analisis hukum terhadap penanganan piracy jure gentium dan armed robbery di wilayah laut (kajian...

135
1 ANALISIS HUKUM TERHADAP PENANGANAN PIRACY JURE GENTIUM DAN ARMED ROBBERY DI WILAYAH LAUT (Kajian Terhadap Penanganan Piracy Jure Gentium dan Armed Robbery di Selat Malaka-Singapura dan di Perairan Somalia) Tesis untuk memenuhi sebagian persyaratan mencapai derajat Sarjana S-2 Program Studi Ilmu Hukum Klaster Hukum Internasional Diajukan Oleh: Gerald Alditya Bunga 10/306037/PHK/06341 Kepada MAGISTER ILMU HUKUM PROGRAM PASCA SARJANA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA 2012

Upload: undana

Post on 06-Jan-2023

6 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

ANALISIS HUKUM TERHADAP PENANGANAN PIRACY JURE GENTIUM

DAN ARMED ROBBERY DI WILAYAH LAUT

(Kajian Terhadap Penanganan Piracy Jure Gentium dan Armed Robbery di Selat

Malaka-Singapura dan di Perairan Somalia)

Tesis

untuk memenuhi sebagian persyaratan

mencapai derajat Sarjana S-2

Program Studi Ilmu Hukum

Klaster Hukum Internasional

Diajukan Oleh:

Gerald Alditya Bunga

10/306037/PHK/06341

Kepada

MAGISTER ILMU HUKUM

PROGRAM PASCA SARJANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS GADJAH MADA

YOGYAKARTA

2012

2

3

4

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan yang Maha Esa atas

penyertaan dan perlindungan yang dilimpahkan kepada penulis sehingga penulis

dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “ANALISIS HUKUM TERHADAP

PENANGANAN PIRACY JURE GENTIUM DAN ARMED ROBBERY DI

WILAYAH LAUT (Kajian Terhadap Penanganan Piracy Jure Gentium dan

Armed Robbery di Selat Malaka-Singapura dan di Perairan Somalia).

Terselesaikannya tesis ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak, oleh

karena itu dengan penuh kerendahan dan ketulusan hati penulis haturkan terima kasih

yang sedalam-dalamnya kepada Bapak Prof. Dr. Marsudi Triatmodjo, SH. LL.M

selaku pembimbing yang telah memberikan sumbangan pemikiran-pemikiran yang

positif dan konstruktif dalam penulisan tesis ini, serta segala pengertian, kesabaran

dan bantuan lainnya yang diberikan selama penulisan tesis ini. Terima kasih juga

penulis haturkan kepada:

1. Rektor Universitas Gadjah Mada Yogyakarta yang telah mengizinkan penulis

menimba ilmu di Universitas Gadjah Mada;

2. Dekan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada yang telah memberikan izin

secara akademis sehingga penulis dapat menyelesaikan studi S-2 ini dengan

baik;

5

3. Prof. Dr. Sudjito SH. M.Si selaku Ketua Program Magister Ilmu Hukum

sekaligus dosen penulis yang telah banyak memberikan pencerahan selama

proses perkuliahan di Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum UGM;

4. Segenap dosen Magister Ilmu Hukum khususnya Klaster Hukum

Internasional, Prof. Dr. Agustinus SH M.Si, Prof. Dr. Sumaryo Suryokusumo

SH. LL.M, Prof. Dr. Mohd Burhan Tsani SH, Dr. Sigit Riyanto, SH. LL.M,

Heribertus Jaka Triyana SH. LL.M. MA, Harry Purwanto SH. MH, dan Hj.

Endang Purwaningsih SH. MH, yang telah memberikan begitu banyak

pengetahuan yang bermanfaat bagi penulis. Semoga penulis dapat

memanfaatkan ilmu yang diberikan dengan sebaik-baiknya;

5. Segenap pengelola Magister ilmu hukum yang telah banyak membantu

selama penulis menjalankan studi di Fakultas Hukum UGM;

6. Orang tua penulis, Drs. Markus Bunga, M.Sc. Agr dan Yuliana C. W. Bunga

S.Sos yang telah membesarkan dan mendidik penulis dengan penuh cinta

kasih dan tanggung jawab, serta memberikan kesempatan studi S-2 bagi

penulis;

7. Ari Poluzzi, sub direktorat Perjanjian Internasional, Kementrian Luar Negeri

Indonesia, yang telah banyak membantu penulis selama melakukan penelitian

di Kementrian Luar Negeri Indonesia;

8. Teman-teman Klaster Hukum Internasional yang telah banyak membantu

penulis dan bersama-sama berjerih lelah selama proses studi di Magister Ilmu

Hukum, Tedi Awaludin, Elisabeth Tukan, Haqrah Dewi Safytra, Madiha

6

Chairunisa, Rachma Indriyani, Nadia Isfarin, Yohanis Sirait, Rosiana

Puspitasari, Kukuh Tejo Murti, Ines Situmorang, dan Suci Meinarwani,

terimakasih telah menjadi sahabat yang selalu membantu penulis, tidak hanya

dalam hal studi tapi juga selama penulis tinggal di Yogyakarta;

9. Serta semua teman-teman di Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum UGM

dan keluarga yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu, penulis

menghaturkan limpah terima kasih untuk semua bantuan dan dukungan yang

diberikan kepada penulis.

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu

dengan kerendahan hati penulis memohon masukan dan kritik yang membangun dari

berbagai pihak untuk penyempurnaan tesis ini. Semoga tesis ini bisa bermanfaat dan

memberikan kontribusi pemikiran bagi pengembangan hukum nasional dan hukum

internasional.

Yogyakarta, July 2012

Penulis

7

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ….…………………………………………………. i

HALAMAN PENGESAHAN ………………………………………….…. ii

HALAMAN PERNYATAAN …………………………………………….. iii

KATA PENGANTAR …………………………………………………….. iv

DAFTAR ISI …………………….………………………………………. vii

DAFTAR MATRIX DAN GRAFIK ……….…………....……………………… ix

DAFTAR SINGKATAN …………………………………………….. x

INTISARI …………………………………………………………….………. xii

ABSTRACT ……………………………………………………………………. xiii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ……………………………..………………. 1

B. Rumusan Masalah ……..…………………………………….…………. 8

C. Tujuan Penelitian ………..……………………………………………. 8

D. Keaslian Penelitian ……………..………………………………………. 8

E. Manfaat Penelitian ………………….…………………………………. 12

F. Tinjauan Pustaka …….……………….………………………………. 12

1. Piracy Jure Gentium dalam Hukum Laut Internasional dan

Hukum Nasional ………….…….……………………………. 13

2. Armed Robbery dalam Hukum Laut Internasional dan

Hukum Nasional …………………………….…………………….…. 17

3. Tanggung Jawab Negara Pantai ……………….……………………. 21

4. Kebebasan Laut Lepas ………………….……….…………………. 23

G. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian …………..………………………….………………. 25

2. Bahan Penelitian ....................................................................... 25

3. Alat Penelitian ................................................................................... 28

4. Jalannya Penelitian …................................................................... 28

5. Lokasi Penelitian ................................................................................... 29

6. Analisis Data ................................................................................... 29

8

BAB II PENGATURAN INTERNASIONAL MENGENAI PIRACY JURE

GENTIUM DAN ARMED ROBBERY

A. Pengaturan Piracy Jure Gentium dalam UNCLOS 1982 …..……..………. 30

B. IMO Resolution A.922(22) Code of Practice for the Investigation

of the Crimes of Piracy and Armed Robbery against Ships ……..………. 35

C. Pengaturan Regional Mengenai Armed Robbery

1. Regional Coopertion Agreement on Combating Armed Robbery

against Ships in Asia ………………………………….………….. 44

2. Aturan-Aturan Penanganan Piracy Jure Gentium dan Armed Robbery

di Luar Laut Teritorial dan Perairan Somali ………………...….… 47

3. Aturan-Aturan Aturan Penanganan Armed Robbery

di Selat Malaka-Singapura ……………………………………... 52

D. Pembedaan Pegaturan Piracy Jure Gentium dan Armed Robbery …….... 57

BAB III PENANGANAN PIRACY JURE GENTIUM DAN ARMED ROBBERY DI

PERAIRAN SOMALIA DAN SELAT MALAKA-SINGAPURA

A. Penanganan Piracy Jure Gentium dan Armed Robbery

di Luar Laut Teritorial dan Perairan Somalia …………..…………. 66

1. Kondisi Somalia .……………………………….……………. 66

2. Respon terhadap Piracy Jure Gentium dan Armed Robbery

di Luar Laut Teritorial dan Perairan Somalia .….…………. 69

B. Penanganan Armed Robbery di Selat Malaka-Singapura ……….…..….…. 92

1. Polemik Status Selat Malaka-Singapura

pada Tahun 1970-1971 …….………….……………………………. 92

2. Status Selat Malaka-Singapura dalam UNCLOS 1982 ……...…..….. 97

3. Kerjasama dalam Penanganan Armed Robbery di

Selat Malaka-Singapura ……………………………………………. 101

C. Perbandingan Penanganan Piracy Jure Gentium dan Armed Robbery di Luar

Laut Teritorial dan Perairan Somalia dengan di Selat Malaka-Singapura

…………………………………………………………………………….. 114

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan ………..……………………………………….…. 118

B. Saran …………..…………………………………………….…. 120

DAFTAR PUSTAKA

9

DAFTAR MATRIX DAN DIAGRAM

Halaman

Diagram 1. Piracy Jure Gentium dan Armed Robbery di Seluruh Dunia

Tahun 2007-2011 ………………………………..……….……. 4

Diagram 2. Piracy Jure Gentium dan Armed Robbery di Somalia

Tahun 2006-2011 ………………..…………………………… 70

Gambar 1. Peta Zona Maritim Selat-Malaka-Singapura

(sebagaimana diklaim negara pantai) …………………….…….… 99

Gambar 2. Peta Zona Maritim Selat Malaka-Singapura

(sesuai dengan hukum internasional) ……………………………. 100

Matrix 1. Biaya Tebusan Tahun 2009 dan 2010 ……….…………...……….. 72

Matrix 2. Piracy dan Armed Robbery di Selat Malaka-Singapura

Periode 2003-2011 ….……………….……….………………... 108

10

DAFTAR SINGKATAN

ALKI Alur Laut Kepulauan Indonesia

ANF Aids to Nafigation Fund

CF Co-opertaive Forum

CGPCS Contact Group on Piracy off the Coast of Somalia

CM Cooperative Mechanism

CMPT Combine Mission Patrol Team

DK PBB Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa

EiS Eyes in the Sky

IMB International Maritime Bureau

IMCO Inter-Governmental Maritime Consultative Organization

IMO International Maritime organization

ISC Information Sharing Centre

KUHP Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

MOU Memorandum Of Understanding

MSC Maritime Safety Commitee

MSSP Malaca Strait Sea Patrol

MSSP Malacca Strait Security Patrol

PBB Perserikatan Bangsa-Bangsa

PCC Project Coordination Committee

ReCAAP Regional Coopertion Agreement on Combating Armed Robbery

Against Ships in Asia

TFG Transitional Federal Government

TTEG Tripartite Technical Expert Group

UNDOC United Nation Office On Drugs and Crimes

11

UNDP United Nations Development Programme

UNCLOS United Nation Convention On The Law Of The Sea

ZEE Zona Ekonomi Eksklusif

12

ANALISIS HUKUM TERHADAP PENANGANAN PIRACY JURE GENTIUM

DAN ARMED ROBBERY DI WILAYAH LAUT

(Kajian Terhadap Penanganan Piracy Jure Gentium dan Armed Robbery di Selat

Malaka-Singapura dan di Perairan Somalia)

Gerald Alditya Bunga1, Marsudi Triatmodjo

2

INTISTARI

Penelitian ini diajukan untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini

yakni, pertama, Mengapa perlu penetapan aturan hukum yang jelas mengenai

pembedaan antara piracy jure gentium dan armed robbery. Kedua, Bagaimana

penanganan piracy jure gentium dan armed robbery di Selat Malaka-Singapura dan

di luar laut teritorial serta perairan Somalia.

Penelitian ini merupakan penelitian normatif sehingga metode penelitian yang

digunakan adalah metode penelitian normatif. Penelitian ini mengkaji mengenai

pengaturan piracy jure gentium dan armed robbery. Penelitian ini juga

membandingkan mengenai penanganan piracy jure gentium dan armed robbery di

luar laut teritorial dan perairan Somalia dan Selat Malaka-Singapura.

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa piracy jure gentium dan armed

robbery merupakan dua hal yang berbeda dan harus diatur secara berbeda, akan tetapi

saat ini belum ada suatu aturan internasional yang berlaku secara global yang

mengatur mengenai permasalahan armed robbery. UNCLOS 1982 sebagai hukum

laut internasional yang berlaku secara global hanya mengatur mengenai piracy jure

gentium. Regional Cooperation Agreement on Combating Armed Robbery against

Ships in Asia dan IMO Resolution A.922(22) Code of Practice for the Investigation of

the Crimes of Piracy and Armed Robbery against Ships mengatur mengenai armed

robbery, namun ReCAAP hanya mengikat beberapa negara saja, sedangkan IMO

Resolution A.922(22) Code of Practice for the Investigation of the Crimes of Piracy

and Armed Robbery against Ships hanya berbentuk soft law. Penanganan piracy jure

gentium dan armed robbery di Somalia tidak bisa diterapkan di Selat Malaka-

Singapura, karena Indonesia, Malaysia, dan Singapura mempunyai kapasistas untuk

mengamankan wilayah tersebut, dan di dalam Selat Malaka-Singapura tidak terdapat

laut lepas sehingga penaganan armed robbery di wilayah tersebut tunduk pada

yurisdiksi Indonesia, Malaysia, dan Singapura. Dalam setiap resolusi Dewan

Keamanan PBB mengenai penanganan piracy jure gentium dan armed robbery di

luar laut teritorial dan perairan Somalia juga dinyatakan bahwa apa yang diterapkan

di Somalia hanya diterapkan berkaitan dengan situasi krisis yang terjadi di Somalia

dan tidak menjadi sebuah hukum kebiasaan internasional.

Kata kunci: piracy jure gentium, armed robbery, yurisdiksi universal

1 Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

2 Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

13

THE LEGAL ANALYSIS ON THE HANDLING OF PIRACY JURE

GENTIUM AND ARMED ROBBERY AT SEA

(The Study on the Handling of Piracy Jure Gentium and Armed Robbery in the

Strait of Malacca and Singapore and the Waters of Somalia)

Gerald Alditya Bunga3, Marsudi Triatmodjo

4

ABSTRACT

This research is proposed to answer the problems in this research. Firstly, why

need the clear legal determination on the distinction between piracy jure gentium and

armed robbery. Secondly, how the handling of piracy jure gentium and armed

robbery conducted at sea outside the territorial sea and the waters of Somalia and the

Strait of Malacca and Singapore.

This research is normative research thus the research methods used here is the

normative research method. This research examined the arrangements on piracy jure

gentium and armed robbery. This research also compared the handling of piracy jure

gentium and armed robbery at sea outside the territorial sea and the waters of Somalia

and the Strait of Malacca and Singapore.

The results of this research indicates that piracy jure gentium and armed

robbery are two different issues and should be regulated differently, but currently

there is no international rules that applies globally governing the issue of armed

robbery. UNCLOS 1982 as the international maritime law applicable globally

regulates only the issue of piracy jure gentium. Regional Cooperation Agreement on

Combating Armed Robbery against Ships in Asia and IMO Resolution A.922(22)

Code of Practice for the Investigation of the Crimes of Piracy and Armed Robbery

against Ships regulate the issue of armed robbery, but ReCAAP is binding only

several states and and IMO Resolution A.922(22) Code of Practice for the

Investigation of the Crimes of Piracy and Armed Robbery against Ships is formed in

soft law form. The way to overcome piracy jure gentium and armed robbery in

Somalia can not be applied in the Strait of Malacca and Singapore, as Indonesia,

Malaysia, and Singapore have the capacity to secure the area, and in the Straits of

Malacca and Singapore there is no high seas thus the handling of armed robbery in

that area subject to the jurisdiction of Indonesia, Malaysia, and Singapore. In each of

the UN Security Council resolution on handling the act piracy jure gentium and

armed robbery at sea outside the territorial waters of Somalia also expressed that what

is implemented in Somalia is only applied to related to the crisis in Somalia and not

become a customary international law.

Key word: piracy jure gentium, armed robbery, universal jurisdiction

3 Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

4 Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

14

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Sejak dahulu telah diakui dalam dunia internasional bahwa suatu negara

memiliki kedaulatan dalam batas-batas teritorial yang diakui menjadi miliknya. Oleh

karenanya negara memiliki yurisdiksi atas benda, orang, ataupun kejadian yang

terjadi di dalam wilayahnya tersebut, termasuk di dalamnya yaitu suatu tindak

kejahatan. Namun, terdapat beberapa tindak kejahatan yang berdasarkan hukum

maupun kebiasaan internasional, dapat menjadi kewenangan setiap negara untuk

menindak kejahatan tersebut atau yang lebih dikenal dengan istilah yurisdiksi

universal.

Piracy (pembajakan) merupakan salah satu kejahatan yang kepadanya dapat

dikenakan yurisdiksi universal karena dianggap sebagai musuh bersama seluruh umat

manusia (hosti humani generis) dan merupakan tindak kejahatan tertua yang diakui

secara internasional.5 Tindakan yang dimaksud di sini harus dilihat sebagai

pembajakan yang dilakukan di laut lepas atau di luar dari yurisdiksi suatu negara

sehingga dapat dikenakan yurisdiksi universal terhadapnya.6 Dalam penelitian ini

digunakan istilah piracy jure gentium untuk menyebut tindakan pembajakan yang

5 Malcom N. Shaw, 2001, International Law: Fourth edition, Cambridge University Press, United

Kingdom, hlm.423, lihat juga: Peter Malanczuk, 1997, Akehurst’s Modern Introduction to

International Law, Seventh revised edition, Routledge, New York, hlm.112. 6 William A. Schabas, “International crime” dalam David Armstrong, ed, 2008, Routledge Handbook

of Interntional Law, Taylor & Francis e-Library, United Kingdom, hlm.259.

15

kepadanya dapat dikenakan yurisdiksi universal. Piracy jure gentium merupakan

tindakan pembajakan yang tunduk kepada hukum bangsa-bangsa (the law of nations)

sehingga tindakan ini dapat diadili oleh negara manapun tanpa memandang siapa

yang melakukan dan di mana tindakan tersebut dilakukan. Pengertian ini sesuai

dengan pengertian piracy yang dianut dalam United Nations Convention on The Law

of The Sea 1982 (UNCLOS 1982). Penggunaan istilah piracy jure gentium dalam

penelitian ini dimaksudkan untuk menghindari kekeliruan pemahaman mengenai

pengertian piracy yang mana dalam beberapa hukum nasional suatu negara,

pengertiannya lebih luas dari pengertian yang dianut dalam UNCLOS 1982.

Contohnya, Amerika Serikat dan Inggris mengkategorikan perdagangan budak

sebagai tindakan piracy dalam hukum nasionalnya. Dalam The Act of 15th May 1820

Amerika Serikat menetapkan bahwa setiap warga negaranya dinyatakan bersalah atas

kejahatan piracy ketika terlibat dalam perdagangan budak atau berada di atas kapal

yang keseluruhannya atau sebagiannya dimiliki oleh warga negara Amerika Serikat.7

Perbedaan antara piracy dan piracy jure gentium digambarkan oleh Wheaton

sebagai berikut: "piracy under the law of nations (jure gentium) may be tried and

punished in the courts of justice of any nation, by whomsoever and wheresoever

committed. But piracy created by municipal (domestic, state) statute can only be tried

by that state within whose territorial jurisdiction, and on board of whose vessels, the

7 Henry Wheaton, 1855, Elements of International Law, Little Brown and Company, Boston, hlm.x-xi.

16

offence created was committed”.8 Terdapat tindakan yang dianggap piracy dalam

hukum nasional suatu negara namun tidak masuk dalam pengertian piracy jure

gentium. Tindakan seperti ini tidak tunduk pada yurisdiksi universal namun pada

hukum nasional negara yang bersangkutan.

Pembajakan tidak hanya terjadi di wilayah laut lepas atau wilayah di luar dari

yurisdiksi negara manapun, ada juga tindakan pembajakan yang dilakukan dalam

wilayah laut dari suatu negara, yang mana tindakan ini tidak termasuk dalam definisi

piracy jure gentium. Dalam literatur hukum internasional ataupun pembahasan

mengenai masalah pembajakan di laut, tindakan ini sering diistilahkan sebagai

modern piracy, armed robbery at sea, atau sea robbery. Dalam penulisan ini sendiri

penulis hanya memakai salah satu istilah saja yaitu armed robbery. Armed robbery,

berdasarkan Pasal 1 Regional Coopertaion Agreement on Combating Piracy and

Armed Robbery against Ship in Asia (ReCAAP)9, adalah setiap tindakan kekerasan,

penahanan dan penjarahan yang dilakukan secara ilegal terhadap suatu kapal, yang

mana kejadian tersebut masih berada dalam wilayah yurisdiksi dari suatu negara.

Penanganan tindakan ini sendiri sepenuhnya tunduk kepada yurisdiksi dari negara di

mana tindakan tersebut terjadi. Piracy jure gentium maupun armed robbery telah

menjadi ancaman dan hambatan dalam pelayaran internasional. Dua wilayah laut

8 Henry Wheaton, “Piracy Jure Gentium Definition: Piracy According To The Law of Nations”,

[online] http://www.duhaime.org/LegalDictionary/P/PiracyJureGentium.aspx, (diakses tanggal 18 Mei

2012). 9 Alexander Yonah dan Richardson. B. Tyler, 2009, Terror On High Seas, From Piracy To Strategic

Challenge, volume 1, ABC-CLIO, LLC, Santa Barbara California, hlm.425-433;

17

yang sering menjadi lokasi terjadinya kejahatan ini adalah Selat Malaka-Singapura

dan di luar laut teritorial dan perairan Somalia.

International Maritime Bureau (IMB), dalam laporan tahunan periode 1

Januari sampai 31 Desember 2011, melaporkan bahwa sepanjang lima tahun terakhir

mulai dari tahun 2007 sampai tahun 2011 tercatat peningkatan jumlah kejahatan

piracy jure gentium dan armed robbery yang terjadi di seluruh dunia. Pada tahun

2007 tercatat terjadi 263 kasus, tahun 2008 terjadi 293 kasus, tahun 2009 terjadi 410

kasus, tahun 2010 terjadi 445 kasus, dan tahun 2011 total serangan yang terjadi

berjumlah 439 kasus.10

Dalam laporan One Earth Future tercatat kerugian akibat

bajak laut atas ekonomi global mencapai US$ 7-12 miliar per tahun.11

Sumber: Piracy and Armed Robery Against Ships, Anual Report, Periode of 1

Januari 2011 – 31 Desember 2011 (data diolah)

10

International Maritime Bureau, 2011, “Piracy dan Armed Robery Against Ships”, Anual Report,

Periode of 1 januari 2011 – 31 Desember 2011, hlm.5-6. 11

Anna Bowden, dkk, 2010, “The Economic Cost of Maritime Piracy”, One Earth Future Working

Paper,hlm.2,[online]http://oceansbeyondpiracy.org/sites/default/files/documents_old/The_Economic_

Cost_of_Piracy_Full_Report.pdf (diakses tanggal 21 Januari 2011).

263 293

410 445 439

2007 2008 2009 2010 2011

Diagram 1. Piracy Jure Gentium dan Armed Robbery Yang

Terjadi di Seluruh Dunia Tahun 2007-2011

18

Data jumlah kasus perompakan di Selat Malaka-Singapura menunjukkan

bahwa pada tahun 2003 telah terjadi 150 kasus penyerangan di Selat Malaka-

Singapura,12

tahun 2004 terjadi 98 kasus, tahun 2005 sebanyak 51 kasus,13

dan tahun

2006 turun menjadi 2 kasus.14

Dalam laporan tahunan IMB dilaporkan bahwa pada

tahun 2007 terjadi 10 kasus, tahun 2008 terjadi 8 kasus, tahun 2009 terjadi 11 kasus,

tahun 2010 terjadi 5 kasus, dan tahun 2011 terjadi 12 kasus.15

Meskipun cenderung

mengalami penurunan kasus dari tahun ke tahun namun pengamanan jalur pelayaran

internasional ini harus terus dijaga dan ditingkatkan.

Berbeda dengan di Selat Malaka-Singapura yang mengalami peningkatan

tingkat keamanan, aktivitas pembajakan di luar laut teritorial dan perairan Somalia

semakin meningkat di tahun 2008. Tahun 2004 kasus pembajakan yang terjadi hanya

10 kasus, jumlah ini meningkat pada tahun 2007 menjadi 25 kasus dan tahun 2008

meningkat menjadi 95 kasus,16

bahkan pada tahun 2010 IMB mencatat terjadi 139

kasus di Somalia dan 219 kasus yang dilakukan oleh perompak Somalia.17

Selama

tahun 2011, IMB mencatat telah terjadi 160 kasus di Somalia dan 237 kasus yang

12

Igor Dirgantara, “Keamanan Maritim di Selat Malaka”, [online]

http://oseafas.wordpress.com/2010/03/16/keamanan-maritim-di-selat-malaka/ (diakses tanggal 30 Mei

2011). 13

_________,“Jumlah Perompakan Di Selat Malaka Menurun”, [online]

http://www.tempo.co/read/news/2006/01/05/05571786/Jumlah-Perompakan-di-Selat-Malaka-

Menurun, (diakses tanggal 30 Mei 2011). 14

________, “Angkatan Laut Kewalahan Atasi Perompakan di Selat Malaka”, [online]

http://www.tempo.co/read/news/2006/11/30/05888764/Angkatan-Laut-Kewalahan-Atasi-Perompak-

di-Selat-Malaka, (diakses tanggal 30 Mei 2011). 15

International Maritime Bureau, op.cit, hlm.8. 16

Igor Dirgantara, Op.cit. 17

International Maritime Bureau, op.cit, hlm.8 dan 19.

19

dilakukan perompak Somalia.18

Perairan Samudera Hindia di luar laut teritorial

Somalia dinilai sebagai kawasan maritim yang paling berbahaya di dunia menyusul

maraknya aksi pembajakan oleh kelompok bajak laut. Kondisi ini ironis mengingat

pada tahun tersebut Amerika Serikat, sejumlah negara Eropa dan Asia menempatkan

kapal-kapal perangnya untuk mengamankan kawasan itu.19

Penanganan armed robbery di Selat Malaka-Singapura sepenuhnya tunduk

kepada ketiga negara yang berbatasan dan mempunyai kepentingan langsung di

wilayah tersebut, yaitu Indonesia, Malaysia dan Singapura. Oleh karena itu, sejak

tahun 2005 telah dibentuk Malaca Strait Sea Patrol (MSSP) yang merupakan inisiatif

dari ketiga negara pantai tersebut, yang bertujuan untuk mengamankan Selat Malaka-

Singapura.20

Dalam perkembangannya MSSP tidak hanya beranggotakan ketiga

negara yang berbatasan langsung dengan Selat Malaka-Singapura, tapi juga berisi

negara lain yang berdasarkan izin dari ketiga negara tersebut boleh bergabung dalam

MSSP, namun keterlibatannya hanya sebatas pada pemberian bantuan teknis.

Meskipun langkah-langkah pengamanan Selat Malaka-Singapura telah

dilakukan, namun ada satu hal yang timpang bagi Indonesia dalam hal penanganan

armed robbery, yaitu tidak adanya hukum nasional yang memadai dalam mengatur

18

International Maritime Bureau, op.cit, hlm. 8 dan 20. 19

Middleton Roger, 2008, “Piracy In Somalia, Threatening Global Trade, Feeding Local Wars”,

[online]http://www.chathamhouse.org/sites/default/files/public/Research/Africa/1008piracysomalia.pd

f, (diakses tanggal 30 Juli 2011). 20

Sam Bateman, dkk, 2009, “Good Order At Sea In Southeast Asia”, Rajaratnam School of

International Studies Policy Paper, Nanyang Technological University, hlm.20, lihat juga: David Foo

dalam Laporan Workshop for asean member states on Developing an integrated approach To maritime

security through the Counter-terrorism convention, Criminal and international law: Legal

perspectives, capacity building, hlm.14.

