correlation between the attitude toward sexual harassment, mental health problem, and job...
TRANSCRIPT
ABSTRAK
Herlina Rahmawati (0806957). HUBUNGAN ANTARA SIKAP
MENGHADAPI PERILAKU PELECEHAN SEKSUAL DENGAN MASALAH
KESEHATAN MENTAL DAN KEPUASAN KERJA PADA SALES
PROMOTION GIRL DI KOTA BANDUNG. Skripsi, Jurusan
Psikologi FIP UPI, Bandung (2013).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah
terdapat hubungan antara sikap menghadapi perilaku
pelecehan seksual dengan masalah kesehatan mental dan
kepuasan kerja pada sales promotion girl. Dalam penelitian
ini dilakukan pendekatan kuantitatif dengan menggunakan
tiga instrumen. Pertama HSCL-25 untuk mengukur masalah
kesehatan mental, yang kedua Job Satisfaction Scale-Short Version
Brayfield & Rothe untuk mengukur kepuasan kerja, dan
terakhir untuk mengukur sikap menghadapi perilaku
pelecehan seksual, peneliti menyusun instrumen
berdasarkan teori the tripartite model of attitudes yang
dicetuskan Eagly & Chaiken (1993). Teori ini
menjelaskan bahwa sikap disusun oleh tiga komponen
yaitu kognitif, afektif, dan konasi yang saling
berinteraksi untuk memahami, merasakan, dan berperilaku
terhadap objek sikap. Hasil penelitian ini menunjukan:
(1) Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara
sikap SPG menghadapi perilaku pelecehan seksual dengan
1
masalah kesehatan mental. (2) Tidak terdapat hubungan
yang signifikan antara sikap SPG menghadapi perilaku
pelecehan seksual dengan kepuasan kerja dikarenakan
terdapat berbagai faktor lain yang dapat mempengaruhi
kepuasan kerja selain sikap menghadapi perilaku
pelecehan seksual.
Kata kunci: pelecehan seksual, masalah kesehatan
mental, kepuasan kerja.
ABSTRACT
Herlina Rahmawati (0806957). CORRELATION BETWEEN THE
ATTITUDE TOWARD SEXUAL HARASSMENT, MENTAL HEALTH
PROBLEM, AND JOB SATISFACTION OF SALES PROMOTION GIRL
ON BANDUNG. Skripsi, Psychology Major, Education Study
Faculty, Education University of Indonesia, Bandung
(2013).
This research purpose is to investigate correlation
between the attitude toward sexual harassment, mental
health problem, and job satisfaction of sales promotion
girl. In this research an author used quantitative
2
methode with three instruments. First is HSCL-25 to
measures mental health problem, second is Job
Satisfaction Scale-Short Version Brayfield & Rothe to
measures job satisfaction, and the last is an author’s
original instrument based of Eagly & Chaiken’s the
tripartite model of attitudes theory (1993) to measure
attitude toward sexual harassment. This theory explain
that attitude is built by three components, that is
cognition, affective, and conative, then the three of
them will interact each other to understand, to feel,
to behave toward attitude object. The outcomes of this
research are: (1) There’s no correlation between the
attitude toward sexual harassment and mental health
problem. (2) There’s no correlation between the
attitude toward sexual harassment and job satisfaction
because there’s a lot of factor that can determine job
satisfaction other than the attitude.
Key words: sexual harassment, mental health problem,
job satisfaction.
3
PENDAHULUAN
Menurut Winarsunu (2008), bagi pria identitas
gender pada wanita lebih penting dari pada identitas
pekerjaannya. Hal ini dapat menimbulkan resiko
terjadinya pelecehan seksual karena faktor utama yang
mempengaruhi terjadinya pelecehan seksual adalah adanya
ketertarikan fisik pelaku terhadap korban, seperti
dalam kasus ini adalah ketertarikan konsumen terhadap
SPG, karena ciri khas SPG adalah memiliki performance
atau penampilan fisik yang menarik sebagai salah satu
sarat utama menjadi SPG. Budiarti (2009) mengatakan
bahwa sebagian besar korban pelecehan seksual adalah
wanita. Sehingga pekerja wanita terutama yang
berprofesi sebagai SPG dituntut untuk dapat melindungi
dirinya dari ancaman pelecehan seksual di tempat
kerjanya sendiri.
