d:\\order p. wisnu\\ugm\\bkm\u0026jmpkd

10
Berita Kedokteran Masyarakat, Vol. 25, No. 2, Juni 2009 59 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi, Awusi RYE, dkk. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENEMUAN PENDERITA TB PARU DI KOTA PALU PROVINSI SULAWESI TENGAH FACTORS THAT HAVE INFLUENCE OF CASE DETECTION PULMONARY TB IN PALU MUNICIPALITY CENTRAL CELEBES PROVENCE Awusi RYE 1 , Yusrizal Djam’an Saleh 2 , Yuwono Hadiwijoyo 3 1 Balai Pengawas Obat dan Makanan Palu 2 Bagian Paru, RSUP Dr Sardjito Yogyakarta 3 Dinas Kesehatan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta ABSTRACT Background: Every second Mycobacterium tuberculosis infected 1 person worldwide. Overall, one-third of the world’s population is currently infected with the TB bacillus. 5%-10% of people who are infected with TB bacilli become sick or infectious at some time during their life. Pulmonary TB is an important health problem in worldwide. World Health Organization (WHO) recommended controlling TB with DOTS strategy since 1995. Focus of global TB control with DOTS strategy is case detection and cure TB patients. Case detection rate in South East Asia is low (31%-54%) of the target global of CDR (70%). For the period 2006-2007 years CDR in Palu Municipalyti is very low (34%-35%). Therefore, it is important to find factors that influence for case detection of pulmonary TB. Objectives: To identify the relationship between independent variables of knowledge, length of work, work load, incentive, training of DOTS, access, service KIE about TB and screening suspect TB with case detection of pulmonary TB Material and Methods: This was an analytic observational study which used a cross sectional design with both quantitative and qualitative approaches. Subjects of the study were providers TB program of Community Health Center in Palu Municipality. Data were descriptively analyzed (univariate) and statistically analyzed (bivariate) using chi square test and logistic regression (multivariate) at confident interval 95%.and significant level 5%. Results: Variables that have significant statistically relationship (p< 0.05) with case detection of pulmonary TB is screening suspect TB (OR=8,92; 95%CI=2,36-38,65), service KIE about TB (OR=8,85; 95%CI=2,16-36,97), training of DOTS (OR=5,84; 95%CI=1,54-26,77). Conclusion: The factors to have significant influence of case detection pulmonary TB were screening suspect TB, service CIE TB and training of DOTS. Screening suspect TB was the most influencing case detection of pulmonary TB in Palu Municipality. Keywords: case detection of Pulmonary TB, screening of TB suspect, service CIE, training of DOTS, Palu municipality PENDAHULUAN Mycobacterium tuberculosis menginfeksi satu orang per detik di dunia. Sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi oleh Mycobacterium Tuberculosis. World Health Organization (WHO) menyatakan kedaruratan dunia (global emergency) terhadap penyakit tuberkulosis (TB) paru sejak tahun 1993 dan merekomendasikan penanggulangan TB dengan strategi DOTS sejak tahun 1995. Namun sebagian besar negara-negara di dunia belum mampu mengendalikan penyakit TB paru. 1 Laporan WHO tahun 2006 menyimpulkan ada 22 negara dengan kategori beban tertinggi terhadap TB paru. Sekitar 80% penderita TB paru di dunia berada pada 22 negara berkembang dengan angka kematian 3 juta setiap tahunnya dari 9 juta kasus baru dan secara global angka insidensi penyakit TB meningkat 1% setiap tahun. 2 Indonesia adalah negara terbesar ketiga di dunia dengan masalah tuberkulosis setelah India (30%) dan China (15%). 2,3 Angka estimasi tahun 2004 diperkirakan bahwa insidensi TB sekitar 530.000 kasus TB BTA positif (245/100.000), prevalensi seluruh kasus TB diperkirakan 600.000 dengan angka kematian 101.000 orang. 2 Hasil survei insidensi dan prevalensi tahun 2004 menunjukkan perbedaan yang nyata di beberapa wilayah, di Jawa dan Bali 64/100.000, di Sumatera 160/100.000 dan Kawasan Timur Indonesia (KTI) 210/100.000, yang terdapat daerah-daerah yang sulit terakses oleh pelayanan kesehatan, sehingga diperkirakan banyak penderita TB yang tidak ditemukan dan tidak dilaporkan. Oleh karena itu, TB masih merupakan masalah utama kesehatan masyarakat di Indonesia. 4 Strategi DOTS adalah satu-satunya strategi penanggulangan TB di Indonesia yang paling efektif

Upload: independent

Post on 16-Nov-2023

0 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Berita Kedokteran Masyarakat, Vol. 25, No. 2, Juni 2009 59

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi, Awusi RYE, dkk.

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENEMUANPENDERITA TB PARU DI KOTA PALU PROVINSI SULAWESI TENGAHFACTORS THAT HAVE INFLUENCE OF CASE DETECTION PULMONARY TBIN PALU MUNICIPALITY CENTRAL CELEBES PROVENCE

Awusi RYE1, Yusrizal Djam’an Saleh2, Yuwono Hadiwijoyo3

1Balai Pengawas Obat dan Makanan Palu2Bagian Paru, RSUP Dr Sardjito Yogyakarta3Dinas Kesehatan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

ABSTRACTBackground: Every second Mycobacterium tuberculosis infected 1 person worldwide. Overall, one-third ofthe world’s population is currently infected with the TB bacillus. 5%-10% of people who are infected with TBbacilli become sick or infectious at some time during their life. Pulmonary TB is an important health problem inworldwide. World Health Organization (WHO) recommended controlling TB with DOTS strategy since 1995.Focus of global TB control with DOTS strategy is case detection and cure TB patients. Case detection rate inSouth East Asia is low (31%-54%) of the target global of CDR (70%). For the period 2006-2007 years CDR in PaluMunicipalyti is very low (34%-35%). Therefore, it is important to find factors that influence for case detection ofpulmonary TB.Objectives: To identify the relationship between independent variables of knowledge, length of work, workload, incentive, training of DOTS, access, service KIE about TB and screening suspect TB with case detectionof pulmonary TBMaterial and Methods: This was an analytic observational study which used a cross sectional design withboth quantitative and qualitative approaches. Subjects of the study were providers TB program of CommunityHealth Center in Palu Municipality. Data were descriptively analyzed (univariate) and statistically analyzed(bivariate) using chi square test and logistic regression (multivariate) at confident interval 95%.and significantlevel 5%.Results: Variables that have significant statistically relationship (p< 0.05) with case detection of pulmonary TBis screening suspect TB (OR=8,92; 95%CI=2,36-38,65), service KIE about TB (OR=8,85; 95%CI=2,16-36,97),training of DOTS (OR=5,84; 95%CI=1,54-26,77).Conclusion: The factors to have significant influence of case detection pulmonary TB were screening suspectTB, service CIE TB and training of DOTS. Screening suspect TB was the most influencing case detection ofpulmonary TB in Palu Municipality.

