dampak hospitalisasi pada anak dan orang tua
TRANSCRIPT
DAMPAK HOSPITALISASI PADA ANAK DAN ORANG
TUA
KONSEP HOSPITALISASI
Hospitalisasi merupakan pengalaman yang mengancam bagi setiap orang.
Khususnya hospitalisasi pada anak merupakan stressor baik terhadap anak itu sendiri
mampu terhadap keluarga. Stres pada anak disebabkan karena mereka tidak mengerti
mengapa mereka dirawat atau mengapa mereka terluka. Lingkungan yang asing,
kebiasaan-kebiasaan yang berbeda, perpisahan dengan keluarga merupakan
pengalaman yang dapat mempengaruhi perkembangan anak. Stres akibat hospitalisasi
akan menimbulkan perasaan yang tidak nyaman baik pada anak maupun pada
keluarga, hal ini akan memacu anak untuk menggunakan mekanisme koping dalam
mengatasi stres. Jika anak tidak mampu menangani stres dapat berkembang menjadi
krisis.
Dengan mengerti kebutuhan anak sesuai dengan tahap perkembangannya dan
mampu memenuhi kebutuhan tersebut, perawat dapat mengurangi stres akibat
hospitalisasi dan dapat meningkatkan perkembangan anak ke arah yang normal.
REAKSI ANAK TERHADAP STRES AKIBAT SAKIT DAN DIRAWAT DI
RUMAH SAKIT BERDASARKAN TAHAP PERKEMBANGAN
Reaksi anak terhadap sakit dan di rawat di rumah sakit di pengaruhi oleh
perkembangan usia, pengalaman sebelumnya terhadap sakit, dan dirawat di rumah
sakit, support sistem yang tersedia serta keterampilan koping dalam menangani stress.
Reaksi anak berdasarkan tahap perkembangan :
1. Bayi (0-1 tahun)
Bila bayi berpisah dengan orang tua maka pembentukan rasa percaya dan
pembinaan kasih sayangnya terganggu.
Pada bayi usia 6 bulan sulit untuk memahami secara maksimal bagaimana reaksi
bayi bila dirawat, karena bayi belum dapat mengungkapkan apa yang dirasakannya.
Sedangkan pada bayi dengan usia lebih dari 6 bulan akan menunjukan banyak
perubahan.
Pada bayi usia 8 bulan atau lebih telah mengenal ibunya sebagai orang yang
berbeda dengan dirinya, sehingga akan terjadi “strategi anxiety“ (cemas pada orang
yang tidak dikenal), sehingga bayi akan menolak orang baru yang belum dikenal.
Kecemasan ini di manifestasikan dengan menagis, marah dan pergerakan yang
berlebihan.
Disamping itu bayi juga telah merasa memiliki ibunya, sehingga bila berpisah
dengan ibunya akan menimbulkan “separation anxient“ (cemas akan berpisah). Hal
ini akan kelihatan jika bayi di tinggalkan oleh ibunya, maka akan menangis sejadi-
jadinya, melekat dan sangat tergantung pada ibunya.
Respon bayi terhadap rasa nyeri dapat dilihat melalui ekspresi wajah yang tidak
menyenangkan, pergerakan tubuh seperti menggeliat, tersentak atau menagis dengan
kuat.
2. Todler (1-3 tahun)
Todler belum mampu berkomunikasi dengan menggunakan bahasa yang memadai
dan pengertian terhadap realita terbatas. Hubungan anak dengan ibu sangat dekat
sehingga perpisahan dengan ibu akan menimbulkan rasa kehilangan orang yang
terdekat bagi diri anak yang dikenal serta akan mengakibatkan rasa tidak aman dan
rasa cemas.
Disebutkan bahwa sumber stress utama pada anak yaitu akibat perpisahan (15-30
bulan). Anxietas perpisahan disebut juga “analytic depression”.
