day#05 -...

14
MEDIA EVENT Tajuk 01 Tema Paling Laku: Lingkungan, Cinta dan Kontemplasi Layar Utama 02 Ketika Penonton Membludak Performance 04 Dedikasi “Mwa Thirika” by Teater Boneka Pappermoon (Yogyakarta, Indonesia) 07 Amazing “Venciando la Cordura ” by Club Teatro Rama de Plata (Euador) 08 “The Archipelago” by Anino Shadowplay Collective (Filipina) 10 “Celebration of Flight” by Ibex Puppetry (AS) Profil 12 Heather Henson, pewaris Sesame Street day#05 (06/09/2013)

Upload: duongthuy

Post on 13-Mar-2019

215 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

MED

IA E

VEN

T

Tajuk01 Tema Paling Laku: Lingkungan,

Cinta dan Kontemplasi

Layar Utama02 Ketika Penonton Membludak

Performance04 Dedikasi “Mwa Thirika” by Teater Boneka

Pappermoon (Yogyakarta, Indonesia)

07 Amazing “Venciando la Cordura ” by Club Teatro Rama de Plata (Euador)

08 “The Archipelago” by Anino Shadowplay Collective (Filipina)

10 “Celebration of Flight” by Ibex Puppetry (AS)

Profil12 Heather Henson, pewaris Sesame Street

day#05 (06/09/2013)

tajuk

Pementasan para penampil di Wayang World Puppets Carnival (WWPC) 2013 punya karakter masing-masing. Berbagai teknik dan properti difungsikan, diselaraskan

dengan tematik penampilan itu sendiri. Dari begitu banyak kekayaan teknik dan properti yang ada, tiga tema yang paling laku diangkat: lingkungan, cinta dan kontemplasi.

Heather Henson’s Ibex Pupperty misalkan. Temanya jelas, migrasi burung di Amerika. Atau salah satu cukilan segmen dari Ramdas Padhye India, yang mengangkat kehancuran lingkungan akibat kerakusan manusia. Atau Alekin Puppet Theatre dan Ptah Theatre yang mengangkat tema cinta. Tema-tema ini terbilang cukup sukses dan bisa mereguh kesadaran audience dengan lebih mudah.

Namun, beberapa penampilan terbilang cukup memikat, baik dari penerjemahan tematik, konten kontemplatif maupun interpretasi kesejarahan. Scene Infernale Theatre dari Perancis mampu menerjemahkan kisah nyata memilukan rekan kerja mereka melalui pementasan. Atau Rama de Plata dari Ekuador, yang berhasil membangun ruang Teater Usmar Ismail menjadi ruang kontemplatif, dan membawa beberapa penonton sampai menitikkan airmata. Sebut lagi dari negeri sendiri, Teater Boneka Pappermoon asal Yogyakarta yang mendedikasikan pertunjukannya bagi korban peristiwa kelam 1965.

Pementasan memang jadi panggung untuk mengangkat sebuah cerita. Tinggal Anda sebagai penonton, siapkah terjun didalamnya? (pejede | [email protected])

Tema Paling Laku:Lingkungan, Cinta dan Kontemplasi

01Jakarta, Sept 02-08

media event #06

layarutama

Sebagai seorang penikmat seni pertunjukan, menikmati panggung pertunjukan tak bedanya

dengan menikmati pemandangan. Interpretasi, representasi, persepsi, atau apapun yang tersangkut dalam dunia gagasan kita, bersentuhan dengan segala bentuk aspek pertunjukan itu sendiri; entah itu jalan cerita, pendalangan dan penyutradaraan, akting dan penokohan, setting panggung, lighting, atau aspek apapun yang disuguhkan dalam sebuah panggung.

Ketika Penonton Membludak... Jakarta, Sept 02-08

02

foto

: pej

ede

| sin

ga.b

aron

g@gm

ail.c

om

media event #06

Apa yang terjadi pada pementasan Pappermoon di Usmar Ismail (6/9) jauh dari itu semua. Lewat pengkondisian pra-pertunjukan, pementasan teater boneka asal Yogyakarta ini berhasil menyedot perhatian publik. Antrian panjang terlihat di meja pusat informasi; padahal jelas bahwa pertunjukan bersifat gratis dan terbuka. Alhasil, ruang teater Usmar Ismail sekejap dipenuhi para penonton. Baik itu penonton dari artis negara penampil, para donatur dan sponsor, atau penonton publik yang ingin menyaksikan dan menikmati pertunjukan malam ini.

