konsep pemikiran sachiko murata dalam the tao of islam

21
KONSEP PEMIKIRAN SOCHIKO MURATA DALAM THE TAO OF ISLAM Latar Belakang Sejak kehadiran Islam dengan nilai universal, salah satu visi dan misinya adalah kesetaraan dan keadilan gender. Rasulullah Saw senantiasa memberikan perhatian khusus dalam beberapa problema kontekstual sebagai bentuk pentingnya mengubah cara pandang dan cara memperlakukan perempuan dan laki-laki; dan sepanjang lintasan sejarah pra-Islam selalu antara keduanya diperlakukan berbeda. Perempuan tidak mendapatkan hak-hak dasar yang sama dengan laki-laki. Namun demikian, hingga saat ini pesan moral Islam tersebut belum terwujud sepenuhnya dalam kehidupan sehari-hari. Artinya masih tersisa masalah kesenjangan gender yang memerlukan perhatian serius oleh semua pihak, baik pemerintah maupun masyarakat. 1 Perbedaan jenis kelamin melahirkan perbedaan gender yang telah melahirkan berbagai ketidakadilan. Faktor yang menyebabkan ketidak seimbangan atau ketidakadilan gender adalah akibat adanya gender yang dikonstruksikan secara sosial dan budaya. Beberapa anggapan yang memojokkan kaum perempuan dalam konteks sosial menyebabkan sejumlah persoalan. 2 Kebanyakan aplikasi dan implikasi pada permasalahan gender telah mengerucut kepada ketidakadilan ( gender in-equalities). Ketidakadlan gender termanifestasikan dalam berbagai bentuk ketidakadilan, misalnya subordinasi, marginalisasi, beban kerja lebih banyak, dan stereotipe. 3 Kesetaraan gender merupakan pokok pembahasan yang kontroversial. Dari munculnya berbagai macam pemikiran dengan pendapatnya yang khas. Pada awalnya persoalan ini muncul akibat dari ketidakpuasan kaum hawa sebagai the second sex. Baik secara biologis yang menyebabkan perbedaan alami antara pria dan wanita (nature), maupun budaya yang turut membentuk konsep gender, memposisikan kaum wanita di bawah laki-laki. Kemudian para feminis mencoba 1 Mufidah Ch, Gender di Pesantren Salaf Why Not ?, (Malang: UIN-Maliki Press, 2010), hlm. v. 2 Trisakti Handayani dan Sugiarti, Konsep dan Teknik Penelitian Gender, (Malang: UMM-Press, 2006), hlm. 10. 3 Trisakti Handayani dan Sugiarti, Konsep dan Teknik Penelitian Gender, (Malang: UMM-Press, 2006), hlm. 14. 1

Upload: uin-mlg

Post on 28-Nov-2023

0 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

KONSEP PEMIKIRAN SOCHIKO MURATA DALAM THE TAO OF ISLAM

Latar Belakang

Sejak kehadiran Islam dengan nilai universal, salah satu visi dan misinya

adalah kesetaraan dan keadilan gender. Rasulullah Saw senantiasa memberikan

perhatian khusus dalam beberapa problema kontekstual sebagai bentuk pentingnya

mengubah cara pandang dan cara memperlakukan perempuan dan laki-laki; dan

sepanjang lintasan sejarah pra-Islam selalu antara keduanya diperlakukan berbeda.

Perempuan tidak mendapatkan hak-hak dasar yang sama dengan laki-laki. Namun

demikian, hingga saat ini pesan moral Islam tersebut belum terwujud sepenuhnya

dalam kehidupan sehari-hari. Artinya masih tersisa masalah kesenjangan gender

yang memerlukan perhatian serius oleh semua pihak, baik pemerintah maupun

masyarakat.1

Perbedaan jenis kelamin melahirkan perbedaan gender yang telah melahirkan

berbagai ketidakadilan. Faktor yang menyebabkan ketidak seimbangan atau

ketidakadilan gender adalah akibat adanya gender yang dikonstruksikan secara

sosial dan budaya. Beberapa anggapan yang memojokkan kaum perempuan dalam

konteks sosial menyebabkan sejumlah persoalan.2Kebanyakan aplikasi dan

implikasi pada permasalahan gender telah mengerucut kepada ketidakadilan (gender

in-equalities). Ketidakadlan gender termanifestasikan dalam berbagai bentuk

ketidakadilan, misalnya subordinasi, marginalisasi, beban kerja lebih banyak, dan

stereotipe.3

Kesetaraan gender merupakan pokok pembahasan yang kontroversial. Dari

munculnya berbagai macam pemikiran dengan pendapatnya yang khas. Pada

awalnya persoalan ini muncul akibat dari ketidakpuasan kaum hawa sebagai the

second sex. Baik secara biologis yang menyebabkan perbedaan alami antara pria dan

wanita (nature), maupun budaya yang turut membentuk konsep gender,

memposisikan kaum wanita di bawah laki-laki. Kemudian para feminis mencoba

1 Mufidah Ch, Gender di Pesantren Salaf Why Not ?, (Malang: UIN-Maliki Press, 2010), hlm. v. 2 Trisakti Handayani dan Sugiarti, Konsep dan Teknik Penelitian Gender, (Malang: UMM-Press,

2006), hlm. 10. 3 Trisakti Handayani dan Sugiarti, Konsep dan Teknik Penelitian Gender, (Malang: UMM-Press,

2006), hlm. 14.

1

membuat teori-teori yang mencoba mencari kesamaan dan kesetaraan antara dua

tipe seks dan gender ini.

Namun kemudian, teori-teori ini pada akhirnya hanya akan menghasilkan

konsep yang mencoba menafikan fungsi dan peran wanita yang khusus dilebelkan

padanya. Seperti konsep yang diusung Sulamith Firestone mengenai revolusi

produksi yang menyatakan bahwa wanita berhak menolak untuk tidak hamil.

Kemudian Kata Mullet yang mencoba mengasimilasikan feminis ke dalam maskulin

sehingga yang ada di dunia ini hanyalah sifat maskulin yang tentunya hal ini akan

menafikan sifat feminin dengan berbagai kelebihannya sendiri yang kemudian

konsep ini ditentang oleh Marlyn French dengan alasan bahwa proses asimilasi

tersebut akan menghasilkan krisis teologi (alam), sehingga ia menciptakan konsep

baru yang merupakan kebalikannya yaitu mengasimilasikan sifat maskulin ke dalam

sifat feminin hingga memunculkan konsep ecofeminism. Namun hal ini pun

dianggap terlalu mengunggulkan kaum perempuan dan kefemininannya sehingga

kesemuanya ini tidak menghasilkan suatu kesetaraan dalam keragaman yang akan

menghasilkan keharmonisan ekologi dan sosial.

Fenomena yang terjadi masih terdapat kasus-kasus yang berakar dari

diskriminasi gender hampir dapat dijumpai dengan mudah dalam kehidupan.

