correlation between the attitude toward sexual harassment, mental health problem, and job...

24
ABSTRAK Herlina Rahmawati (0806957). HUBUNGAN ANTARA SIKAP MENGHADAPI PERILAKU PELECEHAN SEKSUAL DENGAN MASALAH KESEHATAN MENTAL DAN KEPUASAN KERJA PADA SALES PROMOTION GIRL DI KOTA BANDUNG. Skripsi, Jurusan Psikologi FIP UPI, Bandung (2013). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara sikap menghadapi perilaku pelecehan seksual dengan masalah kesehatan mental dan kepuasan kerja pada sales promotion girl. Dalam penelitian ini dilakukan pendekatan kuantitatif dengan menggunakan tiga instrumen. Pertama HSCL-25 untuk mengukur masalah kesehatan mental, yang kedua Job Satisfaction Scale-Short Version Brayfield & Rothe untuk mengukur kepuasan kerja, dan terakhir untuk mengukur sikap menghadapi perilaku pelecehan seksual, peneliti menyusun instrumen berdasarkan teori the tripartite model of attitudes yang dicetuskan Eagly & Chaiken (1993). Teori ini menjelaskan bahwa sikap disusun oleh tiga komponen yaitu kognitif, afektif, dan konasi yang saling berinteraksi untuk memahami, merasakan, dan berperilaku terhadap objek sikap. Hasil penelitian ini menunjukan: (1) Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara sikap SPG menghadapi perilaku pelecehan seksual dengan 1

Upload: upi

Post on 20-Feb-2023

0 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

ABSTRAK

Herlina Rahmawati (0806957). HUBUNGAN ANTARA SIKAP

MENGHADAPI PERILAKU PELECEHAN SEKSUAL DENGAN MASALAH

KESEHATAN MENTAL DAN KEPUASAN KERJA PADA SALES

PROMOTION GIRL DI KOTA BANDUNG. Skripsi, Jurusan

Psikologi FIP UPI, Bandung (2013).

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah

terdapat hubungan antara sikap menghadapi perilaku

pelecehan seksual dengan masalah kesehatan mental dan

kepuasan kerja pada sales promotion girl. Dalam penelitian

ini dilakukan pendekatan kuantitatif dengan menggunakan

tiga instrumen. Pertama HSCL-25 untuk mengukur masalah

kesehatan mental, yang kedua Job Satisfaction Scale-Short Version

Brayfield & Rothe untuk mengukur kepuasan kerja, dan

terakhir untuk mengukur sikap menghadapi perilaku

pelecehan seksual, peneliti menyusun instrumen

berdasarkan teori the tripartite model of attitudes yang

dicetuskan Eagly & Chaiken (1993). Teori ini

menjelaskan bahwa sikap disusun oleh tiga komponen

yaitu kognitif, afektif, dan konasi yang saling

berinteraksi untuk memahami, merasakan, dan berperilaku

terhadap objek sikap. Hasil penelitian ini menunjukan:

(1) Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara

sikap SPG menghadapi perilaku pelecehan seksual dengan

1

masalah kesehatan mental. (2) Tidak terdapat hubungan

yang signifikan antara sikap SPG menghadapi perilaku

pelecehan seksual dengan kepuasan kerja dikarenakan

terdapat berbagai faktor lain yang dapat mempengaruhi

kepuasan kerja selain sikap menghadapi perilaku

pelecehan seksual.

Kata kunci: pelecehan seksual, masalah kesehatan

mental, kepuasan kerja.

ABSTRACT

Herlina Rahmawati (0806957). CORRELATION BETWEEN THE

ATTITUDE TOWARD SEXUAL HARASSMENT, MENTAL HEALTH

PROBLEM, AND JOB SATISFACTION OF SALES PROMOTION GIRL

ON BANDUNG. Skripsi, Psychology Major, Education Study

Faculty, Education University of Indonesia, Bandung

(2013).

