bab ii tinjauan teori 2.1 konsep teori perpanjangan kala ii 2.1.1 defenisi kala ii
TRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1 KONSEP TEORI PERPANJANGAN KALA II
2.1.1 Defenisi Kala II
Menurut defenisi, persalinan kala II dimulai dengan
pembukaan serviks lengkap dan berakhir dengan kelahiran bayi.
Namun signifikansi klinis dari pembukaan lengkap masih
kontroversial di Amerika Utara pimpinan persalinan pada kala
II dilakukan untuk mempercepat persalinan, dan jika didapati
pembukaan telah lengkap wanita di pimpin untuk mulai menarik
napas dalam dan mengejan, meskipun desakan untuk mengejan
bisa muncul sebelum atau sesudah pembukaan lengkap. Jika
keinginan mengejan timbul sebelum pembukaan lengkap, wanita
diminta untuk tidak mengejan dengan menarik napas setiap kali
kontraksi. Jika desakan untuk mengejan tidak ada ketika
pembukaan telah lengkap, keinginan untuk mempercepat
persalinan menyebabkan pemberi prawatan mendesak wanita untuk
mulai mengedan.
Namun, di Inggris pembukaan lengkap diyakini tidak sama
pentingnya bila dibandingkan dengan Amerika Utara. Pimpinan
persalinan pada kala II lebih di dasarkan pada awitan fase
ekspulsi yakni saat pertama kali wanita tanpa disadari
merasakan dorongan untuk pengeluaran (dorongan untuk
mengejan). Pendekatan ini tampaknya memiliki dasar fisiologi
karena dalam situasi normal kontraksi kadang-kadang melemah
sementara di sekitar saat pembukaan lengkap (Simkin,
Ruth.2005).
Tahap ini berawal saat pembukaan serviks lengkap dan
berakhir dengan keluarnya janin. Edian durasinya adalah 50
menit untuk nulipara dan 20 menit untuk multipara, tetapi
angka ini juga sangat bervariasi. Pada ibu dengan paritas
tinggi yang vagina dan perineumnya sudah melebar, dua atau
tiga klai usaha mengejan setelah pembukaan lengkap mungkin
cukup untuk mengeluarkan janin. Sebaliknya, pada seorang ibu
dengan panggul sempit atau janin besar, atau dengan kelainan
gaya ekspulsif akibat anastesia regional atau sedasi yang
berat, maka kala II dapat sangat memanjang. Kilpatrik dan
Laros melaporkan bahwa rata-rata persalinan kala II, sebelum
pengeluaran janin spontan, memanjang sekitar 25 menit oleh
anestesia regional. Seperti telah disebutkan, tahap panggul
atau penurunan janin pada persalinan umumnya berlangsung
setelah pembukaan lengkap. Selain itu, kala II melibatkan
banyak gerakan pokok yang penting agar janin dapat melewati
jalan lahir. Selama ini terdapat aturan-aturan yang membatasi
durasi kala II. Kala II persalinan pada nulipara dibatasi 2
jam dan diperpanjang sampai 3 jam apabila digunakan analgesia
regional. Untuk multipara satu jam adalah batasnya,
diperpanjang menjadi 2 jam pada penggunaan analgesia regional
(Prawirohardjo,2009).
2.1.2 Dampak Persalinan Lama
Persalinan lama dapat menimbulkan konsekuensi serius bagi
salah satu atau keduanya sekaligus.
1)Pada Ibu
a. Infeksi intrapartum
Infeksi adalah bahaya yang serius yang mengancam ibu dan
janinnya pada partus lama, terutama bila disertai
pecahnya ketuban. Bakteri di dalam cairan amnion
menembus amnion dan menginvasi desidua serta pembuluh
korion sehingga terjadi bakterimia dan sepsis pada ibu
dan janin. Pneumonia pada janin, akibat aspirasi cairan
amnion yang terinfeksi, adalah konsekuensi serius
lainnya. Pemeriksaan serviks dengan jari tangan akan
memasukan bakteri vagina ke dalam uterus. Pemeriksaan
ini harus dibatasi selama persalinan, terutama apabila
dicurigai terjadi persalinan lama.
b. Ruptur uteri
Penipisan abdominal segmen bawah uterus menimbulkan
bahaya serius selama partus lama, terutama pada ibu
dengan paritas tinggi dan pada mereka dengan riwayat
seksio caesarea. Apabila disproposi ata kepala janin dan
panggul sedemikian besar sehingga kepala tidak cakap
(engaged) dan tidak terjadi penurunan, segmen bawah
uterus menjadi sangat teregang kemudian dapat
menyebabkan ruptur. Pada kasus ini mungkin tetbentuk
cincin retraksi patologis yang dapat diraba sebagai
sebuah krista transversal atau oblik yang berjalan
melintang di uterus antara simpysis dan umbilikus.
Apabila dijumpai keadaan ini, diindikasikan persalinan
perabdominan segera.
c. Cincin retraksi patologis
Walapun sangat jarang, dapat timbul kontriksi atau
cincin lokal uterus pada persalinan yang berkepanjangan.
Tipe yang paling serng adalah cincin retraksi patologis
Bandl, yaitu pembentukan cincin retraksi normal yang
berlebihan. Cincin ini sering timbul akibat persalinan
yang terhambat, disertai penegangan dan penipisan
berlebihan segmen bawah uterus. Pada situasi seperti ini
cincin dapat terlihat jelas sebagai suatu indentasi
abdominal dan menandakan ancaman dan rupturnya segmen
bawah uterus. Kontriksi uterus lokal jarang dijumpai
saat ini karena terhambatnya persalinan secara
berkepanjangan tidak lagi dibiarkan. Kontriksi lokal ini
kadang-kadang masih terjadi sebagai konriksi janin pasir
(bourglass constriction) uterus setelah lahirnya kembar
pertama. Pada keadaan ini, kontriksi tersebut kadang-
kadang dapat dilemaskan dengan anstesia umum yang sesuai
dan janin dilahirkan secara normal, tetapi kadang-kadang
sectio caesarea yang dilakukan denga segera menghaslkan
prognosis yang lebih baik bagi kembar kedua.
d. Pembentukan fistula
Apabila bagian terbawah janin menekan kuat ke pintu atas
panggul, tetapi tidak maju untuk jangka waktu yang cukup
lama, bagian jalan lair yang terletak diantaranya dan
dinding panggul dapat mengalami tekanan yang berlebihan.
Karena gangguan sirkulasi, dapat terjadi nekrosis yang
akan jelas dalam beberapa hari setelah melahirkan dengan
munculnya fistula vesikovaginal, vesikoservikal, atau
rektovaginal. Umumnya nekrosis akibat penekanan ini pada
persalinan kala II yang berkepanjangan.
