu.

Puntadewa meminta diri untuk bersemadi memohon petunjuk

kepada Dewa. Dewa Hyang Brama yang pernah menyebabkan kematian Pandawa di sebuah sendang berkenan memberi petunjuk. Puntadewa diberi petunjuk agar setelah Rajamala mati oleh Bratasena, Permadi harus memasukkan panah sakti Bramastra yang pernah diberikan Dewa Hyang Brahma kepadanya, ke dalam kolam keramat milik Rajamala.

Puntadewa menjelaskan petunjuk yang diterima dari Dewa itu kepada adik-adiknya.

Kemudian terjadilah lagi pertempuran yang sengit. Sebenarnya Bratasena sudah hampir kehilangan keberanian menghadapi orang yang tidak bisa mati, karena sebenarnya mereka seimbang dalam hal kesaktian, namun karena Bratasena lebih kuat maka dia selalu dapat mengalahkan Rajamala. Namun bukannya tidak mungkin suatu ketika dia tidak dalam keaadan sekuat biasanya dan Rajamala bisa saja mengalahkannya maka dia sendiri yang nanti bakal menemui ajal.

Hari itu Bratasena bertarung sangat gigih apalagi setelah mendengar petunjuk dari Dewa Brama, maka dia meyakinkan diri bahwa setelah kemenangan ini dia akan menang seterusnya. Dan benar setelah bertarung dari siang hingga sore hari maka akhirnya Rajamala dapat dikalahkan, kemudian lagi-lagi perut Rajamala dirobek robek habis dengan kuku Pancanaka sehingga benar-benar menyeramkan apa yang dilihat oleh orang-orang yang sedang menyaksikan perkelahian itu.

Setelah Rajamala tewas, diam-diam Bratasena dan Permadi mundur dari arena perkelahian dan memberi kesempatan Kencakarupa dan Rupakenca untuk mengumpulkan ceceran tubuh Rajamala. Kemudian mereka mendahului kedua orang itu ke kolam keramat milik Rajamala.

Tepat pada saat kedua orang itu merendam tubuh Rajamala kedalam kolam, Permadi dari jauh memanah kolam itu dengan panah Bramastra pemberian Hyang Brahma si Dewa api dan saat itu juga kolam menjadi mendidih sangat panas. Rupakenca dan Kencakarupa terkejut bukan kepalang menyaksikan hal itu, apa lagi saat mereka melihat tubuh Rajamala bukannya menyatu dan sembuh namun semakin hancur luluh dan akhirnya tubuh itu sudah tidak berbentuk lagi. Mereka saling memandang berpikir tentang hal yang sama, ini berarti tamat sudah riwayat Rajamala andalan mereka. Mereka termenung dan tepekur apa yang harus dilakukan. Mereka berdua jelas tidak berani menghadapi Jagabilawa yang sangat kuat itu.

Dalam keadaan masih termangu di kegelapan malam itu tiba-tiba muncul si Jagabilawa yang berteriak-teriak memanggil mereka.

Si Jagabilawa ditemani oleh seorang satria yang memegang senjata panah. Dengan hati galau dan marah, mau tidak mau mereka harus menghadapi dua orang itu. Kemudian terjadilah pertarungan yang sengit. Tidak berapa lama Bratasena telah berhasil mengalahkan Rupakenca sedang Permadi masih berkejar-kejaran dengan Kencakarupa, namun tidak lama kemudian terdengarlah teriakkan nyaring Kencakarupa yang terkena panah Permadi. Dua orang itu akhirnya menemui ajal di hari yang sama dengan Rajamala.

Rajamala yang tewas oleh Bratasena atau Jagabilawa itu sebenarnya adalah anak Begawan Palasara dengan Dewi Watari. Sedang Rupakenca dan Kencakarupa dua saudara kembar sebenarnya adalah saudara Rajamala, walaupun wajahnya berbeda mereka adalah putera Begawan Palasara juga namun dari Dewi Kekayi putri Prabu Kekaya di Kencakarupa.

Dalam pertandingan antara Jagabilawa melawan Rajamala, Raden Seta putera sulung Prabu Matswapati tidak hentinya mendukung Jagabilawa sedangkan Rupakenca dan Kencakarupa selalu menyemangati Kakaknya Rajamala.

Mendiang Rajamala, Rupakenca dan Kencakarupa memang berhati jahat, mempunyai keinginan yang jahat terhadap Prabu Matswapati, mungkin ingin menguasai tahta kerajaan Wirata, dan merasa tidak ada yang mampu menghadapi mereka.

Oleh sebab itu kematian Rajamala dan kedua adiknya itu membuat hatinya lega dan senang, juga membuat semua rakyat senang.

  QUOTE

12-06-2011, 06:24 PM   #136

izroilblackarmy aktivis kaskus 

 UserID: 509004 Join Date: Jul 2008Posts: 605

Penderitaan Bima

Suatu ketika para Kurawa mengadakan suatu acara selamatan di tepi sungai Gangga. Pihak Pendawa sebagai saudara diundang untuk hadir. Semua keluarga pedawa termasuk Dewi Kunti ibu pendawa datang juga.

Namun sebenarnya dibalik acara selamatan itu Suyudana telah mempunyai sebuah rencana yang jahat. Dia ingin membinasakan Bima. Hmmm bagaimana cara terbaik untuk mengalahkan si Bima itu. Kalau dengan adu kekuatan mungkin akan kalah.

Suyudana memanggil adiknya Dursasana, Citraksa dan Citraksi,

serta adik-adiknya yang lain berkumpul. Saat itu Prabu Destarata sedang tidur. Dengan berbisik bisik Suyudana mengungkapkan rasa iri dihatinya. Tentang rencana ayah mereka yang akan memberikan tahta kerajaan kepada Puntadewa, tentang keinginannya menjadi raja, yang saat itu juga langsung di dukung oleh adik-adiknya.

Selain itu Suyudana memaparkan tentang peta kekuatan Pandawa dan Kurawa. Tentang kekuatan Bima yang tiada tandingnya. Akhirnya dia menanyakan kepada mereka adik-adiknya apa yang sebaiknya dilakukan.

"Ah Kakang, sebagaimana kakang ketahui bahwa ayah telah mengundang mereka untuk datang ke acara selamatan kita para Kurawa di tepi sungai Gangga" Dursasana mulai angkat bicara.

"Kita harus memanfaatkan keadaan itu sebaik-baiknya untuk membinasakan Bima, kemudian adiknya Arjuna." Sambung Citraksa

"Ah aku tahu kelemahan Bima adalah pada makanan, dia makan banyak sekali" Adiknya Citraksi menungkas.

"Apa yang engkau maksudkan Adikku Citraksi ?" tanya Suyudana penuh prhatian.

"Yang aku maksudkan adalah, Kita beri Bima makanan yang enak-enak", tapi sebelumnya kita tambahkan racun agar dia pingsan", Selanjutnya kita bisa tuntaskan rencana kita " Jawab Citraksi.

"Hmmm usul yang bagus " Sambung Suyudana, yang lain juga ikut mengangguk-angguk.

Sejenak kemudian Suyudana berkata "Nah sekarang kita bagi tugas, aku sebenarnya ingin menyaksikan si Bratasena itu makan racun dihadapanku, tapi aku tidak akan pernah bisa mengajak makan si Bima itu satu Meja denganku karena sepertinya dia juga sudah merasa bahwa aku membencinya."

"Ahh biar aku saja kakang" Dursasana menawarkan diri

"Atau kalau tidak biar Paman Arya Sakuni nanti aku mintai tolong, .. Aku yakin dia tidak pernah menolak apabila itu untuk kakang Suyudana" Ya... Ya... Ya..."

Semua yang hadir manggut-manggut.

"Citraksa dan Citraksi kamu berdua aku tugaskan untuk

membuat racun dan mencampurnya pada makanan Bima",

"Jangan sampai para ahli masak dan pegawai istana tahu akan perbuatanmu"

Kata Suyudana.

"Siap Kakang, akan kami laksanakan" Sahut Citraksi, sementara Citraksa mengangguk mengiyakan kalimat adiknya. Dalam benaknya dia telah merancang campuran bubuk dan getah pohon yang pernah dia coba pada kambing dan kambing itu langsung jatuh pingsan. Untuk Bima mungkin takarannya harus ditambah.

"Baiklah adik-adikku kita tunggu saja datangnya hari itu"

Tiba pada saat hari acara selamatan tiba, rombongan Pandawa telah hadir. Suyudana heran menyaksikan Bima yang berjalan kaki sementara saudaranya yang lain naik kereta bersama Ibu mereka Dewi Kunti. Ah sejauh itu dia kuat berjalan kaki, atau mungkin dia berlari? Memang kuat sekali Dia ini...Tepat sebelum santapan pesta dihidangkan, Suyudana memberi tanda pada Citraksa dan Citraksi untuk mulai menjalankan rencana. Meja yang penuh dengan makanan yang disukai Bima telah disiapkan. Paman Arya Sakuni juga telah menyatakan kesanggupannya beberapa hari yang lalu. Suyudana memandang kearah pamannya itu, adik dari Ibunya Dewi Gendari. Pamannya mengedipkan mata tanda telah siap.

Suyudana segera menghampiri Puntadewa, mengajaknya berbicara dan berbasa-basi dengan orang yang akan menjadi sainganya dalam memperebutkan tahta kerajaan astina. Puntadewa yang berhati bersih menyambut saudaranya itu tanpa rasa curiga, hanya ia agak heran mengapa hari ini Suyudana mendadak menjadi ramah.

Ibu Dewi kunti berjalan berkeliling bersama Dewi Gendari.. sesaat dilihatnya Citraksa yang menggenggam sesuatu dalam sebuah wadah kecil... pikirannya menjadi tidak enak, hatinya resah.. ada sesuatu apakah yang akan terjadi ..Jiwanya yang peka semenjak masa mudanya dia gemar bertapa mengatakan ada sesuatu.

Namun karena ada Dewi Gendari disampinya Dewi Kunti menebar senyum kepada semua orang yang hadir.

Tadi dia telah menyempatkan diri untuk bertemu dengan Prabu Dastarata dan mengingatkan tentang Sabda Prabu Abyasa tentang pesannya kepada Dastarata bahwa kepemimpinannya di Astina adalah sementara, dan segera setelah Puntadewa menjadi

dewasa Tahta harus diserahkan kepada Puntadewa.

Sebenarnya Dewi Kunti kurang puas karena Dastarata hanya bergumam dan manggut-manggut, yang kurang jelas artinya apakah itu iya atau tidak. Seorang pemimpin seyogyanya tidak boleh ragu-ragu dan setengah-setengah dalam bersikap.

Sesaat kemudian dilihatnya putera kesayangannya Arjuna sedang duduk makan bersama dengan Anaknya yang lain Adipati Karna yang dilahirkannya melalui lubang telinga. " Ah mereka telah tumbuh menjadi remaja-remaja yang sehat, gagah, kuat dan berwatak satria "

"Ibu marilah kita makan " Panggil Karna dari kejauhan. " Ya anakku sebentar lagi "Sahut Dewi Kunti sambil melanjutkan berbincang-bincang dengan Dewi Gendari.

Di tempat lain Arya Sakuni adik Dewi Gendari telah berhasil mengajak makan Bima satu meja bersama dengan Citraksa dan Citraksi. Citraksa telah memberi tanda pada piring-piring yang beracun dengan meletakkan sobekan daun pisang yang terlihat sama ukurannya. Di piring-piring yang lain tidak diberi tanda.

Bratasena melihat ke seluruh Meja.. wah makanan ini kelihatannya nikmat sekali..

  QUOTE

12-06-2011, 06:25 PM   #137

izroilblackarmy aktivis kaskus 

 UserID: 509004 Join Date: Jul 2008Posts: 605

Penderitaan Bima 2

"Ayolah Ananda Bima, kita makan segera, semua orang juga sudah makan" Kata Arya Sakuni memulai percakapan setelah mereka duduk di kursi menghadap meja di bawah pohon di tepi sungai Gangga.

"Ya paman memang nikmat sekali makan di tempat seperti ini" Sahut Bima

Citraksa dan Citraksi segera mengambil tempat, dan mulai mengambil makanan seolah semua makanan disitu layak untuk di makan.

"Ah makanan ini nikmat sekali, cobalah kakang Bima" Kata Citraksi mengulurkan makanan yang dimakannya. Bima mengambil makanan itu dan mencobanya..

"Ah betul memang enak sekali Dinda " Bima menimpali. Selanjutnya mereka makan dengan lahap. Namun ketiga orang itu makan dengan memilih makanan dari piring yang tidak diberi tanda. Sedangkan Bima telah mencoba semua makanan yang dihidangkan.

Sesaat dirasakannya ada rasa agak pahit dan aneh pada salah satu makanan yang sedang dikunyahnya. Namun untuk menghormati tuan rumah yang menyediakan makanan, dia menelannya semua. Arya Sakuni melirik kepada Kedua keponakannya, mereka saling memandang sesaat, namun segera berpura-pura melanjutkan makannya.

Beberapa saat kemudian Bima merasa pandangannya berkunang-kunang "Hoooy apa yang terjadi dengan kepalaku paman? kenapa aku tiba-tiba pusing? "

Ada Apa Bima, kamu kenapa ? Arya Sakuni berpura-pura datang menolong. Namun kalimat itu tidak dijawab oleh Bima karena dia telah terkulai di kursi makannya. Arya Sakuni memberi tanda kepada Citraksa dan Citraksi untuk berjaga jaga di sekitar meja itu jangan sampai ada yang melihatnya. Memang letak meja makan mereka agak terpisah dari meja lainnya.

Suyudana yang dari kejauhan menatap meja dimana Bima makan telah melihat bahwa Bima telah pingsan. Maka dia segera meminta diri kepada Puntadewa, bahwa dia mau menemui seseorang sebentar. Puntadewa yang tidak pernah mencurigai seseorang mengangguk. "Silahkan saudaraku" Jawab Puntadewa.

Suyudana bergegas menuju ke tempat dimana Arya Sakuni, Citraksa dan Citraksi berkumpul di tepi sungai Gangga. Datang kemudian Dursasana dan segera dia berbisik-bisik sebentar kepada saudara-saudaranya mencari akar-akar pohon yang liat namun kuat.

Setelah terkumpul Suyudana segera mengikat tubuh Bima yang kekar tapi sedang lemas tak berdaya itu dengan akar-akar hingga melilit tubuhnya dari bahu hingga kaki.

Suyudana dan Dursasana berdua mengangkat tubuh Bima namun masih kurang kuat juga akhirnya Citraksa dan Citraksi ikut membantu mengangkat tubuh Bima yang berat itu. Setelah diayun-ayun mereka berempat melemparkan tubuh Bima hampir ketengah sungai Gangga yang sedang deras mengalir.

Bima yang sesaat tersadar dari pingsannya pada saat terbawa arus mengalir melihat sekelompok orang, Kurawa!, nampak

Suyudana tersenyum menyeringai dan Dursasana yang tertawa-tawa. Kemudian didengarnya suara-suara arus deras sungai Gangga, sesaat kemudian kepalanya terasa terbentur sesuatu yang keras. Kemudian semua menjadi gelap lagi. ... Ah Duhai Para Dewa lindungilah aku ... Jiwa Bima berbisik......

Suyudana yang merasa rencananya telah berhasil, berjalan kembali ke Meja Puntadewa. Sesaat Puntadewa melihat raut muka puas pada Suyudana, namun dia tidak tahu apa sebabnya. Dari tadi tidak dilihatnya si Bima adiknya......

Dari jauh Suyudana melihat ayahnya sedang bercakap-cakap dengan para punggawa istana. Sedang para undangan lain juga sudah selesai dengan santapan mereka masing-masing. Nakula dan Sadewa sedang berjalan-jalan melihat sekitar Istana. Tidak lama setelah itu para undangan dan kerabat istana telah mulai meminta diri kepada Prabu Suyudana ayahnya.

Bagai disambar petir, Suyudana terkaget-kaget ketika ibunya Dewi Gendari bertanya: "Anakku Suyudana apakah kamu melihat Bima saudaramu?""Ah aku tadi melihatnya sedang makan dengan Paman Sakuni" jawab Suyudana"Dari tadi ibunya menanyakan dan mencarinya, karena Pandawa dan Ibunya sudah mau berpamitan untuk kembali kerumah".

"Cobalah tanya pada Paman Arya Sakuni ibu." jawab Suyudana.

Sesaat kemudian Ibunya Dewi Gendari menemui Dewi Kunti Ibu Bima dan berbincang-bincang, kemudia mereka berjalan menuju tempat yang sama. "..Ah pasti mereka mencari Paman Arya Sakuni " pikir Suyudana.

Ditengah jalan Dewi Kunti dan Dewi Gendari berpapasan dengan Puntadewa. " Anakku Puntadewa, apakah kamu melihat adikmu Bima?" tanya Dewi Kunti

" Tidak Ibu, bahkan aku juga sedang mencarinya.." Jawab Puntadewa.

" Kalau begitu lanjutkanlah mencari, Ibu juga akan menanyakannya pada Paman Arya Sakuni " Lanjut dewi Kunti

Dalam keadaan pesta yang baru usai, para undangan yang berpamitan, Dewi Kunti semakin gelisah.., Teringat lagi dia dengan penglihatannya yang melihat Citraksa yang memegang tempat wadah itu .... Apakah ada hubungannya ? Memang Pandawa dan Kurawa itu bersaudara, namun dia telah paham sifat-sifat anak Dastarata yang rata-rata tidak baik, pengiri,

pendendam, usil dan jahat.

Sampai hampir sore Bima tidak diketemukan juga. Dewi Kunti mulai merasakan kebenaran perasaannya. Pasti telah terjadi sesuatu dengan Bima anaknya. Aku ibunya bisa merasakan apa saja yang terjadi dengan anak-anak ku. Desahnya dalam hati. Si Sakuni yang ditanya tadi hanya menjawab bahwa ia melihat Bima tertidur di bangku setelah kekenyangan makan. Selanjutnya dia tidak tahu apa-apa.

Puntadewa, Arjuna, Nakula dan Sadewa telah berkumpul dan akhirnya si Sulung Puntadewa menghibur Ibunya dan berkata"Ibu, mungkin adik Bima telah mendahului kita pulang ke rumah, dia tadi berangkat tidak bersama-sama dengan kita, dia berlari sampai ke tempat ini, sedang kita semua naik kereta. Barangkali dia telah bosan dengan suasana pesta dan ingin pulang lebih dahulu."

"Ya ibu, sebaiknya marilah kita pulang dan memastikan hal itu" sambung Arjuna.

Dewi Kunti hanya bisa mengangguk. Kemudian mereka segera meminta diri kepada Dastarata yang berjanji untuk membantu mencari Bima. Sambil menenangkan Dewi Kunti.

" Kakanda Mbakyu Kunti, dia kan sudah besar, pasti sudah bisa menjaga diri, dan dapat pulang ke rumah sendiri" Hibur Dastarata.

"....Ya semoga para Dewa melindunginya ..." pikir Dewi Kunti dalam hati.

Selanjutnya mereka menaiki kereta yang akan membawa mereka pulang. Kereta itu berjalan pelan meninggalkan istana kerajaan Astina. Dari kejauhan nampak beberapa pasang mata yang mengawasi kepergian mereka dengan was-was dan puas.

Dalam keadaan terapung dan terseret serta pingsan, Bima terbawa oleh arus sungai sampai pada suatu daerah yang tidak berpenghuni, semakin-lama semakin sunyi. Hampir semalaman Bima Pingsan dan terseret-seret, terbentur bentur, pingsan, sadar, pingsan lagi,sadar lagi namun hari telah gelap, hujan juga turun dengan derasnya dan tubuhnya terikat kuat.

Lama-kelamaan gesekan-gesekan akar dengan batu-batu kali sungai gangga sedikit melepaskan ikatannya.

  QUOTE

12-06-2011, 06:26 PM   #138

izroilblackarmy aktivis kaskus 

 UserID: 509004 Join Date: Jul 2008Posts: 605

Pengkhianatan Di Balai Sagala-gala

Pandawa mengetahui bahwa Suyudana telah diangkat menjadi raja.Pandawa tenang dan sabar.Kurawa khawatir kalau Pandawa kelak akan menuntut haknya.Suyudana dan para kurawa dan merencanakan untuk membinasakan PandawaPrabu kurupati duduk dipaseban dihadap oleh Patih Arya Sakuni, Dursasana, Durmagati, Kartamarma, Citraksa dan Citraksi. Mereka membuat rencana jahat dengan mengundang Pandawa ke pesanggrahan batas kota yang disebut Balai Sagala-gala.

Pandawa diundang hadir ke Balai Sagala-gala untuk membicarakan pembagian negara Astina. Pesanggrahan tersebut dibuat seluruhnya dari bambu yang didalamnya diisi dengan obat sandawa. Dengan rencana bahwa bila Pandawa dalam keadaan berpesta dan mabuk-mabukan akan pesanggrahan itu akan di bakar.

Pandawa, terutama Puntadewa yang tidak menaruh curiga menghadiri acara itu.Dewi Kunti was-was sejak terjadinya peristiwa Bima yang diceburkan di Sungai Gangga, dia tidak percaya lagi pada Kurawa, oleh karenannya dia merasa perlu ikut.

Didalam Pesanggrahan itu berlangsung pesta besar-besaran. Ada yang bermain Kartu adan yang bermain dadu ada yang mabuk-mabukan.

Hanya Bima atau Bratasena yang tetap waspada. Semenjak peristiwa dirinya diracun, dia tidak pernah percaya lagi pada Kurawa terutama pada Suyudana.Bima yang waspada berpura-pura buang air, untuk menyelidiki rencana jahat apa yang akan dilakukan Kurawa.

Ditempat sepi Bima didatangi oleh Batara Narada secara diam-diam yang menyatakan kalau nanti ada seekor binatang garangan putih, agar diikuti saja kemana perginya, agar keluarga pendawa selamat.

Pandawa ditantang main Dadu oleh Kurawa. Prabu Kurupati melawan SuyudanaTaruhan judi adalah kalau Kurupati kalah ia akan memberikan negeri Astina, sedangkan kalau Puntadewa kalah ia harus menyerahkan nyawa.Dalam permainan itu Prabu Kurupati berkali-kali kalah.

Patih Sakuni yang tahu keaadaan Suyudana rajanya dalam keadaan terdesak secara curang memutar dadu, hal ini diketahui oleh Dewi Kunti.Dewi Kunti marah, Sakuni dikatakannya Setan.Patih Sakuni mundur, marah dan dendam sekali.Patih Sakuni melihat bahwa para Pendawa hampir semuanya dalam keadaan mabuk.Patih Sakuni segera memerintahkan para kurawa untuk segera membakar uceng-uceng. Pesanggrahan Balai Sagalagala terbakar.

Setelah api menjalar para Kurawa yang bertugas menyelamatkan Prabu Suyudana segera bertindak mengamankan Prabu ketempat yang telah dipersiapkan.

Melihat pesanggrahan terbakar hebat Bratasena segera masuk dan memeluk ibunya, kakaknya dan adiknya untuk menyelamatkan diri dari amukan api. Arjuna dan Puntadewa dalam keadaan mabuk dan pusing.

Pandawa diselamatkan dari Balai Sagala oleh Batara Narada. Tiba-tiba Bratasena melihat ada binatang garangan putih. Sesuai dengan pesan Hyang Narada, Bratasena mengajak ibu dan saudara-saudaranya untuk mengikuti kemana perginya binatang itu. Binatang itu ternyata memasuki lobang tanah. Bratasena membawa ibu dan saudara-saudaranya memasuki lobang tersebut. Mereka selamat.

Pesanggrahan itu setelah terbakar hebat, maka roboh. Prabu Suyudana pura-pura menangis dan mengira semua Pendawa dan Ibunya telah tumpas, termasuk bibinya Dewi Kunti.

  QUOTE

12-06-2011, 06:27 PM   #139

izroilblackarmy aktivis kaskus 

 UserID: 509004 Join Date: Jul 2008Posts: 605

Prabu Salya

Terjebak

Prabu Salya, adalah saudara Dewi Madrim, ibu dari Nakula dan Sadewa. Ia mendengar berita bahwa Pandawa

berkemah di Upaplawya dan sedang sibuk mempersiapkan diri menghadapi kemungkinan perang yang akan datang. Prabu Salya lalu mempersiapkan balatentaranya dalam jumlah yang amat besar dan mengirim mereka ke tempat berkumpulnya pasukan perang Pandawa.

Berita keberangkatan Prabu Salya bersama balatentaranya sampai ke telinga Duryodhana. Ia memerintahkan sejumlah perwiranya untuk menyambut Prabu Salya dan memerintahkan pasukannya untuk membangun beratus-ratus tempat peristirahatan di sepanjang jalan yang akan dilalui balatentara Prabu Salya. Tempat peristirahatan itu dihias dengan sangat indah. Waktu beristirahat, balatentara Prabu Salya dijamu dengan aneka

macam makanan dan minuman yang berlimpah dan dihibur dengan berbagai pertunjukkan kesenian yang memikat.Seluruh balatentara Prabu Salya merasa senang dan puas menerima sambutan Duryodhana. Prabu Salya sendiri menemui salah seorang perwira tinggi pasukan Duryodhana dan berkata, "Aku ingin memberi hadiah kepadamu dan kepada mereka yang telah menyambut kami dengan ramah. Katakan kepada Duryodhana bahwa aku sangat berterima kasih kepadanya".

Perwira itu lalu menyampaikan pesan Prabu Salya kepada Duryodhana. Mendengar hal itu, Duryodhana yang memang menunggu saat paling tepat untuk menemui Prabu Salya, segera menemui Raja tersebut. Dihadapan Prabu

Salya, ia mengatakan betapa besarnya kehormatan yang diperolehnya karena Raja Salya merasa senang oleh sambutan pasukan Duryodhana. Tutur kata Duryodhana yang ramah benar-benar menyenangkan hati Prabu Salya yang sama sekali tidak punya prasangka apapun. Ia mengira semua itu merupakan ungkapan ketulusan Kurawa. "Alangkah hormat dan baik hatinya engkau kepada kami", kata Prabu Salya yang terbuai oleh sambutan luar biasa dan keramahan pasukan Duryodhana. "Bagaimana aku bisa membalas budi baikmu ?" tanya Salya.Duryodhana lalu menjawab, "Sebaiknya kau dan balatentaramu bertempur di pihak kami. Itulah yang kuharapkan sebagai balas budimu".Prabu Salya sangat kaget mendengarnya. Ia terdiam, terpaku.

Maka sadarlah ia dengan siapa sebenarnya ia berhadapan.Duryodhana melanjutkan, "Engkau sama berartinya bagi kami berdua. Kami adalah keponakanmu juga. Engkau harus penuhi permintaanku dan berikan bantuanmu kepadaku".Karena telah menerima pelayanan yang sangat baik dari anak buah Duryodhana selama beristirahat, dengan singkat Prabu Salya menjawab, "Kalau memang demikian keinginanmu, baiklah !".Duryodhana yang belum merasa yakin akan jawaban itu, mendesak Prabu Salya sekali lagi sebelum raja itu pergi.Prabu Salya memandang Duryodhana dengan tajam sambil berkata, "Duryodhana, percayalah kepadaku. Aku berikan kehormatan

ucapanku kepadamu. Tetapi aku harus menemui Yudhistira untuk menyampaikan keputusanku".Akhirnya Duryodhana berkata, "Pergilah menemui Yudhistira, tetapi kembalilah segera. Jangan ingkari janjimu".Salya hanya berkata, "Kembalilah ke istanamu dan peganglah kata-kataku. Aku tidak akan mengkhianatimu".Setelah berkata demikian, ia meneruskan perjalanannya menuju Upaplawya, tempat perkemahan Pandawa.

Pandawa menyambut paman mereka dengan gembira. Nakula dan Sadewa langsung menceritakan pengalaman pahit yang mereka alami selama hidup di pengasingan. Tetapi, ketika mereka mengharapkan bantuan Prabu

Salya dalam peperangan yang akan datang, dengan sedih Raja itu berkata bahwa ia telah menjanjikan dukungannya kepada Duryodhana.

Yudhistira sangat terkejut dan menyesali dirinya sendiri karena sejak awal yakin bahwa Prabu Salya akan berpihak kepada Pandawa. Ia mencoba menutupi kekecewaannya dengan berkata, "Pamanku yang perkasa, engkau mempunyai kewajiban untuk memenuhi janjimu kepada Duryodhana. Kedudukanmu akan sama dengan Kresna dalam pertempuran nanti. Karna pasti akan mengharapkan Paman untuk menjadi sais keretanya waktu ia berhadapan dengan Arjuna. Apakah Paman akan menyebabkan kematian Arjuna atau Paman akan menghindarkanny

a dari maut ? Tentu saja aku tidak bisa memintamu untuk menjatuhkan pilihan. Aku hanya mengungkapkan isi hatiku dan keputusan terletak di tangan Paman".

Prabu Salya menjawab, "Anak-anakku, aku telah dijebak oleh Duryodhana. Aku telah berjanji akan membela dia. Ini berarti aku harus berhadapan dengan kalian. Tetapi, seandainya Karna memintaku menjadi sais keretanya dalam pertarungan melawan Arjuna, ia pasti gentar menghadapinya. Arjuna pasti menang. Segala penghinaan yang kalian terima dan diderita oleh Drupadi akan berubah menjadi kenangan indah bagi kalian. Kelak kalian akan hidup bahagia. Ingatlah, tak seorangpun dapat menghindari atau menghapus suratan nasib. Aku telah berbuat salah. Sepantasnyalah aku memikul

akibatnya".

  QUOTE

12-06-2011, 06:28 PM   #140

izroilblackarmy aktivis kaskus 

 UserID: 509004 Join Date: Jul 2008Posts: 605

Dorna Gugur

Kekuatan fisik dan keahlian bertanding ditopang dengan kesaktian yang tinggi, belum menjamin sebagai suatu kekuatan yang prima tanpa ditunjang aspek kejiwaan seperti ketenangan, ketahanan mental dan kewaspadaan atin. Maha resi Dorna seorang pakar straegi perang dan ahli menggunakan senjata masih terpancing oleh berita provokasi hingga terpecah konsetrasinya melemah daya juangnya. Ini terjadi dalam perang barata ketika bertarung dengan Pandawa bekas muridnya.

Sebenarnya guru besar ilmu perang itu menaruh simpati yang dalam kepada Pandawa yang

selama menjadi mahasiswanya, dinilai baik tingkah lakunya, penurut dan sungguh-sungguh dalam mengamalkan pelajaran yang diberikan. Sebaliknya kaum Kurawa selain tingkah lakunya ugal-ugalan, juga rendah akhlaknya dan kurang memperhatikan pelajaran sehingga dalams egala hal Pandawa di nilai lebih unggul. Keberadaannya di pihak Kurawa adalah rekayasa politik Sakuni untuk memperkuat barisan Kurawa jika timbul perang dengan Pandawa.

Walau demikian Dorna masih berusaha membujuk Duryudana agar bersikap lebih lunak mau memenuhi tuntuan Pandawa untuk memperoleh tanah sesigar semangka sehingga perang dapat dicegah. Berkata Dorna:" Angger Prabu, redamlah kebencian itu. Kebencian timbul karena dirinya

tidak mampu berpikirs ecara sehat. Karena itu bersikaplah lebih lunak agar tercipta perdamaian kedua belah pihak," ujarnya menyarankan. "Jangan paman bicara soal perdamaian. Aku tidak berugur macam itu. Damai berarti rugi, perang pilihan terbaik," jawabnya tegas. "Mereka menuntut keadilan bukan perang." kilah Dorna. "Itu sudah merupakan keadilan yang digariskan Hyang Pasti. Kaum pengemis sudah terbiasa hidup sengsara. Karena itu mereka tidak patut memerintah negara," kilahnya dengan nada menghina. "Angger masih anggap enteng Pandawa? Bukankah sudah terbukti mereka ungguls egala-galanya? Adipati karna yang dijagokan ajal di tangan Arjuna. lalu hari ini, esok atau lusa siapa lagi yang akan menyusul," Dorna memberi peringatan. "Justru

hari ini, esok atau lusa dan seterusnya giliran mereka yang akan binasa di tangan kaum Kurawa!" sergahnya. "lalu siapa orangnya yang sanggup menghancurkan pandawa?" desak sang resi ingin tahu. "Siapa lagi kalau bukan sampeyan yang sanggup dan harus menghancurkan Pandawa. Hari esok harus paman buktikan kesetianmu kepadaku. Ini perintah!" tegasnya.

Terhenyak sang resi mendengar perintah itu. Ia bukan takut perang, tetapi ia harus perang memerangi kebenaran. Sedang di sisi lain ia harus melaksanakan perintah raja. Begitulah keesokan harinya Dorna bertandang di medan laga. ia perang dengan sungguh-sungguh sehingga tidak sedikit korban di pihak Pandawa. Kesaktiannya tak tertandingi, hanya Arjuna yang

sanggup menyaingi walau pasukannya tetap tak memperoleh kemajuan. Kresna yang mengawasi dari jauh cukup waspada, bahwa Dorna sulit ditandingi dengan cara biasa.

Satu-satunya cara untuk dapat melemahkan daya juangnya harus dibohongi, seolah-olah anak tunggalnya Aswatama yang sangat dikasihi telah mati di medan laga. Kebetulan ketika itu di medan perang Prabu Gardapati tengah bertarung dengan mengendari gajahnya yang kebetulan namanya Estitama. Segera Kresna menyuruh Bima membunuh raja dan gajahnya dan kemudian menyebarkan berita bahwa anaknya telah mati, tetapi tidak dengan nama Estitama melainkan dengan nama Aswatama mati.

Dengan demikian diharapkan si Resi

yang sakti tak tertandingi itu akan terpecah konsentrasinya dan melemah daya juangnya. Demikianlah setelah Bima berhasil membunuh raja dan gajahnya, ia menyebarkan berita bahwa Aswatama telah mati. Berita itu digemakan pula oleh para prajurit dengan teriakan: "Aswatama mati... Aswatama mati!". Gema berita itu sampai ke telinga sang resi dan seketika ia tersentak seraya berucap: "hah, anakku mati? Ah, tidak, tidak, tak mungkin, dia gagah sakti," ucapnya setengah tak percaya.

Namun teriakan bergema lagi bahkan semakin santer sehingga ia menghentikan perangnya dan mengajak gencatan senjata kepada Pandawa, untuk mendapatkan kejelasan benar tidaknya anaknya telah mati. Baik Nakula maupun Sadewa sama-

sama menjawa: "Estu Aswatama telah mati." Meski mengiris hati tapi jawaban itu masih ngambang. Didatanginya Arjuna bekas murid kekasihnya: "Anakku, aku sengaja minta gencatan sehari ini, karena ada sesuatu yang penting yang ingin aku tanyakan kepadamu anakku." "Apakah jawabannya akan dipercaya mengingat kita sedang bermusuhan, paman?" "Aduh anakku, meskipun kita sedang dalam perang, tetapi yang sedang perang itu kewajiban, bukan guru dan muridnya.

Karena itu tidak ada alasan untuk tidak percaya, anakku," ujarnya menyaknkan. "Kalau begitu silahkan apa yang hendak paman tanyakan?" "Benarkah Aswatama anak paman telah mati,he?" "Oh, hama harus memberitahukan hal ini, sebab ini

menyangkut nyawa seseorang, apalagi yang bertanya adalah ayahnya sendiri. Memang benar Aswatama sudah mati paman," Arjuna coba menyakinkan. Hati siapa yang tidak hancur mendegar anaknya telah mati. Apa lagi bagi Dorna< style="font-style: italic;">sampeyan yayi," desaknya. "Bertanggung jawab, bahkan membiarkan para pejuang hancur binasa, hanya karen ingin mempertahankan kepentingan diri pribadi. Layakkah seorang pemimpin bersikap demikian?" Hening sejenak masing-masing tenggelam dalam lamunan tetapi pikiran tetap bergerak mencari jalan yang terbaik.

Tiba-tiba Kresna yang memang ahli dalam berpolitik telah menemukanc ara untuk mengatasi persoalan yang dihadapi. Ia meminta Samiaji untuk mengatakan dengan kata "Esti"

yang artinya gajah. Tetapi dalam mengatakan kata esti hendaknya tidak dengan nada yang keras. Belum sempat Samiaji menjawab, resi Dorna telah datang dan berkata: "Angger, bumi dan langit menjadi saksi, bahwa angger adalah mustikaning manusia yang anti untuk berbohong. Angger akan mengatakan putih pada yang putih, dan hitam pada yang hitam tanpa direkayasa apa pun. Nah, kini paman sangat membutuhkan jawaban yang murni semurni sikap dan watak angger dengan sebuah pertanyaan: "Benarkah anak paman Aswatawa sudah mati?" tanyanya harap-harap cemas.

Samiaji termenung terjadi perang sabild alam dirinya tapi kemudian ia menjawa: "Masihkan paman percaya kepada orang yang sedang

paman musuhi?" "Olalala, paman tidak bertanya kepada musuh, tapi bertanya kepada manusia Samiaji yang tidak pernah mengingkari keteguhan imannya," ujarnya memberi keyakinan. Maka dengan mengingatkan hati sang Pandu putra menjawab: "Paman, Esti Aswatama sudah mati." Hanya dalam mengatakan Esti sangat perlahan hampir tidak terdengar, tetapi jawaban itu sudah cukup bagi resi Dorna untuk mempercayainya. Seketika itu ia terpaku bagai patung. Air mata meleleh menyusuri celah-celah pipi yang keriput seraya berucap tersendat: "Duh anakku, kini aku sadar, bahwa manusia itu ada tapi tidak sempurna. Memang kita berada di pihak yang salah dan salah akan kalah. Kini aku rela untuk mati menyusul engkau anakku," ujarnya

sangat memelas. lalu bagaimana dengan Samiaji. Ia tampak termenung karena, bagaimanapun juga, dia telah berbohong. Akibatnya kereta yang biasa ia kendarai sejengkal tidak menapak tanah, mendadak anjlok menapak bumi.

Tiba-tiba Drestajumena sesumbar menantang Dorna ingin membalas kematian ayahnya, Drupada. Sementara di angkasa Sukma Ekalaya juga siap akan memebalas atas kematiannya gara-gara jari kelingkingnya dipotong oleh Dorna, sewaktu adu ketangkasan melepas anak panah dengan Arjuna. Maka masuklah sukma Ekalaya ke dalam tubuh Drestajumena, hingga satria Pancala itu menjadi berignas.

Dan tak lama kemudian puluhan anak panah dilepas mengarah pada sang resi.

namun hanya sebuah yang mengenai dada sang resi, sedang lainnya berhasil ditepisnya. Resipun tak tinggal diam, dilepasnya puluhan anak panah dan mengenai kuda serta keretanya hingga hancur berantakan, bahkan nyaris membinasakan satria Pancala itu jika tidak segera melompat dari keretanya. Menyaksikan perang yang tidak seimbang, Bima naik pitam dan memaki sang resi: "Hei, ternyata engkau brahmana licik perang seperti prajurit mencabut nyawa orang seenaknya. Padahal engkau tukang ibadah, anak sendiri mati tidak kau hiraukan, saksinya Samiaji orang yang pantang berbohong. Seperti itukah sikap seorang Brahmana?" Mendengar makian itu hati sang resi terasa pedih. Hati kecilnya membenarkan

makian itu. Seketika gendawa dan jemparingnya ditaruh dan ia bersidakep sinuku tunggal meleng anteng mengheningkan cipta kepada Dewa Wisnu.

