bulan sabit di langit eropa: telaah psikologi kehidupan minoritas muslim di eropa
TRANSCRIPT
TUGAS AKHIR SEMESTER
MATA KULIAH PSIKOLOGI PERDAMAIAN
ESAI
Bulan Sabit di Langit Eropa: Telaah Psikologis Kehidupan Minoritas
Muslim di Eropa
Oleh:
Aftina Nurul Husna
13/ 354633/ PPS/ 2696
PROGRAM MAGISTER PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2014
2
Bulan Sabit di Langit Eropa: Telaah Psikologis Kehidupan Minoritas Muslim di Eropa
Aftina Nurul Husna
Minoritas Kaum Migran Muslim di Belanda: Pemikiran Ulang
(Sumber: www.themuslimtimes.org)
Kurang tepat menilai bahwa kelompok minoritas muslim di Belanda mengalami
kekerasan struktural dari pihak kelompok mayoritas, yaitu warga asli Belanda. Bagi saya, apa
yang dipresentasikan kelompok penyaji cenderung pada upaya mencocok-cocokkan realita
kehidupan masyarakat Belanda dengan teori kekerasan (Galtung, 1990). Membaca sendiri
tulisan Mudzakkir (2007) tentang minoritas kaum migran muslim di Belanda yang dijadikan
acuan oleh kelompok penyaji, saya memiliki penafsiran lain di luar kerangka teori kekerasan.
Mudzakkir (2007) memaparkan tentang dinamika relasi kelompok mayoritas dan
minoritas di Belanda, menunjukkan bagaimana masyarakat senantiasa beradaptasi dan ingin
berkembang menjadi lebih baik. Dalam perjalanannya, seiring dengan perubahan zaman
(dalam hitungan abad, tidak hanya dari tahun ke tahun), tak terelakkan terdapat berbagai
hambatan dan tantangan. Saya pribadi tidak menilai konsekuensi yang kemudian tampak
sebagai kekerasan sebagai kekerasan yang hakiki dalam arti ketidakadilan, penyalahgunaan,
perusakan, pemaksaan, dan perundungan oleh institusi sosial. Benar terjadi konflik antara
kelompok mayoritas dan minoritas dan berbuntut berbagai peristiwa yang tidak
menyenangkan, tetapi semua itu tidak lantas bernilai kekerasan yang hanya membuahkan
kerugian. Saya justru memandang itu sebagai tanda sedang terjadi transisi dalam masyarakat.
Fakta bahwa kelompok minoritas muslim masih ada dan bisa hidup sampai saat ini di
Eropa seharusnya dihargai lebih sebagai hasil dari upaya perdamaian yang berat dan panjang.
3
Perlu disadari bahwa sejak kali pertama, umat Islam dan masyarakat Barat bertemu dan
saling berkenalan dalam interaksi yang tidak ideal. Ada sejarah panjang peperangan, mulai
dari Perang Salib (abad 11 sampai 13), kolonialisme dan imperialisme bangsa-bangsa Barat
(abad 15 sampai 20) atas negeri-negeri berpenduduk muslim, sampai yang terakhir, yaitu
perang kembali antara dunia Barat dan Islam, ditandai oleh peristiwa WTC 9/11 tahun 2001.
Tanpa adanya penghargaan dan harapan bersama akan perdamaian dan koeksistensi,
kelompok migran muslim tentu sudah terusir atau tidak pernah selangkah pun menginjakkan
kaki di benua Eropa.
Satu persoalan yang lantas ingin dibahas dalam tulisan ini adalah terkait ragam upaya
pengintegrasian kelompok minoritas muslim ke dalam masyarakat Eropa di berbagai negara
Eropa. Bagi saya, itu sudut pandang ini lebih penting bagi khazanah psikologi perdamaian
karena menyorot kreativitas negara-negara menghadapi masalah perdamaian. Meskipun
demikian, tulisan ini mungkin akan kehilangan kedalaman karena tidak membatasi fokus
pembahasan pada satu negara saja, melainkan beberapa negara.
