5. intisari
TRANSCRIPT
PROSES SUAMI MEMAAFKAN ISTRI YANG BERSELINGKUH DALAM
RANGKA MEMPERTAHANKAN PERKAWINAN
Nathalia Nindi Kristyaningrum
089114043
A. Pendahuluan
1. Latar Belakang Masalah
Kehidupan perkawinan tidaklah mudah untuk
dijalani. Terdapat berbagai macam permasalahan yang
muncul dapat menjadi pemicu keretakan dalam rumah
tangga. Salah satu permasalahan yang dapat menjadi
pemicu keretakan dalam rumah tangga adalah
perselingkuhan. Berdasarkan pencatatan Badilag
perceraian akibat perselingkuhan sendiri di
Indonesia pada tahun 2010 hingga 2011 meningkat
dari 20.199 perkara menjadi 20.563 perkara.
Perselingkuhan itu sendiri tidak hanya didominasi
oleh para suami, tetapi istri juga dapat melakukan
perselingkuhan. Perselingkuhan tersebut akan
membawa dampak psikologis terhadap suami. Dampak
psikologis yang dirasakan suami membuat suami sulit
untuk tetap mempertahankan perkawinan. Namun, pada
kenyataannya masih ada beberapa suami yang berusaha
mempertahankan perkawinannya dengan istri yang
berselingkuh yaitu dengan memaafkan perbuatan istri
mereka.
1
2. Tujuan dan Permasalahan
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh
deskripsi proses suami memaafkan istri yang
berselingkuh dalam rangka mempertahankan
perkawinan.
3. Tinjauan Pustaka
Perkawinan merupakan suatu ikatan sah baik
secara hukum dan agama, antara pria dan wanita yang
dilakukan berdasarkan persetujuan pribadi serta
dilandasi rasa saling mencintai sebagai pasangan
suami istri dan dituntut adanya tanggung jawab yang
melibatkan keintiman, pertemanan, persahabatan,
kasih sayang, pemenuhan seksual, dan menjadi orang
tua serta kesetiaan kepada pasangan.
Berbagai alasan diungkapkan seseorang ketika
memutuskan untuk menikah. Setiap orang mempunyai
alasan yang berbeda-beda ketika memutuskan untuk
menikah. Secara garis besar Turner dan Helms (1995)
menyebutkan beberapa alasan seseorang memutuskan
untuk menikah, yaitu: cinta, persahabatan,
konformitas, legitimasi untuk berhubungan seks,
legitimasi untuk mendapatkan anak, kesiapan,
mendapatkan manfaat lain, dan tidak ingin hidup
sendiri.
2
Dalam perkawinan, komunikasi merupakan hal yang
penting untuk dijaga antara pasangan yang telah
menikah. Komunikasi verbal maupun nonverbal
merupakan hal yang penting dibangun dalam menjalin
suatu hubungan perkawinan. Hal tersebut dikarenakan
penggunaan komunikasi verbal dan nonverbal serta
pola komunikasi berperan penting dalam menjaga
kestabilan suatu keluarga.
Kertamuda (2009) menjelaskan bahwa dalam
perkawinan dan hidup berkeluarga tidak lepas dari
adanya permasalahan. Banyak kasus yang disebabkan
oleh permasalahan dalam perkawinan yang dapat
menimbulkan konflik dan keretakan pada pasangan.
Permasalahan yang terjadi seringkali mengancam
keharmonisan, kelangsungan hubungan pasangan dan
hubungan antaranggota keluarga sehingga terkadang
dapat menyebabkan perceraian. Permasalahan tersebut
antara lain: Pria Idaman Lain (PIL) dan Wanita
Idaman Lain (WIL), tinggal dengan mertua,
pertengkaran antaranggota keluarga, anak cacat,
penyimpangan hubungan seksual pada salah satu
pasangan, dan perbedaan agama.
Perselingkuhan pada tahun 2010 menempati posisi
keempat sebagai alasan yang menjadi penyebab utama
pasangan suami istri bercerai. Tercatat sebanyak
20.199 perkara perceraian yang diputuskan akibat
3
perselingkuhan. Pada tahun 2011 kasus perceraian
akibat perselingkuhan yang dicatat Badilag juga
mengalami peningkatan sebesar 20.563 perkara.
Perselingkuhan dapat diartikan sebagai bentuk
pelanggaran terhadap janji dan komitmen perkawinan
yang dilakukan oleh salah satu atau kedua orang
dari pasangan tersebut, dimana pelanggaran yang
dilakukan melibatkan perilaku seksual dan atau
perasaan emosional yang mendalam dengan orang lain.
