disertasi perbandingan penegakan hukum tindak …
TRANSCRIPT
i
DISERTASI
PERBANDINGAN PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI
DI INDONESIA DENGAN CHINA
THE COMPARISON OF THE LAW ENFORCEMENT ON THE CORRUPTION CRIMINAL ACTION IN INDONESIA AND THAT IN CHINA
SYAMSUDIN
P0400311033
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN
FAKULTAS HUKUM MAKASSAR
2017
ii
PERBANDINGAN PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI
DI INDONESIA DENGAN CHINA
THE COMPARISON OF THE LAW ENFORCEMENT ON THE CORRUPTION CRIMINAL ACTION IN INDONESIA AND THAT IN CHINA
Disertasi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Doktor
Program Studi
Ilmu Hukum
Disusun dan diajukan oleh :
SYAMSUDIN
Nomor Pokok. P0400311033
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN
FAKULTAS HUKUM MAKASSAR
2017
iii
PERSETUJUAN UJIAN PROMOSI
PERBANDINGAN PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI
DI INDONESIA DENGAN CHINA
diajukan oleh,
SYAMSUDIN
Nomor Pokok. P0400311033
Menyetujui Tim Promotor,
Prof. Dr. M. Syukri Akub, S.H., M.H Promotor
Mengetahui, Ketua Program Studi
S3 Ilmu Hukum
Prof. Dr. Abdul Razak, S.H., M.H
Prof. Dr. Slamet Sampurno, S.H.,M.H
Co-Promotor
Dr. Syamsuddin Muchtar, S.H., M.H
Co-Promotor
iv
PERNYATAAN KEASLIAN DISERTASI
Yang bertanda tangan dibawah ini :
Nama : Syamsudin
Nomor Mahasiswa : P0400311033
Program studi : Ilmu Hukum
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa disertasi yang saya tulis ini benar-
benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan
pengambilalihan tulisan atau pemikiran orang lain. Apabila dikemudian hari
terbukti atau dapat dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan
tesis/disertasi ini hasil karya orang lain, saya bersedia menerima sanksi atas
perbuatan tersebut.
Makassar, 31 Juli 2017 Yang menyatakan, Syamsudin
v
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT
Tuhan Yang Maha Kuasa atas kasih sayang dan rahmatNya yang begitu
besar, sehingga penulis dapat menyelesaikan disertasi ini, yang merupakan
salah satu persyaratan akademik guna memperoleh gelar Doktor dalam
Program Studi Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Hasanuddin Makassar.
Disertasi ini dapat dirampungkan melalui bimbingan dari Yang Amat
Terpelajar, Prof. Dr. M. Syukri Akub, S.H., M.H, sebagai Promotor, Prof. Dr.
Slamet Sampurno, S.H.,M.H, selaku Co-Promotor, dan Dr. Syamsuddin
Muchtar, S.H.,M.H, selaku Co-Promotor. Dengan ini Penulis menyampaikan
rasa terima kasih yang sebesar-besarnya dan penghargaan yang setinggi-
tingginya, karena telah dengan sepenuh hati selalu mendorong, membimbing
dan mengarahkan penulis dengan penuh keikhlasan dan kearifan serta
kesediaan waktunya sehingga disertasi ini dapat dirampungkan.
Penulis juga menyampaikan rasa terima kasih sebesar-besarnya dan
penghargaan yang setinggi-tingginya kepada dewan penguji selaku penilai
yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan, masukan
serta saran yang sangat berguna dalam seminar proposal penelitian sampai
pada penyusunan disertasi ini
Sepenuhnya penulis sadari bahwa disertasi ini dapat dirampungkan
karena bantuan dari berbagai pihak, baik berupa pikiran, tenaga,
kesempatan, materi, maupun dorongan moril, oleh karenanya penulis
menyampaikan terima kasih sebesar-besarnya kepada yang terhormat :
1. Prof. Dr. Dwia Aries Tina Pulubuhu, M.A, selaku Rektor Universitas
Hasanuddin, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis dalam
menyelesaikan studi di PPs-Unhas Makassar ;
2. Prof. Dr. Farida Patittingi, S.H., M.Hum, sebagai Dekan Fakultas
Hukum Universitas Hasanuddin Makassar yang telah memberikan
kesempatan dan dorongan kepada penulis dalam menimba ilmu dan
menyelesaikan studi di PPs-Unhas Makassar ;
3. Direktur PPs-Unhas Makassar serta semua Civitas Akademik PPs-
Unhas, Prof. Dr. Abdul Razak, S.H.,M.H, selaku Ketua Program Studi
S3 Ilmu Hukum serta semua Civitas Akademik Fakultas Hukum Unhas,
yang telah memberikan kesempatan dan dorongan kepada penulis dalam
menimba ilmu dan menyelesaikan studi di PPs-Unhas Makassar ;
vi
4. Seluruh Dosen dan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Hasanudin
yang telah memberikan ilmu pengetahuan yang sangat berguna bagi
penulis, serta seluruh Civitas Akademik Fakultas Hukum Universitas
Hasanuddin Makassar yang telah membantu kelancaran proses
administrasi selama penulis mengikuti studi di PPs-Unhas Makassar ;
5. Rekan-rekan Pasca Sarjana S3 seperjuangan angkatan Tahun 2011
pada program studi ilmu hukum, serta semua pihak yang telah
memberikan support dan masih banyak pihak yang telah memberikan
bantuan dan perhatiannya, khususnya selama penulisan disertasi ini.
Kesemuanya tentu tidak dapat ditulis satu persatu pada lembaran ini,
kecuali menyampaikan terima kasih yang setulus-tulusnya.
6. Kedua orangtua penulis yg telah tiada yang tetap tidak akan pernah
terlupakan dan tergantikan jasa-jasanya dalam memberikan pemahaman
tentang belajar sampai kapanpun, dan yang tidak terlupakan kata-kata
orangtua penulis adalah “tetaplah belajar dan memberikan ilmu yang baik
yang kamu bisa kepada orang lain”.
7. Keluarga besar penulis yaitu Isteri Tercinta dunia akhirat Hj. Anita Ratih
Puspa, Anak-anak tersayang yaitu Ridho Dimas Sofwan, ST, Reza
Fahdini Mahaputra, SH., Vega Divana Audita dan Vanya Ayra Azzahra,
terima kasih yang setulus-tulusnya atas support dan doanya selama ini
hingga penulis menyelesaikan studi ;
8. Bapak Dr. Marjoni Rahman, S.Sos. selaku Rektor Universitas 17 Agustus
1945 Samarinda ; Bapak Dr. Ir. Zikri Azam, MP selaku Wakil Rektor I,
Bapak Prof. Dr. F.L. Soediran, SH., M.Hum, selaku Wakil Rektor II, dan
Bapak Dr. Ir. Abdul Kholik Hidayah, MP. Selaku Wakil Rektor III
Universitas 17 Agustus 1945 Samarinda yang telah memberikan ijin dan
dorongan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan S3 di Universitas
Hasanuddin Makassar ;
9. Bapak Prof. Dr. H. Eddy Soegiarto, K. SE. MM. Mantan Rektor
Universitas 17 Agustus 1945 Samarinda, yang semasa menjadi Rektor
telah memberikan ijin dan dorongan kepada penulis untuk melanjutkan
pendidikan S3 di Universitas Hasanuddin Makassar ;
10. Bapak Dr. Abdul Munif, SH. M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas 17 Agustus 1945 Samarinda yang kesemuanya memberikan
ijin dan dorongan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan S3 di
Universitas Hasanuddin Makassar ;
vii
11. Bapak Dr. Ivan Zairani Lisi, S.Sos, S.H., M.Hum, Dekan Fakultas Hukum
Universitas Mulawarman, yang selalu bersama dalam suka dan duka,
terima kasih telah menjadi saudara dan selalu saling menyemangati
selama perkuliahan sampai sekarang dan semoga tidak akan terputus ;
12. Seluruh Dosen pada Universitas 17 Agustus 1945 Samarinda, dan
Universitas Mulawarman Samarinda, yang telah memberikan
penyemangat kepada penulis dalam studi ini ;
13. Teman-Teman Alumni S2 UGM Yogyakarta Angkatan Tahun 2000,
Teman-teman Alumni S1 Universitas 17 Agustus 1945 Samarinda,
Teman-teman Alumni SMA Negeri 2 Samarinda, Teman-teman Alumni
MTsN Samarinda, terima kasih atas dorongan dan doanya dalam setiap
silaturrahmi.
14. Rekan-Rekan dari Kantor Advokat & Legal Consultant Ada Syamsudin &
Rekan di Samarinda, H. Arifudin, SH.,MH., Drs. Samsuri, SH., Djony
Kandarani, SE. SH. MH., Hairul Anwar, SH., Surya Darmawan, SH.,
Yopita Despira SH., dan Gusti Madani, S.Ag., Mustapa, SH. terima kasih
atas segala bantuan dan doanya hingga penulis dapat menyelesaikan
study ini ;
15. Rekan-Rekan Pengurus dan Anggota Peradi Kota Samarinda, Rekan-
Rekan Anggota BPSK Kota Samarinda dan Rekan-Rekan Anggota DPW
Pengawas Notaris Propinsi Kalimantan Timur, terima kasih atas
dukungannya kepada penulis untuk menyelesaikan study ini ;
16. Seluruh Pengurus Masjid Jami’ Nurul Huda Kota Samarinda, terima kasih
atas segala doanya walau banyak waktu penulis tinggalkan untuk
menyelesaikan study ini, semoga amal ibadah kita selalu mendapat
imbalan dari Allah SWT.
17. Terima kasih kepada Bapak Ir. Andi Baso Sulva dan Ibu Endang
Susilowaty, yang telah memberikan dorongan dan doa selama penulis
menyelesaikan study di Universitas Hasanuddin Makassar ;
18. Terima kasih kepada teman penulis Dr. Rahmawati, SE, M.Si, Ketua
STIE Yayasan Pembangunan Indonesia Makassar, serta Sahabatku yang
menemani dan menjadi perterjemah ketika ke Beijing China, yang turut
memberikan semangat, dorongan dan doa kepada penulis dalam
menyelesaikan disertasi ini ;
viii
Akhirnya, semoga Allah, SWT, Tuhan Yang Maha Kuasa, membalas
amal kabaikan serta hidayah-Nya kepada semuanya. Amiin
Makassar, 31 Juli 2017
Penulis
ix
ABSTRAK
SYAMSUDIN, Perbandingan Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi di
Indonesia dengan China (dibimbing oleh M. Syukri Akub, Slamet Sampurno
dan Syamsuddin Muchtar.
Penelitian ini menjelaskan dan menganalisis sanksi pidana yang
dijatuhkan terhadap pelaku tindak pidana korupsi di Indonesia mempunyai
pengaruh yang signifikan terhadap pelaku tindak pidana korupsi, perbedaan
penghukuman pelaku tindak pidana korupsi di Indonesia dengan China serta
penegakan hukum yang diterapkan di China atas tidak pidana korupsi yang
dapat diterapkan di Indonesia untuk memberantas tindak pidana korupsi.
Jenis penelitian ini, yaitu penelitian hukum normatif, menganalisis
bahan hukum yang mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat
dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan.
Menitikberatkan kepada aspek filosofi pemahaman hukum dalam masyarakat
terhadap penegakan hukum dalam tindak pidana korupsi, mengkaji pula
rangkaian historis terbentuknya aturan mengenai tindak pidana korupsi
sampai dengan penegakan hukum dan perkembangannya sampai saat ini.
Hasil penelitian menunjukan bahwa dari tahun 2013 hingga 2015,
selalu menunjukan angka kenaikan, sedangkan harapan yang digantungkan
pada Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dengan penerapan sanksi
pidana pada setiap perkara tindak pidana korupsi ternyata tidak membawa
efek jera terhadap pelaku-pelaku korupsi. Perbandingan penegakan hukum
tindak pidana korupsi di Indonesia bahwa pemberian sanksi tindak pidana
korupsi masih menghukum dengan hukuman pidana yang tidak maksimal
dan terkesan minimal, sedangkan di China menunjukan bahwa sanksi atau
penghukuman terhadap pelaku tindak pidana korupsi dilakukan dengan
hukuman maksimal atau terberat diantaranya hukuman mati. Sehingga
pemerintah Indonesia sesuai dengan kewenanganya dalam sistem
pemerintahan perlu melakukan lebih banyak kerjasama dengan penegak
hukum dan pihak lain yang konsen terhadap upaya pemberantasan tindak
pidana korupsi, demikian juga hakim yang memeriksa dan mengadili perkara-
perkara tindak pidana korupsi diharapkan memberikan rasa keadilan dalam
masyarakat.
Kata kunci : perbandingan, hukum, penegakan, pidana, korupsi
x
ABSTRACT
SYAMSUDIN, The Comparison of the Law Enforcement on the
Corruption Criminal Action in Indonesia and That in China (supervised by M.
Shukri Akub, Slamet Sampurno and Syamsuddin Muchtar)
This research aimed to explain and analyze (1) the criminal sanctions
given to the actors committing the corruption actions in Indonesia which had a
significant effect on the actors of the corruption acts, (2) the differences of the
punishment of the actors of the corruption criminal action in Indonesia
compared to that in China; and (3) the law enforcement applied in China on
the corruption crimes, which could be applied in Indonesia in order to
eliminate the corruption crimes.
The research type was the normative legal research, which analyzed
the legal material referring to the legal norms stated in the law regulations
and the court decisions. The research emphasized the philosophical aspects
of the legal understanding of the society on the law enforcement on the
corruption crimes. The research also studies the historical series of the
formation of the regulations about the corruption crimes until the law
enforcement and its development nowadays.
The research results indicated that the period between 2013 and 2015
always showed increasing figures, whereas the expectations which was hung
on the Ordinance of the Corruption Crimes with the application of the criminal
sanctions on each cases of corruption crimes apparently had not give a leery
effect on the corruption criminals. The comparison of the law enforcement on
the actors of corruption crimes in Indonesia had not been maximum and even
minimum, while in China sanctions or he punishment given to the corruptors
were always maximum or most heavy, sometimes it was a death punishment.
Therefore, the Indinesian Government according to their authority in the
government system should try to cooperate with the law enforce people and
other parties who were concerned with the effort to eliminate the acts of
corruptions. Also, the judges who examined and tried the corruption cases
were expected to consider justice feeling of the society.
Keywords: comparison, law, enforcement, criminal, corruption
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................... ii
HALAMAN PERSETUJUAN .................................................................... iii
PERNYATAAN KEASLIAN DISERTASI ................................................... iv
KATA PENGANTAR ................................................................................ iv
ABSTRAK ................................................................................................ v
ABSTRACT ............................................................................................. vi
DAFTAR ISI ............................................................................................. xii
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................ 1
A. Latar Belakang Masalah ........................................................ 1
B. Rumusan Masalah ................................................................ 17
C. Tujuan Penelitian ................................................................... 18
D. Kegunaan Penelitian ............................................................. 18
E. Orisinalitas Penelitian ........................................................... 19
BAB I I TINJAUAN PUSTAKA ............................................................... 22
A. Penegakan Hukum ............................................................... 22
B. Tindak Pidana Korupsi .......................................................... 29
1. Konsepsi Korupsi .............................................................. 29
2. Sejarah Korupsi di Indonesia ............................................ 36
C. Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ................................ 87
1. Pencegahan Tindak Pidana Korupsi ................................. 87
2. Penindakan (Represif) Tindak Pidana Korupsi ................... 93
3. Peran Serta Masyarakat ................................................... 102
4. Penyelenggara Negara ......................................................104
D. Perbadingan Hukum ..............................................................106
E. Konsep Keadilan .................................................................. 109
F. Kerangka Pikir ..................................................................... 120
xii
G. Definisi Operasional .............................................................. 123
BAB III METODE PENULISAN ............................................................. .. 127
A. Jenis Penulisan .................................................................... 127
B. Pendekatan Penulisan .......................................................... 127
C. Lokasi Penulisan ................................................................... 128
D. Jenis Bahan Hukum .............................................................. 128
E. Populasi dan Sample ............................................................ 129
F. Teknik dan Pengumpulan Bahan Hukum .............................. 130
G. Teknik Analisis Bahan Hukum ............................................... 130
BAB IV PEMBAHASAN DAN HASIL PENULISAN .................................. 132
A. Rumusan Tindak Pidana, Sanksi Pidana, dan Penerapan
Sanksi Dalam Tindak Pidana Korupsi di Indonesia ............... 132
1. Tindak Pidana Korupsi di Indonesia .................................. 132
2. Sanksi Perkara Tindak Pidana Korupsi ............................. 143
3. Penerapan Sanksi Terhadap Pelaku Tindak Pidana
Korupsi ............................................................................. 151
B. Perbedaan Penegakan Hukum Dalam Tindak Pidana
Korupsi di Indonesia dengan China ...................................... 200
1. Sistem Peradilan Tindak Pidana Korupsi di China............. . 200
2. Penegakan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi di
Indonesia .......................................................................... 216
3. Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi di China ........ 219
C. Konsep Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi di
China yang Dapat Diterapkan di Indonesia ............................ 232
1. Perbandingan Penegakan Hukum Tindak Pidana
Korupsi ............................................................................. 232
2. Konsep Ideal Penegakan Hukum Tindak Pidana
Korupsi di Indonesia ......................................................... 256
xiii
BAB V PENUTUP .................................................................................. 284
A. Kesimpulan ........................................................................... 284
B. Saran .................................................................................... 286
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. xii
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejak Indonesia Merdeka pada tahun 1945, selalu didengungkan
bahwa Negara Republik Indonesia adalah Negara hukum yang
berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia 1945. Sebagai warga Negara Indonesia tentunya kita sangat
bangga dengan kemerdekaan Indonesia, terlebih bahwa Negara Republik
Indonesia adalah negara hukum, dimana setiap orang di Indonesia tidak
ada yang kebal terhadap hukum, artinya bahwa setiap orang sama
kedudukannya di mata hukum. Pencetusan bahwa Indonesia negara
hukum tersebut dimaksudkan adalah sebagai landasan untuk
mewujudkan kehidupan bangsa yang memberi kesejahteraan dengan
rasa aman, tenteram, tertib dan berkeadilan berdasarkan hukum tersebut.
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia telah
diatur penegakan hukum yang penyelenggaraannya dilaksanakan oleh
suatu kekuasaan kehakiman, dimana kekuasaan kehakiman adalah
kekuasaan yang bebas dan mandiri dan tidak dapat dipengaruhi oleh
pihak lain, oleh karena itu dalam penegakan hukum diperlukan adanya
suatu lembaga yang bertanggungjawab untuk menyelenggarakan suatu
peradilan yang benar dan memberikan keadilan baik bagi masyarakat dan
Negara Republik Indonesia sebagai negara hukum.
2
Saat ini yang sangat banyak diperbincangkan dan disoroti oleh
masyarakat adalah mengenai penegakan hukum terhadap pelaku tindak
pidana korupsi, karena masyarakat banyak yang masih menyangsikan
penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana korupsi. Bagi sebagian
masyarakat bahwa para penegak hukum masih terindikasi dapat
dipengaruhi oleh kekuatan baik itu dalam kedudukan atau status
seseorang, sehingga penegakan hukum dalam tindak pidana korupsi
masih sangat terkesan dipengaruhi nuansa politik dan belum maksimal,
oleh karenanya perkara-perkara tindak pidana korupsi masih marak
sampai saat ini, belum memberikan efek yang membuat jera maupun
pembelajaran di masyarakat. Penegakan hukum sekarang ini nampaknya
tidak memberikan pengaruh yang signifikan bagi turunnya angka
kriminalitas, dalam hal ini Tindak Pidana Korupsi. Apalagi jika dalam
upaya pemberantasan tindak pidana korupsi ini tidak mendapat dukungan
dari pemerintah secara nyata, demikian juga dari elit politik yang hingga
kini nampak setengah hati dalam upaya pemberantasan tindak pidana
korupsi, bahkan saat ini sedang terjadi pro dan kontra antara masyarakat
yang pro terhadap upaya pemberantasan korupsi dengan elit politik yang
ada di DPR RI yang justeru sangat terkesan berusaha untuk
mengendorkan pemberantasan korupsi dengan mengajukan Hak Angket
terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi, hal ini tentu akan melemahkan
Komisi Pemberantasan Korupsi dalam melakukan upaya pencegahan dan
pemberantasan korupsi yang menjadi wewenangnya.
3
Berbicara masalah korupsi atau tindak pidana korupsi, sebenarnya
banyak yang harus dipahami apa sebenarnya yang dimaksud korupsi,
batasan-batasan apa yang dimaksud tindak pidana korupsi dan apa yang
menyebabkan korupsi. Pertanyaan-pertanyaan itu seringkali muncul di
masyarakat, terlebih bagi yang masih awam tentang pengertian korupsi.
Sebenarnya kita sering mendengar banyak tentang berita-berita mengenai
para pejabat yang melakukan tindak pidana korupsi dan diproses secara
hukum, namun kenapa masih banyak saja terjadi kasus-kasus tindak
pidana korupsi yang baru, yang ternyata juga tetap melibatkan para
pejabat walaupun pelaku tindak pidana korupsi sebelumnya telah diproses
dan kemudian dihukum, apakah mereka tidak malu atau tidak paham apa
yang disebut tindak pidana korupsi ? Inilah pertanyaan yang perlu dicari
jawabnya, baik menurut masyarakat pada umumnya maupun menurut
para pegawai pemerintah atau swasta yang mempunyai kewenangan
yang suatu saat mungkin dihadapkan pada permasalahan yang dapat
menimbulkan kerugian negara dan dapat dianggap sebagai perbuatan
yang termasuk dalam perbuatan tindak pidana korupsi.
Berdasarkan pengamatan penulis, ternyata masih banyak sebagian
masyarakat yang masih tidak mengerti apa sebenarnya yang disebut
dengan korupsi dalam arti yang sebenarnya, hanya sebagian saja yang
paham, karena masih ada saja yang mempunyai pandangan bahwa jika
tidak menikmati uang korupsi, maka menurutnya dirinya tidak melakukan
tindak pidana korupsi, padahal tidaklah demikian, karena sekalipun
4
seseorang tidak menikmati satu rupiahpun uang korupsi, akan tetapi jika
perbuatannya menyalahgunakan kekuasaan atau kewenangan yang ada
padanya dengan menguntungkan orang lain atau suatu korporasi, maka
perbuatan tersebut sudah dapat diklasifikasikan sebagai tindak pidana
korupsi sekalipun tidak menikmati uang korupsi. Demikian juga dengan
pemberian kepada seseorang agar melakukan atau tidak melakukan
sesuatu perbuatan yang seharusnya menjadi tugasnya walaupun
pemberian tersebut dilakukan atas dasar suka sama suka, maka hal
tersebut dapat diklasifikasikan sebagai perbuatan tindak pidana korupsi
atau gratifikasi.
Akibat perbuatan tindak pidana korupsi, maka akan menimbulkan
akibat pada kesejahteraan masyarakat, oleh karenanya perlu kiranya
mengetahui bagaimana kesejahteraan masyarakat dihubungkan dengan
jumlah penduduk Indonesia, apakah ada hubungannya dengan
permasalahan korupsi, hal ini sangat nampak dengan masih banyaknya
masyarakat yang tergolong miskin dan masih belum terpenuhinya
pembangunan sarana dan prasarana bagi masyarakat di Indonesia. Oleh
karena itu memperhatikan jumlah penduduk Indonesia yang pada tahun
2016 sudah mencapai 257,9 juta jiwa, tetapi memperhatikan Data Badan
Pusat Statistik pada September 2016 masyarakat miskin mencapai 27,76
juta1, artinya kemiskinan masih cukup tinggi, dan itu merupakan tingkat
kesejahteraan yang masih rendah. Sementara berdasarkan data yang ada
1https://ekbis.sindonews.com/read/1167769/33/jumlah-penduduk-miskin-di-
indonesia-turun-jadi-2776-juta-jiwa-1483422839.
5
pada Badan Pusat Statistik bahwa Indonesia tetap berada pada posisi
sebagai negara berpenduduk terbanyak setelah RRC, India dan Amerika
Serikat.
Apabila diperhatikan berdasarkan sensus penduduk tahun 2016
saja, maka diketahui bahwa jumlah penduduk Indonesia sudah mencapai
257,9 juta jiwa, dimana laju pertumbuhan penduduk (LPP) adalah 1,48 per
tahun, sekarang sudah tahun 2017, berarti jumlah penduduk Indonesia
telah bertambah lagi, kalau penulis hitung pertumbuhannya 1,48 pertahun,
maka setiap tahunnya akan terjadi pertumbuhan penduduk sekitar 3,5 juta
jiwa pertahun, sehingga pada tahun 2017 saja jumlah penduduk Indonesia
mencapai 260 juta jiwa. Jika kita sadar akan banyaknya jumlah penduduk
yang merupakan saudara kita semua, maka penulis berpikir, bagaimana
dengan kesejahteraannya, apakah bertambah sejahtera atau tidak atau
sebaliknya, kalau tidak maka apa saja yang dapat menghambat
kesejahteraan bahkan menyengsarakan masyarakat.
Mengenai hal ini menurut penulis bahwa salah satu masalah atau
penyebabnya adalah masih maraknya tindak pidana korupsi di Indonesia,
sehingga untuk mengatasinya harus mendapat penanganan secara
khusus maupun prioritas dan terencana dengan baik, karena tindak
pidana korupsi merupakan kejahatan yang sangat luar biasa (extra
ordinary crime) dan sangat mempengaruhi tingkat kesejahteraan di
masyarakat.
6
Kalau penulis perhatikan sebenarnya penanganan masalah korupsi
sudah sejak jaman penjajahan, jaman orde lama, jaman orde baru bahkan
jaman era reformasi inipun sudah dilakukan, tetapi tetap saja selalu ada
korupsi dan korupsi, sementara peraturan-peraturan sebenarnya sudah
banyak yang dikeluarkan untuk memerangi korupsi tersebut, lalu dimana
salahnya ? Jika korupsi tetap subur, maka berapa rakyat atau masyarakat
Indonesia yang akan terus sengsara dan tetap miskin, karena masih ada
saja korupsi bahkan merajalela tanpa menghiraukan larangan dan
hukuman yang akan dijatuhkan jika terbukti melakukan tindak pidana
korupsi. Memang untuk memberantas tindak pidana korupsi tidaklah
semudah yang dibayangkan, tetapi tidak boleh menyerah karena adanya
kesulitan-kesulitan dan hambatan-hambatan tersebut, justeru dengan
tantangan kesulitan, maka harus tetap focus dan semangat mencari
bentuk atau suatu tata cara yang tepat untuk melawan dan atau
memberantas korupsi, termasuk melakukan pencegahan.