This research purpose is to investigate correlation

between the attitude toward sexual harassment, mental

health problem, and job satisfaction of sales promotion

girl. In this research an author used quantitative

2

methode with three instruments. First is HSCL-25 to

measures mental health problem, second is Job

Satisfaction Scale-Short Version Brayfield & Rothe to

measures job satisfaction, and the last is an author’s

original instrument based of Eagly & Chaiken’s the

tripartite model of attitudes theory (1993) to measure

attitude toward sexual harassment. This theory explain

that attitude is built by three components, that is

cognition, affective, and conative, then the three of

them will interact each other to understand, to feel,

to behave toward attitude object. The outcomes of this

research are: (1) There’s no correlation between the

attitude toward sexual harassment and mental health

problem. (2) There’s no correlation between the

attitude toward sexual harassment and job satisfaction

because there’s a lot of factor that can determine job

satisfaction other than the attitude.

Key words: sexual harassment, mental health problem,

job satisfaction.

3

PENDAHULUAN

Menurut Winarsunu (2008), bagi pria identitas

gender pada wanita lebih penting dari pada identitas

pekerjaannya. Hal ini dapat menimbulkan resiko

terjadinya pelecehan seksual karena faktor utama yang

mempengaruhi terjadinya pelecehan seksual adalah adanya

ketertarikan fisik pelaku terhadap korban, seperti

dalam kasus ini adalah ketertarikan konsumen terhadap

SPG, karena ciri khas SPG adalah memiliki performance

atau penampilan fisik yang menarik sebagai salah satu

sarat utama menjadi SPG. Budiarti (2009) mengatakan

bahwa sebagian besar korban pelecehan seksual adalah

wanita. Sehingga pekerja wanita terutama yang

berprofesi sebagai SPG dituntut untuk dapat melindungi

dirinya dari ancaman pelecehan seksual di tempat

kerjanya sendiri.

Winarsunu (2008) juga menjelaskan bahwa pelecehan

seksual menimbulkan konsekuensi negatif secara fisik,

emosi, dan mempengaruhi performa kerja korban. Berat

ringannya akibat yang diderita korban dipengaruhi oleh

banyak hal, diantaranya adalah penghayatan korban

terhadap peristiwa yang terjadi. Filosofi yang dimiliki

korban juga sangat menentukan penghayatan terhadap

4

peristiwa. Oleh karena itu sikap yang ditunjukan SPG

dalam menghadapi perilaku pelecehan seksual juga dapat

berbeda-beda. Sikap sendiri merupakan kecenderungan

untuk bertindak sebagai reaksi terhadap rangsang dan

merupakan suatu interelasi dari berbagai komponen,

yaitu komponen kognitif, afektif, dan konasi (Eagly &

Chaiken, 1993).

Dikarenakan sikap yang ditujukan setiap SPG

bervariasi terhadap perilaku pelecehan seksual, maka

efek perilaku pelecehan seksual yang diterima oleh SPG,

baik secara fisik, psikologis, maupun efek terhadap

performa kerja dapat berbeda-beda pula. Efek terhadap

psikologis berkaitan erat dengan kesehatan mental yang

meliputi upaya-upaya mengatasi stres kerja, bagaimana

cara berinteraksi dengan orang lain, dan proses

pengambilan keputusan (Yusuf, 2009). Menurut penelitian

yang dilakukan Nielsen, Bjørkelo, Notelaers, dan

Einarsen (2009) perilaku pelecehan seksual memiliki

hubungan yang signifikan terhadap masalah kesehatan

mental dan rendahnya kepuasan kerja pada karyawan pria

dan wanita. Berdasarkan informasi di atas penulis

tertarik untuk meneliti hubungan antara sikap

menghadapi perilaku pelecehan seksual dengan masalah

kesehatan mental dan kepuasan kerja pada Sales Promotion

Girl (SPG).

5

KAJIAN TEORI

Pelecehan Seksual

Definisi pelecehan seksual menurut Winarsunu (2008)

adalah segala macam bentuk perilaku yang berkonotasi

seksual yang dilakukan secara sepihak dan tidak

dikehendaki oleh korbannya. Bentuknya dapat berupa

ucapan, tulisan, simbol, isyarat, dan tindakan yang

berkonotasi seksual. Suatu perilaku dapat dikatakan

sebagai pelecehan seksual jika mengandung unsur-unsur

sebagai berikut:

1. Adanya pemaksaan kehendak secara sepihak oleh

pelaku.

