dbd

47
17 BABII TINJAUAN PUSTAKA A. Definisi Demam dengue ( DD ) dan Demam berdarah dengue ( DBD ) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh arthropodborne viruses ( virus dengue ) golongan flavivirus dengan manifestasi klinis demam, nyeri otot dan / atau nyeri sendi yang disertai dengan leukopenia, ruam kulit, limfadenopati, trombositopenia dan diathesis hemoragik. Dengue hemorrhagic fever adalah demam dengue dengan kondisi hemoragik seperti trombositopenia, hemokonsentrasi ( peningkatan hematokrit ) dan dalam beberapa kasus – kasus yang parah, protein-losing shock syndrome (dengue shock syndrome). Kondisi ini dipercaya memiliki hubungan basis imunopatologis (Halstead, 2011;Dorland, 2012) B. Epidemiologi Demam dengue (DD) dan demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue. Kasus DBD di Indonesia pertama kali terjadi di Surabaya pada tahun 1968, tetapi konfirmasi virologi baru diperoleh pada tahun 1970. Sampai saat ini, infeksi virus Dengue tetap menjadi masalah kesehatan di Indonesia. Indonesia dimasukkan dalam kategori “A” dalam stratifikasi DBD oleh World Health Organization (WHO) 2001

Upload: janamuhamad23

Post on 15-Dec-2015

22 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

case

TRANSCRIPT

17

BABII

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Demam dengue ( DD ) dan Demam berdarah dengue ( DBD ) adalah penyakit infeksi yang

disebabkan oleh arthropodborne viruses ( virus dengue ) golongan flavivirus dengan

manifestasi klinis demam, nyeri otot dan / atau nyeri sendi yang disertai dengan leukopenia,

ruam kulit, limfadenopati, trombositopenia dan diathesis hemoragik. Dengue hemorrhagic

fever adalah demam dengue dengan kondisi hemoragik seperti trombositopenia,

hemokonsentrasi ( peningkatan hematokrit ) dan dalam beberapa kasus – kasus yang parah ,

protein-losing shock syndrome (dengue shock syndrome). Kondisi ini dipercaya memiliki

hubungan basis imunopatologis (Halstead, 2011;Dorland, 2012)

B. Epidemiologi

Demam dengue (DD) dan demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit infeksi yang

disebabkan oleh virus dengue. Kasus DBD di Indonesia pertama kali terjadi di Surabaya pada

tahun 1968, tetapi konfirmasi virologi baru diperoleh pada tahun 1970. Sampai saat ini,

infeksi virus Dengue tetap menjadi masalah kesehatan di Indonesia. Indonesia dimasukkan

dalam kategori “A” dalam stratifikasi DBD oleh World Health Organization (WHO) 2001

yang mengindikasikan tingginya angka perawatan rumah sakit dan kematian akibat DBD,

khususnya pada anak. Data Departemen Kesehatan RI menunjukkan pada tahun 2006

(dibandingkan tahun 2005) terdapat peningkatan jumlah penduduk, provinsi dan kecamatan

yang terjangkit penyakit ini, dengan case fatality rate sebesar 1,01% (2007)

18

Gambar 1. Provinsi tertinggi angka insidensi DBD per 100.000 penduduk di Indonesia

tahun 2005 - 2009

Gambar 2. Persentase kasus DBD berdasarkan kelompok umur tahun 1993 - 2009

19

C. Etiologi

DD dan DBD disebabkan oleh infeksi virus dengue yang termasuk group B arthropod borne

virus ( arbovirus ) yang dikenal dengan genus flavivirus, famili Flaviviridae. Genus ini

mempunyai 4 serotipe yaitu DEN - 1, DEN - 2, DEN - 3, dan DEN - 4. Virus dengue serotipe

DEN - 3 merupakan serotipe yang dominan di Indonesia dan paling banyak berhubungan

dengan kasus berat. Infeksi dengan salah satu serotype akan menimbulkan antibody seumur

hidup terhadap serotype yang bersangkutan tetapi tidak pada serotype yang lainnya. ( IDAI,

2010 )

Gambar 3. Transmisi dari virus dengue ( DENV ) ( WHO, 1997 )

Ada berbagai faktor yang mempengaruhi, salah satunya faktor kependudukan berpengaruh

pada peningkatan dan penyebaran kasus DBD, antara lain:

1. Pertumbuhan penduduk yang tinggi,

2. Urbanisasi yang tidak terencana dan tidak terkendali,

3. Tidak efektifnya kontrol vektor nyamuk yang efektif di daerah endemis, dan

4. Peningkatan sarana transportasi.4

20

D. Patofisiologi

Setelah virus dengue masuk ke dalam tubuh, pasien akan mengalami keluhan dan gejala

karena viremia, seperti demam, sakit kepala, mual, nyeri otot, pegal seluruh badan, hiperemia

di tenggorok, timbulnya ruam dan kelainan yang mungkin terjadi pada sistem

retikuloendotelial seperti pembesaran kelenjar– kelenjar getah bening, hati dan limpa. Ruam

pada DD disebabkan oleh kongesti pembuluh darah dibawah kulit.

Fenomena patofisiologi utama yang menentukan berat penyakit dan membedakan DD

dengan DHF ialah peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah, penurunan volume

plasma, terjadinya hipotensi, trombositopenia, serta diathesis hemoragik. Peningkatan

permeabilitas terjadi karena pelepasan zat anafilatoksin, histamin dan serotonin serta aktivasi

system kalikrein yang berakibat ekstravasasi cairan intravascular dimana hal ini terjadi dari

permulaan masa demam dan mencapai puncaknya pada masa syok. Hal ini mengakibatkan

berkurangnya volume plasma, terjadi hipotensi, hemokonsentrasi ( peningkatan hematokrit ),

hipoproteinemia, efusi pleura dan renjatan. Pada pasien dengan renjatan berat, volume

plasma dapat menurun sampai lebih dari 30%. Adanya kebocoran plasma ke daerah

ektravaskular dibuktikan dengan ditemukannya cairan dalam rongga serosa yaitu rongga

peritoneum, pleura dan perikard. Renjatan hipovolemik yang terjadi sebagai akibat

kehilangan plasma, bila tidak segera diatasi dapat berakibat anoksia jaringan, asidosis

metabolik dan kematian.

