dinamika pengetahuan lokal dalam perubahan iklim
TRANSCRIPT
1
Dinamika Pengetahuan Lokal dalam Perubahan Iklim:
Belajar dari Masa Lalu dan Masa Kini
Yunita T. Winarto, Muki T. Wicaksono, dan Ubaidillah Pratama
(Departemen Antropologi, FISIP, Universitas Indonesia)
Pengetahuan Lokal dan Perubahan Iklim: Suatu Pendahuluan
“Kearifan lokal,” itulah frasa yang acapkali digunakan oleh berbagai pihak untuk menamai
pengetahuan dan praktik-praktik masyarakat setempat dalam mengelola lingkungan hidupnya.
Tersirat dalam frasa itu suatu makna bahwa pengetahuan dan praktik pengelolaan sumber daya
yang dilakukan penduduk lokal itu selalu akan “arif”, membawa masyarakatnya dalam kondisi
“adaptif” pada kondisi lingkungan hidupnya, mendatangkan kesejahteraan, tidak menyebabkan
kerusakan pada lingkungan hidup, dan akan senantiasa demikian tanpa mengalami perubahan
apa pun. Subak atau sistim pengairan tradisional di Bali seringkali dirujuk sebagai contohnya.
Terlepas dari benar tidaknya makna yang terkandung dalam frasa itu, dalam tulisan ini kami
mempertanyakan konotasi yang mempersepsikan aspek budaya itu sebagai sesuatu yang tidak
dapat berubah. Berbagai tulisan dalam kajian antropologi menunjukkan bahwa kebudayaan itu
memiliki dua “sisi dalam satu keping mata uang”, yakni tetap langgeng dalam wujud budaya
yang telah termantabkan, dan juga dinamis sepanjang masa karena kreativitas para pelakunya
dalam memenuhi kebutuhan serta menanggapi kondisi lingkungan yang senantiasa berubah (lihat
misalnya Borofsky 1994; Barth 1994; Strauss dan Quinn 1997; Winarto 2004a, 2006; Kottak
2011).
Kini, dengan terjadinya perubahan iklim di seantero dunia, masih mungkinkah penduduk
setempat mempertahankan “kearifan lokal”nya agar dapat tetap melangsungkan kehidupannya?
Kami berargumentasi bahwa pengetahuan yang telah dimiliki setiap individu tidak akan “hilang”
begitu saja. Jika pun tidak diaktifkan, berbagai pengetahuan itu akan tetap tersimpan dalam alam
pikirnya. Namun, penduduk lokal juga berada dalam situasi menghadapi kondisi cuaca dan iklim
yang acapkali tidak mampu mereka rujuk dan jelaskan dengan menggunakan skema pengetahuan
yang termantabkan melalui pengalaman sepanjang waktu dan tersimpan dalam benaknya itu.
Pemahaman dan pemaknaan mereka atas berbagai fenomena dan informasi iklim yang
diterimanya, tentulah didasarkan pada pengalaman di masa lalu, interpretasi atas kejadian pada
masa kini, dan harapan yang ingin dipenuhinya di masa depan (lihat Roncoli dkk. 2003).
Mungkinkah pemahaman dan pemaknaan mereka atas fenomena dan informasi iklim yang kini
mengalami variabilitias yang semakin tinggi, peningkatan suhu udara, dan semakin seringnya
terjadi peristiwa iklim yang ekstrim itu dirujuk pada pengalaman, pengetahuan dan “kearifan
2
lokal” di masa lalu apabila peristiwa di masa lalu tidaklah sama dengan apa yang kini dialami?
Seperti dinyatakan oleh Peterson dan Broad (2009:78),
Our mental models of the world’s natural processes are shaped by experience,
evolutionary processes, and our daily experiences. As events become spatially and
temporarily distant—either forward or backward in time—our ability to tease out
relative objectivity vanishes.
Berdasarkan pengamatan dan pengalaman berinteraksi dengan petani, terdapat banyak
pertanyaan yang tidak dapat mereka jelaskan sendiri atas fenomena iklim yang tidak lazim
dialami, termasuk konsekuensinya berupa kegagalan panen yang tidak diduga dan diharapkan
oleh kondisi banjir atau kekeringan, ataupun oleh ledakan hama/penyakit (lihat Winarto dkk.
2011a, 2012a, 2013). Petani sendiri menyatakan bahwa kosmologi lokal yang mereka miliki
yang dalam bahasa Jawa dikenal dengan pranata mangsa tetaplah demikian susunan bulan-
bulannya sebagaimana disiapkan dan diproduksi oleh nenek moyang mereka. Bagi petani yang
telah memiliki pengetahuan tentang kosmologi itu, hal itu pun akan tetap menjadi bagian dari
skema pengetahuannya. Akan tetapi, kondisi cuaca dan iklim tidak lagi sama dengan beberapa
tahun silam, sehingga rujukan pada pranata mangsa itu tidak selalu dapat mereka lakukan.
Panduan bagi petani di lahan tadah hujan untuk mulai menanam tanaman apa pada bulan berapa
dengan adanya indikasi tertentu dalam tetumbuhan dan hewan di habitatnya, tidak lagi sesuai
dengan situasi yang tengah dihadapi. Namun, petani di lahan irigasi yang telah tergantung pada
jadwal pengairan untuk mulai bercocok tanam pun terpengaruh oleh kondisi curah hujan bila
debit air di bendungan tidak mencukupi. Keterlambatan awal turunnya hujan yang menyebabkan
penundaan jadwal tanam musim hujan, atau tetap turunnya hujan pada musim kemarau menjadi
kendala bagi petani untuk dapat menginterpretasi fenomena itu hanya berdasarkan pada
“kearifan lokalnya”, atau pada skema pengetahuan dengan unsur-unsur yang tidak lengkap
terkait dengan fenomena meningkatnya variabilitas iklim, suhu udara, atau peristiwa-peristiwa
iklim yang semakin ekstrim. Jika demikian, bagaimanakah petani dapat tetap melangsungkan
kegiatan cocok tanamnya dengan risiko minimal dalam menghasilkan panen, atau
mengoptimalkan strategi budi daya tanaman dengan terbukanya kesempatan-kesempatan baru?
Dalam tulisan ini kami berargumentasi bahwa petani itu selalu belajar melalui refleksi yang
dilakukan terus menerus atas berbagai peristiwa empiris dan hasil uji coba atau strategi cocok
tanam yang dilakukan dari musim ke musim (lihat Winarto 2004a, 2004b). Oleh karena itu,
pengetahuan lokal petani atau penduduk lokal di mana saja yang menggantungkan hidupnya dari
pengelolaan sumber daya alam bersifat dinamis. Petani adalah makhluk yang kreatif (lihat
Winarto 1995, 2004a, 2004b). Namun, kami juga berpendapat bahwa dalam ranah pengetahuan
lokal dengan cara belajar melalui panca indera, mereka memerlukan jasa-jasa layanan
agrometeorologi untuk mampu mengenali, menjelaskan, dan merespons dengan lebih tanggap
dan tepat berbagai fenomena perubahan iklim yang tidak dapat mereka pahami atau tidak mereka
duga akan terjadi (lihat tulisan tentang Penyuluhan Agrometeorologi, Winarto dan Stigter 2013;
lihat pula Winarto dkk. 2011a, 2013). Semenjak tahun 2008 hingga medio 2009, Winarto dan
Stigter mendampingi petani di Wareng, Gunungkidul, Yogyakarta melakukan pembelajaran
3
agrometeorologi (lihat Winarto dan Stigter 2011; Winarto dkk. 2011a, 2013). Dari tahun 2009
hingga saat ini (2013), kegiatan pembelajaran yang sama juga dilaksanakan sejumlah petani di
Indramayu (lihat Winarto dkk. 2011a, 2012a, 2013). Tulisan ini memaparkan dinamika
pengetahuan lokal itu melalui dialektika pengetahuan yang dimiliki petani dari pengalaman
empirisnya dengan pengetahuan yang baru mereka peroleh melalui pembelajaran
agrometeorologi yang diperkenalkan oleh ilmuwan. Bagaimanakah hal itu terwujud?
Pengamatan dari hari ke hari, pengalaman dari musim ke musim dalam mengaitkan unsur-
unsur pengetahuan lama dan baru itu merupakan mekanisme belajar yang utama bagi pretani.
Melalui kombinasi antara unsur-unsur pengetahuan yang telah tersimpan dalam alam pikirnya
dengan rangsangan baru itulah pengetahuan lokal petani semakin diperkaya. Oleh karena itu,
kami sependapat dengan Agrawal (1995) bahwa mendikotomisasi pengetahuan lokal dan ilmiah
tidaklah signifikan, karena kenyataannya berbagai unsur pengetahuan dalam kedua ranah itu
berbaur menyatu dalam alam pikir individu tanpa sekat-sekat pemisah (lihat pula Brookfield, M.
1996; Choesin 2002). Dengan pendekatan connectionism dan parallel distributed processing
(PDP) seperti dikemukakan oleh D’Andrade (1995) serta Strauss dan Quinn (1997), berbagai
unsur pengetahuan yang ada dalam skema individu akan diolah bersamaan dalam satu waktu
tertentu dalam menanggapi situasi empiris yang dihadapi.1 Dengan pendekatan ini, analisis
tentang pengetahuan tidak lagi dilaksanakan melalui kerangka berpikir adanya penahapan yang
berturutan dalam memproses rangsangan yang diterima oleh panca indera manusia (linear serial
processing), tetapi melalui pemrosesan rangsangan-rangsangan yang jamak dan beragam itu
secara bersamaan dan berkesinambungan (lihat D’Andrade 1995; Shore 1996; Strauss dan Quinn
1997). Unsur-unsur pengetahuan itu diaktifkan dalam kombinasi-kombinasi yang tertentu karena
diperolehnya rangsangan-rangsangan yang tertentu pula. Semakin sering rangsangan itu
diterima, semakin termantabkan kombinasi dari rangsangan itu dalam diri individu.
Pengombinasian berbagai unsur secara bersamaan itu dapat terwujud dari pengaktifan unsur-
unsur pengetahuan yang lama ataupun yang baru diperoleh dan diolah individu dalam alam
pikirnya (lihat kasus penjelasan perubahan evolusioner dalam pengetahuan dan praktik petani
peserta/alumni SLPHT di Indonesia, Cambodia, dan Vietnam dalam Winarto 2004b). Dengan
melakukan hal itu, individu-indivdu pun belajar sesuatu dari lingkungannya (Strauss dan Quinn
1997). Pertanyaannya kini: bagaimanakah dan sejauhmanakah unsur-unsur pengetahuan baru
untuk fenomena yang tidak teramati secara langsung proses kejadiannya, serta tidak mudah
diduga seperti peristiwa-peristiwa iklim itu dapat menimbulkan rangsangan-rangsangan tertentu
sehingga lambat laun terbentuk kombinasi yang termantabkan dan menjadi bagian dari skema
pengetahuan lokal petani?
Tulisan ini menyajikan dialektika dan dinamika pengetahuan petani yang mengalami
pembelajaran itu, baik dari Wareng, Gunungkidul, maupun dari Indramayu (anggota Klub
1 Skema menurut Strauss dan Quinn (1997:49) adalah: “...collection of elements that work together to process
information at a given time. [Furthermore, schemas]...reconstruct our memories of past events, determine the
meanings we impart to ongoing experience, and give us expectation for the future. Schemas also fill in missing or
ambiguous information...”