Shackelford et al. (2008) dalam penelitian yang
mereka lakukan menunjukkan bahwa perselingkuhan
terjadi dikarenakan faktor kepribadian dan kepuasan
perkawinan. Selain itu, menurut Ginanjar
perselingkuhan terjadi juga karena ada kesempatan
untuk melakukan perselingkuhan, ketidakharmonisan
rumah tangga, kebutuhan seks yang tidak terpenuhi
dalam perkawinan, kebutuhan yang besar akan
perhatian yang tidak dapat diperoleh dari pasangan
perkawinan, dan hubungan jarak jauh.
Terdapat 3 jenis perselingkuhan, yatu:
perselingkuhan seksual, perselingkuhan emosional,
dan perselingkuhan secara online yang merupakan
penelitian terbaru. Perselingkuhan seksual
didefinisikan sebagai hubungan seks yang dilakukan
bukan dengan pasangan dalam perkawinan.
Perselingkuhan seksual cenderung dilakukan oleh
4
pria (Atkins, Baucom, & Jacobson, 2001).
Perselingkuhan emosional terjadi ketika seseorang
yang berada dalam hubungan berkomitmen (perkawinan)
menjadi terlibat secara emosional (misalnya,
perasaan cinta romantis) dengan orang lain selain
pasangan mereka. Perselingkuhan emosional cenderung
dilakukan oleh perempuan (Atkins, Baucom, &
Jacobson, 2001). Sedangkan perselingkuhan melalui
media elektornik ditekankan pada proses ketika
individu sudah terlibat dalam hubungan interaktif
dengan anggota lawan jenis melalui media tersebut.
Hubungan melalui dunia maya dapat menjadi suatu
hubungan yang berkelanjutan khususnya bagi
seseorang yang bekerja menggunakan media online atau
chat room (Mao & Raguram, 2009).
Spring (2006) menjelaskan bahwa perselingkuhan
yang terjadi akan membawa dampak psikologis bagi
pasangan yang telah dikhianati. Dampak psikologis
tersebut, adalah: kehilangan identitas diri,
kehilangan rasa keistimewaan dalam diri, hilangnya
harga diri karena telah mengorbankan nilai-nilai
yang dipercayai, hilangnya harga diri karena gagal
menyadari kekeliruan yang telah terjadi, kehilangan
kontrol atas pikiran dan perasaan, kehilangan
perasaan aman dan keadilan, kehilangan kepercayaan
akan agama atau Tuhan, kehilangan keterikatan
5
dengan orang lain atau orang disekitar, dan
kehilangan tujuan dan kemauan untuk hidup.
Pada saat pasangan yang telah menikah mengalami
peristiwa perselingkuhan, mereka dihadapkan pada 2
pilihan yaitu berpisah atau tetap mempertahankan
perkawinan mereka. Mempertahankan perkawinan
berarti pasangan yang telah dikhianati bersedia
memaafkan pasangan dan menerima kembali pasangan.
Memaafkan merupakan proses pengolahan emosional dan
kognitif seseorang setelah orang tersebut mengalami
suatu pelanggaran (dalam hal ini perselingkuhan),
sehingga emosi negatif yang muncul dapat diubah
dalam bentuk perilaku yang positif, kebencian dan
keinginan untuk membalas dendam terhadap pelaku
hilang, serta adanya keinginan untuk tetap
mempertahankan hubungan dengan orang yang telah
melukai.
Gani (2011) menyebutkan bahwa beberapa ahli
yang meneliti mengenai memaafkan juga telah
menuliskan tahapan untuk memaafkan. Jika diamati
lebih lanjut, setiap proses yang dilakukan pada
dasarnya sama, tetapi para ahli memutuskan untuk
memisahkannya menjadi satu proses yang juga menjadi
bagian proses yang lain. Smedes juga menyebutkan
dalam buku Forgive and Foget (1996) bahwa perilaku
memaafkan berasal dari diri sendiri. Perilaku
6
memaafkan merupakan tindakan yang sangat sederhana,
tetapi juga akan melibatkan pergolakan emosi yang
sangat dalam. Hal ini merupakan cara yang tersulit
dalam semua hubungan personal. Menurut Smedes
(1996) untuk dapat memaafkan orang harus dapat
jujur satu dengan yang lainnya. Seseorang harus
dapat menurunkan ego masing-masing, berbicara satu
dengan yang lain dengan tenang dan dapat melihat
permasalahan dengan bijak. Lewis menambahkan
terdapat 4 (empat) tahapan memaafkan, yaitu: Tahap
1: Tahap terluka. Seseorang merasa telah terluka
sangat dalam akibat perilaku orang lain. Seseorang
merasa bahwa dia tidak akan dapat melupakan
perilaku orang tersebut. Pada situasi seperti ini
seseorang berada pada masa krisis untuk memaafkan.
