dasar penetapan hakim dalam menentukan kadar …
TRANSCRIPT
1 | S h a u t u n a
DASAR PENETAPAN HAKIM DALAM MENENTUKAN KADAR NAFKAH MUT’AH
(Studi Kasus Cerai Talak Istri sebagai Wanita Karir dan Istri sebagai IRT di Pengadilan
Agama Makassar Klas 1A)
Andi Fitri Annizha H.
Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar
Muhammad Sabir Maidin
Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar
Abstrak Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana dasar penetapan hakim dalam menentukan kadar mut’ah pada wanita karier dan ibu rumah tangga di Pengadilan Agama Makassar dan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi putusan hakim dalam menentukan kadar mut’ah.Jenis penelitian ini tergolong penelitian lapangan kualitatif (Field Research) dengan cara observasi, interview atau wawancara, dan dokumentasi. Sumber data yang diambil adalah data sekunder dan data primer. Metode pengolahan dan analisis data yang digunakan adalah deskriptif analisis dengan pola deduktif. Teknik analasis deskriptif digunakan untuk menuturkan, menafsirkan, serta menguraikan data yang bersifat kualitatif yang diperoleh dari hasil wawancara secara langsung di Pengadilan Agama Makassar lalu menarik kesimpulan yang bersifat khusus. Dalam penelitian ini dapat disimpulkan bahwa dasar hukum hakim Pengadilan Agama Makassar dalam menetapkan nafkah mut’ah yaitu berlandaskan QS al-Baqarah ayat 236 dan 241, QS al-Ahzab ayat 49, dan dalam UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 41 dan KHI pasal 149, 158, 159, 160. Mut’ah bukan semata-mata tuntutan istri kepada suami, namun mut’ah merupakan hadiah suami kepada istri yang diceraikannya, dikarenakan ada dalam peraturan sehingga hakim dapat menentukan jumlahnya berdasarkan hak ex-officio. Hakim Pengadilan Agama Makassar memiliki pandangan yang berbeda dalam menetapkan kadar mut’ah. Kata Kunci: Mut‟ah; Cerai Talak; Wanita Karir; Ibu Rumah Tangga.
Abstract The purpose of this research is to know know how the basic in determining judges for determine the level of mut'ah in women carreer and housewives in the Makassar Religious Court and to find out the influence factors of the judge's decision in determining the level of mut'ah. This type of research is classified as qualitative field research by observation, interview, and documentation. Sources of the data was taken by secondary data and primary data. Data processing and analysis methods that will be used is descriptive analysis with deductive patterns. Descriptive analytical technique is used to tell, interprete , and describe qualitative data obtained from direct interviews in the Makassar Religious Court and draw specific conclusions. In this Research it can be concluded that the legal basic of the Makassar Religious Court judges in determining mut'ah basic necessities of life is based on QS al-Baqarah verse 236 and 241, QS al-Ahzab verse 49, and in UU No. 1 Tahun 1974 Article 41 and KHI articles 149, 158, 159, 160. Mut'ah is not only about a wife's demand to her husband, but mut'ah is a husband's gift to his divorced wife, it's because in the regulations so that the judge can determine the amount based on ex-officio rights. Makassar Religious Court Judges have different views in determining the level of mut'ah. Keywords: Mut’ah; Divorce; Women Carreer; Housewives.
2 | S h a u t u n a
I. PENDAHULUAN
Perkawinan merupakan langkah awal bagi setiap pasangan untuk membangun sebuah
keluarga. Dalam menjalani kehidupan bersama, setiap pasangan akan mengalami banyak
halangan dan rintangan yang menjadi bagian dari kehidupan berkeluarga. Suatu halangan dan
rintangan yang dialami setiap pasangan harus dilalui bersama agar tercapai sebuah keluarga yang
bahagia.
Langgennya suatu hubungan merupakan suatu tujuan yang sangat diinginkan oleh orang
Islam. Allah swt. menyebutkan ikatan perjanjian dalam akad itu sebagai Mitsaaqhan ghaliizhan
yang berarti perjanjian yang suci dan kokoh. Jika ikatan antara suami istri demikian kokoh
kuatnya, maka tidak sepatutnya dirusak dan disepelehkan. Putusnya hubungan perkawinan dapat
terjadi karena kematian, perceraian atau talak, dan karena putusan Pengadilan (pasal 38 Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1974).1
Perceraian akan menimbulkan hak dan kewajiaban bagi suami istri didalamnya. Dan
untuk melindungi hak istri atas talak yang dijatuhkan suami, dalam Peraturan Perundang-
undangan telah diatur beberapa kewajiban suami akibat terjadinya perceraian. Yaitu sewaktu istri
menjalani waktu iddah mantan suami berkewajiban memberikan nafkah mut’ah dan iddah
sebagai pemberian bekas suami kepada istri, yang dijatuhi talak berupa benda atau uang dan
lainnya. Sesuai dalam KHI pasal 149. Dalam Islam juga dijelaskan mengenai kewajiban nafkah
mut’ah dan iddah sebagai kewajiban suami dan sebagai hak istri untuk menerimanya.
Pemberian nafkah mut’ah dan iddah pasca perceraian sering dijadikan tolak ukur
sensitivitas jender hakim dalam penyelesaian perkara perceraian. Ketentuan pemberian mut’ah
yang dulunya bersifat non-impratif (ghoiru muakadah), ditingkatkan menjadi semi impratif
(muakkadah). Dengan cara itu maka dalam setiap perkara permohonan cerai, suami disyaratkan
1Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam: Suatu Analisis dari Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
dan Kompilasi Hukum Islam, h. 227.
3 | S h a u t u n a
secara mutlak untuk membayar uang kompensasi ini kepada pihak istri setelah perceraian
terjadi.2
Sesuai dengan ketentuan diatas, dalam peraturan perundangan-undangan yang berakibat
yuridis dari suatu perceraian telah ditetapkan tanggung jawab mantan suami untuk memberikan
biaya penghidupan atau menentukan suatu kewajiban bagi istri dikuatkan dalam pasal 41 huruf
(c) Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 mengenai akibat putusnya perkawinan karena
perceraian ialah: “Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya
penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri”. Dalam Al-Qur‟an
ketentuan tentang mut’ah juga telah dibahas sebagaimana terdapat di dalam surah Al-Baqarah
ayat 241 yang menjelaskan tentang kewajiban suami untuk memberikan mut’ah terhadap mantan
istri. Mut’ah yang dimaksud disini adalah harta benda yang diberikan kepada istri yang dia
ceraikan.
