definisi fobia
TRANSCRIPT
A. Fobia
1. Definisi Fobia
Para Psikopatolog mengartikan bahwa Fobia sebagai penolakan yang
mengganggu yang diperantarai rasa takut yang tidak proporsional dengan
bahaya yang dikandung oleh objek atau situasi tertentu oleh si penderita
sebagai situasi yang tidak berdasar. Tipe fobia dibagi menjadi 2 yaitu:
a. Fobia Spesifik
Fobia Spesifik adalah ketakutan yang beralasan yang disebabkan
oleh kehadiran atau antisipasi suatu objek atau situasi spesifik. DSM-IV-
TR membagi fobia berdasarkan sumber ketakutannya: Darah, cedera,
dan penyuntikan situasi (pesawat terbang, lift, ruang tertutup),
bianatang, dan lingkungan alami (ketinggian, air).
Hal yang ditakuti pada fobia juga dapat bervariasi dalam berbagai
budaya. Sebagai contoh, di Cina, Pa-leng adalah ketakutan pada dingin
di mana seseorang mengalami kekhawatiran bahwa hilangnya panas
tubuh dapat menyebabkan nyawa terancam. Ketakutan ini tampaknya
berkaitan dengan filosofi Cina tentang yin dan yang, yin merujuk pada
aspek-aspek kehidupan berupa pencairan energi yang dingin dan
berangin. Contoh lain dapat dilihat pada orang yang menderita fobia
lingkungan alami, orang tersebut takut pada ketinggian sehingga hal-hal
yang berhubungan dengan ketinggian membuatnya cemas.
b. Fobia Sosial
Fobia Sosial adalah ketakutan menetap dan tidak rasional yang
umumnya berkaitan dengan keberadaan orang lain. Fobia ini dapat
sangat merusak, sedemikian parah sehingga angka bunuh diri pada
orang-orang yang menderita fobia ininlebih tinggi dibanding pada
mereka yang menderita gangguan anxietas lainnya.
Individu yang bersifat fobia sosial biasanya menghindari situasi di
mana ia mungkin dinilai dan menunjukkan tanda-tanda kecemasan atau
berprilaku memalukan. Ketakutan yang ditunjukkan dengan keringat
berlebihan atau memerahnya wajah merupakan hal jamak. Berbicara
atau melakukan sesuatu di depan, makan di tempat umum,
menggunakan tolet umum, atau hampir semua aktivitas lain yang
dilakukan di tempat yang terdapat orang lain dapat menimbulkan
kecemasan eksterm, bahkan serangan panik besar-besaran. Orang-orang
yang menderita fobia sosial sering kali bekerja dalam pekerjaan atau
profesi yang jauh lebih di bawah kemampumerean atau kecerdasan
mereka karena sensitivitas sosial eksterm yang mereka alami jauh
melebihi apa yang kita pikirkan tentang rasa malu, sangat merugika n
secara emosional. lebih baik mengerjakan pekerjaan bergaji rendah
daripada setiap hari berhadapan dengan orang lain dalam pekerjaan yang
lebih berharga.
2. Etiologi Fobia
Berbagai kemungkinan penyebab Fobia juga dikemukakan oleh para
pendukung paradigma Psikoanalisis, Behavioral, Kognitif, dan Biologis.
a. Teori Psikoanalisis
Freud adalah orang pertama yang mencoba menjelaskan secara
sistematis perilaku fobik. Menurut Freud, fobia merupakan pertahanan
terhadap kecemasan yang disebabkan oleh impuls-impuls id yang
ditekan kecemasan yang dialihkan dari impuls id yang ditakuti dan
dipindahkan ke suaetu objek atau situasi yang memiliki koneksi
simbolik dengannya.
Berdasarkan teori fobia lain dari psikoanalisis yang diajukan oleh
Arieti (1979), sesuatu yang ditekan merupakan masalah interpersonal
tertentu di masa kecil dan bukan suatu impuls id. Arieti berteori bahwa
pada masa anak-anak , orang-orang yang menderita fobia pada awalnya
menjalani periode tanpa dosa dimana mereka mempercayai orang lain
di sekitar mereka untuk melindungi mereka dari bahaya. Kemudian
mereka menjadi takut bahwa orang dewasa, terutama orang tua, tidak
dapat diandalkan. Mereka tidak dapat hidup denganketiadaan rasa
percaya tersebut atau rasa takut kepada orang lain. Untukdapat
mempercayai orang lain, secara tidak sadar mereka mengubah rasa
takut kepada orang lain tersebut menjadi rasa takut terhadap objek atau
situasi yang tidak menyenangkan. Fobia muncul ke permukaan ketika
pada masa dewasa seseorang mengalami beberapa bentuk stres.
Sebagaimana sebagian besar teori berdasarkan psikoanalisis, bukti-
bukti yang mendukung pandangan ini sebagian besar terbatas pada
kesimpulan yang ditarik dari laporan-laporan kasus klinis.
b. Teori Behavioral
Teori behavioral berfokus pada pembelajaran sebagai cara
berkembangnya fobia. Beberapa tipe yang mungkin berperan sebagai
berikut:
1). Avoidance Conditioning
Penjelasan utama behavioral tentang fobia adalah reaksi
semacam itu merupakan respons avoidance yang dipelajari.
Formulasi Avoidance conditioning, dilandasi oleh teori dua faktor
yang diajukan oleh Mowrer (1947) dan menyatkan bahwa fobia
berkembang dari dua rangkaian pembelajaran yang saling
berkaitan.
a) Melalui Clasical Conditioning seseorang dapat belajar untuk
takut pada suatu stimulus netral (CS) jika suatu stimulus
tersebut dipasangkan dengan kejadian yang secara intrinsik
menyakitkan atau menakutkan (UCS).
b) Seseorang dapat belajar mengurangi rasa takut yang
dikondisikan tersebut dengan melarikan diri dari atau
menghindari CS. Jenis pembelajaran yang kedua ini
diasumsikan sebagai Operant Conditioning, respon
dipertahankan oleh konsekuensi mengurangi ketakuatan yang
menguatkan.
2). Modeling
Selain belajar untuk takut terhadap sesuatu sebagai akibat dari
pengalaman yang tidak menyenangkan dengannya, ketakutan dapat
dipelajari dengan meniru reaksi orng lain. Dengan demikian,
beberapa fobia terjadi melalui proses modeling bukan melalui
pengalaman yang tidak menyenangkan terhadap objek atau situasi
yang ditakuti. Berbagai macam perilaku termasuk respon-respons
emosional, dapat dipelajari dengan menyaksikan suatu model.
Pembelajaran tentang rasa takut dengan mengamati orang lain
secara umum disebut sebagai Vicarious Learning.
c. Teori Kognitif
Sudut pandang kognitif terhadap kecemasan secara umum dan
fobia secara khusus berfokus pada bagaimana pikiran dapat
membuat fobia menetap. Kecemasan dikaitkan dengan
kemungkinan yang lebih besar untuk menanggapi stimuli negatif,
menginterpretasi situasi yang tidak jelas sebagai informasi yang
mengancam dan mempercayai bahwa kejadian negatif memiliki
kemungkinan lebih besar untuk terjadi di masa depan. Isu utama
dalam teori ini adalah apakah kognisi tersebut menyebabkan
kecemasan atau apakah kecemasan yang menyebabkan kognisi
tersebut.
