dimensi kritis pemikiran akuntansi yang teralienasi

24
167 Jurnal Media Riset Akuntansi, Auditing & Informasi ISSN : 2442 - 9708 (Online) Vol. 19 No. 2 September 2019 :167-190 ISSN : 1411 - 8831 (Print) Doi: http://dx.doi.org/10.25105/mraai.v19i2.3854 DIMENSI KRITIS PEMIKIRAN AKUNTANSI YANG TERALIENASI: DIALOG IMAJINER KONSTRUKSIONIS DAN DEKONSTRUKSIONIS Akhmad Riduwan 1 Andayani 2 1,2 Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Indonesia (STIESIA) Surabaya *1 [email protected] Abstract This article aims to elevate the critical dimension of accounting thoughts which is alienated and repressed by dominant mainstream thought. This article is also aims to build awareness of accounting academics and practitioners that financial accounting can developed by reflecting on critical theories of sociology. This article is prepared based on the literature review. The literature of accounting practices and financial reporting are explore along with the exploration of the underlying critical thoughts. To achieve the objectives of the study, the conceptual framework of financial reporting is examined from a constructionist and deconstructionist perspective. The study was conducted contemplatively on the basis of critical sociological theory. The results of the study from the constructionist and deconstructionist perspective are presented in an imaginary-contemplative dialogue format. The results of the review indicate that: (1) the critical dimension of accounting thought needs to be raised in the effort to develop the concept and practice of financial reporting, so that it can become alternative thinking without destructing mainstream thinking; (2) the concepts and practices of ongoing financial reporting practices can be evaluated by reflecting on sociological- critical theories relevant to the context; and (3) the development of concepts and practices of financial reporting should also be based on public interest in general Keywords: Accounting Thought; Constructionist; Critical Theory; Deconstructionist; Financial Reporting; Imaginary Dialogue. Abstrak Artikel ini bertujuan untuk meningkatkan dimensi kritis pemikiran akuntansi yang teralienasi dan ditekan oleh pemikiran utama yang dominan. Artikel ini juga bertujuan untuk membangun kesadaran akademisi dan praktisi akuntansi bahwa akuntansi keuangan dapat dikembangkan dengan merefleksikan teori kritis sosiologi. Artikel ini disusun berdasarkan tinjauan literatur. Literatur praktik akuntansi dan pelaporan keuangan mengeksplorasi bersama dengan eksplorasi pemikiran kritis yang mendasarinya. Untuk mencapai tujuan penelitian, kerangka kerja konseptual pelaporan keuangan diperiksa dari perspektif konstruksionis dan dekonstruksionis. Studi ini dilakukan secara kontemplatif berdasarkan teori sosiologis kritis. Hasil studi

Upload: others

Post on 16-Oct-2021

11 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: DIMENSI KRITIS PEMIKIRAN AKUNTANSI YANG TERALIENASI

167

Jurnal Media Riset Akuntansi, Auditing & Informasi ISSN : 2442 - 9708 (Online)

Vol. 19 No. 2 September 2019 :167-190 ISSN : 1411 - 8831 (Print)

Doi: http://dx.doi.org/10.25105/mraai.v19i2.3854

DIMENSI KRITIS PEMIKIRAN AKUNTANSI YANG

TERALIENASI: DIALOG IMAJINER KONSTRUKSIONIS DAN

DEKONSTRUKSIONIS

Akhmad Riduwan1

Andayani2 1,2Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Indonesia (STIESIA) Surabaya

*1 [email protected]

Abstract

This article aims to elevate the critical dimension of accounting thoughts which is

alienated and repressed by dominant mainstream thought. This article is also aims to

build awareness of accounting academics and practitioners that financial accounting

can developed by reflecting on critical theories of sociology. This article is prepared

based on the literature review. The literature of accounting practices and financial

reporting are explore along with the exploration of the underlying critical thoughts. To

achieve the objectives of the study, the conceptual framework of financial reporting is

examined from a constructionist and deconstructionist perspective. The study was

conducted contemplatively on the basis of critical sociological theory. The results of the

study from the constructionist and deconstructionist perspective are presented in an

imaginary-contemplative dialogue format. The results of the review indicate that: (1)

the critical dimension of accounting thought needs to be raised in the effort to develop

the concept and practice of financial reporting, so that it can become alternative

thinking without destructing mainstream thinking; (2) the concepts and practices of

ongoing financial reporting practices can be evaluated by reflecting on sociological-

critical theories relevant to the context; and (3) the development of concepts and

practices of financial reporting should also be based on public interest in general

Keywords: Accounting Thought; Constructionist; Critical Theory; Deconstructionist;

Financial Reporting; Imaginary Dialogue.

Abstrak

Artikel ini bertujuan untuk meningkatkan dimensi kritis pemikiran akuntansi yang

teralienasi dan ditekan oleh pemikiran utama yang dominan. Artikel ini juga bertujuan

untuk membangun kesadaran akademisi dan praktisi akuntansi bahwa akuntansi

keuangan dapat dikembangkan dengan merefleksikan teori kritis sosiologi. Artikel ini

disusun berdasarkan tinjauan literatur. Literatur praktik akuntansi dan pelaporan

keuangan mengeksplorasi bersama dengan eksplorasi pemikiran kritis yang

mendasarinya. Untuk mencapai tujuan penelitian, kerangka kerja konseptual

pelaporan keuangan diperiksa dari perspektif konstruksionis dan dekonstruksionis.

Studi ini dilakukan secara kontemplatif berdasarkan teori sosiologis kritis. Hasil studi

Page 2: DIMENSI KRITIS PEMIKIRAN AKUNTANSI YANG TERALIENASI

Media Riset Akuntansi, Auditing & Informasi Vol. 19 No.2 September 2019

168

dari perspektif konstruksionis dan dekonstruksionis disajikan dalam format dialog

imajiner-kontemplatif. Hasil tinjauan menunjukkan bahwa: (1) dimensi kritis pemikiran

akuntansi perlu dinaikkan dalam upaya mengembangkan konsep dan praktik pelaporan

keuangan, sehingga dapat menjadi pemikiran alternatif tanpa merusak pemikiran

mainstream; (2) konsep dan praktik pelaporan keuangan yang sedang berlangsung

dapat dievaluasi dengan merefleksikan teori sosiologis-kritis yang relevan dengan

konteksnya; dan (3) pengembangan konsep dan praktik pelaporan keuangan juga

harus didasarkan pada kepentingan publik secara umum

Kata kunci: Pemikiran Akuntansi; Konstruksi; Teori Kritis; Dekonstruksionis;

Laporan keuangan; Dialog Imajiner.

JEL Classification : M41

Submission date: Januari 2019 Accepted date: Agustus 2019

*Corresponding Author

PENDAHULUAN

Masyarakat akuntansi (accounting society) makin plural. Pluralistik masyarakat

akuntansi tersebut terefleksi dari perkembangan kelompok pemikir akuntansi yang

dikelompokkan oleh Chua (1986) dalam tiga klasifikasi, yaitu mainstream accounting

thinker, interpretive accounting thinker, dan critical accounting thinker. Chua (1986)

berpendapat bahwa masing-masing kelompok pemikir tersebut memiliki tujuan yang

sama, yaitu mengembangkan praktik akuntansi menjadi lebih baik, tetapi melalui jalan

atau perspektif pemikiran yang berbeda. Bebbington et al. (2007) dan Norreklit et al.

(2016a, 2016b) meyakini bahwa perkembangan praktik akuntansi dari waktu ke waktu

tidak lepas dari kontribusi kelompok pemikir tersebut, baik dari hasil pemikiran

konseptual maupun hasil-hasil penelitian empiris.

Pemikiran dan penelitian akuntansi, sejak sebelum tahun 1980-an, menurut Chua

(1986), sudah tidak lagi didominasi oleh mainstream accounting thinker, karena

interpretive accounting thinker dan critical accounting thinker mulai menunjukkan

eksistensinya. Pemikiran konseptual maupun penelitian empiris dalam rangka evaluasi

dan pengembangan praktik akuntansi tidak lagi dijustifikasi dari aspek ekonomik yang

serba terukur (oleh mainstream accounting thinker), tetapi juga dijustifikasi secara

kritis dari aspek sosiologi akuntansi (oleh interpretive dan critical accounting thinker).

Rosenfield (2003) mengakui bahwa akuntansi memang berakar dari ilmu ekonomi atau

ilmu keuangan, tetapi tidak seharusnya justifikasi akuntansi hanya berefleksi pada ilmu

ekonomi dan keuangan.

Annisette dan Richardson (2011) menyatakan bahwa analisis dan justifikasi

praktik akuntansi dengan teori-teori sosiologi akan menjadikan diskursus akuntansi

lebih mudah dipahami dan lebih bermakna, daripada sekadar justifikasi dengan teori

ekonomi dan teori keuangan. Pernyataan Annisette dan Richardson (2011) tersebut

dilandasi oleh fakta bahwa dimensi pemikiran dan penelitian akuntansi telah

mengalami perkembangan signifikan. Justifikasi pemikiran dan penelitian akuntansi

saat ini tidak hanya dilakukan dengan berefleksi pada teori ekonomi maupun keuangan

Page 3: DIMENSI KRITIS PEMIKIRAN AKUNTANSI YANG TERALIENASI

Dimensi Kritis Pemikiran Akuntansi Yang Teralienasi: Dialog Imajiner Konstruksionis

dan Dekonstruksionis

169

sebagai induk dari akuntansi, tetapi juga berefleksi pada teori-teori sosiologi kritis

(critical sociology theory) (Cooper dan Hopper, 1987).

Pemikiran dan penelitian akuntansi dengan basis teori sosiologi kritis sebagai

justifikasi sudah banyak dilakukan. Sebagai contoh, Cooper dan Gallhofer (1992)

berfikir kritis tentang akuntansi dengan filsafat dekonstruksi Jacques Derrida; Stewart

(1992), Tinker (2005), Edgley (2010) saling berargumen tentang keunggulan dan

kelemahan praktik akuntansi dengan berefleksi pada teori sosiologi Michel Foucault;

Hammond et al. (1992) melakukan kritik dan mengusulkan perbaikan praktik akuntansi

dengan teori feminisme; Broadbent dan Laughlin (1997) serta Hassan (2008)

mengevaluasi era perkembangan organisasi dan kompleksitas praktik akuntansi dengan

berefleksi pada teori kritis Jurgen Habermas.

