perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id kajian disparitas...
TRANSCRIPT
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
KAJIAN DISPARITAS KONTRUKSI YURIDIS JAKSA PENUNTUT
UMUM DALAM PENUNTUTAN PERKARA PERKOSAAN
DI LINGKUNGAN RUMAH TANGGA
(TELAAH PERBANDINGAN KASUS NOMOR PERKARA PDM-
670/KPJEN/12-2005 DAN NOMOR PERKARA PDM-387/KPNJEN/05-2006.
DI KEJAKSAAN NEGERI KEPANJEN MALANG)
Penulisan Hukum
(Skripsi)
Disusun dan Diajukan untuk
Melengkapi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh Derajat Sarjana S1
dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Surakarta
Oleh
INSAN PANDHU WIRAWAN
NIM. E1106029
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Penulisan Hukum (Skripsi)
KAJIAN DISPARITAS KONTRUKSI YURIDIS JAKSA PENUNTUT
UMUM DALAM PENUNTUTAN PERKARA PERKOSAAN
DI LINGKUNGAN RUMAH TANGGA
(TELAAH PERBANDINGAN KASUS NOMOR PERKARA PDM-
670/KPJEN/12-2005 DAN NOMOR PERKARA PDM-387/KPNJEN/05-2006.
DIKEJAKSAAN NEGERI KEPANJEN MALANG)
Oleh
INSAN PANDHU WIRAWAN
NIM. E1106029
Disetujui untuk dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum
(Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Dosen Pembimbing I
Kristiyadi, S.H., M.Hum.
NIP. 19581225198601111001
Surakarta, Maret 2011
Dosen Pembimbing II
Muhammad Rustamaji, S.H., M.H.
NIP. 198210082005011001
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iii
PENGESAHAN PENGUJI
Penulisan Hukum (Skripsi)
KAJIAN DISPARITAS KONTRUKSI YURIDIS JAKSA PENUNTUT
UMUM DALAM PENUNTUTAN PERKARA PERKOSAAN
DI LINGKUNGAN RUMAH TANGGA
(TELAAH PERBANDINGAN KASUS NOMOR PERKARA PDM-
670/KPJEN/12-2005 DAN NOMOR PERKARA PDM-387/KPNJEN/05-2006.
DIKEJAKSAAN NEGERI KEPANJEN MALANG)
Disusun oleh :
INSAN PANDHU WIRAWAN
NIM : E. 1106029
Telah diterima dan di sahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi)
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Pada :
Hari : Selasa
Tanggal : 26 April 2011
TIM PENGUJI
(1) Edy Herdyanto, S.H., M.H :………………………… Ketua
(2) Muhammad Rustamaji, S.H., M.H. : …………………………
Sekretaris
(3) Kristiyadi, S.H., M.Hum. : ....................................... Anggota
MENGETAHUI
Dekan,
Mohammad Jamin, S.H, M.Hum.
NIP.196109301986011001
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iv
HALAMAN MOTO
Mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat. Sungguh Allah
beserta orang-orang yang sabar.
(QS. Al-Baqarah :153)
Lupakan tentang konsekuensi dari kegagalan. Kegagalan hanya perubahan arah
sementara untuk mengarahkan anda lurus kearah kesuksesan anda.
(Denis Waitley)
Winners see possibilities; Losers see problems.
(Anonim)
Orang yang luar biasa hanya percaya pada hal yang mungkin. Orang yang luar
biasa mampu menggambarkan dengan jelas banyak hal yang tidak mungkin,
kemudian mengubahnya menjadi mungkin.
(Cherie Carterscoot)
What is now proved was once only imagined.
(William Blake)
Kegagalan dan kekecewaan adalah sesuatu yang mengajarkan saya tentang
kekuatan, optimisme, dan keyakinan untuk saya mampu dan berani mengambil
serta mendapatkan impian saya!.
(penulis)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
v
PERSEMBAHAN
Karya tulis ini saya persembahkan kepada:
Allah SWT, yang senantiasa memberikan kenikmatan pada umat-Nya;
Bapak Ibu tercinta, adik, kakak saya yang selalu memberi do’a dan kasih sayang;
keluarga besarku, dan keluarga besar Bapak Yusuf Sarno, yang selalu
memberikan dukungan serta doa.
Teman-temanku yang selalu setia;
Almamaterku, fakultas hukum UNS
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vi
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Alhamdulillaahi Rabbil ‘aalamiin, puji syukur kepada Allah SWT penulis
panjatkan atas segala rahmat, karunia, ridho dan hidayah-Nya yang telah
diberikan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan
judul. KAJIAN DISPARITAS KONTRUKSI YURIDIS JAKSA PENUNTUT
UMUM DALAM PENUNTUTAN PERKARA PERKOSAAN DI
LINGKUNGAN RUMAH TANGGA (TELAAH PERBANDINGAN KASUS
NOMOR PERKARA PDM-387/KPNJEN/05-2006 DAN NOMOR
PERKARA PDM-670/KPJEN/12-2005. DIKEJAKSAAN NEGERI
KEPANJEN MALANG)
Penulisan hukum ini membahas mengenai kajian disparitas kontruksi jaksa
penuntut umum dalam melakukan penuntuntan khususnya kasus Kekerasan dalam
Rumah Tangga yang di tangani oleh Kejaksaan Negeri Kepanjen Malang.
Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada
semua pihak yang telah memberikan bantuan, saran, dan dorongan bagi penulis
dalam menyelesaikan penulisan hukum ini. Ucapan terima kasih ini penulis
sampaikan terutama pada:
1. Bapak Mohammad Jamin, S.H, M.H, selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberi izin dan kesempatan
kepada penulis untuk menyelesaikan penulisan hukum ini.
2. Bapak Edy Herdyanto, S.H, M.H, selaku Ketua Bagian Hukum Acara, dan
Pembimbing Akademik penulis selama menempuh pendidikan di Fakultas
Hukum UNS.
3. Bapak Kristiyadi., S.H., M.Hum. selaku Dosen pembimbing I Fakultas
Hukum UNS penulisan skripsi, yang telah menyediakan waktu dan pikirannya
untuk memberikan bimbingan dan arahan sehingga tersusunnya skripsi ini.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vii
4. Bapak Muhammad Rustamaji, S.H., M.H. selaku Dosen Pembimbing II Dosen
fakultas Hukum UNS penulisan skripsi, yang telah menyediakan waktu dan
pikirannya untuk memberikan bimbingan dan arahan sehingga tersusunnya
skripsi ini.
5. Bapak Adi Sutanto, S.H., selaku Kepala Kejaksaan Negeri Kepanjen, yang
telah bersedia memberikan semua bantuan dan arahan kepada saya , untuk
menyelesaiakan skripsi ini.
6. Bapak Hayin Suhikto,.S.H., M.H. selaku KASIPIDUM Kejaksaan Negeri
Kepanjen., yang telah bersedia memberikan data , informasi, dan atas semua
bantuanya untuk menyelesaiakn skripsi ini.
7. Bapak Gaguk Safrudin, S.H., M.Hum selaku KASUBAGBIN Kejaksaan
Negeri Kepanjen, yang telah banyak memberikan informasi dan bantuan untuk
menyelesaikan skripsi ini.
8. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
yang telah memberikan ilmu pengetahuan umumnya dan ilmu hukum
khususnya kepada penulis sehingga dapat dijadikan dasar dalam penulisan
skripsi ini dan semoga dapat penulis amalkan.
9. Seluruh Staff Tata Usaha dan Karyawan di Fakultas Hukum Universitas
Sebelas Maret Surakarta, terima kasih atas bantuannya.
10. Seluruh Staf, Karyawan, Kejaksaan Negeri Kepanjen, atas segala bantuanya.
11. Bapak dan Ibu Tercinta, Kakakku Dini, adikku Alya serta keluargaku, yang
telah memberikan segalanya kepada penulis, sehingga penulisan skripsi ini
dapat terselesaikan dan semoga penulis dapat membalas budi jasa yang telah
Engkau berikan.
12. Mas Adi Dharma.,S.sos, terima kasih atas segala support , inspirasi serta
dukungan yang telah diberikan kepada saya untuk menyelesaikan skripsi ini.
13. Buat teman-temanku Irwan , Arip kriting, Doni, dan kopi lambada yang selalu
menjagaku untuk tetap tidak ngantuk, dan semua temanku yang memberi
semangat dan dukungan untuk menyelesaikan skirpsi ini.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
viii
14. Gita, makasih banget atas semua apa yang telah kau berikan selama ini, yang
telah mengajarkan arti kehidupan untuk saya menyelesaikan skripsi ini dan
mimpi saya.
15. Buat teman-teman kampus (Akbar, Wulung, Nusa, Heri, Pras) dan teman-
teman lain Fakultas Hukum UNS angkatan 2006 yang tidak bisa penulis
sebutkan satu persatu, satpam GD1,2,3. atas bantuannya, dukungan kalian
semua untuk saya menyelesaiakan skripsi ini,
16. Teman-temanku Kos El-TOROS. M. Setyo, M Ari, M Adi, Adit, Alim,
Hendra, Andona. yang tak pernah malas dan selalu sabar menemani,
mendengarkan keluh kesah juga selalu memberi dukungan dan motivasi.
17. Terima kasih buat Armada ku AE 3175 JU,yang selalu setia menghantarkan,
menemani, sewaktu kuliah, kemanapun saya pergi dan sampai sekarang,,
jangan pernah lelah.
18. Terima Kasih buat Team Racing Jaran Gibas, buat semua bantuan dan
pengalaman hidup.
19. Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang telah membantu
tersusunnya skripsi ini.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan hukum ini,
maka saran serta kritik dari semua pihak sangat penulis harapkan untuk
memperkaya karya tulis ini. skripsi ini.
Surakarta, Maret 2011
Penulis
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ix
DAFTAR ISI
JUDUL ............................................................................................................. i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .............................................. ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ........................................................ iii
MOTTO............................................................................................................ iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ...................................................................... v
KATA PENGANTAR ..................................................................................... vi
DAFTAR ISI .................................................................................................... ix
DAFTAR GAMBAR dan TABEL .................................................................. xi
ABSTRAK ....................................................................................................... xii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ................................................................. 1
B. Perumusan Masalah ........................................................................ 6
C. Tujuan Penelitian ............................................................................ 7
D. Manfaat Penelitian .......................................................................... 7
E. Metode Penelitian ............................................................................ 8
F. Sistematika Penulisan Skripsi.......................................................... 11
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori` .............................................................................. 13
1. Pengertian Kejaksaan .................................................................. 13
2. Pengertian Penuntutan ............................................................... 17
3. Pengertian Perkosaan .................................................................. 24
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
x
4. Pengertian Rumah Tangga .......................................................... 29
B. Kerangka Pemikiran ........................................................................ 31
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian. .............................................................................. 34
B. Pembahasan. ................................................................................... 43
1. Kontruksi Yuridis Jaksa Penuntut Umum dalam
Merumuskan Pasal yang Didakwakan pada Kasus
Perkosaan di Lingkungan Rumah Tangga Nomor Perkara
PDM-670/KPJEN/12-2005 dan Nomor Perkara PDM-
387/KPNJEN/05-2006 ..........................................................
43
2. Implikasi Yuridis Terhadap Kontruksi Tuntutan pada kasus
Nomor Perkara PDM-70/KPJEN/12-2005 Dan Nomor
Perkara PDM-387/KPNJEN/05-2006...................................
48
BAB IV PENUTUP
A. Simpulan ......................................................................................... 53
B. Saran................................................................................................ 55
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 59
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xi
DAFTAR GAMBAR dan TABEL
Gambar Kerangka Pemikiran……………………………………………… 31
Tabel 1 Tindak Pidana Perkosaan di Lingkungan Rumah Tangga….……. 43
Tabel 2 Tindak Pidana Perkosaan Biasa……………………………..……. 45
Tabel 3 Perbandingan Ancaman Pidana terhadap Tindak Pidana
Perkosaan Biasa dan Perkosaan di lingkungan Rumah Tangga…..
46
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xii
ABSTRAK
Insan Pandhu Wirawan, E 1106029 KAJIAN DISPARITAS KONTRUKSI YURIDIS JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM PENUNTUTAN PERKARA PERKOSAAN DI LINGKUNGAN RUMAH TANGGA(TELAAH PERBANDINGAN KASUS NOMOR PERKARA PDM-387/KPNJEN/05-2006 DAN NOMOR PERKARA PDM-670/KPJEN/12-2005. DIKEJAKSAAN NEGERI KEPANJEN MALANG) Skripsi jurusan Fakultas Hukum, Universitas Sebelas Maret 2011
Perkosaan telah menjadi salah satu jenis kejahatan bidang seksual yang membutuhkan perhatian yang serius, mengingat kasus ini dapat mengakibatkan persoalan komplikatif (serius dan beragam) dalam kehidupan kemasyarakatan, terutama kehidupan kaum perempuan.
Bagaimana kontruksi yurisdis jaksa penuntut umum dalam perumusan Pasal yang didakwakan pada kasus Nomor perkara PDM-670/ KAPANJEN/12-2005 dan Nomor perkara PDM-387/KEPANJEN/05-2006 dan Bagaimana implikasi Yuridis terhadap kontruksi tuntutan yang didalam perkara Nomor PDM-387/KEPANJEN/05-2006 dan Perkara Nomor PDM-670/KEPANJEN/12-2005.Penelitian hukum yang dilakukan penulis menggunakan metode Penelitian hukum masuk ke dalam penelitian doktrinal karena keilmuan hukum memang bersifat perskriptif yang melihat hukum sebagai norma sosial bukan gejala sosial (Peter Mahmud Marzuki,2006: 33).suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi.
Adapun hasil penelitian ini adalah sebagai berikut Kajian Kontruksi Disparitas Hukum Jaksa penuntut umum dalam melakukan penuntutan dengan menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Penghapusan Kekerasan Rumah Tangga Tahun 2004, itu sendiri meliputi dasar pertimbangan yuridis dan dasar pertimbangan sosiologis. Yang dimaksud dengan dasar pertimbangan yuridis adalah pertimbangan yang berdasar pada ketentuan Undang-undang, yang meliputi pertimbangan yuridis secara formil dan pertimbangan yuridis secara materiil. Sedangkan dasar pertimbangan sosiologis adalah pertimbangan yang berdasar pada perasaan dan hati nurani seorang jaksa untuk melakukan penuntutan demi mencerminkan keadilan.
Mengenai pertimbangan penuntutan yuridis secara formil mengacu pada ketentuan Pasal 183 Jo. 184 KUHAP mengenai pembuktian dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah. Sedangkan pertimbangan penuntutan yuridis secara materiil akan melihat pada unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan dalam pemeriksaan di persidangan.Pertimbangan yuridis secara materiil, Jaksa Penuntut Umum dalam melakukan tuntutan pidana terhadap pelaku perkosaan di lingkungan rumah tangga pada kasus di atas adalah mengacu pada Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Sedangkan untuk pertimbangan sosiologis meliputi sikap batin, perasaan dan penilaian Jaksa Penuntut Umum terhadap terdakwa di muka persidangan. Kata Kunci : disparitas, kontruksi, hukum,yuridis, KDRT
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiii
ABSTRACT
Insan Pandhu Wirawan, E 1106029 JURIDICIAL CONSTRUCTION OF THE DISPARITY STUDY PUBLIC PROSECUTOR IN ENVIRONMENTAL RAPE LAWSUIT HOUSEHOLD (CASE NO COMPARISON REVIEW PDM-387/KPNJEN/05-2006 ISSUES AND CASE NUMBER PDM-670/KPJEN/12-2005. STATE DIKEJAKSAAN KEPANJEN MALANG) majors Thesis Faculty of Law, University Eleven March 2011
Rape has become one of the types of sexual crimes that require serious attention, since these cases can lead to problems komplikatif (serious and diverse) in the life of society, especially the lives of women.
