disabilitas dalam ketangguhan: berangkat dari sumberdaya yang
TRANSCRIPT
Arbeiter-Samariter-Bund
Disabilitas dalam Ketangguhan: Berangkat dari Sumberdaya yang Belum Termanfaatkan
Penyusun : Melina MargarethaKontributor: Agus Setiabudi, Ary Ananta, Nina Agustina,
dan Rizma Kristiana
Dis
ab
ilitas d
ala
m K
eta
ng
gu
han
: Bera
ng
kat d
ari S
um
berd
aya y
an
g B
elu
m T
erm
an
faatk
an
Arbeiter-Samariter-Bund
DAFTAR ISI
KATA PENGANTARPENDAHULUAN
A. Disabilitas dan Ketangguhan 1. Disabilitas: konsekuensi dari lingkungan yang menghambat2. Disabiltas dan asumsi minoritas
B. Ketangguhan: Komponen Penguatan Ekonomi1. Disabilitas dan akses menuju kemandirian2. Wirausahawan dengan disabilitas3. Dukungan pemberdayaan ekonomi bagi penyandang disabiitas: Sekilas pengalaman ASB
C. Ketangguhan: Komponen Pengurangan Risiko Bencana1. Integrasi penyandang disabilitas dalam Program Desa Tangguh2. Mengapa Desa Tangguh Inklusif?3. Inklusi mengangkat kapasitas lintas sektor4. Pendekatan inklusif-disabilitas dalam PRB praktis: Sekilas pengalaman ASB5. Mengubah kerentanan menjadi kapasitas6. Output Kegiatan Desa Tangguh Inklusif
D. Ketangguhan Inklusif dalam Praktek: Kesempatan dan Tantangan1. Pemasaran produk usaha penyandang disabilitas2. Hambatan dan Dukungan PRB Inklusif Disabilitas3. Memutus asumsi 4. Inklusif: pendekatan masyarakat secara menyeluruh 5. Visibilitas disabilitas6. Identifikasi penyandang disabilitas
KESIMPULAN
Disabilitas dalam Ketangguhan | 1
2
4
579
10101214
19192123252627
30313233343536
39
Disabilitas dalam Ketangguhan | 32 | Disabilitas dalam Ketangguhan
Beberapa tahun terakhir, Indonesia
telah mencapai kemajuan besar
dalam 2 (dua) hal yang berbeda
namun saling berkaitan. Pencapaian
p e r t a m a m e n y a n g k u t p e n g a k u a n
internasional atas kerja Pemerintah
Indonesia dalam upaya pelembagaan
pengurangan risiko bencana (PRB).
Pencapaian ini diikuti dengan inisiasi
Program Nasional Desa Tangguh yang
diakui sebagai upaya konkri t untuk
menerjemahkan kebijakan nasional dalam
prakt ik PRB di t ingkat masyarakat.
Pencapaian berikutnya menyangkut
ratifikasi Konvensi PBB tentang Hak-hak
Penyandang Disabilitas (UN Convention on
t h e R i g h t s o f P e r s o n s w i t h
Disabilities/UNCRPD) melalui UU No. 19
tahun 2011.
Kata Pengantar
Secara global, PRB dan disabil i tas belum terintegrasi dengan baik.
Mempertimbangkan banyak hal mendasar lain yang harus diprioritaskan, dapat
dipahami mengapa selama ini masyarakat disabilitas belum mengintegrasikan PRB
dalam kerja-kerjanya. Namun demikian, masih sulit untuk dipahami mengapa kerja-
kerja masyarakat PRB belum mengintegrasikan disabilitas. Prinsip pokok PRB
memberi penekanan pada individu dan masyarakat yang terpapar risiko. Oleh karena
itu, eksklusi terhadap penyandang disbailitas yang merupakan masyarakat dengan
tingkat risiko jauh lebih tinggi dibanding dengan masyarakat pada umumnya sangat
berlawanan dengan prinsip PRB itu sendiri.
Fokus pembahasan PRB pada kerentanan saat ini telah beralih mengarah pada fokus
ketangguhan pasca 2015. Oleh karena itu strategi program ASB menekankan pada
upaya untuk memahami bagaimana mewujukan ketangguhan masyarakat secara
menyeluruh atau inklusif. Kami harapkan dokumen publikasi ini dapat berkontribusi
pada fokus upaya pembangunan masyarakat saat ini dan mungkin juga dapat
menginsipirasi pihak-pihak lain untuk lebih inklusif dalam kerja-kerjanya. Perluasan
kesempatan merupakan pintu utama menuju ketangguhan dan masyarakat yang
berdaya.
Atas nama ASB, saya haturkan terimakasih kepada Kementerian Dalam Negeri
Republik Indonesia dan Ditjen Pemberdayaan Masyarakat Desa atas dukungan dan
kerjasama yang terbangun selama ini. Dalam hal ini, ASB juga mengapreasiasi serta
mendukung inisiatif-inisiatif yang telah diupayakan oleh BNPB untuk mewujudkan
masyarakat tangguh dan inklusif. ASB juga mengucapkan terimakasih yang
mendalam kepada Pemerintah Provinsi Jawa Tengah dan DI. Yogyakarta serta
Pemerintah Kabupaten Klaten, Gunungkidul dan Bantul atas dukungan dalam
pelaksanaan program ASB. Tidak lupa kami mengapresiasi organisasi penyandang
disabilitas dan segenap masyarakat atas kontribusi mereka terhadap keberhasilan
program.
Dr. Alex J. Robinson
Country Director
ASB Indonesia
Disabilitas dalam Ketangguhan | 54 | Disabilitas dalam Ketangguhan
ASB mengucapkan ter imakasih
kepada semua pihak yang telah
mendukung keberhasilan program dan
juga tersusunnya buku ini tidak
t e r k e c u a l i m a s y a r a k a t y a n g
merupakan sasaran seka l igus
penggerak program. Terimakasih
mendalam kami haturkan kepada
Pemerintah Provinsi Jawa Tengah dan
D I . Yo g y a k a r t a , P e m e r i n t a h
Kabupaten Klaten dan Gunungkidul
serta Persatuan Penyandang Cacat
Klaten (PPCK) dan OPD Gunungkidul.
Buku ini juga menyajikan tantangan
dan kesempatan yang dihadapi dalam
penye lenggaraan PRB ink lus i f
disabilitas. Terdapat beberapa hal-hal
sederhana yang sering terlupakan saat
kita melaksanakan pemberdayaan
masayarakat inklusif dikarenakan
asums i bahwa pe l i ba tan ak t i f
penyandang disabilitas membutuhkan
keahlian dan sumber daya yang
“WOW.” Diharapkan buku ini dapat
berkontribusi pada upaya penggiatan
ke te r l i ba tan ak t i f penyandang
disabil itas dalam upaya menuju
ketangguhan.
Pendahuluan
Bu k u “ D i s a b i l i t a s d a l a m
Ketangguhan: Sumberdaya
yang Belum Termanfaatkan” ini
membahas tentang pengalaman
Arbeiter-Samariter-Bund (ASB) dalam
m e l a k s a n a k a n k e g i a t a n y a n g
mengupayakan integrasi penyandang
d i sab i l i t as da lam mewu judkan
ketangguhan masyarakat. Diseminasi
pengalaman pelaksanaan program ini
ditujukan untuk memaparkan fakta
praktis tentang potensi kapasitas
penyandang disabilitas yang selama ini
belum dimanfaatkan untuk mendukung
ketangguhan. Kerentanan yang
melekat pada penyandang disabilitas
membuat kapasitas yang ada pada
mereka sering terabaikan.
D a l a m b u k u i n i , A S B b e r b a g i
pengalaman tentang kolaborasi ASB
dengan Organisasi Penyandang
Disabilitas (OPD) dan masyarakat
penyandang d i sab i l i t as da lam
pelaksanaan program integrasi potensi
penyandang d i sab i l i t as da lam
k e g i a t a n - k e g i a t a n p e n d u k u n g
ketangguhan. Program integrasi ini
m e n c a k u p 2 ( d u a ) k o m p o n e n
ketangguhan, yakn i penguatan
ekonomi di wilayah Kabupaten Klaten
dan pengurangan risiko bencana (PRB)
b e r b a s i s m a s y a r a k a t d i D e s a
Hargomulyo, Kabupaten Gunungkidul.
Pe n y a n d a n g d i s a b i l i t a s
m e r u p a k a n i s t i l a h y a n g
d i r e k o m e n d a s i k a n o l e h
K e m e n t e r i a n S o s i a l R e p u b l i k
Indonesia untuk menggantikan istilah
p e n y a n d a n g c a c a t . s e t e l a h
Pemerintah Nasional meratifikasi
United Nation Convention on the Rights
of Persons with Disability (UNCRPD)
pada tahun 2011.
Penggunaan istilah disabilitas diutamakan untuk lebih menghormati penyandang
disabilitas sebagai individu dan bagian dari masyarakat yang bermartabat. Kecacatan
dalam masyarakat identik dengan individu yang lemah, individu yang tidak memiliki
kemampuan, individu yang tidak berguna, dan sifat-sifat negatif lainnya. Stigma atau
label negatif yang diberikan pada individu penyandang disabilitas menghambat hidup
dan penghidupan mereka dan pada akhirnya.
