delik penggelapan yang dilakukan agen asuransi
TRANSCRIPT
BAB I
Pendahuluan
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia sebagai suatu negara yang pernah mengalami masa
penjajahan yang cukup panjang, sedang giat-giatnya berusaha
mengadakan pembaruan hukumnya secara menyeluruh, baik hukum
perdata, hukum administrasi maupun hukum pidananya.
Hubungannya dengan hukum pidana, telah sejak lama
dilakukan usaha-usaha untuk memperbarui hukum pidana materil
(hukum pidana substantif), yang harus dilakukan bersama-sama
dengan bidang hukum yang lain, yakni hukum pidana formil (hukum
acara pidana). Semuanya ini dalam suatu kerangka untuk
mewujudkan suatu hukum nasional yang mengabdi kepada
kepentingan nasional berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Usaha pembaruan hukum pidana yang terus digalakkan,
memiliki satu tujuan utama, yakni menciptakan suatu kodifikasi hukum
pidana nasional untuk menggantikan kodifikasi hukum pidana yang
merupakan warisan kolonial yakni Wetboek van Strafrech voor
Nederlands Indie 1915 dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946
dinyatakan sebagai Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia
1
yang merupakan turunan dari Wetboekvan Strafrecht Negeri Belanda
tahun 1886 dengan beberapa tambahan yang dilakukan oleh
pemerintah penjajahan dan disesuaikan dengan kondisi di Indonesia,
ditambah dan diubah oleh pemerintah Republik Indonesia seperlunya.
Hukum Indonesia mengisyaratkan bahwa dalam setiap gerak
warganya diatur dengan undang-undang. Begitupun dengan hukum
pidana Indonesia. Seseorang dikatakan bersalah atau tidak
berdasarkan undang-undang yang berlaku, hukum Indonesia yang
menganut kepastian hukum mestilah memiliki indikator dalam setiap
perbuatan yang dikualifikasikan sebagai tindak pidana. Tindak pidana
yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana memiliki
batasan-batasan tersendiri untuk membedakan antara tindak pidana
yang satu dengan yang lain.
Misalnya tindak pidana penggelapan memiliki kemiripan dengan
tindak pidana lain yaitu pencurian. Kualifikasi ini kemudian menjadi
sangat penting yang berimbas pada pembuktian yang dilakukan oleh
Jaksa Penuntut Umum. Belum lagi jika berbicara mengenai jenis-jenis
penggelapan yang satu dengan penggelapan yang lainnya.
Penggelapan biasa dengan penggelapan dengan pemberatan
misalnya, harus memiliki batasan yang jelas agar hakim dalam
2
menjatuhkan putusannya tidak salah dan menginjak-injak hak-hak
pelaku.
Delik penggelapan diatur dalam pasal Pasal 372. yang
berbunyi:
barang siapa dengan sengaja memiliki dengan melawan hak sesuatu barang yang sama sekali atau sebagaianya termasuk kepunyaan orang lain dan barang itu ad dalam tangannya bukan bukan karena kejahatan ,di hukum karena pengelapan, dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp900,-.
Pengelapan adalah delik yang hampir sama dengan pencurian.
Menurut (Soesilo 1996; 258) perbedaanya adalah di delik pencurian
barang yang di miliki masih belum berada di tangan pencuri dan masih
harus di ambilnya, sedang pada pengelapan waktu di milikinya barang
itu sudah ada di tangan pembuat tidak dengan ada jalan
kejahatan.maksudnya adalah perbedaan antara pencurian dan
penggelapan ada pada waktu barang tersebut di miliki jika dalam
pencurian di curinya barang tersebut , barang tersebut tidak berada
dalam penguasaan dalam pelaku. Pengelapan ketika barang tersebut
diambil, barang tersebut sudah berada dalam penguasaan pelaku
tindak dengan kejahatan.
3
.Penggelapan dengan pemberatan diatur dalam Pasal 374
KUHP yang berbunyi:
Pengelapan yang lakukan oleh oleh orang yang memegang barang itu berhubungan dengan pekerjaanya atau jabatan atau karena ia mendapat upa uang , di hukum penjara selama-lamanya lima tahun.
Unsur-unsur yang ada dalam Pasal 374 adalah penggelapan
biasa yang dilakukan dalam:
A. Diserahkanya barang yang di gelapkan karena adanya hubungan
pekerjaan, misalnya antara majikan dengan pekerja atau atau
majikan dengan pembantu rumah tangga.
B. Diserahkannya barang kepada terdakwa disebabkan karena
jabatannya, misalnya tukang laundry mengelapkan sebuah pakaian
yang dicucinya
C. Karena mendapatkan upah uang bukan berupa barang, misalnya
kuli angkut, mengangkut barang dengan upah uang kemudian
barang tersebut di gelapkan oleh kulih angkut tersebut.
Dalam perkara no.1022/Pid.B/2010/PN.Mks terdakwa didakwa
dengan dakwaan primair subsidair. Dakwaan primair Pasal 372 KUHP
dan Pasal 374 KUHP.
Jika dilihat sekilas pelaku adalah seorang agen PT.Prudential
Assurance Makassar yang didakwa melakukan penggelapan terhadap
4
nasabahnya dengan menggelapkan uang nasabahnya. Uang nasabah
tersebut diserahkan kepada pelaku karena para nasabah tersebut
menyetorkan untuk asuransi yang ternyata dipakai secara pribadi oleh
terdakwa.
Penyerahan uang tersebut didasarkan kepada pelaku
berdasarkan pekerjaan pelaku sebagai agen asuransi. Artinya
penggelapan tersebut dilakukan sebab adanya hubungan pekerjaan
atau jabatan. Namun hakim kemudian memvonis terdakwa dengan
pasal penggelapan biasa bukan dengan pasal penggelapan dengan
pemberatan yang notabene ancaman hukumannya lebih berat dari
pada ancaman hukuman penggelapan biasa.
Terdakwa melakukan penggelapan yang diatur dalam Pasal
372 KUHP atau penggelapan dengan pemberatan yang diatur dalam
Pasal 374 haruslah melalui pembuktian disidang pengadilan.
Dalam sidang pengadilan, pembuktian mengenai tindak pidana
apa yang kemudian dilakukan oleh terdakwa dilakukan dengan
pemeriksaan alat-alat bukti yang dihadirkan oleh Jaksa Penuntut
Umum, untuk dinilai oleh Majelis Hakim.
