broken home
TRANSCRIPT
ANALISIS PEMAHAMAN DIRI DAN HUBUNGAN SOSIAL SISWA BERLATAR BELAKANG KELUARGA BROKEN HOME DI SMK YADIKA 11 JATIRANGGA
SEMINAR
Dosen Pembimbing : Itsar Bolo Rangka, M.Pd. Kons.
Oleh :SARI BAHANA201201500492
PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELINGFAKULTAS ILMU PENDIDIKAN DAN PENGETAHUAN SOSIAL
UNIVERSITAS INDRAPRASTA PGRIJAKARTA
2015
PENGANTAR
Puji syukur alhamdulillah peneliti panjatkan atas kehadiratan Allah SWT,
yang telah melimpahkan segala rahmat dan nikmat, serta hidayah-Nya kepada
peneliti, sehingga berkat pertolongan-Nya peneliti dapat menyelesaikan proposal
seminar ini dengan lancar. Shalawat dan salam tak lupa peneliti panjatkan kepada
junjungan Nabi Muhammad SAW.
Peneliti menyadari, bahwa dalam penyusunan proposal seminar ini tak
terlepas bantuan dari pihak lain, karena itu peneliti ucapkan banyak terima kasih
kepada pihak-pihak yang telah membantu. Semoga kebaikan, jasa, dan
bantuannya menjadi sesuatu yang berarti dan mendapatkan balasan dan pahala
dari Allah SWT.
Seperti halnya gading yang tak retak, peneliti menyadari bahwa dalam
proposal seminar ini jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu peneliti mengharap
masukan dan saran dari pemerhati untuk perbaikan selanjutnya, semoga proposal
seminar ini dapat bermanfaat bagi diri peneliti khusunya dan para pembaca, serta
masyarakat umumnya.
Peneliti berharap dalam penelitian selanjutnya dapat memperbaiki segala
kekurangan yang terdapat pada proposal seminar ini. Akhir kata, peneliti ucapkan
banyak-banyak terima kasih.
DAFTAR ISI
PENGANTAR i
BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Identifikasi Masalah 5
C. Batasan Masalah 5
D. Perumusan Masalah 6
E. Tujuan Penelitian 6
F. Kegunaan Penelitian 6
G. Sistematika Penelitian 7
BAB II LANDASAN TEORI DAN KERANGKA BERPIKIR 8
A. Landasan Teori 8
1. Pemahaman Diri 8
2. Hubungan Sosial 23
3. Keluarga Broken Home 37
B. Penelitian yang Relevan 41
C. Kerangka Berpikir 44
BAB III METODOLOGI PENELITIAN 46
A. Waktu dan Tempat Penelitian 46
B. Metode Penelitian 46
C. Subyek dan Obyek Penelitian 48
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia atau sering juga disebut individu mempunyai banyak kelebihan
dibanding dengan ciptaan Tuhan yang lain, hal yang kita semua tahu adalah akal
budi yang dimiliki, sebagai makhluk pribadi yang mempunyai akal budi tinggi
serta keunikan atau kekhasan yang dimiliki, sebetulnya kita juga sangat
tergantung pada manusia atau individu lainnya, karena sebagai makhluk pribadi,
manusia juga sekaligus sebagai makhluk sosial.
Untuk itu agar di dalam hidup bermasyarakat kita dapat membawa dan
menempatkan diri serta dapat menyesuaikan diri dengan baik, perlunya
memahami diri kita sendiri sebelum dipahami dan memahami orang lain.
Pemahaman akan manusia hanya dapat dipahami jika kita memahami duniannya,
tetapi dilain pihak pemahaman akan manusia akan lebih baik jika kita melihat
pula keadaan sosial dan keadaan lingkungan fisik yang ada di sekitarnya (Hjelle &
Ziegler, 1994).
Secara sosial, manusia dengan segala keunikan dan keanekaragamannya
dituntut untuk hidup dalam kebersamaan. Hal ini menyebabkan seorang individu
mempunyai kecenderungan untuk hidup saling tergantung satu sama lain. Individu
memerlukan orang lain bukan hanya demi sebuah kebahagiaan, tetapi juga bagi
pertahanan manusia sendiri, mengingat masyarakat harmonis yang bahagia adalah
tujuan akhir dari umat manusia sepanjang sejarah (Finkelor, 2007).
Salah satu yang membedakan manusia dengan hewan atau makhluk hidup
lainnya adalah kemampuan manusia di dalam melakukan pemahaman dan refleksi
terhadap dirinya sendiri. Manusia mampu melihat dan menyelami ke dalam
dirinya sendiri. Manusia mampu mengambil jarak dari diri sendiri, menyadari apa
saja yang dilakukannya, berpikir, dan mengevaluasi kelebihan serta kekurangan
dirinya. Faktanya ada orang yang menyukai atau membenci dirinya sendiri,
menerima atau menolak dirinya, dan ada pula yang memuji atau memaki dirinya
sendiri (Rahman, 2013:66).
Berpikir tentang dirirnya sendiri adalah aktivitas manusia yang tak bisa
dihindari. Pada umumnya, secara harfiah orang akan berpusat pada dirinya
sendiri, sehingga self adalah pusat dari dunia sosial setiap orang. Sementara,
seperti yang kita ketahui, faktor genetika memainkan sebuah peran terhadap
identitas diri, atau konsep diri (self), yang sebagian besar di dasarkan pada
interaksi dengan orang lain yang dipelajari, dimulai dengan anggota keluarga
terdekat, kemudian meluas ke interaksi dengan mereka di luar keluarga (Lau &
Pau, 1999).
Keluarga adalah kesatuan terkecil dalam masyarakat, yang terdiri dari ayah,
ibu, dan anak. Ada tiga bentuk keluarga, yaitu Nuclear Family (terdiri dari ayah,
ibu, dan anak), Extended Family (terdiri dari ayah,ibu, anak, nenek, kakek, paman,
atau bibi), dan Blended Family (keluarga inti ditambah dengan anak dari
pernikahan suami/istri sebelumnya).
Masa remaja adalah suatu bagian dari proses tumbuh kembang yang
berkesinambungan, yakni masa peralihan kanak-kanak ke dewasa muda (Reza,
2008:18). Pada masa ini terjadi pertumbuhan dan perkembangan yang cepat dalam
aspek fisik, emosi, kognitif, dan sosial. Masa ini merupakan masa yang kritis,
yaitu saat melepas ketergantungan kepada orang tua dan berusaha mencapai
kemandirian sehingga dapat diterima dan diakui sebagai orang dewasa (Hurlock,
1990:121).
Setiap keluarga pasti pernah mengalami saat-saat krisis yang menyebabkan
timbulnya permasalahan dalam keluarga, dan tentunya permasalahan dalam
keluarga sangatlah beragam. Ketidakmampuan orangtua sangat berperan besar
dalam menyingkapi permasalahan keluarga, sehingga menyebabkan munculnya
masalah dalam diri anak, dan lingkup sosialnya.
Individu tidak hidup sendirian, akan tetapi kerap melakukan interaksi sosial
dengan orang lain, khususnya keluarga. Dalam hal ini keluarga dapat memberikan
pengaruh positif maupun negatif pada diri individu. Dalam bertingkah laku,
orangtua merupakan contoh (model) bagi anaknya, hubungan antara orangtua dan
anak, antara sesama anak, dan sebagainya mempunyai arti yang sangat penting
bagi perkembangan anak.
Hubungan anggota keluarga yang bijaksana, penuh kasih sayang, saling
memahami, dan harmonis, akan menimbulkan rasa aman bagi anak. Apabila
sebaliknya, anak yang dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang sibuk, jarang
berada di rumah, dan tentunya tidak harmonis akan membentuk kepribadian yang
berbeda pada anak bahkan cenderung negatif, baik bagi diri anak maupun
lingkungannya.
Pengaruh positifnya dapat dilihat dari terbentuknya konsep diri yang positif
pada diri individu, kemampuan bersosialisasi yang efektif, serta mampu hidup
mandiri. Adapun pengaruh negatifnya, diketahui dari konsep diri yang negatif,
ketidakmampuan bersosialisasi, serta bersikap tergantung pada orang lain. Jadi
jelaslah, bahwa individu sangat dipengaruhi oleh sistem atau pola hubungan yang
terdapat dalam keluarga.
Yang dimaksud kasus keluarga pecah (broken home) dapat dilihat dari dua
aspek : (1) keluarga pecah karena strukturnya tidak utuh sebab salah satu dari
kepala keluarga meninggal dunia atau telah bercerai; (2) orang tua tidak bercerai
akan tetapi struktur keluarga tidak utuh lagi karena Ayah atau Ibu sering tidak di
rumah, dan/atau tidak memperlihatkan hubungan kasih sayang lagi. Misalnya,
orang tua sering bertengkar, sehingga keluarga tersebut tidak sehat secara
psikologis (Willis, 2008:66).
Perpecahan dalam keluarga, biasanya berawal dengan suatu konflik antara
anggota keluarga. Bila konflik ini sampai titik kritis maka peristiwa perpecahan
tersebut berada diambang pintu. Peristiwa ini selalu mendatangkan
ketidaktenangan berpikir dan ketegangan itu memakan waktu yang lama. Dan
bagaimanapun, kenyataan yang ada dalam perpecahan suatu keluarga, anak yang
selalu menjadi korbannya.
Kasus perceraian memberikan dampak yang sangat besar dalam diri anak.
Akan melahirkan anak-anak yang mengalami krisis kepribadian, sehingga
perilakunya sering salah suai. Mereka mengalami gangguan emosional dan
bahkan neurotik. Kasus keluarga broken home sering ditemui di sekolah dengan
penyesuaian diri yang kurang baik, seperti : malas belajar, menyendiri, agresif,
membolos, dan suka menentang guru.
Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti bermaksud mengadakan penelitian
untuk mengetahui lebih jelas tentang “Analisis Pemahaman Diri Dan Hubungan
Sosial Siswa Berlatar Belakang Keluarga Broken Home Dan Implikasinya
Terhadap Pelayanan Bimbingan Dan Konseling Di SMK YADIKA 11
Jatirangga”.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka peneliti dapat
mengindentifikasikan masalah sebagai berikut :
1. Meningkatkan pemahaman diri siswa berlatar belakang keluarga broken
home.
2. Penting untuk dilakukan analisis hubungan sosial siswa berlatar belakang
keluarga sosial.
C. Batasan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah di atas dan agar masalah tidak meluas,
maka peneliti membatasi lingkup masalah pada : Analisis Pemahaman Diri Dan
Hubungan Sosial Siswa Berlatar Belakang Keluarga Broken Home Dan
Implikasinya Terhadap Pelayanan Bimbingan Dan Konseling Di SMK YADIKA
11 Jatirangga .
D. Perumusan Masalah
Dengan melihat pembatasan masalah di atas, maka peneliti dapat
merumuskan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana pemahaman diri siswa berlatar belakang keluarga broken
home di SMK YADIKA 11 Jatirangga ?
2. Bagaimana hubungan sosial siswa berlatar belakang keluarga broken
home di SMK YADIKA 11 Jatirangga ?
E. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui beberapa perihal sebagai berikut :
1. Pemahaman diri siswa berlatar belakang keluarga broken home di SMK
YADIKA 11 Jatirangga.
2. Hubungan sosial siswa berlatar belakang keluarga broken home di SMK
YADIKA 11 Jatirangga.
F. Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan berguna bagi :
1. Bagi sekolah
Dapat dijadikan bahan pemikiran dalam menentukan kebijakan terutama
dalam perbaikan tenaga konselor demi kemajuan pendidikan itu sendiri.
2. Bagi guru pembimbing
Dapat dijadikan sebagai bahan acuan dalam membedakan layanan
bimbingan dan konseling secara menyeluruh kepada siswa di sekolah
agar siswa dapat meningkatkan pemahaman diri dan hubungan
sosialnya.
3. Bagi penulis
Penelitian yang dilakukan oleh peneliti merupakan salah satu syarat
dalam pemenuhan mata kuliah seminar.
G. Sistematika Penulisan
BAB I Pada BAB ini berisikan pendahuluan : latar belakang, identifikasi
masalah, pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan
masalah, kegunaan masalah, dan sistematika penulisan.
BAB II Pada BAB ini berisikan tentang landasan teori dan kerangka
berpikir : landasan teori, penelitian yang relevan, dan kerangka
berpikir.
BAB III Pada BAB ini berisikan tentang metodologi penelitian : waktu
dan tempat penelitian, metode penelitian, subyek dan obyek
penelitian, metode pengumpulan data, instrumen penelitian,
teknik analisis data, dan metode keabsahan data.
BAB II
LANDASAN TEORI DAN KERANGKA BERPIKIR
A. Landasan Teori
1. Pemahaman Diri
a. Pengertian Diri
Pemahaman terhadap kemampuan kita di dalam melakukan refleksi diri
ini penting di dalam memahami perilaku manusia secara keseluruhan.
Menurut Leary & Tangney (2003), tidak mungkin dapat memahami
kompleksitas perilaku manusia tanpa merujuk pada kemampuannya berpikir
tentang dirinya sendiri. Pemahaman terhadap diri sendiri juga penting di
dalam penilaian sosial dan perilaku sosial.
Diri merupakan sebuah konsep sederhana dan kompleks. Terdapat suatu
konstruksi mental yang terletak di dalam kepala Anda, Anda merupakan
makhluk sosial dengan kemampuan untuk terlibat dalam komunikasi secara
simbolik/langsung dan dengan kesadaran diri. Penggunaan kontek sosial
dalam mendefinisikan diri, karena diri tidak berkembang dalam lingkup
isolasi, tetapi hanya dapat berkembang dalam lingkup sosial (Franzoi,
2003:48).
Leary, McDonald, & Tangley (2003), diri (self) adalah kelengkapan
psikologi yang memungkinkan refleksi diri berpengaruh terhadap
pengalaman kesadaran yang mendasari semua jenis persepsi, kepercayaan
dan perasaan tentang diri sendiri, serta yang memungkinkan seseorang
untuk meregulasi perilakunya sendiri.
Menurut William James & Goerge Herbert Mead, diri digambarkan
memiliki dua aspek terpisah , yaitu : diri sebagai pemerhati (The I) dan diri
sebagai dikenal (The Me). The I adalah perseptor aktif , inisiator , dan
regulator tindakan ; the me adalah salah satu pengetahuan tentang diri
sendiri (Stephen D. Rutter, 2003:49).
Diri adalah suatu konsep bahwa individu dapat belajar dari diri mereka
sendiri melalui interaksi sosial dengan orang lain (kualitas merupakan
perlengkapan/atribut individu untuk diri mereka sendiri) (Gergen, 1971).
Dalam pandangan tasawuf tentang self, terdapat beberapa konsep,
seperti : hati (al-qalb), roh (ar-ruh), jiwa (an-nafs), dan akal (al-aqlu). Dari
ke empat konsep tersebut yang paling mendekati konsep self adalah hati
atau al-qalbu. Menurut An-Nazar (2001), hati pun merupakan pusat segala
bentuk emosi, pengenalan, perasaan, dan akhlak (belief about oneself). Sa’id
Hawwa (1995), mengatakan bahwa hati merupakan hakikat manusia.
Hatilah yang tahu, mengerti, dan paham. Hati juga yang mendapat perintah,
yang dicela, diberi sanksi dan yang mendapat tuntutan (experiencing
subject).
Diri merupakan suatu konsep yang berpusat pada interaksi.
Pengetahuan tentang diri bervariasi pada rangkaian identitas personal dan
sosial. Pada identitas personal, seseorang akan mendefinisikan dirinya
berdasarkan atribut atau ciri yang membedakan diri dengan orang lain dan
hubungan interpersonal yang dimiliki. Sedangkan pada identitas sosial,
seseorang akan mendefinisikan dirinya berdasarkan keanggotaan dalam
suatu kelompok sosial atau atribut yang dimiliki bersama oleh anggota
kelompok (Vaughan & Hogg, 2002).
Berdasarkan satu situasi dan konteks sosial yang berpengaruh, diri
didefinisikan sebagai hubungan yang kita miliki dengan orang lain,
keyakinan kita tentang bagaiamana orang lain akan memperlakukan kita.
Sebagai bentuk antisipasi terhadap penerimaan atau penolakan orang lain
terhadap kita, sering kali kita memilih-milih identitas diri yang kita
ungkapkan (Baron, Byrne, & Branscombe, 2006)
Berdasarkan ungkapan-ungkapan di atas dapat disimpulkan, bahwa diri
merupakan suatu konsep jiwa atau hati yang berkembang dan membentuk
tentang dirinya sendiri.
b. Pengertian Pemahaman Diri
Menurut Reker yang di tulis oleh Maria Antoinete pada blog
http://rumahbelajarpsikologi.com, menjelaskan bahwa orang yang
memahami diri adalah mereka yang memiliki tujuan hidup, memiliki arah,
rasa memiliki kewajiban dan alasan untuk ada (eksis), identitas diri yang
jelas dan kesadaran sosial yang tinggi.
Menurut Santrock (2003:333) Pemahaman diri (self – Understanding)
adalah gambaran kognitif remaja mengenai dirinya, dasar, dan isi dari
konsep diri remaja. Pemahaman diri menjadi lebih introspektif tetapi tidak
bersifat menyeluruh dalam diri remaja, namun lebih merupakan konstruksi
kognisi sosialnya. Pada masa remaja persinggungan antara pengalaman
sosial, budaya dan norma yang berlaku mempengaruhi pada kognisi sosial
remaja.
Menurut Hartono (2010:209) pemahaman diri siswa SMA adalah
pengenalan secara mendalam atas potensi-potensi dirinya yang mencakup
ranah minat, abilitas, kepribadian, nilai dan sikap yang mana pengenalan
siswa atas pribadinya sendiri mencakup dua sisi yaitu pengenalan siswa atas
keunggulannya dan pengenalan siswa atas kekurangannya sendiri. Kekuatan
merupakan seperangkat kemampuan yang dimiliki siswa baik yang bersifat
potensial maupun aktual. Kekuatan siswa menggambarkan keunggulan,
kehebatan pribadi siswa, sedang kekurangan siswa adalah sejumlah
keterbatasan yang dimiliki siswa. Kekurangan siswa menggambarkan
ketidak mampuan siswa yang menjadi hambatan siswa dalam meraih cita-
cita.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pemahaman diri adalah
suatu situasi yang dialami individu di mana seseorang mengenal tentang
potensinya baik potensi fisik maupun potensi psikisnya sehingga individu
memahami arah dan tujuan hidupnya atau cita-cita. Potensi fisik yaitu
sejumlah kemampuan yang ada pada anggota badan dan panca indra
individu sedangkan potensi psikis individu mencakup minat, abilitas,
kepribadian, nilai dan sikap. Pemahaman yang dimaksudkan di sini tidak
hanya terbatas pada pengenalan siswa atas keunggulannya saja tetapi juga
mencakup pengenalan siswa atas kekurangan yang ada dalam diri.
c. Persepsi Diri (Self Perception)
Persepsi adalah proses pemaknaan terhadap stimulus. Sebagai suatu
proses, persepsi selalu mensyaratkan obyek. Obyek persepsi sangat
beragam, salah satunya self. Self, sebagai obyek dari persepsi, merupakan
obyek persepsi yang paling penting. Self bukanlah obyek tunggal, tetapi
obyek yang memiliki aspek-aspek yang sangat kompleks.
Baron & Byrne (1997), self merupakan pusat dari dunia sosial kita,
akibatnya daya tarik self bagi diri kita sendiri akan selalu kuat. Kita tertarik
pada apa pun, kita pun mempunyai perhatian yang sangat luar biasa
terhadap informasi-informasi apa pun yang terkait dengan diri kita. Tak
heran, jika kemudian kita menjadi sangat sensitif dan afektif terhadap
mengelola informasi-informasi apa pun yang terkait dengan diri kita
dibanding dengan pengelolaan informasi lainnya (self reference effect).