Tahap 2: Tahap membenci. Seseorang tidak dapat
menghilangkan ingatan mengenai seberapa dalam dia
sangat terluka. Seseorang yang telah terluka
berharap orang yang melukainya tidak dapat hidup
dengan baik. Seseorang yang telah terluka terkadang
berharap orang yang telah melukainya juga
merasakaan penderitaan yang sama. Tahap 3: Tahap
penyembuhan. Seseorang dapat melihat permasalahan
yang diahadapi dengan bijak. Seseorang dapat
melihat permasalahan dengan cara dan sudut pandang
yang baru. Seseorang dapat melihat seseorang yang
7
telah melukainya dengan sudut pandang yang lebih
positif. Ingatan seseorang mengenai rasa sakit yang
dideritanya akan hilang dan akan terbebas. Pada
tahap ini seseorang memutuskan untuk memaafkan
pelanggaran yang terjadi. Tahap 4: Tahap kembali
bersama. Seseorang yang telah melalui tahap
penyembuhan, dia sudah terlepas dari rasa sakit
hati dan tidak ada dendam lagi kepada orang yang
telah menyakitinya. Seseorang dapat mengundang
kembali orang yang telah menyakitinya untuk
bersama-sama lagi membangun hubungan dan rasa cinta
yang baru. Memaafkan merupakan hal yang sangat
penting untuk dilakukan. Memaafkan dapat memberikan
manfaat yang positif bagi seseorang yang
melakukannya serta dapat membantu seseorang untuk
lebih sehat secara fisik dan psikologis yang
terkait dengan kesejahteraan hidup.
Budaya patriarki adalah budaya dimana kaum pria
memiliki pengaruh yang besar dan lebih tinggi
kedudukannya dibandingkan dengan wanita. Setelah
sorang pria menikah, dia akan menjadi suami yang
bertanggung jawab penuh sebagai seorang pemimpin
dalam keluarga. Dalam budaya patriarki seorang
suami yang berhak mengambil keputusan ketika ada
masalah dan juga yang menentukan iya atau tidaknya
sesuatu yang dilakukan oleh keluarganya itu, boleh
8
dilakukan atau tidak. Dalam budaya Indonesia
sendiri, kaum pria (dalam hal ini suami) dianggap
sebagai pemimpin dan penanggung jawab dalam rumah
tangga. Suami dituntut untuk dapat bertanggung
jawab penuh dan mengayomi keluarganya sehingga jauh
dari penderitaan. Seorang suami juga dituntut harus
mapan, dapat diandalkan dan juga mampu menjadi
tulang punggung keluarganya ketika membutuhkan
sesuatu (http://www.scribd.com).
4. Pertanyaan Penelitian
Bagaimana proses suami memaafkan istri yang
berselingkuh dalam rangka mempertahankan
perkawinan?
B. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Pendekatan kualitatif ini dipilih oleh peneliti
karena penelitian yang akan dilakukan melibatkan
pengumpulan data dalam bentuk laporan verbal berupa
transkrip wawancara atau pertanyaan tertulis serta
analisis yang dilakukan bersifat tekstual.
Interpretasi yang akan dilakukan dibuat dalam suatu
laporan naratif terinci mengenai persepsi,
pemahaman, atau pemaknaan subjek penelitian tentang
fenomena (Smith, 2009). Metode narasi dipilih
9
sebagai metode penelitian karena penelitian yang
dilakukan melingkupi kehidupan manusia sehari-hari.
Kehidupan sehari-hari dalam penelitian ini adalah
kehidupan dalam perkawinan dengan permasalahan yang
berupa perselingkuhan.
2. Fokus Penelitian
Penelitian ini berfokus pada proses suami
memaafkan istri yang pernah melakukan
perselingkuhan. Proses memaafkan adalah suatu
tahapan yang dilalui oleh seseorang dalam hal ini
suami dalam melepaskan emosi negatif dan
mengubahnya menjadi positif sehingga suami dapat
membangun hubungan yang baru dengan istri yang
telah melakukan perselingkuhan.
3. Subjek Penelitian
Peneliti menggunakan metode proposive sampling
dalam menetapkan subjek penelitian. Metode proposive
sampling dipilih karena peneliti sebelumnya telah
menetukan karakterisktik subjek penelitian terlebih
dahulu untuk suatu tujuan yang juga telah
ditetapkan (Moleong, 2007). Peneliti menetapkan
beberapa kriteria dalam pemilihan subjek, yaitu: 1)
Subjek dalam penelitian ini adalah suami yang
memiliki istri yang pernah selingkuh. 2) Subjek
10
dalam penelitian ini adalah pasangan yang tetap
mempertahankan perkawinan kendati istri pernah
melakukan perselingkuhan. 3) Subjek bersedia untuk
membagikan pengalaman dalam penelitian.
