debit metode rasional

36
METODE RASIONAL Oleh: Muh. Ansar, SP., M.Si. PENDAHULUAN Latar Belakang Luas hutan yang ideal untuk menunjang keseimbangan ekosistem seperti tercantum dalam Undang-Undang (UU) Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan adalah minimal harus 30 persen dari luas wilayah. Dengan luasan tersebut diharapkan sebagian curah hujan yang turun pada musim hujan dapat disimpan dalam lapisan tanah, dan dialirkan sebagai aliran dasar (base flow) pada musim kemarau. Fluktuasi debit sungai pada sebagian besar daerah aliran sungai (DAS) di Indonesia cenderung meningkat, yaitu relatif besar pada musim hujan (seringkali menyebabkan banjir) dan relatif kecil pada musim kemarau (seringkali menyebabkan kekeringan). Kondisi ini memberikan gambaran tentang telah terjadinya kerusakan DAS yang berdampak terhadap permasalahan surplus/defisit neraca air sepanjang tahun. Perubahan tata guna lahan daerah aliran sungai (DAS) memberikan pengaruh cukup dominan terhadap debit banjir. Fenomena tersebut juga terjadi di Sub DAS Kertek yang merupakan bagian wilayah DAS hulu yang berada di Kabupaten Wonosobo Provinsi Jawa Tengah. Kawasan Sub DAS Kertek merupakan daerah tangkapan air 1

Upload: rezki-arham-ar

Post on 13-Jun-2015

5.922 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: Debit Metode Rasional

METODE RASIONALOleh: Muh. Ansar, SP., M.Si.

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Luas hutan yang ideal untuk menunjang keseimbangan ekosistem seperti

tercantum dalam Undang-Undang (UU) Nomor 41 Tahun 1999 tentang

Kehutanan adalah minimal harus 30 persen dari luas wilayah. Dengan luasan

tersebut diharapkan sebagian curah hujan yang turun pada musim hujan dapat

disimpan dalam lapisan tanah, dan dialirkan sebagai aliran dasar (base flow) pada

musim kemarau. Fluktuasi debit sungai pada sebagian besar daerah aliran sungai

(DAS) di Indonesia cenderung meningkat, yaitu relatif besar pada musim hujan

(seringkali menyebabkan banjir) dan relatif kecil pada musim kemarau (seringkali

menyebabkan kekeringan). Kondisi ini memberikan gambaran tentang telah

terjadinya kerusakan DAS yang berdampak terhadap permasalahan surplus/defisit

neraca air sepanjang tahun.

Perubahan tata guna lahan daerah aliran sungai (DAS) memberikan

pengaruh cukup dominan terhadap debit banjir. Fenomena tersebut juga terjadi di

Sub DAS Kertek yang merupakan bagian wilayah DAS hulu yang berada di

Kabupaten Wonosobo Provinsi Jawa Tengah. Kawasan Sub DAS Kertek

merupakan daerah tangkapan air hujan (catchments area) bagi sungai Kertek yang

mempunyai peranan strategis sebagai penyumbang aliran air (aliran bawah dan

aliran permukaan). sehingga keberadaannya sebagai kawasan resapan air menjadi

sangat diperhatikan. Namun saat ini kondisi Sub DAS Kertek yang berada di

kawasan hulu telah mengalami perubahan tata guna lahan dari kawasan non

terbangun (hutan) menjadi kawasan terbangun (pertanian dan pemukiman). Hal

ini berakibat air hujan yang jatuh di kawasan Sub DAS Kertek tidak banyak lagi

yang dapat meresap kedalam tanah melainkan lebih banyak melimpas (run-off)

sehingga meningkatkan debit banjir di sungai Kertek terutama di hilir sungai.

Perubahan tata guna lahan pada kawasan konservasi

menjadi kawasan terbangun dapat menimbulkan banjir, tanah

1

Page 2: Debit Metode Rasional

longsor dan kekeringan. Banjir adalah aliran/genangan air yang

menimbulkan kerugian ekonomi atau bahkan menyebabkan

kehilangan jiwa (Asdak 2004). Aliran/genangan air ini dapat

terjadi karena adanya luapan-luapan pada daerah di kanan atau

kiri sungai akibat alur sungai tidak memiliki kapasitas yang

cukup bagi debit aliran yang lewat (Sudjarwadi 1987). Hal

tersebut terjadi karena pada musim penghujan air hujan yang

jatuh pada daerah tangkapan air (catchments area) tidak banyak

yang dapat meresap ke dalam tanah melainkan lebih banyak

melimpas sebagai debit air sungai. Jika debit sungai ini terlalu

besar dan melebihi kapasitas tampang sungai, maka akan

meyebabkan banjir.

Nilai rasio debit sungai maksimum (terjadi pada musim hujan) dan debit

minimum (terjadi pada musim kemarau) menunjukkan efektifitas suatu daerah

aliran sungai dalam menyimpan surplus air pada musim hujan yang kemudian

dapat dialirkan pada musim kemarau. Indikator ini juga dapat ditunjukkan oleh

hidrograf satuan (unit hydrograph) sungai yang bersangkutan. Semakin curam

hidrograf satuan suatu sungai menunjukkan bahwa debit limpasan semakin besar

sedangkan aliran dasar (base-flow) semakin kecil. Debit limpasan menyebabkan

banjir pada musim hujan, sedangkan aliran dasar menghasilkan debit aliran sungai

pada musim kemarau.

Peningkatan debit banjir juga dapat berdampak pada

kegagalan bangunan pengendali banjir, seperti waduk, bendung,

tanggul, dan saluran drainase. Hal ini disebabkan karena

bangunan pengendali banjir tidak mampu menahan beban gaya

akibat debit banjir yang telah mengalami peningkatan akibat

perubahan tata guna lahan.