Contoh lain penggunaan teori sosiologi kritis dalam menjustifikasi keunggulan

dan kelemahan praktik akuntansi dapat dilihat pada Bryer (1999a dan 1999b) yang

mengkritik praktik akuntansi dengan berefleksi pada teori ekonomi-politik (political-

economy) Karl Marx. Lihat pula Goddard (2004), Shenkin dan Coulson (2007), Yin-Xu

dan Xiaoqun-Xu (2008) Malsch et al. (2011), Jacobs dan Evans (2012), Lupu dan

Empson (2015), Lombardi (2016); Kartalis et al. (2016), mereka saling berargumen

tentang keunggulan dan kelemahan praktik akuntansi dengan berefleksi pada teori

sosiologi kritis Habitus Pierce Bourdieu.

Pemikiran dan penelitian akuntansi lain yang juga menggunakan teori sosiologi

kritis adalah Goddard (2002) dan Andrew (2012) yang mengkritik praktik akuntansi

sebagai alat dominasi (hegemoni) oleh suatu pihak atas pihak lain, dan karenanya,

praktik akuntansi yang demikian harus direvisi. Goddard (2002) dan Andrew (2012)

mengemukakan dan menjustifikasi kritik mereka dengan berefleksi pada pemikiran

kritis Antonio Gramsci tentang Prison and Hegemony. Sementara itu, Macintosh et al.

(2000) mengkritik bahwa realitas ekonomik yang direpresentasikan oleh akuntansi

melalui laporan keuangan (dalam konteks income dan capital) bersifat melampaui

realitas yang ingin direpresentasikan atau hyperreality. Macintosh et al. (2000)

berefleksi pada teori kritis Jean Baudrillard tentang Order of Simulacra. Pandangan

Macintosh et al. (2000) tersebut ditepis oleh Mouck (2004) dengan berefleksi pada

filsafat John Searle, ditepis oleh McKernan (2007) berbasis filasafat Donald Davidson,

dan juga dikritik balik oleh Davison (2011) dengan berefleksi pada teori semiotika

Roland Barthes.

Pemikiran dan penelitian-penelitian akuntansi berbasis pada teori sosiologi kritis

tersebut di atas, mengacu pada Cooper dan Hopper (1987), dapat diklasifikasikan

dalam dua kelompok pemikir, yaitu konstruksionis (constructionist) dan

dekonstruksionis (deconstructionist). Konstruksionis adalah kelompok yang memiliki

pemikiran konstruktif, yang selalu melihat aspek kekuatan atau keunggulan praktik

akuntansi; sedangkan dekonstruksionis adalah kelompok yang memiliki pemikiran

dekonstruktif yang selalu melihat aspek kelemahan atau kekurangan akuntansi. Namun

demikian, seperti dikemukakan oleh Chua (1986), konstruksionis dan dekonstruksionis

memiliki tujuan yang sama, yaitu menjadikan praktik akuntansi lebih baik, bermakna,

dan bernilai (lihat juga Morgan dan Willmott, 1993; Laughlin, 1999; serta Lee dan

Humphrey, 2006).

Skinner (2003) menyatakan bahwa dekonstruksi dalam pandangan post-

structuralist berbeda dengan rekonstruksi dan destruksi. Dekonstruksionis tidak

bermaksud merusak konstruksi (tatanan) praktik akuntansi, tetapi menolak penunggalan

konstruksi yang dianggap superior dan dominan. Dekonstruksionis bermaksud

Page 4: DIMENSI KRITIS PEMIKIRAN AKUNTANSI YANG TERALIENASI

Media Riset Akuntansi, Auditing & Informasi Vol. 19 No.2 September 2019

170

memasukkan pemikiran alternatif tanpa merusak pemikiran lain. Walaupun perspektif

pemikiran konstruksionis dan dekonstruksionis berbeda dalam mengevaluasi praktik

akuntansi, tetapi keduanya memiliki kesamaan, yaitu mengunakan teori sosiologi kritis

sebagai refleksi. Artinya, dalam menjustifikasi keunggulan dan kelemahan praktik

akuntansi, mereka meninggalkan teori ekonomi dan keuangan. Perspektif

konstruksionis dan dekonstruksionis tersebut berbeda dengan perspektif kelompok

pemikir strukturalis (structuralist).

Artikel ini bertujuan untuk membangun kesadaran akademisi dan praktisi

akuntansi, bahwa (1) perkembangan akuntansi tidak lepas dari pertentangan pemikiran

dari waktu ke waktu; (2) akuntansi tidak hanya dapat dikembangkan dengan berefleksi

pada teori ekonomi dan keuangan, tetapi juga dapat dikembangkan dengan berefleksi

pada teori-teori sosiologi kritis yang selama ini termarjinalkan atau bahkan teralienasi;

dan (3) akuntan bukan manusia satu dimensi (one dimension man), tetapi manusia yang

mampu memandang dan menemukan realitas profesinya dari berbagai dimensi secara

kritis.

REVIU LITERATUR

Konstruksionisme

Konstruksionisme (constructionism) adalah sebuah pemikiran atau perspektif

yang meyakini bahwa seluruh realitas sosial merupakan hasil konstruksi manusia

secara kolektif dan bukan realitas yang muncul secara berian (given) seperti realitas

alam (Talja et al., 2015). Konstruksi realitas yang dimaksud adalah hasil dari proses

sosial yang memerlukan keterlibatan banyak orang (yang disebut para aktor), dan tidak

dapat dilakukan secara individual (Wilson dan Tagg, 2010). Karena merupakan hasil

konstruksi sosial, maka realitas tersebut bersifat subjektif, nilai (value)-nya bergantung

pada self-image yang dibuat oleh aktor-aktor yang terlibat di dalamnya, dan self-image

itulah yang selanjutnya akan menentukan bagaimana norma-norma sosial dibentuk dan

dijalankan bersama (Antonio dan Ponea, 2010).

Jika dikaitkan dengan akuntansi, konstruksionis (constructionist) adalah

kelompok pemikir yang memiliki perspektif bahwa akuntansi merupakan praktik sosial

yang dibentuk dan disepakati bersama oleh para akuntan sebagai aktor (Norreklit et al.,

2016). Dalam komunitasnya, para akuntan (aktor) membangun self-image tentang nilai

(value) dari akuntansi, yang kemudian self-image tersebut diwujudkan sebagai standar

akuntansi yang menjadi norma dalam praktik akuntansi (Rutherford, 2003; Norreklit et

al., 2016). Dengan demikian, konsisten dengan pernyataan Antonio dan Ponea (2010),

praktik akuntansi secara substantif bersifat subjektif (Pianezzi dan Cinquini, 2016).

Para konstruksionis berpandangan bahwa praktik akuntansi harus dilaksanakan

berdasarkan norma yang disepakati, dan norma tersebut dibuat sesuai dengan

kebutuhan dan tujuan yang juga disepakati (Quattrone, 2000; Macintosh dan Beech,

2011). Konstruksionis juga berpandangan bahwa norma akuntansi tersebut harus dibuat

secara holistik dengan memerhatikan berbagai aspek yang tidak terbatas pada aspek

ekonomik, tetapi juga aspek sosial secara luas (Refai et al., 2015; Seal dan Mattimoe,

2016).

Dekonstruksionisme

Dekonstruksionisme (deconstructionism) memiliki keyakinan yang sama dengan

konstruksionisme (constructionism), bahwa seluruh realitas sosial merupakan hasil

Page 5: DIMENSI KRITIS PEMIKIRAN AKUNTANSI YANG TERALIENASI

Dimensi Kritis Pemikiran Akuntansi Yang Teralienasi: Dialog Imajiner Konstruksionis

dan Dekonstruksionis

171

konstruksi manusia secara kolektif (Fuchs et al., 1994). Namun demikian, seperti

dijelaskan Fuchs et al. (1994), pemikiran dekonstruksionisme mengambil perspektif

yang agak berbeda dengan konstruksionisme dalam hal proses pembentukan realitas.

Dekonstruksionisme meyakini bahwa pembentukan realitas sosial tidak bebas dari

ideologi dan kepentingan para aktor, dan karenanya, realitas sosial sarat nilai, bukan

sekedar subjektif. Farmer (1997) menyatakan bahwa dekonstruksionisme yakin selalu

ada kepentingan tersembunyi di balik realitas yang dibangun oleh para aktor.

Lebih lanjut, Farmer (1997) menegaskan bahwa dekonstruksionisme memandang

self-image atas realitas sosial merupakan produk dari bahasa (language). Para aktor

memilih kata-kata secara cermat dan penuh kesadaran untuk membangun narasi besar

(grand narrative) tentang nilai (value) atas realitas, dengan memasukkan faktor

ideologi ke dalamnya (lihat juga MacDonald, 1999). Oleh karena itu, seperti

dikemukakan oleh Weitzner (2007), dekonstruksionis selalu membawa kecurigaan

dalam upaya memahami realitas sosial, yaitu kecurigaan pada narasi besar (yang pada

umumnya dimanifestasikan dalam bentuk teks – dalam arti luas) yang dibangun untuk

menciptakan nilai (value) atas realitas dan menumbuhkan keyakinan atas value

tersebut. Weitzner (2007) menjelaskan lebih lanjut, bahwa narasi besar itulah yang

menjadi sasaran para dekonstruksionis untuk dianalisis (dibongkar) dalam rangka

menemukan kepentingan-kepentingan tersembunyi, atau setidaknya, menemukan nalar

yang dianggap keliru.

Jika dikaitkan dengan akuntansi, dekonstruksionis (deconstructionist) adalah

kelompok pemikir yang memiliki perspektif bahwa akuntansi merupakan praktik sosial

yang sarat nilai, ideologis, dan tentu saja politis (Choudhury, 2015). Dalam sudut

pandang dekonstruksionis, praktik akuntansi dibentuk dan disepakati bersama oleh para

akuntan (sebagai aktor) untuk memenuhi berbagai tujuan dan kepentingan, misalnya

kepentingan entitas pelaporan (manajemen), pemegang saham (pemilik modal),

kreditor, atau bahkan kepentingan kelompok profesional akuntan sendiri, dan dengan

demikian, akuntansi tidaklah netral (McKernan dan Kosmala, 2007).

Chabrak dan Burrowes (2006) memberikan gambaran bahwa dekonstruksionis

memandang para akuntan membangun self-image tentang nilai (value) dari akuntansi

melalui narasi besar (grand narrative) untuk memberikan keyakinan kepada khalayak.

Narasi besar tersebut terefleksi pada berbagai bentuk teks, dan salah satu di antara teks

tersebut adalah standar akuntansi yang menjadi norma dalam praktik akuntansi.

Sebelum Chabrak dan Burrowes (2006), telah diungkapkan oleh Macintosh dan Baker

(2002), bahwa narasi besar (grand narrative) dalam “teks” akuntansi merupakan

sasaran para dekonstruksionis untuk dianalisis dalam rangka menemukan nalar yang

dianggap keliru, atau lebih ekstrim, menemukan pemikiran yang dianggap superior dan

merepresi pemikiran yang lain.