A.Disabilitas dan Ketangguhan
Fakta dalam disabilitas
Dalam konteks kebencanaan,
penyandang disabilitas terkukung
dalam kategori kelompok masyarakat
“rentan” dengan konotasi masyarakat
yang rapuh dan tidak mampu berbuat
apa-apa. Terkait dengan penghapusan
i s t i l ah - i s t i l ah nega t i f , saa t i n i
p e m b a h a s a n k e r a n g k a k e r j a
internasional untuk PRB atau yang
disebut HFA2 juga menekankan
perubahan penggunaan istilah dari
“kerentanan” ke “ketangguhan”. Kata
ketangguhan memberikan pesan yang
lebih luas bahwa pada saat bencana
semua masyarakat yang tinggal di
daerah rawan bencana terpapar risiko
namun disaat bersamaan isti lah
ketangguhan mengakui bahwa setiap
orang mampu berkontribusi dengan
kapasitas yang dimilikinya. Dengan
d e m i k i a n d a l a m k o n t e k s
pemberdayaan, penggunaan kata
“rentan”, “tidak berdaya”, “korban” dan
sebagainya direkomendasikan untuk
tidak digunakan lagi.
Menurut Laporan Global tentang
Disabilitas (World Report on Disability)
15 – 20% populasi di dunia hidup
d e n g a n d i s a b i l i t a s . J u m l a h
penyandang disabilitas di suatu negara
berbanding lurus dengan tingkat
kemiskinannya. Kemiskinan dapat
menyebabkan seseorang menjadi
disabilitas. Dalam hal ini kemiskinan
dapat mencegah seseorang untuk
mengakses layanan kesehatan dan
memenuhi asupan gizi yang layak.
Sebaliknya, disabilitas dapat menyebakan
k e m i s k i n a n k a r e n a d i s k r i m i n a s i
menghalangi penyandang disabilitas
untuk berpartisipasi dan berkembang
dalam segala bidang kehidupan, termasuk
dalam bidang pendidikan dan pekerjaan.
Asosiasi seperti ini tidak hanya terjadi di
negara berkembang seperti di Indonesia
melainkan juga di negara-negara maju
seperti Amerika Serikat dan Inggris
(Heasley, Shaun, 2011 dan Departemen
Tenaga Kerja dan Pensiun Inggris, 2011).
Diakui bahwa kajian terkait disabilitas
di Indonesia terbatas karena penyandang
disabilitas sendiri masih termasuk dalam
kategor i 'h idden populat ion' yang
keberadaannya tidak terlihat dan sering
terabaikan. Namun demikian asosiasi
disabilitas dan kemiskinan ataupun
sebaliknya terlihat jelas dalam kehidupan
masyarakat dan seringkali menjadi
pembahasan dalam berbagai referensi
advokasi pemenuhan dan perlindungan
hak-hak penyandang disabilitas.
In te rna t iona l C lass ifica t ion o f
Funct ion ing ( ICF) mendefinis ikan
disabilitas sebagai hasil interaksi antara
seorang individu yang memiliki hambatan
mental, fisik, maupun penginderaan
secara permanen dengan hambatan
lingkungan yang menyebabkan individu
tersebut tidak mampu berpartisipasi dalam
kehidupan sosial.
Stephen Hawking, seorang ahli fisika
yang mengalami tetraplegia (kelumpuhan)
dan Hellen Keller, seorang penulis, dosen
dan aktifitis politik terkemuka yang
kehilangan fungsi penglihatan dan
pendengaran secara total merupakan 2
( d u a ) d a r i s e k i a n b a n y a k t o k o h
penyandang disabilitas yang mampu
mengaktualisasikan dirinya berkat
adanya dukungan dan kesempatan
yang tersedia di dalam lingkungannya.
Di Indonesia juga terdapat tokoh-
tokoh d isab i l i tas yang mampu
menunjukkan kepada masyarakat
bahwa menjadi penyandang disabilitas
bukan berarti tidak memiliki potensi
untuk berkembang. Prof. Didi Tarsidi,
guru besar Universitas Pendidikan
Indonesia merupakan salah satu tokoh
tuna netra, tidak dapat melihat sejak
lahir, yang membuktikan bahwa
lingkungan yang mendukung dan -
Disabilitas: konsekuensi dari lingkungan yang menghambat1.
Disabilitas berasal dari kata dalam Bahasa Inggris 'disability'. Disability
memiliki arti ketidakmampuan. Ketidakmampuan yang dimaksud di sini
bukanlah ketidakmampuan yang semata disebabkan oleh faktor internal
dalam diri seorang individu tetapi juga faktor eksternal yang menghambat seseorang
untuk melakukan kegiatan dan meningkatkan kapasitas diri. Dalam hal ini, hambatan
lingkungan menyebabkan terbatasnya kesempatan penyandang disabilitas untuk
berkembang.
Keterbatasan fungsi tubuh + Hambatan lingkungan = DISABILITAS
““15 – 20% populasi di dunia hidup dengan disabilitas
- World Report on Disability
Disabilitas dalam Ketangguhan | 76 | Disabilitas dalam Ketangguhan
Disabilitas dalam Ketangguhan | 98 | Disabilitas dalam Ketangguhan
kesempatan yang diberikan kepada
penyandang disabi l i tas mampu
memotivasi penyandang disabilitas
untuk mandiri dan berkontribusi
kepada masyarakat secara lebih luas.
Pada kenyataannnya di Indonesia,
lingkungan yang mendukung dan
kesempatan yang diberikan kepada
penyandang disabilitas masih terbatas.
Di dunia pendidikan, hingga tahun
2010 masih terdapat lebih kurang 70%
anak penyandang disabilitas usia
sekolah yang belum menikmati
layanan pendidikan (Ditjen Pendidikan
K h u s u s L a y a n a n K h u s u s ,
Kemendikbud). Persyaratan partisipasi
pend id ikan dar i t ingkat dasar,
menengah, hingga tinggi yang masih
diskriminatif terhadap penyandang
disabilitas menyebabkan mereka tidak
m a m p u m e n g e n y a m l a y a n a n
pendidikan. Persayaratan pendidikan
menyebutkan bahwa calon peserta
didik harus dalam keadaan sehat
jasamani dan rohani dan sampai saat
ini penyandang disabilitas masih
dianggap sebagai individu yang tidak
sehat secara jasmani dan/atau rohani.
Survei Identifikasi Disabilitas dan
Kelompok Masyarakat yang beresiko
(Arbeiter-Samariter-Bund/ASB, 2014)
yang dilakukan di 4 kabupaten, Bantul
(DI. Yogyakarta), Klaten (Jawa
Tengah), Ciamis (Jawa Barat), dan
Kepulauan Mentawai (Sumatera
Barat), menyebutkan bahwa 63,5%
INFORMASI TERKAIT AKTIVITAS SEHARI-HARI
Hanya tinggal di rumah
70,1%
Tidak ada informasi0,3%
Bekerja 24,8%
Masih bersekolah4,7%
Putus Sekolah16.5 %
Berhasil menyelesaikan sekolah/mendapatkan ijazah
36,03 %
INFORMASI PENDIDIKAN
Tidak pernah/belum sekolah47,45 %
PT (D3/S1/S2/S3)
SMA/MA
SMP/MTS
SR/SD/MI
Lainnya
Tidak ada informasi
TINGKAT PENDIDIKAN
1,7%
10,1%
12,3%
72,6%
0,3%
2,9%
penyandang disabilitas belum pernah
sekolah atau putus sekolah di tingkat
dasar. 72,6% penyandang disabiltas
hanya berhasil lulus sekolah hingga
tingkat SD/MI. Lebih lanjut 70,1%
penyandang disabilitas menyatakan
bahwa kegiatan mereka hanya di rumah
saja.
Infografis Penyandang Disabilitas, ASB 2014
Disabilitasdan Asumsi Minoritas2.
Mengacu pada World Report on Disability WHO, 2011 maka
setidaknya 37.500.000 – 50.000.000 penduduk Indonesia
(15% - 20% dari 250.000.000) hidup dengan disabilitas.
Diperkirakan jumlah penyandang disabilitas akan terus meningkat
dikarenakan beberapa faktor, di antaranya ledakan penduduk usia
lanjut, peningkatan jumlah kecelakaan lalu lintas, peningkatan
frekuensi terjadinya bencana alam, dan peningkatan pencemaran
pada lingkungan yang berdampak pada penurunan kualitas asupan
gizi masyarakat. Berkaca pada fakta ini, tentunya anggapan
penyandang disabilitas sebagai warga negara minoritas sudah tidak
relevan. Oleh karena itu pengabaian pemberdayaan pada penyadang
disabilitas akan berdampak luas pada pembangunan masyarakat
secara menyeluruh.
Saat ini Pemerintah menyalurkan bermacan bantuan sosial kepada
penyandang disabilitas, termasuk bantuan sosial dalam bentuk dukungan
jatah hidup bulanan kepada penyandang disabilitas yang termasuk dalam
kategori tidak produktif. Tentunya alokasi dana untuk bantuan semacam
ini tidak sedikit mengingat jumlah penyandang disabilitas yang tidak
produktif juga tidak sedikit. Lebih lanjut, kemungkinan jumlah dana yang
diperlukan untuk bantuan sosial semcam ini akan terus bertambah seiring
meningkatnya biaya hidup dan juga meningkatnya jumlah penyandang
disabilitas. Dalam hal ini, program pemberdayaan penyandang disabilitas
dapat menjadi investasi pembangunan karena mampu mendukung
kemandirian sekaligus mengurangi ketergantungan penyandang
disabilitas pada bantuan sosial. Dengan demikian, di masa yang akan
datang alokasi untuk dana bantuan sosial bagi penyandang disabilitas
dapat secara berangsur dialihkan pada kegiatan pembangunan yang
lebih produktif.