Tujuan

Tujuan tulisan ini adalah untuk mengkaji salah satu metode prediksi debit

aliran permukaan, yaitu metode rasional yang diterapkan untuk memprediksi

2

Page 3: Debit Metode Rasional

aliran permukaan yang terjadi pada Sub DAS Kertek, Kabupaten Wonosobo,

Provinsi Jawa Tengah.

3

Page 4: Debit Metode Rasional

METODOLOGI

Metode Rasional

Menurut Wanielista (1990) metode Rasional adalah salah satu dari metode

tertua dan awalnya digunakan hanya untuk memperkirakan debit puncak (peak

discharge). Ide yang melatarbelakangi metode Rasional adalah jika curah hujan

dengan intensitas I terjadi secara terus menerus, maka laju limpasan langsung

akan bertambah sampai mencapai waktu konsentrasi (Tc). Waktu konsentrasi Tc

tercapai ketika seluruh bagian DAS telah memberikan kontribusi aliran di outlet.

Laju masukan pada sistem (IA) adalah hasil dari curah hujan dengan intensitas I

pada DAS dengan luas A. Nilai perbandingan antara laju masukan dengan laju

debit puncak (Qp) yang terjadi pada saat Tc dinyatakan sebagai run off coefficient

(C) dengan (0 ≤ C ≤ 1) (Chow 1988). Hal di atas diekspresikan dalam formula

Rasional sebagai berikut ini (Chow, 1988) :

Q = 0,277 C I A ……………………………… (1)

Keterangan :

Q : debit puncak (m3/dtk)C : koefisien run off, tergantung pada karakteristik DAS (tak

berdimensi)I : intensitas curah hujan, untuk durasi hujan (D) sama dengan

waktu konsentrasi (Tc) (mm/jam)A : luas DAS (km2)

Konstanta 0,277 adalah faktor konversi debit puncak ke satuan (m3/dtk)

(Seyhan, 1990).

Beberapa asumsi dasar untuk menggunakan formula Rasional adalah sebagai

berikut (Wanielista 1990) :

a. Curah hujan terjadi dengan intensitas yang tetap dalam satu jangka waktu

tertentu, setidaknya sama dengan waktu konsentrasi.

b. Limpasan langsung mencapai maksimum ketika durasi hujan dengan

intensitas yang tetap, sama dengan waktu konsentrasi.

c. Koefisien run off dianggap tetap selama durasi hujan.

d. Luas DAS tidak berubah selama durasi hujan.

4

Page 5: Debit Metode Rasional

Koefisien Limpasan (runoff coeffisien) (C)

Dalam penghitungan debit banjir menggunakan Metode Rasional diperlukan

data koefisien limpasan (runoff coeffisien). Koefisien limpasan adalah rasio

jumlah limpasan terhadap jumlah curah hujan, dimana nilainya tergantung pada

tekstur tanah, kemiringan lahan, dan jenis penutupan lahan. Pada daerah aliran

sungai (DAS) berhutan dengan tekstur tanah liat berpasir, nilai koefisien limpasan

berkisar antara 0,10 – 0,30. Pada lahan pertanian dengan tekstur tanah yang sama,

nilai koefisien limpasan adalah 0,30 – 0,50. Dalam tulisan ini data koefisien

limpasan disesuaikan dengan kondisi lapangan seperti pada Lampiran Tabel 1, 2,

dan 3.

Intensitas hujan (I)

Perhitungan debit banjir dengan metode rasional memerlukan data intensitas

curah hujan. Intensitas curah hujan adalah ketinggian curah hujan yang terjadi

pada suatu kurun waktu di mana air tersebut terkonsentrasi (Loebis 1992).

Intensitas curah hujan dinotasikan dengan huruf I dengan satuan mm/jam. Durasi

adalah lamanya suatu kejadian hujan. Intensitas hujan yang tinggi pada umumnya

berlangsung dengan durasi pendek dan meliputi daerah yang tidak sangat luas.

Hujan yang meliputi daerah luas, jarang sekali dengan intensitas tinggi, tetapi

dapat berlangsung dengan durasi cukup panjang. Kombinasi dari intensitas hujan

yang tinggi dengan durasi panjang jarang terjadi, tetapi apabila terjadi berarti

sejumlah besar volume air bagaikan ditumpahkan dari langit.

Sri Harto (1993) menyebutkan bahwa analisis IDF memerlukan analisis

frekuensi dengan menggunakan seri data yang diperoleh dari rekaman data hujan.

Jika tidak tersedia waktu untuk mengamati besarnya intensitas hujan atau

disebabkan oleh karena alatnya tidak ada, dapat ditempuh cara-cara empiris

dengan mempergunakan rumus-rumus eksperimental seperti rumus Talbot,

Mononobe, Sherman dan Ishigura (Suyono dan Takeda 1993).

Intensitas hujan adalah volume rata-rata curah hujan yang terjadi

selamasatu unit waktu (mm/jam). Intensitas hujan juga bisa diekspresikan sebagai

5

Page 6: Debit Metode Rasional

intensitas sesaat atau intensitas rata-rata selama kejadian hujan. Intensitas rata-rata

curah hujan secara umum dirumuskan sebagai berikut :

………………………………………… (2)

Keterangan : i = intensitas hujan (mm/jam)P = jumlah hujan (mm)Td = lama hujan (jam)

Pada tulisan ini digunakan data hujan dari alat pencatat hujan otomatis

yang terpasang pada alat pencatat tinggi muka air (Automatic Water Level

Recorder (AWLR)) yang terpasang di outlet DAS Kertek.

Waktu konsentrasi (Tc) dapat dihitung berdasarkan persamaan Kirpich,

1940 dalam Chow, et. al, 1988 sebagai berikut.