Berbagai studi terhadap orang-orang yang mengalamai
kecemasan sosial setelah meneliti faktor-faktor kognitif yang
berkaitan dengan fobia sosial. Orang-orang yang mengalami fobia
sosial lebih khawatir terhadap penilaian orang lain dibandingkan
dengan orang-orang yang tidak memiliki kecemasan sosial, lebih
memperhatikan citra mereka yang ia tunjukkan kepada orang lain
dan cenderung melihat diri mereka secara negatif walaupun mereka
tampil dengan baik dalam suatu interaksi sosial.
Teori kognitif mengenai fobia juga relevan untuk berbagai fitur
lain dalam gangguan ini, rasa takut yang menetap dan fakta bahwa
ketakutan tersebut sesungguhnya tampak irasional bagi mereka
yang mengalaminya. Fenomena ini dapat terjadi karena rasa takut
yang terjadi melalui proses-proses otomatis yang terjadi pada awal
kehidupan dan tidak disadari. Setelah proses awal tersebut,
stimulus dihindari sehingga tidak diproses cukup lengkap dan yang
dapat menghilangkan rasa takut tersebut.
3. Terapi Fobia
Terapi fobia dapat dilakukan melalui pendekatan Psikoanalisis,
pendekatan Behavioral, pendekatan Kognitif, dan pendekatan Biologis.
a. Pendekatan Psikoanalisis
Sama halnya teori psikoanalisis yang memiliki banyak variasi,
demikian pula dengan terapi psikoanalisis terhadap fobia yang berusaha
mengungkap konflik-konflik yang ditekan yang diasumsikan mendasari
ketakutan eksterm dan karakteristik pengindaran dalam gangguan ini.
karena fobia dianggap sebagai simtom dari konflik-konflik yang ada
dibaliknya, fobia biasanya tidak secara langsung ditangani. Memang,
upaya langsung untuk mengurangi penghindaran fobik
dikontradikasikan karena fobia diasumsikan melindungi orang yang
bersangkutan dari berbagai konflik yang ditekan yang terlalu
menyakitkan untuk dihadapi.
Dalam berbagai kombinasianalisis menggunakan berbagai teknik
yang dikembangkan dalam tradisi psikoanalisis untuk membantu
mengangkat represi. Dalam asosiasi bebas anlis mendengarkan dengan
penuh perhatian apa yang disebutkan pasien terkait dengan setiap
rujukan mengenai fobia. Analis juga brupaya menemukan berbagai
petunjuk terhadap penyebab fobia yang ditekan dalam isi mimpi yang
tampak jelas.
Analisis ego kontemporer kurang memfokuskan pada riwayat
insight dan lebih fokus untuk mendorong pasien untuk menghadapi
fobia. Walaupun demikian, mereka juga menganggap fobia sebagai
masalah dari yang terjadi pada masa lalu. Alexander dan French, dalam
buku klasiknya Psichoanalytic Therapy (1946), menulis tentang
“pengalaman emosional korektif” dalam terapi, yang mereka
maksudkan sebagai situasi di mana pasien menghadapi sesuatu yang
amat sangat ditakutinya. Mereka mengamati bahwa “ freud sendiri
menyimpulkan bahwa dalam penanganan beberapa kasus, contohnya
fobia, akan tiba waktunya analisis harus mendorong pasien untuk
melakukan berbagai aktivitas yang dihindarinya dimasa lalu”.
b. Pendekatan Behavioral
Desentisisai semantik merupakan terapi behavioral utama yang
pertama kali digunakan secara luas untuk menangani fobia (Wolpe,
1958). Individu yang menderita fobia membayangkan serangkaian
situasi yang semakin menakutkan sementara berada dalam kondsi
relaksasi mendalam. Bukti-bukti klinis damn eksperimental ini
mengindikasikan bahwa teknik ini efektif untuk menghapuskan, atau
minimal mengurangu fobia( Barlow, Raffa, & Cohen, 2002).
Banyak terpis perilaku yang telah menyadari pentingnya
pemaparan dengan situasi fobik dalam kehidupan nyata. Kadangkala
selam periode di mana pasien didesentisasi dalam imajinasi dan
kadangkala sebagai pengganti
Pada saat yang sama penting untuk dicatat bahwa desentisasi
dalam imajinasi secara khusus sesuai bila tidak dimungkinkan atau
tidak praktis untuk orang yang memaparkan orang yang sangat
ketakutan secara langsung pada sesuatu yang mereka takuti. Contohnya,
jika seorang terapis ingin memberikan pemaparan bertingkat dengan
figur otoritas dalam hidup pasien, misalnya dengan ayah pasien yang
sudah meninggal, maka akan beemanfaat untuk dapat menggunakan
pemaparan dengan pemcitraan sebagai “pengganti” hal nyata dan untuk
mengetahui bahwa, berdasarkan penelitian terkendali dalam prosedur
original dari Wolpe, pemaparan terhadap situasi imajiner menghasilkan
reduksi kecemasan yang signifikan.
Flooding merupakan teknik terapeutik di mana klien di mana klien
dipaparkan sebagai sumber fobia dalam insensitas penuh. Rasa todak
nyaman eksterm menjadi bagian tak terhindarkan dalam prosedur ini
sehingga belum lama ini cenderung menahan terapis untuk
menggunakan teknik ini, kecuali mungkin sebagai jalan terakhir bila
pemaparan semakin bertingkat tidak membuahkan hasil. Dalam
pembahasan mengenai terapi untuk gangguan obsesif compulsif dan
gangguan stres pasca trauma, kita akan melihat penggunaan teknik
flooding lebih luas.
Modeling juga merupak teknik lain yang menggunakan pemaparan
terhadap berbagai situasi yang ditakuti. Dalam terapi modeling, klien
yang ketakutan melihat orang lalin yang berinteraksi dengan objek
melalui film atau secara langsung fobik tanpa rasa takut, contohnya
memegang ular yang tidak terbiasa atau mengusap-usap anjing yang
jinak. Menunjukkan pada orang-orang yang mengalami kecemasan
sosial bagaimana mereka dapat berinteraksi dengan orang Lain secara
lebih baik merupakan bagian tak terpisah dalam pelatihan keterampilan
sosial. Bagi pasien yang mengalami gangguan sosial, terjadi karena
tidak tahu bagaimana harus berperilaku dalam berbagai situasi sosial.
Banyak terapis perilaku memberika perhatian pada rasa takut dan
penghindaran dengan menggunakan teknik seperti desentisasi untuk
mengurangi rasa takut den pembentukan operant untuk mendorong
pendekatan. Dalam tahap awal penanganan, ketika rasa takut dan
penhindaran sangat besar, terapis berkonsentrasi mengurangi rasa takut
melalui pelatihan relaksasi dan pemaparan bertingkat terhadap situasi
fobik. Seiring dengan berjalannya terapi, penghindaran lebih menjadi
isu dibanding rasa takut. Seseorang yang menderita fobia seringkali
menempatkan dirinya pada posisi di mana orang lain
mengakomodasikan ketidakmampuannya sehingga malah memperkuat
fobia yang diderita orang tersebut (para psikoanalisa menyebut
fenomena ini sebagai secondary gain). Sejalan dengan berkurangnya
kecemasan si penderita ia akan mampu mendekati sesuatu yang
sebelumnya sangat menakutkan baginya. Perilaku terbuka ini dapat
dikuatkan secara positif dan penghindaran tidak didorong oleh keluarga
dan teman-teman serta terapis.
c. Pendekatan Kognitif
Terapi Kognitif bagi penderita fobia spesifik dipandang dengan
skeptis karena karakteristik utama penentu fobia: rasa takut yang diakui
oleh penderitanya sebagai rasa takut yang berlebihan atau tidak
beralasan. Jika penderita mengakui bahwa ia mengalami ketakutan
kepada sesuatu yang tidak berbahaya. apa yang dapat dilakukan terapis
untuk mengubah pemikiran si penderita? memang, tidak ada bukti yang
menunjukkan bahwa hanya dengan menhapuskan keyakinan irasioanal
tanpa pemaparan situasi dengan situasi yang ditakuti akan mengurangi
penghindaran fobik.