Apa yang terjadi bagi saya pribadi ternyata berbeda. Di 1/3 pertunjukan, saya memutuskan keluar dari ruangan. Tak ada yang bisa dinikmati di sini, walaupun Pappermoon membuka pertunjukan dengan kalimat dedikasi terhadap korban peristiwa 1965. Bagi dunia pertunjukan, apalah artinya konten kalau penonton tak bisa dimanjakan dengan seluruh aspek seni pertunjukan itu sendiri. Kejam memang, eksistensi (bentuk) mendahului esensi (isi). Tapi apa mau dikata, begitulah hukum alam yang berlaku.

Namun, membludaknya pertunjukan Pappermoon bisa memberikan makna lain. Antusiasme penonton harus dilihat sebagai geliat baru seni pertunjukan Indonesia. Dedikasi Pappermoon—dan Pappermoon-Pappermoon lainnya—akan terus bermunculan, menawarkan konseptualitas dan gagasan baru yang dapat mewarnai seni pertunjukan Indonesia. Konten-konten kritis akan terus menguak, membuka sedikit demi sedikit apa yang selama ini menjadi bagian dari apa yang dulu tak pernah boleh diucapkan—apalagi dipentaskan seperti yang dilakukan Pappermoon.

Saya bukan sedang berbicara tentang ideologi apapun. Saya hanya berbicara, sebuah pentas dengan konten kritis yang justru mampu membludakkan jumlah penonton; sebuah hal yang baru bagi bangsa ini. Karena dari titik inilah, simpul-simpul baru akan terbuka, obrolan-obrolan akan bermunculan, gosip-gosip akan mengiang, pertanyaan-pertanyaan akan mengemuka.

Tapi, sekali lagi, tak perlu bicara tentang aspek pertunjukannya. Karena ketika pertunjukan membludak, saya memilih duduk di luar dan menikmati penonton yang keluar-masuk dari ruang pentas. (pejede | [email protected])

Jakarta, Sept 02-08

03

layarutama

media event #06

Jakarta, Sept 02-08

04

layarutama

media event #06

Indonesia adalah rumahnya Wayang. Jika dunia lebih mengenal istilah puppet maka, puppet yang berasal

dari Indonesia niscaya merujuk pada Wayang. Namun, bukan hanya Wayang yang layak menjadi kebanggan Indonesia. Adalah Papermoon, satu-satunya kontestan Wayang World Puppet Carnival (WWPC) asal Indonesia yang tidak memainkan Wayang. Tapi soal kemampuan, tak perlu diragukan lagi. Kemampuan mereka menyedot

perhatian khalayak, tak kalah dengan pertunjukan Wayang. Hebatnya, sebagian besar pe-nikmat pertunjukan Papermoon adalah generasi muda, sang pewaris sah masa depan.

Teater BonekaPappermoon(Yogyakarta-Indonesia)

Dedikasi“Mwa Thirika”

foto: pejede | [email protected]

Jakarta, Sept 02-08

05

layarutama

media event #06

Pintu Teater 1 Gedung Usmar Ismail, Kuningan seyogyanya baru dibuka untuk umum pada pukul 20.00. Tapi meja panitia sudah mulai didatangi pengunjung sejak dua jam sebelumnya. Beberapa bahkan rela menunggu di selasar depan Usmar Ismail, demi mendapatkan satu kursi pertunju-kan dari penampil yang namanya kian menanjak belakangan ini. Tak lama kemudian, antrian pun memanjang. Pihak panitia yang ngetem di Gedung Usmar Ismail pun sempat kewalahan menghadapi penonton yang membludak di hari ke lima WWPC digelar. 450 kursi Teater 1 Gedung Usmar Ismail, tak cukup mewadahi padatnya penonton saat itu.

Reaksi penonton membuncah saat Ria, sang art director membuka pertunjukan. Mereka sudah

tidak sabar menunggu Ria dan kawan-kawan memainkan boneka-boneka lucu yang me-nyegarkan. Dalam pertunjukannya kali ini, Papermoon membawakan lakon Mwathirika yang berkisah tentang kehilangan. Sebaris teks yang terpampang di layar pertunjukan sontak membuat saya yang belum pernah menyaksikan Papermoon, terkejut. Set yang mereka pilih sebagai latar cerita ini adalah peristiwa ‘65. Ya, sejarah bangsa yang masih kelam hingga hari ini. Dengan boneka-boneka lucu sebagai pembawa kisahnya.

foto: pejede | [email protected]

Jakarta, Sept 02-08

06

layarutama

media event #06

Kisah ini bukan satu-satunya kisah berlatar sejarah yang pernah dibuat Papermoon. Bagi mereka, sejarah merupa-kan suatu zona abu-abu yang rentan menjadi perdebatan tak berujung pangkal. Papermoon mengajak penonton melihat seja-rah dari sudut pandang yang lain. “Melalui teater boneka, kami ingin publik melihat sejarah nggak semata-mata pakai pikiran tapi juga pakai hati,” ujar Ria dalam bincang-bincang sehabis pementasan. Hal senada disampaikan Iwan, artistic designer yang juga Suami Ria. “Banyak yang memandang latar sejarah 65 dari perspektif advokasi, korban, dan lain-lain. Kita ingin gugah kesadaran publik justru secara emosional, lewat teater boneka,” sambung penggemar berat Ki Lejar Subroto, Dalang Wayang Kancil kenamaan asal Yogyakarta ini.