Kekerasan dalam rumah tangga, eksploitasi terhadap perempuan dan anak-anak

dalam berbagai bentuk telah banyak terjadi. Salah satu faktor penyebab diskriminasi

gender di atas bisa berakar dari pemahaman teks suci ajaran agama yang dipahami

secara bias gender sehingga salah satu jenis kelamin lebih diunggulkan dari jenis

kelamin lainnya, atau jenis individu yang satu lebih diunggulkan dari jenis individu

lainnya, atau unsur yang satu lebih diunggulkan dari unsur lainnya. Atau

dikarenakan perbedaan dan kesalahan dalam mempersepsikan serta memberikan

penilaian terhadap permasalahan gender, oleh karena itu perlu dibutuhkan sebuah

relasi yang dapat memberikan pemaknaan sessungguhnya mengenai konsep gender.

Dengan demikian diperlukan perspektif baru dalam memahami teks suci tersebut

agar selaras dengan nilai-nlai Islam yang agung, juga sebagai solusi atas problem

sosial berbasis gender di tengah masyarakat.4

4 Mufidah Ch, Op. Cit, hlm. vi.

2

Namun masalah gender ini ternyata bukanlah sekedar masalah soal perempuan,

atau perbedaan jenis kelamin atau perbedaan jenis dan jenjang sosial yang lainnya,

melainkan juga masalah mengenai konsep kosmologi dan teologi dalam Islam.

Seperti yang ditemukan dan diteliti oleh Sachiko Murata yang telah membahas

perspektif relasi gender dalam Kosmologi dan Teologi Islam yang beliau tulis dalam

bukunya yang berjudul “The Tao of Islam”.5

Kesetaraan dalam keragaman yang akan menghasilkan keharmonisan

ekologi dan sosial agaknya hanya akan bisa terwujud jika masing-masing dari seks

dan gender memposisikan dirinya sesuai dengan fungsi dan perannya. Konsep yang

mencoba menguraikan hal ini adalah konsep relasi gender yang dikemukakan oleh

Prof. Sochiko Murata, seorang pemikir Jepang yang mencoba menguraikan relasi

gender dengan menggunakan konsep kosmologi Cina yaitu yin (feminis )dan yang

(maskulin)

Kosmologi Cina melukiskan alam semesta dalam batasan kerangka yin dan

yang bisa dipahami sebagai prinsip-prinsip eksistensi yang bersifat aktif dan reseptif

atau pria dan wanita. Yin dan yang merangkul satu sama lain dalam keselarasan, dan

perpaduan keduannya menghasilkan segala sesuatu yang ada, yang ia sebut dalam

bukunya The Tao Of Islam dengan Sepuluh Ribu Hal. Symbol terkenal Tai Chi, atau

Tao, melukiskan yin dan yang sebagai gerakan dan perubahan yang konsultan.

Dalam fenomena tertentu, hubungan antara yin dan yang terus-menerus berubah.

Karena itu, seluruh alam semesta berubah setiap saat, bagaikan sungai yang

mengalir. Dari sini penting kiranya mengulas konsep relasi gender yang ditawarkan

oleh Prof. Sochiko Murata yang dituangkan dalam karyanya The Tao Of Islam.

Sachiko Murata telah memberikan gambaran bahwa antara gender dengan

kosmologi, teologi, seni, agama, filsafat, etika, termasuk relasi gender yang

kesemuanya disusun menjadi suatu rangkaian kesatuan yang mengagumkan.6

Pendekatan yang dipakai oleh Prof. Sachiko Murata untuk menjelaskan relasi

5 Buku ini bukan hanya membahas tentang masalah gender tentang perempuan, tetapi mengenai juga permasalahn gender dalam kosmologi dan teologi Islam yang telah berkembang dalam berbagai banyak kajian literatur klasik dalam al-Qur’ân dan hadits. Konsep tersebut oleh Sachiko Murata telah ungkapkan panjang lebar di dalam bukunya yang berjudul “The Tao of Islam”.

6 Sachiko Murata, The Tao of Islam, edisi terjemah cet VII, penterjemah: Rahmani Astuti dan M.S. Nasrullah, (Bandung: Mizan, 1999), hlm. 7.

3

gender adalah dengan memakai prspektif kosmologi Islam. Pendekatan ini bisa

dianggap kurang lazim atau relatif belum banyak dibaca di Indonesia. Apa yang

djelaskan oleh Sachiko Murata yang membuktikan bahwa maskulinitas dan

feminitas pada tataran manusia masing-masing mempunyai sisi positif dan sisi

negatif, yang keduanya saling melengkapi. Begitu pula dengan yin dan yang,

feminitas dan maskulinitas, mikrokosmos dan makrokosmos, jamal dan jalal.

Keseimbangan yang selalu terlahir dan tercipta baik di alam lahiriah dan alam

batiniah. Dengan kata lain esensi tujuan hidup manusia baik laki-laki maupun

perempuan untuk menjadi insan kamil.7

Sachiko Murata juga menekankan dalam bukunya bahwa tidak ada satu pun

ayat dalam nash-nash al-Qur’ân yang tidak mempunyai makna, karena itu semua

berasal dari Allah Swt. Murata telah menujukkan sikap obyektif terhadap apa yang

dikajinya, ia tidak menafsirkan al-Qur’ân dan Hadîts menurut pikirannya, melainkan

ia bergantung sepenuhnya kepada nash-nash al-Qur’ân.8 Relasi gender yang

dikemukakan adalah merupakan bentuk manisfestasi dari al-Qur’ân sendiri sebagai

kitab rujukan bagi seluruh umat manusia. Buku “The Tao of Islam” telah banyak

memberikan bukti-bukti ilmiah mengenai relasi gender dalam kosmologi dan teologi

Islam, tanpa mengubah atau memutar-mutar makna al-Qur’ân dan Hadîts tidak

menurut pada tempatnya. Buku ini juga banyak membahas tentang laporan ilmiah

yang telah diteliti oleh Prof. Sachiko Murata mengenai relasi gender dalam

kosmologi dan teologi Islam.

A. TIGA REALITAS

1. Tanda-tanda di Cakrawala dan Jiwa

Sebelum membahas tentang tanda relasi gender dalam tiga realitas (Allah,

Makrokosmos, dan Mikrokosmos), maka terlebih dahulu mengetahui bagaimana

arti dari makna-makna tersebut.

Kata “gender” sering diartikan sebagai kelompok laki-laki, perempuan, dan

perbedaan jenis kelamin.9 Konsep gender adalah sifat yang melekat pada kaum

7Ibid, hlm. 10. 8Ibid, hlm. 11.9 Trisakti Handayani dan Sugiarti, Op. Cit, hlm. 4.

4

laki-laki dan perempuan (masculine and feminine) yang dibentuk oleh faktor-

faktor sosial maupun budaya, sehingga lahir beberapa anggapan tentang

perbedaan fungsi peran sosial dan budaya laki-laki dan perempuan (social

contributionmasculine and feminine)10, bentuk sosial perempuan adalah sebagai

makhluk yang lemah lembut, cantik, emosional, dan keibuan; sedangkan

bentukan sosial laki-laki adalah makhluk yang dianggap kuar, rasional, jantan,

dan perkasa.11

Namun di dalam buku “The Tao of Islam”, konsep gender lebih meluas dan

universal. Istilah gender dipakai oleh Prof. Sachiko Murata untuk memaknai

Makrokosmos dan Mikrokosmos yang draf kontennya lebih merujuk kepada

berlainan identitas dan cakupan, namun keduanya adalah merupakan jenis yang

sama. Murata lebih menekankan gender kepada aspek mayor (makrokosmos)

dan aspek minor (mikrokosmos yang terkandung di alam semesta ini.