Skinner (2003) mengungkapkan bahwa dekonstruksionis memposisikan diri

sebagai penyeimbang konstruksionis dalam memandang realitas. Konstruksionis dan

dekonstruksionis sebenarnya memiliki pandangan yang sama tentang akuntansi

(sebagai praksis), akuntan (sebagai pribadi), dan akuntabilitas (sebagai tujuan), yaitu

menjadikan ketiganya bermakna dan bernilai secara sosial. Namun demikian, kedua

kelompok pemikir tersebut memiliki pandangan yang berbeda tentang kebermaknaan,

kebernilaian, atau kebenaran. Konstruksionis memandang bahwa kebenaran harus

bersifat universal, sedangkan dekonstruksionis memandang bahwa kebenaran bersifat

parsial atau segmental.

Page 6: DIMENSI KRITIS PEMIKIRAN AKUNTANSI YANG TERALIENASI

Media Riset Akuntansi, Auditing & Informasi Vol. 19 No.2 September 2019

172

Teori Kritis

Carr (2005) menyatakan bahwa teori kritis (critical theory) adalah sebuah istilah

yang merujuk pada semua konsep atau pemikiran yang menekankan evaluasi reflektif

dan kritis pada suatu realitas. Konsep dan pemikiran tersebut pada umumnya

dikembangkan dari ilmu-ilmu sosial, terutama sosiologi. Dant (2003) menjelaskan

bahwa pada awalnya istilah teori kritis menggambarkan pemikiran-pemikiran filosofis

neo-Marxis dari Frankfurt School, yang dikembangkan di Jerman pada 1930-an. Tokoh

kritis Mazhab Frankfurt adalah Herbert Marcuse, Theodor Adorno, Max Horkheimer,

Walter Benjamin, dan Erich Fromm, yang kemudian diikuti oleh generasi berikutnya,

antara lain Gyorgy Lukacs (Hungaria), Antonio Gramsci (Italia), Jean Baudrillard

(Perancis), Jacques Derrida (Algeria), Paul Ricouer (Perancis), Jürgen Habermas

(Jerman), Pierce Bourdieu (Perancis), dan lainnya. Dant (2003) menegaskan bahwa

pemikiran-pemikiran kritis Mazhab Frankfurt muncul karena kepedulian mereka

terhadap dasar dan suprastruktur sosial yang timpang pada saat itu. Pemikiran kritis

Mazhab Frankfurt pada hakikatnya merujuk pada realitas sosial bahwa kepentingan dan

ideologi adalah dua alat dominasi suatu kelompok masyarakat atas kelompok

masyarakat lainnya, dan karenanya, kepentingan dan ideologi merupakan kendala

utama untuk pembebasan manusia.

Uraian di atas menunjukkan bahwa teori kritis (critical theory) bukanlah teori

tunggal, tetapi mencakup berbagai pemikiran kritis yang berbeda, dengan arah dan

tujuan yang sama, yaitu pembebasan (liberation) manusia dari dominasi. Carr (2003)

mengungkapkan bahwa dalam perkembangannya, sebagai istilah, teori kritis memiliki

dua makna berdasarkan asal-usul dan sejarah yang berbeda. Pertama, sesuai dengan

asal-usulnya, teori kritis bermakna sebagai pemikiran kritis (critical thinking), dan

kedua, sesuai dengan perkembangan sejarah, teori kritis bermakna sebagai alat analisis

kritis (critical analysis tools). Oleh karena itu, pada saat ini banyak akademisi dan

praktisi yang menyebut dirinya dengan nama pemikir kritis yang bersangkutan ketika

mereka menggunakan teori kritis tertentu untuk menganalisis suatu realitas sosial.

Sebagai contoh, penyebutan diri sebagai Habermasian (pengagum dan pengguna

pemikiran Jurgen Habermas), Derridean (pengagum pemikiran Jacque Derrida),

Gramscian (pengagum pemikiran Antonio Gramsci), Baudrillardian (pengagum

pemikiran Jean Baudrillard), dan lain-lain.

Dant (2003) menjelaskan bahwa tradisi kritis memiliki tiga karakteristik esensial.

Pertama, tradisi kritis memandang sistem, struktur kekuasaan dan ideologi yang

mendominasi masyarakat, dengan cara perspektif khusus misalnya: siapa berkuasa dan

siapa dikuasai; siapa dapat menyuarakan kepentingan dan siapa tidak; kepentingan

siapa yang dilayani dan kepentingan siapa yang dikorbankan. Kedua, para pemikir

(penyusun teori) dalam tradisi kritis secara khusus berkeinginan untuk melawan kondisi

sosial dan struktur kekuasaan yang tidak adil untuk membangkitkan emansipasi atau

membebaskan masyarakat dari dominasi dan represi. Ketiga, tradisi kritis berusaha

membangun kesadaran sosial melalui pemikiran-pemikiran lain yang berbeda untuk

menimbulkan perubahan kondisi masyarakat, sehingga tradisi kritis lebih memberi

perhatian dan berpihak kepada kelompok yang termarginalkan.

Dant (2003) juga menjelaskan bahwa tradisi kritis menaruh minat pada

penggunaan dan permainan bahasa. Dalam perspektif pemikir kritis, bahasa digunakan

oleh pihak-pihak dominan untuk menyembunyikan kepentingan. Bahasa mampu

mengkonstruksi pikiran manusia, bahkan mampu menempatkan manusia pada posisi

tertentu. Menurut Dant (2003), kelas-kelas dominan dalam masyarakat menciptakan

Page 7: DIMENSI KRITIS PEMIKIRAN AKUNTANSI YANG TERALIENASI

Dimensi Kritis Pemikiran Akuntansi Yang Teralienasi: Dialog Imajiner Konstruksionis

dan Dekonstruksionis

173

suatu bahasa penindasan dan penge-kangan, yang membuat kelas terdominasi menjadi

ragu atas pikirannya sendiri, bahkan teralienasi dari dirinya sendiri (lihat juga Reiter,

1995; Farrands dan Worth, 2005).

Kewajiban teori kritis, menurut Dant (2003) adalah menciptakan bentuk-bentuk

bahasa baru yang memungkinkan diruntuhkannnya paradigma dominan. Tugas teori

kritis adalah mengungkap kekuatan-kekuatan penindas dalam masyarakat melalui

analisis dialektika. Hanya dengan melihat dialektika dari kekuatan-kekuatan yang

saling berlawanan, akan terbentuk suatu sintesis tentang tatanan baru, tatanan yang

tidak mendominasi. Dialektika juga merupakan suatu bentuk tindakan atau, dalam

istilah teori kritis, praxis, karena meruntuhkan kemamapan melalui seperangkat

kontradiksi.

METODE PENELITIAN

Objek Kajian

Literatur merupakan objek kajian dalam artikel ini. Literatur kerangka konseptual

dan pelaporan keuangan dieksplorasi bersamaan dengan eksplorasi hasil penelitian dan

pemikiran kritis yang melandasinya. Dengan pertimbangan efisiensi dan efektivitas

diskusi, tanpa mengesampingkan tujuan, artikel ini dibatasi pada dua objek kajian,

yaitu (a) representasi fenomena ekonomik melalui simbol bahasa akuntansi, serta (b)

standar akuntansi berbasis prinsip (principles-based standards) dan standar akuntansi

berbasis aturan (rules-bases standards).

Untuk mencapai tujuan kajian, kerangka konseptual pelaporan keuangan dikaji

dari sudut pandang kelompok pemikir konstruksionis dan dekonstruksionis. Kajian

dilakukan secara kontemplatif dengan berfleksi pada teori sosiologi kritis. Posisi

konstruksionis dan dekonstruksionis disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Bidang Kajian, Kelompok Pemikir, Objek Kajian, dan Refleksi

Bidang Kajian Kelompok Pemikir Objek Kajian Refleksi (Teori Kritis)

1. Representasi

Fenomena

Ekonomik

Melalui Simbol

Bahasa Akuntansi

a. Dekonstruksionis Kelemahan representasi

fenomena ekonomik

melalui simbol bahasa

akuntansi

Teori Order of

Simulacra Jean

Baudrillard

b. Konstruksionis Keunggulan

representasi fenomena

ekonomik melalui

simbol bahasa

akuntansi

Teori Communicative-

Action Jurgen

Habermas

2. Principles-Based

Standards dan

Rules-Based

Standards

a. Dekonstruksionis Kelemahan Principles-

Based Standards

Teori Archeology of

Knowledge Michel

Foucault

b. Konstruksionis Keunggulan Principles-

Based Standards

Teori Etika Keutamaan

(Virtue Ethics)

Aristoteles

Penyajian Hasil

Terinspirasi oleh Hines (1988), hasil kajian pemikiran konstruksionis dan

dekonstruksionis disajikan dalam format dialog imajiner-kontemplatif. Hines (1988)

menyatakan bahwa dialog imajiner (imaginary dialogue) merupakan dialog yang tidak

benar-benar terjadi, tetapi hanya merupakan imajinasi penulis (peneliti) untuk

Page 8: DIMENSI KRITIS PEMIKIRAN AKUNTANSI YANG TERALIENASI

Media Riset Akuntansi, Auditing & Informasi Vol. 19 No.2 September 2019

174

menggambarkan dua pihak atau lebih yang sedang bercakap atau beropini, karena

pihak-pihak tersebut tidak benar-benar dihadirkan untuk didengar percakapannya.

Dalam artikel ini, format dialog imajiner dipandang sebagai sebuah cara

[alternatif] untuk menggambarkan atau menjelaskan perbedaan pandangan dua

kelompok pemikir melalui suatu bentuk percakapan. Dialog imajiner disajikan secara

kontemplatif, yaitu disajikan melalui perenungan dan mengandalkan kemampuan akal

atau intuisi penulis dalam memahami situasi atau konteks dialog.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Representasi Fenomena Ekonomik Melalui Simbol Bahasa Akuntansi

Metafora “akuntansi sebagai bahasa bisnis” sudah sangat lama digunakan dalam

buku-buku teks akuntansi untuk menjelaskan fungsi akuntansi dan pelaporan keuangan

(Bloomfiels, 2008). Dalam konteks akuntansi sebagai bahasa bisnis tersebut, agar

informasi keuangan menjadi berguna, Kerangka Konseptual Pelaporan Keuangan

menetapkan “relevansi (relevance)” dan “representasi tepat (faithfull representation)”

sebagai karakteristik kualitatif fundamental, dan “keterpahaman (understandability)”

sebagai karakteristik kualitatif yang mampu meningkatkan kebermanfaatan informasi

keuangan bagi pengguna.

