difteri
TRANSCRIPT
DIFTERI
I. PENDAHULUAN
Difteri merupakan infeksi saluran pernapasan bagian atas, yang disebabkan oleh
toksin Corynebacterium diphtheriae. Sumber penularan penyakit difteri adalah
manusia yang sakit atau karier. Cara penularannya melalui kontak langsung dengan
penderita atau karier, dengan masa inkubasi 2-5 hari.(1, 3,7)
Kasus difteri sangat jarang dijumpai di negara maju, terutama setelah berhasilnya
program imunisasi. Namun di negara berkembang seperti di Indonesia, kasus difteri
masih sering terjadi, bahkan menjadi wabah. Di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat
misalnya kasus difteri dilaporkan setiap tahun,
sejak tahun 1994. Data menunjukkan bahwa
sejak tahun 1994-2000 ditemukan 147 kasus
difteri (CFR 27,8%). Sebagian besar kasus
difteri dilaporkan dari puskesmas, sedangkan
dari rumah sakit dilaporkan 7 kasus per tahun.
Tidak semua kasus yang dilaporkan disertai
pemeriksaan laboratorium yang memadai. (1)
Tidak semua galur Corynebacterium diphtheriae bersifat toksik, galur yang
menghasilkan toksin dapat menyebabkan penyakit yang parah. Untuk mendeteksi
toksin dari isolat klinis, sangat diperlukan tes yang akurat dan cepat. Hal ini penting
untuk konfi rmasi diagnosis klinis difteri dan untuk mengetahui risiko penyebaran
penyakit tersebut pada orang kontak. Diagnosis difteri sulit ditegakkan karena sering
rancu dengan infeksi lain seperti infeksi tonsil oleh Streptococcus atau infeksi
kelenjar (glandular fever). Oleh karena itu diagnosis laboratorium sangat diperlukan
untuk melengkapi diagnosis klinis. (1)
Pemeriksaan toksigenisitas kuman difteri secara in vivo dan in vitro cukup akurat,
namun memerlukan waktu lama. Pemeriksaan molekuler seperti Polymerase Chain
Reaction (PCR) merupakan salah satu alternatif deteksi infeksi difteri secara cepat
dan akurat. (1)
1
II. EPIDEMIOLOGI
Corynobacterium Diphtheriae dapat ditemui di membrana mukosa saluran napas
atas dan kulit manusia. Penyebaran terutama melalui udara bersama tetes-tetes
pernapasan atau kontak langsung dengan sekresi pernapasan individu bergejala atau
eksudat dari lesi kulit yang terinfeksi. Pengidap (carrier) pernapasan tidak bergejala
penting dalam penularan. Dimana difteri endemik, 3-5 % individu sehat dapat
mengandung organisme bertoksin, tetapi pengidap sangat jika difteri jarang. Infeksi
kulit dan pengidap kulit merupakan resevoir difteri diam-diam. Ketahanan hidup
dalam debu dan pada benda berpori sampai 6 bulan kurang berarti secara
epidemiologis. Penularan melalui susu yang terkontaminasi dan pengurus makan
yang terkontaminasi dan makanan yang terkontaminasi telah terbukti atau dicugai. (2)
Pada tahun 1920, lebih dari 125.000 kasus dan 10.000 kematian karena difteria
dilaporkan setiap tahun di amerika serikat, dengan angka kematian tertinggi pada
penderita yang amat muda dan yang lebih tua. Dari tahun 1921-1924 ,difteri
merupakan penyebab utama kematian pada anak-anak kanada umur 2-14 tahun.
Insidennya mulai turun, dan dengan penggunaan toksoid difteri yang luas di Amerika
serikat sesudah perang dunia II, insiden ini menurun secara mantap pada tahun 1970.
