dengue
DESCRIPTION
lapkasTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyakit demam berdarah dengue (DBD) merupakan salah satu masalah kesehatan
masyarakat di Indonesia yang jumlah penderitanya cenderung meningkat dan penyebarannya
semakin meluas. Penyakit DBD merupakan penyakit menular yang terutama menyerang
anak-anak1.
Di Indonesia penyakit DBD masih merupakan masalah kesehatan karena masih
banyak daerah yang endemik. Daerah endemik DBD pada umumnya merupakan sumber
penyebarannya penyakit ke wilayah lain. Setiap kejadian luar biasa (KLB) DBD umumnya
dimulai dengan peningkatan jumlah kasus di wilayah tersebut. Untuk membatasi penyebaran
penyakit DBD diperlukan gerakan pemberantasan sarang nyamuk (PSN) yang terus-
menerus, pengasapan (fogging), dan larvasidasi1.
Penyakit DBD mempunyai perjalanan yang sangat cepat dan sering menjadi fatal
karena banyak pasien yang meninggal akibat penanganannya yang terlambat. Demam
berdarah dengue (DBD) disebut juga dengue hemorrhagic fever (DHF), dengue fever (DF),
demam dengue (DD), dan dengue shock syndrome (DSS)1.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Dengue ialah suatu infeksi arbovirus (arthropod-borne virus) akut, ditularkan oleh
nyamuk spesies Aedes2.
Demam dengue/DF dan demam berdarah dengue/DBD dengue haemorragic
fever/DHF) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dengan manifestasi
klinis demam, nyeri otot dan/ atau nyeri sendi yang disertai leukopenia, ruam, limfadenopati,
trombositopenia dan diatesis hemoragik3.
Demam dengue adalah sindrom jinak yang disebabkan oleh beberapa virus yang
dibawa arthropoda, ditandai dengan demam bifasik, mialgia atau artralgia, ruam, leukopenia,
dan limfadenopati4.
Demam berdarah dengue adalah suatu penyakit demam berat yang sering mematikan,
disebabkan oleh virus, ditandai oleh permeabilitas kapiler, kelainan hemostasis dan pada
kasus berat, sindrom syok kehilangan protein4.
B. Epidemiologi
Di banyak negara tropis, virus dengue sangat endemik. Di Asia, penyakit ini sering
menyerang di Cina Selatan, Pakistan, India, dan semua negara di Asia Tenggara. Sejak 1981,
virus ini ditemukan di Queensland, Australia. Di sepanjang pantai timur Afrika, DBD juga
ditemukan dalam berbagai serotipe. Penyakit ini sering menyebabkan KLB di Amerika
Selatan, Amerika Tengah, bahkan sampai Amerika Serikat sampai akhir tahun 1990-an.
Epidemi dengue di Asia pertama kali terjadi pada tahun 1779, di Eropa pada tahun 1784, di
Amerika Selatan pada tahun 1835-an, dan di Inggris pada tahun 19221.
2
Di indonesia kasus DBD terjadi di Surabaya 1968. Penyakit DBD ditemukan di 200
kota di 27 propinsi dan telah terjadi KLB akibat DBD. Profil kesehatan provinsi Jawa
Tengah tahun 1999 melaporkan bahwa kelompok tertinggi adalah usia 5-14 tahun sebanyak
42% dan kelompok usia 15-44 tahun yang terserang 37%. Data tersebut di dapatkan dari
daftar rawat inap rumah sakit. Rata-rata insidensi penyakit DBD sebesar 6-27 per 100.000
penduduk1.
CFR penyakit DBD mengalami penurunan dari tahun ke tahun walaupun masih tetap
tinggi. CFR tahun 1968 sebesar 43%, tahun 1971 sebesar 14%, tahun 1980 sebesar 4,8%, dan
tahun 1999 masih di atas 2%1.
Data dari Departemen Kesehatan RI melaporkan bahwa pada tahun 2004 tercatat
17.707 orang terkena DBD di 25 provinsi dengan kematian 322 penderita selama bulan
Januari dan Februari. Daerah yang perlu diwaspadai adalah DKI Jakarta, Bali, dan NTB1.
Untuk pertama kalinya, pada bulan maret 2002, Michael Rossman dan Richard Kuhn
dari Purdue University, Amerika Serikat, melaporkan bahwa struktur virus dengue yang
berbeda dengan struktur virus lainnya telah ditemukan. Permukaan virus ini halus dan
selaputnya ditutupi oleh lapisan protein yang berwarna biru, hijau, dan kuning. Protein
amplop tersebut dinamakan protein E yang berfungsi melindungi bahan genetik di dalamnya1.
C. Etiologi
Demam dengue dan demam berdarah dengue disebabkan oleh virus dengue, yang
termasuk dalam genus Flavivirus, keluarga Flaviviridae. Flavivirus merupakan virus dengan
diamaeter 30 nm terdiri dari asam ribonukleat rantai tunggal dengan berat molekul 4 x 1063.