Tak lama kemudian dari tubuhnya keluar cahaya menyilaukan, sukmanya melayang munggah ke alam nirwana disambut dewa apsara dan dewi apsari sambil menaburkan wewangian. yang tinggal hanya jasadnya terpaku bagai patung. Tak ada seorang pun yang tahu bahwa dia telah tiada. Tiba-tiba Drestajumena dengan pedang di tangannya menghampiri dan menebas kepala sang resi hingga menggelinding jatuh ke bumi. Para Pandawa sangat menyesalkan tindakannya. Tetapi Kresna menjelaskan, bahwa maha resi adalah manusia yang bijaksana dan banyak

jasanya, tetapi tak lepas dari kesalahan yang telah diperbuatnya. Mungkin kejadian itu sebagai hukumannya.*

Pancawala Rabi

lamaran pancawala anak dari puntadewa diterima oleh arjuna. pancawala akan dinikahkan dengan putrinya pergiwati di kesatrian madukara. hal yang masih berupa pembicaraan keluarga ini disepakati akan diresmikan. maka segeralah ngamarta mengirim orang untuk melakukan lamaran resmi. sedianya yang akan melakukan lamaran adalah sri bhatara kresna mewakili baginda raja punta dewa.

kabar beredar juga ke hastina. di hastina drona membikin suatu strategi. dia mengajukan sebuah usulan agar melamar pergiwati dan disandingkan dengan lesmana mandrakumara putra mahkota hastinapura. sang prabu duryodana setuju. maka berangkatlah utusan dari hastina pura, yaitu resi drona, baladewa dr mandura dan karna raja ngawangga.

utusan dari hastina tiba, lalu karena pakewuh singkat cerita arjuna menerima lamaran dari hastina. dan bersiaplah pesta diadakan antara lesmana mandakumara dengan pergiwati. sementara itu untuk memberitahu ke ngamarta arjuna mengirim petruk dan punakawan untuk menyampaikan berita bahwa lamaran pancawala dan ngamarta di tolak.

punakawan sampe di ngamarta, rombongan penglamar sudah siap berangkat. mereka kaget ketika menerima kabar bahwa lamaran di tolak. werkudoro sangat marah karena menilai penolakan adalah suatu kekurangajaran arjuna kepada kakaknya, puntadewa. werkudoro dilerem oleh punta dewa. ahirnya kresna dan werkudoro ke madukoro untuk ikut menghadiri undangan pernikahan pergiwati dan lesmana.

pancawala merasa sedih, dan dihibur punakawan. punakawan berjanji akan membantu. lalu mereka segera pamit dr siti hinggil ngamarta dan pergi ke madukoro untuk mengupayakan agar pergiwati mau untuk menikah dengan pancawala. sementara puntadewa mengundurkan diri dr siti hinggil dan menemui drupadi. berkata bahwa arjuna menolak lamaranya. drupadi sangat marah dan sedih. lalu meminta agar punta dewa mau membalas penghinaan arjuna. sangkin gmenahan emosi sudah lama, tak kuat lagi. puntadewa seketika menjadi raksasa yang menggetarkan jagad. segera pergi ke madukoro akan memangsa

harjuna.

di taman kaputren madukoro. pancawala masuk ketemu pergiwati. sebenarnya ke 2 orang ini saling suka. tapi saling malu malu. dengan sedikit intrik intrik pancawala memeriksa kesetiaan pergiwati. ahirnya pergiwati mennagis dan mengaku menerima lamaran lesmana karena takut ayahnya. ahirnya pancawala dan pergiwati bercumbu ditaman. ketahuan, lalu geger. dengan bantuan antasena, antaredja dan gatotkaca para penghantar penganten kurawa bisa dipukul mundur.

arjuna marah mendengar kabar ini, tapi sebelum arjuna sempet mengatasi kerusuhan di kaputren, madukoro kedatangan raksasa luar biasa besar. arjuna kewalahan menghadapinya. sampe lari dan bersimpuh dibawah kaki kresna. disana kresna berkata apakah arjuna sadar kesalahanya kepada puntadewa?arjuna mengaku salah. lalu dusuruh oleh kresna untuk memakai baju putih putih bersama pergiwati dan pancawala untuk datang bersujud di kaki raksasa.

raksasa menjadi terharu dan berubah wujud kembali menjadi punta dewa. dan ahirnya pernikahan pancawala dan pergiwati dilangsungkan.

  QUOTE

KaskusAd - Create an KasAD / Buat Iklan KasAD

12-06-2011, 06:54 PM   #142

izroilblackarmy aktivis kaskus 

 UserID: 509004 Join Date: Jul 2008Posts: 605

Baratayuda: Kala Kalabendana Menjemput 1

By MasPatikrajaDewaku

Sesungguhnya Dursasana waktu mendapat tugas dari kakaknya sudah enggan segera berangkat ke istana. Namun kematian Burisrawa kawan karibnya yang hanya bisa ia saksikan dari jauh, sebab ia sudah menyanggupi kembali ke Astina, menjadikan ia terpicu untuk segera berangkat malam kemarin. Keengganan yang berkepanjangan memaksa dirinya menunda keberangkatannya, namun kini ia terpaksa kembali ke peperangan dengan hati yang panas terluka.Tak disangka oleh siapapun tadinya, malam kemarin itu sepeninggal Dursasana ternyata menjadi malam yang mengerikan. Prabu Salya yang terluka hatinya karena kematian putra kebanggaannya, satria Madyapura Arya Burisrawa, memarahi orang orang disekelilingnya. Sesabar-sabarnya Prabu Salya, kematian putra lelakinya yang terakhir kalinya ini, membuat ia betul-betul kehilangan kendali diri. Kemarahan melebar hingga lagi-lagi murka itu menyerempet kepada Adipati Karna. Tidak terima menjadi tumpuan kemarahan, Adipati

Karna segera menyatakan madeg senapati malam itu juga. Dua kali ia telah dikenai hatinya oleh mertuanya dan sekali oleh resi Krepa, membuat ia kembali bergolak kemarahannya. Kemarahan yang tidak dapat dilampiaskan sebagaimana ia melampiaskan kepada Krepa, membuatnya ia memilih jalan lain untuk melampiaskan kekesalan hatinya.Adipati Karna adalah seorang adipati dengan pengaruh kuat terhadap negara negara jajahannya, segera ia menyusun barisan yang berisi prajurit jajahan Awangga. Tak peduli lagi tentang tata krama perang yang berlaku, dengan menyalakan obor beribu-ribu ia menggerakkan pasukannya yang berujud para raksasa dari negara Pageralun yang dipimpin oleh Prabu Gajahsura, negara Pagerwaja yang dipimpin oleh Kelanasura dan negara Pagerwatangan dengan Lembusaka.Majunya Adipati Karna sebagai senapati dan akan menggempur lasykar Randuwatangan malam itu benar benar tanpa tata krama, barisan raksasa membakari beberapa pasanggrahan garis depan dengan tiba tiba. Arya Drestajumna dan Wara Srikandi serta Setyaki yang lelah siang tadi bertarung sudah harus kembali menahan serangan musuh. Berita serangan itu akhirnya sampai ketelinga penghuni Randuwatangan.Arjuna yang dari tadi duduk tenang segera menggeser duduknya. Panasnya hati mendengar kejadian yang tidak lazim, membuat ia menawarkan diri untuk menandingi majunya senapati Kurawa malam itu “Kanda Prabu, perkenankan adikmu ini hendak menandingi kesaktian kanda Basukarna. Bagi kami, kanda Adipati adalah jodoh kami dalam perang. Hamba mohon sekarang kami diijinkan. Inilah saat yang hamba nantikan kanda Prabu”.“Arjuna, bila majunya Karna ada pada waktu yang benar, maka aku ijinkan kamu untuk menandinginya. Tapi sekarang yang terjadi adalah perang dengan tidak menggunakan tata aturan perang yang sudah disepakati. Perang waktu malam adalah tindakan yang bukan watak satria. Tenanglah lebih dulu, jangan terbawa oleh hawa kemarahan”. “Werkudara, bila anakmu aku wisuda jadi prajurit untuk menghadapi musuh malam ini, apakah kamu setuju ?” Kresna yang dihadapi oleh Werkudara malam itu menanyakan kerelaannya.“Anakku dilahirkan memang sebagai prajurit. Sudah semestinya peristiwa malam ini menjadi harapan bagi anakku untuk diberi kehormatan sebagai senapati. Tetapi kenapa harus Gatutkaca yang harus menjadi senapati malam ini ?”. Sahut Werkudara.“Anakmulah yang mempunyai mata Suryakanta, yang dapat awas diwaktu malam, dan kotang Antrakusuma yang menyorot hingga dapat menerangi sekelilingnya”. Kresna menjelaskan dengan menyembunyikan kenyataan yang ia telah ketahui dari kitab Jitapsara. Saat inilah Gatutkaca harus pergi untuk menghadap hyang widi wasa.

“Apakah bila anakku ada apa-apanya, kamu bertanggung jawab atas penunjukanmu atas Gatutkaca ?” Kembali Werkudara dengan rasa was-was, naluri seorang ayah, menanyakan kepada Kresna.“Aku adalah manusia yang mungkin dapat melakukan kesalahan, tetapi bila sampai anakmu gugur nanti, itu adalah mati dalam membela negara, mati sempurna sebagai kusuma bangsa, bukan mati sia sia. Kejadiannya akan tercatat dalam lembar sejarah dengan nama harum yang tak kan pernah tersapu oleh angin jaman. Masihkah kamu ragu ?” kembali Kresna meyakinkan hati adik iparnya yang masih saja ragu.“Aku menurut apa kata katamu “ Werkudara akhirnya merelakan.“Baik, adikku Drestajumna, panggil keponakanmu Gatutkaca menghadapku. Sekarang juga ”.Segera menghadap Raden Gatutkaca kehadapan uwaknya, yang mengatakan bahwa kesaktian Gatutkaca-lah yang mampu membendung serangan Adipati Karna. Begitu mengetahui ia diberi kehormatan untuk menjadi senapati untuk berhadapan dengan Sang Arkasuta-Karna. Bangga hati Gatutkaca. Raden Arjuna-pun ikut memuji kesaktiannya yang dimiliki sang keponakan. Tersenyum lega hati dan gembira sang Gatutkaca setelah penantiannya, kapan ia akan diwisuda menjadi senapati dalam peperangan besar, segera malam ini terlaksana.“Uwa Prabu, Rama Kyai, dan semua sesepuh, perkenankan hamba hendak berpamitan untuk maju ke medan pertempuran. Walaupun dalam dada ini tersimpan kemantapan diri yang besar, namun kesaktian uwa adipati Karna memang tidak dapat dianggap enteng. Dan tugas yang diberikan oleh para sesepuh dan orang tua kami, menjadikan rasa hamba bagaikan diberi kehormatan yang demikian tinggi, sejajar dengan derajat dari uwa Adipati Karna. Dan juga pemberian kesempatan sebagai senapati ini, putramu mengupamakan, sebagai hendak meraih bongkahan inten permata didalam taman surga”. Pamit Sang Purbaya kepada Prabu Kresna dan para sesepuh yang menyatakan sebagai meraih kebahagian sorga. Ia telah tidak sengaja berkata bagaikan pengucapan kata pamitan terakhir kalinya.Kaget sang paman, Arjuna yang mendengar kata kata keponakannya itu. Kata kata terakhir ucapan Garutkaca, dalam pikiran Arjuna seperti halnya pamitan seseorang yang hendak mati. Segera dirangkulnya pundak Gatutkaca dengan air mata yang mulai menetes dikedua belah pipinya.“Aduh anakku, kepergian adikmu Abimanyu sudah aku relakan. Ketika melihat sifat dan kesaktian yang kamu miliki, seakan tergantikan semua yang ada pada diri anakku. Namun dengan pernyataanmu tadi, aku merasakan adanya keanehan dalam ucapanmu tadi”.“Permadi, tidak layaklah seorang satria memberi bekal tangis

serta mengucapkan kata kata seperti itu kepada seorang senapati ketika ia hendak menunaikan tugasnya. Minggirlah, biar aku kalungi rangkaian melati buyut Prabu, sebagai tanda, bahwa sekaranglah saatnya Gatutkaca aku wisuda menjadi senapati”. Kata kata yang diucapkan Prabu Matswapati mau tidak mau membuat Arjuna menyisih memberikan kesempatan untuk eyangnya mengalungkan bunga sebagai tanda senapati.Tak diceritakan persiapan prajurit Pringgandani, yang digerakkan oleh paman paman dari Raden Gatutkaca, Brajawikalpa, Brajalamatan dan para braja yang lain. Maka malam itu, campuh perang begitu mengerikan. Kedua pasukan yang berujud raksasa saling serang dengan suara raungan sebagaimana para raksasa. Suaranya terdengar bagai auman singa lapar dipadang rumput yang sedang berpesta bangkai kijang. Obor ditangan kiri dan senjata ditangan kanan mobat mabit membuat suasana perang menjadi begitu lain dari biasanya. Gemerlap pedang yang memantul dari cahaya merah obor berkilat bagai petir yang menyambar nyambar. Obor yang terpental jatuh seiring jatuhnya prajurit raksasa yang menjadi pecundang, tak urung membuat tanah yang mulai tergenang merah darah menjadi semakin merah. Bagaikan banjir api! Dan diangkasapun terang obor dimedan Kuru seakan menelan sinar sang hyang wulan.Tandang sang Gatutkaca tak kalah membikin giris siapapun yang melihatnya. Gerakannya bagai kilat hingga yang terlihat adalah ujud Gatutkaca seribu. Sigap tangannya menyambar nyambar kepala lawan. Yang lunak ditempelengnya hingga hancur, sedangkan yang liat dipuntirnya kepala hingga terlepas.Ketiga sraya dari negara taklukan Awangga tak berdaya. Kelumpuhannya tinggal menunggu waktu kapan ia didekati oleh sang Gatutkaca, maka kepalanya akan segera lepas dari lehernya.Benarlah, tanpa perlawanan berarti ketiga sraya itu berhasil disudahi oleh tangan kekar Gatutkaca.

  QUOTE

12-06-2011, 06:56 PM   #143

izroilblackarmy aktivis kaskus 

 UserID: 509004 Join Date: Jul 2008

Baratayuda: Kala Kalabendana Menjemput 2

By MasPatikrajaDewaku

Tetapi tidak hanya musuh yang tewas, kecepatan gerak dengan terbatasnya pandangan karena gelap malam dan sama sama berujud raksasa, para braja paman Gatutkaca ikut tewas oleh trengginasnya gerakannya yang begitu cepat.

Posts: 605 Adipati Karna tidak dapat berbuat sesuatu lagi, selain harus menghadapi Gatutkaca sendiri. Maju ia setelah melihat prajuritnya banyak berkurang.Segera Raden Gatutkaca dan Adipati Karna saling berhadapan. Adu kesaktian dan kekuatan saling dikeluarkan untuk melumpuhkan lawannya. Babak pertama Karna yang merasa keteter segera menerapkan ajiannya, Kalalupa. Ujud raksasa keluar dari tapak tangan Adipati Karna semakin banyak, menambah jumlah para raksasa yang dari ketiga negara jajahan Awangga. Dikerubut oleh makin banyak raksasa dengan perawakan yang sama, akhirnya membuat Gatutkaca keteteran. Segera serangan balik dilancarkan. Aji Narantaka warisan sang guru sekaligus buyut, Resi Seta, segera dirapal. Kobaran api menyembur dari kedua tapak tangan sang senapati, berkobar makin hebat padang Kurusetra oleh nyala api tambahan dari aji Narantaka. Semburan api dengan gemuruh keras membasmi raksasa jadian dari telapak tangan Karna. Mundur sang Adipati ngeri melihat semburan dahsyat api yang keluar dari ajian Narantaka senapati Pringgandani.Terpesona Prabu Karna, dengan kesaktian sang Gatotkaca. Namun hal ini membawanya mengubah cara perangnya dengan menaiki kereta Jatisura, dengan kusirnya, yang juga patih Awangga, Patih Hadimanggala.Malam yang sudah mencapai sunyi lewat tengah malam dihari lain, malam ini tidak berlaku. Geriap para raksasa yang sedang bertempur dengan geramannya masih membuat susana malam bagai terserang angin ribut. Kali ini ditambah dengan perbawa kesiur angin lesatan kereta Adipati Karna.Diatas kereta, sang Adipati menyiapkan senjata Kunta Druwasa. Pusaka dewata yang dahulunya hendak dihadiahkan kepada Arjuna untuk memutus tali pusat Jabang Tetuka, bayi Gatutkaca, Atas keculasan Suryatmaja, nama Karna muda, pusaka itu jatuh ketangannya. Sedangkan Arjuna hanya mendapat sarungnya. Sarung itulah yang akhirnya bersemayam dalam puser sang Gatutkaca, ketika tali pusar berhasil diputus.Waspada sang Gatutkaca ketika melihat Adipati Karna menghunus senjata Kunta Druwasa, dan bersiap melepaskan anak panahnya itu. Adipati Karna diuntungkan dengan sinar kutang Antrakusuma yang menyorot melebihi pijar sinar purnama didada musuhnya. Gatutkaca menghindari dengan naik lebih tinggi terbangnya, bersamaan lepasnya senjata Kunta. Ia melesat keatas awan, dengan harapan taklah panah Kunta berhasil mencapainya.Syahdan, Kala Bendana, paman sang Gatutkaca, si raksasa boncel yang berhati bersih. Ia yang terbunuh tidak sengaja oleh keponakannya ketika bersaksi atas menduanya Abimanyu dalam beristri, dalam peristiwa Gendreh Kemasan, Ia masih tetap setia menunggu sang keponakan di alam madyantara.Rasaksa lucu yang kini berujud sukma setengah sempurna itu,

hendak menjemput sang keponakan pada waktunya, ketika perang besar Baratayuda berlangsung. Saat inilah yang ditunggu. Maka ia bersiap berkeliling diatas arena tegal Kuru malam itu.Maka ketika melihat lepasan sang Kunta Druwasa, disambarnya anak panah yang sebenarnya tak kuat sampai di sasaran diatas awan itu dan dibawanya menghadap Gatutkaca.Kaget sang Gatutkaca ketika melihat sang paman datang keatas awan dengan membawa Kyai Kunta Druwasa sambil menyapa.“Anakku Gatutkaca, sudah sampai saatnya pamanmu menjemputmu, Mari anakku, aku gandeng tanganmu menuju sorga “.Takzim Gatutkaca menghormat pamannya.“Oh, paman . . . Aku tidak mengelak akan kesediaanku sesuai dengan janjimu. Putramu ikhlas, mari paman. Tapi perkenankan anakmu meminta sesuatu darimu”. Tak dapat menolak Gatutkaca atas ajakan pamannya. Ia telah pasrah dan mengaku segala kesalahannya dimasa lalu. Ia minta sesuatu sebagai permintaan terakhir terhadap pamannya.“Dengan senang hati, anakku. Apa permintaanmu ?” senyum sang paman menanyakan permintaan keponakannya.“Kematianku harus membawa korban dipihak musuh sebanyak banyaknya, hingga perang malam ini berakhir”. Jawab Gatutkaca mantap.“Baik aku bisa melakukannya !”Maka diarahkannya pusaka Kunta itu ke arah pusar sang Gatutkaca yang tersenyum menerima takdirnya. Melayang sukma Raden Gatutkaca ketika pusaka Kyai Kunta Druwasa masuk kedalam sarungnya. Dengan rasa kasih, digandengnya tangan kemenakannya menuju swarga tunda sanga. Penantian panjang sang paman akan keinginannya pergi berbarengan ke suarga bersama kemenakan tersayang, hari ini berakhir.Bersatunya Kunta Druwasa kedalam sarungnya, menimbulkan akibat yang hebat. Sejenak kemudian diiringi suara mendesing, kemudian disusul suara gelegar hebat bagai suara meteor, raga Gatutkaca melesat menuju medan peperangan dibawah sana. Kecepatan lesatan raga Gatutkaca tak terkira cepatnya menimpa kereta perang Adipati Karna beserta sang kusir Hadimanggala. Tewas seketika sang patih. Remuk kereta Jatisura terkena tubuh sang Gatutkaca yang meledak menggelegar, menimbulkan lubang besar bertumbak-tumbak luasnya.Begitu pula dengan putra Adipati Karna, Warsakusuma yang ikut ayahnya dalam peperangan juga tewas. Namun Adipati Karna berhasil menghindar.Akibatnya, arena bagai terkena bom dengan daya ledak tinggi, hingga menewaskan banyak barisan prajurit. Gelombang kejut yang terjadi dari ledakan tubuh sang Gatutkaca menimbulkan hawa panas yang dahsyat hingga mampu meleleh luluh lantakkan apapun yang ada disekitar jatuhnya raga. Jangankan tubuh manusia, hewan tunggangan dan para raksasa,

persenjataan yang terbuat dari logam-pun, cair meleleh, kemudian menjadi abu. Dan seketika perang terhenti !Berhenti perang meninggalkan luka dalam dihati Werkudara. Segera dicarinya Adipati Karna yang lari tinggalkan gelanggang peperangan.Segera Sri Kresna menghentikan tindakan Werkudara. Disabarkan hati adik iparnya agar menunda dendamnya. “Lebih baik beritahu istrimu lebih dulu mengenai kejadian yang berlangsung malam ini. “Mari kita datang bersama dengan saudaramu yang lain untuk menghibur hatinya”.“Kalau mau pergi ke Pringgandani, pergilah ! Aku tidak tega melihat apa yang akan terjadi disana !”. Werkudara pergi sendirian kearah tak tentu dengan hati yang kosong. Kerasnya baja perasaan sang Bimasena tidak kuasa untuk membayangkan, lebih jauh lagi melihat dengan mata kepalanya sendiri, betapa hancur perasaan istri yang sangat dicintainya. Istri sakti yang tindakannya dimasa lalu berbuah jasa yang sangat besar bagi kelangsungan hidupnya, bahkan bagi kelangsungan hidup dan kejayaan seluruh keluarga Pandawa.Kedatangan para Pandawa di sisa malam tanpa suaminya, membuat Dewi Arimbi terkesiap hatinya. Naluri seorang ibu mengatakan ada sesuatu yang terjadi terhadap suami atau terlebih lagi bagi anaknya. Maka begitu diberitahu akan peristiwa yang terjadi malam tadi, ia berkeputusan untuk mengakhiri hidup dengan bakar diri dalam api suci. Demikan juga dengan Dewi Pregiwa, keduanya sepakat untuk bersama sama mengiring kepergian anak dan suami mereka. Semua saudara ipar dan Prabu Kresna tidak kuasa untuk membendung keinginannya. Maka upacara segera dimulai.Dengan busana serba putih, sang Arimbi naik ke agni pancaka, menggandeng menantunya. Ia telah memutuskan pilihannya, tetap bersama suami atau mendampingi anak tunggal kekasih hatinya.

  QUOTE

13-06-2011, 01:52 AM   #144

capcay666 kaskuser 

 UserID: 2194885 Join Date: Oct 2010Posts: 281

lanjut gan

  QUOTE

13-06-2011, 11:07 AM   #145

izroilblackarmy aktivis kaskus 

 UserID: 509004 Join Date: Jul 2008Posts: 605

Baratayuda: Drupadi telah meluwar Janji 1

By MasPatikrajaDewaku

Kembali seorang dari saudara Pendawa terkena tekanan jiwa karena kematian anak tercinta. Padahal mereka tahu, kematian bagi seseorang yang masuk dalam arena pertempuran pilihannya adalah mukti atau mati. Tetapi tetap saja terjadi, setelah kematian Abimanyu anak Arjuna yang menjadikan Arjuna kehilangan pegangan diri, kali ini Sang Bima Sena-pun mengalami hal yang sama.Tidaklah ia menyalahkan siapapun, Prabu Kresna, Karna atau dirinya sendiri. Kerelaannya melepas kepergian anaknya menjadi senapati malam itu adalah atas niat suci. Namun kenyataan yang terjadi tidak urung membuat perasaannya yang teguh sedikit banyak telah terguncang. Ketiga anak lelakinya telah mendahuluinya meraih surga. Yang pertama ketika mengikhlaskan Antareja menjadi tawur atas kejayaan trah Pandawa sebelum pecah perang waktu lalu . Kemudian berita telah sampai pula ditelinganya, ketika Antasena juga telah merelakannya akhir hidupnya atas keinginannya untuk tidak menyaksikan dan mengalami perang Barata, asalkan para orang tuanya unggul dalam perang itu. Ia dengan sukarela tersorot mata api yang tajam Batara Badawanganala, hingga lebur menjadi abu.*)Maka ketika anak lelaki keduanya tersambut rana dalam peperangan, maka remuk redam hatinya tanpa dapat mengalirkan air mata. Dengan pikiran yang kosong Werkudara berjalan menjauhi arena peperangan. Tak terasa langkahnya sampai dipinggir bengawan Cingcingguling ketika waktu belum lagi menjelang siang. Rasa lelah semalaman dalam menghadapi barisan raksasa dari Pagerwaja, Pageralun dan Pagerwatangan, membebani raga sang Bima, ditambah jiwa yang terluka menganga, merana ditinggalkan semua anak tercintanya. Walau amuknya semalam telah menelan korban kedua adik dari Patih Sengkuni, Anggabasa dan Surabasanta, namun tetap ia tidak puas sebelum membalas kematian terhadap Adipati Karna. Rebahlah dibawah randu hutan dipinggir bengawan, sang Bima melepas lelah.Satu bingkai demi bingkai bayangan peristiwa masa lalu mengalir bagai kejadian yang baru saja terjadi. Dibayangkannya

sosok sang istri yang begitu menyayanginya dengan segenap jiwa dan raga. Wanita yang sesuai dengan angan angan ketika ia memilih istri. Wanita yang lembut namun perkasa dan sakti mandraguna.Berkelebat bayangan kejadian pahit manis perjalanan kasih, hidup dan perjuangannya dengan sang istri. Saling bahu membahu dengannya ketika membangun Negara Amarta dari asal hutan Wisamarta yang demikian angker dengan penunggu para lelembut sakti. Para Drubiksa penghuni hutan yang ternyata mereka adalah pemilik negara maya dalam hutan itu, bahkan telah menyatu dalam jiwa masing masing pribadi para Pandawa. Terpesonanya diri ketika melihat perubahan ujud raseksi Arimbi yang begitu perkasa dan sakti, menjadi sedemikian cantik karena sabda sang ibu, Prita-Kunti Talibrata, ketika menyaksikan Arimbi yang demikian cantik budi perilakunya dalam membantu anak anaknya, sehingga tercetus kata mantra Sabda Tunggal Wenganing Rahsa ke telinga Arimbi.Istri yang telah memberikan warna hidup hingga lebih cerah ketika ia melahirkan seorang putra yang walau masih ujud bayi merah, Jabang Tetuka, tetapi oleh olah para Dewata, anaknya itu dibuat cepat dewasa dengan kekuatan bagaikan berotot kawat tulang besi. Ia telah berhasil membebaskan Kahyangan Jonggring Saloka dengan mengenyahkan Prabu Kalapercona dan para punggawanya yang sedemikian sakti. Putra yang sangat ia banggakan dengan sosok yang dambaan yang melekat pada angan angannya. Putra sempurna yang merajai negara tinggalan dari orang tua ibunya, sekaligus musuh Pandu, orang tuanya, yaitu Prabu Trembuku. Itulah Negara Pringgandani.Tetapi belum semua kelebat bayangan masa lalunya usai, angan angannya itu buyar, ketika terdengar suara berisik yang dikenalinya. Warna suara itu, suara teriakan sesumbar itu. Itulah suara sesumbar dari Dursasana.Manusia berangasan yang sedang panas hatinya sekembali dari taman Kadilengeng di istana Astina, nyerocos sepanjang jalan. Tantangan dari iparnya, Banuwati, untuk mengalahkan Arjuna, serta hinaan kepadanya yang dituduh sebagai manusia yang takut darah, menjadikannya ia sangat bernafsu untuk segera menaklukkan Pandawa.Sekarang hati Werkudara menjadi gembira bukan main, seakan ia menjadi anak kecil yang mendapat mainan baru. Dalam hatinya mengatakan, inilah pelampiasan dendam atas kematian anaknya tadi malam.Bangun ia dari rebahannya, segera diketatkan segala pakaian yang melekat ditubuhnya siap untuk bertempur kembali. Kelelahan jiwa raga yang mendera, berganti dengan kesegaran yang mengalir dari dalam rasa hati. Melompat sang Bima menuju kearah suara yang nyerocos sesumbar tak henti hentinya.Demikan juga dengan Dursasana yang merasa sangat senang, ketika melihat Werkudara menghadang langkahnya. Tidak

disangka, belum sampai dimedan peperangan, orang yang dicari muncul lebih cepat dari pada yang ia bayangkan.“Hee . . .Wekudara, kamu ternyata ada disini ! Tidak usah repot repot mencarimu ditengah banyaknya manusia yang sedang menyabung nyawa ! Sekalian aku hendak membalaskan kematian anakku Dursala karena ulah anakmu Gatutkaca ! kalimat yang terucap disertai tawa yang mengalir dari mulutnya tanda kegembiraan karena keinginannya akan segera terwujud.“Apa maumu ?!” Bimasena menyahut sekenanya.“Sekarang atau nanti, di Palagan Kurusetra atau disini sama saja. Sekaranglah waktunya untuk kita mengadu kesaktian, satu lawan satu, siapakah sebenarnya yang mempunyai kaki yang lebih kokoh, lengan yang lebih kekar dan tenaga yang paling kuat diantara kita berdua !” yakin Dursasana kali ini dapat menjadi pahlawan ketika nanti ia dapat merobohkan tulang punggung trah Pandawa ini.“Waspadalah, ayo kita mulai !” Siaga Werkudara setelah ia berhenti berucap.Maka tanding antara tulang punggung kedua bersaudara Pandawa dan Kurawa mulai berlangsung. Kaki kanan Dursasana mengayun ke dada Werkudara dielakkan dengan sedikit memiringkan badan. Merasa tidak akan bisa mengenai sasaran, segera Dursasana menarik kembali serangannya, kemudian ganti tangan kirinya hendak menyapu pundak Bima. Gerakan Dursasana yang lurus menyerang pundaknya segera ditangkis dengan tangan kanan, benturan kedua tangan terjadi. Sentuhan tangan keduanya memulai kontak tenaga sebagai penjajakan atas kekuatan diantara keduanya. “He he he . . . . bagus juga kekuatanmu, jangan keburu senang dengan berhasil menghindari serangan pertamaku. Ayolah sekarang ganti kamu yang menyerang, aku tidak akan mengelak seberapapun kekuatan yang hendak kau kerahkan”“Jangan banyak mulut, terimalah kerasnya tapak kakiku !”Kembali keduanya siap dengan kuda kudanya. Kali ini kaki kanan Werkudara diangkat mengarah dada Dursasana yang mencoba menahan dengan kedua tangannya yang bersilang didepan dadanya. Ketika kaki Werkudara beradu dengan tangan Dursasana, segera Werkudara menambah daya kedut pada kakinya hingga Dursasana terpaksa menahan. Sejenak kemudian kekuatan kaki Werkudara telah mendesak tahanan serangan Dursasana yang terpaksa menggulingkan diri. Werkudara mencecar dengan hendak menginjaknya, namun waspada Dursasana yang segera menyapu gerakan kaki Werkudara sambil meloncat bangun. Benturan kaki keduanya terjadi dengan kerasnya dilambari dengan kekuatan ajian masing masing.

  QUOTE

13-06-2011, 11:08 AM   #146

izroilblackarmy aktivis kaskus 

 UserID: 509004 Join Date: Jul 2008Posts: 605

Baratayuda: Drupadi telah meluwar Janji 2

By MasPatikrajaDewaku

Terlempar keduanya beberapa langkah kebelakang dengan mulut masing masing mendesis menahan nyeri tulang kering mereka. Kemudian mulut Dursasana mengalirkan sumpah serapah seperti kebiasaanya.Kembali Dursasana mengayunkan kaki mengarah ke lambung Werkudara yang sudah siap dengan kuda kudanya. Tetap dengan mulut yang tak mau diam dengan caci makinya. Kaki beradu kaki berulang terjadi, berganti kanan kiri diselingi sambaran kepalan tangan dari keduanya. Saling serang dan elak berlangsung seimbang pada mulanya. Tanding keduanya bagaikan perkelahian seekor gajah dengan seekor harimau. Gerak sentosa Werkudara yang kokoh maju setapak setapak menahan dan menyerang balik Dursasana yang berkelahi bagai seekor singa. Hutan pinggir sungai bagai terbabat oleh sabetan tangan dan kaki kedua musuh abadi itu. Tanaman perdu patah rata tanah, sedangkan yang besar besar batangnya bertumbangan bahkan ada yang rungkat beserta akarnya.Tapi yang berkembang kemudian adalah akibat dari jejak laku dari keduanya. Werkudara yang telah tertempa secara fisik dan telah menyerap segala kesaktian dari Ajian Bandung Bandawasa, Blabag Pengantol-antol hingga menyatunya saudara tunggal bayu serta kekuatan raksasa Kumbakarna yang ia peroleh di sekitar hutan Kutarunggu. Ketika itu Kresna yang menyamar menjadi Begawan Kesawasiddi dan memberi wejangan Hastabrata kepada Arjuna, sehingga Werkudara mendapat tambahan kekuatan selagi ia mencari keberadaan Kresna dan Arjuna. Usaha “tarak brata” inilah yang membuat ia lama kelamaan menjadikannya Werkudara unggul telak daripada Dursasana yang jarang melakukan usaha peningkatan ilmu kesaktian dengan lebih enak tinggal di istana.Ketika Dursasana gagal mengungguli dengan kekuatan tangan kosong, berganti ia mencoba menggunakan limpung dan kemudian gada. Werkudara melayani kemauan Dursasana dengan kuku pancanaka dan batang gada Lukitasari. Dengan langkah mantap, Werkudara melayani serangan bertubi tubi dari Dursasana. Namun tetap saja, walau Dursasana mengerahkan segala kesaktiannya, keteguhan Werkudara tetap tak tergoyahkan.Merasa keteteran dengan tandang Werkudara, Dursasana mencoba mencari akal lain dengan berusaha menguras tenaga lawan. Ia berlari dan melawan dengan berulang ulang kemudian melompati kali Cingcingguling.

“Werkudara . . . . Ayuh kejar aku keseberang! Kamu tunjukkan seberapa kuat tenaga seribu gajah yang kamu miliki ! “ Ia berharap sebelum kaki Werkudara menapak tebing seberang ia sudah kembali menyerang sehingga lawannya kehilangan keseimbangan kemudian serangan beruntun dilancarkan hingga lawan dengan mudah disasarnya.Ketika perkelahian itu berlangsung, Prabu Kresna yang kehilangan adiknya, segera melacak jejak Werkudara. Pengalaman ketika ia kehilangan jejak Arjuna ketika adiknya itu terkena tekanan jiwa atas kematian Abimanyu, membuat intuisi Kresna segera menemukan dimana adanya Werkudara yang mengalami kesamaan peristiwa seperti Arjuna ketika itu.Maka ketika dilihatnya yang dicari sedang bertempur diarena yang tidak resmi dan ia berketapan hati Dursasana akan dikalahkannya, maka diutusnya seseorang untuk menjemput Drupadi.Dan memang benar. Tak lama kemudian usaha Dursasana dalam mengubah strategi menjadi tak berarti karena kalah unggul kekuatan dan kesaktiannya. Tambahan lagi, ketika campur tangan pihak ketiga juga ikut bermain. Sarka dan Tarka, kedua arwah tumbal yang tak rela atas kematiannya masih juga melanglang di alam madyantara juga hendak menuntut balas atas kematiannya.Maka begitu kesempatan itu datang, juntaian akar pohon tepi sungai menjadi sarana atas dendam keduanya. Kaki Dursasana yang diperkirakan menginjak tebing sungai dengan mulus, tersandung akar dan goyah langkahnya. Kesempatan ini digunakan sepenuhnya oleh Werkudara yang dengan sigap menjambak rambut lawannya, dan kakinyapun mengunci gerak lawannya. Dengan tenaga penuh dipuntirnya tubuh Dursasana bagaikan seekor buaya memutar mangsanya, Werkudara memperlakukan tubuh musuhnya.Pucat pasi wajah Dursasana ketika sudah terkunci tak bisa bergerak lagi dengan tulang yang sudah patah pada beberapa bagian. “ Adikku Werkudara, lepaskan aku ! Berikan kakakmu sedikit rasa kemanusiaanmu. Kendurkan pitinganmu, aku mengaku kalah, ampuni aku, berikan aku hidup. . . . . . . .” Memelas kata kata permohonan ampun meluncur dari mulut Dursasana.“Tutup mulut buayamu yang kotor ! Kamu harus ingat ketika kamu masih dalam keadaan jaya, tingkah lakumu sungguh sangat membuat jengkel saudara sepupumu. Sekarang waktunya kamu menuai tindakanmu dahulu yang selalu mencari kematian kami semua bersaudara anak Pandu. Bahkan kakak iparku Drupadi hendak kau buat malu ketika kamu menang dalam judi dadu, hingga sumpahnya harus aku luwar, agar ia dapat kembali bergelung”. Mendengar permohonan ampun tidak digubris, dengan muka yang memerah marah dan gemetar, kemudian berubah pucat pasi tanda keputus asaan mendera dadanya.

Maka takdir menjemput akhir hidup manusia yang selalu berjalan dalam kepongahan itu dengan sumpah serapah yang masih membuncah dari mulutnya. Kekesalan Bima terlampiaskan dengan memelintir anggauta tubuh lawannya hingga tercerai berai. Tidak puas juga, bagian anggauta badan Dursasana yang sudah tercerai berai dilemparkan kesegala penjuru.Memang demikian, Dewi Drupadi, ia pernah mempunyai janji, ia tak kan pernah bergelung rambutnya apabila ia belum berkeramas dengan darah Dursasana. Janji itu terucap ketika ia hendak dipermalukan oleh Dursasana di arena judi dadu. Janji itu terucap disaksikan oleh semua yang hadir dalam arena itu termasuk Prabu Kresna. Walaupun ia tak dapat dipermalukan karena pertolongan dewa, kain yang menutup tubuhnya tak dapat dilepas seakan tiada berujung. Maka kesempatan itu tak hendak dilalukan. Bima yang teringat akan sumpah kakak iparnya segera menyedot darah Dursasana dengan mulutnya hingga kumis dan jenggotnya tergenang merah darah. Sampai ditempat kakak iparnya Draupadi, dituangkannya darah Dursasana dari mulut dan perasan darah dari jenggot dan kumisnya, yang kemudian dipersembahkan dihadapan Drupadi yang dengan senang hati menjadikannya luwar atas janjinya ketika itu.

*). Pada versi pedalangan Banyumasan, ada empat anak Werkudara. Satu yang hampir tak pernah disebut, yaitu Raden Srenggini. Sedangkan pada masa lalu, pedalangan gaya Surakarta menyatakan Antasena dan Antareja adalah sosok yang sama.