How yurisdis construction of prosecutors in the formulation of Article which indicted in the case of PDM-case No. 670 / KAPANJEN/12-2005 and case No. PDM-387/KEPANJEN/05-2006 and How Juridical implications of construction claims in case No. PDM-387 / KEPANJEN/05-2006 and Case Number PDM-670/KEPANJEN/12-2005. Legal research conducted legal research methods writers enter into doctrinal research because it is perskriptif scientific law which saw law as a social norm rather than social phenomena (Peter Mahmud Marzuki, 2006: 33). a process to find the rule of law, legal principles , as well as legal doctrine in order to answer the legal issues at hand.
The results of this study are as follows Disparity Study Construction Law prosecutor in the prosecution of using the draft Penal Code and the Elimination of Domestic Violence in 2004, itself covers basic considerations juridical and sociological considerations. The meaning of basic juridical considerations are considerations based on the provisions of the Act, including consideration of a formal juridical and legal considerations materially. While the basic sociological considerations are considerations based on the feelings and conscience of a prosecutor to conduct the prosecution in order to reflect justice.
Regarding consideration of a formal judicial prosecution refers to the provisions of Article 183 Jo. 184 Criminal Procedure Code regarding verification by at least two valid evidence. While juridical considerations materially prosecution will look at the elements of the offenses charged in the investigation at persidangan.Pertimbangan juridical materially, the Public Prosecutor in conducting criminal charges against perpetrators of rape in the household environment in case the above is referring to Act Number 23 of 2004 on the Elimination of Domestic Violence. As for the sociological considerations include inner attitudes, feelings and assessment of the Public Prosecutor against the accused in a court. Keywords: disparity, construction, legal, juridical, domestic violence
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kejaksaan merupakan Institusi yang melaksanakan kekuasaan negara di
bidang penuntutan dalam tata susunan kekuasaan badan-badan penegak hukum
dan keadilan. Kejaksaan sebagai lembaga yang terdiri dari Kejaksaan Agung,
Kejaksaan Tinggi, dan Kejaksaan Negeri. Namun demikian Kejaksaan tetap satu
dan tidak terpisah-pisahkan dalam hal melaksanakan tugas dan wewenangnya,
yang bertindak demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa serta
senantiasa menjunjung tinggi prinsip bahwa kedudukan setiap orang di muka
hukum adalah sama.
Kejaksaan dalam hal menjalankan tugas dan wewenangnya didukung
oleh peraturan perundang-undangan. Peraturan-peraturan tersebut yang antara lain
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia,
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (disingkat
KUHAP), dan PP Nomor 27 Tahun 1983 tentang pelaksanaan KUHAP.
KUHAP sebagai hukum formil yang menegakkan hukum materiil
memuat norma-norma proses penegakan hukum materiil, termasuk wewenang
jaksa sebagai penuntut umum untuk melakukan penuntutan pada perkara pidana.
Tindakan penuntutan dimaksudkan untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-
tidaknya mendekati kebenaran materiil, dalam hal ini kebenaran materiil ialah
kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana yang
didakwakan dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan
guna menentukan apakah orang yang didakwakan itu dapat dipersalahkan.
Diantara perkara pidana yang perlu mendapatkan perhatian serius salah
satunya adalah tindak pidana perkosaan yang sampai saat ini terus merebak.di sini
secara lebih kongkrit peneliti ingin mengkaji lebih dalam tuntutan pasal yang
diterapkan jaksa penuntut umum dalam kasus PKDRT.
Dinamika kejahatan kesusilaan di Indonesia dalam hal ini kasus
perkosaan sudah memasuki tahap yang memprihatinkan. Betapa tidak, tindak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
pidana perkosaan tidak hanya terjadi antara pelaku dan korban yang tidak saling
mengenal, namun juga terjadi antara seorang wanita yang masih tinggal bersama
dengan pelaku dan bahkan memiliki hubungan darah dengannya, sebagai contoh
seorang ayah memperkosa anak kandungnya sendiri. Fakta ini seperti terlihat dari
berbagai pemberitaan, baik dari media masa maupun kasus-kasus yang ditangani
lembaga-lembaga yang perduli terhadap masalah tersebut.
Menurut laporan Komnas Perempuan baru-baru ini, ada 3.160 kekerasan
terhadap perempuan di seluruh Indonesia pada tahun 2001, kemudian bertambah
menjadi 5.163 setahun kemudian, 7.787 pada tahun 2003, dan bertambah menjadi
14.020 kasus kekerasan dalam rumah tangga. Menurut ketua komnas perempuan,
Kamala Chandrakirana, meningkatnya kekerasan terhadap perempuan, termasuk
kekerasan terhadap rumah tangga menumbuhkan permintaan agar negara atau
pemerintah bertindak (The Jakarta post; Wednesday, March 9, 2005).
Ketidak pedulian masyarakat dan negara terhadap masalah Kekerasan
Dalam Rumah Tangga, salah satunya disebabkan karena adanya ideologi gender
dan budaya patriarki. Gender adalah pembedaan peran sosial dan karakteristik
laki-laki dan perempuan yang dihubungkan atas jenis kelamin (seks) mereka.
Pengertian patriarki adalah budaya yang menempatkan laki-laki sebagai yang
utama atau superior dibandingkan dengan perempuan. Ideologi Gender dan
budaya patriarki inilah yang kemudian oleh pemerintah dilegitimasi disemua
aspek kehidupan. Hal-hal yang berkaitan dengan bidang domestik, seperti seperti
rumah tangga dan reproduksi dikategorikan privat dan bersifat personal, misalnya,
relasi suami istri, keluarga, dan seksualitas. Hal-hal yang bersifat privat dan
domestik ini merupakan hal yang berada diluar campur tangan masyarakat atau
individu lain dan negara.
Akibat budaya patriarki dan ideologi Gender tersebut berpengaruh juga
terhadap ketentuan di dalam Undang-Undang Perkawinan yang membedakan
peran laki-laki sebagai kepala rumah tangga dan perempuan sebagai ibu rumah
tangga (Pasal 31 Undang-Undang Perkawinan) yang menimbulkan pandangan
dalam Masyarakat seolah-olah kekuasaan laki-laki sebagai suami sangat besar
sehingga dapat memaksakan semua kehendaknya, termasuk melalui kekerasan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
Kondisi tadi menimbulkan akibat kekerasan dan pelanggaran terhadap hak-hak
perempuan yang terjadi dalam ruang lingkup privat atau domestik ini menjadi
tindakan yang tidak dapat dijangkau oleh negara. Tindakan-tindakan yang
melanggar hak perempuan dan seharusnya menjadi tanggung jawab negara dan
aparat, justru disingkirkan untuk menjadi urusan keluarga. Selain itu juga ada
kecenderungan dari masyarakat untuk selalu menyalahkan korbanya. Hal ini
dipengarui oleh nilai masyarakat yang selalu ingin tampak harmonis. Bahkan,
walaupun kejadian dilaporkan, usaha untuk melindungi korban dan menghukum
pelaku kekerasan sering mengalami kegagalan. Kondisi tersebut terjadi karena
kekerasan dalam rumah tangga, khususnya terhadap perempuan, tidak pernah
dianggap sebagai masalah pelanggaran hak asasi manusia (Ita F.Nadia;1998:2).
Padahal kekerasan dalam rumah tangga sebenarnya juga merupakan kejahatan
terhadap individu dan masyarakat yang pelakunya seharusnya dapat dipidana,
tetapi sulit ditangani (pihak luar) karena dianggap sebagai urusan internal suatu
rumah tangga.
Anggapan bahwa kekerasan dalam rumah tangga merupakan urusan
rumah tangga timbul di antara suami istri yang hubungan hukum antara individu
tersebut terjadi karena terikat di dalam perkawinan yang merupakan lingkup
hukum perdata. Dengan demikian, apabila terjadi pelanggaran di dalam hubungan
hukum antar individu tersebut, pegakan hukumnya dilakukan dengan cara
melakukan gugatan ke pengadilan oleh pihak yang merasa dirugikan. Undang-
Undang Perkawinan tidak mengatur sanksi yang dapat dijatuhkan kepada pelaku
kekerasan dalam rumah tangga, seperti halnya hukum publik (hukum pidana).
Masalah kekerasan atau penganiyaan yang terjadi di dalam rumah tangga
di dalam Undang-Undang Perkawinan hanya merupakan salah satu alasan
penyebab putusnya suatu perkawinan, seperti yang diatur dalam Pasal 38 Undang-
Undang Perkawinan dan Pasal 19 peraturan pemerintah Nomor 9 tahun 1975
tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun
1974.
Melalui Instrumen hukum perdata, dalam hal ini Undang-Undang
Perkawinan, maka pelaku Kekerasan Dalam Rumah Tangga tidak dapat dikenai
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
hukuman karena penegakan hukumnya hanya dapat dilakukan dengan cara
mengajukan gugatan dari pihak yang merasa dirugikan. Sepanjang pihak yang
mengalami Kekerasan Dalam Rumah Tangga tidak merasa dirugikan dengan
adanya Kekerasan Dalam Rumah Tangga maka tidak akan muncul gugatan ke
pengadilan. Berbeda dengan menggunakan hukum publik yang memiliki sifat
apabila terjadi pelanggaran hukum penegakan hukumnya dilakukan oleh penguasa
karena tujuan hukum publik adalah menjaga kepentingan umum. Dengan
meningkatnya angka kekerasan dalam rumah tangga dan akibat yang ditimbulkan
terhadap korban menyebabkan sebagian masyarakat menghendaki agar
masyarakat menghendaki agar pelaku kekerasan dalam rumah tangga dipidana.
Ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( KUHP ) yang mengatur
tentang kekerasan adalah Pasal 89 dan 90 yang hanya ditujukan kekerasan fisik
tetapi tidak mengatur kekerasan seksual yang dapat terjadi dalam rumah tangga
antara suami istri. Selain itu juga tidak ada perintah perlindungan atau perintah
pembatasan gerak sementara yang bisa dikeluarkan oleh pengadilan untuk
membatasi pelaku melakukan kekerasan dalam rumah tangga. Berdasarkan
kelemahan yang dimiliki UUP dan KUHP maka diperlukan aturan khusus
mengenai kekerasan dalam rumah tangga ini, hal ini berarti dibutuhkan aturan
hukum dan kebijakan publik mengenai kekerasan dalam rumah tangga karena
ketiadaan hukum dan kebijakan publik yang jelas dan semakin menyuburkan
praktik kekerasan dalam rumah tangga tersebut.
Upaya untuk mengatur kekerasan dalam rumah tangga ke dalam suatu
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam
Rumah Tangga. Undang-undang tersebut merupakan tuntutan masyarakat yang
telah sesuai dengan tujuan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 untuk
menghapus segala bentuk kekerasan dibumi Indonesia, khususnya kekerasan
dalam rumah tangga. Selain itu juga sesuai dengan konvensi Perserikatan Bangsa-
Bangsa yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia melalui Undang-Undang
Nomor 7 tahun 1984 tentang penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan.
Dengan demikian terlihat pada perubahan pandangan dari pemerintah
mengenai kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga tidak semata-mata
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
merupakan urusan privat,tetapi juga menjadi masalah publik dari urusan rumah
tangga dalam hukum perkawinan yang diatur dalam lingkup hukum perdata
menjadi urusan hukum publik yang diatur melalui Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga (Undang-Undang PKDRT). meski demikian lahirnya Undang-
Undang PKDRT tidak semata-mata memenuhi harapan para perempuan yang
sebagian besar merupakan korban kekerasan dalam rumah tangga mendapatkan
keadilan mengingat kondisi penegakan hukum di negara kita yang masih jauh dari
harapan dan tidak lepas dari praktik-praktik yang diskriminatif dan lebih
menguntungkan pihak yang mempunyai kekuatan baik kekuasan, ekonomi, sosial
maupun budaya. Untuk mewujudkan penegakan hukum yang diharapkan maka
pemahaman dan kesadaran bahwa kekerasan dalam rumah tangga sebagai suatu
kejahatan harus disebarluaskan sehingga ada kesatuan pemahaman di dalam
masyarakat. Tanpa pemahaman dan kesadaran tersebut maka penegakan hukum
yang diharapkan akan semakin jauh. Selain itu perempuan sebagai anggota
masyarakat juga harus memiliki kemauan untuk membawa kasusnya kepengadilan
pidana. Untuk menumbuhkan kemamuan merupakan suatu langkah yang amat
berat bagi para korban kekerasan dalam rumah tangga karena banyak kendala
yang dihadapinya.
Oleh Karena itu tanpa dukungan dari anggota keluarga dan masyarakat
ataupun aparat hukum yang responsive maka langkah yang ditempuh perempuan
korban KDRT hanya akan berakhir sia-sia ditengah jalan. Selama ini perempuan
yang mengalami korban KDRT lebih memilih menyelesaikan kasusnya melalui
penyelesaian perceraian daripada menyelesaikan kasusnya secara pidana
menunjukan bahwa ada keengganan dari korban untuk menempuh penyelesaian
kasusnya secara pidana. Kondisi ini menunjukan bahwa ada kendala yang
dihadapi perempuan yang dihadapi perempuan yang menjadi korban KDRT,
seperti peraturan hukumnya, aparat hukumnya dan masyarakat. Dengan demikian
terlihat bahwa system hukum yang ada belum mendukung kearah penegakan
hukum yang diharapkan. Perempuan korban KDRT cenderung memilih
penyelesaian secara perdata karena prosesnya cepat.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
Seharusnya kasus KDRT ini sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal
5 huruf c dan Pasal 8 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan mengenai ancaman pidananya
dapat dilihat pada Pasal 46, 47 dan 48 undang-undang yang sama. Melihat kasus-
kasus yang terjadi, dapat diketahui bahwa perkosaan semakin membabi buta,
sehingga pelaku tidak melihat apakah korbannya adalah seorang wanita yang
masih memiliki hubungan darah dengan pelakunya. Hal ini tidak dipikirkan oleh
si pelaku, yang ada di pikirannya hanyalah dapat melampiaskan nafsu seksual
mereka. Oleh sebab itu seakan-akan pelaku tidak menghargai bahkan merampas
Hak asasi dari si korban. Jika diperhatikan, dampak dari tindak pidana perkosaan
tersebut sangatlah menyakitkan dan menimbulkan trauma yang berkepanjangan
bagi mereka yang menjadi korban. Terkadang, dipidananya pelaku perkosaan
tidak lantas membuat si korban merasa mendapatkan keadilan. Hal ini
dikarenakan akibat fisik maupun psikis yang ditimbulkan tidak menjadi hilang
karena dipidananya pelaku perkosaan tersebut.
Maraknya kasus perkosaan dan Disparitas yang terjadi dalam penegakan
hukum dapat dikatakan sebagai cermin kegagalan penegak hukum dalam
menempatkan hukum sebagai kekuatan supremasi. Penjatuhan hukuman yang
cukup ringan terhadap pelaku kejahatan kesusilaan dalam hal ini perkosaan dinilai
dapat mendorong atau menstimulasi oknum-oknum sosial untuk melakukan
praktek peniruan kejahatan. Sehingga tuntutan pemberatan hukuman terhadap
pemerkosa wajib mendapatkan prioritas dan perhatian yang sangat penuh.
B. Rumusan Masalah
Adapun pokok permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan ini,
adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana kontruksi yurisdis jaksa penuntut umum dalam perumusan pasal
yang didakwakan pada kasus Nomor perkara PDM-670/ KAPANJEN/12-2005
dan Nomor perkara PDM-387/KEPANJEN/05-2006 ?
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
2. Bagaimana implikasi Yuridis terhadap kontruksi tuntutan dalam perkara
Nomor PDM-387/KEPANJEN/05-2006 dan Perkara Nomor PDM-
670/KEPANJEN/12-2005.