Menurut catatan yang disampaikan oleh Jaksa Agung Muda Tindak
Pidana Khusus bahwa berdasarkan catatan perkara-perkara korupsi di
Indonesia hingga Agustus 2011 saja perkara korupsi yang sampai ke
Kejaksaan Agung Republik Indonesia mencapai 1.018 kasus2, dan kalau
dibagi propinsi-propinsi di Indonesia maka berapa kira-kira tiap propinsi
memberikan andil adanya tindak pidana korupsi walau tidak semua
2http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/11/09/12/lrevtp-perkara-
korupsi-di-indonesiamencapai-1018-kasus
7
propinsi terungkap ada tidaknya tindak pidana korupsi, dan kemudian
berapa kasus yang sudah diselesaikan ?
Sementara apabila kita perhatikan jumlah kasus korupsi di
Indonesia terus meningkat, dimana kasus korupsi yang telah diputus oleh
Mahkamah Agung dari tahun 2014-2015 sebanyak 803 kasus, jumlah ini
meningkat jauh dibanding tahun sebelumnya. Menurut hasil penelitian
Laboratorium Ilmu Ekonomi, Departemen Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi
dan Bisnis Universitas Gajah Mada mengungkap bahwa 803 kasus itu
menjerat 967 terdakwa korupsi. Jika dikalkulasi sejak tahun 2001 hingga
2015, kasus korupsi yang telah diputus Mahkamah Agung pada tingkat
kasasi maupun peninjauan kembali mencapai 2.321 kasus, dengan jumlah
koruptor yang dihukum pada periode tersebut adalah 3.109 terpidana3.
Kasus-kasus korupsi yang begitu banyak dan semakin meningkat
ini semua menjadi pertanyaan yang perlu jawaban secara benar agar
apabila mengalami kesulitan dapat dicari cara untuk memecahkan
permasalahan tersebut sebagai solusi yang tepat.
Terhadap upaya pemerintah Indonesia dalam melakukan upaya
pemberantasan tindak pidana korupsi jika penulis perhatikan
perjalanannya sebenarnya sudah sejak lama, yaitu sudah dimulai sejak
tahun 1957, yaitu :
- Peraturan Penguasa Militer tanggal 9 April 1957 Nomor :
Prt/PM/06/1957;
3http://news.liputas6.com/read/2477341/kasus-korupsi-di-indonesia-menggila.
8
- Peraturan Penguasa Militer tanggal 27 Mei 1957 Nomor :
Prt/PM/03/1957 ;
- Peraturan Penguasa Militer tanggal 1 Juli 1957 Nomor :
Prt./PM/011/1957;
Peraturan-peratutan tersebut lahir pada saat Orde Lama dan
disebut Peraturan Penguasa Perang Pusat, dan peraturan-peraturan
tersebut hanya berlaku sementara, karena Pemerintah Indonesia telah
menetapkan segera mengganti dengan bentuk undang-undang, dimana
hal tersebut didasarkan Pasal 90 ayat 1 UUDS 1950, kemudian terbit
Perpu Nomor 24 Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan dan
Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi.
Pada Era Orde Baru lahir pula Keppres Nomor 12 Tahun 1970
yang membentuk Tim Empat yang tugasnya adalah melakukan
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, akhirnya terbitlah Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi. Namun oleh karena tindak pidana korupsi ini di Indonesia tetap
saja subur, maka pada tahun 1977 Presiden Suharto mengeluarkan
Inpres Nomor 9 tahun 1977 yang dikenal dengan Tim Opstib (Operasi
Ketertiban), dimana Tim ini bergerak untuk menertibkan pungutan liar di
jalan-jalan, pelabuhan, di aparat kementerian dan daerah, tetapi korupsi
tetap saja terjadi, maka pada tahun 1982 Presiden Suharto menghidupkan
kembali Tim Pemberantasan Korupsi dengan mengganti personelnya.
9
Pada saat pemerintahan Soeharto berakhir dengan pengunduran
dirinya pada tahun 1998 dan korupsi tetap subur, maka MPR
mengeluarkan Penetapan Nomor : XI/MPR/1998 tentang
Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme. Kemudian pada tahun 1999 lahir Undang-Undang Nomor : 28
Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas
dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Pada tahun 1999 itu pula kemudian
lahir Undang-Undang Nomor : 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, yang kemudian telah diubah dan ditambah
dengan Undang-Undang Nomor: 20 tahun 2001, dimana undang-undang
ini merupakan cikal bakal lahirnya KPK, sehingga pada tahun 2002
lahirlah Undang-Undang Nomor : 30 tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK), dan inilah yang sampai
sekarang menjadi pedoman untuk melakukan pemberantasan tindak
pidana korupsi di Indonesia oleh KPK. Tetapi jika diperhatikan bahwa KPK
ini ada yang menilai ”kena virus” sehingga ada yang meminta dibubarkan
dan ada pula yang mengatakan harus tetap ada, karena korupsi masih
merajalela sehingga masih diperlukan adanya KPK. Namun saat ini KPK
dihadapkan serangan melalui jalur politik yang dilakukan oleh DPR
dengan Hak Angket KPK, walaupun apa yang dilakukan oleh DPR ini
mendapat penolakan dari masyarakat, LSM Anti Korupsi, Para Akademisi
dan Ahli Hukum Tata Negara.
10
Perkembangan yang dilakukan oleh Pemerintah telah pula
mewujudkan keseriusan dengan mendirikan Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi (Pengadilan TIPIKOR) di daerah-daerah, contohnya di Kalimantan
Timur yaitu di Samarinda telah ada Pengadilan Tipikor, demikian juga di
propinsi-propinsi lain telah ada Pengadilan Khusus Tipikor yang khusus
menyidangkan perkara-perkara Tindak Pidana Korupsi. Dalam hal ini
Mahkamah Agung (MA) secara resmi memiliki Pengadilan Tipikor di
setiap provinsi, Pengadilan Tipikor tingkat pertama berada di 33
Pengadilan Negeri (PN) dan tingkat banding berada di 30
Pengadilan Tinggi di seluruh Indonesia4. Pembentukkan Pengadilan
Tipikor itu merupakan pelaksanaan UU Nomor : 46 Tahun 2009
tentang Pengadilan Tipikor yang mengamanattkan pembentukan
Pengadilan Tipikor di seluruh Indonesia dalam waktu dua tahun.
Artinya pada akhir Oktober 2011 Mahkamah Agung RI harus sudah
membentuk 33 Pengadilan Tipikor.
Seiring dengan upaya-upaya pemberantasan korupsi, ternyata
masih ada wacana yang berkeinginan melemahkan bahkan ingin
membubarkan KPK, ini bisa jadi karena adanya kekecewaan masyarakat
atau merasa tidak suka dengan Pimpinan KPK atau orang-orang KPK,
namun ada juga kelompok-kelompok yang merasa risih dan khawatir
4http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4ea1fb6aaa9d4/jumlah-pengadilan-
tipikor-lengkap-33.
11
dengan gencarnya KPK melakukan penyelidikan-penyelidikan dan
penyidikan, dan kelompok-kelompok inilah yang berusaha ingin
melemahkan KPK. Hal ini dapat kita ketahui seperti keberatan beberapa
Anggota DPR yang namanya disebut-sebut menerima aliran dana dalam
Surat Dakwaan Penuntut Umum dalam kasus E-KTP, sehingga nampak
kurang suka dengan KPK, sehingga berupaya melemahkan kekuatan
KPK, bahkan dalam perjalanannya Komisioner KPK selalu diserang baik
secara pribadi maupun kinerjanya, padahal Para Komisioner KPK tersebut
adalah orang yang telah dinyatakan pantas dan lulus menjadi Komisioner
KPK untuk masa tertentu melalui proses perekrutan sesuai dengan
prosedur seleksi yang benar. Inilah tindakan-tindakan yang secara konkrit
tidak memberikan dukungan dalam upaya pemberantasan korupsi.
Tindakan-tindakan yang cenderung melemahkan KPK seharusnya
tidak perlu terjadi, karena menurut penulis jika tidak suka dengan
Pimpinan KPK atau orang-orang KPK, maka jangan bubarkan KPK-nya,
karena harusnya yang diusulkan diganti Pimpinan KPK atau orang-orang
KPK-nya tentunya dengan aturan yang benar, apalagi saat ini masih
sangat diperlukan suatu lembaga yang bertugas untuk melakukan
pemberantasan tindak pidana yang khusus itu. Jadi kalau penulis boleh
membuat istilah maka : ”Jangan untuk membunuh tikus, dengan
membakar rumahnya”, tapi gunakanlah alat penangkap tikus untuk
memberantasnya, artinya berikanlah dukungan agar semakin kuat dan
kokoh dalam melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi.
12
Bertolak dari penegakan hukum dalam tindak pidana korupsi di
Indonesia yang masih banyak menimbulkan kekecewaan di masyarakat,
karena masih adanya upaya pelemahan dan masih terlalu lemahnya
ketegasan penegak hukum untuk menerapkan hukuman bagi pelaku
tindak pidana korupsi serta masih adanya anggapan tebang pilih dan
membuat citra dalam penegakan tindak pidana korupsi, maka menurut
penulis perlu untuk mengambil contoh penegakan hukum di negara lain,
misalkan di China yang sampai saat ini menerapkan hukuman maksimal
bagi pelaku yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi serta
dukungan yang kuat, sehingga Negara China dinyatakan berhasil dalam
memberantas tindak pidana korupsi. Oleh karena itu tidak berlebihan
dalam memberantas tindak pidana korupsi, Indonesia sebaiknya
mencontoh atau belajar dari pemberantasan tindak pidana korupsi di
China, komitmen pemerintah China dalam memberantas korupsi menurut
penulis tidak diragukan lagi, karena tegas, bukan hanya slogan atau
retorika bahkan hanya sekedar pemanis bibir saja seperti yang terjadi di
Indonesia, di Indonesia aturannya dibuat tetapi tidak terlaksana secara
penuh, oleh karenanya yang paling baik adalah dibuktikan dengan
menghukum berat dengan memberikan hukuman mati atau hukuman
terberat lain sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang seperti
menghukum para pejabat di China yang terbukti melakukan korupsi.
China yang dulunya adalah negara teratas paling terkorup di dunia,
tapi kini bukan sebagai negara teratas lagi korupnya. Hal ini karena
13
komitmen dari Perdana Menteri China Zhu Rongji pada waktu itu yang
mengkampanyekan antikorupsi dengan memberlakukan hukuman berat
yaitu hukuman mati bagi para koruptor, dan menantang siapa pun rakyat
China untuk menembak dirinya di tempat apabila ia terbukti korupsi.
Slogan dan semangat ini di China mendapat dukungan baik pemerintah
maupun masyarakat, sehingga pemberantasan korupsi menguat bukan
melemahkan.
Secara nyata pada masa pemerintahan Perdana Menteri China Zhu
Rongji, membuat terobosan dengan mengatakan : “ To eradicate
corruption, I’ve prepared 100 coffins, 99 for corrupt officials and one for
myself, if I do the same”, atau dikenal dengan ungkapan 100 peti mati
untuk koruptor, sembilan puluh sembilan untuk para koruptor dan satu
untuk Zhu Rongji sendiri apabila dia terbukti melakukan tindak pidana
korupsi. Itulah kata-kata dari Perdana Menteri China Zhu Rongji pada saat
itu dalam pelantikannya 14 Maret 1998. Hingga saat ini di China sudah
ada beberapa para pejabat pemerintahnya yang tercatat dihukum mati
karena terbukti melakukan tindak pidana korupsi antara lain :
- Wakil Gubernur Provinsi Jiangxi, Hu Chang-ging.
- Deputi Walikota Leshan, Li Yushu.
Dua orang ini hanya segelentir dari orang-orang yang telah dihukum mati
karena korupsi.
Kemudian selanjutnya ada lagi 5 (lima) orang pejabat di China yang
telah dihukum mati, yaitu :
14
1. Pejabat Provinsi Jiangxi, Hu Chang-Qing.
Hu, terbukti menerima suap berupa mobil dan uang mencapai Rp 5
miliar. Selama menjabat dia pun terbukti ikut bermain-main dalam
proyek pemerintah. Vonis pengadilan berupa hukuman mati pun
diberikan kepadanya dan dieksekusi pada tahun 2000.
2. Pejabat Partai Komunis, Cheng Kejie.
Wakil Ketua Kongres Rakyat Nasional, Cheng Kejie dihukum mati. Dia
sudah meminta pengampunan kepada Presiden Zhu Rongji. Namun
upaya itu tak digubris, hukuman mati tetap dilaksanakan pada tahun
2000. Cheng terbukti menerima suap US$ 5 juta. Bukan hanya Cheng,
istrinya pun Li Ping dipenjara, dan Pengadilan juga menyita seluruh
harta kekayaan milik pasangan itu.
3. Pejabat Bank, Xiao Hongbo.
Xiao Hongbo, dihukum mati pada 2001, dimana pria berusia 37 tahun
yang bekerja sebagai manager cabang Bank Konstruksi China, salah
satu bank BUMN. Dia dihukum mati Pengadilan Sichuan pada 2001.
Dia dinilai telah merugikan bank itu senilai Rp 3,9 miliar. Xiao
menggunakan uang korupsi itu untuk membiayai 8 pacarnya dan dia
juga menggunakan uang itu untuk bergaya hidup mewah, kemudian dia
dihukum mati pada 2001. Saat itu, 8 pacarnya menangisi kepergian
bankir yang royal tersebut.
15
4. Wakil Walikota Hangzhou, Xu Maiyong.
Xu Maiyong divonis mati, dia dinyatakan bersalah oleh Mahkamah
Agung China karena telah terbukti menerima suap jutaan dollar. Vonis
mati atas dirinya jatuh pada 2011 lalu dan dieksekusi pada bulan Juli
2011. Vonis mati ini sebagai bukti bahwa pemerintah China berlaku
keras dan tegas atas pelaku korupsi. Xu yang berusia 52 tahun
disebutkan kerap melakukan intervensi dan bermain dalam proyek-
proyek di wilayahnya. Padahal Hangzhou merupakan kawasan di China
Timur yang tengah berkembang. Jadi banyak proyek pemerintah
dibangun di kota itu. Selain bermain dalam proyek, dia juga ikut
membantu pengurangan pajak. Dia terbukti menerima suap sinilai US$
22,4 juta.
5. Pejabat Kota Suzhou, Jiang Renjie.
Jiang Renjie merupakan mantan Wakil Wali Kota Suzhou pada Juli
2011, peluru eksekutor menembus tubuhnya pada saat dia ditembak
mati karena korupsi. Selaku pejabat negara dia dianggap lalai dan
melakukan perbuatan korupsi dengan menerima suap hingga puluhan
juta dollar. Pengadilan menilai Jiang terbukti menerima suap dari
perusahaan pengembang perumahan. Dalam usianya yang sudah 62
tahun, selain penyuapan dia juga dinilai terbukti melakukan
penggelapan dan penyalahgunaan kekuasaan5.
5http://news.detik.com/berita/2022262/5-pejabat-koruptor-yang-dihukum-mati-di-
china/3
16
Itulah beberapa contoh pejabat pemerintah di China yang terbukti
melakukan tindak pidana korupsi dan kemudian dijatuhi hukuman
maksimal berupa hukuman mati oleh Pengadilan di China dan dilakukan
eksekusi atas putusan tersebut, dan masih banyak lagi yang juga dijatuhi
hukuman mati karena terbukti melakukan tindak pidana korupsi.
Memperhatikan penerapan hukuman maksimal dalam perkara
tindak pidana korupsi di China dapat diterapkan, sehingga penulis patut
bertanya mengapa China dapat menerapkan dengan baik penjatuhan
pidana mati bagi koruptor yang merupakan hukuman maksimal dalam
undang-undangnya, sedangkan di Indonesia belum pernah diterapkan
meskipun aturannya sudah ada, yaitu dalam pasal 2 ayat (2) Undang-
Undang Nomor : 31 Tahun 1999, bahkan walaupun berdasarkan putusan
pengadilan yang menyatakan terbukti melakukan tindak pidana korupsi,
tetapi belum ada yang dijatuhi hukuman maksimal berupa penjara seumur
hidup sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Menurut penulis kenapa harus melakukan perbandingan
penegakan hukum tindak pidana korupsi di Indonesia dengan China. Hal
ini karena memperhatikan bahwa China yang dahulunya sebagai negara
terkorup di dunia, sekarang terbukti berhasil dalam pemberantasan tindak
pidana korupsi, sehingga China tidak lagi sebagai negara terkorup di
17
dunia, melainkan telah menunjukkan keberhasilannya dalam melakukan
pemberantasan tindak pidana korupsi. Sementara Indonesia juga telah
giat untuk melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi sejak lama,
namun masih sebagai negara yang masih banyak terjadi tindak pidana
korupsinya. Dalam membandingkan tersebut tentu tidak hanya sekedar
memperbandingkan begitu saja, karena tentu ada hal-hal yang dapat
diteliti dan diketahui apa saja yang menjadikan keberhasilan China dalam
penegakan hukum tindak pidana korupsi tersebut.
Mengingat dan memperhatikan hal tersebut, penulis merasa
terpanggil untuk mengajukan sebuah penulisan hukum untuk memberikan
pencerahan dalam dunia penegakan hukum dan akademik mengenai
pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia agar penegakan
hukum tersebut benar-benar sesuai dengan rasa keadilan di masyarakat,
karena khusus mengenai tindak pidana korupsi adalah merupakan
kejahatan yang sangat luar biasa, sehingga tidak ada salahnya
penanganannya harus dilakukan secara luar biasa dan tegas.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, penulis
merumuskan masalah yang akan dikaji dalam penulisan ini adalah
sebagai berikut:
1. Apakah sanksi pidana yang dijatuhkan terhadap pelaku tindak
pidana korupsi di Indonesia mempunyai pengaruh yang signifikan
terhadap pelaku tindak pidana korupsi ?
18
2. Sejauhmana perbedaan penghukuman pelaku tindak pidana
korupsi di Indonesia dengan China ?
3. Konsep penegakan hukum apa yang diterapkan di China atas
tindak pidana korupsi yang dapat diterapkan di Indonesia ?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui dan menjelaskan sanksi pidana yang dijatuhkan
terhadap pelaku tindak pidana korupsi di Indonesia mempunyai
pengaruh yang signifikan terhadap menurunnya angka kriminalitas
tindak pidana korupsi.
2. Untuk mengetahui dan menjelaskan perbedaan penghukuman
pelaku tindak pidana korupsi di Indonesia dengan China.
3. Untuk mengetahui dan menjelaskan konsep penegakan hukum apa
yang diterapkan di China atas tindak pidana korupsi yang dapat
diterapkan di Indonesia.
D. Kegunaan Penelitian
Hasil penulisan ini diharapkan dapat menghasilkan 3 (tiga) aspek
kegunaan yakni dari aspek teoritis, aspek praktis dan aspek filosofis :
1. Aspek Teoritis untuk memperkaya referensi dan sebagai
sumbangan pemikiran dalam pengembangan ilmu hukum,
khususnya ilmu hukum pidana khusus, sehingga dapat dijadikan
landasan pemikiran dan penataan hukum pidana khusus, karena
sampai saat ini belum ada tindak pidana korupsi yang dihukum
dengan hukuman maksimal.
19
2. Aspek Praktis untuk memberikan kontribusi atas permasalahan-
permasalahan yang timbul dalam penegakan pemberantasan
tindak pidana korupsi di Indonesia saat ini dan akan datang,
sehingga diharapkan dapat menjamin tercapainya tujuan
pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia yang efektif dan
memberikan rasa keadilan bagi masyarakat.
3. Aspek Filosofis untuk dijadikan sebagai masukan bagi pemerintah
dan atau pembuat undang-undang serta penegak hukum yang
bertanggungjawab terhadap penegakan hukum dalam
pemberantasan tindak pidana korupsi yang berkeadilan di
Indonesia, sehingga dapat memberikan manfaat yang bermuara
pada penegakan hukum dengan jujur, benar dan transparan yang
kemudian akan menghasilkan pemerintahan yang bersih dan
kesejahteraan bagi masyarakat pada umumnya.
E. Orisinalitas Penelitian
Setelah melakukan penelusuran mengenai penulisan yang
berkaitan dengan Perbandingan Penegakan Hukum Tindak Pidana
Korupsi di Indonesia dengan China, penulis menemukan beberapa
penulisan mengenai perbandingan tindak pidana korupsi yang dilakukan
oleh :
1. I.G.N Nurdjana (Universitas Islam Indonesia), dengan judul
Problematika Sistim Hukum Pidana dan Implikasinya pada
Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi. Dalam penulisannya
20
I.G.N. Nurdjana ingin mengetahui apa yang menjadi problematika
hukum pada sisitem hukum pidana dalam penegakan hukum
terhadap tindak pidana korupsi di Indonesia. Selain itu juga ingin
mengetahui bagaimana implikasi berbagai sistem hokum yang
berlaku saat ini terhadap sistem hukum pidana khususnya dalam
upaya penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi di
Indonesia. Sedangkan dalam penulisan disertasi ini, fokus
penulisannya adalah perbandingan penegakan hukum tindak
pidana korupsi di Indonesia dengan China untuk menemukan
sanksi pidana yang efektif untuk mengurangi angka kriminalitas
tindak Pidana korupsi di Indonesia.
2. Yudi Wibowo Sukinto, (Universitas Brawijaya), dengan judul
Kebijakan Formulasi Sanksi Pidana Dalam Tindak Pidana
Penyelundupan di Indonesia. Dalam penulisannya menitik beratkan
sanksi terhadap pelaku tindak pidana penyelundupan, dan
mengenai Undang-undang kepabeanan yang merupakan warisan
Belanda, karena setiap terjadi penyelundupan selalu terjadi
kerugian negara, sehingga Yudi Wibowo Sukinto merumuskan
masalah bagaimana formulasi sanksi pidana dalam penyelundupan
dan bagaimana formulasi pertanggungjawaban tindak pidana
penyelundupan yang selalu menimbulkan kerugian negara.
Sedangkan dalam penulisan disertasi ini, focus kajiannya adalah
perbandingan penegakan hukum indak pidana korupsi di
21
Indonesiaa dengan China dan prediksi tentang sanksi pidana yang
efektif diterapkan di Indonesia untuk menanggulangi Tindak Pidana
Korupsi.
22
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Penegakan Hukum
Pembahasan mengenai penegakan hukum dikemukakan oleh Jimly
Asshiddiqie sebagai berikut :6
Penegakan hukum merupakan pusat dari seluruh “aktivitas kehidupan” hukum yang dimulai dari perencanaan hukum, pembentukan hukum, penegakan hukum dan evaluasi hukum. Penegakan hukum pada hakikatnya merupakan interaksi antara berbagai perilaku manusia yang mewakili kepentingan-kepentingan yang berbeda dalam bingkai aturan yang telah disepakati bersama. Oleh karena itu, penegakan hukum tidak dapat semata-mata dianggap sebagai proses menerapkan hukum sebagaimana pendapat kaum legalistik. Namun proses penegakan hukum mempunyai dimensi yang lebih luas daripada pendapat tersebut, karena dalam penegakan hukum akan melibatkan dimensi perilaku manusia. Dengan pemahaman tersebut maka kita dapat mengetahui bahwa problem-problem hukum yang akan selalu menonjol adalah problema “law in action” bukan pada “law in the books.
Memperhatikan pandangan tersebut di atas nampak menunjukkan
bahwa penegakan hukum merupakan suatu proses yang tidak semata-
mata hanya berada dalam dimensi normatif tetapi juga memiliki dimensi
lain yaitu sosiologis.
Jimly Asshiddiqie7 mengemukakan pula bahwa :
Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalulintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
6Wahyudi Kumoro, 2010, Etika Administrasi Negara, Rajawali Press : Jakarta,
Hlmn. 56 7Jimly Assiddhiqie. 2000. Penegakan Hukum Di Indonesia, Mappi : Jakarta. Hlm.
43
23
Dalam pengertian lain penegakan hukum merupakan upaya yang dilakukan untuk menjadikan hukum, baik dalam artian formil yang sempit maupun dalam arti materil yang luas, sebagai pedoman perilaku dalam setiap perbuatan hukum, baik oleh para subjek hukum yang bersangkutan maupun oleh aparatur penegakan hukum yang resmi diberi tugas dan kewenangan oleh Undang-undang untuk menjamin berfungsinya norma-norma hukum yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Demikian juga dengan pandangan di atas, maka menunjukkan
bahwa penegakan hukum membutuhkan pengaturan sebagai pedoman
bagi perilaku dan pedoman bagi mereka yang diberikan kewenangan oleh
undang-undang dalam melakukan penegakan hukum, sehingga secara
formal ada aturan yang mengaturnya dan dapat dipertangungjawabkan
atas pelaksanaan aturan tersebut.
Selanjutnya, Jimly Asshiddiqie8 mengemukakan bahwa :
Ditinjau dari sudut subjeknya, penegakan hukum itu dapat dilakukan oleh subjek yang luas dan dapat pula diartikan sebagai upaya penegakan hukum oleh subjek dalam arti yang terbatas atau sempit. Dalam arti luas, proses penegakan hukum itu melibatkan semua subjek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja yang menjalankan aturan normatif atau melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan dari pada norma aturan hukum yang berlaku, berarti dia menjalankan atau menegakkan aturan hukum. Dalam arti sempit, dari segi subjeknya itu, penegakan hukum itu hanya diartikan sebagai upaya aparatur penegakan hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan bahwa suatu aturan hukum berjalan sebagaimana seharusnya. Dalam memastikan tegaknya hukum itu, apabila diperlukan, aparatur penegak hukum itu diperkenankan untuk menggunakan daya paksa. Pengertian penegakan hukum itu dapat pula ditinjau dari sudut objeknya, yaitu dari segi hukumnya. Dalam hal ini, pengertiannya juga mencakup makna yang luas dan sempit. Dalam arti luas, penegakan hukum itu mencakup pula nilai-nilai keadilan yang terkandung di dalamnya bunyi aturan formal maupun nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat.9
8 Ibid.
9 Ibid. Hlm. 44
24
Memperhatikan pada pandangan di atas, ini menunjukkan bahwa
penegakan hukum memiliki 2 (dua) definisi yaitu penegakan hukum dalam
arti yang luas dan penegakan hukum dalam arti yang sempit. Penegakan
hukum dalam arti luas mencakup norma-norma selain norma hukum serta
mencakup upaya-upaya pencegahan terhadap pelanggaran, sedangkan
penegakan hukum dalam arti sempit, hanya menyangkut penegakan
peraturan yang formal dan tertulis saja, artinya penegakan hukum yang
dilakukan secara jelas telah ada pengaturannya dalam suatu ketentuan
yang telah disusun.