  QUOTE

13-06-2011, 11:15 AM   #147

izroilblackarmy aktivis kaskus 

 UserID: 509004 Join Date: Jul 2008Posts: 605

Baratayuda: Tekad Durna Menegakkan Kembali Harga Diri

By MasPatikrajaDewaku

Sejenak kita kembali kepada saat padang Kurusetra bergejolak, atas kehendak Adipati Karna dalam menjalankan perang di waktu malam. Kita beralih ke tempat yang lain namun dalam waktu yang bersamaan, di hutan Minangsraya. Ditempat ini terlihat bentangan suasana alam nan luas. Suasana yang tergelar samar dan muram, seperti halnya cahaya kunang kunang. Tak berdaya sinarnya, kalah tertelan oleh cahaya bulan purnama di awang awang. Ketika itu pranata mangsa telah menunjuk pada musim kemarau dan awan tipis berarak di kaki langit, menjadikan terpesona yang melihatnya. Bahkan juga mahluk

seisi hutanpun ikut terpana, batang pohon kayu besar-pun terbakar.Gambaran suasana yang ada di hutan Minangsraya ini, saat Pandita Durna yang terlunta lunta dan sakit hati, dijatuhi murka sang Duryudana. Duduk bersila dibawah pohon baniyan, resi Durna mengheningkan cipta. Semua pancaindriya dimatikan, hanya rasa jati yang dimunculkan. Terseret sukma sang begawan kedalam alam layap leyep, alam samar. Dan pesatlah laju suksma sang Pandita melesat keharibaan sang gurunadi, guru sejati, Ramaparasu.Kaget sang Ramaparasu melihat datangnya Kumbayana yang menampakkan wajah murung.Sembah bakti telah dihaturkan ke haribaan Ramaparasu atau Ramabargawa. Kemudian Kumbayana menyampaikan segala isi hatinya.“Guru, hamba telah kehilangan harta yang tak bernilai harganya. Bahkan seluruh raga ini telah terasa bagai terseret runtuhan gunung Mahameru. Luluh lantak sudah tak berujud lagi”“Apa sebab kamu merasa demikian, segala kesaktian, guna kawijayan kanuragan, kasantikan telah kau terima dariku waktu lalu, bagaikan telah tertuang habis mengalir kepadamu. Dan bila kamu merasa telah kehilangan harta yang tak ternilai seperti yang kau sebutkan tadi, segera jelaskan apa maksudnya.” Rama Bargawa menanyakan, namun dalam hatinya ia tidak syak lagi, bahwa didepan telah menjelang peristiwa besar yang menanti garis perjalanan Kumbayana muridnya.“Bapa Guru, hamba telah kehilangan kepercayaan dari junjungan hamba Prabu Duryudana dalam mengemban tugas sebagai seorang senapati. Inilah yang hamba anggap kehilangan yang terbesar dalam hidup. Kehilangan kepercayaan yang berturut turut terjadi, setelah putra kesayangan hamba satu satunya Aswatama, telah diusir jauh dari pandangan mata junjungannya. Dan kini kehilangan kepercayaan dari seorang raja mengenai kegagalan hamba dalam melakukan tugas, adalah, bagai runtuh dan leburnya harga diri. Sekali telah runtuh, banyak waktu dan usaha yang teramat sulit untuk mendirikannya kembali, malah mungkin tak kan pernah lagi terbangun kepercayaan itu lagi” sedih Kumbayana memuntahkan isi hatinya, mukanya tertunduk dalam, menanti jawab sang guru yang apapun ucapannya nanti, dalam niatnya ia akan menjalankan sepenuh hati.“Jadi apa maksudmu sekarang ? Apalagikah yang harus aku berikan untuk mengatasi masalahmu ?” sang guru sebenarnya berwatak keras sepanjang hidupnya, namun sekarang tersentuh hatinya menanyakan maksud Kumbayana.“Berilah hamba pencerahan. Krisis kepercayaan yang terjadi pada diri hamba sekarang, telah menutup nalar hamba terhadap segala pertimbangan dan keputusan yang harus hamba ambil. Sekali lagi mohon pencerahannya bapa guru.” Memohon dengan seribu hormat Kumbayana kepada sang guru.

“Sekarang kamu sedang menimbang perkara apa ?” Kembali Ramaparasu menegaskan pertanyaannya.“Haruskah hamba meneruskan peran yang sedang hamba pikul dipundak ini, apakah cukup disini riwayat Kumbayana, dan kemudian beban itu kami letakkan ? Kemudian hamba minta kerelaan paduka guru, agar hamba dapat menjadi abdi paduka guru selama lamanya !” Kumbayana mengakhiri kalimat itu dengan kesan mendalam bagi sang guru bahwa ia benar benar ada dalam keputus asaan yang berat.“Kumbayana, pantang bagi manusia sepertimu yang walaupun pada kenyataanya kamu adalah seorang pandita, namun dalam jiwamu masih bersemayam jiwa satria yang kuat. Seharusnya kamu tidaklah meletakkan beban yang disandangkan ke punggungmu, bila belum memperoleh kata perintah berhenti dari yang memberi beban. Apalagi menyerah kemudian memilih pergi ke alam kesejatian”. Sejenak Rama Parasu berhenti berbicara, ia mengamati perubahan air muka Kumbayana. Lanjutnya “Bila alam kesejatian yang hendak kau raih, jalan kearah itu janganlah dilalui melewati keputus asaan. Segeralah kembali ke medan Kurusetra. Tak perlulah kamu kembali kehadapan Duryudana, tapi segeralah kerjakan apa yang menjadi tugasmu. Menang atau kalah itu adalah darma satria. Menang kamu harus meneruskan darmamu, dan bila kalah, jalan kesejatianlah itulah benar yang seharusnya kau lalui menuju tepet suci. Itu adalah seharusnya jalan utama bagi seorang kesatria yang harus dilalui ”“Baik, hamba akan menuruti segala sabda paduka Guru.” Mengangguk Kumbayana, mengerti yang dimaksudkan oleh gurunya.“Terimalah bekal sarana sakti dalam menuntaskan tugas itu. Bulu merak ini mampu membuatmu tak kan terlihat dengan mata telanjang. Syaratnya adalah kamu tidak boleh bicara ketika menggunakannya. Tetapi bila anak anakmu Pandawa kuasa untuk mengantarmu kealam abadi nanti, itu pertanda bahwa merekalah yang sebenarnya berlaku benar dan pantas memenangi perang, atau sebaliknya.”Kembali ke raga, sukma sang Kumbayana, setelah mendapatkan pembekalan dari sang gurunadi. Langkah ringan Pandita Durna diayun kembali ke Kurusetra. Ia telah menimbang nimbang tentang hal dihadapannya. Mukti dan mati sekarang terlihat bagai hanya tersekat oleh lembaran setipis kulit bawang. Ketidak percayaan akan kemampuannya sebagai senapati, akan ia balikkan menjadi keberhasilan bagi negara tempat ia mengayom, bagi dirinya sendiri dan terpenting bagi anak turunnya Aswatama. Itulah tekad yang menguat di hatinya. Apapun kejadiannya nanti, telah tidak menjadi beban lagi baginya.Malam tinggal sepotong. Malam yang ditempat lain, di padang Kurusetra baru saja terhenti persabungan nyawa, prajurit Pringgandani melawan prajurit dari negara Awangga dan

segenap jajahannya. Malam dengan pemandangan dan peristiwa yang mengerikan. Namun ditempat ini, langkah Pandita Durna seakan diberkati alam semesta. Pemandangan alam yang dilalui menampakkan asrinya hamparan keindahan bagai sebuah tamasya. Bulan lepas purnama mengambang dilangit, sinarnya terbias oleh air telaga bening bagai bayangan seekor kura kura yang mengambang. Sementara sisa gelap malam masih mengelipkan bintang bintang yang menyebar bagai terpencarnya sari bunga tertiup angin. Ayam hutan berkokok merdu dari arah ladang pegagan, ketika sang Pendita telah sampai dipinggir hutan menjelang terang fajar.*****

  QUOTE

13-06-2011, 11:35 AM   #148

izroilblackarmy aktivis kaskus 

 UserID: 509004 Join Date: Jul 2008Posts: 605

Baratayuda: Tekad Durna Menegakkan Kembali Harga Diri 2

By MasPatikrajaDewaku

Dan ketika semburat merah matahari kembali menerangi hamparan perdu pinggir hutan Minangsraya, dilihatnya Patih Sangkuni berjalan diiring oleh anak terkasihnya Aswatama. Dapat akal ia untuk menguji ilmunya, segera ajian Laring Merak dirapal menurut petunjuk sang guru. Dicolek patih Sangkuni dengan gaya kocak kebiasaan mereka berdua yang sering bercanda.“Aswatama, kamu mencolek colek aku, ada apa ?!” Sangkuni yang terheran, menanyakan ke Aswatama ketika punggungnya merasa ada yang menyentuh.“Hamba tidak melakukan itu paman” sanggah Aswatama.“Lha kalau begitu, pasti disini banyak jin setan periprayangan yang kerjaannya mengganggu manusia !” Sangkuni setengah berbisik mengatakan kepada Aswatama.“Tapi hamba tak diganggunya. Mungkin hamba orang yang tidak banyak dosa jadi tidak diganggu.” Jawab Aswatama sekenanya.“Kalau begitu aku ini manusia yang banyak dosa, begitu ?” kembali Sangkuni menegaskan.“Ya begitu, memang kenyataannya !” terkekeh Pandita Durna menyahut. Maka tampaklah sosok Durna dihadapan keduanya.Gembira Patih Sangkuni segera merangkul Pandita Durna. Kemudian berganti sang Pandita merangkul anak tunggal kesayangannya, Aswatama.“Lha Wakne Gondel, sudah dua malam aku mencarimu, ayolah kakang, Sinuwun sudah mengharapkan wakne Gondel untuk meneruskan peran andika sebagai senapati. Sinuwun Prabu

Duryudana menyampaikan rasa sesal yang tak terkira. Maklumlah, beliau banyak beban dipunggungnya yang kian berat. Apalagi kematian putra lelaki satu satunya, telah meruntuhkan moral perangnya. Tugas wakne Gondel sekarang adalah, mengangkat kembali moral sinuwun Prabu Duryudana.”“ Ya aku sanggupi. Hari ini sebelum matahari tenggelam, aku sanggup menyelesaikan perang dengan kemenangan !“. Pendeta Durna menjanjikan.“ Anakku Aswatama, untukmu aku pesankan, jangan dulu kamu ikut dalam pertempuran ini, pergilah menjauh dari arena. Kalau aku sudah dapat membuktikan kerjaku, pasti sinuwun Duryudana akan mengampuni kesalahan kamu “.Berita kembalinya Pandita Durna telah memberi bahan bakar semangat baru bagi prajurit Kurawa. Prabu Duryudana gembira mendengar kedatangan kembali agul agul sakti sebagai senapati. Melebihi kegembiraan ketika malam tadi, kakak iparnya, Adipati Karna telah berhasil membunuh Gatutkaca.Walaupun sang Pendita tidak langsung menghadap, namun kesediaannya kembali mengatur peperangan yang disampaikan oleh pamannya, Sangkuni, telah menjadikannya Duryudana bangkit kepercayaan dirinya lagi.Perang campuh pun kembali berlangsung siang itu. Telah tersedot habis tenaga dalam peprangan malam kemarin, sisa prajurit Kurawa yang selamat dari kehancuran perang malam telah kembali bertarung mengadu peruntungan siang ini.Melihat kelelahan yang mendera para prajurit Bulupitu, sang Senapati tidak tega. Maka diambil alihlah kendali peperangan dengan peran utama ada pada tangan Pandita Durna sendiri. Amukan sang Senapati tua, yang kembali dari pengasingan diri kemarin hari, membawa korban sedemikian besar bagi para prajurit Amarta. Senjata Jayangkunang ditangannya dengan ajian laring merak yang membuatnya tidak kasat mata. Mengerikan bagai seberkas api ndaru braja berkobaran ditengah palagan peperangan, menghanguskan siapapun yang berani menghadang gerakannya. Gerakannya yang kadang mematikan nyala kerisnya dan berpindah posisi amukannya membuat lawan kerepotan dalam menentukan dimana arena amukannya akan terjadi.Melihat keadaan yang tidak menguntungkan bagi prajurit Amarta, Drestajumna segera menghadap Sri Kresna dan Arjuna.“Dhuh para sekti, kami meminta pertimbangan kepada paduka, apakah yang harus kita lakukan agar dapat menghentikan amukan senapati yang tak terlihat dengan mata para prajurit”.“Adimas Drestajumna, sudah aku pikirkan sebelum dimas sampai dihadapanku. Aku akan mengutus kakakmu Arjuna, untuk menghentikan jatuhnya korban dari tangan Pandita Durna”. Tenang Prabu Kresna memberikan ketegaran hati kepada sang senapati Pandawa.“Adikku Arjuna, hanya kamulah yang dapat menghentikan amukan gurumu Resi Kumbayana. Hanya pesanku, jauhkan rasa

yang mengatakan itu adalah gurumu yang harusnya kamu hormati dan patuhi semua perkataannya. Ingatlah kata kataku waktu lalu, yang mengatakan, ini adalah perang dimana tidak ada balas budi antara guru dengan muridnya. Yang ada hanyalah perang dimana tempat itu adalah arena untuk meluwar segala janji dan memetik yang kita tanam”. Kresna mengulangi pesan yang pernah ia sampaikan ketika perang baru saja berlangsung. Ketika itu ragu hati Arjuna menyaksikan lawannya adalah para saudara sendiri, paman, eyang, bahkan gurunya sendiri, hingga membuat semangatnya luluh dan ia jatuh terduduk dengan badan yang gemetar.“Kata kata kanda Prabu akan kami junjung tinggi dan akan hamba laksanakan. Mohon petunjuk kanda Prabu selanjutnya” Mantap Janaka menjawab.“Baiklah. Sarana untuk melihat keberadaan lawanmu adalah rumput Sulanjana yang kamu miliki sejak lama, pergunakanlah untukmu sendiri dan orang orang yang kamu percayai dalam membantu usahamu, adimas”. Pesan Prabu Kresna mengakhiri pembicaraan.Maka beranjaklah Arjuna mengatur barisan dan menggunakan sarana agar dapat melihat dimana adanya musuh yang tidak terlihat itu. Sementara Kresna memberi pesan juga, agar mengulur waktu karena dirinya hendak mencari keberadaan Werkudara yang meninggalkan Tegal Kuru tanpa pamit hendak kemana.Prabu Drupada yang mendapatkan jatah rumput sulanjana segera menghadang gerakan Pandita Durna. Ia merasa masih punya ganjalan dengan teman karibnya dahulu. Setengah memaksa kepada Arjuna dan anaknya Drestajumna, agar ia dapat melayani senapati Bulupitu itu.Maka ketika sari rumput sulanjana sudah diteteskan pada matanya, Drupada dengan mudahnya mendapati dimana Begawan Durna berada.“Heh Kumbayana, tak ada gunanya kamu bersembunyi dalam ajianmu. Ayolah kita menentukan siapa sejatinya yang lebih benar dalam persoalan trah Barata ini”.“Ooh . . kakang Sucitra, baik aku layani segenap kesaktian yang kamu miliki. Lupakan saat dahulu ketika bersama sama berguru. Lupakan saat kita sudah melewati simpang jalan dan kamu sudah mukti wibawa di Pancalaradya, yang mengakibatkan kamu kurang berkenan, karena aku kurang tata susila ketika aku menemuimu. Peristiwa yang membuat marah adik iparmu Gandamana dan membuat cacat seluruh ragaku. Tapi dalam pertemuan ini, persahabatan kita harus berakhir dalam permusuhan. Salah satu dari kita harus berakhir masa pengabdiannya sebagai tokoh yang membawa kebenaran dalam sudut pandang kita masing masing”.Maka bersiaplah kedua tokoh tua itu. Serangan demi serangan segera mengalir gencar. Pada mulanya anggauta tubuh sang

Drupada yang lebih lengkap ditambah dengan ajiannya Lembu Sekilan mampu mendesak posisi sang Pandita yang hanya bertangan fungsi tunggal. Namun pandita Durna adalah seorang guru yang setiap kali menurunkan ilmunya bukan menjadi berkurang, tetapi malah semakin matang. Sementara Prabu Drupada adalah seorang raja yang walaupun sakti pada masa mudanya, tetapi kehidupan istana yang lebih menjanjikan kemewahan pelayanan membuat ia kurang terasah kemampuan fisiknya.Maka kembali lelaku pengasahan ilmu yang berkesinambungan-lah yang unggul. Hal ini yang membuat Durna berada diatas angin. Apalagi ketika ada kesempatan terbuka, sang pandita mampu menancapkan senjatanya. Tembus dada sang Sucitra tua hingga kejantungnya.“Kumbayana, aku mengakui kesaktianmu lebih unggul dariku, dan rasanya sudah dekat ajalku . . . . . “ terpatah kata kata Sucitra yang sudah roboh ditanah yang bersimbah darah. Ia menyampaikan isi hati dihadapan Kumbayana yang masih berdiri mematung. Dengan nafas yang makin satu satu keluar dari mulut yang berlumur darah, Drupada lirih melanjutkan, “namun . . . persahabatan kita hendaknya tidak berhenti . . . . sampai disini. Aku akan sabar menungguimu kembali ke alam kelanggengan bersamamu . . . mudah mudahan waktu tunggu . . . . ini tak akan lama”Termangu sang Kumbayana ketika melihat teman seperguruan tewas ditangannya. Seketika tersadar ketika sorak sorai membahana mengabarkan tewasnya Prabu Drupada.

  QUOTE

13-06-2011, 11:36 AM   #149

izroilblackarmy aktivis kaskus 

 UserID: 509004 Join Date: Jul 2008Posts: 605

Baratayuda: Tekad Durna Menegakkan

Kembali Harga Diri 3

By MasPatikrajaDewaku

Dilain pihak, sesal sang Arjuna melihat mertuanya tewas. Tetapi itu tak lah berguna. Kehendak keras Prabu Drupada

yang memintanya agar diberi kesempatan bertarung dengan teman lamanya, ternyata adalah saat ia mengantarkan jiwanya menuju keabadian.Tak ada pilihan lagi bagi Arjuna-Dananjaya untuk mengatasi runtuhnya moral prajuritnya, karena gugurnya Prabu Drupada. Maka majulah ia kehadapan gurunya.“Sembah baktiku kami haturkan kehadapan Bapa Guru” Dananjaya mengaturkan sembahnya.“Ya, aku terima. Betapapun kamu sebagai musuhku, kamu tidak lupa akan suba sita. Inilah yang aku kagumi dari watak para anak Pandu” Durna terkesima dengan apa yang terjadi dihadapannya.Lanjutnya “Lain dari itu, kesaktian anak Pandawa tidak aku ragukan lagi. Ajian Laring Merak yang aku banggakan tidaklah ada artinya dihadapanmu. Marilah kita mengakhiri cerita masa lalu. Sudah saatnya Baratayuda menentukan, mana pakarti kita sebelumnya yang harus dipanen pada saat ini”. Sekali lagi Arjuna melakukan sembahnya dan bangkit untuk

melakukan kewajiban sebagai seorang prajurit yang tak lagi mengenal status sebagai guru dan murid.Pertempuran tangan kosong telah dimulai. Arjuna yang masih ada perasaan sedikit segan terhadap gurunya, bertempur dengan setengah hati. Pukulan dan gerak yang dilancarkan tidak dilakukan dengan sepenuh tenaga, maka tak lama kemudian punggungnya terkena sabetan kaki gurunya hingga ia merasa kesakitan. Tersengat rasa Arjuna yang berubah menjadi panas karena rasa sakit yang mendera bagian tubuh yang dikenai oleh Pandita Durna, kali ini ia bersungguh sungguh. Kesempurnaan raga dan timbunan kesaktian yang ditambah dengan tenaga yang lebih baik karena faktor usia, membuat ia mendesak sang Pandita.Mundur Durna sejenak dan mencipta api berkobar dari senjatanya. Kobaran dahsyat api dari ajian guntur geni melanda medan Kurusetra membuat lari tunggang langgang prajurit Amarta.Waspada sang Dananjaya, segera mencipta mendung pekat melayang diatas

palagan. Seketika hujan deras disertai prahara melanda medan Kuru memadamkan kobaran api. Itulah ajian guntur wersa-prahara dari gurunya sendiri yang disempurnakan oleh Batara Indra. Adu kesaktian pengabaran berlangsung silih berganti. Segala bentuk kesaktian yang diciptakan Pandita Durna berhasil dipunahkan Arjuna, bahkan mendesak balik pertahanan Durna.Ketika ilmunya dapat dipunahkan, segera Kumbayana melolos keris kecilnya Cis Jayangkunang dan kembali perang tanding senjata keris berlangsung seru. Perimbangan pertempuran berlangsung mengagumkan dengan keris Pulanggeni ditangan Arjuna, hingga banyak prajurit dari kedua pihak berhenti menonton tanding senjata itu.Kematangan Sang Begawan dalam menggunakan ilmu kesaktiannya menjadikan peperangan berlangsung dengan seimbang. Hingga Kresna kembali dari pencarian terhadap Werkudara yang berhasil membunuh Dursasana, pertempuran masih

tetap berlangsung sengit. Maka yang terjadi selanjutnya adalah perang strategi. Bila secara wajar pertempuran akan memakan waktu dan berlarut larut, maka segera ia menyusun strategi.“Werkudara, ketahuilah, bahwa gurumu itu dalam bertempur mempunyai tujuan tertentu”.“Apa maksudmu ? Werkudara menukas.“Nanti dulu, aku akan menunjukkan kepadamu sesuatu. Ingatlah, beberapa hari ini gurumu meninggalkan peperangan karena sakit hati atas ketidak percayaan Duryudana kepada anak bapak Sokalima. Misi dari gurumu sekarang, tidak lain adalah mengembalikan harga dirinya dan sekaligus mengembalikan kepercayaan junjungannya kepada anak tercintanya, Aswatama. Semua yang ia lakukan adalah bermuara kepada kemukten bagi anak yang dicintainya itu”. Sejenak Kresna diam dan menyelidik, apakah kata katanya dimengerti oleh adik sepupunya itu.Yang dipandanginya mengangguk setengah mengerti. “Teruskan

dongengmu, biar aku tidak setengah setengah menelan omonganmu”“Kamu lihat siapa yang menaiki gajah dan berperan sebagai senapati pendamping ?” Kresna bertanya, namun kembali ia meneruskan “Itu adalah raja dari negara Malawapati, Prabu Permeya”.“Terus apa hubungannya dengan reka dayamu ?” Kembali Bima memotong.“Gajah yang dinaiki itu bernama Hestitama, bunuh prabu Permeya dengan gajahnya sekalian, kemudian kabarkan pada semua prajurit agar mereka mengatakan Aswatama telah tewas !”Melompat Werkudara dengan menimang gada Rujakpolo. Dihampiri Permeya yang duduk pongah diatas gajahnya. Terkejut Permeya ketika dihadapannya telah berdiri dengan teguh sosok Werkudara. Terkesiap darahnya ketika melihat gada ditangan Bima-Werkudara berputar mengancam dirinya. Tak pelak lagi mentalnya jatuh. Memang demikian, kesaktian Permeya memang tak sebanding dengan Werkudara. Maka disertai mental

yang telah runtuh, tak sulit Werkudara menebas keduanya, Permeya beserta tunggangannya, gajah Estitama. Tanpa bisa mengaduh, keduanya tewas dengan isi kepala terburai.Seperti direncanakan oleh Sri Kresna, geger para prajurit meneriakkan Aswatama telah tewas. Dan berita itu tak lama kemudian sampai ditelinga Begawan Durna.

Baratayuda: Palgunadi dan Janji Sang Guru 1

By MasPatikrajaDewaku

Bingung dan gundah rasa Sang Begawan mendengar teriakan bersahut sahutan yang mengabarkan kematian putranya Aswatama. Ia bertanya kesana kemari tentang kebenaran berita itu kepada beberapa prajurit yang ditemuinya. “Heh prajurit, apa benar Aswatama tewas ?”“Benar begitu, ini yang saya dengar !” jawab beberapa prajurit yang ia tanya.Ia berketetapan hati ia akan menanyakan kepada para Pandawa yang dianggapnya dapat berkata jujur. Bertemulah ia dengan Nakula dan Sadewa “Anakku kembar, kamu berdua adalah dua orang yang lugu, cepat katakan, apa benar Aswatama telah tewas ?”“Itu yang saya dengar bapa, bahwa Aswatama telah tewas” keduanya menjawab seadanya. Namun jawaban keduanya yang tak mengurangi rasa penasaran, bahkan makin makin membuat ia bertambah bingung dan tubuhnya menjadi lunglai.” Ah . . sama saja, bohong ! Kamu berdua memang tidak bisa dipercaya !” ketus sang Begawan, diputuskannya untuk mencari Puntadewa yang selamanya tak pernah bohong.Melihat gelagat bahwa Pendita Durna hendak mencari tahu atas berita kematian anaknya kepada sepupunya Puntadewa, Kresna mendekati Puntadewa dan mengingatkan. “Adimas Puntadewa, kami hanya mengingatkan kepadamu agar berbuat sesuatu ketika nanti Bagawan Durna datang kepadamu, dan menanyakan tentang keberadaan Aswatama. Perbuatan dan perkataan adinda Prabu

nanti bila berhadapan dengan Bapa Pandita, adalah titik dimana Pendawa akan unggul atas Kurawa atau sebaliknya”.Kata kata bersayap Sri Kresna dimengerti oleh Puntadewa, “Akan kami lakukan apa yang diperingatkan oleh kanda Prabu”Demikiankah, memang benar, Begawan Durna yang sudah kalang kabut pikirannya datang kepada Puntadewa menanyakan perihal anaknya.“Puntadewa anakku, kamu adalah satu diantara manusia langka yang mempunyai darah yang berwarna putih. Manusia berdarah putih yang bila darah itu menimpa bumi dapat menyebabkan bumi menjadi terbelah. Hati orang yang berdarah putih mempunyai kerelaan yang tiada terkira, apapun yang orang minta, tidak memandang itu dari golongan apapun, pasti akan ia kabulkan. Kata katanya juga tak akan pernah bohong barang sekalimatpun” Durna memuji-muji Puntadewa dan berharap ia mengatakan sejujurnya apa yang terjadi. Lanjutnya, “Sekarang aku sudah berhadapan dengan manusia semacam itu. Sekarang katakan, apakah benar Aswatama mati? Itu hal yang bohong, bukan ? Aswatama sekarang masih hidup, bukankah begitu ?!” Setengah mendesak agar ia mengatakan hal yang sebenarnya dan mengharapkan agar anaknya masih dalam keadaan hidup.Tetapi terbawa oleh kekalutan pikiran dan riuhnya suasana peperangan, maka ketika Puntadewa yang pantang berbohong mengatakan, “Bapa Guru, yang kami tahu, memang Hestitama mati” dan ia mengatakannya dengan tekanan kalimat pada kata tama sementara kalimat Hesti terucap pelan. Diterima dengan salah, maka jatuhlah Durna terkulai bersandar tebing batu. Setengah tega, ditinggalkan gurunya yang ada antara sadar dan tidak. Dalam hati Begawan Durna, jelaslah, Puntadewa yang tak pernah bohong mengatakan Aswatama telah tewas.Ternyata tidak hanya kalutnya hati dan riuhnya suasana perang yang mengakibatkan Durna salah terima, sukma raja Paranggelung, Prabu Palgunadi yang sewaktu muda bernama Bambang Ekalaya atau Ekalawiya yang masih membayangi kehidupan Begawan Kumbayana di alam madyantara-pun, punya peran untuk meniupkan kalimat Aswatama ditelinga sang Begawan.“Nah Bapa Guru, sekarang adalah waktunya bagi muridmu untuk membawamu ke alam dimana tak ada lagi aturan yang membatasimu, agar tidak menerima murid selain dari darah Barata. Bapa guru tak lagi dapat bertindak pilih kasih kepada setiap muridmu. Mari guru akan kita selesaikan perkara yang masih belum selesai waktu lalu” kata Prabu Palgunadi yang melihat “guru imaginasi”-nya menjadi tak berdaya atas keyakinan bahwa anaknya sudah tewas.****Demikianlah, diceritakan pada waktu itu, Prabu Palgunadi yang sangat gandrung dengan ilmu kanuragan. Walau ia sudah menjadi raja dengan segala kemewahan duniawi dan beristri cantik yang

setia, Dewi Anggrahini, tetapi ia sangat kepincut dengan ilmu jaya kawijayan dan kanuragan yang diajarkan oleh Durna. Maka ia merelakan meninggalkan kerajaannya dan menyatakan niatnya berguru kepada Begawan Durna.Jelas saja ia ditolak, karena Begawan Durna sudah diberi batasan, bahwa yang berhak menyerap ilmu darinya adalah hanya trah Barata, alias putra putra dari Adipati Drestarastra dan Prabu Pandu, serta putra Raden Yamawidura.Dengan perasaan sedih, Palgunadi pergi dari hadapan Begawan Durna.Kerasnya tekad Palgunadi makin menjadi-jadi ketika ia ditolak berguru di Sokalima. Dengan ditemani istri setianya ia membangun arca berujud Begawan Durna ditempat pengasingannya. Dipusatkan pikirannya seakan setiap kali ia ada didepan arca Durna, ia sedang menerima ilmu kanuragan, kasantikan beserta segenap wejangannya.Waktu berlalu, dan tahunpun berganti. Ketrampilan tata perkelahian dan olah panah sang Palgunadi sedemikian hebatnya, oleh karena ketekunannya dalam memusatkan pikiran dihadapan arca yang direka sebagai sang guru sejatinya.Maka ketika ia sedang berkelana di hutan, bertemulah ia dengan Permadi-Arjuna. Harga diri memperebutkan buruan menjadikan perang tanding diantara keduanya.Berhari hari tanding tiyasa berlangsung dengan imbang. Tetapi dalam olah permainan panah, Arjuna kalah oleh ketrampilan Palgunadi.“Heh Arjuna, jangan menyesal kamu berhadapan dengan murid Sokalima, Begawan Durna. Masihkan kamu hendak menyamai kesaktianku ? Taklah kamu bakal mengalahkan murid terkasihnya !” Masygul dipermalukan, bahkan sumbar sang Palgunadi yang menyebut nama gurunya adalah juga sebagai guru musuhnya, ia kembali ke pertapaan Sukalima dan mengadukan peristiwa itu dan menuduh, bahwa gurunya telah secara diam diam berselingkuh dengan menerima murid selain saudara sedarah Barata-nya.Tak terima dengan tuduhan itu, ia ingin membuktikan ketidak benaran tuduhan itu,dengan mengajak Arjuna ketempat Palgunadi berada.Setelah bertemu, Ekalaya terkesiap hatinya. Sangat bersuka cita ia sehingga tak dapat berbuat apapun, kekagumannya atas Sang Begawan seakan mengunci segenap tindakannya. Setelah tersadar, ia menjatuhkan diri berlutut dihadapan Begawan Durna, dan dengan takzim ia menghaturkan sembah, “Guru, perkenankan muridmu menghaturkan bakti atas kunjunganmu terhadap muridmu ini. Sungguh anugrah yang tak terhingga kedatangan paduka guru, sehingga sejenak hamba tak dapat berbuat sesuatu apapun dalam menerima kedatangan paduka guru yang tiba tiba ini”Panas hati Arjuna melihat adegan didepannya, “Benarlah

ternyata, bahwa bapa Durna telah menyalahi janji dihadapan para sesepuh kami”“Eits, nanti dulu . . .! Inikah orang yang mengaku sebagai muridku? Bila memang sungguh begitu, lakukan layaknya seorang murid dihadapan gurunya”, Durna yang merasa terdesak oleh tuduhan yang dilontarkan dengan rasa kecemburuan yang besar dari Arjuna coba berkelit dengan susah payah.“Apakah yang Guru hendak perintahkan kepada muridmu ini, akan hamba kerjakan sesuai kemampuan kami” mantap jawaban Palgunadi mengharap ia tidak disisihkan dari statusnya sebagai murid Sokalima. Tersenyum ia seakan segenap permintaan sang guru maya itu bakal ia penuhi. Tak tahu, bahwa olah rekayasa guru Durna mempunyai tujuan memunahkan segala ketrampilannya dalam olah warastra.“Begini Palgunadi, bila kamu hendak diakui sebagai muridku, maka berikanlah cincin yang menyatu pada jari manismu itu !” Akal Durna seketika terang sewaktu melihat cincin Gandok Ampal yang menyatu pada jari manis Ekalaya.“Aduh Sang Resi, adakah cara lain agar hamba dapat menukar permintaanmu, duh sang Guru ?” Memelas kata kata Ekalaya mendengar permintaan itu. Cincin Gandok Ampal yang melekat pada jarinya adalah penyeimbang gerak jari tangan yang menjadikan ia dapat dengan jitu membidik sasaran. Bahkan benda itu telah menyatu dalam kulit daging sehingga bila dilepaskan nanti, maka sama artinya ia menyerahkan kesaktian bahkan nyawanya.Ketika ia masih berpikir dan gurunya pun berpikir sembari menunggu keputusan kata akhir dari Palgunadi, Arjuna menyelonong menyampaikan usulnya.

  QUOTE

13-06-2011, 11:45 AM   #151

izroilblackarmy aktivis kaskus 

 UserID: 509004 Join Date: Jul 2008Posts: 605

Baratayuda: Palgunadi dan

Janji Sang Guru 2

By MasPatikrajaDewaku

“Bapa Guru dan juga Palgunadi, bila tidak keberatan, maka cincin itu dapat dipertahankan melekat pada jarinya,

asalkan ditukar dengan yang ada dibelakangmu itu, Palgunadi”“Apa yang kamu maksudkan Arjuna ?” Tanya Palgunadi yang heran dengan permintaan Arjuna.“Wanita dibelakangmu dapat kamu tukar dengan cincin yang melekat dijarimu. Bukankan itu hal yang bersifat adil Bapa Guru ? Jelas Arjuna sambil meminta pertimbangan kepada gurunya dan dijawab Sang Guru dengan menganggukkan kepalanya.Memerah muka Palgunadi ketika sang istrinya disebut sebagai tanda tetukar atas pengakuan sebagai murid Sokalima. Kedua permintaan antara guru dan murid Sokalima itu telah menyudutkan pilihan atas kuatnya hasrat memiliki sesuatu. Ia akan merelakan nyawanya bila cincin itu ia serahkan, sedangkan kehormatan seorang suami akan memberontak bila seorang istri diminta lelaki lainBerpikir keras Palgunadi menimbang yang manakah yang hendak ia pilih. Samar ia mendengar guru maya-nya mengingatkankan, “Palgunadi, aku tak

punya cukup waktu aku menungguimu. Cepat putuskan pertimbanganmu”Kaget Palgunadi, terputus angan angannya ketika ia diminta segera memutuskan pilihannya. Sejenak ia berbalik badan memandangi Anggraini. Wanita cantik itu tertunduk gelisah. Pilihan yang berat bagi suaminya. Anggraini adalah istri yang sangat mengerti sekali akan watak suaminya. Ia tahu betapa suaminya sangat gandrung dengan olah ilmu kanuragan aliran Sokalima. Pastilah ia tak akan mundur dalam mempertahankan status ilusinya, bahwa ia adalah murid perguruan Sokalima. Dan saat ini status guru-murid ilusi itu akan berganti dengan status diakui penuh, bila ia dapat menyerahkan salah satu dari dua pilihan itu.Angan itu terputus ketika suara istrinya menanyakan beberapa hal,“Kanda, apakah rela bila seorang suami menyerahkan istrinya ? Apakah benar tindakan seorang suami yang merelakan istrinya dijamah lelaki lain ? Tidakkah seorang suami terusik kehormatannya bila belahan jiwanya

dimiliki oleh orang yang tidak berhak memiliki . . . .”“Baiklah . . . “ , potong Palgunadi sebelum istrinya meneruskan kalimatnya panjang lebar, “ Sekarang aku akan memutuskan !” Sejenak ia terdiam dan kembali menghadap Begawan Durna, yang tersenyum puas terhadap apapun yang Palgunadi hendak pilih. Bila ia memilih istrinya diserahkan kepada Arjuna, maka ia akan melihat, betapa Palgunadi akan tersiksa dan goyah lahir-batinnya hingga ia merana, bahkan dapat berujung pada kematiannya. Bila ia akan menyerahkan cincin dijarinya, ia sangat yakin, cincin itu adalah keseimbangan jiwa raga bagi Palgunadi, dan ia akan tewas bila ia menyerahkan cincin sekaligus jarinya.“Guru, aku telah memutuskan. Aku serahkan . . . . . cincinku beserta segenap jiwa dan ragaku” Tegar Ekalaya dengan pilihan hatinya. Bagaimanapun status murid Sokalima adalah kebanggaan tiada tara baginya. Kebanggaan yang sejatinya adalah semu dan membabi buta, telah mengantarkannya pada

keputusan yang tak mengherankan bagi setiap manusia yang bersikap sangat fanatik terhadap kepercayaan yang sudah tertanam dalam sanubari, sebagai dogma yang tak mudah diasak. Bahkan, bagi sebagian orang seperti itu, mengorbankan jiwa raganya sekalipun ia rela melakukannya demi mempertahankan kebanggaan serta kebenaran yang dipercayainya. Padahal semua kebenaran adalah nisbi, dan kebenaran bagi suatu pihak, golongan atau perseorangan belum tentu benar bagi yang lain. Kebenaran sejati hanya terpancar dari hukum alam semesta.Terkekeh Begawan Durna senang, tak peduli ia sebagai manusia yang timpang rasa keadilannya. Tak salah, bahwa ia telah diberi batasan serta janji bahwa hanya kepada trah Barata-lah ia boleh menurunkan ilmunya. Tak terbatas pada orang Pandawa dan Astina serta trah Yamawidura yang sekarang tinggal di Astina, tetapi Kurawa sabrang yang terpental pada kejadian Pandawa Traju-pun *) tetap menjadi muridnya. Sekarang ia akan mengenyahkan satu trubusan yang

mencederai janji itu, sekaligus membuktikan kepada murid terkasihnya, Arjuna, bahwa ia tidak ingkar janji.“Segera letakkan jarimu diatas batu itu, relakan bahwa apa yang terjadi adalah atas dasar kesungguhanmu dan kesetiaanmu pada perguruan Sokalima”“Baik bapa Guru, satu kata kata yang hendak aku sampaikan kepadamu, bila aku mati karena peristiwa ini, ini adalah suatu tanda bagi seorang guru yang pilih pilih menjatuhkan kasih bagi murid muridnya…..” antara rela dan tidak Palgunadi megutarakan isi hatinya.“Sudahlah jangan banyak cakap, aku akan melaksanakannya sekarang juga” Durna tidak mau terpengaruh kata kata Palgunadi dengan memotong pembicaraannya.Segera Palgunadi meletakkan telapak tangannya diatas batu, bersamaan dengan dicabutnya senjata Cundamanik. Putus jari manis Palgunadi beserta cincin Gandok Ampal dengan sekali iris. Tak dinyana begitu putus jari, yang seharusnya hanya cedera yang ia alami, tetapi kemudian yang terjadi adalah tubuh

Palgunadi bergetar hebat. Desis kesakitan yang amat sangat keluar dari mulutnya, kemudian ia terkapar terbujur meregang nyawa. Tewas sang Palgunadi.Tertegun Begawan Durna dan Arjuna melihat kejadian dihadapannya, hingga ia lengah. Cundamanik yang ada ditangan Durna secepat kilat ada pada genggaman Anggraini yang kemudian menusukkan keris ditangannya ke dada tembus di jantung. Menyusul sang istri setia kepangkuan suami tercinta ke alam sunya ruri. Terbujur dua orang yang saling mencinta itu dengan meninggalkan bau harum memenuhi sekitar tubuh keduanya.Belum lagi tersadar sepenuhnya Begawan Durna, ia dikejutkan denga suara yang terngiang di telinganya, “Bapa Guru, telah sempurna aku sebagai muridmu. Tetapi ajaranmu yang sebenarnya masih aku tunggu, sampai aku melihat waktu yang tepat untuk kembali mencecap ilmu darimu “******Melihat sang Drestajumna diatas kereta senapati dengan pikiran kosong, sedih

dan rasa duka mendalam setelah kematian ayahnya Prabu Drupada, maka bergeraklah sukma Palgunadi menuju kearah Drestajumna. Segera berubah raut muka Drestajumna menjadi liar ketika sukma Ekalaya menyatu dalam raganya.“Durna ! dimana kamu? Aku akan bela pati atas kematian ayahandaku. Ini adalah anaknya yang dari lahir sudah menggenggam busur ditangan kiri dan menggendong anak panah dipunggungku. Aku yang akan meringkusmu dan akan aku jadikan bulan bulanan kepalamu !” Sesumbar Drestajumna liar dengan mata jelalatan mencari dimana Durna berada.Maka gembira hati Drestajumna ketika melihat Begawan Durna mengeluh panjang pendek menyesali kematian anaknya semata wayang.“Aswatamaaaaa . . . . , huuu . . . kamu adalah harapanku, satu satunya penyambung keturunan Atasangin. Kamu yang siang malam aku gadang gadang bakal menggantikan peran bapakmu. Sukur kalau kamu dapat aku jadikan raja agung binatara dan

menguasai jagad. Anakku bagus tampan Aswatama ,kamu adalah anak yang bukan sembarangan, tetapi kamu adalah manusia linuwih. Kamulah anak setengah dewa, karena ibumu Wilutama adalah seorang bidadari. Maka kamu pasti akan dapat dengan mudah menguasai banyak jajahan. Bahkan negara Astinapun dapat kamu kuasai bila kamu sudah bertahta di Atasangin nanti. Anakku . . . , dimana jasadmu sekarang. Bila mungkin akan aku mintakan kepada ibumu agar kamu dapat dihidupkan kembali. Wilutama . . . , pertemukan aku dengan anak tampanmu. . .” menangis mengenaskan Durna sambil mulutnya meracau, berdiri condong bersandar tebing batu.Malang begawan Durna, Drestajumna yang dalam penguasaan arwah Palgunadi melihat keberadaan Begawan Durna yang menangis meraung raung mengenang nasib anaknya. Tak satupun sosok Kurawa didekatnya karena mereka sibuk mencari keberadaan Aswatama yang diperintahkan untuk menjauh dari medan peperangan.

