analisis hukum terhadap penanganan piracy jure gentium dan armed robbery di wilayah laut (kajian...
TRANSCRIPT
1
ANALISIS HUKUM TERHADAP PENANGANAN PIRACY JURE GENTIUM
DAN ARMED ROBBERY DI WILAYAH LAUT
(Kajian Terhadap Penanganan Piracy Jure Gentium dan Armed Robbery di Selat
Malaka-Singapura dan di Perairan Somalia)
Tesis
untuk memenuhi sebagian persyaratan
mencapai derajat Sarjana S-2
Program Studi Ilmu Hukum
Klaster Hukum Internasional
Diajukan Oleh:
Gerald Alditya Bunga
10/306037/PHK/06341
Kepada
MAGISTER ILMU HUKUM
PROGRAM PASCA SARJANA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2012
4
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan yang Maha Esa atas
penyertaan dan perlindungan yang dilimpahkan kepada penulis sehingga penulis
dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “ANALISIS HUKUM TERHADAP
PENANGANAN PIRACY JURE GENTIUM DAN ARMED ROBBERY DI
WILAYAH LAUT (Kajian Terhadap Penanganan Piracy Jure Gentium dan
Armed Robbery di Selat Malaka-Singapura dan di Perairan Somalia).
Terselesaikannya tesis ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak, oleh
karena itu dengan penuh kerendahan dan ketulusan hati penulis haturkan terima kasih
yang sedalam-dalamnya kepada Bapak Prof. Dr. Marsudi Triatmodjo, SH. LL.M
selaku pembimbing yang telah memberikan sumbangan pemikiran-pemikiran yang
positif dan konstruktif dalam penulisan tesis ini, serta segala pengertian, kesabaran
dan bantuan lainnya yang diberikan selama penulisan tesis ini. Terima kasih juga
penulis haturkan kepada:
1. Rektor Universitas Gadjah Mada Yogyakarta yang telah mengizinkan penulis
menimba ilmu di Universitas Gadjah Mada;
2. Dekan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada yang telah memberikan izin
secara akademis sehingga penulis dapat menyelesaikan studi S-2 ini dengan
baik;
5
3. Prof. Dr. Sudjito SH. M.Si selaku Ketua Program Magister Ilmu Hukum
sekaligus dosen penulis yang telah banyak memberikan pencerahan selama
proses perkuliahan di Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum UGM;
4. Segenap dosen Magister Ilmu Hukum khususnya Klaster Hukum
Internasional, Prof. Dr. Agustinus SH M.Si, Prof. Dr. Sumaryo Suryokusumo
SH. LL.M, Prof. Dr. Mohd Burhan Tsani SH, Dr. Sigit Riyanto, SH. LL.M,
Heribertus Jaka Triyana SH. LL.M. MA, Harry Purwanto SH. MH, dan Hj.
Endang Purwaningsih SH. MH, yang telah memberikan begitu banyak
pengetahuan yang bermanfaat bagi penulis. Semoga penulis dapat
memanfaatkan ilmu yang diberikan dengan sebaik-baiknya;
5. Segenap pengelola Magister ilmu hukum yang telah banyak membantu
selama penulis menjalankan studi di Fakultas Hukum UGM;
6. Orang tua penulis, Drs. Markus Bunga, M.Sc. Agr dan Yuliana C. W. Bunga
S.Sos yang telah membesarkan dan mendidik penulis dengan penuh cinta
kasih dan tanggung jawab, serta memberikan kesempatan studi S-2 bagi
penulis;
7. Ari Poluzzi, sub direktorat Perjanjian Internasional, Kementrian Luar Negeri
Indonesia, yang telah banyak membantu penulis selama melakukan penelitian
di Kementrian Luar Negeri Indonesia;
8. Teman-teman Klaster Hukum Internasional yang telah banyak membantu
penulis dan bersama-sama berjerih lelah selama proses studi di Magister Ilmu
Hukum, Tedi Awaludin, Elisabeth Tukan, Haqrah Dewi Safytra, Madiha
6
Chairunisa, Rachma Indriyani, Nadia Isfarin, Yohanis Sirait, Rosiana
Puspitasari, Kukuh Tejo Murti, Ines Situmorang, dan Suci Meinarwani,
terimakasih telah menjadi sahabat yang selalu membantu penulis, tidak hanya
dalam hal studi tapi juga selama penulis tinggal di Yogyakarta;
9. Serta semua teman-teman di Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum UGM
dan keluarga yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu, penulis
menghaturkan limpah terima kasih untuk semua bantuan dan dukungan yang
diberikan kepada penulis.
Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu
dengan kerendahan hati penulis memohon masukan dan kritik yang membangun dari
berbagai pihak untuk penyempurnaan tesis ini. Semoga tesis ini bisa bermanfaat dan
memberikan kontribusi pemikiran bagi pengembangan hukum nasional dan hukum
internasional.
Yogyakarta, July 2012
Penulis
7
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ….…………………………………………………. i
HALAMAN PENGESAHAN ………………………………………….…. ii
HALAMAN PERNYATAAN …………………………………………….. iii
KATA PENGANTAR …………………………………………………….. iv
DAFTAR ISI …………………….………………………………………. vii
DAFTAR MATRIX DAN GRAFIK ……….…………....……………………… ix
DAFTAR SINGKATAN …………………………………………….. x
INTISARI …………………………………………………………….………. xii
ABSTRACT ……………………………………………………………………. xiii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ……………………………..………………. 1
B. Rumusan Masalah ……..…………………………………….…………. 8
C. Tujuan Penelitian ………..……………………………………………. 8
D. Keaslian Penelitian ……………..………………………………………. 8
E. Manfaat Penelitian ………………….…………………………………. 12
F. Tinjauan Pustaka …….……………….………………………………. 12
1. Piracy Jure Gentium dalam Hukum Laut Internasional dan
Hukum Nasional ………….…….……………………………. 13
2. Armed Robbery dalam Hukum Laut Internasional dan
Hukum Nasional …………………………….…………………….…. 17
3. Tanggung Jawab Negara Pantai ……………….……………………. 21
4. Kebebasan Laut Lepas ………………….……….…………………. 23
G. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian …………..………………………….………………. 25
2. Bahan Penelitian ....................................................................... 25
3. Alat Penelitian ................................................................................... 28
4. Jalannya Penelitian …................................................................... 28
5. Lokasi Penelitian ................................................................................... 29
6. Analisis Data ................................................................................... 29
8
BAB II PENGATURAN INTERNASIONAL MENGENAI PIRACY JURE
GENTIUM DAN ARMED ROBBERY
A. Pengaturan Piracy Jure Gentium dalam UNCLOS 1982 …..……..………. 30
B. IMO Resolution A.922(22) Code of Practice for the Investigation
of the Crimes of Piracy and Armed Robbery against Ships ……..………. 35
C. Pengaturan Regional Mengenai Armed Robbery
1. Regional Coopertion Agreement on Combating Armed Robbery
against Ships in Asia ………………………………….………….. 44
2. Aturan-Aturan Penanganan Piracy Jure Gentium dan Armed Robbery
di Luar Laut Teritorial dan Perairan Somali ………………...….… 47
3. Aturan-Aturan Aturan Penanganan Armed Robbery
di Selat Malaka-Singapura ……………………………………... 52
D. Pembedaan Pegaturan Piracy Jure Gentium dan Armed Robbery …….... 57
BAB III PENANGANAN PIRACY JURE GENTIUM DAN ARMED ROBBERY DI
PERAIRAN SOMALIA DAN SELAT MALAKA-SINGAPURA
A. Penanganan Piracy Jure Gentium dan Armed Robbery
di Luar Laut Teritorial dan Perairan Somalia …………..…………. 66
1. Kondisi Somalia .……………………………….……………. 66
2. Respon terhadap Piracy Jure Gentium dan Armed Robbery
di Luar Laut Teritorial dan Perairan Somalia .….…………. 69
B. Penanganan Armed Robbery di Selat Malaka-Singapura ……….…..….…. 92
1. Polemik Status Selat Malaka-Singapura
pada Tahun 1970-1971 …….………….……………………………. 92
2. Status Selat Malaka-Singapura dalam UNCLOS 1982 ……...…..….. 97
3. Kerjasama dalam Penanganan Armed Robbery di
Selat Malaka-Singapura ……………………………………………. 101
C. Perbandingan Penanganan Piracy Jure Gentium dan Armed Robbery di Luar
Laut Teritorial dan Perairan Somalia dengan di Selat Malaka-Singapura
…………………………………………………………………………….. 114
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan ………..……………………………………….…. 118
B. Saran …………..…………………………………………….…. 120
DAFTAR PUSTAKA
9
DAFTAR MATRIX DAN DIAGRAM
Halaman
Diagram 1. Piracy Jure Gentium dan Armed Robbery di Seluruh Dunia
Tahun 2007-2011 ………………………………..……….……. 4
Diagram 2. Piracy Jure Gentium dan Armed Robbery di Somalia
Tahun 2006-2011 ………………..…………………………… 70
Gambar 1. Peta Zona Maritim Selat-Malaka-Singapura
(sebagaimana diklaim negara pantai) …………………….…….… 99
Gambar 2. Peta Zona Maritim Selat Malaka-Singapura
(sesuai dengan hukum internasional) ……………………………. 100
Matrix 1. Biaya Tebusan Tahun 2009 dan 2010 ……….…………...……….. 72
Matrix 2. Piracy dan Armed Robbery di Selat Malaka-Singapura
Periode 2003-2011 ….……………….……….………………... 108
10
DAFTAR SINGKATAN
ALKI Alur Laut Kepulauan Indonesia
ANF Aids to Nafigation Fund
CF Co-opertaive Forum
CGPCS Contact Group on Piracy off the Coast of Somalia
CM Cooperative Mechanism
CMPT Combine Mission Patrol Team
DK PBB Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa
EiS Eyes in the Sky
IMB International Maritime Bureau
IMCO Inter-Governmental Maritime Consultative Organization
IMO International Maritime organization
ISC Information Sharing Centre
KUHP Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
MOU Memorandum Of Understanding
MSC Maritime Safety Commitee
MSSP Malaca Strait Sea Patrol
MSSP Malacca Strait Security Patrol
PBB Perserikatan Bangsa-Bangsa
PCC Project Coordination Committee
ReCAAP Regional Coopertion Agreement on Combating Armed Robbery
Against Ships in Asia
TFG Transitional Federal Government
TTEG Tripartite Technical Expert Group
UNDOC United Nation Office On Drugs and Crimes
11
UNDP United Nations Development Programme
UNCLOS United Nation Convention On The Law Of The Sea
ZEE Zona Ekonomi Eksklusif
12
ANALISIS HUKUM TERHADAP PENANGANAN PIRACY JURE GENTIUM
DAN ARMED ROBBERY DI WILAYAH LAUT
(Kajian Terhadap Penanganan Piracy Jure Gentium dan Armed Robbery di Selat
Malaka-Singapura dan di Perairan Somalia)
Gerald Alditya Bunga1, Marsudi Triatmodjo
2
INTISTARI
Penelitian ini diajukan untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini
yakni, pertama, Mengapa perlu penetapan aturan hukum yang jelas mengenai
pembedaan antara piracy jure gentium dan armed robbery. Kedua, Bagaimana
penanganan piracy jure gentium dan armed robbery di Selat Malaka-Singapura dan
di luar laut teritorial serta perairan Somalia.
Penelitian ini merupakan penelitian normatif sehingga metode penelitian yang
digunakan adalah metode penelitian normatif. Penelitian ini mengkaji mengenai
pengaturan piracy jure gentium dan armed robbery. Penelitian ini juga
membandingkan mengenai penanganan piracy jure gentium dan armed robbery di
luar laut teritorial dan perairan Somalia dan Selat Malaka-Singapura.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa piracy jure gentium dan armed
robbery merupakan dua hal yang berbeda dan harus diatur secara berbeda, akan tetapi
saat ini belum ada suatu aturan internasional yang berlaku secara global yang
mengatur mengenai permasalahan armed robbery. UNCLOS 1982 sebagai hukum
laut internasional yang berlaku secara global hanya mengatur mengenai piracy jure
gentium. Regional Cooperation Agreement on Combating Armed Robbery against
Ships in Asia dan IMO Resolution A.922(22) Code of Practice for the Investigation of
the Crimes of Piracy and Armed Robbery against Ships mengatur mengenai armed
robbery, namun ReCAAP hanya mengikat beberapa negara saja, sedangkan IMO
Resolution A.922(22) Code of Practice for the Investigation of the Crimes of Piracy
and Armed Robbery against Ships hanya berbentuk soft law. Penanganan piracy jure
gentium dan armed robbery di Somalia tidak bisa diterapkan di Selat Malaka-
Singapura, karena Indonesia, Malaysia, dan Singapura mempunyai kapasistas untuk
mengamankan wilayah tersebut, dan di dalam Selat Malaka-Singapura tidak terdapat
laut lepas sehingga penaganan armed robbery di wilayah tersebut tunduk pada
yurisdiksi Indonesia, Malaysia, dan Singapura. Dalam setiap resolusi Dewan
Keamanan PBB mengenai penanganan piracy jure gentium dan armed robbery di
luar laut teritorial dan perairan Somalia juga dinyatakan bahwa apa yang diterapkan
di Somalia hanya diterapkan berkaitan dengan situasi krisis yang terjadi di Somalia
dan tidak menjadi sebuah hukum kebiasaan internasional.
Kata kunci: piracy jure gentium, armed robbery, yurisdiksi universal
1 Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
2 Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
13
THE LEGAL ANALYSIS ON THE HANDLING OF PIRACY JURE
GENTIUM AND ARMED ROBBERY AT SEA
(The Study on the Handling of Piracy Jure Gentium and Armed Robbery in the
Strait of Malacca and Singapore and the Waters of Somalia)
Gerald Alditya Bunga3, Marsudi Triatmodjo
4
ABSTRACT
This research is proposed to answer the problems in this research. Firstly, why
need the clear legal determination on the distinction between piracy jure gentium and
armed robbery. Secondly, how the handling of piracy jure gentium and armed
robbery conducted at sea outside the territorial sea and the waters of Somalia and the
Strait of Malacca and Singapore.
This research is normative research thus the research methods used here is the
normative research method. This research examined the arrangements on piracy jure
gentium and armed robbery. This research also compared the handling of piracy jure
gentium and armed robbery at sea outside the territorial sea and the waters of Somalia
and the Strait of Malacca and Singapore.
The results of this research indicates that piracy jure gentium and armed
robbery are two different issues and should be regulated differently, but currently
there is no international rules that applies globally governing the issue of armed
robbery. UNCLOS 1982 as the international maritime law applicable globally
regulates only the issue of piracy jure gentium. Regional Cooperation Agreement on
Combating Armed Robbery against Ships in Asia and IMO Resolution A.922(22)
Code of Practice for the Investigation of the Crimes of Piracy and Armed Robbery
against Ships regulate the issue of armed robbery, but ReCAAP is binding only
several states and and IMO Resolution A.922(22) Code of Practice for the
Investigation of the Crimes of Piracy and Armed Robbery against Ships is formed in
soft law form. The way to overcome piracy jure gentium and armed robbery in
Somalia can not be applied in the Strait of Malacca and Singapore, as Indonesia,
Malaysia, and Singapore have the capacity to secure the area, and in the Straits of
Malacca and Singapore there is no high seas thus the handling of armed robbery in
that area subject to the jurisdiction of Indonesia, Malaysia, and Singapore. In each of
the UN Security Council resolution on handling the act piracy jure gentium and
armed robbery at sea outside the territorial waters of Somalia also expressed that what
is implemented in Somalia is only applied to related to the crisis in Somalia and not
become a customary international law.
Key word: piracy jure gentium, armed robbery, universal jurisdiction
3 Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
4 Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
14
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Sejak dahulu telah diakui dalam dunia internasional bahwa suatu negara
memiliki kedaulatan dalam batas-batas teritorial yang diakui menjadi miliknya. Oleh
karenanya negara memiliki yurisdiksi atas benda, orang, ataupun kejadian yang
terjadi di dalam wilayahnya tersebut, termasuk di dalamnya yaitu suatu tindak
kejahatan. Namun, terdapat beberapa tindak kejahatan yang berdasarkan hukum
maupun kebiasaan internasional, dapat menjadi kewenangan setiap negara untuk
menindak kejahatan tersebut atau yang lebih dikenal dengan istilah yurisdiksi
universal.
Piracy (pembajakan) merupakan salah satu kejahatan yang kepadanya dapat
dikenakan yurisdiksi universal karena dianggap sebagai musuh bersama seluruh umat
manusia (hosti humani generis) dan merupakan tindak kejahatan tertua yang diakui
secara internasional.5 Tindakan yang dimaksud di sini harus dilihat sebagai
pembajakan yang dilakukan di laut lepas atau di luar dari yurisdiksi suatu negara
sehingga dapat dikenakan yurisdiksi universal terhadapnya.6 Dalam penelitian ini
digunakan istilah piracy jure gentium untuk menyebut tindakan pembajakan yang
5 Malcom N. Shaw, 2001, International Law: Fourth edition, Cambridge University Press, United
Kingdom, hlm.423, lihat juga: Peter Malanczuk, 1997, Akehurst’s Modern Introduction to
International Law, Seventh revised edition, Routledge, New York, hlm.112. 6 William A. Schabas, “International crime” dalam David Armstrong, ed, 2008, Routledge Handbook
of Interntional Law, Taylor & Francis e-Library, United Kingdom, hlm.259.
15
kepadanya dapat dikenakan yurisdiksi universal. Piracy jure gentium merupakan
tindakan pembajakan yang tunduk kepada hukum bangsa-bangsa (the law of nations)
sehingga tindakan ini dapat diadili oleh negara manapun tanpa memandang siapa
yang melakukan dan di mana tindakan tersebut dilakukan. Pengertian ini sesuai
dengan pengertian piracy yang dianut dalam United Nations Convention on The Law
of The Sea 1982 (UNCLOS 1982). Penggunaan istilah piracy jure gentium dalam
penelitian ini dimaksudkan untuk menghindari kekeliruan pemahaman mengenai
pengertian piracy yang mana dalam beberapa hukum nasional suatu negara,
pengertiannya lebih luas dari pengertian yang dianut dalam UNCLOS 1982.
Contohnya, Amerika Serikat dan Inggris mengkategorikan perdagangan budak
sebagai tindakan piracy dalam hukum nasionalnya. Dalam The Act of 15th May 1820
Amerika Serikat menetapkan bahwa setiap warga negaranya dinyatakan bersalah atas
kejahatan piracy ketika terlibat dalam perdagangan budak atau berada di atas kapal
yang keseluruhannya atau sebagiannya dimiliki oleh warga negara Amerika Serikat.7
Perbedaan antara piracy dan piracy jure gentium digambarkan oleh Wheaton
sebagai berikut: "piracy under the law of nations (jure gentium) may be tried and
punished in the courts of justice of any nation, by whomsoever and wheresoever
committed. But piracy created by municipal (domestic, state) statute can only be tried
by that state within whose territorial jurisdiction, and on board of whose vessels, the
7 Henry Wheaton, 1855, Elements of International Law, Little Brown and Company, Boston, hlm.x-xi.
16
offence created was committed”.8 Terdapat tindakan yang dianggap piracy dalam
hukum nasional suatu negara namun tidak masuk dalam pengertian piracy jure
gentium. Tindakan seperti ini tidak tunduk pada yurisdiksi universal namun pada
hukum nasional negara yang bersangkutan.
Pembajakan tidak hanya terjadi di wilayah laut lepas atau wilayah di luar dari
yurisdiksi negara manapun, ada juga tindakan pembajakan yang dilakukan dalam
wilayah laut dari suatu negara, yang mana tindakan ini tidak termasuk dalam definisi
piracy jure gentium. Dalam literatur hukum internasional ataupun pembahasan
mengenai masalah pembajakan di laut, tindakan ini sering diistilahkan sebagai
modern piracy, armed robbery at sea, atau sea robbery. Dalam penulisan ini sendiri
penulis hanya memakai salah satu istilah saja yaitu armed robbery. Armed robbery,
berdasarkan Pasal 1 Regional Coopertaion Agreement on Combating Piracy and
Armed Robbery against Ship in Asia (ReCAAP)9, adalah setiap tindakan kekerasan,
penahanan dan penjarahan yang dilakukan secara ilegal terhadap suatu kapal, yang
mana kejadian tersebut masih berada dalam wilayah yurisdiksi dari suatu negara.
Penanganan tindakan ini sendiri sepenuhnya tunduk kepada yurisdiksi dari negara di
mana tindakan tersebut terjadi. Piracy jure gentium maupun armed robbery telah
menjadi ancaman dan hambatan dalam pelayaran internasional. Dua wilayah laut
8 Henry Wheaton, “Piracy Jure Gentium Definition: Piracy According To The Law of Nations”,
[online] http://www.duhaime.org/LegalDictionary/P/PiracyJureGentium.aspx, (diakses tanggal 18 Mei
2012). 9 Alexander Yonah dan Richardson. B. Tyler, 2009, Terror On High Seas, From Piracy To Strategic
Challenge, volume 1, ABC-CLIO, LLC, Santa Barbara California, hlm.425-433;
17
yang sering menjadi lokasi terjadinya kejahatan ini adalah Selat Malaka-Singapura
dan di luar laut teritorial dan perairan Somalia.
International Maritime Bureau (IMB), dalam laporan tahunan periode 1
Januari sampai 31 Desember 2011, melaporkan bahwa sepanjang lima tahun terakhir
mulai dari tahun 2007 sampai tahun 2011 tercatat peningkatan jumlah kejahatan
piracy jure gentium dan armed robbery yang terjadi di seluruh dunia. Pada tahun
2007 tercatat terjadi 263 kasus, tahun 2008 terjadi 293 kasus, tahun 2009 terjadi 410
kasus, tahun 2010 terjadi 445 kasus, dan tahun 2011 total serangan yang terjadi
berjumlah 439 kasus.10
Dalam laporan One Earth Future tercatat kerugian akibat
bajak laut atas ekonomi global mencapai US$ 7-12 miliar per tahun.11
Sumber: Piracy and Armed Robery Against Ships, Anual Report, Periode of 1
Januari 2011 – 31 Desember 2011 (data diolah)
10
International Maritime Bureau, 2011, “Piracy dan Armed Robery Against Ships”, Anual Report,
Periode of 1 januari 2011 – 31 Desember 2011, hlm.5-6. 11
Anna Bowden, dkk, 2010, “The Economic Cost of Maritime Piracy”, One Earth Future Working
Paper,hlm.2,[online]http://oceansbeyondpiracy.org/sites/default/files/documents_old/The_Economic_
Cost_of_Piracy_Full_Report.pdf (diakses tanggal 21 Januari 2011).
263 293
410 445 439
2007 2008 2009 2010 2011
Diagram 1. Piracy Jure Gentium dan Armed Robbery Yang
Terjadi di Seluruh Dunia Tahun 2007-2011
18
Data jumlah kasus perompakan di Selat Malaka-Singapura menunjukkan
bahwa pada tahun 2003 telah terjadi 150 kasus penyerangan di Selat Malaka-
Singapura,12
tahun 2004 terjadi 98 kasus, tahun 2005 sebanyak 51 kasus,13
dan tahun
2006 turun menjadi 2 kasus.14
Dalam laporan tahunan IMB dilaporkan bahwa pada
tahun 2007 terjadi 10 kasus, tahun 2008 terjadi 8 kasus, tahun 2009 terjadi 11 kasus,
tahun 2010 terjadi 5 kasus, dan tahun 2011 terjadi 12 kasus.15
Meskipun cenderung
mengalami penurunan kasus dari tahun ke tahun namun pengamanan jalur pelayaran
internasional ini harus terus dijaga dan ditingkatkan.
Berbeda dengan di Selat Malaka-Singapura yang mengalami peningkatan
tingkat keamanan, aktivitas pembajakan di luar laut teritorial dan perairan Somalia
semakin meningkat di tahun 2008. Tahun 2004 kasus pembajakan yang terjadi hanya
10 kasus, jumlah ini meningkat pada tahun 2007 menjadi 25 kasus dan tahun 2008
meningkat menjadi 95 kasus,16
bahkan pada tahun 2010 IMB mencatat terjadi 139
kasus di Somalia dan 219 kasus yang dilakukan oleh perompak Somalia.17
Selama
tahun 2011, IMB mencatat telah terjadi 160 kasus di Somalia dan 237 kasus yang
12
Igor Dirgantara, “Keamanan Maritim di Selat Malaka”, [online]
http://oseafas.wordpress.com/2010/03/16/keamanan-maritim-di-selat-malaka/ (diakses tanggal 30 Mei
2011). 13
_________,“Jumlah Perompakan Di Selat Malaka Menurun”, [online]
http://www.tempo.co/read/news/2006/01/05/05571786/Jumlah-Perompakan-di-Selat-Malaka-
Menurun, (diakses tanggal 30 Mei 2011). 14
________, “Angkatan Laut Kewalahan Atasi Perompakan di Selat Malaka”, [online]
http://www.tempo.co/read/news/2006/11/30/05888764/Angkatan-Laut-Kewalahan-Atasi-Perompak-
di-Selat-Malaka, (diakses tanggal 30 Mei 2011). 15
International Maritime Bureau, op.cit, hlm.8. 16
Igor Dirgantara, Op.cit. 17
International Maritime Bureau, op.cit, hlm.8 dan 19.
19
dilakukan perompak Somalia.18
Perairan Samudera Hindia di luar laut teritorial
Somalia dinilai sebagai kawasan maritim yang paling berbahaya di dunia menyusul
maraknya aksi pembajakan oleh kelompok bajak laut. Kondisi ini ironis mengingat
pada tahun tersebut Amerika Serikat, sejumlah negara Eropa dan Asia menempatkan
kapal-kapal perangnya untuk mengamankan kawasan itu.19
Penanganan armed robbery di Selat Malaka-Singapura sepenuhnya tunduk
kepada ketiga negara yang berbatasan dan mempunyai kepentingan langsung di
wilayah tersebut, yaitu Indonesia, Malaysia dan Singapura. Oleh karena itu, sejak
tahun 2005 telah dibentuk Malaca Strait Sea Patrol (MSSP) yang merupakan inisiatif
dari ketiga negara pantai tersebut, yang bertujuan untuk mengamankan Selat Malaka-
Singapura.20
Dalam perkembangannya MSSP tidak hanya beranggotakan ketiga
negara yang berbatasan langsung dengan Selat Malaka-Singapura, tapi juga berisi
negara lain yang berdasarkan izin dari ketiga negara tersebut boleh bergabung dalam
MSSP, namun keterlibatannya hanya sebatas pada pemberian bantuan teknis.
Meskipun langkah-langkah pengamanan Selat Malaka-Singapura telah
dilakukan, namun ada satu hal yang timpang bagi Indonesia dalam hal penanganan
armed robbery, yaitu tidak adanya hukum nasional yang memadai dalam mengatur
18
International Maritime Bureau, op.cit, hlm. 8 dan 20. 19
Middleton Roger, 2008, “Piracy In Somalia, Threatening Global Trade, Feeding Local Wars”,
[online]http://www.chathamhouse.org/sites/default/files/public/Research/Africa/1008piracysomalia.pd
f, (diakses tanggal 30 Juli 2011). 20
Sam Bateman, dkk, 2009, “Good Order At Sea In Southeast Asia”, Rajaratnam School of
International Studies Policy Paper, Nanyang Technological University, hlm.20, lihat juga: David Foo
dalam Laporan Workshop for asean member states on Developing an integrated approach To maritime
security through the Counter-terrorism convention, Criminal and international law: Legal
perspectives, capacity building, hlm.14.
20
mengenai masalah ini. Hingga saat ini Indonesia belum memliki aturan hukum yang
secara spesifik mengatur mengenai hal ini. Pengaturan masalah ini hanya terdapat
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang mana pengaturannya
tidak cukup seimbang dengan permasalahan armed robbery yang ada saat ini.