Majelis Hakim menilai alat-alat bukti tersebut dan
mencocokkannya dengan pasal-pasal yang telah didakwakan oleh
Jaksa penuntut umum di dalam surat dakwaan.
5
Hukum pembuktian sendiri diatur dalam Pasal 183 Kitab
Undang-undang Hukum Acara Pidana yang menentukan :
Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang, kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.
Pembuktian yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum dimulai
dengan surat dakwaaan. Surat dakwaan yang dibuat oleh Jaksa
Penuntut Umum berisikan pasal-pasal apa saja yang diyakini oleh
Jaksa Penuntut Umum telah dilanggar oleh pelaku. Berdasarkan surat
dakwaan inilah kemudian Jaksa Penuntut Umum membuktikan
dengan fakta-fakta di persidangan dan alat-alat bukti yang dihadirkan.
Alat-alat bukti ini yang akan menjadi pertimbangan hakim dalam
memutuskan seseorang bersalah atau tidak.
Kualifikasi dalam KUHP sangatlah penting, juga untuk Hakim.
Hakimlah yang kemudian memutuskan apakah pelaku bersalah atau
tidak berdasarkan pasal-pasal yang telah dipasang oleh Jaksa
Penuntut Umum. Jika pelaku tidak memenuhi unsur-unsur yang ada
dalam pasal yang dipasang oleh Jaksa Penuntut Umum, terdakwa
harus dibebaskan.
Tipisnya perbedaan antara tindak pidana yang satu dengan
yang lain menjadi salah satu masalah yang harus menjadi perhatian
6
berbagai pihak. Perlindungan Hak Asasi Manusia merupakan isu
sentral dalam hal ini.
Pengetahuan para penegak hukum seperti Jaksa dan hakim
menjadi faktor kunci dalam mengkualifikasi tindak-tindak pidana yang
tipis perbedaannya antara satu dengan yang lainnya.
Uraian tersebut mendasari pengkajian lebih jauh tentang
penggelap dengan memilih judul “Analisis Yuridis Terhadap Delik
Penggelapan yang Dilakukan Oleh Agen Asuransi (Studi Kasus
No. 1022/Pid.B/2010/PN.Mks)”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan
masalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah penerapan hukum delik penggelapan yang dilakukan oleh
agen asuransi dalam kasus No.1022/Pid.B/2010/PN.Mks?
2. Hal-hal apakah yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam
menjatuhkan sanksi terhadap delik penggelapan yang dilakukan oleh
agen asuransi dalam kasus No.1022/Pid.B/2010/PN.Mks.?
7
C. Tujuan Penelitian
Tujuan Penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui bagaimana penerapan hukum delik penggelapan yang
dilakukan oleh agen asuransi dalam kasus No.1022/Pid.B/2010/PN.Mks.
2. Untuk mengetahui bagaimana dasar pertimbangan hakim dalam
menjatuhkan sanksi terhadap delik penggelapan yang dilakukan oleh
agen asuransi dalam kasus No.1022/Pid.B/2010/PN.Mks.
D. Kegunaan penelitian:
1. Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan
kontribusi bagi perkembangan ilmu hukum,khususnya hukum pidana dan
juga bagi yang berminat melakukan penelitian lebih lanjut tentang
penggelapan
2. Secara praktis, hasil penelitian ini di harapkan memberikan manfaat bagi
pembangunan pengetahuan dan kesadaran hukum masyarakat yang
mapan, serta menjadi acuan bagi praktisi hukum dalam rangka
penegakan hukum.
3. Untuk menambah wawasan dan memperkaya khasanah ilmu
pengetahuan peneliti, khususnya ilmu hukum.
8
BAB II
Tinjauan Pustaka
A. Hukum Pidana
1. Pengertian
Ada kesukaran untuk memberikan suatu batasan yang dapat
mencakup seluruh isi/aspek dari pengertian hukum pidana karena isi hukum
pidana sangatlah luas dan mencakup banyak segi, yang tidak mungkin untuk
dimuat dalam suatu batasan dengan suatu kalimat tertentu. Dalam
memberikan batasan tentang pengertian hukum pidana, biasanya diliat dari
satu atau beberapa isi saja, sehingga selalu ada sisi atau aspek tertentu dari
hukum pidana yang tidak masuk, dan berada di luarnya.
Tentang bagaimana luasnya isi hukum pidana itu akan lebih jelas
kiranya setelah mempelajari tentang jenis-jenis hukum pidana yang akan di
bicarakan di belakang.
Walaupun dalam memberikan batasan tentang hukum pidana
selalu ada aspek hukum pidana yang ada di luarnya, namun demikian tetap
berguna untuk terlebih dulu memberikan batasan tersebut. faedah itu adalah
dari batasan itu setidaknya dapat memberikan gambaran awal tentang arti
hukum pidana sebelum memahami lebih jauh dan dengan lebih mendalam.
9
Dilihat dari garis-garis besarnya, dengan berbijak pada kondifikasi
sebagai sumber utama atau sumber pokok hukum pidana, hukum pidana
merupakan bagian dari hukum publik yang memuat/berisi ketentuan
ketentuan tentang:
1. Aturan hukum pidana dan (yang dikaitkan/berhubungan dengan)
larangan melakukan perbuatan perbuatan (aktif/positif maupun
pasif/negatif) tertentu yang disertai dengan ancaman sanksi
berupa pidana (Straf) bagi larangan yang melanggar larangan itu.
2. Syarat syarat tertentu (kapankah) yang harus di penuhi/harus ada
bagi si pelanggar untuk dapat di jatuhkan sanksi pidana yang di
ancamkan pada larangan perbuatan yang di langgarnya.
3. Tindakan dan upaya upaya yang boleh yang harus dilakukan oleh
Negara melalui alat-alat perlengkapanya (misalnya
polisi,jaksa,hakim ), terhadap yang disangka dan didakwa sebagai
pelanggar hukum pidana dalam rangka usaha Negara
menetukan,menjatuhkan dan melaksanakan sanksi pidana
terhadap dirinya, serta melakukan tindakan dan upaya-upaya yang
boleh dan harus dilakukan oleh tersangka/terdakwa pelanggar
hukum tersebut dalam usaha melindungi dan mempertahankan
hak-haknya dari tindakan Negara dalam upaya Negara
menegakkan hukum pidana tersebut.