4
Pengukur Curah Hujan Indramayu, KPCHI). Bagian pertama dari tulisan ini mengisahkan
interpretasi dan respons petani atas berbagai fenomena iklim yang tidak lazim dan tidak mereka
duga sebelumnya itu. Dalam bagian kedua diulas cara mereka meningkatkan kemampuannya
dalam mengamati curah hujan dan implikasinya pada lahan dan tanaman yang memperkaya
pengetahuan mereka. Bagian terakhir memaparkan cara petani melakukan antisipasi terhadap
konsekuensi perubahan iklim dan implikasinya pada interpretasi mereka atas pengetahuan lokal
yang dimiliki setelah mengalami pembelajaran agrometeorologi.
Meningkatnya Variabilitas Iklim, Meningkatnya Ketidakterdugaan
Petani yang mengandalkan pada “pengalaman” dan “panca indera” sebagai mekanisme belajar
yang utama (lihat Winarto 2004a, 2004b) memungkinkan mereka untuk secara gradual
memahami peristiwa-peristiwa yang dialami serta konsekuensinya. Hal itu akan berakumulasi
sebagai himpunan preseden-preseden yang menjadi bagian dari skema pengetahuannya atau
menjadi bagian dari budaya cocok tanamnya dalam kurun waktu yang lama. Pengetahuan yang
terhimpun dalam waktu yang lama dilengkapi dengan pengetahuan yang diwariskan dari nenek-
moyang seperti pranata mangsa pada petani di Jawa itu berakumulasi dalam situasi iklim yang
relatif tidak mengalami perubahan atau variabilitas yang tinggi. Kenyataannya kini, fenomena
perubahan iklim yang menimbulkan konsekuensi serius bagi petani terjadi dalam tiga hal, yakni
(1) pemanasan global; (2) meningkatnya variabilitas iklim; dan (3) munculnya peristiwa-
peristiwa meteorologi/klimatologi ekstrim yang semakin lebih banyak, dan juga semakin lebih
parah (lihat Penyuluhan Agrometeorologi dalam buku ini). Ketiga isu fenomena perubahan iklim
yang pada masa silam belum terjadi itu tentulah tidak dikenali, dipahami, dan diduga oleh petani.
Jika ketiga macam isu fenomena itu serta konsekuensinya pada pertanian merupakan unsur-
unsur yang “missing” atau “belum ada” dalam skema pengetahuan petani, bagaimanakah mereka
dapat menggunakan skema pengetahuannya untuk menanggapi fenomena itu? Tanpa penjelasan
secara khusus tentang proses dan kejadian fenomena iklim yang berada di luar jangkauan panca
inderanya dan tidak/belum menjadi bagian dari skema pengetahuannya, peristiwa-peristiwa itu
akan tetap diinterpretasi secara subjektif oleh masing-masing petani berdasarkan “kaca mata
budaya” yang dimilikinya. Tanpa jasa-layanan tentang iklim dan konsekuensinya, inovasi dan
kreativitas mereka dalam menanggapi peristiwa-peristiwa itu pun akan terkendala oleh apa yang
tersedia dalam skema pengetahuan dan pranata sosial dalam lingkup kebudayaan cocok tanam
yang dimiliki. Seperti dikemukakan oleh Roncoli dkk. (2009:88), cara-cara penduduk setempat
menyaring/menyeleksi perubahan iklim itu terlaksana melalui “kaca mata budaya” yang
dimilikinya:
. . . how people perceive climate change through cultural lenses (“perception”); how
people comprehend what they see based on mental models and social locations
(“knowledge”); how they give value to what they know in terms of shared meanings
5
(“valuation”); and how they respond, individually and collectively, on the basis of their
meanings and values (“response”).
Apabila persepsi, pengetahuan, pemaknaan, dan respons terhadap perubahan iklim itu merujuk
hanya pada pengetahuan lokal dan tradisionalnya, petani pun dapat semakin “terasing” dari
kondisi ekosistem lahannya sendiri (lihat Winarto 2013; Winarto dkk. 2013). Sejumlah petani di
Lamongan di musim kemarau 2013 menyatakan: “Saya merasakan sendiri bahwa saat ini bertani
itu semakin sulit...”. “Saya sudah mengalami gagal panen selama tiga kali berturut-turut di tahun
2011, 2012, dan kini di tahun 2013 karena hujan turun terus menerus di musim kemarau.”
Finesso di Kompas (3 November 2013) mengutip kebingungan petani di Banyumas:
“Selama berabad-abad, nenek moyang kita memercayai Desember bulan gedé-gedéné
sumber (air melimpah), sedangkan pada Juli-Agustus-September adalah mangsa mareng
(kering). Tetapi, beberapa tahun terakhir, pakem pranata mangsa sudah tidak bisa
dipegang lagi. Bergesernya sudah jauh sekali. Petani jadi bingung,” kata Wasim yang
mulai bertani sejak 1963.
Naryo, petani di Desa Sumbon, Indramayu juga menyatakan bahwa “Ber seperti Oktober,
November dan Desember, adalah bulan yang banyak hujan, kecuali September, karena
menurut September berarti sep-sepnya Sumber, meresapnya sumber, sehingga hujan sedikit
dan susah mendapatkan air.” Namun, pada tahun 2012, meresapnya sumber tanpa setitik
air pun berlangsung hingga awal bulan November 2012.
Januari adalah bulan dengan “...hujan yang turun sehari-hari.” Di Bulan April, seperti juga
dinyatakan petani di Wareng, Gunungkidul, “...hujan turun pral-pril.” Oleh karena itu,
petani di Gunungkidul pun kebingungan ketika pada bulan April 2009, hujan turun bar-ber
seperti pada bulan-bulan November-Desember. Alhasil, tanaman tembakaunya pun rusak
terguyur hujan (lihat Winarto dkk. 2011a).
Kisah-kisah nyata yang dialami petani menunjukkan bahwa fenomena iklim itu belum dapat
dikaitkan dengan ketiga isu perubahan iklim tanpa adanya upaya khusus untuk memperkaya
persepsi, pengetahuan, pemaknaan, dan respons mereka dalam strategi-strategi yang tanggap
terhadap perubahan iklim. Dalam kurun waktu 2008—2013, berbagai peristiwa perubahan iklim
itu pun dialami petani. Saat kami berada di Wareng, Gunungkidul pada tahun 2008, setelah
kondisi normal di awal tahun, secara tidak terduga petani mengalami intensitas hujan yang tinggi
selama beberapa hari di medio Oktober 2008 yang diinterpretasikan sebagai awal musim hujan.
Petani pun bergegas menyiapkan lahan dan menebarkan benih. Ternyata, periode kering
menyusuli hujan itu berlangsung hingga satu bulan (dry spell atau bentatan dalam bahasa
setempat) yang menyebabkan pertumbuhan benih terganggu. Di saat tanaman masih berusia
muda, secara tiba-tiba hujan deras turun di akhir bulan November 2008. Alhasil, tanaman padi
dan jagung yang baru tumbuh itu pun layu. Kondisi itu diperparah oleh keberadaan pematang-
pematang tambahan di tengah sawah yang dibuat petani di musim hujan 2007/2008
menindaklanjuti pembelajaran di Sekolah Lapangan Iklim (SLI) untuk mempraktikkan “metode
panen hujan” (lihat Anantasari dan Winarto 2011). Sekalipun petani akhirnya berhasil panen,
hujan pun tidak kunjung berhenti di saat mereka mulai menanam sayuran dan tembakau di awal
musim kemarau. Datangnya La Niña di awal tahun 2009 itu di luar pengetahuan petani. Oleh
6
karena itu, tanaman tembakau mereka pun tidak berhasil tumbuh dengan baik. Kerugian dalam
produksi tembakau terjadi, padahal tanaman itu merupakan sumber penghasilan utama bagi
petani di samping sayur-mayur yang ditanam di musim kemarau (lihat Winarto dkk. 2011a,
2011b).
Terjadinya La Niña di sepanjang tahun 2010 dan 2011 telah menciptakan situasi iklim mikro
yang kondusif bagi meledaknya hama wereng batang cokelat di berbagai lokasi di Pulau Jawa
yang diperparah oleh strategi petani dalam menggunakan pestisida secara berjadwal dan
berlebihan. Begitu pula dengan penanaman padi yang berbeda jadwalnya dalam satu hamparan.
Kegagalan panen hingga 5 musim berturutan dialami petani di wilayah Klaten, Boyolali, dan
Sukoharjo (lihat Winarto dkk. 2011c, 2011c, 2011e, 2012b). Itulah kali pertama dialami petani
dalam kurun waktu yang lama bahwa hujan turun terus menerus selama musim kamarau.
Kembali petani mengalami fenomena yang tidak lazim saat musim kemarau berkepanjangan
terjadi di tahun 2012, sehingga terjadilah kelambatan awal musim tanam musim hujan tahun
2012/2013. Sebaliknya, di tahun 2013, hujan kembali turun di awal musim kemarau 2013 yang
disebut banyak pihak sebagai “kemarau basah”. Perubahan itu pun diinterpretasikan petani
sebagai sesuatu yang tidak lazim. Merujuk pada Crate dan Nuttall (2009:9), perubahan iklim
kerap kali dipahami masyarakat lokal bukan sebagai sesuatu yang akan terjadi di masa depan,
melainkan sebagai sesuatu yang terjadi secara tiba-tiba yang mendorong mereka untuk berjuang
dalam memahami, menegosiasikan, dan meresponnya
Petani di areal hilir irigasi di Indramayu merasakan berakhirnya musim hujan 2011/2012
lebih dini yang memengaruhi ketersediaan suplai air irigasi dan air tanah di sawah bagi musim
kemarau 2012. Ketidakpastian kondisi musim kemarau 2012 di Indramayu dirasakan oleh
hampir seluruh petani. Kekeringan yang terjadi secara masif terjadi di beberapa kecamatan pada
Kabupaten Indramayu (lihat Gambar 1). Pada pertengahan bulan Juni 2012 terdata sebanyak
9.542ha luas areal kekeringan dari 18.836ha sawah (data Kekeringan Dinas Pengelolaan Sumber
Daya Air Tambang dan Energi, Kabupaten Indramayu, Juni 2012). Kondisi itu diperparah oleh
praktik-praktik pengelolaan air irigasi sehingga muncullah sejumlah praktik “ilegal” seperti
‘pembelian air’, pencurian air irigasi yang dilakukan oleh petani secara personal, hingga upaya
pompanisasi secara ilegal. Akibatnya, suplai air irigasi yang telah berkurang akibat penurunan
intensitas curah hujan semakin tidak dapat menjangkau wilayah hilir irigasi di Indramayu, dan
tidak dapat memenuhi kebutuhan air petani di musim kemarau 2012 itu.
Beberapa petani di Desa Karangmulya yang merupakan areal sawah berpengairan
setengah teknis – Pak Arma, Pak Pandi, dan Pak Idi masing-masing mengalami kerugian
sebesar Rp4.000.000,00-, Rp10.000.000,00, dan Rp7.000.000,00 akibat gagal panen yang
disebabkan oleh faktor kekurangan air di sawah.