Winarsunu (2008) juga menjelaskan bahwa pelecehan
seksual menimbulkan konsekuensi negatif secara fisik,
emosi, dan mempengaruhi performa kerja korban. Berat
ringannya akibat yang diderita korban dipengaruhi oleh
banyak hal, diantaranya adalah penghayatan korban
terhadap peristiwa yang terjadi. Filosofi yang dimiliki
korban juga sangat menentukan penghayatan terhadap
4
peristiwa. Oleh karena itu sikap yang ditunjukan SPG
dalam menghadapi perilaku pelecehan seksual juga dapat
berbeda-beda. Sikap sendiri merupakan kecenderungan
untuk bertindak sebagai reaksi terhadap rangsang dan
merupakan suatu interelasi dari berbagai komponen,
yaitu komponen kognitif, afektif, dan konasi (Eagly &
Chaiken, 1993).
Dikarenakan sikap yang ditujukan setiap SPG
bervariasi terhadap perilaku pelecehan seksual, maka
efek perilaku pelecehan seksual yang diterima oleh SPG,
baik secara fisik, psikologis, maupun efek terhadap
performa kerja dapat berbeda-beda pula. Efek terhadap
psikologis berkaitan erat dengan kesehatan mental yang
meliputi upaya-upaya mengatasi stres kerja, bagaimana
cara berinteraksi dengan orang lain, dan proses
pengambilan keputusan (Yusuf, 2009). Menurut penelitian
yang dilakukan Nielsen, Bjørkelo, Notelaers, dan
Einarsen (2009) perilaku pelecehan seksual memiliki
hubungan yang signifikan terhadap masalah kesehatan
mental dan rendahnya kepuasan kerja pada karyawan pria
dan wanita. Berdasarkan informasi di atas penulis
tertarik untuk meneliti hubungan antara sikap
menghadapi perilaku pelecehan seksual dengan masalah
kesehatan mental dan kepuasan kerja pada Sales Promotion
Girl (SPG).
5
KAJIAN TEORI
Pelecehan Seksual
Definisi pelecehan seksual menurut Winarsunu (2008)
adalah segala macam bentuk perilaku yang berkonotasi
seksual yang dilakukan secara sepihak dan tidak
dikehendaki oleh korbannya. Bentuknya dapat berupa
ucapan, tulisan, simbol, isyarat, dan tindakan yang
berkonotasi seksual. Suatu perilaku dapat dikatakan
sebagai pelecehan seksual jika mengandung unsur-unsur
sebagai berikut:
1. Adanya pemaksaan kehendak secara sepihak oleh
pelaku.
2. Kejadian ditentukan oleh motivasi pelaku.
3. Kejadian tidak diinginkan korban.
4. Kejadian tidak menyenangkan korban.
5. Mengakibatkan penderitaan pada korban.
Sikap
Sikap menurut Eagly & Chaiken (1993) merupakan
suatu interelasi dari berbagai komponen yang merupakan
predisposisi untuk menentukan perilaku individu dan
disebut dengan the tripartite model of attitudes. Komponen
tersebut antara lain:
6
1. Komponen kognitif: komponen yang tersusun atas
dasar pengetahuan atau informasi yang dimiliki
seseorang tentang objek sikapnya. Dari pengetahuan
ini kemudian akan terbentuk suatu keyakinan
tertentu tentang objek sikap tersebut.
2. Komponen afektif: berhubungan dengan rasa senang
dan tidak senang, sifatnya evaluatif yang
berhubungan erat dengan nilai-nilai kebudayaan atau
sistem nilai yang dimilikinya. Komponen tersebut
dapat bersifat positif maupun negatif. Jika
individu memiliki perasaan positif pada suatu
objek, maka dapat dikatakan individu tersebut
menyukai objek tersebut atau bersikap favorable.
Sebaliknya jika individu memiliki perasaan negatif,
maka individu tidak menyukai objek tersebut atau
memiliki sikap unfavorable.
3. Komponen konasi: kesiapan seseorang untuk
bertingkah laku yang berhubungan dengan objek
sikapnya. Komponen konasi sesuai dengan sikap yang
dimiliki individu. Jika sikapnya positif maka
individu memiliki kecenderungan untuk mendekati
objek, sebaliknya jika sikapnya negatif maka akan
cenderung menolak objek sikap.
Sikap seseorang pada suatu objek sikap merupakan
manifestasi dari konstelasi ketiga komponen tersebut
yang saling berinteraksi untuk memahami, merasakan, dan
7
berperilaku terhadap objek sikap (Dayaksini & Hudaniah,
2009).