10
4. Dalam batasan yang cukup panjang di atas, sudah tentu masih
ada kekuranganya, namun bagaimana sudah diterangkan bahwa
batasan-batasan tersebut adalah garis besar yang berarti dalam
hal-hal lain atau yang lebih kecil dari hukum pidana yang tidak
tercakupkan.
Hal pidana yang mengandung aspek pertama dan kedua disebut
dengan hukum pidana materil yang dapat juga disebut dengan hukum pidana
abstrak dapat pula disebut hukum pidana dalam keadaan diam, yang sumber
utamanya adalah Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP). Sementara
itu, hukum pidana yang berisi atau menganai aspek ketiga di sebut dengan
hukum pidana formil atau disebut juga dengan hukum pidana konkret atau
hukum pidana dalam keadaan bergerak, yang juga disebut hukum acara
pidana, yang sember pokoknya adalah Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP,yakni UU No 8 Tahun 1981).
2. Pembagian hukum pidana ;
Menurut Andi Hamzah (Adami Chazawi, 2010 : 9 ) membagi hukum pidana yakni :
a) Hukum Pidana dalam Keadaan diam dan dalam keadaan bergerak
atas dasar ini, hukum pidana dibedakan dengan hukum pidana
materil dan hukum pidana formil atau hukum acara pidana sebagai
telah di bicarakan di atas.
11
b) Hukum Pidana dalam Arti Objektif dan dalam Arti Subjektif
hukum pidana objektif atau di sebut dengan ius poenale adalah
hukum pidana yang di liat dari aspek larangan-larangan berbuat ,
yaitu larangan yang di sertai dengan ancaman pidana bagi siapa
yang melanggar larangan tersebut. Jika pidana objektif memiliki
arti yang sama dengan hukum pidana materil. Sebagaimana yang
di rumuskan oleh Hazewinkel Suringa, ius poenale adalah
sejumlah peraturan hukum yang mengandung larangan dan
pemerintah dan keharusan yang terhadap pelangaranya di
ancam bagi pidana si pelanggarnya.
Sementara itu, hukum pidana subjektif atau disebut ius Poeniendi
sebagai aspek subjektifnya hukum pidana, merupakan aturan yang berisi
atau menegenai hak atau kewenangan Negara:
Untuk menentukan larangan-larangan dalam upaya mencapai
ketertiban umum;
Untuk memberlakukan (sifat memaksanya) hukum pidana yang
memwujudkan dangan menjatuhkan pidana kepada si pelanggar
laranagan tersebut; serta
Untuk menjalankan sanksi pidana yang telah dijatuhkan oleh
negara pada si pelanggar hukum pidana tadi.
12
Sebagai organisasi yang besar,tertinggi,dan terkuat,hanya
Negara yang berhak dan berwenang untuk menentukan pidana dan
menjalankanya. Artinya ,sebagai satu-satunya subjek hukum yang boleh
membentuk aturan-aturan yang mengikat semua warga, serta mampu
menjalankannya dengan sebaik-baiknya agar aturan-aturan itu ditegakkan
dan dilaksanakan dalam rangka terjaminnya ketertiban umum.
Adil dari segi subjektif, Negara memiliki dan memegang tiga
kekuasaan/hak fundamental yakni:
Hak untuk menentukan perbuatan-perbuatan mana yang di
larang dan menentukan bentuk serta berat ringannya ancaman
pidana (sanksi pidana) bagi pelanggarnya;
Hak untuk menjalankan hukum pidana dengan menuntut dan
menjatuhkan pidana pada si pelanggar aturan hukum pidana
yang di bentuk tadi; dan
Hak untuk menjalankan sanksi pidana yang telah di jatuhkan
pada pembuatannya/petindaknya tersebut.
Hak Negara yang begitu luas perlulah di atur dan dibatasi. Jika
tidak, dapat terjadi kesewenang-wenangan yang bukan saja dapat
menimbulkan ketidakadilan, namun juga ketidaktentraman dan tidaktenangan
warga diantara Negara. Untuk itu, hak dan kewenangan yang luas itu perlu
13
diatur. Pengaturan berarti pembatasan hak, dan aturan yang membatasi hak
Negara ini terdapat dalam hukum pidana objektif, yang berupa hukum pidana
materiil dan hukum pidana formil.
Karena kewenangan Negara dalam menjalankan hak subjektifnya itu
diatur dalam arti dibatasi, tiga hak subjektif Negara di atas tadi tidak dapat
keluar dan melampaui koridor-koridor yang di tetapkan dalam hukum pidana
materiil dan hukum pidana formil. Misalnya dalam hukum pidana materil
terdapat Pasal 362 KUHP tentang larangan pebutan mengambil benda milik
orang lain dengan ,maksud memiliki barang tersebut dengan melawan hukum
(di sebut pencurian), yang di ancam pidana penjara paling lama lima tahun
atau denda maksimum Rp900,00. Terhadap si pelanggar larangan ini,hak
Negara dibatasi tidak boleh menjatuhkan pidana: (1) selain pidana penjara
atau denda; dan(2) jika penjara tidak boleh melebihi lima tahun, dan denda
tidak di perkenankan di atas Rp900,00. Juga dibatasi dalam hukum formil
arinya tindakan-tindakan nyata Negara sebelum, pada saat telah
menjatuhkan pidana serta menjalankanya itu diatur serta di tentukan secara
rinci dan cermat, dan pada garis besarnya berupa tindakan
penyelidikan,penyidikan,penuntutan,persidangan dengan pembuktian dan
pemutusan dan barulah vonis di jalankan. Perlakuan-perlakuan Negara
terhadap pesakitan/pelaku pelanggaran harus menurut aturan yang sudah di
tetapkan dalam hukum pidana formil tersebut.
14
B. Tinjuan Umum Terhadap Delik
1. Pengertian Delik
Dalam hukum pidana delik dikenal dalam beberapa istilah seperti
perbuatan pidana, peristiwa pidana ataupun tindak pidana. Menurut kamus
hukum (Ilham Gunawan, 2002;75) bahwa :
delik adalah perbuatan yang melanggar undang-undang pidana dan karena itu bertentangan dengan undang-undang yang dilakukan dengan sengaja oleh orang yang dapat dipertanggung jawabkan.