Penurunan intensitas curah hujan yang memengaruhi debit air irigasi aliran Bendung
Salamdarma di bagian barat Indramayu juga menimbulkan dampak kemunduran waktu tanam
musim kemarau 2012 di areal barat-utara Indramayu. Kemunduran waktu tanam itu
mengacaukan keserempakan jadwal tanam dalam satu hamparan. Setelah air mencukupi, setiap
petani ingin secepat mungkin menanam agar dapat mengejar waktu tanam pada musim hujan
7
2012/2013. Akibatnya, timbullah serangan hama tikus yang serius. Bagi mereka yang masih
dapat memanen sebagian tanamannya seperti di Desa Karang Layung, Sukra, hasil panen hanya
mencapai 3 kw/ha, suatu hasil yang amat mengecewakan.
Gambar 1. Peta Persebaran Lokasi Kekeringan
pada Musim Tanam Gaduh 2012 di Kabupaten Indramayu.
Sumber: Dinas PSDA Tamben Kabupaten Indramayu, 2012
Tidak berhenti pada musim kemarau 2012 itu, dampak dari peningkatan variabilitas iklim
dirasakan oleh petani di awal musim hujan 2012/2013. Siklus penelang atau kemarau kecil (dry
spell) yang lazim dialami petani di awal musim hujan, tidak terjadi. Hal itu menyebabkan
kebingungan petani yang tetap membuat persemaian saat hujan turun di awal musim. Ketika
siklus penelang tidak terjadi, beberapa petani di Desa Karangmulya—dengan lahan tadah hujan
yang menerapkan cara semai kering untuk melakukan percepatan tanam—terpaksa merelakan
persemaiannya yang gagal karena terendam banjir akibat curah hujan yang tinggi. Meningkatnya
intensitas curah hujan di awal musim hujan 2012/2013 yang menyebabkan rusaknya persemaian
itu memaksa petani untuk membuat persemaian ulang sebanyak 2—3 kali. Tidak adanya siklus
penelang itu pun menyebabkan lahan-lahan sawah di elevasi yang lebih rendah atau di lahan
beririgasi kebanjiran.
Itulah sekelumit kisah perjuangan petani dalam menghadapi meningkatnya variabilitas iklim
yang tidak terduga dan tidak diharapkan.
Mengamati Hujan dan Lahan, Memperkaya Taksonomi
Salah satu tujuan utama pembelajaran agrometeorologi adalah peningkatan kemampuan petani
dalam mengaitkan komponen-komponen agroekosistem—seperti yang diperkenalkan dalam
program SLPHT (lihat Dilts dan Hate 1996; Pontius dkk. 2002; Winarto 2004a, 2004b)—dengan
8
parameter meteorologi, terutama curah hujan. Curah hujan adalah salah satu parameter
meteorologi yang paling bervariasi dibandingkan dengan parameter lain seperti angin, suhu
udara, dan kelembaban. Oleh karena itu, kegiatan pengukuran curah hujan dan pengamatan
agroekosistem merupakan salah satu cara pembelajaran utama yang diperkenalkan pada petani di
Gunungkidul, Indramayu, dan kini di Lamongan (lihat Stigter dkk. 2009; Winarto dan Stigter
2011; Winarto dkk. 2011a, 2012a, 2013; Stigter dan Winarto 2013; Stigter dkk. 2013).
Melakukan pencatatan atas hasil pengamatan itu juga merupakan ketrampilan dan tradisi baru
yang diperkenalkan pada petani yang tumbuh kembang dalam tradisi oral dan pengetahuan
leksikal. Mengalihkan pengetahuan leksikal ke numerik dan tulisan, itulah yang tengah dialami
dan dipelajari petani pengukur curah hujan (lihat Prahara dkk. 2011; Winarto dkk. 2011a).
Ternyata, hasil catatan itu diakui petani pengukur curah hujan di Indramayu sebagai ‘harta
kekayaan’ mereka yang amat membantu dalam melakukan refleksi dan evaluasi tentang berbagai
peristiwa yang dialami di lahannya. Dua hal diakui petani membantu memperkaya pengetahuan
lokal mereka, yakni: 1) melakukan kuantifikasi dari pengetahuan lokal tentang kondisi hujan;
dan 2) memahami kaitan antara curah hujan dan kondisi lahan serta tanaman, dan melakukan
antisipasi berdasarkan pemahaman mereka serta skenario musiman yang diterima dari sang
agrometeorolog.
Mengukur curah hujan, menguantifikasi pengetahuan leksikal
Thomas Crump (1990) dalam tulisannya The Anthropology of Numbers menjelaskan tentang
konsepsi ukuran (measure), yakni: “Measure is best defined as the conceptual means by which
two different entities can be compared in numerical terms” (Crump 1990:73). Dengan definisi
itu, pengukuran dinyatakan Crump sebagai sarana konseptual untuk membandingkan dua entitas
berbeda dalam istilah-istilah numerik. Secara sederhana Crump melihat esensi dari konsepsi
pengukuran lebih pada upaya membandingkan (comparison) daripada menghitung (counting),
“The real essence of measurement is comparison rather than counting” (Crump 1990:77).
Sepanjang pengamatan kami, kegiatan pengukuran curah hujan yang dilakukan petani pun
menyajikan ketrampilan bagi petani untuk membandingkan hasil pengamatan kondisi curah
hujan secara leksikal atau kualitatif dengan curah hujan yang diukurnya dari alat pengukur curah
hujan. Bila pengategorisasian curah hujan secara kualitatif itu merupakan taksonomi emik yang
dimiliki warga anggota suatu komunitas petani, numerisasi yang dilakukan petani pengukur
curah hujan itu barulah dimiliki oleh mereka yang melakukan pengukuran curah hujan setiap
hari. Lebih dari itu, melalui numerisasi, petani-petani pengukur curah hujan seperti mereka yang
tergabung dalam KPCHI, dapat membandingkan hasil pengukuran antar-anggota melalui
pemahaman yang sama atas kode-kode angka tertentu merujuk pada kondisi curah hujan tertentu.
Merupakan suatu hal yang menarik bahwa petani pengukur curah hujan di Wareng,
Gunungkidul mampu melakukan perbandingan itu hanya setelah sekitar 3 bulan melakukan
pengukuran curah hujan. Winarto dkk. (2010a, 2010b, 2011a) menyajikan perkembangan
9
taksonomi hujan yang mengombinasikan kondisi hujan secara kualitatif dan numerik serta
dampaknya pada tanah itu dalam suatu matriks seperti tertera pada Tabel 1.
Tabel 1 Taksonomi Hujan secara Leksikal dan Numerik pada Petani Pengukur Curah
Hujan di Wareng, Gunungkidul
N
o
Kategori hujan dalam
istilah lokal (Jawa)
Karakteristik hujan Dampak
pada tanah
Persamaannya dalam
numerik
1 Udan kremun Hujan ringan/kecil,
sangat lembut,
berdurasi pendek
Tidak ada
“jejak” air di
tanah
Tidak dapat diukur (0mm)
2 Udan thletik Hujan ringan/kecil
yang berlangsung
cepat, hanya semenit
Tidak ada
“jejak” air di
tanah
Tidak dapat diukur (0mm)
3 Udan gerimis Tidak terdengar suara
hujan, dapat dirasakan
di tangan, berdurasi
lama.
Tidak ada
“jejak” air di
tanah untuk
hujan
berdurasi
pendek.
Titik-titik
hujan pada
tanaman
untuk hujan
yang
berdurai
lama.
0.5—5mm (tergantung
pada durasi hujan)
4 Udan klithak-klithik:
a. dan klithak-
klithik sedelo
b. dan klithak-
klithik suwé
Hujan kecil/rintik-
rintik yang
menimbulkan bunyi
“thik-thik” di atap.
Beberapa petani
mengategorikan hujan
ini sama dengan no.3:
a. erdurasi
pendek.
b. erdurasi lama.
Ada jejak di
tanah: tanah
menjadi
basah, baik
untuk hujan
berdurasi
pendek atau
lama, tetapi
tidak ada air
yang
tergenang di
tanah.
a. —3mm
b. —5mm.
5 Udan pral-pril Hujan kecil di bulan
April yang tidak
terjadi setiap hari,
hanya kadang kala
dengan durasi pendek
Sama
dengan no.4:
tanah
menjadi
basah, tetapi
1—5 mm atau
5—10 mm.
10
atau lama. Terdengar
suara hujan di atap
rumah.
tidak ada
genangan air
di tanah.
6 Udan ora deres,
nanging kerep (tidak
deras, tetapi sering
terjadi)
Tidak deras, tetapi
menimbulkan bunyi
yang mengganggu di
atap dengan durasi
yang lama.
Istilah lain: udané
awèt (hujannya lama)
Di tanah
berwarna
“merah”,
tanah
menjadi
amat basah.
Di tanah
berwarna
“hitam-
berat”,
terdapat
genangan air
di tanah.
Sampai 30mm
7 Udan deres bres (hujan
deras)
Hujan deras,
menimbulkan bunyi
yang lebih keras
daripada no.6, tetapi
biasanya tidak
berlangsung lama.
Tanah
menjadi
amat basah,
lekat, dan
berlubang
bila orang
berjalan di
atasnya
>30mm
8 Udan bar-ber (hujan
sangat lebat) dan banjir
dalam kondisi hujan
amat lebat yang
menyebabkan lahan
kebanjiran
Hujan lebat di bulan
September, Oktober,
November, dan
Desember dengan
frekuensi yang sering
dan intensif, dan
dengan durasi yang
lama.
Jika hujan
berlangsung
seharian,
akan ada
genangan air
di lahan,
khususnya
pada tanah
hitam-berat.
Bila tidak
ada saluran
pembuang,
lahan akan
kebanjiran.
>70mm
(pada tahun 2008/2009,
sampai lebih dari 100mm)
Sumber: Data lapangan dari Anantasari di Wareng, Gunungkidul, 2008/09.
Telah diterbitkan dalam versi bahasa Inggris dalam Winarto dkk. (2010a, 2010b, 2011a).
Winarto dkk. (2013) juga menyajikan matriks hasil kesepakatan petani pengukur curah hujan di
Indramayu di awal tahun 2011. Setelah melakukan pengukuran curah hujan beberapa bulan dan
11
melaporkannya dalam pertemuan petani—Warung Ilmiah Lapangan (WIL, Science Field Shopsi)
(lihat Winarto dkk. 2012a)—mereka menyatakan kebutuhan untuk menyamakan kategorisasi
hujan yang mereka kenali dengan kategori hujan secara numerik agar dapat menginterpretasi
angka curah hujan yang dilaporkan sesama anggota (lihat Winarto dkk. 2013). Bila petani di
Gunungkidul memiliki klasifikasi hujan yang rinci terkait dengan budaya cocok tanam tadah
hujan dengan tipe-tipe tanah yang bervariasi, petani di Indramayu memiliki klasifikasi yang lebih
sederhana ke dalam kategori hujan gerimis, sedang, beras, dan lebat. Lihat Tabel 2.
Tabel 2 Taksonomi Hujan secara Kualitatif dan Kuantitatif
Besaran Angka Curah Hujan Karakteristik Sifat Hujan
0,5 – 2 mm Gerimis
3 – 5 mm Hujan ringan
6 – 11 mm Hujan sedang
12 – 20 mm Hujan besar
� 21 mm Hujan lebat
Catatan: petani dapat menambahkan sendiri keterangan tentang durasi hujan.