Cara yang saya lakukan adalah dengan studi sejumlah literatur, buku-buku dan jurnal
penelitian, serta berita-berita di media tentang umat Islam di Eropa. Dalam memaparkan,
pertama saya akan membahas tentang hambatan terbesar perdamaian di Eropa yaitu
ketakutan terhadap Islam dan muslim, kedua tentang ragam inisiatif pemerintah dan
komunitas di negara-negara Eropa terhadap kelompok minoritas muslim, ketiga perspektif
psikologi tentang persoalan integrasi, dan terakhir adalah penutup yang menyimpulkan semua
pembahasan.
Memahami Ketakutan Eropa: Islamofobia
(Sumber: riverknight.wordpress.com)
4
Istilah “Islamofobia” tidak populer di masyarakat sampai terjadi peristiwa WTC 9/11.
Islamofobia adalah sikap atau emosi negatif yang tidak pandang bulu (indiscriminate) yang
diarahkan kepada Islam atau muslim (Bleich, 2011). Islamofobia dicirikan dengan adanya
ketakutan, kebencian, dan kecemasan terhadap Islam dan ajarannya, muslim dan budaya-
budayanya, adanya penilaian Islam sebagai musuh, “orang lain”, yang berbahaya dan
menetap, serta layak menerima permusuhan dari masyarakat Barat, adanya penolakan
terhadap Islam, kelompok muslim, dan individu muslim atas dasar prasangka dan stereotipe
(Bleich, 2011).
Sejumlah stereotipe yang dijadikan dasar di antaranya: Islam itu agama yang statis,
tidak merespon perubahan, memisahkan diri, inferior dari Barat, barbar, tidak rasional,
primitif, kasar, agresif, seksis, mengancam, mendukung terorisme, merupakan ideologi politis
dan dimanfaatkan untuk kepentingan politik atau militer, dan maka dari itu, permusuhan anti-
muslim adalah hal yang alami dan normal. Dalam stereotipe orang Eropa, muslim
digambarkan sebagai kelompok orang-orang yang sangat religius dan semuanya menganut
Islam versi fundamentalis (European Monitoring Centre/ EUMC, 2006).
Studi yang dilakukan oleh European Monitoring Centre (EUMC, 2006) memberikan
gambaran yang lengkap tentang persoalan minoritas muslim di Eropa, mulai dari situasi
demografis, isu-isu sosial (marginalisasi, alienasi, isu wanita terkait penggunaan jilbab, dan
tindak kriminal terhadap muslim), sampai persoalan akses terhadap pekerjaan, pendidikan,
dan perumahan. Hubungan kelompok muslim dengan masyarakat Eropa semakin buruk sejak
isu terorisme mencuat, mengakibatkan mereka mengalami marginalisasi dan alienasi karena
identitas agama. Satu dari tiga orang muslim dilaporkan mengalami diskriminasi pekerjaan;
ditolak dalam akses mendapatkan pekerjaan, kehilangan promosi, dan dilecehkan di tempat
kerja. Satu dari empat orang muslim mengalami diskriminasi transaksi ekonomi; ditolak
dalam akses perumahan dan mendapatkan kredit atau pinjaman.
Adanya diskriminasi mengakibatkan ketidakpuasan di kalangan migran muslim
terhadap status mereka di masyarakat (EUMC, 2006). Namun, persepsi secara sistematis
didiskriminasi juga mempengaruhi integrasi dan sosialisasi mereka. Kelompok yang paling
merasa didiskriminasi adalah mereka yang paling merasa terisolasi, tidak terintegrasi, dan
kurang bersosialisasi dengan masyarakat. Hubungan ini benar-benar seperti dilema “telur dan
ayam”, mana yang terjadi lebih dahulu. Selain itu, perlu dicatat bahwa tidak di semua negara
muslim mengalami diskriminasi. Muslim rentan mengalami diskriminasi di Spanyol, Italia,
5
Belanda, dan Portugal, tetapi tidak begitu di Austria, Belgia, Jerman, Yunani, Prancis,
Inggris, dan Irlandia.