Keywords: case detection of Pulmonary TB, screening of TB suspect, service CIE, training of DOTS, Palumunicipality

PENDAHULUANMycobacterium tuberculosis menginfeksi satu

orang per detik di dunia. Sepertiga penduduk duniatelah terinfeksi oleh Mycobacterium Tuberculosis.World Health Organization (WHO) menyatakankedaruratan dunia (global emergency) terhadappenyakit tuberkulosis (TB) paru sejak tahun 1993dan merekomendasikan penanggulangan TB denganstrategi DOTS sejak tahun 1995. Namun sebagianbesar negara-negara di dunia belum mampumengendalikan penyakit TB paru.1

Laporan WHO tahun 2006 menyimpulkan ada22 negara dengan kategori beban tertinggi terhadapTB paru. Sekitar 80% penderita TB paru di duniaberada pada 22 negara berkembang dengan angkakematian 3 juta setiap tahunnya dari 9 juta kasusbaru dan secara global angka insidensi penyakit TBmeningkat 1% setiap tahun.2

Indonesia adalah negara terbesar ketiga di duniadengan masalah tuberkulosis setelah India (30%)dan China (15%).2,3 Angka estimasi tahun 2004diperkirakan bahwa insidensi TB sekitar 530.000kasus TB BTA positif (245/100.000), prevalensiseluruh kasus TB diperkirakan 600.000 denganangka kematian 101.000 orang.2 Hasil surveiinsidensi dan prevalensi tahun 2004 menunjukkanperbedaan yang nyata di beberapa wilayah, di Jawadan Bali 64/100.000, di Sumatera 160/100.000 danKawasan Timur Indonesia (KTI) 210/100.000, yangterdapat daerah-daerah yang sulit terakses olehpelayanan kesehatan, sehingga diperkirakan banyakpenderita TB yang tidak ditemukan dan tidakdilaporkan. Oleh karena itu, TB masih merupakanmasalah utama kesehatan masyarakat di Indonesia.4

Strategi DOTS adalah satu-satunya strategipenanggulangan TB di Indonesia yang paling efektif

Berita Kedokteran MasyarakatVol. 25, No. 2, Juni 2009 halaman 59 - 68

60 Berita Kedokteran Masyarakat, Vol. 25, No. 2, Juni 2009

biaya dan Puskesmas merupakan ujung tombakpelaksanaannya. Fokus utama penanggulangan TBdengan strategi DOTS adalah penemuan danpenyembuhan penderita TB. Target nasional untukCase Detection Rate (CDR) adalah 70% denganangka kesembuhan (cure rate) minimal 85%.

Penemuan penderita TB paru dilakukan secara pasifdengan promosi aktif (passive promotive casefinding).5,6

Angka penemuan penderita (CDR) TB paru(BTA+) di Indonesia meningkat dari 37% pada tahun2003 menjadi 54% pada tahun 2004, 65% padatahun 2005 dan 70% pada tahun 2006 sementaraangka kesembuhan penderita (cure rate) TB parumenunjukkan hasil sesuai target nasional (>85%).5

Namun penemuan penderita TB paru terendahterdapat di Sumatera (56%) dan di Kawasan TimurIndonesia (31%).4,7 Di kota Palu angka penemuanpenderita (CDR) TB paru menurun bermakna padatahun 2006 dan 2007 (34,9% dan 33,8%).8

Setiap penderita TB paru aktif dapat menularkankuman TB kepada 5-10 orang di sekitarnya.Berlakunya fenomena gunung es pada penyakit TBdan seiring dengan munculnya epidemi HumanImmunodeficiency Virus-Acquired ImmunodeficiencySyndrome (HIV-AIDS) di dunia, maka diperkirakanjumlah penderita TB paru akan terus meningkat.4

Selain itu, penyakit TB paru diketahui menyerangsebagian besar (75%) kelompok usia produktif (15-50 tahun) yang merupakan kelompok sumber dayamanusia yang penting bagi pembangunan bangsa,4

sehingga bila penderita TB paru tidak ditemukan dandiobati maka setelah 5 tahun 50% akan meninggaldunia, 25% akan sembuh sendiri karena daya tahantubuh yang tinggi dan 25% menjadi kasus kronisyang tetap menjadi sumber penularan TB.1,2,3,5 Halini akan meningkatkan insidensi, prevalensi,mortalitas TB dan menurunkan angka harapan hidup.

Berdasarkan uraian tersebut dapat disusunpertanyaan penelitian sebagai berikut, apakah adahubungan antara karakteristik sosiodemografipetugas TB dan akses pelayanan kesehatan denganrendahnya penemuan penderita TB paru di kota Palu.Tujuan penelitian ini untuk mengetahui faktor-faktoryang mempengaruhi penemuan penderita TB parudi kota Palu.

BAHAN DAN CARA PENELITIANUntuk mencapai tujuan penelitian maka

dilakukan penelitian observasional dengan rancanganpotong lintang (cross sectional) selama tiga bulan(Mei - Juli 2008) di wilayah kota Palu ProvinsiSulawesi Tengah. Penelitian ini dilaksanakan di 12Puskesmas dengan cakupan penemuan penderitaTB (CDR) yang berbeda (Gambar 1). Populasi yangmenjadi subjek dalam penelitian ini adalah seluruhpetugas TB/petugas laboratorium TB di Puskesmassewilayah kota Palu. Jumlah sampel (total sampel)diambil dari keseluruhan petugas TB pada 12Puskesmas dan 6 Puskesmas pembantu di wilayahkota Palu, seluruhnya berjumlah 46 orang.