Berefleksi pada teori sosiologi kritis (critical sociology theory), konstruksionis

dan dekonstruksionis memberikan pandangan yang berbeda tentang hal tersebut.

Dekonstruksionis : Keterpahaman memang hal penting dalam komunikasi. Makin

terpahami makna kata dan angka sebagai simbol bahasa bisnis,

makin berguna informasi akuntansi. Tetapi, di sinilah letak

masalahnya, makin banyak simbol-simbol akuntansi yang

hyperreality, sehingga sulit dipahami.

Konstruksionis : Hiperreality? Apa yang anda maksud?

Dekonstruksionis : Hyperreality adalah situasi di mana realitas (fenomena) yang

direpresentasikan oleh simbol tidak jelas, realitas tidak ada dalam

dunia nyata sebagai fenomena ekonomik, atau simbol tidak

bersinggungan sama sekali dengan realitas. Dampaknya, laporan

keuangan saat ini makin sulit terpahami.

Konstruksionis : Hhmmm... sudut pandang apa yang anda pakai sehingga anda

memiliki pemikiran demikian.

Dekonstruksionis : Saya berfikir dari sudut pandang Order of Simulacra, pemikiran

Jean Baudrillard, filsuf pos-strukturalis Perancis. Berefleksi pada

pemikiran Baudrillad tentang order of simulacra dalam kehidupan

sosial, saya sependapat dengan Macintosh et al. (2000), bahwa

saat ini makin banyak simbol akuntansi, kata dan angka, yang

tidak memiliki rujukan secara jelas pada objek dan peristiwa nyata.

Baudrillard menyebutnya simulacra, yaitu ada simbol, tetapi tidak

jelas atau bahkan tidak ada realitas yang disimbolkan. Sulit

dipahami.

Konstruksionis : Saya rasa hal itu tidak mugkin terjadi pada akuntansi.

Dekonstruksionis : Baiklah, saya akan jelaskan pemikiran saya. Berefleksi pada

pemikiran Baudrillard, saya melihat beberapa simbol dalam

Page 9: DIMENSI KRITIS PEMIKIRAN AKUNTANSI YANG TERALIENASI

Dimensi Kritis Pemikiran Akuntansi Yang Teralienasi: Dialog Imajiner Konstruksionis

dan Dekonstruksionis

175

laporan keuangan merupakan hasil produksi dari simbol lain, dan

simbol baru tersebut selanjutnya mereproduksi simbol baru yang

lain lagi. Baudrillard menyatakan bahwa simbol-simbol itu

hanyalah hasil simulasi belaka.

Konstruksionis : Coba beri contoh.

Dekonstruksionis : Saya beri contoh yang sangat sederhana. Akun beban kerugian

piutang merupakan akun yang diproduksi oleh akun lain, yaitu

kenaikan jumlah penyisihan piutang tak tertagih. Realitas

(fenomena) ekonomik apa yang direpresentasikan oleh beban

kerugian piutang? Tidak ada, karena memang tidak atau belum

ada piutang yang benar-benar tidak tertagih.

Konstruksionis : Wah, pikiran anda mulai kacau. Apakah anda tidak sadar bahwa

fenomena ekonomik beban kerugian piutang adalah estimasi

kerugian akibat ada piutang yang telah lama jatuh tempo tetapi

belum juga diterima pembayarannya?. Prinsip konservatif

mengharuskan pengakuan estimasi kerugian tersebut.

Dekonstruksionis : Ha ha ha...saya sudah menduga anda akan berargumen dengan

dasar prinsip konservatif. Saya juga sependapat dengan prinsip

konservatif, dan karenanya, saya sependapat untuk menurunkan

nilai piutang dengan membentuk “penyisihan piutang tak

tertagih”. Sebagai simbol fenomena ekonomik, penyisihan

piutang tak tertagih memang merepresentasikan fenomena

ekonomik yang jelas, yaitu fenomena adanya piutang yang

kemungkinan tidak tertagih berdasarkan estimasi. Tetapi, beban

kerugian piutang hanyalah murni simbol (pure simulacrum), hasil

produksi dan simulasi dari akun “penyisihan piutang tak tertagih”,

fenomena ekonomik yang disimbolkan tidak ada dalam dunia

nyata, kecuali dirasionalisasi oleh prinsip korservatif.

Coba bayangkan, jika pada periode akuntansi berikutnya jumlah

penyisihan kerugian piutang mengalami penurunan, akan terjadi

reproduksi simbol berupa akun “laba penurunan penyisihan

piutang tak tertagih” yang juga murni simbol (pure simulacrum),

hasil simulasi, tidak terpahami oleh awam.

Konstruksionis : Tampaknya anda lupa definisi “beban” dan “pendapatan” dalam

akuntansi. Ingat bahwa beban adalah penurunan nilai aset atau

kenaikan nilai kewajiban yang tidak disebabkan oleh transaksi

dengan pemilik modal. Demikian pula, pendapatan adalah

kenaikan nilai aset atau penurunan nilai kewajiban yang tidak

disebabkan oleh transaksi dengan pemilik modal. Jadi, beban

kerugian piutang adalah jumlah penurunan nilai piutang karena

ada estimasi jumlah piutang yang mungkin tidak tertagih.

Demikian sebaliknya, untuk laba penurunan penyisihan piutang

tak tertagih.

Dekonstruksionis : Ha ha ha... ada terjebak definisi. Dalam akuntansi, semua menjadi

benar jika dikembalikan pada definisi, tak terkecuali munculnya

simbol “beban kerugian piutang” atau “laba penurunan

penyisihan piutang tak tertagih” tadi.

Page 10: DIMENSI KRITIS PEMIKIRAN AKUNTANSI YANG TERALIENASI

Media Riset Akuntansi, Auditing & Informasi Vol. 19 No.2 September 2019

176

Mengomunikasikan informasi keuangan melalui simbol bukanlah

persoalan definisi asal-usul simbol, tetapi lebih berkaitan dengan

persoalan “fenomena ekonomik” apa yang disimbolkan. Pengguna

laporan keuangan harus memahami fenomena ekonomik yang

direpresentasikan tanpa harus memahami definisi asal-usul simbol

yang merepresentasikan.

Konstruksionis : Hhmm...bagaimana mungkin menjelaskan dan menjustifikasi

kebenaran logis informasi akuntansi tanpa didasari oleh definisi

yang disepakati?

Dekonstruksionis : Oooo...maaf kawan, bukan berarti saya tidak setuju dengan adanya

definisi-definisi dalam akuntansi. Dalam pandangan saya, definisi

tetap penting. Dalam akuntansi, definisi dibuat untuk menjelaskan

ciri-ciri esensial dari suatu aset, kewajiban, penghasilan, dan beban

untuk membedakan pengertiannya yang ada pada “dunia lain” di

luar “dunia akuntansi” yang kita sepakati. Tetapi, hal yang perlu

kita fikirkan adalah bagaimana seharusnya agar kita dapat

menyajikan laporan keuangan yang merepresentasikan fenomena

ekonomik dengan bahasa berupa kata dan angka yang mudah

dipahami oleh pengguna yang berada di luar “dunia akuntansi”.

Konstruksionis : Tentu. Hal itulah yang terus diupayakan oleh Dewan Standar

Akuntansi Keuangan Ikatan Akuntan Indonesia (DSAK-IAI) untuk

memperbaiki kualitas informasi akuntansi sehingga bermanfaat

bagi pengguna. Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK)

terus ditinjau ulang, dan direvisi jika diperlukan. Bahkan, dalam

perjalanan waktu, Kerangka Konseptual Pelaporan Keuangan

(KKPK) pun direvisi.

Dekonstruksionis : Syukurlah, semoga upaya DSAK-IAI, tahap demi tahap, mampu

mengeliminasi simbol-simbol fenomena ekonomik yang pure

simulacrum. Saya berharap demikian, karena sampai saat ini

laporan keuangan masih banyak merepresentasikan fenomena

ekonomik dengan simbol-simbol berupa kata dan angka yang sulit

dipahami.

Konstruksionis : Anda bisa memberi contoh lagi?

Dekonstruksionis : Baiklah, saya beri contoh yang lain. Dalam pandangan saya,

berefleksi pada pemikiran Baudrillard, akun aset pajak tangguhan

dan kewajiban pajak tangguhan adalah simbol yang merujuk pada

fenomena ekonomik yang benar-benar ada, yaitu penghematan

pembayaran pajak atau pembayaran pajak lebih besar di masa

datang sebagai akibat perbedaan temporer penghasilan kena pajak

antara standar akuntansi dan peraturan perpajakan.

Konstruksionis : Jika demikian, apa masalahnya?

Dekonstruksionis : Masalah representasi fenomena ekonomik timbul ketika terjadi

produksi simbol melalui proses simulasi. Kenaikan (penurunan)

jumlah aset pajak tangguhan akan memproduksi simbol “manfaat

(beban) pajak tangguhan”. Demikian pula proses simulasi

berkaitan dengan penurunan (kenaikan) jumlah kewajiban pajak

Page 11: DIMENSI KRITIS PEMIKIRAN AKUNTANSI YANG TERALIENASI

Dimensi Kritis Pemikiran Akuntansi Yang Teralienasi: Dialog Imajiner Konstruksionis

dan Dekonstruksionis

177

tangguhan akan memproduksi simbol yang sama, yaitu “manfaat

(beban) pajak tangguhan”. Fenomena ekonomik yang

disimbolkan tidak jelas, kecuali hasil simulasi penurunan

(kenaikan) jumlah aset atau kewajiban pajak tangguhan.

Saat ini, akun-akun pure simulacrum sebagai simbol-simbol

komunikasi informasi akuntansi cukup banyak. Cobalah anda

perhatikan simbol-simbol yang digunakan untuk menyampaikan

informasi ekonomik berkaitan dengan imbalan pasca kerja dan

instrumen keuangan. Ha ha ha... banyak pure simulacrum... sulit

terpahami...

Konstruksionis : Baiklah kawan, saya hargai pendapat dan kritik anda pada

akuntansi dimana anda berefleksi pada filsafat order of simulacra

Jean Baurillard.

Dekonstruksionis : Terima kasih.

Konstruksionis : Dalam konteks komunikasi, informasi akuntansi memang tidak

akan berguna jika akuntansi merepresentasikan fenomena

ekonomik secara tidak tepat, apalagi jika tidak mencapai

keterpahaman atas informasi yang dikomunikasikan. Hal itu telah

disadari, bahkan diakui oleh DSAK-IAI.