Tc = 3,97*L0.77*S-0.385 …………….…………….. (3)

Keterangan :

Tc = waktu konsentrasi (jam);L = panjang sungai (km);S = landai sungai (m/m).

Luas DAS (A)

Wilayah Sub DAS Kertek ditentukan berdasarkan batas-batas tangkapan

hujan dalam peta topografi skala 1 : 50.000. Batas dari DAS ditentukan dengan

melihat garis batas DAS dan berdasarkan garis ketinggian dan arah aliran air.

Luas DAS dihitung melalui analisis SIG (sistem informasi geografis) dengan

menggunakan software ArcView GIS 3.3.

6

Page 7: Debit Metode Rasional

ANALISIS DATA

Analisis Koefisien Limpasan (runoff coeffisien)

Penggunaan lahan di Sub DAS Kertek disajikan pada Tabel 1. Sementara

itu peta kenampakan relief dan penggunaan lahan Sub DAS Kertek disajikan pada

Gambar 1 dan 2.

Tabel 1. Penggunaan Lahan Di DAS Kertek

No. Penggunaan LahanLuas

m2 %

1. Tembakau/Jagung 308.000 85,2

2. Teh 47.500 13,1

3. Jalan 6.200 1,7

Total 361.700 100,0

Perhitungan koefisien aliran permukaan dilakukan dengan

memperhitungkan proporsi luas penggunaan lahan, kelerengan dan periode ulang

serat jenis tanah. Diperkirakan untuk wilayah Sub DAS Kertek, kelerengan untuk

pertanian dibagi menjadi dua bagian yaitu curam dan sedang dan jenis tanah di

lokasi tersebut adalah liat dan lempung berdebu. Perhitungan koefisien aliran

permukaan adalah sebagai berikut :

C DAS = (%wilayah L. curam x ((C pertanian + C jenis tanah)/2)) + (%wilayah L. sedang x ((C pertanian + C jenis tanah)/2)) + (%wilayah jalan x C jalan)

Untuk T = 2 tahun

C DAS = (50% x ((0.39+0.70)/2)) + (48.3% x ((0.35+0.60)/2)) + (1.7% x 0.73)

= 0.51

Untuk T = 5 tahun

C DAS = (50% x ((0.42+0.70)/2)) + (48.3% x ((0.38+0.60)/2)) + (1.7% x 0.77)

= 0.53

7

Page 8: Debit Metode Rasional

Gambar 1. Kenampakan Relief Sub DAS Kertek

Gambar 2. Peta Penggunaan Lahan Di Sub DAS Kertek

8

Page 9: Debit Metode Rasional

Analisis Curah Hujan

Jumlah hujan di Sub DAS Kertek berkisar antara 2000 - 3000 mm pertahun,

dengan bulan - bulan kering terjadi sekitar 6 bulan yaitu dari Mei - Oktober. Pola

umum curah hujan bulanan di Sub DAS Kertek disajikan pada Gambar 3.

Sedangkan Grafik kurva IDF, disajikan pada Gambar 4.

0

100

200

300

400

500

600

Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des

bulan

CH

(m

m)

Gambar 3. Distribusi hujan bulanan di DAS Kertek (data tahun 2002)

0

10

20

30

40

50

60

70

80

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24

lama hujan (jam)

inte

nsi

tas

hu

jan

(m

m/ja

m)

T = 2 th

T = 5 th

Gambar 4. Kurva IDF Untuk Data Hujan Di AWLR DAS Kertek

9

Page 10: Debit Metode Rasional

Data hujan didapatkan dari alat pencatat hujan otomatis yang merekam

data intensitas hujan 6-menitan selama 6 tahun, yaitu dari tahun 2000-2005. Data

intensitas hujan 6-menitan tersebut dikonversi menjadi data intensitas hujan jam-

jam-an untuk membuat kurva IDF. Untuk keperluan perhitungan debit puncak

dengan menggunakan metode rasional, digunakan data intensitas hujan pada saat

terjadinya Tc. Perhitungan periode ulang (T) intensitas hujan dilakukan untuk T =

2 tahun dan T = 5 tahun dengan menggunakan fasilitas analisis frekuensi yang ada

di perangkat lunak Rainbow versi 1.1. Berdasarkan Gambar 4, diketahui bahwa

untuk waktu konsentrasi (Tc) 1.6 jam maka intensitas hujannya adalah 55 mm/1.6

jam untuk T= 2 tahun dan 62 mm/1.6 jam untuk T = 5 tahun, sehingga intensitas

hujan rata-rata untuk T = 2 tahun dan 5 tahun berturut-turut adalah 34.4 mm/jam

dan 38.8 mm/jam.

Analisis Peta Topografi

Sub DAS Kertek, merupakan DAS mikro yang terletak di Kabupaten

Wonosobo, Provinsi Jawa Tengah. DAS ini memiliki luasan 36.17 Ha, dengan

penggunaan lahan sebagian besar untuk pertanaman jagung dan tembakau.

Parameter fisik DAS Kertek adalah sebagai berikut (Kartiwa, 2004) :

- luas DAS Kertek (A) = 0.3617 km2.

- kemiringan sungai (S) = 10 m/m.

- panjang sungai (L) = 1.2 km.

Berdasarkan karakteristik fisik DAS, dapat dihitung nilai Tc sebagai berikut :

Tc = 3,97*L0.77*S-0.385

Tc = 3,97 x (1.2)0,77 x (10)-0,385

= 1.6 jam

= 0.07 hari.

10

Page 11: Debit Metode Rasional

Analisis Debit Banjir

Dengan menggunakan Metode Rasional didapatkan debit banjir (Q) seperti

disajikan pada Tabel 2 berikut ini.