Sumber: Winarto dkk. 2013; catatan lapangan Wicaksono, 2 Desember 2012.
Saat terjadi diskusi perihal penyamaan kategori hujan secara kualitatif dan kuantitatif itu,
terdapat argumentasi bahwa durasi hujan (lama, singkat) juga berpengaruh pada numerisasi
curah hujan. Oleh karena itu, mereka sepakat agar keterangan tentang hal itu ditambahkan
sendiri oleh petani. Seorang pengukur curah hujan di Desa Nunuk, Indramayu, menunjukkan
pada peneliti bahwa sekalipun turun hujan gerimis pada tanggal 5 Desember 2012, hujan itu
berlangsung lama dari pk.14:00—03:00 tanggal 6 Desember 2012. Durasi hujan gerimis yang
berlangsung hingga 13 jam itu menyebabkan tertampungnya 108mm curah hujan di kaleng
pengukur curah hujan di lahan pengamatannya. Sang petani pun mengategorisasikan 108mm itu
tidak dalam klasifikasi hujan lebat, tetapi “hujan gerimis yang berlangsung lama”. Seorang
pengukur curah hujan yang lain juga memiliki versi sendiri berdasarkan pengamatan dan
perbandingannya antara kualitas dan kuantitas curah hujan: “...saya punya tiga saja, gerimis,
sedang, besar. Gerimis memiliki curah hujan sebesar 0,5—5 mm, sedangkan hujan sedang
memiliki curah hujan sebanyak 6—20 mm, dan di atas 21 adalah hujan besar.” Di saat lain, dua
petani mendiskusikan kategori hujan sedang untuk ukuran curah hujan sebesar 20mm dan 30mm.
Melalui diskusi antaranggota KPCHI, disepakati ada dua versi taksonomi curah hujan dengan
versi pertama seperti tertera dalam Tabel 2 dan versi kedua dengan klasifikasi sbb: 0,5—3mm:
gerimis, 14—40mm ringan, 41—56mm sedang; dan 57mm ke atas hujan lebat.
Itulah contoh kemampuan petani untuk mengkritisi taksonomi yang telah disepakati bersama
antaranggota klub didasarkan pada pengamatan empirisnya dari waktu ke waktu. Hal itu
sekaligus memperkaya skema pengetahuannya bahwa numerisasi dari klasifikasi leksikal juga
12
berlaku untuk durasi hujan dan bukan hanya untuk intensitasnya. Sejauhmanakah pengayaan
skema itu membantu petani pengukur curah hujan mengidentifikasi masalah di lahannya?
Mengamati agroekosistem, mengidentifikasi masalah
Salah satu tujuan utama pembelajaran agrometeorologi itu adalah pengenalan dampak curah
hujan tertentu pada kondisi lahan dan pertumbuhan tanaman. Mengamati kondisi agroekosistem
lahan dikaitkan dengan parameter iklim, khususnya curah hujan, diharapkan membantu petani
untuk dapat mengidentifikasi masalah kerentanan yang terjadi di lahannya. Di Indramayu,
masalah “kebanjiran” dan “kekeringan” merupakan masalah “klasik” yang selalu berulang
dialami petani setiap tahun, di samping ledakan hama dan penyakit. Bagaimanakah pengamatan
agroekosistem yang dikaitkan dengan kondisi hujan itu menolong mereka lebih peka dan lebih
dini mengenali kerentanan itu sebagai titik tolak antisipasinya?
“Jika hujan kebanjiran dan jika kering kekeringan,” itulah pemeo yang seringkali diujarkan
petani di Indramayu dalam melukiskan masalah yang dihadapi mereka dari tahun ke tahun. Kini,
setelah angka-angka curah hujan itu menjadi bagian dari skema pengetahuan dan sekaligus juga
perbendaharaan kosa-kata petani, numerisasi juga dilakukan petani atas kondisi “banjir” yang
dialaminya.
Mengacu pada hasil panen musim kemarau dan musim hujan di wilayahnya (Desa Karang
Layung), War menyimpulkan bahwa hasil panen musim kemarau lebih baik daripada
musim hujan. Hal itu dirujuknya pada aktivitas pengeringan dan penggenangan air (bursat)
yang dapat dilakukan pada musim kemarau dan tidak pada musim hujan. Pada musim
hujan, air sulit untuk dibuang, sehingga acapkali terjadi banjir di lahannya. Setelah
melakukan kegiatan pengukuran curah hujan, War menggunakan angka curah hujan saat
mendeskripsikan peristiwa banjir di lahan sawah: “Pada hari apa tuh sampai 65mm, sampai
wilayah sana ada banjir. Sampai nggak keliatan.”.
(Catatan lapangan Wicaksono. Karang Layung, 17 Februari 2013)
Kriteria “banjir” ternyata tidak hanya dikaitkan dengan tergenangnya lahan sawah, tetapi juga
sejauhmana tanaman di lahan itu tergenangi air.
Saat dilaksanakan lokakarya Pembuatan Grafik dan Pemetaan Kerentanan Sawah, Nur,
dari Pekandangan Jaya melemparkan pertanyaan ke anggota lainnya “Ada masukan
[tentang] banjir, sejauh mana bisa dikatakan banjir? Soalnya kadang di pengamatan kita
hujan 100 (mm) saja udah banjir. Jangankan seratus! 30 (mm) aja udah banjir.”
Mendengar pertanyaan itu, Lalen menjawab “Tapi itu kan tergantung tanamannya. Kalau
tanaman kangkung atau caisim sehari aja kena banjir udah ancur. Tapi kalau padi mah
sehari mungkin nggak apa-apa kalau masih masa vegetatif. Ya kalau sekiranya itu
merugikan, ya merugikan juga. Sekalipun ukurannya berapa. Ya ukuran rugi atau tidaklah.
Pokoknya selagi nggak kelelep itu menurut saya nggak parah. Kecuali pucuk atas itu
kelelep”. Oleh Lalen, banjir dimaknai dari dampak fenomena tersebut terhadap tertutup
tidaknya tanaman padi pada usia tertentu. Mendengar hal itu, beberapa anggota menyetujui
pendapat Lalen. Nur: “Nah, jadi nggak bisa diukur, banjir yang merusak itu ketika ada
13
banjir, tanaman itu masih umur lima hari, walaupun tingginya hanya 30cm. Nah, ketika
tanaman tinggi sekitar umur 40 hari, ...kan nggak merusak.” Petani yang lain, Con
menimpali: “Begini.banjir itu dampaknya ada, misalnya umur usia tanaman masih kecil.
Ada banjir kiriman. Tapi, di kala usia padi usianya udah tinggi satu bulan, terus ada
kiriman banjir walaupun tinggi keadaan airnya itu, bisa dikatakan tidak banjir, karena tidak
ada dampaknya.” (Catatan lapangan Wicaksono: Pekandangan Jaya, 24 Januari 2013)
Bertolak dari diskusi itu, disepakatilah untuk membuat klasifikasi tentang “banjir” guna
membantu mereka melakukan pencatatan dalam mengidentifikasi kondisi “banjir” di lahannya.
Lihat Tabel 3.
Tabel 3 Kategori Banjir
Kategori “banjir”
Banjir rendah berdampak pada tanaman,
terutama ketika tanaman masih kecil di
persemaian.
Banjir tinggi, namun tidak berdampak ke
tanaman karena tanaman padi sudah tinggi.
Banjir hanya sekadar lewat saja, tidak
berbahaya, dan cepat surut.
Sumber: catatan lapangan Wicaksono, 24 Januari 2013.
Pengombinasian sejumlah unsur: curah hujan, banjir, usia dan tinggi tanaman, serta
dampaknya pada pertumbuhan tanaman itu menandakan pengayaan skema pengetahuan petani
didasarkan pada hasil pengamatan serta kemampuan analitisnya. Diskusi di Warung Ilmiah
Lapangan (WIL) menyajikan kesempatan untuk memaparkan hasil pengamatan,
mempertanyakan, atau mencapai konsensus atas argumentasi yang dilontarkan sesama petani.
Merujuk pada Bovet (1974 dalam Crump 1990), Crump menyatakan bahwa edukasi berperan
penting dalam mengembangkan kemampuan analisis yang menghasilkan perbandingan atas
dimensi-dimensi dari objek yang dilibatkan:
Conservation of quantity experiments carried out by Bovet (1974) in Algeria and Bruner
and Greenfield in Senegal (Greenfield 1966) lead to the conclusion that `schooling plays a
specific part in developing an analytic approach which results in a precise comparison of
the dimensions of the objects involved' (Bovet 1974:331), (lihat Crump 1990:25).
Pengamatan agroekosistem yang dilakukan anggota KPCH bersamaan dengan pengukuran
curah hujan juga membantu mereka untuk mengenali secara lebih dini keberadaan dan
peningkatan populasi hama. Pengenalan secara lebih dini disertai pengetahuan dan pengalaman
yang diperoleh dari beragam sumber, misalnya dari SLPHT (Sekolah Lapangan Pengendalian
Hama Terpadu), dan pengalaman pribadi, memungkinkan mereka untuk melakukan antisipasi
atas kemungkinan terjadinya serangan hama dan cara pengendaliannya. Wereng batang coklat
(WBC, Nilaparvata lugens) merupakan hama endemis di Indramayu yang akan meningkat
populasinya saat kelembaban di sawah naik oleh meningkatnya intensitas curah hujan dan jarak
14
tanam padi yang rapat. Saat petani mengetahui meningkatnya intensitas curah hujan, unsur
pengetahuan tentang pengendalian hama terpadu melalui pengamatan agroekosistem
mengaktifkan unsur pengetahuan tentang siklus hidup dan perkembangan WBC. Melalui
kombinasi unsur-unsur pengetahuan itulah, petani dapat melakukan antisipasi perihal
kemungkinan terjadinya serangan WBC. Bas di Desa Karang Layung, Indramayu yang telah
menjadi pengukur curah hujan semenjak tahun 2010 menemukan adanya kemunculan populasi
WBC di bulan Januari secara berturut-turut pada tahun 2011 dan 2012. Lihat Gambar 2 tentang
catatan hasil pengamatan Bas.
Gambar 2. Catatan Pengamatan Hama Bas
di bulan Januari 2011 dan Januari 2012
Foto dan dokumentasi oleh Wicaksono, 2013
Pada suatu malam, saat saya (Wicaksono) selesai makan saya melihat Bas sedang
mencatat hasil pengukuran curah hujan di buku catatannya. Saya yang sedang duduk
bersama Giller di ruang TV rumah Bas menghampirinya. Bas ternyata sedang membaca
beberapa catatan pengamatan yang telah dilakukannya sejak tahun 2010. Catatan
pengamatan yang dibuat olehnya termasuk berbeda dari anggota KPCH lainnya. Di akhir
catatan setiap bulannya ia selalu membuat ringkasan peristiwa kemunculan hama di lahan
observasinya. Tiba-tiba ia memanggil saya “Muk! Nah ini, liat nih. Perhatiin coba ini ya
Januari 2011, nah yang ini Januari 2012. Tuh werengnya keliatan kan tuh muncul setiap
bulan Januari ternyata.”
