dokumentasi kep

87
MODEL DOKUMENTASI KEPERAWATAN MATA KULIAH DOKUMENTASI KEPERAWATAN TA. 2011/2012 Dosen Pengajar: Ns.Apriyani Puji Hastuti, S.Kep

Upload: independent

Post on 14-Nov-2023

1 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

MODEL DOKUMENTASI KEPERAWATAN 

MATA KULIAH DOKUMENTASI KEPERAWATANTA. 2011/2012

        

 

 

 

 

 

 

 

Dosen Pengajar: 

 

Ns.Apriyani Puji Hastuti, S.Kep

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

POLITEKNIK KESEHATAN RS dr. SOEPRAOENPROGRAM STUDI KEPERAWATAN

MALANG 2011MODEL DOKUMENTASI KEPERAWATANOleh: Ns. Apriyani Puji Hastuti, S.Kep

 

1. 1.      Dokumentasi PORModel ini diperkenalkan oleh Dr. LAWRENCE weed at Cast Wester Reserve University in Cleveland Introduced pada tahun 1969 dengna nama Problem Oriented Medical Record (POMR) Kemudian diadopsi oleh dunia kebidanan dan keperawatan dengan bentuk Problem Oriented Record (POR) kemudian dikembangkan menjadi SOAP (Subjektif Information, Objektif Information, Assesment and Planning)Ada empat komponen dasar model POR, yaitu :

a. Data dasar

Merupakan alat utama untuk mengumpulkan data ssaat pasien masuk. Data dasar ini meliputi data Subjektif dan Data Objektif. Data subjektif merupakan hasil anamnesis pasien meliputi identitas, keluhan utama, riwayat penyakit sekarang dan sebelumnya, riwayat penyakit keluarga. Data objektif meliputi data hasil pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang lainnya.Data dasar bertujuan untuk mengenal masalah pasien dan sebagai dasar untuk bahan perbandingan dalam menilai kondisi pasien. Data dasar akan membantu dokter/perawat/bidan menentukan prioritas masalah dan membuat rencana asuhan yang tepat.b. Daftar masalah

Diperoleh dari hasil pengkajian data dasar. Setelah data dasar dikumpulkan secara lengkap selanjutnya disusun daftar masalah untuk mengidentifikasi masalah-masalah pasien.

Dalam catatan dokter dikenal sebagai medical problem/ diagnose medis yang terdiri dari diagnosis dan komplikasi yang menyertai, tanda gejala, hasil laboratorium yang patologi. Dalam dokumentasi kebidanan daftar masalah ini ditulis sebagai analysis

data/assessment, meliputi diagnosis kebidanan, masalah, kebutuhan, diagnosa potensial, masalah potensial dan kebutuhan tindakan segera.Masalah yang muncul bias lebih dari satu, sehingga perlu dicatat menurut prioritas masalah dengan member nomor, tanggal pencatatan dan menyebutkan maslahnya.c. Rencana awal

Rencana awal dibuat berdasarkan daftar masalah yang telah diidentifikasi. Rencana awal bidan disusun berupa rencana asuhan yang menyeluruh dan didokumentasikan setelah data dasar dikumpulkan dananalysis data/assessment dirumuskan. Penulisan rencana awal harus disertai waktu dan nama bidan yang menyusun. Pada metode SOAP rencana awal dimasukkan ke dalam Planning.Rencana awal meliputi tiga bagian :

1) Diagnostik à rencana untuk mengumpulkan lebih lanjut mengenai dignostik dan manajemen

2) Terapeutik à rencana untuk pengobatan/tera[i

3) Pendidikan à rencana penginformasian pada pasien tentang tindakan/ terapi yang diberikan

d. Catatan perkembangan

Merupakan catatan yang berhubungan dengan keadaan pasien selama menjalani asuhan. Bentuk catatan perkembangan antara lain:

1) Catatan berkesinambungan (lembar alur/ Floow sheet)Untuk mencatat hasil observasi perawatan secara umum, terutama pada keadaan umum pasien sering mengalami perubahan dengan cepat

2) Catatan naratif

Untuk mendokumentasikan catatan perkembangan pasien seperti SOAP, SOAPIE, SOAPIER

 

Contoh penerapan catatan naratif SOAP Notes

Tanggal Jam SOAP

30 Juli 2010 14.00 S : Mengeluh kenceng-kenceng semakin sering, lama dan kuat. Ibu merasa ingin meneran

O : Perineum menonjol, Anus membuka, VT :

Pembukaan 10 cm, ketuban utuh, kepala janin di hodge 3, STLD (+)

A : Inpartu Kala II awal

P : menyiapkan partus set, mengatur posisi sesuai yang diinginkan dan nyaman bagi ibu, memimpin ibu mengejan, menolong kelahiran bayi

Jam 14.30 Bayi lahir spontan, laki-laki APGAR SCORE 8

Perawat

Ttd dan nama terang

 

1. Dalam SOAPIER, S adalah data subjektif, O adalah Data Objektif, A adalah Analysis, P adalah Planning, I adalah Implementation, E adalah Evaluasi dan R adalah Reassesment

Contoh Penerapan Catatan Naratif SOAPIE

Tanggal Jam SOAP

30 Juli 2010 14.00

14.30

S : Mengeluh kenceng-kenceng semakin sering, lama dan kuat. Ibu merasa ingin meneran

O : Perineum menonjol, Anus membuka, VT : Pembukaan 10 cm, ketuban utuh, kepala janin di hodge 3, STLD (+)

A : Inpartu Kala II awal

P : Siapkan partus set, pimpin persalinan

I :menyiapkan partus set, mengatur posisi sesuai yang diinginkan dan nyaman bagi ibu, memimpin ibu mengejan, menolong kelahiran bayi

E : Bayi lahir spontan, laki-laki APGAR SCORE 8

Perawat

Ttd dan nama terang

 Contoh Penerapan Catatan Naratif SOAPIER

Tanggal Jam SOAP

30 Juli 2010

14.00

14.30

S : Mengeluh kenceng-kenceng semakin sering, lama dan kuat. Ibu merasa ingin meneran

O : Perineum menonjol, Anus membuka, VT : Pembukaan 10 cm, ketuban utuh, kepala janin di hodge 3, STLD (+)

A : Inpartu Kala II awal

P : Siapkan partus set, pimpin persalinan

I :menyiapkan partus set, mengatur posisi sesuai yang diinginkan dan nyaman bagi ibu, memimpin ibu mengejan, menolong kelahiran bayi

E : Bayi lahir spontan, laki-laki APGAR SCORE 8, Ibu Inpartu Kala III

R : Manajemen Aktif Kala III

Perawat

Nama terang dan ttd

1. Keuntungan Dokumentasi model POR adalah metode logis untuk melakukan analisi dan pemecahan masalah, memungkinkan komunikasi yang lebih efektifA. Catatan pulang/ catatan sembuh

Terdiri atas pembahasan singkat tentang setiap masalah yang ada dalam daftar masalah dan bagaimana masalah tersebut berakhir, apakah berhasil atau tidak berhasil diselesaikan. Ringkasan ini menjadi referensi untuk masalah yang tidak terselesaikan, agar dikomunikasikan ke institusi lain apabila pasien harus dirujuk.

1. Fokus pencatatatn asuhan keperawatan lebih menekankan pada masalah klien dan proses penyelesaian masalah daripada tugas dokumentasi

2. Evaluasi dan penyelesaian masalah secara jelas dicatat. Data disusun berdasarjab masalah yang spesifik.

3. Daftar masalah merupakan “check list” untuk diagnosa keperawatan dan untuk masalah klien. Daftar masalah tersebut mengingatkan perawat untuk suatu perhatian.

4. Data yang perlu diintervensi dijabarkan dalam rencana tindakan keperawatan5. Kerugian

A. Penekanan hanya pada

Sabtu, 26 November 2011RESUME KEJANG EPILEPSI

RESUME TINJAUAN KASUS

I.             BIODATANama                : Ny. TUmur                 : 47 THJenis Kelamin    : PerempuanAgama               : IslamSuku/Bangsa     : Jawa/IndonesiaPekerjaan          : IRTStatus                : MenikahAlamat              : Gondosari, PacitanDiagnosa           : EpilepsiNo.Reg              : 175672Tgl. Masuk        : 11 Nopember 2011 jam 11.00 WIBTgl. Pengkajian  : 11 Nopember 2011 jam 11.00 WIB

II.          KELUHAN UTAMA:Kepala pusing

III.       RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG:Kepala pusing, badan lemes, tidak kuat untuk aktifitas sehari-hari mulai tadi malam. Skala nyeri 4

IV.        RIWAYAT PENYAKIT MASA LALU:Pasien sering mengalami kejang-kejang tanpa sebab, keluar busa di mulut saat kejang berlangsung, kemudian tidak sadarkan diri selama kejang berlangsung, klien sudah menderita penyakit seperti ini sudah mulai dari kecil, anggota keluarga tidak ada yang menderita penyakit seperti ini.

V.           RIWAYAT PSIKOSOSIAL:Pasien berperan sebagai ibu rumah tangga

VI.        POLA AKTIFITAS SEHARI-HARI:a.       Makan         : ± 3x sehari dengan porsi sedangb.      Minum        : ± 3-5x gelas sedang dalam seharic.       Istirahat       : ± 2 jam siang hari, Malam ± 8 jamd.      Eliminasi     : BAK ± 5x/hari, BAB ± 1x/hari

e.       Aktifitas      : Selalu melakukan aktifitas sehari-hari sebagai ibu rumah tangga dengan 2 orang anakf.       Kebersihan  : Mandi ± 2x/hari, Sikat gigi 2x/hari

VII.     RIWAYAT KESEHATAN KELUARGA:Dalam anggota keluarga tidak ada yang menderita penyakit seperti yang diderita pasien, dan penyakit lainnya seperti DM, HT, ASMA dll.

VIII.  PEMERIKSAAN FISIK:1.      Tanda-tanda vital:

TD    : 130/80 MmHgNadi  : 88x/MntSuhu : 36,6 0 CRR    : 24x/Mnt

2.      Tinggi badan : 159 CmBerat badan  : 59 Kg

3.      Kepala         : Bentuk bulat, rambut bersih, tidak ada ketombe, warna rambut hitam.4.      Mata            : Konjungtiva merah muda5.      Hidung        : Tidak ada polip6.      Mulut          : Mukosa mulut lembab, tidak ada caries gigi, tidak ada gigi palsu.7.      Telingga      : Tidak ada keluar cairan8.      Dada           : Simetris kanan dan kiri, suara nafas vesikuler, tidak ada bunyi nafas tambahan9.      Jantung        : S1 dan S2 Tunggal10.  Abdomen    : Tidak terjadi nyeri tekan pada abdomen11.  Ekstremitas  : Bebas kanan kiri atas dan bawah12.  Integument : Tugor kulit baik, akral hangat

IX.        ANALISA DATA

No. DATA FOKUS ETIOLOGI MASALAH

1.DS:   Klien mengatakan kepalanya pusing.

DO:  Klien tampak memegangi kepala, Skala nyeri 4

     Ku/ Cukup     TTV: TD    : 130/80 MmHg

Post Kejang↓

Diskontinuitas Jaringan Otak↓

Rangsangan Nyeri Hipotalamus meningkat

Nyeri

              Nadi  : 88 x/Mnt              Suhu : 36,6 0 C              RR    : 24 x/mnt

↓Nyeri

X.           INTERVENSI

DX

TUJUAN DAN KRITERIA HASIL INTERVENSI

1.   :  Setelah dilakukan tindakan keperawatan, nyeri berkurang.

  : Pasien mengatakan nyeri berkurang (Hilang)

1.      Bina hubungan saling percaya (BHSP)

R/: Supaya pasien dapat percaya dengan tindakan yang akan dilakukan.

2.      Kaji jenis dan lokasi nyeri serta ketidak nyamanan pasien

R/:  Nyeri akan dirasakan pada spasme otot yang terjadi respon ncidera.

3.      Jelaskan penyebab nyeri

R/:  Dengan menjelaskan skala nyeri diharapkan pasien tidak khawatir

4.      Ajarkan tehnik distraksi dan relaksasi

R/:  Dapat mengurangi rasa nyeri5.      Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian obat

analgesic

R/:  Mempercepat proses penyembuhan dan untuk mengurangi nyeri

XI.        CATATAN PERKEMBANGAN

Dx TGL/JAM IMPLEMENTASI KEPERAWATAN EVALUASI TTD

1. 11/11/2011Jam 11.00

1.   Membina hubungan saling percaya antara perawat dengan pasien.

2.   Mengkaji jenis dan lokasi nyeri serta ketidak nyamanan pasien

3.   Menjelaskan penyebab nyeri

4.   Mengajarkan tehnik distraksi dan relaksasi

5.   Melakukan kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian obat analgesic

S: Pasen mengatakan nyeri pada kepala berkurang.

O: K/U Cukup     Pasien tampak masih merasakan

nyeri bila dipakai berjalan     Skala nyeri 3     TD    :  130/80 MmHg     Nadi  :  88 x/Mnt     Suhu :  36, 6 0 C     RR    : 24 x/MntA: Masalah teratasi sebagianP:  Lanjutkan intervensi dirumah

2013يناير، 26السبت،

LP BELL'S PALSY

LAPORAN PENDAHULUANBELL’S PALSY

I.             KONSEP MEDISA.    Pengertian

 Bell’s palsy atau prosoplegia adalah kelumpuhan fasialis tipe lower motor neuron akibat paralisis nervus fasial perifer yang terjadi secara akut dan penyebabnya tidak diketahui (idiopatik) di luar sistem saraf pusat tanpa disertai adanya penyakit neurologis lainnya. (Thamrinsyam,2002).

Bell’s palsy adalah suatu kondisi dimana otot – otot wajah di satu sisi menjadi bengkak dan meradang yang mengakibatkan setengah wajah akan tampak terkulai dan tak bertenaga. (Foster, 2008)

Bell’s palsy merupakan paresis nervus fasialis perifer yang penyebabnya tidak diketahui (idiopatik) dan bersifat akut. Banyak yang mencampuradukkan antara Bell’s palsy dengan paresis nervus fasialis perifer lainnya yang penyebabnya diketahui. (Widowati, 2000)

Paralisis fasial idiopatik atau Bell’s palsy, ditemukan oleh Sir Charles Bell, dokter dari Skotlandia. Bell’s palsy sering terjadi setelah infeksi virus atau setelah imunisasi, lebih sering

terjadi pada wanita hamil dan penderita diabetes serta penderita hipertensi. Bukti-bukti dewasa ini menunjukkan bahwa Herpes simplex tipe 1 berperan pada kebanyakan kasus. Berdasarkan temuan ini, paralisis fasial idiopatik sebagai nama lain dari Bell’s palsy tidak tepat lagi dan mungkin lebih baik menggantinya dengan istilah paralisis fasial herpes simpleks atau paralisis fasial herpetik. (Widowati, 2000)

Lokasi cedera nervus fasialis pada Bell’s palsy adalah di bagian perifer nukleus nervus VII. Cedera tersebut terjadi di dekat ganglion genikulatum. Salah satu gejala Bell’s palsy adalah kelopak mata sulit menutup dan saat penderita berusaha menutup kelopak matanya, matanya terputar ke atas dan matanya tetap kelihatan. Gejala ini disebut juga fenomena Bell. Pada observasi dapat dilihat juga bahwa gerakan kelopak mata yang tidak sehat lebih lambat jika dibandingkan dengan gerakan bola mata yang sehat (lagoftalmos).

B.     Epidemiologi Bell’s palsy menempati urutan ketiga penyebab terbanyak dari paralysis fasial akut. Di

dunia, insiden tertinggi ditemukan di Seckori, Jepang tahun 1986 dan insiden terendah ditemikan di Swedia tahun 1997. Di Amerika Serikat, insiden Bell’s palsy setiap tahun sekitar 23 kasus per 100.000 orang, 63% mengenai wajah sisi kanan. Insiden Bell’s palsy rata-rata 15-30 kasus per 100.000 populasi. Penderita diabetes mempunyai resiko 29% lebih tinggi, dibanding non-diabetes. Bell’s palsy mengenai laki-laki dan wanita dengan perbandingan yang sama. Akan tetapi, wanita muda yang berumur 10-19 tahun lebih rentan terkena daripada laki-laki pada kelompok umur yang sama. Penyakit ini dapat mengenai semua umur, namun lebih sering terjadi pada umur 15-50 tahun. Pada kehamilan trisemester ketiga dan 2 minggu pasca persalinan kemungkinan timbulnya Bell’s palsy lebih tinggi daripada wanita tidak hamil, bahkan bisa mencapai 10 kali lipat .

C.    Etiologi Diperkirakan, penyebab Bell’s palsy adalah virus. Akan tetapi, baru beberapa tahun

terakhir ini dapat dibuktikan etiologi ini secara logis karena pada umumnya kasus Bell’s palsy sekian lama dianggap idiopatik. Telah diidentifikasi gen Herpes Simpleks Virus (HSV) dalam ganglion genikulatum penderita Bell’s palsy. Dulu, masuk angin (misalnya hawa dingin, AC, atau menyetir mobil dengan jendela terbuka) dianggap sebagai satu-satunya pemicu Bell’s palsy. Akan tetapi, sekarang mulai diyakini HSV sebagai penyebab Bell’s palsy. Tahun 1972, McCormick pertama kali mengusulkan HSV sebagai penyebab paralisis fasial idiopatik. Dengan analaogi bahwa HSV ditemukan pada keadaan masuk angin (panas dalam/cold sore), dan beliau memberikan hipotesis bahwa HSV bisa tetap laten dalam ganglion genikulatum. Sejak saat itu, penelitian biopsi memperlihatkan adanya HSV dalam ganglion genikulatum pasien Bell’s palsy. Murakami at.all melakukan tes PCR (Polymerase-Chain Reaction) pada cairan endoneural N.VII penderita Bell’s palsy berat yang menjalani pembedahan dan menemukan HSV dalam cairan endoneural. Apabila HSV diinokulasi pada telinga dan lidah tikus, maka akan ditemukan antigen

virus dalam nervus fasialis dan ganglion genikulatum. Varicella Zooster Virus (VZV) tidak ditemukan pada penderita Bell’s palsy tetapi ditemukan pada penderita Ramsay Hunt syndrome. (Foster, 2008)

Banyak kontroversi mengenai etiologi dari Bell’s palsy, tetapi ada 4 teori yang dihubungkan dengan etiologi Bell’s palsy yaitu :

1.      Teori Iskemik vaskulerNervus fasialis dapat menjadi lumpuh secara tidak langsung karena gangguan regulasi

sirkulasi darah di kanalis fasialis.2.      Teori infeksi virus

 Virus yang dianggap paling banyak bertanggungjawab adalah Herpes Simplex Virus (HSV), yang terjadi karena proses reaktivasi dari HSV  (khususnya tipe 1).

3.      Teori herediter Bell’s palsy terjadi mungkin karena kanalis fasialis yang sempit pada keturunan atau

keluarga tersebut, sehingga menyebabkan predisposisi untuk terjadinya paresis fasialis.4.      Teori imunologi

 Dikatakan bahwa Bell’s palsy terjadi akibat reaksi imunologi terhadap infeksi virus yang timbul sebelumnya atau sebelum pemberian imunisasi.

D.    AnatomiSaraf otak ke VII mengandung 4 macam serabut, yaitu :

1.      Serabut somato motorik, yang mensarafi otot-otot wajah kecuali m. levator palpebrae (n.II), otot platisma, stilohioid, digastrikus bagian posterior dan stapedius di telinga tengah.

2.      Serabut visero-motorik, (parasimpatis) yang datang dari nukleus salivatorius superior. Serabut saraf ini mengurus glandula dan mukosa faring, palatum, rongga hidung, sinus paranasal, dan glandula submaksilaris serta sublingual dan lakrimalis.

3.      Serabut visero-sensorik, yang menghantar impuls dari alat pengecap di dua pertiga bagian depan lidah.

4.      Serabut somato-sensorik, rasa nyeri dan mungkin juga rasa suhu dan rasa raba dari sebagian daerah kulit dan mukosa yang dipersarafi oleh nervus trigeminus.         Nervus VII terutama terdiri dari saraf motorik yang mempersarafi seluruh otot mimik wajah. Komponen sensorisnya kecil, yaitu nervus intermedius Wrisberg yang mengantarkan rasa kecap dari dua pertiga bagian lidah dan sensasi kulit dari dinding anterior kanalis auditorius eksterna. Serabut-serabut kecap pertama-tama melintasi nervus lingual, yaitu cabang dari nervus mandibularis lalu masuk ke korda timpani dimana ia membawa sensasi kecap melalui nervus fasialis ke nukleus traktus solitarius. Serabut-serabut sekretomotor menginnervasi kelenjar lakrimal melalui nervus petrosus superfisial major dan kelenjar sublingual serta kelenjar submaksilar melalui korda tympani.         Nukleus (inti) motorik nervus VII terletak di ventrolateral nukleus abdusens, dan serabut nervus fasialis dalam pons sebagian melingkari dan melewati bagian ventrolateral nukleus

abdusens sebelum keluar dari pons di bagian lateral traktus kortikospinal. Karena posisinya yang berdekatan (jukstaposisi) pada lantai ventrikel IV, maka nervus VI dan VII dapat terkena bersama-sama oleh lesi vaskuler atau lesi infiltratif. Nervus fasialis masuk ke meatus akustikus internus bersama dengan nervus akustikus lalu membelok tajam ke depan dan ke bawah di dekat batas anterior vestibulum telinga dalam. Pada sudut ini (genu) terletak ganglion sensoris yang disebut genikulatum karena sangat dekat dengan genu. Nervus fasialis terus berjalan melalui kanalis fasialis tepat di bawah ganglion genikulatum untuk memberikan percabangan ke ganglion pterygopalatina, yaitu nervus petrosus superfisial major, dan di sebelah yang lebih distal memberi persarafan ke m. stapedius yang dihubungkan oleh korda timpani. Lalu n. fasialis keluar dari kranium melalui foramen stylomastoideus kemudian melintasi kelenjar parotis dan terbagi menjadi lima cabang yang melayani otot-otot wajah, m. stilomastoideus, platisma dan m. digastrikus venter posterior.         Lokasi cedera nervus fasialis pada Bell’s palsy adalah di bagian perifer nukleus nervus VII. Cedera tersebut terjadi di dekat ganglion genikulatum. Jika lesinya berlokasi di bagian proksimal ganglion genikulatum, maka paralisis motorik akan disertai gangguan fungsi pengecapan dan gangguan fungsi otonom. Lesi yang terletak antara ganglion genikulatum dan pangkal korda timpani akan mengakibatkan hal serupa tetapi tidak mengakibatkan gangguan lakrimasi. Jika lesinya berlokasi di foramen stilomastoideus maka yang terjadi hanya paralisis fasial (wajah).