Tabel 2. Debit Banjir Di Outlet DAS Kertek

No.Periode

Ulang (T) (Tahun)

Koefisen Runoff (C)

Intensitas hujan (I) (mm/jam)

Luas DAS (A) (km2)

Debit (m3/detik)

1. 2 0.51 34.4 0.3617 1.78

2. 5 0.53 38.8 0.3617 2.06

Berdasarkan hasil analisis debit 6 menitan yang terekam dari pada AWLR di

DAS Kertek untuk periode pengamatan selama 6 tahun, diketahui bahwa debit

maksimal terjadi pada kejadian hujan tanggal 25 November 2001 dari jam 12.00 –

24.00, dengan volume debit 2336 l/dt atau sama dengan 2.3 m3/dt (Gambar 5).

Fluktuasi debit sepanjang pengamatan episode hujan di tahun 2001 disajikan pada

Gambar 6. Nilai debit puncak tersebut lebih tinggi nilainya dibandingkan dengan

debit puncak yang dihasilkan dengan menggunakan metode rasional dengan T = 5

tahun.

0

500

1000

1500

2000

2500

11/25/2001

12:00

11/25/2001

13:12

11/25/2001

14:24

11/25/2001

15:36

11/25/2001

16:48

11/25/2001

18:00

11/25/2001

19:12

11/25/2001

20:24

11/25/2001

21:36

11/25/2001

22:48

11/26/2001

0:00

Waktu

0

5

10

15

20

25

30

Debit Total (l/dt)

Aliran dasar (l/dt)

Aliran permukaan (l/dt)

Intensitas hujan (mm/6-mnt)

Gambar 5. Fluktuasi Debit Pada Episode Hujan 25 November 2001

11

Page 12: Debit Metode Rasional

0.0

500.0

1000.0

1500.0

2000.0

2500.0

1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71

pengamatan ke

Deb

it

0.0

2.0

4.0

6.0

8.0

10.0

12.0

CH

Intesité max (mm/6min)

Q max (l/s)

Gambar 6. Fluktuasi Debit Di Episode Hujan Tahun Pengamatan 2001

Penyebab ketidaktepatan nilai prediksi debit tersebut dimungkinkan karena

sebagian besar wilayah DAS (85.2%) diusahakan untuk pertanaman tanaman

semusim (Jagung/Tembakau). Tanaman semusim memiliki fase-fase

pertumbuhan yang berbeda-beda untuk setiap musimnya sehingga akan

berpengaruh terhadap penutupan lahan. Pada awal musim, persentase penutupan

lahan lebih rendah dibandingkan pada saat pertumbuhan vegetatif maksimal yaitu

pada saat menjelang panen. Persentase penutupan lahan yang minim

menyebabkan energi kinetik hujan yang jatuh ke permukaan tanah tidak tereduksi

tajuk dengan baik, sehingga porsinya lebih kuat dan volumenya lebih besar

sehingga menyebabkan peluang terjadinya aliran permukaan lebih tinggi

dibandingkan jika penutupan tajuknya rapat (pada saat pertumbuhan vegetasi

maksimal) (Arsyad, 2006). Sementara itu Bulan November merupakan awal

musim hujan di wilayah Sub DAS Kertek dan merupakan awal musim tanam,

sehingga persentase penutupan lahan yang masih kecil dan curah hujan yang

memiliki intensitas tinggi menyebabkan meningkatnya kemungkinan terjadinya

volume aliran permukaan yang besar. Seperti terlihat pada Gambar 6,

peningkatan debit terbesar terjadi di awal musim tanam pertama (MT 1) dan

musim tanam ke dua (MT 2).

Untuk rancangan sistem drainase/pengairan disamping kita

memperhitungkan debit puncak dengan metode rasional, jika memungkinkan

perlu dipertimbangkan analisis frekuensi dari data debit hasil pengukuran apabila

data tersebut tersedia di DAS.

12

Page 13: Debit Metode Rasional

PEMBAHASAN

Siklus Hidrologi dan Aliran Permukaan

Daerah aliran sungai (DAS) merupakan suatu sistem hidrologi yang tersusun

oleh masukan, proses dan luaran. Proses yang terjadi di dalam suatu DAS akan

mengalihragamkan masukan yang berupa hujan menjad luaran yang berupa hasil

air (kualitas, kuantitas dan sedimen). Apabila proses yang terjadi di dalam DAS

masih berjalan dengan baik, maka fluktuasi aliran permukaan pada outlet DAS

mempunyai perbedaan yang relatif kecil dan kandungan sedimen, baik yang

melayang maupun di dasar sungai juga relatif kecil.

Proses yang terjadi di dalam DAS dipengaruhi oleh faktor hidrologi,

geomorfologi, geologi, topografi, klimatologi, tanah dan penggunaan lahan.

Faktor-faktor tersebut saling terkait satu sama lainnya dan penggunaan merupakan

faktor yang cepat berubah sesuai dengan perkembangan jumlah penduduk dan

tingkat sosial ekonomi masyarakat (Fakhrudin 2003).

Siklus hidrologi didefinisikan sebagai proses aliran air dalam rentang ruang

dan waktu yang luas dan panjang yang dipengaruhi oleh kekuatan gaya gravitasi

bumi dan energi matahari yang bersirkulasi melalui sistem lingkungan, baik yang

terjadi di atas permukaan tanah atau daratan maupun lautan (Chow 1988).