Disabilitas dalam Ketangguhan | 1110 | Disabilitas dalam Ketangguhan
B.Ketangguhan: Komponen Penguatan Ekonomi
Disabilitas dan akses
menuju kemandirian1.
Persaingan dalam dunia kerja
formal yang mengharuskan
seseorang memilki pengalaman
dan sertifikat pendidikan yang layak
menjadi salah satu penghambat besar
dalam penyerapan tenaga kerja dengan
disabilitas. Hasil survei ASB (2014)
menyebutkan bahwa 70,1% penyandang
disabilitas tidak memiliki pekerjaan (hanya
diam di rumah saja) dan 43,7% dari
penyandang disabilitas yang bekerja
menjalankan pekerjaan sebagai buruh
harian atau serabutan.
Menurut ILO (2013) sebagian besar
dunia kerja yang menerima tenaga kerja
dengan penyandang disabilitas adalah
dunia kerja non formal yang membutuhkan
keahlian rendah dengan pembayaran
upah kerja yang rendah pula. Situasi ini
menyebabkan upaya pemutusan rantai
kemiskinan di lingkungan penyandang
disabilitas semakin berat.
“Banyak penyandang disabilitas anggota kami telah berhasil mendapatkan
pekerjaan di perusahaan-perusahaan, pabirik-pabrik, namun banyak pula
yang akhirnya keluar karena enggak kuat dan enggak cocok dengan
lingkungan pekerjaan yang belum bersahabat dengan disabilitas.”
(Widodo, Sekretaris Persatuan Penyandang Cacat Klaten/PPCK).
Kutipan di atas menunjukan hambatan berlapis yang
dihadapi penyandang disabilitas dalam dunia kerja. Selain
akses terhadap kesempatan kerja yang terbatas, penyandang
disabilitas juga mengalami tantangan lingkungan kerja yang
tidak bersahabat sehingga menyingkirkan tenaga kerja
dengan disabilitas lebih jauh lagi dari kesempatan kerja.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa terbatasnya
kesempatanlah yang menyebabkan penyandang disabilitas
belum mampu berkontribusi secara signifikan dalam
pembangunan.
Disabilitas dalam Ketangguhan | 1312 | Disabilitas dalam Ketangguhan
Industri rumah tangga berkontribusi
besar te rhadap per tumbuhan
ekonomi masyarakat. Mengingat
terbatasnya lapangan kerja formal dan
akses permodalan, memulai usaha kecil
bagi sebagian besar masyarakat menjadi
pilihan utama. Pemilihan usaha kecil
sebagai sumber penghidupan didasari
oleh beberapa alasan di antaranya,
sumber daya yang relatif mudah di dapat
dan risiko yang juga relatif kecil. Terlebih
Wirausahawan dengandisabilitas
2.
bagi penyandang disabilitas, kemampuan
dan keterampilan yang memadai tidak
serta merta membuat penyandang
disabilitas mudah untuk bersaing dalam
dunia kerja formal. Pandangan sebelah
mata terhadap kapasitas penyandang
disabilitas dan pengabaian potensi
mereka membuat penyandang disabilitas
tersisih dalam persaingan dunia kerja.
Wirausahawan dengan disabilitas
Penyandang disabilitas sering terbentur
dengan syarat utama melamar pekerjaan
di sebagian besar perusahaan yang
menyebutkan bahwa pelamar harus 'sehat
jasmani dan rohani'. Dikarenakan
kesalahpahaman pandangan yang masih
tertanam dalam masyarakat kita dan
mayoritas pelaku usaha, penyandang
disabilitas sering dianggap tidak sehat
secara jasmani dan rohani. Pandangan ini
tentunya mempersempit kesempatan
p e n y a n d a n g d i s a b i l i t a s u n t u k
mengakses lapangan kerja. Selain
dari keterbatasan aksesibilitas non fisik
( s i k a p ) d i a t a s , k e t e r b a t a s a n
aksesibilitas fisik di tempat kerja
menyebabkan penyandang disabilitas
belum memiliki kesempatan untuk
menunjukkan kinerja yang optimal di
perusahaan formal. Aksesibilitas fisik
ini mencakup tempat bekerja, alat
kerja, dsb yang belum dirancang
sesuai dengan kebutuhan
d a n k e m a m p u a n
penyandang disabilitas. Hal
inilah yang menyebabkan
kualitas pekerja dengan
disabilitas dipandang tidak
mampu bersaing dengan
pekerja non disabilitas.
Realitas ini menjadikan
u s a h a k e c i l m e n j a d i
t u m p u a n h a r a p a n
penyandang disabi l i tas
u n t u k m e n y o k o n g
kehidupan rumah tangga
m e r e k a . S e b a g i a n
w i rausahawan dengan
disabi l i tas yang sudah berhasi l
merekrut rekannya yang juga memiliki
disabilitas sebagai pekerja untuk maju
bersama. Dalam hal ini, secara tidak
langsung keberadaan wirausahawan
dengan disabilitas juga berkontribusi
pada penguatan fondasi ekonomi
bangsa karena sudah turut berupaya
mengurangi tingkat kemiskinan.
“
“wirausahawan dengan disabilitas
juga berkontribusi pada penguatan
fondasi ekonomi bangsa
Disabilitas dalam Ketangguhan | 1514 | Disabilitas dalam Ketangguhan
Dukungan
pemberdayaan ekonomi
bagi penyandang disabiitas:
Sekilas pengalaman ASB
3. Pelaksanaan kegiatan dukungan
pemberdayaan ekonomi diberikan
pada penyandang disabilitas yang
telah memulai wirausaha di Kabupaten
Klaten, Jawa Tengah. Kegiatan ini
d i l aksanakan un tuk menanggap i
rekomendasi dari Dinas Sosial Jawa
Tengah terkait kebutuhan akan kegiatan
pemberdayaan ekonomi bagi penyandang
disabilitas. Setelah mengikuti pelatihan
banyak penyandang disabilitas yang memulai praktik wirausaha namun masih
menemui kesulitan dalam melakukan pengembangan usaha. Oleh karena itu, materi
pemberdayaan yang diberikan dalam pendampingan ASB lebih menekankan pada
peningkatan soft skill atau keterampilan pengembangan usaha.
3. 1. Kegiatan pendampingan
pengembangan usaha bagi
penyandang disabilitas
Keg ia tan pendamp ingan
d i b e r i k a n p a d a 3 6
w i r a u s a h a w a n d e n g a n
disabilitas. Usaha yang dimiliki para
w i r a u s a h a w a n i n i s e t i d a k n y a
mencakup hal berikut:
1. Usaha produksi makanan ringan
2. Usaha sablon
3. Usaha jasa kecantikan
4. Usaha servis elektronik
5. Usaha kerajinan bambu
6. Usaha jasa pijat
7. Usaha toko kelontong
8. Usaha jasa kerajinan kain perca
9. Usaha jahit
10. Usaha bengkel
Dalam pendampingan, para wirausahawan dengan disabilitas tersebut
mendapatkan pelatihan dengan materi pokok sebagai berikut:
a. Materi pembukuan
Mater i in i d i tu jukan untuk
m e m b i a s a k a n p e s e r t a
pendampingan
mencatat semua transaksi
usaha. Selama ini keuangan
u s a h a p e s e r t a
pendampingan hanya dicatat
berdasarkan ingatan dan
seringnya bercampur dengan
keuangan pribadi. Hal ini
menyebabkan ketidakjelasan
informasi akan prospek
p e n g e m b a n g a n u s a h a .
Pembukuan sederhana setidaknya
memuat informasi terkait aset, hutang,
p i u t ang , pendapa tan ,
pengeluaran dan laba rugi.
M e l a l u i p e m a n f a a t
informasi tersebut, peserta
p e n d a m p i n g a n d a p a t
menghindari kekeliruan
dalam pengelolaan usaha
dan salah sasaran dalam
p e r e n c a n a a n
pengembangan usaha.
Pe m a s a r a n m e r u p a k a n
tantangan terbesar dalam
dun ia usaha kec i l . Bag i
penyandang disabilitas, asumsi yang
m e l e k a t p a d a k e m a m p u a n
p e n y a n d a n g d i s a b i l i t a s d a n
keterbatasan aksesibilitas lingkungan
menjadi hambatan tersendiri bagi
penyandang disabilitas untuk masuk
dan bertahan di dalam pasar. Materi
pendampingan pemasaran diberikan
melalui teori di dalam kelas dan juga
praktik lapangan melalui survey pasar
untuk mengetahui posisi produk
p e s e r t a p e n d a m p i n g a n d a n
bagaimana mereka bisa 'masuk' pasar
dan bersaing di dalamnya.
b. Materi pemasaran
c. Materi media promosi
Media promosi pemasaran diberikan untuk mendukung kegiatan
pemasaran secara kreatif dengan menggunakan sumber daya yang ada.
