definisi fobia

28
A. Fobia 1. Definisi Fobia Para Psikopatolog mengartikan bahwa Fobia sebagai penolakan yang mengganggu yang diperantarai rasa takut yang tidak proporsional dengan bahaya yang dikandung oleh objek atau situasi tertentu oleh si penderita sebagai situasi yang tidak berdasar. Tipe fobia dibagi menjadi 2 yaitu: a. Fobia Spesifik Fobia Spesifik adalah ketakutan yang beralasan yang disebabkan oleh kehadiran atau antisipasi suatu objek atau situasi spesifik. DSM-IV- TR membagi fobia berdasarkan sumber ketakutannya: Darah, cedera, dan penyuntikan situasi (pesawat terbang, lift, ruang tertutup), bianatang, dan lingkungan alami (ketinggian, air). Hal yang ditakuti pada fobia juga dapat bervariasi dalam berbagai budaya. Sebagai contoh, di Cina, Pa-leng adalah ketakutan pada dingin di mana seseorang mengalami kekhawatiran bahwa hilangnya panas tubuh dapat menyebabkan nyawa terancam. Ketakutan ini tampaknya berkaitan dengan filosofi Cina tentang yin dan yang, yin merujuk pada aspek-aspek kehidupan berupa pencairan energi yang dingin dan berangin. Contoh lain dapat dilihat pada orang yang menderita fobia lingkungan alami, orang tersebut takut pada ketinggian sehingga hal-hal yang berhubungan dengan ketinggian membuatnya cemas. b. Fobia Sosial Fobia Sosial adalah ketakutan menetap dan tidak rasional yang umumnya berkaitan dengan keberadaan orang lain. Fobia ini dapat sangat merusak, sedemikian parah sehingga angka bunuh diri pada orang-orang yang menderita fobia ininlebih tinggi dibanding pada mereka yang menderita gangguan anxietas lainnya. Individu yang bersifat fobia sosial biasanya menghindari situasi di mana ia mungkin dinilai dan menunjukkan tanda-tanda kecemasan atau berprilaku memalukan. Ketakutan yang ditunjukkan dengan keringat berlebihan atau memerahnya wajah merupakan hal jamak. Berbicara

Upload: universitas45

Post on 16-May-2023

11 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

A. Fobia

1. Definisi Fobia

Para Psikopatolog mengartikan bahwa Fobia sebagai penolakan yang

mengganggu yang diperantarai rasa takut yang tidak proporsional dengan

bahaya yang dikandung oleh objek atau situasi tertentu oleh si penderita

sebagai situasi yang tidak berdasar. Tipe fobia dibagi menjadi 2 yaitu:

a. Fobia Spesifik

Fobia Spesifik adalah ketakutan yang beralasan yang disebabkan

oleh kehadiran atau antisipasi suatu objek atau situasi spesifik. DSM-IV-

TR membagi fobia berdasarkan sumber ketakutannya: Darah, cedera,

dan penyuntikan situasi (pesawat terbang, lift, ruang tertutup),

bianatang, dan lingkungan alami (ketinggian, air).

Hal yang ditakuti pada fobia juga dapat bervariasi dalam berbagai

budaya. Sebagai contoh, di Cina, Pa-leng adalah ketakutan pada dingin

di mana seseorang mengalami kekhawatiran bahwa hilangnya panas

tubuh dapat menyebabkan nyawa terancam. Ketakutan ini tampaknya

berkaitan dengan filosofi Cina tentang yin dan yang, yin merujuk pada

aspek-aspek kehidupan berupa pencairan energi yang dingin dan

berangin. Contoh lain dapat dilihat pada orang yang menderita fobia

lingkungan alami, orang tersebut takut pada ketinggian sehingga hal-hal

yang berhubungan dengan ketinggian membuatnya cemas.

b. Fobia Sosial

Fobia Sosial adalah ketakutan menetap dan tidak rasional yang

umumnya berkaitan dengan keberadaan orang lain. Fobia ini dapat

sangat merusak, sedemikian parah sehingga angka bunuh diri pada

orang-orang yang menderita fobia ininlebih tinggi dibanding pada

mereka yang menderita gangguan anxietas lainnya.

Individu yang bersifat fobia sosial biasanya menghindari situasi di

mana ia mungkin dinilai dan menunjukkan tanda-tanda kecemasan atau

berprilaku memalukan. Ketakutan yang ditunjukkan dengan keringat

berlebihan atau memerahnya wajah merupakan hal jamak. Berbicara

atau melakukan sesuatu di depan, makan di tempat umum,

menggunakan tolet umum, atau hampir semua aktivitas lain yang

dilakukan di tempat yang terdapat orang lain dapat menimbulkan

kecemasan eksterm, bahkan serangan panik besar-besaran. Orang-orang

yang menderita fobia sosial sering kali bekerja dalam pekerjaan atau

profesi yang jauh lebih di bawah kemampumerean atau kecerdasan

mereka karena sensitivitas sosial eksterm yang mereka alami jauh

melebihi apa yang kita pikirkan tentang rasa malu, sangat merugika n

secara emosional. lebih baik mengerjakan pekerjaan bergaji rendah

daripada setiap hari berhadapan dengan orang lain dalam pekerjaan yang

lebih berharga.

2. Etiologi Fobia

Berbagai kemungkinan penyebab Fobia juga dikemukakan oleh para

pendukung paradigma Psikoanalisis, Behavioral, Kognitif, dan Biologis.

a. Teori Psikoanalisis

Freud adalah orang pertama yang mencoba menjelaskan secara

sistematis perilaku fobik. Menurut Freud, fobia merupakan pertahanan

terhadap kecemasan yang disebabkan oleh impuls-impuls id yang

ditekan kecemasan yang dialihkan dari impuls id yang ditakuti dan

dipindahkan ke suaetu objek atau situasi yang memiliki koneksi

simbolik dengannya.

Berdasarkan teori fobia lain dari psikoanalisis yang diajukan oleh

Arieti (1979), sesuatu yang ditekan merupakan masalah interpersonal

tertentu di masa kecil dan bukan suatu impuls id. Arieti berteori bahwa

pada masa anak-anak , orang-orang yang menderita fobia pada awalnya

menjalani periode tanpa dosa dimana mereka mempercayai orang lain

di sekitar mereka untuk melindungi mereka dari bahaya. Kemudian

mereka menjadi takut bahwa orang dewasa, terutama orang tua, tidak

dapat diandalkan. Mereka tidak dapat hidup denganketiadaan rasa

percaya tersebut atau rasa takut kepada orang lain. Untukdapat

mempercayai orang lain, secara tidak sadar mereka mengubah rasa

takut kepada orang lain tersebut menjadi rasa takut terhadap objek atau

situasi yang tidak menyenangkan. Fobia muncul ke permukaan ketika

pada masa dewasa seseorang mengalami beberapa bentuk stres.

Sebagaimana sebagian besar teori berdasarkan psikoanalisis, bukti-

bukti yang mendukung pandangan ini sebagian besar terbatas pada

kesimpulan yang ditarik dari laporan-laporan kasus klinis.

b. Teori Behavioral

Teori behavioral berfokus pada pembelajaran sebagai cara

berkembangnya fobia. Beberapa tipe yang mungkin berperan sebagai

berikut:

1). Avoidance Conditioning

Penjelasan utama behavioral tentang fobia adalah reaksi

semacam itu merupakan respons avoidance yang dipelajari.