Penyebutan penegakan hukum ada yang menyebut dengan
perkataan “law enforcement”, sedangkan penerjemahan perkataan ”law
enforcement” ke dalam bahasa Indonesia dalam menggunakan perkataan
“penegakan hukum” dalam arti luas dan dapat pula digunakan istilah
“penegakan peraturan” dalam arti sempit. Pembedaan antara formalitas
aturan hukum yang tertulis dengan cakupan nilai keadilan yang
dikandungnya ini bahkan juga timbul dalam bahasa Inggris sendiri dengan
dikembangkannya istilah “the rule of law” versus “the rule of just law” atau
dalam istilah “the rule of law and not of man” versus istilah “the rule by
law” yang berarti “the rule of man by law”. Istilah “the rule of law”
mengandung makna pemerintahan oleh hukum, tetapi bukan dalam
artinya yang formal, melainkan mencakup pula nilai-nilai keadilan yang
terkandung di dalamnya. Oleh karena itu, digunakan istilah “the rule of
just law”. Dalam istilah “the rule of law and not of man” dimaksudkan untuk
25
menegaskan bahwa pada hakikatnya pemerintahan suatu negara hukum
modern itu dilakukan oleh hukum, bukan oleh orang. Istilah sebaliknya
adalah “the rule by law” yang dimaksudkan sebagai pemerintahan oleh
orang yang menggunakan hukum sekedar sebagai alat kekuasaan
belaka.10
Pandangan di atas menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan
penegakan hukum itu kurang lebih merupakan upaya yang dilakukan
untuk menjadikan hukum, baik dalam arti formil yang sempit maupun
dalam arti materil yang luas, sebagai pedoman perilaku dalam setiap
perbuatan hukum, baik oleh para subjek hukum yang bersangkutan
maupun oleh aparatur penegakan hukum yang resmi diberi tugas dan
kewenangan oleh Undang-undang untuk menjamin berfungsinya norma-
norma hukum yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat dan
bernegara. Pembahasan penegakan hukum dapat ditentukan sendiri
batas-batasnya baik membahas keseluruhan aspek dan dimensi
penegakan hukum itu, baik dari segi subjeknya maupun objeknya atau
hanya membahas hal-hal tertentu saja, misalnya hanya menelaah aspek-
aspek subjektif saja.
Pengertian penegakan hukum berbeda dengan penegakan
keadilan. Penegakan hukum dapat dikaitkan dengan pengertian “law
enfocement” dalam arti sempit, sedangkan penegakan hukum dalam arti
hukum materil, diistilahkan dengan penegakan keadilan. Dalam bahasa
10
Ibid.
26
Inggris juga terkadang dibedakan antara konsepsi “court of law” dalam arti
pengadilan hukum dan “court of justice” atau pengadilan keadilan. Bahkan
dengan semangat yang sama pula, Mahkamah Agung di Amerika serikat
disebut dengan istilah “Supreme Court of Justice”11
Selanjutnya menurut Soerjono Soekanto12 terdapat lima faktor yang
sangat mempengaruhi penegakan hukum, kelima faktor tersebut saling
berkaitan erat, sehingga merupakan esensi dari penegakan hukum, dan
merupakan tolak ukur dari efektivitas penegakan hukum. Kelima faktor
tersebut, adalah :
a) Faktor hukumnya sendiri, terutama undang-undang.
b) Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk dan
menerapkan hukum.
c) Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.
d) Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku
atau diterapkan.
e) Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya cipta dan rasa yang di
dasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
Uraian diatas menunjukkan bahwa faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi pelaksanaan atau penegakan hukum, cukup banyak dan
bervariasi, namun peneliti berpendapat bahwa faktor manusia yang
menjalankan penegakan hukum itu sangat dominan untuk menentukan
11
Djarot M. Subroto. 2001. Peran Polisi dalam Pembangunan. Sinar Persada : Jakarta. Hlm. 63
12Soerjono Soekanto. 1993. Beberapa Catatan Tentang Psikologi Hukum. Citra
Aditya Bhakti : Bandung. Hlm. 5-6
27
apakah penegakan hukum (pelayan penegakan hukum) itu berhasil atau
tidak, sehingga orang yang menjalankan penegakan hukum mempunyai
peran yang penting untuk menentukan kerhasilannya.
Menurut Lawrence Meir Friedman13 berhasil atau tidaknya
Penegakan hukum bergantung pada 3 (tiga) hal, yaitu :
1. Substansi Hukum.
Dalam teori Lawrence Meir Friedman hal ini disebut sebagai sistem
substansial yang menentukan bisa atau tidaknya hukum itu
dilaksanakan. Substansi juga berarti produk yang dihasilkan oleh orang
yang berada dalam sistem hukum yang mencakup keputusan yang
mereka keluarkan, aturan baru yang mereka susun. Substansi juga
mencakup hukum yang hidup (living law), bukan hanya aturan yang ada
dalam kitab undang-undang (law books).
Sebagai negara yang masih menganut sistem Civil Law Sistem atau
Sistem Eropa Kontinental (meski sebagian peraturan perundang-
undangan juga telah menganut Common Law Sistem atau Anglo
Saxon) dikatakan hukum adalah peraturan-peraturan yang tertulis,
sedangkan peraturan-peraturan yang tidak tertulis bukan dinyatakan
hukum. Sistem ini mempengaruhi sistem hukum di Indonesia. Salah
satu pengaruhnya adalah adanya asas Legalitas dalam KUHP. Dalam
Pasal 1 KUHP ditentukan bahwa “tidak ada suatu perbuatan pidana
13
Friedman L, 1993, Teori dan Filsafat Hukum Telaah Kritis Atasi Teori-Teori Hukum (Susunan I), JudulAsli Legal Theory, Penerjemah Mohammad Arifin, PT Raja GrafindoPersada, Cetakan Kedua, Jakarta.
28
yang dapat di hukum jika tidak ada aturan yang mengaturnya”.
Sehingga bisa atau tidaknya suatu perbuatan dikenakan sanksi hukum
apabila perbuatan tersebut telah mendapatkan pengaturannya dalam
peraturan perundang-undangan. Aturan ini berlaku secara umum dalam
melaksanakan tindak pidana umum berdasarkan KUHP.
2. Struktur Hukum.
Dalam teori Lawrence Meir Friedman hal ini disebut sebagai sistem
Struktural yang menentukan bisa atau tidaknya hukum itu dilaksanakan
dengan baik. Struktur hukum berdasarkan Undang-Undang Nomor : 8
Tahun1981 meliputi mulai dari Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan
Badan Pelaksana Pidana (lapas). Kewenangan lembaga penegak
hukum dijamin oleh undang-undang. Sehingga dalam melaksanakan
tugas dan tanggungjawabnya terlepas dari pengaruh kekuasaan
pemerintah dan pengaruh-pengaruh lain. Terdapat adagium yang
menyatakan ”fiat justitia et pereat mundus”, meskipun dunia ini runtuh
hukum harus ditegakkan. Hukum tidak dapat berjalan atau tegak bila
tidak ada aparat penegak hukum yang kredibilitas, kompeten dan
independen. Karena seberapa bagusnya suatu peraturan perundang-
undangan bila tidak didukung dengan aparat penegak hukum yang
baik, maka keadilan hanya angan-angan. Lemahnya mentalitas aparat
penegak hukum mengakibatkan penegakkan hukum tidak berjalan
sebagaimana mestinya. Banyak faktor yang mempengaruhi lemahnya
mentalitas aparat penegak hukum, diantaranya lemahnya pemahaman
29
agama, ekonomi, proses rekruitmen yang tidak transparan dan lain
sebagainya. Sehingga dapat dipertegas bahwa factor penegak hukum
memainkan peranan penting dalam memfungsikan hukum. Kalau
peraturan sudah baik, tetapi kualitas penegak hukum rendah maka
akan ada masalah. Demikian juga, apabila peraturannya buruk
sedangkan kualitas penegak hukum baik, kemungkinan munculnya
masalah masih terbuka.
3. Budaya Hukum.
Budaya Hukum/kultur hukum menurut Lawrence Meir Friedman
(2001:8) adalah sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum
kepercayaan, nilai, pemikiran, serta harapannya. Kultur hukum adalah
suasana pemikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan
bagaimana hukum digunakan, dihindari, atau disalahgunakan. Budaya
hukum erat kaitannya dengan kesadaran hukum masyarakat. Semakin
tinggi kesadaran hukum masyarakat maka akan tercipta budaya hukum
yang baik dan dapat merubah pola piker masyarakat mengenai hukum
selama ini. Secara sederhana, tingkat kepatuhan masyarakat terhadap
hukum merupakan salah satu indikator berfungsinya hukum.
B. Tindak Pidana Korupsi
1. Konsepsi Korupsi
Istilah korupsi menurut Fockema Andreae berasal dari bahasa Latin
yaitu Corruptio atau corruptus dan disebutkan pula bahwa kata corruptio
itu berasal dari kata Corrumpere, yaitu suatu kata Latin yang lebih tua.
30
Dari kata Latin itulah kemudian menyebar ke Eropa seperti Inggris, yang
kemudian dalam bahasa Inggris disebut corruption, corrupt, dan bahasa
Belanda disebut corruptie, kemudian bahasa Indonesia corruptie tersebut
menjadi kata ”korupsi” yang berarti penyuapan dan atau
penyelewengan14.
Memperhatikan dalam Ensiklopedia Indonesia ”Korupsi” diartikan
sebagai gejala dimana para pejabat, badan-badan Negara
menyalahgunakan wewenang dengan terjadinya penyuapan, pemalsuan
serta ketidakberesan lainnya. Kemudian arti kata korupsi yang telah
diterima dalam perbendaharaan kata bahasa Indonesia disimpulkan oleh
Poerwadarminta dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, Korupsi ialah
perbuatan yang buruk seperti pengertian penggelapan uang, penerimaan
uang sogok dan sebagainya (W.J.S. Poerwadarminta : 1976)15.
Sedangkan secara harfiah korupsi merupakan sesuatu yang busuk, jahat,
dan merusak, tidak jujur, dapat disuap, tidak bermoral, menyimpang.
Ketika membicarakan dan membahas tentang korupsi memang
akan menemukan kenyataan semacam itu, karena korupsi menyangkut
segi-segi moral, sifat dan keadaan yang busuk, jabatan dalam instansi
atau aparatur pemerintah, penyelewengan kekuasaan dalam jabatan
karena pemberian, faktor ekonomi dan politik, serta penempatan keluarga
atau golongan ke dalam kedinasan dibawah kekuasaan jabatannya.
14
Syech Husein Alatas, 1980, Sosiologi Korupsi, Sebuah Penjelajahan Dengan Data Kontemporer,IP3ES, Jakarta.
15W.J.S Poerwadarminta, 1976, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka,
Bandung.
31
Sehingga dengan demikian, secara harfiah dapat ditarik kesimpulan
bahwa sesungguhnya istilah korupsi memiliki arti yang sangat luas.
1. Korupsi adalah penyelewengan atau penggelapan (uang Negara atau
perusahaan dan sebagainya) untuk kepentingan pribadi dan orang lain.
2. Korupsi adalah busuk, rusak, suka memakai barang atau uang yang
dipercayakan kepadanya, dapat disogok (melalui kekuasaannya untuk
kepentingan pribadi). (Evi Hartanti, 2005 : 8-9)16.
Baharuddin Lopa dalam (Evie Hartanti, Tindak Pidana Korupsi,
2005 :9)17 mengutip pendapat dari David M. Chalmers, menggunakan arti
istilah korupsi dalam berbagai bidang, yakni menyangkut masalah
penyuapan, yang berhubungan dengan manipulasi di bidang ekonomi,
dan yang menyangkut bidang kepentingan umum. Kesimpulan ini diambil
dari defenisi yang dikemukakan antara lain berbunyi, financial
manipulations and deliction injurious to the economy are often labeled
corrupt (manipulasi dan keputusan mengenai keuangan yang
membahayakan perekonomian sering dikatagorikan perbuatan korupsi).
Selanjutnya menjelaskan the is often applied also to misjudgements by
officials in the public economies (istilah ini sering juga digunakan terhadap
kesalahan ketetapan oleh pejabat yang menyangkut bidang perekonomian
umum). Dikatakan pula, disguised payment in the form of gifts, legal fees,
employment, favors to relatives, social influence, or any relationship that
16
Evi Hartanti, Februari 2005, Tindak Pidana Korupsi, Edisi Kedua, halaman 8-9, Sinar Grafika, Semarang.
17Baharuddin Lopa dalam (Evie Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, 2005 : 9),
Tindak Pidana Korupsi, Edisi Kedua, Sinar Grafika, Semarang.
32
sacrifices the public and welfare, with or without the implied payment of
money, is usually considered corrupt (pembayaran terselubung dalam
bentuk pemberian hadiah, ongkos administrasi, pelayanan, pemberian
hadiah kepada sanak keluarga, pengaruh kedudukan sosial, atau
hubungan apa saja yang merugikan kepentingan dan kesejahteraan
umum, dengan atau tanpa pembayaran uang, biasanya dianggap sebagai
perbuatan korupsi). Ia menguraikan pula bentuk korupsi yang lain, yang
diistilahkan political corruption (korupsi politik) adalah electoral corruption
includes purchase of vote whith money, promises of office or special
favors, coercion, intimidation, and interference with administrative of
judicial decision, or governmental appointment (korupsi pada penulisan
umum, termasuk memperoleh suara dengan uang, janji dengan jabatan
atau hadiah khusus, paksaan, intimidasi, dan campur tangan terhadap
kebebasan memilih. Korupsi dalam jabatan melibatkan penjualan suara
dalam legislatif, keputusan administrasi atau keputusan yang menyangkut
pemerintahan).
Andi Hamzah, yang dikutif oleh Evi Hartanti (2005 ; 17)18
memberikan pendapat bahwa : Delik korupsi Pasal 1 ayat (1) sub a
Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi urutannya
sebagai berikut:
a. Melawan hukum.
b. Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan.
18
Andi Hamzah dalam (Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, 2005 : 17), Tindak Pidana Korupsi, Edisi Kedua, Sinar Grafika, Semarang.
33
c. Yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan
negara dan perekonomian negara, atau diketahui atau patut disangka
olehnya bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara. Jadi untuk menyusun dakwaan, tidak perlu
dimulai dengan melawan hukum. Dalam hukum pidana sering delik itu
dibagi dua, yaitu perbuatan dan pertanggungjawaban. Pada perumusan
delik atas perbuatan adalah ”memperkaya diri sendiri dan seterusnya”
dan akibatnya adalah ”kerugian negara dan seterusnya”, disusul
dengan ”melawan hukum” yang dapat diartikan dalam delik ini sebagai
“tanpa hak untuk menikmati hasil korupsi” tersebut selaras dengan
putusan HR tanggal 30 Januari 1911, yang mengartikan “melawan
hukum” itu “tidak mempunyai hak untuk menikmati keuntungan” itu
dalam delik penipuan (Pasal 378 KUHP).
Selo Soemardjan19 dalam (Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi,
2005 : 19), Tindak Pidana Korupsi, Edisi Kedua, Sinar Grafika, Semarang.
memberikan pengertian bahwa korupsi, kolusi dan nepotisme adalah
dalam satu napas karena ketiganya melanggar kaidah kejujuran dan
norma hukum. Adapun faktor-faktor sosial pendukung KKN adalah
sebagai berikut :
a. Desintegrasi (anomie) sosial karena perubahan sosial terlalu cepat
sejak revolusi nasional, dan melemahnya batas milik negara dan milik
pribadi.
19
Selo Sumarjan, dalam (Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, 2005 : 19), Edisi Kedua, Sinar Grafika, Semarang.
34
b. Fokus budaya bergeser, nilai utama orientasi sosial beralih menjadi
orientasi harta. Kaya tanpa harta menjadi kaya dengan harta.
c. Pembangunan ekonomi menjadi panglima pembangunan bukan
pembangunan sosial atau budaya.
d. Penyalahgunaan kekuasaan negara sebagai short cut mengumpulkan
harta.
e. Paternalisme, korupsi tingkat tinggi, menurun, menyebar, meresap
dalam kehidupan masyarakat. Bodoh kalua tidak menggunakan
kesempatan menjadi kaya.
f. Pranata-pranata sosial kontrol tidak efektif lagi.
Sedangkan secara yuridis formal bahwa pengertian Tindak Pidana
Korupsi terdapat dalam :
- Bab II tentang Tindak Pidana Korupsi Pasal 2 sampai dengan Pasal 20,
Undang-Undang Nomor : 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.
- Bab III tentang Tindak Pidana Lain yang berkaitan dengan Tindak
Pidana Korupsi Pasal 21 sampai dengan pasal 24 Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 tahun 1999
tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi,
Kolusi dan Nepotisme, Pasal 1 menjelaskan bahwa tindak pidana korupsi
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
35
yang mengatur tentang tindak pidana korupsi. Jadi perundang-undangan
Republik Indonesia mendefenisikan korupsi sebagai salah satu tindak
pidana yang dapat di hukum.
Menurut Mubyarto20 penggiat ekonomi Pancasila, dalam artikelnya
menjelaskan tentang korupsi, bahwa salah satu masalah besar berkaitan
dengan keadilan adalah korupsi, yang kemudian kita lunakkan menjadi
”KKN”. Perubahan nama dari korupsi menjadi KKN ini barangkali
beralasan karena praktik korupsi memang terkait koneksi dan nepotisme.
Tetapi tidak dapat disangkal bahwa dampak “penggantian”ini tidak baik
karena KKN ternyata dengan kata tersebut praktek korupsi lebih mudah
ditoleransi dibandingkan dengan penggunaan kata korupsi secara
gamblang dan jelas, tanpa tambahan kolusi dan nepotisme.
Dalam buku berjudul Corrupt Cities, A Proctica! Guide to Cure and
Prevention, oleh Robert Klitgaard, Ronald Maclean Abaroa dan H. Lindsey
Parris21, dari Institute for Contemporary Studies Oakland, California, Word
Bank Institute, USA tahun 2000, yang kemudian diterjemahkan atas izin
Robert Klitgaard dan diterbitkan pertama kali dalam bahasa Indonesia
oleh Yayasan Obor Indonesia pada bulan Maret 2002, disebutkan bahwa
definisi korupsi banyak sekali. Dalam arti luas, korupsi berarti
menggunakan jabatan untuk keuntungan pribadi, orang lain atau
korporasi. Jabatan adalah kedudukan kepercayaan, seseorang diberi
20
Mubyarto, Penggiat Ekonomi Pancasila, dalam artikelnya menjelaskan tentang korupsi.
21Robert Klitgaard, Ronald Maclean Abaroa dan H. Lindsey Parris, 2000,
Corrupt Cities, A Proctica! Guide to Cure and Prevention,Institute for Contemporary Studies Oakland, California, Word Bank Institute, USA.
36
wewenang atau kekuasaan untuk bertindak atas nama lembaga. Lembaga
itu bisa lembaga swasta, lembaga pemerintah, atau lembaga nirlaba.
Korupsi berarti memungut uang bagi layanan yang sudah seharusnya
diberikan, atau menggunakan wewenang untuk mencapai tujuan yang
tidak sah. Korupsi adalah tidak melaksanakan tugas karena lalai atau
sengaja. Korupsi bisa mencakup kegiatan yang sah dan tidak sah. Korupsi
dapat terjadi di dalam tubuh organisasi (misalnya, penggelapan uang)
atau di luar organisasi (misalnya, pemerasan).
Korupsi kadang-kadang dapat membawa dampak positif di bidang
sosial, namun pada umumnya korupsi menimbulkan inefisiensi,
ketidakadilan, dan ketimpangan.
2. Sejarah Korupsi di Indonesia
a. Korupsi di Masa Pemerintahan Hindia Belanda
Dalam bukunya yang berjudul “Politik, Korupsi, dan Budaya”,
Ong Hok Ham menyatakan bahwa korupsi telah merasuk dan menjadi
kenyataan hidup bangsa Indonesia. Korupsi sudah menjadi budaya
bangsa Indonesia jauh sebelum Indonesia merdeka, yaitu sejak jaman
penjajahan Belanda. Ini dapat ditelusuri dari munculnya terminologi
(istilah) “katabelece” sebagai salah satu modus operandi korupsi.
“katabelece sendiri berasal dari bahasa Belanda yang berarti Surat
Sakti. Gunanya untuk mempengaruhi kebijakan / keputusan untuk
kepentingan atau tindakan yang sifatnya menguntungkan pribadi atau
kelompok” (Thamrin, 2000).
37
Pernyataan Ong Hok Ham tersebut cukup memberi penegasan
bahwa membudayanya korupsi dikalangan masyarakat saat
pendudukan dan pengaruh VOC ternyata berlanjut hingga VOC itu
sendiri hengkang dari bumi Nusantara. Karena itu ketika Belanda
menjajah Indonesia, korupsi yang sudah membudaya di kalangan
masyarakat itu sulit diberantas. Hal ini seperti yang dkemukakan oleh
M. Husni Thamrin sebagai berikut:
Persoalan korupsi ini tidak berarti tuntas tatkala VOC digantikan
oleh pemerintah Hindia Belanda. Sistem birokrasi Hindia Belanda yang
mengenal dua sistem, Bestuurs Beambten (BB) dan Pangreh Praja,
memicu tindakan korupsi dalam bentuk yang lain. Pada masa Tanam
Paksa, 1830 – 1870, penduduk pribumi diwajibkan untuk menanam
beberapa jenis tanaman yang laku di pasar-pasar Eropa. Menurut
peraturan petani diharuskan untuk menanami 1/3 bagian dari tanahnya
bagi tanaman wajib tersebut. Umumnya tanaman tersebut berusia
tahunan seperti kopi, teh atau nila. Berdasarkan peraturan harus
mengubah 1/3 bagian dari sawah-sawah produktif mereka guna
tanaman tersebut dan meluangkan 1/3 waktu mereka untuk mengawasi
tanaman tersebut. Akan tetapi dalam prakteknya Kepala Desa,
Demang, Wedana, atau Bupati yang bertanggung jawab atas tanam
paksa tersebut justru memaksa petani untuk menanami 2/3 bagian dari
tanahnya untuk tanaman wajib. Keuntungan yang didapat sudah
barang tentu masuk dalam kantung pribadi para pejabat tersebut.
38
Sementara itu residen-residen dan pengawas (controluer) Hindia
Belanda mendiamkan saja praktek tersebut karena mendapat baian
yang tidak sedikit. Tidaklah menjadi heran bila pada masa tanam paksa
wabah penyakit dan kelaparan melanda penduduk pedesaan, terutama
di Pulau Jawa, karena di dalam prakteknya mereka lebih banyak
menghabiskan waktunya untuk mengawasi tanaman tahunan yang
diwajibkan dan tak memiliki waktu lagi untuk sawah-sawah mereka.
Belum lagi 1/3 bagian yang dapat mereka tanami untuk padi, tak
mencukupi kebutuhan keluarga mereka dalam setahun (Thamrin,2000).
Pergantian era dari VOC ke era Pemerintahan Hindia Belanda
tidak menjadikan wilayah Nusantara terbebas dari praktek dan budaya
korupsi. Meskipun upaya pemberantasan korupsi dilakukan, tetapi
korupsi tetap saja terjadi, bahkan faktanya korupsi semakin merajalela.
Politik tanam paksa yang diambil Belanda malah menjadikan praktek
korupsi tumbuh subur di kalangan pejabat “pemerintahan” dalam negeri
(yang merupakan orang-orang pribumi). Praktek korupsi sudah benar-
benar merambah ke pejabat pribumi yang diberi kewenangan oleh
Belanda. Korupsi bahkan tetap dan terus terjadi meskipun Belanda
mencabut sistem tanam paksa dan diganti dengan sistem
perekonomian liberal. Hal ini semakin memberikan pengetahuan
kepada kita bahwa korupsi sudah tidak lagi dapat diselesaikan dengan
pendekatan sistem perekonomian, karena sudah terlampau merusak
moral.
39
Jadi meskipun sistem monopoli dari kerja paksa diganti dengan
sistem perekonomian yang lebih liberal dengan sistem pengupahan
yang ideal, tetap saja korupsi tidak dapat diberantas. Persoalannya
justru menjadi semakin menyakitkan ketika pergantian sistem
perekonomian dari monopoli dan kerja paksa ke sistem ekonomi liberal
tidak diikuti dengan pemberdayaan masyarakat pemilik tanah.
Sehingga mereka manjadi budak dan buruh untuk tanahnya sendiri,
akibat dari dipraktekannya sistem sewa (yang liberal) ditambah dengan
sikap korup dan kongkalikong di kalangan pejabat birokrasi.
Sistem perekonomian liberal yang dipraktekan tidak saja
menyengsarakan rakyat, tetapi juga menambah suburnya praktek
korupsi birokrasi. Apalagi ternyata birokrasi saat itu menghadapi
persoalan klasik, yaitu rendahnya gaji yang mereka terima. Hal mana
menurut berbagai analis, faktor rendahnya gaji birokrasi dipandang
sebagai faktor penyebab terjadinya korupsi birokrasi.
Di sisi yang lain persoalan klasik yang ada pada masa-masa
sebelumnya tetap dijumpai. Gaji yang dterima oleh para pangreh praja,
terutama pangreh praja rendahan seperti Wedana, Camat-Camat dan
sistem, tetaplah kecil. Keuntungan besar yang didapat pemerintah
Hindia Belanda dari sewa-menyewa lahan perkebunan dan pajak yang
mereka peroleh dari pengusaha-pengusaha perkebunan tak digunakan
untuk mensejahterakan aparat birokrasi pada level menengah
kebawah. Sementara sebagai bagian dari pemerintahan Hindia
40
Belanda dan sistem birokrasi tradisional, para pangreh praja ini harus
memelihara gaya hidup sebagai priyayi. Diduga mereka menerima
segala macam upeti dari rakyat yang membiayai hidup mereka. Para
Patih dan Bupati, meskipun gaji yang mereka terima lebih tinggi, juga
banyak menerima upeti yang tidak resmi dari rakyat. Selain itu
merekapun masih memelihara kewajiban kerja bakti bagi para kawula
yang berada dibawah kekuasaan mereka. Kewajiban-kewajiban tidak
resmi ini baru dihapuskan sama sekali oleh pemerintah Hindia Belanda
pada tahun 1890. Peristiwa antara Bupati Lebak dan Multatuli mungkin
salah satu contoh yang menarik tentang penindasan dan tindakan
korupsi yang dilakukan oleh pangreh paraja Hindia Belanda. Maka
dengan diperluasnya pemungutan pajak oleh Belanda atas tanah dan
hasilnya, pejabat pribumi setingkat Kepala Desa dan pembantunya
memanfaatkan kesempatan dari peluang baru tersebut untuk
mengambil keuntungan yang besar. Di Jawa, Bekel (petugas pemungut
pajak) menaikkan 20 kali lipat apa yang mereka bayar kepada atasan
mereka. (Thamrin, 2000).