Virus dengue termasuk dalam kelompok arbovirus B. Dikenal 4 serotipe virus dengue
yang saling tidak mempunyai imunitas silang. Sabin adalah orang pertama yang berhasil
mengisolasi virus dengue, yaitu dari darah penderita sewaktu pagi terjadi epidemiologi
3
demam dengue di Hawaii dengan diberi nama tipe 1, sedangkan jenis virus dari penderita
demam dengue yang berasal dari New Guinea diberi nama tipe 22.
Terdapat 4 serotipe virus yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4 yang semuanya
dapat menyebabkan demam dengue atau demam berdarah dengue. Keempat serotype di
temukan di Indonesia dengan DEN-3 merupakan serotype terbanyak. Terdapat reaksi silang
antara serotipe dengue dengan Flavivirus lain seperti Yellow fever, Japanese enchephphalitis
dan West Nile virus3.
Vektor utama penyakit DBD adalah nyamuk Aedes aegepty (di daerah perkotaan) dan
Aedes albopictus (di daerah pedesaan). Nyamuk yang menjadi vektor penyakit DBD adalah
nyamuk yang menjadi terinfeksi saat menggigit manusia yang sedang sakit dan viremia
(terdapat virus dalam darahnya). Menurut laporan terakhir, virus dapat pula ditularkan secara
transovarial dari nyamuk ke telur-telurnya1.
Virus dengue ditularkan oleh nyamuk famili stegomyia. Aedes aegepti, nyamuk
penggigit siang hari, adalah vektor utama, dan semua empat tipe virus telah ditemukan
darinya. Pada kebanyakan daerah tropis Aeded aegypti adalah sangat urbanisasi, berkembang
biak pada penyimpanan air minum atau air mandi atau pada air hujan yang terkumpul pada
berbagai wadah. Virus dengue telah juga ditemukan dari Aedes albopictus, dan wabah di
daerah pasifik telah dianggap berasal dari beberapa spesies Aedes lain.
D. Patogenesis
Patogenesis terjadinya demam berdarah dengue hingga saat ini masih di perdebatkan.
Berdasarkan data yang ada, terdapat bukti yang kuat bahwa mekanisme terjadinya demam
berdarah dengue dan sindrom renjatan dengue3.
Nyamuk Aedes spp yang sudah terinfesi virus dengue, akan tetap infektif sepanjang
hidupnya dan terus menularkan kepada individu yang rentan pada saat menggigit dan
4
menghisap darah. Setelah masuk ke dalam tubuh manusia, virus dengue akan menuju organ
sasaran yaitu sel kuffer hepar, endotel pembuluh darah, nodus limpaticus, sumsum tulang
serta paru-paru. Beberapa penelitian menunjukkan, sel monosit dan makrofag mempunyai
peran pada infeksi ini, dimulai dengan menempel dan masuknya genom virus ke dalam sel
dengan bantuan organel sel dan membentuk komponen perantara dan komponen struktur
virus. Setelah komponen struktur dirakit, virus dilepaskan dari dalam sel. Infeksi ini
menimbulkan reaksi immunitas protektif terhadap serotipe virus tersebut tetapi tidak ada
cross protective terhadap serotipe virus lainnya5.
Secara invitro, antobodi terhadap virus dengue mempunyai 4 fungsi biologis yaitu
netralisasi virus, sitolisis komplemen, antibody dependent cell-mediated cytotoxity (ADCC)
dan ADE. Berdasarkan perannya, terdiri dari antobodi netralisasi atau neutralizing antibody
yang memiliki serotipe spesifik yang dapat mencegah infeksi virus, dan antibody non
netralising serotype yang mempunyai peran reaktif silang dan dapat meningkatkan infeksi
yang berperan dalam pathogenesis DBD dan DSS5.
Terdapat dua teori atau hipotesis immunopatogenesis DBD dan DSS yang masih
kontroversial yaitu infeksi sekunder (secondary heterologus infection) dan antibody
dependent enhancement (ADE). Dalam teori atau hipotesis infeksi sekunder disebutkan, bila
seseorang mendapatkan infeksi sekunder oleh satu serotipe virus dengue, akan terjadi proses
kekebalan terhadap infeksi serotipe virus dengue tersebut untuk jangka waktu yang lama.
Tetapi jika orang tersebut mendapatkan infeksi sekunder oleh serotipe virus dengue lainnya,
maka akan terjadi infeksi yang berat. Ini terjadi karena antibody heterologus yang terbentuk
pada infeksi primer, akan membentuk kompleks dengan infeksi virus dengue serotipe baru
yang berbeda yang tidak dapat dinetralisasi bahkan cenderung membentuk kompleks yang
infeksius dan bersifat oponisasi internalisasi, selanjutnya akan teraktifasi dan memproduksi
IL-1, IL-6, tumor necrosis factor-alpha (TNF-A) dan platelet activating factor (PAF);
5
akibatnya akan terjadi peningkatan (enhancement) infeksi virus dengue. TNF alpha akan
menyebabkan kebocoran dinding pembuluh darah, merembesnya cairan plasma ke jaringan
tubuh yang disebabkan kerusakan endothel pembuluh darah yang mekanismenya sampai saat
ini belum diketahui dengan jelas. Pendapat lain menjelaskan, kompleks imun yang terbentuk
akan merangsang komplemen yang farmakologisnya cepat dan pendek dan bersifat vasoaktif
dan prokoagulan sehingga menimbulkan kebocoran plasma (syock hipolemik) dan
perdarahan. Anak di bawah usia 2 tahun yang lahir dari ibu yang terinfeksi virus dengue dan
terjadi infeksi dari ibu ke anak, dalam tubuh anak tersebut terjadi non neutralizing antibodies
akibat adanya infeksi yang persisten. Akibatnya, bila terjadi infeksi virus dengue pada anak
tersebut, maka akan langsung terjadi proses enhancing yang akan memacu makrofag mudah
terinfeksi dan teraktifasi dan mengeluarkan IL-1, IL-6 dan TNF alpha juga PAF5.
Pada teori ADE disebutkan, jika terdapat antibodi spesifik terhadap jenis virus
tertentu, maka dapat mencegah penyakit yang diakibatkan oleh virus tersebut, tetapi
sebaliknya apabila antibodinya tidak dapat menetralisasi virus, justru akan menimbulkan
penyakit yang berat. Kinetik immunoglobulin spesifik virus dengue di dalam serum penderita
DD, DBD dan DSS, didominasi oleh IgM, IgG1 dan IgG35.
Selain kedua teori tersebut, masih ada teori-teori lain tentang pathogenesis DBD, di
antaranya adalah teori virulensi virus yang mendasarkan pada perbedaan serotipe virus
dengue yaitu DEN 1, DEN 2, DEN 3 dan DEN 4 yang kesemuanya dapat ditemukan pada
kasus-kasus fatal tetapi berbeda antara daerah satu dengan lainnya. Selanjutnya ada teori
antigen-antibodi yang berdasarkan pada penderita atau kejadian DBD terjadi penurunan
aktivitas sistem komplemen yang ditandai penurunan kadar C3, C4 dan C5. Disamping itu,
pada 48- 72% penderita DBD, terbentuk kompleks imun antara IgG dengan virus dengue
yang dapat menempel pada trombosit, sel B dan sel organ tubuh lainnya dan akan
mempengaruhi aktivitas komponen sistem imun yang lain. Selain itu ada teori moderator
6
yang menyatakan bahwa makrofag yang terinfeksi virus dengue akan melepas berbagai
mediator seperti interferon, IL-1, IL-6, IL-12, TNF dan lain-lain, yang bersama endotoksin
bertanggungjawab pada terjadinya sok septik, demam dan peningkatan permeabilitas kapiler5.
Pada infeksi virus dengue, viremia terjadi sangat cepat, hanya dalam beberapa hari
dapat terjadi infeksi di beberapa tempat tapi derajat kerusakan jaringan ( tissue destruction)
yang ditimbulkan tidak cukup untuk menyebabkan kematian karena infeksi virus; kematian
yang terjadi lebih disebabkan oleh gangguan metabolic5.
E. Perjalanan Penyakit Infeksi Dengue
Dalam perjalanan penyakit infeksi dengue, terdapat tiga fase perjalanan infeksi
dengue, yaitu:
1. Fase demam: viremia menyebabkan demam tinggi
2. Fase kritis/ perembesan plasma: onset mendadak adanya perembesan plasma
dengan derajat bervariasi pada efusi pleura dan asites
3. Fase recovery/ penyembuhan/ convalescence: perembesan plasma mendadak
berhenti disertai reabsorpsi cairan dan ekstravasasi plasma.
7
Gambar 1. Perjalanan penyakit Dengue
F. Manifestasi klinis
Manifestasi klinis infeksi virus dengue dapat bersifat asimtomatik, atau dapat berupa
demam yang tidak khas, demam dengue, demam berdarah dengue atau sindrom syok dengue
SSD).
Gambar 2. Manifestasi infeksi virus dengue
8
Pada umumnya pasien mengalami fase demam selama 2-7 hari, yang diikuti oleh fase
kritis selama 2-3 hari. Pada waktu fase ini pasien sudah tidak demam, akan tetapi mempunyai
resiko untuk terjadi renjatan jika tidak mendapat pengobatan adekuat.
1. Undifferentiated fever (sindrom infeksi virus)
Pada undifferentiated fever, demam sederhana yang tidak dapat dibedakan
dengan penyebab virus lain. Demam disertai kemerahan berupa makulopapular,
timbul saat demam reda. Gejala dari saluran pernapasan dan saluran cerna sering
dijumpai.
2. Demam dengue (DD)
Anamnesis: demam mendadak tinggi, disertai nyeri kepala, nyeri otot &
sendi/tulang, nyeri retro-orbital, photophobia, nyeri pada punggung, facial flushed,
lesu, tidak mau makan, konstipasi, nyeri perut, nyeri tenggorok, dan depresi umum.
