desa pakraman.doc

13
Desa Pakraman Dalam persepektif historis, desa pakraman (desa adat) sebagai organisasi sosial relegius masyarakat Bali diyakini telah ada sejak jaman Bali Kuno, yaitu sekitar abad ke 9-10 masehi. Masyarakat desa pada waktu itu disebut kraman atau karaman, sedangkan untuk menunjuk desa digunakan istilah wanua atau banua, seperti tercatat dalam prasasti desa Trunyan abad ke-10. Secara formal, istilah desa pakraman pertama kali digunakan dalam Peraturan Daerah No 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman yang ditetapkan pada Tanggal 21 Maret 2001. Dalam pasal 1 angka 4 disebutkan pengertian desa pakraman sebagai berikut: “Desa Pakraman adalah kesatuan masyarakat hukum adat di Provinsi bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata karma pergaulan hidup masyarakat Hindu secara turun temurun dalam ikatan Kahyangan Tiga atau Kahyangan Desa yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri”. Desa pakraman di bali memilki ciri-ciri yang bersifat khusus, ciri khusus tersebut berkaitan dengan landasan filosofis Hindu yang menjiwai kehidupan masyarakat hukum Adat Bali yang dikenal dengan filosofi tri hita karana. Filosofi tri hita karena itu diwujudkan dalam tiga unsur pembentuk desa pakraman yaitu:

Upload: agusatria

Post on 17-Nov-2015

9 views

Category:

Documents


6 download

TRANSCRIPT

Desa PakramanDalam persepektif historis, desa pakraman (desa adat) sebagai organisasi sosial relegius masyarakat Bali diyakini telah ada sejak jaman Bali Kuno, yaitu sekitar abad ke 9-10 masehi. Masyarakat desa pada waktu itu disebut kraman atau karaman, sedangkan untuk menunjuk desa digunakan istilah wanua atau banua, seperti tercatat dalam prasasti desa Trunyan abad ke-10. Secara formal, istilah desa pakraman pertama kali digunakan dalam Peraturan Daerah No 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman yang ditetapkan pada Tanggal 21 Maret 2001. Dalam pasal 1 angka 4 disebutkan pengertian desa pakraman sebagai berikut: Desa Pakraman adalah kesatuan masyarakat hukum adat di Provinsi bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata karma pergaulan hidup masyarakat Hindu secara turun temurun dalam ikatan Kahyangan Tiga atau Kahyangan Desa yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri. Desa pakraman di bali memilki ciri-ciri yang bersifat khusus, ciri khusus tersebut berkaitan dengan landasan filosofis Hindu yang menjiwai kehidupan masyarakat hukum Adat Bali yang dikenal dengan filosofi tri hita karana. Filosofi tri hita karena itu diwujudkan dalam tiga unsur pembentuk desa pakraman yaitu:

1. Parhyangan yaitu adanya kahyangan desa (kahyangan tiga: Pura Desa, Pura Puseh dan Pura Dalem) sebagai tempat pemujaan bersama terhadap Tuhan Yang Maha Esa.2. Palemehan sebagai wilayah tempat tinggal dan tempat mencari penghidupan sebagai proyeksi dari adanya bhuana yang tunduk dibawah kekuasaan hukum territorial Bale Agung.

3. Pakraman yaitu warga (penduduk) desa pakraman yang disebut karma desa sebagai satu kesatuan hidup masyarakat desa pakraman.Tugas Dan Wewenang Desa Pakraman

Dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman, kewenangan desa pakraman diatur pada Pasal 5. Dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa tugas dan wewenang desa pakraman, adalah sebagai berikut:

1) Membuat awig-awig. 2) Mengatur krama desa.

3) Mengatur pengelolaan harta kekayaan desa.

4) Bersama-sama pemerintah melaksanakan pembangunan disegala bidang terutama bidang keagamaan, kebudayaan dan kemasyarakatan.

5) Melestarikan dan mengembangkan kebudayaan nasional pada umumnya kebudayaan daerah pada khususnya, berdasarkan paras-paros, sagilik-saguluk, salunglung-sabayantaka (musyawarah mufakat).

6) Mengayomi krama desa.

