konsepsi origin al-qur'an dalam pandangan geiger dan noldeke

18
KONSEPSI ORIGIN AL-QUR’AN Kajian Historis Kritis Abraham Geiger dan Theodor Noldeke terhadap al-Qur’an Karya ini disusun guna memenuhi tugas makalah mata kuliah Tafsir Orientalis Dosen Pengampu : Ahmad Rafiq, Ph.D Disusun Oleh : Muhammad Barir, S.Th.I NIM 1420510012 KONSENTRASI STUDI AL-QUR’AN DAN HADIS PROGRAM STUDI AGAMA DAN FILSAFAT PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA 2016

Upload: uinsuka

Post on 22-Nov-2023

0 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

KONSEPSI ORIGIN AL-QUR’AN

Kajian Historis Kritis Abraham Geiger dan Theodor Noldeke terhadap al-Qur’an

Karya ini disusun guna memenuhi tugas makalah

mata kuliah Tafsir Orientalis

Dosen Pengampu : Ahmad Rafiq, Ph.D

Disusun Oleh :

Muhammad Barir, S.Th.I

NIM 1420510012

KONSENTRASI STUDI AL-QUR’AN DAN HADIS

PROGRAM STUDI AGAMA DAN FILSAFAT

PASCASARJANA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA

YOGYAKARTA

2016

1

A. Pendahuluan

Islam bukanlah agama pertama yang berimplikasi bahwa mushaf al-Qur’an

bukanlah mushaf kitab suci yang pertama. Al-Qur’an berada dalam lintasan

pewahyuan Kitab Suci lainnya yang berada pada masa yang di sebut Angelica

Neuwirth, Barbara Finster, dan penekun kajian historis kritis lainnya dengan masa

late antiquity.1 Selain masa late antiquity, al-Qur’an juga berhubungan dengan kitab

suci yang berada pada masa sebelumnya yakni “classical antiquity”. Late antiquity

merupakan istilah yang dipakai oleh pakar sejarah dalam menentukan titik transisi

periodesasi (frame time) dari masa akhir classical antiquity menuju permulaan masa

middle age. Para pakar sejarah berbeda pendapat mengenai tahun pasti yang yang

dapat dijadikan batasan masa late antiquity. Peter Brown berpendapat masa late

antiquity terjadi pada antara abad kedua dan kedelapan masehi. Hal tersebut ia

perjelas melalui karyanya The World of Late Antiquity : AD 150 – 750.2

Dengan mengacu pada pembagian waktu ini, kajian terhadap al-Qur’an

dapat dikaitkan dengan intertekstualiti studies. Studi tentang al-Qur’ann tidak hanya

terbatas pada kritik internal dan eksternal al-Qur’an, namun menyeberanginya dengan

melakukan komparasi atas kitab-kitab lainnya yang berada di luar tradisi Islam.

Dengan kemungkinan studi intertekstualitas tersebut, upaya komparasi antara al-

Qur’an tidak terbatas dengan kitab lainnya yang semasa. Namun bahkan al-Qur’an

memiliki kaitan dengan kitab yang hadir pada masa classical antiquity. Dalam hal

tersebut ialah kitab Taurat dan Zabur yang—jika mengacu pada pembagian Peter

Brown di atas—diwahyukan sebelum masa late antiquity.

Islam dalam realitas kesejarahannya terkait erat dengan agama sebelumnya.

Kitab suci-kitab suci yang menjelaskan keimanan membawa kepercayaan yang

1 Era menjelang keruntuhan Romawi, era ini disebut-sebut mewakili akhir dari masa

pewahyuan kitab suci. L;ihat seperti tulisan Barbara Finster, “Arabia in Late Antiquity: an Out Line of

the Cultural Situation in the Peninsula at the Time of Muhammad”, dalam Angelica Neuwirth dkk.

(ed.), The Qur’an in Context (Leiden: Brill, 2010), hlm. 61-114. 2 Cody Franchetty, “An Ever Lasting Antiquity : Aspects of Peter Brown’s The World of

Late Antiquity”, dalam Global Journal of Human Social and Science, Vol XIV, 2014. Hlm 1.

2

dipeluk, diyakini, dan dilegalkan sebagai agama dalam konteks global termasuk pula

agama bangsa Arab ketika itu. Dalam konteks sejarah, dalam rentang waktu tertentu,

kitab suci sebagai bagian dari peristiwa (event) berada dalam alur diakronis dan alur

singkronis. Antara kitab suci masing-masing melintasi waktu yang berbeda, ada yang

turun di awal dan ada yang baru hadir belakangan. Karena masing-masing kitab

memiliki orientasi yang berdekatan, maka yang terjadi kemudian adalah masing-

masing memiliki banyak persamaan selain juga terdapat beberapa perbedaan.