21

Gambar 4. Patofisiologi infeksi dengue

Perdarahan pada DHF umumnya dihubungkan dengan trombositopenia, gangguan fungsi

trombosit dan kelainan sistem koagulasi. Trombosit itu biasanya menurun mulai pada masa

demam dan mencapai nilai terendah pada masa syok. Jumlah trombosit akan secara cepat

meningkat pada masa konvalensens dan nilai normalnya biasanya tercapai 7 – 10 hari sejak

22

permulaan sakit. Trombositopenia yang dihubungkan dengan meningkatnya megakariosit

muda dalam sumsum tulang dan pendeknya masa hidup trombosit menimbulkan dugaan

meningkatnya destruksi trombosit dalam sistem retikuloendotelial.. Fungsi agregasi

trombosit menurun mungkin disebabkan proses imunologis dengan terdapatnya sistem

koagulasi disebabkan diantaranya oleh kerusakan hati yang fungsinya memang terganggu

oleh aktivitasi sistem koagulasi.

Kelainan sistem koagulasi dapat terjadi pada perdarahan pada DBD. Masa perdarahan akan

memanjang, masa pembekuan normal, masa tromboplastin parsial yang teraktivasi

memanjang. Beberapa faktor pembekuan menurun, termasuk faktor II, V, VII, VIII, X dan

fibrinogen yang juga terjadi akibat konsumsi system fibrinolisis. Kelainan fibrinolisis ini

dapat ditandai dengan penurunan aktifitas α – 2 plasmin inhibitor dan penurunan aktivitas

plasminogen. DIC secara potensial dapat juga terjadi pada pasien DHF tanpa renjatan. Pada

awal DHF pernah DIC tidak menonjol dibanding dengan perembesan plasma, tetapi bila

penyakit memburuk dengan terjadinya asidosis dan renjatan, maka akan memperberat DIC

sehingga perannya akan menonjol.

Selain hal tersebut dapat pula terjadi penurunan kadar C3¸C3 proaktivvator, C4, dan C5 baik

pada kasus yang disertai syok maupun tidak. Penurunan ini menimbulkan perkiraan bahwa

pada dengue, aktivasi komplemen terjadi baik melalui jalur klasik maupun jalur alternatif.

Aktivasi komplemen ini menghasilkan anafilaktosin C3a dan C3b yang mempunyai

kemampuan untuk menstimulasi sel mast untuk melepaskan histamin yang mengakibatkan

terjadinya peningkatan permeabilitas kapiler, pengurangan volume plasma, dan syok

hipovolemik.

E. Patogenesis

Gigitan nyamuk Aedes menyebabkan infeksi di sel langerhans di epidermis dan keratinosit.

Kemudian menginfeksi sel - sel lainnya seperti monosit, sel dendritik, makrofrag, sel

endotelial dan hepatosit. Monosit dan sel dendritik yang terinfeksi memproduksi banyak

sitokin proinflammatori dan kemokin yang selanjutnya mengaktivasi sel T yang diperkirakan

menyebabkan disfungsi endotelial. Disfungsi endotelial menyebabkan peningkatkan

23

permeabilitas pembuluh yang kemudian menyebabkan perembesan cairan di pleura, rongga

peritonium, dan syok. Sel endotelial juga dirangsang untuk menimbulkan respons imun yang

mengakibatkan permeabilitas vaskular meningkat (Malavige & Ogg, 2012). Menurut IDAI

(2012), patogenesis DHF belum jelas namun terdapat hipotesis yang mendukung seperti

heterologous infection hypothesis atau the sequential infection hypothesis yang menyatakan

bahwa DBD dapat terjadi apabila seseorang setelah terinfeksi virus dengue pertama kali

mendapatkan infeksi kedua dengan virus dengue serotipe lain dalam jarak waktu 6 bulan

sampai 5 tahun (IDAI, 2012).

Gambar 5. Hipotesis Secondary heterologous dengue infection

Pada teori the immunological enhacement hypothesis didapatkan terdapat pembentukan

antibodi yang terbentuk akibat infeksi dengue terdiri dari IgG yang berfungsi menghambat

peningkatan replikasi virus dalam monosit, yaitu enhancing – antibody dan neutralizing

antibody. Ada 2 tipe antibodi yang dikenal yaitu (1) kelompok monoclonal reaktif yang tidak

mempunyai sifat menetralisasi tetapi memacu replikasi virus, dan (2) antibody yang dapat

menetralisasi secara spesifik tanpa disertai daya memacu replikasi virus. Hal ini tergantung

24

pada adanya virion determinant specifity. Antibodi non – neutralisasi dibentuk pada infeksi

primer yang nantinya akan mengakibatkan terbentuknya kompleks imun terhadap infeksi

sekunder dengan akibat memacu replikasi virus. Dasar hipotesis ini adalah meningkatnya

reaksi imunologis ( the immunological enhancement hypothesis ) yang berlangsung sebagai

berikut :

a. Sel fagosit mononuklear yaitu monosit, makrofag, histiosit dan sel Kupffer merupakan

tempat utama terjadinya infeksi virus dengue primer.

b. Non – neutralizing antibody bertindak sebagai reseptor spesifik untuk melekatnya virus

dengue pada permukaan sel fagosit mononuklear. Dan mekanisme ini disebut mekanisme

aferen.

c. Virus dengue kemudian akan bereplikasi dalam sel fagosit mononuklear yang telah

terinfeksi

d. Sel monosit yang mengandung kompleks imun akan menyebar ke usus, hati, limpa dan

sumsum tulang. Mekanisme ini disebut mekanisme eferen. Parameter perbedaan

terjadinya DBD dengan dan tanpa renjatan ialah jumlah yang terkena infeksi.

e. Sel monosit yang telah teraktivasi mengadakan interaksi dengan system humoral dan

system komplemen dengan akibat dilepaskannya mediator yang mempengaruhi

permeabilitas kapiler dan mengaktivasi system koagulasi. Mekanisme ini disebut

mekanisme efektor.

Selain hal tersebut, limfosit T juga memegang peranan penting dalam pathogenesis DBD.