Penanganan pembajakan di perairan Somalia berbeda dari penanganan yang
dilakukan di Selat Malaka-Singapura. Transitional Federal Government (TFG) yang
merupakan pemerintahan Somalia yang diakaui secara internasional, telah meminta
bantuan internasional kepada Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK
PBB) untuk membantu menangani pembajakan di lepas pantainya.21
Lebih lanjut
berdasarkan surat tertanggal 1 September 2008, Presiden Somalia menyatakan kepada
Sekretaris Jenderal PBB mengenai kesediaannya untuk bekerja sama dalam
menangani pembajakan dan armed robbery di luar dari laut teritorial dan
perairannya.22
Seperti yang tercermin dalam beberapa Resolusi DK PBB mengenai
situasi yang terjadi di Somalia, kerja sama ini tidak hanya berbentuk bantuan teknis,
tapi juga tindakan langsung terhadap tindakan pembajakan dan armed robbery.
Dengan demikian penerapan yurisdiksi universal dalam kejahatan pembajakan
di laut diterapkan sesuai dengan wilayah dimana kejahatan tersebut dilakukan dan
kapasitas negara tersebut dalam menangani kejahatan tersebut. Melihat akan realitas
ini maka penulis melakukan penelitian mengenai piracy jure gentium dan armed
21
Resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 1846 (2008), United Nations, 2008, “Security Council,
Resolution 1846 (2008) Adopted by the Security Council at its 6026th meeting, on 2 December 2008”,
[online]http://daccessddsny.un.org/doc/UNDOC/GEN/N08/630/29/PDF/N0863029.pdf?OpenElement,
(diakses tanggal 29-3-2012). 22
Resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 1846 (2008).
21
robbery, dengan mengkaji mengenai penanganan masalah tersebut di Selat Malaka-
Singapura dan di luar laut teritorial dan perairan Somalia.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Mengapa perlu penetapan aturan hukum yang jelas mengenai pembedaan
antara piracy jure gentium dan armed robbery?
2. Bagaimanakah penanganan piracy jure gentium dan armed robbery di Selat
Malaka-Singapura dan di luar laut teritorial serta perairan Somalia?
C. TUJUAN PENELITIAN
Adapun tujuan dalam penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui dasar perlunya penetapan aturan hukum yang jelas
mengenai pembedaan antara piracy jure gentium dan armed robbery yang
akan sangat berpengaruh terhadap yurisdiksi penanganan kedua hal
tersebut;
2. Untuk mengetahui mengenai bagaimana penanganan piracy jure gentium
dan armed robbery yang selama ini diterapkan di Selat Malaka-Singapura
dan luar laut teritorial serta perairan Somalia.
D. KEASLIAN PENELITIAN
Penulis telah melakukan penelusuran terhadap hasil-hasil penelitian dan
karya-karya ilmiah lainnya namun belum ditemukan permasalahan yang sama dengan
yang penulis angkat dalam penelitian ini. Beberapa karya ilmiah yang ada hanya
memuat sebagian unsur-unsur dari penelitian ini namun berbeda dalam pengkajian
22
masalahnya. Penelitian-penelitian dan karya ilmiah tersebut antara lain sebagai
berikut:
1. Penelitian yang dilakukan oleh Steven Yohanes Pailah, mahasiswa pasca
sarjana Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik,
Universitas Indonesia, yang dimuat dalam tesis berjudul “Pengelolaan
Isu-Isu Keamanan di Selat Malaka Periode 2005-2006”. Permasalahan
dalam tesis ini adalah mengenai isu-isu keamanan yang berkaitan dengan
pengamanan Selat Malaka-Singapura, terutama mengenai
internasionalisasi pengamanan selat ini.
Tesis ini membahas pergeseran isu-isu keamanan, dari safety ke security,
atas pengelolaan keamanan di Selat Malaka. Lembaga IMB menyatakan
Selat Malaka-Singapura rawan pembajakan dan teroris, padahal patroli
terkoordinasi negara pantai telah lama berlangsung di selat tersebut.
Penelitian deskriptif ini menyimpulkan, opini publik dan aktor politik
yang menyatakan ketidakmampuan Indonesia, Malaysia dan Singapura
dalam pengelolaan keamanan di Selat Malaka-Singapura sepenuhnya tidak
benar karena hasil laporan pembajakan dan monitoring IMB hanyalah
rekayasa bagi kepentingan isu-isu sekuritisasi.
2. Tesis yang ditulis oleh Michael G. King Jr, mahasiswa dari Universitas
Master Of Arts In Security Studies (Middle East, South Asia, Sub-Saharan
Africa), Naval Postgraduate School. Tesis ini berjudul Modern Piracy
23
And Regional Security Cooperation In The Maritime Domain: The
Middle East And Southeast Asia.
Tesis ini menguji mengenai perkembangan kerjasama keamanan maritim
di Timur Tengah dan Asia Tenggara. Dalam tesis ini dibandingkan antara
penanganan pembajakan yang dilakukan di Timur Tengah dan Asia
Tenggara. Dari perbandingan tersebut dilihat adanya ketergantungan dari
negara-negara di kawasan Timur Tengah untuk menggunakan dukungan
keamanan dari negara luar dalam mengatasi pembajakan di laut,
sedangkan di Asia Tenggara bertindak sebaliknya.
Dalam kesimpulannya disampaikan bahwa model kerja sama yang
digunakan di Asia Tenggara tidak bisa diterapkan begitu saja di kawasan
Timur Tengah karena ada perbedaan geo-politik yang akan menyulitkan
dalam mewujudkan kerjasama pemberantasan bajak laut di kawasan ini
sehingga negara-negara kawasan ini lebih memlih penggunaan kekuatan
asing dalam memberantas pembajakan di kawasan tersebut daripada
menggunakan kerjasama regional seperti yang digunakan di Asia
Tenggara.
3. Penelitian yang dilakukan oleh International Experts Group on Piracy
Off The Somali Coast, yang berjudul Piracy Off The Somalia Coast.
Penelitian ini dipresentasikan dalam loka karya yang diselenggarakan oleh
Wakil Khusus Sekretaris Jenderal PBB untuk Somalia, Duta Besar,
Ahmedou Ould Abdallah, di Nairobi pada tanggal 10-21 November 2008.
24
Penelitian ini ditujukan untuk melakukan penilaian mengenai pembajakan
di Somalia dilihat dari berbagai macam disiplin ilmu, sesuai dengan
keahlian para ahli yang tergabung dalam penelitian ini.
Dalam laporan penelitian ini direkomendasikan tiga hal untuk dilakukan
yaitu, pertama, mencegah pembajakan melalui tindakan yang berdampak
jangka pendek (Curb piracy through short‐term impact measures). Kedua,
menekan pembajakan melalui tindakan yang berdampak jangka menengah
(Suppress piracy through mid‐term impact measures). Ketiga,
memberantas pembajakan melalui tindakan yang berdampak jangka
panjang (Uproot piracy through long‐term impact measures).
4. Penelitian yang dilakukan oleh Roger Middleton yang berjudul Piracy In
Somalia, Threatening Global Trade, Feeding Local Wars, yang dimuat
dalam jurnal yang diterbitkan oleh Chatam House.
Penelitian ini membahas tentang pembajakan yang dilakukan di Somalia
dan sekitar Somalia, terutama di Teluk Aden, dan melihat bagaimana
dampak yang ditimbulkan oleh pembajakan ini terhadap Somalia sendiri
dan perdagangan internasional, serta kaitannya dengan aksi teroris di
Somalia. Dalam penelitian ini juga dipaparkan apa yang menjadi pilihan
bagi masyarakat internasional untuk dilakukan di Somalia berkaitan
dengan masalah pembajakan.
25
Penelitian ini menyarankan bahwa cara terbaik untuk mengatasi
permasalahan pembajakan di Somalia adalah dengan memperbaiki
permasalahan politik yang ada di sana. Hal ini dapat dilakukan dengan
menghadirkan perdamaian dan kesempatan bagi Somalia. Ini dinilai
sebagai hal paling efektif untuk mengatasi permasalahan pembajakan di
Somalia.
E. MANFAAT PENELITIAN
Adapun manfaat dari penelitian ini, yaitu sebagai berikut:
1. Dalam lingkup akademis, hasil penelitian ini memberikan kontribusi
dalam pengembangan dan pengkajian ilmu hukum, khususnya mengenai
hukum internasional yang berkaitan dengan hukum laut internasional;
2. Secara praktis, hasil penelitian ini dapat memberi masukan untuk
pembentukan aturan internasional yang berlaku global mengenai armed
robbery.
F. TINJAUAN PUSTAKA
Sehubungan dengan permasalahan dalam penelitian ini, maka untuk
menjawab permasalahan tersebut, penulis, dalam tinjauan pustaka ini memuat
mengenai piracy jure gentium dalam hukum laut internasional dan nasional, armed
robbery dalam hukum laut internasional dan nasional, tanggung jawab negara pantai
dalam hukum laut internasional, dan kebebasan laut lepas.
26
1. Piracy Jure Gentium dalam Hukum Laut Internasional dan Hukum
Nasional
a. Piracy Jure Gentium dalam Hukum Laut Internasional
Piracy jure gentium dalam hukum laut internasional diatur dalam UNCLOS
198223
, Pasal 100-107, yang mana merupakan pengulangan dari Pasal 14-21
UNCLOS 1958. Pasal 101 UNCLOS 1982 memuat mengenai definisi piracy yang
dinyatakan sebagai berikut:
1) Any illegal acts of violance or detention, or any act of depredation,
commited for private ends by the crew or passengers of a private ship or
private aircraft, and directed:
a) On the high seas, against another ship or aircraft, or aginst persons
or property on board such ship or aircraft;
b) Against a ship, aircraft, persons, or property in a place outside the
jurisdiction of any state;
c) Any act of voluntary participacion in the opreration of a ship or an
aircraft wiyh knowledge of the facts making it a pirate ship or
aircraft;
2) Any act of inciting or of inteionally facilitating an act described in sub
pargraph 1 or sub paragraph 2 of this article.
Pengertian piracy dalam pasal ini sama dengan piracy jure gentium yang
kepadanya dapat dikenakan yurisdiksi universal. Dengan demikian dari pasal ini
dapat dilihat bahwa agar termasuk dalam definisi piracy jure gentium, maka tindakan
tersebut harus memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a. Tindakan tersebut dilakukan untuk tujuan pribadi (private ends);
b. Tindakan tersebut dilakukan terhadap kapal lain;
23
Departemen Luar Negeri Direktorat Perjanjian Internasional, Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa
Tentang Hukum Laut.
27
c. Tindakan tersebut dilakukan di wilayah laut lepas atau wilayah lain di
luar dari yurisdiksi suatu negara.
Hal ini perlu diperhatikan karena akan membedakan dari tindakan yang sama
yang dilakukan dengan tujuan dan di lokasi yang berbeda. Disebutkan di atas bahwa
tindakan kekerasan atau penahanan atau pembajakan yang dilakukan harus dilakukan
untuk tujuan pribadi (private ends), dengan demikian maka pembajakan yang
dilakukan untuk tujuan politik tidak termasuk dalam definisi piracy jure gentium.24
Selain itu, jika tindakan kekerasan, penahanan, atau pembajakan dilakukan bukan di
wilayah laut lepas atau wilayah di luar yurisdiksi negara lain, tapi di wilayah di mana
suatu negara masih mempunyai yurisdiksi di dalamnya, maka tindakan ini juga tidak
termasuk dalam definisi piracy jure gentium. Tindakan tersebut termasuk dalam
armed robbery yang mana akan dijelaskan lebih lanjut pada sub pokok bahasan
tersendiri.
Dalam Pasal 101 juga mensyaratkan agar suatu tindakan kekerasan,
penahanan, atau pembajakan masuk ke dalam kategori piracy jure gentium, maka
tindakan tersebut harus dilakukan terhadap kapal lain (against another ship). Hal ini
berarti bahwa pemberontakan awak kapal (mutiny) terhadap kapalnya sendiri tidak
termasuk dalam definisi piracy jure gentium. Kapal yang dikendalikan oleh awak
24
John O’Brian, 2001, International Law, Routldege-Cavendish, New York, hlm.426.
28
kapal yang memberontak (mutineers) hanya bisa ditahan atau ditindak oleh negara
bendara kapal dan tidak oleh pihak lain.25
Hal ini perlu dipahami karena dalam hukum nasional suatu negara,
pembajakan (piracy) bisa didefinisikan berbeda dengan piracy jure gentium.
Misalnya dalam hukum Inggris, yang dimaksudkan sebagai pembajakan adalah
termasuk perdagangan budak di laut lepas, dan tindakan pembajakan yang dilakukan
di laut teritorial.26
Daniel Heller-Roazen mengemukakan bahwa terdapat empat ciri mengenai
permasalahan piracy jure gentium, yaitu:27
a. Pembajakan melibatkan sebuah wilayah yang mana di dalamnya suatu
aturan hukum luar biasa diterapkan;
b. Pembajakan melibatkan individu yang melakukan tindakan kejahatan,
yang mana kejahatan tersebut merupakan kejahatan yang memiliki sifat
“universal” dan seringkali disebut juga ‘enemy of all’;
c. Sebagai akibat dari ciri pertama dan kedua, maka Pembajak tidak dapat
dianggap sebagai common criminals ataupun lawful enemy;
d. Karena tidak termasuk dalam common criminals ataupun lawful enemy,
maka penanganan pembajakan harus dilakukan dengan penangan yang
luar biasa.
25
D. J. Harris, 2004, Cases and Materials On International Law: Sixth Edition, Sweet & maxwel,
London, hlm.459. 26
Ibid. 27
Daniel Heller-Roazen, 2009, The Enemy Of All, Piracy and The Law Of Nations, Zone Books, New
York, hlm.10-11.
29
Cicero dalam Daniel Heller-Roazen mendefinisikan pembajak sebagai: “they
are individuals stringkly all the others: people who, ..... , may not be said to unite in
any lawful community; people who, ..... , may not be define as criminals; people,
finally, who, ...., may not be accorded any of the many rights of enemy” 28
Dengan demikian dapat dilihat bahwa piracy jure gentium dipandang sebagai
sebuah kejahatan luar biasa karena hal tersebut tidak dianggap sebagai tindakan
kriminal yang mana hal ini tunduk pada yurisdiksi negara, dan piracy jure gentium
juga tidak dapat dianggap foreign opponents of war karena tidak termasuk sebagai
‘lawful enemy’ seperti misalnya beligerent.29
b. Piracy Jure Gentium dalam Hukum Nasional
Mochtar Kusumaatmadja mengatakan bahwa salah saltu fungsi dan tugas
penegakan kemanan di laut dan pantai adalah mengenai masalah pembajakan di
laut,30
oleh karena itu, sebagai negara kepulauan yang memiliki letak geografi yang
strategis, Indonesia harus mengatur juga mengenai masalah pembajakan ini dalam
hukum nasional, pengaturan mengenai piracy jure gentium tidak diatur dalam suatu
peraturan perundang-undangan khusus mengenai hal tersebut, tapi dapat ditemui
diatur dalam KUHP. Dalam KUHP, definisi piracy jure gentium dapat dilihat secara
garis besar dari Bab XXIX KUHP yang mengatur mengenai kejahtan pelayaran.
28
Ibid, hlm.16. 29
ibid. 30
Mochtar Kusumaatmadja, 1978, Bunga Rampai Hukum Laut, Cetakan Pertama, Binacipta, Bandung,
hlm.163.
30
Dalam Pasal 438 ayat (1) KUHP31
dapat dilihat bahwa yang dimaksud piracy jure
gentium - dalam KUHP digunakan istilah pembajakan di laut - adalah perbuatan-
perbuatan kekerasan di laut bebas terhadap kapal lain atau terhadap orang dan barang
di atasnya, tanpa mendapat kuasa untuk itu dari sebuah negara yang berperang atau
tanpa masuk angkatan laut suatu negara yang diakui. Dalam Pasal 438 ayat (2)
ditetapkan bahwa suatu perbuatan turut serta membantu kapal yang diketahui
bertujuan untuk melakukan perbuatan pembajakan di laut juga dianggap sebagai
tindakan pembajakan.
2. Armed Robberry dalam Hukum Laut Internasional dan Hukum Nasional
a. Armed Robbery dalam Hukum Laut Internasional
Telah jelas dari Pasal 101 UNCLOS 1982 bahwa setiap tindakan kekerasan,
pembajakan atau penahanan yang dilakukan oleh suatu kapal privat terhadap kapal
lain dan dilakukan di laut lepas, oleh karena itu jelas bahwa jika tindak kekerasan,
penahanan atau pembajakan dilakukan terhadap kapal lain, khususnya di pelabuhan
atau perairan teritorial tidak bisa dipandang sebagai piracy jure gentium. Tindakan-
tindakan tersebut diklasifikasikan sebagai armed robbery.32
Pembedaan antara piracy jure gentium dan armed robbery juga dapat dilihat
dalam organisasi internasional atau perjanjian antara negara-negara di kawasan atau
regional tertentu. Pada bulan April 1984, Maritime Safety Commitee (MSC), salah
satu badan dari IMO, menetapkan bahwa piracy jure gentium dan armed robbery
31
Moeljatno, 2005, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Bumi Aksara, Jakarta. 32
Yonah Alexander dan Tyler B. Richardson, 2009, Terror On High Seas, From Piracy To Strategic
Challenge, volume I, ABC-CLIO,LLC, Santa Barbara, California, hlm.512.
31
merupakan permasalahan yang berbeda. Dalam resolusi-resolusi atau rekomendasi
yang dikeluarkan IMO juga terlihat pembedaan antara piracy jure gentium dan armed
robbery. Misalnya dalam Resolusi A.545(13) yang disahkan Dewan IMO pada bulan
November 1983, IMO mengingatkan pemerintah-pemerintah untuk mengambil
langkah-langkah yang diperlukan untuk mencegah atau memberantas piracy jure
gentium dan armed robbery dari kapal-kapal yang berada di dalam perairan atau yang
ditambah dari perainnya. Sebagaimana dikutip dalam Yonah Alexander dan Tyler B.
Richardson, Resolusi IMO ini setidaknya berbunyi: “urges governments concerned to
take, as a matter of higest priority, all measures necesary to prevent and suppress
acts of piracy and armed robbery from ships in or adjacent to their waters, including
strengthening of security measures”.33
Definisi armed robbery juga dapat dilihat dalam berbagai kesepakatan yang
dihasilkan negara-negara dalam forum regional. Dalam subregional meeting on
piracy and armed robbery against ships in the Western Indian Ocean, Gulf of Aden,
and Read Sea area yang diselenggarakan di Dar es Salaam, Tanzania, dari tanggal
14-18 April 2008, disetujui mengenai definisi armed robbery. Definisi yang
dihasilkan dalam forum ini telah dimodifikasi dengan menambahkan motif tujuan
pribadi (private ends) ke dalam pengertiannya serta mengganti kalimat “di dalam
suatu yurisdiksi negara” menjadi “di dalam perairan pedalaman, perairan kepulauan
33
Ibid.
32
dan perairan teritorial”.34
Secara lengkap definisi yang dihasilkan dalam forum ini
adalah:
armed robbery against ships means any unlawful act of violance or detention
or any act depredation, or threat threof, other an act of piracy, commited for
private ends and directed against a ship or against person or property on
board of such a ship, within a state’s internal waters, archipelagic waters,
and territorial sea.35
Dalam Pasal 1 ayat (2) ReCAAP yang disahkan di Tokyo, Jepang, pada
tanggal 11 November 2004, dan mulai efektif berlaku pada tanggal 4 September
2006, menetapkan pengertian armed robbery sebagai berikut:
1. Any illegal act of violence or detention, or any act of depredation,
commited for private ends directed against ship, or against persons or
property on board such ship, in a place within a Contracting Party’s
jurisdiction over such offenses;
2. Any act of voluntary participation in the operation of a ship with
knwoledge of facts making it a ship for armed robbery against ships;
3. Any act of inciting or of intentionally facilitating an act described in point
1 and 2.
b. Armed Robbery dalam Hukum Nasional
Sebagai negara dengan luas lautan duapertiga dari wilayah darat maka sudah
sewajarnya jika Indonesia memberikan perhatian yang lebih terhadap pengelolaan,
pemanfaatan dan pengamanan wilayah laut. Salah satu langkahnya adalah dengan
membuat peraturan-peraturan yang berkaitan dengan pengamanan wilayah laut
Indonesia dari armed robbery .
Mengenai definisi armed robbery, dalam Pasal 439 ayat (1) KUHP,
dinyatakan sebagai perbuatan kekerasan terhadap kapal lain atau terhadap orang atau
34
James Karaska, 2011, Contemporary Maritime Piracy: International Law, Strategy, and Diplomacy,
Praeger, Santa Barbara, California, hlm.210. 35
Ibid.
33
barang di atasnya, di perairan Indonesia. Dalam KUHP tidak digunakan istilah armed
robbery tapi pembajakan di tepi laut.
Sebagaimana yang diautur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
6 Tahun 1996 Tentang Perairan Indonesia, wilayah perairan Indonesia meliputi laut
teritorial indonesia, perairan kepulauan, dan perairan pedalaman. Dalam wilayah ini
Indonesia mempunyai kedaulatan atasnya.
Selain pembajakan di tepi laut, KUHP juga mengatur mengenai pembajakan
di pantai dan pembajakan di sungai. Pembajakan di pantai di definisikan dalam Pasal
440 sebagai setiap perbuatan kekerasan terhadap orang atau barang di darat maupun
di air sekitar pantai atau muara sungai, setelah lebih dahulu menyeberangi lautan
seluruhnya atau sebagiannya untuk tujuan tersebut, Sedangkan yang dimaksud
pembajakan di sungai berdasarkan Pasal 441 adalah perbuatan kekerasan oleh
barangsiapa yang memakai kapal di sungai terhadap kapal lain atau terhadap orang
atau barang di atasnya, setelah datang ke tempat dan untuk tujuan tersebut dengan
kapal dari tempat lain.
Kedua tindakan kejahatan ini dapat juga dimaksudkan ke dalam kategori
armed robbery karena terjadi dalam perairan yang masih berada dalam sisi dalam
garis laut teritorial yang mana di dalamnya, berdasarkan UNCLOS 1982, negara
memiliki kedaulatan dan yurisdiksi atasnya.
34
3. Tanggungjawab Negara Pantai
Negara pantai merupakan negara yang memilki zona-zona maritim di mana
kapal-kapal berada.36 Dalam Pasal 2 UNCLOS 1982 ditetapkan bahwa kedaulatan
setiap negara pantai meliputi batas terluarnya yaitu 12 mil laut dari garis pangkal.
Dalam kedaulatannya ini negara pantai juga dibebani tanggung jawab sebagai mana
yang tercantum dalam UNCLOS 1982 seperti: negara pantai bertanggungjawab
dalam hal pemberitahuan bahaya apapun bagi navigasi dalam laut teritorialnya yang
diketahuinya,37
menetapkan skema alur laut dan skema pemisahan lalu lintas laut di
laut teritorialnya,38
serta mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk
mencegah lintas yang tidak damai dalam laut teritorialnya, mencegah terjadinya
pelanggaran dalam bentuk apapun terhadap persyaratan yang ditentukan pada waktu
kapal asing masuk ke perairan pedalaman atau pelabuhan di luar perairan pedalaman,
dan dapat menangguhkan sementara daerah laut teritorialnnya untuk lintas damai
dengan alasan keamanan atau untuk latihan senjata.39
Lebih lanjut, Pasal 34 ayat (1) UNCLOS juga memberikan tanggungjawab
bagi negara pantai yang berbatasan dengan selat yang digunakan untuk pelayaran
internasional. UNCLOS menetapkan bahwa status suatu perairan yang merupakan
selat yang digunakan untuk pelayaran internasional tidak boleh mempengaruhi status
hukum perairan yang merupakan selat yang demikian atau pelaksanaan kedaulatan
36
Moira Mc.Connell dalam Badan Koordinasi Keamanan Laut, 2009, Hukum Laut Zona-Zona
Maritime Sesuai UNCLOS 1982 Dan Konvensi-Konvensi Bidang Maritim, Badan Koordinasi
Keamanan Laut, Jakarta, hlm.32. 37
Pasal 24 ayat (2) UNCLOS 1982. 38
Pasal 22 UNCLOS 1982. 39
Pasal 25 UNCLOS 1982.
35
atau yurisdiksi negara yang berbatasan dengan selat tersebut. Hal ini mencerminkan
bahwa kedaulatan dan yurisdiksi negara tepi selat tetap merupakan pertimbangan
utama berkaitan dengan pengelolaan dan pengamanan selat tersebut. Rezim selat
yang digunakan untuk pelayaran internasional juga tidak mempengaruhi status
perairan dalam selat tersebut, karena dalam selat tersebut bisa saja terdapat perairan
pedalaman, perairan teritorial, zona ekonomi eksklusif (ZEE) ataupun laut lepas.
Negara tepi selat diberikan kewenangan untuk membuat peraturan perundang-
undangan bekaitan dengan hak lintas transit melalui selat tersebut. Secara spesifik
hal-hal yang disebutkan untuk diatur adalah:
a. Keselamatan pelayaran dan pengaturan lalu lintas laut;
b. Pencegahan, pengurangan, dan pengendalian pencemaran dengan
melaksanakan peraturan internasional yang berlaku tentang pembuangan
minyak, limbah berminyak, dan bahan beracun lainnya di selat;
c. Mengenai kapal penangkap ikan, pencegahan penangkapan ikan, termasuk
cara penyimpanan alat penangkapan ikan;
d. Mengenai penaikan ke atas kapal atau penurunan dari atas kapal setiap
komoditi, mata uang atau orang bertentang dengan peraturan perundang-
undangan bea cukai, fiskal, imigrasi atau saniter negara yang berbatasan
dengan selat.40
Selain hal-hal yang secara spesifik disebutkan di atas, UNCLOS juga
memberikan kewenangan kepada negara tepi selat juga dapat membuat peraturan lain
yang dianggap perlu sehubungan dengan lintas transit di selat tersebut. Misalnya
membuat pengaturan mengenai keamanan di wilayah tersebut sehubungan dengan
armed robbery, selain itu negara tepi selat juga dimungkinkan untuk melakukan
40
Pasal 42 ayat (1) UNCLOS 1982.
36
kerjasama dalam pengelolaan selat, baik yang berhubungan dengan isu lingkungan
dan keselamatan pelayaran (safety of navigation)41
ataupun keamanan.42
Mengenai masalah kemanan ini, Hengky Supit dalam Badan Koordinasi
Keamanan Laut43
mengatakan bahwa salah satu kebijakan keamanan laut yang harus
dilakukan Indonesia adalah mengenai masalah pembajakan di laut. Keamanan laut
juga mengandung pengertian bahwa laut bisa dikendalikan dan aman digunakan oleh
pengguna untuk bebas dari ancaman atau gangguan terhadap aktivitas pemanfaatan
laut, yaitu :44
a. Pertama, laut bebas dari ancaman kekerasan secara terorganisasi dengan
kekuatan bersenjata. Ancaman dimaksud dapat berupa, pembajakan
perompakan, sabotase maupun aksi teror bersenjata;
b. Kedua, laut bebas dari ancaman navigasi, yang ditimbulkan oleh kondisi
geografi dan hidrografi serta kurang memadainya sarana bantu navigasi
sehingga membahayakan keselamatan pelayaran;
c. Ketiga, laut bebas dari ancaman terhadap sumber daya laut berupa
pencemaran dan perusakan ekosistem laut serta eksploitasi dan eksplorasi
yang berlebihan;
d. Keempat, laut bebas dari ancaman pelanggaran hukum, baik hukum
nasional maupun internasional seperti illegal fishing, illegal loging, illegal
imigrant, penyelundupan dan lain-lain.
4. Kebebasan Laut Lepas
Pasal 86 UNCLOS 1982 menetapkan bahwa laut lepas merupakan semua
bagian dari laut yang tidak termasuk dalam ZEE, laut teritorial, atau dalam perairan
pedalaman suatu negara, atau dalam perairan kepulauan suatu negara kepulauan.
41
Pasal 43 UNCLOS 1982. 42
Pasal 25 UNCLOS 1982. 43
Badan Koordinasi Keamanan Laut, 2009, Sutdi Kasus Penyelesaian Konflik Kewenangan Di Laut
Dalam Penegakan Hukum, Keselamatan dan Keamanan Serta Perlindungan Laut/Maritim, Badan
Koordinasi Keamanan Laut, Jakarta, hlm.36. 44
Badan Koordinasi Keamanan Laut, 2009, Kebijakan Keselamatan Dan Keamanan Transportasi
Laut. Badan Koordinasi Keamanan Laut, Jakarta, hlm.26-27.