Terlibat dalam proses recovery, khususnya trauma healing pasca gempa yang melanda Yogyakarta pada 2006, Papermoon merasa teater boneka menjadi medium yang tepat untuk menyampai-kan berbagai pesan kepada khalayak. Perlahan, cita itu kian terasa dampaknya. Kian banyak generasi muda Nusantara menggandrungi karya mereka. Meski demikian, Papermoon merasa perlu bekerja lebih keras lagi agar pesan mereka bisa lekat dengan para pengge-marnya. “Mungkin tidak semua (penggemar) Papermoon menang-kap pesan yang hendak disampaikan. Tapi kami justru sangat

senang atas warna yang mereka hadirkan,” ujar Ria menutup perbin-cangan. (Marthin Sinaga | [email protected])

foto: pejede | [email protected]

performance

Hitam membalut sunyi, hanya padam lampu kristal dalam bohlam menyala redup perlahan. Ana Escobar berjalan pelan dengan pasti, diiringi alunan

musik petik yang syahdu memilu. Musisi jalanan Ekuador seolah member komposisi dramatisasi yang apik dalam setiap tampilan dalam teater ini. Sebuah teaterikal yang mengisahkan tentang sebuah kemorosotan.

Menurut mereka, teater ini adalah salah satu bentuk tindakan mengalahkan kewarasan, dimana melalui momen ini kita diharapkan untuk berhenti sejenak dari laju kehidupan tanpa kendali yang membawa kita pada sebuah kemerosotan. Kemerosotan yang telah membuat kita kehilangan satu persatu indera kita, kehilangan persepsi tentang arti kehidupan, menjadikan kita buta akan sentuhan, serta membuat kita bisu bahkan kehilangan harta yang berharga yaitu hati nurani kita sendiri.

Melalui drama teater ini diharapkan para penonton ikut kembali menemukan arti sebuah kehidupan. Dalam nafas, dalam nadi, dalam hati. Very amazing performance from Equador, standing applause of them, and we are really love it. (Amelia Seftiani ([email protected])

Jakarta, Sept 02-08

Amazing Teatro ClubRama de Plata (Ekuador)

“Venciando la Cordura”

media event #0607

performance

The Archipelago, lakon yang dimainkan Anino Shadowplay Collective sejatinya menceritakan

tentang kisah sejarah Filipina yang dipadu dengan kisah mistik dan legenda negeri Filipina, asal mereka.

Jakarta, Sept 02-08

Anino Shadowplay Collective(Filipina)

foto: pejede | [email protected]

“TheArchipelago”

media event #0608

performance

Jakarta, Sept 02-08

Tema klasik yang mereka usung sangatlah kontras dengan penampilan mereka begitu pertunjukan dimulai. Permainan tata cahaya dari balik layar yang mereka mainkan tak terbilang biasa, teknik permainan cahaya dari balik layar yang mereka mainkan niscaya memancing keingin tahuan siapa pun yang menonton pertunjukan mereka.

Memasuki panggung, hanya sebuah layar kecil yang masih kosong dengan hiasan perahu kertas dari berbagai ukuran yang ada di depan panggung Teater Gedung Perfilman Usmar Ismail, Kuningan saat itu. Tak lama kemudian, lampu dimatikan, dan permainan bayangan pun segera mengisi layar kosong di tengah panggung. Meski dasar warna yang ditampilkan hanyalah hitam-putih, namun variasi yang muncul tidak sesederhana itu. Kuning temaram, putih gelap, bayangan besar dan kecil yang saling bertumpuk namun estetik, berpadupadan dengan permaian jemari, boneka, tubuh manusia, dan berbagai kreasi lainnya mengisi layar kecil di atas panggung.