4. Metode Pengambilan Data
Penelitian ini menggunakan metode pengambilan
data dengan tekhnik wawancara semi terstruktur.
Teknik wawancara semi terstruktur merupakan
gabungan antara wawancara terstruktur dan wawancara
tidak terstruktur. Dalam tekhnik wawancara ini,
peneliti sudah memiliki daftar pertanyaan-
pertanyaan sebagai pendoman wawancara. Namun,
peneliti dapat secara fleksibel mengembangkan
pertanyaan-pertanyaan dengan tetap berpedoman pada
daftar pertanyaan yang telah dibuat sebelumnya.
5. Metode Analisis Data
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan
analisis narasi. Narasi secara khusus diggunakan
untuk memahami ketidakberaturan yang ditemui
sehari-hari. Melalui narasi, subjek peneliti
diminta untuk menceritakan kisah hidupnya dalam
proses memaafkan perselingkuhan, dalam penyampaian
kisah mengenai kehidupannya subjek berusaha untuk
11
memberikan makna terhadap pengalamannya tersebut
(Smith, 2009).
Gergen dan Gergen (dalam Smith, 2009)
mengidentifikasi 3 (tiga) struktur analisis dalam
narasi, yaitu: 1) Progresi, narasi yang digambarkan
oleh subjek penelitian mengandung suatu usaha ke
arah tujuan. Subjek penelitian menyampaikan narasi
dengan menggambarkan kehidupan sebagai suatu
rangkaian tantangan yang mengandung kesempatan
untuk maju. 2) Regresi, narasi yang digambarkan
oleh subjek penelitian mengandung bahwa sesuatu
tidak diharapkan akan terjadi. Subjek penelitian
menggambarkan kehidupan sebagai rangkaian dari
kesengsaraan. 3) Stabil, narasi yang digambarkan
oleh subjek penelitian mengandung bahwa sesuatu
yang dialami hanya merupakan perubahan kecil.
Subjek penelitian lebih cenderung menggambarkan
peristiwa-peristiwa yang dialami dengan istilah
biasa-biasa saja. Dalam menganalisis uraian narasi
yang telah disampaikan oleh subjek penelitian akan
melalui 2 (dua) fase, yaitu: 1) Fase deskriptif:
Pada fase ini peneliti membaca uraian narasi
sehingga menjadi familiar dengan struktur dan
isinya. Analisis yang dapat dilakukan oleh peneliti
adalah dengan menyoroti isu-isu penting dalam
narasi yang telah disampaikan oleh subjek
12
penelitian, mengidentifikasi keterkaitan naratif
yang menghubungkan berbagai bagian yang berbeda.
Oleh karena itu, sebelum dilakukan penelitian
dengan metode naratif, peneliti mempersiapkan
strategi untuk membantu mempersiapkan ringkasan dan
analisis dari narasi yang disampaikan oleh subjek
penelitian. Strategi tersebut terdiri dari tiga
komponen, yaitu: awal, tengah, dan akhir. 2) Fase
interpretatif: Pada tahap kedua ini, peneliti
kemudian mengaitkan narasi dengan literatur
teoritis yang sebelumnya telah ditentukan sehingga
dapat diggunakan untuk menginterpretasi kisah yang
telah disampaikan oleh subjek penelitian.
C. Hasil Penelitian dan Pembahasan
Pandangan positif kedua subjek terhadap istri dan
kehidupan perkawinan membuat mereka tidak pernah
menduga akan mengalami permasalahan perselingkuhan.
Situasi perkawinan dapat menjadi faktor penyebab
istri subjek ES dan DN melakukan perselingkuhan.
Walaupun subjek ES dan DN menggambarkan bahwa
kehidupan rumah tangga mereka baik-baik saja sebelum
terjadi perselingkuhan (ES, pp 39-44; DN, pp 64-72), namun
yang menjadi permasalahan bukan tidak ada masalah
yang muncul dalam perkawinan, tetapi melihat
akitivitas keseharian subjek ES dan DN dengan istri
13
mereka yang telah terpola. Aktivitas yang terpola
tersebut menunjukkan ada kurang komunikasi antara
suami istri. Di sisi lain, komunikasi merupakan hal
yang penting dalam hubungan perkawinan dan keluarga.