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dilaksanakannya penelitian dan penulisan skripsi ini adalah sebagai
berikut :
1. Guna mengetahui prosedur penuntutan yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut
Umum dalam proses perkara pidana khususnya tindak pidana perkosaan di
lingkungan rumah tangga.
2. Untuk mengetahui hal-hal yang menjadi pentingnya hal perumusan pasal bagi
Jaksa Penuntut Umum dalam menentukan berat ringannya tuntutan pidana
pada pelaku tindak pidana perkosaan yang terjadi di lingkungan rumah tangga.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian yang dilakukan untuk menghasilkan informasi rinci akurat dan
aktual yang akan memberikan jawaban permasalahan baik secara teoritis maupun
praktis. Secara teoritis untuk langkah pengembangan lebih lanjut dan secara
praktis berwujud aktual maka diperoleh manfaat penelitian ini sebagai berikut :
1. Manfaat Teoritis
a. Dapat mengembangkan penelitian tentang kajian disparitas jaksa penuntut
umum pada pelaku tindak pidana perkosaan yang terjadi di lingkungan
rumah tangga. Dipadukan dengan teori-teori yang relevan dengan masalah
yang diteliti.
b. Sebagai bahan untuk menambah khasanah pustaka dan sebagai salah satu
sumber bagi peneliti selanjutnya.
2. Manfaat Praktis
a. Memberikan jawaban terhadap permasalahan yang diteliti sesuai dengan
undang-undang yang berlaku dan telah ditetapkan.
b. Memberikan input atau bahan pertimbangan bagi lembaga kejaksaan
khususnya Jaksa Penuntut Umum sebagai wakil pemerintah yang bersifat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
signifikan dan konstruktif dalam memberikan tuntutan terhadap tersangka
pemerkosaan dilingkungan rumah tangga, Di Kejaksaan Negeri Kepanjen
Kabupaten Malang.
E. Metode Penelitian
H.J van Eikema Homes dalam bukunya Peter Mahmud Marzuki
menyatakan dalam setiap ilmu pengetahuan memiliki metodenya sendiri. Apa
yang dikemukakakan mengindentifikasikan bahwa tidak dimungkinkannya
penyeragaman metode untuk semua bidang ilmu (Peter Mahmud
Marzuki,2006:11). Berdasarkan hal tersebut, maka penulis dalam penelitian ini
menggunakan metode antara lain sebagai berikut:
1. Jenis penelitian
Penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan
hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin hukum guna menjawab isu
hukum yang dihadapi (Peter Mahmud Marzuki,2006: 35). Penelitian hukum
menurut Hutchison dibedakan menjadi 4 tipe yaitu:
a. Doctrinal Research.
b. Reform-oriented Research.
c. Theoretical Research.
d. Fudamental Research (Peter Mahmud Marzuki,2006:32-33).
Ketiga tipe Penelitian hukum yang dikemukakan Hutchison yaitu
Doctrinal Research, Reform-oriented Research, dan Theoretical Research,
menurut Peter Mahmud Marzuki merupakan penelitian doktrinal sedangkan
penelitian sosio legal termasuk dalam tipe keempat yaitu Fudamental
Research (Peter Mahmud Marzuki, 2006:32-33).
Penelitian hukum ini masuk ke dalam penelitian doktrinal karena
keilmuan hukum memang bersifat perskriptif yang melihat hukum sebagai
norma sosial bukan gejala sosial (Peter Mahmud Marzuki,2006: 33).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
2. Sifat Penelitian
Sifat Penelitian hukum ini sejalan dengan sifat dari ilmu hukum itu
sendiri. ilmu hukum mempunyai karakteristik sebagai ilmu yang bersifat
preskriptif dan terapan, maksudnya bahwa ilmu hukum mempelajari tujuan
hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum , konsep-konsep hukum
dan norma-norma hukum (Peter Mahmud Marzuki,2006: 22).
3. Pendekatan Penelitian
Penelitian hukum doktrinal dapat dilakukan dalam berbagai
pendekatan. Pendekatan dalam penelitian hukum doktrinal sesungguhnya
merupakan esensi dari metode penelitian ini sendiri. Pendekatan itu yang
mungkin diperoleh jawaban yang diharapkan atas permasalahan hukum yang
diajukan. Pendekatan yang dipakai dalam penelitian hukum diantaranya:
a. Pendekatan perundang-undangan (Statute Approach).
b. Pendekatan kasus (Case Approach).
c. Pendekatan Historis ( Historical Approach).
d. Pendekatan Perbandingan (Comparative Approach).
e. Pendekatan Konseptual (Conseptual Approach) (Peter Mahmud
Marzuki,2006: 93-94).
Berdasarkan kelima pendekatan tersebut, pendekatan yang relevan
dengan penelitian hukum yang penulis angkat adalah pendekatan kasus (Case
Approach). dan Pendekatan Perundang- undangan (Statute Approach).
4. Jenis dan Sumber Bahan Hukum
Pada penelitian ini peneliti menggunakan jenis bahan hukum sebagai
titik tolak peneliti adapun bahan hukum tersebut meliputi :
a. Bahan hukum primer, merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif
artinya mempunyai otoritas yang terdiri dari perundang-undangan, catatan
resmi atau risalah dalam perbuatan perundang-undangan dan tuntutan-
tuntutan Jaksa. Penelitian hukum ini menggunakan kajian konstruksi
disparitas hukum, jaksa penuntut umum dalam penuntutan kasus
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
Perkosaan Dalam Rumah Tangga dengan bahan hukum dari Tuntutan
Nomor Perkara: PDM-387/KPNJEN/05-2006.dan Nomor perkara: PDM-
670/KPNJEN/12-2005, berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
dan Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Tahun 2004 (PKDRT)
di Kejaksaan Negeri Kepanjen Malang.
b. Bahan hukum sekunder, berupa semua publikasi tentang hukum yang
bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum
meliputi buku-buku teks, jurnal-jurnal hukum, dan komentar atas kajian
kontruksi disparitas oleh Jaksa Penuntut Umum dalam perkara nomor:
PDM-387/KPNJEN/05-2006.dan Nomor perkara: PDM-670/KPNJEN/12-
2005. Dalam hal ini penulis mengunakan bahan hukum sekunder berupa
jurnal-jurnal hukum dari dalam maupun luar negeri, hasil-hasil penelitian
hukum serta hasil karya dari kalangan hukum termasuk artikel-artikel
hukum di internet (Peter Mahmud Marzuki,2006: 141).
5. Teknik Pengumpulan bahan hukum
Peneliti melakukan penelusuran untuk mencari bahan-bahan hukum
yang relevan dengan isu hukum yang dihadapi. Penulis menggunakan teknik
studi pustaka, studi literatur, yang terkait perkara Perkosaan Dalam Rumah
Tangga berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga Tahun 2004 (PKDRT). Dalam hal ini
penulis melakukan penelitian pada perkara nomor: PDM-387/KPNJEN/05-
2006.dan Nomor perkara: PDM-670/KPNJEN/12-2005. di Kejaksaan Negeri
Kepanjen Malang. Selain itu peneliti juga mengumpulkan bahan-bahan hukum
sekunder yang berupa buku-buku teks, jurnal-jurnal hukum yang berhubungan
dengan permasalahan yang diteliti.
6. Tehnik Analisis bahan hukum
Analisis bahan hukum dalam suatu penelitian adalah menguraikan
atau memecahkan masalah yang diteliti berdasarkan bahan hukum yang
diperoleh kemudian diolah ke dalam pokok permasalahan yang diajukan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan tehnik analisis deduksi. Metode
deduksi merupakan metode yang berpangkal dari pengajuan premis mayor
yang kemudian di ajukan premis minor, kemudian dari kedua premis tersebut
ditarik suatu kesimpulan atau conclusion (Peter Mahmud Marzuki,2006: 47).
F. Sistematika Penulisan Hukum
Untuk memberi gambaran secara menyeluruh mengenai sistematika
penulisan hukum yang sesuai dengan aturan baru dalam penulisan hukum maka
penulis menggunakan sistematika penulisan hukum. Adapun sistematika
penulisan hukum ini Terdiri dari empat bab terbagi dalam sub-sub bagian yang
dimaksudkan untuk memudahkan pemahaman terhadap keseluruhan hasil
penelitian ini. Sistematika penulisan hukum tersebut adalah sebagai berikut:
BAB I : PENDAHULUAN
Dalam bab ini diuraikan mengenai latar belakang masalah, perumusan
masalah, tujuan penelitian, maanfaat penelitian, metodologi penelitian
dan sistematika penulisan Hukum.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Dalam bab ini berisi tentang. Kejaksaan Republik Indonesia, Asas-asas
Dibidang Penuntutan, Surat Tuntutan Pidana (Requisitor), Tindak Pidana
Perkosaan, Pengaturan Tindak Pidana Perkosaan Dalam KUHP,
Pengaturan Tindak Pidana Perkosaan di Lingkungan Rumah Tangga
dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Pengertian Rumah Tangga Dalam
Tinjauan Sosiologis, Pengertian Rumah Tangga Dalam Tinjauan Yuridis
BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Dalam bab ini penulis akan membahas dan menjawab permasalahan yang
telah ditentukan sebelumnya yaitu bagaimana Kajian Disparitas
Kontruksi Jaksa Penuntut Umum dalam kasus pemerkosaan di
Lingkungan Rumah Tangga dengan Undang-Undang penghapusan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
kekerasan dalam Rumah Tangga, dan Kitab Undang-Undang Acara
Pidana.
BAB IV : PENUTUP
Dalam bab ini berisi simpulan dari jawaban permasalahan yang menjadi
obyek penelitian dan saran-saran.
DAFTAR PUSTAKA
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan Tentang Kejaksaan Republik Indonesia
a. Pengertian Kejaksaan
Kejaksaan Republik Indonesia yang selanjutnya dalam Undang-
Undang Nomor 16 Tahun 2004 disebut Kejaksaan adalah lembaga
pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan
serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang. Dalam melaksanakan
tugas, fungsi dan wewenangnya, Kejaksaan harus mampu mewujudkan
kepastian hukum, ketertiban hukum, keadilan dan kebenaran berdasarkan
hukum dan mengindahkan norma-norma keagamaan , kesopanan dan
kesusilaan serta wajib menggali nilai-nilai kemanusiaan, hukum dan keadilan
yang hidup dalam masyarakat. Sebagai salah satu lembaga penegak hukum,
Kejaksaan dituntut untuk lebih berperan dalam menegakkan supremasi
hukum, perlindungan kepentingan umum, dan penegakkan hak asasi manusia.
Dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 dijelaskan mengenai
susunan organisasi Kejaksaan, yang terdiri dari Kejaksaan Agung
berkedudukan di ibukota Negara Republik Indonesia, Kejaksaan Tinggi
berkedudukan di ibukota propinsi, dan Kejaksaan Negeri berkedudukan di
ibukota, kabupaten, atau kotamadya.
Kejaksaan Agung dipimpin oleh seorang Jaksa Agung yang
mengendalikan tugas dan wewenang Kejaksaan. Dalam melaksanakan tugas
dan wewenangnya, Jaksa Agung dibantu oleh seorang wakil Jaksa Agung
yang merupakan satu kesatuan unsur pimpinan dan beberapa orang Jaksa
Agung Muda sebagai unsur pembantu pimpinan. Untuk di tingkat propinsi,
dipimpin oleh seorang Jaksa Tinggi yang dibantu oleh seorang wakil Kepala
Kejaksaan Tinggi sebagai kesatuan unsur pimpinan, beberapa orang unsur
pimpinan, dan unsur pelaksana. Sedangkan di lingkungan kabupaten atau
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
kotamadya, dipimpin oleh seorang Kepala Kejaksaan Negeri dan dibantu oleh
beberapa orang unsur pembantu pimpinan dan unsur pelaksana.
b. Jaksa Penuntut Umum
Yang dimaksud dengan Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi
wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan
pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
serta wewenang lain berdasarkan undang-undang. Sedangkan penuntut umum
adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan
penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. Melihat perumusan Undang-
Undang Nomor 16 Tahun 2004 tersebut maka dapat ditarik kesimpulan bahwa
pengertian jaksa dihubungkan dengan aspek jabatan, sedangkan pengertian
penuntut umum berhubungan dengan aspek fungsi dalam melakukan suatu
penuntutan dalam persidangan.
Kejaksaan adalah satu-satunya alat negara yang diberi wewenang
oleh Undang-undang sebagai penuntut umum dan Jaksa Agung adalah satu-
satunya pejabat negara sebagai penuntut umum tertinggi. Dengan tugas
tersebut, kepada penuntut umum diletakkan tanggung jawab yang berat dan
mendalam, karena dengan sumpah jabatan, ia tidak hanya bertanggung jawab
kepada hukum, kepada diri sendiri dan kepada rakyat tetapi juga bertanggung
jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Namun pada hakikatnya segala sesuatu yang berhubungan dengan
pelaksanaan tugas penegakan hukum dan keadilan tersebut baik dan buruknya
tergantung pada manusia pelaksana.
Tuntutan pidana adalah merupakan pekerjaan yang membutuhkan
ketekunan dalam menangani perkara yang didakwakan di muka sidang
pengadilan, disamping ketekunan, seorang penuntut umum harus terampil dan
berbakat dalam mengutarakan hasil pembuktian, memilih kata-kata yang tepat
dan mengaitkan alat-alat bukti yang dapat membuktikan bahwa tindak pidana
yang didakwakan terbukti dan terdakwa dapat dinyatakan bersalah.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
Penuntut umum dalam menangani suatu perkara harus mempunyai
pengetahuan hukum yang luas khususnya teori-teori hukum yang berhubungan
dengan perkara yang ditangani. Tanpa dilandasi penguasaan ilmu hukum
penuntut umum akan selalu gagal dalam mencapai tujuan penuntutan.
c. Tugas dan Wewenang Jaksa Penuntut Umum dalam Proses Perkara
Pidana
Seiring perkembangan jaman, Undang-Undang Nomor 15 Tahun
1961 tentang ketentuan pokok Kejaksaan Republik Indonesia, Undang-
Undang Nomor 16 Tahun 1961 tentang pembentukan Kejaksaan Tinggi, dan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang ketentuan pokok Kejaksaan
Republik Indonesia sudah tidak sesuai dengan perkembangan jaman dan
kebutuhan hukum masyarakat serta kehidupan ketatanegaraan menurut
Undang-Undang Dasar 1945.
Kejaksaan termasuk salah satu badan yang fungsinya berkaitan
dengan kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang Dasar 1945. Untuk
lebih memantapkan kedudukan dan peran Kejaksaan Republik Indonesia
sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di
bidang penuntutan harus bebas dari pengaruh kekuasaan pihak manapun,
yakni yang dilaksanakan secara merdeka terlepas dari pengaruh kekuasaan
pemerintah dan kekuasaan lainnya. Maka dari itulah pembaharuan Undang-
undang tentang Kejaksaan Republik Indonesia perlu dilakukan dengan
membentuk Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan
Republik Indonesia.
Di dalam Pasal 30 ayat (1) Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004,
disebutkan:
Di bidang pidana, Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang:
1) Melakukan penuntutan;
2) Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
3) Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat,
putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat;
4) Melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan
undang-undang;
5) Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan
pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam
pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.