2. Kejadian ditentukan oleh motivasi pelaku.

3. Kejadian tidak diinginkan korban.

4. Kejadian tidak menyenangkan korban.

5. Mengakibatkan penderitaan pada korban.

Sikap

Sikap menurut Eagly & Chaiken (1993) merupakan

suatu interelasi dari berbagai komponen yang merupakan

predisposisi untuk menentukan perilaku individu dan

disebut dengan the tripartite model of attitudes. Komponen

tersebut antara lain:

6

1. Komponen kognitif: komponen yang tersusun atas

dasar pengetahuan atau informasi yang dimiliki

seseorang tentang objek sikapnya. Dari pengetahuan

ini kemudian akan terbentuk suatu keyakinan

tertentu tentang objek sikap tersebut.

2. Komponen afektif: berhubungan dengan rasa senang

dan tidak senang, sifatnya evaluatif yang

berhubungan erat dengan nilai-nilai kebudayaan atau

sistem nilai yang dimilikinya. Komponen tersebut

dapat bersifat positif maupun negatif. Jika

individu memiliki perasaan positif pada suatu

objek, maka dapat dikatakan individu tersebut

menyukai objek tersebut atau bersikap favorable.

Sebaliknya jika individu memiliki perasaan negatif,

maka individu tidak menyukai objek tersebut atau

memiliki sikap unfavorable.

3. Komponen konasi: kesiapan seseorang untuk

bertingkah laku yang berhubungan dengan objek

sikapnya. Komponen konasi sesuai dengan sikap yang

dimiliki individu. Jika sikapnya positif maka

individu memiliki kecenderungan untuk mendekati

objek, sebaliknya jika sikapnya negatif maka akan

cenderung menolak objek sikap.

Sikap seseorang pada suatu objek sikap merupakan

manifestasi dari konstelasi ketiga komponen tersebut

yang saling berinteraksi untuk memahami, merasakan, dan

7

berperilaku terhadap objek sikap (Dayaksini & Hudaniah,

2009).

Menurut Katz (dalam Dayaksini & Hudaniah, 2009)

terdapat empat fungsi sikap, yaitu:

1. Utilitarian Function

Sikap memungkinkan seseorang untuk memperoleh atau

memaksimalkan ganjaran (reward) atau persetujuan dan

meminimalkan hukuman. Dengan kata lain sikap dapat

berfungsi sebagai penyesuaian sosial.

2. Knowledge Function

Sikap membantu dalam memahami lingkungan (sebagai

skema) dengan melengkapi ringkasan evaluasi tentang

objek dan kelompok objek atau segala sesuatu yang

dijumpai di dunia ini.

3. Value-Expressive Function

Sikap kadang-kadang mengkomunikasikan nilai dan

identitas yang dimiliki seseorang terhadap orang

lain.

4. Ego Defensive Function

Sikap melindungi diri, menutupi kesalahan, agresi,

dan sebagainya dalam rangka mempertahankan diri.

Sikap ini mencerminkan kepribadian individu yang

bersangkutan dan masalah-masalah yang belum

mendapatkan penyeselaian secara tuntas, sehingga

individu berusaha mempertahankan dirinya secara

8

tidak wajar karena ia merasa takut kehilangan

statusnya.

Masalah Kesehatan Mental

Masalah kesehatan mental (menthal health problem) atau

dapat juga disebut dengan psychological distress menurut

Rickels & Uhlenhuth (dalam Derogatis, dkk., 2001) dapat

dibagi menjadi beberapa simptom dasar, yaitu:

1. Somatization: simptom yang ditandai dengan

ketidakberfungsian tubuh individu secara normal.

Simptom ini meliputi gangguan kardiovaskular,

gastrointestinal, pernafasan, dan gangguan sistem

organ tubuh lainnya. Sakit kepala, rasa sakit dan

pegal pada otot dapat pula termasuk simptom ini.