Walaupun insiden penyakit turunn di seluruh dunia, difteri tetap endemik di negara
berkembang. Insiden difteri bertahan rendah dantingkat vaksinasi anak tinggi
menyebabkan para pakar menetapkan tujuan sasaran pelenyapan difteri pada orang-
orang berumur 25 tahun atau sebelumnya di amerika serikat pada tahun 2000. (2)
Difteri kulit, suatu barang aneh ketika difteri sering ada, meliputi lebih pada 50%
isolat C. Diphtheriae dilaporkan di amerika serikat pada tahun 1975 dan tanda –tanda
menonjol padaperubahan epidemiologi difteri pada tahun 1990. Infeksi kulit, infeksi
lokal yang lamban dengan komplikasi toksik yang jarang, dibandingkan dengan
pelepsan bakteri yang lebih lama , menambah kontaminasi lingkungan. Wabah
dihubungkan dengan tunawisma ,berjejal-jejal ,kemiskinan, alkolisme, higiene
jelek ,benda terkontaminasi,dermatosis yang yang mendasari, dan pemasukan strain
baru dari sumber eksogen. Difteri kulit merupakan reservoir penting untuk
C.diphtheriae bertoksin di maerika serikat sering merupakan cara pemasukan sumber
kasus untuk difteria saluran pernapasan sporadik berikutnya. (2)
2
III. ETILOGI
Spesies Corynebacterium Diphteriae adalah kuman batang gram-positif (basil
aerob), tidak bergerak, pleomorfik, tidak berkapsul, tidak membentuk spora, mati
pada pemanasan 60ºC, tahan dalam keadaan beku dan kering. Dengan pewarnaan,
kuman ini bisa terlihat dalam susunan palisade, bentuk L atu V, atau merupakan
formasi mirip huruf cina. Kuman tidak bersifat selektif dalam pertumbuhannya,
isolasinya dipermudah dengan media tertentu (yaitu sistin telurit agar darah) yang
menghambat pertumbuhan organisme yang menyaingi, dan bila direduksi oleh C.
diphteheriae akan membuat koloni menjadi abu-abu hitam, atau dapat pula dengan
menggunakan media loeffler yaitu medium yang mengandung serum yang sudah
dikoagulasikan dengan fosfat konsentrasi tinggi maka terjadi granul yang berwarna
metakromatik dengan metilen blue, pada medium ini koloni akan berwarna krem.
Pada membran mukosa manusia C.diphtheriae dapat hidup bersama-sama dengan
kuman diphtheroid saprofit yang mempunyai morfologi serupa, sehingga untuk
membedakan kadang-kadang diperlukan pemeriksaan khusus dengan cara fermentasi
glikogen, kanji, glukosa, maltosa atau sukrosa. (2,10)
Gambar 3. Corynebacterium Diphteriae
Secara umum dikenal 3 tipe utama C.diphtheriae yaitu tipe garvis, intermedius
dan mistis namun dipandang dari sudut antigenitas sebenarnya basil ini merupakan
spesies yang bersifat heterogen dan mempunyai banyak tipe serologik. Hal ini
mungkin bias menerangkan mengapa pada seorang pasien biasa mempunyai
kolonisasi lebih dari satu jenis C.diphtheriae. Ciri khas C.diphtheriae adalah
kemampuannya memproduksi eksotoksin baik in-vivo maupun in-vitro, toksin ini
3
dapat diperagakan dengan uji netralisasi toksin in vivo pada marmut (uji kematian)
atau diperagakan in vitro dengan teknik imunopresipitin agar (uji Elek) yaitu suatu uji
reaksi polimerase pengamatan. Eksotoksin ini merupakan suatu protein dengan berat
molekul 62.000 dalton, tidak tahan panas atau cahaya, mempunyai 2 fragmen yaitu
fragmen A (amino-terminal) dan fragmen B (karboksi-terminal). Kemampuan suatu
strain untuk membentuk atau memproduksi toksin dipengaruhi oleh adanya
bakteriofag, toksin hanya biasa diproduksi oleh C.diphtheriae yang terinfeksi oleh
bakteriofag yang mengandung toxigene.(2,7,10)
IV. PATOFISIOLOGI
Kuman C. diphtheriae masuk melalui mukosa/kulit, melekat serta berkembang
biak pada permukaan mukosa saluran nafas bagian atas dan mulai memproduksi
toksin yang merembes ke sekeliling serta selanjutnya menyebar ke seluruh tubuh
melalui pembuluh limfe dan pembuluh darah. Efek toksin pada jaringan tubuh
manusia adalah hambatan pembentukan protein dalam sel. Pembentukan protein
dalam sel dimulai dari penggabungan 2 asam amino yang telah diikat 2 transfer RNA
yang mendapati kedudukan P dan A dari ribosom. Bila rangkaian asam amino ini
akan ditambah dengan asam amino lain untuk membentuk polipeptida sesuai dengan
cetakan biru RNA, diperlukan proses translokasi. Translokasi ini merupakan
pindahnya gabungan transfer RNA + dipeptida dari kedudukan A ke kedudukan P.