37
Dengan demikian dapat dilihat bahwa wilayah laut lepas ini berada di luar dari
yurisdiksi suatu negara.
Pada wilayah laut lepas berlaku prinsip kebebasan. Kebebasan yang dimaksud
di sini meliputi hal-hal yang secara spesifik diatur dalam Pasal 87 UNCLOS 1982.
Kebebasan ini dapat dinikmati oleh semua negara baik yang berpantai maupun tidak.
Dengan adanya prinsip kebebasan ini maka tidak ada satupun negara yang dapat
mengklaim kedaulatannya di atas wilayah tersebut dan laut lepas juga hanya
digunakan untuk tujuan-tujuan damai.45
Dalam wilayah ini, karena tidak tunduk pada kedaulatan negara manapun,
status hukum sebuah kapal menjadi sangat penting. Di laut lepas suatu kapal,
berdasarkan Pasal 92 UNCLOS 1982, akan tunduk pada wewenang eksklusif negara
bendera. Untuk melihat status hukum dari sebuah kapal di laut lepas maka dibedakan
antara kapal swasta dan kapal publik.
Pembedaan antara kapal swasta dan publik didasarkan atas bentuk
penggunaan dan bukan atas kualitas pemilik kapal tersebut. Kapal publik adalah
kapal-kapal yang digunakan untuk dinas pemerintah dan bukan untuk tujuan swasta,46
sedangkan yang termasuk sebagai kapal publik adalah kapal perang dan kapal
pemerintah yang digunakan untuk tujuan non-militer atau non-komersil. Berdasarkan
Pasal 95 dan 96 UNCLOS 1982, Kapal-kapal ini, di laut lepas, kebal terhadap
yurisdiksi negara lain kecuali negara bendera kapal, sedangkan kapal yang digunakan
45
Boer Mauna, 2008, Hukum Internasional, Pengertian, Peran dan Fungsi Dalam Era Dinamika
Global, Edisi Kedua, Cetakan Kedua, Alumni, Bandung, hlm.314. 46
Ibid, Hlm.320.
38
untuk tujuan komersil dianggap sebagai kapal swasta, sekalipun itu merupakan kapal
pemerintah.47
Terhadap kapal swasta wewenang negara bendera tidak absolut seperti
pada kapal publik tetapi bisa menjadi relatif. Dalam beberapa hal bisa terjadi
wewenang konkurensial antara dua negara terutama bila terjadi tubrukan di laut lepas
atau insiden pelayaran lainnya.
G. METODE PENELITIAN
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yang merupakan penelitian
hukum yang mengkaji hukum tertulis dari berbagai aspek, yaitu aspek teori, sejarah,
filosofi, perbandingan, struktur dan komposisi, lingkup dan materi, konsistensi,
penjelasan umum dan pasal demi pasal, formalitas dan kekuatan mengikat suatu
undang-undang, serta bahasa hukum yang digunakan.48
Dalam penelitian yang
penulis lakukan ini, aspek dalam penelitian hukum normatif yang diterapkan di
dalamnya adalah mengenai aspek teori, perbandingan, lingkup dan materi, kekuatan
mengikat serta bahasa hukum yang digunakan.
2. Bahan Penelitian
Penelitian ini menggunakan data sekunder. Data sekunder sekunder ini terdiri
dari:49
47
Ibid, hlm.322. 48
Abdulkadir Muhammad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung,
hlm.101-102. 49
Ibid, hlm.67.
39
a. Bahan hukum primer (primary law material), sumbernya perundang-
undangan, naskah kontrak, dokumen hukum, dan arsip hukum. Sesuai
dengan penelitian ini maka bahan hukum primer yang digunakan adalah
perjanjian-perjanjian internasional, perundang-undangan, dokumen serta
arsip hukum yang relevan dengan rumusan masalah yang dibahas yang
meliputi:
1) International Maritime Organization Resolution A.922(22) Code Of
Practice For The Investigation Of The Crimes Of Piracy And Armed
Robbery Against Ships;
2) Regional Coopertaion Agreement On Combating Piracy and Armed
Robbery Against Ship In Asia 2004;
3) Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa 1816 Tahun
2008;
4) Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa 1838 Tahun
2008;
5) Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa 1846 Tahun
2008;
6) Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa 1851 Tahun
2008;
7) Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa 1897 Tahun
2009;
40
8) Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa 1918 Tahun
2010;
9) Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa 1950 Tahun
2010;
10) Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa 2015
Tahun 2011;
11) Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa 2020
Tahun 2011.
12) The 2005 Batam Joint Statement Of The 4th
Tripartite Ministerial
meeting Of the Litoral States on The Straits of Malacca and
Singapore;
13) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1946 Tentang
Kitab Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1976 Nomor 26;
14) United Nation Convention on The Law of The Sea 1958;
15) United Nation Convention on The Law of The Sea 1982;
b. Bahan hukum sekunder (secondary law material) sumbernya adalah
literatur hukum, jurnal penelitian hukum, laporan penelitian hukum,
laporan media cetak atau elektronik. Sesuai dengan penelitian ini maka
bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah
41
literatur hukum, jurnal penelitian hukum, laporan penelitian hukum, dan
laporan media cetak yang relevan dengan perumusan masalah yang ada.
c. Bahan hukum tertier (tertiary law material) yaitu bahan hukum yang
menjelaskan mengenai bahan hukum primer dan sekunder, yang mana
meliputi Kamus Bahasa Inggris Elektronik Alfa Link dan Kamus Besar
Bahasa Indonesia.
3. Alat Penelitian
Untuk pengumpulan data sekunder dalam penelitian normatif dapat dilakukan
melalui tiga cara yaitu, melalui studi pustaka, studi dokumen dan studi arsip.50
Dalam
penelitian ini data sekunder diperoleh melalui studi pustaka. Studi pustaka ini
dilakukan untuk mengkaji sumber hukum primer dan sekunder yang relevan dengan
permasalahan dalam penelitian ini. Sumber hukum primer tersebut meliputi
perjanjian internasional, perundang-undangan, dokumen dan arsip hukum. Sumber
hukum sekunder meliputi literatur-literatur hukum, jurnal hukum, artikel, koran,
majalah, penelitian, dan laporan hukum.51
4. Jalannya Penelitian
Penelitian ini berjalan dalam tiga tahap, yaitu:
a. Tahap persiapan, yaitu tahap dimana peneliti melakukan pencarian dan
pengumpulan data yang relevan dengan permasalahan yang diteliti,
50
Ibid, hlm.81. 51
ibid.
42
penyususnan proposal, konsultasi dengan pembimbing, dan perbaikan
proposal penelitian.
b. Tahap penelitian, yaitu tahap untuk pengumpulan data sekunder yang
berkaitan dengan permasalahan yang ditelti. Data ini dikumpulkan dari
lokasi penelitian yang telah ditentukan, kemudian diolah secara kasar.
c. Tahap penyelesaian, yaitu tahap di mana peneliti mengolah data yang
telah diambil secara baik kedalam sebuah tesis dan berkonsultasi dengan
pembimbing untuk penyempurnaan tesis dan diakhiri dengan ujian tesis.
5. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Gadjah
Mada, Perpustakaan Kementerian Luar Negeri, dan Perpustakaan Online Universitas
Sydney.
6. Analisis Data
Data sekunder yang telah diperoleh diolah melalui proses pemeriksaan
(editing), penandaan (coding), penyusunan (reconstructing), sistematisasi
berdasarkan pokok bahasan dan sub pokok bahasan yang disarikan dari rumusan
masalah (systematizing).
Data tersebut kemudian dianalisis secara kualitatif dan kemudian dilakukan
pembahasan. Berdasarkan pembahasan kemudian diambil kesimpulan sebagai
jawaban terhadap permasalahan yang diteliti.
43
BAB II
PENGATURAN INTERNASIONAL MENGENAI PIRACY JURE GENTIUM
DAN ARMED ROBBERY
Dalam bab ini dibahas mengenai perlunya penetapan aturan hukum yang jelas
mengenai pembedaan piracy jure gentium dan armed robbery. Argumen yang
dibangun didasarkan pada bagaimana hukum laut internasional yang berlaku secara
global saat ini mengatur mengenai masalah piracy jure gentium dan armed robbery.
Kemudian didapati bahwa UNCLOS 1982 ternyata hanya mengatur mengenai piracy
jure gentium tapi tidak ada pasal di dalamnya yang mengatur mengenai armed
robbery. Permasalahan ini ditemui dalam aturan-aturan hukum internasional yang
hanya mengikat negara di kawasan tertentu saja ataupun dokumen-dokumen badan
kelautan internasional seperti International Maritime Organization (IMO).
A. Pengaturan Piracy Jure Gentium dalam UNCLOS 1982
UNCLOS 1982 merupakan aturan internasional yang mengatur mengenai
masalah kelautan yang diratifikasi oleh banyak negara. Hingga saat ini 162 negara
telah meratifikasi UNCLOS 1982.52
Hal ini membuat UNCLOS 1982 mempunyai
pengaruh dalam pengaturan wilayah laut di berbagai wilayah,53
di samping itu
52
United Nations, 2011, “Table recapitulating the status of the Convention and of the related
Agreements”, [online] http://www.un.org/Depts/los/reference_files/status2010.pdf , (diakses tanggal 4
July 2012). 53
Joyce Dela Pena, 2009, “Maritime Crime In The Strait of Malacca: Balancing Regional and Extra-
Regional Concerns”, Stanford Journal of International Relation, X, (2) 1, hlm.5.
44
UNCLOS 1982 juga memuat norma-norma yang bersifat universal sehingga apa yang
diatur di dalamnya dapat dipandang sebagai international customary law.54
Pengaturan mengenai permasalahan piracy jure gentium dalam UNCLOS
1982 dapat ditemui dalam pasal-pasal 100-107, namun dalam aturan ini digunakan
istilah piracy bukan piracy jure gentium, meskipun demikian makna yang terkandung
dalam kedua istilah ini adalah sama. Berdasarkan pengertian piracy dalam pasal 101
dapat dilihat bahwa piracy jure gentium memiliki tiga unsur yakni:
a. Tindakan tersebut dilakukan untuk tujuan pribadi (private ends). Dengan
demikian tindakan tersebut tidak bisa dilakukan berdasarkan izin atau
otorisasi dari suatu pemerintahan;
b. Tindakan tersebut dilakukan terhadap kapal lain. Hal ini berarti
disyaratkan setidaknya terlibat dua kapal dalam tindakan ini.
Pemberontakan awak kapal tidak dianggap sebagai piracy jure gentium;
c. Tindakan tersebut dilakukan di wilayah laut lepas atau wilayah lain di luar
dari yurisdiksi suatu negara.
Dalam piracy jure gentium disyaratkan adanya unsur tujuan pribadi (pirvat
ends), hal ini berarti bahwa tindakan tersebut tidak bisa dilakukan berdasarkan izin
atau otorisasi dari suatu pemerintahan, ataupun pembajakan yang dilakukan untuk
tujuan politik tidak termasuk dalam kategori piracy jure gentium.55
Dari unsur kedua
di atas dapat dilihat bahwa dalam piracy jure gentium harus melibatkan setidaknya
54
James Karaska, op.cit, hlm.127. 55
John O’Brian, op.cit, hlm.426.
45
dua kapal. Oleh karena itu maka pemberontakan awak kapal terhadap kapalnya
sendiri tidak termasuk ke dalam kategori piracy jure gentium. Kapal yang
dikendalikan awak kapal yang memberontak tersebut hanya dapat ditahan oleh negara
bendera kapal.56
Penekanan terhadap unsur ketiga di atas sangat penting untuk
membedakannya dari armed robbery yang mana akan berimplikasi pada penanganan
dari tindakan tersebut. Sebagaimana diatur dalam UNCLOS 1982, piracy jure
gentium dapat dikenakan yurisdiksi universal. Yurisdiksi universal merupakan
yurisdiksi yang dikenakan atas suatu tindak kejahatan yang didasarkan pada sifat
(nature) dari kejahatan tersebut, tanpa memandang di mana kejahatan tersebut
dilakukan, kewarganegaraan pelaku tindak kejatahan, kewarganegaraan korban
kejahatan, atau negara yang menjalankan yurisdiksi tersebut.57
Dengan demikian
setiap negara memiliki kewenangan untuk menangani piracy jure gentium tanpa
memandang kewarganegaraan dari pelaku dan korban tindak kejahatan tersebut,
ataupun wilayah dimana kejahatan tersebut dilakukan. Hal ini tercermin dalam Pasal
100 UNCLOS 1982 yang mana menyatakan bahwa setiap negara harus bekerja sama
dengan sepenuhnya untuk memerang pembajakan yang terjadi di laut lepas atau di
wilayah di luar dari yurisdiksi negara lain. Berdasarkan Pasal 300, Kewajiban untuk
bekerjasama ini harus dilaksanakan dengan itikad baik.
56
D.J. Harris, op.cit, hlm.459. 57
Mihaela AgheniŃei dan Luciana Boboc, 2011, “Universal Jurisdiction And Concurrent Criminal
Jurisdiction”, hlm.1, [online] www.usyd.edu.au (diakses tanggal 4 July 2012), lihat juga: Ma´ximo
Langer, 2011, “The Diplomacy Of Universal Jurisdiction: The Political Branches And The
Transnational Prosecution Of International Crimes”, The American Journal Of Internationla Law, 151
(1), hlm.1.
46
Dalam Pasal 103 diatur mengenai batasan kapal atau pesawat udara pembajak
yang mana meliputi setiap kapal atau pesawat udara yang digunakan oleh orang yang
mengendalikannya untuk melakukan tindakan sebagaimana yang diatur dalam Pasal
101 mengenai definisi piracy. Dalam Pasal 103 juga menekankan bahwa kapal atau
pesawat udara yang telah melakukan tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
101 akan tetap dianggap sebagai kapal atau pesawat udara pembajak selama masih
berada dalam kekuasaan orang-orang yang bersalah melakukan tindakan itu.
Terhadap kapal atau pesawat udara yang demikian masih terbuka kemungkinan untuk
tetap memiliki kebangsaan sesuai dengan tempat pendaftaran kapal, karena mengenai
kehilangan atau tetap dimilikinya kebangsaan dari suatu kapal atau pesawat udara
yang melakukan pembajakan, berdasarkan Pasal 104, ditetapkan oleh masing-masing
negara melalui peraturan perundang-undanganan nasionalnya. Meskipun demikian,
telah jelas dari ketentuan Pasal 100 dan 101 bahwa kapal atau pesawat udara
pembajak tidak lagi hanya tunduk pada yurisdiksi negara bendera di mana dia
mendaftar dan mendapatkan kebangsaannya, tapi tunduk juga pada yurisdiksi
universal. Dengan demikian pesawat udara atau kapal pembajak dapat dianggap tidak
lagi memiliki kebangsaan, kecuali diatur sebaliknya dalam hukum nasional negara
yang bersangkutan. Akan tetapi pada saat ini tidak ada satupun negara yang masih
memberikan status kebangsaan ketika suatu kapal atau pesawat udara terlibat dalam
kegiatan piracy jure gentium, karena semua negara menganggap pembajak sebagai
musuh bersama semua orang (enemy of mankind/ hosti humani generis).58
58
Ken Cottril dalam ibid, hlm.106.
47
Pasal 102 mengatur mengenai pembajakan yang dilakuakan oleh kapal perang
atau kapal pemerintah. Dalam pasal ini diatur bahwa kapal perang atau kapal
pemerintah dianggap sebagai kapal yang melakukan pembajakan ketika awak
kapalnya memberontak dan melakukan tindakan yang dimaksud dalam Pasal 101.
Ketika kapal perang atau kapal pemerintah melakukan hal tersebut maka kekebalan
yang diberikan kepadanya berdasarkan Pasal 95 dan 96 akan secara otomatis hilang
dan setiap negara dapat melakukan penahanan terhadapnya sebagaimana yang
dilakukan terhadap kapal pembajak lainnya.
Penahanan terhadap kapal yang melakukan tindakan piracy jure gentium,
berdasarkan Pasal 107, hanya dapat dilakukan oleh kapal perang atau kapal
pemerintah yang diberikan wewenang untuk melakukan penahanan. Pasal 105
memberikan wewenang penahanan kapal pembajak kepada setiap negara termasuk
menahan orang dan barang-barang yang ada di atasnya. Orang yang melakukan
tindakan tersebut dapat dihukum berdasarkan hukum nasional negara yang
melakukan penangkapan tersebut. Penahanan yang dimaksud dalam Pasal 105 ini
hanya dapat dilakukan terhadap kapal pembajak yang berada di laut lepas atau di luar
dari yurisdiksi negara lain. Kapal pembajak tidak dapat ditahan di wilayah perairan
teritorial, perairan kepulauan, dan perairan pedalaman tanpa persetujuan negara
pantai, bahkan jika pembajakan itu sebelumya terjadi di laut lepas.59
UNCLOS 1982 memang mengatur mengenai piracy jure gentium, namun
tidak satu pasal yang ada di dalamnya yang mengatur mengenai permasalahan armed
59
Ibid, hlm.132.
48
robbery. Padahal kedua tindakan ini merupakan dua hal yang berbeda dan
mempunyai implikasi hukum yang berbeda.60
Pada bulan April 1984, Maritime Safety
Commitee (MSC), salah satu badan dari IMO, menetapkan bahwa piracy jure
gentium dan armed robbery merupakan permasalahan yang berbeda.61
Pengaturan
mengenai armed robbery sendiri dapat ditemui dalam aturan-aturan internasional
yang mengikat negara-negara di kawasan tertentu saja atau dalam dokumen lembaga-
lembaga kelautan internasional seperti IMO. Untuk lebih jauh, pembahasan mengenai
hal ini dibahas di sub pokok bahasan selanjutnya.
B. IMO Resolution A.922(22) Code of Practice for the Investigation of the
Crimes of Piracy and Armed Robbery against Ships
Pengertian mengenai armed robbery dalam IMO Resolution A.922(22) Code
of Practice for the Investigation of the Crimes of Piracy and Armed Robbery against
Ships dapat dilihat dalam Anex resolusi tersebut, Angka 2.2, yang mana
mendefinisikan armed robbery sebagai: “any unlawful act of violence or detention or
any act of depredation, or threat thereof, other than an act of piracy, directed against
a ship or against persons or property on board such a ship, within a state’s
jurisdiction over such offences.”
Dalam Angka 3.1 dianjurkan agar negara-negara dapat mengambil langkah-
langkah yang dibutuhkan untuk menetapkan yurisdiksinya terhadap kejahatan piracy
jure gentium dan armed robbery, termasuk di dalamnya menyesuaikan peraturan
60
Yvonne M. Dutton, 2010, “Bringing Pirates To Justice: A Case For Including Piracy Within The
Jurisdiction Of The International Criminal Court”, One Earth Future Foundation, hlm.8. 61
Yonah Alexander dan Tyler B. Richardson, loc.cit, hlm.512.
49
perundang-undangannya agar negara tersebut dapat menahan dan menuntut pelaku
kejahatan tersebut. Dengan demikian yurisdiksi suatu negara terhadap kejahatan
tersebut akan lahir ketika kejahatan tersebut telah diatur dalam peraturan perundang-
undangan nasionalnya.
Dalam Angka 3.3, negara-negara juga didorong agar melakukan upaya untuk
membantu pemilik kapal melaporkan kejadian piracy jure gentium dan armed
robbery yang dialaminya. Untuk mencapai tujuan tersebut, negara pantai diminta
untuk melakukan usaha yang keras (endeavor) dan tidak membebani pemilik kapal
dengan biaya-biaya tambahan dalam melaporkan kejahatan yang terjadi.
Melalui Angka 3.4, negara pantai juga didorong untuk melakukan kerjasama secara
bilateral ataupun multilateral dalam melakukan investigasi terhadap kejahatan piracy
jure gentium dan armed robbery. Hal ini berarti negara-negara yang melakukan
perjanjian seperti ini harus bekerjasama dalam penginvestigasian kejahatan yang
terjadi, dan tidak hanya sekedar saling menukar informasi saja. Dalam resolusi ini
juga diatur mengenai keberadaan investigator yang bertugas dalam setiap
pengivestigasian kejahatan piracy jure gentium dan armed robbery, yang mana
berdasarkan Angka 2.3 memberikan pengertian mengenai investigator sebagai: “those
people appointed by the relevant state(s) to intervene in an act of piracy or armed
robbery against a ship, during and/or after the event”. Para investigator ini,
berdasarkan Angka 3.5 akan menerima pelatihan yang mencakup:
1. In any cases where persons on board have been abducted or have been
held hostage, the primary objective of any law enforcement operation or
50
investigation must be their safe release. Their rescue must take
precedence over all other considerations;
2. Arrest of offenders;
3. Securing of evidence, especially if an examination by experts is needed;
4. Dissemination of information which may help prevent other offences;
5. Recovery of property stolen;
6. co-operation with the authority responsible for dealing with any
particular incident.
Investigator, ketika berada di tempat kejadian, berdasarkan Angka 6 akan
bertanggungjawab untuk:
1. Menyelamatkan yang terluka (preservation of life). Mereka harus
memberikan perawatan medis kepada mereka yang terluka;
2. Mencegah pelaku penyerangan melarikan diri (prevention of the escape of
offenders). Mereka harus tetap waspada bahwa para pelaku kejahatan
kemungkinan masih berada di sekitar tempat kejadian;
3. Memberi peringatan kepada kapal-kapal yang lain (warnings to other
ships). Setiap saat ketika dimungkinkan, peringatan harus diberikan
kepada kapal-kapal lain yang berada di sekitar tempat kajadian yang
mungkin rentan untuk diserang;
4. Menjaga tempat kejadian perkara (protection of crime scenes). Hal ini
mencakup:
a. Menjaga material-material forensik di tempat kejadian perkara yang
berpotensi menjadi barang bukti untuk mengidentifikasi pelaku
penyerangan dan melakukan interpretasi terhadap kejadian yang
terjadi;
b. Melakukan tahap awal penegakan hukum dan pelayanan darurat yakni
merespon terhadap resiko terjadinya kontaminasi tempat kejadian
perkara;
c. Mereka harus menjamin bawha otoritas di negara yang memegang
tanggungjawab utama investigasi diinformasikan mengenai detail-
detail kejadian yang terjadi dan diberikan kesempatan untuk
melakukan investigasi terhadap hal tersebut.
5. Mengamankan barang bukti (securing evidence). Langkah ini dilakukan
melalui:
a. Mengajukan pertanyaan-pertanyaan di tempat kejadian perkara yang
mana bisa mengarah pada informasi yang membantu
pengidentifikasian dan penagkapan pelaku penyerangan;
b. Penegak hukum yang pertama kali hadir di tempat kejadian perkara
harus menyadari pentingnya peran mereka mengumpulkan dan
menyampaikan bukti-bukti yang relevan;
51
c. Investigator harus mengingat bahwa penjagaan terhadap barang bukti
selama berlangsungnya investigasi adalah hal yang penting, karena
dapat menjadi buki pada proses penuntutan.
Dalam menjalankan tugasnya ini para investigator, berdasarkan Angka 4.2,
harus memiliki kemampuan dan berpengalaman dalam melakukan investigasi,
mengenal lingkungan perkapalan, memiliki pengetahuan mengenai kelautan dan
memiliki akses kepada orang yang memiliki pengetahuan mengenai prosedur
kelautan. Dengan demikian dapat dilihat bahwa kemampuan investigasi dan
pengetahuan mengenai kelautan merupakan hal yang sangat esensial bagi seorang
investigator dalam melakukan investigasi kejahatan piracy jure gentium dan armed
robbery.
Dalam Angka 5 digambarkan bagaimana kerjasama atau hubungan antar
badan atau negara yang mungkin terlibat dalam piracy jure gentium dan armed
robbery. Dalam Angka 5.4 ditekankan perlunya untuk mengidentifikasi orang atau
badan yang bertugas dalam melakukan investigasi. Hal ini diperlukan untuk
mencegah kebingungan atau penundaan dalam proses penginvestigasian yang bisa
berakibat pada hilangnya alat bukti atau membahayakan tawanan. Berdasarkan
Angka 5.5 juga diatur bahwa pengakuan juga harus diberikan terhadap kepentingan
nasional dari negara lain yang mungkin terlibat dalam setiap kasus yang terjadi,
misalnya saja: negara bendera kapal; negara yang memiliki perairan teritorial tempat
kejahatan terjadi; negara asal pelaku kejahatan; negara orang-orang yang berada di
atas kapal; negara pemilik kargo; dan negara tempat di mana kejahatan dilakukan.
Angka 5.5 juga menekankan bahwa dalam hal piracy jure gentium dan armed
52
robbery terjadi di luar dari perairan territorial, maka yang memegang tanggungjawab
adalah negara bendera kapal, dan dalam kasus armed robbery yang memegang
tanggung jawab adalah negara yang memiliki perairan teritorial tempat kejahatan
tersebut terjadi, namun harus diakui juga bahwa negara lain mempunyai kepentingan
hukum dalam setiap kejadian yang terjadi, oleh karena itu kerjasama di antara mereka
merupakan hal yang vital untuk menyukseskan investigasi. Selain negara-negara yang
mungkin terlibat di dalam proses penginvestigasian kejahatan piracy jure gentium
dan armed robbery, Angka 5.6 juga membuka kesempatan bagi keterlibatan badan
internasional lainnya seperti Interpol dan IMB dalam hal ada kemungkinan terjadinya
kejahatan transnasional yang teroganisir.
Dari penjelasan mengenai IMO Resolution A.922(22) Code of Practice for the
Investigation of the Crimes of Piracy and Armed Robbery against Ships di atas,
terdapat tiga hal penting yang perlu dicermati, yaitu:
1. Munculnya “wilayah abu-abu” dalam penanganan armed robbery
Resolusi ini menghasilkan wilayah abu-abu di mana terdapat suatu
kejadian yang akan sulit digolongkan ke dalam piracy jure gentium atau
armed robbery. Dalam resolusi ini yang disebut sebagai armed robbery
adalah tindakan kekerasan, penahanan atau pembajakan, selain tindakan
piracy jure gentium, yang terjadi dalam yurisdiksi suatu negara. Lebih lanjut,
dalam Angka 5.5 ditetapkan bahwa untuk piracy jure gentium atau armed
robbery yang terjadi di luar perairan teritorial, proses penginvestigasian akan
berada dalam tanggungjawab negara bendera kapal, sedangkan untuk armed
53
robbery, yang memegang tanggungjawab dalam penginvestigasian adalah
negara pemilik perairan teritorial tempat terjadinya kejahatan tersebut.
Dengan demikian maka dapat dipahami bahwa kalimat “dalam yurisdiksi
suatu negara (within state’s jurisdiction)” yang tercantum dalam pengertian
armed robbery pada Angka 2.2 resolusi ini merujuk pada wilayah yang tidak
lebih dari perairan teritorial suatu negara. Dengan kata lain resolusi ini
membatasi bahwa armed robbery adalah tindakan yang dilakukan dalam
wilayah sampai batas perairan teritorial saja. Jika dihubungkan dengan
UNCLOS 1982 yang menetapkan bahwa piracy jure gentium terjadi di
wilayah laut lepas atau di wilayah di luar dari yurisdiksi suatu negara, maka
akan terlihat akan timbul suatu wilayah yang di mana di dalamnya suatu
tindakan kekerasan, penahanan, atau pembajakan kepada kapal lain tidak
termasuk ke dalam pengertian piracy jure gentium maupun armed robbery.
Wilayah abu-abu yang dimaksud di sini adalah wilayah ZEE dan zona
tambahan yang mana di dalamnya negara hanya mempunyai hak berdaulat
untuk tujuan eksplorasi, konservasi, dan mengelola sumber daya hayati dan
non-hayati yang ada di sana. Negara pantai juga mempunyai yurisdiksi dalam
hal pendirian pulau-pulau buatan, instalasi dan bangunan, riset ilmiah
kelautan, dan perlilungan serta pelestarian lingkungan laut.