E.     PatofisiologiPara ahli menyebutkan bahwa pada Bell’s palsy terjadi proses inflamasi akut pada nervus

fasialis di daerah tulang temporal, di sekitar foramen stilomastoideus. Bell’s palsy hampir selalu terjadi secara unilateral. Namun demikian dalam jarak waktu satu minggu atau lebih dapat terjadi paralysis bilateral. Penyakit ini dapat berulang atau kambuh. Patofisiologinya belum jelas, tetapi salah satu teori menyebutkan terjadinya proses inflamasi pada nervus fasialis yang menyebabkan peningkatan diameter nervus fasialis sehingga terjadi kompresi dari saraf tersebut pada saat melalui tulang temporal. Perjalanan nervus fasialis keluar dari tulang temporal melalui kanalis fasialis yang mempunyai bentuk seperti corong yang menyempit pada pintu keluar sebagai foramen mental. Dengan bentukan kanalis yang unik tersebut, adanya inflamasi, demyelinisasi atau iskemik dapat menyebabkan gangguan dari konduksi. Impuls motorik yang dihantarkan oleh nervus fasialis bisa mendapat gangguan di lintasan supranuklear, nuklear dan infranuklear. Lesi supranuklear bisa terletak di daerah wajah korteks motorik primer atau di jaras kortikobulbar ataupun di lintasan asosiasi yang berhubungan dengan daerah somatotropik wajah di korteks motorik primer. Karena adanya suatu proses yang dikenal awam sebagai “masuk angin” atau dalam bahasa inggris “cold”.

Paparan udara dingin seperti angin kencang, AC, atau mengemudi dengan kaca jendela yang terbuka diduga sebagai salah satu penyebab terjadinya Bell’s palsy. Karena itu nervus fasialis bisa sembab, ia terjepit di dalam foramen stilomastoideus dan menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN. Pada lesi LMN bias terletak di pons, di sudut serebelo-pontin, di os petrosum atau

kavum timpani, di foramen stilomastoideus dan pada cabang-cabang tepi nervus fasialis. Lesi di pons yang terletak di daerah sekitar inti nervus abdusens dan fasikulus longitudinalis medialis. Karena itu paralisis fasialis LMN tersebut akan disertai kelumpuhan muskulus rektus lateralis atau gerakan melirik ke arah lesi. Selain itu, paralisis nervus fasialis LMN akan timbul bergandengan dengan tuli perseptif ipsilateral dan ageusia (tidak bisa mengecap dengan 2/3 bagian depan lidah). Berdasarkan beberapa penelitian bahwa penyebab utama Bell’s palsy adalah reaktivasi virus herpes (HSV tipe 1 dan virus herpes zoster) yang menyerang saraf kranialis. Terutama virus herpes zoster karena virus ini menyebar ke saraf melalui sel satelit. Pada radang herpes zoster di ganglion genikulatum, nervus fasialis bisa ikut terlibat sehingga menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN.

Kelumpuhan pada Bell’s palsy akan terjadi bagian atas dan bawah dari otot wajah seluruhnya lumpuh. Dahi tidak dapat dikerutkan, fisura palpebra tidak dapat ditutup dan pada usaha untuk memejam mata terlihatlah bola mata yang berbalik ke atas. Sudut mulut tidak bisa diangkat. Bibir tidak bisa dicucurkan dan platisma tidak bisa digerakkan. Karena lagoftalmos, maka air mata tidak bisa disalurkan secara wajar sehingga tertimbun disitu (Foster,2008).

F.     Gejala klinik Pada awalnya, penderita merasakan ada kelainan di mulut pada saat bangun tidur,

menggosok gigi atau berkumur, minum atau berbicara. Setelah merasakan adanya kelainan di daerah mulut maka penderita biasanya memperhatikannya lebih cermat dengan menggunakan cermin.

Mulut tampak moncong terlebih pada saat meringis, kelopak mata tidak dapat dipejamkan (lagoftalmos), waktu penderita disuruh menutup kelopak matanya maka bola mata tampak berputar ke atas.(tanda Bell). Penderita tidak dapat bersiul atau meniup, apabila berkumur atau minum maka air keluar melalui sisi mulut yang lumpuh. Selanjutnya gejala dan tanda klinik lainnya berhubungan dengan tempat/lokasi lesi.

1.      Lesi di luar foramen stilomastoideusMulut tertarik ke arah sisi mulut yang sehat, makanan berkumpul di antar pipi dan gusi, dan sensasi dalam (deep sensation) di wajah menghilang. Lipatan kulit dahi menghilang. Apabila mata yang terkena tidak tertutup atau tidak dilindungi maka aur mata akan keluar terus menerus.

2.      Lesi di kanalis fasialis (melibatkan korda timpani)Gejala dan tanda klinik seperti pada (1), ditambah dengan hilangnya ketajaman pengecapan

lidah (2/3 bagian depan) dan salivasi di sisi yang terkena berkurang. Hilangnya daya pengecapan pada lidah menunjukkan terlibatnya nervus intermedius, sekaligus menunjukkan lesi di daerah antara pons dan titik di mana korda timpani bergabung dengan nervus fasialis di kanalis fasialis.

3.      Lesi di kanalis fasialis lebih tinggi lagi (melibatkan muskulus stapedius)Gejala dan tanda klinik seperti pada (1), (2), ditambah dengan adanya hiperakusis.

4.      Lesi di tempat yang lebih tinggi lagi (melibatkan ganglion genikulatum) Gejala dan tanda klinik seperti (1), (2), (3) disertai dengan nyeri di belakang dan di dalam liang telinga. Kasus seperti ini

dapat terjadi pasca herpes di membran timpani dan konka. Ramsay Hunt adalah paralisis fasialis perifer yang berhubungan dengan herpes zoster di ganglion genikulatum. Lesi herpetik terlibat di membran timpani, kanalis auditorius eksterna dan pina.

5.      Lesi di daerah meatus akustikus interna Gejala dan tanda klinik seperti (1), (2), (3), (4), ditambah dengan tuli sebagi akibat dari terlibatnya nervus akustikus.

6.      Lesi di tempat keluarnya nervus fasialis dari pons.Gejala dan tanda klinik sama dengan di atas, disertai gejala dan tanda terlibatnya nervus trigeminus, nervus akustikus, dan kadang-kadang juga nervus abdusens, nervus aksesorius, dan nervus hipoglosus.

 Sindrom air mata buaya (crocodile tears syndrome) merupakan gejala sisa Bell’s palsy, beberapa bulan pasca awitan, dengan manifestasi klinik: air mata bercucuran dari mata yang terkena pada saat penderita makan. Nervus fasilais menginervasi glandula lakrimalis dan glandula salivatorius submandibularis. Diperkirakan terjadi regenerasi saraf salivatorius tetapi dalam perkembangannya terjadi ‘salah jurusan’ menuju ke glandula lakrimalis.

G.    Pemeriksaan penunjang1.      Pemeriksaan Fisis

   Kelumpuhan nervus fasialis mudah terlihat hanya dengan pemeriksaan fisik tetapi yang harus diteliti lebih lanjut adalah apakah ada penyebab lain yang menyebabkan kelumpuhan nervus fasialis. Pada lesi supranuklear, dimana lokasi lesi di atas nukleus fasialis di pons, maka lesinya bersifat UMN. Pada kelainan tersebut, sepertiga atas nervus fasialis normal, sedangkan dua pertiga di bawahnya mengalami paralisis. Pemeriksaan nervus kranialis yang lain dalam batas normal.

2.      Pemeriksaan LaboratoriumTidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk menegakkan diagnosis Bell’s palsy.

3.      Pemeriksaan RadiologiPemeriksaan radiologi bukan indikasi pada Bell’s palsy. Pemeriksaan CT-Scan dilakukan jika dicurigai adanya fraktur atau metastasis neoplasma ke tulang, stroke, sklerosis multipel dan AIDS pada CNS. Pemeriksaan MRI pada pasien Bell’s palsy akan menunjukkan adanya penyangatan (Enhancement) pada nervus fasialis, atau pada telinga, ganglion genikulatum.

H.    Diagnosis         Diagnosis Bell’s palsy dapat ditegakkan dengan melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisis. Pada pemeriksaan nervus kranialis akan didapatkan adanya parese dari nervus fasialis yang menyebabkan bibir mencong, tidak dapat memejamkan mata dan rasa nyeri pada telinga. Hiperakusis dan augesia juga dapat ditemukan. Harus dibedakan antara lesi UMN dan LMN. Pada Bell’s palsy lesinya bersifat LMN

I.       PengobatanMelindungi mata pada saat tidur dan pemberian tetes mata metilselulosa, memijat otot-otot

yang lemah dan mencegah kendornya otot-otot di bagian bawah wajah merupakan kondisi yang dapat dikelola secara umum Belum ada bukti yang mendukung bahwa tindakan pembedahan efektif terhadap nervus fasialis, bahkan kemungkinan besar dapat membahayakan.

Pemberian kortikosteroid (perdnison dengan dosis 40 -60 mg/hari per oral atau 1 mg/kgBB/hari selama 3 hari, diturunkan perlahan-lahan selama 7 hari kemudian), dimana pemberiannya dimulai pada hari kelima setelah onset penyakit, gunanya untuk meningkatkan peluang kesembuhan pasien.

Dasar dari pengobatan ini adalah untuk menurunkan kemungkinan terjadinya kelumpuhan yang sifatnya permanen yang disebabkan oleh pembengkakan nervus fasialis di dalam kanal fasialis yang sempit.

Penemuan genom virus disekitar nervus fasialis memungkinkan digunakannya agen-agen antivirus pada penatalaksanaan Bell’s palsy. Acyclovir (400 mg selama 10 hari) dapat digunakan dalam penatalaksanaan Bell’s palsy yang dikombinasikan dengan prednison atau dapat juga diberikan sebagai dosis tunggal untuk penderita yang tidak dapat mengkonsumsi prednison. Penggunaan Acyclovir akan berguna jika diberikan pada 3 hari pertama dari onset penyakit untuk mencegah replikasi virus.

J.      Diagnosis bandingKondisi lain yang dapat menyebabkan kelumpuhan nervus fasialis diantaranya tumor,

infeksi herpes zoster pada ganglion genikulatum (Ramsay Hunt syndrom), penyakit Lyme, AIDS dan sarkoidosis(1), Guillain Barre syndrom, Diabetes Mellitus.

K.    Komplikasi Kira-ki ra 30% pasien Bell’s palsy yang sembuh dengan gejala sisa seperti fungsi motorik

dan sensorik yang tidak sempurna, serta kelemahan saraf parasimpatik.Komplikasi yang paling banyak terjadi yaitu disgeusia atau ageusia, spasme nervus fasialis

yang kronik dan kelemahan saraf parasimpatik yang menyebabkan kelenjar lakrimalis tidak berfungsi dengan baik sehingga terjadi infeksi pada kornea.

L.     PrognosisWalaupun tanpa diberikan terapi, pasien Bell’s palsy cenderung memiliki prognosis yang

baik.Dalam sebuah penelitian pada 1.011 penderita Bell’s palsy, 85% memperlihatkan tanda-tanda perbaikan pada minggu ketiga setelah onset penyakit. 15% kesembuhan terjadi pada 3-6 bulan kemudian.

Sepertiga dari penderita Bell’s palsy dapat sembuh seperti sedia kala tanpa gejala sisa. 1/3 lainnya dapat sembuh tetapi dengan elastisitas otot yang tidak berfungsi dengan baik. Penderita seperti ini tidak memiliki kelainan yang nyata.4 Penderita Bell’s palsy dapat sembuh total atau meninggalkan gejala sisa.. Faktor resiko yang memperburuk prognosis Bell’s palsy adalah:

1.      Usia di atas 60 tahun2.      Paralisis komplit3.      Menurunnya fungsi pengecapan atau aliran saliva pada sisi yang lumpuh,4.      Nyeri pada bagian belakang telinga dan5.      Berkurangnya air mata.

Pada penderita kelumpuhan nervus fasialis perifer tidak boleh dilupakan untuk mengadakan pemeriksaan neurologis dengan teliti untuk mencari gejala neurologis lain.

Pada umumnya prognosis Bell’s palsy baik: sekitar 80-90 % penderita sembuh dalam waktu 6 minggu sampai tiga bulan tanpa ada kecacatan. Penderita yang berumur 60 tahun atau lebih, mempunyai peluang 40% sembuh total dan beresiko tinggi meninggalkan gejala sisa. Penderita yang berusia 30 tahun atau kurang, hanya punya perbedaan peluang 10-15 persen antara sembuh total dengan meninggalkan gejala sisa. Jika tidak sembuh dalam waktu 4 bulan, maka penderita cenderung meninggalkan gejala sisa, yaitu sinkinesis, crocodile tears dan kadang spasme hemifasial.

Penderita diabetes 30% lebih sering sembuh secara parsial dibanding penderita nondiabetik dan penderita DM lebih sering kambuh dibanding yang non DM. Hanya 23 % kasus Bells palsy yang mengenai kedua sisi wajah. Bell’s palsy kambuh pada 10-15 % penderita. Sekitar 30 % penderita yang kambuh ipsilateral menderita tumor N. VII atau tumor kelenjar parotis

M.   Rehabilitasi Medik Pada Penderita Bell’s PalsySebelum kita membahas mengenai rehabilitasi medik pada Bell’s palsy maka akan

dibicarakan mengenai rehabilitasi secara umum. Rehabilitasi medik menurut WHO adalah semua tindakan yang ditujukan guna mengurangi dampak cacat dan handicap serta meningkatkan kemampuan penyandang cacat mencapai integritas sosial. Tujuan rehabilitasi medik adalah :

1.      Meniadakan keadaan cacat bila mungkin2.      Mengurangi keadaan cacat sebanyak mungkin3.      Melatih orang dengan sisa keadaan cacat badan untuk dapat hidup dan bekerja dengan apa yang

tertinggal.Untuk mencapai keberhasilan dalam tujuan rehabilitasi yang efektif dan efisien maka

diperlukan tim rehabilitasi medik yang terdiri dari dokter, fisioterapis, okupasi terapis, ortotis prostetis, ahli wicara, psikolog, petugas sosial medik dan perawat rehabilitasi medik.

Sesuai dengan konsep rehabilitasi medik yaitu usaha gabungan terpadu dari segi medik, sosial dan kekaryaan, maka tujuan rehabilitasi medik pada Bell’s palsy adalah untuk mengurangi/mencegah paresis menjadi bertambah dan membantu mengatasi problem sosial serta psikologinya agar penderita tetap dapat melaksanakan aktivitas kegiatan sehari-hari. Program-program yang diberikan adalah program fisioterapi, okupasi terapi, sosial medik, psikologi dan ortotik prostetik, sedang program perawat rehabilitasi dan terapi wicara tidak banyak berperan.

1.      Program Fisioterapia.       Pemanasan :

  Pemanasan superfisial dengan infra red.  Pemanasan dalam berupa Shortwave Diathermy atau Microwave Diathermy\  Stimulasi listrik

Tujuan pemberian stimulasi listrik yaitu menstimulasi otot untuk mencegah/memperlambat terjadi atrofi sambil menunggu proses regenerasi dan memperkuat otot yang masih lemah. Misalnya dengan faradisasi yang tujuannya adalah untuk menstimulasi otot, reedukasi dari aksi otot, melatih fungsi otot baru, meningkatkan sirkulasi serta mencegah/meregangkan perlengketan. Diberikan 2 minggu setelah onset.

b.      Latihan otot-otot wajah dan massage wajah        Latihan gerak volunter otot wajah diberikan setelah fase akut. Latihan berupa mengangkat alis tahan 5 detik, mengerutkan dahi, menutup mata dan mengangkat sudut mulut, tersenyum, bersiul/meniup (dilakukan didepan kaca dengan konsentrasi penuh)        Massage adalah manipulasi sitemik dan ilmiah dari jaringan tubuh dengan maksud untuk perbaikan/pemulihan. Pada fase akut, Bell’s palsy diberi gentle massage secara perlahan dan berirama. Gentle massage memberikan efek mengurangi edema, memberikan relaksasi otot dan mempertahankan tonus otot.1,3 Setelah lewat fase akut diberi Deep Kneading Massage sebelum latihan gerak volunter otot wajah. Deep Kneading Massage memberikan efek mekanik terhadap pembuluh darah vena dan limfe, melancarkan pembuangan sisa metabolik, asam laktat, mengurangi edema, meningkatkan nutrisi serabut-serabut otot dan meningkatkan gerakan intramuskuler sehingga melepaskan perlengketan.11 Massage daerah wajah dibagi 4 area yaitu dagu, mulut, hidung dan dahi. Semua gerakan diarahkan keatas, lamanya 5-10 menit.

2.      Program Terapi Okupasi              Pada dasarnya terapi disini memberikan latihan gerak pada otot wajah. Latihan diberikan dalam bentuk aktivitas sehari-hari atau dalam bentuk permainan. Perlu diingat bahwa latihan secara bertahap dan melihat kondisi penderita, jangan sampai melelahkan penderita. Latihan dapat berupa latihan berkumur, latihan minum dengan menggunakan sedotan, latihan meniup lilin, latihan menutup mata dan mengerutkan dahi di depan cermin.

3.      Program Sosial Medik              Penderita Bell’s palsy sering merasa malu dan menarik diri dari pergaulan sosial. Problem sosial biasanya berhubungan dengan tempat kerja dan biaya. Petugas sosial medik dapat membantu mengatasi dengan menghubungi tempat kerja, mungkin untuk sementara waktu dapat bekerja pada bagian yang tidak banyak berhubungan dengan umum. Untuk masalah biaya, dibantu dengan mencarikan fasilitas kesehatan di tempat kerja atau melalui keluarga. Selain itu memberikan penyuluhan bahwa kerja sama penderita dengan petugas yang merawat sangat penting untuk kesembuhan penderita.

4.      Program Psikologik              Untuk kasus-kasus tertentu dimana ada gangguan psikis amat menonjol, rasa cemas sering menyertai penderita terutama pada penderita muda, wanita atau penderita yang

mempunyai profesi yang mengharuskan ia sering tampil di depan umum, maka bantuan seorang psikolog sangat diperlukan.

5.       Program Ortotik – Prostetik              Dapat dilakukan pemasangan “Y” plester dengan tujuan agar sudut mulut yang sakit tidak jatuh. Dianjurkan agar plester diganti tiap 8 jam. Perlu diperhatikan reaksi intoleransi kulit yang sering terjadi. Pemasangan “Y” plester dilakukan jika dalam waktu 3 bulan belum ada perubahan pada penderita setelah menjalani fisioterapi. Hal ini dilakukan untuk mencegah teregangnya otot Zygomaticus selama parese dan mencegah terjadinya kontraktur.

6.      Home Progamea.       Kompres hangat daerah sisi wajah yang sakit selama 20 menitb.      Massage wajah yang sakit ke arah atas dengan menggunakan tangan dari sisi wajah yang sehatc.       Latihan tiup lilin, berkumur, makan dengan mengunyah disisi yang sakit, minum dengan

sedotan, mengunyah permen karetd.      Perawatan mata :  Beri obat tetes mata (golongan artifial tears) 3x sehari  Memakai kacamata gelap sewaktu bepergian siang hari  Biasakan menutup kelopak mata secara pasif sebelum tidur

DAFTAR PUSTAKA

(Widowati, ). Paralisis Bell. Dalam: Harsono, ed. Kapita selekta neurologi; Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 2000.Doengues. 2001. Rencana Asuhan Keperawatan Pasien, edisi 3; EGC. Jakarta(Foster). Buku Ajar Asuhan Keperawatan dengan Gangguan System Persarafan.Salemba medika: Jakarta 2008(Thamrinsyam). Tata Pemeriksaan Klinis dalam Neurologi. Edisi ke-2. Jakarta :2002Walton SJ. Disease of Nervous System, 9th ed. English : ELBS, 1985Thamrinsyam. Penilaian Derajat Kekuatan Otot Fasialis. Dalam : Thamrinsyam dkk. Bell’s Palsy. Surabaya : Unit Rehabilitasi Medik RSUD Dr. Soetomo/FK UNAIR,   1991http://www.irwanashari.com/2009/04/bells-palsy.html.(DI AKSES TANGGAL 28 -11-2010)http://musyrihah-megarezky.blogspot.com/2011/11/askep-bells-palsy.html

II. KONSEP DASAR KEPERAWTANA.    PengkajianPengkajian keperawatan klien dengan Belll’s palsy meliputi anamnesis riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, pemeriksaan diagnostik dan pengkajian psikososial.1.      AnamnesisKeluhan utama yang sering menjadi alasan klien meminta pertolongan kesehatan dalah berhubungan dengan kelumpuhan otot wajah terjadi pada satu sisi.2.      Riwayat penyakit saat iniFaktor riwayat penyakit sangat penting diketahui karena untuk menunjang keluhan utama klien. Disini harus ditanya dengan jelas tentang gejala yang timbul seperti kapan mulai serangan, sembuh, atau bertambah buruk. Pada pengkajian klien Bell;s palsy biasanya didapatkan keluhan kelumpuhan otot wajah pada satu sisi.      Kelumpuhan fasialis ini melibatkan semua otot wajah sesisi. Bila dahi dikerutkan, lipatan kulit dahinya hanya tampak pada sisi yang sehat saja. Bila klien disuruh memejamkan kedua matanya, maka pada sisi yang tidak sehat, kelopak mata tidak dapat menutupi bola mata dan berputarnya bola mata keatas dapat disaksikan. Fenomena tersebut dikenal sebagai tanda bell.3.      Riwayat penyakti dahuluPengkajian penyakit yang pernah dialami klien yang memungkinkan adanya hubungan atau menjadi predisposisi keluhan sekarang meliputi pernahkah klien mengalami penyakit iskemia vaskuler, otitis media, tumor intrakranial, truma kapitis, penyakit virus (herpes simplek, herpes zoster), penyakit autoimun, atau kombinasi semua faktor ini. Pengkajian pemakaian obat-obatan yang sering digunakan klien, pengkajian kemana klien sudah meminta pertolongan dapat mendukung pengkajian dari riwayat penyakit sekarang dan merupakan data dasar untuk mengkaji lebih jauh dan untuk memberikan tindakan selanjutnya.4.      Pengkajian psiko-sosio-spiritual

Pengkajian psikologis klien Bell’s palsy meliputi beberapa penilaian yang memungkinkan perawat untuk memperoleh persepsi yang jelas mengenai status emosi, kogniti dan perilaku klien. Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien juga penting untuk menilai respons emosi klien terhadap kelumpuhan otot wajah sesisi dan perubahan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respons atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-hari baik dalam keluarga atau masyarakat. Apakah ada dampak yang timbul pada klien, yaitu timbul ketakutan akan kecacatan, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal dan pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan citra tubuh). Pengkajian mengenai mekanisme koping yang secara sadar biasa digunakan klien selama masa stress meliputi kemampuan klien untuk mendiskusikan masalah kesehatan saat ini yang telah diketahui dan perubahan perilaku akibat stres.      Karena klien harus menjalani rawat inap maka apakah keadaan ini memberi dampak pada status ekonomi klien, karena biaya perawatan dan pengobatan memerlukan dana yang tidak sedikit. Perawat juga memasukkan pengkajian terhadap fungsi neurologis dengan dampak gangguan neurologis yang akan terjadi pada gaya hidup individu. Perspektif keperawatan dalam mengkaji terdiri dari dua masalah, yaitu keterbatasan yang diakibatkan oleh deficit neurologis dalam hubungannya dengan peran sosial klien dan rencana pelayanan yang akan mendukung adaptasi pada gangguan neurologis didalam sistem dukungan individu.