Para Kurawa sebenarnya bermaksud untuk mempertemukan Aswatama dengan ayahnya agar selesai masalah kekalutan jiwa yang menimpa Begawan Durna.Tanpa sepatah kata, Drestajumna segera meraih tubuh renta dan menjadikan tubuh itu sebagai layaknya kucing memainkan seekor tikus. Tak hanya sampai disitu, ditebasnya leher Begawan Durna. Kepala menggelinding ditanah berdebu dan dijadikan bola tendang dan kemudian dilemparkan jauh jauh.Tewas Sang Kumbayana dan sukmanya dijemput oleh sahabatnya, Sucitra, yang tidak menunggu lama kedatangan karibnya itu ketika muda. “Lhadalah, tidak usah terlalu lama aku menunggumu, sahabat” sambut Sucitra dengan senyum mengambang di bibirnya dan kedua tangan mengembang menyambut kehadiaran Kumbayana. Keduanya berangkulan, layaknya sahabat kental yang sudah lama tidak saling jumpa.Kumbayana yang menyambut uluran kedua tangan Sucitra dan dengan hangat membalasnya.

“Hebatlah anakmu yang mengerti kemauan ayahnya, yang tak harus lama menunggu kedatanganku. Walaupun aku juga tahu bahwa muridku Palgunadi-pun sudah lama menunggu dan menyatu dalam raganya” Kumbayana memuji anak Sucitra yang telah mengantarkan ke hadapan sahabatnya. Bergandengan tangan dengan ceria keduanya melangkah menapaki tangga suci keabadian.******

  QUOTE

13-06-2011, 11:48 AM   #152

izroilblackarmy aktivis kaskus 

 UserID: 509004 Join Date: Jul 2008Posts: 605

Baratayuda: Palgunadi dan Janji Sang Guru 3

By MasPatikrajaDewaku

Diceritakan, ketika kepala itu telah hilang dari pandangan mata Drestajumna, barulah ia merasakan keletihan yang tiada terkira. Sukma Ekalawiya yang telah meninggalkan raganya menyadarkannya apa yang terjadi dihadapannya. “Aduh betapa berdosanya aku yang telah tega membunuh guru para pepundenku Pandawa. Betapa nistaku yang telah menghajar manusia sepuh yang sudah tak berdaya, walaupun ia telah menewaskan ayahandaku, tetapi ia melakukan dengan jiwa kesatrianya”. Drestajumna menyesali tindakannya.Dipejamkan matanya seolah hendak mengusir bayangan yang memperlihatkan betapa ia telah secara keji membunuh guru para darah Barata. Betapa ia menjadi giris ketika ia membayangkan bila murid muridnya tidak terima atas perilaku yang telah ia lakukan. Tetapi semakin dalam dipejamkan mata itu, semakin kuat bayangan yang menghantui hatinya.Ketika ia membuka kembali matanya, dihadapannya telah berdiri Prabu Kresna dan Werkudara.Geragapan, ia kaget setengah mati karena rasa bersalah. Tetapi

sejenak kemudian ia menjadi merasa sejuk hatinya, ketika Prabu Kresna meraihnya dan memeluk tubuhnya. Dan mengatakan, “Drestajumna, tidak ada yang perlu kamu sesali. Segalanya adalah sudah garis takdir dari yang maha kuasa. Bukan salahmu, sebagai titis Wisnu aku mengetahui bahwa tindakan kamu bukan atas kehendakmu sendiri. Sukma Palgunadi yang telah membalas ketidak adilan perilakunya dalam memperlakukan dirinya sebagai murid, adalah ganjaran yang setimpal. Segera ambil kembali kereta senapati perang, sebelum sore menjelang”Ketika itu, berita kematian Pendita Durna telah sampai ketelinga Aswatama yang tengah bersembunyi. Ia langsung memperlihatkan diri dan bertemu ia dengan Patih Sengkuni. “Paman Harya, benarkah ayahandaku telah gugur ?” tak sabar ia menanti jawaban Sengkuni.“Benar anakku, kematian orang tuamu sungguh membuat siapapun menjadi miris dan menimbulkan rasa tak tega. Dipenggalnya kepala orang tuamu dan dijadikannya bola sepak yang ditendang kesana kemari”. Sengkuni menceritakan peristiwa yang terjadi dengan dibumbui cerita yang didramatisir.“Siapa yang melakukan, Paman Harya !” muntap kemarahan Aswatama, kembali ia memerah mukanya dengan mata yang menyala nyalang, gemeratak giginya dan sudut bibirnya bergetar.“Pelakunya adalah Drestajumna . . . . !”. belum selesai Sangkuni mengucapkan nama pelaku pembunuh orang tuanya, Aswatama telah melompat kearah palagan peperangan, sambil menghunus keris warisan orang tuanya, kyai Cundamanik. Dicarinya Drestajumna dengan kobaran api dari bilah keris yang menyala berkobar menyambar nyambar dengan bunyi yang menggelegar bergemuruh ditangannya.Gentar Drestajumna yang melihat amukan anak Durna, dan ia berlari mundur karena merasakan tenaganya yang telah terkuras tadi dirasakannya tak kan lagi cukup untuk menghadapi amukan Aswatama.Dan selagi ia mundur, ia bertemu dengan Setyaki yang segera mencengkeram bahu sang senapati dengan kemarahan, “Inikah senapati Hupalawiya? Ketika menghadapi orang tua yang dalam keadaan tanpa daya telah tega memenggal kepalanya? Inikah Senapati Randuwatangan? Yang dengan gagah berani membulan bulani kepala dari guru para pepunden Pandawa. Tetapi apa yang terjadi, ketika melihat amukan anaknya, senapati gagah itu ia telah “tinggal gelanggang colong playu” dengan muka pias pucat bagai segumpal kapas !”“Setyaki, aku menjadi senapati bukan atas kemauanku sendiri. Aku jadi senapati adalah karena jejak laku sepanjang hidupku dimasa lalu yang dapat mengatasi segala kesulitan yang menghadang dihadapanku dan tak pernah gagal dalam melakukan tugas. Janganlah mencercaku tanpa dasar. Apakah kamu akan berusaha menggantikanku? Langkahi dulu mayatku sebelum kamu melakukan itu!”

Keduanya segera berhadapan dengan kuda kuda kaki yang siap menyerang. Tetapi hardikan yang keras telah menghentikan langkah keduanya. Suara hardikan itu datang dari mulut Prabu Kresna, “Setyaki, Drestajumna berhentilah! Alangkah memalukan bila ini menjadi tontonan musuh. Betapa hinanya kamu berdua yang tak urung juga akan mendera aku sebagai seorang penasihat perang”.Kedua orang yang bersengketa itu akhirnya sama sama duduk bersimpuh menghadap Sang Prabu. “Setyaki, jangan menjadi pandir dan seolah olah kamulah yang paling benar. Tanyakan dulu latar belakang peristiwa pada yang bersangkutan. Jangan sesuatu dibawa dalam hawa amarah. Mengertikah kamu, Setyaki? Setyakipun mengangguk.”Mintalah maaf atas kelancanganmu” kembali Setyaki mengangguk dan meminta maaf atas kelakuannya tadi.“Werkudara! Temui Aswatama cegahlah amukannya!” Kresna memberikan perintah kepada Werkudara yang selalu mengikuti kemana Kresna pergi. Kembali Werkudara masuk kedalam arena pertempuran yang masih berlangsung sengit menjelang usai sore hari. Dengan langkah tegap dan kembali menimang gada Rujakpolo dihampirinya Aswatama yang dengan garang ingin memburu Derstajumna.Aswatama yang dihadang Werkudara makin marah. Segala usaha dikerahkan untuk mendesak lawannya, tetapi ia bagaikan sedang berusaha menembus kokohnya benteng baja.Merasa tak ada urusan dengan Werkudara, ia memutuskan untuk mundur dengan mengucapkan sumpah, “Ingat orang orang Pancala, aku akan datang kembali menuntut balas atas kematian ayahku. Aku tak akan mati sebelum membasmi orang Pancala lelaki ataupun perempuan, beserta turunnya, tumpes kelor !”

  QUOTE

13-06-2011, 11:51 AM   #153

izroilblackarmy aktivis kaskus 

 UserID: 509004 Join Date: Jul 2008Posts: 605

Baratayuda: Mimpi Besar Aswatama 1

By MasPatikrajaDewaku

Kembali remuk hati Aswatama. Belum lagi jelas pulihnya kepercayaan Prabu Duryudana kepadanya setelah terjadinya kericuhan di Bulupitu waktu lalu hingga menewaskan paman terkasihnya, Resi Krepa, kembali kematian ayahnya bagaikan meremuk redamkan sisa bagian hatinya yang masih utuh. Remuknya hati dibawanya menyingkir dari palagan peperangan disore yang mulai mendung. Seribu hitungan langkah yang ia rencanakan selanjutnya berkecamuk dalam pikirannya. Rencana bagaimana cara membalaskan sakit hati atas pokal orang Pancalaradya utamanya, dan orang Pandawa bersaudara atas

kematian orang tuanya secara keseluruhan.“Bapa, disini aku akan bersumpah untukmu atas perilaku Drestajumna. Belum merasa lega hati anakmu, bila belum bisa menumpas anak anak Pancalaradya. Sanggup anakmu ini melakoni usaha apapun, bahkan menjadi hewan paling hina-pun anakmu akan tetap berusaha menuntut balas atas kematianmu ”.kilat dan serentak suara gelegarnya menjadi saksi sumpah Aswatama.Sedih hati Aswatama membawanya mengenang orang orang yang dicintainya. Pamannya, Krepa, yang menganggapnya sebagai anak kandungnya sendiri, pamannya itu yang telah mencurahkan segala kasih sayang kepada dirinya, tak terbatas pada rasa sayang seorang paman. Dirinya yang ditinggal ayahnya sedari kecil di Timpuru telah mendekat-lekatkan hatinya kepada pamannya itu.Sedangkan ayahnya yang menikahi ibu sambungnya, Krepi, bukan atas nama cinta, tetapi semata mata hanyalah berdasar usaha melepas beban mengasuh dirinya sebagai anak bayi Aswatama kecil. Dalih menikahi Krepi adalah perilaku yang menghindari diri dari kerepotan itu, demi mengejar angan tinggi seorang perantau muda yang haus akan pengalaman dan cecapan kebebasan masa mudanya.Angan kebebasan berpetualang yang membawa ayahnya menjadi rusak raga atas hajaran Raden Gandamana, namun ayah tercintanya juga diberkati kesaktian pinunjul ketika berguru kepada Rama Bargawa dan menjadi guru ilmu kanuragan para Kurawa dan Pandawa.Kemudian bayangan angan Aswatama menerawang mengenang kasih sayang sang ayah ketika ia menyusul ke Sokalima. Ayahnya yang merasa bangga dengan sosok dirinya yang merupakan keturunan satu satunya. Bagi ayahnya adalah pelecut semangat hidup, ketika raganya telah rapuh dan tak lagi sempurna. Sosok dirinya yang mengingatkan atas sosok muda ayahnya, hingga ia dilimpahi kasih sayang tak terhingga dari ayahnya itu.Tidak berpanjang panjang angan Aswatama, ketika Harya Suman yang mencari dirinya telah menemukannya.“Aswatama, jangan lagi menyesali kematian orang tuamu berpanjang panjang, marilah anakku, aku iring langkahmu menuju balairung Bulupitu. Sinuwun Prabu Duryudana berkenan memanggilmu”Ragu Aswatama mendengar perkataan Harya Suman. Dalam benaknya masih tersimpan ingatan, bagaimana junjungannnya Prabu Duryudana sangat marah, ketika ia berusaha membela pamannya terkasih, Resi Krapa, ketika pertengkaran pamannya itu dengan Adipati Karna, yang berujung pada kematian pamannya.Harya Suman sangat mengerti perasaan Aswatama, maka ia melanjutkan.

“Sinuwun Prabu Duryudana memanggilmu atas kemurahan hati beliau, yang menganggap orang tuamu telah menjadi pahlawan atas gugurnya dalam membela para Kurawa dan melihat kesetiaanmu kepada negara. Ayolah anakku, jangan ragukan kata kata pamanmu. Aku yang akan menjadi jaminan atas sabda Prabu Duryudana”.“Baiklah paman, hamba mengerti akan keadaan ini” Aswatama menuruti kata kata Patih Sangkuni. Ia ingin mengumpulkan kembali kekuatannya lahir dan batin. Dengan bergabung kembali ke barisan Kurawa, seribu kemungkinan akan ia dapatkan dalam usahanya membalaskan sakit hati kepada trah Pancala. Hitungan dalam kepalanya juga mengarah kepada suatu agenda tersendiri yang hanya ia yang tahu.******Malam kembali jatuh. Di Pesanggrahan Bulupitu, Prabu Duryudana sangat berduka dengan apa yang terjadi pada peperangan hari tadi. Kematian demi kematian para sanak saudara bahkan gurunya, telah membuat ia merasa telah terlolosi otot dan tulang tulang dari sekujur tubuhnya. Kematian gurunya Pendita Durna-lah yang membuat serasa lumpuh. Ditambah lagi dengan kematian adiknya Dursasana yang sudah ia terima dari abdi telik sandi. Kematiannya yang diluar arena resmi sangat ia sesalkan. Ditambah lagi dengan kematiannya yang sangat menyedihkan dengan badan yang tercerai berai, membuahkan dendam kepada Werkudara.“Rama Prabu, sekaranglah waktunya putramu untuk maju sendiri kemedan pertempuran” Duryudana tidak lagi terkendali rasa hatinya ketika orang orang terkasihnya tewas satu persatu.“Pikirkanlah baik baik langkah yang hendak kau ambil, anak mantu Prabu”. Salya mencoba menyabarkan hati menantunya. Kemudian ia mencoba memberikan pilihan. “Barangkali dengan telah tewasnya banyak andalan pihak kita, anak Prabu mempunyai pertimbangan untuk mengakhiri saja perang ini. Dan bila anak Prabu berkenan akan tindakan ini, aku sanggup untuk menjadi perantara dalam menyampaikan pesan perdamaian kepada adik adikmu Pandawa”.“Tidak rama Prabu, akan sia sia pengorbanan yang telah diberikan oleh para prajurit dan senapati yang telah gugur. Tidak layak putramu berdamai dengan Para Pandawa dengan landasan bangkai para prajurit dan bergelimang dengan darah para bebanten perang”. Duryudana menjawab dengan tegas. Perasaan dendam yang membara didadanya atas kematian adik terkasihnya, Dursasana, telah mendorongnya mengatakan bantahan atas pilihan tawaran dari Prabu Salya.“Baiklah, bila demikian. Anak Prabu masih mempunyai satria agul-agul yang kiraku dapat mengatasi keadaan ini dengan memenangi perang. Disini masih berdiri kokoh seorang calon senapati yang bukan orang sembarangan. Orang itu adalah anak dewa penerang hari, yang telah kuasa memenangi pertempuran

malam dengan korban yang tak terkira jumlahnya termasuk senapati muda Gatutkaca”. Tutur Salya sambil melirik mantunya yang paling ia tidak sukai dari ketiga mantu yang lain sambil tersenyum penuh arti. Senyum yang keluar bukan dari hati yang tulus. Senyum yang setengah mengejek, karena rasa yang terlanjur tidak suka terhadap mantu itu. Juga senyum sinis itu disebabkan atas hasil kemenangan yang dicapainya baru baru ini yang tidak dilakukan dengan cara kesatria, layaknya perang yang terjadi di waktu waktu sebelumnya yang terjadi diwaktu yang wajar, siang hari.Adipati Karna yang berperasaan halus, telah tersentuh oleh perkataan mertuanya. Dalam pikirannya,ia ingin membalas apa yang sudah diperlakukan atas dirinya. Disamping itu, kematian lawannya, Gatutkaca telah berbuntut panjang. Werkudara pasti masih mendendam. Maka telah ia rancang sesuatu tindakan tertentu bila ia disetujui menjadi senapati.Benarlah demikian, Prabu Duryudana menyetujui pilihan berikutnya yang ditawarkan oleh mertuanya itu.“Terimakasih rama Prabu, anakmu setuju atas kehendak rama. Hanya kepada kanda Adipati, kami menyandarkan kekuatan para Kurawa dalam memenangi perang ini. Kami harap kanda Adipati dapat melaksanakan segala gelar perang yang akan terlaksana besok pagi”.“Kehormatan yang tiada terkira yang saya cadang siang dan malam telah terucap dari sabda paduka adinda Prabu. Ada satu permintaan yang akan kami sampaikan kepada adinda Prabu, dalam perang nanti, kami pasti akan berhadapan dengan adimas Arjuna. Ini sudah menjadi takdir yang sudah terucap dari sabda Batara Narada waktu lalu, bahwa kami berdua adimas Arjuna bakal bertemu kembali dalam medan Baratayuda. Dari itu, para Pandawa akan menampilkan adimas Arjuna sebagai senapati dari pihak Hupalawiya”. Kembali Adipati Karna mengingatkan akan peristiwa masa lalu ketika anugrah Kuntawijayandanu yang hendak diberikan kepada Arjuna sebagai pemutus tali pusar Gatutkaca, telah salah diterimakan kepada Karna-Suryatmaja. Perkelahian keduanya terjadi ketika Arjuna tidak terima atas kesalahan pemberian pusaka itu, dan bahwa ia juga telah dibebani tugas oleh kakaknya, Bratasena Werkudara, untuk mendapatkan senjata yang bisa memutus tali pusar keponakannya. Pertempuran yang kemudian dipisah oleh Narada, dijanjikannya bakal terlaksana hingga salah satunya tewas pada saat Perang Baratayuda berlangsung nanti.“Permintaan apakah yang hendak kanda sampaikan. Kalau masih dalam jangkauan kami, pasti akan kami kabulkan” Duryudana setengah menyanggupi permintaan yang hendak ia sampaikan.“Adinda Prabu, Bila terjadi perang tanding dengan kereta perang nanti antara kami dengan dimas Arjuna, tidak urung adimas Arjuna akan dikusiri oleh Prabu Kresna. Bila ini yang terjadi, mohon kesanggupannya agar kami dikusiri juga oleh manusia

yang setimbang dengan derajat Prabu Kresna”. Sejenak Karna diam, ragu dalam hati ia hendak menyampaikan maksudnya kepada adik iparnya itu.

  QUOTE

13-06-2011, 11:52 AM   #154

izroilblackarmy aktivis kaskus 

 UserID: 509004 Join Date: Jul 2008Posts: 605

Baratayuda: Mimpi Besar Aswatama 2

By MasPatikrajaDewaku

Jeda kesunyian itu kemudian diseling dengan pertanyaan sang Prabu. “Kanda, apakah kanda hendak dikusiri oleh Kartamarma, ataukah oleh paman Harya Sangkuni? Akan kami perintahkan kapanpun, pasti keduanya dengan senang hati akan memenuhi kehendak kanda Adipati”.Adipati Karna tersenyum hambar. Perasaan sungkan yang ia pendam sedari tadi telah ia keluarkan dan ia buang sedikit demi sedikit. Keinginan membalas perlakuan mertuanya yang selalu tidak cocok dihatinya, dalam peristiwa ini, bagaikan suatu sarana untuk melawan balik sikap mertuanya itu. Bagaimanapun permintaan seorang senapati akan dipenuhi tanpa harus tercampuri oleh urusan pribadi. Dan urusan negara ini akan dijadikan dalih dalam melawan sikap mertuanya itu. Inilah saatnya, pikir Karna.“Adinda Prabu, bukan seorang Kartamarma atau Paman Sengkuni yang aku kehendaki. Keduanya belum setimbang dengan derajat yang disandang oleh Prabu Kresna. Satu satunya orang yang dapat menyamai derajatnya, adalah . . . Rama Prabu Salya”.Terkejut Salya dengan permintaan yang diajukan oleh menantunya. Tidak senang ia berkata. “Ooh . . , inikah ujud bakti seorang menantu terhadap mertuanya? Aku ini dianggap apa? Derajat Prabu Kresna yang kau anggap sebagai dalih agar mertuamu ini mau kau perintahkan aku sebagai kusirmu? Sekali menjadi mantu kualat, tetap menjadi menantu kualat juga. Belum juga sembuh rasa hati atas tuduhanmu diawal perang, telah kau lukai hati ini sekali lagi dengan permintaanmu yang merendahkan derajat raja Mandaraka”. Tanpa diduga sebelumnya oleh Karna, rayuannya atas derajat yang ia lontarkan kepada mertuanya, tidak mempan mengatasi anggapan rendah seorang kusir bagi dirinya. Bahkan kembali Salya mengungkit ungkit sakit hatinya atas tuduhan menantunya diawal perang.“Rama Prabu, bila rama tidak berkenan atas permintaan kanda Adipati, baiklah sekarang putramu sendiri yang akan maju kemedan Kurusetra. Saya relakan jiwaku demi kemenangan yang hendak aku raih. Putramu minta diri untuk berangkat malam ini juga”. Duryudana mencoba untuk menarik perhatian ayah

mertuanya. Ia berharap mertuanya akan menyanggupi permintaan kakak iparnya bila ia mengancam akan bertindak sendiri.Kembali diluar dugaan, Salya berkata sambil tertawa sumbang. “Anak mantu Duyudana, aku ini orang tua yang sudah makan asam garam kehidupan. Tidak usahlah merajuk seperti itu. Dalam pendengaranku, kata kata anakmas Duryudana tadi, bukan keluar dari lubuk hati anakmas sendiri. Tidak usahlah memaksa dengan ancaman halus seperti yang anak Prabu katakan, aku akan menuruti keinginan menantuku Awangga yang tampan itu, anak mantu yang membuat anakku Surtikanti mabuk kepayang”. Akhirnya Salya menyanggupi permintaan itu. Karna yang mendengar permintaannya dikabulkan bukannya senang, namun ia malah tersenyum kecut penuh arti.“Terimasih rama Prabu, yang telah mengabulkan permintaan anakmu ini. Mohon perkenannya adinda Prabu Duryudana, mulai malam ini kanjeng rama ada dalam tugas sebagai kusir senapati Awangga”. Adipati Karna akhirnya mengatakan kalimat seperti itu. Telah telanjur basah ia dalam melawan rasa benci dari sang mertua, maka sekalianlah basah dengan memerintahkan peran itu dari saat ini juga.“Baiklah anakku tampan, perintahkan kepada kusirmu tugas apa yang hendak kau perintahkan untuk mengantarmu?” Salya sudah muak dengan tingkah menantunya sekalian memanjakan semu kemauan menantunya.“Mohon maaf rama, mohon rama menemani kami untuk kembali sejenak ke Awangga. Anakmu mantu ingin ketemu sejenak dengan putri rama, Surtikanti. Sudah lama anakmu tidak memberi kabar ataupun berita. Dan pasti ia ingin mengetahui keselamatan suaminya. Sekali lagi mohon perkenannya. Ketemu dengan istri bukanlah masalah pribadi, ini sebagian dari tugas seorang senapati. Ketemu dengan istri adalah sebagai penguat jiwa, sebagai penambah moral bagi seorang lelaki sekaligus suami dalam menjalankan tugas. Apalagi ini adalah tugas luar biasa, tugas yang taruhannya adalah nyawa”. Karna mencoba memberi penjelasan kepada mertuanya.Namun sang mertua yang sudah pegal hatinya setengah hati menjawah. “Dalih apapun yang kamu hendak berikan kepadaku, taklah menjadi sebuah arti. Mari ikuti aku, kita segera berangkat ke Awangga” “Anak mantu Duryudana, perkenankan kami mohon diri sejenak. Kusir ini akan mengantarkan senapati agung”. Prabu Salya meminta diri.“Semoga keselamatan rama Prabu dan Kanda Adipati menyertai perjalanan ini nanti” demikian Duryudana mengakhiri sidang dan beranjak mengikuti Prabu Salya dan Adipati Karna sampai di gapura pesanggrahan.Lenyap bayang dua sosok menantu dan mertua itu di keremangan malam. Tetapi dua sosok tubuh yang lain muncul.

Mereka adalah Harya Sangkuni dan Aswatama. Segera keduanya menghaturkan sembah kepada junjungannya . Diajaknya kemudian keduanya menuju balairung pesanggrahan.Setelah basa basi sejenak, dan menceritakan apa yang terjadi baru saja, berkata Prabu Duryudana, “Aswatama, telah saya cabut kata kataku mengenai pengusiranmu dari hadapanku. Kematian ayahmu sebagai seorang tawur peperangan adalah labuh seorang pahlawan sejati. Sebagai seorang anak pahlawan, selayaknya kamu harus aku berikan perlakuan layaknya seorang anak pahlawan. Sedangkan perilakumu semasa pembuangan, aku lihat tetap bersikap sebagaimana prajurit yang setia terhadap negara. Itulah yang mendasari kamu aku dekatkan kembali dihadapanku”.“Terimakasih atas kepercayaan gusti Prabu terhadap hamba. Akan kami pelihara sikap kesetiaan kami terhadap negara ini dengan kesanggupan hamba sebagai mata mata atas kedua parampara paduka gusti Prabu. Kenapa hamba mengatakan sanggup menjadi orang yang setia, dan hubungannya dengan kedua parampara paduka yang barusan pergi. Mohon seribu maaf, karena keduanya adalah masih ada hubungan batin dan jiwa dengan musuh paduka para Pandawa. Prabu Salya adalah uwak dari kembar Nakula dan Sadewa. Sedangkan kanda Adipati Karna adalah saudara tunggal wadah dengan para Pandawa melalui bibi paduka Dewi Kunti. Maka menurut hamba, keduanya harus diawasi benar benar pergerakannya. Sekali lagi sinuwun Prabu, hamba mohon maaf. Hubungan gusti Prabu dengan mertua paduka kali ini hamba kesampingkan”. Aswatama menghaturkan kata kata itu dengan hati hati.Sebenarnya ia khawatir mengatakan itu. Namun angin mengarah kepada dirinya hingga diberanikan dirinya mengutarakan isi hatinya.Takut ia dengan kemurkaan kembali gustinya, ia menunduk dalam. Tetapi hatinya menjadi besar, ketika Patih Sengkuni mengamini kata katanya.” Anak Prabu, benar apa yang dikatakan Aswatama. Segala sesuatu dapat saja terjadi dengan keduanya. Kami sependapat, dan Aswatama akan membuktikan keterangan yang diberikan besok hari ketika perang esok hari telah usai”.Maka malam itu ketika sudah larut, Aswatama tak segera dapat memejamkan matanya. Kenangan masa lalu dan rencana kedepan hilir mudik mengisi kepalanya. Tapi putusannya adalah, siapapun yang akan memenangi Baratayuda tidaklah menjadi persoalan baginya. Tak ada lagi untung rugi yang ia hitung hitung dalam perkara ini. Yang utama adalah bagaimana ia dapat membalaskan sakit hati terhadap pembunuh ayah dan pamannya, baik itu melalui tangannya sendiri maupun melalui tangan orang lain. Sekarang telah diputuskan, bahwa dirinya akan menjadi seorang oportunis sejati. Kurawa menang, dirinya aman, tetapi bila Pandawa yang menang, kembali ke Timpuru atau Atasangin menjadi pilihan terakhir. Bahkan dibayangkannya ia dapat

menggulung kedua pihak yang sedang berperang, Pendawa dan Kurawa sekaligus, dan kemudian bertahta diatas bangkai mereka, nyakrawati mbahu denda di kerajaan Astina dengan permaisuri Dewi Banuwati. Entahlah ini dipikirkan ketika ia masih terjaga atau sudah terlelap dalam mimpi besarnya.

  QUOTE

13-06-2011, 11:57 AM   #155

izroilblackarmy aktivis kaskus 

 UserID: 509004 Join Date: Jul 2008Posts: 605

Baratayuda: Atas Nama Darma Satria 1

By MasPatikrajaDewaku

Tak diceritakan bagaimana suasana ketika Adipati Karna bertemu dengan istri tercintanya, Surtikanti. Yang terjadi kemudian adalah waktu pagi yang terik, dimana pertempuran sengit berkecamuk kembali di padang Kurukasetra yang sudah berhari hari menjadi panggung ajang drama pertempuran yang mengerikan. Sisa sisa tenaga prajurit yang kini mulai jenuh dan lelah, hanya punya pilihan, segera perang selesai. Entah dirinya yang menjadi korban atau ia membunuh lawan lawannya dengan cepat.Hawa panas menjelang penghujan menyengat menguatkan bau anyir darah dan busuk bangkai manusia dan hewan tunggangan para adipati serta segenap pembesar perang yang tak lagi sempat dirawat oleh sesama prajurit. Berserakan senjata yang bergeletakan mencuat diantara reruntuhan kereta perang, sungguh membuat meremang bulu kuduk orang orang yang bermental lemah. Belum lagi erangan para prajurit terluka menahan rasa sakit yang tak terkira, tetapi tidak kunjung ajal menjemput. Suara rintihan itu bagai nyanyian peri prayangan. Sementara burung gagak pemakan bangkai berputar kekitar diangkasa yang biru dengan gumpalan awan disana sini, menanti kapan waktunya untuk kembali berpesta pora.Di salah satu sisi medan pertempuran, terdengar pembicaraan dua orang prajurit yang sama sama terluka, entah kepada sesama teman atau lawan. Yang mengalami luka serius menyandar pada pokok pohon kering, sementara lawan bicaranya tadi tertelungkup dengan sesekali terbatuk memuntahkan darah segar dari mulutnya.“Sesungguhnya apakah yang kita dapat dari peperangan yang kita jalani, kisanak?“Inilah yang kita dapat! Kebinasaan! Hukum alam telah menuliskan, keseimbangan alam telah mengharuskan manusia melakukan kekerasan, saling baku bunuh untuk kembali ke keseimbangan baru, baik itu melewati perang seperti ini, bencana alam, atau manusia dengan sadar mengerem lajunya jumlah turun. Kita ini sedang ada didalam bagian dari putaran proses itu,

kisanak”.Keduanya berbincang diantara desing anak panah dan denting senjata serta gelegarnya meriam dengan sesekali berhenti menahan rasa sakit, suara pembicaraan keduanya kadang tertelan oleh kemeretak roda kereta dan derap ladam kuda yang melintas disekitar mereka. Sementara kepulan debu dan asap sendawa mengepul menyesakkan nafas.***Diceriterakan, adalah Raden Sanjaya. Yang merasa tertantang setelah bertemu dengan Wara Srikandhi dan menyatakan hendak memberi sesumbang jiwa raga terhadap para Pandawa. Akan tetapi niat baik Randen Sanjaya telah dianggap sebagai manusia yang bersifat oportunis.“Sanjaya, kalau kamu hendak membela para Pandawa, kenapa tidak dari semula, kenapa baru sekarang ketika Kurawa sudah lemah, ketika kamu sudah merasa, tak akan para Kurawa menang atas Pandawa. Apakah itu jiwa dan watak seorang prajurit?. Apakah itu bukan manusia yang bertujuan untuk mencari kemuliaan dan kesenangan belaka?. Apakah sekiranya bila kamu tidak bergabung dengan para Pandawa, Pandawa tidak akan menang? Malah aku kira, permintaan bergabungnya kamu dengan para Pandawa adalah sebagai mata mata. Kenapa aku sebut begitu, karana sejak lahir, kamu adalah warga Panggombakan yang ada dalam wilayah Astina !”.Tersentuh rasa panas hati Sanjaya yang dituding mencari kemuliaan atas kemenangan Pandawa, maka ia bersumpah akan menandingi kesaktian Adipati Karna. Berangkat ke medan perang Sanjaya dengan hati terluka oleh tuduhan yang tidak beralasan dari Wara Srikandi. Andai saja Sumbadra tidak terlambat dalam mencegah keberangkatan Sajaya yang sudah melangkah ke medan Kuru, maka mungkin kejadiannya akan berbeda. Memang Wara Sumbadra tahu, betapa ayah dari Senjaya, Raden Yamawidura, adalah seorang yang berjasa sangat besar pada Pandawa. Ketika terjadi peristiwa bale Sigala-gala, orang tua Sanjaya telah membaui hal yang mencurigakan ketika pesta itu diadakan oleh usul Sengkuni. Ketika itu Raden Yamawidura menyelamatkan para Pandawa dari api yang membakar pesanggrahan mereka, ketika mereka terbius tidur oleh para Kurawa. Kemudian mereka membakar habis seluruh pesanggrahan.Yamawidura yang menjelma menjadi garangan putih, telah membuat lubang bawah tanah menembus sapta pratala dan menyelamatkan kemenakannya. Kemenakan yang selalu terlihat benar dimatanya, tetapi karena sesuatu hal ia harus sembunyi sembunyi menyelamatkannya. Hal itulah yang dikatakan Wara Sumbadra kepada Wara Srikandi, yang kemudian telah membuat sesal dihati Srikandi.Namun rasa bersalah Wara Srikandi ketika mendengar keterangan dari Sumbadra, menjadi tidak berarti, ketika putra

Yamawidura itu telah melangkah ke palagan.Maka didalam peperangan Kurusetra itu, Sanjaya mencari sosok Adipati Karna. Ia hendak memperlihatkan kesungguhannya dalam menyatakan diri ada di pihak Pandawa. Ia berteriak lantang menantang Adipati Karna.Ketika putra Awangga kedua yaitu Raden Wersasena mengetahui ayahnya ditantang oleh Raden Sanjaya, kemarahan anak muda itu terbangkit. Dihampirinya Sanjaya, ia tidak rela bila ayahnya ditantang oleh sesama anak muda lain.“Heh Sanjaya! Sejak kapan kamu telah memberontak terhadap negara yang telah menghidupimu, yang telah memberi kumuliaan terhadap orang tuamu dan keluargamu?”.“Sejak dulu memang aku lebih bersimpati terhadap putra uwa’ Pandu Dewanata. Sekaranglah aku hendak memperlihatkan betapa aku telah merasa salah, membiarkan saudara tuaku para Padawa ada dalam kesengsaraan yang berlarut larut. Sekarang katakan, dimana senapati Kurawa berada?”“Tak usah kamu mencari dimana senapati itu, hadapi dulu putra Awangga sebagai putra senapati. Langkahi dulu mayatku sebelum kamu bisa berhadapan dengan ayahku!”.“Baik, akan aku turuti kata katamu. Waspadalah!”Pertempuran dua anak muda itu berlangsung sengit. Kelihatan mereka mencoba mengerahkan segenap kesaktiannya, untuk menentukan siapa salah satunya yang harus tewas ditangan masing masing.Semakin lama semakin tegas terlihat, bahwa Sanjaya lebih unggul daripada Warsasena. Ketika sampai di puncak kemampuannya, Sanjaya menyudahi perlawanan Warsasena dengan menewaskannya. Kemarahan Adipati Karna tidak terbendung ketika mendengar anak lelakinya yang tinggal satu telah tewas. Sorak sorai bala tentara telah mengatakan akhir dari pertempuran kedua anak muda itu. Segera Adipati Karna mendekati Sanjaya untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya. Pertempuran kembali terjadi. Tetapi kesaktian Sanjaya ternyata tidaklah imbang dihadapan Adipati Karna. Sekarang berganti, terdesak Sanjaya, dan tak lama kemudian keris Kyai Jalak mengakhiri hidup Raden Sanjaya. Ia gugur dalam usahanya membuktikan darma baktinya terhadap saudara saudara sepupunya para Pandawa.Diceriterakan, telah tiba saat kedua satria pilihan dari kedua pihak akan bertemu dalam pertempuran atas nama darma satria. Ketika telah terdengar aba-aba bahwa Senapati dari Pihak Wirata telah siap siaga, maka segera Adipati Karna meloncat menaiki kereta perangnya. Tetapi oleh suasana hati Prabu Salya yang masih tetap panas, ada saja masalah kecil yang menjadikannya tidak berkenan. Ketika melihat menantunya telah menaiki kereta, dan ia masih ada dibawah, kemarahannya kembali meledak. “Apakah kamu bukan manusia yang mengerti tata bagaimana menghormati orang tua, keparat! Orang tua masih dibawah,

kamu sudah duduk nangkring diatas kereta!”.Namun Adipati Karna mencoba membela diri, serba salah telah mendera hatinya dari waktu ke waktu “Mohon seribu maaf rama Prabu, maksud hamba dari semula, adalah hanya menetapi darma. Disini derajat kusir ada dibawah senapati”.“Sudah tak terhitung berapa kali rasa sakit yang pernah melukai hatiku karena kelakuanmu. Sewaktu Prabu Kresna menjadi duta di awal perang kemarin, kamu sudah melukai hatiku dalam pasamuan agung. Belum sembuh luka itu, sekarang kamu melakukan hal yang sama, aku kamu jadikan seorang kusir. Kalau tidak sungkan dengan anak Prabu Duryudana, aku tidak sudi melihat mukamu yang membuat aku muak. Dan kamu tidak berwenang untuk memerintah aku!”. Kejengkelan Prabu Salya tidak juga reda.“Rama, sekali lagi putra paduka mohon maaf, kami persilahkan rama Prabu untuk menaiki kereta. Ketahuilah rama, sudah ada tanda tanda dalam diri putramu, detak jantung didada ini mengisyaratkan kematian putramu sudah menjelang. Kami persilakan rama Prabu untuk mengantarkan kematianku, rama Prabu . . . . ”. Campur aduk perasaan kedua manusia menantu dan mertua itu mengawali langkahnya menuju ke palagan peperangan. Inilah titik dimana perasaan yang tidak sepenuhnya bulat telah melemahkan moral perang senapati Kurawa.Baru saja kereta bergerak, mendadak melayang bagai awan hitam bergulung diatas palagan. Itulah Naga Raja Guwa Barong, Prabu Hardawalika. Seekor naga yang mengincar kematian Arjuna. Adipati Karna yang melihat keanehan naga mengarah ketempat ia bersiap, segera menghentikan laju geraknya dan menanyakan maksudnya “Heh kamu mahluk yang mencurigakan, siapa kamu dan apa maksudmu membuat keruh suasana peperangan!”.“Aku penjelmaan raja raksasa dari Guwa Barong. Aku bermaksud hendak membantu kamu menandingi Arjuna”. Naga raksasa itu dengan tidak ragu mengatakan maksudnya.Tetapi sungguh tidak disangka, jawaban yang diterima adalah bentakan yang menyuruhnya ia pergi. “ Heh naga mrayang, Arjuna adalah saudaraku. Kalaupun aku berselisih sehari tujuh kalipun, tak akan pecah persaudaraanku. Menyingkirlah atau akan aku percepat sempurnanya kematianmu!”.“Haaah . . perbuatan yang sia sia. Ternyata aku mengatakan hal ini kepada tempat mengadu yang salah. Tetapi hal ini tidak akan menghalangiku untuk membalas kematianku moyangku”. Melayang kembali Hardawalika kearah berlainan untuk mencari keberadaan Arjuna.Kresna yang tidak pernah terhalangi kewaspadaanya sedikitpun, segera tahu apa yang ada dihadapannya, ketika awan mendung tiba tiba membayang diatasnya.