Pemeriksaan fisik:
Demam: 39-40°C, berakhir 5-7 hari
Pada hari sakit ke 1-3 tampak flushing pada muka (muka kemerahan), leher, dan
dada
Pada hari sakit ke 3-4 timbul ruam kulit makulopapular/rubeolliform
Mendekati akhir dari fase demam dijumpai petekie pada kaki bagian dorsal,
lengan atas, dan tangan
Convalescent rash, berupa petekie mengelilingi daerah yang pucat pada kulit
yg normal, dapat disertai rasa gatal
Manifestasi perdarahan:
o Uji bendung positif dan/atau petekie
9
o Mimisan hebat, menstruasi yang lebih banyak, perdarahan saluran cerna
(jarang terjadi, dapat terjadi pada DD dengan trombositopenia)
3. Demam berdarah dengue
Terdapat tiga fase dalam perjalanan penyakit, meliputi fase demam, kritis, dan
masa penyembuhan (convalescence, recovery):
a. Fase demam:
Anamnesis: Demam tinggi, 2-7 hari, dapat mencapai 40°C, serta terjadi kejang
demam. Dijumpai facial flush, muntah, nyeri kepala, nyeri otot dan sendi, nyeri
tenggorok dengan faring hiperemis, nyeri di bawah lengkung iga kanan, dan nyeri
perut.
Pemeriksaan fisik:
o Manifestasi perdarahan
Uji bendung positif (≥10 petekie/inch2) merupakan manifestasi
perdarahan yang paling banyak pada fase demam awal.
Mudah lebam dan berdarah pada daerah tusukan untuk jalur vena.
Petekie pada ekstremitas, ketiak, muka, palatum lunak.
Epistaksis, perdarahan gusi
Perdarahan saluran cerna
Hematuria (jarang)
Menorrhagia
o Hepatomegali teraba 2-4 cm di bawah arcus costae kanan dan kelainan fungsi
10
hati (transaminase) lebih sering ditemukan pada DBD.
Berbeda dengan DD, pada DBD terdapat hemostasis yang tidak normal,
perembesan plasma (khususnya pada rongga pleura dan rongga peritoneal),
hipovolemia, dan syok, karena terjadi peningkatan permeabilitas kapiler. Perembesan
plasma yang mengakibatkan ekstravasasi cairan ke dalam rongga pleura dan rongga
peritoneal terjadi selama 24-48 jam.
b. Fase kritis:
Fase kritis terjadi pada saat perembesan plasma yang berawal pada masa
transisi dari saat demam ke bebas demam (disebut fase time of fever defervescence)
ditandai dengan:
Peningkatan hematokrit 10%-20% di atas nilai dasar
Tanda perembesan plasma seperti efusi pleura dan asites, edema pada
dinding kandung empedu. Foto dada (dengan posisi right lateral decubitus =
RLD) dan ultrasonografi dapat mendeteksi perembesan plasma tersebut.
Terjadi penurunan kadar albumin >0.5g/dL dari nilai dasar / <3.5 g%
yang merupakan bukti tidak langsung dari tanda perembesan plasma
Tanda-tanda syok: anak gelisah sampai terjadi penurunan kesadaran, sianosis,
nafas cepat, nadi teraba lembut sampai tidak teraba. Hipotensi, tekanan nadi
≤20 mmHg, dengan peningkatan tekanan diastolik. Akral dingin, capillary
refill time memanjang (>3 detik). Diuresis menurun (< 1ml/kg berat
badan/jam), sampai anuria.
Komplikasi berupa asidosis metabolik, hipoksia, ketidakseimbangan
elektrolit, kegagalan multipel organ, dan perdarahan hebat apabila syok tidak
dapat segera diatasi.
c. Fase penyembuhan (convalescence, recovery):
11
Fase penyembuhan ditandai dengan diuresis membaik dan nafsu makan
kembali merupakan indikasi untuk menghentikan cairan pengganti. Gejala umum
dapat ditemukan sinus bradikardia/ aritmia dan karakteristik confluent petechial
rash seperti pada DD.
4. Expanded dengue syndrome
Manifestasi berat yang tidak umum terjadi meliputi organ seperti hati,
ginjal, otak,dan jantung. Kelainan organ tersebut berkaitan dengan infeksi
penyerta, komorbiditas, atau komplikasi dari syok yang berkepanjangan.
G. Diagnosis
Diagnosis DBD/DSS ditegakkan berdasarkan kriteria klinis dan laboratorium (WHO, 2011).
Kriteria klinis
Demam tinggi mendadak, tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus-menerus
selama 2-7 hari
Manifestasi perdarahan, termasuk uji bendung positif, petekie, purpura,
ekimosis, epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis, dan/melena
Pembesaran hati
Syok, ditandai nadi cepat dan lemah serta penurunan tekanan nadi (≤20 mmHg),
hipotensi, kaki dan tangan dingin, kulit lembab, dan pasien tampak gelisah.
12
Kriteria laboratorium
Trombositopenia (≤100.000/mikroliter)
Hemokonsentrasi, dilihat dari peningkatan hematokrit ³ 20% dari nilai dasar /
menurut standar umur dan jenis kelamin
Diagnosis DBD ditegakkan berdasarkan:
Dua kriteria klinis pertama ditambah trombositopenia dan hemokonsentrasi/
peningkatan hematokrit³20%.