B.     Pemeriksaan fisikSetelah melakukan anamnesis yang mengarah pada keluhan-keluhan klien, pemeriksaan fisik sangat berguna untuk mendukung data dari pengkajian anamnesis. Pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan persistem (B1-B6) dengan fokus pemeriksaan fisik pada pemeriksaan B3 (brain) yang terarah dan dihubungkan dengan keluhan-keluhan dari klien. Pada klien Bell’s palsy biasanya didapatkan tanda-tanda vital dalam batas normal.

      B1 (breathing)Bila tidak ada penyakit lain yang menyertai pemeriksaan inspeksi didapatkan klien tidak batuk, tidak sesak napas, tidak ada penggunaan otot bantu napas dan frekuensi pernapasan dalam batas normal. Palpasi biasanya taktil premitus seimbang kanan dan kiri. Perkusi didapatkan resonan pada seluruh lapangan paru. Auskultasi tidak didengar bunyi napas tambahan.

      B2 (Blood)Bila tidak ada penyakit lain yang menyertai pemeriksaan nadi dengan frekuensi dan irama yang normal. TD dalam batas normal dan tidak terdengar bunyi jantung tambahan.

      B3 (Brain)Pengkajian B3 (Brain) merupakan pemeriksaan fokus dan lebih lengkap dibandingkan pengkajian pada sistem lainnya.

1.      Tingkat kesadaranPada Bell’s palsy biasanya kesadaran klien compos mentis.

2.      Fungsi serebriStatus mental : observasi penampilan klien dan tingkah lakunya, nilai gaya bicara klien, observasi ekspresi wajah dan aktivitas motorik yang pada klien Bell’s palsy biasanya statul mental klien mengalami perubahan.

3.      Pemeriksaan saraf kranial

        Saraf I                  : biasanya pada klien bell’s palsy tidak ada kelainan dan fungsi penciuman tidak ada kelainan.

        Saraf II                 : tes ketajaman penglihatan pada kondisi normal        Saraf III, IV, VI  : penurunan gerakan kelopak mata pada sisi yang sakit (lagoftalmos).        Saraf V                 : kelumpuhan seluruh otot wajah sesisi, lipatan nasolabial pada sisi

kelumpuhan mendatar, adanya gerakan sinkinetik.        Saraf VII              : berkurangnya ketajaman pengecapan, mungkin sekali edema

nervus fasialis ditingkat foramen stilomastoideus meluas sampai bagian nervus fasialis, dimana khorda timpani menggabungkan diri padanya.

        Saraf VIII                        : tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi        Saraf IX & X       : paralisis otot orofaring, kesukaran berbicara, menguyah dan

menelan. Kemampuan menelan kurang baik, sehingga mengganggu pemenuhan nutrisi via oral.        Saraf XI               : tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius.

Kemampuan mobilisasi leher baik.        Saraf XII              : lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak ada

fasikulasi. Indra pengecapan mengalami kelumpuhan dan pengecapan pada 2/3 lidah sisi kelumpuhan kurang tajam.

4.      Sistem motorikBila tidak melibatkan disfungsi neurologis lain, kekuatan otot normal, kontrol keseimbangan dan koordinasi pada Bell’s palsy tidak ada kelainan.

5.      Pemeriksaan refleksPemeriksaan refleks dalam, pengetukan pada tendon, ligamentum atau periosteum derajat refleks pada respons normal.

6.      Gerakan involunterTidak ditemukan adanya tremor, kejang dan distonia. Pada beberapa keadaan sering ditemukan Tic fasialis.

7.      Sistem sensorikKemampuan penilaian sensorik raba, nyeri dan suhu tidak ada kelainan.

        B4 (Blader)Pemeriksaan pada sistem perkemihan biasanya didapatkan berkurangnya volume haluaran urine, hal ini berhubungan dengan penurunan perfusi dan penurunan curah jantung ke ginjal.

        B5 (bowel)Mulai sampai muntah dihubungkan dengan peningkatan produksi asam lambung. Pemenuhan nutrisi pada klien bell’s palsy menurun karena anoreksia dan kelemahan otot-otot pengunyah serta gangguan proses menelan menyebabkan pemenuhan via oral menjadi berkurang.

        B6 (Bone)Penurunan kekuatan otot dan penurunan tingkat kesadaran menurunkan mobilitas klien secara umum. Dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari klien lebih banyak dibantu oleh orang lain.C.     Penatalaksaan medisTujuan penatalaksanaan adalah untuk mempertahankan tonus otot wajah dan untuk mencegah atau meminimalkan denervasi. Klien harus diyakinkan bahwa keadaan yang tejadi bukan stroke dan pulih dengan spontan dalam 3-5 minggu pada kebanyakan klien.

Terapi kortikosteroid (prednison) dapat diberikan untuk menurunkan radang dan edema, yang pada gilirannya mengurangi kompresi vaskuler dan memungkinkan perbaikan sirkulasi darah ke saraf tersebut. Pemberian awal terapi kortikosteroid ditujukan untuk mengurangi penyakit semain berat, mengurangi nyeri dan membantu mencegah atau meminimalkan denervasi.Nyeri wajah dikontrol dengan analgesik. Kompres panas pada sisi wajah yang sakit dapat diberikan untuk meningkatkan kenyamanan dan aliran darah sampai ke otot tersebut.Stimulasi listrik dapat diberikan untuk mencegah otot wajah menjadi atrofi. Walaupun banyak klien pulih dengan pengobatan konservatif, namun eksplorasi pembedahan pada saraf wajah dapat dilakukan pada klien yang cenderung mempunyai tumor atau untuk dekompresi saraf wajah melalui pembedahan untuk merehabilitasi keadaan paralisis wajah.Pendidikan klien, Mata harus dilindungi karena paralisis lanjut dapat menyerang mata. Sering kali, mata klien tidak dapat menutup dengan sempurna dan refleks berkedip terbatas sehingga mata mudah diserang binatang kecil dan benda-benda asing. Iritasi kornea dan luka adalah komplikasi potensial pada klien ini. Kadang-kadang keadaan ini mengakibatkan keluarnya air mata yang berlebihan (epifora) karena karatitis yang disebabkan oleh kornea kering dan tidak adanya refleks berkedip. Penutup mata bagian bawah menjadi lemah akibat pengeluaran air mata. Untuk menangani masalah ini, mata harus ditutup dengan melindunginya dari cahaya silau pada malam hari. Potongan mata dapat merusak kornea, meskipun hal ini juga disebabkan beberapa kerusakan dalam memperthankan mata tertutup akibat paralisis parsial. Benda-benda yang dapat digunbakan pada mata pada saat tidur dapat diletakkan diatas mata agar kelopak mata menempel satu dengan yang lainnya dan tetap menutup selama tidur.Klien diajarkan untuk menutup kelopak mata yang mengalami paralisis secara manual sebelum tidur. Gunakan penutup mata dengan kacamata hitam untuk menurunkan penguapan normal dari mata. Jika saraf tidak terlalu sensitf, wajah dapat di masase beberapa kali sehari untuk mempertahankaan tonus otot.tekhnikj untuk masae wajah adalah dengan gerakan lembut keatas. Latihan wajah seperti mengherutkan dahi, mengembungkan pipi keluar, dan bersiul dapat dilakukan dengan menggunakan cermin dan dilakukan teratur untuk mencegah atropi otot. Hindari wajah terkena udara dingin.D.    Diagnosa keperawatan1.         Gangguan konsep diri (citra diri) yang berhubungan dengan perubahan bentuk wajah karena kelumpuhan satu sisi pada wajah.2.         Cemas yang berhubungan dengan prognosis penyakit dan perubahan kesehatan.3.         Kurangnya pengetahuan perawatan diri sendiri yang berhubungan dengan informasi yang tidak edekuat mengenai proses penyakit dan pengobatan.

E.     Intervensi dan rasional1.gangguan konsep diri berhubungan dengan perubahan bentuk wajah karena kelumpuhan satu sisi pada wajah.

        Data penunjang ;Ds: merasa malu karena adanya kelumpuhan otot wajah terjadi pada satu sisi lainDo: dahi di kerutkan,lipatan kulit dahi hanya tampak pada sisi yang sehat saja.

        Tujuan                :konsep diri klein meningkat        Criteria hasil       :klien mampu menggunakan koping yang positif        Intervensi            :

a)    Kaji dan  jelaskan kepada klien tentang keadaan paralisis wajahnya.R/ intervensi awal bisa mencegah disstres psikologi pada klien

b)   Bantu klien menggunakan mekanisme koping yang positif.R/ mekanisme koping yang positif dapat membantu klien lebih percaya diri, lebih kooperatif terhadap tindakan yang akan dilakukan dan mencegah tetjadinya kecemasan tambahan.c)    Orientasikan klien terhadap prosedur rutin dan aktivitas yang diharapkan.R/ orientasi dapat menurunkan kecemasan.d)   libatkan system pendukung dalam perawatan klienR/ kehadiran system pendukung meningkatkan citra diri klien.

2. cemas yang berhubungan dengan prognosis penyakit dan perubahan kesehatan.        Tujuan                : kecemasan hilang atau berkurang        Criteria hasil       : mengenal perasaannnya, dapat mengidentifikasi penyebab atau

factor yang mempengaruhinya dan menyatakan ansietas berkurang/hilang.        Intervensi           :

a)    kaji tanda verbal dan non verbal kecemasan, dampingin klien dan lakukan tindakan bila menunjukkan perilaku merusak.R/ reaksi verbal/non verbal dapat menunjukkan rasa agitasi, marah dan gelisah.b)   Mulai melakukan tindakan untuk mengurangi kecemasan. Beri lingkungan yang tenang dan suasana penuh istirahat.R/ mengurangi rangsangan eksternal yang tidak perlu.c)    Tingkatkan control sensasi klienR/ control sensasi klien (dan dalam menurunkan ketakutan) dengan cara memberikan informasi tentang keadaan klien, menekankan pada penghargaan terhadap sumber-sumber koping (pertahanan diri), yang positif, membantu latihan relaksasi dan teknik-teknik pengalihan dan memberikan respons balik yang positif.d)   Beri kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan kecemasannya.R/ dapat menghilangkan ketegangan terhadap kekhawatiran yang tidak dieksperesikan.e)    Berikan privasi untuk klien dan orang terdekatR/ memberi waktu untuk mengeksperesikan perasaan, menghilangkan cemas dan perilaku adaptasi. Adanya keluarga dan tewman-teman yang dipilih klien yang melayani aktivitas dan pengalihan (misalnya membaca) akan menurunkan perasaan terisolasi.3.Kurangnya pengetahuan perawatan diri sendiri yang berhubungan dengan informasi yasng tidak adekuat mengenai proses penyakit dan pengobatan.

   Tujuan : dalam jangka waktu 1x30 menit klien akan memperlihatkan kemampuan pemahaman yang adekuat tentang penyakit dan pengobatannya.

   Criteria hasil : klien mampu secara subjektif menjelaskan ulang secara sederhana terhadap apa yang telah didiskusikan.

   Intervensi :a)    Kaji kemampuan belajar, tingkatkan kecemasan, partisipasi, media yang sesuai untuk belajar.R/ indikasi progresif atau reaktivasi penyakit atau efek samping pengobatan serta untuk evaluasi lebih lanjut.b)   Identifikasi tanda dan gejala yang perlu dilaporkan keperawatR/ meningkatkan kesadaran kebutuhan tentang perawatan diri untuk meminimalkan kelemahan.c)    Jelaskan instruksi dan informasi misalnya penjadwalan pengobatan.R/ meningkatkan kerja sama/ partisipasi terapeutik dan mencegah putus obat.d)   Kaji ulang resiko efek samping pengobatan

R/ dapat mengurangi rasa kurang nyaman dari pengobatan untuk perbaikan kondisi klien.e)    Dorong klien mengeksperesikan ketidaktahuan/kecemasan dan beri informasi yang dibutuhkan.R/ memberikan kesempatan untuk mengoreksi persepsi yang salah dan mengurangi kecemasan.

DDDDDDDDDDDDDDLAPORAN KASUSIDENTITASNama                              :   Tn. P S     Umur                               :   47 tahun  Jenis kelamin                   :   Laki-lakiAlamat                            :   Tuminting            Pekerjaan                        :   WiraswstaAgama                            :   Islam        Tanggal Pemeriksaan       :   22 April 2008ANAMNESISKeluhan utama : kekakuan di pipi di bawah mukaRiwayat Penyakit SekarangMulut tertarik ke kiri dialami penderita sejak 2 minggu yang lalu. Awalnya penderita merasa lidahnya menebal saat makan siang. Ketika penderita bangun pagi keesokan harinya, penderita merasa mulutnya seperti tertarik ke kiri, lalu penderita bercermin dan melihat mulutnya miring/tertarik ke kiri. Bersamaan dengan itu, mata penderita tidak bisa menutup rapat sehingga terasa pedih bila terkena air dan angin. Selain itu mata kanan penderita berair terus.Bila penderita makan, makanan cenderung berkumpul di sisi kanan. Bila penderita minum/berkumur, air keluar menetes dari sudut mulut kanan. Bibir terasa kering dan pecah-pecah. Influensa dan nyeri di belakang telinga disangkal oleh penderita. Penderita tidak mengalami gangguan pengecapan ataupun gangguan pendengaran. Penderita mengaku terpapar udara dingin pada malam hari karena letak kamar mandi/WC ada di luar rumah. Sebelumnya penderita berobat ke praktek dokter umum, tetapi tidak ada perubahan. Lalu penderita datang ke RSU Prof. dr. R. D. Kandou bagian poli Saraf dan dirujuk ke bagian Rehabilitasi Medik.Riwayat Penyakit DahuluSebelumnya penderita belum pernah menderita penyakit seperti ini. Penderita tidak pernah sakit telinga, kecelakaan/jatuh, sakit seperti cacar air ataupun trauma di wajah/sekitar telinga. Hipertensi (-), Diabetes Mellitus (-)Riwayat Penyakit KeluargaHanya penderita yang sakit seperti iniRiwayat Sosial EkonomiPenderita seorang janda, pengungsi, dan mempunyai 1 orang anak dalam tanggungan. Saat ini penderita tinggal di rumah tetangga dan bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Rumah permanen, berlantai ubin, 4 buah kamar tidur, dihuni oleh 5 orang, KM/WC jongkok (khusus untuk penderita dan anaknya) berada di luar rumah, menggunakan air sumur pompa dan PLN. Biaya pengobatan penderita ditanggung sendiri.PEMERIKSAANKeadaan umum            :  BaikKesadaran                    :  Compos mentis, kontak (+), pengertian baikTanda vital                    :  T : 150/90 mmHg, N : 80x /menit, R : 20 x/menit, SB : atermKepala                         :  Konjungtiva anemis -/-, sclera icterus -/-

Leher                           :  Trakea di tengah, pembesaran kelenjar (-)Status Internus              :  Dalam batas normal

Status neurologis           : Nervus kranialis I – XII dalam batas normal, kecuali N.VII dextra tipe periferStatus lokalis N.VII      :Dextra              SinistraMengerutkan dahi                                    -                          +Menutup mata                                         -                          +Mengangkat sudut bibir                            -                          +Tersenyum                                               -                          +Pengecapan rasa manis                        (+) N                 (+) NSKALA UGO FISCH

Posisi Nilai Persentase (%)0, 30, 70, 100

Skor

Istirahat 20 70 14Mengerutkan dahi 10 30 3Menutup mata 30 70 21Tersenyum 30 30 9Bersiul 10 30 3

Total 50Mata Kanan :   Lagoftalmus 3 mmEpifora (+)DIAGNOSISDiagnosa klinis  :  Bell’s palsy dextraDiagnosa topik :  Sekitar foramen stilomastoideusDiagnosa etiologi          :  IdiopatikTERAPI MEDIKAMENTOSAGolongan kortikosteroidNeurotropikPROBLEM REHABILITASI MEDIKKelumpuhan otot wajah :-     Sudut mulut tertarik ke kiri-     Kelopak mata kanan tidak bisa menutup rapat dengan baikGangguan dalam AKS otot-otot wajah :-     Pada saat makan, makanan cenderung berkumpul di sisi kanan-     Pada saat minum/berkumur, air keluar menetes dari sudut mulut kananGangguan psikologis, penderita merasa malu dengan keadaan iniGangguan sosial ekonomi yaitu masalah biaya pengobatanPROGRAM REHABILITASI MEDIK1. FisioterapiEvaluasi      :    -    Kontak (+), pengertian baik-    Angkat alis (±), mata kanan tidak bisa menutup rapat dengan baik-    Sudut mulut tertarik ke kiri-    Pada saat makan, makanan cenderung berkumpul di sisi kanan-    Pada saat minum/berkumur, air keluar menetes dari sudut mulut kananProgram     :    –    Pemanasan superfisial berupa infra red pada wajah sebelah kanan selama 10 menit

-    Deep Kneading Massage sebelum latihan gerak volunter otot wajah, lamanya 5-10 menit-    Latihan gerak volunter wajah sisi kanan di depan cermin dengan gerakan mengerutkan dahi, menutup mata, tersenyum, bersiul/meniup, mengangkat sudut mulut.2. Okupasi TerapiEvaluasi      :    -    Kontak (+), pengertian baik-    Angkat alis (±), mata kanan tidak bisa menutup rapat-   Sudut mulut tertarik ke kiri-   Pada saat makan, makanan cenderung berkumpul di sisi kanan-   Pada saat minum/berkumur, air keluar menetes dari sudut mulut kananProgram     :    -   Latihan penguat otot wajah dengan memberikan latihan menutup mata, mengerutkan dahi, meniup lilin, tersenyum, meringis-   Latihan meningkatkan aktivitas kerja sehari-hari dengan berkumur, latihan makan dengan mengunyah di sisi kanan, minum dengan sedotan3. PsikologiEvaluasi      :   -    Kontak (+), pengertian baik-    Penderita merasa sedikit cemas dan malu-    Keinginan penderita untuk sembuh sangat besar-    Penderita menjalankan aturan rehabilitasi medikProgram     :   -    Memberikan dorongan mental supaya penderita tidak merasa cemas dan malu dengan penyakitnya-    Memberikan dorongan mental agar penderita rajin menjalankan program rehabilitasi dan melakukan home progame yang diberikan agar penyakitnya cepat sembuh4. Sosial MedikEvaluasi      :   -    Penderita seorang janda dengan 1 orang anak dalam tanggungan, tinggal dan bekerja sebagai pembantu rumah tangga di rumah tetangga-    Biaya pengobatan ditanggung sendiri dan ada masalah dengan biaya pengobatannyaProgram     :   -    Petugas sosial medik dapat membantu mengatasi masalah biaya dengan menghubungi majikan tempat penderita bekerja agar dapat memberi uang tunjangan kesehatan, juga dengan mengurus dana GAKIN5. Ortotik ProstetikEvaluasi      : -     Wajah tidak simetris-     Kelopak mata kanan tidak bisa menutup rapat-     Mulut tertarik ke kiriProgram     :  Saat ini belum diperlukan6. Terapi WicaraEvaluasi      :  -     Kontak (+), pengertian baik-     Artikulasi baik, tidak ada gangguan dalam bicaraProgram     :  Saat ini belum diperlukanHome Programe :Perawatan mata :-     Beri obat tetes mata (golongan artifial tears) 3x sehari-     Memakai kacamata hitam saat bepergian siang hari-     Sebelum tidur, kelopak mata ditutup secara pasif2.   Kompres dengan air hangat pada sisi wajah sebelah kanan selama 20 menit3.   Massage wajah sebelah kanan ke arah atas dengan menggunakan tangan dari sebelah kiri

4.   Latihan meniup lilin dengan jarak semakin dijauhkan, makan dengan mengunyah di sisi kanan, minum dengan sedotan dan mengunyah permen karet.FOLLOW UP (2 Februari 2005)SKALA UGO FISCH

Posisi Nilai Persentase (%)0, 30, 70, 100

Skor

Istirahat 20 100 20Mengerutkan dahi 10 70 7Menutup mata 30 100 30Tersenyum 30 70 21Bersiul 10 100 10

Total 88Mata Kanan :   Lagoftalmus (-)Epifora (-)Keterangan :  -    Program fisioterapi dan okupasi terapi tetap dilanjutkan 3x seminggu, lalu dievaluasi. Home programe tetap dilakukan-   Secara psikologi, penderita tidak merasa malu dan cemas lagi sehingga program psikologi tidak perlu dilanjutkan-   Masalah biaya pengobatan sudah dapat teratasi, dimana majikan penderita telah memberikan uang tunjangan kesehatan. Jadi program sosial medik tidak perlu dilanjutka

LAPORAN PENDAHULUANBELL’S PALSY

     I.     KONSEP MEDIS

A.    PengertianBell’s palsy atau prosoplegia adalah kelumpuhan fasialis tipe lower motor neuron akibat

paralisis nervus fasial perifer yang terjadi secara akut dan penyebabnya tidak diketahui (idiopatik) di luar sistem saraf pusat tanpa disertai adanya penyakit neurologis lainnya.

Paralisis fasial idiopatik atau Bell’s palsy, ditemukan oleh Sir Charles Bell, dokter dari Skotlandia. Bell’s palsy sering terjadi setelah infeksi virus atau setelah imunisasi, lebih sering terjadi pada wanita hamil dan penderita diabetes serta penderita hipertensi. Bukti-bukti dewasa ini menunjukkan bahwa Herpes simplex tipe 1 berperan pada kebanyakan kasus. Berdasarkan temuan ini, paralisis fasial idiopatik sebagai nama lain dari Bell’s palsy tidak tepat lagi dan mungkin lebih baik menggantinya dengan istilah paralisis fasial herpes simpleks atau paralisis fasial herpetik.

 Lokasi cedera nervus fasialis pada Bell’s palsy adalah di bagian perifer nukleus nervus VII. Cedera tersebut terjadi di dekat ganglion genikulatum. Salah satu gejala Bell’s palsy adalah kelopak mata sulit menutup dan saat penderita berusaha menutup kelopak matanya, matanya terputar ke atas dan matanya tetap kelihatan. Gejala ini disebut juga fenomena Bell. Pada

observasi dapat dilihat juga bahwa gerakan kelopak mata yang tidak sehat lebih lambat jika dibandingkan dengan gerakan bola mata yang sehat (lagoftalmos).