Dahulu, saat tindakan operasi ditunda selama mungkin,
penyulit ini sering dijumpai, tetapi sat ini jarang
terjadi kecuali di negara-negara yang belum berkembang.
e. Cedera otoot-otot dasar panggul
Suatu anggapan yang telah lama dipegang adalah bahwa
cedera otot-otot dasar panggul atau persarafan atau fasa
penghubungnya merupakan konsekuensi yang tidak terelakan
pad persalinan pervaginam, terutama apabila
persalinannya sulit. Saat kelahiran bayi,, dasar panggul
mendapat tekanan langsung dari kepala janin serta
tertekan ke bawah akibat upaya mengejan ibu. Gaya-gaya
ini meregangkan dan melebarkan dasar panggul sehingga
terjadi perubahan fungsional dan anatomik otot, saraf,
jaringan ikat. Terdapat semakin besar kekhawatiran bahwa
efek-efek pada otot dasar panggul selama melahirkan ini
aka menyebabkan inkontinensia urin adan alvi serta
prolaps organ panggul. Karena kekhawairan ini, dalam
sebuah jajak pendapat baru-bari ini terhadap ahli
kebidanan perempua di Inggris, 30 persen menyatakan
kecenderungan melakukan sektio caesarea daripada
persalinan pervaginam dan menyebut alasan pilihan mereka
yaitu menghindari cedera dasar panggul.
2) Pada Janin
Partus lama itu sendiri dapat merugikan. Apabila panggul
sempit dan juga terjadi ketuban pecah lama serta infeksi
itrauterus, risiko janin dan ibu akan muncul. Infeksi
intrapartum bukan saja merupakan penyulit yang serius pada
ibu, tetapi juga merupakan penyebab penting kematian janin
dan neonatus.
Hal ini disebabkan bakteri di dalam cairan amnion menembus
cairan amnion dan menginvasi desidua seta pembuluh korion,
sehingga terjadi bakterimia pada ibu dan janin. Pneumonia
janin, akibat aspirasi cairan amnion yang terinfeksi,
adalah konsesuensi serius lainnya.
a. Caput suksedaneum
Apabila panggul sempit, sewaktu persalinan sering
trejadi caput suksedaneum yang besar di bagian terbawah
kepala janin. Kaput ini dapat berukuran cukup besar dan
menyebabkan kesalahan diagnostik yang serius. Kaput
dapat hampir mencapai dasar panggul sementara kepala
sendiri belum cakap. Dokter yang kurang berpengalaman
dapat melakukan upaya prematur dan tidak bijak untuk
melakukan ekstraksi forseps. Biasanya caput
suksedaneum, bahkan yang besar sekalipun, akan
menghilang dalam beberapa hari.
b. Molase kepala janin
Akibat tekanan his yang kuat, lempeng-lempeng tulang
tengkorak saling bertumpang tindih satu sama lain di
sutura-sutura besar, suatu proses yang disebut molase
(molding, moulage). Biasanya batas median tulang
parietal yang berkontak dengan promontorium bertumpang
tindih dengan tulang disebelahnya; hal yang sama
terjadi pada tulang-tulang frontal. Namun, tulang
oksipial terdorong ke bawah tulang parietal. Perubahan-
perubahan ini sering terjadi tanpa menimbulkan kerugian
yang nyata. Di lain pihak, apabila distorsi yang
terjadi mencolok, molase dapat menyebabkan robekan
tentorium, laserasi pembuluh darah janin, dan
perdarahan intrakranial janin. Faktor-faktor yang
berkaitan dengan molase adalah nuliparitas, stimulasi
persalinan dengan oksitosin, dan pengeluaran janin
dengan ekstraksi vakum (Prawirohardjo,2009).
2.2 KONSEP ATONI UTERI
2.2.1 Pengertian Atoni Uteri
Atonia Uteri adalah suatu kondisi dimana miometrium tidak
dapat berkontraksi dan bila ini terjadi maka darah yang keluar
dari bekas tempat melekatnya plasenta menjadi tidak terkendali.
(Asuhan Persalinan Normal, 2012 ).
Atonia uteri adalah keadaan lemahnya tonus/kontraksi rahim
yang menyebabkan uterus tidak mampu menutup perdarahan terbuka
dari tempat implantasi plasenta setelah bayi dan plasenta
lahir. (Sarwono, 2011 )
Perdarahan postpartum dengan penyebab atonia uteri tidak
terlalu banyak dijumpai karena penerimaan gerakan keluarga
berencana makin meningkat. Kegagalan kontraksi otot rahim
menyebabkan pembuluh darah pada bekas implantasi plasenta
terbuka sehingga menimbulkan perdarahan. Atonia uteri sebagai
penyebab perdarahan, kini makin berkurang seiring dengan
diterimanya gerakan keluarga berencana, sehingga
grandemultipara semakin menurun (Manuaba, 1998).
2.2.2 Faktor Predisposisi terjadi Atonia Uteri
Beberapa faktor Predisposisi menurut Depkes RI (2007), yang
terkait dengan perdarahan pasca persalinan yang disebabkan oleh
Atonia Uteri, diantaranya adalah :
a) Yang menyebabkan uterus membesar lebih dari normal
selama kehamilan seperti polihidramnion, kehamilan
gemelli, Janin besar (makrosomia)
b) Pemanjangan masa persalinan dan sulit
c) Persalinan cepat (partus presipitatus)
d) Persalinan yang diinduksi atau dipercepat dengan
oksitosin
e) Infeksi intrapartum
f) Grandemultipara (paritas 5 atau lebih)
g) Kehamilan dengan mioma uteri
h) Persalinan lewat waktu
i) Salah penanganan kala III persalinan, dengan
memijat uterus dan mendorongnya ke bawah dalam usaha
melahirkan plasenta, sedang sebenarnya belum terlepas
dari uterus.
Menurut Sarwono (2011) Atonia uteri banyak terjadi dengan
predisposisi:
a.Regangan rahim berlebihan karena kehamilan gemeli,
polihidramnion atau anak terlalu besar.
b.Kelelahan karena persalinan kasep.
c.Kehamilan grande-multipara.
d.Ibu dengan keadaan umum jelek, anemis, atau menderita
penyakit menahun.
e.Mioma uteri yang dapat mengganggu kontraksi rahim.
f.Infeksi intrauterine.
g. Ada riwayat pernah atonia uteri sebelumnya.
