broken home

58
ANALISIS PEMAHAMAN DIRI DAN HUBUNGAN SOSIAL SISWA BERLATAR BELAKANG KELUARGA BROKEN HOME DI SMK YADIKA 11 JATIRANGGA SEMINAR Dosen Pembimbing : Itsar Bolo Rangka, M.Pd. Kons. Oleh : SARI BAHANA 201201500492 PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN DAN PENGETAHUAN SOSIAL UNIVERSITAS INDRAPRASTA PGRI JAKARTA 2015

Upload: unundrapgri

Post on 17-Nov-2023

1 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

ANALISIS PEMAHAMAN DIRI DAN HUBUNGAN SOSIAL SISWA BERLATAR BELAKANG KELUARGA BROKEN HOME DI SMK YADIKA 11 JATIRANGGA

SEMINAR

Dosen Pembimbing : Itsar Bolo Rangka, M.Pd. Kons.

Oleh :SARI BAHANA201201500492

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELINGFAKULTAS ILMU PENDIDIKAN DAN PENGETAHUAN SOSIAL

UNIVERSITAS INDRAPRASTA PGRIJAKARTA

2015

PENGANTAR

Puji syukur alhamdulillah peneliti panjatkan atas kehadiratan Allah SWT,

yang telah melimpahkan segala rahmat dan nikmat, serta hidayah-Nya kepada

peneliti, sehingga berkat pertolongan-Nya peneliti dapat menyelesaikan proposal

seminar ini dengan lancar. Shalawat dan salam tak lupa peneliti panjatkan kepada

junjungan Nabi Muhammad SAW.

Peneliti menyadari, bahwa dalam penyusunan proposal seminar ini tak

terlepas bantuan dari pihak lain, karena itu peneliti ucapkan banyak terima kasih

kepada pihak-pihak yang telah membantu. Semoga kebaikan, jasa, dan

bantuannya menjadi sesuatu yang berarti dan mendapatkan balasan dan pahala

dari Allah SWT.

Seperti halnya gading yang tak retak, peneliti menyadari bahwa dalam

proposal seminar ini jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu peneliti mengharap

masukan dan saran dari pemerhati untuk perbaikan selanjutnya, semoga proposal

seminar ini dapat bermanfaat bagi diri peneliti khusunya dan para pembaca, serta

masyarakat umumnya.

Peneliti berharap dalam penelitian selanjutnya dapat memperbaiki segala

kekurangan yang terdapat pada proposal seminar ini. Akhir kata, peneliti ucapkan

banyak-banyak terima kasih.

DAFTAR ISI

PENGANTAR i

BAB I PENDAHULUAN 1

A. Latar Belakang 1

B. Identifikasi Masalah 5

C. Batasan Masalah 5

D. Perumusan Masalah 6

E. Tujuan Penelitian 6

F. Kegunaan Penelitian 6

G. Sistematika Penelitian 7

BAB II LANDASAN TEORI DAN KERANGKA BERPIKIR 8

A. Landasan Teori 8

1. Pemahaman Diri 8

2. Hubungan Sosial 23

3. Keluarga Broken Home 37

B. Penelitian yang Relevan 41

C. Kerangka Berpikir 44

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 46

A. Waktu dan Tempat Penelitian 46

B. Metode Penelitian 46

C. Subyek dan Obyek Penelitian 48

D. Metode Pengumpulan Data 49

E. Teknik Analisis Data 51

KEPUSTAKAAN

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manusia atau sering juga disebut individu mempunyai banyak kelebihan

dibanding dengan ciptaan Tuhan yang lain, hal yang  kita semua tahu adalah akal

budi yang dimiliki, sebagai makhluk pribadi yang mempunyai akal budi tinggi

serta keunikan atau kekhasan yang dimiliki, sebetulnya kita juga sangat

tergantung pada manusia atau individu lainnya, karena sebagai makhluk pribadi,

manusia juga sekaligus sebagai makhluk sosial.

Untuk itu agar di dalam hidup bermasyarakat kita dapat membawa dan

menempatkan diri serta dapat menyesuaikan diri dengan baik, perlunya

memahami diri kita sendiri sebelum dipahami dan memahami orang lain.

Pemahaman akan manusia hanya dapat dipahami jika kita memahami duniannya,

tetapi dilain pihak pemahaman akan manusia akan lebih baik jika kita melihat

pula keadaan sosial dan keadaan lingkungan fisik yang ada di sekitarnya (Hjelle &

Ziegler, 1994).

Secara sosial, manusia dengan segala keunikan dan keanekaragamannya

dituntut untuk hidup dalam kebersamaan. Hal ini menyebabkan seorang individu

mempunyai kecenderungan untuk hidup saling tergantung satu sama lain. Individu

memerlukan orang lain bukan hanya demi sebuah kebahagiaan, tetapi juga bagi

pertahanan manusia sendiri, mengingat masyarakat harmonis yang bahagia adalah

tujuan akhir dari umat manusia sepanjang sejarah (Finkelor, 2007).

Salah satu yang membedakan manusia dengan hewan atau makhluk hidup

lainnya adalah kemampuan manusia di dalam melakukan pemahaman dan refleksi

terhadap dirinya sendiri. Manusia mampu melihat dan menyelami ke dalam

dirinya sendiri. Manusia mampu mengambil jarak dari diri sendiri, menyadari apa

saja yang dilakukannya, berpikir, dan mengevaluasi kelebihan serta kekurangan

dirinya. Faktanya ada orang yang menyukai atau membenci dirinya sendiri,

menerima atau menolak dirinya, dan ada pula yang memuji atau memaki dirinya

sendiri (Rahman, 2013:66).

Berpikir tentang dirirnya sendiri adalah aktivitas manusia yang tak bisa

dihindari. Pada umumnya, secara harfiah orang akan berpusat pada dirinya

sendiri, sehingga self adalah pusat dari dunia sosial setiap orang. Sementara,

seperti yang kita ketahui, faktor genetika memainkan sebuah peran terhadap

identitas diri, atau konsep diri (self), yang sebagian besar di dasarkan pada

interaksi dengan orang lain yang dipelajari, dimulai dengan anggota keluarga

terdekat, kemudian meluas ke interaksi dengan mereka di luar keluarga (Lau &

Pau, 1999).

Keluarga adalah kesatuan terkecil dalam masyarakat, yang terdiri dari ayah,

ibu, dan anak. Ada tiga bentuk keluarga, yaitu Nuclear Family (terdiri dari ayah,

ibu, dan anak), Extended Family (terdiri dari ayah,ibu, anak, nenek, kakek, paman,

atau bibi), dan Blended Family (keluarga inti ditambah dengan anak dari

pernikahan suami/istri sebelumnya).

Masa remaja adalah suatu bagian dari proses tumbuh kembang yang

berkesinambungan, yakni masa peralihan kanak-kanak ke dewasa muda (Reza,

2008:18). Pada masa ini terjadi pertumbuhan dan perkembangan yang cepat dalam

aspek fisik, emosi, kognitif, dan sosial. Masa ini merupakan masa yang kritis,

yaitu saat melepas ketergantungan kepada orang tua dan berusaha mencapai

kemandirian sehingga dapat diterima dan diakui sebagai orang dewasa (Hurlock,

1990:121).

Setiap keluarga pasti pernah mengalami saat-saat krisis yang menyebabkan

timbulnya permasalahan dalam keluarga, dan tentunya permasalahan dalam

keluarga sangatlah beragam. Ketidakmampuan orangtua sangat berperan besar

dalam menyingkapi permasalahan keluarga, sehingga menyebabkan munculnya

masalah dalam diri anak, dan lingkup sosialnya.

Individu tidak hidup sendirian, akan tetapi kerap melakukan interaksi sosial

dengan orang lain, khususnya keluarga. Dalam hal ini keluarga dapat memberikan

pengaruh positif maupun negatif pada diri individu. Dalam bertingkah laku,

orangtua merupakan contoh (model) bagi anaknya, hubungan antara orangtua dan

anak, antara sesama anak, dan sebagainya mempunyai arti yang sangat penting

bagi perkembangan anak.

Hubungan anggota keluarga yang bijaksana, penuh kasih sayang, saling

memahami, dan harmonis, akan menimbulkan rasa aman bagi anak. Apabila

sebaliknya, anak yang dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang sibuk, jarang

berada di rumah, dan tentunya tidak harmonis akan membentuk kepribadian yang

berbeda pada anak bahkan cenderung negatif, baik bagi diri anak maupun

lingkungannya.

Pengaruh positifnya dapat dilihat dari terbentuknya konsep diri yang positif

pada diri individu, kemampuan bersosialisasi yang efektif, serta mampu hidup

mandiri. Adapun pengaruh negatifnya, diketahui dari konsep diri yang negatif,

ketidakmampuan bersosialisasi, serta bersikap tergantung pada orang lain. Jadi

jelaslah, bahwa individu sangat dipengaruhi oleh sistem atau pola hubungan yang

terdapat dalam keluarga.

Yang dimaksud kasus keluarga pecah (broken home) dapat dilihat dari dua

aspek : (1) keluarga pecah karena strukturnya tidak utuh sebab salah satu dari

kepala keluarga meninggal dunia atau telah bercerai; (2) orang tua tidak bercerai

akan tetapi struktur keluarga tidak utuh lagi karena Ayah atau Ibu sering tidak di

rumah, dan/atau tidak memperlihatkan hubungan kasih sayang lagi. Misalnya,

orang tua sering bertengkar, sehingga keluarga tersebut tidak sehat secara

psikologis (Willis, 2008:66).

Perpecahan dalam keluarga, biasanya berawal dengan suatu konflik antara

anggota keluarga. Bila konflik ini sampai titik kritis maka peristiwa perpecahan

tersebut berada diambang pintu. Peristiwa ini selalu mendatangkan

ketidaktenangan berpikir dan ketegangan itu memakan waktu yang lama. Dan

bagaimanapun, kenyataan yang ada dalam perpecahan suatu keluarga, anak yang

selalu menjadi korbannya.

Kasus perceraian memberikan dampak yang sangat besar dalam diri anak.