Struktur Organisasi Desa Pakraman

Struktur organisasi desa pakraman meliputi susunan, sistem keanggotaanya, dan sistem pemerintahannya. Struktur organisasi desa pakraman yang ada sangat bervariasi tergantung kepada kondisi setempat. Perbedaan varian struktur organisasi desa pakraman sangat kentara terutama antara desa-desa pakraman dengan tipe desa baliaga disatu pihak ada tipe desa apanaga dan desa anyar dilain pihak. Susunan Desa PakramanDilihat dari susunannya, sebagian desa pakraman bersusunan tunggal dan sebagian lagi bertingkat. Desa yang bersusunan tunggal terdiri dari satu banjar sedangkan desa pakraman yang susunannya bertingkat terdiri dari beberapa banjar, bahkan sebagian dari banjar itu dibagi-bagi lagi dalam kelompok kerja yang yang disebut tempekan. Sistem Keanggotaan Desa Pakraman

Sistem pakraman (keanggotaan) desa pakraman yang ada di Bali bervariasi, tetapi dalam garis besarnya dapat dikelompokkan dalam dua garis besar, yaitu:1. Sistem pakraman berdasarkan ngemong karang ayahan; Sistem ini umunya dianut pada desa pakraman yang masih kuat pengaruh dari tanah adatnya. Ngemong karang ayahan berarti memegang/menguasai tanah milik desa (tanah ayahan desa atau tanah karang desa). Berdasarkan sistem ini maka status keanggotaan desa pakraman (kerama desa) akan dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu pertama, kelompok kerama yang menguasai tanah milik desa sehingga dikenakan kewajiban (ayahan) penuh kepada desa. Kelompok kerama ini disebut kerama ngarep atau istilah lainnya sesuai dengan adat (dresta) setempat; kedua, kelompok kerama yang tidak menguasai tanah milik desa sehingga tidak dikenakan kewajiban penuh kepada desa. 2. Sistem pekraman berdasarkan mapikuren. Mapikuren artinya berumah tangga. Berdasarkan sistem ini maka keanggotaan seseorang menjadi kerama desa dimulai setelah yang bersangkutan berumah tangga (kawin). Dalam sistem ini semua kerama desa mempunyai hak dan kewajiban yang sama terhadap desa. Desa pakraman dengan sistem ini umumnya dianut oleh desa pakraman yang tidak mempunyai tanah adat atau tidak kuat pengaruh tanah adatnya.Sistem pemerintahan desa pakraman

Pemerintahan desa pakraman dilakukan oleh pengurus desa pakraman yang lazim disebut penjuru atau dulu atau (paduluan). Sistem pemerintahan desa pakraman juga sangat variatif sangat dipengaruhi oleh tipe desa yang bersangkutan. Tipe desa pakraman yang ada di Bali dikelompokkan dalam tiga kelompok yaitu:1. Desa Baliaga, yaitu desa tua di Bali yang masih kuat mempertahankan sistem kemasyarakatan asli yang dalam jaman kerajaan dulu tidak dipengaruhi oleh sistem kemasyarakatan Majapahit. Umumnya desa dengan tipe ini terdapat didaerah pegunungan dan jauh dari pusat kerajaan. Contohnya adalah desa Tenganan Pagringsingan (Karangasem), Marga Tengah (Gianyar), dan lain-lain.2. Desa Apanaga, adalah desa-desa yang pada jaman kerajaan dahulu sangat intensif mendapat pengaruh dari sistem kemasyarakatan Majapahit. Umumnya desa apanaga terletak di daerah Bali dataran dan dekat dengan pusat kerajaan. Contohnya adalah Desa Pakraman Denpasar, Desa Pakraman Krobokan, dan lain-lain.3. Desa Anyar (Baru) yaitu desa yang timbul karena akibat dari perpindahan penduduk yang didorong keinginan mencari lapangan kehidupan. Mereka merabas hutan di daerah baru kemudian membentuk desa. Desa demikian umumnya ditemui pada daerah Kabupaten Jembrana dan Buleleng bagian barat. Contohnya adalah Desa Pakraman Yeh Buah (Negara).