Formulasi Avoidance conditioning, dilandasi oleh teori dua faktor

yang diajukan oleh Mowrer (1947) dan menyatkan bahwa fobia

berkembang dari dua rangkaian pembelajaran yang saling

berkaitan.

a) Melalui Clasical Conditioning seseorang dapat belajar untuk

takut pada suatu stimulus netral (CS) jika suatu stimulus

tersebut dipasangkan dengan kejadian yang secara intrinsik

menyakitkan atau menakutkan (UCS).

b) Seseorang dapat belajar mengurangi rasa takut yang

dikondisikan tersebut dengan melarikan diri dari atau

menghindari CS. Jenis pembelajaran yang kedua ini

diasumsikan sebagai Operant Conditioning, respon

dipertahankan oleh konsekuensi mengurangi ketakuatan yang

menguatkan.

2). Modeling

Selain belajar untuk takut terhadap sesuatu sebagai akibat dari

pengalaman yang tidak menyenangkan dengannya, ketakutan dapat

dipelajari dengan meniru reaksi orng lain. Dengan demikian,

beberapa fobia terjadi melalui proses modeling bukan melalui

pengalaman yang tidak menyenangkan terhadap objek atau situasi

yang ditakuti. Berbagai macam perilaku termasuk respon-respons

emosional, dapat dipelajari dengan menyaksikan suatu model.

Pembelajaran tentang rasa takut dengan mengamati orang lain

secara umum disebut sebagai Vicarious Learning.

c. Teori Kognitif

Sudut pandang kognitif terhadap kecemasan secara umum dan

fobia secara khusus berfokus pada bagaimana pikiran dapat

membuat fobia menetap. Kecemasan dikaitkan dengan

kemungkinan yang lebih besar untuk menanggapi stimuli negatif,

menginterpretasi situasi yang tidak jelas sebagai informasi yang

mengancam dan mempercayai bahwa kejadian negatif memiliki

kemungkinan lebih besar untuk terjadi di masa depan. Isu utama

dalam teori ini adalah apakah kognisi tersebut menyebabkan

kecemasan atau apakah kecemasan yang menyebabkan kognisi

tersebut.

Berbagai studi terhadap orang-orang yang mengalamai

kecemasan sosial setelah meneliti faktor-faktor kognitif yang

berkaitan dengan fobia sosial. Orang-orang yang mengalami fobia

sosial lebih khawatir terhadap penilaian orang lain dibandingkan

dengan orang-orang yang tidak memiliki kecemasan sosial, lebih

memperhatikan citra mereka yang ia tunjukkan kepada orang lain

dan cenderung melihat diri mereka secara negatif walaupun mereka

tampil dengan baik dalam suatu interaksi sosial.

Teori kognitif mengenai fobia juga relevan untuk berbagai fitur

lain dalam gangguan ini, rasa takut yang menetap dan fakta bahwa

ketakutan tersebut sesungguhnya tampak irasional bagi mereka

yang mengalaminya. Fenomena ini dapat terjadi karena rasa takut

yang terjadi melalui proses-proses otomatis yang terjadi pada awal

kehidupan dan tidak disadari. Setelah proses awal tersebut,

stimulus dihindari sehingga tidak diproses cukup lengkap dan yang

dapat menghilangkan rasa takut tersebut.

3. Terapi Fobia

Terapi fobia dapat dilakukan melalui pendekatan Psikoanalisis,

pendekatan Behavioral, pendekatan Kognitif, dan pendekatan Biologis.

a. Pendekatan Psikoanalisis

Sama halnya teori psikoanalisis yang memiliki banyak variasi,

demikian pula dengan terapi psikoanalisis terhadap fobia yang berusaha

mengungkap konflik-konflik yang ditekan yang diasumsikan mendasari

ketakutan eksterm dan karakteristik pengindaran dalam gangguan ini.

karena fobia dianggap sebagai simtom dari konflik-konflik yang ada

dibaliknya, fobia biasanya tidak secara langsung ditangani. Memang,

upaya langsung untuk mengurangi penghindaran fobik

dikontradikasikan karena fobia diasumsikan melindungi orang yang

bersangkutan dari berbagai konflik yang ditekan yang terlalu

menyakitkan untuk dihadapi.

Dalam berbagai kombinasianalisis menggunakan berbagai teknik

yang dikembangkan dalam tradisi psikoanalisis untuk membantu

mengangkat represi. Dalam asosiasi bebas anlis mendengarkan dengan

penuh perhatian apa yang disebutkan pasien terkait dengan setiap

rujukan mengenai fobia. Analis juga brupaya menemukan berbagai

petunjuk terhadap penyebab fobia yang ditekan dalam isi mimpi yang

tampak jelas.

Analisis ego kontemporer kurang memfokuskan pada riwayat

insight dan lebih fokus untuk mendorong pasien untuk menghadapi

fobia. Walaupun demikian, mereka juga menganggap fobia sebagai

masalah dari yang terjadi pada masa lalu. Alexander dan French, dalam

buku klasiknya Psichoanalytic Therapy (1946), menulis tentang

“pengalaman emosional korektif” dalam terapi, yang mereka

maksudkan sebagai situasi di mana pasien menghadapi sesuatu yang

amat sangat ditakutinya. Mereka mengamati bahwa “ freud sendiri

menyimpulkan bahwa dalam penanganan beberapa kasus, contohnya

fobia, akan tiba waktunya analisis harus mendorong pasien untuk

melakukan berbagai aktivitas yang dihindarinya dimasa lalu”.

b. Pendekatan Behavioral

Desentisisai semantik merupakan terapi behavioral utama yang

pertama kali digunakan secara luas untuk menangani fobia (Wolpe,

1958). Individu yang menderita fobia membayangkan serangkaian

situasi yang semakin menakutkan sementara berada dalam kondsi

relaksasi mendalam. Bukti-bukti klinis damn eksperimental ini

mengindikasikan bahwa teknik ini efektif untuk menghapuskan, atau

minimal mengurangu fobia( Barlow, Raffa, & Cohen, 2002).

Banyak terpis perilaku yang telah menyadari pentingnya

pemaparan dengan situasi fobik dalam kehidupan nyata. Kadangkala

selam periode di mana pasien didesentisasi dalam imajinasi dan

kadangkala sebagai pengganti

Pada saat yang sama penting untuk dicatat bahwa desentisasi

dalam imajinasi secara khusus sesuai bila tidak dimungkinkan atau

tidak praktis untuk orang yang memaparkan orang yang sangat

ketakutan secara langsung pada sesuatu yang mereka takuti. Contohnya,

jika seorang terapis ingin memberikan pemaparan bertingkat dengan

figur otoritas dalam hidup pasien, misalnya dengan ayah pasien yang

sudah meninggal, maka akan beemanfaat untuk dapat menggunakan

pemaparan dengan pemcitraan sebagai “pengganti” hal nyata dan untuk

mengetahui bahwa, berdasarkan penelitian terkendali dalam prosedur

original dari Wolpe, pemaparan terhadap situasi imajiner menghasilkan

reduksi kecemasan yang signifikan.

Flooding merupakan teknik terapeutik di mana klien di mana klien

dipaparkan sebagai sumber fobia dalam insensitas penuh. Rasa todak

nyaman eksterm menjadi bagian tak terhindarkan dalam prosedur ini

sehingga belum lama ini cenderung menahan terapis untuk

menggunakan teknik ini, kecuali mungkin sebagai jalan terakhir bila

pemaparan semakin bertingkat tidak membuahkan hasil. Dalam

pembahasan mengenai terapi untuk gangguan obsesif compulsif dan

gangguan stres pasca trauma, kita akan melihat penggunaan teknik

flooding lebih luas.

