desain pendidikan kritis

Upload: maksar-muhuruna-ardhat-laode

Post on 03-Apr-2018

242 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 7/29/2019 Desain Pendidikan Kritis

    1/68

    DESAIN PENDIDIKAN KRITIS

    Pendidikan Kritis merupakan sebuah usaha untuk mengembangkan dan

    memformat kembali fungsi pendidikan bukan semata-mata sebagai proses

    transfer muatan pengetahuan melainkan juga bagaimana mengembangkan

    kesadaran kritis pada siswa. Kesadaran kritis terhadap apa sajakah?

    1. Struktur dan lingkungan sosial dimana siswa itu tumbuh. Pendidikan

    kritis merupakan usaha untuk memberikan pemahaman yang lebih tajam

    terhadap segala bentuk kesenjangan, ketimpangan dan ketidak-adilan di

    lingkungan sosial. Dengan berbekal pada situasi sosial yang buruk maka

    pendidikan kritis berorientasi pada bagaimana siswa memahami,

    mengerti dan bisa mencari akar dari situasi sosial yang kusam seperti

    sekarang ini. Materi-materi yang diarahkan untuk memahami konteks

    struktur dan lingkungan sosial ini meliputi,

    1. Belajar lapangan

    Ini merupakan bentuk pembelajaran untuk mengenal lingkungan.

    Mengenal siapa, apa dan bagaimana masyarakat itu

    mempertahankan dan menjalani kehidupan. Pendidikan kritis

    berusaha untuk menjawab sistem sosial itu dengan melihat secara

    langsung bagaimana peran sosial masing-masing orang sekaligus

    sejauh mana tindakan-tindakan sosial itu berpengaruh pada

    lingkungan sekitar. Belajar lapangan akan mendekatkan peserta

    didik pada sistem dan struktur sosial masyarakat

    2. Belajar tentang Norma dan aturan di Masyarakat

    Bentuk pembelajaran ini akan melakukan kegiatan melihat

    bagaimana aturan-aturan formal maupun informal disusun di

    masyarakat. Kira-kira siapa yang sebenarnya menjadi sasaran

    aturan ini dan mengapa terbentuk aturan semacam itu. Pendidikan

    kritis akan lebih melihat bagaimana ketetapan sebuah norma atau

    aturan masyarakat sekaligus bagaimana penerapan-penerapanya

    langsung di masyarakat. Ketentuan, apapun bentuknya, akan

  • 7/29/2019 Desain Pendidikan Kritis

    2/68

    memiliki dampak, baik bagi masyarakat maupun para aktor-aktor

    sosialnya. Dengan memahami norma maupun ketentuan aturan di

    masyarakat akan ditemukan hukum sosial yang berlaku di

    masyarakat tersebut

    3. Belajar mengenai kelompok kepentingan

    Ini merupakan usaha untuk memahami bagaimana pengaruh yang

    dilakukan oleh kelompok kepentingan di masyarakat. Kelompok

    kepentingan akan melihat siapa, bagaimana dan melalui apa

    aktor-aktor sosial di masyarakat itu menjalankan kepentingan-

    kepentingannya. Dengan mempelajari tentang kelompok

    kepentingan peserta didik dapat memamahi bagaimana bentuk dan

    model kelompok kepentingan itu mempengaruhi publik. Secaralangsung kelompok kepentingan ini akan dapat memberi gambaran

    pada para peserta didik akan pengaruh dan konflik-konflik sosial

    yang ada di masyarakat.

    2. Memahami korban-korban sosial yang ada dalam lingkungan masyarakat.

    Pemahaman atas korban ini akan mendekatkan peserta didik pada fakta

    ketimpangan dan bagaimana cara untuk mengatasi masalah-masalah

    seperti itu. Berbekal akan fakta-fakta ketimpangan ini akan diperoleh

    gambaran tentang bagaimana proses sosial yang kemudian akan

    membawa dampak sosial yang besar. Materi-materi yang bersangkut paut

    dengan korban-korban sosial ini diantaranya adalah:

    1. Mengenal apa dan siapa korban

    Materi ini bersangkut paut dengan bagaimana korban

    didefinisikan, didekatkan pada kasus-kasus konkrit di dunia

    pendidikan. Memahami apa itu korban akan memberikan

    gambaran bagaimana hak-hak korban serta bagaimana

    penangananya selama ini. Korban, khususnya jika menyangkut

    tentang pendidikan, merupakan kelompok sosial yang rentan

    karenanya penting untuk dilihat bagaimana tata mekanisme

  • 7/29/2019 Desain Pendidikan Kritis

    3/68

    sehingga mereka kemudian menjadi korban dari proses pendidikan

    yang berjalan

    2. Bagaimana dukungan dan peran kelompok kepentingan dalam

    konteks Korban

    Materi ini lebih menitik beratkan pada cara, sistem maupun model

    pendidikan yang membuat perangkap bagi korban. Kelompok

    kepentingan apa saja yang selama ini berhubungan dengan sistem

    pendidikan yang kemudian akan membawa korban. Seperti industri

    buku, industri tekstil yang menjadi bagian modal dan berhubungan

    erat dengan dunia pendidikan. Sistem seperti apa yang akan

    mendorong munculnya berbagai bentuk-bentuk penindasan yang

    bersangkut paut dengan korban

    3. Memahami sistem pendidikan alternatif

    Bagaimana sesungguhnya sistem pendidikan alternatif yang selama ini

    ada dan bagaimana respon masyarakat atas keberadaan sistem pendidikan

    tersebut. Materi pada tema-tema ini lebih dititik-beratkan pada:

    1. Mencari bagaimana bentuk dan sistem pendidikan alternatif pada

    masa silam

    2. Memahami bentuk-bentuk pendidikan alternatif

    3. Bagaimana model, sistem dan kerangka evaluasi pada methode

    pendidikan alternatif

  • 7/29/2019 Desain Pendidikan Kritis

    4/68

    Berikut makalah-makalah yang mungkin dapat membantu

    IDEOLOGI PENDIDIKAN

    Pencarian Tanpa Sandaran Historis

    Oleh Eko Prasetyo1

    Belakangan ini saya digelisahkan oleh pertanyaan yang terus memburu:

    pendidikan macam apa yang melahirkan pemuda seperti Soekarno, Hatta, Tan

    Malaka, Sjahrir atau Haji Agus Salim. Sekolah seperti apa yang kemudianmeluluskan anak-anak muda yang punya pikiran raksasa dan tindakan besar.

    Sebab zaman dimana mereka tumbuh adalah masa dimana kolonialisme primitif

    sedang tumbuh begitu kejam dan keras. Masa itu dunia sedang mengalami

    pertarungan ideologi yang keras dan pertempuran yang tak henti antar berbagai

    negara. Pemuda-pemuda itu tumbuh tidak di masyarakat yang sudah mengalami

    kemajuan pendidikan tetapi di tengah iklim feodalisme yang masih mencekik.

    Dalam usia yang masih belasan tahun mereka punya pikiran yang melampaui

    batas-batas geografis negeri, dan bahkan pada usia 20-an ada banyak diantara

    mereka yang menjadi pemimpin pergerakan.

    Sekolah seperti apa yang mampu mencetak pemuda semacam mereka?

    Saya ingin kutipkan sekolah guru yang diikuti oleh Tan Malaka pada tahun 1895:

    Setiap hari para murid harus belajar dari pukul 8 sampai pukul 17 dengan

    istirahat dua jam pada tengah hari. Juga pada hari rabu sore dan sabtu sore

    bel baru berbunyi pukul 5. Tetapi setiap hari diadakan satu jam gerak badan.

    Jumat pagi di lapangan dan pada Rabu sore dan Sabtu sore dilakukan

    pekerjaan tangan (kayu, karton dan tanah liat) Mata pelajaran yang

    terpenting adalah bahasa Belanda. Mata pelajaran lain: berhitung, ilmu ukur,

    mengukur tanah, ilmu bumi, sejarah pribumi, ilmu alam (yang dianggap

    1Penulis buku Seri Dilarang Miskin dan Pengumuman: Tidak Ada Sekolah Murah, Resist Book

  • 7/29/2019 Desain Pendidikan Kritis

    5/68

    penting untuk melenyapkan takhayul), ilmu hayat, ilmu hewan, ilmu tumbuh-

    tumbuhan (sebuah kebun di pekarangan belakang sekolah dipakai dalam mata

    pelajaran ini, yang membicarakan masalah penyuluhan pertanian) ilmu

    pendidikan, menggambar, menulis dan menyanyi.mereka tinggal di asrama

    dengan syarat yang ditentukan, dan mereka pun harus menyeka bersih ruang

    depan dan pinggiran-pinggiran selokan2

    Kita kemudian tahu, dalam sejarah kelak Tan Malaka adalah salah satu

    pencetus sekolah SI yang sangat anti kolonial dan itu sebabnya sekolah itu

    dipaksa tutup oleh Belanda. Sekolah guru (kweekscholl), dimana Tan Malaka

    sempat mendapat pendidikan, resmi dibuka pada bulan April 1852 dengan batas

    usia murid yang diterima 14-17 tahun dan mereka harus berasal dari keluargabaik-baik. Perkembangan paling pesat dalam pendidikan di masa kolonial adalah

    dibuatnya UU Pendidikan yang merupakan rancangan dari kaum Liberal yang

    dikomandoi oleh Menteri Jajahan van de Putte3. Tak cukup dengan itu, pada

    tahun 1869 pembiayaan sekolah yang merupakan tanggungan sekolah, sejak

    1869 oleh Raja Belanda ditanggung sepenuhnya oleh pemerintah. Sikap politik

    Belanda mengalami perubahan besar ketika kaum liberal memenangkan

    pertarungan politik dengan menempatkan Mr JH Abendanon sebagai Direktur

    Pendidikan dan Industri (1900-5) dan A.W.F Idenburg sebagai menteri Jajahan

    (1902-5)4

    Abendanon kemudian sangat terkenal dengan konsep pendidikan bagi ibu

    Jawa, yang kelak akan memunculkan perempuan besar, Kartini. Hasrat untuk

    menjangkau Barat itulah yang kemudian dirumuskan dalam sekolah kolonial di

    masa itu dan kebijakan politik etis memang membuka kesempatan bagi banyak

    pribumi untuk mencicipi sekolah Barat. Tapi bukan tidak ada kritik atas

    pendidikan kolonial saat itu. Haji Agus Salim adalah seorang diantara banyak

    2 Harry A Poeze, Tan Malaka: Pergulatan Menuju Republik, 1897-1925, Grafitti, 20003Jenis-jenis sekolah pada masa kolonial: Sekolah Belanda untuk Bumiputera (HIS) lulusan ini kemudian

    melanjutkan pada pendidikan sekolah dasar yang diperluas (MULO) yang kemudian lulusan MULOmeneruskan ke Sekolah Menengah Umum (AMS) masa belajar MULO dan AMS masing-masing 6 tahun.AMS ini ada dua yakni AMS (A) yang mengajarkan sastra klasik di samping bahasa-bahasa modern, sejarahdan ilmu bumi sedangkan AMS (B) mengajarkan ilmu pasti dan sains. Lih J. D Ledge, Kaum Intelektual danPerjuangan Kemerdekaan, Grafitti, 19884Menjadi Indonesia, Kompas, 1995

  • 7/29/2019 Desain Pendidikan Kritis

    6/68

    tokoh pergerakan yang beranggapan bahwa pendidikan kolonial hanya

    meluluskan manusia-manusia budak yang kelak akan berhamba pada sistem

    penjajah. Di tahun 1912 Haji Agus Salim mendirikan sebuah sekolah HIS

    (Hollandsche Inlandsche Scholl) di Kota Gedang sebagai petunjuk kalau dirinya

    tak setuju dengan model pendidikan kolonial. Tak hanya dengan itu, dididiknya

    anak-anak Agus Salim dengan caranya sendiri dan sejarah mengetahui

    bagaimana kecerdasan anak-anak Salim.5

    Dalam bahasa yang lebih ringkas, pendidikan pada masa-masa itu

    merupakan cara untuk menegaskan dimana posisi kita! Itu pulalah yang

    kemudian membangun hubungan antara murid dan guru bukan semata-mata

    fungsional melainkan ideologis. Soekarno misalnya, mengenal Marxisme bukan

    dari buku melainkan guru HBS-nya yang bernama C Hartogh. Ia seorang gurubahasa Jerman sekaligus anggota dari Indische Social-Democratische