Menurut Katz (dalam Dayaksini & Hudaniah, 2009)
terdapat empat fungsi sikap, yaitu:
1. Utilitarian Function
Sikap memungkinkan seseorang untuk memperoleh atau
memaksimalkan ganjaran (reward) atau persetujuan dan
meminimalkan hukuman. Dengan kata lain sikap dapat
berfungsi sebagai penyesuaian sosial.
2. Knowledge Function
Sikap membantu dalam memahami lingkungan (sebagai
skema) dengan melengkapi ringkasan evaluasi tentang
objek dan kelompok objek atau segala sesuatu yang
dijumpai di dunia ini.
3. Value-Expressive Function
Sikap kadang-kadang mengkomunikasikan nilai dan
identitas yang dimiliki seseorang terhadap orang
lain.
4. Ego Defensive Function
Sikap melindungi diri, menutupi kesalahan, agresi,
dan sebagainya dalam rangka mempertahankan diri.
Sikap ini mencerminkan kepribadian individu yang
bersangkutan dan masalah-masalah yang belum
mendapatkan penyeselaian secara tuntas, sehingga
individu berusaha mempertahankan dirinya secara
8
tidak wajar karena ia merasa takut kehilangan
statusnya.
Masalah Kesehatan Mental
Masalah kesehatan mental (menthal health problem) atau
dapat juga disebut dengan psychological distress menurut
Rickels & Uhlenhuth (dalam Derogatis, dkk., 2001) dapat
dibagi menjadi beberapa simptom dasar, yaitu:
1. Somatization: simptom yang ditandai dengan
ketidakberfungsian tubuh individu secara normal.
Simptom ini meliputi gangguan kardiovaskular,
gastrointestinal, pernafasan, dan gangguan sistem
organ tubuh lainnya. Sakit kepala, rasa sakit dan
pegal pada otot dapat pula termasuk simptom ini.
Menurut Wiramihardja (2005) somatisasi ditandai
oleh keluhan-keluhan menyangkut penyakit-penyakit
fisik untuk jangka waktu lama dan biasanya timbul
pada usia 30 tahun ke bawah. Somatisasi termasuk ke
dalam somatoform disorder yaitu gangguan yang bersifat
psikologis tetapi tampil dalam bentuk gangguan
fisik yang melibatkan pola neurotik yang didasari
anxiety. Seperti individu yang mengeluhkan simptom-
simptom jasmaniah seolah-olah ada masalah fisik,
tetapi pada kenyataannya tidak ada landasan organis
yang ditemukan.
9
2. Depression: simptom ini meliputi sindrom klinis
depresi, seperti suasana hati cenderung negatif,
menarik diri dari kehidupan sehari-hari, motivasi
yang rendah, merasa putus asa, segala usaha yang
dilakukan dirasa sia-sia, dan kehilangan energi
vital atau tidak bersemangat. Depresi dapat
diakibatkan oleh rendahnya toleransi individu
terhadap stress.
3. Anxiety: simptom anxiety disini meliputi segala bentuk
perilaku hasil manisfestasi kecemasan akut, seperti
individu sulit beristirahat, merasa gugup, tegang,
dan bentuk somatis lainnya yaitu gemetaran.
Kecemasan yang meluap-luap dan panic attack juga
termasuk dalam simptom ini. Menurut Wiramihardja
(2005) gangguan anxiety merupakan suatu gangguan
yang memiliki ciri kecemasan atau ketakutan yang
tidak realistik dan irasional.
Kepuasan Kerja
Brayfield & Rothe (dalam Nielsen, dkk., 2009)
menjabarkan bahwa kepuasan kerja karyawan dapat diukur
melalui sikap karyawan terhadap pekerjaannya, seperti
sejauhmana tingkat antusiasme karyawan terhadap
pekerjaannya, serta apakah karyawan nyaman dan puas
dengan pekerjaan yang dimiliki saat ini.
10
Menurut Hariandja (2009), terdapat beberapa faktor
yang mempengaruhi kepuasan kerja, yaitu:
1. Gaji: jumlah bayaran yang diterima seseorang
sebagai akibat dari pelaksanaan kerja apakah sesuai
dengan kebutuhan dan dirasakan adil.
2. Pekerjaan itu sendiri: isi pekerjaan yang dilakukan
karyawan apakah memiliki elemen yang memuaskan.