Menurut Wiramihardja (2005) somatisasi ditandai

oleh keluhan-keluhan menyangkut penyakit-penyakit

fisik untuk jangka waktu lama dan biasanya timbul

pada usia 30 tahun ke bawah. Somatisasi termasuk ke

dalam somatoform disorder yaitu gangguan yang bersifat

psikologis tetapi tampil dalam bentuk gangguan

fisik yang melibatkan pola neurotik yang didasari

anxiety. Seperti individu yang mengeluhkan simptom-

simptom jasmaniah seolah-olah ada masalah fisik,

tetapi pada kenyataannya tidak ada landasan organis

yang ditemukan.

9

2. Depression: simptom ini meliputi sindrom klinis

depresi, seperti suasana hati cenderung negatif,

menarik diri dari kehidupan sehari-hari, motivasi

yang rendah, merasa putus asa, segala usaha yang

dilakukan dirasa sia-sia, dan kehilangan energi

vital atau tidak bersemangat. Depresi dapat

diakibatkan oleh rendahnya toleransi individu

terhadap stress.

3. Anxiety: simptom anxiety disini meliputi segala bentuk

perilaku hasil manisfestasi kecemasan akut, seperti

individu sulit beristirahat, merasa gugup, tegang,

dan bentuk somatis lainnya yaitu gemetaran.

Kecemasan yang meluap-luap dan panic attack juga

termasuk dalam simptom ini. Menurut Wiramihardja

(2005) gangguan anxiety merupakan suatu gangguan

yang memiliki ciri kecemasan atau ketakutan yang

tidak realistik dan irasional.

Kepuasan Kerja

Brayfield & Rothe (dalam Nielsen, dkk., 2009)

menjabarkan bahwa kepuasan kerja karyawan dapat diukur

melalui sikap karyawan terhadap pekerjaannya, seperti

sejauhmana tingkat antusiasme karyawan terhadap

pekerjaannya, serta apakah karyawan nyaman dan puas

dengan pekerjaan yang dimiliki saat ini.

10

Menurut Hariandja (2009), terdapat beberapa faktor

yang mempengaruhi kepuasan kerja, yaitu:

1. Gaji: jumlah bayaran yang diterima seseorang

sebagai akibat dari pelaksanaan kerja apakah sesuai

dengan kebutuhan dan dirasakan adil.

2. Pekerjaan itu sendiri: isi pekerjaan yang dilakukan

karyawan apakah memiliki elemen yang memuaskan.

3. Rekan kerja: orang-orang yang berinteraksi dalam

pelaksanaan pekerjaan. Karyawan dapat merasa rekan

kerjanya menyenangkan atau tidak.

4. Atasan: individu yang senantiasa memberi perintah

atau petunjuk dalam pelaksanaan kerja. Cara atasan

memimpin dapat dinilai menyenangkan atau tidak

menyengangkan oleh karyawan sehingga mempengaruhi

kepuasan kerja karyawan.

5. Promosi: kemungkinan karyawan dapat berkembang

melalui kenaikan jabatan.

6. Lingkungan kerja: meliputi lingkungan fisik dan

psikologis.

Sedangkan menurut Hasibuan (2009) kepuasan kerja

karyawan dipengaruhi faktor-faktor berikut ini:

1. Balas jasa yang adil dan layak.

2. Penempatan yang tepat sesuai dengan keahlian.

3. Berat-ringannya pekerjaan.

4. Suasana dan lingkungan pekerjaan.

11

5. Peralatan yang menunjang pelaksanaan pekerjaan.

6. Sikap pimpinan dalam kepemimpinannya.

7. Sifat pekerjaan monoton atau tidak.

METODE PENELITIAN

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk

mengetahui hubungan antara sikap menghadapi pelecahan

seksual dengan masalah kesehatan mental dan kepuasan

kerja yang dimiliki Sales Promotion Girl. Populasi

penelitiannya adalah SPG di Kota Bandung dan karena

jumlah populasinya sulit ditentukan maka tergolong

kategori populasi tak terhingga. Teknik pengambilan

sampel yang dapat digunakan kepada populasi tak

terhingga yang jumlah populasinya sulit ditentukan

ialah teknik sampling seadanya (Sudjana, 2005). Teknik

ini tidak menyertakan perhitungan apapun mengenai

derajat kerepresentatifan sampel. Sehingga untuk

meningkatkan derajat kerepresentatifan sampel, jumlah

sampel penelitian harus cukup besar yaitu sedikitnya

100 orang.