    Vereeniging (ISDV) yang menjadi embrio bagi gerakan kiri.6 Paling tidak ada

    tiga mahaguru politik etis yang memang kemudian memberi banyak pengaruh

    pada kaum pergerakan, yakni: Ch Snouck Hurgronje, C van Vollehnoven dan

    G.A. J Hazeu. Ketiganya itulah yang mulai memandang pendidikan bukan saja

    sebagai upaya untuk menstransfer pengetahuan melainkan juga taktik bagi kaum

    pergerakan. Pendidikan, pada masa itu adalah, upaya pembebasan. Makanya

    Sjahrir dan Hatta kemudian mendirikan gerakan yang bernama: Pendidikan

    Nasional Indonesia, yang tujuanya: pertama-tama hendak mendidik, dan dengan

    demikian memetakan jalan menuju kemerdekaan..karenanya tujuan

    pendidikan, bukanlah untuk menciptakan agitasi melainkan untuk

    membawakan kejernihan.7

    Kilasan historis ini membawa kita pada jawaban mengapa pendidikan

    mampu mencetak manusia-manusia besar itu tadi. Pendidikan adalah

    pembebasan dari belenggu penindasan maupun kepercayaan yang naif. Kutipan

    Sjahrir diatas menjelaskan bagaimana sesungguhnya ideologi pendidikan kita itu

    berdiri: pendidikan, kata Sjahrir: pertama memperbaiki hidup lebih dulu, dan

    kemudian menunjukkan sikap panutan, kemudian membangkitkan kekuatan dan5 LihSeratus Tahun Haji Agus Salim, Sinar Harapan, 19966Lih Benhard Dahm,Soekarno dan Perjuangan Kemerdekaan, LP3ES, 1987

    7 Lih Rudolf Mrazek,SJAHRIR, Politik & Pengasingan di Indonesia, YOI, 1996

  • 7/29/2019 Desain Pendidikan Kritis

    7/68

    semangat rakyat dan rela mengorbankan kepentingan diri sendiri. Tujuan

    ideologis pendidikan itulah yang hari-hari ini begitu kita prihatinkan. Silang-

    sengketa masalah pendidikan makin hari makin kerdil dari tujuan utama

    pendidikan: urusan soal kesejahteraan, ongkos sekolah, bangunan sekolah yang

    buruk, siswa yang tidak lulus dan buku pelajaran yang meluapkan kasus korupsi

    telah memadamkan peran pendidikan dari tujuan utama: pembebasan.

    Mengerikan menyaksikan pendidikan berjalan tanpa sandaran ideologis bahkan

    tidak melahirkan peserta didik yang mampu berpikir dan bertindak besar.

    Yang menonjol misalnya dalam perumusan buku pelajaran. Buku sejarah

    hanya menyorongkan citra sejarah. Kelemahanya yang paling berat adalah

    diproyeksikannya masa sekarang ke dalam masa lampau secara tetap. Kedua

    pelajaran sejarah hampir tanpa teori sehingga pelajaran sejarah menjadi berat,karena daya imajinasi-kesadaran serta citra sejarah-tidak dihidupkan. Itu

    sebabnya pelajaran sejarah banyak sekali menghidupkan mithos-mithos yang

    sering dimanfaatkan untuk kegunaan taktis politik8. Buku pelajaran hampir tidak

    mengenalkan gambaran tentang realitas, apalagi dengan mengandalkan soal-soal

    yang sepenuhnya hapalan. Buku pelajaran yang didesain tidak menarik, tanpa

    ada lukisan kenyataan yang imaginatif dan kurang menampung berbagai

    perkara-perkara masyarakat akan menumpulkan nalar berpikir peserta didik dan

    tidak mendorong sikap berpihak mereka. Sedikit upaya dilakukan oleh guru

    tetapi itu selalu menambang gugatan dari beberapa pihak yang dirasa

    menganggu.

    Hal yang sama pula pada methode pengajaran yang sifatnya masih

    mengkonfirmasi. Beberapa methode baru yang ditawarkan nyatanya hanya

    berlaku pada beberapa lembaga pendidikan mahal dan selalu membutuhkan

    pembiayaan tinggi. Penghambaan pada kekuasaan didorong sedemikian rupa

    dalam dunia pendidikan kita melalui, pembelajaran bahwa keluarga dan jaringan

    perluasanya merupakan dasar bagi kehidupan mereka, dan bahwa hubungan-

    hubungan itulah yang membentuk bangsa9. Bangsa dan keluarga kemudian tak

    bisa dibedakan secara lugas, bahkan kekuasaan dengan keluarga kemudian

    8Lih Niels Mulders, Individu, Masyarakat dan Sejarah, Kanisius, 2000

    9Lih Saya Sasaki Shiraishi,Pahlawan-Pahlawan Belia, Keluarga Indonesia dalam Politik, KPG, 2001

  • 7/29/2019 Desain Pendidikan Kritis

    8/68

    batasanya begitu tipis. Itu sebabnya pendidikan kemudian memunculkan para

    terdidik yang kadang susah membedakan antara kepentingan umum dengan

    kepentingan keluarganya sendiri. Alumni pendidikan pada masa Orde Baru,

    diantaranya adalah mereka yang mencicipi kursi kekuasaan sekarang ini. Tanpa

    pandangan besar, picik terhadap perbedaan, tidak tahu malu pada keadaan

    rakyat dan kurang terdidik.

    Jika kita ingin melampaui apa yang sudah dihasilkan oleh pendidikan

    kolonial, maka mandat pendidikan bukan lagi mencerdaskan akan tetapi

    berpihak pada kepentingan luas rakyat. Hendaknya pendidikan mengembalikan

    fungsi pembebasan dan keberpihakan, bukan hanya memenuhi kepentingan-

    kepentingan pasar. Tak bisa lagi pendidikan hanya meluluskan anak-anak yang

    sekedar memenuhi nilai ujian nasional, tetapi juga mampu untuk merumuskandan mengartikulasikan tuntutan-tuntutan lingkunganya dalam bahasa yang lebih

    sistematis dan segar. Ideologi pendidikan memang tak bisa ditemukan hanya

    dalam bunyi undang-undang melainkan dihidupkan dalam pratek-praktek

    pembelajaran. Guru merupakan salah satu sendi bagaimana hidupnya ideologi

    keberpihakan dalam dunia pendidikan dan pemerintah merupakan tiang utama

    penyangganya. Sudah barang tentu jangan bertanya banyak tentang apa saja

    yang dilakukan oleh pemerintah dalam soal pendidikan, karena kita tahu sendiri,

    pendidikan bukan soal yang menarik diurus! Mencari basis ideologi Pendidikan

    bukan hanya mengharuskan kita untuk berkaca pada masa lalu melainkan juga

    meraba keinginan kita terhadap pendidikan.

  • 7/29/2019 Desain Pendidikan Kritis

    9/68

    Kejahatan Sistem Pendidikan

    Di muka bumi ini tidak ada satu pun yang menimpa orang-orang tak berdosa

    separah sekolah. Sekolah adalah penjara. Tapi dalam beberapa hal

    sekolah lebih kejam ketimbang penjara. Di penjara, misalnya, Anda tidak

    dipaksa membeli

    dan membaca buku-buku karangan para sipir atau kepala penjara

    (Bernard Shaw dalam Parents and Children)

    Begitulah keributan itu menjalar kemana-mana, soal pelajaran agama

    yang harus diajarkan di sekolah. Soal yang menyulut kembali hubungan antarasekolah muslim dan non muslim. Menghangat kembali debat yang menganggap

    pihak lain sengaja hendak menyebar-luaskan agama tertentu, bahkan tanpa

    dasar argumen yang kukuh, ada yang menilai sebagai proses Islamisasi. Lewat

    pendasaran atas nilai-nilai HAM kewajiban mengajarkan agama ini dikatakan

    sebagai pelanggaran. RUU Sistem Pendidikan Nasional ini mulai terancam,

    bahkan sejumlah kalangan mendesak, untuk menunda pemberlakuannya.

    Sebaliknya berbagai kalangan kini juga menuntut untuk segera ditetapkannya

    RUU ini menjadi UU sehingga anak didik akan segera memperoleh hak

    pengajaran agama. Perdebatan, yang menurut penulis, keluar dari soal

    pendidikan yang sesungguhnya. Problem yang sengaja diangkat untuk membuat

    masyarakat, tidak lagi mengeluarkan keluhan atas pendidikan yang kian lama

    makin menjauh dari kebutuhan rakyat. Solusi pendidikan agama, memang belum

    akan menjawab, busuknya moralitas tapi setidaknya itu dapat untuk

    menunjukkan, kalau bangsa ini masih punya agama. Pendidikan agama itu

    penting, terutama untuk, membekali generasi muda agar tidak ber-akhlak seperti

    pemimpinnya yang suka korupsi.

    Kejahatan pendidikan bukan bermula dari dihapuskannya pelajaran

    agama, tapi sejak pendidikan, dikelola seperti pabrik. Etos pabrik ini dapat

    diidentifikasi dari beberapa ciri yang mendasar, diantaranya: makin mahalnya

    biaya pendidikan, tidak transparannya sekolah dalam mengelola keuangan, hak-

  • 7/29/2019 Desain Pendidikan Kritis

    10/68

    hak siswa tidak dihargai dan menjauhnya muatan pelajaran dengan kondisi riil

    yang dialami oleh rakyat. Karena pendidikan berjiwa pabrik itulah maka

    lulusannya bukan lagi sosok pembaharu tapi mental pengikut, yang miskin

    gagasan dan kurang nyali. Ujung-ujungnya sejumlah siswa kadang terlibat

    tawuran dan sesekali menjadi pelaku dalam transaksi narkoba. Gejala ini, sekali

    lagi, bukan karena kurangnya siraman rohani melainkan sistem pendidikan

    membimbing murid untuk menjadi pelaku kejahatan. Bagaimana murid tidak

    jadi pelaku kejahatan kalau pelajaran sastra hanya menghapal nama pengarang

    dan judul buku. Bagaimana tidak ikut dalam jaringan narkoba kalau pelajaran

    agama hanya hapalan doa serta mengingat-ingat hari besar keagamaan. Padahal

    dua pelajaran ini merupakan medium sosialisasi nilai, yang membimbing murid,

    untuk mengetahui kategori, baik dan buruk.Pabrik yang membuat murid seperti komoditi, sehingga banyak kasus

    dimana sejumlah lembaga pendidikan digugat karena berbohong. Dengan janji

    akan menciptakan lulusan yang bisa bekerja maka beberapa lembaga pendidikan

    memberikan murid ketrampilan cara mudah mendapatkan uang. Tanpa malu-

    malu, ada sekolah yang secara terbuka, membuat MOU dengan biro tenaga kerja.

    Seperti pabrik maka pengurus sekolah diperkenankan membuka bisnis di seputar

    lingkungan. Ada kepala sekolah yang buat wartel, guru yang kerja-sama buat

    kantin dan bahkan sekolah yang merangkap dagang ketrampilan hasil karya

    muridnya. Semua itu diembel-embeli dengan nama yang terhormat manajemen

    sekolah yang alternatif. Motif itu semua, guru yang digaji kecil hingga bantuan

    pemerintah yang makin minim. Layaknya pabrik maka yang dilengkapi dari

    sekolah adalah fasilitas gedung yang makin mewah bahkan kalau perlu komputer

    yang paling mutakhir harus dimiliki sekolah. Buku apalagi pelatihan untuk guru,

    menjadi biaya yang paling buncit, apalagi kebijakan untuk menurunkan biaya

    hampir mustahil. Ini baru bicara pada lapisan pendidikan dasar dan umum,

    belum meyentuh, pendidikan raksasa macam perguruan tinggi.

    Kejahatan dunia perguruan tinggi makin heboh, soalnya si pelaku pasti

    lebih brillian. Upaya swastanisasi sejumlah PTN merupakan lonceng kematian

    bagi sekolah murah. Kampus yang makin sulit dibedakan gedungnya dengan

    hotel, menarik ongkos yang angkanya kadang fantastis. Dengan melandaskan

  • 7/29/2019 Desain Pendidikan Kritis

    11/68

    pada biaya operasional, kampus harus mengeluarkan ongkos banyak dan itu

    tumpuannya hanya pada mahasiswa. Tidak ada kampus yang berani untuk

    melakukan pemotongan gaji pada dosenya yang sibuk jadi staff ahli. Kini

    beberapa dosennya tidak saja menjadi tenaga pengajar, tapi juga merangkap

    menjadi staf ahli, lembaga apa saja asal bayarannya mahal. Gelar yang diperoleh

    dari sekolah luar negeri, yang biayanya diambil dari uang saku mahasiswa, tak

    membuat para dosen itu merasa punya piutang dengan mahasiswa. Apalagi

    memperoleh bea-siswa lembaga donor, membuat mereka punya hak untuk

    bekerja kemana saja yang mereka suka. Dosen atau pejabat kampus, akan merasa

    menjadi penting kalau memenuhi dua ciri sekaligus, pertama suka keluar di

    koran atau TV dan ciri yang kedua sulit dicari mahasiswanya.