Kepercayaan tentang hubungan kausalitas3 bahwa peristiwa dalam sejarah

tidak lepas dari peristiwa lainnya memunculkan asumsi bahwa kitab suci-kitab suci

yang muncul menjelang keruntuhan Romawi memiliki keterkaitan terutama kitab

yang hadir belakangan yang menjadikan kitab sebelumnya sebagai rujukan sumber.

Kajian ini yang memfokuskan diri pada konsepsi origin dari kitab suci menjadi

bagian dari kajian historis kritis (historical critisism) yang pada gilirannya juga

melibatkan kajian filologis. Di antara tokoh yang menjadi sosok sentralnya adalah

Abraham Geiger (1810-1874 M)4 dan Theodor Noldeke (1836-1920 M).5 Keduanya

melakukan riset tentang al-Qur’an yang diyakini muncul pada masa Nabi Muhammad

(670-732 M).

Nabi Muhammad sebagai sosok historis, petualang, dan seorang yang

memiliki jaringan dengan bangsa luar terutama diddukung oleh profesinya sebagai

seorang pedagang yang hilir mudik melakukan perjalanan hingga Syam dan Yaman

menemui berbagai klien dan berjumpa dengan orang dari berbagai latar belakang

3 Hubungan kausalitas ini disebut Kuntowijoyo dengan model lingkaran sentral. Berbeda

dengan model evolusi yang menunjukan perubahan bentuk kebudayaan suatu unsur tertentu adalah

berkaitan dengan perubahan pada dirinya sendiri. Model lingkaran sentral lebih merupakan bentuk

perubahan-perubahan peristiwa berdasarkan sebab-akibat dalam proses diakronis yang melibatkan

tidak hanya dirinya sendiri namun mempengaruhi perubahan kebudayaan tertentu yang ada pada

lingkungannya. Sebuah peristiwa yang terjadi menurut model ini tidaklah terjadi dengan sendirinya,

namun terjadi karena peristiwa sebelumnya dan demikian terus-menerus terjadi hingga memunculkan

peristiwa-peristiwa yang baru. Lihat Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah (Yogyakarta: Tiara Wacana,

2003), hlm. 51. 4 Ken Spiro, The Reform Movement : Crash course in Jewis History (Jewish Pathways,

2008), hlm. 5. 5 Al Makin, Antara Barat dan Timur (Jakarta: Serambi, 2015), hlm. 101.

3

yang dalam perjalanan tersebut membangun pra-pemahaman Nabi. Baik Abraham

Geiger dan Noldeke masing-masing percaya bahwa Nabi terpengaruh oleh orang-

orang yang ada dalam lingkungan hidupnya tersebut yang kemudian menjadi sumber

munculnya al-Qur’an.

Tulisan ini mencoba untuk menguraikan secara komparatif pandangan dan

alur berfikir Abraham Geiger dan Theodore Noldeke terutama melalui sudut pandang

historis kritis. Tulisan ini juga menjadi kajian tentang orientalis dan bagaimana

mereka menjadikan kitab suci sebagai objek riset. Kajian ini menjadi refleksi studi

yang telah berkembang dibarat semenjak munculnya Historish-critiche Einleitung in

der Koran (1844) karya Gustav Weil6 hingga kajian kontemporer seperti yang

dilakukan oleh Angelica Neuwirth.

B. Abraham Geiger dan al-Qur’an

1. Biografi Abraham Geiger

Abraham Geiger lahir pada tahun 1810. Merupakan tokoh reformasi

Yahudi yang memulai geraknya di Breslau, Frankfurt, dan Berlin.7 Pada usia 17

tahun, Geiger sudah aktif dengan mengambil bagian dalam menulis Mishnah,

perbedaan hukum Talmud dengan Bible, dan Kamus Bahasa Ibrani-Mishnaic.

Pada bulan april 1829 Geiger memulai kuliah di University of Heidelberg. Di

sana ia banyak belajar filologi, arkeologi, filsafat, dan studi Bible. Setelah

menjalani satu semester ia memilih pindah ke University of Bonn. Di tempat

tersebut ia bersama rekan-rekannya mengikuti kelompok pemuda Yahudi yang

6 Kurdi Fadal, “Pandangan Orientalis terhadap al-Qur’an” dalam Jurnal Religia, vol.

14 No. 2, Oktober 2011. hlm. 190. 7 Ken Spiro, The Reform Movement : Crash course in Jewis History (Jewish

Pathways, 2008), hlm. 5.