Pasangan suami istri memerlukan komunikasi, baik itu
komunikasi verbal maupun nonverbal, dalam menjalani
hidup bersama sehari-hari. Hingga pada suatu hari
subjek ES dan DN mengetahui bahwa istri mereka telah
berselingkuh dengan laki-laki lain. Perselingkuhan
yang dilakukan oleh istri subjek ES dan DN telah
menghancurkan persepsi subjek mengenai kehidupan
perkawinan yang berjalan baik. Perselingkuhan yang
terjadi juga menimbulkan dampak psikologis terhadap
subjek ES dan DN. Perasaan-perasaan negatif seperti
marah, sedih, bingung harus berbuat, kecewa, dan
merasa disepelekan sebagai suami menempatkan subjek
ES dan DN pada tahap terluka. Perasaan terluka yang
dialami oleh subjek ES dan DN kemudian memunculkan
perasaan membenci terhadap istri mereka. Anggapan
subjek ES dan DN terhadap istri mereka menjadi
berubah. Subjek ES yang awalnya melihat istrinya
adalah seseorang yang baik dan mau untuk diajak hidup
susah berubah setelah mengetahui istrinya telah
berselingkuh. Subjek ES menjadi merasa bahwa istrinya
telah menyepelekan dirinya sebagai seorang suami.
Sedangkan, pada subjek DN muncul keinginan untuk
14
menceraikan istrinya karena telah merasa terluka dan
membenci istrinya. Namun, pada akhirnya subjek ES dan
DN memutuskan untuk tetap mempertahankan perkawinan
mereka setelah melakukan refleksi terhadap peristiwa
yang terjadi. Melalui refleksi, subjek ES dan DN
menyadari bahwa perselingkuhan yang dilakukan oleh
istri mereka juga dikarenakan kekurangan mereka.
Perasaan cinta yang masih dimiliki oleh subjek ES dan
DN terhadap istri dan permintaan maaf dari istri
membantu mereka dalam menyembuhkan luka yang
dirasakan. Subjek ES dan DN dapat melihat bahwa istri
mereka adalah seseorang yang butuh diperhatikan,
dilindungi dan dijaga. Subjek ES dan DN dapat melihat
istri mereka dengan cara pandang yang baru, pada
tahap inilah subjek ES dan DN berada pada tahap
penyembuhan. Setelah subjek ES dan DN dapat melewati
tahap penyembuhan, maka mereka telah sampai pada
tahap yang terakhir yaitu tahap kembali bersama. Pada
tahap ini, subjek ES dan DN dapat menerima kembali
istri mereka dan mengundang istri mereka untuk
menjalani kehidupan perkawinan.
Narasi yang disampaikan oleh subjek ES dan DN
menunjukkan bahwa awalnya mereka menemui kesulitan
dalam mengatasi permasalahan perselingkuhan yang
dilakukan oleh istri mereka. Berbagai perasaan
negatif yang dirasakan oleh subjek ES dan DN hingga
15
timbul keinginan untuk menceraikan istri menunjukkan
struktur yang regresif. Namun, struktur regresif
tersebut berubah menjadi struktur progresif ketika
subjek ES dan DN dapat merefleksikan peristiwa yang
dialami dan membuka pandangan terhadap kekurangan
mereka serta kebutuhan-kebutuhan istri.
D. Kesimpulan
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kedua
subjek mempunyai pengalaman dalam berproses memaafkan
istri mereka yang pernah melakukan perselingkuhan.
Narasi yang disampaikan oleh kedua subjek memiliki
struktur atau alur progresif sesuai dengan tahapan
memaafkan menurut Smedes yang menunjukkan bahwa pada
akhirnya kedua subjek dapat menjalani hidup
perkawinan kembali bersama dengan istri mereka.
Proses memaafkan yang dilalui oleh kedua subjek ada 4
(empat) tahap, yaitu: 1) Tahap terluka atau merasa
disakiti, 2) Tahap membenci, 3) Tahap penyembuhan,
dan 4) Tahap kembali bersama. Keempat tahap yang
dilalui oleh kedua subjek menunjukkan bahwa mereka
telah berhasil merefleksikan peristiwa yang dialami.
Dalam struktur narasi dikenal dengan istilah redefinisi
tujuan, yaitu ketika kedua subjek dapat melihat dunia
dengan cara yang berbeda. Hal ini dilihat dari upaya
kedua subjek dalam merefleksikan peristiwa yang
16
mereka alami sehingga dapat melihat istri mereka
dengan cara pandang yang baru dan menerima istri
mereka kembali. Upaya refleksi diri yang dilakukan
kedua subjek oleh Smedes disebut sebagai bedah
spritual membuat mereka pada akhirnya dapat memaafkan
dan tetap mempertahankan perkawinan dengan istri.