    Itulah kejahatan sistem pendidikan yang memiliki dasar historis yangpanjang. Buat penulis, pendidikan yang diselenggarakan sekarang tak bisa

    dilepaskan dari pergulatan sosial bangsa ini. Sejak tampilnya orde kekuasaan

    Soeharto maka pendidikan disandingkan perannya menjadi pendukung proyek

    pembangunan (developmentalist) Sebuah proyek yang ditanam oleh

    pemerintahan Amerika beserta sekutunya untuk menahan laju pengaruh

    komunis. Pendidikan saat itu bertujuan semata-mata untuk mendukung

    kekuasaan rezim bahkan murid dilarang keras untuk belajar sejarah perubahan

    sosial yang melibatkan berbagai ideologi. Hingga hari ini nama Tan Malaka, Haji

    Misbach atau Snevillt pasti hilang dari bacaan sejarah. Andaikan disebut, bukan

    dalam konteks pejuang, tapi pemberontak karena ideologinya yang kiri. Ideologi

    pembangunan tidak memperkenankan adanya pengusutan, pertanyaan maupun

    sanggahan. Mirip dengan fasisme, sekolah hanya menerapkan aturan yang wajib

    dipatuhi dan jika membangkang, hukuman bisa diterapkan dengan cara yang

    buas. Pendidikan makin membahayakan karena yang muncul bukan sebuah

    kesadaran kritis melainkan kesadaran pasif, dimana murid, tidak boleh

    mengetahui berbagai fakta-fakta sosial yang ada. Kebijakan depolitisasi kampus

    bermula dari sana, bagaimana menjadikan mahasiswa mirip seperti tahanan

    penjara, dipangkas hak hak berpolitiknya. Mahasiswa tahunnya masuk kuliah,

    ujian dan mbayar! Belenggu puluhan tahun itu hingga saat ini masih

    memberikan dampak yang masih kita rasakan.

  • 7/29/2019 Desain Pendidikan Kritis

    12/68

    Soeharto jatuh seiring dengan gagalnya gagasan pembangunan dan

    diangkatnya ideologi neo liberalisme. Ideologi yang kurang antusias dengan

    kuasa negara tapi lebih menyukai peranan sektor swasta. Keyakinan ini,

    didorong bukan saja oleh pemerintah Amerika melainkan sejumlah perusahaan

    multinational yang kekuasaan dan kekayaannya melebihi satu negara. Para

    pedagang ini memiliki organisasi yang bernama WTO serta cukong-cukong yang

    menyebar hutang kemana-mana, populernya disebut IMF. Di samping itu badan

    lain yang mengiringi adalah Bank Dunia, motifnya memberi bantuan tapi

    sebenarnya ikut mempercepat arus pasar bebas. Yang menakjubkan kekuasaan

    organ-organ ini mampu mengalahkan kedaulatan negara dan bahkan bisa

    seenaknya membikin aturan untuk rakyat. Contoh yang memikat adalah

    pencabutan subsidi, menaikkan harga BBM dan penambahan hutang merupakanbukti persekongkolan badan-badan diatas dengan negara. Proyek yang langsung

    bersentuhan dengan dunia pendidikan adalah privatisasi. Kebijakan privatisasi

    menjadi dusta yang membahayakan, karena dengan kebijakan itu, lembaga

    pendidikan menjadi tempat yang amat mahal. Harga mahal itu repotnya tidak

    berkesusaian dengan kualitas pengajar, materi hingga methodologi. Meski ber-

    ongkos mahal namun pengajarnya tidak tertib masuknya. Walau mahal namun

    methodologi yang ditawarkan masih saja konvensional. Tak jarang materi yang

    diajarkan kalah bersaing dengan buku-buku bacaan yang dibeli oleh mahasiswa.

    Swastanisasi pada kenyataanya telah membuat pendidikan menjadi tidak

    berpihak pada kebutuhan rakyat. Swastanisasi membuat pendidikan menghamba

    pada kepentingan modal bukan pada keperluan rakyat. Hakekat swastanisasi tak

    lain adalah memberikan urusan yang mustinya menjadi bidang banyak orang

    dialihkan pada segelintir orang. Swastanisasi mempercepat arus monopoli dan

    karenanya mendorong pemusatan atau akumulasi modal. Jika ini diterapkan

    pada bidang publik, sudah tentu yang berlangsung, pengurasan kekayaan rakyat

    dan meledaknya kesenjangan. Dalam bidang pendidikan, kegiatan swastanisasi

    akan menelantarkan mereka yang tidak mampu. Berapa banyak rakyat yang

    harus menderita sebagai dampak dari krisis kemudian yang paling menyakitkan,

    harus membayar mahal ongkos pendidikan. Sudah ongkos mahal, sangat sedikit

    yang secara transparan menginformasikan uang yang diambil dari siswa, untuk

  • 7/29/2019 Desain Pendidikan Kritis

    13/68

    keperluan apa saja. Kegiatan pendidikan berjalan dengan cara sembunyi ini

    sangat berbeda dengan promosi yang secara gencar dilakukan oleh sejumlah

    sekolah. Memasuki bulan Mei-Juni ada banyak sekolah yang mempromosikan

    kegiatanya dan memberi iming-iming, siapa saja yang mendaftar akan gampang

    untuk memperoleh pekerjaan. Sekolah kini bukan tempat untuk menanam nilai

    tapi membiasakan anak didik untuk menjadi seorang pekerja. Sekolah bukan

    menciptakan pemikir tapi pegawai.

    Kalau kondisinya seperti itu, apa yang diajarkan oleh sekolah? Sekolah

    menjadi kegiatan yang tidak menggembirakan. Coba lihat foto wajah anda di

    ijazah atau kartu mahasiswa, pasti foto yang bertampang menyedihkan-apalagi

    dengan ukuran 3X4 yang pas hanya untuk wajah dan bahu- dan bandingkan foto

    anda sewaktu masih duduk di taman kanak-kanak, tentu foto yang bertampangmenggembirakan. Makin tinggi tingkat pendidikan yang anda enyam,

    nampaknya kita makin stress dan pusing dengan beban masa depan. Sekolah

    memang tidak memberikan pelajaran tentang bagaimana hidup menjadi bahagia,

    tapi sekolah mendidik kita, untuk percaya pada selembar kertas bernama ijazah!!

    Kalau begitu apa enaknya sekolah? Sekolah membuat kita kenal makin banyak

    orang dan melalui sekolah, kita belajar untuk hidup di bawah tekanan. Tekanan

    agar mengerjakan tugas yang tidak disukai; tekanan supaya tepat waktu

    membayar SPP; tekanan untuk selalu menghasilkan nilai yang bagus dan

    tekanan untuk bersabar atas buruknya pengajaran. Semakin lama anda

    bersekolah, semakin toleran anda dengan segala bentuk tekanan. Karena itu,

    soalnya lagi-lagi bukan penting tidaknya pelajaran agama, tapi soal yang

    mendasar, bagaimana sekolah mampu membuat siswanya merasa senang,

    bahagia dan gembira selalu. Ada baiknya RUU Pendidikan ini menampung suara

    murid-murid yang kelak akan menjadi sasaran dari sejumlah pasal. Berhentilah

    mereka yang menyebut diri pakar pendidikan karena saat ini waktunya anda

    untuk bertanya, apa yang diinginkan oleh siswa.sudah datang waktunya

    dimana siswa berhak menentukan materi, methodologi dan sekaligus siapa yang

    pantas menjadi pengajarnya. Inilah waktunya sekolah memberikan tempat yang

    merdeka untuk siswanya. Sebab kalau ini tidak dikerjakan, UU Pendidikan

    apapun namanya, hanya menjadi spiral kekerasan yang korbanya lagi-lagi

  • 7/29/2019 Desain Pendidikan Kritis

    14/68

    peserta didik. Ucapan Ralph Waldo Emerson rasanya penting untuk saya

    kutipkan:Aku percaya bahwa pengalaman telah mengajar kita bahwa rahasia

    Pendidikan terletak pada penghormatan terhadap sang murid. Bukan engkau

    yang musti memilih apa yang harus ia ketahui, apa yang musti ia kerjakan.

    Semua itu telah dipilihkan dan ditakdirkan sebelumnya, dan ia hanya

    memegang anak kunci menuju rahasianya sendiri. Bila engkau terus-menerus

    campur tangan dan memaksakan dan terlalu mengatur, mungkin ia akan

    menyimpang dari tujuannya dan lari dari dirinya sendiri. Hormati si

    anak..Jangan terlalu bersikap bagai orangtuanya. Jangan langkahi batas-

    batas kesendiriannya

    BHMNMau kemana dan untuk siapa?10

    Oleh Eko Prasetyo11

    Sepertinnya baru kemaren beberapa mahasiswa menjadi gelombang

    massa yang mencetuskan perubahan. Ribuan mahasiswa, tanpa rasa takut dan

    gentar memekikkan kata perubahan. Diantara mereka ada yang diculik, dianiya

    bahkan menjadi sasaran peluru. Kematian beberapa diantara mereka menjadi

    martir dari perubahan yang kini kita alami bersama. Mahasiswa menghidupkan

    kembali tradisi yang kini menjauh dari dunia politik, menjaga kesucian

    kekuasaan bahkan kalau perlu dengan menerjang nyawa. Benar tak banyak

    mereka yang berbuat begitu, tapi mahasiswa menjadi kelas sosial yang

    menentang adanya konservatisme politik yang menghalalkan praktek korupsi.

    Mereka bermukim di kampus yang memang bukan sebuah tempat yang

    riang. Kampus yang masih mengandalkan methode pembelajaran yang pasif

    bahkan mengutuk lahirnya kesadaran kritis. Kita masih ingat bagaimana seorang

    mantan Rektor sangat menyayangkan mahasiswa yang berhimpun di SMID. Kita

    juga masih ingat bagaimana kumpulan ilmuwan yang baru pulang dari sekolah

    10Disampaikan dalam diskusi BEM UGM

    11 Penulis buku Tidak Ada Sekolah Murah (Resist 2005) dan beberapa seri orang miskin

  • 7/29/2019 Desain Pendidikan Kritis

    15/68

    ekonomi menjadi perancang bagi lahirnya gagasan pembangunan yang

    kemudian berujung pada penindasan terhadap rakyat. Kampus memang bukan

    bagian dari kekuasaan tapi sekurang-kurangya tempat dimana sumber daya

    kekuasaan mendapatkan pasokan. Soeharto memang punya banyak cara

    bagaimana melumpuhkan kampus dan dinamika yang ada di dalamnya.

    Andai kita masih ingat dulu kampus berkembang sebagai bagian dari

    gerakan rakyat. Kehadiran STH (Sekolah Tinggi Hukum yang kelak jadi UII) dan

    Sekolah Tinggi Kedokteran yang masing-masing didirikan tahun 1924 dan 1927

    menjadi bagian penting dari tumbuhnya ilmuwan yang mengabdi pada negeri

    yang masih dijajah. Kampus ini didirikan oleh beberapa aktivis diantaranya Moh

    Hatta, Moh Natsir serta Kasman Singodimedjo dll. Kampus saat itu memang

    menjadi arena untuk mengembangkan kultur gerakan sekaligus bagaimanamenilai situasi politik di luar. Disana ada asrama, yang menurut

    Anderson, ...merupakan tempat pelarian dari keluarga, menyediakan tempat

    tidur bagi mahasiswa yang terdampar di ibukota yang sedang berkunjung ke sana

    dari daerah, merupakan forum bagi diskusi-diskusi yang intens dan agak

    tertutup, dan menjadi sebuah pusat solidaritas

    Muncul dari asrama sosok-sosok yang kelak mewarnai dunia pergerakan,

    seperti Soebadio Sasrosatomo, semula mahasiswa kedokteran akan tetapi pindah

    ke sekolah hukum. Ia nantinya akan menjadi ideolog terkemuka dari gerakan

    PSI. Hal yang sama terjadi pada Soedjatmoko yang kemudian dikeluarkan oleh

    Kempetai setelah menghabiskan dua tahun kuliahnya di sekolah Kedokteran.

    Beberapa diantara mereka menjadi orbit dari sosok yang dikenal dengan nama

    Sjahrir. Saat itu kampus menjadi tempat dimana para aktivis bisa mengeratkan

    hubungan ideologis dan berjuang melawan kolonialisme, baik Jepang maupun

    Belanda. Pergerakan bersumber dari kehidupan kampus dan memancar ke

    semua pergerakan rakyat. Saat demokrasi muncul di awal tahun 50-an maka

    partai politik dengan bergegas juga ikut mendirikan kampus, diantaranya Res

    Publica yang kemudian beralih nama menjadi Tri Sakti. Kampus tetap tak lekang

    dari mandat sebagai kekuatan pembebas dan ini melahirkan berbagai aktivis

    yang kini banyak mewarnai kancah intelektual.

  • 7/29/2019 Desain Pendidikan Kritis

    16/68

    Tonggak kekuatan Soeharto ditandai dengan penutupan beberapa kampus

    yang kena cap kiri. Ilmuwan kampus menjadi bagian inti dari kekuasaan, yang

    kemudian populer dengan sebutan mafia bekerley. Mahasiswa yang dulu

    melawan Soekarno kini berangsur-angsur mulai melawan kuasa Soeharto yang

    mulai licik dan mengembangkan kontrol pada kampus, terutama pasca peristiwa

    Malari. Kampus selain mendapat pengawasan juga mulai dikembangkan sebagai

    bagian dari dinasti kekuasaan. Malahan didirikan kampus yang khusus menjadi

    penyetor tenaga administrasi kekuasaan. Berulang-ulang kampus kemudian

    menggeser perannya dari komunitas yang menjalankan kontrol menjadi inti dari

    sumber kekuasaan. Tapi energi kritis kampus tetap bertahan karena kebanyakan

    kelas sosial yang menjadi penghuninnya adalah bagian dari rakyat.

    Rakyat masih cukup ringan dengan biaya masuk kampus. PerguruanTinggi Negeri jadi harapan untuk naik ke kelas sosial yang lebih baik. Makanya

    masih banyak saat itu kampus yang mahasiswanya naik sepeda atau dosen yang

    naik motor butut. Kesederhanaan kampus negeri dapat dilihat dari bangunannya

    yang simpel dan sederhana. Gerakan kampus kemudian menjalar dengan

    anggota yang meluas hingga rakyat miskin. Tak tanggung-tanggung program

    KKN diluncurkan untuk mendorong tanggung jawab kampus pada masyarakat

    pedesaan12. Tapi ini masa bulan madu yang memunculkan banyak kritik. Salah

    satu yang terbesar adalah managemen kampus yang amburadul. Managemen

    keuangan yang ditanggung oleh pemerintah pusat lama-kelamaan tidak kuat

    untuk menambal kekurangan. Kampus tidak mungkin terus menerus harus

    mengekor pada politik penguasa pusat.

    Lahir kemudian keinginan untuk mengembangkan otonomi. Ini

    didasarkan pada apa yang menjadi gejala universal yakni demokratisasi dan

    liberalisasi politik. Gagasan ini bersanding dengan kepercayaan tentang negara

    yang brengsek. Negara tempat dimana korupsi, kolusi dan nepotisme menjadi

    sumber masalah. Kampus kemudian didorong untuk berubah status, dari yang

    12Gagasan yang dikemukakan oleh Prof Koesnadi Hardjosemantri yang dikenal sebagai rektor yang begitu

    dekat dengan mahasiswa. Beliau adalah satu-satunya Rektor yang pada masa kekuasaan Soeharto denganrela turun ke jalan menemani mahasiswa ketika melakukan unjuk rasa pada kekuasaan. Tindakan itudilakukan awal 90-an ketika dinasti kekuasaan Soeharto begitu kukuh. Hal yang kini dengan memikatdilakukan oleh Prof Eko Budihardjo, Rektor Undip yang menyediakan waktu untuk mahasiswa bahkanketika melakukan acara seperti bedah buku. Rektor Undip adalah sedikit Rektor yang masihmempertimbangkan masak-masak ketika terjadi penerapan BHMN

  • 7/29/2019 Desain Pendidikan Kritis

    17/68

    semula managemen mengikuti kemauan pusat mulai mengembangkan otonomi

    managemen sendiri. Pukulan awal adalah dengan menaikkan ongkos masuk

    PTN. Sebab tak bisa menyandarkan biaya pada negara saja karena negara sudah

    mengalami kebangkrutan. PTN mulai menghitung-hitung berapa sesungguhnya

    biaya per kepala mahasiswa dan siapa yang akan menanggung pembiayaan itu.

    Dengan ongkos yang mahal tentu kuliah selain sulit diakses oleh orang miskin

    juga mulai mengembangkan managemen yang mirip seperti perseroan.

    Kepemilikan kolektif yang diwakili oleh kelas borjuis akan mengulang kembali

    elitisme pendidikan yang selama ini jadi kritik terbesar semua pengamat

    pendidikan13.

    Jika soalnya adalah biaya tentu ada beberapa pemecahan yang masuk

    akal. Yang pertama adalah mengembangkan sistem kelembagaan kampus yangmampu mengembangkan kerja sama dengan berbagai pihak. Lembaga riset

    maupun konsultasi bisa dikembangkan sebagai bagian dari asset kampus untuk

    mendatangkan pendapatan. Ini sebenarnya sudah banyak ditempuh oleh

    berbagai pusat studi tinggal bagaimana mengembangkan pendanaan sebagai

    bagian dari investasi14. Ada pusat studi yang gemuk dalam pendapatan dan

    bagaimana pendapatan ini disalurkan untuk menambal berbagai kekurangan.

    Asset-asset kampus yang bisa mengambil fungsi itu dioptimalkan tanpa

    membebankan pada mahasiswa. Bukan seperti yang sekarang berjalan,

    bangunan-bangunan kampus disewakan untuk perhelatan yang kadangkala

    menghina akal sehat. Sebuah kampus di Yogyakarta ruangannya pernah

    digunakan untuk pameran kucing beserta kandangnya. Lama kelamaan pameran

    suara perkutut bisa mengambil tempat di pelataran kampus.

    Langkah keuangan kedua adalah mendorong pemerintahan setempat

    untuk mengalokasikan budget pada kampus negeri. Kampus negeri selama ini

    memberikan peran yang sangat penting, khususnya dalam mengembangkan

    13Ada istilah wali amanah yang kerapkali berisikan orang-orang yang berasal dari kelas sosial atas dan ini

    yang menjadi legitimasi ketika kampus menelurkan kebijakan-kebijakan yang tidak berpihak padamahasiswa melainkan memenuhi selera untuk mendapatkan laba14Sebagai contoh adalah kantor penulis di Pusat Studi HAM UII yang mampu mengembangkan kerja sama

    bukan hanya dengan lembaga donor melainkan beberapa perusahaan Multinational yang bisa memberikanalokasi besar untuk beberapa kegiatan riset bahkan dapat menjadi sumber pendapatan alternatif dalampemerkuatan dan pengembangan kampus. Andai semua Pusat Studi mampu bergerak dalam bidang-bidangini tentu soal pembiayaan bukan masalah besar.

  • 7/29/2019 Desain Pendidikan Kritis

    18/68

    identitas wilayah dan bahkan mampu memberi makan pada penduduk sekitar.

    Kost maupun warung yang selama ini jadi bagian dari wirausaha rakyat menjadi

    tertolong dengan keberadaan kampus negeri yang punya banyak fakultas. Tak

    bisa pemerintah lokal lepas tanggung jawab dari keluhan akan mahalnya biaya

    pendidikan apalagi dengan menutup mata pada apa yang berjalan selama ini.

    Pemerintah lokal dituntut untuk berperan dalam mengembangkan pembiayaan

    alternatif. Mungkin itu diawali dari pengenaan pajak pada berbagai perusahaan

    lokal yang membantu kampus dengan imbalan berbagai keringanan. Jangan

    seperti sekarang ini dimana banyak pemerintah daerah setempat tambah

    mengembangkan stadion olah raga bertaraf international atau memburu

    pembangunan mall. Jarang sekali ada kepala daerah yang mencantumkan

    program pengembangan Kampus negeri sebagai bagian dari agenda politiknya.Langkah ketiga adalah melakukan efisiensi yang ketat dan transpransi

    managemen. Kampus waktunya mengembangkan sumber daya lokal dalam hal

    peningkatan fasilitas, misalnya kerja sama dengan penerbit dalam melengkapi

    perpustakaan atau belajar pada sektor ekonomi rakyat dalam pengembangan

    studi ekonomi. Kampus didorong memanfaatkan potensi lokal yang selama ini

    bisa dijadikan sandaran bagi pendalaman pengetahuan sekaligus laboratrium

    sosial mahasiswannya. Fakultas kedokteran tidak hanya punya rumah sakit tapi

    juga bagaimana meihat pengobatan alternatif yang kini telah diakui. Sama halnya

    dengan fakultas Fisipol yang mulai berpraktek pada bagaimana kinerja partai

    politik lokal. Sama halnya dengan fakultas arsitektur yang perlu menghabiskan

    banyak waktu untuk meyentuh rumah kaum miskin yang ada di pinggiran

    sungai. Radikalisasi methodologi perlu ditempuh sehingga kampus bukan

    menjadi tempat yang asing. Jangan sampai seperti di DIY sebuah kampus negeri

    ada yang memperluas lahan dengan menggusur penduduk atau menaikkan gaji

    Rektor yang ujung-ujungnya terjadi pemogokan massal.

    Langkah keempat peran Perbankan diintensifkan selain sebagai

    penampung dana mahasiswa. Selama ini Perbankan belum banyak aktif

    membantu kampus selain membangun gedung. Perbankan harus memberikan

    alokasi kredit produktif yang kelak akan bermanfaat misalnya dalam

    pengembangan laboratrium, riset, perluasan areal kampus atau memperbanyak

  • 7/29/2019 Desain Pendidikan Kritis

    19/68

    fasilitas yang diperlukan. Kredit produktif untuk kegiatan pengetahuan harus

    digalakkan agar tidak lagi ada alasan kalau biaya sedikit-sedikit kurang. Kita bisa

    mensurvai berapa sebenarnya pendapatan Perbankan dari penyimpanan uang

    mahasiswa selama ini, yang jumlahnya kian hari kian meningkat. Jangan sampai

    Bank hanya digunakan untuk memberikan kredit konsumtif pada dosen, seperti

    kredit mobil, kampanye kartu kredit, kredit HP hingga kredit alat-alat tekhnologi

    dapur. Ini juga perlu dukungan pemerintah, dimana sektor Perbankan yang

    memberikan alokasi kredit bagi penguatan budaya pengetahuan akan

    mendapatkan peringkat yang baik. Jangan sampai Bank hanya diisi oleh para

    perampok.

    Langkah kelima mulai membuka studi yang berorientasi pada golongan

    miskin. Semakin banyak golongan miskin yang tidak tertampung dalam institusiperguruan tinggi. Waktunnya untuk membuka kelas khusus untuk mereka. Ada

    banyak program studi yang dibuka untuk kalangan profesional dan kenapa tidak

    dibuka untuk kelompok miskin. Jangan sampai belas kasihan kaum miskin

    terbentur pada administrasi. Keberanian untuk membuka studi khusus bagi

    kelompok miskin menjadi bagian penting dari komitmen perguruan tinggi dalam

    mengabdikan ilmu dan keberpihakan. Karenanya menjadi penting bahwa BHMN

    bukan butuh sekedar uang atau managemen melainkan mengembalikan kembali

    mandat sesungguhnya dari kampus. Jadi persoalannya bukan BHMN perlu apa

    tidak, melainkan siapa yang diuntungkan dengan perubahan status ini dan siapa

    yang sebenarnya dirugikan? Sebuah kebijakan akan selalu memiliki dua sisi yang

    kontradiktif. Pilihan apapun ini akan menunjukkan pada siapa sesungguhnya

    Kampus ini berhamba.

    Korupsi & Pendidikan

    Oleh: Eko Prasetyo

    Malam itu saya beruntung bertemu dengan beberapa guru yang mengajar

    pada berbagai sekolah. Seseorang diantara mereka bertutur, bagaimana aliran

    dana yang berasal dari dana subsidi jumlahnya ternyata tidak seperti yang

  • 7/29/2019 Desain Pendidikan Kritis

    20/68

    diumumkan. Tapi si guru itu dengan enggan mengatakan kalau keadaan ini

    sudah biasa. Dana yang turun jumlahnya akan selalu berkurang dan itu menjadi

    pemandangan yang umum. Di tempat lain saya juga mendapat laporan

    bagaimana sulitnya mengurus kenaikan pangkat, terutama dari IV a ke IV b.

    Uang kadang menjadi pelumas bagi percepatan proses kenaikan pangkat dan

    mutasi. Sungguh pemandangan yang menjijikkan jika kemudian guru yang

    bergaji rendah harus pula mendapat penindasan15. Sangat memalukan memang,

    kalau pendidikan berlumuran korupsi dan diantara sasaran empuknya adalah

    kawanan guru.

    Di luar guru sasaran korupsi yang lain adalah proyek pengadaan buku.

    Sebagai bagian pokok dalam sistem pengajaran maka buku seperti jantung dalam

    lembaga pendidikan. Yang menyakitkan kemudian buku pulalah yang jadisasaran korupsi. Dari proses pengadaan hingga judul seringkali buku tidak sesuai

    dengan kebutuhan siswa. Masak sebuah kampus Sekolah Tinggi Agama ada buku

    tentang cara merawat mesin dan menanam anggrek. Yang sungguh mengenaskan

    ada buku di kampus IAIN tentang rajah tangan yang jumlahnya satu judul ada 7

    buku. Ini belum lagi bagaimana otonomi daerah telah dimanfaatkan dengan

    cerdik oleh para kepala daerah untuk berbagi untung dengan para penerbit.

    Bukan lagi jadi sebuah rahasia kalau korupsi yang paling megah, adalah proyek

    pengadaan buku. Jerit anak didik yang dibodohkan oleh banyaknya buku yang

    tidak berkualitas tidak membuat para pengambil kebijakan kemudian insyaf dan

    sadar16.

    Kebijakan pengadaan buku di Indonesia mirip dengan bagaimana

    perubahan dalam kurikulum. Fase dari buku paket hingga proyek pengadaan

    buku yang menjadi sasaran bantuan Bank Dunia berakhir dengan kebocoran17.15 Beberapa pertemuan guru yang saya hadiri menyebut bagaimana birokrasi di lingkungan pendidikan

    kurang memberi apresiasi positif atas kreativitas yang mereka kerjakan. Seorang guru seni rupa harus

    berhadapan dengan kepala sekolah dan itu yang menyebabkan ia diberhentikan. Hal yang sama terjadi padaguru yang meski mendapat predikat teladan tapi tetap saja merasa kesulitan mengurus kenaikan pangkat.16 Ini misalnya surat rekomendasi seorang Dirjen atau Kanwil Departemen P dan K atau kepala Kandep

    tertentu pada seorang penerbit biasanya menjadi cara mujarab untuk membuat buku itu laku.dan dibeli olehsekolah. Untuk mendapatkan rekomendasi itu maka sejumlah biaya disalurkan dan itu tak membuat bukupelajaran memiliki kualitas yang sempurna. Lih Darmaningtyas, Pendidikan Rusak-Rusakan, LkiS, 200517 Sejarah kebijakan perbukuan dimulai dari fase buku Paket (berakhir sampai tahun 1995) yang dibagi

    secara gratis dan dikelola oleh pusat. Fase kedua (1995 s/d 1998) adalah proyek Bank Dunia tahap I, II danIII dimana kebijakan ini sifatnya desentralisasi dan masih menyisakan in-efisiensi. Tahapan III (1995 s/d2005) adalah Transparansi dan Profesionalisasi yang melibatkan swasta secara lebih aktif dankelemahanyya tetap terletak pada KKN antara harga penerbit dengan pihak sekolah. Serta yang terakhir,

  • 7/29/2019 Desain Pendidikan Kritis

    21/68

    Sebuah laporan yang dipublikasikan oleh Bank Dunia menunjuk sejumlah

    penerbit yang dikategorikan bertindak korup. Bahkan kebijakan pengadaan buku

    memunculkan konflik antara pejabat Diknas dengan Bank Dunia. Kini dengan

    sistem block grantdimana sekolah diberi kebebasan untuk membeli buku sendiri

    maka persoalan memang terletak pada bagaimana mekanisme monitoring.

    Sistem block grant ini juga diterapkan pada berbagai program, yang memang

    sangat mengandalkan permintaan dari sekolah. Ada sejumlah program seperti

    Bantuan Operasional Manajemen Mutu (BOMM) Bantuan Imbal Swadaya (BIS)

    untuk perawatan fisik, Ruang Kelas Baru (RKB) Broad Based Education (BBE)

    untuk pembelajaran aneka ketrampilan danPrevention Unit(PU)

    Yang memang jadi persoalan alokasi bantuan ini sangat minim

    pemantauan. Keberadaan Komite Sekolah tidak cukup optimal karena fungsimaupun mandatnya belum jelas hingga kini. Bahkan tak jarang Komite Sekolah

    dibekukan oleh Kepala Sekolah atau personelnya yang diganti. Hal yang sama

    terjadi pada apa yang kemudian dinamakan Dewan Pendidikan yang tidak

    banyak diketahui personel maupun tugasnya oleh publik. Wewenang, mandat

    dan fungsi yang belum jelas ini membuat persolan pendidikan kemudian kian

    menumpuk. Diantara yang menyolok adalah in-efisiensi yang menjadi laporan

    rutin BPK atas investigasi yang dilakukan terhadap Departemen Pendidikan.

    Korupsi kemudian menjadi tabiat umum karena pengawasan yang rendah dan

    pemberlakuan sanksi yang minim. Sangat jarang kita dengar bagaimana

    kelanjutan penanganan hukum yang lebih tegas pada sejumlah orang yang

    terbukti melakukan korupsi. Lazim dan ini sering dilakukan adalah sanksi

    administratif yang ini-pun masyarakat tak banyak mengetahui.

    Karena itu korupsi dalam lembaga pendidikan sulit ditangani karena

    beberapa sebab. Pertama adalah struktur managemen sekolah yang memang

    kurang melibatkan partisipasi masyarakat secara aktif. Meski sudah ada komite

    sekolah tapi ini kemudian mirip dengan lembaga BP3 yang mengenakan baju

    baru. Peranya masih belum optimal dan dipandang hanya sebagai tempat untuk

    konsultasi belaka. Ada baiknya memang komite sekolah juga melakukan

    pemantauan dan proses evaluasi dalam pembelajaran di sekolah dan tidak

    periodisasi masa pakai lima tahun (2005) Lih Saiful Anam, Indra Jati Sidi, Teraju, 2005

  • 7/29/2019 Desain Pendidikan Kritis

    22/68

    bertugas kalau dipanggil sekolah saja. Struktur managemen yang melibatkan

    partisipasi ini tidak hanya dalam pencarian dana melainkan juga bagaimana

    pengelolaan managemen sekolah yang lebih transparan dan akuntabel. Struktur

    managemen ini juga berkait-erat dengan kebijakan otonomi yang dijalankan

    secara agresif. Peran kepala daerah yang luas ini sering dijadikan perisai bagi

    kepala dinas untuk menjalankan kebijakan yang seenaknya.

    Korupsi ini juga menjadi subur karena budaya masyarakat yang terlanjur

    melihat institusi pendidikan sebagai lembaga yang memiliki kemampuan super.

    Itu terlihat dari bagaimana kepasrahan maupun kerelaan masyarakat untuk

    menyumbang berapapun besarnya pada lembaga pendidikan. Macam-macam

    sumbangan yang ditarik tidak menimbulkan kecurigaan, kesangsian atau

    pertanyaan. Pokoknya sekolah itu menarik biaya pasti untuk kebutuhan dankeperluan siswa. Kita jarang mendengar ada protes atau aksi menentang

    pungutan yang dilakukan oleh orang tua peserta didik atas biaya pendidikan.

    Apalagi kalau sekolah itu memakai merk unggulan maka semua kebijakanya

    menjadi absah dan halal untuk dipatuhi. Dalam salah satu risetnya ICW

    menemukan ada 46 pungutan dari uang osis hingga biaya olah raga yang

    dibebankan kepada siswa18. Kultur masyarakat yang menyakini kalau pendidikan

    yang baik itu pasti mahal menjadi dasar bagi tumpulnya kecurigaan atas

    melonjaknya biaya pendidikan.

    Korupsi di lembaga pendidikan terjadi karena tidak adanya proses

    pembaharuan dalam pengelolaan keuangan. Ada banyak segi perubahan

    kurikulum tapi sedikit yang bersentuhan dengan pengelolaan dana. Sampai hari

    tak ada patokan yang jelas berapa sesungguhnya biaya pendidikan minimal

    untuk seorang anak SD misalnya. Walaupun sejak adanya otonomi ada

    pemberian wewenang penuh pada sekolah tapi itu tidak mendorong proses

    efisiensi. Sebut saja dalam pembangunan gedung yang sering sekali bocor dan itu

    yang menyebabkan kehancuran bangunan yang jauh lebih cepat. Hal yang sama

    pada pengadaan buku-buku pelajaran yang memang buruk, baik dari segi isi

    maupun estetika. Pembaharuan pengelolaan keuangan hanya berputar-putar

    18Lih Ade Irawan dkk,Mendagangkan Sekolah, ICW 2004

  • 7/29/2019 Desain Pendidikan Kritis

    23/68

    pada bagaimana mekanisme pemberian kewenangan dan bagaimana proyek

    berjalan dengan tender yang bersih.

    Dengan persoalan sebesar ini maka pemecahan atas persoalan pendidikan

    berangkat dari sejumlah simpul. Adalah penting untuk mendorong kesadaran

    masyarakat agar peduli dan mau terlibat aktif dalam memantau anggaran.

    Sejumlah data penyelewengan keuangan bisa didapat dari lingkungan peserta

    didik terutama orang tua. Orang tua maupun kalangan masyarakat dilatih untuk

    melihat bahwa soal pendidikan tidak hanya berkaitan dengan problem

    kurikulum akan tetapi juga bagaimana sekolah bisa lebih efisien dan efektif

    pengelolaanya. Efisiensi dan efektifitas pengelolaan keuangan ini akan

    mempengaruhi kinerja dan kualitas pendidikan. Pandangan inilah yang

    sepertinya penting untuk ditanamkan dalam lingkungan pendidikan dan ini yangmemerlukan dukungan dalam lingkungan pendidikan. Guru sebagai salah satu

    elemen penting pendidikan perlu untuk dijaring opini, pandangan maupun

    tanggapan atas pengelolaan biaya pendidikan. Pengalaman saya memberi banyak

    petunjuk bagaimana guru sesungguhnya mempunyai banyak fakta, data maupun

    bahan akurat bagi penelusuran in-efisiensi pengelolaan pendidikan.

    Karenanya korupsi dalam lingkungan pendidikan tak bisa dipecahkan

    hanya dengan pendekatan yang lazim. Ada kebutuhan untuk melakukan

    pengorganisiran dan pembentukan jaringan dengan berbagai kalangan. Jaringan

    ini untuk memperkuat bagaimana data itu dipublikasikan dan mendapat

    penanganan hukum yang memadai. Keluhan-keluhan kolektif yang selama ini

    muncul memang perlu untuk ditampung serta diklasifikasikan pola-polanya.

    Korupsi dalam dunia pendidikan, sama halnya dengan korupsi di lingkungan

    lain, beranjak dari rumus yang sederhana: Korupsi = Monopoli + Kewenangan

    Bertindak pertanggung-jawaban.

    ORANG MISKIN & PENDIDIKAN19

    Oleh: Eko Prasetyo20

    19Disampaikan untuk diskusi di TIM Jakarta 16 Desember 2006

    20 Penulis buku Orang Miskin Dilarang Sekolah (Resist Book 2004), Pengumuman Tidak Ada Sekolah

    Murah (Resist Book 2005) dan Guru: Mendidik itu Melawan (Resist Book 2006)

  • 7/29/2019 Desain Pendidikan Kritis

    24/68

    .......negara menjamin setiap warga memiliki hak yang sama untuk

    mendapatkan pendidikan yang bermutu

    (Pasal 5 UU Sistem Pendidikan Nasional)

    ...Setiap tahun kenaikan (biaya sekolah) bisa dua kali inflasi

    (Mike R Sutikno, perencana keuangan)

    Saya selalu tertegun kalau mendengar seorang pejabat bilang: sekolah gratis itu

    tidak mungkin! Ucapanya yang kadang disampaikan berapi-api itu sungguh naif.

    Ia seperti kebanyakan pejabat: menyakitkan jika beri tanggapan dan selalu

    miskin imajinasi. Seolah ia menyukai sebuah dalil yang berangkat dari titikkepastian. Melihat pendidikan bukan atas landasan kewajiban negara tapi

    berangkat dari bagaimana masyarakat ikut memikul beban. Andai pandanganya

    itu bisa diidentifikasi sebagai perwakilan dari penguasa maka wajar jika

    pendidikan tak pernah bisa diurus dengan baik. Itu sebabnya dalam soal

    pemberantasan buta aksara kita kemudian berada jauh tertinggal dengan banyak

    negara.

    Korban utama dari pengelolaan yang buruk ini tentu warga miskin. Kian sulit

    mereka untuk mendapatkan sekolah yang berkualitas karena sistem yang ada

    selalu saja berpatokan pada biaya tinggi. Dalam dunia pendidikan biaya ini

    berawal dari:

    1. Sejak pendaftaran peserta sudah dikenai biaya yang beragam judulnya21.

    Dalam pengamatan penulis biaya ini mulai dari baju seragam hingga uang

    gedung. Disini tak ada kriteria yang bisa memastikan berapa banyak

    harga yang layak untuk menikmati pendidikan semacam ini. Dalam soal

    pendidikan mengacunya kadang bukan kebutuhan tapi mithos mutu dan

    tidaknya sekolah.