Media promosi yang dlatihkan juga mencakup media promosi on line.
Disabilitas dalam Ketangguhan | 1716 | Disabilitas dalam Ketangguhan
Materi pengembangan pusat
bisnis mencakup motivasi,
komitmen organisasi dan
pengelolaan untuk keberlanjutan.
Pusat bisnis ini merupaka ide exit
strategy dari pendampingan yang
diajukan oleh peserta pendampingan
d a l a m r a n g k a o p t i m a l i s a s i
s u m b e r d a y a k e l o m p o k u s a h a
penyandang disabilitas.
d. Materi pengembangan pusat bisnis
Selain pelatihan soft skill di atas pendampingan ASB juga memfasilitasi
permintaan pelatihan hard skill yang ditujukan untuk mengembangkan kualitas dan
ragam produk usaha. Dalam pendampingan ini, pelatihan hard skill mencakup
pelatihan pecah pola untuk kelompok usaha jahit dan pelatihan usaha pengawetan
bambu untuk kelompok usaha pengrajin bambu.
3. 2. Strategi keberlanjutan pendampingan
Secara umum ide keberlanjutan
program berasal dari penyandang
disabilitas yang terlibat dalam
pendampingan. Mempertimbangkan akan
terbatasnya jaringan eksternal dan ragam
keterampilan yang dimiliki wirasusahawan
dengan disabilitas, maka para peserta
pendampingan memutuskan untuk
menginisiasi sebuah wadah yang dapat
mensinergikan ragam keterampilan
disabilitas. Wadah ini disebut dengan
Pusat Informasi Bisnis Disabilitas (Pusbis
Disabilitas). Setiap wirausahawan dengan
disabilitas yang tergabung dalam Pusbis
Disabil i tas memil iki kelebihan dan
keterbatasan dalam mengembangkan
usahanya masing-masing. Oleh karena itu
Pusbis Disabilitas diharapkan mampu
memfasilitasi proses saling melengkapi
dan saling belajar antar anggota PIB.
PIB diharapkan mampu memotivasi
a n g g o t a u n t u k s e n a n t i a s a
meningkatkan kualitas produk.
“Saya hanya bisa menawarkan produk di rumah saja. Sebenarnya pingin
coba jual ke pasar tapi susah mobilitas. Enggak punya kendaraan sendiri dan
kendaraan umum juga sulit, enggak aksesibel untuk kursi roda. Jadinya,
konsumen saya ya yang dekat-dekat rumah aja, sulit berkembang.”
(Ibu Sriyati, Klaten)
Pemasaran menjadi masalah utama dalam pengembangan usaha. Tantangan ini
tidak hanya terletak pada persaingan dalam pasar itu sendiri tetapi juga pada
hambatan teknis yang menghalangi penyandang disabilitas untuk mempromosikan
produknya di luar tempat usaha (rumah)-nya sendiri. Oleh karena itu, Pusbis
Disabilitas secara khusus juga dirancang untuk memperkuat posisi wirausahawan
dengan disabilitas untuk menjaring pasar produk yang lebih luas dengan
menggunakan sumber daya yang ada pada setiap anggotanya, termasuk sumber
daya mobilitas fisik dan kemampuan berkomunikasi serta berjejaring yang ada pada
anggota.
Disabilitas dalam Ketangguhan | 1918 | Disabilitas dalam Ketangguhan
P u s b i s D i s a b i l i t a s j u g a
mempermudah w i rasusahawan
dengan disabilitas untuk mengkoordinir
a k s e s t e r h a d a p s u m b e r d a y a
eksternal, misalnya melalui partisipasi
Pusbis Disabilitas dalam berbagai
pameran produk usaha kecil. Sebelum
tahun 2014, wirausahawan dengan
disabilitas belum pernah mengkuti
pameran produk karena keterbatasan
waktu untuk mengkoordinir peserta
juga karena keterbatasan mobilitas
(kendaraan dan kemampuan fisik
untuk angkut dan bongkar muat produk
dalam stand pameran).Dengan Pusbis
Disabilitas sebagai wadah koordinasi
m a k a a k a n l e b i h m u d a h b a g i
wirausahawan dengan disabilitas untuk
mengkoordinir dan saling mendukung
partisipasi mereka dalam pameran.
Keterlibatan dalam pameran merupakan
kesempatan wirausahawan dengan
disabilitas untuk praktek sekaligus belajar
l a n g s u n g . D a l a m p e l a k s a n a a n
p e n d a m p i n g a n ( O k t o b e r 2 0 1 3 –
Desember 2014), terhitung sudah Pusbis
Disabilitas sudah mengikuti pameran 3
(tiga) kali. Pameran ekonomi kreatif yang
diselenggarakan dalam rangka hari jadi
K a b u p a t e n K l a t e n y a n g k e - 2 1 0
merupakan pameran pertama yang diikuti
oleh Pusbis Disabilitas.
“Pameran ini merupakan pameran pertama bagi kami dan memberikan
pengalaman yang berarti. Dalam pameran ini kami belajar untuk
mempromosikan produk dan juga mempelajari bagaimana produk kami dapat
bersaing dengan produk-produk serupa. Dalam pendampingan juga, kami
belajar bahwa menjalankan usaha bukan hanya tentang menghasilkan
produk tetapi bagaimana merencanakan peningkatan kualitas, memperluas
keragaman produk dan yang paling penting bagaimana cara
memasarkannya.”
(Marwan, penyandang disabilitas, pengrajin kain perca Klaten).
Lebih jauh melalui divisi pendampingan bisnisnya, anggota Pusbis
Disabilitas berharap dapat mendukung pengembangan usaha
penyandang disabilitas yang belum tergabung dalam Pusbis atau
memotivasi penyandang disabiliitas lain untuk memulai usaha dan
hidup mandiri. Selain itu PPCK sebagai organisasi payung penyandang
disabilitas berinisiatif untuk melaksanakan Training of Trainer (ToT) bagi
anggotanya agar mampu mendiseminasikan pelatihan pengembangan
usaha pada penyandang disabilitas lain yang belum mendapatkan
pendampingan langsung dalam program ASB.
Bencana (BNPB) melalui Peraturan
Kepala (Perka) BNPB No. 1 Tahun
2 0 1 2 m e n c a n a n g k a n p r o g r a m
Desa/Kelurahan Tangguh Bencana.
Program nasional ini merupakan
p e m b e l a j a r a n
penyelenggaraan penanggulangan
bencana yang telah diselenggarakan
berbagai pihak, pemerintah maupun
non pemerintah sejak tahun 2004
pasca tsunami Aceh . Program
Nasional Desa Tangguh memberikan
penekanan terhadap pelibatan aktif
masyarakat dalam penanggulangan
bencana (PB). Masyarakat yang
memahami tentang komponen risiko
yang ada dilingkungan mereka dan
masyarakat yang berdaya untuk
mengelola dan menghadapi risiko
tersebutlah yang dibutuhkan untuk
menopang ketangguhan.
C.Ketangguhan: Komponen Pengurangan Risiko Bencana
Integrasi penyandang disabilitas
dalam Program Desa Tangguh
1.
Visi penanggulangan bencana
Indonesia adalah mewujudkan
Ketangguhan Bangsa dalam
Menghadapi Bencana. Ketangguhan
dalam hal ini tidak hanya dimaknai sebagai
hasil namun juga mencakup proses untuk
mencapai dan memelihara kualitas
ketangguhan yang sudah ada. Dalam
rangka menuju ketangguhan bangsa.
Badan Nasional Penanggulangan
Disabilitas dalam Ketangguhan | 2120 | Disabilitas dalam Ketangguhan
Secara operasional, Program
Nasional Desa Tangguh ditujukan
u n t u k m e l e m b a g a k a n d a n
menstrukturisasi upaya dan hasil-hasil
P B b e r b a s i s m a s y a r a k a t .
Pelembagaan dan strukturisasi ini
ditujukan untuk memberikan dampak
yang leb ih luas dan menjamin
k e b e r l a n j u t a n p e n d a m p i n g a n
KOMPONEN POKOKN
O
INDIKATOR
1. LEGISLASI
1
Kebijakan/Peraturan Desa/Kel tentang PB/PRB
2. PERENCANAAN
2
Rencana Penanggulangan Bencana, Rencana Aksi
Komunitas,
dan Rencana kontijensi
3. KELEMBAGAAN
3
Forum PRB
4
Relawan Penanggulangan Bencana/ Tim PB
5
Kerjasama antar pelaku dan wilayah
4. PENDANAAN
6
Dana tanggap darurat
7 Dana untuk PRB
5. PENGEMBANGAN
KAPASITAS
8 Pelatihan untuk pemerintah desa
9 Pelatihan untuk tim relawan
1
0
Pelatihan untuk warga desa
1
1
Pelibatan/partisipasi warga desa
1
2
Pelibatan Perempuan dalam tim relawan
6.