Terbukti, kita biasanya lebih mudah mengingat informasi-informasi yang
relevan dengan diri kita sendiri daripada informasi-informasi lainnya.
Pemahaman tentang diri sendiri sangat penting, supaya kita bisa
mengendalikan kehidupan kita sehari-hari (Dunning, 2005). Perlu tahu dan
memahami kelebihan dan kekurangan yang dimiliki, agar secara tepat dapat
mendatangkan keuntungan dan menghindarkan diri dari kerugian. Imam Al-
Ghazali menyatakan, bahwa mengenal diri sendiri adalah kunci mengenal
Tuhan.
Menurut Dunning (2005), sangat mengejutkan ternyata memahami diri
secara akurat tidak semudah yang diperkirakan. Beberapa hasil penelitian
yang diungkapkannya, membuktikan bahwa pemahaman terhadap diri
sendiri ternyata tidak lebih akurat terhadap pemahaman terhadap orang lain.
d. Metode Persepsi Diri
Kita mempunyai pemahaman yang unik tentang diri sendiri.
Pemahaman tersebut bukanlah pemahaman yang sekaligus jadi, tapi melalui
proses panjang. Bahkan dalam beberapa hal, proses pemahaman diri sendiri
tanpa akhir. Terkadang kita tidak meras puas dan kemudian melakukan
pembaharuan atas pemahaman kita pada diri sendiri.
Brehm & Kassin (1996), menyebutkan empat sumber untuk memahami
diri sendiri, yaitu : introspeksi (intropection), pengamatan terhadap perilaku
sendri (perception of our own behavior), pengaruh orang lain (influence of
other people), dan ingatan outobiografis (autobiographical memory).
Tylor, Peplau, & Sear (1997), mengidentifikasi beberapa sumber
pemahaman diri yang beragam, yaitu sosialisasi, penilain terhadap reaksi
orang lain pada kita (reflected appraisal), feedback dari orang lain, persepsi
diri, kekhasan lingkungan (environmental distinctiveness), perbandinga
dengan orang lain (social comparation), dan identitas sosial (sosial
Identity).
Berdasarkan uraian di atas, beberapa sumber pemahaman diri sebagai
berkut :
1. Introspeksi
Introspeksi berarti melakukan peninjauan ke dalam diri sendiri,
pikiran atau perasaan diri. Menggali memori tentang kejadian-kejadian
yang pernah dialami, dan berdialog dengan diri sendiri (self-talking).
Intropeksi dapat dilakukan kapan pun dan di mana pun tanpa tergantung
pada orang lain. Dengan introspeksi, kita bisa memasuki hal-hal pribadi
tanpa takut kehilangan harga diri atau merasa malu.
Brem & Kassin (1996), menyebutkan bahwa akurasi dari metode
introspeksi tergantung pada apakah perilakunya bersifat cognitively
driven atau affectively driven. Introspeksi akan menghasilkan
pemahaman yang cukup akurat pada perilaku-perilaku yang cognitively
driven daripada perilaku-perilaku yang affectively driven. Menurut
Swann (Brehm & Kassin, 1996), faktor waktu dan cognitively resources
juga merupakan faktor yang mempengaruhi keakuratan dari introspeksi.
2. Pengamatan terhadap perilaku diri sendiri
Daryl Bem (1972) dengan teorinya self-perception theory, percaya
bahwa cara kita memahami diri sama saja dengan cara kita memahami
orang lain, sebagai berikut :
“Individu dapat mengetahui sikap, emosi, dan internal state-nya sendiri dengan cara menyimpulkan hasil pengamatan terhadap perilaku overt-nya sendiri dan/atau lingkungan tempat perilaku itu terjadi. Jika tanda-tanda internalnya tampak lemah, kabur, dan tak bisa dimaknai, individu tersebut akan mengambil posisi seperti
orang lain, yaitu lebih menekankan pada tanda-tanda eksternal untuk menyimpulkan inner-state-nya”.
Pemahaman terhadap perilaku diri sendiri ada batasnya. Bem
(1972), menyatakan orang tidak akan mengambil kesimpulan tentang
keadaan internalnya dari hasil pengamatan perilaku jika pada saat itu
terdapat tekanan situasional, baik berupa reward atau hukuman.
3. Penilaian orang lain
Ironi memang, bahwa sebagian diri kita ternyata misteri bagi diri
kita sendiri. Pada saat itu, kita memerluka orang lain untuk membantu
memahaminya. Kita membutuhkan bantuan orang lain bukan hanya saja
untuk mengetahui sesuatu yang luput dari perhatian kita, tapi juga untuk
membantu mreningkatkan objektivitas pemahaman kita.
Berkenaan dengan itu Luth (Frey & Secord, 1984), menyampaikan
bahwa self itu terdiri dari aspek yang diketahui dan tidak diketahu diri
sendiri, serta aspek yang diketahui dan tidak diketahui orang lain. Hal
tersebut dapat dilihat pula dalam Johari Window, seperti gambar
berikut ini :
Tabel 2.1 Johari Window (Petak Johari)
Saya tahu Saya tidak tahu
Orang lain tahu Open Blind
Orang lain tidak tahu Private Unknown
Berdasarkan pengetahuan yang diketahui dan tidak ketahui diri
sendiri dan orang lain, Luth membagi self menjadi empat kategori,
yaitu :
a. Pertama adalah self yang merupakan ruang terbuka atau open,
yang meliputi pikiran, perasaan, atau perilaku kita yang
diketahui baik oleh diri sendiri ataupun orang lain.
b. Kedua, self yang merupakan ruang buta atau blind, yang
meliputi pikiran, perasaan, atau perilaku kita yang tidak kita
diketahui, tapi orang lain mengetahuinya.
c. Ketiga, self yang merupakan ruang rahasia atau private, yang
meliputi pikiran, perasaan, atau perilaku kita yang tidak
diketahui orang lain dan hanya kita yang tahu.
d. Dan yang terakhir/keempat, self yang merupakan ruang gelap
dan misterius, yang meliputi aspek-aspek diri kita yang tidak
diketahui baik oleh diri sendiri maupun orang lain.
4. Perbandingan sosial
Festinger (Brehm & Kassin, 1996), menyatakan bahwa ketika kita
merasa tidak pasti dengan kemampuan atau opini diri sendiri dan tidak
ada informasi obyektif yang bisa dijadikan ukuran, maka kita akan
menggunakan orang lain sebagai perbandingan (sosial comparation).
Motif dasar melakukan perbandingan dengan orang lain adalah
lebih karena ingin memperoleh gambaran yang positif tentang diri kita,
bukan karena kita ingin memperoleh gambaran akurat tentang diri kita
(Baumeister, 1998). Jadi, kita bisa menggunakan orang lain sebagai
pembanding atau parameter untuk menilai diri kita sendiri.
Perbandingan sosial bisa bersifat downward (ke bawah) atau
upward (ke atas). Perbandingan ke atas maupun ke bawah mempunyai
efek yang berbeda terhadap pemahaman kita mengenai diri sendiri.
Perbandingan sosial seharusnnya dilakukan secara selektif dan tidak
sembarangan melakukan perbandingan sosial.
Tesser (1988) dengan self evaluation maintenance model, untuk
mendapatkan pandangan positif tentang diri, kita cenderung menjaga
jarak dengan orang lain yang melakukan sesuatu yang lebih baik
daripada kita dan lebih membandingkan diri dengan orang lain yang
tidak lebih baik daripada kita.
Menurut Taylor, Peplau, & Sear (1997), perbandingan sosial
mempunyai beberapa motif, yaitu :
a. Meningkatkan akurasi evaluasi diri
Untuk mendapatkan informasi yang akurat tentang diri, kita
melakukan perbandingan sosial. Membandingkan diri dengan
orang lain supaya mendapatkan pemahaman diri yang akurat.
b. Self enhancement
Perbandingan sosial, terkadang dimaksudkan untuk
mendapatkan evaluasi diri yang lebih positif. Pada prosesnya,
perbandingan sosial dengan motif ini membuat kita melakukan
downward social comparation.
c. Self improvement
Terakhir, perbandingan sosial dimaksudkan untuk
meningkatkan kemampuan dan kesuksesan diri. Perbandingan
dilakukan dengan cara upward social comparation, dengan harapan
mendapatkan informasi yang dapat menjadi acuan untuk
meningkatkan diri.
5. Refleksi terhadap reaksi orang lain
Charles Horton Cooley (1902), dikenal dengan symbolic
interactionist, berpendapat bahwa orang lain berfungsi sebagai cermin
sehingga kita bisa melihat diri sendiri melalui orang lain (looking-glass
self). Menurut Cooley, self berkembang berhubungan dengan orang
lain yang ada di lingkungannya.
Self tidak dapat dipisahkan dari pengaruh sosial dan beranggapan
bahwa self terbentuk sebagai refleksi dari pandangan-pandangan yang
dipegang orang lain. Cooley menambahkan, bahwa kita mengamati
bagaimana orang lain memandang dirinya dan memasukkan
pandangan-pandangan tersebut ke dalam konsep dirinya (Tice &
Wallace, 2003).
6. Sosialisasi
Sebagian pemahaman kita mengenai diri terbentuk melalui
sosialisasi dalam kelompok maupun masyarakat. Mengenal dan
mengalami nilai-nilai, keyakinan, aktivitas budaya, ritual keagamaan,
disiplin kerja, dll. Membuat kita mengindentifikasikan diri dengan
kelompok tertentu atau yang biasa disebut dengan identitas sosial.
Memahami diri sebagai agama tertentu (ingroup) bukan bagian dari
agama tertentu (outgroup), bagian dari etnik tertentu dan bukan bagian
dari etnik tertentu, dan lain sebagainya.