Respon perilaku anak akibat perpisahan dibagi dalam 3 tahap, yaitu :
a. Tahap protes (protest)
Pada tahap ini dimanifestasikan dengan menangis kuat, menjerit, dan
memanggil ibunya atau menggunakan tingkah laku agresif agar orang lain
tahu bahwa ia tidak ingin ditinggalkan orang tuanya serta menolak perhatian
orang lain.
b. Tahap putus asa (despair)
Pada tahap ini anak tampak tenang, menangis berkurang, tidak aktif kurang
minat untuk bermain, tidak nafsu makan, menarik diri, sedih dan apatis.
c. Tahap menolak/ denial (detachment)
Pada tahap ini secara samara-samar anak menerima perpisahan, membina
hubungan dangkal dengan orang lain serta kelihatan menyukai lingkungan.
Todler telah mampu menunjukan kestabilan dalam mengontrol dirinya dengan
mempertahankan kegiatan rutin seperti : makan, tidur, mandi, toileting dan bermain.
Akibat sakit dan dirawat di rumah sakit anak akan kehilangan kebebasan dan
pandangan egosentrisnya dalam mengembangkan otonominya. Hal ini akan
menimbulkan regresi. Ketergantungan merupakan karakteristik dari peran sakit. Anak
akan bereaksi terhadap ketergantungan dengan negatifisik dan agresif. Jika terjadi
ketergantungan dalam jangka waktu lama (karena penyakit kronik) maka anak akan
berespon dengan menarik diri dari hubungan interpersonal.
Reaksi anak terhadap pelukan tubuh dan rasa nyeri hampir mirip dengan bayi,
namun jumlah variabel yang mempengaruhi respon anak lebih kompleks. Anak akan
bereaksi terhadap nyeri dengan menangis, menggigit bibir, memukul, menyerang,
dsb. Anak sudah mampu mengkomunikasikan rasa nyeri dan dapat melokalisasi
dengan menunjukan lokasi nyeri.
3. Usia Prasekolah (3-6 tahun)
Anak usia prasekolah telah dapat menerima perpisahan dengan orang tuanya dan
anak juga dapat membentuk rasa percaya dengan orang lain. Walaupun demikian
anak tetap membutuhkan perlindungan dari keluarganya. Akibat perpisahan akan
menimbulkan reaksi seperti : menolak makan, menangis pelan-pelan, sering bertanya
misalnya : kapan orang tua berkunjung, tidak kooperatif terhadap aktivitas sehari-
hari.
Kehilangan kontrol terjadi karena adanya pembatas aktivitas sehari-hari dan
karena kehilangan kekuatan diri. Anak prasekolah membayangkan bahwa dirawat di
rumah sakit merupakan suatu hukuman, dipisahkan, merasa tidak aman dan
kemandiriannya dihambat. Anak akan berespon dengan perasaan malu, bersalah dan
takut.
Anak usia prasekolah sangat memperhatikan penampilan dan fungsi tubuh.
Mereka menjadi ingin tahu dan bingung melihat seseorang dengan gangguan
penglihatan atau keadaan tidak normal.
Pada usia ini anak merasa takut bila mengalami perlukaan, anak
menganggapbahwa tindakan dan prosedur mengancam integritas tubuhnya. Anak
akan bereaksi dengan agresif, ekspresif verbal dan dependensi. Disamping itu juga
anak akan menangis, bingung, khususnya bila keluar darah. Maka sulit bagi anak
untuk percaya bahwa injeksi, mengukur tekanan darah, mengukur suhu perektal dan
prosedur tindakan lainnya tidak akan menimbulkan perlukaan.
Pada anak yang lebih muda, fantasi merupakan fase penting dalam
perkembangannya, sehingga ia percaya bahwa tubuhnya mungkin akan rusak seperti :
balon bila ditusuk atau patah seperti mainan bila diremas dengan keras seperti ketika
diukur tekanan darah.
4. Usia sekolah (6-12 tahun)
Anak usia sekolah yang dirawat di rumah sakit akan merasa perpisahan dengan
sekolah dan teman sebayanya, takut kehilangan keterampilan merasa kesepian dan
sendiri. Anak membutuhkan rasa aman dan perlindungan dari orang tua namun tidak
selalu di temani oleh orang tua.
Pada usia ini anak berusaha independen dan produktif. Akibat dirawat di rumah
sakit menyebabkan perasaan kehilangan kontrol dan kekuatan. Hal ini terjadi karena
adanya perubahan dalam peran, kelemahan fisik, takut mati dan kehilangan kegiatan
dalam kelompok serta akibat kegiatan rutin rumah sakit seperti bedrest, penggunaan
pispot, kurangnya privacy, pemakaian kursi roda, dll.