20

mengenai masalah ini. Hingga saat ini Indonesia belum memliki aturan hukum yang

secara spesifik mengatur mengenai hal ini. Pengaturan masalah ini hanya terdapat

dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang mana pengaturannya

tidak cukup seimbang dengan permasalahan armed robbery yang ada saat ini.

Penanganan pembajakan di perairan Somalia berbeda dari penanganan yang

dilakukan di Selat Malaka-Singapura. Transitional Federal Government (TFG) yang

merupakan pemerintahan Somalia yang diakaui secara internasional, telah meminta

bantuan internasional kepada Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK

PBB) untuk membantu menangani pembajakan di lepas pantainya.21

Lebih lanjut

berdasarkan surat tertanggal 1 September 2008, Presiden Somalia menyatakan kepada

Sekretaris Jenderal PBB mengenai kesediaannya untuk bekerja sama dalam

menangani pembajakan dan armed robbery di luar dari laut teritorial dan

perairannya.22

Seperti yang tercermin dalam beberapa Resolusi DK PBB mengenai

situasi yang terjadi di Somalia, kerja sama ini tidak hanya berbentuk bantuan teknis,

tapi juga tindakan langsung terhadap tindakan pembajakan dan armed robbery.

Dengan demikian penerapan yurisdiksi universal dalam kejahatan pembajakan

di laut diterapkan sesuai dengan wilayah dimana kejahatan tersebut dilakukan dan

kapasitas negara tersebut dalam menangani kejahatan tersebut. Melihat akan realitas

ini maka penulis melakukan penelitian mengenai piracy jure gentium dan armed

21

Resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 1846 (2008), United Nations, 2008, “Security Council,

Resolution 1846 (2008) Adopted by the Security Council at its 6026th meeting, on 2 December 2008”,

[online]http://daccessddsny.un.org/doc/UNDOC/GEN/N08/630/29/PDF/N0863029.pdf?OpenElement,

(diakses tanggal 29-3-2012). 22

Resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 1846 (2008).

21

robbery, dengan mengkaji mengenai penanganan masalah tersebut di Selat Malaka-

Singapura dan di luar laut teritorial dan perairan Somalia.

B. RUMUSAN MASALAH

1. Mengapa perlu penetapan aturan hukum yang jelas mengenai pembedaan

antara piracy jure gentium dan armed robbery?

2. Bagaimanakah penanganan piracy jure gentium dan armed robbery di Selat

Malaka-Singapura dan di luar laut teritorial serta perairan Somalia?

C. TUJUAN PENELITIAN

Adapun tujuan dalam penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui dasar perlunya penetapan aturan hukum yang jelas

mengenai pembedaan antara piracy jure gentium dan armed robbery yang

akan sangat berpengaruh terhadap yurisdiksi penanganan kedua hal

tersebut;

2. Untuk mengetahui mengenai bagaimana penanganan piracy jure gentium

dan armed robbery yang selama ini diterapkan di Selat Malaka-Singapura

dan luar laut teritorial serta perairan Somalia.

D. KEASLIAN PENELITIAN

Penulis telah melakukan penelusuran terhadap hasil-hasil penelitian dan

karya-karya ilmiah lainnya namun belum ditemukan permasalahan yang sama dengan

yang penulis angkat dalam penelitian ini. Beberapa karya ilmiah yang ada hanya

memuat sebagian unsur-unsur dari penelitian ini namun berbeda dalam pengkajian

22

masalahnya. Penelitian-penelitian dan karya ilmiah tersebut antara lain sebagai

berikut:

1. Penelitian yang dilakukan oleh Steven Yohanes Pailah, mahasiswa pasca

sarjana Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik,

Universitas Indonesia, yang dimuat dalam tesis berjudul “Pengelolaan

Isu-Isu Keamanan di Selat Malaka Periode 2005-2006”. Permasalahan

dalam tesis ini adalah mengenai isu-isu keamanan yang berkaitan dengan

pengamanan Selat Malaka-Singapura, terutama mengenai

internasionalisasi pengamanan selat ini.

Tesis ini membahas pergeseran isu-isu keamanan, dari safety ke security,

atas pengelolaan keamanan di Selat Malaka. Lembaga IMB menyatakan

Selat Malaka-Singapura rawan pembajakan dan teroris, padahal patroli

terkoordinasi negara pantai telah lama berlangsung di selat tersebut.

Penelitian deskriptif ini menyimpulkan, opini publik dan aktor politik

yang menyatakan ketidakmampuan Indonesia, Malaysia dan Singapura

dalam pengelolaan keamanan di Selat Malaka-Singapura sepenuhnya tidak

benar karena hasil laporan pembajakan dan monitoring IMB hanyalah

rekayasa bagi kepentingan isu-isu sekuritisasi.

2. Tesis yang ditulis oleh Michael G. King Jr, mahasiswa dari Universitas

Master Of Arts In Security Studies (Middle East, South Asia, Sub-Saharan

Africa), Naval Postgraduate School. Tesis ini berjudul Modern Piracy

23

And Regional Security Cooperation In The Maritime Domain: The

Middle East And Southeast Asia.

Tesis ini menguji mengenai perkembangan kerjasama keamanan maritim

di Timur Tengah dan Asia Tenggara. Dalam tesis ini dibandingkan antara

penanganan pembajakan yang dilakukan di Timur Tengah dan Asia

Tenggara. Dari perbandingan tersebut dilihat adanya ketergantungan dari

negara-negara di kawasan Timur Tengah untuk menggunakan dukungan

keamanan dari negara luar dalam mengatasi pembajakan di laut,

sedangkan di Asia Tenggara bertindak sebaliknya.

Dalam kesimpulannya disampaikan bahwa model kerja sama yang

digunakan di Asia Tenggara tidak bisa diterapkan begitu saja di kawasan

Timur Tengah karena ada perbedaan geo-politik yang akan menyulitkan

dalam mewujudkan kerjasama pemberantasan bajak laut di kawasan ini

sehingga negara-negara kawasan ini lebih memlih penggunaan kekuatan

asing dalam memberantas pembajakan di kawasan tersebut daripada

menggunakan kerjasama regional seperti yang digunakan di Asia

Tenggara.

3. Penelitian yang dilakukan oleh International Experts Group on Piracy

Off The Somali Coast, yang berjudul Piracy Off The Somalia Coast.

Penelitian ini dipresentasikan dalam loka karya yang diselenggarakan oleh

Wakil Khusus Sekretaris Jenderal PBB untuk Somalia, Duta Besar,

Ahmedou Ould Abdallah, di Nairobi pada tanggal 10-21 November 2008.

24

Penelitian ini ditujukan untuk melakukan penilaian mengenai pembajakan

di Somalia dilihat dari berbagai macam disiplin ilmu, sesuai dengan

keahlian para ahli yang tergabung dalam penelitian ini.

Dalam laporan penelitian ini direkomendasikan tiga hal untuk dilakukan

yaitu, pertama, mencegah pembajakan melalui tindakan yang berdampak

jangka pendek (Curb piracy through short‐term impact measures). Kedua,

menekan pembajakan melalui tindakan yang berdampak jangka menengah

(Suppress piracy through mid‐term impact measures). Ketiga,

memberantas pembajakan melalui tindakan yang berdampak jangka

panjang (Uproot piracy through long‐term impact measures).

4. Penelitian yang dilakukan oleh Roger Middleton yang berjudul Piracy In

Somalia, Threatening Global Trade, Feeding Local Wars, yang dimuat

dalam jurnal yang diterbitkan oleh Chatam House.

Penelitian ini membahas tentang pembajakan yang dilakukan di Somalia

dan sekitar Somalia, terutama di Teluk Aden, dan melihat bagaimana

dampak yang ditimbulkan oleh pembajakan ini terhadap Somalia sendiri

dan perdagangan internasional, serta kaitannya dengan aksi teroris di

Somalia. Dalam penelitian ini juga dipaparkan apa yang menjadi pilihan

bagi masyarakat internasional untuk dilakukan di Somalia berkaitan

dengan masalah pembajakan.

25

Penelitian ini menyarankan bahwa cara terbaik untuk mengatasi

permasalahan pembajakan di Somalia adalah dengan memperbaiki

permasalahan politik yang ada di sana. Hal ini dapat dilakukan dengan

menghadirkan perdamaian dan kesempatan bagi Somalia. Ini dinilai

sebagai hal paling efektif untuk mengatasi permasalahan pembajakan di

Somalia.

E. MANFAAT PENELITIAN

Adapun manfaat dari penelitian ini, yaitu sebagai berikut:

1. Dalam lingkup akademis, hasil penelitian ini memberikan kontribusi

dalam pengembangan dan pengkajian ilmu hukum, khususnya mengenai

hukum internasional yang berkaitan dengan hukum laut internasional;

2. Secara praktis, hasil penelitian ini dapat memberi masukan untuk

pembentukan aturan internasional yang berlaku global mengenai armed

robbery.

F. TINJAUAN PUSTAKA

Sehubungan dengan permasalahan dalam penelitian ini, maka untuk

menjawab permasalahan tersebut, penulis, dalam tinjauan pustaka ini memuat

mengenai piracy jure gentium dalam hukum laut internasional dan nasional, armed

robbery dalam hukum laut internasional dan nasional, tanggung jawab negara pantai

dalam hukum laut internasional, dan kebebasan laut lepas.

26

1. Piracy Jure Gentium dalam Hukum Laut Internasional dan Hukum

Nasional

a. Piracy Jure Gentium dalam Hukum Laut Internasional

Piracy jure gentium dalam hukum laut internasional diatur dalam UNCLOS

198223

, Pasal 100-107, yang mana merupakan pengulangan dari Pasal 14-21

UNCLOS 1958. Pasal 101 UNCLOS 1982 memuat mengenai definisi piracy yang

dinyatakan sebagai berikut:

1) Any illegal acts of violance or detention, or any act of depredation,

commited for private ends by the crew or passengers of a private ship or

private aircraft, and directed:

a) On the high seas, against another ship or aircraft, or aginst persons

or property on board such ship or aircraft;

b) Against a ship, aircraft, persons, or property in a place outside the

jurisdiction of any state;

c) Any act of voluntary participacion in the opreration of a ship or an

aircraft wiyh knowledge of the facts making it a pirate ship or

aircraft;

2) Any act of inciting or of inteionally facilitating an act described in sub

pargraph 1 or sub paragraph 2 of this article.

Pengertian piracy dalam pasal ini sama dengan piracy jure gentium yang

kepadanya dapat dikenakan yurisdiksi universal. Dengan demikian dari pasal ini

dapat dilihat bahwa agar termasuk dalam definisi piracy jure gentium, maka tindakan

tersebut harus memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

a. Tindakan tersebut dilakukan untuk tujuan pribadi (private ends);

b. Tindakan tersebut dilakukan terhadap kapal lain;

23

Departemen Luar Negeri Direktorat Perjanjian Internasional, Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa

Tentang Hukum Laut.

27

c. Tindakan tersebut dilakukan di wilayah laut lepas atau wilayah lain di

luar dari yurisdiksi suatu negara.

Hal ini perlu diperhatikan karena akan membedakan dari tindakan yang sama

yang dilakukan dengan tujuan dan di lokasi yang berbeda. Disebutkan di atas bahwa

tindakan kekerasan atau penahanan atau pembajakan yang dilakukan harus dilakukan

untuk tujuan pribadi (private ends), dengan demikian maka pembajakan yang

dilakukan untuk tujuan politik tidak termasuk dalam definisi piracy jure gentium.24

Selain itu, jika tindakan kekerasan, penahanan, atau pembajakan dilakukan bukan di

wilayah laut lepas atau wilayah di luar yurisdiksi negara lain, tapi di wilayah di mana

suatu negara masih mempunyai yurisdiksi di dalamnya, maka tindakan ini juga tidak

termasuk dalam definisi piracy jure gentium. Tindakan tersebut termasuk dalam

armed robbery yang mana akan dijelaskan lebih lanjut pada sub pokok bahasan

tersendiri.

Dalam Pasal 101 juga mensyaratkan agar suatu tindakan kekerasan,

penahanan, atau pembajakan masuk ke dalam kategori piracy jure gentium, maka

tindakan tersebut harus dilakukan terhadap kapal lain (against another ship). Hal ini

berarti bahwa pemberontakan awak kapal (mutiny) terhadap kapalnya sendiri tidak

termasuk dalam definisi piracy jure gentium. Kapal yang dikendalikan oleh awak

24

John O’Brian, 2001, International Law, Routldege-Cavendish, New York, hlm.426.

28

kapal yang memberontak (mutineers) hanya bisa ditahan atau ditindak oleh negara

bendara kapal dan tidak oleh pihak lain.25

Hal ini perlu dipahami karena dalam hukum nasional suatu negara,

pembajakan (piracy) bisa didefinisikan berbeda dengan piracy jure gentium.

Misalnya dalam hukum Inggris, yang dimaksudkan sebagai pembajakan adalah

termasuk perdagangan budak di laut lepas, dan tindakan pembajakan yang dilakukan

di laut teritorial.26

Daniel Heller-Roazen mengemukakan bahwa terdapat empat ciri mengenai

permasalahan piracy jure gentium, yaitu:27

a. Pembajakan melibatkan sebuah wilayah yang mana di dalamnya suatu

aturan hukum luar biasa diterapkan;

b. Pembajakan melibatkan individu yang melakukan tindakan kejahatan,

yang mana kejahatan tersebut merupakan kejahatan yang memiliki sifat

“universal” dan seringkali disebut juga ‘enemy of all’;

c. Sebagai akibat dari ciri pertama dan kedua, maka Pembajak tidak dapat

dianggap sebagai common criminals ataupun lawful enemy;

d. Karena tidak termasuk dalam common criminals ataupun lawful enemy,

maka penanganan pembajakan harus dilakukan dengan penangan yang

luar biasa.

25

D. J. Harris, 2004, Cases and Materials On International Law: Sixth Edition, Sweet & maxwel,

London, hlm.459. 26

Ibid. 27

Daniel Heller-Roazen, 2009, The Enemy Of All, Piracy and The Law Of Nations, Zone Books, New

York, hlm.10-11.

29

Cicero dalam Daniel Heller-Roazen mendefinisikan pembajak sebagai: “they

are individuals stringkly all the others: people who, ..... , may not be said to unite in

any lawful community; people who, ..... , may not be define as criminals; people,

finally, who, ...., may not be accorded any of the many rights of enemy” 28

Dengan demikian dapat dilihat bahwa piracy jure gentium dipandang sebagai

sebuah kejahatan luar biasa karena hal tersebut tidak dianggap sebagai tindakan

kriminal yang mana hal ini tunduk pada yurisdiksi negara, dan piracy jure gentium

juga tidak dapat dianggap foreign opponents of war karena tidak termasuk sebagai

‘lawful enemy’ seperti misalnya beligerent.29

b. Piracy Jure Gentium dalam Hukum Nasional

Mochtar Kusumaatmadja mengatakan bahwa salah saltu fungsi dan tugas

penegakan kemanan di laut dan pantai adalah mengenai masalah pembajakan di

laut,30

oleh karena itu, sebagai negara kepulauan yang memiliki letak geografi yang

strategis, Indonesia harus mengatur juga mengenai masalah pembajakan ini dalam

hukum nasional, pengaturan mengenai piracy jure gentium tidak diatur dalam suatu

peraturan perundang-undangan khusus mengenai hal tersebut, tapi dapat ditemui

diatur dalam KUHP. Dalam KUHP, definisi piracy jure gentium dapat dilihat secara

garis besar dari Bab XXIX KUHP yang mengatur mengenai kejahtan pelayaran.

28

Ibid, hlm.16. 29

ibid. 30

Mochtar Kusumaatmadja, 1978, Bunga Rampai Hukum Laut, Cetakan Pertama, Binacipta, Bandung,

hlm.163.

30

Dalam Pasal 438 ayat (1) KUHP31

dapat dilihat bahwa yang dimaksud piracy jure

gentium - dalam KUHP digunakan istilah pembajakan di laut - adalah perbuatan-

perbuatan kekerasan di laut bebas terhadap kapal lain atau terhadap orang dan barang

di atasnya, tanpa mendapat kuasa untuk itu dari sebuah negara yang berperang atau

tanpa masuk angkatan laut suatu negara yang diakui. Dalam Pasal 438 ayat (2)

ditetapkan bahwa suatu perbuatan turut serta membantu kapal yang diketahui

bertujuan untuk melakukan perbuatan pembajakan di laut juga dianggap sebagai

tindakan pembajakan.

2. Armed Robberry dalam Hukum Laut Internasional dan Hukum Nasional

a. Armed Robbery dalam Hukum Laut Internasional

Telah jelas dari Pasal 101 UNCLOS 1982 bahwa setiap tindakan kekerasan,

pembajakan atau penahanan yang dilakukan oleh suatu kapal privat terhadap kapal

lain dan dilakukan di laut lepas, oleh karena itu jelas bahwa jika tindak kekerasan,

penahanan atau pembajakan dilakukan terhadap kapal lain, khususnya di pelabuhan

atau perairan teritorial tidak bisa dipandang sebagai piracy jure gentium. Tindakan-

tindakan tersebut diklasifikasikan sebagai armed robbery.32

Pembedaan antara piracy jure gentium dan armed robbery juga dapat dilihat

dalam organisasi internasional atau perjanjian antara negara-negara di kawasan atau

regional tertentu. Pada bulan April 1984, Maritime Safety Commitee (MSC), salah

satu badan dari IMO, menetapkan bahwa piracy jure gentium dan armed robbery

31

Moeljatno, 2005, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Bumi Aksara, Jakarta. 32

Yonah Alexander dan Tyler B. Richardson, 2009, Terror On High Seas, From Piracy To Strategic

Challenge, volume I, ABC-CLIO,LLC, Santa Barbara, California, hlm.512.

31

merupakan permasalahan yang berbeda. Dalam resolusi-resolusi atau rekomendasi

yang dikeluarkan IMO juga terlihat pembedaan antara piracy jure gentium dan armed

robbery. Misalnya dalam Resolusi A.545(13) yang disahkan Dewan IMO pada bulan

November 1983, IMO mengingatkan pemerintah-pemerintah untuk mengambil

langkah-langkah yang diperlukan untuk mencegah atau memberantas piracy jure

gentium dan armed robbery dari kapal-kapal yang berada di dalam perairan atau yang

ditambah dari perainnya. Sebagaimana dikutip dalam Yonah Alexander dan Tyler B.

Richardson, Resolusi IMO ini setidaknya berbunyi: “urges governments concerned to

take, as a matter of higest priority, all measures necesary to prevent and suppress

acts of piracy and armed robbery from ships in or adjacent to their waters, including

strengthening of security measures”.33

Definisi armed robbery juga dapat dilihat dalam berbagai kesepakatan yang

dihasilkan negara-negara dalam forum regional. Dalam subregional meeting on

piracy and armed robbery against ships in the Western Indian Ocean, Gulf of Aden,

and Read Sea area yang diselenggarakan di Dar es Salaam, Tanzania, dari tanggal

14-18 April 2008, disetujui mengenai definisi armed robbery. Definisi yang

dihasilkan dalam forum ini telah dimodifikasi dengan menambahkan motif tujuan

pribadi (private ends) ke dalam pengertiannya serta mengganti kalimat “di dalam

suatu yurisdiksi negara” menjadi “di dalam perairan pedalaman, perairan kepulauan

33

Ibid.

32

dan perairan teritorial”.34

Secara lengkap definisi yang dihasilkan dalam forum ini

adalah:

armed robbery against ships means any unlawful act of violance or detention

or any act depredation, or threat threof, other an act of piracy, commited for

private ends and directed against a ship or against person or property on

board of such a ship, within a state’s internal waters, archipelagic waters,

and territorial sea.35

Dalam Pasal 1 ayat (2) ReCAAP yang disahkan di Tokyo, Jepang, pada

tanggal 11 November 2004, dan mulai efektif berlaku pada tanggal 4 September

2006, menetapkan pengertian armed robbery sebagai berikut:

1. Any illegal act of violence or detention, or any act of depredation,

commited for private ends directed against ship, or against persons or

property on board such ship, in a place within a Contracting Party’s

jurisdiction over such offenses;

2. Any act of voluntary participation in the operation of a ship with

knwoledge of facts making it a ship for armed robbery against ships;

3. Any act of inciting or of intentionally facilitating an act described in point

1 and 2.

b. Armed Robbery dalam Hukum Nasional

Sebagai negara dengan luas lautan duapertiga dari wilayah darat maka sudah

sewajarnya jika Indonesia memberikan perhatian yang lebih terhadap pengelolaan,

pemanfaatan dan pengamanan wilayah laut. Salah satu langkahnya adalah dengan

membuat peraturan-peraturan yang berkaitan dengan pengamanan wilayah laut

Indonesia dari armed robbery .

Mengenai definisi armed robbery, dalam Pasal 439 ayat (1) KUHP,

dinyatakan sebagai perbuatan kekerasan terhadap kapal lain atau terhadap orang atau

34

James Karaska, 2011, Contemporary Maritime Piracy: International Law, Strategy, and Diplomacy,

Praeger, Santa Barbara, California, hlm.210. 35

Ibid.

33

barang di atasnya, di perairan Indonesia. Dalam KUHP tidak digunakan istilah armed

robbery tapi pembajakan di tepi laut.

Sebagaimana yang diautur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor

6 Tahun 1996 Tentang Perairan Indonesia, wilayah perairan Indonesia meliputi laut

teritorial indonesia, perairan kepulauan, dan perairan pedalaman. Dalam wilayah ini

Indonesia mempunyai kedaulatan atasnya.

Selain pembajakan di tepi laut, KUHP juga mengatur mengenai pembajakan

di pantai dan pembajakan di sungai. Pembajakan di pantai di definisikan dalam Pasal

440 sebagai setiap perbuatan kekerasan terhadap orang atau barang di darat maupun

di air sekitar pantai atau muara sungai, setelah lebih dahulu menyeberangi lautan

seluruhnya atau sebagiannya untuk tujuan tersebut, Sedangkan yang dimaksud

pembajakan di sungai berdasarkan Pasal 441 adalah perbuatan kekerasan oleh

barangsiapa yang memakai kapal di sungai terhadap kapal lain atau terhadap orang

atau barang di atasnya, setelah datang ke tempat dan untuk tujuan tersebut dengan

kapal dari tempat lain.

Kedua tindakan kejahatan ini dapat juga dimaksudkan ke dalam kategori

armed robbery karena terjadi dalam perairan yang masih berada dalam sisi dalam

garis laut teritorial yang mana di dalamnya, berdasarkan UNCLOS 1982, negara

memiliki kedaulatan dan yurisdiksi atasnya.

34

3. Tanggungjawab Negara Pantai

Negara pantai merupakan negara yang memilki zona-zona maritim di mana

kapal-kapal berada.36 Dalam Pasal 2 UNCLOS 1982 ditetapkan bahwa kedaulatan

setiap negara pantai meliputi batas terluarnya yaitu 12 mil laut dari garis pangkal.

Dalam kedaulatannya ini negara pantai juga dibebani tanggung jawab sebagai mana

yang tercantum dalam UNCLOS 1982 seperti: negara pantai bertanggungjawab

dalam hal pemberitahuan bahaya apapun bagi navigasi dalam laut teritorialnya yang

diketahuinya,37

menetapkan skema alur laut dan skema pemisahan lalu lintas laut di

laut teritorialnya,38

serta mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk

mencegah lintas yang tidak damai dalam laut teritorialnya, mencegah terjadinya

pelanggaran dalam bentuk apapun terhadap persyaratan yang ditentukan pada waktu

kapal asing masuk ke perairan pedalaman atau pelabuhan di luar perairan pedalaman,

dan dapat menangguhkan sementara daerah laut teritorialnnya untuk lintas damai

dengan alasan keamanan atau untuk latihan senjata.39

Lebih lanjut, Pasal 34 ayat (1) UNCLOS juga memberikan tanggungjawab

bagi negara pantai yang berbatasan dengan selat yang digunakan untuk pelayaran

internasional. UNCLOS menetapkan bahwa status suatu perairan yang merupakan

selat yang digunakan untuk pelayaran internasional tidak boleh mempengaruhi status

hukum perairan yang merupakan selat yang demikian atau pelaksanaan kedaulatan

36

Moira Mc.Connell dalam Badan Koordinasi Keamanan Laut, 2009, Hukum Laut Zona-Zona

Maritime Sesuai UNCLOS 1982 Dan Konvensi-Konvensi Bidang Maritim, Badan Koordinasi

Keamanan Laut, Jakarta, hlm.32. 37

Pasal 24 ayat (2) UNCLOS 1982. 38

Pasal 22 UNCLOS 1982. 39

Pasal 25 UNCLOS 1982.

35

atau yurisdiksi negara yang berbatasan dengan selat tersebut. Hal ini mencerminkan

bahwa kedaulatan dan yurisdiksi negara tepi selat tetap merupakan pertimbangan

utama berkaitan dengan pengelolaan dan pengamanan selat tersebut. Rezim selat

yang digunakan untuk pelayaran internasional juga tidak mempengaruhi status

perairan dalam selat tersebut, karena dalam selat tersebut bisa saja terdapat perairan

pedalaman, perairan teritorial, zona ekonomi eksklusif (ZEE) ataupun laut lepas.

Negara tepi selat diberikan kewenangan untuk membuat peraturan perundang-

undangan bekaitan dengan hak lintas transit melalui selat tersebut. Secara spesifik

hal-hal yang disebutkan untuk diatur adalah:

a. Keselamatan pelayaran dan pengaturan lalu lintas laut;

b. Pencegahan, pengurangan, dan pengendalian pencemaran dengan

melaksanakan peraturan internasional yang berlaku tentang pembuangan

minyak, limbah berminyak, dan bahan beracun lainnya di selat;

c. Mengenai kapal penangkap ikan, pencegahan penangkapan ikan, termasuk

cara penyimpanan alat penangkapan ikan;

d. Mengenai penaikan ke atas kapal atau penurunan dari atas kapal setiap

komoditi, mata uang atau orang bertentang dengan peraturan perundang-

undangan bea cukai, fiskal, imigrasi atau saniter negara yang berbatasan

dengan selat.40

Selain hal-hal yang secara spesifik disebutkan di atas, UNCLOS juga

memberikan kewenangan kepada negara tepi selat juga dapat membuat peraturan lain

yang dianggap perlu sehubungan dengan lintas transit di selat tersebut. Misalnya

membuat pengaturan mengenai keamanan di wilayah tersebut sehubungan dengan

armed robbery, selain itu negara tepi selat juga dimungkinkan untuk melakukan

40

Pasal 42 ayat (1) UNCLOS 1982.

36

kerjasama dalam pengelolaan selat, baik yang berhubungan dengan isu lingkungan

dan keselamatan pelayaran (safety of navigation)41

ataupun keamanan.42

Mengenai masalah kemanan ini, Hengky Supit dalam Badan Koordinasi

Keamanan Laut43

mengatakan bahwa salah satu kebijakan keamanan laut yang harus

dilakukan Indonesia adalah mengenai masalah pembajakan di laut. Keamanan laut

juga mengandung pengertian bahwa laut bisa dikendalikan dan aman digunakan oleh

pengguna untuk bebas dari ancaman atau gangguan terhadap aktivitas pemanfaatan

laut, yaitu :44

a. Pertama, laut bebas dari ancaman kekerasan secara terorganisasi dengan

kekuatan bersenjata. Ancaman dimaksud dapat berupa, pembajakan

perompakan, sabotase maupun aksi teror bersenjata;

b. Kedua, laut bebas dari ancaman navigasi, yang ditimbulkan oleh kondisi

geografi dan hidrografi serta kurang memadainya sarana bantu navigasi

sehingga membahayakan keselamatan pelayaran;

c. Ketiga, laut bebas dari ancaman terhadap sumber daya laut berupa

pencemaran dan perusakan ekosistem laut serta eksploitasi dan eksplorasi

yang berlebihan;

d. Keempat, laut bebas dari ancaman pelanggaran hukum, baik hukum

nasional maupun internasional seperti illegal fishing, illegal loging, illegal

imigrant, penyelundupan dan lain-lain.

4. Kebebasan Laut Lepas

Pasal 86 UNCLOS 1982 menetapkan bahwa laut lepas merupakan semua

bagian dari laut yang tidak termasuk dalam ZEE, laut teritorial, atau dalam perairan

pedalaman suatu negara, atau dalam perairan kepulauan suatu negara kepulauan.