E. Daftar PustakaAnantasari, Maria Laksmi. (tanpa tahun). Mencari
Kawruh Jiwa: Refleksi Diri pada Remaja, LangkahMenuju Pribadi Sejahtera. Faculty of Psychology, SanataDharma University Yogyakarta.
Atkins, D., Baucom, D., & Jacobson, N. (2001).Understanding Infidelity: Correlates in aNational Random Sample. Journal of Family Psychology,15(4), 735-749.
Atkins, David & Kessel, Deborah. (2008).Religiousness and In delity: Attendance, but notfiFaith and Prayer, Predict Marital Fidelity.Journal of Marriage and Family, 70, 407-418.
Beno Junianto. (2009). Aurel Cerita Miminya Selingkuh di Bali.http://life.viva.co.id/news/read/86811aurel_cerita_miminya_selingkuh_di_bali. (diunduh Sabtu, 10Februari 2013).
Bird, Butler, & Fife. (2007). The Process of CoupleHealing Following Infidelity: A QualitativeStudy. Journal of Couple & Relationship Therapy, 6(4), 1-25.
Berry, J. W., & Worthington, E. L. Jr. (2001).Forgiveness, relationship quality, stress whileimagining relationship events, and physical and
17
mental health. Journal of Counseling Psychology, 48, 447–455.
Cann, A., Baucom, T. (2004). Former partners and newrivals as threats to a relationship: Infidelitytype, gender, and commitment as factors relatedto distress and forgiveness. Personal Relationships, 11,305-318.
Fatima, Maria & Ajmal, M. Asir. (2012). HappyMarriage: A Qualitative study. Journal of Social andClinical Psychology, 9(2), 37-42.
Fife, Weeks, & Gambescia. (2008). TreatingInfidelity: An Integrative Approach. The FamilyJournal: Counseling and Therapy for Couples and Families, 16(4),316-323.
Fisher, Voracek, Rekkas, & Cox. (2008). SexDifferences in Feelings of Guilt Arising fromInfidelity. Evolutionary Psychology, 6(3), 436-446.
Galvin, Kathleen M. & Brommel, Bernard J. (1982).Family Communication: Cohesion and Change. America:Scott, Foresman and Company.
Gani, A.H. (2011). Forgiveness Therapy. Yogyakarta:Kanisius.
Ginanjar. (2009). Proses Healing Pada Istri YangMengalami Perselingkuhan Suami. Sosial Humaniora,13(1), 66-76.
Hackathorn, J., Mattingly, B., Clark, E., &Mattingly, M. (2011). Practicing What You Preach:Infidelity Attitudes as a Predictor of Fidelity.Curr Psychol, 30, 299–311.
18
Idemudia, Erhabor S. & Mahri, Saajida. (2011). CanGender, Religion, Education, Age and PersonalityPredict Willingness to Forgive? Gender & Behaviour,9(1), 3765-3779.
Jayaprawira. (2005). Coping Stress Pada PerempuanDalam Proses Pemulihan Hubungan PascaPerselingkuhan Suami. Tidak diterbitkan.Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas SanataDharma.
Kertamuda, Fatchiah. (2009). Konseling Pernikahan untukKeluarga Indonesia. Jakarta: Salemba Humanika.
Kodrati, Finalia. (2010). Perjalanan Kisah Cinta Maia &Ahmad Dhani.http://life.viva.co.id/news/read/175810-perjalanan-kisah-cinta-maia---ahmad-dhani.(diunduh Sabtu, 10 Februari 2013).
Kristee. (2011). A Socio-Emotional RelationalFramework for Infidelity: The Relational JusticeApproach. Family Process, 50(4), 516-528.
Kymenlaakso, Ilkka Virolainen. Forgiveness as aLeadership Tool. Global Conference on Business and FinanceProceedings, 7(1), 432-445.
Lindsay. (2008).http://genkeis.multiply.com/journal/item/2 68?&show_interstitial=1&u=%2Fjournal%2Fitem.(diunduh Jumat, 15 Februari 2013).
Lodro, Wawan. (2012). Perceraian Selalu Berdampak NegatifBagi Anak.http://www.kainsutera.com/info-remaja/perceraian-selalu-berdampak-negatif-bagi-anak.html. (diunduhSabtu, 10 Februari 2013).
19
Lopez, S., & Synder, C. (2003). PositivePsychological Assessment. Washington: WorldComposition Services, Inc.
Mao, Angelina & Raguram, Ahalya. (2009). Onlineinfidelity: The new challenge to marriages. IndianJ Psychiatry, 51(4), 302-304.