Modeling juga merupak teknik lain yang menggunakan pemaparan

terhadap berbagai situasi yang ditakuti. Dalam terapi modeling, klien

yang ketakutan melihat orang lalin yang berinteraksi dengan objek

melalui film atau secara langsung fobik tanpa rasa takut, contohnya

memegang ular yang tidak terbiasa atau mengusap-usap anjing yang

jinak. Menunjukkan pada orang-orang yang mengalami kecemasan

sosial bagaimana mereka dapat berinteraksi dengan orang Lain secara

lebih baik merupakan bagian tak terpisah dalam pelatihan keterampilan

sosial. Bagi pasien yang mengalami gangguan sosial, terjadi karena

tidak tahu bagaimana harus berperilaku dalam berbagai situasi sosial.

Banyak terapis perilaku memberika perhatian pada rasa takut dan

penghindaran dengan menggunakan teknik seperti desentisasi untuk

mengurangi rasa takut den pembentukan operant untuk mendorong

pendekatan. Dalam tahap awal penanganan, ketika rasa takut dan

penhindaran sangat besar, terapis berkonsentrasi mengurangi rasa takut

melalui pelatihan relaksasi dan pemaparan bertingkat terhadap situasi

fobik. Seiring dengan berjalannya terapi, penghindaran lebih menjadi

isu dibanding rasa takut. Seseorang yang menderita fobia seringkali

menempatkan dirinya pada posisi di mana orang lain

mengakomodasikan ketidakmampuannya sehingga malah memperkuat

fobia yang diderita orang tersebut (para psikoanalisa menyebut

fenomena ini sebagai secondary gain). Sejalan dengan berkurangnya

kecemasan si penderita ia akan mampu mendekati sesuatu yang

sebelumnya sangat menakutkan baginya. Perilaku terbuka ini dapat

dikuatkan secara positif dan penghindaran tidak didorong oleh keluarga

dan teman-teman serta terapis.

c. Pendekatan Kognitif

Terapi Kognitif bagi penderita fobia spesifik dipandang dengan

skeptis karena karakteristik utama penentu fobia: rasa takut yang diakui

oleh penderitanya sebagai rasa takut yang berlebihan atau tidak

beralasan. Jika penderita mengakui bahwa ia mengalami ketakutan

kepada sesuatu yang tidak berbahaya. apa yang dapat dilakukan terapis

untuk mengubah pemikiran si penderita? memang, tidak ada bukti yang

menunjukkan bahwa hanya dengan menhapuskan keyakinan irasioanal

tanpa pemaparan situasi dengan situasi yang ditakuti akan mengurangi

penghindaran fobik.

Secara kontras, berkaitan dengan fobia sosial metode kognitif

semacamitu kadangkala dikombinasikan dengan pelatihan keterampilan

sosial. Orang-orang yang menderita fobia sosial dapat memperoleh

manfaat strategi penanganan.Orang-orang yang menderita fobia sosial

dapat mengacu pada Beck dan Ellis, yaitu metreka mungkin dipersuasi

oleh terapis untuk menilai reaksi orang lain terhadap mereka secara

lebih akurat(kernyitaan wajah guru saya mungkin tidak berarti bahwa

dia tidak setuju dengan saya, namun lebih menunjukkan sesuatu yang

sedang dipikirkannya yang tidak berkaitan sama sekali dengan saya)

dan untuk tidak terlalu tergantung pada persetujuan orang lain untuk

mempertahankan perasaan bahwa diri kita bermakna( hanya karena

saya dikritik bukan berarti saya adalah orang tanpa entitas yang

bermakna). Dengan pengakuan dalam tahun-tahun terakhir bahwa orang

yang menderita fobia sosial, pada dasarnya memiliki cukup

keterampilan sosial namun terhambat oleh pikiran-pikiran yang

menghancurkan diri sendiri, pendekatan kognitif semakin

dititikberatkan. Bila dikombinasikan dengan pemaparan dengan situasi

yang ditakuti, terutama dalam konteks terapi kelompok, pendekatan

kognitif terbukti lebih efektif dibanding berbagai terapi yang lain(Turk

dkk, 2001).

d. Pendekatan Kognitif

Semua terapi behavioral dan kognitif bagi fobia memiliki tema

yang berulang, sebutlah bahwa pasien yang perlu mulai menghadapi

sesuatu yang diyakininya terlalu menakutkan, terlalu mengerikan untuk

dihadapi. Walaupun psikoanalis percaya bahwa rasa takut berasal dari

masa lalu yang terpendam sehingga menunda konfrontasi langsung,

pada akhirnya mereka juga mendorong pasien untuk menghadapinya.

Freud menyatakan, “sesorang hampir tidak dapat mengatasi fobia jika ia

menunggu sampai pasien membiarkan analis memengaruhinya untuk

untuk menghadapinya. Seseorang akan berhasil jika dapat membuat

mereka mengatasinya sendiri dan berupaya berjuang untuk menghadapi

kecemasan mereka. Dengan demikian, semua terapi tersebut

mencerminkan bentuk kebijaksanaan yang tidak lekang oleh waktu,

yaitu yang menyatakan bahwa kita harus menghadapi ketakutan kita.

e. Pendekatan Biologis

Obat-obatan yang mengurangi keemasan disebut sebagai sedatif,

tranquilizer, atau anxiolytic( akhiran lytic berasal dari bahasa Yunani

yang berarti melonggarkan atau melelehkan). Barbiturate adalah

kategori obat-obatan utama yang pertama kali digunakan untuk

menangani gangguan anxiety, namun karena kategori obat-obatan

tersebut menyebabkan ketergantungan dan beresiko tinggi mematikan

bila overdosis, pada tahun 1950 obat-obatan tersebut diganti dengan

dua kelompok obat-obatan lain, propanediol (Miltown) dan

benzodiazepine (valium dan xanax). Jenis yang kedua dewasa ini

digunakan secara luas dan sebagaimana akan kita lihat nanti ,

memberikan manfaat bagi penderita gangguan anxietas. Namun

demikian, jenis tersebut tidak banyak digunakan bagia fobia spesifik.

Terlebih lagi, walaupun reasiko mematikan dalam kondisi overdosis

tidak sebesar barbiturate, benzodiazepine mennyebabkan

ketergantungan fisik dan sidrom putus zat dari yang parah (Schweizer

dkk., 1990).

Dalam tahun-tahun terkhir obat-obatan yang pada awalnya

dikembangkan untuk menangani depresi (antidepresan) menjadi

populer untuk menangani banyak gangguan anxietas, termasuk fobia.

Salah satu kelompok obat-obatan tersebut, menghambat manoamine

oxidase (MAO), menunjukkan hasil yang lebih baik dalam satu studi

untuk menangani fobia sosial dibanding benzodiazepine (Gelernter

dkk., 1991), dalam studi lain sama efektifnya dengan terapi perilaku

kognitif dalam pengamatan setelah terapi selama 12 minggu (Heimberg

dkk., 1998). Namun, penghambat MAO, seperti phenelzine (Nardil),

dapat menyebabkan peningkatan berat badan, insomnia, disfungsi

seksual, dan hipertensi. Penghambat pengembalian serotonia selektif

yang baru-baru ini tersedia(SSRI), seperti fluoxetine (prozac), pada

awalnya juga dikembangkan untuk menangani depresi. obat-obatan

jenis ini juga menunjukkan hasil yang menjanjikan untuk mengurangi

fobia spesifik dan sosial dalam berbagaistudi double blind (Benjamin

dkk., 2000; Van Ameringen dkk., 2001).

Namun demikian, masalah kunci dalam menangani fobia dan

gangguan anxietas lainnya menggunakan obat-obatan adalah pemberian

obat-obatan mungkin sulit dihentikan, dan kekambuhan umum terjadi

jika pasien berhenti menggunakannya (Herbert, 1995).