Pendekatan yang digunakan pada penelitian ini

adalah pendekatan kuantitatif. Pendekatan kuantitatif

bertujuan untuk menjelaskan, meramalkan, dan/atau

mengontrol fenomena melalui pengumpulan data terfokus

12

dari data numerik. Dengan kata lain pendekatan ini

menjelaskan penyebab fenomena sosial melalui pengukuran

objektif dan analisis numerikal (Moleong, 2010).

Sedangkan metode penelitian yang digunakan adalah

metode korelasional. Metode ini bertujuan untuk

mengetahui seberapa kuat derajat hubungan antara

variabel-variabel penelitian (Sudjana, 2005).

Dikarenakan pada penelitian ini terdapat tiga

variabel, maka terdapat pula tiga alat ukur atau

instrumen. Instrumen yang pertama bertujuan untuk

mengukur sikap terhadap perilaku pelecehan seksual

dirancang oleh peneliti berdasarkan teori sikap menurut

Eagly & Chaiken (1993). Menurut teori tersebut sikap

merupakan kecenderungan untuk bertindak sebagai reaksi

terhadap rangsang objek sikap yaitu perilaku pelecehan

seksual dan terdiri atas tiga komponen yaitu kognitif,

afektif, dan konasi.

Instrumen yang kedua merupakan adaptasi dari The

Hopkins Symptom Checklist versi 25 item (HSCL-25) guna

mengukur masalah kesehatan mental. HSCL-25 merupakan

versi kecil dari HSCL yang terdiri dari 58 item dengan

lima dimensi, sedangkan HSCL-25 terdiri dari tiga

dimensi yaitu depression (depresi), anxiety (kecemasan)

dan somatization (somatisasi). Item-item dalam HSCL

13

disusun berdasarkan penilaian ahli klinis yaitu Rickels

dan Uhlenhuth dimana keduanya telah berpengalaman dalam

menangani berbagai masalah klinis sehingga memenuhi

kualifikasi untuk menyusun alat ukur masalah kesehatan

mental. Selain itu HSCL juga telah melalui proses

analisis faktor dengan rotasi orthogonal dan oblique

terhadap 1.115 pasien anxiety. HSCL memiliki empat

pilihan jawaban yaitu tidak pernah, jarang, kadang-

kadang, dan sering kali, serta keempatnya diberi nilai

1 sampai dengan 4 (Derogatis, 2001). Penggunaan HSCL-

25 pada penelitian ini didasari oleh penelitian

terdahulu yaitu yang dilakukan oleh Nielsen, Bjørkelo,

Notelaers, dan Einarsen (2009) yang menunjukan bahwa

HSCL-25 mampu mengukur masalah kesehatan mental yang

diakibatkan pengalaman mendapat perilaku pelecehan

seksual pada lingkungan pekerjaan. Nilai reliabilitas

HSCL-25 diukur melalui Cronbach Alpha dan 9735

partisipan menunjukan nilai 0,93 yang berarti sangat

reliabel. Serta berdasarkan hasil uji coba instrumen

tersebut ditentukan nilai batas minimum individu dapat

dikategorikan memiliki masalah kesehatan mental ialah

1,75 (Strand, 2002).

Instrumen yang ketiga juga merupakan adaptasi dari

The Job Satisfaction Scale-Short Version ciptaan Brayfield & Rothe

(dalam Nielsen, 2009). Alat ukur ini terdiri atas lima

14

item dan dua diantaranya adalah item unfavorable, serta

lima pilihan jawaban. Nilai reliabilitas instrumen

diukur melalui Cronbach Alpha ialah 0,81 yang berarti

reliabel.