3. Rekan kerja: orang-orang yang berinteraksi dalam
pelaksanaan pekerjaan. Karyawan dapat merasa rekan
kerjanya menyenangkan atau tidak.
4. Atasan: individu yang senantiasa memberi perintah
atau petunjuk dalam pelaksanaan kerja. Cara atasan
memimpin dapat dinilai menyenangkan atau tidak
menyengangkan oleh karyawan sehingga mempengaruhi
kepuasan kerja karyawan.
5. Promosi: kemungkinan karyawan dapat berkembang
melalui kenaikan jabatan.
6. Lingkungan kerja: meliputi lingkungan fisik dan
psikologis.
Sedangkan menurut Hasibuan (2009) kepuasan kerja
karyawan dipengaruhi faktor-faktor berikut ini:
1. Balas jasa yang adil dan layak.
2. Penempatan yang tepat sesuai dengan keahlian.
3. Berat-ringannya pekerjaan.
4. Suasana dan lingkungan pekerjaan.
11
5. Peralatan yang menunjang pelaksanaan pekerjaan.
6. Sikap pimpinan dalam kepemimpinannya.
7. Sifat pekerjaan monoton atau tidak.
METODE PENELITIAN
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk
mengetahui hubungan antara sikap menghadapi pelecahan
seksual dengan masalah kesehatan mental dan kepuasan
kerja yang dimiliki Sales Promotion Girl. Populasi
penelitiannya adalah SPG di Kota Bandung dan karena
jumlah populasinya sulit ditentukan maka tergolong
kategori populasi tak terhingga. Teknik pengambilan
sampel yang dapat digunakan kepada populasi tak
terhingga yang jumlah populasinya sulit ditentukan
ialah teknik sampling seadanya (Sudjana, 2005). Teknik
ini tidak menyertakan perhitungan apapun mengenai
derajat kerepresentatifan sampel. Sehingga untuk
meningkatkan derajat kerepresentatifan sampel, jumlah
sampel penelitian harus cukup besar yaitu sedikitnya
100 orang.
Pendekatan yang digunakan pada penelitian ini
adalah pendekatan kuantitatif. Pendekatan kuantitatif
bertujuan untuk menjelaskan, meramalkan, dan/atau
mengontrol fenomena melalui pengumpulan data terfokus
12
dari data numerik. Dengan kata lain pendekatan ini
menjelaskan penyebab fenomena sosial melalui pengukuran
objektif dan analisis numerikal (Moleong, 2010).
Sedangkan metode penelitian yang digunakan adalah
metode korelasional. Metode ini bertujuan untuk
mengetahui seberapa kuat derajat hubungan antara
variabel-variabel penelitian (Sudjana, 2005).
Dikarenakan pada penelitian ini terdapat tiga
variabel, maka terdapat pula tiga alat ukur atau
instrumen. Instrumen yang pertama bertujuan untuk
mengukur sikap terhadap perilaku pelecehan seksual
dirancang oleh peneliti berdasarkan teori sikap menurut
Eagly & Chaiken (1993). Menurut teori tersebut sikap
merupakan kecenderungan untuk bertindak sebagai reaksi
terhadap rangsang objek sikap yaitu perilaku pelecehan
seksual dan terdiri atas tiga komponen yaitu kognitif,
afektif, dan konasi.
Instrumen yang kedua merupakan adaptasi dari The
Hopkins Symptom Checklist versi 25 item (HSCL-25) guna
mengukur masalah kesehatan mental. HSCL-25 merupakan
versi kecil dari HSCL yang terdiri dari 58 item dengan
lima dimensi, sedangkan HSCL-25 terdiri dari tiga
dimensi yaitu depression (depresi), anxiety (kecemasan)
dan somatization (somatisasi). Item-item dalam HSCL
13
disusun berdasarkan penilaian ahli klinis yaitu Rickels
dan Uhlenhuth dimana keduanya telah berpengalaman dalam
menangani berbagai masalah klinis sehingga memenuhi
kualifikasi untuk menyusun alat ukur masalah kesehatan
mental. Selain itu HSCL juga telah melalui proses
analisis faktor dengan rotasi orthogonal dan oblique
terhadap 1.115 pasien anxiety. HSCL memiliki empat
pilihan jawaban yaitu tidak pernah, jarang, kadang-
kadang, dan sering kali, serta keempatnya diberi nilai
1 sampai dengan 4 (Derogatis, 2001). Penggunaan HSCL-
25 pada penelitian ini didasari oleh penelitian
terdahulu yaitu yang dilakukan oleh Nielsen, Bjørkelo,
Notelaers, dan Einarsen (2009) yang menunjukan bahwa
HSCL-25 mampu mengukur masalah kesehatan mental yang
diakibatkan pengalaman mendapat perilaku pelecehan
seksual pada lingkungan pekerjaan. Nilai reliabilitas
HSCL-25 diukur melalui Cronbach Alpha dan 9735
partisipan menunjukan nilai 0,93 yang berarti sangat
reliabel. Serta berdasarkan hasil uji coba instrumen
tersebut ditentukan nilai batas minimum individu dapat
dikategorikan memiliki masalah kesehatan mental ialah
1,75 (Strand, 2002).