Pergaulan di masyarakat akan membuat kita belajar tentang
karakter-karater yang disukai dan dibenci orang-orang, serta
membandingkannyadengan karakter yang dimiliki diri sendiri.
Kemudian, kita akan mengetahui karakter diri sendiri yang tidak sesuai
dengan apa yang diharapkan oleh orang lain.
e. Aspek-Aspek Pemahaman Diri
1. Aspek fisik. Seluruh anggota badan individu termasuk bagian-
bagiannya. Artinya individu harus mengenali dan memahami
kondisi jasmaniahnya dengan segala potensinya. Apakah kondisi
jasmani semua sehat ? Apakah kondisi jasmaniahnya normal dan
sebagainya. Hal ini penting agar individu mampu mengambil
keputusan dengan tepat dan mampu menyikapi hidup ini dengan
benar.
2. Aspek psikis. Berhubungan dengan kondisi kejiwaan individu,
yaitu bagaimana kecerdasannya dan bagaimana emosinya.Sehingga
individu mampu menyikapi pilihan-pilihan karir dan masa depan
juga mampu menempatkan dirinya dalam berhubungan dengan
orang lain.
3. Aspek minat. Minat adalah rasa tertarik yang kuat terhadap obyek
tertentu. Hal ini penting untuk dipahami individu, karena dengan
adanya minat yang kuat terhadap obyek pilihan maka prestasi,
keberhasilan yang diharapkan mudah tercapai demikian juga
sebaliknya. Oleh karena itu perlu penanaman minat terhadap diri
individu terhadap berbagai obyek positif,sehingga timbul rasa
menyenangi dengan motivasi tinggi.
4. Aspek bakat. Bakat adalah kemampuan yang dibawa oleh
seseorang sejak lahir dan bersifat menurun ( genetik ). Pentingnya
individu memahami bakat ini adalah agar individu mampu
mengembangkan dirinya secara optimal. Bakat akan cepat
berkembang dengan baik apabila ditunjang dengan sarana dan
prasarana. Oleh karena itu, peran semua masyarakat untuk memberi
wadah penyaluran bakat-bakat terpendam positif sehingga
memunculkan putra-putri berbakat di tanah air kita.
5. Aspek cita-cita. Cita-cita adalah gambaran diri yang ada pada diri
seseorang. Ada yang menyebut “Potret Diri” seseorang. Artinya
apabila individu mengatakan dengan lisan, misalnya : “Cita-cita
saya ingin menjadi TNI/POLRI”. Individu harus memahami apakah
dirinya sudah memiliki potret diri menjadi seorang TNI/POLRI.
Sudah tergambarkah secara keseluruhan dalam diri individu
kriteria, syarat-syarat, dan sebagainya yang mutlak harus dipenuhi
untuk bisa menjadi anggota TNI/POLRI. Hal ini penting untuk
dipahami dengan cermat gambaran dirinya, sehingga ia benar-benar
mampu dan dapat memilih karir sesuai dengan cita-citanya.
6. Aspek kebutuhan-kebutuhan pokok. Hal ini penting juga untuk
dipahami oleh individu, kebutuhan-kebutuhan pokok seperti apa
yang diinginkan dalam menjalani kehidupan ini. Apakah hidup ini
hanya untuk makan atau makan untuk hidup. Apakah individu
hanya menginginkan kebutuhan jasmani saja, atau individu di
samping perlu kebutuhan-kebutuhan untuk jasmani, juga
memerlukan kebutuhan bathin, dan sebagainya. Misalnya : makan,
minum, keamanan, kasih sayang, rekreasi, aktualisasi diri,
sosialisasi, dan sebagainya. Oleh karena itu individu perlu
menentukan kebutuhan-kebutuhan pokok seperti apa yang
diinginkan dalam hidup ini.
7. Aspek gaya hidup. Gaya hidup yang diinginkan oleh masing-
masing orang berbeda antara satu dengan lainnya. Ada yang ingin
bergaya hidup elite, ada yang ingin bergaya hidup biasa-biasa saja
atau bergaya hidup sederhana. Oleh karena itu gaya hidup atau life
style, ini perlu dipahami dengan benar. Individu hendaknya
menyesuaikan dengan kemampuannya, sehingga dalam menyikapi
hidup ini tidak diperbudak oleh hawa nafsunya. Ketrampilan, kerja
keras, pengalaman, dan sebagainya akan mempermudah untuk
memutuskan gaya hidup seseorang.
f. Tujuan Pemahaman Diri
Siswa yang pemahaman terhadap dirinya lebih memiliki peluang yang
besar dalam meraih cita-cita dari pada siswa yang belum mengenal dengan
baik akan diri mereka sendiri, karena mereka yang memahami diri telah
sangat menyadari bagaimana sebenarnya kemampuan, minat, kepribadian,
dan nilai termasuk kelebihan dan kekurangan yang ada dalam diri mereka
sehingga mereka memiliki arah dan tujuan hidup yang realistis, di mana
mereka memilliki cita-cita yang sesuai dengan potensi diri.
Menurut Muhamat Farid (http://tizarrahmawan.wordpress.com), ketika
seseorang mengetahui kondisi dan gambaran tentang dirinya maka dia akan
dapat menjalani hidupnya dengan nyaman dan juga memiliki rasa percaya
diri yang kuat karena sudah memiliki pandangan diri yang jelas.
Pemahaman diri atau disebut knowing yourself oleh Levinson, Ohler,
Caswell dan Kiewra merupakan aspek penting dalam pengambilan
keputusan (Hartono, 2010:61).
Tujuan pemahaman diri bagi siswa adalah:
1) Mampu mengeksplorasi potensi diri mereka yang mencakup:
minat, abilitas, dan cita-cita.
2) Siswa bisa mempersiapkan diri dengan baik dalam memasuki
dunia kerja.
3) Siswa mencapai kematangan dalam perkembangan dirinya.
4) Siswa mampu mengambil segala keputusan menyangkut dirinya
secara mandiri.
g. Faktor-Faktor Pemahaman Diri
Pemahaman diri (minat, abilitas, kepribadian, nilai-nilai dan sikap,
kelebihan dan kekurangan) di pengaruhi oleh faktor internal dan faktor
eksternal. Faktor internal yang turut mempengaruhi pemahaman diri
ditentukan oleh diri terbuka dan tertutup. Kepribadian yang terbuka
berkonstribusi positif terhadap pemahaman diri, sedangkan kepribadian
yang tertutup adalah faktor penghambat dalam pemahaman diri. Faktor
eksternal (lingkungan) yang mempengaruhi pemahaman diri antara lain,
lingkungan keluarga, teman sebaya, dan sekolah.
Menurut Hurlock (1997:213), masa remaja dikatakan sebagai masa
transisi karena belum mempunyai pegangan, sementara kepribadianya
masih mengalami suatu perkembangan, remaja masih belum mampu untuk
menguasai fungsi-fungsi fisiknya. Remaja masih labil dan mudah
terpengaruh oleh lingkungan sekitarnya. Remaja sebagai bagian dari
generasi penerus yang menjadi tonggak sebagai individu yang bermakna
pada hari kemudian diharapkan juga memiliki pemahaman tentang diri yang
benar, hal tersebut sangat diperlukan bagi setiap orang dalam menjalani
kehidupannya, sehingga diperoleh suatu gambaran yang jelas tentang
dirinya dan supaya remaja bisa menjalankan apa yang sudah didapatkannya.
2. Hubungan Sosial
Dunia manusia adalah dunia bersama dan untuk hidup di dalamnya kita
harus dapat mengenali, memahami, serta mengerti orang lain. Aktivitas tersebut
sangat kompleks, karena tidak mudah untuk mengenali orang lain. Selain
karakteristik yang dimiliki setiap orang sangat banyak, orang juga tidak selalu
menampilkan diri apa adanya dan bisa jadi menyembunyikan apa yang dipikirkan
serta dirasanya.
a. Pengertian Hubungan Sosial
Hubungan sosial merupakan interaksi antar manusia. Menurut Gillin &
Gillin (Soekamto, 2003), hubungan sosial adalah hubungan yang dinamis
yang menyangkut hubungan antar individu, antar kelompok, antar orang
dengan kelompok. Secara umum hubungan sosial adalah hubungan timbal
balik antara individu yang satu dengan individu yang lain, saling
memengaruhi dan didasarkan pada kesadaran untuk saling menolong.
Biasanya hubungan sosial ini juga disebut dengan Interaksi sosial.
Interaksi sosial ini jelas berbeda dengan hubungan sosial tetapi ada
kaitannya sedikit, Interaksi sosial adalah hubungan antara individu atau
lebih, di mana kelakuan individu yang satu mempengaruhi, mengubah, atau
memperbaiki kelakuan individu yang lain atau sebaliknya.
b. Bentuk Hubungan Sosial
Dengan adanya interaksi sosial tersebut maka terjadilah proses sosial.
Menurut Gillin & Gillin (Soekamto, 2003), proses sosial yang timbul dari
akibat interaksi sosial ada dua macam, yaitu :proses sosial asosiatif dan
proses sosial disosiatif.
1. Proses sosial asosiatif (process of association)
Proses sosial asosiatif adalah proses interaksi yang cenderung
menjalin kesatuan dan meningkatkan solidaritas anggota kelompok.
Proses asosiatif terdiri dari :
a) Kerjasama
Kerjasama adalah suatu usaha bersama antara orang perorangan
atau antarkelompok untuk mencapai tujuan bersama. Menurut
Charles H. Cody (Soekamto, 2003), kerjasama timbul apabila
orang menyadari bahwa mereka mempunyai kepentingan-
kepentingan yang sama dan pada saat yang bersamaan mempunyai
cukup pengetahuan dan kesadaran terhadap diri sendiri untuk
memenuhi kepentingan-kepentingan tersebut.
Kerjasama terbentuk karena adanya faktor-faktor diantaranya
adanya kebersamaan rencana dan tujuan antarindividu, adanya
kemampuan untuk menciptakan rencana dan melaksanakannya,
adanya pengetahuan yang cukup dan pengendalian diri yang
memadai, terciptanya suasana yang menyenangkan di antara pelaku
kerjasama. Bentuk kerjasama diantaranya:
1. Kerukunan, mencakup gotong royong dan tolong menolong
antarsesama warga dalam masyarakat.