    21Ada banyak judul untuk pengenaan biaya, diantaranya: uang pangkal, uang gedung, uang seragam, uang

    infak, uang wakaf, booking fee dll. Ini merupakan petunjuk bagaimana kedahsyatan komersialisasi. Lih EkoPrasetyo dan Terra Bajragosha,Pengumuman tidak Ada Sekolah Murah (Resist Book 2005)

  • 7/29/2019 Desain Pendidikan Kritis

    25/68

    2. Model pembelajaran yang kini berkaca pada kompetisi22. Dengan

    paradigma kompetisi maka di semua level pendidikan beban muatan

    pelajaran terus-menerus ditambah dengan durasi waktu bersekolah yang

    amat panjang. Konsekuensi dari sistem ini adalah penambahan biaya yang

    tak selalu mempertimbangkan kemampuan orang tua peserta didik.

    Terlebih menjamurnya berbagai kursus yang bekerja-sama dengan pihak

    sekolah telah membuat siswa terjerat dalam mekanisme pasar pendidikan.

    3. Sistem evaluasi yang tetap saja memakan ongkos dan di beberapa lembaga

    pendidikan, ulangan umum digunakan untuk memeras siswa. Bagi

    mereka yang tidak mampu membayar dilarang keras untuk ikut ulangan

    umum. Keadaan ini telah membuat pendidikan menjadi sarang penyamun

    yang melihat siswa sebagai calon korban potensial. Dengan berpaling padamekanisme sistem evaluasi yang berlaku sekarang maka yang tenggelam

    dalam sistem penilaian adalah proses pendidikan yang disertai dengan

    lenyapnya kolektivitas.

    4. Biaya wisuda yang kini jadi tradisi di beberapa lembaga pendidikan untuk

    mengukuhkan kembali tradisi seremonial23. Bukan hanya wisuda tapi

    berbagai karya wisata untuk mengakhiri masa pembelajaran menjadi

    trend yang telah menjerat siswa dalam pembiayaan yang tidak perlu.

    Padahal di akhir pendidikan kebutuhan kian berlipat baik untuk

    melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi maupun untuk

    mencari pekerjaan.

    Itu sebabnya kini banyak berkeliaran bisnis dari asuransi, tabungan pemdidikan

    hingga utangan sekolah dikeluarkan oleh lembaga keuangan. Ide inovatif yang

    sudah barang tentu susah diakses oleh orang miskin24. Tapi, jika sekolah

    22Kini tumbuh dan menjamur sekolah khusus anak-anak cerdas yang berduityang biasanya dibedakan

    dalam empat bentuk yakni: Kelas International, Kelas Super, Kelas Akselerasi dan Kelas Inklusi. Prinsipdasarnya adalah siswa yang berkemampuan tinggi jangan dicampur dengan siswa yang berkemampuansedang apalagi bodoh dan orientasinya memang pada berbagai kompetisi International.Lih Gatra 23Agustus 200623Banyak kalangan menilai tradisi seremonil itulah yang membuat budaya konsumtif jadi gejala umum

    dalam pergaulan masyarakat. Ini terlibat dari berbagai survai bagaimana alokasi pendapatan mahasiswaterbesar di Indonesia kebanyakan untuk uang kebutuhan komunikasi24 Hutang Pendidikan yang dikeluarkan oleh Bank salah satu contohnya berbunga jauh lebih tinggi

    ketimbang kredit konsumtif atau kepemilikan rumah yang berkisar 16% per tahun, sedang utang pendidikan

  • 7/29/2019 Desain Pendidikan Kritis

    26/68

    kemudian jadi institusi yang begitu susah untuk dijangkau biayanya maka orang

    miskin yang jumlahnya mayoritas akan berhadapan dengan kubangan masalah

    yang jauh lebih rumit. Akses pendidikan yang sangat terbatas dengan tekanan

    biaya yang begitu mahal akan membawa konsekuensi pada:

    1. Tiadanya akses untuk mobilitas kelas sosial yang lebih tinggi. Pendidikan

    merupakan modal bagi setiap orang yang ingin berubah nasib. Jika orang

    itu ingin maju, berkembang dan tumbuh maka jalan yang normal adalah

    sekolah. Konsekuensinya kalau sekolah mahal maka yang bisa

    menanggung biaya-lah yang dapat duduk disana. Orang miskin yang

    nasibnya sudah susah akan makin susah jika nekat menempuh

    pendidikan.2. Lingkungan pergaulan yang makin eksklusif ketika sekolah kemudian

    berlomba-lomba untuk melakukan klasifikasi terhadap golongan siswa.

    Yang kaya bercampur dengan yang kaya dan si miskin dibiarkan saja

    bergabung dengan sesamanya. Pendidikan yang bertujuan untuk

    mendorong tumbuhnya solidaritas dan melatih kebersamaan menjadi

    tempat yang paling tumpul untuk melihat realitas. Eksklusifisme yang

    kini jadi model di beberapa sekolah telah mendorong siswa-siswa tidak

    mampu menjadi penonton dari panggung sekolah yang megah, mewah

    dan membuat kecemburuan sosial menjadi menyala terang.

    3. Kualitas materi pembelajaran yang dingin, beku dan sunyi dari

    kenyataan-kenyataan faktual. Usaha siswa untuk terus dipompa

    menguasai bahan pembelajaran yang kompetitif telah menenggelamkan

    kecerdasan sosial. Jika si miskin kemudian berada dalam lingkungan

    pendidikan yang seperti ini maka secara perlahan dicabut akar sosialnya

    untuk tunduk dan berhamba pada sistem yang sesungguhnya sangat

    pragmatis dan kejam. LKS adalah bentuk bagaimana penjajahan dan

    pemasungan kebebasan berpikir siswa untuk melayani kebutuhan dan

    dorongan kompetisi.

    bunganya bisa mencapai 28% per tahun. Lih Kontan 1 Mei 2006

  • 7/29/2019 Desain Pendidikan Kritis

    27/68

    Ini adalah konsekuensi yang akan muncul ketika pendidikan tetap berpatokan

    pada biaya mahal. Kondisi yang kini tampak dari bagaimana partisipasi

    bersekolah yang terus menurun dan populasi kemiskinan yang tidak

    berkurang. Padahal dengan mematok biaya mahal dan sulit untuk dijangkau,

    pendidikan telah menegaskan fungsi sebagai lembaga komersial yang melihat

    peserta didik sebagai konsumen. Mekanisme ini telah menegaskan kembali

    pendidikan yang berorientasi pada:

    1. Sistem yang kapitalistik dengan memanfaatkan kebutuhan-kebutuhan

    dasar untuk dijadikan komoditi. Pendidikan yang kian mahal ini telah

    membuat sekolah jadi tempat terburuk untuk pertumbuhan kepekaan dan

    solidaritas sosial. Bagaimana akan menempa jiwa sosial andai sekolah sajamahal; sehingga pikiran yang muncul pertama kali adalah bagaimana

    siswa berfikir untuk balik modal Lebih-lebih orientasi penanganan

    materi pendidikan yang pragmatis telah membuat pendidikan jadi tempat

    terbaik untuk memperkenalkan ajaibnya fungsi uang dan jual beli.

    2. Minimnya peran negara dalam artian, upaya pencerdasan bukan lagi

    semata-mata tugas pokok negara. Pencerdasan menjadi upaya yang bisa

    dilakukan-menurut UU Sisdiknas, masyarakat-tapi menurut kenyataan

    praktis adalah pihak swasta yang melihat potensi keuntungan. Negara

    hanya menjadi pendukung bahkan promotor kualitas dengan terus

    membuat standar nilai ujian yang berubah-ubah. Tugas negara dalam

    pendidikan tinggal tiga fungsi: menaik-turunkan standar ujian, merubah-

    ubah kurikulum dan membuat janji pada para pelaku pendidikan. Peran

    minim pemerintah ini lagi-lagi telah mengabaikan kewajiban utamanya

    3. Orientasi pragmatisme dalam semua penyelenggaraan pendidikan;

    dimana pendidikan kini tidak membutuhkan kebutuhan-kebutuhan ideal

    siswa untuk berkembang sesuai dengan usianya melainkan mempercepat

    dan memberikan bekal praktis pada para peserta didik untuk menyambut

    dunia pasar kerja yang liberal. Itu sebabnya fasilitas-fasilitas percepatan

    itu lebih banyak dibuat ketimbang membuat lingkungan yang

    mematangkan emosi dan kedewasaan peserta didik. Konsekuensi

  • 7/29/2019 Desain Pendidikan Kritis

    28/68

    langsung dari pendekatan yang pragmatis ini adalah menjamurnya budaya

    kekerasan akibat dari kurikulum yang berorientasi individualitistik.

    Kini pendidikan bukan hanya jadi masalah melainkan ikut memberi

    sumbangan bagi meningginya angka kemiskinan. Jalan keluar dari persoalan

    yang membelit ini memang tidak ada jalan lain kecuali:

    1. Memaksa negara untuk mengambil kebijakan yang pro pada pendidikan

    gratis25. Ini bukan hanya sesuatu yang mungkin tapi juga menjadi

    kewajiban yang sudah diperintahkan oleh UUD 45 maupun UU

    Pendidikan Nasional. Apalagi dengan potensi kekayaan negara yang

    berlimpah disertai gaji pejabatnya yang tinggi-tinggi sekali makapendidikan gratis bukan sesuatu yang mustahil. Syaratnya hanya satu:

    kalau penguasanya mau dan punya nyali

    2. Mendorong insentif pada berbagai yayasan swasta atau organisasi sosial

    yang membuat pendidikan murah dengan kualitas terjamin. Insentif ini

    dapat berupa pengurangan pajak serta bagaimana pemberian fasilitas

    pendidikan yang berkualitas. Ini untuk mendorong hadirnya lembaga

    pendidikan swasta yang bisa berkarya sosial maksimal dengan tidak

    menaruh orientasi komersial yang berlebihan. Dengan jangkauan harapan

    seperti ini maka pendidikan bisa menjadi tanggung jawab di luar negara

    dengan tolak ukur tanggung jawab sosial

    3. Ketersediaan asuransi pendidikan untuk kalangan miskin sehingga

    membuat warga miskin dapat meng-akses pendidikan pada semua jalur26.

    Tidak hanya ketersediaan asuransi tapi juga kewajiban sekolah untuk

    mengalokasikan tempat bagi mereka yang tidak mampu. Kebijakan untuk

    alokasi peserta didik ini dapat menjadi titik tumpu bagi pemenuhan

    tanggung jawab pendidikan sebagai lembaga yang menyemaikan benih

    25 Pasal 49 UU Pendidikan Nasional, menyatakan: Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya

    pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari APBN pada sektor pendidikan dan minimal 20% dariAPBD26Dalam sebuah lokakarya pernah ada usulan untuk membuat semacam kartu Gakin, yang biasanya untuk

    urusan kesehatan tapi untuk keperluan pendidikan. Yang pokok memang bagaimana membuat urusanpembiayaan ini melalui prosedur yang sederha, tanpa birokrasi berbelit dan bisa menjangkau kepentinganpokok kalangan miskin.

  • 7/29/2019 Desain Pendidikan Kritis

    29/68

    keadilan dan tanggung jawab sosial Andai sekolah hanya berisikan orang-

    orang kaya dengan kualitas intelektual yang standar maka pendidikan

    akan jadi lingkungan yang elitis dan tidak memiliki kepedulian.

    Ini bukan semata-mata methode tapi kebutuhan untuk mencari dasar politik

    keberpihakan pada pendidikan yang kian mahal. Tentu saja pendidikan yang

    murah serta biasa diakses oleh masyarakat miskin merupakan salah satu

    jalan bagi pemenuhan hak-hak warga yang selama ini terabaikan.

    Pendidikan, hanya dan akan mampu,memberi sumbangan bagi kecerdasan

    kolektif bangsa selama pemegang kekuasaan memikirkan pendidikan,

    sebagaimana pernah Lenin katakan: Negara boleh berhemat apa saja; asal

    tidak berhemat pada sektor pendidikan Ucapan Lenin ini seolah menagihkita semua untuk mulai serius memikirkan pendidikan.