  QUOTE

13-06-2011, 11:59 AM   #156

izroilblackarmy aktivis kaskus 

 UserID: 509004 Join Date: Jul 2008Posts: 605

Baratayuda: Atas Nama Darma Satria 2

By MasPatikrajaDewaku

“Arjuna, diatas pertempuran itu ada seekor naga penjelmaan Prabu Hardawalika. Lepaskan panahmu, sempurnakan kematian Prabu Hardawalika”.Tidak lagi membuang waktu, segera dipentangnya busur yang telah diisi anak panah. Melesat anak panah menempuh bayangan naga, sirna seketika ujud dari naga Hardawalika yang kembali membuat suasana palagan menjadi terang.Syahdan, kedua Senapati dari kedua belah pihak telah sama sama bergerak mendekat. Maka suasana palagan peperangan menjadi gaduh, kemudian setelah jarak keduanya menjadi semakin dekat kejadiannya justru menjadi terbalik. Peperangan segera terhenti bagai dikomando. Suasana yang berkembang menjadikannya Arjuna termangu. Prabu Kresna yang melihat suasana hati Arjuna segera dapat menebak apa yang dipikirkannya.“Arjuna, tatalah rasa hatimu! Hari ini sudah sampai waktumu harus meladeni tanding dengan kakakmu, Adipati Karna”. “Kanda, bagaimankah hamba dapat melayani tanding yuda dengan kanda Adipati Karna. Suasana beginilah yang selalu mengingatkan akan Ibu Kunti” keluh Arjuna.Kresna telah tahu apa yang melatar belakangi maksud dari keberpihakan Karna terhadap Kurawa. Hal itu telah ia dengar sendiri tatkala ia bertemu dengannya empat mata, ketika ia telah usai menjadi duta terakhir sebelum pecah perang. Semuanya bagi Kresna sudah tidak ada hal yang meragukan. Namun ia tidak mengatakan apapun tentang itu terhadap Arjuna.“Adikku, hari ini pejamkan matamu, tutuplah telingamu. Kamu hanya wajib mengingat satu hal, darma seorang satria yang harus mengenyahkan kemurkaan. Walaupun saudaramu itu adalah salah satu saudara tuamu, tetapi ia tetaplah ada pada golongan musuh. Dan ketahuilah, bahwa majunya kakakmu Adipati Karna itu, tidak seorangpun yang ditunggu, kecuali dirimu. Dan tidak ada seorangpun di dunia ini yang diwajibkan untuk mengantarkan kematiannya, kecuali dirimu. Mari aku dandani kamu sebagaimana layaknya seorang senapati, dan akulah yang akan menjadi kusirmu”. Selesai berdandan busana Keprajuritan, segera mereka menaiki kereta Prabu Kresna, kereta Jaladara. Kereta perang dengan empat ekor kuda yang berasal dari empat benua yang berwarna berbeda setiap ekornya, merupakan hadiah Para Dewa. Bila dibandingkan dengan kereta Jatisura milik Adipati Karna yang telah remuk dilanda tubuh Gatutkaca, kesaktian kereta Jaladara bisa berkali kali lipat kekuatannya.

Suasana berkembang makin hening, diangkasa telah turun para dewata dengan segenap para durandara dan para bidadari. Mereka hendak menyaksikan peristiwa besar yang terjadi dipadang Kuru. Sebaran bunga bunga mewangi turun satu satu bagai kupu kupu yang beterbangan.Karna yang melihat kedatangan Arjuna berhasrat untuk turun dari keretanya. Kresna yang melihat keraguan memancar dari wajah Arjuna mengisyaratkan untuk menyambut kedatangannya. Berkata ia kepada Arjuna“Lihat! Kakakmu Adipati Karna sudah turun dari kereta perangnya, segera sambut dan ciumlah kakinya”. Arjuna segera turun berjalan mendapatkan kakak tertua tunggal wadah dengannya“Baktiku kanda Adipati”, Arjuna duduk bersimpuh dihadapan Adipati Karna setelah menghaturkan sembahnya.“Arjuna, seumpama aku seorang anak kecil, pastilah aku sudah menagis meraung raung. Tetapi beginilah orang yang menjalani kewajiban. Aku bela bela diriku membutakan mata menutup rasa hati untuk mencapai kamukten. Sekarang aku sudah mendapatkannya dari Dinda Prabu Duryudana. Dan sekarang aku harus berhadapan dan tega berkelahi sesama saudara sekandung!”. Karna menumpahkan isi hatinya.“Kanda Adipati, hamba disini memakai busana senapati bukan untuk menandingi paduka kanda Prabu. Tetapi membawa pesan dari ibu kita, Kunti, untuk kembali berkumpul bersama saudara paduka Para Pandawa. Air mawar bening pembasuh kaki sudah disiapkan oleh adik adik paduka, Kanda Adipati”. Arjuna mencoba meluluhkan hati kakak tunggal ibu itu.Kembali Adipati Karna menegaskan apa yang terrasa didalam hatinya. “ Lihat, air mataku jatuh berlinangan. Tetapi aku katakan, tidak tepat apa yang kamu katakan. Sudah berulang kali kamu memintaku untuk berkumpul bersama sama dengan saudaraku Pandawa. Begitu juga dengan Kanda Prabu Kresna, yang ketika itu datang kepadaku dan bicara empat mata. Sekarang sama halnya dengan dirimu, yang juga kembali mengajakku untuk berkumpul bersama. Bila aku menuruti permintaanmu, hidupku akan seperti halnya burung yang ada dalam sangkar emas. Tetapi hidupku tidak bisa bebas. Hidupku hanya kamu beri makan dan minum belaka. Apakah kamu senang bila mempunyai saudara dengan keadaan seperti yang aku katakan?”.Sejenak mereka berdua saling berdiam diri. Sesaat kemudian Karna melanjutkan.”Tak ada seorangpun didunia ini yang dapat mengantarkan aku menuju alam kematianku, kecuali hanyalah dirimu, dinda Arjuna! Dan bila aku nanti mati dalam perang tanding itu, sampaikan baktiku pada ibunda Kunti, yang tak sekalipun aku memberi ketentraman batin dalam hidupnya . . . “Serak terpatah patah suara Adipati Karna ketika ia melanjutkan curahan isi hati terhadap Arjuna.

Kembali susana menjadi hening. Akan tetapi tiba tiba ia berkata dengan nada tegas. “Hari ini adalah hari yang baik. Ayolah kita bertanding untuk menentukan siapa yang lebih perwira, lebih bertenaga, lebih sakti!”.“Kanda, berikan kepadaku seribu maaf atas kelancangan hamba berani dengan saudara yang lebih tua”. Kembali Arjuna menghaturkan sembah, berkata ia, yang kemudian mengundurkan diri kembali menaiki kereta Jaladara.Maka perang tanding dengan andalan ketepatan menggunakan anak panah berlangsung dengan seru. Keduanya sesama putra Kunti tidak sedikitpun berbeda ujudnya dalam busana keprajuritan. Keduanya menggunakan topong yang sama, sehingga banyak prajurit yang sedari tadi berhenti menonton sulit untuk membedakan yang mana Arjuna dan manakah yang Karna, kecuali pada kereta yang dinaikinya.Pada suatu ketika topong kepala Adipati Karna terpental terkena panah Arjuna. Sejenak Karna meminta Prabu Salya untuk berhenti, dan berkata.“Rama prabu, hampir saja hamba menanggung malu. Topong kepala hamba terpental oleh panah adi Arjuna”.“Sudah aku katakan, tak hendak aku ikut campur dalam peristiwa ini. Aku hanya kusirmu. Tapi kali ini mari aku benahi rambutmu biar aku gelung”. Setengah hati Prabu Salya mendandani kembali putra menantunya.Kembali adu ketangkasan olah warastra berlangsung. Kali ini Kunta Wijayandanu ada ditangan Karna. Waspada Prabu Salya dengan melihat senjata kedua setelah Kunta Druwasa yang telah sirna digunakan oleh Adipati Karna ketika berhadapan dengan Gatutkaca. Maka pada saat menantunya itu melepas anak panah, kendali kereta ditarik, kemudian kuda melonjak. Panah yang sejatinya akan tepat mengenai sasaran, hanya mengenai topong kepala Arjuna dan mencabik segenggam rambutnya.“Aduh Kanda Prabu, topong hamba jatuh terkena panah kanda Adipati. Apakah ini sebagai perlambang kekalahan yang akan menimpa hamba?”. Arjuna menanyakan.“Bukan ! Itu peristiwa biasa. Biarlah aku tambal rambutmu dengan rambutku. Sekarang aku akan menggelung rambutmu kembali”. Jawab Kresna, yang kemudian menerapkan kembali gelung rambut baru pada kepala Arjuna.Kembali kedua putra Kunti berdandan dengan cara yang sama. Semakin bingung para yang melihat pertempuran dua satria yang hampir kembar itu. Bahkan para dewata dan segenap bidadari dan durandara, melihatnya dengan terkagum.Adu kesaktian telah berlangsung lama, segala macam kagunan dan ilmu pengabaran telah dikeluarkan. Saling mengimbangi dan saling memunahkan kawijayan antara kesaktian mereka berdua.Namun Arjuna masih memegang satu senjata yang belum digunakan. Itulah panah Kyai Pasupati, yang bertajam dengan bentuk bulan sabit.

“Arjuna !”, Kresna memberikan isyarat, “Sekaranglah saatnya!. Hanya sampai disini hidup kakakmu Adipati. Segera lepaskan senjatamu Pasupati untuk mengantarkan kakakmu ke alam kelanggengan!”.Panah Pasupati telah tersandang pada busur gading Kyai Gandewa, lepas anak panah berdesing bagai tak terlihat. Walau Arjuna melepaskannya sambil memejamkan mata karena tak tega dan rasa bersalah, namun panah dengan bagian tajam yang menyerupai bulan sabit itu mengenai leher Adipati Karna. Tajamnya Kyai Pasupati tiada tara, sampai-sampai, kepala Adipati Karna dengan senyum yang masih tersungging dibibirnya tak bergeser sedikitpun dari lehernya. Jatuh terduduk jasad Adipati Karna bersandarkan kursi kereta. Geragapan Prabu Salya yang merasa khawatir dan setengah bersalah. Turun dari kereta ia, kemudian menghilang dari pabaratan, kembali ke Bulupitu.Namun kejadian sejak dari awal pertempuran tadi, tidak terlepas dari sepasang mata yang selalu mengawasi setiap gerakan sekecil apapun yang dilakukan Prabu Salya. Itulah sepasang mata Aswatama!

 

Baratayuda : Ketika Rahasia itu Terungkap 1

Oleh : MasPatikrajaDewaku.

Kidung layu layu kembali mengalun di Padang Kuru, awan mendung yang menandai pergantian musim telah menitikkan airnya walau hanya rintik rintik. Meski begitu, rintik hujan itu sudah cukup menandai kesedihan yang melingkupi Para Pandawa. Bagaimanapun Karna-Suryatmaja adalah saudara sekandung, walau ia terlahir bukan atas keinginan sang ibu. Meski demikian, ia adalah sosok yang sudah memberi warna kepada orang orang disekitarnya dan para saudara mudanya. Ia adalah sosok yang tegar dan teguh dalam memegang prisip kesetiaan kepada Negara yang telah memberinya kemuliaan hidup. Tetapi sekaligus ia tokoh yang kontroversial, sebab ia adalah tokoh yang secara tersamar menegakkan prinsip, bahwa keangkaramurkaan harus tumpas oleh laku kebajikan. Ia telah menyetujui bahwa perang Baratayuda harus terjadi, sebab dengan demikian ia telah mempercepat tumpasnya laku angkara yang disandang oleh Prabu Duryudana. Raja yang telah memberinya kemukten.Dengan terbunuhnya Adipati Karna yang menyisakan dendam pembelaan dari Kyai Jalak yang gagal, maka secara kenyataan adalah, telah terhenti perang campuh para prajurit di arena padang Kurusetra. Dikatakan demikian karena jumlah prajurit Kurawa yang tinggal, boleh diumpamakan telah dapat dihitung dengan jari saja. Ditambah lagi kenyataan, bahwa para Kurawa seratus, yang tinggal hanya duapuluh orang termasuk Prabu Duryudana dan Kartamarma. Maka lengkaplah apa yang disebut sebagai kenyataan, bahwa perang Baratayuda sebenarnya sudah berakhir. Tetapi pengakuan terhadap kekalahan itu, belumlah

terucap dari bibir Prabu Duryudana.Sore ketika Adipati Karna telah gugur, mendung gelap yang disusul oleh rintik hujan, juga seakan mentahbiskan suasana dalam hati Panglima Tertinggi Kurawa yang juga terlimput oleh gelap. Dihadapannya Prabu Salya dengan sabar menunggu ucapan apa yang hendak terlontar dari bibir menantunya. Demikian juga Patih Harya Suman dan Raden Kartamarma, hanya tertunduk lesu. Keduanya berlaku serba canggung menyikapi keadaan dihadapannya. Keraguan akan hasrat menyampaikan usulan dan pemikiran, telah dikalahkan oleh rasa takut akan murka junjungannya.Hal ini juga berlaku pada perasaan Aswatama yang sesungguhnya hanya berderajat rendah, hanya sebagai tuwa buru. Sebuah derajat rendah yang hanya mengurus segala keperluan para Kurawa dalam menyelenggarakan kegemaran mereka berburu dihutan. Derajat rendah itulah yang diberikan oleh penguasa Astina, ketika mendiang ayahnya diangkat menjadi guru bagi sekalian anak anak Pandawa dan Kurawa. Derajat yang sampai saat inipun masih tetap tersandang, walaupun waktu demi waktu telah berlalu. Apalagi ketika ia harus kehilangan kepercayaan dari Prabu Duryudana, pada saat ia membela pamannya Krepa. Juga tewasnya ayah tercinta yang merupakan gantungan baginya dalam mengabdi kepada Prabu Duryudana, telah lengkap meruntuhkan ketegaran dirinya terhadap penguasa tertinggi Astina. Lengkap sudah perasaan takut yang mencekam jiwanya. Padahal sesuatu yang hendak diajukan sebagai saksi mata atas suatu peristiwa di medan perang, telah mendesak kuat dalam hati untuk disampaikan. Tetapi mulutnya terkunci, tetap tak berani mengatakan sesuatu apapun. Dan iapun hanya diam tertunduk, duduk di tempat paling belakang dari pembesar yang hadir.Dalam ketidak sabaran menunggu sabda Prabu Duryudana, akhirnya Prabu Salya berbicara. “ Anak Prabu, walaupun paduka anak Prabu tidak mengatakan dengan sepatah kata, namun saya sudah merasa, pastilah perkiraan saya benar. Pasti anak Prabu merasa kehilangan Senapati yang menjadi bebeteng negara, kakak iparmu, anak menantuku, Adipati Karna”.Tetap bergeming Prabu Duryudana mendengarkan kata kata pemancing dari Prabu Salya, sehingga kembali ia melanjutkan.“Menurut tata cara, seharusnya aku tetap diam menunggu. Tetapi oleh karena terdorong oleh gemuruh dalam dada, perkenankan aku mertuamu menyampaikan isi hati ini”“Rama Prabu, itulah yang sebenarnya yang aku nanti. Besar hati anakmu tanpa dapat diumpamakan, karena sebegitu besarnya perhatian yang rama Prabu berikan terhadap putramu”. Akhirnya beberapa patah kata meluncur dari bibir Prabu Duryudana, terbawa oleh rasa penasaran, apakah yang hendak dikatakan oleh ayah mertuanya.Mencoba tersenyum Prabu Salya. Senyum getir, karena suasana yang dihadapi tidaklah nyaman dirasakan. Tetapi ia tetap berusaha menguatkan hati Prabu Duryudana .“Kalaupun aku tidak memperhatikan anak Prabu, aku ini seakan menjadi manusia yang tidak lengkap panca indraku. Setelah saya timbang timbang, ternyata pancaindriaku masih lengkap. Oleh karena itu, aku akan menyampaikan sesuatu”.“Waktu sepenuhnya aku serahkan kepada rama Prabu”. Duryudana kali ini mencoba pula tersenyum, walau terasa hambar.Melihat menantunya serba kikuk, Prabu Salya tertawa. Walaupun tawa itu terdengar sumbang, namun Ia mencoba memecah kebuntuan suasana. “Terhitung selama perang berlangsung, aku baru bisa tertawa kali ini. Begitu anak Prabu mengatakan bahwa waktu telah sepenuhnya anak Prabu berikan, itu artinya anak Prabu masih mempunyai kepercayaan

kepadaku”.Prabu Salya kemudian mengangkat dan mengungkit peristiwa yang berlangsung pada masa lalu, ketika ia sedang ada pada balairung istananya di Mandaraka. Ketika itu ia sedang merembuk bagaimana ia berrencana hendak memberikan negara kepada anak turun, serta bagaimana ia menyampaikan cara dalam menata negara. Ketika itu, tiba tiba ia dikejutkan dengan kedatangan dua orang utusan yang belum dikenalnya. Ketika mereka mendekat dan memberikan surat. Ternyata mereka berdua mengundang untuk mendatangi pahargyan di suatu tempat yang merupakan pesanggrahan yang baru dibangun, pesanggrahan yang begitu indah. Disitu telah menunggu para wanita yang muda muda dan begitu cantik cantik. “Disitulah aku disuguhi makanan yang serba nikmat diiring tetabuhan dan kidung yang menyenangkan hati”. Prabu Salya meneruskan, “Tanpa ragu makanan yang serba nikmat itu aku makan dengan begitu lahapnya . Bawaannya aku belum makan ketika berangkat, maka sekejap aku telah menghabiskan sebagian besar hidangan yang telah tersaji”.Setelah merenung sejenak, Prabu Salya menyambung, “Begitu aku sudah merasa kenyang, tiba tiba anak Prabu Duryudana datang dari belakang tanpa aku ketahui, dan memeluk aku. Sebagai orang yang mengerti akan tata krama dan balas budi dan terdorong oleh rasa puas karena semua kesenangan yang tersaji telah aku nikmati, maka ketika paduka anak Prabu meminta saya untuk bersedia berdiri di pihak anak Prabu ketika perang Baratayuda berlangsung nanti, seketika aku menyanggupi. Dan ini adalah peristiwa yang mengharuskan aku menyaksikan darah yang tertumpah. Darah yang mengalir dari tubuh tubuh anak kemenakanku sendiri”.Suasana kembali hening ketika Prabu Salya mengakiri cerita yang berujung sesal. Kejadian awal dari mengapa ia terseret-seret dalam peristiwa besar ini. Maka ketika tak ada lagi yang membuka mulut, Prabu Duryudana memanggil Patih Harya Sangkuni.“Paman, tinggal berapakah Kurawa sekarang?”Geragapan Patih Sangkuni menjawab pertanyaan itu, setelah rasa terkejutnya hilang. “Kalau tidak salah hitung, tinggal duapuluh orang saja”.“Apakah mereka menjadi ketakutan karena jumlah yang tinggal sedikit itu?”“Sama sekali tidak, bahkan mereka mengharap, kapan gerangan hendak diperintah untuk beradu dada dengan para Pandawa”.“Bagus! Kenapa begitu?“ Prabu Duryudana mempertegas pertanyaannya.“Mereka itu mengingat dan merasa, bahwa hidup mereka semua adalah ada dalam perlindungan dari anak Prabu. Kenikmatan yang mereka terima selama ini, adalah berkat pemberian dari anak Prabu. Maka ketika mereka dihadapkan dalam peristiwa seperti ini, tak lain dan tak bukan, bahwa mereka telah rela menjadi tetameng, bahkan bebanten dalam membela kejayaan anak Prabu”. Jawab Sangkuni, yang adalah manusia super licik. Maka

Baratayuda : Ketika Rahasia itu Terungkap 2

Oleh : MasPatikrajaDewaku.

“Jagad dewa batara! Bila demikian, walaupun Kurawa cuma tinggal duapuluh orang, itu sudah cukup memberiku rasa besar hati. Mereka itulah manusia yang

mengerti akan rasa kemanusiaan, manusia yang mengerti akan rasa kebaikan, manusia yang mengerti apa itu kewajiban. Bila demikian Paman, semua orang yang masih hidup di Astina, ternyata masih punya rasa bela negara, tanpa memandang dari mana asal muasalnya. Seumpama ada seseorang pembesar, seseorang yang menjadi sesembahan. Walaupun ia tidak dalam peperintahan negara Astina, tetapi ia memiliki kulit daging yang mukti wibawa di negara Astina ini. Hidupnya diliputi oleh segala kemewahan, dipuji puji dan diagung agungkan orang senegara. Namun ketika negara itu menjadi ajang kebrutalan musuh, menurut Paman Sangkuni bagaimana seharusnya manusia itu bersikap?”Prabu Duryudana yang sedari kecil ada pada asuhan pamannya, sangat mengerti, umpan apakah yang tengah ia pasang. Maka semakin lancarlan kata katanya mengikuti arah pembicaraan pamannya itu.“Wah, kalau saya . . . . ini kalau saya . . ., saya akan segera bertindak! Segera saya akan melangkah ke palagan peperangan, mengatasi musuh yang hendak berbuat semena mena atas negara ini. Ini kalau saya . . .! “ dengan jumawa Patih Harya Suman menjawab.“Apakah ada Paman, orang yang saya telah berikan semua rasa mukti wibawa, tetapi tidak mengerti akan balas budi itu?”“Ada saja ! itulah istri paduka sendiri, Dewi Banuwati!” Prabu Salya yang sudah kenyang makan asam garam, sebenarnya sudah tahu apa maksud pembicaran mereka berdua. Tetapi ia masih dengan sabar dan senyum mengembang di bibir mengikuti pembicaraan mereka. Ia menjadi penasaran, sandiwara itu akan sampai mana ujungnya. Maka ia tetap terdiam ketika Prabu Duryudana kembali mengajukan pertanyaan kepada pamannya. “Apakah ada orang yang lain selain istriku?”“Tidak, tidak ada lagi! Walaupun istri Paduka anak Prabu adalah wanita yang pada mulanya juga sudah mukti wibawa di Negara Mandaraka, tetapi ketika ia diperistri oleh paduka anak Prabu, ia telah mendapatkan jauh lebih tinggi derajat dan kemukten yang tiada taranya. Itulah, dari rasa sayang Paduka Angger Anak Prabu yang tiada terkira, sebetulnya dalam kenyataannya, negara Astina telah dipasrahkan seutuhnya kepada istri Paduka , Dewi Banuwati.”“Itulah memang yang menjadi niat saya! Kalau demikian, yayi Banowati itu , seberapapun bobotnya harus menanggung semua baik buruk atas negara Astina ini?”.“Tak jauhlah dari yang paduka kehendaki”.“Tetapi paman, ia adalah seorang wanita. Apakah mungkin, wanita yang seharusnya hanya aku manjakan, bersolek, mempercantik diri, harus maju ke medan perang adu kesaktian dengan para Pendawa”.“Lho kalau perlu memang demikian! Kalau semua para luhur sudah tidak mau tutun tangan, maka istri sendiripun harus ikut. Saya kira istri Paduka pun tidak akan rela melihat paduka kerepotan”. Sandiwara dengan dialog antar keduanya masih berlangsung, masih mengalir lancar. Dan Prabu Salya masih tetap sabar dalam duduknya.Dan sampai disini Duryudana sedikit mentok, keteteter dengan kepiawaian pamannya mengolah kata. “Ya . . . . . tetapi . . . . . apakah ini . . . . . . , apakah aku harus menangis dihadapan istriku? Si Paman jangan menyangka aku takut akan darah, tetapi istri itu . . . yang sejatinya bukan sanak, tapi ia sudah merasakan enak, sudah aku ajak menikmati kenikmatan dan mukti wibawa. Waktu dalam keadaan enak, ia sudah merasakan kenikmatan. Tetapi ketika menemukan papa sengsara,

seharusnya ia tidak menghindar dari segala kesulitan. Tetapi saya tak bisa hidup tenang tanpa dia, paman. Seumpama saya melangkah ke medan pertempuran berdua dengan istriku, Dewi Banowati, menurut si paman bagaimana?”“Saya sangat setuju . . .sangat setuju!” Tidak syak lagi, Prabu Salya yang mendengarkan dengan seksama dan tadinya tak hendak memotong pembicaraan mereka, sudah mengerti kemana gerangan arah pembicaraan itu. Tetapi saat ini ia menjadi gerah. Dan berkatalah Prabu Salya, setelah menarik nafas dalam dalam. Ia berusaha menekan perasaannya yang tiba tiba panas bagai terbakar bara api.“Jagad Dewa Batara! Aku merasakan tidak ada sesuatu apapun terjadi. Tetapi kepala saya bagai terbakar panasnya bara api. Panasnya sedemikian menyengat hingga sampai ke dada ini. Di seluruh jagad ini tidak ada yang menandingi kepiawaian dari anak Prabu, apalagi bila sudah dipadukan dengan kepiawaian mengolah kata dari Patih Sengkuni. Tetapi kepintaran itu. bila sudah manunggal, dan kemudian dipakai di jalan yang tidak sesuai dalam keutamaan, bisa menjadi kabur dan ludes terbakar api. Saya mengerti. Kalau saya dibolehkan menggambarkan, anak Prabu saat ini sedang dalam posisi berpeluk tangan, tapi kelihatan olehku dari sini, Paduka anak Prabu seperti melambaikan tangannya. Melempar sesuatu kearah utara, tapi yang dikenai adalah benda yang diarah selatan, seperti halnya orang yang sedang memancing di air keruh. Yah, saya sudah tua. Tak usahlah disindir, saya ini sudah kenyang makan asam garam. Gambalangnya begini, paduka anak Prabu sekarang sedang bersedih atas gugurnya anak mantuku Adipati Karna. Paduka sebetulnya mengatakan, kenapa, orang tua yang sudah dibuat mukti wibawa karena anak nya, tetapi orang itu sekarang diam saja. Bukankah itu yang Paduka maksudkan?”Sudah disengaja Prabu Duryudana menyindir mertuanya itu. Tetapi ia sudah kadung basah, maka walau dengan debaran dada, ia mengatakan, “Silakan bila rama Prabu mengatakan demikian. Tetapi itu memang benar!”.“Saya sudah mengatakan tadi, apakah saya hendak mengangkat muka melihat tingginya sosok para Pandawa? Apakah saya tidak kuasa untuk merangkul betapapun besarnya ujud para Pandawa? Apakah saya harus gemetar melihat kesaktian Pandawa? Yang terlihat olehku, Pandawa itu adalah sebagai anak anak belaka. Bila aku mau, tandang para Pandawa dapat aku hentikan kurang dari setengah hari! Dalam setengah hari itu, mereka sudah pulang ke kahyangan Batara Yama. Oleh sebab itulah, saya hendak menjalankan sabda paduka dengan dua landasan. Ketika bebanten para Kurawa dimulai dari gugurnya Eyang Bisma, sampai Resi Durna, jagad sudah mengingatkan kepada paduka anak mantu, bahwa Baratayuda seharusnya dihentikanlah! Apakah sebenarnya pokok persoalannya? Siapakah sebenarnya yang menang, dan siapakah sebenarnya yang dikalahkan? Oleh sebab itu, silakan anak Prabu merasakan, betapa sengsaranya yang sudah gugur dalam perang ini. Itu yang pertama!”“Kedua siapapun akan mengerti. Siapakan Prabu Karna itu? Adipati Karna itu manusia bukan manusia selayaknya manusia. Ia adalah anak Batara Surya yang menerangi jagat. Walaupun ini hanya cerita yang kadung dilebih lebihkan, tapi sewaktu terlahir dari goa garba Kunti, ia sudah mengenakan anting anting dan permata kawaca. Belum lagi jumlah pusakanya, kunta Druwasa, Wijayandanu, siapakah yang kuat menadahkan dadanya pada pusaka itu? Keris kyai Jalak, siapapun tak mampu menadahkan dadanya. Bahkan bila ditujukan ke gunung , gunung itu akan menjadi runtuh, dan bila dikenakan terhadap lautan, samudra

itupun akan mendidih. Walau demikian, Arjuna dapat mengalahkan dengan panah bertajam bentuk bulan sabit, Kyai Pasupati. Lepasnya panah Arjuna telah membawa kematian baginya. Bila anak Prabu hanya menuruti kehendak hati, aku hanya bisa berharap, anakku Banuwati kelak tidak menjadi janda”.

  QUOTE

KaskusAd - Create an KasAD / Buat Iklan KasAD

16-06-2011, 08:10 AM   #162

izroilblackarmy aktivis kaskus 

 UserID: 509004 Join Date: Jul 2008Posts: 605

Baratayuda : Ketika Rahasia itu Terungkap 3

Oleh : MasPatikrajaDewaku.

Diceritakan, Aswatama yang sedari tadi menahan beban perkara yang menghimpit dadanya, lama kelamaan ia menggeser duduknya maju mendekati Prabu Duryudana. Ia seakan terpicu, ketika mendengar peristiwa tanding satria sakti linuwih itu diungkap kembali. Keberaniannya tumbuh saat ia harus mengatakan apa yang sebenarnya terjadi. Melihat gerak dan raut muka Aswatama yang mengandung sejuta keinginan untuk mengatakan susuatu, Prabu Duryudana memberikan sasmita kepadanya untuk mendekat.“Aswatama adakah sesuatu yang hendak kamu katakan?”“Perkenankan Paduka memberi seribu maaf, karena hamba berani beraninya memutus pembicaraan para agung”. Beriring sembah, Aswatama meminta waktu.“Bila memang ada sesuatu yang penting untuk disampaikan, saya memberimu maaf. Silakan apa yang hendak kamu katakan?!”Sejenak Aswatama terdiam. Bagaiamanapun ia harus menata hati untuk menyampaikan cerita yang menyangkut pembesar negara. Dalam pikirnya, sekarang atau tidak sama sekali. Dan ia telah terlanjur maju, tak ada lagi jalan kembali terbentang dihadapannya. Maka dengan tatag ia berkata, “Ketika sedang ramainya tetanding antara Sinuwun Adipati Karna dan Arjuna, mestinya Arjunalah yang mati”. “Apa sebab kenapa kamu bicara terbalik dengan kenyataan?” terheran Prabu Duryudana mendengar kata kata Aswatama.“Jalannya kereta yang dikendarai oleh sinuwun Adipati yang dikusiri oleh Prabu Salya, saya lihat sudah benar. Dan lepasnya panah kunta seharusnya telah pas mengenai leher Arjuna. Tetapi arah panah itu meleset, oleh sebab adanya seseorang pembesar yang telah melakukan kecurangan”

Sampai disini Prabu Duryudana sudah dapat menebak. Tetapi ia hendak mendengar sendiri, beranikah Aswatama menyampaikan

dengan mulutnya sendiri. “Siapa pembesar yang melakukan itu?“Tidak lagi hamba menutup nutupi, jalannya kereta yang seharusnya sudah benar. Namun tiba tiba kendali kekang kuda ditarik, sehingga kuda menjadi binal dan kereta menjadi oleng. Panahpun tidak mengenai leher Arjuna, hanya mengenai sejumput rambutnya saja. Maka hamba berani bicara, bahwa gugurnya gusti Adipati Karna bukan karena Arjuna, tetapi oleh pakarti Prabu Salya!”“Iblis keparat kamu Aswatama!”Memerah muka Prabu Salya. Tak disangka seseorang mengamati dengan sempurna perbuatannya. Hendak dikemanakan muka itu bila rahasia itu terbongkar, maka yang bisa diperbuat adalah memaki sejadi jadinya Aswatama dan bertamengkan kekuasaan anak menantunya itu.“Heh Asatama! Kamu anak Durna kan? Kamu disini pangkatmu hanya tuwa buru. Paling tinggi tugasmua hanya memberi makan kuda kuda kendaraan para Kurawa! Tahukah kamu, bahwa derajatmu hanya dibawah celanaku yang aku pakai ini. Kamu telah melakukan kesalahan. Kesalahanmu, pertama, kamu sudah berani beraninya memotong pembicaraan para agung. Kedua kamu sudah berani mengatakan yang bukan bukan! Kamu sudah berani menuduh aku telah menyebabkan gugurnya mantuku. Dimana ada mertua yang tega terhadap anak menantu. Kemana kamu ketika gugurnya Bapakmu ketika itu? Kelihatan batang hidungmupun tidak! Kamu berniat merenggangkan hubungan antara aku dengan Prabu Duryudana, begitukah maksud dari kata katamu tadi?! Hayoh iblis, kalau kamu memang anak Durna, segera ucapkan japa mantramu, hunus kerismu Cundamanik pemberian ibumu Batari Wilutama, bidadari yang berlaku selingkuh selamanya! Dalam hitungan yang ketujuh kamu tidak berani melangkah menghadapi Prabu Salya, akan kutebas batang lehermu!” “Aduh rama Prabu, rama kami persikan berlaku sabar! Aswatamu itu hanya berderajat rendah. Tidak sepantasnyalah rama Prabu melayani Aswatama” maka Prabu Duryudana segera menghentikan langkah Prabu Salya ketika melihat mertuanya seakan telah kehilangan pengamatan dirinya.“Belum lega rasanya bila aku tidak memenggal kepala Aswatama”. Masih dengan kata marah Prabu Salya dalam hadangan Prabu Duryudana.“Rama Prabu, jangankan hanya seorang Aswatama, dewapun tak akan mampu bila berhadapan dengan rama Prabu ketika sedang murka seperti itu. Mohon diingat rama Prabu, jangan mendengarkan suara orang cari muka seperti Aswatama. Rama mesti mengingat, masih banyak kewajiban yang harus dijalankan. Mohon bersabar rama Prabu”.

“Huh Aswatama, bila tidak dalam sidang agung ini, kepalamu sudah terpisah dari tubuhmu. Jangankan kamu, bila orang tuamu

masih adapun, tak akan mundur sejangkah menghadapi orang tuamu itu!” masih juga belum berhenti kemarahan Prabu Salya, bahkan ia mengungkit ungkit ayah Aswatama.Setelah suasana terkendali, Prabu Duryudana mendekati Aswatama. Ia telah membuat keputusan dengan menimbang bobot antara kedua orang yang bersilang pendapat itu. “Aswatama, jangan membuat suasana menjadi bertambah ruwet. Aku sudah tak lagi membutuhkan kamu. Pergilah!”“Aduh Sinuwun, bila sudah tak lagi sinuwun mendengarkan kenyataan yang terjadi di palagan peperangan, kami minta diri sinuwun”. Luka hati Aswatama kembali kambuh, bahkan sekarang semakin parah. Keputusan hari kemarin bahwa ia akan menjadi seorang oportunis sejati telah mengeras. Dirinya yang dibobot ringan oleh Prabu Duryudana, mundur dari hadapannya dengan sejuta rencana tumbuh didalam rongga kepalanya.

  QUOTE

16-06-2011, 08:12 AM   #163

izroilblackarmy aktivis kaskus 

 UserID: 509004 Join Date: Jul 2008Posts: 605

Baratayuda : Saat Saat Terakhir 1By MasPatikrajaDewaku

Aswatama segera pergi ke istal. Melepas kuda terbaik dari dalamnya, melepas tali yang mengikat ke toggak, kemudian ia memacu kudanya dengan kecepatan penuh meninggalkan percikan lumpur kotor. Ia seakan ingin membuang segala keruwetan yang mendera dadanya. Beban yang menindihnya, seakan hendak ia angkat dan campakkan, dengan cara memacu kuda itu sekencang kencangnya bagai dikejar setan. Tujuan yang semula telah ia rancang dengan rasa was-was, saat ini tidak lagi mendera dadanya. Sepenuh hati rencana telah digenggamnya tanpa keraguan sedikitpun. Banuwati, ya, Banuwati! Ia hendak menuju ke hadapannya. Ia adalah anak dari Prabu Salya dan istri dari Prabu Duryudana. Setelah kejadian di balairung tadi, sebuah rencana yang tertanam dari hari hari terakhir kemarin telah tumbuh subur. Dihatinya juga telah timbul tekad bahwa ia tak lagi merasa sebagai bawahan Prabu Duryudana. Junjungannya dimasa lalu yang telah menilai kecil perannya selama ini. Ia merasa sadar sekarang bahwa dimasa lalunya ia telah dikerdilkan dengan hanya diberi derajat yang hanya dipandang sebelah mata. Kekesalan yang terpendam mencapai puncaknya ketika ia telah dibobot ringan dengan pengusiran yang kedua kali terhadap dirinya.Dendam membara juga berkobar dalam dadanya kepada Prabu Salya, orang tua Banowati. Ia hanya bisa berkata dalam hati, jangankan kepada menantunya Prabu Salya tega, kepada mertuanya-Resi Bagaspati-pun ia sampai hati menghabisi hidupnya hanya karena perasaan malu mempunyai mertua

berujud raksasa. Tapi kata katanya tersekat pada korongkongan, tak terlahirkan oleh perasaan tidak enak kepada Prabu Duryudana. Maka ia hanya dapat mendendam, kepada Banuwati-lah ia hendak lampiaskan. Dan malam dengan hujan rintik itu telah membawanya menuju taman Kadilengeng. Malam ketika melintas kutaraja Astina, ia tak menemui kesulitan apapun. Semua prajurit tunggu istana telah mengenal Aswatama dengan baik. Dan taman Kadilengeng telah ada didepan mata.Sementara itu di balairung Bulupitu, sepeninggal Aswatama, perasaan marah dan setengah dipermalukan oleh Aswatama., masih mendekam didalam hati Prabu Salya. Hingga ia tak lagi berminat mengatakan sesuatu apapun. Suasana hening melimputi suasana sidang. Mereka yang hadir seperti terpaku ditempatnya. Hanya dalam pikiran masing masing yang berputar putar menanggapi peristiwa yang baru saja terjadi. Ketika kesunyian itu masih saja terjadi, Prabu Duryudana akhirnya berkata kepada pamannya.“Paman Harya Sengkuni, sungguh tidak masuk akal apa yang dikatakan oleh Aswatama. Seorang ayah menegakan kematian anaknya, walau itu hanya anak menantu. Apakah ia hanya bercerita atas karangan ia sendiri? Apakah ada di dunia peristiwa semacam itu Paman?”Patih Sengkuni kemudian mengangkat wajahnya. Dipandangi wajah Prabu Duryudana dengan perasaan ragu. Ia hendak menyelami apa sesungguhnya kehendak keponakannya dengan mengatakan demikian. Tapi ini memang menjadi watak Sengkuni, bahkan dengan nada meyakinkan ia mengipaskan kembali suasana yang sudah mengendap dengan jawabannya, “Ooooh Sinuwun, ada saja! Jangankankan mertua yang tega atas menantunya, sebaliknya menantu yang melakukan pembunuhan terhadap mertuanya juga juga ada. Bahkan ia telah membunuh mertuanya dengan tangannya sendiri”.“Dimana peristiwa itu terjadi Paman? Siapakah orang yang telah tega berbuat demikian?” Prabu Duryudana kembali terbawa oleh arus pembicaraan Pamannya. Ia telah tahu apa yang dikehendaki pamannya.Dan jawaban Patih Harya Sangkuni dengan tidak lagi ragu “Tidak jauh dari sini, bahkan . . . ““Cukup . . . . . !” Kali ini Prabu Salya menukas dengan ketus. Bara kemarahan yang belum sempurna padam kini sudah kembali berkobar. Bahkan ia sudah tak lagi dapat mengendalikan nalarnya. Maka tak lagi ia berpikir panjang dan segera menyambung kata katanya, “Jangan lagi sandiwara seperti yang kau ucapkan tadi itu diteruskan. Aku sudah mengerti arah pembicaraan itu, Suman! Bukankah engkau hendak mengatakan bahwa pada masa lalu aku telah membunuh ayah mertuaku sendiri? Itukah yang kamu maksudkan dan kamu hubungkan dengan kematian anakku Basukarna? Sudahlah, aku ini sudah tahu arah tujuan dengan kata katamu. Kamu hendak memanasi

aku kembali, agar aku mau maju ke Medan Kurukasetra ! Tanpa kamu panasi dengan kata kata itupun aku sudah mempunyai tekad, besok aku akan maju ke palagan peperangan. Lihatlah, esok anak anak Pandawa akan aku kirimkan ke alam kelanggengan. Aku ulangi, tidak perlu mamakan waktu lama, tak sampai setengah hari semua keinginanmu akan terwujud!”“Lho Sinuwun Prabu Salya, bukan maksud kami menceritakan tentang Paduka Prabu Salya, tapi bila paduka merasakan itu, ya silakan saja” Patih Sangkuni menjawab dengan nada merendah. Tetapi dalam hatinya ia tertawa terbahak bahak, menyaksikan pancingannya berhasil diasambar sasarannya.Sesak didalam dada Prabu Salya mendengar Patih Sangkuni yang masih saja memberi jawaban. Namun kini yang bicara adalah paman dari Prabu Duryudana. Maka ia tidak bisa gegabah menyalurkan kemarahan sebagaimana dilakukan terhadap Aswatama. Tidak hendak berlarut larut dalam kemarahan, ia menghela nafas panjang. Ia berusaha sekuat tenaga untuk memadamkan bara yang membakar hatinya. Karena ia tak lagi mau termakan provokasi Sangkuni, ia berkata kepada Prabu Duryudana dengan berusaha setenang yang ia bisa.“Baiklah anak Prabu Duryudana, saya meminta waktu sekejap saja. Aku ingin kembali dulu menemui ibumu, Setyawati. Rasa kangenku terhadap ibumu tak lagi dapat ditahan. Mohon jangan bergerak dulu ke medan Kuru sebelum aku kembali dari Mandaraka”.“Baiklah rama Prabu, doa kami menyertai kepulangan rama” Duryudana melepaskan kepulangan sementara Prabu Salya dengan rasa keraguan yang tetap menekan dadanya. Bahkan dalam hati kecilnya rasa frustrasi telah menuntunnya ke tindakan seorang pengecut.“Paman Harya Sangkuni, segala merah hijaunya perang dan jalannya pertempuran aku serahkan kepada si paman untuk besok hari. Ikuti segala perintah dari Rama Prabu Salya. Besok aku tidak akan ikut campur urusan perang yang sudah aku berikan sepenuhnya kepada si paman dan rama Prabu Salya”.Malam itu juga kereta kebesaran Prabu Salya bergerak kencang menuju ke keputren Mandaraka. Prabu Salya pulang ke Mandaraka dengan hati masgul.Dan kedatangan Prabu Salya pada saat lepas sore itu benar benar mengejutkan Prameswari Mandaraka, Dewi Setyawati.“Sinuwun kanda Prabu, kaget dan gembira rasa hati ini, ketika melihat Paduka Sinuwun telah berada kembali di Mandaraka. Apakan perang sudah selesai? Siapakah yang unggul dalam perang yang pasti melelahkan jiwa dan raga itu?”“Pastilah kedatanganku membuat kamu berdua menjadi kaget. Dan perlu dinda Setyawati, bahwa perang belumlah benar benar selesai. Kedatanganku sesungguhnya hanya melepas kangen, sebab, aku merasa sudah terlalu lama, sejak pecah perang, baru kali ini aku kembali ke Mandaraka meninggalkanmu.