B.Epidemiologi                  Bell’s palsy menempati urutan ketiga penyebab terbanyak dari paralysis fasial akut. Di

dunia, insiden tertinggi ditemukan di Seckori, Jepang tahun 1986 dan insiden terendah ditemikan di Swedia tahun 1997. Di Amerika Serikat, insiden Bell’s palsy setiap tahun sekitar 23 kasus per 100.000 orang, 63% mengenai wajah sisi kanan. Insiden Bell’s palsy rata-rata 15-30 kasus per 100.000 populasi. Penderita diabetes mempunyai resiko 29% lebih tinggi, dibanding non-diabetes. Bell’s palsy mengenai laki-laki dan wanita dengan perbandingan yang sama. Akan tetapi, wanita muda yang berumur 10-19 tahun lebih rentan terkena daripada laki-laki pada kelompok umur yang sama. Penyakit ini dapat mengenai semua umur, namun lebih sering terjadi pada umur 15-50 tahun. Pada kehamilan trisemester ketiga dan 2 minggu pasca persalinan kemungkinan timbulnya Bell’s palsy lebih tinggi daripada wanita tidak hamil, bahkan bisa mencapai 10 kali lipat .

C.Etiologi                  Diperkirakan, penyebab Bell’s palsy adalah virus. Akan tetapi, baru beberapa tahun

terakhir ini dapat dibuktikan etiologi ini secara logis karena pada umumnya kasus Bell’s palsy sekian lama dianggap idiopatik. Telah diidentifikasi gen Herpes Simpleks Virus (HSV) dalam ganglion genikulatum penderita Bell’s palsy. Dulu, masuk angin (misalnya hawa dingin, AC, atau menyetir mobil dengan jendela terbuka) dianggap sebagai satu-satunya pemicu Bell’s palsy. Akan tetapi, sekarang mulai diyakini HSV sebagai penyebab Bell’s palsy. Tahun 1972, McCormick pertama kali mengusulkan HSV sebagai penyebab paralisis fasial idiopatik. Dengan analaogi bahwa HSV ditemukan pada keadaan masuk angin (panas dalam/cold sore), dan beliau memberikan hipotesis bahwa HSV bisa tetap laten dalam ganglion genikulatum. Sejak saat itu, penelitian biopsi memperlihatkan adanya HSV dalam ganglion genikulatum pasien Bell’s palsy. Murakami at.all melakukan tes PCR (Polymerase-Chain Reaction) pada cairan endoneural N.VII penderita Bell’s palsy berat yang menjalani pembedahan dan menemukan HSV dalam cairan endoneural. Apabila HSV diinokulasi pada telinga dan lidah tikus, maka akan ditemukan antigen virus dalam nervus fasialis dan ganglion genikulatum. Varicella Zooster Virus (VZV) tidak ditemukan pada penderita Bell’s palsy tetapi ditemukan pada penderita Ramsay Hunt syndrome.

D.AnatomiSaraf otak ke VII mengandung 4 macam serabut, yaitu :

1.    Serabut somato motorik, yang mensarafi otot-otot wajah kecuali m. levator palpebrae (n.II), otot platisma, stilohioid, digastrikus bagian posterior dan stapedius di telinga tengah.

2.     Serabut visero-motorik, (parasimpatis) yang datang dari nukleus salivatorius superior. Serabut saraf ini mengurus glandula dan mukosa faring, palatum, rongga hidung, sinus paranasal, dan glandula submaksilaris serta sublingual dan lakrimalis.

3.     Serabut visero-sensorik, yang menghantar impuls dari alat pengecap di dua pertiga bagian depan lidah.

4.     Serabut somato-sensorik, rasa nyeri dan mungkin juga rasa suhu dan rasa raba dari sebagian daerah kulit dan mukosa yang dipersarafi oleh nervus trigeminus.

     Nervus VII terutama terdiri dari saraf motorik yang mempersarafi seluruh otot mimik wajah. Komponen sensorisnya kecil, yaitu nervus intermedius Wrisberg yang mengantarkan rasa kecap dari dua pertiga bagian lidah dan sensasi kulit dari dinding anterior kanalis auditorius eksterna. Serabut-serabut kecap pertama-tama melintasi nervus lingual, yaitu cabang dari nervus mandibularis lalu masuk ke korda timpani dimana ia membawa sensasi kecap melalui nervus fasialis ke nukleus traktus solitarius. Serabut-serabut sekretomotor menginnervasi kelenjar lakrimal melalui nervus petrosus superfisial major dan kelenjar sublingual serta kelenjar submaksilar melalui korda tympani.

Nukleus (inti) motorik nervus VII terletak di ventrolateral nukleus abdusens, dan serabut nervus fasialis dalam pons sebagian melingkari dan melewati bagian ventrolateral nukleus abdusens sebelum keluar dari pons di bagian lateral traktus kortikospinal. Karena posisinya yang berdekatan (jukstaposisi) pada lantai ventrikel IV, maka nervus VI dan VII dapat terkena bersama-sama oleh lesi vaskuler atau lesi infiltratif. Nervus fasialis masuk ke meatus akustikus internus bersama dengan nervus akustikus lalu membelok tajam ke depan dan ke bawah di dekat batas anterior vestibulum telinga dalam. Pada sudut ini (genu) terletak ganglion sensoris yang disebut genikulatum karena sangat dekat dengan genu. Nervus fasialis terus berjalan melalui kanalis fasialis tepat di bawah ganglion genikulatum untuk memberikan percabangan ke ganglion pterygopalatina, yaitu nervus petrosus superfisial major, dan di sebelah yang lebih distal memberi persarafan ke m. stapedius yang dihubungkan oleh korda timpani. Lalu n. fasialis keluar dari kranium melalui foramen stylomastoideus kemudian melintasi kelenjar parotis dan terbagi menjadi lima cabang yang melayani otot-otot wajah, m. stilomastoideus, platisma dan m. digastrikus venter posterior.

 Lokasi cedera nervus fasialis pada Bell’s palsy adalah di bagian perifer nukleus nervus VII. Cedera tersebut terjadi di dekat ganglion genikulatum. Jika lesinya berlokasi di bagian proksimal ganglion genikulatum, maka paralisis motorik akan disertai gangguan fungsi pengecapan dan gangguan fungsi otonom. Lesi yang terletak antara ganglion genikulatum dan pangkal korda timpani akan mengakibatkan hal serupa tetapi tidak mengakibatkan gangguan lakrimasi. Jika lesinya berlokasi di foramen stilomastoideus maka yang terjadi hanya paralisis fasial (wajah).

E.Patofisiologi                 Para ahli menyebutkan bahwa pada Bell’s palsy terjadi proses inflamasi akut pada nervus

fasialis di daerah tulang temporal, di sekitar foramen stilomastoideus. Bell’s palsy hampir selalu terjadi secara unilateral. Namun demikian dalam jarak waktu satu minggu atau lebih dapat terjadi paralysis bilateral. Penyakit ini dapat berulang atau kambuh. Patofisiologinya belum jelas, tetapi salah satu teori menyebutkan terjadinya proses inflamasi pada nervus fasialis yang menyebabkan peningkatan diameter nervus fasialis sehingga terjadi kompresi dari saraf tersebut pada saat melalui tulang temporal. Perjalanan nervus fasialis keluar dari tulang temporal melalui kanalis fasialis yang mempunyai bentuk seperti corong yang menyempit pada pintu keluar sebagai foramen mental. Dengan bentukan kanalis yang unik tersebut, adanya inflamasi, demyelinisasi atau iskemik dapat menyebabkan gangguan dari konduksi. Impuls motorik yang dihantarkan oleh nervus fasialis bisa mendapat gangguan di lintasan supranuklear, nuklear dan infranuklear. Lesi supranuklear bisa terletak di daerah wajah korteks motorik primer atau di jaras kortikobulbar ataupun di lintasan asosiasi yang berhubungan dengan daerah somatotropik wajah di korteks motorik primer. Karena adanya suatu proses yang dikenal awam sebagai “masuk angin” atau

dalam bahasa inggris “cold”. Paparan udara dingin seperti angin kencang, AC, atau mengemudi dengan kaca jendela yang terbuka diduga sebagai salah satu penyebab terjadinya Bell’s palsy. Karena itu nervus fasialis bisa sembab, ia terjepit di dalam foramen stilomastoideus dan menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN. Pada lesi LMN bias terletak di pons, di sudut serebelo-pontin, di os petrosum atau kavum timpani, di foramen stilomastoideus dan pada cabang-cabang tepi nervus fasialis. Lesi di pons yang terletak di daerah sekitar inti nervus abdusens dan fasikulus longitudinalis medialis. Karena itu paralisis fasialis LMN tersebut akan disertai kelumpuhan muskulus rektus lateralis atau gerakan melirik ke arah lesi. Selain itu, paralisis nervus fasialis LMN akan timbul bergandengan dengan tuli perseptif ipsilateral dan ageusia (tidak bisa mengecap dengan 2/3 bagian depan lidah). Berdasarkan beberapa penelitian bahwa penyebab utama Bell’s palsy adalah reaktivasi virus herpes (HSV tipe 1 dan virus herpes zoster) yang menyerang saraf kranialis. Terutama virus herpes zoster karena virus ini menyebar ke saraf melalui sel satelit. Pada radang herpes zoster di ganglion genikulatum, nervus fasialis bisa ikut terlibat sehingga menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN.

                         Kelumpuhan pada Bell’s palsy akan terjadi bagian atas dan bawah dari otot wajah seluruhnya lumpuh. Dahi tidak dapat dikerutkan, fisura palpebra tidak dapat ditutup dan pada usaha untuk memejam mata terlihatlah bola mata yang berbalik ke atas. Sudut mulut tidak bisa diangkat. Bibir tidak bisa dicucurkan dan platisma tidak bisa digerakkan. Karena lagoftalmos, maka air mata tidak bisa disalurkan secara wajar sehingga tertimbun disitu.

F. Gejala klinik            Pada awalnya, penderita merasakan ada kelainan di mulut pada saat bangun tidur,

menggosok gigi atau berkumur, minum atau berbicara. Setelah merasakan adanya kelainan di daerah mulut maka penderita biasanya memperhatikannya lebih cermat dengan menggunakan cermin.

        Mulut tampak moncong terlebih pada saat meringis, kelopak mata tidak dapat dipejamkan (lagoftalmos), waktu penderita disuruh menutup kelopak matanya maka bola mata tampak berputar ke atas.(tanda Bell). Penderita tidak dapat bersiul atau meniup, apabila berkumur atau minum maka air keluar melalui sisi mulut yang lumpuh. Selanjutnya gejala dan tanda klinik lainnya berhubungan dengan tempat/lokasi lesi.

1.    Lesi di luar foramen stilomastoideusMulut tertarik ke arah sisi mulut yang sehat, makanan berkumpul di antar pipi dan gusi, dan sensasi dalam (deep sensation) di wajah menghilang. Lipatan kulit dahi menghilang. Apabila mata yang terkena tidak tertutup atau tidak dilindungi maka aur mata akan keluar terus menerus.

2.    Lesi di kanalis fasialis (melibatkan korda timpani)     Gejala dan tanda klinik seperti pada (1), ditambah dengan hilangnya ketajaman pengecapan lidah

(2/3 bagian depan) dan salivasi di sisi yang terkena berkurang. Hilangnya daya pengecapan pada lidah menunjukkan terlibatnya nervus intermedius, sekaligus menunjukkan lesi di daerah antara pons dan titik di mana korda timpani bergabung dengan nervus fasialis di kanalis fasialis.

3.    Lesi di kanalis fasialis lebih tinggi lagi (melibatkan muskulus stapedius)      Gejala dan tanda klinik seperti pada (1), (2), ditambah dengan adanya hiperakusis.4.    Lesi di tempat yang lebih tinggi lagi (melibatkan ganglion genikulatum) Gejala dan tanda klinik

seperti (1), (2), (3) disertai dengan nyeri di belakang dan di dalam liang telinga. Kasus seperti ini dapat terjadi pasca herpes di membran timpani dan konka. Ramsay Hunt adalah paralisis fasialis

perifer yang berhubungan dengan herpes zoster di ganglion genikulatum. Lesi herpetik terlibat di membran timpani, kanalis auditorius eksterna dan pina.

5.    Lesi di daerah meatus akustikus interna Gejala dan tanda klinik seperti (1), (2), (3), (4), ditambah dengan tuli sebagi akibat dari terlibatnya nervus akustikus.

6.    Lesi di tempat keluarnya nervus fasialis dari pons.Gejala dan tanda klinik sama dengan di atas, disertai gejala dan tanda terlibatnya nervus trigeminus, nervus akustikus, dan kadang-kadang juga nervus abdusens, nervus aksesorius, dan nervus hipoglosus.               Sindrom air mata buaya (crocodile tears syndrome) merupakan gejala sisa Bell’s palsy, beberapa bulan pasca awitan, dengan manifestasi klinik: air mata bercucuran dari mata yang terkena pada saat penderita makan. Nervus fasilais menginervasi glandula lakrimalis dan glandula salivatorius submandibularis. Diperkirakan terjadi regenerasi saraf salivatorius tetapi dalam perkembangannya terjadi ‘salah jurusan’ menuju ke glandula lakrimalis.

G. Pemeriksaan penunjang1.    Pemeriksaan Fisis     Kelumpuhan nervus fasialis mudah terlihat hanya dengan pemeriksaan fisik tetapi yang harus

diteliti lebih lanjut adalah apakah ada penyebab lain yang menyebabkan kelumpuhan nervus fasialis. Pada lesi supranuklear, dimana lokasi lesi di atas nukleus fasialis di pons, maka lesinya bersifat UMN. Pada kelainan tersebut, sepertiga atas nervus fasialis normal, sedangkan dua pertiga di bawahnya mengalami paralisis. Pemeriksaan nervus kranialis yang lain dalam batas normal.

2.    Pemeriksaan Laboratorium     Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk menegakkan diagnosis Bell’s palsy.3.    Pemeriksaan Radiologi     Pemeriksaan radiologi bukan indikasi pada Bell’s palsy. Pemeriksaan CT-Scan dilakukan jika

dicurigai adanya fraktur atau metastasis neoplasma ke tulang, stroke, sklerosis multipel dan AIDS pada CNS. Pemeriksaan MRI pada pasien Bell’s palsy akan menunjukkan adanya penyangatan (Enhancement) pada nervus fasialis, atau pada telinga, ganglion genikulatum.

H. Diagnosis       Diagnosis Bell’s palsy dapat ditegakkan dengan melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisis. Pada pemeriksaan nervus kranialis akan didapatkan adanya parese dari nervus fasialis yang menyebabkan bibir mencong, tidak dapat memejamkan mata dan rasa nyeri pada telinga. Hiperakusis dan augesia juga dapat ditemukan. Harus dibedakan antara lesi UMN dan LMN. Pada Bell’s palsy lesinya bersifat LMN

I.  Pengobatan       Melindungi mata pada saat tidur dan pemberian tetes mata metilselulosa, memijat otot-otot yang lemah dan mencegah kendornya otot-otot di bagian bawah wajah merupakan kondisi yang dapat dikelola secara umum Belum ada bukti yang mendukung bahwa tindakan pembedahan efektif terhadap nervus fasialis, bahkan kemungkinan besar dapat membahayakan.     Pemberian kortikosteroid (perdnison dengan dosis 40 -60 mg/hari per oral atau 1 mg/kgBB/hari selama 3 hari, diturunkan perlahan-lahan selama 7 hari kemudian), dimana pemberiannya dimulai pada hari kelima setelah onset penyakit, gunanya untuk meningkatkan peluang kesembuhan pasien.

      Dasar dari pengobatan ini adalah untuk menurunkan kemungkinan terjadinya kelumpuhan yang sifatnya permanen yang disebabkan oleh pembengkakan nervus fasialis di dalam kanal fasialis yang sempit.      Penemuan genom virus disekitar nervus fasialis memungkinkan digunakannya agen-agen antivirus pada penatalaksanaan Bell’s palsy. Acyclovir (400 mg selama 10 hari) dapat digunakan dalam penatalaksanaan Bell’s palsy yang dikombinasikan dengan prednison atau dapat juga diberikan sebagai dosis tunggal untuk penderita yang tidak dapat mengkonsumsi prednison. Penggunaan Acyclovir akan berguna jika diberikan pada 3 hari pertama dari onset penyakit untuk mencegah replikasi virus.

J. Diagnosis banding                     Kondisi lain yang dapat menyebabkan kelumpuhan nervus fasialis diantaranya tumor,

infeksi herpes zoster pada ganglion genikulatum (Ramsay Hunt syndrom), penyakit Lyme, AIDS dan sarkoidosis(1), Guillain Barre syndrom, Diabetes Mellitus.

K. Komplikasi                     Kira-ki ra 30% pasien Bell’s palsy yang sembuh dengan gejala sisa seperti fungsi

motorik dan sensorik yang tidak sempurna, serta kelemahan saraf parasimpatik.                     Komplikasi yang paling banyak terjadi yaitu disgeusia atau ageusia, spasme nervus

fasialis yang kronik dan kelemahan saraf parasimpatik yang menyebabkan kelenjar lakrimalis tidak berfungsi dengan baik sehingga terjadi infeksi pada kornea.

L. Prognosis                     Walaupun tanpa diberikan terapi, pasien Bell’s palsy cenderung memiliki prognosis

yang baik.Dalam sebuah penelitian pada 1.011 penderita Bell’s palsy, 85% memperlihatkan tanda-tanda perbaikan pada minggu ketiga setelah onset penyakit. 15% kesembuhan terjadi pada 3-6 bulan kemudian.

                     Sepertiga dari penderita Bell’s palsy dapat sembuh seperti sedia kala tanpa gejala sisa. 1/3 lainnya dapat sembuh tetapi dengan elastisitas otot yang tidak berfungsi dengan baik. Penderita seperti ini tidak memiliki kelainan yang nyata.4 Penderita Bell’s palsy dapat sembuh total atau meninggalkan gejala sisa.. Faktor resiko yang memperburuk prognosis Bell’s palsy adalah:

(1) Usia di atas 60 tahun(2) Paralisis komplit(3) Menurunnya fungsi pengecapan atau aliran saliva pada sisi yang lumpuh,(4) Nyeri pada bagian belakang telinga dan(5) Berkurangnya air mata.

              Pada penderita kelumpuhan nervus fasialis perifer tidak boleh dilupakan untuk mengadakan pemeriksaan neurologis dengan teliti untuk mencari gejala neurologis lain.              Pada umumnya prognosis Bell’s palsy baik: sekitar 80-90 % penderita sembuh dalam waktu 6 minggu sampai tiga bulan tanpa ada kecacatan. Penderita yang berumur 60 tahun atau lebih, mempunyai peluang 40% sembuh total dan beresiko tinggi meninggalkan gejala sisa. Penderita yang berusia 30 tahun atau kurang, hanya punya perbedaan peluang 10-15 persen antara sembuh total dengan meninggalkan gejala sisa. Jika tidak sembuh dalam waktu 4 bulan,

maka penderita cenderung meninggalkan gejala sisa, yaitu sinkinesis, crocodile tears dan kadang spasme hemifasial.              Penderita diabetes 30% lebih sering sembuh secara parsial dibanding penderita nondiabetik dan penderita DM lebih sering kambuh dibanding yang non DM. Hanya 23 % kasus Bells palsy yang mengenai kedua sisi wajah. Bell’s palsy kambuh pada 10-15 % penderita. Sekitar 30 % penderita yang kambuh ipsilateral menderita tumor N. VII atau tumor kelenjar parotis

II. KONSEP DASAR KEPERAWTAN

A.    PengkajianPengkajian keperawatan klien dengan Belll’s palsy meliputi anamnesis riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, pemeriksaan diagnostik dan pengkajian psikososial.

1.      AnamnesisKeluhan utama yang sering menjadi alasan klien meminta pertolongan kesehatan dalah berhubungan dengan kelumpuhan otot wajah terjadi pada satu sisi.

2.      Riwayat penyakit saat iniFaktor riwayat penyakit sangat penting diketahui karena untuk menunjang keluhan utama klien. Disini harus ditanya dengan jelas tentang gejala yang timbul seperti kapan mulai serangan, sembuh, atau bertambah buruk. Pada pengkajian klien Bell;s palsy biasanya didapatkan keluhan kelumpuhan otot wajah pada satu sisi.      Kelumpuhan fasialis ini melibatkan semua otot wajah sesisi. Bila dahi dikerutkan, lipatan kulit dahinya hanya tampak pada sisi yang sehat saja. Bila klien disuruh memejamkan kedua matanya, maka pada sisi yang tidak sehat, kelopak mata tidak dapat menutupi bola mata dan berputarnya bola mata keatas dapat disaksikan. Fenomena tersebut dikenal sebagai tanda bell.

3.      Riwayat penyakti dahuluPengkajian penyakit yang pernah dialami klien yang memungkinkan adanya hubungan atau menjadi predisposisi keluhan sekarang meliputi pernahkah klien mengalami penyakit iskemia vaskuler, otitis media, tumor intrakranial, truma kapitis, penyakit virus (herpes simplek, herpes zoster), penyakit autoimun, atau kombinasi semua faktor ini. Pengkajian pemakaian obat-obatan yang sering digunakan klien, pengkajian kemana klien sudah meminta pertolongan dapat mendukung pengkajian dari riwayat penyakit sekarang dan merupakan data dasar untuk mengkaji lebih jauh dan untuk memberikan tindakan selanjutnya.

4.      Pengkajian psiko-sosio-spiritualPengkajian psikologis klien Bell’s palsy meliputi beberapa penilaian yang memungkinkan perawat untuk memperoleh persepsi yang jelas mengenai status emosi, kogniti dan perilaku klien. Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien juga penting untuk menilai respons emosi klien terhadap kelumpuhan otot wajah sesisi dan perubahan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respons atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-hari baik dalam keluarga atau masyarakat. Apakah ada dampak yang timbul pada klien, yaitu timbul ketakutan akan kecacatan, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal dan pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan citra tubuh). Pengkajian mengenai mekanisme koping yang secara sadar biasa digunakan klien selama masa stress meliputi kemampuan klien

untuk mendiskusikan masalah kesehatan saat ini yang telah diketahui dan perubahan perilaku akibat stres.      Karena klien harus menjalani rawat inap maka apakah keadaan ini memberi dampak pada status ekonomi klien, karena biaya perawatan dan pengobatan memerlukan dana yang tidak sedikit. Perawat juga memasukkan pengkajian terhadap fungsi neurologis dengan dampak gangguan neurologis yang akan terjadi pada gaya hidup individu. Perspektif keperawatan dalam mengkaji terdiri dari dua masalah, yaitu keterbatasan yang diakibatkan oleh deficit neurologis dalam hubungannya dengan peran sosial klien dan rencana pelayanan yang akan mendukung adaptasi pada gangguan neurologis didalam sistem dukungan individu.