Akibat rangsang monosit yang terinfeksi virus dengue atau antigen virus dengue, limfosit

dapat mengeluarkan interferon ( IFN α dan γ ). Pada infeksi sekunder oleh virus dengue

( serotype berbeda dengan infeksi pertama ), limfosit T CD4+ berproliferasi dan

menghasilkan IFN-α yang selanjutnya merangsang sel yang terinfeksi dan mengakibatkan

monosit memproduksi mediator. Oleh karena T CD4+ dan CD8+ spesifik virus dengue,

monosit akan mengalami lisis dan mengeluarkan mediator yang menyebabkan kebocoran

plasma dan perdarahan. Dengan konsep dasar dari hipotesis ini adalah keempat serotype

virus mempunyai potensi pathogen yang sama dan gejala berat terjadi sebagai akibat serotype

virus dengue yang paling virulen.

25

F. Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis menurut kriteria diagnosis WHO 2011, infeksi dengue dapat terjadi

asimtomatik dan simtomatik. Infeksi dengue simtomatik terbagi menjadi undifferentiated

fever (sindrom infeksi virus) dan demam dengue (DD) sebagai infeksi dengue ringan;

sedangkan infeksi dengue berat terdiri dari demam berdarah dengue (DBD) dan expanded

dengue syndrome atau isolated organopathy. Perembesan plasma sebagai akibat plasma

leakage merupakan tanda patognomonik DBD, sedangkan kelainan organ lain serta

manifestasi yang tidak lazim dikelompokkan ke dalam expanded dengue syndrome atau

isolated organopathy. Secara klinis, DD dapat disertai dengan perdarahan atau tidak;

sedangkan DBD dapat disertai syok atau tidak (Gambar 1).

Perjalanan Penyakit Infeksi Dengue

Dalam perjalanan penyakit infeksi dengue, terdapat tiga fase perjalanan infeksi dengue, yaitu

1. Fase demam: viremia menyebabkan demam tinggi

2. Fase kritis / perembesan plasma: onset mendadak adanya perembesan plasma dengan

derajat bervariasi pada efusi pleura dan asites

3. Fase recovery / penyembuhan / convalescence : perembesan plasma mendadak berhenti

disertai reabsorpsi cairan dan ekstravasasi plasma.

26

Gambar 6. Perjalanan penyakit demam Dengue

1. Undifferentiated fever (sindrom infeksi virus)

Pada undifferentiated fever, demam sederhana yang tidak dapat dibedakan dengan

penyebab virus lain. Demam disertai kemerahan berupa makulopapular, timbul saat

demam reda. Gejala dari saluran pernapasan dan saluran cerna sering dijumpai.

2. Demam dengue (DD)

Anamnesis: demam mendadak tinggi, disertai nyeri kepala, nyeri otot & sendi/tulang,

nyeri retro-orbital, photophobia, nyeri pada punggung, facial flushed, lesu, tidak mau

makan, konstipasi, nyeri perut, nyeri tenggorok, dan depresi umum.

Pemeriksaan fisik

Demam: 39-40°C, berakhir 5-7 hari

Pada hari sakit ke 1-3 tampak flushing pada muka (muka kemerahan), leher, dan dada

27

Pada hari sakit ke 3-4 timbul ruam kulit makulopapular/rubeolliform

Mendekati akhir dari fase demam dijumpai petekie pada kaki bagian dorsal, lengan

atas, dan tangan

Convalescent rash, berupa petekie mengelilingi daerah yang pucat pada kulit yg

normal, dapat disertai rasa gatal

Manifestasi perdarahan

o Uji bendung positif dan/atau petekie

o Mimisan hebat, menstruasi yang lebih banyak, perdarahan saluran cerna (jarang

terjadi, dapat terjadi pada DD dengan trombositopenia)

3. Demam berdarah dengue

Terdapat tiga fase dalam perjalanan penyakit, meliputi fase demam, kritis, dan masa

penyembuhan (convalescence, recovery)

Fase demam

Anamnesis

Demam tinggi, 2-7 hari, dapat mencapai 40°C, serta terjadi kejang demam. Dijumpai

facial flush, muntah, nyeri kepala, nyeri otot dan sendi, nyeri tenggorok dengan faring

hiperemis, nyeri di bawah lengkung iga kanan, dan nyeri perut.

Pemeriksaan fisik

Manifestasi perdarahan

Uji bendung positif (≥10 petekie/inch2) merupakan manifestasi perdarahan yang

paling banyak pada fase demam awal.

Mudah lebam dan berdarah pada daerah tusukan untuk jalur vena.

Petekie pada ekstremitas, ketiak, muka, palatum lunak.

Epistaksis, perdarahan gusi

Perdarahan saluran cerna

Hematuria (jarang)

Menorrhagia

28

Hepatomegali teraba 2-4 cm di bawah arcus costae kanan dan kelainan fungsi hati

(transaminase) lebih sering ditemukan pada DBD.

Berbeda dengan DD, pada DBD terdapat hemostasis yang tidak normal, perembesan

plasma (khususnya pada rongga pleura dan rongga peritoneal), hipovolemia, dan

syok, karena terjadi peningkatan permeabilitas kapiler. Perembesan plasma yang

mengakibatkan ekstravasasi cairan ke dalam rongga pleura dan rongga peritoneal

terjadi selama 24-48 jam.

Fase kritis

Fase kritis terjadi pada saat perembesan plasma yang berawal pada masa transisi dari

saat demam ke bebas demam (disebut fase time of fever defervescence) ditandai

dengan,

Peningkatan hematokrit 10%-20% di atas nilai dasar

Tanda perembesan plasma seperti efusi pleura dan asites, edema pada dinding

kandung empedu. Foto dada (dengan posisi right lateral decubitus = RLD) dan

ultrasonografi dapat mendeteksi perembesan plasma tersebut.

Terjadi penurunan kadar albumin >0.5g/dL dari nilai dasar / <3.5 g% yang

merupakan bukti tidak langsung dari tanda perembesan plasma .