Sampel diambil secara purposive sampling,9

terhadap petugas TB di Puskesmas dengan kriteriainklusi adalah petugas program P2TB di Puskesmasdan bersedia menjadi responden, kriteria eksklusiadalah petugas P2TB di Puskesmas yang sulitditemui dan tidak bersedia menjadi responden.

Variabel terikat adalah penemuan penderita TBparu. Variabel bebas adalah karakteristiksosiodemografi petugas TB ( pengetahuan, lamakerja, tugas rangkap, pelatihan DOTS, insentif) danakses pelayanan (pelayanan KIE TB paru,penjaringan suspek TB, jarak Puskesmas dari tempattinggal suspek TB paru).

Pengumpulan data primer diperoleh melaluiwawancara menggunakan kuesioner dan observasilangsung terhadap subjek penelitian. Data sekunderdiperoleh dari form TB (04, 06) dan laporan tahunanprofil kesehatan kota Palu tahun 2007. Data yangdiperoleh dianalisis secara deskriptif (univariabel) dananalisis bivariabel dengan chi square dan regresilogistik untuk uji hipotesis dan melihat besarhubungan antar variabel penelitian (OR) pada intervalkepercayaan 95% dan tingkat kemaknaan(p<0,05).10

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN1. Deskripsi subjek penelitian

Diperoleh subjek yang memenuhi kriteriasebanyak 42 orang, dengan karakteristiksosiodemografi dapat dilihat pada Tabel 1.

Berita Kedokteran Masyarakat, Vol. 25, No. 2, Juni 2009 61

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi, Awusi RYE, dkk.

Tabel 1 Distribusi frekuensi karakteristiksosiodemografi subjek penelitian

pada CDR tinggi (47,8%). Sementara kontribusisubjek yang lama kerja < 2 tahun pada CDR rendahlebih besar (63,2%) pada CDR tinggi (36,8%).Proporsi subjek dengan tugas rangkap lebih besar(76,2%) dibanding subjek tanpa tugas rangkap(23,8%). Namun kontribusi subjek dengan tugasrangkap lebih besar pada CDR rendah (59,4%)dibanding pada CDR tinggi (40,6%). Sementarakontribusi subjek tanpa tugas rangkap pada CDRtinggi sama dengan pada CDR rendah (50,0%).Proporsi subjek yang belum pelatihan DOTS lebihbesar (54,8%) dibanding sudah pelatihan DOTS(45,2%), namun kontribusi subjek belum pelatihanDOTS pada CDR rendah lebih besar (73,9%)dibanding pada CDR tinggi (26,1%). Sementarakontribusi subjek yang sudah pelatihan DOTS padaCDR tinggi lebih besar (63,1%) dibanding pada CDRrendah (26,9%). Proporsi subjek yang menyatakaninsentif kurang lebih besar (59,5%) dibanding insentifcukup (40,5%). Namun kontribusi subjek yangmenyatakan kurang pada CDR rendah lebih besar(60,0%) dibanding pada CDR tinggi (40,0%).Sementara kontribusi subjek yang menyatakaninsentif cukup pada CDR rendah lebih besar (53,0%)dibanding pada CDR tinggi (47,0%). Proporsi subjekyang melakukan pelayanan KIE sesuai pedomanlebih besar (69,0%) dibanding subjek yang tidakmelakukan pelayanan KIE (31,0%). Namunkontribusi pelayanan KIE yang sesuai pedoman lebihbesar pada CDR tinggi (76,9%) dibanding pada CDRrendah (23,1%). Demikian sebaliknya kontribusisubjek dengan pelayanan KIE yang tidak sesuaipedoman lebih besar pada CDR rendah (72,4%)

2. Tabulasi silang variabel penelitian denganCDRDistribusi frekuensi variabel penelitian dengan

angka penemuan penderita TB (CDR) dapat dilihatpada Tabel 2.

Tabel 2 memperlihatkan bahwa proporsi subjekyang berpengetahuan kurang lebih besar (57,1%)dibanding subjek berpengetahuan baik (42,9%).Namun kontribusi subjek berpengetahuan kurangpada CDR rendah lebih besar (54,2%) dibanding padaCDR tinggi (45,8%). Sementara kontribusi subjekberpengetahuan baik pada CDR rendah lebih besar(61,2%) dibanding pada CDR tinggi (38,9%).Proporsi subjek yang lama kerja = 2 tahun lebih besar(54,8%) dibanding lama kerja < 2 tahun (45,2%).Namun kontribusi subjek yang lama kerja = 2 tahunpada CDR rendah lebih besar (52,2%) dibanding

Subjek Penelitian Variabel Kategori Jumlah %

Jenis Kelamin Laki-Laki Perempuan

9 33

21,4 78,6

Umur 30 tahun > 30 tahun

14 28

33,3 66,7

Pendidikan SPK/Bidan D3/S1

27 15

64,3 35,7

Pengetahuan TB Baik Kurang

18 24

42,9 57,1

Lama Kerja < 2 tahun 2 tahun

19 23

45,2 54,8

Tugas Rangkap Tidak Ya

10 32

23,8 76,2

Pelatihan DOTS Sudah Belum

19 23

45,2 54,8

Insentif Cukup Kurang

17 25

40,5 59,5

CDR (%) Variabel Kategori Tinggi

(> 34%) Rendah ( 34%)

Total %

Pengetahuan Baik Kurang

7(38,9) 11(45,8)

11(61,1) 13(54,2)

18 24

42,9 57,1

Lama Kerja 2 tahun < 2 tahun

11(47,8) 7(36,8)

12(52,2) 12(63,2)

23 19

54,8 45,2

Tugas rangkap Tidak ya

5(50,0) 13(40,6)

5(50,0) 19(59,4)

10 32

23,8 76,2

Pelatihan DOTS Sudah Belum

12(63,1) 6(26,1)

7(36,9) 17(73,9)

19 23

45,2 54,8

Insentif Cukup Kurang

8(47,0) 10(40,0)