(Catatan lapangan Wicaksono. Karang Layung, 5 Februari 2013)
Identifikasi masalah berdasarkan pengamatan lahan juga dilakukan oleh anggota KPCH lain
yakni Con di Desa Tegal Sembrada, Balongan yang rajin mengamati lahan dan melakukan
pengamatan agroekosistem secara rutin. Pada suatu hari di bulan Juli 2013, ia menemukan
adanya hama penggerek batang (PBP). Dengan mengaktifkan pengetahuannya tentang siklus
hama itu, ia pun segera memasang perangkap PBP di sela-sela padinya. Perangkap itu terbuat
dari bekas botol plastik yang tengahnya dilubangi dan diberinya lem di sekitar lubang itu. Con
mengatakan bahwa ia akan memasukkan telur penggerek batang yang ada di daun padi dan
ketika telur menetas, akan ada larva dan parasit. Larva tidak akan dapat ke luar dari lubang botol
15
dengan adanya lem, sementara parasit dapat terbang ke luar dari lubang untuk memarisiti telur-
telur PBP. Petani itu menambahkan bahwa pengamatan seperti ini harus dilakukan setiap hari
karena peletakan telur PBP oleh induknya. Con mengaku sulit mengatasi serangan hama PBP
karena tidak mengetahui saat terjadinya penerbangan kupu-kupu PBP. Sekalipun ia mengetahui
saat penerbangan, hal itu pun tidak menjamin padinya terhindar dari serangan PBP. Kondisi
cuaca yang berubah-ubah dari hujan ke panas dinyatakannya sebagai faktor penghambat
pengendalian hama itu. Yang dapat dilakukan hanyalah mengurangi populasinya.
Kesempatan melakukan dialog dan diskusi dalam arena WIL memungkinkan petani berbagi
pengalaman dan bertukar pikiran. Itulah salah satu mekanisme belajar yang mendukung
pengayaan skema pengetahuan agrometeorologis petani pengukur curah hujan di Indramayu.
Terkait dengan pengendalian hama PBP, petani yang pernah mengikuti kegiatan ARF (Aksi
Riset Fasilitasi) di Desa Kalensari di pertengahan tahun 1990-an membagikan pengalamannya
seperti yang dilakukan Con. Simak Kotak 1. Melalui kisah-kisah itulah petani-petani muda yang
belum memperoleh pemahaman tentang pengendalian hama dapat belajar dari sesama anggota.
Dengan pengayaan pengetahuan itu, bagaimanakah mereka melakukan antisipasi dan sekaligus
mere-interpretasi pengetahuan lokalnya seperti pranata mangsa?
Kotak 1. Berbagi pengalaman mengendalian penggerek batang padi dalam Warung
Ilmiah Lapangan
Pada pertemuan evaluasi tiga dasarian di Desa Amis, Kecamatan Cikedung, Kabupaten
Indramayu awal bulan Mei 2012, Sob dari Desa Kalensari diminta sesama anggota untuk
menyampaikan pengalamannya melakukan penyeleksian telur penggerek batang padi (PBP)
ketika melakukan pengamatan agroekosistem di lahan sawahnya. Pengambilan kelompok
telur PBP dilakukan oleh Sob untuk memotong siklus penggerek batang padi putih (PBPP)
dan penggerek batang padi kuning (PBPK). “Assalamualaikum wr.wb maksudnya itu telur
kupu, atau penggerek batangnya diambilin itu jadi memotong siklus maksudnya. Memotong
siklus supaya jangan sampai masuk lagi. Telor kupunya ada yang sudah disengat oleh parasit
jadi kalau yang jadi parasit terbang, yang tidak jadi parasit tidak bisa terbang. Kalau dulu
saya waktu pengalaman 1995-1996, pakai bumbung (bambu) diberi oli duwuré. Jadi kalau
yang jadi parasit ya kabur, kalau yang nggak jadi parasit ya tetap di situ nggak bisa keluar....
Menurut pengalaman 1995-1996. Jadi waktu itu per meter ratusan, waktu jaman 1995-1996
jadi sama-sama petani di Kalensari ngambilin telor kupu. Yang dibudayakan ada, yang
langsung dibakar juga ada. Jadi keperluannya begitu untuk ngambil telur kupu. Kalau nggak
begitu dimasukkan plastik digantung, kalau di sini netes, nanti di lapangan juga netes.
Disemprot,” tutur Sob. Pada saat melakukan pengamatan agroekosistem di tahun 2012, Sob
berhasil memperoleh 171 kelompok telur PBP dari lahan sawahnya yang dijadikan lokasi
pengukuran curah hujan dan pengamatan agroekosistem harian.
Mendengar cerita tersebut, seorang petani pengukur curah hujan yang sekaligus rekan
Sob, Pak Lalen membenarkannya. Menurut Lalen, cara yang dilakukan tersebut adalah
upaya Konservasi Musuh Alami, “Ya tahunya itu seperti ini kan ada dua cara padi itu ada
yang ditaruh di sini (disimpan di dalam plastik untuk diamati di rumah), ada yang di
bungbung. Kalau di bungbung dengan skala luas daripada dibuang, khawatir ada yang jadi
parasit. Makanya ditaruh di bungbung. Siapa tahu ini yang jadi parasit bisa terbang, yang
namanya Konservasi Musuh Alami itu bu. Itu dengan cara itu. Itu di antaranya.”
(Sumber: Catatan lapangan Wicaksono. Desa Amis, 6 Mei 2012)
16
Mengantisipasi Konsekuensi Perubahan Iklim, Me-reinterpretasi Kosmologi Lokal?
Mengembangkan pertanian atau masyarakat perdesaan yang tanggap terhadap perubahan iklim
(response farming or rural response to climate change), dan bukannya tetap berkutat pada
strategi budi daya tanaman yang konvensionallah yang diharapkan terjadi setelah melalui proses
pembelajaran agrometeorologi (lihat Winarto dan Stigter 2011; Winarto dkk. 2011a, 2013).
Strategi budi daya tanaman konvensional yang hanya berpedoman pada “paket-paket teknologi”
dari musim ke musim perlu direfleksikan oleh setiap petani pengukur curah hujan. Demikian
pula halnya dengan panduan kosmologi lokal yang berlaku pada masa tidak adanya variabilitas
iklim yang intens (lihat Winarto dkk. 2013). Petani-petani pengukur curah hujan di Indramayu
memang tengah berupaya mempertajam kemampuan antisipasinya, sekaligus melakukan re-
interpretasi atas kosmologi lokal yang dimilikinya. Bagaimanakah hal itu terwujud?
Memperkaya pengetahuan, mempertajam kemampuan antisipasi?
Apa yang dilakukan Bas dalam melakukan pengamatan dan pencatatan sehingga membantunya
memperbandingkan kondisi cuaca dari tahun ke tahun, juga dialami petani lain. Salah satu
manfaat adalah kemampuan melaksanakan antisipasi dengan lebih baik. Nur menyatakan bahwa
bila hujan turun terus menerus, ia perlu waspada “...karena hama banyak bermunculan. Di daerah
genangan sebaiknya jangan dulu ditanami, karena akan terlalu banyak air.” Menjadi lebih
“ekstra hati-hati terhadap hama,” itulah yang dilakukan Nur. Oleh karena itu, pengamatan setiap
hari perlu dilakukan secara cermat. Dengan menggunakan istilah “prakiraan” yang seyogianya
adalah “antisipasi”, Bas mengisahkan pengalamannya di hadapan jajaran Tim Iklim di bawah
pimpinan Ketua BAPPEDA (Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah) Kabupaten
Indramayu di bulan Oktober 2013 bahwa ia mampu “memprakirakan” kemungkinan meledaknya
hama WBC dengan mengetahui kondisi hujan, curah hujan yang diukurnya setiap hari, populasi
hama WBC di lahan sawah yang ditemukannya, serta pengetahuan tentang siklus hidup hama itu.
Oleh karena itu, disarankannya ke petani-petani lain agar mereka waspada, dan sedini mungkin
melakukan pengendalian hama WBC di lahan masing-masing bila telah ditemukan populasi
hama itu.
Ternyata, salah satu mekanisme belajar yang membantu mereka melakukan antisipasi adalah
mengenali pola keterkaitan berbagai komponen agrometeorologi dari waktu ke waktu. Untuk itu,
melakukan pencatatan merupakan suatu hal yang menguntungkan seperti dinyatakan oleh Bas,
Nur, dan juga Pur dari Desa Sumbon.
17
“Kalau nggak di buku, saya nggak bisa ngomong nanti. Katanya apa, dalam kaedah itu
kan ilmu itu sebagai guru. Supaya guru itu jangan terbang, ya harus diiket. Sama saja
buku itu sebagai iket (tertawa). Biar ilmunya nggak ilang (tertawa). Begitu, Al-Ilmu
shaidun, wa al-kitâbatu qaiduhu (Ilmu itu ibarat binatang buruan, sedangkan tulisan itu
merupakan tali untuk mengikat binatang buruan tersebut) kalau kata pepatah Arabnya kan
gitu. Nah! ini umur tanamnya ini, Ki (sambil membaca buku catatan curah hujan). Usia
tanam sampai hari ini 34 hari,” kisah Pur pada Wicaksono.
(Catatan Lapangan Wicaksono, Sumbon 8 Januari 2013)
Selain kegiatan pengamatan populasi hama yang harus dilakukan secara lebih cermat, hasil
nyata dari pembelajaran itu adalah pelaksanaan tindakan di lahan sawah berdasarkan antisipasi
yang dilakukan petani. Pur, misalnya, menyiapkan pematang tambahan di sekitar lahannya di
musim hujan (rendeng) 2012/2013 untuk menjaga debit air di sawahnya.
Ketika saya (Wicaksono) mengikuti Pur ke sawah, Pur memperhatikan kondisi pematang
sawahnya. Tiba-tiba ia menanyakan sesuatu, “Ini, kalau saya buat pematang seperti ini
kira-kira tau gak manfaatnya untuk apa?” Saya hanya bisa menggeleng-gelengkan
kepala. Ternyata, pematang kecil yang dibuat berlapis dan bersebelahan dengan
pematang yang menjadi batas antara sawahnya dengan sawah tetangga dijadikan sebagai
pencegah terbuangnya air ke sawah tetangga. Hal tersebut dilakukan untuk
mengefektifkan proses pengairan. “Sawah dikasih pematang kecil gini, biar air gak begitu
ngebuang ke sawah tetangga.” (Catatan lapangan Wicaksono: Sumbon, 28 Januari 2013).
Lihat Gambar 2.
Merapatkan dan membuat pematang-pematang sawah merupakan cara yang diterapkan oleh
petani areal tadah hujan untuk mengefisienkan penggunaan air di sawah. Dengan menghambat
laju aliran air yang terbuang ke lahan sawah tetangga, petani menerapkan strategi untuk
mengurangi risiko kekeringan di lahannya. Penelitian Winarto dkk (2011b) di Desa Wareng,
Gunung Kidul, DI Yogyakarta memperlihatkan penerapan strategi ‘Metode Panen Hujan’ setelah
SLI berakhir di tahun 2007, yakni ‘membuat tambahan pematang di lahan sawah’, atau ‘dikotak-
kotak’ menurut istilah petani. Strategi itu diharapkan dapat secara lebih efektif meingkatkan
kelembaban tanah, yang berarti juga mengurangi risiko kekeringan di sawah petani. “Storing
more water in the field for a longer period of time by building ridges in the middle of the field so
as to increase soil moisture by preventing run off is the main objective of that method (lihat
Winarto dkk. 2011b:88-89). ‘Metode panen hujan’ memang dipelajari petani di Sekolah
Lapangan Iklim (SLI). Di Indramayu, petani melakukan inovasi sendiri atas dasar antisipasi yang
dilakukannya.