Instrumen yang ketiga juga merupakan adaptasi dari
The Job Satisfaction Scale-Short Version ciptaan Brayfield & Rothe
(dalam Nielsen, 2009). Alat ukur ini terdiri atas lima
14
item dan dua diantaranya adalah item unfavorable, serta
lima pilihan jawaban. Nilai reliabilitas instrumen
diukur melalui Cronbach Alpha ialah 0,81 yang berarti
reliabel.
Untuk mengetahui apakah terdapat hubungan yang
signifikan antara sikap menghadapi perilaku pelecehan
seksual dengan masalah kesehatan mental dan kepuasan
kerja pada SPG, teknik statistik yang digunakan
tergantung hasil uji normalitas data. Berdasarkan hasil
uji normalitas data diketahui bahwa terdapat data
sebaran yang tidak normal pada dua dari tiga variabel
penelitian, maka dari itu untuk mengetahui korelasi
antar variabel digunakan teknik statistik Spearman’s
Roe yang merupakan teknik statistik non parametrik
untuk mengukur hubungan antara dua variabel atau lebih
yang memiliki distribusi data tidak normal (Field,
2000).
HASIL PENELITIAN
1. Hubungan antara sikap SPG menghadapi perilaku
pelecehan seksual dengan masalah kesehatan mental
Hipotesis
15
Ho: Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara
sikap menghadapi perilaku pelecehan seksual dengan
masalah kesehatan mental pada SPG.
Ha: Terdapat hubungan yang signifikan antara sikap
menghadapi perilaku pelecehan seksual dengan
masalah kesehatan mental pada SPG.
CorrelationsSikap Kesmen
Spearman's rho Sikap Correlation Coefficient 1.000 .010Sig. (2-tailed) . .917N 103 103
Kesmen Correlation Coefficient .010 1.000Sig. (2-tailed) .917 .N 103 103
Berdasarkan hasil perhitungan untuk hipotesis 1
diketahui p=0,917 yang berarti Ho diterima, dengan
r=0,010 dan termasuk ke dalam kriteria derajat
korelasi sangat rendah. Dengan kata lain tidak
terdapat hubungan yang signifikan antara sikap
menghadapi perilaku pelecehan seksual dengan
masalah kesehatan mental pada SPG.
2. Hubungan antara sikap SPG menghadapi perilaku
pelecehan seksual dengan kepuasan kerja
Hipotesis
Ho: Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara
sikap menghadapi perilaku pelecehan seksual dengan
kepuasan kerja pada SPG.
16
Ha: Terdapat hubungan yang signifikan antara sikap
menghadapi perilaku pelecehan seksual dengan
kepuasan kerja pada SPG.
CorrelationsSikap KK
Spearman's rho Sikap Correlation Coefficient 1.000 .077Sig. (2-tailed) . .439N 103 103
KK Correlation Coefficient .077 1.000Sig. (2-tailed) .439 .N 103 103
Berdasarkan hasil perhitungan p=0,439 yang berarti
Ho diterima, dengan r=0,077 dan termasuk ke dalam
kriteria derajat korelasi sangat rendah. Dengan
kata lain tidak terdapat hubungan yang signifikan
antara antara sikap terhadap perilaku pelecehan
seksual dengan kepuasan kerja pada SPG.
PEMBAHASAN
1. Hubungan antara sikap SPG menghadapi perilaku
pelecehan seksual dengan masalah kesehatan mental
Berdasarkan hasil di atas diketahui tidak terdapat
hubungan yang signifikan antara sikap SPG
menghadapi perilaku pelecehan seksual dengan
masalah kesehatan mental. Tidak terdapatnya
hubungan yang signifikan antara sikap menghadapi
perilaku pelecehan seksual dengan masalah kesehatan
17
mental dapat disebabkan oleh fungsi sikap itu
sendiri.