Di penghujung cerita, keempat personil Anino Shadowplay Collective yang memainkan cahaya dari balik layar, menyapa penonton dengan keluar dari balik layar, melompat dari dalam, menerobos layar begitu saja hingga terkoyak. Beberapa memberikan standing applause atas pertunjukan yang sangat kental dengan permainan cahaya ini. Permainan tata cahaya nan apik sepanjang pertunjukan, berhasil membangun rasa penasaran penonton. Begitu pertunjukan ditutup, satu per satu penonton menelisik ke balik panggung, mencari tahu apa yang membuat pandangan mereka terpukau selama hampir 30 menit pertunjukan berlangsung. (Marthin Sinaga | [email protected])

media event #0609

performance

Ibex Puppetry (Amerika Serikat)

“Celebration of Flight”

Jakarta, Sept 02-08

performance

Mengambil tema terganggunya migrasi burung di Amerika, Heather Henson dan Ibex Puppetry dari Amerika menyuguhkan sebuah pertunjukan yang tak lazim pada WWPC 2013. Pelataran rumput Monumen Nasional Jakarta dipilihnya. Se-lain karena kesinambungan tema pada alam, Heather merasa memiliki kesem-patan langka untuk tampil di kompleks ikonik ibukota Indonesia ini. Penonton pun cukup dari warga Jakarta yang kebetulan sedang singgah atau bermain di dalam kompleks. Sebuah keberanian yang harus diapresiasi.

media event #0610

Jakarta, Sept 02-08

performance

Pertunjukan Ibex Puppetry sendiri mengkolaborasikan konsep pertunjukan boneka dan layang-layang. Sesuai te-manya, “Celebration of Flight”, pertun-jukan ini terbagi dalam 16 alur segmen; mulai dari menetasnya telur dan bayi burung, migrasi, hingga pentahtaan sang burung. Layang-layang menjadi teknik utama, dengan properti dan konstruksi yang didesain dan diproduksi khusus untuk memberikan efek terbang yang diinginkan. Tak hanya itu, bauran musikalisasi antar etnis sangat terasa,

khas pertunjukan Amerika yang mengedepankan multietnik-nya.

Di segmen terakhir, Ibex Puppetry menutup pertunjukan dengan mengajak seluruh penonton menerbangkan burung layang-layangnya masing-masing. Sebagian larut dalam suasana keceriaan, beberapa anak kecil terlihat begitu riang berlari-lari menerbangkan burung layang-layangnya. Heather, sang kon-septor dan sutradara cukup puas dengan animo penonton. Besok ia dan Ibex Puppetry akan tampil lagi, Sabtu sore (7/9) di tempat yang sama. Pesannya hanya satu, ”Bring your bird and come fly with us. Together.” Mungkin, makna ajakannya kebersamaan untuk menciptakan alam yang lebih baik, untuk masa depan. (pejede | [email protected])

media event #0611

profil

Jakarta, Sept 02-08

Siapa tak kenal Sesame Street, atau Jalan Sesama, sebuah program televisi yang berisi dunia boneka dari Amerika sana?

WWPC 2013 mungkin bukan menghadirkan tokoh boneka Elmo, Kermit atau Monster Cookies; tapi anak sang penemu Sesame Street—Jim Henson, Heather Henson hadir dan menjadi salah satu penampil di pelataran Monumen Nasional (6/9). Mixasi layang-layang dan pertunjukan boneka jadi kekuatan penampilannya, dipadu dengan musikalitas yang mampu membangun nuansa natural sesuai tema pertunjukannya, ‘Celebration of Flight’.

Heather mengakui, sejarah boneka dari kedua orang tuanya melekat pada dirinya. Sang ayah, Jim Henson, terlibat dalam proses eksekusi pertunjukannya ini. Aspek teknis pun sangat terlihat, khususnya konstruksi layang-layang yang didesain khusus agar dapat terbang sesuai keinginannya. Tak hanya itu, bahan material dari boneka juga menentukan, khususnya bagi gerak sang boneka saat pertunjukan berlangsung.

Itulah mengapa Heather memilih dunia boneka, bukan sekedar pengaruh orang tua. Awalnya, Heather memilih dunia animasi untuk didalaminya. Namun, ia justru menemukan begitu banyak kekayaan dari dunia pertunjukan boneka. Mulai dari aspek teknis, perhitungan matematis, musikalitas dan dramaturgi, akting, penyutradaraan, dan berbagai aspek lain yang melingkupi dunia pertunjukan panggung. Heather percaya, harmonisasi seluruh aspek teknis itulah yang akan membawa kesuksesan sebuah pertunjukan, dan bukan hanya 1 atau 2 aspek semata. (pejede | [email protected])

Heather Henson

“Pertunjukan Boneka Punya Teknis Paling Lengkap”

foto: pejede | [email protected]

media event #0612

more information

schedule

follow us

http://www.wayangcarnival.com/jadwal-event

@wayangcarnival

http://www.wayangcarnival.com

13media event #05

present by www.kotakpandora.com