Gambar 2. Pematang ganda di sawah Pur
18
Foto oleh Wicaksono. Desa Sumbon, 28 Januari 2013
Kemampuan melakukan antisipasi tidaklah selalu terwujudkan dalam perilaku sejalan dengan
antisipasinya. Bahkan, dapat terjadi bahwa bukan keuntungan yang diperoleh petani, melainkan
kerugian dan kegagalan panen. Hal itu dialami oleh Sar, seorang alumni SLI yang sudah lanjut
usia dan bercocok tanam padi di lahan tadah hujan di Karang Mulya, Indramayu. Setelah
memperoleh “skenario musiman” yang dikirimkan setiap bulan oleh Stigter (lihat tulisan tentang
Penyuluhan Agrometeorologi oleh Winarto dan Stigter dalam buku ini) jelang musim kemarau
2012, Sar mengantisipasi akan kurangnya hujan yang tidak akan menguntungkan bagi
keberhasilan tanaman padi di musim kemarau itu. Ia pun menasihati sesamanya untuk tidak
menanam padi, tetapi sayuran seperti ketimun. Namun, tetangga-tetangganya yang tidak
memahami hal itu dan tidak memperoleh informasi dan jasa layanan agrometeorologi apa pun
dari pihak yang berwenang, tetap menanam padi. Alhasil, seperti dikisahkan Winarto dkk.
(2012a), karena khawatir bahwa dirinya sendiri yang tidak akan panen bila sesamanya berhasil
panen, dengan mempertimbangkan masih adanya hujan di bulan Mei 2013, ia pun memutuskan
menanam padi. Risiko kegagalan panen pun dialaminya dengan pahit.
Itulah dunia penuh tantangan dan risiko yang dihadapi petani di masa terjadinya perubahan
iklim ini. Menanggapi dinamika kondisi musim yang acap tidak terduga serta menginterpretasi
kembali kosmologi lokal dan cerita-cerita rakyat tentang cuaca, merupakan salah satu kegiatan
pembelajaran petani yang menjadi semakin peka atas berbagai fenomena di habitatnya.
Menanggapi dinamika musim, me-reinterpretasi Pranata Mangsa dan Cerita tentang Cuaca
(Weather Lore)?
Berdasarkan pengamatan dan pengalamannya memandu petani di Afrika Selatan, Zuma-
Netshiukhwi dkk. (2013) menemukan bahwa sebagian besar petani di provinsi Free State di
Afrika Selatan masih bertumpu sepenuhnya pada pengetahuan dan pengalaman tradisional untuk
pengambilan keputusan dalam bercocok tanam. Pengetahuan tradisional itu meliputi konstelasi
bintang-bintang, perilaku hewan, bentuk dan tipe awan, bertumbuh kembangnya pepohonan
lokal tertentu, pemunculan dan hilangnya hewan reptilia, migrasi burung, dan lain-lain. Petani di
wilayah itu belum mengenali pengetrapan dari prakiraan cuaca/prediksi iklim untuk budi daya
tanaman. Petani-petani di Indramayu yang telah mengikuti pembelajaran agrometeorologi
19
semenjak 2009/2010 secara lambat-laun menyadari bahwa mereka perlu melakukan evaluasi dan
interpretasi ulang atas kosmologi lokal dan pengetahuan tradisional mereka dalam bercocok
tanam. Pencatatan tentang hasil pengukuran curah hujan dan pengamatan agroekosistem
merupakan salah satu sarana yang bermakna seperti dinyatakan Bas, sekretaris KPCH:
“Nah padahal pak, kita dari tahun 2009 sampai sekarang ini kita lagi belajar ilmu klasik.
Tapi bapak tidak sadar, kalau sadar per dasa(ha)rian ditulis dengan detail dalam satu
tahun nanti tahun berikutnya kita buka lagi ini untuk bahan perbandingan. Jaré wong tua
mah gawé pranata mangsa ala kita sendiri, cara kita dèwèk. Tuh,” kata Bas dalam suatu
pertemuan Warung Ilmiah Lapangan (6 Mei 2012).
Bas menyadari bahwa dengan cara mencatat hasil pembelajaran agrometeorologi setiap hari,
bulan, dan tahun, anggota KPCH secara tidak disadari sedang berupaya untuk memperbaharui
pranata mangsa dengan mengaitkannya dengan kondisi cuaca saat ini. Pranata mangsa adalah
kalender agro-bio-ekologi yang menghubungkan elemen meteorologi dan ekologi dengan
kegiatan pertanian dan ritme biologis hewan serta tumbuhan (Hidayat 2011:43). Satu periode
pranata mangsa terdiri atas 365 atau 366 hari yang dibagi dalam 12 mangsa (musim). Wahyudi
(2012) merinci ke-12 musim itu mulai dari kasa, karo, katelu, kapat, kalima, kanem, kapitu,
kawolu, kasanga, kasepuluh, dhesta, dan saddha. Apa yang dikemukakan Bas itu juga menjadi
salah satu tujuan Naryo (kuwu, kepala Desa Sumbon) untuk bergabung ke dalam KPCH
Indramayu. Ia ingin mengetahui apakah primbon Jawa (termasuk pranata mangsa) itu masih
relevan atau tidak untuk digunakan pada kondisi saat ini.
“Karena satu saya sebagai seorang petani ingin tahu sejauh mana kebenaran Primbon-
primbon yang ada dari orang tua kita. Jadi bebakunya saya sebagai petani pengen tahu
tahun ini hujannya sekian tahun ini sekian, seandainya kita sawah yang teknis mah
kemungkinan besar agak males, tapi karena kita bledug cengkuk wilayah sini artinya
tadah hujan. Nah itu yang mendorong kita ikut Klub Curah Hujan. Dan juga
sepengetahuan saya itu, hujan itu di bulan ‘ber-ber’ an, tapi kalau September itu ‘Sep’-
nya sumber tidak ada hujan. Berhenti. Nah mulai Oktober akhir ada hujan, nah....kan
bener November kan ada hujan. Terkecuali itu kalau musimnya nyalamangsa,” ujar
Naryo, sambil mengomentari skenario musiman yang diterimanya setiap awal bulan dari
Stigter melalui Winarto jelang akhir tahun 2012 (Catatan lapangan,. Wicaksono: Sumbon,
29 Januari 2013)
Bila Bas selaku sekretaris klub menghimpun dokumentasi tentang pranata mangsa dan
membagikannya ke anggota klub, salah seorang anggota KPCH, Kar, tidak hanya menuliskan
hasil pengamatan agroekosistem di buku catatannya, tetapi juga penanggalan Jawa dan
keterangan terkait dengan pranata mangsa.
Kar menuliskan keterangan tentang pranata mangsa di dalam buku catatannya. Penulisan
itu disesuaikan dengan pembagian musim yang ada dalam pranata mangsa. Misalnya
dalam pencatatan data curah hujan di bulan Januari 2013, Karwita menuliskan keterangan
penanggalan dan pasaran Jawa serta keterangan mangsa (musim) seperti di bawah ini:
Akhir bala minggu 13 Januari 2013,
20
Awal Mulud Senin, 14 Januari 2013
Mangsa Kapitu (43) hari 22 Des-2 Peb 2013
Dua baris pertama merupakan batasan penanggalan Jawa, yakni akhir tahun dan
diawalinya tahun yang baru. Tulisan tentang mangsa Kapitu (43) hari menunjukkan bulan
ketujuh dalam penanggalan Jawa saat Kar melakukan pengukuran curah hujan di bulan
Januari 2013. Kar memiliki catatan lengkap mengenai pranata mangsa. Ia merasa perlu
mencatat karena ingin membandingkan data curah hujan yang dikumpulkannya dengan
pengetahuan pranata mangsa yang dimilikinya. Menurutnya, jika ia memiliki data curah
hujan selama 10 tahun, ia bisa “meramal” kondisi curah hujan untuk tahun-tahun
berikutnya, seperti yang dapat dilakukan dengan pranata mangsa. Ia ingin menggabungkan
kedua prakiraan iklim itu. Namun Kar belum bisa membandingkan keduanya karena ia
belum memiliki data lengkap tentang pranata mangsa yang diamatinya sendiri.
Menurutnya, ia perlu pengamatan delapan tahun untuk mengetahui satu siklus dalam
pranata mangsa beserta kejadian-kejadian yang dialaminya.
Dengan merujuk pada pranata mangsa yang dapat dijadikan pedoman tentang “apa yang terjadi
di bulan/mangsa tertentu sesuai dengan watak mangsa (sifat mangsa), gejala alam, dan kegiatan
pertanian”, Kar beranggapan bahwa kegiatan pengukuran curah hujan yang dilakukannya kini
dapat digunakan sebagai landasan memprakirakan kondisi alam di masa datang. Misalnya, pada
mangsa kapitu (musim ketujuh), akan timbul banyak hama/penyakit, banjir, dan saatnya padi
ditanam. Kar akhirnya menyadari bahwa hal itu tidaklah dapat dilakukannya dengan melakukan
pengukuran curah hujan seperti dijelaskan Stigter dalam kegiatan kepemanduan bagi Petani
Pemandu KPCH. Melakukan “antisipasi” dan bukan “prediksi” merupakan unsur pengetahuan
baru dalam alam pikir Kar dan petani-petani yang lain. Hal itu tidaklah menyurutkan tekad dan
itikad Kar untuk dapat membuat panduan sendiri setelah delapan tahun mengamati curah hujan
dengan membandingkan data curah hujan dan pranata mangsa yang diketahuinya.
Lalen, ketua KPCHI, menyatakan secara tegas bahwa pranata mangsa tidaklah berubah.
“Mangsa-mangsanya tetap,” ujar Lalen. Begitu pula dengan jumlah hari dalam satu mangsa.
Namun, disadarinya bahwa kadang kala pedoman yang tertera dalam pranata mangsa itu sejalan
dengan kondisi cuaca yang dialaminya, tetapi kadang kala tidak. Misalnya, menurut panduan di
pranata mangsa, pada mangsa kalima petani sudah mulai bercocok tanam di musim hujan. Akan
tetapi, di tahun 2012 dengan tidak adanya hujan sama sekali hingga bulan November 2012,
berarti, awal cocok tanam jatuh pada mangsa kapitu. Bagi petani-petani dari generasi muda yang
tidak memiliki pengetahuan pranata mangsa, arena WIL merupakan wadah pembelajaran. Tar
menyatakan bahwa ia belajar dari Naryo untuk memperhatikan kondisi cuaca dan penanggalan
Jawa dalam mengendalikan hama PBP, yakni pada tanggal dan situasi apa kupu-kupu PBP
melakukan perkawinan untuk menentukan jadwal pengendalian. Petani lain yang juga tidak
memiliki pengetahuan tentang pranata mangsa mengombinasikan unsur pengetahuan tentang
siklus bulan dalam penanggalan Jawa, siklus hidup hama, dan skenario musiman yang
diterimanya dari Stigter.
