dampak perubahan tata guna lahan terhadap …konteks.id/p/04-028.pdf · banjir menggunakan model...
TRANSCRIPT
Konferensi Nasional Teknik Sipil 4 (KoNTekS 4)
Sanur-Bali, 2-3 Juni 2010
Universitas Udayana – Universitas Pelita Harapan Jakarta – Universitas Atma Jaya Yogyakarta I - 259
DAMPAK PERUBAHAN TATA GUNA LAHAN TERHADAP RESPON HIDROGRAF
BANJIR DI DAERAH ALIRAN SUNGAI SAMPEAN BARU
Gusfan Halik
1, Sri Wahyuni
2, dan Achmad Maududie
3
1Jurusan Teknik Sipil, Universitas Jember, Jl. Slamet Riyadi 62 Jember
Email : [email protected] ; [email protected] 2Jurusan Teknik Sipil, Universitas Jember, Jl. Slamet Riyadi 62 Jember
Email : [email protected] 3Jurusan Teknik Sipil, Universitas Jember, Jl. Slamet Riyadi 62 Jember
Email : [email protected]
ABSTRAK
Perubahan tata guna lahan (land use) merupakan masalah kompleks yang dalam prosesnya
berhubungan dengan faktor alam dan manusia. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari respon
hidrograf banjir akibat adanya perubahan lahan di DAS Sampean Baru. Pengumpulan pola tata guna
lahan menggunakan teknologi penginderaan jauh (Landsat 7 ETM+), sedangkan pemodelan respon
banjir menggunakan model GIS (AVSWAT-2000). Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam
kurun waktu antara tahun 1999 sampai 2009 telah terjadi pengurangan luasan hutan sebesar 3,456
Ha (4.45%), pengurangan luasan perkebunan sebesar 1,896 (2.44%), peningkatan luasan semak
belukar sebesar 1,352 Ha (1.74%), peningkatan luasan sawah tadah hujan sebesar 2,976 Ha (3.83%).
Luasan hutan saat ini (eksisting) sebesar 13,20 % dari luas total DAS (761 km2). Sedangkan hasil
simulasi menggunakan model SWAT-2000 menunjukkan bahwa penambahan luasan hutan menjadi
20% ; 30% ; 40% dan 50% dari luas DAS total akan mengakibatkan terjadinya penurunan (reduksi)
debit banjir sebesar 5,60% ; 17,69% ; 26,62% dan 52,54% terhadap banjir eksisting. Dari penelitian
ini dapat disimpulkan bahwa prosentase luasan hutan minimum di DAS Sampean Baru agar tidak
menyebabkan terjadi banjir adalah sebesar 30 % dari luas DAS.
Kata Kunci : model land use , penginderaan jauh, GIS , AVSWAT-2000
1. PENDAHULUAN
Ada suatu ramalan, bahwa pada abad ke-21 ini, andaikata segalanya berjalan tanpa ada perubahan seperti keadaan
yang terjadi selama 50 tahun sebelumnya, maka diperkirakan hutan dan air menjadi barang langka, kemampuan
tanah untuk menyediakan air sudah tidak mampu lagi, tanah menjadi kering, bahkan bisa jadi menjadi padang
gersang yang tandus akibat adanya kenaikan temperatur. Alam berada dalam keadaan paling rawan, banjir terjadi
dimana-mana dan bumi tidak mempunyai kesuburan lagi untuk menumbuhkan tanaman. Dengan kata lain berarti
sistem yang menopang kehidupan di muka bumi ini mengalami kemunduran. Keadaan yang demikian ini adalah
tantangan bagi generasi di masa kini dan dimasa yang akan datang (Sarwono dalam Kodoatie, 2002).