Kekerasan dalam bentuk marginalisasi, alienasi, dan diskriminasi yang disebabkan
oleh Islamofobia lebih merupakan reaksi alamiah individu-individu dalam masyarakat yang
secara kolektif merasa terancam, rentan, tidak percaya, dan curiga (lihat Eidelson & Eidelson,
2003), bukan kekerasan struktural. Buktinya, di Eropa terdapat Dewan Komisi Eropa
Melawan Rasisme dan Intoleransi (Council of Europe’s Commission against Racism and
Intolerance/ ECRI). Dewan tersebut mengeluarkan kebijakan rekomendasi untuk melawan
intoleransi dan diskriminasi terhadap muslim, serta rasisme dan diskriminasi rasial di Eropa
berdasarkan kesadaran bahwa komunitas-komunitas muslim rentan menjadi objek prasangka.
Dewan tersebut bekerja berdasarkan prinsip negara-negara anggota Uni Eropa untuk
mendukung, melindungi, dan memelihara masyarakat sekuler terbuka dengan hak-hak dan
kesempatan yang sama. Setiap negara lantas memiliki tugas untuk memastikan bahwa sikap
kritis apapun terhadap manifestasi religius tertentu tetap harus menghargai prinsip kesetaraan
(EUMC, 2006).
Upaya Pemerintah dan Komunitas Mendukung Integrasi-Melawan Islamofobia
Sekolah umum di Jerman mengadakan kelas agama Islam bagi siswa muslim.
(Sumber: www.patheos.com)
Dewan Eropa meyakini prinsip bahwa integrasi adalah proses akomodasi mutual yang
bersifat dua arah dan dinamis oleh semua imigran dan penduduk negara-negara anggota
(EUMC, 2006). Tindakan yang terutama dilakukan adalah memastikan ketiadaan
diskriminasi dalam area-area kunci kehidupan sosial, terutama pendidikan dan pekerjaan bagi
semua komunitas minoritas. Meskipun agama bukan salah satu hal yang diakui resmi di
6
Eropa, baik Komisi Eropa dan Parlemen Eropa menekankan pentingnya dialog antarbudaya
demi kohesi komunitas, termasuk membangun dialog dengan komunitas muslim.
Di berbagai negara Eropa dilakukan program-program aksi komunitas untuk melawan
diskriminasi atas dasar ras, agama atau keyakinan, disabilitas, usia atau orientasi seksual,
(EUMC, 2006). Konsep integrasi sosial dan kohesi komunitas diterjemahkan dalam bentuk
kebijakan dan usaha yang relevan. Banyak dari usaha-usaha tersebut berbasis di kota-kota di
mana kaum migran terkonsentrasi dan di mana masalah-masalah tertentu terjadi berkenaan
dengan marginalisasi sosial, pengangguran, dan diskriminasi. Meskipun program ini
sebenarnya bersifat umum (tidak khusus untuk minoritas muslim), program ini melibatkan
komunitas-komunitas muslim.
Gambaran program dari beberapa negara adalah sebagai berikut (EUMC, 2006):
Belgia. Pemerintah federal Belgia meluncurkan program dialog antarbudaya. Dialog
ini berfokus pada empat tema, yaitu prinsip-prinsip fundamental pemfungsian pelayanan
umum (ekualitas, non-diskriminasi, dan netralitas) dan implementasinya dalam konteks
antarbudaya, kewargaan (citizenship) sebagai penawar bagi ketakutan terhadap orang lain,
kesetaraan antara pria dan wanita sebagai nilai emansipasi, dan penempatan dan pengakuan
ekspresi religius dalam masyarakat yang demokratis dan pluralis.
Denmark. Pemerintah Denmark melakukan upaya integrasi. Pernah pada 18 April
2005 Menteri Integrasi Denmark secara resmi mengadakan pertemuan dengan para imam
untuk membahas integrasi. Gereja-gereja Kristen pun aktif mengadakan konferensi,
pembicaraan, dan kerjasama antaragama dengan komunitas-komunitas muslim. Kegiatan ini
sebagian didanai oleh Kementerian Kegerejaan.