Dalam beberapa peraturan perundang-undangan dan hukum Islam telah dijelaskan bahwa
istri berhak mendapatkan nafkah mut’ah dan iddah dari suami yang menceraikannya. Namun
tidak dijelaskan bahwa kadar atau besar kecilnya nafkah mut’ah dan iddah yang wajib diberikan
kepada istri yang diceraikannya. Hal ini yang menjadi hak hakim atas jabatanya (ex officio) di
Pengadilan Agama khususnya Pengadilan Agama Makassar dalam menentukan besar kecilnya
kadar nafkah mut’ahyang akan diberikan suami kepada istri pasca terjadinya perceraian.
Berdasarkan keterangan diatas, maka penulis tertarik untuk menggali lebih jauh tentang
apa saja yang menjadi penentuan besar kecilnya kadar nafkah mut’ahwanita karir dan Ibu Rumah
Tangga (IRT)dalam pengambilan keputusan oleh Hakim Pengadilan Agama Makassar.
II. PEMBAHASAN
A. Pengertian Nafkah Mut’ah dan Dasar Hukum Mut’ah
2Arskal Salim, dkk, “Demi Keadilan dan Kesetaraan Dokumentasi Program Sensitivitas Jender Hakim
Agama di Indonesia”, 2009, h. 65, sebagaimana dikutip oleh Futichatus Samiyah dalam skripsi “Realisasi
Pelaksanaan Nafkah Iddah Dalam Kasus Perceraian DI Pengadilan Agama Jakarta Selatan Tahun 2012” Fakultas
Syari‟ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, 2014, h. 9.
4 | S h a u t u n a
Nafkah dalam bahasa Arab berarti biaya, belanja dan pengeluaran uang.3 Maksudnya
ialah sesuatu yang diberikan seseorang kepada istri, kerabat dan miliknya sebagai keperluan
pokok bagi mereka. Keperluan pokok, seperti makanan, pakaian dan tempat tinggal.4 Sedangkan
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), nafkah adalah belanja untuk hidup (uang)
pendapatan.5 Kata nafkah berasal dari bahasa Arab asal katanya dari mashdar ا نفاق , yang
berarti لا خر اجا (membelanjakan) kata ini tidak digunakan kecuali untuk yang baik saja. Adapun
bentuk jama-nya adalah نفقا تsecara bahasa berarti:
له علىعياما ينفقه ا لانسا ن Artinya:
“Sesuatu yang dikeluarkan manusia untuk tanggungannya”6
Sedangkan kata Mut’ah dengan dhammah min (mut’ah) atau kasrah (mit’ah) akar kata
dari al-mata’, yaitu sesuatu yang disenangi.7Mut’ah(ا لمتعة) secara bahasa artinya adalah
kesenangan.8 Sedangkan menurut istilah yaitu sesuatu yang diberikan kepada istri yang dicerai
sebagai penghibur. 9 Maksud dari pengertian kata mut’ah diatas adalah materi yang diserahkan
suami kepada istri yang dipisahkan dari kehidupannya karena talak atau semakna dengannya
dengan syarat tertentu.
Secara definitive, makna mut’ah adalah sejumlah harta yang wajib diserahkan suami
kepada istri yang telah diceraikannya dengan cara cerai talak atau cara yang semakna dengan hal
tersebut. Dengan kata lain apabila terjadi perceraian yang bukan melalui cara cerai talak
3Ahmad Warson Al-Munawir, Kamus Bahasa Arab Indonesia (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), h. 1449.
4Departemen Agama RI, Ilmu Fiqh, Jilid II (Jakarta: Ditjen Binbaga Islam, 1984/1985), h. 184.
5Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi III (Cet. II; Jakarta: Balai
Pustaka, 2002), h. 679.
6Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-islam wa Adillatuhu, Jilid II (Cet. II; Beirut: Dar al-Fikr, 1989), h. 765.
7H. M. A. Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat (Cet. 2; Jakarta: Rajawali Pers, 2010), h. 37.
8Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Munakahat (Cet. II; Jakarta:
Amzah, 2011), h. 207
9Ahmad Dzulfikar, Kamus Ekstra Lengkap Arab-Indonesia-Inggris (Cet. 1; Jakarta: Mutiara Media, 2010),
h. 503.
5 | S h a u t u n a
misalnya dengan cara khuluk (cerai gugat) yang perceraian tersebut berasal dari pihak istri maka
istri tidak mempunyai hak mut’ah sama sekali.10
Mengenai dasar hukum mut’ah terdapat di dalam Firman Allah swt. QS al-
Baqarah/2:241.
ن ي تق م ل ا ى ل ع ا ق ح روف ع م ل ا ب اع ت م ات لق ط م ل ولTerjemahnya :
“Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh suaminya) mut‟ah menurut yang mar‟uf, sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa.
11
Berdasar redaksi ayat ini, ada ulama yang mewajibkan setiap suami yang menceraiakan
istrinya untuk memberikan biaya hidup yang wajar kepadanya. Apakah suami itu telah
berhubungan seks dengannya atau belum, dan apakah ada kewajiban sebelumnnya untuk
membayar mahar maupun tidak ada. Apabila dia teleh menetapkan mahar namun belum
berhubungan seks, maka kewajiban suami adalah memberikan setengah dari mahar yang telah
ditetapkannya. Jika ayat ini dipahami sebagaimana pemahaman, maka kata mut’ah berarti
pemberian suami kepada istri yang diceraikan berupa sesuatu selain kewajiban-kewajiban yang
ditetapkan atasnya.12
Mengenai dasar hukum mut’ah juga terdapat dalam firman Allah swt. yang menegaskan
adanya mut’ah pada istri Nabi yaitu dalam surat al-Ahzab/33:28.
