dr. h. kadri, m.si hj. suhadah, m.si - repository uin mataram

150

Upload: khangminh22

Post on 09-Jan-2023

0 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Dr. H. Kadri, M.SiHj. Suhadah, M.Si

Komunikasi Haji : Spiritual & Sosial © Dr. H. Kadri, M.Si & Hj. Suhadah, M.Si, 2017

Perpustakaan Nasional RIKatalog Dalam Terbitan (KDT)x, 134 hlm, 14 x 20 cm.1. Kadri, Suhadah 2. Komunikasi

Editor : M. ThohriLayout:LuthiHamdaniSampul : Sanabil Creative

Hak cipta dilindungi oleh Undang-undang. Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini dalam bentuk apapun, tanpa izin tertulis dari penulis

Cet. I : November 2017ISBN : 978-602-6223-59-3

Penerbit:SanabilPuri Bunga Amanah Jln. Kerajinan II Blok C/13 MataramTelp. (0370) 7505946 Email: [email protected]

Komunikasi Haji: Spiritual & Sosial | iii

Daftar ISI

Kata Pengantar•vB a g i a n - 1

a s p e k R i t u a l H a j i

Kuantitas dan Kualitas Umroh •3 I’tikaf di Masjidil Haram •9 Berwukuf dengan Maksimal •13 Mabit “Nomaden” dan Melontar Jumrah •17 Mencium Hajar Aswad •23 Memaksimalkan Ibadah Pra dan Pasca Hari Armina •29 Ziarah Raudhah •33

Bag i a n -2

D i m e n s i s o s i a l i Ba Da H H a j i Aneka “Ritual” Jelang Haji •39 Cerdas Berkomunikasi Antarbudaya •45 Menjaga dan Memantapkan Cinta di Tanah Suci •51 Komunikatif Selama Berhaji •55 Efektif Mengatur Waktu •59 Nikmatnya Berbagi di Tanah Suci •65 Indahnya Kebersamaan Kelompok •69 Perbedaan Pendapat yang Tidak Bisa Dihindari •73 Manajemen Konsumsi di Haramain •79 Komunikasi Nonverbal yangSangatMembantu•85 Transformasi Identitas Haji •89 Suasana Edukasi di Masjid Nabawi •95

iv | Dr.H. Kadri, M.Si & Hj. Suhadah, M.Si.

Bag i a n -3

s e R Ba -s e R B i Bu Daya s e l a m a B e R H a j i

Ragam Budaya Penumpang Pesawat •101 Nuansa Indonesia di Tanah Haram •105 Sholat Jum’at Dua Kali Sehari •111 Manaklukan Tantangan Transportasi •115 Mandi Hujan di Makkah yang Panas •121 Oleh-Oleh Haji •125 Antara Cinta dan Rindu •129

Komunikasi Haji: Spiritual & Sosial | v

Kata PENGaNtar

menunaikan iBaDaH Haji merupakan dambaan semua Muslim di dunia sehingga tidak heran bila jumlah peminat (pendaftar) tidak sebanding dengan alokasi jatah (kouta) yang diperuntukkan bagi suatu Negara (terutama di Indonesia). Hal ini menyebabkan antrian panjang calon jama’ah haji hingga puluhan tahun. Oleh karena itu mendapatkan kesempatan berhaji di tengah lama dan panjangnya antrian harus disyukuri sebagai rahmat dan nikmat dari Allah SWT.

Ibadah haji dalam konteks tertentu memiliki perbedaan dengan empat ibadah wajib (rukun Islam) lainnya. Paling tidak perbedaan tersebut dilihat dari adanya dua dimensi dalam ibadah haji yaitu dimensi religius dan sosial. Haji tidak diragukan lagi sebagai ritual ibadah yang melibatkan hubungan antara setiap individu dengan Allah SWT di wilayah yang sangat private. Komunikasi keduanya sangat personal dan tidak diketahui oleh individu yang lainnya.

Ritual-ritual umroh dan haji seperti miqad, thawaf, sa’i, wukuf, dan melontar jumrah merupakan ritual ibadah haji yang dilakoni setiap individu sembari “berkomunikasi” dengan Allah SWT secara langsung sehingga membutuhkan

vi | Dr.H. Kadri, M.Si & Hj. Suhadah, M.Si.

konsentrasi dan kekhusuan. Pengalaman-pengalaman ibadah atau ritual haji yang bersifat personal seperti ini pun dalam buku ini dideskripsikan dengan maksud membagi pengalaman kepada pembaca agar dapat dijadikan sebagai referensi terutama bagi yang hendak menunaikan ibadah haji.

Di tengah ritual ibadah haji dijalankan oleh masing-masing jama’ah, di sela-selanya atau sebelum dan sesudahnya ada dimensi sosial yang berdimensi duniawi. Durasi waktu pelaksanaan ibadah haji yang relatif lama memungkinkan aktivitas sosial duniawi yang menyertai perjalanan ibadah haji pun tidak sebentar. Selama waktu keberadaan jama’ah haji di Makkah dan Madinah ada interaksi sosial, banyak simbol yang digunakan, dan ragam budaya yang terlihat dan digunakan oleh setiap jama’ah haji.

Tidak salah bila dikatakan pelaksanaan ibadah haji merupakan majelis atau pertemuan antarbudaya masyarakat Muslim dunia. Pada musim haji-lah semua warga Muslim dunia bertemu dan berinteraksi di dua kota suci (Makkah dan Madinah), bertemu di sela ritual ibadah dan berinteraksi pada urusan duniawi di luar Masjidil Haram dan Masjid Nabawi atau di tempat suci yang menjadi lokasi ritual haji seperti saat wukuf di Arafah dan mabit serta melontar jumrah di Mina. Pertemuan dan interaksi ini adalah wujud komunikasi antarbudaya lintas Negara.

Komunikasi antarbudaya selama berhaji juga berlangsung kala sesama warga Indonesia bertemu karena kita akan sering bertemu dan berkomunikasi dengan warga

Komunikasi Haji: Spiritual & Sosial | vii

Indonesia yang berasal dari daerah yang berbeda. Atau bahkan kita akan terbiasa selama lebih sebulan berinteraksi dengan satu etnik, satu kampung, satu kota, dan satu kompleks tetapi baru intens bertemu dan berinteraksi ketika sama-sama berhaji dan sama-sama hotel atau satu kamar hotel serta berkumpul dalam satu regu.

Bahkan pertemuan dan interaksi antara suami dan istri selama pelaksanaan ibadah haji tidak boleh dianggap sebagai pertemuan di luar konteks komunikasi antarbudaya. Dua sifat dan karakter yang berbeda antara suami dan istri ketika bertemu dan berinteraksi dapat dimaknai (secara longgar) sebagai komunikasi antarbudaya karena di dalamnya memerlukan upaya saling memahami di atas semangat saling menghargai antara satu dengan yang lainnya.

Pertemuan dan interaksi dengan orang-orang berbeda Negara, etnik, kabupaten, hingga berbeda kampung merupakan bentuk komunikasi antarbudaya yang membutuhkan kecerdasan masing-masing diri untuk bisa berkomunikasi. Kesuksesan kita dalam berkomunikasi antarbudaya di luar ritual ibadah haji sedikit banyak akan mempengaruhi ketenangan, kenyamanan dan kelancaran ritual haji yang kita laksanakan. Bisa dibayangkan bagaimana tidak tenangnya kita beribadah haji (melaksanakan ritual haji) bila kita cekcok dengan pasangan (suami-istri) selama berada di Tanah Haram atau saat di hotel kita bertengkar dengan saudara sesama regu atau rombongan. Coba bayangkan betapa tidak tenangnya kita bila di jalan menuju Masjidil Haram kita bersitegang dengan jama’ah haji dari Negara lain.

viii | Dr.H. Kadri, M.Si & Hj. Suhadah, M.Si.

Semangat kita mengejar sukses pelaksanaan ritual (aspek religius) ibadah haji memang harus terus dijaga tetapi tidak boleh mengabaikan unsur sosial yang selalu tidak terhindarkan selama musim haji. Kesuksesan ibadah haji idealnya harus bisa menyentuh keduanya yaitu; benar, lancar dan mabrur hajinya serta sukses interaksi dan komunikasi antarbudaya selama berada di dua kota suci (Makkah dan Madinah). Buku yang ada di tangan pembaca ini berisi releksi relegius dan sosial dari pengalamanpenulis selama menunaikan ibadah haji tahun 2016.

Buku ini juga sebagai bukti otentik kebersamaan dan cinta kami (penulis) yang selalu kami berdua hadirkan dimana dan kapanpun. Perjalanan haji bagi kami adalah perjalanan “cinta”; cinta pada Allah SWT., Nabi dan Rasul Allah, dan cinta antara kami berdua sebagai suami-istri. Isi buku ini sebagian merupakan cerita cinta dan kebersamaan kami selama menunaikan rukun Islam kelima. Kami tidak hanya bermaksud mendokumentasikan perjalanan suci dan cinta kami di tanah Haram, tetapi lebih dari itu kami berharap pengalaman suci dan cinta yang tergores dalam buku ini dapat menjadi referensi bagi pembaca yang akan menunaikan ibadah haji baik sendiri maupun dengan pasangan (suami-istri).

Buku ini adalah tentang perjalanan cinta karena semua motivasi dan gerak-gerik kami selama di tanah Haram adalah berlandaskan cinta. Kami cinta Sang Khalik, Nabi dan Rasul, seperti halnya kami cinta tanah Haram (Makkah dan Madinah). Kami cinta dan sudah lama mendambakan ibadah haji, kami saling mencintai selamanya sebagai suami dan istri yang telah mengikrarkan

Komunikasi Haji: Spiritual & Sosial | ix

cinta lewat ijab-kabul 4 Oktober 1998. Cinta itu terus kami jaga kapan dan dimana pun. Berhaji di tanah yang dicintai semua orang adalah tempat yang tepat untuk terus menyirami bunga cinta yang terus kami simpan dalam hati. Setiap ritual haji yang kami lakukan adalah ekspresi kecintaan kami pada Allah SWT dan Rasulullah Muhammad saw dan Nabi Ibrahim beserta keluarganya. Kami melakoninya dengan penuh rasa cinta sembari menjaga cinta pada pasangan setia.

Isi setiap topik buku ini berangkat dari tema umum kemudian dijahit dengan kepingan-kepingan pengalaman dan peristiwa sepanjang perjalanan suci menunaikan ibadah haji, serta pada beberapa topik perspektif teoritis dan konseptual yang lebih akademis. Oleh karena itu buku ini tidak tepat kalau dikatakan sebagai buku yang murni berisi catatan harian jama’ah haji. Penggalan pengalaman berhaji tidak terikat dengan prosedur dan tahapan tanggal dan waktu karena buku ini mengutip secara acak poin-poin pengalaman yang relevan dengan topik umum yang tersaji dalam beberapa topik dari buku ini.

Banyak kalangan yang telah berkontribusi dalam proses lahirnya buku ini baik selama berada di Haramain menunaikan ibadah haji dan ziarah maupun setelah kembali ke Indonesia. Kepada anak-anak kami (Eky, Rida, Kayla, dan Najdah) yang telah bersedia ditinggal selama sekira 40 hari saat kami berhaji disampaikan terima kasih yang tak terhingga, semoga buku sederhana ini menjadi pelajaran penting bagi mereka untuk menjadikan aktivitas menulis sebagai tradisi yang tidak bisa ditinggalkan dan menjaga cinta dan kasih sayang sebagai rutinitas yang tidak

x | Dr.H. Kadri, M.Si & Hj. Suhadah, M.Si.

boleh terabaikan. Terimakasih juga disampaikan pada Dr. Muhammad Thohri yang telah bersedia mengedit buku ini sehingga menjadi lebih baik. Kepada teman-teman satu regu selama berhaji tak lupa disampaikan terima kasih, semoga persahabatan kita terus berlanjut. Tentu banyak lagi rekan-rekan yang telah berkontribusi menghadirkan buku ini, yang tidak bisa kami sebut satu-persatu. Semoga amal baik kita semua menjadi ibadah yang bernilai pahala. Selamat membaca…

Mataram, April 2017

Penulis

Bagian-1aspek ritual Haji

Kuantitas dan Kualitas UmrahI’tiqaf di Masjidil Haram

Berwukuf dengan MaksimalMabit ”Nomaden” dan Melontar Jumrah

Mencium Hajar AswadMemaksimalkan Ibadah Pra dan Pasca Hari

ArminaZiarah Raudha

Komunikasi Haji: Spiritual & Sosial | 3

KUaNtItaS &

KUaLItaS UMrOH

kesempatan BeRaDa di kota Makkah idealnya tidak boleh disia-siakan. Pilihan berumroh lebih banyak dan berkualitas adalah keputusan yang tepat sepanjang kita mampu secara isik dan inansial. Alhamdulillah kamibisa berumroh sebanyak sepuluh kali. Jumlah kali umroh seperti ini ada yang menganggap banyak tetapi bagi yang pernah melakukan umroh lebih dari angka itu saat musim haji mungkin dianggap sedikit. Namun tulisan ini tidak bermaksud mengurai jumlah umroh yang telah kami lakukan melainkan untuk membagi pengalaman seputar prosedur dan berbagai dinamika yang kami alami selama berumroh di musim haji. Mudah-mudahan pengalaman kami bermanfaat bagi yang hendak berhaji atau berumroh.

Umroh yang pertama adalah umroh wajib haji yang kami lakukan pada hari pertama sesaat setelah kami sampai di kota Makkah. Kloter 02 LOP (Lombok) sampai di hotel Najrah sekira jam 02.00 dini hari. Setelah memberesin koper dan tas akhirnya kami ketemu Subuh. Sholat Subuh dilaksanakan di masjid depan hotel Najrah karena oleh ketua dan pembimbing kloter disarankan untuk seperti

4 | Dr.H. Kadri, M.Si & Hj. Suhadah, M.Si.

itu. Umroh wajib yang direncanakan bersamaan dengan seluruh anggota kloter sekira jam 10 terpaksa kami tidak ikuti karena regu 29 sepakat untuk memajukan ba’da sholat Subuh. Kami beruntung karena regu kami dipimpin oleh H. Dwi yang telah berpengalaman haji pada tahun sebelumnya (2015). Dengan menggunakan bis Sholawat nomor 07 kami menuju Masjidil Haram untuk melakukan ritual umroh.

Meskipun telah direncanakan bersamaan hingga proses akhir umroh (tahalul) namun situasi dan kondisi Masjidil Haram yang padat membuat rencana itu tidak bisa terealisasi. Kami berdua tetap berdampingan hingga akhir prosesi umroh. Setelah selesai semua prosesi umroh baru kami bertemu dengan semua anggota regu di tempat yang telah kami sepakati sebelumnya.

Karena ini umroh pertama bersama istri (tahun 2013 saya pernah umroh) tentu ini adalah pengalaman pertama bagi kami berdampingan sama pasangan dalam ritual umroh. Sesuai dengan rencana yang telah kami persiapkan, untuk memperlancar proses thawaf dan sa’i saya menggunakan handset untuk mendengar lafadz atau do’a setiap putaran lalu saya mengucapkannya dengan keras dan istri saya mengikutinya. Setelah berlangsung hingga putaran ketujuh tampaknya tidak berlangsung lancar dan hikmat karena desakan para jama’ah lain yang melakukan thawaf membuat proses pendengaran dan transfer suara ke istri mengalami gangguan. Akhirnya kami sepakat untuk merubah teknik dengan cara mengalungi dan membaca masing-masing buku do’a dan bimbingan ibadah haji dari Kementerian Agama. Cara ini sangat efektif

Komunikasi Haji: Spiritual & Sosial | 5

dan sangat membantu memperlancar ibadah umroh yang kami lakukan.

Salah satu prosedur rutin yang kami lakukan saat thawaf adalah mengakhiri putaran thawaf (putaran ketujuh) pada wilayah multazam (antara pintu ka’bah dan hajar aswad) sehingga kami bisa berdo’a di tempat yang sangat ijabah ini. Untuk berada dan berdo’a di tempat ini membutuhkanperjuanganisikyangtidakmudahkarenaharus melewati ribuan orang yang memiliki keinginan yang sama untuk berada di tempat yang sama. Oleh karena itu jangan kaget bila di saat kita berdo’a ada dorongan dan desakan dari berbagai sisi. Bila kita sudah berhasil berdiri di tempat ini sangat rugi bila kita tidak maksimalkan untuk berdo’a dan meminta apapun kepada Allah SWT.

6 | Dr.H. Kadri, M.Si & Hj. Suhadah, M.Si.

Untuk keluar dari multazam pun tidak mudah karena harus melewati banyak orang yang berdo’a dan sedang thawaf. Mencari tempat untuk sholat dua rakaat ba’da thawaf di belakang makam Ibrahim pun mengharuskan kita untuk berjalan di tengah arus thawaf yang terus bergerak. Dalam situasi seperti ini dibutuhkan kesadaran setiap jama’ah untuk mencari jalan keluar yang tepat tanpa mengganggu jama’ah lain yang sedang thawaf. Salah satu caranya adalah dengan berjalan mengikuti arah jama’ah yang sedang thawaf sambil mengangkat tangan dan pelan-pelan mengambil haluan kanan hingga sampai di pelataran luar lingkaran ka’bah. Kami sering kali melihat beberapa jama’ah yang memaksakan keinginannya untuk keluar dengan memotong jalur perjalanan jama’ah lain yang sedang thawaf sehingga tidak jarang cara seperti ini membuat kesal jama’ah lainnya. Dalam Konteks inilah ibadah haji memerlukan Kearifan Sosial dalam menghargaai atau mempertimbnagkan kepentingan dan hak orang lain.

Untuk sholat dua rakaat setelah thawaf di belakang makam Ibrahim juga tidak mudah karena banyaknya jama’ah yang thawaf dan melakukan sholat yang sama. Kami bisa secara kondisional dan menyesuaikan dengan keadaan agar bisa melaksanakan sholat sunat tersebut lebih khusu’. Bila agak lengan kami bisa sholat masing-masing. Tetapi bila padat maka kami akan secara bergantian untuk sholat dan di saat saya sholat maka istri yang menjaga atau menahan jama’ah lain yang hendak lewat, demikian juga sebaliknya. Prosesi umroh kami lanjutkan dengan sa’i

Komunikasi Haji: Spiritual & Sosial | 7

setelah sebelumnya kami mampir di sudut masjid untuk meminum air zam-zam.

Tenaga kami kembali prima setelah minum air zam-zam sehingga kami benar-benar siap untuk melaksanakan sa’i. Kami selalu memilih lantai yang berbeda-beda setiap sa’i yang kami lakukan agar memiliki pengalaman berbeda. Kami tetap berpegangan tangan selama sa’i berlangsung, kecuali saat berada di pilar hijau karena saya harus berlari kecil. Buku panduan do’a tetap kami pegang untuk dibaca selama proses sa’i berlangsung. Banyak style dan cara setiap jama’ah menjalankan sa’i dilihat dari cara berdo’a dan beberapa perilaku verbal dan nonverbal lainnya, seperti ngobrol dan mengerjakan aktivitas selain berdo’a selama ber-sa’i. Padahal sa’i adalah rangkaian ibadah umroh yang membutuhkan kosentrasi dan dialog langsung dengan sang Khaliq.

Sa’i bisa disebut sebagai rangkaian akhir yang melelahkan dari ritual umroh karena tahalul dianggap sebagai pekerjaan yang ringan dan simple. Oleh karena itu setelah selesai perjalanan ketujuh rasanya plong sekali sehingga usai tahalul maka lengkaplah sudah kebahagiaan kami karena telah berhasil menyelesaikan satu kali umroh. Biasanya setelah selesai rangkaian umroh kami mencicipi makanan ringan yang kami siapkan dari hotel atau terkadang kami mencari makanan di restaurant yang ada di luar masjidil Haram.

Kami berdua benar-benar ingin memanfaatkan kesempatan berada di kota Makkah untuk melakukan umroh sebanyak-banyaknya. Namun kami tetap mempertimbangkan kondisi isik yang kami miliki untukmemutuskan berumroh atau tidak. Dalam kondisi yang

8 | Dr.H. Kadri, M.Si & Hj. Suhadah, M.Si.

prima kami pernah melakukan umroh dua kali dalam sehari. Berangkat ke Tan’in untuk ambil miqad ba’da Subuh dan mengakhiri prosesi umroh sampai sebelum sholat Dhuhur. Setelah selesai berjama’ah Dhuhur di Masjidil Haram kami pulang ke hotel beristirahat dan kembali lagi ke Haram untuk Sholat Ashar. Ba’da Sholat Ashar kami memulai ritual umroh kedua hari itu dengan menuju Tan’in untuk mengambil miqad. Sesuai dengan rencana, kami bisa kembali ke Haram untuk berjama’ah Magrib.

Cuaca di wilayah masjidil Haram hari itu sangat buruk. Hujan gerimis diserta angin kencang menemani sholat Magrib jama’ah masjidil Haram. Suasana inilah yang membuat kami harus bersabar untuk memulai thawaf hingga ba’da sholat Isya’. Karena cuaca yang tidak bersahabat, akhirnya kami melakukan thawaf di lantai dua dengan lingkaran atau putaran yang relatif lama. Sungguh merupakan thawaf yang melelahkan. Lelah karena puturannya yang lama dan merupakan thawaf kedua di hari yang sama. Setelah selesai thawaf yang melelahkan kami dibantu oleh air zam-zam sehingga tenaga kembali pulih. Modal tenaga inilah yang kami gunakan untuk melanjutkan ritual sa’i. Sebagaimana thawaf, perjalanan dari Shafa’ ke Marwah pun kami rasakan berbeda dengan sa’i sebelumnya karena ini adalah sa’i kedua di hari yang sama. Tapi semangat yang menggebu-gebu untuk mendapatkan pahala sekaligus mewujudkan berumroh dua kali dalam sehari membuat kami tetap berusaha untuk mengakhiri perjalanan sa’i hingga arah ketujuh. Alhamdulillah akhirnya tercapai juga meski harus berakhir tengah malam.

Komunikasi Haji: Spiritual & Sosial | 9

I’tIKaf DI MaSJIDIL HaraM

BeRBeDa Dengan Masjid Nabawi, masjidil Haram dibuka 24 jam bagi jama’ah haji sehingga kami bisa memanfaatkan untuk beribadah di masjid ini lebih leluasa tanpa terikat oleh waktu. I’tikaf dengan cara bermalam di Masjidil Haram adalah salah satu ibadah yang kami lakukan selama berada di kota Makkah. Magnet masjidil Haram memang luar biasa, sehingga setiap orang sangat susah untuk tidak merindukannya. Kami juga termasuk jama’ah haji yang merasakan betapa tarikan magnet tersebut begitu kuat sehingga kami benar-benar harus memanfaatkan untuk selalu berada di dalamnya selama kami masih di kota Makkah.

Beri’tikaf di Masjidil Haram memiliki kenikmatan dan kepuasan bathin tersendiri. Banyaknya pahala yang dijanjikan oleh Allah pada setiap ibadah yang dilakukan di dalamnya menjadi motivasi utama. Di samping itu, kami merasakan ketenangan yang luar biasa saat berada di dalam masjid yang di dalamnya ada Baitullah tersebut. Ka’bah menjadi pusat perhatian kami ketika hendak mengambil posisi untuk beri’tikaf. Kami memulainya untuk sedapat mungkin datang lebih awal ke Masjidil Haram agar kami lebih leluasa mengambil posisi yang langsung berhadapan

10 | Dr.H. Kadri, M.Si & Hj. Suhadah, M.Si.

atau melihat Ka’bah saat sholat dan kala berdzikir atau beri’tikaf.