PENYELENGGARAAN
PENANGGULANGAN
BENCANA
1
3
Peta dan analisa risiko
1
4
Peta dan jalur evakuasi serta tempat pengungsian
1
5
Sistem peringatan dini
1
6
Pelaksanaan mitigasi struktural (fisik)
1
7
Pola ketahanan ekonomi untuk mengurangi kerentanan
masyarakat
1
8
Perlindungan kesehatan kepada kelompok rentan
1
9
Pengelolaan sumber daya alam (SDA) untuk PRB
2
0
Perlindungan aset produktif utama masyarakat
Melihat komponen dan indikator di atas dapat disimpulkan bahwa ketangguhan
merupakan isu lintas sektor. Sehingga peningkatan kapasitas ketangguhan yang
disesuaikan dengan ancaman dan sumberdaya yang berada di sekitar lingkungan
masyarakat maupun yang melekat pada individu anggota masyarakat hanya dapat
dicapai melalui kerjasama antar pihak.
pemberdayaan terkait PB yang berasal
dari berbagai pihak (pemerintah dan non
pemerintah). Dalam mewujudkan hal ini,
BNPB menentukan 6 komponen pokok
untuk menuju Desa Tangguh yang
kemudian dikembangakan menjadi 20
indikator, seperti terlihat dalam tabel
berikut:
P r i n s i p i n k l u s i f d a l a m
penyelenggaraan Program Desa Tangguh
mencoba untuk merangkul semua
kepentingan lintas sektor. Tujuan dari
penerapan prinsip inklusif ini adalah agar
penyelenggraan program Desa Tangguh
dapat melibatkan semua masyarakat dan
mendatangkan manfaat bagi semua
masyarakat, tidak terkecuali penyandang
disabilitas. Petunjuk teknis pelaksanaan
Desa Tangguh secara jelas menyebutkan
bahwa penyandang disabilitas merupakan
salah satu target utama program. Dalam
konteks inklusif, penyandang disabilitas
tentunya tidak hanya menjadi target
penerima tetapi juga menjadi target mitra
pelaksana kegiatan Desa Tangguh.
Berbagai pembelajaran membuktikan
bahwa masyaraka t penyandang
disabilitas memiliki kapasitas untuk
terlibat langsung dalam PB baik pada
tahap sebelum, saat, maupun pasca
bencana. Part is ipasi masyarakat
disabilitas yang berarti (meaningful
participation) dalam mendayagunakan
k a p a s i t a s y a n g a d a m a m p u
berkontribusi secara signifikan dalam
pencapaian dan pemeliharaan kualitas
ketangguhan.
?Mengapa Desa Tangguh Inklusif 2.
Desa Tangguh ditandai dengan
a d a n y a m a s y a r a k a t y a n g
memil iki kemampuan untuk
mengantisipasi dan meminimalisasi risiko
yang ditimbulkan oleh ancaman dan
mampu pulih segera setelah terkena
dampak bencana (John Twigg, 2009).
Disabilitas dalam Ketangguhan | 2322 | Disabilitas dalam Ketangguhan
Anggota masyarakat desa sendiri
terdiri dari individu-individu yang
memiliki karakter dan kapasitas yang
beragam. Keragaman ini dapat
menjadi modal sekaligus tantangan
menuju ketangguhan. Keragaman
dapat menjadi modal ketangguhan jika
t e r d a p a t u p a y a o p t i m a l i s a s i
pendayagunaan ragam kapasitas
masyarakat yang ditujukan untuk
m e m e n u h i k e b u t u h a n d a l a m
membangun ketangguhan masyarakat
yang beragam pula. Di sisi lain
keragaman dapat menjadi tantangan
yang menghambat jika keragamanan
itu sendiri diabaikan dan kapasitas
diseragamkan (generalisasi) yang
ser ingnya t idak sesuai dengan
kebutuhan akan ketangguhan yang
melekat pada individu sebagai bagian
dari anggota masyarakat.
Dalam suatu masyarakat yang
berada di wilayah rawan bencana,
semua anggota masyarakat tanpa
terkecual i tentu terpapar r is iko
bencana. Pada saat bersamaan
semua masyarakat berhak selamat
dan pulih dari bencana. Dengan
demikian, pengukuran dan intervensi
ketanguhan dan upaya peningkatan
kapasitas ketangguhan juga harus
menyasar semua anggota masyarakat.
Disadari bahwa terbatasnya sumber
daya, menjadikan program penguatan
k e t a n g g u h a n t i d a k m a m p u
menjangkau setiap individu secara
langsung. Namun pendekatan inklusif
yang ditekankan sejak awal mampu
meminimalisir tantangan ini. Pendekatan
inklusif mampu memperluas dampak
program hingga menjangkau sebanyak
mungkin individu dengan seberagam
mungk in ka rak te r dan kapas i tas
masyarakat dalam suatu wilayah.
Prinsip PRB memberi penekanan
pada individu dan masyarakat yang
berisiko. Oleh karena itu pengabaian (baik
disengaja maupun tidak disengaja)
terhadap penyandang disabilitas, sebagai
masyarakat yang terpapar risiko lebih
t inggi dar ipada masyarakat pada
umumnya, berlawanan dengan prinsip
PRB itu sendiri. Pembenaran penyandang
disabilitas sebagai anggota masyarakat
yang terpapar risiko lebih tinggi setidaknya
dapat dihubungkan dengan hambatan
praktis terkait akses terhadap informasi
dan pendidikan kebencanaan dan jalur
evakuasi serta sistem peringatan dini yang
belum disesuaikan dengan kebutuhan dan
kemampuan penyandang disabilitas.
Terkait dengan keragaman kapasitas
masyarakat, nilai-nilai inklusifitas yang
mendasari penyelenggaraan kegiatan
Desa Tangguh dalam hal ini juga ditujukan
untuk optimalisasi pendayagunaan ragam
kapasitas yang berguna untuk memenuhi
k e b u t u h a n d a l a m m e m b a n g u n
ketangguhan masyarakat yang beragam
pula. Dalam hal ini, program Desa Tangguh Inklusif memandang setiap anggota
masyarakat termasuk anak-anak, perempuan, lansia dan penyandang disabilitas,
memiliki kapasitas untuk berkontribusi aktif mewujudkan ketangguhan.
Inklusi
mengangkat kapasitas
lintas sektor3.
Kegiatan berbasis mayarakat
merupakan keg ia tan yang
dilakukan oleh masyarakat untuk
masyarakat sebagai salah satu strategi
yang digunakan untuk memastikan
perluasan dampak
dan keberlanjutan
kegiatan. Kiranya
pendeka tan in i
sudah sangat tepat
s e k a l i b i l a
diterapkan dalam
upaya PRB untuk
k e t a n g g u h a n .
M e n g i n g a t
perubahan paradigma penekanan
mekanisme penanggulangan bencana
Indonesia dari tanggap darurat menjadi
PRB (mi t igas i , pencegahan, dan
kesiapsiagaan), maka penanggulangan
bencana membutuhkan sumber daya dan
kerjasama antar pihak. Pemerintah
sebagai penyedia layanan tidak dapat
selalu berada di tengah masyarakat,
sedangkan bencana dapat menimpa
masyarakat kapan saja sehingga
kes iaps iagaan
m a s y a r a k a t
menjadi hal vital.
Di sisi lain dalam
m e n e n t u k a n
p r i o r i t a s d a n
penyelenggaraan
keg ia tan PRB
d i b u t u h k a n
pengkajian yang
cermat akan komponen risiko yakni,
ancaman, kerentanan dan kapasitas di
mana masyarakat setempatlah yang
paling mengenali ke-3 komponen ini.
Disabilitas dalam Ketangguhan | 2524 | Disabilitas dalam Ketangguhan
S a y a n g n y a d a l a m
penyelenggaraan kegiatan berbasis
masyarakat tidak semua masyarakat
dapat ter l iba t . Menurut Surve i
Identifikasi Disabilitas terkait Bencana
(ASB 2014) , 76% penyandang
disabilitas yang tinggal di wilayah
rawan bencana belum pernah terlibat
dalam kegiatan pengurangan risiko
bencana. Kemudian pertanyaannya
yang muncul adalah masyarakat yang
mana yang terlibat, atau harus terlibat,
atau seharusnya terlibat atau selalu
terlibat, atau tidak terlibat, atau selalu
tidak terlibat? Dan mengapa? Untuk
memastikan dampak kegiatan PRB
yang optimal, pertanyaan tentang
inklusi tersebut harus terjawab.
Masyarakat dalam arti luas dapat
diartikan sebagai kumpulan individu
yang bertempat tinggal di suatu
w i l a y a h , s a l i n g b e r i n t e r a k s i ,
bergantung satu sama lain dan
membentuk keterhubungan. Individu-
individu yang ada di dalam suatu
masyarakat terikat dalam suatu
wilayah administrasi, norma dan nilai-
nilai sosial lainnya. Keterhubungan dan
keterikatan ini lah yang menjadi
l a n d a s a n m e n u j u k e t a n g g u h a n
masyarakat. Dengan demikian, apabila
terdapat suatu komponen masyarakat
yang tidak selaras maka ketangguhan
akan sulit dicapai.
Dipahami bahwa tidak semua program
pendampingan, termasuk program
pendampingan Desa Tangguh dapat
menjangkau seluruh masyarakat secara
individu secara langsung dikarenakan
k e t e r b a t a s a n S D M , w a k t u d a n
penganggaran. Oleh karena itu perwakilan
masyarakat yang mengikuti kegiatan
pendampingan secara langsung harus
mencerminkan representasi keseluruhan
unsur masyarakat. Terlebih dalam
kegiatan PRB menuju ketangguhan,
perwakilan unsur masyarakat yang paling
berisiko terhadap bencana (anak-anak,
perempuan, lansia, dan penyandang
disabilitas) harus dihadirkan dan terlibat
aktif agar kapasitas dan kebutuhan unsur
masyarakat ini teridentifikasi untuk
k e m u d i a n d i t i n d a k l a j u t i d a l a m
perencanaan kegiatan. Keterwakilan yang
adil dan merata ini nantinya dapat
mendukung kese la rasan menu ju
ketangguhan.