9(53,0) 15(60,0)

17 25

40,5 59,5

Pelayanan/KIE Sesuai Tidak sesuai

10(76,9) 8(27,6)

3(23,1) 21(72,4)

13 29

31,0 69,0

Penjaringan Pernah Tidak pernah

11(73,3) 7(25,9)

4(26,7) 20(74,1)

15 27

35,7 64,3

Jarak PKM 5km > 5km

11(45,8) 7(38,9)

13(54,2) 11(61,1)

24 18

57,10 42,90

Tabel 2. Tabulasi silang variabel penelitian dengan CDR

Berita Kedokteran MasyarakatVol. 25, No. 2, Juni 2009 halaman 59 - 68

62 Berita Kedokteran Masyarakat, Vol. 25, No. 2, Juni 2009

dibanding pada CDR tinggi (27,6%). Proporsi subjekyang tidak pernah melakukan kegiatan penjaringansuspek TB lebih besar (64,3%) dibanding subjekyang pernah melakukan penjaringan suspek TB(35,7%). Namun kontribusi subjek yang menyatakanpernah melakukan penjaringan lebih besar pada CDRtinggi (73,3%) dibanding pada CDR rendah (26,7%).Sementara kontribusi subjek yang tidak pernahmelakukan penjaringan lebih besar pada CDR rendah(74,1%) dibanding pada CDR tinggi (25,9%).Proporsi subjek yang menyatakan dekat/= 5 km lebihbesar (57,1%) dibanding subjek yang menyatakanjauh/> 5km (42,9%). Namun kontribusi subjek yangmenyatakan jauh lebih besar pada CDR rendah(61,1%) dibanding pada CDR tinggi (38,9%).Sementara kontribusi subjek yang menyatakandekat lebih besar pada CDR rendah (54,2%)dibanding pada CDR tinggi (45,8%).

3. Deskripsi angka penemuan penderita TBparuAngka penemuan penderita TB paru (CDR)

menurut wilayah Puskesmas di kota Palu Tahun2007 seperti pada Gambar 1.

Distribusi angka penemuan penderita TB parumenurut Puskesmas di kota Palu bervariasi antara7,7%-87,6% maka dibuat kategorisasi terhadapangka penemuan penderita TB paru di Palu untukmemudahkan analisis statistiknya.

4. Analisis bivariabelAnalisis bivariabel di lakukan dengan

menggunakan uji chi square dan nilai OR untukmengetahui hubungan masing-masing variabel bebasterhadap penemuan penderita TB paru di kota Palu,seperti pada Tabel 3.

Hasil uji chi square (Tabel 3) memperlihatkanbahwa tidak ada hubungan yang bermakna secarastatistik antara pengetahuan petugas TB danpenemuan penderita TB paru (OR=0,75; CI95%=0,22-2,60; p=0,16). Tidak ada hubungan yang bermaknasecara statistik antara lama kerja dan penemuanpenderita TB paru (OR=1,57; CI95%=0,46-5,43;p=0,69). Tidak ada hubungan yang bermakna secarastatistik antara tugas rangkap dan penemuanpenderita TB paru (OR=1,46;CI 95% =0,35–6,08;p=0,87). Tidak ada hubungan yang bermakna antarainsentif dan penemuan penderita TB paru (OR=1,33;

Tabel 3 Hasil uji chi square variabel yang mempengaruhiangka penemuan penderita TB paru di Kota Palu

Variabel OR CI (95%) p Pengetahuan 0,75 (0,22 – 2,60) 0,16 Lama Kerja 1,57 (0,46 – 5,43) 0,69 Tugas Rangkap 1,46 (0,35 – 6,08) 0,87 Pelatihan DOTS 4,86 (1,30 – 18,13) 0,03 Insentif 1,33 (0,38 – 4,62) 0,89 Pelayanan KIE 8,75 (1,90 – 40,24) 0,006 Penjaringan 7,86 (1,88 – 32,90) 0,004 Akses PKM 1,30 (0,38 – 4,60) 0,89

Gambar 1. Persentase CDR menurut wilayah Puskesmas

Berita Kedokteran Masyarakat, Vol. 25, No. 2, Juni 2009 63

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi, Awusi RYE, dkk.

CI95%=0,38–4,63; p=0,89). Tidak ada hubunganyang bermakna secara statistik antara jarakPuskesmas dan penemuan penderita TB paru(OR=1,30; CI95%=0,38–4,60; p=0,89).

Hasil uji chi square pada Tabel 3 memperlihatkanbahwa ada hubungan yang bermakna secara statistikantara pelatihan DOTS dan penemuan penderita TBparu (OR=4,86; CI95% =1,30–18,13; p=0,03). Adahubungan yang bermakna secara statistik antarapelayanan KIE TB dan penemuan penderita TB paru(OR=8,75; CI95%=1,90–40,26); p=0,006). Adahubungan yang bermakna secara statistik antarapenjaringan suspek TB paru dan penemuan penderitaTB paru (OR=7,86; CI95%=1,88-32,90; p=0,004).

5. Analisis MultivariabelUntuk mendapatkan variabel yang paling

dominan berhubungan bermakna terhadappenemuan penderita TB paru, maka dilakukananalisis multivariabel antara variabel independen danvariabel dependen secara bersama-samamenggunakan uji regresi logistik dengan hasil sepertipada Tabel 4.

Tabel 4 hasil uji regresi logistik variabel yangmempengaruhi penemuan penderita TB paru

di Kota Palu

berarti petugas TB yang sudah pelatihan DOTSmempunyai peluang 5,84 kali lebih besar untukmenemukan penderita TB paru dibanding petugasTB yang belum pelatihan DOTS.

Nilai statistik koefisien determinasi (NagelkerkeR square) sebesar 0,47 berarti variabilitas variabeldependen (penemuan penderita TB paru) yang dapatdijelaskan oleh variabilitas variabel independensebesar 47%.

PEMBAHASAN1. Pengetahuan

Dari hasil analisis bivariabel dengan uji chisquare diperoleh nilai OR=0,75; (95%CI (0,22–2,60);p=0,16 dan analisis multivariabel dengan regresilogistik diperoleh nilai OR=0,20 menunjukkan tidakada hubungan yang bermakna secara statistik antarapengetahuan petugas TB dan penemuan penderitaTB paru (p=0,19). Berarti petugas TBberpengetahuan baik atau kurang memiliki peluangyang sama untuk menemukan penderita TB paru.

Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitiansebelumnya di Yogyakarta menemukan bahwa adahubungan yang bermakna secara statistik antarapengetahuan petugas kesehatan dan penemuanpenderita TB (OR=3,83; 95%CI=1,13-12,92;p=0,034).13 Perbedaan hasil penelitian ini karenakontribusi subjek yang berpengetahuan baikterhadap CDR rendah sama dengan kontribusisubjek yang berpengetahuan kurang terhadap CDRtinggi yaitu 11 responden.

Pada penelitian ini diperoleh gambaran bahwasubjek yang berpengetahuan baik karena merekatelah mengikuti pelatihan DOTS, pengetahuanpetugas TB yang kurang berdasarkan hasil observasikarena informasi tentang TB kurang terakses olehmasyarakat termasuk oleh petugas TB, pada saatpeneliti melakukan observasi ditemukan bahwainformasi melalui poster tentang penyakit TB danpengobatan TB gratis dengan DOTS hanya terlihatdi dua Puskesmas dan di Puskesmas lainnya tidakterlihat sama sekali padahal pengetahuan merupakandomain yang sangat penting dalam membentuktindakan seseorang. Informasi merupakan sumberpengetahuan masyarakat dan informasi yang kurangmenyebabkan pemahaman petugas TB kurangbahkan keliru tentang penyakit TB danpengobatannya yang gratis dengan strategi DOTS.Pengetahuan yang kurang pada petugas TB akan

Variabel β OR 95% CI Sig Pengetahuan -2,711 0,20 0,95-13,64 0,653 Tugas Rangkap -0,475 1,75 0,36-9,95 0,186 Pelatihan DOTS 2,293 5,84 1,54-26,77 0,016 Pelayanan KIE 0,417 8,85 2,18-36,97 0,003 Penjaringan TB 2,002 8,92 2,36-38,65 0,003

Berdasarkan hasil uji regresi logistik (Tabel 4)memperlihatkan bahwa dari lima variabel yangdiikutkan dalam analisis multivariabel ada tigavariabel yang berhubungan bermakna secara statistikdengan penemuan penderita TB paru (p<0,05) adalahpenjaringan suspek TB dengan nilai OR= 8,92(95%CI=2,36-38,65) berarti petugas TB yangmelakukan penjaringan suspek TB mempunyaipeluang 8,92 kali lebih besar untuk menemukanpenderita TB paru dibanding petugas TB yang tidakmelakukan penjaringan suspek TB. Pelayanan KIEdengan nilai OR=8,85 (95%CI=2,18-36,97) berartipetugas TB yang melakukan pelayanan KIEmempunyai peluang 8,85 kali lebih besar untukmenemukan penderita TB paru dibanding petugasTB yang tidak melakukan pelayanan KIE. PelatihanDOTS dengan nilai OR=5,84 (95%CI=1.52-17,26)

Berita Kedokteran MasyarakatVol. 25, No. 2, Juni 2009 halaman 59 - 68

64 Berita Kedokteran Masyarakat, Vol. 25, No. 2, Juni 2009

menyebabkan petugas kesehatan menjauhi pasienyang berkunjung ke Puskesmas dengan dengangejala-gejala TB.

2. Lama kerjaDari hasil analisis dengan uji chi square

memperlihatkan bahwa tidak ada hubungan yangbermakna secara statistik antara lama kerja danpenemuan penderita TB paru (p=0,16). Berartipetugas TB yang lama kerja = 2 tahun atau <2 tahunmemiliki peluang yang sama untuk menemukanpenderita TB paru.

Hasil penelitian ini mendukung temuansebelumnya di Bali bahwa tidak ada hubunganbermakna antara lama kerja petugas TB denganpenemuan penderita TB paru.11 Hal ini karena padahasil observasi peneliti dan tabulasi silang diperolehgambaran bahwa proporsi petugas TB yang lamakerjanya = 2 tahun atau < 2 tahun berkontribusi samabesar pada CDR rendah yaitu 12 responden.

3. Tugas rangkapDari hasil analisis dengan uji chi square

memperlihatkan bahwa tidak ada hubungan yangbermakna secara statistik antara tugas rangkap danpenemuan penderita TB paru (p=0,87). Berartipetugas TB dengan tugas rangkap atau tidakmemiliki peluang yang sama untuk menemukanpenderita TB paru.

Dari hasil analisis bivariabel dengan uji chisquare diperoleh nilai OR=1,46; 95%CI (0,35–6,0b);p=0,87 dan analisis multivariabel dengan regresilogistik diperoleh nilai OR=1,75 (95%CI=0,36-9,95)menunjukkan tidak ada hubungan yang bermaknasecara statistik antara tugas rangkap dan penemuanpenderita TB paru (nilai OR melewati angka 1).Berarti petugas TB dengan tugas rangkap atau tidakmemiliki peluang yang sama untuk menemukanpenderita TB paru.

Berbeda dengan hasil ini, penelitian sebelumnyadi Bali menemukan bahwa tugas rangkapberhubungan bermakna dengan penemuan penderitaTB paru.11 Hal ini karena kontribusi responden yangmemiliki tugas rangkap terhadap penemuanpenderita TB paru yang tinggi lebih kecil (13)dibanding (19) berkontribusi terhadap penemuanyang rendah. Sementara responden yang tidakmemiliki tugas rangkap memberikan kontribusi yangsama (5) terhadap penemuan penderita TB paru yang

tinggi maupun rendah. Namun kenyataannya secarapraktis berdasarkan hasil observasi peneliti, adanyatugas rangkap yang dimil iki petugas TBmenyebabkan kurangnya perhatian petugas terhadappasien yang berkunjung dengan gejala-gejala.Kadang terjadi ketika suspek datang denganmembawa pot dahak untuk pemeriksaan pagisewaktu, petugas TB sedang melakukan tugaslainnya.