Secara kontras, berkaitan dengan fobia sosial metode kognitif
semacamitu kadangkala dikombinasikan dengan pelatihan keterampilan
sosial. Orang-orang yang menderita fobia sosial dapat memperoleh
manfaat strategi penanganan.Orang-orang yang menderita fobia sosial
dapat mengacu pada Beck dan Ellis, yaitu metreka mungkin dipersuasi
oleh terapis untuk menilai reaksi orang lain terhadap mereka secara
lebih akurat(kernyitaan wajah guru saya mungkin tidak berarti bahwa
dia tidak setuju dengan saya, namun lebih menunjukkan sesuatu yang
sedang dipikirkannya yang tidak berkaitan sama sekali dengan saya)
dan untuk tidak terlalu tergantung pada persetujuan orang lain untuk
mempertahankan perasaan bahwa diri kita bermakna( hanya karena
saya dikritik bukan berarti saya adalah orang tanpa entitas yang
bermakna). Dengan pengakuan dalam tahun-tahun terakhir bahwa orang
yang menderita fobia sosial, pada dasarnya memiliki cukup
keterampilan sosial namun terhambat oleh pikiran-pikiran yang
menghancurkan diri sendiri, pendekatan kognitif semakin
dititikberatkan. Bila dikombinasikan dengan pemaparan dengan situasi
yang ditakuti, terutama dalam konteks terapi kelompok, pendekatan
kognitif terbukti lebih efektif dibanding berbagai terapi yang lain(Turk
dkk, 2001).
d. Pendekatan Kognitif
Semua terapi behavioral dan kognitif bagi fobia memiliki tema
yang berulang, sebutlah bahwa pasien yang perlu mulai menghadapi
sesuatu yang diyakininya terlalu menakutkan, terlalu mengerikan untuk
dihadapi. Walaupun psikoanalis percaya bahwa rasa takut berasal dari
masa lalu yang terpendam sehingga menunda konfrontasi langsung,
pada akhirnya mereka juga mendorong pasien untuk menghadapinya.
Freud menyatakan, “sesorang hampir tidak dapat mengatasi fobia jika ia
menunggu sampai pasien membiarkan analis memengaruhinya untuk
untuk menghadapinya. Seseorang akan berhasil jika dapat membuat
mereka mengatasinya sendiri dan berupaya berjuang untuk menghadapi
kecemasan mereka. Dengan demikian, semua terapi tersebut
mencerminkan bentuk kebijaksanaan yang tidak lekang oleh waktu,
yaitu yang menyatakan bahwa kita harus menghadapi ketakutan kita.
e. Pendekatan Biologis
Obat-obatan yang mengurangi keemasan disebut sebagai sedatif,
tranquilizer, atau anxiolytic( akhiran lytic berasal dari bahasa Yunani
yang berarti melonggarkan atau melelehkan). Barbiturate adalah
kategori obat-obatan utama yang pertama kali digunakan untuk
menangani gangguan anxiety, namun karena kategori obat-obatan
tersebut menyebabkan ketergantungan dan beresiko tinggi mematikan
bila overdosis, pada tahun 1950 obat-obatan tersebut diganti dengan
dua kelompok obat-obatan lain, propanediol (Miltown) dan
benzodiazepine (valium dan xanax). Jenis yang kedua dewasa ini
digunakan secara luas dan sebagaimana akan kita lihat nanti ,
memberikan manfaat bagi penderita gangguan anxietas. Namun
demikian, jenis tersebut tidak banyak digunakan bagia fobia spesifik.
Terlebih lagi, walaupun reasiko mematikan dalam kondisi overdosis
tidak sebesar barbiturate, benzodiazepine mennyebabkan
ketergantungan fisik dan sidrom putus zat dari yang parah (Schweizer
dkk., 1990).
Dalam tahun-tahun terkhir obat-obatan yang pada awalnya
dikembangkan untuk menangani depresi (antidepresan) menjadi
populer untuk menangani banyak gangguan anxietas, termasuk fobia.
Salah satu kelompok obat-obatan tersebut, menghambat manoamine
oxidase (MAO), menunjukkan hasil yang lebih baik dalam satu studi
untuk menangani fobia sosial dibanding benzodiazepine (Gelernter
dkk., 1991), dalam studi lain sama efektifnya dengan terapi perilaku
kognitif dalam pengamatan setelah terapi selama 12 minggu (Heimberg
dkk., 1998). Namun, penghambat MAO, seperti phenelzine (Nardil),
dapat menyebabkan peningkatan berat badan, insomnia, disfungsi
seksual, dan hipertensi. Penghambat pengembalian serotonia selektif
yang baru-baru ini tersedia(SSRI), seperti fluoxetine (prozac), pada
awalnya juga dikembangkan untuk menangani depresi. obat-obatan
jenis ini juga menunjukkan hasil yang menjanjikan untuk mengurangi
fobia spesifik dan sosial dalam berbagaistudi double blind (Benjamin
dkk., 2000; Van Ameringen dkk., 2001).
Namun demikian, masalah kunci dalam menangani fobia dan
gangguan anxietas lainnya menggunakan obat-obatan adalah pemberian
obat-obatan mungkin sulit dihentikan, dan kekambuhan umum terjadi
jika pasien berhenti menggunakannya (Herbert, 1995).
B. Gangguan Panik
1. Definisi Gangguan Panik
Dalam gangguan panik seseorang mengalami serangan mendadak dan
seringkali tidak dapat dijelaskan dalam bentuk serangkaian simtom yang
tidak mengenakkan. Kesulitan bernafas, jantung berdebar, mual, nyeri dada,
merasa seperti tersedak, dan tercekik, pusing, berkeringat, dan gemetar serta
kecemasan yang sangat dalam seperti teror dan merasa akan panik.
Depersonalisasi, perasaan seolah berada di luar tubuh, dan derealisasi,
suatu perasaan bahwa dunia tidak nyata, juga ketakutan kehilangan kendali,
menjadi gila, atau bahkan mati dapat memenuhi dan menguasai pasien.
Serangan panik dapat sering terjadi, mungkin sekali dalam seminggu atau
lebih sering lagi. Biasanya berlangsung selama beberapa menit, jarang
dalam hitungan jam, kadangkala berkaitan dengan situasi spesifi, seperti
mengendarai mobil. Jika sangat terkait dengan pemicu situasional, disebut
panik bersyarat (cued panic attacks). Jika terdapat stimulus dengan
serangan, namun tidak sangat kuat, serangan tersebut disebut sebagai
serangan yang dipicu situasional. Serangan panik juga dapat terjadi pada
situasi yang tampaknya tenang, seperti relaksasi, dalam tidur, dan dalam
situasi tak terduga. Dalam kasus ini disebut sebagai serangan tanpa isyarat
(uncued attacks). Serangan tanpa isyarat yang berulang dan khawatir
mengalami serangan pada masa mendatang merupakan prasyarat diagnosis
gangguan panik, namun serangan panik sendiri cukup banyak terjadi antara
3 hingga 5 persen dalam populasi umum setiap tahunnya pada orang-orang
memenuhi kriteria gangguan panik (Norton, Cox, & Malan, 1992). Terjadi
serangan berisyarat saja kemungkinan menandakan adanya fobia.