ن ك ع ت م أ ن ي ل ا ع ت ف ا ه ت ن وزي ا ي ن د ل ا ة ا ي ح ل ا ن رد ت ن ت ن ن ك إ ك ج لزوا ل ق ي نب ل ا ا ه ي أ ا يل ي م ج ا ح را س ن ك رح س وأ
Terjemahnya:
“Hai nabi, Katakanlah kepada istri-istrimu: “Jika kamu sekalian mengingini kehidupan dunia dan perhiasannya, Maka marilah supaya kuberikan kepadamu mut‟ah dan Aku ceraikan kamu dengan cara yang baik”.
13
10
Sanuri Majana, “Penentuan Mut‟ah Wanita Karir dalam Pandangan Hukum Positif Indonesia”, Jurnal
Hukum Islam, Vol. 3, No. 1(IAIN Bengkulu, 2018), h. 4.
11https://tafsirq.com/2-al-baqarah/ayat-241 (diakses pada tanggal, 20 April 2019, 10.12)
12M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Vol. 1, (Jakarta: Lentera
Hati, 2002), h. 523-524.
13https://tafsirq.com/33-al-ahzab/ayat-28 (diakses pada tanggal, 17 Juli 2019, 10.00)
6 | S h a u t u n a
Juga Firman Allah swt. dalam QS al-Ahzab/33:49.
ل ي م ا ج ح را س ن وه رح وس ن وه ع ت م فTerjemahnya:
“Maka hendaklah mereka mut’ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik-baiknya.”
14
Menurut M. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah, yang dimaksud oleh Allah swt.
dengan firman-Nya: Maka karena itu lakukan perceraian itu secara baik-baik dan berilah mereka
mut’ah yakni imbalan material sebagai penghibur hati mereka atas perceraian itu dan
lepaskanlah mereka yakni talaklah mereka dengan cara yang sebaik-baiknya melalu ucapan dan
tingkah laku kamu, dan biarkan mereka menempuh jalan yang mereka inginkan.15
Sedangkan menurut Ath-Thabari, yang dimaksud oleh Allah swt. dengan firman-Nya
“Kepada wanita-wanita yang diceraikan hendaklah diberikan mut’ah oleh suaminya” ini adalah
sesuatu yang dapat menyenangkan istri baik berupa pakaian, harta, pelayan, atau lainnya yang
dapat menghibur hatinya. 16
Dasar hukum mut’ah menurut KHI terdapat dalam pasal-pasal berikut:17
Pasal 149
Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib:
1) Memberikan mut’ah yang layak kepada bekas istrinya, baik berupa uang atau benda,
kecuali bekas istri tersebut qobla al dukhul;
2) Memberi nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas istri selama dalam iddah, kecuali
bekas istri telah di jatuhi talak ba1in atau nusyur dan dalam keadaan tidak hamil;
3) Melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya, dan separuh apabila qobla al
dukhul;
14
https://tafsirq.com/33-al-ahzab/ayat-49 (diakses pada tanggal, 20 April 2019, 10.15)
15M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Vol. 11, h. 297-298.
16Abu Ja‟far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, “Tafsir Ath-Thabari”, Alih Bahasa Moh. Kholid, Tafsir At-
Thabari, Jilid 2 (Bandung: Darussalam, 2007), h. 1424.
17Muhlifa Nur Prahandika, “Penetapan Kadar Nafkah Iddah dan Mut‟ah Oleh Hakim Pada Cerai Talak di
Pengadilan Agama Salatiga (Studi Putusan Cerai Talak Tahun 2017)”Skripsi (IAIN Salatiga, 2018), h. 38.
7 | S h a u t u n a
4) Memberikan biaya hadhanan untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21
tahun.
Pasal 158
Mut’ah wajib diberikan oleh bekas suami dengan syarat :
1) Belum ditetapkan mahar bagi istri ba`da al dukhul;
2) Perceraian itu atas kehendak suami.
Pasal 159
Mut’ah sunnah diberikan oleh bekas suami tanpa syarat tersebut pada pasal 158.
Pasal 160
Besarnya mut’ah disesuaikan dengan kepatutan dan kemampuan suami.
B. Jenis Pemberian Mut’ah Menurut Ulama
Dalam Islam juga disinggung tentang ketentuan kadar nafkah dan sisi kemampuan
memenuhi kewajiban nafkah memiliki kaitan erat dalam aplikasi nafkah secara riil, diakui
bahwa, memang di kalangan para ulama terjadi perbedaan pandangan mengenai kadar, jenis dan
kemampuan nafkah secara orang perorang dalam pemenuhannya, antara lain dalam hal
penentuan jenis kebutuhan nafkah. Ulama Hanafiah dan Zhahiriyah berpendapat bahwa mut’ah
mempunyai ukuran yang ditentukan, yaitu tiga helai pakaian, baju kurung, kerudung, dan
rangkapan. Sedangkan ulama Syafi‟iyah berpendapat bahwa mut’ah tidak memiliki ukuran
tertentu, tetapi disunnahkan tidak kurang dari 30 dirham atau seharga itu. Ukuran ini mengambil
dari hadis yang diriwayatkan dari Abi Majlaz.
Ulama Hambali berpendapat bahwa mut’ah yang paling tinggi diberi pembantu, yang
pertengahan diberi pakaian, dan yang paling rendah diberi pakaian yang cukup untuk sholat,
yaitu baju kurung dan kerudung. Ukuran mut’ah tidak diterangkan dalam syara’, mut’ah berada
di antara sesuatu yang memerlukan ijtihad maka wajib dikembalikan kepada hakim sebagaimana
hal-hal lain yang memerlukan ijtihad. Ukuran mut’ah berbeda-beda sesuai dengan perbedaan
zaman dan tempat. Mut’ah yang layak dan rasional pada suatu zaman terkadang tidak layak pada
8 | S h a u t u n a
zaman lain. Demikian juga mut’ah yang layak di suatu tempat terkadang tidak layak ditempat
lain.