4. Pelatihan DOTSHasil analisis uji chi square memperlihatkan ada

hubungan yang bermakna secara statistik antarapelatihan DOTS dan penemuan penderita TB paru(p=0,03). Konsisten dengan analisis bivariabel, padaanalisis multivariabel diketahui bahwa pelatihanDOTS berhubungan bermakna secara statistikdengan penemuan penderita TB paru (p=0,016) dannilai OR=5,84, berarti petugas TB yang sudahpelatihan DOTS mempunyai peluang 5,84 kali lebihbesar untuk menemukan penderita TB paru dibandingpetugas yang belum pelatihan DOTS.

Berdasarkan hasil observasi dan wawancarapada saat penelitian diperoleh gambaran bahwa diPuskesmas sewilayah kota Palu telah banyakpetugas kesehatan yang dilatih tentang strategiDOTS namun adanya pergantian staf yang cepatdan keterbatasan jumlah tenaga kesehatan, sehinggabanyak petugas kesehatan yang telah dilatih DOTSdimutasikan ke bagian pelayanan kesehatan lainnyadan diganti oleh petugas lain yang belum dilatihDOTS. Hal ini mengkibatkan manfaat pelatihan DOTSmenjadi tidak maksimal.

DOTS merupakan strategi penanggulangan TBdi Indonesia yang memberikan angka kesembuhanyang tinggi dengan biaya yang efektif. Strategi DOTStelah diimplementasikan di kota Palu sejak tahun1995. Pelatihan DOTS berjenjang dan berkelanjutanmerupakan bagian dari pengembangan sumber dayamanusia. Apabila semua petugas TB di Puskesmastelah mengikuti pelatihan DOTS dan menerapkannyadalam pelayanan kesehatan maka diharapkan angkapenemuan penderita TB paru akan meningkat pulasehingga mencapai target global (70%).

5. InsentifBerdasarkan analisis uji chi square variabel

insentif diketahui bahwa tidak ada hubungan yangbermakna secara statistik dengan penemuan

Berita Kedokteran Masyarakat, Vol. 25, No. 2, Juni 2009 65

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi, Awusi RYE, dkk.

penderita TB paru (p=0,89); OR=1,33 (Cl 95%=0,38-4,62); hal ini berarti bahwa tidak ada perbedaanpengaruh antara petugas TB dengan insentif cukupdibanding insentif kurang terhadap penemuanpenderita TB paru. Hal ini karena insentif yangdiberikan kepada masing-masing petugas TB samanilainya tanpa memperhitungkan kinerja petugas TBtersebut. Hal ini pun memungkinkan petugas TB lainmenjadi tidak peduli terhadap pencapaian targetglobal angka penemuan penderita TB paru yangdiharapkan (70%).

6. Pelayananan KIE TBHasil analisis uji chi square memperlihatkan ada

hubungan yang bermakna secara statistik antarapelayanan KIE TB dan penemuan penderita TB paru(p=0,006). Konsisten dengan analisis bivariabel,pada analisis multivariabel diketahui bahwa pelayananKIE TB berhubungan bermakna secara statistikdengan penemuan penderita TB paru (p=0,003) dannilai OR=8,85 (95%CI=2,18-36,97) berarti petugasTB yang melakukan pelayanan KIE TB mempunyaipeluang 8,85 kali lebih besar untuk menemukanpenderita TB paru dibanding petugas TB yang tidakmelakukan pelayanan KIE TB kepada suspek TBatau pasien dengan gejala-gejala TB paru.

Salah satu strategi dalam penanggulangan TBadalah meningkatkan dan memperluas pelayananDOTS yang berkualitas. Puskesmas merupakanfasilitas pelayanan kesehatan utama di kabupaten/kota dalam penemuan penderita TB dan pengobatanTB, namun mengalami hambatan karena pelayananKIE oleh petugas TB tidak sesuai dengan pedoman.Berdasarkan hasil observasi peneliti diperolehgambaran bahwa petugas TB di Puskesmassebagian besar tidak melakukan komunikasi awalyang ramah berupa pertanyaan mengenai keluhan-keluhan atau gejala-gejala yang dirasakan suspekTB, tidak memberi penjelasan tentang risikopenularan TB, pencegahannya, tidak memberikaninformasi tata cara pemeriksaannya sampai padapengobatannya yang gratis namun membutuhkanwaktu lama (6 bulan), tidak memberikan edukasi caramengeluarkan dahak yang benar untuk penegakandiagnosis yang tepat dan bahwa penyakit TB dapatdisembuhkan. Pada saat observasi ketika suspekmembawa pot dahak pagi (pemeriksaan ke-2Sewaktu-Pagi-Sewaktu) petugas TB sedangmelakukan pelayanan posyandu dan tidak ada

petugas kesehatan lain yang mau menerima potdahak tersebut sehingga suspek penderita TBkembali ke rumah dengan membawa pot dahaknyadan tidak kembali lagi setelah pemeriksaan dahaksewaktu dengan alasan jarak tempat tinggal yangjauh dari Puskesmas.

Pelayanan yang tidak sesuai pedomanpenanggulangan TB dengan strategi DOTS olehpetugas TB dapat pula disebabkan karenapengetahuan petugas TB yang kurang tentangpenanggulangan TB dengan strategi DOTS ataubelum pernah mengikuti pelatihan DOTS ataumerupakan petugas yang baru dimutasi menjadipetugas TB di Puskesmas. Hal ini merupakantantangan dalam pelayanan penanggulangan TBselain itu keterbatasan informasi mengenai TB danpenanggulangannya dengan strategi DOTS olehpenderita TB juga menjadi penyebab rendahnyapenemuan penderita TB paru di kota Palu.

Pelayanan KIE yang sesuai pedomanpenanggulangan TB terhadap suspek TB saatberkunjung ke Puskesmas didukung olehpengetahuan yang benar tentang penyakit TB danstrategi DOTS dengan pengobatan TB gratis akandapat meningkatkan angka penemuan (CDR)penderita TB paru. Tetapi kenyataannya pada saatobservasi sikap petugas kesehatan terhadap pasienyang batuk-batuk mereka tidak peduli atau tidakmelakukan tindakan apapun kecuali tindakanpemeriksaan oleh dokter yang bertugas di poliklinikPuskesmas.