Menurut Subekti (2005 : 35) delik adalah perbuatan yang
diancam dengan hukuman. Dalam undang-undang sendiri dikenal beberapa
istilah untuk delik seperti peristiwa pidana (Undang-Undang Dasar
Sementara Tahun 1950), perbuatan pidana (Undang-Undang No.1 tahun
1951 Tentang Tindakan Sementara Untuk Menyelenggarakan Kesatuan
Susunan, Kekuasaan dan Acara Pengadilan-Pengadilan Sipil), perbuatan-
perbuatan yang dapat dihukum (Undang-Undang Darurat No.2 Tahun 1951
Tentang perubahan Ordonantie Tijdelijke Byzondere Strafbepalingen, tindak
pidana (Undang-Undang Darurat No.7 Tahun 1953 Tentang Pemilihan
Umum).
Pada dasarnya istilah-istilah di atas, merupakan istilah yang
berasal dari kata strafbaar feit. Strafbaar feit terdiri dari tiga kata yaitu straf,
15
baar, dan feit. Straf dapat diterjemahkan dengan pidana dan hukum, baar
dapat diterjemahkan dengan dapat dan boleh sedangkan kata feit
diterjemahkan dengan tindak, peristiwa, pelanggaran, dan perbuatan.
Menurut Adami Chazawi (2005;70) untuk kata delik sebenarnya
tidak punya hubungan dengan kata strafbaar feit. Kata delik berasal dari
bahasa latin yaitu delictum, namun dalam sisi pengertiannya tidak ada
perbedaan mengenai pengertiannya.
Tongat (2009;104) membagi pengertian tindak pidana menjadi
dua pandangan, pembagian ini didasarkan pada doktrin. Pandangan yang
pertama adalah pandangan monitis.
Pandangan monitis adalah suatu pandangan yang melihat
keseluruhan syarat untuk adanya pidana itu kesemuanya merupakan sifat
dari perbuatan. Para ahli yang menganut pandangan ini antara lain adalah
Simons (Tongat, 2009;105), yang memberikan defenisi tindak pidana adalah
tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan yang oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum.
Ahli yang juga berpandangan monitis adalah J.Bauman yang
memberikan defenisi tindak pidana adalah perbuatan yang memenuhi
16
rumusan delik, bersifat melawan hukum dan dilakukan dengan kesalahan.
Wiryono Prodjodikor (2003:59) memberikan defenisi tindak pidana adalah
suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan pidana.
Pandangan yang kedua, disebut dengan pandangan dualistic.
Pandangan ini berpendapat bahwa antara perbuatan pidana dan
pertanggungjawaban pidana harus dipisahkan. Salah satu ahli yang
berpandangan dualistik adalah Moeljatno yang memberikan rumusan tindak
pidana :
a. Adanya perbuatan manusia
b. Perbuatan tersebut memenuhi rumusan dalam undang-undang
c. Bersifat melawan hukum
Pengertian Moeljatno di atas memang tidak memasukkan unsur
pertanggung jawaban pidana, namun Moeljatno juga menegaskan bahwa
agar terjadinya tindak pidana tidaklah cukup dengan terjadinya tindak pidana
itu sendiri, tetapi juga mengenai apakah orang yang melakukan tindak pidana
dapat mempertanggung jawabkan perbuatan pidananya.
2. Unsur Delik Sebagai Syarat Pemidanaan
Setelah membahas mengenai pengertian delik, maka dapat
dibahas mengenai unsur-unsur delik sebagai syarat-syarat pemidanaan.
Menurut Adami Chazawi (2005;79) unsur tindak pidana secara garis besar
17
dapat dibedakan menjadi dua sudut pandang yaitu sudut pandang teoritik
dan sudut pandang undang-undang. Sudut pandang teoritik memisahkan
unsur-unsur pidananya menurut pandangannya masing-masing. Pandangan
yang pertama yakni pandangan monolistik, seperti unsur yang diberikan oleh
Simons dan Bauman. Pandangan dualistik seperti yang dianut oleh Moeljatno
yang memberikan unsur delik adalah adanya perbuatan manusia, perbuatan
tersebut memenuhi rumusan dalam undang-undang dan bersifat melawan
hukum.
Unsur rumusan tindak pidana dari sudut pandang undang-
undang dapat dirumuskan sebagai berikut :
a. Unsur Tingkah laku
Tingkah laku harus dimasukkan dalam unsur tindak pidana atau
unsur delik karena, tindak pidana berbicara mengenai larangan berbuat
sesuatu.
b. Unsur MeLawan Hukum
Melawan hukum berarti adalah suatu sifat yang tercela atau
terlarang perbuatannya. Tercelanya suatu perbuatan dapat lahir dari
undang-undang ataupun dari masyarakat.
18
c. Unsur Kesalahan
Unsur kesalahan ini bersifat subjektif, karena unsur ini melekat
pada diri pelaku. Unsur kesalahan adalah unsur yang menghubungkan
perbuatan dan akibat serta sifat melawan hukum perbuatan pelaku.
d. Unsur Akibat Konstitutif
Unsur kesalahan konstitutif terdapat pada tindak pidana dimana
akibat menjadi syarat selesainya tindak pidana, tindak pidana yang
mengandung unsur akibat sebagai syarat pemberat pidana dan tindak
pidana dimana akibat merupakan syarat dipidananya pembuat.
e. Unsur Keadaan yang Menyertai
Unsur keadaan yang menyertai adalah unsur tindak pidana
berupa semua keadaan yang ada dan berlaku dalam mana perbuatan
dilakukan.
f. Unsur Syarat Tambahan
Unsur syarat tambahan dapatnya dituntut pidana. Hanya terdapat
pada delik aduan. Artinya unsur ini hanya timbul jika delik tersebut
diadukan, seperti delik persidangan.
g. Unsur Syarat Tambahan Untuk Memperberat Pidana
Unsur ini merupakan alasan diperberatnya pidana, bukan unsur
atau syarat selesainya tindak pidana.