41

Pasal 43 UNCLOS 1982. 42

Pasal 25 UNCLOS 1982. 43

Badan Koordinasi Keamanan Laut, 2009, Sutdi Kasus Penyelesaian Konflik Kewenangan Di Laut

Dalam Penegakan Hukum, Keselamatan dan Keamanan Serta Perlindungan Laut/Maritim, Badan

Koordinasi Keamanan Laut, Jakarta, hlm.36. 44

Badan Koordinasi Keamanan Laut, 2009, Kebijakan Keselamatan Dan Keamanan Transportasi

Laut. Badan Koordinasi Keamanan Laut, Jakarta, hlm.26-27.

37

Dengan demikian dapat dilihat bahwa wilayah laut lepas ini berada di luar dari

yurisdiksi suatu negara.

Pada wilayah laut lepas berlaku prinsip kebebasan. Kebebasan yang dimaksud

di sini meliputi hal-hal yang secara spesifik diatur dalam Pasal 87 UNCLOS 1982.

Kebebasan ini dapat dinikmati oleh semua negara baik yang berpantai maupun tidak.

Dengan adanya prinsip kebebasan ini maka tidak ada satupun negara yang dapat

mengklaim kedaulatannya di atas wilayah tersebut dan laut lepas juga hanya

digunakan untuk tujuan-tujuan damai.45

Dalam wilayah ini, karena tidak tunduk pada kedaulatan negara manapun,

status hukum sebuah kapal menjadi sangat penting. Di laut lepas suatu kapal,

berdasarkan Pasal 92 UNCLOS 1982, akan tunduk pada wewenang eksklusif negara

bendera. Untuk melihat status hukum dari sebuah kapal di laut lepas maka dibedakan

antara kapal swasta dan kapal publik.

Pembedaan antara kapal swasta dan publik didasarkan atas bentuk

penggunaan dan bukan atas kualitas pemilik kapal tersebut. Kapal publik adalah

kapal-kapal yang digunakan untuk dinas pemerintah dan bukan untuk tujuan swasta,46

sedangkan yang termasuk sebagai kapal publik adalah kapal perang dan kapal

pemerintah yang digunakan untuk tujuan non-militer atau non-komersil. Berdasarkan

Pasal 95 dan 96 UNCLOS 1982, Kapal-kapal ini, di laut lepas, kebal terhadap

yurisdiksi negara lain kecuali negara bendera kapal, sedangkan kapal yang digunakan

45

Boer Mauna, 2008, Hukum Internasional, Pengertian, Peran dan Fungsi Dalam Era Dinamika

Global, Edisi Kedua, Cetakan Kedua, Alumni, Bandung, hlm.314. 46

Ibid, Hlm.320.

38

untuk tujuan komersil dianggap sebagai kapal swasta, sekalipun itu merupakan kapal

pemerintah.47

Terhadap kapal swasta wewenang negara bendera tidak absolut seperti

pada kapal publik tetapi bisa menjadi relatif. Dalam beberapa hal bisa terjadi

wewenang konkurensial antara dua negara terutama bila terjadi tubrukan di laut lepas

atau insiden pelayaran lainnya.

G. METODE PENELITIAN

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yang merupakan penelitian

hukum yang mengkaji hukum tertulis dari berbagai aspek, yaitu aspek teori, sejarah,

filosofi, perbandingan, struktur dan komposisi, lingkup dan materi, konsistensi,

penjelasan umum dan pasal demi pasal, formalitas dan kekuatan mengikat suatu

undang-undang, serta bahasa hukum yang digunakan.48

Dalam penelitian yang

penulis lakukan ini, aspek dalam penelitian hukum normatif yang diterapkan di

dalamnya adalah mengenai aspek teori, perbandingan, lingkup dan materi, kekuatan

mengikat serta bahasa hukum yang digunakan.

2. Bahan Penelitian

Penelitian ini menggunakan data sekunder. Data sekunder sekunder ini terdiri

dari:49

47

Ibid, hlm.322. 48

Abdulkadir Muhammad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung,

hlm.101-102. 49

Ibid, hlm.67.

39

a. Bahan hukum primer (primary law material), sumbernya perundang-

undangan, naskah kontrak, dokumen hukum, dan arsip hukum. Sesuai

dengan penelitian ini maka bahan hukum primer yang digunakan adalah

perjanjian-perjanjian internasional, perundang-undangan, dokumen serta

arsip hukum yang relevan dengan rumusan masalah yang dibahas yang

meliputi:

1) International Maritime Organization Resolution A.922(22) Code Of

Practice For The Investigation Of The Crimes Of Piracy And Armed

Robbery Against Ships;

2) Regional Coopertaion Agreement On Combating Piracy and Armed

Robbery Against Ship In Asia 2004;

3) Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa 1816 Tahun

2008;

4) Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa 1838 Tahun

2008;

5) Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa 1846 Tahun

2008;

6) Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa 1851 Tahun

2008;

7) Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa 1897 Tahun

2009;

40

8) Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa 1918 Tahun

2010;

9) Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa 1950 Tahun

2010;

10) Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa 2015

Tahun 2011;

11) Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa 2020

Tahun 2011.

12) The 2005 Batam Joint Statement Of The 4th

Tripartite Ministerial

meeting Of the Litoral States on The Straits of Malacca and

Singapore;

13) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1946 Tentang

Kitab Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 1976 Nomor 26;

14) United Nation Convention on The Law of The Sea 1958;

15) United Nation Convention on The Law of The Sea 1982;

b. Bahan hukum sekunder (secondary law material) sumbernya adalah

literatur hukum, jurnal penelitian hukum, laporan penelitian hukum,

laporan media cetak atau elektronik. Sesuai dengan penelitian ini maka

bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah

41

literatur hukum, jurnal penelitian hukum, laporan penelitian hukum, dan

laporan media cetak yang relevan dengan perumusan masalah yang ada.

c. Bahan hukum tertier (tertiary law material) yaitu bahan hukum yang

menjelaskan mengenai bahan hukum primer dan sekunder, yang mana

meliputi Kamus Bahasa Inggris Elektronik Alfa Link dan Kamus Besar

Bahasa Indonesia.

3. Alat Penelitian

Untuk pengumpulan data sekunder dalam penelitian normatif dapat dilakukan

melalui tiga cara yaitu, melalui studi pustaka, studi dokumen dan studi arsip.50

Dalam

penelitian ini data sekunder diperoleh melalui studi pustaka. Studi pustaka ini

dilakukan untuk mengkaji sumber hukum primer dan sekunder yang relevan dengan

permasalahan dalam penelitian ini. Sumber hukum primer tersebut meliputi

perjanjian internasional, perundang-undangan, dokumen dan arsip hukum. Sumber

hukum sekunder meliputi literatur-literatur hukum, jurnal hukum, artikel, koran,

majalah, penelitian, dan laporan hukum.51

4. Jalannya Penelitian

Penelitian ini berjalan dalam tiga tahap, yaitu:

a. Tahap persiapan, yaitu tahap dimana peneliti melakukan pencarian dan

pengumpulan data yang relevan dengan permasalahan yang diteliti,

50

Ibid, hlm.81. 51

ibid.

42

penyususnan proposal, konsultasi dengan pembimbing, dan perbaikan

proposal penelitian.

b. Tahap penelitian, yaitu tahap untuk pengumpulan data sekunder yang

berkaitan dengan permasalahan yang ditelti. Data ini dikumpulkan dari

lokasi penelitian yang telah ditentukan, kemudian diolah secara kasar.

c. Tahap penyelesaian, yaitu tahap di mana peneliti mengolah data yang

telah diambil secara baik kedalam sebuah tesis dan berkonsultasi dengan

pembimbing untuk penyempurnaan tesis dan diakhiri dengan ujian tesis.

5. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Gadjah

Mada, Perpustakaan Kementerian Luar Negeri, dan Perpustakaan Online Universitas

Sydney.

6. Analisis Data

Data sekunder yang telah diperoleh diolah melalui proses pemeriksaan

(editing), penandaan (coding), penyusunan (reconstructing), sistematisasi

berdasarkan pokok bahasan dan sub pokok bahasan yang disarikan dari rumusan

masalah (systematizing).

Data tersebut kemudian dianalisis secara kualitatif dan kemudian dilakukan

pembahasan. Berdasarkan pembahasan kemudian diambil kesimpulan sebagai

jawaban terhadap permasalahan yang diteliti.

43

BAB II

PENGATURAN INTERNASIONAL MENGENAI PIRACY JURE GENTIUM

DAN ARMED ROBBERY

Dalam bab ini dibahas mengenai perlunya penetapan aturan hukum yang jelas

mengenai pembedaan piracy jure gentium dan armed robbery. Argumen yang

dibangun didasarkan pada bagaimana hukum laut internasional yang berlaku secara

global saat ini mengatur mengenai masalah piracy jure gentium dan armed robbery.

Kemudian didapati bahwa UNCLOS 1982 ternyata hanya mengatur mengenai piracy

jure gentium tapi tidak ada pasal di dalamnya yang mengatur mengenai armed

robbery. Permasalahan ini ditemui dalam aturan-aturan hukum internasional yang

hanya mengikat negara di kawasan tertentu saja ataupun dokumen-dokumen badan

kelautan internasional seperti International Maritime Organization (IMO).

A. Pengaturan Piracy Jure Gentium dalam UNCLOS 1982

UNCLOS 1982 merupakan aturan internasional yang mengatur mengenai

masalah kelautan yang diratifikasi oleh banyak negara. Hingga saat ini 162 negara

telah meratifikasi UNCLOS 1982.52

Hal ini membuat UNCLOS 1982 mempunyai

pengaruh dalam pengaturan wilayah laut di berbagai wilayah,53

di samping itu

52

United Nations, 2011, “Table recapitulating the status of the Convention and of the related

Agreements”, [online] http://www.un.org/Depts/los/reference_files/status2010.pdf , (diakses tanggal 4

July 2012). 53

Joyce Dela Pena, 2009, “Maritime Crime In The Strait of Malacca: Balancing Regional and Extra-

Regional Concerns”, Stanford Journal of International Relation, X, (2) 1, hlm.5.

44

UNCLOS 1982 juga memuat norma-norma yang bersifat universal sehingga apa yang

diatur di dalamnya dapat dipandang sebagai international customary law.54

Pengaturan mengenai permasalahan piracy jure gentium dalam UNCLOS

1982 dapat ditemui dalam pasal-pasal 100-107, namun dalam aturan ini digunakan

istilah piracy bukan piracy jure gentium, meskipun demikian makna yang terkandung

dalam kedua istilah ini adalah sama. Berdasarkan pengertian piracy dalam pasal 101

dapat dilihat bahwa piracy jure gentium memiliki tiga unsur yakni:

a. Tindakan tersebut dilakukan untuk tujuan pribadi (private ends). Dengan

demikian tindakan tersebut tidak bisa dilakukan berdasarkan izin atau

otorisasi dari suatu pemerintahan;

b. Tindakan tersebut dilakukan terhadap kapal lain. Hal ini berarti

disyaratkan setidaknya terlibat dua kapal dalam tindakan ini.

Pemberontakan awak kapal tidak dianggap sebagai piracy jure gentium;

c. Tindakan tersebut dilakukan di wilayah laut lepas atau wilayah lain di luar

dari yurisdiksi suatu negara.

Dalam piracy jure gentium disyaratkan adanya unsur tujuan pribadi (pirvat

ends), hal ini berarti bahwa tindakan tersebut tidak bisa dilakukan berdasarkan izin

atau otorisasi dari suatu pemerintahan, ataupun pembajakan yang dilakukan untuk

tujuan politik tidak termasuk dalam kategori piracy jure gentium.55

Dari unsur kedua

di atas dapat dilihat bahwa dalam piracy jure gentium harus melibatkan setidaknya

54

James Karaska, op.cit, hlm.127. 55

John O’Brian, op.cit, hlm.426.

45

dua kapal. Oleh karena itu maka pemberontakan awak kapal terhadap kapalnya

sendiri tidak termasuk ke dalam kategori piracy jure gentium. Kapal yang

dikendalikan awak kapal yang memberontak tersebut hanya dapat ditahan oleh negara

bendera kapal.56

Penekanan terhadap unsur ketiga di atas sangat penting untuk

membedakannya dari armed robbery yang mana akan berimplikasi pada penanganan

dari tindakan tersebut. Sebagaimana diatur dalam UNCLOS 1982, piracy jure

gentium dapat dikenakan yurisdiksi universal. Yurisdiksi universal merupakan

yurisdiksi yang dikenakan atas suatu tindak kejahatan yang didasarkan pada sifat

(nature) dari kejahatan tersebut, tanpa memandang di mana kejahatan tersebut

dilakukan, kewarganegaraan pelaku tindak kejatahan, kewarganegaraan korban

kejahatan, atau negara yang menjalankan yurisdiksi tersebut.57

Dengan demikian

setiap negara memiliki kewenangan untuk menangani piracy jure gentium tanpa

memandang kewarganegaraan dari pelaku dan korban tindak kejahatan tersebut,

ataupun wilayah dimana kejahatan tersebut dilakukan. Hal ini tercermin dalam Pasal

100 UNCLOS 1982 yang mana menyatakan bahwa setiap negara harus bekerja sama

dengan sepenuhnya untuk memerang pembajakan yang terjadi di laut lepas atau di

wilayah di luar dari yurisdiksi negara lain. Berdasarkan Pasal 300, Kewajiban untuk

bekerjasama ini harus dilaksanakan dengan itikad baik.

56

D.J. Harris, op.cit, hlm.459. 57

Mihaela AgheniŃei dan Luciana Boboc, 2011, “Universal Jurisdiction And Concurrent Criminal

Jurisdiction”, hlm.1, [online] www.usyd.edu.au (diakses tanggal 4 July 2012), lihat juga: Ma´ximo

Langer, 2011, “The Diplomacy Of Universal Jurisdiction: The Political Branches And The

Transnational Prosecution Of International Crimes”, The American Journal Of Internationla Law, 151

(1), hlm.1.

46

Dalam Pasal 103 diatur mengenai batasan kapal atau pesawat udara pembajak

yang mana meliputi setiap kapal atau pesawat udara yang digunakan oleh orang yang

mengendalikannya untuk melakukan tindakan sebagaimana yang diatur dalam Pasal

101 mengenai definisi piracy. Dalam Pasal 103 juga menekankan bahwa kapal atau

pesawat udara yang telah melakukan tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal

101 akan tetap dianggap sebagai kapal atau pesawat udara pembajak selama masih

berada dalam kekuasaan orang-orang yang bersalah melakukan tindakan itu.

Terhadap kapal atau pesawat udara yang demikian masih terbuka kemungkinan untuk

tetap memiliki kebangsaan sesuai dengan tempat pendaftaran kapal, karena mengenai

kehilangan atau tetap dimilikinya kebangsaan dari suatu kapal atau pesawat udara

yang melakukan pembajakan, berdasarkan Pasal 104, ditetapkan oleh masing-masing

negara melalui peraturan perundang-undanganan nasionalnya. Meskipun demikian,

telah jelas dari ketentuan Pasal 100 dan 101 bahwa kapal atau pesawat udara

pembajak tidak lagi hanya tunduk pada yurisdiksi negara bendera di mana dia

mendaftar dan mendapatkan kebangsaannya, tapi tunduk juga pada yurisdiksi

universal. Dengan demikian pesawat udara atau kapal pembajak dapat dianggap tidak

lagi memiliki kebangsaan, kecuali diatur sebaliknya dalam hukum nasional negara

yang bersangkutan. Akan tetapi pada saat ini tidak ada satupun negara yang masih

memberikan status kebangsaan ketika suatu kapal atau pesawat udara terlibat dalam

kegiatan piracy jure gentium, karena semua negara menganggap pembajak sebagai

musuh bersama semua orang (enemy of mankind/ hosti humani generis).58

58

Ken Cottril dalam ibid, hlm.106.

47

Pasal 102 mengatur mengenai pembajakan yang dilakuakan oleh kapal perang

atau kapal pemerintah. Dalam pasal ini diatur bahwa kapal perang atau kapal

pemerintah dianggap sebagai kapal yang melakukan pembajakan ketika awak

kapalnya memberontak dan melakukan tindakan yang dimaksud dalam Pasal 101.

Ketika kapal perang atau kapal pemerintah melakukan hal tersebut maka kekebalan

yang diberikan kepadanya berdasarkan Pasal 95 dan 96 akan secara otomatis hilang

dan setiap negara dapat melakukan penahanan terhadapnya sebagaimana yang

dilakukan terhadap kapal pembajak lainnya.

Penahanan terhadap kapal yang melakukan tindakan piracy jure gentium,

berdasarkan Pasal 107, hanya dapat dilakukan oleh kapal perang atau kapal

pemerintah yang diberikan wewenang untuk melakukan penahanan. Pasal 105

memberikan wewenang penahanan kapal pembajak kepada setiap negara termasuk

menahan orang dan barang-barang yang ada di atasnya. Orang yang melakukan

tindakan tersebut dapat dihukum berdasarkan hukum nasional negara yang

melakukan penangkapan tersebut. Penahanan yang dimaksud dalam Pasal 105 ini

hanya dapat dilakukan terhadap kapal pembajak yang berada di laut lepas atau di luar

dari yurisdiksi negara lain. Kapal pembajak tidak dapat ditahan di wilayah perairan

teritorial, perairan kepulauan, dan perairan pedalaman tanpa persetujuan negara

pantai, bahkan jika pembajakan itu sebelumya terjadi di laut lepas.59

UNCLOS 1982 memang mengatur mengenai piracy jure gentium, namun

tidak satu pasal yang ada di dalamnya yang mengatur mengenai permasalahan armed

59

Ibid, hlm.132.

48

robbery. Padahal kedua tindakan ini merupakan dua hal yang berbeda dan

mempunyai implikasi hukum yang berbeda.60

Pada bulan April 1984, Maritime Safety

Commitee (MSC), salah satu badan dari IMO, menetapkan bahwa piracy jure

gentium dan armed robbery merupakan permasalahan yang berbeda.61

Pengaturan

mengenai armed robbery sendiri dapat ditemui dalam aturan-aturan internasional

yang mengikat negara-negara di kawasan tertentu saja atau dalam dokumen lembaga-

lembaga kelautan internasional seperti IMO. Untuk lebih jauh, pembahasan mengenai

hal ini dibahas di sub pokok bahasan selanjutnya.

B. IMO Resolution A.922(22) Code of Practice for the Investigation of the

Crimes of Piracy and Armed Robbery against Ships

Pengertian mengenai armed robbery dalam IMO Resolution A.922(22) Code

of Practice for the Investigation of the Crimes of Piracy and Armed Robbery against

Ships dapat dilihat dalam Anex resolusi tersebut, Angka 2.2, yang mana

mendefinisikan armed robbery sebagai: “any unlawful act of violence or detention or

any act of depredation, or threat thereof, other than an act of piracy, directed against

a ship or against persons or property on board such a ship, within a state’s

jurisdiction over such offences.”

Dalam Angka 3.1 dianjurkan agar negara-negara dapat mengambil langkah-

langkah yang dibutuhkan untuk menetapkan yurisdiksinya terhadap kejahatan piracy

jure gentium dan armed robbery, termasuk di dalamnya menyesuaikan peraturan

60

Yvonne M. Dutton, 2010, “Bringing Pirates To Justice: A Case For Including Piracy Within The

Jurisdiction Of The International Criminal Court”, One Earth Future Foundation, hlm.8. 61

Yonah Alexander dan Tyler B. Richardson, loc.cit, hlm.512.

49

perundang-undangannya agar negara tersebut dapat menahan dan menuntut pelaku

kejahatan tersebut. Dengan demikian yurisdiksi suatu negara terhadap kejahatan

tersebut akan lahir ketika kejahatan tersebut telah diatur dalam peraturan perundang-

undangan nasionalnya.

Dalam Angka 3.3, negara-negara juga didorong agar melakukan upaya untuk

membantu pemilik kapal melaporkan kejadian piracy jure gentium dan armed

robbery yang dialaminya. Untuk mencapai tujuan tersebut, negara pantai diminta

untuk melakukan usaha yang keras (endeavor) dan tidak membebani pemilik kapal

dengan biaya-biaya tambahan dalam melaporkan kejahatan yang terjadi.

Melalui Angka 3.4, negara pantai juga didorong untuk melakukan kerjasama secara

bilateral ataupun multilateral dalam melakukan investigasi terhadap kejahatan piracy

jure gentium dan armed robbery. Hal ini berarti negara-negara yang melakukan

perjanjian seperti ini harus bekerjasama dalam penginvestigasian kejahatan yang

terjadi, dan tidak hanya sekedar saling menukar informasi saja. Dalam resolusi ini

juga diatur mengenai keberadaan investigator yang bertugas dalam setiap

pengivestigasian kejahatan piracy jure gentium dan armed robbery, yang mana

berdasarkan Angka 2.3 memberikan pengertian mengenai investigator sebagai: “those

people appointed by the relevant state(s) to intervene in an act of piracy or armed

robbery against a ship, during and/or after the event”. Para investigator ini,

berdasarkan Angka 3.5 akan menerima pelatihan yang mencakup:

1. In any cases where persons on board have been abducted or have been

held hostage, the primary objective of any law enforcement operation or

50

investigation must be their safe release. Their rescue must take

precedence over all other considerations;

2. Arrest of offenders;

3. Securing of evidence, especially if an examination by experts is needed;

4. Dissemination of information which may help prevent other offences;

5. Recovery of property stolen;

6. co-operation with the authority responsible for dealing with any

particular incident.

Investigator, ketika berada di tempat kejadian, berdasarkan Angka 6 akan

bertanggungjawab untuk:

1. Menyelamatkan yang terluka (preservation of life). Mereka harus

memberikan perawatan medis kepada mereka yang terluka;

2. Mencegah pelaku penyerangan melarikan diri (prevention of the escape of

offenders). Mereka harus tetap waspada bahwa para pelaku kejahatan

kemungkinan masih berada di sekitar tempat kejadian;

3. Memberi peringatan kepada kapal-kapal yang lain (warnings to other

ships). Setiap saat ketika dimungkinkan, peringatan harus diberikan

kepada kapal-kapal lain yang berada di sekitar tempat kajadian yang

mungkin rentan untuk diserang;

4. Menjaga tempat kejadian perkara (protection of crime scenes). Hal ini

mencakup:

a. Menjaga material-material forensik di tempat kejadian perkara yang

berpotensi menjadi barang bukti untuk mengidentifikasi pelaku

penyerangan dan melakukan interpretasi terhadap kejadian yang

terjadi;

b. Melakukan tahap awal penegakan hukum dan pelayanan darurat yakni

merespon terhadap resiko terjadinya kontaminasi tempat kejadian

perkara;

c. Mereka harus menjamin bawha otoritas di negara yang memegang

tanggungjawab utama investigasi diinformasikan mengenai detail-

detail kejadian yang terjadi dan diberikan kesempatan untuk

melakukan investigasi terhadap hal tersebut.

5. Mengamankan barang bukti (securing evidence). Langkah ini dilakukan

melalui:

a. Mengajukan pertanyaan-pertanyaan di tempat kejadian perkara yang

mana bisa mengarah pada informasi yang membantu

pengidentifikasian dan penagkapan pelaku penyerangan;

b. Penegak hukum yang pertama kali hadir di tempat kejadian perkara

harus menyadari pentingnya peran mereka mengumpulkan dan

menyampaikan bukti-bukti yang relevan;

51

c. Investigator harus mengingat bahwa penjagaan terhadap barang bukti

selama berlangsungnya investigasi adalah hal yang penting, karena

dapat menjadi buki pada proses penuntutan.

Dalam menjalankan tugasnya ini para investigator, berdasarkan Angka 4.2,

harus memiliki kemampuan dan berpengalaman dalam melakukan investigasi,

mengenal lingkungan perkapalan, memiliki pengetahuan mengenai kelautan dan

memiliki akses kepada orang yang memiliki pengetahuan mengenai prosedur

kelautan. Dengan demikian dapat dilihat bahwa kemampuan investigasi dan

pengetahuan mengenai kelautan merupakan hal yang sangat esensial bagi seorang

investigator dalam melakukan investigasi kejahatan piracy jure gentium dan armed

robbery.

Dalam Angka 5 digambarkan bagaimana kerjasama atau hubungan antar

badan atau negara yang mungkin terlibat dalam piracy jure gentium dan armed

robbery. Dalam Angka 5.4 ditekankan perlunya untuk mengidentifikasi orang atau

badan yang bertugas dalam melakukan investigasi. Hal ini diperlukan untuk

mencegah kebingungan atau penundaan dalam proses penginvestigasian yang bisa

berakibat pada hilangnya alat bukti atau membahayakan tawanan. Berdasarkan

Angka 5.5 juga diatur bahwa pengakuan juga harus diberikan terhadap kepentingan

nasional dari negara lain yang mungkin terlibat dalam setiap kasus yang terjadi,

misalnya saja: negara bendera kapal; negara yang memiliki perairan teritorial tempat

kejahatan terjadi; negara asal pelaku kejahatan; negara orang-orang yang berada di

atas kapal; negara pemilik kargo; dan negara tempat di mana kejahatan dilakukan.

Angka 5.5 juga menekankan bahwa dalam hal piracy jure gentium dan armed

52

robbery terjadi di luar dari perairan territorial, maka yang memegang tanggungjawab

adalah negara bendera kapal, dan dalam kasus armed robbery yang memegang

tanggung jawab adalah negara yang memiliki perairan teritorial tempat kejahatan

tersebut terjadi, namun harus diakui juga bahwa negara lain mempunyai kepentingan

hukum dalam setiap kejadian yang terjadi, oleh karena itu kerjasama di antara mereka

merupakan hal yang vital untuk menyukseskan investigasi. Selain negara-negara yang

mungkin terlibat di dalam proses penginvestigasian kejahatan piracy jure gentium

dan armed robbery, Angka 5.6 juga membuka kesempatan bagi keterlibatan badan

internasional lainnya seperti Interpol dan IMB dalam hal ada kemungkinan terjadinya

kejahatan transnasional yang teroganisir.

Dari penjelasan mengenai IMO Resolution A.922(22) Code of Practice for the

Investigation of the Crimes of Piracy and Armed Robbery against Ships di atas,

terdapat tiga hal penting yang perlu dicermati, yaitu:

1. Munculnya “wilayah abu-abu” dalam penanganan armed robbery

Resolusi ini menghasilkan wilayah abu-abu di mana terdapat suatu

kejadian yang akan sulit digolongkan ke dalam piracy jure gentium atau

armed robbery. Dalam resolusi ini yang disebut sebagai armed robbery

adalah tindakan kekerasan, penahanan atau pembajakan, selain tindakan

piracy jure gentium, yang terjadi dalam yurisdiksi suatu negara. Lebih lanjut,

dalam Angka 5.5 ditetapkan bahwa untuk piracy jure gentium atau armed

robbery yang terjadi di luar perairan teritorial, proses penginvestigasian akan

berada dalam tanggungjawab negara bendera kapal, sedangkan untuk armed

53

robbery, yang memegang tanggungjawab dalam penginvestigasian adalah

negara pemilik perairan teritorial tempat terjadinya kejahatan tersebut.

Dengan demikian maka dapat dipahami bahwa kalimat “dalam yurisdiksi

suatu negara (within state’s jurisdiction)” yang tercantum dalam pengertian

armed robbery pada Angka 2.2 resolusi ini merujuk pada wilayah yang tidak

lebih dari perairan teritorial suatu negara. Dengan kata lain resolusi ini

membatasi bahwa armed robbery adalah tindakan yang dilakukan dalam

wilayah sampai batas perairan teritorial saja. Jika dihubungkan dengan

UNCLOS 1982 yang menetapkan bahwa piracy jure gentium terjadi di

wilayah laut lepas atau di wilayah di luar dari yurisdiksi suatu negara, maka

akan terlihat akan timbul suatu wilayah yang di mana di dalamnya suatu

tindakan kekerasan, penahanan, atau pembajakan kepada kapal lain tidak

termasuk ke dalam pengertian piracy jure gentium maupun armed robbery.

Wilayah abu-abu yang dimaksud di sini adalah wilayah ZEE dan zona

tambahan yang mana di dalamnya negara hanya mempunyai hak berdaulat

untuk tujuan eksplorasi, konservasi, dan mengelola sumber daya hayati dan

non-hayati yang ada di sana. Negara pantai juga mempunyai yurisdiksi dalam

hal pendirian pulau-pulau buatan, instalasi dan bangunan, riset ilmiah

kelautan, dan perlilungan serta pelestarian lingkungan laut.