Yunani. Yunani merangkul komunitas muslim lewat partisipasi politik. Contohnya,
partai oposisi utama Yunani mengundang wanita muslim Yunan untuk menjadi kandidatnya
di salah satu prefektur. Anggota parlemen Yunani pun ada yang muslim.
Perancis. Pemerintah Perancis memberikan dukungan resmi pendirian Foundation for
Islam, yaitu yayasan untuk semua usaha-usaha muslim di Perancis. Yayasan tersebut bekerja
sebagai institusi swasta yang didanai oleh donasi pribadi dan dana yang dikumpulkan
digunakan untuk membangun masjid dan mengadakan pelatihan para imam Perancis.
Berdasarkan testimoni perdana menteri Perancis pada waktu itu, upaya ini adalah jalan legal
terbaik untuk membangun Islam di Perancis. Selain itu, pemerintah pun mengadakan upaya-
upaya antaragama dan antarbudaya.
Inggris. Inggris adalah negara Eropa yang memiliki paling banyak program integrasi,
di antaranya: upaya integrasi umum (agenda kohesi komunitas untuk menurunkan
7
Islamofobia di jalanan dan lingkungan tempat tinggal), partisipasi politik, program
kepolisian, seperti pengadaan sistem komplain pada polisi secara terbuka, efisien, dan adil,
terutama terkait kejadian rasisme dan Islamofobia, asistensi dan bantuan terhadap korban
Islamofobia, dan peningkatan relasi dengan komunitas muslim, dan pendidikan.
Di komunitas, upaya meningkatkan integrasi dan melawan Islamofobia lebih beragam
(EUMC, 2006). Program yang luas dilakukan di masyarakat adalah dialog antaragama,
terutama antara Kristen dan Islam. Dialog difasilitasi oleh misalnya pusat studi Islam-Kristen,
organisasi non-pemerintah, dan bahkan stasiun televisi (contoh, dalam acara debat
keagamaan antara empat pemimpin agama perwakilan komunitas Islam, Kristen, Yahudi, dan
Sikh di Denmark). Terdapat pula program lainnya, seperti acara membuka masjid untuk
umum untuk menyebarkan informasi yang benar tentang Islam, lokakarya dan pelatihan
(contoh, dengan tema mengurangi prasangka di tempat kerja atau mengatasi Islamofobia),
progam-program untuk anak sekolah, acara seni dan sastra dengan tema Islam dan Barat,
upaya media (seminar bagi para jurnalis dan perwakilan media tentang Islam agar
menyajikan informasi yang kredibel tentang Islam dan muslim), dan program kesehatan bagi
komunitas muslim. Semua itu adalah upaya-upaya perdamaian dalam rangka menjadikan
kelompok minoritas muslim bagian dari masyarakat Eropa.
Perspektif Psikologi tentang Persoalan Kekerasan dan Upaya Integrasi
(Sumber: www.barenakedislam.com)
Setiap orang perlu berhati-hati dan objektif dalam menilai suatu persoalan sosial agar
tidak membesar-besarkan masalah. Mengintepretasikan bahwa diskriminasi yang dialami
minoritas muslim di Eropa sebagai upaya kekerasan struktural adalah berlebihan karena tidak
didukung fakta kebijakan sosial yang justru mengupayakan perdamaian.
8
Jika dikembalikan kepada teori kekerasan (Galtung, 1990), kebanyakan kekerasan
yang terjadi lebih tepat dimasukkan sebagai kekerasan langsung atas inisiatif individu atau
kelompok tertentu dalam masyarakat. Dakwaan dan tuntutan pertanggungjawaban atas
perbuatan dapat ditimpakan kepada individu atau kelompok pelaku, bukan institusi sosial,
seperti pemerintah, kepolisian, keagamaan, pendidikan, dan kesehatan. Dengan demikian,
muslim manapun yang menjadi korban langsung-tidak langsung kekerasan atau siapapun
yang menjadi sekedar pengamat dari luar Eropa dapat memiliki respon tidak suka atau sikap
negatif yang proporsional dan tidak tergeneralisasi ke level negara, kepada seluruh bangsa
Eropa, atau kepada peradaban Barat, budaya, dan agama masyarakatnya. Ini dapat mencegah
konflik yang lebih besar.