2.2.3 Tanda dan Gejala Atonia Uteri
a.Pada palpasi uterus membesar dan lembek atau tidak
berkontraksi
b.Perdarahan lebih dari 20 % jumlah darah
c.Bila kontraksi lembek setelah masase atau pemberian bb
uterotonika, kontraksi tidak atau lambat menjadi keras
2.2.4 Komplikasi yang ditimbulkan
a.Kematian
b.Infeksi
Sindroma Sheehan (nekrosis pars anterior hipofisis) astenia,
penurunan berat badan, hipotensi, anemia, kaheksia, fungsi
seksual menurun, (atropi alat-alat genital) BMR menurun, dan
fungsi laktasi berkurang. (Manuaba, 2012).
c.Komplikasi perdarahan pascapartus:
a) Anemia yang memerlukan perhatian:
Manifestasi klinik secara umum, pusing, cepat
lelah dan berdebar.
Khusus manifestasinya terhadap reproduksi:
Mudah terjadi infeksi .
Produksi laktasi jumlah dan kualitas
kurang
Kembalinya alat reproduksi terlambat
b) Sindrom sheehan:
Patofisiologi:
Terjadi syok karena perdarahan antepartum
dan pascapartus.
Menyebabkan terjadi nekronis kelenjar
hipofisis anterior yang bevariasi,
disertai gangguan pengeluaran
gonadotrofik hormon.
Whitehead (1963), menduga nekrosis atau
gangguan terjadi bersamaan pada
hipotalamus.
Manifestasi klinik: terjadi hipopituitarisme
sebagai “master of gland”.
Kegagalan laktasi.
Atropi payudara/mama.
Kerontokan rambut:
- Kepala
- Pubis dan aksila
Superinvolusi uterus
Penurunan produksi hormon untuk:
- Kelenjar tiroid
- Kelenjar korteks adrenal.
Intervensi klinik:
Upaya preventif:
- Menghindari terjadi syok karena
perdarahan berkepanjangan.
- Persalinan yang aman dan legeartis
- Menghindari anemia antepartum
Upaya kuratif:
- Memberikan transfusi darah untuk
mengatasi syok
- Menghindari manifestasi klinik anemia
- Memberikan obat, seperti Fe dan
vitamin.
Kejadian sindrom sheehan:
1:10.000 persalinan (sheehan dan murdoch,
1938).
Kini jarang terjadi.
2.2.5 Diagnosis
Diagnosis biasanya tidak sulit ditegakkan, terutama apabila
timbul perdarahan banyak dalam waktu pendek. Tetapi bila
perdarahan sedikit dalam waktu lama, tanpa disadari penderita
telah kehilangan banyak darah sebelum tampak pucat. Nadi serta
pernafasan menjadi lebih cepat dan tekanan darah menurun. Jika
perdarahan terjadi terus menerus dapat mengakibatkan syok.
(Sarwono, 2011)
2.2.6 Sikap bidan dalam menghadapi atonia uteri
Peranan bidan dalam menghadapi perdarahan postpartum karena
atonia uteri dapat mengambil langkah-langkah sebagai berikut:
1. Meningkatkan upaya preventif:
Meningkatkan penerimaan gerakan kelurga berencana sehingga
memperkecil jumlah grandemultipara dan memperpanjang jarak
hamil.
Melakukan konsultasi atau merujuk kehamilan dengan
overdistensi uterus hidramnion dan kehamilan ganda dugaan
janin besar (makrosomia)
Mengurangi peranan pertolongan persalinan oleh dukun.
2. Bidan dapat segera melakukan rujukan penderita dengan
didahului tindakan ringan:
Memasang infus-memberikan cairan pengganti
Memberikan uterotonika intramuskular, intravena atau dengan
drip.
Melakukan masase uterus sehingga kontraksi otot rahim makin
cepat dan makin kuat.
Penderita sebaiknya diantar. (Manuaba, 1998)
Meningkatkan upaya preventif adalah salah satu sikap bidan
terhadap penanganan atonia uteri dengan cara meningkatkan
penerimaan keluarga berencana sehingga memperkecil jumlah
grandemultipara dan memperpanjang jarak hamil, melakukan
konsultasi atau merujuk kehamilan dengan overdistensi uterus,
hidramnion dan kehamilan ganda dugaan janin besar (makrosomia),
mengurangi peranan pertolongan persalinan oleh dukun.
(Wahyuni,2011)
2.2.7 Penatalaksanaan
Sebab yang dapat ditimbulkan atonia uteri adalah kematian, oleh
karena itu, penatalaksanaan atonia uteri memerlukan tindakan
sesegera mungkin sehingga dapat menurunkan angka kematian ibu.
Meningkatkan kontraksi otot rahim dan penghentian perdarahan
dapat dilakukan dengan jalan antara lain masase fundus uteri,
pemberian uterotonika dengan penyuntikan oksitosin, KBI, KBE,
dan sejenisnya, menghentikan atau menghilangkan sumber
perdarahan dengan ligasi arterial dan melakukan histerektomi.
(Manuaba, 2012) Atonia uteri terjadi jika uterus tidak
berkontraksi dalam 15 detik setelah dilakukan rangsangan taktil
(masase) fundus uteri :
A. Segera lakukan Kompresi Bimanual Internal (KBI)
Kompresi Bimanual Internal adalah metode yang berguna
untuk mengendalikan perdarahan pada atonia uteri:
Langkah-langkah Kompresi Bimanual Internal sbb :
a.Pakai sarung tangan disinfeksi tingkat tinggi
atau steril, dengan lembut masukkan secara
obstetrik (menyatukan kelima hujung jari)
melalui introitus ke dalam vagina ibu.
b.Periksa vagina dan serviks. Jika ada selaput
ketuban atau bekuan darah pada kavum uteri
mungkin hal ini menyebabkan uterus tidak
dapat berkontraksi secara penuh.
c.Kepalkan tangan dalam dan tempatkan pada
forniks anterior, tekan dinding anterior
uterus ke arah tangan luar yang menahan dan
mendorong dinding posterior uterus ke arah
depan sehingga uterus ditekan dari arah depan
dan belakang.
d.Tekan kuat uterus di antara kedua tangan.