UNCLOS 1982 menyebut dengan jelas bahwa locus delicti dari piracy
jure gentium adalah laut lepas dan wilayah di luar dari yurisdiksi negara lain
(outside the jurisdiction of any state), namun tidak ditetapkan lebih lanjut
54
wilayah laut mana sajakah yang tercakup dalam terminologi wilayah di luar
dari yurisdiksi negara lain (outside the jurisdiction of any state) ini. Hal inilah
yang telah menimbulkan banyak perdebatan apakah tindakan kekerasan,
penahanan, atau pembajakan terhadap kapal lain di ZEE termasuk dalam
armed robbery atau tidak. Jika tidak maka kejahatan tersebut dapat dimasukan
dalam pengertian piracy jure gentium dan tunduk pada yurisdiksi universal.
Hal ini jelas akan sangat merugikan bagi negara pantai yang mana, meskipun
terbatas, masih memiliki yurisdiksi berdasarkan hak berdaulat yang dimilik
dalam wilayah tersebut. Keterlibatan pihak asing dalam penanganan kejahatan
di wilayah tersebut, apabila tunduk pada yurisdiksi universal, akan sangat
mengurangi peran negara pantai, karena penanganannya akan tunduk pada
pengaturan Pasal-pasal 100-107 UNCLOS 1982. Kapal perang negara lain
dapat memasuki ZEE negara pantai untuk menangani kejahatan tersebut yang
mana berpotensi mengancam sumber daya alam dan ekosistem laut di wilayah
tersebut.
2. Kerumitan dalam penentuan yurisdiksi atas kejahatan piracy jure gentium
dan armed robbery yang terjadi di luar perairan teritorial
Dalam Angka 5.5 ditetapkan bahwa: ”….In cases of piracy and armed
robbery against ships outside territorial waters, the flag State of the ship
should take lead responsibility…..”. Kata-kata yang digaris bawahi
menunjukkan adanya pencampuran dua bentuk tindak kejahatan yang berbeda
dalam satu wilayah yang sama. Piracy jure gentium – dalam kalimat tersebut
55
digunakan istilah piracy – memiliki yurisdiksi universal sedangkan armed
robbery tunduk pada yurisdiksi negara tempat kejahatan terjadi. Pembeda
antara kedua tindakan ini adalah piracy jure gentium terjadi di laut lepas atau
di luar yurisdiksi dari negara manapun sedangkan armed robbery terjadi
dalam yurisdiksi suatu negara. Dengan demikian kedua tindakan ini tidak bisa
terjadi dalam suatu locus delicti yang sama. Namun dalam Angka 5.5 kedua
tindakan ini telah ditetapkan masuk dalam satu wilayah yang sama yaitu
wilayah di luar dari perairan teritorial, yang mana jika dilihat berdasarkan
UNCLOS 1982 mencakup zona tambahan dan ZEE. Hal ini akan
menimbulkan kerumitan dalam menentukan yurisdiksi atas kejahatan yang
terjadi. Pencampuran tersebut juga semakin membuat rumit mengenai
klasifikasi kejahatan kekerasan, penahanan, atau pembajakan yang terjadi di
wilayah ZEE dan zona tambahan, apakah termasuk dalam piracy jure gentium
atau armed robbery.
3. Keterlibatan pihak asing dalam proses penginvestigasian.
Resolusi ini menyatakan bahwa negara-negara yang mempunyai
kepentingan dalam kejahatan piracy dan armed robbery yang terjadi dapat
menunjuk investigator untuk menginvestigasi kejahatan yang terjadi, baik itu
pada waktu kejahatan sedang terjadi atau setelahnya, hal ini berarti membuka
keterlibatan bagi investigator dari negara-negara yang mempunyai
kepentingan ataupun negara-negara di luarnya, karena dalam resolusi ini
hanya menekankan pada kemampuan yang harus dimiliki oleh para
56
investigator dalam melakukan investigasi dan tidak mengharuskan bahwa
investigator harus berasal dari negara yang memegang tanggungjawab proses
penginvestigasian atau negara-negara yang mempunyai kepentingan dalam
kejahatan yang terjadi. Resolusi ini juga sebaliknya tidak melarang negara
untuk menugaskan investigator yang berasal dari negara di luar dari para
pihak yang mempunyai kepentingan. Penentuan investigator ini dapat dilihat
dari yurisdiksi negara atas kejahatan tersebut yang terjadi. Dalam hal piracy
jure gentium, resolusi ini menyatakan bahwa yang memegang tanggungjawab
dalam penyelidikan adalah negara bendera kapal, namun seperti yang
dijelaskan diatas bahwa kapal yang melakukan kejahatan piracy jure gentium
kehilangan kebangsaan negara bendera kapal maka tanggungjawab tersebut
dapat dijalankan sesuai Pasal 105 UNCLOS 1982 yang mana diberikan pada
negara bendera kapal yang melakukan penangkapan kepada kapal pembajak
tersebut. Dengan demikian negara bendera kapal yang melakukan
penangkapan dapat menetukan investigator dalam penginvestigasian
kejahatan yang terjadi.
Dalam armed robbery yang memegang tanggungjawab adalah negara
pemilik perairan teritorial tempat kejahatan terjadi, sehingga negara tersebut
juga bisa menetukan investigator dalam kejadian tersebut. Kerumitan akan
muncul ketika kejahatan terjadi di luar dari perairan teritorial. Karena
sebagaimana dijelaskan di atas, di wilayah ZEE dan zana tambahan masih
belum ada definisi yang jelas mengenai tindak kejahatan tersebut.
57
C. Pengaturan Regional Mengenai Armed robbery
1. Regional Coopertion Agreement on Combating Armed Robbery against
Ships in Asia
ReCAAP merupakan kerjasama mengenai pemberantasan armed robbery
yang paling banyak diratifikasi oleh negara-negara di dunia. ReCAAP disahkan di
Tokyo, Jepang, pada tanggal 11 November 2004, dan mulai efektif berlaku pada
tanggal 4 September 2006. Persetujuan perjanjian ini dihadiri 16 negara yakni Jepang,
Cina, Korea Selatan, India, Bangladesh, Sri Lanka dan 10 negara ASEAN. Akan
tetapi dalam penandatanganannya, China, Malaysia dan Indonesia menolak.62
Pada
perkembangan selanjutnya, China menandatangani dan meratifikasinya demikian
juga Malaysia sedangkan hingga kini Indonesia belum menentukan sikap, apakah
menerima usulan ReCAAP tersebut. Isi ReCAAP pada intinya adalah mekanisme
kerjasama dalam usaha memerangi perampokan bersenjata dan tindakan pembajakan
di Asia. Dalam Pasal 2 ReCAAP, armed robbery didefiniskan sebagai: “Any illegal
acts of violance or detention, or any act of depredation, commited for private ends
and directs against aship, or against persons or property on board such ship, in a
place within a Contracting Party’s jurisdiction.” Dengan demikian tindakan tersebut
harus terjadi dalam yurisdiksi negara pantai agar termasuk dalam definisi armed
robbery berdasarkan pasal ini, namun tidak dijelaskan dalam ReCAAP mengenai
sejauh mana wilayah yang masih termasuk dalam yurisdiksi suatu negara pantai.
62
Bateman Sam,dkk, Op.cit, hlm 36.
58
Dalam ReCAAP terdapat tiga pilar utama yakni: information sharing,
capacity building, dan cooperative arrangements. Information sharing dilakukan
melalui Information Sharing Centre (ISC). ISC terdiri dari Governing Council dan
Secretariat. Governing Council terdiri dari perwakilan setiap negara pihak dan
Secretariat dipimpin oleh seorag direktur eksekutif yang dipilih oleh Governing
Council. ISC berdasarkan Pasal 7 memiliki fungsi untuk:
1) Mengatur aliran informasi mengenai piracy jure gentium dan armed
robbery di antara negara-negara pihak;
2) Mengumpulkan, menyusun, dan menganalisa informasi mengenai piracy
jure gentium dan armed robbery yang diberikan negara-negara pihak,
termasuk informasi lain yang relevan yang berkaitan dengan orang atau
transnational organized criminal group yang melakukan kejahatan piracy
jure gentium dan armed robbery;
3) Menyiapkan statistik dan laporan berdasarkan data-data yang telah
diperoleh dan disebarkan kepada negara-negara pihak;
4) Mengingatkan negara-negara pihak akan ancaman piracy jure gentium dan
armed robbery yang mungkin terjadi;
5) Menyalurkan diantara negara-negara pihak permintaan kerjasama
penanganan piracy jure gentium dan armed robbery sesuai dengan Pasal
10 dan informasi yang relevan dengan tindakan-tindakan yang dilakukan
oleh negara yang diminta untuk bekerjasama menangani piracy jure
gentium dan armed robbery sesuai dengan Pasal 11;
6) Menyiapkan statistik dan laporan-laporan yang tidak bersifat rahasia
berdasarkan informasi yang dikumpulkan dan dianalisa untuk disebarkan
kepada komunitas perkapalan dan IMO;
7) Menjalankan fungsi-fungsi yang disetujui oleh governing council untuk
mencegah dan menangani piracy jure gentium dan armed robbery.
Bagian III ReCAPP, menyatakan bahwa kerjasama yang dilakukan melalui
ISC dapat dilakukan dalam 3 bentuk yaitu:
1) Pertukaran informasi diantara sesama negara pihak;
2) Permintaan kerjasama (request for cooperation). Hal ini dapat diminta
oleh negara pihak yang satu kepada negara pihak yang lain untuk
59
menemukan orang, kapal atau pesawat: pembajak (pirates); pelaku
kejahatan armed robbery; korban dan kapal korban kejahatan piracy jure
gentium dan armed robbery; serta kapal atau pesawat udara yang
melakukan piracy jure gentium dan armed robbery, dan kapal atau
pesawat yang dikuasai pembajak atau orang yang melakukan armed
robbery.
3) Kerjasama dari negara pihak yang diminta untuk melakukan kerjasama
(cooperation by the requested contracting party)
Berdasarkan Pasal 14, demi meningkatkan kapasitas dari negara pihak dalam
menangani piracy jure gentium dan armed robbery maka setiap negara pihak harus
betu-betul memberikan batuan kepada negara pihak lain yang meminta bantuan.
Capacity building dapat dilakukan melalui pemberian bantuan teknis seperti program
pendidikan dan pelatihan.
Mengenai cooperative arrangements diatur dalam Pasal 15, yang mana hal ini
dapat dilaksanakan melalui latihan gabungan atau bentuk kerjasama lainnya yang
disetujui oleh negara-negara pihak. Selain ketiga pilar ReCAAP tersebut, dalam Pasal
12 juga mengatur mengenai ekstradisi pelaku piracy jure gentium dan armed robbery
di antara sesama negara pihak yang mempunyai yurisdiksi atas mereka.
Dari pemaparan di atas dapat dilihat bahwa ReCAAP mengedepankan
kerjasama multiregional dalam menangai piracy jure gentium dan armed robbery.
Hal ini tercermin dari keberadaan ISC yang terdiri dari perwakilan semua negara
pihak. Kerjasama yang dibangun juga tidak hanya sebatas pada bantuan teknis, atau
60
patroli terkoordinasi seperti yang dilakukan Indonesia, Malaysia dan Singapura,
namun terdapat juga latihan gabungan yang bisa dilaksanakan diantara sesama negara
pihak. Mekanisme penanganan yang dilakukan secara multiregional inilah yang
menjadi alasan Indonesia untuk tidak terikat dengan ReCAAP. Di antara Negara-
negara pihak juga terdapat perbedaan yang cukup tajam klasifikasi pembajakan dan
perampokan bersenjata yang belum diklarifikasi secara bersama oleh mereka. Di
samping itu, mekanisme ReCAAP berdampak mengurangi keterlibatan dan pengaruh
Indonesia, khususnya di antara anggota negara-negara ASEAN.63
2. Aturan-Aturan Penanganan Piracy Jure Gentium dan Armed Robbery di
Luar Laut Teritorial dan Perairan Somalia
Piracy jure gentium dan armed robbery di luar laut teritorial dan perairan
Somalia muncul setelah negara ini jatuh dalam krisis internal setelah kudeta yang
dilakukan pada tahun 1990. Krisis yang terjadi memicu berbagai macam persoalan
sosial dan menyebabkan meningkatnya kemiskinan akibat kurangnya lapangan
kerja.64
Piracy jure gentium dan armed robbery di wilayah ini semakin meningkat
pada tahun 2008 dan menarik perhatian dunia internasional.65
Bukti dari besarnya
perhatian dunia internasional terhadap hal ini adalah sejak tahun 2008 hingga
sekarang telah dikeluarkan 9 resolusi DK PBB yang berkaitan dengan penanganan
piracy jure gentium dan armed robbery di lepas pantai dan perairan Somalia, yaitu,
63
Steven Yohanes Pailah, 2008, “Pengelolaan Isu-Isu Keamanan di Selat Malaka Periode 2005-
2006”, hlm.40. 64
Kenneth Menkhaus, 2003, “Somalia: A Situation Analysis And Trend Assessment”, Writenet
Independen Analysis, hlm.1-2, http://www.unhcr.org/refworld/pdfid/3f7c235f4.pdf (diakses tanggal 24
Februari 2012). 65
James Karaska, op.cit, hlm.148.
61
Resolusi DK PBB 1816 (2008), Resolusi DK PBB 1838 (2008), Resolusi DK PBB
1846 (2008), Resolusi DK PBB 1851 (2008), Resolusi DK PBB 1897 (2009),
Resolusi DK PBB 1918 (2010), Resolusi DK PBB 1950 (2010), Resolusi DK PBB
2015 (2011), dan Resolusi DK PBB 2020 (2011).
Dalam kesembilan resolusi ini terdapat beberapa hal penting yang dapat
dilihat berkaitan dengan penanganan piracy jure gentium dan armed robbery di luar
laut teritorial dan perairan Somalia, yakni:
a) Otorisasi dari TFG sebagai pemerintahan resmi di Somalia
Dari semua resolusi yang disebutkan di atas dapat dilihat bahwa dasar
otorisasi yang diberikan kepada negara-negara dan organisasi internasional
yang terlibat dalam penanganan piracy jure gentium dan armed robbery di
luar laut teritorial dan perairan Somalia adalah adanya persetujuan
berdasarkan resolusi-resolusi ini adalah persetujuan yang diberikan oleh TFG.
Hal ini terlihat jelas dari berbagai pernyataan yang dimuat dalam resolusi ini,
contohnya dalam Resolusi DK PBB 1816 (2008) disebutkan bahwa: “Taking
further note of the letter from the Permanent Representative of the Somali
Republic to the United Nations to the President of the Security Council dated
27 February 2008, conveying the consent of the TFG to the Security Council
for urgent assistance in securing the territorial and international waters off
the coast of Somalia for the safe conduct of shipping and navigation”. Kata-
kata yang digaris bawahi ini jelas menunjukkan bahwa persetujuan dari TFG
sebagai pemerintahan resmi Somalia saat ini sangat penting dalam pemberian
62
otoritas bagi komunitas internasional untuk membantu TFG dalam
penanganan piracy jure gentium dan armed robbery, yang bahkan dilakukan
sampai ke dalam wilayah perairan teritorial yang merupakan yurisdiksi
Somalia.
Bagian-bagian lain dari resolusi-resolusi yang ada juga menunjukkan hal
yang sama. Dalam setiap pembaharuan periode bagi komunitas internasional
untuk tetap terlibat dalam penanganan piracy jure gentium dan armed robbery
di luar laut teritorial dan perairan Somalia, selalu disebutkan bahwa
sbelumnya telah diberikan persetujuan oleh TFG mengenai hal tersebut,
misalkan dalam Pasal 10 Resolusi DK PBB 1846 (2008) dinyatakan bahwa:
“Decides that for a period of 12 months from the date of this resolution States
and regional organizations cooperating with the TFG in the fight against
piracy and armed robbery at sea off the coast of Somalia, for which advance
notification has been provided by the TFG to the Secretary-General”. Kata-
kata yang digaris bawahi ini menunjukkan bahwa hanya atas otoritas yang
diberikan oleh TFG saja maka penanganan piracy jure gentium dan armed
robbery di luar laut teritorial dan perairan Somalia dapat terus dilaksanakan
dalam periode tertentu sesuai dengan yang ditetapkan dalam resolusi tersebut.
b) Adanya batasan waktu dan tempat berlakunya otoritas yang diberlakukan
dalam penanganan piracy jure gentium dan armed robbery di lepas pantai
dan perairan teritorial Somalia
Dari semua resolusi yang dipaparkan di atas jelas terlihat bahwa tindakan-
tindakan penanganan piracy jure gentium dan armed robbery yang dilakukan
63
di luar laut teritorial dan perairan Somalia berdasarkan resolusi-resolusi
tersebut hanya bisa diterapkan di luar laut teritorial dan perairan Somalia saja.
Hal ini tercermin dari pernyataan-pernyataan dalam resolusi-resolusi tersebut
yang menyatakan bahwa otoritas yang diberikan dalam resolusi-resolusi
tersebut hanya diterapkan berkaitan dengan situasi krisis di Somalia dan tidak
menjadi suatu hukum internasional kebiasaan (customary international law).
Salah satu contohnya adalah pernyataan yang dimuat dalam Pasal 10 Resolusi
DK PBB 1851 (2008), yang mana menyatakan bahwa: “Affirms that the
authorization provided in this resolution apply only with respect to the
situation in Somalia …… and underscores in particular that this resolution
shall not be considered as establishing customary international law”. Hal
yang sama juga terus dinyatakan dalam resolusi-resolusi yang lain.
Selain membatasi bahwa resolusi-resolusi tersebut hanya berlaku
berkaitan dengan situasi krisis yang ada di Somalia dan tidak dimaksudkan
untuk menjadi sebuah hukum internasional kebiasaan (customary
international law), dalam resolusi-resolusi tersebut juga membatasi bahwa
tindakan-tindakan yang diizinkan sesuai dengan resolusi tersebut hanya dapat
diterapkan dalam jangka waktu tertentu saja. Contohnya dalam Resolusi DK
PBB 1897 (2009) dinyatakan bahwa: “Noting the several requests from the
TFG for international assistance to counter piracy off its coast, including the
letters of 2 and 6 November 2009 from the Permanent Representative of
64
Somalia to the United Nations expressing the appreciation of the TFG to the
Security Council for its assistance, expressing the TFG’s willingness to
consider working with other States and regional organizations to combat
piracy and armed robbery at sea off the coast of Somalia, and requesting that
the provisions of resolutions 1846 (2008) and 1851 (2008) be renewed for an
additional twelve months.” Dengan demikian bahwa dalam resolusi ini
membatasi bahwa penanganan piracy jure gentium dan armed robbery yang
dilakukan berdasarkan resolusi ini hanya dibatasi dalam jangka waktu 12
bulan saja.
c) Tidak dijelaskan mengenai definisi armed robbery
Dalam sembilan resolusi DK PBB yang disebutkan di atas selalu
disebutkan istilah armed robbery bersamaan dengan piracy jure gentium
(dalam resolusi-resolusi ini digunakan istilah piracy), namun tidak ada dalam
satu resolusi-pun yang menjelaskan mengenai definisi armed robbery.
Dalam resolusi-resolusi tersebut meneyebutkan mengenai UNCLOS 1982
sebagai kerangka hukum dalam memerangi piracy jure genitum dan armed
robbery, yang mana dari UNCLOS 1982, sebagaiama dijelaskan dalam sub
pokok bahasan sebelumnya, hanya akan ditemui pengaturan mengenai piracy
jure gentium namun tidak mengenai armed robbery. Misalkan dalam Resolusi
DK PBB 1950 (2010) dinyatakan bahwa: “Further reaffirming that
international law, as reflected in the United Nations Convention on the Law
of the Sea of 10 December 1982 (UNCLOS), sets out the legal framework
65
applicable to combating piracy and armed robbery at sea, as well as other
ocean activities”.
3. Aturan-Aturan Penanganan Armed Robbery di Selat Malaka-Singapura
a. The 2005 Batam Joint Statement of the 4th
Tripartite Ministerial meeting of
the Litoral States on The Straits of Malacca and Singapore (The Batam
Joint Statement)
The Batam Joint Statement merupakan pernyataan bersama tiga menteri luar
negeri dari tiga negara pantai yang berbatasan dengan Selat Malaka-Singapura, yakni
Indonesia, Malaysia, dan Singapura, tentang pengelolaan Selat Malaka-Singapura,
yang ditandatangani pada tanggal 2 Agustus 2005. The Batam Joint Statement
ditetapkan dalam pertemuan keempat antara meneteri luar negeri dari tiga negara
yang berbatasan dengan Selat Malaka-Singapura di Batam, Indonesia. Pada saat itu
yang mewakili Indonesia adalah Menteri Luar Negeri H. E. Dr. N. Hassan Wirajuda,
yang mewakili Malaysia adalah Menteri Luar Negeri Hon. Dato’ Seri Syed Hamid
Albar, dan yang mewakili Singapura adalah Menteri Luar Negeri H. E. George Yeo.
Dalam The Batam Joint Statement ditetapkan beberapa hal mengenai
pengelolaan Selat Malaka-Singapura yang dapat dibagi dalam tiga bagian, yakni
mengenai keselamatan pelayaran (safety of navigation), perlindungan lingkungan
(environmental protection), dan masalah keamanan laut (maritime security).
Dinyatakan dalam Angka 3 bahwa untuk menangani persoalan perlindungan
lingkungan di Selat Malaka-Singapura maka setiap tahunnya akan diadakan
pertemuan tiga menteri dari ketiga negara yang berbatasan dengan selat tersebut
untuk membahas permasalahan ini dan juga akan diadakan pertemuan antara
66
Tripartie Technical Experts Groups (TTEG) on Safety of navigation and
Environmental Protection dan Revolving Fund Committee (RFC) untuk membahas
hal-hal teknis mengenai perlindungan lingkungan di selat tersebut.
Dalam Angka 4 ditegaskan mengenai kedaulatan dan hak berdaulat dari
negara pantai yang berbatasan dengan tepi selat atas Selat Malaka-Singapura
sebagaimana yang diatur dalam UNCLOS 1982 sebagai selat yang digunakan untuk
pelayaran internasional. Oleh karena itu, tanggung jawab utama dalam penanganan
permasalahan keselamatan pelayaran, perlindungan lingkungan, dan keamanan di
Selat Malaka-Singapura berada pada tiga negara yang berbatasan dengan selat
tersebut yakni Indonesia, Malaysia, dan Singapura. Dalam Angka 5 memang
mengakui kepentingan negara pengguna selat dan badan-badan internasional lainnya
yang relevan, serta peran yang dapat diterapkan mereka di dalamnya, namun
pelaksanaan semuanya itu harus memperhatikan keberadaan negara pantai yang
berbatasan dengan selat yang memegag tanggung jawab utama dalam pengelolaan
selat tersebut.
Untuk melengkapi kerja dari TTEG on Safety of navigation and
Environmental Protection, maka dalam Angka 12 ditetapkan mengenai pembentukan
TTEG on Maritime Security. Pembentukan badan ini semakin mempertegas
kedudukan ketiga negara tepi selat sebagai pemegang yurisdiksi dan dalam
pengelolaan selat tersebut termasuk dalam hal keselamatan pelayaran, perlindungan
lingkungan, dan keamanan laut di Selat Malaka-Singapura. Penegasan ini penting
mengingat telah ada upaya-upaya penekanan terhadap negara pantai yang berbatasan
67
dengan Selat Malaka-Singapura supaya melibatkan peran dunia internasional dalam
pengamanan selat tersebut. Upaya-upaya ini terus digencarkan oleh Jepang dan
Amerika Serikat ketika tingkat armed robbery meningkat di selat tersebut pada tahun
2000.66
Dalam Angka 13, semakin diperjelas mengenai batasan keterlibatan negara-
negara pengguna selat dan badan-badan internasional yang relevan dalam
pengelolaan Selat Malaka-Singapura. Keterlibatan mereka dibatasi pada bidang yang
berkaitan dengan pembangunan kapasitas, pelatihan dan transfer teknologi, dan
bantuan-bantuan lain yang sesuai dengan UNCLOS 1982. Dari hal ini dapat dilihat
bahwa keterlibatan pihak-pihak selain negara yang berbatasan dengan Selat Malaka-
Singapura dibatasi pada pemberian bantuan-bantuan teknis tidak dilibat secara
langsung dalam pengamanan selat. Karena itulah maka Indonesia selalu menolak
segala upaya keterlibatan pihak asing dalam pengamanan selat tersebut secara
langsung, termasuk menolak upaya Amerika Serikat yang ingin menempatkan
pasukan militernya di Selat Malaka-Singapura untuk membantu mengamankan selat
tersebut dari serangan pembajak. Indonesia lebih memilih untuk melakukan patroli
terkoordinasi dengan Malaysia dan Singapura dalam pengamanan selat tersebut, yang
mana operasi tersebut dinamakan MALSINDO.67
66
Catherine Zara Raymond, 2009. “Piracy And Armed Robbery In The Malacca Strait :A Problem
Solved?”, Naval War College Review, 62, (3) 31, hlm.35. 67
Ian Storey, 2009, “Maritime Security in Southeast Asia: Two Cheers For Regional Cooperation”,
Southeast Asian Affairs, hlm.41.
68
b. The 2007 Co-Operative Mechanism Between the Littoral States and User
States on Safety of Navigation and Environmental Protection in the Straits
of Malacca and Singapore
Dalam Singapore meeting 4-6 September 2007 disepakati bersama antara tiga
negara pantai, Indonesia, Malaysia, dan Singapura, dimuat dalam Singapore
Statement, mengenai pembentukan cooperative mechanism (CM). Lebih lanjut CM
diatur dalam the Co-Operative Mechanism Between the Littoral States and User
States on Safety of Navigation and Environmental Protection in the Straits of
Malacca and Singapore.
Dalam Angka 7 menetapkan bahwa tujuan utama CM adalah mendorong
dialog dan kerjasama yang lebih dekat antara negara pantai yang berbatasan dengan
selat, negara pengguna selat dan stakeholder lainnya. Hal ini dijalankan berdasarkan
prinsip:
1) Pengakuan atas kedaulatan, hak berdaulat, yurisdiksi dan integritas
wilayah negara pantai atas selat tersebut;
2) Sesuai dengan hukum internasional, khususnya Pasal 43 UNCLOS 1982;
3) Dijalankan dalam kerangka TTEG on the Safety of Navigation in the
Straits of Malacca and Singapore dan tanggung jawab utama dalam
penanganan keselamatan pelayaran dan perlindungan lingkungan berada
pada negara pantai yang berbatasan dengan selat;
4) Pengakuan akan adanya kepentingan negara-negara pengguna dan peran
yang dapat dijalankannya berkaitan dengan keberadaan selat tersebut.
Kerjasama antara negara pantai yang berbatasan dengan selat dan negara-
negara pengguna, serta stakeholder lainnya dijalankan atas dasar sukarela.
CM, berdasarkan Angka 8 terdiri dari tiga komponen, yakni:
1) Co-operation Forum sebagai sarana untuk berdialog dan berdiskusi;
2) Project Coordination Committee yang berfungsi sebagai pelaksana proyek
mengenai keselamatan pelayaran dan perlindungan lingkungan, serta
69
mengkoordinasi kerjasama dengan negara-negara pengguna selat yang
menjadi sponsor proyek;
3) Aids to Navigation Fund sebagai penerima bantuan keuangan untuk
pembaharuan dan pemeliharaan navigasi.
CM, berdasarkan Angka 22, merupakan kerjasama yang fleksibel dan
sederhana. Kerjasama ini bisa dibentuk dalam berbagai macam bentuk pengaturan
sepanjang tidak bertentangan dengan kerangka kerja CM yang mana menempatkan
tanggungjawab utama berada pada negara pantai yang berbatasan dengan selat.
Contoh bentuk kerjasama yang dibangun bisa dibentuk dalam forum 3+1, artinya 3
negara pantai yang berbatasan dengan selat ditambah negara pengguna selat atau
stakeholder lainnya. Pada intinya harus selalu melibatkan 3 negara tepi selat. Untuk
itulah setiap kerjasama mengenai keselamatan pelayaran dan perlindungan
lingkungan dilaksanakan melalui TTEG on Safety of navigation and Environmental
Protection, sedangkan mengenai kerjasama bantuan teknis dalam masalah keamanan
di Selat Malaka-Singapura dapat dilakukan secara bilateral.68
Dengan demikian dapat dilihat bahwa dalam kerjasama yang dibangun antara
negara pantai yang berbatasan dengan selat dan pihak-pihak lain diluar negara tepi
selat didasarkan pada pengakuan akan kedaulatan, hak berdaulat, dan yurisdiksi
negara pantai atas selat Malaka-Singapura, serta tanggungjawab utama berada pada
68
Kementrian Luar Negeri Indonesia, 2006, “Masyarakat Internasional Mengakui Keberhasilan
Negara Pantai Dalam Mengamankan Selat Malaka”, [online]
http://www.deplu.go.id/_layouts/mobile/PortalDetail-NewsLike.aspx?l=..&ItemID=8e294d9d-590f-
4a6f-8328-4118f8f76cd1, (diakses tanggal 11 Juni 2012).