Prevelensi sepanjang hidup gangguan panik sekitar 2 persen pada laki-
laki dan 5 persen pada perempuan ( Kessler dkk., 1994). Umumnya berawal
pada masa remaja, dan kemunculannya terkait dengan pengalaman hidup
yang penuh stres.
Gangguan yang memiliki keterkaitan dengan gangguan panik juga terjadi
dalam berbagai budaya lain. Dikalangan Eskimo di Greenland
barat ,contohnya kayak-angst terjadi pada para pemburu anjing laut yang
berada sendirian di tengah lautan. Serangan mencakup rasa takut yang
sangat besar , disorientasi, dan kekhawatiran akan tenggelam. Ataque de
nervious pada awalnya diidentifikasi di Puerto Rico dan mencakup simtom-
simtom fisisk serta ketakutan menjadi gila setelah mengalami stres berat.
Dalam DSM -IV –TR gangguan panik didiagnosis dengan atau tanpa
agorafobia. Agorafobia dari bahasa Yunani agora berarti “daerah pasar”
adalah sekumpulan rasa takut pada tempat-tempat umum dan
ketidakmampuan melarikan diri atau mendapatkan pertolongan bila lemah
oleh kecemasan. Takut untuk berbelanja, pada keramaian, dan
melakukanperjalanan seringkali juga dialami. Banyak pasien yang
menderita agorafobia tidak mampu keluar ruamah atau melakukannya
dengan penderitaan yang sangat. Pasien yang menderita panik umumnya
menghindari sesuatu dimana serangan panik dapat berbahaya atau dapat
memalukan. Jika penghindaran tersebut meluas, maka akan terjadi
agorafobia. Gangguan agorafobia lenih banyak terjadi pada perempuan
dibandingkan dengan laki-laki.
2. Etiologi Gangguan Panik
Terdapat 2 teori tentang gangguan panik yaitu teori Biologis dan teori
Psikologis.
a. Teori Biologis
Dalam beberapa kasus, sensasi fisik yang disebabkan oleh suatu
penyakit memicu beberapa orang mengalami gangguan panik. Sebagai
contoh, sindrom penurunan kutup kiri jantung menyebabkan jantung
berdebar, penyakit telinga bagian dala menyebabkan kepusingan yang
dirasakan menakutkan bagi beberapa orang, dan memicu terjadinya
gangguan panik.
Gangguan panik diturunkan oleh keluarga dan memiliki keseseuaian
yang lebih besar pada kembar MZ (Kemabr identuk) dibanding dengan
kembar DZ (kembar 2 telur). Dengan demikian suatu diathesis genetik
mungkin berpengaruh ( Hettema, Neale, & Kendler, 2001).
Activitas Noradrenergik, teori biologi lain menyatatakan bahwa panik
disebabkan oleh aktivitas yang berlebihan dalam sistem noradrenergik
(neuron yang menggunakan norepinefrin sebagai neurotransmiter). Salah
satu teori yang memfokuskan pada nukleus dalam pons yang disebut
locus coreleus. Perangsangan terhadap locus coreleus menyebabkan kera
mengalami apa yang terlihat seperti serangan panik, menunjukkan
kemumgkinan bahwa serangan yang terjadi secara alami disebabkan oleh
aktivitas noradenergik yang berlebihan (Ramond, 1977). Peneliti
selanjutnya dengan menggunakan manusia menemukan bahwa
yohimbine, obat yang merangsang aktivitas dalam locus cereleus,dapat
menghentikan serangan panik dan gangguan panik. Namun demikian,
peneliti yang leebih mutakhir tidak konsisten dengan penemuan tersebut.
Penting untuk diketahui,obat-obatan yang menghambat pembakaran
dalam locus coreleus, ternyata tidak sangat efektif untuk menangani
serangan panik (McNally, 1994).
b. Teori Psikologis
Teori psikologis mengenai agorafobia yang sering meyertai
gangguan panik adalah hipotesis ketakutan-ketakutan yang berpendapat
bahwa agorafobia bukanlah ketakutan terhadap tempat-tempat umum itu
sendiri, melainkan ketakutan mengalami serangan panik di tempat
umum.
Clasical Conditioning dan perbedaan antara kecemasan dan panik
menjadi suatu teori yang diajukan baru-baru ini mengenai serangan panik
itu sendiri (Bauton, Mineka, & Barlow, 2011). Panik sebagaimana yang
digambarkan sebelumnya merupakan kondisi ketakutan ekstrem dan
ketegangan otonomik yang sangat kuat. Kecemasan dipandang sebagai
kegugupan dan kekhawatiran. Poin utama teori tersebut adalah serangan
panik menjadi terkondisi secara klasikal pada sensasi fisik internal yang
ditimbulkan oleh kecemasan. Mengapa kemudian beberapa orang
menderita gangguan panik, sedangkan yang lain mampu mengatasi
serangan tersebut? salah satu kemungkinan adalah mereka yang penderita
gangguan panik menganggap serangan tersebut sebagai sesuatu yang
tidak dapat dikendalikan dan tidak dapat diprediksi serta melihat
seranagan tersebut sebagai kekuatan tertentu. Hal ini dapat menjadi UCS
yang sangat kuat dan sekaligus bagaimana meningkatkan conditioning.
Kemungkinan lain adalah gangguan panik terjadi pada orang-orang yang
secara umum memiliki kecemasan tinggi.
Serangan panik terjadi bila seseorang merasakan sensasi fisik dan
menginterpretasinya sebagai tanda-tanda sensasi fisik yang lebih banyak
sehingga tercipta lingkaran setan.
Bukan faktor biologis saja yang menyebabkan panik namun lebih
pada reaksi psikologis seseorang yang merupakan hal penting.
3. Terapi untuk Gangguan Panik dan Agorafobia
Terapi bagi gangguan panik mencakup pendekatan biologis dan
psikologis. Beberapa diantarnya memiliki penanganan yang cukup sama
dengan fobia.
a. Penanganan Biologis
Penderita gangguan panik biasanya berkonsultasi dengan dokter
sebelum mereka menemui psikolog atau psikiater, pengobatan
psikoaktif umumnya merupakan penanganan awal dan terkadand satu-
satunya jenis penanganan yang diterima seseorang. Pemasaran besar-
besaran obat-obatan antipanik melalui media kemungkinan juga
menjadi suatu faktor. Beberapa obat telah menunjukkan keberhasilan
sebagai penanganan biologis bagi gannguan panik. Obat-obatan tersebut
mencakup obat antidepresan (penghambat pengembalian serotonin
selektif, seperti Prozac, dan antidepresan tiga siklus seperti Tofranil)
dan benzodiazepine (seperti Alparozolam dan xanax) ( Roy-Byrne &
Cowley, 1998). Alparazolam sangat meyakinkan karena diperoleh
melalui studi berskala besar dan multinasional.