B.     Pemeriksaan fisikSetelah melakukan anamnesis yang mengarah pada keluhan-keluhan klien, pemeriksaan fisik sangat berguna untuk mendukung data dari pengkajian anamnesis. Pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan persistem (B1-B6) dengan fokus pemeriksaan fisik pada pemeriksaan B3 (brain) yang terarah dan dihubungkan dengan keluhan-keluhan dari klien. Pada klien Bell’s palsy biasanya didapatkan tanda-tanda vital dalam batas normal.

      B1 (breathing)Bila tidak ada penyakit lain yang menyertai pemeriksaan inspeksi didapatkan klien tidak batuk, tidak sesak napas, tidak ada penggunaan otot bantu napas dan frekuensi pernapasan dalam batas normal. Palpasi biasanya taktil premitus seimbang kanan dan kiri. Perkusi didapatkan resonan pada seluruh lapangan paru. Auskultasi tidak didengar bunyi napas tambahan.

      B2 (Blood)Bila tidak ada penyakit lain yang menyertai pemeriksaan nadi dengan frekuensi dan irama yang normal. TD dalam batas normal dan tidak terdengar bunyi jantung tambahan.

      B3 (Brain)Pengkajian B3 (Brain) merupakan pemeriksaan fokus dan lebih lengkap dibandingkan pengkajian pada sistem lainnya.

1.      Tingkat kesadaranPada Bell’s palsy biasanya kesadaran klien compos mentis.

2.      Fungsi serebriStatus mental : observasi penampilan klien dan tingkah lakunya, nilai gaya bicara klien, observasi ekspresi wajah dan aktivitas motorik yang pada klien Bell’s palsy biasanya statul mental klien mengalami perubahan.

3.      Pemeriksaan saraf kranial        Saraf I                  : biasanya pada klien bell’s palsy tidak ada kelainan dan fungsi penciuman

tidak ada kelainan.        Saraf II                 : tes ketajaman penglihatan pada kondisi normal        Saraf III, IV, VI  : penurunan gerakan kelopak mata pada sisi yang sakit (lagoftalmos).        Saraf V                 : kelumpuhan seluruh otot wajah sesisi, lipatan nasolabial pada sisi

kelumpuhan mendatar, adanya gerakan sinkinetik.        Saraf VII              : berkurangnya ketajaman pengecapan, mungkin sekali edema nervus

fasialis ditingkat foramen stilomastoideus meluas sampai bagian nervus fasialis, dimana khorda timpani menggabungkan diri padanya.

        Saraf VIII                        : tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi        Saraf IX & X       : paralisis otot orofaring, kesukaran berbicara, menguyah dan menelan.

Kemampuan menelan kurang baik, sehingga mengganggu pemenuhan nutrisi via oral.        Saraf XI               : tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius. Kemampuan

mobilisasi leher baik.        Saraf XII              : lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak ada fasikulasi.

Indra pengecapan mengalami kelumpuhan dan pengecapan pada 2/3 lidah sisi kelumpuhan kurang tajam.

4.      Sistem motorikBila tidak melibatkan disfungsi neurologis lain, kekuatan otot normal, kontrol keseimbangan dan koordinasi pada Bell’s palsy tidak ada kelainan.

5.      Pemeriksaan refleksPemeriksaan refleks dalam, pengetukan pada tendon, ligamentum atau periosteum derajat refleks pada respons normal.

6.      Gerakan involunterTidak ditemukan adanya tremor, kejang dan distonia. Pada beberapa keadaan sering ditemukan Tic fasialis.

7.      Sistem sensorikKemampuan penilaian sensorik raba, nyeri dan suhu tidak ada kelainan.

        B4 (Blader)

Pemeriksaan pada sistem perkemihan biasanya didapatkan berkurangnya volume haluaran urine, hal ini berhubungan dengan penurunan perfusi dan penurunan curah jantung ke ginjal.

        B5 (bowel)

Mulai sampai muntah dihubungkan dengan peningkatan produksi asam lambung. Pemenuhan nutrisi pada klien bell’s palsy menurun karena anoreksia dan kelemahan otot-otot pengunyah serta gangguan proses menelan menyebabkan pemenuhan via oral menjadi berkurang.

        B6 (Bone)

Penurunan kekuatan otot dan penurunan tingkat kesadaran menurunkan mobilitas klien secara umum. Dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari klien lebih banyak dibantu oleh orang lain.

C.     Penatalaksaan medisTujuan penatalaksanaan adalah untuk mempertahankan tonus otot wajah dan untuk

mencegah atau meminimalkan denervasi. Klien harus diyakinkan bahwa keadaan yang tejadi bukan stroke dan pulih dengan spontan dalam 3-5 minggu pada kebanyakan klien.

Terapi kortikosteroid (prednison) dapat diberikan untuk menurunkan radang dan edema, yang pada gilirannya mengurangi kompresi vaskuler dan memungkinkan perbaikan sirkulasi darah ke saraf tersebut. Pemberian awal terapi kortikosteroid ditujukan untuk mengurangi

penyakit semain berat, mengurangi nyeri dan membantu mencegah atau meminimalkan denervasi.

Nyeri wajah dikontrol dengan analgesik. Kompres panas pada sisi wajah yang sakit dapat diberikan untuk meningkatkan kenyamanan dan aliran darah sampai ke otot tersebut.

Stimulasi listrik dapat diberikan untuk mencegah otot wajah menjadi atrofi. Walaupun banyak klien pulih dengan pengobatan konservatif, namun eksplorasi pembedahan pada saraf wajah dapat dilakukan pada klien yang cenderung mempunyai tumor atau untuk dekompresi saraf wajah melalui pembedahan untuk merehabilitasi keadaan paralisis wajah.

Pendidikan klien, Mata harus dilindungi karena paralisis lanjut dapat menyerang mata. Sering kali, mata klien tidak dapat menutup dengan sempurna dan refleks berkedip terbatas sehingga mata mudah diserang binatang kecil dan benda-benda asing. Iritasi kornea dan luka adalah komplikasi potensial pada klien ini. Kadang-kadang keadaan ini mengakibatkan keluarnya air mata yang berlebihan (epifora) karena karatitis yang disebabkan oleh kornea kering dan tidak adanya refleks berkedip. Penutup mata bagian bawah menjadi lemah akibat pengeluaran air mata. Untuk menangani masalah ini, mata harus ditutup dengan melindunginya dari cahaya silau pada malam hari. Potongan mata dapat merusak kornea, meskipun hal ini juga disebabkan beberapa kerusakan dalam memperthankan mata tertutup akibat paralisis parsial. Benda-benda yang dapat digunbakan pada mata pada saat tidur dapat diletakkan diatas mata agar kelopak mata menempel satu dengan yang lainnya dan tetap menutup selama tidur.

Klien diajarkan untuk menutup kelopak mata yang mengalami paralisis secara manual sebelum tidur. Gunakan penutup mata dengan kacamata hitam untuk menurunkan penguapan normal dari mata. Jika saraf tidak terlalu sensitf, wajah dapat di masase beberapa kali sehari untuk mempertahankaan tonus otot.tekhnikj untuk masae wajah adalah dengan gerakan lembut keatas. Latihan wajah seperti mengherutkan dahi, mengembungkan pipi keluar, dan bersiul dapat dilakukan dengan menggunakan cermin dan dilakukan teratur untuk mencegah atropi otot. Hindari wajah terkena udara dingin

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A.   Kajian Teori

1.    Definisi

Bell’s palsy adalah suatu kelumpuhan facialis perifer akibat proses non supuratif, non neoplasmatik, non degeneratif primer tetapi sangat dimungkinkan akibat dari adanya oedema jinak pada bagiannervus facialis di foramen stilomastoideus atau sedikit proksimal dariforamen stilomastoideus, yang mulainya akut dan dapat sembuh sendiri tanpa pengobatan (Sidharta, 1999).

Bell’s Palsy adalah suatu kelumpuhan akut nervus facialis perifer yang penyebabnya tidak diketahui (idiopatik). Penyakit ini biasanya hanya mengenai satu sisi wajah (unilateral), tetapi dapat pula mengenai kedua sisi wajah yang sehat dengan bilateral Bell’s Palsy ( Jimmi Sabirin, 1996).

Istilah Bell’s Palsy (kelumpuhan bell) biasanya digunakan untuk kelumpuhan nervus facialis jenis perifer yang timbul secara akut, yang penyebabnya belum diketahui, tanpa adanya kelainanneurologik lain. Pada sebagian besar penderita Bell’s Palsykelumpuhannya akan sembuh, namun pada beberapa diantara mereka kelumpuhannya sembuh dengan meninggalkan gejala sisa (Lumbantobing, 2006).

Pada gambar dibawah terlihat penurunan wajah sebelah kiri :

Gambar 2.1

  Wajah dengan kondisi Bell’s Palsy (www.medicastore.com, 2010)

2.  Anatomi Fungsional

a)  Nervus Facialis

Nervus Facialis terdiri dari dua nucleus motoris di batang otak, yang terdiri dari:

(1)  Nucleus Motorik Superior yang bertugas menerima impuls dari gyrus presentralis kortek serebri kedua belah sisi kanan-kiri dan mengirim serabut-serabut saraf ke otot-otot mimik di dahi dan orbikularis occuli.

(2)  Nucleus Motoris Inferior yang bertugas menerima impuls hanya dari gyrus presentralis dari sisi yang berlawanan dan mengirim serabut-serabut saraf ke otot-otot mimik bagian bawah dan platisma (Chusid, 1983).

Serabut-serabut nervus facialis didalam batang otak berjalan melingkari nucleus nervus abducens sehingga lesi di daerah ini juga diikuti dengan kelumpuhan nervus abducens. Setelah keluar dari batang otak, nervus facialis berjalan bersama nervus intermedius yang bersifat sensoris dan sekretorik. Selanjutnya berjalan berdekatan dengan nervus oktavus bersama-sama masuk ke dalam canalis austikus internus dan berjalan ke arah lateral, masuk ke canalis

falopii (pars petrosa). Kemudian nervus facialis masuk ke dalamcavum timpani setelah membentuk ganglion genikulatum. Di dalam cavum timpani nervus facialis membelok tajam ke arah posterior dan horizontal (pars timpani). Saraf ini berjalan tepat di atas foramen ovale, kemudian membelok tegak lurus ke bawah (genu eksternum) di dalam canalis falopii pars mastoidea. Bagian saraf yang berada didalam canalis falopii pars timpani disebut nervus facialis pars horizontalis, sedang yang berjalan didalam pars mastoidea disebut nervus facialispars vertikalis atau desenden. Saraf ini keluar dari tulang tengkorak melalui foramen stylomastoideus. Setelah keluar dariforamen stylomastoideus, syaraf ini bercabang-cabang dan berjalan di antara lobus superfisialis dan profundus glandula parotis dan berakhir pada otot-otot mimik di wajah.

Dalam perjalanan nervus facialis memberikan cabang :

(1)  Dari ganglion genikulatum mengirimkan serabut saraf melalui  ganglion sfenopalatinum sebagai saraf petrosus superfisialis mayor yang akan menuju glandula lakrimalis.

(2)  Cabang lain dari ganglion genikulatum adalah sarafpetrosus superficialis minor yang melalui ganglion otikummembawa serabut sekreto-motorik ke kelenjar parotis.

(3)  Dari nervus facialis pars vertikalis, memberikan cabang-cabang :

(a)  Saraf stapedius yang mensarafi m.stapedius. Kelumpuhan  saraf ini menyebabkan hiperakusis.

(b)  Saraf korda timpani yang menuju ⅔ lidah bagian depan dan berfungsi sensorik untuk perasaan lidah (rasa asam, asin dan manis). Selain itu saraf korda timpani juga mempunyai serabut yang bersifat sekreto-motorik yang menuju ke kelenjar liur submaksilaris dan sublingualis(Chusid, 1983)

    Perjalanan nervus facialis dapat dilihat pada gambar dibawah ini :

:

Gambar 2.2

Perjalanan nervus facialis (Putz dan Pabst, 2006)

b)   Otot-otot wajah

        Otot-otot pada wajah berserta fungsinya masing-masing dapat dilihat pada tabel dibawah ini :

                        Tabel 2.1

                        Otot-Otot Wajah Beserta Fungsinya

No Nama Otot Fungsi Persarafan

1 M.Frontalis Mengangkat alis N. Temporalis

2 M.Corrugator supercili

Mendekatkan kedua pangkal alis

N. Zigomatikum dan

N.Temporalis

3 M.Procerus Mengerutkan kulit antara kedua alis

N. Zigomatikum, N.Temporalis,

N. Buccal

4 M. Orbicularis Oculli Menutup kelopak mata N.Fasialis, N.Temporalis, N. Zigomatikus

5 M. Nasalis Mengembang

Kan cuping hidung

N. Fasialis

6 M. Depresor anguli Menarik ujung mulut ke N. Fasialis

oris bawah

7 M. Zigomaticum mayor dan M. Zigomatikum minor

TersenyumN. Fasialis

8 M. Orbicularis orisBersiul

N. Fasialis

N. Zigomatikum

9 M. Buccinator Meniup sambil menutup mulut

N. Fasialis,

N. Zigomatikum,

N. Mandibular,

N. Buccal

10 M. Mentalis Mengangkat dagu N. Fasialis dan

N. Buccal

11 M. Platysma Meregangkan kulit leher N. Fasialis

        Sedangkan gambar otot-otot wajah dari depan dapat dilihat pada gambar 2. 3 dibawah ini:

           

          Gambar 2.3

           Otot – otot wajah dilihat dari anterior (Putz dan Pabst, 2006)

      Keterangan Gambar 2.3

1.    M.Frontalis                                          7. M. Zygomaticum mayor

2.    M.Corrugator supercili                        8. M.Zygomaticum minor

3.    M.Procerus                                         9. M.Orbicularis oris

4.    M.Orbicularis oculi                           10. M.Buccinator

5.    M.Nasalis                                         11. M.Mentalis

6.    M.Depresor anguli oris                    12. M.Platysma

3.  Etiologi

Menurut etiologi artinya ilmu tentang penyebab penyakit (Dachlan,2001). Ada beberapa teori yang mengemukakan tentang penyebab Bell’s Palsy antara lain sebagai berikut:

a)  Teori Infeksi Virus Herpes Zoster

Salah satu penyebab munculnya Bell’s Palsy adalah karena adanya infeksi virus herpes zoster. Herpes zoster hidup didalam jaringan saraf. Apabila radang herpes zoster ini menyerang ganglion genikulatum, maka dapat melibatkanparalisis pada otot-otot wajah sesuai area persarafannya. Jenisherpes zoster yang menyebabkan kelemahan pada otot-otot wajah ini sering dikenal dengan Sindroma Ramsay-Hunt atauBell’s Palsy (Duus Peter, 1996).

b)  Teori Iskemia Vaskuler

Menurut teori ini, terjadinya gangguan sirkulasi darah di kanalis falopii, secara tidak langsung menimbulkan paralisis pada nervus facialis. Kerusakan yang ditimbulkan berasal dari tekanan saraf perifer terutama berhubungan dengan oklusi dari pembuluh darah yang mengaliri saraf tersebut, bukan akibat dari tekanan langsung pada sarafnya. Kemungkinan terdapat respon simpatis yang berlebihan sehingga terjadi spasme arterioral atau statis vena pada bagian bawah dari canalis fasialis, sehingga menimbulkan oedema sekunder yang selanjutnya menambah kompresi terhadap suplai darah, menambah iskemia dan menjadikan parese nervus facialis (Esslen, 1970).

c)  Teori herediter

Teori herediter mengemukakan bahwa Bell’s Palsy yang disebabkan karena faktor herediter berhubungan dengan kelainan anatomis pada canalis facialis yang bersifat menurun (Hamid, 1991).

d)  Pengaruh udara dingin

Udara dingin menyebabkan lapisan endotelium dari pembuluh darah leher atau telinga rusak, sehingga terjadi proses transdusi (proses mengubah dari suatu bentuk kebentuk lain) dan mengakibatkan foramen stilomastoideus bengkak. Nervus facialisyang melewati daerah tersebut terjepit sehingga rangsangan yang dihantarkan terhambat yang menyebabkan otot-otot wajah mengalami kelemahan atau lumpuh.

4.  Patofisiologi

patologi berarti ilmu tentang penyakit, menyangkut penyebab dan sifat penyakit tersebut. Patologi yang akan dibicarakan adalah mengenai pengaruh udara dingin yang menyebabkan Bell’s Palsy (Dachlan, 2001)

Udara dingin menyebabkan lapisan endotelium dari pembuluh darah leher atau telinga rusak, sehingga terjadi proses transdusi dan mengakibatkan foramen stilomastoideus bengkak.Nervus facialis yang melewati daerah tersebut terjepit sehingga rangsangan yang dihantarkan terhambat yang menyebabkan oto-otot wajah mengalami kelemahan atau kelumpuhan.

5.    Tanda dan Gejala

Tanda dan gejala motorik yang dijumpai pada pasien Bell’s Palsy adalah: adanya kelemahan otot pada satu sisi wajah yang dapat dilihat saat pasien kesulitan melakukan gerakan-gerakan volunter seperti, (saat gerakan aktif maupun pasif) tidak dapat mengangkat alis dan menutup mata, sudut mulut tertarik ke sisi wajah yang sehat (mulut mencong), sulit mecucu atau bersiul, sulit mengembangkan cuping hidung, dan otot-otot yang terkena yaitum. frontalis, m. orbicularis oculi, m. orbicularis oris, m. zygomaticus dan m. nasalis. Selain tanda-tanda motorik, terjadi gangguan pengecap rasa manis, asam dan asin pada ⅔ lidah bagian anterior, sebagian pasien mengalami mati rasa atau merasakan tebal-tebal di wajahnya.

Tanda dan gejala klinis pada Bell’s Palsy menurut (Chusid,1983) adalah:

a)    Lesi diluar foramen stilomastoideus: Muncul tanda dan gejala sebagai berikut : mulut tertarik ke sisi mulut yang sehat, makanan terkumpul di antara gigi dan gusi, sensasi dalam pada wajah  menghilang, tidak ada lipatan dahi dan apabila mata pada sisi lesi tidak tertutup atau tidak dilindungi maka air mata akan keluar terus-menerus.

b)    Lesi di canalis facialis dan mengenai nervus korda timpani: Tanda dan gejala sama seperti penjelasan pada poin diatas, ditambah dengan hilangnya ketajaman pengecapan lidah ⅔ bagian anterior dan salivasi di sisi lesi berkurang. Hilangnya daya pengecapan pada lidah menunjukkan terlibatnnya nervus intermedius, sekaligus menunjukkan lesi di daerah antara pons dan titik di mana korda timpani bergabung dengan nervus facialis di canalis facialis.

c)    Lesi yang tinggi dalam canalis facialis dan mengenai muskulus stapedius: Tanda dan gejala seperti penjelasan pada kedua poin diatas, ditambah dengan adanya hiperakusis(pendengaran yang sangat tajam).

d)    Lesi yang mengenai ganglion genikuli: Tanda dan gejala seperti penjelasan pada ketiga poin diatas, disertai dengan nyeri dibelakang dan didalam liang telinga dan dibelakang telinga.

e)    Lesi di meatus akustikus internus: Tanda dan Gejala sama seperti  kerusakan pada ganglion genikuli, hanya saja disertai dengan timbulnya tuli sebagai akibat terlibatnya nervus vestibulocochlearis.

f)     Lesi di tempat keluarnya nervus facialis dari pons: Tanda dan gejala sama seperti di atas disertai tanda dan gejala terlibatnyanervus trigeminus, nervus abducens, nervus vestibulococlearis, nervus accessorius dan nervus hypoglossus.

6.  Komplikasi

komplikasi atau complication berarti penyakit yang timbul kemudian sebagai tambahan pada penyakit yang sudah ada(Dachlan, 2001). Komplikasi yang muncul pada pasien Bell’s Palsymerupakan kumpulan gejala sisa paska terjadinya kelemahan otot-otot wajah. Lumbantobing (2006) menjelaskan bahwa beberapa di antara penderita Bell’s Palsy, kelumpuhannya sembuh dengan meninggalkan gejala sisa yang berupa kontraktur, sinkenesis dan spasme spontan.

Kontraktur terlihat jelas saat otot wajah berkontraksi yang ditandai dengan lebih dalamnya lipatan nasolabial dan alis mata lebih rendah dibandingkan sisi yang sehat. Sinkenesis (assosiated movement) dapat terjadi karena kesalahan proses regenerasi sehingga menimbulkan gerakan otot wajah yang berasosiasi dengan gerakan otot lain. Misalnya saat mata ditutup, sudut mulut ikut terangkat. Sedangkan spasme spontan pada otot wajah terjadi bila pasien Bell’s Palsy mengalami penyembuhan yang inkomplit. Otot-otot wajah bergerak secara spontan, tidak terkendali. Hal ini disebut juga tic fasialis.

Gejala sisa yang ditimbulkan paska serangan Bell’s Palsyyaitu sindroma air mata buaya (crocodile tears syndrome) yang merupakan kesalahan regenerasi saraf salivarius menuju ke glandula lakrimalais. Manifestasinya berupa keluarnya air mata pada sisi lesi saat pasien makan (Djamil, 2003).

7.  Prognosis dan Pengobatan

Prognosis berarti ramalan klinis mengenai kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi yang berhubungan dengan penyakit, untuk timbul lagi atau mungkin berakhir sembuh(Dachlan, 2001). Prognosis Bell’s Palsy kesembuhan akan terjadi dalam waktu 2 - 8 minggu untuk pasien yang muda dan pasien yang lebih tua sampai 1-2 tahun. Menjaga agar muka tetap hangat dan selanjutnya hindarkan agar tidak terbuka, terutama terhadap angin dan debu. Lindungi mata dengan kasa steril kalau perlu. Muka dapat ditahan dengan mengaitkan pita atau kawat pada sudut mulut dan diikatkan sekitar telinga. Stimulasi listrik sesudah hari keempat belas dapat dikerjakan untuk membantu mencegah atrofi otot. Lakukan massage perlahan-lahan kearah atas pada otot-otot yang terkena selama 5-10 menit, dua-tiga kali sehari, untuk menjaga tonus otot. Pemanasan dengan memakai lampu inframerah dapat mempercepat penyembuhan. Pada sebagian besar kasus, akan terjadi kesembuhan lengkap atau partial. Kalau kesembuhannya partial, dapat timbul kontraktur pada sisi yang lumpuh. Kambuhnya penyakit di sisi yang lain kadang-kadang dilaporkan (Chusid, 1983).

B.   Deskripsi Problematika Fisioterapi

            Berdasarkan gambaran klinis di atas, maka dapat kita simpulkan problematik fisioterapi pada kasus Bell’s Palsy adalah:

a)  Impairment

        Merupakan gangguan abnormalitas yang bersifat sementara atau menetap yang mengenai pada sistem organ.