70
negara pantai yang berbatasan dengan selat tersebut. Keterlibatan pihak-pihak lain
juga dibatasi pada hal-hal tertentu saja yang kebanyakan bersifat bantuan teknis,
terutama dalam kaitannya dengan masalah keamanan laut di selat tersebut.
Penanganan keamanan maritim, termasuk di dalamnya penanganan permasalahan
armed robbery, lebih dititik beratkan pada peran Indonesia, Malaysia, dan Singapura
sebagai negara yang berbatasan dengan selat tersebut dan memiliki yurisdiksi
atasnya. Lebih lanjut mengenai pelaksanaan pengamanan armed robbery di Selat
Malaka-Singapura akan dijelaskan dalam Bab III penelitian ini.
Dari penelusuran yang dilakukan penulis ke Kementrian Luar Negeri,
sebenarnya masih ada perjanjian lain yang berkaitan dengan pengamanan Selat
Malaka-Singapura, namun perjanjian tersebut tidak dapat ditunjukan kepada publik
karena berisi mengenai penempatan kekuatan militer Indonesia di selat tersebut yang
apabila dipublikasikan dapat mengancam kemanan wilayah Indonesia.
D. Pembedaan Pengaturan Piracy Jure Gentium dan Armed Robbery
Berdasarkan UNCLOS 1982 telah jelas bahwa yang merupakan piracy jure
gentium adalah setiap tindakan kekerasan, penahanan, atau perampasan yang
dilakukan terhadap kapal lain atau orang maupun barang yang terdapat di atasnya.
Kejahatan ini harus dilakukan di wilayah yang berada di luar dari yurisdiksi suatu
negara atau wilayah laut lepas.
Penekanan terhadap piracy jure gentium, berdasarkan pengertian tersebut
adalah tindakan kejahatan tersebut terjadi di luar dari wilayah yang menjadi
yurisdiksi negara lain atau di laut lepas. Kepada tindakan ini akan dikenakan
71
yurisdiksi universal yang berarti bahwa semua negara diberikan kewenangan untuk
melakukan penindakan terhadap kejahatan tersebut. Dalam hal ini wewenang negara
bendera kapal yang berlaku ketika kapal berada di laut lepas akan hilang. Sebagai
kejahatan tertua, piracy jure gentium dianggap sebagai musuh dari semua manusia
(enemy of all mankind), sehingga dalam semua hukum nasional dianggap sebagai
kejahatan.69
Armed robbery, sebagaimanan diatur dalam ReCAPP dan International
Maritime Organization Resolution A.922(22) Code of Practice for the Investigation
of the Crimes of Piracy and Armed Robbery against Ships, merupakan tindakan
kekerasan, penahanan, atau perampasan yang dilakukan terhadap kapal, orang atau
barang yang berada di atasnya. Kejahatan yang dimaksud di sini dilakukan di wilayah
yang menjadi yurisdiksi suatu negara. Karena berada dalam yurisdiksi dari suatu
negara maka kejahatan tersebut akan tunduk pada wewenang dari negara tempat
kejahatan terjadi. Pihak lain tidak mempunyai yurisdiksi atas kejahatan tersebut.
Keterlibatan pihak asing hanya dimungkinkan atas dasar persetujuan dari negara yang
memiliki yurisdiksi tersebut. Contohnya adalah penanganan armed robbery di
perairan teritorial Somalia dilakukan bersama oleh TFG dan negara-negara lain serta
organisasi regional dan internasional lainnya. Hal ini dilakukan berdasarkan
69
Christoper C. Joyner, 2005, Intrenational Law In The 21st Century, Rules For Global Governance,
Rowman & littlefield publisher, USA, hlm.137.
72
Persetujuan ini diberikan berdasarkan surat tertanggal 10 November 2011 yang
disampaikan oleh perwakilan tetap Somalia di PBB kepada DK PBB.70
Dengan demikian dapat dilihat bahwa perbedaan antara piracy jure gentium
dan armed robbery terletak pada dua hal:
a) Wilayah tempat kejahatan terjadi (locus delicti). Dalam hal piracy jure
gentium wilayah tempat kejahatan terjadi harus berada di luar dari
yurisdiksi negara lain atau di laut lepas, sedangkan armed robbery terjadi
dalam wilayah yang masih yurisdiksi dari suatu negara; dan
b) Yurisdiksi atas kejahatan yang terjadi. Terhadap piracy jure gentium
berlaku yurisdiksi universal yang mana memberikan kewenangan kepada
semua negara untuk melakukan penindakan terhadap kejahatan tersebut,
sedangkan terhadap armed robbery berlaku yurisdiki negara di mana
kejahatan tersebut dilakukan.
Dari perbedaan tersebut dapat dipahami bahwa tempat terjadinya suatu
kejadian akan berpengaruh terhadap yurisdiksi atas kejadian tersebut. Sehubungan
dengan permasalahan piracy jure gentium dan armed robbery, terhadap tindakan
kekerasan, penahanan, atau perampasan yang dilakukan terhadap kapal lain di
wilayah di luar dari laut teritorial dan juga bukan di laut lepas, masih terdapat banyak
perdebatan mengenai apakah tindakan tersebut termasuk piracy jure gentium atau
70
Resolusi DK PBB 2020 (2011). Untided Nations, “Security Concil, Resolution 2020 (2011) Adopted
by the Security Council at its 6663rd meeting, on 22 November 2011”, [online] http://daccess-dds-
ny.un.org/doc/UNDOC/GEN/N11/604/21/PDF/N1160421.pdf?OpenElement, (diakses tanggal 29
Maret 2012).
73
armed robbery. Penentuan klasifikasi tindakan tersebut sangat penting karena akan
berpengaruh pada yurisdiksi yang dikenakan terhadapnya.
Dari pembahasan di atas dapat dilihat bahwa salah satu perbedaan dari piracy
jure gentium dan armed robbery terletak pada locus delicti-nya. Piracy jure gentium
terjadi di wilayah laut lepas atau di luar dari yurisdiksi suatu negara, sedangkan
armed robbery terjadi dalam wilayah yurisdiksi suatu negara. Wilayah yang masih
menjadi yurisdiksi dari suatu negara dalam UNCLOS 1982 meliputi, perairan
pedalaman, perairan kepulauan, wilayah laut teritorial seluas 12 mil laut, dan ZEE
yang luasnya 200 mil laut dari garis pangkal. Dalam wilayah-wilayah tersebut negara
pantai masih diakui yurisdiksinya atas apapun yang ada dan terjadi di dalamnya.
Implikasinya adalah armed robbery tunduk pada yurisdiksi negara di mana kejadian
tersebut terjadi beberbeda dengan piracy jure gentium yang dapat diberlakukan
yurisdiksi universal.
Dalam pengertian yang dinyatakan oleh IMO ditambahakan sebuah
penekanan bahwa armed robbery, selain terjadi di wilayah yurisdiksi suatu negara,
merupakan tindakan selain dari piracy (pembajakan). Implikasi dari definisi yang
ada tersebut adalah armed robbery tunduk pada yurisdiksi negara di mana kejadian
tersebut terjadi beberbeda dengan piracy jure gentium yang dapat diberlakukan
yurisdiksi universal.
Sehubungan dengan piracy jure gentium dan armed robbery, muncul
kesulitan yang ditimbulkan akibat dengan seringnya pembajakan yang terjadi di
wilayah ZEE dikategorikan sebagai piracy jure gentium, yang mana seharusnya
74
kejadian tersebut dikategorikan sebagai armed robbery.71
Hal ini diperparah dengan
adanya distorsi data yang dihasilkan oleh badan yang mendata mengenai jure gentium
dan armed robbery di seluruh dunia, sebagai contoh, laporan kehilangan barang-
barang awak kapal yang melintas (pencurian di atas kapal) justru masuk menjadi data
IMB.72
Data- data dihasilkan olen IMB atau ReCAAP mengenai piracy jure gentium
dan armed robbery juga tidak membedakan antara kedua hal tersebut.
Contoh lainnya kasus Alondra Rainbow, kapal kargo milik Jepang, yang
dirampok di Selat Malaka-Singapura, tepatnya di perairan yang masuk dalam
yurisdiksi Indonesia. Kapal tersebut dibajak oleh 35 orang yang menggunakan kapal
pengangkut barang yang diubah menjadi kapal perampok. Para perampok ini
kemudian ditangkap oleh angkatan laut India sebulan setelah kejadian tersebut
ratusan mil dari Indonesia dan dibawa untuk diadili di Mumbai.73
Kejadian ini
sesungguhnya tidak termasuk dalam kategori piracy jure gentium sehingga angkatan
laut India tidak mempunyai yurisdiksi untuk melakukan penangkapan terhadap para
perampok tersebut. Karena terjadi di perairan Indonesia maka ini termasuk dalam
definisi armed robbery dan yang mempunyai yurisdiksi terhadap kejahatan tersebut
adalah Indonesia.
Permasalahan mengenai armed robbery yang terjadi di ZEE juga muncul
dalam definisi armed robbery yang dihasilkan dalam subregional meeting on piracy
71
Russel Denise, 2010, Who Rules the Waves? Piracy, Overfishing, and Mining the Ocean, Pulto
Press, New York, hlm.62. 72
Steven Yohanes Pailah, op.cit, hlm.76. 73
Russel Denise, op.cit, hlm.66.
75
and armed robbery against ships in the Western Indian Ocean, Gulf of Aden, and
Read Sea area yang diselenggarakan di Dar es Salaam, Tanzania, dari tanggal 14-18
April 2008, disetujui mengenai definisi armed robbery. Secara lengkap definisi yang
dihasilkan dalam forum ini adalah:
armed robbery against ships means any unlawful act of violance or detention
or any act depredation, or threat threof, other an act of piracy, commited for
private ends and directed against a ship or against person or property on
board of such a ship, within a State’s internal waters, archipelagic waters,
and territorial sea.
Definisi yang dihasilkan dalam forum ini telah dimodifikasi dari pengertian
yang ada dalam ReCAAP maupun Resolusi IMO A.922(22) Code of Practice for The
Investigation of the Crimes of Piracy And Armed Robbery against Ships dengan
menambahkan motif tujuan pribadi (private ends) ke dalam pengertiannya serta
mengganti kalimat “di dalam suatu yurisdiksi negara (within a state’ jurisdiction)”
menjadi “di dalam perairan pedalaman, perairan kepulauan dan perairan teritorial
(within a State’s internal waters, archipelagic waters, and territorial sea)”.74
Dalam
pengertian tersebut tidak dicantumkan mengenai kejahatan yang terjadi di wilayah
ZEE. Hal ini semakin menimbulkan polemik mengenai apakah terdapat armed
robbery di ZEE ataukah tidak. Jika tidak maka yang terdapat di dalamnya adalah
piracy jure gentium yang mana akan tunduk pada yurisdiksi universal.
Sebenarnya jika melihat dari definisi piracy jure gentium yang ada maka akan
dengan mudah menentukan apakah ada armed robbery di ZEE atau tidak. Daniel
74
James Karaska, Op.cit, hlm.210.
76
Heller-Roazen mengemukakan bahwa terdapat empat ciri mengenai permasalahan
piracy jure gentium, yaitu:
a. Pembajakan melibatkan sebuah wilayah yang mana di dalamnya suatu
aturan hukum luar biasa diterapkan;
b. Pembajakan melibatkan individu yang melakukan tindakan kejahatan,
yang mana kejahatan tersebut merupakan kejahatan yang memiliki sifat
“universal” dan seringkali disebut juga ‘enemy of all’;
c. Sebagai akibat dari ciri pertama dan kedua, maka pembajak tidak dapat
dianggap sebagai common criminals ataupun lawful enemy;
d. Karena tidak termasuk dalam common criminals ataupun lawful enemy,
maka penanganan pembajakan harus dilakukan dengan penangan yang
luar biasa. 75
Keempat ciri di atas hanya dapat diterapkan kepada kejahatan piracy jure
gentium, tidak kepada armed robbery. Armed robbery tidak memenuhi semua
kualifikasi yang ada di atas. Karena dilakukan dalam yurisdiksi suatu negara maka
dia termasuk sebagai common criminals yang mana tunduk pada yurisdiksi negara
tempat di mana kejadian tersebut terjadi, dengan demikian kejahatan tersebut juga
tidak memiliki sifat ”universal” atau ”enemy of all”. Berdasarkan hal ini maka jika
melihat kejahatan serupa yang terjadi di ZEE akan dengan mudah masuk ke dalam
kelompok armed robbery karena meskipun pada wilayah tersebut hanya berlaku hak
berdaulat bagi negara pantai dengan yurisdiksi yang terbatas, namun hal itu tidak
memungkiri bahawa negara pantai, oleh UNCLOS 1982, diberikan yurisdiksi di
dalamnya. Hal ini menegaskan kembali definisi Pasal 101 UNCLOS 1982 yang mana
mensyaratkan piracy jure gentium terjadi di wilayah di luar dari yurisdiksi negara
mana pun atau di laut lepas, dan ZEE tidak termasuk dalam wilayah ini. Oleh karena
75
Daniel Heller-Roazen, Op.cit, hlm.10-11.
77
itu maka kejahatan (common criminals) yang terjadi di dalamnya adalah armed
robbery. Dengan demikian tidak bisa dikatakan terdapat piracy jure gentium dalam
wilayah ZEE.
UNCLOS 1982 hanya mengatur mengenai masalah piracy jure gentium
namun di dalamnya sama sekali tidak diautur mengenai armed robbery. Dalam
ReCAAP memang mengatur mengenai armed robbery, namun ReCAAP tidak cukup
untuk memfasilitasi pembedaan pengaturan antara piracy jure gentium dan armed
robbery, dikarenakan penerimaan oleh negara-negara yang ada di Asia sendiri tidak
begitu besar, sehingga bisa dikatakan tidak mempunyai pengaruh yang besar. Selain
itu negara-negara yang menandatangani ReCAAP sendiri masih berdebat mengenai
klasifikasi dari piracy jure gentium dan armed robbery.76
Definisi armed robbery dari
IMO juga hanya berbentuk soft law, yakni resolusi untuk panduan penanganan
pembajakan dan perampokan bersenjata terhadap kapal, sehingga tidak mempunyai
daya mengikat yang kuat bagi negara-negara yang ada. Hal ini diperparah dengan
kenyataan bahwa, meskipun telah menetapkan definisi armed robbery seperti yang
dicantumkan di atas, dalam penyajian data mengenai piracy jure gentium dan armed
robbery yang terjadi di seluruh dunia, IMO hanya membedakannya menjadi kejadian
yang terjadi perairan internasional dan yang terjadi di perairan teritorial atau
pelabuhan. Penyajian data seperti ini akan mengakibatkan kaburnya pengertian dari
armed robbery itu sendiri, karena UNCLOS mengakui yurisdiksi suatu negara tidak
hanya di perairan teritorial dan pelabuhan saja, tapi sampai kepada ZEE juga.
76
Steven Yohanes Pailah, loc.cit.
78
BAB III
PENANGANAN PIRACY JURE GENTIUM DAN ARMED ROBBERY DI
LUAR LAUT TERITORIAL SOMALIA DAN SELAT MALAKA-
SINGAPURA
Dalam bab ini dibahas mengenai penanganan piracy jure gentium dan armed
robbery di luar laut teritorial dan perairan Somalia dan Selat Malaka-Singapura.
Pembahasan mengenai Penanganan piracy jure gentium yang dilakukan di luar laut
teritorial Somalia dan armed robbery yang dilakukan di perairan Somalia dibahas
dalam satu pokok bahasan yang sama karena data-data yang diperoleh baik dari IMB
maupun ReCAAP tidak dipisahkan mengenai kedua kejahatan ini dalam laporan yang
mereka keluarkan. Penanganan piracy jure gentium dan armed robbery di luar laut
teritorial dan perairan Somalia juga dilakukan sama berdasarkan resolusi-resolusi DK
PBB, armed robbery yang penanganannya tunduk pada yurisdiksi Somalia justru
ditangani sama dengan penanganan piracy jure gentium yang dilakukan dilaut lepas.
Dalam sub pokok bahasan selanjutnya dibahas mengenai penanganan armed robbery
di Selat Malaka-Singapura. Dalam sub pokok bahasan tersebut tidak dibahas
mengenai piracy jure gentium karena wilayah Selat Malaka-Singapura berada pada
yurisdiksi negara pantai yang berbatasan dengan selat tersebut dan di dalamnya tidak
terdapat laut lepas sehingga kejahatan yang terjadi di dalamnya hanyalah armed
robbery. Dalam sub pokok bahasan terakhir akan dilakukan perbandingan terhadap
penanganan armed robbery di Selat Malaka-Singapura dengan penanganan kejahatan
yang sama di Somalia.
79
A. Penanganan Piracy Jure Gentium dan Armed Robbery di Luar Laut
Teritorial dan Perairan Somalia
1. Kondisi Somalia
Somalia merupakan salah satu negara gagal (failed state), karena secara de
jure, negara ini memang ada tapi secara de facto dia tidak mampu menjalankan
pemerintahan secara efektif.77
Akibat dari perpecahan yang ada di Somalia, negara ini
terpecah menjadi beberapa bagian yaitu: pertama, pemerintah resmi Somalia yang
hanya menguasai beberapa bagian kecil Somalia, termasuk sebagian ibu kota
Mogadishu, dan Kedutaan Besar Somalia di Indonesia mewakili pemerintah ini;78
kedua, Somaliland, wilayah yang secara de facto sudah memisahkan diri dari Somalia
sejak mei 1991, melingkupi wilayah barat laut Somalia yang merupakan bekas
jajahan Inggris. Somaliland tidak diakui secara resmi oleh dunia, namun beberapa
negara tetangga seperti Ethiopia memiliki konsulat di ibu kota Somaliland di
Hergaisa;79
ketiga, Puntland yang menyatakan diri sebagai wilayah semi-otonom
sejak tahun 1998 menguasai wilayah timur laut; Keempat, pada April 2002 pemimpin
lokal di Baioda mengungumkan pembentukan Negara Somalia Barat Daya
(Southwestern State of Somalia);80
kelima, wilayah tanpa pemerintah yang dikuasai
77
Alessandro Shimabukuro, 2010, “The Situation In Somalia. ODUMUNC 2010”, Issue Brief for the
United Nations Security Council, hlm.1,[online]
http://al.odu.edu/mun/docs/issue%202010,%20the%20situation%20in%20somalia.pdf (diakses
tanggal 24 Februari 2012). 78
Teguh Widodo, 2011, “Pelajaran Berharga Dari Peristiwa Pembajakan MV Sinar Kudus”, Dharma
Wiratama, Edisi DW/151/201, hlm.55. 79
International Expert Group on Piracy Off The Somali Coast, 2008, “Piracy Off The Somali Coast”,
hlm.10, [onine] http://www.asil.org/files/somaliapiracyintlexpertsreoprtconsolidates1.pdf (diakses
tanggal 26 Januari 2012). 80
Ibid.
80
berbagai kelompok militan bersenjata, termasuk diantaranya AI-Shabaab, kelompok
Islam ekstrimis yang diduga bekerja sama dengan Al Qaeda. Wilayah ini meliputi
Somalia bekas jajahan Italia.81
Sejak tahun 1991 Somalia gagal dalam membentuk pemerintahan yang stabil.
Hal ini terbukti dengan telah terbentuknya 14 pemerintahan yang gagal dalam
memperbaiki kondisi Somalia.82
TFG sebagai pemerintahan resmi juga gagal dalam
menstabilkan Somalia dan tidak mampu untuk menjalankan kekuasaannya di luar dari
Mogadishu.83
Kelompok-kelompok pemimpin islam, politikus-politikus lokal, dan
kelompok pebisnis lebih mempunyai pengaruh di beberapa wilayah di luar dari
Mogadishu, misalnya di Puntland dan Somaliland. Mereka terbukti bisa melahirkan
pemerintahan yang lebih stabil dengan transfer kekuasaan yang dilakukan melalui
pemilihan umum daripada yang ada di Mogadishu.84
Pemerintahan resmi yang ada
saat ini memiliki kelemahan dalam pembentukan dan pengimplementasian kebijakan
atau aturan hukum. Pemerintah juga sangat terbatas dalam hal sumber daya manusia
dan keuangan sehingga sangat mustahil untuk menciptakan suatu pemerintahan yang
efektif dan stabil.85
Hal ini juga bisa dilihat dari kekuatan angkatan laut Somalia yang
sangat lemah. Sejak meletusnya perang pada tahun 1991, hampir sebagian besar
81
Teguh Widodo, op.cit. 82
Stevenson dalam Sarah Percy dan Anja Sortland, 2011, The Business of Piracy In Somalia, DIW,
Berlin, hlm.4. 83
Ken Menkhaus dalam Stiftung Heinrich Böll, 2008, Somalia: Current Conflicts and New Chances
for State Building, Volume 6, Heinrich Böll Foundation, Berlin, hlm.30. 84
Sarah percy dan Anja Sortland. Loc. Cit. 85
International Expert Group on Piracy Off The Somali Coast. Op.cit.
81
fungsi marinir dan peralatan militer rusak. Padahal wilayah pantai Somalia
merupakan wilayah pantai terpanjang di Benua Afrika.86
Banyaknya pemerintahan yang terbentuk dalam satu negara dan terpecah-
pecahnya wilayah menjadi beberapa bagian dengan pemerintahannya masing-masing,
serta segala keterbatasan yang ada tersebut semakin menyulitkan dalam menstabilkan
kondisi Somalia. Hal ini terbukti dengan berbagai macam persoalan yang timbul dan
tidak bisa ditangani oleh pemerintahan yang ada. Berbagai macam persoalan yang
timbul tersebut antara lain persoalan kemanusiaan, permasalahan perbatasan dengan
Ethiopia dan Eritrea, persoalan mengenai islam fundamentalis, dan termasuk di
dalamnya mengenai permasalahan piracy jure gentium dan armed robbery.
Kondisi negara yang tidak stabil seperti ini membuat penyanderaan kapal
untuk ditukar dengan uang tebusan telah marak terjadi sejak 1990-an, dan
kebanyakan di perairan teritorial, dengan alasan untuk melindungi sumber
perikananan Somalia yang dimasuki nelayan asing dan melindungi perairan dari
pembuangan limbah beracun oleh kapal asing, yang melalui Teluk Aden dari Terusan
Suez, yang tidak bisa diatasi oleh pemerintah.87
Hal ini yang dalam tulisan Isac
Kamola dijelaskan sebagai akibat dari arus kapitalisme yang mengalir melalui
Terusan Suez, yang menyebabkan tindakan piracy jure gentium menjadi respon yang
86
Apriadi Tamburaka, 2011, 47 Hari Dalam Sandera Perompak Somalia, Drama Upaya Pembebasan
Kapal dan ABK MV.Sinar Kudus, Cakrawala, Godean, Yogyakarta, hlm.46. 87
Tullio Treves, 2009, “Piracy, Law of The Sea, And Use of Force: Developments Off The Coast Of
Somalia”, The European Journal of International Law, 20, (2) 399, hlm.400. lihat juga: Kathryn H
Floyd, 2010, “Somalia’s Stability and Security Situation in Review”, International Centre For
Political Violence and Terrorism Research, hlm.8, [online]
http://www.pvtr.org/pdf/Report/Somalia%27sStabilityandSecuritySituationinReview.pdf (diakses
tanggal 24 Februari 2012).
82
wajar, karena apa yang terjadi menimbulkan kerugian secara ekonomi bagi warga
Somalia.88
2. Respon Terhadap Piracy Jure Gentium dan Armed Robbery di Luar Laut
Teritorial dan Perairan Somalia
Ketika membicarakan mengenai masalah pembajakan di Somalia, banyak
orang sering melakukan kesalahan dengan mencampurkan dua konsep yang berbeda,
yaitu piracy jure gentium dan armed robbery. Kedua konsep ini jelas sangat berbeda
dan mempunyai implikasi hukum yang berbeda pula. Seperti yang diapaparkan dalam
tinjauan pustaka bahwa piracy jure gentium dapat diberlakukan yurisdiksi universal
dan berlaku hanya di laut bebas atau di wilayah di luar dari yurisdiksi suatu negara,
sedangkan armed robbery terjadi di wilayah suatu negara dan merupakan yurisdiksi
negara tempat terjadinya kejadian untuk menanganinya. Para penulis sering kali
hanya menggunakan istilah piracy (pembajakan) untuk menyebut setiap pembajakan
kapal yang terjadi dilakukan perompak Somalia, baik itu yang terjadi di luar laut
teritorial Somalia ataupun yang terjadi dalam wilayah perairan Somalia yang
merupakan yurisdiksi dari Somalia.
Dari data yang diambil dari laporan tahunan IMB pada tahun 2011 dilaporkan
bahwa sepanjang tahun 2011 telah terjadi 160 kasus yang dilakukan di Somalia.89
Insiden yang terjadi di tahun ini terus mengalami peningkatan dibandingkan tahun-
tahun sebelumnya. Pada tahun 2010 dilaporkan terjadi 139 kasus, tahun 2009 terjadi
88
Isac Kamola, “Capitalism At Sea: Piracy and ‘State Failure’ in The Gulf of Aden”, hlm.4. 89
International Maritime Bureau, op.cit, hlm.5.
83
80 kasus, tahun 2008 ditemukan 19 kasus yang terjadi, tahun 2007 terjadi 31 kasus,
dan tahun 2006 terjadi 10 kasus.90
Sumber data: International Maritime Bureau Piracy And Armed Robbery Report For
The Period Of 1 Januari – 31 Desember 2011 dan International Maritime Bureau
Piracy And Armed Robbery Report For The Period Of 1 Januari – 31 Desember 2010
(data diolah)
Dari data tersebut dapat dilihat bahwa sejak tahun 2006 hingga tahun 2011,
jumlah piracy jure gentium dan armed robbery di Somalia telah meningkat 16 kali
lipat banyaknya. Hal ini sungguh menjadi ironi karena sejak tahun 2008 sudah ada
bantuan internasional, baik itu bantuan teknis mapun pengiriman pasukan militer,
untuk menanggulangi permasalahan piracy jure gentium dan armed robbery.
Sayangnya dalam laporan ini tidak dibedakan antara jumlah piracy jure gentium dan
armed robbery yang terjadi di luar laut teritorial dan perairan Somalia.
Dalam tahun 2011 juga dilaporkan terjadi 237 penyeranganan yang dilakukan
oleh bajak laut Somalia. Hal ini terjadi karena bajak laut Somalia tidak hanya
beroperasi di perairan Somalia saja tapi juga sampai ke Teluk Aden, Laut Merah
Selatan, lepas pantai Yaman, lepas pantai Oman, Laut Arab, lepas pantai Kenya,
90
International Maritime Bureau, op.cit, hlm.5.
10 31 19
80
139 160
2006 2007 2008 2009 2010 2011
Diagram 2. Piracy Jure Gentium dan Armed Robbery di Somalia
Tahun 2006-2011
84
lepas pantai Tanzania, lepas pantai Madagaskar, lepas pantai Mozambik, Samudera
Hindia, lepas pantai barat India, dan lepas pantai barat Moldova. Dalam tahun yang
sama juga dilaporkan bahwa 470 pelaut disandera, 10 orang diculik, 3 orang terluka
dan 8 orang terbunuh oleh perompak Somalia,91
sedangkan jumlah kapal yang
ditahan oleh perompak Somalia mulai dari 31 desember 2011 berjumlah 11 kapal.92
Dalam kurun waktu yang sama tahun 2010 mereka menahan 28 kapal untuk ditukar
dengan uang tebusan.93
Piracy jure gentium dan armed robbery yang terjadi di luar laut teritorial dan
perairan Somalia telah menimbulkan kerugian yang sangat besar terhadap industri
perkapalan yang melewati perairan di luar laut teritorial Somalia, dan pemerintahan
Somalia sendiri terbukti tidak mampu untuk mengatasi permasalahan ini. Dalam
laporan yang disusun oleh one earth future mengenai kerugaian ekonomi akibat
pembajakan di laut dilaporkan bahwa terjadi peningkatan uang tebusan yang
dikeluarkan untuk menebus kapal-kapal yang dibajak dan disandera oleh perompak
Somalia dari tahun ke tahun. Pada tahun 2005 rata-rata uang tebusan berkisar
$150.000, pada tahun 2009 rata-rata uang tebusan meningkat menjadi $3.400.000,
dan pada tahun 2010 rata-rata uang tebusan adalah $5.400.000.94
Pada tahun 2010
tercatat dua pembayaran uang tebusan yang sangat besar kepada perompak Somalia.