2. Bargaining, merupakan bentuk kerjasama yang dihasilkan
melalui proses tawar-menawar atau kompromi antara dua
pihak atau lebih untuk mencapai suatu kesepakatan.
3. Kooptasi (cooptation), yaitu proses penerimaan unsur-unsur
baru dalam kepemimpinan atau pelaksanaan politik dalam
suatu organisasi dan sebagai suatu cara untuk menghindari
terjadinya kegoncangan dalam organisasi yang bersangkutan.
4. Koalisi (coalition), yaitu kombinasi antara dua organisasi atau
lebih yang bertujuan sama.
5. Joint Venture, yaitu kerjasama antara beberapa organisasi
dalam mengusahakan proyek-proyek besar tertentu.
b) Akomodasi
Akomodasi mempunyai dua arti, yaitu menunjuk suatu keadaan
dan untuk menunjuk suatu proses. Akomodasi yang menunjuk pada
keadaan artinya adalah adanya suatu keseimbangan dalam interaksi
orang perorangan atau kelompok-kelompok manusia dan kaitannya
dengan norma dan nilai sosial yang berlaku di masyarakat.
Akomodasi sebagai suatu proses, yaitu menunjuk pada usaha-usaha
manusia untuk meredakan suatu pertentangan, yaitu usaha untuk
mencapai kestabilan.
Menurut Soerjono Soekanto (2003), tujuan akomodasi yaitu
mengurangi pertentangan antara orang perorangan atau kelompok
manusia sebagai akibat perbedaan paham, mencegah meledaknya
suatu pertentangan untuk sementara waktu, memungkinkan
terjadinya kerjasama antar kelompok-kelompok sosial.
Bentuk-bentuk akomodasi, diantaranya :
1. Arbitrasi (arbitration), yaitu cara untuk mencapai kesepakatan
yang dilakukan antara dua pihak yang bertikai dengan meminta
bantuan pihak ketiga yang kedudukannya lebih tinggi.
2. Stalemate, yaitu bentuk akomodasi di mana pihak-pihak yang
bertentangan mempunyai kekuatan seimbang, berhenti pada
titik tertentu dalam melakukan pertentangan.
3. Pengadilan (adjudication), yaitu bentuk akomodasi yang
diselesaikan lewat meja hijau atau pengadilan.
4. Kompromi (compromize), yaitu bentuk akomodasi yang
masing-masing pihak yang terlibat saling mengurangi
tuntutannya agar tercapai penyelesaian terhadap perselisihan.
5. Paksaan (coersion), yaitu bentuk akomodasi yang prosesnya
dilaksanakan secara paksaan baik langsung maupun tidak.
6. Mediasi (mediation), yaitu bentuk akomodasi dengan cara
mengundang pihak ketiga yang netral, hampir menyerupai
arbitration. Akan tetapi pihak ketiga tersebut tidak memiliki
wewenang untuk memberi keputusan.
7. Toleransi (tolerance), yaitu bentuk akomodasi tanpa
persetujuan formal yang dilandasi saling menghargai, saling
menghormati dan tidak saling curiga.
8. Konsiliasi (conciliation), yaitu bentuk akomodasi dengan cara
mempertemukan keinginan-keinginan dari pihak-pihak yang
berselisih untuk mencapai persetujuan bersama.
c) Asimilasi
Asimilasi merupakan suatu proses di mana individu-individu atau
kelompok-kelompok yang mempunyai perbedaan kemudian lebur
menjadi satu tujuan, pandangan, dan kepentingan yang sama.
Menurut Koentjaraningrat, asimilasi dapat terjadi apabila
memenuhi, yaitu terdapat sejumlah kelompok manusia yang
memiliki kebudayaan berbeda, terjadi pergaulan antara individu
atau kelompok secara intensif dan berlangsung dalam waktu yang
lama, kebudayaan yang dimiliki tiap kelompok tersebut saling
berubah dan menyesuaikan diri.
Faktor pendorong atau yang mempermudah proses asimilasi, yaitu :
1. Terjadinya perkawinan campuran (amalgamation), yaitu
perkawinan campuran antara dua orang yang berbeda budaya.
2. Adanya musuh dari luar yang sama.
3. Adanya sikap menghargai orang asing dan kebudayaannya.
4. Adanya kesempatan-kesempatan yang seimbang di bidang
ekonomi.
5. Adanya persamaan unsur-unsur kebudayaan.
Faktor yang menghambat terjadinya proses asimilasi, yaitu :
1. Kehidupan suatu golongan tertentu dalam masyarakat terisolir
atau terasing.
2. Kurangnya pengetahuan mengenai kebudayaan dari golongan
masyarakat yang dihadapi.
3. Perasaan takut terhadap kekuatan kebudayaan lain.
4. Adanya perbedaan warna kulit atau perbedaan ciri fisik.
5. Perasaan bahwa kebudayaan golongan atau kelompok tertentu
lebih hebat dari kebudayaan yang lain.
6. Apabila golongan minoritas mengalami gangguan dari
golongan yang berkuasa, yang menyebabkan timbulnya
kebencian dari golongan minoritas terhadap mayoritas
walaupun sebelumnya proses asimilasi di antara mereka sudah
terjalin.
7. Perbedaan kepentingan dan pertentangan pribadi.
8. Adanya perasaan yang kuat.
d) Akulturasi
Akulturasi adalah perpaduan dua kebudayaan yang berbeda dan
membentuk suatu kebudayaan baru dengan tidak menghilangkan
ciri kepribadian masing-masing. Menurut Koentjaraningrat,
akulturasi terjadi apabila suatu kelompok dengan kebudayaan
tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur kebudayaan asing. Dengan
begitu, unsur-unsur kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan
diolah ke dalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya
kepribadian kebudayaan itu sendiri.
2. Proses sosial disasosiatif (process of dissociation)
Proses disasosiatif adalah cara yang bertentangan dengan seseorang
atau kelompok untuk mencapai suatu tujuan. Bentuk-bentuk proses
disasosiatif adalah :
a) Persaingan
Persaingan adalah suatu proses sosial dilakukan oleh individu atau
kelompok untuk saling berlomba atau bersaing dan berbuat sesuatu
untuk mencapai suatu kemenangan tanpa adanya ancaman atau
kekerasan dari para pelaku. Bentuk persaingan dibedakan menjadi
2 macam, yaitu :
1. Persaingan kelompok, yaitu persaingan yang terjadi
antarkelompok individu.
2. Persaingan individual, yaitu persaingan antara orang
perorangan.
Persaingan dapat terwujud dalam berbagai bentuk, yaitu :
1. Persaingan ekonomi. Persaingan ini terjadi karena persediaan
barang yang terbatas dan jumlah konsumen yang terus
bertambah. Persaingan di bidang ekonomi bertujuan untuk
mengatur produksi dan distribusi.
2. Persaingan kebudayaan. Setiap daerah memiliki kebudayaan
sendiri, sehingga Setiap kebudayaan daerah berusaha menjadi
kebudayaan yang terbaik. Demikian juga masyarakat yang
memiliki kebudayaan tersebut mencoba untuk melestarikan
dan mengembangkan kebudayaannya.
3. Persaingan kedudukan. Dalam hal ini setiap individu atau
kelompok mempunyai keinginan untuk diakui sebagai individu
atau kelompok yang mempunyai kedudukan dan peranan yang
terpandang.
4. Persaingan ras. P ersaingan ini terjadi karena perbedaan ciri-
ciri fisik seperti warna kulit, bentuk tubuh, dan corak rambut.
b) Kontravensi
Kontravensi adalah sikap mental tersembunyi yang ditandai oleh
gejala-gejala adanya ketidakpuasan mengenai seseorang atau
rencana, perasaan tidak suka yang disembunyikan dan kebencian
atau keraguan terhadap kepribadian seseorang.
Kontravensi merupakan bentuk proses sosial yang berada di antara
persaingan dan pertikaian. Hal ini ditandai dengan sikap
ketidakpastian, keraguan, dan penolakan yang tidak diungkapkan
secara terbuka sehingga terjadi pertikaian.
Menurut Leopold Van Wiese dan Howard Becker (Soejanto, 1994),
bentuk-bentuk kontravensi dibedakan menjadi :
1. Kontravensi umum (penolakan, protes, gangguan, dan
perbuatan kekerasan).
2. Kontravensi sederhana (menyangkal pernyataan orang lain,
mencerca, danmemfitnah).
3. Kontravensi intensif (penghasutan, desas-desus dan
mengecewakan pihak lain).
4. Kontravensi rahasia (pengkhianatan dan membocorkan rahasia
pada pihak lain).
5. Kontravensi taktis (mengejutkan lawan, mengganggu pihak
lain, provokasi, dan intimidasi). Kontravensi dibagi menjadi
dalam empat tipe, yaitu kontravensi antar masyarakat,
antagonisme keagamaan, kontravensi intelektual antara yang
berlatar belakang pendidikan tinggi dan pendidikan rendah,
oposisi moral yang berhubungan erat dengan latar belakang
kebudayaan.
c) Pertentangan
Pertentangan adalah proses sosial di mana beberapa individu atau
kelompok berusaha menekan, menghancurkan, atau mengalahkan
pihak lawan melalui ancaman kekerasan untuk mencapai suatu
tujuan. Bentuk-bentuk pertentangan, yaitu :
1. Pertentangan pribadi, terjadi di antara individu yang satu dan
individu yang lain dan dapat menimbulkan kebencian.
2. Pertentangan ras. Sumber pertentangan ini adalah adanya
perbedaan ciri-ciri fisik.
3. Pertentangan antarkelas-kelas sosial. Disebabkan oleh adanya
perbedaan kepentingan.
4. Pertentangan politik. Terjadi di antara golongan yang satu
dengan golongan yang lain atau di antara negara-negara yang
berdaulat.
