dinamika pengetahuan lokal dalam perubahan iklim

27
1 Dinamika Pengetahuan Lokal dalam Perubahan Iklim: Belajar dari Masa Lalu dan Masa Kini Yunita T. Winarto, Muki T. Wicaksono, dan Ubaidillah Pratama (Departemen Antropologi, FISIP, Universitas Indonesia) Pengetahuan Lokal dan Perubahan Iklim: Suatu Pendahuluan “Kearifan lokal,” itulah frasa yang acapkali digunakan oleh berbagai pihak untuk menamai pengetahuan dan praktik-praktik masyarakat setempat dalam mengelola lingkungan hidupnya. Tersirat dalam frasa itu suatu makna bahwa pengetahuan dan praktik pengelolaan sumber daya yang dilakukan penduduk lokal itu selalu akan “arif”, membawa masyarakatnya dalam kondisi “adaptif” pada kondisi lingkungan hidupnya, mendatangkan kesejahteraan, tidak menyebabkan kerusakan pada lingkungan hidup, dan akan senantiasa demikian tanpa mengalami perubahan apa pun. Subak atau sistim pengairan tradisional di Bali seringkali dirujuk sebagai contohnya. Terlepas dari benar tidaknya makna yang terkandung dalam frasa itu, dalam tulisan ini kami mempertanyakan konotasi yang mempersepsikan aspek budaya itu sebagai sesuatu yang tidak dapat berubah. Berbagai tulisan dalam kajian antropologi menunjukkan bahwa kebudayaan itu memiliki dua “sisi dalam satu keping mata uang”, yakni tetap langgeng dalam wujud budaya yang telah termantabkan, dan juga dinamis sepanjang masa karena kreativitas para pelakunya dalam memenuhi kebutuhan serta menanggapi kondisi lingkungan yang senantiasa berubah (lihat misalnya Borofsky 1994; Barth 1994; Strauss dan Quinn 1997; Winarto 2004a, 2006; Kottak 2011). Kini, dengan terjadinya perubahan iklim di seantero dunia, masih mungkinkah penduduk setempat mempertahankan “kearifan lokal”nya agar dapat tetap melangsungkan kehidupannya? Kami berargumentasi bahwa pengetahuan yang telah dimiliki setiap individu tidak akan “hilang” begitu saja. Jika pun tidak diaktifkan, berbagai pengetahuan itu akan tetap tersimpan dalam alam pikirnya. Namun, penduduk lokal juga berada dalam situasi menghadapi kondisi cuaca dan iklim yang acapkali tidak mampu mereka rujuk dan jelaskan dengan menggunakan skema pengetahuan yang termantabkan melalui pengalaman sepanjang waktu dan tersimpan dalam benaknya itu. Pemahaman dan pemaknaan mereka atas berbagai fenomena dan informasi iklim yang diterimanya, tentulah didasarkan pada pengalaman di masa lalu, interpretasi atas kejadian pada masa kini, dan harapan yang ingin dipenuhinya di masa depan (lihat Roncoli dkk. 2003). Mungkinkah pemahaman dan pemaknaan mereka atas fenomena dan informasi iklim yang kini mengalami variabilitias yang semakin tinggi, peningkatan suhu udara, dan semakin seringnya terjadi peristiwa iklim yang ekstrim itu dirujuk pada pengalaman, pengetahuan dan “kearifan

Upload: ui

Post on 22-Nov-2023

1 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

Dinamika Pengetahuan Lokal dalam Perubahan Iklim:

Belajar dari Masa Lalu dan Masa Kini

Yunita T. Winarto, Muki T. Wicaksono, dan Ubaidillah Pratama

(Departemen Antropologi, FISIP, Universitas Indonesia)

Pengetahuan Lokal dan Perubahan Iklim: Suatu Pendahuluan

“Kearifan lokal,” itulah frasa yang acapkali digunakan oleh berbagai pihak untuk menamai

pengetahuan dan praktik-praktik masyarakat setempat dalam mengelola lingkungan hidupnya.

Tersirat dalam frasa itu suatu makna bahwa pengetahuan dan praktik pengelolaan sumber daya

yang dilakukan penduduk lokal itu selalu akan “arif”, membawa masyarakatnya dalam kondisi

“adaptif” pada kondisi lingkungan hidupnya, mendatangkan kesejahteraan, tidak menyebabkan

kerusakan pada lingkungan hidup, dan akan senantiasa demikian tanpa mengalami perubahan

apa pun. Subak atau sistim pengairan tradisional di Bali seringkali dirujuk sebagai contohnya.

Terlepas dari benar tidaknya makna yang terkandung dalam frasa itu, dalam tulisan ini kami

mempertanyakan konotasi yang mempersepsikan aspek budaya itu sebagai sesuatu yang tidak

dapat berubah. Berbagai tulisan dalam kajian antropologi menunjukkan bahwa kebudayaan itu

memiliki dua “sisi dalam satu keping mata uang”, yakni tetap langgeng dalam wujud budaya

yang telah termantabkan, dan juga dinamis sepanjang masa karena kreativitas para pelakunya

dalam memenuhi kebutuhan serta menanggapi kondisi lingkungan yang senantiasa berubah (lihat

misalnya Borofsky 1994; Barth 1994; Strauss dan Quinn 1997; Winarto 2004a, 2006; Kottak

2011).

Kini, dengan terjadinya perubahan iklim di seantero dunia, masih mungkinkah penduduk

setempat mempertahankan “kearifan lokal”nya agar dapat tetap melangsungkan kehidupannya?

Kami berargumentasi bahwa pengetahuan yang telah dimiliki setiap individu tidak akan “hilang”

begitu saja. Jika pun tidak diaktifkan, berbagai pengetahuan itu akan tetap tersimpan dalam alam

pikirnya. Namun, penduduk lokal juga berada dalam situasi menghadapi kondisi cuaca dan iklim

yang acapkali tidak mampu mereka rujuk dan jelaskan dengan menggunakan skema pengetahuan

yang termantabkan melalui pengalaman sepanjang waktu dan tersimpan dalam benaknya itu.

Pemahaman dan pemaknaan mereka atas berbagai fenomena dan informasi iklim yang

diterimanya, tentulah didasarkan pada pengalaman di masa lalu, interpretasi atas kejadian pada

masa kini, dan harapan yang ingin dipenuhinya di masa depan (lihat Roncoli dkk. 2003).

Mungkinkah pemahaman dan pemaknaan mereka atas fenomena dan informasi iklim yang kini

mengalami variabilitias yang semakin tinggi, peningkatan suhu udara, dan semakin seringnya

terjadi peristiwa iklim yang ekstrim itu dirujuk pada pengalaman, pengetahuan dan “kearifan

2

lokal” di masa lalu apabila peristiwa di masa lalu tidaklah sama dengan apa yang kini dialami?

Seperti dinyatakan oleh Peterson dan Broad (2009:78),

Our mental models of the world’s natural processes are shaped by experience,

evolutionary processes, and our daily experiences. As events become spatially and

temporarily distant—either forward or backward in time—our ability to tease out

relative objectivity vanishes.

Berdasarkan pengamatan dan pengalaman berinteraksi dengan petani, terdapat banyak

pertanyaan yang tidak dapat mereka jelaskan sendiri atas fenomena iklim yang tidak lazim

dialami, termasuk konsekuensinya berupa kegagalan panen yang tidak diduga dan diharapkan

oleh kondisi banjir atau kekeringan, ataupun oleh ledakan hama/penyakit (lihat Winarto dkk.

2011a, 2012a, 2013). Petani sendiri menyatakan bahwa kosmologi lokal yang mereka miliki

yang dalam bahasa Jawa dikenal dengan pranata mangsa tetaplah demikian susunan bulan-

bulannya sebagaimana disiapkan dan diproduksi oleh nenek moyang mereka. Bagi petani yang

telah memiliki pengetahuan tentang kosmologi itu, hal itu pun akan tetap menjadi bagian dari

skema pengetahuannya. Akan tetapi, kondisi cuaca dan iklim tidak lagi sama dengan beberapa

tahun silam, sehingga rujukan pada pranata mangsa itu tidak selalu dapat mereka lakukan.

Panduan bagi petani di lahan tadah hujan untuk mulai menanam tanaman apa pada bulan berapa

dengan adanya indikasi tertentu dalam tetumbuhan dan hewan di habitatnya, tidak lagi sesuai

dengan situasi yang tengah dihadapi. Namun, petani di lahan irigasi yang telah tergantung pada

jadwal pengairan untuk mulai bercocok tanam pun terpengaruh oleh kondisi curah hujan bila

debit air di bendungan tidak mencukupi. Keterlambatan awal turunnya hujan yang menyebabkan

penundaan jadwal tanam musim hujan, atau tetap turunnya hujan pada musim kemarau menjadi

kendala bagi petani untuk dapat menginterpretasi fenomena itu hanya berdasarkan pada

“kearifan lokalnya”, atau pada skema pengetahuan dengan unsur-unsur yang tidak lengkap

terkait dengan fenomena meningkatnya variabilitas iklim, suhu udara, atau peristiwa-peristiwa

iklim yang semakin ekstrim. Jika demikian, bagaimanakah petani dapat tetap melangsungkan

kegiatan cocok tanamnya dengan risiko minimal dalam menghasilkan panen, atau

mengoptimalkan strategi budi daya tanaman dengan terbukanya kesempatan-kesempatan baru?

Dalam tulisan ini kami berargumentasi bahwa petani itu selalu belajar melalui refleksi yang

dilakukan terus menerus atas berbagai peristiwa empiris dan hasil uji coba atau strategi cocok

tanam yang dilakukan dari musim ke musim (lihat Winarto 2004a, 2004b). Oleh karena itu,

pengetahuan lokal petani atau penduduk lokal di mana saja yang menggantungkan hidupnya dari

pengelolaan sumber daya alam bersifat dinamis. Petani adalah makhluk yang kreatif (lihat

Winarto 1995, 2004a, 2004b). Namun, kami juga berpendapat bahwa dalam ranah pengetahuan

lokal dengan cara belajar melalui panca indera, mereka memerlukan jasa-jasa layanan

agrometeorologi untuk mampu mengenali, menjelaskan, dan merespons dengan lebih tanggap

dan tepat berbagai fenomena perubahan iklim yang tidak dapat mereka pahami atau tidak mereka

duga akan terjadi (lihat tulisan tentang Penyuluhan Agrometeorologi, Winarto dan Stigter 2013;

lihat pula Winarto dkk. 2011a, 2013). Semenjak tahun 2008 hingga medio 2009, Winarto dan

Stigter mendampingi petani di Wareng, Gunungkidul, Yogyakarta melakukan pembelajaran

3

agrometeorologi (lihat Winarto dan Stigter 2011; Winarto dkk. 2011a, 2013). Dari tahun 2009

hingga saat ini (2013), kegiatan pembelajaran yang sama juga dilaksanakan sejumlah petani di

Indramayu (lihat Winarto dkk. 2011a, 2012a, 2013). Tulisan ini memaparkan dinamika

pengetahuan lokal itu melalui dialektika pengetahuan yang dimiliki petani dari pengalaman

empirisnya dengan pengetahuan yang baru mereka peroleh melalui pembelajaran

agrometeorologi yang diperkenalkan oleh ilmuwan. Bagaimanakah hal itu terwujud?

Pengamatan dari hari ke hari, pengalaman dari musim ke musim dalam mengaitkan unsur-

unsur pengetahuan lama dan baru itu merupakan mekanisme belajar yang utama bagi pretani.