19
h. Unsur Syarat Tambahan Untuk Dapatnya di Pidana
Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dipidana adalah unsur
keadaan-keadaan tertentu yang timbul setelah perbuatan dilakukan
yang menentukan apakah pebuatannya dapat dipidana atau tidak.
i. Unsur Objek Hukum Tindak Pidana
Unsur ini sangat terkait dengan unsur tingkah laku. Unsur ini
adalah unsur kepentingan hukum yang harus dilindungi dan
pertahankan dalam rumusan tindak pidana.
j. Unsur Kualitas Subjek Hukum Tindak Pidana
Maksud dari unsur ini adalah sejauh mana kualitas subjek hukum
dalam melakukan tindak pidana, karena dalam berapa tindak pidana
hanya dapat dilakukan oleh subjek-subjek tertentu saja, seperti Pasal
375 dan Pasal 267 KUHP dan lain-lain.
k. Unsur Syarat Tambahan Memperingan Pidana
Unsur ini dibagi atas dua yaitu yang bersifat objektif seperti pada
nilai atau harga objek tindak pidana secara ekonomis dalam pasal-pasal
tertentu seperti pencurian ringan, penggelapan ringan dan lain-lain.
Bersifat subjektif artinya faktor yang memperingan pelaku tindak pidana
terletak pada perilaku pelaku tindak pidana itu sendiri.
20
Unsur-unsur delik juga dibagi dua oleh Leden Marpaung
(2008;9) yaitu unsur subjektif dan unsur objektif.
Unsur Subjektif adalah unsur yang berasal dari diri pelaku.
Artinya, suatu perbuatan pidana tidak mungkin ada tanpa adanya kesalahan.
Unsur Objektif adalah unsur yang berasal dari luar diri pelaku
seperti perbuatan atau act, akibat atau result, keadaan-keadaan sifat yang
dapat dihukum dan sifat melawan hukum.
C. Tindak Pidana Penggelapan
Pengelapan pertama disebut dengan pengelapan biasa. Pengelapan
biasa di atur pada Pasal 372 KUHP yang berbunyi sebagai berikut:
barang siapa dengan sengaja memiliki dengan melawan hak sesuatu barang yang sama sekali atau sebagaianya termasuk kepunyaan orang lain dan barang itu ad dalam tangannya bukan bukan karena kejahatan , di hukum karena pengelapan, dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp900
Pengelapan adalah delik yang hampir sama dengan pencurian.
Menurut (Soesilo 1996; 258) perbadaanya adalah di delik pencurian barang
yang di miliki masih bekum berada di tangan pencuri dan masih harus di
ambilnya, sedang pada pengelapan waktu di milikinya barang itu sudah ada
di tangan pembuat tidak dengan ada jalan kejahatan. Maksudnya adalah
perbedaan antara pencurian dan penggelapan ada pada waktu barang
21
tersebut di miliki jika dalam pencurian di curinya barang tersebut , barang
tersebut tidak berada dalam penguasaan dalam pelaku. Pengelapan ketika
barang tersebut di ambil, barang tersebut sudah berada dalam penguasahan
pelaku tidak dengan kejahatan
Penggelapan berikutnya disebut dengan penggelapan ringan.
Penggelapan ringan di atur dalam pasal 373: yang berbunyi:
Perbuatan yang di terangkan dalam Pasal 372, juka yang di gelapkan itu Bukan hewan Dan harganya tidak lebih dari Rp250, dihukum, karena pengelapan ringan, dengan hukuman penjara selama-lamanya tiga bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp900,
Penggelapan ringan adalah jenis penggelapan jika penggelapan
tersebut bukanlah hewan dan harganya tidak lebih dari Rp250. Yang di
maksud dengan hewan dalam KUHP adalah binatang yang berkuku satu,
binatang yang memamah biak dan babi, hal tersebut sesuai dengan Pasal
101 KUHP.
Pengelapan yang ketiga adalah di namakan dengan pemberatan.
Adapun rumusan Pasal 374 KUHP adalah sebagai berikut
Pengelapan yang lakukan oleh oleh orang yang memegang barang itu berhubungan dengan pekerjaanya atau jabatan atau karena ia mendapat upah uang , di hukum penjara selama-lamanya lima tahun.
Pengelapan dengan pemberatan adalah pengelapan biasa yang
disertai dengan salah satu dengan keadaan berikut:
22
A. Di serahkanya barang yang di gelapkan karena adanya hubungan
pekerjaan, misalnya antara majikan dengan pekerja atau atau
majikan dengan pembantu rumah tangga.
B. Di serahkannya barang kepada terdakwa disebabkan karena
jabatannya, misalnya tukang laundry mengelapkan sebuah pakaian
yang dicucinya
C. Karena mendapatkan upah uang (bukan berupa barang,misalnya
kuli angkut, mengangkut barang dengan upah uang kemudian
barang tersebut di gelapkan oleh kuli angkut tersebut.
Menurut R. Soesilo (1996; 259) Pengelapan dengan pemberatan ini
tidak berlaku bagi pegawai negeri jika pegawai negeri tersebut mengelapkan
uang atau surat yang berharga, atau barang bukti atau keterangan yang
dipakai untuk kekuasaan yang berhak atau surat akte, surat keterangan atau
daftar yang disimpan karena jabatannya (Pasal 415 jo.417.KUHP), jadi jika
pegawai negri tersebut mengelapkan komputer atau barang barang lain yang
tidak diatur dalam pasal 415 jo. 417 maka ia dikenakan dengan Pasal 372
jo.52 KUHP.
Adapun rumusan Pasal 52 KUHP adalah sebagai berikut
Jikalau seorang pegawai negeri melanggar kewajibanya yang istimewa dalam jabatannya karena melakukan perbuatan yang boleh di hukum, atau pada waktu melakukan perbuatan yang boleh di hukum memakai kekuasaan, kesempatan atau daya upaya yang diperoleh
23
dari jabatannya, maka hukumannya boleh di tambah dengan sepertiganya.
Pengelapan berikunya di atur dalam Pasal 375 pengelapan yang
dilakukan oleh orang-orang karena terpaksa disuruh menyimpan barang itu,
atau wali, curator,pengurus, orang yang menjalankan wasiat atau pengurus
balai derma, tentang serta suatubarang yang ada dalam tanganya karena
jabatan tersebut, dihukum penjara selama-lamanya enam tahun.
Menguasai karena suatu keadaan terpaksa untuk dititipi benda (de
persoon aan wien het goed uit noodzaak in bewaring is gegeven) suatu
keadaan yang tidak dapat diduga terlebih dahulu, dimana keselamatan suatu
benda harus dititipkan kepada orang-orang tertentu yang dapat menjaga
benda itu penitipan karena terpaksa ialah penitipan yang terpaksa dilakukan
oleh karena terjadinya suatu malapetaka, seperti kebakaran, runtuhnya
bangunan, perampokan,karamnya kapal, banjir atau peristiwa lain yang tak
terduga datangnya. (Pasal 1703 Burgerlijk Wetboek).