UNCLOS 1982 menyebut dengan jelas bahwa locus delicti dari piracy

jure gentium adalah laut lepas dan wilayah di luar dari yurisdiksi negara lain

(outside the jurisdiction of any state), namun tidak ditetapkan lebih lanjut

54

wilayah laut mana sajakah yang tercakup dalam terminologi wilayah di luar

dari yurisdiksi negara lain (outside the jurisdiction of any state) ini. Hal inilah

yang telah menimbulkan banyak perdebatan apakah tindakan kekerasan,

penahanan, atau pembajakan terhadap kapal lain di ZEE termasuk dalam

armed robbery atau tidak. Jika tidak maka kejahatan tersebut dapat dimasukan

dalam pengertian piracy jure gentium dan tunduk pada yurisdiksi universal.

Hal ini jelas akan sangat merugikan bagi negara pantai yang mana, meskipun

terbatas, masih memiliki yurisdiksi berdasarkan hak berdaulat yang dimilik

dalam wilayah tersebut. Keterlibatan pihak asing dalam penanganan kejahatan

di wilayah tersebut, apabila tunduk pada yurisdiksi universal, akan sangat

mengurangi peran negara pantai, karena penanganannya akan tunduk pada

pengaturan Pasal-pasal 100-107 UNCLOS 1982. Kapal perang negara lain

dapat memasuki ZEE negara pantai untuk menangani kejahatan tersebut yang

mana berpotensi mengancam sumber daya alam dan ekosistem laut di wilayah

tersebut.

2. Kerumitan dalam penentuan yurisdiksi atas kejahatan piracy jure gentium

dan armed robbery yang terjadi di luar perairan teritorial

Dalam Angka 5.5 ditetapkan bahwa: ”….In cases of piracy and armed

robbery against ships outside territorial waters, the flag State of the ship

should take lead responsibility…..”. Kata-kata yang digaris bawahi

menunjukkan adanya pencampuran dua bentuk tindak kejahatan yang berbeda

dalam satu wilayah yang sama. Piracy jure gentium – dalam kalimat tersebut

55

digunakan istilah piracy – memiliki yurisdiksi universal sedangkan armed

robbery tunduk pada yurisdiksi negara tempat kejahatan terjadi. Pembeda

antara kedua tindakan ini adalah piracy jure gentium terjadi di laut lepas atau

di luar yurisdiksi dari negara manapun sedangkan armed robbery terjadi

dalam yurisdiksi suatu negara. Dengan demikian kedua tindakan ini tidak bisa

terjadi dalam suatu locus delicti yang sama. Namun dalam Angka 5.5 kedua

tindakan ini telah ditetapkan masuk dalam satu wilayah yang sama yaitu

wilayah di luar dari perairan teritorial, yang mana jika dilihat berdasarkan

UNCLOS 1982 mencakup zona tambahan dan ZEE. Hal ini akan

menimbulkan kerumitan dalam menentukan yurisdiksi atas kejahatan yang

terjadi. Pencampuran tersebut juga semakin membuat rumit mengenai

klasifikasi kejahatan kekerasan, penahanan, atau pembajakan yang terjadi di

wilayah ZEE dan zona tambahan, apakah termasuk dalam piracy jure gentium

atau armed robbery.

3. Keterlibatan pihak asing dalam proses penginvestigasian.

Resolusi ini menyatakan bahwa negara-negara yang mempunyai

kepentingan dalam kejahatan piracy dan armed robbery yang terjadi dapat

menunjuk investigator untuk menginvestigasi kejahatan yang terjadi, baik itu

pada waktu kejahatan sedang terjadi atau setelahnya, hal ini berarti membuka

keterlibatan bagi investigator dari negara-negara yang mempunyai

kepentingan ataupun negara-negara di luarnya, karena dalam resolusi ini

hanya menekankan pada kemampuan yang harus dimiliki oleh para

56

investigator dalam melakukan investigasi dan tidak mengharuskan bahwa

investigator harus berasal dari negara yang memegang tanggungjawab proses

penginvestigasian atau negara-negara yang mempunyai kepentingan dalam

kejahatan yang terjadi. Resolusi ini juga sebaliknya tidak melarang negara

untuk menugaskan investigator yang berasal dari negara di luar dari para

pihak yang mempunyai kepentingan. Penentuan investigator ini dapat dilihat

dari yurisdiksi negara atas kejahatan tersebut yang terjadi. Dalam hal piracy

jure gentium, resolusi ini menyatakan bahwa yang memegang tanggungjawab

dalam penyelidikan adalah negara bendera kapal, namun seperti yang

dijelaskan diatas bahwa kapal yang melakukan kejahatan piracy jure gentium

kehilangan kebangsaan negara bendera kapal maka tanggungjawab tersebut

dapat dijalankan sesuai Pasal 105 UNCLOS 1982 yang mana diberikan pada

negara bendera kapal yang melakukan penangkapan kepada kapal pembajak

tersebut. Dengan demikian negara bendera kapal yang melakukan

penangkapan dapat menetukan investigator dalam penginvestigasian

kejahatan yang terjadi.

Dalam armed robbery yang memegang tanggungjawab adalah negara

pemilik perairan teritorial tempat kejahatan terjadi, sehingga negara tersebut

juga bisa menetukan investigator dalam kejadian tersebut. Kerumitan akan

muncul ketika kejahatan terjadi di luar dari perairan teritorial. Karena

sebagaimana dijelaskan di atas, di wilayah ZEE dan zana tambahan masih

belum ada definisi yang jelas mengenai tindak kejahatan tersebut.

57

C. Pengaturan Regional Mengenai Armed robbery

1. Regional Coopertion Agreement on Combating Armed Robbery against

Ships in Asia

ReCAAP merupakan kerjasama mengenai pemberantasan armed robbery

yang paling banyak diratifikasi oleh negara-negara di dunia. ReCAAP disahkan di

Tokyo, Jepang, pada tanggal 11 November 2004, dan mulai efektif berlaku pada

tanggal 4 September 2006. Persetujuan perjanjian ini dihadiri 16 negara yakni Jepang,

Cina, Korea Selatan, India, Bangladesh, Sri Lanka dan 10 negara ASEAN. Akan

tetapi dalam penandatanganannya, China, Malaysia dan Indonesia menolak.62

Pada

perkembangan selanjutnya, China menandatangani dan meratifikasinya demikian

juga Malaysia sedangkan hingga kini Indonesia belum menentukan sikap, apakah

menerima usulan ReCAAP tersebut. Isi ReCAAP pada intinya adalah mekanisme

kerjasama dalam usaha memerangi perampokan bersenjata dan tindakan pembajakan

di Asia. Dalam Pasal 2 ReCAAP, armed robbery didefiniskan sebagai: “Any illegal

acts of violance or detention, or any act of depredation, commited for private ends

and directs against aship, or against persons or property on board such ship, in a

place within a Contracting Party’s jurisdiction.” Dengan demikian tindakan tersebut

harus terjadi dalam yurisdiksi negara pantai agar termasuk dalam definisi armed

robbery berdasarkan pasal ini, namun tidak dijelaskan dalam ReCAAP mengenai

sejauh mana wilayah yang masih termasuk dalam yurisdiksi suatu negara pantai.

62

Bateman Sam,dkk, Op.cit, hlm 36.

58

Dalam ReCAAP terdapat tiga pilar utama yakni: information sharing,

capacity building, dan cooperative arrangements. Information sharing dilakukan

melalui Information Sharing Centre (ISC). ISC terdiri dari Governing Council dan

Secretariat. Governing Council terdiri dari perwakilan setiap negara pihak dan

Secretariat dipimpin oleh seorag direktur eksekutif yang dipilih oleh Governing

Council. ISC berdasarkan Pasal 7 memiliki fungsi untuk:

1) Mengatur aliran informasi mengenai piracy jure gentium dan armed

robbery di antara negara-negara pihak;

2) Mengumpulkan, menyusun, dan menganalisa informasi mengenai piracy

jure gentium dan armed robbery yang diberikan negara-negara pihak,

termasuk informasi lain yang relevan yang berkaitan dengan orang atau

transnational organized criminal group yang melakukan kejahatan piracy

jure gentium dan armed robbery;

3) Menyiapkan statistik dan laporan berdasarkan data-data yang telah

diperoleh dan disebarkan kepada negara-negara pihak;

4) Mengingatkan negara-negara pihak akan ancaman piracy jure gentium dan

armed robbery yang mungkin terjadi;

5) Menyalurkan diantara negara-negara pihak permintaan kerjasama

penanganan piracy jure gentium dan armed robbery sesuai dengan Pasal

10 dan informasi yang relevan dengan tindakan-tindakan yang dilakukan

oleh negara yang diminta untuk bekerjasama menangani piracy jure

gentium dan armed robbery sesuai dengan Pasal 11;

6) Menyiapkan statistik dan laporan-laporan yang tidak bersifat rahasia

berdasarkan informasi yang dikumpulkan dan dianalisa untuk disebarkan

kepada komunitas perkapalan dan IMO;

7) Menjalankan fungsi-fungsi yang disetujui oleh governing council untuk

mencegah dan menangani piracy jure gentium dan armed robbery.

Bagian III ReCAPP, menyatakan bahwa kerjasama yang dilakukan melalui

ISC dapat dilakukan dalam 3 bentuk yaitu:

1) Pertukaran informasi diantara sesama negara pihak;

2) Permintaan kerjasama (request for cooperation). Hal ini dapat diminta

oleh negara pihak yang satu kepada negara pihak yang lain untuk

59

menemukan orang, kapal atau pesawat: pembajak (pirates); pelaku

kejahatan armed robbery; korban dan kapal korban kejahatan piracy jure

gentium dan armed robbery; serta kapal atau pesawat udara yang

melakukan piracy jure gentium dan armed robbery, dan kapal atau

pesawat yang dikuasai pembajak atau orang yang melakukan armed

robbery.

3) Kerjasama dari negara pihak yang diminta untuk melakukan kerjasama

(cooperation by the requested contracting party)

Berdasarkan Pasal 14, demi meningkatkan kapasitas dari negara pihak dalam

menangani piracy jure gentium dan armed robbery maka setiap negara pihak harus

betu-betul memberikan batuan kepada negara pihak lain yang meminta bantuan.

Capacity building dapat dilakukan melalui pemberian bantuan teknis seperti program

pendidikan dan pelatihan.

Mengenai cooperative arrangements diatur dalam Pasal 15, yang mana hal ini

dapat dilaksanakan melalui latihan gabungan atau bentuk kerjasama lainnya yang

disetujui oleh negara-negara pihak. Selain ketiga pilar ReCAAP tersebut, dalam Pasal

12 juga mengatur mengenai ekstradisi pelaku piracy jure gentium dan armed robbery

di antara sesama negara pihak yang mempunyai yurisdiksi atas mereka.

Dari pemaparan di atas dapat dilihat bahwa ReCAAP mengedepankan

kerjasama multiregional dalam menangai piracy jure gentium dan armed robbery.

Hal ini tercermin dari keberadaan ISC yang terdiri dari perwakilan semua negara

pihak. Kerjasama yang dibangun juga tidak hanya sebatas pada bantuan teknis, atau

60

patroli terkoordinasi seperti yang dilakukan Indonesia, Malaysia dan Singapura,

namun terdapat juga latihan gabungan yang bisa dilaksanakan diantara sesama negara

pihak. Mekanisme penanganan yang dilakukan secara multiregional inilah yang

menjadi alasan Indonesia untuk tidak terikat dengan ReCAAP. Di antara Negara-

negara pihak juga terdapat perbedaan yang cukup tajam klasifikasi pembajakan dan

perampokan bersenjata yang belum diklarifikasi secara bersama oleh mereka. Di

samping itu, mekanisme ReCAAP berdampak mengurangi keterlibatan dan pengaruh

Indonesia, khususnya di antara anggota negara-negara ASEAN.63

2. Aturan-Aturan Penanganan Piracy Jure Gentium dan Armed Robbery di

Luar Laut Teritorial dan Perairan Somalia

Piracy jure gentium dan armed robbery di luar laut teritorial dan perairan

Somalia muncul setelah negara ini jatuh dalam krisis internal setelah kudeta yang

dilakukan pada tahun 1990. Krisis yang terjadi memicu berbagai macam persoalan

sosial dan menyebabkan meningkatnya kemiskinan akibat kurangnya lapangan

kerja.64

Piracy jure gentium dan armed robbery di wilayah ini semakin meningkat

pada tahun 2008 dan menarik perhatian dunia internasional.65

Bukti dari besarnya

perhatian dunia internasional terhadap hal ini adalah sejak tahun 2008 hingga

sekarang telah dikeluarkan 9 resolusi DK PBB yang berkaitan dengan penanganan

piracy jure gentium dan armed robbery di lepas pantai dan perairan Somalia, yaitu,

63

Steven Yohanes Pailah, 2008, “Pengelolaan Isu-Isu Keamanan di Selat Malaka Periode 2005-

2006”, hlm.40. 64

Kenneth Menkhaus, 2003, “Somalia: A Situation Analysis And Trend Assessment”, Writenet

Independen Analysis, hlm.1-2, http://www.unhcr.org/refworld/pdfid/3f7c235f4.pdf (diakses tanggal 24

Februari 2012). 65

James Karaska, op.cit, hlm.148.

61

Resolusi DK PBB 1816 (2008), Resolusi DK PBB 1838 (2008), Resolusi DK PBB

1846 (2008), Resolusi DK PBB 1851 (2008), Resolusi DK PBB 1897 (2009),

Resolusi DK PBB 1918 (2010), Resolusi DK PBB 1950 (2010), Resolusi DK PBB

2015 (2011), dan Resolusi DK PBB 2020 (2011).

Dalam kesembilan resolusi ini terdapat beberapa hal penting yang dapat

dilihat berkaitan dengan penanganan piracy jure gentium dan armed robbery di luar

laut teritorial dan perairan Somalia, yakni:

a) Otorisasi dari TFG sebagai pemerintahan resmi di Somalia

Dari semua resolusi yang disebutkan di atas dapat dilihat bahwa dasar

otorisasi yang diberikan kepada negara-negara dan organisasi internasional

yang terlibat dalam penanganan piracy jure gentium dan armed robbery di

luar laut teritorial dan perairan Somalia adalah adanya persetujuan

berdasarkan resolusi-resolusi ini adalah persetujuan yang diberikan oleh TFG.

Hal ini terlihat jelas dari berbagai pernyataan yang dimuat dalam resolusi ini,

contohnya dalam Resolusi DK PBB 1816 (2008) disebutkan bahwa: “Taking

further note of the letter from the Permanent Representative of the Somali

Republic to the United Nations to the President of the Security Council dated

27 February 2008, conveying the consent of the TFG to the Security Council

for urgent assistance in securing the territorial and international waters off

the coast of Somalia for the safe conduct of shipping and navigation”. Kata-

kata yang digaris bawahi ini jelas menunjukkan bahwa persetujuan dari TFG

sebagai pemerintahan resmi Somalia saat ini sangat penting dalam pemberian

62

otoritas bagi komunitas internasional untuk membantu TFG dalam

penanganan piracy jure gentium dan armed robbery, yang bahkan dilakukan

sampai ke dalam wilayah perairan teritorial yang merupakan yurisdiksi

Somalia.

Bagian-bagian lain dari resolusi-resolusi yang ada juga menunjukkan hal

yang sama. Dalam setiap pembaharuan periode bagi komunitas internasional

untuk tetap terlibat dalam penanganan piracy jure gentium dan armed robbery

di luar laut teritorial dan perairan Somalia, selalu disebutkan bahwa

sbelumnya telah diberikan persetujuan oleh TFG mengenai hal tersebut,

misalkan dalam Pasal 10 Resolusi DK PBB 1846 (2008) dinyatakan bahwa:

“Decides that for a period of 12 months from the date of this resolution States

and regional organizations cooperating with the TFG in the fight against

piracy and armed robbery at sea off the coast of Somalia, for which advance

notification has been provided by the TFG to the Secretary-General”. Kata-

kata yang digaris bawahi ini menunjukkan bahwa hanya atas otoritas yang

diberikan oleh TFG saja maka penanganan piracy jure gentium dan armed

robbery di luar laut teritorial dan perairan Somalia dapat terus dilaksanakan

dalam periode tertentu sesuai dengan yang ditetapkan dalam resolusi tersebut.

b) Adanya batasan waktu dan tempat berlakunya otoritas yang diberlakukan

dalam penanganan piracy jure gentium dan armed robbery di lepas pantai

dan perairan teritorial Somalia

Dari semua resolusi yang dipaparkan di atas jelas terlihat bahwa tindakan-

tindakan penanganan piracy jure gentium dan armed robbery yang dilakukan

63

di luar laut teritorial dan perairan Somalia berdasarkan resolusi-resolusi

tersebut hanya bisa diterapkan di luar laut teritorial dan perairan Somalia saja.

Hal ini tercermin dari pernyataan-pernyataan dalam resolusi-resolusi tersebut

yang menyatakan bahwa otoritas yang diberikan dalam resolusi-resolusi

tersebut hanya diterapkan berkaitan dengan situasi krisis di Somalia dan tidak

menjadi suatu hukum internasional kebiasaan (customary international law).

Salah satu contohnya adalah pernyataan yang dimuat dalam Pasal 10 Resolusi

DK PBB 1851 (2008), yang mana menyatakan bahwa: “Affirms that the

authorization provided in this resolution apply only with respect to the

situation in Somalia …… and underscores in particular that this resolution

shall not be considered as establishing customary international law”. Hal

yang sama juga terus dinyatakan dalam resolusi-resolusi yang lain.

Selain membatasi bahwa resolusi-resolusi tersebut hanya berlaku

berkaitan dengan situasi krisis yang ada di Somalia dan tidak dimaksudkan

untuk menjadi sebuah hukum internasional kebiasaan (customary

international law), dalam resolusi-resolusi tersebut juga membatasi bahwa

tindakan-tindakan yang diizinkan sesuai dengan resolusi tersebut hanya dapat

diterapkan dalam jangka waktu tertentu saja. Contohnya dalam Resolusi DK

PBB 1897 (2009) dinyatakan bahwa: “Noting the several requests from the

TFG for international assistance to counter piracy off its coast, including the

letters of 2 and 6 November 2009 from the Permanent Representative of

64

Somalia to the United Nations expressing the appreciation of the TFG to the

Security Council for its assistance, expressing the TFG’s willingness to

consider working with other States and regional organizations to combat

piracy and armed robbery at sea off the coast of Somalia, and requesting that

the provisions of resolutions 1846 (2008) and 1851 (2008) be renewed for an

additional twelve months.” Dengan demikian bahwa dalam resolusi ini

membatasi bahwa penanganan piracy jure gentium dan armed robbery yang

dilakukan berdasarkan resolusi ini hanya dibatasi dalam jangka waktu 12

bulan saja.

c) Tidak dijelaskan mengenai definisi armed robbery

Dalam sembilan resolusi DK PBB yang disebutkan di atas selalu

disebutkan istilah armed robbery bersamaan dengan piracy jure gentium

(dalam resolusi-resolusi ini digunakan istilah piracy), namun tidak ada dalam

satu resolusi-pun yang menjelaskan mengenai definisi armed robbery.

Dalam resolusi-resolusi tersebut meneyebutkan mengenai UNCLOS 1982

sebagai kerangka hukum dalam memerangi piracy jure genitum dan armed

robbery, yang mana dari UNCLOS 1982, sebagaiama dijelaskan dalam sub

pokok bahasan sebelumnya, hanya akan ditemui pengaturan mengenai piracy

jure gentium namun tidak mengenai armed robbery. Misalkan dalam Resolusi

DK PBB 1950 (2010) dinyatakan bahwa: “Further reaffirming that

international law, as reflected in the United Nations Convention on the Law

of the Sea of 10 December 1982 (UNCLOS), sets out the legal framework

65

applicable to combating piracy and armed robbery at sea, as well as other

ocean activities”.

3. Aturan-Aturan Penanganan Armed Robbery di Selat Malaka-Singapura

a. The 2005 Batam Joint Statement of the 4th

Tripartite Ministerial meeting of

the Litoral States on The Straits of Malacca and Singapore (The Batam

Joint Statement)

The Batam Joint Statement merupakan pernyataan bersama tiga menteri luar

negeri dari tiga negara pantai yang berbatasan dengan Selat Malaka-Singapura, yakni

Indonesia, Malaysia, dan Singapura, tentang pengelolaan Selat Malaka-Singapura,

yang ditandatangani pada tanggal 2 Agustus 2005. The Batam Joint Statement

ditetapkan dalam pertemuan keempat antara meneteri luar negeri dari tiga negara

yang berbatasan dengan Selat Malaka-Singapura di Batam, Indonesia. Pada saat itu

yang mewakili Indonesia adalah Menteri Luar Negeri H. E. Dr. N. Hassan Wirajuda,

yang mewakili Malaysia adalah Menteri Luar Negeri Hon. Dato’ Seri Syed Hamid

Albar, dan yang mewakili Singapura adalah Menteri Luar Negeri H. E. George Yeo.

Dalam The Batam Joint Statement ditetapkan beberapa hal mengenai

pengelolaan Selat Malaka-Singapura yang dapat dibagi dalam tiga bagian, yakni

mengenai keselamatan pelayaran (safety of navigation), perlindungan lingkungan

(environmental protection), dan masalah keamanan laut (maritime security).

Dinyatakan dalam Angka 3 bahwa untuk menangani persoalan perlindungan

lingkungan di Selat Malaka-Singapura maka setiap tahunnya akan diadakan

pertemuan tiga menteri dari ketiga negara yang berbatasan dengan selat tersebut

untuk membahas permasalahan ini dan juga akan diadakan pertemuan antara

66

Tripartie Technical Experts Groups (TTEG) on Safety of navigation and

Environmental Protection dan Revolving Fund Committee (RFC) untuk membahas

hal-hal teknis mengenai perlindungan lingkungan di selat tersebut.

Dalam Angka 4 ditegaskan mengenai kedaulatan dan hak berdaulat dari

negara pantai yang berbatasan dengan tepi selat atas Selat Malaka-Singapura

sebagaimana yang diatur dalam UNCLOS 1982 sebagai selat yang digunakan untuk

pelayaran internasional. Oleh karena itu, tanggung jawab utama dalam penanganan

permasalahan keselamatan pelayaran, perlindungan lingkungan, dan keamanan di

Selat Malaka-Singapura berada pada tiga negara yang berbatasan dengan selat

tersebut yakni Indonesia, Malaysia, dan Singapura. Dalam Angka 5 memang

mengakui kepentingan negara pengguna selat dan badan-badan internasional lainnya

yang relevan, serta peran yang dapat diterapkan mereka di dalamnya, namun

pelaksanaan semuanya itu harus memperhatikan keberadaan negara pantai yang

berbatasan dengan selat yang memegag tanggung jawab utama dalam pengelolaan

selat tersebut.

Untuk melengkapi kerja dari TTEG on Safety of navigation and

Environmental Protection, maka dalam Angka 12 ditetapkan mengenai pembentukan

TTEG on Maritime Security. Pembentukan badan ini semakin mempertegas

kedudukan ketiga negara tepi selat sebagai pemegang yurisdiksi dan dalam

pengelolaan selat tersebut termasuk dalam hal keselamatan pelayaran, perlindungan

lingkungan, dan keamanan laut di Selat Malaka-Singapura. Penegasan ini penting

mengingat telah ada upaya-upaya penekanan terhadap negara pantai yang berbatasan

67

dengan Selat Malaka-Singapura supaya melibatkan peran dunia internasional dalam

pengamanan selat tersebut. Upaya-upaya ini terus digencarkan oleh Jepang dan

Amerika Serikat ketika tingkat armed robbery meningkat di selat tersebut pada tahun

2000.66

Dalam Angka 13, semakin diperjelas mengenai batasan keterlibatan negara-

negara pengguna selat dan badan-badan internasional yang relevan dalam

pengelolaan Selat Malaka-Singapura. Keterlibatan mereka dibatasi pada bidang yang

berkaitan dengan pembangunan kapasitas, pelatihan dan transfer teknologi, dan

bantuan-bantuan lain yang sesuai dengan UNCLOS 1982. Dari hal ini dapat dilihat

bahwa keterlibatan pihak-pihak selain negara yang berbatasan dengan Selat Malaka-

Singapura dibatasi pada pemberian bantuan-bantuan teknis tidak dilibat secara

langsung dalam pengamanan selat. Karena itulah maka Indonesia selalu menolak

segala upaya keterlibatan pihak asing dalam pengamanan selat tersebut secara

langsung, termasuk menolak upaya Amerika Serikat yang ingin menempatkan

pasukan militernya di Selat Malaka-Singapura untuk membantu mengamankan selat

tersebut dari serangan pembajak. Indonesia lebih memilih untuk melakukan patroli

terkoordinasi dengan Malaysia dan Singapura dalam pengamanan selat tersebut, yang

mana operasi tersebut dinamakan MALSINDO.67

66

Catherine Zara Raymond, 2009. “Piracy And Armed Robbery In The Malacca Strait :A Problem

Solved?”, Naval War College Review, 62, (3) 31, hlm.35. 67

Ian Storey, 2009, “Maritime Security in Southeast Asia: Two Cheers For Regional Cooperation”,

Southeast Asian Affairs, hlm.41.

68

b. The 2007 Co-Operative Mechanism Between the Littoral States and User

States on Safety of Navigation and Environmental Protection in the Straits

of Malacca and Singapore

Dalam Singapore meeting 4-6 September 2007 disepakati bersama antara tiga

negara pantai, Indonesia, Malaysia, dan Singapura, dimuat dalam Singapore

Statement, mengenai pembentukan cooperative mechanism (CM). Lebih lanjut CM

diatur dalam the Co-Operative Mechanism Between the Littoral States and User

States on Safety of Navigation and Environmental Protection in the Straits of

Malacca and Singapore.

Dalam Angka 7 menetapkan bahwa tujuan utama CM adalah mendorong

dialog dan kerjasama yang lebih dekat antara negara pantai yang berbatasan dengan

selat, negara pengguna selat dan stakeholder lainnya. Hal ini dijalankan berdasarkan

prinsip:

1) Pengakuan atas kedaulatan, hak berdaulat, yurisdiksi dan integritas

wilayah negara pantai atas selat tersebut;

2) Sesuai dengan hukum internasional, khususnya Pasal 43 UNCLOS 1982;

3) Dijalankan dalam kerangka TTEG on the Safety of Navigation in the

Straits of Malacca and Singapore dan tanggung jawab utama dalam

penanganan keselamatan pelayaran dan perlindungan lingkungan berada

pada negara pantai yang berbatasan dengan selat;

4) Pengakuan akan adanya kepentingan negara-negara pengguna dan peran

yang dapat dijalankannya berkaitan dengan keberadaan selat tersebut.

Kerjasama antara negara pantai yang berbatasan dengan selat dan negara-

negara pengguna, serta stakeholder lainnya dijalankan atas dasar sukarela.

CM, berdasarkan Angka 8 terdiri dari tiga komponen, yakni:

1) Co-operation Forum sebagai sarana untuk berdialog dan berdiskusi;

2) Project Coordination Committee yang berfungsi sebagai pelaksana proyek

mengenai keselamatan pelayaran dan perlindungan lingkungan, serta

69

mengkoordinasi kerjasama dengan negara-negara pengguna selat yang

menjadi sponsor proyek;

3) Aids to Navigation Fund sebagai penerima bantuan keuangan untuk

pembaharuan dan pemeliharaan navigasi.

CM, berdasarkan Angka 22, merupakan kerjasama yang fleksibel dan

sederhana. Kerjasama ini bisa dibentuk dalam berbagai macam bentuk pengaturan

sepanjang tidak bertentangan dengan kerangka kerja CM yang mana menempatkan

tanggungjawab utama berada pada negara pantai yang berbatasan dengan selat.