Kompresi uterus ini memberikan tekanan
langsung pada pembuluh darah yang terbuka
(bekas implantasi plasenta).
e.Evaluasi keberhasilan
a) Jika uterus berkontraksi dan
perdarahan berkurang, teruskan
melakukan KBI selama dua menit,
kemudian perlahan-lahan keluarkan
tangan dan pantau ibu secara melekat
selama kala IV.
b)Jika uterus berkontraksi tapi
perdarahan masih berlangsung, periksa
ulang perineum, vagina dan serviks
apakah terjadi laserasi. Jika
demikian, segera lakukan penjahitan
untuk menghentikan perdarahan.
c)Jika uterus tidak berkontraksi dalam
waktu 5 menit, ajarkan keluarga untuk
melakukan kompresi bimanual eksternal
(KBE) kemudian lakukan langkah-
langkah penatalaksanaan atonia uteri
selanjutnya. Minta keluarga untuk
mulai menyiapkan rujukan.
f.Berikan 0,2 mg ergometrin IM atau misoprostol
600-1000 mcg per rektal. Jangan berikan
ergometrin kepada ibu dengan hipertensi
karena ergometrin dapat menaikkan tekanan
darah.
g.Gunakan jarum berdiameter besar (ukuran 16
atau 18), pasang infus dan berikan 500 cc
larutan Ringer Laktat yang mengandung 20 unit
oksitosin.
h.Pakai sarung tangan steril atau disinfeksi
tingkat tinggi dan ulangi KBI
i.Jika uterus tidak berkontraksi dalam waktu 1
sampai 2 menit, segera rujuk ibu karena hal
ini bukan atonia uteri sederhana. Ibu
membutuhkan tindakan gawatdarurat di
fasilitas kesehatan rujukan yang mampu
melakukan tindakan operasi dan transfusi
darah.
j.Sambil membawa ibu ke tempat rujukan,
teruskan tindakan KBI dan infus cairan hingga
ibu tiba di tempat rujukan.
a) infus 500 ml pertama dihabiskan
dalam waktu 10 menit.
b)Berikan tambahan 500 ml/jam hingga
tiba di tempat rujukan atau hingga
jumlah cairan yang diinfuskan
mencapai 1,5 L kemudian lanjutkan
dalam jumlah 125 cc/jam.
c)Jika cairan infus tidak cukup,
infuskan 500ml (botol kedua) cairan
infus dengan tetesan sedang dan
ditambah dengan pemberian cairan
secara oral untuk dehidrasi. (Asuhan
Persalinan Normal, 2012)
B.Langkah-langkah Kompresi Bimanual Eksternal (KBE)
sebagai berikut :
a.Letakkan satu tangan pada abdomen didepan uterus,
tepat didepan simfisis pubis.
b.Letakkan tangan yang lain pada dinding abdomen
(dibelakang korpus uteri) usahakan memegang bagian
belakang uterus seluas mungkin.
c.Letakkan gerakan saling merapatkan kedua tangan
untuk melakukan kompresi pembuluh darah di dinding
uterus dengan cara menekan uterus diantara kedua
tangan tersebut, ini akan membantu uterus
berkontraksi dan menekan pembuluh darah uterus.
(APN, 2012)
C.Kompresi Aorta Abdominalis
Langkah-langkah kompresi aorta abdominalis sbb:
a. Raba pulsasi arteri femoralis pada lipat paha.
Kepalkan tangan kiri dan tekankan bagian punggung
jari telunjuk sehingga kelingking pada umbilikus
kearah kolumna vertebralis dengan arah tegak
lurus.
b.Dengan tangan yang lain, raba pulsasi arteri
femoralis untuk mengetahui cukup tidaknya
kompresi Jika pulsasi masih teraba, artinya
tekanan kompresi masih belum cukup.
c.Jika tekanan tangan mencapai aorta abdominalis,
maka pulsasi arteri femoralis akan berkurang atau
terhenti.
d.Jika perdarahan pervaginam berhenti, pertahankan
posisi tersebut dan pemijatan uterus (dengan
bantuan asisten) hingga uterus berkontraksi
dengan baik.
e.Jika perdarahan masih berlanjut: lakukan ligasi
arterina dan utero-ovarika, jika perdarahan terus
banyak, lakukan histerektomi supravaginal.
2.3 KONSEP MASA NIFAS
2.3.1 Defenisi Masa Nifas
Masa nifas (puerperium) adalah masa yang dimulai setelah
plasenta keluar dan berakhir ketika alat-alat kandungan kembali
seperti keadaan semula (sebelum hamil). Masa nifas berlangsung
selama kira-kira 6 minggu. Selama masa pemulihan tersebut
berlangsung, ibu akan mengalami banyak perubahan, baik secara
fisik maupun psikologis sebenarnya sebagian besar bersifat
fisiologis, namun jika tidak dilakukan pendampingan melalui
asuhan kebidanan maka tidak menutup kemungkinan akan terjadi
kejadian patologis. Masa ini merupakan masa yang sangat cukup
penting bagi tenaga kesehatan untuk selalu melakukan pemantuan
karena pelaksanaan yang kurang maksimal dapat menyebabkan ibu
mengalami berbagai masalah, bahkan dapat berlanjut pada
komplikasi masa nifas, seperti sepsis puerperalis. Jika
ditinjau dari penyebab kematian para ibu, infeksi merupakan
penyebab kematian terbanyak nomor 2 setelah perdarahan sehingga
sangat cepat jika para tenaga kesehatan memberikan perhatian
tinggi pada masa ini. Adnya permasalahan pada ibu akan berimbas
juga kepada kesejahteraan bayi yang dilahirkan karena bayi
tersebut tidak akan mendapatkan perawatan maksimal dari ibunya.
Dengan demikian, angka morbiditas dan motralitas bayi pun akan
meningkat (sulistyawati, 2009).
2.3.2 Tahapan Masa nifas
Masa nifas dibagi menjadi tiga tahap yaitu:
1. Puerperium dini
Merupakan masa pemulihan awal dimana ibu diperbolehkan untuk
berdiri dan berjalan-jalan. Ibu yang melahirkan per vagina
tanpa komplikasi dalam 6 jam pertama setelah kala IV
dianjurkan untuk mobilisasi dini
2. Puerperium intermedial
Suatu masa pemulihan dimana organ-organ reproduksi secara
berangsur-angsur akan kembali ke keadaan sebelum hamil. Masa
ini berlangsung selama kurang lebih enam minggu atau 42
hari.
3. Remote puerperium
Waktu yang diperlukan untuk pulih dan sehat kembali dalam
keadaan sempurna terutama bila ibu selama hamil atau waktu
persalinan mengalami komplikasi. Rentang waktu remote
puerperium berbeda untuk setiap ibu, tergantung dari berat
ringanya komplikasi yang dialami selama hamil atau
persalinan.
2.3.3 Tujuan Asuhan Masa Nifas
Asuhan yang diberikan kepada ibu nifas bertujuan untuk :
1. Menjaga kesehatan ibu dan bayinya, baik fisik maupun
psikologis.
2. Melaksanakan skrining secara komprehensif, deteksi
dini, mengobati atau merujuk bila terjadi komplikasi
pada ibu maupun bayi.
3. Memberikan pendidikan kesehatan diri, nutrisi, KB,
cara dan merawat menyusui, pemberian imunisasi serta
perawatan bayi sehari-hari.