Dalam sebagian besar teks-teks Islam, ada tiga realitas dasar yang selalu

dipegang; yaitu Allah, kosmos (makrokosmos), dan manusia (mikrokosmos).

Kita bisa menggambarkan ketiganya ini sebagai tiga sudut dari sebuah segitiga.

Yang secara khusus manrik ialah hubungan yang terjalin diantara ketiga sudut

itu. Allah yang berada di puncak dan merupakan sumber yang menciptakan

kedua sudut yang ada dibawahnya, karena baik makrokosmos maupun

mikrokosmos adalah realitas-realitas deveriatif. Istilah “cakrawala dan jiwa” (al-

âfâq wa al-anfus) adalah bentuk deveriatif dari makrokosmos dan

mikrokosmos12terungkap dalam al-Qur’ân dalam QS. Fushilât ayat (41) ayat

53:13

Artinya: “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda

(kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi (cakrawala) dan pada diri mereka

10Ibid, hlm. 5. 11Ibid, hlm. 5.12Ibid, hlm. 47.13 Depag RI, al-Qur’ân dan Terjemahannya, (Semarang: Thoha Putra, 1999), hlm. 483.

5

sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al-Quran itu adalah benar. Tiadakah

cukup bahwa Sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu”.

“Tanda-tanda” (âyât) Allah yang dijumpai baik di dalam maupun di luar

diri manusia, merupakan salah satu tema yang diulang-ulang dalam al-Qur’ân.

al-Qur’ân menggunakan istilah “tanda” dalam bentuk tunggal maupun jamak

sebanyak 288 kali dalam beberapa makna yang berkaitan erat. Sebuah tanda

adalah fenomena yang memberitahukan ihwal Allah. Tanda itu bisa berupa nabi,

risalah nabi, mukjizat nabi, atau berbagai hal yang ada di dalam alam. Ia bisa

bertalian dengan alam lahiriah, makrokosmos, atau alam batiniah,

mikrokosmos.14 Pada QS. Aż-Żâriyât (51) ayat 20-2115:

Artinya: “Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi

orang-orang yang yakin. Dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka Apakah kamu

tidak memperhatikan?”.

Singkat kata segala sesuatu pada alam semesta adalah tanda Allah.

Banyak dalam ayat al-Qur’ân mengungkapkan gagasan bahwa semua obyek

alam adalah tanda-tanda Allah. Sangatlah penting memahami gagasan ini

sebagai fondasi pemikiran Islam, karena menetapkan hubungan antara Allah dan

kosmos dalam terma-terma yang pasti.Manakala al-Qur’ân memerintahkan

manusia untuk melihat segala sesuatu sebagai tanda-tanda Allah, maka ini

berarti bahwa al-Qur’ân mendorong manusia untuk memahami segala sesuatu

bukan melulu tentang obyeknya sendiri, melainkan juga tentang apa yang dapat

diterangkan mengenai sesuatu diluar dirinya. Menurut definisi, Allah tidaklah

tampak, namun jejak-jejak dan isyarat-isyarat dari ciptaan-Nya yang

mengagumkan, bisa menghasilkan pemahaman tentang Allah16, ciptaan-Nya saja

begitu indah, begitu sempurna, begitu rapi, begitu canggih, apalagi jika Allah

sendiri sebagai wujud asli dari Tuhan. Keberadaan wujud Allah menjadi “silau”

14 Sachiko Murata, Op. Cit, hlm. 48. 15 Depag RI, Op. Cit, hlm. 521.16 Sachiko Murata, Op. Cit, hlm. 48.

6

oleh pandangan makhluk dikarenakan begitu sempurna diri-Nya, jika kita

merenungkannya.17

Berbagai diskusi dan penelitian tentang makna fenomena tanda dalam

mikrokosmos dan makrokosmos seing kali tidak berhubungan dengan apa yang

disebut “evaluasi ilmiah”. Teks-teks itu lebih berurusan dengan penilaian

ketersalinghubungan antara alam nyata (al-syahâdah) dan alam gaib (al-

ghayb).Alam gaib adalah sebuah wilayah yang bukan saja tak terjangkau oleh

panca indra manusia, melainkan juga tidak bisa dijangkau secara definitif

apapun instrumen ilmiah yang digunakan untuk mencarinya. Akan tetapi,

wilayah gaib dapat dijangkau oleh wilayah yang sama dalam mikrokosmos,

dalam keadaan tertentu ruh manusia bisa dimengerti oleh realitas-realitas

ilmiah.18

Hal inilah yang berusaha dijelaskan oleh Sachiko Murata bahwa adanya

tanda-tanda Allah dalam makrokosmos dan mikrokosmos adalah ada, dan

terukur serta teruji secara ilmiah melalui berbagai argumen dan penelitian

ilmiah. Namun kesempurnaan ciptaan Allah ini belum mampu diteliti secara

keseluruhan secara mendetail oleh manusia, dikarenakan keterbatasan

kemampuan manusia. Namun oleh Sachiko Murata berusaha menjelaskan bahwa

kekuasaan Allah adalah benar adanya dan ke-Maha Agungan Allah yang telah

menciptakan makhluk-Nya.

2. Keserbamencakupan Manusia

Dalam refrensi dan ilmu pengetahuan mengenai makhluk ciptaan Allah,

manusia menempati posisi khusus yang tidak dimiliki oleh makhluk lainnya.

Sifat posisi ini diungkapkan banyak cara, seperti pada “Amanat” yang diterima

oleh manusia, tetapi ditolak oleh langit, bumi, dan gunung-gunung (QS. 33:

17 Kadang kala banyak sekali orang memikirkan bagaimana dzat Allah Ta’ala yang sebenarnya, sampai ia menjadi bingung, gundah, ruwet, kalang kabut, dan berujung kepada kegilaan dan stress. Hal ini diakibatkan oleh karena terlalu banyak memikirkan dzat Allah Ta’ala dengan wujud aslinya, tanpa memikirkan dzat Allah dari keindahan ciptann-Nya, kesemprunaan ciptaan-Nya, kecanggihan ciptann-Nya, dan kemegahan ciptann-Nya, sehingga banyak sekali orang yang terjebak dalam kemusyrikan. Dikarenakan keterbatasan akses kemampuan manusia, dan juga karena manusia itu sendiri adalah ciptann-Nya.