    Guru dalam Jebakan Pasar & Kekuasaan27

    Oleh: Eko Prasetyo

    Mengajari anak-anak berhitung memang bagus

    Tapi yang terbaik adalah mengajari mereka apa yang perlu diperhitungkan

    (Bob Talbert)

    UU Guru no 14 tahun 2005 telah menjadi tonggak dasar penempatan dan

    reposisi guru di mata negara. Ikhtiar untuk munculnya guru yang profesional,

    cakap dan mampu memenuhi tujuan dasar pendidikan dirintis melalui

    pemberlakuan sejumlah pasal-pasal yang pokok dan perlu. Diantara yang ingin

    dijawab dan kemudian diwujudkan dalam beberapa pasal dalam UU Guru,

    diantaranya soal upaya untuk memenuhi kualitas pendidikan serta gagasan

    untuk peningkatan kesejahteraan. Konsep-konsep profesional, sertifikasi

    kemudian kompetensi jadi bahasa legal yang banyak sekali disentuh dalam UU

    Guru. Tampaknya guru kemudian dituntut untuk menjalankan peran mendidik

    27Makalah ini disampaikan dalam seminar di Universitas Negeri Padang 16 Mei 2006, ini merupakan sub

    bab buku penulis, Guru Mendidik itu Melawan, Resist Book, 2006

  • 7/29/2019 Desain Pendidikan Kritis

    30/68

    dalam lingkungan yang kompetitif dan liberal. Prinsip sebagai guru kini beraneka

    ragam, yang seluruhnya didorong untuk melahirkan seorang pendidik yang

    punya pengetahuan, dedikasi dan kemampuan yang sempurna. Membaca UU

    Guru kita seperti berhadapan dengan utopia negara tentang pekerjaan mendidik,

    yang sama halnya, kini dengan karyawan.28

    Kesamaan umum adalah bertebaranya berbagai mandat abstrak yang

    tidak digali dari realitas maupun tuntutan guru. Harapan maupun kata: bakat,

    minat, panggilan jiwa dan idealisme29telah meletakkan posisi guru dalam tataran

    idealistik tapi tidak diimbangi dengan layanan maksimal negara. Tanggung jawab

    negara yang meluntur ini terletak pada miskinya jaminan sosial terhadap guru,

    yang sekedar berputar pada pemberian gaji, tunjangan fungsional maupun

    insentif. Kiranya aturan ini disusun secara terburu-buru untuk menjawabteriakan protes guru pada kesejahteraan, sehingga bentuk pemenuhanya

    diserahkan kepada pemerintah daerah setempat dan dalam konteks peraturan

    akan disusun dan diatur dalam PP. Pengalaman selama ini memberitahukan

    bagaimana susahnya menagih komitmen pemerintah dan akan selalu saja ada

    dalih kesejahteraan ini tertunda. Jaminan sosial yang diberikan untuk keamanan

    profesi dan meningkatkan kemampuan ini tidak bisa dipenuhi oleh negara

    karena cekaknya anggaran dan minimnya pengetahuan tentang guru. Tapi

    harapan akan insentif dan kesejahteraan itu yang kemudian membuat

    pemerintah gemar membuat pasal-pasal tentang kewajiban guru yang lebih

    menempatkan guru sebagai agen kekuasaan ketimbang aktor perubahan sosial.

    Bayangkan tuntutan guru bukan hanya bisa meningkatkan mutu pelajaran tapi

    juga menjaga persatuan negara RI. Guru hampir mirip kewajibanya dengan

    serdadu!

    Beban kewajiban ini menegaskan bagaimana negara memposisikan peran

    guru, yang tidak semata-mata menjalankan fungsi pembelajaran melainkan juga28 Bab III UU No 14 tahun 2005 prinsip profesionalitas dinyatakan kalau guru menjalankan pekerjaanyaberdasarkan prinsip-prinsip khusus. Urutan prinsip itu dapat dibaca pada pasal 7 dari a hingga I, dimanabakat hingga organisasi profesi menjadi cirri utama seorang guru yang baik. Tidak terbesit sekalipun dalamprofesi guru itu peran kritis guru dalam pembaharuan social, kebebasan akademik dan menguatnya tradisiintelektual. Pasal ini seperti meletakkan pendidikan sebagai pekerjaan profesi yang ukuranya kuantitatif,sehingga diterjemahkan dalam bentuk sertifikasi hingga kepemilikan organisasi profesi. UU Guru ini tidakmelihat bagaimana peran historis dan politis guru selama ini. Artinya dalam pendefinisian tentang Guru,UU ini buta struktur dan konteks.29Ini muncul dalam bab III pasal 7 ayat 1 (a)

  • 7/29/2019 Desain Pendidikan Kritis

    31/68

    berkait-erat dengan bagaimana guru membina warga. Itu sebabnya kalimat

    membina dan mengembangkan banyak bertaburan pada beberapa pasal yang

    bersentuhan dengan tanggung jawab pemerintah30. Sejak lama pemerintah

    memang menginginkan kalau sebaiknya guru, berada dalam kendali maupun

    sasaran kontrol negara. Yang ingin dicakup dalam pembinaan ini, salah satu

    diantaranya, adalah menjaga kualitas maupun kompetensi guru melalui

    pendidikan. Lembaga mana yang dianggap layak untuk mendidik guru bahkan

    mengeluarkan sertifikat memang jadi polemik, tapi ketentuan ini mengindahkan

    sama sekali, pengalaman dan kegagalan pendidikan guru selama ini.

    Menyerahkan pendidikan guru pada sebuah lembaga khusus akan membawa

    akibat, pertama yang paling mungkin adalah pergeseran makna kualitas yang

    hanya ditetapkan melalui sertifikat. Kualitas guru yang paling mungkin tahuadalah peserta didik dan lingkungan tempat guru mengajar. Hal yang sama pula

    menyangkut kebutuhan guru seperti apa yang dibutuhkan hanya lingkungan

    sekolah itu yang tahu. Sebaiknya upaya untuk meningkatkan kualitas tidak saja

    bersandar pada lembaga pendidikan melainkan juga menggali kritik, saran dan

    pertimbangan publik.

    Undang-undang ini tidak mencerminkan upaya untuk meningkatkan

    kesejahteraan

    Buktinya untuk sejahtera saja, guru harus memenuhi syarat yang ditetapkan

    Oleh pemerintah

    (Iwan Hermawan, Sekjen Forum Guru Independen Indonesia)

    Pengalaman memberi petunjuk bagaimana upaya menjejali guru dengan

    berbagai praktek pengajaran kadang tidak sesuai dengan kemampuan dan

    fasilitas yang ada. Itu sebabnya kebijakan untuk meningkatkan kualitas guru

    kemudian perlu diimbangi dengan peningkatan mutu lembaga pendidikan.

    Kualitas guru tidak lagi bergantung pada sertifikat atau bukti formil lainya

    melainkan juga bagaimana upaya individual atau kolektif guru dalam

    30Pada bagian kelima dari UU no 14 tahun 2005 ada bab khusus tentang pembinaan dan pengembangan

    guru yang tercantum dalam pasal 32,33 dan 34. Pasal-pasal ini menegaskan kembali peran pemerintahdalam membina serta mengembangan profesi guru.

  • 7/29/2019 Desain Pendidikan Kritis

    32/68

    menegakkan budaya intelektual. Kebutuhan mengenai ini tampaknya tidak

    terlalu banyak disapa oleh UU Guru dan yang lebih banyak dikupas adalah hal-

    hal yang bersifat birokratis. Birokratis ini dalam artian menyangkut bagaimana

    sistem kesejahteraan diperlakukan, sistem penempatan dan bagaimana model

    pengangkatan. Karenanya UU Guru ini mengandung cacat dasar, yakni secara

    ideologis tidak berbasis pada penyadaran dan keberpihakan pemerintah pada

    soal pendidikan yang paling dasar sekalipun. Paling dasar ini menyangkut

    bagaimana pendidikan mampu melahirkan guru yang bisa menjalankan fungsi

    pergerakan, yakni memihak dan mampu memahami kebutuhan rakyat akan

    perubahan sosial yang besar. Guru kini menjadi pekerjaan sebagaimana pegawai

    negeri lainnya dan organisasi profesi yang digagas dalam UU Guru tidak banyak

    menaruh kewajiban dan tanggung jawab sosial guru pada tugas pembelajaran31

    .Memang ada harapan melalui UU guru ini kesejahteraan guru akan lebih

    meningkat, akan tetapi UU Guru ini telah terjebak dalam logika sesat tentang

    pembelajaran. Pertama-tama guru tidak dilihat sebagai aktivitas yang membawa

    fungsi ideologis dan penyadaran. UU Guru ini tampaknya buta secara historis

    kalau guru memiliki peran signifikan dalam pembentukan kesadaran dan tradisi

    intelektual siswa. Fungsi politis guru ini dikalahkan oleh keinginan negara

    mengatur secara administratif pengelolaan guru dan menumpahinya dengan

    peningkatan pendapatan. Di seluruh pasal dalam UU Guru tidak terlihat

    sekalipun bagaimana sebenarnya peran pembelajaran sebagai cara untuk

    pemerkuatan kesadaran sekaligus menggali potensi cerdas siswa. Malahan dalam

    definisinya tentang guru, ketentuan yang ada di dalamnya masih terasa

    konvensional dan tidak melihat potensi peserta didik maupun lingkunganya32.

    Seolah-olah para penyusun aturan tidak pernah membaca berbagai teori

    pendidikan kritis, baik dari Ki Hajar Dewantara maupun Paulo Freire. Perumus

    31Dalam pasal 42 UU no 14 tahun 2005 organisasi profesi guru mempunyai kewenangan (a) menetapkan

    dan menegakkan kode etik guru (b) memberikan bantuan hokum pada guru (c) memberikan perlindunganprofesi pada guru (d) melakukan pembinaan dan pengembangan pada profesi guru (e) memajukanpendidikan nasional32 Guru dalam pasal 1 dinyatakan: guru adalah pendidik professional dengan tugas utama mendidik,

    mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikanusia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar dan pendidikan menengah. Ini definisi yang berkabutmasalah karena menempatkan guru sebagai sosok yang bisa segalanya dan murid adalah boneka hidup yangdikelola mengikuti petunjuk guru

  • 7/29/2019 Desain Pendidikan Kritis

    33/68

    UU Guru hanya melihat kalau Guru adalah pekerjaan profesional yang

    semustinya mampu melakukan segalanya.

    Definisi ini berakibat upaya peningkatan kesadaran guru hanya bertumpu

    pada aspek-aspek formal. Sertifikasi seperti tanda yang akan menoreh mutu-

    tidaknya seorang guru. Kecemasan kalau upaya ini terjatuh dalam proyek

    memang beralasan, karena pengalaman menunjukkan bagaimana gagasan

    peningkatan kualitas akan selalu terbentur oleh pipa birokrasi yang terkenal

    korup. Sudah bukan barang baru kalau pengangkatan maupun mutasi banyak

    berlumur kegiatan korup dan itu yang terjadi juga pada sejumlah proyek bantuan

    pendidikan. Birokrasi pendidikan terlalu busuk untuk mengelola kegiatan sepele

    apalagi aktivitas peningkatan kualitas guru. Budaya korupsi yang menjalar pada

    semua birokrasi menciptakan kekuatiran baru menyangkut pola pembaharuanyang dilakukan untuk guru. Benturan yang akan muncul diantara yang paling

    mungkin adalah model pendidikan seperti apa yang direkomendasikan dan

    bagaimana dengan pengalaman puluhan tahun guru yang sudah lama mengajar.

    Birokrasi gagal memberikan jawaban ini karena kapasitasnya maupun inisiatif

    yang muncul tidak melihat aktivitas guru sebagai kegiatan politik melainkan

    kegiatan rutin yang hanya memerlukan aturan efisiensi dan efektifitas. Racun

    birokrasi ini yang membawa kecemasan kalangan guru tentang masa depan

    profesinya apalagi untuk guru swasta yang tidak termasuk dalam klasifikasi UU

    No 14 tahun 2005.

    Guru berada dalam tikaman negara karena fungsi kontrol lebih menonjol

    ketimbang upaya mendorong kemandirian guru. Negara yang gagal

    membereskan soal pendidikan kini bertarung untuk memperbaiki kualitas guru

    melalui cara-cara brutal yang tidak peduli dengan hetrogenitas guru. Itu

    sebabnya konsep UU Guru dengan UU Pendidikan nasional banyak memuat

    perbedaan33. Prinsip dasar pendidikan yang melibatkan partisipasi masyarakat

    tidak terkandung banyak dalam UU Guru. Kata partisipasi ini kadang bermakna

    33Dalam UU Sistem Pendidikan Nasional No 20 tahun 2003 pasal 4 dari ayat 1 sampai 6 menegaskan

    bagaimana pendidikan dijalankan dengan berbagai prinsip demokratis, diantaranya (4) pendidikandiselenggarakan dengan memberi keteladanan, membangun kemauan dan mengembangkan kreativitaspeserta didik dalam proses pembelajaran. Ini jauh berbeda dengan konsep guru yang harus mendidik,mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi. Pertanyaanya bagaimana dasarpendidikan kreatif bisa ditanam kalau definisi guru sendiri tidak memberi ruang kebebasan bagi pesertadidik?