Untuk mengetahui apakah terdapat hubungan yang

signifikan antara sikap menghadapi perilaku pelecehan

seksual dengan masalah kesehatan mental dan kepuasan

kerja pada SPG, teknik statistik yang digunakan

tergantung hasil uji normalitas data. Berdasarkan hasil

uji normalitas data diketahui bahwa terdapat data

sebaran yang tidak normal pada dua dari tiga variabel

penelitian, maka dari itu untuk mengetahui korelasi

antar variabel digunakan teknik statistik Spearman’s

Roe yang merupakan teknik statistik non parametrik

untuk mengukur hubungan antara dua variabel atau lebih

yang memiliki distribusi data tidak normal (Field,

2000).

HASIL PENELITIAN

1. Hubungan antara sikap SPG menghadapi perilaku

pelecehan seksual dengan masalah kesehatan mental

Hipotesis

15

Ho: Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara

sikap menghadapi perilaku pelecehan seksual dengan

masalah kesehatan mental pada SPG.

Ha: Terdapat hubungan yang signifikan antara sikap

menghadapi perilaku pelecehan seksual dengan

masalah kesehatan mental pada SPG.

CorrelationsSikap Kesmen

Spearman's rho Sikap Correlation Coefficient 1.000 .010Sig. (2-tailed) . .917N 103 103

Kesmen Correlation Coefficient .010 1.000Sig. (2-tailed) .917 .N 103 103

Berdasarkan hasil perhitungan untuk hipotesis 1

diketahui p=0,917 yang berarti Ho diterima, dengan

r=0,010 dan termasuk ke dalam kriteria derajat

korelasi sangat rendah. Dengan kata lain tidak

terdapat hubungan yang signifikan antara sikap

menghadapi perilaku pelecehan seksual dengan

masalah kesehatan mental pada SPG.

2. Hubungan antara sikap SPG menghadapi perilaku

pelecehan seksual dengan kepuasan kerja

Hipotesis

Ho: Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara

sikap menghadapi perilaku pelecehan seksual dengan

kepuasan kerja pada SPG.

16

Ha: Terdapat hubungan yang signifikan antara sikap

menghadapi perilaku pelecehan seksual dengan

kepuasan kerja pada SPG.

CorrelationsSikap KK

Spearman's rho Sikap Correlation Coefficient 1.000 .077Sig. (2-tailed) . .439N 103 103

KK Correlation Coefficient .077 1.000Sig. (2-tailed) .439 .N 103 103

Berdasarkan hasil perhitungan p=0,439 yang berarti

Ho diterima, dengan r=0,077 dan termasuk ke dalam

kriteria derajat korelasi sangat rendah. Dengan

kata lain tidak terdapat hubungan yang signifikan

antara antara sikap terhadap perilaku pelecehan

seksual dengan kepuasan kerja pada SPG.

PEMBAHASAN

1. Hubungan antara sikap SPG menghadapi perilaku

pelecehan seksual dengan masalah kesehatan mental

Berdasarkan hasil di atas diketahui tidak terdapat

hubungan yang signifikan antara sikap SPG

menghadapi perilaku pelecehan seksual dengan

masalah kesehatan mental. Tidak terdapatnya

hubungan yang signifikan antara sikap menghadapi

perilaku pelecehan seksual dengan masalah kesehatan

17

mental dapat disebabkan oleh fungsi sikap itu

sendiri.