Pada bulan November 2010, $9.500.000 dibayarkan kepada perompak Somalia untuk
91
Ibid, hlm.20. 92
Ibid. 93
International Maritime Bureau, Op.cit, hlm.20. 94
Anna Bowden,Dkk, Op.cit, hlm.9.
85
membayar tebusan atas kapal tanker minyak dari Korea Selatan, Sambo Dream.95
Sedangkan, sebelumnya, pada bulan Januari 2010, telah dibayarkan uang tebusan
sejumlah $7.000.000 untuk pembebasan kapal super tanker dari Yunani, MV Maran
Centaurus, yang mengangkut minyak seharga $160.000.000 dari Arab Saudi menuju
Amerika Serikat.96
Matrix 1. Biaya Tebusan Tahun 2009 dan 2010
Sumber: One Earth Future Working Paper On The Economis Cost Of
Maritime Piracy Desember 2010
Dari tabel di atas dapat dilihat bawah telah terjadi peningkatan yang drastis
mengenai jumlah uang tebusan yang dibayarkan kepada perompak Somalia. Dari
jumlah total uang tebusan sejumlah $177.000.000 yang dibayarkan pada tahun 2009,
meningkat menjadi $238.000.000 pada tahun 2010. Selain meningkatnya biaya
tebusan yang diberikan, piracy jure gentium dan armed robbery yang terjadi juga
berdampak pada meningkatnya asuransi kapal yang mengangkut muatan, khususnya
yang melewati zona-zona yang beresiko tinggi.97
Peningkatan biaya juga terjadi
95
_______, 2010, “Somali pirates receive record ransom for ships' release”, [online]
http://www.bbc.co.uk/news/world-africa-11704306, (diakses tanggal 3 Februari 2012). 96
Anna Bowden,Dkk, Loc.cit. 97
Ibid, hlm.10-12.
86
akibat adanya perubahan rute yang harus dilalui untuk menghindari terjadinya
pembajakan.98
Meningkatnya resiko piracy jure gentium dan armed robbery di luar laut
teritorial dan perairan Somalia tidak diimbangi dengan kemampuan pemerintah
Somalia dalam mengatasi hal tersebut. Hal inilah yang memunculkan kekawatiran
dunia internasional mengenai permasalahan piracy jure gentium dan armed robbery
yang terjadi di wilayah luar laut teritorial dan perairan Somalia, sehingga diperlukan
suatu tindakan untuk mengatasi kejahatan tersebut. Melalui surat yang ditujukan
kepada DK PBB, pemerintahan resmi Somalia yang diakui oleh PBB, TFG, telah
meminta agar dunia internasional bersedia untuk membantu menangani permasalahan
piracy jure gentium, bahkan juga armed robbery yang sesungguhnya terjadi di
wilayah perairan Somalia dan tunduk pada yurisdiksi Somalia.99
Beberapa operasi militer multinasional telah dilaksanakan di lepas pantai
Somalia untuk menanggulangi piracy jure gentium di wilayah tersebut. Pada akhir
tahun 2008, pasukan angkatan laut multinasional, CTF-150, memulai operasi
pemberantasan piracy jure gentium di Teluk Aden, Laut Arab, dan Samudera Hindia.
Kemudian pada January 2009, CTF-150 digantikan oleh CTF-151, yang juga
merupakan pasukan angkatan laut multinasional yang mengkombinasikan kekuatan
militer, pertukaran informasi, dan patroli terkoordinasi. Uni Eropa sendiri
98
Ibid, hlm.13-14. 99
Resolusi DK PBB 1816 (2008). United Nations, 2008, “Security Council, Resolution 1816 (2008)
Adopted by the Security Council at its 5902nd meeting on 2 June 2008“, [online] http://daccess-dds-
ny.un.org/doc/UNDOC/GEN/N08/361/77/PDF/N0836177.pdf?OpenElement, (diakses tanggal 29
Maret 2012).
87
menempatkan kapal penghancur dan kapal patroli angkatan laut di luar laut teritorial
Somalia. Negara-negara Asia seperti Pakistan, Japan, and Turkey juga berkontribusi
dalam CTF-151, sedangkan China, Russia, and India meskipun tidak terlibat secara
resmi dalam patroli multinasional ini namun tetap ikut mengamankan wilayah di luar
laut teritorial Somalia.100
Sejak meningkatnya piracy jure gentium yang terjadi di jalur pelayaran
internasional di luar laut teritorial Somalia dan armed robbery yang terjadi di wilayah
perairannya, sejak tahun 2008 telah dikeluarkan 9 resolusi DK PBB yang berkaitan
dengan penanganan piracy jure gentium dan armed robbery di luar laut teritorial dan
perairan Somalia, yaitu, Resolusi DK PBB 1816 (2008), Resolusi DK PBB 1838
(2008), Resolusi DK PBB 1846 (2008), Resolusi DK PBB 1851 (2008), Resolusi DK
PBB 1897 (2009), Resolusi DK PBB 1918 (2010), Resolusi DK PBB 1950 (2010),
Resolusi DK PBB 2015 (2011), dan Resolusi DK PBB 2020 (2011). Berikut ini akan
dibahas mengenai masing-masing resolusi tersebut.
a. Resolusi DK PBB 1816 (2008)101
Dalam resolusi ini dinyatakan bahwa tindakan piracy jure gentium dan armed
robbery di luar laut teritorial dan perairan Somalia telah menjadi ancaman bagi dunia
internasional, hal ini ditandai dengan:
100
Yvonne M. Dutton, op.cit, hlm.13. 101
United Nations, 2008, “Security Council, Resolution 1816 (2008) Adopted by the Security Council
at its 5902nd meeting on 2 June 2008“, [online] http://daccess-dds-
ny.un.org/doc/UNDOC/GEN/N08/361/77/PDF/N0836177.pdf?OpenElement, (diakses tanggal 29
Maret 2012).
88
1) Kejahatan tersebut mengancam pendistribusian bantuan kemanusiaan ke
Somalia secara cepat, aman, dan efektif;
2) Kejahatan tersebut mengancam keselamatan jalur pelayaran komersial dan
pelayaran internasional;
3) Kejahatan tersebut memperparah situasi krisis yang ada di Somalia, yang
mana mendasari dan terus mengancam keamanan dan perdamaian
internasional di kawasan tersebut.
Oleh karena itu dalam jangka waktu selama 6 bulan sejak resolusi ini
dikeluarkan, negara-negara dapat bekerjasama dengan TFG untuk memerangi piracy
jure gentium dan armed robbery di luar laut teritorial dan perairan Somalia Somalia.
Dalam Pasal 7 resolusi ini negara-negara tidak hanya diberikan otoritas untuk
melakukan tindakan terhadap piracy jure gentium dan armed robbery di wilayah luar
laut teritorial Somalia, namun negara-negara yang bekerjasama dengan TFG juga
diberikan otoritas untuk memasuki perairan Somali dan mengambil tindakan terhadap
kejahatan yang dimaksud seperti yang dimaksudkan untuk dilakukan terhadap
kejahatan tersebut di laut lepas. Berdasarkan Pasal 8, negara-negara yang mengambil
bagian untuk bekerjasama dengan TFG dalam pemberantasan bajak laut diminta untk
mengambil langkah-langkah yang sesuai agar dalam menjalankan tindakannya sesuai
Pasal 7 tidak berakibat pada hak lintas damai kapal dari negara lain.
Pertimbangan untuk dilakukanya tindakan tersebut, sebagaimana yang dimuat
dalam resolusi ini, didasarkan pada 2 hal:
89
1) Kurangnya kemampuan (lack of capacity) TFG dalam menangani piracy
jure gentium dan armed robbery atau dalam melakukan patroli untuk
mengamankan jalur pelayaran internasional di lepas pantainya atau
perairan teritorialnya;
2) Adanya persetujuan dari TFG untuk meminta bantuan internasional untuk
mengamankan perairan teritorial dan perairan internasional di lepas pantai
Somalia dari tindakan piracy jure gentium dan armed robbery. Hal ini
disampaikan oleh perwakilan tetap Somalia di PBB kepada Presiden DK
PBB melalui surat tertanggal 27 Februari 2008.
Berdasarkan Pasal 11, negara-negara, khususnya negara bendera kapal, negara
pantai dan pelabuhan, negara asal korban, dan negara asal pelaku piracy jure gentium
dan armed robbery, serta negara lain yang memiliki yurisdiksi yang relevan dengan
kasus yang terjadi, diminta untuk bekerjasama untuk menentukan yurisdiksi atas
kejahatan yang terjadi, dan dalam investigasi yang dilakukan terhadap kejahatan
tersebut.
Dalam resolusi ini juga ditetapkan dalam Pasal 9 bahwa otorisasi bagi negara-
negara untuk melakukan tindakan penanggulangan kejahatan piracy jure gentium dan
armed robbery yang dilakukan di Somalia berdasarkan resolusi ini hanya diterapkan
berkaitan dengan situasi yang terjadi di Somalia saja dan tidak untuk menjadi
preseden untuk diterapkan di wilayah lain.
90
b. Resolusi DK PBB 1838 (2008)102
Dalam resolusi ini masih menggunakan pertimbangan yang sama seperti
Resolusi DK PBB 1816 (2008) dalam melakukan penanganan kejahatan piracy jure
gentium dan armed robbery di luar laut teritorial dan perairan Somalia. Tambahan
yang dimuat dalam resolusi ini adalah mengenai pengamanan yang dilakukan oleh
negara-negara untuk mengamankan konvoi World Food Program (WFP) dalam
menyalurkan bantuan ke Somalia serta adanya pengamanan yang dilakukan oleh Uni
Eropa kepada negara anggota yang melakukan aktivitas di lepas pantai Somalia.
Dalam Pasal 9 ditekankan kembali mengenai pembaharuan periode
pelaksanaan penanganan piracy jure gentium dan armed robbery sesuai yang
dilaksanakan dalam Pasal 7 Resolusi DK PBB 1816 (2008). Pelaksanaan tindakan
tersebut akan dilaksanakan dalam periode 6 bulan, dan negara-negara juga,
berdasarkan Pasal 4, tetap diberikan otoritas yang sama untuk memasuki perairan
teritorial Somalia dan mengambil tindakan-tindakan yang diperlukan untuk
menangani kejahatan tersebut sama seperti penanganan yang dilakukan dalam
wilayah laut lepas. Selain melakukan tindakan pemberantasan piracy jure gentium
dan armed robbery di luar laut teritorial dan perairan Somalia, negara dan organisasi
regional juga diminta untuk melindungi WFP dalam memberikan bantuan
kemanusiaan ke Somalia. Untuk itu, Pasal 7 menyatakan bahwa negara dan organisasi
regional harus melakukan koordinasi dalam melakukan tindakan mereka tersebut.
102
United Nations, 2008, “Security Council, Resolution 1838 (2008) Adopted by the Security Council
at its 5987th meeting, on 7 October 2008”, [online] http://daccess-dds-
ny.un.org/doc/UNDOC/GEN/N08/538/84/PDF/N0853884.pdf? (diakses tanggal 29 Maret 2012).
91
Dalam Pasal 8 resolusi ini juga tetap ditegaskan bahwa tindakan penanganan
penanganan piracy jure gentium dan armed robbery yang dilakukan berdasarkan
resolusi ini hanya diterapkan berkaitan dengan situasi di Somalia saja dan tidak
menjadi preseden untuk diterapkan di wilayah lain.
c. Resolusi DK PBB 1846 (2008)103
Dalam resolusi ini juga masih dapat dilihat bahwa pertimbangan yang
digunakan adalah kurangnya kapasitas TFG dalam mengamankan wilayahnya dan
jalur pelayaran internasional di lepas pantainya, ancaman terhadap perdamaian
internasional kemanan regional, serta persetujuan yang diberikan oleh TFG melalui
surat tertanggal 20 November 2008 kepada Presiden DK PBB untuk meminta
bantuan internasional dalam memerangi kejahatan piracy jure gentium dan armed
robbery di luar laut teritorial dan perairan Somalia, serta mengizinkan negara serta
organisasi regional yang bekerjasama dengan TFG, dalam melakukan tindakannya,
dapat masuk sampai ke perairan teritorial Somalia.
Dalam Pasal 6 resolusi dinyatakan mengenai inisiatif yang dilakukan oleh
Kanada, Denmark, Prancis, India, Belanda, Rusia, Spanyol, Inggris, dan Amerika,
serta organisasi regional dan internasional dalam memerangi piracy jure gentium dan
armed robbery di luar laut teritorial dan perairan Somalia, termasuk dalam
melindungi kapal WFP, khususnya atas putusan Uni Eropa tertanggal 10 November
103
United Nations, 2008, “Security Council, Resolution 1846 (2008) Adopted by the Security Council
at its 6026th meeting, on 2 December 2008”, [online] http://daccess-dds-
ny.un.org/doc/UNDOC/GEN/N08/630/29/PDF/N0863029.pdf?OpenElement, (diakses tanggal 29
Maret 2012).
92
2008, untuk memperpanjang selama 12 bulan terhitung dari Desember 2008, operasi
angkatan laut untuk melindungi kapal WFP yang menyalurkan bantuan kemanusiaan
ke Somalia dan kapal-kapal lain yang rentan terhadap serangan pembajak, dan
memerangi piracy jure gentium dan armed robbery di Somalia.
Negara-negara dan organisasi regional yang mengambil bagian dalam operasi,
berdasarkan Pasal 7, diharapkan untuk berkoordinasi satu dengan yang lainnya dalam
melakukan tindakannya, juga berkoordinasi dengan IMO, komunitas perkapalan
internasional, negara bendera kapal, dan TFG. Koordinasi ini juga mencakup
pertukaran informasi secara bilateral ataupun melalui PBB
Pasal 10 menegaskan bahwa tindakan pemberantasan piracy jure gentium dan
armed robbery yang dilakukan berdasarkan resolusi ini hanya berlaku dalam jangka
waktu 12 bulan sejak dikeluarkannya resolusi ini. Dalam Pasal 19 dinyatakan bahwa
pembaharuan jangka waktu operasi ini dilakukan berdasarkan permintaan dari TFG.
Seperti yang dinyatakan dalam Pasal 9 Resolusi DK PBB 1816 (2008) dan
Pasal 8 Resolusi DK PBB 1838 (2008), Pasal 11 Resolusi ini juga menyatakan bahwa
tindakan yang diambil berdasarkan resolusi ini untuk memerangi piracy jure gentium
dan armed robbery di luar laut teritorial dan perairan Somalia hanya diterapkan
berkaitan dengan situasi yang ada di Somalia dan tidak dimaksudkan untuk menjadi
sebuah hukum internasional kebiasaan (customary international law).
93
d. Resolusi DK PBB 1851 (2008)104
Pertimbangan akan kurangnya kapasitas dari TFG, ancaman terhadap
perdamaian internasional, serta otorisasi yang diberikan TFG kepada negara dan
organisasi internasional dan regional, masih menjadi dasar utama dalam pelaksanaan
operasi pemberantasan piracy jure gentium dan armed robbery di luar laut teritorial
dan perairan Somalia. Pertimbangan lainnya yang tercantum dalam resolusi ini adalah
mengenai peningkatan kasus piracy jure gentium di luar laut teritorial Somalia dalam
6 bulan terakhir. Serangan pembajak telah meluas sampai ke lepas pantai Kenya dan
sebelah timur Tanzania.
Dalam resolusi ini negara-negara dan organisasi regional serta internasional
yang mengambil bagian dalam operasi ini diminta untuk:
1) Membentuk suatu perjanjian atau pengaturan mengenai investigasi dan
penuntutan tahanan pelaku piracy jure gentium dan armed robbery;
2) Membentuk mekanisme kerjasama internasional untuk menjadi cara
untuk melakukan kontak, mengenai aspek apapun mengenai
pemberantasan piracy jure gentium dan armed robbery, diantara negara-
negara dan organisasi internasional maupun regional yang mengambil
bagian dalam operasi ini;
104
United Nations, 2008, “Security Council, Resolution 1851 (2008) Adopted by the Security Council
at its 6046th meeting, on 16 December 2008”, [online] http://daccess-dds-
ny.un.org/doc/UNDOC/GEN/N08/655/01/PDF/N0865501.pdf?OpenElement, (diakses tanggal 29
Maret 2012).
94
3) Membentuk pusat (centre) untuk mengkoordinasikan pertukaran informasi
yang relevan dengan piracy dan armed robbery di lepas pantai dan
perairan teritorial Somalia (Pasal 5).
Pasal 10 kembali menyatakan bahwa tindakan pemberantasan piracy jure
gentium dan armed robbery yang dilakukan berdasarkan resolusi ini hanya diterapkan
berkaitan dengan situasi yang ada di Somalia dan tidak ditujukan untuk membentuk
suatu hukum internasional kebiasaan (customary international law). Otoritas yang
diberikan kepada negara-negara dan organisasi internasional maupun regional
berdasarkan resolusi ini hanya diterapakan selama periode 12 bulan.
e. Resolusi DK PBB 1897 (2009)105
Resolusi ini masih juga menggunakan pertimbangan kurangnya kapasitas
TFG, ancaman terhadap perdamaian internasional dan keamanan kawasan, serta
persetujuan TFG, sebagai dasar pertimbangan dalam melakukan tindakan
pemberantasan piracy jure gentium dan armed robbery di luar laut teritorial dan
perairan Somalia. Persetujuan yang diberikan TFG agar negara-negara dan organisasi
internasional maupun regional dapat melakukan tindakan yang demikian disampaikan
melalui surat tertanggal 2 dan 6 November 2009 oleh perwakilan tetap Somalia di
PBB kepada Presiden DK PBB untuk meminta bantuan internasional dalam
menangani piracy jure gentium dan armed robbery di luar laut teritorial dan perairan
105
United Nations, 2009, “Security Council, Resolution 1897 (2009) Adopted by the Security Council
at its 6226th meeting, on 30 November 2009”, [online] http://daccess-dds-
ny.un.org/doc/UNDOC/GEN/N09/624/65/PDF/N0962465.pdf?OpenElement, (diakses tanggal 29
maret 2012).
95
Somalia. Dalam surat yang sama TFG juga meminta agar periode otorisasi yang
diberikan bagi negara-negara dan orgainisasi internasional dan regional yang
bekerjasama dengan TFG diperbaharui menjadi 12 bulan lagi.
Dalam resolusi ini juga diakui mengenai hak-hak yang dimiliki oleh Somalia
yang berkaitan dengan sumber daya alam di luar luat teritorialnya, termasuk
mengenai perikanan. Untuk itu negara-negara dan organisasi yang berkepentingan,
termasuk IMO, memberikan bantuan teknis bagi Somalia, otoritas regional, dan
negara pantai terdekat, untuk mengembangkan kapasitas mereka dalam menjamin
keamanan maritim, termasuk memerangi piracy jure gentium dan armed robbery di
luar laut teritorial dan perairan Somalia.. Dalam menjalankan hal tersebut, resolusi ini
menekankan perlunya koordinasi dilakukan melalui Contact Group on Piracy off the
Coast of Somalia (CGPCS).
Dalam Pasal 8 kembali ditekankan bahwa otorisasi yang diberikan
berdasarkan resolusi ini kepada negara-negara dan organisasi internasional maupun
regional hanya diterapkan berkaitan dengan situasi krisis di Somalia dan tidak untuk
menciptakan hukum internasional kebiasaan (customary international law).
f. Resolusi DK PBB 1918 (2010)106
Resolusi ini masih juga menggunakan pertimbangan kurangnya kapasitas
TFG, ancaman terhadap perdamaian internasional dan keamanan kawasan, serta
106
United Nations, 2010, “Security Council, Resolution 1918 (2010) Adopted by the Security Council
at its 6301st meeting, on 27 April 2010 “, [online] http://daccess-dds-
ny.un.org/doc/UNDOC/GEN/N10/331/39/PDF/N1033139.pdf?OpenElement, (diakses tanggal 29
Maret 2012).
96
persetujuan TFG, sebagai dasar pertimbangan dalam melakukan tindakan
pemberantasan piracy jure gentium dan armed robbery di luar laut teritorial dan
perairan Somalia.
Hal menarik yang dicantumkan dalam resolusi ini adalah mengenai
pembebasan orang yang dicurigai melakukan pembajakan tanpa melalui proses
peradilan. Melihat akan hal ini maka resolusi menetapkan bahwa untuk menciptakan
kondisi dimana para pelaku pembajakan dapat ditangani dengan penuh
tanggungjawab maka: disetujui bahwa kegagalan dalam melakukan penuntutan
terhadap orang yang bertanggungjawab terhadap terjadinya piracy jure gentium dan
armed robbery di luar laut teritorial dan perairan Somalia merusak usaha perlawanan
terhadap pembajakan yang dilakukan komunitas internasional; negara-negara diminta
untuk mengkriminalkan pembajakan dalam hukum nasionalnya, melakukan
penuntutan terhadap orang yang dicurigai melakukan pembajakan, dan memberikan
hukuman penjara kepada pelaku pembajakan di lepas pantai Somalia.
g. Resolusi DK PBB 1950 (2010)107
Sama seperti resolusi-resolusi sebelumnya, resolusi ini dapat dilihat bahwa
kurangnya kapasitas TFG, ancaman yang muncul terhadap perdamaian internasional
dan keamanan kawasan akibat piracy jure gentium dan armed robbery di luar laut
teritorial dan perairan Somalia, serta persetujuan dari TFG, masih menjadi
107
United Nations, 2010, “Security Concil, Resolution 1950 (2010) Adopted by the Security Council
at its 6429th meeting, on 23 November 2010 “, [online] http://daccess-dds-
ny.un.org/doc/UNDOC/GEN/N10/649/02/PDF/N1064902.pdf?OpenElement, (diakses tanggal 29
Maret 2012).
97
pertimbangan utama dalam resolusi ini. Berdasarkan surat tertanggal 20 Oktober
2010, perwakilan tetap Somalia di PBB telah meminta kepada Presiden DK PBB
untuk mengirim bantuan internasional dalam memerangi kejahatan piracy jure
gentium dan armed robbery di lepas pantai dan perairan teritorialnya. Dalam surat
yang sama, TFG juga memberikan persetujuan untuk memperbaharui periode
pelaksananaan tindakan kerjasama dengan negara-negara dan organisasi internasional
maupun regional dalam piracy jure gentium dan armed robbery di luar laut teritorial
dan perairan Somalia selama 12 bulan lagi.
Mengenai situasi yang ada di Somalia, Pasal 2 menekankan bahwa
ketidakstabilan yang terus berlangsung di Somalia turut berperan dalam permasalahan
piracy jure gentium dan armed robbery di luar laut teritorial dan perairannya. Hal ini
diperparah dengan terbatasnya kapasitas pemerintahan yang ada dan perundang-
undangan nasional dalam memfasilitasi penahanan dan penuntutan orang yang
dicurigai melakukan pembajakan, yang mana telah menghambat usaha-usaha yang
dilakukan komunitas internasional dalam melawan piracy jure gentium dan armed
robbery di luar laut teritorial dan perairan Somalia, bahkan dalam resolusi ini juga
menyatakan adanya keterlibatan anak dalam tindak kejahatan ini. Untuk itu perlu
suatu penanganan secara komprehensif untuk menangani permasalahan ini, yang
mana berdasarkan resolusi ini dapat ditempuh melalui menciptakan stabilitas dan
perdamaian di Somalia, memperkuat lembaga-lembaga negara, pengembangan
ekonomi dan social, penghormatan terhadap hak asasi manusia dan aturan hukum.
98
Dalam Pasal 8 ditekankan bahwa resolusi ini hanya diterapkan berkaitan
dengan situasi di Somalia dan tidak dimaksudkan untuk mendasari terbentuknya
suatu hukum internasional kebiasaan (customary international law).
h. Resolusi DK PBB 2015 (2011)108
Dalam resolusi ini lebih menekankan tentang pentingnya
mengkriminalisasikan piracy jure gentium dan armed robbery dalam hukum nasional
untuk mendukung pelaksanaan penuntutan dan pemenjaraan terhadap pelaku
kejahatan tersebut, selain itu dalam Pasal 16 dinyatakan bahwa perlu untuk segera
dibentuk pengadilan anti pembajakan (anti-piracy court) di Somalia dan negara-
negara lain di kawasan tersebut. Untuk itu dibutuhkan bantuan internasional dalam
membentuk pengadilan tersebut termasuk di dalamnya mengenai bantuan sumber
daya manusia dalam menjalankan operasional pengadilan tersebut.
Untuk mendukung hal tersebut, Pasal 17 menekankan pentingnya pengadilan
anti pembajakan untuk memiliki yurisdiksi atas tersangka yang ditangkap di laut,
orang yang memfasilitasi kejahatan piracy jure gentium dan armed robbery yang
terjadi, termasuk orang yang merencanakan, mengatur, memfasilitasi, mendanai, dan
menerima keuntungan dari tindakan kejahatan tersebut.
Mengimbangi semangat untuk memerangi kajahatan piracy jure gentium dan
armed robbery melalui peningkatan tuntutan dan hukuman penjara yang diberikan,
108
United Nations, 2011, “Security Council, Resolution 2015 (2011) Adopted by the Security Council
at its 6635th meeting, on 24 October 2011 “, [online] http://daccess-
ddsny.un.org/doc/UNDOC/GEN/N11/561/03/PDF/N1156103.pdf?OpenElement (diakses tanggal 29
Maret 2012).
99
maka Pasal 18 menekankan pentingnya untuk peningkatan kapasitas penjara yang
ada. Untuk itu diminta kepada otoritas Somalia, United Nation Office On Drugs and
Crimes (UNDOC), United Nations Development Programme (UNDP), dan
komunitas internasional lainnya untuk membantu pembangunan dan pengoperasian
penjara tersebut.
Selain langkah-langkah hukum yang diambil di atas, resolusi ini juga
menyatakan bahwa pentingnya untuk membangun potensi yang dimiliki Somalia
untuk mendorong pertumbuhan ekonomi berkelanjutan yang stabil, yang mana bisa
dijadikan sebagai salah satu alat untuk menanggulangi penyebab pembajakan,
termasuk kemiskinan, dengan demikian dapat berkontribusi dalam mengurangi
tingkat piracy jure gentium dan armed robbery di luar laut teritorial dan perairan
Somalia.
Resolusi ini juga kembali menyatakan bahwa tindakan memerangi piracy jure
gentium dan armed robbery yang dilakukan berdasarkan resolusi ini hanya diterapkan
di Somalia saja.
i. Resolusi DK PBB 2020 (2011)109
Dalam resolusi ini kembali menekankan mengenai: kurangnya kapasitas TFG
dalam melakukan investigasi dan melakukan penuntutan terhadap pelaku
pembajakan, serta dalam mengamankan jalur perairan internasional di luar laut
109
United Nations, 2011, “Security Council, Resolution 2020 (2011) Adopted by the Security Council
at its 6663rd meeting, on 22 November 2011”, [online] http://daccess-dds-
ny.un.org/doc/UNDOC/GEN/N11/604/21/PDF/N1160421.pdf?OpenElement, (diakses tanggal 29
Maret 2012).