4

dipersiapkan untuk menjadi Rabbi. Terbukti kemudian ia masuk dan ditunjuk

sebagai Rabbi di kota Wiesbaden pada tahun 1832.8

Ia mengkaji intensif mengenai dunia timur dan kemudian

keseriusannya ia tuangkan dalam karya "Was hat Mohammed aus dem

Judenthume aufgenommen?". Tulisan ini memenangi kontes essay serta

melambungkan namanya sebagai pakar dunia Timur. Denagn tulisan ini pula ia

meraih gelar Ph.D di University of Marburg.9 Tulisan tersebut pula yang

kemudian menjadi magnumopusnya mengenai tentang historis kritis terhadap

konsepsi origin al-Qur’an.

Dikenal sebagai reformis Yahudi, Geiger bersama dengan gurunya

Leopold Zunz (1794-1886) berupaya melakukan reformasi di tubuh Yahudi

untuk keluar dari konsep agama ritualis.10 Geiger juga menjadi pelopor

pengakuan kedudukan wanita dalam ruang sosial dan ritual yang sebelumnya

teralienasi dalam tradisi yahudi. Ia bersama David Einhorn berupaya membuka

ruang publik bagi wanita dan menyebarkan gagasan kebebasan wanita yang

sebelumnya dianggap mengalami degradasi.11 Dengan pandangan liberal

tersebut, pada tahun 1838 idealitas Geiger diserang oleh kelompok Yahudi

ortodok serta Geiger disuruh untuk melepas gelar Rabbinya. Untuk itu ia

pindah ke Breslau. Di tempat barunya ini, pergerakan idealitas Geiger bukannya

melemah, malah semakin kuat. Ia secara gencar menyerang Ritual dan tradisi

Yahudi ortodok seperti tradisi dietary (diet mengurangi makan), memakai

kippah (peci yahudi), memakai tallit (selendang ibadah), serta melepaskan

8 Sara E. Karesh dan Mitchell M. Hurvitz, Encyclopedia of Judaism (New York,

Facts on File, 2006), Hlm. 168. 9 Sara E. Karesh dan Mitchell M. Hurvitz, Encyclopedia of Judaism …, Hlm. 168. 10 Walter Homolka (ed.), Remembering Abraham Geiger (Jewish Ligths Publishing,

2013), Hlm. 167. 11 Cornelia Wilhelm, The Independent Orders of B’nai B’rith and True Sisters

(Michigan: Wyne State University Pres Detroit, 2011 ), Hlm. 42.

5

tafillin (Rumbai Ikat Kepala).12 Ia melihat hal-hal semacam itu kontraproduktif

atau kesia-siaan belaka.

Bersama Samuel Holdheim ia membangun konsep masyarakat Yahudi

sosialis, modern, dan terintegrasi. Ia mencoba merancang regulasi dalam

menata identitas dan standar masyarakat Yahudi sebagai bagian dari

masyarakat perkotaan sebagai kelompok jaringan Yahudi global.13 Setelah

bersusah payah meniti prestasi dalam dunia akademis dan setelah menunaikan

apa yang ia asumsikan sebagai sebuah perjuangan reformasi Yahudi sosialis,

akhirnya Abraham Geiger menghembuskan nafas terakhirnya di Berlin pada

tahun 1874.14

2. Pemikiran Abraham Geiger tentang al-Qur’an

Abraham Geiger kemudian mengasumsikan, pengalaman Muhammad

SAW menjadi kunci atas gerbang pengetahuan Yahudi yang kemudian

disertakan dan diadopsi oleh Islam di dalam Kitab Sucinya al-Qur’an. Menurut

Geiger, terdapat dua macam cara adopsi yang dipakai Muhammad SAW,

pertama adalah adopsi secara radikal berupa konsep yang hampir utuh dan

menyisakan kata kunci-kata kunci yang mirip atau bahkan sama sebagaimana

yang telah dikenal dan dipakai dalam kitab orang-orang Yahudi. Kedua adalah

adopsi konsep yang telah dirombak ulang menjadi konsep yang benar-benar

baru, namun memiliki gagasan yang sama mirip berupa doktrin keagamaan,

hokum legal formal, maupun, pandangan hidup.15

12 Sara E. Karesh dan Mitchell M. Hurvitz, Encyclopedia of Judaism (New York,

Facts on File, 2006), Hlm. 169. 13 Cornelia Wilhelm, The Independent Orders …, Hlm. 14. 14 Sara E. Karesh dan Mitchell M. Hurvitz, Encyclopedia of Judaism (New York,

Facts on File, 2006), Hlm. 168. 15 Susannah Heschel, Abraham Geiger and the Jewish Jesus (Chicago: The

University of Chicago Press, 1998), Hlm. 27.