Menurut Katz (dalam Dayaksini & Hudaniah, 2009)

terdapat empat fungsi sikap, yaitu Utilitarian Function,

Knowledge Function, Value-Expressive Function, dan Ego

Defensive Function. Utilitarian Function memungkinkan

seseorang untuk memperoleh atau memaksimalkan

ganjaran (reward) atau persetujuan dan meminimalkan

hukuman, atau dengan kata lain sikap dapat

berfungsi sebagai penyesuaian sosial. Knowledge

Function membantu dalam memahami lingkungan (sebagai

skema) dengan melengkapi ringkasan evaluasi tentang

objek dan kelompok objek atau segala sesuatu yang

dijumpai di dunia ini. Value-Expressive Function

mengkomunikasikan nilai dan identitas yang dimiliki

seseorang terhadap orang lain. Dan Ego Defensive

Function melindungi diri, menutupi kesalahan,

agresi, dan sebagainya dalam rangka mempertahankan

diri. Keempat fungsi tersebut menunjukan bahwa

sikap SPG baik positif maupun negatif terhadap

perilaku pelecehan seksual merupakan bentuk

pemahaman mereka terhadap lingkungannya dalam

rangka penyesuaian sosial sekaligus cara mereka

mengkomunikasikan nilai dan identitas yang dimiliki

serta bentuk pertahanan diri, sehingga tidak

18

menentukan apakah mereka dapat memiliki masalah

kesehatan mental atau tidak. Sikap positif terhadap

perilaku pelecehan seksual tidak menjamin SPG tidak

memiliki masalah kesehatan mental, begitu pula

sikap negatif tidak menentukan SPG tidak memiliki

masalah kesehatan mental.

Maka dari itu SPG yang memiliki sikap positif

terhadap perilaku pelecehan seksual dapat memiliki

mental yang sehat karena tidak menganggap perilaku

pelecehan seksual sebagai gangguan atau ancaman

terhadap dirinya yang dapat menimbulkan masalah

kesehatan mental seperti depresi, anxiety, atau

somatisasi. Namun dapat pula sikap yang positif

menimbulkan masalah kesehatan mental karena

perilaku pelecehan seksual merupakan tindakan yang

melanggar norma sosial dan umumnya dinilai negatif

oleh masyarakat sehingga SPG yang menilai secara

positif dapat merasa cemas akan penilaian

masyarakat terhadap dirinya.

Begitu pula SPG yang memiliki sikap negatif

terhadap perilaku pelecehan seksual dapat memiliki

mental yang sehat karena dirinya cenderung

menghindari pelanggan dan orang-orang yang

berpotensi menjadi pelaku pelecehan seksual

19

sehingga dapat mencegah dirinya mendapat pelecehan

seksual dan bebas dari depresi dan kecemasan pasca

mendapat perilaku pelecehan seksual (Winarsunu,

2008). Namun SPG dengan sikap negatif dapat pula

memiliki masalah kesehatan mental dikarenakan

pekerjaannya saat ini sangat rawan terhadap

pelecehan seksual sehingga dapat menimbulkan

kecemasan dan ketakutan berlebih akan kemungkinan

dirinya mendapat pelecehan seksual jika terus

bekerja sebagai SPG bahkan dapat menimbulkan

depresi dan gangguan somatisasi (Budiarti, 2009).

Kesimpulannya berbeda dengan hasil penelitian

Nielsen, dkk. (2009) bahwa pengalaman mendapat

pelecehan seksual pasti akan menimbukan masalah

kesehatan mental, sikap menghadapi perilaku

pelecehan seksual belum tentu menimbulkan masalah

kesehatan mental.

2. Hubungan antara sikap SPG menghadapi perilaku

pelecehan seksual dengan kepuasan kerja

Berdasarkan hasil penelitian sama halnya dengan

korelasi antara dua variabel sebelumnya, diketahui

bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan

antara sikap SPG menghadapi perilaku pelecehan

seksual dengan kepuasan kerja. Hal ini dikarenakan

20

terdapat berbagai faktor lain yang dapat

mempengaruhi kepuasan kerja selain sikap menghadapi

perilaku pelecehan seksual.