Akhirnya kita dapat melihat bahwa korupsi yang terjadi pada
masa pemerintahan Hindia Belanda adalah adanya kombinasi faktor
penyebab yang terjadi bersamaan. Di satu sisi gaji birokrasi yang
rendah, di sisi lain pejabat elit birokrasi memiliki sikap dan mental “rent
seeking” semacam upeti dari rakyatnya, yang dibenarkan oleh
pemerintahan. Pemerintah Belanda membiarkan praktek upeti tersebut
41
karena mereka menginginkan dukungan dari pejabat-pejabat pribumi
untuk kelanggengan pemerintahannya. Terjadilah semacam iklim saling
membiarkan. Yaitu, pemerintah Belanda membiarkan praktik “rent
seeking” dikalangan pejabat birokrasi elit pribumi untuk memperoleh
dukungan politik dari mereka. Sementara para pejabat elit birokrasi
pribumi membiarkan Belanda melanggengkan pemerintahan dan
kekuasaannya karena mereka mendapatkan keuntungan ekonomi
pribadi. Inilah yang menyebabkan bahwa korupsi semakin menjadi-jadi
dan tak dapat diberantas dengan seksama
b. Korupsi di Masa Pendudukan Jepang
Bagaimana Korupsi setelah era Pemerintahan Hindia Belanda ?
Jepang yang menjajah Indonesia setelah Belanda ternyata tidak
membawa perubahan yang berarti bagi pemberantasan praktik korupsi
birokrasi. Kehidupan rakyat Indonesia bahkan secara kualitatif lebih
sengsara. Sehingga berkembang sinyalemen bahwa pendudukan
Jepang menjajah Indonesia 3,5 tahun nilai penderitaanya sama dengan
masa penjajahan Belanda 3,5 abad. Pemaparan ini tidak dimaksudkan
untuk membandingkan penderitaan rakyat Indonesia antara masa
penjajahan Belanda dengan masa penjajahan Jepang. Tetapi yang
ingin digambarkan disini adalah perihal korupsi. Ternyata antara masa
penjajahan Belanda dan masa penjajahan Jepang sama saja, korupsi
tetap terjadi dan merajalela.
42
Dalam catatan banyak ahli sejarah, periode penduduk Jepang
dipercaya sebagai masa merajalelanya korupsi. Pemerintah
pendudukan Jepang memberlakukan Indonesia sebagai arena perang,
dimana segala sumber alam dan manusia harus dipergunakan untuk
kepentingan perang bala tentara Dai Nippon. Bahkan akibat langkanya
minyak tanah, yang diprioritaskan bagi kepentingan bala tentara
Jepang, rakyat diwajibkan untuk menanam pohon jarak, yang akan
diambil bijinya sebagai alat penerangan. Sangat sulit untuk
mendapatkan beras atau pakaian pada saat itu (Thamrin, 2000).
Korupsi pada masa pendudukan tentara Jepang diperparah oleh
adanya kekacauan ekonomi rakyat, dan terlalu berorientasinya Jepang
yang sangat ambisi untuk memenangi perang dikawasan Asia,
sehingga pelayanan administrasi pemerintahan, pembangunan
ekonomi, dan kesejahteraan rakyat diabaikan. Sebagaimana
dinyatakan oleh Thamrin (2000), ahli sejarah banyak yang mencatat
bahwa korupsi pada saat pendudukan Jepang bahkan lebih parah
dibandingkan masa VOC maupun masa pemerintahan Belanda.
c. Antikorupsi di Masa Orde Lama
Anderson (1972) pernah menyatakan bahwa korupsi di
Indonesia sudah ada sebelum Belanda menjajah Indonesia dan King
(2000) menambahkan bahwa korupsi malah merajalela saat penjajahan
Belanda. Bagaimana situasinya sesudah Indonesia mendeklarasikan
kemerdekaannya ? Herbert Feith (1962) menuturkan bahwa lepas dari
43
belenggu penjajahan, tepatnya setelah proklamasi kemerdekaan 1945,
untuk sementara waktu korupsi menurun cukup signifikan “due to
nationalistic fervor and policies made by early Indonesia goverment to
create proffesional bureau cracy, check and balance mechanisms, and
legal system” Para pengamat menganalisis, bahwa hal itu disebabkan
oleh masih tingginya idealisme yang dimiliki oleh kalangan pejuang dan
penggerak revolusi. Tetapi kondisi ini tidak berlangsung lama, karena
setelah tahun 1955, terutama pada masa “demokrasi terpimpin” 1959,
korupsi meningkat lagi. Robertson-Snape menuturkan; “during the final
years of Soekarno’s rule, when inflation was rising out-of-control and
when government officials were not able to maintain a decent living
standard due to their low saleries and high inflation rates, corruption
under Soekarno reached its nadir point” (Robertson-Snape, 1999).
Ada beberapa catatan untuk menandai awal mula munculnya
korupsi dikalangan pejabat dalam negeri masa kini :
Pertama, ketika pemerintah orde lama membuat kebijakan untuk
mengambil alih perusahaan dan aset-aset asing, yang dikenal dengan
“nasionalisasi” melalui sebuah Undang-Undang yang dikeluarkan pada
tahun 1958. Kebijakan yang sejatinya syarat misi untuk memulihkan
perekonomian nasional itu disalah gunakan dan tidak terkontrol secara
baik dan transparan oleh kalangan masyarakat sipil.
Kedua, ketika pemerintahan orde lama mengeluarkan kebijakan politik
Benteng, yang sejatinya juga syarat misi untuk membantu para
44
pengusaha dalam negeri dapat dibentengi dan diproteksi negara.
Tetapi kebijakan ini dalam implementasinya diselewengkan dan hanya
menghasilkan kongkalikong serta syarat KKN (korupsi, kolusi, dan
nepotisme).
Kondisi tersebut diperparah oleh sistem politik yang demokratis,
karena saat itu pemerintah sedang menerapkan sistem demokrasi
terpimpin. Perbedaan pendapat, oposisi, dan kritik oleh kalangan sipil
dinilai sebagai kontraproduktif, bahkan tidak jarang dianggap sebagai
kontra revolusi. Inilah yang menjadikan korupsi tidak dapat dikontrol
dengan baik, apalagi diberantas. Sebuah catatan dan analisis yang
relevan antara lain adalah sebagai berikut :
Dimasa pemerintahan Soekarno, pernah melakukan rasionalisasi
perusahaan-perusahaan asing melalui suatu Undang-Undang (UU).
Tetapi sebelum UU tersebut diberlakukan (1959), pihak militer (AD)
telah melakukan aksi sepihak dan merebut perusahaan-perusahaan
asing itu. Pada tanggal 13 Desember 1957 Mayor Jendral A.H.
Nasution (KSAD pada saat itu) mengeluarkan larangan pengambil
alihan perusahaan Belanda tanpa sepengetahuan militer dan
menempatkan perusahaan-perusahaan yang diambil alih tersebut
dibawah pengawasan militer. Sebelum adanya Undang-Undang
Nasionalisasi tersebut, dengan alasan untuk memberikan poteksi
kepada pengusaha-pengusaha pribumi, pemeintah Indonesia
menerapkan suatu kebijakan yang diberi nama Politik Benteng.
45
Berdasarkan kebijakan ini pengusaha-pengusaha pribumi diberikan
bantuan kredit dan fasilitas, salah satunya adalah lisensi untuk
mengimpor barang. Laba yang diperoleh oleh para pengusaha pribumi
tersebut, dari penjualan barang impor didalam negeri, diharapkan dapat
menjadi modal untuk melakukan ekspansi usaha. Namun pada
akhirnya Politik Benteng ini tidak melahirkan pengusaha pribumi yang
tangguh. Yang muncul justru praktek kolusi, korupsi, dan nepotisme
(KKN). Pengusaha-pengusaha yang mendapatkan lisensi tersebut
hanyalah pengusaha-pengusaha yang dekat dengan pemerintah dan
kekuatan-kekuatan politik yang dominan. Pengusaha-pengusaha
pribumi “dadakan” tersebut sama sekali tidak memiliki bekal
kemampuan usaha yang memadai. Akhirnya mereka hanya
“menyewakan” lisensi yang mereka punyai tersebut kepada
pengusaha-pengusaha swasta lainnya, yang umumnya berasal dari
pengusaha keturunan China. Paktek kongkalikong inilah yang
melahirkan istilah Ali Baba. Si Ali yang memiliki lisensi dan di Baba
yang memiliki uang untuk modal kerja lisensi tersebut22.
Masa pemerintahan orde lama memang masa yang paling sulit,
khususnya jika dikaitkan dengan harapan publik agar Indonesia (yang
ketika itu baru dideklarasikan kemerdekaanya) menjadi negara yang
adil, makmur, sejahtera dan anti korupsi. Hal mana disebabkan oleh
22
http://www.hidayatullah.com
46
mengakarnya budaya aristokrasi tradisional yang dibangun oleh
Belanda (sebagai penjajah) selama bertahun-tahun.
Pada masa pemerintahan Orde Lama, gerakan anti-korupsi
dilaksanakan pada awal tahun 1960-an, ditandai dengan disahkannya
“Undang-Undang Keadaan Bahaya”. Undang-Undang tersebut
melahirkan Komisi Pemberantasan Korupsi yang diberi nama PARAN
(Panitia Retoolink Aparatur Negara). Sebagai lembaga anti korupsi
yang baru pertama kali dibentuk dan dimiliki Indonesia, tentu PARAN
menjadi perhatian dan harapan banyak kalangan untuk menghantarkan
Indonesia menjadi negara yang anti korupsi. Harapan tersebut tidak
berlebihan karena yang ditunjuk sebagai orang yang memimpin PARAN
adalah Jendral A.H. Nasution yang kredibilitas dan integritasnya tidak
diragukan oleh masyarakat waktu itu. Di lembaga tersebut Jendral
Nasution dibantu oleh Prof. M. Yamin dan Roeslan Abdul Gani.
Salah satu point pentingnya yang dilakukan PARAN adalah
mewajibkan semua pejabat negara mengisi Daftar Kekayaan Pejabat
Negara. Namun apa yang terjadi, ternyata ikhtiar tersebut akhirnya
kandas tanpa hasil apa-apa. Berkaitan dengan kegagalan PARAN, KPK
(Komisi Pemberantasan Korupsi) mencatat bahwa :
Dimasa Orde Lama, tercatat dua kali dibentuk badan
pemberantasan korupsi. Yang pertama, dengan perangkat aturan
Undang-Undang Keadaan Bahaya, lembaga ini disebut Panitia
Retoolink Aparatur Negara (PARAN). Badan ini dipimpin oleh A.H
Nasution dan dibantu oleh dua orang anggota, yakni Profesor M.
Yamin dan Roeslan Abdul Gani. Kepada PARAN inilah semua
pejabat harus menyampaikan data mengenai kekayaan pejabat
tersebut dalam bentuk isian formulir yang disediakan. Mudah
47
ditebak, model perlawan para pejabat yang korup pada saat itu
adalah bereaksi keras dengan dalih secara yuridis bahwa dengan
dokrin pertanggung jawaban secara langsung kepada Presiden,
formulir itu tidak diserahkan kepada PARAN, tetapi langsung
kepada Presiden. Diimbuhi dengan kekacauan politik, PARAN
berakhir tagis, deadlock, dan akhirnya menyerahkan kembali
pelaksanaan tugasnya kepada Kabinet Djuanda. (www.kpk.go.id)
Ada tiga faktor yang kuat diduga sebagai penyebab kegagalan
Orde Lama dalam memberantas korupsi. Pertama, faktor belum adanya
kebijakan derifasi (kebijakan turunan) yang memungkinkan agen
pelaksana kebijakan bisa menjalankan tugasnya dengan baik. Kedua,
faktor adanya resistensi dari para pejabat negara (terutama yang
diindikasikan korup) dengan cara menolak menyerahkan daftar
kekayaannya kepada PARAN. Mereka hanya mau menyerahkan
kepada Presiden (meskipun dalam kenyataannya hingga PARAN bubar
mereka tidak pernah menyerahkan daftar kekayaannya ke Presiden).
Ketiga, faktor tidak berkaitnya secara langsung antara strategi
pemberantasan korupsi dengan sistem administrasi publik yang
dipraktekkan.
PARAN akhirnya dibubarkan, dan Pemerintah Orde Lama
selanjutnya mengeluarkan kebijakan baru yag dikemas dalam Keppres
Nomor : 275 tahun 1963 tentang pemberantasan korupsi. Maka untuk
melaksanakan Keppres tersebut Pemerintah menunjuk lagi Jenderal A.
H. Nasution sebagai ketuanya, dengan tugas yang lebih berat, yaitu
meneruskan kasus-kasus korupsi ke meja hijau. Nasution melakukan
tugasnya dengan sandi “OPERASI BUDHI”. Sasarannya adalah BUMN
48
dan lembaga-lembaga negara yang dianggap rawan korupsi, salah
satunya adalah Pertamina. Tetapi Keppres Nomor : 275 Tahun 1963
itupun tidak dapat dilaksanakan secara efektif. Sebagaimana yang
dicatat dan didokumentasikan oleh KPK berikut ini:
Pada 1963 melalui Keputusan Presiden Nomor : 275 Tahun 1963,
pemerintah menunjuk lagi A. H. Nasution yang saat itu menjabat
sebagai Menteri Koordinator Pertahanan dan Keamanan/ Kasab,
dibantu oleh Wiryono Prodjodikusumo dengan lembaga baru yang
lebih dikenal dengan Operasi Budhi. Kali ini dengan tugas yang
lebih berat, yakni menyeret pelaku korupsi ke pengadilan dengan
sasaran utama perusahaan-perusahaan negara serta lembaga-
lembaga negara lainnya yang dianggap rawan praktek korupsi dan
kolusi. Lagi-lagi alasan politis menyebabkan kemandekan, seperti
Direktur Utama Pertamina yang tugas ke luar negeri dan direksi
lainnya menolak karena belum ada surat tugas dari atasan,
menjadi penghalang efektivitas lembaga ini. Operasi ini juga
berakhir, meski berhasil menyelamatkan keuangan negara kurang
lebih Rp.11 Miliar. Operasi Budhi ini dihentikan dengan
pengumuman pembubarannya oleh Soebandrio kemudian diganti
namanya menjadi Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi
(Kontrar) dengan Presiden Soekarno menjadi ketuanya serta
dibantu oleh Soebandrio dan Letjen Ahmad Yani. Bohari pada
tahun 2001 mencatatkan bahwa seiring dengan lahirnya lembaga
ini, pemberantasan korupsi di masa Orde Lama pun kembali
masuk ke jalur lambat, bahkan macet. (http;//www.kpk.go.id)
Dari catatan dokumentasi KPK tersebut cukuplah sebagai
gambaran betapa masa Orde Lama gagal memberantas korupsi, dan
penyebabnya antara lain adalah, adanya resistensi birokrasi dan
pejabat negara yang dekat dengan Presiden. Implementasi kebijakan
anti korupsi yang di back-up dengan Keppres itupun gagal. Sehingga
sampai pada Pemerintahan Orde Lama berganti, pemberantasan
korupsi belum membuahkan hasil yang berarti, hanya sekedar ada
49
upaya untuk memberantas korupsi tetapi tidak membuahkan harapan
yang sesungguhnya. Sebagai tambahan, berikut ini dikutipkan anatomi
korupsi di masa orde lama:
1. Pemerintahan Soekarno berupaya untuk melakukan
rasioanlisasi perusahaan-perusahaan Asing melalui suatu UU.
Tetapi sebelum UU tersebut diberlakukan (1958), pihak militer
(AD), telah melakukan aksi sepihak dan merebut perusahaan-
perusahaan asing tersebut. Pada tanggal 13 Desember 1957
Mayor Jendral A.H. Nasution selaku KSAD pada saat itu
mengeluarkan larangan pengambilalihan perusahaan Belanda
tanpa sepengetahuan militer dan menempatkan perusahaan-
perusahaan yang diambil alih tersebut dibawah pengawasan
militer.
2. Pemerintah Indonesia menerapkan kebijakan Politik Benteng
dengan memberikan bantuan kredit dan fasilitas kepada
pengusaha-pengusaha pribumi. Program ini tidak melahirkan
pengusaha pribumi yang tangguh, tetapi yang terjadi justru
praktek kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN). Pengusaha-
pengusaha yang mendapatkan lisensi hanyalah pengusaha-
pengusaha yang dekat dengan pemerintah dan kekuatan-
kekuatan politik yang dominan.
3. Kegagalan pemerintah Demokrasi Terpimpin untuk mengatasi
disintegrasi administrasi kenegaraan. Perekonomian tetap
50
tergantung pada birokrasi partai-partai politik dan militer. Aparat
negara tak bekerja dengan baik dan korupsi semakin
merajalela23.
Jadi masalah korupsi dan pemberantasannya di masa
pemerintahan Orde Lama bukan saja korupsi dapat dikurangi, tetapi
juga tidak bisa diberantas. Presiden Soekarno terkesan tidak dapat
mengendalikan militer yang saat itu diberi kewenangan untuk
melaksanakan kebijakan nasionalisasi, sehingga korupsi yang
ditimbulkan di perusahaan hasil nasionalisasi tidak dapat dikontrol
apalagi diberantas. Di sisi lain, kebijakan untuk memproteksi
pengusaha tidak dipersiapkan dengan matang, sehingga yang muncul
adalah perusahaan-perusahaan nasional yang semu, yang pada
gilirannya lisensi (proteksi) tersebut akhirnya disewakan (dan dijual
belikan) secara tidak fair ( inilah korup).
d. Antikorupsi di Masa Orde Baru
Ketika orde Soekarno jabatannya berakhir karena ditumbangkan
dan digantikan oleh Soeharto, harapan baru terhadap pemberantasan
korupsi muncul. Namun, Indonesia di era pemerintahan Soeharto
tenyata tetap merupakan salah satu negara terkorup. Jika sepanjang
tahun 1966-1980 pemerintahan Soeharto ditandai dengan monopoli
negara atas semua urusan ekonomi yang strategis, maka pada periode
1980-1998 pemerintahan soeharto ditandai dengan privatisasi ekonomi.
23
www.ppatk.go.id
51
Korupsi yang terjadi pada periode 1966-1980 diwarnai oleh adanya
kolusi antara para pejabat pemerintahan degan para cukong dari etnis
Tionghoa. Sedangkan korupsi pada periode 1980-1998 dipicu oleh
adanya nepotisme antara Soeharto, anak-anaknya serta keluarganya
(Liddle, 1997). Akibat nepotisme inilah yang kemudian mengakar dan
korupsi dimana-mana sangat dominan, namun akhirnya desakan
mahasiswa dan masyarakat Soeharto berakhir dengan pengunduran
dirinya.
Berdasarkan penelusuran penulis pada beberapa sumber,
dinyatakan bahwa faktor utama penyebab maraknya korupsi di era
Orde Baru adalah terlampau ambisinya pemerintahan untuk mengejar
target pembangunan ekonomi makro, yaitu pembangunan dari
perspektif pertumbuhan, dan kurang berorientasi pada sektor riil. Era
Soeharto memang ditandai dengan adanya pertumbuhan yang cukup
tinggi secara formal, tetapi rakyat menjadi sengsara secara material.
Masyarakat yang kritis bangkit untuk mengkritik Soeharto bahkan
menimbulkan kebencian yang sangat kepada Soeharto. “As Suharto’s
families become more dominant in the economy, criticisms and
opposition against Suharto’s rule increased. It has become evident to
indonesians that there is many accasions where government rules and
regulations were made to benefit Suharto’s family, this in turn fueled
criticisms and discontents against his rule” (Arifianto, 2006).
52
Indonesia di masa pemerintahan Orde Baru agaknya tidak bisa
lepas dari dua stigma yang kontradiktif. Di satu sisi dikenal sebagai
masa keberhasilan ekonomi makro, yang di tandai dengan stabilnya
perekonomian dan pertumbuhan ekonomi, tetapi di sisi lain, korupsi,
kolusi dan nepotisme berkembang merajalela. Bahkan saat
pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami puncaknya pada akhir
tahun 80-an justeru pada saat itu indeks korupsi Indonesia mengalami
peningkatan sehingga masuk peringkat sebagai salah satu negara
terkorup di dunia.
Peningkatan ini terutama terjadi pada tahun 1988, pada masa
pemerintahan Orde Baru giat-giatnya menggalakkan pertumbuhan
disemua sektor ekonomi. Dimulai dengan menderegulasikan atau
meliberalisasikan sektor fiskal, moneter, keuangan dan perbankan
dengan sejumlah paket kebijakan deregulasinya, yang ketika itu dikenal
dengan Pakto‟88, Pakno‟88 dan Pakjan‟90. Serangkaian kebijakan
deregulasi itu dalam kalkulasi angka menunjukkan percepatan
pertumbuhan sektor moneter Indonesia. Lalu diikuti dengan makin
tumbuh pesatnya konglomerasi. Tetapi apa yang terjadi pada
“pemberantasan korupsi”, justeru sebuah kontradiksi yang amat sangat.
Pada 1988, Corruption Perception Index dari Transparency
International menempatkan Indonesia dalam posisi ke 80 dari 85
negara. Ini berarti bahwa, menurut sebuah polling, Indonesia
53
dipersepsikan oleh konsultan dan pelaku bisnis sebagai salah satu dari
negara-negara paling korup seperti diperlihatkan oleh survei tersebut.
Salah satu polling yang digunakan oleh Transparency
International sebagai sumber adalah sebuah survei yang dilakukan oleh
Konsultan Resiko Ekonomi dan Politik berbasis di Hongkong, yang
pada tahun 1997 menemukan bahwa Indonesia dipersepsikan sebagai
negara paling korup si Asia. Dalam survei tersebut sekitar 280
pembisnis ekspartriat diberi pertanyaan: “Apa penyebab korupsi di
Indonesia yang menurut anda merusak lingkungan bisnis bagi
pengusaha asing ?”. Sebuah negara dianggap korup jika sebuah
perusahaan perlu membayar suap atau pelicin lainnya kepada birokrat,
politisi, atau pejabat pemerintahan agar memperoleh izin resmi untuk
tujuan tertentu. Menurut kriteria ini, Indonesia dianggap sebagai yang
paling korup. (Fiona Robertson-Snape, dalam Tanthowi, 2005, 17).
Kajian Robertson-Snape tersebut sangat cukup menggambarkan
betapa korupsi di Era Orde Baru dipersepsi sangat jelek oleh dunia.
Jadi pengalaman Orde Baru dalam pemberantasan korupsi juga tidak
jauh berbeda dengan Orde Lama. Meskipun di awal pemerintahannya
Soeharto mengkritik keras Orde Lama yang gagal memberantas
korupsi. Bahkan pada masa Orde Baru malah korupsi merajalela dan
merasuk ke semua lini pemerintahan. Pemberantasan korupsi tidak
lebih sebagai retorika politik. Retorika itu diawali dengan pidato
Soeharto (sebagai pejabat Presiden) di depan DPR/MPR pada tanggal
54
16 Agustus 1967 yang menyatakan akan membasmi korupsi hingga ke
akar-akarnya, yang kemudian disusul dengan membentuk TPK (Tim
Pemberantasan Korupsi).
Tetapi, seperti yang diduga banyak kalangan, TPK tidak memiliki
keberanian untuk membongkar korupsi yang sudah mewabah, hingga
akhirnya terjadi demontrasi mahasiswa dan pelajar secara besar-
besaran pada tahun 1970, yang mendesak Soeharto untuk memenuhi
janjinya lebih serius memberantas korupsi, terutama di Pertamina,
Bulog, dan Departemen Kehutanan. Maka untuk “menghibur” rakyat
atas gagalnya TPK, Orba kemudian membentuk “Komite Empat”.
Komite ini juga tidak mampu menjalankan tugasnya, hingga
pemerintahan Orba menggerakkan operasi yang diberi nama “OPSTIB”
(Operasi Tertib) yang di pimpin oleh Laksamana Sudomo.
Kegagalan pemberantasan korupsi di masa pemerintahan Orde
Baru diwarnai oleh lahirnya berbagai peraturan perundangan yang
melindungi tindakan para koruptor agar bebas dari jeratan hukum. Pola
Orde Baru yang melindungi koruptor ini dapat dipahami dengan jelas
melalui pendekatan ekonomi politik korupsi. Karena sikap pemerintahan
Orde Baru yang demikian itulah maka negara Indonesia dikenal oleh
para pengamat asing sebagai negara kleptokratik (Rose Ackerman,
2006), yaitu suatu istilah untuk menyebut “negara para maling”.
Seperti diketahui dan ditulis oleh banyak pakar, pemerintahan
orde baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto memang telah
55
mencatat pertumbuhan ekonomi makro Indonesia yang cukup fantastis.
Pertumbuhan ekonomi tersebut bahkan mendapat pujian dari berbagai
kalangan internasional, termasuk Bank Dunia dan IMF. Namun seperti
juga kritik dan analisis para pakar, keberhasilan tersebut bersifat semu
dan dicapai dengan cara-cara yang illegal atau beraroma korupsi,
kolusi, dan nepotisme, yang saat itu tidak diprioritaskan untuk
diberantas, malah menjadi semacam ideologi untuk mencapai target
pertumbuhan dan “pujian” dunia internasional, termasuk pujian dari
negara-negara donor.
Tumbuh kembangya konglomerasi di Indonesia ketika itu
ternyata tidak dicapai dengan cara-cara yang sehat, tetapi justeru
dengan cara-cara yang merugikan negara. Oleh karena itu menurut
pengkritik liberal dikalangan kelas menengah perkotaan Indonesia yang
sedang tumbuh dan di Bank Dunia, kemunculan konlomerasi di
Indonesia bukan melalui kompetisi pasar terbuka, melainkan sebagai
hasil korupsi, kolusi, dan nepotisme. Ia bukan saja tidak efisiensi,
melainkan juga terkonsentrasi hanya disektor-sektor barang non
perdagangan uang diproteksi, tidak menambah apa-apa kepada daya
saing Indonesia secara global. (World Bank; 1993, dalam Vedi R Hadiz,
2005, 130).
Pada masa pemerintahan orde baru, para kapitalis seakan
menemukan “surga” dalam berbisnis, tanpa harus memiliki keahlian
profesional dalam berbisnis, kecuali harus memiliki lobi dan hubungan
56
dekat dengan penguasa. Catatan Kunio (1990) menyebut Indonesia
dan beberapa negara Asia Tenggara pada masa-masa itu muncul
menjadi negara dengan kekuatan ekonomi kapitalis yang semu (ersatz
capitalism), yang ditandai dengan lahirnya para kapitalis pemburu rente
(rent-seekers) dan spekulator. Karakteristik yang menonjol dari bisnis
mereka adalah menjalin hubungan dekat dengan pemerintahan.