Menurut Katz (dalam Dayaksini & Hudaniah, 2009)
terdapat empat fungsi sikap, yaitu Utilitarian Function,
Knowledge Function, Value-Expressive Function, dan Ego
Defensive Function. Utilitarian Function memungkinkan
seseorang untuk memperoleh atau memaksimalkan
ganjaran (reward) atau persetujuan dan meminimalkan
hukuman, atau dengan kata lain sikap dapat
berfungsi sebagai penyesuaian sosial. Knowledge
Function membantu dalam memahami lingkungan (sebagai
skema) dengan melengkapi ringkasan evaluasi tentang
objek dan kelompok objek atau segala sesuatu yang
dijumpai di dunia ini. Value-Expressive Function
mengkomunikasikan nilai dan identitas yang dimiliki
seseorang terhadap orang lain. Dan Ego Defensive
Function melindungi diri, menutupi kesalahan,
agresi, dan sebagainya dalam rangka mempertahankan
diri. Keempat fungsi tersebut menunjukan bahwa
sikap SPG baik positif maupun negatif terhadap
perilaku pelecehan seksual merupakan bentuk
pemahaman mereka terhadap lingkungannya dalam
rangka penyesuaian sosial sekaligus cara mereka
mengkomunikasikan nilai dan identitas yang dimiliki
serta bentuk pertahanan diri, sehingga tidak
18
menentukan apakah mereka dapat memiliki masalah
kesehatan mental atau tidak. Sikap positif terhadap
perilaku pelecehan seksual tidak menjamin SPG tidak
memiliki masalah kesehatan mental, begitu pula
sikap negatif tidak menentukan SPG tidak memiliki
masalah kesehatan mental.
Maka dari itu SPG yang memiliki sikap positif
terhadap perilaku pelecehan seksual dapat memiliki
mental yang sehat karena tidak menganggap perilaku
pelecehan seksual sebagai gangguan atau ancaman
terhadap dirinya yang dapat menimbulkan masalah
kesehatan mental seperti depresi, anxiety, atau
somatisasi. Namun dapat pula sikap yang positif
menimbulkan masalah kesehatan mental karena
perilaku pelecehan seksual merupakan tindakan yang
melanggar norma sosial dan umumnya dinilai negatif
oleh masyarakat sehingga SPG yang menilai secara
positif dapat merasa cemas akan penilaian
masyarakat terhadap dirinya.
Begitu pula SPG yang memiliki sikap negatif
terhadap perilaku pelecehan seksual dapat memiliki
mental yang sehat karena dirinya cenderung
menghindari pelanggan dan orang-orang yang
berpotensi menjadi pelaku pelecehan seksual
19
sehingga dapat mencegah dirinya mendapat pelecehan
seksual dan bebas dari depresi dan kecemasan pasca
mendapat perilaku pelecehan seksual (Winarsunu,
2008). Namun SPG dengan sikap negatif dapat pula
memiliki masalah kesehatan mental dikarenakan
pekerjaannya saat ini sangat rawan terhadap
pelecehan seksual sehingga dapat menimbulkan
kecemasan dan ketakutan berlebih akan kemungkinan
dirinya mendapat pelecehan seksual jika terus
bekerja sebagai SPG bahkan dapat menimbulkan
depresi dan gangguan somatisasi (Budiarti, 2009).
Kesimpulannya berbeda dengan hasil penelitian
Nielsen, dkk. (2009) bahwa pengalaman mendapat
pelecehan seksual pasti akan menimbukan masalah
kesehatan mental, sikap menghadapi perilaku
pelecehan seksual belum tentu menimbulkan masalah
kesehatan mental.
2. Hubungan antara sikap SPG menghadapi perilaku
pelecehan seksual dengan kepuasan kerja
Berdasarkan hasil penelitian sama halnya dengan
korelasi antara dua variabel sebelumnya, diketahui
bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan
antara sikap SPG menghadapi perilaku pelecehan
seksual dengan kepuasan kerja. Hal ini dikarenakan
20
terdapat berbagai faktor lain yang dapat
mempengaruhi kepuasan kerja selain sikap menghadapi
perilaku pelecehan seksual.