  • 7/29/2019 Desain Pendidikan Kritis

    34/68

    proses swastanisasi yang diwajibkan oleh negara. Jika dalam UU Pendidikan

    swastanisasi dibuka lebar maka sebaliknya dalam UU Guru profesi guru swasta

    tidak menjadi bagian dari tanggung jawab pemerintah. Politik ambigu

    pemerintah ini memberi petunjuk bagaimana kurangnya pemahaman akan

    problem pendidikan dan guru. Lagipula pendekatan yang akan selalu dilakukan

    oleh pemerintah tetap saja berprinsip pada bagaimana beban pemerintah pada

    pendidikan dibagi rata tapi tanggung jawab akan kesejahteraan dibedakan.

    Pengabaian pada sisi ini yang telah menjerumuskan guru kemudian dalam pasar

    pendidikan yang kejam dan tidak melihat kebutuhan khusus akan tenaga

    pengajar. Pasar kemudian melihat guru bukan sebagai aktivitas kolektif yang

    memerlukan penanganan melainkan kegiatan yang semata-mata mematuhi

    aturan birokrasi dan kebutuhan akan pasar pendidikan.Pasar pendidikan inilah yang menjadi kecemasan kolektif publik. Wujud

    dari pasar pendidikan ini bisa dalam bentuk (1) hidupnya kembali pendidikan-

    pendidikan swasta elit yang mengaitkan diri dengan standar International. Bisnis

    pendidikan yang sifatnya seperti waralaba mengalami pertumbuhan pesat dan

    menjarah pada kawasan-kawasan kota kecil sekalipun. Kebutuhan mereka akan

    guru profesional akan dijawab dengan mudah karena biasanya lembaga ini

    memiliki standar penggajian maupun insentif yang lebih baik. Menyerahkan

    pada tangan swasta kesejahteraan guru swasta akan kian menegaskan liberalisasi

    pendidikan yang selama ini jadi sasaran kritik berbagai kalangan. Standar

    pendidikan swasta ini kemudian menular dengan cepat pada berbagai sekolah

    negeri dan ini menyebabkan inisiatif pemerintah setempat untuk menggratiskan

    pendidikan kerapkali menemui kegagalan. Iklim kompetisi sekolah bermutu

    telah menghalalkan beban gila pembiayaan pada masyarakat dan akibatnya bagi

    guru, gagasan sekolah murah dianggap akan menganiaya gaji dan kesejahteraan

    mereka. Lebih jauh pasar pendidikan dimana banyak sekolah mengibarkan posisi

    sebagai unggulan kerapkali meniadakan pengetahuan humaniora dan lebih

    mengutamakan ilmu eksata34 (2) Tumbuh pesatnya pendidikan profesi apalagi

    34Ini tampaknya penyakit lembaga pendidikan yang kita miliki. Perlahan-lahan ada diskriminasi keilmuan

    melalui sekolah unggulan yang kurikulum unggulanya kebanyakan berpusat pada matematika, fisika, kimia,biologi dan jarang, bahkan bisa dibilang tidak ada, program kelas unggulan yang menitik-beratkan padailmu social seperti sosiologi, seni, sastra, sejarah dan filsafat. Ini akibatnya ilmu social kerapkali menjadisisipan saja dalam kurikulum atau semata-mata sebagai suplemen. Lih Wildan Pramudya, Sekolah

  • 7/29/2019 Desain Pendidikan Kritis

    35/68

    kini tuntutan akan guru profesional yang ditakar melalui sertifikasi. Uji publik

    guru yang sebaiknya ditentukan pula oleh praktek pembelajaran di lapangan

    sekaligus karya-karya intelektual yang dilahirkan, dipersempit menjadi program

    pemberian sertifikat dengan jenjang pendidikan yang sudah terstruktur. Ikhtiar

    menjawab kualitas guru dengan pendekatan formalistik ini telah menghidupkan

    kembali pipa pendidikan formal guru yang sasaranya adalah bagaimana meraih

    peserta didik yang sebagian besar guru dan melakukan pengelolaan atasnya. Kita

    bisa bayangkan, selain memiliki ijazah S1 atau D4 dan memiliki sertifikat

    kompetensi, seseorang yang hendak menjadi guru profesional juga harus

    memiliki sertifikat profesi35. Sertifikat ini dikeluarkan oleh perguruan tinggi yang

    memiliki program pengadaan tenaga kependidikan yang ter-akreditasi. Yang

    merepotkan lagi ada kewajiban untuk memperbaharui sertifikat kewenanganmengajar melalui uji kompetensi. Keadaan yang dicemaskan oleh sebagian besar

    kalangan bisa menghidupkan kembali budaya pugli maupun korupsi di

    lingkungan pendidikan. Sertifikasi merupakan wujud dari pasar pendidikan yang

    akan menekan guru kembali.

    Pasar pendidikan ini juga bersangkut paut dengan (3) nilai kesejahteraan

    guru yang dalam mandat UU Guru diserahkan pada tanggung jawab sekaligus

    kewajiban pemerintah pusat dan daerah tidak memberikan efek yang berarti.

    Kesejahteraan ini tidak berkait langsung dengan guru non PNS yang ini

    kemudian diperuncing oleh berbagai regulasi pemerintah tentang guru honorer.

    Sebutan guru PNS, non PNS, honorer, guru tidak tetap, guru bantu bukan

    merujuk pada fungsi melainkan lebih untuk memberikan harga atau

    kesejahteraan yang layak. Padahal banyak data menyebutkan bagaimana

    masyarakat masih banyak menanggung biaya pendidikan ketimbang pemerintah,

    artinya sekolah swasta sekaligus guru swasta punya peran besar dalam dunia

    pendidikan36. Politik kebijakan pemerintah yang diskriminatif ini menyebabkanUnggulan: Praktek Diskriminasi Keilmuan, Koran Tempo 18 Agustus 200535Membaca bab IV UU Guru terumuskan dalam pasal 8 tentang kewajiban guru untuk memiliki kualifikasi

    akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani serta memiliki kemampuan untukmewujudkan tujuan pendidikan nasional. Pasal 9 dinyatakan kalau kualifikasi akademik bisa diperolehmelalui program S1 atau D4 sedangkan kompetensi diperoleh melalui pendidikan profesi dan pasal 11sertifikasi hanya dikeluarkan dan diselenggarakan oleh program pengadaan tenaga kependidikan yangsudah ter-akreditasi. Bayangkan pipa yang musti dilalui untuk menorah kata profesionalitas guru36Dari laporan Balitbang Depdiknas dinyatakan, bahwa hingga kini masyarakat masih menanggung 53,74-

    73,87 persen total biaya pendidikan, termasuk penyelenggaraan sekolah swasta. Sementara pemerintah

  • 7/29/2019 Desain Pendidikan Kritis

    36/68

    banyak profesi guru tidak terlalu dihargai dan menyerahkannya semata-mata

    pada kebijakan pemerintah setempat. Belum ada kajian yang lebih mendalam

    dimana sesungguhnya akar persoalan kesejahteraan, karena dalih pemerintah

    selalu saja kurang uang kalau hendak mensejahterakan guru. Di sisi lain

    kebijakan agresif pemerintah dalam menaikkan berbagai harga kebutuhan pokok

    tidak seimbang dengan insentif yang dilakukan oleh sejumlah pemerintah daerah

    dalam mensuplai kebutuhan logistik guru.37 Tambal-menambal kesejahteraan ini

    tidak disertai dengan penguatan budaya intelektual di lingkungan pendidikan

    melainkan hidupnya konsumerisme, sehingga sebagian kalangan berpendapat

    kesejahteraan guru tidak secara otomatis akan meningkatkan kualitas

    pengajaran. Agak naif jika peningkatan kesejahteraan kemudian tidak

    dimanfaatkan oleh guru menambah gudang pengetahuan melainkan ikut aruspada arus konsumerisme yang kini jadi gejala umum.

    Pemerintah terbaik

    Adalah yang paling sedikit memerintah

    (Henry David Thoreau)

    Kecemasan diatas itu pula yang berakibat inovasi kurikulum selalu

    berbuah masalah ketimbang hasil. Penyakit umum perubahan kurikulum ini

    bisanya berangkat dari (1) model sosialisasi yang tidak berangkat dari realitas

    pendidikan yang ada bahkan para pemuka perubahan kadang tidak mengusai

    kurikulum yang baru. Training-training kurikulum baru lebih banyak

    membebani guru ketimbang memberikan kebebasan pada guru, atau yang lebih

    sulit kurikulum baru tidak mampu meringankan pekerjaan guru. Yang selalu saja

    gagal dalam penerapan kurikulum baru adalah meletakkan guru sebagai objek

    hanya menanggung biaya pendidikan sekitar 26,13 sampai 42,26% dari keseluruhan biaya pendidikan LihKompas 7 November 200537Di sejumlah tempat misalnya Kab Sleman Yogyakarta punya program subsidi guru tetap yayasan (GTY) di

    sekolah swasta dan guru tidak tetap (GTT) di sekolah swasta dan negeri. Besaran program subsidi ini samadengan bantuan langsung tunai (BLT) sebesar Rp 100.000. Ketentuan ini tentu ada syaratnya yakni yangminimal mengajar 6 jam per minggu, serta GTY yang mengajar minimal 18 jam per minggu, dengan jumlahtatap muka minimal dua kali seminggu. Guru TK dan SD negeri tidak mendapatkan subsidi ini. Hal yangsama dilakukan oleh pemerintah kota Yogyakarta dan ini juga dilakukan oleh pemerintah pusat. Tapikebijakan ini tetap belum bisa menutup kekurangan akibat dampak sosial kenaikan BBM maupun hargabahan pokok lainnya. Lih Kompas edisi Yogya 16-11-2005

  • 7/29/2019 Desain Pendidikan Kritis

    37/68

    ketimbang subjek kurikulum sehingga kesulitan yang selalu menghantui

    kurikulum baru adalah mencocokkan nalar berpikir dan kebiasaan guru dengan

    tuntutan kurikulum38 (2) kurikulum baru kemudian membawa efek lanjutan

    yakni membutuhkan biaya besar dan ujung-ujungnya jatuh pada aktivitas yang

    berorientasi proyek. Kerapkali kurilum baru tidak berkaca pada realitas sehingga

    punya dampak dan masalah ketika diterapkan, seperti pada sistem evaluasi yang

    menggunakan sistem KBK.39 Seringkali yang muncul juga tidak adanya evaluasi

    memadai kenapa kurikulum sebelumnya perlu diganti dan bagaimana proses

    peralihan yang tidak terjatuh pada pergantian nama atau sampul buku saja.

    Kebutuhan akan biaya besar akan membebani sekolah dan pangkalnya adalah

    peserta didik yang jadi sasaran pemerasan40. Bingkai proyek membuat kurikulum

    baru tidak cukup mempan untuk meyakinkan peserta didik bahwa itu bergunauntuk mereka apalagi meyakinkan guru yang menjadi subyek kurikulum.

    Negara kemudian bisa ditunjuk sebagai tersangka dalam mengelola dan

    memberdayakan guru. Model pengelolaan guru ini masih mencerminkan tabiat

    busuk kekuasaan, yakni (1) formalistik, baku dan prosedural yang ini dapat

    dilihat dari bagaimana kualifikasi profesional tidak menunjuk pada kemampuan

    dasar yang mustinya dipunyai oleh guru. Syarat-syarat formal yang dirumuskan

    dalam UU Guru hanya memahami pekerjaan guru sebagai tugas pemberian

    pelajaran bukan penyadaran. Kebijakan pendidikan yang tidak berpijak pada

    filsafat mendidik dan kurang berkaca pada sejarah telah menikam guru pada

    persoalan memalukan, yakni kesejahteraan (2) negara kemudian menempatkan38 Kurikulum baru kerapkali hanya bersifat adminsitratif, sebagaimana dilontarkan oleh Suparma KetuaUmum Guru Independen Indonesia (FGII) yang mendasarkan pengalamanya pada perubahan kurikulumdari kurikulum 1994 menuju kurikulum berbasis kompetensi tahun 2004. Menurutnya ini terkait denganproses sosialisasi yang tidak efektif, berdasar pengalaman, sulit menangkap muatan kurikulum berbasiskompetensi karena instrukturnya minim pengalaman. Dalam sosialisasi, guru-guru banyak kebingungan.Materi sudah diberikan tetapi bagaimana menerapkan kurikulum secara utuh belum dipahami Lih Kompas8-11-200539Evaluasi siswa dalam kurikulum 2004 dengan label KBK (padahal sesungguhnya sejak kurikulum 1984

    pun sudah berorientasi pada kompetensi) mencakup aspek psikomotorik, kognitif dan afektif. Namundengan jumlah murid satu kelas sebanyak 40 siswa tuntutan untuk itu sangat sulit diterapkan. Lih Kompas14 Februari 200640Conto