5. Pertentangan bersifat internasional. Disebabkan oleh adanya
kepentingan yang luas dan menyangkut kepentingan nasional
serta kedaulatan masing-masing negara.
Faktor yang memengaruhi terjadinya konflik di dalam masyarakat
diantaranya perbedaan antar individu; perbedaan kebudayaan yang
menimbulkan perbedaan kepribadian, pemikiran, dan pola perilaku;
perbedaan kepentingan antar individu maupun antar kelompok;
perubahan nilai-nilai sosial yang cepat menyebabkan perbedaan
dalam masyarakat.
Akibat yang ditimbulkan konflik diantaranya bertambahnya rasa
solidaritas antar anggota dalam kelompok; menyebabkan retaknya
hubungan antar anggota kelompok; perubahan kepribadian individu
dari masyarakat yang mengalami konflik; kerusakan harta, benda,
bangunan, bahkan menimbulkan korban jiwa; adanya penaklukan
dan penguasaan salah satu pihak yang terlibat dalam konflik.
c. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Hubungan Sosial
Seseorang melakukan hubungan sosial secara naluri didorong oleh
beberapa faktor, baik faktor dari dalam (internal) maupun dari luar
dirinya(eksternal).
1) Faktor Internal Terjadinya Hubungan Sosial
Faktor dari dalam diri seseorang yang mendorong terjadinya
hubungan sosial adalah sebagai berikut.
a) Keinginan untuk meneruskan atau mengembangkan keturunan
dengan melalui perkawinan antara dua orang yang berlainan
jenis saling tertarik dan berinteraksi.
b) Keinginan untuk memenuhi kebutuhan hidup karena manusia
membutuhkan orang lain untuk memenuhi kebutuhannya.
c) Keinginan untuk mempertahankan hidup terutama menghadapi
serangan dari apapun.
d) Keinginan untuk melakukan komunikasi dengan sesama.
2. Faktor Eksternal Terjadinya Hubungan Sosial
Faktor dari luar yang mendorong terjadinya hubungan sebagai
berikut.
a) Simpati
Simpati adalah suatu sikap tertarik kepada orang lain karena
sesuatu hal. Ketertarikan tersebut karena penampilannya,
kebijaksanaan, ataupun pola pikirnya. Simpati menjadi
dorongan yang kuat pada diri seseorang untuk melakukan
komunikasi atau interaksi sehingga terjadi pertukaran atau nilai
pendapat. Contohnya, ketika kita mengetahui teman kita
bersedih maka kita ikut merasakan kesedihannya, ketika di
Provinsi Naggroe Aceh Darussalam, Provinsi D.I Yogyakarta,
ProvinsiJawa Tengah, Provinsi Jawa Barat, Provinsi Nusa
Tenggara Timur, dan Provinsi Papua mendapat bencana alam
(gempa bumi, tanah longsor, tsunami, ataupun lainnya) yang
menghancurkan semua maka kita pun ikut merasakan
penderitaan dan berusaha membantu mereka.
b) Motivasi
Motivasi adalah dorongan yang ada dalam diri seseorang yang
mendasari orang melakukan perbuatan. Motivasi muncul
biasanya karena rasionalitas, seperti motif ekonomis, motif
popularitas, atau politik.Motivasi juga dapat muncul dari
pengaruh orang lain. Contohnya, dengan diberikan tugas dari
guru maka murid akan termotivasi untuk selalu rajin belajar
setiap hari.
c) Empati
Empati merupakan proses psikis, yaitu rasa haru atau iba
sebagai akibat tersentuh perasaannya dengan objek yang ada di
hadapannya. Empati adalah kelanjutan dari rasa simpati.
Contoh, ketika kita melihat anak kecil kehilangan orang tuanya
kerena bencana maka tidak terasa kita ikut menangis dan
merasakan deritanya(simpati) sehingga kita ingin membantu
meringankan penderitaannya (empati).
d) Sugesti
Sugesti adalah kepercayaan yang sangat mendalam dari
seseorang kepada orang lain atau sesuatu. Pengaruh sugesti ini
muncul tiba-tiba dan tanpa adanya pemikiran untuk
mempertimbangkan terlebih dahulu. Sugesti akan mendorong
individu untuk melakukan suatu interaksi sosial.
e) Imitasi
Imitasi adalah dorongan untuk meniru sesuatu yang ada pada
orang lain. Imitasi muncul karena adanya minat, perhatian atas
sikap mengagumi terhadap orang lain yang dianggap cocok
atau sesuai. Contohnya meniru mode rambut artis idolanya.
f) Identitas
Identitas adalah dorongan seseorang untuk menjadikan dirinya
identik atau sama dengan orang lain. Identifikasi karena terikat
oleh suatu aturan yang mengharuskan seseorang menyesuaikan
diri seperti orang lain, atau atas dasar kesenangan sehingga
tertarik menyesuaikan diri. Contoh, pakaian seragam yang
harus dikenakan murid di suatu sekolah.
d. Dampak Hubungan Sosial
1) Dampak positif
a) Terjadi kerjasama antarwarga.
b) Terbentuk kelompok/golongan yang di dasarkan berbagai
kepentingan.
c) Meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
d) Mendorong terwujudnya kehidupan demokrasi.
e) Mempererat persahabatan di antara warga.
f) Mendorong masyarakat berpikir maju.
2) Dampak negatif
a) Menimbulkan terjadinya ketegangan dan pertengkaran sosial,
perbedaan pendapat, bahkan muncul menjadi konflik fisik.
b) Menimbulkan persaingan yang tidak sehat.
c) Memunculkan sikap otoriter.
3. Keluarga Broken Home
a. Pengertian Keluarga
Pengertian keluarga berdasarkan asal-usul yang dikemukakan oleh Ki
Hajar Dewantara (Abu & Nur, 200 :176), bahwa keluarga berasal dari
bahasa Jawa yang terbentuk dari dua kata, yaitu kawula dan warga. Dalam
bahasa Jawa kuno kawula berarti hamba dan warga artinya anggota.
Sehingga dapat diartikan bahwa, keluarga adalah hamba atau warga saya.
Setiap dari kawula merasakan sebagai satu kesatuan yang utuh, sebagai
bagian dari dirinya, dan dirinya juga bagian dari warga yang lainnya secara
keseluruhan.
Keluarga adalah lingkungan di mana beberapa orang yang masih
memiliki hubungan darah dan bersatu. Keluarga merupakan sekumpulan
orang yang tinggal dalam satu rumah yang masih mempunyai
hubungan/kekerabatan darah karena perkawinan, kelahiran, adopsi, dan lain
sebagainya (Soerjono, 2004:23).
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia. Keluarga adalah bagian dari
masyarakat besar yang terdiri dari ibu bapak dan anak-anaknya (KBBI,
2013).
Menurut Murdock (Lestari, 2012:6), menguraikan bahwa “Keluarga
merupakan kelompok sosial yang memiliki karakteristik tinggal bersama,
terdapat kerja sama ekonomi, dan terjadi proses reproduksi”.
Menurut Reiss (Lestari, 2012: 6), mengatakan bahwa “Keluarga suatu
kelompok kecil yang terstruktur dalam pertalian keluarga dan memiliki
fungsi utama berupa sosialisasi pemeliharaan terhadap generasi baru”.
b. Pengertian Anak
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia. Anak adalah keturunan yang
kedua (KBBI, 2013). “Anak adalah seorang lelaki atau perempuan yang
belum dewasa atau belum mengalami masa pubertas”.
c. Pengertian Broken Home
Menurut Matinka (2011), “Broken home adalah istilah yang digunakan
untuk menggambarkan suasana keluarga yang tidak harmonis dan tidak
berjalannya kondisi keluarga yang rukun dan sejahtera yang menyebabkan
terjadinya konflik dan perpecahan dalam keluarga tersebut”.
d. Penyebab Broken Home
Setiap keluarga selalu mendambakan sebuah keluarga yang utuh dan
harmonis, jauh dari pertengkaran atau perpecahan. Namun, setiap keluarga
memiliki masalah dan masalah itu tidak datang begitu saja, tetapi ada
penyebabnya.
Penyebab utama terjadinya broken home, yaitu :
1) Perceraian, terjadi akibat disorientasi antara suami istri dalam
membangun rumah tangga;
2) Kebudayaan bisu, ketika tidak adanya komunikasi dan dialog antar
anggota keluarga;
3) Ketidakdewasaan sikap orangtua, karena orangtua hanya
memikirkan diri mereka daripada anak; dan
4) Orangtua yang kurang rasa tanggung jawab dengan alasan
kesibukan bekerja. Mereka hanya terfokus pada materi yang akan
didapat dibandingkan dengan melaksanakan tanggung jawab di
dalam keluarga (“Kehidupan Anak Broken Home,” 2012).
Penyebab tambahan. Penyebab tambahan yang memicu terjadinya
broken home, yaitu :
1) perang dingin dalam keluarga, karena adanya perselisihan atau rasa
benci;
2) kurang mendekatkan diri pada Tuhan, yang membuat orangtua
tidak dapat mendidik anaknya dari segi keagamaan;
3) masalah ekonomi, yang tidak jarang menjadi sebab pertengkaran
maupun berakhir dengan perceraian; dan
4) masalah pendidikan, kurangnya pengetahuan suami ataupun istri
terhadap keluarga mereka sendiri (“Kehidupan Anak Broken
Home,” 2012).
e. Dampak Broken Home Pada Anak
Setiap keluarga yang mengalami broken home biasanya akan
berdampak pada anak-anaknya. Orangtua tidak pernah memikirkan
konskuensi dari tindakan yang mereka lakukan. Dampak paling utama yang
akan melekat sampai anak tersebut dewasa adalah dampak psikologis.
Seorang anak dapat berkembang dengan baik jika kebutuhan psikologisnya
juga baik.