Ketahuilah, bahwa esok hari aku akan menjadi senapati perang. Dan sebagai seorang senapati, ibaratnya adalah seperti orang yang siap bepergian. Karena rasa sayangku terhadapmu, bila aku pergi nanti, maka kita harus pergi berdua. Secara kebetulan, bahwa kita berdua adalah orang yang punya hari lahir yang sama, maka bila kita pergi, sebaiknya juga kita pergi juga bersama-sama”.

  QUOTE

16-06-2011, 08:13 AM   #164

izroilblackarmy aktivis kaskus 

 UserID: 509004 Join Date: Jul 2008Posts: 605

Baratayuda : Saat Saat Terakhir 2

By MasPatikrajaDewaku

Mendengar kata kata suaminya, Dewi Setyawati nampak tertegun. Sebagai seorang wanita anak Resi Bagaspati, yang tidak lain seorang pandita yang tak diragukan kewaskitaanya, ia sudah mempunyai firasat buruk terhadap apa yang dikatakan suaminya. Ia telah merelakan anak anak lelakinya habis dalam peperangan itu, tapi kali ini, ia tidak akan lagi rela melepas suaminya menjadi bebanten perang seperti yang terjadi pada anak anaknya. Maka ia bangkit dari duduknya dan bergelayut pada selendang suaminya. Prabu Salya yang melihat tingkah istrinya itu, kemudian tersenyum kepadanya. “Apa yang menjadi kekhawatiranmu Dinda Ratu, aku akan mendengarkan apa yang menjadi isi hatimu”, kata Salya masih dengan senyumnya.“Kanda, anak anak lelaki kita, satu demi satu sudah gugur dalam membela Negara Astina. Bahkan anak perempuan kita Surtikanti juga telah bela pati atas kematian suminya Basukarna. Terlepas dari siapakah yang benar dalam perang itu, hamba sudah pasrah. Tapi, untuk kali ini, hamba tidak akan melepas kepergian paduka kemedan perang. Cukuplah sudah pengorbanan kita untuk mukti wibawa anak kita Banuwati. Malah bila mungkin, mintalah anak mantu kita menyudahi pertempuran, dan anak kita sekalian diminta untuk kembali ke Mandaraka. Negara Mandaraka sudah tidak lagi mempunyai Pangeran Pati, biarkan anak mantu Prabu Duryudana-lah yang sekiranya dapat kita turunkan negara ini untuknya. Dan kita sudah saatnya untuk menikmati hari tua ini di Pertapaan Argabelah dengan memasrahkan diri kepada dat yang maha kasih. Mohon maaf kanda Prabu untuk kelancangan hamba memberikan pilihan kemungkinan yang tak lagi mengorbankan seorangpun.” Masih dengan senyumnya, Prabu Salya malah berkata memuji. Makin rapat sang istri memeluk suaminya. Prabu Salya pun membalas dengn memegang tangan istrinya “Itulah kenapa dari dulu aku menyayangimu, seorang anak gunung, yang jauh dari keramaian kota dan tata krama kerajaan. Tetapi dalam dirimu

yang dikaruniai kecantikan yang sempurna, yang telah mampu merampas segenap sukmaku. Sampai sekarang walaupun engkau sudah berputra putri dewasa, kecantikan itu tidak pudar dimakan oleh waktu, malah semakin bersinar. Dan tak kalah dari yang telah aku ucapkan tadi, adalah mengenai sosok dirimu secara keseluruhan. Dasar pemikiran cemerlang yang kamu punya itu, selalu muncul setiap kali aku merasa buntu dalam menjalankan tata kenegaraan. Hingga segala pertimbangan atas buah pikiranmu selalu menuntun aku keluar dari masalah pelik. Maka, walaupun kita dikatakan tidak pernah terpisah sejengkalpun seumpamanya, dari muda hingga rambut kita sudah dua warna, tetapi ketika aku berpisah walau sekejap, rasa kangen ini selalu saja memenuhi dadaku. Dan bukan oleh karena permintaan rama Resi Bagaspati, bila aku memperistrimu aku tidak boleh menduakan dinda Setyawati. Tetapi memang tidak ada gunanya aku menduakanmu. Dari dirimu, semua rasa tentram, rasa bahagia dalam mengarungi bahtera kehidupan ini, rasanya sudah dinda berikan tanpa henti hari demi hari, tahun demi tahun. Jangan lagi dipikirkan yang akan terjadi besok, lihat, malam ini suasana sangat indah! Kenapa kita tidak menikmati karunia yang telah dewata limpahkan?Jatuh kedalam pelukan mesra, Dewi Setyawati ke dada suaminya. Sanjungan suaminya yang dikenalnya sejak lama dan selalu saja dengan nada yang romantis telah berkali-kali ia dengar. Tapi kali ini sungguh ia dibuat terbang sukmanya. Dibimbingnya sang istri ke peraduan. Sudah tidak muda lagi keduanya, tetapi kemesraan diantaranya tetap terjalin waktu demi waktu. Tidak heran, bahwa lima orang putra putri telah lahir dari buah kasih mereka. Dan nama Setyawati adalah benar-benar sebagai ujud dari nama Endang Pujawati semasa gadisnya. Mereka berdua adalah manusia manusia yang dikaruniai kasih setia yang dalam satu sama lain.Dipandangnya wajah istrinya ketika ia sudah terlelap terbuai mimpi indah. Dalam hatinya tak dapat dipungkiri, ia sangat mencintai istrinya. Dan Prabu Salya sangat memanjakan istrinya dengan berlaku setia penuh. Mungkin ia hendak membayar kesalahan yang telah dilakukan atas permintaannya dulu ketika rasa malunya mempunyai mertua berujud raksasa. Tetapi sesampainya di Mandaraka ketika memboyong istrinya, ia malah mendapat murka dari ayahnya, Prabu Mandrapati. Ia mengatakan hal yang sebenarnya terjadi atas mertuanya, tetapi ia tidak mengetahui bahwa Resi Bagaspati adalah saudara seperguruan ayahnya. Diusirlah Narasoma, Salya muda, ketika itu, yang diikuti oleh Madrim adiknya. Dari situlah ia menyerahkan Dewi Madrim dan Dewi Kunti ke tangan Pandu, atas pengakuan kekalahannya. Padahal ia telah memenangkan sayembara pilih dan berhak memboyong Kunti puteri Mandura. Kenangan masa lalu Salya terhenti ketika ia memutuskan sesuci dan masuk ke sanggar pamujan, meninggalkan sang istri yang masih terlelap

tidur.Kokok ayam yang pertama di pagi buta telah lama berlalu. Matahari di hari belum lagi bersiap menerangi semesta dengan cahaya merah diufuk timur. Dalam balutan busana putih di sanggar itu, Prabu Salya dikejutkan dengan kedatangan seorang utusan yang mengatakan telah menunggu dua orang tamu yang hendak menghadap.

  QUOTE

16-06-2011, 08:18 AM   #165

izroilblackarmy aktivis kaskus 

 UserID: 509004 Join Date: Jul 2008Posts: 605

Pandawa Gugatnegara hastinapura sedang dilanda pagebluk. ibarat kata pagi sakit sore mati. sore sakit pagi mati. sedang gelap suasananya. karena merasa susah maka di sitinggil kerajaan hastina dipanggilah pendeta dr pertapaan soka lima. yaitu begawan drona. bengawan drona berkumpul menghadap jaka pitana aka prabu duryodana yag di dampingi prabu baladewa dari mandura dan patih sengkuni dari ploso jenar. maka dimulailah paseban agung yang membicarakan keadaan negeri hastinapura.

prabu jaka pitana menjelaskan keadaan kerajaan hastina yang sedang dilanda pagebluk dan meminta petunjuk pada sang begawan drona. begawan drona menyatakan bahwa sebelum dipanggil telah menerima wangsit dewata jika sebenarnya pagebluk terjadi karena hawa dari tapa para pandawa di tegal kurusetra. begawan drona meyebutkan bahwa pandawa sengaja bertapa untuk kecelakaan para kurawa. hal ini segera menjadi perdebatan karena prabu baladewa menyanggah dan berkata sebaiknya dilihat dahulu keadaan di lapangan sebelum mengambil kesimpulan.

prabu suyudana mengambil keputusan untuk melihat keadaan di tegal kurusetra. untuk itu maka diminta prabu baladewa menjadi saksi. sementara yang memimpin wadya bala ke tegal kurusetra adalah patih sengkuni. setelah keputusan dibuat maka sang prabu membubarkan paseban dan masuk ke sanggar pamujaan. begawan drona diminta untuk menyertai sang prabu untuk manekung memohon kepada dewa agar pagebluk bisa segera diangkat. dan ketentraman kembali ke negeri hastina.

patih sengkuni segera keluar paseban dan menemui para kurawa. para kurawa langsung datang menyambut untuk mengetahui ada apa di paseban dan apa keputusan raja suyudana. diantara pentolan kurawa tampak adipati ngawangga basukarna, tirtanata dari wonokeling dan burisrowo dari mandaraka. kemudian patih sengkuni menjelaskan bahwa misi para kurawa adalah segera berangkat ke tegal kurusetra untuk melihat apakah para pandawa

benar benar yang menyebabkan keadaan pagebluk di kerajaan hastina.

maka pasukan segera diberangkatkan. pasukan hatsina lengkap dengan senjata perang. dipimpin oleh basukarna dan patih sengkuni. diiringi oleh para kurawa, burisrowo dan tirtanata. sementara prabu baladewa ikut sebagai saksi sekaligus mengawasi apakah bener pandawa melakukan tindakan yang mengakibatkan pagebluk. hati kecil prabu baladewa sangsi. oleh karena itu prabu baladewa berangkat untuk melihat langsung bagaimana kejadian dilapangan. pasukan pun diberangkatkan....!!!!

di alas dekat tegal kurusetra berkumpulah pendawa. tampak bimasena ditengah kemudian puntadewa, arjuna, nakula dan sadewa, juga tampak gatotkaca, antaredja. sementara di luar terlihat sejumlah pasukan menjaga yang dipimpin oleh patih yodipati patih gagak bongkol.

werkudoro membuka pembicaraan setelah semua sama sama mengajukan pambagya. werkudoro berkata dengan suara yang berat, apakah kalian tahu kenapa kalian saudara saudaraku aku panggil untuk berkumpul di tegal kurusetra ini?. prabu puntadewa dan para pandawa lainya mengaku mereka tidak tahu maksud werkudoro memanggil mereka. mereka hanya datang karena memenuhi panggilan dari werkudoro. maka werkudoro menjelaskan bahwa sanya beberapa waktu lalu telah menerima wangsit dari dewata yang menyatakan bahwa ayahnya pandu dewanata swargi dikabarkan dimasukan ke dalam neraka karena segala kesalahanya di dunia.

maksud werkudoro adalah untuk mengadakan tapa brata bersama agar arwah ayah mereka pandu bisa diterima di surga dan dilepaskan dari neraka. mendengar hal itu maka para pandawa lainya pun menyetujui untuk melakukan tapa brata demi memohon agar para dewata mau mengampuni dosa dan kesalahan pandu selama hidup. sedang dalam keadaan pembicaraan berlari lari datang menghadap patih gagak bongkol. werkudoro bertanya ada apa kenapa patih berlari lari tanpa adanya panggilan dari sang werkudoro. disebutkan bahwa pasukan penjaga telah melihat pasukan besar kurawa lengkap dengan senjata mendekati tegal kurusetra.

maka segeralah antaredja dan gatotkaca serta patih gagak bongkol maju ke depan menemui pasukan besar kurawa. sementara itu werkudoro berpamitan untuk mengawasi kedua anaknya tersebut. puntadewa mengingatkan agar werkudoro tidak cawe cawe karena sedang dalam keadaan tapa brata. tak boleh menurutkan hawa emosi di dalam diri. werkudoro dengan

sante berkata aku sudah dewasa tak perlu diingatkan. dan bergegas berjalan mengawasi kedua anaknya dan patih gagak bongkol yang telah memapaki pasukan kurawa.

tampak patih sengkuni dan adipati karna maju ketika mereka melihat gatotkaca maju. terjadi pembicaraan dan perdebatan. adipati karna minta agar para pandawa membubarkan tapanya terlebih dahulu agar hawa pagebluk di hatsina bisa hilang. sementara gatotkaca mengatakan tapa dilakukan untuk menswargakan pandu kakeknya dan lumrahnya tak ada orang tapa teru dipindah itu. dan gatotkaca menyangkal bahwa pagebluk di hastina disebabkan oleh karena tapa brata para pandawa.

karena saling bersengketa dan dipanasi oleh patih sengkuni maka terjadilah perkelahian antara adipati karna dan gatotkaca. perkelahian paman keponakan itu sangat seru. beberapa kali gatotkaca terlempar kena pukulan ajian adipati karna. demikian juga sebaliknya adipati karna beberapa kali terjatuh terkena sambaran pukulan gatotkaca dari atas awan. ahirnya patih sengkuni berhasil memanas manasi adipati karna untuk lebih marah lagi. sampe adipati karna maju menghunus panah pusaka ngawangga. panah ini bernama panah sakti kala dede yang segera dilepaskan ke tubuh gatotkaca.

antaredja melihat hal ini segera mengambil tindakan. sebelum adipati karna sempat melepaskan pusaka antaredja menarik adipati karna ke dalam bumi. disana adipati karna menyerah kalah dan minta dikeluarkan dr dlm bumi. antaredja mau mengeluarkan jika adipati karna bener bener mau berjanji untuk balik ke ngawangga dan tidak meneruskan pertengkaran. adipati menyanggupi. dan setelah dikeluarkan maka adipati memenuhi janjinya. adipati karna pulang ke ngawangga meninggalkan pasukan kurawa.

perang tanding berlanjut. gatotkaca melawan tirtanata dan borisrawa. dalam waktu singkat ke dua pamanya itu berhasil dikalahkan oleh gatotkaca. patih sengkuni kebingungan lalu menyampaikan provokasi kepada raja mandura baladewa bahwa gatotkaca berteriak menantang raja mandura. prabu baladewa yg cepat marah tersulut emosinya. dan dengan senjata nenggala ditangan maju ke medan peperangan. mengetahui prabu baladewa yg maju maka gatotkaca, antaredja dan patih gagak bongkol memilih mundur. karena jika baladewa dilayani maka akan semakin naik emosinya dan bisa berbahaya. prabu baladewa terus mengejar.

prabu baladewa dihadang oleh werkudoro. werkudoro menjelaskan kenapa para pandawa mengadakan tapa hanyalah

untuk maksud meminta agar ayahnya rama prabu pandu swargi bisa dimasukan ke dalam surga. prabu baladewa lerem emosinya dan malah berjanji akan membantu para pandawa. bala pasukan kurawa disuruh balik oleh baladewa. kemudian prabu baladewa ikut manekung bersama para pandawa meminta agar prabu pandu bisa dikeluarkan dr neraka dan dimasukan sorga.

khayangan suralaya goncang, pagebluk terjadi karena hawa panas tapa brata pandawa. prabu pr dewa bhatara guru mengumpulkan dewa dewa. kemudian prabu bhatara guru mengadakan rapat. bhatara guru berkata kepada patih narada bahwa semua ini karena polah para pandawa. patih narada berkata bahwa adalah wajar jika para anak ingin berbakti kepada orang tuanya. tetapi karena bhatara guru terlalu dipengaruhi istrinya durga maka bhatara guru memutuskan akan memasukan para pandawa ke kawah candradimuka bersama dengan pandu sekalian jika mereka tak mau menghentikan tapanya.

patih narada menolak dan protes akan keputusan ini. karena protesnya maka bhatara guru menyopot kedewaan bhatara narada. bhatara narada disuruh turun ke ngarcapada dan hidup sebagai manusia biasa. bhatara narada pun rela melepaskan posisinya dan turun ke dunia. tapi dalam hati bhatara narada berjanji akan membela pandawa yang dalam posisi yang benar. sementara itu bhatara guru mengeluarkan perintah agar bhatara indra dan yamadipati segera turun ke kurusetra untuk mengehentikan tapa pandawa. jika tak mau maka segera dicabut nyawanya dan cemplungkan ke kawah candra dimuka. berangkatlah bhatara indra dan yamadipati turun ke ngarcapada dikuntit oleh bhatara narada.

sementara itu bhatara guru membuat titah kepada durga untuk memangsa semua anak turun dan mereka yang mempunyai hubungan dengan pandawa. karena dianggap berani melawan dewa. bhetari durga segera menyuruh anaknya wisrawadewa meimimpin pasukan baju barat yg terdiri dari gandarwa, jin, pocongkk, balung engklek engklek, banaspati, setan untuk turun ke bumi. dan menghabiskan semua yang ada hubunganya dengan pandawa sebagai hukuman karena berani menentang dewata. berangkatlah pasukan besar baju barat ini ke ngaracapada.

  QUOTE

16-06-2011, 08:19 AM   #166

izroilblackarmy aktivis kaskus 

Pandawa Gugat 2

di tengah alas tampak sri prabu kresna dr dwarawati sedang murung. disertai dengan patih setyaki. sri baginda merasa resah

 UserID: 509004 Join Date: Jul 2008Posts: 605

karena pandawa menghilang tanpa pamit. bahkan dengan ilmu kaca paesan tak mampu untuk mengetahui dimana pandawa berada. telah berhari hari sri kresna mencari resi yg bisa ditanya dimana para kadang pandawa. ternyata tak ada yang mengerti. maka sri baginda kresna pun memutuskan untuk bertapa di tengah hutan itu. patih setyaki diminta menjaga selama prabu bhatara kresna bertapa.

sementara itu wisrawa dewa masuk alas yang sama disertai oleh bilung dan togog. lalu bertemulah dengan setyaki. segera wisrawa dewa menyerang setyaki dengan asumsi bahwa setyaki pendukung pandawa. beberapa gebuk berkali kali prabu wisrawa dewa dijatuhkan. togog menyampaikan saran agar wisrawa dewa segere balik mundur saja sebelum terjadi apa apa karena setyaki sangat kuat dan tak akan mungkin menang. tapi wisrawa dewa ngotot. maka setyaki mengeluarkan gada wesi kuningnya dan babak belurlah wisrawa dewa. dengan sisa tenaganya larilah wisrawa dewa diiringi oleh togog dan mbilung.

hawa hawa tapa dr pandawa dan juga dr sri baginda bhatara kresna menimbulkan hawa panas yang sangat. menandakan segera dimulainya goro goro. bencana terjadi dimana mana. angin puting beliung, gempa bumi, hujan salah musim. di kayangan bhatara guru mnyiram air cupu manik untuk menenngakan alam. goro goro hanya reda ketika mendengar nyanyian dan suka cita cecandaan dari punakawan. para punakawan berkumpul dihutan. bernyanyi menembang dan berhumor. mereka mendampingi srikandi dan sembadra yang sedang bersedih dan lelaku tirakat masuk hutan mencari jawaban. karena mereka mendapati pendawa kususnya suami mereka arjuna hilang tanpa meninggalkan pesan.

di alas mereka dimomong ki semar badranaya. ki semar selalu menyampaikan agar sembadra dans rikandi berbakti kepada suami dan banyak tirakat. tiba tiba datanglah gandarwa baju barat. lalu terjadi peperangan antara gandarwa dan srikandi. ribuan gandarwa baju barat tewas. punakawan juga berperang dan semakin banyak gandarwa yang tewas. tapi namanya gandarwa baju barat walo mati sehari 7 kali tak jadi masalah karena begitu ketetesan embun mereka akan hidup lagi. mereka ketakutan dan berlari menjauh dr rombongan srikandi dan punakawan. laku tirakat di lanjutkan kembali.

di kurusetra turunlah bhatara endra. disambut oleh para pandawa. mereka merasa senang karena bhatara ada turun ke bumi. pasti ada kabar. ternyata kabar buruk. mereka disuruh mengahiri tapa mereka. tetapi pandawa menolak dan lebih memilih yaitu masuk kawah candra dimuka menemani arwah pandu ayahnya. maka dibawalah para pandawa dan prabu baladewa ke kayangan oleh

bhatara indra dan yamadipati. untuk dicemplungkan ke kawah candra dimuka. gatotkaca dan antaredja kaget diberitahu patih gagak bongkol jika pepundenya dibawa ke kayangan untuk dimasukan kawah. mereka segera mencari prabu bhatara kresna untuk meminta "nasehat" menghadapi hal ini.

sementara bhatara narada yg menguntit 2 bhatara td semnejak di kayangan segera mencari kakang semar badranaya. bhatara ismaya. tak berapa lama dalam hutan bhatara narada ketemu dengan bhatara ismaya semar badranaya dengan punakawan dan srikandi serta sembodro. singat cerita di ceritakanlah semua kejadian oleh bhatara narada. semar merasa ga terima dan segera pergi ke kayangan. semar bermaksud masuk ke kawah candra dimuka dahulu agar tak membahayakan para paadawa. karena kawah candradimuka dayanya abyar tak membawa celaka jika bhatara ismaya berada di dalamnya.

sementara itu bhatara narada memberikan cincin kepada sembadra dan manjing dalam tangan srikandi. lalu srkandi dan sembodro berubah jadi raksesi. bernama raksesi bodro yakso dan kandi yakso. mereka pergi ke kayangan untuk menuntut keadilan. diiringi oleh punakawan. di kayangan pandawa nyemplung ke kawah. mereka tak terluka sedikitpun karena kawah sudah dimasuki oleh bhatara ismaya ki semar. malah disana ketemulah antara pandawa dengan arwah prabu pandu dan ibu madrim. maka terjadilah dialog lepas kangen antara ayah dan anak. mereka begitu bahagia mengetahui anak anaknya sangat berbakti.

geger memuncak di kayangan. dua raksesi mengamuk. sementara itu gatotkaca dan antaredja ketemu dengan sri baginda kresna dan memberitahukan masalah yg terjadi. bhatara kresna terbang ke khayangan sementara 2 satria tadi disuruh menunggu kabar di dunia. di khayangan bhatara guru menyambut kresna dan meminta segera menghadapi 2 raksesi yang mengamuk itu. karena khayangan mengalami banyak kerusakan dan kehancuran. para dewa tak ada yang mampu menghadapi amukan raksesi.

kresna mau menghadapi raksesi dengan satu sarat yaitu pandawa dibebaskan dr hukuman. bhatara guru setuju dan bersama kresna segera masuk dlm kawah. disana mereka bertemu dengan pandawa, ki semar, baladewa, dan arwah pandu. karena merasa bersalah maka bhatara guru ahirnya melepaskan hukuman pandawa. dan pandu diberi anugerah surga.

arjuna disuruh menghadapi 2 raksesi bukanya dengan senjata tapi disuruh ngerayu. arjuna manteg aji asmaragama sambil merayu dan badarlah 2 raksesi kembali jd sembadra dan srikandi.

mereka lalu bersama pulang ke ngarcapada. di ngracapada gatotkaca dan antaredja menghajar sisa sisa baju barat. durga ngacir lari karena mengetahui semar akan datang. durga memerintahkan semua baju barat kembali ke istana durga di sentra gondo mayit.

  QUOTE

16-06-2011, 08:20 AM   #167

izroilblackarmy aktivis kaskus 

 UserID: 509004 Join Date: Jul 2008Posts: 605

Pertemuan Agung

Pandawa tidak lagi hidup dalam pengasingan dan persembunyian. Tigabelas tahun telah mereka lewatkan dengan penuh penderitaan. Tigabelas tahun yang memberi mereka banyak pengalaman berharga. Mereka meninggalkan ibu kota Negeri Matsya dan tinggal di suatu tempat yang bernama Upaplawya, yang masih terletak di wilayah Negeri Matsya. Dari sana mereka mengirim utusan untuk menemui sanak dan kerabat mereka.

Dari Dwaraka datang Balarama, Kresna, dan Subadra, istri Arjuna, serta Abimanyu, putra mereka. Mereka diiringkan oleh para ksatria keturunan bangsa Yadawa, antara lain Setyaki.Selain itu, datang pula Raja Kasi dan Raja Saibya, dengan diiringkan oleh panglima masing-masing.Begitu pula Drupada, Raja Pancala, ayah Drupadi. Ia datang dengan membawa tiga pasukan perang yang masing-masing dipimpin oleh Srikandi, Drestadyumna dan anak-anak Drupadi.Banyak raja dan putra mahkota yang datang ke Upaplawya untuk menyatakan persahabatan dan simpati kepada Pandawa.

Dalam pertemuan maha besar itu, pernikahan Abimanyu dengan Dewi Uttari dilangsungkan. Upacara pernikahan dilangsungkan di balairung istana Raja Wirata. Kresna duduk di samping Yudhistira dan Wirata, sementara Balarama dan Setyaki duduk dekat Drupada.Di samping upacara pernikahan Abimanyu dan Dewi Uttari, pertemuan agung itu juga merupakan pertemuan para Penasehat Agung untuk merundingkan penyelesaian yang bisa mendamaikan Pandawa dan Kurawa.

Setelah upacara pernikahan selesai, para Penasehat Agung bersidang di bawah pimpinan Kresna. Semua mata memandang dengan penuh khidmat ketika Kresna bangkit untuk memulai perundingan."Saudara-saudara semua pasti tahu", kata Kresna dengan suara lantang dan berwibawa. "Yudhistira telah ditipu dalam permainan dadu. Yudhistira kalah dan kerajaannya dirampas.

Dia, saudara-saudaranya, dan Drupadi harus menjalani pembuangan di hutan belantara. Selama tigabelas tahun putra-putra Pandu dengan sabar memikul segala penderitaan demi memenuhi sumpah mereka. Dharmaputra tidak menginginkan sesuatu yang tidak patut dituntut. Ia tidak menginginkan apapun, kecuali kebaikan dan kedamaian. Ia tidak mendendam meskipun putra-putra Drestarastra telah menipunya dan membuatnya sengsara. Kita belum mengetahui apa keputusan Duryodhana. Kita berharap Duryodhana mau mengembalikan separo kerajaan kepada Yudhistira. Menurutku, kita harus mengirimkan utusan yang tegas dan jujur serta mampu mendorong Duryodhana untuk berkemauan baik demi selesainya masalah ini secara damai".

Setelah Kresna berbicara, Balarama berdiri dan menyampaikan pendapatnya. "Saudara-saudara, aku setuju dengan pendapat Kresna, karena itu baik bagi kedua pihak, baik Duryodhana maupun Dharmaputra. Jika putra-putra Kunti bisa memperoleh kembali kerajaan mereka secara damai, tak ada yang lebih baik bagi mereka dan bagi Kurawa. Yudhistira, yang mengetahui resiko bertaruh dalam permainan dadu telah mempertaruhkan kerajaannya. Meskipun tahu tak akan mungkin mengalahkan Sakuni yang ahli bermain dadu, Yudhistira terus bermain. Karena itu, sekarang ia tidak boleh menuntut. Ia hanya boleh meminta kembali apa yang menjadi haknya. Saudara-saudara, aku ingin kalian mengadakan pendekatan dan berdamai dengan Duryodhana. Dengan segenap kemampuan kita, kita hindari pertentangan dan adu senjata. Peperangan hanya menghasilkan kesengsaraan dan penderitaan bagi rakyat. Utusan yang akan kita kirim, hendaknya jangan orang yang haus perang. Ia harus sanggup berdiri tegak, bagaimanapun sulitnya, untuk mencapai penyelesaian secara damai".

Setyaki tersinggung setelah mendengar pendapat Balarama. Ia bangkit berdiri dan berkata lantang, "Menurutku pendapatku, Balarama sama sekali tidak bicara sedikitpun tentang keadilan. Dengan kecerdikannya, seseorang bisa memenangkan suatu perkara. Tetapi kecerdikan tidak selalu bisa mengubah kejahatan menjadi kebajikan atau ketidakadilan menjadi keadilan. Aku hanya menegaskan bahwa Kurawa memang sengaja berbuat demikian dan telah merencanakan semuanya. Mereka tahu, Yudhistira tidak ahli bermain dadu. Karena terus dibujuk dan didesak, akhirnya Yudhistira tidak bisa menolak untuk menghadapi Sakuni, si penjudi licik. Akibatnya, ia menyeret saudara-saudaranya ke dalam kehancuran. Kenapa sekarang ia harus menundukkan kepala dan meminta-minta di hadapan Duryodhana ? Yudhistira bukan pengemis. Dia tidak perlu meminta-minta. Ia telah memenuhi janjinya. Duabelas tahun dalam pengasingan di hutan dan duabelas bulan dalam persembunyian. Tetapi, Duryodhana dan sekutu-sekutunya tanpa

malu dan dengan hina tidak mau menerima kenyataan bahwa Pandawa berhasil menjalankan sumpah mereka".Dengan berapi-api, Setyaki melanjutkan, "Akan aku tundukkan manusia-manusia angkuh itu dalam pertempuran. Mereka harus memilih, minta maaf kepada Yudhistira atau menemui kemusnahan. Jika tidak bisa dihindari, perang berdasarkan kebenaran tidaklah salah, begitu pula membunuh musuh yang jahat. Meminta-minta kepada musuh berarti mempermalukan diri sendiri. Duryodhana tidak akan membiarkan pembagian wilayah tanpa peperangan. Jika Duryodhana menginginkan perang, ia akan memperolehnya. Kita akan sungguh-sungguh mempersiapkan diri ".Akhirnya Satyaki berhenti bicara karena napasnya tersengal-sengal akibat terlalu bersemangat.

Drupada senang mendengar kata-kata Setyaki yang tegas. Ia berdiri dan berkata, "Setyaki benar. Kata-kata lembut tidak akan membuat Duryodhana menyerah pada penyelesaian yang wajar. Mari kita lakukan persiapan. Kita susun kekuatan untuk menghadapi perang. Jangan buang-buang waktu. Segera kita kumpulkan sahabat-sahabat kita. Kirimkan segera berita kepada Salya, Drestaketu, Jayatsena dan Kekaya. Kita juga harus mengirim utusan yang tepat dan cakap kepada Drestarastra. Kita utus Brahmana, pendita istana Negeri Pancala yang terpercaya, pergi ke Hastinapura untuk menyampaikan maksud kita kepada Duryodhana. Dia juga harus menyampaikan pesan kita kepada Bhisma, Drestarastra, Kripa dan Drona".

Setelah semua selesai menyampaikan pendapatnya, Kresna alias Basudewa berkata, "Saudara-saudara, apa yang dikatakan Drupada sungguh tepat dan sesuai dengan aturan. Baladewa dan aku, punya ikatan kasih, persahabatan dan kekeluargaan yang sama terhadap Kurawa maupun Pandawa. Kami datang untuk menghadiri pernikahan Abimanyu dan sidang agung ini. Sekarang kami mohon diri untuk kembali ke negeri kami. Saudara-saudara adalah raja-raja yang besar dan terhormat. Drestarastra juga menghormati saudara-saudara sekalian. Drona dan Kripa adalah sahabat sepermainan Drupada di masa kanak-kanak. Pantaslah kita mengutus Brahmana yang kita percaya untuk menjadi utusan kita. Apabila utusan kita gagal dalam usahanya meyakinkan Duryodhana, kita harus siap menghadapi perang yang tak dapat dihindari ".

Sidang agung itu lalu ditutup. Kresna kembali ke Dwaraka bersama kerabat dan pengiringnya. Begitu pula Baladewa, kakaknya.Sepeninggal mereka, Pandawa mulai mengirim utusan-utusan kepada sanak saudara dan sahabat-sahabat mereka. Mereka juga mempersiapkan pasukan perang dengan sebaik-baiknya.

Sekembali dari pertemuan agung itu, Raja Drupada memanggil pendita Negeri Pancala dan berkata kepadanya, "Engkau mengetahui jalan pikiran Duryodhana dan sikap Pandawa. Pergilah menghadap Duryodhana sebagai utusan Pandawa. Kurawa telah menipu Pandawa dengan sepengetahuan ayah mereka, Raja Drestarastra yang tidak mau mengindahkan nasehat Resi Widura. Tunjukkan kepada raja tua yang lemah itu, bahwa ia telah diseret anak-anaknya ke jalan yang salah. Engkau bisa bekerja sama dengan Resi Widura. Mungkin dalam tugasmu engkau akan berbeda pandangan dengan para tetua di sana, yaitu Bhisma, Drona dan Kripa. Begitu pula dengan para panglima perang mereka. Andaikata itu yang terjadi, maka dibutuhkan waktu lama untuk mempertemukan berbagai pendapat yang berbeda. Dengan demikian, Pandawa mendapat kesempatan baik untuk mempersiapkan diri. Sementara engkau berada di Hastinapura untuk merundingkan perdamaian, persiapan Kurawa akan tertunda. Syukur kalau Pendita bisa kembali dengan penyelesaian yang memuaskan kedua pihak. Tetapi menurutku, Duryodhana tidak dapat diharapkan akan mau menyetujui penyelesaian seperti itu. Namun demikian, mengirim utusan merupakan suatu keharusan".

Demikianlah, Raja Drupada mengirim Brahmana kepercayaannya ke Hastinapura untuk menjadi utusan yang mewakili Pandawa dalam mencari penyelesaian secara damai dengan Kurawa.