Dalam sistem pemerintahan tunggal, dalam struktur prajuru terdapat seseorang pejabat puncak yang disebut Bendesa atau Kelian Desa yang dibantu oleh Penyarikan dan Patengan serta prajuru lainnya seperti sinoman, dan lain-lain. Penyarikan adalah juru tulis yang berfungsi seperti sekretaris dalam organisasi modern, sedangkan patengan berfungsi seperti bendahara dalam organisasi modern. Pada tingkat banjar terdapat prajuru yang strukturnya disesuaikan dengan kebutuhan. Paling tidak, ada seorang kelian banjar atau kelian adat. Di beberapa tempat struktur prajuru banjar umumnya dilengkapi oleh sekretaris yang disebut penyarikan atau juru tulis dan bendahara yang disebut patengan atau juru raksa. Jika banjar cukup besar dengan anggota (kerama) yang banyak, kadang-kadang untuk efektifitas dan efisiensi pelaksanaan tugas, banjar dibagi-bagi lagi dalam wilayah-wilayah kerja yang disebut tempekan, yang dipimpin oleh seorang kelian tempek. Tempek lebih banyak berfungsi sebagai kelompok kerja yang mengajarkan pekerjaan banjar tertentu yang tidak perlu dikerjakan oleh seluruh anggota banjar.

Dalam Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001 disebutkan bahwa prajuru desa pakraman mempunyai tugas-tugas:

a. Melaksanakan awig-awig desa pakraman;

b. Mengatur penyelenggaraan upacara keagamaan di desa pakraman, sesuai dengan sastra agama dan tradisi masing-masing;

c. Mengusahakan pedamaian dan penyelesaian sengketa-sengketa adat;

d. Mewakili desa pakraman dalam bertindak untuk melakukan perbuatan hukum baik di dalam mapun di luar peradilan atas persetujuan paruman desa;

e. Mengurus dan mengatur pengelolaan harta kekayaan desa pakraman;

f. Membina kerukunan umat beragama dalam wilayah desa pakraman.Pecalang Desa Pakraman

Di desa pakraman, untuk menjaga ketertiban dan kemanann desa dibentuk pecalang. Pecalang dibentuk untuk membantu tugas-tugas prajuru dibidang keamanan dan ketertiban interen desa pakraman, khususnya terkait dengan pelaksanaan hukum adat Bali dan Agama Hindu . Jadi semacam polisi dalam kaitan dengan hukum adat Bali dan pelaksanaan upacara Agama Hindu. Dalam pasal 17 Peraturan Daerah Prop. Bali Nomer 3 tahun 2001 tentang Desa Pakraman adapun tugas-tugas dari pecalang adalah: (1) Keamanan dan Ketertiban wilayah desa pakraman, dilaksanakan oleh pecalang. (2) Pecalang melaksanakan tugas-tugas pengamanan dalam wilayh desa pakraman dalam hubungan tugas adat dan agama. (3) Pecalang diangkat dan diberhentikan oleh desa pakraman berdasarkan paruman desa. Majelis Desa Pakraman

Selain pecalang, dalam Peraturan Daerah Nomer 3 tahun 2001, juga diadakan lembaga baru dalam struktur desa pakraman, yaitu semacam lembaga atasan dari desa pakraman. Lembaga baru tersebut adalah Majelis Desa Pakraman (MDP). Pasal 14 Peraturan Daerah menyatakan, Majelis Desa Pkaraman terdiri dari:a. Majelis utama untuk provinsi berkedudukan di ibu kota provinsi

b. Majelis madya untuk kabupaten/kota berkedudukan dikabupaten/kota

c. Majelis desa untuk kecamatan berkedudukan di kota kecamatan.Sesuai pasal 16 Peraturan Daerah Nomer 3 Tahun 2001, tugas MDP adalah mengayomi adat istiadat, memberikan saru usul dan pendapat kepada berbagai pihak baik perorangan, kelompok/lembaga maupun pemerintah tentang masalh-masalah adat, melaksanakan setiap keputusan-keputusan paruman dengan aturan-aturan yang ditetapkan, membantu penyuratan awig-awig, melaksanakan penyuluhan adat istiadat secara menyeluruh.