Daerah aliran sungai (DAS) Sampean merupakan DAS lintas kabupaten. Bagian hulu terletak di Kabupaten
Bondowoso dan bagian hilir di Kabupaten Situbondo. Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh Balai PSAWS
Sampean menunjukkan bahwa pola tata guna lahan DAS Sampean Baru terdiri dari : hutan, perkebunan, tegalan,
sawah dan pemukiman. Komposisi luasan hutan terjadi penurunan, akibat adanya penggundulan hutan secara besar-
besaran yang merupakan fenomena dan wacana yang terjadi dan sulit dihindari. Perubahan semacam ini membawa
efek negatif terhadap proses-proses hidrologi di suatu daerah aliran sungai (DAS). Berkurangnya kawasan hutan
yang berfungsi sebagai penahan laju aliran akan mempengaruhi karakteristik limpasan permukaan (runoff).
Sementara itu, apabila peningkatan volume limpasan permukaan terjadi dengan cepat pada waktu yang singkat akan
menyebabkan peningkatan debit puncak dan banjir di daerah hilir.Dampak dari penurunan luasan hutan ini berupa
banjir bandang yang terjadi di Kabupaten Situbondo pada bulan Januari 2002, kemudian disusul banjir pada bulan
Februari 2008 (anonim, 2008).
Salah satu upaya untuk mengurangi besarnya debit banjir dapat dilakukan melalui kegiatan optimalisasi pengelolaan
tataguna lahan di DAS Sampean Baru, sehingga dapat diketahui dampak dari perubahan tataguna lahan terhadap
respons debit banjir. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang hubungan antara tataguna lahan
dan debit banjir di DAS Sampean Baru Bondowoso. Hasil penelitian ini diharapkan menjadi masukan atau referensi
bagi stakeholder dan instansi terkait dalam melakukan upaya optimalisasi tata guna lahan di DAS Sampean Baru
Kabupaten Bondowoso.
Gusfan Halik , Sri Wahyuni dan Achmad Maududie
Universitas Udayana – Universitas Pelita Harapan Jakarta – Universitas Atma Jaya Yogyakarta I - 260
2. TINJUAN PUSTAKA
Teknologi Penginderaan Jauh Teknologi penginderaan jauh merupakan teknologi yang digunakan untuk mendapatkan informasi suatu objek,
luasan atau tentang fenomena dimuka bumi berdasarkan analisa data yang diperoleh dari sensor. Teknologi
penginderaan jauh ini memanfaatkan citra satelit sebagai data dasarnya, sehingga diperlukan teknik pengolahan data
citra (image processing). Teknologi ini umumnya dimanfaatkan untuk cakupan area yang sangat luas dengan tingkat
perubahan objek yang cepat. Pendeteksian perubahan tutupan lahan sering memanfaatkan teknologi ini. Beberapa
penelitian mengenai pemanfaatan teknologi penginderaan jauh dalam mendeteksi perubahan tata guna lahan dan
tutupan lahan yang telah dilakukan diantaranya : Boakye, E., et.al., (2008) ; Wenli Huang, et.al., (2008) ; Lassana
Ballo, et.al., (2008) ; Fenglei Fan., et.al., (2007) ; Seto., K.C., et.al., (2002), John Rogan and DongMei Chen,
(2004).
Menurut Schultz (2000), ada empat karakteristik data remote sensing yang membuatnya potensial dan bermanfaat
untuk digunakan dalam pengembangan sumberdaya air, yaitu : a). pengukuran status dari suatu sistem (measuring
system state), b). variabilitas spasial terhadap data luasan atau data titik., c). kemampuannya untuk menghasilkan
seri data yang sangat spesifik sesuai dengan informasi yang dinginkan, dan d). kemampuan asimilasi data dengan
berbagai panjang gelombang, sudut pandang maupun polarisasinya.
Pengolahan data citra didasarkan pada spektrum panjang gelombang (spectral reflectance) yang ada pada citra
satelit. Nilai spectral reflectance yang dipilih sangat tergantung pada karakteristik objek yang diamati (diteliti). Hal
terpenting dalam pengolahan citra adalah klasifikasi citra. Klasifikasi citra merupakan suatu proses penyusunan,
pengurutan atau pengelompokan semua piksel yang terdapat dalam bands citra yang bersangkutan ke dalam
beberapa kelas atau kelompok berdasarkan suatu kriterio objek tertentu, sehingga akan dihasilkan peta tematik
dalam bentuk raster. Tujuan dari klasifikasi ini adalah untuk mengekstraksi pola-pola respon spektral (dominan)
yang terdapat dalam citra.