  QUOTE

16-06-2011, 08:22 AM   #168

izroilblackarmy aktivis kaskus 

 UserID: 509004 Join Date: Jul 2008Posts: 605

Purbodjati 1

negeri hastinapura yang permai. kekayaan melimpah. sayang sekali rajanya prabu duryodana tak pernah tenang. karena menuruti hawa nafsu ingin melenyapkan seteru duri dalam daginya. yaitu para pandawa. siang itu paseban dibuka dengan hadirnya dan menghadapnya 2 orang begawan. yang pertama adalah begawan drona dr pertapan soka lima dan panembahan wiso sejati dari talang gantungan. bengawan drona menceritakan bagaimana keskatian panembahan wisno sejati pada sang prabu joko pitono. saat itu di paseban hadir juga patih sengkuni dari ploso jenar dan prabu baladewa dari kerajaan mandura.

prabu jaka pitana mengutarakan mengapa keadaan dirinya sering dalam keadaan gelisah selalu. sang panembahan menjelaskan bahwa karena sang baginda selalu memikirkan kekuatiran bahwa para pandawa akan merebut dampar kerajaan. karena itu sang

panebahan menawarkan untuk ikut berbakti dengan mengupayakan kematian para pandawa. sang prabu jaka pitana sangat gembira sekali dan menerima usulan dari sang panembahan. sang panembahan mengatakan bahwa pandawa itu kekuatanya dari sri bhatara kresna karena itu untuk memudahkan membunuh pandawa maka harus dilenyapkan dahulu sang bhatara kresna. sang panembahan menanyakan apakah sang prabu menyetujui akan usulan dr dirinya.

sang prabu jaka pitono memberikan isyarat beliau sangat setuju terhadap usulan panembahan. bahkan meberikan suatu harapan bagi panembahan agar bisa membantunya melenyapkan para pandawa. tetapi sang panembahan kemudian berkata bahwa di dlm istana hastina ada mata mata pandawa. yaitu sang prabu baladewa yang dianggap adalah mata mata karena beliau pasti tak akan setuju dengan usulan untuk membunuh sri bhatara kresna. mendengar itu sang prabu baladewa menahan amarahnya dan berkata, sebaiknya sang prabu joko pitono berpikir ulang. agar wening pikiranya. tidak hanya memusatkan pada keinginan membunuh para pandawa saja. tetapi usulan itu tidak diperhatikan sang prabu jaka pitana. bahkan resi drona menyumbari akan membantu penuh teman barunya itu dalam mengupayakan kematian sri kresna dan pendawa.

sang prabu jaka pitana menyetujui hal tersebut dan meminta segera dilaksanakan perbuatan tersebut secara nyata. maka sang panembahan memanggil muridnya dr ngeri talang gantungan yaitu prabu dosokendro. prabu doso kendro datang menghadap dan berkata sanggup untuk menjadi jago kurawa dalam membunuh sri kresna. setelah direstui sang prabu maka berangkatlah rombongan. dengan dikawal oleh patih sengkuni, resi drona dan para korawa. setelah rombongan berangkat prabu baladewa pamit pulang dengan lasan istrinya sakit. tetapi sang prabu sebenarnya sangat marah dan berniat mencegat rombongan prabu dosokendro.

paseban dibubarkan. lalu sang prabu joko pitono masuk ke dalam istana. berganti baju serba putih dan masuk sanggar pemujaan. niat minta kepada dewata agar niatnya berjalan lancar. disanggar pamujaan gangguan banyak terjadi. karena niat sang prabu yang jelek dan tak direstui dewa. kemenyan yg dibakar tak nyala nyala. bahkan cuma menetes mematikan apinya. kukus kemenyan berwarna hitam dan bolak balik membuat sang prabu bangkis bangkis dan mata merah perih. marah sang prabu duryodana. kemenyan ditendang sampe mencelat jauh ke pelataran. lalu sang prabu keluar saggar pamujaan. ratu banowati yg tau suaminya lg marah menyambutnya dengan senyuman. dan luluhlah marah sang prabu, mereka pun berasmara ria. tak peduli lg dengan niatan membunuh pandawa....

prabu dasakendra diiringi oleh togog dan mbilung. mereka jalan didepan mendahuli begawan drona dan panembahan wisno djati yg berjalan di belakang. lalu di belakangnya lg agak jauh patih sengkuni dengan para kurawa mengawasi. sementara lg enaknya berjalan prabu dasa kendra menanyaan pd togog apa sih kelebihan prabu bhatara kresna itu?. lalu togogo menjelaskan agar sang prabu jangan berani melawan sri kresna karena beliau adalah titisan wisnu, memiliki senjata chakra dan bisa tiwikrama menjadi raksasa sebesar jagad. tapi dasar kesombongan memenuhi dada dasa kendra sehingga tak mau mendengar penjelasan dari togog dan memilih terus berjalan akan membunuh sri kresna.

belom jauh melangkah jalan dihadang oleh prabu baladewa. yang kemudian menantang dasakendra. boleh membunuh sri kresna jika bisa melangkahi bangkai baladewa kata raja mandura itu sangat marah. perkelahian pun terjadi. prabu baladewa mengamuk sejadi jadinya. dasa kendra dihantam dipukul dan diinjak injak. sampe babak belur klenger. kemudian mundurlah dasa kendra dan bertemu dengan rombongan resi drona dan panembahan wisno djati. sengkuni menyusul dan dengan mengejek dia berkata kepada resi drona. kakang drona, ini jagoanmu?masa belom apa apa saja sudah babak belur begini?. drona sesumbar bahwa itu baru awal.

prabu dasa kendra mengeluarkan pusaka kemlandingan putih. yang dilempar ke arah prabu baladewa yang segera mebentuk tali yang mengikat tangan ratu mandura. marahlah prabu baladewa meledak ledak suaranya. sambil mencabut senjata saktinya neggala. neggala membuat pusaka kemlandingan putih hancur berantakan dan dasa kendra jadi bulan bulanan dan hampir saja tewas kalo tidak melarikan diri. oleh panembahan dsuruh agar melanjutkan jalan dan jangan ngurusi baladewa. resi drona lalu menggunakan cara licik dengan mencipta agar dasa kendra bisa salin rupa sama persis dengan hyang kaneka putra bhatara narada. karena nesehat dr panembahan bahwa kresna itu tak takut apa apa. dia cuma takut kepada bhetara.

oleh panembahan kaneka putra palsu ini disuruh ke dwarawati dan meminta mustika wijaya kesuma. dengan prediksi kresna tak akan bisa mati jika mustika wijaya kesuma masih ada ditangan sri kresna. karena mustika wijaya kesuma dikenal mampu membangunkan orang mati separah apapun lukanya. maka berangkatlah narada palsu ke dwarawati. sementara itu drona dirubah oleh panembahan salin rupa jadi prabu kresna. untuk pergi ke ngamarta dan meminta layang kalimasada dari prabu puntadewa. karena ga mungkin minta paksa dan mengetahui pandawa cuma patuh pd kresna maka drona salin rupa jd kresna.

cuman panembahan mengingatkan agar hati hati pada sadewa. karena sadewa itu yg paling waspada dan akan mengetahui jika ada yg pake ilmu salin rupa.

juga diperintahkan agar membawa arjuna dan werkudro untuk diperdaya dengan sebuah asumsi bahwa benteng pandawa ya cuma bima dan arjuna yang paling sakti. maka berangkatlah sri kresna palsu ke ngamarta. merasa belom aman panembahan memanggil buto yg tak tampak karena ahli panlimunan, bernama yaksa kala jambe rupekso. diperintahkan dengan halimunan selalu mengikuti resi drona aka krena palsu. jika ada yang mau menyusul untuk menggagalkan jalan sri kresna palsu ditugaskan pada buto tersebut untuk menghadapi sang pengganggu siapapun itu. maka berangkatlah sang raksasa, yang wujudnya tak terlihat. ibarat kata hanya suara tanpa wujud karena ahlinya dlm halimunan.

baladewa mencari lari kemana musuhnya. tiba tiba saja menghilang. hatinya merasa sangat tak enak. kemudian segera bladewa melaju ke dwarawati. untuk mengingatkan bahwa bahaya sedang mengancam adiknya prabu bhatara kresna. kisah berpindah ke ngamarta. kerajaan ngamarta aka indraprasta mengalami masa suram. terkena pagebluk karena hawa hilangnya pamomong pandawa yaitu aki semar badranaya. ibarat kata keadaan morat marit. banyak penyakit. pagi sakit sore mati, sore sakit pagi mati. dan para pandawa merasa sangat sangat prihatin sekali.

di paseban para pandawa tampak murung. tiba tiba datanglah sri kresna palsu resi drona yang langsung masuk sitinggil. sri kresna palsu di sambut dengan bahagia. para pandawa merasa bahagia karena dengan kehadiran sri kresna dianggap akan mampu memberikan jawaban atas apa yang terjadi di negeri ngamarta. sri kresna menyampekan jangan sedih dan konyol, semar itu wong cilik bodoh dan ga bs apa apa jangan dimulia muliakan katanya. lalu sri kresna meyampekan ada topo yang gede banget penguwasanya. namanya panembahan wisno djati. dan menganjurkan pandawa berguru padanya. sri kresna mengatakan bahwa pandawa mengalami pagebluk karena kurang paham isi layang kalimasada. dan sri kresna menganjurkan agar layang kalimasada diberikan padanya dan arjuna wkudoro agar ikut untuk diwejang sang panembahan. hal ini disetujui oleh prabu puntadewa. maka berangkatlah rombongan sri kresna palsu dan layang kalimasada disertai harjuna dan werkudoro.

  QUOTE

16-06-2011, 08:23 AM   #169

izroilblackarmy Purbodjati 2

aktivis kaskus 

 UserID: 509004 Join Date: Jul 2008Posts: 605

sadewa merasa curiga dan tau bahwa sri kresna bukanlah sri kresna asli. melainkan jelmaan orang lain. dia berkata kepada prabu puntadewa untuk menyusul dan merebut jamus kalimasada. tetapi dilarang oleh prabu puntadewa. sadewa pun dengan cerdiknya pamit memeriksa pasukan di luar. prabu mengijinkan sambil tetep merasa agak kuwatir sadewa akan menyusul sri kresna. tetapi sadewa menyakinkan sang prabu bahwa dirinya cuma akan keluar ke pelataran liat prajurit. di luar sadewa mengumpulkan gatotkaca, antaredja, antasena untuk diajak rembugan. mereka sadar bahwa sri kresna yg tadi itu palsu dan hanya jelmaan dan bertekad untuk merebut kembali layang jamus kalimasada.

gatotkaca bagi tugas, di angkasa gatotkaca akan menyusul. antaredja liwat tanah dan antasena mengawasi di belakang rupanya buto panglimunan jambe rupekso mengetahui. berniat menghalangi tindakan para putra yodipati. buto gandrwo ini lalu merasuk ke dalam tubuh antaredja sampe antaredja kesurupan dan memukul gatotkaca sampe pingsan. gatotkaca bangun dan bertanya kenapa kakanya memukulnya. antaredja yg kesurupan mengatakan bahwa sadewa sedeng karena berani melawan sri kresna. lalu berantemlah keduanya. sampe pukulan gatotkaca telak menjatuhkan antaredja saat itu jin kolo jambe mencelat keluar dr tubuh antaredja. dan antaredja bingung kenapa kok dipukul oleh gatotkaca. datanglah antasena. mereka lalu rembugan apa yg sih yg sebenrnya terjadi. mereka lalu waspada. ada yg ga beres disini kata antasena.

antasena meminta gatotkaca menggunakan pemberian bhatara guru berupa mustika rumput suket kalanjana. dioleskan ke mata sanggup liat ghoib. tampalah buto gandarwa kolo jambe. pertarungan terjadi antasena dan antaredja menggunakan suket kalanjana juga sehingga bisa ikutan berantem. dlm pertempuran ini raksasanya kewalahan. karena tandang dr ke 3 putra yodipati. gatotkaca menyerang dr atas, antaredja dr dalam tanah dan antasena menendang langsung tubuh raksasa itu sehingga seperti bola sepak. karena kewalahan maka raksasa itu memilih mundur sambil menebar kabut.

kembalilah ke 3 satria yodipati karena ga berhasil mengejar kresna palsu. dan juga ga berasil nangkep gandarwa td. menghadap sadewa, oleh sadewa diminta antasena antaredja menjaga ngamarta sementara gatotkaca diminta terbang di udara. jika ada sorot terang segera turun ke bumi. semoga itu jawaban dr masalah. dan sadewa segera ke dwarawati mengadukan masalah yg terjadi kepada sri baginda bhatara kresna. maka berangkatlah sadewa dan gatotkaca dengan tugas masing masing.

keraton dwarawati, prabu sri kresna tampak murung dipaseban bersama patih udawa dan setyaki. prabu bhatara memikirkan tentang keadaan pagebluk yg menimpa dwarawati. tiba tiba datanglah baladewa dan sadewa secara bersamaan. maka sang prabu pun menyambut tamu saudara saudaranya ini. prabu baladewa mengingatkan sri bhatara kresna agar waspada. karena ada yang mau membunuh sri bhatara kresna. sedang sadewa menyampaikan kabar bahwa sri kresna asli menyuri jimat kalimasada serta membawa arjuna dan werkudoro tanpa diketahui akan dibawa kemana.

geger tiba tiba bhatara narada palsu datang. semua menghaturkan sembah. bhatara narada berkata bahwa ada perintah bhatara guru untuk meminta kembang wijayakusuma. tapi karena kecerdikan sri kresna maka sri kresna menolak secara halus. tetapi bhatara narada palsu berkata akan merebut sendiri liwat perang jika kembang wijaya kusuma tak diberikan. sri rkesna erasa janggal dan tau kalo ini bhatara narada palsu. segera memanggil senjata chakra dan dihantamkan ke leher bhatara narada. seketika terbuka kedoknya balik ke wujud asal yaitu prabu dasa kendra yg segera lari ke luar sitinggil. yg lain akan mengejar tapi di cegah sri kresna. ini musuhku kalian disini jaga baik baik kerajaan berkata sri kresna. dan segera sri kresna mengejar dasa kendra.

pertempuran terjadi. anehnya setiap terkena chakra tewaslah prabu dasa kendra terkena tanah hidup lagi, terus begitu ahirnya larilah prabu kresna. pertapaan wukir retawu kedatangan tamu. yaitu pangeran ongkowidjoyo aka abimanyu dan punokawan dr kesatrian plongkowati. kedatangan untuk meminta begawan abyasa memberikan pencerahan dimana lurah semar berada. oleh begawan abyasa disuruh cari ke kaki pegunungan di sebelah timur. maka berangkatlah rombongan dihadang oleh raksasa baju barat. terjadilah perang tanding. dan saat berperang gatotkaca melihat dr angkasa adiknya dikeroyk banyak raksasa. segera turun membantu menumpas para raksasa. segera setelah semua raksasa berlarian maka gatotkaca ikut dlm rombongan abimanyu mencari kaki semar badranaya.

cerita beralih ke kayangan ondar andir. tempat sang hyang wenang. sang hyang wenang lg ada tamu, ismaya ki semar. kisemar mengadu kenapa kejahatan meraja lela. sang hyangw enang bilang ini ujian untuk pembela kebajikan. lalu diberikan trisoro oleh sang hyang wenang kepada ismaya. untuk melawan kejahatan dan hanya boleh digunakan oleh mereka yang memiliki jika senopati. kembalilah ismaya ke ngarcapada setelah berterimakasih kepada sang hyang wenang.

di kaki gunug ditimur jazad ki semar ditunggu oleh hanoman.

datanglah abimanyu gatotkaca dan punokawan. mereka diberi tahu semar sedang menghadap hyang wenang. maka mereka menunggu disisi tubuh semar. masuklah sang hyang ismaya. ki semar segera bangkit sadar. lalu segera meminta rombongan menuju suatu tempat yang telah diketahui untuk menyelamatkan pusaka jimat kalimasada dan arjuna serta werkudoro.

sri kresna palsu membawa arjuna dan werkudoro ke sebuah pertapan. ketemu dengan panembahan wisno jati. diberi air untuk membersihkan jiwa. air yg diracun. karena percaya saja arjuna da bima meminumnya. dan lumpuh lemaslah keduanya. lalu di bawa ke dalam penjara. sri kresna palsu diminta kembali ke pandawa untuk mengambil putadewa dan sisa pandawa. sementara jin jambe disuruh memasukan arjuna dan bima ke penjara. saat itu datang rombongan semar. hanoman dengan seluruh kesaktianya memukul sampe hancur berantakan tubuh dr jin jambe. gandarwa kala jambe tewas seketika. lalu penjara di hantam pusaka trisoro yg diberikan semar kepada gatotkaca.lebur penjara itu, bima dan arjuna ditolong keluar.

datanglah prabu kresna asli dikejar oleh dasa kendra. semar meminta hanoman menghadapi dasa kendra sementara kresna diminta merebut jamus kalimasada dari kresna palsu. pertarungan terjadi dan hanoman berhasil mengenali dasa kendra sebagai sukma dosomuka yg lari dr gunung pangukuman argokiloso. setelah berantem seru maka terpeganglah sukma dasamuka dan dikembalikan ke penjara. sri kresna asli terdesak oleh sri kresna palsu. oleh semar gatotkaca diminta menghantamkan senjata trisoro. dan badar sri kresna palsu kembali ke wujud drona. drona menyerah dan mengembalikan kembali jamus kalimasada.

sementara panembahan wisno jati dihadapi semar. setelah perang tanding badar wujud panembahan menjadi bhetari durga. bhetari durga meyerah dan mohon diampuni. oleh semar diampuni dan bhetari kembali ke khayangan sentra gondo mayit. semua pasukan baju barat dan penyakit yg menyatroni ngamarta dan juga dwarawati ditarik. dan keadaan kembali tenang. senjata trisoro itulah purbodjati yg diberikan sang hyang wenang kepada ismaya untuk melenyapkan ke angkara murkaan.

  QUOTE

18-06-2011, 07:58 AM   #170

1996888 kaskus addict 

selama ini hanya menjadi silent reader ini trit tp rasa ga penasaran mendorong untuk memohon ts cepet2 updet lg cerita2 na terutama yg mahabarata soal na bener2 bikin penasaran...

buat ane ini salah satu trit yg paling bermutu karena scra tidak

 UserID: 1996888 Join Date: Aug 2010Location: User=UserIDPosts: 2,010

lgsg sadar tidak sadar bnyk banget ajaran yg bisa d ambil

  QUOTE

20-06-2011, 10:38 AM   #171

izroilblackarmy aktivis kaskus 

 UserID: 509004 Join Date: Jul 2008Posts: 605

Srikandi Daup

negara pancala dipenuhi oleh kadang pandawa. karena pancala atau cempala mengadakan sayembara. bahwa srikandi akan menikah dengan siapa saja yang sanggup membuat atau memperbaiki taman mowokoco. saat itu semua dr pandawa tahu bahwa arjuna menginginkan bersanding dengan srikandi. tetapi rupanya hal ini membuat cemburu larasati istri ke 2 arjuna. sebenernya larasati disuruh oleh sembadra istri pertama arjuna untuk menguji srikandi dalam olah kaprigelan. ternyata kemampuan srikandi dan larasati sama dan sebanding. karena tidak menginginkan geger berlanjut maka dibuatlah sayembara tersebut.

rupanya sayembara ini membuat kerajaan ceti mengirimkan dutanya. duta tersebut berwujud raksasa datang ke paseban agung dan menyatakan ingin melamar srikandi. belum memutuskan raja drupada raja agung cempala, sudah ditengahi oleh drestajumna saudara srikandi. drestajumna menantang kepada duta tersebut agar balik ke cethi dan mengurungkan niatnya. lalu terjadilah saling adu emosi yang berahir tantang menantang. raksasa keluar diiringi drestajumna. rupanya prabu drupada merasa sangat kuatir dan meminta gatotkaca, setyaki dan antaredja yg hadir untuk mendampingi drestajumna.

perang terjadi dan drestajumna berhasil sementara waktu menang. lalu dilanjutkan perang dengan setyaki, gatotkaca dan antaredja. duta itu walo berkali kali kalah tetep memaksa maju. sampai ahirnya dengan nasehat dr togog sang duta memilih pulang. karena serangan gabungan dari gatotkaca di udara dan antaredja di bumi membuat bingung sang duta. kembalilah duta raksasa tersebut kenegeri cethi. alkisah di negeri cethi baginda

raja supala sedang muram. karena adiknya supali menginginkan menikah dengan srikandi. sedangkan baginda supala sangat membenci kresna. dia tau cempala sangat dekat dengan pandawa, dan pandawa itu dekat dengan sri kresna. kembali baginda supala memberikan nasehat agar supali mengurungkan niat menikah dengan srikandi.

datanglah sang duta menyatakan lamaran ditolak bahkan dia dikerubut oleh 3 satria pandawa. karena merasa emosi kembali prabu supala berkata agar supali mengurungkan niatnya. supali tiba tiba menjadi nekad. dan berkata akan merebut srikandi dengan cara mencurinya dr kerajaan cempala. lalu supali segera melesat meninggalkan paseban. supala geleng geleng kepala. dia mengutus patihnya dan pasukanya untuk menyusul ke cempala. dan melihat serta mendengar kabar disana. kalo sampe ada berita kemalingan dan malingnya ga ketemu, berarti supali selamat. tp kalo ada berita kemalingan dan malingnya ditangkap. maka intruksi supala jelas. patih harus berperang menyelamatkan supali.

di tengah alas arjuna sedang bertirakat dibarengi oleh punakawan. arjuna menjelaskan ke ki semar kalo dirinya merasa bingung bagaimana cara membangun taman mmowo koco tersebut. karenanya arjuna menggelar laku prihatin dengan masuk alas dan bertirakat minta petunjuk dewata. punakawan menghibur dengan gending dan juga guyonan guyonan. lalu tiba tiba saja datanglah raksasa. raksasa ini sebagian pasukan dr patih negera cethi. terjadi pertarungan seru dan sebagian pasukan raksasa tumpas. yang lain lari kocar kacir. sementara itu turunlah betara kamajaya. beliau memberi hormat kepada semar ayahnya dan memebrikan air kehidupan dalam cupu kepada arjuna. kasiatnya bisa menghidupkan kembali apapun yg musnah. disuruhnya untuk menyiramkan di taman mowo koco pada hari anggara kasih pas bulan purnama. dan setelah itu betara kamajaya balik. sementara arjuna dan punakawan bergegas ke cempala. karena waktu yg ditentukan sudah dekat.

sementara itu para para pandawa menuju ke hastina. karena mereka akan minta bantuan danyang drona. karena dlm perkiraan mereka hanya danyang drona yang akan bisa membantu. kasak kusuk terjadi ketika prabu duryodana menerima sri kresna dan pandawa. mereka merencanakan sebuah siasat licik. dan menerima permintaan pandawa tadi. lalu bersama prabu baladewa kurawa bergegas menuju cempala. sementara danyang drona kebingungan karena ga ngerti sebenernya bagaimana menghidupkan kembali taman murwo koco itu.

arjuna sampe di cempala langsung ke kaputren dan ketemu

dengan srikandi bermadu kasih. lalu arjuna ke taman dan menaburkan air kehidupan. sehingga taman bener bener indah luar biasa. sementara itu kurawa sampe di cempala. lalu beristirahat. tanpa dinyana ketika tidur karena kecapekan supali berhasil mengambil senjata neggala prabu baladewa. tak berapa lama gegerlah cempala dan drestajumna mengambil keputusan siapa saja yang memiliki senjata nenggala akan dijatuhi hukuman mati. sementara itu supali berhasil menyusup masuk ke taman hendak nyolong srikandi. ketemulah dia dengan arjuna.

arjuna melihat senjata neggala berhati hati. dan mengatakan kepada supali bahwa dia cuma seorang juru taman. lalu arjuna meminta senjata di tangan supali. diserahkan karena supali tak mengerti kehebatan nenggala. lalu oleh arjuna ditusukan ke dada supali. dan tewaslah supali. oleh arjuna mayat supali di terbangkan dengan sepi angin ke neegra asalnya. datanglah tergopoh gopoh petruk. dia berkata bahwa ada woro woro siapa memegang nenggala akan dijatuhi hukuman mati. arjuna tertuduh karena memegang senjata neggala. maka bingunglah arjuna.

kebetulan di sekitar situ datanglah werkudoro dan punta dewa. lalu petruk mengajak arjuna ketemu 2 kakaknya tersebut. arjuna menceritakan apa yang terjadi pada 2 kakanya. puntadewa tak bisa ambil keputusan. ahirnya werkudoro mengambil nenggala dan menusukan ke dada arjuna. tewaslah arjuna. petruk protes kenapa arjuna dibunuh. werkudoro cuma bilang agar petruk nantinya menurut saja kalo disuruh jd saksi. lalu kentongan tanda bahaya di tabuh.

datanglah raja cempala prabu drupada, drestajumna, sri baginda kresna, sri baginda baladewa, mereka datang ke tempat kentongan ditabuh. lalu mereka bertanya ada apa, dan kenapa arjuna bisa terbunuh. werkudoro bilang tadi ada suara gedebuk, lalu pas dilihat ternyata arjuna sudah mati. maka disepakati melihat senjatanya. dr senjatanya nanti bisa diketahui siapa pembunuhnya. ketika dilihat senjatanya nenggala, maka werkudoro berpura pura menuduh baladewa membunuh arjuna. baladewa ketakutan dan bilang dia baru aja kecurian.

ahirnya drpada ribut maka sri kresna diminta menghidupkan arjuna untuk ditanyain ada apa sebenernya. sebelum dihidupkan werkudoro minta peraturan kalo kedpatan nenggala akan dihukum mati supaya dicabut. prabu drupada sedia mencabut putusan drestajumna dan sekaligus menegur drestajumna agar tidak sembarang mengeluarkan keputusan. dengan kembang wijaya kesuma kresna menghidupkan arjuna. arjuna menceritakan kejadianya. arjuna ga jd dihukum mati. tetapi diminta membuktikan keberadaan mayat supali. arjuna segera

berangkat ke negeri cethi.

nah disana mayat supali diterbangkan ajian mendarat di negeri cethi. supala sangat marah dan berniat menyerbu cempala. lalu dipapak oleh arjuna terjadi perkelahian dan supala bisa dibekuk. lalu dibawa ke cempala. disana cempala mengakui suplai adiknya yg mau menyolong dewi srikandi. didepan prabu drupada dan arjuna supala memaki maki kresna. keresna tak menjawab dan meminta kepada prabu drupada supala dibebaskan. ketika ditanya kenapa prabu kresna tak menjawab ketika dimaki maki maka prabu kresna menjawab selama supala tak menghinaku di depan 100 orang tak akan kubunuh. karena supala masih saudara denganku. supala dilepas dan wadya balanya kembali ke negeri cethi (supala dichakra kepalanya oleh sri kresna di lakon rajasuya karena menghina kresna didepan 100 orang).

srikandi pun ahirnya didaupkan dengan arjuna. pernikahan dilakukan di cempala. sementra romobongan hastina kembali tanpa pamit karena malu. karena danyang drona rupanya karena malu diam diam tanpa pamit kembali ke soka lima. dia merasa ga mampu membangun taman morwa kaca. dan karena arjuna yang berhasil membangun, maka arjuna dinikahkan dengan srikandi.

  QUOTE

20-06-2011, 10:39 AM   #172

izroilblackarmy aktivis kaskus 

 UserID: 509004 Join Date: Jul 2008Posts: 605

Wahyu Makuta RamaPrabu Suyudana mengutus Adipati Karna, Patih Sengkuni dan para Kurawa pergi ke Gunung Kutarunggu atau Pertapaan Swelagiri, karena dewa memberikan penjelasan bahwa barang siapa memiliki makuta Sri Batararama akan menjadi sakti, serta akan menurunkan raja-raja di Tanah Jawa.

Dalam perjalanannya Adipati Karna pergi ke Pertapaan Duryapura Dimana Anoman, saudaranya Kesaswasidi bertempat di situ yang ditemani raksasa Gajah. Wreksa, Garuda Mahambira, Naga Kuwara dan Liman Situbanda. Karma mengutarakan maksudnya tetapi di tolak Anoman sehingga terjadi peperangan. Karena terdesak Karna melepaskan panah Wijayadanu tetapi dapat ditangkap Anoman dan dibawa ke Swelagiri.

Pihak Pandawa sang Arjuna juga mencari Makutarama, ia dating di Gunung Swelagiri bertemu dengan Kesaswidi menerangkan maksudnya dan oleh sang Begawan dijelaskan bahwa Makutarama itu sebenarnya bukan barang kebendaan, tetapi

merupakan pengetahuan budi pekerti bagi raja yang sempurna atau ajaran yang disebut Astabrata. Lebih jauh Begawan Kesaswidi menjelaskan bahwa kelak cucunya yang bernama Parikesit akan berkuasa sebagai raja besar di Jawa dan ia akan menjelma kepadanya. Sedangkan Anoman diperintah untuk meneruskan bertapa di Kendalisada dan kelak pada pemerintahan Prabu Jaya Purusa dari kediri ia akan naik surga.

Arjuna kembali dengan membawa panah Wijayadanu untuk diserahkan Adipati Karna.Dewi Subadra yang sangat khawatir kepergian suaminya lalu mengembara mencari Arjuna, dan diperjalanan bertemu Batara Narada yang memberikan busana pria, maka Dewi Subadra berubah ujud pria bernama Bambang Sintawaka kemudian ia pergi ke pesanggrahan Kurawa dan sanggup membantu melawan Ajuna.

Bima dan Gatotkaca juga mencari Ajuna di perjalanan mereka dihadang Kumbakarna. Menurut nasihat Wibisana Kumbakarna harus menjelma pada Bima maka terjadi perkelahian yang seharusnya Kumbakarna merasuk pada paha kiri Bima.

Kurawa yang dibantu Sintawaka menentang Arjuna dan peperangan terjadi. Arjuna dapat mengenali musuhnya itu adalah istrinya dan akhirnya kembali ke ujud semula, Dewi Subadra. Para Kurawa menyerang tetapi dapat dihalau Gatotkaca.

  QUOTE

20-06-2011, 10:40 AM   #173

izroilblackarmy aktivis kaskus 

 UserID: 509004 Join Date: Jul 2008Posts: 605

Wisanggeni Lahir

Tersebutlah dewi dresnala dewi cantik yang dihadiahkan pada ahrjuna beserta keenam dewi lainya karena arjuna berhasil membunuh raja raksasa yang meminta dewi supraba sebagai istrinya. rupanya anak betari durga dewa srani menginginkan juga dewi cantik dresnala ini. tapi apa lacur?sang dewi beserta 7 dewi laninya telah mengandung bibit benih arjuna. dan kayaknya arjuna sayang juga terhadap sang dewi, arjuna sering menyambangi dewi cantik ini di kayangan.tersebutlah sang dewa srani mengadu kepada ibunya betari durga, ibunya kemudian berkata, menghadaplah kepada betara guru aku akan mencoba untuk membantumu, maka berangkatlah dewa srani diiringi oleh sang ibu betari durga ke paseban agung tempat bhetara guru dan para dewa bertemu.

Di paseban agung ahdir dewa dewa dan terutama bhatara guru sebagai rajanya para dewa, lalu bhatara narada sebagai patihnya

para dewa, dan bhetara penyarikan, bhetara indra, bhetara kamajaya dan bermacam macam dewa hadir dalam pertemuan agung itu. nah saat itu menghadaplah dewa srani, mengutarakan maksudnya untuk "mengawini" dewi dresnala, dengan didampingi betari durga yang juga ikut melobi kepada bhatara guru.

Seperti biasa bhetara guru termakan omongan betari durga dan dewa srani, maka betara guru mengeluarkan titah untuk mengusir arjuna dan kayangan (kebetulan arjuna sedang di kayanan mengunjungi dewi dresnala), menggugurkan semua kandungan bidadari yg bersal dari benih harjuna, dan mengawinkan dresnala dengan dewa srani.

Bhatara narada dan kamajaya berusaha mencegah, tapi malah diberi pidana dengan dilepas pangkat dan kedudukanya sebagai dewa, bhatara narada marah dan turun ke bumi bersama kamajaya. sementara itu pasukan dewa dibawah pimpinan betara penyarikan dan batara indra segera diutus untuk menjalankan perintah, menggugurkan semua kandungan bidadari, mengusir harjuna dari kayangan dan membawa paksa

Terkisahkan pasukan dewa sampai di kediaman dewi dresnala, harjuna diusir dengan kasar dan kembali ke ngarcapada dengan sedih. dewi dresnala dipaksa untuk ikut ke kediaman dewa srani, sangking sedihnya dewi dresnala berteriak nyaring, lalu lahirlah jabang bayi dari perutnya bersamaan dengan teriakan itu.

Sementara di ngarcapada semar dilapori harjuna kejadian yang terjadi, apalagi pasukan baju barat dari sentra gandamayit kediaman dewi durga sempet menghambat langkah arjuna, untung bisa dimusnahkan. semar naik darah dan pergi ke khayangan untuk melihat apa yang terjadi.bayi yg masih orok itu anak dresnala seharusnya dilihat dengan penuh kasih sayang, tapi tidak dengan pasukan dewa. mereka justru memukuli bayi merah itu. anehnya bukanya mati, justru bayi merah itu jadi bisa merangkak. bahatara indra dan bhatara penyarikan bingung, maka disiapkanlah pusaka. dihantamkanya ke bayi merangkak tadi. keajaiban kembali terjadi, bayi itu berubah jadi anak kecil yang bisa berjalan. kehilangan akal sehatnya bayi itu dimasukan kedalam kawah candradimuka.

Semar melihatnya dengan penuh gregetan, dia dah gak sabar pengen manampar dewa dewa tanpa rasa kasihan itu, lalu semar turun dan berdiri di samping kawah candradimuka. tiba tiba keluarlah anak muda dari dalam kawah dengan tubuh berwarna merah api. dia kemudian menghampiri semar dan bertanya siapa dirinya dan siapa ayah ibunya.

Semar memberi nama wisanggeni kepadanya. begitu diberi nama wisanggeni si pemuda ini menjadi sehat badanya, segar dan penuh dengan kekuatan. dia berterimakasih kepada semar. lalu olehs emar disuruh untuk bertanya kepada pasukan dewa siapa ayah ibunya. bagaimana kalo tak dijawab?kata si wisanggeni, gebuki aja kata semar.

Wisanggeni menghadang pasukan dewa, dan seperti disinyalir, pasukan dewa gak tau siapa ayah ibu anak ini, maka wisanggeni mengamuk dan dihajarlah pasukan dewa sampai kocar kacir, dan alri menghadap ke bhatara guru. wisanggeni mengikuti ke hadapan bhatara guru diiringi oleh semar dari jauh.

Batara guru marah, semar menyuruh wisanggeni berbuat sama pada bhatara guru, bertanya siapa ayah ibunya kalo gak dijawab gebuki. dan bhatara guru bertanding melawan wisanggeni, dan kalah. cis di tangan kanan kirinya tak mampu menembus kulit wisanggeni. bhatara guru melarikan diri ke dunia....

Wisanggeni mengikuti larinya bhatara guru ke dunia. di dunia bhatara guru menemui arjuna yang lagi bersedih bersama werkudoro. dia dibarengi oleh 2 orang petapa yang membimbing arjuna. bhatara guru datang dan meminta bantuan. bahwa ada anak setan yang mengacak acak khayangan. walo arjuna sedih akrena diperlakukan buruk oleh para dewa, dia siap maju. tapi werkudoro mencegah dan maju terlebih dahulu.

Wisanggeni melihat ada satria tinggi besar bertanya pada semar, siapa itu?dijawab ole semar, satria yodipati werkudoro. ketika akan dihajar oleh wisanggeni, semar melarang dan menyuruh wisanggeni menghantam kuku pancanaka werkudoro, akrena itu kelemahanya. dan benar, setelah tantang menantang terjadilah perkelahian antara wisanggeni dan werkudoro. werkudoro mundur ketika wisanggeni menghantam kukunya. sambil menahan sakit werkudoro menyuruh arjuna maju.

Melihat ada satria bagus maju bertanya wisanggeni siapa dia?maka dijawab oleh semar itu ayahmu, janganlah melawanya. dan wisanggeni pun berkelahi tanpa kekuatan, dia hampir dikeris oleh arjuna, tapi dihalangi semar. semar berkata lebih baik bunuh saya,karena dia itu anakmu, dan berangkulanlah dua orang ayah anak itu sambil menangis.

Bima ngamuk ngamuk setelah tau bhatara guru salah, dia berkata pantas saja aku kalah, la aku mbela orang yg salah. 2 pertapa berubah jadi kamajaya dan narada setelah gak kuat berhadapan dengan semar.bhatara guru minta maaf pada semar, bhatara narada dan juga arjuna wisanggeni. dan ebrjanji gak akan mengulangi.

Wisanggeni melabrak tempat kediaman dewa srani, dewa srani digebuki oleh wisnaggeni, dewi dresnala diajak pulang, sementara ibunya bhetari durga di hadapi semar, maka lunglailah sang betari, dia gak ebrani melawan semar.pasukan baju barat yg tadinya mengacau dibawa balik setelahs emar meaafkan si betari durga. ahirnya berkumpulah, dresnala, arjuna, wisanggeni.

  QUOTE

20-06-2011, 10:41 AM   #174

izroilblackarmy aktivis kaskus 

 UserID: 509004 Join Date: Jul 2008Posts: 605

Prasetya Basukarna

[Ketika mendekati Setyaki yang tengah duduk bersila di tempat kusir kereta Kyai Jaladara, Sri Kresna melihat Raja Awangga lewat. Maka ia segera mengejarnya sampai ke tepi bengawan Yamuna.]

"Adik Basukarna, saya yang datang, Dik."

"Wah, silakan Kakak Prabu, hamba menghaturkan selamat Paduka telah berhasil menyebabkan para Kurawa gemetar ketakutan, Kakak Prabu. Hamba menghaturkan takzim..."

"Wee lha, belum-belum diriku ini sudah disindir oleh Raja Ngawangga... hehehe... tidak, Adik hendak pergi ke mana?"

"Kakak Prabu, karena pengabdian hamba sudah tidak diperlukan, hamba akan mengheningkan cipta di tepi Bengawan Yamuna, Kakak Prabu. Seperti yang sudah-sudah. Hamba akan bersamadi di tempat dahulu Ibunda Rada mengangkat kotak mulia yang berisi jabang bayi bernama Suryatmaja, Kakak Prabu."

"O, begitu... ya sudah, silakan... Tapi boleh 'kan saya mengiringkan Adik Prabu, sambil berbicara mewakili adik-adikku para Pandawa?"

"Pembicaraan yang bagaimana lagi? Bukankah yang jelas adik-adik hamba para Pandawa nanti akan memperoleh kemuliaan kembali dalam bentuk negara Ngastina Separuh?"

"Ya, sekehendakmulah... mari saya temani naik kereta Kyai Jaladara ini...."

[Kedua orang besar itu pergi ke tepi sungai Yamuna, dikusiri oleh Harya Setyaki. Di tempat yang biasa, Prabu Basukarna segera duduk ditemani oleh Sri Kresna.]

"Mohon maaf, adik-adik hamba Pandawa ingin berbicara bagaimana, Kakak Prabu? Apakah ingin memberikan kehormatan kepada diri hamba dengan bersemayam di salah satu kasatriyan atau wilayah perdikan Ngastina Separuh nanti, Kakak Prabu?"

"Lho, 'kan nekat saja. Yang mau membelah dua Ngastina itu siapa?"

"Lha, tadi tentu Adik Kurupati gemetar ketakutan menyaksikan Raksasa Kesawa, lalu bersedia menandatangani Surat Pernyataan, begitu 'kan, Kakak Prabu?"

"Wee lha, Adik ini kebablasan menghujat orang tua. Tidak ada Surat Pernyataan, Dik.... Ternyata Perang Barata akan segera berkecamuk. Oleh karena itu kakak ini mendapat pesan titipan dari Adik Darmakusuma, apabila tugasku sebagai duta gagal, agar Adik bersedia hijrah ke Wirata. Bersatu dengan adik-adik dari ibu yang sama, Dik. Adik Aji tidak tega dan tidak bersedia berperang melawan saudara tua."

"Wah, hmmm... namanya sudah terlanjur, jadi seperti ini nasib Basukarna. Harus tega memutuskan persaudaraan secara lahiriah ... Duh, Kakak Prabu, izinkan hamba menyampaikan ... juga ini sebagai pesan bagi Adik Samiaji dan adik-adik hamba para Pandawa... Hamba tidak dapat memenuhi kehendak Adik Puntadewa, Kakak Prabu."

"Lho, apa sebabnya, Dik?"

"Kakak Prabu, bila saya bersatu dengan Pandawa, saya percaya Kurupati akan membatalkan Bharatayuda. Karena, terus terang, keberanian Kurupati itu justru saya yang mengobori ..."

"Lho, alasannya?"

"Hamba hanya ingin menepati janji hamba kepada yang dapat mengangkat saya ke dalam golongan kesatria. Oleh karena dulu hamba ini cuma dianggap 'anak kusir'. Memang, hamba tidak bisa menyalahkan siapa pun; mungkin ini adalah karma yang harus hamba sandang, Kakak Prabu."

"Oh, janji? Janji yang bagaimana, Dik?"

"Hamba ingin menepati janji dan membayar semua hutang budi hamba. Hamba bisa menjadi adipati di Ngawangga oleh karena diangkat sebagai saudara oleh Kurupati. Jadi hamba harus menjaga orang yang sudah memberi budi kepada hamba, Kakak Prabu. Juga hamba harus menepati darma ksatria untuk

membasmi angkara murka ..."

"Weelah .... nanti dulu. Adik ingin membalas hutang budi itu memang benar, tapi prasetyamu untuk membasmi angkara murka yang menyatu dengan Kurawa itu penalarannya bagaimana, Dik?"

[Basukarna tersenyum ... merasa dipojokkan oleh Sri Kresna. Maka ucapnya ...]

"Kakak Prabu, Kurawa itu gudangnya angkara, hampir setiap orang tahu. Sampai hamba sendiri terseret-seret dianggap pelindung angkara; ya tidak dapat hamba pungkiri, karena kenyataannya hamba ini orang Kurawa, dan juga melindungi mereka...."

"Lha, mengapa begitu?"