Pendapat yang kuat adalah pendapat ulama Syafi‟iyah, pendapat Abu Yusuf dari ulama
Hanafiyah dan pendapat yang dijelaskan oleh Imam Ahmad, bahwa hakim ketika berijtihad
tentang ukuran mut’ah hendaknya melihat kondisi suami, apakah tergolong mudah atau susah,
kaya atau miskin.18
sebagaimana firman Allah swt. dalam QS al-Baqarah/2:236.
C. Pengertian Cerai Talak
Secara harfiyah Talak berarti lepas dan bebas. Dihubungkannya kata talak dalam arti kata
ini dengan putusnya perkawinan antara suami dan istri sudah lepas hubungannya atau masing-
masing sudah bebas.19
Pengertian cerai talak dapat kita pahami dari pasal 66 ayat (1) UU No. 7 tahun 1989,
yang berbunyi:
Seorang suami yang beragama Islam yang akan menceraikan istrinya mengajukan permohonan kepada Pengadilan untuk mengadakan sidang guna menyaksikan ikrar talak.
20
Dari sana dapat kita ambil kesimpulan bahwa cerai talak adalah permohonan suami
kepada pengadilan untuk menceraikan istrinya dengan menjatuhkan talak.
Secara terminologis, ulama mengemukakan rumusan yang berbeda namun esensinya
sama. Al-Mahalli dalam kitabnya Syarh Minhaj al-Thalibin merumuskan talak dalam arti
melepaskan hubungan pernikahan dengan menggunakan lafaz talak dan sejenisnya atau dalam
rumusan yang lebih sederhana dapat dikatakan melepaskan ikatan perkawinan. Dari rumusan
yang dikemukakan oleh al-Mahalli yang mewakili definisi yang diberikan kitab-kitab fiqh
terdapat tiga kata kunci yang menunjukkan hakikat perceraian yang bernama talak.21
Pertama:
kata “melepaskan” atau membuka atau menanggalkan mengandung arti bahwa talak itu
18
Sanuri Majana, “Penentuan Mut’ah Wanita Karir dalam Pandangan Hukum Positif Indonesia”, h. 75-76.
19Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2009), h. 198.
20Tim Redaksi Sinar Grafika, Amandemen Undang-Undang Peradilan Agama (Cet. I; Jakarta: Sinar
Grafika, 2010), h. 10.
21Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, h. 199.
9 | S h a u t u n a
melepaskan sesuatu yang selama ini telah terikat, yaitu ikatan perkawinan. Kedua: kata “ikatan
perkawinan”, yang mengandung arti bahwa talak itu mengakhiri hubungan perkawinan yang
terjadi selama ini. Bila ikatan perkawinan itu memperbolehkan hubungan antara suami dan isteri
kembali kepada keadaan semula, yaitu haram. Ketiga: kata “dengan lafaz tha-la-qa dan sama
maksudnya dengan itu” mengandung arti bahwa putusnya perkawinan itu melalui suatu ucapan
dan ucapan yang digunakan itu adalah kata-kata talak tidak disebut dengan: putus perkawinan
bila tidak dengan cara pengucapan ucapan tersebut, seperti putus karena kematian.
Dalam perkawinan dapat diputus disebabkan perceraian dijelaskan pada Pasal 114 KHI
yang membagi perceraian menjadi dua bagian, yaitu perceraian yang disebabkan karena talak
dan perceraian yang disebabkan oleh gugatan perceraian.
Berbeda dengan Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 yang tidak mengenal
istilah talak, KHI menjelaskan yang dimaksud dengan talak adalah ikrar suami dihadapan sidang
Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan dengan cara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 129, 130, dan 131.
Macam-macam Talak
Berdasarkan perspektif hukum Islam, jenis-jenis talak atau perceraian dapat dibedakan
atas:
a. Apabila ditinjau dari segi boleh tidaknya suami merujuk istrinya kembali, maka jenis-
jenis talak itu meliputi:
a) Talak raj‟i, yakni talak yang dijatuhkan suami, dimana suami berhak rujuk selama istri
masih dalam masa iddah tanpa harus melangsungkan akad nikah baru. Talak seperti ini
adalah talak kesatu atau talak kedua.
b) Talak ba‟in, terdiri atas:
1) Talak ba‟in shughraa (kecil), yakni talak yang tidak boleh dirujuk, tetapi boleh
akad nikah baru dengan bekas suaminya meskipun dalam masa iddah, seperti
talak yang terjadi sebelum adanya hubungan seksual (qobla al dukhul), talak
dengan tebusan atau khulu‟ dan talak yang dijatuhkan oleh Pengadilan Agama.
10 | S h a u t u n a
2) Talak ba‟in kubraa (besar), yakni talak yang tidak dapat rujuk dan tidak dapat
dinikahkan kembali, seperti talak yang terjadi ketiga kalinya dan talak sebab li‟an.
b. Apabila ditinjau dari segi waktu menjatuhkan talak, maka jenis-jenis talak itu meliputi:
a) Dijatuhkan terhadap istri yang sedang suci dan tidak dicampuri dalam waktu suci
tersebut.
b) Talak bid‟I (haram), yakni talak yang dilarang yang dijatuhkan pada waktu istri dalam
keadaan haid, atau istri dalam keadaan suci tetapi sudah dicampuri dalam waktu suci
tersebut.
D. Pengertian Wanita Karier
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), “wanita” berarti perempuan dewasa.