18 Sachiko Murata, Op. Cit, hlm. 49.

7

72).19 Hal ini telah disebutkan oleh Sachiko Murata, bahwa Ibnal-‘Arabî yang

menyatakan bahwa manusia sebagai “wujud serba meliputi” (al-kawn al-

jâmi’).20 Itulah sebabnya Nabi Saw bersabda bahwa Adam diciptakan dalam

citra atau bentuk (shûrah) “Allah”, bukan dengan nama Ilahi lainnya. Semuanya

ini disiratkan dalam kisah penciptaan Adam dalam al-Qur’ân, yang menyatakan

bahwa Adam diajari “semua nama”.21

Artinya: “Dan Dia (Allah) mengajarkan kepada Adam Nama-nama

(benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada Para Malaikat

lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu

mamang benar orang-orang yang benar!".22

Manusia diciptakan dijelaskan oleh hadis tentang “Khazanah

Tersembunyi”. Allah “ingin (atau “senang”) dikenal dan diketahui oleh

makhluk-Nya, dan hanya manusia sajalah yang bisa mengenal dan mengetahui

Allah dengan segala kesempurnaan-Nya, yang memahami semua nama, sebab

hanya manusia sajalah yang diciptakan dalam bentuk nama yang serba meliputi.

Kecintaan Allah pada tipe pengetahuan yang bisa diaktualisasikan hanya oleh

manusia. Jâmi’ berbicara untuk keseluruhan tradisi kearifan (hikmah).23 Sebuah

temuan yang dikemukakan oleh Sachiko Murata megenai hal ini, tertuang dalam

matsnawi-nya Silsilat al-Dzahab, sebagai berikut:

“bahwa anak-anak Adam tidak mengetahui kesempurnaan dan ketidaksempurnaan mereka sendiri, karena mereka tidak diciptakan untuk diri mereka sendiri, dan mereka juga tidak diciptakan untuk selain diri mereka sendiri. Melainkan mereka diciptakan untuk diri-Nya sendiri

19Ibid, hlm. 59. Dalam al-Qur’ân Allah mengisahkan hal “Amanat” ini kepada manusia, dalam QS. al-Ahżâb (33: 72): “Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu Amat zalim dan Amat bodoh”. Lihat dalam Depag RI, Op. Cit, hlm. 428.

20 Bandingkan dengan kalimat Fushûsh al-Hikam , tentang bagaiamana hikmah nama Allah dalam kata Adam. Austin menterjemahkan al-kawn al-jâmi’ dengan obyek serba meliputi (Austin RW.J. “The Feminine Dimensions in Ibn al-‘Arabi’s Thought”, Journal of the Muhyiddin Ibn ‘Arabi Society 2, 1984). Lihat juga dalam Sachiko Murata, Op. Cit, hlm. 61.

21Ibid, hlm. 61.22 Depag RI, Op. Cit, hlm. 7.23 Sachiko Murata, Op. Cit, hlm. 61.

8

(Allah), bukan untuk mereka (manusia). Dia (Allah) memberikan kepada mereka hanya apa yang pantas dan tepat bagi mereka agar bisa menjadi milik-Nya. Sekiranya mereka tahu bahwa mereka diciptakan untuk Allah, mereka pasti tahu bahwa Allah menciptakan makhluk-makhluk itu dalam bentuk yang paling sempurna”.24

Manusia selalu percaya, bahwa mereka diciptakan untuk diri mereka sendiri. Apa saja yang mereka pandang tepat dan pantas, mereka memandangnya sebagai baik dan sempurna. Namun, apa saja yang mereka pandang tak tepat dan tak pantas, mereka golongkan sebagai tidak sempurna. Tapi kepercayaan sendiri ini salah, sebab mereka diciptakan untuk Allah dari eksistensinya. Dari eksistensi segala sesuatu, Allah hanya menginginkan manifestasi seluruh nama atau sifat-Nya.25

Makrokosmos (alam semesta) dan mikrokosmos (manusia) adalah berasal

dari nama-nama Allah (bagi yang menghendaki dengan cara menempuh jalan

kebaikan), bukan nama-nama yang berasal dari spekuliasi manusia, karena dosa

manusia.26 oleh karena itu apa yang ada di dalam diri manusia adalah

merupakan manifestasi dari nama-nama dan sifat Allah yang Allah sendiri

tuangkan dalam penciptaan-Nya.

Dari berbagai penjelasan yang diungkapkan oleh Sachiko Murata di atas

telah menunjukkan bahwa manusia mempunyai keserbacakupan dalam

eksistensi dirinya diciptakan. Manusia diciptakan bukanlah untuk diri mereka

sendiri, atau untuk alam semesta, untuk pasangan mereka, ataupun untuk

makhluk lainnya, tetapi manusia diciptakan oleh Allah untuk diri-Nya, sebagai

manifestasi bahwa Allah adalah Tuhan semesta alam, yang menguasi kerajaan

di langit dan di bumi.

3. Turunan dari Segala Unsur (Makrokosmos dan Mikrokosmos)

24Ibid, hlm. 61.25Ibid, hlm. 61.26 Sejatinya, manusia tidak akan bisa mencapai kesempurnaan (sesuai dengan fitrah kholifatullah)

manakala manusia tidak menempuh jalan kebaikan yang sudah Allah berikan kepada manusia. dan sejatinya pula bahwa wujud Allah (baik nama-Nya dan sifat-Nya) adalah sudah terwakilkan manifestasinya dalam Makrokosmos dan Mikrokosmos, dan bukan oleh spekulasi dan anggapan angan-angan manusia saja. Hal ini menunjukkan realitas Allah yang sesungguhnya yang nampak di alam semesta. Manausia akan dapat mengetahui eksistensi dirinya sebagai khalifah Allah dengan sebenarnya manakala manusia mau menempuh jalan kebaikan dan menebarkan rahmat di alam semesta, namun manusia juga tidak akan memahami eksistensinya sebagai khalifah Allah manakala dirinya membuat kerusakan di bumi, yang berakibat menorehkan dosa bagi manusia itu sendiri, sehingga tidak dapat melihat keagungan Allah dalam dirinya sendiri maupun di dalam alam semesta.

9

Segala sesuatu dalam kosmos memanifestasikan nama-nama dan sifat-

sifat Allah, sementara makrokosmos secara keseluruhan memanifestasikan sifat-

sifat dari seluruh nama Allah. Begitu pula, segala sesuatu dalam diri manusia

memanifestasikan nama-nama dan sifat-sifat Allah, sementara individu secara

keseluruhan sekurang-kurangnya dalam kasus mereka yang benar-benar manusia

dan menjadi khalifah Allah memanifestasikan seluruh nama Allah. Karena itu,

perbedaan antara manusia dan makhluk lainnya kembai kepada keutuhan

manusia itu sendiri.27

Salah satu cara yang paling umum yang dilakukan oleh Sachiko Murata

dalam melukiskan turunan unsur (makrokosmos dan mikrokosmos) adalah

membandingkan manusia dengan turunan-turunan unsur lainnya; mineral-

mineral, tumbuh-tumbuhan, dan hewan-hewan.28 Mineral adalah yang pertama

kali muncul, kemudian tumbuh-tumbuhan, hewan, dan kemudian manusia.

masing-masing memiliki karakteristik bahwa dia-lah (manusia) yang pertama

kali mendapatkan karakteristik. Karakteristik empat pilar adalah empat sifat;

panas, dingin, basah, dan kering, dan transmutasi sebagian dirinya menjadi

lainnya. Karakteristik tumbuh-tumbuhan adalah menyerap makanan dan tumbuh

berkembang. Karakteristik hewan adalah sensasi dan gerakan. Karakteristik

manusia adalah ucapan rasional (nuthq), refleksi (fikr), dan mendeduksi bukti-

bukti logis. Karakteristik malaikat adalah tidak pernah mati. Manusia bisa

mempunyai karakteristik semuanya ini. Manusia mempunyai empat sifat, yang

menerima transmutasi dan perubahan seperti empat pilar di atas. Sifat-sifat itu

mengalami pertumbuhan dan kerusakan seperti mineral, megambil makanan dan

tumbuh seperti tumbuh-tumbuhan. Manusia merasa bergerak seperti hewan. Dan

adalah dimungkinkan manusia juga bisa menjadi malaikat, sebagaimana yang

dijelaskan dalam “Risalah tentang Kebangkitan” Ikhwanus Shofa.29

27Ibid, hlm. 62.28Ibid, hlm. 63.29 Manusia sejatinya adalah makhluk yang keserbamencakupan dari makhluk-makhluk lainnya.