Melalui kombinasi antara unsur-unsur pengetahuan yang telah tersimpan dalam alam pikirnya

dengan rangsangan baru itulah pengetahuan lokal petani semakin diperkaya. Oleh karena itu,

kami sependapat dengan Agrawal (1995) bahwa mendikotomisasi pengetahuan lokal dan ilmiah

tidaklah signifikan, karena kenyataannya berbagai unsur pengetahuan dalam kedua ranah itu

berbaur menyatu dalam alam pikir individu tanpa sekat-sekat pemisah (lihat pula Brookfield, M.

1996; Choesin 2002). Dengan pendekatan connectionism dan parallel distributed processing

(PDP) seperti dikemukakan oleh D’Andrade (1995) serta Strauss dan Quinn (1997), berbagai

unsur pengetahuan yang ada dalam skema individu akan diolah bersamaan dalam satu waktu

tertentu dalam menanggapi situasi empiris yang dihadapi.1 Dengan pendekatan ini, analisis

tentang pengetahuan tidak lagi dilaksanakan melalui kerangka berpikir adanya penahapan yang

berturutan dalam memproses rangsangan yang diterima oleh panca indera manusia (linear serial

processing), tetapi melalui pemrosesan rangsangan-rangsangan yang jamak dan beragam itu

secara bersamaan dan berkesinambungan (lihat D’Andrade 1995; Shore 1996; Strauss dan Quinn

1997). Unsur-unsur pengetahuan itu diaktifkan dalam kombinasi-kombinasi yang tertentu karena

diperolehnya rangsangan-rangsangan yang tertentu pula. Semakin sering rangsangan itu

diterima, semakin termantabkan kombinasi dari rangsangan itu dalam diri individu.

Pengombinasian berbagai unsur secara bersamaan itu dapat terwujud dari pengaktifan unsur-

unsur pengetahuan yang lama ataupun yang baru diperoleh dan diolah individu dalam alam

pikirnya (lihat kasus penjelasan perubahan evolusioner dalam pengetahuan dan praktik petani

peserta/alumni SLPHT di Indonesia, Cambodia, dan Vietnam dalam Winarto 2004b). Dengan

melakukan hal itu, individu-indivdu pun belajar sesuatu dari lingkungannya (Strauss dan Quinn

1997). Pertanyaannya kini: bagaimanakah dan sejauhmanakah unsur-unsur pengetahuan baru

untuk fenomena yang tidak teramati secara langsung proses kejadiannya, serta tidak mudah

diduga seperti peristiwa-peristiwa iklim itu dapat menimbulkan rangsangan-rangsangan tertentu

sehingga lambat laun terbentuk kombinasi yang termantabkan dan menjadi bagian dari skema

pengetahuan lokal petani?

Tulisan ini menyajikan dialektika dan dinamika pengetahuan petani yang mengalami

pembelajaran itu, baik dari Wareng, Gunungkidul, maupun dari Indramayu (anggota Klub

1 Skema menurut Strauss dan Quinn (1997:49) adalah: “...collection of elements that work together to process

information at a given time. [Furthermore, schemas]...reconstruct our memories of past events, determine the

meanings we impart to ongoing experience, and give us expectation for the future. Schemas also fill in missing or

ambiguous information...”

4

Pengukur Curah Hujan Indramayu, KPCHI). Bagian pertama dari tulisan ini mengisahkan

interpretasi dan respons petani atas berbagai fenomena iklim yang tidak lazim dan tidak mereka

duga sebelumnya itu. Dalam bagian kedua diulas cara mereka meningkatkan kemampuannya

dalam mengamati curah hujan dan implikasinya pada lahan dan tanaman yang memperkaya

pengetahuan mereka. Bagian terakhir memaparkan cara petani melakukan antisipasi terhadap

konsekuensi perubahan iklim dan implikasinya pada interpretasi mereka atas pengetahuan lokal

yang dimiliki setelah mengalami pembelajaran agrometeorologi.

Meningkatnya Variabilitas Iklim, Meningkatnya Ketidakterdugaan

Petani yang mengandalkan pada “pengalaman” dan “panca indera” sebagai mekanisme belajar

yang utama (lihat Winarto 2004a, 2004b) memungkinkan mereka untuk secara gradual

memahami peristiwa-peristiwa yang dialami serta konsekuensinya. Hal itu akan berakumulasi

sebagai himpunan preseden-preseden yang menjadi bagian dari skema pengetahuannya atau

menjadi bagian dari budaya cocok tanamnya dalam kurun waktu yang lama. Pengetahuan yang

terhimpun dalam waktu yang lama dilengkapi dengan pengetahuan yang diwariskan dari nenek-

moyang seperti pranata mangsa pada petani di Jawa itu berakumulasi dalam situasi iklim yang

relatif tidak mengalami perubahan atau variabilitas yang tinggi. Kenyataannya kini, fenomena

perubahan iklim yang menimbulkan konsekuensi serius bagi petani terjadi dalam tiga hal, yakni

(1) pemanasan global; (2) meningkatnya variabilitas iklim; dan (3) munculnya peristiwa-

peristiwa meteorologi/klimatologi ekstrim yang semakin lebih banyak, dan juga semakin lebih

parah (lihat Penyuluhan Agrometeorologi dalam buku ini). Ketiga isu fenomena perubahan iklim

yang pada masa silam belum terjadi itu tentulah tidak dikenali, dipahami, dan diduga oleh petani.

Jika ketiga macam isu fenomena itu serta konsekuensinya pada pertanian merupakan unsur-

unsur yang “missing” atau “belum ada” dalam skema pengetahuan petani, bagaimanakah mereka

dapat menggunakan skema pengetahuannya untuk menanggapi fenomena itu? Tanpa penjelasan

secara khusus tentang proses dan kejadian fenomena iklim yang berada di luar jangkauan panca

inderanya dan tidak/belum menjadi bagian dari skema pengetahuannya, peristiwa-peristiwa itu

akan tetap diinterpretasi secara subjektif oleh masing-masing petani berdasarkan “kaca mata

budaya” yang dimilikinya. Tanpa jasa-layanan tentang iklim dan konsekuensinya, inovasi dan

kreativitas mereka dalam menanggapi peristiwa-peristiwa itu pun akan terkendala oleh apa yang

tersedia dalam skema pengetahuan dan pranata sosial dalam lingkup kebudayaan cocok tanam

yang dimiliki. Seperti dikemukakan oleh Roncoli dkk. (2009:88), cara-cara penduduk setempat

menyaring/menyeleksi perubahan iklim itu terlaksana melalui “kaca mata budaya” yang

dimilikinya:

. . . how people perceive climate change through cultural lenses (“perception”); how

people comprehend what they see based on mental models and social locations

(“knowledge”); how they give value to what they know in terms of shared meanings

5

(“valuation”); and how they respond, individually and collectively, on the basis of their

meanings and values (“response”).

Apabila persepsi, pengetahuan, pemaknaan, dan respons terhadap perubahan iklim itu merujuk

hanya pada pengetahuan lokal dan tradisionalnya, petani pun dapat semakin “terasing” dari

kondisi ekosistem lahannya sendiri (lihat Winarto 2013; Winarto dkk. 2013). Sejumlah petani di

Lamongan di musim kemarau 2013 menyatakan: “Saya merasakan sendiri bahwa saat ini bertani

itu semakin sulit...”. “Saya sudah mengalami gagal panen selama tiga kali berturut-turut di tahun

2011, 2012, dan kini di tahun 2013 karena hujan turun terus menerus di musim kemarau.”

Finesso di Kompas (3 November 2013) mengutip kebingungan petani di Banyumas:

“Selama berabad-abad, nenek moyang kita memercayai Desember bulan gedé-gedéné

sumber (air melimpah), sedangkan pada Juli-Agustus-September adalah mangsa mareng

(kering). Tetapi, beberapa tahun terakhir, pakem pranata mangsa sudah tidak bisa

dipegang lagi. Bergesernya sudah jauh sekali. Petani jadi bingung,” kata Wasim yang

mulai bertani sejak 1963.

Naryo, petani di Desa Sumbon, Indramayu juga menyatakan bahwa “Ber seperti Oktober,

November dan Desember, adalah bulan yang banyak hujan, kecuali September, karena

menurut September berarti sep-sepnya Sumber, meresapnya sumber, sehingga hujan sedikit

dan susah mendapatkan air.” Namun, pada tahun 2012, meresapnya sumber tanpa setitik

air pun berlangsung hingga awal bulan November 2012.

Januari adalah bulan dengan “...hujan yang turun sehari-hari.” Di Bulan April, seperti juga

dinyatakan petani di Wareng, Gunungkidul, “...hujan turun pral-pril.” Oleh karena itu,

petani di Gunungkidul pun kebingungan ketika pada bulan April 2009, hujan turun bar-ber

seperti pada bulan-bulan November-Desember. Alhasil, tanaman tembakaunya pun rusak

terguyur hujan (lihat Winarto dkk. 2011a).

Kisah-kisah nyata yang dialami petani menunjukkan bahwa fenomena iklim itu belum dapat

dikaitkan dengan ketiga isu perubahan iklim tanpa adanya upaya khusus untuk memperkaya

persepsi, pengetahuan, pemaknaan, dan respons mereka dalam strategi-strategi yang tanggap

terhadap perubahan iklim. Dalam kurun waktu 2008—2013, berbagai peristiwa perubahan iklim

itu pun dialami petani. Saat kami berada di Wareng, Gunungkidul pada tahun 2008, setelah

kondisi normal di awal tahun, secara tidak terduga petani mengalami intensitas hujan yang tinggi

selama beberapa hari di medio Oktober 2008 yang diinterpretasikan sebagai awal musim hujan.

Petani pun bergegas menyiapkan lahan dan menebarkan benih. Ternyata, periode kering

menyusuli hujan itu berlangsung hingga satu bulan (dry spell atau bentatan dalam bahasa

setempat) yang menyebabkan pertumbuhan benih terganggu. Di saat tanaman masih berusia

muda, secara tiba-tiba hujan deras turun di akhir bulan November 2008. Alhasil, tanaman padi

dan jagung yang baru tumbuh itu pun layu. Kondisi itu diperparah oleh keberadaan pematang-

pematang tambahan di tengah sawah yang dibuat petani di musim hujan 2007/2008

menindaklanjuti pembelajaran di Sekolah Lapangan Iklim (SLI) untuk mempraktikkan “metode

panen hujan” (lihat Anantasari dan Winarto 2011). Sekalipun petani akhirnya berhasil panen,

hujan pun tidak kunjung berhenti di saat mereka mulai menanam sayuran dan tembakau di awal

musim kemarau. Datangnya La Niña di awal tahun 2009 itu di luar pengetahuan petani. Oleh

6

karena itu, tanaman tembakau mereka pun tidak berhasil tumbuh dengan baik. Kerugian dalam

produksi tembakau terjadi, padahal tanaman itu merupakan sumber penghasilan utama bagi

petani di samping sayur-mayur yang ditanam di musim kemarau (lihat Winarto dkk. 2011a,

2011b).

Terjadinya La Niña di sepanjang tahun 2010 dan 2011 telah menciptakan situasi iklim mikro

yang kondusif bagi meledaknya hama wereng batang cokelat di berbagai lokasi di Pulau Jawa

yang diperparah oleh strategi petani dalam menggunakan pestisida secara berjadwal dan

berlebihan. Begitu pula dengan penanaman padi yang berbeda jadwalnya dalam satu hamparan.

Kegagalan panen hingga 5 musim berturutan dialami petani di wilayah Klaten, Boyolali, dan

Sukoharjo (lihat Winarto dkk. 2011c, 2011c, 2011e, 2012b). Itulah kali pertama dialami petani

dalam kurun waktu yang lama bahwa hujan turun terus menerus selama musim kamarau.