Akan melahirkan anak-anak yang mengalami krisis kepribadian, sehingga

perilakunya sering salah suai. Mereka mengalami gangguan emosional dan

bahkan neurotik. Kasus keluarga broken home sering ditemui di sekolah dengan

penyesuaian diri yang kurang baik, seperti : malas belajar, menyendiri, agresif,

membolos, dan suka menentang guru.

Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti bermaksud mengadakan penelitian

untuk mengetahui lebih jelas tentang “Analisis Pemahaman Diri Dan Hubungan

Sosial Siswa Berlatar Belakang Keluarga Broken Home Dan Implikasinya

Terhadap Pelayanan Bimbingan Dan Konseling Di SMK YADIKA 11

Jatirangga”.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka peneliti dapat

mengindentifikasikan masalah sebagai berikut :

1. Meningkatkan pemahaman diri siswa berlatar belakang keluarga broken

home.

2. Penting untuk dilakukan analisis hubungan sosial siswa berlatar belakang

keluarga sosial.

C. Batasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah di atas dan agar masalah tidak meluas,

maka peneliti membatasi lingkup masalah pada : Analisis Pemahaman Diri Dan

Hubungan Sosial Siswa Berlatar Belakang Keluarga Broken Home Dan

Implikasinya Terhadap Pelayanan Bimbingan Dan Konseling Di SMK YADIKA

11 Jatirangga .

D. Perumusan Masalah

Dengan melihat pembatasan masalah di atas, maka peneliti dapat

merumuskan masalah sebagai berikut :

1. Bagaimana pemahaman diri siswa berlatar belakang keluarga broken

home di SMK YADIKA 11 Jatirangga ?

2. Bagaimana hubungan sosial siswa berlatar belakang keluarga broken

home di SMK YADIKA 11 Jatirangga ?

E. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui beberapa perihal sebagai berikut :

1. Pemahaman diri siswa berlatar belakang keluarga broken home di SMK

YADIKA 11 Jatirangga.

2. Hubungan sosial siswa berlatar belakang keluarga broken home di SMK

YADIKA 11 Jatirangga.

F. Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan berguna bagi :

1. Bagi sekolah

Dapat dijadikan bahan pemikiran dalam menentukan kebijakan terutama

dalam perbaikan tenaga konselor demi kemajuan pendidikan itu sendiri.

2. Bagi guru pembimbing

Dapat dijadikan sebagai bahan acuan dalam membedakan layanan

bimbingan dan konseling secara menyeluruh kepada siswa di sekolah

agar siswa dapat meningkatkan pemahaman diri dan hubungan

sosialnya.

3. Bagi penulis

Penelitian yang dilakukan oleh peneliti merupakan salah satu syarat

dalam pemenuhan mata kuliah seminar.

G. Sistematika Penulisan

BAB I Pada BAB ini berisikan pendahuluan : latar belakang, identifikasi

masalah, pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan

masalah, kegunaan masalah, dan sistematika penulisan.

BAB II Pada BAB ini berisikan tentang landasan teori dan kerangka

berpikir : landasan teori, penelitian yang relevan, dan kerangka

berpikir.

BAB III Pada BAB ini berisikan tentang metodologi penelitian : waktu

dan tempat penelitian, metode penelitian, subyek dan obyek

penelitian, metode pengumpulan data, instrumen penelitian,

teknik analisis data, dan metode keabsahan data.

BAB II

LANDASAN TEORI DAN KERANGKA BERPIKIR

A. Landasan Teori

1. Pemahaman Diri

a. Pengertian Diri

Pemahaman terhadap kemampuan kita di dalam melakukan refleksi diri

ini penting di dalam memahami perilaku manusia secara keseluruhan.

Menurut Leary & Tangney (2003), tidak mungkin dapat memahami

kompleksitas perilaku manusia tanpa merujuk pada kemampuannya berpikir

tentang dirinya sendiri. Pemahaman terhadap diri sendiri juga penting di

dalam penilaian sosial dan perilaku sosial.

Diri merupakan sebuah konsep sederhana dan kompleks. Terdapat suatu

konstruksi mental yang terletak di dalam kepala Anda, Anda merupakan

makhluk sosial dengan kemampuan untuk terlibat dalam komunikasi secara

simbolik/langsung dan dengan kesadaran diri. Penggunaan kontek sosial

dalam mendefinisikan diri, karena diri tidak berkembang dalam lingkup

isolasi, tetapi hanya dapat berkembang dalam lingkup sosial (Franzoi,

2003:48).

Leary, McDonald, & Tangley (2003), diri (self) adalah kelengkapan

psikologi yang memungkinkan refleksi diri berpengaruh terhadap

pengalaman kesadaran yang mendasari semua jenis persepsi, kepercayaan

dan perasaan tentang diri sendiri, serta yang memungkinkan seseorang

untuk meregulasi perilakunya sendiri.

Menurut William James & Goerge Herbert Mead, diri digambarkan

memiliki dua aspek terpisah , yaitu : diri sebagai pemerhati (The I) dan diri

sebagai dikenal (The Me). The I adalah perseptor aktif , inisiator , dan

regulator tindakan ; the me adalah salah satu pengetahuan tentang diri

sendiri (Stephen D. Rutter, 2003:49).

Diri adalah suatu konsep bahwa individu dapat belajar dari diri mereka

sendiri melalui interaksi sosial dengan orang lain (kualitas merupakan

perlengkapan/atribut individu untuk diri mereka sendiri) (Gergen, 1971).

Dalam pandangan tasawuf tentang self, terdapat beberapa konsep,

seperti : hati (al-qalb), roh (ar-ruh), jiwa (an-nafs), dan akal (al-aqlu). Dari

ke empat konsep tersebut yang paling mendekati konsep self adalah hati

atau al-qalbu. Menurut An-Nazar (2001), hati pun merupakan pusat segala

bentuk emosi, pengenalan, perasaan, dan akhlak (belief about oneself). Sa’id

Hawwa (1995), mengatakan bahwa hati merupakan hakikat manusia.

Hatilah yang tahu, mengerti, dan paham. Hati juga yang mendapat perintah,

yang dicela, diberi sanksi dan yang mendapat tuntutan (experiencing

subject).

Diri merupakan suatu konsep yang berpusat pada interaksi.

Pengetahuan tentang diri bervariasi pada rangkaian identitas personal dan

sosial. Pada identitas personal, seseorang akan mendefinisikan dirinya

berdasarkan atribut atau ciri yang membedakan diri dengan orang lain dan

hubungan interpersonal yang dimiliki. Sedangkan pada identitas sosial,

seseorang akan mendefinisikan dirinya berdasarkan keanggotaan dalam

suatu kelompok sosial atau atribut yang dimiliki bersama oleh anggota

kelompok (Vaughan & Hogg, 2002).

Berdasarkan satu situasi dan konteks sosial yang berpengaruh, diri

didefinisikan sebagai hubungan yang kita miliki dengan orang lain,

keyakinan kita tentang bagaiamana orang lain akan memperlakukan kita.

Sebagai bentuk antisipasi terhadap penerimaan atau penolakan orang lain

terhadap kita, sering kali kita memilih-milih identitas diri yang kita

ungkapkan (Baron, Byrne, & Branscombe, 2006)

Berdasarkan ungkapan-ungkapan di atas dapat disimpulkan, bahwa diri

merupakan suatu konsep jiwa atau hati yang berkembang dan membentuk

tentang dirinya sendiri.

b. Pengertian Pemahaman Diri

Menurut Reker yang di tulis oleh Maria Antoinete pada blog

http://rumahbelajarpsikologi.com, menjelaskan bahwa orang yang

memahami diri adalah mereka yang memiliki tujuan hidup, memiliki arah,

rasa memiliki kewajiban dan alasan untuk ada (eksis), identitas diri yang

jelas dan kesadaran sosial yang tinggi.

Menurut Santrock (2003:333) Pemahaman diri (self – Understanding)

adalah gambaran kognitif remaja mengenai dirinya, dasar, dan isi dari

konsep diri remaja. Pemahaman diri menjadi lebih introspektif tetapi tidak

bersifat menyeluruh dalam diri remaja, namun lebih merupakan konstruksi

kognisi sosialnya. Pada masa remaja persinggungan antara pengalaman

sosial, budaya dan norma yang berlaku mempengaruhi pada kognisi sosial

remaja.

Menurut Hartono (2010:209) pemahaman diri siswa SMA adalah

pengenalan secara mendalam atas potensi-potensi dirinya yang mencakup

ranah minat, abilitas, kepribadian, nilai dan sikap yang mana pengenalan

siswa atas pribadinya sendiri mencakup dua sisi yaitu pengenalan siswa atas

keunggulannya dan pengenalan siswa atas kekurangannya sendiri. Kekuatan

merupakan seperangkat kemampuan yang dimiliki siswa baik yang bersifat

potensial maupun aktual. Kekuatan siswa menggambarkan keunggulan,

kehebatan pribadi siswa, sedang kekurangan siswa adalah sejumlah

keterbatasan yang dimiliki siswa. Kekurangan siswa menggambarkan

ketidak mampuan siswa yang menjadi hambatan siswa dalam meraih cita-

cita.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pemahaman diri adalah

suatu situasi yang dialami individu di mana seseorang mengenal tentang

potensinya baik potensi fisik maupun potensi psikisnya sehingga individu

memahami arah dan tujuan hidupnya atau cita-cita. Potensi fisik yaitu

sejumlah kemampuan yang ada pada anggota badan dan panca indra

individu sedangkan potensi psikis individu mencakup minat, abilitas,

kepribadian, nilai dan sikap. Pemahaman yang dimaksudkan di sini tidak

hanya terbatas pada pengenalan siswa atas keunggulannya saja tetapi juga

mencakup pengenalan siswa atas kekurangan yang ada dalam diri.

c. Persepsi Diri (Self Perception)

Persepsi adalah proses pemaknaan terhadap stimulus. Sebagai suatu

proses, persepsi selalu mensyaratkan obyek. Obyek persepsi sangat

beragam, salah satunya self. Self, sebagai obyek dari persepsi, merupakan

obyek persepsi yang paling penting. Self bukanlah obyek tunggal, tetapi

obyek yang memiliki aspek-aspek yang sangat kompleks.