Adapun tahapannya adalah sebagai berikut : curah hujan merupakan masukan

dalam sistem lingkungan dan akan terurai menjadi tiga bagian, yaitu

evapotranspirasi, debit air dalam saluran dan air yang ada di tanah. Ketiga

komponen ini tergantung pada beberapa sub komponen. Evaporasi atau

penguapan total, yaitu penguapan dari tanah, salju, es, tumbuhan (vegetasi) dan

permukaan air bebas (danau. Waduk, sungai, lekukan dan lainnya), ditambah

dengan transpirasi, yaitu penguapan air oleh vegetasi, sehingga dengan demikian

evapotranspirasi sangat terkait dengan evaporasi (penguapan air yang tertahan di

dalam tanah) dan transpirasi. Evaporasi tergantung pada daerah air di permukaan

(luas danau, sungai, situ dan kepadatan sungai atau drainase) dan iklim mikro

yang ada di sekitarnya, yaitu temperatur, tekanan, kelembaban dan radiasi

matahari. Transpirasi sangat tergantng pada jenis vegetasi yang ada di daerah

13

Page 14: Debit Metode Rasional

tersebut. Setiap vegetasi memiliki indeks transpirasi yang menentukan seberapa

besar jumlah air yang kembali ke udara akibat menguap menjadi uap air oleh

vegetasi yang ada.

Debit dalam saluran merupakan kombinasi dari sub-sub komponen, yaitu

jenis dan tekstur tanah, lebar sungai atau saluran drainase, kepadatan sungai, dan

kemiringan lereng. Perubahan jumlah air dalam tanah ditentkan oleh faktor-

faktor, antara lain : peresapan (infiltrasi) yaitu pergerakan pergerakan air di atas

permukaan tanah, perkolasi yaitu gerakan air melalui atau di bawah tanah,

intersepsi, yaitu penambatan air hujan oleh tumbuhan penutup (canophy

vegetation). Intersepsi tergantung pada jenis vegetasi. Infiltrasi tergantung pada

penggunaan lahan, di mana setiap fungsi lahan mempunyai indeks penyerapan air

yang ada pada suatu catchment area. Sedangkan perkolasi tergantung pada

struktur geologi, permeabilitas jenis tanah dan kedalaman efektif tanah.

DAS (catchment area, basin, watershed) adalah daerah atau wilayah dengan

kemiringan lereng atau topografi bervariasi yang dibatasi oleh punggung-

punggung bukit atau gunung yang dapat menampung seluruh curah hujan

sepanjang tahun, di mana air terkumpul di sungai utama yang dialirkan terus ke

laut, sehingga merupakan suatu ekosistem kesatuan wilayah tata air. Oleh karena

itu daerah ini ditetapkan berdasarkan aliran air permukaannya dan bukan oleh air

di bawahnya (Harto 1993). Nama DAS diambil dari nama sungai yang

bersangkutan dan dibatasi oleh titik kontrol yang umumnya merupakan stasiun

hidrometri. Dalam suatu sistem DAS terjadi proses-proses hidrologi yang

sebenarnya adalah merubah besaran curah hujan (transformasi) sebagai masukan

pada sistem DAS menjadi debit limpasan yang terukur di sungai atau laut. Proses

hidrologi yang dimaksud antara lain adalah intersepsi, infiltrasi, perkolasi yang

pada intinya merupakan proses kehilangan air (losses atau abstraction), baik

karena tertampung pada lapisan tanah ataupun untuk diuapkan kembali.

Persamaan dasar hidrologi atau neraca air (water balance) adalah :

Inflow (I) = Outflow (O) ± S (Storage change)

Atau dengan kata lain, kapasitas hidrologi suatu DAS ditentukan oleh

berbagai faktor yang dapat digambarkan secara sederhana dengan persamaan

berikut (Harto 1993) :

14

Page 15: Debit Metode Rasional

Pt = Et + Q + S

Di mana :

Pt = curah hujan, salju dan kondensasi (untuk Indonesia hanya curah hujan saja.Et = evapotranspirasiQ = debit aliran saluranS = perubahan banyaknya air dalam tanah

Proses hidrologi yang terjadi pada suatu DAS, terbagi dalam tiga tahapan

yang saling berinteraksi, yaitu sebagai berikut (Fleming 1975 dalam Hardiana

1999).

1) Pada permukaan lahan (surface streamflow).

Pada fase ini, komponen-komponen yang saling berinteraksi serta

mempengaruhi kondisi hidrologi pada permukaan lahannya, yaitu :

o Intersepsi, yaitu pengaruh permukaan vegetasi dalam menahan air hujan

mulai dari daun hingga ke tanah melalui akar tanaman.

o Tampungan depresi (depression storage), yaitu cekungan-cekungan

tempat aliran limpasan (runoff) yang tertahan di permukaan tanah

sebelum sempat mencapai saluran drainase dan sungai, dan merupakan

bagian air yang hilang akibat proses infiltrasi.

o Infiltasi atau daya serap air ke dalam tanah beserta kapasitas (laju

infiltasi maksimum pada suatu jenis tanah tertentu) dan luas daerah

kedap air (daerah dengan infiltrasi nol).

o Limpasan aliran permukaan yang terjadi di daerah kedap air, baik untuk

kawasan pedesaan maupun perkotaan. Besarnya bervariasi dan

tergantung pada topografi (kemiringan dan profil penampang) serta

penggunaan lahan.

o Evapotranspirasi merupakan komponen yang paling penting

berhubungan dengan kehilangan air akibat penguapan (transformasi) air

yang terjadi di permukaan tanah beserta pengaruh penggunaan lahan

pada suatu DAS.

2) Di bawah permukaan lahan (groundwater flow).

Pada fase ini, komponen-komponen yang saling berinteraksi serta

mempengaruhi kondisi hidrologi lapisan bawah permukaannya, yaitu

tampungan kelembaban tanah, infiltrasi dan aliran permukaan.

15

Page 16: Debit Metode Rasional

3) Pada jaringan saluran.

Pada fase ini menunjukkan bagaimana pengaruh sistem jaringan saluran

yang ada, baik drainase alami (sungai) maupun yang buatan.