Maltby, J., Macaskill, A., & Day, L. (2001). Failureto forgive self and others: A replication andextension of the relationship betweenforgiveness, personality, social desirability andgeneral health. Personality and Individual Differences, 30,881–885.
Mark, Janssen, & Milhausen. (2009). In delity infiHeterosexual Couples: Demographic, Interpersonal,and Personality-Related Predictors of ExtradyadicSex. Archives of Sexual Behavior, 40, 971-982.
Mauger, P. A., Perry, J. E., Freeman, T., Grove, D.C., McBride, A. G., & McKinney, K. E. (1992). Themeasurement of forgiveness: Preliminary research.Journal of Psychology and Christianity, 11, 170–180.
McFall, Michael T. (2011). Living Dogma and Marriage.Philosophia, 39, 657–672.
McNulty. (2008). Forgiveness in Marriage: Putting theBene ts Into Context. fi Journal of Family Psychology, 22(1),171–175.
Moleong. (2007). Metodelogi Penelitian Kualitatif. Bandung: PTRemaja Rosdakarya.
Muhammad, Abu Abdillah. (2012, 26 April). Difinisi danHukum Talak. http://asysyariah.com/difinisi-dan-hukum-talak.html. (diunduh Kamis, 15 Februari2013).
20
Noviyanto. (2011, 4 Agustus). Dari 285 Ribu KasusPerceraian, Wanita Paling Getol Menggugat Cerai Ketimbang Pria.http://www.lensaindonesia.com/2011/ 08/04/dari-285-ribu-kasus-perceraian-wanita-paling-getol-menggugat-cerai-ketimbang-pria.html. (diunduhSabtu, 10 Februari 2013).
Olmstead, Blick, & Mills. (2009). Helping CouplesWork Toward the Forgiveness of Marital In delity:fiTherapists’ Perspectives. The American Journal of FamilyTherapy, 37, 48–66.
Parker, Berger, & Campbell. (2010). DeconstructingCouples’ Experiences With In delity. fi Journal ofCouple & Relationship Therapy, 9, 66–82.
Pearlman, Kenneth S. (2010). Marriage: Roles, Stability andConflict. New York: Nova Science Publishers, Inc.
Piper, John. (2009). This Momentary Marriage. UnitedStates of America: Crossway Books.
Poerwandari, E.K. (2005). Pendekatan Kualitatif untukPenelitian Perilaku Manusia. Jakarta:Pengembangan Sarana Pengukuran dan PengembanganPsikologi UI.
Pramana, Ivan. (tanpa tahun). Pengertian Budaya Patriarkhi.http://www.scribd.com/doc/58728320/Pengertian-budaya-patriakhi. (diunduh Kamis, 15 Februari2013).
Putra, Erik P. (2012). Angka Perceraian Pasangan IndonesiaNaik Drastis 70 Persen.http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/12/01/24/ lya2yg-angka perceraian-pasangan-indonesia-naik-drastis-70-persen. (diunduh Sabtu,10 Februari 2013).
21
Ratih Cinthyadevi Erviantini. (2007). ProsesPengambilan Keputusan Pada Istri UntukMempertahankan Perkawinan Setelah PerselingkuhanSuami. www.lontar.ui.ac.id. Depok: Fakultas PsikologiUniversitas Indonesia.
Rosmadi. (2011). Informasi Keperkaraan Peradilan Agama Tahun2010.http://www.badilag.net./data/ditbinadpa/FAKTORFAKTOR%20PENYEBAB%20TERJADINYA%20PERCERAIAN%20tahun%202010.pdf . (diunduh Sabtu, 10 Februari 2013).
Rosmadi. (2012). Informasi Keperkaraan Peradilan Agama Tahun2011.http://www.badilag.net./data/ditbinadpa/Subdit%20Stadok/Rekap%20faktor%20perceraian%20tabel%20IV.pdf. (diunduh Sabtu, 10 Februari 2013).
Sa’adah, E., Sakti, H., & Sakti, D. (2012). TheWife’s Forgiveness Toward Husband’s Infidelity.Jurnal Psikologi, 1(1), 106-119.
Satiadarma. (2001). Menyikapi Perselingkuhan.Jakarta: Pustaka Populer Obor.http://books.google.co.id/books?id=yAyvoA03_VYC&printsec=frontcover&hl=id#v=onepage&q&f=false. (diunduh Sabtu, 10 Februari 2013).
Shackelford, Buss, & Bennett. (2002). Forgiveness orbreakup: Sex differences in responses to apartner’s infidelity. Cognition and Emotion, 16 (2),299–307.
Shackelford, Besser, & Goetz. (2008). Personality,Marital Satisfaction, and Probability of MaritalInfidelity. Individual Differences Research, 6(1), 13-25.