B. Gangguan Panik

1. Definisi Gangguan Panik

Dalam gangguan panik seseorang mengalami serangan mendadak dan

seringkali tidak dapat dijelaskan dalam bentuk serangkaian simtom yang

tidak mengenakkan. Kesulitan bernafas, jantung berdebar, mual, nyeri dada,

merasa seperti tersedak, dan tercekik, pusing, berkeringat, dan gemetar serta

kecemasan yang sangat dalam seperti teror dan merasa akan panik.

Depersonalisasi, perasaan seolah berada di luar tubuh, dan derealisasi,

suatu perasaan bahwa dunia tidak nyata, juga ketakutan kehilangan kendali,

menjadi gila, atau bahkan mati dapat memenuhi dan menguasai pasien.

Serangan panik dapat sering terjadi, mungkin sekali dalam seminggu atau

lebih sering lagi. Biasanya berlangsung selama beberapa menit, jarang

dalam hitungan jam, kadangkala berkaitan dengan situasi spesifi, seperti

mengendarai mobil. Jika sangat terkait dengan pemicu situasional, disebut

panik bersyarat (cued panic attacks). Jika terdapat stimulus dengan

serangan, namun tidak sangat kuat, serangan tersebut disebut sebagai

serangan yang dipicu situasional. Serangan panik juga dapat terjadi pada

situasi yang tampaknya tenang, seperti relaksasi, dalam tidur, dan dalam

situasi tak terduga. Dalam kasus ini disebut sebagai serangan tanpa isyarat

(uncued attacks). Serangan tanpa isyarat yang berulang dan khawatir

mengalami serangan pada masa mendatang merupakan prasyarat diagnosis

gangguan panik, namun serangan panik sendiri cukup banyak terjadi antara

3 hingga 5 persen dalam populasi umum setiap tahunnya pada orang-orang

memenuhi kriteria gangguan panik (Norton, Cox, & Malan, 1992). Terjadi

serangan berisyarat saja kemungkinan menandakan adanya fobia.

Prevelensi sepanjang hidup gangguan panik sekitar 2 persen pada laki-

laki dan 5 persen pada perempuan ( Kessler dkk., 1994). Umumnya berawal

pada masa remaja, dan kemunculannya terkait dengan pengalaman hidup

yang penuh stres.

Gangguan yang memiliki keterkaitan dengan gangguan panik juga terjadi

dalam berbagai budaya lain. Dikalangan Eskimo di Greenland

barat ,contohnya kayak-angst terjadi pada para pemburu anjing laut yang

berada sendirian di tengah lautan. Serangan mencakup rasa takut yang

sangat besar , disorientasi, dan kekhawatiran akan tenggelam. Ataque de

nervious pada awalnya diidentifikasi di Puerto Rico dan mencakup simtom-

simtom fisisk serta ketakutan menjadi gila setelah mengalami stres berat.

Dalam DSM -IV –TR gangguan panik didiagnosis dengan atau tanpa

agorafobia. Agorafobia dari bahasa Yunani agora berarti “daerah pasar”

adalah sekumpulan rasa takut pada tempat-tempat umum dan

ketidakmampuan melarikan diri atau mendapatkan pertolongan bila lemah

oleh kecemasan. Takut untuk berbelanja, pada keramaian, dan

melakukanperjalanan seringkali juga dialami. Banyak pasien yang

menderita agorafobia tidak mampu keluar ruamah atau melakukannya

dengan penderitaan yang sangat. Pasien yang menderita panik umumnya

menghindari sesuatu dimana serangan panik dapat berbahaya atau dapat

memalukan. Jika penghindaran tersebut meluas, maka akan terjadi

agorafobia. Gangguan agorafobia lenih banyak terjadi pada perempuan

dibandingkan dengan laki-laki.

2. Etiologi Gangguan Panik

Terdapat 2 teori tentang gangguan panik yaitu teori Biologis dan teori

Psikologis.

a. Teori Biologis

Dalam beberapa kasus, sensasi fisik yang disebabkan oleh suatu

penyakit memicu beberapa orang mengalami gangguan panik. Sebagai

contoh, sindrom penurunan kutup kiri jantung menyebabkan jantung

berdebar, penyakit telinga bagian dala menyebabkan kepusingan yang

dirasakan menakutkan bagi beberapa orang, dan memicu terjadinya

gangguan panik.

Gangguan panik diturunkan oleh keluarga dan memiliki keseseuaian

yang lebih besar pada kembar MZ (Kemabr identuk) dibanding dengan

kembar DZ (kembar 2 telur). Dengan demikian suatu diathesis genetik

mungkin berpengaruh ( Hettema, Neale, & Kendler, 2001).

Activitas Noradrenergik, teori biologi lain menyatatakan bahwa panik

disebabkan oleh aktivitas yang berlebihan dalam sistem noradrenergik

(neuron yang menggunakan norepinefrin sebagai neurotransmiter). Salah

satu teori yang memfokuskan pada nukleus dalam pons yang disebut

locus coreleus. Perangsangan terhadap locus coreleus menyebabkan kera

mengalami apa yang terlihat seperti serangan panik, menunjukkan

kemumgkinan bahwa serangan yang terjadi secara alami disebabkan oleh

aktivitas noradenergik yang berlebihan (Ramond, 1977). Peneliti

selanjutnya dengan menggunakan manusia menemukan bahwa

yohimbine, obat yang merangsang aktivitas dalam locus cereleus,dapat

menghentikan serangan panik dan gangguan panik. Namun demikian,

peneliti yang leebih mutakhir tidak konsisten dengan penemuan tersebut.

Penting untuk diketahui,obat-obatan yang menghambat pembakaran

dalam locus coreleus, ternyata tidak sangat efektif untuk menangani

serangan panik (McNally, 1994).

b. Teori Psikologis

Teori psikologis mengenai agorafobia yang sering meyertai

gangguan panik adalah hipotesis ketakutan-ketakutan yang berpendapat

bahwa agorafobia bukanlah ketakutan terhadap tempat-tempat umum itu

sendiri, melainkan ketakutan mengalami serangan panik di tempat

umum.

Clasical Conditioning dan perbedaan antara kecemasan dan panik

menjadi suatu teori yang diajukan baru-baru ini mengenai serangan panik

itu sendiri (Bauton, Mineka, & Barlow, 2011). Panik sebagaimana yang

digambarkan sebelumnya merupakan kondisi ketakutan ekstrem dan

ketegangan otonomik yang sangat kuat. Kecemasan dipandang sebagai

kegugupan dan kekhawatiran. Poin utama teori tersebut adalah serangan

panik menjadi terkondisi secara klasikal pada sensasi fisik internal yang

ditimbulkan oleh kecemasan. Mengapa kemudian beberapa orang

menderita gangguan panik, sedangkan yang lain mampu mengatasi

serangan tersebut? salah satu kemungkinan adalah mereka yang penderita

gangguan panik menganggap serangan tersebut sebagai sesuatu yang

tidak dapat dikendalikan dan tidak dapat diprediksi serta melihat

seranagan tersebut sebagai kekuatan tertentu. Hal ini dapat menjadi UCS

yang sangat kuat dan sekaligus bagaimana meningkatkan conditioning.

Kemungkinan lain adalah gangguan panik terjadi pada orang-orang yang

secara umum memiliki kecemasan tinggi.

Serangan panik terjadi bila seseorang merasakan sensasi fisik dan

menginterpretasinya sebagai tanda-tanda sensasi fisik yang lebih banyak

sehingga tercipta lingkaran setan.

Bukan faktor biologis saja yang menyebabkan panik namun lebih

pada reaksi psikologis seseorang yang merupakan hal penting.