Kami memiliki waktu I’tikaf rutin dan I’tikaf khusus di masjidil Haram. I’tikaf rutin biasanya kami lakukan sebelum dan sesudah sholat wajib lima waktu. Kami selalu berusaha untuk hadir lebih awal sebelum waktu sholat fardu dimulai sehingga kami memiliki waktu yang relatif lama untuk beri’tikaf. Demikian

juga ketika selesai melaksanakan sholat fardu, kami melanjutkan dengan berdzikir, berdo’a dan beri’tikaf sehingga kami tidak langsung pulang setelah sholat wajib ditunaikan. Setelah sholat Subuh terkadang kami melanjutkan dengan beri’tiqaf sambil menunggu sholat Dhuha. Namun sering kali kami beri’tikaf ba’da sholat Subuh beberapa saat karena kami harus kembali dulu ke hotel, dan melanjutkan I’tikaf sebelum Dhuhur hingga ba’da Ashar, bahkan terkadang nyambung hingga ba’da Isya.

Selama berada di kota Makkah, kami juga melakukan i’tiqah dalam waktu yang agak panjang sembari menginap

Komunikasi Haji: Spiritual & Sosial | 11

di masjidil Haram. Kami melakukan I’tiqah dalam durasi waktu yang agak panjang seperti ini sebanyak tiga kali. Bisanya kami menyelesaikan sholat Isya’ berjamaah dan pulang dulu ke hotel setelah selesai berdzikir, berdo’ dan beri’tiqaf. Setelah makan malam dan memebereskan beberapa hal di hotel, kami kembali lagi ke masjidil Haram dengan membawa makanan ringan secukupnya untuk melakukan i’tikaf sembari bermalam di masjid tempat Ka’bah berada tersebut.

Untuk lebih mengefektifkan waktu, setelah sholat Isya’ kami tidak kembali lagi ke hotel. Kami lanjutkan keberadaan kami di masjidil Haram dan mengisinya dengan dzikir, tadarus dan do’a (I’tiqaf ). Untuk kebutuhan makan malam kami biasanya membeli di restaurant yang ada dekat terminal Syib Amir dengan pilihan menu khas Arab yang sangat enak. Kami kembali lagi ke Masjidil Haram setelah menghabiskan nasi kebuli kambing yang menjadi makanan favorit kami selama berada di tanah haram. Dengan kondisi tubuh yang sudah prima kami memiliki tenaga yang ekstra untuk melanjutkan ibadah I’tiqaf.

Kami memilih tempat berbeda-beda untuk setiap I’tiqaf yang kami lakukan. Terkadang kami beri’tiqaf di pelataran luar ka’bah, tetapi kebanyakan kami memilih tempat di bagian masjidil Haram yang baru saja dibangun. Tempat ini menjadi tempat favorit bagi kami untuk beri’tiqaf karena beberapa alasan seperti; pertama, kemegahan arsitekturnya membuat kami tidak bosan berada di bagian masjidil haram yang ini; kedua, biasanya setelah sholat Isya’, bangunan baru masjidil haram tidak

12 | Dr.H. Kadri, M.Si & Hj. Suhadah, M.Si.

seramai pelataran lingkar ka’bah sehingga kami lebih khusu’ untuk beri’tiqaf; ketiga, beri’tiqaf di bangunan baru masjidil haram tetap bisa melihat salah satu sisi bangunan ka’bah sehingga I’tiqaf yang kami lakukan tetap khusu’ sembari sesekali memandang ka’bah.

Semua i’tiqaf panjang yang kami lakukan di masjidil Haram dilakukan setelah ibadah haji selesai. Hal ini telah kami rencanakan sebelumnya karena kami tidak berani memporsi tenaga untuk ibadah sebelum hari Armina (Arafah, Muzdalifah, Mina). Sisa waktu di kota Makkah (sebelum melanjutkan berziarah dan beribadah di Madinah) benar-benar kami manfaatkan untuk beribadah (termasuk beri’tiqaf panjang dan menginap di masjidil Haram). Bahkan kami pernah melanjutkan i’tiqaf setelah menyelesaikan umroh yang kedua dalam satu hari. Umroh yang kedua di hari tersebut berakhir tengah malam (sekira pukul 12.30 waktu Makkah). Setelah kami membeli nasi kebuli kambing untuk dimakan di pelataran luar Masjidil Haram, akhirnya kami memutuskan untuk menunggu sholat Subuh sambil beri’tiqaf di Masjidil Haram. Sungguh merupakan i’tiqaf yang sangat menyenangkan dan kelelahan umroh panjang (selama dua kali dalam sehari) sirna oleh nikmatnya i’tiqaf.

Komunikasi Haji: Spiritual & Sosial | 13

BErWUKUf DENGaN MaKSIMaL

Wukuf aDalaH puncak ibadah haji. “Haji adalah Arafah”, demikian disabdakan Rasulullah dalam haditsnya. Banyak keutamaan dan “fasilitas” yang diberikan (disediakan) Allah SWT bagi jamaah haji saat berwukuf. Para malaikat turun menyaksikan para jamaah haji yang sedang berwukuf dan menjadi saksi bagi doa dan permohonan hamba ( jamaah haji) kepada Sang Rabbi (Allah SWT).

Meskipun langsung dibawa ke Arafah sejak tanggal 8 Dzulhijjah siang (tanpa melewati proses Tarwiyah dengan Mabit di Mina tanggal 8 Dzulhijjah), kami sangat sadar

14 | Dr.H. Kadri, M.Si & Hj. Suhadah, M.Si.

betapa moment wukuf menjadi ritual yang sangat penting dalam ibadah haji dengan berbagai kelebihan di dalamnya. Oleh karena itu, kami benar-benar memaksimalkan ibadah Wukuf ini dengan melaksanakan amalan-amalan yang dianjurkan dan diajarkan oleh Rasulullah saw saat melaksanakan wukuf.

Akhirnya hari yang kami nanti tiba juga. Persiapan panjang yang kami lakukan kesampaian juga untuk ketemu dengan hari wukuf. Amalan-amalan sunat sebelum hari wukuf tiba benar-benar kami pertimbangkan agar tidak sampai menggagu kesehatan yang telah kami siapkan untuk memasuki hari wukuf. Persiapan perjalanan ke Arafah kami mulai dari hotel, seperti menyiapkan pakaian dan makanan serta minuman untuk kebutuhan tambahan selama berada di Arafah dan Mina. Kami menyebut bekal tambahan karena sesungguhnya semua makan dan minum selama berada di Arafah dan Mina ditanggung oleh pemerintah Republik Indonesia.

Kami bersyukur telah berada di Arafah sejak tanggal 8 Dzulhijjah karena kami bisa melakukan persiapan di hari dan jam puncak haji. Kebijakan ini menjadi momentum bagi kami untuk melakukan prakondisi sehingga kami bisa lebih mantap menjalani wukuf. Sebagai bagian dari prakondisi, kami mengisi waktu sejak siang tanggal 8 Dzulhijjah dengan berdzikir, berdo’a dan tadarrus (membaca Al-Qur’an). Semua jama’ah calon haji yang berada di Arafah sehari sebelum tanggal 9 Dzulhijjah benar-benar memanfaatkan momentum ini sebagai waktu untuk berdzikir dan tadarrus sehingga Padang Arafah terlihat begitu hening dari perbincangan duniawi yang tidak

Komunikasi Haji: Spiritual & Sosial | 15

bermanfaat. Di setiap tenda hanya tersaksikan kekhusu’an para penghuninya yang sedang berdo’a, mengaji, dan berdzikir.

Malam tanggal 9 Dzulhijjah merupakan malam yang spesial karena malam tersebut kami sudah berada di Arafah sembari menunggu puncak wukuf keesokan harinya. Menjadi malam spesial karena hati kami digelorakan oleh dua keinginan; ingin segera bertemu hari puncak arafah dan tidak ingin melewatkan malam di wilayah yang sarat berkah. Oleh karena itu tidak heran bila dzikir, do’a, dan tadarus malam itu yang intens kami lakukan terkadang dibayangi keinginan untuk it di puncak wukuf esokhari. Bayangan inilah yang bisa membatasi kami untuk beribadah di malam menjelang wukuf sehingga harus beristirahat lebih awal.

Setelah menyempatkan istirahat tidur hingga jelang subuh, kesibukan untuk persiapan wukuf sudah mulai terasa. Mengawali hari wukuf (9 Dzulhijjah) dengan sholat Subuh berjama’ah di tenda masing-masing dan dilanjutkan dengan mandi dan sarapan. Namun tidak sedikit yang mandi di pagi buta sebelum azan Subuh dikumandangkan. Dzikir, berdo’a dan tadarus makin khusu’ dilakukan oleh semua jama’ah karena semua sadar bahwa saat inilah para Malaikat turun menyaksikan para hambanya yang sedang wukuf di padang Arafah. Akhirnya puncak wukuf pun kami dapatkan yang ditandai dengan sholat Dhuhur digabung dengan sholat Ashar, kemudian dilanjutkan dengan Khutbah Wukuf, yang Alhamdulillah di tenda kami langsung disampaikan oleh Ketua Rombongan, Dr. Ahmad Amir Aziz, MA.

16 | Dr.H. Kadri, M.Si & Hj. Suhadah, M.Si.

Memahami ibadah prioritsa penting sekali untuk bisa mengatur dan memilih aktivitas Ritual dan Sosial. Dalam konteks inilah pentingnya memiliki ilmunya sebelum mempraktekkan suatu ibadah. Wukuf sebagai puncak dan inti dari haji telah kmai tempatkan sebagai haal yang proritas- dan dimaksimalkan pelaksanaannya.

Komunikasi Haji: Spiritual & Sosial | 17

MaBIt “NOMaDEN” &

MELONtar JUMraH

maBit Di mina menurut jumhur ulama adalah wajib, meski sebagian yang lain mengkategorikan sebagai amalan sunat. Dekatnya hotel kami menginap (Hotel Najrah) dengan Mina dan lokasi Jamarat membuat pengalaman mabit dan lontar jumrah yang kami lakukan berbeda dengan sebagian besar jama’ah lainnya. Setelah sempat mampir sebentar di Muzdalihaf dan terus beristirahat di Mina jadid, sekira jam 02.00 dini hari waktu setempat kami dan rombongan 09 Kloter 02 LOP bergerak (berjalan kaki) menuju Jamarat sepanjang lebih kurang 7 KM.

Melontar Jumrah Aqabah pada 10 Dzulhijah kami lakukan di lantai tiga. Setelah selesai melontar anggota rombongan mulai terpisah. Ada yang mengambil jalan atau jalur kembali ke Mina jadid (tenda) tetapi sebagian ada yang turun lewat escalator menuju lantai dasar. Saya dan istri termasuk yang mengikuti beberapa anggota rombongan yang turun di lantai dasar. Setelah sampai di bawah kami memutuskan untuk membali ke hotel yang jaraknya sekira 700 Meter. Sebelum Subuh kami sudah sampai di hotel dan sempat istirahat sejenak sebelum

18 | Dr.H. Kadri, M.Si & Hj. Suhadah, M.Si.

memutuskan untuk melanjutkan thawaf ifadhah pada pukul 09.00 waktu setempat.

Berada di hotel siang hari membuat kami bisa lebih nyaman ketimbang harus mabit dan nginap di tenda selama tiga hari. Di sinilah kelebihannya bila hotel kita dekat dengan lokasi Jamarat. Berada di hotel mulai pagi hingga sore telah kami manfaatkan untuk ibadah dan istirahat karena sebelum Magrib kami harus masuk wilayah Mina untuk mabit sampai lewat tengah malam. Selama tiga malam berturut-turut kami masuk mabit ke Mina dan keluar kembali ke hotel di atas jam 24.00 waktu setempat.

Mabit di luar tenda yang ada di Mina hingga lewat tengah malam menyisahkan banyak cerita yang susah terlupakan. Tantangan selama mabit menjadi kenangan tersendiri. Mabit di luar tenda di pinggir bawah jamarat merupakan tempat favorit warga Makkah dan sekitarnya

Komunikasi Haji: Spiritual & Sosial | 19

serta jama’ah haji yang hotelnya dekat dengan lokasi jamarat. Membludaknya jama’ah haji membuat tempat yang tidak terlalu luas tersebut penuh sesak, bahkan menutup jalur jalan yang tersedia. Kondisi inilah yang membuat para Asqar selalu menertibkan setiap saat sehingga kami harus berpindah tempat duduk (mabit) beberapa kali. Jumlah Asqar yang tidak sebanding dengan jumlah jama’ah haji yang ada di tempat tersebut membuat proses penertiban tidak efektif sehingga terkesan berlangsung “kucing-kucingan”. Setelah tertib sebentar lalu kembali lagi ke tempat semula.

Selama mabit di luar tenda Mina kami isi dengan membaca al-Qur’an dan terkadang diselingi dengan cerita tukar pengalaman bersama teman jama’ah haji lain yang baru dikenal di tempat itu. Selama tiga malam mabit di Mina kami menemui teman yang berbeda-beda. Terkadang jama’ah haji Indonesia dari provinsi lain, pernah juga jama’ah haji asal Indonesia tetapi menjadi TKI di Arab Saudi, dan dalam beberapa kesempatan bertemu dengan jama’ah haji Negara lain seperti Malaysia, Thailand, Pakistan, India, dan lainnya. Cerita dengan mereka menambah informasi tentang proil dan latarbelakangserta pengalaman mereka.

Pada tanggal 12 Dzulhijjah kami masuk mabit di Mina lewat terowongan dekat hotel Najrah. Perjalanan yang sangat berkesan dengan hempasan angin yang seakan mendorong dan mempercepat langkah kami hingga sampai di ujung terowongan. Kali ini kami menepi di atas teratoar depan tenda eksklusif milik Negara lain. Mabit di atas teratoar Mina relatif lebih aman dan tenang

20 | Dr.H. Kadri, M.Si & Hj. Suhadah, M.Si.

karena tidak ada proses penertiban dari asqar. Kondisi ini membuat kami lebih khusu’ dan tenang beribadah seperti dzikir, doa dan tadarus. Camilan dan buah seperti apel dan kurmah menjadi menu rutin yang menemani mabit kami setiap malam. Bahkan sering kali makanan dan minuman

diberikan secara gratis oleh jama’ah lain yang berdekatan duduk dengan kami. Sungguh suasana persaudaraan yang luar biasa indahnya selama mabit berlangsung.

Saat jarum jam menunjuk pukul 24.00, para jama’ah mabit sudah terlihat siap-siap untuk kembali ke hotel (keluar Mina), sehingga arus balik dari Mina menuju Makkah terlihat dipadati pejalan kaki. Terowongan sedikit sesak oleh kendaraan dan pejalan kaki. Ojek kursi roda juga laku saat hari

Tasyriq untuk mengantar jama’ah yang masuk mabit dan keluar dari mabit menuju hotel dan perkampungan di Makkah.

Berpindah tempat mabit dari satu lokasi ke lokasi yang lain (baik karena korban penertiban maupun atas inisiatif sendiri) di wilayah Mina menyisahkan kenangan tersendiri dan telah mendokumentasikan cerita yang tidak sedikit. Namun perpindahan tempat mabit tidak serta

Komunikasi Haji: Spiritual & Sosial | 21

merta mengganggu proses mabit secara serius karena pergeseran tempat mabit hanya berlangsung dalam jarak yang relatif dekat sehingga kami bisa melanjutkan amaliah sunah lainnya seperti dzikir, tadarrus dan do’a.

Biasanya kami melontar setelah jam 09.00, saat itu kami sudah istirahat sekembali dari mabit di Mina. Pilihan tempat melontar pun kami bergantian lantai. Bila tanggal 10 Dzulhijjah melontar jumratul aqabah di lantai tiga, maka pada tanggal 11 Dzulhijjah kami memilih melontar di lantai 2. Baru pada tanggal 12 Dzulhijjah melontar di lantai dasar. Mabit di dekat jamarat dan istirahat yang cukup di hotel pasca tengah malam membuat kami selalu itsaatmelontarjumrah.Lebihpentinglagikamibisalebihleluasa memilih tempat atau lantai untuk melontar atas pertimbangan kenyamanan dan keragaman pengalaman dalam melontar.

Mina menjadi wilayah tempat bermabit warga muslim dunia dengan keragaman budaya. Di lembah ini setiap orang bisa bertukar pikiran untuk membicarakan banyak hal. Ali Shariati (2002: 138) menyebut mabit di Mina sebagai konvensi ilmiah yang diselenggarakan di luar auditorium yang melibatkaan masyarakat muslim dunia dalam keadaan setara-tanpa sekat perbedaan apapun. Dalam perspektif komunikasi, mabit di Mina dapat dimaknai sebagai majelis komunikasi antarbudaya dengan beragam topik di dalamnya. Pengalaman kami selama mabit tiga malam di Mina, telah memperoleh informasi yang banyak tentang pengalaman dari sudara muslim Malaysia, Thailand, India, dan negara-negara lainnya.

Komunikasi Haji: Spiritual & Sosial | 23

MENCIUM HaJar aSWaD

mencium HajaR asWaD adalah dambaan setiap tamu Allah yang berkunjung ke Baitullah. Di samping sebagai sunnah yang telah dipraktekkan oleh Nabi Muhammad saw, mencium batu yang berasal dari surga ini juga menjadi wadah untuk mempertemukan Nabi Muhammad saw dengan umatnya yang sukses mencium Hajar Aswad karena di batu itulah kening dan hidung Nabi di tempel. Berbeda dengan bagian masjid lainnya yang sering direnovasi oleh pemimpin setelah Nabi, sehingga untuk menjumpai atau merasakan tempat sebagai bekas sujudnya Nabi sangat susah. Keyakinan seperti inilah yang antara lain memicu semangat setiap umat/pengikut Nabi Muhammad saw untuk rela berdesakan dan berusaha keras mencium Hajar Aswad.

Kami berdua sejak awal memiliki tekad yang tinggi untuk bisa mencium Hajar Aswad terutama saya sebagai istri, karena pak Kadri pernah mencium Hajar Aswad pada saat ber’umrah tahun 2013. Jadi keinginan mengantarkan saya untuk bisa mencium batu dari surga itu menjadi target dan prioritas kami. Niat ini sudah jauh hari diikrarkan sehingga sebelum berangkat/bertolak ke Makkah saat masih di Tanah Air kami mencari tahu dengan

24 | Dr.H. Kadri, M.Si & Hj. Suhadah, M.Si.

menghimpun berbagai pengalaman para Haji yang telah datang menunaikan rukun Islam kelima ini. Banyak versi cerita pengalaman dari para Haji dan Hajjah yang kami temui. Keragaman cara dan strategi ini membuat kami banyak memiliki rencana untuk merealisasikannya.

Ketika pertama melihat Ka’bah kesenangan dan keharuan bercampur sehingga air mata pun tak terasa keluar sendiri. Keinginan untuk mencium Hajar Aswad kian menggebu. Tetapi keinginan itu harus dikalahkan dulu oleh kewajiban dan sunat yang lain, seperti Umrah wajib di awal kehadiran di Ka’bah untuk Thawaf. Pada hari ketiga di Makkah kami berdua melakukan Thawaf Sunnat ba’da sholat subuh setelah putaran ketujuh kami langsung merapat di dinding Ka’bah untuk menempel dinding rumah Allah ini mulai dari rukun Yamani hingga bisa sampai mencium Hajar Aswad.

Diantara Rukun Yamani dan Hajar Aswad, saya diminta oleh suami untuk berdiri di tembok yang berada di dasar Ka’bah sambil menempelkan tangan di dinding Ka’bah. Pantat saya didorong atau ditahan oleh pak Kadri agar tidak terjatuh. Usaha ini terus berprogress baik hingga sampai di dekat Hajar Aswad. Dengan terus berdoa saya senantiasa berusaha untuk bisa mencium batu surga itu. Bahkan saya sempat memegang bagian luar yang membungkus Hajar Aswad. Namun karena desakan yang kuat dari berbagai arus (arah), membuat saya menyerah dan meminta turun serta keluar dari kompetisi mencium Hajar Aswad . Meski sedikit kecewa karena belum berhasil mencium Hajar Aswad, saya banyak bersyukur karena bisa memegang dinding dan bungkus Hajar Aswad dan

Komunikasi Haji: Spiritual & Sosial | 25

juga dapat kesempatan lama untuk berdoa di Multazam. Akhirnya kami pulang dengan satu tekad yang kuat untuk kembali berusaha mencium Hajar Aswad.

Dari diskusi dan informasi yang diberikan oleh banyak kawan tentang teknik atau cara untuk dapat mencium Hajar Aswad, kami mencoba mereview untuk mendapatkan proses dan tekhnik yang tepat agar sukses mencium batu hitam dari Surga tersebut. Sudah banyak cara telah kami praktekkan berdasarkan pengalaman orang-orang yang telah sukses mencium hajar aswad, tetapi belum juga berhasil menembus ratusan orang yang memiliki keinginan yang sama untuk mencium batu mulia tersebut. Akhirnya kami memutuskan untuk menunda dulu keinginan tersebut karena harus konsentrasi untuk persiapan ibadah Armina. Namun do’a dan harapan terus kami panjatkan kepada Allah SWT semoga kami dapat menempelkan dahi dan hidung di batu surga tersebut.

Alhamdulillah tenyata momentum untuk cium Hajar Aswad akhirnya datang juga tanpa kami persiapkan secara khusus. Sungguh di luar yang kami bayangkan. Tidak ada persiapan khusus yang lebih serius, apalagi meniatkan cium hari itu. Kami hanya konsentrasi untuk melaksanakan thawaf ifadhah pada tanggal 10 Dzulhijjah. Ketika memasuki putaran ketujuh posisi kami terus terbawa ke pinggir Ka’bah hingga kami harus terhenti di Multazam untuk memanjatkan doa, setelah kami menggenapkan ritual thawaf hingga putaran ketujuh. Sesudah lebih dari 10 menit berdoa di Multazam, kami melihat ruang untuk mencium Hajar Aswad lewat arah Multazam. Kebetulan di depan kami ada Pak Suherman Adita (rekan kerja pak

26 | Dr.H. Kadri, M.Si & Hj. Suhadah, M.Si.

Kadri di Universitas Islam Negeri Mataram) yang sedang antri bersama istrinya untuk mencium Hajar Aswad.

Saat itu tekad yang kemarin sempat mengendor bangkit kembali. Mengikuti ruang yang di buka oleh saudara Cuing (panggilan Suherman Adita), kami terus merapat. Pak Kadri tetap memprioritaskan saya untuk mencium Batu Surga itu sehingga tugas pak Kadri hanya menjaga dan mengamankan arah belakang dari arus pergerakan jama’ah yang terus membludak saat itu.

Ketika ditanya oleh pak Kadri akan kekuatan dan keinginan untuk mencium hajar aswad, saya menjawab “insyaAllah” sembari terus berdoa mengharap pada Allah untuk diberikan kekuatan. Kemudahan terus saya peroleh karena di depan saya tidak terlalu padat. Suasana inilah yang merubah keyakinan saya bila hari ini Allah SWT memberikan kekuatan dan kesempatan kepada saya dapat mencium Hajar Aswad. Saya benar-benar di bantu oleh Allah SWT lewat tangan banyak orang: suami saya yang menjaga arus jamaah yang lain, Pak Suherman yang membuka ruang, dan juga Askar penjaga Hajar Aswad yang mengizinkan saya untuk maju mencium hajar aswad serta mengarahkan untuk keluar di tengah kerumunan manusia yang memiliki niat yang sama untuk mencium Hajar Aswad.

Sungguh kenikmatan yang luar biasa, karena saya dapat mencium Hajar Aswad seperti yang dilakukan oleh Nabi dan bisa bersentuhan dengan Batu Surga. Sungguh merupakan kekuasaan Allah SWT, Rahmat Rabbul Aalamin, sebab rasio seperti apapun tidak bisa percaya bila

Komunikasi Haji: Spiritual & Sosial | 27

dalam kondisi sepadat itu saya bisa mendapat kesempatan untuk mencium Hajar Aswad.