6

Pertanyaan mendasar yang diajukan Geiger adalah sumber-sumber

informasi Nabi Muhammad yang menjelaskan dari mana Nabi mendapat

informasi mengenai Yahudi?. Geiger mencoba menjawab pertanyaan tersebut

melalui konteks masyarakat Makkah. Penduduk Makkah yang sebagiannya

adalah pagan dan sebagiannya adalah Yahudi membuka ruang akses informasi

yang luas seiring interaksi sosial. Bahkan sepupu dari Khadijah yang bernama

Waraka bin Naufal yang beragama Yahudi juga dikenal sebagai orang yang

mendalami kitab Taurat diitambah lagi dengan Abdullah bin Salam semakin

membuka akses nabi dalam menggali informasi mengenai Yahudi dari

pemeluknya langsung.16

Pada aspek pertama, yakni adopsi radikal yang ditudingkan ke dalam

Islam adalah penggunaan istilah-istilah Yahudi dalam hal ini terdapat empat

belas istilah yang dikemukakan Geiger: yakni :17

No Istilah No Istilah No Istilah

1 Tabut 6 Darasa 11 Furqan

2 Taurat 7 Rabbani 12 Maun

3 Jannatu Adn 8 Sabt 13 Masani

4 Jahannam 9 Sakinah 14 Malakut

5 Ahbar 10 Taghut

Sedangkan, secara konseptual, terdapat tiga pandangan yang telah diadopsi

Muhammad SAW. Pertama ialah konsep doktrinal (Doctrinal views), konsep

moral – legal (Moral and Legal Rules), dan konsep pandangan dunia (Views of

life).

16 Abraham Geiger, Judaism and Islam (New York: Publishing House, 1898), hlm.

17. 17 Lihat Abraham Geiger, “What did Muhammad Borrow from Judaism”, dalam Ibn

Waraq, The Origin of the Koran (New York, Prometheus book, 1998), hlm. 166-172.

7

a. Konsep Yahudi dan Legitimasi Dakwah Nabi Muhammad

Salah satu argumen yang diuraikan Abraham Geiger mengenai alasan

Nabi Muhammad mengadopsi Konsep Yahudi adalah sebagai upaya

melegitimasi terhadap Islam. Sebagai sebuah agama baru, Islam menyatakan

diri merupakan agama penerus. Untuk itu ia perlu mendekatkan diri dengan

agama sesudahnya yaitu Yahudi. Selain itu Islam memerlukan mencontoh

agama yang terlebih dahulu telah mapan dan mendapatkan tempat di hati

mayarakat. Dalam contoh kecil kita bisa melihat konsep mensucikan hari jumat

yang meniru umat Yahudi yang telah terlebih dahulu mengkultuskan hari

sabat.18 Pensucian hari jumat ini sekaligus menjadi gambaran upaya Nabi

Muhammad dalam membentur konsep-konsep Yahudi.

C. Teodor Noldeke dan al-Qur’an

1. Biografi Theodor Noldeke

Theodor Noldeke lahir pada tahun 1836 di Jerman tepatnya di kota

Hamburg. Perjalanan studinya ia jalani di empat kota penting dalam

perjalanan pemikirannya yakni Gottingen, Wina, Leiden, dan Berlin. Ia

merupakan peletak dasar kajian al-Qur’an di Barat. Tidak hanya di kalangan

Barat, Noldeke juga menginspirasi banyak pemikir Islam setelahnya

sebagaimana Abu Abdullah al-Zanjani (1892-1941) untuk menulis karya

tentang Sejarah al-Qur’an.19 Selain mengispirasi banyak tokoh baik Timur

maupun Barat, Noldeke dengan karyanya yang bertajuk “Geschichte des

Koran” (1860)20 mendapat penghargaan di berbagai universitas. Di antaranya

18 David and Bruria Hutner, The Dual Rule of Rabbi Zvi Hirsc Chajes: Tradisionalist

and Maskil (Columbia: Columbia University1971), hlm. 19. 19 Lihat Morteza Karimi-Nea, “The Historiography of the Qur’an in the Muslim

World”, Jurnal of Qur’anic Studies, 15.1, 2013, hlm. 46. 20 Tulisan Noldeke tersebut pernah diterbitkan dalam beberapa edisi seperti volume

keduanya di Festschrift tahun 1906. Kemudian terbit dalam kompilasi tulisan bertajuk