Awig-awig Desa Pakraman

Tatanan hukum yang berlaku bagi karma desa pakraman lazim disebut dengan istilah awig-awig desa pakraman. Secara umum yang dimaksud dengan awig-awig adalah patokan-patokan tingkah laku, baik tertulis maupun tidak tertulis yang dibuat oleh masyarakat yang bersangkutan, berdasarkan rasa keadilan dan kepatutan yang hidup dalam masyarakat, dalam hubungan antara krama (anggota desa pakraman) dengan Tuhan, antar sesama krama, maupun krama dengan lingkungannya. Pasal 1 angka 11 Perda Nomer 3 Tahun 2001 memberikan difinisi awig-awig sebagai aturan yang dibuat oleh karma desa pakraman dan atau karma banjar pakraman yang dipakai sebagai pedoman dalam pelaksanaan Tri Hita Karana, sesuai dengan desa mawacara dan dharma agama di desa pakraman/banjar pakraman masing-masing. Harta Kekayaan Dan Pendapatan Desa Pakraman

Seperti diuraikan didepan, desa pakraman sebagai masyarakat hukum adat mempunyai harta kekayaan sendiri. Pasal 9 Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001 menyebutkan bahwa harta kekayaan desa pakraman adalah kekayaan yang telah ada maupun yang akan ada yang berupa harta bergerak dan tidak bergerak, material maupun inmaterial serta benda-benda yang bersifat relegius magis yang menjadi milik desa pakraman. Milik desa pakraman dikenal dengan istilah duwe atau druwe desa (duwe=milik atau kekayaan). Milik desa pakraman ada yang mempunyai nilai ekonomi dan ada pula yang tidak memiliki nilai ekonomi. Pura dan berbagai perlengkapan upakara dalam pura yang dimaksud, areal kuburan desa adat, dan lain-lain, termasuk bagian dari milik desa pakraman yang tidak mempunyai nilai ekonomi. Mempunyai nilai ekonomi atau tidak dalam hal ini, tentunya dilihat dari sudut pandang orang Bali yang beragama Hindu. Milik desa adat yang tampak dan mempunyai nilai ekonomi dapat berupa tanah, bangunan, tabungan, tumbuh-tumbuhan, dan berbagai barang-barang lainnya. Tanah desa terdiri dari: tanah pelaba pura (milik pura), telajakan pura (tanah-tanah yang ada di sekitar pura), karang ayahan pura (rumah tinggal penduduk yang tidak termasuk karang gunakarya atau tanah milik pribadi), tanah lapang, telajakan desa (tanah kosong yang ada di beberapa sudut desa), sampih dan tangkid (tanah yang tak bertuan yang ada dipinggir jurang atau sungai). Duwe dalam wujud bangunan milik desa, antara lain berupa: ruko (rumah toko yang disewakan), balai wantilan desa, balai banjar, pasar desa dan bangunan lainnya yang dibangun oleh desa. Uang milik desa dapat berupa uang kas (tunai), dan tabungan/deposito. Pengelolaan harta kekayaan desa pakraman dilakukan oleh prajuru desa sesuai dengan awig-awig desa pakraman masing-masing. Kaitan Desa Pakraman Dengan Undang-Undang Desa yaitu UU No 6 Tahun 2014

Jika dikaitkan desa pakraman/desa adat dengan Undang-Undang Desa terdapat beberapa ketidaksesuaian. Seperti kita ketahui di Bali terdapat dua jenis desa yaitu Desa Adat dan Desa Dinas yang memiliki peranya masing-masing namun saling membutuhkan satu sama lain, Namun pada pasal 6 Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa menyebutkan bahwa harus memlih salah satu jenis desa yang menyebabkan kebingungan pada masyarakat Bali karena kedua desa baik dinas maupun adat memiliki peran pentingnya masing-masing dan harus ada sehingga jika diminta untuk memilih salah satu akan menjadi sangat sulit. Kaitan Peradilan Desa Dengan Undang-Undang Desa yaitu UU No 6 Tahun 2014

Sebelum dapat menjawab apakah ada ruang untuk peradilan desa dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014, perlu kita ketahui apa itu peradilan desa dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 itu sendiri.