Kembali petani mengalami fenomena yang tidak lazim saat musim kemarau berkepanjangan

terjadi di tahun 2012, sehingga terjadilah kelambatan awal musim tanam musim hujan tahun

2012/2013. Sebaliknya, di tahun 2013, hujan kembali turun di awal musim kemarau 2013 yang

disebut banyak pihak sebagai “kemarau basah”. Perubahan itu pun diinterpretasikan petani

sebagai sesuatu yang tidak lazim. Merujuk pada Crate dan Nuttall (2009:9), perubahan iklim

kerap kali dipahami masyarakat lokal bukan sebagai sesuatu yang akan terjadi di masa depan,

melainkan sebagai sesuatu yang terjadi secara tiba-tiba yang mendorong mereka untuk berjuang

dalam memahami, menegosiasikan, dan meresponnya

Petani di areal hilir irigasi di Indramayu merasakan berakhirnya musim hujan 2011/2012

lebih dini yang memengaruhi ketersediaan suplai air irigasi dan air tanah di sawah bagi musim

kemarau 2012. Ketidakpastian kondisi musim kemarau 2012 di Indramayu dirasakan oleh

hampir seluruh petani. Kekeringan yang terjadi secara masif terjadi di beberapa kecamatan pada

Kabupaten Indramayu (lihat Gambar 1). Pada pertengahan bulan Juni 2012 terdata sebanyak

9.542ha luas areal kekeringan dari 18.836ha sawah (data Kekeringan Dinas Pengelolaan Sumber

Daya Air Tambang dan Energi, Kabupaten Indramayu, Juni 2012). Kondisi itu diperparah oleh

praktik-praktik pengelolaan air irigasi sehingga muncullah sejumlah praktik “ilegal” seperti

‘pembelian air’, pencurian air irigasi yang dilakukan oleh petani secara personal, hingga upaya

pompanisasi secara ilegal. Akibatnya, suplai air irigasi yang telah berkurang akibat penurunan

intensitas curah hujan semakin tidak dapat menjangkau wilayah hilir irigasi di Indramayu, dan

tidak dapat memenuhi kebutuhan air petani di musim kemarau 2012 itu.

Beberapa petani di Desa Karangmulya yang merupakan areal sawah berpengairan

setengah teknis – Pak Arma, Pak Pandi, dan Pak Idi masing-masing mengalami kerugian

sebesar Rp4.000.000,00-, Rp10.000.000,00, dan Rp7.000.000,00 akibat gagal panen yang

disebabkan oleh faktor kekurangan air di sawah.

Penurunan intensitas curah hujan yang memengaruhi debit air irigasi aliran Bendung

Salamdarma di bagian barat Indramayu juga menimbulkan dampak kemunduran waktu tanam

musim kemarau 2012 di areal barat-utara Indramayu. Kemunduran waktu tanam itu

mengacaukan keserempakan jadwal tanam dalam satu hamparan. Setelah air mencukupi, setiap

petani ingin secepat mungkin menanam agar dapat mengejar waktu tanam pada musim hujan

7

2012/2013. Akibatnya, timbullah serangan hama tikus yang serius. Bagi mereka yang masih

dapat memanen sebagian tanamannya seperti di Desa Karang Layung, Sukra, hasil panen hanya

mencapai 3 kw/ha, suatu hasil yang amat mengecewakan.

Gambar 1. Peta Persebaran Lokasi Kekeringan

pada Musim Tanam Gaduh 2012 di Kabupaten Indramayu.

Sumber: Dinas PSDA Tamben Kabupaten Indramayu, 2012

Tidak berhenti pada musim kemarau 2012 itu, dampak dari peningkatan variabilitas iklim

dirasakan oleh petani di awal musim hujan 2012/2013. Siklus penelang atau kemarau kecil (dry

spell) yang lazim dialami petani di awal musim hujan, tidak terjadi. Hal itu menyebabkan

kebingungan petani yang tetap membuat persemaian saat hujan turun di awal musim. Ketika

siklus penelang tidak terjadi, beberapa petani di Desa Karangmulya—dengan lahan tadah hujan

yang menerapkan cara semai kering untuk melakukan percepatan tanam—terpaksa merelakan

persemaiannya yang gagal karena terendam banjir akibat curah hujan yang tinggi. Meningkatnya

intensitas curah hujan di awal musim hujan 2012/2013 yang menyebabkan rusaknya persemaian

itu memaksa petani untuk membuat persemaian ulang sebanyak 2—3 kali. Tidak adanya siklus

penelang itu pun menyebabkan lahan-lahan sawah di elevasi yang lebih rendah atau di lahan

beririgasi kebanjiran.

Itulah sekelumit kisah perjuangan petani dalam menghadapi meningkatnya variabilitas iklim

yang tidak terduga dan tidak diharapkan.

Mengamati Hujan dan Lahan, Memperkaya Taksonomi

Salah satu tujuan utama pembelajaran agrometeorologi adalah peningkatan kemampuan petani

dalam mengaitkan komponen-komponen agroekosistem—seperti yang diperkenalkan dalam

program SLPHT (lihat Dilts dan Hate 1996; Pontius dkk. 2002; Winarto 2004a, 2004b)—dengan

8

parameter meteorologi, terutama curah hujan. Curah hujan adalah salah satu parameter

meteorologi yang paling bervariasi dibandingkan dengan parameter lain seperti angin, suhu

udara, dan kelembaban. Oleh karena itu, kegiatan pengukuran curah hujan dan pengamatan

agroekosistem merupakan salah satu cara pembelajaran utama yang diperkenalkan pada petani di

Gunungkidul, Indramayu, dan kini di Lamongan (lihat Stigter dkk. 2009; Winarto dan Stigter

2011; Winarto dkk. 2011a, 2012a, 2013; Stigter dan Winarto 2013; Stigter dkk. 2013).

Melakukan pencatatan atas hasil pengamatan itu juga merupakan ketrampilan dan tradisi baru

yang diperkenalkan pada petani yang tumbuh kembang dalam tradisi oral dan pengetahuan

leksikal. Mengalihkan pengetahuan leksikal ke numerik dan tulisan, itulah yang tengah dialami

dan dipelajari petani pengukur curah hujan (lihat Prahara dkk. 2011; Winarto dkk. 2011a).

Ternyata, hasil catatan itu diakui petani pengukur curah hujan di Indramayu sebagai ‘harta

kekayaan’ mereka yang amat membantu dalam melakukan refleksi dan evaluasi tentang berbagai

peristiwa yang dialami di lahannya. Dua hal diakui petani membantu memperkaya pengetahuan

lokal mereka, yakni: 1) melakukan kuantifikasi dari pengetahuan lokal tentang kondisi hujan;

dan 2) memahami kaitan antara curah hujan dan kondisi lahan serta tanaman, dan melakukan

antisipasi berdasarkan pemahaman mereka serta skenario musiman yang diterima dari sang

agrometeorolog.

Mengukur curah hujan, menguantifikasi pengetahuan leksikal

Thomas Crump (1990) dalam tulisannya The Anthropology of Numbers menjelaskan tentang

konsepsi ukuran (measure), yakni: “Measure is best defined as the conceptual means by which

two different entities can be compared in numerical terms” (Crump 1990:73). Dengan definisi

itu, pengukuran dinyatakan Crump sebagai sarana konseptual untuk membandingkan dua entitas

berbeda dalam istilah-istilah numerik. Secara sederhana Crump melihat esensi dari konsepsi

pengukuran lebih pada upaya membandingkan (comparison) daripada menghitung (counting),

“The real essence of measurement is comparison rather than counting” (Crump 1990:77).

Sepanjang pengamatan kami, kegiatan pengukuran curah hujan yang dilakukan petani pun

menyajikan ketrampilan bagi petani untuk membandingkan hasil pengamatan kondisi curah

hujan secara leksikal atau kualitatif dengan curah hujan yang diukurnya dari alat pengukur curah

hujan. Bila pengategorisasian curah hujan secara kualitatif itu merupakan taksonomi emik yang

dimiliki warga anggota suatu komunitas petani, numerisasi yang dilakukan petani pengukur

curah hujan itu barulah dimiliki oleh mereka yang melakukan pengukuran curah hujan setiap

hari. Lebih dari itu, melalui numerisasi, petani-petani pengukur curah hujan seperti mereka yang

tergabung dalam KPCHI, dapat membandingkan hasil pengukuran antar-anggota melalui

pemahaman yang sama atas kode-kode angka tertentu merujuk pada kondisi curah hujan tertentu.

Merupakan suatu hal yang menarik bahwa petani pengukur curah hujan di Wareng,

Gunungkidul mampu melakukan perbandingan itu hanya setelah sekitar 3 bulan melakukan

pengukuran curah hujan. Winarto dkk. (2010a, 2010b, 2011a) menyajikan perkembangan

9

taksonomi hujan yang mengombinasikan kondisi hujan secara kualitatif dan numerik serta

dampaknya pada tanah itu dalam suatu matriks seperti tertera pada Tabel 1.

Tabel 1 Taksonomi Hujan secara Leksikal dan Numerik pada Petani Pengukur Curah

Hujan di Wareng, Gunungkidul

N

o

Kategori hujan dalam

istilah lokal (Jawa)

Karakteristik hujan Dampak

pada tanah

Persamaannya dalam

numerik

1 Udan kremun Hujan ringan/kecil,

sangat lembut,

berdurasi pendek

Tidak ada

“jejak” air di

tanah

Tidak dapat diukur (0mm)

2 Udan thletik Hujan ringan/kecil

yang berlangsung

cepat, hanya semenit

Tidak ada

“jejak” air di

tanah

Tidak dapat diukur (0mm)

3 Udan gerimis Tidak terdengar suara

hujan, dapat dirasakan

di tangan, berdurasi

lama.

Tidak ada

“jejak” air di

tanah untuk

hujan

berdurasi

pendek.

Titik-titik

hujan pada

tanaman

untuk hujan

yang

berdurai

lama.

0.5—5mm (tergantung

pada durasi hujan)

4 Udan klithak-klithik:

a. dan klithak-

klithik sedelo

b. dan klithak-

klithik suwé

Hujan kecil/rintik-

rintik yang

menimbulkan bunyi

“thik-thik” di atap.

Beberapa petani

mengategorikan hujan

ini sama dengan no.3:

a. erdurasi

pendek.

b. erdurasi lama.

Ada jejak di

tanah: tanah

menjadi

basah, baik

untuk hujan

berdurasi

pendek atau

lama, tetapi

tidak ada air

yang

tergenang di

tanah.

a. —3mm

b. —5mm.

5 Udan pral-pril Hujan kecil di bulan

April yang tidak

terjadi setiap hari,

hanya kadang kala

dengan durasi pendek

Sama

dengan no.4:

tanah

menjadi

basah, tetapi

1—5 mm atau

5—10 mm.

10

atau lama. Terdengar

suara hujan di atap

rumah.

tidak ada

genangan air

di tanah.

6 Udan ora deres,

nanging kerep (tidak

deras, tetapi sering

terjadi)

Tidak deras, tetapi

menimbulkan bunyi

yang mengganggu di

atap dengan durasi

yang lama.

Istilah lain: udané

awèt (hujannya lama)

Di tanah

berwarna

“merah”,

tanah

menjadi

amat basah.

Di tanah

berwarna

“hitam-

berat”,

terdapat

genangan air

di tanah.

Sampai 30mm

7 Udan deres bres (hujan

deras)

Hujan deras,

menimbulkan bunyi

yang lebih keras

daripada no.6, tetapi

biasanya tidak

berlangsung lama.

Tanah

menjadi

amat basah,

lekat, dan

berlubang

bila orang

berjalan di

atasnya

>30mm

8 Udan bar-ber (hujan

sangat lebat) dan banjir

dalam kondisi hujan

amat lebat yang

menyebabkan lahan

kebanjiran

Hujan lebat di bulan

September, Oktober,

November, dan

Desember dengan

frekuensi yang sering

dan intensif, dan

dengan durasi yang

lama.