Kesempurnaan diciptakannya manusia juga mempunyai kerendahan manakala manusia memilih jalan yang tidak baik. Sachiko Murata mendefiniskan bahwa manusia bisa menjadi tumbuh-tumbuhan manakala manusia hanya tumbuh dan berkembang saja, manusia bisa menjadi hewan manakala kelakuannya dan tingkah lakuknya tidak mencerminkan yang baik; manusia juga bisa menjadi malaikat dna bahkan melebihi derajad malaikat manakala manusia menebarkan kebaikan dan membuat kebaikan selama hidupnya. (Dalam Ikhwân al-Shafâ, Rasâ’il, II 473). Lihat juga dalam Sachiko Murata, Ibid, hlm.

10

Penjelasan yang dikemukakan oleh Sachiko Murata merujuk pada sebuah

surat dalam al-Qur’ân bahwa manusia diciptakan dalam bentuk yang sebaik-

baiknya (yaitu terkompleks dan terlengkap dari makhluk lainnya seperti mineral,

tumbuh-tumbuhan, hewan, malaikat, dan lain-lain), yang menjadikan manusia

menjadi makhluk yang paling tertinggi derajadnya. Namun manusia juga akan

menjadi turunan-turunan pembentuk manusia (mineral, tumbuh-tumbuhan,

hewan), manakala manusia tidak mau menempuh jalan yang Allah tunjukkan

sebagai manusia yang sebenarnya.

4. Di balik Mitos Penciptaan Adam

Pemikiran Islam menempatkan manusia di titik pusat30,kaum muslim

mesti mencari pengetahuan untuk mengenal dan mengetahui Allah, kosmos, dan

diri sendiri. Akhirnya pengetahuan tertinggi terletak dalam pengenalan diri

sendiri, karena “Barang siapa yang mengenal dirinya, maka dia mengenal

Tuhannya”.Mengetahui dan mengenal dirinya sendiri berarti antara lain

mengetahui apa artinya menjadi manusia yang sebenarnya. Karena itu, mitos

tentang penciptaan Adam adalah sebuah titik refrensi konstan dalam teks-teks

Sachiko Murata.31

Dalam menjelaskan mitos penciptaan Adam, Sachiko Murata terlebih

dahulu mengemukakan QS. at-Tîn (95) ayat 4-5:32

Artinya: “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk

yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan Dia ke tempat yang

serendah-rendahnya (neraka)”.

Nabi Bersabda seraya mengutip firman-Nya: “Aku mengolah tanah Adam

dengan kedua tangan-Ku sendiri selama empat puluh hari”.33 “Yang paling

rendah dari yang rendah” sebagaimana disebutkan dalam QS. at-Tîn (95) ayat 4-

65. 30 Para pemikir Islam menempatkan Manusia menjadi titik pusat dalam kehidupan dunia ini. 31Ibid, hlm. 66.32 Depag RI, Op. Cit, hlm. 598.33 Sachiko Murata, Op. Cit, hlm. 66.

11

5 tersebut, menurut intepretasi Râzî, “penurunan derajad manusia” ini

berhubungan dengan meningkatnya kemajemukan, penyebaran, dan menjauh

dari Dunia Ruh. Raga manusia termasuk dalam derajad rendah, sementara ruh

manusia termasuk derajad tertinggi. Hikah yang ada di dalam hal ini ialah bahwa

manusia mesti mengemban beban Amanat yang diberikan Allah. Karena itu,

mereka harus mampu mempunyai kekuatan dalam dunia ini untuk mencapai

kesempurnaan. Sebab tidak ada sesuatu pun di dunia ini yang mampu

mengemban amanat, selain ruh-ruh manusia. Ruh manusia mempunyai kekuatan

melalui esensi sifat-sifat runhya, bukan jasadnya.34

Ruh manusia berkaitan dengan derajat yang tertinggi dari yang tinggi,

tidak ada sesuatu pun di dunia ruh yang bisa menyamai kekuatannya, baik itu

malaikat, syetan, atau segala sesuatu lainnya. Demikian pula derajat manusia

berkaitan dengan derajat yang paling rendah, sehingga tidak ada sesuatu pun di

dunia ini yang mempunyai kekuatannya, entah itu hewan dan binatang buas atau

lainnya.35

Dalam mengolah tanah, Adam, semua sifat syetan, hewan, binatang buas,

tumbuh-tumbuhan, dan benda-benda mati diaktualisasikan. Hanya saja, tanah itu

dipilih untuk mengejawantahkan sifat “Dua tangan-Ku”. Karenanya, masing-

masing sifat tercela ini hanyalah sekedar kulit luar. Dalam setiap sifat itu ada

mutiara dan permata berupa sebuah sifat ilahi, sinar matahari (cahaya Ilahi)

dapat mengubah batu granit menjadi kerang yang mengandung permata, akik,

merah delima, zamrud, dan pirus. Adam dipilih karena “Aku mengaduk dan

mengolah tanah Adam dengan kedua tangan-Ku” selama “empat puluh hari”,

dan menurut sebuah hadis masing-masing hari itu sama dengan seribu tahun.36

Kutipan ini mengungkapkan penghormatan yang agung kepada manusia.

Manusia diciptakan dalam citra Allah yang diwujudkan sampai bentuk kerangka

tubuh, sekalipun terendah mempunyai tempat yang khusus di sisi Allah.

Menurut beberapa hadis, selama empat puluh ribu tahun, kekuasaan Ilahi sesuai

dengan kebijaksanaan-Nya yang sempurna melakukan pekerjaan-Nya guna

34Ibid, hlm. 67. 35Ibid, hlm. 67. 36Ibid, hlm. 68.

12

membentuk air dan tanah Adam diantara Mekkah dan Thâ’if. Dalam dimensi-

dimensi batiniyah dan lahiriyah, kekuasaan Ilahi membentuk dan memasang

berbagai cermin sesuai dengan sifat-sifat Ilahi. Setiap cermin adalah lokus atau

tempat manifestasi bagi salah satu sifat ketuhanan.37

Dalam mitos penciptaan Adam, Allah memperlihatkan ribuan kebaikan

dan kelembutan pada jiwa dan kalbu Adam di alam Gaib dan alam Nyata,

dibalik kehawatiran para malaikat. Namun, tidak ada satupun malaikat yang

diberi tahu tentang ihwal rahasia penciptaan manusia ini. Tak satu pun dari

mereka yang mengenal Adam. Satu per satu mereka lewat di depan Adam.