Secara umum anak yang mengalami broken home memiliki (a)
ketakutan yang berlebihan, (b) tidak mau berinteraksi dengan sesama, (c)
menutup diri dari lingkungan, (d) emosional, (e) sensitif, (f) temperamen
tinggi, dan (g) labil. Sebenarnya, dampak psikologis yang diterima seorang
anak berbeda-beda tergantung usia atau tingkatan perkembangan anak
(Nurmalasari, 2008).
Akibat dari broken home juga mempengaruhi prestasi anak tersebut.
Anak broken home cenderung menjadi malas dan tidak memiliki motivasi
untuk belajar. Perbandingan antara motivasi siswa berasal dari keluarga
broken home dengan motivasi belajar siswa dari keluarga utuh, motivasi
belajar siswa dari keluarga broken home lebih rendah daripada motivasi
belajar siswa dari keluarga utuh, keadaan keluarga broken home memberi
pengaruh yang cukup signifikan terhadap motivasi belajar siswa (Broto,
2009).
Remaja broken home yang kurang perhatian membuat self esteem dan
self confident rendah sehingga anak cenderung mencari perhatian dari
lingkungan. Biasanya dengan memberontak, melakukan bullying, dan
bersikap derduktif terhadap lingkungan, seperti merokok, free sex, dan
minum minuman keras (Nurmalasari, 2008).
f. Cara Mengatasi Broken Home
Tidak semua orang berpandangan bahwa broken home adalah hal yang
negatif. Ada yang berpikir bahwa broken home adalah jalan yang terbaik
bagi keluarganya. Ada beberapa cara untuk meminimalisir atau mengatasi
broken home, antara lain; (a) mendekatkan diri kepada Tuhan, (b) berpikir
dan berperilaku positif, (c) saling berbagi, dan (d) mencari kegiatan positif
(“Broken Home dan Cara Mengatasinya,” 2013).
B. Penelitian yang Relevan
Penelitian yang relevan denagn topik penelitian tentang analisis pemahaman
diri dan hubungan sosial siswa berlatar belakang keluarga broken home,
diantaranyasebagai berikut:
a. Chiktia Irma Oktaviani , Falkultas Psikologi Universitas Islam Negeri
(UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang, meneliti tentang “Konsep Diri
Remaja Dari Keluarga Broken Home”. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa keluarga yang broken home dapat menyebabkan
remaja menjadi pribadi yang labil. Karena kurangnya kasih sayang dari
orang tua sehingga membuat mental seorang anak menjadi frustasi,
brutal, dan susah diatur.
Persamaan penelitian Chiktia Irma Oktaviani dengan peneliti
adalah sama-sama mengkaji diri anak yang berlatar belakang keluarga
broken home. Perbedaan dengan penelitian ini adalah lokasi dan fokus
penelitianya, yaitu remaja yang mengalami broken home di UIN
Maulana Malik Ibrahim dan hanya terfokus pada konsep diri anak.
Sebenarnya sama-sama menggunakan penelitian kualitatif tetapi dengan
teknik yang berbeda, yaitu analisis induktif, sedangkan peneliti
menggunakan teknik grounded research.
Kontribusi bagi penelitian yang dilakukan adalah untuk dapat
memahami lebih dalam lagi bagaimana konsep diri anak yang berlatar
belakang keluarga broken home, dan tentunya bagi peneliti sendiri
menambah pengetahuan serta menambah referensi bagi penelitian yang
sedang dilakukan peneliti.
b. Hesly Padatu (2015), Jurusan Ilmu Komunikasi Falkultas Ilmu Sosial
Dan Ilmu Politik Universitas Hasanudin, dengan judul “Pembentukan
Konsep Diri dan Self-Disclousure Remaja Broken Home di Kota
Makasar”. Persamaan dengan penelitian ini terletak pada pembentukan
diri anak yang broken home. Perbedaan dengan penelitian ini adalah
lokasi dan fokus penelitiannya, yaitu remaja yang mengalami broken
home di kota Makasar, serta fokus penelitiannya terhadap pembentukan
konsep diri dan self-disclousure remaja broken home.
c. Mukhlis Aziz (2015), Prodi Pengembangan Masyarakat Islam
Falkultas Dakwah dan Komunikasi UIN Ar-Ramiry, dalam
penelitiannya yang berjudul “Perilaku Sosial Anak Remaja Korban
Broken Home Dalam Berbagai Perspektif”. Isi dari penelitian ini,
bahwa terbukti perilaku sosial anak-anak yang bermasalah lebih di
dasari atas keluarga yang broken atau pecah. Perilaku sosial anak
broken home sangat mengganggu proses belajar mengajar.
Persaman dengan penelitian ini, sama-sama mengangkat perihal
anak yang broken home dan sosialnya. Metode penelitian yang
digunakan merupakan pendekatan kualitatif, tetapi penelitian Mukhlis
Aziz dengan teknik deskriptif. Perbedaan yang dilakukan dalam
penelitian ini, yaitu lokasi dan fokus penelitiannya yang bertempat di
SMP-18 Kota Banda Aceh, dan hanya terfokus pada prilaku sosialnya
saja.
Hasil penelitan tersebut membuktikan bahwa perilaku sosial dari
anak yang berlatar belakang keluarga broken home dapat mengganggu
proses belajar mengajar. Kontribusi dalam penelitan ini adalah
memberikan gambaran bahwa perpecahan dalam keluarga (broken
home) menjadikan anak sebagai korbannya serta dapat merubah
perilaku sosialnya.
d. Pheny Aprilia Rahmawati (2015), dalam penelitiannya yang berjudul
“Hubungan Anatra Kepercayaan Dan Keterbukaan Diri Terhadap
Orang Tua Dengan Perilaku Remaja Yang Mengalami Keluarga Broken
Home Di SMKN 3 & SMKN 5 Samarinda”. Persamaan dengan
penelitian ini terletak keluarga broken home. Perbedaan dengan
penelitian ini terletak pada lokasi dan fokus peneltitian, yaitu di SMKN
3 & SMKN 5 Samarinda. Penelitian ini terfokus terhadap hubungan
antara kepercayaan dan keterbukaan diri terhadap orang tua dengan
perilaku memaafkan. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa terdapat
hubungan yang positif dan signifikan antara kepercayaan serta
keterbukaan diri terhadap orang tua dengan perilaku memaafkan.
C. Kerangka Berpikir
Penelitian ini berusaha mengkaji tentang pemahaman diri dan hubungan
sosial siswa berlatar belakang keluarga broken home di SMK YADIKA 11
Jatirangga. Keluarga merupakan tempat pertama kali anak dilahirkan ke dunia.
Melalui keluarga, anak mendapatkan pendidikan, bagaimana ia dapat memahami
dirinya dan menjalin hubungan sosial yang baik. Bagi anak pemahaman akan
dirinya sangat penting, serta lingkungan sekitarnya. Keluarga merupakan agen
pertama dan berpengaruh sangat besar dalam perkembangan anak dikemudian
hari.
Permasalahan yang terjadi dalam keluarga berujung perpecahan, akan
memberikan dampak yang sangat besar bagi anak, terlebih apabila perpecahan
tersebut tidak terjadi dengan cara baik-baik. Dampak yang terjadi dapat
berpengaruh pada diri dan lingkup hidup anak. Untuk itu pemahaman terhadap
diri anak harus sedini mungkin untuk di arahkan, supaya dalam menjalin
hubungan sosial dengan orang lain, anak tidak mengalami masalah, karena merasa
keluarganya tidak utuh (broken home).
Adapun kerangka pikir penelitian ini adalah sebagai berikut :
Gambar Kerangka Berpikir
Keluarga
Fisik Psikis Minat Bakat Cita-cita Kebutuhan Pokok Gaya Hidup
Pemahaman Diri
Hubungan Sosial Internal Ekstenal
Keluarga Broken Home
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Waktu dan Tempat Penelitian
1. Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan selama 2 (dua) bulan terhitung sejak bulan
November 2015 hingga Desember 2015.
2. Tempat Penelitian
Tempat Penelitian ini adalah di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)
YADIKA 11 Jatirangga, Jl. Lurah Namat No. 60, Jatirangga, Jatisampurna,
Bekasi.
B. Metode Penelitian
Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif, yang
artinya mendeskripsikan, mencatat, menganalisis, dan menginterpretasikan suatu
peristiwaatau perilaku tertentu yang ada dalam waktu tertentu (Mardalis,
2008:26). Terdapat tiga macam desain dalam penelitian kualitatif, yaitu : desain
deskriptif kualitatif, desain kualitatif verifikasi, dan desain grounded research.
Dengan format desain grounded research atau dikenal pula dengan teori
dasar (grounded theory) penelitian ini dilakukan. Teori dasar (grounded theory)
sebagai metodologi adalah pengembangan yang dilakukan oleh dua ahli di bidang
Sosiologi, yakni Barney Glaser & Anselm Strauss. Grounded theory merupakan
suatu teori yang diperoleh melalui suatu studi fenomena yang mewakilinya.
Desain grounded research adalah suatu cara penelitian kualitatif yang
dilakukan secara sistematis dari suatu prosedur tertentu terhadap pengembangan
teori dasar suatu fenomena dengan maksud membangun teori, di mana keyakinan
serta penjelasan keadaan daerah itu sebagai bahan studi (Ghony, 2007:18).
Corbin & Strauss (1990), desain grounded research merupakan suatu
metode keilmuan yang prosedurnya dirancang sedemikian rupa sehingga para
peneliti berhati-hati dalam melakukan penelitian. Dalam metode tersebut
ditemukan kriteria untuk melaksanakan ilmu yang baik, artinya penggabungan
secara signifikan, theory-observasi, generalisabilitas, reproduksibilitas, ketelitian,
kekakuan, dan verifikasi.