Jika hujan

berlangsung

seharian,

akan ada

genangan air

di lahan,

khususnya

pada tanah

hitam-berat.

Bila tidak

ada saluran

pembuang,

lahan akan

kebanjiran.

>70mm

(pada tahun 2008/2009,

sampai lebih dari 100mm)

Sumber: Data lapangan dari Anantasari di Wareng, Gunungkidul, 2008/09.

Telah diterbitkan dalam versi bahasa Inggris dalam Winarto dkk. (2010a, 2010b, 2011a).

Winarto dkk. (2013) juga menyajikan matriks hasil kesepakatan petani pengukur curah hujan di

Indramayu di awal tahun 2011. Setelah melakukan pengukuran curah hujan beberapa bulan dan

11

melaporkannya dalam pertemuan petani—Warung Ilmiah Lapangan (WIL, Science Field Shopsi)

(lihat Winarto dkk. 2012a)—mereka menyatakan kebutuhan untuk menyamakan kategorisasi

hujan yang mereka kenali dengan kategori hujan secara numerik agar dapat menginterpretasi

angka curah hujan yang dilaporkan sesama anggota (lihat Winarto dkk. 2013). Bila petani di

Gunungkidul memiliki klasifikasi hujan yang rinci terkait dengan budaya cocok tanam tadah

hujan dengan tipe-tipe tanah yang bervariasi, petani di Indramayu memiliki klasifikasi yang lebih

sederhana ke dalam kategori hujan gerimis, sedang, beras, dan lebat. Lihat Tabel 2.

Tabel 2 Taksonomi Hujan secara Kualitatif dan Kuantitatif

Besaran Angka Curah Hujan Karakteristik Sifat Hujan

0,5 – 2 mm Gerimis

3 – 5 mm Hujan ringan

6 – 11 mm Hujan sedang

12 – 20 mm Hujan besar

� 21 mm Hujan lebat

Catatan: petani dapat menambahkan sendiri keterangan tentang durasi hujan.

Sumber: Winarto dkk. 2013; catatan lapangan Wicaksono, 2 Desember 2012.

Saat terjadi diskusi perihal penyamaan kategori hujan secara kualitatif dan kuantitatif itu,

terdapat argumentasi bahwa durasi hujan (lama, singkat) juga berpengaruh pada numerisasi

curah hujan. Oleh karena itu, mereka sepakat agar keterangan tentang hal itu ditambahkan

sendiri oleh petani. Seorang pengukur curah hujan di Desa Nunuk, Indramayu, menunjukkan

pada peneliti bahwa sekalipun turun hujan gerimis pada tanggal 5 Desember 2012, hujan itu

berlangsung lama dari pk.14:00—03:00 tanggal 6 Desember 2012. Durasi hujan gerimis yang

berlangsung hingga 13 jam itu menyebabkan tertampungnya 108mm curah hujan di kaleng

pengukur curah hujan di lahan pengamatannya. Sang petani pun mengategorisasikan 108mm itu

tidak dalam klasifikasi hujan lebat, tetapi “hujan gerimis yang berlangsung lama”. Seorang

pengukur curah hujan yang lain juga memiliki versi sendiri berdasarkan pengamatan dan

perbandingannya antara kualitas dan kuantitas curah hujan: “...saya punya tiga saja, gerimis,

sedang, besar. Gerimis memiliki curah hujan sebesar 0,5—5 mm, sedangkan hujan sedang

memiliki curah hujan sebanyak 6—20 mm, dan di atas 21 adalah hujan besar.” Di saat lain, dua

petani mendiskusikan kategori hujan sedang untuk ukuran curah hujan sebesar 20mm dan 30mm.

Melalui diskusi antaranggota KPCHI, disepakati ada dua versi taksonomi curah hujan dengan

versi pertama seperti tertera dalam Tabel 2 dan versi kedua dengan klasifikasi sbb: 0,5—3mm:

gerimis, 14—40mm ringan, 41—56mm sedang; dan 57mm ke atas hujan lebat.

Itulah contoh kemampuan petani untuk mengkritisi taksonomi yang telah disepakati bersama

antaranggota klub didasarkan pada pengamatan empirisnya dari waktu ke waktu. Hal itu

sekaligus memperkaya skema pengetahuannya bahwa numerisasi dari klasifikasi leksikal juga

12

berlaku untuk durasi hujan dan bukan hanya untuk intensitasnya. Sejauhmanakah pengayaan

skema itu membantu petani pengukur curah hujan mengidentifikasi masalah di lahannya?

Mengamati agroekosistem, mengidentifikasi masalah

Salah satu tujuan utama pembelajaran agrometeorologi itu adalah pengenalan dampak curah

hujan tertentu pada kondisi lahan dan pertumbuhan tanaman. Mengamati kondisi agroekosistem

lahan dikaitkan dengan parameter iklim, khususnya curah hujan, diharapkan membantu petani

untuk dapat mengidentifikasi masalah kerentanan yang terjadi di lahannya. Di Indramayu,

masalah “kebanjiran” dan “kekeringan” merupakan masalah “klasik” yang selalu berulang

dialami petani setiap tahun, di samping ledakan hama dan penyakit. Bagaimanakah pengamatan

agroekosistem yang dikaitkan dengan kondisi hujan itu menolong mereka lebih peka dan lebih

dini mengenali kerentanan itu sebagai titik tolak antisipasinya?

“Jika hujan kebanjiran dan jika kering kekeringan,” itulah pemeo yang seringkali diujarkan

petani di Indramayu dalam melukiskan masalah yang dihadapi mereka dari tahun ke tahun. Kini,

setelah angka-angka curah hujan itu menjadi bagian dari skema pengetahuan dan sekaligus juga

perbendaharaan kosa-kata petani, numerisasi juga dilakukan petani atas kondisi “banjir” yang

dialaminya.

Mengacu pada hasil panen musim kemarau dan musim hujan di wilayahnya (Desa Karang

Layung), War menyimpulkan bahwa hasil panen musim kemarau lebih baik daripada

musim hujan. Hal itu dirujuknya pada aktivitas pengeringan dan penggenangan air (bursat)

yang dapat dilakukan pada musim kemarau dan tidak pada musim hujan. Pada musim

hujan, air sulit untuk dibuang, sehingga acapkali terjadi banjir di lahannya. Setelah

melakukan kegiatan pengukuran curah hujan, War menggunakan angka curah hujan saat

mendeskripsikan peristiwa banjir di lahan sawah: “Pada hari apa tuh sampai 65mm, sampai

wilayah sana ada banjir. Sampai nggak keliatan.”.

(Catatan lapangan Wicaksono. Karang Layung, 17 Februari 2013)

Kriteria “banjir” ternyata tidak hanya dikaitkan dengan tergenangnya lahan sawah, tetapi juga

sejauhmana tanaman di lahan itu tergenangi air.

Saat dilaksanakan lokakarya Pembuatan Grafik dan Pemetaan Kerentanan Sawah, Nur,

dari Pekandangan Jaya melemparkan pertanyaan ke anggota lainnya “Ada masukan

[tentang] banjir, sejauh mana bisa dikatakan banjir? Soalnya kadang di pengamatan kita

hujan 100 (mm) saja udah banjir. Jangankan seratus! 30 (mm) aja udah banjir.”

Mendengar pertanyaan itu, Lalen menjawab “Tapi itu kan tergantung tanamannya. Kalau

tanaman kangkung atau caisim sehari aja kena banjir udah ancur. Tapi kalau padi mah

sehari mungkin nggak apa-apa kalau masih masa vegetatif. Ya kalau sekiranya itu

merugikan, ya merugikan juga. Sekalipun ukurannya berapa. Ya ukuran rugi atau tidaklah.

Pokoknya selagi nggak kelelep itu menurut saya nggak parah. Kecuali pucuk atas itu

kelelep”. Oleh Lalen, banjir dimaknai dari dampak fenomena tersebut terhadap tertutup

tidaknya tanaman padi pada usia tertentu. Mendengar hal itu, beberapa anggota menyetujui

pendapat Lalen. Nur: “Nah, jadi nggak bisa diukur, banjir yang merusak itu ketika ada

13

banjir, tanaman itu masih umur lima hari, walaupun tingginya hanya 30cm. Nah, ketika

tanaman tinggi sekitar umur 40 hari, ...kan nggak merusak.” Petani yang lain, Con

menimpali: “Begini.banjir itu dampaknya ada, misalnya umur usia tanaman masih kecil.

Ada banjir kiriman. Tapi, di kala usia padi usianya udah tinggi satu bulan, terus ada

kiriman banjir walaupun tinggi keadaan airnya itu, bisa dikatakan tidak banjir, karena tidak

ada dampaknya.” (Catatan lapangan Wicaksono: Pekandangan Jaya, 24 Januari 2013)

Bertolak dari diskusi itu, disepakatilah untuk membuat klasifikasi tentang “banjir” guna

membantu mereka melakukan pencatatan dalam mengidentifikasi kondisi “banjir” di lahannya.

Lihat Tabel 3.

Tabel 3 Kategori Banjir

Kategori “banjir”

Banjir rendah berdampak pada tanaman,

terutama ketika tanaman masih kecil di

persemaian.

Banjir tinggi, namun tidak berdampak ke

tanaman karena tanaman padi sudah tinggi.

Banjir hanya sekadar lewat saja, tidak

berbahaya, dan cepat surut.

Sumber: catatan lapangan Wicaksono, 24 Januari 2013.

Pengombinasian sejumlah unsur: curah hujan, banjir, usia dan tinggi tanaman, serta

dampaknya pada pertumbuhan tanaman itu menandakan pengayaan skema pengetahuan petani

didasarkan pada hasil pengamatan serta kemampuan analitisnya. Diskusi di Warung Ilmiah

Lapangan (WIL) menyajikan kesempatan untuk memaparkan hasil pengamatan,

mempertanyakan, atau mencapai konsensus atas argumentasi yang dilontarkan sesama petani.

Merujuk pada Bovet (1974 dalam Crump 1990), Crump menyatakan bahwa edukasi berperan

penting dalam mengembangkan kemampuan analisis yang menghasilkan perbandingan atas

dimensi-dimensi dari objek yang dilibatkan:

Conservation of quantity experiments carried out by Bovet (1974) in Algeria and Bruner

and Greenfield in Senegal (Greenfield 1966) lead to the conclusion that `schooling plays a

specific part in developing an analytic approach which results in a precise comparison of

the dimensions of the objects involved' (Bovet 1974:331), (lihat Crump 1990:25).

Pengamatan agroekosistem yang dilakukan anggota KPCH bersamaan dengan pengukuran

curah hujan juga membantu mereka untuk mengenali secara lebih dini keberadaan dan

peningkatan populasi hama. Pengenalan secara lebih dini disertai pengetahuan dan pengalaman

yang diperoleh dari beragam sumber, misalnya dari SLPHT (Sekolah Lapangan Pengendalian

Hama Terpadu), dan pengalaman pribadi, memungkinkan mereka untuk melakukan antisipasi

atas kemungkinan terjadinya serangan hama dan cara pengendaliannya. Wereng batang coklat

(WBC, Nilaparvata lugens) merupakan hama endemis di Indramayu yang akan meningkat

populasinya saat kelembaban di sawah naik oleh meningkatnya intensitas curah hujan dan jarak

14

tanam padi yang rapat. Saat petani mengetahui meningkatnya intensitas curah hujan, unsur

pengetahuan tentang pengendalian hama terpadu melalui pengamatan agroekosistem

mengaktifkan unsur pengetahuan tentang siklus hidup dan perkembangan WBC. Melalui

kombinasi unsur-unsur pengetahuan itulah, petani dapat melakukan antisipasi perihal

kemungkinan terjadinya serangan WBC. Bas di Desa Karang Layung, Indramayu yang telah

menjadi pengukur curah hujan semenjak tahun 2010 menemukan adanya kemunculan populasi

WBC di bulan Januari secara berturut-turut pada tahun 2011 dan 2012. Lihat Gambar 2 tentang

catatan hasil pengamatan Bas.