Tanda-tanda syok: anak gelisah sampai terjadi penurunan kesadaran, sianosis, nafas

cepat, nadi teraba lembut sampai tidak teraba. Hipotensi, tekanan nadi ≤20 mmHg,

dengan peningkatan tekanan diastolik. Akral dingin, capillary refill time memanjang

(>3 detik). Diuresis menurun (< 1ml/kg berat badan/jam), sampai anuria. Komplikasi

berupa asidosis metabolik, hipoksia, ketidakseimbangan elektrolit, kegagalan multipel

organ, dan perdarahan hebat apabila syok tidak dapat segera diatasi.

Fase penyembuhan (convalescence, recovery)

Fase penyembuhan ditandai dengan diuresis membaik dan nafsu makan kembali

merupakan indikasi untuk menghentikan cairan pengganti. Gejala umum dapat ditemukan

sinus bradikardia/ aritmia dan karakteristik confluent petechial rash seperti pada DD.

4. Expanded dengue syndrome

29

Manifestasi berat yang tidak umum terjadi meliputi organ seperti hati, ginjal, otak,dan

jantung. Kelainan organ tersebut berkaitan dengan infeksi penyerta, komorbiditas, atau

komplikasi dari syok yang berkepanjangan.

G. Diagnosa

Diagnosis DBD/DSS ditegakkan berdasarkan kriteria klinis dan laboratorium (WHO, 2011).

Kriteria klinis

Demam tinggi mendadak, tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus-menerus selama 2-7

hari

Manifestasi perdarahan, termasuk uji bendung positif, petekie, purpura, ekimosis,

epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis, dan/melena

Pembesaran hati

Syok, ditandai nadi cepat dan lemah serta penurunan tekanan nadi (≤20 mmHg),

hipotensi, kaki dan tangan dingin, kulit lembab, dan pasien tampak gelisah.

Kriteria laboratorium

Trombositopenia (≤100.000/mikroliter)

Hemokonsentrasi, dilihat dari peningkatan hematokrit 20% dari nilai dasar / menurut

standar umur dan jenis kelamin

Diagnosis DBD ditegakkan berdasarkan,

Dua kriteria klinis pertama ditambah trombositopenia dan hemokonsentrasi/ peningkatan

hematokrit > 20%.

Dijumpai hepatomegali sebelum terjadi perembesan plasma

Dijumpai tanda perembesan plasma

o Efusi pleura (foto toraks/ultrasonografi)

o Hipoalbuminemia

o Perhatian

30

Pada kasus syok, hematokrit yang tinggi dan trombositopenia yang jelas,

mendukung diagnosis DSS.

o Nilai LED rendah (<10mm/jam) saat syok membedakan DSS dari syok sepsis.

Gambar 7. Skema kriteria diagnosis infeksi dengue menurut WHO 2011 Sumber:World

Health Organization-South East Asia Regional Office. Comprehensive Guidelines for

Prevention and Control of Dengue and Dengue Hemorrhagic Fever. India: WHO;

2011dengan modifikasi.

31

Derajat DBD berdasarkan WHO 2011

H. Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan darah perifer, yaitu hemoglobin, leukosit, hitung jenis, hematokrit, dan

trombosit. Antigen NS1 dapat dideteksi pada hari ke-1 setelah demam dan akan menurun

sehingga tidak terdeteksi setelah hari sakit ke-5-6. Deteksi antigen virus ini dapat

digunakan untuk diagnosis awal menentukan adanya infeksi dengue, namun tidak dapat

membedakan penyakit DD/DBD.

2. Uji serologi IgM dan IgG anti dengue

Antibodi IgM anti dengue dapat dideteksi pada hari sakit ke-5 sakit, mencapai

puncaknya pada hari sakit ke 10-14, dan akan menurun/ menghilang pada akhir

minggu keempat sakit.

32

Antibodi IgG anti dengue pada infeksi primer dapat terdeteksi pada hari sakit ke-14.

dan menghilang setelah 6 bulan sampai 4 tahun. Sedangkan pada infeksi sekunder

IgG anti dengue akan terdeteksi pada hari sakit ke-2.

Rasio IgM/IgG digunakan untuk membedakan infeksi primer dari infeksi sekunder.

Apabila rasio IgM:IgG >1,2 menunjukkan infeksi primer namun apabila IgM:IgG

rasio <1,2 menunjukkan infeksi sekunder.

Pemeriksaan radiologis Pemeriksaan foto dada dalam posisi right lateral decubitus

dilakukan atas indikasi,

Distres pernafasan/ sesak

Dalam keadaan klinis ragu-ragu, namun perlu diingat bahwa terdapat kelainan

radiologis terjadi apabilapada perembesan plasma telah mencapai 20%-40%

Pemantauan klinis, sebagai pedoman pemberian cairan, dan untuk menilai edema

paru karena overload pemberian cairan.

Kelainan radiologi yang dapat terjadi: dilatasi pembuluh darah paru terutama daerah

hilus kanan, hemitoraks kanan lebih radioopak dibandingkan yang kiri, kubah

diafragma kanan lebih tinggi daripada kanan, dan efusi pleura.

Pada pemeriksaan ultrasonografi dijumpai efusi pleura, kelainan dinding vesika felea,

dan dinding buli-buli.

33

I. Komplikasi

1. Demam Dengue

Perdarahan dapat terjadi pada pasien dengan ulkus peptik, trombositopenia hebat, dan

trauma.

2. Demam Berdarah Dengue

Ensefalopati dengue dapat terjadi pada DBD dengan atau tanpa syok.

Kelainan ginjal akibat syok berkepanjangan dapat mengakibatkan gagal ginjal akut.

Edema paru dan/ atau gagal jantung seringkali terjadi akibat overloading pemberian

cairan pada masa perembesan plasma

Syok yang berkepanjangan mengakibatkan asidosis metabolik & perdarahan hebat

(DIC, kegagalan organ multipel)

Hipoglikemia / hiperglikemia, hiponatremia, hipokalsemia akibat syok

berkepanjangan dan terapi cairan yang tidak sesuai

J. Diagnosis banding

Selama fase akut penyakit, sulit untuk membedakan DBD dari demam dengue dan

penyakit virus lain yang ditemukan di daerah tropis. Maka untuk membedakan dengan

campak, rubela, demam chikungunya, leptospirosis, malaria, demam tifoid, perlu

ditanyakan gejala penyerta lainnya yang terjadi bersama demam. Pemeriksaan

laboratorium diperlukan sesuai indikasi.