Baiklah, saya coba untuk memberikan penjelasan kepada anda

dengan berefleksi pada pemikiran filosofis Jurgen Habermas

tentang Communicative Action.

Dekonstruksionis : Wow..., anda ternyata juga terbuka dan menerima teori sosiologi

kritis sebagai “alat” untuk mengevaluasi konsep dan praktik

akuntansi?

Konstruksionis : Ya. Mengapa tidak? Dalam pandangan saya, teori sosiologi kritis

juga baik digunakan untuk mengevaluasi konsep dan praktik

akuntansi. Oleh karena itu, saya menghargai dan menerima

pandangan-pandangan anda yang berefleksi pada order of

simulacra Jean Baudrillard tadi, walaupun saya memiliki

pandangan yang berbeda dengan anda. Pandangan anda dengan

berefleksi pada Jean Baudrillard, berbeda dengan pandangan saya

yang berefleksi pada Jurgen Habermas.

Dekonstruksionis : No problems bagi saya.

Konstruksionis : Begini kawan, DSAK-IAI telah mengakui dan menyatakan secara

jujur dalam Kerangka Konseptual Pelaporan Keuangan, bahwa

“representasi tepat (faithfull representation)” dan “keterpahaman

(understandability)” adalah cerminan kualitas informasi akuntansi.

Namun demikian, diakui dan disadari bahwa representasi tepat

bukan berarti akurat dalam segala hal. Bebas dari kesalahan juga

tidak berarti akurat dan sempurna dalam segala hal. Yang penting,

akuntan tidak lalai dalam mendeskripsikan fenomena, dan proses

yang digunakan untuk menghasilkan informasi telah dipilih dan

diterapkan tanpa dilandasi kesengajaan untuk menyesatkan.

Dekonstruksionis : Ya. Saya menyadari hal itu.

Page 12: DIMENSI KRITIS PEMIKIRAN AKUNTANSI YANG TERALIENASI

Media Riset Akuntansi, Auditing & Informasi Vol. 19 No.2 September 2019

178

Konstruksionis : Pemikiran filosofis Jurgen Habermas sangat relevan untuk

menjelaskan apa yang saya katakan tadi. Saya sependapat dengan

Hassan (2008), bahwa kompleksitas akuntansi dalam

merepresentasikan fenomena ekonomik tidak lepas dari

kompleksitas perkembangan entitas bisnis dan transaksi bisnis

yang dilakukan. Artinya, perkembangan akuntansi tidak berdiri

sendiri terpisah dari perkembangan entitas bisnis dan transaksi-

nya...

Teori sosiologi kritis Jurgen Habermas (seperti dijelaskan oleh

Hassan, 2008) menyatakan bahwa kehidupan manusia selalu

berkembang dari waktu ke waktu, dari yang paling sederhana dan

mudah hingga yang paling kompleks dan rumit. Pergaulan

manusia juga berkembang, dari pergaulan sempit keluarga hingga

pada pergaulan luas di lingkungan masyarakat yang berbeda-

beda...

Kehidupan dan pergaulan, kata Jurgen Habermas, harus dihadapi

manusia dengan cara yang berbeda sesuai dengan tempat maupun

kompleksitasnya. Cara hidup dan bergaul di suatu tempat tentu

berbeda dengan cara hidup dan bergaul di tempat lain. Pada setiap

tempat hidup dan bergaul, mereka menemukan konsensus. Tanpa

konsensus, kehidupan sosial tidak akan mencapai keteraturan.

Demikian pula yang terjadi pada akuntansi sebagai bahasa bisnis.

Dekonstruksionis : Hhmm...

Konstruksionis : Dengan berefleksi pada pemikiran Jurgen Habermas, Hassan

(2008), menggambarkan bahwa perkembangan konsep dan praktik

akuntansi sebagai bahasa bisnis tidak berbeda dengan

perkembangan kehidupan dan pergaulan manusia. Ketika

organisasi dan transaksi bisnis masih sangat sederhana, misalnya

transaksi jual-beli produk riil secara tunai, akuntansi (bahasa

bisnis) juga sangat sederhana, simbol bahasa berupa kata dan

angka sangat sederhana. Dalam keadaan seperti itu, akuntansi

cukup dengan cash basis. Praktik akuntansi cash basis tersebut

disepakati berdasarkan konsensus...

Ketika organisasi dan transaksi bisnis mulai berkembang, misalnya

mulai timbul transaksi dengan pembayaran tangguh, maka kosa

kata akuntansi sebagai simbol bahasa juga bertambah. Dalam

keadaan seperti itu, konsensus praktik akuntansi berubah menjadi

accrual basis...

Demikian pula, ketika organisasi dan transaksi bisnis makin

kompleks, di mana instrumen keuangan diperdagangkan bahkan

dapat digunakan pula sebagai alat pembayaran, maka kosa kata

akuntansi sebagai simbol bahasa juga makin kompleks. Dalam

keadaan seperti itu, konsensus praktik akuntansi pun berubah,

tidak hanya melibatkan accrual, tetapi juga deferral. Tidak hanya

melaporkan fakta, tetapi juga melaporkan estimasi. Karena fakta

yang secara konkrit terjadi pada saat ini dapat menimbulkan

ketidakpastian di masa datang, maka akuntansi wajib melaporkan

Page 13: DIMENSI KRITIS PEMIKIRAN AKUNTANSI YANG TERALIENASI

Dimensi Kritis Pemikiran Akuntansi Yang Teralienasi: Dialog Imajiner Konstruksionis

dan Dekonstruksionis

179

estimasi tersebut sehingga pengguna laporan keuangan dapat

mengevaluasi risiko yang dihadapi oleh entitas sebelum mereka

mengambil keputusan. Dengan demikian, keterpahaman

(understandability) memang sangat bergantung pada subjek yang

memahami.

Dekonstruksionis : Maksud anda?

Konstruksionis : Maksud saya, dengan berefleksi pada Teori Tindakan-Komunikatif

(Communicative-Action) Jurgen Habermas, bahasa akuntansi pada

hakikatnya sama dengan bahasa komunikasi sehari-hari. Untuk

memahami komunikasi, setiap orang wajib memahami konteks

komunikasi, dan kosakata yang digunakan dalam komunikasi.

Dekonstruksionis : Ya, benar sekali.

Konstruksionis : Anda orang Jawa? Maaf, ha ha ha..

Dekonstruksionis : Mengapa kalau saya orang Jawa?

Konstruksionis : Anda tahu bahwa bahasa Jawa itu ada tiga tingkatan, yaitu bahasa

ngoko, tingkat bahasa paling rendah, dan paling umum dipakai di

kalangan orang Jawa, biasanya digunakan dalam percakapan

dengan sesama teman. Kedua, bahasa krama madya,

pemakaiannya dianjurkan ketika berbicara dengan orang yang

lebih tua untuk menunjukkan sikap sopan. Ketiga, bahasa krama

inggil, merupakan bahasa jawa yang paling tinggi, biasa digunakan

untuk menunjukkan sikap saling menghormati. Jadi, sekali lagi,

keterpahaman (understandability) memang sangat bergantung

subjek yang memahami.

Kalau kita biasa ngoko, tetapi berhadapan dengan orang yang

menggunakan bahasa krama madya atau krama inggil, tentu saja

keterpahaman kita rendah, sehingga kita tidak dapat menyentuh

realitas yang sedang dikomunikasikan.

Dekonstruksionis : Ya, itu pasti.

Konstruksionis : Dengan demikian, bukan salah orang yang berkomunikasi dengan

bahasa krama madya atau krama inggil, tetapi kita yang harus

belajar memahami, karena kita berada di lingkungan yang

mengharuskan digunakannya bahasa tersebut.

Jadi, menurut saya, dengan berefleksi pada Teori Communicative-

Action Jurgen Habermas, keterpahaman (understandability) atas

informasi akuntansi tidak hanya bergantung pada bahasa akuntansi

yang digunakan, tetapi juga bergantung pada kemauan subjek

untuk mau belajar memahami bahasa akuntansi, dan fenomena

ekonomik yang direpresentasikan oleh simbol-simbol bahasa

tersebut.

Saya pikir, Teori Tindakan-Komunikatif Jurgen Habermas telah

diakomodasi dalam penyusunan Kerangka Konseptual Pelaporan

Keuangan (KKPK). Secara eksplisit KKPK telah menegaskan

bahwa laporan keuangan disiapkan untuk pengguna yang memiliki

pengetahuan memadai tentang aktivitas bisnis dan ekonomi, serta

disiapkan untuk pengguna yang bersedia meninjau dan

Page 14: DIMENSI KRITIS PEMIKIRAN AKUNTANSI YANG TERALIENASI

Media Riset Akuntansi, Auditing & Informasi Vol. 19 No.2 September 2019

180

menganalisa informasi dengan tekun. Bahkan KKPK juga

menegaskan bahwa pengguna yang telah terinformasikan dengan

baik dan tekun juga perlu mencari bantuan dari seorang penasihat

untuk memahami informasi tentang fenomena ekonomik yang

kompleks.

Dekonstruksionis : Terimakasih kawan atas pandangan-pandangan anda. Pandangan

kita berbeda, karena kita memang menggunakan sudut pandang

yang juga berbeda.

Rule-Based Standard dan Principle-Based Standard

Dengan argumen untuk memperoleh laporan keuangan entitas antar negara yang

berkualitas dan berdaya banding, pada tahun 2001 International Accounting Standard

Board (IASB) membentuk suatu standar pelaporan keuangan yang berlaku secara

internasional (International Financial Reporting Standards – IFRS). Sejak saat itulah

muncul diskusi tentang rules-based standard dan principle-based standards yang

diasosiasikan dengan US-GAAP dan IFRS. Satu tahun sesudahnya, yaitu pada tahun

2002, Financial Accounting Standards Board (FASB) mengeluarkan discussion paper

yang bertujuan meminta pendapat publik apakah US-GAAP perlu diubah dari rules-

based standard menjadi principle-based standards (Nobes, 2005).

Berefleksi pada teori sosiologi kitis (critical sociology theory), konstruksionis

dan dekonstruksionis memberikan pandangan yang berbeda tentang principles-based

standards yang melekat sebagai karakteristik IFRS tersebut.

Dekonstruksionis : Discussion paper yang diterbitkan FASB merupakan cerminan

realitas bahwa kekuasaan (power) IASB sedemikian kuat dan

cepat dalam membangun pengetahuan (knowledge).

Konstruksionis : Pengetahuan tentang apa?

Dekonstruksionis : IASB membangun pengetahuan bahwa IFRS akan menjadi standar

pelaporan keuangan global bermutu tinggi dan berdaya banding.