Gambar 2. Catatan Pengamatan Hama Bas

di bulan Januari 2011 dan Januari 2012

Foto dan dokumentasi oleh Wicaksono, 2013

Pada suatu malam, saat saya (Wicaksono) selesai makan saya melihat Bas sedang

mencatat hasil pengukuran curah hujan di buku catatannya. Saya yang sedang duduk

bersama Giller di ruang TV rumah Bas menghampirinya. Bas ternyata sedang membaca

beberapa catatan pengamatan yang telah dilakukannya sejak tahun 2010. Catatan

pengamatan yang dibuat olehnya termasuk berbeda dari anggota KPCH lainnya. Di akhir

catatan setiap bulannya ia selalu membuat ringkasan peristiwa kemunculan hama di lahan

observasinya. Tiba-tiba ia memanggil saya “Muk! Nah ini, liat nih. Perhatiin coba ini ya

Januari 2011, nah yang ini Januari 2012. Tuh werengnya keliatan kan tuh muncul setiap

bulan Januari ternyata.”

(Catatan lapangan Wicaksono. Karang Layung, 5 Februari 2013)

Identifikasi masalah berdasarkan pengamatan lahan juga dilakukan oleh anggota KPCH lain

yakni Con di Desa Tegal Sembrada, Balongan yang rajin mengamati lahan dan melakukan

pengamatan agroekosistem secara rutin. Pada suatu hari di bulan Juli 2013, ia menemukan

adanya hama penggerek batang (PBP). Dengan mengaktifkan pengetahuannya tentang siklus

hama itu, ia pun segera memasang perangkap PBP di sela-sela padinya. Perangkap itu terbuat

dari bekas botol plastik yang tengahnya dilubangi dan diberinya lem di sekitar lubang itu. Con

mengatakan bahwa ia akan memasukkan telur penggerek batang yang ada di daun padi dan

ketika telur menetas, akan ada larva dan parasit. Larva tidak akan dapat ke luar dari lubang botol

15

dengan adanya lem, sementara parasit dapat terbang ke luar dari lubang untuk memarisiti telur-

telur PBP. Petani itu menambahkan bahwa pengamatan seperti ini harus dilakukan setiap hari

karena peletakan telur PBP oleh induknya. Con mengaku sulit mengatasi serangan hama PBP

karena tidak mengetahui saat terjadinya penerbangan kupu-kupu PBP. Sekalipun ia mengetahui

saat penerbangan, hal itu pun tidak menjamin padinya terhindar dari serangan PBP. Kondisi

cuaca yang berubah-ubah dari hujan ke panas dinyatakannya sebagai faktor penghambat

pengendalian hama itu. Yang dapat dilakukan hanyalah mengurangi populasinya.

Kesempatan melakukan dialog dan diskusi dalam arena WIL memungkinkan petani berbagi

pengalaman dan bertukar pikiran. Itulah salah satu mekanisme belajar yang mendukung

pengayaan skema pengetahuan agrometeorologis petani pengukur curah hujan di Indramayu.

Terkait dengan pengendalian hama PBP, petani yang pernah mengikuti kegiatan ARF (Aksi

Riset Fasilitasi) di Desa Kalensari di pertengahan tahun 1990-an membagikan pengalamannya

seperti yang dilakukan Con. Simak Kotak 1. Melalui kisah-kisah itulah petani-petani muda yang

belum memperoleh pemahaman tentang pengendalian hama dapat belajar dari sesama anggota.

Dengan pengayaan pengetahuan itu, bagaimanakah mereka melakukan antisipasi dan sekaligus

mere-interpretasi pengetahuan lokalnya seperti pranata mangsa?

Kotak 1. Berbagi pengalaman mengendalian penggerek batang padi dalam Warung

Ilmiah Lapangan

Pada pertemuan evaluasi tiga dasarian di Desa Amis, Kecamatan Cikedung, Kabupaten

Indramayu awal bulan Mei 2012, Sob dari Desa Kalensari diminta sesama anggota untuk

menyampaikan pengalamannya melakukan penyeleksian telur penggerek batang padi (PBP)

ketika melakukan pengamatan agroekosistem di lahan sawahnya. Pengambilan kelompok

telur PBP dilakukan oleh Sob untuk memotong siklus penggerek batang padi putih (PBPP)

dan penggerek batang padi kuning (PBPK). “Assalamualaikum wr.wb maksudnya itu telur

kupu, atau penggerek batangnya diambilin itu jadi memotong siklus maksudnya. Memotong

siklus supaya jangan sampai masuk lagi. Telor kupunya ada yang sudah disengat oleh parasit

jadi kalau yang jadi parasit terbang, yang tidak jadi parasit tidak bisa terbang. Kalau dulu

saya waktu pengalaman 1995-1996, pakai bumbung (bambu) diberi oli duwuré. Jadi kalau

yang jadi parasit ya kabur, kalau yang nggak jadi parasit ya tetap di situ nggak bisa keluar....

Menurut pengalaman 1995-1996. Jadi waktu itu per meter ratusan, waktu jaman 1995-1996

jadi sama-sama petani di Kalensari ngambilin telor kupu. Yang dibudayakan ada, yang

langsung dibakar juga ada. Jadi keperluannya begitu untuk ngambil telur kupu. Kalau nggak

begitu dimasukkan plastik digantung, kalau di sini netes, nanti di lapangan juga netes.

Disemprot,” tutur Sob. Pada saat melakukan pengamatan agroekosistem di tahun 2012, Sob

berhasil memperoleh 171 kelompok telur PBP dari lahan sawahnya yang dijadikan lokasi

pengukuran curah hujan dan pengamatan agroekosistem harian.

Mendengar cerita tersebut, seorang petani pengukur curah hujan yang sekaligus rekan

Sob, Pak Lalen membenarkannya. Menurut Lalen, cara yang dilakukan tersebut adalah

upaya Konservasi Musuh Alami, “Ya tahunya itu seperti ini kan ada dua cara padi itu ada

yang ditaruh di sini (disimpan di dalam plastik untuk diamati di rumah), ada yang di

bungbung. Kalau di bungbung dengan skala luas daripada dibuang, khawatir ada yang jadi

parasit. Makanya ditaruh di bungbung. Siapa tahu ini yang jadi parasit bisa terbang, yang

namanya Konservasi Musuh Alami itu bu. Itu dengan cara itu. Itu di antaranya.”

(Sumber: Catatan lapangan Wicaksono. Desa Amis, 6 Mei 2012)

16

Mengantisipasi Konsekuensi Perubahan Iklim, Me-reinterpretasi Kosmologi Lokal?

Mengembangkan pertanian atau masyarakat perdesaan yang tanggap terhadap perubahan iklim

(response farming or rural response to climate change), dan bukannya tetap berkutat pada

strategi budi daya tanaman yang konvensionallah yang diharapkan terjadi setelah melalui proses

pembelajaran agrometeorologi (lihat Winarto dan Stigter 2011; Winarto dkk. 2011a, 2013).

Strategi budi daya tanaman konvensional yang hanya berpedoman pada “paket-paket teknologi”

dari musim ke musim perlu direfleksikan oleh setiap petani pengukur curah hujan. Demikian

pula halnya dengan panduan kosmologi lokal yang berlaku pada masa tidak adanya variabilitas

iklim yang intens (lihat Winarto dkk. 2013). Petani-petani pengukur curah hujan di Indramayu

memang tengah berupaya mempertajam kemampuan antisipasinya, sekaligus melakukan re-

interpretasi atas kosmologi lokal yang dimilikinya. Bagaimanakah hal itu terwujud?

Memperkaya pengetahuan, mempertajam kemampuan antisipasi?

Apa yang dilakukan Bas dalam melakukan pengamatan dan pencatatan sehingga membantunya

memperbandingkan kondisi cuaca dari tahun ke tahun, juga dialami petani lain. Salah satu

manfaat adalah kemampuan melaksanakan antisipasi dengan lebih baik. Nur menyatakan bahwa

bila hujan turun terus menerus, ia perlu waspada “...karena hama banyak bermunculan. Di daerah

genangan sebaiknya jangan dulu ditanami, karena akan terlalu banyak air.” Menjadi lebih

“ekstra hati-hati terhadap hama,” itulah yang dilakukan Nur. Oleh karena itu, pengamatan setiap

hari perlu dilakukan secara cermat. Dengan menggunakan istilah “prakiraan” yang seyogianya

adalah “antisipasi”, Bas mengisahkan pengalamannya di hadapan jajaran Tim Iklim di bawah

pimpinan Ketua BAPPEDA (Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah) Kabupaten

Indramayu di bulan Oktober 2013 bahwa ia mampu “memprakirakan” kemungkinan meledaknya

hama WBC dengan mengetahui kondisi hujan, curah hujan yang diukurnya setiap hari, populasi

hama WBC di lahan sawah yang ditemukannya, serta pengetahuan tentang siklus hidup hama itu.

Oleh karena itu, disarankannya ke petani-petani lain agar mereka waspada, dan sedini mungkin

melakukan pengendalian hama WBC di lahan masing-masing bila telah ditemukan populasi

hama itu.

Ternyata, salah satu mekanisme belajar yang membantu mereka melakukan antisipasi adalah

mengenali pola keterkaitan berbagai komponen agrometeorologi dari waktu ke waktu. Untuk itu,

melakukan pencatatan merupakan suatu hal yang menguntungkan seperti dinyatakan oleh Bas,

Nur, dan juga Pur dari Desa Sumbon.

17

“Kalau nggak di buku, saya nggak bisa ngomong nanti. Katanya apa, dalam kaedah itu

kan ilmu itu sebagai guru. Supaya guru itu jangan terbang, ya harus diiket. Sama saja

buku itu sebagai iket (tertawa). Biar ilmunya nggak ilang (tertawa). Begitu, Al-Ilmu

shaidun, wa al-kitâbatu qaiduhu (Ilmu itu ibarat binatang buruan, sedangkan tulisan itu

merupakan tali untuk mengikat binatang buruan tersebut) kalau kata pepatah Arabnya kan

gitu. Nah! ini umur tanamnya ini, Ki (sambil membaca buku catatan curah hujan). Usia

tanam sampai hari ini 34 hari,” kisah Pur pada Wicaksono.

(Catatan Lapangan Wicaksono, Sumbon 8 Januari 2013)

Selain kegiatan pengamatan populasi hama yang harus dilakukan secara lebih cermat, hasil

nyata dari pembelajaran itu adalah pelaksanaan tindakan di lahan sawah berdasarkan antisipasi

yang dilakukan petani. Pur, misalnya, menyiapkan pematang tambahan di sekitar lahannya di

musim hujan (rendeng) 2012/2013 untuk menjaga debit air di sawahnya.

Ketika saya (Wicaksono) mengikuti Pur ke sawah, Pur memperhatikan kondisi pematang

sawahnya. Tiba-tiba ia menanyakan sesuatu, “Ini, kalau saya buat pematang seperti ini

kira-kira tau gak manfaatnya untuk apa?” Saya hanya bisa menggeleng-gelengkan

kepala. Ternyata, pematang kecil yang dibuat berlapis dan bersebelahan dengan

pematang yang menjadi batas antara sawahnya dengan sawah tetangga dijadikan sebagai

pencegah terbuangnya air ke sawah tetangga. Hal tersebut dilakukan untuk

mengefektifkan proses pengairan. “Sawah dikasih pematang kecil gini, biar air gak begitu

ngebuang ke sawah tetangga.” (Catatan lapangan Wicaksono: Sumbon, 28 Januari 2013).