Sedangkan “wanitakarier” berarti wanita yang berkecimpung dalam kegiatan profesi (usaha,
perkantoran, dsb).22
Karier adalah pekerjaan yang memberikan harapan untuk maju. Oleh karena
itu, karier selalu dikaitkan dengan uang dan kuasa. Namun bagi sebagian yang lain, masalah
tentu bukan sekedar itu, karier juga merupakan karya yang tidak dapat dipisahkan dengan
panggilan hidup. Orang yang hidup sesuai dengan panggilan hidupnya akan menikmati hidup
bahagia.23
Menurut hukum Islam, wanita berhak memiliki harta dan membelanjakan, menggunakan,
menyewakan, menjual atau menggadaikan atau menyewakan hartanya. Mengenai hak wanita
karier atau wanita yang bekerja diluar rumah, harus ditegaskan sebelumnya bahwa Islam
memandang wanita karena peran dan tugasnya dalam masyarakat sebagai ibu dan istri sebagai
peran yang mulia. Islam juga menganjurkan wanita untuk tetap tinggal dalam rumah
sebagaimana yang disebutkan dalam QS Al-Baqarah ayat 233 dan QS Al-Ahzab ayat 33.Namun
demikian, tidak ada satupun petunjuk maupun ketetapan dalam agama Islam yang menyatakan
22
Ebta Setiawan, “Kamus Besar Bahasa Indonesia Kamus Versi Online/daring (dalam jaringan)”.
https:/www.google.com/amp/s/kbbi.web.id/wanita.html (22 Juni 2019).
23Irma Erviana, “Wanita Karir Perspektif Gender dalam Hukum Islam di Indonesia” Skripsi (UIN Alauddin
Makassar, 2017), h.17.
11 | S h a u t u n a
bahwa wanita dilarang bekerja diluar rumah khususnya jika pekerjaan tersebut membutuhkan
peran dan penanganan wanita. Misalnya perawat, pengajar anak-anak dan dalam hal
pengobatan.24
Adapun ulama fiqih menyatakan ada dua alasan dimana seorang wanita diperbolehkan
untuk bekerja diluar rumah dan mencari nafkah, apabila berdasarkan pada alasan berikut: Rumah
tangga memerlukan banyak biaya untuk kebutuhan sehari-hari dan untuk menjalankan fungsi
keluarga sementara penghasilan suami belum begitu memadai, suami sakit atau meninggal
sehingga ia berkewajiban mencari nafkah bagi dirinya sendiri maupun anak-anaknya.
Masyarakat memerlukan bantuan dan peran wanita untuk melaksanakan tugas tertentu
yang hanya dapat dilakukan oleh seorang wanita seperti perawat, dokter, guru dan pekerjaan lain
yang sesuai dengan kodrat wanita.
Dijelaskan dalam sebuah hadits bahwa Rasulullah saw. sendiri tidak melarang wanita
untuk melakukan pekerjaan di luar rumah. Dari Mu‟adh ibn Sa„ad diceritakan bahwa budak
perempuan Ka„ab ibn Mâlik sedang menggembala kambingnya di Bukit Sala, lalu ada seekor
kambing yang sekarat. Dia sempat mengetahuinya dan menyembelihnya dengan batu.
Perbuatannya itu ditanyakan kepada Rasulullah saw. Beliau menjawab, “Makan saja!” (HR al-
Bukhari).
Alasan Istri Bekerja
Menurut Williams dalam Lemme, perempuan termotivasi untuk bekerja karena tiga
alasan, yaitu:
1. Kebutuhan Ekonomi, seringkali kebutuhan rumah tangga yang begitu besar dan
mendesak, membuat para ibu harus bekerja untuk bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari
2. Adanya aspek-aspek tertentu dari peran dalam keluarga yang memotivasi mereka untuk
mencari alternatif kegiatan selain berada dirumah (seerti kebosanan)
24
DalamIslam.com, “Wanita Karir dalam Pandangan Islam”,
https://www.google.com/amp/s/dalamislam.com/info-islami/wanita-karir-dalam-pandangan-islam/amp (22 Juni
2019)
12 | S h a u t u n a
3. Memenuhi kebutuhan psikologis seperti kontak sosial, merealisasikan potensi dan
keinginan untuk bermanfaat bagi lingkungan.
Dubeck dan Borman menambahkan satu alasan lagi yang memotivasi ibu untuk bekerja.
Alasan tersebut adalah pendidikan, semakin tinggi tingkatan pendidikan ibu, kecenderungan
mereka untuk bekerja juga semakin tinggi.25
E. Pengertian Ibu Rumah Tangga
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ibu rumah tangga dapat diartikan
sebagai seorang wanita yang mengatur penyelenggaraan berbagai macam pekerjaan rumah
tangga, atau dengan pengertian lain ibu rumah tangga merupakan seorang istri (ibu) yang hanya
mengurusi berbagai pekerjaan dalam rumah tangga (tidak bekerja di kantor). 26
Jadi, ibu rumah tangga merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan seorang
wanita yang telah menikah serta menjalankan pekerjaan rumah keluarga, merawat anak-anaknya,
memasak, membersihkan rumah dan tidak bekerja di luar rumah. Seorang ibu rumahtangga
sebagai wanita yang bertanggung jawab atas rumahtangganya.27
Peran dan Fungsi Ibu Rumah Tangga
Peran dan fungsi ibu rumah tangga adalah sebagai “tiang rumah tangga” amatlah penting
bagi terselenggaranya rumah tangga yang sakinah yaitu keluarga yang sehat dan bahagia, karena
di atas yang mengatur, membuat rumah tangga menjadi surga bagi anggota keluarga, menjadi
mitra sejajar yang saling menyayangi bagi suaminya. Menurut Baqir Sharif al-Qarashi, bahwa
para ibu merupakan sekolah-sekolah paling utama dalam pembentukan kepribadian anak, serta
saran, untuk memenuhi mereka dengan berbagai sifat mulia, sebagaimana sabda Nabi
Muhammad saw. yang artinya: “Surga di bawah telapak kaki ibu”, menggambarkan tanggung
25
Alia Mufifa, “Hubungan Work”, Skripsi (Universitas Indonesia, 2008), h. 1-2.
26Ebta Setiawan, “Kamus Besar Bahasa Indonesia Kamus Versi Online/daring (dalam jaringan)”.
https:/www.google.com/amp/s/kbbi.web.id/ibu.html (10 Juli 2019).