Pemahaman mengapa kekerasan dan konflik terjadi dapat dilakukan dengan
memahami dinamika psikologis dalam diri orang-orang. Salah satu faktor penyebabnya
adalah dianutnya keyakinan-keyakinan tertentu di level individu yang berkembang ke level
masyarakat (Bar-Tal, 2000; Eidelson & Eidelson, 2003). Keyakinan-keyakinan itu, yang
berakar pada memori kolektif, emosi kolektif, dan identitas sosial, menentukan seberapa kuat
konflik membandel dan sulit diselesaikan (Bar-Tal, 2000, 2007).
“There is perhaps no more dangerous force in social relations than the
human mind. People's capacities to categorize, interpret, and go 'beyond the
information given' readily lead to the stereotyping and dehumanization that
escalate and entrench group conflict.” (Keltner & Robinson, dalam Eidelson
& Eidelson (2003, h. 182)
Menurut Eidelson dan Eidelson (2003), ada hubungan yang paralel antara keyakinan
inti individu (core belief) dengan worldview kolektif kelompok yang berperan dalam
interpretasi pengalaman bersama (shared experience) dan dapat memicu kekerasan. Terdapat
lima jenis keyakinan, yaitu superioritas, ketidakadilan, kerentanan, ketidakpercayaan, dan
ketidakberdayaan. Dalam kasus hubungan minoritas muslim-masyarakat Eropa, keyakinan-
keyakinan tersebut ada baik dalam diri kelompok minoritas maupun mayoritas, di mana yang
menonjol adalah superioritas, ketidakadilan, kerentanan, dan ketidakpercayaan.
Superioritas adalah keyakinan bahwa seseorang lebih baik daripada orang lain dan di
level kelompok ini tercermin dalam keyakinan akan dimilikinya superioritas moral,
keterpilihan (chosenness), ke-berhak-an (entitlement), dan takdir istimewa (special destiny)
(Eidelson & Eidelson, 2003). Dengan segala kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, dan
kebudayaannya kini, masyarakat Eropa memandang muslim sebagai inferior, barbar, dan
9
primitif, tetapi interpretasi atas ajaran Islam yang mengatakan bahwa umat Islam adalah umat
pilihan, umat terbaik di antara segala umat (misalnya, lihat Quran Surat Ali Imran [3]: 110),
juga menjadikan muslim memandang masyarakat Eropa yang kafir sebagai inferior, primitif
secara religius dan spiritual.
Ketidakadilan adalah keyakinan berdasarkan perasaan telah diperlakukan salah oleh
orang lain atau dunia dan di level kelompok ini memiliki signifikansi dan menjustifikasi
kemarahan (grievance) terhadap kelompok lain. Ketidakadilan ini dapat dirasakan dari
mengalami pengalaman kelompok yang traumatis di mana korbannya sama-sama merasakan
rasa malu, penghinaan, dan rasa tak berdaya (Eidelson & Eidelson, 2003). Sejarah konflik,
peperangan berabad-abad, dan kekerasan yang senantiasa berulang antara Eropa dan dunia
Islam bisa dinilai sebagai sumber dari keyakinan ini.
Kerentanan adalah keyakinan seseorang bahwa dirinya hidup dalam bahaya sehingga
karenanya merasa takut dan cemas akan masa depannya. Hal yang sama juga terjadi di level
kelompok di mana rasa takut mengarahkan orang-orang untuk melakukan kekerasan terhadap
sumber ancaman, meningkatkan solidaritas kelompok mereka, dan mengetatkan batas-batas
kelompok (Eidelson & Eidelson, 2003). Islamofobia masyarakat Eropa terhadap Islam dan
muslim, serta sikap anti-Barat dan anti-Amerika yang memicu radikalisme, fundamentalisme,
dan gerakan jihad di kalangan muslim mengindikasikan adanya keyakinan ini.