Sisi negatif apabila obat-obatan diberikan oleh dokterbkeluarga
pasien, bukan dalam studi penelitian seperti yang disebutrkan di atas,
efektivitasnya menurun, sebagian besar karena dosis yang kurang atau
durasi penanganan yang tidak cukup lama. Terlebih lagi pasien yang
diberi obat-obatan tiga siklus dihentikanpengobatannya karena efek
samping seperti rasa gugup dan bertambahnya berat badan serta efek
samping yang lebih serius seperti, denyut jantung dan tekanan darah
meningkat (Taylor dkk., 1990). Benzodiazepine menyebabkan
kecanduan dan menghasilakn efek samping kognitif dan motorik,
seperti berkurangnya memori dan kesulitan mengemudi. Dalam upaya
penanganan banyak pasien menggunakan anxiolityc atau alcohol,
penggunaan dan penyalahgunaan obat-obatan umum terjadi pada orang-
orang penderita kecemasan.Walaiupun jika hasilnya efektif,
penanganan dengan obat-obatan harus terus dilakukan dalam waktu
yang tidak terbatas karena simtom-simtom hampir selalu muncul lagi
bila pengobatan dihentikan. Terakhir, terapi pengendalian Barlow
tampaknya lebih baik dari terapi obat yang saat ini tersedia, terutama
bila dilakukan tindak lanjut jangka panjang.
b. Penanganan Psikologis
Terapi dengan memberikan pemaparan sering kali berguna untuk
mengurangi agorafobia(atau dalam istilah DSM-IV-TR, gangguan
panik dengan agorafobia), dan keuntungan ini sangat dipertahankan
selama bertahun-tahun setelah selesainya terapi (Fava dkk., 1995).
Beberapa studi menemukan bahwa efek pemaparan meningkat bila
pasien didorong untuk rileks selama pemaparan langsung namun
beberapa studi lain tidak menunjukkan manfaat tambahan dari relaksasi.
Pada pasien yang berstatus menikah dan masalah utamanya atau
satu-satunya adalah agorafobia telah mendapatkan manfaatnya dari
berbagai terapi yang berorientasi keluarga yang melibatkan
pasangannya yang nonfobik, yang didorong lagi untuk tidak
mengakomodasi penolakan pasangannyauntuk keluar rumah.
Dengan demikian walaupun dapat dipahami bahwa seorang
pasangan dapat menjadi sangat perhatian dan mungkin karena
kekhawatiran yang beralasan terhadap kesejahteraan pasangannya \,
mumgkin karena kebutuhan dalam dirinya untuk yang memiliki
pasangan yang lemah dan tergantung, data hasil menunjukkan bahwa
hubungan menjadi semakin baik ketika pasangan agorafobia semakin
berkurang ketakutannya (Craske & Barlow, 2001). Suatu terapi yang
divalidasi dengan baik yang dikembangkan oleh Barlow dan rekan-
rekannya dan disebut terapi pengendalian (PCT- panic control therapy)
memiliki 3 komponen utama, yaitu sebagai berikut:
a. Training Relaksasi
b. Kombinasi intervensi behavioral kognitif dari Ellis dan Beck
c. Bagian tertbaru, pemaparan dengan tanda-tanda internalyang
memicu kepanikan (Barlow, 1998; Barlow & Crasce, 1994; Craske
& Barlow, 2001).
Terapis mempersuasi klien untuk berlatih berbagai perilaku yang
dapat menimbulakn perasaan yang berkaitan dengan kepanikan dan
dilakukan di ruang konsultasi. Sebagai contoh, sesorang yang
mengalami serangan panik diawali dengan hiperventilasi diminta untuk
bernapas dengan cepat selama tiga menit, sesorang yang merasa pusing
dapat diminta untuk berputar di kursi selama beberapa menit. Ketika
sensasi seperti kepusinga, mulut kering, kepala menjadi ringan, denyut
jantung yang meningkat, dan tanda-tanda panik lain mulai terjadi, klien
mengalaminya dalam kondisi yang aman dan menerapkan taktik coping
kognitif dan relaksasi (yang dapat mencakup bernafas dari diafragma
dan bukan denga hyperventilasi).
Dengan latihan dan dorongan atau persuasi dari terapis, klien belajar
untuk menginterpretasi berbagai sensasi internal dari seuatu yang
menjadi tanda-tanda hilangnya kontrol dan kepanikan menjadi tanda-
tanda yang secara intrinsik tidak berbahaya dan tidak dapat
dikendalikan dengan keterampilan tertentu.
Tindak lanjut yang dilakukan selama dua tahun menunjukkan bahwa
keuntungan terapeutik kognitif dan pemaparan ini bertahan hingga
tingkat signifikan dan lebih baik dibanding keuntungan yang dihasilkan
dari penggunaan alparazolam (Xanax)( Craske, Brown, & Barlow,
1991), walaupun banyak pasien yang tidak terbebas dari gangguan
lepanikan (Brown & Barlow, 1995). Terap Behavioral kognitif sejenis
yang dikembangkan secara terpisah oleh Clark(1989; Salkovskis &
Clark, 1991) juga mununjukkan efek menguntungkan bagi gangguan
panik (Clark, Watson, & Mineka, 1994).
C. Ganggguan Anxietas Menyeluruh (Generalized Anxiey Disoreder)
1. Definisi Ganggguan Anxietas Menyeluruh (Generalized Anxiey
Disoreder)
Individu yang menderita gangguan anxitas menyeluruh (Generalizesd
Anxiety Disorder [GAD]) terus menrus merasa cemas, sering kali tentang
hal-hal kecil. Sebagian besar di antara dari waktu ke waktu memiliki
kekhawatiran. Namun, pasien yang menderita GAD memiliki
kekhawatiran kronis. Mereka menghabiskan sangat banyak waktu untuk
mengkhawatirkan banyak hal dan menganaggap kekhawatiran mereka
sebagian sesuatu yang tidak dapat dikontrol (Ruscio dkk, 2001).
Kekhawtiran yang paling sering dirasakan oleh pasien GAD adalah
kesehatan mereka dan masalah sehari-hari, seperti terlambat menghadiri
pertemuan atau mereka terlalu banyak pekerjaan yang harus diselesaikan.
Diagnosis GAD tidak ditegakkan jika kekhawatiran berkaitan dengan
masalah-masalah yang dipicu oleh gangguan Aksis I lain.
2. Etiologi Gangguan Anxietas Menyeluruh (Generalized Anxiey
Disoreder)
a. Pandangan Psikoanalisis
Teori psikoanalisis berpendapat bahwa sumber kecemasan
menyeleluruh adalah konflik yang tidak disadari anatar ego dan
implus-implus id. Implus-implus tersebut, yang biasanya bersifat
seksual atau agresif, berusaha untuk mengekspresikan diri, namun ego
tidak membiarkannya karena tanpa disadari ia merasa takut terhadap
hukuman yang akan diterima. Karena sumber kecemasan tudak
disadari, individu terakit mngalami kecemasan dan distres tanpa
diketaui mengapa demikian. Sumber kecemasan yang sebenarnya yaitu
hasrat-hasrat yang berhubungan dengan impus-implus id yang ditekan
dan berjuang untuk mengeksperikan diri-selalu hadir.
b. Pandangan Kognitif Behavioral
Pemikiran utama kognitif behavioral tentang GAD adalah
gangguan tersebut disebabkan oleh proses-prose berpikir yang
menyimpang. Orang-orang yang menderita GAD sering kali salah
mempresepsi kejadia-kejadian biasa, seperti menyebrang jalan, sebagai
hal yang mengancam, dan kognisi mereka terfokus pada antisipasi
berbagai macam bencana pada masa mendatang, (Beck dkk, 1987).
c. Perspektif Biolgis
Beberapa studi mengindifikasikan bahwa GAD dapat memilki
komponen genetik. GAD seing ditemukan pada orang-orang yang
memilki hubungan keluarga dengan penderita gangguan ini, dan
terdapat kesesuaian yang lebih tinggi dianatara kembar MZ dan
kembar DZ. Namun tingkat komponen genetik ini tampaknya rendah,
(Hetteman dkk, 2000).