Para kapitalis yang mencoba menjalin hubungan dengan
pemerintah demi keuntungan bisnis dapat disebut pemburu rente (rent-
seekers) karena pada pokoknya mereka mencari peluang-peluang
untuk menjadi penerima rente yang dapat pemerintah berikan dengan
menyerahkan sumbernya, menawarkan proteksi, atau memberikan
wewenang untuk jenis-jenis kegiatan tertentu yang diaturnya. “Rente” di
sini didefinisikan sebagai selisih antara nilai pasar dari suatu “kebaikan
hati” pemerintahan dengan jumlah yang dibayar oleh si penerima
kepada pemerintahan dan/atau secara pribadi kepada penolongnya di
pemerintahan (Kunio, 1990: 93).
Munculnya kapitalisme semu dengan karakteristik tersebut
menambah suburnya praktek korupsi pada kelas elit penguasa. Tidak
hanya itu, era Presiden Soeharto juga ditandai dengan merebaknya
kolusi dan nepotisme yang ditandai dengan diberinya fasilitas dan
kemudahan kepada keluarga Presiden Soeharto untuk menguasai
cabang-cabang ekonomi secara khusus dan disubsidi serta diproteksi.
Hal ini berlangsung cukup lama, sehingga memunculkan stigma bahwa
57
hanya keluarga cendana dan orang-orang dekat keluarga cendana saja
yang dapat berbisnis dengan leluasa di Indonesia. Kedekatan para
konglomerat dengan keluarga cendana sudah bukan lagi rahasia.
Bahkan saham-saham keluarga cendana konon ada dihamparan
semua perusahaan konglomerat (Kunio, 1990; 95).
Apa yang telah dipaparkan Kunio itu telah dipahami dan
dimengerti oleh banyak kalangan di Indonesia. Hasil studi Kunio
tersebut seakan semakin menambah kuatnya bukti bahwa korupsi
dimasa orde baru bisa melewati jalur-jalur perekonomian strategis.
Bukan mengambil uang negara, tetapi dengan pemberian konsesi
kepada perusahaan swasta yang dekat dengan penguasa.
Maka lengkaplah kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme si era
Orde Baru yang bertalian langsung dengan Presidennya serta keluarga
presiden. Belum lagi yang terjadi dikalangan pejabat elit yang lain, para
birokrasi dari pusat hingga daerah. Tidak sedikit buku dan publikasi
yang dapat dipercaya yang menyatakan bahwa di era Orde Baru
korupsi merajalela sedemikian rupa dari pucuk pimpinan hingga
birokrasi di kelurahan. Oleh lembaga Transparency International, di era
Orde Baru Indonesia pada tahun 1988 diperingkat sebagai salah satu
negara terkorup. Posisinya ada pada nomor ke 80-an dari 85 negara,
artinya termasuk dalam 5 besar negara terkorup. Jadi Indonesia
dipersepsi oleh dunia Internasional sebagai negara terkorup.
Bagaimana persepsi masyarakat dalam negeri?Hasil penulisan
58
sejumlah lembaga menyatakan hal yang sama, yaitu masyarakat
Indonesia sendiri memiliki persepsi sama dengan lembaga
internasional, bahwa korupsi di Indonesia sudah merebak kemana-
mana.
Sebuah polling opini dari 1000 responden yang dilaksanakan
pada Februari 1998 oleh Pusat Studi Pembangunan dan Demokrasi di
Jakarta, yang menemukan bahwa 78% orang Indonesia yang di-polling
merasa yakin bahwa suap masih tetap diperlukan ketika berhubungan
dengan kantor-kantor pemerintahan. Angka itu tidak mengejutkan
karena bukti anekdot memperlihatkan bahwa sering sekali perlu
membayar suap ketika mendaftarkan kelahiran bayi, memperoleh SIM,
sertifikat perkawinan, atau ketika membuat KTP. Polisi menilang
kendaran untuk mendapatkan suap bahkan jika tidak ada kesalahan
yang terjadi, dan korupsi menyebar sampai eselon tertinggi dalam
sistem peradilan pidana. Ketika birokrasi menguasai masyarakat dan
merupakan pemberi kerja terbesar, bahkan dikota-kota kecil, jenis
korupsi kecil-kecilan ini adalah realitas sehari-hari dalam kehidupan
orang Indonesia yang tidak bisa dihindari (Robertson-Snape,
dalamTanthowi, 2005; 18). Keadaan tersebut berlaku hingga Presiden
Soeharto mengakhiri jabatannya. Bahkan setelah Presiden Soeharto
berhenti, korupsi terus mewabah, maka dapat dikatakan bahwa
pemberantasan korupsi (anti korupsi) pada era Orde Baru gagal total,
sama dengan masa Orde Lama.
59
Di masa orde baru, pemberantasan korupsi bukan saja gagal,
tetapi malah menjadikan “korupsi” seakan dilegalkan untuk tujuan-
tujuan tertentu, sementara kelembagaan antikorupsi yang dibentuk
tidak dapat berperan dengan baik. Tidak ada strategi yang elastis.
Sama dengan kegagalan pemberantasan korupsi di masa Orde Lama,
kegagalan pemberantasan korupsi di masa Orde Baru juga
mencerminkan belum adanya strategi dan kebijakan pemberantasan
korupsi yang komprehentif, sehingga administrasi publik yang
dipraktikkan seakan-akan tidak memiliki nilai yang dapat mencegah
potensi terjadinya korupsi di tubuh birokrasi. Lebih dari itu, strategi
pemberantasan korupsi yang dibuat tidak didasarkan pada perspektif
administrasi publik yang lebih menitik beratkan upaya pencegahan
potensi terjadinya korupsi birokrasi, tetapi lebih diwarnai oleh
kepentingan politik jangka pendek.
e. AntiKorupsi di Era Reformasi
1) Masa Pemerintahan B.J Habibie
Ketika Presiden Soeharto harus berhenti dari jabatannya, akibat
dari gerakan reformasi nasional yang diprakarsai oleh mahasiswa pada
tahun 1998, posisi Presiden RI ditempati oleh B.J Habibie, yang tadinya
menjabat Wakil Presiden. Tentu saja tidak mudah bagi B.J Habibie
untuk memberantas korupsi yang sudah begitu mewabah dan
menjamur saat pemerintahan Presiden Soeharto. Masa pemerintahan
B.J Habibie adalah masa transisi dan merupakan masa-masa yang
sulit. Investor asing maupun dalam negeri enggan menanamkan modal
60
mereka di Indonesia. “They prefer to put their money in countries with
more clearlie of laws and much less corruption” (Johnson, 2000).
Berdasarkan pengalaman historis pemberantasan korupsi
dimasa Orde Lama dan Orde Baru, pemerintahan di era Reformasi
(yang dilahirkan dari gerakan massa secara nasional untuk
menyelamatkan Indonesia dari praktik KKN), didesak untuk melakukan
pencegahan dan pemberantasan korupsi secara lebih serius. Hamilton-
Hart (2001) dalam tulisannya tentang Anti corruption Strategies in
Indonesia mencatat bahwa sejak reformasi 1998 berbagai upaya untuk
memerangi korupsi memang telah dilakukan secara mendasar oleh
pemerintah, antara lain melalui: Political Reform, Social and Press
Freedoms, Fiscal Transparency and Financial Monitoring, Legal
Reform, Direct Strategies Against Corruption, Foreign Involvement in
the Reform Process, and Civil Service Reform.
Korupsi di era Reformasi sepertinya belum juga hilang. Meskipun
orde Reformasi dilahirkan karena kritik terhadap orde sebelumnya yang
korup, namun faktanya ternyata di era Reformasi korupsi malah
menggila dan mencapai tahap yang sangat mengkhawatirkan.
Berdasarkan data yang terpublikasikan, pada tahun 2002 hingga 2003
saja korupsi di Indonesia malah menunjukan kenaikan posisi
indeksnya.
Pada tahun 2002, Transparency International (TI) yang berbasis
di Berlin-Jerman meletakan Indonesia sebagai negara terkorup nomor 4
61
di dunia. Satu tahun kemudian peringkat Indonesia “naik”dan berada di
urutan ke-6. Artinya, dari 133 negara yang ditelii pada tahun 2003,
Indonesia masih tetap bertengger di papan atas sebagai negara paling
korup dimuka bumi ini. Hasil serupa juga ditunjukan oleh hasil survei
sebelumnya yang diadakan PERC (Political and Economy Risk
Consultancy) tarhadap1.000 pengusaha ekspatriat yang bekerja di 12
negara di Asia. Posisi pada skor 9,92 maka fakta bahwa Indonesia
merupakan negara terkorup di Asia semakin sulit dibantah menurut
Transparency International (TI), dalam penulisan ini tingkat korupsi
Indonesia ternyata masih jauh lebih parah jika dibandingkan dengan
negara-negara tetangga, seperti Papua Neugini (2,1), Vietnam (2,4),
Filipina (2,5), dan Malaysia (5,2), sehingga, jangan dibandingkan
dahulu dengan Singapura sebagai negara terbersih pertama (9,7). Di
Asia, hanya Banglades dan Myanmar yang lebih korup daripada
Indonesia. Sedangkan ditingkat dunia, negara-negara yang memiliki
nilai indeks persepsi korupsi (IPK) lebih buruk daripada Indonesia
hanya negara-negara yang sedang mengalami konflik, seperti Anggola,
Azerbaijan, Tajikistan, dan Haiti. (Tanthowi, 2005: ix – x).
Para pakar dan analisis memberikan catatan tentang mengapa
Indonesia terjebak menjadi negara terkorup justeru ketika Indonesia
sedang giat-giatnya menggelorakan reformasi dalam segala bidang.
Adayang menyatakan bahwa situasi yang dihadapi oleh Indonesia di
awal-awal reformasi sungguh sulit. Di satu sisi reformasi politik
62
membuka lebar kran demokratisasi, sehingga Indonesia mengalami
masa transisi dari kurang demokrasi menuju demokrasi. Oleh Karena
itu dalam masa transisi seperti itu tentu banyak persoalan yang masih
berada pada wilayah abu-abu. Perbedaan pendapat sering kali
menimbulkan konflik politik yang membahayakan. Sementara itu pada
persoalan ekonomi masih terasa sekali dampak gonjang-ganjing
perekonomian akibat dari tampilnya perekonomian gelap (shadow
economy). Yaitu yang terjadi sejak awal tahun 1990-an, seperti yang
dinyatakan oleh Tanthowi (2005).
Negara ini masih terjebak dalam lingkaran transisi demokrasi
yang tidak kunjung usai. Padahal, sejak awal 1990-an, persoalan
terbesar yang terdapat dinegara-negara transisi adalah tampilnya
perekonomian gelap (Shadow economy), artinya, terlihat ada aktivitas
ekonomi, tetapi sebenarnya semua diorganisasi oleh semacam
lembaga tersendiri, termasuk “kabinet malam”, istilah untuk orang-
orang yang dekat dengan lingkaran kepresidenan yang tidak
mempunyai posisi formal.Akibatnya, perekonomian tidak berkembang
sesuai dengan aturan pasar, tidak ada kompetisi dan kemajuan dalam
memanfaatkan sumber daya ekonomi yang ada, tumpukan utang
negara semakin meninggi secara spontan, proses pemiskinan
masyarakat semakin memuncak, dan akhirnya, muncul pula lingkaran
setan, sebuah situasi yang amat pelik untuk dipecahkan.
63
Di dunia seperti itu, yang ada adalah sebuah sistem yang tak
jelas, penuh unsur koruptif, dan lain-lainnya yang buruk. Hingga awal
dekade ini, dinegara-negara transisi (termasuk Eropa Timur, Tengah)
korupsi masih memainkan peran besar, bahkan dominan. Sehingga,
korupsi dalam banyak kasus telah merontokkan fondasi mekanisme,
struktur, dan fungsi negara. Akibat lebih jauh, pada akhirnya, hal itu
menghalangi niat menjalankan reformasi disebuah negara. Setiap
upaya penegakan hukum juga tidak menampakkan hasil positif
sebagaimana yang diharapkan karena telah parahnya kerusakan sendi-
sendi negara akibat korupsi itu. (Tanthowi: 2005, hal. x - xi).
Namun demikian, secara umum dapat dikatakan bahwa pada era
reformasi (1998-sekarang) ini pemberantasan korupsi juga digalakkan,
dan bahkan lebih menggigitdari sebelumnya. Pemerintahan reformasi
juga telah melakukan serangkaian reformasi yang cukup fundamental
(Hamilton-Hart, 2001).
Sebagaimana diketahui Presiden pertama diera Reformasi
Indonesia adalah Presiden B.J Habibie. Ia memang orang dekat
Presiden Soeharto selama Presiden Soeharto berkuasa. Tetapi ketika
Presiden Soeharto menyatakan berhenti dari jabatan Presiden, ia yang
ketika itu Wakil Presiden tampil menggantikan Presiden Soeharto
dengan beban dan tekanan politik yang luar biasa, antara lain harus
memberantas korupsi, termasuk mengadili Presiden Soeharto yang
diopinikan secara luas sebagai telah terindikasi dengan kuat melakukan
64
korupsi berat. Maka diawal pemerintahannya, Presiden B.J. Habibie
juga mencanangkan program antikorupsi.
Presiden B.J Habibie, yang juga tidak bersih dari dugaan
masalah keuangannya dan keuangan keluargannya. Meskipun begitu,
Presiden B.J. Habibie telah mengambil alih tongkat retorika antikorupsi.
Pada hari pengangkatannya, B.J. Habibie mengumumkan bahwa cita-
citanya adalah untuk “menciptakan eksistensi politik dan pemerintahan
yang bersih dari efisiensi pemerintahan yang bebas dari korupsi, kolusi,
dan nepotisme.” (Tanthowi, 2005, 36).
Masa pemerintahan Presiden B.J. Habibie memang masa
transisi yang menegangkan. Para mahasiswa dan penggerak reformasi,
yang berhasil menjadikan Presiden Soeharto mundur dari jabatan
Presiden, agak tertegun karena belum pernah berfikir sebelumnya
bahwa gerakan reformasi akan melahirkan B.J. Habibie sebagai
Presiden. Sebagian besar masyarakat menginginkan pemberantasan
korupsi diartikan sebagai pembebasan pemerintahan dari unsur orde
baru, tetapi kenyataannya tampilnya B.J. Habibie sebagai Presiden
masih juga merupakan tokoh penting Orde Baru yang menjadi Presiden
pertama di era reformasi. Barangkali faktor inilah yang menjadikan
kepemimpinan Habibie tidak mendapat pengakuan dan legitimasi poitik
yang penuh. Presiden B.J. Habibie pun terkesan ragu-ragu untuk
melakukan pemberantasan korupsi ketika menyangkut mantan
Presiden Soeharto dan keluarganya. Karena itu saat kepemimpinannya
65
Presiden B.J. Habibie korupsi tetap saja terjadi dan bahkan lebih
merata di semua lini masyarakat. Banyak pakar yang menilai bahwa
korupsi di era reformasi malah lebih canggih.
Kendatipun demikian, di era Pemerintahan Presiden B.J Habibie,
gerakan anti-korupsi tetap digalakkan dan ditandai dengan
dikeluarkannya Undang-Undang Nomor : 28 tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Pemerintahan Yang Bersih dan Bebas KKN.
Berdasarkan Undang-Undang tersebut dibentuklah berbagai badan
anti-korupsi, antara lain; “KPKPN”, “KPPU”, dan “KOMISI
OMBUDSMAN”. Akan tetapi kelembagaan-kelembagaan tersebut
belum dapat menunjukan kinerjanya sebagai badan anti korupsi yang
efektif dan sukses.
Melengkapi gambaran korupsi dan penanggulangannya di era
Presiden B.J. Habibie, berikut dikutipkan catatan penting sebagai
berikut, salah satu agenda kaum reformasi yang menumbangkan Orde
Baru adalah pemberantasan KKN. Pemberantasan ini bermakna
mengusut praktik KKN yang telah dilakukan oleh mantan Presiden
Soeharto dan kroninya serta menciptakan pemerintahan yang bersih.
Namun pemerintahan Presiden B.J. Habibie tidak berhasil menyeret
mantan Presiden Soeharto ke pengadilan, justru menghentikan
penyelidikan kasus tersebut lewat Jaksa Agung Andi M Ghalib yang
justru diduga kuat masyarakat sebagai koruptor24.
24
www.library.ohiou.edu
66
Adapun catatan lainnya yang relevan untuk dikutipkan di sini
adalah yang dibuat oleh M. Husni Thamrin (2000) yang dikutipkan yaitu,
pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) adalah salah satu
agenda yang diperjuangkan oleh gerakan reformasi 1998.
Pemberantasan ini bermakna mengusut praktek KKN yang telah
dilakukan oleh mantan Presiden Soeharto dan kroninya di masa Orde
Baru serta menciptakan pemerintahan yang bersih dari KKN di masa
yang akan datang. Beberapa perangkat hukum yang mengatur soal
pemberantasan dan menciptakan aparat pemerintahan yang bersih ini
segera dibuat oleh Presiden B.J. Habibie saat ia naik menjadi Presiden
menggantikan Presiden Soeharto. Beberapa peraturan tersebut adalah
:
a. TAP MPR Nomor : XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan
Negara Yang Bersih dan Bebas dari KKN.
b. UU Nomor : 28 tahun 1999 tentang Penyelenggraan Negara Yang
Bersih dan Bebas dari KKN.
c. Inpres Nomor : 30 tahun 1998 tentang Pembentukkan Komisi
Pemeriksa Harta Pejabat.
d. Gagasan Pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi.
Berdasarkan TAP Nomor : XI/MPR/1998 Presiden B.J. Habibie
sebenarnya mendapat mandat untuk melakukan pemberantasan
korupsi dan pengusutan KKN mantan Presiden Soeharto sesegera
mungkin. Namun entah apa yang menjadi alasan, bukti untuk menyeret
67
mantan Presiden Soeharto kepengadilan tak jua ditemukan. Laporan
yang dimuat dalam majalah Time, tentang kekayaan Soeharto dan
keluarganya, tak cukup menjadi modal untuk menyeretnya ke
pengadilan, yang ada justru penghentian penyelidikan kasus tersebut.
Oleh karenanya langkah pencabutan SP3 Soeharto yang dilakukan
oleh Jaksa Agung yang baru, Marzuki Darusman, membawa sedikit
harapan terhadap upaya pengusutan dan pemberantasan korupsi di
Indonesia. Kemampuan pemerintah untuk menuntaskan perkara
mantan Presiden Soeharto ini akan menjadi batu ujian, untuk
mmbuktikan bahwa rezim yang baru ini memang berniat untuk
melakukan pemberantasan korupsi. (Thamrin, 2000).
Sementara itu, menurut catatan dan dokumentasi PPATK
anatomi korupsi era Presiden B.J. Habibie dapat disampaikan yaitu,
Pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) adalah salah
satu agenda yang diperjuangkan oleh gerakan reformasi 1998.
Pemberantasan ini bermakna mengusut praktek KKN yang telah
dilakukan oleh Soeharto dan kroninya di masa Orde Baru serta
menciptakan pemerintahan yang bersih dari KKN di masa yang akan
datang dengan catatan :
1. Beberapa perangkat hukum yang mengatur soal pemberantasan
dan menciptakan aparat pemerintahan yang bersih ini segera
dibuat dan dilaksanakan oleh Habibie saat ia naik menjadi
68
Presiden menggantikan soeharto. Beberapa peraturan tersebut
adalah;
o TAP MPR Nomor : XI/MPR/1998 1998 tentang
Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas dari KKN.
o UU Nomor : 28 tahun 1999 tentang Penyelenggraaan Negara
Yang Bersih dan Bebas dari KKN.
o UU Nomor : 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi (UU Antikorupsi).
o Inpres Nomor : 30 tahun 1998 tentang Pembentukkan Komisi
Pemeriksa Harta Pejabat.
o Gagasan pembentukan Komisi Peberantasan Korupsi (Anti
Corruption Commision).
2. Menko Wasbang mengeluarkan Siaran Pers tentang upaya
menghapus KKN dan perekonomian nasional, tanggal 15 Juni
1999 Dalam Siaran Pers ini dijabarkan kembali pengertian KKN,
sebagai praktek kolusi dan nepotisme antara pejabat dengan
swasta yang mengandung unsur korupsi atau perlakuan istimewa.
3. Mandat dari TAP Nomor : XI/MPR/1998 kepada B.J.Habibie untuk
melakukan pemberantasan korupsi dan pengusutan KKN mantan
Presiden Soeharto sesegera mungkin. Pemerintahan B.J Habibie
tidak berhasil menyeret mantan Presiden Soeharto ke pengadilan,
justru menghentikan penyelidikan kasus tersebut25.
25
http://www.ppatk.go.id
69
2) Masa Pemerintahan Abdurrachman Wachid
Di era pemerintahan Presiden K.H. Abdurrachman Wachid (Gus
Dur), gebrakan pemberantasan korupsi ditandai dengan dibentuknya
sebuah badan anti-korupsi yang diberi nama “Tim Gabungan
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi” (TGPTPK) yang dibentuk
berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor : 19 Tahun 2000. Namun
sayang, lembaga yang diketuai oleh Hakim Agung Andi Andojo tersebut
akhirnya harus dibubarkan, karena menurut hukum Mahkamah Agung
(melalui Judical Review) keberadaan dan struktur lembaga tersebut
tidak lazim. Hingga Presiden K.H. Abdurrachman Wachid (Gus Dur)
dilengserkan dari jabatan Presiden, pemberantasan korupsi tetap tidak
menunjukan hasil yang signifikan. Sejumlah kemajuan yang patut
dicatat untuk mengapresiasi kinerja antikorupsi dimasa Presiden K.H.
Abdurrachman Wachid (Gus Dur) adalah digagasnya sejumlah langkah
yang lebih progresif, sebagaimana yang ditulis oleh Teten Masduki
dalam salah satu tulisannya.
Pada masa pemerintahan Presiden K.H. Abdurrachman Wachid
(Gus Dur) telah ditempuh sejumlah langkah strategis, misalnya
pembentukan Komisi Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara
(KPKPN), Komisi Obudsman, Tim Gabungan Pemberantasan Korupsi,
Amandemen asas pembuktian terbalik, usulan RUU Komisi
Pemberantasan Korupsi dan RUU Pencucian Uang, meski gagasan itu
sudah dimulai zaman Presiden B.J. Habibie, namun semua itu, karena
70
tidak mendapat dukungan poltik dari Presiden dan DPR, sehingga
gregetnya kurang dirasakan masyarakat luas. (Masduki, 2001).
Langkah-langkah tersebut merupakan langkah lebih maju yag
diambil Presiden K.H. Abdurrachman Wachid (Gus Dur) untuk
melanjutkan upaya pemberantasan korupsi, (RUU KPK) baru dapat
direalisasikan (menjadi UU KPK) pada saat Presiden K.H.
Abdurrachman Wachid (Gus Dur) sudah lengser dari jabatanPresiden,
namun gagasan itu layak diapresiasikan sebagai adanya political will
pemerintah untuk memberantas korupsi.
Sebelum menjadi Presiden, K.H. Abdurrachman Wachid (Gus
Dur) adalah tokoh nasional yang sangat disegani, karismatik, punya
jaringan pendukung dan pengikut yang mengakar di dalam negeri dan
dihormati di luar negeri. Karena ketokohannya itu Presiden K.H.
Abdurrachman Wachid dipanggung politik sering disebut sebagai “guru
bangsa”. Dukungan untuk Presiden K.H. Abdurrachman Wachid (Gus
Dur) tidak saja datang dari kalangan muslim tradisional, tetapi juga dari
LSM. Karena itu tampilnya K.H. Abdurrachman Wachid (Gus Dur)
sebagai Presiden memberi harapan baru bagi kalangan pro demokrasi.
Namun sangat disayangkan, fakta yang terjadi di lapangan tidak
memenuhi harapan besar itu. Ketika K.H. Abdurrachman Wachid
menjadi Presiden justru banyak kalangan yag merasa bahwa K.H.
Abdurrachman Wachid (Gus Dur) sedang dikelilingi oleh para
71
“pembisik” yang mencari keuntungan pribadi, dan mengorbankan nama
besar dirinya.
Dalam pandangan masyarakat, pemerintahanPresiden K.H.
Abdurrachman Wachid (Gus Dur) tidak mencatat prestasi yang berarti
untuk pemberantasan korupsi. Presiden K.H. Abdurrachman Wachid
(Gus Dur) agaknya tidak mampu memenuhi harapan besar masyarakat,
terutama kalangan pro-demokrasi, yang merupakan masa pendukung
Presiden K.H. Abdurrachman Wachid (Gus Dur) sekaligus paling kritis
terhadap semua kebijakan pemerintah yang anti-demokrasi.Banyak
juga kalangan pengamat dalam negeri yang menyayangkan hal ini.
Kecintaan dan harapan besar kepada Presiden K.H. Abdurrachman
Wachid (Gus Dur) untuk bisa merubah kondisi Indonesia, dari sebagai
negara dengan predikat terkorup menjadi negara yang bersih dari
korupsi, tidak cukup mampu menahan arus tekanan politik untuk
melengserkannya dari jabatan Presiden. Kebencian masyarakat
kepada sepak terjang para koruptor kakap di masa orde baru belum
dapat terobati, ini seperti dilukiskan oleh Aditjondro dalam salah satu
tulisannya.
Berlawanan dengan harapan kaum gerakan pro-demokrasi di
Indonesia, ternyata pemerintahan Presiden K.H. Abdurrachman Wachid
(Gus Dur) belum begitu berhasil menghapus praktik-praktik korupsi
yang diwariskan oleh pendahulunya, dan juga belum begitu berhasil
menyeret para pelaku korupsi ke meja hijau. Sang diktator terdahulu,
72
mantan Presiden Soeharto, yang didakwa menyelewengkan uang Rp
1,3 triliyun serta US$ 420 juta dari tujuh Yayasan amal yang
dipimpinnya, telah lolos dari tuntutan hukum gara-gara alasan sakitnya.
Sementara itu, putra bungsunya, Hutomo Mandala Putra, oleh
Mahkamah Agung telah divonis hukuman penjara selama 18 bulan
gara-gara kasus tukar guling senilai US$ 11 juta, akhirnya
menyerahkan diri setelah sempat menjadi buronan polisi. (Aditjondro,
2006; 387).
Ironi lain yang terjadi adalah, ketika menjadi Presiden, K.H.
Abdurrachman Wachid (Gus Dur) seakan tidak menjadi dirinya, yaitu
seorang tokoh reformasi yang tegas, bersih dan sangat antikorupsi (anti
KKN). Sejumlah kasus berbau tidak sedap dikait-kaitkan kepadanya,
misalnya; kasus Yayasan Bina Sejahtera (Yunatera), dan kasus dana
non-budgeter Bulog. Dua kasus (skandal) yang akhirnya distigmakan
berhubungan langsung dengan Presiden K.H. Abdurrachman Wachid
(Gus Dur) yang memicu gerakan impeachment yang menurunkan K.H.