Konstruksionis : Ya, memang itulah visi IASB, menyeragamkan praktik akuntansi

inter-nasional yang selama ini sangat variatif. Bagi perusahaan di

negara manapun, dengan menganut IFRS, akses ke pendanaan

internasional akan lebih terbuka karena laporan keuangan akan

lebih mudah dikomunikasikan ke investor global.

Dekonstruksionis : Ha ha ha... anda pun tampak sedemikian yakin dengan

pengetahuan yang dibangun IASB. Fakta ini menunjukkan bahwa

Teori Arkeologi Pengetahuan (Archeology of Knowledge) Michel

Foucault benar-benar terbukti dalam upaya IASB menjadikan

IFRS sebagai standar akuntansi global.

Konstruksionis : Siapa Michel Foucault? Apa relevansinya dengan IASB dan IFRS?

Dekonstruksionis : Michel Foucault adalah filsuf pos-strukturalis Perancis yang

memiliki teori kritis tentang hubungan kekuasaan (power) dan

pengetahuan (knowledge). Michel Foucault berteori bahwa orang

yang memiliki pengetahuan (knowledge) akan mudah meraih

kekuasaan (power), dan pada proses selanjutnya, orang yang

memiliki kekuasaan efektif akan mampu mengendalikan

pengetahuan atau kebenaran apa yang ingin dikembangkan (Mohr

Page 15: DIMENSI KRITIS PEMIKIRAN AKUNTANSI YANG TERALIENASI

Dimensi Kritis Pemikiran Akuntansi Yang Teralienasi: Dialog Imajiner Konstruksionis

dan Dekonstruksionis

181

dan Neely, 2009). Demikian seterusnya, pengetahuan dan

kekuasaan saling melakukan reproduksi.

Konstruksionis : Oh ya?

Dekonstruksionis : Kekuasaan, dalam pandangan Foucault, bukanlah sesuatu yang

memiliki ranah tunggal seperti kedudukan atau kewenangan, tetapi

kekuasaan memiliki bentuk beragam yang terdapat dimana-mana,

sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari, serta mencakup semua

aspek kehidupan (Mohr dan Neely, 2009). Kekuasaan menurut

Foucault adalah mampu membangun pengetahuan, keyakinan, dan

kebenaran dengan berbagai cara, yaitu dengan cara represif

melalui paksaan atau tekanan, maupun dengan cara persuasif

melalui indoktrinasi nilai-nilai.

Konstruksionis : Lalu.., apa relevansinya dengan IASB dan IFRS?

Dekonstruksionis : Teori kritis Michel Foucault, Archeology of Knowledge, relevan

untuk mendiskusikan internasionalisasi standar akuntansi. Marilah

kita lihat apa yang ada saat ini. Keunggulan IFRS telah menjadi

pengetahuan (knowledge) yang berkembang bagi umum.

Akademisi maupun praktisi memiliki pengetahuan baru, bahwa

IFRS merupakan standar akuntansi yang mampu menghasilkan

laporan keuangan berkualitas tinggi dan berdaya banding. Peta

pengetahuan tentang standar akuntansi dan pelaporan keuangan

telah berubah.

Konstruksionis : Betulkah demikian?

Dekonstruksionis : Coba anda amati dan renungkan, melalui kekuasaan (power)-nya,

IASB berupaya membangunan kebenaran dan keyakinan bahwa

IFRS merupakan standar akuntansi berkualitas tinggi dengan

menonjolkan tiga karakteristik utama, yaitu principle-based

standards, maksimalisasi penggunaan fair value, dan menuntut

tingkat disclosure tinggi. FASB pun, yang selama ini US-GAAP

hasil pemikirannya menjadi barometer standar akuntansi di dunia,

menjadi terpengaruh.

Konstruksionis : FASB terpengaruh?

Dekonstruksionis : Ya, seperti saya katakan di awal, sesaat setelah IASB

mengumumkan internasionalisasi standar pelaporan keuangan,

FASB menerbitkan discussion paper yang bertujuan untuk

meminta pendapat publik apakah US-GAAP perlu diubah dari

rules-based standards menjadi principle-based standards.

Walaupun implisit, discussion paper FASB mengandung

interpretasi bahwa FASB memandang principle-based standards

lebih baik daripada rules-based standards. Berefleksi pada

pemikiran kritis Michel Foucault tentang Archeology of

Knowledge, tampak bahwa FASB meyakini bahwa IASB adalah

benar, principle-based standards lebih baik daripada rules-based

standards.

Konstruksionis : Wow..., menurut saya, FASB tidak terpengaruh oleh IASB. FASB

hanya berupaya menghimpun pendapat publik, khususnya publik

Page 16: DIMENSI KRITIS PEMIKIRAN AKUNTANSI YANG TERALIENASI

Media Riset Akuntansi, Auditing & Informasi Vol. 19 No.2 September 2019

182

USA. Saya melihat discussion paper FASB bertujuan untuk

menepis anggapan bahwa principle-based standards lebih baik

dari rules-based standards, tetapi cara yang dilakukan FASB

sangat taktis, yaitu dengan cara [berpura-pura] meminta pendapat

publik.

Dekonstruksionis : Hhmm...

Konstruksionis : Nyatanya, tanggapan atas discussion paper tampaknya

menyenangkan FASB. Schipper (2003) menanggapi pertanyaan

FASB bahwa, jika US-GAAP menekankan pada aturan (rules), hal

itu tidak berarti US-GAAP mengabaikan prinsip, karena tidak

mungkin FASB membuat rules tanpa memerhatikan principles.

Dengan demikian, rules-based standards tidak perlu diubah

menjadi principle-based standards mengikuti IFRS. Tanggapan

Schipper (2003) tersebut didukung oleh Nelson (2003) yang

menyatakan bahwa keunggulan rules-based standards lebih

banyak daripada principle-based standards.

Dekonstruksionis : Berefleksi pada pemikiran Michel Foucault, saya memang

berharap agar knowledge tentang standar pelaporan keuangan tidak

semata-mata dipengaruhi oleh power, tetapi lebih mengutamakan

kepentingan yang lebih luas. Principle-based standards yang

dianggap lebih baik dari rules-based standards hanyalah

pengetahuan (knowledge) hasil bentukan kekuasaan (power) yang

mengandung kepentingan tersembunyi IASB, yaitu agar dunia

usaha di seluruh penjuru dunia memilih IFRS sebagai standar

pelaporan keuangan.

Konstruksionis : Dengan membawa teori kritis Michel Foucault, anda tampak tidak

welcome dengan IFRS yang merupakan principle-based standards.

Apakah persepsi saya ini salah?

Dekonstruksionis : Oh, tidak. Persepsi anda benar. Seperti saya katakan tadi,

principle-based standards yang dianggap lebih baik dari rules-

based standards hanyalah pengetahuan (knowledge) hasil

bentukan kekuasaan (power) yang mengandung kepentingan

tersembunyi IASB. Principle-based standards tidak lebih lebih

baik dari rules-based standards. Principle-based standards akan

menyulitkan dalam praktik akuntansi dan pelaporan keuangan.

Konstruksionis : Oh ya?

Dekonstruksionis : Peningkatan daya banding laporan keuangan berbasis IFRS itu

hanya konsep. Principle-based standards sangat membuka

peluang penurunan daya banding laporan keuangan karena

pengaruh penggunaan professional judgment. Berbeda dengan

rules-based standard yang keseragaman penerapannya dapat

dikontrol. Principle-based standards bukan hanya meningkatkan

kesulitan dalam praktik, tetapi kesulitan sudah ditemui pada saat

pendidikan, khususnya pada pengajaran akuntansi keuangan dan

teori akuntansi.

Page 17: DIMENSI KRITIS PEMIKIRAN AKUNTANSI YANG TERALIENASI

Dimensi Kritis Pemikiran Akuntansi Yang Teralienasi: Dialog Imajiner Konstruksionis

dan Dekonstruksionis

183

Konstruksionis : Ha ha ha... Bagaimana mungkin principles-based standards

menyulitkan pendidikan akuntansi?

Dekonstruksionis : Pengajaran teori akuntansi pada pendidikan sarjana misalnya, pada

umumnya adalah dengan subjek Teori Akuntansi [Normatif].

Pengajaran pada umumnya diawali dengan membahas principles

yang harus dipenuhi dalam pelaporan keuangan. Berikutnya,

dibahas berbagai alternatif teknik, prosedur, dan metode akuntansi

yang dapat diterapkan untuk memenuhi principles tersebut. Dari

berbagai alternatif, akan diambil alternatif mana yang terbaik

untuk dipilih sebagai rules dan diterapkan dalam praktik.

Dengan pembelajaran seperti ini, dapat diperoleh suatu

pemahaman mengapa rules-based standards memilih dan

menetapkan rules tersebut. Sulit untuk melakukan pembelajaran

seperti itu dalam keadaan di mana standar akuntansi bersifat

principle-based standards.

Konstruksionis : Ha ha ha... saya menghargai pandangan anda tentang IFRS dengan

semua atribut yang melekat padanya.

Dekonstruksionis : Terima kasih.

Konstruksionis : Sekali lagi, saya memahami pendapat anda. Tetapi, saya memiliki

perspektif lain untuk menilai IFRS sebagai principles-based

standards.

Dekonstruksionis : No problem, kawan.

Konstruksionis : Apakah anda pernah mendengar ajaran etika keutamaan (virtue

ethics) dari Aristoteles, seorang filsuf Yunani?

Dekonstruksionis : Ya, saya mendengar dan saya tahu.

Konstruksionis : Syukurlah jika anda pernah mendengar dan tahu. Esensi tujuan

hidup manusia itulah ajaran Aristoteles. Saya sependapat dengan

West (2017) yang menyatakan bahwa profesi akuntan akan lebih

bermakna, bermutu, dan bernilai jika mengimplementasikan

keutamaan (virtue) yang dimiliki, sebagaimana dimaksud oleh

Aristoteles.

Etika keutamaan (virtue ethics) tidak menilai baik/buruk perbuatan

secara normatif, karena etika sesungguhnya bersifat substantif.

Menurut Aristoteles, perilaku etis (baik/buruk) manusia

sebenarnya tidak perlu diatur, karena setiap manusia terlahir

memiliki bekal pikiran (jiwa) dan akhlak yang baik sebagai

karunia Tuhan. Dengan demikian, secara naluriah, setiap manusia

mampu menilai perbuatannya baik atau buruk, benar atau salah,

tanpa memandang apakah perbuatannya itu sesuai aturan/norma

atau tidak.

Jadi, menurut Aristoteles, etika bersifat substantif. Suatu saat

seseorang akan melanggar norma/aturan karena pikirannya

menuntun bahwa melanggar aturan tersebut akan membawa suatu

kebaikan pada sisi yang lain.