Kedudukan sebagai wali (voogd) bila anak belum dewasa yang tidak
berada dibawah kekuasaan orangtua dan yang perwaliannya sebelumnya
tidak diatur dengan cara yang sah, pengadilan negeri harus mengangkat
seorang wali, setelah mendengar atau memanggil dengan sah para keluarga
sedarah dan semenda (Pasal 359 (1) Burgerlijk Wetboek).
24
Kedudukan sebagai pengampu orang yang ditunjuk hakim untuk
menjadi wali bagi setiap orang dewasa, yang selalu berada dalam keadaan
dungu, gila atau mata gelap, sekalipun ia kadang-kadang cakap
menggunakan pikirannya atau seorang dewasa yang boros. (Pasal 433
Burgerlijk Wetboek).
Kedudukan sebagai kuasa (bewindvoerder) seorang penerima kuasa
yang ditunjuk oleh hakim yang diberi kuasa untuk mengurus harta benda
milik sesorang yang ditinggalkannya, tanpa menunjuk seorang wakil untuk
pengurusannya harta benda terlantar yang tidak diketahui siapa pemiliknya.
Kedudukan sebagai pelaksana surat wasiat dalam hal ini wasiat yang
dibuat di hadapan notaris kepada penerima wasiat yang menguasai harta
benda pewasiat.
Kedudukan sebagai pengurus lembaga sosial atau yayasan pengurus
yang berkewajiban mengamankan, mengatur penggunaan harta benda
lembaga social atau yayasan.
Penggelapan dalam kalangan keluarga (Pasal 376 KUHP) berbunyi
“ketentuan Pasal 367 berlaku bagi kejahatan-kejahatan yang sebagaimana
telah dirumuskan sebelumnya.
25
Maksud dari pasal diatas adalah bentuk pertama, semua unsur
penggelapan (Pasal 372 KUHP), adanya unsur khusus, yakni : unsur obyektif
berupa adanya hubungan antara petindak atau pelaku pembantunya dengan
korban sebagai suami istri yang tidak berpisah meja dan tempat tidur atau
tidak terpisah harta kekayaannya, obyeknya adalah benda-benda milik suami
atau istri tersebut.
Bentuk kedua merupakan delik aduan semua unsur penggelapan
(Pasal 372 KUHP) ditambah unsur khusus alternatif, yakni unsur petindak
atau yang menjadi pelaku pembantunya adalah suami atau istri (1) yang
terpisah meja dan tempat tidur atau (2) terpisah harta kekayaannya, atau
unsur petindak atau yang menjadi pelakupembantunya adalah keluarga
sedarah atau semenda baik dalam garis lurus maupun garis menyimpang
dalam derajat kedua dengan pemilik benda.
D. Pembuktian Dalam Hukum Pidana
Dalam hukum pidana, pembuktian adalah bagian dari hukum
acara pidana (pidana formal) yang bertujuan mencari kebenaran material,
yaitu kebenaran sejati atau yang sesungguhnya. Hakim dalam
memperoleh/membuktikan bersifat aktif. Hakim berkewajiban untuk
mendapatkan bukti yang cukup untuk membuktikan tuduhan kepada tertuduh
26
alat buktinya bisa berupa keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk,
keterangan terdakwa.
Berikut ini beberapa pengertian pembuktian yang kemukakan
beberapa ahli hukum :
Ilham Gunawan (2002;385) dalam kamus hukumnya mengatakan
bahwa yang dimaksud dengan pembuktian adalah sebagai berikut :
Usaha dari yang berwenang untuk mengemukakan kepada hakim sebanyak mungkin hal-hal yang berkenaan dengan suatu perkara yang bertujuan agar supaya dapat dipakai oleh hakim sebagai bahan untuk memberiikan keputusan mengenai perkara tersebut.
Sedangkan menurut Munir Fuady (2006;1) yang dimaksud
dengan pembuktian dalam Ilmu Hukum adalah adalah :
suatu proses, baik dalam acara perdata, acara pidana maupun acara-acara lainnya, dimana dengan menggunakan alat-alat bukti yang sah, dilakukan tindakan dengan prosedur khusus, untuk mengetahui apakah suatu fakta atau pernyataan, khususnya fakta atau pernyataan yang dipersengketakan di pengadilan, yang diajukan dan dinyatakan oleh salah satu pihak dalam proses pengadilan itu benar atau tidak seperti yang dinyatakan itu.
Menurut Lilik Mulyadi (2007:50-51) yang dimaksud dengan
pembuktian adalah perbuatan membuktikan. Lebih lanjut menurut Lilik
Mulyadi yang dimaksud dengan membuktikan adalah memberikan bukti
atau memperlihatkan bukti, melakukan suatu kebenaran, melaksanakan,
menandakan, menyaksikan, dan meyakinkan.
27
Yahya Harahap (2005:274) dalam pengkajiannya menyatakan
bahwa pembuktian adalah :
ketentuan yang membatasi sidang pengadilan dalam usaha mencari dan mempertahankan kebenaran. Baik hakim, penuntut umum, terdakwa atau penasihat hukum, semua terkait pada ketentuan tata cara dan penilaian alat bukti yang ditentukan undang-undang.
Alat-alat bukti yang dimaksud dari uraian diatas adalah alat-alat
bukti yang ditentukan, sebagaimana yang disebut dalam Pasal 184 KUHAP,
agar dalam menjatuhkan putusan yang beralaskan kebenaran maka dalam
menggunakan alat-alat bukti haruslah menggunakan alat-alat bukti tersebut
sesuai dengan batasan undang-undang yang telah ditetapkan.
Lebih lanjut menurut Yahya Harahap (2005:274) dalam
melakukan pembuktian hakim haruslah benar-benar sadar dan cermat dalam
menilai kekuatan pembuktian yang ditemukan dalam persidangan.
Bagian yang terpenting dari hukum acara pidana adalah benar
tidaknya seorang Terdakwa melakukan tindak pidana sesuai dengan yang
didakwakan. Hal ini berkaitan erat dengan hak asasi manusia.
28
Menurut Andi Hamzah (2006:247-253) sistem atau teori
pembuktian terbagi 4 (empat):
a) Sistem atau Teori Pembuktian berdasarkan Undang-undang secara
Positif (Positief Wettelijk Bewijstheorie).