Keterbatasan fisik (impairment) yang dijumpai pada pasien dengan kondisi Bell’s Palsy kiri ini adalah: (1) Adanya penurunan kekuatan otot-otot wajah sisi kiri, (2) Potensial terjadinya atrofi pada otot wajah sisi kiri, (3) Potensial terjadinya spasme otot pada sisi wajah kanan (sehat) oleh karena kontraksi terus menerus pada sisi yang sehat, (4) Potensial terjadinya kontraktur otot wajah sisi kanan.

b)  Fungsional limitation

        Adanya gangguan fungsi atau keterbatasan fungsi yang disebabkan oleh impairment yang berhubungan dengan motorik.           

Adanya keterbatasan fungsi seperti mata kiri tidak bisa menutup rapat, berkumur dan minum mengalami kebocoran, makanan cenderung mengumpul disisi kiri saat mengunyah oleh karena kelemahan otot wajah pada sisi kiri.

C.    Teknologi Intervensi Fisioterapi

Modalitas yang dipilih untuk mengurangi problematika fisioterapi pada kasus Bell’s Palsy karena pengaruh udara dingin Electrical Stimulation dan Massage.

1.    Electrical Stimulation dengan Arus Faradik

a)  Definisi

Arus faradik adalah arus listrik bolak-balik yang tidak simetrisyang mempunyai durasi 0.01-1 ms dengan frekuensi 50-100 cy/detik (Akademi Fisioterapi Surakarta, 1998).

b)  Fisika dasar arus faradik

Istilah faradik mula-mula digunakan untuk arus yang keluar dari faradik coil, suatu induction coil. Arus ini merupakan bolak-balik yang tidak simetris. Tiap cycle terdiri dari dua fase yang tidak sama. Fase pertama dengan intensitas rendah dan durasi panjang, sedang fase kedua intensitas tinggi dan durasi pendek. Berfrekwensi sekitar 50 cycle/detik. Durasi fase kedua sekitar 1milisecond (0,001 detik).

c)  Modifikasi

Arus faradik pada umumnya dimodifikasi dalam bentuk surged atau interupted (terputus-putus). Bentuk surged faradikdapat diperoleh dari mesin-mesin modern. Pengontrol durasisurged sebaiknya terpisah dengan pengontrol interval sehingga diperoleh kontraksi yang efektif dari masing-masing penderita. Bentuk – bentuk surged juga bermacam-macam antara laintrapezoid, trianguler, saw tooth dan sebagainya.

d)  Efek fisiologis

Efek fisiologis terhadap sensoris akan menimbulkan rasa tertusuk halus dan efek vasodilatasi dangkal, sedangkan efek terhadap motorik adalah kontraksi tetanik yang akan lebih mudah menimbulkan kontraksi. Arus faradik lebih enak bagi pasien karena durasinya pendek.

e)  Efek terapeutik

(1) Fasilitasi  kontraksi otot.

         Apabila otot mengalami kesulitan untuk mengadakan  kontraksi, stimulasi elektris dapat membantunya terutama kontraksi otot yang terhambat oleh nyeri atau injury yang baru, dimana stimulasi dapat memberikan fasilitas lewat mekanismemuscle spindel.

(2) Mendidik kembali kerja otot

         Stimulasi faradik diberikan untuk mendapatkan kontraksi dan membantu memperbaiki perasaan gerak. Otot hanya mengenal gerak, sehingga stimulasi diberikan untuk menimbulkan gerakan yang normal. Stimulasi ini merupakan permulaan latihan-latihan aktif.

(3) Melatih otot-otot yang paralysis

         Pada kasus saraf perifer, impuls dari otak tidak sampai pada otot yang disarafi. Akibatnya kontraksi voluntari hilang. Apabila saraf belum mengalami degenerasi, stimulasi denganarus faradik disebelah distal kerusakan akan menimbulkan kontraksi. Dengan demikian stimulasi dengan arus faradikdapat digunakan untuk melatih otot-otot yang paralisis.

(4) Penguatan dan hypertrofi otot-otot

         Untuk mendapatkan penguatan dan hypertrofi, otot perlu berkontraksi dalam jumlah yang cukup serta beban (tahanan). Kelenturan-kelenturan tersebut harus dipenuhi bila stimulasi dimaksudkan untuk penguatan. Apabila suatu otot sangat lemah berat dari bagian tubuh yang bergerak memberikan cukup beban. Dalam hal ini stimulasi dapat meningkatkan kekuatan otot.

(5) Memperbaiki aliran darah dan lymfe

         Aliran darah dapat dipelancar oleh adanya pemompaan dari otot yang berkontraksi dan relaksasi. Efek yang ditimbulkan akan diperoleh secara maksimal dengan menggunakan arus faradik.

(6) Mencegah dan melepaskan perlengketan jaringan

         Apabila terjadi offusi kedalam jaringan maka perlengketan jaringan akan mudah terjadi. Perlengketan tersebut dapat dicegah dengan selalu mengerakan struktur-struktur didaerah tersebut. Jika latihan latihan-latihan aktif tidak dimungkinkan, stimulation electrical dapat diberikan. Perlengketan yang telah terjadi dapat dibebankan dan diulur dengan kontraksi otot (Akademi Fisioterapi Surakarta, 1998).

f)   Metode pelaksanaan arus faradik

(1) Stimulasi secara group

        Pada metode ini semua otot dari suatu group otot berkontraksi bersama. Satu elektrode dipasang pada nerve trunk atau daerah origo, sedangkan satu lagi dipasang pada daerah motor point atau ujung dari muscle belly. Semua otot dari grup otot berkontraksi bersama sehingga sangat efektif untuk mendidik otot yang bekerja secara group.

(2) Stimulasi motor point

        Keuntungan menggunakan metode motor point adalah masing-masing otot berkontraksi sendiri-sendiri dan kontraksinya optimal. Sedangkan kerugian metode ini ialah apabila otot yang dirangsang banyak, maka sulit untuk mendapatkan jumlah kontraksi yang cukup untuk masing-masing otot.

        Berikut ini adalah letak motor point pada wajah :

            

Gambar 2. 4

          Motor point pada otot – otot wajah yang disarafi nervus facialis

(Gersh,1992)

                             Keterangan gambar:

1.  M. Frontalis                                7.  M. Orbicularis Oris

2.  M.Procerus                                8.  M. Corrugator Supercilli

3.  M. Orbicularis Oculi                   9.  M. Nasalis

4.  M. Zygomaticus Mayor            10.  M. Depresor Septi 

5.  N. Risorius                               11.  M. Mentalis

6.  M. Buc

2.    Massage

a)  Definisi

         Massage adalah suatu istilah yang digunakan untuk menunjukkan  suatu manipulasi yang dilakukan dengan tangan yang ditujukan pada jaringan lunak tubuh, untuk tujuan mendapatkan efek baik pada jaringan saraf, otot, maupun sirkulasi(Gertrude, 1952).

b)  Teknik-teknik massage

         Ada beberapa teknik massage, seperti: stroking, effleurage, petrissage, kneading, finger kneading, picking up, tapping, friction dan tapotemen (hacking, claping, beating, pounding). Pada kasusBell’s Palsy teknik massage yang diberikan yaitu stroking, effleurage, finger kneading dan tapping.             Stroking atau gosokan ringan adalah manipulasi yang ringan dan halus dengan menggunakan seluruh permukaan tangan satu atau permukaan kedua belah tangan dan arah gerakannya tidak tentu. Efekstroking adalah penenangan dan mengurangi rasa nyeri. (Tappan, 1988)

         Effleurage adalah manipulasi gosokan dengan penekanan yang ringan dan halus dengan menggunakan seluruh permukaan tangan, sebaiknya diberikan dari dagu ke atas ke pelipis dan dari tengah dahi turun ke bawah menuju ke telinga. Ini harus dikerjakan secara gentle dan menimbulkan rangsangan pada otot-otot wajah. Efek dari effleurage adalah membantu pertukaran zat-zat dengan mempercepat peredaran darah dan limfe yang letaknya dangkal, menghambat proses peradangan.

         Finger kneading adalah pijatan yang dilakukan dengan jari-jari dengan cara memberikan tekanan dan gerakan melingkar, diberikan ke seluruh otot wajah yang terkena lesi dengan arah gerakan menuju ke telinga. Efek dari finger kneading adalah memperbaiki peredaran darah  dan memelihara tonus otot.

         Tapping adalah manipulasi yang diberikan dengan tepukan yang ritmis dengan kekuatan tertentu, untuk daerah wajah dilakukan dengan ujung-ujung jari. Efek dari tapping adalah merangsang jaringan dan otot untuk berkontraksi.

c)  Aplikasi massage

         Pemberian massage wajah pada kondisi Bell’s Palsybertujuan untuk mencegah terjadinya perlengketan jaringan dengan cara memberikan penguluran pada jaringan yang superfisial yakni otot-otot wajah. Dengan pemberian massagewajah ini akan terjadi peningkatan vaskularisasi dengan mekanisme pumping action pada vena sehingga memperlancar sirkulasi

darah dan limfe. Efek rileksasi dapat dicapai dan elastisitas otot dapat tetap terpelihara serta mencegah timbulnya perlengketan jaringan dan kontraktur otot dapat dicegah  (Douglas, 1902)

         Massage dilakukan selama 5-10 menit, 2-3 kali sehari. Massage ini membantu mempertahankan tonus otot wajah agar tidak kaku (Chusid 1983).

Gerakan massage dapat diamati dari gambar berikut ini :

                                                                                                                                                                                                                            

       

Gambar 2.5

         Arah gerakan Massage pada wajah (Maxwell,1987).

d)  Indikasi Massage

         Beberapa kondisi yang merupakan indikasi pemberian massage, antara lain: spasme otot, nyeri, oedema, kasus-kasus perlengketan jaringan, kelemahan otot jaringan, dan kasus- kasus kontraktur.

e)  Kontra Indikasi Massage

         Masssage tidak selalu dapat diberikan pada semua kasus, ada beberapa kondisi yang merupakan kontra indikasi pemberian massage, yaitu: darah yang mengalami infeksi, penyakit-penyakit dengan ganguan sirkulasi, seperti: tromboplebitis, arteriosclerosis berat, adanya tumor ganas, daerah peradangan akut, jerawat akut,sakit gigi, dan luka bakar.

D.   Rencana Pelaksanaan Fisioterapi

     Dalam memberikan pelayanan kepada pasien, fisioterapi seharusnya selalu memulai dengan melaksanakan assesment yaitu di mulai dari pengkajian  data (anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan spesifik, dan lain-lain) kemudian dilanjutkan dengan tujuan terapi, penatalaksanaan fisioterapi serta tindak lanjut dan evaluasi.

1.  Pengkajian Data

Dalam pengkajian fisioterapi, proses pemeriksaan untuk menentukan problematika pasien dimulai dari anamnesa, pemeriksaan, dan dilanjutkan dengan menentukan diagnose fisioterapi.

Anamnesa merupakan suatu tindakan pemeriksaan yang dilakukan dengan mengadakan Tanya jawab kepada pasien secara langsung (auto anamnesis) ataupun dengan mengadakan Tanya jawab kepada pasien secara langsung (hetero anamnesis) mengenai kondisi/ keadaan penyakit pasien. Dengan melakukan anamnesis ini akan diperoleh informasi-informasi penting untuk membuat diagnosis. Anamnesis dikelompokan menjadi dua yaitu anamnesis umum dan

anamnesis khusus. Pada kasus ini berdasarkan autoanamnesis pada tanggal 19 januari 2012 diperoleh informasi sebagai berikut :

(1)  Identitas pasien

           Data identitas pasien yang diperoleh berupa  nama, jenis kelamin, umur, agama, pekerjaan, serta alamat pasien.

(2)  Keluhan utama

           Merupakan satu atau lebih keluhan atau gejala dominan yang mendorong penderita untuk mencari pertolongan.

(3)  Riwayat penyakit sekarang

           Merupakan rincian keluhan dan menggambarkan proses terjadinya riwayat penyakit secara kronologis dengan secara jelas dan lengkap. Yang isinya kapan mulai terjadinya, sifatnya seperti apa, manifestasi lain yang menyertai, penyebab sakit, dan lain-lain.

(4)   Riwayat penyakit dahulu / penyerta

           Pertanyaan diarahkan pada penyakit-penyakit yang pernah dialami yang tidak berkesinambungan dengan munculnya keluhan sekarang.

(5)  Riwayat pribadi

           Riwayat pribadi adalah hal-hal atau kegiatan sehari-hari yang dilakukan pasien menyangkut hobi atau kebiasaan yang berkaitan dengan penyebab bell’s palsy.

(6)  Riwayat penyakit keluarga

           Riwayat keluarga adalah penyakit-penyakit yang bersifat menurun dari orang tua atau keluarga yang lain (Heredo Familial),yang berhubungan dengan bell’s palsy.

Anamnesis sistem

           Anamnesis system ini dilakukan untuk mengidentifikasi masalah yang belum diungkapkan penderita dan untuk melengkapi anamnesis yang belum tercakup diatas, antara lain: kepala dan leher, Kardiovaskuler, Respirasi, Gastrointestinal, Urogenitalis, Muskuloskeletal, Nervorum.

        Pemeriksaan yang dilakukan dibagi menjadi dua, antara lain:

(1)  Pemeriksaan fisik

(a) Tanda – tanda Vital

Pemeriksaan tanda-tanda vital diperoleh data sebagai berikut: (1) tekanan darah, (2) denyut nadi, (3) pernafasan: (4) temperatur, (5) tinggi badan,  (6) berat badan.

(b) Inspeksi

Inspeksi adalah pemeriksaan dengan cara melihat dan mengamati. Ada dua macam yaitu inspeksi statis dan inspeksi dinamis. Inspeksi statis adalah inspeksi dimana pasien dalam keadaan diam, sedangkan inspeksi dinamis adalah inspeksi dimana pasien dalam keadaan bergerak.

(c) Palpasi

Palpasi adalah pemeriksaan dengan cara meraba, menekan dan memegang bagian tubuh pasien yang akan diperiksa atau yang dikeluhkan pasien.

(d) Perkusi dan Auskultasi

Perkusi adalah cara pemeriksaan dengan jalan mengetuk/vibrasi, seperti mengetuk untuk mengetahui keadaan suatu rongga pada bagian tubuh tertentu. dan Auskultasi adalah cara pemeriksaan dengan menggunakan indera pendengaran, biasanya menggunakan alat bantu stetoskop untuk mengetahui Ronki,denyut jantung,

(e) Pemeriksaan gerak

Meliputi pemeriksaan gerak aktif, pasif, isometrik melawan tahanan.  Pada pemeriksaan gerak aktif yang diperiksa adalah sisi yang lemah, meliputi kemampuan mengerutkan dahi, bersiul, tersenyum dan menutup mata. Pada pemeriksaan gerak pasif yang diperiksa adalah sisi wajah yang sakit, yaitu menutup mata, mengerutkan dahi dan tersenyum. Pada pemeriksaan gerak pasif yang dilakukan pada sisi yang lesi atau kanan gerakan mengerutkan dahi, mendekatkan kedua alis, mencucu,bersiul, menutup mata, mengkerutkan hidung ke atas, dan tersenyum.

(f)  Kemampuan fungsional dan lingkungan Aktivitas

Kemampuan fungsional yaitu kemampuan seseorang dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Sedangkan lingkungan aktivitas adalah keadaan lingkungan sekitar yang berhubungan dengan kondisi pasien. Pemeriksaan kognitif, intrapersonal dan interpersonal.

Kognitif merupakan pengetahuan seseorang atau perilaku manusia yang dikaitkan dengan susunan saraf otak. Kognitif meliputi komponen atensi, konsentrasi, memori pemecahan masalah, pengambilan sikap dan perilaku, orientasi ruang dan waktu.

Intrapersonal adalah kemampuan pasien dalam memahami keadaan dirinya, motivasi dirinya.

interpersonal adalah kemampuan bagaimana berhubungan dengan orang lain disekitarnya.

(2)   Pemeriksaan spesifik

Selain pemeriksaan gerak diperlukan juga diperlukan pemeriksaan spesifik untuk lebih memperjelas permasalahan yang dihadapi.

Untuk kasus ini pemeriksaan spesifik yang dilaksanakan berupa : Tanda bell, skala “Ugo Fisch” dan penilaian kekuatan otot wajah dengan menggunakan skala “Daniel’s and Worthingham Manual Muscle Testing”.

(a)  Tanda Bell’s

Tanda bell yang terlihat pada pasien yaitu saat mengkerutkan dahi, lipatan kulit dahi hanya terlihat pada sisi lesi, dan saat memejamkan mata, bola mata masih terlihat sedikit pada sisi yang sehat.

(b)  Ugo Fisch scale

Ugo Fisch scale bertujuan untuk pemeriksaan fungsi motorik dan mengevaluasi kemajuan motorik otot wajah pada penderita bell’s palsy. Penilaian dilakukan pada  5 posisi, yaitu saat istirahat, mengerutkan dahi, menutup mata, tersenyum, dan bersiul. Pada tersebut dinilai simetris atau tidaknya antara sisi sakit dengan sisi yang sehat. (Lumbantobing 2006)

Ada 4 penilaian dalam % untuk posisi tersebut antara lain :

a)    0 % (zero)  : Asimetris Komplit, tidak ada   gerakan                                   volunter sama sekali.

b)   30 % (poor):  Simetris ringan, kesembuhan                         cenderung ke asimetris, ada gerakan volunter.

c)   70 % (fair)   : Simetris sedang, kesembuhan cenderung                                                        normal.

d)   100 % (normal)   : Simetris komplit (normal).

Angka prosentase masing-masing posisi harus dirubah menjadi score dengan kriteria sebagai berikut :

1)   Saat istirahat                         : 20 point

2)   Mengerutkan dahi                : 10 point

3)   Menutup mata                      : 30 point

4)   Tersenyum                           : 30 point

5)   Bersiul                                   : 10 point

Pada keadaan normal untuk jumlah kelima posisi wajah adalah 100 point. Hasil penilaian itu diperoleh dari penilaian angka prosentase dikalikan dengan masing-masing point. Nilai akhirnya adalah jumlah dari 5 aspek penilaian tersebut.

(c)  Manual Muscle Testing (MMT) otot-otot wajah

               Untuk menilai kekuatan otot fasialis yang mengalami paralisis digunakan skala Daniel andWorthinghom’s Manual Muscle Testing, Yaitu :

a)  Nilai 0 (zero)             : Tidak ada kontraksi yang tampak

b)  Nilai 1 (trace)             : Kontraksi minimal

c)  Nilai 3 (fair)                : Kontraksi sampai dengan simetris                                                      sisi normal dengan maksimal

d)  Nilai 5 (normal )         : Kontraksi penuh, terkontrol dan                                              simetris.

BAB III

LAPORAN STATUS KLINIS

 I.    KETERANGAN UMUM PASIEN

Nama                     : J. S

Umur                      : 32 tahun

Jenis kelamin         : Laki - laki

Agama                    : Islam

Pekerjaan               : Guru SD

Alamat                    : Candi Prambanan Barat Rt 13/06 Semarang

II.    DATA – DATA MEDIS RUMAH SAKIT

A.  DIAGNOSIS MEDIS : Bell’s Palsy sinistra

Diagnosa klinis          : kelemahan otot wajah kiri

Diagnosa topis          : wajah kiri

Diagnosa etiologi      : Idiopatic

B.  CATATAN KLINIS : Tanggal 12 Januari 2012

Tanggal 12 Januari 2012 pasien mengeluh wajahnya merot ke kanandan mata kiri tidak bisa menutup rapat, lalu pasien periksa ke RSUP Dr.Kariadi. Dari dokter saraf kemudian pasien dirujuk ke Poliklinik fisioterapi RSUP Dr.Kariadi Semarang.

C.  TERAPI UMUM ( GENERAL TREATMENT )

1.      Dokter :

Medika Mentosa ( Prednison, Nonflet, Dultik. Neutabe)

2.      Rehabilitasi Medik :

Fisioterapi :Massage, dan electrical stimulation

D.  RUJUKAN FISIOTERAPI DARI DOKTER

Mohon untuk dilakukan tindakan Fisioterapi pada pasien atas namaTn. Johan Setiadi dengan diagnosa Bell’s Palsy Sinistra.

III.    SEGI FISIOTERAPI

Tanggal : 19 Januari 2012

A.  ANAMNESIS ( AUTO)

1.  KELUHAN UTAMA :

Wajah sebelah kiri  terasa lemas dan merot ke sisi kanan.

2.  RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG :

Kurang lebih  1 bulan yang lalu, pasien sering tidur pada larut malam saat bangun tidur pasien mengeluh wajah sebelah kiri terasa lemas. Kemudian pasien datang ke RSUP Dr,Kariadi untuk memeriksakan dirinya ke dokter saraf poli garuda setelah dilakukan pemeriksaan pasien dirujuk ke Rehabilitasi medik untuk diberikan tindakan Fisioterapi lebih lanjut dengan kondisi wajah sebelah kiri lemas dan merot ke kanan.

3.  RIWAYAT  PENYAKIT DAHULU :

Trauma Capitis (-), Sakit Gigi (-)

4.  RIWAYAT PENYAKIT PENYERTA

Hipertensi (-), DM (-), Stroke (-),

5.  RIWAYAT PRIBADI (KETERANGAN UMUM PENDERITA) :

Pasien adalah seorang guru SD Donorejo, pasien sendiri mempunyai hobby tenis meja, baca buku, dan mempunyai kebiasaan tidur pada larut malam, pasien mempunyai 1 orang istri dan 1 orang anak.

6.  RIWAYAT KELUARGA :

Tidak ada anggota keluarga yang mengalami sakit seperti ini sebelumnya.

7.  ANAMNESIS SISTEM :

a)  Kepala & leher :

Tidak ada keluhan pusing dan leher tidak terasa kaku.

b)  Kardiovaskuler :

Tidak ada keluhan nyeri dada dan jantung berdebar-debar

c)  Respirasi :

Tidak ada keluhan sesak napas dan batuk

d)  Gastrointestinalis :

Tidak ada keluhan mual, muntah dan BAB terkontrol

e)  Urogenitalis :

BAK terkontrol.

f)  Muskuloskeletal :

Kesulitan menggerakkan mimik wajah sisi kiri.

g)  Nervorum :

Rasa tebal dirasakan pada wajah sisi kiri dan tidak ada rasa nyeri di belakang telinga maupun sekitarnya.

B.  PEMERIKSAAN → Dilakukan Tgl 19 Januari 2012

1.   PEMERIKSAAN FISIK

a)  TANDA – TANDA VITAL :

(1)Tekanan Darah       : 110/80 mmHg

(2)Denyut Nadi            : 73 x/menit

(3)Pernafasan             : 24 x/menit

(4)Temperatur             : 36 °C

(5)Tinggi Badan           : 164 cm

(6)Berat Badan            : 59 kg

b)  INSPEKSI:

     Statis

(1) Wajah tampak asimetris

(2) Mulut merot ke kanan

(3) Mata sebelah kiri berair

(4)  Alis pada sisi yang lesi atau kiri lebih rendah dari pada yang  kanan.