Contoh bentuk kerjasama yang dibangun bisa dibentuk dalam forum 3+1, artinya 3

negara pantai yang berbatasan dengan selat ditambah negara pengguna selat atau

stakeholder lainnya. Pada intinya harus selalu melibatkan 3 negara tepi selat. Untuk

itulah setiap kerjasama mengenai keselamatan pelayaran dan perlindungan

lingkungan dilaksanakan melalui TTEG on Safety of navigation and Environmental

Protection, sedangkan mengenai kerjasama bantuan teknis dalam masalah keamanan

di Selat Malaka-Singapura dapat dilakukan secara bilateral.68

Dengan demikian dapat dilihat bahwa dalam kerjasama yang dibangun antara

negara pantai yang berbatasan dengan selat dan pihak-pihak lain diluar negara tepi

selat didasarkan pada pengakuan akan kedaulatan, hak berdaulat, dan yurisdiksi

negara pantai atas selat Malaka-Singapura, serta tanggungjawab utama berada pada

68

Kementrian Luar Negeri Indonesia, 2006, “Masyarakat Internasional Mengakui Keberhasilan

Negara Pantai Dalam Mengamankan Selat Malaka”, [online]

http://www.deplu.go.id/_layouts/mobile/PortalDetail-NewsLike.aspx?l=..&ItemID=8e294d9d-590f-

4a6f-8328-4118f8f76cd1, (diakses tanggal 11 Juni 2012).

70

negara pantai yang berbatasan dengan selat tersebut. Keterlibatan pihak-pihak lain

juga dibatasi pada hal-hal tertentu saja yang kebanyakan bersifat bantuan teknis,

terutama dalam kaitannya dengan masalah keamanan laut di selat tersebut.

Penanganan keamanan maritim, termasuk di dalamnya penanganan permasalahan

armed robbery, lebih dititik beratkan pada peran Indonesia, Malaysia, dan Singapura

sebagai negara yang berbatasan dengan selat tersebut dan memiliki yurisdiksi

atasnya. Lebih lanjut mengenai pelaksanaan pengamanan armed robbery di Selat

Malaka-Singapura akan dijelaskan dalam Bab III penelitian ini.

Dari penelusuran yang dilakukan penulis ke Kementrian Luar Negeri,

sebenarnya masih ada perjanjian lain yang berkaitan dengan pengamanan Selat

Malaka-Singapura, namun perjanjian tersebut tidak dapat ditunjukan kepada publik

karena berisi mengenai penempatan kekuatan militer Indonesia di selat tersebut yang

apabila dipublikasikan dapat mengancam kemanan wilayah Indonesia.

D. Pembedaan Pengaturan Piracy Jure Gentium dan Armed Robbery

Berdasarkan UNCLOS 1982 telah jelas bahwa yang merupakan piracy jure

gentium adalah setiap tindakan kekerasan, penahanan, atau perampasan yang

dilakukan terhadap kapal lain atau orang maupun barang yang terdapat di atasnya.

Kejahatan ini harus dilakukan di wilayah yang berada di luar dari yurisdiksi suatu

negara atau wilayah laut lepas.

Penekanan terhadap piracy jure gentium, berdasarkan pengertian tersebut

adalah tindakan kejahatan tersebut terjadi di luar dari wilayah yang menjadi

yurisdiksi negara lain atau di laut lepas. Kepada tindakan ini akan dikenakan

71

yurisdiksi universal yang berarti bahwa semua negara diberikan kewenangan untuk

melakukan penindakan terhadap kejahatan tersebut. Dalam hal ini wewenang negara

bendera kapal yang berlaku ketika kapal berada di laut lepas akan hilang. Sebagai

kejahatan tertua, piracy jure gentium dianggap sebagai musuh dari semua manusia

(enemy of all mankind), sehingga dalam semua hukum nasional dianggap sebagai

kejahatan.69

Armed robbery, sebagaimanan diatur dalam ReCAPP dan International

Maritime Organization Resolution A.922(22) Code of Practice for the Investigation

of the Crimes of Piracy and Armed Robbery against Ships, merupakan tindakan

kekerasan, penahanan, atau perampasan yang dilakukan terhadap kapal, orang atau

barang yang berada di atasnya. Kejahatan yang dimaksud di sini dilakukan di wilayah

yang menjadi yurisdiksi suatu negara. Karena berada dalam yurisdiksi dari suatu

negara maka kejahatan tersebut akan tunduk pada wewenang dari negara tempat

kejahatan terjadi. Pihak lain tidak mempunyai yurisdiksi atas kejahatan tersebut.

Keterlibatan pihak asing hanya dimungkinkan atas dasar persetujuan dari negara yang

memiliki yurisdiksi tersebut. Contohnya adalah penanganan armed robbery di

perairan teritorial Somalia dilakukan bersama oleh TFG dan negara-negara lain serta

organisasi regional dan internasional lainnya. Hal ini dilakukan berdasarkan

69

Christoper C. Joyner, 2005, Intrenational Law In The 21st Century, Rules For Global Governance,

Rowman & littlefield publisher, USA, hlm.137.

72

Persetujuan ini diberikan berdasarkan surat tertanggal 10 November 2011 yang

disampaikan oleh perwakilan tetap Somalia di PBB kepada DK PBB.70

Dengan demikian dapat dilihat bahwa perbedaan antara piracy jure gentium

dan armed robbery terletak pada dua hal:

a) Wilayah tempat kejahatan terjadi (locus delicti). Dalam hal piracy jure

gentium wilayah tempat kejahatan terjadi harus berada di luar dari

yurisdiksi negara lain atau di laut lepas, sedangkan armed robbery terjadi

dalam wilayah yang masih yurisdiksi dari suatu negara; dan

b) Yurisdiksi atas kejahatan yang terjadi. Terhadap piracy jure gentium

berlaku yurisdiksi universal yang mana memberikan kewenangan kepada

semua negara untuk melakukan penindakan terhadap kejahatan tersebut,

sedangkan terhadap armed robbery berlaku yurisdiki negara di mana

kejahatan tersebut dilakukan.

Dari perbedaan tersebut dapat dipahami bahwa tempat terjadinya suatu

kejadian akan berpengaruh terhadap yurisdiksi atas kejadian tersebut. Sehubungan

dengan permasalahan piracy jure gentium dan armed robbery, terhadap tindakan

kekerasan, penahanan, atau perampasan yang dilakukan terhadap kapal lain di

wilayah di luar dari laut teritorial dan juga bukan di laut lepas, masih terdapat banyak

perdebatan mengenai apakah tindakan tersebut termasuk piracy jure gentium atau

70

Resolusi DK PBB 2020 (2011). Untided Nations, “Security Concil, Resolution 2020 (2011) Adopted

by the Security Council at its 6663rd meeting, on 22 November 2011”, [online] http://daccess-dds-

ny.un.org/doc/UNDOC/GEN/N11/604/21/PDF/N1160421.pdf?OpenElement, (diakses tanggal 29

Maret 2012).

73

armed robbery. Penentuan klasifikasi tindakan tersebut sangat penting karena akan

berpengaruh pada yurisdiksi yang dikenakan terhadapnya.

Dari pembahasan di atas dapat dilihat bahwa salah satu perbedaan dari piracy

jure gentium dan armed robbery terletak pada locus delicti-nya. Piracy jure gentium

terjadi di wilayah laut lepas atau di luar dari yurisdiksi suatu negara, sedangkan

armed robbery terjadi dalam wilayah yurisdiksi suatu negara. Wilayah yang masih

menjadi yurisdiksi dari suatu negara dalam UNCLOS 1982 meliputi, perairan

pedalaman, perairan kepulauan, wilayah laut teritorial seluas 12 mil laut, dan ZEE

yang luasnya 200 mil laut dari garis pangkal. Dalam wilayah-wilayah tersebut negara

pantai masih diakui yurisdiksinya atas apapun yang ada dan terjadi di dalamnya.

Implikasinya adalah armed robbery tunduk pada yurisdiksi negara di mana kejadian

tersebut terjadi beberbeda dengan piracy jure gentium yang dapat diberlakukan

yurisdiksi universal.

Dalam pengertian yang dinyatakan oleh IMO ditambahakan sebuah

penekanan bahwa armed robbery, selain terjadi di wilayah yurisdiksi suatu negara,

merupakan tindakan selain dari piracy (pembajakan). Implikasi dari definisi yang

ada tersebut adalah armed robbery tunduk pada yurisdiksi negara di mana kejadian

tersebut terjadi beberbeda dengan piracy jure gentium yang dapat diberlakukan

yurisdiksi universal.

Sehubungan dengan piracy jure gentium dan armed robbery, muncul

kesulitan yang ditimbulkan akibat dengan seringnya pembajakan yang terjadi di

wilayah ZEE dikategorikan sebagai piracy jure gentium, yang mana seharusnya

74

kejadian tersebut dikategorikan sebagai armed robbery.71

Hal ini diperparah dengan

adanya distorsi data yang dihasilkan oleh badan yang mendata mengenai jure gentium

dan armed robbery di seluruh dunia, sebagai contoh, laporan kehilangan barang-

barang awak kapal yang melintas (pencurian di atas kapal) justru masuk menjadi data

IMB.72

Data- data dihasilkan olen IMB atau ReCAAP mengenai piracy jure gentium

dan armed robbery juga tidak membedakan antara kedua hal tersebut.

Contoh lainnya kasus Alondra Rainbow, kapal kargo milik Jepang, yang

dirampok di Selat Malaka-Singapura, tepatnya di perairan yang masuk dalam

yurisdiksi Indonesia. Kapal tersebut dibajak oleh 35 orang yang menggunakan kapal

pengangkut barang yang diubah menjadi kapal perampok. Para perampok ini

kemudian ditangkap oleh angkatan laut India sebulan setelah kejadian tersebut

ratusan mil dari Indonesia dan dibawa untuk diadili di Mumbai.73

Kejadian ini

sesungguhnya tidak termasuk dalam kategori piracy jure gentium sehingga angkatan

laut India tidak mempunyai yurisdiksi untuk melakukan penangkapan terhadap para

perampok tersebut. Karena terjadi di perairan Indonesia maka ini termasuk dalam

definisi armed robbery dan yang mempunyai yurisdiksi terhadap kejahatan tersebut

adalah Indonesia.

Permasalahan mengenai armed robbery yang terjadi di ZEE juga muncul

dalam definisi armed robbery yang dihasilkan dalam subregional meeting on piracy

71

Russel Denise, 2010, Who Rules the Waves? Piracy, Overfishing, and Mining the Ocean, Pulto

Press, New York, hlm.62. 72

Steven Yohanes Pailah, op.cit, hlm.76. 73

Russel Denise, op.cit, hlm.66.

75

and armed robbery against ships in the Western Indian Ocean, Gulf of Aden, and

Read Sea area yang diselenggarakan di Dar es Salaam, Tanzania, dari tanggal 14-18

April 2008, disetujui mengenai definisi armed robbery. Secara lengkap definisi yang

dihasilkan dalam forum ini adalah:

armed robbery against ships means any unlawful act of violance or detention

or any act depredation, or threat threof, other an act of piracy, commited for

private ends and directed against a ship or against person or property on

board of such a ship, within a State’s internal waters, archipelagic waters,

and territorial sea.

Definisi yang dihasilkan dalam forum ini telah dimodifikasi dari pengertian

yang ada dalam ReCAAP maupun Resolusi IMO A.922(22) Code of Practice for The

Investigation of the Crimes of Piracy And Armed Robbery against Ships dengan

menambahkan motif tujuan pribadi (private ends) ke dalam pengertiannya serta

mengganti kalimat “di dalam suatu yurisdiksi negara (within a state’ jurisdiction)”

menjadi “di dalam perairan pedalaman, perairan kepulauan dan perairan teritorial

(within a State’s internal waters, archipelagic waters, and territorial sea)”.74

Dalam

pengertian tersebut tidak dicantumkan mengenai kejahatan yang terjadi di wilayah

ZEE. Hal ini semakin menimbulkan polemik mengenai apakah terdapat armed

robbery di ZEE ataukah tidak. Jika tidak maka yang terdapat di dalamnya adalah

piracy jure gentium yang mana akan tunduk pada yurisdiksi universal.

Sebenarnya jika melihat dari definisi piracy jure gentium yang ada maka akan

dengan mudah menentukan apakah ada armed robbery di ZEE atau tidak. Daniel

74

James Karaska, Op.cit, hlm.210.

76

Heller-Roazen mengemukakan bahwa terdapat empat ciri mengenai permasalahan

piracy jure gentium, yaitu:

a. Pembajakan melibatkan sebuah wilayah yang mana di dalamnya suatu

aturan hukum luar biasa diterapkan;

b. Pembajakan melibatkan individu yang melakukan tindakan kejahatan,

yang mana kejahatan tersebut merupakan kejahatan yang memiliki sifat

“universal” dan seringkali disebut juga ‘enemy of all’;

c. Sebagai akibat dari ciri pertama dan kedua, maka pembajak tidak dapat

dianggap sebagai common criminals ataupun lawful enemy;

d. Karena tidak termasuk dalam common criminals ataupun lawful enemy,

maka penanganan pembajakan harus dilakukan dengan penangan yang

luar biasa. 75

Keempat ciri di atas hanya dapat diterapkan kepada kejahatan piracy jure

gentium, tidak kepada armed robbery. Armed robbery tidak memenuhi semua

kualifikasi yang ada di atas. Karena dilakukan dalam yurisdiksi suatu negara maka

dia termasuk sebagai common criminals yang mana tunduk pada yurisdiksi negara

tempat di mana kejadian tersebut terjadi, dengan demikian kejahatan tersebut juga

tidak memiliki sifat ”universal” atau ”enemy of all”. Berdasarkan hal ini maka jika

melihat kejahatan serupa yang terjadi di ZEE akan dengan mudah masuk ke dalam

kelompok armed robbery karena meskipun pada wilayah tersebut hanya berlaku hak

berdaulat bagi negara pantai dengan yurisdiksi yang terbatas, namun hal itu tidak

memungkiri bahawa negara pantai, oleh UNCLOS 1982, diberikan yurisdiksi di

dalamnya. Hal ini menegaskan kembali definisi Pasal 101 UNCLOS 1982 yang mana

mensyaratkan piracy jure gentium terjadi di wilayah di luar dari yurisdiksi negara

mana pun atau di laut lepas, dan ZEE tidak termasuk dalam wilayah ini. Oleh karena

75

Daniel Heller-Roazen, Op.cit, hlm.10-11.

77

itu maka kejahatan (common criminals) yang terjadi di dalamnya adalah armed

robbery. Dengan demikian tidak bisa dikatakan terdapat piracy jure gentium dalam

wilayah ZEE.

UNCLOS 1982 hanya mengatur mengenai masalah piracy jure gentium

namun di dalamnya sama sekali tidak diautur mengenai armed robbery. Dalam

ReCAAP memang mengatur mengenai armed robbery, namun ReCAAP tidak cukup

untuk memfasilitasi pembedaan pengaturan antara piracy jure gentium dan armed

robbery, dikarenakan penerimaan oleh negara-negara yang ada di Asia sendiri tidak

begitu besar, sehingga bisa dikatakan tidak mempunyai pengaruh yang besar. Selain

itu negara-negara yang menandatangani ReCAAP sendiri masih berdebat mengenai

klasifikasi dari piracy jure gentium dan armed robbery.76

Definisi armed robbery dari

IMO juga hanya berbentuk soft law, yakni resolusi untuk panduan penanganan

pembajakan dan perampokan bersenjata terhadap kapal, sehingga tidak mempunyai

daya mengikat yang kuat bagi negara-negara yang ada. Hal ini diperparah dengan

kenyataan bahwa, meskipun telah menetapkan definisi armed robbery seperti yang

dicantumkan di atas, dalam penyajian data mengenai piracy jure gentium dan armed

robbery yang terjadi di seluruh dunia, IMO hanya membedakannya menjadi kejadian

yang terjadi perairan internasional dan yang terjadi di perairan teritorial atau

pelabuhan. Penyajian data seperti ini akan mengakibatkan kaburnya pengertian dari

armed robbery itu sendiri, karena UNCLOS mengakui yurisdiksi suatu negara tidak

hanya di perairan teritorial dan pelabuhan saja, tapi sampai kepada ZEE juga.

76

Steven Yohanes Pailah, loc.cit.

78

BAB III

PENANGANAN PIRACY JURE GENTIUM DAN ARMED ROBBERY DI

LUAR LAUT TERITORIAL SOMALIA DAN SELAT MALAKA-

SINGAPURA

Dalam bab ini dibahas mengenai penanganan piracy jure gentium dan armed

robbery di luar laut teritorial dan perairan Somalia dan Selat Malaka-Singapura.

Pembahasan mengenai Penanganan piracy jure gentium yang dilakukan di luar laut

teritorial Somalia dan armed robbery yang dilakukan di perairan Somalia dibahas

dalam satu pokok bahasan yang sama karena data-data yang diperoleh baik dari IMB

maupun ReCAAP tidak dipisahkan mengenai kedua kejahatan ini dalam laporan yang

mereka keluarkan. Penanganan piracy jure gentium dan armed robbery di luar laut

teritorial dan perairan Somalia juga dilakukan sama berdasarkan resolusi-resolusi DK

PBB, armed robbery yang penanganannya tunduk pada yurisdiksi Somalia justru

ditangani sama dengan penanganan piracy jure gentium yang dilakukan dilaut lepas.

Dalam sub pokok bahasan selanjutnya dibahas mengenai penanganan armed robbery

di Selat Malaka-Singapura. Dalam sub pokok bahasan tersebut tidak dibahas

mengenai piracy jure gentium karena wilayah Selat Malaka-Singapura berada pada

yurisdiksi negara pantai yang berbatasan dengan selat tersebut dan di dalamnya tidak

terdapat laut lepas sehingga kejahatan yang terjadi di dalamnya hanyalah armed

robbery. Dalam sub pokok bahasan terakhir akan dilakukan perbandingan terhadap

penanganan armed robbery di Selat Malaka-Singapura dengan penanganan kejahatan

yang sama di Somalia.

79

A. Penanganan Piracy Jure Gentium dan Armed Robbery di Luar Laut

Teritorial dan Perairan Somalia

1. Kondisi Somalia

Somalia merupakan salah satu negara gagal (failed state), karena secara de

jure, negara ini memang ada tapi secara de facto dia tidak mampu menjalankan

pemerintahan secara efektif.77

Akibat dari perpecahan yang ada di Somalia, negara ini

terpecah menjadi beberapa bagian yaitu: pertama, pemerintah resmi Somalia yang

hanya menguasai beberapa bagian kecil Somalia, termasuk sebagian ibu kota

Mogadishu, dan Kedutaan Besar Somalia di Indonesia mewakili pemerintah ini;78

kedua, Somaliland, wilayah yang secara de facto sudah memisahkan diri dari Somalia

sejak mei 1991, melingkupi wilayah barat laut Somalia yang merupakan bekas

jajahan Inggris. Somaliland tidak diakui secara resmi oleh dunia, namun beberapa

negara tetangga seperti Ethiopia memiliki konsulat di ibu kota Somaliland di

Hergaisa;79

ketiga, Puntland yang menyatakan diri sebagai wilayah semi-otonom

sejak tahun 1998 menguasai wilayah timur laut; Keempat, pada April 2002 pemimpin

lokal di Baioda mengungumkan pembentukan Negara Somalia Barat Daya

(Southwestern State of Somalia);80

kelima, wilayah tanpa pemerintah yang dikuasai

77

Alessandro Shimabukuro, 2010, “The Situation In Somalia. ODUMUNC 2010”, Issue Brief for the

United Nations Security Council, hlm.1,[online]

http://al.odu.edu/mun/docs/issue%202010,%20the%20situation%20in%20somalia.pdf (diakses

tanggal 24 Februari 2012). 78

Teguh Widodo, 2011, “Pelajaran Berharga Dari Peristiwa Pembajakan MV Sinar Kudus”, Dharma

Wiratama, Edisi DW/151/201, hlm.55. 79

International Expert Group on Piracy Off The Somali Coast, 2008, “Piracy Off The Somali Coast”,

hlm.10, [onine] http://www.asil.org/files/somaliapiracyintlexpertsreoprtconsolidates1.pdf (diakses

tanggal 26 Januari 2012). 80

Ibid.

80

berbagai kelompok militan bersenjata, termasuk diantaranya AI-Shabaab, kelompok

Islam ekstrimis yang diduga bekerja sama dengan Al Qaeda. Wilayah ini meliputi

Somalia bekas jajahan Italia.81

Sejak tahun 1991 Somalia gagal dalam membentuk pemerintahan yang stabil.

Hal ini terbukti dengan telah terbentuknya 14 pemerintahan yang gagal dalam

memperbaiki kondisi Somalia.82

TFG sebagai pemerintahan resmi juga gagal dalam

menstabilkan Somalia dan tidak mampu untuk menjalankan kekuasaannya di luar dari

Mogadishu.83

Kelompok-kelompok pemimpin islam, politikus-politikus lokal, dan

kelompok pebisnis lebih mempunyai pengaruh di beberapa wilayah di luar dari

Mogadishu, misalnya di Puntland dan Somaliland. Mereka terbukti bisa melahirkan

pemerintahan yang lebih stabil dengan transfer kekuasaan yang dilakukan melalui

pemilihan umum daripada yang ada di Mogadishu.84

Pemerintahan resmi yang ada

saat ini memiliki kelemahan dalam pembentukan dan pengimplementasian kebijakan

atau aturan hukum. Pemerintah juga sangat terbatas dalam hal sumber daya manusia

dan keuangan sehingga sangat mustahil untuk menciptakan suatu pemerintahan yang

efektif dan stabil.85

Hal ini juga bisa dilihat dari kekuatan angkatan laut Somalia yang

sangat lemah. Sejak meletusnya perang pada tahun 1991, hampir sebagian besar

81

Teguh Widodo, op.cit. 82

Stevenson dalam Sarah Percy dan Anja Sortland, 2011, The Business of Piracy In Somalia, DIW,

Berlin, hlm.4. 83

Ken Menkhaus dalam Stiftung Heinrich Böll, 2008, Somalia: Current Conflicts and New Chances

for State Building, Volume 6, Heinrich Böll Foundation, Berlin, hlm.30. 84

Sarah percy dan Anja Sortland. Loc. Cit. 85

International Expert Group on Piracy Off The Somali Coast. Op.cit.

81

fungsi marinir dan peralatan militer rusak. Padahal wilayah pantai Somalia

merupakan wilayah pantai terpanjang di Benua Afrika.86

Banyaknya pemerintahan yang terbentuk dalam satu negara dan terpecah-

pecahnya wilayah menjadi beberapa bagian dengan pemerintahannya masing-masing,

serta segala keterbatasan yang ada tersebut semakin menyulitkan dalam menstabilkan

kondisi Somalia. Hal ini terbukti dengan berbagai macam persoalan yang timbul dan

tidak bisa ditangani oleh pemerintahan yang ada. Berbagai macam persoalan yang

timbul tersebut antara lain persoalan kemanusiaan, permasalahan perbatasan dengan

Ethiopia dan Eritrea, persoalan mengenai islam fundamentalis, dan termasuk di

dalamnya mengenai permasalahan piracy jure gentium dan armed robbery.

Kondisi negara yang tidak stabil seperti ini membuat penyanderaan kapal

untuk ditukar dengan uang tebusan telah marak terjadi sejak 1990-an, dan

kebanyakan di perairan teritorial, dengan alasan untuk melindungi sumber

perikananan Somalia yang dimasuki nelayan asing dan melindungi perairan dari

pembuangan limbah beracun oleh kapal asing, yang melalui Teluk Aden dari Terusan

Suez, yang tidak bisa diatasi oleh pemerintah.87

Hal ini yang dalam tulisan Isac

Kamola dijelaskan sebagai akibat dari arus kapitalisme yang mengalir melalui

Terusan Suez, yang menyebabkan tindakan piracy jure gentium menjadi respon yang

86

Apriadi Tamburaka, 2011, 47 Hari Dalam Sandera Perompak Somalia, Drama Upaya Pembebasan

Kapal dan ABK MV.Sinar Kudus, Cakrawala, Godean, Yogyakarta, hlm.46. 87

Tullio Treves, 2009, “Piracy, Law of The Sea, And Use of Force: Developments Off The Coast Of

Somalia”, The European Journal of International Law, 20, (2) 399, hlm.400. lihat juga: Kathryn H

Floyd, 2010, “Somalia’s Stability and Security Situation in Review”, International Centre For

Political Violence and Terrorism Research, hlm.8, [online]

http://www.pvtr.org/pdf/Report/Somalia%27sStabilityandSecuritySituationinReview.pdf (diakses

tanggal 24 Februari 2012).

82

wajar, karena apa yang terjadi menimbulkan kerugian secara ekonomi bagi warga

Somalia.88

2. Respon Terhadap Piracy Jure Gentium dan Armed Robbery di Luar Laut

Teritorial dan Perairan Somalia

Ketika membicarakan mengenai masalah pembajakan di Somalia, banyak

orang sering melakukan kesalahan dengan mencampurkan dua konsep yang berbeda,

yaitu piracy jure gentium dan armed robbery. Kedua konsep ini jelas sangat berbeda

dan mempunyai implikasi hukum yang berbeda pula. Seperti yang diapaparkan dalam

tinjauan pustaka bahwa piracy jure gentium dapat diberlakukan yurisdiksi universal

dan berlaku hanya di laut bebas atau di wilayah di luar dari yurisdiksi suatu negara,

sedangkan armed robbery terjadi di wilayah suatu negara dan merupakan yurisdiksi

negara tempat terjadinya kejadian untuk menanganinya. Para penulis sering kali

hanya menggunakan istilah piracy (pembajakan) untuk menyebut setiap pembajakan

kapal yang terjadi dilakukan perompak Somalia, baik itu yang terjadi di luar laut

teritorial Somalia ataupun yang terjadi dalam wilayah perairan Somalia yang

merupakan yurisdiksi dari Somalia.

Dari data yang diambil dari laporan tahunan IMB pada tahun 2011 dilaporkan

bahwa sepanjang tahun 2011 telah terjadi 160 kasus yang dilakukan di Somalia.89

Insiden yang terjadi di tahun ini terus mengalami peningkatan dibandingkan tahun-

tahun sebelumnya. Pada tahun 2010 dilaporkan terjadi 139 kasus, tahun 2009 terjadi

88

Isac Kamola, “Capitalism At Sea: Piracy and ‘State Failure’ in The Gulf of Aden”, hlm.4. 89

International Maritime Bureau, op.cit, hlm.5.

83

80 kasus, tahun 2008 ditemukan 19 kasus yang terjadi, tahun 2007 terjadi 31 kasus,

dan tahun 2006 terjadi 10 kasus.90

Sumber data: International Maritime Bureau Piracy And Armed Robbery Report For

The Period Of 1 Januari – 31 Desember 2011 dan International Maritime Bureau

Piracy And Armed Robbery Report For The Period Of 1 Januari – 31 Desember 2010

(data diolah)

Dari data tersebut dapat dilihat bahwa sejak tahun 2006 hingga tahun 2011,

jumlah piracy jure gentium dan armed robbery di Somalia telah meningkat 16 kali

lipat banyaknya. Hal ini sungguh menjadi ironi karena sejak tahun 2008 sudah ada

bantuan internasional, baik itu bantuan teknis mapun pengiriman pasukan militer,

untuk menanggulangi permasalahan piracy jure gentium dan armed robbery.

Sayangnya dalam laporan ini tidak dibedakan antara jumlah piracy jure gentium dan

armed robbery yang terjadi di luar laut teritorial dan perairan Somalia.

Dalam tahun 2011 juga dilaporkan terjadi 237 penyeranganan yang dilakukan

oleh bajak laut Somalia. Hal ini terjadi karena bajak laut Somalia tidak hanya

beroperasi di perairan Somalia saja tapi juga sampai ke Teluk Aden, Laut Merah

Selatan, lepas pantai Yaman, lepas pantai Oman, Laut Arab, lepas pantai Kenya,

90

International Maritime Bureau, op.cit, hlm.5.

10 31 19

80

139 160

2006 2007 2008 2009 2010 2011

Diagram 2. Piracy Jure Gentium dan Armed Robbery di Somalia

Tahun 2006-2011

84

lepas pantai Tanzania, lepas pantai Madagaskar, lepas pantai Mozambik, Samudera

Hindia, lepas pantai barat India, dan lepas pantai barat Moldova. Dalam tahun yang

sama juga dilaporkan bahwa 470 pelaut disandera, 10 orang diculik, 3 orang terluka

dan 8 orang terbunuh oleh perompak Somalia,91

sedangkan jumlah kapal yang

ditahan oleh perompak Somalia mulai dari 31 desember 2011 berjumlah 11 kapal.92

Dalam kurun waktu yang sama tahun 2010 mereka menahan 28 kapal untuk ditukar

dengan uang tebusan.93

Piracy jure gentium dan armed robbery yang terjadi di luar laut teritorial dan

perairan Somalia telah menimbulkan kerugian yang sangat besar terhadap industri

perkapalan yang melewati perairan di luar laut teritorial Somalia, dan pemerintahan

Somalia sendiri terbukti tidak mampu untuk mengatasi permasalahan ini. Dalam

laporan yang disusun oleh one earth future mengenai kerugaian ekonomi akibat

pembajakan di laut dilaporkan bahwa terjadi peningkatan uang tebusan yang

dikeluarkan untuk menebus kapal-kapal yang dibajak dan disandera oleh perompak

Somalia dari tahun ke tahun. Pada tahun 2005 rata-rata uang tebusan berkisar

$150.000, pada tahun 2009 rata-rata uang tebusan meningkat menjadi $3.400.000,

dan pada tahun 2010 rata-rata uang tebusan adalah $5.400.000.94

Pada tahun 2010

tercatat dua pembayaran uang tebusan yang sangat besar kepada perompak Somalia.