100
teritorial dan perairan Somalia; ancaman yang ditimbulkan oleh piracy jure gentium
dan armed robbery di luar laut teritorial dan perairan Somalia terhadap perdamaian
internasional dan kemanan di kawasan tersebut; dan persetujuan yang diberikan oleh
TFG untuk keterlibatan komunitas internasional dalam memerangi piracy jure
gentium dan armed robbery di luar laut teritorial dan perairan Somalia. Persetujuan
ini diberikan berdasarkan surat tertanggal 10 November 2011 yang disampaikan oleh
perwakilan tetap Somalia di PBB kepada DK PBB. Dalam surat yang sama, TFG
juga memberikan persetujuan untuk pembaharuan periode selama 12 lagi untuk
negara-negara dan organisasi regional serta internasional melaksanakan tugasnya
sesuai dengan otoritas yang diberikan resolusi ini.
Otoritas yang diberikan dalam resolusi ini sama seperti otoritas yang tercakup
dalam Pasal 7 Resolusi DK PBB 1816 (2008), Pasal 10 Resolusi DK PBB 1846
(2008), Pasal 6 Resolusi DK PBB 1851 (2008), Pasal 7 Resolusi DK PBB 1897
(2009), dan Pasal 7 Resolusi DK PBB 1950 (2010), yang mana mengizinkan negara-
negara dan organisasi regional serta internasional yang bekerjasama dengan TFG,
dalam menjalankan operasi penanganan piracy jure gentium dan armed robbery,
dapat memasuki perairan tertorial Somalia, dan mengambil tindakan atas kejahatan
tersebut, seperti tindakan yang dilakukan terhadap pembajakan yang dilakukan di laut
lepas.
Dalam resolusi ini juga dapat dilihat beberapa entitas internasional yang telah
terlibat hingga saat ini dalam penanganan piracy jure gentium dan armed robbery di
luar laut teritorial dan perairan Somalia, yakni: Uni Eropa, North Atlantic Treaty
101
Organization (NATO), Combine Task Force 151, serta negara-negara lainnya yang
bekerjasama dengan TFG untuk memerangi pembajakan yang terjadi di sana. Selain
itu terdapat juga negara-negara yang bertindak secara individu dalam menjalankan
operasinya, yakni: Cina, India, Iran, Jepang, Malaysia, Korea Selatan, Rusia, Arab
Saudi, dan Yaman.
Pasal 10 menyatakan bahwa resolusi ini hanya diterapkan berkaitan dengan
situasi yang terjadi di Somalia saja dan tidak dimaksudkan untuk mendasari
terbentuknya suatu hukum internasional kebiasaan (customary international law).
Dalam semua resolusi yang dikeluarkan ini diakui bahwa situasi krisis di
Somalia dan kurangnya kapasitas pemerintahan Somalia telah berperan dalam
meningkatnya piracy jure gentium dan armed robbery yang terjadi di luar laut
teritorial dan perairan Somalia. Misalnya dalam Resolusi DK PBB 1846 (2008)
dinyatakan bahwa: “Taking into account the crisis situation in Somalia, and the lack
of capacity of the Transitional Federal Government (TFG) to interdict pirates or
patrol and secure either the international sea lanes off the coast of Somalia or
Somalia’s territorial waters”, atau dalam Resolusi DK PBB 1851 (2008) dinyatakan
bahwa: “Again taking into account the crisis situation in Somalia, and the lack of
capacity of the Transitional Federal Government (TFG) to interdict, or upon
interdiction to prosecute pirates or to patrol and secure the waters off the coast of
Somalia, including the international sea lanes and Somalia’s territorial waters”
Dalam Resolusi-Resolusi yang dikeluarkan ini juga ditegaskan bahwa piracy
jure gentium dan armed robbery yang terjadi telah mengancam perdamaian
102
internasional dan keamanan di kawasan tersebut. Oleh karenanya pemerintahan
resmi Somalia, TFG, meminta melalui DK PBB untuk mendapat bantuan dari dunia
internasional yakni dari negara-negara yang mempunyai kapal angkatan laut dan
pesawat militer di laut lepas dan di ruang udara di luar laut teritorial Somalia untuk
memerangi piracy jure gentium dan armed robbery yang terjadi di luar laut teritorial
dan perairan Somalia. Dalam resolusi yang dikeluarkan tersebut dinyatakan bahwa:
Decides that for a period of six months from the date of this resolution, States
cooperating with the TFG in the fight against piracy and armed robbery at sea off the
coast of Somalia, for which advance notification has been provided by the TFG to the
Secretary-General, may:
a. Enter the territorial waters of Somalia for the purpose of repressing acts
of piracy and armed robbery at sea, in a manner consistent with such
action permitted on the high seas with respect to piracy under relevant
international law; and
b. Use, within the territorial waters of Somalia, in a manner consistent with
action permitted on the high seas with respect to piracy under relevant
international law, all necessary means to repress acts of piracy and armed
robbery 110
Dari putusan ini dapat dilihat bahwa kewenangan yang diberikan kepada
negara-negara yang mengambil bagian untuk memerangi piracy jure gentium dan
armed robbery tidak hanya sebatas untuk melakukan tindakan yang diperlukan di
wilayah luar laut teritorial Somalia saja, tapi juga sampai ke dalam perairan teritorial
yang merupakan yurisdiksi dari Somalia sendiri. Dalam kata-kata yang digaris
bawahi di atas jelas menunjukkan ruang lingkup operasi yang besar yang dapat
dimasuki oleh negara-negara dalam memerangi piracy jure gentium dan armed
robbery yakni sampai ke wilayah yang seharusnya menjadi yurisdiksi dan berada di
110
Angka 7 Resolusi DK PBB 1816 (2008).
103
bawah kedaulatan dari Somalia. Sebagaimana diakui dalam UNCLOS 1982, dalam
perairan teritorial, kedaulatan suatu negara berlaku penuh atas segala sesuatu yang
ada dan terjadi di dalamnya, namun apa yang terjadi di Somalia menunjukkan hal
yang sebaliknya dengan keterlibatan negara lain dalam penanganan armed robbery
yang sebenarnya tunduk sepenuhnya pada yurisdiksi Somalia, karena terjadi di
wilayah perairannya.
Satu hal penting yang harus diingat dari semua Resolusi DK PBB yang
dikeluarkan adalah adanya peran Indonesia yang mendesak untuk dicantumkannya
pernyataan dalam resolusi-resolusi tersebut bahwa tindakan yang dilaksanakan untuk
pemberantasan piracy jure gentium dan armed robbery di luar laut teritorial dan
perairan Somalia hanya diterapkan di Somalia saja dan tidak untuk diterapkan atau
menjadi preseden untuk diterapkan di wilayah lain ataupun tidak menjadi sebuah
hukum internasional kebiasaan (customary international law).111
Hal ini sangat
ditekankan oleh Indonesia karena kekawatiran yang muncul dari pihak Indonesia
bahwa tindakan pemberantasan piracy jure gentium dan armed robbery yang
dilakukan di Somalia, yang mana melibatkan negara asing dalam penanganannya,
dapat juga diterapkan di perairan Selat Malaka-Singapura. Indonesia sebagai pihak
dalam UNCLOS 1982 tetap berpegang bahwa masalah piracy jure gentium dan
armed robbery merupakan masalah yang berbeda dan penanganannya pun berbeda.
Selain dibatasi oleh ratione loci yaitu hanya untuk diterpakan di Somalia saja,
resolusi-resolusi yang dikeluarkan mengenai penanganan piracy jure gentium dan
111
James Karaska, op.cit, hlm.156.
104
armed robbery di Somalia juga dibatasi oleh ratione temporis yaitu hanya berlaku
dalam jangka waktu tertentu saja.112
Resolusi DK PBB 1816 hanya berlaku dalam
jangka waktu 6 bulan; Resolusi DK PBB 1838 juga hanya berlaku selama 6 bulan;
Resolusi DK PBB 1846 berlaku selama 12 bulan; Resolusi DK PBB 1851 berlaku
selama 12 bulan; Resolusi DK PBB 1897 berlaku selama 12 bulan; Resolusi DK PBB
1918 berlaku selama 12 bulan; Resolusi DK PBB 1950 berlaku selama 12 bulan; dan
Resolusi DK PBB 2020 berlaku selama 12 bulan.
Dalam keterlibatan negara asing untuk penanganan armed robbery, yang
seharusnya menjadi kewenangan Somalia untuk menanganinya, keterlibatan mereka
ini didasarkan pada adanya persetujuan dari pemerintahan resmi Somalia, TFG,
kepada DK PBB. Sebagaimana yang tercantum dalam Resolusi DK PBB 1816 yang
di dalamnya tercantum bahwa: “…..Taking further note of the letter from the
Permanent Representative of the Somali Republic to the United Nations to the
President of the Security Council dated 27 February 2008, conveying the consent of
the TFG to the Security Council for urgent assistance in securing the territorial and
international waters off the coast of Somalia for the safe conduct of shipping and
navigation…”. Dari kalimat yang digaris bawahi tersebut jelas terlihat adanya
persetujuan dari TFG mengenai keterlibatan pihak asing dalam penanganan armed
robbery di perairan teritorialnya, yang sebenarnya tunduk pada yurisdiksinya.
Oleh karena itu tidak dapat dipahami bahwa keterlibatan pihak asing dalam
penanganan armed robbery serta-merta terjadi begitu saja karena kurangnya
112
Tullio Treves, op.cit, hlm.405.
105
kemampuan dari Somalia untuk mengatasi armed robbery. Dengan demikian dapat
dilihat juga bahwa pertimbangan akan kedaulatan Somalia sebagai negara yang
berdaulat tetap ada meskipun Somalia memiliki situasi krisis yang menyebabkan
ketidakstabilan di negara tersebut dan kurangnya kapasitas dalam menangani armed
robbery yang terjadi dalam wilayah yang menjadi yurisdiksinya sendiri.
B. Penanganan Armed Robbery di Selat Malaka-Singapura
1. Polemik Status Selat Malaka-Singapura pada Tahun 1970-1971
Selat malaka-Singapura merupakan selat yang berada diantara tiga negara
pantai, yaitu, Indonesia, Malaysia dan Singapura. Sehingga ketiga negara ini
mempunyai kepentingan yang besar atas keberadaan selat ini. Selat Malaka-
Singapura sebenarnya terdiri dari dua bagian, yaitu Selat Malaka yang terletak
diantara Indonesia dan Malaysia, serta bagian Selat Singapura yang terletak antara
Singapura dan Indonesia.
Di bagian selatan dari Selat Malaka, lebar selat tersebut kurang dari dua kali
12 mil,di bagian ini lebarnya kurang lebih 8 mil. Karena Indonesia sejak tahun 1957
telah mengakui lebar laut teritorial dan juga menyatakan bahwa di selat-selat yang
lebarnya kurang dari 24 mil, garis batas laut wilayah Indonesia dengan negara
tetangga ditarik di tengah-tengah selat (median line), dan malaysia juga menerima
keteapan lebar laut teritorial sejauh 12 mil, maka setelah mengadakan perundingan di
Jakarta pada Maret 1970, perjanjian antara Indonesia dan Malaysia tentang garis
batas laut wilayah masing-masing telah disepakati dan ditanda-tangani. Kesepakatan
tentang luas wilayah negara di selat tersebut diambil dari garis tengah yang ditarik
106
dari titik-titik terluar masing-masing negara di Selat Malaka tersebut. Perjanjian ini
telah diratifikasi oleh kedua negara dan mulai diberlakukan sejak pertukaran Piagam
Ratifikasi pada 8 Oktober 1971. Jadi, bagian Selat Malaka yang lebarnya kurang dari
24 mil, sejak saat itu, secara otomatis menjadi laut wilayah Indonesia dan Malaysia
yang berada di bawah kedaulatan Indonesia dan Malaysia. Dengan Singapura,
Indonesia juga telah melakukan kesepakatan perjanjian tentang garis batas laut
wilayah di bagian tengah Selat Singapura. Namun, kedua garis batas tersebut belum
bersambungan, baik di sebelah Barat maupun Timur Singapura.113
Selat singapura ini
sangat sempit, bahkan di bagian-bagian tertentu lebarnya kurang dari 3 mil.
Pada tahun 1970-an telah muncul upaya-upaya untuk menginternasionalisasi
Selat Malaka-Singapura. Hal ini dimulai dengan adanya keterlibatan Jepang untuk
melakukan detailed hydrographic survey. Survey pertama dilakukan berdasarkan
memorandum of understanding (MOU) yang ditandangani pada tanggal 21 Januari
1969 dan survey kedua dilakukan berdasarkan MOU yang ditandatangani pada
tanggal 14 Juli 1970. Permasalahan mulai muncul ketika pada survey kedua, Jepang
secara sepihak menyebarkan draft agreement kepada negara-negara tertentu di dunia
yang antara lain mengemukakan perlunya dibentuk badan internasional untuk
mengurusi Selat Malaka-Singapura. Badan ini disarankan terdiri dari negara-negara
pemakai selat ditambah ketiga negara tepi selat, yaitu, Indonesia, Malaysia dan
Singapura. Akhirnya draft ini beredar juga dalam sidang Inter-Governmental
113
Hasjim Dajalal, 2006, “Persoalan Selat Malaka-Singapura”, hlm.3, [online]
http://www.setneg.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=22&Itemid=33 (diakses
tanggal 9 Juni 2011).
107
Maritime Consultative Organization (IMCO). Indonesia dan Malaysia menolak
keterlibatan badan internasional untuk mengelola selat ini, mereka memandang hal ini
sebagai tindakan untuk menginternasionalisasi selat Malaka-Singapura. Indonesia dan
Malaysia menghendaki agar pengelolaan Selat tersebut diserahkan kepada negara di
tepi selat tersebut. Sedangkan pemerintah Singapura sendiri menolak ketentuan non-
internasionalisasi ini. Singapura merasa khawatir bahwa kalau hal itu diberlakukan
pelayaran internasional dapat terganggu. Kepentingan perdagangan dan perkapalan
pun akan sangat dirugikan.114
Posisi ketiga negara ini berkaitan dengan Selat Malaka-Singapura sangat
berbeda. Indonesia dan Malaysia yang menganut lebar laut teritorial 12 mil
mendukung konsep strait used for international navigation, yang mana ini berarti
selat Malaka masih berada dalam yurisdiksi negara-negara yang ada di tepi selat
tersebut. Sedangkan Singapura sebagai negara dengan pelabuhan yang besar,
menginginkan diterapkannya konsep international strait, yang mana hal ini berarti di
selat tersebut berlaku regim free transit, dengan demikian meskipun suatu passage
merugikan negara pantai namun mereka tidak dapat berbuat banyak.
Berdasarkan faktor-faktor itu, kepentingan atau pandangan Singapura sejak
semula lebih dekat dengan negara-negara maritim lainnya di dunia, khususnya
Amerika Serikat, Jepang, dan Inggris daripada negara pantai lainnya yang merupakan
negara tetangganya yang terdekat. Sebaliknya, posisi Indonesia dan Malaysia jelas
lebih dekat dengan posisi negara-negara selat lainnya seperti Spanyol, Moroko, Iran,
114
Ibid, hlm. 4-5.
108
Oman, dan Yaman Selatan,115
namun dalam Pertemuan Tingkat Menteri Oktober dan
November 1971 dihasilkan pernyataan bersama yang bisa menyelesaikan perbedaan
ini. Pertemuan ini menghasilkan Pernyataan Bersama Tiga Negara pada 16 Nopember
1971 sebagai berikut:
a. The three government agreed that the safety of navigation in the straits of
Malacca and Singapore is the responsibility of the coastal states
concerned;
b. The three governmet agreed on the need for tripartite cooperation on the
safety of navigation in the two straits;
c. The three government agreed that a body for cooperation to coordinate
efforts for the safety of navigation in the straits of Mallaca and Singapore
be established as soon as possible and that such body should be composed
of only the three coastal states concerned;
d. The three government also agreed that the problem of the safety of
navigation and the question of internasionalisation of the straits are two
separate issues;
e. The government of the Republic of Indonesia and of Malaysia agreed that
the straits of Malacca and Singapore are not international Straits while
fully recognizing their use for international shiping in accordance with the
princple of innocent passage. The Government of Singapore takes note of
the position of the Government of the Republic of Indonesia and Malaysia
on this point;
f. On the basis of this understanding the three government approved the
continuation of the hydrographic survey.
Pernyataan ketiga negara tepi Selat Malaka dan Singapura, 16 Nopember
1971, itu merupakan pernyataan yang sangat penting artinya dalam sejarah kedua
selat tersebut, yaitu:
a. Pernyataan ini berarti bahwa, mulai saat itu, dalam soal keselamatan
pelayaran Selat Malaka dan Selat Singapura tidak lagi dianggap sebagai
dua selat, tetapi sebagai satu selat. Ini sangat penting artinya karena
115
Catherine Zara Raymond, op.cit, hlm.35.
109
masalahnya kini telah menjadi masalah segitiga (tripartit) antara ketiga
negara pantai ( Indonesia , Malaysia dan Singapura).
b. Sesuai dengan prinsip unity antara Selat Malaka dan Selat Singapura itu,
ketiga negara pantai telah mengambil tanggung jawab untuk mengatur
keselamatan pelayaran di selat-selat tersebut. Ini berarti bahwa, sejak saat
itu, pengelolaan selat-selat tersebut dilakukan oleh atau melalui ketiga
negara pantainya. Prinsip tripartit ini ditegaskan pula oleh ketentuan yang
menyatakan bahwa “Badan Kerja Sama” yang mengurus hal ini hanya
terdiri dari ketiga negara pantainya.
c. Masalah Selat Malaka-Singapura dipecah menjadi masalah status hukum
selat dan keselamatan pelayaran. Ini berarti bahwa sekalipun ketiga negara
bersedia bekerja sama dalam soal-soal keselamatan pelayaran, namun,
status atau kedudukan hukum dari selat-selat tersebut sebagai wilayah
masing-masing negara tidak terpengaruh.
d. Ketiga negara bersedia melaksanakan hydrographic survey secara
bersama-sama di selat tersebut atas dasar pengertian seperti tersebut. Jika
pelaksanaan survey itu dilakukan melalui kerja sama dengan negara lain
(seperti Jepang), ia tidak akan menimbulkan implikasi bahwa ketiga
negara pantai tersebut telah melepaskan posisi mereka mengenai persoalan
Selat Malaka-Singapura.
e. Kesediaan Indonesia untuk menerima prinsip tripartit dalam pengaturan
keselamatan pelayaran ini merupakan bentuk konsensi yang sangat besar
110
dari pihak Indonesia (dan Malaysia) karena masalahnya terletak pada
semangat “bilateral” atau “unilateral”. Kesediaan ini didorong oleh politik
bertetangga baik yang dijalankan oleh Indonesia dan adanya keinginan
untuk dapat mengambil tindakan-tindakan yang efektif dan wajar untuk
melindungi kepentingan bersama dan pelayaran internasional.116
2. Status Selat Malaka-Singapura dalam UNCLOS 1982
Selat Malaka-Singapura telah lama menjadi jalur perdagangan internasional
sejak zaman kerajaan di Indonesia dan belum berlakunya hukum laut. Jalur ini
menghubungkan Samudera Hindia dengan Samudera Pasifik, serta Asia Barat dengan
Asia Timur. Setelah berlakunya UNCLOS 1982 yang dalam Bab III mengatur
mengenai selat yang digunakan untuk pelayaran internasional, maka selat Malaka-
Singapura masuk dalam kategori ini. Kategori selat yang digunakan untuk pelayaran
internasional adalah selat yang menghubungkan Laut lepas atau ZEE dengan Laut
Lepas atau ZEE yang lainnya.117
Berkaitan dengan hal ini, Selat Malaka-Singapura
merupakan selat yang menghubungkan antara Samudera Hindia dengan Samudera
Pasifik, yang merupakan laut lepas.
UNCLOS juga menetapkan bahwa status suatu perairan yang merupakan selat
yang digunakan untuk perairan internasional tidak boleh mempengaruhi status hukum
perairan yang merupakan selat yang demikian atau pelaksanaan kedaulatan atau
116
Hasjim Djalal, op.cit, hlm.8. 117
Pasal 34 UNCLOS 1982.
111
yurisdiksi negara yang berbatasan dengan selat tersebut.118
Hal ini mencerminkan
bahwa kedaulatan dan yurisdiksi negara tepi selat tetap merupakan pertimbangan
utama berkaitan dengan pengelolaan dan pengamanan selat tersebut. Rezim selat
yang digunakan untuk perairan internasional juga tidak mempengaruhi status perairan
dalam selat tersebut, karena dalam selat tersebut bisa saja terdapat perairan
pedalaman, perairan teritorial, ZEE ataupun laut lepas. Karena berada dalam
yurisdiksi ketiga negara yang berada di tepinya, maka pengelolaan selat ini tunduk
pada yurisdiksi negara tersebut, dengan memperhatikan pengaturan mengenai selat
yang digunakan untuk pelayaran internasional dalam UNCLOS 1982.
Selat Malaka-Singapura sendiri merupakan selat yang sempit, di beberapa
bagiannya hanya seluas 1,5 mil laut, namun di beberapa bagiannya memiliki luas 300
mil laut, meskipun begitu wilayah laut tersebut masih berada dalam ZEE Indonesia
dan Malaysia.119
Dengan demikian di Selat Malaka-Singapura tidak terdapat laut
lepas. Sehingga di dalamnya juga tidak ada piracy jure gentium, yang ada adalah
armed robbery yang tunduk pada kewenangan negara tempat kejadian tersebut
terjadi.
118
Pasal 34 ayat (1) UNCLOS 1982. 119
Russel Denise, op.cit, hlm.62.
113
Gambar 2. Peta Zona Maritim Selat Malaka-Singapura (sesuai dengan
hukum internasional)
Selat Malaka-Singapura merupakan salah satu jalur perkapalan paling penting
di dunia. Dengan menggunakan selat ini, kapal tanker super besar yang mengangkut
minyak dari Timur Tengah ke timur jauh dapat menghemat jarak sampai 1.600 km,
yang berarti menghemat waktu perjalanan sebanyak tiga hari. Saat ini Selat Malaka-
114
Singapura merupakan jalur perkapalan dunia yang kedua paling sibuk di dunia
dengan rata-rata 200 kapal berlayar setiap harinya.120
Setiap kapal yang melalui selat ini tidak hanya menanggung resiko terjadinya
kecelakaan kapal akibat selat yang sempit, namun juga menghadapi resiko
pembajakan. Untuk lebih jauhnya mengenai pembajakan yang terjadi di selat Malaka-
Singapura akan dibahas dalam pokok bahasan berikut di bawah.
3. Kerjasama dalam Penanganan Armed Robbery di Selat Malaka-
Singapura
Untuk meilihat mengenai penanganan Armed Robery di Selat Malaka-
Singapura maka perlu diketahui bahwa dalam pengelolaan Selat Malaka-Singapura
terdapat beberapa isu penting yang akan sangat terkait dengan kedaulatan, dan
yurisdiksi dari negara pantai atas wilayah selat tersebut. Tiga isu penting yang terkait
dengan pengelolaan Selat Malaka-Singapura adalah mengenai masalah keamanan
(security), keselamatan pelayaran (safety of navigation), dan perlindungan
lingkungan. Permasalahan armed robbery merupakan bagian dari permasalahan
keamanan yang mana hal ini merupakan hak prerogratif yang sepenuhnya berada
pada negara pantai. Sedangkan mengenai permasalahan keselamatan pelayaran dan
perlindungan lingkungan, hal tersebut sepenuhnya merupakan tanggungjawab utama
dari negara pantai tapi terbuka kemungkinan untuk melakukan kerjasama dengan
negara Pengguna selat dan stakeholders terkait.
120
Alex Dali, “Piracy Attack In Malacca Strait”, hlm.1, [online]
http://www.southchinasea.org/docs/piracy%20hot%20spots-alex%20dali.pdf (diakses tanggal 6 juni
2011).
115
Perjuangan dalam menjadikan Selat Malaka-Singapura sebagai bagian dari
laut teritorial negara yang berada di tepi selat tersebut telah dimulai melalui
pertemuan tiga Menteri Luar Negeri dari tiga negara tepi selat (Indonesia, Malaysia,
dan Singapura) yang diadakan pada tahun 1971. Pada pertemuan ini, antara lain
disepakati bahwa pengelolaan Selat Malaka-Singapura merupakan kewenangan
negara pantai dan ditegaskan juga dalam forum ini bahwa Selat Malaka-Singapura
bukan merupakan selat internasional.121
Hal ini dipertegas karena telah ada upaya-
upaya yang dilakukan oleh negara-negara maritim besar, yang juga merupakan negara
pengguna Selat Malaka-Singapura, untuk menginternasionalisasi selat ini sehingga
bisa ikut terlibat dalam penanganan keamanan di dalamnya.
Melalui Pasal 34 UNCLOS 1982, kedaulatan negara pantai yang berada di
tepi selat yang digunakan untuk pelayaran internasional juga diakui, sehingga
mengenai penanganan keamanan di Selat Malaka-Singapura sepenuhnya merupakan
hak prerogratif negara pantai. Kerjasama dengan negara lain memang dimungkikan
oleh UNCLOS tapi itu hanya dalam hal-hal yang berkaitan dengan permasalahan
keselamatan pelayaran (safety of Navigation) dan lingkungan, bukan berkaitan
dengan permasalahan keamanan (security).
Berdasarkan hal ini, maka dibentuk suatu forum sebagai wadah kerjasama,
dibawah kerangka kerjasama TTEG on Safety of Navigation and Environmental
Protection, antara negara tepi selat dan negara pengguna selat (user States) serta
121
Kementrian Luar Negeri, 2012, “Kerjasama Penanganan Piracy dan Armed Robbery Against Ships
At Sea”, hlm.3.
116
pemangku kepentingan lainnya, serta untuk mengakomodasi keinginan negara
pengguna, maupun pemangku kepentingan lainnya (industri perkapalan, pemilik
kapal, entitas pelayaran,dsb) dalam pengelolaan Selat Malaka-Singapura.122
Kerjasama ini Dibentuk berdasarkan hasil pertemuan Enhancing Safety, Security dan
Enviromental Protection di Singapura pada tanggal 4-6 September 2007 (Singapore
meeting) antara negara pantai dan negara pengguna.123 Kerangka kerjasama ini
dilakukan melalui Cooperative Mechanism (CM),124
namun harus diingat bahwa
kerjasama ini hanya khusus untuk menangani permasalahan keselamatan pelayaran
dan perlindungan lingkungan di selat tersebut.
CM ditujukan untuk mendorong dialog dan memfasilitasi kerjasama yang
lebih erat antara negara pantai dan negara pengguna serta pemangku kepentingan
lainnya yang didasarkan atas prinsip-prinsip fundamental sebagai berikut:
a. Menegaskan kembali kedaulatan, hak berdaulat, yurisdiksi dan integritas
wilayah negara pantai di Selat Malaka-Singapura;
b. Sejalan dengan prinsip hukum internasional terutama pasal 34 dan 43
UNCLOS 1982;
c. Dibentuk di dalam kerangka TTEG mengenai keselamatan pelayaran di
Selat Malaka-Singapura dan pengegasan bahwa kewajiban utama
mengenai keselamatan pelayaran dan perlindungan lingkungan di Selat
Malaka-Singapura merupakan tanggung jawa negara pantai;
d. Memperhatikan kepentingan negara-negara pengguna dan pemangku
kepentingan lainnya terhadap peran yang dapat mereka lakukan di Selat
Malaka-Singapura; dan
e. Mengupayakan agar bentuk dan kerangka kerjasama antara negara pantai
dan negara-negara pengguna di Selat Malaka-Singapura ditetapkan
122
Kementrian Luar Negeri, op.cit, hlm.4. 123
Ibid. 124
James Kraska, Op.cit, hlm.147.
117
melalui rangkaian pertemuan di Jakarta (2005), Kuala lumpur (2006), dan
Singapura (2007).125
Dari prinsip-prinsip ini jelas sekali terlihat bahwa kedaulatan negara pantai
atas Selat Malaka-Singapura diakui, sehingga kewenangan negara pantai merupakan
pertimbangan utama dalam pengelolaan Selat Malaka-Singapura. Keterlibatan negara
pengguna dan pemangku kepentingan lainnya harus melalui otorisasi dari negara
pantai. Salah satu indikatornya adalah keterlibatan negara pengguna dan pemangku
kepentingan lainnya dalam bidang keselamatan pelayaran dan perlindungan
lingkungan Selat Malaka-Singapura dilaksanakan melalui kerangka kerjasama forum
TTEG yang merupakan bentukan ketiga negara pantai yang berada di tepi selat.