     Dinamis

(1)  Saat mengangkat alis, kerutan dahinya hanya terlihat pada sisi  yang sehat

(2)  Saat menutup mata sisi yang sakit belum dapat menutup dengan sempurna dan terlihat pergerakan bola matanya.

(3)  Saat bersiul dan tersenyum wajah kiri belum bisa simetris atau masih mencong ke kanan. 

c)  PALPASI :

(1) Suhu wajah antara sisi kanan dan kiri teraba sama

(2)   Pada sisi yang lesi atau kiri terasa lebih kendor dari pada yang kanan.

(3)   Ada spasme pada otot-otot wajah yang sebelah kanan.

d)  PERKUSI :

   Tidak dilakukan karena masih dalam batas normal

e)  AUSKULTASI:

   Tidak dilakukan karena masih dalam batas normal

f)   GERAKAN DASAR

(1) Gerak Aktif :

(a)    Menutup mata sebelah kiri masih belum rapat

(b)    Bersiul belum maksimal

(c)    Saat tersenyum bibir atau sudut bibir berdeviasi ke sisi kanan

(d)    Mengerutkan dahi tidak maksimal

(2) Gerak Pasif :

Dapat dilakukan dan elastisitas otot masih bagus.

(3) Gerak Isometrik Melawan Tahanan :

Tidak dilakukan

g)  KOGNITIF, INTRA PERSONAL & INTER PERSONAL :

Kognitif           : Pasien tidak mengalami gangguan atensi dan memori jangka  panjang dan pendek pasien baik.

Intra personal  : Pasien mempunyai motivasi untuk sembuh

Inter personal : Pasien mampu berkomunikasi dan bekerja sama    dengan  dokter dan fisioterapi dengan baik.

h)  KEMAMPUAN FUNGSIONAL & LINGKUNGAN AKTIVITAS :

(1) Kemampuan Fungsional Dasar :

(a)    Pasien belum mampu mengerutkan dahi

(b)    Pasien belum mampu mengangkat alis secara simetris antara sisi kiri dengan sisi kanan.

(c)    Pasien belum mampu menutup mata dengan sempurna

(d)    Pasien belum mampu bersiul, meniup belum simetris

(e)    Ketika berkumur masih boco ke sisi kanan.

(2) Aktivitas Fungsional :

(a)  Pasien masih dapat membedakan bermacam-macam rasaseperti (manis, pahit, asin, asam)

(b)  Saat makan masih kesulitan, terutama saat mengunyah makanan masih mengumpul di sisi yang lesi

(c)  Saat minum dan berkumur masih bocor

(d)  Belum mampu bersiul

(e)  Mata kiri tidak mampu menutup mata rapat.

(3) Lingkungan Aktivitas :

(a)  Lingkungan Rumah Sakit sangat mendukung program terapi dan latihan untuk pasien.

(b)  Lingkungan rumah pun juga sangat mendukung untuk proses penyembuhan.

2.    PEMERIKSAAN SPESIFIK (FT C) tanggal, 19 Januari 2012

a)    Tanda Bell’s Palsy (+)

b)    Ugo Fisch Scale

Tabel 3.1

Pemeriksaan Ugo Fisch Scale

Posisi Wajah Hasil

Saat diam atau istirahat 20 x 0%   = 0

Mengerutkan dahi 10 x 30% = 3

Menutup mata 30 x 70% = 21

Tersenyum 30 x 30% = 9

Mecucu 10 x 30% = 3

                 Jumlah 36 point

Keterangan :

Derajad I   : Normal                                                    100point

Derajad II  : Kelumpuhan ringan                           75 – 99 point

Derajad III : Kelumpuhan sedang                         50 – 75 point

Derajad IV : Kelumpuhan sedang berat               25 – 50 point

Derajad V : Kelumpuhan berat                             1 – 25 point

Derajad VI : Kelumpuhan total                                       0 point

c)    MMT otot-otot wajah skala Daniel and Worthinghom’s    Manual           Muscle Testing.

Tabel 3.2

Pemeriksaan MMT Otot – otot wajah Sinistra

No Nama Otot Nilai

1 M.Frontalis 1

2 M.Corrugator supercili 1

3 M.Procerus 1

4 M. Orbicularis Oculli 3

5 M. Nasalis 1

6 M. Depresor anguli oris 1

7 M. Zigomaticum mayor dan M. Zigomatikum minor

1

8 M. Orbicularis oris 1

9 M. Buccinator 1

10 M. Mentalis 1

11 M. Platysma 1

             

C.  DIAGNOSIS FISIOTERAPI

1.    Impa i rment

a)      Adanya penurunan kekuatan otot-otot wajah sisi kiri

b)      Potensial terjadinya atrofi pada otot wajah sisi kiri

c)      Potensial terjadinya spasme otot pada sisi wajah kanan (sehat) oleh karena kontraksi terus menerus pada sisi yang sehat

d)      Potensial terjadinya kontraktur otot wajah sisi kanan.

2.    Fungsional Limitation

Adanya keterbatasan fungsi seperti mata kiri tidak bisa menutup rapat, berkumur dan minum mengalami kebocoran, makanan cenderung mengumpul disisi kiri saat mengunyah oleh karena kelemahan otot wajah pada sisi kiri.

D.  PROGRAM / RENCANA FISIOTERAPI

1.   Tujuan :

Jangka Pendek

a)    Meningkatkan kekuatan otot

b)    Mencegah potensial terjadinya atrofi otot sisi kiri

c)    Mencegah potensial terjadinya spasme otot pada sisi wajah kananoleh karena kontraksi terus menerus pada sisi wajah kanan

d)    Mencegah potensial terjadinya kontraktur otot wajah sisi kanan

Jangka Panjang

a)      Melanjutkan tujuan jangka pendek

b)      Meningkatkan aktifitas fungsional semaksimal mungkin seperti makan agar tidak mengumpul pada sisi yang lesi, minum/ berkumur agar tidak bocor serta meningkatkan kepercayadirian pasien.

2.   Tindakan Fisioterapi

a)  Teknologi Fisioterapi :

(1)  Teknologi Alternatif :

(a)    IR (Infra Red)                            

(b)    SWD (Short Wave Diathermy)

(c)    MWD (Micro Wave Diathermy)

(d)    US (Ultra Sound), Massage, ES (Electricel Stimulation)

(2)  Teknologi Yang Dilaksanakan :

(a)    Massage Wajah

            Massage diberikan dengan tujuan memberikan penguluran pada otot-otot wajah yang letaknya superfisial sehingga perlengketan jaringan dapat dicegah, selain itu memberikan efek rileksasi dan mengurangi rasa kaku pada wajah. Stroking memiliki efek penenangan dan dapat mengurangi nyeri,Efflurage dapat membantu pertukaran zat-zat dan melancarkan metabolisme dengan mempercepat peredaran darah, Finger Kneading berfungsi untuk memperbaiki peredaran darah dan memelihara tonus otot. Sedangkan tapping dengan ujung jari dapat merangsang jaringan otot untuk berkontraksi. Denganmassage tersebut maka efek relaksasi dapat dicapai dan elastisitas otot tetap terjaga dan potensial timbulnya perlengketan jaringan pada kondisi Bell’s Palsy ini dapat dicegah.

(b)    Electrical Stimulation (ES) arus Faradik

            Electrical Stimulation arus Faradik yang diberikan dapat menimbulkan kontraksi otot dan membantu memperbaiki perasaan gerak sehingga diperoleh gerak  yang normal serta bertujuan untuk mencegah/ memperlambat terjadinya atrofi otot. Pada kasus Bell’s Palsy ini rangsangan gerak dari otak tidak dapat disampaikan kepada otot-otot wajah yang disyarafi. Akibatnya kontraksi otot secara volunter hilang sehingga diperlukan bantuan dari rangsangan arusfaradik untuk menimbulkan kontraksi otot. Rangsangan arus faradik yang dilakukan berulang- ulang dapat melatih kembali otot- otot yang lemah untuk melakukan gerakan sehingga dapat meningkatkan kemampuan kontraksi otot sesuai fungsinya.

b)  Edukasi

(1)    pasien disarankan menghindarkan wajahnya dari paparan udara dingin secara langsung seperti : jangan tidur dilantai tanpa menggunakan alas dan bantal, jangan menggunakan kipas angin yang secara langsung dihadapkan dimuka.

(2)    Pasien disarankan melindungi matanya dari terpaan debu dan angin secara langsung untuk menghindari terjadinya iritasi.

(3)    Pasien dianjurkan untuk menutup wajah saat mengendarai sepeda motor dengan Helm full face dengan kaca mata diberikan tertutup.

(4)    Pasien diajarkan untuk melatih gerakan-gerakan didepan kaca seperti : mengangkat alis dan mengerutkan dahi keatas, menutup mata,tersenyum, bersiul, menutup mulut dengan rapat, mengangkat sudut bibir ke atas dan memperlihatkan gigi-gigi, mengembangkempiskan cuping hidung, mengucapkan kata-kata labil a,i,u,e,o dengan dosis minimal 4x sehari selama 5-10 menit.

3.   Rencana Evaluasi

a)  Kemampuan fungsional dasar dengan ugo fish scale

b)  Kekuatan otot dengan MMT

E.  PROGNOSIS

Quo ad Vitam                          : Baik

Quo ad Sanam                        : Baik

Quo ad Fungsionam               : Sedang

Quo ad Cosmeticam               : Sedang

F.  PELAKSANAAN FISIOTERAPI

1.   Tanggal 19 Januari 2012

Pelaksanaan Ft dengan Massage

a) Persiapan alat

Menyiapkan media pelicin, bedak dan tisu untuk membersihkannya.

              b) Persiapan pasien

Posisi pasien tidur terlentang senyaman mungkin. Area terapi yang hendak dimassage dalam keadaan bersih. Sebelum massage dilakukan, berikan penjelasan mengenai terapi yang akan dilakukan

              c) Pelaksanaan terapi

Terapis berada di sebelah atas wajah pasien. Massage diberikan pada wajah yang lesi. Sebelumnya tuangkan media pelicin ditangan terapis. Kemudian usapkan pada wajah pasien dengan gerakan stroking dengan menggunakan seluruh permukaan tangan satu atau permukaan kedua belah tangan dan arah gerakannya tidak tentu. Lakukan gerakan efflurage secara gentle, gerakan dari dagu kearah pelipis dan dari tengah dahi turun ke bawah menuju ke telinga. Dilanjutkan dengan finger kneading dengan jari-jari dengan cara memberikan tekanan dan gerakan melingkar, diberikan ke seluruh otot wajah yang terkena lesi dari dagu, pipi, pelipis dan tengah dahi menuju ke telinga. Kemudian lakukan tapping dengan jari-jari dari tengah dahi menuju ke arah telinga, dari dekat mata menuju ke arah telinga, dari hidung ke arah telinga, dari sudut bibir ke arah telinga dan dari dagu menuju kearah telinga. Khusus pada bibir, lakukan stretching kearah yang lesi.

Gerakan massage dilakukan dengan pengulangan 15x / menit dan dilakukan selama kurang lebih 5-10 menit. (Chusid 1983)

2.   Tanggal 21 Januari 2012

Pelaksanaan FT dengan Electrical Stimulation Arus Faradik

a)  Persiapan alat

Menyiapkanan alat, cek kabel, siapkan elektroda. Cek elektrodadengan membasahi kedua elektroda yang akan dipakai dan sentuhkan pada kulit terapis dengan cara menjepitkan elektroda diantara kedua jari tangan. Kemudian hidupkan mesin dan naikkan intensitas

perlahan-lahan. Bila ada rasa tusuk-tusuk halus, maka arus keluar dan alat dapat digunakan.                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                      

b)  Persiapan pasien

Posisi pasien tidur terlentang dengan nyaman. Area terapi yang hendak diberikan stimulasi bebas dari pakaian dan dalam keadaan bersih. Sebelum terapi dimulai dilakukan tes sensibilitas rasa tusuk tajam dan tumpul. Berikan penjelasan pada pasien mengenai rasa yang ditumbulkan dari arus faradik yaitu rasa tusuk-tusuk halus.

c)  Pelaksanaan terapi

Mesin masih dalam posisi off dan tombol intensitas dalam posisi nol. Letakkan elektroda pasif pada cervical 7, sedangkan aktif elektroda pada motor poin otot wajah kiri. Stimulasi diberikan pada wajah kiri/ wajah yang lesi. Hidupkan alat dan naikkan intensitas sesuai toleransi pasien. Masing-masing motor point memerlukan 30 kali kontraksi. Pada fase pertama lakukan terlebih dahulu 15 kontraksi pada satu titik motor point. Kemudian berikan waktu istirahat pada otot yang baru saja distimulasi. Selama waktu istirahat tersebut lakukan stimulasi pada otot lain. Setelah seluruh titik motor point selesai distimulasi, lakukan fase kedua dengan mengulangi stimulasi dari awal untuk menyelesaikan 15 kontraksi yang belum dilakukan. Untuk mengakhiri stimulasi turunkan dahulu intensitas arusnya. Kemudian lepaskan elektroda dari kulit pasien dan matikan alat.

3.   Tanggal 24 Januari 2012

Penatalaksanan sama dengan tanggl 21 Januari 2012, tetapi kontraksi     masing-masing motor point dikurangi dari 30 kontraksi menjadi 20 kontraksi.

4.   Tanggal 26 Januari 2012

Penatalaksanan sama dengan tanggal 24 Januari 2012

G. EVALUASI

1.   Evaluasi Ugo Fisch Scale

Tabel 3.4

Evaluasi Ugo Fisch Scale

Posisi Wajah T1 T2 T3 T4  (26.01.12)

(19.01.12) (21.0112) (24.3.12)

Istirahat/Diam 20 x 0% = 0 20 x 0% = 0 20 x 0% = 0 20x30%=6

Mengerutkan dahi

10x30%=3 10x30%=3 10x30%=3 10x30%=3

Menutup mata 30x70%=21 30x70%=21 30x100%=30 30x100%=30

Tersenyum 30x30%=9 30x30%=9 30x30%=9 30x30%=9

Bersiul/ Mecucu

10x30%=3 10x30%=3 10x30%=3 10x30%=3

Jumlah 36poin 36 poin 45poin 51poin

2.   Evaluasi Kekuatan otot wajah dengan MMT

Tabel 3.5

Evaluasi Kekuatan otot wajah dengan MMT

No Nama Otot T1 T2 T3 T4

1 M.Frontalis 1 1 3 3

2 M.Corrugator supercili 1 1 3 3

3 M.Procerus 1 1 3 3

4 M. Orbicularis Oculli 3 3 5 5

5 M. Nasalis 1 1 3 3

6 M. Depresor anguli oris 1 1 3 3

7 M. Zigomaticum mayor dan M. Zigomatikum minor

1 1 3 3

8 M. Orbicularis oris 1 1 3 3

9 M. Buccinator 1 1 3 3

10 M. Mentalis 1 1 3 3

11 M. Platysma 1 1 3 3

H.  HASIL TERAPI TERAKHIR

         Sesudah dilakukan terapi dengan infra merah dan elektrikel stimulasi selama 4x terapi pada pasien atas nama Tn. J.S 32 tahun dengan diagnosaBell’s Palsy Kiri didapatkan hasil :

1.   Nilai Ugo Fisch meningkat dibuktikan dengan pemeriksaan dan evaluasi menggunakan Ugo Fisch Scale.

2.   Kekuatan otot meningkat dibuktikan dengan pemeriksaan dan evaluasi menggunakan MMT pada otot-otot wajah.

3.   Rasa tebal-tebal pada wajah sisi kiri mulai berkurang.

4.   Bibir yang merot sudah berkurang tapi expresi wajah masih asimetris.

BAB IV

PENUTUP

A.   Pembahasan

                        Pasien Bell’s palsy pada awalnya merasakan ada kelainan pada mulut yang tampak mencong ke satu sisi, salah satu kelopak mata tidak dapat dipejamkan, mulut tidak dapat mencucu, apabila berkumur atau  minum maka air akan tumpah melalui salah satu sisi mulut yang lesi. Keadaan tersebut disebabkan adanya paralisis otot- otot wajah pada sisi yang sakit. Kondisi ini merupakan permasalahan yang dialami pasien sehingga peran fisioterapis diperlukan untuk mengatasi permasalahan tersebut dengan meningkatkan kekuatan dan kemampuan fungsional otot- otot wajah serta mencegah komplikasi lebih lanjut

                        Pada bab ini yang akan dibahas mengenai hasil evaluasi terapi dari awal hingga terapi keempat yaitu tanggal 19, 21, 24, 26, Januari 2012 yang dilakukan pada pasien Bell’s Palsy kiri karena pengaruh udara dingin. Pada Karya Tulis Ilmiah ini terapis menggunakan modalitas Electrical Stimulation arus Faradik danMassage. Penjelasan tentang pengaruh dari penggunaannya adalah sebagai berikut :

                        Electrical Stimulation arus Faradik yang diberikan dapat menimbulkan kontraksi otot dan membantu memperbaiki perasaan gerak sehingga diperoleh gerak  yang normal serta bertujuan untuk mencegah/ memperlambat terjadinya atrofi otot. Pada kasus Bell’s Palsy ini rangsangan gerak dari otak tidak dapat disampaikan kepada otot-otot wajah yang disyarafi. Akibatnya kontraksi otot secara volunter hilang sehingga diperlukan bantuan dari rangsangan arus faradik untuk menimbulkan kontraksi otot. Rangsangan arus faradik yang dilakukan berulang- ulang dapat melatih kembali otot- otot yang lemah untuk melakukan gerakan sehingga dapat meningkatkan kemampuan kontraksi otot sesuai fungsinya.

                        Massage diberikan dengan tujuan memberikan penguluran pada otot-otot wajah yang letaknya superfisial sehingga perlengketan jaringan dapat dicegah, selain itu memberikan efek rileksasi dan mengurangi rasa kaku pada wajah. Stroking memiliki efek penenangan dan dapat mengurangi nyeri, Efflurage dapat membantu pertukaran zat-zat dan melancarkan metabolisme dengan mempercepat peredaran darah, Finger Kneading berfungsi untuk memperbaiki peredaran darah dan memelihara tonus otot. Sedangkan tapping dengan ujung jari dapat merangsang jaringan otot untuk berkontraksi. Dengan massage tersebut maka efek relaksasi dapat dicapai dan elastisitas otot tetap terjaga dan potensial timbulnya perlengketan jaringan pada kondisi Bell’s Palsy ini dapat dicegah.

B.   Kesimpulan

        Dari uraian tersebut diatas diketahui akan adanya kemajuan yang sangat signifikan dalam proses penyembuhan dibandingkan sebelum dilakukan tindakan fisioterapi, yaitu pada T1.

Kemajuan tersebut selain dari keinginan dan semangat pasien untuk sembuh serta didukung oleh modalitas fisioterapi yang diberikan yaitu berupa Electrical Stimulatin arus Faradik, Massage serta didukung dengan latihan-latihan untuk home program. Diperoleh hasil: (1) Nilai Ugo Fisch meningkat dibuktikan dengan pemeriksaan dan evaluasi menggunakan Ugo Fisch Scale, (2) Kekuatan otot meningkat dibuktikan dengan pemeriksaan dan evaluasi menggunakan MMT pada otot-otot wajah, (3) Rasa tebal-tebal pada wajah sisi kiri mulai berkurang, (4) Bibir yang merot sudah berkurang tapi expresi wajah masih asimetris.

        Dari penatalaksanaan fisioterapi yang dilakukan pada pasien ini, diketahui adanya  peningkatan dari T1 sampai dengan T4 dan dengan hasil sebagai berikut:

                1.    Peningkatan nilai kemampuan fungsional otot-otot wajah dengan Skala Ugo Fisch

                                                Tabel 4.1

Posisi Wajah T1  (19.01.12) T4  (26.01.12)

Istirahat/Diam 20 x 0% = 0 20x30%=6

Mengerutkan dahi 10x30%=3 10x30%=3

Menutup mata 30x70%=21 30x100%=30

Tersenyum 30x30%=9 30x30%=9

Bersiul/ Mecucu 10x30%=3 10x30%=3

Jumlah 36poin 51poin

                                                             

                2.    Peningkatan nilai kekuatan otot wajah

                                           Tabel 4.2

No Nama Otot T1

(19.01.12)

T4  (26.01.12)

1 M.Frontalis 1 3

2 M.Corrugator supercili 1 3

3 M.Procerus 1 3

4 M. Orbicularis Oculli 3 5

5 M. Nasalis 1 3

6 M. Depresor anguli oris 1 3

7 M. Zigomaticum mayor dan M. Zigomatikum minor

1 3

8 M. Orbicularis oris 1 3

9 M. Buccinator 1 3

10 M. Mentalis 1 3

11 M. Platysma 1 3

                                                                       

Dari Tabel 4.1 dan tabel 4.2 dapat dilihat bahwa dengan penanganan fisioterapi yang telah diberikan memperlihatkan adanya peningkatan kemampuan fungsional otot - otot wajah serta peningkatan kekuatan otot dari otot-otot wajah.

C.   Saran

        Suatu keberhasilan terapi juga ditentukan oleh sikap dari pasien itu sendiri,  jadi perlu ada kerjasama dengan baik antara terapis, pasien serta keluarga pasien. Untuk mengoptimalkan hasil terapi yang diberikan maka disarankan kepada:

1.  Fisioterapis hendaknya sebelum melakukan terapi kepada pasien          diawali dengan pemeriksaan yang teliti, mencatat permasalahan             pasien, menegakkan diagnosis dengan tepat, memilih modalitas      yang sesuai dengan permasalahan pasien, melakukan    evaluasi dan    memberikan edukasi pada pasien sehingga nantinya akan          memperoleh hasil yang optimal.

2.  Kepada pasien:

a)  Rutin dalam melakukan terapi ke fisioterapi.

b)  Sementara waktu menghindari udara dingin dan angin yang   langsung mengenai pada wajah atau  jika tidur menggunakan kipas   angin, jangan biarkan kipas angin menerpa wajah secara langsung     serta jangan tidur di lantai tanpa menggunakan alas dan bantal, bila   kondisi tubuh tidak baik.

c)  Bila mengendarai motor, gunakanlah helm fullface yang benar agar   terhindar dari terpaan udara secara langsung.

d)  Pakailah kacamata untuk melindungi mata dari terpaan debu dan      angin secara langsung untuk menghindari iritasi.

3.  Keluarga pasien, hendaknya memberikan motivasi kepada pasien         untuk rajin terapi dan melakukan home program/ edukasi-        edukasi yang telah diberikan oleh terapis untuk mendukung proses      kesembuhannya.

4.  Masyarakat dan pembaca, agar segera konsultasi ke dokter, ke            fisioterapi atau tenaga medis lain, bila dijumpai atau dirasakan keluhan seperti: mulut mencong, salah satu mata sukar ditutup, dan      sebagainya. Ini dimaksud, agar dapat diberikan tindakan sedini   mungkin sehingga komplikasi yang akan timbul dapat dicegah.