Lihat Gambar 2.

Merapatkan dan membuat pematang-pematang sawah merupakan cara yang diterapkan oleh

petani areal tadah hujan untuk mengefisienkan penggunaan air di sawah. Dengan menghambat

laju aliran air yang terbuang ke lahan sawah tetangga, petani menerapkan strategi untuk

mengurangi risiko kekeringan di lahannya. Penelitian Winarto dkk (2011b) di Desa Wareng,

Gunung Kidul, DI Yogyakarta memperlihatkan penerapan strategi ‘Metode Panen Hujan’ setelah

SLI berakhir di tahun 2007, yakni ‘membuat tambahan pematang di lahan sawah’, atau ‘dikotak-

kotak’ menurut istilah petani. Strategi itu diharapkan dapat secara lebih efektif meingkatkan

kelembaban tanah, yang berarti juga mengurangi risiko kekeringan di sawah petani. “Storing

more water in the field for a longer period of time by building ridges in the middle of the field so

as to increase soil moisture by preventing run off is the main objective of that method (lihat

Winarto dkk. 2011b:88-89). ‘Metode panen hujan’ memang dipelajari petani di Sekolah

Lapangan Iklim (SLI). Di Indramayu, petani melakukan inovasi sendiri atas dasar antisipasi yang

dilakukannya.

Gambar 2. Pematang ganda di sawah Pur

18

Foto oleh Wicaksono. Desa Sumbon, 28 Januari 2013

Kemampuan melakukan antisipasi tidaklah selalu terwujudkan dalam perilaku sejalan dengan

antisipasinya. Bahkan, dapat terjadi bahwa bukan keuntungan yang diperoleh petani, melainkan

kerugian dan kegagalan panen. Hal itu dialami oleh Sar, seorang alumni SLI yang sudah lanjut

usia dan bercocok tanam padi di lahan tadah hujan di Karang Mulya, Indramayu. Setelah

memperoleh “skenario musiman” yang dikirimkan setiap bulan oleh Stigter (lihat tulisan tentang

Penyuluhan Agrometeorologi oleh Winarto dan Stigter dalam buku ini) jelang musim kemarau

2012, Sar mengantisipasi akan kurangnya hujan yang tidak akan menguntungkan bagi

keberhasilan tanaman padi di musim kemarau itu. Ia pun menasihati sesamanya untuk tidak

menanam padi, tetapi sayuran seperti ketimun. Namun, tetangga-tetangganya yang tidak

memahami hal itu dan tidak memperoleh informasi dan jasa layanan agrometeorologi apa pun

dari pihak yang berwenang, tetap menanam padi. Alhasil, seperti dikisahkan Winarto dkk.

(2012a), karena khawatir bahwa dirinya sendiri yang tidak akan panen bila sesamanya berhasil

panen, dengan mempertimbangkan masih adanya hujan di bulan Mei 2013, ia pun memutuskan

menanam padi. Risiko kegagalan panen pun dialaminya dengan pahit.

Itulah dunia penuh tantangan dan risiko yang dihadapi petani di masa terjadinya perubahan

iklim ini. Menanggapi dinamika kondisi musim yang acap tidak terduga serta menginterpretasi

kembali kosmologi lokal dan cerita-cerita rakyat tentang cuaca, merupakan salah satu kegiatan

pembelajaran petani yang menjadi semakin peka atas berbagai fenomena di habitatnya.

Menanggapi dinamika musim, me-reinterpretasi Pranata Mangsa dan Cerita tentang Cuaca

(Weather Lore)?

Berdasarkan pengamatan dan pengalamannya memandu petani di Afrika Selatan, Zuma-

Netshiukhwi dkk. (2013) menemukan bahwa sebagian besar petani di provinsi Free State di

Afrika Selatan masih bertumpu sepenuhnya pada pengetahuan dan pengalaman tradisional untuk

pengambilan keputusan dalam bercocok tanam. Pengetahuan tradisional itu meliputi konstelasi

bintang-bintang, perilaku hewan, bentuk dan tipe awan, bertumbuh kembangnya pepohonan

lokal tertentu, pemunculan dan hilangnya hewan reptilia, migrasi burung, dan lain-lain. Petani di

wilayah itu belum mengenali pengetrapan dari prakiraan cuaca/prediksi iklim untuk budi daya

tanaman. Petani-petani di Indramayu yang telah mengikuti pembelajaran agrometeorologi

19

semenjak 2009/2010 secara lambat-laun menyadari bahwa mereka perlu melakukan evaluasi dan

interpretasi ulang atas kosmologi lokal dan pengetahuan tradisional mereka dalam bercocok

tanam. Pencatatan tentang hasil pengukuran curah hujan dan pengamatan agroekosistem

merupakan salah satu sarana yang bermakna seperti dinyatakan Bas, sekretaris KPCH:

“Nah padahal pak, kita dari tahun 2009 sampai sekarang ini kita lagi belajar ilmu klasik.

Tapi bapak tidak sadar, kalau sadar per dasa(ha)rian ditulis dengan detail dalam satu

tahun nanti tahun berikutnya kita buka lagi ini untuk bahan perbandingan. Jaré wong tua

mah gawé pranata mangsa ala kita sendiri, cara kita dèwèk. Tuh,” kata Bas dalam suatu

pertemuan Warung Ilmiah Lapangan (6 Mei 2012).

Bas menyadari bahwa dengan cara mencatat hasil pembelajaran agrometeorologi setiap hari,

bulan, dan tahun, anggota KPCH secara tidak disadari sedang berupaya untuk memperbaharui

pranata mangsa dengan mengaitkannya dengan kondisi cuaca saat ini. Pranata mangsa adalah

kalender agro-bio-ekologi yang menghubungkan elemen meteorologi dan ekologi dengan

kegiatan pertanian dan ritme biologis hewan serta tumbuhan (Hidayat 2011:43). Satu periode

pranata mangsa terdiri atas 365 atau 366 hari yang dibagi dalam 12 mangsa (musim). Wahyudi

(2012) merinci ke-12 musim itu mulai dari kasa, karo, katelu, kapat, kalima, kanem, kapitu,

kawolu, kasanga, kasepuluh, dhesta, dan saddha. Apa yang dikemukakan Bas itu juga menjadi

salah satu tujuan Naryo (kuwu, kepala Desa Sumbon) untuk bergabung ke dalam KPCH

Indramayu. Ia ingin mengetahui apakah primbon Jawa (termasuk pranata mangsa) itu masih

relevan atau tidak untuk digunakan pada kondisi saat ini.

“Karena satu saya sebagai seorang petani ingin tahu sejauh mana kebenaran Primbon-

primbon yang ada dari orang tua kita. Jadi bebakunya saya sebagai petani pengen tahu

tahun ini hujannya sekian tahun ini sekian, seandainya kita sawah yang teknis mah

kemungkinan besar agak males, tapi karena kita bledug cengkuk wilayah sini artinya

tadah hujan. Nah itu yang mendorong kita ikut Klub Curah Hujan. Dan juga

sepengetahuan saya itu, hujan itu di bulan ‘ber-ber’ an, tapi kalau September itu ‘Sep’-

nya sumber tidak ada hujan. Berhenti. Nah mulai Oktober akhir ada hujan, nah....kan

bener November kan ada hujan. Terkecuali itu kalau musimnya nyalamangsa,” ujar

Naryo, sambil mengomentari skenario musiman yang diterimanya setiap awal bulan dari

Stigter melalui Winarto jelang akhir tahun 2012 (Catatan lapangan,. Wicaksono: Sumbon,

29 Januari 2013)

Bila Bas selaku sekretaris klub menghimpun dokumentasi tentang pranata mangsa dan

membagikannya ke anggota klub, salah seorang anggota KPCH, Kar, tidak hanya menuliskan

hasil pengamatan agroekosistem di buku catatannya, tetapi juga penanggalan Jawa dan

keterangan terkait dengan pranata mangsa.

Kar menuliskan keterangan tentang pranata mangsa di dalam buku catatannya. Penulisan

itu disesuaikan dengan pembagian musim yang ada dalam pranata mangsa. Misalnya

dalam pencatatan data curah hujan di bulan Januari 2013, Karwita menuliskan keterangan

penanggalan dan pasaran Jawa serta keterangan mangsa (musim) seperti di bawah ini:

Akhir bala minggu 13 Januari 2013,

20

Awal Mulud Senin, 14 Januari 2013

Mangsa Kapitu (43) hari 22 Des-2 Peb 2013

Dua baris pertama merupakan batasan penanggalan Jawa, yakni akhir tahun dan

diawalinya tahun yang baru. Tulisan tentang mangsa Kapitu (43) hari menunjukkan bulan

ketujuh dalam penanggalan Jawa saat Kar melakukan pengukuran curah hujan di bulan

Januari 2013. Kar memiliki catatan lengkap mengenai pranata mangsa. Ia merasa perlu

mencatat karena ingin membandingkan data curah hujan yang dikumpulkannya dengan

pengetahuan pranata mangsa yang dimilikinya. Menurutnya, jika ia memiliki data curah

hujan selama 10 tahun, ia bisa “meramal” kondisi curah hujan untuk tahun-tahun

berikutnya, seperti yang dapat dilakukan dengan pranata mangsa. Ia ingin menggabungkan

kedua prakiraan iklim itu. Namun Kar belum bisa membandingkan keduanya karena ia

belum memiliki data lengkap tentang pranata mangsa yang diamatinya sendiri.

Menurutnya, ia perlu pengamatan delapan tahun untuk mengetahui satu siklus dalam

pranata mangsa beserta kejadian-kejadian yang dialaminya.

Dengan merujuk pada pranata mangsa yang dapat dijadikan pedoman tentang “apa yang terjadi

di bulan/mangsa tertentu sesuai dengan watak mangsa (sifat mangsa), gejala alam, dan kegiatan

pertanian”, Kar beranggapan bahwa kegiatan pengukuran curah hujan yang dilakukannya kini

dapat digunakan sebagai landasan memprakirakan kondisi alam di masa datang. Misalnya, pada

mangsa kapitu (musim ketujuh), akan timbul banyak hama/penyakit, banjir, dan saatnya padi

ditanam. Kar akhirnya menyadari bahwa hal itu tidaklah dapat dilakukannya dengan melakukan

pengukuran curah hujan seperti dijelaskan Stigter dalam kegiatan kepemanduan bagi Petani

Pemandu KPCH. Melakukan “antisipasi” dan bukan “prediksi” merupakan unsur pengetahuan

baru dalam alam pikir Kar dan petani-petani yang lain. Hal itu tidaklah menyurutkan tekad dan

itikad Kar untuk dapat membuat panduan sendiri setelah delapan tahun mengamati curah hujan

dengan membandingkan data curah hujan dan pranata mangsa yang diketahuinya.

Lalen, ketua KPCHI, menyatakan secara tegas bahwa pranata mangsa tidaklah berubah.

“Mangsa-mangsanya tetap,” ujar Lalen. Begitu pula dengan jumlah hari dalam satu mangsa.