Penyakit darah seperti trombositopenia purpura idiopatik (ITP), leukemia, atau anemia

aplastik, dapat dibedakan dari pemeriksaan laboratorium darah tepi lengkap disertai

pemeriksaan pungsi sumsum tulang apabila diperlukan.

Penyakit infeksi lain seperti sepsis, atau meningitis, perlu difikirkan apabila anak

mengalami demam disertai syok.

34

K. Tatalaksana

Gambar 8. Jalur triase kasus tersangka infeksi dengue (WHO 2011) Sumber:World Health Organization South East Asia Regional Office. Comprehensive Guidelines for Prevention and Control of Dengue and Dengue Hemorrhagic Fever. India: WHO; 2011dengan modifikasi.

Tanda kegawatan

Tanda kegawatan dapat terjadi pada setiap fase pada perjalanan penyakit infeksi dengue,

seperti berikiut.

Tidak ada perbaikan klinis/perburukan saat sebelum atau selama masa transisi ke fase

bebas demam / sejalan dengan proses penyakit

Muntah yg menetap, tidak mau minum

Nyeri perut hebat

Letargi dan/atau gelisah, perubahan tingkah laku mendadak

35

Perdarahan: epistaksis, buang air besar hitam, hematemesis, menstruasi yang hebat,

warna urin gelap (hemoglobinuria)/hematuria

Giddiness (pusing/perasaan ingin terjatuh)

Pucat, tangan - kaki dingin dan lembab

Diuresis kurang/tidak ada dalam 4-6 jam

Monitor perjalanan penyakit DD/DBD Parameter yang harus dimonitor mencakup,

Keadaan umum, nafsu makan, muntah, perdarahan, dan tanda dan gejala lain

Perfusi perifer sesering mungkin karena sebagai indikator awal tanda syok, serta mudah

dan cepat utk dilakukan

Tanda vital: suhu, nadi, pernapasan, tekanan darah, diperiksa minimal setiap 2-4 jam

pada pasien non syok & 1-2 jam pada pasien syok.

Pemeriksaan hematokrit serial setiap 4-6 jam pada kasus stabil dan lebih sering pada

pasien tidak stabil/ tersangka perdarahan.

Diuresis setiap 8-12 jam pada kasus tidak berat dan setiap jam pada pasien dengan syok

berkepanjangan / cairan yg berlebihan.

Jumlah urin harus 1 ml/kg berat badan/jam ( berdasarkan berat badan ideal)

Indikasi pemberian cairan intravena

Pasien tidak dapat asupan yang adekuat untuk cairan per oral ataumuntah

Hematokrit meningkat 10%-20% meskipun dengan rehidrasi oral

Ancaman syok atau dalam keadaan syok

Ada dua hal penting yang perlu diperhatikan dalam terapi cairan khususnya pada

penatalaksanaan demam berdarah dengue: pertama adalah jenis cairan dan kedua adalah

jumlah serta kecepatan cairan yang akan diberikan. Karena tujuan terapi cairan adalah untuk

mengganti kehilangan cairan di ruang intravaskular, pada dasarnya baik kristaloid (ringer

laktat, ringer asetat, cairan salin) maupun koloid dapat diberikan. WHO menganjurkan terapi

kristaloid sebagai cairan standar pada terapi DBD karena dibandingkan dengan koloid,

36

kristaloid lebih mudah didapat dan lebih murah. Jenis cairan yang ideal yang sebenarnya

dibutuhkan dalam penatalaksanaan antara lain memiliki sifat bertahan lama di intravaskular,

aman dan relatif mudah diekskresi, tidak mengganggu sistem koagulasi tubuh, dan memiliki

efek alergi yang minimal.

Secara umum, penggunaan kristaloid dalam tatalaksana DBD aman dan efektif. Beberapa

efek samping yang dilaporkan terkait dengan penggunaan kristaloid adalah edema, asidosis

laktat, instabilitas hemodinamik dan hemokonsentrasi. Kristaloid memiliki waktu bertahan

yang singkat di dalam pembuluh darah. Pemberian larutan RL secara bolus (20 ml/kg BB)

akan menyebabkan efek penambahan volume vaskular hanya dalam waktu yang singkat

sebelum didistribusikan ke seluruh kompartemen interstisial (ekstravaskular) dengan

perbandingan 1:3, sehingga dari 20 ml bolus tersebut dalam waktu satu jam hanya 5 ml yang

tetap berada dalam ruang intravaskular dan 15 ml masuk ke dalam ruang interstisial. Namun

demikian, dalam aplikasinya terdapat beberapa keuntungan penggunaan kristaloid antara lain

mudah tersedia dengan harga terjangkau, komposisi yang menyerupai komposisi plasma,

mudah disimpan dalam temperatur ruang, dan bebas dari kemungkinan reaksi anafilaktik.

Dibandingkan cairan kristaloid, cairan koloid memiliki beberapa keunggulan yaitu: pada

jumlah volume yang sama akan didapatkan ekspansi volume plasma (intravaskular) yang

lebih besar dan bertahan untuk waktu lebih lama di ruang intravaskular. Dengan kelebihan

ini, diharapkan koloid memberikan oksigenasi jaringan lebih baik dan hemodinamik terjaga

lebih stabil. Beberapa kekurangan yang mungkin didapatkan dengan penggunaan koloid

yakni risiko anafilaksis, koagulopati, dan biaya yang lebih besar. Namun beberapa jenis

koloid terbukti memiliki efek samping koagulopati dan alergi yang rendah (contoh:

hetastarch). Penelitian cairan koloid dibandingkan kristaloid pada sindrom renjatan dengue

(DSS) pada pasien anak dengan parameter stabilisasi hemodinamik pada 1 jam pertama

renjatan, memberikan hasil sebanding pada kedua jenis cairan. Sebuah penelitian lain yang

menilai efektivitas dan keamanan penggunaan koloid pada penderita dewasa dengan DBD

derajat 1 dan 2 di Indonesia telah selesai dilakukan, dan dalam proses publikasi.