Abdurrachman Wachid (Gus Dur) dari Presiden adalah “Brunei-gate”
dan “Bulog-gate” (Aditjondro, 206; 388). Dengan katalain, sosok dan
ketokohan K.H. Abdurrachman Wachid (Gus Dur) belum dapat
mewarnai gerakan pemberantasan korupsi menjadi lebih baik. Namun
demikian, langkah dan kebijakan yang telah dilakukannya untuk
memberantas korupsi harus diakui sudah dilaksanakan hanya
73
sayangnya terganjal oleh persoalan judical review, sehingga lembaga
antikorupsi yang didirikannya tepaksa harus dibubarkan demi hukum.
3) Masa Pemerintahan Megawati Soekarnoputri
Di era Presiden Megawati, ada sejumlah catatan yang layak
untuk disampaikan sebagai gambaran dan profil korupsi pada masa
itu. Sosok dan ketokohan Megawati Soekarnoputri sangat kental
dengan perlawanan pada Orde Baru yang korup. Harapan besar
kepadaPresiden Megawati Soekarnoputri untuk bisa merubah
Indonesia menjadi bersih dari KKN tentu tidak salah, karena peran
politik yang dimainkan sebelum menjadi Presiden. Sayangnya,
beberapa kalangan kritis menemukan titik lemah dari Presiden
Megawati Soekarnoputri. Teten Masduki (dari ICW) adalah salah
satu tokoh anti korupsi (yang mewakili peran publik di luar
pemerintahan) dalam tulisannya yang berjudul “Prospek Korupsi di
Era Megawati” memberikan catatan pesimistis;
Pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri yang
kelahirannya dibidani proses impeachment terhadap Presiden K.H.
Abdurachman Wahid (Gus-Dur) karena dinilai menabrak konstitusi
dengan diawali tudingan terlibat korupsi dalam kasus Bulog dan
Brunei secara moralitas politik semestinya menampilkan
pemerintahan yang bersih dan respek terhadap pemberantasan
korupsi. Namun, sejak awal sudah banyak orang yang ragu dan
memperkirakan keadaannya lebih konservatif dari Presiden K.H.
74
Abdurachman Wahid (Gus-Dur). Konon beberapa nama yang dulu
sempat kecut diancam pedang keadilan almarhum Jaksa Agung
Baharuddin Lopa, kini mulai menebar senyum kembali tanda
malapetaka bakal berakhir. Banyak orang berharap ramalan miring
itu meleset, karena dari awal kita harus sadar, tidak mungkin bisa
banyak berharap kepada Pemerintahan Presiden Megawati
Soekarnoputri untuk melimpahkan ke pengadilan semua kasus-
kasus mega korupsi di masa lalu, seperti juga terhadap mantan
Presiden K.H. Abdurrahman Wachid dan Bj Habibie, dan Presiden
Megawati mungkin akan memilih jalan relative paling ringan secara
poitik dengan mengarahkan pemberantasan korupsi ke masa depan,
sehingga dengan begitu terhindar dari resiko benturan dengan
kekuatan-kekuatan lama yang masih mengendalikan realitas politik
dan ekonomi yang potensial menggoyang kursi kekuasaannya.
Belajar dari pengalaman pahit mantan Presiden Kh. Abdurrahman
Wachid (Gus Dur), besar kemungkinan keharmonisan koalisi politik
yang telah berjasa menjadikan Megawati Soekarnoputri ke
singgasana Presiden akan lebih diperhatikan ketimbang tunduk pada
tuntutan masyarakat reformasi26. (Masduki, 2001)
Titik lemah Presiden Megawati Soekarnoputri yang
memunculkan keraguan masyarakat bahwa dia bisa melakukan
pemberantasan korupsi dengan serius adalah pada sepak terjang
26
Peter Mahmud Marzuki, Penulisan Hukum, 2010, Prenada Media Grup, Jakarta, hlm. 10
75
bisnis suaminya. Dimana George Aditjondoro mencatat dalam salah
satu bukunya, sejumlah dugaan korupsi tertuju pada suami Megawati
Soekarnoputri, yaitu Taufik Kiemas, yang merupakan pengusaha
asal Sumatera Selatan. Dugaan tersebut mulai muncul semasa
Megawati Soekarnoputri menjabat sebagai Wakil Presiden, dimana
Taufik Kiemas konon telah membebaskan Marimutu Sinivasan, bos
Texmaco, salah seorang pemungut hutang IBRA yang paling besar
dari penyelidikan kriminal. Hal ini dilakukan Taufik Kiemas, setelah
dianugrahi jabatan sebagai komisaris dari sang konglomerat (Tajuk,
2 Maret 2000: 18-21; Detikcom, 20 Mei 2000; Adil, 22 Januari 2001:
6-7, dalam Aditjondro, 2006, 395).
Sepak terjang bisnis suami Presiden Megawati Soekarnoputri
itu memang telah menjadi buah bibir politik, tetapi hingga Presiden
Megawati Soekarnoputri mengakhiri masa pemerintahannya buah
bibir itu tidak sampai menyeret Taufik Kiemas ke ranah hukum,
“sejauh ini, belum ada dugaan yang ditimpakan kepada sang suami,
berikut anak, saudaranya serta rekan-rekannya, yang berhasil
dibuktikan secara hukum. Namun, kasus-kasus tersebut telah
menjadi buah bibir di kalangan bisnis serta politisi di Jakarta.”
(Aditjondro, 2006, 398).
Sikap pesimis masyarakat pada masa pemerintahan
Megawati ini memang sering terdengar. Beberapa kalangan melihat
bahwa orang-orang (elite) dekat Presiden Megawati Soekarnoputri
76
dari partainya (PDIP) banyak yang memiliki hubungan dekat dengan
konglomerat yang bermasalah. Disampning itu, munculnya Megawati
Soekarnoputri menjadi Presiden menggantikan Presiden K.H.
Abdurrahman Wachid (Gus-Dur) dinilai sarat politik, yang sangat
berpotensi memunculkan hubungan politik yang mendukungnya.
Kabinet yang dibentuk, yaitu “Kabinet Gotong Royong”,
mencerminkan profesionalitas dan integritas atau sekedar kompromi
politik27.
Penilaian dan pendapat ketua BPK waktu itu bahkan cukup
mencengangkan. Ia mengatakan korupsi di era Presiden Megawati
Soekarnoputri ternyata lebih parah. Ada gejala korupsi tidak lagi
memusat diputaran dalam pemerintahan pusat, tetapi sudah merata
di seluruh lini lingkar pemerintahan dari pusat hingga ke daerah-
daerah. Meskipun demikian, dimasa pemerintahan Presiden
Megawati Soekarnoputri, komitmen untuk tetap memerangi korupsi
juga terus digalakkan. Pada masa inilah pemerintahan membentuk
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui Undang-Undang
Nomor : 30 Tahun 2002. Struktur dan kelembagaan KPK tidak
dipengaruhi oleh kekuasaan manapun. Begitu dibentuk, KPK
langsung bekerja ekstra keras, sehingga meskipun sebagai lembaga
baru, KPK menunjukkan sebagai lembaga yang berwibawa dan
27
ibid
77
ditakuti oleh para pejabat. Hal ini sesuai dengan visi, misi dan fungsi
KPK itu sendiri.
Dari uraian tersebut dapat dikatakan bahwa di era Presiden
Megawati Soekarnoputri, korupsi tetap saja terjadi, bahkan mulai
menunjukkan gejala menyebar hingga ke daerah-daerah. Dua menteri
di era Presiden Megawati Soekarnoputri juga harus berurusan dengan
KPK karena diketahui melakukan tindak pidana korupsi. Meskipun
demikian, upaya membasmi korupsi secara sungguh-sungguh mulai
dilakukan. Perundang-undangan anti korupsipun sudah mulai
diimplementasikan, yang antara lain melahirkan KPK sebagai lembaga
anti korupsi yang independen.
4) Masa Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono
Di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), gebrakan
anti-korupsi, disamping melanjutkan gebrakan Presiden sebelumnya,
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) juga melakukan gebrakan
dengan membentuk Tim Tas Tipikor (Tim Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi) berdasarkan Keppres Nomor : 16/M Tahun 2005.
Lembaga ini mengemban misi melakukan percepatan pemberantasan
korupsi di lingkungan pemerintahan. Eksistensi dan kedudukannya
berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden.
Maka dengan demikian maka di era pemerintahan Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY), Indonesia pernah memiliki 2 kelembagaan
anti-korupsi, yaitu KPK dan Tim Tas Tipikor. Namun dalam
78
perkembangannya pada pertengahan tahun 2007, lembaga Tim Tas
Tipikor dibubarkan dan fungsinya dijalankan oleh lembaga peradilan
umum.
Jadi dalam hal kelembagaan pemberantasan korupsi sejak era
reformasi, telah dibentuk sebuah lembaga independen di luar
pemerintah yang bertugas utuk memberantas korupsi dengan
kewenangan yang lebih keras dan besar. Lembaga tersebut adalah
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang bermuara pada Pengadilan
Ad Hoc Korupsi. Selain KPK, di era Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY) ada satu lembaga lagi yang bertugas memberantas
korupsi. Lembaga tersebut diberi nama Tim Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi (TimTasTipikor). Lembaga ini dibentuk oleh SBY
berdasarkan Keppres No. 16/M Tahun 2005 Tanggal 21 April 2005
dengan misi khusus, yaitu melakukan percepatan pemberantasan
korupsi di lingkungan pemerintahan (Birokrasi). Kedudukannya berada
dibawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden.Maka
dengan demikian pemberantasan korupsi di Indonesia dilakukan
dengan menggunakan 2 jalur. Pertama; jalur KPK yang keras,
penyelidikannya tidak boleh dihentikan dan bermuara pada Pengadilan
Ad Hoc Korupsi dengan kewenangan besar. Kedua; jalur Tim Tas
Tipikor, yaitu jalur biasa seperti jalur Kejaksaan yang bermuara pada
pengadilan umum dan penyelidikannya masih bisa dihentikan, tetapi
yang membedakan dua kelembagaan pemberantasan korupsi itu
79
adalah, KPK yang merupakan lembaga independen dan berada diluar
pemerintahan, sedangkan TimTasTipikor berada dibawah kendali
pemerintah. Supaya tidak tumpang tindih, maka antara dua
kelembagaan tersebut dilakukan koordinasi.
Namun demikian, di awal-awal pemerintahannya, SBY terkesan
agak peragu, sehingga memunculkan banyak kritik dari berbagai
kalangan kritis. Berbagai kritik terhadap duet Presiden Susilo Bambang
Yudoyono dan Jusuf Kalla (SBY-JK) memang seakan dijawab secara
perlahan-lahan namun pasti oleh pasangan tersebut. Sehingga secara
bersamaan, kinerja pemberantasan korupsi berangsur-angsur positif,
terutama dilihat dari kinerja kelembagaan antikorupsi yang independen,
yaitu KPK.
Kinerja KPK untuk memberantas korupsi sangat menonjol,
bahkan telah mulai membawa efek jera. Hingga kini kerja KPK tercatat
sudah menjamah pejabat-pejabat elit yang korup. Ada birokrat, politisi,
pejabat BI, Polisi, Jaksa di Kejaksaan Agung, Hakim di Mahkamah
Agung, Anggota Legislatif dari DPR RI maupun DPRD, Duta Besar dan
Menteri, Advokat serta dari Perbankan.
Sebuah catatan yang menarik untuk mengapresisasi upaya
pemberantasan korupsi di Indonesia pada masa reformasi ini adalah,
bahwa gencarnya upaya KPK memberantas korupsi belum diimbangi
dengan menurunnya kasus-kasus korupsi, seperti yang terus terungkap
belakangan ini. Argumen yang populer dikalang pemerhati masalah
80
korupsi di Indonesia adalah, bahwa ini semua diakibatkan oleh banyak
dan kompleksnya kasus korupsi, sehingga begitu satu kasus terungkap
maka berkembang terus sehingga membuka mata kita bahwa korupsi
yang terjadi bukanlah kasus tunggal, melainkan majemuk. Istilah
lainnya adalah “korupsi berangkai”, “korupsi berjamaah” atau bersama-
sama baik perseorangan maupun korporasi. Bahkan ada kalkulasi yang
menyatakan bahwa besarnya kerugian negara akibat ulah korupsi
pejabat dimasa Orde Baru masih kalah dengan besarnya di Era
Reformasi.
Diasumsikan bahwa pada masa Orde Baru korupsi dinilai lebih
sedikit (25 triliun), sementara sekarang pada Orde Reformasi
membengkak luar biasa (diperkirakan 175 triliun) diharap asumsi ini
tidak benar tetapi faktanya seperti membuktikan mulai dari menyalah
gunaan uang pembangunan, uang BLBI, ilegal loging sampai orang
yang mestinya menyelidiki kaum koruptor, malah tak sedikit penyidik
yang diduga korupsi, “hakim dan jaksa”, yang harus mengadili para
koruptor malah banyak yang menjadi tersangka korupsi. Benar, kata
Yosua, “jeruk makan jeruk”, penyidik menyidik penyidik dan jaksa
menuduh jaksa, hakim menghukum hakim. Memperhatikan pada tahun
2008 kasus BI yang gubernurnya digonjang-ganjing sebagai “saksi
korupsi”, bahka anggota KY yang mestinya meneliti calon hakim malah
korupsi juga (sudah dijatuhi vonis 6 tahun). (Abdurahman, 2008).
81
Seperti kasus-kasus korupsi yang lain, kasus korupsi BLBI
tersebut memang akhirnya menyeret banyak petinggi negara.
Disamping gubernur BI juga ada menteri dan anggota DPR. Yang
paling baru adalah terkuaknya informasi bahwa ada 52 anggota DPR
yang teridikasi menerima uang korupsi dalam perkara BI. Yang menarik
adalah bahwa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dikabarkan
memiliki sikap tegasdan konsisten. Ia bahkan menyatakan tidak akan
membela dua orang menterinya yang disebut-sebut turut menikmati
uang korupsi dana BI.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terus mengamati
perkembangan kasus aliran dana BI ke DPR yang melibatkan dua
pembantunya di Kabinet Indonesia Bersatu. Yakni, Menteri PPN/Kepala
Bappenas Paskah Suzetta dan Menhut M.S. Kaban. Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY)pada saat itu mengatakan tidak akan
memberikan perlindungan maupun pembelaan terhadap keduanya.
Jadi meskipun pada era pemerintahannya ditandai dengan
membaiknya kinerja KPK, serta semakin apresiasifnya masyarakat
terhadap kerja KPK, namun korupsi agaknya belum segera berhenti.
Tidak saja korupsi politik, tetapi juga korupsi birokrasi.
Korupsi birokrasi yang belakangan terungkap antara lain adalah
yang terjadi di Bea Cukai. Sebuah badan dari birokrasi pemerintah di
bawah kendali Departemen Keuangan yang sudah ditingkatkan
remunerasinya. Kejadian tersebut sangat mencoreng muka pemerintah,
82
bahkan muka seluruh bangsa Indonesia. Sebab, disamping terjadi
ditengah-tengah KPK sedang gencar-gencarnya memberantas korupsi,
juga karena Bea Cukai sudah disorot banyak kalangan, yang
melakukan perbaikan internal.
Bea Cukai memang kerap dituding sebagai lembaga birokrasi
yang paling korup. Ini bukan lagi stigma, sebab disamping kasus yang
melibatkan tiga Auditor Bea Cukai tersebut, masih ada kasus-kasus
lainnya yang tidak kalah hebohnya. Ini seperti yang berhasil diungkap
KPK pada 30 Mei 2008, sebagaimana dilaporkan oleh Nograhany Widhi
K dari detikcom, yang dikutip lengkap sebagai berikut:
Jakarta, KPK menggeledah Kantor Pelayanan Utama (KPU) Bea
Cukai Tanjung Priok Jumat tanggal 30 Mei 2008. KPK berhasil menyita
barang bukti dugaan suap pegawai Bea Cukai senilai Rp 500 juta.
„seharian itu dari jumat pukul 15.00 WIB sampai sabtu pukul 01.00 WIB
yang dapat Rp.500 juta. Itu amplop dari berbagai macam perusahaan,”
ujar Wakil Ketua KPK M. Jasin ketika dihubungi detikcom, sabtu
(31/5/2008).
Jumlah Rp 500 juta itu, imbuh dia, selain dalam bentuk mata
uang rupiah, juga ada dalam bentuk mata uang asing seperti US Dollar,
Australian Dollar, Singapore Dolar. “ada yang satu gepok Rp 9 juta, ada
yang Rp 15 juta. Ada yang dimobil kita dapatkan US$ 1.000 dan uang
Rp. 25 Juta yang totalnya itu Rp 50 juta.” Ujar dia. Banyak juga hasil
dugaan suap yang ditemukan dalam bentuk dokumen penerimaan
83
transfer, cek, dan banyak amplop bertuliskan ditujuan kepada pejabat
Bea Cukai. Selain dalam bentuk uang, cek, dokumen transfer dan
amplop tidak ada barang non-cash atau non-natura sebagai bentuk
suap yang ditemukan KPK. “tidak ada, kalau bukan uang itu soalnya
berat, karena berupa barang,” ujar Jasin. (nwk/asy). (Nograhany Widhi
K-detikcom, 31/05/2008 09:55 WIB).
Korupsi ternyata sudah bertahun-tahun dipraktekkan dan terjadi
di hampir semua negara. Di Indonesia sendiri praktik korupsi ternyata
sudah ada sejak lama. Meskipun dilakukan pemberantasan, namun
tetap saja korupsi tidak dapat dikikis habis. “Sesudah 60 tahun
merdeka, korupsi di Indonesia bukannya makin surut, tetapi justru
makin menghebat, terjadi di semua lini dan sektor pemerintahan
(Wahab, 2005). Bahkan sudah merambah dan melibatkan orang-orang
di luar pemerintahan. Korupsi tdak saja mewarnai hiruk pikuk kesibukan
lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, tetapi juga mewarnai dan
dilakukan oleh akademisi, cendekiawan dan aktivis LSM kasus di KPU
adalah salah satu bukti betapa korupsi itu dipraktekan oleh siapa saja,
baik yang memegang kekuasaan sentral, maupun oleh mereka yang
kekuasannya dikontrol sangat ketat. Padahal, sebagaimana pandangan
Robert Klitgard, sebenarnya di negara demokratis dimana monopoli
dan diskresi dikontrol maka korupsi dapat ditekan.
Kegagalan atau ketidakberhasilan praktek pemberantasan
korupsi (anti-korupsi) di Indonesia selama ini, diamati dari sudut
84
pandang teori, sesungguhnya disebabkan karena sudah akutnya
korupsi itu terjadi dan mewabah ke semua lini di lembaga publik
maupun swasta. Dari sisi budaya juga dapat dijelaskan bahwa praktek
suap sudah membudaya dikalangan masyarakat dengan tujuan
mendapatkan perlakuan, pelayanan, dan hak-hak istimewa dari
pemerintah. Demikian juga ditinjau dari sudut ekonomi; korupsi dan
suap yag dilakukan oleh pegawai pemerintah seakan menjadi hal yang
lumrah ketika disodorkan fakta bahwa betapa gaji pegawai pemerintah
sangat kecil dan tidak dapat mencukupi kebutuhan sehari-hari mereka
beserta keluarganya, hal mana disebabkan oleh tingginya harga barang
dan jasa yang harus mereka bayar. Tetapi yang menarik adalah ketika
lembaga KPK menjalankan tugasnya. Indeks prestasi korupsi di
Indonesia ternyata tidak banyak berubah ke arah yang mengindikasikan
bahwa nafsu korupsi telah mereda. Jangankan menunjukan indikasi
yang positif, banyaknya kasus korupsi yang dungkap oleh KPK dan
lembaga penyidik lainnya (Polisi dan Kejaksaan) tidak membuat jera
kalangan tertentu untuk menghilangkan nafsu korupsinya, bahkan
beberapa kali dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) secara jelas
terbukti tertangkap ketika perbuatan korupsi itu terjadi. Korupsi-korupsi
lama diungkap ternyata menghasilkan korupsi baru dalam bentuk suap
untuk meringankan hukuman atau membebaskan dari segala tuduhan.
Di sisi lain semangat memberantas korupsi dengan pendekatan hukum
ternyata tidak diikuti dengan perbaikan sistem hukum dan peradilan,
85
sehingga banyaknya kasus korupsi yang diungkap justru semakin
menyuburkan nafsu korupsi di lembaga para penegak hukum itu
sendiri. Istilah popularnya adalah “mafia peradilan”.
Akan tetapi hal ini bisa saja dikarenakan 3 (tiga) hal, yaitu
pertama etika moralnya yang memang sudah bobrok sehingga tidak
merasa malu melakukan perbuatan korupsi, atau kedua dikarenakan
pemberian hukuman oleh penegak hukum yang masih terlalu ringan,
sehingga tidak ada perasaan khawatir melakukan korupsi, dan ketiga
karena merasa penegak hukum bisa dibeli atau disuap, sehingga
merasa aman melakukan korupsi.
Dari tinjauan dari gambaran tersebut di atas dapat dikatakan,
bahwa hal tersebut sebagai konsekuensi dari terlalu ringannya dan
tidak tegasnya penegakan hukum pada pelaku tindak pidana korupsi.
Karena hukuman yang diberikan selama ini tidak ada yang berat, sama
dengan tindak pidana biasa/umum, bahkan lebih rendah hukumannya
dari tindak pidana biasa/umum, padahal tindak pidana korupsi
merupakan tindak pidana yang digolongkan tindak pidana luar biasa.
Sementara ini banyak kasus-kasus korupsi dapat diungkap dan
disidangkan, tetapi hukuman yang terberat hanya dalam kasus Budiaji
dalam kasus Bulog, dan Akil Muchtar ketua MK dalam kasus gratifikasi
dan suap, sementara selebihnya tidak ada yang dihukum berat sejak
sejarah pemberantasan tindak pidana korupsi.
86
Dampak negatif yang ditimbulkan dari terlalu ditonjolkannya
pendekatan hukum yang ringan ala kadarnya, maka tidak ada rasa
takut, malu dan menganggap remeh penegakan hukum, walaupun
sebagian merasa khawatir setelah adanya KPK, dan dari beberapa
kalangan birokrasi ada yang keliru menafsirkan sehingga takut untuk
menjalankan tugas-tugasnya dan melakukan kreativitas dalam
pelayanan publik. Hal mana menyusul masih belum adanya kepastian
hukum (UU, PP, Inpres, Permen, Perda dll) dalam administrasi publik,
bahkan ada beberapa aturan hukum yang saling bertentangan. Rasa
ketakutan birokrasi tersebut semakin diperparah oleh adanya semangat
yang membabi buta dari penegak hukum untuk memenuhi target dalam
mengungkap perkara yang diduga berbau korupsi. Sehingga di
kalangan birokrasi muncul anggapan bahwa sekarang ini muncul
kecenderungan “stigmatisasi” dan “kriminalisasi” administrasi. Padahal
jika seorang birokrasi menjalankan tugas dan wewenangnya sesuai
dengan ketentuan yang ada dan tidak menyimpang tidak perlu takut.
Sementara itu disisi lain juga muncul kritik yang tajam kepada
amburadulnya sistem peradilan. Ada penilaian dari kalangan kritis
bahwa penanganan hukum pada kasus korupsi tidak serius, sehingga
muncul anggapan bahwa pasal-pasal pidana korupsi dapat di
administrasikan. Istilah populernya adalah ”administrasi kasus korupsi”.
Berbagai kritik tersebut sebenarnya menggambarkan bahwa terlalu
menonjolkan pendekatan hukum yang ditetapkan selama ini ternyata
87
berdampak negatif, khususnya pada upaya reformasi birokrasi,
sehingga masih diperlukan sosialisasi yang lebih atas hal-hal tersebut.
Permasalahannya adalah, bagaimana perspektif administrasi
publik dalam pemberantasan korupsi ? Konsep, teori, prinsip-prinsip
dan nilai dasar apakah yang dikembangkan administrasi publik dalam
upaya mewujudkan administrasi publik yang baik, yang ditandai oleh
semangat meningkatkan mutu dan profesionalisme birokrasi, perbaikan
kualitas layanan publik, dan pencegahan potensi terjadinya korupsi
birokrasi masih diperlukan.
Analisis di atas tidak dimaksudkan untuk menafikan peran dari
semua pendekatan yang dimaksud. Dalam pandangan penulis,
berbagai pendekatan tersebut tetap dapat dilaksanakan sepanjang
diterapkan juga pendekatan dari perspektif administrasi publik secara
bersama-sama dan saling melengkapi.
C. Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
1. Pencegahan Tindak Pidana Korupsi
Hoefnagels, sebagaimana dikutip Barda Nawawi Arief28, upaya
penanggulangan kejahatan dapat ditempuh dengan:
1. Criminal law application;
2. Prevention without punishment; dan
3. Influencing views of society on crime and punishment/mass
media.
28
Barda Nawawi Arief. 2001. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan. Citra Adtya Bakti : Bandung. Hlm. 12
88
Dari pendapat Hoefnagels tersebut dapat dikatakan bahwa
kebijakan kriminal secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi dua,
yaitu:
a) Pada butir 1 merupakan kebijakan kriminal dengan menggunakan
saran hukum pidana (penal policy); dan
b) Pada butir 2 dan 3 kebijakan kriminal dengan menggunakan
sarana diluar hukum pidana (nonpenal policy).
Faktor-faktor penyebab korupsi, sebagaimana yang telah
disebutkan di atas, mencakup berbagai dimensi, bisa dari bidang moral,
sosial, ekonomi, politik, budaya, administrasi, dan sebagainya.
Menghadapi faktor-faktor penyebab korupsi tersebut, perangkat hukum
bukan merupakan alat yang efektif untuk menanggulangi korupsi.Upaya
penanggulangan korupsi tidak dapat dilakukan hanya dengan
menggunakan perangkat hukum.29
Keterbatasan kemampuan hukum pidana itu, menurut Barda
Nawawi Arief, disebabkan hal-hal berikut :30
1) Sebab-sebab terjadinya kejahatan (khususnya korupsi) sangat
kompleks dan berada diluar jangkauan hukum pidana.
2) Hukum pidana hanya merupakan bagian kecil (subsistem) dari
sarana kontrol sosial yang tidak mungkin mengatasi masalah
kejahatan sebagai masalah kemanusiaan dan kemasyarakatan
29
Ibid. 30
Ibid.