Dekonstruksionis : Hhmm... ya, saya tahu ajaran keutamaan (virtue) Aristoteles itu.

Page 18: DIMENSI KRITIS PEMIKIRAN AKUNTANSI YANG TERALIENASI

Media Riset Akuntansi, Auditing & Informasi Vol. 19 No.2 September 2019

184

Konstruksionis : Dasar utama teori etika keutamaan Aristoteles adalah tindakan-

tindakan apa yang secara naluriah seharusnya dilakukan oleh

manusia sehingga hidup manusia menjadi baik, mulia, bernilai,

dan bermutu. Aristoteles menyatakan bahwa setiap tindakan

manusia, bertujuan pada sesuatu yang baik, atau suatu nilai

(value). Apa pun yang dilakukan oleh manusia sesungguhnya

bertujuan untuk mencapai tujuan yang baik, sesuai karunia Tuhan

berupa pikiran dan akhlak yang menjadi penuntunnya. Tujuan

yang ingin dicapai manusia adalah kebahagiaan (eudaimonia).

Dekonstruksionis : Apa kaitan etika keutamaan Aristoteles dengan principle-based

standards?

Konstruksionis : Principles-based standards merupakan refleksi dari kesadaran

(consciousness) akuntan bahwa untuk berbuat baik tidak perlu

diatur. Sebagai manusia, akuntan memiliki keutamaan sebagai

karunia Tuhan, yaitu akal budi (akhlak) atau pikiran (jiwa) yang

menuntunnya ke arah kebaikan. Principle-based standard lebih

baik daripada rule-based standard, karena principle-based

standards memberi ruang kepada profesi akuntan untuk berfikir

dan berbuat kebaikan tanpa dibatasi oleh aturan. Lakukanlah yang

terbaik dalam memberikan informasi kepada pengguna laporan

keuangan, itulah esensi principles-based standards.

Dekonstruksionis : Hhmm...

Konstruksionis : Ontologi objektif dari principle-based standards adalah, bahwa

dengan akal budi atau jiwanya, akuntan memahami transaksi bisnis

yang terjadi dan akan memilih prinsip pelaporan terbaik yang tidak

menyesatkan pengguna informasi akuntansi. Jadi, principle-based

standards pun sesungguhnya memiliki keutamaan Aristoteles,

yaitu mengajak, mendorong dan memberi ruang akuntan untuk

bekerja secara profesional dan bermanfaat bagi orang lain. Oleh

sebab itu, principle-based standards mengandalkan professional

judgement dan kejujuran akuntan dalam penyajian informasi

akuntansi.

Dekonstruksionis : Saya dapat memahami jalan pikiran anda.

Konstruksionis : Principle-based standards memposisikan akuntan sebagai manusia

yang secara naluriah selalu ingin mencapai kebahagiaan

(eudaimonia). Untuk mencapai hal tersebut, dalam koridor

profesinya, akuntan ingin berbuat kebaikan dalam memberikan

informasi akuntansi yang bermanfaat, tidak sekedar berbuat

sesuatu mengikuti instruksi seperti robot.

Sebagai contoh sederhana, laporan keuangan harus

dikonsolidasikan jika akuntan mengetahui ada pengendalian suatu

entitas terhadap entitas lain, meskipun saham yang dimiliki 50%

atau kurang. Berefleksi pada etika keutamaan Aristoteles, prinsip

ini membuka ruang bagi akuntan untuk mengaktualisasi naluri

kebaikan yang sebelumnya terpagari oleh rule-based standard

yang mematok kewajiban konsolidasi laporan keuangan jika

kepemilikan saham lebih dari 50%.

Page 19: DIMENSI KRITIS PEMIKIRAN AKUNTANSI YANG TERALIENASI

Dimensi Kritis Pemikiran Akuntansi Yang Teralienasi: Dialog Imajiner Konstruksionis

dan Dekonstruksionis

185

Coba lihat juga standar akuntansi yang lain, pada prinsipnya

semua membuka ruang bagi akuntan untuk memilih yang terbaik

sesuai naluri profesionalnya dalam menyajikan informasi yang

tepat dan bermanfaat bagi pengguna. Jadi, dalam pandangan saya,

principles-based standards akan menghasilkan informasi

akuntansi yang relevan dan merepresentasikan fenomena ekonomi

secara tepat, karena naluri akuntanlah yang mengetahui substansi

ekonomik suatu peristiwa, bukan aturan atau rules-nya.

Dekonstruksionis : Terimakasih, kawan. Seperti halnya anda dapat menerima

pandangan dan pemikiran saya, saya pun sangat menghargai

kecerdasan anda dalam memberikan argumen atas pandangan-

pandangan anda.

SIMPULAN, KETERBATASAN DAN SARAN

Simpulan

Hasil kajian berdasarkan teori sosiologi kritis menunjukkan bahwa: (1) dimensi

kritis pemikiran akuntansi perlu diangkat dalam upaya pengembangan konsep dan

praktik pelaporan keuangan, sehingga mampu menjadi pemikiran alternatif tanpa

mendestruksi pemikiran arus utama; (2) konsep dan praktik praktik pelaporan

keuangan yang sedang berjalan tidak hanya dapat dievaluasi dengan berefleksi pada

teori induk disiplin akuntansi (yaitu ekonomi dan keuangan), tetapi juga dapat

dievaluasi dengan berefleksi pada teori-teori sosiologi-kritis yang relevan dengan

konteksnya. Hal ini membangun kesadaran bahwa praktik akuntansi sesungguhnya

berkembang sejalan dengan perkembangan peradaban manusia, dan akuntansi juga

memiliki peran penting atas perkembangan peradaban tersebut; (3) pengembangan

konsep dan praktik pelaporan keuangan tidak harus didasarkan pada kepentingan

ekonomi dan keuangan entitas pelaporan, tetapi juga harus didasarkan pada

kepentingan kemasyarakatan secara umum. Hal ini berarti bahwa akuntan tidak

seharusnya menjadi “manusia satu dimensi”, tetapi menjadi individu yang mampu

menemukan profesinya pada berbagai dimensi secara kritis.

Kajian ini berimplikasi pada pentingnya memberi ruang kebebasan berfikir dan

memberi kebebasan cara pandang setiap individu untuk mengevaluasi prinsip dan

praktik pelaporan keuangan. Akuntansi memang berakar dari ilmu induknya, yaitu

ekonomi dan keuangan, tetapi implementasi akuntansi tidak harus selalu dijustifikasi

dari perspektif ilmu induk tersebut. Praktik pelaporan keuangan dapat dievaluasi secara

kritis dan dijustifikasi dalam perspektif multi disiplin, khususnya dengan berefleksi

pada teori-teori sosiologi.

Keterbatasan

Keterbatasan kajian ini terutama terletak pada jumlah objek kajian. Kajian ini

hanya menggambarkan pandangan-pandangan kritis konstruksionis dan

dekonstruksionis pada dua objek kajian, yaitu (a) representasi fenomena ekonomik

melalui simbol bahasa akuntansi, dan (2) principle-based standards dan rules-based

standards. Kedua objek kajian tersebut hanya berada dalam lingkup Kerangka

Konseptual Pelaporan Keuangan (KKPK), sehingga tujuan kajian yang bermaksud

memperkaya pemikiran akuntansi melalui penggunaan teori sosiologi kritis (critical

sociology theory) belum tercapai secara maksimum. Kajian praktik akuntansi dengan

Page 20: DIMENSI KRITIS PEMIKIRAN AKUNTANSI YANG TERALIENASI

Media Riset Akuntansi, Auditing & Informasi Vol. 19 No.2 September 2019

186

berefleksi pada teori sosiologi kritis sebenarnya dapat dilakukan pada berbagai aspek

dan ruang lingkup yang lebih luas, misalnya lingkup Pernyataan Standar Akuntansi

Keuangan (PSAK) maupun lingkup praktik akuntansi dan pelaporan keuangan oleh

entitas.

Saran Untuk Penelitian Selanjutnya

Eksplorasi pandangan konstruksionis dan dekonstruksionis pada kajian atau

penelitian-penelitian selanjutnya dapat dilakukan pada tataran konsep atau prinsip,

misalnya pandangan konstruksionis dan dekonstruksionis pada prinsip substansi

mengungguli bentuk, konservatisme akuntansi, fair value, dan disclosure, atau pada

tataran praktik akuntansi lainnya yang layak dikaji dengan berefleksi pada teori

sosiologi kritis. Tujuan kajian pada hakikatnya adalah menemukan dimensi kritis

pemikiran akuntansi yang selama ini teralienasi, karena terepresi oleh pemikiran arus

utama yang dominan.

DAFTAR PUSTAKA

Andrew, J. 2012. Accounting ang the constructiom of the “cost effective” prison. The

Journal of Australian Political Economy Issue 68 (Summer): 194-212.

Annisette, M. dan A.J. Richardson. 2011. Justification and accounting: applying

sociology of worth to accounting research. Accounting, Auditing &

Accountability Journal Vol. 24 Issue 2: 229-249.

Antonio, A., dan S. Ponea. 2010. Constructionist-Fractal Analysis: A Transmodern

View of Truth. Economy Transdisciplinarity Cognition, Volume 13, Issue 2: 45-

52.

Bebbington, J., J. Bryer, B. Frame, dan I. Thomson. 2007. Theorizing engagement: the

potential of a critical dialogic approach. Accounting, Auditing & Accountability

Journal Vol. 20, Iss. 3: 356-381

Bloomfield, R. J. (2008). Accounting as the language of business. Accounting

Horizons, 22 (4), 433-436.

Broadbent, J., dan R. Laughlin. 1997. Developing empirical research: an example

informed by a Habermasian approach. Accounting, Auditing & Accountability

Journal, Vol. 10 Issue 5: 622-648.

Bryer, R.A. 1999a. A Marxist Critique of the FASB’s Conceptual Framework. Critical

Perspectives on Accounting Vol.10: 551-589.

Bryer, R.A. 1999b. Marx and Accounting. Critical Perspectives on Accounting

Vol.10: 683-709.

Carr, A.N. 2005. The Challenge of Critical Theory for Those in Organization Theory

and Behavior: An Overview. International Journal of Organization Theory and

Behavior Vol. 8, Issue 4 (Winter): 466-494.

Chua, W.F. 1986. Radical Development in Accounting Thought. The Accounting

Review Volume LXI No.4 (Oktober): 601-632.

Cooper, D.J., dan T.M. Hopper. 1987. Critical Studies in Accounting. Accounting,

Organizations, dan Society Vol. 12 No.5: 407-414.