Jumlah cairan yang diberikan sangat bergantung dari banyaknya kebocoran plasma yang

terjadi serta seberapa jauh proses tersebut masih akan berlangsung. Pada kondisi DBD

derajat 1 dan 2, cairan diberikan untuk kebutuhan rumatan (maintenance) dan untuk

37

mengganti cairan akibat kebocoran plasma. Secara praktis, kebutuhan rumatan pada pasien

dewasa dengan berat badan 50 kg, adalah sebanyak kurang lebih 2000 ml/24 jam; sedangkan

pada kebocoran plasma yang terjadi seba-nyak 2,5-5% dari berat badan sebanyak 1500-3000

ml/24 jam. Jadi secara rata-rata kebutuhan cairan pada DBD dengan hemodinamik yang

stabil adalah antara 3000-5000 ml/24 jam. Namun demikian, pemantauan kadar hematokrit

perlu dilakukan untuk menilai apakah hemokonsentrasi masih berlangsung dan apakah

jumlah cairan awal yang diberikan sudah cukup atau masih perlu ditambah. Pemantauan lain

yang perlu dilakukan adalah kondisi klinis pasien, stabilitas hemodinamik serta diuresis.

Pada DBD dengan kondisi hemodinamik tidak stabil (derajat 3 dan 4) cairan diberikan secara

bolus atau tetesan cepat antara 6-10 mg/kg berat badan, dan setelah hemodinamik stabil

secara bertahap kecepatan cairan dikurangi hingga kondisi benar-benar stabil (lihat protokol

pada gambar 6 dan 7). Pada kondisi di mana terapi cairan telah diberikan secara adekuat,

namun kondisi hemodinamik belum stabil, pemeriksaan kadar hemoglobin dan hematokrit

perlu dilakukan untuk menilai kemungkinan terjadinya perdarahan internal.

Prinsip umum terapi cairan pada DBD

Kristaloid isotonik harus digunakan selama masa kritis.

Cairan koloid digunakan pada pasien dengan perembesan plasma hebat, dan tidak ada

respon pada minimal volume cairan kristaloid yang diberikan.

Volume cairan rumatan + dehidrasi 5% harus diberikan untuk menjaga volume dan cairan

intravaskular yang adekuat.

Pada pasien dengan obesitas, digunakan berat badan ideal sebagai acuan untuk

menghitung volume cairan.

38

Sumber : World Health Organization-South East Asia Regional Office. Comprehensive

Guidelines for Prevention and Control of Dengue and Dengue Hemorrhagic Fever. India:

WHO; 2011dengan modifikasi.

Kecepatan cairan intravena harus disesuaikan dengan keadaan klinis.

Transfusi suspensi trombosit pada trombositopenia untuk profilaksis tidak dianjurkan

Pemeriksaan laboratorium baik pada kasus syok maupun non syok saat tidak ada

perbaikan klinis walaupun penggantian volume sudah cukup, maka perhatikan ABCS

yang terdiri dari, A – Acidosis: gas darah, B – Bleeding: hematokrit, C – Calsium:

elektrolit, Ca++ dan S – Sugar: gula darah (dekstrostik)

Tata laksana infeksi dengue berdasarkan fase perjalanan penyakit Fase Demam

Pada fase demam, dapat diberikan antipiretik + cairan rumatan / atau cairan oral apabila anak

masih mau minum, pemantauan dilakukan setiap 12-24 jam

Medikamentosa

o Antipiretik dapat diberikan, dianjurkan pemberian parasetamol bukan aspirin.

o Diusahakan tidak memberikan obat-obat yang tidak diperlukan (misalnya antasid, anti

emetik) untuk mengurangi beban detoksifikasi obat dalam hati.

o Kortikosteroid diberikan pada DBD ensefalopati apabila terdapat perdarahan saluran

cerna kortikosteroid tidak diberikan.

o Antibiotik diberikan untuk DBD ensefalopati.

Supportif

o Cairan: cairan pe oral + cairan intravena rumatan per hari + 5% defisit

39

o Diberikan untuk 48 jam atau lebih

o Kecepatan cairan IV disesuaikan dengan kecepatan kehilangan plasma, sesuai

keadaan klinis, tanda vital, diuresis, dan hematokrit

Fase Kritis

Pada fase kritis pemberian cairan sangat diperlukan yaitu kebutuhan rumatan + deficit,

disertai monitor keadaan klinis dan laboratorium setiap 4-6 jam.

Sumber : World Health Organization-South East Asia Regional Office. Comprehensive

Guidelines for Prevention and Control of Dengue and Dengue Hemorrhagic Fever. India:

WHO; 2011dengan modifikasi.

1. Kasus DBD yang diperkenankan berobat jalan

Bila penderita hanya mengeluh panas, tetapi keingingan makan dan minum masih baik.

Untuk mengatasi panas tinggi yang mendadak diperkenankan memberikan obat panas

paracetamol 10 – 15 mg/kg BB setiap 3-4 jam diulang jika simptom panas masih nyata

diatas 38,5 0C. Obat panas salisilat tidak dianjurkan karena mempunyai resiko terjadinya

penyulit perdarahan dan asidosis. Sebagian besar kasus DBD yang berobat jalan ini

40

adalah kasus DBD yang menunjukkan manifestasi panas hari pertama dan hari kedua

tanpa menunjukkan penyulit lainnya.

Apabila penderita DBD ini menunjukkan manifestasi penyulit hipertermi dan konvulsi

sebaiknya kasus ini dianjurkan di rawat inap.

2. Kasus DBD derajat I & II

Pada hari ke 3, 4, dan 5 panas dianjurkan rawat inap karena penderita ini mempunyai

resiko terjadinya syok. Untuk mengantisipasi kejadian syok tersebut, penderita

disarankan diinfus cairan kristaloid dengan tetesan berdasarkan tatanan 7, 5, 3.

Pada saat fase panas penderita dianjurkan banyak minum air buah atau oralit yang biasa

dipakai untuk mengatasi diare. Apabila hematokrit meningkat lebih dari 20% dari harga

normal, merupakan indikator adanya kebocoran plasma dan ssebaiknya penderita dirawat

di ruang observasi di pusat rehidrasi selama kurun waktu 12-24 jam.