Dikatakan secara positif karena hanya didasarkan pada
undang-undang saja, artinya jika telah terbukti suatu perbuatan sesuai
dengan alat-alat bukti yang disebut oleh undang-undang maka keyakinan
hakim tidak diperlukan sama sekali. Sistem ini disebut juga teori pembuktian
formal. Simons berpendapat bahwa sistem atau teori ini berusaha untuk
menyingkirkan semua pertimbangan subjektif hakim dan mengikat hakim
secara ketat menurut peraturan-peraturan pembuktian yang keras.
Teori ini ditolak oleh Wirjono Prodjodikoro untuk dianut di
Indonesia karena bagaimana hakim dapat menetapkan kebenaran selain
dengan cara menyatakan kepada keyakinannya tentang hal kebenaran itu,
lagi pula keyakinan seorang hakim yang jujur dan berpengalaman mungkin
sekali adalah sesuai dengan keyakinan masyarakat.
b) Sistem atau Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Melulu.
Sistem ini bertolak belakang dengan teori pembuktian menurut
undang-undang secara positif. Teori ini disebut juga conviction intime. Teori
ini didasarkan pada keyakinan hati nuraninya sendiri ditetapkan bahwa
29
terdakwa telah melakukan perbuatan yang didakwakan. Dengan sistem ini
pemidanaan dimungkinkan tanpa didasarkan pada alat bukti dalam undang-
undang. Sistem ini dianut oleh peradilan juri di Prancis.
Sistem ini memberiikan kebebasan kepada hakim terlalu besar,
sehingga sulit diawasi. Di samping itu terdakwa atau penasihat hukum sulit
untuk melakukan pembelaan. Dalam hal ini Hakim dapat memidana terdakwa
berdasarkan keyakinannya bahwa ia telah malakukan apa yang didakwakan.
Praktik ini mangakibatkan banyaknya putusan-putusan bebas yang sangat
aneh.
c) Sistem atau Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Atas
Alasan Yang Logis (Laconviction Raisonnee).
Menurut teori ini hakim dapat memutuskan seseorang bersalah
berdasarkan keyakinannya, keyakinan yang didasarkan pada dasar-dasar
pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan yang berlandaskan kepada
peraturan peraturan pembuktian tertentu. Jadi putusan Hakim dijatuhkan
dengan suatu motivasi.
Sistem ini terbagi menjadi dua pemahaman yakni, pertama yaitu
pembuktian berdasarkan keyakinan hakim atas alasan yang logis dan yang
kedua ialah teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif.
Persamaan antara keduanya adalah sama-sama berdasar atas keyakinan
30
hakim, artinya bahwa terdakwa tidak mungkin dipidana tanpa adanya
keyakinan hakim bahwa ia bersalah. Perbedaannya adalah yang disebut
pertama bertolak pada keyakinan hakim, tetapi keyakinan itu harus
didasarkan pada suatu kesimpulan yang logis, yang tidak didasarkan kepada
undang-undang tetapi ketentuan-ketentuan menurut ilmu pengetahuan hakim
sendiri, menurut pilihannya sendiri tentang pelaksanaan pembuktian yang
mana yang akan ia gunakan. Sedangkan kedua bertolak pada aturan-aturan
pembuktian yang ditetapkan secara limitatif oleh undang-undang, tetapi hal
ini juga harus diikuti oleh keyakinan hakim.
d) Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-Undang Secara Negatif (Negatief
Wettelijk).
HIR maupun KUHAP menganut sistem atau teori pembuktian
berdasarkan undang-undang negatif. Hal ini dapat dilihat dari Pasal 183 Kitab
Undang-undang Hukum Acara Pidana yang menentukan :
Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang, kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.
Hal tersebut dapat dibandingkan semasa berlakunya HIR dalam
Pasal 294 ayat (1) HIR yakni:
Tidak seorang pun boleh dikenakan padanya, selain jika hakim mendapat keyakinan dangan alat bukti yang sah, bahwa benar telah
31
terjadi perbuatan yang dapat dipidana dan bahwa orang-orang yang didakwa itulah yang bersalah melakukan perbuatan itu.
Wirjono Prodjodikoro berpendapat bahwa sistem pembuktian
berdasarkan undang-undang secara negatif sebaiknya dipertahankan
berdasarkan dua alasan, pertama memang sudah selayaknya harus ada
keyekinan Hakim tentang kesalahan terdakwa untuk dapat menjatuhkan
suatu hukuman pidana, janganlah Hakim terpaksa memidana orang
sedangkan Hakim tidak yakin atas kesalahan Terdakwa. Kedua ialah
berfaedah jika ada aturan yang mengikat hakim dalam menyusun
keyakinannya, agar ada patokan-patokan tertentu yang harus dituruti oleh
hakim dalam melakukan peradilan.
Lilik Mulyadi (2007:108-113) membagi sistem pembuktian sebagai
berikut:
a) Sistem Pembuktian Menurut Undang-Undang secara Positif.
Menurut teori ini, sistem pembuktian positif bergantung pada alat-alat
bukti sebagaimana disebut dalam undang-undang. Undang-undang
menentukan tentang adanya alat-alat bukti mana yang dapat dipakai hakim,
cara bagaimana hakim harus mempergunakannya, kekuatan alat-alat bukti
tersebut, dan bagaimana cara hakim harus memutus terbukti atau tidaknya
perkara yang sedang diadili. Dalam hal ini hakim terikat pada alat-alat bukti
tersebut, bila telah dipakai sesuai dengan ketentuan undang-undang maka
32
hakim mesti menentukan terdakwa bersalah walaupun hakim berkeyakinan
bahwa sebenarnya terdakwa tidak bersalah. Begitupun sebaliknya jika tidak
dapat dipenuhi cara menggunakan alat bukti sebagaimana ditetapkan
undang-undang, hakim harus menyatakan terdakwa tidak bersalah walaupun
keyakinannya sebenarnya terdakwa bersalah.
Menurut Simons, sistem ini berusaha untuk menyingkirkan semua
pertimbangan subjektif hakim dan mengikat hakim secara ketat menurut
peraturan-peraturan pembuktian yang keras.
b) Sistem Pembuktian Menurut Keyakinan Hakim (Conviction Intime/
Conviction Raisonce)
Pada sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim maka
hakim dapat menjatuhkan putusan berdasarkan “keyakinan” belaka dengan
tidak terikat pada suatu aturan.