8

adalah Perancis Academie des Inscriptions et Belles-Lettrers. Mulai tahun

1861 ia mengajar di Universitas Gottingen, sebuah Universitas ternama yang

melahirkan peraih Nobel terbanyak hingga terakhir ini. Kemudian ia pindah

ke Kiel pada tahun 1868 lalu ke Strassburg. Ia mengajar bahasa Syiriac,

namun juga mahir dalam bahasa Ibrani dengan raihan gelar masternya dalam

bahasa tersebut.21 Ia menjalani sisa hari tuanya dengan pensiun pada tahun

1906 hingga kemudian ia meninggal pada tahun 1930.22

Ia memiliki latar belakang yang kuat dalam bidang semitik secara

umum, di samping secara khusus berkonsentrasi dalam menekuni kajian

bahasa Arab dan al-Qur’an. Ia berpengalaman dalam kajian bahasa Syiriak

dan Aramaik. Gambaran tersebut sekaligus menjadi cirri khas pengkaji Islam

awal di Eropa, yakni bermula tidak langsung dari kajian bahasa Arab, namun

dari bahasa yang lebih kuno, yaitu bahasa yang menjadi pengantar perjanjian

lama dan perjanjian baru.23 .

2. Pemikiran Theodor Noldeke Tentang al-Qur’an

Theodor Noldeke beranggapan, sebagai sebuah teks tertulis, mushaf

al-Qur’an tentunya memiliki rujukan atau sumber-sumber asal yang

membangun konsep di dalamnya. Berangkat dari pertanyaan tersebutlah

muncul nama Taurat (Yahudi) dan Injil (Kristen) yang diasumsikan

merupakan sumber rujukan al-Qur’an. Tuduhan ini bukan tanpa alasan. Di

“Mohammedanism III. The Quran” dalam Encyclopaedia Britannica, vol. 16, pp. 597ff.

penelitian Noledeke sekaligus beranak menjadi sub proyek Orientalische Skizzen (Sketches

from Eastern History) yang kemudian diterjemah ke dalam berbagai bahasa. Lihat N. A.

Newman, The Qur’an: an Introductory essay by Theodor Noldeke (Pennsylvania: Ibri, 1992),

hlm. 1. 21 N. A. Newman, The Qur’an: an Introductory essay by Theodor Noldeke

(Pennsylvania: Ibri, 1992), hlm. 1. 22 Al Makin, Antara Barat dan Timur (Jakarta: Serambi, 2015), hlm. 101. 23 Al Makin, Antara Barat dan Timur (Jakarta: Serambi, 2015), hlm. 101.

9

antara cabang yang menjadi tema pokok al-Qur’an berupa konsep eskatologis,

kisah-kisah, dan hukum yurisprudensi dinilai sangat mirip bahkan sama persis

dalam bebrapa term tertentu dengan konsep yang sebelumnya telah terpakai

dalam kitab Yahudi.

Berangkat dari hal ini, ia menggunakan kerangka kajian filologis

dengan membandingkan teks-teks kitab suci dari tradisi Yahudi, Kristiani, dan

Islam. dalam kerangka ini ia menempatkan teks-teks tersebut dalam dua

tempat filologisnya yakni urteks dan teks salinan. Upaya ini menjadi bagian

yang ia padukan dengan pendekatan Historis kritis. Karena antara filologis

dengan kajian historis kritis dapat disangkut pautkan karena kitab suci yang

notabene lahir dalam arus sejarah bagaimanapun merupakan teks yang tertulis.

Begitu juga sebaliknya, bahwa teks tertulis bagaimanapun merupakan sesuatu

yang memiliki ruang dimensi tempat dan waktu.

Dalam rentang sejarah konsepsi origin al-Qur’an, Nabi Muhammad

dianggap merupakan sosok sentral yang berperan dalam merangkum ajaran

kitab terdahulu, menyaringnya, melegitimasi, merubah, dan merekonstruksi

ulang sebelum diproklamirkan sebagai suara Tuhan sebagaimana pandangan

Geiger. Namun pandangan ini ditolak oleh Noldeke, menurutnya bukan

maksud Nabi merubah konsep-konsep kitab terdahulu, namun adanya

pergeseran konsep yang diperjelas dengan banyaknya data al-Qur’an yang

berbeda dengan data kitab terdahulu adalah berkaitan keterbatasan transmisi

yang mengakibatkan banyak kesalah pahaman dari Nabi dalam menangkap

data dari para informan. Kekurangan ini terletak pada tradisi oral yang lebih

mendominasi dibanding dengan langsung mengutip Perjanjian Lama dan

Perjanjian Baru secara langsung.24

24 Lihat Theodore Noldeke, The History of The Qur’an (Leiden: Brill, 2013), hlm.

13.