Proses translokasi ini memerlukan enzim traslokase (elongation factor-2) yang aktif. (2,7)
Toksin difteria mula-mula menempel pada membran sel dengan bantuan fragmen
B dan selanjutnya fragmen A akan masuk dan mengakibatkan inaktivitasi enzim
translokase melalui proses NAD+EF2 (aktif) toksin ADP-ribosil-EF2 (inaktif) + H2 +
Nikotinamid ADP-ribosil-EF2 yang inaktif ini menyebabkan proses traslokasi tidak
berjalan sehingga tidak terbentuk rangkaian polipeptida yang diperlukan, dengan
akibat sel akan mati. Nekrosis tampak jelas di daerah kolonisasi kuman. Sebagai
respons terjadi inflamasi local, bersama-sama dengan jaringan nekrotik membentuk
bercak eksudat yang semula mudah dilepas. Produksi toksin semakin banyak, daerah
4
infeksi semakin lebar dan terbentuklah eksudat fibrin. Terbentuklah suatu membran
yang melekat erat berwarna kelabu kehitaman, tergantung dari jumlah darah yang
terkandung. Selain fibrin, membran juga terdiri dari sel radang, eritrosit dan epitel.
Bila dipaksa melepaskan membran akan terjadi perdarahan. Selanjutnya akan terlepas
sendiri pada masa penyembuhan. (,2,7,)
Pada pseudomembran kadang-kadang dapat terjadi infeksi sekunder dengan
bakteri (misalnya Streptococcus pyogenes). Membran dan jaringan edematous dapat
menyumbat jalan nafas. Gangguan pernafasan / sufokasi bias terjadi dengan perluasan
penyakit kedalam laring atau cabang trakeo-bronkus. Toksin yang diedarkan dalam
tubuh bias mengakibatkan kerusakan pada setiap organ, terutama jantung, saraf dan
ginjal. Antitoksin difteria hanya berpengaruh pada toksin yang bebas atau yang
terabsorbsi pada sel, tetapi tidak menetralisasi apabila toksin telah melakukan
penetrasi kedalam sel. Setelah toksin terfiksasi dalam sel, terdapat masa laten yang
bervariasi sebelum timbulnya manifestasi klinis. Miokarditis biasanya terjadi dalam
10-14 hari, manifestasi saraf pada umumnya terjadi setelah 3-7 minggu. Kelainan
patologik yang mencolok adalah nekrosis toksis dan degenerasi hialin pada
bermacam-macam organ dan jaringan. Pada jantung tampak edema, kongesti,
infiltrasi sel mononuclear pada serat otot dan system konduksi,. Apabila pasien tetap
hidup terjadi regenerasi otot dan fibrosis interstisial. Pada saraf tampak neuritis toksik
dengan degenerasi lemak pada selaput myelin. Nekrosis hati biasa disertai gejala
hipoglikemia, kadang-kadang tampak perdarahan adrenal dan nekrosis tubular akut
pada ginjal.(,2,7)
V. GAMBARAN KLINIS
Tergantung pada berbagai faktor, maka manifestasi penyakit ini bias bervariasi
dari tanpa gejala sampai suatu keadaan / penyakit yang hipertoksik serta fatal.