Sedangkan dalam Pasal 14 KUHAP, disebutkan bahwa penuntut
umum mempunyai wewenang :
1) Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik atau
penyidik pembantu;
2) Mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan
dengan memperhatikan ketentuan pasal 110 ayat (3) dan ayat (4), dengan
memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari
penyidik:
3) Pasal 110 ayat (3) berbunyi:
4) “Dalam hal penuntut umum mengembalikan hasil penyidikan untuk
dilengkapi, penyidik wajib segera melakukan penyidikan tambahan sesuai
dengan petunjuk dari penuntut umum”
5) Pasal 110 ayat (4) berbunyi:
6) “Penyidikan dianggap telah selesai apabila dalam waktu 14 hari penuntut
umum tidak mengembalikan hasil penyidikan atau apabila sebelum
waktunya tersebut berakhir telah ada pemberitahuan tentang hal itu dari
penuntut umum kepada penyidik”
7) Memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau
penahanan lanjutan dan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya
dilimpahkan oleh penyidik;
8) Membuat surat dakwaan;
9) Melimpahkan perkara ke pengadilan;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
10) Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari
dan waktu perkara disidangkan yang disertai surat panggilan, baik kepada
terdakwa maupun kepada saksi, untuk datang pada sidang yang telah
ditentukan;
11) Melakukan penuntutan;
12) Menutup perkara demi kepentingan hukum;
13) Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab
sebagai penuntut umum menurut ketentuan undang-undang ini;
14) Melaksanakan penetapan hakim.
Di samping tugas dan wewenang Kejaksaan di bidang pidana yang
tersebut dalam Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004 di
atas, pada Pasal 32 juga disebutkan bahwa Kejaksaan dapat diserahi tugas dan
wewenang lain berdasarkan undang-undang. Dalam melaksanakan tugas dan
wewenangnya, Kejaksaan membina hubungan kerjasama dengan badan
penegak hukum dan keadilan serta badan negara atau instansi lainnya. Selain
itu kejaksaan dapat memberikan pertimbangan dalam bidang hukum kepada
instansi pemerintah lainnya, sesuai dengan bunyi Pasal 33 dan Pasal 34
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik
Indonesia.
2. Tinjauan tentang Penuntutan
a. Pengertian Penuntutan
Di dalam Pasal 1 butir 7 KUHAP, penuntutan adalah tindakan
penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke Pengadilan Negeri
yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-
undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di
sidang pengadilan. Untuk memberikan gambaran yang lebih luas tentang
pengertian penuntutan, berikut dikemukakan beberapa pendapat para sarjana
Hukum Indonesia, seperti pendapat:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
1) Sudarto (Djoko Prakoso, 1988 : 25)
Penuntutan adalah berupa penyerahan berkas perkara si tersangka kepada
hakim dan sekaligus agar supaya diserahkan kepada sidang pengadilan.
2) Wirjono Prodjodikoro (Djoko Prakoso, 1988 : 25)
Menuntut seorang terdakwa di muka hakim pidana adalah menyerahkan
perkara seorang terdakwa dengan berkas perkaranya kepada hakim dengan
permohonan agar supaya hakim memeriksa dan kemudian memutuskan
perkara pidana itu terhadap terdakwa.
3) S.M Amin (Djoko Prakoso, 1988 : 25)
Menuntut adalah penyerahan perkara ke sidang oleh hakim.
4) Martiman Prodjo Hamidjojo (Djoko Prakoso, 1988 : 26)
Penuntutan dalam arti luas merupakan segala tindakan penuntut umum
sejak ia menerima berkas dari penyidik untuk melimpahkan perkara pidana
ke Pengadilan Negeri.
5) A. Karim Nasution (Djoko Prakoso, 1988 : 26)
Penuntutan adalah penentuan, apakah suatu perkara diserahkan atau tidak
kepada hakim untuk diputuskan dan jika dilanjutkan ke pengadilan untuk
mengajukan tuntutan hukum.
Dari seluruh pendapat yang tersebut di atas maka dapat
disimpulkan bahwa penuntutan merupakan suatu proses dari beberapa
tindakan yang harus dilakukan oleh jaksa sehubungan dengan tugas jaksa di
bidang penuntutan.
b. Asas-asas Dibidang Penuntutan
Di dalam hukum acara pidana dikenal adanya dua asas penuntutan,
antara lain :
1) Asas Legalitas, yaitu asas yang mewajibkan penuntut umum untuk
melakukan penuntutan terhadap semua orang yang dianggap cukup alasan
bahwa yang bersangkutan telah melakukan perbuatan yang melanggar
hukum.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
2) Asas Oportunitas, yaitu penuntut umum tidak diwajibkan untuk
melakukan penuntutan terhadap seseorang yang dianggap telah cukup
alasan bahwa yang bersangkutan melakukan perbuatan yang melanggar
hukum, demi kepentingan umum.
Dalam KUHAP, asas ini dikenal dengan “penyampingan perkara
untuk kepentingan umum yang menjadi wewenang Jaksa Agung”. Hal ini
dinyatakan dalam penjelasan resmi Pasal 77 KUHAP yang berbunyi, “Yang
dimaksud dengan ‘penghentian penuntutan’ tidak termasuk penyampingan
perkara untuk kepentingan umum yang menjadi wewenang Jaksa Agung”
Maka dapat disimpulkan bahwa KUHAP mengakui eksistensi
perwujudan dari asas oportunitas, sehingga dengan demikian perwujudan asas
oportunitas tidak perlu dipermasalahkan mengingat dalam kenyataannya
perundang-undangan positif di Indonesia, yaitu penjelasan resmi Pasal 77
KUHAP dan dalam Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan
Republik Indonesia Pasal 35 huruf c secara tegas mengatakan bahwa Jaksa
Agung mempunyai tugas dan wewenang mengesampingkan perkara demi
kepentingan umum.
Maksud dan tujuan Undang-undang memberikan kewenangan kepada
Jaksa Agung tersebut, adalah untuk menghindarkan timbulnya
penyalahgunaan kekuasaan dalam hal pelaksanaan asas oportunitas, sehingga
dengan demikian satu-satunya pejabat negara kita yang diberi wewenang
melaksanakan asas oportunitas adalah Jaksa Agung dan tidak kepada setiap
para jaksa selaku penuntut umum dan alasannya mengingat kedudukan Jaksa
Agung selaku penuntut umum tertinggi.
Menurut penjelasan Pasal 35 huruf c Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2004, yang dimaksud dengan kepentingan umum adalah kepentingan
bangsa dan negara dan atau kepentingan masyarakat luas. Jadi bukan untuk
kepentingan pribadi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
c. Surat Tuntutan Pidana (Requisitor)
Rekuisitor adalah surat yang memuat pembuktian surat dakwaan
berdasarkan alat-alat bukti yang terungkap di persidangan dan kesimpulan
penuntut umum tentang kesalahan terdakwa disertai dengan tuntutan pidana.
Rekuisitor dibacakan setelah sidang pengadilan dinyatakan selesai
oleh hakim ketua karena pembuktian yang diajukan oleh penuntut umum,
terdakwa atau penasihat hukumnya di muka sidang telah selesai dan hakim
ketua telah memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana benar-benar telah
terjadi dan terdakwalah yang terbukti salah atau tidak terbukti salah.
Apabila pemeriksaan perkara oleh hakim ketua sidang sudah
dinyatakan selesai, penuntut umum baru dapat membacakan “tuntutan pidana”
secara tertulis yang disebut surat tuntutan pidana (requisitor).
Susunan surat tuntutan pidana tidak diatur dalam KUHAP tetapi
tumbuh dan berkembang dalam praktek peradilan, tuntutan pidana adalah
bagian terakhir dari tugas penuntutan yang merupakan bagian
terpenting, karena merupakan resume acara penuntutan di muka sidang
pengadilan.
Dalam tuntutan pidana penuntut umum akan dilihat kemampuannya
dalam membuktikan apa yang didakwakan, disamping itu kemampuan
penuntut umum akan diuji dapatkah penuntut umum mempertahankan
pendapatnya, dapatkah mengajukan argumentasi apabila ada sanggahan
terdakwa atau penasihat hukumnya atas tuntutan yang dibacakan pada akhir
sidang pengadilan. Apabila tuntutan dapat dilemahkan dengan sanggahan
terdakwa atau penasihat hukumnya maka tuntutan pidana yang dibacakan
penuntut umum berarti mengalami kegagalan.
Untuk mungurangi kegagalan perlu diperhatikan bagaimana caranya
membuat surat dakwaan yang cermat, jelas dan lengkap dan menyusun surat
tuntutan pidana yang lengkap dan benar. Dalam menyusun surat tuntutan
pidana harus memperhatikan:
1) Surat tuntutan pidana harus disusun secara sistematis,
2) Harus menggunakan susunan tata bahasa Indonesia yang baik dan benar.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
3) Isi dan maksud harus jelas dan mudah dimengerti,
4) Apabila menggunakan teori hukum harus menyebut sumbernya.
Dalam KUHAP tidak satu Pasal pun mengatur tentang bentuk dan
susunan surat tuntutan, bentuk dan susunan surat tuntutan seperti diterangkan
diatas bahwa dari masa ke masa berkembang di dalam praktek peradilan.
Dalam Pasal 182 (1) a mengatur: “setelah pemeriksaan dinyatakan selesai
penuntut umum mengajukan tuntutan pidana.” Di lain pasal tidak ada yang
menyebut dan mengatur tentang tuntutan pidana. Menurut praktek peradilan
sistematika dari surat tuntutan pidana adalah sebagai berikut:
1) Pendahuluan
Sebagai orang timur dan yang berketuhanan Yang Maha Esa, segala
hasil apapun bentuknya yang kita peroleh semua itu adalah berkat dan rida
Tuhan, maka sepantasnya apabila dalam pendahuluan partama-tama memuji
syukur atas dapat diselesaikannya sidang yang penuh risiko sehingga sampai
dibacakan tuntutan pidana. Disamping itu tidak salah apabila terimakasih juga
diucapkan kepada semua pihak yang terkait yang mendukung kelancaran
jalannya sidang sampai selesai.
2) Identitas Terdakwa
Identitas terdakwa harus ditulis dengan jelas, lengkap sesuai dengan
yang diatur dalam Pasal 143 ayat (2) a KUHAP dengan urutan sebagai
berikut:
a) Nama lengkap.
b) Tempat lahir.
c) Umur atau tanggal lahir.
d) Jenis kelamin.
e) Kebangsaan;
f) Tempat tinggal.
g) Agama.
h) Pekerjaan.
Dalam menulis identitas harus cermat sesuai dengan identitas yang
ditulis dalam surat dakwaan, penulisan harus benar dan tidak boleh keliru,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
apabila terdapat kesalahan dalam menulis identitas meskipun surat tuntutan
tidak akan dibatalkan oleh hakim, tetapi sudah memberi peluang kepada
terdakwa atau penasihat hukumnya sebagai alasan dalam mengajukan
pembelaannya.
3) Surat Dakwaan
Dalam surat tuntutan pidana, surat dakwaan harus ditulis kembali
secara lengkap dengan maksud sebagai dasar untuk menilai pembuktian yang
didapat dalam sidang pengadilan apakah sesuai dengan perbuatan materiil
dan memenuhi unsur delik yang terdapat dalam surat dakwaan. Surat
dakwaan juga diperlukan berhubung setiap bentuk surat dakwaan
membutuhkan cara pembuktian yang berbeda-beda.
4) Hasil Pembuktian
Hasil pembuktian yang diperoleh dari dalam sidang pengadilan
adalah merupakan fakta dari jawaban pertanyaan hakim, penuntut umum,
penasihat hukum atau yang lain baik kepada saksi, ahli ataupun terdakwa
sendiri. Tidak jarang terjadi hasil pembuktian dari alat bukti saksi tidak dapat
menggambarkan tindak pidana secara lengkap karena disebabkan keterangan
alat bukti saksi masing-masing berdiri sendiri sehingga hasil pembuktian
hanya berbentuk alat bukti petunjuk.
5) Barang Bukti
Dalam surat tuntutan juga harus disebut apabila ada barang bukti
yang digunakan untuk menguatkan pembuktian di muka sidang pengadilan.
Barang bukti adalah benda sitaan yang oleh penyidik telah diserahkan kepada
penuntut umum pada waktu penyerahan berkas perkara tahap terakhir yang
diajukan ke muka sidang pengadilan dalam usaha pembuktian tindak pidana
yang dilakukan oleh terdakwa.
6) Analisis Fakta
Merupakan kompulasi fakta-fakta yang didapat dari dalam sidang
pengadilan yang ada hubungannya dengan perbuatan materiil yang
didakwakan dan sesuai dengan unsur tindak pidana yang didakwakan.
Kemudian mengaitkan fakta-fakta antara alat bukti yang satu dengan alat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
bukti yang lain sehingga tergambar tindak pidana yang didakwakan. Serta
mengaitkan fakta-fakta yang diperoleh dengan alat bukti dengan barang bukti
yang dapat menguatkan pembuktian.
7) Analisis Hukum
Analisis hukum dibuat berdasarkan analisis fakta dari hasil
pembuktian yang terungkap di muka sidang pengadilan, di dalam surat
dakwaan atas suatu tindak pidana sudah tercantum perbuatan materiil yang
mengandung unsur delik, yang mana harus dibuktikan dengan keterangan dari
alat bukti di dalam sidang pengadilan.
8) Pembuktian Surat Dakwaan
Terdapat enam bentuk surat dakwaan, antara lain :
a) Surat Dakwaan Tunggal
b) Surat Dakwaan Berlapis (Subsider)
c) Surat Dakwaan Alternatif
d) Surat Dakwaan Kumulatif
e) Surat Dakwaan Gabungan
f) Surat Dakwaan Kombinasi
Apabila analisa hukum telah dibuat dan semua unsur delik yang
didakwakan dapat dibuktikan sesuai dengan perbuatan materiil yang dilakukan
terdakwa berdasarkan fakta-fakta dari hasil pembuktian di dalam sidang,
barulah penuntut umum menuntut terdakwa dan berat atau ringannya tuntutan
tergantung kualifikasi tindak pidana yang dilakukan.
Setelah mempertimbangkan berapa berat ringannya tuntutan pidana
demi rasa keadilan, penuntut umum memohon kepada Hakim Ketua Majelis
untuk memidana terdakwa pada akhir pembacaan tuntutan. Di samping
tuntutan pidana perlu juga mohon ditentukan status barang bukti, biaya
perkara dan status tahanan terdakwa. Sesudah requisitor dibacakan, yang asli
diserahkan kepada Hakim Ketua Majelis dan diserahkan kepada terdakwa atau
penasehat hukumnya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
3. Tinjauan tentang Tindak Pidana Perkosaan
a. Pengertian Perkosaan
Kejahatan perkosaan dalam kosa kata bahasa Indonesia berasal dari
kata perkosaan yang berarti “menundukkan dengan kekerasan, memaksa
dengan kekerasan atau menggagahi”. Berdasarkan pengertian tersebut maka
perkosaan mempunyai makna yang luas, yang tidak hanya terjadi pada
hubungan seksual tetapi dapat terjadi dalam bentuk lain seperti pelanggaran
hak asasi manusia yang lainnya.
Menurut Soetandyo Wignjo Soebroto yang dimaksud dengan
perkosaan adalah suatu usaha melampiaskan nafsu seksual seorang laki-laki
terhadap seorang perempuan yang menurut moral atau hukum yang berlaku
adalah melanggar. Dalam pengertian demikian bahwa apa yang dimaksud
perkosaan di satu pihak dapat dilihat sebagai suatu perbuatan (yaitu perbuatan
seorang secara paksa hendak melampiaskan nafsu seksualnya) dan di lain
pihak dapat dilihat sebagai suatu peristiwa pelanggaran norma serta tertib
sosial (Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, 2001 : 40).
Berdasarkan pengertian perkosaan tersebut di atas, menunjukkan
bahwa perkosaan merupakan bentuk perbuatan pemaksaan kehendak laki-laki
terhadap perempuan yang berkaitan atau ditujukan pada pelampiasan nafsu
seksual. Perbuatan ini dengan sendirinya baik secara moral maupun hukum
melanggar norma kesopanan dan norma kesusilaan dalam masyarakat.