Model neuorbiologis yang paling umum untuk gangguan anxietas
menyeluruh dilandasi oleh pengetahuan mengenai cara kerja
benzodiazepine, suatu kelompok obat-obatan yang seing kali efektif
untuk menangani kecemasan. Para peneliti menemukan suatu reseptor
dalam otak untuk benzodiazepine yang berhubungan dengan
neurotransmiter penghambat yaitu gamma-aminobutyric (GABA).
3. Terapi untuk Gangguan Anxietas Menyeluruh (Generalized Anxiey
Disoreder)
a. Pendekatan psikoanalisis
Karena memandang gangguan anxietas menyeluruh berakar dari
konflik-konflik yang ditekan, sebagian besar psikoanalisis bekerja
untuk membantu pasien menghadapi sumber-sumber konflik yang
sebenarnya. Penanganannya hampir sama degan penanganan fobia.
b. Pendekatan Behavioral
Para ahli klnis behavioral menangani kecemasan menyeluruh
dengan berbagai cara. Jika terapis menganggap kecemasan sebagai
serangkaian respon terhadap berbagai situasi yang dapat diidentifikasi,
apa yang tampak sebagai kecemasan yang bebas mengalir dapat
diformulasi ulang pada satu fobia atau lebih atau kecemasan berisyarat.
Kecemasan tampak bebas mengalir hanya karena klien menghbiskan
sangat banyak waktu dengan banyak orang. Desentisisasi sistemtis
mnjad kemungkinan terapi. Tentu saja, berdasarkan sudut pandang
DSM, Paasien semacam itu tidak akan memenuhi kriteria diagnosis
GAD. Terapis perilaku harus menformulasi ulang apa yang awalnya
tampak sebagai GAD mnjadi semacam fobia.
c. Pendekatan Kognitif
Jika suatu perasaan tidak berdaya tampaknya mendasari kecemasan
pervasif, terapis berorientasi kognitif akan membantu klien menguasai
keterampilan apapun yang dapat menumbuhkan perasaan
kompeten.keterampilan tersebut, termasuk asertivitas, dapat diajarkan
melalui intruksi verbal, modeling, atau pembentukan operant dan
sangat mungkin kombinasi secara hati-hati dari ketiganya (Gldfried, &
Davison, 1994). Diasumsikan bahwa ada ua proses yang berlangsung
dibawah ini mengurangi kekhawatiran pasien.
1). Karena pasien tetap berada dalam situasi yang menakutkan,
kecemasan diyakini akan terhapus.
2). Dengan mempertimbangkan kemungknan ketakutan terburuk yang
dapat tebayangkan, pasien mengubah reaksi kognitifnya tehadap
keterlambatan pasangannya
d. Pendekatan Biologis
Anxolitic, seperti jenis yang disebutkan untuk menangani fobia
dan gangguan panik , mungkin merupakan penanganan yang paling
banyak digunakan untuk gangguan anxietas menyeluruh. Obat-obatan,
terutama benzodizepine, seperti valium dan xanax, juga busipirone
(BuSpar), seringkali digunakan karena pervasivitas gangguan. Stelah
diminum, obat-obatan tersebut akan bekerja slama beberapa jam dalam
berbagai situasi yang dihadapi. Sejumlah studi double blind
menegaskan bahwa obat-obatan tersebut memberi lebih bankyak
manfaat bagi para pasien GAD dibanding placebo (Apter & Allai,
1999).
D. Gangguan Obsesif-Kompulsif (Obsessive Compulsive Disoreder-OCD)
1. Definisi Gangguan Obsesif-Kompulsif (Obsessive Compulsive
Disoreder-OCD)
Penderita gangguan obsesif kompulsif (Obsessive Compulsive
Disoreder-OCD) adalah suatu gangguan anxietas di mana pikiran dipenuhi
dengan pemikiran yang menetap dan tidak dapat dikendalikan dan
individu dipakas untuk terus-menerus mengulang tindakan tertentu,
menyebabkan distress yang signifikan dan mengganggu keberfungsian
sehari-hari.
Obsesi adalah pikiran, implus, dan citra yang menggangu dan berulang
yang muncul dengan sendirinya serta tidak dapat dikendalikan, walaupun
demikian biasanya tidak selalu tampak irasional bagi individu yang
mengalaminya.
Kompulsif adalah perilaku atau tindakan mental repetitif yang mana
seseorang merasa didorong unuk melakukannya dengan tujuan
mengurangi ketegangan yang disebabkan pikiran-pikiran obsesif atau
untuk mencegah terjadinya suatu bencana. Aktivitas tersebut tidak
berhubungan secara realitas dengan tujuan yang ada atau jelas berlebihan.
Individu yang terus menerus mengulang beberapa tindakan takut terhadap
konsekuensi mengerikan yang terjadi jika tindakan tersebut tidak
dilakukan. Frekuensi pengualangan suatu tindakan, fisik atau mental,
dapat luar biasa tinggi. Kompulsi yang umum dilaporkan mencakup hal-
hal berikut:
a. Mengupayakan kebersihan dan keteraturan, kadang kala melalui
upacara yang rumit yang memakan waktu berjam-jam dan bahkan
sepanjang hari;
b. Menghindari objek tertentu, seperti menghindari segala sesuatu yang
berwarna coklat;
c. Melakukan praktik-praktik repetitif, magis dan protektif, seperti
menghitung, mengucapkan angka tertentu atau menyentuh semacan
jimat atau bagian tubuh tertentu;
d. Mengecek sebanyak tujuh atau delapan kali untuk memasitkan bahwa
tindakan yang telah dilakukan benar-benar telah dilakukan, contohnya:
lampu, pemantik, kompor atau katup telah dimatikan, jendela telah
ditutup, pintu telah dikunci;
e. Melakuakan suatu tindakan tertentu, seperti makan dengan sangat
lambat.
2. Etiologi gangguan Obsesif-Kompulsif (Obsessive Compulsive
Disoreder-OCD)
a. Teori Psikoanalisis
Dalam teori psikoanalisis, obsesi dan komplusi dipandang sebagai
hal yang sama, yang disebabkan oleh dorongan instingtual, seksual
atau agresif yang tidak dapat dikendalikan karena toilet training yang
terlalu keras. Yang bersangkutan kemudian terifikasi pada anal.