Sebagai factor primer adalah imunitas pejamu terhadap toksin difteria, virulensi serta
toksigenitas C. diphtheriae ( kemampuan kuman membentuk toksin), dan lokasi
penyakit secara anatomis. Faktor lain termasuk umur, penyakit sistemik penyerta dan
5
penyakit pada daerah nasofaring yang sudah sebelumnya. Difteria mempunyai masa
tunas 2 hari. Pasien pada umumnya datang untuk berobat setelah beberapa hari
menderita keluhan sistemik. Demam jarang melebihi 38,9ºC dan keluhan serta gejala
lain tergantung pada lokalisasi penyakit difteria. (2,3,7)
A. Difteri Saluran Pernapasan
Pada uraian klasik 1400 kasus difteri dari California yang dipublikasikan pada
tahun 1954, focus infeksi primer adalah tonsil atau faring pada 94%, dengan
hidung dan laring dua tempat berikutnya yang paling lazim. Sesudah sekitar masa
inkubasi 2-4 hari, terjadi tanda-tanda dan gejala-gejala radang lokal. Demam
jarang lebih tinggi dari 39ºC.(2)
1. Difteri Hidung
Difteria hidung pada awalnya meneyerupai common cold, dengan gejala
pilek ringan tanpa atau disertai gejala sistemik ringan. Infeksi nares anterior
(lebih sering pada bayi) menyebabkan rhinitis erosif, purulen, serosanguinis
dengan pembentukan membrane. Ulserasi dangkal nares luar dan bibir sebelah
dalam adalah khas. Pada pemeriksaan tampak membrane putih pada daerah
septum nasi. Absorbsi toksin sangat lambat dan gejala sistemik yang timbul
tidak nyata sehingga diagnosis lambat dibuat. (2,3)
2. Difteri Tonsil Faring
Pada difteri tonsil dan faring, nyeri tenggorok merupakan gejala awal yang
umum, tetapi hanya setengah penderita menderita disfagia, serak, malaise atau
nyeri kepala. Dalam 1-2 hari kemudian timbul membrane yang melekat
berwarna putih kelabu, injeksi faring ringan disertai dengan pembentukan
membrane tonsil unilateral atau bilateral, yang meluas secara berbeda-beda
mengenai uvula, palatum molle, orofaring posterior, hipofaring dan daerah
glottis. Edema jaringan lunak dibawahnya dan pembesaran limfonodi dapat
menyebabkan gambaran “bull neck”. Selanjutnya gejala tergantung dari
derajat peneterasi toksin dan luas membrane. Pada kasus berat, dapat terjadi
kegagalan pernafasan atau sirkulasi. Dapat terjadi paralisis palatum molle baik
uni maupun bilateral, disertai kesukaran menelan dan regurgitasi. Stupor,
6
koma, kematian bias terjadi dalam 1 minggu sampai 10 hari. Pada kasus
sedang penyembuhan terjadi secara berangsur-angsur dan bias disertai
penyulit miokarditis atau neuritis. Pada kasus ringan membrane akan terlepas
dalam 7-10 hari dan biasanya terjadi penyembuhan sempurna. (2,3)
Gambar 1. Diteri Faring dan Tonsil
3. Difteri Laring
Difteri laring biasanya merupakan perluasan difteri faring. Penderita
dengan difteri laring sangat cenderung tercekik karena edema jaringan lunak
dan penyumbatan lepasan epitel pernapasan tebal dan bekuan nekrotik. Pada
difteria faring primer gejala toksik kurang nyata, oleh karena mukosa laring
mempunyai daya serap toksin yang rendah dibandingkan mukosa faring
sehingga gejala obstruksi saluran nafas atas lebih mencolok. Gejala klinis
difteri laring sukar dibedakan dari tipe infectious croups yang lain, seperti
nafas berbunyi, stridor yang progresif, suara parau dan batuk kering. Pada
Obstruksi laring yang berat terdapat retraksi suprasternal, interkostal dan
supraklavikular. Bila terjadi pelepasan membrane yang menutup jalan nafas
biasa terjadi kematian mendadak. Pada kasus berat, membrane dapat meluas
ke percabangan trakeobronkial. Apabila difteria laring terjadi sebagai
perluasan dari difteria faring, maka gejala yang tampak merupakan campuran
gejala obstruksi dan toksemia. (2)
B. Difteri Kulit
7
Difteri kulit berupa tukak dikulit, tepi jelas dan terdapat membrane pada
dasarnya, kelainan cenderung menahun. Difteri kulit klasik adalah infeksi
nonprogresif lamban yang ditandai dengan ulkus yang tidak menyembuh,
superficial, ektimik dengan membrane coklat keabu-abuan. Infeksi difteri kulit
tidak selalu dapat dibedakan dari impetigo streptokokus atau stafilokokus, dan
mereka biasanya bersama. Pada kebanyakan kasus, dermatosis yang mendasari,
luka goresan, luka bakar atau impetigo yang telah terkontaminasi sekunder.