Format desain grounded research dikontruksi agar peneliti dapat
mengembangkan semua pengetahuan dan teorinya setelah mengetahuinya di
lapangan (Bungin, 2007:72). Hal tersebut digunakan peneliti untuk melihat
bagaimana pemahaman diri dan hubungan sosial siswa yang mengalami keluarga
broken home di SMK YADIKA 11 Jatirangga. Metode ini bertujuan untuk
memperoleh informasi-informasi mengenai keadaan saat ini dan melihat kaitan
antara variabel-variabel yang ada. Penelitian ini tidak menguji hipotesa,
melainkan hanya mendeskripsikan informasi apa adanya sesuai dengan variabel-
variabel yang diteliti. Alur informasi format grounded research dapat
digambarkan sebagai berikut :
( Bungin, 2007:73)
DATA
DATA
DATA
DATAPeneliti TEORI
C. Subyek dan Obyek Penelitian
1. Subyek Penelitian
Subyek penelitian adalah orang-orang yang menjadi sumber informasi
yang dapat memberikan data sesuai dengan masalah yang sedang diteliti
(Amirin, 1998:135).
Menurut Suharsimi Arikunto (2010:188), subyek penelitian merupakan
seluruh subjek yang dituju untuk diteliti oleh peneliti, tentang unit analisis,
yaitu subyek yang menjadi pusat perhatian atau sasaran peneliti. Sehingga
dapat disimpulkan, subyek penelitian merupakan orang-orang yang
menberikan sumber informasi yang menjadi sasaran peneliti.
Adapun yang menjadi subyek dalam penelitian ini yaitu orang-orang
yang akanmenjadi sumber informasi bagi peneliti dalam mendapatkan data,
sebagai berikut :
a. Guru Bimbingan dan Konseling
b. Siswa SMK YADIKA 11 Jatirangga
c. Orang tua dari siswa SMK YADIKA 11 Jatirangga
2. Obyek Penelitian
Yang menjadi obyek penelitian dalam hal ini adalah siswa SMK
YADIKA 11 Jatirangga yang mempunyai latar belakang keluarga broken
home.
D. Metode Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan metode pengumpulan data sebagai berikut :
a. Wawancara
Wawancara merupakan proses memperoleh keterangan untuk tujuan
penelitian dengan cara tanya jawab, sambil bertatap muka antara si penanya
atau pewawancara si penjawab atau responden dengan menggunakan alat
yang dinamaka interview guide (panduan wawancara) (Nazir, 2005:193).
Interviu atau wawancara dapat diartikan suatu cara pengumpulan data
dengan jaln mengajukan pertanyaan secara lisan kepada sumber data dan
sumber data juga memberikan jawaban secara lisan pula (Hidayat, 2014).
Wawancara (interview) adalah situasi peran antar-pribadi bersemuka
(face-to-face), ketika seseorang yakni pewawancara mengajukan
pertanyaan-pertanyaan yang dirancang untuk memperoleh jawaban-jawaban
yang releven dengan masalah penelitian, kepada seseorang yang
diwawancara atau responden (Kerlinger, 2006:770).
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan intervieu bebas terpimpin,
artinya peneliti telah menyiapkan terlebih dahulu pokok pertanyaan dengan
di dasari pada pedoman wawancara yang akan diajukan kepada responden.
b. Observasi
Dalam arti sempit observasi merupakan aktivitas yang memperhatikan
sesuatu dengan menggunakan mata. Sedangkan dalam arti luas, observasi
atau pengamatan merupakan kegiatan yang meliputi pemuatan perhatian
terhadap sesuatu objek dengan menggunakan seluruh alat indera, yaitu :
penglihatan, penciuman, pendengaran, peraba, dan pengecap (Arikunto,
2010:199).
Observasi atau pengamatan adalah kegiatan keseharian manusia dengan
menggunakan panca indera mata sebagai alat bantu utamanya, selain panca
indera lainnya seperti telinga, penciuman, mulut, dan kulit. Karena itu
observasi merupakan kemampuan seseorang untuk menggunakan
pengamatannya melalui hasil kerja panca indera mata serta dibantu dengan
panca indera lainnya. Sesungguhnya yang dimaksud dengan observasi
adalah metode pengumpulan data yanag digunakan untuk menghimpun data
penelitian melalui pengamatan dan penginderaan (Bungin, 2007:115).
Jadi, observasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah no
partisispan, artinya peneliti sebagai obsever tidak ikut dalam kehidupan di
dalam kehidupan orang yang diobservasi dan secara terpisah berkedudukan
selaku pengamat (Nawawi, 2007:110). Metode ini digunakan sebagai
pelengkap dan penguat data yang diperoleh dengan metode interviu dan
dokumentasi.
Ada pun yang mengaji obyek pengamatan adalah siswa yang berlatar
belakang keluarga broken home. Hal ini untuk mendapatkan keabsahan data
anatar hasil wawancara dengan pengamatan.
c. Dokumentasi
Metode dokumentasi merupakan kegiatan yang mencari data mengenai
hal-hal atau variabel yang berupa data-data tertulis, seperti buku-buku,
catatan harian , transkip, majalah, dan sebagainya (Arikunto, 2010:274).
Dokumen data yang diambil merupakan data-data yang berhubungan
dengan masalah penyelidikan, yaitu data tentang siswa yang berlatar
belakang keluarga broken home.
E. Teknik Analisis Data
Analisis data merupakan salah satu langkah yang sangat penting dalam
kegiatan penelitian. Menyederhanakan data ke dalam proses-proses yang lebih
mudah dibaca dan menginterpretasiakn melalui penyusunan kata-kata baik tertulis
maupun lisan dari individu-individu yang diamati.
Menurut Bogdan & Biklen (1982), bahwa analisis data kualitatif merupakan
upaya yang dilakukan dengan jalan, yaitu : (1) bekerja dengan data, (2)
mengordinasikan data, (3) memilah-milah menjadi satuan data yang dapat
dikelola, (4) menyintesiskan, (5) mencari dan menemukan pola, (6) menemukan
apa yang penting dan apa yang dipelajari, serta (6) memutuskan apa yang dapat
diceritakan kepada orang lain.
Analisis data dalam penelitian ini adalah proses mencari dan menyusun
secara sistematis, data yang diperoleh dari hasil wawancara, obsevasi, dan
dokumentasi, dengan cara mengordinasikan data ke dalam kategori, menjabarkan
ke dalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun ke dalam pola, memilih mana
yang penting dan mana yang akan dipelajari, dan kesimpulan sehingga mudah
dipahami oleh diri sendiri maupun orang lain (Sugiyono, 2011:244).
Sesuai dengan teknik penelitian yang digunakan peneliti dalam penelitian
ini menggunakan cara analisis grounded research. Penelitian kualitatif penyajian
data bias dilakukan dalam bentuk uraian singkat, bagan, dan sebagainya. Melalui
penyajian data akan mempermudah untuk memahami apa yang terjadi dan
merencanakan kerja selanjutnya.
F. Metode Keabsahan Data
Metode yang digunakan dalam menguji keabsahan data penelitian ini
menggunakan teknik triangulasi yang merupakan teknik pemeriksaan data dengan
memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan dan
pembanding data tersebut.
Dalam penelitian ini menggunakan triangulasi sumber yaitu memanfaatkan
sesuatu yang lain dengan membandingkan dan mengecek baik derajat
kepercayaan suatu informasi hasil data yang diperoleh (Meolong, 2007:248).
Untuk kepentingan ini dilakukan dengan cara membandingkan data yang
diperoleh dari hasil wawancara, observasi, dan dokumentasi yang berkaitan
dengan penelitian.
KEPUSTAKAAN
Ahmadi, Abu. 2007. Psikologi Sosial. Jakarta : Rineka Cipta.
Arfina, Sari. Pengaruh Keluarga Broken Home Terhadap Anak. [online]. Tersedia di :
http://sariharfina.blogspot.com/pengaruh-keluarga-broken-home-terhadap-
anak.html 15 November 2015 )
Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian : Suatu Pendekatan Praktik.
Jakarta : Rineka Cipta.
Beta, Puput. 2013. Pemahaman Diri. [online]. Tersedia di
:http://romanusdfajrin.blogspot.com/2011/06/pemahaman-diri.html (15
November 2015)
______. 2012. Pengertian Pemahaman Diri. [online]. Tersedia di :
http://maritayin.blogspot.com/2012/11/pemahaman-diri.html (15 November
2015)
Bungin, Burhan. 2007. Penelitian Kualitatif. Jakarta : Kencana Prenada Media Group.
Dagun, Save M. 1990. Psikologi Keluarga (Peranan Ayah Dalam Keluarga). Jakarta :
Rineka Cipta.
Franzoi, Stephen L. 2003. Social Psychology. New York : McGraw-Hill.
Gerungan, W. A. 2004. Psikologi Sosial. Bandung : Rafika Aditama.
Hewitt, John P. 1994. Self and Society : a Symbolic Interactionist Social Psycology.
Massachusetts : Simon & Schuster.
Kerlinger, Fred N. 2006. Asas-Asas Penelitian Behavioral. Yogyakarta : Gadjah Mada
University Press.
Lubis, Namora Lumongga. 2011. Memahami Dasar-Dasar Konseling Dalam Teori Dan
Praktik. Jakarta : Kencana Prenada Media Group.
Nawawi, Handari. 2007. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta : Gadjah Mada.
Rahman, Agus Abdul. 2013. Psikologi Sosial : Integrasi Pengetahuan Wahyu dan
Pengetahuan Empirik. Jakarta : Raja Grafindo Persada.
Sarwono, Sarlito W & Eko A. Meinarno. 2012. Psikologi Sosial. Jakarta : Salemba
Humanika.
Shortcake, Linda. 2012. Pemahaman Diri. [online]. Tersedia di :
http:// lindashortecake .blogspot.com/2011/06/pemahaman-diri.html (15
November 2015)
Strauss, Anselm & Juliet Corbin. 2007. Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif : Prosedur,
Teknik, dan Teori Grounded. Surabaya : Bina Ilmu Offset.
Sugiono. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, Dan R&D. Bandung : Alfabeta.
Willis, Sofyan S. 2009. Konseling Keluarga (Family Counseling). Bandung : Alfabeta.
Vander Zanden, James Wilfrid. 1979. Sociology. Canada : John Wiley & son.