4. Memberikan pelayanan keluarga berencana (KB)
5. Mendapatkan kesehatan emosi.
2.3.4 Involusi Alat-Alat Kandungan
1) uterus
uterus secara akan berangsur-angsur menjadi kecil
(involusi) sehingga akhirnya kembali seperti sebelum
hamil.
2) Luka-luka
Luka-luka pada jalan lahir bila tidak disertai infeksi
akan sembuh dalam 6-7 hari.
3) Lochea
Lochea adalah cairan secret yang berasal dari kavum
uteri dan vagina dalam masa nifas.
Lochea rubra : berisi darah segar dan sisa-sisa
selaput ketuban , sel-sel desidua, verniks
kaseosa, lanugo, mekoneum, selama 2 hari pasca
persalinan.
Lochea sanguinolenta : berwarna merah kuning
berisi darah dan lender hari ke 3-7 pasca
persalinan.
Lochea serosa : berwarna kuning, cairan tidak
berdarah lagi, pada hari ke 7-14 pasca
persalinan.
Lochea alba : cairan putih, setelah 2 minggu.
Lochea purulenta : terjadi infeksi, keluar cairan
seperti nanah berbau busuk.
4) Serviks
Setelah persalinan,bentuk serviks agak menganga
seperti corong berwarna merah kehitaman.
Konsistensinya lunak, kadang-kadang terdapat perlukaan
kecil. Setelah bayilahir tangan bias masuk rongga
rahim, setelah 2 jam dapat dilalui oleh 2-3 jari dan
setelah 7 hari hanya dapat dilalui 1 jari.
5) Ligamen-ligamen
Ligament, fasia, dan diafragma pelvis yang meregang
pada waktu persalinan, setelah bayi lahir, secara
berangsur-angsur menjadi ciut dan pulih kembali
sehingga tidak jarang uterus jatuh kebelakang dan
menjadi retrofleksi, karena ligamentum rotundum
menjadi kendor (mochtar,1998).
2.3.5 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Masa Nifas
A.Faktor Masa Lalu
Ibu yang baru pertama kali melahirkan (primipara)
tertentu berbeda persiapan dengan dan mekanisme
kopingnya saat menghadapi persalinan dan masa nifas
dibandingkan dengan ibu yang sudah perna melaahirkan
(multipara). Apabila ibu sudah mengenal manfaat
perawatan diri atau teknik yang akan dilakukan, maka
ibu akan lebih mudah dalam melakukan perawatan diri
pascasalinan.
Contohnya: Jika seorang ibu mengetahui atau perna
melakukan perawatan payudara dan tenik pemberian susu
asi pada bayi, maka akan mempengaruhi perilaku
perawatan diri ibu pascasalin dalam hal melakukan
perawatan payudara dan teknik pemberian asi pada bayi.
Ibu akan lebih muda melakukan kedua hal tersebut.
Sedangkan ibu yang belum mengetahui atau belum punya
pengalaman tentang perawatan payudara dan teknnik
menyusui bayi akan sulit melakukan perawatan tersebut.
Dalam hal ini masa lalu memberikan pengaruh pada
perilaku ibu untuk melakukan perawtan diri pascasalin.
Faktor-faktor yang berpengaruh dalam perawatan diri ibu
pascasalin dari aspek pengalaman masa lalu adalah sifat
persalinan atau kelahiran, tujuan kelahirana, persiapan
persalinan/kelahiran serta peran menjadi orangtua.
B.Faktor Lingkungan Pascasalin
Lingkungan akan terus berubah selama kehidupan masih
berlangsung. Manusia sebagai manusia sebagai makhluk
social selalau berusaha untuk beradaptasi dengan
lingkungannya. Jika memasuki suatu fase kehidupan yang
baru, akan selalu terjadi proses penyesuaian diri
dengan lingkungan. Keadaan ini juga akan mempengaruhi
ibu dalam melakukan perawatan diri pada masa nifas. Ibu
yang melahirkan dirumah sakit akan lebuh terbiasa
dengan sarana dan prasarana yang ada di rumah sakit,
juga tenaga kesehtan yang bertugas di sana. Semua
sarana prasarana dan juga tenaga kesehatan yang berada
dirumah sakit berupaya untuk memuliakan kesehatan ibu
sehingga ibu dapat melewati masa nifas dan menyusui
dengan baik.
Berbeda dengan ibu yang melahirkan di rumah. Mereka
sama sekali asing dengan lingkungan, sarana prasarana
serta tenaga kesehatan yang bertugas di rumah sakit.
Ibu yang melahirkana dirumah akan lebih nyaman berada
dirumah yang sudah sangat dikenalnya dan dikelilingi
oleh orang-orang yang juga memang sudah sangat
dikenalkanya. Selain bidan, orang-orang yang membantu
ibu melahirkan di rumah biasanya masih ada hubungan
kekeluargaan denganibu. Kemampuan ibu dalam melakukan
perawatan diri dan bayi dimasa nifas sangat tergantung
dari pengalaman dan pengetahuan keluarga dalam melewati
masa tersebut.
C.Faktor Internal Ibu
Faktor internal adalah segala sesuatu yang berasal dari
dalam diri sendiri. Kemapuan dalam mejaga kesehatan dan
melakukan perawatan diri pada masa nifas dan menyusui
akan berbeda pada setiap individu. Hal ini dipengaruhi
oleh faktor internal pada diri individu tersebut,
diantaranya :
1)Usia
Usia akan mempengaruhi kemampuan dan kesiapan diri ibu
dalam melawati masa nifas dan menyusui. Ibu yang
berusia 18 akan berbeda dalam melewati masa nifas dan
menyusui dibandingkan dengan ibu yang berusia 40 tahun.
2) Pendidikan
Semakin tinggi pendidikan seseorang maka tuntutannya
terhadap kualitas kesehatan akan semakin tinggi. Selain
itu ibu yang berlatar belakang pendidikan medis atau
paramedis tentu akan berbeda dalam mempersiapkan dan
melakukan perawatan dirinya dimasa nifas dan menyusui
dibandingkan ibu yang berlatar belakang pendidikan non
medis/paramedis.
3).Karakter
Ibu yang kurang sabar dan terburu-buru biasanya kurang
berhasil dalam memberikan ASI eksklusif pada bayinya
dibandingkan dengan ibu yang sedikit lebih sabar dan
telaten.
4. Keadaan kesehatan.
Ibu nifas yang melahirkan secara Sectio Caesarea
disertai komplikasi akan lebih sulit dan membutuhkan
perawatan khusus pada masa nifas dan menyusui
dibandingkan dengan ibu nifas yang melahirkan secara
spontan.