Simtom-simtom yang mucul dianggap mencerminkan hasil perjuangan
antara id dan mekanisme pertahanan; kadangkala insting agresif id
mendominasi, kadangkala mekanisme pertahanan yang mendominasi.
b. Teori Behavioral dan Kognitif
Teori behavioral menganggap komplusi sebagai perilaku yang
dikuatkan oleh reduksi rasa takut (Meyer & Chesser, 1970). Penjelasan
kognitif mengenai OCD dihipotesiskan bahwa OCD (sekurang-
kurangnya perilaku komplusif) didorong oleh kebutuhan yang tidak
masuk akal untuk merasa kompoten, bahkan sempurna. Jika tidak
demikian, orang yang bersangkutan merasa tidak berharga (McFall &
Wollershim, 1979).
c. Faktor Biologis
Encefalitis, cerdera kepala dan tumor otak diasosiasikan dengan
terjadinya gangguan obsesif-kompulsif (Jenike, 1986). Ketertarikan
difokuskan pada dua area otak yang dapat terpengaruh oleh trauma
semacan itu, yaitu lobus frontalis dan ganglia bansalis, serangkaian
nukleisub-kortikal termasuk caudate, putamen, globus pallidus dan
amygdala. Studi penindaian dengan PET menunjukkan peningkatan
aktivasi pada lobus frontalis pasien OCD, mungkin mencerminkan
kekhwatiran mereka yang berlebihan terhadap pikiran mereka sendiri.
Fokus pada ganglia bansalis, suatu sisem yang berhubungan dengan
pengendalian perilaku motorik, disebabkan oleh relevasinya dengan
komplusi dan juga dengan hubungan antara OCD dan Sindrom
Tourette. Sindrom tourette ditandai oleh tics motorik dan vokal dan
dikaitkan dengan disfungsi ganglia bansalis. Pasien yang menderita
Tourette sering kali juga disebut OCP (Sheppard dkk, 1999).
3. Terapi Obsesif-Kompulsif (Obsessive Compulsive Disoreder-OCD)
a. Terapi Psikoanalisis
Terapi psikoanalisis untuk obsesi dan komplusi mirip dengan
fobia dan kecemasan menyeluruh, yaitu mengankat represi dan
memberi jalan pada pasien, untuk menhhadapi hal yang benar-benar
ditaklutkannya. Karena pikiran yang mengganggu dan perilaku
komplusif melindungi ego dari konflik yang ditekan, serta, keduanya
merupakan target yang sulit untuk intervensi terapeutik dan prosedur
psikoanalisis serta psikodinamika terkait tidak efektif untuk
menangani gangguan ini (Esman, 1989).
b. Pendekatan Behavioral
Pemaparan dan Pencegahan Ritual (ERP-Exposure and Ritual
Prevention). Pendekatan behavioral atau yang baru-baru berubah
nama dengan pemaparan dan pencegahan ritual yang mengarisbawahi
keyakinan magis yang dimiliki oleh pendrita OCD bahwa perilaku
kompulsif mereka terjadinya hal-hal yang menakutkan. Dalam metode
ini (kadang disebut floding) seseorang memaparkan dirinya pada
situasi yang menimbulkan tindakan komplusif-seperti memegang
piring kotor-kemudian menghindar untuk tidak melakukannya-yaitu
mencuci tangan. Asumsinya adalah bahwa ritual tersebut merupakan
penguatan negatif karena mengurangi kecemasan yang ditimbulkan
oleh suatu stimulus. Mencegah seseorang akan melakukan ritual akan
memaparkannya pada stimulus yang menimbulkan kecemasan
sehingga memungkinkan terhapusnya kecemasan tersebut. Biasanya
pemaparan dan pencegahan ritual ini dilakukan melalui imajinasi,
terutama jika tidak melakukannya secara nyata.
c. Terapi Perilaku Rasional Emoif
Beberapa bukti mendukung efekitivitas terapi perilaku rasional
emoif untuk mengurangi OCD (Emmelkamp & Beens, 1991).
Pemikirannya adalah membantu pasien menghapusakan keyakinan
bahwa segala sesuatu mutlak harus berjalan seperti yang mereka
inginkan atau bahwa segala tindakan yang mereka lakukan harus
mutlak memberikan hasil yang sempurna.
d. Penanangan Biologis.
Obat-obatan yang meningkatkan level serotonin, seperti SSRI dan
beberapa tricyclic, merupakan peananganan biologis yang paling
sering diberikan kepada pasien dengan gangguan obsesif-komplusif.
Penelitian menunjukkan bahwa penghambat pengembalian serotonin,
seperti fluoxetine (Prozac), menghasilkan perbaikan lebih besar dari
pasien OCD dibanding dengan placebo atau tricyclic (Kronik dkk,
1999). Namun demikian, keuntungan yang dihasilkan kecil dan
simtom-simtom akan terjadi kembali jika pemakaian obat dihentikan
(Franklin & Foa, 1998; McDougle dkk, 1994). Semua obat
antidepresan memiliki efek samping yang tidak mendorong sebagian
orang tetap untuk menggunkannya. Bebrapa contoh: terasa mual,
insomnia, agitasi, mengganggu keberfungsian seksual dan bahkan
beberapa efek negatif bagi jantung dan sistem peredaran darah (Rauch
& Jenike, 1998).
E. Gangguan Stres Pascatrauma (Posttraumatic Stress Disorder-PTSD)
1. Definisi Gangguan Stres Pascatrauma (Posttraumatic Stress Disorder-
PTSD)
Gangguan stres pascatrauma (Posttraumatic Stress Disorder-PTSD),
dimasukkan sebagai diagnosis dalam DSM-III, mencakup respon ekstrem
terhadap suatu stresor berat, termasuk meningkatnya kecemasan,
penghindaran stimuli yang diasosiasikan dengan trauma, dan tumpulnya
respons emosional. Seperti halnya gangguan lain dalam DSM, PTSD
ditentukan oleh sekelompok sintom. Namun, tidak seperti definisi
gangguan psikologis lain, definisi PTSD mencakup bagian dari asumsi
etiologinya, yaitu, suatu kejadian atau beberapa kejadian traumatis yang
dialami atau disaksikan secara langsung seseorang berupa kematian atau
ancaman kematian, atau cedera serius, atau ancaman terhadap intregritas
fisik atau diri seseorang. Kejadian tersebut harus menciptakan ketakuan
ekstrem, horor atau rasa tidak berdaya.
Simtom-simtom PTSD dikelopmpokkan dalam tiga kategori utama.
Diagnosis dapat ditegakkan jika simtom-simtom dalam setiap kategori
berlangsung selama lebih dari satu bulan.
a. Mengalamai kejadian kemabali traumatis. Individu kerap teringat pada
kejadian tersebut dan mengalami mimpi buruk tentang hal itu.
Penderitaan emosional yang mendalam ditimbulkan oleh stimuli yang
menyimbolkan kejadian tersebut atau tanggal terjadinya kejadian
tertentu. Pentingnya mengalami kembali tidak dapat diremehkan karena
kemungkinan merupakan penyebab kemungkinan simtom-simtom
kategori lain. Beberapa teori PTSD mengalami kembali sebagai ciri
utama dengan mengatribusikan gangguan tersebut pada
ketidakmampuan untuk berhasil mengintregasikan kejadian traumatik
ke dalam skema yang ada saat ini (keyakinan umum seseorang terhadap
dunia luar), (Foa, Zinbarg & Rothbaum, 1992; Horowitz, 1986)
b. Penghindaran stimuli yang diasosiasikan dengan kejadian terkait atau
mati dalam responsivitas. Orang yang bersangkutan berusaha
menghindari berpikir tentang trauma atau menghadapi stimuli yang
akan mengingatkan pada kejadian tersebut, dapat terjadi amnesia pada
kejadian tersebut. Mati rasa adalahnya menurunnya ketertarikan pada
orang lain, suatu rasa keterpisahan dan ketidakmampuan untuk
meraskan berbagai emosi positif. Simtom-simtom ini tampaknya
hampir kontradiktif dengan simtom-simtom pada item 1. Pada PTSD
kenyatannya terdapat suatu fluktuasi, penderita gangguan bergantian
mengalami kembali & mati rasa.
c. Simtom-simtom peningkatan ketegangan. Simtom-simtom ini
mencakup sulit tidur atau mempertahankannya, sulit berkonsentrasi,
waspada berlebihan dan respon terkejut yang berlebihan. Berbagai studi
laboratorium menegaskan simtom-simtom klinis ini dengan
mendokumenkasikan meningkatnya reaktifitas fisiologis pada pasien
penderita PTSD terhadap pencitraan pertempuran (Orr dkk, 1995) dan
repon-respon terkejut yang sangat tinggi (Shalev dkk, 2001).