Thawaf Ifadhah tgl 10 Dzulhijjah di saat padatnya lingkaran ka’bah, dimana setiap jamaah mengejar untuk menyelesaikan rukun haji setelah melempar Jumratul Aqobah di tanggal itu. Sejak tanggal 8 Dzulhijjah kami dan jamaah haji lainnya sudah berkonsentrasi untuk memasuki Armina persiapan wukuf. Malam tanggal 9 Dzulhijjah, dilanjutkan perjalanan ke Muzdalifah dan Mina, hingga sebelum Subuh kami berjalan dari Mina Jadid ke Jamarat. Perjalanan panjang ini tentu saja sangat menguras tenaga, dengan waktu istrahat yang sangat terbatas. Bila pada siang 10 Dzulhijjah setelah Thawaf Ifadhah saya bisa mencium Hajar Aswad adalah benar-benar karena pertolongan Allah; berupa kekuatan yang diberikanNya dan kemudahan yang senantiasa dipersembahkaNya.

Pengalaman saya saat berhasil mencium hajar aswad merupakan keajaiban dan bukti Maha Tolongnya Allah SWT. Menurut pak Kadri, saat saya menuju Hajar Aswad dia melihat bagaimana kosong dan lapangnya ruang yang saya lewati di saat kerumunan orang yang sedang berthawaf ifadhah dan hendak mencium hajar aswad. Di saat pak Kadri menjaga ruang gerak jamaah lain, dia menyaksikan secara kilat bagaimana kosongnya ruang seputar Hajar Aswad. Inilah “kekuatan Yang Maha Kuasa” dalam bentuk kilat yang menggaris ruang sehingga tidak bisa dilewati oleh jamaah lain. Kekuatan inilah yang mampu mengkosongkan ruang seputar hajar aswad sehingga saya bisa dengan mulus mencium Hajar Aswad. Inilah kehendak Allah, inilah pertolongan Allah, dan inilah

28 | Dr.H. Kadri, M.Si & Hj. Suhadah, M.Si.

campur tangan Allah pada usaha hambaNya yang serius dan ikhlas beribadah.

Pengalaman mencium Hajar Aswad semakin mempertegas bahwa kekuasaan Allah yang diberikan kepada hambanya tidak bisa dianalisis berdaasarkan rasi. Di samping itu, kesabaran dan usaha yang kuat serta kepasrahan dan tawakkal kepada Allah harus selalu dikombinasikan untuk mendapatkan hasil maksimal seperti mencium Hajar aswad. Tetapi yang tidak kalah pentingnya adalah kerjasama yang baik di antara sesama jama’ah memiliki kontibusi tersendiri baagi kelancaran usaha kita mewujudkan obsesi.

Komunikasi Haji: Spiritual & Sosial | 29

MEMaKSIMaLKaN IBaDaH

Pra & PaSCa HarI arMINa

kesempatan untuk melaksanakan haji adalah sangat langka karena harus berantri lama, dan baru bisa melaksanakannya lagi setelah lebih dari lima tahun. Memaksimalkan berbagai amalan baik selama berada di dua tanah haram (Makkah dan Madinah) adalah pilihan yang tepat. Berhaji lewat ONH Pemerintah berdurasi waktu lama yaitu lebih kurang 40 hari (30 hari di Mekkah, 8 hari di Madinah dan 2 hari diperjalanan PP). Bila dihitung jumlah hari yang dijadwalkan untuk melaksanakan rukun dan wajib haji, lebih kurang kita hanya membutuhkan waktu sekitar 6 sampai 7 hari. Setelah kita mengakumulasi waktu untuk melaksanakan umrah wajib haji, tarwiyah, wukuf, mabit di Muzdalifah, mabit di Mina, melempar Jumrah, hingga Thawaf Ifadhah, Sa’i dan Tahallul.

Artinya kita masih memiliki cadangan waktu yang sangat banyak untuk memaksimalkan ibadah-ibadah non haji lebih kurang tiga puluh satu hari selama musim haji. Kami berdua sangat berusaha untuk memaksimalkan waktu diluar ritual haji selama di Haramain. Kami berdua sejak di Tanah Air telah merencanakan untuk memaksimalkan amalan ibadah di Haramain. Oleh karena

30 | Dr.H. Kadri, M.Si & Hj. Suhadah, M.Si.

itu sejak di Tanah Air, kami membeli khusus Al-Quran yang enteng kami tenteng kemana-mana untuk bisa tadarusan pada setiap kesempatan. Kami membacanya saat beritikaf di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi. Dikamar Hotel dan juga di Bis Shalawat bila situasinya memungkinkan. Kami melanjutkan ayat demi ayat, terutama kala Wukuf di Arafah dan mabit di Mina. Alhasil kami bisa khatam Al-Quran beberapa kali di Haramain. Kami bersyukur kepada Allah SWT atas kekuatan dan keimanan yang diberikan oleh Allah SWT selama ini.

Kami sangat sadar bahwa beribadah di Tanah Suci Makkah dan Madinah selalu mendapat ganjaran pahala yang special (berlipat ganda). Alhamdulillah Allah berikan kekuatan kepada kami untuk bisa maksimal melaksanakan

Komunikasi Haji: Spiritual & Sosial | 31

ibadah wajib dan sunah selama di tanah suci. Kami selalu sholat berjamaah di Masjidil Haram kecuali satu dan lain hal, seperti saat tidak ada bis shalawat yang beroperasi. Hotel kami sangat jauh dari Masjidil Haram (sekira 4-5 KM.), sehingga ketergantungan kami pada bis salawat sangat tinggi. Sebagaimana kebijakan pemerintah Indonesia (lewat Daker Arab Saudi), beberapa hari menjelang dan sesudah hari Armina (Arafah, Muzdalifah, dan Mina), bis shalawat yang biasa digunakan untuk mengangkut jama’ah haji ke dan dari Masjidil Haram dihentikan.

Sholat berjama’ah di masjidil Haram selalu menjadi impian kami, sehingga setiap kesempatan untuk mewujudkan hal tersebut selalu kami lakukan. Kami selalu berusaha untuk berada di Masjidil Haram lebih awal (sebelum waktu sholat farhdu tiba). Namun kalaupun terlambat karena satu dan lain hal (seperti macet atau keterlambatan bis datang di halte tempat kami menunggu) kami tetap berjamaah untuk melaksanakan sholat wajib di Masjidil Haram, meski kami mengerjakannya berdua setelah selesai jamaah yang lainnya. Mendapatkan pahala 100 ribu adalah motivasi yang memompa semangat kami untuk terus mengejar sholat berjamaah di Masjidil Haram dan seribu pahala telah memotivasi kami untuk tetap berjamaah sholat di Masjid Nabawi.

Banyak hambatan dan godaan yang kita rasakan untuk lebih memaksimalalkan beribadah di tanah suci Makkah dan Madinah, seperti ngobrol yang tidak terlalu penting dengan kerabat atau wara wiri mencari oleh-oleh yang menghabiskan waktu berjam-jam. Waktu yang terbatas di Madinah juga memerlukan kepandaian

32 | Dr.H. Kadri, M.Si & Hj. Suhadah, M.Si.

kita untuk bisa memaksimalkan beribadah dan beramal baik lainnya. Dekatnya hotel dengan Masjid Nabawi juga sering menggoda kita untuk berada di Hotel setelah sholat fardhu di Nabawi. Sepanjang tidak ada yang mendesak untuk dilakukan di hotel (seperti mandi, makan, istrahat, dll), maka sangat baik berada di masjid Nabawi sambil mengamalkan amalan sunah lainnya seperti mengaji, sholat sunnat apa saja, I’tikaf dll.

Komunikasi Haji: Spiritual & Sosial | 33

ZIaraH raUDHa

paDa saat BeRaDa di Madinah Al-Munawwarah yang terbayang adalah ibadah Sholat Arbain dan Ziarah Raudha. Kami sampai di Kota Madinah pada malam hari sehingga mengawali atau memulai sholat Arbain pada waktu sholat Subuh. Setelah sholat Subuh saya bertanya pada Askar perempuan yang bertugas di depan pintu 20. Dengan menggunakan bahasa Inggris ala kadarnya saya bertanya; ‘Where the Gate to enter Raudah?’ Dengan cepat Askar menjawab ‘Twenty Five’ sambil tanganya menunjuk ke arah pintu 25 tersebut. Tidak lupa saya mengucapkan terima kasih pada Askar tersebut sebelum bergegas menuju pintu 25.

Menurut informasi dari jamaah haji yang pertama datang di Madinah bahwa ada beberapa jadwal atau waktu untuk berziarah ke Raudah bagi perempuan, yaitu; pada saat waktu sholat Dhuha, ba’da sholat Ashar, ba’da sholat Subuh dan ba’da sholat Isya. Dari sekian jadwal tersebut saya pernah memilih 3 (tiga) waktu yaitu waktu sholat Dhuha, ba’da sholat Isya dan ba’da sholat Subuh. Waktu ziarah yang paling saya sukai adalah waktu ba’da sholat Subuh karena waktu nya panjang dan bisa langsung sholat Dhuha di Raudha.

34 | Dr.H. Kadri, M.Si & Hj. Suhadah, M.Si.

Untuk berziarah ke Raudha setelah selesai sholat subuh saya harus bangun agak cepat karena perjalanan dari pintu pagar nomor 7 (yang kebetulan dekat dengan hotel tempat kami nginap) ke pintu masjid nomor 25 lumayan jauh. Tapi dengan semangat untuk mencari dua pahala sekaligus (pahala Sholat dan pahala ziarah) semua tantangan itu bisa dijalani dengan penuh keikhlasan dan kesabaran.

Pada setiap waktu Ziarah, petugas di Masjid Nabawi mengatur dengan tekhnis-tekhnis tertentu agar mempermudah proses ziarah dan pelaksanaannya bisa berjalan dengan tertib. Setelah melakukan sholat Subuh berjamaah, para jamaah haji yang akan melakukan ziarah dikumpulkan berdasarkan papan tulisan Negara yang

Komunikasi Haji: Spiritual & Sosial | 35

disediakan oleh Askar perempuan. Untuk orang Indonesia digabung dengan Malaysia dan Thailand dengan tulisan di papannya “Kumpulan berbahasa Melayu”. Begitu juga Negara yang lainnya. Dengan adanya papan nama Negara asal tersebut kita langsung membagi diri sesuai dengan petunjuk papan tersebut.

Setelah kami berkumpul dengan jamaah yang ada dalam kelompok berbahasa Melayu, kita disarankan oleh Askar untuk duduk supaya tertib pada saat pintu Raudha dibuka. Walaupun sudah dibuat aturan seperti itu tetap saja ada jamaah dari Indonesia dan Negara-negara lain yang menyelonong masuk sehingga di situlah kita diuji untuk selalu bersabar karena kita harus menunggu kapan waktu Negara kita dipersilahkan masuk menuju Raudha.

Sebelum masuk Ziarah kita diberikan petunjuk atau tata cara berziarah oleh petugas haji perempuan yang ditugaskan di Raudha. Petugas tersebut memberikan saran antara lain: kalau masuk jangan berlari, membaca salam dan shalawat untuk Nabi Muhammad saw dan sahabat-sahabatnya dan kalau sudah ketemu karpet hijau langsung disarankan untuk segera melaksanakan sholat sunnat sesuai dengan niat dan keinginan dari jamaah. Untuk membedakan lokasi Raudha dengan yang bukan Raudha, telah ditandai dengan warna karpet. Karpet berwarna merah digunakan untuk sholat dan ibadah lainnya di luar wilayah Raudha, sedangkan karpet berwarna hijau hanya berada di Raudha.

Bagi jama’ah ziarah laki-laki, proses antrian untuk masuk Raudhah berbeda dengan prosedur jama’ah perempuan. Pada lokasi antrian laki-laki tidak berantri

36 | Dr.H. Kadri, M.Si & Hj. Suhadah, M.Si.

berdasarkan Negara asal. Setiap jama’ah secara bebas “berkompetisi” untuk bisa masuk berdoa dan beribadah di Raudha. Waktu untuk masuk pun tidak dibatasi seperti halnya aturan yang diberlakukan pada jama’ah perempuan. Akan tetapi petugas masjid Nabawi menutup ziarah pada pukul 11 malam, bersamaan dengan ditutupnya masjid Nabawi.

Luas Raudha yang tidak sebanding dengan jumlah peziarah mengahruskan adanya kesadaran baagi setiap orang untuk maau membagi waktu dengan yaang lain. Di saat kita bahagia karena sudah berada di dalam Raudha maka sisihkan waktu untuk memikirkan saudara kita yang lain yangs edang berdesakan dalam antrian yang sesak dan panjang. Pikiran seperti inilah yang akana menakhiri ego personal kita untuk berlama-lama berada dalam Raudha, dan segera keluar untuk memberi kesempatan padaa saudara kita yang lain untuk masuk. Inilah potret ideal toleransi dalam beribadah, sekaligus mengimplementasikan keaarifaa berkomunikasi antarbudaya selama ritual haji.

Komunikasi Haji: Spiritual & Sosial | 37

Bagian-2Dimensi Sosial Ibadah Haji

Aneka ”Ritual” Jelang HajiCerdas Berkomunikasi Antarbudaya

Menjaga dan Memantapkan Cinta di Tanah SuciKomunikatif selama Berhaji

Efektif Mengatur WaktuNikmatnya Berbagi di Tanah Suci

Indahnya Kebersamaan KelompokPerbedaan Pendapat yang Tidak Bisa Dihindari

Manajemen Konsumsi di HaramainKomunikasi Nonverbal yang Sangat Membantu

Transformasi Identitas HajiSuasana Edukasi di Masjid Nabawi

Komunikasi Haji: Spiritual & Sosial | 39

aNEKa “rItUaL” JELaNG HaJI

DiliHat DaRi pRoses persiapannya, ibadah haji berbeda dengan empat rukun Islam lainnya. Mengucap dua kalimat sahadat dapat dilakukan kapan dan dimanapun dengan durasi waktu yang tidak lama. Mengerjakan sholat adalah kegiatan rutin harian sebanyak lima kali dengan rentang waktu yang telah ditetapkan. Mengerjakan puasa wajib dalam satu bulan penuh (bulan Ramadhan) bisa dilakukan di tempat mana pun. Mengeluarkan dan membayar zakat itrah pun ada ketentuan jumlah danwaktu serta sasarannya. Keempat rukun Islam tersebut tidak memerlukan persiapan yang serius dan panjang dibandingkan dengan pelaksanaan ibadah haji. Ibadah haji hanya bisa dilaksanakan pada bulan haji (Dzulhijjah) dan di tempat yang telah disyari’atkan (Makkah almukarramah).

Bagi orang di luar Makkah (apalagi yang jauh seperti Indonesia) pasti membutuhakn biaya ekstra besar untuk bisa sampai ke tempat tersebut. Jumlah peminat yang tidak seimbang dengan jumlah kouta yang tersedia bagi jama’ah calon haji asal Indonesia telah membuat antrian panjang kesempatan untuk berhaji. Ritual haji yang dijalankan selama musim haji juga membutuhkan kekuatanisikdankosentrasipsikis tersendiriuntukbisa

40 | Dr.H. Kadri, M.Si & Hj. Suhadah, M.Si.

mendapat poin maksimal dari ibdah haji yang diikuti. Dalam tradisi masyarakat Indonesia (termasuk di beberapa negera lainnya), bagi setiap orang yang telah melaksanakan ibadah haji diberi gelar Haji atau disingkat dengan huruf “H” yang ditempelkan di depan nama masing-masing. Semua kekhasan ibadah haji seperti diuraikan di atas sangat mungkin membuat setiap orang yang melaksanakan atau akan melaksanakannya mengidentiikasi rukun Islamkelima ini sebagi sesuatu yang sacral dan istimewa. Asumsi inilah yang mungkin mensugesti setiap calon haji untuk melakukan “ritual sosial” selama di tanah air menjelang keberangkatannya ke tanah suci untuk menunaikan ibadah haji.

Masing-masing daerah memiliki tradisi berbeda saat persiapan pemberangkatan haji. Dalam satu daerah pun setiap individu sering kali tidak sama pilihan cara dalam rangka persiapan tersebut. Ada yang melakukan ritualdengantampilanisikyangterlihatsimboliksepertimeghiasi bagian rumah dengan atap yang terbuat dari anyaman daun kepala. Tidak sedikit yang mencetak sapanduk berisi permohonan do’a yang dilengkapi nama dan foto calon haji. Ritual dzikir dan do’a juga senantiasa dipanjatkan menjelang keberangkatan calon haji. Bahkan ada yang melakukan tiap malam, di saat sekian orang menyelenggarakan beberapa kali saja. Belum lagi kita bicara bagaimana cara dan lafadz dzikir dan do’a yang mereka panjatkan.

Dari sekian banyak dan panjang keragaman ritual yang dilakukan menjelang keberangkatan haji, do’a syukuran adalah salah satu ritual rutin yang dilaksanakan

Komunikasi Haji: Spiritual & Sosial | 41

setiap calon haji, meski dengan kuantitas dan kualitas yang berbeda. Kuantitas dan kualitas penyelenggaraan tasyakuran tidak hanya terkait dengan tradisi tetapi juga berhubungan dengan kemampuan serta keinginan. Do’a syukuran tidak hanya dimanfaatkan untuk memanjatkan harapan dan keinginan pada Sang Pencipta tetapi juga dijadikan ajang silaturahim dan momentum untuk meminta maaf pada kerabat.

Hari tasyakuran keberangkatan haji bagi masyarakat suku Sasak dijadikan sebagai hari atau waktu dimulainya (dibukanya) ziarah bagi para kerabat. Oleh sebab itu calon haji biasanya selalu standby di rumah hingga hari pemberangkatan tiba. Ritual seperti ini (standby di rumah) menjadi hal yang sulit kami wujudkan karena kami harus menyelesaikan banyak tugas kantor sebelum meninggalkannya untuk sementara waktu sekira empat puluh hari kerja. Kondisi seperti ini menjadi dilematis bagi kami karena di satu sisi mesti menyelesaikan tugas (karena terkait dengan kepentingan dan hak orang lain) namun di sisi lain banyak kerabat yang hendak berziarah dan bersilaturahim di rumah. Kami sering kali merasa tidak enak kala beberapa kerabat yang datang berziarah tetapi tuan rumah yang hendak berhaji tidak ada di rumah. Dalam konteks inilah ritual yang kebanyakan dilakoni setiap calon haji dapat dinegosiasikan kembali atas dasar situasi dan kondisi yang tidak kalah pentingnya.

Ritual sosial berbasis wilayah dan pemahaman masing-masing juga berlangsung saat hari pemberangkatan. Banyak pilihan prosedur yang terlihat dalam setiap daerah. Di kampung kami (Mataram) yang didominasi suku

42 | Dr.H. Kadri, M.Si & Hj. Suhadah, M.Si.

Sasak biasanya setelah keluar dari rumah masing-masing selanjutnya menuju Masjid atau Musholah untuk bersama calon haji lainya untuk melaksanakan sholat sunat dan proses pemberangkatan bersama. Kesempatan ini juga masih dimanfaatkan untuk meminta maaf pada seluruh warga yang hadir melepas kepergian kami. Suasana makin terasa haru saat kami meninggalkan masjid menuju kantor wali kota Mataram untuk melakukan prosesi pelepasan oleh kepala daerah. Di kantor walikota jumlah pengantar sangat banyak karena di tempat tersebut berkumpul semua pengantar ratusan jama’ah calon haji. Namun ada fenomena menarik dan sangat baik terlihat kala semua pengantar yang ada diseputar kantor walikota berebutan salaman pada setiap calon haji. Kami merasa senang dan terharu dengan fenomena ini, yang belakangan kami mengetahui bahwa semangat warga tersebut didorong oleh keinginan mereka untuk mendapat berkat dari calon tamu Allah SWT (calon haji).

Saat kami masih kecil sudah sering mendengar dan menyaksikan keragaman ritual setiap calon haji kala hendak turun dari rumahnya. Mereka tidak hanya belajar prosesi dan lafadz do’a pada setiap ritual haji tetapi juga belajar tata cara dan prosedur perjalanan yang harus dilakukan saat turun dari rumah menuju tempat berkumpul dengan calon jama’ah haji lainnya. Bahkan ada salah seorang calon haji di kampung kami harus menjebol dinding rumahnya hanya untuk mengikuti arah turun dari rumah yang diperintahkan oleh gurunya. Tapi ternyata di zaman modern ini pun tradisi seperti ini masih ada dengan modus dan prosedur yang sedikit beda. Hal ini kami dengar

Komunikasi Haji: Spiritual & Sosial | 43

dari cerita pelakunya yang berujar bahwa dia turun lebih dulu dari rumahnya karena terikat oleh perintah gurunya tentang jam yang tepat untuk meninggalkan rumah dan harus berputar-putar lingkungan (kompleks) perumahan sebanyak sekian kali kemudian baru menuju kantor walikota Mataram untuk upacara pelepasan.

Ragam tradisi jelang haji menunjukkan betapa pluralnya pemikiran, pemahaman dan keyakinan setiap calon haji terkait dengan pengamalan rukun Islam kelima ini. Semua ritual yang dilakukan tidak ada masalah sepanjang tidak bertentangan dengan esensi ajaran Islam, seperti syirik atau menyerikatkan Allah SWT. Selama tidak bertentangan dengan hal-hal yang esensi dalam Islam maka ritual apapun yang dilakukan calon haji sebelum berangkat sah-sah saja, apalagi bila ritual tersebut berkontribusi bagi terciptanya tatanan sosial yang baik di antara warga. Menyikapi setiap ritual tersebut secara toleran juga menjadi hal penting untuk selalu mewujudkan relasi sosial yang baik yang dilandasi prinsip saling menghargai. Semoga…

Komunikasi Haji: Spiritual & Sosial | 45

CErDaS BErKOMUNIKaSI

aNtarBUDaYa

iBaDaH Haji meRupakan rukun Islam yang kelima setelah syahadat, sholat, zakat, dan puasa. Ibadah yang berisi napak tilas perjalanan suci nabi Ibrahim AS dan keluarganya ini menjadi idaman setiap umat muslim dan muslimat di seluruh penjuru dunia. Keterbatasan tempat yang bisa menampung para tamu Allah SWT di Makkah almuqarramah membuat pemerintah Saudi Arabia membatasi jumlah (kouta) haji dalam setiap tahunnya.

46 | Dr.H. Kadri, M.Si & Hj. Suhadah, M.Si.

Warga muslim Indonesia yang sangat antusias untuk menuaikan rukun Islam terakhir tersebut terpaksa mesti mengantri lama baru dapat melaksanakannya.

Haji tidak hanya ibadah spiritual antara hamba dengan Tuhanya, tetapi juga latihan dan “ibadah” isikdan mental. Napak tilas suci dan religius dalam ibadah haji membutuhkanpertahananisikyangprimakarenabanyakpergerakan dan perjalanan yang harus diikuti. Pertolongan Allah SWT dan keprimaan kondisi isik personal akanmembuat ritual ibadah haji dapat dilakoni secara maksimal. Belum lagi harus berhadapan dan berkontak dengan jama’ah dari berbagai Negara yang memiliki beragam bentukisik.

Haji juga merupakan “jihad” mental-psikologis karena membutuhkan kesabaran di tengah tantangan atau cobaan situasi yang kita hadapi. Cobaan dan tantangan psikis atau mental tidak hanya bersumber dari situasi alam Makkah yang berbeda dengan kondisi di tanah air, tetapi juga berasal dari sikap dan perilaku jama’ah lain, baik yang memiliki hubungan keluarga atau daerah, dan atau Negara dengan kita, maupun yang tidak.