27http://digilib.unila.ac.id/290/10/BAB%20II.pdf (diakses pada tanggal, 16 Juli 2019, 19.25)
13 | S h a u t u n a
jawab ibu terhadap masa depan anaknya.28
Dari segi kejiwaan dan kependidikan, sabda Nabi di
atas ditunjukan kepada para orang tua khususnya para ibu, harus bekerja keras mendidik anak
dan mengawasi tingkah laku mereka dengan menanamkan dalam benak mereka berbagai
perilaku terpuji serta tujuan-tujuan mulia.29
Menurut Sharif Baqhir di antara peran penting ibu rumah tangga dalam keluarga adalah
ibu sebagai manager, guru, chef, perawat, accountant, design interior dan sebagai dokter.
Menurut Ni Made Sri Arwanti, ibu memiliki tugas sebagai berikut: 30
1. Ibu Sebagai Pendamping Suami
2. Ibu Sebagai Pengatur Rumah Tangga
3. Ibu Sebagai Penerus Keturunan
4. Ibu Sebagai Pembimbing Anak
5. Ibu Sebagai Pelaksana Kegiatan Agama.
Dasar Penetapan Hakim dalam Menentukan Mut’ah Istri Sebagai Wanita Karier dan Istri
Sebagai IRT di PA Makassar
Pertimbangan hakim dalam menetapkan nafkah mut’ah tidak terlepas dari hak ex officio
pada Hakim.Hak ex officio merupakan hak atau kewenangan yang dimiliki hakim karena
jabatannya dan salah satunya digunakan untuk memutus atau memberikan sesuatu yang tidak ada
dalam tuntutan. Meskipun dalam pasal 178 HIR ayat 2 dan 3 menjelaskan bahwa hakim karena
jabatannya wajib memberikan keputusan atas segala bagian tuntutan dan tidak boleh
menjatuhkan keputusan atas perkara yang tidak dituntut atau mengabulkan lebih dari pada yang
dituntut. Namun dalam menetapkan nafkah mut’ah terdapat pengecualian, apabila istri tidak
menuntut apapun terhadap suami yang akan menceraikannya maka hakim memiliki hak ex
28Zakiah Daradjat, Pendidikan Islam dalam Keluaga dan Sekolah (Jakarta: Ruhama, 1995), h. 50.
29http://sc.syekhnurjati.ac.id/esscamp/risetmhs/BAB259410031PAI.pdf (diakses pada tanggal, 16 Juli 2019,
19.23)
30http://eprints.uny.ac.id/7925/3/bab%202%20-%20%2007102241011.pdf (diakses pada tanggal, 16 Juli
2019, 19.48)
14 | S h a u t u n a
officio. Hal ini berdasarkan asas keadilan yang tertuang dalam Pasal 41 huruf (c) Undang-undang
No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Namun hakim tentu saja tidak serta merta menghukum
suami selaku pemohon secara ex officio apabila termohon tidak mengajukan gugatan rekonpensi.
Adapun yang menjadi pertimbangan hakim dalam menghukum pemohon secara ex officio
diantaranya adalah nusyuz tidaknya istri dan kemampuan suami secara materi.
Untuk dapat memberikan putusan pengadilan yang menciptakan kepastian hukum dan
mencerminkan keadilan, hakim sebagai aparatur negara yang melaksanakan peradilan harus
benar-benar mengetahui duduk perkara yang sebenarnya dan mempertimbangkan peraturan
hukum yang akan ditetapkan baik peraturan hukum yang terttulis maupun tidak tertulis atau
hukum adat yang menjadi landasan seorang hakim memutuskan perkara yang dihadapi. Arti
putusan hakim adalah suatu pernyataan oleh hakim sebagai aparatur negara yang diberi
wewenang untuk itu, lalu diucapkan dalam persidangan yang bertujuan untuk mengakhiri dan
menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antar pihak. Bukan hanya yang diucapkan saja yang
disebut putusan, melainkan juga pernyataan yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan kemudian
diucapkan oleh hakim di persidangan.31
Putusan cerai talak biasanya diikuti kewajiban suami untuk membayar nafkah iddah dan
mut’ah. Penetapan jumlah mut’ah yang diputuskan oleh hakim di Pengadilan Agama Makassar
tidak jauh berbeda dengan dasar penetapan di pengadilan lain. Penetapan kewajiban mut’ah
dibebankan kepada suami yang menceraikan istrinya, dalam artian suami yang mengajukan
permohonan perceraian ke pengadilan sebagaimana diatur dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal
149 huruf a.
Adapun yang menjadi dasar penetapan hakim Pengadilan Agama Makassar dalam
menentukan mut’ah yaitu QS al-Baqarah ayat 236 dan 241, QS al-Ahzab ayat 49, dan dalam UU
No. 1 Tahun 1974 Pasal 41 dan KHI pasal 149, 158, 159, 160.
31
Tutut Mawardiani, “Analisis Putusan Hakim Pengadilan Agama Maros Terhadap Pembebanan Nafkah
Mut‟ah Perkara Cerai Gugat (Studi Perkara Nomor: 184/PDT.G/2017/PA MRS)”Skripsi (UIN Alauddin Makassar,
2019), h. 46.
15 | S h a u t u n a
Dalam mengupayakan putusan yang adil, maka majelis hakim dalam pertimbangan
hukumnya harus memuat beberapa hal:
1. Gambaran tentang upaya hakim dalam mengklarifikasi fakta/ kejadian.
2. Penilaian hakim terhadap fakta-fakta yang diajukan para pihak.
3. Pertimbangan hakim secara kronologis dan terperinci terhadap fakta hukum baik dari
pihak penggugat/ pemohon maupun tergugat/ termohon.
4. Dasar hukum yang digunakan oleh hakim dalam menilai fakta dan memutus suatu
perkara.
Dalam penelitian ini penulis mengambil dua perkara cerai talak sebagai contoh yaitu
Perkara cerai talak yang didalamnya terdapat putusan mut’ah dengan status istri sebagai berikut.
1. Memiliki pekerjaan atau wanita karier contoh putusan Nomor 2320/Pdt.G/2017/PA Mks.
Dalam Konvensi Tertera
2. Istri yang berstatus sebagai ibu rumah tangga contoh putusan Nomor
2693/Pdt.G/2018/PA Mks.