Tungkai lebih sering terkena dari pada badan atau kepala. Nyeri, sakit, eritema,
dan eksudat khas. Hiperestesi lokal atau hipestesia tidak lazim. Kolonisasi saluran
pernapasan atau infeksi bergejala dan komplikasi toksik terjadi pada sebagian
kecil penderita dengan difteri kulit. (2,3)
Gambar 2.Dfiteri kulit
C. Difteri Vulvovaginal, Konjungtiva, dan Telinga
Diphtheriae kadang-kadang menimbulkan infeksi mukokutan pada tempat-
tempat lain, seperti telinga (otitis eksterna), mata (konjungtivitis purulenta dan
ulseratif), dan saluran genital (vulvovginitis purulenta dan ulseratif). Wujud
klinis, ulserasi, pembentukan membrane dan perdarahan submukosa membantu
membedakan difteri dari penyebab bakteri dan virus lain.(2,3)
VI. DIAGNOSIS
8
A. Klinik
1. Gejala utama :
Membran khas terutama pada tonsil dan dinding faring dengan sifat-sifat:
- Membran tebal putih kelabu
- Pinggir hiperemis dan udem
- Sukar diangkat
- Sukar diangakat(2,3)
2. Gejala tambahan tergantung lokalisasinya:
a. Difteri hidung
Sekret serosaguinus dari lubang hidung dan tanda-tanda iritasi pada
lubang hidung dan bibir atas. (2,3)
b. Difteri tonsil dan faring :
- Demam subfebril
- Anoreksia ,sakit menelan
- Pembesaran kelenjar limfe servical / submandibula
- Bull neck (adenitas servical, peri adenitas dan udem jaringan
sekitarnya.secara klinik dapat dikenal bilamana pembengkakan tersebut
sedemikian, sehingga batas-batas m.sternocleoidomastoideus, angulus
mandibula dan medial klavikula tidak jelas lagi. (2,3)
Gambar 4. Bull-neck
c. Difteri laring
9
- Batuk menggonggong
- Suara serak, stridor
- Tanda-tanda obstruksi pernapasan : sesak, retraksi dinding toraks,
sianosis.
Difteri laring mudah didiagnosis secara klinik bila ada difteri tonsil dan
faring. Bila tidak ada tanda –tanda difteri tonsil dan maka didiagnosis
difteri laring harus dibantu dengan pemeriksaan laringoskopi. (2,3)
B. Bakteriologik
Preparat apusan langsung dan biakan (isolasi kuman difteri) dari bahan
apusan mukosa hidung dan tenggorok (nasofaringeal swab). Dalam penanganan
penyakit difteri, gambaran klinik merupakan pegangan uatama dalam
menegakkan diagnosis, karena disetiap keterlambatan pengobatan akan
menimbulkan resiko pada penderita. (3)
Pemeriksaan laboratorium bertujuan sebagai pemeriksaan penunjang
/konfirmasi diagnosis klinik. (3)
VII. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penujang yang biasa dilakukan untuk membantu dalam menegakkan
diagnosis difteri yaitu:
- Pemeriksaan bakteriologis
Merupakan pemeriksaan yang membuat preparat apusan dan biakan
kuman difteri dari bahan apusan mukosa hidung dan tenggorokan
(nasofaringeal swab).
- Darah rutin (Hb, leukosit , hitung jenis)
- urin lengkap ( aspek protein dan sedimen)
- enzim CPK segera pada saat masuk rumah sakit
- ureum dan kreatinin bila ada kecurigaan komplikasi ginjal.