5.Lingkungan
tempat ibu dilahirkan dan dibesarkan. Lingkungan dimana
ibu dilahirkan dan dibesarkan akan mempengaruhi sikap
dan perilaku ibu dalam melakukan perawatan diri dan
bayinya selama masa nifas dan menyusui.
6.Social budaya
Indonesia merupakan Negara kepulauan dan terdiri dari
berbagai suku yang beraneka ragam. Setiap suku
memiliki kebudayaan dan tradisi yang berbeda dalam
menghadapi wanita yang sedang hamil, melahirkan dan
meyusui/nifas.
D.Petugas Kesehatan petugas kesehatan, khususnya bidan
sangat berperan pentingdalam mempengaruhi perilaku
perawatan diri ibu pada masa nifas dan menyusui. Bidaan
merupakan orang yang dalam melakukan tindakannya didasari
pada ilmu pengetauan serta memiliki keterampilan yang
jelas dalam keahliaanya. Asuhan kebidanan yang dapat
diberikan oleh bidan pada ibu post partum misalnya
mengajarkan pasa ibu post partum misalnya mengajarkan pada
ibu postpartum bagaimana cara melakukan perawatan diri.
Awalnya bidan dapat membentu ibu dalam melakukan perawatan
diri postpartum, kemudian mengajurkan ibu untuk
mengulanginya secara rutin dengan bantuan suami atau
keluarga.
selanjutnya ibu akan mampu melakukan perawatan diri post
partum secara mandiri sampai ibu dinyatakan boleh pulang
dari rumah sakit.
Selama masa nifas, bidan dianjurkan untuk melakuakan
pemeriksaan lanjutan pada ibu dan bayinya untuk memastikan
keadaan ibu dan bayi melalui kunjungan rumah minimal
sebanyak 4 kali, yaitu:
1. Kunjungan pertama (6-8 jam setelah persalinan).
Asuhan yang dilakukan bidan pada ibu nifas dan menyusui
dalam waktu 6-8 jam setelah persalinan diantaranya adalah:
a. Mencegah perdarahan masa nifas oleh karena atonia
uteri.
b. Mendeteksi dan perawatan penyebab lain perdaarahan
serta melakukan rujukan bila perdarahan serta melakukan
rujukan bila perdarahan berlanjut.
c. Memberikan konseling pada ibu dan keluarga tentang cara
mencegah perdarahan yang disebabakan atonia uteri.
d. Pemberian ASI awal.
e. Mengajarkan cara mempererat hubungan antara ibu dan
bayi baru lahir.
f. Menjaga bayi tetap sehat melalui pencegahan hiportermi.
g. Menjaga ibu dan bayi dalam 8 jam pertama setelah
kelahiran atau sampai keadaan ibu dan bayi baru lahir
dalam keadaan baik.
2. Kunjungan kedua (6 hari setelah persalianan)
Asuhan yang dilakukan bidan pada kunjungan kedua atau 6
hari setekah persalinan, diantaranya adalah:
a. Memastikan involusi uterus berjalan dengan normal,
uterus berkontraksi dengan baik, tinggi fundus uterei
dibawah umbilicus, tidak ada perdarahan.
b. Menilai adanya tanda-tanda demam, infeksi dan
perdarahan.
c. Memastikan ibu mendapatkan istirahat yang cukup.
d. Memastikan ibu mendapat makanan yang bergizi dan cukup
cairan.
e. Memastikan ibu menyusui dengan baik dan benar serta
tidak ada tanda-tanda kesulitan menyusui.
3. Kunjungan ke empat (setelah 6 minggu persalinan)
a. Menanyakan penyulit-penyulit yang dialami ibu selama
masa nifas.
b. Memberikan konseling KB secara dini.
E.Pendidikan Kesehatan.
pendidikan kesehatan merupakan serangkaian upaya yang
ditujukan umtuk mempengaruhi orang lain, mulai dari
individu, kelompok, keluarga, dan masyarakat agar
terlaksananya perilaku hidup bersih dan sehat. Sama halnya
dengan proses pembelajaran yang bertujuan merubah perilaku
individu, kelompok, keluarga dan masyarakat. Pendidikan
diperoleh ibu nifas dan menyusui dari bidan atau tenaga
kesehatan lainnya tentang kesehatan, dalam hal ini
khususnya tentang perawatan diri pada masa nifas dan
menyusui.
Pendidilkan kesehatan ini akan mempengaruhi pengetahuan
ibu dan keluarga tentang perawatan diri pada masa nifas
dan menyusui yang pada akhirnya akan mempengaruhi perilaku
ibu. Untuk mempermudah pemahaman ibu, dalam memberikan
pendidikan kesehatan bidan dapat menggunakan berbagai
media atau alat peraga. Jika memungkinkan minta ibu dan
keluarga untuk memperhatikannya langsung didepan bidan
setelah diberi informasi atau penjelasan terlebih dahulu
untuk memastikan bahwa ibu benar-benar memahami informasi
yang telah diberikan.( Dewi maritalia, 2012)
2.3.6 Penyulit Dan Komplikasi Masa Nifas
Masa nifas dimulai setelah dua jam lahirnya plasenta atau
setelah proses persalinan dari kala I sampai kala IV selesai.
Berakhirnya proses persalinan bukan berarti ibu terbatas dari
bahaya atau komplikasi. Berbagai komplikasi dapat dialami ibu
pada masa nifas dan bila tidak tertangani dengan baik akan
member kontribusi yang cukup besar terhadap tingginya Angka
Kematian Ibu ( AKI) di Indonesia. Beberapa penyulit dan
komplikasi yang sering dialami ibu selama masa nifas akan di
bahas berikut ini :
1. Infeksi nifas
a) Defenisi
Infeksi nifas adalah peradangan yang terjadi pada
organ reproduksi yang disebabkan oleh masuknya
mikroorganisme atau virus kedalam organ
reproduksi tersebut selama proses persalinan dan
masa nifas. Mikroorganisme penyebab infeksi nifas
dapat berasal dari eksogen atau endogen.
Beberapa mikroorganisme yang sering menyebabkan
infeksi nifas adalah streptococcus, bacilcoli dan
staphylococcus. Ibu yang mengalami infeksi nifas
biasanya ditandai dengan demam( peningkatan suhu
tubuh di atas 38 ºc) yang terjadi selama 2 hari
berturut-turut. Adapun faktor predisposisi
infeksi perdarahan,trauma persalinan,partus
lama,retensio plasenta serta keadaan umum ibu
yang buruk (anemia dan malnutrisi).
b) Patofisiologi terjadinya infeksi nifas sama
dengan patofisologi infeksi yang terjadi pada
system tubuh yang lain. Masuknya mikroorganisme
kedalam organ reproduksi dapat menyebabkan
infeksi hanya pada organ reproduksi tersebut
(infeksi local) atau bahkan dapat menyebar
keorgan lain (infeksi sistemik). Infeksi sitemik
lebih berbahaya dari pada infeksi local, bahkan
dapat menyebabkan kematian bila telah terjadi
sepsis. Macam-macam infeksi nifas diantara nya:
1. Endrometritis
endrometritis adalah peradangan atau infeksi yang
terjadi pada endrometrium . infeksi ini merupakan
infeksi yang paling sering terjadi pada masa
nifas. Mikroorganisme masuk kedalam endrometrium
melalui luka bekas insercio plasenta dan dalam
waktu singkat dapat menyebar keseluruh
endrometrium.