Penanganan armed robbery sendiri, yang merupakan persoalan keamanan,
telah dilaksanakan oleh Indonesia, Malaysia dan Singapura melalui pembentukan
Malacca Strait Security Patrol (MSSP) yang mana strategi yang digunakan di
dalamnya adalah Patroli Terkoordinasi (PATKOR) diantara Indonesia, Malaysia, dan
Singapura tanpa melibatkan pihak asing di dalamnya.126
PATKOR berarti masing-
masing negara bertanggungjawab untuk melakukan patroli di bagian yang menjadi
miliknya di Selat Malaka-Singapura dan kapal yang melakukan patroli tetap berada
pada komando nasional masing-masing.127
Skema kerjasama ini kemudian diaplikasikan dalam bentuk kerjasama
bilateral antara Malaysia- Indonesia (MALINDO), Indonesia-Singapura (INDOSIN),
125
Kementrian Luar Negeri, Loc.cit. 126
Harnit Kaur Kang, 2009, “Gulf of Aden vs Malacca Strait Piracy and Counter-piracy efforts”,
Institute of Peace and Conflict Studies, New Delhi, hlm.2. 127
Ian Storey, loc.cit.
118
dan kerjasama trilateral antara Malaysia-Singapura-Indonesia (MALSINDO). Melalui
kerjasama ini dimungkinkan untuk dilakukannya navy to navy talks guna membahas
isu-isu teknis seperti Rules of Engagement (RoE) atau pun pengejaran seketika (hot
pursuit).128
Dalam perkembangannya, kerjasama pengamanan Selat Malaka-Singapura
terus berkembang dengan melibatkan negara di luar negara pantai yang berada di tepi
selat untuk segmen-segmen tertentu di selat tersebut. Misalnya keterlibatan Thailand
dalam kerjasama pengawasan eyes in the sky (EiS). Keterlibatan Thailand dalam
organisasi pengamanan Selat Malaka-Singapura diformalkan pada tahun 18
september 2008 melalui penandatanganan TOR MSP JCC antara panglima 4 negara
(Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Thailand) di Bangkok. Kerjasama ini mengubah
MALSINDO menjadi MALSINDOTHAI. Selain Thailand, negara lain yang terlibat
dalam pengawasan di sekitar Selat Malaka-Singapura adalah India. India terlibat
dalam melakukan PATKOR di sekitar perairan Selat Malaka-Singapura yang
berbatasan dengan Samudera Hindia.129
Namun, hal penting yang harus diperhatikan
dalam hal ini adalah keterlibatan Thailand dan India dibatasi hanya pada segmen-
segmen tertentu di Selat Malaka-Singapura saja, tidak di semua wilayah Selat
tersebut, dan keterlibatan mereka hanya atas dasar otorisasi dari negara pantai yang
memiliki kedaulatan dan yurisdiksi di kawasan selat tersebut. Dengan demikian
keterlibatan negara lain dalam pengamanan Selat Malaka-Singapura ini tidak
128
Kementrian Luar Negeri, op.cit. 129
Ibid.
119
menunjukkan bahwa kedaulatan negara tepi selat menjadi berkurang, namun
sebaliknya menunjukkan manifestasi kedaulatan yang dimiliki negara pantai melalui
pemberian izin bagi Thailand dan India untuk terlibat dalam pengamanan Selat
Malaka-Singapura di segmen-segmen tertentu.
Bentuk kerjasama operasional yang dikembangkan dalam pengamanan Selat
Malaka-Singapura adalah:
a. Di wilayah laut disebut Malacca Straits Sea Patrol (MSSP) yang
pelaksanaannya merupakan patroli terkoordinasi di wilayah masing-
masing;
b. Di wilayah udara dilaksanakan patroli maritim udara bersama yang
disebut Eyes in the Sky (EiS). Patroli ini dilaksanakan melalui penggunaan
pesawat dari salah satu negara secara bergantian dan di dalamnya terdapat
awak pesawat sebagai LO dari negara lainnya yang disebut Combine
Mission Patrol Team (CMPT). Patroli ini bertujuan untuk mendukung
patroli di laut;
c. Dalam rangka mendukung patroli tersebut maka diadakan pertukaran
informasi (intelegence information).130
Kerjasama ini terbukti telah berhasil menurunkan tingkat armed robbery yang
terjadi di kawasan ini. Dalam laporan tahunan IMO mengenai piracy dan armed
robbery pada tahun 2009 dilaporkan bahwa tingkat armed robbery di Selat Malaka-
Singapura dalam kurun waktu tahun 2004 hingga 2008 terus mengalami tingkat
130
Joyce Dela Pena, op.cit.
120
penurunan yang signifikan. Sekitar 50 kasus armed robbery terjadi pada tahun 2004
namun pada tahun 2008 menurun menjadi menjadi sekitar 8 kasus.131
Keberhasilan
ini telah menjadi kawasan ini sebagai jalur yang aman untuk dilayari kapal setelah
sebelumnya dianggap sebagai salah satu perairan paling berbahaya di dunia,132
namun
kewaspadaan untuk tetap meningkatkan pengawasan harus terus dilakukan, karena
berdasarkan laporan tahunan ReCAAP tahun 2011 dilaporkan bahwa terjadi
peningkatan armed robbery yang terjadi di Selat Malaka-Singapura pada tahun 2011
menjadi 24 kasus dari yang sebelumnya hanya 5 kasus pada tahun 2010 dan 6 kasus
pada tahun 2009.133
Biarpun demikian, hasil 1 tahun terakhir tidak bisa dijadikan
patokan untuk mengatakan bahwa kawasan ini kembali menjadi salah satu perairan
paling berbahaya di dunia.
131
IMO, 2009, “International Maritime Organization Annual Reports on Acts of Piracy and Armed
Robbery Agaimst Ships 2009”, hlm.29. 132
Yonah Alexander dan Tyler B. Richardson, op.cit. 133
Regional Cooperation Agreement On Combating Piracy and Armed Robbery Against Ships In
Asia, 2011, “Piracy and Armed Robery Against Ships In Asia”, Annual Report, Januari – Desember
2011, hlm.41.
121
Matrix 2. Piracy dan Armed Robbery di Selat Malaka-Singapura Periode
2003 – 2001
Sumber: ReCAAP Annual Report 2011
Data yang dihasilkan oleh IMO dan ReCAAP jelas telah menunjukkan
kestabilan keamanan yang dihasilkan oleh kerjasama MSSP yang dilakukan oleh
Malaysia, Indonesia, dan Singapura bersama Thailand dan India. Namun anehnya
dalam beberapa literatur dan laporan masih saja mencantumkan Selat Malaka-
Singapura sebagai salah satu perairan yang berbahaya di dunia. Misalnya saja Lloyd
tetap mengkategorikan Selat Malaka-Singapura sebagai high-risk zone bagi piracy
dan terorisme tanpa berkonsultasi dan mempertimbangkan usaha negara pantai dalam
mengamankan kawasan ini. Hal ini juga yang menjadi salah satu point pernyataan
dari tiga Menteri Luar Negeri (Indonesia, Malaysia, Singapura) yang dinyatakan
dalam The Batam Joint Statement of the 4th
Tripartite Ministerial Meeting of the
122
Litoral States on the Straits of Malacca and Singapore tanggal 2 agustus 2005, yang
mana mereka menyatakan penyesalannya atas penilaian yang dilakukan oleh
Lloyd.134
Dalam Laporan tahuhan yang dikeluarkan oleh IMB pada tahun 2010 dan
2011 juga masih mencantumkan kawasan Selat Malaka-Singapura sebagai kawasan
yang beresiko tinggi untuk terjadinya armed robbery, padahal dalam laporan yang
sama juga mengakui telah terjadi tingkat penurunan armed robbery yang sangat
signifikan dari tahun ke tahun.135
Oleh karena itu Badan Koordinasi Keamanan Laut
menyatakan bahwa apa yang disampaikan IMO dan IMB masih perlu dikaji
kebenaran data yang menyudutkan Indonesia yang rawan keamanan lautnya secara
internasional.136
Sebagaimana dijelaskan diatas bahwa rezim selat yang digunakan untuk
pelayaran internasional tidak mengubah status dari perairan yang ada dalam selat
tersebut, sehingga pada bagian-bagian tertentu yang menjadi milik Indonesia,
Indonesia memiliki yurisdiksi untuk melakukan pengelolaan wilayah tersebut, hal ini
mencakup juga pengelolaan kemanan di Selat tersebut. Sebagaimana telah dijelaskan
sebelumnya juga bahwa kerjasama yang dilakukan oleh Indonesia, Malaysia, dan
Singapura adalah kerjasama dalam bentuk koordinasi bukan dalam bentuk gabungan,
sehingga masing-masing pihak melakukan pengamanan di wilayahnya sendiri dan
134
The Batam Joint Statement of The 4th Tripartite Ministerial meeting of the Litorlal States on the
Straits of Malacca and Singapore tanggal 2 agustus 2005 Angka 14. 135
International Maritime Bureau, op.cit, hlm.21. 136
Badan koordinasi kemanan laut, 2009, Kebijakan Keselamatan Dan Keamanan Transportasi Laut.
Badan Koordinasi Keamanan Laut, Jakarta, hlm.78-79.
123
saling membagi informasi mengenai hal tersebut. Oleh karena itu dalam bagian ini
penting juga untuk melihat bagaimana hukum nasional Indonesia mengatur mengenai
armed robbery.
Pengaturan mengenai armed robbery dapat ditemukan dalam KUHP, namun
KUHP tidak menggunakan istilah armed robbery, di dalamnya terdapat beberapa
tindak kejahatan yang mempunyai kesamaan dengan definisi armed robbery dalam
hukum internasional. Pengaturan mengenai hal-hal tersebut terdapat dalam Pasal 439,
440, dan 441. Dalam Pasal 439 dinyatakan bahwa:
1) Diancam karena melakukan pembajakan di tepi laut dengan pidana
penjara paling lama lima belas tahun, barang siapa dengan memakai kapal
melakukan perbuatan kekerasan terhadap kapal lain atau terhadap orang
atau barang di atasnya, di perairan Indonesia.
2) Yang dimaksud dengan wilayah laut Indonesia yaitu wilayah "Territoriale
zee en maritieme kringen ordonantie, S. 1939 442."
Dalam Pasal 440 ditetapkan bahwa “Diancam karena melakukan pembajakan
di pantai dengan pidana penjara paling lama limabelas tahun, barang siapa yang di
darat maupun di air sekitar pantai atau muara sungai, melakukan perbuatan kekerasan
terhadap orang atau barang di situ, setelah lebih dahulu menyeberangi lautan
seluruhnya atau sebagiannya untuk tujuan tersebut.” Sedangkan dalam Pasal 441
ditetapkan bahwa: “diancam karena melakukan pembajakan di sungai dengan pidana
penjara paling lama lima belas tahun, barang siapa dengan memakai kapal melakukan
perbuatan kekerasan di sungai terhadap kapal lain atau terhadap orang atau barang di
atasnya, setelah datang ke tempat dan untuk tujuan tersebut dengan kapal dari tempat
lain.”
124
Dari ketiga pasal tersebut terdapat tiga istilah yang sama dengan armed
robbery yakni pembajakan di tepi laut, pembajakan di pantai, dan pembajakan di
sungai. Unsur utama yang ada dalam kejahatan tersebut adalah adanya tindak
kekerasan yang dilakukan terhadap kapal lain, orang atau barang yang ada di atasnya.
Kejahatan tersebut juga harus dilakukan dalam wilayah yang di mana Indonesia
masih memiliki kedaulatan di atasnya, yang mana dalam ketiga pasal di atas
kejahatan tersebut terjadi di wilayah perairan Indonesia, wilayah pantai atau muara
sungai, dan sungai. Mengenai wilayah perairan Indonesia, dalam Pasal 439 masih
mendasarinya pada Ordonansi Laut Teritorial dan Lingkungan Maritim 1939, yang
mana mengatur lebar laut teritorial hanya sejauh 3 mil laut.
Jika dibandingkan dengan pengertian armed robbery yang diatur dalam
ReCAAP dan Resolusi IMO A.922(22) Code of Practice for the Investigation of the
Crimes of Piracy and Armed Robbery against Ships, pengertian yang ada dalam
KUHP dirasa tidak sesuai dengan substansi yang dikehendaki.
Dalam Pasal 2 ReCAAP, armed robbery didefiniskan sebagai: Any illegal
acts of violance or detention, or any act of depredation, commited for private ends
and directs against aship, or against persons or property on board such ship, in a
place within a Contracting Party’s jurisdiction. IMO mendefinisikan armed robbery
sebagai: any unlawful act of violence or detention or any act of depredation, or threat
125
thereof, other than an act of piracy, directed against a ship or against persons or
property on board such a ship, within a State’s jurisdiction over such offences.137
Dari pengertian tersebut di atas dapat dilihat bahwa:
a) Pengertian armed robbery dalam KUHP hanya mencakup setiap tindakan
kekerasan terhadap kapal lain atau barang dan orang di atasnya, tidak
secara jelas menyebut tentang tindakan penahanan (detention) dan
perampasan (depredation) seperti yang disebutkan dalam ReCAAP dan
Resolusi IMO A.922(22) Code of Practice for the Investigation of the
Crimes of Piracy and Armed Robbery against Ships. Dalam kedua
instrumen ini, selain tindakan kekeras (violance), dicantumkan pula
tindakan penahanan (detention) dan perampasan (depredation).
b) Dalam KUHP masih menggunakan wilayah laut teritorial yang diatur
dalam Ordonansi Laut Teritorial dan Lingkungan Maritim yang hanya
seluas 3 mil laut. Hal ini jelas tidak menguntungkan bagi Indonesia dalam
menegakan kedaulatannya di wilayahnya, karena lebar laut teritorial 3 mil
laut sudah tidak berlaku lagi. Namun karena Indonesia telah meratifikasi
UNCLOS 1982 maka lebar laut teritorial yang berlaku adalah 12 mil laut.
Meskipun demikian masalah yang tertinggal adalah dalam KUHP tidak
mengatur mengenai armed robbery di wilayah ZEE, hal yang sama juga
terjadi dalam ReCAAP dan Resolusi IMO A.922(22) Code of Practice for
137
IMO Resolution A.922(22) Code of Practice for the Investigation of the Crimes of Piracy and
Armed Robbery against Ships.
126
The Investigation of the Crimes of Piracy And Armed Robbery against
Ships. Dalam kedua perjanjian tersebut memang menyebutkan bahwa
armed robbery terjadi dalam wilayah yang masih dalam yurisdiksi negara
pihak, tapi dalam penandatanganannya diantara sesama negara pihak
belum mencapai persetujuan mengenai armed robbery yang terjadi di
wilayah ZEE.
c) KUHP dalam mengatur mengenai armed robbery masih menggunakan
istilah pembajakan, yang mana dalam bahasa inggrisnya berarti piracy.
Padahal istilah piracy dan armed robbery sangat berbeda. Piracy lebih
condong kepada definisi pasal 101 UNCLOS 1982 yang mana mengatur
mengenai piracy jure gentium yang kepadanya berlaku yurisdiksi
universal. Sedangkan yang dimaksud pembajakan ditepi laut dalam KUHP
lebih dimaksudkan kepada pengertian armed robbery yang menjadi
kewenangan dari negara di mana kejadian tersebut terjadi.138
Jadi istilah
yang lebih tepat digunakan adalah perampokan bersenjata (armed
robbery) bukan pembajakan (piracy) di tepi laut.
Pembajakan di tepi laut, pembajakan di pantai dan muara sungai, serta
pembajakan di sungai yang di atur dalam KUHP merupakan wilayah laut yang batas
terluarnya sampai perairan terorial saja, padahal berdasarkan UNCLOS 1982 negara
pantai masih diberikan hak berdaulat atas wilayah di luar dari laut teritorial. Hal
138
Intisari sambutan Menteri Pertahanan Republik Indonesia dalam Seminar nasional PPAL
“Problema Pembajakan di Laut dan penanganannya” dalam Jalasena. No.04/1 Agustus 20011, hlm.15.
127
inilah yang harus diperhatikan dalam pengaturan armed robbery dalam hukum
nasional Indonesia.
C. Perbandingan Penanganan Piracy Jure Gentium dan Armed Robbery di
Luar Laut Teritorial dan Perairan Somalia dengan di Selat Malaka-
Singapura
Sebagaimana yang dibahas di atas dalam penanganan piracy jure gentium dan
armed robbery di Somalia yang melibatkan kekuatan militer asing, setidaknya
didasarkan pada tiga faktor yang dipertimbangkan, yakni, masalah ketidakmampuan
Somalia dalam mengatasi permasalahan piracy jure gentium dan armed robbery di
lepas pantai dan perairan Somalia, besarnya ancaman yang timbul bagi dunia
internasional akibat dari piracy jure gentium dan armed robbery yang terjadi di sana,
dan adanya persetujuan TFG untuk meminta bantuan internasional.
Hal yang sama tidak bisa diterapkan di wilayah Selat Malaka-Singapura
karena wilayah tersebut merupakan wilayah yang berada dalam yurisdiksi negara
pantai yang berada di tepi selat tersebut, yaitu Indonesia, Malaysia, dan Singapura.
Seperti yang dibahas di atas bahwa pada wilayah tertentu di Selat Malaka-Singapura
luasnya lebih dari 300 mil laut, tapi wilayah tersebut masih masuk dalam ZEE
Indonesia dan Malaysia, sehingga di dalamnya, berdasarkan UNCLOS 1982, masih
berlaku yurisdiksi negara pantai tersebut dan di dalamnya tidak terdapat laut lepas.
Dengan demikian di Selat Malaka-Singapura tidak terdapat piracy jure gentium, yang
ada hanyalah armed robbery. Oleh karena itu, penanganan armed robbery di wilayah
Selat Malaka-Singapura, sebagaimana definisi yang ada dalam Resolusi IMO
A.922(22) Code of Practice for the Investigation of the Crimes of Piracy and Armed
128
Robbery against Ships dan ReCAAP, yurisdiksinya berada pada negara pantai yang
berada di tepi selat, yaitu Indonesia, Malaysia, dan Singapura.
Hal berikutnya yang menjadi pertimbangan ketika membandingkan armed
robbery di Somalia dan di Selat Malaka-Singapura adalah mengenai kemampuan
negara untuk mengatasi tindakan tersebut. Dengan adanya pemberontakan dan perang
saudara telah menempatkan Somalia dalam kodisi krisis yang berkepanjangan dari
tahun 1991 hingga sekarang sehingga tidak mampu untuk membentuk pemerintahan
yang stabil, bahkan pemerintahan yang ada tidak mampu mengendalikan situasi di
sana, dan Somalia sendiri tidak memiliki kekuatan militer yang cukup untuk
mengamankan wilayah perairannya dari ancaman armed robbery. Hal yang berbeda
justru terjadi di Selat Malaka-Singapura. Setelah krisis ekonomi yang menerpa Asia
pada akhir 1997 mendorong meningkatnya armed robbery di wilayah Selat Malaka-
Singapura, namun dengan kerjasama yang dibangun oleh Indonesia, Malaysia, dan
Singapura untuk mengamankan wilayah tersebut telah berhasil menurunkan tingakat
armed robbery di wilayah tersebut secara drastis. Hal ini menunjukkan kemampuan
dari negara-negara tersebut untuk mengamankan wilayahnya.
Kemampuan Indonesia, Malaysia, dan Singapura dalam mengatasi armed
robbery di Selat Malaka-Singapura, terlihat dari semakin menurunya tingkat
kejahatan armed robbery di kawasan ini. Sebagaimana yang dijelaskan di atas, hingga
saat ini, Selat Malaka-Singapura telah berubah menjadi kawasan yang relativ aman,
berbeda dari sebelumnya yang masih termasuk jalur pelayaran yang berbahaya. Hal
ini menunjukkan bahwa dalam pengamanan selat tersebut tidak dibutuhkan bantuan
129
pihak asing untuk terlibat secara langsung dalam penanganannya sebagaimana yang
terjadi di Somalia. Kerjasama tiga negara pantai, Indonesia, Malaysia, dan Singapura
di Selat tersebut melalui MSSP, yang dilaksanakan melalui strategi PATKOR, dan
kerjasama MALINDO, INDOSIN, MALSINDO, terbukti berhasil mengamankan
selat tersebut dari kejahatan armed robbery.
Berbeda dari keterlibatan komunitas internasional dalam penanganan piracy
jure gentium dan armed robbery di luar laut teritorial dan perairan Somalia yang
mendapat persetujuan dari TFG, dalam penanganan armed robbery di Selat Malaka-
Singapura, ketiga negara pantai yang berbatasan dengan selat tidak pernah
memberikan persetujuan untuk melibatkan pihak lain untuk mengamankan selat
tersebut, keterlibatan negara lain berdasarkan Batam Joint Statement dan The Co-
Operative Mechanism Between the Littoral States and User States on Safety of
Navigation and Environmental Protection in the Straits of Malacca and Singapore
hanya sebatas pada pemberian bantuan teknis, tidak terlibat secara langsung dalam
pengamanannya. Dalam perkembangannya memang melibatkan Thailand dan India,
namun itu hanya sebatas pada segmen-segmen tertentu di luar dari Selat Malaka-
Singapura. Dengan demikian tidak ada satu negara pun yang dapat turut terlibat
dalam penanganan armed robbery di Selat Malaka-Singapura, kecuali telah ada
persetujuan dari ketiga negara pantai yang berbatasan langsung dengan selat.
Penanganan piracy jure gentium di luar laut teritorial dan perairan Somalia
tidak bisa diterapkan di Selat Malaka-Singapura karena dalam semua resolusi terkait
penanganan piracy jure gentium dan armed robbery di Somalia ditegaskan bahwa apa
130
yang diterapkan di Somalia, hanya diterapkan di sana saja dan tidak bisa diterapkan
di wilayah lain, tidak juga menjadi hukum internasional kebiasaan (customary
international law). Dengan demikian hal tersebut terbatas pada satu tempat saja dan
tidak bisa diterapkan di tempat lain.
131
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Piracy jure gentium dan armed robbery adalah dua permasalahan yang
berbeda, terhadap piracy jure gentium dapat dikenakan yurisdiksi
universal dan locus delicti-nya terjadi di wilayah laut lepas atau di luar
yurisdiksi negara lain, sedangkan armed robbery locus delicti-nya berada
dalam yurisdiksi suatu negara sehingga tunduk pada yurisdiksi negara di
mana kejahatan tersebut terjadi oleh karena itu kedua permasalahan ini
harus diatur secara berbeda juga, akan tetapi dalam aturan-aturan hukum
internasional yang ada saat ini, tidak ada satu aturan internasional yang
berlaku secara global yang membedakan secara jelas antara piracy jure
gentium dan armed robbery. UNCLOS 1982 sebagai hukum laut
internasional yang berlaku secara global hanya mengatur mengenai
permasalahan piracy jure gentium, sedangkan permasalahan armed
robbery dapat ditemukan dalam aturan-aturan internasional yang mengikat
negara-negara di kawasan tertentu saja seperti ReCAAP yang hanya
berlaku diantara beberapa negara saja, yakni China, Jepang, Korea
Selatan, Bangladesh, India, Sri Lanka dan 10 negara Asean. Pengaturan
mengenai armed robbery juga dapat ditemukan dalam Resolusi IMO
A.922(22) Code of Practice for the Investigation of the Crimes of Piracy
and Armed Robbery against Ships, yang mana hanya beberbentuk soft law
132
dan tidak mempunyai kekuatan mengikat dan memaksa bagi negara-
negara yang ada. Mengingat perbedaan antara kedua hal ini, yang mana
terhadap piracy jure gentium berlaku yurisdiksi universal dan terhadap
armed robbery berlaku yurisdiksi negara di mana kejadian tersebut terjadi,
maka dibutuhkan suatu aturan internasional global untuk mengatur
mengenai permasalahan ini, terutama karena pada aturan yang mengatur
armed robbery saat ini masih terdapat perbedaan yang belum
diklasifikasikan dengan jelas mengenai armed robbery yang terjadi di
ZEE.
2. Penanganan piracy jure gentium dan armed robbery di luar laut teritorial
dan perairan Somalia yang melibatkan kekuatan militer asing disebabkan
oleh ketidakmampuan Somalia sebagai negara gagal dalam menangani
kejahatan tersebut dan besarnya ancaman yang timbul bagi dunia
internasional, serta dasar terpenting pelaksanaan hal tersebut adalah
persetujuan yang diberikan oleh TFG kepada DK PBB melalui perwakilan
tetapnya di PBB agar komunitas internasional dapat membantu
penanganan piracy jure gentium dan armed robbery di sana. Hal ini
membuat penanganan armed robbery yang seharusnya menjadi yurisdiksi
Somalia untuk menanganinya justru ditangani oleh pihak asing
sebagaimana penanganan yang dilakukan terhadap piracy jure gentium di
lepas pantainya. Hal yang sama tidak dapat diberlakukan di Selat Malaka-
Singapura, karena, pertama, Selat tersebut berada pada yurisdiksi negara
133
tepi selat, dan di dalam selat tersebut tidak terdapat laut lepas, sehingga
tidak terdapat piracy jure gentium di Selat tersebut, yang ada adalah
armed robbery yang penanganannya tunduk pada yurisdiksi negara tepi
selat. Kedua, Indonesia, Malaysia, dan Singapura bukan negara gagal
seperti Somalia yang tidak mempunyai kemampuan untuk menangani
armed robbery di wilayahnya. Sejak dibentuknya kerjasama tripartit
antara ketiga negara tersebut, kejahatan armed robbery terbukti telah
menurun secara drastis. Hal ini jelas membuktikan kemampuan ketiga
negara tersebut dalam memerangi kejahatan armed robbery. Ketiga,
Indonesia, Malaysia, dan Singapura menyepakati bahwa pemberian
bantuan dalam hal penanganan armed robbery di Selat Malaka-Singapura
dibatasi hanya sebatas pemberian bantuan teknis saja, tidak terlibat secara
langsung dalam penanganan keamanan di dalam wilayah tersebut.
B. Saran
1. Harus segera dibentuk suatu aturan internasional yang berlaku global
mengenai penanganan armed robbery. Hal ini akan membantu untuk
menetapkan dengan jelas perbedaan antara armed robbery dan piracy jure
gentium seperti yang diatur dalam UNCLOS 1982. Termasuk penetapan
definisi bagi kejahatan penahanan, perampasan, dan kekerasan yang
dilakukan terhadap kapal lain di wilayah di ZEE. Pembentukan suatu
aturan armed robbery yang berlaku global juga dapat memperkuat hal-hal
yang telah diatur dalam UNCLOS 1982 dan mempertegas yurisdiksi
134
negara pantai atas armed robbery yang terjadi di wilayah laut yang di
dalamnya masih berlaku yurisdiksinya seperti diakui yang dalam
UNCLOS 1982. Bagi Indonesia sendiri hal ini akan memberikan pengaruh
besar bagi penanganan armed robbery di wilayah lautnya, terutama di
wilayah Selat Malaka-Singapura, yang mana merupakan Selat yang
digunakan untuk pelayaran internasional yang banyak dilaului oleh kapal-
kapal pengangkut dari berbagai negara, dan merupakan salah satu jalur
laut tersibuk di dunia, sehingga rentan terjadinya armed robbery terhadap
kapal-kapal yang berlayar di wilayah tersebut. Pengamanan Selat Malaka-
Singapura yang seharusnya tunduk pada yurisdksi negara pantai di tepi
selat tersebut, juga berusaha untuk digoyangkan oleh pihak asing dengan
jalan ingin ikut terlibat secara langsung dalam pengamanannya. Memang
selama ini telah diambil langkah-langkah politik untuk menolak adanya
internasionalisasi Selat Malaka-Singapura, namun pembentukan aturan
internasional yang berlaku global mengenai armed robbery akan
mempertegas posisi Indonesia, Malaysia, dan Singapura sebagai negara
yang berkewenangan dalam pengamanan Selat Malaka-Singapura,
termasuk penanganan armed robbery di dalamnya.
2. Penanganan armed robbery yang terjadi di Selat Malaka-Singapura
sepenuhnya tunduk pada yurisdiksi Indonesia, Malaysia dan Singapura,
oleh karena itu segala upaya internasionalisasi pengamanan Selat Malaka-
Singapura harus terus ditolak. Langkah kerjasama yang dilakukan oleh