Dalam sistem suatu DAS terjadi proses interaksi antara faktor-faktor

meteorologis (cuaca dan iklim), hidrologi dan akyivitas manusia. Oleh karena itu,

perlu diperhatikan seberapa besar kemampuan DAS dalam mendukung

pengembangan suatu wilayah. Hal ini dapat ditentukan dengan cara melihat

kualitas DAS yang sebenarnya merupakan refleksi dari tanggapan DAS terhadap

perubahan kondisi hidrologisnya. Untuk dapat menilai tingkat kualitas suatu DAS

atau Sub DAS, maka dapat diukur dari dua faktor, yaitu tingkat erosi yang dialami

dan fluktuasi debit sungai atau aliran permukaan dalam beberapa kondisi curah

hujan yang berbeda.

Fungsi suatu DAS adalah sebagai penampung air hujan (presipitasi) serta

penyaluran aliran permukaan melalui sungi-sungai. Oleh karena itu, fungsinya

merupakan fungsi gabungan dari faktor-faktor vegetasi, topografi, geologi, tanah,

serta penggunaan lahan akibat aktivitas manusia. Apabila terjadi perubahan pada

suatu faktor, maka ekosistem DAS akan terpengaruh dan selanjutnya

menyebabkan gangguan pada fungsi DAS, misalnya besarnya curah hujan yang

dapat diserap berkurang, sistem tampungan alirannya menjadi longgar, penyaluran

aliran permukaan terhambat. Musim hujan dengan intensitas curah hujan yang

tinggi akan berakibat melimpahnya aliran permukaan dan terjadi sebaliknya pada

musim kemarau. Fluktuasi aliran debit antara dua musim yang tajam

mengindikasikan terganggunya fungsi DAS serta adanya degradasi kualitas DAS.

Besarnya fluktuasi debit aliran sebanding dengan tingginya tingkat erosi dan

keduanya sangat ditentukan dengan besarnya aliran permukaan (Hardiana 1999).

Aliran permukaan terjadi bila curah hujan melebihi laju infiltrasi tanah dan

tampungan permukaan tanah serta intersepsi. Semakin besar laju infiltrasi tanah,

maka aliran permukaan semakin kecil. Perubahan penggunaan lahan menurut US

SCS (1971) akan mengakibatkan perubahan terhadap kapasitas infiltrasi dan

tampungan permukaan (surface storage) atau gabungan antara keduanya, dan efek

selanjutnya adalah mempengaruhi aliran permukaan. Penurunan kapasitas

infiltrasi lebih berpengaruh terhadap volume aliran permukaan, sedangkan

16

Page 17: Debit Metode Rasional

tampungan permukaan lebih berpengaruh pada pelambatan (delay) aliran

permukaan untuk mengalir sampai outlet DAS.

Pengaruh Penggunaan Lahan Hutan Terhadap Debit Sungai

Pada lahan hutan, permukaan tanah sebagian besar dipenuhi dengan serasah

yang berfungsi menahan pukulan air hujan, memperlambat aliran permukaan dan

karena proses lebih lanjut dapat meningkatkan bahan organik tanah, sehingga

tanah lebih gembur, mikroorganisme tumbuh dengan subur. Semua itu akan

menambah kapasitas infiltrasi maupun permeabilitas tanah. Selain itu, akar

tumbuhan juga meningkatkan kapasitas infiltrasi maupun permeabilitas tanah.

Tumbuhan dengan berbagai jenis vegetasi dalam kondisi iklim tertentu,

sangat penting artinya dalam siklus hidrologi. Apabila terjadi proses alih fungsi

lahan pada hutan atau adanya pengembangan kawasan menjadi lahan pemukiman,

maka kondisi hidrologi yang ada umumnya berubah dengan drastis. Hal ini

disebabkan dampak pembangunan berupa pembukaan hutan (land clearing) yang

bertujuan meratakan tanah dengan menggunakan peralatan berat dapat membuat

lapisan tanah yang subur hilang, sehingga mempengaruhi sifat fisik tanah. Selain

itu juga dapar merusak struktur dan tekstur tanah, memperbesar jumlah dan

kecepatan aliran permukaan akibat daya serap (infiltrasi) berkurang atau

terhambat, sehingga dapat terjadi erosi.

Dari uraian di atas dapat terlihat peran dan fungsi lahan hutan yang sangat

besar dalam meperkecil aliran permukaan, sehingga debit maksimum akan dapat

diperkecil. Sedangkan sisi lain tampungan air tanah akan lebih banyak untuk

dapat menjaga ketersediaan jumlah aliran air tanah sepanjang tahun.

Pengaruh Penggunaan Lahan Pertanian Terhadap Debit Sungai

Hutan merupakan salah satu sistem penggunaan lahan, berupa aneka

pepohonan dan semak sehingga membentuk tajuk berlapis. Hutan yang demikian

mampu mempertahankan tanah dari proses kerusakan akibat erosi. Penggunaan

lahan untuk pepohonan yang sejenis seringkali juga disebut hutan, misalnya hutan

tanaman industri, hutan pinus, hutan jati, dan hutan mahoni. Namun penggunaan

lahan untuk pepohonan tanaman industri (kopi, karet, teh, kakao, sawit) tidak

disebut hutan melainkan kebun. Kebun tanaman industri yang komposisinya

17

Page 18: Debit Metode Rasional

lebih dari satu species dan dibiarkan sehingga tumbuh semak dan aneka tanaman

bawah (understorey) kelihatannya mirip hutan dinamakan sistem agroforestri.

Beberapa tahun terakhir terjadi penebangan pepohonan besar-besaran dan

serentak di hutan maupun di perkebunan baik secara legal maupun ilegal

(penjarahan). Penebangan pohon serentak secara legal atau ilegal, akibatnya sama

saja yaitu terbukanya permukaan tanah pada saat yang sama. Pada musim

kemarau terik sinar matahari mengenai permukaan tanah secara langsung,

akibatnya terjadi percepatan proses-proses reaksi kimia dan biologi, salah satunya

adalah penguraian bahan organik tanah (dekomposisi). Sebaliknya, air hujan yang

jatuh selama musim penghujan tidak ada yang menghalangi sehingga memukul

tanah secara langsung, berakibat pada pecahnya agregat tanah, meningkatnya

aliran air di permukaan dan sekaligus mengangkut partikel tanah dan bahan-bahan

lain termasuk bahan organik (erosi).