3. Terapi untuk Gangguan Panik dan Agorafobia

Terapi bagi gangguan panik mencakup pendekatan biologis dan

psikologis. Beberapa diantarnya memiliki penanganan yang cukup sama

dengan fobia.

a. Penanganan Biologis

Penderita gangguan panik biasanya berkonsultasi dengan dokter

sebelum mereka menemui psikolog atau psikiater, pengobatan

psikoaktif umumnya merupakan penanganan awal dan terkadand satu-

satunya jenis penanganan yang diterima seseorang. Pemasaran besar-

besaran obat-obatan antipanik melalui media kemungkinan juga

menjadi suatu faktor. Beberapa obat telah menunjukkan keberhasilan

sebagai penanganan biologis bagi gannguan panik. Obat-obatan tersebut

mencakup obat antidepresan (penghambat pengembalian serotonin

selektif, seperti Prozac, dan antidepresan tiga siklus seperti Tofranil)

dan benzodiazepine (seperti Alparozolam dan xanax) ( Roy-Byrne &

Cowley, 1998). Alparazolam sangat meyakinkan karena diperoleh

melalui studi berskala besar dan multinasional.

Sisi negatif apabila obat-obatan diberikan oleh dokterbkeluarga

pasien, bukan dalam studi penelitian seperti yang disebutrkan di atas,

efektivitasnya menurun, sebagian besar karena dosis yang kurang atau

durasi penanganan yang tidak cukup lama. Terlebih lagi pasien yang

diberi obat-obatan tiga siklus dihentikanpengobatannya karena efek

samping seperti rasa gugup dan bertambahnya berat badan serta efek

samping yang lebih serius seperti, denyut jantung dan tekanan darah

meningkat (Taylor dkk., 1990). Benzodiazepine menyebabkan

kecanduan dan menghasilakn efek samping kognitif dan motorik,

seperti berkurangnya memori dan kesulitan mengemudi. Dalam upaya

penanganan banyak pasien menggunakan anxiolityc atau alcohol,

penggunaan dan penyalahgunaan obat-obatan umum terjadi pada orang-

orang penderita kecemasan.Walaiupun jika hasilnya efektif,

penanganan dengan obat-obatan harus terus dilakukan dalam waktu

yang tidak terbatas karena simtom-simtom hampir selalu muncul lagi

bila pengobatan dihentikan. Terakhir, terapi pengendalian Barlow

tampaknya lebih baik dari terapi obat yang saat ini tersedia, terutama

bila dilakukan tindak lanjut jangka panjang.

b. Penanganan Psikologis

Terapi dengan memberikan pemaparan sering kali berguna untuk

mengurangi agorafobia(atau dalam istilah DSM-IV-TR, gangguan

panik dengan agorafobia), dan keuntungan ini sangat dipertahankan

selama bertahun-tahun setelah selesainya terapi (Fava dkk., 1995).

Beberapa studi menemukan bahwa efek pemaparan meningkat bila

pasien didorong untuk rileks selama pemaparan langsung namun

beberapa studi lain tidak menunjukkan manfaat tambahan dari relaksasi.

Pada pasien yang berstatus menikah dan masalah utamanya atau

satu-satunya adalah agorafobia telah mendapatkan manfaatnya dari

berbagai terapi yang berorientasi keluarga yang melibatkan

pasangannya yang nonfobik, yang didorong lagi untuk tidak

mengakomodasi penolakan pasangannyauntuk keluar rumah.

Dengan demikian walaupun dapat dipahami bahwa seorang

pasangan dapat menjadi sangat perhatian dan mungkin karena

kekhawatiran yang beralasan terhadap kesejahteraan pasangannya \,

mumgkin karena kebutuhan dalam dirinya untuk yang memiliki

pasangan yang lemah dan tergantung, data hasil menunjukkan bahwa

hubungan menjadi semakin baik ketika pasangan agorafobia semakin

berkurang ketakutannya (Craske & Barlow, 2001). Suatu terapi yang

divalidasi dengan baik yang dikembangkan oleh Barlow dan rekan-

rekannya dan disebut terapi pengendalian (PCT- panic control therapy)

memiliki 3 komponen utama, yaitu sebagai berikut:

a. Training Relaksasi

b. Kombinasi intervensi behavioral kognitif dari Ellis dan Beck

c. Bagian tertbaru, pemaparan dengan tanda-tanda internalyang

memicu kepanikan (Barlow, 1998; Barlow & Crasce, 1994; Craske

& Barlow, 2001).

Terapis mempersuasi klien untuk berlatih berbagai perilaku yang

dapat menimbulakn perasaan yang berkaitan dengan kepanikan dan

dilakukan di ruang konsultasi. Sebagai contoh, sesorang yang

mengalami serangan panik diawali dengan hiperventilasi diminta untuk

bernapas dengan cepat selama tiga menit, sesorang yang merasa pusing

dapat diminta untuk berputar di kursi selama beberapa menit. Ketika

sensasi seperti kepusinga, mulut kering, kepala menjadi ringan, denyut

jantung yang meningkat, dan tanda-tanda panik lain mulai terjadi, klien

mengalaminya dalam kondisi yang aman dan menerapkan taktik coping

kognitif dan relaksasi (yang dapat mencakup bernafas dari diafragma

dan bukan denga hyperventilasi).

Dengan latihan dan dorongan atau persuasi dari terapis, klien belajar

untuk menginterpretasi berbagai sensasi internal dari seuatu yang

menjadi tanda-tanda hilangnya kontrol dan kepanikan menjadi tanda-

tanda yang secara intrinsik tidak berbahaya dan tidak dapat

dikendalikan dengan keterampilan tertentu.

Tindak lanjut yang dilakukan selama dua tahun menunjukkan bahwa

keuntungan terapeutik kognitif dan pemaparan ini bertahan hingga

tingkat signifikan dan lebih baik dibanding keuntungan yang dihasilkan

dari penggunaan alparazolam (Xanax)( Craske, Brown, & Barlow,

1991), walaupun banyak pasien yang tidak terbebas dari gangguan

lepanikan (Brown & Barlow, 1995). Terap Behavioral kognitif sejenis

yang dikembangkan secara terpisah oleh Clark(1989; Salkovskis &

Clark, 1991) juga mununjukkan efek menguntungkan bagi gangguan

panik (Clark, Watson, & Mineka, 1994).

C. Ganggguan Anxietas Menyeluruh (Generalized Anxiey Disoreder)

1. Definisi Ganggguan Anxietas Menyeluruh (Generalized Anxiey

Disoreder)

Individu yang menderita gangguan anxitas menyeluruh (Generalizesd

Anxiety Disorder [GAD]) terus menrus merasa cemas, sering kali tentang

hal-hal kecil. Sebagian besar di antara dari waktu ke waktu memiliki

kekhawatiran. Namun, pasien yang menderita GAD memiliki

kekhawatiran kronis. Mereka menghabiskan sangat banyak waktu untuk

mengkhawatirkan banyak hal dan menganaggap kekhawatiran mereka

sebagian sesuatu yang tidak dapat dikontrol (Ruscio dkk, 2001).

Kekhawtiran yang paling sering dirasakan oleh pasien GAD adalah

kesehatan mereka dan masalah sehari-hari, seperti terlambat menghadiri

pertemuan atau mereka terlalu banyak pekerjaan yang harus diselesaikan.

Diagnosis GAD tidak ditegakkan jika kekhawatiran berkaitan dengan

masalah-masalah yang dipicu oleh gangguan Aksis I lain.