Secara umum, proses pengklasifikasian dapat dilakukan dengan dua metode (prahasta, 2008:227), yaitu klasifikasi
tidak terawasi (unsupervised classification) dan klasifikasi terawasi (supervised classification). Klasifikasi tidak
terawasi dilakukan dengan cara mengelompokkan (clustering) piksel-piksel citra berdasarkan aspek statistik-
matematis, tanpa pendefinisian kelas-kelas oleh pengguna. Oleh karena itu diperlukan orientasi tambahan agar
interpretasi citra lebih akurat. Sedangkan klasifikasi terawasi dilakukan dengan mempertingkan keberadaan kelas-
kelas yang sebelumnya telah didefinisikan oleh pengguna, sehingga diperlukan suatu training area untuk setiap
kelasnya.
Untuk mendapatkan informasi data spasial dari citra satelit perlu dilakukan klasifikasi, berupa proses identifikasi
pixel citra berdasarkan kesamaan bentuk spektralnya. Klasifikasi ini dilakukan dengan metode supervised
classification. Metode ini akan memberikan hasil yang cukup akurat (Nicholas, 2003), meskipun tergantung pada
keahlian dan tingkat pengenalan lapangannya. Informasi data spasial ini kemudian dibandingkan dengan data
observasi lapangan, sehingga diperlukan kegiatan cek ground di lapangan.
Salah satu sistem yang sesuai untuk menyajikan kondisi tersebut adalah sistem informasi berbasis spasial atau data
keruangan. Sistem ini sering digunakan untuk mendeteksi kondisi tata guna lahan dengan menerapkan model
kartografi (Aronoff, 1991). Dengan model ini keberadaan, kondisi dan status objek, baik secara individu atau
kelompok dapat digambarkan secara akurat, sehingga sistem ini sangat cocok untuk keperluan perencanaan,
manajemen, konservasi dan pengembangan sumberdaya alam (Lang, 1998 ; Prahasta, 2002). Model yang berbasis
data spasial ini menggunakan teknik layering untuk mengorganisasi data yang digunakan, dimana setiap tema data
akan disimpan pada satu layer. Pada Model ini, pada setiap tema terdiri dari dua data dasar, yaitu : data geometri dan
data atribut yang keduanya saling memilik relationship (Laurini, 1996).
Pemodelan dengan AVSWAT-2000 AVSWAT 2000 adalah sebuah extension dari arcview dan graphical user interface untuk model SWAT (Soil and
Water Assessment Tool). SWAT merupakan model skala yang dikembangkan untuk memprediksi dampak dari
praktek pengelolahan lahan terhadap limpasan air, sedimen dan bahan kimia agrikultur di DAS yang besar dan
komplek dengan kondisi tanah, tataguna lahan dan pengelolaan yang bervariasi (Di Luzio, 2002).
Dalam sistem ini, ArcView menggabungkan model komputasi GIS dengan tampilan aplikasi yang berbasis
windows. SWAT diorganisasikan di dalam beberapa rangkaian alat yang dikelompokkan mengikuti delapan modul
berikut (Di Luzio, 2002:2) :
Dampak Perubahan Tata Guna Lahan Terhadap Respon Hidrograf Banjir Di Daerah Aliran Sungai Sampean Baru
Universitas Udayana – Universitas Pelita Harapan Jakarta – Universitas Atma Jaya Yogyakarta I - 261
1. Penggambaran DAS (Watershed delination)
2. Pedifinisian tataguna lahan dan jenis tanah (Land use and soil definition)
3. Pendifinisian stasiun cuaca (Definition of the weather stations)
4. Pengeditan model data base (Editing of the model data bases)
5. Pemasukan parameter dan pengeditan (Input parameterization and editing)
6. Model pelaksanaan (Model run)
7. Read and map-chart result
8. Calibration tool
Peta dasar yang dibutuhkan sebagai input dalam AVSWAT yaitu : peta elevasi digital, jenis tanah, tataguna
lahan/ tutupan lahan, hidrografi (stream line) dan iklim. Sebagai tambahan, juga dibutuhkan data cuaca, air tanah,
penggunaan air, pengelolaan, kandungan kimia tanah, danau dan data kualitas air untuk lebih meyakinkan
kesuksesan simulasi.