Menurut Ibu Dra. Hj. Nadirah Basir, S.H., M.H., terkait penetapan uang mut’ah kepada
seorang suami yang hendak menceraikan istrinya. Beliau menahan hak talak terhadap istrinya
sampai sang suami mampu menyerahkan uang mut’ah sebesar enam juta rupiah. Sang suami
diberi batas waktu maksimal enam bulan. Hakim Nadirah menegaskan, jika dalam waktu yang
telah ditentukan itu suami tidak menyerahkan uang mut’ah maka haknya untuk menceraikan
istrinya menjadi batal. Keberanian hakim Nadirah dalam menahan hak talak suami karena beliau
melihat ada celah dalam KHI yang bisa dimanfaatkan untuk melindungi perempuan. Celah itu
berupa aturan KHI yang menyatakan bahwa mut’ah merupakan hak istri yang harus diberikan
oleh suami ketika menceraikan istrinya. Namun dalam KHI tidak ada aturan batas waktu (had),
dan atas dasar itu, hakim Nadirah berinisiatif untuk memberi waktu yang wajar yaitu enam bulan
untuk mengumpulkan enam juta sebagai uang mut’ah.
”...sebenarnya aturan itu (menafsirkan batas waktu pembayaran uang „iddah) masuk
daerah kekuasaan hakim, tinggal tergantung kepada hakimnya mau mempertimbangkan
16 | S h a u t u n a
itu atau tidak. Kalau diantara kita yang sudah mengikuti pelatihan, upaya itu jelas kami
lakukan karena disemangati oleh apa yang didapatkan dari
pelatihan...”(HakimNadirah)32
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Putusan Hakim Pengadilan Agama Makassar dalam
Menentukan Mut’ah Istri Sebagai Wanita Karier dan Istri Sebagai IRT
Alasan atau faktor-faktor yang menjadi pertimbangan hakim dalam memutuskan suatu
perkara memuat pertimbangan hakim secara kronologis dan juga korelasi antara fakta hukum
dalam persidangan dengan dalil-dalil hukum yang ada. Majelis hakim dituntut untuk
memberikan putusan yang seadil-adilnya bagi kedua belah pihak. Faktor-faktor yang menjadi
pertimbangan hakim diantaranya:
1. Lamanya usia perkawinan, hal ini menjadi acuan hakim dalam menentukan kadar mut’ah.
Jika semakin lama hubungan perkawinan, maka ukuran mut’ah semakin besar,
dikarenakan hal tersebut berkaitan dengan batin yang diderita oleh istri.
2. Kesalahan dalam rumah tangga yang menjadi penyebab perceraian, jika dalam penilaian
hakim kesalahan banyak dilakukan oleh suami, besar kemungkinan mut’ah akan menjadi
lebih besar.
3. Penentuan ukuran tersebut harus memenuhi rasa kepatuhan dan keadilan, fakta
dipersidangan, apabila tidak ada indikasi istri nusyuz hakim boleh mempergunakan hak
ex officio.
4. Melihat besar kecilnya mas kawin atau mahar pada saat akad nikah (atau setara dengan
mahar mitsli), besar mut‟ah boleh lebih besar dari mas kawin, tetapi tidak boleh kurang
dari mas kawin serta tidak boleh terlalu kecil.
5. Kemampuan suami, dilihat dari gaji setiap bulan dan dari latar belakang pekerjaannya.
32
Arskal Salim, dkk., Demi Keadilan dan Kesetaraan Dokumentasi Program Sensitivitas Jender Hakim
Agama di Indonesia, h. 67-68.
17 | S h a u t u n a
Mut’ah bukan semata-mata tuntutan istri kepada suami, namun mut’ah merupakan hadiah
suami kepada istri yang diceraikannya. Dikarenakan ada dalam peraturan sehingga hakim dapat
menentukan jumlahnya berdasarkan hak ex-officio.
Dalam wawancara dengan penulis setiap Hakim Pengadilan Agama Makassar
mempunyai pandangan yang berbeda dalam menentukan kadar nafkah mut’ah, diantaranya:
Bapak Drs. H. Muh. Anwar Saleh, S.H., M.H. mengatakan bahwa faktor-faktor yang
menjadi pertimbangan dalam menentukan kadar nafkah mut’ah dapat dilihat dari penghasilan
suami perbulan, lamanya berumah tangga, jumlah anak dan pekerjaan suami.33
Menurut Bapak Drs. H. Rahmatullah, M.H., terdapat dua faktor yang menjadi
pertimbangannya dalam menentukan nafkah mut’ah yaitu penghasilan suami perbulan dan
lamanya usia perkawinan, adapun untuk pembagian nafkah mut’ah antara wanita karier dan ibu
rumah tangga tidak ada perbedaan dalam penetapannya.34
Menurut Bapak Drs. H. Muhtar, S.H., M.H., penghasilan suami perbulan dan tidak
nuzyus merupakan faktor pertimbangannya dalam menentukan mut’ah. Adapun untuk
pembagian nafkah mut’ah antara wanita karier dan ibu rumah tangga dalam penetapannya
berbeda, beliau menetapkan kadar mut’ah lebih tinggi untuk ibu rumah tangga.35
Sedangkan Ibu Dra. Kartini Suang mengatakan bahwa faktor yang menjadi
pertimbangannya dalam menentukan mut’ah adalah kemampuan suami, lamanya usia
perkawinan, dan pembuktian dipersidangan. Lalu untuk pemberian nafkah mut’ah itu sunnah
atau tidak wajib.36
33
Muh. Anwar Saleh, Hakim Pengadilan Agama Makassar, Wawancara, Makassar, 11 September 2019
Pukul 13.05.
34Rahmatullah, , Hakim Pengadilan Agama Makassar, Wawancara, Makassar, 11 September 2019 Pukul
14.14.
35Muhtar, Hakim Pengadilan Agama Makassar, Wawancara, Makassar, 11 September 2019 Pukul 14.00.
36Kartini Suang , Hakim Pengadilan Agama Makassar, Wawancara, Makassar, 22 Agustus 2019 Pukul
09.43.
18 | S h a u t u n a
III. PENUTUP
Kesimpulan
Dasar hukum hakim Pengadilan Agama Makassar dalam menentukan mut’ah yaitu QS al-
Baqarah ayat 236, 237 dan 241, QS al-Ahzab ayat 49, dan dalam UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 41
dan KHI pasal 149, 158, 159, 160. Dalam QS Al-Baqarah/2:236 menjelaskan hukum wanita
tercerai sebelum bercampur dan belum ditentukan maharnya, ia wajib diberi mut'ah. Kemudian,
dalam QS Al-Baqarah/2:237 menjelaskan hukum wanita tercerai sebelum bercampur dan telah
ditentukan maharnya, hukumnya ia wajib diberi separuh mahar yang ditentukan. Metode
pemahaman QS Al-Baqarah ayat 236 dan 237 diatas firman Allah pada ayat pertama: "dan
berilah mut'ah mereka"adalah suatu perintah. Perintah secara hakikat berlaku untuk kewajiban
selama tidak ada tanda- tanda yang menyertainya (qarinah) yang memalingkan kewajiban
tersebut kepada makna lain, yakni sunnah atau anjuran dan atau lainnya. Ketika tidak didapatkan
qarinah, perintah disini kembali kepada hakikatnya, yaitu wajib. Jadi, mut'ah wajib bagi wanita
yang tercerai sebelum dicampuri, dan belum dipastikan maharnya.
Adapun faktor-faktor yang menjadi pertimbangan hakim adalah Lamanya usia
perkawinan, Kesalahan dalam rumah tangga yang menjadi penyebab perceraian, Penentuan
ukuran tersebut harus memenuhi rasa kepatuhan dan keadilan, Melihat besar kecilnya mas kawin
atau mahar pada saat akad nikah (atau setara dengan mahar mitsli), dan Kemampuan suami,
dilihat dari gaji setiap bulan. Hakim Pengadilan Agama Makassar berbeda pandangan dalam
menentukan kadar nafkah mut’ah. Ada hakim yang menetapkan mut’ah istri wanita karier dan
ibu rumah tangga sama penetapannya dan ada juga hakim yang berbeda dalam menentukan
kadar mut’ah wanita karier dan ibu rumah tangga.
19 | S h a u t u n a
DAFTAR PUSTAKA
Al-Munawir, Ahmad Warson. Kamus Bahasa Arab Indonesia. Surabaya: Pustaka Progresif. 1997.
al-Zuhaili, Wahbah. al-Fiqh al-islam wa Adillatuhu. Jilid II. Cet. II; Beirut: Dar al-Fikr. 1989.
Ath-Thabari, Abu Ja‟far Muhammad bin Jarir . “Tafsir Ath-Thabari”. Alih Bahasa Moh. Kholid. Tafsir At-Thabari. Jilid 2. Bandung: Darussalam. 2007.
Aziz, Abdul Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas. Fiqh Munakahat. Cet. II; Jakarta: Amzah. 2011.
Dzulfikar, Ahmad. Kamus Ekstra Lengkap Arab-Indonesia-Inggris. Cet. 1; Jakarta: Mutiara Media. 2010.
DalamIslam.com. “Wanita Karir dalam Pandangan Islam”. Situs Resmi Dalam Islam https://www.google.com/amp/s/dalamislam.com/info-islami/wanita-karir-dalam-pandangan-islam/amp (22 Juni 2019).
Erviana, Irma. “Wanita Karir Perspektif Gender dalam Hukum Islam di Indonesia”. Skripsi. Makassar: Fakultas Syariah dan Hukum UIN Alauddin Makassar, 2017.
Daradjat, Zakiah. Pendidikan Islam dalam Keluaga dan Sekolah. Jakarta: Ruhama. 1995.
Departemen Agama RI, Ilmu Fiqh. Jilid II.Jakarta: Ditjen Binbaga Islam. 1984/1985.
Mufifa, Alia. “Hubungan Work”. Skripsi. Jakarta: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2008.
Mawardiani, Tutut. “Analisis Putusan Hakim Pengadilan Agama Maros Terhadap Pembebanan Nafkah Mut‟ah Perkara Cerai Gugat (Studi Perkara Nomor: 184/PDT.G/2017/PA MRS)”. Skripsi. UIN Alauddin Makassar. 2019.
Prahandika, Muhlifa Nur . “Penetapan Kadar Nafkah Iddah dan Mut‟ah Oleh Hakim Pada Cerai Talak di Pengadilan Agama Salatiga (Studi Putusan Cerai Talak Tahun 2017)”. Skripsi. IAIN Salatiga. 2018.
Quraish, Shihab M. Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an. Vol. 1; Jakarta: Lentera Hati. 2002.
Quraish, Shihab M. Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an. Vol. 11; Jakarta: Lentera Hati. 2002.
Ramulyo, Mohd. Idris. Hukum Perkawinan Islam: Suatu Analisis dari Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam. Cet. II; Jakarta: PT Bumi Aksara. 1996.
Salim, Arskal dkk. Demi Keadilan dan Kesetaraan Dokumentasi Program Sensitivitas Jender Hakim Agama di Indonesia. Jakarta: PUSKUMHAM UIN Syarif Hidayatullah dan The Asia Foundation, 2009.
Samiyah, Futichatus. “Realisasi Pelaksanaan Nafkah Iddah Dalam Kasus Perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Selatan Tahun 2012”. Skripsi. UIN Syarif Hidayatullah. 2014.
Sahrani, Sohari dan H. M. A. Tihami. Fikih Munakahat. Cet. 2; Jakarta: Rajawali Pers. 2010.
Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana. 2009.
Sayyed Hawwas, Abdul Wahhab dan Abdul Aziz Muhammad Azzam. Fiqh Munakahat. Cet. 2; Jakarta: Amzah. 2011.
Tim Redaksi Sinar Grafika. Amandemen Undang-Undang Peradilan Agama. Cet. Pertama; Jakarta: Sinar Grafika. 2010.
20 | S h a u t u n a
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi III. Cet. 2; Jakarta: Balai Pustaka. 2002.
TafsirQ.com. “Tafsir Al-Quran Online”. Situs Resmi TafsirQ. https://tafsirq.com/ (20 April 2019).