Mereka mengatakan, “Gambar aneh apa yang tengah diciptakan Allah?”. Di

bawah bibirnya, Adam berkata, “Meski kalian tidak mengenalku, aku kenal

kalian. Tunggu saja sampai aku bangun dari tidur nyenyakku ini. Akan

kusebutkan nama kalian satu demi satu”. Dalam hal inilah Râzî menjelaskan

bahwa Adam diciptakan atas citra dan kekuasaan dari Allah secara langsung.38

Dalam mitos penciptaan Adam ini, Sachiko Murata mengungkapkan

esensi unsur Iblis sebagai perbandingan makhluk ciptaan Allah. Iblis disebut

juga sebagai mikrokosmos, jiwa rendah, yang disebut dengan “jiwa yang

menyuruh pada kejahatan” (al-nafs al-ammârah), memahami hanya “bentuk/

fisik/ dhahir/ lahiriah” (shûrah) dari segala sesuatu, bukan “makna” (ma’nâ)-

nya. Iblis tidak mempunyai cahaya akal (‘aql), sekalipun dia cerdik dan licik,

dan karena itu dia tidak sanggup memahami maksud tanda-tanda Allah. Dia

melihat konteks langsung dari segala sesuatu, tapi tidak mampu memahami awal

dan akhir segala sesuatu. Maka tidak heran jika Jalaludin Rûmi menyebut Iblis

sebagai makhluk bermata satu.39

Dari berbagai bentuk kecemburuan Iblis dan Malaikat mengenai

penciptaan Adam, maka dalam prosesnya kedua jenis makhluk ini senantiasa

melakukan penyelidikan mengenai struktur penciptaan Adam, baik struktur raga

maupun jiwa (ruh). Dari berbagai bentuk penyelidikan tersebut, ternyata

ditemukan bahwa antara struktur tubuh Adam yang mikrokosmos adalah

37Ibid, hlm. 69. 38Ibid, hlm. 69.39 Rûmi, Matsnawi IV 1709 (SPL 83). Lihat Juga dalam Sachiko Murata, Ibid, hlm. 69.

13

sepadan, sebanding, dan sama intensitasnya dengan struktur Alam Semesta yang

makrokosmos. Hal ini telah menyebutkan bahwa Allah telah memilih Adam

yang konsepsinya bentuk manusia adalah makhluk terbaik diantara seisi alam

dan diantara semua makhluk-Nya.40

B. BAGIAN II: TEOLOGI

1. Dualitas Ilahi

Dalam buku The Tao of Islam, Sachiko Murata menjelaskan beberapa

permasalahan teologi yang mungkin banyak mengejutkan orang. Sachiko

Murata mendefinisikan dualitas ilahi sebagai realitas antara Tuhan dan Kosmos

(alam semesta).

Ketikan “Tuhan” disebut-sebut dalam konteks pemikiran Islam, kata itu

bisa dipahami dari dua sudut pandang. Kita bisa memandang Tuhan sebagai Dia

dalam diri-Nya sendiri, dimana kita mengesampingkan kosmos, yakni “esensi

dari Dzat Allah”, yang semua pemikir Muslim telah sepakat bahwa esensi dari

Dzat Allah tidak bisa diketahui melainkan hanya dengan memahami apa yang

terkandung dalam kosmos tersebut. Pada saat yang sama, mestilah diingat bahwa

“dualitas” ini tak pernah mengimplikasikan pemisahan mutlak. Yang

dibicarakan di sini adalah polaritas, atau dua dimensi komplementer dari realitas

tunggal. Jika kita menggunakan istilah dualitas, maka ini disebabkan teks-teks

itu umumnya berbicara tentang dua prinsip.41

Singkat kata, dualitas berkaitan dengan sifat diskursus manusia tentang

Tuhan. Untuk bisa memahami Tuhan, maka harus mengerti keterbatasan-

keterbatasan konsepsi kita sendiri dalam memahami Tuhan. Menurut perspektif

keterbandingan, “Tak ada yang bisa mengenal Allah kecuali diri-Nya sendiri”.

Karena itu, kita mempunyai dua macam pengertian tentang Tuhan; Tuhan dalam

konsepsi manusia, dan Tuhan yang hakiki, yang berada jauh di luar konsepsi

manusia. Sachiko Murata,mengatakan bahwa: “Tuhan yang dibicarakan

berkaitan dengan konsepsi saya. Tuhan yang lainnya (maksudnya Tuhan yang

hakiki) tidak bisa kita pahami, baik oleh saya maupun Anda”. Karena itu kita

40Ibid, hlm. 69-72.41Ibid, hlm. 79.

14

tidak bisa membicarakan tentang-Nya secara bermakna. Tidak ada seorang pun

yang mampu menjelaskan ini secara lebih baik melebihi Ibn al-‘Arabi.42 Hal ini

yang menjelaskan diskursus mengenai pemaknaan Tuhan dan esensi-Nya.

Dalam pengertian pertama, Allah menciptakan alam semesta dan bisa

diketahuinya melalui-Nya. Dalam pengertian kedua, Allah juga tidak tergantung

pada alam semesta serta tidak membutuhkannya. Dia (Allah) menjaga jarak dari

segenap makhluk-makhluk-Nya, bukan lantaran Dia tersembunyi atau kikir,

melainkan lantaran makhluk-makhluk-Nya sama sekali berbeda dari-Nya dan

tidak sangup meliputi realitas-Nya.43

Tuhan menciptakan sesuatu berpasang-pasangan untuk membedakan ke

Esaan Nya dengan kejamkan makhluk-makhluknyaNya. Ciptaan itu mustahil

tampa adanya dualitas, sebab hanya tuhanlah yang tunnggal. Tampa wanita, pria

bukanlah seorang pria, sebab dia didenefisikan oleh wanita. Keberadaan kosmos,

tidak ada tuhan tanpa wanita, tidak ada pria.

Maka manusia dijadikan wakil tuhan di bumi sebab mereka diciptakan

dalam bentuk ilahi dan mewujudkan apa yang dimiliki oleh kedua tangan tuhan

dicerminkan dalam tabiat ganda dari dua ruh, sebagaimana yang diwakili oleh

ruh terbesar (akal pertama) dan jiwa universal. Melalui jaraknya dari penciptaan,

ruh mencerminkan keagungan dan kecerdasan sebaliknya, jiwa mencerminkan

sifat-sifat pemeliharaan yaitu kelembutan dan kebaikan melalui kedekatan

relatifnya dengan penciptaan, keserbagunaan, dan perbedaan. Ruh dan jiwa

selanjutnya dicerminkan dalam diri pasangan manusia. Adam dan Hawa, dalam

ruh dan jiwa setiap individu manusia, baik pria maupun wanita mewujudkan ruh

dan jiwa setiap individu manusia baik pria maupun wanita mewujudkan ruh dan

jiwa, namun ruh mendominasi pria sementara jiwa mendominasi wanita.