Penderita DBD yang gelisah dengan ujung ekstremitas yang teraba dingin, nyeri perut

dan produksi air kemih yang kurang sebaiknya dianjurkan rawat inap. Penderita dengan

tanda-tanda perdarahan dan hematokrit yang tinggi harus dirawat di rumah sakit untuk

segera memperoleh cairan pengganti.

Volume dan macam cairan pengganti penderita DBD sama dengan seperti yang

digunakan pada kasus diare dengan dehidrasi sedang (6-10% kekurangan cairan) tetapi

tetesan harus hati-hati. Kebutuhan cairan sebaiknya diberikan kembali dalam waktu 2-3

jam pertama dan selanjutnya tetesan diatur kembali dalam waktu 24-48 jam saat

kebocoran plasma terjadi. Pemeriksaan hematokrit ecara seri ditentukan setiap 4-6 jam

dan mencatat data vital dianjurkan setiap saat untuk menentukan atau mengatur agar

memperoleh jumlah cairan pengganti yang cuykup dan cegah pemberian transfusi

berulang. Perhitungan secara kasar sebagai berikut :

(ml/jam) = ( tetesan / menit ) x 3

41

Jumlah cairan yang dibutuhkan adalah volume minimal cairan pengganti yang cukup

untuk mempertahankan sirkulasi secara efektif selama periode kebocoran (24-48 jam),

pemberian cairan yang berlebihan akan menyebabkan kegagalan faal pernafasan (efusi

pleura dan asites), menumpuknya cairan dalam jaringan paru yang berakhir dengan

edema.

Jenis Cairan

(1) Kristaloid

Ringer Laktat

5% Dekstrose di dalam larutan Ringer Laktat

5% Dekstrose di dalam larutan Ringer Ashering

5% Dekstrose di dalam larutan setengah normal garam fisiologi (faali), dan

5% Dekstrose di dalam larutan normal garam fisiologi (faali)

(2) Koloidal

Plasma expander dengan berat molekul rendah (Dekstran 40)

Plasma

Kebutuhan Cairan

Tabel 1. Kebutuhan cairan untuk dehidrasi sedang

Berat waktu masuk (kg) Jumlah cairan ml/kg BB per hari

< 7 220

7 – 11 165

12 – 18 132

42

> 18 88

Pemilihan jenis dan volume cairan yang diperlukan tergantung dari umur dan berat badan

pasien serta derajat kehilangan plasma sesuai dengan derajat hemokonsentrasi yang

terjadi. Pada anak yang gemuk, kebutuhan cairan disesuaikan dengan berat badan ideal

anak umur yang sama. Kebutuhan cairan rumatan dapat diperhitungkan dari tabel berikut.

Tabel 2. Kebutuhan cairan rumatan

Berat badan (kg) Jumlah cairan (ml)

10 100 per kg BB

10 – 20 1000 + 50 x kg (diatas 10 kg)

> 20 1500 0 x kg (diatas 20 kg)

3. Kasus DBD derajat III & IV

“Dengue Shock Syndrome” (sindrome renjatan dengue) termasuk kasus kegawatan yang

membutuhkan penanganan secara cepat dan perlu memperoleh cairan pengganti secara cepat.

Biasanya dijumpai kelaian asam basa dan elektrolit (hiponatremi). Dalam hal ini perlu

dipikirkan kemungkinan dapat terjadi DIC. Terkumpulnya asam dalam darah mendorong

terjadinya DIC yang dapat menyebabkan terjadinya perdarahan hebat dan renjatan yang

sukar diatasi.

Penggantian secara cepat plasma yang hilang digunakan larutan gaam isotonik (Ringer

Laktat, 5% Dekstrose dalam larutan Ringer Laktat atau 5% Dekstrose dalam larutan Ringer

Asetat dan larutan normal garam faali) dengan jumlah 10-20 ml/kg/1 jam atau pada kasus

yang sangat berat (derajat IV) dapat diberikan bolus 10 ml/kg (1 atau 2x).

Jika syok berlangsung terus dengan hematokrit yang tinggi, larutan koloidal (dekstran dengan

berat molekul 40.000 di dalam larutan normal garam faal atau plasma) dapat diberikan

dengan jumlah 10-20 ml/kg/jam.

43

Selanjutnya pemberian cairan infus dilanjutkan dengan tetesan yang diatur sesuai dengan

plasma yang hilang dan sebagai petunjuk digunakan harga hematokrit dan tanda-tanda vital

yang ditemukan selama kurun waktu 24-48 jam. Pemasangan cetral venous pressure dan

kateter urinal penting untuk penatalaksanaan penderita DBD yang sangat berat dan sukar

diatasi. Cairan koloidal diindikasikan pada kasus dengan kebocoran plasma yang banyak

sekali yang telah memperoleh cairan kristaloid yang cukup banyak.

Pada kasus bayi, dianjurkan 5% dekstrose di dalam setengah larutan normal garam faali (5%

dekstrose ½NSS) dipakai pada awal memperbaiki keadaan penderita dan 5% dekstrose di

dalam 1/3 larutan normal garam faali boleh diberikan pada bayi dibawah 1 tahun, jika kadar

natrium dalam darah normal. Infus dapat dihentikan bila hematokrit turun sampai 40%

dengan tanda vital stabil dan normal. Produksi urine baik merupakan indikasi sirkulasi dalam

ginjal cukup baik. Nafsu makan yang meningkat menjadi normal dan produksi urine yang

cukup merupakan tanda penyembuhan.

Pada umumnya 48 jam sesudah terjadi kebocoran atau renjatan tidak lagi membutuhkan

cairan. Reabsorbsi plasma yang telah keluar dari pembuluh darah membutuhkan waktu 1-2

hari sesudahnya. Jika pemberian cairan berkelebihan dapat terjadi hipervolemi, kegagalan

faal jantung dan edema baru. Dalam hal ini hematokrit yang menurun pada saat reabsorbsi

jangan diintepretasikan sebagai perdarahan dalam organ. Pada fase reabsorbsi ini tekanan

nadi kuat (20 mmHg) dan produksi urine cukup dengan tanda-tanda vital yang baik.