Baron & Byrne (1997), self merupakan pusat dari dunia sosial kita,

akibatnya daya tarik self bagi diri kita sendiri akan selalu kuat. Kita tertarik

pada apa pun, kita pun mempunyai perhatian yang sangat luar biasa

terhadap informasi-informasi apa pun yang terkait dengan diri kita. Tak

heran, jika kemudian kita menjadi sangat sensitif dan afektif terhadap

mengelola informasi-informasi apa pun yang terkait dengan diri kita

dibanding dengan pengelolaan informasi lainnya (self reference effect).

Terbukti, kita biasanya lebih mudah mengingat informasi-informasi yang

relevan dengan diri kita sendiri daripada informasi-informasi lainnya.

Pemahaman tentang diri sendiri sangat penting, supaya kita bisa

mengendalikan kehidupan kita sehari-hari (Dunning, 2005). Perlu tahu dan

memahami kelebihan dan kekurangan yang dimiliki, agar secara tepat dapat

mendatangkan keuntungan dan menghindarkan diri dari kerugian. Imam Al-

Ghazali menyatakan, bahwa mengenal diri sendiri adalah kunci mengenal

Tuhan.

Menurut Dunning (2005), sangat mengejutkan ternyata memahami diri

secara akurat tidak semudah yang diperkirakan. Beberapa hasil penelitian

yang diungkapkannya, membuktikan bahwa pemahaman terhadap diri

sendiri ternyata tidak lebih akurat terhadap pemahaman terhadap orang lain.

d. Metode Persepsi Diri

Kita mempunyai pemahaman yang unik tentang diri sendiri.

Pemahaman tersebut bukanlah pemahaman yang sekaligus jadi, tapi melalui

proses panjang. Bahkan dalam beberapa hal, proses pemahaman diri sendiri

tanpa akhir. Terkadang kita tidak meras puas dan kemudian melakukan

pembaharuan atas pemahaman kita pada diri sendiri.

Brehm & Kassin (1996), menyebutkan empat sumber untuk memahami

diri sendiri, yaitu : introspeksi (intropection), pengamatan terhadap perilaku

sendri (perception of our own behavior), pengaruh orang lain (influence of

other people), dan ingatan outobiografis (autobiographical memory).

Tylor, Peplau, & Sear (1997), mengidentifikasi beberapa sumber

pemahaman diri yang beragam, yaitu sosialisasi, penilain terhadap reaksi

orang lain pada kita (reflected appraisal), feedback dari orang lain, persepsi

diri, kekhasan lingkungan (environmental distinctiveness), perbandinga

dengan orang lain (social comparation), dan identitas sosial (sosial

Identity).

Berdasarkan uraian di atas, beberapa sumber pemahaman diri sebagai

berkut :

1. Introspeksi

Introspeksi berarti melakukan peninjauan ke dalam diri sendiri,

pikiran atau perasaan diri. Menggali memori tentang kejadian-kejadian

yang pernah dialami, dan berdialog dengan diri sendiri (self-talking).

Intropeksi dapat dilakukan kapan pun dan di mana pun tanpa tergantung

pada orang lain. Dengan introspeksi, kita bisa memasuki hal-hal pribadi

tanpa takut kehilangan harga diri atau merasa malu.

Brem & Kassin (1996), menyebutkan bahwa akurasi dari metode

introspeksi tergantung pada apakah perilakunya bersifat cognitively

driven atau affectively driven. Introspeksi akan menghasilkan

pemahaman yang cukup akurat pada perilaku-perilaku yang cognitively

driven daripada perilaku-perilaku yang affectively driven. Menurut

Swann (Brehm & Kassin, 1996), faktor waktu dan cognitively resources

juga merupakan faktor yang mempengaruhi keakuratan dari introspeksi.

2. Pengamatan terhadap perilaku diri sendiri

Daryl Bem (1972) dengan teorinya self-perception theory, percaya

bahwa cara kita memahami diri sama saja dengan cara kita memahami

orang lain, sebagai berikut :

“Individu dapat mengetahui sikap, emosi, dan internal state-nya sendiri dengan cara menyimpulkan hasil pengamatan terhadap perilaku overt-nya sendiri dan/atau lingkungan tempat perilaku itu terjadi. Jika tanda-tanda internalnya tampak lemah, kabur, dan tak bisa dimaknai, individu tersebut akan mengambil posisi seperti

orang lain, yaitu lebih menekankan pada tanda-tanda eksternal untuk menyimpulkan inner-state-nya”.

Pemahaman terhadap perilaku diri sendiri ada batasnya. Bem

(1972), menyatakan orang tidak akan mengambil kesimpulan tentang

keadaan internalnya dari hasil pengamatan perilaku jika pada saat itu

terdapat tekanan situasional, baik berupa reward atau hukuman.

3. Penilaian orang lain

Ironi memang, bahwa sebagian diri kita ternyata misteri bagi diri

kita sendiri. Pada saat itu, kita memerluka orang lain untuk membantu

memahaminya. Kita membutuhkan bantuan orang lain bukan hanya saja

untuk mengetahui sesuatu yang luput dari perhatian kita, tapi juga untuk

membantu mreningkatkan objektivitas pemahaman kita.

Berkenaan dengan itu Luth (Frey & Secord, 1984), menyampaikan

bahwa self itu terdiri dari aspek yang diketahui dan tidak diketahu diri

sendiri, serta aspek yang diketahui dan tidak diketahui orang lain. Hal

tersebut dapat dilihat pula dalam Johari Window, seperti gambar

berikut ini :

Tabel 2.1 Johari Window (Petak Johari)

Saya tahu Saya tidak tahu

Orang lain tahu Open Blind

Orang lain tidak tahu Private Unknown

Berdasarkan pengetahuan yang diketahui dan tidak ketahui diri

sendiri dan orang lain, Luth membagi self menjadi empat kategori,

yaitu :

a. Pertama adalah self yang merupakan ruang terbuka atau open,

yang meliputi pikiran, perasaan, atau perilaku kita yang

diketahui baik oleh diri sendiri ataupun orang lain.

b. Kedua, self yang merupakan ruang buta atau blind, yang

meliputi pikiran, perasaan, atau perilaku kita yang tidak kita

diketahui, tapi orang lain mengetahuinya.

c. Ketiga, self yang merupakan ruang rahasia atau private, yang

meliputi pikiran, perasaan, atau perilaku kita yang tidak

diketahui orang lain dan hanya kita yang tahu.

d. Dan yang terakhir/keempat, self yang merupakan ruang gelap

dan misterius, yang meliputi aspek-aspek diri kita yang tidak

diketahui baik oleh diri sendiri maupun orang lain.

4. Perbandingan sosial

Festinger (Brehm & Kassin, 1996), menyatakan bahwa ketika kita

merasa tidak pasti dengan kemampuan atau opini diri sendiri dan tidak

ada informasi obyektif yang bisa dijadikan ukuran, maka kita akan

menggunakan orang lain sebagai perbandingan (sosial comparation).

Motif dasar melakukan perbandingan dengan orang lain adalah

lebih karena ingin memperoleh gambaran yang positif tentang diri kita,

bukan karena kita ingin memperoleh gambaran akurat tentang diri kita

(Baumeister, 1998). Jadi, kita bisa menggunakan orang lain sebagai

pembanding atau parameter untuk menilai diri kita sendiri.

Perbandingan sosial bisa bersifat downward (ke bawah) atau

upward (ke atas). Perbandingan ke atas maupun ke bawah mempunyai

efek yang berbeda terhadap pemahaman kita mengenai diri sendiri.

Perbandingan sosial seharusnnya dilakukan secara selektif dan tidak

sembarangan melakukan perbandingan sosial.

Tesser (1988) dengan self evaluation maintenance model, untuk

mendapatkan pandangan positif tentang diri, kita cenderung menjaga

jarak dengan orang lain yang melakukan sesuatu yang lebih baik

daripada kita dan lebih membandingkan diri dengan orang lain yang

tidak lebih baik daripada kita.

Menurut Taylor, Peplau, & Sear (1997), perbandingan sosial

mempunyai beberapa motif, yaitu :

a. Meningkatkan akurasi evaluasi diri

Untuk mendapatkan informasi yang akurat tentang diri, kita

melakukan perbandingan sosial. Membandingkan diri dengan

orang lain supaya mendapatkan pemahaman diri yang akurat.

b. Self enhancement

Perbandingan sosial, terkadang dimaksudkan untuk

mendapatkan evaluasi diri yang lebih positif. Pada prosesnya,

perbandingan sosial dengan motif ini membuat kita melakukan

downward social comparation.

c. Self improvement

Terakhir, perbandingan sosial dimaksudkan untuk

meningkatkan kemampuan dan kesuksesan diri. Perbandingan

dilakukan dengan cara upward social comparation, dengan harapan

mendapatkan informasi yang dapat menjadi acuan untuk

meningkatkan diri.

5. Refleksi terhadap reaksi orang lain

Charles Horton Cooley (1902), dikenal dengan symbolic

interactionist, berpendapat bahwa orang lain berfungsi sebagai cermin

sehingga kita bisa melihat diri sendiri melalui orang lain (looking-glass

self). Menurut Cooley, self berkembang berhubungan dengan orang

lain yang ada di lingkungannya.

Self tidak dapat dipisahkan dari pengaruh sosial dan beranggapan

bahwa self terbentuk sebagai refleksi dari pandangan-pandangan yang

dipegang orang lain. Cooley menambahkan, bahwa kita mengamati

bagaimana orang lain memandang dirinya dan memasukkan

pandangan-pandangan tersebut ke dalam konsep dirinya (Tice &

Wallace, 2003).

6. Sosialisasi

Sebagian pemahaman kita mengenai diri terbentuk melalui

sosialisasi dalam kelompok maupun masyarakat. Mengenal dan

mengalami nilai-nilai, keyakinan, aktivitas budaya, ritual keagamaan,

disiplin kerja, dll. Membuat kita mengindentifikasikan diri dengan

kelompok tertentu atau yang biasa disebut dengan identitas sosial.