Ketidakpercayaan adalah keyakinan yang berfokus pada persangkaan bahwa orang
lain atau kelompok lain memusuhi dan memiliki niat jahat terhadap diri maupun kelompok
sendiri. Elemen utama ketidakpercayaan secara kolektif adalah menyebarnya ketidakjujuran
dan ketakterpercayaan, serta paranoia (Eidelson & Eidelson, 2003). Keyakinan ini berkaitan
dengan keyakinan sebelumnya tentang kerentanan. Islamofobia dan sikap anti-Barat
menggambarkan adanya ketidakpercayaan antara muslim dan masyarakat Barat.
Kesadaran akan adanya peran kognisi berupa keyakinan-keyakinan yang merugikan
dalam benak kolektif terhadap satu sama lain akan bermanfaat mengarahkan kebijakan sosial
yang tepat sasaran dan efektif. Aspek kognisi ini dijadikan sasaran utama lewat berbagai
program integrasi sosial dan perlawanan terhadap Islamofobia, seperti dialog antaragama dan
antarbudaya yang terbuka di ruang publik, aktivitas-aktivitas komunitas bersama, berbagai
seminar, lokakarya, dan pelatihan, pemberian kepercayaan kepada anggota masyarakat dari
kelompok minoritas muslim untuk menduduki jabatan publik, dan sebagainya. Saya belum
mendapatkan data tentang bagaimana pengaruh usaha-usaha tersebut saat ini, tetapi secara
hipotetis, usaha-usaha tersebut tentu memberikan pengaruh yang positif.
10
Penutup
Islam dan kelompok minoritas muslim adalah tantangan bagi Eropa, menjadi isu
global, regional maupun lokal di negara-negara Eropa. Persoalan terkait muslim
sesungguhnya tidak hanya berkenaan dengan Islamofobia dan persoalan integrasi sosial,
tetapi bermacam-macam, seperti diaspora muslim atau perpindahan penduduk dari negara-
negara Timur Tengah, Afrika Utara, dan Asia Selatan menuju Eropa yang membawa
konsekuensi demografi, relasi interdependensi antara pengusaha di Eropa dan pekerja migran
muslim yang membawa konsekuensi ekonomi, hubungan internasional antara negara-negara
Eropa dengan negara-negara berpenduduk muslim di berbagai bidang, pengaruh globalisasi
dan pertemuan-percampuran budaya, dan sebagainya. Mau tidak mau interaksi pasti terjadi
dan demi kebaikan masing-masing, semua pihak harus belajar menjalin interaksi yang positif.
Tidak mudah sepenuhnya mendamaikan kekerasan yang akar penyebabnya sudah
tertanam begitu dalam dan lama dalam diri orang-orang secara kolektif. Namun yang patut
dihargai adalah inisiatif pemerintah dan masyarakat di negara-negara Eropa dalam
mengupayakan perdamaian lewat program-program anti-Islamofobia dan integrasi sosial
yang menyentuh psikologi masyarakat sehingga kelompok mayoritas Eropa dan minoritas
migran muslim mau berbaur, meluruskan kesalahpahaman, saling memahami (terutama
tentang perbedaan agama dan budaya), menghilangkan stereotipe dan stigma sosial, dan
hidup bersama tanpa ketakutan dan kecemasan. Tujuan akhirnya adalah menjadikan
kelompok minoritas muslim bagian dari masyarakat Eropa dan aktif berpartisipasi sebagai
warga negara.