Dijumpai hepatomegali sebelum terjadi perembesan plasma
Dijumpai tanda perembesan plasma
o Efusi pleura (foto toraks/ultrasonografi)
o Hipoalbuminemia
Perhatian
o Pada kasus syok, hematokrit yang tinggi dan trombositopenia yang jelas,
mendukung diagnosis DSS.
o Nilai LED rendah (<10mm/jam) saat syok membedakan DSS dari syok sepsis.
Untuk menentukan penatalaksanaan pasien infeksi virus dengue, perlu diketahui
klasifikaasi derajat penyakit seperti tertera pada tabel berikut:
13
Terdapat 4 tahapan derajat keparahan DBD:
Derajat I dengan tanda terdapat demam disertai gejala tidak khas dan uji
torniket + (positif)
Derajat II yaitu derajat I ditambah ada perdarahan spontan di kulit atau
perdarahan lain
Derajat III yang ditandai adanya kegagalan sirkulasi yaitu nadi cepat dan
lemah serta penurunan tekanan nadi (<20 mmHg), hipotensi (sistolik
menurun sampai <80 mmHg), sianosis di sekitar mulut, akral dingin, kulit
lembab dan pasen tampak gelisah.
Derajat IV yang ditandai dengan syok berat (profound shock) yaitu nadi
tidak dapat diraba dan tekanan darah tidak terukur.
H. Komplikasi
1. Demam Dengue
Perdarahan dapat terjadi pada pasien dengan ulkus peptik, trombositopenia hebat, dan
trauma.
2. Demam Berdarah Dengue
Ensefalopati dengue dapat terjadi pada DBD dengan atau tanpa syok.
14
Kelainan ginjal akibat syok berkepanjangan dapat mengakibatkan gagal ginjal akut.
Edema paru dan/ atau gagal jantung seringkali terjadi akibat overloading pemberian
cairan pada masa perembesan plasma.
Syok yang berkepanjangan mengakibatkan asidosis metabolik & perdarahan hebat
(DIC, kegagalan organ multipel).
Hipoglikemia / hiperglikemia, hiponatremia, hipokalsemia akibat syok
berkepanjangan dan terapi cairan yang tidak sesuai.
H. Diagnosis banding
Selama fase akut penyakit, sulit untuk membedakan DBD dari demam dengue dan
penyakit virus lain yang ditemukan di daerah tropis. Maka untuk membedakan dengan
campak, rubela, demam chikungunya, leptospirosis, malaria, demam tifoid, perlu ditanyakan
gejala penyerta lainnya yang terjadi bersama demam. Pemeriksaan laboratorium diperlukan
sesuai indikasi.
Penyakit darah seperti trombositopenia purpura idiopatik (ITP), leukemia, atau
anemia aplastik, dapat dibedakan dari pemeriksaan laboratorium darah tepi lengkap
disertai pemeriksaan pungsi sumsum tulang apabila diperlukan.
Penyakit infeksi lain seperti sepsis, atau meningitis, perlu difikirkan apabila anak
mengalami demam disertai syok.
I. Pemeriksaan penunjang
1. Rumplee Leed Test
Percobaan ini bermaksud menguji ketahanan kapiler darah pada penderita
DHF. Uji rumpel leed merupakan salah satu pemeriksaan penyaring untuk
15
mendeteksi kelainan sistem vaskuler dan trombosit. Dengan cara membuat
lingkaran pada volar lengan bawah diameter 2,5-2,8 cm kemudian menentukan
tekanan darah sistolik dan diastolik . Jumlahkan sistolik dan diastolik kemudian
hasil penjumlahan dibagi 2. Pertahankan tekanan pada hasil pembagian selama 5-
10 menit. Hasil positif bila ditemukan petekie >10.
2. Laboratorium
Pemeriksaan darah yang rutin dilakukan untuk menepis pasien tersangka
demam dengue. Parameter laboratoris yang dapat diperiksa antara lain:
Leukosit: dapat normal atau menurun.
Trombosit: umumnya terdapat trombositopenia pada hari ke 3-8.
Hematokrit: kebocoran plasma dibuktikan dengan ditemukannya
peningkatan hematokrit ≥ 20% dari hematokrit awal, umumnya dimulai
pada hari ke-3 demam.
Protein/albumin: dapat terjadi hipoproteinemia akibat kebocoran plasma
Golongan darah dan cross match (uji cocok serasi): bila akan diberikan
transfusi darah atau komponen darah.
Imunoserologi dilakukan pemeriksaan IgM dan IgG terhadap dengue.
IgM terdeteksi mulai hari ke 3-5, meningkat sampai minggu ke-3,
menghilang setelah 60-90 hari. IgG pada infeksi primer mulai terdeteksi
pada hari ke-14, pada infeksi sekunder mulai terdeteksi hari ke-2.