Pada bulan November 2010, $9.500.000 dibayarkan kepada perompak Somalia untuk

91

Ibid, hlm.20. 92

Ibid. 93

International Maritime Bureau, Op.cit, hlm.20. 94

Anna Bowden,Dkk, Op.cit, hlm.9.

85

membayar tebusan atas kapal tanker minyak dari Korea Selatan, Sambo Dream.95

Sedangkan, sebelumnya, pada bulan Januari 2010, telah dibayarkan uang tebusan

sejumlah $7.000.000 untuk pembebasan kapal super tanker dari Yunani, MV Maran

Centaurus, yang mengangkut minyak seharga $160.000.000 dari Arab Saudi menuju

Amerika Serikat.96

Matrix 1. Biaya Tebusan Tahun 2009 dan 2010

Sumber: One Earth Future Working Paper On The Economis Cost Of

Maritime Piracy Desember 2010

Dari tabel di atas dapat dilihat bawah telah terjadi peningkatan yang drastis

mengenai jumlah uang tebusan yang dibayarkan kepada perompak Somalia. Dari

jumlah total uang tebusan sejumlah $177.000.000 yang dibayarkan pada tahun 2009,

meningkat menjadi $238.000.000 pada tahun 2010. Selain meningkatnya biaya

tebusan yang diberikan, piracy jure gentium dan armed robbery yang terjadi juga

berdampak pada meningkatnya asuransi kapal yang mengangkut muatan, khususnya

yang melewati zona-zona yang beresiko tinggi.97

Peningkatan biaya juga terjadi

95

_______, 2010, “Somali pirates receive record ransom for ships' release”, [online]

http://www.bbc.co.uk/news/world-africa-11704306, (diakses tanggal 3 Februari 2012). 96

Anna Bowden,Dkk, Loc.cit. 97

Ibid, hlm.10-12.

86

akibat adanya perubahan rute yang harus dilalui untuk menghindari terjadinya

pembajakan.98

Meningkatnya resiko piracy jure gentium dan armed robbery di luar laut

teritorial dan perairan Somalia tidak diimbangi dengan kemampuan pemerintah

Somalia dalam mengatasi hal tersebut. Hal inilah yang memunculkan kekawatiran

dunia internasional mengenai permasalahan piracy jure gentium dan armed robbery

yang terjadi di wilayah luar laut teritorial dan perairan Somalia, sehingga diperlukan

suatu tindakan untuk mengatasi kejahatan tersebut. Melalui surat yang ditujukan

kepada DK PBB, pemerintahan resmi Somalia yang diakui oleh PBB, TFG, telah

meminta agar dunia internasional bersedia untuk membantu menangani permasalahan

piracy jure gentium, bahkan juga armed robbery yang sesungguhnya terjadi di

wilayah perairan Somalia dan tunduk pada yurisdiksi Somalia.99

Beberapa operasi militer multinasional telah dilaksanakan di lepas pantai

Somalia untuk menanggulangi piracy jure gentium di wilayah tersebut. Pada akhir

tahun 2008, pasukan angkatan laut multinasional, CTF-150, memulai operasi

pemberantasan piracy jure gentium di Teluk Aden, Laut Arab, dan Samudera Hindia.

Kemudian pada January 2009, CTF-150 digantikan oleh CTF-151, yang juga

merupakan pasukan angkatan laut multinasional yang mengkombinasikan kekuatan

militer, pertukaran informasi, dan patroli terkoordinasi. Uni Eropa sendiri

98

Ibid, hlm.13-14. 99

Resolusi DK PBB 1816 (2008). United Nations, 2008, “Security Council, Resolution 1816 (2008)

Adopted by the Security Council at its 5902nd meeting on 2 June 2008“, [online] http://daccess-dds-

ny.un.org/doc/UNDOC/GEN/N08/361/77/PDF/N0836177.pdf?OpenElement, (diakses tanggal 29

Maret 2012).

87

menempatkan kapal penghancur dan kapal patroli angkatan laut di luar laut teritorial

Somalia. Negara-negara Asia seperti Pakistan, Japan, and Turkey juga berkontribusi

dalam CTF-151, sedangkan China, Russia, and India meskipun tidak terlibat secara

resmi dalam patroli multinasional ini namun tetap ikut mengamankan wilayah di luar

laut teritorial Somalia.100

Sejak meningkatnya piracy jure gentium yang terjadi di jalur pelayaran

internasional di luar laut teritorial Somalia dan armed robbery yang terjadi di wilayah

perairannya, sejak tahun 2008 telah dikeluarkan 9 resolusi DK PBB yang berkaitan

dengan penanganan piracy jure gentium dan armed robbery di luar laut teritorial dan

perairan Somalia, yaitu, Resolusi DK PBB 1816 (2008), Resolusi DK PBB 1838

(2008), Resolusi DK PBB 1846 (2008), Resolusi DK PBB 1851 (2008), Resolusi DK

PBB 1897 (2009), Resolusi DK PBB 1918 (2010), Resolusi DK PBB 1950 (2010),

Resolusi DK PBB 2015 (2011), dan Resolusi DK PBB 2020 (2011). Berikut ini akan

dibahas mengenai masing-masing resolusi tersebut.

a. Resolusi DK PBB 1816 (2008)101

Dalam resolusi ini dinyatakan bahwa tindakan piracy jure gentium dan armed

robbery di luar laut teritorial dan perairan Somalia telah menjadi ancaman bagi dunia

internasional, hal ini ditandai dengan:

100

Yvonne M. Dutton, op.cit, hlm.13. 101

United Nations, 2008, “Security Council, Resolution 1816 (2008) Adopted by the Security Council

at its 5902nd meeting on 2 June 2008“, [online] http://daccess-dds-

ny.un.org/doc/UNDOC/GEN/N08/361/77/PDF/N0836177.pdf?OpenElement, (diakses tanggal 29

Maret 2012).

88

1) Kejahatan tersebut mengancam pendistribusian bantuan kemanusiaan ke

Somalia secara cepat, aman, dan efektif;

2) Kejahatan tersebut mengancam keselamatan jalur pelayaran komersial dan

pelayaran internasional;

3) Kejahatan tersebut memperparah situasi krisis yang ada di Somalia, yang

mana mendasari dan terus mengancam keamanan dan perdamaian

internasional di kawasan tersebut.

Oleh karena itu dalam jangka waktu selama 6 bulan sejak resolusi ini

dikeluarkan, negara-negara dapat bekerjasama dengan TFG untuk memerangi piracy

jure gentium dan armed robbery di luar laut teritorial dan perairan Somalia Somalia.

Dalam Pasal 7 resolusi ini negara-negara tidak hanya diberikan otoritas untuk

melakukan tindakan terhadap piracy jure gentium dan armed robbery di wilayah luar

laut teritorial Somalia, namun negara-negara yang bekerjasama dengan TFG juga

diberikan otoritas untuk memasuki perairan Somali dan mengambil tindakan terhadap

kejahatan yang dimaksud seperti yang dimaksudkan untuk dilakukan terhadap

kejahatan tersebut di laut lepas. Berdasarkan Pasal 8, negara-negara yang mengambil

bagian untuk bekerjasama dengan TFG dalam pemberantasan bajak laut diminta untk

mengambil langkah-langkah yang sesuai agar dalam menjalankan tindakannya sesuai

Pasal 7 tidak berakibat pada hak lintas damai kapal dari negara lain.

Pertimbangan untuk dilakukanya tindakan tersebut, sebagaimana yang dimuat

dalam resolusi ini, didasarkan pada 2 hal:

89

1) Kurangnya kemampuan (lack of capacity) TFG dalam menangani piracy

jure gentium dan armed robbery atau dalam melakukan patroli untuk

mengamankan jalur pelayaran internasional di lepas pantainya atau

perairan teritorialnya;

2) Adanya persetujuan dari TFG untuk meminta bantuan internasional untuk

mengamankan perairan teritorial dan perairan internasional di lepas pantai

Somalia dari tindakan piracy jure gentium dan armed robbery. Hal ini

disampaikan oleh perwakilan tetap Somalia di PBB kepada Presiden DK

PBB melalui surat tertanggal 27 Februari 2008.

Berdasarkan Pasal 11, negara-negara, khususnya negara bendera kapal, negara

pantai dan pelabuhan, negara asal korban, dan negara asal pelaku piracy jure gentium

dan armed robbery, serta negara lain yang memiliki yurisdiksi yang relevan dengan

kasus yang terjadi, diminta untuk bekerjasama untuk menentukan yurisdiksi atas

kejahatan yang terjadi, dan dalam investigasi yang dilakukan terhadap kejahatan

tersebut.

Dalam resolusi ini juga ditetapkan dalam Pasal 9 bahwa otorisasi bagi negara-

negara untuk melakukan tindakan penanggulangan kejahatan piracy jure gentium dan

armed robbery yang dilakukan di Somalia berdasarkan resolusi ini hanya diterapkan

berkaitan dengan situasi yang terjadi di Somalia saja dan tidak untuk menjadi

preseden untuk diterapkan di wilayah lain.

90

b. Resolusi DK PBB 1838 (2008)102

Dalam resolusi ini masih menggunakan pertimbangan yang sama seperti

Resolusi DK PBB 1816 (2008) dalam melakukan penanganan kejahatan piracy jure

gentium dan armed robbery di luar laut teritorial dan perairan Somalia. Tambahan

yang dimuat dalam resolusi ini adalah mengenai pengamanan yang dilakukan oleh

negara-negara untuk mengamankan konvoi World Food Program (WFP) dalam

menyalurkan bantuan ke Somalia serta adanya pengamanan yang dilakukan oleh Uni

Eropa kepada negara anggota yang melakukan aktivitas di lepas pantai Somalia.

Dalam Pasal 9 ditekankan kembali mengenai pembaharuan periode

pelaksanaan penanganan piracy jure gentium dan armed robbery sesuai yang

dilaksanakan dalam Pasal 7 Resolusi DK PBB 1816 (2008). Pelaksanaan tindakan

tersebut akan dilaksanakan dalam periode 6 bulan, dan negara-negara juga,

berdasarkan Pasal 4, tetap diberikan otoritas yang sama untuk memasuki perairan

teritorial Somalia dan mengambil tindakan-tindakan yang diperlukan untuk

menangani kejahatan tersebut sama seperti penanganan yang dilakukan dalam

wilayah laut lepas. Selain melakukan tindakan pemberantasan piracy jure gentium

dan armed robbery di luar laut teritorial dan perairan Somalia, negara dan organisasi

regional juga diminta untuk melindungi WFP dalam memberikan bantuan

kemanusiaan ke Somalia. Untuk itu, Pasal 7 menyatakan bahwa negara dan organisasi

regional harus melakukan koordinasi dalam melakukan tindakan mereka tersebut.

102

United Nations, 2008, “Security Council, Resolution 1838 (2008) Adopted by the Security Council

at its 5987th meeting, on 7 October 2008”, [online] http://daccess-dds-

ny.un.org/doc/UNDOC/GEN/N08/538/84/PDF/N0853884.pdf? (diakses tanggal 29 Maret 2012).

91

Dalam Pasal 8 resolusi ini juga tetap ditegaskan bahwa tindakan penanganan

penanganan piracy jure gentium dan armed robbery yang dilakukan berdasarkan

resolusi ini hanya diterapkan berkaitan dengan situasi di Somalia saja dan tidak

menjadi preseden untuk diterapkan di wilayah lain.

c. Resolusi DK PBB 1846 (2008)103

Dalam resolusi ini juga masih dapat dilihat bahwa pertimbangan yang

digunakan adalah kurangnya kapasitas TFG dalam mengamankan wilayahnya dan

jalur pelayaran internasional di lepas pantainya, ancaman terhadap perdamaian

internasional kemanan regional, serta persetujuan yang diberikan oleh TFG melalui

surat tertanggal 20 November 2008 kepada Presiden DK PBB untuk meminta

bantuan internasional dalam memerangi kejahatan piracy jure gentium dan armed

robbery di luar laut teritorial dan perairan Somalia, serta mengizinkan negara serta

organisasi regional yang bekerjasama dengan TFG, dalam melakukan tindakannya,

dapat masuk sampai ke perairan teritorial Somalia.

Dalam Pasal 6 resolusi dinyatakan mengenai inisiatif yang dilakukan oleh

Kanada, Denmark, Prancis, India, Belanda, Rusia, Spanyol, Inggris, dan Amerika,

serta organisasi regional dan internasional dalam memerangi piracy jure gentium dan

armed robbery di luar laut teritorial dan perairan Somalia, termasuk dalam

melindungi kapal WFP, khususnya atas putusan Uni Eropa tertanggal 10 November

103

United Nations, 2008, “Security Council, Resolution 1846 (2008) Adopted by the Security Council

at its 6026th meeting, on 2 December 2008”, [online] http://daccess-dds-

ny.un.org/doc/UNDOC/GEN/N08/630/29/PDF/N0863029.pdf?OpenElement, (diakses tanggal 29

Maret 2012).

92

2008, untuk memperpanjang selama 12 bulan terhitung dari Desember 2008, operasi

angkatan laut untuk melindungi kapal WFP yang menyalurkan bantuan kemanusiaan

ke Somalia dan kapal-kapal lain yang rentan terhadap serangan pembajak, dan

memerangi piracy jure gentium dan armed robbery di Somalia.

Negara-negara dan organisasi regional yang mengambil bagian dalam operasi,

berdasarkan Pasal 7, diharapkan untuk berkoordinasi satu dengan yang lainnya dalam

melakukan tindakannya, juga berkoordinasi dengan IMO, komunitas perkapalan

internasional, negara bendera kapal, dan TFG. Koordinasi ini juga mencakup

pertukaran informasi secara bilateral ataupun melalui PBB

Pasal 10 menegaskan bahwa tindakan pemberantasan piracy jure gentium dan

armed robbery yang dilakukan berdasarkan resolusi ini hanya berlaku dalam jangka

waktu 12 bulan sejak dikeluarkannya resolusi ini. Dalam Pasal 19 dinyatakan bahwa

pembaharuan jangka waktu operasi ini dilakukan berdasarkan permintaan dari TFG.

Seperti yang dinyatakan dalam Pasal 9 Resolusi DK PBB 1816 (2008) dan

Pasal 8 Resolusi DK PBB 1838 (2008), Pasal 11 Resolusi ini juga menyatakan bahwa

tindakan yang diambil berdasarkan resolusi ini untuk memerangi piracy jure gentium

dan armed robbery di luar laut teritorial dan perairan Somalia hanya diterapkan

berkaitan dengan situasi yang ada di Somalia dan tidak dimaksudkan untuk menjadi

sebuah hukum internasional kebiasaan (customary international law).

93

d. Resolusi DK PBB 1851 (2008)104

Pertimbangan akan kurangnya kapasitas dari TFG, ancaman terhadap

perdamaian internasional, serta otorisasi yang diberikan TFG kepada negara dan

organisasi internasional dan regional, masih menjadi dasar utama dalam pelaksanaan

operasi pemberantasan piracy jure gentium dan armed robbery di luar laut teritorial

dan perairan Somalia. Pertimbangan lainnya yang tercantum dalam resolusi ini adalah

mengenai peningkatan kasus piracy jure gentium di luar laut teritorial Somalia dalam

6 bulan terakhir. Serangan pembajak telah meluas sampai ke lepas pantai Kenya dan

sebelah timur Tanzania.

Dalam resolusi ini negara-negara dan organisasi regional serta internasional

yang mengambil bagian dalam operasi ini diminta untuk:

1) Membentuk suatu perjanjian atau pengaturan mengenai investigasi dan

penuntutan tahanan pelaku piracy jure gentium dan armed robbery;

2) Membentuk mekanisme kerjasama internasional untuk menjadi cara

untuk melakukan kontak, mengenai aspek apapun mengenai

pemberantasan piracy jure gentium dan armed robbery, diantara negara-

negara dan organisasi internasional maupun regional yang mengambil

bagian dalam operasi ini;

104

United Nations, 2008, “Security Council, Resolution 1851 (2008) Adopted by the Security Council

at its 6046th meeting, on 16 December 2008”, [online] http://daccess-dds-

ny.un.org/doc/UNDOC/GEN/N08/655/01/PDF/N0865501.pdf?OpenElement, (diakses tanggal 29

Maret 2012).

94

3) Membentuk pusat (centre) untuk mengkoordinasikan pertukaran informasi

yang relevan dengan piracy dan armed robbery di lepas pantai dan

perairan teritorial Somalia (Pasal 5).

Pasal 10 kembali menyatakan bahwa tindakan pemberantasan piracy jure

gentium dan armed robbery yang dilakukan berdasarkan resolusi ini hanya diterapkan

berkaitan dengan situasi yang ada di Somalia dan tidak ditujukan untuk membentuk

suatu hukum internasional kebiasaan (customary international law). Otoritas yang

diberikan kepada negara-negara dan organisasi internasional maupun regional

berdasarkan resolusi ini hanya diterapakan selama periode 12 bulan.

e. Resolusi DK PBB 1897 (2009)105

Resolusi ini masih juga menggunakan pertimbangan kurangnya kapasitas

TFG, ancaman terhadap perdamaian internasional dan keamanan kawasan, serta

persetujuan TFG, sebagai dasar pertimbangan dalam melakukan tindakan

pemberantasan piracy jure gentium dan armed robbery di luar laut teritorial dan

perairan Somalia. Persetujuan yang diberikan TFG agar negara-negara dan organisasi

internasional maupun regional dapat melakukan tindakan yang demikian disampaikan

melalui surat tertanggal 2 dan 6 November 2009 oleh perwakilan tetap Somalia di

PBB kepada Presiden DK PBB untuk meminta bantuan internasional dalam

menangani piracy jure gentium dan armed robbery di luar laut teritorial dan perairan

105

United Nations, 2009, “Security Council, Resolution 1897 (2009) Adopted by the Security Council

at its 6226th meeting, on 30 November 2009”, [online] http://daccess-dds-

ny.un.org/doc/UNDOC/GEN/N09/624/65/PDF/N0962465.pdf?OpenElement, (diakses tanggal 29

maret 2012).

95

Somalia. Dalam surat yang sama TFG juga meminta agar periode otorisasi yang

diberikan bagi negara-negara dan orgainisasi internasional dan regional yang

bekerjasama dengan TFG diperbaharui menjadi 12 bulan lagi.

Dalam resolusi ini juga diakui mengenai hak-hak yang dimiliki oleh Somalia

yang berkaitan dengan sumber daya alam di luar luat teritorialnya, termasuk

mengenai perikanan. Untuk itu negara-negara dan organisasi yang berkepentingan,

termasuk IMO, memberikan bantuan teknis bagi Somalia, otoritas regional, dan

negara pantai terdekat, untuk mengembangkan kapasitas mereka dalam menjamin

keamanan maritim, termasuk memerangi piracy jure gentium dan armed robbery di

luar laut teritorial dan perairan Somalia.. Dalam menjalankan hal tersebut, resolusi ini

menekankan perlunya koordinasi dilakukan melalui Contact Group on Piracy off the

Coast of Somalia (CGPCS).

Dalam Pasal 8 kembali ditekankan bahwa otorisasi yang diberikan

berdasarkan resolusi ini kepada negara-negara dan organisasi internasional maupun

regional hanya diterapkan berkaitan dengan situasi krisis di Somalia dan tidak untuk

menciptakan hukum internasional kebiasaan (customary international law).

f. Resolusi DK PBB 1918 (2010)106

Resolusi ini masih juga menggunakan pertimbangan kurangnya kapasitas

TFG, ancaman terhadap perdamaian internasional dan keamanan kawasan, serta

106

United Nations, 2010, “Security Council, Resolution 1918 (2010) Adopted by the Security Council

at its 6301st meeting, on 27 April 2010 “, [online] http://daccess-dds-

ny.un.org/doc/UNDOC/GEN/N10/331/39/PDF/N1033139.pdf?OpenElement, (diakses tanggal 29

Maret 2012).

96

persetujuan TFG, sebagai dasar pertimbangan dalam melakukan tindakan

pemberantasan piracy jure gentium dan armed robbery di luar laut teritorial dan

perairan Somalia.

Hal menarik yang dicantumkan dalam resolusi ini adalah mengenai

pembebasan orang yang dicurigai melakukan pembajakan tanpa melalui proses

peradilan. Melihat akan hal ini maka resolusi menetapkan bahwa untuk menciptakan

kondisi dimana para pelaku pembajakan dapat ditangani dengan penuh

tanggungjawab maka: disetujui bahwa kegagalan dalam melakukan penuntutan

terhadap orang yang bertanggungjawab terhadap terjadinya piracy jure gentium dan

armed robbery di luar laut teritorial dan perairan Somalia merusak usaha perlawanan

terhadap pembajakan yang dilakukan komunitas internasional; negara-negara diminta

untuk mengkriminalkan pembajakan dalam hukum nasionalnya, melakukan

penuntutan terhadap orang yang dicurigai melakukan pembajakan, dan memberikan

hukuman penjara kepada pelaku pembajakan di lepas pantai Somalia.

g. Resolusi DK PBB 1950 (2010)107

Sama seperti resolusi-resolusi sebelumnya, resolusi ini dapat dilihat bahwa

kurangnya kapasitas TFG, ancaman yang muncul terhadap perdamaian internasional

dan keamanan kawasan akibat piracy jure gentium dan armed robbery di luar laut

teritorial dan perairan Somalia, serta persetujuan dari TFG, masih menjadi

107

United Nations, 2010, “Security Concil, Resolution 1950 (2010) Adopted by the Security Council

at its 6429th meeting, on 23 November 2010 “, [online] http://daccess-dds-

ny.un.org/doc/UNDOC/GEN/N10/649/02/PDF/N1064902.pdf?OpenElement, (diakses tanggal 29

Maret 2012).

97

pertimbangan utama dalam resolusi ini. Berdasarkan surat tertanggal 20 Oktober

2010, perwakilan tetap Somalia di PBB telah meminta kepada Presiden DK PBB

untuk mengirim bantuan internasional dalam memerangi kejahatan piracy jure

gentium dan armed robbery di lepas pantai dan perairan teritorialnya. Dalam surat

yang sama, TFG juga memberikan persetujuan untuk memperbaharui periode

pelaksananaan tindakan kerjasama dengan negara-negara dan organisasi internasional

maupun regional dalam piracy jure gentium dan armed robbery di luar laut teritorial

dan perairan Somalia selama 12 bulan lagi.

Mengenai situasi yang ada di Somalia, Pasal 2 menekankan bahwa

ketidakstabilan yang terus berlangsung di Somalia turut berperan dalam permasalahan

piracy jure gentium dan armed robbery di luar laut teritorial dan perairannya. Hal ini

diperparah dengan terbatasnya kapasitas pemerintahan yang ada dan perundang-

undangan nasional dalam memfasilitasi penahanan dan penuntutan orang yang

dicurigai melakukan pembajakan, yang mana telah menghambat usaha-usaha yang

dilakukan komunitas internasional dalam melawan piracy jure gentium dan armed

robbery di luar laut teritorial dan perairan Somalia, bahkan dalam resolusi ini juga

menyatakan adanya keterlibatan anak dalam tindak kejahatan ini. Untuk itu perlu

suatu penanganan secara komprehensif untuk menangani permasalahan ini, yang

mana berdasarkan resolusi ini dapat ditempuh melalui menciptakan stabilitas dan

perdamaian di Somalia, memperkuat lembaga-lembaga negara, pengembangan

ekonomi dan social, penghormatan terhadap hak asasi manusia dan aturan hukum.

98

Dalam Pasal 8 ditekankan bahwa resolusi ini hanya diterapkan berkaitan

dengan situasi di Somalia dan tidak dimaksudkan untuk mendasari terbentuknya

suatu hukum internasional kebiasaan (customary international law).

h. Resolusi DK PBB 2015 (2011)108

Dalam resolusi ini lebih menekankan tentang pentingnya

mengkriminalisasikan piracy jure gentium dan armed robbery dalam hukum nasional

untuk mendukung pelaksanaan penuntutan dan pemenjaraan terhadap pelaku

kejahatan tersebut, selain itu dalam Pasal 16 dinyatakan bahwa perlu untuk segera

dibentuk pengadilan anti pembajakan (anti-piracy court) di Somalia dan negara-

negara lain di kawasan tersebut. Untuk itu dibutuhkan bantuan internasional dalam

membentuk pengadilan tersebut termasuk di dalamnya mengenai bantuan sumber

daya manusia dalam menjalankan operasional pengadilan tersebut.

Untuk mendukung hal tersebut, Pasal 17 menekankan pentingnya pengadilan

anti pembajakan untuk memiliki yurisdiksi atas tersangka yang ditangkap di laut,

orang yang memfasilitasi kejahatan piracy jure gentium dan armed robbery yang

terjadi, termasuk orang yang merencanakan, mengatur, memfasilitasi, mendanai, dan

menerima keuntungan dari tindakan kejahatan tersebut.

Mengimbangi semangat untuk memerangi kajahatan piracy jure gentium dan

armed robbery melalui peningkatan tuntutan dan hukuman penjara yang diberikan,

108

United Nations, 2011, “Security Council, Resolution 2015 (2011) Adopted by the Security Council

at its 6635th meeting, on 24 October 2011 “, [online] http://daccess-

ddsny.un.org/doc/UNDOC/GEN/N11/561/03/PDF/N1156103.pdf?OpenElement (diakses tanggal 29

Maret 2012).

99

maka Pasal 18 menekankan pentingnya untuk peningkatan kapasitas penjara yang

ada. Untuk itu diminta kepada otoritas Somalia, United Nation Office On Drugs and

Crimes (UNDOC), United Nations Development Programme (UNDP), dan

komunitas internasional lainnya untuk membantu pembangunan dan pengoperasian

penjara tersebut.

Selain langkah-langkah hukum yang diambil di atas, resolusi ini juga

menyatakan bahwa pentingnya untuk membangun potensi yang dimiliki Somalia

untuk mendorong pertumbuhan ekonomi berkelanjutan yang stabil, yang mana bisa

dijadikan sebagai salah satu alat untuk menanggulangi penyebab pembajakan,

termasuk kemiskinan, dengan demikian dapat berkontribusi dalam mengurangi

tingkat piracy jure gentium dan armed robbery di luar laut teritorial dan perairan

Somalia.

Resolusi ini juga kembali menyatakan bahwa tindakan memerangi piracy jure

gentium dan armed robbery yang dilakukan berdasarkan resolusi ini hanya diterapkan

di Somalia saja.

i. Resolusi DK PBB 2020 (2011)109

Dalam resolusi ini kembali menekankan mengenai: kurangnya kapasitas TFG

dalam melakukan investigasi dan melakukan penuntutan terhadap pelaku

pembajakan, serta dalam mengamankan jalur perairan internasional di luar laut

109

United Nations, 2011, “Security Council, Resolution 2020 (2011) Adopted by the Security Council

at its 6663rd meeting, on 22 November 2011”, [online] http://daccess-dds-

ny.un.org/doc/UNDOC/GEN/N11/604/21/PDF/N1160421.pdf?OpenElement, (diakses tanggal 29

Maret 2012).

100

teritorial dan perairan Somalia; ancaman yang ditimbulkan oleh piracy jure gentium

dan armed robbery di luar laut teritorial dan perairan Somalia terhadap perdamaian

internasional dan kemanan di kawasan tersebut; dan persetujuan yang diberikan oleh

TFG untuk keterlibatan komunitas internasional dalam memerangi piracy jure

gentium dan armed robbery di luar laut teritorial dan perairan Somalia. Persetujuan

ini diberikan berdasarkan surat tertanggal 10 November 2011 yang disampaikan oleh

perwakilan tetap Somalia di PBB kepada DK PBB. Dalam surat yang sama, TFG

juga memberikan persetujuan untuk pembaharuan periode selama 12 lagi untuk

negara-negara dan organisasi regional serta internasional melaksanakan tugasnya

sesuai dengan otoritas yang diberikan resolusi ini.