Dalam konteks Tao, begitu kita menyebut Tao, kita perlu mengetahui dan

mengenal Tao di balik nama-nama, Tao tidak ternamai dan tidak terpahami. Tao

yang bisa kita namai mensyaratkan adanya yin dan yang, karena keduanya

bersifat inheren dalam dirinya sendiri. Karena itu, kita mulai dengan dualitas

42Ibid, hlm. 80.43Ibid, hlm. 80.

15

ganda: pertama, Tao yang bisa dinamai dan Tao yang tak bisa dinamai, dan

kedua, yin dan yang yang mendefinisikan hukum-hukum dari Tao yang bisa

dinamai.Jika kita mengesampingkan Tuhan yang tak bisa diketahui dan mengacu

pada Tuhan yang bisa diketahui, maka kita mempunyai dua perspektif yang

sama: Kita mengetahui bahwa pengetahuan kita tentang Tuhan masih kurang,

yakni bahwa Dia tak bisa dibandingkan. Pada saat yang sama, kita juga tahu

bahwa kita bisa mengetahui sesuatu tentang-Nya, yakni bahwa Dia adalah

serupa. Karena itu, kita jumpai adanya ketakterbandingan dan keserupaan pada

tataran yang berbeda.

Dualitas Ilahi menurut Sachiko Murata juga termaktub dalam

kebermaknaan “Allah dan Hamba”. Dalam tradisi intelektual, berbicara tentang

kosmos sama artinya dengan berbicara tentang Tuhan, karena kosmos adalah

segala sesuatu selain Tuhan. Malahan bagi Islam, tidak ada artinya sama sekali

berbicara tentang kosmos tanpa berbicara tentang Allah. Artinya Allah dan

kosmos merupakan dua bentuk yang berbeda namun merupakan sebuah relasi

realitas yang tidak terpisahkan.44

Sachiko Murata mengemukakan hubungan timbal balik antara

Tuhan dan manusia di satu pihak, dan antara pria dan wanita di pihak

lain. Dalam kaitannya dengan realitas, wanita identik dengan pria,

namun dalam kaitannya dengan entifikasi, masing-masing berbeda satu

sama lainnya. Pada akarnya, wanita menjadi terwujud karena pria,

maka dia seperti menjadi bagian darinya. Wanita menjadi terpisah

dan terwujud dalam bentuk feminim.

Dengan mengutip dari Kasyâni, Sachiko Murata menjelaskan bahwa

ada persesuaian dan bentuk antara pria dan wanita, sebagaimana ada

persesuaian antara Tuhan dan manusia:45 “Bentuk adalah persesuaian

yang paling besar, agung dan sempurna. Sebab ia adalah “salah satu

dari pasangan” (zauj). Dengan kata lain, ia membuat zat yang nyata

menjadi dua. Dengan cara yang sama, wanita membuat pria menjadi

dua melalui eksistensinya. Wanita mengubahnya menjadi salah satu

44Ibid, hlm. 89.45 Ibid., hlm. 254

16

dari pasangannya”.

Dengan kata lain, bentuk manusia membuat bentuk dari Yang

Maha Pengasih menjadi salah satu dari pasangan, sebagaimana

bentuk wanita membuat bentuk pria menjadi salah satu dari

pasangan. Di sini, Sachiko Murata memahami ajaran-ajaran Ibn ‘Arabi,

mengenai kebutuhan Tuhan akan seorang pelayan dan kebutuhan Tuhan

akan hamba Ilahi. Sebaliknya, kaum wanita (sebagai Yin) mempunyai

keunggulan dari kelemahannya yang relatif dan ketidakmampuan di

bidang lahiriah. Jadi mereka tidak begitu berkecenderungan untuk

membuat tuntutan-tuntutan yang tidak pada tempatnya. Mereka

mempunyai keuntungan dari semacam sifat bawaannya sebagai hamba.

Dengan kata lain, suami mempunyai kewajiban

untuk mengumpulkan kekayaan demi isterinya, dan isteri berkewajiban

untuk melayaninya karena ini. Tetapi karena suami mempunyai satu

tingkat lebih tinggi daripada mereka dalam keunggulan,

sementara kaum wanita mendapatkan manfaat / keistimewaan

(maziyyah) dari kelebihan (da’f) dan ketidakmampuan yang mendasar

(‘ajz al-Basyariyyah). Sehingga menurut Sachiko Murata, dengan

menyebut kelemahan wanita sebagai kelebihan.46

berarti menyinggung suatu pandangan positif dari realitas Yin. Ini

adalah pandangan khas dari suatu pendekatan terhadap al-Quran

dengan mencari makna batinnya.

Sachiko Murata, dengan merujuk pada Ibn ‘Arabi,

menjelaskan tentang keunggulan (derajat) kaum pria di atas kaum

wanita dengan mengkaitkannya pada beberapa “hubungan” yang

ada, pertama, dalam hubungan yang ditimbulkan melalui penciptaan

Hawa melalui Adam. Kedua, Ibn ‘Arabi mengkaitkan ayat mengenai

derajat yang lebih tinggi itu dengan keunggulan dari langit atas bumi. 46 M. Dawam Raharjo, mengupamakannya seperti bayi, di mana ia merupakan lambang

manusia yang tidak berdaya (Yin). Dia tidak bisa apa-apa, biasanya hanya menangis. Tapi justru dalam hubungan pria-wanita. Kaum wanita, sebagai Yin, dengan kelemahannya, pada akhirnya menuntut perhatian dari kaum pria (Yang). Nurul Agustina, Nurullah Ali Fauzi (ed), “Perempuan dalam Perbincangan”, dalam Ulumul Quran, NO. V dan VI, Vol. V, 1994, hlm. 50.

17

Ketiga, Ibn ‘Arabi menganggap tingkat pria di atas kaum wanita

mengingat kenyataan bahwa kosmis tidak akan pernah

mencapai kedudukan Tuhan dikarenakan hubungan khusus yang terjalin

di antara mereka : penerimaan kosmik dan aktivitas Ilahi (QS. 112: 4).

2. Dua Tangan Allah

Dalam banyak ayat al-Qur’ân, banyak sekali disebutkan mengenai istilah

“tangan” dan “dua tangan” dan juga “kanan dan kiri”. Istilah-istilah dalam al-

Qur’ân tersebut mengandung unsur lebih dalam memaknai sebuah kata. “Dua

tangan Allah” yang dimaksudkan dalam berbagai literatur dan hadis, sama sekali

tidak seperti tangan manusia. Beberapa ulama terdahulu berpandangan bahwa

tidak ada arti khusus dalam fakta bahwa tangan harus dua. Akan tetapi, Ibn

‘Arabi dan para pengikutnya sangat tertarik pada setiap nuansa teks al-Qur’ân

yang menyebutkan bahwa Allah mempunyai “tangan dua”.47

Dalam al-Qur’ân jarang menyinggung dua tangan Allah dengan

menggunakan bentuk dualitas dari kata yad (lihat dalam QS. 5: 64; yang

menjelaskan bahwa: “Dua tangan-Nya terbuka, Dia menafkahkan sebagaimana

yang dikehendaki-Nya”), memang menyebut-nyebut tangan kanan dan tangan

kiri Allah. Ternyata kata “dua tangan Allah” ini mengandung semantika bahasa

dan pemaknaan yang sangat luas, sehingga dalam al-Qur’ân tangan kanan atau

golongan kanan dimaknai dengan kata “yamîn”, (disebut dalam al-Qur’ân 44

kali) yang berarti bahwa menunjukkan makna nasib yang baik atau peruntungan

yang baik; dan tangan kiri atau golongan kiri dimaknai dengan kata “syimâl”

yang berarti bahwa menunjukkan makna nasib buruk atau kemalangan.48

Ternyata bukan masalah golongan kanan dan kiri sebagaimana yang disebutkan

dalam QS. al-Wâqi’ah (27-43). QS. al-Hâqqah (18-26), dan juga QS. al-Isrâ’