DBD dengan syok berkepanjangan (DBD derajat IV)

Cairan: 20 ml/kg cairan bolus dalam 10-15 menit, bila tekanan darah sudah didapat cairan

selanjutnya sesuai algoritma pada derajat III

Bila syok belum teratasi: setelah 10ml/kg pertama diulang 10 ml/kg, dapat diberikan

bersama koloid 10-30ml/kgBB secepatnya dalam 1 jam dan koreksi hasil laboratorium

yang tidak normal

44

Transfusi darah segera dipertimbangkan sebagai langkah selanjutnya (setelah review

hematokrit sebelum resusitasi)

Monitor ketat (pemasangan katerisasi urin, katerisasi pembuluh darah vena pusat / jalur

arteri)

Inotropik dapat digunakan untuk mendukung tekanan darah

Apabila jalur intravena tidak didapatkan segera, coba cairan elektrolit per oral bila pasien

sadar atau jalur intraoseus. Jalur intraoseus dilakukan dalam keadaan darurat atau setelah dua

kali kegagalan mendapatkan jalur vena perifer atau setelah gagal pemberian cairan melalui

oral. Cairan intraosesus harus dikerjakan secara cepat dalam 2-5 menit

Perdarahan hebat

Apabila sumber perdarahan dapat diidentifikasi, segera hentikan. Transfusi darah segera

adalah darurat tidak dapat ditunda sampai hematokrit turun terlalu rendah. Bila darah yang

hilang dapat dihitung, harus diganti. Apabila tidak dapat diukur, 10 ml/kg darah segar atau 5

ml/kg PRC harus diberikan dan dievaluasi.

Pada perdarahan saluran cerna, H2 antagonis dan penghambat pompa proton dapat

digunakan.

Tidak ada bukti yang mendukung penggunaan komponen darah seperti suspense

trombosit, plasma darah segar/cryoprecipitate. Penggunaan larutan tersebut ini dapat

menyebabkan kelebihan cairan.

Tatalaksana Kasus Tersangka DBD

45

Tatalaksanaa tersangka DBD (Rawat inap) atau Demam Dengue

46

Tatalaksana DBD derajat I dan II

47

Tatalaksana DBD derajat III dan IV atau DSS

48

DBD ensefalopati

DBD ensefalopati dapat terjadi bersamaan dengan syok atau tidak.

Ensefalopati yang terjadi bersamaan dengan syok hipovolemik, maka penilaian

ensefalopati harus diulang setelah syok teratasi.

o Apabila kesadaran membaik setelah syok teratasi, maka kesadaran menurun atau

kejang disebabkan karena hipoksia yang terjadi pada syok

49

o Pertahankan oksigenasi jalan napas yg adekuat dengan terapi oksigen.

Jika ensefalopati terjadi pada DBD tanpa syok dan masa krisis sudah dilewati maka,

o Cegah / turunkan peningkatan tekanan intrakranial dengan,

Memberikan cairan intravena minimal untuk mempertahankan volume

intravaskular, total cairan intravena tidak boleh >80% cairan rumatan

Ganti ke cairan kristaloid dengan koloid segera apabila hematokrit terus

meningkat dan volume cairan intravena dibutuhkan pada kasus dengan

perembesan plasma yang hebat.

Diuretik diberikan apabila ada indikasi tanda dan gejala kelebihan cairan

Posisikan pasien dengan kepala lebih tinggi 30 derajat.

Intubasi segera untuk mencegah hiperkarbia dan melindungi jalan napas.

Dipertimbangkan steroid untuk menurunkan tekanan intrakranial, dengan pemberian

deksametasone 0,15mg/kg berat badan/dosis intravena setiap 6-8 jam.

o Menurunkan produksi amonia

Berikan laktulosa 5-10 ml setiap 6 jam untuk menginduksi diare osmotik.

Antibiotik lokal akan mengganggu flora usus maka tidak diperlukan pemberian

o Pertahankan gula darah 80-100 mg/dl, kecepatan infus glukosa yang dianjurkan 4-

6 mg/kg/jam.

o Perbaiki asam basa dan ketidakseimbangan elektrolit

o Vitamin K1 IV dengan dosis:umur < 1tahun: 3mg, <5 tahun: 5mg, >5

tahun:10mg.

o Anti kejang phenobarbital, dilantin, atau diazepam IV sesuai indikasi.

o Transfusi darah, lebih baik PRC segar sesuai indikasi. Komponen darah lain

seperti suspense trombosit dan plasma segar beku tidak diberikan karena

kelebihan cairan dapat meningkatkan tekanan intrakranial.

o Terapi antibiotik empirik apabila disertai infeksi bakterial.

o Pemberian H2 antagonis dan penghambat pompa proton untuk mencegah

perdarahan saluran cerna.

o Hindari obat yang tidak diperlukan karena sebagai besar obat dimetabolisme di

hati.

50

Hemodialisis pada kasus perburukan klinis dapat dipertimbangkan.

Fase Recovery

Pada fase penyembuhan diperlukan cairan rumatan atau cairan oral, serta monitor tiap 12

24 jam.

Indikasi untuk pulang

Pasien dapat dipulangkan apabila telah terjadi perbaikan klinis sebagai berikut.

Bebas demam minimal 24 jam tanpa menggunakan antipiretik

Nafsu makan telah kembali

Perbaikan klinis, tidak ada demam, tidak ada distres pernafasan, dan nadi teratur

Diuresis baik

Minimum 2-3 hari setelah sembuh dari syok

Tidak ada kegawatan napas karena efusi pleura, tidak ada asites

Trombosit >50.000 /mm3. Pada kasus DBD tanpa komplikasi, pada umumnya jumlah

trombosit akan meningkat ke nilai normal dalam 3-5 hari.

Konseling dan Edukasi

a. Prinsip konseling pada demam berdarah dengue adalah memberikan pengertian kepada

pasien dan keluarganya tentang perjalanan penyakit dan tatalaksananya, sehingga pasien

dapat mengerti bahwa tidak ada obat/medikamentosa untuk penanganan DBD tetapi

hanya bersifat suportif dan mencegah perburukan penyakit. Penyakit akan sembuh sesuai

dengan perjalanan alamiah penyakit.

b. Modifikasi gaya hidup

1. Melakukan kegiatan 3M, menguras, mengubur, menutup.

2. Meningkatkan daya tahan tubuh dengan mengonsumsi makanan bergizi dan

melakukan olehraga secara rutin.