Anak telah dapat mengekspresikan perasaannya dan mampu bertoleransi terhadap
rasa nyeri. Anak akan berusaha mengontrol tingkah lakunya pada waktu merasa
nyeri/ sakit dengan cara menggigit bibir atau menggenggam sesuatu dengan erat.
Anak ingin tahu alasan tindakan yang dilakukan pada dirinya, sehingga ia selalu
mengamati apa yang dikatakan perawat. Anak akan merasa takut terhadap mati pada
waktu tidur.
5. Usia remaja (12-18 tahun)
Kecemasan yang timbul pada anak remaja yang dirawat di rumah sakit adalah
akibat perpisahan dengan teman-teman sebaya dan kelompok. Anak tidak merasa
takut berpisah dengan orang tua akan tetapi takut kehilangan status dan hubungan
dengan teman sekelompok. Kecemasan lain disebabkan oleh akibat yang ditimbulkan
oleh akibat penyakit fisik, kecacatan serta kurangnya “privacy“.
Sakit dan dirawat merupakan ancaman terhadap identitas diri, perkembangan dan
kemampuan anak. Reaksi yang timbul bila anak remaja dirawat, ia akan merasa
kebebasannya terancam sehingga anak tidak kooperatif, menarik diri, marah dan
frustasi.
Remaja sangat cepat mengalami perubahan body image selama
perkembangannya. Adanya perubahan dalam body image akibat penyakit/
pembedahan dapat menimbulkan stress atau perasaan tidak aman, cemas akan
berespon dengan banyak bertanya, menarik diri dan menolak orang lain.
REAKSI KELUARGA TERHADAP ANAK YANG SAKIT DAN DIRAWAT DI
RUMAH SAKIT
Seriusnya penyakit apakah akut atau kronis mempengaruhi tiap anggota dalam
keluarga.
a. Orang tua akan mengalami stress bila anaknya sakit dan dirawat di rumah
sakit. Kecemasan akan meningkat bila mereka kurang informasi tentang prosedur
dan pengobatan anak serta dampaknya terhadap masa depan anak. Orang tua
bereaksi dengan tidak percaya terutama jika penyakit anaknya secara tiba-tiba dan
serius. Setelah menyadari tentang keadaan anak, maka mereka akan bereaksi
dengan marah dan merasa bersalah, sering menyalahkan diri karena tidak mampu
merawat anak sehingga anak sakit.
Orang tua sering mengekspresikan perasaan ketakutan ansietas dan
frustasi. Ketakutan dan ansietas dihubungkan dengan seriusnya penyakit dan tipe
dari prosedur medis. Frustasi dihubungkan dengan kurangnya informasi terhadap
prosedur dan pengobatan anak familiar dengan peraturan rumah sakit.
b. Reaksi sibling
Reaksi sibling terhadap anak yang sakit dan dirawat di rumah sakit adalah marah,
cemburu, benci dan bersalah. Orang tua seringkali mencurahkan perhatiannya lebih
besar terhadap anak yang sakit di bandingkan dengan anak yang sehat. Hal ini akan
menimbulkan perasaan cemburu pada anak yang sehat dan akan merasa ditolak.
PERAN PERAWAT DALAM MENGURANGI STRESS AKIBAT
HOSPITALISASI
Anak dan keluarga membutuhkan perawatan yang kompeten untuk
meminimalkan efek negatif dari hospitalisasi. Fokus dari intervensi keperawatan
adalah meminimalkan stresor perpisahan, kehilangan kontrol, dan perlukaan tubuh
atau rasa nyeri pada anak serta memberi support kepada keluarga seperti membantu
perkembangan hubungan dalam keluarga dan memberikan informasi :
1. Mencegah/ meminimalkan dampak dari perpisahan tujuan keperawatan yang
utama adalah mencegah perpisahan terutama pada anak usia kurang dari 5 tahun.
a. “Rooming In“
Yaitu orang tua dan anak tinggal bersama. Jika tidak bisa, sebaiknya orang tua
dapat melihat anak setiap saat untuk mempertahankan kontak/ komunikasi
antara orang tua dan anak.