Memahami diri sebagai agama tertentu (ingroup) bukan bagian dari

agama tertentu (outgroup), bagian dari etnik tertentu dan bukan bagian

dari etnik tertentu, dan lain sebagainya.

Pergaulan di masyarakat akan membuat kita belajar tentang

karakter-karater yang disukai dan dibenci orang-orang, serta

membandingkannyadengan karakter yang dimiliki diri sendiri.

Kemudian, kita akan mengetahui karakter diri sendiri yang tidak sesuai

dengan apa yang diharapkan oleh orang lain.

e. Aspek-Aspek Pemahaman Diri

1. Aspek fisik. Seluruh anggota badan individu termasuk bagian-

bagiannya. Artinya individu harus mengenali dan memahami

kondisi jasmaniahnya dengan segala potensinya. Apakah kondisi

jasmani semua sehat ? Apakah kondisi jasmaniahnya normal dan

sebagainya. Hal ini penting agar individu mampu mengambil

keputusan dengan tepat dan mampu menyikapi hidup ini dengan

benar.

2. Aspek psikis. Berhubungan dengan kondisi kejiwaan individu,

yaitu bagaimana kecerdasannya dan bagaimana emosinya.Sehingga

individu mampu menyikapi pilihan-pilihan karir dan masa depan

juga mampu menempatkan dirinya dalam berhubungan dengan

orang lain.

3. Aspek minat. Minat adalah rasa tertarik yang kuat terhadap obyek

tertentu. Hal ini penting untuk dipahami individu, karena dengan

adanya minat yang kuat terhadap obyek pilihan maka prestasi,

keberhasilan yang diharapkan mudah tercapai demikian juga

sebaliknya. Oleh karena itu perlu penanaman minat terhadap diri

individu terhadap berbagai obyek positif,sehingga timbul rasa

menyenangi dengan motivasi tinggi.

4. Aspek bakat. Bakat adalah kemampuan yang dibawa oleh

seseorang sejak lahir dan bersifat menurun ( genetik ). Pentingnya

individu memahami bakat ini adalah agar individu mampu

mengembangkan dirinya secara optimal. Bakat akan cepat

berkembang dengan baik apabila ditunjang dengan sarana dan

prasarana. Oleh karena itu, peran semua masyarakat untuk memberi

wadah penyaluran bakat-bakat terpendam positif sehingga

memunculkan putra-putri berbakat di tanah air kita.

5. Aspek cita-cita. Cita-cita adalah gambaran diri yang ada pada diri

seseorang. Ada yang menyebut “Potret Diri” seseorang. Artinya

apabila individu mengatakan dengan lisan, misalnya : “Cita-cita

saya ingin menjadi TNI/POLRI”. Individu harus memahami apakah

dirinya sudah memiliki potret diri menjadi seorang TNI/POLRI.

Sudah tergambarkah secara keseluruhan dalam diri individu

kriteria, syarat-syarat, dan sebagainya yang mutlak harus dipenuhi

untuk bisa menjadi anggota TNI/POLRI. Hal ini penting untuk

dipahami dengan cermat gambaran dirinya, sehingga ia benar-benar

mampu dan dapat memilih karir sesuai dengan cita-citanya.

6. Aspek kebutuhan-kebutuhan pokok. Hal ini penting juga untuk

dipahami oleh individu, kebutuhan-kebutuhan pokok seperti apa

yang diinginkan dalam menjalani kehidupan ini. Apakah hidup ini

hanya untuk makan atau makan untuk hidup. Apakah individu

hanya menginginkan kebutuhan jasmani saja, atau individu di

samping perlu kebutuhan-kebutuhan untuk jasmani, juga

memerlukan kebutuhan bathin, dan sebagainya. Misalnya : makan,

minum, keamanan, kasih sayang, rekreasi, aktualisasi diri,

sosialisasi, dan sebagainya. Oleh karena itu individu perlu

menentukan kebutuhan-kebutuhan pokok seperti apa yang

diinginkan dalam hidup ini.

7. Aspek gaya hidup. Gaya hidup yang diinginkan oleh masing-

masing orang berbeda antara satu dengan lainnya. Ada yang ingin

bergaya hidup elite, ada yang ingin bergaya hidup biasa-biasa saja

atau bergaya hidup sederhana. Oleh karena itu gaya hidup atau life

style, ini perlu dipahami dengan benar. Individu hendaknya

menyesuaikan dengan kemampuannya, sehingga dalam menyikapi

hidup ini tidak diperbudak oleh hawa nafsunya. Ketrampilan, kerja

keras, pengalaman, dan sebagainya akan mempermudah untuk

memutuskan gaya hidup seseorang.

f. Tujuan Pemahaman Diri

Siswa yang pemahaman terhadap dirinya lebih memiliki peluang yang

besar dalam meraih cita-cita dari pada siswa yang belum mengenal dengan

baik akan diri mereka sendiri, karena mereka yang memahami diri telah

sangat menyadari bagaimana sebenarnya kemampuan, minat, kepribadian,

dan nilai termasuk kelebihan dan kekurangan yang ada dalam diri mereka

sehingga mereka memiliki arah dan tujuan hidup yang realistis, di mana

mereka memilliki cita-cita yang sesuai dengan potensi diri.

Menurut Muhamat Farid (http://tizarrahmawan.wordpress.com), ketika

seseorang mengetahui kondisi dan gambaran tentang dirinya maka dia akan

dapat menjalani hidupnya dengan nyaman dan juga memiliki rasa percaya

diri yang kuat karena sudah memiliki pandangan diri yang jelas.

Pemahaman diri atau disebut knowing yourself oleh Levinson, Ohler,

Caswell dan Kiewra merupakan aspek penting dalam pengambilan

keputusan (Hartono, 2010:61).

Tujuan pemahaman diri bagi siswa adalah:

1) Mampu mengeksplorasi potensi diri mereka yang mencakup:

minat, abilitas, dan cita-cita.

2) Siswa bisa mempersiapkan diri dengan baik dalam memasuki

dunia kerja.

3) Siswa mencapai kematangan dalam perkembangan dirinya.

4) Siswa mampu mengambil segala keputusan menyangkut dirinya

secara mandiri.

g. Faktor-Faktor Pemahaman Diri

Pemahaman diri (minat, abilitas, kepribadian, nilai-nilai dan sikap,

kelebihan dan kekurangan) di pengaruhi oleh faktor internal dan faktor

eksternal. Faktor internal yang turut mempengaruhi pemahaman diri

ditentukan oleh diri terbuka dan tertutup. Kepribadian yang terbuka

berkonstribusi positif terhadap pemahaman diri, sedangkan kepribadian

yang tertutup adalah faktor penghambat dalam pemahaman diri. Faktor

eksternal (lingkungan) yang mempengaruhi pemahaman diri antara lain,

lingkungan keluarga, teman sebaya, dan sekolah.

Menurut Hurlock (1997:213), masa remaja dikatakan sebagai masa

transisi karena belum mempunyai pegangan, sementara kepribadianya

masih mengalami suatu perkembangan, remaja masih belum mampu untuk

menguasai fungsi-fungsi fisiknya. Remaja masih labil dan mudah

terpengaruh oleh lingkungan sekitarnya. Remaja sebagai bagian dari

generasi penerus yang menjadi tonggak sebagai individu yang bermakna

pada hari kemudian diharapkan juga memiliki pemahaman tentang diri yang

benar, hal tersebut sangat diperlukan bagi setiap orang dalam menjalani

kehidupannya, sehingga diperoleh suatu gambaran yang jelas tentang

dirinya dan supaya remaja bisa menjalankan apa yang sudah didapatkannya.

2. Hubungan Sosial

Dunia manusia adalah dunia bersama dan untuk hidup di dalamnya kita

harus dapat mengenali, memahami, serta mengerti orang lain. Aktivitas tersebut

sangat kompleks, karena tidak mudah untuk mengenali orang lain. Selain

karakteristik yang dimiliki setiap orang sangat banyak, orang juga tidak selalu

menampilkan diri apa adanya dan bisa jadi menyembunyikan apa yang dipikirkan

serta dirasanya.

a. Pengertian Hubungan Sosial

Hubungan sosial merupakan interaksi antar manusia. Menurut Gillin &

Gillin (Soekamto, 2003), hubungan sosial adalah hubungan yang dinamis

yang menyangkut hubungan antar individu, antar kelompok, antar orang

dengan kelompok. Secara umum hubungan sosial adalah hubungan timbal

balik antara individu yang satu dengan individu yang lain, saling

memengaruhi dan didasarkan pada kesadaran untuk saling menolong.

Biasanya hubungan sosial ini juga disebut dengan Interaksi sosial.

Interaksi sosial ini jelas berbeda dengan hubungan sosial tetapi ada

kaitannya sedikit, Interaksi sosial adalah hubungan antara individu atau

lebih, di mana kelakuan individu yang satu mempengaruhi, mengubah, atau

memperbaiki kelakuan individu yang lain atau sebaliknya.

b. Bentuk Hubungan Sosial

 Dengan adanya interaksi sosial tersebut maka terjadilah proses sosial.

Menurut Gillin & Gillin (Soekamto, 2003), proses sosial yang timbul dari

akibat interaksi sosial ada dua macam, yaitu :proses sosial asosiatif dan

proses sosial disosiatif.

1. Proses sosial asosiatif (process of association)

Proses sosial asosiatif adalah proses interaksi yang cenderung

menjalin kesatuan dan meningkatkan solidaritas anggota kelompok.

Proses asosiatif terdiri dari :

a) Kerjasama

Kerjasama adalah suatu usaha bersama antara orang perorangan

atau antarkelompok untuk mencapai tujuan bersama. Menurut

Charles H. Cody (Soekamto, 2003), kerjasama timbul apabila

orang menyadari bahwa mereka mempunyai kepentingan-

kepentingan yang sama dan pada saat yang bersamaan mempunyai

cukup pengetahuan dan kesadaran terhadap diri sendiri untuk

memenuhi kepentingan-kepentingan tersebut.