Pendekatan inklusif-disabilitas
dalam PRB praktis:
Sekilas pengalaman ASB4.
Pemerintah Indonesia dalam kebijakan
dan strategi program PRB menunjukkan
komitmen kuat dalam perwujudan PRB
inklusif disabilitas. Selain Program Desa
Tangguh yang memegang prinsip inklusi,
BNPB juga telah mengesahkan Peraturan
Kepala BNPB No. 14 Tahun 2014 tentang
P e n a n g a n a n , P e r l i n d u n g a n d a n P a r t i s i p a s i
P e n y a n d a n g
Disabilitas dalam
Penanggulangan
Bencana. Untuk
m e n d u k u n g
i m p l e m e n t a s i
Perka ini, Pusdiklat
B N P B t e l a h
mengembangkan
kurikulum pelatihan terkait PRB Inklusif
Disabilitas. ASB Indonesia, sebagai mitra
Pemerintah, dalam hal ini berupaya untuk
mengaplikasikan kebijakan dan strategi
program Pemerintah dalam kegiatan PRB
praktis berbasis masyarakat dan dalam
kerangka Desa Tangguh Inklusif. Model
program Desa Tangguh Inklusif oleh ASB
dilaksanakan di Desa Hargomulyo,
Kecamatan Gedangsari, Kabupaten
Gunungkidul. Desa Hargomulyo terdiri
dari 14 dusun dan memiliki ancaman
bencana utama, gempa bumi dan
tanah longsor. Penekanan pada
pelibatan aktif penyandang disabilitas
dalam pelaksanaan program di
Hargomulyo tidak
d i m a k s u d k a n
u n t u k
mengkhususkan
pendampingan
t e r h a d a p
p e n y a n d a n g
disabilitas namun
l e b i h k e p a d a
upaya integrasi
(pemaduan) penyandang disabilitas
dalam kegiatan PRB bersama-sama
dengan anggota masyarakat lainnya.
Kontribusi aktif penyandang disabilitas
ini tentunya akan berdampak pada
perwujudan ketangguhan masyarakat
secara menyeluruh (inklusif).
Disabilitas dalam Ketangguhan | 2726 | Disabilitas dalam Ketangguhan
Terlihat jelas dalam perumusan
risiko di atas bahwa “pembiaran”
atas kerentanan pada salah satu 1
atau lebih unsur masyarakat akan
berdampak pada meningkatnya risiko
pada seluruh masyarakat. Sebaliknya
kapasitas yang ada pada satu atau lebih
unsur masyarakat akan berdampak pada
penurunan tingkat risiko pada seluruh
masyarakat pula. Selama ini masyarakat
dengan d i sab i l i t as l eka t dengan
kerentanan. Seharusnya label “rentan”
tersebut sudah cukup untuk menjadi
alasan kuat untuk melibatkan penyandang
disabilitas dalam kegiatan peningkatan
kapasitas dalam rangka mentransformasi
unsur kerentanan masyarakat dengan
disabilitas menjadi unsur kapasitas.
Transformasi ini tentunya berdampak luas
tidak hanya pada penurunan tingkat risiko
pada individu dengan disbilitas tetapi juga
penurunan tingkat risiko pada keluarga
dan masyarakat di sekitar mereka.
Mengubah kerentanan
menjadi kapasitas5.
Ancaman pada masyarakat Kerentanan masyarakatx
Kapasitas masyarakatRisiko pada masyarakat = Output Kegiatan
Desa Tangguh Inklusif 6.
Output kegiatan Desa Tangguh
i n k l u s i f d i a r a h k a n p a d a
pecapa ian i nd i ka to r Desa
Tangguh yang disebutkan dalam Petunjuk
Teknis Desa/Kelurahan Tangguh. Adapun,
Desa Tangguh Inklusif, memberikan
penekanan pada perluasan akses bagi
penyandang disabilitas untuk terlibat aktif
dalam seluruh rangkaian kegiatan.
Keterlibatan aktif penyandang disabilitas
dapat menghasilkan output yang inklusif
pula. Hal ini dikarenakan keterlibatan
p e n y a n d a n g d i s a b i l i t a s m a m p u
memastikan bahwa kebutuhan dan
kemampuan penyandang disabilitas turut
diperhitungkan dalam PRB.
1Komponen kerentanan disini tetap digunakan untuk menyesuaikan dengan formula yang sering dipakai dalam kajian risiko. Namun demikian, dalam konteks ketangguhan, ASB memberi fokus pada peningkatan kapasitas bukan pada identifikasi kerentanan semata. Semua individu yang terpapar risiko memiliki kapasitas untuk mengelolanya dan risiko dapat dikurangi hanya melalui peningkatan kapasitas.
Disabilitas dalam Ketangguhan | 2928 | Disabilitas dalam Ketangguhan
6.1. Ringkasan Hasil
Program Desa Tangguh Inklusif
di Desa Hargomulyo
R e n c a n a P e n a n g g u l a n g a n
Bencana Desa (RPBDes) dan
Rencana Aksi Komunitas (RAK)
Rencana Kontinjensi Gempa dan Longsor (Renkon).
Renkon disusun dengan memperhitungkan keberadaan penyandang disabilitas di
Hargomulyo. Simulasi inklusif tingkat dusun dan desa dilaksanakan untuk
memastikan bahwa renkon telah sesuai dengan kebutuhan dan sumber daya
warga desa termasuk kebutuhan dan sumber daya warga dengan disabilitas.
Tim Penanggulangan Bencana (Tim PB) tingkat dusun dan desa dan Forum PRB
Desa.
Anggota Tim PB dan Forum PRB mencakup perwakilan masyarakat dengan
disabilitas sehingga kegiatan Tim PB memperhatikan kebutuhan dan kemampuan
penyandang disabilitas. Lebih lanjut, Tim PB inklusif membuka ruang bagi
kerjasama masyarakat disabilitas dan non disabilitas untuk PRB inklusif, di mana
masing-masing unsur masyarakat memiliki peran yang setara, yakni sebagai aktor
aktif.
Peningkatan kapasitas PRB dalam seting inklusif.
Setting inklusif dalam peningkatan kapasitas bagi masyarakat memungkinkan
adanya pengenalan dan sinergi potensi masing-masing unsur masyarakat terkait
apa yang mereka bisa kontribusikan ke dalam perwujudan ketangguhan desa.
Dalam hal ini, perwujudan ketangguhan desa membutuhkan potensi yang
beragam.
Pelibatan penyandang disabilitas dalam kegiatan peningkatan kapasitas tidak
hanya dimaksudkan untuk meningkatkan kapasitas pribadi mereka dalam
menghadapi bencana. Lebih lanjut, peningkatan kapasitas tersebut dimaksudkan
untuk meningkatkan kapasitas penyandang disabilitas sebagai aktor aktif yang
mampu berkontribusi secara positif dalam perwujudan ketangguhan desanya
bersama – sama dengan unsur masyarakat lainnya.
RPBDes dan RAK disusun dengan
partisipasi penyandang disabilitas sejak
dari risk mapping hingga prioritisasi
kegiatan sehingga poin-poin perencanaan
yang terkandung juga memuat kebutuhan
dan kontribusi penyandang disabilitas
dalam penyelenggaraan PRB.
Disabilitas dalam Ketangguhan | 3130 | Disabilitas dalam Ketangguhan
D.Ketangguhan Inklusif dalam Praktek: Kesempatan dan Tantangan
Da l a m s e t i a p k e g i a t a n
pemberdayaan masyarakat
tentunya akan selalu terdapat
tantangan yang mendorong pendamping
untuk lebih fleksibel dalam mencari solusi
tanpa harus menurunkan kualitas kegiatan
p e n d a m p i n g a n . K e j e l i a n d a l a m
memanfaatkan sumberdaya yang ada
s u d a h m e n j a d i ' i n t i ' k e g i a t a n
pemberdayaan yang berkelanjutan. Tugas
pendamping bukan memperkenalkan hal
baru melainkan memfasilitasi masyarakat
untuk lebih 'aware' atau sadar akan
sumber daya disekitar yang dapat mereka
man faa tkan un tuk men ingka tkan
ketangguhan, khususnya ketangguhan
yang inklusif.
Tantangan dan Kesempatan
Pemasaran produk usaha
penyandang disabilitas 1.
Tantangan
Sebagian besar wirausahawan dengan disabilitas yang terlibat dalam pendampingan
ini, mayoritas terhitung baru dalam memulai usahanya. Keragaman terletak pada
kualitas produk dan kapasitas dan keterampilan usaha namun satu tantangan yang
sama-sama mereka hadapi dan sangat berpengaruh pada pengembangan usaha
adalah adalah pemasaran.