Namun, disadarinya bahwa kadang kala pedoman yang tertera dalam pranata mangsa itu sejalan

dengan kondisi cuaca yang dialaminya, tetapi kadang kala tidak. Misalnya, menurut panduan di

pranata mangsa, pada mangsa kalima petani sudah mulai bercocok tanam di musim hujan. Akan

tetapi, di tahun 2012 dengan tidak adanya hujan sama sekali hingga bulan November 2012,

berarti, awal cocok tanam jatuh pada mangsa kapitu. Bagi petani-petani dari generasi muda yang

tidak memiliki pengetahuan pranata mangsa, arena WIL merupakan wadah pembelajaran. Tar

menyatakan bahwa ia belajar dari Naryo untuk memperhatikan kondisi cuaca dan penanggalan

Jawa dalam mengendalikan hama PBP, yakni pada tanggal dan situasi apa kupu-kupu PBP

melakukan perkawinan untuk menentukan jadwal pengendalian. Petani lain yang juga tidak

memiliki pengetahuan tentang pranata mangsa mengombinasikan unsur pengetahuan tentang

siklus bulan dalam penanggalan Jawa, siklus hidup hama, dan skenario musiman yang

diterimanya dari Stigter.

Ketika saya (Ubadillah) bertanya tentang skenario musiman yang dikirimkan Stigter

melalui Winarto, Yus menyatakan bahwa ia dapat melakukan antisipasi berdasarkan

21

skenario itu. Informasi itu digunakannya sebagai acuan untuk menentukan jadwal tanam

dan varietas. Pemilihan varietas diperoleh atas dasar skenario musiman itu satu bulan ke

depan. Jika hujan dinyatakan akan jarang terjadi, Yus akan memilih varietas padi berumur

pendek. Selain itu, ia menggunakan pengetahuan lokalnya, yakni mengupayakan agar saat

keluarnya malai terjadi sebelum bulan purnama. Apabila terjadi bulan purnama, tanaman

padi akan diserang PBP. Menghindari serangan itulah, ia merasa perlu melakukan

penghitungan saat munculnya bulan purnama yang diacunya pada penanggalan Jawa, dan

mengombinasikannya dengan jadwal tanam dan usia varietas.

Petani juga merupakan pengamat yang jitu. Ilmu titèn (ilmu berdasarkan kecermatan

pengamatan dan ingatan), itulah sebutan yang digunakan petani di Gunungkidul dalam menamai

pengetahuan lokal yang dimilikinya (lihat Winarto dan Stigter 2011). Berdasarkan ilmu titèn itu

petani mengembangkan berbagai frasa yang tersimpan sebagai “cerita-cerita tentang cuaca” atau

weather lore (folk-lore). “Weather folk-lore is based on the knowledge of the common people

acquired through the ordinary observations of nature, animals, plants, etc., unaided by

instruments (Hazen 1900:191). Gejala alam seperti bentuk awan, arah angin, pertumbuhan

tanaman, dan perilaku hewan menjadi acuan yang masih digunakan oleh petani dalam

memahami siklus musim tanam di Indramayu. Dengan mengacu kondisi gejala alam tersebut

petani memahami kapan awal musim rendeng (penghujan) atau musim gaduh (kemarau) akan

berlangsung. Kemampuan petani mengamati gejala alam tidak terlepas dari pengetahuan yang

diwarisinya dari orang tua berdasarkan kebiasaan petani jaman bengèn (masa lampau). Peristiwa-

peristiwa yang terjadi di alam sekitarnya itulah yang digunakan untuk membaca kondisi cuaca

setiap masa tanam.

Nur memberikan contoh bahwa di awal musim hujan, akan ada burung camar yang

berbondong-bondong terbang menuju laut. Lazimnya, keesokan harinya, sawah petani akan

terairi. Jelang musim hujan pula, saat terasa “gerah” atau “ongkob” dengan suhu dan

kelembaban yang tinggi, semut-semut juga merasa “gerah”. Mereka akan ke luar dari

liang/sarang dengan membawa telur-telur semut secara berbondong-bondong berpindah ke

tempat lain. Itulah pertanda akan tiba musim hujan. Hingga saat ini, tanda-tanda alam itu tetap

menjadi rujukan bagi Nur dalam mengenali akan tibanya awal musim hujan.

Cerita mengenai kondisi alam yang dirasakan petani kerap kali diungkapkan oleh anggota

KPCH Indramayu di dalam arena WIL sekali dalam 3 dasarian untuk mengidentifikasi fase-fase

perubahan dari musim rendeng ke musim gaduh atau sebaliknya. Mengacu pada Roncoli, dkk

(2009) yang mengutip Strauss dan Orlove (2003), kemampuan pengamatan secara visual dan

sensorik dengan melihat, merasakan, mendengar, dan mencium merupakan modal yang dimiliki

oleh manusia, juga petani khususnya, dalam memahami kondisi cuaca di suatu lokasi.

Visual and sensory perceptions are key elements of the folk epistemology of climate

(Strauss and Orlove 2003). The human body's senses are important avenues through which

people get to know their local weather in its particular manifestations, such as rain, hail,

snow, wind, and temperature (Lihat Roncoli dkk. 2009:90).

22

Namun, pada awal musim rendeng 2013, petani mulai mempertanyakan gejala alam yang

diamatinya. Can dan Kar dari Desa Sumbon dan Amis, Indramayu, menemukan petanda alam

yang sama saat melakukan pengamatan harian ke sawah. Mereka melihat telah munculnya

ungker jati atau ulat daun jati yang besar jmlahnya. Dalam pemahaman mereka, hal itu

merupakan pertanda akan terjadi penelang (kemarau kecil/dry spell). Siklus penelang dapat

terjadi kurang lebih selama 15—20 hari menyusul hujan yang turun beberapa hari. Hujan itu

lazim disebut dengan false rain (hujan yang ternyata bukan menandai tibanya musim tanam

musim hujan). Kondisi penelang yang cukup lama itu mengkhawatirkan petani atas pertumbuhan

tanaman padi mereka bila semai telah dilakukan di saat tibanya hujan awal yang “keliru” (false

rain) itu. Naryo, kuwu Desa Sumbon telah mengantisipasi hal itu dengan melakukan persemaian

kering (ngipuk) lebih awal dan bukan semai basah.

“Awalnya pada waktu musim kemarau, begitu turun hujan, kalau pakè ukuran ya maklum

kita kan petani, pakènya cangkul, kalau dicangkul kedalamannya (tanah yang basah)

sekitar 10 cm, baru kita membuat persemaian kering, namanya ngipuk. Terus begitu hujan

bulan November pertengahan, ada hujan biasanya tuh, kita tuh harus cepet-cepet tanem.

Kalau tidak cepat-cepat tanam ya di situ tuh ada kemarau kecil selama 15 hari. Ya kita

harus cepet-cepet,” kata Naryo. (Catatan lapangan Wicaksono. 3 Juli 2012).

Gambar 3. Proses Perkembangan Semai Kering (ngipuk)

Foto oleh Wicaksono, Desember 2012.

Akan tetapi, keheranan muncul pada diri Can saat mengamati munculnya ungker (ulat) jati itu.

Can merasakan bahwa ungker jati pada tahun ini (musim hujan 2012) bukanlah petanda kemarau

kecil (penelang), karena kemunculan ulat daun jati justru diikuti oleh hujan secara terus menerus

23

setiap sorenya. Hal yang sama juga dialami Kar yang sempat mengirimkan sms ke Winarto

perihal banyaknya ulat jati ditemukan di pohon-pohon jati yang dianggapnya sebagai petanda

akan datangnya penelang (kemarau kecil/dry spell). Ternyata, Kar tidak mengalami terjadinya

penelang itu di awal musim hujan 2012/2013. “Prakiraan saya keliru,” kata Kar pada Winarto.

Can mengisahkan hasil pengamatannya pada Wicaksono: “Kalau sekarang ulatnya ada,

tapi hujan nggak mau berhenti. Biasanya hujan tuh Mas kalau godong jatinya mau habis

tuh, dimakanin ulat tuh. Kemarau, kemarau kecil. Tapi sekarang jatinya, daunnya udah

habis, hujan masih terus. Sekarang.” Itulah cerita Can tentang ketidaklaziman yang

diamatinya. (Catatan lapangan Wicaksono: Sumbon, 4 Desember 2012). Lihat Gambar 4.

Gambar 4 Ulat Daun Jati (Hyblaea puera)

Foto oleh Wicaksono. Desa Amis, 3 Desember 2012

Ketidaklaziman dan ketidaksejalanan antara tanda-tanda alam dengan pola hujan yang terjadi,

hanyalah salah satu dari hasil pengamatan petani. Ketidakpahaman dan kebingungan, itulah yang

kerap dialami petani. Dalam situasi itu, dapatkah “kearifan lokal” petani dipandang sebagai salah

satu “solusi” terbaik dalam membantu petani untuk mengatasi berbagai fenomena perubahan

iklim? Kami berargumentasi bahwa situasi perubahan iklim merupakan tantangan yang tidak

mudah dicarikan solusinya sendiri oleh petani tanpa jasa-layanan agrometeorologi.

“Petani itu selalu Belajar”: Suatu Penutup

“Petani itu selalu belajar, dari hari ke hari, musim ke musim,” itulah frasa yang diungkapkan

seorang petani di Subang di awal tahun 1990-an saat ia dan teman-temannya tergagap-gagap

menghadapi serangan hama PBPP secara terus menerus selama beberapa musim berturutan.

Belum pula serangan hama WBC, tikus, walang sangit, krèsèk dan lain-lain secara

berkesinambungan (lihat Winarto 2004a). Kini, petani pun harus senantiasa mempertanyakan,

merefleksikan, mengevaluasi berbagai fenomena iklim yang tidak selalu dapat dipahami dan

dijelaskan dengan skema pengetahuan yang telah terbentuk selama hidupnya. Pengetahuan itu

terakumulasi melalui warisan pengetahuan dari generasi terdahulu, pengalamannya sendiri dalam

bertani, dan alih pengetahuan dari sesama petani, serta dari berbagai sumber yang lain. Namun,

akumulasi dari berbagai unsur pengetahuan itu tetap meninggalkan “celah-celah kosong” yang

tidak dapat diisi oleh “pemaknaan baru” terkait dengan sebab-akibat dari perubahan iklim tanpa

adanya upaya mengenali unsur-unsur yang baru itu melalui pembelajaran, pengamatan,

pengalaman, dan penerimaan jasa-jasa layanan agrometeorologi. Sekelumit kisah petani

24

pengukur curah hujan di Gunungkidul dan Indramayu menunjukkan bahwa pengetahuan lokal

yang mereka miliki—sekalipun kaya dan rinci oleh pengamatan yang cermat dan pewarisan

pengetahuan dari generasi terdahulu—tetap memberikan keterbatasan untuk memahami

fenomena-fenomena baru yang muncul secara tiba-tiba, penuh ketidakpastian dan

ketidakterdugaan. Hasil pembelajaran yang dialami melalui pengamatan setiap hari tentang

besarnya curah hujan dan dampaknya pada kondisi lahan dan tanaman, ternyata dapat

memperkaya skema pengetahuan mereka. “Celah-celah yang kosong” itu pun mulai terisi secara

lambat-laun, setapak demi setapak, dari pengamatan, pengalaman, dan pencatatan dari musim ke

musim, tahun ke tahun. Pengenalan atas pola hujan dalam kondisi El Niño, La Niña, normal, atau

peristiwa-peristiwa yang tidak lazim dan ekstrim serta implikasi yang ditimbulkan pada lahan

dan tanaman itu memungkinkan mereka memaknai fenomena yang dihadapi masa kini. Hal itu

ternyata dapat membantu mereka melakukan antisipasi atas konsekuensi lebih jauh yang

mungkin akan mereka alami di masa depan. Jasa-layanan agrometeorologi seperti skenario

musiman yang disampaikan secara teratur di awal bulan merupakan salah satu faktor pendukung

kemampuan petani melakukan antisipasi. Melalui proses belajar itulah pengetahuan lokal petani

senantiasa diperkaya. Namun, jalan yang harus mereka tempuh masih panjang. Mereka barulah

mengawali proses belajarnya. Oleh karena itu, telah tibalah saatnya kita tidak lagi mengagung-

agungkan “kearifan lokal” petani tanpa upaya membantu mereka untuk lebih mampu

mengantisipasi, lebih arif menyikapi, dan lebih tepat mengambil keputusan tentang strategi budi

daya tanaman yang tanggap terhadap perubahan iklim.