Kerjasama terbentuk karena adanya faktor-faktor diantaranya

adanya kebersamaan rencana dan tujuan antarindividu, adanya

kemampuan untuk menciptakan rencana dan melaksanakannya,

adanya pengetahuan yang cukup dan pengendalian diri yang

memadai, terciptanya suasana yang menyenangkan di antara pelaku

kerjasama. Bentuk kerjasama diantaranya:

1. Kerukunan, mencakup gotong royong dan tolong menolong

antarsesama warga dalam masyarakat.

2. Bargaining, merupakan bentuk kerjasama yang dihasilkan

melalui proses tawar-menawar atau kompromi antara dua

pihak atau lebih untuk mencapai suatu kesepakatan.

3. Kooptasi (cooptation), yaitu proses penerimaan unsur-unsur

baru dalam kepemimpinan atau pelaksanaan politik dalam

suatu organisasi dan sebagai suatu cara untuk menghindari

terjadinya kegoncangan dalam organisasi yang bersangkutan.

4. Koalisi (coalition), yaitu kombinasi antara dua organisasi atau

lebih yang bertujuan sama.

5. Joint Venture, yaitu kerjasama antara beberapa organisasi

dalam mengusahakan proyek-proyek besar tertentu.

b) Akomodasi

Akomodasi mempunyai dua arti, yaitu menunjuk suatu keadaan

dan untuk menunjuk suatu proses. Akomodasi yang menunjuk pada

keadaan artinya adalah adanya suatu keseimbangan dalam interaksi

orang perorangan atau kelompok-kelompok manusia dan kaitannya

dengan norma dan nilai sosial yang berlaku di masyarakat.

Akomodasi sebagai suatu proses, yaitu menunjuk pada usaha-usaha

manusia untuk meredakan suatu pertentangan, yaitu usaha untuk

mencapai kestabilan.

Menurut Soerjono Soekanto (2003), tujuan akomodasi yaitu

mengurangi pertentangan antara orang perorangan atau kelompok

manusia sebagai akibat perbedaan paham, mencegah meledaknya

suatu pertentangan untuk sementara waktu, memungkinkan

terjadinya kerjasama antar kelompok-kelompok sosial.

Bentuk-bentuk akomodasi, diantaranya :

1. Arbitrasi (arbitration), yaitu cara untuk mencapai kesepakatan

yang dilakukan antara dua pihak yang bertikai dengan meminta

bantuan pihak ketiga yang kedudukannya lebih tinggi.

2.  Stalemate, yaitu bentuk akomodasi di mana pihak-pihak yang

bertentangan mempunyai kekuatan seimbang, berhenti pada

titik tertentu dalam melakukan pertentangan.

3. Pengadilan (adjudication), yaitu bentuk akomodasi yang

diselesaikan lewat meja hijau atau pengadilan.

4. Kompromi (compromize), yaitu bentuk akomodasi yang

masing-masing pihak yang terlibat saling mengurangi

tuntutannya agar tercapai penyelesaian terhadap perselisihan.

5. Paksaan (coersion), yaitu bentuk akomodasi yang prosesnya

dilaksanakan secara paksaan baik langsung maupun tidak.

6. Mediasi (mediation), yaitu bentuk akomodasi dengan cara

mengundang pihak ketiga yang netral, hampir menyerupai

arbitration. Akan tetapi pihak ketiga tersebut tidak memiliki

wewenang untuk memberi keputusan.

7. Toleransi (tolerance), yaitu bentuk akomodasi tanpa

persetujuan formal yang dilandasi saling menghargai, saling

menghormati dan tidak saling curiga.

8. Konsiliasi (conciliation), yaitu bentuk akomodasi dengan cara

mempertemukan keinginan-keinginan dari pihak-pihak yang

berselisih untuk mencapai persetujuan bersama.

c) Asimilasi

Asimilasi merupakan suatu proses di mana individu-individu atau

kelompok-kelompok yang mempunyai perbedaan kemudian lebur

menjadi satu tujuan, pandangan, dan kepentingan yang sama.

Menurut Koentjaraningrat, asimilasi dapat terjadi apabila

memenuhi, yaitu terdapat sejumlah kelompok manusia yang

memiliki kebudayaan berbeda, terjadi pergaulan antara individu

atau kelompok secara intensif dan berlangsung dalam waktu yang

lama, kebudayaan yang dimiliki tiap kelompok tersebut saling

berubah dan menyesuaikan diri.

Faktor pendorong atau yang mempermudah proses asimilasi, yaitu :

1. Terjadinya perkawinan campuran (amalgamation), yaitu

perkawinan campuran antara dua orang yang berbeda budaya.

2. Adanya musuh dari luar yang sama.

3. Adanya sikap menghargai orang asing dan kebudayaannya.

4. Adanya kesempatan-kesempatan yang seimbang di bidang

ekonomi.

5. Adanya persamaan unsur-unsur kebudayaan.

Faktor yang menghambat terjadinya proses asimilasi, yaitu :

1. Kehidupan suatu golongan tertentu dalam masyarakat terisolir

atau terasing.

2. Kurangnya pengetahuan mengenai kebudayaan dari golongan

masyarakat yang dihadapi.

3. Perasaan takut terhadap kekuatan kebudayaan lain.

4. Adanya perbedaan warna kulit atau perbedaan ciri fisik.

5. Perasaan bahwa kebudayaan golongan atau kelompok tertentu

lebih hebat dari kebudayaan yang lain.

6. Apabila golongan minoritas mengalami gangguan dari

golongan yang berkuasa, yang menyebabkan timbulnya

kebencian dari golongan minoritas terhadap mayoritas

walaupun sebelumnya proses asimilasi di antara mereka sudah

terjalin.

7. Perbedaan kepentingan dan pertentangan pribadi.

8. Adanya perasaan yang kuat.

d) Akulturasi

Akulturasi adalah perpaduan dua kebudayaan yang berbeda dan

membentuk suatu kebudayaan baru dengan tidak menghilangkan

ciri kepribadian masing-masing. Menurut Koentjaraningrat,

akulturasi terjadi apabila suatu kelompok dengan kebudayaan

tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur kebudayaan asing. Dengan

begitu, unsur-unsur kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan

diolah ke dalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya

kepribadian kebudayaan itu sendiri.

2. Proses sosial disasosiatif (process of dissociation)

Proses disasosiatif adalah cara yang bertentangan dengan seseorang

atau kelompok untuk mencapai suatu tujuan. Bentuk-bentuk proses

disasosiatif adalah :

a) Persaingan

Persaingan adalah suatu proses sosial dilakukan oleh individu atau

kelompok untuk saling berlomba atau bersaing dan berbuat sesuatu

untuk mencapai suatu kemenangan tanpa adanya ancaman atau

kekerasan dari para pelaku. Bentuk persaingan dibedakan menjadi

2 macam, yaitu :

1. Persaingan kelompok, yaitu persaingan yang terjadi

antarkelompok individu.

2. Persaingan individual, yaitu persaingan antara orang

perorangan.

Persaingan dapat terwujud dalam berbagai bentuk, yaitu :

1. Persaingan ekonomi. Persaingan ini terjadi karena persediaan

barang yang terbatas dan jumlah konsumen yang terus

bertambah. Persaingan di bidang ekonomi bertujuan untuk

mengatur produksi dan distribusi.

2. Persaingan kebudayaan. Setiap daerah memiliki kebudayaan

sendiri, sehingga Setiap kebudayaan daerah berusaha menjadi

kebudayaan yang terbaik. Demikian juga masyarakat yang

memiliki kebudayaan tersebut mencoba untuk melestarikan

dan mengembangkan kebudayaannya.

3. Persaingan kedudukan. Dalam hal ini setiap individu atau

kelompok mempunyai keinginan untuk diakui sebagai individu

atau kelompok yang mempunyai kedudukan dan peranan yang

terpandang.

4. Persaingan ras. P ersaingan ini terjadi karena perbedaan ciri-

ciri fisik seperti warna kulit, bentuk tubuh, dan corak rambut.

b) Kontravensi

Kontravensi adalah sikap mental tersembunyi yang ditandai oleh

gejala-gejala adanya ketidakpuasan mengenai seseorang atau

rencana, perasaan tidak suka yang disembunyikan dan kebencian

atau keraguan terhadap kepribadian seseorang.

Kontravensi merupakan bentuk proses sosial yang berada di antara

persaingan dan pertikaian. Hal ini ditandai dengan sikap

ketidakpastian, keraguan, dan penolakan yang tidak diungkapkan

secara terbuka sehingga terjadi pertikaian.

Menurut Leopold Van Wiese dan Howard Becker (Soejanto, 1994),

bentuk-bentuk kontravensi dibedakan menjadi :

1. Kontravensi umum (penolakan, protes, gangguan, dan

perbuatan kekerasan).

2. Kontravensi sederhana (menyangkal pernyataan orang lain,

mencerca, danmemfitnah).

3. Kontravensi intensif (penghasutan, desas-desus dan

mengecewakan pihak lain).

4. Kontravensi rahasia (pengkhianatan dan membocorkan rahasia

pada pihak lain).

5. Kontravensi taktis (mengejutkan lawan, mengganggu pihak

lain, provokasi, dan intimidasi). Kontravensi dibagi menjadi

dalam empat tipe, yaitu kontravensi antar masyarakat,

antagonisme keagamaan, kontravensi intelektual antara yang

berlatar belakang pendidikan tinggi dan pendidikan rendah,

oposisi moral yang berhubungan erat dengan latar belakang

kebudayaan.

c) Pertentangan

Pertentangan adalah proses sosial di mana beberapa individu atau

kelompok berusaha menekan, menghancurkan, atau mengalahkan

pihak lawan melalui ancaman kekerasan untuk mencapai suatu

tujuan. Bentuk-bentuk pertentangan, yaitu :

1. Pertentangan pribadi, terjadi di antara individu yang satu dan

individu yang lain dan dapat menimbulkan kebencian.

2. Pertentangan ras. Sumber pertentangan ini adalah adanya

perbedaan ciri-ciri fisik.