b. Partisipasi orang tua
Orang tua diharapkan dapat berpartisipasi dalam merawat anak yang sakit
terutama dalam perawatan yang bisa dilakukan misal : memberikan
kesempatan pada orang tua untuk menyiapkan makanan pada anak atau
memandikan.
c. Membuat ruang perawatan seperti situasi di rumah dengan mendekorasi
dinding memakai poster/ kartu bergambar sehingga anak merasa aman jika
berada di ruang tersebut.
d. Membantu anak mempertahankan kontak dengan kegiatan sekolah dengan
mendatangkan tutor khusus atau melalui kunjungan teman-teman sekolah,
surat menyurat atau melalui telepon.
2. Mencegah perasaan kehilangan kontrol
a. Physical Restriction (pembatasan fisik)
Pembatasan fisik / imobilisasi pada ekstremitas untuk mempertahankan aliran
infus dapat dicegah jika anak kooperatif. Untuk bayi dan toddler, kontak
orang tua-anak mempunyai arti penting untuk mengurangi stress akibat
restrain. Pada tindakan/ prosedur yang menimbulkan nyeri, orang tua
dipersiapkan untuk membantu, mengobservasi atau menunggu di luar
ruangan. Pada beberapa kasus pasien yang diisolasi, misal luka bakar berat,
lingkungan dapat dimanipulasi untuk meningkatkan kebebasan sensori missal
dengan menempatkan tempat tidur didekat pintu atau jendela, memberi musik,
dsb.
b. Gangguan dalam memenuhi kegiatan sehari-hari
Respon anak terhadap kehilangan kegiatan rutinitas dapat dilihat dengan
ukuran masalah dalam makan, tidur, berpakaian, mandi, toileting dan interaksi
sosial.
Teknik untuk meminimalkan gangguan dalam melakukan kegiatan sehari-
hari yaitu dengan “time planning“.
Pendekatan ini sesuai untuk anak usia sekolah dan remaja yang telah
mempunyai konsep intelektualisasi, ini meliputi pembuatan jadwal kegiatan
penting bagi perawat dan anak, misalnya : prosedur pengobatan, latihan,
nonton tv, waktu bermain, dsb. Jadwal tersebut dibuat dengan kesepakatan
antara perawat, orang tua dan anak.
3. Meminimalkan rasa takut terhadap perlukaan tubuh dan rasa nyeri
Persiapan anak terhadap prosedur yang menimbulkan rasa nyeri adalah
penting untuk mengurangi ketakutan. Perawat dapat menjelaskan apa yang akan
dilakukan, siapa yang dapat ditemui oleh anak jika dia merasa takut, dsb.
Memanipulasi prosedur juga dapat mengurangi ketakutan akibat perlukaan tubuh.
Misalnya jika anak takut diukur tempertaurnya melalui anus, maka dapat
dilakukan melalui ketiak atau aksila.
4. Memaksimalkan manfaat dari hospitalisasi
Walaupun hospitalisasi merupakan stressfull bagi anak dan keluarga, tetapi
juga membantu memfasilitasi perubahan kearah positif antara anak dan anggota
keluarga.
a. Membantu perkembangan hubungan orang tua-anak
Hospitalisasi memberi kesempatan pada anak dan orang tua untuk belajar
tentang pertumbuhan dan perkembangan anak. Jika orang tua tahu reaksi anak
terhadap stress, seperti regresi, maka mereka dapat memberi support dan juga
akan memperluas pandangan orang tua dalam merawat anak yang sakit.
b. Memberi kesempatan untuk pendidikan
Hospitalisasi memberi kesempatan pada anak dan anggota keluarga belajar
tentang tubuh, profesi kesehatan dan sebagainya.
c. Meningkatkan Self Mastery
Pengalaman menghadapi krisis seperti penyakit/ hospitalisasi akan memberi
kesempatan untuk self mastery. Anak pada usianya lebih mudah punya
kesempatan untuk mengatasi fantasi atau realita. Anak yang usianya lebih
besar, punya kesempatan untuk membuat keputusan, tidak tergantung dan
percaya diri, perawar dapat memfasilitasi perasaan self mastery dengan
menekankan kemampuan personal anak.
d. Memberi kesempatan untuk sosialisasi
Jika anak yang dirawat dalam suatu ruangan usianya sebaya maka akan
membantu anak untuk belajar tentang diri mereka. Sosialisasi juga dapat
dilakukan dengan tim kesehatan selain itu orang tuanya memperoleh
kelompok sosial baru dengan orang tua anak yang punya masalah yang sama.