Otoritas yang diberikan dalam resolusi ini sama seperti otoritas yang tercakup

dalam Pasal 7 Resolusi DK PBB 1816 (2008), Pasal 10 Resolusi DK PBB 1846

(2008), Pasal 6 Resolusi DK PBB 1851 (2008), Pasal 7 Resolusi DK PBB 1897

(2009), dan Pasal 7 Resolusi DK PBB 1950 (2010), yang mana mengizinkan negara-

negara dan organisasi regional serta internasional yang bekerjasama dengan TFG,

dalam menjalankan operasi penanganan piracy jure gentium dan armed robbery,

dapat memasuki perairan tertorial Somalia, dan mengambil tindakan atas kejahatan

tersebut, seperti tindakan yang dilakukan terhadap pembajakan yang dilakukan di laut

lepas.

Dalam resolusi ini juga dapat dilihat beberapa entitas internasional yang telah

terlibat hingga saat ini dalam penanganan piracy jure gentium dan armed robbery di

luar laut teritorial dan perairan Somalia, yakni: Uni Eropa, North Atlantic Treaty

101

Organization (NATO), Combine Task Force 151, serta negara-negara lainnya yang

bekerjasama dengan TFG untuk memerangi pembajakan yang terjadi di sana. Selain

itu terdapat juga negara-negara yang bertindak secara individu dalam menjalankan

operasinya, yakni: Cina, India, Iran, Jepang, Malaysia, Korea Selatan, Rusia, Arab

Saudi, dan Yaman.

Pasal 10 menyatakan bahwa resolusi ini hanya diterapkan berkaitan dengan

situasi yang terjadi di Somalia saja dan tidak dimaksudkan untuk mendasari

terbentuknya suatu hukum internasional kebiasaan (customary international law).

Dalam semua resolusi yang dikeluarkan ini diakui bahwa situasi krisis di

Somalia dan kurangnya kapasitas pemerintahan Somalia telah berperan dalam

meningkatnya piracy jure gentium dan armed robbery yang terjadi di luar laut

teritorial dan perairan Somalia. Misalnya dalam Resolusi DK PBB 1846 (2008)

dinyatakan bahwa: “Taking into account the crisis situation in Somalia, and the lack

of capacity of the Transitional Federal Government (TFG) to interdict pirates or

patrol and secure either the international sea lanes off the coast of Somalia or

Somalia’s territorial waters”, atau dalam Resolusi DK PBB 1851 (2008) dinyatakan

bahwa: “Again taking into account the crisis situation in Somalia, and the lack of

capacity of the Transitional Federal Government (TFG) to interdict, or upon

interdiction to prosecute pirates or to patrol and secure the waters off the coast of

Somalia, including the international sea lanes and Somalia’s territorial waters”

Dalam Resolusi-Resolusi yang dikeluarkan ini juga ditegaskan bahwa piracy

jure gentium dan armed robbery yang terjadi telah mengancam perdamaian

102

internasional dan keamanan di kawasan tersebut. Oleh karenanya pemerintahan

resmi Somalia, TFG, meminta melalui DK PBB untuk mendapat bantuan dari dunia

internasional yakni dari negara-negara yang mempunyai kapal angkatan laut dan

pesawat militer di laut lepas dan di ruang udara di luar laut teritorial Somalia untuk

memerangi piracy jure gentium dan armed robbery yang terjadi di luar laut teritorial

dan perairan Somalia. Dalam resolusi yang dikeluarkan tersebut dinyatakan bahwa:

Decides that for a period of six months from the date of this resolution, States

cooperating with the TFG in the fight against piracy and armed robbery at sea off the

coast of Somalia, for which advance notification has been provided by the TFG to the

Secretary-General, may:

a. Enter the territorial waters of Somalia for the purpose of repressing acts

of piracy and armed robbery at sea, in a manner consistent with such

action permitted on the high seas with respect to piracy under relevant

international law; and

b. Use, within the territorial waters of Somalia, in a manner consistent with

action permitted on the high seas with respect to piracy under relevant

international law, all necessary means to repress acts of piracy and armed

robbery 110

Dari putusan ini dapat dilihat bahwa kewenangan yang diberikan kepada

negara-negara yang mengambil bagian untuk memerangi piracy jure gentium dan

armed robbery tidak hanya sebatas untuk melakukan tindakan yang diperlukan di

wilayah luar laut teritorial Somalia saja, tapi juga sampai ke dalam perairan teritorial

yang merupakan yurisdiksi dari Somalia sendiri. Dalam kata-kata yang digaris

bawahi di atas jelas menunjukkan ruang lingkup operasi yang besar yang dapat

dimasuki oleh negara-negara dalam memerangi piracy jure gentium dan armed

robbery yakni sampai ke wilayah yang seharusnya menjadi yurisdiksi dan berada di

110

Angka 7 Resolusi DK PBB 1816 (2008).

103

bawah kedaulatan dari Somalia. Sebagaimana diakui dalam UNCLOS 1982, dalam

perairan teritorial, kedaulatan suatu negara berlaku penuh atas segala sesuatu yang

ada dan terjadi di dalamnya, namun apa yang terjadi di Somalia menunjukkan hal

yang sebaliknya dengan keterlibatan negara lain dalam penanganan armed robbery

yang sebenarnya tunduk sepenuhnya pada yurisdiksi Somalia, karena terjadi di

wilayah perairannya.

Satu hal penting yang harus diingat dari semua Resolusi DK PBB yang

dikeluarkan adalah adanya peran Indonesia yang mendesak untuk dicantumkannya

pernyataan dalam resolusi-resolusi tersebut bahwa tindakan yang dilaksanakan untuk

pemberantasan piracy jure gentium dan armed robbery di luar laut teritorial dan

perairan Somalia hanya diterapkan di Somalia saja dan tidak untuk diterapkan atau

menjadi preseden untuk diterapkan di wilayah lain ataupun tidak menjadi sebuah

hukum internasional kebiasaan (customary international law).111

Hal ini sangat

ditekankan oleh Indonesia karena kekawatiran yang muncul dari pihak Indonesia

bahwa tindakan pemberantasan piracy jure gentium dan armed robbery yang

dilakukan di Somalia, yang mana melibatkan negara asing dalam penanganannya,

dapat juga diterapkan di perairan Selat Malaka-Singapura. Indonesia sebagai pihak

dalam UNCLOS 1982 tetap berpegang bahwa masalah piracy jure gentium dan

armed robbery merupakan masalah yang berbeda dan penanganannya pun berbeda.

Selain dibatasi oleh ratione loci yaitu hanya untuk diterpakan di Somalia saja,

resolusi-resolusi yang dikeluarkan mengenai penanganan piracy jure gentium dan

111

James Karaska, op.cit, hlm.156.

104

armed robbery di Somalia juga dibatasi oleh ratione temporis yaitu hanya berlaku

dalam jangka waktu tertentu saja.112

Resolusi DK PBB 1816 hanya berlaku dalam

jangka waktu 6 bulan; Resolusi DK PBB 1838 juga hanya berlaku selama 6 bulan;

Resolusi DK PBB 1846 berlaku selama 12 bulan; Resolusi DK PBB 1851 berlaku

selama 12 bulan; Resolusi DK PBB 1897 berlaku selama 12 bulan; Resolusi DK PBB

1918 berlaku selama 12 bulan; Resolusi DK PBB 1950 berlaku selama 12 bulan; dan

Resolusi DK PBB 2020 berlaku selama 12 bulan.

Dalam keterlibatan negara asing untuk penanganan armed robbery, yang

seharusnya menjadi kewenangan Somalia untuk menanganinya, keterlibatan mereka

ini didasarkan pada adanya persetujuan dari pemerintahan resmi Somalia, TFG,

kepada DK PBB. Sebagaimana yang tercantum dalam Resolusi DK PBB 1816 yang

di dalamnya tercantum bahwa: “…..Taking further note of the letter from the

Permanent Representative of the Somali Republic to the United Nations to the

President of the Security Council dated 27 February 2008, conveying the consent of

the TFG to the Security Council for urgent assistance in securing the territorial and

international waters off the coast of Somalia for the safe conduct of shipping and

navigation…”. Dari kalimat yang digaris bawahi tersebut jelas terlihat adanya

persetujuan dari TFG mengenai keterlibatan pihak asing dalam penanganan armed

robbery di perairan teritorialnya, yang sebenarnya tunduk pada yurisdiksinya.

Oleh karena itu tidak dapat dipahami bahwa keterlibatan pihak asing dalam

penanganan armed robbery serta-merta terjadi begitu saja karena kurangnya

112

Tullio Treves, op.cit, hlm.405.

105

kemampuan dari Somalia untuk mengatasi armed robbery. Dengan demikian dapat

dilihat juga bahwa pertimbangan akan kedaulatan Somalia sebagai negara yang

berdaulat tetap ada meskipun Somalia memiliki situasi krisis yang menyebabkan

ketidakstabilan di negara tersebut dan kurangnya kapasitas dalam menangani armed

robbery yang terjadi dalam wilayah yang menjadi yurisdiksinya sendiri.

B. Penanganan Armed Robbery di Selat Malaka-Singapura

1. Polemik Status Selat Malaka-Singapura pada Tahun 1970-1971

Selat malaka-Singapura merupakan selat yang berada diantara tiga negara

pantai, yaitu, Indonesia, Malaysia dan Singapura. Sehingga ketiga negara ini

mempunyai kepentingan yang besar atas keberadaan selat ini. Selat Malaka-

Singapura sebenarnya terdiri dari dua bagian, yaitu Selat Malaka yang terletak

diantara Indonesia dan Malaysia, serta bagian Selat Singapura yang terletak antara

Singapura dan Indonesia.

Di bagian selatan dari Selat Malaka, lebar selat tersebut kurang dari dua kali

12 mil,di bagian ini lebarnya kurang lebih 8 mil. Karena Indonesia sejak tahun 1957

telah mengakui lebar laut teritorial dan juga menyatakan bahwa di selat-selat yang

lebarnya kurang dari 24 mil, garis batas laut wilayah Indonesia dengan negara

tetangga ditarik di tengah-tengah selat (median line), dan malaysia juga menerima

keteapan lebar laut teritorial sejauh 12 mil, maka setelah mengadakan perundingan di

Jakarta pada Maret 1970, perjanjian antara Indonesia dan Malaysia tentang garis

batas laut wilayah masing-masing telah disepakati dan ditanda-tangani. Kesepakatan

tentang luas wilayah negara di selat tersebut diambil dari garis tengah yang ditarik

106

dari titik-titik terluar masing-masing negara di Selat Malaka tersebut. Perjanjian ini

telah diratifikasi oleh kedua negara dan mulai diberlakukan sejak pertukaran Piagam

Ratifikasi pada 8 Oktober 1971. Jadi, bagian Selat Malaka yang lebarnya kurang dari

24 mil, sejak saat itu, secara otomatis menjadi laut wilayah Indonesia dan Malaysia

yang berada di bawah kedaulatan Indonesia dan Malaysia. Dengan Singapura,

Indonesia juga telah melakukan kesepakatan perjanjian tentang garis batas laut

wilayah di bagian tengah Selat Singapura. Namun, kedua garis batas tersebut belum

bersambungan, baik di sebelah Barat maupun Timur Singapura.113

Selat singapura ini

sangat sempit, bahkan di bagian-bagian tertentu lebarnya kurang dari 3 mil.

Pada tahun 1970-an telah muncul upaya-upaya untuk menginternasionalisasi

Selat Malaka-Singapura. Hal ini dimulai dengan adanya keterlibatan Jepang untuk

melakukan detailed hydrographic survey. Survey pertama dilakukan berdasarkan

memorandum of understanding (MOU) yang ditandangani pada tanggal 21 Januari

1969 dan survey kedua dilakukan berdasarkan MOU yang ditandatangani pada

tanggal 14 Juli 1970. Permasalahan mulai muncul ketika pada survey kedua, Jepang

secara sepihak menyebarkan draft agreement kepada negara-negara tertentu di dunia

yang antara lain mengemukakan perlunya dibentuk badan internasional untuk

mengurusi Selat Malaka-Singapura. Badan ini disarankan terdiri dari negara-negara

pemakai selat ditambah ketiga negara tepi selat, yaitu, Indonesia, Malaysia dan

Singapura. Akhirnya draft ini beredar juga dalam sidang Inter-Governmental

113

Hasjim Dajalal, 2006, “Persoalan Selat Malaka-Singapura”, hlm.3, [online]

http://www.setneg.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=22&Itemid=33 (diakses

tanggal 9 Juni 2011).

107

Maritime Consultative Organization (IMCO). Indonesia dan Malaysia menolak

keterlibatan badan internasional untuk mengelola selat ini, mereka memandang hal ini

sebagai tindakan untuk menginternasionalisasi selat Malaka-Singapura. Indonesia dan

Malaysia menghendaki agar pengelolaan Selat tersebut diserahkan kepada negara di

tepi selat tersebut. Sedangkan pemerintah Singapura sendiri menolak ketentuan non-

internasionalisasi ini. Singapura merasa khawatir bahwa kalau hal itu diberlakukan

pelayaran internasional dapat terganggu. Kepentingan perdagangan dan perkapalan

pun akan sangat dirugikan.114

Posisi ketiga negara ini berkaitan dengan Selat Malaka-Singapura sangat

berbeda. Indonesia dan Malaysia yang menganut lebar laut teritorial 12 mil

mendukung konsep strait used for international navigation, yang mana ini berarti

selat Malaka masih berada dalam yurisdiksi negara-negara yang ada di tepi selat

tersebut. Sedangkan Singapura sebagai negara dengan pelabuhan yang besar,

menginginkan diterapkannya konsep international strait, yang mana hal ini berarti di

selat tersebut berlaku regim free transit, dengan demikian meskipun suatu passage

merugikan negara pantai namun mereka tidak dapat berbuat banyak.

Berdasarkan faktor-faktor itu, kepentingan atau pandangan Singapura sejak

semula lebih dekat dengan negara-negara maritim lainnya di dunia, khususnya

Amerika Serikat, Jepang, dan Inggris daripada negara pantai lainnya yang merupakan

negara tetangganya yang terdekat. Sebaliknya, posisi Indonesia dan Malaysia jelas

lebih dekat dengan posisi negara-negara selat lainnya seperti Spanyol, Moroko, Iran,

114

Ibid, hlm. 4-5.

108

Oman, dan Yaman Selatan,115

namun dalam Pertemuan Tingkat Menteri Oktober dan

November 1971 dihasilkan pernyataan bersama yang bisa menyelesaikan perbedaan

ini. Pertemuan ini menghasilkan Pernyataan Bersama Tiga Negara pada 16 Nopember

1971 sebagai berikut:

a. The three government agreed that the safety of navigation in the straits of

Malacca and Singapore is the responsibility of the coastal states

concerned;

b. The three governmet agreed on the need for tripartite cooperation on the

safety of navigation in the two straits;

c. The three government agreed that a body for cooperation to coordinate

efforts for the safety of navigation in the straits of Mallaca and Singapore

be established as soon as possible and that such body should be composed

of only the three coastal states concerned;

d. The three government also agreed that the problem of the safety of

navigation and the question of internasionalisation of the straits are two

separate issues;

e. The government of the Republic of Indonesia and of Malaysia agreed that

the straits of Malacca and Singapore are not international Straits while

fully recognizing their use for international shiping in accordance with the

princple of innocent passage. The Government of Singapore takes note of

the position of the Government of the Republic of Indonesia and Malaysia

on this point;

f. On the basis of this understanding the three government approved the

continuation of the hydrographic survey.

Pernyataan ketiga negara tepi Selat Malaka dan Singapura, 16 Nopember

1971, itu merupakan pernyataan yang sangat penting artinya dalam sejarah kedua

selat tersebut, yaitu:

a. Pernyataan ini berarti bahwa, mulai saat itu, dalam soal keselamatan

pelayaran Selat Malaka dan Selat Singapura tidak lagi dianggap sebagai

dua selat, tetapi sebagai satu selat. Ini sangat penting artinya karena

115

Catherine Zara Raymond, op.cit, hlm.35.

109

masalahnya kini telah menjadi masalah segitiga (tripartit) antara ketiga

negara pantai ( Indonesia , Malaysia dan Singapura).

b. Sesuai dengan prinsip unity antara Selat Malaka dan Selat Singapura itu,

ketiga negara pantai telah mengambil tanggung jawab untuk mengatur

keselamatan pelayaran di selat-selat tersebut. Ini berarti bahwa, sejak saat

itu, pengelolaan selat-selat tersebut dilakukan oleh atau melalui ketiga

negara pantainya. Prinsip tripartit ini ditegaskan pula oleh ketentuan yang

menyatakan bahwa “Badan Kerja Sama” yang mengurus hal ini hanya

terdiri dari ketiga negara pantainya.

c. Masalah Selat Malaka-Singapura dipecah menjadi masalah status hukum

selat dan keselamatan pelayaran. Ini berarti bahwa sekalipun ketiga negara

bersedia bekerja sama dalam soal-soal keselamatan pelayaran, namun,

status atau kedudukan hukum dari selat-selat tersebut sebagai wilayah

masing-masing negara tidak terpengaruh.

d. Ketiga negara bersedia melaksanakan hydrographic survey secara

bersama-sama di selat tersebut atas dasar pengertian seperti tersebut. Jika

pelaksanaan survey itu dilakukan melalui kerja sama dengan negara lain

(seperti Jepang), ia tidak akan menimbulkan implikasi bahwa ketiga

negara pantai tersebut telah melepaskan posisi mereka mengenai persoalan

Selat Malaka-Singapura.

e. Kesediaan Indonesia untuk menerima prinsip tripartit dalam pengaturan

keselamatan pelayaran ini merupakan bentuk konsensi yang sangat besar

110

dari pihak Indonesia (dan Malaysia) karena masalahnya terletak pada

semangat “bilateral” atau “unilateral”. Kesediaan ini didorong oleh politik

bertetangga baik yang dijalankan oleh Indonesia dan adanya keinginan

untuk dapat mengambil tindakan-tindakan yang efektif dan wajar untuk

melindungi kepentingan bersama dan pelayaran internasional.116

2. Status Selat Malaka-Singapura dalam UNCLOS 1982

Selat Malaka-Singapura telah lama menjadi jalur perdagangan internasional

sejak zaman kerajaan di Indonesia dan belum berlakunya hukum laut. Jalur ini

menghubungkan Samudera Hindia dengan Samudera Pasifik, serta Asia Barat dengan

Asia Timur. Setelah berlakunya UNCLOS 1982 yang dalam Bab III mengatur

mengenai selat yang digunakan untuk pelayaran internasional, maka selat Malaka-

Singapura masuk dalam kategori ini. Kategori selat yang digunakan untuk pelayaran

internasional adalah selat yang menghubungkan Laut lepas atau ZEE dengan Laut

Lepas atau ZEE yang lainnya.117

Berkaitan dengan hal ini, Selat Malaka-Singapura

merupakan selat yang menghubungkan antara Samudera Hindia dengan Samudera

Pasifik, yang merupakan laut lepas.

UNCLOS juga menetapkan bahwa status suatu perairan yang merupakan selat

yang digunakan untuk perairan internasional tidak boleh mempengaruhi status hukum

perairan yang merupakan selat yang demikian atau pelaksanaan kedaulatan atau

116

Hasjim Djalal, op.cit, hlm.8. 117

Pasal 34 UNCLOS 1982.

111

yurisdiksi negara yang berbatasan dengan selat tersebut.118

Hal ini mencerminkan

bahwa kedaulatan dan yurisdiksi negara tepi selat tetap merupakan pertimbangan

utama berkaitan dengan pengelolaan dan pengamanan selat tersebut. Rezim selat

yang digunakan untuk perairan internasional juga tidak mempengaruhi status perairan

dalam selat tersebut, karena dalam selat tersebut bisa saja terdapat perairan

pedalaman, perairan teritorial, ZEE ataupun laut lepas. Karena berada dalam

yurisdiksi ketiga negara yang berada di tepinya, maka pengelolaan selat ini tunduk

pada yurisdiksi negara tersebut, dengan memperhatikan pengaturan mengenai selat

yang digunakan untuk pelayaran internasional dalam UNCLOS 1982.

Selat Malaka-Singapura sendiri merupakan selat yang sempit, di beberapa

bagiannya hanya seluas 1,5 mil laut, namun di beberapa bagiannya memiliki luas 300

mil laut, meskipun begitu wilayah laut tersebut masih berada dalam ZEE Indonesia

dan Malaysia.119

Dengan demikian di Selat Malaka-Singapura tidak terdapat laut

lepas. Sehingga di dalamnya juga tidak ada piracy jure gentium, yang ada adalah

armed robbery yang tunduk pada kewenangan negara tempat kejadian tersebut

terjadi.

118

Pasal 34 ayat (1) UNCLOS 1982. 119

Russel Denise, op.cit, hlm.62.

112

Gambar 1. Peta Zona Maritim Selat-Malaka-Singapura (sebagaimana

diklaim negara pantai)

113

Gambar 2. Peta Zona Maritim Selat Malaka-Singapura (sesuai dengan

hukum internasional)

Selat Malaka-Singapura merupakan salah satu jalur perkapalan paling penting

di dunia. Dengan menggunakan selat ini, kapal tanker super besar yang mengangkut

minyak dari Timur Tengah ke timur jauh dapat menghemat jarak sampai 1.600 km,

yang berarti menghemat waktu perjalanan sebanyak tiga hari. Saat ini Selat Malaka-

114

Singapura merupakan jalur perkapalan dunia yang kedua paling sibuk di dunia

dengan rata-rata 200 kapal berlayar setiap harinya.120

Setiap kapal yang melalui selat ini tidak hanya menanggung resiko terjadinya

kecelakaan kapal akibat selat yang sempit, namun juga menghadapi resiko

pembajakan. Untuk lebih jauhnya mengenai pembajakan yang terjadi di selat Malaka-

Singapura akan dibahas dalam pokok bahasan berikut di bawah.

3. Kerjasama dalam Penanganan Armed Robbery di Selat Malaka-

Singapura

Untuk meilihat mengenai penanganan Armed Robery di Selat Malaka-

Singapura maka perlu diketahui bahwa dalam pengelolaan Selat Malaka-Singapura

terdapat beberapa isu penting yang akan sangat terkait dengan kedaulatan, dan

yurisdiksi dari negara pantai atas wilayah selat tersebut. Tiga isu penting yang terkait

dengan pengelolaan Selat Malaka-Singapura adalah mengenai masalah keamanan

(security), keselamatan pelayaran (safety of navigation), dan perlindungan

lingkungan. Permasalahan armed robbery merupakan bagian dari permasalahan

keamanan yang mana hal ini merupakan hak prerogratif yang sepenuhnya berada

pada negara pantai. Sedangkan mengenai permasalahan keselamatan pelayaran dan

perlindungan lingkungan, hal tersebut sepenuhnya merupakan tanggungjawab utama

dari negara pantai tapi terbuka kemungkinan untuk melakukan kerjasama dengan

negara Pengguna selat dan stakeholders terkait.

120

Alex Dali, “Piracy Attack In Malacca Strait”, hlm.1, [online]

http://www.southchinasea.org/docs/piracy%20hot%20spots-alex%20dali.pdf (diakses tanggal 6 juni

2011).

115

Perjuangan dalam menjadikan Selat Malaka-Singapura sebagai bagian dari

laut teritorial negara yang berada di tepi selat tersebut telah dimulai melalui

pertemuan tiga Menteri Luar Negeri dari tiga negara tepi selat (Indonesia, Malaysia,

dan Singapura) yang diadakan pada tahun 1971. Pada pertemuan ini, antara lain

disepakati bahwa pengelolaan Selat Malaka-Singapura merupakan kewenangan

negara pantai dan ditegaskan juga dalam forum ini bahwa Selat Malaka-Singapura

bukan merupakan selat internasional.121

Hal ini dipertegas karena telah ada upaya-

upaya yang dilakukan oleh negara-negara maritim besar, yang juga merupakan negara

pengguna Selat Malaka-Singapura, untuk menginternasionalisasi selat ini sehingga

bisa ikut terlibat dalam penanganan keamanan di dalamnya.

Melalui Pasal 34 UNCLOS 1982, kedaulatan negara pantai yang berada di

tepi selat yang digunakan untuk pelayaran internasional juga diakui, sehingga

mengenai penanganan keamanan di Selat Malaka-Singapura sepenuhnya merupakan

hak prerogratif negara pantai. Kerjasama dengan negara lain memang dimungkikan

oleh UNCLOS tapi itu hanya dalam hal-hal yang berkaitan dengan permasalahan

keselamatan pelayaran (safety of Navigation) dan lingkungan, bukan berkaitan

dengan permasalahan keamanan (security).

Berdasarkan hal ini, maka dibentuk suatu forum sebagai wadah kerjasama,

dibawah kerangka kerjasama TTEG on Safety of Navigation and Environmental

Protection, antara negara tepi selat dan negara pengguna selat (user States) serta

121

Kementrian Luar Negeri, 2012, “Kerjasama Penanganan Piracy dan Armed Robbery Against Ships

At Sea”, hlm.3.

116

pemangku kepentingan lainnya, serta untuk mengakomodasi keinginan negara

pengguna, maupun pemangku kepentingan lainnya (industri perkapalan, pemilik

kapal, entitas pelayaran,dsb) dalam pengelolaan Selat Malaka-Singapura.122

Kerjasama ini Dibentuk berdasarkan hasil pertemuan Enhancing Safety, Security dan

Enviromental Protection di Singapura pada tanggal 4-6 September 2007 (Singapore

meeting) antara negara pantai dan negara pengguna.123 Kerangka kerjasama ini

dilakukan melalui Cooperative Mechanism (CM),124

namun harus diingat bahwa

kerjasama ini hanya khusus untuk menangani permasalahan keselamatan pelayaran

dan perlindungan lingkungan di selat tersebut.

CM ditujukan untuk mendorong dialog dan memfasilitasi kerjasama yang

lebih erat antara negara pantai dan negara pengguna serta pemangku kepentingan

lainnya yang didasarkan atas prinsip-prinsip fundamental sebagai berikut:

a. Menegaskan kembali kedaulatan, hak berdaulat, yurisdiksi dan integritas

wilayah negara pantai di Selat Malaka-Singapura;

b. Sejalan dengan prinsip hukum internasional terutama pasal 34 dan 43

UNCLOS 1982;

c. Dibentuk di dalam kerangka TTEG mengenai keselamatan pelayaran di

Selat Malaka-Singapura dan pengegasan bahwa kewajiban utama

mengenai keselamatan pelayaran dan perlindungan lingkungan di Selat

Malaka-Singapura merupakan tanggung jawa negara pantai;

d. Memperhatikan kepentingan negara-negara pengguna dan pemangku

kepentingan lainnya terhadap peran yang dapat mereka lakukan di Selat

Malaka-Singapura; dan

e. Mengupayakan agar bentuk dan kerangka kerjasama antara negara pantai

dan negara-negara pengguna di Selat Malaka-Singapura ditetapkan

122

Kementrian Luar Negeri, op.cit, hlm.4. 123

Ibid. 124

James Kraska, Op.cit, hlm.147.

117

melalui rangkaian pertemuan di Jakarta (2005), Kuala lumpur (2006), dan

Singapura (2007).125

Dari prinsip-prinsip ini jelas sekali terlihat bahwa kedaulatan negara pantai

atas Selat Malaka-Singapura diakui, sehingga kewenangan negara pantai merupakan

pertimbangan utama dalam pengelolaan Selat Malaka-Singapura. Keterlibatan negara

pengguna dan pemangku kepentingan lainnya harus melalui otorisasi dari negara

pantai. Salah satu indikatornya adalah keterlibatan negara pengguna dan pemangku

kepentingan lainnya dalam bidang keselamatan pelayaran dan perlindungan

lingkungan Selat Malaka-Singapura dilaksanakan melalui kerangka kerjasama forum

TTEG yang merupakan bentukan ketiga negara pantai yang berada di tepi selat.