2. Etiologi Gangguan Anxietas Menyeluruh (Generalized Anxiey

Disoreder)

a. Pandangan Psikoanalisis

Teori psikoanalisis berpendapat bahwa sumber kecemasan

menyeleluruh adalah konflik yang tidak disadari anatar ego dan

implus-implus id. Implus-implus tersebut, yang biasanya bersifat

seksual atau agresif, berusaha untuk mengekspresikan diri, namun ego

tidak membiarkannya karena tanpa disadari ia merasa takut terhadap

hukuman yang akan diterima. Karena sumber kecemasan tudak

disadari, individu terakit mngalami kecemasan dan distres tanpa

diketaui mengapa demikian. Sumber kecemasan yang sebenarnya yaitu

hasrat-hasrat yang berhubungan dengan impus-implus id yang ditekan

dan berjuang untuk mengeksperikan diri-selalu hadir.

b. Pandangan Kognitif Behavioral

Pemikiran utama kognitif behavioral tentang GAD adalah

gangguan tersebut disebabkan oleh proses-prose berpikir yang

menyimpang. Orang-orang yang menderita GAD sering kali salah

mempresepsi kejadia-kejadian biasa, seperti menyebrang jalan, sebagai

hal yang mengancam, dan kognisi mereka terfokus pada antisipasi

berbagai macam bencana pada masa mendatang, (Beck dkk, 1987).

c. Perspektif Biolgis

Beberapa studi mengindifikasikan bahwa GAD dapat memilki

komponen genetik. GAD seing ditemukan pada orang-orang yang

memilki hubungan keluarga dengan penderita gangguan ini, dan

terdapat kesesuaian yang lebih tinggi dianatara kembar MZ dan

kembar DZ. Namun tingkat komponen genetik ini tampaknya rendah,

(Hetteman dkk, 2000).

Model neuorbiologis yang paling umum untuk gangguan anxietas

menyeluruh dilandasi oleh pengetahuan mengenai cara kerja

benzodiazepine, suatu kelompok obat-obatan yang seing kali efektif

untuk menangani kecemasan. Para peneliti menemukan suatu reseptor

dalam otak untuk benzodiazepine yang berhubungan dengan

neurotransmiter penghambat yaitu gamma-aminobutyric (GABA).

3. Terapi untuk Gangguan Anxietas Menyeluruh (Generalized Anxiey

Disoreder)

a. Pendekatan psikoanalisis

Karena memandang gangguan anxietas menyeluruh berakar dari

konflik-konflik yang ditekan, sebagian besar psikoanalisis bekerja

untuk membantu pasien menghadapi sumber-sumber konflik yang

sebenarnya. Penanganannya hampir sama degan penanganan fobia.

b. Pendekatan Behavioral

Para ahli klnis behavioral menangani kecemasan menyeluruh

dengan berbagai cara. Jika terapis menganggap kecemasan sebagai

serangkaian respon terhadap berbagai situasi yang dapat diidentifikasi,

apa yang tampak sebagai kecemasan yang bebas mengalir dapat

diformulasi ulang pada satu fobia atau lebih atau kecemasan berisyarat.

Kecemasan tampak bebas mengalir hanya karena klien menghbiskan

sangat banyak waktu dengan banyak orang. Desentisisasi sistemtis

mnjad kemungkinan terapi. Tentu saja, berdasarkan sudut pandang

DSM, Paasien semacam itu tidak akan memenuhi kriteria diagnosis

GAD. Terapis perilaku harus menformulasi ulang apa yang awalnya

tampak sebagai GAD mnjadi semacam fobia.

c. Pendekatan Kognitif

Jika suatu perasaan tidak berdaya tampaknya mendasari kecemasan

pervasif, terapis berorientasi kognitif akan membantu klien menguasai

keterampilan apapun yang dapat menumbuhkan perasaan

kompeten.keterampilan tersebut, termasuk asertivitas, dapat diajarkan

melalui intruksi verbal, modeling, atau pembentukan operant dan

sangat mungkin kombinasi secara hati-hati dari ketiganya (Gldfried, &

Davison, 1994). Diasumsikan bahwa ada ua proses yang berlangsung

dibawah ini mengurangi kekhawatiran pasien.

1). Karena pasien tetap berada dalam situasi yang menakutkan,

kecemasan diyakini akan terhapus.

2). Dengan mempertimbangkan kemungknan ketakutan terburuk yang

dapat tebayangkan, pasien mengubah reaksi kognitifnya tehadap

keterlambatan pasangannya

d. Pendekatan Biologis

Anxolitic, seperti jenis yang disebutkan untuk menangani fobia

dan gangguan panik , mungkin merupakan penanganan yang paling

banyak digunakan untuk gangguan anxietas menyeluruh. Obat-obatan,

terutama benzodizepine, seperti valium dan xanax, juga busipirone

(BuSpar), seringkali digunakan karena pervasivitas gangguan. Stelah

diminum, obat-obatan tersebut akan bekerja slama beberapa jam dalam

berbagai situasi yang dihadapi. Sejumlah studi double blind

menegaskan bahwa obat-obatan tersebut memberi lebih bankyak

manfaat bagi para pasien GAD dibanding placebo (Apter & Allai,

1999).

D. Gangguan Obsesif-Kompulsif (Obsessive Compulsive Disoreder-OCD)

1. Definisi Gangguan Obsesif-Kompulsif (Obsessive Compulsive

Disoreder-OCD)

Penderita gangguan obsesif kompulsif (Obsessive Compulsive

Disoreder-OCD) adalah suatu gangguan anxietas di mana pikiran dipenuhi

dengan pemikiran yang menetap dan tidak dapat dikendalikan dan

individu dipakas untuk terus-menerus mengulang tindakan tertentu,

menyebabkan distress yang signifikan dan mengganggu keberfungsian

sehari-hari.

Obsesi adalah pikiran, implus, dan citra yang menggangu dan berulang

yang muncul dengan sendirinya serta tidak dapat dikendalikan, walaupun

demikian biasanya tidak selalu tampak irasional bagi individu yang

mengalaminya.

Kompulsif adalah perilaku atau tindakan mental repetitif yang mana

seseorang merasa didorong unuk melakukannya dengan tujuan

mengurangi ketegangan yang disebabkan pikiran-pikiran obsesif atau

untuk mencegah terjadinya suatu bencana. Aktivitas tersebut tidak

berhubungan secara realitas dengan tujuan yang ada atau jelas berlebihan.

Individu yang terus menerus mengulang beberapa tindakan takut terhadap

konsekuensi mengerikan yang terjadi jika tindakan tersebut tidak

dilakukan. Frekuensi pengualangan suatu tindakan, fisik atau mental,

dapat luar biasa tinggi. Kompulsi yang umum dilaporkan mencakup hal-

hal berikut:

a. Mengupayakan kebersihan dan keteraturan, kadang kala melalui

upacara yang rumit yang memakan waktu berjam-jam dan bahkan

sepanjang hari;

b. Menghindari objek tertentu, seperti menghindari segala sesuatu yang

berwarna coklat;

c. Melakukan praktik-praktik repetitif, magis dan protektif, seperti

menghitung, mengucapkan angka tertentu atau menyentuh semacan

jimat atau bagian tubuh tertentu;

d. Mengecek sebanyak tujuh atau delapan kali untuk memasitkan bahwa

tindakan yang telah dilakukan benar-benar telah dilakukan, contohnya:

lampu, pemantik, kompor atau katup telah dimatikan, jendela telah

ditutup, pintu telah dikunci;

e. Melakuakan suatu tindakan tertentu, seperti makan dengan sangat

lambat.

2. Etiologi gangguan Obsesif-Kompulsif (Obsessive Compulsive

Disoreder-OCD)

a. Teori Psikoanalisis

Dalam teori psikoanalisis, obsesi dan komplusi dipandang sebagai

hal yang sama, yang disebabkan oleh dorongan instingtual, seksual

atau agresif yang tidak dapat dikendalikan karena toilet training yang

terlalu keras. Yang bersangkutan kemudian terifikasi pada anal.