10

Sedangkan, dari sisi lain, para outsider memahami hal ini sebagai

sebuah penyimpangan. Islam dianggap sebagai bid’ah dari Yahudi. Islam

hanya sebuah derivasi konsep-konsep Yahudi dan al-Qur’an adalah bentuk

konspirasi Muhammad. Sosok yang memiliki intelektualitas tinggi.

Penyandangan Muhammad SAW dengan julukan Ummy sering disalah

pahami, bahkan secara mayoritas. Term ummy bukan merupakan lawan dari

buta huruf, namun setelah menelusuri berabagai literature Arab, Noldeke

menyimpulkan bahwa kata tersebut merupakan lawan dari Ahl Kitab yang

memiliki arti “buta atau tidak mengenal Kitab terdahulu”. Hal tersebut juga

disiratkan dalam al-Qur’an surat al-Ankabut ayat 48. Selain itu, Noldeke

berasumsi bahwa term “ummy” berdekatan dengan almaya umat sebelumnya,

yaitu ahli kitab sebagai objek umat diturunkannya kitab. Dari umat tersebut

pulalah term ummy muncul yang merepresentasikan umat dan juga memiliki

kedekatan term األمم yang bermakna umat-umat dalam bentuk majmuk.25

Kecurigaan bahwa Muhammad SAW mengadopsi ajaran Yahudi dari

konsep teologis hingga tatra cara liturgi, dapat dilihat dari lingkungan

kehidupan nabi. Nabi pernah hidup berdampingan dengan pemuka nasrani.

Pertama adalah Waraqah bin Naufal yang merupakan sepupu Khadijah yang

bersama Nabi selama 15 tahun sebelum diutusnya Muhamamd. Kedua adalah

sosok Buhairah (yang dikenal dalam tradisi Yahudi dengan Nestorios) yang

bertemu saat Nabi bersama Abu Thalib (pamannya) pergi berdagang ke

Syam.26

Salah satu contoh yang diberikan oleh Noldeke adalah lafaz syahadat

yang mengadopsi kitab Samoel II: 32,22 : Mazmur 18, 32. Selain itu,

pembuka basmalah yang dibaca dalam setiap melakukan sesuatu juga

diyakininya merupakan adopsi dari kebiasaan orang Yahudi. Selain itu term

25 Lihat Theodore Noldeke, The History of The Qur’an …, hlm. 11. 26 Lihat Theodore Noldeke, The History of The Qur’an …, hlm. 13.

11

furqon yang difahami oleh Yahudi sebagai penebusan (redemption) juga

diadopsi dan disalah artikan. Noldeke menyatakan bahwa Nabi Muhammad

salah mengadopsi kisah Haman yang dianggap sebagai menteri Firaun.

Padahal Hamman adalah menteri dari Ahasuerus.

Ayat yang dihapus (mansukh/abrogated) dan politis dakwah Nabi

Jika meruntut sejarah keilmuan al-Qur’an, Abid al-Jabiri dalam

Madkhal Ila al-Qur’an juga memberikan komentar bahwa ke-ummi-an Nabi

Muhammad mengarahkan kepada makna ketidaktahuan tentang kitab klasik

atau lebih tepat diistilahkan “tidak pernah membaca” kitab Taurat dan Injil.

Hanya saja, Theodor Noldeke menyertakan kritikan bahwa meski tidak pernah

membaca kitab klasik, namun Nabi mencoba memaksakan pencantuman

konsep Yahudi. Konsekwensi dari hal ini adalah kesalahan beberapa konsep.

Meski kajian Noldeke didasarkan kajian data sejarah, namun dalam

argumennya mengenai alasan bentuk ketidakkonsistenan Nabi, Noldeke

terlihat lebih bersifat asumtif. Ia beranggapan bahwa nasihk dan mansukh

merupakan ketidakkonsistenan alur berfikir Nabi Muhammad yang

menguatkan gagasan bahwa terdapat sesuatu yang missing dari proses

transmisi Nabi. Sebaliknya, hal ini dipercayai oleh kebanyakan mufassir

sebagai kecerdikan politis Nabi Muhammad dalam menggenggam hati

masyarakat Arab. seiring berlakunya nasikh dan mansukh secara tidak

langsung berlaku pula tahapan dalam merubah pola budaya dalam transmisi

tradisi bangsa Arab. Seperti upaya Nabi dalam menghapus tradisi mabuk-

mabukan. Qur’an tidak secara langsung mengharamkan budaya mabuk dan

menyingkirkan arak istiulah dari daftar makanan halal. Namun secara gradual

al-Qur’an menunjukkan dampak negatif yang kemudian mencoba

menyisihkan sedikit-demi sedikit candu arak dari tradisi Arab sebelum Islam.