Ketika saya (Ubadillah) bertanya tentang skenario musiman yang dikirimkan Stigter
melalui Winarto, Yus menyatakan bahwa ia dapat melakukan antisipasi berdasarkan
21
skenario itu. Informasi itu digunakannya sebagai acuan untuk menentukan jadwal tanam
dan varietas. Pemilihan varietas diperoleh atas dasar skenario musiman itu satu bulan ke
depan. Jika hujan dinyatakan akan jarang terjadi, Yus akan memilih varietas padi berumur
pendek. Selain itu, ia menggunakan pengetahuan lokalnya, yakni mengupayakan agar saat
keluarnya malai terjadi sebelum bulan purnama. Apabila terjadi bulan purnama, tanaman
padi akan diserang PBP. Menghindari serangan itulah, ia merasa perlu melakukan
penghitungan saat munculnya bulan purnama yang diacunya pada penanggalan Jawa, dan
mengombinasikannya dengan jadwal tanam dan usia varietas.
Petani juga merupakan pengamat yang jitu. Ilmu titèn (ilmu berdasarkan kecermatan
pengamatan dan ingatan), itulah sebutan yang digunakan petani di Gunungkidul dalam menamai
pengetahuan lokal yang dimilikinya (lihat Winarto dan Stigter 2011). Berdasarkan ilmu titèn itu
petani mengembangkan berbagai frasa yang tersimpan sebagai “cerita-cerita tentang cuaca” atau
weather lore (folk-lore). “Weather folk-lore is based on the knowledge of the common people
acquired through the ordinary observations of nature, animals, plants, etc., unaided by
instruments (Hazen 1900:191). Gejala alam seperti bentuk awan, arah angin, pertumbuhan
tanaman, dan perilaku hewan menjadi acuan yang masih digunakan oleh petani dalam
memahami siklus musim tanam di Indramayu. Dengan mengacu kondisi gejala alam tersebut
petani memahami kapan awal musim rendeng (penghujan) atau musim gaduh (kemarau) akan
berlangsung. Kemampuan petani mengamati gejala alam tidak terlepas dari pengetahuan yang
diwarisinya dari orang tua berdasarkan kebiasaan petani jaman bengèn (masa lampau). Peristiwa-
peristiwa yang terjadi di alam sekitarnya itulah yang digunakan untuk membaca kondisi cuaca
setiap masa tanam.
Nur memberikan contoh bahwa di awal musim hujan, akan ada burung camar yang
berbondong-bondong terbang menuju laut. Lazimnya, keesokan harinya, sawah petani akan
terairi. Jelang musim hujan pula, saat terasa “gerah” atau “ongkob” dengan suhu dan
kelembaban yang tinggi, semut-semut juga merasa “gerah”. Mereka akan ke luar dari
liang/sarang dengan membawa telur-telur semut secara berbondong-bondong berpindah ke
tempat lain. Itulah pertanda akan tiba musim hujan. Hingga saat ini, tanda-tanda alam itu tetap
menjadi rujukan bagi Nur dalam mengenali akan tibanya awal musim hujan.
Cerita mengenai kondisi alam yang dirasakan petani kerap kali diungkapkan oleh anggota
KPCH Indramayu di dalam arena WIL sekali dalam 3 dasarian untuk mengidentifikasi fase-fase
perubahan dari musim rendeng ke musim gaduh atau sebaliknya. Mengacu pada Roncoli, dkk
(2009) yang mengutip Strauss dan Orlove (2003), kemampuan pengamatan secara visual dan
sensorik dengan melihat, merasakan, mendengar, dan mencium merupakan modal yang dimiliki
oleh manusia, juga petani khususnya, dalam memahami kondisi cuaca di suatu lokasi.
Visual and sensory perceptions are key elements of the folk epistemology of climate
(Strauss and Orlove 2003). The human body's senses are important avenues through which
people get to know their local weather in its particular manifestations, such as rain, hail,
snow, wind, and temperature (Lihat Roncoli dkk. 2009:90).
22
Namun, pada awal musim rendeng 2013, petani mulai mempertanyakan gejala alam yang
diamatinya. Can dan Kar dari Desa Sumbon dan Amis, Indramayu, menemukan petanda alam
yang sama saat melakukan pengamatan harian ke sawah. Mereka melihat telah munculnya
ungker jati atau ulat daun jati yang besar jmlahnya. Dalam pemahaman mereka, hal itu
merupakan pertanda akan terjadi penelang (kemarau kecil/dry spell). Siklus penelang dapat
terjadi kurang lebih selama 15—20 hari menyusul hujan yang turun beberapa hari. Hujan itu
lazim disebut dengan false rain (hujan yang ternyata bukan menandai tibanya musim tanam
musim hujan). Kondisi penelang yang cukup lama itu mengkhawatirkan petani atas pertumbuhan
tanaman padi mereka bila semai telah dilakukan di saat tibanya hujan awal yang “keliru” (false
rain) itu. Naryo, kuwu Desa Sumbon telah mengantisipasi hal itu dengan melakukan persemaian
kering (ngipuk) lebih awal dan bukan semai basah.
“Awalnya pada waktu musim kemarau, begitu turun hujan, kalau pakè ukuran ya maklum
kita kan petani, pakènya cangkul, kalau dicangkul kedalamannya (tanah yang basah)
sekitar 10 cm, baru kita membuat persemaian kering, namanya ngipuk. Terus begitu hujan
bulan November pertengahan, ada hujan biasanya tuh, kita tuh harus cepet-cepet tanem.
Kalau tidak cepat-cepat tanam ya di situ tuh ada kemarau kecil selama 15 hari. Ya kita
harus cepet-cepet,” kata Naryo. (Catatan lapangan Wicaksono. 3 Juli 2012).
Gambar 3. Proses Perkembangan Semai Kering (ngipuk)
Foto oleh Wicaksono, Desember 2012.
Akan tetapi, keheranan muncul pada diri Can saat mengamati munculnya ungker (ulat) jati itu.
Can merasakan bahwa ungker jati pada tahun ini (musim hujan 2012) bukanlah petanda kemarau
kecil (penelang), karena kemunculan ulat daun jati justru diikuti oleh hujan secara terus menerus
23
setiap sorenya. Hal yang sama juga dialami Kar yang sempat mengirimkan sms ke Winarto
perihal banyaknya ulat jati ditemukan di pohon-pohon jati yang dianggapnya sebagai petanda
akan datangnya penelang (kemarau kecil/dry spell). Ternyata, Kar tidak mengalami terjadinya
penelang itu di awal musim hujan 2012/2013. “Prakiraan saya keliru,” kata Kar pada Winarto.
Can mengisahkan hasil pengamatannya pada Wicaksono: “Kalau sekarang ulatnya ada,
tapi hujan nggak mau berhenti. Biasanya hujan tuh Mas kalau godong jatinya mau habis
tuh, dimakanin ulat tuh. Kemarau, kemarau kecil. Tapi sekarang jatinya, daunnya udah
habis, hujan masih terus. Sekarang.” Itulah cerita Can tentang ketidaklaziman yang
diamatinya. (Catatan lapangan Wicaksono: Sumbon, 4 Desember 2012). Lihat Gambar 4.
Gambar 4 Ulat Daun Jati (Hyblaea puera)
Foto oleh Wicaksono. Desa Amis, 3 Desember 2012
Ketidaklaziman dan ketidaksejalanan antara tanda-tanda alam dengan pola hujan yang terjadi,
hanyalah salah satu dari hasil pengamatan petani. Ketidakpahaman dan kebingungan, itulah yang
kerap dialami petani. Dalam situasi itu, dapatkah “kearifan lokal” petani dipandang sebagai salah
satu “solusi” terbaik dalam membantu petani untuk mengatasi berbagai fenomena perubahan
iklim? Kami berargumentasi bahwa situasi perubahan iklim merupakan tantangan yang tidak
mudah dicarikan solusinya sendiri oleh petani tanpa jasa-layanan agrometeorologi.
“Petani itu selalu Belajar”: Suatu Penutup
“Petani itu selalu belajar, dari hari ke hari, musim ke musim,” itulah frasa yang diungkapkan
seorang petani di Subang di awal tahun 1990-an saat ia dan teman-temannya tergagap-gagap
menghadapi serangan hama PBPP secara terus menerus selama beberapa musim berturutan.
Belum pula serangan hama WBC, tikus, walang sangit, krèsèk dan lain-lain secara
berkesinambungan (lihat Winarto 2004a). Kini, petani pun harus senantiasa mempertanyakan,
merefleksikan, mengevaluasi berbagai fenomena iklim yang tidak selalu dapat dipahami dan
dijelaskan dengan skema pengetahuan yang telah terbentuk selama hidupnya. Pengetahuan itu
terakumulasi melalui warisan pengetahuan dari generasi terdahulu, pengalamannya sendiri dalam
bertani, dan alih pengetahuan dari sesama petani, serta dari berbagai sumber yang lain. Namun,
akumulasi dari berbagai unsur pengetahuan itu tetap meninggalkan “celah-celah kosong” yang
tidak dapat diisi oleh “pemaknaan baru” terkait dengan sebab-akibat dari perubahan iklim tanpa
adanya upaya mengenali unsur-unsur yang baru itu melalui pembelajaran, pengamatan,
pengalaman, dan penerimaan jasa-jasa layanan agrometeorologi. Sekelumit kisah petani
24
pengukur curah hujan di Gunungkidul dan Indramayu menunjukkan bahwa pengetahuan lokal
yang mereka miliki—sekalipun kaya dan rinci oleh pengamatan yang cermat dan pewarisan
pengetahuan dari generasi terdahulu—tetap memberikan keterbatasan untuk memahami
fenomena-fenomena baru yang muncul secara tiba-tiba, penuh ketidakpastian dan
ketidakterdugaan. Hasil pembelajaran yang dialami melalui pengamatan setiap hari tentang
besarnya curah hujan dan dampaknya pada kondisi lahan dan tanaman, ternyata dapat
memperkaya skema pengetahuan mereka. “Celah-celah yang kosong” itu pun mulai terisi secara
lambat-laun, setapak demi setapak, dari pengamatan, pengalaman, dan pencatatan dari musim ke
musim, tahun ke tahun. Pengenalan atas pola hujan dalam kondisi El Niño, La Niña, normal, atau
peristiwa-peristiwa yang tidak lazim dan ekstrim serta implikasi yang ditimbulkan pada lahan
dan tanaman itu memungkinkan mereka memaknai fenomena yang dihadapi masa kini. Hal itu
ternyata dapat membantu mereka melakukan antisipasi atas konsekuensi lebih jauh yang
mungkin akan mereka alami di masa depan. Jasa-layanan agrometeorologi seperti skenario
musiman yang disampaikan secara teratur di awal bulan merupakan salah satu faktor pendukung
kemampuan petani melakukan antisipasi. Melalui proses belajar itulah pengetahuan lokal petani
senantiasa diperkaya. Namun, jalan yang harus mereka tempuh masih panjang. Mereka barulah
mengawali proses belajarnya. Oleh karena itu, telah tibalah saatnya kita tidak lagi mengagung-
agungkan “kearifan lokal” petani tanpa upaya membantu mereka untuk lebih mampu
mengantisipasi, lebih arif menyikapi, dan lebih tepat mengambil keputusan tentang strategi budi
daya tanaman yang tanggap terhadap perubahan iklim.