Perilaku pelecehan seksual hanya merupakan salah

satu resiko yang muncul pada lingkungan kerja kerja

SPG, dan suasana lingkungan pekerjaan merupakan

satu dari beberapa faktor yang mempengaruhi

kepuasan kerja, sehingga pengaruhnya tidak cukup

kuat terhadap kepuasan kerja. Terutama jika

variabel yang diteliti merupakan sikap menghadapi

perilaku pelecehan seksual atau dengan kata lain

tendensi atau kecenderungan berperilaku menghadapi

pelecehan seksual. Berbeda dengan penelitian

sebelumnya yang dilakukan oleh Nielsen, dkk. (2009)

yang menjadikan pengalaman mendapat perilaku

pelecehan seksual sebagai variabel. Pada penelitian

tersebut terdapat hubungan yang signifikan antara

pengalaman mendapat perilaku pelecehan seksual

dengan masalah kesehatan mental dan kepuasan kerja.

KESIMPULAN

Pada penelitian ini ditemukan beberapa informasi

yang dapat disimpulkan sebagai berikut:

21

1. Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara

sikap SPG menghadapi perilaku pelecehan seksual

dengan masalah kesehatan mental. Hal ini disebabkan

fungsi sikap sebagai bentuk pemahaman mereka

terhadap perilaku pelecehan seksual dalam rangka

penyesuaian sosial sekaligus cara mereka

mengkomunikasikan nilai dan identitas yang dimiliki

serta bentuk pertahanan diri, sehingga sikap

tersebut tidak dapat menentukan apakah SPG akan

memiliki masalah kesehatan mental atau tidak. Sikap

positif SPG terhadap perilaku pelecehan seksual

tidak menjamin SPG tidak memiliki masalah kesehatan

mental, begitu pula sikap negatif tidak menentukan

SPG tidak memiliki masalah kesehatan mental.

2. Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara

sikap SPG menghadapi perilaku pelecehan seksual

dengan kepuasan kerja. Hal ini dikarenakan terdapat

berbagai faktor lain yang dapat mempengaruhi

kepuasan kerja selain sikap menghadapi perilaku

pelecehan seksual, antara lain gaji, lingkungan

kerja, dan beban kerja.

DAFTAR PUSTAKA

Budiarti, I. (2009). Stop Sexual Harassment. [Online].Tersedia: http://unionism.

22

wordpress.com/2009/02/06/stop-sexual-harassment-and-violence-at-work/ (9 Maret 2011).

Dayaksini, T. & Hudaniah. (2009). Psikologi Sosial. Malang:UMM Press.

Derogatis, L. R., Lipman, R. S., Rickels, K.,Uhlenhuth, E. H., & Covi, L. (2001). The HopkinsSymptom Checklist (HSCL): A Self-Report Symptom Inventory.Behavioral Science. USA: American Psychiatrics Press.

Eagly, A. H. & Chaiken, S. (1993). The Psychological ofAttitudes. Florida: HBJ.

Field, A. (2000). Discovering Statistic Using SPSS for Windows.London: SAGE Publications Ltd.

Hariandja, M. T. E. (2009). Manajemen Sumber Daya Manusia.Jakarta: Grasindo.

Hasibuan, M. S. P. (2009). Manajemen Sumber Daya Manusia.Jakarta: Bumi Aksara.

Moleong, L. J. (2010). Metodologi Penelitian Kualitatif.Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Nielsen, M. B., Bjørkelo, B., Notelaers, G. & Einarsen,S. (2009). Sexual Harassment: Prevalence, Outcomes, andGender Differences Assessed by Three Different Estimation Methods.Journal of Aggression, Maltreatment & Trauma. UK: RoutledgeTaylor & Francis Group, LLC.

Strand, B. H., Dalgard, O. S., Tambs, K. & Rognerud, M.(2002). Measuring The Mental Health Status of The NorwegianPopulation: A Comparison of The Instruments SCL-25, SCL-10, SCL-5

23

and MHI-5 (SF-36). UK: Routledge Taylor & FrancisGroup, LLC.

Sudjana. (2005). Metoda Statistika. Bandung: Tarsito.

Winarsunu, T. (2008). Psikologi Keselamatan Kerja. Malang:UMM Press.

Wiramihardja, S. A. (2005). Pengantar Psikologi Abnormal.Bandung: Refika Aditama.

Yusuf, S. (2009). Mental Hygiene. Bandung: Maestro.

24