Simtom-simtom yang mucul dianggap mencerminkan hasil perjuangan

antara id dan mekanisme pertahanan; kadangkala insting agresif id

mendominasi, kadangkala mekanisme pertahanan yang mendominasi.

b. Teori Behavioral dan Kognitif

Teori behavioral menganggap komplusi sebagai perilaku yang

dikuatkan oleh reduksi rasa takut (Meyer & Chesser, 1970). Penjelasan

kognitif mengenai OCD dihipotesiskan bahwa OCD (sekurang-

kurangnya perilaku komplusif) didorong oleh kebutuhan yang tidak

masuk akal untuk merasa kompoten, bahkan sempurna. Jika tidak

demikian, orang yang bersangkutan merasa tidak berharga (McFall &

Wollershim, 1979).

c. Faktor Biologis

Encefalitis, cerdera kepala dan tumor otak diasosiasikan dengan

terjadinya gangguan obsesif-kompulsif (Jenike, 1986). Ketertarikan

difokuskan pada dua area otak yang dapat terpengaruh oleh trauma

semacan itu, yaitu lobus frontalis dan ganglia bansalis, serangkaian

nukleisub-kortikal termasuk caudate, putamen, globus pallidus dan

amygdala. Studi penindaian dengan PET menunjukkan peningkatan

aktivasi pada lobus frontalis pasien OCD, mungkin mencerminkan

kekhwatiran mereka yang berlebihan terhadap pikiran mereka sendiri.

Fokus pada ganglia bansalis, suatu sisem yang berhubungan dengan

pengendalian perilaku motorik, disebabkan oleh relevasinya dengan

komplusi dan juga dengan hubungan antara OCD dan Sindrom

Tourette. Sindrom tourette ditandai oleh tics motorik dan vokal dan

dikaitkan dengan disfungsi ganglia bansalis. Pasien yang menderita

Tourette sering kali juga disebut OCP (Sheppard dkk, 1999).

3. Terapi Obsesif-Kompulsif (Obsessive Compulsive Disoreder-OCD)

a. Terapi Psikoanalisis

Terapi psikoanalisis untuk obsesi dan komplusi mirip dengan

fobia dan kecemasan menyeluruh, yaitu mengankat represi dan

memberi jalan pada pasien, untuk menhhadapi hal yang benar-benar

ditaklutkannya. Karena pikiran yang mengganggu dan perilaku

komplusif melindungi ego dari konflik yang ditekan, serta, keduanya

merupakan target yang sulit untuk intervensi terapeutik dan prosedur

psikoanalisis serta psikodinamika terkait tidak efektif untuk

menangani gangguan ini (Esman, 1989).

b. Pendekatan Behavioral

Pemaparan dan Pencegahan Ritual (ERP-Exposure and Ritual

Prevention). Pendekatan behavioral atau yang baru-baru berubah

nama dengan pemaparan dan pencegahan ritual yang mengarisbawahi

keyakinan magis yang dimiliki oleh pendrita OCD bahwa perilaku

kompulsif mereka terjadinya hal-hal yang menakutkan. Dalam metode

ini (kadang disebut floding) seseorang memaparkan dirinya pada

situasi yang menimbulkan tindakan komplusif-seperti memegang

piring kotor-kemudian menghindar untuk tidak melakukannya-yaitu

mencuci tangan. Asumsinya adalah bahwa ritual tersebut merupakan

penguatan negatif karena mengurangi kecemasan yang ditimbulkan

oleh suatu stimulus. Mencegah seseorang akan melakukan ritual akan

memaparkannya pada stimulus yang menimbulkan kecemasan

sehingga memungkinkan terhapusnya kecemasan tersebut. Biasanya

pemaparan dan pencegahan ritual ini dilakukan melalui imajinasi,

terutama jika tidak melakukannya secara nyata.

c. Terapi Perilaku Rasional Emoif

Beberapa bukti mendukung efekitivitas terapi perilaku rasional

emoif untuk mengurangi OCD (Emmelkamp & Beens, 1991).

Pemikirannya adalah membantu pasien menghapusakan keyakinan

bahwa segala sesuatu mutlak harus berjalan seperti yang mereka

inginkan atau bahwa segala tindakan yang mereka lakukan harus

mutlak memberikan hasil yang sempurna.

d. Penanangan Biologis.

Obat-obatan yang meningkatkan level serotonin, seperti SSRI dan

beberapa tricyclic, merupakan peananganan biologis yang paling

sering diberikan kepada pasien dengan gangguan obsesif-komplusif.

Penelitian menunjukkan bahwa penghambat pengembalian serotonin,

seperti fluoxetine (Prozac), menghasilkan perbaikan lebih besar dari

pasien OCD dibanding dengan placebo atau tricyclic (Kronik dkk,

1999). Namun demikian, keuntungan yang dihasilkan kecil dan

simtom-simtom akan terjadi kembali jika pemakaian obat dihentikan

(Franklin & Foa, 1998; McDougle dkk, 1994). Semua obat

antidepresan memiliki efek samping yang tidak mendorong sebagian

orang tetap untuk menggunkannya. Bebrapa contoh: terasa mual,

insomnia, agitasi, mengganggu keberfungsian seksual dan bahkan

beberapa efek negatif bagi jantung dan sistem peredaran darah (Rauch

& Jenike, 1998).

E. Gangguan Stres Pascatrauma (Posttraumatic Stress Disorder-PTSD)

1. Definisi Gangguan Stres Pascatrauma (Posttraumatic Stress Disorder-

PTSD)

Gangguan stres pascatrauma (Posttraumatic Stress Disorder-PTSD),

dimasukkan sebagai diagnosis dalam DSM-III, mencakup respon ekstrem

terhadap suatu stresor berat, termasuk meningkatnya kecemasan,

penghindaran stimuli yang diasosiasikan dengan trauma, dan tumpulnya

respons emosional. Seperti halnya gangguan lain dalam DSM, PTSD

ditentukan oleh sekelompok sintom. Namun, tidak seperti definisi

gangguan psikologis lain, definisi PTSD mencakup bagian dari asumsi

etiologinya, yaitu, suatu kejadian atau beberapa kejadian traumatis yang

dialami atau disaksikan secara langsung seseorang berupa kematian atau

ancaman kematian, atau cedera serius, atau ancaman terhadap intregritas

fisik atau diri seseorang. Kejadian tersebut harus menciptakan ketakuan

ekstrem, horor atau rasa tidak berdaya.

Simtom-simtom PTSD dikelopmpokkan dalam tiga kategori utama.

Diagnosis dapat ditegakkan jika simtom-simtom dalam setiap kategori

berlangsung selama lebih dari satu bulan.

a. Mengalamai kejadian kemabali traumatis. Individu kerap teringat pada

kejadian tersebut dan mengalami mimpi buruk tentang hal itu.