Keterbatasan sumber daya manusia (petugasTB) menjadi alasan pelayanan KIE yang tidak sesuaipedoman. Meskipun telah dilakukan pelatihan DOTSyang intensif namun adanya pergantian staf yangcepat akan membatasi manfaat pelatihan DOTStersebut.

Berdasarkan hal tersebut pelayanan KIE danDOTS di Puskesmas tidak memadai untukmencapai target nasional program P2TB, sehinggadibutuhkan keterlibatan seluruh penyedia pelayanankesehatan pemerintah maupun swasta dalammembangun jejaring untuk menyediakan pelayananDOTS bagi seluruh lapisan masyarakat.

7. Penjaringan suspek TBHasil analisis uji chi square memperlihatkan ada

hubungan yang bermakna secara statistik antarapenjaringan suspek TB dan penemuan penderita TB

Berita Kedokteran MasyarakatVol. 25, No. 2, Juni 2009 halaman 59 - 68

66 Berita Kedokteran Masyarakat, Vol. 25, No. 2, Juni 2009

paru (p=0,004). Konsisten dengan analisis bivariabel,pada analisis multivariabel diketahui bahwapelayanan KIE TB berhubungan bermakna secarastatistik dengan penemuan penderita TB paru(p=0,003) dan nilai OR=8,92 (95%CI: 2,38-38,65),berarti petugas TB yang melakukan penjaringansuspek TB mempunyai peluang 8,92 kali lebih besaruntuk menemukan penderita TB paru dibandingpetugas TB yang tidak melakukan penjaringansuspek TB.

Di kota Palu kegiatan penjaringan suspek TBdilakukan pada saat posyandu dan hanya dilakukandi beberapa Puskesmas dengan persentase 35,71%namun yang berkontribusi pada tingginya penemuanpenderita TB paru sebesar 73,33%. Kenyataannyakegiatan penjaringan suspek TB sangat berpengaruhterhadap penemuan penderita TB paru. Kegiatanpenjaringan suspek TB hanya dilakukan di 4Puskesmas (Tipo, Kawatuna, Petobo dan Kamonji)dengan frekuensi setahun sekali sedangkanPuskesmas lainnya tidak melakukan sama sekalikegiatan penjaringan suspek TB. Keterbatasan dana/anggaran untuk program P2TB oleh pemerintahdaerah dan tidak adanya dana eksternal (GF ATM)menjadi alasan tidak dilakukannya kegiatanpenjaringan suspek TB atau hanya dilakukansetahun sekali.

Penemuan penderita TB paru merupakanlangkah pertama dalam kegiatan programpenanggulangan TB. Salah satu kegiatan untukmenemukan penderita TB yaitu dengan penjaringansuspek TB. Penjaringan dilakukan di unit pelayanankesehatan atau dengan melakukan pemeriksaanterhadap kontak pasien TB serumah, terutama yangmenunjukkan gejala sama harus diperiksa dahaknya.Kegiatan penjaringan suspek TB di Puskesmassewilayah kota Palu hanya dilakukan oleh beberapaPuskesmas karena dianggap tidak cost efektif, olehsebab itu metode penemuan penderita TB denganstrategi DOTS dilakukan dengan pasif case findingdengan promosi akti f , sehingga kegiatanpenjaringan hanya dilakukan bila sangat dibutuhkanpada wilayah-wilayah yang diduga ada kontak pasienTB atau di wilayah yang terdapat banyak penderitaTB namun sulit terakses oleh pelayanan kesehatan.Meskipun kegiatan penjaringan seperti inimembutuhkan biaya operasional yang lebih besarnamun menghasilkan angka penemuan penderita TBparu yang tinggi (87,5%) seperti pada Puskesmas

Tipo yang melakukan kegiatan penjaringan suspekpada tahun 2007.

8. JarakHasil analisis uji chi square variabel jarak

diketahui bahwa tidak ada hubungan yang bermaknasecara statistik dengan penemuan penderita TB paru(p=0,89); OR=1,33 (Cl 95%=0,38-4,62); hal iniberarti bahwa tidak ada perbedaan pengaruh antarajarak = 5km atau > 5km tempat tinggal suspek TBdengan pelayanan Puskesmas atau petugas TBterhadap penemuan penderita TB paru.

Hal yang berbeda oleh peneliti sebelumnya diNepal menyatakan bahwa jarak mempunyai peranvital dalam pemanfaatan fasilitas kesehatan.14 Hasilpenelitian di Bali dan Yogyakarta juga menemukanbahwa jarak Puskesmas/pelayanan petugas TBberhubungan bermakna dengan penemuanpenderita TB paru.11,15

Hal ini dimungkinkan karena berdasarkan hasiltabulasi silang memperlihatkan bahwa kontribusijarak = 5km pada CDR tinggi sama dengankontribusi jarak > 5km pada CDR rendah yaitu 11.

9. Penemuan penderita TB paruPenemuan penderita TB paru merupakan salah

satu indikator penting yang menentukankeberhasilan program P2TB dengan strategi DOTS.Namun dengan metode pasive case finding danpromosi yang aktif tidak dapat menjaring suspek TBparu secara maksimal. Tanpa didukung oleh sumberdaya yang memadai baik manusia, sarana danprasarana pendukung maka penemuan penderita TBparu akan terus menjadi masalah.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwapenemuan penderita TB paru di kota Palu dapatditingkatkan dengan penempatan petugas sesuaikompetensinya, perlu pelatihan DOTS yangberjenjang dan berkesinambungan terhadap semuapetugas penyedia pelayanan kesehatan, perluadanya evaluasi kinerja TB, perlu adanya insentifberbasis kinerja agar memotivasi petugas TB lebihpeka terhadap pasien yang berkunjung kePuskesmas dengan gejala-gejala TB paru.