Kompleknya tantangan yang dihadapi setiap orang yang melaksanakan ibadah haji mencerminkan bahwa ibadah haji dalam konteks yang lain dimaknai sebagai muktamar antarbudaya. Berkumpulnya masyarakat muslim dunia dalam satu tempat secara bersamaan merupakan potret pertemuan lintasbudaya, yang di dalamnya berlangsung komunikasi antarbudaya. Bahkan dalam konteks yang lebih mikro, pertemuan setiap jama’ah dengan orang lain (dalam satu regu, rombongan,

Komunikasi Haji: Spiritual & Sosial | 47

dan kloter) merupakan bentuk komunikasi antarbudaya, karena mereka baru ketemu, dengan karakter dan latar budaya yang berbeda-beda. Oleh karena dibutuhkan kearifan personal setiap jamaah haji untuk memahami budaya orang lain selama berinteraksi di tanah Haram agar ibadah suci (ibadah haji) tidak ternoda oleh kegagalan kita dalam berkomunikasi antarbudaya.

Adanya perbedaan sifat dan karakter di antara jama’ah haji yang berkumpul dalam satu situasi dan tempat yang sama mengharuskan untuk menghadirkan sikap saling menghormati dan menghargai di antara mereka. Efektiitas komunikasi antarbudaya antara lainditentukan oleh sejauh mana setiap peserta komunikasi membangun saling memahami. Setiap jama’ah haji idealnya membangun secara bersama irisan kesamaan untuk menjamin terciptanya komunikasi yang efektif atau komunikasi yang mengena. Salah satu prinsip komunikasi yang efektif adalah bila terdapat kesamaan latarbelakang budaya di antara orang berkomunikasi (Mulyana, 2003).

Kesamaan kostum (seperti kain ihram) yang dikenakan jama’ah haji saat wukuf menjadi symbol kesamaan yang bisa diturunkan dalam kesamaan pemahaman dan sikap saat berinteraksi selama pelaksanaan ritual haji. Irisan-irisan kesamaan dalam bentuk simbolik seperti itu dapat diikuti dengan memperbesar irisan kesamaan berbentuk psikis sehingga bisa berkonsekuensi bagi hadirnya kesamaan, kekompakan dalam bertutur dan bersikap selama berada di tanah haram. Komunikasi yang efektif berlangsung mana kala setiap yang terlibat di dalamnya memiliki kesamaan motif, keseiramaan

48 | Dr.H. Kadri, M.Si & Hj. Suhadah, M.Si.

orientasi, dan senasib sepenanggungan. Dalam posisi kesamaan seperti ini, semua jama’ah akan terlebur dalam perasaan yang sama sehingga komunikasi di antara jama’ah berlangsung lebih efektif.

Memaksakan kehendak atau cara serta style personal di tengah keragaman budaya merupakan langkah egois yang berakibat disharmoni dalam komunikasi antarbudaya. Maka tidak heran bila banyak terjadi disharmoni antara orang dekat atau antara jama’ah yang baru ketemu ketika pelaksanaan ibadah haji. Kesamaan selama idabah haji sebaiknya tidak berhenti pada kesamaan niat dan bacaan, tetapi harus dilengkapi dengan kesamaan sikap dan perilaku dalam saling menghargai. Dalam kondisi dan situasi apapun, setiap jama’ah haji dituntut untuk saling memahami. Jama’ah haji adalah kumpulan keluarga baru yang memerlukan saling pengertian tingkat tinggi, agar keharmonisan dalam keluarga yang bernama jama’ah haji tetap terjaga.

Untuk bisa saling memahami diperlukan pengayaan yang dalam akan peran, eksistensi, dan karakter masing-masing. Dalam konteks inilah, konsep taking the role of the other (mengambil peran orang lain) dari Mead (1967) dapat dipinjam untuk modal bagi setiap orang yang terlibat dalam komunikasi antarbudaya seperti dalam perjalanan ibadah haji. Seorang suami harus memahami perasaan istrinya, demikian juga sebaliknya. Para anggota regu atau rombongan harus bisa memahami bagaimana kondisi ketua regu apalagi pimpinan rombongan yang harus membagi waktu dan tenaganya untuk mengurus sekian banyak jama’ah. Sama halnya dengan tuntutan

Komunikasi Haji: Spiritual & Sosial | 49

kepada pimpinan regu dan rombongan atau kloter agar memperhatikan ekspektasi atau permintaan para jama’ah untuk dibimbing atau diurus.

Mengasah kecerdasan berkomunikasi antarbudaya (dalam arti yang lebih luas) menjadi pelajaran lain untuk melengkapi dimensi spiritual dari ibadah haji. Selama berhaji, setiap pelakunya diterpa dengan kondisi multibudaya, sehingga sepulang mengerjakan haji dapat lebih bijak menyikapi setiap perbedaan yang ditemuinya ditanahair.Konlik-konliksosialyangterjadiditanahairantara lain disebabkan oleh ketidakbijakan setiap diri untuk menyikapi perbedaan, sehingga ketegangan antarpersonal berlanjut menjadi konlik sosial yang berefek negatif banyak bagi masyarakat dan daerah. Para haji yang telah terlatih berinteraksi antarbudaya selama di Makkah dan Madinah diharapkan menjadi motor penggerak hidup toleran yang dihiasi dengan nuansa hidup yang inklusif dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Kita berharap agar ada korelasi antara semakin banyak anak bangsa yang berhaji, dengan semakin meningkatnya tingkat kedamaian daninklusiitaskehidupanditanahair.Semoga…

Komunikasi Haji: Spiritual & Sosial | 51

MENJaGa DaN

MEMaNtaPKaN CINta DI taNaH SUCI

niat untuk BeRHaji bersama suami dan istri telah menjadi idaman dan keinginan kami berdua sejak menikah 4 Oktober 1998. Rentang waktu tersebut (1998-2016) kami telah jalani dengan suka dan duka bersama, hingga akhirnya kami dipanggil oleh Allah SWT lewat Kementerian Agama untuk menunaikan ibadah haji pada tahun 2016. Sebagai suami istri tentu pahit manis hidup pasti telah dialami. Tapi cinta di antara kami tidak bisa tergantikan oleh siapapun dan keadaan apapun. Prinsip kami, cinta tidak boleh luntur, tetati harus terus di pupuk agar terus bersemi di dalam diri dan rumah tangga kami.

Momentum ibadah haji wajib yang kami ikuti di tahun 2016 menjadi momentum penting bagi kami berdua untuk memupuk dan memantapkan rasa cinta. Ketika masih ditanah air semua kerabat yang berpengalaman berhaji selalu mengingatkan akan banyaknya cobaan bagi suami istri selama berhaji. Kami terus mencari tahu kenapa cobaan itu ada, dan bagaimana saja modus cobaan tersebut bagi suami istri di tanah haram.

Kami mengkombinasikan antara pendekatan religius dan pengetahuan untuk mengantisipasi terjadinya

52 | Dr.H. Kadri, M.Si & Hj. Suhadah, M.Si.

cobaan yang bagi kami akan menganggu rasa cinta yang telah kami jaga selama ini. Secara religius

kami selalu berdoa kepada Allah agar kami selalu bersama,

kompak, saling p e n g e r t i a n ,

menjaga perasaan dan berbagai

jenis kebersamaan lainnya. Kami

yakin bahwa Allah SWT maha penyayang dan pemberi anugerah kasih sayang pada hambanya. Oleh karena itu permohonan doa seperti ini tidak hanya kami selalu panjatkan ketika masih ditanah air, dan pada saat tiba di Bandara King Abdul Aziz Jeddah. Tetapi, selalu kami doakan di setiap ba’da sholat fardhu kami di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi.

Karena sholat kami harus berpisah tempat, maka kekhawatiran untuk tidak ketemu itu selalu ada. Oleh karena itu kami juga berdoa agar Allah SWT memudahkan kami bertemu setelah sholat fardhu di Masjidil Haram. Jutaan umat Islam yang sholat di Masjidil Haram membutuhkan konsentrasi antara suami dan istri agar bisa bertemu setelah sholat fardhu, apalagi bila kita menyaksikan sudut dan bentuk bangunan yang sama di Masjidil Haram.

Komitmen kami berdua adalah selalu ingin bersama kemanapun. Makan di hotel selalu kami menggelar tikar dan berdua (kadang bersama anggota regu yang lain)

Komunikasi Haji: Spiritual & Sosial | 53

untuk sarapan, lunch dan dinner. Kami mencuci dan menjemur pakaian bersama, ke masjid bersama, pulang danmelakukanaktiitassecaraberdua.Inilahyangselalukami lakukan baik di Makkah maupun di Madinah.

Secara sosial dan komunitas kami membangun komitmen untuk selalu komunikatif, bahkan kami saat ditanah air membuat simulasi atau kemungkinan-kemungkinan miskomunikasi diantara kami. Misalnya bila ada yang memulai marah, wajib bagi yang satunya untuk tidak merespon. dan dengan beristigfar sembari meyakini bahwa sesungguhnya kemarahan itu bukan karena benci sebaliknya justru karena sayang. Simulasi itu rupanya di pertemukan oleh Allah SWT saat masih di Mekkah. Ketika hendak berangkat ke Haram untuk sholat subuh, saya sebagai suami dibangunkan oleh istri karena saya terlelap tidur. Dengan segera saya berwudhu dan keluar kamar untuk bergabung dengan istri yang telah menunggu di luar kamar Hotel.

Setelah saya cerita tentang terlambat tidur karena harus membaca pesan media sosial yang masuk di ponsel saya, membuat istri saya marah. tapi saya merespon dengan istigfar karena saya bersalah untuk begadang hanya untuk urusan duniawi. Cinta bagi kami tidak selamanya di ekspresikan lewat cumbuan, rayuan dan senyum bahagia, tetapi saling mengingatkan walau dibarengi dengan sedikit emosi atau kemarahan (sifat manusiawi). Hal tersebut adalah bentuk lain dari cinta kami berdua. Inilah cinta yang baik yaitu cinta yang saling mengingatkan.

Komunikasi Haji: Spiritual & Sosial | 55

KOMUNIKatIf SELaMa BErHaJI

Tidak salah bila dikatakan bahwa “komunikasi merupakan aktivitas yang tidak pernah terhenti”. Memang seperti itulah harusnya. Kita tidak bisa untuk tidak berkomunikasi (we can’t not communication) karena komunikasi akan terus berlangsung sepanjang hidup di bumi ini masih ada. Komunikasi sebagai alat/media interaksi, tentu keberuntukan nya dapat membantu suksesnya komunikasi yang dilakukan oleh setiap orang. Namun dengan komunikasi juga hubungan bisa broken.

Ibadah haji adalah ajaran yang membutuhkan kemampuan komunikasi yang baik, karena perjalanan

56 | Dr.H. Kadri, M.Si & Hj. Suhadah, M.Si.

ibadah haji yang lebih dari sebulan (bagi ONH Reguler) tidak hanya berhubungan dengan Allah tetapi juga berinteraksi dengan manusia yang lainnya. Sebagai contoh dalam sistem pemondokan atau maktab, jamaah calon haji dikumpulkan dengan banyak jamaah yang lainnya. Dalam satu kamar diisi oleh 4 orang bahkan dalam kondisi tertentu terkadang ditempati 5 orang. Selama bermukim di hotel, interaksi duniawi pasti dilakukan seperti makan, minum, diskusi,danberbagaiaktiitasnonibadahlainnya.Dalamkondisi seperti ini diperlukan adanya komunikasi yang baik agar hubungan diantara jamaah tetap terjaga/berlangsung dengan baik, sehingga tidak mengganggu nilai ibadah haji. Ragam latar belakang jamaah haji membuat banyaknya karakteryangmenyertainya.Bilatidakdiariiataudisikapidengan komunikasi yang baik, dapat berakibat terjadinya miskomunikasi dan terganggunya hubungan di antara jamaah.

Jarak Masjidil Haram yang jauh dengan Hotel tempat kami menginap mengharuskan kita lebih awal mendatanginya. Setiap jamaah memiliki kesibukan dan agenda masing-masing sehingga waktu untuk mendatangi Masjidil Haram berbeda-beda, dan tidak mungkin dipaksakan selalu bersama. Bagi yang hendak berangkat duluan idealnya mengkomunikasikan kepada jamaah yang lain dalam satu kamar. Inilah contoh sederhana cara berinteraksi yang komunikatif diantara jamaah. Bentuk/cara komunikasi yang sama juga dapat diaplikasikan dalam wujud interaksi sosial lainnya selama ibadah haji seperti dalam berkonsumsi, berbelanja dan aktivitas lainnya.

Komunikasi Haji: Spiritual & Sosial | 57

Kami memiliki pengalaman atau pernah merasakan efek dari kurang komunikatifnya kami saat berada di Masjidil Haram. Setelah selesai makan siang kami bergegas menuju halte bis tempat kami menunggu bis shalawat yang akan membawa jama’ah ke Masjidil Haram. Lalu lintas tanah suci yang macet setiap menjelang waktu sholat membuat kami memasuki Masjidil Haram pada “injury time” jelang sholat ashar dimulai.

Kami persis berada di depan pintu 158 sesaat setelah imam bertakbir ihram, sehingga kami tidak sempat janjian akan ketemu dimana setelah selesai sholat, karena harus memburu rakaat pertama. Benar saja, setelah selesai shalat ashar , maghrib dan isya kami tidak ketemu sebab kami tidak punya tempat yang disepakati untuk ketemu. Saya sebagai suami bergerak mencari istri di tempat dekat ka’bah yang merupakan tempat favorit istri saya. Sementara istri tetap memilih tempat di depan pintu 158.

Perjalanan mencari menjadi lama karena ada penutupan jalan dan pengalihan arus menuju Ka’bah. Sementara HP saya tidak diaktifkan karena lowbath. Sehingga kontak dan sms dari istri tidak sampai. Karena waktu sudah jauh malam, istri memutuskan untuk pulang duluan sebab bagian belakang Masjidil Haram agak sepi. Saya baru tenang setelah istri sudah sampai hotel,. Hal ini saya ketahui setelah saya paksa buka HP dan membaca sms istri yang menyatakan kalau sudah ada di hotel.

Ada dua jenis unsur komunikasi yang tidak dipenuhi dalam pengalaman di atas sehingga terjadinya perpisahan di Masjidil Haram. Pertama, tidak ada pesan yang disepakati antara suami dan istri tentang tempat pertemuan. Kedua,

58 | Dr.H. Kadri, M.Si & Hj. Suhadah, M.Si.

tidak berfungsingnya media komunikasi yang dijadikan sebagai sarana komunikasi. Dalam suasana ramai seperti sesaat setelah sholat fardhu di Haram, media seperti HP memiliki fungsi penting untuk berkomunikasi dengan pasangan untuk mengetahui informasi tentang posisi masing-masing.

Komunikasi Haji: Spiritual & Sosial | 59

EfEKtIf MENGatUr WaKtU

kesempatan BeRHaji yang tidak banyak tersedia mengharuskan setiap orang yang mendapat kesempatan untuk menunaikan kewajiban dalam rukun Islam kelima ini harus dimaksimalkan. Dalam konteks inilah pentingnya manajemen waktu selama berada di tanah haram. Manajemen waktu dalam konteks ini dimaknai sebagai upaya maksimal setiap jama’ah calon haji atau jama’ah yang telah berhaji selama berada di Makkah dan Madinah untuk memanfaatkan setiap waktu keberadaannya di tanah haram tersebut dengan aktivitas ibadah dan perbuatan yang bermanfaat lainnya.

60 | Dr.H. Kadri, M.Si & Hj. Suhadah, M.Si.

Ibadah haji merupakan prioritas utama sehingga tidak ada aktivitas atau ibadah apapun selama berada di Makkah yang bisa mengalahkannya atau tak satu pun ibadah atau aktivitas selama di Haramain yang lebih diprioritaskan selain hal ini (rukun, wajib, dan sunat haji). Maka tidak heran bila petugas dan pembimbing haji selalu mengingatkan kepada setiap jama’ah calon haji untuk menjaga kesehatan atau menyimpan tenaga dalam rangka pelaksanaan puncak ibadah haji.

Bagi rombongan jama’ah calon haji gelombang pertama yang mengawali perjalannya untuk berziarah ke Madinah tentu saja diminta untuk tidak habis-habisan melaksanakan ibadah di Madinah sehingga harus mengorbankan tenaganya yang sejatinya tetap disimpan dan diprimakan saat puncak pelaksanaan haji ketika berada di Makkah. Hal yang sama juga dianjurkan kepada jama’ah calon haji gelombang kedua yang berada di Makkah lebih awal. Jangan sampai semangat ibadah dan aktivitas lainnya sebelum hari Arafah, Muzdalifah, dan Mina (Armina) mempengaruhi keprimaan saat mengikuti ritual ibadah di hari puncak haji tersebut.

Sebagai jama’ah calon haji yang baru pertama menunaikannya, kami termasuk di antara banyak jama’ah yang semangat untuk melakukan semua ibadah sunat sebelum haji. Dalam pelaksanaan Umroh misalnya, selalu ada kesempatan untuk melakukannya setiap hari sebelum puncak haji. Tetapi atas pertimbangan menjaga kondisi kesehatan atau mempersiapkan kekuatan tenaga dalam menghadapi hari puncak haji maka kami membatasi

Komunikasi Haji: Spiritual & Sosial | 61

pelaksanaannya selama beberapa kali saja dan disesuaikan dengan kondisi tenaga yang kami miliki.

Meskipun kosentrasi tetap tertuju pada puncak pelaksanaan ibadah haji, tetapi menentukan prioritas aktivitas sebelum dan sesudah hal tersebut (haji) juga penting. Kriteria prioritas tetap dihitung tingkat pahala yang akan diperoleh. Sholat berjamaah di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi menjadi aktivitas ibadah yang tidak pernah ditinggal. Sebagai contoh komitmen untuk terus sholat berjama’ah di Masjidil Haram, kami mengatur waktu yang lebih efektif sehingga kami bisa maksimal beribadah.

Setelah bangun dini hari untuk pergi sholat Subuh di Masjidil Haram, kami kembali ke hotel untuk istirahat dan menyelesaikan urusan duniawi lainnya. Sebelum Dhuhur sudah harus bergegas ke Haram kembali (dan pada umumnya) hingga sholat Ashar selesai. Beberapa kali bahkan kami beri’tiqaf di Masjidil Haram hingga ba’da sholatIsya’.Untuktetapmenjagakondisiisiktetapprima,kami terkadang membawa bekal makanan ringan dari hotel, tetapi acap kali juga kami keluar dari Masjid untuk mencari dan membeli makanan yang banyak tersedia di luar area Masjidil Haram.

Konsistensi kami untuk tetap istiqomah mengerjakan sholat wajib berjama’ah di Masjidil Haram mengharuskan kami untuk meninggalkan urusan yang lainnya di hotel. Beberapa pengalaman kami selama berada di Makkah membuktikan betapa komitmen untuk tetap berjama’ah di Haram benar-benar kami lakukan.

62 | Dr.H. Kadri, M.Si & Hj. Suhadah, M.Si.

Pada hari kesembilan di Makkah (1 September 2016). Kami berdua telah mengagendakan untuk berada di Masjidil Haram sejak sebelum Dhuhur hingga ba’da Ashar kemudian merencanakan balik ke hotel sambil menunggu waktu Magrib. Setelah sholat Ashar kami lakukan, kami kembali ke Hotel dengan bis nomor 7.

Suasana kota Makkah yang makin padat menjelang puncak ibadah haji membuat lalulintas di semua jalan yang ada di tanah haram tersebut macet. Bayangkan, jarak antara Masjidil Haram dengan Hotel Najrah yang hanya sekira 4 – 5 KM, harus kami tempuh selama lebih dari dua jam. Sejak kami naik bis ba’da sholat Ashar, kami baru nyampe di kawasan hotel menjelang Magrib. Kondisi inilah yang membuat kami memutuskan untuk tidak turun dari bis (tidak mampir di Hotel) dan melanjutkan kembali perjalanan ke Masjidil Haram.

Setiap moment dan tempat di Makkah dan Madinah memiliki nilai sejarah, dan sangat rugi bila tidak dimanfaatkan untuk berziarah atau mendatanginya. Namun untuk mewujudkan hal tersebut (ziarah) membutuhkan waktu tersendiri agar bisa maksimal. Membagi waktu ziara dengan ibadah wajib seperti sholat fardhu membutuhkan kemampuan untuk mengambil keputusan yang tepat. Bila tidak maka kita akan kehabisan waktu pada saat yang tidak tepat sehingga berakibat bagi tidak terkejarnya sholat wajib di Masjidil Haram dan Nabawi yang jumlah pahalanya dilipatgandakan oleh Allah SWT.

Manajemen waktu selama pelaksanaan ibadah haji tidak hanya dalam mengatur agenda personal tetapi

Komunikasi Haji: Spiritual & Sosial | 63

juga diperlukan saat agenda kelompok. Singkatnya waktu perjalanan ziarah bersama rombongan dengan satu bis membuat pemandu perjalanan mengatur waktu sedemikian rupa agar perjalanan lebih efektif.

Sering kali perjalanan molor akibat ketidaktaatan beberapa anggota rombongan terhadap waktu yang sudah disepakati. Setiap program ziarah yang dilakukan bersama rombongan dengan menggunakan bis selalu saja ada di antara anggota rombongan yang tidak bisa memenej waktu dengan sebaiknya. Sebagai contoh, meski pimpinan rombongan memberikan waktu sekira 20 menit untuk berziarah dan berbelanja pada satu tempat yang dikunjungi, selalu saja ada di antara anggota rombongan yang terlambat sehingga berakibat pada keterlambatan seluruh rombongan untuk melanjutkan perjalanan pada tempat ziarah berikutnya.

Komunikasi Haji: Spiritual & Sosial | 65

NIKMatNYa BErBaGI

DI taNaH SUCI

nuansa peRsauDaRaan sesama umat Islam di tanah Haram (Makkah dan Madinah) antara lain dapat terlihat lewat aktivitas saling membagi di antara umat Islam antar Negara yang menjadi tamu Allah SWT di Tanah Haram. Semua tamu Allah SWT sangat yakin bila setiap amal di Tanah Haram selalu bernilai lebih banyak pahalanya. Tidak susah menyaksikan suasana berbagi di Tanah Haram (Makkah) karena hampir setiap sudut dan bagian luar Masjidil Haram selalu terlihat. Perjalanan dari terminal Shaab Amir menuju Masjidil Haram pada setiap sebelum dan sesudah sholat Fardhu di penuhi para pengemis (hampir semua berkulit hitam) dengan berbagai jenis keterbatasan isik.Para jamaah haji membagi recehan riyal yang dimilikinya kepada mereka. Sedekah juga diberikan pada Cleaning Service yang bertugas disepanjang jalan di pelataran Masjidil Haram.

Cara berbagi tidak hanya dalam bentuk uang, kebanyakan tradisi berbagi dalam wujud barang, makanan dan minuman dan hingga hal-hal yang bersifat pinjaman. Ketika kami mendapat bergiliran untuk sholat di pelataran lingkar Ka’bah Baitullah beberapa kali kami mendapatkan

66 | Dr.H. Kadri, M.Si & Hj. Suhadah, M.Si.

atau kebagian olesan parfum dari jamaah Timur Tengah yang berbaik hati dan ikhlas untuk menawarkan pada jamaah lain untuk bersedia oleskan parfum pada tangannya.