"Terus terang saja, Kakak Prabu ... Hamba ini sudah tidak mampu mengalahkan angkara murkanya Kurawa. Tetapi hamba ini orang dalam. Yang dapat hamba lakukan tiada lain ialah mengharapkan pecahnya Baratayuda...."

"Wee lha, kalau begitu Adik tega terhadap adik-adikmu? Apa karena niatmu memang ingin perang tanding melawan Permadi?"

"Kakak Prabu, kalau perang tanding tadi mewujudkan sarana bagi janji hamba menepati ksatria hamba, di mana salahnya?"

"Apakah Adik tidak menyadari dan tahu bahwa Pandawa itu tidak berani cperang tanding melawan Adik?"

"Seribu maaf ... Derajat Basukarna itu apa dibandingkan Sang Mahatma Bisma.... Padahal apabila Baratayuda pecah, mau tidak mau Mahatma Bisma, Guru Drona, Kripa, juga akan berhadap-hadapan dengan para Pandawa, Kakak Prabu.... Apakah Kakak Prabu mengkhawatirkan bahwa Pandawa akan kalah perang melawan hamba?"

"Ah, siapa yang tidak tahu akan kesaktianmu, Dik.... Apa ada senjata yang mampu menembus tubuhmu?"

"Yah, berkat kewaskitaan Kakak Prabu dalam hal Aji Tirai Baja [kere waja] ini yang menyebabkan hamba mengharap-harap pecahnya Baratayuda.... Yah, oleh karena Kakak Prabu menjagoi Pandawa, hamba memastikan bahwa Baratayuda ini menjadi sarana bagi hamba mencapai swarga.... Melalui tangan Permadi itulah hamba dapat menemukan swarga, Kakak Prabu. Coba

Paduka lihat, tubuh hamba ini memakai perlindungan apa?"

"Aaah ... Adikku, Adikku .... Basukarna...! Begitu luhur budimu terhadap adik-adikmu pribadi yang sayangnya tidak memahami dirimu.... Duh, Dik....sungguh berat karmamu .... Saya hanya turut memohonkan kasih sayang dewata agar terlaksana prasetyamu, Dik.... Kakak mohon pamit...."

[Berlinang air mata Sri Batara Kresta ketika melihat Basukarna sudah tidak mengenakan busana 'Tirai Baja'.]

  QUOTE

20-06-2011, 10:44 AM   #175

izroilblackarmy aktivis kaskus 

 UserID: 509004 Join Date: Jul 2008Posts: 605

Kidung Malam 41Pesanggrahan Pramanakoti

Bukti nyata bahwa kemampuan Pandawa dalam menyerap ilmu Sokalima lebih baik dibanding dengan warga Kurawa, dapat ditengarai ketika diadakan pendadaran murid-murid Sokalima. Dalam ketrampilan berolah aneka senjata keluarga Pandawa lebih unggul. Demikian juga ketika Durna menguji murid-muridnya untuk menundukkan Raja Durpada dan Patih Gandamana. Yang berhasil menundukkan mereka adalah keluarga Pandawa. Oleh karena alasan tersebut warga Kurawa merasa terancam atas keberadaan keluarga Pandawa yang lebih sakti dan lebih unggul. Maka disusunlah sebuah rencana untuk menyingkirkan warga Pandawa. Bima yang secara fisik mempunyai kekuatan yang luar biasa, tetapi lugu dan sederhana dalam pola pikir, dijadikan target utama dan pertama untuk disingkirkan. Patih Sengkuni dan Duryudana menyusun rencana untuk membunuh Bima. Maka dibuatlah sebuah pesanggrahan yang nyaman dan indah di hutan Pramanakoti, di pinggir Sungai Gangga.

Bimasena diundang pesta di pesanggrahan tersebut. Makanan dan minuman tersedia melimpah. Bimasena datang sendirian memenuhi undangan Duryudana yang dianggap sebagai saudara tua yang dihormati. Sengkuni, Duryudana, Dursasana, dan warga Kurawa lainnya menampakkan rasa persahabatan penuh keakraban dalam menjamu Bimasena. Tanpa perasaan curiga, Bimasena menikmati hidangan yang disajikan.

Berkali-kali Duryudana menambah tuak ke dalam bumbung minuman di tangan Bima. Entah mengapa, Bima tak kuasa menolak tawaran warga Kurawa. Apakah ia takut akan menyakiti hati para Kurawa jika menolak tawarannya. Walau

sesungguhnya Bimasena telah merasakan kepalanya berat dan pusing karena kebanyakan minum tuak, toh ia selalu meneguknya tatkala minuman yang ada di bumbungnya ditambah Duryudana.

Sekuat apa pun Bima bertahan memaksakan diri untuk menuruti kehendak para Kurawa, akhirnya sampailah pada batas daya tahan Bimasena. Selanjutnya Bimasena tidak kuat lagi dan jatuh di lantai. Sebagian besar warga Kurawa terkejut melihat Bima jatuh begitu cepat. Namun tidak banyak yang tahu kecuali Sengkuni dan Duryudana, bahwasanya tuak yang khusus diminum Bimasena telah dicampuri dengan racun yang mematikan. Bima terkulai tak berdaya, dari mulutnya keluar busa berwarna putih. Sengkuni segera memerintahkan warga Kurawa segera mengikat badan Bimasena dengan akar-akar pohon. Setelah diikat kuat-kuat, lalu diberi bandul batu yang sangat besar, Bimasena dilemparkan ke sungai Gangga yang membentuk kedung dengan kedalaman lebih dari 12 meter. Warga Kurawa bersorak gembira, bak tumpukan batu bata yang roboh membarengi deburan air sungai Gangga yang memecah ditimpa Bimasena.

Sebentar kemudian permukaan air sungai Gangga menutup kembali untuk menyembunyikan apa yang sesungguhnya terjadi dengan diri Bimasena. Puluhan pasang mata warga Kurawa tak kuasa menembus kedalaman sungai Gangga lebih dari satu meter. Namun semua yang ikut pesta mempunyai anggapan yang sama, bahwa Bimasena akan segera mati.

Kedung Sungai Gangga terkenal sangat gawat, karena dihuni oleh ribuan ular ganas yang dirajai oleh raja ular bernama Aryaka. Ular-ular ganas tersebut tidak membuang-mbuang waktu. Mereka bergerak amat cepat menyambut benda asing yang masuk ke dalam air. Beratnya tubuh Bima ditambah dengan beratnya batu mengakibatkan tubuh Bimasena tenggelam semakin cepat menuju ke dasar sungai. Ribuan ular beracun mematuki tubuh Bima.

Eloknya terjadi peristiwa yang tak terbayangkan manusia. Patukan ular-ular beracun tersebut tidak membuat Bimasena mati lebih cepat. Racun yang telah masuk di tubuh Bima lewat minuman yang disajikan, tidak mempunyai daya pembunuh lagi, bahkan telah menjadi tawar ketika bereaksi dengan racun akibat patukan ribuan ular. Dengan sangat cepat tubuh Bimasena berangsur-angsur pulih kekuatannya. Bimasena kemudian sadar, tetapi tidak diberi kesempatan untuk mengingat kejadian yang menimpa dirinya, karena sekujur badannya dipatuk oleh ribuan ular berbisa. Ia mengamuk membunuh ribuan ular yang menyerangnya. Raja ular Aryaka mendapat laporan bahwa ada

orang mengamuk di dasar sungai, dan telah membunuh ribuan ular. Raja Aryaka mendekatinya, dan tahulah dia bahwa orang itu bukan orang sembarangan. Bima adalah anak Dewa Bayu, dewanya angin.

Dengan keramahan kebapakan. Naga Aryaka mendekati Bimasena. Dan redalah kemarahan Bimasena. Kemudian Bimasena melakukan penghormatan kepada Naga Aryaka dan meminta maaf atas kelakuannya karena telah membunuh ribuan rakyatnya. Setelah segalanya menjadi baik, termasuk ular-ular yang telah dibunuh dihidupkan kembali oleh Naga Aryaka, Bima ingat akan semua kejadian yang menimpanya sejak awal hingga akhir, dan menceritakannya kepada Naga Aryaka.

  QUOTE

20-06-2011, 10:45 AM   #176

izroilblackarmy aktivis kaskus 

 UserID: 509004 Join Date: Jul 2008Posts: 605

Kidung Malam 42Rencana Baru

Naga Aryaka mendengarkan cerita Bima dengan seksama. Ada ungkapan syukur dari Naga Aryaka bahwasannya Bima akhirnya lolos dari ancaman pembunuhan yang dilakukan oleh Patih Sengkuni dan Duryudana. Sebagai tanda rasa syukur itu Naga Aryaka memberi anugerah kepada Bima berujud minum Tirta Rasakundha. Setelah meminum Tirta Rasakundha, Bima tidak merasakan bahwa dirinya berada di dalam air di dasar Bengawan Gangga. Tidak ada bedanya dengan di atas daratan, napasnya lancar, badan serta pakaiannya tidak basah. Naga Aryaka menghendaki agar beberapa hari Bima berada di dasar Bengawan Gangga untuk memperoleh ilmu darinya.

Dengan senang hati Bima memenuhi permintaan Naga Aryaka yang telah berperan dalam menyelamatkan dirinya. Berbagai ilmu tentang hidup di wejangkan kepada Bima. Setelah dianggap cukup, Naga Aryaka berpesan.

”Bima, janganlah engkau membalas kejahatan saudara tuamu dengan kejahatan pula, karena hal tersebut tidak menyelesaikan masalah. Serahkan masalahmu kepada Sang Hyang Tunggal penguasa alam semesta. Serahkan kepada Dia perbuatan jahat Sengkuni dan Kurawa. Jika pun ada hukuman, birlah Dia yang menghukumnya.” Bima berjanji akan mentaati nasihat Naga Aryaka, dan mohon diri meninggalkan Bengawan Gangga untuk kembali ke Panggombakan.

Sesampainya di Panggombakan, Bima disambut oleh paman

Yamawidura, Ibunda Kunthi, Puntadewa serta adik-adiknya dengan sukacita. Karena beberapa pekan sejak diundang pesta di pesanggrahan alas Pramanakoti, Bima belum kembali. Kepada mereka diceritakannya apa yang dialami Bima dari awal sampai akhir. Sungguh mengharukan tetapi juga membahagiakan. Bima lolos dari maut, bahkan memperoleh ilmu dan Tirta Rasakundha dari Naga Aryaka.

Kabar kepulangan Bima di Panggombakan dalam keadaan segar bugar membuat Sengkuni, Duryudana dan warga Korawa kelimpungan. Mereka sudah terlanjur mengabarkan kepada Raja Destrarasta bahwa Bima jatuh tenggelam di kedung Bengawan Gangga sewaktu berpesta pora di Pesanggrahan Alas Pramanakoti. Karena lama tidak muncul Bima dianggap telah mati disantap naga-naga ganas penghuni kedung bengawan Gangga. Tetapi ternyata, Bima belum mati, ia menjadi semakin perkasa. Dengan mendapat kesaktian baru yang memungkinkan ia dapat hidup di dalam air seperti layaknya berada di atas daratan

”Sengkuni! aku mendengar bahwa Bima kembali dalam keadaan selamat., benarkah itu?”

”Ampun Sang Prabu Destrarasta, apa yang paduka dengar benar adanya. Bima masih hidup. Untuk itu kami mohon ampun atas praduga hamba sebelumnya yang mengatakan bahwa Bima telah mati. Karena lebih dari sepekan warga Kurawa menunggu disekitar kedung bengawan Gangga, tempat Bima tenggelam, namun Bima tidak muncul. Kami beranggapan bahwa tidak ada seorang manusia yang dapat bertahan hidup di dalam air, selama berhari-hari. Jika ternyata ia masih hidup, hamba sendiri cukup heran, dengan ilmu sihir macam apa yang digunakan Bima.”

”Cukup Sengkuni! panggil Bima dan saudara-saudaranya, aku ingin mendengar kisahnya.”

”Baik Sang Prabu, perintah paduka segera aku laksanakan.”

Dengan terbata-bata Sengkuni segera undur diri. Prabu Destarastra menarik napas panjang. Ia dapat merasakan kepatuhan Sengkuni dan juga Gendari isterinya adalah kepatuhan semu. Walaupun telah dibungkus dengan kata-kata manis, suasana yang damai menentramkan, toh kebusukan hatinya tercium juga. Jika dapat memilih ia lebih senang tidak menjadi raja di Hastinapura. Percuma saja ia memerintah. karena aturan, wewenang, keputusan dan kebijakan raja selalu diselewengkan demi kepentingan Isteri dan Patihnya.

Sengkuni gelisah, apa jadinya jika Bima berkisah tentang

penganiayaan yang dilakukan warga Kurawa. Walaupun Sengkuni dan Gendari menganggap remeh Destrarastra karena kebutaan matanya, mereka miris juga kepada aji Lebur Sakethi yang dimiliki Destarastra. Namun kegelisahan Sengkuni tak berkepanjangan. Ia segera mendapat akal, untuk menghadapi cerita Bima. Yang penting menjaga agar Destarastra tidak marah.

Usaha membunuh para Pandawa yang dilakukan oleh Sangkuni, Gendari dan para Kurawa berkali-kali gagal. Namun berkali pula ia lolos dari tuduhan Sang Raja. Dan itu tidak membuat jera. Bahkan semakin terbakar hati mereka untuk segera menyingkirkan Pandawa.

Diilhami oleh sebuah peristiwa kebakaran, Sengkuni mendapat gagasan baru untuk menyingkirkan Pandawa. Ya dengan cara dibakar akan sulit dilacak penyebabnya. Gagasan tersebut disetujui oleh Gendari, Duryudana dan para Kurawa. Kemudian diteruskan kepada Purucana, seorang ahli membuat bangunan yang cepat dan indah. Maka mulailah dibangun sebuah bale di Waranawata, yang letaknya jauh dari kotaraja Hastinapura.

Kidung Malam 43Bale Sigala-gala

Di hadapan sang raja, Bimasena tidak mengisahkan peristiwa yang sebenarnya menimpa dirinya di kedung Sungai Gangga wilayah hutan Pramanakoti. Hal tersebut dilakukan semata-mata agar tidak ada dendam yang tersisa di hatinya. Ia teringat nasihat Naga Aryaka ”Bima, janganlah engkau membalas kejahatan saudara tuamu dengan kejahatan pula, karena hal tersebut tidak menyelesaikan masalah. Serahkan masalahmu kepada Sang Hyang Tunggal penguasa alam semesta. Serahkan kepada Dia perbuatan jahat Sengkuni dan Kurawa. Jika pun ada hukuman, biarlah Dia yang menghukumnya.” Dan Bimasena telah berjanji untuk mentaati nasihat Naga Aryaka, dewa penguasa sungai telah menolong, menyelamatkan dan bahkan memberikan anugerah Tirta Rasakundha kepada dirinya.

Prabu Destarastra tahu bahwa ada sesuatu kejadian buruk yang disembunyikan Bimasena, maka pada kesempatan lain Deatarastra memanggil beberapa orang terdekat tanpa kehadiran Bimasena dan saudara-saudaranya. Pada kesempatan tersebut, Sang Prabu Destarastra melampiaskan amarahnya kepada Sengkuni.

“Sengkuni, Sengkuni, sampai kapankah engkau akan mempermainkan aku? Berapa kali engkau telah meniupkan kabar bohong kepadaku yang adalah raja Hastinapura.”

“Ampun Sang Prabu Destarastra, waktu itu memang benar, saya melihat dengan mata kepala sendiri, bahwa seusai pesta, mungkin karena saking banyaknya minum tuak, Bimasena jalan sempoyongan dan masuk ke kedung sungai Gangga. Para perajurit berjaga-jaga di pinggir sungai, dan siap menolong jika sewaktu-waktu Bimasena timbul dari kedung tersebut. Namun hingga sampai dengan hari ke tiga, anak ke dua dari Pandudewanata tersebut tidak muncul juga. Salahkah jika kemudian aku menyimpulkan bahwa Bimasena telah mati? Adakah seseorang yang mampu bertahan di dalam air selama tiga hari?”

“Sengkuni! Nyatanya engkau salah! Bimasena masih hidup!!!

Bentakan Destarastra membuat semua yang ada di pisowanan tersebut tertunduk diam. Tidak ada satupun yang berani mengeluarkan kata-kata. Destarastra sendiri nampaknya sudah tidak ingin lagi mengeluarkan sepatah kata pun. Bahkan ia memberi isyarat kepada Gendari agar dituntunnya meninggalkan pisowanan terbatas.

Sengkuni semakin terbakar atas nasib baik yang dialami Bimasena. Api kebencian yang menyala-nyala di hati Sengkuni memang ingin sungguh-sungguh diwujudkan untuk membakar, tidak hanya Bimasena tetapi juga Kunti dan ke lima anaknya.

Untuk sebuah rencana besar tersebut, Sengkuni tidak mau gagal lagi. Ia memerintahkan Purucona, arsitek nomor satu di Hastinapura untuk membuat sebuah bangunan peristirahatan yang indah dan nyaman di atas pegunungan di luar kotaraja Hastinapura. Bangunan semi permanent tersebut dirancang kusus. Tiang-tiang bangunan diisi dengan sendawa dan gandarukem, bahan sejenis mesiu dan minyak yang mudah terbakar.

Kunti dan Anak-anaknya memang bukan tipe pendendam. Di hati mereka telah diajarkan bagaimana senantiasa menumbuhkan sikap nan tulus untuk mengasihi kepada siapapun tak terkecuali, termasuk kepada mereka yang telah menganiaya dirinya. Karena dengan demikian hatinya tidak ditumbuhi dendam yang menggerogoti dan meracuni hidupnya.

Oleh karenanya, sekali lagi, bujuk rayu Sengkuni dan Duryudana berhasil mengajak Ibu Kunti, Puntadewa, Bimasena, Herjuna, Nakula dan Sadewa untuk merasakan nyamannya rumah peristirahatan yang bernama Bale Sigala-gala di puncak pegunungan.

Dua pekan lagi, saat purnama sidhi, Kunti dan ke lima anaknya berjanji akan memenuhi undangan Sengkuni dan para Kurawa dalam acara andrawina di Bale Sigalgala. Mendengar rencana tersebut Sang Paman Yamawidura, orang yang mempunyai kelebihan dalam hal membaca kejadian yang belum terjadi, merasakan firasat buruk yang harus dihindari. Maka ia memanggil Kanana abdinya, yang ahli membuat terowongan. Kanana diperintahkan untuk menyelidiki Pesanggrahan Bale Sigala-gala dan secepatnya membuat terowongan untuk jalan penyelamatan jika terjadi sesuatu atas pesanggrahan tersebut.

Kanana segera melaksanan perintah rahasia Yamawidura dengan sebaik-baiknya, serapi-rapinya dan secepat-cepatnya. Ia tahu bahwa sosok Yamawidura adalah titisan Bathara Dharma, dewa keadilan dan kebenaran. Ia mempunyai kelebihan dan tak tertanding di negara Hastinapura dalam hal membaca kejadian yang akan terjadi. Raja Sendiri mengakui kelebihan adiknya yang sangat disayanginya itu. Maka Kanana meyakini bahwa bakal terjadi huru-hara besar, dan terowongan yang ia buat atas perintah Yamawidura, benar-benar akan menjadi sarana untuk jalan penyelamatan. Kurang dari dua pekan Terowongan yang panjangnya lebih dari 400 langkah tersebut telah selesai. Kanana benar-benar menunjukan kualitasnya.

Pada malam menjelang pesta di Balai Sigala-gala, tepat pada tabuh ke sebelas Yama Widura mengidungkan mantra-syair yang isinya mengingatkan agar setiap orang selalu waspada dan berjaga-jaga dalam doa dan pujian, untuk memohon keselamatan, jauh dari segala yang jahat.

Kunti dan Bima belum tidur. Mereka terhanyut oleh syair-syair yang dikidungkan Yamawidura. Batin yang cerdas dapat menangkap bahwa melalui Kidung malam tersebut Yamawidura ingin mengingatkan agar Kunti dan Anak-anaknya yang besok sore akan memenuhi undangan para Kurawa di Bale Sigala-gala jangan menanggalkan kewaspadaan dan selalu berdoa mohon terhindar dari segala mara bahaya.

Lewat tengah malam, Yamawidura menyelesaikan pembacaan mantra yang di kidungkan. Hampir bersamaan, Kunti dan Bimasena terlelap dalam tidur, menyusul Puntadewa, Herjuna, Sadewa, Nakula dan juga Padmarini isteri Yamawidura dan kedua anaknya Sanjaya dan Yuyutsuh.

Malam merambat pelan dilangit Panggombakan. Seakan enggan menemui pagi. Mungkin karena ia tidak sampai hati menyaksikan tragedi besar yang akan terjadi di rumah indah dan asri yang bernama Bale Sigala-gala.

Kidung Malam 44Detik-Detik menjelang Tragedi

Kicau burung bersautan di pagi itu. Langit Panggombakan biru cerah. Tak ada sedikit pun awan yang menggelantung. Kunthi dan anak-anaknya merasakan pula cerahnya hari itu. Secerah hati mereka yang tidak pernah terhalang awan dendam dan kebencian, kendati mereka menjadi sasaran irihati. Seperti yang terjadi belum lama ini, para Kurawa gagal membunuh Bimasena di hutan Pramanakoti. Dikarenakan dari pihak Pandawa mudah melupakan perbuatan jahat yang dilakukan Sengkuni dan para Kurawa maka Pandawa tidak menaruh curiga seikitpun atas undangan pesta di Bale Sigala-gala nanti sore. bahkan bagi Pandhawa kesempatan tersebut dapat menjadi sarana untuk merekatkan hubungan persaudaraan.

Lain yang dirasakan para Pandhawa, lain pula yang dirasakan Yama Widura. Sejak Kunthi dan para Pandhawa merencakan akan datang pesta memenuhi undangan warga Korawa di Bale Sigala-gala, Yama Widura, paman dari para Pandhawa itu gelisah. Semalaman ia tidak dapat tidur. Kidung mantra tulak bala, memohon keselamatan mengalun hingga tenggah malam. Sementara malam yang tersisa digunakan untuk berdoa di sanggar pamujan. Apa yang telah dilakukan Yama Widura, termasuk juga pembuatan terowongan yang dikerjakan oleh Kanana, adalah semata-mata demi keselamatan Kunti dan para Pandhawa.

Pagi itu, Yama Widura menerima Kunthi dan anak-anaknya yang hendak berpamitan pergi ke gunung Waranawata menghadiri undangan pesta di Bale Sigala-gala

“Kakang Mbok Kunti dan anak-anakku Pandawa, kemeriahan pesta dapat dengan mudah membuat orang lupa. Oleh karenanya jangan tinggalkan kewaspadaan. Bimasena engkau orang yang paling perkasa diantara Ibu dan saudara-saudaramu. Padamulah aku titipkan keselamatan Ibu dan saudara-saudaramu.”

Dihantar oleh tatapan cemas Yamawidura. Kunthi dan ke lima anaknya meninggalkan Panggombakan.

Sejak pagi Bale Sigala-gala menampakan kesibukannya. Aneka bunga dan umbul-umbul menghias halaman dan ruangan. Sebagian besar warga Kurawa telah hadir di situ. Bale Sigala-gala nampak indah mempesona. Purucona dengan bangga melihat karyanya yang istimewa. Semua yang melihat bangungan tersebut selalu berdecak kagum. Nama Purucona

yang sudah dikenal menjadi semakin terkenal.

Namun tiba-tiba hati Purucona berdesir tatkala membayangkan bahwa nanti malam Bale yang indah menawan akan berubah menjadi kobaran api. Dan api tersebut akan membakar Kunti dan anak-anaknya.

“Purucona!!! Engkau harus mencegah agar Bale Sigala-gala tidak menjadi alat untuk membunuh orang yang tak berdosa.”

Puruncona merasa bersalah. Ia gelisah sepanjang hari. Hingga menjelang pesta kegelisahan Purucona semakin menjadi-njadi. Satu persatu tamu yang datang menambah rasa bersalah semakin berat menekan hati sang arsitek nomor satu di Hastinapura.

Ketika sayup terdengar bunyi kenthongan tujuh kali, tamu undangan telah memenuhi ruangan pesta. Namun Patih Sengkuni, Duryudana, Dursasana dan para Kurawa belum menampakan kelegaan. Dikarenakan tamu istimewa yang ditunggu-tungu belum datang, yaitu Kunti dan anak-anaknya. Jika para Pandawa tidak datang apalah artinya pesta yang menelan biaya sangat banyak ini?.

Kunthi dan Pandhawa seharusnya sudah sampai di tempat pesta, namun sebelum memasuki lokasi pesta mereka ditemui oleh Kanana, utusan Yamawidura. Ada pesan rahasia disampaikan khususnya kepada Bimasena, seperti yang telah diisyaratkan Jamawidura; “Jangan tinggalkan kewaspadaan! Bimasena engkau orang yang paling perkasa diantara Ibu dan saudara-saudaramu. Padamulah aku titipkan keselamatan mereka” Bimasena meminta Kanana untuk berterus terang apa yang akan terjadi dan tindakan apa yang seharusnya aku lakukan. Namun Kanana tergesa untuk pergi, karena takut diketahui oleh Patih Sengkuna dan warga Kurawa.

Sejak Kanana menyelesaikan terowongan rahasia yang berada di ruang paling belakang, ia menyamar sebagai tenaga kasar yang ikut mempersiapkan perlengkapan pesta. Hal tersebut dilakukan supaya ia dapat menjaganya agar keberadaan terowongan rahasia teresebut tidak diketahui oleh para Kurawa.

Menjelang tabuh ke delapan, Kunti, Puntadewa, Bimasena, Arjuna dan si kembar Sadewa dan Nakula datang. Duryudana mendekati Sengkuni sambil berbisik. Sengkuni menolehkan mukanya kegerbang masuk. Patih Sengkuni dan Duryudana tergopoh-gopoh menyambut mereka.

Keramahtamahan Sengkuni memang berlebihan, membuat risi tamu-tamu yang hadir, selain warga Kurawa. Namun tidak untuk

Kunti dan Pandawa sikap Sengkuni dan warga Kurawa dirasakan merupakan perhomatan khusus sesama saudara.

Pesta itu sungguh meriah. Para petugas yang mengurusi makanan, minuman dan acara pesta, menjalankan tugasnya dengan baik dan rapi. Aneka hidangan pesta mbanyu mili, mengalir tak pernah henti. Demikian juga acara yang dipentaskan, berganti-ganti penuh variasi.

Suasana gembira, acara meriah dan makanan melimpah, menyihir para penikmat pesta untuk terhanyut dalam suasana memabukan. Satu persatu kewaspadaan mereka hilang, Para Kurawa kecuali Patih Sengkuni, Duryudana dan Dursasana sudah tidak dapat mengontrol diri sendiri. Melihat suasana yang semakin memabukan, pemuka pesta terpaksa menghentikan satu acara yang masih tersisa, karena sudah tidak mendapat perhatian.

Keadaan menjadi lebih hening. Yang tersisa tinggal beberapa suara gemelintingnya gelas minuman dan piring makanan. Karena sebagian besar yang lain sudah menghentikan makannya karena sudah tidak ada sedikitpun ruang perut yang kosong.

Jika semula pesta ini dirancang untuk membawa Kunti dan anak-anaknya terhanyut dalan suasana pesta yang memabukan dan lupa akan dirinya, sehingga mudah diperdaya. Namun yang terjadi adalah sebaliknya. Justru para Kurawa yang seharusnya berpura-pura, malah lebih dahulu terhanyut dalam haru birunya pesta.

Sengkuni menjadi binggung. Bagaimana akan melaksanakan rencananya. Dalam keadaan mabuk, ia kesulitan membawa warga Kurawa keluar dari Bale Sigala-gala.

Kidung Malam 45Terowongan Rahasia

Suasana berangsur-angsur hening. Dentingan perkakas yang saling beradu diantara sendok dengan gelas, mangkuk dan piring, sudah tidak terjadi lagi. Para petugas yang mengontrtol makanan dan minuman sudah berhenti melakukan panambahan hidangan. Dikarenakan makanan memang masih cukup ada, masih cukup untuk tamu yang ada. Bahkan mereka mulai mencicil untuk menyingkirkan aneka perkakas yang sudah kotor oleh sisa-sisa makanan dan minuman. Bersamaan dengan itu, datanglah rombongan petapa yang sengaja mampir untuk meminta makanan. Jumlahnya enam orang lima orang putra dan satu orang putri. Kedatangannya disambut hangat oleh para Pandawa, mereka dipersilakan menikmati makanan yang masih terhidang

dengan leluasa.

Sementara itu Sengkuni dan Duryudana dibuat geram. Warga Kurawa telah gagal melaksanakan tugasnya. Semula diharapan warga Kurawa ikut berpesta tersebut hanya untuk membuat suasana pesta meriah. Dengan berpura-pura ikut makan dan minum sebanyak-banyaknya, agar para Pandhawa terpancing untuk ikut makan dan minum sampai mabuk dan tak sadarkan diri, sehingga dengan mudah Sengkuni dapat melaksanakan rencananya yaitu membakar Bale Sigala-gala beserta Kunthi dan para Pandhawa

Namun yang terjadi justru sebaliknya. Para warga Kurawa lah yang tidak dapat menahan diri. Mereka terlalu banyak makan dan minum sehingga menjadi mabuk Perilaku warga Kurawa tersebut secara tidak sadar telah menghambat rencananya sendiri, rencana warga Kurawa yang diprakarsai oleh Patih Sengkuni. Tentunya tidaklah mungkin untuk menunggu mereka yang mabuk sadar kembali. Sengkuni dan Duryudana harus berpacu dengan waktu. Jangan sampai fajar mulai merekah diufuk Timur, Bale-Sigala-gala masih utuh berdiri.

Maka dengan hati-hati agar tidak menimbulkan kecurigaan bagi Kunthi dan anak-anaknya, Duryudana dibantu oleh para hulubalang dan tenaga kasar yang lain, memapah keluar para pemabuk yang tak sadarkan diri. Setelah semua warga Kurawa dan beberapa orang yang mabuk di amankan di tempat yang jauh dari Bale Sigala-gala, Sengkuni mempersilakan Kunthi dan Nakula untuk beristirahat dan tidur di ruang yang telah disediakan, tepatnya di belakang ruang pesta, menyusul Bimasena, Arjuna dan Sadewa. Ketika Kunthi dan Nakula menuju ke ruang belakang, mereka melihat ke enam Petapa tidur nyenyak sekali di lantai, tidak seberapa jauh dengan pintu ruang belakang. Mereka sangat kecapaian. Dewi Kunthi menyapa lembut, dengan tanpa mengharap balasan. “Selamat malam sang petapa, selamat beristirahat dan sampai jumpa di esok hari.”

Malam merambat menuju pagi. Dari kejauhan, terdengar suara kentongan yang berbunyi dua kali, mengisyaratkan bahwa waktu telah menunjukan pukul dua dini hari. Sampai di ruang belakang Kunthi melihat Bimasena, Arjuna dan Sadewa masih terjaga. Yang mengejutkan Kunthi bahwa diantara mereka ada seorang abdi dari Panggombakan, orang terdekatnya Yamawidura yang ahli membuat terowongan, bernama Kanana. Ada apa dengan Kanana?

Dengan wajah serius Kanana memohon agar diberi kesempatan menjelaskan hal rahasia dengan tanpa didengar oleh orang lain selain Dewi Kunthi dan dan anak-anaknya. Pintu ruangan ditutup

perlahan sekali, mereka memusatkan perhatian dan pandangannya pada Kanana yang akan membeberkan hal penting penuh rahasia.

“Mohon maaf sebelumnya, Ibu Kunthi dan para Putra, beberapa pekan lalu, saya diperintahkan untuk membuat terowongan rahasia sebagai jalan penyelamatan jika sewaktu-waktu terjadi bencana di pesta Bale Sigala-gala. Terutama kepada Raden Bimasena, Bapa Yamawidura mengingatkan agar selalu waspada dan bertindak cepat untuk menyelamatkan Ibu Kunthi beserta saudara-saudaranya, sewaktu bencana yang di kawatirkan benar-benar terjadi. Inilah pitu terowongan itu.

Kunthi dan para Pandawa ternganga. Mereka tidak menyangka bahwa lantai yang beralas permadani di ruang itu dapat dibuka dengan mudah. Setelah dibuka oleh Kanana ternyata dari lobang tersebut ada tangga yang menuju ke pintu terowongan. “Jika terjadi sesuatu, terowongan inilah yang akan membawa kita sampai di bawah bukit dengan selamat”

Baru saja Kanana akan menutup pintu terowongan kembali, mereka dikejutkan oleh cahaya merah yang tiba-tiba saja menjadi besar. Hawa panas dengan cepat merambat ke seluruh tubuh mereka.

“Kebakaran! Kebakaran! Kebakaran!

Kunthi teringat kepada ke enam petapa yang tidur tidak jauh dari pintu ruangan ini. Tetapi ketika akan membuka pintu, ternyata pintu tersebut telah dikancing dari luar. Kunthi sempat berteriak “ Selamat malam Sang Petapa” Kunthi berusaha untuk membuka pintu, namun sebelum berhasil ia telah disaut oleh Bimasena dan bersama para Pandhawa dibawa masuk ke pintu terowongan. Kanana bergerak cepat menutup pintu, setelah Kunthi dan anak-anaknya dipastikan telah masuk terowongan.

Kidung Malam 46Terowongan yang Menyelamatkan

Kunthi bersama lima anaknya telah masuk terowongan rahasia, menyusul peristiwa kebakaran hehat di Bale Sigala-gala. Namun pikiran dan hatinya masih tertinggal di ruangan tempat ke enam petapa tidur. Ia membayangkan bahwa keenam brahmana yang tidur nyenyak, tidak akan mampu menyelamatkan diri dari kepungan api yang merambat teramat cepat. Betapa dahsyatnya kebakaran itu. Hawa panasnya mampu menembus beberapa langkah dari mulut terowongan. Bima menggendong Nakula dan Sadewa berjalan paling belakang menyusuri terowongan,

menjauhi pintu trowongan yang terasa semakin panas. Mereka mengikuti cahaya putih yang berjalan paling depan. Bima berusaha menenangkan Ibu dan saudara-saudaranya, terutama si kembar Nakula dan Sadewa yang menangis ketakutan.

Siapakah cahaya putih di depan itu? Dialah Kanana? abdi Paman Yamawidura yang ahli membuat terowongan? Pertanyaan Dewi Kunthi dan anak-anaknya rupanya tidak membutuhkan jawaban. Bagi mereka yang penting adalah bahwa cahaya putih itu akan menuntunnya keluar dari terowongan ini menuju tempat yang aman, jauh dari kobaran api Bale Sigala-gala, api yang dinyalakan dari kobaran hati yang penuh dendam dan kebencian.

Sebenarnya apa yang terjadi di Bale Sigala-gala? Bale artinya bangunan rumah, Gala adalah jabung. bahan yang bisa menjadi keras seperti semen, namun mudah terbakar. Itulah alasan Patih Sengkuni menggunakan jabung sebagai bahan utama untuk membuat bangunan. Ditambah lagi dengan tiang-tiang penyangga bangunan, yang telah diisi dengan sendawa dan gandarukem, bahan sejenis mesiu yang bisa meledak. Dengan demikian jadilah pesanggrahan “Bale Sigala-gala” yang siap dibakar dan diledakan. Sengkuni yakin, bahwa Bale Sigala-gala akan mampu mengubah tulang daging Kunthi dan Pandawa menjadi abu dan arang.

Purucona cepat bakar! bakar! Bakar!!! Perintah tersebut terdengar keras, namun walaupun begitu tidak ada seorang pun diantara Kunthi dan para Pandhawa yang bisa menyelamatkan diri keluar dari Bale Sigala-gala. Apalagi ruangan yang ditempati Kunti dan anak-anaknya telah dikancing dari luar. Sehingga dipastikan bahwa mereka terbakar di dalam ruangan.

Api berkobar ganas, disusul suara ledakan ledakan keras dari tiang-tiang bangunan yang diisi sendawa dan gandarukem. Malang bagi Purocana, undagi nomor satu di Hastinapura tersebut sengaja dijadikan tumbal untuk peristiwa Balesigala-gala ini Ia, setelah menyulut Bale Sigala-gala dilempar paksa ke dalam api oleh beberapa perajurit yang ditugaskan Senkuni. Karena jika tidak, dikhawatirkan Purucona akan membeberkan rekayasa kebakaran di Bale Sigala-gala.

Patih Sengkuni, Duryudana, Dursasana dan para Korawa yang lain, serta para perajurit dan pekerja pesta, dari kejauhan memandangi lidah-lidah api yang menimbulkan asap hitam pekat. Tanpa berkedip Patih Sengkuni memandangi Bale Sigala-Gala yang dibakar, untuk memastikan bahwa tidak ada seorangpun diantara Kunthi dan anak-anaknya menyelamatkan diri, keluar dari kobaran api. Artinya bahwa Kunthi dan ke lima anaknya hangus terbakar. Karena memang hanya tinggal enam

orang yang masih berada di dalam bangunan Bale Sigala-gala, karena yang lainnya telah diajak keluar sebelum kebakaran terjadi. Yah tinggal enam orang. Kunthi, Puntadewa. Bimasena, Arjuna, Nakula dan Sadewa. Dan pasti tubuh mereka telah menjadi arang dan abu. Demikian pikir Sengkuni

Wajah Sengkuni dan warga Kurawa nampak lega dan senang. Karena dengan tewasnya para Pandawa, tidak ada lagi yang menghalangi Duryudana menduduki tahta Hastinapura.

Namun bagi yang tidak tahu menahu rencana dibalik semua itu, termasuk para pekerja pesta, peristiwa kebakaran di Bale Sigala-gala itu sungguh mengherankan. Pasalnya bahwa warga Kurawa dan perajuritnya. tidak berusaha untuk memadamkan api Juga perihal evakuasi. Semua warga Kurawa yang mabuk, telah dibawa keluar dari Bale Sigala-gala sesaat sebelum kebakaran terjadi. Sepertinya ada rencana sebelumnya bawa Bale Sigala-gala sengaja dibakar. Tanda-tanda adanya kesengajaan dalam peristiwa kebakaran tersebut semakin dikuatkan ketika menjelang deti-detik terjadinya kebakaran, terdengar teriakan ‘cepat bakar!’

Lepas dari sekenario yang dilakukan, peristiwa kebakaran Bale Sigala-gala merupakan tragedi kemanusiaan yang memilukan. Rakyat pedusunan yang berada dibawah bukit pesanggrahan terbangun karenanya. Mereka tidak tahu-menahu latar belakang dan penyebab kebakaran Bale Sigala-gala. Namun mata hati mereka menatap pilu api yang berkobar menjilat angkasa pada dini hari itu. Dibenak mereka muncul gambaran yang memilukan. Adhuh, Dewi Kunthi dan para Pandawa ada di sana. Tadi siang lewat di dusun ini. Dielu-elukan oleh warga dusun. Disambut sebagai calon raja pengganti Pandudewanata. Rakyat berharap, pada saatnya nanti, ketika Raden Puntadewa menjadi raja akan mampu merubah nasib mereka.

Namun saat ini, ketika api telah membakar Bale Sigala-gala, mereka menangis. Para Pandhawa yang mereka cintai dan mereka harapkan akan menjadi raja yang adil bijaksanan telah hangus terbakar. Seperti harapan mereka akan kesejahteraan dan ketenteraman. Telah lenyap ditelan asap.

Dini hari yang naas itu akan segera berlalu, dan kidung malam pun tak terdengar lagi, namun rupanya fajar masih enggan menyinarkan cahayaNya, sebelum yang bertikai membuka cedela hati.

kata katanya kemudian lancar nyinyir mengalir menggelincirkan lawan bicaranya.