Terhadap hal ini adalah wajar dan bahkan keharusan untuk menjadikan
perbuatan perkosaan sebagai suatu tindak pidana yang diatur bentuk perbuatan
dan pemidanannya dalam hukum pidana materiil yang berlaku.
b. Pengaturan Tindak Pidana Perkosaan dalam KUHP
Tindak pidana perkosaan dalam tinjauan Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) seperti yang diatur dalam Pasal 285 KUHP yang
sampai sekarang digunakan sebagai pedoman oleh masyarakat dan atau aparat
penegak hukum untuk menentukan apakah suatu perbuatan itu dapat dikatakan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
sebagai perbuatan tindak pidana perkosaan atau bukan. Bunyi dari Pasal 285
KUHP adalah :
“Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa
seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar pernikahan, diancam
karena melakukan perkosaan, dengan pidana penjara paling lama dua
belas tahun”.
Berdasarkan rumusan tindak pidana perkosaan dalam Pasal 285
KUHP tersebut, dapat diuraikan unsur- unsur tindak pidana perkosaan adalah
sebagai berikut :
1) Perbuatannya : memaksa;
2) Caranya: (a) dengan kekerasan;
Caranya: (b) dengan ancaman kekerasan;
3) Seorang perempuan bukan isterinya;
4) Bersetubuh dengan dia (Adami Chazawi, 2005 : 63).
Penjelasan unsur-unsur tindak pidana perkosaan di atas sebagai
berikut :
1) Yang dimaksud dengan perbuatan memaksa (dwingen) adalah perbuatan
yang ditujukan pada orang lain dengan menekan kehendak orang lain yang
bertentangan dengan kehendak orang lain itu agar orang lain tadi
menerima kehendak orang yang menekan atau sama dengan kehendaknya
sendiri (Adami Chazawi, 2005 : 63). Berdasarkan pengertian ini pada
intinya bahwa memaksa berarti di luar kehendak dari seseorang atau
bertentangan dengan kehendak seseorang tersebut. Satochid Kartanegara
menyatakan “perbuatan memaksa ini haruslah ditafsirkan sebagai
perbuatan sedemikian rupa sehingga menimbulkan rasa takut pada orang
lain” (Leden Marpaung, 1996 : 52). Memaksa dapat dilakukan dengan
perbuatan dan dapat juga dilakukan dengan ucapan. Perbuatan membuat
wanita “menjadi terpaksa” bersedia mengadakan hubungan kelamin, harus
dimasukkan dalam pengertian “memaksa” seorang wanita mengadakan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
hubungan kelamin, walaupun yang menanggalkan semua pakaian yang
dikenakan oleh wanita adalah wanita itu sendiri.
2) Kekerasan (geweld) merupakan salah satu cara memaksa dalam Pasal 285
disamping cara memaksa lainnya yaitu dengan menggunakan ancaman
kekerasan. KUHP tidak menjelaskan tentang apa sebenarnya yang
dimaksud dengan “kekerasan”, hanya dalam Pasal 89 KUHP yang
merumuskan tentang perluasan arti dari kekerasan. Disebutkan :
“Membuat orang pingsan atau tidak berdaya disamakan dengan
menggunakan kekerasan” Menurut Adami Chazawi, kekerasan adalah
“suatu cara atau upaya berbuat (sifatnya abstrak) yang ditujukan pada
orang lain yang untuk mewujudkannya disyaratkan dengan menggunakan
kekuatan badan yang besar, kekuatan badan mana mengakibatkan bagi
orang lain itu menjadi tidak berdaya secara fisik” (Adami Chazawi, 2005 :
65). Selanjutnya yang dimaksud dengan kekerasan dalam Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga adalah: “Setiap perbuatan terhadap seseorang, terutama
perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan
secara fisik, seksual, psikologis, dan atau penelantaran rumah tangga
termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau
perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah
tangga”. Mengenai maksud dari ancaman kekerasan (bedreiging met
geweld), menurut Adami Chazawi diartikan sebagai “ancaman kekerasan
fisik yang ditujukan pada orang, yang pada dasarnya juga berupa
perbuatan fisik, perbuatan fisik mana dapat saja berupa perbuatan
persiapan untuk dilakukan perbuatan fisik yang besar atau lebih besar yang
berupa kekerasan, yang akan dan mungkin segera dilakukan atau
diwujudkan kemudian bilamana ancaman itu tidak membuahkan hasil
sebagaimana yang diinginkan pelaku” (Adami Chazawi, 2005 : 65).
Antara kekerasan atau ancaman kekerasan dengan ketidak berdayaan
perempuan terdapat hubungan kausal, karena tidak berdaya inilah maka
persetubuhan dalam tindak pidana perkosaan ini dapat terjadi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
3) Mengenai perempuan bukan isterinya, disini persetubuhan dilakukan
terhadap perempuan yang bukan isterinya. Ditentukannya hal tersebut
karena perbuatan bersetubuh dimaksudkan sebagai perbuatan yang hanya
dilakukan antara suami dan isteri dalam perkawinan.
4) Menurut M.H. Tirtamidjaja, “mengadakan hubungan kelamin” atau
“bersetubuh” berarti persentuhan sebelah dalam kemaluan laki-laki dan
perempuan yang pada umumnya dapat menimbulkan kehamilan, tidak
perlu telah terjadi pengeluaran mani dalam kemaluan si perempuan
(Leden Marpaung, 1996 : 53).
5) Menurut Kedokteran Forensik, persetubuhan didefinisikan sebagai suatu
peristiwa dimana terjadi penetrasi penis ke dalam vagina, penetrasi
tersebut dapat lengkap atau tidak lengkap dan dengan atau tanpa disertai
ejakulasi.
c. Pengaturan Tindak Pidana Perkosaan di Lingkungan Rumah Tangga
dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Bentuk atau dimensi kekerasan terhadap perempuan ada
bermacam-macam, yaitu :
1) Fisik, seperti memukul.
2) Psikologis, seperti mengancam.
3) Seksual, seperti melakukan tindakan memaksa berhubungan seks tanpa
persetujuan korban, baik dengan kekerasan fisik ataupun tidak.
4) Finansial, seperti mengambil uang korban.
5) Spiritual, seperti merendahkan keyakinan dan kepercayaan korban.
Tindak pidana perkosaan dalam lingkungan rumah tangga itu sendiri
merupakan dimensi kekerasan dalam bentuk kekerasan seksual. Hal ini dapat
dilihat dari Pasal 8 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang berbunyi : “Kekerasan
seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c meliputi :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
a) Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang
menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut;
b) Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup
rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan atau
tujuan tertentu”.
Bunyi dari Pasal 5 itu sendiri adalah: “Setiap orang dilarang
melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup
rumah tangganya, dengan cara :
1) Kekerasan fisik;
2) Kekerasan psikis;
3) Kekerasan seksual; atau
4) Penelantaran rumah tangga.
Sesuai dengan Pasal 1 Undang-undang ini, ditentukan bahwa yang
dimaksud dengan Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan
terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya
kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan atau
penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan,
pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam
lingkup rumah tangga.
Mengenai lingkup rumah tangga, sebagaimana disebutkan dalam
Pasal 2 meliputi :
1) Suami, isteri, dan anak;
2) Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang
sebagaimana dimaksud pada nomor (1) karena hubungan darah,
perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam
rumah tangga.
3) Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah
tangga tersebut.
4) Jadi, dapat ditarik kesimpulan bahwa tindak pidana perkosaan di
lingkungan rumah tangga tidak lain merupakan tindakan kekerasan seksual
menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Untuk ketentuan pidananya, dapat
dilihat pada Pasal 46 yang berbunyi: “setiap orang yang melakukan
perbuatan kekerasan seksual sebagaimana dimaksud pada Pasal 8 huruf a
dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun atau
denda paling banyak Rp 36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah)”.
Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 dan
pasal 47 mengakibatkan korban mendapat luka yang tidak memberi harapan
akan sembuh sama sekali, mengalami gangguan daya pikir atau kejiwaan
sekurang-kurangnya selama 4 (empat) minggu terus-menerus atau 1 (satu)
tahun tidak berturut-turut, gugur atau matinya janin dalam kandungan, atau
mengakibatkan tidak berfungsinya alat reproduksi, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan pidana penjara paling lama 20 (dua
puluh) tahun atau denda paling sedikit Rp 25.000.000,00 (dua puluh lima juta
rupiah) dan denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Demikianlah bunyi Pasal 48 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
4. Tinjauan Tentang Rumah Tangga
a. Pengertian Rumah Tangga Dalam Tinjauan Sosiologis
Rumah Tangga dalam kosa kata Bahasa Indonesia berarti keluarga
yang tinggal dalam satu rumah. Keluarga itu sendiri terdiri dari bapak, ibu dan
anak-anak. Dalam ilmu sosiologi, keluarga terbentuk karena adanya hasrat
yang berdasar naluri (kehendak yang di luar pengawasan akal) dari semua
manusia untuk memelihara keturunan, untuk mempunyai anak, dimana
kehendak tersebut akan memaksa manusia untuk mencari pasangan (Hasan
Shalidy, 1961 : 33). Sedangkan kelompok sosial adalah himpunan atau
kesatuan-kesatuan manusia yang hidup bersama, oleh karena adanya
hubungan antara mereka. Hubungan tersebut antara lain menyangkut
hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi dan juga suatu kesadaran
untuk saling menolong. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pengertian rumah
tangga dalam tinjauan sosiologis adalah kesatuan-kesatuan manusia yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
hidup bersama dalam satu rumah karena adanya hubungan antara mereka, baik
hubungan perkawinan antara suami dengan isteri maupun hubungan darah
antara orang tua dengan anaknya.
b. Pengertian Rumah Tangga Dalam Tinjauan Yuridis
Sesuai dengan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang merupakan peraturan
perundang-undangan sebagai pedoman dalam penulisan skripsi ini, di dalam
Pasal 2 telah dijelaskan mengenai lingkup rumah tanggga. Jadi pengertian
rumah tangga dalam tinjauan yuridis mengacu pada lingkup rumah tangga
yang terdapat pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, yaitu meliputi :
1) Suami, isteri, dan anak;
2) Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang
sebagaimana dimaksud dalam nomor (1) karena hubungan darah,
perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam
rumah tangga; dan atau
3) Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah
tangga tersebut.
Dalam ketentuan Undang-undang ini, anak yang dimaksud pada
nomor (1) di atas termasuk pula anak angkat dan anak tiri. Mengenai orang
yang bekerja sebagaimana dimaksud nomor (3) dipandang sebagai anggota
keluarga dalam jangka waktu selama berada dalam rumah tangga yang
bersangkutan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
B. Kerangka pemikiran
Gambar 1 Skema Kerangka Pemikiran.
Keterangan:
Ketika mendapat laporan adanya suatu tindak pidana dari masyarakat,
Polisi Penyelidik mengadakan kegiatan penyelidikan berupa pencarian saksi-saksi
dan pengumpulan barang bukti. Kemudian setelah jelas menemukan siapa pelaku
sebagai calon tersangka dan barang bukti menunjukkan bahwa adanya perbuatan
yang dilakukan, maka tindakan berikutnya dilakukanlah penyidikan.
Dalam tahap penyidikan, Polisi Penyidik melakukan upaya paksa berupa
pemanggilan saksi dan terdakwa, mengeluarkan surat perintah penangkapan,
penahanan, dan penyitaan barang-barang bukti dimana semua hasil pemeriksaan
itu akan tertuang dalam Berita Acara sesuai dengan Pasal 75 KUHAP. Akhirnya
Tersangka kasus pemerkosaan dan
KDRT
Kepolisian
Kejaksaan Jaksa peneliti
Jaksa penuntut Umum
Pengadilan
Disparitas
Nomor perkara PDM-670/ KEPANJEN/12-2005 Nomor perkara PDM-
387/KEPANJEN/05-2006
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
hasil dari semua pemeriksaan itu dikumpulkan dalam satu berkas yaitu berkas
perkara.
Untuk langkah selanjutnya berkas perkara tersebut dikirim ke Kejaksaan
yang biasa disebut dengan tahap pra penuntutan. Sebagai tindakan lanjutan,
Kepala Kejaksaan Negeri dengan menerima saran dari Kepala Seksi Tindak
Pidana Umum menunjuk Jaksa Peneliti (disebut dengan formulir P-16)
berdasarkan Surat Pemberitahuan Dimulai Penyidikan (SPDP) dan berkas perkara
yang diberikan oleh Polisi Penyidik. Akhirnya Jaksa Peneliti yang telah ditunjuk
itulah yang akan melakukan penelitian berkas perkara. Hasil dari penelitian berkas
perkara tersebut dapat menunjukkan apakah berkas perkara tersebut sudah
lengkap atau belum. Apabila berkas perkara dinyatakan telah lengkap (disebut
dengan formulir P-21), Polisi Penyidik melakukan pelimpahan perkara dengan
mengirimkan berkas perkara beserta tersangka dan barang bukti ke Kejaksaan.
Kemudian ditunjuklah Jaksa Penuntut Umum untuk melakukan penuntutan oleh
Kepala Kejaksaan Negeri dengan saran dari Kepala Seksi Tindak Pidana Umum.
Dalam hal ini, penentuan penunjukan Jaksa Peneliti tidaklah selalu menjadi Jaksa
Penuntut Umum, hal ini tergantung dari kebijakan Kepala Kejaksaan Negeri.
Jadi, dapat diketahui bahwa prosedur pelimpahan perkara kepada Jaksa
Penuntut Umum tidaklah ditentukan oleh Jaksa Penuntut Umum itu sendiri,
namun melalui penunjukan oleh Kepala Kejaksaan Negeri dengan saran dari
Kepala Seksi Tindak Pidana Umum. Hal ini sesuai dengan penjelasan dalam Pasal
2 ayat (3) Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 yang menyebutkan bahwa
Kejaksaan adalah satu dan tidak terpisahkan dalam pelaksanaan tugas dan
wewenangnya di bidang penuntutan yang bertujuan memelihara kesatuan
kebijakan di bidang penuntutan sehingga dapat menampilkan ciri khas yang
menyatu dalam tata pikir, tata laku, dan tata kerja Kejaksaan. Selanjutnya Jaksa
Penuntut Umum diwajibkan membuat pertimbangan atas rasa keadilan
berdasarkan hati nuraninya sendiri, kemudian dikonsultasikan kepada Kepala
Seksi Tindak Pidana Umum (Kasi Pidum) selaku penanggung jawab secara
yudicial perkara pidana umum, selanjutnya diteruskan pada Kepala Kejaksaan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
Negeri Kepanjen sebagai atasan langsung, dan kemudian prosedur
administrasinya dilanjutkan ke Kejaksaan Tinggi Jawa Timur di Surabaya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil penelitian
Berdasarkan studi kasus bahan hukum yang dilakukan peneliti, berikut
ini merupakan paparan kasus posisi dan obyek yang diteliti.
1. Perkosaan Biasa (Pasal 285 KUHP)
Sebelum mengetahui dasar pertimbangan tuntutan jaksa dalam kasus
perkosaan di lingkungan rumah tangga, sebagai bahan perbandingan akan
dipaparkan sebuah contoh kasus mengenai perkosaan biasa sesuai dengan
Pasal 285 KUHP dengan berkas perkara NO. POL : BP/153/X/2005/POLRES
yang telah diproses di Kejaksaan Negeri Kepanjen sebagai berikut:
Contoh Kasus :
1) Mbah Sardi, umur 65 tahun, beralamat di Dsn. Banuroto RT 22/06 Ds.
Sempol Kec. Pagak Kabupaten Malang. Bahwa korban membuat laporan
kepada pihak Kepolisian Resort Malang Sektor Pagak dengan Nomor. Pol
: K/LP/43/X/2005/SERSE, tanggal 1 Oktober 2005 mengaku telah
diperkosa oleh Paijo, berumur 44 tahun, pekerjaan buruh tani, beralamat di
Dsn. Banduharjo RT 61/14 Ds. Sumber petung Kec. Pagak Kabupaten
Malang.