LOG BOOK PEMASANGAN NGT

LOG BOOK

A.    JENIS TINDAKAN : “Pemasangan NGT Pada Pasien Penurunan Kesadaran”.Dilakukan di ruang Cempaka pada Ny. H (39 tahun) dengan diagnosa medis hipertensi. Tindakan ini dilakukan pada tanggal 11 juni 2013, jam 18:40 WIB. Tindakan ini dilakukan oleh saya yang di asistensi oleh perawat mbak Heri

B.     DATA PASIEN:Data subjektif: - keluarga klien mengatakan klien sudah lama mengalami tekanan darah tinggi, tetapi belum pernah sampai terjadi penurunan kesadaran.

Data objektif:         TD klien = 220/140mmHg, HR= 98x/menit         Klien terpasang syringe pump         Klien mengalami penurunan kesadaran, kesadaran klien yaitu coma tidak ada respon apapun

terhadap rangsangan, maupun reflek muntah         Klien terlihat berkeringat dan akral teraba dingin

C.     TUJUAN:-          Memberikan makanan cair atau obat-obatan cair pada pasien yang tidak sadar (coma) dan pasien

yang mengalami kesulitan menelan-          Mencegah terjadinya atropi esophagus/lambung pada pasien tidak sadar-          Mengeluarkan cairan atau isi lambung dan gas yang terdapat didalam lambung-          Mengirigasi karena perdarahan atau keracunan dalam lambung-          Mencegah atau mengurangi nausea dan vomiting setelah pembedahan atau trauma-          Mengambil specimen pada lambung untuk pemeriksaan diagnostic

(Asmadi, 2008)

D.    INDIKASI & KONTRAINDIKASI TINDAKAN1.      Indikasi :-          Dilakukan pada pasien tidak sadar (koma)-          Klien dengan masalah pencernaan atas. Misalnya stenosis esophagus, tumor

mulut/faring/esophagus (Asmadi, 2008)2.      Kontraindikasi:-          Pasien yang mengalami cidera serebrospinal

E.     CARA MELAKUKAN (TAHAPAN PROSEDUR)1.      Persiapan alat :-          NGT dengan nomor tertentu disesuaikan dengan usia klien-          Jelly yang larut dalam air-          Tongue spatel-          Sarung tangan-          Spuit ukuran 50-100cc-          Stetoskop-          Handuk-          Tisu-          Bengkok-          Perlak-          Plester-          Pen light (Asmadi, 2008)2.      Prosedur :-          Siapkan peralatan di butuhkan seperti yang telah disebutkan diatas-          Setelah peralatan siap minta izin pada pasien untuk memasang NGT dan jelaskan pada pasien

atau keluarganya tujuan pemasangan NGT-          Dekatkan alat-alat ke klien

-          Pakai handscun kemudian posisikan pasien dengan kepala hiper ekstensi-          Pasang handuk didada pasien untuk menjaga kebersihan kalau pasien muntah-          Cek kondisi lunga hidung klien, perhatikan adanya sumbatan-          Letakkan bengkok di dekat pasien-          Ukur panjang tube yang akan dimasukkan dengan menggunakan metode:a.       Metode tradisional:

Ukur jarak dari puncak lubang hidung ke daun telinga dan ke prosessus xipoideus sternumb.      Metode Hanson :

Mula-mula tandai 50 cm pada tube kemudian lakukan pengukuran dengan metode tradisional. Selang yang akan dimasukkan pertangahan antara 50cm dengan tanda tradisional.

-          Beri tanda pada panjang selang yang sudah diukur dengan plester-          Olesi jelly pada NGT sepanjang 10-20cm-          Informasikan kepada klien bahwa selang akan dimasukkan. Lalu masukan selang melalui lubang

hidung yang telah ditentukan-          Bila sudah melewati nasofaring (kira-kira 3-4cm), instruksikan klien untuk menelan dan

posisikan kepala pasien dengan posisi fleksi. Setelah sampa batas plester cek apakah selang sudah benar-benar masuk dengan pen light.

-          Jika sudah selesai memasang NGT, periksa letak selang dengan cara:a.       Pasang spuit, yang telah ditarik pendorongnya pada angka 10-20ml udara, pada ujung NGT.

Letakkan stetoskop pada daerah gaster. Kemudian suntikan spuit tersebut. Jika pada auskultasi terdengar suara hentakan udara, berarti selang NGT masuk kedalam lambung

b.      Aspirasi pelan-pelan untuk mendapatkan isi lambung dengan menggunakan spuit.c.       Masukkan ujung bagian luar selang NGT kedalam mangkok yang berisi air. Jika ada gelembung

udara, berarti masuk ke dalam paru-paru. Jika tidak ada gelembung udara, berarti masuk ke dalam lambung.

-          Fiksasi selang NGT dengan plester dan hindari penekanan pada hidung-          Tutup ujung luar NGT. Bila tidak ada penutup dapat di klem-          Evaluasi klien setelah terpasang NGT-          Rapikan alat-alat-          Cuci tangan-          Dokumentasi hasil tindakan

(Asmadi, 2008)

F.      EVALUASI TINDAKAN (ANALISIS)Pada pemasangan NGT yang dilakukan oleh saya dan diasistensi oleh perawat  di ruang cempaka. Saya hanya menyiapkan alat seperti stetoskop, spuit 10cc, NGT ukuran dewasa, jelly, plester dan bengkok sesuai dengan kondis yang ada. Sedangkan pada saat pemasangan NGT dapatkan data:DS:-DO: - Karena klien mengalami penurunan kesadaran, sehingga klien tidak menelan selang yang masuk ketika sampai di epiglotis.

-          Pengulangan memasukan selang ke hidung hampir terjadi 5x karena selang masuk ke dalam mulut disebabkan oleh pasien batuk dan tidak menelan

-          Pemasangan berlangsung lama karena selang lama baru masuk kedalam lambung

Pemasangan NGT saya banyak memodifikasi alat, yaitu tidak memakai perlak, cukup dengan memakaikan tisu di dada klien. saya  tidak menyiapkan tongue spatel karena tidak tersedia di cempaka, saya hanya melihat selang masuk ke dalam mulut dengan membuka mulut klien dengan jari. Setelah selang NGT berhasil masuk sampai batas yang ditentukan, saya memastikan selang masuk kedalam lambung dengan cara :

a.       Mendengarkan hentakan udara dari dalam lambung dengan stetoskopb.      Memasukan selang NGT kedalam air yang telah disediakan didalam gelas, dan tidak ada

gelembung udara yang keluar.Selama tindakan pemasangan NGT ini berlangsung, banyak sekali terjadi modifikasi alat dan kendala-kendala yang terjadi seperti pasien yang turun kesadaran tidak bisa membantu menelan selang yang sudah masuk sampai epiglotis sehingga selang masuk kedalam mulut dan itu terjadi berkali-kali. Pasien juga sering mengalami batuk ketika selang mulai dimasukan lagi. Dalam hal ini sebagai calon perawat saya harus lebih bersabar dan lebih belajar lagi dalam memasang NGT dan prinsip steril harus tetap dijaga.

G.    DAFTAR PUSTAKAAsmadi. 2008. Tehnik Prosedural Keperawatan: Konsep dan Aplikasi Kebutuhan Dasar Klien. Jakarta : Salemba Medika

1. Definisi• Kateter adalah pipa untuk memasukkan atau mengeluarkan cairan• Kateter terutama terbuat dari bahan karet atau plastik, metal, woven silk dan silikon• Kandung kemih adalah sebuah kantong yang berfungsi untuk menampung air seni yang be rubah-ubah jumlahnya yang dialirkan oleh sepasang ureter dari sepasang ginjal• Kateterisasi kandung kemih adalah dimasukkannya kateter melalui urethra ke dalam kandung kemih untuk mengeluarkan air seni atau urine.

2. Tujuan• Untuk segera mengatasi distensi kandung kemih• Untuk pengumpulan spesimen urine• Untuk mengukur residu urine setelah miksi di dalam kandung kemih• Untuk mengosongkan kandung kemih sebelum dan selama pembedahan

3. Prosedur

A. Alata. Tromol steril berisib. Gass sterilc. Deppers sterild. Handscoene. Cucingf. Neirbecken

g. Pinset anatomish. Doeki. Kateter steril sesuai ukuran yang dibutuhkanj. Tempat spesimen urine jika diperlukank. Urinebagl. Perlak dan pengalasnyam. Disposable spuitn. Selimut

B. Obata. Aquadestb. Bethadinec. Alkohol 70 %

C. Petugasa. Pengetahuan dasar tentang anatomi dan fisiologi dan sterilitas mutlak dibutuhkan dalam rangka tindakan preventif memutus rantai penyebaran infeksi nosokomialb. Cukup ketrampilan dan berpengalaman untuk melakukan tindakan dimaksudc. Usahakan jangan sampai menyinggung perrasaan penderita, melakukan tindakan harus sopan, perlahan-lahan dan berhati-hatid. Diharapkan penderita telah menerima penjelasan yang cukup tentang prosedur dan tujuan tindakan

D. PenderitaPenderita telah mengetahui dengan jelas segala sesuatu tentang tindakan yang akan dilakukan penderita atau keluarga diharuskan menandatangani informed consent

E. Penatalaksanaan1. Menyiapkan penderita : untuk penderita laki-laki dengan posisi terlentang sedang wanita dengan posisi dorsal recumbent atau posisi Sim

2. Aturlah cahaya lampu sehingga didapatkan visualisasi yang baik

3. Siapkan deppers dan cucing , tuangkan bethadine secukupnya

4. Kenakan handscoen dan pasang doek lubang pada genetalia penderita

5. Mengambil deppers dengan pinset dan mencelupkan pada larutan bethadine

6. Melakukan desinfeksi sebagai berikut :

Pada penderita laki-laki : Penis dipegang dan diarahkan ke atas atau hampir tegak lurus dengan tubuh untuk meluruskan urethra yang panjang dan berkelok agar kateter mudah dimasukkan. desinfeksi dimulai dari meatus termasuk glans penis dan memutar sampai

pangkal, diulang sekali lagi dan dilanjutkan dengan alkohol. Pada saat melaksanakan tangan kiri memegang penis sedang tangan kanan memegang pinset dan dipertahankan tetap steril.

Pada penderita wanita : Jari tangan kiri membuka labia minora, desinfeksi dimulai dari atas (clitoris), meatus lalu kearah bawah menuju rektum. Hal ini diulang 3 kali . deppers terakhir ditinggalkan diantara labia minora dekat clitoris untuk mempertahankan penampakan meatus urethra.

7. Lumuri kateter dengan jelly dari ujung merata sampai sepanjang 10 cm untuk penderita laki-laki dan 4 cm untuk penderita wanita. Khusus pada penderita laki-laki gunakan jelly dalam jumlah yang agak banyak agar kateter mudah masuk karena urethra berbelit-belit

8. Masukkan katether ke dalam meatus, bersamaan dengan itu penderita diminta untuk menarik nafas dalam.

Untuk penderita laki-laki : Tangan kiri memegang penis dengan posisi tegak lurus tubuh penderita sambil membuka orificium urethra externa, tangan kanan memegang kateter dan memasukkannya secara pelan-pelan dan hati-hati bersamaan penderita menarik nafas dalam. Kaji kelancaran pemasukan kateter jika ada hambatan berhenti sejenak kemudian dicoba lagi. Jika masih ada tahanan kateterisasi dihentikan. Menaruh neirbecken di bawah pangkal kateter sebelum urine keluar. Masukkan kateter sampai urine keluar sedalam 5 – 7,5 cm dan selanjutnya dimasukkan lagi +/- 3 cm.

Untuk penderita wanita : Jari tangan kiri membuka labia minora sedang tangan kanan

memasukkan kateter pelan-pelan dengan disertai penderita menarik nafas dalam . kaji kelancaran pemasukan kateter, jik ada hambatan kateterisasi dihentikan. Menaruh nierbecken di bawah pangkal kateter sebelum urine keluar. Masukkan kateter sampai urine keluar sedalam 18 – 23 cm dan selanjutnya dimasukkan lagi +/- 3 cm.

9. Mengambil spesimen urine kalau perlu

10.Mengembangkan balon kateter dengan aquadest steril sesuai volume yang tertera pada label spesifikasi kateter yang dipakai

11.Memfiksasi kateter :Pada penderita laki-laki kateter difiksasi dengan plester pada abdomenPada penderita wanita kateter difiksasi dengan plester pada pangkal paha

12.Menempatkan urinebag ditempat tidur pada posisi yang lebih rendah dari kandung kemih

13.Melaporkan pelaksanaan dan hasil tertulis pada status penderita yang meliputi :• Hari tanggal dan jam pemasangan kateter• Tipe dan ukuran kateter yang digunakan• Jumlah, warna, bau urine dan kelainan-kelainan lain yang ditemukan• Nama terang dan tanda tangan pemasang

PEMASANGAN INFUS

STANDARD

OPERSIONAL

PROSEDUR

PENGERTIAN Pemasangan infus untuk memberikan obat/cairan melalui parenteral

TUJUAN Melaksanakan fungsi kolaborasi dengan dokter

KEBIJAKAN1. Pasien yang mendapatkan obat yang diberikan secara intra vena (I.V)

2. Pasien dehidrasi untuk rehidrasi parenteral

PETUGAS Perawat

PERALATAN

1. Sarung tangan 1 pasang

2. Selang infus sesuai kebutuhan (makro drip atau mikro drip)

3. Cairan parenteral sesuai program

4. Jarum intra vena (ukuran sesuai)

5. Kapas alkohol dalam kom (secukupnya)

6. Desinfektan

7. Torniquet/manset

8. Perlak dan pengalas

9. Bengkok 1 buah

10. Plester / hypafix

11. Kassa steril

12. Penunjuk waktu

13.

PROSEDUR

PELAKSANAAN

1. Tahap PraInteraksi1. Melakukan verifikasi data sebelumnya bila ada

2. Mencuci tangan

3. Menempatkan alat di dekat pasien dengan benar

2. Tahap Orientasi1. Memberikan salam sebagai pendekatan terapeutik

2. Menjelaskan tujuan dan prosedur tindakan pada

keluarga/pasien

3. Menanyakan kesiapan klien sebelum kegiatan dilakukan

3. Tahap Kerja1. Melakukan desinfeksi tutup botol cairan

2. Menutup saluran infus (klem)

3. Menusukkan saluran infus dengan benar

4. Menggantung botol cairan pada standard infuse

5. Mengisi tabung reservoir infus sesuai tanda

6. Mengalirkan cairan hingga tidak ada udara dalam slang

7. Mengatur posisi pasien dan pilih vena

8. Memasang perlak dan alasnya

9. Membebaskan daerah yang akan di insersi

10. Meletakkan torniquet 5 cm proksimal yang akan ditusuk

11. Memakai hand schoen

12. Membersuhkan kulit dengan kapas alkohol (melingkar dari

dalam keluar)

13. Mempertahankan vena pada posisi stabil

14. Memegang IV cateter dengan sudut 300

15. Menusuk vena dengan lobang jarum menghadap keatas

16. Memastikan IV cateter masik intra vena kemudian

menarik Mandrin + 0,5 cm

17. Memasukkan IV cateter secara perlahan

18. Menarik mandrin dan menyambungkan dengan selang

infuse

19. Melepaskan toniquet

20. Mengalirkan cairan infuse

21. Melakukan fiksasi IV cateter

22. Memberi desinfeksi daerah tusukan dan menutup dengan

kassa

23. Mengatur tetesan sesuai program

4. Tahap Terminasi1. Melakukan evaluasi tindakan

2. Melakukan kontrak untuk kegiatan selanjutnya

3. Berpamitan dengan klien

4. Membereskan alat-alat

5. Mencuci tangan

6. Mencatat kegiatan dalam lembar catatan perawatan

PENILAIAN PENCAPAIAN KOMPETENSI ASPEK KETRAMPILAN PEMASANGAN INFUS

No ASPEK YANG DINILAI BOBOT

NILAI

0 1 2

A ALAT

1 Sarung tangan 1 pasang 1

2 Selang infus sesuai kebutuhan (makro drip atau mikro drip) 1

3 Cairan parenteral sesuai program 1

4 Jarum intra vena (ukuran sesuai) 1

5 Kapas alkohol dalam kom (secukupnya) 1

6 Desinfektan 1

7 Torniquet/manset 1

8 Perlak dan pengalas 1

9 Bengkok 1 buah 0,5

10 Plester / hypafix 0,5

11 Kassa steril 1

12 Penunjuk waktu 1

B Tahap Pra Interaksi

1 Melakukan verifikasi program pengobatan klien 1

2 Mencuci tangan 1

3 Membawa alat di dekat pasien dengan benar 1

4 Menyiapkan obat sesuai prinsip 1

C Tahap Orientasi

1 Memberikan salam sebagai pendekatan terapeutik 1

2 Menjelaskan tujuan dan prosedur tindakan pada keluarga/klien 1

3 Menanyakan kesiapan klien sebelum kegiatan dilakukan 1

D Tahap kerja

1 Melakukan desinfeksi tutup botol cairan 1

2 Menutup saluran infus (klem) 1

3 Menusukkan saluran infus dengan benar 1

4 Menggantung botol cairan pada standard infus 1

5 Mengisi tabung reservoir infus sesuai tanda 1

6 Mengalirkan cairan hingga tidak ada udara dalam slang 1

7 Mengatur posisi pasien dan pilih vena 1

8 Memasang perlak dan alasny 1

9 Membebaskan daerah yang akan di insersi 1

10 Meletakkan torniquet 5 cm proksimal yang akan ditusuk 1

11 Memakai hand schoen 1

12 Membersuhkan kulit dengan kapas alkohol (melingkar dari dalam 1

keluar)

13 Mempertahankan vena pada posisi stabil 1

14 Memegang IV cateter dengan sudut 300 2

15 Menusuk vena dengan lobang jarum menghadap keatas 2

16 Memastikan IV cateter masik intra vena kemudian menarik

mandrin+ 0,5 cm2

17 Memasukkan IV cateter secara perlahan 2

18 Menarik mandrin dan menyambungkan dengan selang infus 2

19 Melepaskan toniquet 1

20 Mengalirkan cairan infus 1

21 Melakukan fiksasi IV cateter 1

22 Memberi desinfeksi daerah tusukan dan menutup dengan kassa 1

23 Mengatur tetesan sesuai program 1

E Tahap Terminasi

1 Melakukan evaluasi tindakan 1

2 Berpamitan dengan klien 1

3 Membereskan alat-alat 1

4 Mencuci tangan 1

5 Mencatat kegiatan dalam lembar catatan keperawatan 1

TOTAL 50

CONTOH SPO

PEMASANGAN INFUS

Logo RS No Dokumentasi No revisi Halaman

1 / 2

STANDAR PELAYANAN

KEPERAWATAN

Tanggal berlaku Ditetapkan di : Denpasar

Direktur utama

Pengertian Memasukkan cairan/obat langsung ke dalam vena dalam jumlah yang banyak dan dalam waktu yang lama dengan menggunakan infuse set.

Tujuan 1. Sebagai tindakan pengobatan

2. Mencukupi kebutuhan tubuh akan cairan dan elektrolit

3. Sebagai emergensi line

Kebijakan 1.Ada program terapi dokter dan pendelegasian jelas secara tertulis

2.Dalam keadaan emergensi P/B boleh memasang infus tanpa intruksi dokter untuk cairan fisiologis, dalam 1 x24 jam dimintakan instruksi tertulis

3. Dalam 3 x 24 jam abocath / IV line wajib diganti, atau bila terjadi plebitis

4. Infus wajib dirawat tiap hari

5. Kegagalan pemasangan infus lebih dari 2 kali wajib ganti operator.

Persiapan 1. Standar infus ;1buah

2. Abocath sesuai kebutuhan(jenis, ukuran dan jumlah)

3. Infus set (makro/ mikro/ blood) sesuai kebutuhan

4. Pengalas;1 buah

5. Cairan yang diperlukan sesuai kebutuhan

6. Kasa steril dalam tempatnya

7. Kapas alcohol dalam tempatnya

8. Gunting 1 buah

9. Plester

10. Lidi kapas pada tempatnya

11. Bengkok 1 buah

12. Spalek(k/p)

13. Sarung tangan steril ; 1ps

14. form pantau cairan/ kitir

15. Tourniquet 1

16. CM Keperawatan

Prosedur kerja 1. Cek program therapi dokter

2. Beri salam,panggil pasien dengan namanya,kenalkan diri

3. Jelaskan tujuan dan prosedur tindakan pada pasien dan keluarga

4. Berikan kesempatan pasien untuk bertanya sebelum kegiatan dimulai

5. Sepakati lokasi pemasangan infus berdasarkan prioritas pilihan

6. Lakukan pencukuran (k/p)

7. Cuci tangan

8. Dekatkan alat ke rencana area pemasangan infus

9. Pasang pengalas

10. Periksa label infus sesuaikan program therapi

11. Hubungkan cairan infus dengan infuset

12. Isikan selang kontrol dengan cairan sampai 1/3 bagian

13. Alirkan cairan untuk pengisian selang infuset

14. Pastikan selang infuset bebas udara

15. Pakai sarung tangan

16. Pasang tourniquet untuk melakukan fiksasi

17. Palpasi dan pastikan vena yang akan di punksi

18. Desinfeksi daerah yang akan ditusuk dengan alcohol arah melingkar dari dalam keluar diameter 5 cm

19. Tusukkan abocath pada vena yang telah didesinfeksi,dengan kemiringan 30 derajat sejajar vena yang akan ditusuk kea rah jantung,

20. Pastikan darah tampak keluar pada pangkal mandrin, tarik mandrin ½ cm sambil dorong iv cath atau sesuai dengan petunjukk masing masing iv cath

21. Sambungkan IV cath dengan selang cairan yang telah dipersiapkan.

22. Lepaskan tourniquet

23. Buka klem infuset, alirkan cairan sampai mengalir lancar

24. Buka sarung tangan

25. Fiksasi iv cath dengan plester tanpa minutup insersi

26. Oleskan tempat insersi dengan lidi kapas alkohol

27. Tutup tempat insersi dengan kasa steril

28. Pasang spalek dan verban (k/p)

29. Atur tetesan infus sesuai program

30. Pasang form pantau cairan

31. Pasang stiker bertuliskan tgl, jam pemasangan pd tempat pemasangan infus

32. Rapikan pasien

33. Bereskan alat ( buang sampah sesuai tempatnya)

34. Tanya perasaan pasien post pemasangan

35. Jelaskan tanda tanda yang perlu diwaspadai dan dilaporkan ( nyeri, bengkak, merah dan infus tak menetes

36. Sepakati kontrak selanjutnya

37. Cuci tangan

38. Dokumentasikan tindakan meliputi tgl, jam,jenis cairan,tetesan,nomor botol, paraf dan nama terang pada cm cairan dan cm perawatan sesuai ketentuan

Unit terkait Dokter