2. Peritonitis
peritonitis adalah peradangan atau infeksi yang
terjadi pada peritoneum (selaput dinding perut).
Pada masa nifas peritonitis terjadi akibat
menyebarnya atau meluasnya infeksi yang terjadi
pada uterus melalui pembuluh limfe. Berbeda
dengan peritonitis umum, peritonitis ini biasanya
hanya terbatas pada daerah pelvis sehingga
gejalah nya tidak seberat pada peritonitis umum.
3. Mastitis
mastitis adalah peradangan atau infeksi yang
terjadi pada payudara atau mammae. Dalam masa
nifas dapat terjadi peradangan atau infeksi pada
mammae, terutama pada primipara. Penyebab infeksi
yang paling sering adalah staphilococus aureus.
Manifestasi klinik atau tanda-tanda ibi yang
mengalami mastitis adalah rasa panas dingin
dengan peningkatan suhu tubuh, lesu dan tidak ada
nafsu makan, mammae membesar dan nyeri local,
kulit merah, mammae membesar dan nyeri local,
kulit merah, membengkak dan nyeri pada perabaan.
Jika tidak segera ditangani dapat menjadi abses.
Berdasarkan tempatnya infeksi dibedakan mejadi :
a. Mastitis yang menyebabkan abses di bawah
areola mammae.
b. Mastitis ditengah-tengah mammae yang
menyebabkan abses ditempat tersebut.
c. Mastitis pada jaringan dibawah dorsal dari
kelenjar-kelenjar yang menyebabkan abses
antara mammae dan otot-otot di bawahnya.
mastitis dapat dicegah dengan perawatan yang
benar pada mammae, terutama pada putting susu
(areola dan papilla mammae).
4.Thrombophlebitis
thrombophlebitis adalah penjalaran infeksi
melalui vena. Hal initerjadi pada masa nifas
karena terbukanya vena-vena selama proses
persalinan sehingga memudahkan masuknya
mikroorganisme pathogen. Trombophlebitis sering
menyebabkan kematian karena mikroorganisme dapat
menyebabkan kematian karena mikroorganisme dapat
dengan mudah dan cepat menjalar keseluruh tubuh
melalui system peredaraan darah dan menyebabkan
infeksi paa organ tertentu. Dua golongan vena
yang memegang peranan dalam menyebabkan
trombophlebitis yaitu :
a. vena-vena dinding rahim ligamentum latum
seperti vena ovarica, vena uterine, dan vena
hipogastrika (thrombophlebitis pelvic). Vena
ovarica merupakan vena yang sering meradang
karena vena ini mengalirkan darah dari luka bekas
plasenta.
b. vena-vena tungkai seperti vena femoralis,
poplitea, dan saphead (Thrombophelbitis
femoralis). Peradangan pada vena ini berasal dari
trombophelebitis vena saphead magna tau
peradangan vena femoralis sendiri. Dapat juga
terjadi karena aliran arah yang agak lambat di
daerah lipat paha akibat vena
tertekanlig.inguinale.
5. Infeksi luka perineum
infeksi luka perineum adalah infeksi yang terjadi
akibat masuknya mikroorganisme kedalam luka
perineum. Luka perineum dapat terjadi karena
episotomi atau rupture/robek pada saat proses
persalinan. Luka perineum yang mengalami infeksi
akan terasa lebih nyeri, mera dan bengkak. Bila
tidak segera ditangani luka tersdebut akan
melebar, terbuka dan mengeluarkan getah bernanah.
( Dewi maritalia, 2012).
2.3.6 Proses adaptasi psikologis ibu dalam masa nifas
A) Masa nifas adalah masa 2 jam setelah lahirnya plasenta
sampai enam minggu berikutnya. Waktu yang tepat dalam rangka
pengecasan postpartum adalah 2-6 jam, 2 jam-6 hari, 2 jam 6
minggu( atau boleh juga di sebut 6 jam, 6 hari 6 minggu).
Berarti enam minggu pertama setelah ibu melahirkan yang
mungkin kelihatannya agak mengejutkan hati dalam sebuah buku
ingormal seperti ini. Meskipun demikian, sesungguhnya sampai
dengan dua puluh atau tiga puluh tahun yang lalu ibu baru
melahirkan didorong untuk menghindari kerja keras dan
berbaring di tempat tidur selama seminggu agar rahimnya tidak
turun. Wanita sekarang beruntung apabila mereka diizinkan
untuk berbaring di tempat tidur hanya sendiri.
B) Pengawasan dan asuhan postpartum masa nifas sangat
diperlukan yang tujuannya adalah sebagai berikut :
a.Menjaga kesehatan ibu dan bayinya, biak fisik maupun
psikologi.
b.Melaksanakan skrining yang komprehensif, mendeteksi
masalah mengobati, atau merujuk bila terjadi komplikasi
pada ibu maupun bayinya.
c.Memberikan pendidikan kesehatan tentang perawatan
kesehatan diri, nutrisi, KB, menyusui, pemberian
imunisasi pada saat bayi sehat.
d.Memberikan pelayanan KB.
e.Gangguan yang sering terjadi pada masa nifas berupa
gangguan psikologis seperti postpartum blues, depresi
postpartum dan postpartum psikologi.
C) Postpartum blues
Merupakan kesedihan atau kemurungan setelah melahirkan,
biasanya hanya muncul sementara waktu yakni sekita dua hari
hingga dua minggu sejak kelahiran bayi yang ditandai gejala-
gejala sebagai berikut :
1.Cemas tanpa sebab.
2.Menangis tanpa sebab.
3.Tidak sabar.
4.Tidak percaya diri.
5.Sensitive mudah tersinggung.
6.Merasa kurang menyayangi bayinya.
Cara mengatasi gangguan psikologis pada nifas dengan
postpartum blues ada dua cara yaitu :
a) Dengan cara pendekatan komunikasi terapeutik.
b) Dengan cara peningkatan support.
c) Komunikasi terapeutik.
d) Tujuan dari komunikasi terapeutik dalah menciptkan
hubungan baik antara bidan dengan pasien dalam
rangka kesembuhannya dengan cara :
1. Mendorongkan pasien mampu meredakan segala
ketegangan emosi.