Pada moment yang lain juga acap kali tersaksikan para dermawan di Masjidil Haram maupun di Masjid Nabawi berbagi. Cara berbagi yang paling sederhana adalah berbagi sajadah dengan cara merentangkan secara bershaf sajadah yang kita punya kepada jamaah yang tidak membawa sajadah. Inilah contoh membagi yang sederhana. Kami merasakan langsung betapa senangnya mendapat pelayanan membagi seperti ini

Membagi dalam bentuk snack atau makanan ringan juga sering sekali terlihat di Tanah Haram. Jangan heran bila ada orang yang berbagi sebiji kurma atau segelas air zam-zam atau menyodorkan sepotong biscuit kepada kita sembari menyatakan “halal”. Ini bentuknya sederhana tapi sangat mudah dan penuh kekeluargaan terlihat apalagi dilakoni. Rasa persaudaraan dan kebersamaan sangat terlihat. Sebiji kurma, sepotong roti atau biscuit, segelas air zam-zam memang tidak seberapa, tetapi keiklasan yang membagi dan kesenangan yang menerima membuat cara membagi dan menerima seperti ini terlihat indah di bawah nuansa persaudaraan yang kental.

Oleh karena itu direkomendasikan setiap kita yang menjumpai fenomena ini untuk dengan senang menerima pemberian dari saudara kita yang muslim karena dengan menerima sudah menunjukkan kesenangan, dan kesenangan itulah yang membuat pemberi juga senang. Sangat bagus lagi bila kita juga mengambil bagian sebagai

Komunikasi Haji: Spiritual & Sosial | 67

pemberi walau dalam bentuk sesederhana apapun. Nuansa berbagi lebih semarak lagi di Madinah. Adalah sesuatu yang menyenangkan menerima secangkir kopi Arab saat suasana dingin ba’da sholat Subuh di halaman Masjid Nabawi. Menjadi kesempatan yang menggembirakan bila kita berada dalam antrian untuk menerima nasi dan snack dari dermawan yang selalu tersedia ba’da zhuhur dan isya di luar pagar Masjid Nabawi. Jangan pernah merasa gengsi dengan pemberian ini. Kita nikmati saja, karena kita telah membantu sang dermawan penyedia sedekah untuk menerima pemberiannya.

Tanpa bermaksud untuk ria, kami telah mencoba membagi beberapa kali dalam bentuk yang beragam, seperti membagi sajadah untuk tempat sujud, membagi air zam-zam, menyemprot air saat thawaf di tengah terik matahari Makkah, membagi beberapa biji kurma, beberapa potong kue dan tentu saja bersedekah beberapa Riyal secara berulang-ulang. Atau paling tidak kita memberi kesempatan pada lansia atau perempuan untuk duduk di Bis Shalawat. Sungguh kita rasakan betapa nikmatnya di saat kita bisa berbagi di Tanah Haram.

Tradisi membagi yang terlihat di luar dan di dalam Masidil haram dan nabawi merupakan fenomena simbolik yang menunjukkan kebersamaan umat. Fenomena ini melengkapi suasaana kebersamaan lainnya seperti saat Shalaat Fardhu, Thawaf, Sa’i, Wukuf dan Melontar Jumrah. Betapa maju dan berkembangnya umat Islam di dunia bila para jama’ah haji mempraktekkan hal yang sama ketika mereka pulang ke negara masing-masing. Semoga....

Komunikasi Haji: Spiritual & Sosial | 69

INDaHNYa

KEBErSaMaaN KELOMPOK

Dalam pRosesi ibadah haji kental di dalamnya kerja kelompok. Apalagi Pemerintah sebagai regulator ibadah haji di tanah air telah mendesain dalam satu kelompok terbang (kloter) ada beberapa rombongan yang di dalamnya juga ada lebih dari satu regu. Biasanya kerja sama kelompok lebih terlihar dalam regu karena menjadi unit erkecil dari kelompok yang ada.

Kami bersyukur berada dalam kelompok 29 dari rombongan 8 yang tergabung dalam kelompok terbang (kloter) 02 Embarkasi Lombok. Kami bersyukur karena bisa bersama dengan orang-orang yang kompak dan penuh kebersamaan. Lima pasang suami istri dan dua bapak yang (tanpa membawa istri) dengan latar beragam menjadikan kelompok kami terlihat heterogen. Kesamaan kompleks tempat tinggal (Griya Pagutan Indah Mataram) salah satu yang menjadi kesamaan diantara kami.

Kebersamaan mulai terjalin ketika masih di tanah air, terutama saat manasik haji dan persiapan pemberangkatan. Ketua regu (H. Dwi) yang sudah pengalaman melaksanakan ibadah haji tahun sebelumnya telah banyak membantu untuk memberikan pemahaman awal kepada kami tentang

70 | Dr.H. Kadri, M.Si & Hj. Suhadah, M.Si.

hal-hal yang tekhnis dalam pelaksanaan ibadah haji. Kami rapat dan manasik regu di rumah pak Zumri yang besar dan asri sebanyak tiga kali. Pada pertemuan inilah Pak Dwi menshare banyak informasi yang bermanfaat untuk persiapan. Pertemuan terlihat penuh kekeluargaan dan bernuansa akademis. Ya…paling tidak dilihat dari media presentasi (power point/LCD) yang digunakan.

Kebersamaan selanjutnya terjadi kala masing-masing menggelar doa/tasyakuran dengan saling mengundang dan dilanjutkan dengan koordinasi terkait peking koper dan simbol-simbol yang melekat di luar koper seperti sablon, nomor regu, foto dan pita ungu. Kami sangat berterima kasih pada Pak H. Dwi yang sangat pro aktif menyiapkan ini semua. Bahkan kami terkadang merasa malu saat beberapa kali Pak Ketua Regu harus menjemput data, dan mengantarkan ke rumah.

Kebersamaan yang kami rajut sejak di tanah air terus berlanjut ketika sudah sampai di pesawat dan hingga turun di Bandara King Abdul Aziz Jeddah. Kekompakan yang sama kami lakukan ketika sudah di hotel Najrah Mekkah. Makanan-makanan yang dibawa dari rumah dikumpulkan menjadi satu di setiap kamar dan dijadikan sebagai makanan bersama. Kebutuhan-kebutuhan makanan dan perlengkapan yang belum ada dibeli dengan uang regu/kelompok yang dikumpulkan sebelumnya.

Kebersamaan yang paling rutin dilakukan adalah makan bersama (begibung) di lorong hotel (depan kamar anggota regu 29). Makan bersama ini terutama bagi anggota yang pada saat makan ada di kamar. Lima ibu-ibu tangguh yang ada di kelompok/ regu 29 adalah para tukang masak

Komunikasi Haji: Spiritual & Sosial | 71

dan penyedia makanan yang enak di samping makanan yang disediakan Pemerintah. Kebersamaan dalam bentuk begibung ini terutama ketika 8 hari tanpa suplai makanan/nasi dari Pemerintah. Ibu –ibu membagi tugas masak dan belanja dengan penuh kekompakan sehingga makanan terasa enak.

Dalam beribadah Umrah juga kelompok kami tunjukkan kekompakan, paling tidak pada saat program umrah bersama anggota regu. Star dari terminal Syib Amir dengan membeli tiket bis jurusan Tan’im tempat ambil Miqat. Semua biaya perjalanan menggunakan dana kelompok yang dikoordinir oleh bendahara kelompok (Pak H. Slamet Mawardi). Menjelang hari Armina (Arafah, Muzdalifah dan Mina) anggota kelompok kami menunjukan kekompakan dalam bentuk saling cukur. Pak H. Amir yang juga anggota regu sekaligus sebagai Ketua Rombongan 8 membeli alat cukur seharga 30 real. Alat inilah yang digunakan oleh anggota kelompok untuk mencukur rambut. H. Dwi rupanya memiliki talenta dalam hal potong rambut.

Namun kebersamaan tidak serta merta diperlihatkan dengan keseragaman dalam memilih cara beribadah.

72 | Dr.H. Kadri, M.Si & Hj. Suhadah, M.Si.

Misalnya dalam menentukan Nafar Awal dan Nafar Tsani dalam prosesi haji (mengahiri lontaran tanggal 12 dan 13 Dzulhijjah), diantara anggota kelompok kami ada dua pilihan. Namun apapun pilihan tetap dikomunikasikan dan dibicarakan di internal kelompok/regu. Inilah hakekat kebersamaan dan kekompakan dengan terus berkomunikasi dan saling menghargai tentang apapun, tanpa melihat hasil akhir yang menjadi ruang pilihan personal.

Kebersamaan bisa terwujud karena adanya rasa pengertian dan saling menghargai. Setiap diri pasti memiliki karakter tersendiri. Hal ini menjadi kekayaan personalyangmestidiariiolehyanglain.Setiapdiritidakboleh hanya menuntut untuk dipahami oleh orang lain tetapi juga harus bersedia untuk memahami orang lain. Kita harus mampu hadir dalam diri orang lain sembari mengambil perannya (taking the role of the others) sehinga kita selalu bijak memahami setiap perilakunya.

Komunikasi Haji: Spiritual & Sosial | 73

PErBEDaaN PENDaPat

YaNG tIDaK BISa DIHINDarI

Banyak oRang dan ragam karakter serta multi pemikiran yang terlibat selama pelaksanaan ibadah haji menjadi potensi yang berkontribusi menghadirkan perdebatan di antara jamaah. Konten yang diperdebatkan pun beragam mulai dari hal-hal yang tekhnis hingga persoalan ibadah. Bahkan tidak jarang debat menimbukan emosi yang berlebih pada peserta debat yang tidak bisa mengendalikan emosinya. Debat yang tidak terhindarkan seputar pelaksanaan ibadah haji mengharuskan setiap orang yang terlibat di dalamnya lebih arif dan saling menghargai.

Debat dimulai dalam pesawat terutama saat Ketua Kloter menginformasikan persiapan yang harus dilakukan sebelum mendarat di Bandara King Abdul Aziz Jeddah. Ragam reaksi jamaah (terutama yang tergolong kritis). Jamaah kritis ini begitu reaktif ketika ketua kloter mengingatkan kepada setiap jamaah untuk mengumpulkan uang masing-masing 50 real untuk keperluan “service” petugas porter dan sopir bis yang akan mengantar jamaah haji ke hotel. Ada yang setuju dan banyak juga yang tidak sependapat dengan permintaan itu. Yang tidak setuju pun banyak yang memberi komentar seperti “terlalu banyak”,

74 | Dr.H. Kadri, M.Si & Hj. Suhadah, M.Si.

“jangan ajak kita menyogok dalam hal ibadah”. Jamaah yang bijak menyarankan agar urusan ini diserahkan ke masing-masing rombongan. Usulan bijak ini rupanya mampu menyudahi perbedaan pendapat di dalam kabin pesawat.

Setelah berada di atas bis yang menuju hotel, perbedaan pendapat muncul lagi; antara memberikan uang awal kepada sopir atau tidak perlu diberikan, atau diberikan setelah sampai hotel di Makkah. Setelah bis berjalan kurang dari 30 menit, tiba-tiba bis berjalan tersendat-sendat dan sedikit ada gesekan yang disusul oleh suara pukulan body bis oleh salah seorang di jalan raya. Bagi yang belum tau tentang peristiwa ini memaknainya dengan polos, dan mengira hal tersebut adalah insiden tak terduga di jalan raya. Tapi bagi yang sudah paham (lewat cerita jamaah haji sebelumnya) tidak kaget dengan fenomena ini dan langsung memprediksi bahwa insiden ini adalah trik sang sopir untuk meminta uang pada penumpang.

Ketua rombongan 8 yang sangat paham dengan trik ini, langsung memberikan penalangan terlebih dahulu dengan uang yang dimilikinya dan menempelkan secara langsung pada tangan pak sopir. Iya benar, dalam hitungan detik bis langsung bergerak “apa kata saya, kan sudah saya ingatkan agar diberikan saja uang itu sejak awal ke sopir, agar tidak terjadi yang gini-gini ini”. Demikian ungkap salah seorang jamaah yang merasa usulannya benar.

Perbedaan pendapat tentang hal ibadah pun tidak jarang terjadi dalam menentukan cara menjama’ atau mengkasar sholat. Ketika berada di Arafah misalnya, paling tidak ada dua kelompok pemikiran; ada beberapa

Komunikasi Haji: Spiritual & Sosial | 75

jamaah yang tidak ingin sholatnya dijama’ dengan alasan keberadaannya di Arafah masih satu hari lagi baru memasuki ritual wukuf (karena jamaah haji Indonesia terutama kloter kami diangkut ke Arafah jam 11.00 tanggal 8 Dzulhijjah).

Bahkan sebelum beranjak ke Arafah pagi itu sudah ada debat tentang prosedur; apakah harus langsung ke Arafah atau mesti mabit terlebih dahulu di Mina (tarwiyah) tanggal 8 Dzulhijjah, sebelum masuk/menuju Arafah ba’da subuh tanggal 9 Dzulhijjah. Pemerintah memang menganjurkan seluruh jamaah haji Indonesia langsung diangkut ke Arafah. Pertimbangan tekhnis, keselamatan (maslahah) lagi-lagi kental terlihat dalam kebijakan ini.

Jumlah jamaah calon haji Indonesia yang sangat banyak, memang diprediksi akan sulit diorganisir bila harus mampir/mabit di Mina sebelum ke Arafah. Namun Pemerintah terlihat demokratis dengan memberikan kesempatan bagi jamaah yang ingin tarwiyah dengan syarat melapor atau menginformasikan ke petugas haji Indonesia di Mekkah atau lewat ketua kloter dan resiko ditanggung sendiri oleh jamaah.

Perbedaan pendapat yang lebih seru lagi ketika memasuki Mina dan melewati Muzdalifah. Bagi jamaah yang sangat paham tentang manasik haji dan sangat idealis memaknai eksistensi tempat-tempat yang menjadi wilayah ritual haji, pasti terlibat dalam debat-debat terkait dengan keberadaan Musdalifah, Mina dan Mina Jadid. Kegaduhan awal dimulai saat bis yang mengangkut kami dari Arafah menuju Musdalifah. Mobil tidak berhenti di Musdalifah. Para jamaah berulangkali mengingatkan pada sopir untuk

76 | Dr.H. Kadri, M.Si & Hj. Suhadah, M.Si.

berhenti, tetapi terus saja sang sopir menginjak pedal gas bis yang dikendarainnya. Keresahan jamaah yang marah dan kritis makin menjadi di saat sepanjang Muzdalifah melihat para jamaah haji lainnya berjejer duduk sepanjang Muzdalifah mabit dan mengambil batu.

Setelah bis berhenti dan dipersilahkan seluruh penumpang turun, pertanyaan muncul lagi; apakah tempat ini Muzdalifah atau Mina?. Saya terus mencari tau keberadaan tempat ini, saya bertanya awal pada petugas haji Arab Saudi dengan bahasa Arab yang amburadul. Sang petugas rupanya paham maksud saya yang mempertanyakan nama tempat ini. Dengan cekatan petugas tersebut menjawab bahwa tempat ini Muzdalifah juga Mina. Jawaban ini membuat saya lebih bingung, karena saya harus bisa menentukan tempat agar saya bisa merunut prosesi ibadah haji yang saya lakukan. Dalam buku yang saya baca, diajarkan bahwa setelah dari Arafah harus mabit di Muzdalifah sampai lewat tengah malam sambil memungut batu setelah itu baru masuk Mina.

Bila tempat ini adalah Muzdalifah, maka jam 12 lewat saya harus bergerak/berpindah menuju Mina. Dan bila tempat ini adalah Mina maka saya harus memastikan sebelum jam 12 malam saya harus kembali dulu ke Muzdalifah. Di tengah kebingungan inilah, saya berusaha lagi mencari informasi. Saat hiruk pikuk jamaah haji mencari tempat menginap, saya bertemu Ketua Kloter LOP 08 (Pak Sauqi). dan mengatakan ke saya bahwa “malam ini tempat ini menjadi Muzdalifah dan besok dini hari dan seterusnya akan berubah menjadi Mina Jadid”. Jawaban ketua kloter Ini membuat saya bingung.

Komunikasi Haji: Spiritual & Sosial | 77

Ketidakjelasan inilah yang membuat banyak jamaah haji yang enggan menginap di Maktab yang sudah di sediakan oleh Pemerintah.

Sebagian jamaah haji menganggap tenda yang oleh Pemerintah disebut “Mina Jadid” diklaim sebagai Muzdalifah sehingga lewat tengah malam mereka bergerak menuju Mina untuk Mabit di area-area luar pondok atau tenda resmi yang dibangun. Sebagian lainnya tetap mengikuti anjuran Maktab untuk tetap di Mina Jadid. Akhirnya, dalam menyikapi perbedaan situasi yang kita temui di lapangan dengan konsep manasik yang diajarkan, memerlukan tafsiran dan keputusan berbasis pengetahuan dan keyakinan. Banyak cara yang telah dicontohkan para jamaah dalam menyikapi kondisi yang “debatebel” seperti ini misalnya: Ada yang tetap menerima kondisi seperti apa adanya, karena mereka yakin bahwa apa yang telah diatur oleh Pemerintah diyakini benar dan sudah dipertimbangkan dalam berbagai segi. Ini adalah bentuk ketaatan pada Pemimpin dan menyerahkan sepenuhnya termasuk bila salah akan ditanggung oleh pemimpin. Jadi mereka tetap berada di tenda dan menjadikan tenda di Mina Jadid sebagai Muzdalifah pada tanggal 9 Dzulhijjah dan dirubah fungsi dan tempatnya sebagai Mina pada tanggal 10-13 Dzulhijjah.

Sebagian jamaah ada yang mengklaim tempat tersebut (tenda di Mina Jadid) sebagai Muzdalifah dan, mereka bergerak untuk mabit di Mina asli setelah lewat tengah malam dan terus berada di Mina hingga tanggal 12-13 Dzulhijjah. Ada juga yang tetap di tenda Mina Jadid sampai sebelum Maghrib hingga lewat tengah malam

78 | Dr.H. Kadri, M.Si & Hj. Suhadah, M.Si.

masuk di Mina asli. Sebelum kembali lagi ke tenda Mina Jadid.

Perbedaan memang susah untuk dihindari, apalagi melibatkan pemahaman masing-masing. Semua harus dikembalikan pada keyakinan setiap diri, tanpa harus memaksakan kehendak atau pendapat kita pada orang lain. Prinsip saling menghargai mesti dikedepankan agar kita tidak menuduh (apalagi) mengejek yang lain. Bisa dibayangkan bagaimana hiruk-pikuk debat bila masing-masing menghina dan mengejek pendapat yang lain. Suasana ini sangat tidak diharapkan ditengah pelaksanaan ibadah haji. Berjalanlah dengan pendapat dan keyakinan kita sendiri karena hal ini adalah urusan kita dengan Allah SWT.

Komunikasi Haji: Spiritual & Sosial | 79

MaNaJEMEN KONSUMSI

DI HaraMaIN

seBagai makHluk biologis setiap orang pasti membutuhkan asupan makanan. Ibadah haji membutuhkan tenaga ekstrakarena ibadah ini adalah juga ibadahisikdenganmedan dan situasi yang cukup menantang. Maktab atau tempat penginapan (hotel) yang jauh dari masjidil Haram mengharuskan setiap jama’ah untuk menggunakan (naik turun) bis serta berjalan dari terminal bis menuju masjidil Haram. Pelaksanaan ibadah umrah dengan ritual panjang membutuhkan tenaga yang kuat untuk menyelesaikannya mulai dari mengambil miqad di luar kota Mekah (seperti Tan’in), thawaf, dan sa’i. Tenaga juga dibutuhkan kala hari Armina (saat wukuf, mabit di Mina, dan melontar jumrah). Semuanya merupakan ibadah yang memerlukan kekuatan isikagarkitabisamaksimalmelaksanakannya.

Untukbisamengikutisetiapritualisikibadahhajimaka diperlukan isik yang prima lewat mengkonsumsimakanan yang sehat dan menyehatkan. Setiap orang memiliki tradisi yang berbeda dalam mengkonsumsi makanan. Tetapi esensinya ada pada konteks sehat. Artinya apapun jenis makanan yang dikonsumsi yang penting sehat dan halal. Kami (penulis) bukan ahli gizi, topic tentang

80 | Dr.H. Kadri, M.Si & Hj. Suhadah, M.Si.

“manajemen konsumsi” ini hanya berisi pengalaman yang kami pernah rasakan selama menjalani ritul ibadah haji.

Ketika kami masih di tanah air (sebelum berangkat haji) beberapa kolega yang telah memiliki pengalaman menjalankan ibadah haji membagi cerita dan tips terkait dengan makanan atau cara berkonsumsi selama berada di tanah haram. Semua saran mereka kami praktekkan saat berhaji seperti ketika baru mendarat (turun dari pesawat) di Bandar Udara Internasional King Abdul Aziz, kami berdo’a dan memohon kepada Allah SWT agar diberikan kemudahan dan keselamatan selama menjalankan ibadah haji serta jadikan semua yang kami makan selama di dalamnya (haramain) menjadi enak dan berbekah.

Do’a seperti di atas kami amalkan dan kami lanjutkan dengan menyukuri setiap makanan apapun yang disuguhkan selama berada di Haramain. Menyukuri setiap makanan tidak cukup dengan berujar “Alhamdulillah wa syukurillah” tetapi juga kami barengi dengan ungkapan (dalam hati) bahwa “makanan ini sangat enak dan akan saya habiskan”. Amalan seperti ini terus kami praktekkan setiap menjumpai makanan yang diantar oleh petugas haji atau setiap makanan yang kami beli di Haramain. Alhamdulillah dengan praktek seperti ini kami tidak pernah memiliki pantangan apapun untuk dimakan dan selalu kami menghabisinya (tidak mubazir).

Keyakinan kami akan do’a dan kekuatan semangat dan motivasi yang kami bangun sendiri dalam diri telah membuat kami tidak mengalami kesulitan apapun dalam mencicipi makanan. Semua makanan kami rasakan enak dan tidak pernah kami keluhkan apalagi mencelanya.

Komunikasi Haji: Spiritual & Sosial | 81

Rupanya selera terhadap sesuatu seperti makanan dipengaruhi oleh semangat atau spirit atau motivasi dari setiap individu.

Beberapa kawan yang kami ketahui memiliki persoalan dengan makanan di tanah haram. Di antara mereka bahkan mengeluh begitu melihat makanan yang disediakan. Keluhan tersebut telah membuat nafsu makan mereka tidak ada sehingga makanan yang disuguhkan menjadi mubazir. Kekurangan asupan makanan dalam tubuh membuat mereka lemah dan rentan dengan serangan berbagai penyakit. Terkadang bagi yang tidak memiliki selera makan menggantinya dengan menkonsumsi mie instan. Hal ini juga berkontribusi bagi kurang kuatnya isikjama’ahhaji,apalagipadasaatyangbersamaansetiapjama’ah haji harus mengeluarkan tenaga untuk beribadah dan berinteraksi dengan umat dari semua Negara yang ada di masjidil Haram dan Nabawi. Air Conditional (AC) dan kipas angin yang dingin di kedua masjid tersebut juga menjadi tantangan tersendiri bagi setiap jama’ah yang tidak tahan dengan suhu dingin. Akumulasi dari kondisi ini semua yang kami lihat sebagai penyebab timbulnya berbagai cobaan sakit pada setiap jama’ah.

Karena kami sadar bahwa ibadah haji membutuhkan tenaga ekstra maka sejak dari tanah air kami menyiapkan suplemen berupa tablet multivitamin agar daya tahan dan kondisi tubuh kami tetap prima. Di samping itu, kami juga berkonsultasi dengan dokter untuk melengkapi informasi yang kami ketahui dari berbagai sumber tentang jenis makanan yang dianjurkan untuk dimakan agar daya tahan tubuh kuat selama menjalani ritual ibadah haji

82 | Dr.H. Kadri, M.Si & Hj. Suhadah, M.Si.

di tanah haram yang sangat panas. Alhamdulillah kami selalu mendapatkan kesehatan yang baik selama berada di tanah haram, walaupun sesekali terserang lu namuntidak sampai pada sakit serius yang membuat kami harus meninggalkan sholat berjama’ah di masjidil Haram dan masjid Nabawi.