- EKG dilakukan sejak hari 1 perawatan kemudian secara serial 1x/ minggu
kecuali bila ada indikasi bisa dilakukan 2-3x/minggu.(3)
VIII. DIAGNOSIS BANDING
10
1. Faringitis bakterial ec streptococcus group A
2. Faringitis virus
3. Mononucleosis
4. Sifilis oral
5. Candidiasis
6. Epiglotitis akut
7. Vincent’s angina (7)
IX. PENATALAKSANAAN
Tujuan pengobatan penderita difteria adalah menginaktivasi toksin yang belum
terikat secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadi minimal,
mengeliminasi C. diphtheriae untuk mencegah penularan serta mengobati infeksi
penyerta dan penyulit difteria. (2,3)
a. Pengobatan umum
Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan hapusan tenggorok
negative 2 kali berturut-turut. Pada umumnya pasien tetap diisolasi selama 2-3
minggu. Istirahat tirah baring selama kurang lebih 2-3 minggu, pemberian cairan
serta diet yang adekuat, makanan lunak yang mudah dicerna, cukup mengandung
protein dan kalori. Penderita diawasi ketat atas kemungkinan terjadinya
komplikasi antara lain dengan pemeriksaan EKG pada hari 0, 3, 7 dan setiap
minggu selama 5 minggu. Khusus pada difteri laring dijaga agar nafas tetap bebas
serta dijaga kelembaban udara dengan menggunakan nebulizer. (3)
b. Pengobatan Khusus
1. Antitoksin : Anti Diphtheria Serum (ADS)
Antitoksin harus diberikan segera setelah dibuat diagnosis difteria. Dengan
pemberian antitoksin pada hari pertama, angka kematian pada penderita
kurang dari 1%. Namun dengan penundaan lebih dari hari ke-6, angka
kematian ini biasa meningkat sampai 30%.(3)
11
Dosis ADS Menurut Lokasi Membran dan Lama Sakit
Sebelum Pemberian ADS harus dilakukan uji kulit atau uji mata terlebih
dahulu, oleh karena pada pemberian ADS dapat terjadi reaksi anafilaktik,
sehingga harus disediakan larutan adrenalin a:1000 dalam semprit. Uji kulit
dilakukan dengan penyuntikan 0,1 ml ADS dalam larutan garam fisiologis
1:1.000 secara intrakutan. Hasil positif bila dalam 20 menit terjadi indurasi >
10 mm. Uji mata dilakukan dengan meneteskan 1 tetes larutan serum 1:10
dalam garam fisiologis. Pada mata yang lain diteteskan garam fisiologis. Hasil
positif bila dalam 20 menit tampak gejala hiperemis pada konjungtiva bulbi
dan lakrimasi. Bila uji kulit/mata positif, ADS diberikan dengan cara
desentisasi (Besredka). Bila ujihiprsensitivitas tersebut diatas negative, ADS
harus diberikan sekaligus secara intravena. Dosis ADS ditentukan secara
empiris berdasarkan berat penyakit dan lama sakit, tidak tergantung pada berat
badan pasien, berkisar antara 20.000-120.000 KI seperti tertera pada tabel
diatas. Pemberian ADS intravena dalam larutan garam fisiologis atau 100 ml
glukosa 5% dalam 1-2 jam. Pengamatan terhadap kemungkinan efek samping
obat dilakukan selama pemberian antitoksin dan selama 2 jam berikutnya
Demikian pula perlu dimonitor terjadinya reaksi hipersensitivitas lambat
(serum sickness) (1,2,3)
12
2. Antibiotik
Antibiotik diberikan bukan sebagai pengganti antitoksin melainkan untuk
membunuh bakteri dan menghentikan produksi toksin dan juga mencegah
penularan organisme pada kontak. C. diphtheriae biasanya rentan terhadap
berbagai agen invitro, termasuk penisilin, eritromisin, klindamisin, rifampisin
dan tetrasiklin. Sering ada resistensi terhadap eritromisin pada populasi yang
padat jika obat telah digunakan secara luas. Yang dianjurkan hanya penisilin
atau eritromisin; eritromisin sedikit lebih unggul daripada penisilin untuk
pemberantasan pengidap nasofaring. (2,3)
Dosis :
- Penisilin prokain 25.000-50.000 U/kgBB/hari i.m. , tiap 2 jam selama 14
hari atau bila hasil biakan 3 hari berturut-turut (-).
- Eritromisin 40-50 mg/kgBB/hari, maks 2 g/hari, p.o. , tiap 6 jam selama
14 hari.
- Penisilin G kristal aqua 100.000-150.000 U/kgBB/hari, i.m. atau i.v. ,
dibagi dalam 4 dosis.
- Amoksisilin.
- Rifampisin.
- Klindamisin.
Terapi diberikan selama 14 hari. Bebrapa penderita dengan difteri kulit diobati
7-10 hari. Lenyapnya organisme harus didokumentasi sekurang-kurangnya
dua biakan berturutturut dari hidung dan tenggorok (atau kulit) yang diambil
berjarak 24 jam sesudah selesai terapi. (3)
3. Kortikosteroid
Belum terdapat persamaan pendapat mengenai kegunaan obat ini pada
difteria. Dianjurkan korikosteroid diberikan kepada kasus difteria yang
disertai dengan gejala obstruksi saluran nafas bagian atas (dapat disertai atau
tidak bullneck) dan bila terdapat penyulit miokarditis. Pemberian
kortikosteroid untuk mencegah miokarditis ternyat tidak terbukti.