22
Sharon, A. (2009). Communicating Forgiveness. Thesis.Cleveland State University.
Smedes. (1996). Forgive and Forget.http://www.harpercollins.com/browseinside/index.aspx?isbn13=9780061285820(diunduh Sabtu, 10 Februari 2013).
Smedes, Lewis B. (1991, terj.). Memaafkan Kekuatan YangMembebaskan. Yogyakarta: Kanisius.
Smith, Jonathan A. (2009). Psikologi Kualitatif.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Stephen. (2005). A Clinical Perspective On In delity.fiSexual and Relationship Therapy, 20(2), 143-153.
Spring, Janis Abraham. (2006). After the Affair. UnitedStates of America: HarperCollins Publisher.
Suwartono, Christiany & Viktoria, Venie. (2010).Seeking Forgiveness Among University Students inJakarta. Book of Abstracts the First International Conference ofIndigenous & Cultural Psychology, 27d, 196-197.
Suwartono, Christiany & Viktoria, Venie. (2010).Granting Forgiveness among University Students inJakarta. Book of Abstracts the First International Conference ofIndigenous & Cultural Psychology, 39d, 283-284.
Then, Debbie. (2008). Kisah-kisah Perempuan yang Bertahandalam Perkawinan.http://books.google.co.id/books?id=gRuKRpnoxb4C&pg=PA17&lpg=PA17&dq=definisi+perselingkuhan&source=bl&ots=RLXKncVD2&sig=5wVS04j4Scu8GCpVcwRcJOIolo&hl=en&sa=X&ei=agwsUfW5EsytrAeOoIGoAQ&sqi=2&redir_esc=y#v=onepage&q=definisi%20perselingkuhan&f=false(diunduh Jumat, 15Februari 2013).
23
Triatmo, Fransiskus Agis. (tanpa tahun). PemahamanPerkawinan Menurut Gereja Katolik. http://www.imankatolik.or.id/pemahaman-perkawinan-menurut-gereja-katolik.html.(diunduh 25 februari).
Turner & Helm. (1995). Encyclopedia of Relationships Across theLifespan. http://books.google.co.id/books?id=xto5as2BfoC&pg=PA272&lpg=PA272&dq=reason+to+marry+by+turner+and+helms&source=bl&ots=L6uxNois88&sig=BZ6Wzcj2q16dlbDICW7gzhOiCo&hl=en&sa=X&ei=tF09UcSNDon3rQfxxYCoCw&redir_esc=y#v=onepage&q=reason%20to%20marry%20by%20turner%20and%20helms&f=false. (diunduh Jumat, 15 Februari2013).
Vilibert, Diana & Lloyd, Abraham. (2010).http://www.marieclaire.com/sex-love/advice/emotional-physical-cheating. (diunduh Jumat, 20 September 2013).
Walgito, B. (2000). Bimbingan & Konseling Perkawinan.Yogyakarta: C.V Andi Offset.
Witvliet, C. V. O. (2001). Forgiveness and health:Review and re ections on a matter of faith,flfeelings, and physiology. Journal of Psychology andTheology, 29, 212–224.
Worthington, E. L. Jr. (2001). Forgiveness,relationship quality, stress while imaginingrelationship events, and physical and mentalhealth. Journal of Counseling Psychology, 48, 447–455.
Yang Mulia Bhikkhu Khantidharo. (tanpa tahun).Pandangan Agama Buddha Tentang Pernikahan.http://artikelbuddhist.com/2011/05/pandangan-agama-buddha-tentang-pernikahan.html. (diunduh 25februari).
24
Young, R.V. (2007). A Dawsonian View of Patriarchy.In Defense Of Patriachy, 417-424
Yuniarti, Hepi. (2009). Latar Belakang SuamiMempertahankan Perkawinan (Studi Kasus Pada SuamiKorban Perselingkuhan). Tidak diterbitkan.Malang: Fakultas Psikologi UniversitasMuhammadiyah.
Zaka al Farisi. (2008). When I Love You.http://books.google.co.id/books?id=figI8CaeZbQC&pg=PA137&lpg=PA137&dq=psikolog+layton&source=bl&ots=ZCcjM6PHp2&sig=4WcXq0yf6t61LKMGHyf4dzjQ-Ko&hl=en&sa=X&ei=6WsUYfKAYeHrAfPk4CoAg&redir_esc=y#v=onepage&q=psikolog%20layton&f=false (diunduh Jumat, 15 Februari2013).
http://definisipengertian.com/2011/pengertian-perkawinan/ (diunduh 25 februari).
http://www.babadbali.com/canangsari/hkt-perkawinan.htm. (diunduh 25 februrari).
25