Uji serologi IgM dan IgG anti dengue
o Antibodi IgM anti dengue dapat dideteksi pada hari sakit ke-5
sakit, mencapai puncaknya pada hari sakit ke 10-14, dan akan
menurun/ menghilang pada akhir minggu keempat sakit.
16
o Antibodi IgG anti dengue pada infeksi primer dapat terdeteksi
pada hari sakit ke-14. dan menghilang setelah 6 bulan sampai 4
tahun. Sedangkan pada infeksi sekunder IgG anti dengue akan
terdeteksi pada hari sakit ke-2.
o Rasio IgM/IgG digunakan untuk membedakan infeksi primer
dari infeksi sekunder. Apabila rasio IgM:IgG >1,2
menunjukkan infeksi primer namun apabila IgM:IgG rasio <1,2
menunjukkan infeksi sekunder.
3. Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan foto dada dalam posisi right lateral decubitus dilakukan atas
indikasi:
Distres pernafasan/ sesak
Dalam keadaan klinis ragu-ragu, namun perlu diingat bahwa terdapat
kelainan radiologis terjadi apabilapada perembesan plasma telah mencapai
20%-40%
Pemantauan klinis, sebagai pedoman pemberian cairan, dan untuk menilai
edema paru karena overload pemberian cairan.
Kelainan radiologi yang dapat terjadi: dilatasi pembuluh darah paru terutama
daerah hilus kanan, hemitoraks kanan lebih radioopak dibandingkan yang kiri,
17
kubah diafragma kanan lebih tinggi daripada kanan, dan efusi pleura.
Pada pemeriksaan ultrasonografi dijumpai efusi pleura, kelainan dinding
vesika felea, dan dinding buli-buli.
J. Penatalaksanaan
Pada dasarnya pengobatan DBD bersifat suportif, yaitu mengatasi kehilangan cairan
plasma sebagai akibat peningkatan permeabilitas kapiler dan sebagai akibat perdarahan.
Pasien DD dapat berobat jalan sedangkan pasien DBD dirawat di ruang perawatan biasa,
tetapi pada pasien DSS diperlukan perawatan intensif. Diagnosa dini terhadap tanda – tanda
syok merupakan hal yang penting untuk mengurangi kematian (IDAI, 2012).
Tanda kegawatan
Tanda kegawatan dapat terjadi pada setiap fase pada perjalanan penyakit infeksi
dengue, seperti berikut.
18
Tidak ada perbaikan klinis/perburukan saat sebelum atau selama masa transisi ke
fase bebas demam / sejalan dengan proses penyakit
Muntah yg menetap, tidak mau minum
Nyeri perut hebat
Letargi dan/atau gelisah, perubahan tingkah laku mendadak
Perdarahan: epistaksis, buang air besar hitam, hematemesis, menstruasi yang
hebat, warna urin gelap (hemoglobinuria)/hematuria
Giddiness (pusing/perasaan ingin terjatuh)
Pucat, tangan - kaki dingin dan lembab
Diuresis kurang/tidak ada dalam 4-6 jam
Monitor perjalanan penyakit DD/DBD
Parameter yang harus dimonitor mencakup,
Keadaan umum, nafsu makan, muntah, perdarahan, dan tanda dan gejala lain
Perfusi perifer sesering mungkin karena sebagai indikator awal tanda syok, serta
mudah dan cepat utk dilakukan
Tanda vital: suhu, nadi, pernapasan, tekanan darah, diperiksa minimal setiap 2-4
jam pada pasien non syok & 1-2 jam pada pasien syok.
Pemeriksaan hematokrit serial setiap 4-6 jam pada kasus stabil dan lebih sering
pada pasien tidak stabil/ tersangka perdarahan.
Diuresis setiap 8-12 jam pada kasus tidak berat dan setiap jam pada pasien
dengan syok berkepanjangan / cairan yg berlebihan.
Jumlah urin harus 1 ml/kg berat badan/jam ( berdasarkan berat badan ideal)
Indikasi pemberian cairan intravena
19
Pasien tidak dapat asupan yang adekuat untuk cairan per oral ataumuntah
Hematokrit meningkat 10%-20% meskipun dengan rehidrasi oral
Ancaman syok atau dalam keadaan syok
Prinsip umum terapi cairan pada DBD
Kristaloid isotonik harus digunakan selama masa kritis.
Cairan koloid digunakan pada pasien dengan perembesan plasma hebat, dan tidak ada
respon pada minimal volume cairan kristaloid yang diberikan.
Volume cairan rumatan + dehidrasi 5% harus diberikan untuk menjaga volume dan
cairan intravaskular yang adekuat.
Pada pasien dengan obesitas, digunakan berat badan ideal sebagai acuan untuk
menghitung volume cairan.