2. Etiologi gangguan Stres Pascatrauma (Posttraumatic Stress Disorder-
PTSD)
Penelitian dan teori mengenai penyebab PTSD berfokus pada faktor-
faktor risiko terhadap gangguan tersebut dan juga faktor-faktor psikologis
dan biologis
a. Faktor-faktor Risiko
Terdapat beberapa faktor risiko PTSD. Menitik kejadian traumati
yang dialami, prediktor PTSD mencakup ancaman yang dirasakan
terhadap nyawa, berjenis kelamin perempuan, pemisahan dari orangtua
di masa kecil, riwaya gangguan dalam keluarga, berbagai pengalaman
traumatis sebelumnya, dan gangguan yang dialami sebelumnya (suatu
gangguan anxietas atau depresi), (Breslau dkk,199).
b. Teori-teori Psikologi
Para teoris belajar berasumsi PTSD terjadi karena pengkondisian
klasik terhadap rasa takut (Fairbank dkk 1998). Suatu psikodinamika
yang diajukan oleh Horowitz (1986-1990) menyatakan bahwa ingatan
tenang kejadian traumatik muncul secara konstan dalam pikiran
seseorang dan sangat menyakitkan sehingga secara sadar mereka
mensupresinya atau merepresinya. Orang yang bersangkutan diyakini
mengalami semacan perjuangan internal untuk mengintregasikan
trauma ke dalam keyakianannya tentang dirinya dan dunia agar dapat
menerimanya secara masuk akal.
c. Teori-teori Biologis
Penelitian pada orang kembar dan keluarga menunjukkan
kemungkinan diathesis genetik dalam PTSD (Hettema dkk, 2001).
Terlebih lagi, trauma dapat mengaktivasi sistem noradrenergik,
meningkatkan level norepinefrin sehingga membuat orang yang
bersangkutan lebih mudah terkejut dan lebih cepat mengekspresikan
emosi dibandingkan emosi normal. Konsisten dengan pandangan ini
adalah penemuan bahwa level norepinefrin lebih tinggi pada pasien
penderita PTSD dibanding pada kelompok kontrol (Geracioti dkk,
2001).
3. Terapi Gangguan Stres Pascatrauma (Posttraumatic Stress Disorder-
PTSD)
a. Debriefing Stres Insiden Kritikal
Terdapat area spesialisasi yang sedang berkembang-kadangkala
disebut traumatologi, kadangkala konseling duka cita- kadangkala
debriefing-yang terdiri dari berbagai macam profesional kesehatan
mental. Walaupun teknik-teknik yang mereka gunakan berbeda,
terdapat persamaan dalam hal kepercayaan yang telah lama dianut
bahwa hal yang terbaik adalah mengintervensi sebanyak mungkin
korban selamat dalam 24 hingga 27 jam setelah terjadinya peristiwa
traumatik, tepat sebelum PTSD memiliki kesempatan untuk
berkembang dan mengeksperiskan sekuat mungkin perasaan mereka
tentang kejadian tersebut.
b. Pendekatan di Masa Perang
Selama Perang Dunia II yang “lelah bertempu” sering kali
ditangani dengan narkosintesis (Grinker & Spiegel, 1944), suatu
produser yang dapat dianggap sebagai katarsis dengan bantuan obat a la
Breur. Tentara diinjeksi dengan sodium Pentothal ke dalam pembuluh
darah, dalam dosis yang cukup untuk menimbulkan rasa kantuk
ekstrem. Terapis kemudian menyatakan dengan suara yang meyakinkan
bahwa tentara tersebut sedang berada di medan perang di garis depan.
Jika diperlukan dan memungkinkan, terapis menyebutkan situasi intens,
kejadian-kejadian yang menakutkan mungkin telah terlupakan. Sering
kali trauma sesungguhnya dihidupkan kembali dan bahkan diperagakan
oleh pasien. Seiring pasien secara bertahap kembali ke keadaan sadar,
terapis tetap mendorong pembahasan mengenai berbagai kejadian
mengerikan dengan harapan bahwa pasien akan menyadari bahwa
semua kejadian tersebut adalah masa lalu dan bukan lagi merupakan
ancaman. Dengan cara ini diharapakan akan terjadi suatu sintesis atau
kemunculan bersama, kengerian masa lalu dengan kehidupan pasien
saat ini (Cameron & Margare, 1951).
c. Pendekatan Kognitif dan Behavioral
Penelitian terkendali mengenai penanganan PTSD telah meningkat
pesat dalam tahun-tahun terakhir seiring dengan lebih banyak perhatian
yang difokuskan pada kondisi pascatrauma seperti: bencana alam,
pemekosaan, penyiksaan anak dan terutama pertempuran. Penelitian
mutakhir dalam terapi kognitif perilaku menghasilkan beberapa temuan
berdasarkan beberapa studi yang menggunakan pengukuran teliti,
rincian penanganan dan kelompok kontrol yang tepat.
d. Pendekatan Psikoanalisis
Pendekatan psikodinamika dari Horowitz (1988, 1990) memiliki
banyak persamaan dengan penanngan yang disebutkan di atas karena
dia mendorong pasien untuk membahas trauma dan memaparkan diri
mereka terhadap kejadian yang memicu PTSD. Namun, Horowitz
menekankan cara trauma berinteraksi dengan pratrauma pasien dan
penawaran yang ditawarkannya juga memilki banyak persamaan
dengan berbagai pendekatan psikoanalitik lain, termasuk mengenai
pembahasan mengeani pertahanan dan analisis reaksi transferensi oleh
pasien. Terapi kompleks ini memerluan verifikasi emperis. Beberapa
studi terkendali yang dilakukan sejauh ini hanya memberikan sedikit
dukungan empiris terhadap efektivitasnya, (Foa & Meadows, 1997).
e. Pendekatan Biologis
Terakhir berbagai obat-obat psikoaktif untuk para pasien PTSD,
termasuk antidepresan dan tranquilizer. Kadangkala pengobatan
digunakan untuk mengatasi berbagai kondisi yang dialami bersamaan
dengan PTSD, seperti depresi; perbaikan kondisi depresi dapat
berkonstribusi terhadap perbaikan kondisi PTSD terlepas dari
bagaimana penanganan terhadap PTSD itu sendiri, (Marshall dkk,
1994). Beberapa keberhasilan kecil dilaporkan diperoleh dalam
penggunaan antidepresan, terutama penghambat pengembalian
serotonin, (Brady dkk, 2000).