K a m i termasuk anggota jama’ah yang bisa bersyukur karena kami satu regu dengan anggota jama’ah (ibu-ibu) yang kreatif dalam m e n y a i p k a n m a k a n a n . Dengan bahan makanan yang

dibawa dari tanah air dan juga bahan makanan yang dibeli di toko yang

ada di putaran hotel, ibu-ibu kreatif bisa meraciknya menjadi menu makanan yang sangat enak sehingga selera makan pun tidak pernah surut. Namun yang lebih penting lagi adalah semangat makan yang terus terjaga dipengaruhi oleh kebersamaan yang selalu kami tunjukkan dalam berbagai hal (termasuk dalam menyiapkan dan makan bersama). Sharing makanan dari masing-masing yang dimiliki dan juga urunan uang untuk membeli makanan bersama merupakan cara kami untuk menjaga

Komunikasi Haji: Spiritual & Sosial | 83

kekompakan sekaligus membuat selera makan menjadi meningkat.

Cerita pengalaman di atas menunjukkan bahwa persoalan makan dan minum tidak sekedar masalah kesehatan tetapi yang jauh lebih penting di dalamnya adalah dengan melibatkan aspek spiritual. Oleh karena itu setiap akan memulai makan dan selesai makan dianjurkan oleh Agama Islam untuk berdo’a. Kesehatan atau nikmat sehat yang diperoleh setiap jama’ah haji disebabkan oleh berkah makanan yang dikonsumsinya yang telah diawali dan diakhiri dengan do’a. Makanan dan cara kita mengkonsumsinya merupakan media komunikasi dan membangun silaturrahim. Dalam konteks inilah makanan berdimensi sosial.

Komunikasi Haji: Spiritual & Sosial | 85

KOMUNIKaSI NONVErBaL

YaNG SaNGat MEMBaNtU

pelaksanaan iBaDaH haji memiliki waktu dan tempat tertentu, sehingga kosentrasi setiap jamaah calon haji pada waktu tersebut tidak bisa dielakkan kehadirannya. Keberadaan umat Islam sedunia di Tanah Haram tidak hanya saat hari-hari haji, tapi sebelum dan sesudahnya. Mereka diberi kesempatan untuk melakukan ibadah-ibadah lainnya. Artinya kenyataan ini memungkinkan semua umat islam sedunia berada di tempat dan waktu yang sama dalam hitungan hari yang lebih banyak (minimal satu bulan). Iinteraksi yang paling sering terjadi di dalam Masjidil Haram dan Masjid Nabawi sebelum dan sesudah sholat, saat ini biasanya menjadi waktu yang sering dilakukan interaksi lintas negara walau di luar masjid (seperti di jalan). Terkadang interaksi tersebut sesekali terjadi atas tuntutan situasi atau inisiatif dari setiap orang.

Haji yang merupakan moment berkumpulnya warga muslim dunia dengan berbagai bahasa masing-masing mengharuskan diterapkannya atau digunakannya simbol non verbal untuk menjamin komunikasi di antara para jamaah haji tetap berlangsung. Memanggil, mengarahkan dan memerintahkan dengan isyarat tangan adalah symbol

86 | Dr.H. Kadri, M.Si & Hj. Suhadah, M.Si.

non verbal yang sangat sering digunakan, terutama ketika menjelang sholat fardhu di Masjidil Haram dan juga di Masjid Nabawi.

Kami selalu berusah pro aktif untuk berkomunikasi dengan jamaah dari Negara lain yang duduk di samping kami saat menjelang dan sesudah sholat. Kami berusaha untuk berkenalan dengan pertanyaan-pertanyaan standar dalam Bahasa Inggris atau menggunakan Bahasa Arab bila ada jamaah yang tidak bisa berbahasa Inggris. Atau ketika kami menawarkan makanan pada seseorang cukup dengan menyodorkannya, dan dengan mudah kami mengetahui respon mereka; apakah mau atau tidak.

Pengalaman ibu Suhadah berinteraksi dengan jamaah haji

perempuan seringkali menyertakan bahasa

non verbal saat berkomunikasi. “saya biasanya berada di Masjidil Haram mulai

dari waktu Ashar hingga waktu Isya, ketika berada di tempat sholat perempuan saya sering berinteraksi dengan jamaah haji dari Turki, Bangladesh, Pakistan, dan beberapa jamaah dari Timur Tengah. “ pada saat saya ingin merentangkan kaki ke depan secara etika saya memohon ijin kepada jamaah yang ada di sebelah kanan dan kiri saya, pada saat itulah jamaah dari Bangladesh memijit kaki saya. Dengan menggunakan bahasa non verbal jamaah dari Bangladesh itu menunjuk Ka’bah sambil memutar-mutar

Komunikasi Haji: Spiritual & Sosial | 87

tangannya yang maknanya kenapa saya merentangkan kaki karena capek thawaf selama 7 kali, langsung saya menganggukan kepala pertanda benar apa yang diprediksi olehnya”

Bahasa non verbal juga sering kali dipakai pada interaksi jual beli. Meskipun pedagang-pedagang dari Arab Saudi (Makkah dan Madinah) bisa dan paham Bahasa Indonesia yang standar dalam hal jual beli, tetapi sering kali orang-orang Indonesia menguatkan penawaran atau pesan lainnya dengan simbol-simbol non verbal seperti mengangkat sejumlah jari tangan sesuai dengan jumlah angka yang ingin disampaikan.

Pada hari kelima di Madinah tepatnya ketika berdzikir dan I’tikaf di Masjid Nabawi antara waktu Maghrib dan waktu Isya, saya berkenalan dengan bapak Abdullah dari Turki. Kami ngobrol lebih kurang setengah jam, Pak Abdullah tidak bisa berbahasa Inggris dia hanya bisa bahasa Turki dan bahasa Arab. Oleh karena itu praktis komunikasi kami lebih banyak menggunakan isyarat (nonverbal) dicampur dengan bahasa Arab yang setengah-setengah dari saya.

Ketika hendak menyampaikan sesuatu, kami terkadang mengambil kertas dan pulpen kemudian menggambarkannya dalam bentuk gambar (kebetulan saya membawa ballpoint dan buku agenda yang saya simpan dalam tas). Ketika saya ingin mengatakan bahwa saya pernah ke Istambul Turki, saya cukup menunjukkan foto-foto saat berkunjung ke kota tersebut akhir tahun 2015 atau disaat saya ingin mengatakan Presiden Turki

88 | Dr.H. Kadri, M.Si & Hj. Suhadah, M.Si.

hebat cukup dengan menunjukan foto Erdogan yang di perkuat dengan satu jempol.

Fungsi dan manfaat komunikasi nonverbal yang dijelaskan sebelumnya sejalan dengan fungsi yang dikemukakan Casandra (Mulyana, 2001;314), yang diantaranya adalah menggantikan, memperteguh, menekankan atau melengkapi perilaku verbal.

Komunikasi Haji: Spiritual & Sosial | 89

traNSfOrMaSI IDENtItaS HaJI

Berhaji tidak hanya dimaknai sebagai ritual ibadah untuk memenuhi rukun Islam kelima, tetapi juga sarat akan dimensi sosial yang dimaknai secara beragam oleh setiap orang yang melaksanakannya. Dalam konteks sosial seperti inilah haji antaralain dimaknai sebagai identitas yang melekat dengan diri setiap orang yang sudah menunaikannya. Identitas haji diperoleh seseorang setelah menyelesaikan rukun haji, dan pada saat itulah seseorang mengidentiikasidirinyasebagaihajisertapadaumumnyamenggunakan symbol-simbol yang identik dengan identitas barunya sebagai haji.

Identitas haji tidak hanya dimaknai secara personal oleh pemiliknya tetapi menjadi pemahaman common sense masyarakat. Bahkan dari pemahaman sosial masyarakat inilah setiap individu mempertegas identitas hajinya secara subjektif. Sebagai kenyataan subjektif, identitas menurut Berger dan Luckmann (1990:248) selalu berhubungan secara dialektif dengan masyarakat. Identitas dibentuk oleh proses-proses sosial. Begitu memperoleh wujudnya, iadipelihara,dimodiikasi,ataumalahdibentukulangolehhubungan-hubungan sosial. Pandangan dua ilmuwan di atas mengisyaratkan bahwa identitas pada diri seseorang

90 | Dr.H. Kadri, M.Si & Hj. Suhadah, M.Si.

bukan hanya berkaitan dengan keinginan atau kesadaran subjektifnya, namun juga berhubungan dengan legitimasi-legitimasi eksternal dari lingkungannya.

Haji merupakan identitas yang tidak hanya dimaknai secara subjektif oleh pemiliknya tetapi dilegitimasi secara sosial oleh masyarakat. Selama proses pelaksanaan ibadah haji kami mengalami sekaligus menemukan proses transformasi identitas haji dari para jamaah haji yang baru saja menyelesaikan rukun haji di Makkah almukarramah. Setelah selesai wukuf, dilanjutkan dengan melontar jumrah dihari pertama, kemudian melakukan thawaf ifadhah dan sa’i (tahallul tsani) para jama’ah haji langsung mengidentiikasi dan melabeli dirinya dengan identitas(berstatus) haji. Berbagai asesoris haji dikenakan seperti songkok (peci) haji dan sorban. Bahkan jauh dari sekedar penggunaan symbol dalam bentuk busana, sebagian jama’ah ada yang menobatkan nama baru dengan gelar haji. Panggilan baru pun otomatis terdengar dari sapaan antarjamaah, yang semula bernama Fulan selanjutnya dipanggil Haji Fulan, demikian juga bagi jamaah perempuan yang namanya disapa dengan kata Hajjah di depannya.

Identitas baru yang diperolehnya setelah menyelesaikan rukun haji membuat para jama’ah berfantasi dengan lingkungan sosial di tanah air. Saat itulah angan-agannya tentang penyambutan dan respon masyarakat terhadap identitas barunya muncul. Mereka mebayangkan bagaimana dirinya pulang dengan kostum haji dan masyarakat memanggilnya dengan pak haji atau mamiq (dalam tradisi Sasak merupakan sapaan bagi lelaki

Komunikasi Haji: Spiritual & Sosial | 91

yang sudah berhaji) dan ibu hajji atau hajjah bagi jamaah haji perempuan. Paling tidak ini terlihat dan terdengar saat para jamaah berbincang santai di kamar atau di loby hotel.

Di tengah suasana gembira karena baru selesai menyelesaikan rukun haji, para haji baru sudah mulai berpikir tanah air. Tidak hanya berpikir tentang keluarga tetapi juga terkait dengan respon lingkungan (masyarakat) terhadap identitas baru (haji dan hajjah) yang baru saja mereka peroleh. Para jamaah haji sadar bahwa tradisi masyarakat dalam menyambut, mempersepsi dan memperlakukan haji begitu “istimewa” sehingga mereka pun berusaha mengkonstruksi dirinya sedemikian rupa terkait dengan identitas haji. Hal ini lebih terlihat lagi saat akan take off dari Bandar Udara Internasional Pangeran Mohammad bin Abdul Aziz. Para jamaah haji sudah mulai mengenakan jubah, sorban, peci haji, parfum-parfum beraroma khas tanah haram. Persiapan yang sama juga kembali dilakukan jelang landing di tanah air dan di asrama haji setempat sebelum bertemu dengan keluarga masing-masing.

Para jamaah haji senantiasa berusaha untuk menunjukkan dirinya secara simbolik sebagai haji agar identitas haji yang telah diidentiikasi oleh dirinya dandillabeli secara sosial oleh masyarakat benar-benar sesuai dengan harapan. Jamaah haji sadar benar dan sangat faham bagaimana masyarakat memberi respon atau memperlakukan seorang yang telah bergelar haji. Upaya-upaya simbolik yang hendak ditunjukkan oleh jamaah haji sejak di tanah haram hingga di tanah air merupakan aksi

92 | Dr.H. Kadri, M.Si & Hj. Suhadah, M.Si.

sosial mereka yang antara lain terinspirasi oleh adanya respon orang lain (masyarakat) yang mereka pahami tentang identitas haji. Artinya konstruksi diri para jamaah haji pasca mendapatkan gelar haji tidak terlepas dari peran (respon) masyarakat di tanah air yang mereka pahami dan angankan. Pola interkasi seperti inilah yang dalam teori interaksi simbolik dari Mead (Mulyna, 2002: 71-72) dikenal dengan upaya penggunaan symbol bermakna sekaligus memahami dan menerjemahkannya.

Sejak mendapatkan gelar dan identitas haji, seseorang memiliki konsep diri yang baik secara religiusitas. Konsep diri yang baik tidak hanya diperoleh dari pengalaman subjektifnya selama berhaji, tetapi juga atas interaksi atau paling tidak kala seseorang memikirkan respon orang lain terhadap dirinya. Menurut Mead bahwa konsepsi diri adalah suatu proses yang berasal dari interaksi sosial individu dengan orang lain. Pandangan Mead tentang diri terletak pada pengambilan peran orang lain (taking the role of the others). Pandangan yang serupa tentang “diri” juga dikemukakan oleh Charles Horton Cooley. Dalam teorinya “the looking-glass self”, Cooley (Burns, 1979:13) mengatakan bahwa konsep diri individu ditentukan oleh apa yang ia pikirkan mengenai pikiran orang lain mengenai dirinya.

Kala jamaah haji memikirkan atau berfantasi tentang respon masyarakat di tanah air kala menyambutnya atau berinteraksi bersamanya di lingkungan sosial, maka pada saat itulah jamaah haji mengambil peran masyarakat untuk mengkonstruksi konsep diri yang baik. Inilah hakekat transformasi identitas dari jamaah haji, yaitu kala mereka

Komunikasi Haji: Spiritual & Sosial | 93

mengidentiikasidiridenganidentitasbaruyangbergelarhaji sembari mengkonstruksi simbol-simbol relevan dan bermakna untuk memperteguh identitas tersebut sekaligus untuk mengharapkan respon yang baik dari orang lain atau lingkungan sosial.

Menurut perspektif interaksi simboliknya Mead (Mulyana, 2002:231), transformasi identitas menyangkut perubahan psikologis, di mana pelakunya menjadi orang yang berbeda dari sebelumnya. Transformasi menurut Strauss (1959) mengisyaratkan penilaian baru tentang diri pribadi dan orang lain, tentang peristiwa-peristiwa, tindakan-tindakan, dan objek-objek. Biasanya setelah bergelar haji seseorang memiliki perubahan dalam bersikap dan beribadah. Paling tidak perubahan ini terlihat begitu kental di masa-masa awal kepulangannya di tanah air. Perubahan tersebut tidak terlepas dari adanya kesadaran mereka terhadap identitas baru yang disandangnya dan kesadaran mereka terhadap respon dan penilaian yang “istimewa” dari masyarakat terhadap seseorang yang bergelar haji.

Ibadah haji bagi umat Islam merupakan rukun Islam kelima yang pelaksanaannya tidak mudah karena membutuhkan biaya dan tenaga ekstra. Bagi individu yang mampu menjalankannya dianggap sebagai sebuah rahmat dari Allah sehingga apresiasi atau panjatan syukur terhadapNya tidak pernah berakhir. Proses pelaksanaannya yang penuh perjuangan inilah yang antara lain membuat apresiasi sosial terhadap orang yang sudah bergelar haji begitu baik. Bahkan di beberapa wilayah yang ada di Lombok misalnya, penyebutan dan penempatan (posisi

94 | Dr.H. Kadri, M.Si & Hj. Suhadah, M.Si.

duduk) dalam satu hajatan tertentu selalu mengapresiasi warga yang sudah berhaji secara istimewa; disapa lebih awal dan disediakan tempat duduk khusus. Bentuk-bentuk apresiasi yang special seperti inilah yang membuat legitimasi sosial terhadap identitas haji menjadi makin kuat dan proses transformasi identitas tersebut menjadi idaman setiap orang.

Komunikasi Haji: Spiritual & Sosial | 95

SUaSaNa EDUKaSI

DI MaSJID NaBaWI

m a D i n a H

a l m u n aWa R a H adalah kota yang

dipilih Nabi Muhammad saw

sebagai tempat berhijrah. Setelah

m e n i n g g a l k a n Makkah, Rasulullah

berdakwah dan membangun peradaban yang Madani di kota yang semula bernama Yasrid. Kesan kami tentang kota ini adalah kota yang sangat ramah, tenang dan edukatif. Kami yang mendapat giliran mengunjungi Madinah setelah menyelesaikan ritual ibadah haji, sedikit lebih tenang dan santai walau diganggu oleh rasa kangen rumah, anak serta keluarga di Mataram Indonesia. Sebagai kota yang memiliki sejarah penting bagi perkembangan Islam di bawah kepemimpinan Nabi Muhammad saw, tentu saja kota ini menyimpan banyak sejarah. Kami bersyukur bisa berada (walau 8 hari) di kota ini. Lebih bersyukur lagi karena eksistensi dan jejak

96 | Dr.H. Kadri, M.Si & Hj. Suhadah, M.Si.

kehidupan Nabi di kota Madinah bisa terekam lewat penjelasan-penjelasan dari para pembimbing atau anak-anak Indonesia yang ada di Madinah, yang kebetulan menjadi Ziarah/Tour Guide kala rombongan kami berziarah di seputaran Madinah.

Dalam ziarah awal kami mendatangi Masjid Quba, yang dalam sejarahnya merupakan Masjid pertama yang dibangun oleh Nabi. Berdasarkan hadist bahwa sholat sunnat dua rakaat di Masjid Quba sama dengan 1 kali ibadah Umrah. Ziarah dilanjutkan ke Masjid Kiblatain, Masjid dimana Nabi sholat dengan menghadap dua tempat; pertama ke Masjidil Aqsa Palestina, kemudian pada rakaat kedua turun ayat yang menceritakan untuk sholat menghadap Ka’bah di Makkah. Setelah sholat sunnat di Masjid Kiblatain, perjalanan edukasi di lanjutkan ke Gunung/Jabal Uhud, sederetan gunung yang menjadi tempat perang Uhud. Kami masih menyaksikan bagaimana gunung Jabal Uhud dari dekat, yang di bawahnya terdapat Makam para Syuhada, termasuk Hamzah (Paman Nabi).

Komunikasi Haji: Spiritual & Sosial | 97

Dalam perjalanan ziarah itu juga , kami menyaksikan beberapa tempat bersejarah seperti tempat perang handak, (meski sisa paritnya tidak kelihatan lagi), masjid Abubakar, masjid Umar dan masjid Ali juga kami lewati.

Banyak pengetahuan yang kami peroleh selama ziarah ini. Penjelasan dari petugas haji yang ada di Madinah memperkaya pengetahuan kami tentang sejarah Islam dan perjuangan Nabi ketika di Madinah. Penjelasan dan pencerahan dari Guide ziarah menjadikan nuansa edukasi dalam perjalanan atau ziarah seputar Madinah menjadi makin terasa. Nuansa edukasi tidak hanya berlangsung di luar Masjid, tetapi juga di dalam Masjid Nabawi.

Masjid Nabawi memang menjadi tempat pendidikan dan tempat praktek para pelajar yang mendalami ilmu Alqur’an dan Hadist. Bagi jamaah sholat di Masjid Nabawi tersedia pengajian dengan banyak pilihan. Meskipun kami tidak mengikuti beberapa majelis yang ada dalam Masjid Nabawi. Tetapi kami bisa menyaksikan sekian banyak kelompok-kelompok majelis yang membentuk lingkaran untuk mendengarkan ceramah dari syehk yang duduk di atas kursi khusus dengan pengeras suara terbatas. Disudut-sudut lain Masjid Nabawi juga ada pengajaran dan latihan membaca Al-qur’an yang di pandu oleh Syekh yang berada di antara lingkaran jamaah yang memegang Al-Quran di atas rehan masing-masing.

Nuansa-nuansa edukasi dalam Masjid Nabawi ini bisa dilihat antara sholat Maghrib dan Isya. Bahkan bila belum tuntas dilanjutkan ba’da Isya. Beberapa Majelis terbatas juga berlangsung ba’da Ashar hingga menjelang Maghrib. Masjid Nabawi ba’da Maghrib dihirukpikukan

98 | Dr.H. Kadri, M.Si & Hj. Suhadah, M.Si.

oleh nuansa edukasi yang sangat mencerahkan apalagi di tengah pengajian ada dialog antar jamaah dengan penceramah. Sangat rugi rasanya bila kita tidak mengikuti pengajian tersebut atau paling tidak disempatkan untuk duduk mengikuti, agar kita memiliki pengalaman selama berada di Madinah. Bila tidak paham dengan bahasa Arab, kita bisa memilih majelis yang berbahasa Indonesia atau yang paling universal adalah mengikuti latihan membaca Al-quran.

Di luar pagar Masjid Nabawi pun tersedia banyak pilihan sarana pendidikan. Ada Laboratorium Al-quran, tetapi anda jangan membayangkan hanya melihat teks Al-Qur’an di dalamnya. Di laboratorium Al-Qur’an yang berada di depan mimbar sebelah selatan Masjid Nabawi ini kita dicerahkan oleh penjelasan petugas (asal Indonesia) tentang bagaimana sejarah Al-Quran, hikmah, dan berbagai informasi tentang Al-Qura’n. Penjelasan dan pencerahan hanya bisa kita peroleh bila kita berkelompok masuk di dalamnya. Bila kita sendiri, maka tunggulah Group/kelompok untuk bisa masuk dan bergabung di dalamnya. Kebetulan saya datang sendiri ba’da Ashar dan sesampai di Laboratorium Al-Quran saya bertemu dengan rombongan dari embarkasi Surabaya, sehingga saya bisa mengikuti penjelasan lewat megaphone dari Amir (petugas) yang berasal dari Cirebon.

Tradisi pendidikan dalam Masjid Nabawi mengingatkan kita dengan tradisi pendidikan dan dakwah yang dilakukan Nabi setelah hijrah di kota ini. Rasulullah selalu menjadikan masjid sebagai sarana pembinaan umat, di samping sebagai tempat ibadah. Masjid senantiasa

Komunikasi Haji: Spiritual & Sosial | 99

dijadikan sebagai tempat belajar dan mengajar tentang Al-Quran dan Hadits. Oleh karena itu, bila kita berada di Masjid Nabawi maka kita tidak hanya melihat Makam Rasulullah tetapi juga menyaksikan tradisi pendidikan yangtelah diwariskan.

Bagian-3:Serba-Serbi Budaya Selama Berhaji

Ragam Budaya Penumpang PesawatNuansa Indonesia di Tanah Haram

Sholat Jum’at Dua Kali dalam SehariMenaklukkan Tantangan Transportasi

Mandi Hujan di Makkah yang PanasOleh-Oleh Haji

Antara Cinta dan Rindu

Komunikasi Haji: Spiritual & Sosial | 103

raGaM BUDaYa

PENUMPaNG PESaWat

meskipun kami sudah terbiasa untuk berpergian menggunakan pesawat berbagai jenis dengan tujuan dalam dan luar negeri, namun perjalanan menggunakan pesawat Garuda dengan nomor penerbangan GA-8112 ini menjadi perjalanan special karena ini perjalanan suci dengan nuansa religius yang kental. Nuansa itu terlihat dan telah terkondisikan, karena semua penumpang adalah para tamu Allah SWT dengan satu tujuan dan niat yaitu ingin mendapat haji mabrur. Asesoris dan kostum pun begitu terlihat religius, sehingga suasana perjalanan pun full spiritual. Pramugari yang semua berbusana muslim, menjadikan semua perjalanan suci ini sangat religius.