Perilaku pelecehan seksual hanya merupakan salah
satu resiko yang muncul pada lingkungan kerja kerja
SPG, dan suasana lingkungan pekerjaan merupakan
satu dari beberapa faktor yang mempengaruhi
kepuasan kerja, sehingga pengaruhnya tidak cukup
kuat terhadap kepuasan kerja. Terutama jika
variabel yang diteliti merupakan sikap menghadapi
perilaku pelecehan seksual atau dengan kata lain
tendensi atau kecenderungan berperilaku menghadapi
pelecehan seksual. Berbeda dengan penelitian
sebelumnya yang dilakukan oleh Nielsen, dkk. (2009)
yang menjadikan pengalaman mendapat perilaku
pelecehan seksual sebagai variabel. Pada penelitian
tersebut terdapat hubungan yang signifikan antara
pengalaman mendapat perilaku pelecehan seksual
dengan masalah kesehatan mental dan kepuasan kerja.
KESIMPULAN
Pada penelitian ini ditemukan beberapa informasi
yang dapat disimpulkan sebagai berikut:
21
1. Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara
sikap SPG menghadapi perilaku pelecehan seksual
dengan masalah kesehatan mental. Hal ini disebabkan
fungsi sikap sebagai bentuk pemahaman mereka
terhadap perilaku pelecehan seksual dalam rangka
penyesuaian sosial sekaligus cara mereka
mengkomunikasikan nilai dan identitas yang dimiliki
serta bentuk pertahanan diri, sehingga sikap
tersebut tidak dapat menentukan apakah SPG akan
memiliki masalah kesehatan mental atau tidak. Sikap
positif SPG terhadap perilaku pelecehan seksual
tidak menjamin SPG tidak memiliki masalah kesehatan
mental, begitu pula sikap negatif tidak menentukan
SPG tidak memiliki masalah kesehatan mental.
2. Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara
sikap SPG menghadapi perilaku pelecehan seksual
dengan kepuasan kerja. Hal ini dikarenakan terdapat
berbagai faktor lain yang dapat mempengaruhi
kepuasan kerja selain sikap menghadapi perilaku
pelecehan seksual, antara lain gaji, lingkungan
kerja, dan beban kerja.
DAFTAR PUSTAKA
Budiarti, I. (2009). Stop Sexual Harassment. [Online].Tersedia: http://unionism.
22
wordpress.com/2009/02/06/stop-sexual-harassment-and-violence-at-work/ (9 Maret 2011).
Dayaksini, T. & Hudaniah. (2009). Psikologi Sosial. Malang:UMM Press.
Derogatis, L. R., Lipman, R. S., Rickels, K.,Uhlenhuth, E. H., & Covi, L. (2001). The HopkinsSymptom Checklist (HSCL): A Self-Report Symptom Inventory.Behavioral Science. USA: American Psychiatrics Press.
Eagly, A. H. & Chaiken, S. (1993). The Psychological ofAttitudes. Florida: HBJ.
Field, A. (2000). Discovering Statistic Using SPSS for Windows.London: SAGE Publications Ltd.
Hariandja, M. T. E. (2009). Manajemen Sumber Daya Manusia.Jakarta: Grasindo.
Hasibuan, M. S. P. (2009). Manajemen Sumber Daya Manusia.Jakarta: Bumi Aksara.
Moleong, L. J. (2010). Metodologi Penelitian Kualitatif.Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Nielsen, M. B., Bjørkelo, B., Notelaers, G. & Einarsen,S. (2009). Sexual Harassment: Prevalence, Outcomes, andGender Differences Assessed by Three Different Estimation Methods.Journal of Aggression, Maltreatment & Trauma. UK: RoutledgeTaylor & Francis Group, LLC.
Strand, B. H., Dalgard, O. S., Tambs, K. & Rognerud, M.(2002). Measuring The Mental Health Status of The NorwegianPopulation: A Comparison of The Instruments SCL-25, SCL-10, SCL-5
23
and MHI-5 (SF-36). UK: Routledge Taylor & FrancisGroup, LLC.
Sudjana. (2005). Metoda Statistika. Bandung: Tarsito.
Winarsunu, T. (2008). Psikologi Keselamatan Kerja. Malang:UMM Press.
Wiramihardja, S. A. (2005). Pengantar Psikologi Abnormal.Bandung: Refika Aditama.
Yusuf, S. (2009). Mental Hygiene. Bandung: Maestro.
24