Tabel 3. Cairan yang dibutuhkan berdasarkan berat badan
Berat badan CairanCairan rumatan Berat badan Cairan Cairan rumatan
ideal (kg) rumatan+ 5% defisit (ml) ideal (kg) rumatan
+ 5% defisit (ml)
(ml) (ml)5 500 750 35 1800 3550
10 1000 1500 40 1900 390015 1250 2000 45 2000 425020 1500 2500 50 2100 460025 1600 2850 55 2200 495030 1700 3200 60 2300 5300
Sumber: Holiday MA, Segar WE. Maintenance need for water in parenteral fluid therapy. Pediatrics 1957;19:823
Tabel 4. Kecepatan cairan intravena
Keterangan Kecepatan cairan (ml/kg/jam)
Setengah rumatan /2 1.5Rumatan (R) 3Rumatan + 5% defisit 5Rumatan+ 7% defisit 7Rumatan+ 10% defisit 10
20
Sumber:World Health Organization-South East Asia Regional Office. Comprehensive Guidelines for Prevention and Control of Dengue and Dengue Hemorrhagic Fever. India: WHO; 2011dengan modifikasi.
Kecepatan cairan intravena harus disesuaikan dengan keadaan klinis.
Transfusi suspensi trombosit pada trombositopenia untuk profilaksis tidak dianjurkan
Pemeriksaan laboratorium baik pada kasus syok maupun non syok saat tidak ada
perbaikan klinis walaupun penggantian volume sudah cukup, maka perhatikan ABCS
yang terdiri dari, A – Acidosis: gas darah, B – Bleeding: hematokrit, C – Calsium:
elektrolit, Ca++ dan S – Sugar: gula darah (dekstrostik)
Tata laksana infeksi dengue berdasarkan fase perjalanan penyakit
Fase Demam
Pada fase demam, dapat diberikan antipiretik + cairan rumatan / atau cairan oral
apabila anak masih mau minum, pemantauan dilakukan setiap 12-24 jam
Medikamentosa
o Antipiretik dapat diberikan, dianjurkan pemberian parasetamol bukan aspirin.
o Diusahakan tidak memberikan obat-obat yang tidak diperlukan (misalnya
antasid, anti emetik) untuk mengurangi beban detoksifikasi obat dalam hati.
o Kortikosteroid diberikan pada DBD ensefalopati apabila terdapat perdarahan
saluran cerna kortikosteroid tidak diberikan.
o Antibiotik diberikan untuk DBD ensefalopati.
Supportif
o Cairan: cairan pe oral + cairan intravena rumatan per hari + 5% defisit
21
o Diberikan untuk 48 jam atau lebih
o Kecepatan cairan IV disesuaikan dengan kecepatan kehilangan plasma, sesuai
keadaan klinis, tanda vital, diuresis, dan hematokrit
Fase Kritis
Pada fase kritis pemberian cairan sangat diperlukan yaitu kebutuhan rumatan +
deficit, disertai monitor keadaan klinis dan laboratorium setiap 4-6 jam.
Gambar 2. Tatalaksana kasus DBD derajat I dan derajat II
22
Gambar 3. Tatalaksana kasus DBD derajat II dengan peningkatan hemokons entrasi = 20%.
23
DBD dengan syok berkepanjangan (DBD derajat IV)
Cairan: 20 ml/kg cairan bolus dalam 10-15 menit, bila tekanan darah sudah didapat
cairan selanjutnya sesuai algoritma pada derajat III
Bila syok belum teratasi: setelah 10ml/kg pertama diulang 10 ml/kg, dapat diberikan
bersama koloid 10-30ml/kgBB secepatnya dalam 1 jam dan koreksi hasil
laboratorium yang tidak normal
Transfusi darah segera dipertimbangkan sebagai langkah selanjutnya (setelah review
hematokrit sebelum resusitasi)
Monitor ketat (pemasangan katerisasi urin, katerisasi pembuluh darah vena pusat /
jalur arteri)
Inotropik dapat digunakan untuk mendukung tekanan darah
24
Apabila jalur intravena tidak didapatkan segera, coba cairan elektrolit per oral bila
pasien sadar atau jalur intraoseus. Jalur intraoseus dilakukan dalam keadaan darurat atau
setelah dua kali kegagalan mendapatkan jalur vena perifer atau setelah gagal pemberian
cairan melalui oral. Cairan intraosesus harus dikerjakan secara cepat dalam 2-5 menit.
Perdarahan hebat
Apabila sumber perdarahan dapat diidentifikasi, segera hentikan. Transfusi darah
segera adalah darurat tidak dapat ditunda sampai hematokrit turun terlalu rendah. Bila
darah yang hilang dapat dihitung, harus diganti. Apabila tidak dapat diukur, 10 ml/kg
darah segar atau 5 ml/kg PRC harus diberikan dan dievaluasi.
Pada perdarahan saluran cerna, H2 antagonis dan penghambat pompa proton dapat
digunakan.
Tidak ada bukti yang mendukung penggunaan komponen darah seperti suspense
trombosit, plasma darah segar/cryoprecipitate. Penggunaan larutan tersebut ini dapat
menyebabkan kelebihan cairan.
DBD ensefalopati
DBD ensefalopati dapat terjadi bersamaan dengan syok atau tidak.
Ensefalopati yang terjadi bersamaan dengan syok hipovolemik, maka penilaian
ensefalopati harus diulang setelah syok teratasi.