Gambar 1. Proses Pemodelan dengan AVSWAT-2000
3. METODOLOGI PENELITIAN
Lokasi Penelitian DAS Sampean Baru terletak diantara titik 9101390 – 9136137 mS sampai titik 132689 – 178063 mT pada zona 50S
dengan menggunakan sistem koordinat peta UTM dengan datum global WGS-84. Secara geografis DAS Sampean
Baru terletak pada 7o48’10”- 8
o7’7” LS dan 113
o40’7” - 114
o4’45” BT dengan luas 761 km
2, sedangkan secara
administratif terletak di Kabupaten Bondowoso yang meliputi beberapa Kecamatan yaitu : Kecamatan Wringin,
Pakem, Curahdami, Bondowoso, Tegalampel, Tenggarang, Grujugan, Maesan, Tamanan, Pujer, Tlogosari,
Wonosari, dan Sukosari.
Gambar 2. Lokasi Penelitian
Bahan dan Peralatan Bahan dan peralatan yang digunakan dalam pelaksanaan penelitian ini, terdiri dari :
1. Citra satelit landsat -7 ETM+
Gusfan Halik , Sri Wahyuni dan Achmad Maududie
Universitas Udayana – Universitas Pelita Harapan Jakarta – Universitas Atma Jaya Yogyakarta I - 262
2. Peta Rupa Bumi (RBI) skala 1 : 25.000 yang diterbitkan oleh Bakorsurtanal
3. Global Positioning System (GPS) Gamin Map tipe 76 CSX
4. Komputer (hardware dan software)
Metodologi Penelitian Analisa Hidrologi
Analisa hidrologi dimulai dari pengecekan data curah hujan yang telah diperoleh. Apabila terdapat data kosong
maka perlu ditabahkan data perkiraan yang dihitung menggunakan metode ratio normal. Kemudian data curah
hujan diuji konsistensinya untuk mengetahui adanya penyimpangan data dari trend. Uji konsistensi menggunakan
metode lengkung massa ganda dimana data curah hujan rerata tahunan pada setiap stasiun hujan dibandingkan
dengan jumlah curah hujan tahunan rerata dari suatu jaringan dasar stasiun yang diuji dan memiliki kondisi
meteorologi yang sama dengan stasiun yang diuji.
Pengolahan DEM (Digital Elevation Model)
Pengolahan DEM pada studi ini adalah untuk mendapatkan peta kontur dalam format grid yang kemudian akan
digunakan dalam analisa spasial untuk melakukan perhitungan aliran permukaan/ runoff. Dengan peta kontur digital
dalam format grid ini, dapat diketahui karakteristik daerah yang berupa kemiringan (slope), arah aliran (flow
direction) dan panjang aliran (flowlength).
Pengolahan Tata Guna Lahan
Pengolahan tata guna lahan didasarkan pada data hasil penginderaan jauh menggunakan citra satelit landsat 7 ETM+
SLC ON (tahun 1999) dan SLC OFF (tahun 2009). Pengolahan data citra satelit ini perangkat lunak Ermapper versi
7.0. Citra satelit dengan SLC OFF diperlukan perbaikan citra dengan cara mengisi gap citra secara series kemudian
dilakukan penyamaan histogram, yang dikenal dengan metode LLHM (Localized Linier and Hostogram Macth).