(71) dan juga di surat lainnya, melainkan juga pada pemaknaan setiap pekerjaan

yang dimulai dengan tangan kanan (baik dalam sholat, masuk masjid, makan,

memakai pakaian, memakai sepatu, dan lain-lain) adalah digunakan untuk

kegiatan yang mengandung kebersihan, kesucian, dan juga kebaikan. Sedangkan

47Ibid, hlm. 89.48Ibid, hlm. 122.

18

pemaknaan setiap pekerjaan yang dimulai dengan tangan kiri (membersihkan

diri setelah pergi dari jamban, dan lain-lain) adalah digunakan untuk kegiatan

yang mengandung noda, kotoran, dan juga kejelekan.49 Realitas pemaknaan dua

tangan Allah juga mengandung implikasi bahwa adanya surga dan neraka.50

Dari berbagai argumen tersebut, rupanya Sachiko Murata ingin

memaparkan dan menjelaskan adanya kekuasaan Allah di balik rahasia “Dua

tangan-Nya”, dengan segala kekuasaan-Nya dan kebesaran-Nya, sehingga

menimbulkan banyak pemaknaan dan realitas yang terjadi di alam ini, baik di

dunia maupun di akhirat.

Kesimpulan

Dari penjelasan penulis mengenai The Tao of Islam dari Sachiko Murata,

maka dapat diambil kesimpulan bahwa Sachiko Murata tidak hendak mementahkan

ajaran Islam yang sudah sempurna berabad-abad lamanya, tetapi di sini Sachiko

Murata berusaha memaparkan sebuah data penelitian bahwa Islam adalah agama

yang rahmat bagi semesta alam, cakupan dalam Islam sangat luas dan sangat luar

biasa, sehingga menarik untuk di teliti. Terutama dalam hal ini mengenai relasi

gender dalam kosmologi dan teologi Islam, seperti yang telah dikemukakan oleh

Sachiko Murata di atas.

Konsep teologi Islam dalam memandang perempuan terlihat dalam tujuan

penciptaan manusia baik laki-laki maupun perempuan adalah sama yakni

untuk menjadi ’abd dan khalifah. Hal ini karena seluruh manusia berasal dari

sumber yang satu yaitu Tuhan, berarti manusia seluruhnya adalah makhluk

Tuhan. Dengan demikian seluruh manusia adalah sama-sama makhluk Tuhan.

Adanya keyakinan itu mengasumsikan bahwa ciptaan-Nya juga pada hakekatnya

adalah suatu kesatuan. Pandangan ini membawa pada kesimpulan bahwa seluruh

jagad raya (universe) termasuk di dalamnya seluruh umat manusia apapun

bangsa dan bahasanya adalah merupakan makhluk Tuhan yang mempunyai

49Ibid, hlm. 123.50Ibid, hlm. 124.

19

kedudukan yang sama.

Seluruh manusia tidak memandang jenis kelamin laki-laki ataupun

perempuan merupakan puncak ciptaan Tuhan (ahsanu taqwim). Manusia adalah

satu-satunya makhluk eksistensialis, dan ukuran kemuliaan di sisi Tuhan adalah

prestasi dan kualitas ketakwaannya tanpa membedakan etnik dan jenis kelamin. Al-

Qur’an tidak memberikan keutamaan kepada jenis kelamin tertentu atau

mengistimewakan suku tertentu. Laki-laki dan perempuan dari suku bangsa

manapun mempunyai potensi yang sama untuk menjadi ’abd dan khalifah.

Menyaksikan Tuhan dari segi Dzatnya adalah mustakhil, tetapi

menyaksikan Tuhan dari segi penampakan diri-Nya (tajalli) adalah mungkin.

Artinya Tuhan menampakkan diri-Nya pada segala sesuatu yang diciptakan.

Sehingga Tuhan dapat disaksikan pada lokus penampakan diri-Nya. Salah satu

kelebihan yang dimiliki perempuan menurut Ibnu Arabi adalah kenyataan

bahwa perempuan dibuat dicintai bagi laki-laki khususnya Nabi

Muhammad SAW, karena perempuan adalah lokus penampakan diri Tuhan

yang paling sempurna dalam kosmos yakni lokus penerimaan aktivitas (mahall

al-infi’al) yang paling sempurna.

Dengan demikian perendahan terhadap kualitas feminim perempuan

bernilai sama dengan pengabaian kualitas feminim Tuhan. Atas dasar hal

tersebut, diskriminasi jender sesungguhnya tidak memiliki legitimasi teologis

tetapi justru pengingkaran terhadap Tuhan secara utuh. Alasannya, relasi jender

secara mengesankan telah direpresentasikan oleh Tuhan sendiri.

DAFTAR RUJUKAN

Ch, Mufidah 2010. Gender di Pesantren Salaf Why Not ?. Malang: UIN-Maliki Press.

------------------------. 2003. Paradigma Gender. Malang: Bayumedia Publishing.Echols, John M. dan Hassan Shadily. 1983. Kamus Inggris Indonesia. Jakarta:

Gramedia.

Handayani, Trisakti dan Sugiarti. 2006. Konsep dan Teknik Penelitian Gender. Malang: UMM-Press.

20

Leman. The Best of Chinese Life Philosophies. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. cet. 3. 2007.

Murata, Sachiko. 1998. The Tao of Islam: A Sourcebook on Gender Relation in Islamic Though. Diterjemahkah oleh Rahmani Astuti dan M. S. Nasrullah dengan judul The Tao of Islam: Kitab Rujukan tentang Relasi Gender dalam Kosmologi dan Teologi Islam. Bandung: Mizan.

-------------------------. dan William Chittick. 2005. The Vision of Islam. Penerjemah Suharsono dengan judul yang sama. Yogyakarta: Suluh Press.

-------------------------. Chinese Gleams of Sufi Light. 2003. Diterjemahkan oleh Susilo Adi dengan judul Kearifan Sufi dari Cina. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Sumbulah, Umi. 2008. Spektrum Gender: Kilasan Inklusi Gender di Perguruan Tinggi. Malang, UIN-Malang Press.

Umar, Nasaruddin. 1999. Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-Quran. Jakarta: Paramadina.

Fakih, Mansour,1997. Analisi Gender. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

Ibn al-‘Arabi, 1980 Fushus al-Hikam. Beirut: Dar al-Kitab al-Arabi,

Ibn al-‘Arabi. Al-futuhat al-Makiyah. Beirut: Dar al-Fikr, tt.

21