2) Perkosaan ini terjadi pada hari Sabtu, tanggal 1 Oktober 2005 sekitar
Pukul 22.00 WIB di kamar rumah korban Mbah Sardi. Perbuatan tersebut
dilakukan oleh pelaku dengan cara tubuh korban dipeluk, kemudian leher
korban dicekik dan mulutnya dibekap dengan menggunakan tangan.
Kemudian tubuh korban dirobohkan ke lantai dan kepala korban dijepit
diantara dipan dan lemari sampai akhirnya korban diperkosa hingga
kemaluan tersangka mengeluarkan sperma.
3) Saat dilakukan perkosaan korban mengalami sakit pada kemaluannya
hingga kemaluannya mengeluarkan darah. Karena usianya yang sudah tua,
korban merasa tubuhnya sangat lemas atas peristiwa yang telah terjadi
padanya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
4) Pelaku melakukan perkosaan dengan kekerasan dan setelah puas pelaku
melarikan diri sampai akhirnya berhasil ditangkap oleh petugas dari Polsek
Pagak.
Dari kasus posisi di atas dapat diketahui bahwa pelaku Paijo telah
melanggar Pasal 285 KUHP.
1) Pertimbangan Yuridis
Sebelum melakukan penuntutan, Jaksa Penuntut Umum
diharuskan membuat surat dakwaan. Untuk membuat surat dakwaan,
seorang jaksa mengacu pada fakta di berkas perkara dari penyidik. Hal
inilah yang membedakan surat dakwaan dengan surat tuntutan, karena
dalam surat tuntutan seorang jaksa mengacu pada fakta di persidangan.
Pada kasus ini, Jaksa Penuntut Umum Nunung Nuraini membuat
surat dakwaan dalam bentuk primair subsidair (berlapis). Hal ini
dimaksudkan agar terdakwa tidak lepas dari tuntutan atau jeratan hukum
atas perbuatan yang telah dilakukannya. Dalam perkara ini, surat dakwaan
dengan Nomor. Reg. Perkara : PDM-670/KPJEN/12.2005 menggunakan
dakwaan primair subsidair, yaitu :
Dakwaan primair : Melanggar pasal 285 KUHP
Dakwaan subsidair : Melanggar pasal 289 KUHP
Selanjutnya setelah melalui proses persidangan berdasarkan
fakta-fakta yang terungkap dalam pemeriksaan persidangan baik dari
keterangan saksi-saksi di bawah sumpah, keterangan terdakwa, petunjuk,
bukti surat/keterangan dokter dalam Visum et Repertum dan dikaitkan
pula dengan barang bukti, setelah dihubung-hubungkan dengan substansi
peristiwanya, akhirnya dakwaan primair dinyatakan telah terbukti oleh
Jaksa Penuntut Umum Nunung Nuraini, dimana unsur-unsur dari dakwaan
primair itu sendiri adalah :
a) Perbuatannya : memaksa,
b) Caranya: (1) dengan kekerasan,
Caranya: (2) ancaman kekerasan,
c) Seorang perempuan bukan isterinya,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
d) Bersetubuh dengan dia.
Unsur-unsur di atas telah terpenuhi dan dilakukan oleh terdakwa
pada seseorang yang bukan isterinya untuk diajak bersetubuh, yang
dipaksa dengan kekerasan dan ancaman kekerasan untuk melayani nafsu
seksual terdakwa. Akhirnya dapat ditarik kesimpulan secara sah dan
meyakinkan menurut hukum bahwa dakwaan dalam dakwaan primair telah
terpenuhi unsur-unsur dalam Pasal 285 KUHP dan terbukti serta dapat
digunakan Jaksa Penuntut Umum sebagai pertimbangan secara formil dan
materiil untuk melakukan tuntutan ditinjau dari sudut yuridis dan substansi
peristiwanya.
2) Pertimbangan Sosiologis
Berdasarkan hasil wawancara dengan Nunung Nuraini, diperoleh
informasi bahwa tuntutan yang diajukan terhadap terdakwa paijo berupa
pidana penjara selama 8 (delapan) tahun dikurangi masa tahanan dengan
perintah terdakwa tetap ditahan. Adapun pertimbangan sosiologis Jaksa
Penuntut Umum dalam mengajukan tuntutan pidana tersebut diperoleh
setelah melalui proses persidangan, yang akan diperinci sebagai berikut:
Hal-hal yang memberatkan :
a) Perbuatan terdakwa melanggar norma-norma kesusilaan.
b) Terdakwa tega memperkosa wanita yang telah lanjut usia.
c) Terdakwa bermoral bejat dan telah mengganggu ketenangan hidup
orang lain.
Hal-hal yang meringankan :
a) Terdakwa mengaku terus terang akan perbuatannya.
b) Terdakwa menyesali perbuatannya.
c) Terdakwa belum pernah dihukum.
Pertimbangan sosiologis ini meliputi sikap batin, perasaan dan
penilaian Jaksa Penuntut Umum terhadap terdakwa di muka persidangan,
baik ditinjau dari keadaan psikis maupun keadaan sosiologis korban.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
Sehingga dalam melakukan pertimbangan sosiologis ini antara jaksa yang
satu dengan jaksa yang lain tidak selalu atau belum tentu sama.
2. Perkosaan di Lingkungan Rumah Tangga (UU No. 23 Tahun 2004)
Selanjutnya untuk kejelasan mengenai kasus perkosaan di lingkungan
rumah tangga, penulis juga menyajikan satu contoh berkas perkara dengan
NO. POL : BP/162/VI/2006/POLRES yang telah diproses di Kejaksaan
Negeri Kepanjen sebagai berikut :
Contoh Kasus :
a. Sri Hartini, umur 19 tahun, beralamat di Jln. Gunungceneng Gg. Buntu
No. 8 Kec. Turen Kabupaten Malang. Bahwa korban membuat laporan
kepada pihak Kepolisian Resort Malang Sektor Pakisaji dengan No. Pol :
K/LP/16/III/2006/POLSEK, tanggal 17 Maret 2006, mengaku telah
diperkosa ayah kandungnya sendiri sejak tahun 2003 di Surabaya, yang
pada waktu itu korban masih berumur 16 tahun sampai dengan bulan
Maret 2006 di Pakisaji Kabupaten Malang, dan saat ini telah memiliki
seorang anak dari hasil hubungan tersebut.
b. Pelaku yang tidak lain adalah ayah kandungnya sendiri bernama
Ngadiman, umur 48 tahun, pekerjaan buruh tani, beralamat di Ds.
Ngadilangkung Kec. Kepanjen Kabupaten Malang, telah tega memperkosa
anak kandungnya sendiri yang seharusnya dilindungi dengan cara korban
diajak tinggal di Surabaya bersamanya dan dipaksa melayani nafsu seksual
tersangka selama kurang lebih 3 tahun.
c. Kejadian ini berawal dari keingintahuan korban terhadap ayah kandungnya
sendiri. Karena sejak lahir, ayah dan ibu korban telah bercerai. Ayah
korban tinggal di Surabaya, sedangkan korban tinggal di Turen Kab.
Malang bersama ibunya. Setelah ibu korban meninggal dunia tahun 2003,
dengan diantar budenya, korban datang ke Surabaya untuk bertemu
dengan ayah kandungnya dan ingin melanjutkan sekolah karena ibu
korban sudah tidak ada. Kemudian korban ikut tinggal di Surabaya
bersama ayah kandungnya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
d. Persetubuhan tersebut pertama kali dilakukan pada tahun 2003, saat itu
korban sedang tidur di kamar, dan secara tiba-tiba ayahnya sudah berada
di atas tubuh korban menindih sekaligus membekap mulut korban dengan
tangannya. Setelah itu pelaku membuka celana korban dan kemaluan atau
penis pelaku dimasukkan ke dalam vagina korban hingga mengeluarkan
sperma. Hal ini berlanjut dan berulang hampir setiap hari dan dilakukan
selama kurang lebih 3 tahun.
e. Korban selalu tidak berani menolak permintaan pelaku karena apabila
menolak korban selalu dipukul dan diancam akan dibunuh dengan golok.
Begitu juga apabila korban berusaha melarikan diri dari tersangka. Akibat
persetubuhan tersebut, korban sampai memiliki seorang anak yang diasuh
dan dirawat sendiri oleh korban.
f. Sekitar bulan Desember 2005, pelaku mengajak korban pindah ke Ds.
Jatisari Kec. Pakisaji Kabupaten Malang. Setelah beberapa bulan di
Pakisaji, korban berpacaran dengan seorang pria bernama Kasin. Kasin
yang mengetahui kejadian persetubuhan melalui cerita korban menyuruh
korban untuk melaporkan kepada pihak berwajib, tetapi korban mengaku
ketakutan.
g. Pada tanggal 12 Maret 2006, korban meminta ijin kepada pelaku untuk
nyekar ke makam ibunya di Turen. Pada saat itulah akhirnya korban dapat
melarikan diri dari pelaku bersama pacarnya.
Dari kasus posisi di atas, dapat diketahui bahwa Ngadiman telah
melakukan perkosaan terhadap anak kandungnya sendiri atau dengan kata lain
telah melakukan kekerasan seksual dan dapat dituntut sesuai dengan Undang-
undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga.
a. Pertimbangan Yuridis
Dalam kasus ini Jaksa Penuntut Umum membuat surat dakwaan
dalam bentuk alternatif, yaitu surat dakwaan yang menuduhkan dua atau
lebih tindak pidana yang mengandung sifat yang saling mengecualikan.
Alasan dibuatnya surat dakwaan dalam bentuk ini karena Jaksa Penuntut
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
Umum masih ragu atas dakwaan apa yang sesuai dengan tindak pidana
yang telah dilakukan oleh pelaku. Pada proses persidangan baru akan
dapat diperoleh sebuah jawaban mengenai dakwaan mana yang telah
terbukti dilakukan oleh pelaku. Jadi disini Jaksa Penuntut Umum
mengajukan bentuk dakwaan yang bersifat pilihan, dan setiap dakwaan
mempunyai peluang terbukti yang sama. Mengenai konsekuensi
pembuktiannya, apabila dakwaan yang dimasukkan telah terbukti, maka
dakwaan yang lain tidak perlu dihiraukan lagi.
Dalam perkara ini, surat dakwaan dengan Nomor Reg. Perkara :
PDM-387/KPJEN/05.2006 menggunakan dakwaan alternatif, yaitu :
Dakwaan pertama : Melanggar Pasal 285 Jo 64 (1) KUHP
ATAU
Dakwaan kedua : Melanggar Pasal 8 huruf a dan Pasal 46 Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2004 Jo 64 (1) KUHP
Selanjutnya setelah melalui proses persidangan berdasarkan
fakta-fakta yang terungkap dalam pemeriksaan persidangan baik dari
keterangan saksi-saksi di bawah sumpah, keterangan terdakwa, petunjuk,
bukti surat/keterangan dokter dalam Visum et Repertum dan dikaitkan
pula dengan barang bukti, setelah dihubung-hubungkan dengan substansi
peristiwanya, akhirnya Jaksa Penuntut Umum Hidayati menitikberatkan
pada pembuktian dalam dakwaan kedua, yang unsur-unsur dari dakwaan
kedua itu sendiri adalah :
1) Setiap orang.
2) Melakukan kekerasan dalam rangka pemaksaan hubungan seksual.
3) yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah
tangga tersebut.
Jo Pasal 64 (1) KUHP, yang maksudnya jika antara beberapa
perbuatan kejahatan, ada hubungannya sedemikian rupa sehingga harus
dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut (voortgezette handeling).
Unsur-unsur di atas telah terpenuhi dan dilakukan oleh terdakwa
di dalam lingkup rumah tangganya, yang tidak lain terhadap anak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
kandungnya sendiri yang dipaksa dengan kekerasan dan ancaman
kekerasan untuk melayani nafsu seksualnya selama kurang lebih 3 tahun,
sampai akhirnya menghasilkan seorang anak. Akhirnya dapat ditarik
kesimpulan secara sah dan meyakinkan menurut hukum bahwa dakwaan
dalam dakwaan kedua telah terpenuhi unsur-unsur dalam Pasal 8 huruf a
dan Pasal 46 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Jo Pasal 64 (1)
KUHP dan terbukti serta dapat digunakan Jaksa Penuntut Umum sebagai
pertimbangan secara formil dan materiil untuk melakukan tuntutan ditinjau
dari sudut yuridis dan substansi peristiwanya.
b. Pertimbangan Sosiologis
Berdasarkan hasil wawancara dengan Hidayati, diperoleh
informasi bahwa tuntutan yang diajukan terhadap terdakwa Ngadiman
berupa pidana penjara selama 10 tahun dikurangi masa tahanan dengan
perintah terdakwa tetap ditahan. Adapun pertimbangan sosiologis Jaksa
Penuntut Umum dalam mengajukan tuntutan pidana tersebut diperoleh
setelah melalui proses persidangan yang akan diperinci sebagai berikut :
(Wawancara dengan Hidayati)
Hal-hal yang memberatkan :
1) Pelaku dalam hal ini adalah seorang ayah yang tega memperkosa anak
kandungnya sendiri. Padahal sebagai oranga tua selayaknya ia
menjaga, melindungi dan mendidik anaknya.
2) Korban dalam kasus ini adalah seorang wanita yang sejak usia 16
tahun selalu dipaksa untuk melayani nafsu seksual ayahnya. Parahnya
lagi kejadian ini berlangsung selama 3 tahun dan melahirkan seorang
anak atas tindakan amoral ayahnya, sehingga korban harus
menanggung aib seumur hidup serta mengalami penderitaan yang
sangat mendalam dan berkepanjangan. Hal ini sangat berpengaruh
terhadap keadaan psikis si korban.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41
3) Modus operandi dalam kasus ini dengan menggunakan kekerasan dan
ancaman kekerasan. Korban selalu dipukul dan disakiti setiap melawan
untuk disetubuhi.
Hal yang meringankan :
a) Pelaku mengaku terus terang.
b) Pelaku menyadari kesalahannya.
c) Pelaku bersikap sopan.
d) Belum pernah dihukum.
Kontruksi yuridis Jaksa Penuntut Umum dalam melakukan
tuntutan terhadap pelaku perkosaan di lingkungan rumah tangga pada
kasus di atas adalah mengacu pada Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004
tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Sedangkan untuk
pertimbangan sosiologis dari Jaksa Penuntut Umum dalam melakukan
tuntutan meliputi sikap batin, perasaan dan penilaian jaksa terhadap
terdakwa di muka persidangan.
Kasus perkosaan di lingkungan rumah tangga merupakan perkara
penting mengingat pernah diberitakan di media elektronik sehingga
menarik perhatian masyarakat, maka tuntutan yang dilakukan oleh Jaksa
Penuntut Umum demi tercapainya rasa keadilan menggunakan pedoman
instruksi Jaksa Agung RI No. INS-004/J.A/3/1994 tanggal 9 Maret 1994
dan Surat Jaksa Agung Muda Pidana Umum No. R-16/E/3/1994 tanggal
11 Maret 1994 tentang Pengendalian Perkara Penting yang menyebutkan
bahwa Tindak Pidana Umum diharuskan untuk dilakukan konsultasi atau
biasa disebut dengan rencana tuntutan ke Kejaksaan Tinggi Jawa Timur di
Surabaya.
Mengenai rencana tuntutan Jaksa Penuntut Umum Hidayati dalam
perkara ini, atas nama terdakwa Ngadiman tertanggal 25 Juli 2006 dan
mendapat petunjuk dari Kejaksaan Tinggi Jawa Timur, agar dituntut
selama 10 tahun penjara dikurangi masa tahanan dan biaya perkara sebesar
Rp 1.000,- (seribu rupiah) dibebankan pada terdakwa. Selanjutnya Jaksa
Penuntut Umum diwajibkan membuat pertimbangan atas rasa keadilan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42
berdasarkan hati nuraninya sendiri, kemudian dikonsultasikan kepada
Kepala Seksi Tindak Pidana Umum (Kasi Pidum) selaku penanggung
jawab secara yudicial perkara pidana umum, selanjutnya diteruskan pada
Kepala Kejaksaan Negeri Kepanjen sebagai atasan langsung, dan
kemudian prosedur administrasinya dilanjutkan ke Kejaksaan Tinggi Jawa
Timur di Surabaya.
Dalam perkosaan di lingkungan rumah tangga, keadaan yang
terjadi pada kasus di atas menurut penulis lebih melanggar norma
kesusilaan dan kepatutan yang hidup dalam masyarakat, karena
menyangkut etika keluarga yang seharusnya tidak patut atau tidak pantas
dilakukan oleh seorang ayah kepada anak kandungnya sendiri. Kejadian
semacam ini sangat tabu untuk dilaporkan pada pihak yang berwajib
karena sama dengan membuka aib keluarga itu sendiri. Selain itu, semua
tindak pidana perkosaan pada kasus di atas yang selama kurang lebih 3
tahun ini terjadi di tempat tinggal pelaku maupun korban sendiri
menunjukkan bahwa harga diri perempuan juga dapat dilanggar dan
dilecehkan oleh anggota atau unsur keluarga lainnya dalam lingkungan
terdekat sekalipun, yang mana seharusnya keluarga adalah merupakan
tempat berlindung. Terlebih lagi bila berbicara dampak psikis yang
dialami oleh korban yang mana keperawanannya direnggut oleh ayahnya
sendiri dan sampai menghasilkan seorang anak. Ia akan mengalami
trauma yang tidak mudah dilupakan, rasa sakit hati, penderitaan dan
ketakutan serta aib yang harus ditanggungnya seumur hidup.
Oleh karena itu, dengan menerapkan sanksi hukum yang setimpal
kepada pelaku sebagaimana yang dituntutkan oleh Jaksa Penuntut Umum
pada kasus di atas, secara tidak langsung hal itu merupakan suatu bentuk
perhatian (perlindungan) secara hukum kepada korban kejahatan. Berikut
akan dipaparkan perbandingan ancaman pidana terhadap tindak pidana
perkosaan yang diatur dalam Undang-undang Nomor 23 tahun 2004
tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan dalam KUHP.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
43
B. Pembahasan
1. Kontruksi Yuridis Jaksa Penuntut Umum dalam Merumuskan Pasal
yang Didakwakan pada Kasus Perkosaan di Lingkungan Rumah Tangga
Nomor Perkara PDM-670/KPJEN/12-2005 dan Nomor Perkara PDM-
387/KPNJEN/05-2006.
Guna mengetahui Kontruksi yuridis Jaksa Penuntut Umum dalam
merumuskan dan surat dakwaan maupun tuntutan terhadap pelaku perkosaan
di lingkungan rumah tangga dan kasus perkosaan biasa, peneliti akan
mengkajinya berdasarkan :
a. Surat dakwaan
b. Alat-alat bukti.
c. Pasal-pasal yang digunakan
Guna mempermudah pembahasan lebih lanjut penulis akan sajikan
tabel sebagai berikut :
Tabel 1
Tindak Pidana Perkosaan di Lingkungan Rumah Tangga
No Kasus Pelaku Dakwaan Tuntutan Alat Bukti 1 Perkosaan
Di Lingkungaan Rumah Tangga
Ngadiman
1. Pasal 285 Jo 64 (1) KUHAP,
2. Undang-Undang PKDRT NO 23 Tahun 2004
Ancaman Kurungan 12 tahun ditambah denda 36.000.000
1. Adanya saksi-saksi dibawah sumpah
2. Pengakuan dari pelaku
3. Visum et Repertum
Sumber : Nomor Perkara PDM-387/KPNJEN/05-2006
Dalam kasus ini Jaksa Penuntut Umum membuat surat dakwaan
dalam bentuk alternatif, yaitu surat dakwaan yang menuduhkan dua atau lebih
tindak pidana yang mengandung sifat yang saling mengecualikan. Alasan
dibuatnya surat dakwaan dalam bentuk ini karena Jaksa Penuntut Umum
masih ragu atas dakwaan apa yang sesuai dengan tindak pidana yang telah
dilakukan oleh pelaku. Pada proses persidangan baru akan dapat diperoleh
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
44
sebuah jawaban mengenai dakwaan mana yang telah terbukti dilakukan oleh
pelaku. Jadi disini Jaksa Penuntut Umum mengajukan bentuk dakwaan yang
bersifat pilihan, dan setiap dakwaan mempunyai peluang terbukti yang sama.
Mengenai konsekuensi pembuktiannya, apabila dakwaan yang dimasukkan
telah terbukti, maka dakwaan yang lain tidak perlu dihiraukan lagi.
Dalam perkara ini, surat dakwaan dengan Nomor Reg. Perkara :
PDM-387/KPJEN/05.2006 menggunakan dakwaan alternatif, yaitu :
Dakwaan pertama : Melanggar Pasal 285 Jo 64 (1) KUHP
ATAU
Dakwaan kedua : Melanggar Pasal 8 huruf a dan Pasal 46 Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2004 Jo 64 (1) KUHP
Selanjutnya setelah melalui proses persidangan berdasarkan fakta-
fakta yang terungkap dalam pemeriksaan persidangan baik dari keterangan
saksi-saksi di bawah sumpah, keterangan terdakwa, petunjuk, bukti surat
keterangan dokter dalam Visum et Repertum dan dikaitkan pula dengan
barang bukti, setelah dihubung-hubungkan dengan substansi peristiwanya,
akhirnya Jaksa Penuntut Umum Hidayati menitik beratkan pada pembuktian
dalam dakwaan kedua, yang unsur-unsur dari dakwaan kedua itu sendiri
adalah :
a. Setiap orang.
b. Melakukan kekerasan dalam rangka pemaksaan hubungan seksual.
c. Yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah
tangga tersebut.
Jo Pasal 64 (1) KUHP, yang maksudnya jika antara beberapa
perbuatan kejahatan, ada hubungannya sedemikian rupa sehingga harus
dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut (voortgezette handeling).
Unsur-unsur di atas telah terpenuhi dan dilakukan oleh terdakwa di
dalam lingkup rumah tangganya, yang tidak lain terhadap anak kandungnya
sendiri yang dipaksa dengan kekerasan dan ancaman kekerasan untuk
melayani nafsu seksualnya selama kurang lebih 3 tahun, sampai akhirnya
menghasilkan seorang anak. Akhirnya dapat ditarik kesimpulan secara sah dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
45
meyakinkan menurut hukum bahwa dakwaan dalam dakwaan kedua telah
terpenuhi unsur-unsur dalam Pasal 8 huruf a dan Pasal 46 Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2004 Jo Pasal 64 (1) KUHP dan terbukti serta dapat
digunakan Jaksa Penuntut Umum sebagai pertimbangan secara formil dan
materiil untuk melakukan tuntutan ditinjau dari sudut yuridis dan substansi
peristiwanya.
Tabel 2.
Tindak Pidana Perkosaan Biasa
No Kasus Pelaku Dakwaan Tuntutan Alat Bukti 1. Perkosaan
Biasa
Paijo
1. Primer: Pasal 285 KUHAP
2. Subsidair
Pasal 289 KUHP
Ancaman Kurungan 12 tahun
1. Adanya saksi-saksi dibawah sumpah
2. Adanya Visum et Repretum
Sumber :Kasus Nomor PDM-670/KPJEN/12.2005
Berdasarkan kasus perkosaan biasa ini, Jaksa Penuntut Umum
membuat surat dakwaan dalam bentuk primair subsidair (berlapis). Hal ini
dimaksudkan agar terdakwa tidak lepas dari tuntutan atau jeratan hukum atas
perbuatan yang telah dilakukannya. Dalam perkara ini, surat dakwaan dengan
Nomor. Reg. Perkara : PDM-670/KPJEN/12.2005 menggunakan dakwaan
primair subsidair, yaitu :
Dakwaan primair : Melanggar pasal 285 KUHP
Dakwaan subsidair : Melanggar pasal 289 KUHP
Selanjutnya setelah melalui proses persidangan berdasarkan fakta-
fakta yang terungkap dalam pemeriksaan persidangan baik dari keterangan
saksi-saksi di bawah sumpah, keterangan terdakwa, petunjuk, bukti surat atau
keterangan dokter dalam Visum et Repertum dan dikaitkan pula dengan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
46
barang bukti, setelah dihubung-hubungkan dengan substansi peristiwanya,
akhirnya dakwaan primair dinyatakan telah terbukti oleh Jaksa Penuntut
Umum Nunung Nuraini, dimana unsur-unsur dari dakwaan primair itu sendiri
adalah :
a. Perbuatannya : memaksa,
b. Caranya: 1) dengan kekerasan,
Caranya: 2) ancaman kekerasan,
c. Seorang perempuan bukan isterinya,
d. Bersetubuh dengan dia.
Pertimbangan sosiologis ini meliputi sikap batin, perasaan dan
penilaian Jaksa Penuntut Umum terhadap terdakwa di muka persidangan, baik
ditinjau dari keadaan psikis maupun keadaan sosiologis korban. Sehingga
dalam melakukan pertimbangan sosiologis ini antara jaksa yang satu dengan
jaksa yang lain tidak selalu atau belum tentu sama.
Tabel. 3
Perbandingan Ancaman Pidana terhadap Tindak Pidana Perkosaan Biasa
dan Perkosaan di lingkungan Rumah Tangga
Pasal dan UU
Ancaman pidana paling lama
Ancaman pidana paling singkat
Ancaman denda paling banyak
Ancaman denda paling sedikit
-Pasal 46 UU No. 23/2004 -Pasal 285 KUHP
-12 tahun -12 tahun
- -
Rp36.000.000,- -
- -
Sumber :Kasus Nomor PDM-670/KPJEN/12.2005 dan PDM-387/KPNJEN/05-2006
Berdasarkan penelitian yang dilakukan penulis adalah Untuk
ancaman pidana antara Pasal 46 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 dan
Pasal 285 KUHP tetap memiliki kesamaan yaitu paling lama 12 tahun. Namun
dalam Pasal 46 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga juga dialternatifkan dengan pidana denda
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
47
paling banyak Rp. 36.000.000,- sedangkan dalam KUHP tidak ada denda
uang sebesar 36. 000.000 Disinilah letak perbedaan kedua peraturan
perundang-undangan di atas dalam hal pemidanaan. Meskipun dalam
kenyataannya, pidana denda ini belum pernah diterapkan kepada terdakwa
kasus perkosaan di lingkungan rumah tangga yang pernah ditangani di
Kejaksaan Negeri Kepanjen dikarenakan alasan keadaan ekonomi terdakwa
yang tidak memungkinkan untuk dikenakan pidana denda tersebut.
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang berpihak pada kelompok rentan
khususnya kaum perempuan merupakan wujud dari pembaharuan hukum
dalam menangani tindak pidana kesusilaan di lingkungan rumah tangga,
sehingga sangat diperlukan sehubungan dengan banyaknya kasus kekerasan
yang terjadi di lingkungan rumah tangga. Pembaharuan hukum tersebut
diperlukan karena undang-undang yang ada belum memadai dan tidak sesuai
lagi dengan perkembangan masyarakat. Oleh karena itu diperlukan pengaturan
tentang tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga secara tersendiri,
misalnya sesuai dengan kasus pada permasalahan di atas, KUHP hanya
mengatur mengenai perkosaan, tetapi tidak ada pengaturan tersendiri apabila
korban merupakan seseorang yang menetap di dalam satu rumah bersama
pelaku.
Selain itu Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga ini diatur secara
komprehensif, jelas dan tegas untuk melindungi dan berpihak kepada korban
yang diatur dalam Pasal 16 sampai dengan Pasal 43 mengenai perlindungan
dan pemulihan terhadap korban. Serta sekaligus memberikan pendidikan dan
penyadaran kepada masyarakat dan aparat bahwa segala tindak kekerasan
dalam rumah tangga merupakan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan,
sesuai dengan Pasal 3 Undang-Undeang Nomor 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Untuk melakukan
pencegahan kekerasan dalam rumah tangga, sebagai upaya preventif
Kejaksaan selain melakukan tugasnya sebagai penuntut yang menangani
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
48
suatu perkara, juga bisa melakukan tindakan-tindakan yang bersifat non
yudicial dalam bentuk memberi bantuan pada pemerintah baik pusat maupun
daerah untuk mensosialisasikan pembaharuan hukum, termasuk Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga ini. Sosialisasi ini dilakukan dengan cara penyuluhan hukum,
yang biasa disebut dengan program Jaksa Masuk Desa. Daerah yang
dikunjungi adalah pedesaan yang rawan kejahatan. Sedangkan untuk daerah
perkotaan dilakukanlah penerangan hukum.
Suatu asumsi yang dapat ditarik dalam kasus ini bahwa rasa keadilan
atas tuntutan Jaksa Penuntut Umum terhadap ancaman pidana bagi pelaku
perkosaan di lingkungan rumah tangga telah dikendalikan secara mantap di
bawah bimbingan dan pengawasan yang akurat. Akhirnya adalah suatu
kepuasan bagi Jaksa Penuntut Umum apabila tuntutannya sama atau tidak jauh
berbeda dengan putusan Hakim, serta terdakwa maupun korban menyatakan
menerima putusan tersebut.
2. Implikasi Yuridis Terhadap Kontruksi Tuntutan pada kasus Nomor
Perkara PDM-70/KPJEN/12-2005 Dan Nomor Perkara PDM-
387/KPNJEN/05-2006.
Implikasi yurudis tentang, Tindakan kejahatan dalam rumah tangga,
Merupakan pengaruh kombinasi dan interaksi dari faktor biologis, psikologis,
ekonomi, dan politik seperti riwayat kekerasan, kemiskinan dan konflik
bersenjata. Selain itu juga dipengaruhi oleh faktor resiko dan protektif. KDRT
dapat terjadi di berbagai lapisan masyarakat, baik di kalangan yang lemah
ekonomi atau karena rendahnya pendidikan, maupun keluarga yang sudah
mapan. Sebagian besar KDRT disebabkan karena faktor ekonomi, baik dalam
kondisi ekonomi yang sudah mapan atau kuat maupun ekonomi pas-pasan
bahkan lemah.
Hal yang membedakan diantara keduanya bahwa dalam hal ekonomi
lemah permasalahannya lebih kepada karena ketidak cukupan penghasilan;
sebaliknya dalam hal ekonomi yang sudah mapan atau kuat adalah justru
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
49
karena implikasi dari kelebihan materi dan konflik terjadi, misalnya, karena
pelaku telah memiliki pasangan lain atau terjadinya perselingkuhan. Secara
subjektif KDRT, yang paling banyak terjadi adalah konflik antara suami dan
isteri ketimbang kasus orang tua dan anak, majikan dan pembantu, dan bentuk
kasus KDRT yang lain.
Akibat yang harus diderita oleh korban KDRT, pada umumnya
mereka menjadi stress, depresi, ketakutan, trauma, takut bertemu pelaku, cacat
fisik, atau berakhir pada perceraian. Dari sisi pelaku, apabila kasusnya
terungkap dan dilaporkan, biasanya timbul rasa menyesal, malu, dihukum,
dan/atau memilih dengan perceraian pula.
Kendala-kendala dalam penaganan perkara KDRT :
a. Kasus KDRT yang dilaporkan korban ke pihak Kepolisian acapkali ditarik
kembali dengan berbagai macam alasan, misalnya karena korban merasa
sudah memaafkan pelaku, ketergantungan ekonomi terhadap pelaku,
KDRT masih dianggap sebagai aib keluarga. Korban ragu-ragu atau tidak
mengerti bahwa hal yang dilaporkan itu adalah tindak pidana.
b. Masih terdapat perbedaan pemahaman dalam penegak hukum terhadap
KDRT.
c. Lamanya rentang waktu antara kejadian dan visum, sehingga hasil visum
menjadi kurang mendukung pembuktian pada proses hukum;
d. Masih lemahnya sosialisasi dan kurangnya penganggaran opresianal
e. Masih lemahnya substansi pemidanaan sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Pasal 44-Pasal 49 UU PKDDRT.
Beberapa alasan yang membuat korban enggan melakukan tindakan
hukum ketika terjadi kekerasan, antara lain:
a. KDRT merupakan hal yang lumrah terjadi dan merupakan suatu proses
pendidikan yang dilakukan suami terhadap istri, atau orangtua terhadap
anak.
b. Adanya harapan KDRT akan berhenti sendiri karena ada rasa cinta dan
komitmen pada pasangannya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
50
c. Ketergantungan ekonomi yang menyebabkan terjadinya ketergantungan
hidup.
d. Demi anak-anak, ini mengakibatkan seorang istri atau ibu enggan untuk
melaporkan KDRT tersebut.
e. Rasa lemah dan tidak percaya diri serta rendahnya dukungan dari keluarga
dan teman.
f. Tekanan lingkungan untuk tetap bertahan dalam hubungan itu dan
anggapan bahwa tindak kekerasan itu adalah akibat kesalahan dia.
Terobosan hukum yang terdapat dalam Undang-Undang PKDRT
tersebut tidak hanya dalam bentuk–bentuk tindak pidananya, tetapi juga dalam
proses beracaranya. Antara lain dengan adanya terobosan hukum untuk
pembuktian bahwa korban menjadi saksi utama dengan didukung satu alat
bukti petunjuk. Dengan adanya terobosan hukum ini, kendala-kendala dalam
pembuktian karena tempat terjadinya KDRT umumnya di ranah domestik.
Pemberian perlindungan hukum terhadap korban dan saksi telah
diatur dalam Undang-Undang Penghapusan KDRT ini. Juga mengatur sanksi
ancaman hukuman pidana penjara dan denda yang dapat diputuskan oleh
Hakim, juga diatur pidana tambahan yang dapat dijatuhkan oleh Hakim yang
mengadili perkara KDRT ini, serta penetapan perlindungan sementara yang
dapat ditetapkan oleh Pengadilan sejak sebelum persidangan dimulai.
Hukuman pidana tambahan terhadap pelaku KDRT sebagaimana yang diatur
oleh Undang-Undang No. 23 tahun 2004. Pasal 50 Undang-Undang tersebut
mengatur: “Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam bab ini, Hakim dapat
menjatuhkan pidana tambahan berupa:
a. pembatasan gerak pelaku baik yang bertujuan untuk menjauhkan pelaku
dari korban dalam jarak dan waktu tertentu, maupun pembatasan hak-hak
tertentu dari pelaku;
b. penetapan pelaku mengikuti program konseling di bawah pengawasan
lembaga tertentu.”
Korban kejahatan KDRT dan anggota keluarganya dapat memohon
penetapan yang berisi perintah perlindungan yang dapat ditetapkan oleh
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
51
Pengadilan sebagaimana diatur dalam pasal-pasal 28-38 Undang-Undang No.
23 tahun 2004. Ketua Pengadilan wajib mengeluarkan surat penetapan yang
beisi perintah perlindungan tersebut dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari sejak
diterimanya surat permohonan kecuali ada alasan yang patut (Pasal 28).
Permohonan tersebut dapat disampaikan dalam bentuk lisan atau tulisan. Pasal
29 Undang-Undang ini mengatur: Permohonan untuk memperoleh surat
perintah perlindungan dapat diajukan oleh: korban atau keluarga korban;
teman korban; kepolisian; relawan pendamping; atau pembimbing rohani.
Pengaturan perbuatan perkosaan biasa atau yang lebih dikenal dengan
hubungan seksual dengan unsure pemaksaan dalam KUHP Indonesia
sangatlah panting, terutama mengenai sanksi-sanksinya. Pengaturan untuk
kasus - kasus perkosaan masih berdasarkan pada Pasal 285 Untuk Pasal 285
KUHP kurang tepat, karena Pasal 285 KUHP adalah pasal perkosaan.
Demikian juga untuk Pasal 287 KUHP juga belum tepat untuk pengaturan
incest. Sedangkan bagi Pasal 294 ayat (1) dan Pasal 295 ayat (1) butir (1)
masih relevan untuk mengatur incest. Kasus incest bukanlah kasus perkosaan
biasa, melainkan menyangkut juga kepercayaan, kelangsungan sebuah
keluarga, masa depan anak, dan kondisi psikologi yang terbentuk.
Adapun implikasi yuridis terhadap perbuatan perkosaan biasa atau
yang lebih dikenal dengan hubungan seksual dengan unsur pemaksaan dalam
KUHP Indonesia sangatlah panting, terutama mengenai sanksi–sanksinya.
Pengaturan untuk kasus - kasus perkosaan masih berdasarkan pada Pasal 285
Untuk Pasal 285 KUHP kurang tepat, karena Pasal 285 KUHP adalah pasal
perkosaan. Demikian juga untuk Pasal 287 KUHP juga belum tepat untuk
pengaturan incest. Sedangkan bagi Pasal 294 ayat (1) dan Pasal 295 ayat (1)
butir (1) masih relevan untuk mengatur incest. Kasus incest bukanlah kasus
perkosaan biasa , melainkan menyangkut juga kepercayaan, kelangsungan
sebuah keluarga, masa depan anak, dan kondisi psikologi yang terbentuk.
Oleh karena itu, sangat disayangkan jika Undang-Undang Indonesia
memperlakukan pelaku incest sama dengan korban perkosaan biasa. Oleh
karena itu, Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
52
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) mengatur pula masalah incest
ini yakni pada Pasal 8 huruf a Undang-Undang PKDRT, yang berbunyi :
Kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c meliputi :
pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap
dalam lingkup rumah tangga tersebut; pemaksaan hubungan seksual terhadap
salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan
komersial dan tujuan tertentu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
53
BAB IV
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan analisis hasil penelitian dapat disimpulkan beberapa hal
sebagai berikut :
1. Kontruksi hukum penuntutan yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum
dalam proses perkara kasus perkosaan di lingkungan rumah tangga dan
perkosaan biasa pada Nomor Perkara PDM-670/KPJEN/12-2005 Dan Nomor
Perkara PDM-387/KPNJEN/05-2006. Untuk ancaman pidana antara pasal 46
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 dan Pasal 285 KUHP tetap memiliki
kesamaan yaitu paling lama 12 tahun. Namun dalam Pasal 46 Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga juga dialternatifkan dengan pidana denda paling banyak Rp.
36.000.000,- sedangkan dalam KUHP tidak. Disinilah letak perbedaan kedua
peraturan perundang-undangan di atas dalam hal pemidanaan. Meskipun
dalam kenyataannya, menurut Jaksa Penuntut Umum yang menangani kasus
ini untuk pidana denda ini belum pernah diterapkan kepada terdakwa kasus
perkosaan di lingkungan rumah tangga yang pernah ditangani di Kejaksaan
Negeri Kepanjen dikarenakan alasan keadaan ekonomi terdakwa yang tidak
memungkinkan untuk dikenakan pidana denda tersebut. Undang-undang
Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga yang berpihak pada kelompok rentan khususnya kaum perempuan
merupakan wujud dari pembaharuan hukum dalam menangani tindak pidana
kesusilaan di lingkungan rumah tangga, sehingga sangat diperlukan
sehubungan dengan banyaknya kasus kekerasan yang terjadi di lingkungan
rumah tangga. Pembaharuan hukum tersebut diperlukan karena undang-
undang yang ada belum memadai dan tidak sesuai lagi dengan perkembangan
masyarakat. Oleh karena itu diperlukan pengaturan tentang tindak pidana
kekerasan dalam rumah tangga secara tersendiri, misalnya sesuai dengan
kasus pada permasalahan di atas, KUHP hanya mengatur mengenai perkosaan,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
54
tetapi tidak ada pengaturan tersendiri apabila korban merupakan seseorang
yang menetap di dalam satu rumah bersama pelaku.
2. Implikasi yuridis yang di akibatkan dalam kasus ini dengan menerapkan
sangsi hukum yang setimpal kepada pelaku sebagaimana yang dituntutkan
jaksa penuntut umum pada kasus perkosaan biasa dan dilingkungan rumah
tangga pada Nomor Perkara PDM-670/KPJEN/12-2005 dan Nomor Perkara
PDM-387/KPNJEN/05-2006. Dasar hukum kontruksi bagi Jaksa Penuntut
Umum dalam menentukan berat ringannya tuntutan pidana pada pelaku tindak
pidana perkosaan yang terjadi di lingkungan rumah tangga meliputi
pertimbangan yuridis baik secara formil maupun secara materiil dan
pertimbangan sosiologis. Adapun pertimbangan yuridis secara formil, Jaksa
Penuntut Umum dalam melakukan tuntutan selalu mengacu kepada ketentuan
Pasal 183 Jo. 184 KUHAP mengenai pembuktian dengan sekurang-kurangnya
dua alat bukti yang sah. Pertimbangan yuridis secara materiil, Jaksa Penuntut
Umum dalam melakukan tuntutan pidana terhadap pelaku perkosaan di
lingkungan rumah tangga pada kasus di atas adalah mengacu pada Undang-
undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
55
B. Saran
Disamping dirumuskan simpulan, penulis memandang perlu menyampaikan
saran berkaitan dengan pokok masalah yang dibahas, yaitu :
1. Kepada Jaksa Penuntut Umum selaku wakil dari Pemerintah dalam melakukan
penuntutan diharapkan dapat benar-benar memperhatikan rasa keadilan yang
hidup dalam masyarakat. Selain itu Sejak diundangkannya Undang-undang
No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana,
perhatian terhadap kedudukan pelaku kejahatan sebagai individu yang
mempunyai hak asasi manusia semakin memperoleh perhatian utama. Hal
ini muncul karena di masa lalu, khususnya sebelum berlakunya Undang-
undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara
Pidana, muncul berbagai kritikan terhadap proses pemeriksaan pelaku
kejahatan yang dianggap banyak melanggar Hak Asasi Manusia.
Ironisnya, dengan banyaknya materi KUHAP yang mengatur tentang
perlindungan pelaku kejahatan mengakibatkan porsi perlindungan yang
diberikan kepada korban kejahatan terkesan menjadi tidak memadai.
Padahal, sejatinya perlindungan yang diberikan kepada korban kejahatan
dan pelaku kejahatan adalah seimbang dan tidak dapat dibeda-bedakan
sebagaimana asas setiap orang bersamaan kedudukannya dalam hukum.
Perlindungan korban kejahatan dalam sistem hukum nasional nampaknya
belum memperoleh perhatian serius. Hal ini terlihat dari masih sedikitnya
hak-hak korban kejahatan memperoleh pengaturan dalam perundang-
undangan nasional. Adanya ketidak seimbangan antara perlindungan
korban kejahatan dengan pelaku kejahatan pada dasarnya merupakan salah
satu pengingkaran dari asas setiap warga negara bersamaan kedudukannya
dalam hukum dan pemerintahan, sebagaimana diamanatkan oleh Undang-
undang Dasar 1945, sebagai landasan konstitusional. Selama ini muncul
pandangan yang menyebutkan pada saat pelaku kejahatan telah diperiksa,
diadili dan dijatuhi hukuman pidana, maka pada saat itulah perlindungan
terhadap korban telah diberikan, padahal pendapat demikian tidak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
56
sepenuhnya benar. Untuk melihat bagaimana seharusnya korban kejahatan
memperoleh perlindungan hukum serta bagaimana sistem hukum nasional
selama ini mengatur perihal perlindungan kepada korban kejahatan. Dalam
beberapa perundang-undang nasional permasalahan perlindungan korban
kejahatan memang sudah diatur namun sifatnya masih parsial dan tidak
berlaku secara umum untuk semua korban kejahatan. Dasar filosofis
pentingnya korban kejahatan memperoleh perlindungan, kaitan antara
penegakan hukum dengan perlindungan korban, hak dan kewajiban
korban, pengaturan korban dalam hukum nasional dan internasional, dan
diakhiri dengan uraian sejauh mana perlindungan korban kejahatan di
Indonesia telah diterapkan.
Adapun hak-hak korban yang harus diperhatikan dalam kasus perkosaan biasa
dan kasus perkosaan di lingkungsn rumah tangga, korban berhak mendapatkan
a. Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan pengadilan,
advokad, lembaga sosial atau pihak lainnya baik sementara maupun
berdasarkan penetapan perintah dari pengadilan.
b. Pelayanan kesehatan sesuai kebutuhan medis.
c. Penanganan secara khusus berkaitan dengankerahasian korban
d. Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap
tingkatan proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan
Perundang undangan
e. Pelayanan bimbingan rohani. Dalam Peraturan Pemerintah ini yang
dimaksud dengan:
1) Pemulihan korban adalah segala upaya untuk penguatan korban
kekerasan dalam rumah tangga agar lebih berdaya, baik secara fisik
maupun psikis
2) Penyelenggaraan pemulihan adalah segala tindakan yang
meliputipelayanan dan pendampingan kepada korban kekerasan dalam
rumah tangga.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
57
3) Pendampingan adalah segala tindakan berupa konseling terapi
psikologis, advokasi, dan bimbingan rohani guna penguatan korban
KDRT untuk menyelesaikan permasalahannya yang dihadapi.
4) kerjasama adalah cara sistematis dan terpadu antar penyelenggara
pemulihan dalam memberikan pelayanan untuk pemulihan korban
KDRT.
5) Petugas penyelenggara pemulihan adalah tenaga kesehatan, pekerja
sosial, relawan pendamping, dan atau pembimbing rohani.
6) Menteri adalah menteri yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di
bidang pemberdayaan perempuan.
2. Seharusnya pihak yang berwenang dalam kasus ini melakukan sosialisasi
terhadap Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga kepada seluruh lapisan masyarakat tentang
pentingnya memberikan perlindungan terhadap hak-hak perempuan. Apabila
terjadi tindak pidana kekerasan di lingkungan rumah tangga, baik kekerasan
fisik, psikis, seksual, ataupun penelantaran rumah tangga untuk sesegera
mungkin melaporkan kepada pihak yang berwajib.
3. Kepada pihak pemerintah pusat yang membuat peraturan perundang-
undangan, perlunya mengadakan evaluasi dan revisi mengenai amandemen
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga khususnya pada Pasal 46, 47 dan 48 menyangkut
ancaman pidana denda yang bersifat alternatif, dimana sebaiknya ancaman
pidana denda harus bersifat kumulatif. Sehingga kepada pelaku tindak
kekerasan seksual dalam rumah tangga pada umumnya, dan tindak pidana
perkosaan dalam rumah tangga pada khususnya, tidak hanya dikenakan pidana
berupa kurungan badan akan tetapi juga kepadanya dibebankan denda yang
diberikan kepada pihak korban.
4. Pentinganya memberikan perluasan makna mengenai definisi lingkup rumah
tangga dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga dimana disebutkan disana Suami, isteri, dan
anak; orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga karena hubungan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
58
darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap
dalam rumah tangga; atau orang yang bekerja membantu rumah tangga dan
menetap dalam rumah tangga tersebut. Tetapi tidak disebutkan apabila pelaku
dan korban masih memiliki hubungan darah namun tidak tinggal dalam satu
rumah, sehingga ketentuan ini tidak berlaku baginya karena lingkup rumah
tangga yang didefinisikan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 masih
memiliki kekurangan.