Dalam perkembangannya kemudian, sistem pembuktian
berdasarkan keyakinan mempunyai dua bentuk polarisasi pertama yaitu
conviction intime. Dalam conviction intime kesalahan terdakwa bergantung
pada hakim tidak terikat pada peraturan, dengan kata lain dalam sistem ini
putusan hakim timbul nuansa subjektifnya. Keyakinan hakimlah yang
menentukan keterbuktian kesalahan terdakwa. Menurut Yahya Harahap
dalam sistem ini dari mana sang hakim menarik kesimpulan keyakinannya
33
tidak menjadi masalah. Keyakinan tanpa alat bukti yang sah, sudah cukup
membuktikan kesalahan terdakwa.
Kedua yaitu conviction raisonce. jika dalam conviction intime
hanya berdasarkan keyakinan belaka tanpa adanya batasan maka dalam
sistem conviction raisonce Hakim memiliki batasan yaitu adanya alasan-
alasan yang yang jelas dan rasional dalam mengambil keputusannya.
Keyakinan hakim tidak hanya berdasarkan keyakinan yang tanpa batasan
namun didukung oleh alasan yang logis.
c) Sistem Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Negatif (Negatief
Wettelijke Bewijs Theorie)
Pada prinsipnya sistem pembuktian menurut undang-undang
secara negatif menentukan bahwa hakim hanya boleh menjatuhkan pidana
terhadap terdakwa apabila alat bukti tersebut sesuai dengan yang ditentukan
oleh undang-undang dan didukung pula oleh adanya keyakinan hakim
terhadap eksistensinya alat-alat bukti tersebut, dari aspek sejarah ternyata
sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif ini pada
hakikatnya merupakan titik temu antara sistem pembuktian menurut undang-
undang secara positif dengan sistem pembuktian berdasarkan keyakinan
hakim.
34
Dalam Pasal 183 KUHAP dijelaskan:
Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang, kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.
Pasal di atas jelaslah bahwa pembuktian harus disandarkan
kepada minimal dua alat bukti yang sah (sesuai dengan Pasal 184 KUHAP)
dan disertai dengan keyakinan hakim yang diperoleh dari alat-alat bukti
tersebut.
Dalam penjelasan Pasal 183 KUHAP, dikatakan bahwa pasal ini
ditujukan untuk menjamin tegaknya kebenaran, keadilan dan kepastian
hukum bagi seorang terdakwa.
35
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian adalah suatu tempat atau wilayah dimana
penelitian tersebut akan dilaksanakan. Adapun tempat atau lokasi penelitian
dalam rangka penulisan skripsi ini yaitu di kota Makassar
Sehubungan dengan data yang diperlukan dalam rencana
penulisan ini, maka penulis menetapkan lokasi penelitian pada Pengadilan
Negeri Makassar dan Kejaksaan negeri Makassar. Pemilihan lokasi
penelitian ini atas dasar instansi tersebut berkaitan langsung dengan
masalah yang dibahas dalam penulisan skripsi ini.
B. Jenis dan Sumber Data
1. Data primer, yaitu data yang diperoleh dari hasil wawancara
langsung, dalam hal ini berupa data yang terhimpun dari pihak
yang terkait
2. Data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari hasil kajian pustaka,
berupa buku-buku, peraturan perundang-undangan, bahan-bahan
laporan, majalah-majalah, artikel serta bahan literatur lainnya yang
berhubungan dengan pembahasan skripsi ini.
36
C. Teknik Pengumpulan Data
1. Penelitian Pustaka (Library Research)
Penelitian ini dilaksanakan dengan mengumpulkan data dan
landasan teoritis dengan memperlajari buku-buku, karya ilmiah,
artikel-artikel serta sumber bacaannya lainnya yang ada
hubungannya dengan permasalahan yang diteliti. Data Primer dan
Data Sekunder yang diperoleh dari lokasi penelitian.
2. Penelitian Lapangan (Field Research)
Penelitian ini dilakukan langsung dilokasi penelitian dengan
melakukan wawancara untuk mengumpulkan data primer pada
instansi atau pihak yang berkaitan langsung dengan penelitian ini.
D. Analisis Data
Penulis dalam menganalisa data yang diperoleh dari hasil
penelitian menggunakan teknik analisa data pendekatan kualitatif, yaitu
merupakan tata cara penelitian yang menghasilkan data yang deskriptif, yaitu
yang dinyatakan oleh pihak yang terkait secara tertulis atau lisan dan perilaku
nyata, yang diteliti dan dipelajari adalah objek penelitian yang utuh,
sepanjang hal itu sebagai sesuatu yang nyata.
37
DAFTAR PUSTAKA
Media Cetak
Chazawi, Adami, 2010. Pelajaran Hukum Pidana I. Jakarta. PT. Raja Grafindo Persada.
_____________ 2005 Pelajaran Hukum Pidana II. Jakarta. PT. Raja Grafindo Persada.
Gunawan, Ilham, 2002, Kamus Hukum, CV. Restu Agung, Jakarta.
Hamzah, Andi, 2006, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta, PT.Rineka Cipta.
Harahap, Yahya, 2005, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP ( Pemeriksaan di Sidang Persidangan, Banding, dan Kasasi ) Jakarta, Sinar Grafika.
_____________ 2006, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP (Penyidik Dan Penuntutan ), Jakarta, Sinar Grafika.
Marpaung, Leden, 2008, Asas – Teori – Praktik Hukum Pidana, Jakarta, Sinar Grafika.
Mulyadi, Lilik, 2007, Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana, Teori, Praktik Penyusunan, dan Permasalahannya, Bandung, PT.Citra Aditya Bakti.
Fuady, Munir, 2006, Teori Hukum Pembuktian ( Pidana dan Perdata ), Bandung, PT.Citra Aditya Bakti.
Prodjodikakoro, Wirjono, 2003, Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia, Bandung, PT.Eresco.
Soesilo, R, 1995, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Bogor,Politeia.
Subekti, R, 2005, Kamus Hukum, Jakarta, PT. Pradnya Paramita.
38
Tongat, 2009 Dasar-Dasar Hukum Pidana Dalam Perspektif Pembaharuan, Malang, UMM Press.
Perundang-undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
Media Online www.hukumonline.com
39