Secara etimologis peradilan desa adalah gabungan dari dua kata yaitu peradilan dan desa. Kata peradilan berasal dari kata adil, mendapat awalan per dan akhiran an menjadi kata peradilan yang memiliki proses untuk mencari keadilan sedangkan yang dimaksud desa disini adalah desa adat dengan masyarakat hukum adatnya. Jadi peradilan desa berarti proses mencari keadilan dalam ruang lingkup desa oleh masyarakat hukum adat berdasarkan hukum adatanya.

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2004 adalah undang-undang yang mengatur tentang Desa, namun sebenarnya desa sudah diatur mulai jaman kolonial Belanda Regeeringsreglement yang merupakan cikal-bakal pengaturan tentang daerah dan desa, kemudian mulai masa kemerdekaan Pada bab IV Pasal 18 UUD 1945 diatur masalah Pemerintahan Daerah, kemudian dalam perkembanganya lahirlah Undang-Undang nomor 22 Tahun 1999 yang memperoleh apresiasi yang luar biasa, sekaligus membangkitkan wacana, inisiatif dan eksperimentasi otonomi Desa. Desentralisasi melalui UU No. 22/1999 telah mendorong bangkitnya identitas lokal di daerah, karena selama Orde Baru identitas politik dihancurkan dengan proyek penyeragaman ala Desa Jawa. Lalu berkembang terus sampai diundangkanya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2004

Bila dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2004, peradilan desa sudah termuat dalam UU Desa yaitu terdapat dalam pasal 103 yang berbunyi : Kewenangan desa adat berdasarkan hak asal usul sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 huruf a meliputi:

a. Pengaturan dan pelaksanaan pemerintahan berdasarkan susunan asli;

b. Pengaturan dan pengurusan ulayat atau wilayah atau wilayah adat;

c. Pelestarian nilai sosial budaya desa adat;

d. Penyelesaian sengketa adat berdasarkan hukum adat yang berlaku di desa adat dalam wilayah yang selaras dengan prinsip hak asasi manusia dengan mengutamakan penyelesaian secara musyawarah;

e. Penyelenggaraan sidang perdamaian peradilan desa adat sesuai dengan ketentuan peraturan perudangan-undangan;

f. Pemeliharaan ketenteraman dan ketertiban masyarakat desa adat berdasarkan hukum adat yang berlaku di desa adat, dan;

g. Pengembangan kehidupan hukum adat sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat desa adat.Dengan melihat Pasal 103 huruf d & e; desa adat melekat kewenangan untuk; Pertama, menyelenggarakan penyelesaian sengketa adat; dan Kedua, sidang perdamaian peradilan desa adat. Pasal tersebut tidak menjelaskan dengan jelas, kapan penyelesaian sengketa adat dilakukan dan kapan perdamaian peradilan desa adat dilakukan. Bila dilihat Pasal 103 huruf d yang menyebutkan Klausul :penyelesaian sengketa adat berdasarkan hukum adat yang berlaku di desa adat, maka model-model penyelesaian sengketa adat yang ada di desa adat diakui, dan hukum adat adalah sumber hukum dalam penyelesaian sengketa adat tersebut, sehingga segala hal yang terkait dengan penyelesaian sengketa adat berdasarkan hukum adat; baik itu terkait jenis-jenis sengketa adat, tata cara penyelesaian sengketa adat, dan kelembagaan penyelesaian sengketa adat.

Selanjutnya, pasal 103 huruf d menyebutkan bahwa penyelesaian sengketa adat berdasarkan hukum adat dalam wilayah yang selaras dengan prinsip hak asasi manusia dan dengan mengutamakan musyawarah, sehingga, pertama, tata cara penyelesaian sengketa adat mesti mengutamakan musyawarah dan kedua, jenis-jenis sengketa adat, tata cara penyelesaian sengketa adat dan hukum adat sebagai sumber penyelesaian sengketa adat tidak boleh bertentangan dengan hak asasi manusia. Namun, Pasal ini tidak menyebutkan secara jelas, apa saja unsur-unsur dalam penyelesaian sengketa adat yang bertentangan dengan hak asasi manusia.