Page 21: DIMENSI KRITIS PEMIKIRAN AKUNTANSI YANG TERALIENASI

Dimensi Kritis Pemikiran Akuntansi Yang Teralienasi: Dialog Imajiner Konstruksionis

dan Dekonstruksionis

187

Cooper, C. dan S. Gallhofer. 1992. The Non and Nom of Accounting for (M)other

Nature; M(othering) View on: The Non and Nom of Accounting for (M)other

Nature. Accounting, Auditing & Accountability Journal Vol. 5, Issue 3: 16.

Chabrak, N., dan A. Burrowes. 2006. The Language of the Rochester School: Positive

Accounting Theory Deconstructed. IDEAS Working Paper Series from RePEc:

St. Louis.

Choudhury, M. 2015. Subjective probability and financial valuation: contrasting

paradigms. Journal of Financial Reporting and Accounting, Vol. 13 Issue 1: 20-

38.

Dant, T. 2003. Critical Social Theory: Culture, Society and Critique. Sage Publication:

London. 185p.

Davison, J. 2011. Barthesian perspectives on accounting communication and visual

images of professional accountancy. Accounting, Auditing & Accountability

Journal Vol. 24, Issue 2: 250-283.

Edgley, C.R.P. 2010. Backstage in legal theatre: A Foucauldian interpretation of

‘Rationes Decidendi’ on the question of taxable business profits. Critical

Perspective on Accounting Vo. 21: 560–572.

Farmer, D.J. 1997. Derrida, deconstruction, and public administration. The American

Behavioral Scientist. Volume 41, Issue 1: September.

Farrands, C., dan O. Worth. 2005. Critical theory in Global Political Economy:

Critique? Knowledge? Emancipation? Capital & Class Issue 85 (Spring): 43-61.

Fuchs, S., S. Ward, dan B. Agger. 1994. What is deconstruction, and where and when

does it take place? Making facts in science, building cases in law. American

Sociological Review. Vol. 59, Iss. 4, (Aug): 481.

Goddard, A. 2002. Development of the accounting profession and practices in the

public sector - a hegemonic analysis. Accounting, Auditing & Accountability

Journal Vol. 15, Issue 5: 655-688.

Goddard, A. 2004. Budgetary practices and accountability habitus: A grounded theory.

Accounting, Auditing & Accountability Journal Vol. 17, Issue 4: 543-577.

Hammond, T., L.S. Oakes, dan C. Chabrak. 1992. Some Feminisms and Their

Implications for Accounting Practice: M(othering) View on "Some Feminisms

and Their Implications for Accounting Practice". Accounting, Auditing &

Accountability Journal Vol. 5, Issue 3: 52.

Hassan, M.K. 2008. Financial accounting regulations and organizational change: a

Habermasian perspective. Journal of Accounting & Organizational Change Vol.

4 Issue 3: 289-317.

Hines, R.D. 1988. Financial Accounting: In Communicating Reality, We Construct

Reality. Accounting, Organizations and Society Vol. 13 No.3: 251-261.

Jacobs, K. dan S. Evans. 2012. Constructing accounting in the mirror of popular music.

Accounting, Auditing & Accountability Journal Vol. 25, Issue 4: 673-702.

Kartalis, N., M. Tsamenyi, dan K. Jayasinghe. 2016. Accounting in new public

management (NPM) and shifting organizational boundaries: Evidence from the

Greek Show Caves. Accounting, Auditing & Accountability Journal

Vol. 29, Issue 2: 248-277.

Page 22: DIMENSI KRITIS PEMIKIRAN AKUNTANSI YANG TERALIENASI

Media Riset Akuntansi, Auditing & Informasi Vol. 19 No.2 September 2019

188

Laughlin, R. 1999. Critical accounting: nature, progress and prognosis. Accounting,

Auditing & Accountability Journal Vol. 12, Issue 1: 73-78.

Lee, B., dan C. Humphrey. 2006. More than a numbers game: qualitative research in

accounting. Management Decision Journal Vol. 44, Issue 2: 180-197.

Lombardi, L. 2016. Disempowerment and empowerment of accounting: an Indigenous

accounting context. Accounting, Auditing & Accountability Journal

Vol. 29, Issue 8: 1320-1341.

Lupu, I. dan L. Empson. 2015. Illusio and overwork: playing the game in the

accounting field. Accounting, Auditing & Accountability Journal Vol. 28, Issue 8:

1310-1340.

MacDonald, E. 1999. Deconstruction's promise: Derrida's rethinking of Marxism.

Science & Society Volume 63, Issue 2, (Summer): 145-172.

Macintosh, N.B., T. Shearer, D.B. Thornton, dan M. Welker. 2000. Accounting as

simulacrum and hyperreality: perspectives on income and capital. Accounting,

Organizations and Society 25: 13-50.

Macintosh, N.B., dan C.R. Baker. 2002. A literary theory perspective on accounting:

Towards heteroglossic accounting reports. Accounting, Auditing & Accountability

Journal; Vol. 15, Iss. 2: 184-222.

Macintosh, R., dan N. Beech. 2011. Strategy, strategists and fantasy: a dialogic

constructionist perspective. Accounting, Auditing & Accountability Journal.

Volume 24, Issue 1: 15-37.

Malsch, B., Y. Gendron, dan F. Grazzini. 2011. Investigating interdisciplinary

translations: The influence of Pierre Bourdieu on accounting literature.

Accounting, Auditing & Accountability Journal Vol. 24, Issue 2: 194-228.

McKernan, J.F., dan K. Kosmala. 2007. Doing the truth: religion - deconstruction -

justice, and accounting. Accounting, Auditing & Accountability Journal

Volume 20, Issue 5: 729-764.

Mohr, J.W., dan B. Neely. 2009. Modeling Foucault: Dualities of power in institutional

fields. Research in the Sociology of Organizations Vol. 27: 185-234.

Mouck, T. 2004. Institutional reality, financial reporting and the rules of the game.

Accounting, Organizations and Society 29: 525–541.

Morgan, G., dan H. Willmott. 1993. The “new” accounting research: On making

accounting more visible. Accounting, Auditing & Accountability Journal

Vol. 6, Issu 4: 3-21

Nelson, M. W. 2003. Behavioral evidence on the effects of principles- and rules-based

standards. Accounting Horizons 17 (1): 91–104.

Nobes, C.W. 2005. Rules-Based Standards and the Lack of Principles in Accountint.

Accounting Horizons Volume 19 No.1 (March): 25-34.

Norreklit, H. , M.R. Møller , dan F. Mitchell. 2016a. A pragmatic constructivist

approach to accounting practice and research. Qualitative Research in Accounting

& Management, Volume 13 Issue 3: 266-277.

Norreklit, H., L. Norreklit, dan F. Mitchell. 2016b. Understanding practice

generalisation - opening the research/practice gap. Qualitative Research in

Accounting and Management Vol. 13, Issue 3: 278-302.

Pianezzi, D. dan L. Cinquini. 2016. Assessing the validity of accounting for human

rights: A pragmatic constructivist perspective. Qualitative Research in

Accounting & Management, Volume 13 Issue 3.

Page 23: DIMENSI KRITIS PEMIKIRAN AKUNTANSI YANG TERALIENASI

Dimensi Kritis Pemikiran Akuntansi Yang Teralienasi: Dialog Imajiner Konstruksionis

dan Dekonstruksionis

189

Quattrone, P. 2000. Constructivism and accounting research: towards a

trans‐disciplinary perspective. Accounting, Auditing & Accountability Journal,

Volume 13 Issue 2.

Refai, D., R.G. Klapper, dan J. Thompson. 2015. A holistic social constructionist

perspective to enterprise education. International Journal of Entrepreneurial

Behavior & Research, Vol. 21 Issue 3: 316-337

Reiter, S.A. 1995. Theory and politics: Lessons from feminist economics. Accounting,

Auditing & Accountability Journal Vol. 8, Iss. 3: 34-41.

Rosenfield, P. Presenting Discounted Future Cash Receipts and Payments in Financial

Statements. Abacus Vol. 9 No.3: 233-249.

Rutherford, B.A. 2003. The social construction of financial statement elements under

Private Finance Initiative schemes. Accounting, Auditing & Accountability

Journal, Vol. 16 Issue 3: 372-396.

Rutherford, B. A. 2016. Articulating accounting principles: Classical accounting theory

as the pursuit of "explanation by embodiment" Journal of Applied Accounting

Research Vol. 17, Iss. 2: 118-135.

Schipper, K. 2003. Principles-based accounting standards. Accounting Horizons 17 (1):

61–72.

Seal, W., dan R. Mattimoe. 2016. The role of narrative in developing management

control knowledge from fieldwork: A pragmatic constructivist perspective.

Qualitative Research in Accounting & Management, Vol. 13 Issue: 3, pp.330-

349.

Shenkin, M., dan A.B. Coulson. 2007. Accountability through activism: learning from

Bourdieu. Accounting, Auditing & Accountability Journal Vol. 20, Iss. 2: 297-

317.

Skinner, R. 2003. Accounting, accountants and accountability: Poststructuralist

positions. Canadian Accounting Perspectives Vol. 2, Iss. 2: 179-189.

Stewart, R.E. 1992. Pluralizing Our Past: Foucault in Accounting History. Accounting,

Auditing & Accountability Journal Vol. 5, Issue 2: 57.

Talja, S., K. Tuominen, dan R. Savolainen. 2015. “Isms” in information science:

constructivism, collectivism and constructionism. Journal of Documentation,

Volume 61 Issue 1.

Tinker, T. 2005. The withering of criticism: A review of professional, Foucauldian,

ethnographic, and epistemic studies in accounting. Accounting, Auditing &

Accountability Journal Vol. 18 Issue 1: 100-135.

Weitzner, D. 2007. Deconstruction Revisited: Implications of Theory Over

Methodology. Journal of Management Inquiry Volume 16, Issue 1, (March): 43-

54.

West, A. 2017. The ethics of professional accountants: an Aristotelian perspective.

Accounting, Auditing & Accountability Journal Vol. 30 Issue 2:328-351

Wilson, F., dan S. Tagg. 2010. Social constructionism and personal constructivism:

Getting the business owner's view on the role of sex and gender. International

Journal of Gender and Entrepreneurship, Volume 2 Issue 1.

Yin-Xu dan Xiaoqun-Xu. 2008. Social actors, cultural capital, and the state: The

standardization of bank accounting classification and terminology in early

twentieth-century China. Accounting, Organizations and Society 33: 73–102

Page 24: DIMENSI KRITIS PEMIKIRAN AKUNTANSI YANG TERALIENASI

Media Riset Akuntansi, Auditing & Informasi Vol. 19 No.2 September 2019

190