Pemodelan Debit Banjir/Runoff menggunakan AVSWAT 2000 (ArcView Interface for SWAT 2000)
Perhitungan volume runoff mengacu pada metode SCS dengan menggunakan program AVSWAT 2000. Tahapan
perhitungan volume runoff menggunakan AVSWAT 2000 adalah sebagai berikut :
1. Deliniasi DAS dari DEM berformat grid ,
2. Pengolahan tataguna lahan,
3. Pengolahan jenis tanah,
4. Melakukan overlay antara peta grid tataguna lahan menurut SWAT dengan peta grid jenis tanah menurut
SWAT,
5. Menjalankan menu HRU Distribution dari Toolbar AVSWAT 2000 untuk memproses distribusi Hydrologic
Respons Unit dari setiap Sub-DAS, sehingga akan dihasilkan database table Distrswat yang berisi informasi
penyebaran distribusi tataguna lahan dan jenis tanah pada DAS dan sub-DAS,
6. Pengolahan data hujan, berupa :pembuatan database informasi koordinat-koordinat unsur titik stasiun curah
hujan dan database curah hujan hariannya, menjalankan weather stations dari menu input pada toolbar
AVSWAT 2000, untuk melakukan import tabel data stasiun hujan dan data hujan hariannya,
7. Input SWAT dengan menjalankan menu Write all yang akan melakukan input dari hasil proses data-data yang
telah dituliskan sebelunya,
8. Pengecekan data-data untuk nilai CN dari menu subbasins data pada menu toolbar Edit input AVSWAT 2000,
9. Menjalankan menu Run SWAT dari menu simulation pada toolbar AVSWAT 2000,
10. Melakukan Set Up untul periode waktu simulasi, dan frekwensi waktu hasil running,
11. Running SWAT dari tool setup SWAT Run,
12. Dari hasil running tersebut, diperoleh volume runoff dalam bentuk database atau tabel,
13. Melakukan kalibrasi antara hasil perhitungan dengan data observasi sekunder. Kalibrasi dilakukan
menggunakan menu Calibration Tool pada program AVSWAT 2000.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Pengolahan DEM
Batas DAS pada model AVSWAT dibentuk berdasarkan Digital Elevation Model (DEM) dalam format grid. Pada
penelitian ini, DEM diperoleh dari peta topografi digital format *.dwg berskala 1:25.000. Peta tersebut
dikonversikan menjadi DEM grid dengan ukuran sel 30 x 30 meter, dan diproyeksikan pada koordinat UTM zona 50
S dengan datum WGS 1984, menggunakan program Arcview GIS 3.3. DEM grid hasil konversi dapat dilihat pada
Gambar 4a untuk dua dimensi dan Gambar 4b. untuk tiga dimensi.
Dampak Perubahan Tata Guna Lahan Terhadap Respon Hidrograf Banjir Di Daerah Aliran Sungai Sampean Baru
Universitas Udayana – Universitas Pelita Harapan Jakarta – Universitas Atma Jaya Yogyakarta I - 263
Gambar 4a. DEM Grid 2 Dimensi Sampean Baru Gambar 4b. DEM 3 Dimensi Sampean Baru
Hasil Pengolahan Tata Guna Lahan
Berdasarkan peta RBI tahun 2000, tataguna lahan di DAS Sampean Baru didominasi oleh areal persawahan yaitu
sebesar 46,156 %. Sedangkan luas wilayah hutan berada pada urutan kedua yaitu sebesar 13,203 %. Distribusi dan
luasan tiap jenis tataguna lahan di DAS Sampean Baru dapat dilihat pada Gambar 5 dan Tabel 1.
Gambar 5. Peta Tata Guna Lahan Tahun 2000
Tabel 1. Tataguna Lahan DAS Sampean Baru
No. Tataguna Lahan Luas (Ha) Luas (%)
1 Hutan 10055,510 13,203
2 Perkebunan 6258,132 8,217
3 Semak Belukar 7098,186 9,320
4 Rerumputan/ Tanah Kosong 284,841 0,374
5 Sawah Irigasi 26097,259 34,266
6 Sawah Tadah Hujan 9055,519 11,890
7 Tegalan 9784,377 12,847
8 Pemukiman 7526,971 9,883
Jumlah 76160,800 100,00
Sumber : Hasil Analisa AVSWAT
Pemodelan Debit Banjir dengan AVSWAT-2000
Berdasarkan hasil proses deliniasi DAS Sampean Baru menggunakan program AVSWAT 2000 dengan titik outlet
Dam Sampean Baru (pada koordinat 162219 mT dan 9133701 mU UTM 50S, datum WGS 84’), diperoleh luas DAS
Sampean Baru sebesar 761,608 km2 dan terdiri dari 33 sub-DAS yang dibentuk secara otomatis oleh program
AVSWAT 2000. Parameter lainnya yang diperoleh dari proses deliniasi adalah peta jaringan sungai sintetis, peta
subdas menurut SWAT, data pajang sungai sintetis dan data kemiringan rerata subdas. Data hasil proses deliniasi
DAS dapat dilihat pada Gambar 6.