5. Memberi support pada anggota keluarga
Perawat dapat mendiskusikan dengan keluarga tentang kebutuhan anak,
membantu orang tua, mengidentifikasi alasan spesifik dari perasaan dan
responnya terhadap stress, memberi kesempatan kepada orang tua untuk
mengurangi beban emosinya
a. Memberikan informasi
Salah satu intervensi keperawatan yang penting adalah memberikan
informasi sehubungan dengan penyakit, pengobatan serta prognosa, reaksi
emosional anak terhadap sakit dan di rawat,serta reaksi emosional keluarga
terhadap anak yang sakit dan di rawat
b. Melibatkan sibling
Keterlibatan sibling sangat pening untuk mengurangi stres pada anak.
Misalnya keterlibatan dalam program RS (program bermain), mengunjungi
saudara yang sakit secara teratur dan sebagainya.
Hasil Diskusi
1. Kasus seorang anak di rawat dengan amputasi atau cacat, bagaimana dampak
psikologis anak tersebut dan apa peran perawat?
Jawab :
dampak psikologis pada anak perasaan takut, cemas, kehilangan, sedih,
peran perawat :
Menjelaskan menggunakan komunikasi sesuai umur
Memotivasi agar tidak HDR
Meminimalkan stressor pada anak dan orang tua dengan cara perawat
berkolaborasi dengan psikolog
2. Bagaimana cara mengatasi terhadap ibu yang tidak bisa di ajak kerja sama
sedangkan anaknya butuh tindakan invasif contohnya pemasangan infus?
Jawab:
Pendekatan pada orang tua dengan cara :
Membina kepercayaan
Memberi penjelasan
Membujuk
Jika orang tua tetap tidak bisa di ajak kerja sama maka dikembalikan lagi kepada
orang tua tersebut
3. apa peran perawat dengan anak yang tempramen atau anak yang keter belakangan
mental?
Jawab:
Kolaborasi dengan orang tua tentang kebiasaan sehari-hari sehingga dapat di
aplikasikan di rumah sakit
Pendekatan dengan cara yang halus
Memberikan rasa kepercayaan
Latar belakang
Pada kegiatan belajar sebelumnya terutama tentang bermain bagi anak yang di
rawat di rumah sakit, bahwa akan membuat anak menjadi cemas, takut, sedih, dan
timbul perasaan tidak nyaman lainnya. Penelitian membuktikan bahwa hospitalisasi
anak dapat menjadi suatu pengalaman yang menimbulkan trauma baik pada anak
maupun orang tua. Oleh karena itu, betapa pentingnya perawat memahami konsep
hospitalisasi dan dampaknya pada anak dan orang tua sebagai dasar dalam
pemberian asuhan keperawatan.
Pada kegiatan ini akan di kemukakan pengertian hospitalisasi, reaksi anak
terhadap hospitalisasi, reaksi orang tua terhadap hospitalisasi, dan prinsip
keperawatan dalam mengatasi reaksi hospitalisasi pada anak dan orang tua.
DAFTAR PUSTAKA
Supartini, Yupi,S.KP,MEC. 2004.KONSEP DASAR KEPERAWATAN ANAK. Jakarta : EGC
Davida Welni Dana Kontributor: Eunike Septiani Morib.
Lindawati, S. Psi. Konselor di Pusat Konseling dan Pelatihan IPEKA
LAPORAN KEPERAWATAN ANAK
DAMPAK HOSPITALISASI PADA ANAK
DAN ORANG TUA
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah
keperawatan anak
Disusun Oleh :
Kelompok 3
Ety fatmayati
Evin noviani
Esti agustini
Suryani rosmawati
Triani rukmana
Uci eri winarti
AKADEMI KEPERAWATAN ‘AISYIYAH
Jln. Banteng Dalam No. 6
Bandung
2007