Penanganan armed robbery sendiri, yang merupakan persoalan keamanan,

telah dilaksanakan oleh Indonesia, Malaysia dan Singapura melalui pembentukan

Malacca Strait Security Patrol (MSSP) yang mana strategi yang digunakan di

dalamnya adalah Patroli Terkoordinasi (PATKOR) diantara Indonesia, Malaysia, dan

Singapura tanpa melibatkan pihak asing di dalamnya.126

PATKOR berarti masing-

masing negara bertanggungjawab untuk melakukan patroli di bagian yang menjadi

miliknya di Selat Malaka-Singapura dan kapal yang melakukan patroli tetap berada

pada komando nasional masing-masing.127

Skema kerjasama ini kemudian diaplikasikan dalam bentuk kerjasama

bilateral antara Malaysia- Indonesia (MALINDO), Indonesia-Singapura (INDOSIN),

125

Kementrian Luar Negeri, Loc.cit. 126

Harnit Kaur Kang, 2009, “Gulf of Aden vs Malacca Strait Piracy and Counter-piracy efforts”,

Institute of Peace and Conflict Studies, New Delhi, hlm.2. 127

Ian Storey, loc.cit.

118

dan kerjasama trilateral antara Malaysia-Singapura-Indonesia (MALSINDO). Melalui

kerjasama ini dimungkinkan untuk dilakukannya navy to navy talks guna membahas

isu-isu teknis seperti Rules of Engagement (RoE) atau pun pengejaran seketika (hot

pursuit).128

Dalam perkembangannya, kerjasama pengamanan Selat Malaka-Singapura

terus berkembang dengan melibatkan negara di luar negara pantai yang berada di tepi

selat untuk segmen-segmen tertentu di selat tersebut. Misalnya keterlibatan Thailand

dalam kerjasama pengawasan eyes in the sky (EiS). Keterlibatan Thailand dalam

organisasi pengamanan Selat Malaka-Singapura diformalkan pada tahun 18

september 2008 melalui penandatanganan TOR MSP JCC antara panglima 4 negara

(Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Thailand) di Bangkok. Kerjasama ini mengubah

MALSINDO menjadi MALSINDOTHAI. Selain Thailand, negara lain yang terlibat

dalam pengawasan di sekitar Selat Malaka-Singapura adalah India. India terlibat

dalam melakukan PATKOR di sekitar perairan Selat Malaka-Singapura yang

berbatasan dengan Samudera Hindia.129

Namun, hal penting yang harus diperhatikan

dalam hal ini adalah keterlibatan Thailand dan India dibatasi hanya pada segmen-

segmen tertentu di Selat Malaka-Singapura saja, tidak di semua wilayah Selat

tersebut, dan keterlibatan mereka hanya atas dasar otorisasi dari negara pantai yang

memiliki kedaulatan dan yurisdiksi di kawasan selat tersebut. Dengan demikian

keterlibatan negara lain dalam pengamanan Selat Malaka-Singapura ini tidak

128

Kementrian Luar Negeri, op.cit. 129

Ibid.

119

menunjukkan bahwa kedaulatan negara tepi selat menjadi berkurang, namun

sebaliknya menunjukkan manifestasi kedaulatan yang dimiliki negara pantai melalui

pemberian izin bagi Thailand dan India untuk terlibat dalam pengamanan Selat

Malaka-Singapura di segmen-segmen tertentu.

Bentuk kerjasama operasional yang dikembangkan dalam pengamanan Selat

Malaka-Singapura adalah:

a. Di wilayah laut disebut Malacca Straits Sea Patrol (MSSP) yang

pelaksanaannya merupakan patroli terkoordinasi di wilayah masing-

masing;

b. Di wilayah udara dilaksanakan patroli maritim udara bersama yang

disebut Eyes in the Sky (EiS). Patroli ini dilaksanakan melalui penggunaan

pesawat dari salah satu negara secara bergantian dan di dalamnya terdapat

awak pesawat sebagai LO dari negara lainnya yang disebut Combine

Mission Patrol Team (CMPT). Patroli ini bertujuan untuk mendukung

patroli di laut;

c. Dalam rangka mendukung patroli tersebut maka diadakan pertukaran

informasi (intelegence information).130

Kerjasama ini terbukti telah berhasil menurunkan tingkat armed robbery yang

terjadi di kawasan ini. Dalam laporan tahunan IMO mengenai piracy dan armed

robbery pada tahun 2009 dilaporkan bahwa tingkat armed robbery di Selat Malaka-

Singapura dalam kurun waktu tahun 2004 hingga 2008 terus mengalami tingkat

130

Joyce Dela Pena, op.cit.

120

penurunan yang signifikan. Sekitar 50 kasus armed robbery terjadi pada tahun 2004

namun pada tahun 2008 menurun menjadi menjadi sekitar 8 kasus.131

Keberhasilan

ini telah menjadi kawasan ini sebagai jalur yang aman untuk dilayari kapal setelah

sebelumnya dianggap sebagai salah satu perairan paling berbahaya di dunia,132

namun

kewaspadaan untuk tetap meningkatkan pengawasan harus terus dilakukan, karena

berdasarkan laporan tahunan ReCAAP tahun 2011 dilaporkan bahwa terjadi

peningkatan armed robbery yang terjadi di Selat Malaka-Singapura pada tahun 2011

menjadi 24 kasus dari yang sebelumnya hanya 5 kasus pada tahun 2010 dan 6 kasus

pada tahun 2009.133

Biarpun demikian, hasil 1 tahun terakhir tidak bisa dijadikan

patokan untuk mengatakan bahwa kawasan ini kembali menjadi salah satu perairan

paling berbahaya di dunia.

131

IMO, 2009, “International Maritime Organization Annual Reports on Acts of Piracy and Armed

Robbery Agaimst Ships 2009”, hlm.29. 132

Yonah Alexander dan Tyler B. Richardson, op.cit. 133

Regional Cooperation Agreement On Combating Piracy and Armed Robbery Against Ships In

Asia, 2011, “Piracy and Armed Robery Against Ships In Asia”, Annual Report, Januari – Desember

2011, hlm.41.

121

Matrix 2. Piracy dan Armed Robbery di Selat Malaka-Singapura Periode

2003 – 2001

Sumber: ReCAAP Annual Report 2011

Data yang dihasilkan oleh IMO dan ReCAAP jelas telah menunjukkan

kestabilan keamanan yang dihasilkan oleh kerjasama MSSP yang dilakukan oleh

Malaysia, Indonesia, dan Singapura bersama Thailand dan India. Namun anehnya

dalam beberapa literatur dan laporan masih saja mencantumkan Selat Malaka-

Singapura sebagai salah satu perairan yang berbahaya di dunia. Misalnya saja Lloyd

tetap mengkategorikan Selat Malaka-Singapura sebagai high-risk zone bagi piracy

dan terorisme tanpa berkonsultasi dan mempertimbangkan usaha negara pantai dalam

mengamankan kawasan ini. Hal ini juga yang menjadi salah satu point pernyataan

dari tiga Menteri Luar Negeri (Indonesia, Malaysia, Singapura) yang dinyatakan

dalam The Batam Joint Statement of the 4th

Tripartite Ministerial Meeting of the

122

Litoral States on the Straits of Malacca and Singapore tanggal 2 agustus 2005, yang

mana mereka menyatakan penyesalannya atas penilaian yang dilakukan oleh

Lloyd.134

Dalam Laporan tahuhan yang dikeluarkan oleh IMB pada tahun 2010 dan

2011 juga masih mencantumkan kawasan Selat Malaka-Singapura sebagai kawasan

yang beresiko tinggi untuk terjadinya armed robbery, padahal dalam laporan yang

sama juga mengakui telah terjadi tingkat penurunan armed robbery yang sangat

signifikan dari tahun ke tahun.135

Oleh karena itu Badan Koordinasi Keamanan Laut

menyatakan bahwa apa yang disampaikan IMO dan IMB masih perlu dikaji

kebenaran data yang menyudutkan Indonesia yang rawan keamanan lautnya secara

internasional.136

Sebagaimana dijelaskan diatas bahwa rezim selat yang digunakan untuk

pelayaran internasional tidak mengubah status dari perairan yang ada dalam selat

tersebut, sehingga pada bagian-bagian tertentu yang menjadi milik Indonesia,

Indonesia memiliki yurisdiksi untuk melakukan pengelolaan wilayah tersebut, hal ini

mencakup juga pengelolaan kemanan di Selat tersebut. Sebagaimana telah dijelaskan

sebelumnya juga bahwa kerjasama yang dilakukan oleh Indonesia, Malaysia, dan

Singapura adalah kerjasama dalam bentuk koordinasi bukan dalam bentuk gabungan,

sehingga masing-masing pihak melakukan pengamanan di wilayahnya sendiri dan

134

The Batam Joint Statement of The 4th Tripartite Ministerial meeting of the Litorlal States on the

Straits of Malacca and Singapore tanggal 2 agustus 2005 Angka 14. 135

International Maritime Bureau, op.cit, hlm.21. 136

Badan koordinasi kemanan laut, 2009, Kebijakan Keselamatan Dan Keamanan Transportasi Laut.

Badan Koordinasi Keamanan Laut, Jakarta, hlm.78-79.

123

saling membagi informasi mengenai hal tersebut. Oleh karena itu dalam bagian ini

penting juga untuk melihat bagaimana hukum nasional Indonesia mengatur mengenai

armed robbery.

Pengaturan mengenai armed robbery dapat ditemukan dalam KUHP, namun

KUHP tidak menggunakan istilah armed robbery, di dalamnya terdapat beberapa

tindak kejahatan yang mempunyai kesamaan dengan definisi armed robbery dalam

hukum internasional. Pengaturan mengenai hal-hal tersebut terdapat dalam Pasal 439,

440, dan 441. Dalam Pasal 439 dinyatakan bahwa:

1) Diancam karena melakukan pembajakan di tepi laut dengan pidana

penjara paling lama lima belas tahun, barang siapa dengan memakai kapal

melakukan perbuatan kekerasan terhadap kapal lain atau terhadap orang

atau barang di atasnya, di perairan Indonesia.

2) Yang dimaksud dengan wilayah laut Indonesia yaitu wilayah "Territoriale

zee en maritieme kringen ordonantie, S. 1939 442."

Dalam Pasal 440 ditetapkan bahwa “Diancam karena melakukan pembajakan

di pantai dengan pidana penjara paling lama limabelas tahun, barang siapa yang di

darat maupun di air sekitar pantai atau muara sungai, melakukan perbuatan kekerasan

terhadap orang atau barang di situ, setelah lebih dahulu menyeberangi lautan

seluruhnya atau sebagiannya untuk tujuan tersebut.” Sedangkan dalam Pasal 441

ditetapkan bahwa: “diancam karena melakukan pembajakan di sungai dengan pidana

penjara paling lama lima belas tahun, barang siapa dengan memakai kapal melakukan

perbuatan kekerasan di sungai terhadap kapal lain atau terhadap orang atau barang di

atasnya, setelah datang ke tempat dan untuk tujuan tersebut dengan kapal dari tempat

lain.”

124

Dari ketiga pasal tersebut terdapat tiga istilah yang sama dengan armed

robbery yakni pembajakan di tepi laut, pembajakan di pantai, dan pembajakan di

sungai. Unsur utama yang ada dalam kejahatan tersebut adalah adanya tindak

kekerasan yang dilakukan terhadap kapal lain, orang atau barang yang ada di atasnya.

Kejahatan tersebut juga harus dilakukan dalam wilayah yang di mana Indonesia

masih memiliki kedaulatan di atasnya, yang mana dalam ketiga pasal di atas

kejahatan tersebut terjadi di wilayah perairan Indonesia, wilayah pantai atau muara

sungai, dan sungai. Mengenai wilayah perairan Indonesia, dalam Pasal 439 masih

mendasarinya pada Ordonansi Laut Teritorial dan Lingkungan Maritim 1939, yang

mana mengatur lebar laut teritorial hanya sejauh 3 mil laut.

Jika dibandingkan dengan pengertian armed robbery yang diatur dalam

ReCAAP dan Resolusi IMO A.922(22) Code of Practice for the Investigation of the

Crimes of Piracy and Armed Robbery against Ships, pengertian yang ada dalam

KUHP dirasa tidak sesuai dengan substansi yang dikehendaki.

Dalam Pasal 2 ReCAAP, armed robbery didefiniskan sebagai: Any illegal

acts of violance or detention, or any act of depredation, commited for private ends

and directs against aship, or against persons or property on board such ship, in a

place within a Contracting Party’s jurisdiction. IMO mendefinisikan armed robbery

sebagai: any unlawful act of violence or detention or any act of depredation, or threat

125

thereof, other than an act of piracy, directed against a ship or against persons or

property on board such a ship, within a State’s jurisdiction over such offences.137

Dari pengertian tersebut di atas dapat dilihat bahwa:

a) Pengertian armed robbery dalam KUHP hanya mencakup setiap tindakan

kekerasan terhadap kapal lain atau barang dan orang di atasnya, tidak

secara jelas menyebut tentang tindakan penahanan (detention) dan

perampasan (depredation) seperti yang disebutkan dalam ReCAAP dan

Resolusi IMO A.922(22) Code of Practice for the Investigation of the

Crimes of Piracy and Armed Robbery against Ships. Dalam kedua

instrumen ini, selain tindakan kekeras (violance), dicantumkan pula

tindakan penahanan (detention) dan perampasan (depredation).

b) Dalam KUHP masih menggunakan wilayah laut teritorial yang diatur

dalam Ordonansi Laut Teritorial dan Lingkungan Maritim yang hanya

seluas 3 mil laut. Hal ini jelas tidak menguntungkan bagi Indonesia dalam

menegakan kedaulatannya di wilayahnya, karena lebar laut teritorial 3 mil

laut sudah tidak berlaku lagi. Namun karena Indonesia telah meratifikasi

UNCLOS 1982 maka lebar laut teritorial yang berlaku adalah 12 mil laut.

Meskipun demikian masalah yang tertinggal adalah dalam KUHP tidak

mengatur mengenai armed robbery di wilayah ZEE, hal yang sama juga

terjadi dalam ReCAAP dan Resolusi IMO A.922(22) Code of Practice for

137

IMO Resolution A.922(22) Code of Practice for the Investigation of the Crimes of Piracy and

Armed Robbery against Ships.

126

The Investigation of the Crimes of Piracy And Armed Robbery against

Ships. Dalam kedua perjanjian tersebut memang menyebutkan bahwa

armed robbery terjadi dalam wilayah yang masih dalam yurisdiksi negara

pihak, tapi dalam penandatanganannya diantara sesama negara pihak

belum mencapai persetujuan mengenai armed robbery yang terjadi di

wilayah ZEE.

c) KUHP dalam mengatur mengenai armed robbery masih menggunakan

istilah pembajakan, yang mana dalam bahasa inggrisnya berarti piracy.

Padahal istilah piracy dan armed robbery sangat berbeda. Piracy lebih

condong kepada definisi pasal 101 UNCLOS 1982 yang mana mengatur

mengenai piracy jure gentium yang kepadanya berlaku yurisdiksi

universal. Sedangkan yang dimaksud pembajakan ditepi laut dalam KUHP

lebih dimaksudkan kepada pengertian armed robbery yang menjadi

kewenangan dari negara di mana kejadian tersebut terjadi.138

Jadi istilah

yang lebih tepat digunakan adalah perampokan bersenjata (armed

robbery) bukan pembajakan (piracy) di tepi laut.

Pembajakan di tepi laut, pembajakan di pantai dan muara sungai, serta

pembajakan di sungai yang di atur dalam KUHP merupakan wilayah laut yang batas

terluarnya sampai perairan terorial saja, padahal berdasarkan UNCLOS 1982 negara

pantai masih diberikan hak berdaulat atas wilayah di luar dari laut teritorial. Hal

138

Intisari sambutan Menteri Pertahanan Republik Indonesia dalam Seminar nasional PPAL

“Problema Pembajakan di Laut dan penanganannya” dalam Jalasena. No.04/1 Agustus 20011, hlm.15.

127

inilah yang harus diperhatikan dalam pengaturan armed robbery dalam hukum

nasional Indonesia.

C. Perbandingan Penanganan Piracy Jure Gentium dan Armed Robbery di

Luar Laut Teritorial dan Perairan Somalia dengan di Selat Malaka-

Singapura

Sebagaimana yang dibahas di atas dalam penanganan piracy jure gentium dan

armed robbery di Somalia yang melibatkan kekuatan militer asing, setidaknya

didasarkan pada tiga faktor yang dipertimbangkan, yakni, masalah ketidakmampuan

Somalia dalam mengatasi permasalahan piracy jure gentium dan armed robbery di

lepas pantai dan perairan Somalia, besarnya ancaman yang timbul bagi dunia

internasional akibat dari piracy jure gentium dan armed robbery yang terjadi di sana,

dan adanya persetujuan TFG untuk meminta bantuan internasional.

Hal yang sama tidak bisa diterapkan di wilayah Selat Malaka-Singapura

karena wilayah tersebut merupakan wilayah yang berada dalam yurisdiksi negara

pantai yang berada di tepi selat tersebut, yaitu Indonesia, Malaysia, dan Singapura.

Seperti yang dibahas di atas bahwa pada wilayah tertentu di Selat Malaka-Singapura

luasnya lebih dari 300 mil laut, tapi wilayah tersebut masih masuk dalam ZEE

Indonesia dan Malaysia, sehingga di dalamnya, berdasarkan UNCLOS 1982, masih

berlaku yurisdiksi negara pantai tersebut dan di dalamnya tidak terdapat laut lepas.

Dengan demikian di Selat Malaka-Singapura tidak terdapat piracy jure gentium, yang

ada hanyalah armed robbery. Oleh karena itu, penanganan armed robbery di wilayah

Selat Malaka-Singapura, sebagaimana definisi yang ada dalam Resolusi IMO

A.922(22) Code of Practice for the Investigation of the Crimes of Piracy and Armed

128

Robbery against Ships dan ReCAAP, yurisdiksinya berada pada negara pantai yang

berada di tepi selat, yaitu Indonesia, Malaysia, dan Singapura.

Hal berikutnya yang menjadi pertimbangan ketika membandingkan armed

robbery di Somalia dan di Selat Malaka-Singapura adalah mengenai kemampuan

negara untuk mengatasi tindakan tersebut. Dengan adanya pemberontakan dan perang

saudara telah menempatkan Somalia dalam kodisi krisis yang berkepanjangan dari

tahun 1991 hingga sekarang sehingga tidak mampu untuk membentuk pemerintahan

yang stabil, bahkan pemerintahan yang ada tidak mampu mengendalikan situasi di

sana, dan Somalia sendiri tidak memiliki kekuatan militer yang cukup untuk

mengamankan wilayah perairannya dari ancaman armed robbery. Hal yang berbeda

justru terjadi di Selat Malaka-Singapura. Setelah krisis ekonomi yang menerpa Asia

pada akhir 1997 mendorong meningkatnya armed robbery di wilayah Selat Malaka-

Singapura, namun dengan kerjasama yang dibangun oleh Indonesia, Malaysia, dan

Singapura untuk mengamankan wilayah tersebut telah berhasil menurunkan tingakat

armed robbery di wilayah tersebut secara drastis. Hal ini menunjukkan kemampuan

dari negara-negara tersebut untuk mengamankan wilayahnya.

Kemampuan Indonesia, Malaysia, dan Singapura dalam mengatasi armed

robbery di Selat Malaka-Singapura, terlihat dari semakin menurunya tingkat

kejahatan armed robbery di kawasan ini. Sebagaimana yang dijelaskan di atas, hingga

saat ini, Selat Malaka-Singapura telah berubah menjadi kawasan yang relativ aman,

berbeda dari sebelumnya yang masih termasuk jalur pelayaran yang berbahaya. Hal

ini menunjukkan bahwa dalam pengamanan selat tersebut tidak dibutuhkan bantuan

129

pihak asing untuk terlibat secara langsung dalam penanganannya sebagaimana yang

terjadi di Somalia. Kerjasama tiga negara pantai, Indonesia, Malaysia, dan Singapura

di Selat tersebut melalui MSSP, yang dilaksanakan melalui strategi PATKOR, dan

kerjasama MALINDO, INDOSIN, MALSINDO, terbukti berhasil mengamankan

selat tersebut dari kejahatan armed robbery.

Berbeda dari keterlibatan komunitas internasional dalam penanganan piracy

jure gentium dan armed robbery di luar laut teritorial dan perairan Somalia yang

mendapat persetujuan dari TFG, dalam penanganan armed robbery di Selat Malaka-

Singapura, ketiga negara pantai yang berbatasan dengan selat tidak pernah

memberikan persetujuan untuk melibatkan pihak lain untuk mengamankan selat

tersebut, keterlibatan negara lain berdasarkan Batam Joint Statement dan The Co-

Operative Mechanism Between the Littoral States and User States on Safety of

Navigation and Environmental Protection in the Straits of Malacca and Singapore

hanya sebatas pada pemberian bantuan teknis, tidak terlibat secara langsung dalam

pengamanannya. Dalam perkembangannya memang melibatkan Thailand dan India,

namun itu hanya sebatas pada segmen-segmen tertentu di luar dari Selat Malaka-

Singapura. Dengan demikian tidak ada satu negara pun yang dapat turut terlibat

dalam penanganan armed robbery di Selat Malaka-Singapura, kecuali telah ada

persetujuan dari ketiga negara pantai yang berbatasan langsung dengan selat.

Penanganan piracy jure gentium di luar laut teritorial dan perairan Somalia

tidak bisa diterapkan di Selat Malaka-Singapura karena dalam semua resolusi terkait

penanganan piracy jure gentium dan armed robbery di Somalia ditegaskan bahwa apa

130

yang diterapkan di Somalia, hanya diterapkan di sana saja dan tidak bisa diterapkan

di wilayah lain, tidak juga menjadi hukum internasional kebiasaan (customary

international law). Dengan demikian hal tersebut terbatas pada satu tempat saja dan

tidak bisa diterapkan di tempat lain.

131

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Piracy jure gentium dan armed robbery adalah dua permasalahan yang

berbeda, terhadap piracy jure gentium dapat dikenakan yurisdiksi

universal dan locus delicti-nya terjadi di wilayah laut lepas atau di luar

yurisdiksi negara lain, sedangkan armed robbery locus delicti-nya berada

dalam yurisdiksi suatu negara sehingga tunduk pada yurisdiksi negara di

mana kejahatan tersebut terjadi oleh karena itu kedua permasalahan ini

harus diatur secara berbeda juga, akan tetapi dalam aturan-aturan hukum

internasional yang ada saat ini, tidak ada satu aturan internasional yang

berlaku secara global yang membedakan secara jelas antara piracy jure

gentium dan armed robbery. UNCLOS 1982 sebagai hukum laut

internasional yang berlaku secara global hanya mengatur mengenai

permasalahan piracy jure gentium, sedangkan permasalahan armed

robbery dapat ditemukan dalam aturan-aturan internasional yang mengikat

negara-negara di kawasan tertentu saja seperti ReCAAP yang hanya

berlaku diantara beberapa negara saja, yakni China, Jepang, Korea

Selatan, Bangladesh, India, Sri Lanka dan 10 negara Asean. Pengaturan

mengenai armed robbery juga dapat ditemukan dalam Resolusi IMO

A.922(22) Code of Practice for the Investigation of the Crimes of Piracy

and Armed Robbery against Ships, yang mana hanya beberbentuk soft law

132

dan tidak mempunyai kekuatan mengikat dan memaksa bagi negara-

negara yang ada. Mengingat perbedaan antara kedua hal ini, yang mana

terhadap piracy jure gentium berlaku yurisdiksi universal dan terhadap

armed robbery berlaku yurisdiksi negara di mana kejadian tersebut terjadi,

maka dibutuhkan suatu aturan internasional global untuk mengatur

mengenai permasalahan ini, terutama karena pada aturan yang mengatur

armed robbery saat ini masih terdapat perbedaan yang belum

diklasifikasikan dengan jelas mengenai armed robbery yang terjadi di

ZEE.

2. Penanganan piracy jure gentium dan armed robbery di luar laut teritorial

dan perairan Somalia yang melibatkan kekuatan militer asing disebabkan

oleh ketidakmampuan Somalia sebagai negara gagal dalam menangani

kejahatan tersebut dan besarnya ancaman yang timbul bagi dunia

internasional, serta dasar terpenting pelaksanaan hal tersebut adalah

persetujuan yang diberikan oleh TFG kepada DK PBB melalui perwakilan

tetapnya di PBB agar komunitas internasional dapat membantu

penanganan piracy jure gentium dan armed robbery di sana. Hal ini

membuat penanganan armed robbery yang seharusnya menjadi yurisdiksi

Somalia untuk menanganinya justru ditangani oleh pihak asing

sebagaimana penanganan yang dilakukan terhadap piracy jure gentium di

lepas pantainya. Hal yang sama tidak dapat diberlakukan di Selat Malaka-

Singapura, karena, pertama, Selat tersebut berada pada yurisdiksi negara

133

tepi selat, dan di dalam selat tersebut tidak terdapat laut lepas, sehingga

tidak terdapat piracy jure gentium di Selat tersebut, yang ada adalah

armed robbery yang penanganannya tunduk pada yurisdiksi negara tepi

selat. Kedua, Indonesia, Malaysia, dan Singapura bukan negara gagal

seperti Somalia yang tidak mempunyai kemampuan untuk menangani

armed robbery di wilayahnya. Sejak dibentuknya kerjasama tripartit

antara ketiga negara tersebut, kejahatan armed robbery terbukti telah

menurun secara drastis. Hal ini jelas membuktikan kemampuan ketiga

negara tersebut dalam memerangi kejahatan armed robbery. Ketiga,

Indonesia, Malaysia, dan Singapura menyepakati bahwa pemberian

bantuan dalam hal penanganan armed robbery di Selat Malaka-Singapura

dibatasi hanya sebatas pemberian bantuan teknis saja, tidak terlibat secara

langsung dalam penanganan keamanan di dalam wilayah tersebut.

B. Saran

1. Harus segera dibentuk suatu aturan internasional yang berlaku global

mengenai penanganan armed robbery. Hal ini akan membantu untuk

menetapkan dengan jelas perbedaan antara armed robbery dan piracy jure

gentium seperti yang diatur dalam UNCLOS 1982. Termasuk penetapan

definisi bagi kejahatan penahanan, perampasan, dan kekerasan yang

dilakukan terhadap kapal lain di wilayah di ZEE. Pembentukan suatu

aturan armed robbery yang berlaku global juga dapat memperkuat hal-hal

yang telah diatur dalam UNCLOS 1982 dan mempertegas yurisdiksi

134

negara pantai atas armed robbery yang terjadi di wilayah laut yang di

dalamnya masih berlaku yurisdiksinya seperti diakui yang dalam

UNCLOS 1982. Bagi Indonesia sendiri hal ini akan memberikan pengaruh

besar bagi penanganan armed robbery di wilayah lautnya, terutama di

wilayah Selat Malaka-Singapura, yang mana merupakan Selat yang

digunakan untuk pelayaran internasional yang banyak dilaului oleh kapal-

kapal pengangkut dari berbagai negara, dan merupakan salah satu jalur

laut tersibuk di dunia, sehingga rentan terjadinya armed robbery terhadap

kapal-kapal yang berlayar di wilayah tersebut. Pengamanan Selat Malaka-

Singapura yang seharusnya tunduk pada yurisdksi negara pantai di tepi

selat tersebut, juga berusaha untuk digoyangkan oleh pihak asing dengan

jalan ingin ikut terlibat secara langsung dalam pengamanannya. Memang

selama ini telah diambil langkah-langkah politik untuk menolak adanya

internasionalisasi Selat Malaka-Singapura, namun pembentukan aturan

internasional yang berlaku global mengenai armed robbery akan

mempertegas posisi Indonesia, Malaysia, dan Singapura sebagai negara

yang berkewenangan dalam pengamanan Selat Malaka-Singapura,

termasuk penanganan armed robbery di dalamnya.

2. Penanganan armed robbery yang terjadi di Selat Malaka-Singapura

sepenuhnya tunduk pada yurisdiksi Indonesia, Malaysia dan Singapura,

oleh karena itu segala upaya internasionalisasi pengamanan Selat Malaka-

Singapura harus terus ditolak. Langkah kerjasama yang dilakukan oleh

135

ketiga negara tersebut, ataupun dengan Thailand dan India harus terus

dipertahankan dan diperkuat. Campur tanganan pihak ketiga hanya

diperbolehkan atas seizin negara pantai yang berada ditepi selat.