Gusfan Halik , Sri Wahyuni dan Achmad Maududie
Universitas Udayana – Universitas Pelita Harapan Jakarta – Universitas Atma Jaya Yogyakarta I - 264
Gambar 6. Deliniasi Batas DAS san Sub DAS
PEMBAHASAN
Hasil perhitungan debit banjir dengan menggunakan parameter awal, diperoleh nilai efektifitas model sebesar 86,4
% dan debit maksimum sebesar 587,8 m3/s yang terjadi pada tanggal 4 Februari dan curah hujan rerata
sebesar111,211 mm. Dibandingkan dengan debit observasi pada tanggal yang sama, debit hasil pemodelan jauh
lebih rendah dari data observasi yaitu sebesar 657,03 m3/s. Pada penilitian ini, debit banjir yang ditinjau adalah debit
banjir maksimum. Ini dimaksudkan untuk mengetahui respon tataguna DAS pada kondisi yang paling ekstrem.
Berdasarkan hasil perhitungan awal, debit banjir maksimum belum tercapai sehingga perlu dikalibrasi walaupun
efektifitas awal sudah cukup besar.
Menurut Neitsch (2002), jika debit model lebih kecil dari debit observasi, parameter yang dapat di kalibrasi adalah
nilai CN. Setelah parameter CN ditingkatkan 8 %, diperoleh efektifitas model sebesar 84,6 % dan debit banjir
maksimum sebesar 649,6 m3/s atau terjadi peningkatan debit sebesar 61,8 m
3/s dan penurunan efektifitas sebesar
1,8 % dari kondisi sebelum kalibrasi. Berdasarkan hasil tersebut, dapat dikatakan pola pemodelan debit banjir dapat
mendekati pola debit banjir yang terjadi di DAM Sampean Baru sehingga model SWAT dapat digunakan untuk
memperkirakan debit banjir pada proses simulasi perubahan tataguna lahan di DAS Sampean Baru.
Dalam upaya untuk mengetahui dan mempelajari karakteristik DAS Sampean Baru akibat adanya perubahan
tataguna lahan maka pada proses simulasi ini dilakukan beberapa skenario penggunaan lahan. Skenario tersebut
adalah penambahan prosentase luas hutan terhadap luas DAS. Sehingga dari beberapa skenario perubahan tataguna
lahan dapat dicari pola penggunaan lahan yang optimal dan dapat digunakan sebagai landasan pengelolaan DAS.
Pada simulasi ini digunakan 6 skenario dengan penambahan lahan hutan menjadi 20% (skenario 3), 30% (skenario
4), 40% (skenario 5) dan 50% (skenario 6) dengan perubahan penggunaan lahan didasarkan pada wilayah kawasan
hutan dan lahan kritis di DAS Sampean Baru. Perbandingan luas tiap jenis penggunaan lahan sebelum dan sesudah
perubahan tataguna lahan dapat dilihat pada Gambar 7.
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
80%
90%
100%
Existing Skenario
1
Skenario
2
Skenario
3
Skenario
4
Skenario
5
Skenario
6
Pemukiman Sawah Irigasi Hutan
Perkebunan Semak Belukar Tanah Kosong
Sawah Tadah Hujan Tegalan
Gambar 7. Skenario Penggunaan Lahan
Berdasarkan hasil simulasi debit banjir pada curah hujan rerata maksimum 111,21 mm (4 Februari), untuk
pengurangan lahan hutan pada skenario 1 dan 2 menyebabkan kenaikan debit banjir menjadi 713,357 m3/s dan
681,237 m3/s, atau terjadi peningkatan sebesar 8,83% dan 3,5%, sedangkan pada skenario penambahan hutan terjadi
penurunan debit banjir sebesar 5,60%, 17,69%, 26,62% dan 52,54% untuk skenario 3, 4, 5 dan 6. Secara grafis
perubahan debit pada setiap skenario dapat dilihat pada Gambar 8 dan Gambar 9.