Apabila kesadaran membaik setelah syok teratasi, maka kesadaran menurun atau
kejang disebabkan karena hipoksia yang terjadi pada syok
Pertahankan oksigenasi jalan napas yg adekuat dengan terapi oksigen.
25
Jika ensefalopati terjadi pada DBD tanpa syok dan masa krisis sudah dilewati maka,
Cegah / turunkan peningkatan tekanan intrakranial dengan,
Memberikan cairan intravena minimal untuk mempertahankan volume
intravaskular, total cairan intravena tidak boleh >80% cairan rumatan
Ganti ke cairan kristaloid dengan koloid segera apabila hematokrit terus
meningkat dan volume cairan intravena dibutuhkan pada kasus dengan
perembesan plasma yang hebat.
Diuretik diberikan apabila ada indikasi tanda dan gejala kelebihan cairan
Posisikan pasien dengan kepala lebih tinggi 30 derajat.
Intubasi segera untuk mencegah hiperkarbia dan melindungi jalan napas.
Dipertimbangkan steroid untuk menurunkan tekanan intrakranial,
dengan pemberian deksametasone 0,15mg/kg berat badan/dosis
intravena setiap 6-8 jam.
Menurunkan produksi amonia
Berikan laktulosa 5-10 ml setiap 6 jam untuk menginduksi diare
osmotik.
Antibiotik lokal akan mengganggu flora usus maka tidak diperlukan
pemberian
Pertahankan gula darah 80-100 mg/dl, kecepatan infus glukosa yang
dianjurkan 4-6 mg/kg/jam.
Perbaiki asam basa dan ketidakseimbangan elektrolit
Vitamin K1 IV dengan dosis:umur < 1tahun: 3mg, <5 tahun: 5mg, >5
tahun:10mg. o Anti kejang phenobarbital, dilantin, atau diazepam IV sesuai
indikasi.
26
Transfusi darah, lebih baik PRC segar sesuai indikasi. Komponen darah lain
seperti suspense trombosit dan plasma segar beku tidak diberikan karena
kelebihan cairan dapat meningkatkan tekanan intrakranial.
Terapi antibiotik empirik apabila disertai infeksi bakterial.
Pemberian H2 antagonis dan penghambat pompa proton untuk mencegah
perdarahan saluran cerna.
Hindari obat yang tidak diperlukan karena sebagai besar obat dimetabolisme
di hati.
Hemodialisis pada kasus perburukan klinis dapat dipertimbangkan.
Fase Recovery
Pada fase penyembuhan diperlukan cairan rumatan atau cairan oral, serta monitor tiap
12-24 jam.
I. Pencegahan
Kegiatan ini meliputi:
1. Pembersihan jentik
a. Penggerakan PSN (pemberantasan sarang nyamuk) dengan 3M (menutup dan
menguras tempat penampungan air bersih, mengubur barang bekas, dan
membersihkan tempat yang berpotensi bagi perkembangbiakan nyamuk).
b. Larvasidasi selektif, yaitu kegiatan memberikan atau menguburkan
larvasidasi ke dalam penampungan air yang positif terdapat jentik Aedes.
c. Menggunakan ikan ( ikan kepala timah, cupang, sepat).
27
2. Pencegahan gigitan nyamuk
a. Menggunakan kelambu.
b. Menggunakan obat nyamuk (bakar, oles).
c. Tidak melakukan kebiasaan berisiko (tidur siang, menggantung baju).
d. Penyemprotan (fogging focus), yaitu kegiatan menyemprot dengan insektisida
(malation, losban) untuk membunuh nyamuk dewasa dalam radius 1 RW per
400 rumah per 1 dukuh.
Indikasi untuk pulang
Pasien dapat dipulangkan apabila telah terjadi perbaikan klinis sebagai berikut:
Bebas demam minimal 24 jam tanpa menggunakan antipiretik
Nafsu makan telah kembali
Perbaikan klinis, tidak ada demam, tidak ada distres pernafasan, dan nadi teratur
Diuresis baik
Minimum 2-3 hari setelah sembuh dari syok
Tidak ada kegawatan napas karena efusi pleura, tidak ada asites
Trombosit >50.000 /mm3. Pada kasus DBD tanpa komplikasi, pada umumnya jumlah
trombosit akan meningkat ke nilai normal dalam 3-5 hari.
28
DAFTAR PUSTAKA
Karyati, M R. Diagnosa dan tatalaksana terkini dengue. Divisi Infeksi dan Pediatri
Tropik, Departemen Ilmu Kesehatan Anak. RSUPN Cipto Mangun Kusumo. FKUI
World Health Organization-South East Asia Regional Office. Comprehensive
Guidelines for Prevention and Control of Dengue and Dengue Hemorrhagic Fever.
India: WHO; 2011
Widoyono. Penyakit tropis epidemiologi penularan, pencegahan & pemberantasan.
Edisi kedua. 2011
Suhendro dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam: Demam Berdarah Dengue. Jilid III.
Edisi V. 2009
29