Penderitaan emosional yang mendalam ditimbulkan oleh stimuli yang

menyimbolkan kejadian tersebut atau tanggal terjadinya kejadian

tertentu. Pentingnya mengalami kembali tidak dapat diremehkan karena

kemungkinan merupakan penyebab kemungkinan simtom-simtom

kategori lain. Beberapa teori PTSD mengalami kembali sebagai ciri

utama dengan mengatribusikan gangguan tersebut pada

ketidakmampuan untuk berhasil mengintregasikan kejadian traumatik

ke dalam skema yang ada saat ini (keyakinan umum seseorang terhadap

dunia luar), (Foa, Zinbarg & Rothbaum, 1992; Horowitz, 1986)

b. Penghindaran stimuli yang diasosiasikan dengan kejadian terkait atau

mati dalam responsivitas. Orang yang bersangkutan berusaha

menghindari berpikir tentang trauma atau menghadapi stimuli yang

akan mengingatkan pada kejadian tersebut, dapat terjadi amnesia pada

kejadian tersebut. Mati rasa adalahnya menurunnya ketertarikan pada

orang lain, suatu rasa keterpisahan dan ketidakmampuan untuk

meraskan berbagai emosi positif. Simtom-simtom ini tampaknya

hampir kontradiktif dengan simtom-simtom pada item 1. Pada PTSD

kenyatannya terdapat suatu fluktuasi, penderita gangguan bergantian

mengalami kembali & mati rasa.

c. Simtom-simtom peningkatan ketegangan. Simtom-simtom ini

mencakup sulit tidur atau mempertahankannya, sulit berkonsentrasi,

waspada berlebihan dan respon terkejut yang berlebihan. Berbagai studi

laboratorium menegaskan simtom-simtom klinis ini dengan

mendokumenkasikan meningkatnya reaktifitas fisiologis pada pasien

penderita PTSD terhadap pencitraan pertempuran (Orr dkk, 1995) dan

repon-respon terkejut yang sangat tinggi (Shalev dkk, 2001).

2. Etiologi gangguan Stres Pascatrauma (Posttraumatic Stress Disorder-

PTSD)

Penelitian dan teori mengenai penyebab PTSD berfokus pada faktor-

faktor risiko terhadap gangguan tersebut dan juga faktor-faktor psikologis

dan biologis

a. Faktor-faktor Risiko

Terdapat beberapa faktor risiko PTSD. Menitik kejadian traumati

yang dialami, prediktor PTSD mencakup ancaman yang dirasakan

terhadap nyawa, berjenis kelamin perempuan, pemisahan dari orangtua

di masa kecil, riwaya gangguan dalam keluarga, berbagai pengalaman

traumatis sebelumnya, dan gangguan yang dialami sebelumnya (suatu

gangguan anxietas atau depresi), (Breslau dkk,199).

b. Teori-teori Psikologi

Para teoris belajar berasumsi PTSD terjadi karena pengkondisian

klasik terhadap rasa takut (Fairbank dkk 1998). Suatu psikodinamika

yang diajukan oleh Horowitz (1986-1990) menyatakan bahwa ingatan

tenang kejadian traumatik muncul secara konstan dalam pikiran

seseorang dan sangat menyakitkan sehingga secara sadar mereka

mensupresinya atau merepresinya. Orang yang bersangkutan diyakini

mengalami semacan perjuangan internal untuk mengintregasikan

trauma ke dalam keyakianannya tentang dirinya dan dunia agar dapat

menerimanya secara masuk akal.

c. Teori-teori Biologis

Penelitian pada orang kembar dan keluarga menunjukkan

kemungkinan diathesis genetik dalam PTSD (Hettema dkk, 2001).

Terlebih lagi, trauma dapat mengaktivasi sistem noradrenergik,

meningkatkan level norepinefrin sehingga membuat orang yang

bersangkutan lebih mudah terkejut dan lebih cepat mengekspresikan

emosi dibandingkan emosi normal. Konsisten dengan pandangan ini

adalah penemuan bahwa level norepinefrin lebih tinggi pada pasien

penderita PTSD dibanding pada kelompok kontrol (Geracioti dkk,

2001).

3. Terapi Gangguan Stres Pascatrauma (Posttraumatic Stress Disorder-

PTSD)

a. Debriefing Stres Insiden Kritikal

Terdapat area spesialisasi yang sedang berkembang-kadangkala

disebut traumatologi, kadangkala konseling duka cita- kadangkala

debriefing-yang terdiri dari berbagai macam profesional kesehatan

mental. Walaupun teknik-teknik yang mereka gunakan berbeda,

terdapat persamaan dalam hal kepercayaan yang telah lama dianut

bahwa hal yang terbaik adalah mengintervensi sebanyak mungkin

korban selamat dalam 24 hingga 27 jam setelah terjadinya peristiwa

traumatik, tepat sebelum PTSD memiliki kesempatan untuk

berkembang dan mengeksperiskan sekuat mungkin perasaan mereka

tentang kejadian tersebut.

b. Pendekatan di Masa Perang

Selama Perang Dunia II yang “lelah bertempu” sering kali

ditangani dengan narkosintesis (Grinker & Spiegel, 1944), suatu

produser yang dapat dianggap sebagai katarsis dengan bantuan obat a la

Breur. Tentara diinjeksi dengan sodium Pentothal ke dalam pembuluh

darah, dalam dosis yang cukup untuk menimbulkan rasa kantuk

ekstrem. Terapis kemudian menyatakan dengan suara yang meyakinkan

bahwa tentara tersebut sedang berada di medan perang di garis depan.

Jika diperlukan dan memungkinkan, terapis menyebutkan situasi intens,

kejadian-kejadian yang menakutkan mungkin telah terlupakan. Sering

kali trauma sesungguhnya dihidupkan kembali dan bahkan diperagakan

oleh pasien. Seiring pasien secara bertahap kembali ke keadaan sadar,

terapis tetap mendorong pembahasan mengenai berbagai kejadian

mengerikan dengan harapan bahwa pasien akan menyadari bahwa

semua kejadian tersebut adalah masa lalu dan bukan lagi merupakan

ancaman. Dengan cara ini diharapakan akan terjadi suatu sintesis atau

kemunculan bersama, kengerian masa lalu dengan kehidupan pasien

saat ini (Cameron & Margare, 1951).

c. Pendekatan Kognitif dan Behavioral

Penelitian terkendali mengenai penanganan PTSD telah meningkat

pesat dalam tahun-tahun terakhir seiring dengan lebih banyak perhatian

yang difokuskan pada kondisi pascatrauma seperti: bencana alam,

pemekosaan, penyiksaan anak dan terutama pertempuran. Penelitian

mutakhir dalam terapi kognitif perilaku menghasilkan beberapa temuan

berdasarkan beberapa studi yang menggunakan pengukuran teliti,

rincian penanganan dan kelompok kontrol yang tepat.

d. Pendekatan Psikoanalisis

Pendekatan psikodinamika dari Horowitz (1988, 1990) memiliki

banyak persamaan dengan penanngan yang disebutkan di atas karena

dia mendorong pasien untuk membahas trauma dan memaparkan diri

mereka terhadap kejadian yang memicu PTSD. Namun, Horowitz

menekankan cara trauma berinteraksi dengan pratrauma pasien dan

penawaran yang ditawarkannya juga memilki banyak persamaan

dengan berbagai pendekatan psikoanalitik lain, termasuk mengenai

pembahasan mengeani pertahanan dan analisis reaksi transferensi oleh

pasien. Terapi kompleks ini memerluan verifikasi emperis. Beberapa

studi terkendali yang dilakukan sejauh ini hanya memberikan sedikit

dukungan empiris terhadap efektivitasnya, (Foa & Meadows, 1997).

e. Pendekatan Biologis

Terakhir berbagai obat-obat psikoaktif untuk para pasien PTSD,

termasuk antidepresan dan tranquilizer. Kadangkala pengobatan

digunakan untuk mengatasi berbagai kondisi yang dialami bersamaan

dengan PTSD, seperti depresi; perbaikan kondisi depresi dapat

berkonstribusi terhadap perbaikan kondisi PTSD terlepas dari

bagaimana penanganan terhadap PTSD itu sendiri, (Marshall dkk,

1994). Beberapa keberhasilan kecil dilaporkan diperoleh dalam

penggunaan antidepresan, terutama penghambat pengembalian

serotonin, (Brady dkk, 2000).