Daftar Referensi

Agrawal. A. (1995). Indigenous and scientific knowledge: Some critical comments. Indigenous

Knowledge and Development Monitor, 3(3), 3-6.

Anantasari, E. & Winarto, Y.T. (2011). Anticipating drought in multiple cropping: Implementing

rain harvesting method. Dalam Y.T. Winarto & K. Stigter (Peny.), Agrometeorological

learning: Coping better with climate change (hlm.86-103). Saarbrücken: LAP Lambert

Academic Publishing GmbH & Co. KG.

Borofsky. R. (1994). The cultural in motion. Dalam R. Borofsky (Peny.), Assessing cultural

anthropology (hlm.313-319). New York: McGraw Hill.

Barth, F. (1994). A personal view of present tasks and priorities in cultural and social

anthropology. Dalam R. Borofsky (Peny.), Assessing cultural anthropology (hlm.349-361).

New York: McGraw Hill.

Brookfield, M. (1996). Indigenous knowledge: A long hisory and an uncertain future. PLEC

News and Views, 6, 23-29.

Choesin, M. (2002). Connectionism: Alternatif dalammemahami dinamika pengetahuan lokal

dalam globalisasi. Antropologi Indonesia, 26(69):1-9.

Crate, S.A & Nuttall, M. (2009). Introduction: Anthropology and climate change. Dalam Crate,

S.A. & Nuttall, M. (Peny.), Anthropology and climate change: From encounters to actions

(hlm.9-36). California: Walnut Creek.

25

Crump, T. (1990). The anthropology of numbers. Cambridge: Press Syndicate of the University

of Cambridge.

D’Andrade, R. (1993). The development of cognitive anthropology. Cambridge: Cambridge

University Press.

Dilts, R. & Hate, S. (1996). IPM farmers’ field schools: Changing paradigms and scaling-up.

Agricultural Research & Extension, 59b, 1-4.

Finesso, G.M. (2013, 3 November). Anomali cuaca: Tergopoh ikuti irama iklim Kompas, 3.

Hazen, H.A. (1900). The origin and value of weather lore. The Journal of American Folklore,

13(50), 191-198.

Hidayat, B. (2011). The sky and the agro-bio-climatology of Java: Need critical reevaluation

due to environmental changes. Daam T. Nakamura, W. Orchiston, M. Soma & R. Strom

(Peny.), Proceedings of the seventh international conference on oriental astronomy

(hlm.43-36). Tokyo: National Astronomical Observatory of Japan.

Kottak, C.P. (2011). Cultural anthropology: appreciating cultural diversity. International

edition. New York: McGraw Hill.

Peterson, N. & Broad, K. (2009). Climate and weather discourse in anthropology: From

determinism to uncertain futures. Dalam S.A. Crate & M. Nuttall (Peny.), Anthropology

and climate change: From encounters to actions (hlm.70-86). California: Walnut Creek.

Pontius, J., Dilts, R. & Bartlett, A. (2002). From farmer field school to community IPM: Ten

years of IPM training in Asia. Bangkok: FAO Community IPM Programme. Food and

Agroiculture Organization of the United Nations Regional Office for Asia and the Pacific.

Prahara, H., Winarto, Y.T. & Kristiyanto. (2011). The joint production of knowledge: Its

dynamics. Dalam Y.T. Winarto & K. Stigter (Peny.), Agrometeorological learning:

Coping beter with climate change (hlm.145-180). Saarbrücken: LAP Lambert Academic

Publishing GmbH & Co. KG.

Roncoli, C., Ingram, K., Jost, C. & Kirshen, P. (2003). Meteorological meanings: Farmers’

interpretation of seasonal rainfall forecast in Burkina Faso. Dalam S. Strauss & B. Orlove

(Peny.), Weather, climate, culture (hlm.181-200). Oxford dan New York: Berg.

Roncoli, C., Crane, T. & Orlove, B. (2009). Fielding climate change in cultural anthropology.

Dalam S.A. Crate & M. Nuttall (Peny.), Anthropology and climate change: From

encounters to actions (hlm.87-115). California: Walnut Creek.

Shore, B. (1996). Twice-born, once conceived: meaning construction and cultural cognition.

American Anthropologist, 93, 9-27.

Stigter, K., Winarto, Y.T. & Stathers, T. (2009). Rainfall measurements by farmers in their

fields. http://www.agrometeorology.org/topics/accounts-of-operational-

agrometeorology/rainfall-measurements-by-farmers-in-their-fields.

Stigter, C.(K.)J. & Winarto, Y.T. (2013). Science field shops in Indonesia. A start of improved

agricultural extension that fits a rural response to climate change. J. Agric. Sci. Appl., 2,

112–123.

26

Stigter, K, Winarto, Y.T., Ofori, E., Zuma-Netshiukhwi, G., Nanja, D. & Walker, S. (2013). Extension

agrometeorology as the answer to stakeholder realitis: Response farming and the

consequences of climate change. Atmosphere 2013, 4, 237-253; doi:10.3390/atmos4030237.

Strauss, C. & Quinn, N. (1997). A cognitive theory of cultural meaning. Cambridge: Cambridge

University Press.

Wahyudi, M.Z. (2012, 29 Desember). “Pranatamangsa”: Penanda musim dari langit. Kompas.

Winarto, Y.T. (1995). State intervention and farmer creativity: Integrated pest management

among rice farmers in Subang, West Java. Agriculture and Human Values, 12(4), 47-57.

Winarto, Y.T. (1999). Creating knowledge: Scientific knowledge and local adoption in rice

integrated pest management in Indonesia (A case study from Subang, West Java). Dalam

S. Toussaint & J. Taylor (Peny.), Applied anthropology in Australasia (hlm.162-192).

Perth: Uniersity of Western Australia.

Winarto, Y.T. (2004a). Seeds of knowledge: The beginning of integrated pest management in

Java. Monograph series, Vol. 53. New Haven: Yale University Southeast Asia Studies.

Winarto, Y.T. (2004b). The evolutionary changes in rice-crop farming: Integrated pest

management in Indonesia, Cambodia, and Vietnam. Southeast Asian Studies, 41(3): 241-

272.

Winarto, Y.T. (2006). Pengendalian hama terpadu setelah limabelas tahun berlalu. Jurnal

Analisis Sosial, 11(1), 27-56.

Winarto, Y. T. (2010). Inaugural lecture: Climate and culture: Changes, lessons, and challenges.

Wacana, 12(2), 369-385.

Winarto, Y.T. (2013). Memanusiakan manusia dalam lingkungan yang tangguh: Mengapa ‘jauh

panggang dari api’? Pidato inaugurasi sebagai anggota Akademi Ilmu Pengetahuan

Indonesia. Jakarta: Komisi Kebudayaan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia. 19 April.

Winarto, Y.T. & Stigter, K. (Peny). (2011). Agrometeorological learning: Coping better with

climate change. Saarbrücken: LAP Lambert Academic Publishing GmbH & Co. KG.

Winarto, Y.T. & Stigter, K. (2013 dalam persiapan). Penyuluhan agrometeorologi sebagai

jawaban operasional bagi realita yang dihadapi petani: Pertanian yang tanggap pada

perubahan iklim dan konsekuensinya. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan

Pertanian, Kementerian Pertanian.

Winarto, Y.T., Stigter, K., Anantasari, E., Prahara, H. & Kristiyanto. (2010a). “We’ll contionue

with our observation”: Agro-meteorological learning in Indonesia. Farming Matters

(formerly LEISA magazine), 26(4), 12-15.

Winarto, Y.T., Prahara, H., Anantasari, E. & Kristiyanto with comments by Stigter, K. (2010b).

Rural response to climate change: Rainfallmeausrements by farmers in Java. Dalanm Y.T.

Winarto & D. Maeztri (Peny.). Proceedings of international seminar and workshop on:

Leraning from climate change and its consequences: The role of scientists and

entrepreneurs (hlm.94-128). Depok: Universitas Indonesia.

27

Winarto, Y. T., Stigter, K., Prahara, H., Anantasari, E. & Kristiyanto. (2011a). Collaborating on

establishing an agro-meteorological learning situation among farmers in Java.

Anthropological Forum, 21(2), 175-197.

Winarto, Y.T., Stigter, K., Prahara, H., Kristiyanto & Anantasari, E. (2010b). Towards

agrometeorological learning? Responding to climate change, evaluating strategy. Dalam

Y.T. Winarto & K. Stigter (Peny.), Agrometeorological learning: Coping better with

climate change (hlm.181-215). Saarbrücken: LAP Lambert Academic Publishing GmbH &

Co. KG.

Winarto, Y. T., Fox, J.J., Dwisatrio, B., Nurhaga, M., Kinanti., N.Y. (2011c). Planthopper virus

problems in Klaten, Boyolali, Sukoharjo, Indonesia, diakses pada 21 Agustus 2011,

http://ricehoppers.net/2011/08planthopper-virus-problems-in-klaten-boyolali-and-

sukoharjo-indonesia.

Winarto, Y.T., Fox, J.J., Nurhaga, M., Avessina, J., Kinanti, N.Y. & Dwisatrio, B. (2011d).

Brown Planthopper in Klaten-Boyolali-Sukoharjo, Central Java, diakses pada 18 Mei 2011,

http://ricehoppers.net/2011/05/brown-planthopper-in-

Klaten%E2%80%94boyolali%E2%80%94sukoharjo-central-java/.

Winarto, Y.T., Fox, J.J., Nurhaga, M., Avessina, J., Kinanti, N.Y. & Dwisatrio, B. (2011e).

Brown planthopper infestations in Lamongan, East Java, diakses pada 13 Juni 2011,

http://ricehoppers.net/.

Winarto, Y.T., Dwisatrio, B., Syarifah & Rahayu, M.K. (2012a). Sawah tangguh di tangan

petani: Upaya memulihkan ekosistem padi. Dalam E.E. Ananto, Pasaribu, S., Ariani, M.,

Sayaka, B., N.S. Saad dkk. (Peny.), Kemandirian pangan Indonesia dalam perspektif

kebijakan MPE3EI (hlm.243-277). Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan

Pertanian, Kementerian Pertanian.

Winarto, Y.T., Dwisatrio, B., Nurhaga, M.S., Kinanti, V.Y., Suydhiastiningsih, N.S.N.N. dkk.

(2012b). Keterasingan petani di lahan sendiri: Kelanggengan revolusi hijau dan paradigma

kimiawi? Dalam Dalam E.E. Ananto, Pasaribu, S., Ariani, M., Sayaka, B., N.S. Saad dkk.

(Peny.), Kemandirian pangan Indonesia dalam perspektif kebijakan MPE3EI (hlm.278-

308). Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian.

Winarto, Y.T., Stigter, K., Dwisatrio, B., Nurhaga, M. & dan Bowolaksono, A. (2013).

Agrometeorological learning increasing farmers’ knowledge in coping with climate change

and unusual risks. Southeast Asian Studies (SEAS), 2(2), 323-349.

Zuma-Netshiukhwi, G., Stigter, K. & Walker, S. (2013). Use of traditional weather/climate

knowledge by farmers in the South-Western Free State of South Africa:

Agrometeorological learning by scientists. Atmosphere, 4, in press,

doi:10.3390/atmos40x000x.