Daftar Referensi
Agrawal. A. (1995). Indigenous and scientific knowledge: Some critical comments. Indigenous
Knowledge and Development Monitor, 3(3), 3-6.
Anantasari, E. & Winarto, Y.T. (2011). Anticipating drought in multiple cropping: Implementing
rain harvesting method. Dalam Y.T. Winarto & K. Stigter (Peny.), Agrometeorological
learning: Coping better with climate change (hlm.86-103). Saarbrücken: LAP Lambert
Academic Publishing GmbH & Co. KG.
Borofsky. R. (1994). The cultural in motion. Dalam R. Borofsky (Peny.), Assessing cultural
anthropology (hlm.313-319). New York: McGraw Hill.
Barth, F. (1994). A personal view of present tasks and priorities in cultural and social
anthropology. Dalam R. Borofsky (Peny.), Assessing cultural anthropology (hlm.349-361).
New York: McGraw Hill.
Brookfield, M. (1996). Indigenous knowledge: A long hisory and an uncertain future. PLEC
News and Views, 6, 23-29.
Choesin, M. (2002). Connectionism: Alternatif dalammemahami dinamika pengetahuan lokal
dalam globalisasi. Antropologi Indonesia, 26(69):1-9.
Crate, S.A & Nuttall, M. (2009). Introduction: Anthropology and climate change. Dalam Crate,
S.A. & Nuttall, M. (Peny.), Anthropology and climate change: From encounters to actions
(hlm.9-36). California: Walnut Creek.
25
Crump, T. (1990). The anthropology of numbers. Cambridge: Press Syndicate of the University
of Cambridge.
D’Andrade, R. (1993). The development of cognitive anthropology. Cambridge: Cambridge
University Press.
Dilts, R. & Hate, S. (1996). IPM farmers’ field schools: Changing paradigms and scaling-up.
Agricultural Research & Extension, 59b, 1-4.
Finesso, G.M. (2013, 3 November). Anomali cuaca: Tergopoh ikuti irama iklim Kompas, 3.
Hazen, H.A. (1900). The origin and value of weather lore. The Journal of American Folklore,
13(50), 191-198.
Hidayat, B. (2011). The sky and the agro-bio-climatology of Java: Need critical reevaluation
due to environmental changes. Daam T. Nakamura, W. Orchiston, M. Soma & R. Strom
(Peny.), Proceedings of the seventh international conference on oriental astronomy
(hlm.43-36). Tokyo: National Astronomical Observatory of Japan.
Kottak, C.P. (2011). Cultural anthropology: appreciating cultural diversity. International
edition. New York: McGraw Hill.
Peterson, N. & Broad, K. (2009). Climate and weather discourse in anthropology: From
determinism to uncertain futures. Dalam S.A. Crate & M. Nuttall (Peny.), Anthropology
and climate change: From encounters to actions (hlm.70-86). California: Walnut Creek.
Pontius, J., Dilts, R. & Bartlett, A. (2002). From farmer field school to community IPM: Ten
years of IPM training in Asia. Bangkok: FAO Community IPM Programme. Food and
Agroiculture Organization of the United Nations Regional Office for Asia and the Pacific.
Prahara, H., Winarto, Y.T. & Kristiyanto. (2011). The joint production of knowledge: Its
dynamics. Dalam Y.T. Winarto & K. Stigter (Peny.), Agrometeorological learning:
Coping beter with climate change (hlm.145-180). Saarbrücken: LAP Lambert Academic
Publishing GmbH & Co. KG.
Roncoli, C., Ingram, K., Jost, C. & Kirshen, P. (2003). Meteorological meanings: Farmers’
interpretation of seasonal rainfall forecast in Burkina Faso. Dalam S. Strauss & B. Orlove
(Peny.), Weather, climate, culture (hlm.181-200). Oxford dan New York: Berg.
Roncoli, C., Crane, T. & Orlove, B. (2009). Fielding climate change in cultural anthropology.
Dalam S.A. Crate & M. Nuttall (Peny.), Anthropology and climate change: From
encounters to actions (hlm.87-115). California: Walnut Creek.
Shore, B. (1996). Twice-born, once conceived: meaning construction and cultural cognition.
American Anthropologist, 93, 9-27.
Stigter, K., Winarto, Y.T. & Stathers, T. (2009). Rainfall measurements by farmers in their
fields. http://www.agrometeorology.org/topics/accounts-of-operational-
agrometeorology/rainfall-measurements-by-farmers-in-their-fields.
Stigter, C.(K.)J. & Winarto, Y.T. (2013). Science field shops in Indonesia. A start of improved
agricultural extension that fits a rural response to climate change. J. Agric. Sci. Appl., 2,
112–123.
26
Stigter, K, Winarto, Y.T., Ofori, E., Zuma-Netshiukhwi, G., Nanja, D. & Walker, S. (2013). Extension
agrometeorology as the answer to stakeholder realitis: Response farming and the
consequences of climate change. Atmosphere 2013, 4, 237-253; doi:10.3390/atmos4030237.
Strauss, C. & Quinn, N. (1997). A cognitive theory of cultural meaning. Cambridge: Cambridge
University Press.
Wahyudi, M.Z. (2012, 29 Desember). “Pranatamangsa”: Penanda musim dari langit. Kompas.
Winarto, Y.T. (1995). State intervention and farmer creativity: Integrated pest management
among rice farmers in Subang, West Java. Agriculture and Human Values, 12(4), 47-57.
Winarto, Y.T. (1999). Creating knowledge: Scientific knowledge and local adoption in rice
integrated pest management in Indonesia (A case study from Subang, West Java). Dalam
S. Toussaint & J. Taylor (Peny.), Applied anthropology in Australasia (hlm.162-192).
Perth: Uniersity of Western Australia.
Winarto, Y.T. (2004a). Seeds of knowledge: The beginning of integrated pest management in
Java. Monograph series, Vol. 53. New Haven: Yale University Southeast Asia Studies.
Winarto, Y.T. (2004b). The evolutionary changes in rice-crop farming: Integrated pest
management in Indonesia, Cambodia, and Vietnam. Southeast Asian Studies, 41(3): 241-
272.
Winarto, Y.T. (2006). Pengendalian hama terpadu setelah limabelas tahun berlalu. Jurnal
Analisis Sosial, 11(1), 27-56.
Winarto, Y. T. (2010). Inaugural lecture: Climate and culture: Changes, lessons, and challenges.
Wacana, 12(2), 369-385.
Winarto, Y.T. (2013). Memanusiakan manusia dalam lingkungan yang tangguh: Mengapa ‘jauh
panggang dari api’? Pidato inaugurasi sebagai anggota Akademi Ilmu Pengetahuan
Indonesia. Jakarta: Komisi Kebudayaan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia. 19 April.
Winarto, Y.T. & Stigter, K. (Peny). (2011). Agrometeorological learning: Coping better with
climate change. Saarbrücken: LAP Lambert Academic Publishing GmbH & Co. KG.
Winarto, Y.T. & Stigter, K. (2013 dalam persiapan). Penyuluhan agrometeorologi sebagai
jawaban operasional bagi realita yang dihadapi petani: Pertanian yang tanggap pada
perubahan iklim dan konsekuensinya. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian, Kementerian Pertanian.
Winarto, Y.T., Stigter, K., Anantasari, E., Prahara, H. & Kristiyanto. (2010a). “We’ll contionue
with our observation”: Agro-meteorological learning in Indonesia. Farming Matters
(formerly LEISA magazine), 26(4), 12-15.
Winarto, Y.T., Prahara, H., Anantasari, E. & Kristiyanto with comments by Stigter, K. (2010b).
Rural response to climate change: Rainfallmeausrements by farmers in Java. Dalanm Y.T.
Winarto & D. Maeztri (Peny.). Proceedings of international seminar and workshop on:
Leraning from climate change and its consequences: The role of scientists and
entrepreneurs (hlm.94-128). Depok: Universitas Indonesia.
27
Winarto, Y. T., Stigter, K., Prahara, H., Anantasari, E. & Kristiyanto. (2011a). Collaborating on
establishing an agro-meteorological learning situation among farmers in Java.
Anthropological Forum, 21(2), 175-197.
Winarto, Y.T., Stigter, K., Prahara, H., Kristiyanto & Anantasari, E. (2010b). Towards
agrometeorological learning? Responding to climate change, evaluating strategy. Dalam
Y.T. Winarto & K. Stigter (Peny.), Agrometeorological learning: Coping better with
climate change (hlm.181-215). Saarbrücken: LAP Lambert Academic Publishing GmbH &
Co. KG.
Winarto, Y. T., Fox, J.J., Dwisatrio, B., Nurhaga, M., Kinanti., N.Y. (2011c). Planthopper virus
problems in Klaten, Boyolali, Sukoharjo, Indonesia, diakses pada 21 Agustus 2011,
http://ricehoppers.net/2011/08planthopper-virus-problems-in-klaten-boyolali-and-
sukoharjo-indonesia.
Winarto, Y.T., Fox, J.J., Nurhaga, M., Avessina, J., Kinanti, N.Y. & Dwisatrio, B. (2011d).
Brown Planthopper in Klaten-Boyolali-Sukoharjo, Central Java, diakses pada 18 Mei 2011,
http://ricehoppers.net/2011/05/brown-planthopper-in-
Klaten%E2%80%94boyolali%E2%80%94sukoharjo-central-java/.
Winarto, Y.T., Fox, J.J., Nurhaga, M., Avessina, J., Kinanti, N.Y. & Dwisatrio, B. (2011e).
Brown planthopper infestations in Lamongan, East Java, diakses pada 13 Juni 2011,
http://ricehoppers.net/.
Winarto, Y.T., Dwisatrio, B., Syarifah & Rahayu, M.K. (2012a). Sawah tangguh di tangan
petani: Upaya memulihkan ekosistem padi. Dalam E.E. Ananto, Pasaribu, S., Ariani, M.,
Sayaka, B., N.S. Saad dkk. (Peny.), Kemandirian pangan Indonesia dalam perspektif
kebijakan MPE3EI (hlm.243-277). Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian, Kementerian Pertanian.
Winarto, Y.T., Dwisatrio, B., Nurhaga, M.S., Kinanti, V.Y., Suydhiastiningsih, N.S.N.N. dkk.
(2012b). Keterasingan petani di lahan sendiri: Kelanggengan revolusi hijau dan paradigma
kimiawi? Dalam Dalam E.E. Ananto, Pasaribu, S., Ariani, M., Sayaka, B., N.S. Saad dkk.
(Peny.), Kemandirian pangan Indonesia dalam perspektif kebijakan MPE3EI (hlm.278-
308). Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian.
Winarto, Y.T., Stigter, K., Dwisatrio, B., Nurhaga, M. & dan Bowolaksono, A. (2013).
Agrometeorological learning increasing farmers’ knowledge in coping with climate change
and unusual risks. Southeast Asian Studies (SEAS), 2(2), 323-349.
Zuma-Netshiukhwi, G., Stigter, K. & Walker, S. (2013). Use of traditional weather/climate
knowledge by farmers in the South-Western Free State of South Africa:
Agrometeorological learning by scientists. Atmosphere, 4, in press,
doi:10.3390/atmos40x000x.