3. Pertentangan antarkelas-kelas sosial. Disebabkan oleh adanya

perbedaan kepentingan.

4. Pertentangan politik. Terjadi di antara golongan yang satu

dengan golongan yang lain atau di antara negara-negara yang

berdaulat.

5. Pertentangan bersifat internasional. Disebabkan oleh adanya

kepentingan yang luas dan menyangkut kepentingan nasional

serta kedaulatan masing-masing negara.

Faktor yang memengaruhi terjadinya konflik di dalam masyarakat

diantaranya perbedaan antar individu; perbedaan kebudayaan yang

menimbulkan perbedaan kepribadian, pemikiran, dan pola perilaku;

perbedaan kepentingan antar individu maupun antar kelompok;

perubahan nilai-nilai sosial yang cepat menyebabkan perbedaan

dalam masyarakat.

Akibat yang ditimbulkan konflik diantaranya bertambahnya rasa

solidaritas antar anggota dalam kelompok; menyebabkan retaknya

hubungan antar anggota kelompok; perubahan kepribadian individu

dari masyarakat yang mengalami konflik; kerusakan harta, benda,

bangunan, bahkan menimbulkan korban jiwa; adanya penaklukan

dan penguasaan salah satu pihak yang terlibat dalam konflik.

c. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Hubungan Sosial

Seseorang melakukan hubungan sosial secara naluri didorong oleh

beberapa faktor, baik faktor dari dalam (internal) maupun dari luar

dirinya(eksternal).

1) Faktor Internal Terjadinya Hubungan Sosial

Faktor dari dalam diri seseorang yang mendorong terjadinya

hubungan sosial adalah sebagai berikut.

a) Keinginan untuk meneruskan atau mengembangkan keturunan

dengan melalui perkawinan antara dua orang yang berlainan

jenis saling tertarik dan berinteraksi.

b) Keinginan untuk memenuhi kebutuhan hidup karena manusia

membutuhkan orang lain untuk memenuhi kebutuhannya.

c) Keinginan untuk mempertahankan hidup terutama menghadapi

serangan dari apapun.

d) Keinginan untuk melakukan komunikasi dengan sesama.

2. Faktor Eksternal Terjadinya Hubungan Sosial

Faktor dari luar yang mendorong terjadinya hubungan sebagai

berikut.

a) Simpati

Simpati adalah suatu sikap tertarik kepada orang lain karena

sesuatu hal. Ketertarikan tersebut karena penampilannya,

kebijaksanaan, ataupun pola pikirnya. Simpati menjadi

dorongan yang kuat pada diri seseorang untuk melakukan

komunikasi atau interaksi sehingga terjadi pertukaran atau nilai

pendapat. Contohnya, ketika kita mengetahui teman kita

bersedih maka kita ikut merasakan kesedihannya, ketika di

Provinsi Naggroe Aceh Darussalam, Provinsi D.I Yogyakarta,

ProvinsiJawa Tengah, Provinsi Jawa Barat, Provinsi Nusa

Tenggara Timur, dan Provinsi Papua mendapat bencana alam

(gempa bumi, tanah longsor, tsunami, ataupun lainnya) yang

menghancurkan semua maka kita pun ikut merasakan

penderitaan dan berusaha membantu mereka.

b) Motivasi

Motivasi adalah dorongan yang ada dalam diri seseorang yang

mendasari orang melakukan perbuatan. Motivasi muncul

biasanya karena rasionalitas, seperti motif ekonomis, motif

popularitas, atau politik.Motivasi juga dapat muncul dari

pengaruh orang lain. Contohnya, dengan diberikan tugas dari

guru maka murid akan termotivasi untuk selalu rajin belajar

setiap hari.

c) Empati

Empati merupakan proses psikis, yaitu rasa haru atau iba

sebagai akibat tersentuh perasaannya dengan objek yang ada di

hadapannya. Empati adalah kelanjutan dari rasa simpati.

Contoh, ketika kita melihat anak kecil kehilangan orang tuanya

kerena bencana maka tidak terasa kita ikut menangis dan

merasakan deritanya(simpati) sehingga kita ingin membantu

meringankan penderitaannya (empati).

d) Sugesti

Sugesti adalah kepercayaan yang sangat mendalam dari

seseorang kepada orang lain atau sesuatu. Pengaruh sugesti ini

muncul tiba-tiba dan tanpa adanya pemikiran untuk

mempertimbangkan terlebih dahulu. Sugesti akan mendorong

individu untuk melakukan suatu interaksi sosial.

e) Imitasi

Imitasi adalah dorongan untuk meniru sesuatu yang ada pada

orang lain. Imitasi muncul karena adanya minat, perhatian atas

sikap mengagumi terhadap orang lain yang dianggap cocok

atau sesuai. Contohnya meniru mode rambut artis idolanya.

f) Identitas

Identitas adalah dorongan seseorang untuk menjadikan dirinya

identik atau sama dengan orang lain. Identifikasi karena terikat

oleh suatu aturan yang mengharuskan seseorang menyesuaikan

diri seperti orang lain, atau atas dasar kesenangan sehingga

tertarik menyesuaikan diri. Contoh, pakaian seragam yang

harus dikenakan murid di suatu sekolah.

d. Dampak Hubungan Sosial

1) Dampak positif

a) Terjadi kerjasama antarwarga.

b) Terbentuk kelompok/golongan yang di dasarkan berbagai

kepentingan.

c) Meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

d) Mendorong terwujudnya kehidupan demokrasi.

e) Mempererat persahabatan di antara warga.

f) Mendorong masyarakat berpikir maju.

2) Dampak negatif

a) Menimbulkan terjadinya ketegangan dan pertengkaran sosial,

perbedaan pendapat, bahkan muncul menjadi konflik fisik.

b) Menimbulkan persaingan yang tidak sehat.

c) Memunculkan sikap otoriter.

3. Keluarga Broken Home

a. Pengertian Keluarga

Pengertian keluarga berdasarkan asal-usul yang dikemukakan oleh Ki

Hajar Dewantara (Abu & Nur, 200 :176), bahwa keluarga berasal dari

bahasa Jawa yang terbentuk dari dua kata, yaitu kawula dan warga. Dalam

bahasa Jawa kuno kawula berarti hamba dan warga artinya anggota.

Sehingga dapat diartikan bahwa, keluarga adalah hamba atau warga saya.

Setiap dari kawula merasakan sebagai satu kesatuan yang utuh, sebagai

bagian dari dirinya, dan dirinya juga bagian dari warga yang lainnya secara

keseluruhan.

Keluarga adalah lingkungan di mana beberapa orang yang masih

memiliki hubungan darah dan bersatu. Keluarga merupakan sekumpulan

orang yang tinggal dalam satu rumah yang masih mempunyai

hubungan/kekerabatan darah karena perkawinan, kelahiran, adopsi, dan lain

sebagainya (Soerjono, 2004:23).

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia. Keluarga adalah bagian dari

masyarakat besar yang terdiri dari ibu bapak dan anak-anaknya (KBBI,

2013).

Menurut Murdock (Lestari, 2012:6), menguraikan bahwa “Keluarga

merupakan kelompok sosial yang memiliki karakteristik tinggal bersama,

terdapat kerja sama ekonomi, dan terjadi proses reproduksi”.

Menurut Reiss (Lestari, 2012: 6), mengatakan bahwa “Keluarga suatu

kelompok kecil yang terstruktur dalam pertalian keluarga dan memiliki

fungsi utama berupa sosialisasi pemeliharaan terhadap generasi baru”.

b. Pengertian Anak

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia. Anak adalah keturunan yang

kedua (KBBI, 2013). “Anak adalah seorang lelaki atau perempuan yang

belum dewasa atau belum mengalami masa pubertas”.

c. Pengertian Broken Home

Menurut Matinka (2011), “Broken home adalah istilah yang digunakan

untuk menggambarkan suasana keluarga yang tidak harmonis dan tidak

berjalannya kondisi keluarga yang rukun dan sejahtera yang menyebabkan

terjadinya konflik dan perpecahan dalam keluarga tersebut”.

d. Penyebab Broken Home

Setiap keluarga selalu mendambakan sebuah keluarga yang utuh dan

harmonis, jauh dari pertengkaran atau perpecahan. Namun, setiap keluarga

memiliki masalah dan masalah itu tidak datang begitu saja, tetapi ada

penyebabnya.

Penyebab utama terjadinya broken home, yaitu :

1) Perceraian, terjadi akibat disorientasi antara suami istri dalam

membangun rumah tangga;

2) Kebudayaan bisu, ketika tidak adanya komunikasi dan dialog antar

anggota keluarga;

3) Ketidakdewasaan sikap orangtua, karena orangtua hanya

memikirkan diri mereka daripada anak; dan

4) Orangtua yang kurang rasa tanggung jawab dengan alasan

kesibukan bekerja. Mereka hanya terfokus pada materi yang akan

didapat dibandingkan dengan melaksanakan tanggung jawab di

dalam keluarga (“Kehidupan Anak Broken Home,” 2012).

Penyebab tambahan. Penyebab tambahan yang memicu terjadinya

broken home, yaitu :

1) perang dingin dalam keluarga, karena adanya perselisihan atau rasa

benci;

2) kurang mendekatkan diri pada Tuhan, yang membuat orangtua

tidak dapat mendidik anaknya dari segi keagamaan;

3) masalah ekonomi, yang tidak jarang menjadi sebab pertengkaran

maupun berakhir dengan perceraian; dan

4) masalah pendidikan, kurangnya pengetahuan suami ataupun istri

terhadap keluarga mereka sendiri (“Kehidupan Anak Broken

Home,” 2012).

e. Dampak Broken Home Pada Anak

Setiap keluarga yang mengalami broken home biasanya akan

berdampak pada anak-anaknya. Orangtua tidak pernah memikirkan

konskuensi dari tindakan yang mereka lakukan. Dampak paling utama yang

akan melekat sampai anak tersebut dewasa adalah dampak psikologis.

Seorang anak dapat berkembang dengan baik jika kebutuhan psikologisnya

juga baik.

Secara umum anak yang mengalami broken home memiliki (a)

ketakutan yang berlebihan, (b) tidak mau berinteraksi dengan sesama, (c)

menutup diri dari lingkungan, (d) emosional, (e) sensitif, (f) temperamen

tinggi, dan (g) labil. Sebenarnya, dampak psikologis yang diterima seorang

anak berbeda-beda tergantung usia atau tingkatan perkembangan anak

(Nurmalasari, 2008).

Akibat dari broken home juga mempengaruhi prestasi anak tersebut.

Anak broken home cenderung menjadi malas dan tidak memiliki motivasi

untuk belajar. Perbandingan antara motivasi siswa berasal dari keluarga

broken home dengan motivasi belajar siswa dari keluarga utuh, motivasi

belajar siswa dari keluarga broken home lebih rendah daripada motivasi

belajar siswa dari keluarga utuh, keadaan keluarga broken home memberi

pengaruh yang cukup signifikan terhadap motivasi belajar siswa (Broto,

2009).

Remaja broken home yang kurang perhatian membuat self esteem dan

self confident rendah sehingga anak cenderung mencari perhatian dari

lingkungan. Biasanya dengan memberontak, melakukan bullying, dan

bersikap derduktif terhadap lingkungan, seperti merokok, free sex, dan

minum minuman keras (Nurmalasari, 2008).

f. Cara Mengatasi Broken Home

Tidak semua orang berpandangan bahwa broken home adalah hal yang

negatif. Ada yang berpikir bahwa broken home adalah jalan yang terbaik

bagi keluarganya. Ada beberapa cara untuk meminimalisir atau mengatasi

broken home, antara lain; (a) mendekatkan diri kepada Tuhan, (b) berpikir

dan berperilaku positif, (c) saling berbagi, dan (d) mencari kegiatan positif

(“Broken Home dan Cara Mengatasinya,” 2013).

B. Penelitian yang Relevan

Penelitian yang relevan denagn topik penelitian tentang analisis pemahaman

diri dan hubungan sosial siswa berlatar belakang keluarga broken home,

diantaranyasebagai berikut:

a. Chiktia Irma Oktaviani , Falkultas Psikologi Universitas Islam Negeri

(UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang, meneliti tentang “Konsep Diri

Remaja Dari Keluarga Broken Home”. Hasil penelitian ini

menunjukkan bahwa keluarga yang broken home dapat menyebabkan

remaja menjadi pribadi yang labil. Karena kurangnya kasih sayang dari

orang tua sehingga membuat mental seorang anak menjadi frustasi,

brutal, dan susah diatur.

Persamaan penelitian Chiktia Irma Oktaviani dengan peneliti

adalah sama-sama mengkaji diri anak yang berlatar belakang keluarga

broken home. Perbedaan dengan penelitian ini adalah lokasi dan fokus

penelitianya, yaitu remaja yang mengalami broken home di UIN

Maulana Malik Ibrahim dan hanya terfokus pada konsep diri anak.

Sebenarnya sama-sama menggunakan penelitian kualitatif tetapi dengan

teknik yang berbeda, yaitu analisis induktif, sedangkan peneliti

menggunakan teknik grounded research.

Kontribusi bagi penelitian yang dilakukan adalah untuk dapat

memahami lebih dalam lagi bagaimana konsep diri anak yang berlatar

belakang keluarga broken home, dan tentunya bagi peneliti sendiri

menambah pengetahuan serta menambah referensi bagi penelitian yang

sedang dilakukan peneliti.

b. Hesly Padatu (2015), Jurusan Ilmu Komunikasi Falkultas Ilmu Sosial

Dan Ilmu Politik Universitas Hasanudin, dengan judul “Pembentukan

Konsep Diri dan Self-Disclousure Remaja Broken Home di Kota

Makasar”. Persamaan dengan penelitian ini terletak pada pembentukan

diri anak yang broken home. Perbedaan dengan penelitian ini adalah

lokasi dan fokus penelitiannya, yaitu remaja yang mengalami broken

home di kota Makasar, serta fokus penelitiannya terhadap pembentukan

konsep diri dan self-disclousure remaja broken home.

c. Mukhlis Aziz (2015), Prodi Pengembangan Masyarakat Islam

Falkultas Dakwah dan Komunikasi UIN Ar-Ramiry, dalam

penelitiannya yang berjudul “Perilaku Sosial Anak Remaja Korban

Broken Home Dalam Berbagai Perspektif”. Isi dari penelitian ini,

bahwa terbukti perilaku sosial anak-anak yang bermasalah lebih di

dasari atas keluarga yang broken atau pecah. Perilaku sosial anak

broken home sangat mengganggu proses belajar mengajar.

Persaman dengan penelitian ini, sama-sama mengangkat perihal

anak yang broken home dan sosialnya. Metode penelitian yang

digunakan merupakan pendekatan kualitatif, tetapi penelitian Mukhlis

Aziz dengan teknik deskriptif. Perbedaan yang dilakukan dalam

penelitian ini, yaitu lokasi dan fokus penelitiannya yang bertempat di

SMP-18 Kota Banda Aceh, dan hanya terfokus pada prilaku sosialnya

saja.

Hasil penelitan tersebut membuktikan bahwa perilaku sosial dari

anak yang berlatar belakang keluarga broken home dapat mengganggu

proses belajar mengajar. Kontribusi dalam penelitan ini adalah

memberikan gambaran bahwa perpecahan dalam keluarga (broken

home) menjadikan anak sebagai korbannya serta dapat merubah

perilaku sosialnya.

d. Pheny Aprilia Rahmawati (2015), dalam penelitiannya yang berjudul

“Hubungan Anatra Kepercayaan Dan Keterbukaan Diri Terhadap

Orang Tua Dengan Perilaku Remaja Yang Mengalami Keluarga Broken

Home Di SMKN 3 & SMKN 5 Samarinda”. Persamaan dengan

penelitian ini terletak keluarga broken home. Perbedaan dengan

penelitian ini terletak pada lokasi dan fokus peneltitian, yaitu di SMKN

3 & SMKN 5 Samarinda. Penelitian ini terfokus terhadap hubungan

antara kepercayaan dan keterbukaan diri terhadap orang tua dengan

perilaku memaafkan. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa terdapat

hubungan yang positif dan signifikan antara kepercayaan serta

keterbukaan diri terhadap orang tua dengan perilaku memaafkan.

C. Kerangka Berpikir

Penelitian ini berusaha mengkaji tentang pemahaman diri dan hubungan

sosial siswa berlatar belakang keluarga broken home di SMK YADIKA 11

Jatirangga. Keluarga merupakan tempat pertama kali anak dilahirkan ke dunia.

Melalui keluarga, anak mendapatkan pendidikan, bagaimana ia dapat memahami

dirinya dan menjalin hubungan sosial yang baik. Bagi anak pemahaman akan

dirinya sangat penting, serta lingkungan sekitarnya. Keluarga merupakan agen

pertama dan berpengaruh sangat besar dalam perkembangan anak dikemudian

hari.

Permasalahan yang terjadi dalam keluarga berujung perpecahan, akan

memberikan dampak yang sangat besar bagi anak, terlebih apabila perpecahan

tersebut tidak terjadi dengan cara baik-baik. Dampak yang terjadi dapat

berpengaruh pada diri dan lingkup hidup anak. Untuk itu pemahaman terhadap

diri anak harus sedini mungkin untuk di arahkan, supaya dalam menjalin

hubungan sosial dengan orang lain, anak tidak mengalami masalah, karena merasa

keluarganya tidak utuh (broken home).

Adapun kerangka pikir penelitian ini adalah sebagai berikut :

Gambar Kerangka Berpikir

Keluarga

Fisik Psikis Minat Bakat Cita-cita Kebutuhan Pokok Gaya Hidup

Pemahaman Diri

Hubungan Sosial Internal Ekstenal

Keluarga Broken Home

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat Penelitian

1. Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan selama 2 (dua) bulan terhitung sejak bulan

November 2015 hingga Desember 2015.

2. Tempat Penelitian

Tempat Penelitian ini adalah di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)

YADIKA 11 Jatirangga, Jl. Lurah Namat No. 60, Jatirangga, Jatisampurna,

Bekasi.

B. Metode Penelitian

Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif, yang

artinya mendeskripsikan, mencatat, menganalisis, dan menginterpretasikan suatu

peristiwaatau perilaku tertentu yang ada dalam waktu tertentu (Mardalis,

2008:26). Terdapat tiga macam desain dalam penelitian kualitatif, yaitu : desain

deskriptif kualitatif, desain kualitatif verifikasi, dan desain grounded research.

Dengan format desain grounded research atau dikenal pula dengan teori

dasar (grounded theory) penelitian ini dilakukan. Teori dasar (grounded theory)

sebagai metodologi adalah pengembangan yang dilakukan oleh dua ahli di bidang

Sosiologi, yakni Barney Glaser & Anselm Strauss. Grounded theory merupakan

suatu teori yang diperoleh melalui suatu studi fenomena yang mewakilinya.

Desain grounded research adalah suatu cara penelitian kualitatif yang

dilakukan secara sistematis dari suatu prosedur tertentu terhadap pengembangan

teori dasar suatu fenomena dengan maksud membangun teori, di mana keyakinan

serta penjelasan keadaan daerah itu sebagai bahan studi (Ghony, 2007:18).

Corbin & Strauss (1990), desain grounded research merupakan suatu

metode keilmuan yang prosedurnya dirancang sedemikian rupa sehingga para

peneliti berhati-hati dalam melakukan penelitian. Dalam metode tersebut

ditemukan kriteria untuk melaksanakan ilmu yang baik, artinya penggabungan

secara signifikan, theory-observasi, generalisabilitas, reproduksibilitas, ketelitian,

kekakuan, dan verifikasi.