Penghutanan kembali diyakini dapat menghambat proses degradasi lahan,

namun tidak semua lahan dapat dihutankan kembali karena adanya desakan

kebutuhan manusia. Penanaman lahan terbuka dengan pepohonan non-kayu

seperti buah-buahan dan tanaman industri (misalnya kopi, karet, kakao, dsb)

diharapkan dapat menahan degradasi lahan yang sudah terbuka itu. Pertumbuhan

pepohonan biasanya amat lambat untuk bisa menutupi tanah secara penuh dan

mengembalikan bahan organik yang hilang. Ada periode di mana tanah masih

tetap terbuka walaupun sudah ditanami dengan pepohonan pada tahun-tahun awal.

Urbanisasi yang terjadi di negara-negara berkembang, seperti indonesia pada

umumnya merubah penggunaan lahan dari lahan pertanian menjadi lahan

pemukiman, dari lahan hutan menjadi lahan pertanian atau dengan kata lain dari

lahan yang mempunyai fungsi resapan air hujan tinggi menjadi lahan resapan

rendah. Menurut Leopold (1968) pada prinsipnya pengaruh perubahan

penggunaan lahan terhadap aliran permukaan diklasifikasikan menjadi empat,

yaitu : 1) perubahan karakteristik puncak aliran, 2) perubahan volume limpasan,

3) perubahan kualitas air, dan 4) perubahan atau pemunculan aliran air.

Pengaruh Penggunaan Lahan Pemukiman Terhadap Debit Sungai

Hardiana (1999) mengemukakan bahwa dampak penggunaan lahan

pemukiman terhadap aliran permukaan walaupun tidak langsung dirasakan,

18

Page 19: Debit Metode Rasional

namun yang akan menjadi masalah adalah terjadinya perubahan fungsi lahan dan

luas lahan yang berubah. Adanya pembangunan pemukiman dan perumahan, baik

berupa bangunan, gedung, jalan dan prasarana lainnya menyebabkan perubahan

penutupan tanah (building coverage) yang mengakibatkan bertambahnya daerah

kedap air, sehingga daerah yang terbuka menjadi berkurang yang akan berakibat

mengurangi daya serap (infiltrasi) tanah dan kapasitasnya. Sealin itu, penutupan

permukaan juga mempengaruhi perubahan porositas dan permeabilitas tanah

(tampungan air), sehingga menyebabkan kecepatan perembesan air ke dalam

lapisan tanah berkurang yang berakibat air permukaan menjadi tergenang.

Apabila terjadi curah hujan yang cukup besar intensiotasnya, maka dapat

menyebabkan banjir setiap tahunnya. Genangan air permukaan pun selanjutnya

dapat merusak sifat fisik tanah.

19

Page 20: Debit Metode Rasional

KESIMPULAN

Berdasarkan analisis koefisien aliran permukaan, intensitas hujan dan luas

wilayah Sub DAS Kertek, serta debit banjir yang terjadi, maka dapat ditarik

kesimpulan sebagai berikut :

1. Metode rasional dapat digunakan untuk menghitung debit puncak yang akan

digunakan untuk rancangan sistem pengairan. Untuk memprediksi debit

puncak dengan menggunakan metode rasional komponen yang harus

dipertimbangkan adalah :

a) Intensitas hujan pada periode ulang tertentu yang terjadi pada waktu

konsentrasi DAS.

b) Koefisien aliran permukaan, dengan mempertimbangkan proporsi luas

wilayah dari jenis tutupan lahan, kelerengan dan jenis tanah

2. Faktor dinamika dari penutupan lahan terutama untuk tanaman-tanaman

semusim sebaiknya juga dipertimbangkan untuk mempertajam ketepatan

prediksi dan mengakomodasi nilai debit maksimal pada saat persentase

penutupan lahan minimal.

3. Jika memungkinkan, sebaiknya digunakan pula data debit aktual time series

untuk analisis frekuensi. Sehingga prediksi debit puncak melalui metode

rasional dan analisis frekuensi debit bisa dibandingkan untuk mendapatkan

rancangan yang tepat.

20

Page 21: Debit Metode Rasional

DAFTAR PUSTAKA

Arsyad S. 2006. Konservasi Tanah dan Air. Bogor : IPB Press.

Asdak C. 2004. “Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai”. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.

Chow VT, Maidment DR, and Mays LW. 1988. Applied Hydrology. New York: McGraw-Hill.

Fakhrudin M. 2003. Kajian Respon Hidrologi Akibat Perubahan Penggunaan Lahan DAS Ciliwung denga Model Sedimot II. Bogor : Tesis Pascasarjana IPB.

Haan CT 1979. Statistical Methods in Hydrology. Iowa : The Iowa State University Press, Ames.

Hardiana D. 1999. Simulasi Dampak Perubahan Tata Guna Lahan Terhadap Perubahan Limpasan Air Permukaan Sub DAS Cipamingkis di Kawasan Jonggol. Bandung : Skeripsi ITB.

Harto SB. 1993. Analisis Hidrologi. Jakarta : PT Gramedia.

Harto SB. 2000. Hidrologi Teori Masalah Penyelesaian. Yogyakarta : Nafiri Offset.

Kartiwa, B. 2004. Modelisation du fonctionnement hydrologique des basins versants, application sur des bassins versants de Java et Sumatra. France : These de doctorat. Universite d’Angers.