Kesempatan
Sebagian besar wirausahawan dengan disabilitas membangun usaha bukan atas
dasar 'passion' atau keterampilan mereka dalam berwirausaha namun dikarenakan
menjadi wirausaha menjadi satu-satunya pilihan mereka untuk mencari nafkah,
memenuhi kebutuhan dan hidup mandiri mengingat kesempatan untuk mengakses
lapangan kerja formal masih sangat terbatas. Keterampilan berwirausaha tentunya
tidak dapat dibangun hanya melalui pelatihan-pelatihan tetapi juga melalui praktek
usaha langsung yang mereka jalani. Namun demikian, masih terdapat pula
wirausahawan dengan disabilitas yang benar-benar memiliki keterampilan
berwirausaha. Pembentukan wadah pusat informasi bisnis dapat mendukung
proses saling belajar, menularkan keterampilan, dan saling mendukung antar
wirausahawan dengan disabilitas, utamanya dalam hal berjejaring dan mengakses
sumber daya dari pihak eksternal dan pemasaran produk.
Disabilitas dalam Ketangguhan | 3332 | Disabilitas dalam Ketangguhan
Tantangan
Survey Hambatan dan Dukungan dalam PRB Inklusif Disabilitas yang dilakukan oleh
ASB dan Centre for Disability Research and Policy (Pusat Kajian dan Kebijakan
Disabilitas), Universitas Sydney, 2014 menunjukkan bahwa hambatan besar dalam
terlaksananya PRB Inklusif Disabilitas adalah, 1) terbatasnya sumber daya, 2)
terbatasnya pengalaman, dan 3) terbatasnya akses terhadap sumber daya. Ketiga
hambatan ini terkait dengan asumsi masyarakat luas bahwa disabilitas merupakan
'isu teknis” dan “isu terpisah' dari isu sosial masyarakat lainnya. Anggapan ini
disebabkan oleh pandangan bahwa penanganan disabilitas membutuhan keahlian
medis, psikologis, dan akademik. Dengan demikian isu masyarakat, anak-anak dan
perempuan berbeda dengan isu masyarakat, anak-anak dan perempuan dengan
disabilitas. Pada dasarnya, keahlian-keahlian teknis tersebut tentu saja dapat
mendukung program pemberdayaan disabilitas. Namun, untuk mendapatkan
keahlian tersebut dalam satu waktu dan dalam frekuensi yang intensif untuk situasi
saat ini masih sulit. Dalam PRB, peningkatan kapasitas seharusnya diberikan kepada
masyarakat secepat atau setepat waktu mungkin karena kita tidak bisa menunda
terjadinya bencana yang bisa menimpa masyarakat kapan saja dan kejadian bencana
tidak menunggu kapan kita memiliki sumber daya atau keahlian yang ideal.
Kesempatan
Dalam pengalaman pendampingan ASB, didapati bahwa tidak harus menjadi seorang
ahli disabilitas untuk melaksanakan program inklusif disabilitas. Seringnya kegiatan
PRB inklusif disabilitas dapat berjalan lancar dengan dukungan identifikasi yang baik
terkait hambatan dan sumber daya yang ada pada disabilitas. Cara terbaik untuk
mengidentifikasi hal ini adalah dengan cara menanyakan langsung kepada
penyandang disabilitas itu sendiri. Dalam hal ini, terbukti penyandang disabilitas yang
paling memahami “permasalahannya” dan sekaligus paling mengerti bagaimana
solusi terbaik untuk mengatasi permasalahan tersebut. Kemitraan (integrasi aktif)
penyandang disabilitas dan organisasi penyandang disabilitas dalam kegiatan
mampu meminimalisir tantangan “teknis” dalam pelaksanaan PRB Inklusif Disbailitas.
Dapat disimpulkan bahwasannya sumberdaya PRB inklusif disabilitas sudah ada
hanya kita saja yang belum memanfaatkannya.
Hambatan dan Dukungan PRB Inklusif Disabilitas2.Tantangan
Selama ini, seringnya asumsi yang mengahalangi kegiatan inklusif disabilitas.
Masyarakat non disabilitas berasumsi bahwa masyarakat disabilitas tidak dapat
mengikuti kegiatan sosial kemasyarakatan karena akan kesulitan untuk terlibat dan
mereka tidak ingin memberatkan penyandang disabilitas, ada rasa “kasihan”.
Sebaliknya anggota masyarakat disabilitas menganggap bahwa mereka tidak
dilibatkan dalam kegiatan masyarakat karena dianggap tidak mampu untuk
berkontribusi.
Kesempatan
Ketangguhan masyarakat sangat bergantung pada ketangguhan unsur-unsur yang
ada pada masyarakat itu sendiri. Jika terdapat satu unsur yang tidak selaras makan
ketangguhan akan sulit untuk tercapai. Oleh karena itu diperlukan adanya sinergi
antar unsur-unsur masyarakat, tidak terkecuali unsur masyarakat non disabilitas
dengan unsur masyarakat disabilitas. Sinergi ini tentunya tidak akan terjadi apabila
kedua belah pihak mempertahankan asumsinya masing-masing, yang cenderung
salah. Interaksi antara kedua belah unsur mampu meluluhkan asumsi karena dalam
interkasi tersebut terbangun komunikasi dan kerjasama. Dalam komunikasi dan
kerjasama tersebut masing-masing unsur dapat memahami langsung posisi masing-
masing. Oleh karena itu dalam pendampingan, ASB mengupayakan kegiatan yang
sama dalam waktu yang sama dan tempat yang sama bagi masyarakat non disabilitas
dan masyarakat disabilitas. Kegiatan pendampingan untuk keduanya tidak
dipisahkan kecuali pada awal-awal kegiatan sebagai persiapan pengintegrasian
menuju sinergi.
Memutus asumsi 3.
Disabilitas dalam Ketangguhan | 3534 | Disabilitas dalam Ketangguhan
Tantangan
Kegiatan pendampingan dengan
melibatkan penyandang disabilitas
menantang fasilitator pendampingan
untuk lebih peka pada ragam kebutuhan
d a n k e m a m p u a n p e s e r t a
pendampingan. Dalam satu kegiatan
pendampingan mungkin saja terdapat
peserta yang memiliki hambatan untuk
menulis, melihat, mendengar, berjalan,
dan sebagainya, yang masing-masing
membutuhkan penyesuaian praktis agar
bisa terlibat.
Inklusif: pendekatan masyarakat secara menyeluruh4.Dalam pendampingan, ASB mengupayakan tempat pertemuan yang mudah
dijangkau semua peserta tidak terkecuali penyandang disabilitas. Tempat pertemuan
tidak harus di kantor desa atau rumah Pak Dusun tetapi juga rumah warga. Selain itu
ASB mendorong agar peserta saling bekerjasama, misalnya warga yang memiliki
kendaraan menjemput dan mengantar peserta yang tidak memiliki kendaraan. ASB
juga memodifikasi kegiatan dan output kegiatan yang seharusnya tingkat desa
menjadi tingkat dusun untuk optimalisasi keterlibatan seluruh masyarakat. Wilayah
satu desa bisa jadi sangat luas sehingga sulit bagi masyarakat untuk terlibat secara
intens dalam kegiatan yang dilakukan pada tingkat desa.
Tantangan
Selama ini perencanaan dan pelaksanakan kegiatan masyarakat sebagian besar
belum menyasar penyandang disabilitas dikarenakan masyarakat penyandang
disabilitas termasuk dalam kategori 'hidden population” yang keberadaan,
kemampuan dan kebutuhannya “tersembunyi” atau “tidak terlihat”. Penyandang
disabilitas juga jarang terlihat dan berbaur dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena
itu keberadaan mereka semakin tidak disadari.
ASB : Ibu pernah ikut rapat atau kegiatan di desa?
Tukini : Enggak pernah
ASB : Dusun?
Tukini : Enggak pernah
ASB : RT?
Tukini : Enggak pernah
(Interview ASB dengan seorang masyarakat dengan disabilitas saat identifikasi
potensi keterlibatan disabilitas dalam PRB, 2014)
Kesempatan
PRB Inklusif Disabilitas mendorong keterlibatan penyandang disabilitas dalam
kegiatan masyarakat. Lebih lanjut keterlibatan ini mampu meningkatkan visibilitas
atau 'keterlihatan” penyandang disabilitas dalam kehidupan masyarakat. Berbaurnya
penyandang disabilitas dengan masyarakat umum melalui kegiatan PRB mampu
memberikan penyadaran secara tidak langsung tentang keberadaan, kebutuhan dan
kemampuan penyandang disabilitas. Tentunya penyadaran ini akan berdampak pula
pada perencanaan dan penyelenggaraan kegiatan masyarakat di luar PRB.
Kesempatan
Beragamnya kebutuhan dan kemampuan peserta pendampingan tidak
mengharuskan pendamping melakukan kegiatan secara terpisah yang tentunya
memakan waktu dan sumber daya. Kegiatan dengan setting inklusif dan fasilitasi
reasonable accomodation mampu mendorong peserta yang membutuhkan
dampingan khusus untuk terlibat aktif.
Setting inklusif dapat di mulai dengan hal sederhana berikut: pengaturan tempat
duduk peserta, pemilihan material yang dapat dimanfaatkan semua peserta (audio,
video, cetak, dll), pemilihan metode penyampaian materi (ceramah, diskusi
kelompok, brainstorming, dll) dan pemilihan tempat lokasi pelatihan yang aksesibel
bagi semua.