89
yang sangat kompleks (sebagai masalah sosio psikologis, sosio
politik, sosio ekonomi, sosio kultural, dan sebagainya).
3) Penggunaan hukum pidana dalam menanggulangi kejahatan
hanya merupakan “kuriren am symptom” (penanggulangan/
pengobatan gejala), oleh karena itu, hukum pidana hanya
merupakan “pengobatan simptomatik” dan bukan “pengobatan
kausatif”.
4) Sanksi hukum pidana hanya merupakan “remedium” yang
mengandung sifat kontradiktif/paradoksal dan mengandung
unsur-unsur serta efek sampingan yang negatif.
5) Sistem pemidanaan bersifat fragmentair dan individual/personal,
tidak bersifat struktural/fungsional.
6) Keterbatasan jenis sanksi pidana dan sistem perumusan sanksi
pidana yang bersifat kaku dan imperatif.
7) Bekerjanya/berfungsinya hukum pidana memerlukan sarana
pendukung yang lebih bervariasi dan lebih menuntut “budaya
tinggi”.
Dilihat dari perspektif politik kriminal secara makro maka kebijakan
penanggulangan kejahatan dengan menggunakan sarana di luar hukum
pidana atau nonpenal policy merupakan kebijakan yang paling strategis.
Hal ini disebabkan karena nonpenal policy lebih bersifat sebagai tindakan
pencegahan terhadap terjadinya kejahatan. Pada hakikatnya tidak dapat
disangkal bahwa tindakan represif mengandung juga preventif, namun
90
perlu disadari bahwa prevensi yang sesungguhnya berupa upaya
maksimal untuk tidak terjadi tindak pidana kejahatan.
Dalam Kongres PBB ke-6 di Caracas (Venezuela) pada tahun 1980
antara lain dinyatakan di dalam pertimbangan resolusi, bahwa “crime
prevention strategies should be bassed upon the elimination of causes
and conditions giving rise to crime”. Selanjutnya dalam kongre PBB ke-7 di
Milan, Italia pada tahun 1985 juga dinyatakan bahwa “the basic crime
prevention must seek to eliminate the causes and conditions that favour
crime”.31
Kongres PBB ke-8 di Havana, Kuba pada tahun 1990 menyatakan
bahwa “the social aspects of development are an important factor in the
achievement of the objectives of the strategy for crime prevention and
criminal justice in the context of development and should be given higher
priorit”. Dalam kongres PBB ke-10 di Wina, Austria pada tahun 2000 juga
ditegaskan kembali bahwa “comprehensive crime prevention strategis at
the international, national, regional, and local level must addres the root
causes and risk factors related to crime and victimization through social,
economic, health, educational, and justice policies”32
Dikaitkan dengan berbagai hal tersebut di atas, di samping
penanggulangan korupsi melalui sarana hukum pidana maka kebijakan
penanggualangan tindak pidana korupsi juga harus diusahakan dan di
31
Ibid. Hlm. 54 32
Ibid. Hlm. 55
91
arahkan pada usaha-usaha untuk mencegah dan menghapus faktor-faktor
yang berpotensi menjadi penyebabterjadinya korupsi. Sudarto
menyatakan bahwa:33
Suatu “Clean Government”, dimana tidak terdapat atau setidak-
tidaknya tidak banyak terjadi perbuatan-perbuatan korupsi, tidak bisa
diwujudkan hanya dengan peraturan-peraturan hukum, meskipun itu
hukum pidana dengan sanksinya yang tajam, namun jangkauan hukum
pidana adalah terbatas, sementara usaha pemberantasan secara tidak
langsung dapat dilakukan dengan tindakan-tindakan di lapangan politik,
ekonomi, dan sebagainya.
Upaya-upaya non penal untuk mencegah terjadinya korupsi yang
dikemukakan oleh para ahli diantaranya yaitu:
a. Bappenas mengemukakan bahwa langkah-langkah pencegahan dalam
Rencana Aksi Nasional Pemberantasan 2004-2009 diprioritaskan pada:
1) Mendesain ulang pelayanan publik, terutama pada bidang-bidang
yang berhubungan langsung dengan kegiatan pelayanan kepada
masyarakat sehari-hari. Langkah-langkah prioritas ditujukan pada:
(a) Penyempurnaan SistemPelayanan Publik ;
(b) Peningkatan Kinerja Aparat Pelayanan Publik ;
(c)Peningkatan Kinerja Lembaga Pelayanan Publik ; dan
(d) Peningkatan Pengawasan terhadap Pelayanan Publik.
33
Dalam Sunarso Siswanto. 2005. Wawasan Penegakan Hukum di Indonesia. Penerbit PT. Citra Aditya Bakti : Bandung. Hlm.32
92
2) Memperkuat transparansi, pengawasan dan sanksi pada kegiatan-
kegiatan pemerintah yang berhubungan dengan ekonomi dan
sumber daya manusia. Langkah-langkah prioritas ditujukan pada:
(a) Penyempurnaan Sistem Manajemen Keuangan Negara;
(b) Penyempurnaan Sistem Procurement/ Pengadaan Barang dan
Jasa Pemerintah; dan
(c) Penyempurnaan Sistem Manajemen SDM Aparatur Negara;
(d) Meningkatkan Pemberdayaan Perangkat-Perangkat Pendukung
dalam Pencegahan Korupsi.
b. Spinellis mengemukakan upaya nonpenal dalam mencegah “top hat
crime” sebagai berikut:
1) Situsional Prevention
Further measures of prevention of offences ny politicians in power
would be the checks and balances, i. e the methods of control of
supervision. These my consist in provisions, institusions and
special officials, competent to control. A further institusional
method of checks and balances is the control of the goverment
activities and a high degree of transparence in such as activities.
2) High Standar of Professional Moral
One of the most important checks of criminal offences committed
by politicians in office is a high standar of professional morals the
creation of the power climate in which high professional ethics
may develop and thrive.
93
2. Penindakan (Represif) Tindak Pidana Korupsi.
Dalam suatu proses penegakan hukum termasuk juga tindak
pidana korupsi, selain dibutuhkan seperangkat peraturan perundang-
undangan, dibutuhkan juga instrumen penggeraknya, yaitu institusi-
institusi penegak hukum dan implementasinya melalui mekanisme kerja
dalam sebuah sistem, yaitu sistem peradilan pidana (criminal justice
system). Sistem peradilan pidana mempunyai dimensi ganda. Di satu
pihak berfungsi sebagai sarana masyarakat untuk menahan dan
mengendalikan kejahatan pada tingkat tertentu (crime containment
system). Di lain pihak juga berfungsi untuk pencegahan skunder
(secondary prevention), yakni mencoba mengurangi kriminalitas di
kalangan mereka yang pernah melakukan tindak pidana dan mereka
yang bermaksud melakukan kejahatan, melalui proses deteksi,
pemidanaan dan pelaksanaan pidana.34
Aplikasi atau penegakan hukum pidana yang tersedia tersebut
dilaksanakan oleh instrumen-instrumen yang diberi wewenang oleh
Undang Undang untuk melaksanakan kewenangan dan kekuasaannya
masing-masing dan harus dilakukan dalam suatu upaya yang sistematis
untuk dapat mencapai tujuannya. Upaya yang sistematis ini dilakukan
dengan mempergunakan segenap unsur yang terlibat di dalamnya
sebagai suatu kesatuan dan saling berhubungan (interelasi), serta saling
34
Mardjono Reksodiputro. 1993. Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, Pidato Pengukuhan Guru Besar tetap dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia : Jakarta. Hlm. 1.
94
mempengaruhi satu sama lain. Upaya yang demikian harus diwujudkan
dalam sebuah sistem yang bertugas menjalankan penegakan hukum
pidana tersebut, yaitu Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice Sytem)
yang pada hakikatnya merupakan sistem kekuasaan menegakkan
hukum pidana. Oleh karena itu, setiap aparat dari sistem peradilan
pidana (criminal justice system) harus selalu mengikuti perkembangan
dari setiap perundang-undangan yang terbit karena aparat dalam sistem
peradilan pidana tersebut “menyandarkan” profesinya pada hukum
pidana dalam upaya mengantisipasi kejahatan yang terjadi.35
Sistem Peradilan Pidana ini diwujudkan / diimplementasikan
dalam 4 (empat) sub sistem, yaitu : 36
1. Kekuasaan “Penyidikan” oleh lembaga penyidik;
2. Kekuasaan Penuntutan oleh lembaga penuntut umum;
3. Kekuasaan mengadili dan menjatuhkan putusan oleh badan
pengadilan;
4. Kekuasaan pelaksanaan putusan/pidana oleh badan/aparat
pelaksana/eksekusi.
Masing-masing kekuasaan yang merupakan sub sistem dalam
Sistem Peradilan Pidana tersebut merupakan kekuasaan yang
merdeka/independent dalam arti bebas dari pengaruh penguasa atau
dari tekanan dari pihak luar. Akan tetapi kemandirian tersebut tidak
35
Barda Nawawi Arief. 2001. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan. Citra Aditya Bakti : Bandung. Hlm. 28.
36Ibid.
95
bersifat parsial (fragmenter), tetapi kemandirian dalam satu sistem, yaitu
Sistem Peradilan Pidana yang integral (Integrated Criminal Justice
System).37
Sistem peradilan pidana yang integral merupakan suatu sistem
yang berlaku pula untuk tindak pidana korupsi. Dalam Penjelasan umum
UU Nomor : 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi dinyatakan :
Mengingat korupsi di Indonesia terjadi secara sistemik dan meluas
sehingga tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah
melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas,
maka pemberantasan korupsi perlu dilakukan dengan cara luar
biasa. Dengan demikian pemberantasan tindak pidana korupsi harus
dilakukan dengan cara yang khusus
Penjelasan umum Undang Undang Nomor : 30 tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasan Korupsi juga menyatakan :
Meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali, akan
membawa bencana tidak saja terhadap kehidupan perekonomian
nasional tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara pada
umumnya. Tindak pidana korupsi yang meluas dan sistemik juga
merupakan pelaggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak
ekonomi masyarakat, dan karena itu semua maka tindak pidana
korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa
melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar biasa. Begitu pun
dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan secara
biasa, tetapi dituntut cara-cara yang luar biasa”. ”Penegakan hukum
untuk memberantas tindak pidana korupsi yang dilakukan secara
komvensional selama ini terbukti mengalami berbagai hambatan,
untuk itu diperlukan metode penegakan hukum secara luar biasa
melalui pembentukan suatu badan khusus yang mempunyai
kewenangan luas, independen serta bebas dari kekuasaan manapun
37
Barda Nawawi Arief. Sistem Peradilan Pidana Terpadu dalam Kaitannya dengan Pembaruan Kejaksaan dalam Media Hukum Vol. 2 Nomor 1 tahun 2003. Hlm. 30.
96
dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, yang
pelaksanaannya dilakukan secara optimal, intensif, efektif,
profesional serta berkesinambungan.
Tindak Pidana Korupsi dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa
(extra ordinary crime) maka penanganannya pun kemudian membutuhkan
perhatian yang serius dan luar biasa pula. Dalam hal ini, Pemerintah
Indonesia juga telah memperlihatkan keseriusannya dalam percepatan
pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia. Keseriusan itu terlihat
dengan dikeluarkannya berbagai macam kebijakan baik dalam hal
pencegahan (preventif) maupun penanganan (represif) tindak pidana
korupsi, antara lain :
1) UU Nomor : 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara
Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme;
2) UU Nomor : 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK);
3) UU Nomor : 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations
Convention Againts Corruptions, 2003 (konvensi PBB Anti Korupsi,
2003;
4) UU Nomor : 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi;
5) PP Nomor : 65 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemeriksaan
Kekayaan Penyelenggara Negara;
6) PP Nomor : 19 Tahun 2000 tentang Tim Gabungan Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi;
97
7) PP Nomor : 71 Tahun 2001 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran
Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan
dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
8) TAP MPR Nomor : XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara
yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme;
9) TAP MPR Nomor : VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah
Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme;
10) Keputusan Presiden Nomor : 11 Tahun 2005 tentang Tim
Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
11) Instruksi Presiden Nomor : 5 Tahun 2004 tentang Percepatan
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
12) Instruksi Presiden Nomor : 9 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi
Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi.
13) Petunjuk Pelaksanaan Bersama Jaksa Agung RI dan Kepala BPKP
Nomor : Juklak-001/JA/2/1989 Nomor KEP-145/K/1989 tentang
Upaya Memantapkan Kerja Sama Kejaksaan dan BPKP dalam
Penanganan Kasus yang Berindikasi Korupsi
14) Keputusan Jaksa Agung RI Nomor : KEP-102/JA/05/2000 tentang
Pembentukan Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi ;
98
15) Surat Edaran Nomor : SE-007/A/JA/11/2004 Tanggal 26 Nopember
2004 Tentang Percepatan Proses Penanganan Perkara-Perkara
Korupsi se-Indonesia;
16) Keputusan Bersama Ketua KPK dan Jaksa Agung RI Nomor : KEP-
1 11212005 Nomor KEP-IAIJ.A11212005 Tentang Kerja sama
Antara Komisi Pemberantasan Korupsi dengan Kejaksaan Republik
Indonesia dalam rangka Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
17) Keputusan Menko Polhukam Nomor: Kep-54/Menko/Polhu-
kam/12/2004 tanggal 17 Desember 2004 dan telah beberapa kali
diperbaharui. Terakhir dengan Keputusan Menko Polhukam Nomor
: Kep-05/Menko/Polhukam/01/2009 tanggal 19 Januari 2009
tentang susunan keanggotaan tim terpadu pencari terpidana dan
tersangka perkara tindak pidana korupsi atau yang dikenal dengan
Tim Pemburu Koruptor.
18) Ditandatanganinya Memori of Understanding (MoU) atau Nota
Kesepahaman tentang Kerjasama Penanganan Kasus
Penyimpangan Pengelolaan Keuangan Negara dan Dana Non
budgeter Yang Berindikasi Tindak Pidana Korupsi antara Jaksa
Agung, Hendarman Supandji, Kapolri, Jendral Polisi Drs. Sutanto
dan Kepala Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan
(BPKP) Didi Widayadi pada 28 September 2007, dimana
kesepahaman tersebut kemudian dilanjutkan baik di tingkat propinsi
99
yakni antara Kajati, Kapolda dan Kepala Perwakilan BPKP Provinsi
diikuti Kajari dan Kapolres seluruh Kabupaten/Kota di Indonesia.
19) Banyak diberikannya ijin penahanan terhadap para pejabat seperti
Kepala Daerah atau Anggota DPRD baik di Propinsi maupun
Kabupaten/Kota, yang sebelumnya terkesan untouchable by the
law (tidak tersentuh oleh hukum).
20) Bahwa pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi baik ditingkat
penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan menjadi
prioritas dan diutamakan, dimana penanganannya di dahulukan
dari perkara lain guna penyelesaian secepatnya.
Sejalan dengan terbitnya Undang Undang Nomor : 30 tahun 2002
tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU-KPK) maka
bertambahlah lembaga peradilan yang berwenang untuk menangani
tindak pidana korupsi yaitu Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
(KPK). Dimana KPK ini dibentuk dengan tujuan meningkatkan daya guna
dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi dan
merupakan lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan
wewenangnya bersifat independen dari pengaruh kekuasaan manapun.
Hal inilah yang secara mendasar merupakan perbedaan antara lembaga
KPK dengan Kejaksaan/Kepolisian karena lembaga Kejaksaan dan
Kepolisian tidak bersifat independen namun merupakan lembaga
pemerintah (eksekutif) di bawah Presiden.
100
Luasnya kewenangan KPK menjadikan lembaga ini dijuluki sebagai
“super body” yang dapat menyentuh seluruh elemen negara dan
masyarakat dalam memberantas tindak pidana korupsi. Tentu masih
segar dalam ingatan kita bagaimana aparat KPK telah masuk ke dalam
ruangan Ketua Mahkamah Agung dan melakukan penggeledahan di
dalam ruangan Ketua Lembaga Yudikatif tertinggi di negara ini.
Penanganan perkara KPK terhadap tindak pidana korupsi memang
berbeda dengan Kejaksaan maupun Kepolisian karena KPK mempunyai
wewenang-wewenang yang lebih luas dari lembaga Kejaksaan maupun
Kepolisian dalam pelaksanaan penyelidikan dan penyidikan perkara tindak
pidana korupsi. Wewenang-wewenang tersebut antara lain:
1. Apabila lembaga KPK, Kejaksaan dan Kepolisian melakukan
penyidikan secara bersamaan terhadap suatu tindak pidana korupsi,
maka KPK adalah penyidik yang berwenang melakukan penyidikan
terhadap tindak pidana korupsi tersebut (Pasal 50 ayat (3) UU-KPK).
2. KPK berwenang mengambil alih penyidikan/penuntutan terhadap
pelaku korupsi dari Kepolisian/Kejaksaan (Pasal 8 ayat (2) UU-KPK).
3. KPK dapat melakukan tindakan-tindakan tertentu dalam tahap
penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tanpa harus meminta ijin
terlebih dahulu (Pasal 12 UU-KPK).
4. KPK Tidak memerlukan prosedur khusus untuk melakukan tindakan
pemeriksaan terhadap pejabat-pejabat tertentu (Pasal 46 UU-KPK).
101
5. KPK tidak memerlukan ijin dari Ketua PN dalam melakukan
penyitaan (Pasal 47 UU-KPK).
Hal yang paling menarik dari adanya KPK ini adalah adanya
”Pengadilan khusus” yang hanya menangani perkara korupsi yaitu
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi atau sering disingkat dengan
”Pengadilan Tipikor” yang bertugas dan berwenang memeriksa dan
memutus tindak pidana korupsi yang penuntutannya diajukan oleh KPK
(Pasal 53 UU-KPK). Di Pengadilan Tipikor ini, yang menjadi Majelis Hakim
adalah Hakim Pengadilan Negeri dan Hakim Ad Hoc yang diangkat dan
diberhentikan oleh Presiden Republik Indonesia atas usul Ketua
Mahkamah Agung (Pasal 56 UU-KPK). Luasnya kewenangan KPK dan
adanya Peradilan Tipikor tersebut memang ditanggapi secara a priori oleh
sebagian kalangan, termasuk adanya pendapat bahwa KPK merupakan
”Sistem Peradilan Pidana Tandingan” dari Sistem Peradilan Pidana yang
ada.
Di samping itu, sebagian kalangan juga berpendapat bahwa KPK
tidak mengenal asas presumption of innocence (praduga tak bersalah)
karena apabila terdapat para tersangka pelaku tindak pidana korupsi yang
telah terungkap di tahap penyidikan, maka tersangka tersebut sudah
hampir pasti dinyatakan ”terbukti bersalah melakukan tindak pidana
korupsi”, karena Penyidik, Penuntut Umum sampai ke Pengadilan Tipikor,
semuanya berada di bawah payung KPK. Hal tersebut berbeda dengan
Sistem Peradilan Pidana yang ada sekarang, karena bila terdapat
102
tersangka yang diduga kuat telah melakukan di tahap penyidikan, belum
tentu Jaksa Penuntut Umum berpendapat sama. Demikian juga Majelis
Hakim di Pengadilan Negeri yang kadang menjatuhkan putusan bebas
atau terdakwa tidak terbukti melakukan tindak pidana korupsi meskipun
Penyidik dan Penuntut Umum berkeyakinan bahwa terdakwa telah
melakukan tindak pidana korupsi.
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia bersama
Pemerintah pada tanggal 29 Nopember 2002 telah menyetujui Rancangan
Undang-Undang Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
untuk disahkan menjadi Undang-Undang. Berdasarkan Pasal 53-55
tersebut telah ditetapkan bentuk/model Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
merupakan pengadilan khusus yang berada dalam lingkup peradilan
umum. Kesepakatan yang telah dicapai pihak legislatif tersebut menandai
upaya baru dalam pemberantasan korupsi yaitu berupa pembentukan
lembaga baru untuk mengadili para tersangka pelaku tindak pidana
korupsi.
3. Peran Serta Masyarakat
Masyarakat dapat berperan serta membantu upaya pencegahan
danpemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam
Pasal 41 ayat 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Peran tersebut dalam bentuk :
a. Hak mencari, memperolehdan memberikan informasi adanya
dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi.
103
b. Hak untuk memperoleh pelayanan dalam mencari, memperoleh
dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi TPK
kepada penegak hukum yg menangani perkara TPK ;
c. Hak menyampaikan saran dan pendapat secara
bertanggungjawab kepada penegak hukum yang menangani
perkara TPK ;
d. Hak untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang
laporannya yang diberikan kepada penegak hukum dalam waktu
paling lama 30 hari ;
e. Hak untuk memperoleh perlindungan hukum dalam hal :
1. Melaksanakan haknya sebagaimana dimaksud dlm huruf a,b
dan c.
2. Diminta hadir dalam proses penyelidikan, penyidikan, dan di
sidang pengadilan sebagai saksi pelapor, saksi, atau saksi ahli,
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku ;
3. Masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 mempunyai
hak dan tanggungjawab dalam upaya pencegahan dan
pemberantasan TPK.
4. Hak dan tanggungjawab sebagaimana dimaksud dalam ayat 2
dan 3 dilaksanakan dengan berpegang teguh pada asas-asas
ketentuan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan
104
yang berlaku dan dengan mentaati norma agama dan norma
sosial lainnya.
5. Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan peran serta
masyarakat dalam pencegahan dan pemberantasan TPK
sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini, diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Pemerintah38.
4. Penyelenggara Negara
Penyelenggara Negara adalah Penyelenggara Negara
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor : 28 Tahun 1999
tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi,
Kolusi dan Nepotisme. Hal tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 1
ayat 2 Undang-Undang Nomor : 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Penyelenggara Negara adalah Pejabat Negara yang menjalankan
fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif dan pejabat lain yang fungsi dan
tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kemudian, di dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor : 28 Tahun
1999tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme dalam Penjelasannya dijabarkan siapa
saja yang termasuk penyelenggara negara, yaitu :
38
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang PemberantasanTindak Pidana Korupsi, Pasal 41 ayat 1.
105
1. Pejabat Negara pada Lembaga Tertinggi Negara;
2. Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi Negara;
3. Menteri;
4. Gubernur;
5. Hakim (meliputi Hakim di semua tingkatan Peradilan) ;
6. Pejabat negara yang lain sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku (yang dimaksud dengan
“Pejabat negara yang lain” dalam ketentuan ini misalnya Kepala
Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri yang
berkedudukan sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa
Penuh, Wakil Gubernur, danBupati/Walikotamadya); dan,
7. Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya
dengan penyelenggara negara sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku (yaitu pejabat
yang tugas dan wewenangnya di dalam melakukan
penyelenggaraan negara rawan terhadap praktek korupsi,
kolusi, dan nepotisme, yang meliputi:
Direksi, Komisaris, dan pejabat struktural lainnya pada
Badan UsahaMilik Negara dan Badan Usaha MilikDaerah;
Pimpinan Bank Indonesia dan Pimpinan Badan Penyehatan
Perbankan Nasional;
Pimpinan Perguruan Tinggi Negeri;
106
Pejabat Eselon I dan Pejabat lain yang disamakan di
lingkungan sipil, militer, dan Kepolisian NegaraRepublik
Indonesia;
Jaksa;
Penyidik;
Panitera Pengadilan; dan,
Pemimpin dan bendaharawan proyek39.
D. Perbandingan Hukum
Pengertian tentang perbandingan hukum ada beberapa istilah,
antara lain Comparative Law, Comparative Jurisprudence, Foreign Law
(istilah Inggris), Droit Compare (istilah Perancis), Rechtsvergeliking (istilah
Belanda, dan Rechtsvergleichung atau Vergleichende Rechlehre (istilah
Jerman)38.
Ada pendapat yang membedakan antara Comparative Law dengan
Foreign Law, pendapat tersebut :
- Comparative Law, yaitu memperbaiki berbagai sistem hukum asing
dengan maksud untuk membandingkannya.
- Foreign Law, yaitu mempelajari hukum asing dengan maksud
semata-mata mengetahui sistem hukum asing itu sendiri dengan
tidak secara nyata bermaksud untuk membandingkannya dengan
sistem hukum yang lain.
39
Penjelasan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999.
107
Dalam Black’s Law Dictionary dikemukakan, bahwa Comparative
Jurisprudence ialah suatu studi mengenai prinsip-prinsipilmu hukum
dengan melakukan perbandingan berbagai macam sistem hukum (the
study of principles of legal science by the comparison of various systems
of law).
Barda Nawawi Arief dalam bukunya Perbandingan Hukum Pidana,
2014, mengemukakan bahwa (W. EWALD) dalam (Esin Orucu, Critical
Comparative Law) mengemukakan, bahwa perbandingan hukum pada
hakikatnya merupakan kegiatan yang bersifat filosofis (Comparative law is
an essentially philosophical activity). Perbandingan hukum adalah suatu
studi atau kajian perbandingan mengenai konsepsi-konsepsi intelektual
(intellectual conceptions) yang ada di balik institusi atau lembaga hukum
yang pokok dari satu atau berbagai sistem hukum asing.
Kemudian Barda Nawawi Arief, dalam Perbandingan Hukum
Pidana, 2014 mengemukakan bahwa Rudolf D Schessinger, dalam
bukunya (Comparative Law, 1959) mengemukakan antara lain :
a. Comparative Law merupakan metode penyelidikan dengan
tujuan untuk memperoleh pengetahuan yang lebih dalam tentang
bahan hukum tertentu.
b. Comparative Law bukanlah suatu perangkat peraturan dan asas-
asas hukum, bukan suatu cabang hukum ( is not a body of rules
and principles).
108
c. Comparative Law adalah teknik atau cara menggarap unsur
hukum asing yang aktual dalam suatu masalah hukum (is the
techique of dealing with actual foreign law elements of legal
problem).
Berdasarkan pengertian tersebut, Dr. G. Guitens-Bourgois
mengemukakan sebagai berikut :
“Perbandingan hukum adalah metode perbandingan yang diterapkan pada ilmu hukum. Perbandingan hukum bukanlah ilmu hukum, melainkan hanya suatu metode studi, suatu metode untuk meneliti sesuatu, suatu cara kerja, yakni perbandingan. Apabila hukum itu terdiri atas seperangkat peraturan, maka jelaslah bahwa hukum perbandingan “vergelijkende recht) itu tidak ada. Metode untuk membanding-bandingkan aturan hukum dari berbagai sistem hukum tidak mengakibatkan perumusan-perumusan aturan-aturan yang berdiri sendiri : tidak ada aturan hukum perbandingan”.
Perbandingan hukum sebagai suatu metode mengandung arti
bahwa ia merupakan suatu cara pendekatan untuk lebih memahami suatu
obyek atau masalah yang diteliti. Oleh karena itu sering digunakan istilah
metode perbandingan hukum.