Kodoatie RJ, Sjarief R. 2005. Pengelolaan Sumberdaya Air Terpadu. Yogyakarta : Andi.

Leopold LB. 1968. Hydrology for Urban Land Planning. Washington DC : Government Printing Office.

Loebis J. 1992. Banjir Rencana Untuk Bangunan Air. Jakarta : Departemen Pekerjaan Umum.

Martha WJ, Adidarma WK. 1982. Mengenal Dasar-Dasar Hidrologi. Bandung : Nova.

Seyhan E. 1990. Dasar-Dasar Hidrologi. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.

Soemarto CD. 1987. Hidrologi Teknik. Surabaya : Usaha Nasional.

Sosrodarsono S, dan Takeda. 1999. Hidrologi untuk Pengairan. Jakarta : PT. Pradnya Paramita.

Wanielista MP. 1990. Hydrology and Water Quality Control. Florida-USA : John Wiley & Sons.

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan. Jakarta.

Unitet State Soil Conservation Service. 1971. Hydrology. Washington DC : National Engineering Handbook.

21

Page 22: Debit Metode Rasional

LAMPIRAN

Tabel 1. Koefisien limpasan (C) untuk Metoda Rasional 1)

Karakter PermukaanPeriode Ulang (tahun)

2 5 10 25 50 100 500

Daerah telah berkembang :

Aspal

Beton/atap

Rerumputan (taman) :

Kondisi Jelek (penutupan < 50%):

- Datar (0-2%)

- Sedang (2-7%)

- Curam (>7%)

Kondisi Sedang (penutupan 50-70%):

- Datar

- Sedang

- Curam

Kondisi baik (penutupan > 70%):

- Datar

- Sedang

- Curam

0.73

0.75

0.32

0.37

0.40

0.25

0.33

0.37

0.21

0.29

0.34

0.77

0.80

0.34

0.40

0.43

0.28

0.36

0.40

0.23

0.32

0.37

0.81

0.83

0.37

0.43

0.45

0.30

0.38

0.42

0.25

0.35

0.40

0.86

0.88

0.40

0.46

0.49

0.34

0.42

0.46

0.29

0.39

0.44

0.90

0.92

0.44

0.49

0.52

0.37

0.45

0.49

0.32

0.42

0.47

0.95

0.97

0.47

0.53

0.55

0.41

0.49

0.53

0.36

0.46

0.51

1.00

1.00

0.58

0.61

0.62

0.53

0.58

0.60

0.49

0.56

0.58

Daerah Belum berkembang:

Lahan diusahakan pertanian:

- Datar

- Sedang

- Curam

Penggembalaan :

- Datar

- Sedang

- Curam

Hutan:

- Datar

- Sedang

- Curam

0.31

0.35

0.39

0.25

0.33

0.37

0.22

0.31

0.35

0.34

0.38

0.42

0.28

0.36

0.40

0.25

0.34

0.39

0.36

0.41

0.44

0.30

0.38

0.42

0.28

0.36

0.41

0.40

0.44

0.48

0.34

0.42

0.46

0.31

0.40

0.45

0.43

0.48

0.51

0.37

0.45

0.49

0.35

0.43

0.48

0.47

0.51

0.54

0.41

0.49

0.53

0.39

0.47

0.52

0.57

0.60

0.61

0.53

0.58

0.60

0.48

0.56

0.58

1) Digunakan sebagai standard di Austin, Texas, USA.Sumber : Ven Te Chow; D.R. Maidment; L.W. Mays (1988). Applied Hydrology. Mc Graw Hill, Singapore

22

Page 23: Debit Metode Rasional

Tabel 2. Koefisien runoff untuk metoda Rasional

Tipe Areal Koefisien C

Areal bisnis:

- Downtown 0.70 - 0.95

- Neighborhood 0.50 - 0.70

Perumahan (residential) :

- Single family 0.30 - 0.50

- Multiunits, detached 0.40 - 0.60

- Multiunits, attached 0.60 - 0.75

Residential (suburban) 0.50 - 0.70

Apartment : 0.50 - 0.70

Daerah Industri :

- Industri Ringan 0.50 - 0.70

- Industri Berat 0.60 - 0.90

Taman (parks), kuburan (cemetries) 0.10 - 0.25

Taman bermain (playgrounds) 0.20 - 0.35

Railroad yard 0.20 - 0.35

Unimproved 0.10 - 0.30

Pavement:

- Asphal atau concrete 0.70 - 0.95

- Pasangan bata (bricks) 0.70 - 0.85

Atap rumah (Roofs):

Lawns, tekstur tanah berpasir :

- Datar, 2% 0.05 - 0.10

- Medium 2-7% 0.10 - 0.20

- Curam > 7% 0.15 - 0.20

Lawns, tekstur tanah liat berat :

- Datar, 2% 0.13 - 0.17

- Medium 2-7% 0.18 - 0.22

- Curam > 7% 0.25 - 0.35

Kerikil lintasan kendaraan dan pejalan kaki 0.15 - 0.30Sumber: ASCE and WPCF (1969)

23

Page 24: Debit Metode Rasional

Tabel 3. Koefisien limpasan C untuk metoda Rasional berdasarkan lereng, tanaman penutup tanah dan tekstur tanah.

Lereng (%)Lempung berpasir

(sandy loam)

Liat dan debu berlempung(clay and silt

loam)

Liat berat(tight clay)

HUTAN0 - 55 - 10

10 – 30

0.100.250.30

0.300.350.50

0.400.500.60

Padang Rumput0 - 55 - 10

10 – 20

0.100.150.20

0.300.350.40

0.400.550.60

Lahan Pertanian (Arable land)

0 - 55 - 10

10 – 20

0.300.400.50

0.500.600.70

0.600.700.80

Sumber :Schwab, Frevert and Barnes (1966), Soil and Water Conservation Engineering, Wiley, New York.

24