12

Di luar gagasan kontroversi dan provokatifnya, Noldeke memberikan

argumen cukup membantu dalam memahami mengenai kemungkinan alasan

munculnya kesimpangsiuran dan beberapa segmentasi ayat yang terkesan

terpotong-potong. Hal tersebut tidak lepas dari upaya kodifikasi al-Qur’an

pada abad ke-II Hijriyah. Dari tujuh huruf enam di antaranya tersisihkan dan

menyisakan satu teks otoritatif yang sekarang dikenal dengan mushaf

Utsmani.27 Hal ini dapat member landasan atas kelemahan mengenai

banyaknya perbedaan cara baca maupun kandungan hukum dalam al-Qur’an

yang sebenarnya bukan merupakan kesimpangsiuran yang berasal dari al-

Qur’an itu sendiri namun kesimpangsiuran ini berasal dari upaya kodifikasi

abad kedua hijriyah. Karena apa yang dipegang oleh umat Islam saat ini hanya

satu dari banyaknya model bacaan yang pernah dibakar pada masa Utsman.

D. Perbandingan Pemikiran Abraham Geiger dan Theodore Noldeke

Antara Noldeke dan Geiger masing-masing memiliki asumsi, metode,

dan hasil riset yang berbeda dengan kelemahan dan kelebihan, bagitu halnya

untuk mengatakan bahwa masing-masingnya juga memiliki perbedaan dan

persamaan. Baik Geiger yang menggunakan pemahaman mishnah dan kitab

Yahudi untuk mengkomparasikannya dengan konsep yang termuat dalam content

al-Qur’an, juga Noldeke yang menggunakan keahliannya dalam disiplin ilmu

filologi untuk memahami al-Qur’an sebagai sebuah teks filologis, keduanya telah

menunjukkan keahlian masing-masing sesuai bidang yang bertahun-tahun

ditekuni.

Adakalanya argumentasi mereka saling membangun satu dengan

lainnya, namun adakalanya argument mereka terlihat saling mematahkan.

Terlihatnya hal ini bagaimana saat Keduanya menyatakan alasan kenapa al-

27 Lihat Theodore Noldeke, The History of The Qur’an …, hlm. 465.

13

Quir’an memuat konsep-konsep yang menyimpang dari sumber asalnya. Geiger

menduga hal tersebut tidak lain karena faktor politik dakwah Nabi, sedangkan

Noldeke mempercayainya sebagai kegagalan proses transmisi.

Berikut merupakan tabel perbandingan pandangan Geiger dan

Noldeke baik dari sisi metodologis, maupun juga dari temuan riset keduanya:

No Persamaan Perbedaan

1 Antara Abraham Geiger dan Theodor

Noldeke menggunakan Historis Kritis

Theodor Noldeke Menambahkan

pendekatan Filologis tentang kajian

literature Urtext dengan teks salinan

hal ini yang tidak terdapat dalam

pendekatan Abraham Geiger yang

menggunakan sudut pandang

borrowing

2 Antara Abraham Geiger dan Theodor

Noldeke menggunakan Konsepsi

Origin

Abraham Geiger mengarahkan

beberapa evidensi dengan melalui

kajian kata/ term dan konsep antara

al-Qur’an dengan Kitab suci

Yahudi yang mirip, sedangkan

Theodor Noldeke menggunakan

evidensi waktu untuk membuktikan

bahwa Kitab suci Yahudi lebih awal

sebagai rujukan dari kitab-kitab

yang baru datang setelahnya.

3 Al-Qur’an sama-sama muncul pada

masa Nabi Muhammad bukan pada

abad II Hijriyyah.

Abraham Geiger Menganggap

perbedaan antara al-Qur’an dengan

Kitab terdahulu disebabkan

kesengajaan dan misi legitimasi

14

Nabi Muhammad sedangkan

Theodore Noldeke menganggap

bahwa perbedaan al-Qur’an dengan

Kitab terdahulu disebabkan oleh

keterbatasan transmisi oral yang

mengakibatkan ada konsep yang

terselip atau missing.