Perbandingan hukum sebagai suatu metode menurut Sunaryati
Hartono :
“Perbandingan hukum bukanlah suatu bidang hukum tertentu seperti misalnya hukum tanah, hukum perburuhan atau hukum acara, akan tetapi sekedar merupakan cara penyelidikan suatu metode untuk membahas suatu persoalan hukum, dalam bidang manapun juga. Jika kita hendak membahas persoalan-persoalan yang terletak dalam bidang hukum perdata atau hukum pidana, atau hukum tata negara, maka mau tidak mau kita harus terlebih dahulu membahas persoalan-persoalan umum secara perbandingan hukum yang merupakan dasar dari keseluruhan sistem hukum dan ilmu hukum itu”.
109
Perbandingan hukum sebagai suatu metode yang disampaikan
menurut van Apeldoorn yaitu :
“Obyek ilmu hukum adalah hukum sebagai gejala kemasyarakatan. Ilmu hukum tidak hanya menjelaskan apa yang menjadi ruang lingkup dari hukum itu sendiri, tetapi juga menjelaskan hubungan antara gejala-gejala hukum dengan gejala sosial lainnya. Untuk mencapai tujuannya itu, maka digunakan metode sosiologis, sejarah dan perbandingan hukum”.
Metode sosiologis dimaksudkan untuk meneliti hubungan antara
hukum dengan gejala-gejala sosial lainnya. Metode sejarah untuk meneliti
perkembangan hukum, dan metode perbandingan hukum untuk
membandingkan berbagai tertib hukum dari bermacam-macam
masyarakat.
Dari pengertian di atas dapat dijelaskan bahwa untuk
memperbandingkan hukum dapat diterapkan dengan menggunakan
unsur-unsur sistem hukum sebagai kajian perbandingan. Dimana sistem
hukum itu terdiri dari 3 (tiga) unsur pokok yaitu :
- Struktur hukum, hal ini meliputi lembaga-lembaga hukum;
- Substansi hukum, hal ini meliputi perangkat, kaidah atau perilaku
teratur ;
- Budaya hukum yang meliputi perangkat nilai-nilai yang dianut;
E. Konsep Keadilan
Pengertian keadilan adalah hal-hal yang berkenaan pada suatu
sikap dan juga tindakan di dalam hubungan antar manusia yang berisi
tentang sebuah tuntutan agar sesamanya dapat memperlakukan sesuai
110
dengan hak dan kewajibannya. Di dalam bahasa Inggris keadilan adalah
Justice, dan makna Justice tersebut terbagi 2 (dua) yaitu :
1. Makna justice secara atribut ; dan,
2. Makna justice secara tindakan.
Adapun makna justice secara atribut adalah suatu kausalitas yang
fair atau adil, sedangkan makna justice secara tindakan adalah suatu
tindakan menjalankan dan juga menentukan hak atau hukuman.
Aristoteles40, mengemukakan bahwa keadilan ialah tindakan yang
terletak diantara memberikan terlalu banyak dan juga sedikit yang dapat
diartikan ialah memberikan sesuatu kepada (setiap orang sesuai dengan
memberi apa yang menjadi haknya.Thomas Hubbes41 mengemukakan
bahwa pengertian keadilan ialah sesuatu perbuatan yang dikatakan adil
jika telah didasarkan pada suatu perjanjian yang telah disepakati.
Plato, mengemukakan bahwa pengertian keadilan ialah diluar
kemampuan manusia biasa yang mana keadilan tersebut hanya ada di
dalam suatu hukum dan juga perundang-undangan yang dibuat oleh para
ahli.
Notonegoro, mengemukakan bahwa keadilan ialah suatu keadaan
yang dikatakan adil apabila sesuai dengan ketentuan hukum yang
berlaku.
40
Aristoteles, (GenggamInternet.com, 2016 : Pengertian Keadilan dan Macam-macam Keadilan)
41Thomas Hubbes, (GenggamInternet.com, 2016 : Pengertian Keadilan dan
Macam-macam Keadilan)
111
W.J.S Poerwadarminto, mengemukakan bahwa pengertian
keadilan ialah tidak berat sebelah yang artinya seimbang, dan yang
sepatutnya tidak sewenang-wenang.
Keadilan berasal dari kata “Adil” yangberarti tidak berat sebelah,
tidak memihak, memihak pada yang benar, berpegang pada kebenaran,
sepatutnya, dan tidak sewenang-wenang.Pada hakikatnya, keadilan
adalah suatu sikap untuk memperlakukan seseorang sesuai dengan
haknya, dan yang menjadi hak setiap orang adalah diakui dan
diperlakukan sesuai dengan harkat dan martabatnya, yang sama
derajatnya, yang sama hakdan kewajibannya, tanpa membeda-bedakan
suku, keturunan, agama, dan golongan.
Hakikat keadilan dalam Pancasila, UUD NRI tahun 1945 dan
GBHN, kata adil terdapat pada :
- Sila kedua dan kelima Pancasila.
- Pembukaan UUD NRI 1945 (alinea II dan IV).
- GBHN 1999-2004 tentang visi.
Menurut Encyclopedia Americana42 (The Liang Gie, 1979 : 17-18)
bahwa pengertian keadilan itu mencakup : (a). Kecenderungan yang tetap
dan kekal untuk memberikan haknya kepada setiap orang(the contestant
and perpetual disposition to render everyman his due), (b). Tujuan dari
masyarakat, menusia (the and of civil society), (c). Hak untuk memperoleh
suatu pemeriksaan dan keputusan oleh badan pengadilan yang bebas
42
Encyclopedia Americana (The Liang Gie, 1979 : 17-18),
112
dari prasangka dan pengaruh yang tak selayaknya ( the rightto obtain a
hearing and delicion by courthwhich is free of prejudice and improper), (d).
semua hak wajar yang diakui maupun hak-hak menurut hukum dalam arti
teknis (all recoqnized equitable right as well tecchnical rights),(e).Suatu
kebenaran menurut persetujuan dari umat manusia pada umumnya (the
dictate of right according to the concent of making generally, (f).
Persesuaian dengan azas-azas keutuhan watak, kejujuran dan perlakuan
adil conformity with the principles of integrity, restitude and just dealing).
Sehingga menurut The Liang Gie, suatu gejala atau tindakan tertentu
dapat disebut adil karena dilandaskan pada teori keadilan. Jadi adil
tidaknya suatu tindakan tidak terlepas dari teori keadilan. Misalnya
seorang manajer perusahaan digaji lebih tinggi dibanding Office Boy (OB).
Tindakan tersebut dapat dikatakan adil berdasarkan teori keadilan
tertentu.
Adapun ciri-ciri adil menurut The Liang Gie yaitu :
- Tidak memihak (impartial) ;
- Sama hak (equal) ;
- Bersifat hukum (legal) ;
- Sah menurut hukum (lawful) ;
- Layak (fair) ;
- Wajar secara moral (equitable) ;
- Benar secara moral (righteous);
113
Teori keadilan menurut Aristoteles (John Rawls, 2011, A Theory of
Justice, Teori Keadilan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta) yang dibagi menjadi
lima macam yaitu keadilan komutatif, keadilan distributif, keadilan kodrat
alam, keadilan konvensional, dan keadilan perbaikan.
Keadilan menurut Aristoteles yaitu kelayakan dalam tindakan
manusia. Kelayakan diartikan sebagai titik tengah diantara kedua ujung
ekstrem yang terlalu banyak dan terlalu sedikit. Bila kedua orang tersebut
mempunyai kesamaan dalam ukuran yang telah ditetapkan, maka masing-
masing orang akan menerima bagian yang tidak sama, sedangkan
pelanggaran terhadap proporsi tersebut berarti ketidakadilan.43 Jenis
Keadilan menurut Aristoteles adalah sebagai berikut :44
1. Keadilan distributif, keadilan yang berhubungan dengan distribusi jasa
dan kemakmuran menurut kerja dan kemampuannya.
2. Keadilan komutatif, yaitu keadilan yang berhubungan dengan
persamaan yang diterima oleh setiap orang tanpa melihat jasa-jasa
perseorangan.
3. Keadilan kodrat alam, yaitu keadilan yang bersumber pada hukum
kodrat alam.
4. Keadilan konvensional adalah keadilan yang mengikat warga negara
karena keadilan itu didekritkan melalui kekuasaan.
43
Tanya. L Bernard, Simanjuntak N Yoan, dan Hage Y. Markus. 2006. Teori Hukum (Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi). CV.KITA : Surabaya. Hlm. 10
44Dalam ibid. Hlm. 11
114
Notonagoro, menambahkan adanya keadilan legalitas, yaitu
keadilan hukum. Ada beberapa pendapat yang lain, seperti di bawah ini:45
a) Socrates, keadilan tercipta bilamana warga negara sudah merasakan
bahwa pihak pemerintah sudah melaksanakan tugasnya dengan baik.
b) Kong Hu Cu, Keadilan terjadi apabila anak sebagai anak, bila ayah
sebagai ayah, bila raja sebagai raja, masing-masing telah
melaksanakan kewajibannya. Pendapat ini terbatas pada nilai-nilai
tertentu yang sudah diyakini atau disepakati.
c) Gustav Radbruch mematrikan kembali nilai keadilan sebagai mahkota
dari setiap tata hukum, nilai keadilan adalah „Materi‟ yang harus
menjadi isi aturan hukum. Aturan hukum adalah „bentuk‟ yang harus
melindungi nilai keadilan. Hukum sendiri, menurut Radbruch,
mengemban nilai keadilan bagi kehidupan konkret manusia. Ini intrinsik
dalam hukum, karena itu memang hakikatnya sebagai salah satu unsur
kebudayaan. Unsur-unsur lain punya tugas masing-masing. Ilmu
bertugas menghadirkan kebenaran, seni untuk keindahan, tingkah laku
susila untuk moralitas, Jadi masing-masing punya misi dan tugas
sendiri-sendiri dengan sasaran akhir adalah manusia dengan
kebutuhan riilnya.
Hukum sebagai pengemban nilai keadilan, menurut Radbruch,
menjadi ukuran bagi adil tidak adilnya tata hukum. Tidak hanya itu, nilai
keadilan juga menjadi dasar dari hukum sebagai hukum. Dengan
45
Ibid. Hlm. 10
115
demikian, keadilan memiliki sifat normatif sekaligus konstitutif bagi hukum.
Ia normatif, karena berfungsi sebagai prasyarat transendental yang
mendasari tiap hukum positif yang bermartabat. Ia menjadi landasan
moral hukum dan sekaligus tolak ukur sistem hukum positif dan keadilan
menjadi pangkal hukum positif. Konstitutifkarena keadilan harus menjadi
unsur mutlak bagi hukum sebagai hukum. Tanpa keadilan, sebuah aturan
tidak pantas menjadi hukum.46
Radbruch, mengemukakan pula bahwa gagasan hukum merupakan
gagasan cultural dan tidak bisa formal. Hukum terarah pada rechtsidee,
yakni keadilan. Keadilan sebagai suatu cita, seperti ditunjukkan oleh
Aristoteles, tidak dapat mengatakan lain kecuali„yang sama diperlakukan
sama, dan yang tidak sama diperlakukan tidak sama‟. Untuk mengisi cita
keadilan ini dengan isi yang konkret, maka harus dicermati pada segi
finalitasnya. Oleh karena untuk melengkapi keadilan dan finalitas itu,
dibutuhkan kepastian. Jadi bagi Radbruch, hukum memiliki tiga aspek,
yakni keadilan, finalitas, dan kepastian. Aspek keadilan menunjuk pada
„kesamaan hak di depan hukum‟. Aspek finalitas, menunjuk pada tujuan
keadilan yaitu memajukan kebaikan dalam hidup manusia. Aspek ini
menentukan isi hokum, dan kepastian menunjuk pada jaminan bahwa
hukum (yang berisi keadilan dan norma-norma yang memajukan
kebaikan), benar-benar berfungsi sebagai peraturan yang ditaati. Dapat
dikatakan, dua aspek yang disebut pertama merupakan kerangka ideal
46
Ibid. Hlm. 107
116
dari hukum sedangkan aspek ketiga (kapasitas) merupakan kerangka
operasional hukum.47
Radbruch, mengakui adanya hukum alam yang mengatasi hukum
positif, yaitu:(i). Setiap individu harus diperlakukan menurut keadilan di
depan pengadilan, (ii). Pengakuan dan penghormatan terhadap hak-hak
asasi manusia yang tidak boleh dilanggar, (iii). Harus ada keseimbangan
antara pelanggaran dan hukuman. Berdasarkan tiga prinsip hukum alam
tersebut, Radbruch sampai pada keyakinan bahwa keadilan terhadap
individual merupakan batu sendi bagi perwujudan keadilan dalam hukum.
Dari sini pula tiga aspek hukum itu disusun dalam urutan struktural yang
dimulai dari keadilan, kepastian, dan diakhiri finalitas. Perkembangan
kolektif yang ditentukan sebagai finalitas hukum, menyebabkan ia tetap
tunduk pada keadilan dan kepastian hukum. Hal ini untuk menghindari
kesewenang-wenangan.48
Pandangan lain tentang keadilan dikemukakan oleh John Rawls
yang menguraikan teori keadilan sebagai fairness :49
I present the main idea of justice as fairness, a theory of justice that generalizes and carries to a higher level of abstraction the tradisional conception of the social contract. The primary subject of justice is the basic structure of society, or more exactly, the way in which the major social institutions distribute fundamental rights and duties and determine the division of advantage from social cooperation. its effects are so profound and present from the start. (Artinya, gagasan utama dari keadilan sebagai fairness adalah suatu teori tentang keadilan yang menggeneralisasi dan membawa ke suatu abstraksi
47
Ibid. Hlm. 107-108 48
Ibid. 49
John Rawls. 2006. Teori Keadilan (Edisi Terjemahan). Pustaka Pelajar : Yogyakarta. Hlm. 73-74
117
yang lebih tinggi konsep tradisional kontrak sosial. Pokok utama keadilan adalah struktur dasar dari masyarakat itu, lebih tepatnya, cara bagaimanakah lembaga-lembaga utama masyaratkat mengatur hak-hak dan kewajiban dasar serta bagaimanakah menentukan pembagian kesejahteran dari suatu kerjasama sosial. Akibatnya sangat ekstrim dan kehadirannya dari awal, karena sebagai titik tolak. Konkritnya, pengaruh dari “the basic structure of society” struktur dasar masyarakat) itu sangat besar untuk dapat menentukan bagaimana keadilan).
John Rawls, mengemukakan bahwa yang dimaksudkan dengan
“the basic structure of society” (struktur dasar masyarakat) adalah
kelembagaaan (an institution).Dijelaskan lebih lanjut, bahwa suatu
kelembagaan dalam masyarakat dapat dimengerti dalam suatu cara yaitu,
pertama, sebagai suatu hal yang abstrak yaitu suatu bentuk perilaku yang
diwujudkan dalam satu sistem hukumdan kedua, realisasi dalam pikiran
dan perbuatan dari orang-orang tertentu pada waktu dan tempat tertentu
atas rumusan bentuk perilaku (perbuatan) yang telah diatur dalam aturan.
Dengan kata lain, John Rawls menyimpulkan bahwa “the basic structure of
society” itu adalah suatu “public system of rules” yang dapat dilihat dalam
dua bentuk “system of knowledge” (or set of public norms) dan as a
“system of action” (or set of institutions). 50
The basic structure of the society terdiri dari sistem kelembangaan
yang adil (a just system of institution) dan ketetapan politik yang adil (a
just system political constitution) maka justice as a fairness akan dapat
dicapai. Dengan catatan, dalam konteks hukum lembaga itu secara
imparsial dan konsisten dijalankan oleh hakim dan aparatur negara lain.
50
Ibid.
118
Namun, bila baru sampai pada ketidakberpihakan serta konsistensi dari
aparatur hukum dan lembaga-lembaga hukum itu saja maka apapun
substansi sistem perundang-undangan (“public system of rules”) itu, tetap
ia akan masih terbatas untuk dapat mencapai keadilan formal.51
John Rawls menyarankan agar istilah keadilan formal diganti
dengan istilah “keadilan sebagai keteraturan (justice as regularity).” Istilah
ini dianggap lebih tepat dibanding” keadilan formal (formal justice).52Rawls
melanjutkan bahwa keadilan formal dapat meningkat menjadi keadilan
substansi (materil). Bila keadilan formal itu adalah suatu hal yang hanya
semata-mata patuh pada sistem perundang-undangan, maka hal itu baru
satu aspek saja dari rule of law, satu konsep yang akan mendukung dan
menjamin harapan yang sah (legitimate expectation) dari masyarakat akan
keadilan. Secara konkrit, ketidakadilan akan dirasakan setiap orang bila
terjadi kegagalan hakim mengikuti hukum secara tepat termasuk
interpretasinya ketika memutuskan suatu perkara. Ketidakadilan dalam
bentuk ini bahkan melebihi dibandingkan bila hakim melakukan korupsi
atau bentuk-bentuk lain penyalahgunaan wewenang sekalipun ketika
memeriksa suatu perkara.53
Keadilan formal yang sekadar patuh terhadap sistem perundang-
undangan itu akan dapat dirasakan lebih jauh sebagai keadilan substansif
(materil) hanya bila hakim konsisten mengikuti “the substantive justice of
51
Ibid. 52
Abraham Samad. 2009. Hakikat Keadilan Dalam Putusan Perkara Tindak Pidana Korupsi (Studi Perbandingan Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Dan Putusan Pengadilan Negeri). Disertasi Universitas Hasanuddin. Halaman 36-37
53Ibid.
119
institution” dan “the possibilities of their reform. Dengan kata lain, putusan
yang mengikuti the living Law yakni legitimate expectation yang telah
dituangkan dalam a just political constitution yang disebut dengan hukum
yang hidup dan berkembang ditengah-tengah masyarakat dan menjadi
yurisprudensi sehingga menjadi sumber hukum maka akan meningkatkan
derajat kualitatif keadilan formil itu.54
John Rawls mengatakan bahwa akan dapat terjadi “where we find
formal justice, the rule of Law and the honoring of legitimate expectations,
we are likely to find substantive justice as well”. Artinya, di mana kita
menemukan keadilan formal, rule of Law dan menghormati harapan-
harapan yang sah masyarakat yang sudah merupakan constitutional
rightssebagai bagian dari a just political constitution dalam kontrak sosial
itu maka kita akan cenderung untuk menemukan keadilan substantif.55
Secara singkat dapat dirangkumkan bahwa keadilan dalam
pandangan John Rawls adalah keadilan dalam arti fairness dengan tetap
membedakan antara keadilan dengan fairness itu. Untuk mengetahui
dan menemukan adanya fairness dan keadilan menurut Rawls pertama-
tama dilihat bagaimanakah basic structure dari masyarakat itu. Dari basic
structure tertentu akan menghasilkan public rules tertentu pula. Bila basic
structure itu adalah a just political constitution dan a just system of
institution maka justice as a fairness akan mungkin dapat dicapai.
54
John Rawls. 2006. Teori Keadilan (Edisi Terjemahan). Pustaka Pelajar : Yogyakarta.Hlm. 76
55Ibid. Hlm. 38
120
F. Kerangka Pikir
Kerangka Pikir yang penulis susun dalam penulisan ini dapat
penulis gambarkan sebagaimana di bawah ini, dan ini adalah untuk
memberikan gambaran alur perbandingan tindak pidana korupsi di
Indonesia dan di China sehingga akan diketahui perbandingannya dan
kemudian akan diketahui hasil akhir dari perbandingan tersebut.
Sebagaimana Undang-Undang Nomor : 31 Tahun 1999 dalam
Pasal 2 ayat (1) bahwa ancaman hukuman terhadap pelaku tindak pidana
Korupsi adalah minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun dengan denda
minimal Rp.200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.
1.000.000.000,- (satu milyar rupiah), dan kemudian di dalam pasal 2 ayat
(2) telah disebutkan bahwa dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati
dapat dijatuhkan.
Sedangkan mengenai yang dimaksud dengan “keadaan tertentu”
dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku tindak
pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu
Negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang
berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan
tindak pidana korupsi, atau pada waktu Negara dalam keadaan krisis
ekonomi dan moneter.
Namun kenyataannya sampai saat ini dalam penegakan hukum
terhadap pelaku tindak pidana korupsi, belum ada yang dihukum dengan
121
hukuman yang maksimal, oleh karena itu perlu ketegasan bagi penegak
hukum untuk menerapkan secara berani menghukum pelaku tindak
pidana korupsi secara maksimal mengingat saat ini di Indonesia
perekonomiannya belum mapan dan masih banyak masyarakat yang
miskin yang diakibatkan maraknya tindak pidana korupsi, dan menurut
data statistik Badan Pusat Statistik bahwa jumlah penduduk miskin di
Indonesia pada September 2016 sebanyak 27,76 juta jiwa.
Bahwa untuk mengatasi dan mencegah adanya tindak pidana
korupsi, maka para penegak hukum harus memulai menegakkan hukum
dengan mencontoh Negara China yang menerapkan hukuman maksimal
yaitu hukuman seumur hidup atau hukuman mati bagi pelaku tindak
pidana korupsi, dan justeru banyak pejabat Negara yang telah dihukum
mati. Sedangkan di Indonesia jangankan hukuman mati yang telah diatur
di dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999, tetapi
hukuman sebagaimana Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor : 31
Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dan ditambah dalam Undang-
Undang Nomor 20 tahun 2001, ternyata itu saja belum pernah diterapkan
maksimal, sementara jika diperhatikan pelaku tindak pidana korupsi yang
dapat diklasifikasikan dalam pasal 2 ayat (2) ini telah banyak, dan hanya
dijatuhkan hukuman Pasal 2 ayat (1) dan itupun tidak hukuman maksimal.
Hal inilah yang memberikan inspirasi kepada penulis untuk memberikan
gambaran betapa bahayanya tindak pidana korupsi yang
menyengsarakan masyarakat banyak ini sehingga menimbulkan
122
kemiskinan yang berkepanjangan dan mempengaruhi perekonomian
Negara. Oleh karena itu sangat berdasar jika pelaku tindak pidana korupsi
yang benar-benar terbukti dan dilakukan dalam keadaan Negara
mengalami krisis ekonomi atau dilakukan secara berulang-ulang untuk
diberikan hukuman secara maksimal sebagaimana ketentuan dalam
Undang-undang tindak Pidana Korupsi, yaitu Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
Bahwa oleh karena itulah penulis berkehendak melakukan
penulisan dengan maksud dan tujuan turut serta memberikan pemahaman
terhadap bahaya korupsi dan memberikan pemahaman bagaimana
mencari solusi pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi
dengan menerapkann hukuman secara maksimal bagi pelaku tindak
pidana korupsi yang telah terbukti secara sah dan meyakinkan pada saat
negara sedang mengalami krisis ekonomi atau dilakukan berulang-ulang
pada saat ini dan yang akan datang.
Sementara jika negara tidak sedang mengalami krisis ekonomi,
tidak sedang terjadi bencana alam dan tidak melakukan perbuatan tindak
pidana korupsi yang berulang-ulang, maka hal tersebut juga sudah diatur
pula hukuman maksimalnya yang berbeda jika dalam keadaan tertentu
tersebut. Akan tetapi yang sangat penting dan segera untuk diterapkan
saat ini adalah tindakan penghukuman secara maksimal jika terbukti
melakukan tindak pidana korupsi.
123
Gambar 1.1 Kerangka Pikir
M,
G. Defenisi Operasional
Supaya dalam penulisan ini dapat dipahami secara bersama, maka
terlebih dahulu dikemukakan definisi operasional sebagai berikut :
1. Perbandingan yang dimaksud dalam proposal ini adalah
memperhatikan atau membandingkan sanksi-sanksi hukum yang
sebenarnya terjadi di Indonesia dan di China di dalam menegakkan
hukuman dalam perkara tindak pidana korupsi sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang Nomor : 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang
Sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi di indonesia - Proses perkara tindak
pidana korupsi. - Sistem hukum tindak
pidana.
Perbedaan penegakan hukum tindak pidana korupsi di Indonesia dengan China - Putusan perkara tindak
pidana korupsi. - Sistem peradilan pidana
korupsi di China. - Putusan peradilan tindak
pidana korupsi di China.
Perbandingan Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi di Indonesia dengan
China.
Penegakan hukum perkara tindak pidana korupsi. - Sistem peradilan tindak
pidana korupsi di China. - Penegakan hukum tindak
pidana korupsi di China.
Perbandingan Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi di Indonesia dengan China.
124
Nomor : 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor : 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi dan dalam ketentuan KUHP China yang mengatur tentang
tindak pidana korupsi di China.
2. Penegakan Hukum yang dimaksud dalam penulisan ini adalah
proses dilaksanakannya upaya untuk memfungsikan norma hukum
secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam bermasyarakat dan
bernegara, yang dalam hal ini memfungsikan menjalankan hukum
dalam memberikan sanksi-sanksi hukuman terhadap pelaku tindak
pidana korupsi sebagaimana disyaratkan berdasarkan ketentuan-
ketentuan peraturan perundang-undangan yang telah ada.
3. Tindak pidana korupsi di Indonesia dengan China yang dimaksud
dalam penulisan ini adalah berdasarkan ketentuan di Indonesia yaitu
ketentuan tentang tindak pidana korupsi yang didasarkan pada
Undang-Undang Nomor : 31 tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor :
20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor : 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
sedangkan pengaturan tindak pidana korupsi di China adalah
peraturan KUHP China khususnya Pasal-Pasal yang mengatur
tentang tindak pidana korupsi yang diterapkan terhadap pelaku
tindak pidana korupsi di China.
4. Korupsi yang dimaksud dalam penulisan ini adalah perbuatan yang
mengarah pada perbuatan melawan hukum dengan
125
menyalahgunakan kewenangan dan kesempatan atau sarana yang
ada padanya dengan tujuan memperkaya diri sendiri, orang lain atau
suatu korporasi serta menimbulkan kerugian keuangan negara.
5. Peran serta masyarakat yang dimaksud dalam penulisan ini adalah
peran serta setiap orang, setiap LSM dan setiap Organisasi
Masyarakat dalam berupaya turut serta membantu dalam
pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi.
6. Penyelenggara negara yang dimaksud dalam penulisan ini adalah
penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor: 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara
yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. (Pasal 1
ayat 2 UU No. 30 th 2002 tentang KPK).
7. Keuangan negara yang dimaksud dalam penulisan ini adalah
keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor: 17
Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yaitu semua hak dan
kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala
sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat
dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan
kewajiban tersebut, dan dalam pendekatan keuangan negara dapat
pula dari sisi subjek, objek, proses, dan tujuan.
8. Pemberantasan tindak pidana korupsi dalam penulisan ini adalah
serangkaian tindakan penegak hukum dalam melakukan
pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi.