difteri

28
DIFTERI I. PENDAHULUAN Difteri merupakan infeksi saluran pernapasan bagian atas, yang disebabkan oleh toksin Corynebacterium diphtheriae. Sumber penularan penyakit difteri adalah manusia yang sakit atau karier. Cara penularannya melalui kontak langsung dengan penderita atau karier, dengan masa inkubasi 2-5 hari .(1, 3,7) Kasus difteri sangat jarang dijumpai di negara maju, terutama setelah berhasilnya program imunisasi. Namun di negara berkembang seperti di Indonesia, kasus difteri masih sering terjadi, bahkan menjadi wabah. Di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat misalnya kasus difteri dilaporkan setiap tahun, sejak tahun 1994. Data menunjukkan bahwa sejak tahun 1994-2000 ditemukan 147 kasus difteri (CFR 27,8%). Sebagian besar kasus difteri dilaporkan dari puskesmas, sedangkan dari rumah sakit dilaporkan 7 kasus per tahun. Tidak semua kasus yang dilaporkan disertai pemeriksaan laboratorium yang memadai. (1) Tidak semua galur Corynebacterium diphtheriae bersifat toksik, galur yang menghasilkan toksin dapat menyebabkan penyakit yang parah. Untuk mendeteksi toksin dari isolat klinis, sangat diperlukan tes yang akurat dan cepat. Hal 1

Upload: santirahim

Post on 31-Oct-2015

63 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

DIFTERI

I. PENDAHULUAN

Difteri merupakan infeksi saluran pernapasan bagian atas, yang disebabkan oleh

toksin Corynebacterium diphtheriae. Sumber penularan penyakit difteri adalah

manusia yang sakit atau karier. Cara penularannya melalui kontak langsung dengan

penderita atau karier, dengan masa inkubasi 2-5 hari.(1, 3,7)

Kasus difteri sangat jarang dijumpai di negara maju, terutama setelah berhasilnya

program imunisasi. Namun di negara berkembang seperti di Indonesia, kasus difteri

masih sering terjadi, bahkan menjadi wabah. Di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat

misalnya kasus difteri dilaporkan setiap tahun,

sejak tahun 1994. Data menunjukkan bahwa

sejak tahun 1994-2000 ditemukan 147 kasus

difteri (CFR 27,8%). Sebagian besar kasus

difteri dilaporkan dari puskesmas, sedangkan

dari rumah sakit dilaporkan 7 kasus per tahun.

Tidak semua kasus yang dilaporkan disertai

pemeriksaan laboratorium yang memadai. (1)

Tidak semua galur Corynebacterium diphtheriae bersifat toksik, galur yang

menghasilkan toksin dapat menyebabkan penyakit yang parah. Untuk mendeteksi

toksin dari isolat klinis, sangat diperlukan tes yang akurat dan cepat. Hal ini penting

untuk konfi rmasi diagnosis klinis difteri dan untuk mengetahui risiko penyebaran

penyakit tersebut pada orang kontak. Diagnosis difteri sulit ditegakkan karena sering

rancu dengan infeksi lain seperti infeksi tonsil oleh Streptococcus atau infeksi

kelenjar (glandular fever). Oleh karena itu diagnosis laboratorium sangat diperlukan

untuk melengkapi diagnosis klinis. (1)

Pemeriksaan toksigenisitas kuman difteri secara in vivo dan in vitro cukup akurat,

namun memerlukan waktu lama. Pemeriksaan molekuler seperti Polymerase Chain

Reaction (PCR) merupakan salah satu alternatif deteksi infeksi difteri secara cepat

dan akurat. (1)

1

II. EPIDEMIOLOGI

Corynobacterium Diphtheriae dapat ditemui di membrana mukosa saluran napas

atas dan kulit manusia. Penyebaran terutama melalui udara bersama tetes-tetes

pernapasan atau kontak langsung dengan sekresi pernapasan individu bergejala atau

eksudat dari lesi kulit yang terinfeksi. Pengidap (carrier) pernapasan tidak bergejala

penting dalam penularan. Dimana difteri endemik, 3-5 % individu sehat dapat

mengandung organisme bertoksin, tetapi pengidap sangat jika difteri jarang. Infeksi

kulit dan pengidap kulit merupakan resevoir difteri diam-diam. Ketahanan hidup

dalam debu dan pada benda berpori sampai 6 bulan kurang berarti secara

epidemiologis. Penularan melalui susu yang terkontaminasi dan pengurus makan

yang terkontaminasi dan makanan yang terkontaminasi telah terbukti atau dicugai. (2)

Pada tahun 1920, lebih dari 125.000 kasus dan 10.000 kematian karena difteria

dilaporkan setiap tahun di amerika serikat, dengan angka kematian tertinggi pada

penderita yang amat muda dan yang lebih tua. Dari tahun 1921-1924 ,difteri

merupakan penyebab utama kematian pada anak-anak kanada umur 2-14 tahun.

Insidennya mulai turun, dan dengan penggunaan toksoid difteri yang luas di Amerika

serikat sesudah perang dunia II, insiden ini menurun secara mantap pada tahun 1970.

Walaupun insiden penyakit turunn di seluruh dunia, difteri tetap endemik di negara

berkembang. Insiden difteri bertahan rendah dantingkat vaksinasi anak tinggi

menyebabkan para pakar menetapkan tujuan sasaran pelenyapan difteri pada orang-

orang berumur 25 tahun atau sebelumnya di amerika serikat pada tahun 2000. (2)

Difteri kulit, suatu barang aneh ketika difteri sering ada, meliputi lebih pada 50%

isolat C. Diphtheriae dilaporkan di amerika serikat pada tahun 1975 dan tanda –tanda

menonjol padaperubahan epidemiologi difteri pada tahun 1990. Infeksi kulit, infeksi

lokal yang lamban dengan komplikasi toksik yang jarang, dibandingkan dengan

pelepsan bakteri yang lebih lama , menambah kontaminasi lingkungan. Wabah

dihubungkan dengan tunawisma ,berjejal-jejal ,kemiskinan, alkolisme, higiene

jelek ,benda terkontaminasi,dermatosis yang yang mendasari, dan pemasukan strain

baru dari sumber eksogen. Difteri kulit merupakan reservoir penting untuk

C.diphtheriae bertoksin di maerika serikat sering merupakan cara pemasukan sumber

kasus untuk difteria saluran pernapasan sporadik berikutnya. (2)

2

III. ETILOGI

Spesies Corynebacterium Diphteriae adalah kuman batang gram-positif (basil

aerob), tidak bergerak, pleomorfik, tidak berkapsul, tidak membentuk spora, mati

pada pemanasan 60ºC, tahan dalam keadaan beku dan kering. Dengan pewarnaan,

kuman ini bisa terlihat dalam susunan palisade, bentuk L atu V, atau merupakan

formasi mirip huruf cina. Kuman tidak bersifat selektif dalam pertumbuhannya,

isolasinya dipermudah dengan media tertentu (yaitu sistin telurit agar darah) yang

menghambat pertumbuhan organisme yang menyaingi, dan bila direduksi oleh C.

diphteheriae akan membuat koloni menjadi abu-abu hitam, atau dapat pula dengan

menggunakan media loeffler yaitu medium yang mengandung serum yang sudah

dikoagulasikan dengan fosfat konsentrasi tinggi maka terjadi granul yang berwarna

metakromatik dengan metilen blue, pada medium ini koloni akan berwarna krem.

Pada membran mukosa manusia C.diphtheriae dapat hidup bersama-sama dengan

kuman diphtheroid saprofit yang mempunyai morfologi serupa, sehingga untuk

membedakan kadang-kadang diperlukan pemeriksaan khusus dengan cara fermentasi

glikogen, kanji, glukosa, maltosa atau sukrosa. (2,10)

Gambar 3. Corynebacterium Diphteriae

Secara umum dikenal 3 tipe utama C.diphtheriae yaitu tipe garvis, intermedius

dan mistis namun dipandang dari sudut antigenitas sebenarnya basil ini merupakan

spesies yang bersifat heterogen dan mempunyai banyak tipe serologik. Hal ini

mungkin bias menerangkan mengapa pada seorang pasien biasa mempunyai

kolonisasi lebih dari satu jenis C.diphtheriae. Ciri khas C.diphtheriae adalah

kemampuannya memproduksi eksotoksin baik in-vivo maupun in-vitro, toksin ini

3

dapat diperagakan dengan uji netralisasi toksin in vivo pada marmut (uji kematian)

atau diperagakan in vitro dengan teknik imunopresipitin agar (uji Elek) yaitu suatu uji

reaksi polimerase pengamatan. Eksotoksin ini merupakan suatu protein dengan berat

molekul 62.000 dalton, tidak tahan panas atau cahaya, mempunyai 2 fragmen yaitu

fragmen A (amino-terminal) dan fragmen B (karboksi-terminal). Kemampuan suatu

strain untuk membentuk atau memproduksi toksin dipengaruhi oleh adanya

bakteriofag, toksin hanya biasa diproduksi oleh C.diphtheriae yang terinfeksi oleh

bakteriofag yang mengandung toxigene.(2,7,10)

IV. PATOFISIOLOGI

Kuman C. diphtheriae masuk melalui mukosa/kulit, melekat serta berkembang

biak pada permukaan mukosa saluran nafas bagian atas dan mulai memproduksi

toksin yang merembes ke sekeliling serta selanjutnya menyebar ke seluruh tubuh

melalui pembuluh limfe dan pembuluh darah. Efek toksin pada jaringan tubuh

manusia adalah hambatan pembentukan protein dalam sel. Pembentukan protein

dalam sel dimulai dari penggabungan 2 asam amino yang telah diikat 2 transfer RNA

yang mendapati kedudukan P dan A dari ribosom. Bila rangkaian asam amino ini

akan ditambah dengan asam amino lain untuk membentuk polipeptida sesuai dengan

cetakan biru RNA, diperlukan proses translokasi. Translokasi ini merupakan

pindahnya gabungan transfer RNA + dipeptida dari kedudukan A ke kedudukan P.

Proses translokasi ini memerlukan enzim traslokase (elongation factor-2) yang aktif. (2,7)

Toksin difteria mula-mula menempel pada membran sel dengan bantuan fragmen

B dan selanjutnya fragmen A akan masuk dan mengakibatkan inaktivitasi enzim

translokase melalui proses NAD+EF2 (aktif) toksin ADP-ribosil-EF2 (inaktif) + H2 +

Nikotinamid ADP-ribosil-EF2 yang inaktif ini menyebabkan proses traslokasi tidak

berjalan sehingga tidak terbentuk rangkaian polipeptida yang diperlukan, dengan

akibat sel akan mati. Nekrosis tampak jelas di daerah kolonisasi kuman. Sebagai

respons terjadi inflamasi local, bersama-sama dengan jaringan nekrotik membentuk

bercak eksudat yang semula mudah dilepas. Produksi toksin semakin banyak, daerah

4

infeksi semakin lebar dan terbentuklah eksudat fibrin. Terbentuklah suatu membran

yang melekat erat berwarna kelabu kehitaman, tergantung dari jumlah darah yang

terkandung. Selain fibrin, membran juga terdiri dari sel radang, eritrosit dan epitel.

Bila dipaksa melepaskan membran akan terjadi perdarahan. Selanjutnya akan terlepas

sendiri pada masa penyembuhan. (,2,7,)

Pada pseudomembran kadang-kadang dapat terjadi infeksi sekunder dengan

bakteri (misalnya Streptococcus pyogenes). Membran dan jaringan edematous dapat

menyumbat jalan nafas. Gangguan pernafasan / sufokasi bias terjadi dengan perluasan

penyakit kedalam laring atau cabang trakeo-bronkus. Toksin yang diedarkan dalam

tubuh bias mengakibatkan kerusakan pada setiap organ, terutama jantung, saraf dan

ginjal. Antitoksin difteria hanya berpengaruh pada toksin yang bebas atau yang

terabsorbsi pada sel, tetapi tidak menetralisasi apabila toksin telah melakukan

penetrasi kedalam sel. Setelah toksin terfiksasi dalam sel, terdapat masa laten yang

bervariasi sebelum timbulnya manifestasi klinis. Miokarditis biasanya terjadi dalam

10-14 hari, manifestasi saraf pada umumnya terjadi setelah 3-7 minggu. Kelainan

patologik yang mencolok adalah nekrosis toksis dan degenerasi hialin pada

bermacam-macam organ dan jaringan. Pada jantung tampak edema, kongesti,

infiltrasi sel mononuclear pada serat otot dan system konduksi,. Apabila pasien tetap

hidup terjadi regenerasi otot dan fibrosis interstisial. Pada saraf tampak neuritis toksik

dengan degenerasi lemak pada selaput myelin. Nekrosis hati biasa disertai gejala

hipoglikemia, kadang-kadang tampak perdarahan adrenal dan nekrosis tubular akut

pada ginjal.(,2,7)

V. GAMBARAN KLINIS

Tergantung pada berbagai faktor, maka manifestasi penyakit ini bias bervariasi

dari tanpa gejala sampai suatu keadaan / penyakit yang hipertoksik serta fatal.

Sebagai factor primer adalah imunitas pejamu terhadap toksin difteria, virulensi serta

toksigenitas C. diphtheriae ( kemampuan kuman membentuk toksin), dan lokasi

penyakit secara anatomis. Faktor lain termasuk umur, penyakit sistemik penyerta dan

5

penyakit pada daerah nasofaring yang sudah sebelumnya. Difteria mempunyai masa

tunas 2 hari. Pasien pada umumnya datang untuk berobat setelah beberapa hari

menderita keluhan sistemik. Demam jarang melebihi 38,9ºC dan keluhan serta gejala

lain tergantung pada lokalisasi penyakit difteria. (2,3,7)

A. Difteri Saluran Pernapasan

Pada uraian klasik 1400 kasus difteri dari California yang dipublikasikan pada

tahun 1954, focus infeksi primer adalah tonsil atau faring pada 94%, dengan

hidung dan laring dua tempat berikutnya yang paling lazim. Sesudah sekitar masa

inkubasi 2-4 hari, terjadi tanda-tanda dan gejala-gejala radang lokal. Demam

jarang lebih tinggi dari 39ºC.(2)

1. Difteri Hidung

Difteria hidung pada awalnya meneyerupai common cold, dengan gejala

pilek ringan tanpa atau disertai gejala sistemik ringan. Infeksi nares anterior

(lebih sering pada bayi) menyebabkan rhinitis erosif, purulen, serosanguinis

dengan pembentukan membrane. Ulserasi dangkal nares luar dan bibir sebelah

dalam adalah khas. Pada pemeriksaan tampak membrane putih pada daerah

septum nasi. Absorbsi toksin sangat lambat dan gejala sistemik yang timbul

tidak nyata sehingga diagnosis lambat dibuat. (2,3)

2. Difteri Tonsil Faring

Pada difteri tonsil dan faring, nyeri tenggorok merupakan gejala awal yang

umum, tetapi hanya setengah penderita menderita disfagia, serak, malaise atau

nyeri kepala. Dalam 1-2 hari kemudian timbul membrane yang melekat

berwarna putih kelabu, injeksi faring ringan disertai dengan pembentukan

membrane tonsil unilateral atau bilateral, yang meluas secara berbeda-beda

mengenai uvula, palatum molle, orofaring posterior, hipofaring dan daerah

glottis. Edema jaringan lunak dibawahnya dan pembesaran limfonodi dapat

menyebabkan gambaran “bull neck”. Selanjutnya gejala tergantung dari

derajat peneterasi toksin dan luas membrane. Pada kasus berat, dapat terjadi

kegagalan pernafasan atau sirkulasi. Dapat terjadi paralisis palatum molle baik

uni maupun bilateral, disertai kesukaran menelan dan regurgitasi. Stupor,

6

koma, kematian bias terjadi dalam 1 minggu sampai 10 hari. Pada kasus

sedang penyembuhan terjadi secara berangsur-angsur dan bias disertai

penyulit miokarditis atau neuritis. Pada kasus ringan membrane akan terlepas

dalam 7-10 hari dan biasanya terjadi penyembuhan sempurna. (2,3)

Gambar 1. Diteri Faring dan Tonsil

3. Difteri Laring

Difteri laring biasanya merupakan perluasan difteri faring. Penderita

dengan difteri laring sangat cenderung tercekik karena edema jaringan lunak

dan penyumbatan lepasan epitel pernapasan tebal dan bekuan nekrotik. Pada

difteria faring primer gejala toksik kurang nyata, oleh karena mukosa laring

mempunyai daya serap toksin yang rendah dibandingkan mukosa faring

sehingga gejala obstruksi saluran nafas atas lebih mencolok. Gejala klinis

difteri laring sukar dibedakan dari tipe infectious croups yang lain, seperti

nafas berbunyi, stridor yang progresif, suara parau dan batuk kering. Pada

Obstruksi laring yang berat terdapat retraksi suprasternal, interkostal dan

supraklavikular. Bila terjadi pelepasan membrane yang menutup jalan nafas

biasa terjadi kematian mendadak. Pada kasus berat, membrane dapat meluas

ke percabangan trakeobronkial. Apabila difteria laring terjadi sebagai

perluasan dari difteria faring, maka gejala yang tampak merupakan campuran

gejala obstruksi dan toksemia. (2)

B. Difteri Kulit

7

Difteri kulit berupa tukak dikulit, tepi jelas dan terdapat membrane pada

dasarnya, kelainan cenderung menahun. Difteri kulit klasik adalah infeksi

nonprogresif lamban yang ditandai dengan ulkus yang tidak menyembuh,

superficial, ektimik dengan membrane coklat keabu-abuan. Infeksi difteri kulit

tidak selalu dapat dibedakan dari impetigo streptokokus atau stafilokokus, dan

mereka biasanya bersama. Pada kebanyakan kasus, dermatosis yang mendasari,

luka goresan, luka bakar atau impetigo yang telah terkontaminasi sekunder.

Tungkai lebih sering terkena dari pada badan atau kepala. Nyeri, sakit, eritema,

dan eksudat khas. Hiperestesi lokal atau hipestesia tidak lazim. Kolonisasi saluran

pernapasan atau infeksi bergejala dan komplikasi toksik terjadi pada sebagian

kecil penderita dengan difteri kulit. (2,3)

Gambar 2.Dfiteri kulit

C. Difteri Vulvovaginal, Konjungtiva, dan Telinga

Diphtheriae kadang-kadang menimbulkan infeksi mukokutan pada tempat-

tempat lain, seperti telinga (otitis eksterna), mata (konjungtivitis purulenta dan

ulseratif), dan saluran genital (vulvovginitis purulenta dan ulseratif). Wujud

klinis, ulserasi, pembentukan membrane dan perdarahan submukosa membantu

membedakan difteri dari penyebab bakteri dan virus lain.(2,3)

VI. DIAGNOSIS

8

A. Klinik

1. Gejala utama :

Membran khas terutama pada tonsil dan dinding faring dengan sifat-sifat:

- Membran tebal putih kelabu

- Pinggir hiperemis dan udem

- Sukar diangkat

- Sukar diangakat(2,3)

2. Gejala tambahan tergantung lokalisasinya:

a. Difteri hidung

Sekret serosaguinus dari lubang hidung dan tanda-tanda iritasi pada

lubang hidung dan bibir atas. (2,3)

b. Difteri tonsil dan faring :

- Demam subfebril

- Anoreksia ,sakit menelan

- Pembesaran kelenjar limfe servical / submandibula

- Bull neck (adenitas servical, peri adenitas dan udem jaringan

sekitarnya.secara klinik dapat dikenal bilamana pembengkakan tersebut

sedemikian, sehingga batas-batas m.sternocleoidomastoideus, angulus

mandibula dan medial klavikula tidak jelas lagi. (2,3)

Gambar 4. Bull-neck

c. Difteri laring

9

- Batuk menggonggong

- Suara serak, stridor

- Tanda-tanda obstruksi pernapasan : sesak, retraksi dinding toraks,

sianosis.

Difteri laring mudah didiagnosis secara klinik bila ada difteri tonsil dan

faring. Bila tidak ada tanda –tanda difteri tonsil dan maka didiagnosis

difteri laring harus dibantu dengan pemeriksaan laringoskopi. (2,3)

B. Bakteriologik

Preparat apusan langsung dan biakan (isolasi kuman difteri) dari bahan

apusan mukosa hidung dan tenggorok (nasofaringeal swab). Dalam penanganan

penyakit difteri, gambaran klinik merupakan pegangan uatama dalam

menegakkan diagnosis, karena disetiap keterlambatan pengobatan akan

menimbulkan resiko pada penderita. (3)

Pemeriksaan laboratorium bertujuan sebagai pemeriksaan penunjang

/konfirmasi diagnosis klinik. (3)

VII. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan penujang yang biasa dilakukan untuk membantu dalam menegakkan

diagnosis difteri yaitu:

- Pemeriksaan bakteriologis

Merupakan pemeriksaan yang membuat preparat apusan dan biakan

kuman difteri dari bahan apusan mukosa hidung dan tenggorokan

(nasofaringeal swab).

- Darah rutin (Hb, leukosit , hitung jenis)

- urin lengkap ( aspek protein dan sedimen)

- enzim CPK segera pada saat masuk rumah sakit

- ureum dan kreatinin bila ada kecurigaan komplikasi ginjal.

- EKG dilakukan sejak hari 1 perawatan kemudian secara serial 1x/ minggu

kecuali bila ada indikasi bisa dilakukan 2-3x/minggu.(3)

VIII. DIAGNOSIS BANDING

10

1. Faringitis bakterial ec streptococcus group A

2. Faringitis virus

3. Mononucleosis

4. Sifilis oral

5. Candidiasis

6. Epiglotitis akut

7. Vincent’s angina (7)

IX. PENATALAKSANAAN

Tujuan pengobatan penderita difteria adalah menginaktivasi toksin yang belum

terikat secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadi minimal,

mengeliminasi C. diphtheriae untuk mencegah penularan serta mengobati infeksi

penyerta dan penyulit difteria. (2,3)

a. Pengobatan umum

Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan hapusan tenggorok

negative 2 kali berturut-turut. Pada umumnya pasien tetap diisolasi selama 2-3

minggu. Istirahat tirah baring selama kurang lebih 2-3 minggu, pemberian cairan

serta diet yang adekuat, makanan lunak yang mudah dicerna, cukup mengandung

protein dan kalori. Penderita diawasi ketat atas kemungkinan terjadinya

komplikasi antara lain dengan pemeriksaan EKG pada hari 0, 3, 7 dan setiap

minggu selama 5 minggu. Khusus pada difteri laring dijaga agar nafas tetap bebas

serta dijaga kelembaban udara dengan menggunakan nebulizer. (3)

b. Pengobatan Khusus

1. Antitoksin : Anti Diphtheria Serum (ADS)

Antitoksin harus diberikan segera setelah dibuat diagnosis difteria. Dengan

pemberian antitoksin pada hari pertama, angka kematian pada penderita

kurang dari 1%. Namun dengan penundaan lebih dari hari ke-6, angka

kematian ini biasa meningkat sampai 30%.(3)

11

Dosis ADS Menurut Lokasi Membran dan Lama Sakit

Sebelum Pemberian ADS harus dilakukan uji kulit atau uji mata terlebih

dahulu, oleh karena pada pemberian ADS dapat terjadi reaksi anafilaktik,

sehingga harus disediakan larutan adrenalin a:1000 dalam semprit. Uji kulit

dilakukan dengan penyuntikan 0,1 ml ADS dalam larutan garam fisiologis

1:1.000 secara intrakutan. Hasil positif bila dalam 20 menit terjadi indurasi >

10 mm. Uji mata dilakukan dengan meneteskan 1 tetes larutan serum 1:10

dalam garam fisiologis. Pada mata yang lain diteteskan garam fisiologis. Hasil

positif bila dalam 20 menit tampak gejala hiperemis pada konjungtiva bulbi

dan lakrimasi. Bila uji kulit/mata positif, ADS diberikan dengan cara

desentisasi (Besredka). Bila ujihiprsensitivitas tersebut diatas negative, ADS

harus diberikan sekaligus secara intravena. Dosis ADS ditentukan secara

empiris berdasarkan berat penyakit dan lama sakit, tidak tergantung pada berat

badan pasien, berkisar antara 20.000-120.000 KI seperti tertera pada tabel

diatas. Pemberian ADS intravena dalam larutan garam fisiologis atau 100 ml

glukosa 5% dalam 1-2 jam. Pengamatan terhadap kemungkinan efek samping

obat dilakukan selama pemberian antitoksin dan selama 2 jam berikutnya

Demikian pula perlu dimonitor terjadinya reaksi hipersensitivitas lambat

(serum sickness) (1,2,3)

12

2. Antibiotik

Antibiotik diberikan bukan sebagai pengganti antitoksin melainkan untuk

membunuh bakteri dan menghentikan produksi toksin dan juga mencegah

penularan organisme pada kontak. C. diphtheriae biasanya rentan terhadap

berbagai agen invitro, termasuk penisilin, eritromisin, klindamisin, rifampisin

dan tetrasiklin. Sering ada resistensi terhadap eritromisin pada populasi yang

padat jika obat telah digunakan secara luas. Yang dianjurkan hanya penisilin

atau eritromisin; eritromisin sedikit lebih unggul daripada penisilin untuk

pemberantasan pengidap nasofaring. (2,3)

Dosis :

- Penisilin prokain 25.000-50.000 U/kgBB/hari i.m. , tiap 2 jam selama 14

hari atau bila hasil biakan 3 hari berturut-turut (-).

- Eritromisin 40-50 mg/kgBB/hari, maks 2 g/hari, p.o. , tiap 6 jam selama

14 hari.

- Penisilin G kristal aqua 100.000-150.000 U/kgBB/hari, i.m. atau i.v. ,

dibagi dalam 4 dosis.

- Amoksisilin.

- Rifampisin.

- Klindamisin.

Terapi diberikan selama 14 hari. Bebrapa penderita dengan difteri kulit diobati

7-10 hari. Lenyapnya organisme harus didokumentasi sekurang-kurangnya

dua biakan berturutturut dari hidung dan tenggorok (atau kulit) yang diambil

berjarak 24 jam sesudah selesai terapi. (3)

3. Kortikosteroid

Belum terdapat persamaan pendapat mengenai kegunaan obat ini pada

difteria. Dianjurkan korikosteroid diberikan kepada kasus difteria yang

disertai dengan gejala obstruksi saluran nafas bagian atas (dapat disertai atau

tidak bullneck) dan bila terdapat penyulit miokarditis. Pemberian

kortikosteroid untuk mencegah miokarditis ternyat tidak terbukti.

13

Dosis : Prednison 1,0-1,5 mg/kgBB/hari, p.o. tiap 6-8 jam pada kasus berat

selama 14 hari. (3)

c. Pengobatan Penyulit

Pengobatan terutama ditujukan untuk menjaga agar hemodinamika tetap baik.

Penyulit yang disebabkan oleh toksin pada umumnya reversible. Bila tampak

kegelisahan, iritabilitas serta gangguan pernafasan yang progresif merupakan

indikasi tindakan trakeostomi. (3)

d. Pengobatan Karier

Karier adalah mereka yang tidak menunjukkan keluhan, mempunyai uji Schick

negative tetapi mengandung basil difteria dalam nasofaringnya. Pengobatan yang

dapat diberikan adalah penisilin 100 mg/kgBB/hari oral/suntikan, atau eritromisin

40mg/kgBB/hari selama satu minggu. Mungkin diperlukan tindakan tonsilektomi/

edenoidektomi. (3)

Biakan Uji schick Tindakan

(-) (-) Bebas isolasi : anak yang telah mendapat imunisasi

dasar diberikan booster toksoid difteria

(+) (-) Pengobatan karier : Penisilin 100 mg/kgBB/hari

oral/suntikan, atau eritromisin 40 mg/kgBB/hari

selama 1 minggu

(+) (+) Penisilin 100 mg/kgBB/hari oral/suntikan atau

eritromisin 40 mg/kgBB + ADS 20.000 KI

(-) (+) Toksoid difteria ( imunisasi aktif), sesuaikan

dengan status imunisasi

X. PENCEGAHAN

14

Pencegahan secara umum dengan menjaga kebersihan dan memberikan

pengetahuan tentang bahaya difteria bagi anak. Pada umumnya setelah seseorang

anak menderita difteria, kekebalan terhadap penyakit ini sangat rendah sehingga perlu

imunisasi DPT dan pengobatan karier. Seorang anak yang telah mendapat imunisasi

difteria lengkap, mempunyai antibodi terhadap toksin difteria tetapi tidak mempunyai

antibody terhadap organismenya. Keadaan demikian memungkinkan seseorang

menjadi pengidap difteria dalam nasofaringnya (karier) atau menderita difteri ringan.(2,3,7)

Toksoid difteri dipersiapkan dengan pengobatan formaldehid toksin, kekuatannya

dibakukan, dan diserap pada garam alumunium, yang memperbesar imunogenitas.

Dua preparat toksoid difteri dirumuskan sesuai dengan kandungan batas flokulasi (Bf)

suatu pengukuran kuantitas toksoid. Preparat pediatric (yaitu DPT,DT,DTaP)

mengandung 6,7-12,5 Bf unit toksoid difteri per dosis 0,5mL; preparat dewasa (yaitu

Td) mengandung tidak lebih dari 2 Bf unit toksoid per 0,5 mL dosis. Formulasi

toksoid potensi yang lebih tinggi (yaitu D) digunakan untuk dosis seri primer dan

booster untuk anak umur 6 tahun karena imunogenitasnya superior dan

reaktogenisitasnya minimal. Untuk individu umur 7 tahun dan yang lebih tua, Td

dianjurkan untuk seri primer dan dosis booster, karena kadar toksoid difteri yang

lebih rendah cukup imunogenik dank arena semakin kadar toksoid difteri makin

tinggi reaktogenitas pada umur yang semakin tinggi. (2,3,7)

Rencana (Jadwal) :

- Untuk anak umur 6 minggu sampai 7 tahun , beri 0,5 mL dosis vaksin

mengandung-difteri (D). seri pertama adalah dosis pada sekitar 2,4, dan 6

bulan. Dosis ke empat adalah bagian intergral seri pertama dan diberikan

sekitar 6-12 bulan sesudah dosis ke tiga. Dosis booster siberikan umur 4-6

tahun (kecuali kalau dosis primer ke empat diberikan pada umur 4 tahun).

- Untuk anak-anak yang berumur 7 tahun atau lebih, gunakan tiga dosis 0,5 mL

yang mengandung vaksin (D). Seri primer meliputi dua dosis yang berjarak 4-

8 minggu dan dosis ketiga 6-12 bulan sesudah dosis kedua.

15

- Untuk anak yang imunisasi pertusisnya terindikasi digunakan DT atau Td.

Mereka yang mulai dengan DTP atau DT pada sebelum usia 1 tahun harus

mengalamilima dosis vaksin yang mengandung difteri (D) 0,5 mL pada usia 6

tahun.

- Untuk mereka yang mulai pada atau sesudah umur 1 tahun, seri pertama

adalah tiga dosis 0,5 mL vaksin mengandung difteri, dengan booster yang

diberikan pada usia 4-6 tahun, kecuali kalau dosis ketiga diberikan sesudah

umur 4 tahun. (2,3,7)

XI. KOMPLIKASI

- Miokarditis (10-25 %)

- Neuropati cranial dan periferal (2-6 minggu setelah onset)

- EKG abnormal pada 2-3 pasien,menyebabkan bundle branch block,

tachycardia, atrial or ventricular fibrillation, extrasystoles.

- Gagal jantung kanan

- Paralisis lokal palatum dan faring posterior dilihat dengan regurgitasi dari

cairan melalui nares.

- Syndrome like Guillain-Barré

- Neuropathy cranial dan peripheral yang mempengaruhi fungsi motorik

nervus. (2,3,7)

XII. PROGNOSIS

Umumnya tergantung dari umur, virulensi kuman, lokasi dan penyebaran membran,

status imunisasi, kecepatan pengobatan, ketepatan diagnosis, dan perawatan

umum.Prognosis difteria setelah ditemukan ADS dan antibiotik, lebih baik daripada

sebelumnya, keadaan demikian telah terjadi di negara-negara lain. Kematian tersering

pada anak kurang dari 4 tahun akibat membran difteri. Menurut Krugman, kematian

mendadak pada kasus difteria dapat disebabkan oleh karena

1. Obstruksi jalan nafas mendadak diakibatkan oleh terlepasnya difteria,

2. Adanya miokarditis dan gagal jantung,

3. Paralisis difragma sebagai akibat neuritis nervus nefrikus.

16

Anak yang pernah menderita miokarditis atau neuritis sebagai penyulit difteria, pada

umumnya akan sembuh sempurna tanpa gejala sisa; walaupun demikian pernah

dilaporkan kelainan jantung yang menetap. Penyebab strain gravis prognosisnya

buruk. Adanya trombositopenia amegakariositik dan leukositosis > 25.000/

prognosisnya buruk. Mortalitas tertinggi pada difteri faring-laring (56,8%) menyusul

tipe nasofaring (48,4%) dan faring (10,5%). (2,7)

DAFTAR PUSTAKA

1. Handayani,Sarwo. Deteksi Kuman Difteri dengan Polymerase Chain Reaction

(PCR). Cermin dunia kedokteran vol. 39 :191,2012

17

2. Kliegman,dkk. Infectious diseases : gram- positive bacterial infections, diphtheria

(corynebacterium diphtheriae). Nelson Textbook of Pediatrics, 18th editoin :

186,2007

3. SMF. Standar pelayanan medik infeksi : Difteri anak. Standar pelayanan medis

kesehatan anak hal.5,2012

4. Fauci's, dkk. Infectious Diseases : Diphtheria. Harrison’s Principles of Internal

Medicine Seventeenth Edition : 131,2008

5. Eko, Abrian. Difteri. Makalah mikrobiologi. Sekolah tinggi ilmu kesehatan

majapahit ilmu kesehatan majapahit mojokerto.2011-2012

6. Nawing, Herry. Slide kuliah: Difteri Anak. Fakultas Kedokteran Univeritas

Hasanuddin.hal.41 :2012

7. Demirci,cem S. Pediatric Diphtheria. Med scape reference. 23 November 2011

8. Greene, joseph B. Diagnosis and treatment of diphtheria. The New England

journal of medicine. 19 juni 1913

9. Alberta Health and Wellness. Diphtheria. Public Health Notifiable Disease

Management Guidelines.. Januari 2011

18