2. Dapat memahami dirinya.
3. Dapat mendukung tindakan konstruktif.
e) Meningkatkan support mental/ dukungan keluarga
dalam mengatasi gangguan psikologis yanga
berhubungan dengan masa nifas.
Dalam menjalani adaptasi setelah melahirkan, ibu akan
mengalami fase-fase berikut ini :
1. Fase taking ini yaitu periode ketergantungan yang
berlangsung pada hari pertama sampai hari kedua
setelah melahirkan. Pada saat itu fokus perhatian ibu
terutama pada diri sendiri. Pengelaman selama proses
persalinan sering berulang diceritakannya.
Hal ini membuat cenderung ibu menjadi pasif terhadap
lingkungan.
2. Fase taking hold yaitu periode yang berlangsung antara
3-10 hari setelah melahirkan. Pada fase ini ibu merasa
khawatir akan ketidakmampuannya dan rasa tanggung
jawabnya dalam merawat bayi. Pada fase ini ibu
memerlukan dukungan karena saat ini merupakan
kesempatan yang baik untuk menerima berbagai
penyuluhan dalam merawat diri dan bayinya sehingga
timbul percaya diri.
3. Fase letting go merupakan fase menerima tanggung jawab akan
peran barunya yang berlangsung sepuluh hari setelah
melahirkan. Ibu sudah dapat menyesuaikan diri, merawat
diri dan bayinya sudah meningkat.
Ada kalahnya ibu mengalami perasaan sedih yang
berkaitan dengan bayinya keadaan ini disebut baby blues.(
arrwenia jhaquin, 2010)
2.3.7 Kebutuhan dasar ibu pada masa nifas
a. Kebutuhan gizi ibu menyusui
Kualitas dan jumlah makanan yang dikonsumsi akan sangat
memengaruhi produksi ASI. Ibu menyusui harus mendapatkan
tambahan zat makanan sebesar 800 kkal yang digunakan untuk
memproduksi ASI dan aktivitas ibu sendiri. Pemberian ASI
sangat penting karena ASI adalah makanan utama bayi. Dengan
ASI, bayi akan tumbuh sempurna sebagai manusia yang sehat,
bersifat lemah-lembut, dan mempunyai IQ yang tinggi. Hal ini
disebabkan karena ASI mengandung asam dekosa heksanoid ( DNA
).
b. Ambulasi dini ( early ambulation )
Ambulasi dini adalah kebijaksanaan untuk selekas mungkin
membimbing pasien keluar dari tempat tidurnya dan
membimbingnya untuk berjalan.
Ambulasi awal dilakukan dengan melakukan gerakan dan jalan-
jalan ringan sambil bidan melakukan observasi perkembangan
pasien dari jam demi jam sampai hitungan hari.
c. Eliminasi: buang air kecil dan besar
Dalam 6 jam pertama postpartum, pasien sudah harus dapat
buang air kecil. Semakin lama urine tertahan dalam kandung
kemih maka dapat mengakibatkan kesulitan pada organ
perkemihan, misalnya infeksi. Biasanya, pasien menahan air
kencing karena takut akan mersakan sakit pada luka jalan
lahir. Bidan harus dapat meyakinkan pada pasien bahwa
kencing sesegera mungkin setelah melahirkan akan mengurangi
komplikasi post partum. Dalam 24 jam pertama, pasien juga
sudah harus dapat buang air besar karena semakin lama feses
tertahan dalam usus maka akan semakin sulit baginya untuk
buang air besar secara lancer. Fese yang tertahan dalam usus
semakin lama akan mengeras karena cairan yang terkandung
dalam feses akan selalu terserap oleh usus. Bidan harus
dapat meyakinkan pasien untuk tidak buang air besar karena
buang air besar tidak akan menambah parah luka jalan lahir.
Untuk meningkatkan volume feses, anjurkan pasien untuk makan
tinggi srat dan banyak minum air putih.
d. Kebersihan diri
Karena keletihan dan kondisi psikis yang belum stabil,
biasanya ibu post partum masih belum cukup kooperatif untuk
membersihkan dirinya. Bidan harus bijaksana dalam memberikan
motivasi ini tanpa mengurangi keaktifkan ibu untuk melakukan
personal hygiene secara mandiri.
e. Istirahat
Ibu post partum sangat membutuhkan istirahat yang
berkualitas untuk memulihkan kembali keadaan fisiknya.
Keluarga disarankan untuk memberikan kesempatan kepada ibu
untuk beristirahat yang cukup sebagai persiapan untuk energy
menyusui bayinya nanti.
Kurang istirahat pada ibu post patum akan mengakibatkan
beberapa kerugian, misalnya :
1. Mempengaruhi jumlah ASI yang diproduksi.
2. Memperlambat proses involusi uterus dan memperbanyak
perdarahan.
3. Menyebabkan depresi dan ketidaknyamanan untuk merawat
bayi dan dirinya sendiri.
Bidan harus menyampaikan kepada pasien dan keluarga
bahwa untuk kembali melakukan kegiatan-kegiatan rumah
tangga, harus dilakukan secara perlahan-lahan dan
bertahap. Selain itu, pasien juga perlu diingatkan
untuk selalu tidur siang atau beristirahat selagi
bayinya tidur. Kebutuhan istirahat bagi ibu menyusui
minimal 8 jam sehari, yang dapat dipenuhi melalui
istirahat malam dan siang.
f. Seksual
Secara fisik, aman untuk melakukan hubungan seksual begitu
darah merah berhenti dan ibu dapat memasukkan satu atau dua
jarinya kedalam vagina tanpa rasa nyeri. Banyak budaya dan
agama yang melarang untuk melakukan hubungan seksual sampai
massa waktu tertentu, misalnya setelah 40 hari atau 6 minggu
setelah kelahiran. Keputusan bergantungan pada pasangan yang
bersangkutan.
g. Latihan/ senam nifas
Untuk mencapai hasil pemulihan otot yang maksimal, sebaiknya
latihan masa nifas dilakukan seawall mungkin dengan catatan
ibu menjalani persalinan dengan normal dan tidak ada
penyulit post partum.
Sebelum memulai bimbingan cara senam nifas, sebaiknya bidan
mendiskusikan terlebih dahulu dengan pasien mengenai
pentingnya otot perut dan panggul untuk kembali normal.
Dengan kembalinya kekuatan otot perut dan panggul, akan
mengurangi keluhan sakit punggung yang biasanya dialami oleh
ibu nifas. Latihan tertentu beberapa menit setiap hari akan
sangat membantu untuk mengencangkan otot bagian perut.(eni
purwanti 2012)