Pengalaman perjalanan luar negeri ini dengan durasi penerbangan di atas 5 jam cukup membantu kami bisa memenej kondisi selama perjalanan. Kami saling mengingatkan dan saling membantu untuk hal-hal yang pragmatis selama penerbangan. Perjalanan yang melewati berbagai pulau, Negara, dan benua ini kami manfaatkan untuk mempraktekan atau memperlancar manasik haji yang diselingi dengan dzikir dan doa.

104 | Dr.H. Kadri, M.Si & Hj. Suhadah, M.Si.

Perjalanan yang membutuhkan waktu kurang lebih 11 jam membuat isik manusia seperti kami mengalamikelelahan. Hal ini dapat diantisipasi dengan memanfaatkan ruang pesawat yang kosong seperti lorong dan kabin belakang untuk berjalan, menggerakkan kaki dan seluruh anggota badan yang lainnya agar tidak kaku. Kesempatan ini juga kami berdua manfaatkan untuk saling memijat, sehingga kami tetap bisa menjaga kebugaran selama perjalanan.

Penerbangan dari tanah awu menuju tanah suci menyisahkan banyak kenangan, dan di antaranya cerita yang lucu dari beberapa aksi para penumpang. Sebagaimana biasanya, dalam satu penerbangan (kloter) diisi oleh lebih dari 400 orang penumpang dengan karakter dan pengalaman berbeda. Keragaman inilah yang berkontribusi bagi munculnya ragam sikap dan perilaku selama penerbangan.

Fasilitas yang ada dalam pesawat sedikit banyak berbeda dengan yang ada di rumah atau di kantor. Space

Komunikasi Haji: Spiritual & Sosial | 105

pesawat yang tidak terlalu besar dibandingan dengan fasilitas yang ada di darat, membuat ketersediaan fasilitas seperti toilet terbatas. Keterbatasan jumlah inilah yang mengharuskan setiap penumpang untuk rela antri dan bersabar menunggu giliran. Dalam moment seperti ini terlihat banyak jamaah yang belum bisa mempraktekkan budaya antri.

Tidak semua penumpang pesawat terbang memahami peraturan atau fungsi serta system kerja fasilitas yang ada dalam pesawat, apalagi bila ada penumpang yang baru pertama kali naik pesawat terbang. Kejadian pada penerbangan jamaah calon haji kloter 02 LOP tidak kalah banyak dengan fenomena pada penerbangan lainnya yang mengangkut jamaah calon haji. Antrian panjang di depan toilet sesaat setelah pesawat take off terjadi karena sejak naik bis dari asrama haji NTB hingga ke Bandar Udara Internasional Lombok semua jamaah belum buang air kecil. Perjalanannya sih tidak seberapa lama, tetapi menunggu penuh mobil yang berada paling belakang itu yang lama. Begitu penumpang sudah penuh, oleh petugas langsung mensegel pintu mobil, sehingga tidak ada satu penumpang pun yang bisa turun.

Toilet pesawat yang biasanya kami temukan bersih dan wangi, sungguh tidak tampak saat perjalanan suci ini. Minimnya kesadaran bersih dari penumpang membuat ruang toilet menjadi kumuh dan penuh kotoran yang tidak disiram dan tisu yang tidak dibuang di tempatnya. Ada juga jamaah yang sedang berada dalam toilet tidak bisa mengunci pintu, sehingga penumpang berikutnya yang hendak masuk dan memanfaatkan toilet mengira kosong

106 | Dr.H. Kadri, M.Si & Hj. Suhadah, M.Si.

dan masuk serta kaget ketika ada orang yang sedang buang air di dalamnya.

Seorang lelaki paroh baya dengan berjalan cepat dan bergegas keluar toilet dan melaporkan ke pramugari sambil berujar: “bu maaf, airnya keluar terus ndak mau berhenti”. Pramugari kemudian dengan lembut menjawab: “ya, ndak apa-apa, nanti dia mati sendiri”. Kejadian dan praktek pemanfaatan fasilitas pesawat terbang seperti diceritakan di atas sungguh jauh dari cara ideal. Pemahaman jamaah yang masih awam (bahkan buta) tentang fasilitas pesawat mengharuskan materi manasik haji juga perlu disertakan tentang “penggunaan fasilitas pesawat terbang”, agar kejadian jorok dan memalukan seperti di atas tidak terjadi lagi dalam penerbangan-penerbangan jamaah calon haji berikutnya, dan tidak mengganggu kekhusuan perjalanan suci ibadah haji.

Komunikasi Haji: Spiritual & Sosial | 107

NUaNSa INDONESIa

DI taNaH HaraM

seBagai negaRa dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia, Indonesia selalu memiliki jatah jumlah jamaah haji terbanyak dalam setiap tahunnya. Peminat dan keinginan berhaji sangat tinggi di Indonesia, sehingga tidak heran bila antrian (waiting list) untuk berangkat haji sangat panjang. Konon di beberapa daerah provinsi tercatat antrian hingga 20-30 tahun. Banyaknya jumlah jamaah haji Indonesia setiap tahunnya membuat nuansa Indonesia selama musim haji di Arab Saudi begitu kental terlihat.

Begitu kita turun di Bandar Udara Internasional King Abdul Aziz Jeddah, sudah mulai terlihat dan terdengar. Setelah pemeriksaan oleh imigrasi Arab Saudi, sudah ada wajah Indonesia (Petugas Haji) yang mengarahkan jalan keluar menuju tempat istirahat untuk mandi dan mengambil miqat (pasang ihram dan niat) serta shalat jamak taakhir kasar Isya dan Maghrib. Petugas menggunakan bahasa Indonesia dengan jelas dari pengeras suara petugas yang memandu jamaah agar lebih tertib dan teratur.

Banyaknya jamaah haji Indonesia yang menjadi tamu Allah setiap tahunnya, membuat bahasa Indonesia begitu

108 | Dr.H. Kadri, M.Si & Hj. Suhadah, M.Si.

familiar dengan warga Arab Saudi. Hal ini terlihat sejak di Bandara. Sopir bis terdengar bisa menyebutkan/melafadkan bahasa Indonesia walau hanya bisa mengucapkan kata-kata tertentu. Di Hotel tempat jamaah haji menginap juga terdengar hal yang sama (bahasa Indonesia). Apalagi di toko yang sangat pragmatis karena jamaah haji Indonesia yang dikenal sebagai peng-hoby belanja, tentu menjadi pasar utama (konsumen) penting bagi pedagang di tanah haram. Mengetahui dan bisa mengucap kata-kata kunci bahasa Indonesia dalam transaksi bisnis menjadi hal yang tidak bisa dilewatkan oleh mereka. Pemahaman dan bisanya pedagang Arab untuk menyebut bahasa Indonesia terlihat sangat membantu bagi jamaah haji Indonesia dalam memperlancar proses belanjanya.

“Lihat dulu, murah-murah” adalah bait kalimat yang sudah familiar di mulut penjual Arab di tanah haram. Di food Center yang ada di luar kompleks Masjidil Haram juga terdengar jelas bahasa Indonesia yang mereka ucapkan saat melayani atau memanggil pembeli dari Indonesia. Di

Komunikasi Haji: Spiritual & Sosial | 109

dalam Masjid Haram juga terlihat dan terdengar bahasa Indonesia tertulis dan terucap. Askar (petugas keamanan) yang Laki maupun Perempuan begitu pintar berbahasa Indonesia, terutama saat mengatur jamaah yang akan beribadah di Masjid tempat Ka’abah berada tersebut.

Ketika kita masuk dari pintu berapa pun yang ada di Masjidil Haram, pasti barang bawaan atau barang apapun yang kita tenteng akan diperiksa, terutama sekali jamaah haji perempuan. Bilamana askar perempuan melihat jamaah haji perempuan asal Indonesia hendak memasuki masjidil Haram, maka seketika itu juga dia akan berkata “pariksa-pariksa” sambil meminta dan melihat isi tas atau kresek yang ditenteng jamaah haji perempuan asal Indonesia tersebut. Askar laki yang mengatur jamaah yang ada di dalam Masjidil Haram pun terdengar fasih meneriakkan “bangun” “jalan” untuk mengatur posisi di Masjidil Haram.

Beberapa bahasa untuk petunjuk dan peringatan yang ada di dalam masjidil Haram pun juga tertulis menggunakan bahasa Indonesia. Sebagai contoh, pemerintah Arab Saudi sering kali menggunakan tali pembatas ketika ingin melarang jamaah sholat di Masjidil Haram untuk melintas saat tempat tertentu dengan berbagai alasan. Di dalam tali yang menyerepuai “police line” tersebut tertulis dalam tiga bahasa (Arab, Inggris, Indonesia). Di dalamnya dapat terbaca dengan jelas kalimat seperti “Dilarang melintas”.

Ketika kita bergeser ke bagian luar dari kompleks masjidil Haram (seperti di toilet dan tempat wudhu), kita masih menemukan beberapa bahasa pemberi petunjuk

110 | Dr.H. Kadri, M.Si & Hj. Suhadah, M.Si.

atau peringatan yang tertulis dengan bahasa Indonesia. Misalnya ketik kita berdiri di depan tempat wudhu akan terbaca kalimat berbahasa Indonesia seperti; “air hanya untuk berwudhu, tidak untuk diminum”. Kalimat seperti ini di letakkan di samping kalimat dengan makna yang sama tetapi tertulis dalam bahasa Arab dan bahasa Inggris, dan terkadang menggunakan bahasa Turki.

Saat kita hendak pulang ke hotel setelah selesai melaksanakan sholat fardu, terutama bagi jamaah haji yang menggunakan fasilitas bis, pasti menemukan nuansa Indonesia ketika berada di terminal, seperti di terminal Syhib Amir. Terminal terbesar yang ada di dekat Masjidil Haram ini setiap harinya tidak pernah sepi dengan penumpang dari berbagai Negara. Sebagaian besar areal terminal dipenuhi bis-bis yang telah dicarter oleh pemerintah asal jamaah haji, seperti Indonesia, Turki, Bangladesh, dan beberapa Negara berpenduduk mayoritas Muslim lainnya.

Kita melihat ada nuansa yang berbeda, nuansa khas Indonesia dari cara dan perilaku saat menunggu dan menaiki bis Shalawat yang disediakan pemerintah Indonesia yang ada di terminal tersebut. Fenomena khas Indonesia terlihat dari cara mereka menunggu dan menaiki bis. Tempat menunggu sangat tidak teratur dan tidak sabar. Mereka mendatangi dan menjemput bis walau masih jauh dari tempat yang seharusnya untuk antri. Hampir semua jamaah haji Indonesia tidak sabar dengan mengejar Bis Shalawat dan menaiki Bis dengan berebutan dan berdesak-desakan. Padahal bila dilakukan dengan sabar dan tenang dengan naik bis pada tempatnya akan

Komunikasi Haji: Spiritual & Sosial | 111

sangat baik. Pemandangan buruk seperti ini sangat kontras dengan jamaah Turki yang ada disebelahnya, dimana dari mereka ( jamaah haji asal Turki) menaiki bis dengan cara yang tertib.

Simbol-simbol berupa perilau yang kita tampilkan di luar wilayah/negara kita mencerminkan apa yang biasa kita perbuat di negara (di dalam negeri) sebelumnya. Budaya antri rupanya yang masih mahal di Republik ini rupaya direplikasi oleh beberapa jama’ah haji yang sedang berada di tanah Haram. Oleh karena itu, fenomena ini tidak keliru bila dikatakan sebagai salah satu “Nuansa” Indonesia di tanah suci. Idealnya, kekhasan yang negatif seperti ini tidak boleh ditunjukkan di negara orang lain agar kesan miring tentang Warga Indonesia tidak diketahui warga dunia lainnya.

Komunikasi Haji: Spiritual & Sosial | 113

SHOLat JUM’at

DUa KaLI SEHarI

sejak HaRi selasa siang (4 Zulhijah 1437 H. atau 6 September 2016) bis sholawat diberhentikan sementara pengoperasiannya, sehingga praktis mulai saat itu kami tidak lagi bisa sholat berjamaah di Masjidil Haram, termasuk sholat Jum’at pada tanggal 9 September 2016. Kami berdua tidak terlihat tergesa-gesa seperti saat mengejar waktu awal ke Masjidil Haram yang berjarak lebih kurang 5 KM dari Hotel Nazrah tempat kami bermaktab.

Jumat 9 September 2016 adalah hari yang santai bagi kami sejak berada di Tanah Haram tanggal 24 Agustus 2016. “Kepada ibu-ibu jamaah calon haji dari Kolter 02 Embarkasi Lombok dihimbau untuk tidak Jum’at, tetapi cukup sholat Dhuhur saja setelah selesai Jum’at mengingat keterbatasan tempat/kapasitas Masjid dan Musholah” isi pengumuman inilah yang membuat istri saya lebih santai dan memilih tetap berada di kamar.

Ada dua pilihan tempat untuk sholat Jum’at yang lebih dekat dengan Hotel, bisa di Masjid yang ada di depan Hotel atau bersholat Jum’at di Musholah yang sediakan secara khusus oleh pihak hotel pada salah satu lantai. Karena saya memprediksi agak terlambat berangkat

114 | Dr.H. Kadri, M.Si & Hj. Suhadah, M.Si.

sehingga kemungkinan untuk bisa sholat di dalam Masjid sangat kecil. Oleh karena itu saya putuskan untuk untuk sholat Jum’at di Musholah Hotel. Niat dan keinginan tersebut juga coba saya sounding-kan ke Pak Amir yang kebetulan masih berada di kamar bersama saya. Tanpa berpikir panjang Pak Dr. Amir langsung mengiyakan. Dalam hitungan tidak lebih dari lima menit kami berdua bergegas menuju Musholah Hotel yang berada di lantai PR.

Kami sampai di tempat sholat Jum’at di saat Musholah hampir penuh, sehingga praktis kami hanya bisa mengisi shaf yang masih tersisa. Rupanya seisi Musholah adalah jamaah calon haji dari Indonesia. Musholah juga tidak dilengkapi dengan jam apalagi petunjuk jadwal waktu sholat. Praktis, Iman dan Khotib serta Muazin hanya mengira waktu atau menggunakan suara azan dari Masjid yang ada di depan Hotel sebagai patokan.

Benar saja, setelah terdengar azan dari bawah (karena masjid berada di bawah) tanpa pertimbangan apapun atau melihat jam Muazin segera azan dan dilanjutkan dengan shalat sunat dan khatib naik mimbar. Demikian seterusnya sampai sholat jumat selesai. Saya termasuk yang tidak melihat jam selama mengikuti prosesi jum’atan di Musolah Hotel. Setelah kembali ke kamar saya mulai curiga, terutama saat menyaksikan siaran langsung aktiitasibadahdiMasjidilHaramdariTVSaudiArabia.DarilayarTVsayasaksikanparajamaahMasjidilHarammasih mendengarkan ceramah sambil nunggu azan dzuhur dan khutbah dari khatib.

Komunikasi Haji: Spiritual & Sosial | 115

Keyakinan itu diperkuat lagi setelah saya melihat jam yang ada dipojok kiri bawah layar televisi yang masih menunjukan pukul 12.18. Tentu saja waktu tersebut belum masuk waktu dhuhur sesuai jadwal. Akhirnya keyakinan saya (belum masuk waktu dhuhur) digenapkan oleh suara azan dari Masjidil Haram dan dari masjid depan hotel secara hampir bersamaan, yang dilanjutkan dengan khutbah jum’at. “berarti tadi saya sholat jumat sebelum masuk waktunya”. Kira-kira begitulah kesimpulan dalam pikiran saya, yang dijadikan sebagai dasar untuk melangkah ke masjid depan Hotel guna melakukan sholat jumat kembali.

Pak Amir yang sependapat dengan kesimpulan saya pun lebih semangat lagi untuk segera mengikuti prosesi jum’atan di masjid depan hotel. Sebelum masuk lift untuk turun kami ketemu dengan kerabat dari Universitas Islam Negeri Mataram (Suherman Adita) yang juga setuju dengan kami untuk mengulang sholat jum’at. Kami bersyukur masih bisa ikut bagian akhir dari khutbah, walau harus sholat di jalan samping masjid sembari menahan panasnya suasana siang bolong di tanah Haram.

Cerita di atas menjadi pelajaran bagi siapapun untuk tidak tergesa-gesa membuat keputusan, tanpa ada dasar yang kuat. Pemahaman tentang waktu sholat sangat penting agar menjadi referensi untuk memulai ibadah ini, termasuk pengetahuan tentang tradisi ibadah setiap negara di mana kita berada yang tidak boleh kita abaikan agar kejadian yang kami alami di atas tidak terulang.

Komunikasi Haji: Spiritual & Sosial | 117

MaNaKLUKKaN taNtaNGaN

traNSPOrtaSI

pemanfaatan saRana transportasi di kota Makkah bukan persoalan mudah karena keterbatasan dan tarifnya yang bervariasi mengharuskan setiap jama’ah untuk bisa memutuskan pilihan yang tepat. Kesiapan isik jugamenjadi persyaratan tersendiri karena untuk menaikinya butuh energi ekstra. Untuk menaiki bis sholawat gratis saja butuh antri lama dan saat naik pun terkadang berebutan (terutama dari arah Masjidil Haram ke Hotel).

118 | Dr.H. Kadri, M.Si & Hj. Suhadah, M.Si.

Menunggu bis di halte terdekat juga bukan tanpa tantangan karena kita harus berdiri dan duduk di tengah panas kota Makkah. Masih beruntung kalau bisnya cepat datang, tetapi bila bis yang lewat selalu penuh atau terlambat sampai halte karena macet atau alasan lainnya maka kita harus siap menahan panas. Tidak semua bis yang berhenti di halte kosong, terkadang banyak bis yang sudah terisi. Kalaupun kita mau naik maka harus bersedia berdiri sampai terminal dekat masjidil Haram. Acap kali semangat ke masjidil Haram tidak disupport secara maksimal oleh transportasi yang ada sehingga beberapa kawan menggunakan transportasi umum dengan biaya sekira 5-10 real.

Pemanfaatan kendaraan yang lebih kompetitif lagi saat kita hendak mengambil miqat untuk umroh. Tan’in adalah salah satu tempat yang paling dekat dari Masjidil Haram sehingga menjadi tempat favorit para jama’ah untuk mengambil miqat. Untuk mencapai tempat tersebut (Tan’in) bisa menggunakan beberapa pilihan kendaraan, di antaranya menggunakan bis umum atau menggunakan taxi atau membayar mobil pribadi yang dikomersilkan. Ketiga alternatif angkutan tersebut pernah kami coba dengan lika-liku pengalaman yang berbeda.

Bis umum yang ngetem di terminal Shaab Amir adalah fasilitas angkutan yang sering kami gunakan untuk mengambil miqad di Tan’in. Dengan hanya mengeluarkan masing-masing 2 Real kami bisa sampai di Tan’im yang berjarak sekira 7,5 KM dari Masjidil Haram. Namun untuk bisa menggunakan armada ini bukan hal yang mudah. Di samping jarang dan lama untuk menunggu, proses

Komunikasi Haji: Spiritual & Sosial | 119

mendapatkan karcis juga sangat susah. Penjualan yang masih sangat konvensional membuat semua jama’ah harus berebutan untuk mendapatkannya. Tidak ada loket, tidak ada ketentuan waktu penjualan. Kapan dan di mana harus dijual, tergantung selera dan mut-nya sang penjual. Bisa dibayangkan bagaimana setiap jama’ah harus berlarian untuk mendapatkan karcis dari lelaki berkulit hitam asal India, sang penjual karcis.

Perjungan belum selesai walau karcis sudah di tangan. Menunggu datangnya bis adalah pekerjaan tersendiri yang membosankan bila kita tidak sabar menunggunya. Begitu bis datang, para pemegang karcis harus berlari mengejarnya dan berebutan untuk menaikinya. Saya dan istri terus berpegangan dan berkompetisi sembari berdesakan sikut kiri-kanan hanya untuk bisa berada di atas bis. Pintu bis hanya dibuka pada bagian depannya karena harus langsung menyerahkan tiket kepada sopir. Semakin cepat kita naik makin dijamin kita bisa mendapatkan tempat duduk. Namun bila terlambat maka kita harus bersedia untuk berdiri hingga tempat tujuan (Tan’in).

Duduk dan berdiri sudah pernah kami rasakan. Diberi tempat duduk oleh orang lain juga pernah. Ibu Suhadah sebagai perempuan terkadang mendapatkan berkah seperti ini. Saya sebagai lelaki juga pernah memberikan jatah kursi saya kepada perempuan tua yang berdiri karena tidak kebagian tempat duduk. Namun dimanapun posisi kita (duduk atau berdiri) tidak menjadi persoalan karena semangat untuk umroh begitu tinggi. Dengan bisa berada di bis saja itu sudah menjadi kebahagiaan di tengah banyaknya jama’ah yang tidak mendapat tiket atau yang

120 | Dr.H. Kadri, M.Si & Hj. Suhadah, M.Si.

tidak bisa naik bis (karena penuh) walau sudah memegang tiket.

Di samping menggunakan bis lewat terminal Shaab Amir, kami juga pernah mencoba lewat terminal Jarwal. Perjuangan untuk memperoleh karcis dan menaiki bis di terminal ini tidak berbeda dengan di terminal Shaab Amir. Bahkan kami memiliki pengalaman “pahit” di terminal ini. Ketika kami selesai sholat Subuh di Masjidil Haram, saya dan istri beserta seorang kawan (Lalu Salim) hendak mengambil miqat di Tan’im lewat bis di terminal Jarwal. Begitu keluar masjid kami membaca petunjuk lewat papan penunjuk jalan yang bertulis “To Jarwal”. Tanpa bertanya kepada siapapun kami langsung mengikuti jalan tersebut karena memang banyak jama’ah yang baru pulang sholat menggunakan jalan tersebut untuk kembali.

Tanpa merasa bersalah arah kami terus menelusuri terowongan tersebut. Namun dalam hati kecil kami bertanya “kok orang-orang yang jalan ni tidak satu pun yang berpakaian ihram sebagai tanda bahwa mereka akan berumroh dan mengambil miqat di Tan’im lewat terminal Jarwal”. Setelah sampai di ujung terowongan yang sangat jauh baru kami sadar bahwa kami salah arah. Jalur yang kami ikuti adalah arah ke wilayah Jarwal (bukan ke terminal Jarwal). Akhirnya kami harus mengambil arah lain lagi untuk bisa sampai di terminal Jarwal. Bisa dibayang bagaiman lelahnya kami setelah berjalan panjang karena salah arah dan harus berebutan karcis dan berlomba naik bis yang terbatas dengan jumlah calon penumpang yang sangat banyak.

Komunikasi Haji: Spiritual & Sosial | 121

Beberapa kali juga kami harus mengalihkan atau menggunakan alternative kendaraan lain walau sebelumnya kami udah berniat untuk naik bis. Angkutan bis yang tidak ada atau sudah penuh mengharuskan kami untuk mencari alternatif lain karena sudah terlanjur untuk berniat umroh. Tawar menawar ongkos angkutan yang lebih kecil harus dilakukan dengan sopir. Biasanya kisaran 5 sampai 10 Real untuk mobil elep. Tetapi kadang kami menggunakan mobil pribadi orang Arab dengan tarif yang sedikit mahal (kisaran 10 – 15 Real).

Pengalaman naik angkutan menuju Tan’im untuk mengambil miqat begitu banyak menyisahkan kesan dan pengalaman yang susah kami lupakan. Usai sholat Subuh kami bertemu dengan Dr. Jamaluddin beserta istrinya di depan pintu 100 masjidil Haram. Sehari sebelumnya memang kami telah janjian bertemu di tempat ini untuk sama-sama menuju Tan’in mengabil miqat umroh. Setelah lama kami menunggu penjualan karcis bis dibuka akhirnya sang penjual menyampaikan kalau bis tidak ada. Akhirnya kami memutuskan beranjak keluar dari terminal Jarwal untuk mencari angkutan lain yang ada di luar terminal. Setelah lama mempertimbangkan banyak tawaran dari setiap mobil dengan tarif beragam akhirnya kami berempat (saya beserta Istri dan pak Dr. Jamal juga dengan istrinya) memutuskan untuk naik mobil pribadi salah seorang warga Arab dengan tarif masing-masing 10 Real.