Dampak Perubahan Tata Guna Lahan Terhadap Respon Hidrograf Banjir Di Daerah Aliran Sungai Sampean Baru
Universitas Udayana – Universitas Pelita Harapan Jakarta – Universitas Atma Jaya Yogyakarta I - 265
0
50
100
150
200
250
300
350
400
450
500
550
600
650
700
750
2/1/ 2002 2/ 3/2002 2/ 5/ 2002 2/7/ 2002 2/ 9/ 2002
Debit Banjir m
3/s
Tanggal
Hutan 50 %
Hutan 40 %
Hutan 30 %
Hutan 20 %
Hutan 10 %
Hutan 0 %Hutan 13,2%
(existing)713.36
681.24
658.20
621.34
541.76
482.99
312.38
0
100
200
300
400
500
600
700
800
0 10 20 30 40 50 60
Debit Banjir m
3/s
Prosentase Luas Hutan (%)
Gambar 8. Grafik Debit Banjir Simulasi
Dari keenam skenario tersebut, skenario 4 (hutan 30%) merupakan kondisi yang paling optimal dimana terjadi
penurunan debit banjir yang mampu direduksi oleh fungsi tampungan di DAM Sampean Baru. Berdasarkan hasil
pennelusuran banjir lewat waduk didapatkan bahwa pada skenario 4 debit ouflow sebesar 1209,33 m3/dt dengan
elevasi waduk sebesar 121,83 m (siaga I = 121,80 m). Hasil penelusuran banjir untuk masing-masing skenario
penambahan hujan (skenario 3 – 6) ditunjukkan pada Tabel. 2.
Tabel 2. Hasil Penelusuran Banjir
Tataguna Lahan Luas Hutan
(%)
Outflow Max.
(m3/s)
Elevasi Muka Air (m)
Existing 13,32 1506,61 122,42
Skenario 3 20 1412,13 122,24
Skenario 4 30 1209,22 121,82
Skenario 5 40 1052,57 121,48
Skenario 6 50 650,16 120,53
Sumber : Hasil Analisa
Jika ditinjau dari faktor penyebab banjir, maka faktor lain yang mempengaruhi terjadinya banjir yaitu tampungan
sungai. Suatu kondisi dikatakan banjir jika debit yang mengalir melebihi tampungan sungai. Oleh karena itu, selain
mengoptimalkan tataguna lahan di DAS Sampean Baru upaya lainnya yang juga perlu diperhatikan adalah
sedimentasi yang dapat mengurangi tampungan sungai. Sehingga untuk mengendalikan banjir diperlukan
pengelolaan DAS secara terpadu dengan memperhatikan seluruh aspek di daerah tersebut.
5. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis yang telah dibahas pada bab sebelumnya, dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai
berikut :
1. Penggunaan lahan di DAS Sampean Baru didominasi oleh areal persawahan sebesar 46,16% yang terdiri dari
34,27% sawah irigasi dan 11,89% sawah tadah hujan, hutan 13,20%, tegalan 12,49%, pemukiman 9,88% semak
belukar 9,32%, perkebunan 8,22% dan tanah kosong 0,37%.
2. Perubahan lahan hutan menjadi 0% dan 10 %, menaikkan debit banjir sebesar 8,83% dan 3,5%. Sedangkan
penambahan lahan hutan menjadi 20, 30, 40 dan 50% mengurangi debit banjir sebesar 5,60%, 17,69%, 26,62%
dan 52,54%.
3. Prosentase luas hutan minimum di DAS Sampean Baru agar tidak menyebabkan banjir adalah sebesar 30% dari
luas DAS.