Format desain grounded research dikontruksi agar peneliti dapat

mengembangkan semua pengetahuan dan teorinya setelah mengetahuinya di

lapangan (Bungin, 2007:72). Hal tersebut digunakan peneliti untuk melihat

bagaimana pemahaman diri dan hubungan sosial siswa yang mengalami keluarga

broken home di SMK YADIKA 11 Jatirangga. Metode ini bertujuan untuk

memperoleh informasi-informasi mengenai keadaan saat ini dan melihat kaitan

antara variabel-variabel yang ada. Penelitian ini tidak menguji hipotesa,

melainkan hanya mendeskripsikan informasi apa adanya sesuai dengan variabel-

variabel yang diteliti. Alur informasi format grounded research dapat

digambarkan sebagai berikut :

( Bungin, 2007:73)

DATA

DATA

DATA

DATAPeneliti TEORI

C. Subyek dan Obyek Penelitian

1. Subyek Penelitian

Subyek penelitian adalah orang-orang yang menjadi sumber informasi

yang dapat memberikan data sesuai dengan masalah yang sedang diteliti

(Amirin, 1998:135).

Menurut Suharsimi Arikunto (2010:188), subyek penelitian merupakan

seluruh subjek yang dituju untuk diteliti oleh peneliti, tentang unit analisis,

yaitu subyek yang menjadi pusat perhatian atau sasaran peneliti. Sehingga

dapat disimpulkan, subyek penelitian merupakan orang-orang yang

menberikan sumber informasi yang menjadi sasaran peneliti.

Adapun yang menjadi subyek dalam penelitian ini yaitu orang-orang

yang akanmenjadi sumber informasi bagi peneliti dalam mendapatkan data,

sebagai berikut :

a. Guru Bimbingan dan Konseling

b. Siswa SMK YADIKA 11 Jatirangga

c. Orang tua dari siswa SMK YADIKA 11 Jatirangga

2. Obyek Penelitian

Yang menjadi obyek penelitian dalam hal ini adalah siswa SMK

YADIKA 11 Jatirangga yang mempunyai latar belakang keluarga broken

home.

D. Metode Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan metode pengumpulan data sebagai berikut :

a. Wawancara

Wawancara merupakan proses memperoleh keterangan untuk tujuan

penelitian dengan cara tanya jawab, sambil bertatap muka antara si penanya

atau pewawancara si penjawab atau responden dengan menggunakan alat

yang dinamaka interview guide (panduan wawancara) (Nazir, 2005:193).

Interviu atau wawancara dapat diartikan suatu cara pengumpulan data

dengan jaln mengajukan pertanyaan secara lisan kepada sumber data dan

sumber data juga memberikan jawaban secara lisan pula (Hidayat, 2014).

Wawancara (interview) adalah situasi peran antar-pribadi bersemuka

(face-to-face), ketika seseorang yakni pewawancara mengajukan

pertanyaan-pertanyaan yang dirancang untuk memperoleh jawaban-jawaban

yang releven dengan masalah penelitian, kepada seseorang yang

diwawancara atau responden (Kerlinger, 2006:770).

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan intervieu bebas terpimpin,

artinya peneliti telah menyiapkan terlebih dahulu pokok pertanyaan dengan

di dasari pada pedoman wawancara yang akan diajukan kepada responden.

b. Observasi

Dalam arti sempit observasi merupakan aktivitas yang memperhatikan

sesuatu dengan menggunakan mata. Sedangkan dalam arti luas, observasi

atau pengamatan merupakan kegiatan yang meliputi pemuatan perhatian

terhadap sesuatu objek dengan menggunakan seluruh alat indera, yaitu :

penglihatan, penciuman, pendengaran, peraba, dan pengecap (Arikunto,

2010:199).

Observasi atau pengamatan adalah kegiatan keseharian manusia dengan

menggunakan panca indera mata sebagai alat bantu utamanya, selain panca

indera lainnya seperti telinga, penciuman, mulut, dan kulit. Karena itu

observasi merupakan kemampuan seseorang untuk menggunakan

pengamatannya melalui hasil kerja panca indera mata serta dibantu dengan

panca indera lainnya. Sesungguhnya yang dimaksud dengan observasi

adalah metode pengumpulan data yanag digunakan untuk menghimpun data

penelitian melalui pengamatan dan penginderaan (Bungin, 2007:115).

Jadi, observasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah no

partisispan, artinya peneliti sebagai obsever tidak ikut dalam kehidupan di

dalam kehidupan orang yang diobservasi dan secara terpisah berkedudukan

selaku pengamat (Nawawi, 2007:110). Metode ini digunakan sebagai

pelengkap dan penguat data yang diperoleh dengan metode interviu dan

dokumentasi.

Ada pun yang mengaji obyek pengamatan adalah siswa yang berlatar

belakang keluarga broken home. Hal ini untuk mendapatkan keabsahan data

anatar hasil wawancara dengan pengamatan.

c. Dokumentasi

Metode dokumentasi merupakan kegiatan yang mencari data mengenai

hal-hal atau variabel yang berupa data-data tertulis, seperti buku-buku,

catatan harian , transkip, majalah, dan sebagainya (Arikunto, 2010:274).

Dokumen data yang diambil merupakan data-data yang berhubungan

dengan masalah penyelidikan, yaitu data tentang siswa yang berlatar

belakang keluarga broken home.

E. Teknik Analisis Data

Analisis data merupakan salah satu langkah yang sangat penting dalam

kegiatan penelitian. Menyederhanakan data ke dalam proses-proses yang lebih

mudah dibaca dan menginterpretasiakn melalui penyusunan kata-kata baik tertulis

maupun lisan dari individu-individu yang diamati.

Menurut Bogdan & Biklen (1982), bahwa analisis data kualitatif merupakan

upaya yang dilakukan dengan jalan, yaitu : (1) bekerja dengan data, (2)

mengordinasikan data, (3) memilah-milah menjadi satuan data yang dapat

dikelola, (4) menyintesiskan, (5) mencari dan menemukan pola, (6) menemukan

apa yang penting dan apa yang dipelajari, serta (6) memutuskan apa yang dapat

diceritakan kepada orang lain.

Analisis data dalam penelitian ini adalah proses mencari dan menyusun

secara sistematis, data yang diperoleh dari hasil wawancara, obsevasi, dan

dokumentasi, dengan cara mengordinasikan data ke dalam kategori, menjabarkan

ke dalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun ke dalam pola, memilih mana

yang penting dan mana yang akan dipelajari, dan kesimpulan sehingga mudah

dipahami oleh diri sendiri maupun orang lain (Sugiyono, 2011:244).

Sesuai dengan teknik penelitian yang digunakan peneliti dalam penelitian

ini menggunakan cara analisis grounded research. Penelitian kualitatif penyajian

data bias dilakukan dalam bentuk uraian singkat, bagan, dan sebagainya. Melalui

penyajian data akan mempermudah untuk memahami apa yang terjadi dan

merencanakan kerja selanjutnya.

F. Metode Keabsahan Data

Metode yang digunakan dalam menguji keabsahan data penelitian ini

menggunakan teknik triangulasi yang merupakan teknik pemeriksaan data dengan

memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan dan

pembanding data tersebut.

Dalam penelitian ini menggunakan triangulasi sumber yaitu memanfaatkan

sesuatu yang lain dengan membandingkan dan mengecek baik derajat

kepercayaan suatu informasi hasil data yang diperoleh (Meolong, 2007:248).

Untuk kepentingan ini dilakukan dengan cara membandingkan data yang

diperoleh dari hasil wawancara, observasi, dan dokumentasi yang berkaitan

dengan penelitian.

KEPUSTAKAAN

Ahmadi, Abu. 2007. Psikologi Sosial. Jakarta : Rineka Cipta.

Arfina, Sari. Pengaruh Keluarga Broken Home Terhadap Anak. [online]. Tersedia di :

http://sariharfina.blogspot.com/pengaruh-keluarga-broken-home-terhadap-

anak.html 15 November 2015 )

Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian : Suatu Pendekatan Praktik.

Jakarta : Rineka Cipta.

Beta, Puput. 2013. Pemahaman Diri. [online]. Tersedia di

:http://romanusdfajrin.blogspot.com/2011/06/pemahaman-diri.html (15

November 2015)

______. 2012. Pengertian Pemahaman Diri. [online]. Tersedia di :

http://maritayin.blogspot.com/2012/11/pemahaman-diri.html (15 November

2015)

Bungin, Burhan. 2007. Penelitian Kualitatif. Jakarta : Kencana Prenada Media Group.

Dagun, Save M. 1990. Psikologi Keluarga (Peranan Ayah Dalam Keluarga). Jakarta :

Rineka Cipta.

Franzoi, Stephen L. 2003. Social Psychology. New York : McGraw-Hill.

Gerungan, W. A. 2004. Psikologi Sosial. Bandung : Rafika Aditama.

Hewitt, John P. 1994. Self and Society : a Symbolic Interactionist Social Psycology.

Massachusetts : Simon & Schuster.

Kerlinger, Fred N. 2006. Asas-Asas Penelitian Behavioral. Yogyakarta : Gadjah Mada

University Press.

Lubis, Namora Lumongga. 2011. Memahami Dasar-Dasar Konseling Dalam Teori Dan

Praktik. Jakarta : Kencana Prenada Media Group.

Nawawi, Handari. 2007. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta : Gadjah Mada.

Rahman, Agus Abdul. 2013. Psikologi Sosial : Integrasi Pengetahuan Wahyu dan

Pengetahuan Empirik. Jakarta : Raja Grafindo Persada.

Sarwono, Sarlito W & Eko A. Meinarno. 2012. Psikologi Sosial. Jakarta : Salemba

Humanika.

Shortcake, Linda. 2012. Pemahaman Diri. [online]. Tersedia di :

http:// lindashortecake .blogspot.com/2011/06/pemahaman-diri.html (15

November 2015)

Strauss, Anselm & Juliet Corbin. 2007. Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif : Prosedur,

Teknik, dan Teori Grounded. Surabaya : Bina Ilmu Offset.

Sugiono. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, Dan R&D. Bandung : Alfabeta.

Willis, Sofyan S. 2009. Konseling Keluarga (Family Counseling). Bandung : Alfabeta.

Vander Zanden, James Wilfrid. 1979. Sociology. Canada : John Wiley & son.