13
Dosis : Prednison 1,0-1,5 mg/kgBB/hari, p.o. tiap 6-8 jam pada kasus berat
selama 14 hari. (3)
c. Pengobatan Penyulit
Pengobatan terutama ditujukan untuk menjaga agar hemodinamika tetap baik.
Penyulit yang disebabkan oleh toksin pada umumnya reversible. Bila tampak
kegelisahan, iritabilitas serta gangguan pernafasan yang progresif merupakan
indikasi tindakan trakeostomi. (3)
d. Pengobatan Karier
Karier adalah mereka yang tidak menunjukkan keluhan, mempunyai uji Schick
negative tetapi mengandung basil difteria dalam nasofaringnya. Pengobatan yang
dapat diberikan adalah penisilin 100 mg/kgBB/hari oral/suntikan, atau eritromisin
40mg/kgBB/hari selama satu minggu. Mungkin diperlukan tindakan tonsilektomi/
edenoidektomi. (3)
Biakan Uji schick Tindakan
(-) (-) Bebas isolasi : anak yang telah mendapat imunisasi
dasar diberikan booster toksoid difteria
(+) (-) Pengobatan karier : Penisilin 100 mg/kgBB/hari
oral/suntikan, atau eritromisin 40 mg/kgBB/hari
selama 1 minggu
(+) (+) Penisilin 100 mg/kgBB/hari oral/suntikan atau
eritromisin 40 mg/kgBB + ADS 20.000 KI
(-) (+) Toksoid difteria ( imunisasi aktif), sesuaikan
dengan status imunisasi
X. PENCEGAHAN
14
Pencegahan secara umum dengan menjaga kebersihan dan memberikan
pengetahuan tentang bahaya difteria bagi anak. Pada umumnya setelah seseorang
anak menderita difteria, kekebalan terhadap penyakit ini sangat rendah sehingga perlu
imunisasi DPT dan pengobatan karier. Seorang anak yang telah mendapat imunisasi
difteria lengkap, mempunyai antibodi terhadap toksin difteria tetapi tidak mempunyai
antibody terhadap organismenya. Keadaan demikian memungkinkan seseorang
menjadi pengidap difteria dalam nasofaringnya (karier) atau menderita difteri ringan.(2,3,7)
Toksoid difteri dipersiapkan dengan pengobatan formaldehid toksin, kekuatannya
dibakukan, dan diserap pada garam alumunium, yang memperbesar imunogenitas.
Dua preparat toksoid difteri dirumuskan sesuai dengan kandungan batas flokulasi (Bf)
suatu pengukuran kuantitas toksoid. Preparat pediatric (yaitu DPT,DT,DTaP)
mengandung 6,7-12,5 Bf unit toksoid difteri per dosis 0,5mL; preparat dewasa (yaitu
Td) mengandung tidak lebih dari 2 Bf unit toksoid per 0,5 mL dosis. Formulasi
toksoid potensi yang lebih tinggi (yaitu D) digunakan untuk dosis seri primer dan
booster untuk anak umur 6 tahun karena imunogenitasnya superior dan
reaktogenisitasnya minimal. Untuk individu umur 7 tahun dan yang lebih tua, Td
dianjurkan untuk seri primer dan dosis booster, karena kadar toksoid difteri yang
lebih rendah cukup imunogenik dank arena semakin kadar toksoid difteri makin
tinggi reaktogenitas pada umur yang semakin tinggi. (2,3,7)
Rencana (Jadwal) :
- Untuk anak umur 6 minggu sampai 7 tahun , beri 0,5 mL dosis vaksin
mengandung-difteri (D). seri pertama adalah dosis pada sekitar 2,4, dan 6
bulan. Dosis ke empat adalah bagian intergral seri pertama dan diberikan
sekitar 6-12 bulan sesudah dosis ke tiga. Dosis booster siberikan umur 4-6
tahun (kecuali kalau dosis primer ke empat diberikan pada umur 4 tahun).