Gambar 9. Grafik Hubungan Luas Hutan dan Debit
Gusfan Halik , Sri Wahyuni dan Achmad Maududie
Universitas Udayana – Universitas Pelita Harapan Jakarta – Universitas Atma Jaya Yogyakarta I - 266
SARAN
Hasil penelitian ini merupakan data pendukung yang dapat digunakan oleh pihak-pihak yang berkepentingan untuk
optimasi pengelolaan DAS Sampean Baru. Hal yang dapat dilakukan untuk mengurangi besarnya debit banjir adalah
mengembalikan fungsi lahan hutan dengan cara melakukan mereboisasi bekas lahan hutan. Kajian ini masih terbatas
pada analisa menggunakan satu metode yang dilakukan dalam periode harian. Oleh karena itu, analisa menggunakan
metode lain dan periode yang lebih pendek masih dapat dilakukan untuk memperoleh hasil yang lebih detail.t
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, (2008). Penjelasan Singkat Tentang Banjir Sungai Sampean di Situbondo tanggal 8 Pebruari 2008. Balai
PSAWS Sampean, Bondowoso.
Aronoff S, (1991). Geographic Information Systems : A Management Perspective. WDL Publication, Ottawa,
Canada.
Boakye, E., Odai, S.N., Adjei K.A., Annor F.O., (2008). “Landsat Images for Assessment of the Impact of Land Use
and Land Cover Changes on the Barekese Catchment in Ghana”. European Journal of Scientific Research,
2008. ISSN 1450-216X Vol.22 No.2, pp. 269-278.
Di Luzio, M. et al. 2002. ArcView Interface For SWAT2000 User’s Guide. Texas: USDA Agricultural Research
Service.
Fenglei Fan., Qihao Weng., Yun Peng Wang., (2007). “Land use and Land Cover Change in Guangzhuo, China
From 1998 to 2003, Based on Landsat TM/ETM+ Imagery”. Sensor 2007, ISSN : 1424 – 8220, Vol. 7 pp.
1323 – 1342.
John Rogan and Dong Mei Chen, (2004). “Remote Sensing Technology for Mapping and Monitoring”. Elsevier,
2004. Progress in Planning Vol. 61 pp. 301–325.
Kodoatie, R.J, (2002). Pengelolaan Sumber Daya Air Dalam Otonomi Daerah. Penerbit Andi Offset, Yogyakarta.
Lang, Laura, (1998). Managing Natural Resources with GIS. ESRI Inc. Redlands US.
Lassana Ballo, Hu Guangdao, Wen Xinping, Wu Xinbing, (2008). “Land Cover Change Detection Using Supervised
Classification Method of Wuhan in 1991 and 2002”. Research Journal of Applied Sains, 2008. ISSN 1815-
932X Vol. 3 No. 2 pp. 90-94.
Laurini, Robert, et al. (1996). Fundamental of Spatial Information Systems. Academic Press California.
Nicholas, S.M, (2003). Supervised Classification. http://rst.gsfc.nasa.gov/Sect1/Sect1_17.html.
Neitsch, S. L. et al. 2005. Soil and Water Assessment Tool Theoretical Documentation Version 2005. Texas : USDA
Agricultural Research Service.
Prahasta E, (2002). Konsep-Konsep Dasar Sistem Informasi Geografis. Penerbit Informatika Bandung.
Prahasta E, (2008). Remote Sensing “ Praktis Penginderaan Jauh dan Pengolahan Citra Digital dengan Perangkat
Lunak ER Mapper”. Penerbit Informatika Bandung.
Seto., K.C., Woodcok C.E., Song C. Wuang X. Lu and Kaufmann R.K., (2002). “Monitoring Land use Change in
the Pearl River Delta Using Landsat TM”. International Journal of Remote Sensing, 2002. ISSN : 0143-
1161. Vol. 23 No. 10 pp. 1985 – 2004.
Schultz, , A and Engman ET, (2000). Remote Sensing in Hydrology and Water Management. Berlin, Springer
Verlag.
Wenli Huang, Huiping Liu, Qingzu Luan, Qingxiang Jiang, Junping Liu, Hua Liu., (2008).” Detection And
Prediction Of Land Use Change In Beijing Based On Remote Sensing and GIS”. The International
Archives of the Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Sciences, 2008, Vol. XXXVII,
Part B6b, Beijing, pp. 75-82.