Fasilitasi reasonable accomodation atau penyesuaian akomodasi juga dapat
mendorong partisipasi aktif penyandang disabilitas. Akomodasi ini dapat berupa
penerjemah bahasa isyarat bagi peserta yang kesulitan mendengar, penyediaan
material dalam huruf Braille bagi peserta yang kesulitan melihat, dan penyediaan
jeronjong atau 'ramp' portable bagi pengguna kursi roda.
Seringnya penyandang disabilitas tidak dapat hadir dalam pertemuan karena tempat
pertemuan jauh, tidak memiliki kendaraan dan kendaraan umum tidak tersedia.
Visibilitas disabilitas5.
Disabilitas dalam Ketangguhan | 3736 | Disabilitas dalam Ketangguhan
Tantangan
Dimanakah penyandang disabilitas berada? Berapakah jumlah penyandang
disabilitas yang ada di masyarakat? Kedua pertanyaan tersebut merupakan
pertanyaan sederhana dengan beragam jawaban. Ragam jawaban ini dikarenakan
persepsi kita tentang disabilitas yang berbeda-beda namun tetap masih mendasar
pada pelabelan subyektif yang dihubungkan dengan bentuk fisik atau karakter
penyandang disabilitas. Dalam kegiatan pemberdayaan masyarakat pelabelan tidak
banyak membantu dalam merancang program yang inklusif. Dalam pelabelan tidak
nampak hambatan dan kapasitas seseorang untuk berkontribusi positif kepada
masyarakatnya. Pelabelan hanya berhenti pada label itu sendiri dan tidak dapat
dikembangkan untuk merancang intervensi apa yang dibutuhkan untuk mengurangi
hambatan dan meningkatkan kapasitas.
Kesempatan
Dalam integrasi penyandang disabilitas tentunya diperlukan informasi tentang
penyandang disabilitas. Namun, dikarenakan informasi terkait label disabilitas tidak
membantu dalam merancang pendekatan program iinklusif, maka identifikasi
disabilitas sebaiknya didasarkan pada penggalian informasi terkait hambatan spesifik
yang mereka alami dan kapasitas apa yang mereka miliki. Informasi jumlah warga
yang memiliki hambatan berjalan atau naik turun tangga lebih berguna dari pada
informasi terkait jumlah warga yang tuna daksa (label). Dalam PRB misalnya,
informasi tentang warga yang mengalami kesulitan berjalan atau naik turun tangga
dapat memberikan petunjuk kepada kita misalnya terkait penentuan jalur evakuasi
dan tempat evakuasi yang aksesibel.
Terkait pengembangan kapasitas informasi mengenai hambatan dan kapasitas juga
sangat berguna dalam mengembangan informasi dan mekanisme penyampaian
informasi kepada penyandang disabilitas. Dalam upaya pengembangan kapasitas
yang inklusif, pendamping harus memastikan pengembangan informasi yang
aksesibel baik dari segi media informasi, konten informasi dan penyampaian
informasi. Dalam hal ini penyandang disabilitas tidak hanya diharapkan mampu
mendapatkan informasi tetapi juga mempraktekkannya. Dengan demikian konten
informasi harus disesuaikan dengan hambatan yang di alami dan kapasitas yang
Identifikasi penyandang disabilitas6.dimiliki.
Misalnya, bagi individu yang berkesulitan mendengar tetapi tidak berkesulitan
melihat, pendamping dapat mengembangkan dan menyampaikan informasi prosedur
keselamatan dari bencana melalui media visual dengan konten yang sama pada
media yang diperuntukkan untuk masyarakat umum lainnya. Namun apabila seorang
individu tidak berkesulitan mendengar namun memiliki kesulitan berjalan, misal
pengguna kursi roda, maka teknik penyampaian informasi bisa disamakan dengan
teknik penyampaian informasi yang diperuntukkan masyarakat umum, namun konten
informasi harus disesuaikan dengan kemampuan individu tersebut sehingga bisa ia
praktikkan.
Untuk mendukung perancangan kegiatan berdasarkan kebutuhan, pendamping
dapat menggunakan pertanyaan Washington Group. Pertanyaan ini dikembangkan
guna menyederhanakan identifikasi disabilitas dari segi non teknis atau non medis
dan dapat dilakukan oleh orang awam termasuk masyarakat yang tinggal di sekitar
penyandang disabilitas. Jika kita menanyakan pada masyarakat adakah penyandang
disabilitas yang tinggal di sekitar mereka, maka kemungkinan masyarakat sulit untuk
menjawab atau menjawab berdasarkan asumsi yang belum tentu benar. Jika
pertanyaannnya kita sederhanakan menjadi, adakah masyarakat di sekitar yang
mengalami kesulitan melihat, berjalan dan sebagainya pasti masyarakat dapat
dengan mudah menjawab. Sebagai contoh data penyandang disabilitas dari Desa
Hargomulyo, Gedangsari, Gunungkidul yang didapat dari data desa adalah 125
setelah melakukan verifikasi dengan menggunakan pertanyaan Washington Group
jumlah disabilitas di desa tersebut menjadi 221. Hal ini berimplikasi bahwa pertanyaan
Washington Group lebih praktis dan mempermudah identifikasi oleh masyarakat yang
sebagian besar awam akan pelabelan medis, akademik atau psikologis yang selama
ini digunakan untuk mengidentifikasi penyandang disabilitas. Berikut 6 set pertanyaan
yang dikembangkan oleh Washington Group.
Sampel hasil identifikasi penyandang disabilitas menggunakan Washington
Group Question, ASB 2014
Melihat MendengarBerjalan/
naik-turun tanggaMengingat/konsentrasi Rawat diri Komunikasi
Tidak kesulitan
Sesekali kesulitan
Banyak kesulitan
Tidak dapat melakukan sama sekali
Tidak menjawab
65.3%
15.7%
13.0%
5.8%
0.2% 2.6%
64.6%
15.0%
13.6%
4.3%
0.1%
45.4%
14.4%
27.6%
12.5%
48.3%
20.9%
23.2%
6.8%
0.8% 0.1%
69.2%
11.7%
9.6%
9.5%
0.7%
47.5%
20.8%
21.2%
9.9%
INFORMASI TERKAIT DISABILITAS (MENGGUNAKAN WASHINGTON GROUP QUESTIONS)
38 | Disabilitas dalam Ketangguhan
Pertanyaan Washington Group mengidentifikasi 6 hambatan yang mungkin dialami
oleh individu dengan 5 pilihan jawaban dari tidak kesulitan hingga tidak dapat
melakukan sama sekali. Pilihan ini dapat digunakan untuk menjadi acuan analisa
hambatan dan tingkat kesulitan. Pertanyaan Washington Group diajukan langsung
kepada penyandang disabilitas atau pendampingnya (jika penyandang disabilitas
tidak mampu menjawab). Dalam hal ini, interviewer yang mengajukan pertanyaan
tidak boleh berasumsi. Semua jawaban harus berasal dari penyandang disabilitas
sendiri atau pendamping disabilitas dalam melakukan kegiatan sehari-hari. Setiap masyarakat yang tinggal di wilayah rawan bencana tentunya terpapar
risiko bencana dan tingkat risiko yang dialami sangat bergantung pada tingkat
ketangguhan. Perubahan paradigma kerentanan menjadi ketangguhan
mengakui bahwa semua masyarakat tidak terkecuali penyandang disabilitas pada
dasarnya memiliki kapasitas untuk berkontribusi aktif dalam pengelolaan risiko. Lebih
lanjut peningkatan kapasitas yang diberikan pada masyarakat, baik disabilitas
maupun non disabilitas, mampu meningkatkan kemampuan mereka untuk
mengurangi risiko.
Pengalaman pelaksanaan program ketangguhan ASB menunjukkan bahwa
peyandang disabilitas merupakan sumber daya potensial. Namun dikarenakan
asumsi yang cenderung tidak benar dan keberadaan penyandang disabilitas yang
“tidak terlihat”, sumber daya ini belum termanfaatkan secara maksimal.
Kegiatan pemberdayaan penyandang disabilitas seringnya dianggap harus selalu
dilaksanakan secara terpisah dan mengedepankan hal-hal teknis. Anggapan ini
mempersempit ruang interaksi antara masyarakat disabilitas dengan masyarakat non
disabilitas dan secara tidak langsung juga mengurangi kesempatan kerjasama semua
unsur masyarakat dalam mewujudkan ketangguhan. Pelaksanaan pendampingan
terpisah juga mengurangi kesempatan penguatan keterikatan sosial antara
masyarakat disabilitas dan masyarakat non disabilitas. Telah banyak dikaji bahwa
keterikatan sosial masyarakat merupakan salah satu pijakan utama untuk
mewujudkan ketangguhan karena didalamnya terdapat upaya kerjasama.
Keterikatan sosial yang berkualitas mampu memelihara dan memperkuat kapasitas
masyarakat yang ada di dalamnya. Dalam rangka menumbuhkan dan memelihara
keterikatan sosial ini, maka kegiatan pendampingan masyarakat menuju
ketangguhan seharusnya didasarkan pada prinsip inklusif dengan menerapkan
pendekatan masyarakat yang menyeluruh (whole communty approach) di mana
setiap unsur masyarakat dapat berkontribusi aktif dan merasakan manfaat dari
integrasi kontribusinya tersebut.
Disabilitas dalam Ketangguhan | 39
E. Kesimpulan