Hal yang patut diapresiasi pula adalah upaya para ilmuwan sosial Eropa dengan riset-
riset sosialnya. Sejak peristiwa WTC 9/11 banyak sekali riset dilakukan terkait Islamofobia
dan konsekuensi-konsekuensinya di masyarakat, serta bagaimana itu dijadikan masukan bagi
program-program anti-Islamofobia. Berbagai buku pun telah ditulis untuk menggambarkan
kehidupan muslim di Eropa sebagai kelompok minoritas dan usaha negara-negara berusaha
merangkul mereka, membahas problem-problem kemigrasian, identitas, integrasi dan kohesi
sosial, multikulturalisme, dan peran kelompok minoritas muslim di benua Eropa dari masa ke
masa (contoh, Al-Azmeh & Fokas, 2007; Bosswick & Husband, 2005; Emerson, 2011).
Upaya yang tidak kalah esensial adalah inisiatif dari sarjana muslim sendiri dalam
merumuskan cara hidup yang sebaiknya sebagai kelompok minoritas di Eropa. Satu yang
terpenting adalah peninjauan kembali ajaran Islam dan mencari dalam agama tuntunan hidup
sebagai kelompok minoritas, diistilahkan sebagai fikih minoritas atau fiqh al-aqalliyyat al-
muslimah atau Islamic jurisprudence for muslim minorities (Ghazali, 2012; Rafeek, 2012).
11
Dengan semua usaha itu, dilandasi cita-cita koeksistensi yang harmonis, diharapkan di
masa depan ada saat di mana bulan sabit bercahaya langit Eropa, bukan lagi sebagai simbol
konflik, kekerasan, dan ketakutan, melainkan perdamaian dan keamanan seperti arti kata
“Islam” yang sebenarnya: damai dan selamat.
“A crescent moon rises in the night sky behind the cross of an Orthodox church in the
western Belarus town of Novogrudok.”
(Sumber: framework.latimes.com)
Referensi
Al-Azmeh, A. & Fokas, E. (Eds.). (2007). Islam in Europe: diversity, identity and influence.
Cambridge: Cambridge University Press.
Bar-Tal, D. (2000). From intractable conflict through conflict resolution to reconciliation:
psychological analysis. Political Psychology, 21(2), 351-365.
Bar-Tal, D. (2007). Sociopsychological foundations of intractable conflicts. American
Behavioral Scientist, 50(11), 1430-1453. doi: 10.1177/0002764207302462
Bleich, E. (2011). What is Islmophobia and how much is there? Theorizing and measuring an
emerging compartive concept. American Behavioral Scientist, 55(12), 1581-1600.
doi: 10.1177/0002764211409387
Bosswick, W. & Husband, C. (Eds.). (2005). Comparative European research in migration,
diversity and identities. Bilbao: University of Deusto.
Eidelson, R. J. & Eidelson, J. I. (2003). Dangerous ideas: five beliefs that propel groups
toward conflict. American Psychologist, 58(3), 182-192. doi: 10.1037/0003-
066X.58.3.182
Emerson, M. (2011). Interculturalism: Europe and its muslims in search of sound societal
models. Brussels: Centre for European Policy Studies.
European Monitoring Centre/ EUMC. (2006). Muslims in the European Union:
Discrimination and Islamophobia. Retrieved from
http://fra.europa.eu/sites/default/files/fra_uploads/156-Manifestations_EN.pdf
12
Galtung, J. (1990). Cultural violence. Journal of Peace Research, 27(3), 291-305.
Ghazali, A. M. (2012). Fikih mayoritas dan fikih minoritas: upaya rekonstruksi fikih lama
dan merancang fikih baru. Tashwirul Afkar, 31, 42-59. Retrieved from
http://www.lakpesdam.org/acrobat/edisi31/risetredaksi3.pdf
Haddad, Y. Z. (Ed.). (2002). Muslims in the West: from sojourners to citizens. Oxford:
Oxford University Press.
Mudzakkir, A. (2007). Minoritas kaum migran Muslim di Belanda. Jurnal Kajian Wilayah
Eropa, 3(3), 36-51.
Rafeek, M. (2012). Fiqh al-aqalliyyat (jurisprudence of minorities) and the problems of
contemporary muslim minorities of Britain from perspective of Islamic jurisprudence.
Dissertation. University of Portsmouth, UK.