- Untuk anak-anak yang berumur 7 tahun atau lebih, gunakan tiga dosis 0,5 mL
yang mengandung vaksin (D). Seri primer meliputi dua dosis yang berjarak 4-
8 minggu dan dosis ketiga 6-12 bulan sesudah dosis kedua.
15
- Untuk anak yang imunisasi pertusisnya terindikasi digunakan DT atau Td.
Mereka yang mulai dengan DTP atau DT pada sebelum usia 1 tahun harus
mengalamilima dosis vaksin yang mengandung difteri (D) 0,5 mL pada usia 6
tahun.
- Untuk mereka yang mulai pada atau sesudah umur 1 tahun, seri pertama
adalah tiga dosis 0,5 mL vaksin mengandung difteri, dengan booster yang
diberikan pada usia 4-6 tahun, kecuali kalau dosis ketiga diberikan sesudah
umur 4 tahun. (2,3,7)
XI. KOMPLIKASI
- Miokarditis (10-25 %)
- Neuropati cranial dan periferal (2-6 minggu setelah onset)
- EKG abnormal pada 2-3 pasien,menyebabkan bundle branch block,
tachycardia, atrial or ventricular fibrillation, extrasystoles.
- Gagal jantung kanan
- Paralisis lokal palatum dan faring posterior dilihat dengan regurgitasi dari
cairan melalui nares.
- Syndrome like Guillain-Barré
- Neuropathy cranial dan peripheral yang mempengaruhi fungsi motorik
nervus. (2,3,7)
XII. PROGNOSIS
Umumnya tergantung dari umur, virulensi kuman, lokasi dan penyebaran membran,
status imunisasi, kecepatan pengobatan, ketepatan diagnosis, dan perawatan
umum.Prognosis difteria setelah ditemukan ADS dan antibiotik, lebih baik daripada
sebelumnya, keadaan demikian telah terjadi di negara-negara lain. Kematian tersering
pada anak kurang dari 4 tahun akibat membran difteri. Menurut Krugman, kematian
mendadak pada kasus difteria dapat disebabkan oleh karena
1. Obstruksi jalan nafas mendadak diakibatkan oleh terlepasnya difteria,
2. Adanya miokarditis dan gagal jantung,
3. Paralisis difragma sebagai akibat neuritis nervus nefrikus.
16
Anak yang pernah menderita miokarditis atau neuritis sebagai penyulit difteria, pada
umumnya akan sembuh sempurna tanpa gejala sisa; walaupun demikian pernah
dilaporkan kelainan jantung yang menetap. Penyebab strain gravis prognosisnya
buruk. Adanya trombositopenia amegakariositik dan leukositosis > 25.000/
prognosisnya buruk. Mortalitas tertinggi pada difteri faring-laring (56,8%) menyusul
tipe nasofaring (48,4%) dan faring (10,5%). (2,7)
DAFTAR PUSTAKA
1. Handayani,Sarwo. Deteksi Kuman Difteri dengan Polymerase Chain Reaction
(PCR). Cermin dunia kedokteran vol. 39 :191,2012
17
2. Kliegman,dkk. Infectious diseases : gram- positive bacterial infections, diphtheria
(corynebacterium diphtheriae). Nelson Textbook of Pediatrics, 18th editoin :
186,2007
3. SMF. Standar pelayanan medik infeksi : Difteri anak. Standar pelayanan medis
kesehatan anak hal.5,2012
4. Fauci's, dkk. Infectious Diseases : Diphtheria. Harrison’s Principles of Internal
Medicine Seventeenth Edition : 131,2008
5. Eko, Abrian. Difteri. Makalah mikrobiologi. Sekolah tinggi ilmu kesehatan
majapahit ilmu kesehatan majapahit mojokerto.2011-2012
6. Nawing, Herry. Slide kuliah: Difteri Anak. Fakultas Kedokteran Univeritas
Hasanuddin.hal.41 :2012
7. Demirci,cem S. Pediatric Diphtheria. Med scape reference. 23 November 2011
8. Greene, joseph B. Diagnosis and treatment of diphtheria. The New England
journal of medicine. 19 juni 1913
9. Alberta Health and Wellness. Diphtheria. Public Health Notifiable Disease
Management Guidelines.. Januari 2011
18