Perjalanan dengan mobil pribadi tentu sangat nyaman dan lebih cepat apalagi sang sopir bernama Muhammad sangat familiar dan bergaya humoris. Suasana komunikatif

122 | Dr.H. Kadri, M.Si & Hj. Suhadah, M.Si.

di mobil keluaran Jepang tersebut makin terasa ketika Dr. Jamal yang memiliki kemampuan berbahasa Arab terus mengajak cerita sang Sopir asal Madinah tetapi tinggal di Makkah tersebut. Dengan iseng Dr. Jamal menanyakan keluarga pak Sopir, termasuk jumlah istri yang dimilikinya. Setelah menjawab “istrinya ada tiga”, sang sopir balik bertanya hal yang sama kepada kami. Dengan kompak dan penuh semangat kami menjawab “waahidun”. Tanpa dibayangkan oleh kami kalau pak sopir langsung memberi feedback sembari berujar “oohhhh….Indonesia Bakhillll”. Komen pak Sopir seperti ini kontan mendapat teriakan dan penolakan dari istri kami. Bahkan di tengah kejengkelannya istri saya dan istri Dr. Jamal mengatakan dengan ekspresi setengah lelucon dalam bahasa Indonesia; “mau saya jagur sopir ini”. Saya dan Dr. Jamal hanya bisa senyum simpul mendengar reaksi yang sedikit emosional dari istri kami.

Komunikasi Haji: Spiritual & Sosial | 123

MaNDI HUJaN

DI MaKKaH YaNG PaNaS

Dua HaRi Dalam perjalanan haji 1437 H/2016 (27-28 Agustus 2016) merupakan hari dengan cuaca yang tergolong kontras dari kebiasaan cuaca yang ada di Makkah. Cuaca Makkah yang rata-rata panas dengan suhu Makkah yang terbiasa diangka 34 – 40 derajat celcius, tiba-tiba siang dan sore tanggal 27 Agustus 2016 menjadi mencekam. Sore itu

124 | Dr.H. Kadri, M.Si & Hj. Suhadah, M.Si.

di sekitar Baitullah berhembus angin kencang sehingga tanah yang telah kering di pegunungan di sekitar kawasan Masjidil Haram tertiup angin dan berhamburan hingga ke dalam wilayah Ka’bah. Ini dianggap langka dan tidak pernah terjadi sebelumnya. Fenomena ini menganggu konsntrasi dan kekhusuan zikir serta doa para jamaah yang telah memadati ruang dan halaman Masjid Haram.

Biasanya pada waktu siang saat dan pasca sholat Dhuhur suhu di sekitar Baitullah berkisar 40 derajat celcius. Setelah sholat dhuhur dan dalam keadaan berihram (karena kami baru saja melaksanakan ibadah Umrah), kami dikejutkan oleh petir besar yang terdengar dan terlihat di atas langit tanah haram. Tidak ada sedikit pun rasa takut dengan petir tersebut. Kami menikmati kejadian langka ini di tanah suci, yang kami rasakan berbeda dengan petir yang terjadi di Indonesia. Bahkan kami menganggap petir di tanah haram adalah rahmat, sembari berdoa meminta hujan segera turun. Alhamdulillah, tidak lama kemudian, hujan pun turun. Sungguh fenomena langka dari biasanya karena terik matahari yang selalu mendominasi Makkah dan sekitarnya.

Hujan adalah rahmat, apalagi turunya di tanah haram sehingga tidak ada niat kami untuk menghindari atau berteduh dari guyurannya. Posisi kami saat itu dalam perjalanan ( jalan kaki) menuju terminal Syib Amir untuk menaiki bis shalawat. Kami memang hendak pulang ke hotel dahulu, dan sambil menunggu waktu Ashar untuk kembali lagi ke Haram. Kami menikmati guyuran air hujan di tengah kebanyakan jamaah haji yang lain mencari tempat berteduh. Kami sangat percaya hujan ini adalah

Komunikasi Haji: Spiritual & Sosial | 125

rahmat Allah, dan kami yakin bahwa untuk bertemu rahmat ini lagi di tanah haram tidak mudah.

Sungguh fenomena yang langka disaksikan di tanah Haram. Kami telah menjadi saksi turunnya rahmat Allah berupa hujan di dekat Ka’bah, kami telah mendengar langsung bagaimana suara guntur menggema dan melihat sambaran kilat di tanah haram. Kami tidak hanya ingin sekedar menyaksikan hujan yang sertai angin kencang, tetapi juga ingin merasakan bagaimana nikmatnya disiram air hujan dalam keadaan berihram di tanah suci. Inilah rahmat langsung yang kami terima dari Allah SWT setelah kami berumrah. Sungguh kejadian dan rahmat yang luar biasa indahnya; setelah berthawaf di tengah terik matahari dan bersa’i dengan rasa dahaga, akhirnya mendapatkan rahmat disiram hujan yang sejuk dan menyegarkan.

Komunikasi Haji: Spiritual & Sosial | 127

OLEH-OLEH HaJI

BeRBelanja oleH-oleH merupakan tradisi yang tidak terlewatkan oleh setiap jama’ah haji. Tradisi ini telah menjadi budaya turun-temurun. Sejak kami kecil dulu sangat senang menanti oleh-oleh yang dibawah oleh keluarga yang sedang berhaji. Tidak heran bila setiap jamaah haji memiliki semangat yang tinggi untuk berbelanja di tanah haram (Makkah dan Madinah). Jiwa sosial masyarakat Indonesia juga menjadi faktor pendukung tumbuhnya tradisi berbelanja oleh-oleh selama di Makkah dan Madinah. Saat belanja oleh-oleh di tanah haram tidak hanya membayangkan anggota keluarga tetapi juga tetangga dan sahabat. Oleh karena itu, durasi waktu “berburu” oleh-oleh yang dilakukan para jama’ah haji Indonesia begitu panjang (mulai dari hari pertama hingga hari teakhir keberadaan di tanah haram).

Salah satu pemahaman yang rata-rata diyakini oleh semua jama’ah haji (yang sempat kami ajak ngobrol tentang motivasi berbelanja di haramain selama musim haji) adalah mengejar keberkahan tanah haram. Kami dan para jama’ah sadar bahwa jenis dan kualitas barang yang dibeli sama (bahkan di bawah) dengan kualitas barang yang ada di tanah air. Tetapi atas semangat untuk mendapatkan

128 | Dr.H. Kadri, M.Si & Hj. Suhadah, M.Si.

keberkahan barang yang berasal atau paling tidak sudah ada di tanah haram, maka membelinya menjadi hal yang luar biasa.

Pemahaman yang sama juga diyakini oleh masyarakat Muslim Indonesia yang ada di tanah air. Espektasi masyarakat untuk mendapatkan oleh-oleh dari jama’ah haji yang demikian tinggi termotivasi oleh semangat mendapatkan keberkahan tanah haram sehingga kuantitas dan kualitas oleh-oleh tidak menjadi persoalan bagi mereka (masyarakat). Kami menangkap ekspresi kebahagiaan keluarga dan kerabat ketika menerima oleh-oleh yang kami bagikan kepada mereka. Sungguh merupakan kebahagiaan bagi kami karena bisa membagi keberkahan oleh-oleh dari tanah haram kepada keluarga dan kerabat.

Mengejar oleh-oleh di tanah haram sama dengan mengakumulasi keberkahan haramain untuk dibagikan kepada keluarga dan kerabat di tanah air. Beberapa orang jama’ah haji menambahkan keyakinan (keberkahan) tersebut dengan “ritual-ritual” tambahan seperti air zam-zam yang akan dijadikan sebagai oleh-oleh diikutkan thawaf bersamanya. Menurut keyakinan jama’ah haji yang melakukan ritual tersebut bahwa air zam-zam yang telah dithawafkan memiliki khasiat yang banyak di antaranya bisa menyembuhkan penyakit bila meminumnya.

Keinginan berbelanja oleh-oleh tanah haram sesungguhnya telah diniatkan oleh setiap jama’ah saat masih di tanah air. Paling tidak keinginan tersebut diperkuat oleh kondisi koper dan tas milik jama’ah calon haji. Rata-rata koper dan tas yang di bawa ke tanah suci

Komunikasi Haji: Spiritual & Sosial | 129

diisitidakpenuh.Ketikadikonirmasitentangkodisikoperseperti ini, rata-rata para jama’ah mengatakan “biar bisa diisi oleh-oleh dari tanah haram” sebagai alasannya. Hal ini terbukti ketika perjalanan pulang ke tanah air semua koper dan tas para jama’ah disesaki oleh-oleh tanah haram. Bahkan ada yang harus dibongkar atau ditinggal di Madinah karena over capasitas (terlalu berat dan tidak dimuat oleh koper dan tas yang ada). Beberapa jama’ah yang kami ketahui bahkan memaketkan oleh-olehnya terlebih dahulu sebelum mereka pulang ke tanah air.

Sudah menjadi tradisi para pedagang di tanah haram bahwa setiap musim haji mereka membuka toko dan lapak seputar hotel yang menjadi tempat para jama’ah haji menginap. Toko dan lapak tersebut ditutup bila musim haji usai dan akan dibuka kembali pada musim haji berikutnya. Jama’ah haji Indonesia dikenal sebagai jama’ah yang senang belanja. Oleh karena itu tidak heran bila para pedagang di haramain menguasai bahasa Indonesia standar yang terkait dengan transaksi atau panggilan (ajakan) untuk membeli barang dagangan kepada pembeli asal Indonesia.

Biasanya teknik berbelanja oleh-oleh jamaah haji Indonesia dilakukan dengan cara mencicil. Salah seorang anggota regu kami yang dikenal sangat semangat berburu oleh-oleh selalu memperlihatkan kepada teman kamarnya setiap oleh-oleh yang dibelinya. Terkadang dia berbelanja oleh-oleh setelah selesai sholat berjama’ah di Masjidil Haram dan Nabawi. Tapi sering kali juga keluar khusus hanya untuk membeli oleh-oleh di seputaran hotel. Acap kali oleh-oleh hasil belanja yang “dipamerkan” tersebut

130 | Dr.H. Kadri, M.Si & Hj. Suhadah, M.Si.

bisa “memprovokasi” yang lain untuk melakukan hunting oleh-oleh dengan jenis yang sama.

Oleh-oleh terkadang menjadi topik perbincangan dan diskusi ringan tersendiri di setiap kamar atau lorong hotel. Diskusi berawal dari informasi satu orang tentang barang yang dibelinya kemudian yang lain berminat atau teman yang lainnya membandingkan barang yang sama dengan harga berbeda. Atau sekedar berjanjian untuk melakukan belanja yang sama pada satu tempat. Diskusi makin ramai ketika semakin banyak anggota jama’ah yang memiliki minat yang sama.

Jiwa sosial masyarakat Indonesia tidak diragukan lagi. Jiwa tersebut antara lain tercermin dari kepedulian kita terhadap keluarga dan teman dalam bentuk membelanjakan dan memberikan buah tangan saat kita berpergian ke luar daerah. Ibadah haji merupakan salah satu perjalanan spiritual lintas negara yang setiap orang yang menjalaninya akan menyediakan waktu dan materi untuk berbelanja oleh-oleh bagi keluarga dan sahabat di tanah air. Semangat berbelanja orang Indonesia dikenal tinggi dibanding jama’ah haji dari Negara lainnya sehingga tidak salah bila dikatakan bahwa jama’ah haji Indonesia memiliki kontribusi besar bagi peningkatan pendapatan pedagang yang berjualan selama musim haji di tanah haram.

Komunikasi Haji: Spiritual & Sosial | 131

aNtara CINta DaN rINDU

HaRi-HaRi teRakHiR keberadaan kita di haramain menjadi saat yang dilematis bagi setiap jama’ah haji. Di satu sisi kita ingin tetap berada dan beribadah di Makkah (bagi jama’ah haji gelombang pertama) atau di Madinah (bagi jama’ah haji gelombang kedua), tetapi di sisi yang lain perasaan rindu dengan keluarga dan tanah air juga tidak terbendung setelah lebih dari sebulan meninggalkannya. Perasaan yang dilematis inilah yang disebut dengan perasaan “antara cinta dan rindu”. Tetap cinta dan suka dengan tanah haram tetapi merindukan keluarga dan kampung halaman sehingga ingin segera kembali ke tanah air.

132 | Dr.H. Kadri, M.Si & Hj. Suhadah, M.Si.

Memang harus diakui bahwa sebagian waktu setiap jama’ah haji di hari-hari terakhir keberadaannya di tanah haram digunakan untuk mempersiapkan barang bawaan ke tanah air. Sebagian besar isi koper dan tas adalah oleh-oleh tanah haram baik berupa makanan maupun pakaian. Oleh-oleh yang telah dicicil pembeliannya sejak berada di tanah haram harus dipastikan telah tersimpan dengan rapi dan teratur dalam koper dan tas. Hari terakhir keberadaan di tanah haram merupakan saat sibuk untuk menpacking dan memastikan barang yang kita bawah tidak over bagasi.

Untuk mengantisipasi hal tersebut semua jama’ah yang bergabung dalam kloter 02 LOP melakukan penimbangan sendiri masing-masing kopernya. Suasana penimbangan di kamar dan lorong hotel menjadi pemandangan yang menghiasi hari-hari terakhir di kota Madinah. Nuansa gotong royong dalam suasana packing dan timbang terlihat jelas dalam kelompok kami. Ada yang mengangkat, dua orang memikul, sebagian yang lain mencatat berat setiap koper. Bagi yang kelebihan berat dari ketentuan pesawat Garuda (32 Kg.), bisa menitip barangnya ke koper kawan lain yang diketahui masih di bawah standar berat yang ditentukan oleh Garuda. Inilah yang kami istilahkan dengan “subsidi silang”.

Petugas Garuda Airline juga menginformasikan agar koper bagasi jama’ah haji dikumpulkan dua hari sebelum keberangkatan. Petugas Garuda melakukan penimbangan di setiap hotel. Bagi yang telah melakukan penimbangan tersendiri sebelumnya tidak perlu khawatir dengan kelebihan saat ditimbang oleh petugas Garuda. Setelah

Komunikasi Haji: Spiritual & Sosial | 133

barang bagasi diangkut oleh petugas Garuda bukan berarti urusan dan sibuk-sibuk dengan barang sudah berakhir. Kami masih harus memikirkan pengaturan barang bawaan yang akan diisi di tas jinjing dan air zam-zam.

Kami harus semaksimal mungkin mengatur tas jinjing yang tersedia agar bisa mengangkut semua barang yang kami miliki dan beli di Makkah dan Madina (yang tidak terangkut oleh koper yang telah diambil terlebih dahulu oleh petugas Garuda). Mengatur tas jinjing bukan persoalan berat tetapi masalah kapasitas dan daya tampung. Hampir bisa dipastikan bahwa tidak satu pun tas jinjing jama’ah haji yang “kurus” karena semua tas jinjing telah “hamil tua” oleh oleh-oleh yang dibeli di tanah haram. Bahkan ada yang menempelnya dengan barang-barang lain seperti sejadah dan pakaian yang diikat secara rapi sehingga terlihat menyatu dengan badan tas.

Ikhtiar membawa air zam-zam juga menjadi pengalaman tersendiri bagi setiap jama’ah. Air zam-zam adalah oleh-oleh favorit setiap jama’ah haji. Meskipun masing-masing jama’ah haji mendapat hadiah air zam-zam dari Raja Arab Saudi yang diambil di tanah air namun rupanya tidak sah bila tidak menambah. Apalagi air zam-zam yang kami ingin bawa diambil langsung dari sumur zam-zam yang ada di kawasan Masjidil Haram. Diskusi tentang teknik dan strategi membawa air zam-zam yang aman sehingga lolos sampai di tanah air juga menjadi topik tersendiri di hari-hari terakhir keberadaan di tanah Haram. Pengalaman jama’ah haji tahun sebelumnya direview kembali dan bahkan ada kawan yang menelpon

134 | Dr.H. Kadri, M.Si & Hj. Suhadah, M.Si.

jama’ah haji tahun 2016 yang terlebih dahulu pulang ke tanah air (kloter awal).

Semua hasil review dan informasi tersebut dijadikan sebagai referensi dalam menyiapkan strategi yang tepat untuk sukses membawa pulang air zam-zam sampai ke tanah air. Banyak opsi yang disiapkan teman-teman, seperti membeli tempat (botol dan wadah) yang representatif sehingga aman walau ditenteng di luar tas jinjing. Ada juga yang berniat mengisolasi semua botol yang berisi air zam-zam sehingga tidak terkesan sebagai air dan memasukkannya dalam tas jinjing bersama dengan tumpukan pakaian dan oleh-oleh lainnya yang ada di dalamnya.

Semua opsi dan usaha yang dilakukan para jama’ah harus diuji di bandara. Begitu masuk di kawasan bandara Madina, kami diistirahatkan di tempat khusus sambil menunggu giliran masuk ke ruang tunggu pesawat. Kesempatan inilah yang dimanfaatkan oleh petugas Garuda untuk men-swipping barang bawaan jama’ah haji. Hasil swipping menunjukkan ada beberapa barang milik jama’ah yang gagal dibawa naik ke pesawat seperti air zam-zam dan beberapa barang lainnya yang diletakkan di luar tas jinjing yang tersedia. Ada kawan yang bilang kalau proses swiping tidak tegas alias standar ganda karena ada air zam-zam yang dibawa dengan kemasan standar (sejenis tarmos gantung) yang lolos, namun ada juga air zam-zam yang dibawa dengan kemasan yang sama ditahan. “nasib-nasib-an dan tergantung amalan”, begitu seloroh seorang kawan yang bernasib baik karena lolos membawa air zam-zam sampai ke kabin pesawat.

Komunikasi Haji: Spiritual & Sosial | 135

Kami termasuk yang bernasib baik karena air zam-zam yang kami tenteng dengan wadah yang representatif lolos dari sweeping. Oleh karena itu, kami merasa lega dan bahagia begitu sampai di ruang tunggu. Semua barang dan oleh-oleh yang kami packing lolos untuk dibawa ke pesawat. Tapi kami tidak menunjukkan kesombongan apalagi ada kawan yang sedih karena air zam-zam yang telah lama disiapkan sejak masih di Makkah menjadi korban sweeping di Bandara Internasional Pangeran Mohammad bin Abdul Aziz. Saat kami bahagia karena lolosnya semua barang tentengan, kesedihan juga tidak bisa terelakan karena dalam waktu yang tidak lama lagi akan meninggalkan tanah haram yang kami cintai. Saat inilah perasaan kami bercampur-aduk antara tetap cinta tanah haram dengan rindu keluarga dan tanah air. Puncak kesedihan kami rasakan tatkala menaiki pesawat yang akan membawa kami kembali ke tanah air. Kesedihan yang bercampur kesenangan karena bayangan rumah dalam khayalan kami tak terelakan lagi kehadirannya.

Komunikasi Haji: Spiritual & Sosial | 137

Daftar PUStaKa

Berger, Peter L dan Thomas Luckmann. 1990. Tafsir Sosial atas kenyataan, Risalag tentang Sosiologi Pengetahuan. penerj. Hasan Basari. Jakarta: LP3ES

Burns, R.B. 1979. The Self Concepts: In Theory, Measurement, Development and Behaviour. London: Longman

Langgulung, Hasan, 1998, Asas-Asas Pendidikan Islam. Jakarta: Pustaka Husna

Mulyana, Deddy, 2002, Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya. Bandung: Rosda

----------, 2003, Ilmu Komunikasi: suatu Pengantar. Bandung: Rosda

---------, 2010, Komunikasi Lintas Budaya, Bandung: Rosda

Mulyana, Deddy dan Jalaluddin Rakhmat (ed.). 2001. Komunikasi Antarbudaya. Bandung: Rosda

Mead. George H. 1967. Mind, Self, and Society. London: The University of Chicago Press

Kadri, 2016, “Haji dan Komunikasi Antarbudaya” dalam “Kolom Sudut Pandang Harian Lombok Post, Mataram NTB

Kementerian Agama Republik Indonesia, 2016, Panduan Pelaksanaan Haji dan Umroh, Jakarta: Kemenag RI

Shariati, Ali, 2002, Haji, Bandung: Pustaka

Ibadah haji tidak hanya berdimensi ritual religius tetapi juga menyertakan aspek sosial di dalamnya. Mengerjakan rukun Islam kelima ini mesti dengan maksimal karena hukum wajibnya hanya sekali dan kesempatan untuk menunaikannya sangat susah dengan antrian yang begitu panjang hingga puluhan tahun. Memaksimalkan dimensi ritual religious ibadah haji bukan berarti kita mengabaikan aspek sosial lainnya karena kita tidak bisa menghindar dengan interaksi bersama jama’ah haji lainnya (sesama daerah, Negara dan lintasnegara). Oleh karena itu tidak salah bila ibadah haji juga bisa disebut sebagai “ritual” komunikasi antar budaya. Sukses berkomunikasi antarbudaya selama berhaji akan berkontribusi bagi kesuksesan ibadah ritual religious-nya (baik saat melaksanakan rukun, wajib, dan sunat haji serta ibadah lainnya selama berada di Makkah maupun saat beribadah dan berziarah di Madinah). Sebaliknya kegagalan kita memenej hubungan sosial akan mengganggu kuantitas dan kualitas “komunikasi” atau ibadah kita dengan Allah SWT. Buku ini menyuguhkan banyak reeksi ritual dan sosial ibadah haji yang ditulis secara tematik sesuai dengan realitas yang diamati dan dirasakan penulisnya selama kurang lebih 40 hari menunaikan ibadah Haji tahun 2016 Buku ini bukan diare Haji karena tidak akan ditemukan urutan peristiwa yang tertib lengkap dengan tanggal dan bulannya. Buku ini menjadi tips berharga bagi siapapun yang hendak menjalankan ibadah Haji atau yang sudah menunaikannya sebagai bacaan ringan sarat pesan religious dan sosial karena ditulis dengan bahasa simpel sehingga enak “dikunyah” oleh nalar kita.

Kadri lahir di Pali Daru, Kabupaten Bima provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) pada 18 Oktober 1973 dari pasangan H. M. Saleh Ali (Alm) dan Hj. Siti Ramlah. Putra ketiga dari lima bersadara ini meraih gelar Magister (2004) dan gelar Doktor (2007), masing-masing dengan predikat Cumlaude pada jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran Bandung. Saat ini pengampu tercatat sebagai dosen tetap pada Universitas Islam Negeri (UIN) Mataram. Komunikasi dengan kolomnis “Sudut Pandang” pada Harian Lombok Post ini dapat dilakukan lewat [email protected]

Suhadah, lahir 20 Maret 1975 di kota Bima NTB. Putri ketiga dari pasangan H. Abidin dan Hj. Siti Imo (almarhumah) ini menyelesaikan Program Magister Ilmu Komunikasi pada Universitas Padjadjaran Bandung tahun 2007. Selain sebagai Komisioner KPID NTB. Ibu empat anak ini juga mengajar mata kuliah Komunikasi Massa pada Prodi KPI UIN Mataram. Komunikasi dengan mantan Dekan FISIPOL Universitas 45 Mataram ini dapat dilakukan di [email protected]

Puri Bunga AmanahJln. Kerajinan I Blok C/13 MataramTelp. 0370-7505346, Mobile: 0818-0531-1362Email: [email protected], [email protected]