E. Kesimpulan

Dengan menggunakan pendekatan historis kritis, baik Geiger maupun

Noldeke mendudukkan al-Qur’an sebagai subjek yang sama. Meski demikian

keduanya barakhir dengan kesimpulan yang berbeda. Asumsi, metode, dan hasil riset

mereka masing-masing memiliki kelemahan dan kelebihan, bagitu halnya untuk

mengatakan bahwa masing-masingnya juga memiliki perbedaan dan persamaan. Baik

Geiger yang menggunakan pemahaman mishnah dan kitab Yahudi untuk

mengkomparasikannya dengan konsep yang termuat dalam content al-Qur’an, juga

Noldeke yang menggunakan keahliannya dalam disiplin ilmu filologi untuk

memahami al-Qur’an sebagai sebuah teks filologis, keduanya telah menunjukkan

keahlian masing-masing sesuai bidang yang bertahun-tahun ditekuni.

Salah satu hal responsive penulis dari kajian para orientalis, bahwa

kontestasi teori tentang konsepsi origin al-Qur’an belumlah usai hingga sekarang.

Baik Geiger, Noldeke, maupun akademisi dari Barat lainnya saling mengcounter

pendapat satu sama lain. Mengenai siapa yang bertanding saat itu bukanlah Timur

dan Barat, namun tidak lain yang sedang bertarung di sini melibatkan akademisi

Barat sendiri. Mereka terus berlomba dan saling mematahkan argumen satu sama

lainnya. Hal ini memperjelas bahwa tidak terdapat tendensi melemahkan dan

15

menyudutkan Timur pada umumnya. Mengenai hasil riset yang memojokkan dan

terkesan provokatif menjadi konsekuwensi dari upaya mendudukkan agama yang

normatif dengan menggunakan sudut pandang realita historis.

Hal yang tidak dapat ditinggalkan dari warisan pemikiran Geiger dan

Noldeke adalah sudut pandang baru dalam mamahami tradisi kita. Beberapa

klasifikasi seperti kalenderisasi makki (awal-akhir) dan madani; nasikh dan mansukh;

serta temuan lainnya menjadi poin positif sebagai nilai yang melandasi penelitian

lebih lanjut tentang al-Qur’an, bahkan yang kemudian temuan ini dipergunakan oleh

kalangan akademisi muslim sendiri. Hal ini karena hal yang berasal dari luar tidaklah

secara keseluruhan buruk, mungkin beberapa bisa diambil dengan keterbukaan

dengan tetap bersifat kritis. Tidak dengan taken for granted demikian juga tidak

dengan melolak secara apriori.

16

Daftar Pustaka

David and Hutner, Bruria. The Dual Rule of Rabbi Zvi Hirsc Chajes: Tradisionalist

and Maskil (Columbia: Columbia University1971).

Fadal, Kurdi, “Pandangan Orientalis terhadap al-Qur’an” dalam Jurnal Religia, vol.

14 No. 2, Oktober 2011.

Finster, Barbara. “Arabia in Late Antiquity: An Out Line of the Cultural Situation in

the Peninsula at the Time of Muhammad”, dalam Angelica Neuwirth dkk.

(ed.), The Qur’an in Context (Leiden: Brill, 2010).

Franchetty, Cody. “An Ever Lasting Antiquity : Aspects of Peter Brown’s The World

of Late Antiquity”, dalam Global Journal of Human Social and Science, Vol

XIV, 2014.

Geiger, Abraham. “What did Muhammad Borrow from Judaism”, dalam Ibn Waraq,

The Origin of the Koran (New York, Prometheus book, 1998).

--------. Judaism and Islam (New York: Publishing House,1898).

Heschel, Susannah. Abraham Geiger and the Jewish Jesus (Chicago: The University

of Chicago Press, 1998).

Homolka (ed.), Remembering Abraham Geiger (Jewish Ligths Publishing, 2013).

Karesh, Sara E.. dan Hurvitz, Mitchell M.. Encyclopedia of Judaism (New York,

Facts on File, 2006).

Karimi, Morteza. dan Nea, “The Historiography of the Qur’an in the Muslim World”,

Jurnal of Qur’anic Studies, 15.1, 2013.

Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003).

Makin, Al. Antara Barat dan Timur (Jakarta: Serambi, 2015).

17

Newman, N. A. (ed.). The Qur’an: an Introductory essay by Theodor Noldeke

(Pennsylvania: Ibri, 1992).

Noldeke, Theodore. The History of The Qur’an (Leiden: Brill, 2013).

Spiro, Ken. The Reform Movement : Crash course in Jewis History (Jewish

Pathways, 2008).

Wilhelm, Cornelia. The Independent Orders of B’nai B’rith and True Sisters

(Michigan: Wyne State University Pres Detroit, 2011 ).