Pelayanan kesehatan kabupaten/kotamerupakan tulang punggung program pengendalianTB paru. Setiap kabupaten/kota dilengkapi denganPRM, PS dan PPM Petugas TB meliputi DokterPuskesmas, petugas TB, teknisi laboratorium yang

Berita Kedokteran Masyarakat, Vol. 25, No. 2, Juni 2009 67

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi, Awusi RYE, dkk.

sudah dilatih. Ditingkat kabupaten/kota wasor TBbertanggung jawab atas register pengobatan, jejaringTB, ketersediaan obat TB, logistik TB. Pertemuanmonitoring dan evaluasi tidak dilakukan per triwulandi PRM. Pada tahun ini pelaksanan monitoring danevaluasi baru dilakukan sekali selama setahun,sehingga pengumpulan laporan/data menjadi tidakefektif dan memungkinkan hasilnya tidak akurat.

Sebagian besar penanggung jawab programP2TB di Puskesmas yang diwawancara,menerangkan bahwa dana untuk penanggulanganTB sangat kecil, sehingga untuk melakukanpenjaringan suspek untuk tahun 2007 hanyadilakukan oleh 4 Puskesmas yaitu Puskesmas Tipo,Kawatuna, Petobo dan Kamonji. Pelatihan DOTSuntuk tahun 2007 baru dilakukan akhir bulanSeptember 2007. Kurangnya/tidak adanya bantuandana eksternal sejak taun 2006 menjadi alasankurangnya perhatian terhadap program P2TB,sehingga intensitas program menurun atau tidaksesuai lagi dengan pedoman nasionalpenanggulangan TB.

Di kota Palu Puskesmas merupakan fasilitaspelayanan kesehatan utama dalam penemuan danpengobatan TB paru namun pola pencarianpengobatan penderita TB paru berbeda-beda, sepertimemilih berobat ke Puskesmas, praktek dokterswasta, praktik bidan/perawat dan dukun tradisionaloleh sebab itu masalah rendahnya angka penemuanpenderita TB paru antara lain dapat diatasi denganmelakukan penjaringan suspek TB paru di semuaunit penyedia pelayanan kesehatan sesuai polapencarian pengobatan masyarakat untuk dapatmeningkatkan angka penemuan penderita TB paru.

Dari hasil penelitian ini diketahui bahwa variabeldominan yang berhubungan bermakna terhadappenemuan penderita TB paru di kota Palu adalahpenjaringan suspek TB, pelayanan KIE dan pelatihanDOTS.

KESIMPULAN DAN SARANFaktor-faktor yang berpengaruh bermakna

dengan penemuan penderita TB paru adalahpenjaringan suspek TB, pelayanan KIE TB danpelatihan DOTS. Faktor dominan yang palingberpengaruh terhadap penemuan penderita TB parudi kota Palu adalah penjaringan suspek TB.

Perlu peningkatan intensitas programpenjaringan suspek TB dengan memperhatikan

riwayat kontak serumah dan pola pencarianpengobatan penderita TB paru di kota Palu,peningkatan pelayanan KIE tentang TB paru olehpetugas TB kepada masyarakat dan meningkatkanpelayanan TB berbasis masyarakat, peningkatanjumlah petugas kesehatan yang terlatih sesuaidengan kebutuhan program DOTS dan perluasanpelatihan DOTS yang berjenjang danberkesinambungan meliputi seluruh petugaspelayanan kesehatan pemerintah/swasta.

Memperkuat monitoring, surveilans danpemanfaatan informasi data sesuai pola pencarianpengobatan penderita TB paru serta evaluasi kinerjaP2TB dengan strategi DOTS agar akurasi data angkapenemuan penderita TB paru di kota Palu dapatditingkatkan sesuai dengan target global (70%).

KEPUSTAKAAN1. WHO Report, Global tuberculosis control,

surveillance, planning, financing: Geneva, 2007;Maret.

2. WHO Report, Global tuberculosis control,surveillance, planning, financing: WHO/HTM/TB/2006.362. WHO, Geneva, 2006.

3. WHO Report, Global Tuberculosis is Control,Surveillance, Planning, Financing, WHO,Geneva, 2005.

4. Badan Peneli t ian dan PengembanganKesehatan, Survei Prevalensi Tuberkulosis diIndonesia, 2004. Badan Penelit ian danPengembangan, Departemen Kesehatan.Jakarta, 2005.

5. Depkes RI, Kerangka Kerja Strategi pengendalianTBC Indonesia 2006-2010. Jakarta, 2006.

6. Depkes RI, Panduan bagi kader dalampenanggulangan TBC, Dirjen P2M dan PL,Jakarta, 2002.

7. Depkes RI, Pedoman Nasional PenanggulanganTuberkulosis, Edisi ke-2 Cetakan Pertama,Direktur Jendral PP/PL. Jakarta. 2006.

8. Dinas Kesehatan Kota Palu, Profil KesehatanKota Palu tahun 2007, Palu, 2007.

9. Enarson D, Chiang CY. & Murray JF, GlobalEpidemiology of Tuberculosis. In William N.Romm & Stuart M. Garay, (2nd), Tuberculosis.Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia.2000.

10. Lemeshow S, Hosmer JD. Klar J, Lwanga SK,Besar Sampel dalam Penelitian Kesehatan,

Berita Kedokteran MasyarakatVol. 25, No. 2, Juni 2009 halaman 59 - 68

68 Berita Kedokteran Masyarakat, Vol. 25, No. 2, Juni 2009

Diterjemahkan oleh Dibyo Pramono, GadjahMada University Press,Yogyakarta, 1997.

11. Made Puja Arianta, Kajian Penemuan PenderitaTB Paru di Kabupaten Buleleng, Tesis, TidakDipublikasikan, Program Pascasarjana,Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2005.

12. Stop TB Partnership and World HealthOrganization, Global Plan to Stop TB 2006-2015,World Health Organization, Geneva, 2006

13. Gerdunas-TB, Modul Pelatihan PenanggulanganTuberkulosis Nasional, Gerdunas TB, Jakarta,2001.

14. Dhungel B. Acessibility to Social Services inRural Nepal: A Case Study of Kavre District. MAthesis. Asian Institute of Technology, Bangkok,1993

15. Kismanu B, Evaluasi Penemuan Penderita TBParu di Kabupaten Kudus, Tesis, TidakDipublikasikan, Program Pascasarjana,Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2002.

16. Suharjana B, Pelaksanaan Penemuan PenderitaTuberkulosis di Kabupaten Sleman, Tesis Tidakdipublikasikan, Program Pascasarjana,Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2004.