daftar - anggaran.depkeu.go.idpublikasi\warta anggaran 21.pdf · diinvestasikan pada berbagai...
TRANSCRIPT
DAFTAR ISIwarta anggaran | 21 Tahun 2011
LAPORAN UTAMA
LAPORANKHUSUS
PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR:Anggaran, Capaian, dan Tantangan
LAPORAN UTAMA 7
PERENCANAAN ANGGARAN 22
PNBP 25
LAPORAN KHUSUS 29
REFORMASI BIROKRASI 38
SISTEM PENGANGGARAN 41
BERITA 44
RESENSI BUKU 45
INTERMEZO 47
PROFILE 48
PERISTIWA 53
7Jika memang peran infrastruktur penting, tentu negara-negara yang ingin memajukan perekonomiannya akan menginvestasikan sebagian (besar) dari anggarannya untuk membangun jalan jembatan yang memfasilitasi.....
Akar permasalahan berulangnya temuan BPK berupa Pungutan Tanpa Dasar Hukum bukan semata-mata terletak pada ketidakpatuhan K/L terhadap ketentuan di bidang PNBP, namun justru kekakuan ketentuan PNBP yang mengharuskan penetapan jenis dan tarif PNBP minimal dalam PP sedikit banyak turut menyebabkan.....
29Pembiayaan 2011 Mengandalkan Utang Sebagai Sumber Penerimaan
PENATAAN ORGANISASI DJA:
Mengantisipasi Kepakan Sayap Kupu-kupu di Brazil
38Penataan Organisasi DJA: Di wilayah
manajerial, tuntutan akan keterbukaan
dan akuntabilitas direspon oleh DJA
dengan penguatan di bidang kepatuhan
internal, manajemen risiko, dan bantuan
hukum. Dibentuknya Bagian Kepatuhan
dan Bantuan Hukum merupakan bukti
komitmen DJA terhadap keterbukaan
dan akuntabilitas.
Redaksi menerima kritik saran, pertanyaan, atau sanggahanterhadap masalah-masalah yang berkait dengan keuangan sektor publik
Salam Redaksi
Edisi 21 Tahun 2011
PENGARAHDirektur Jenderal Anggaran
PENANGGUNG JAWABSekretaris Ditjen Anggaran
REDAKTURKepala Bagian Ortala
Kasubdit Data dan Dukungan Teknis Anggaran IKasubdit Pengembangan Sistem Penganggaran
Kasubdit Harmonisasi Kebijakan PenganggaranKasubdit Data dan Dukungan Teknis Penyusunan APBN
Kasubdit Data dan Dukungan Teknis Anggaran IIKasubdit Data dan Dukungan Teknis Anggaran III
Kasubdit Data dan Dukungan Teknis PNBP
REDAKTUR PELAKSANAI.G.A Krisna Murti - Agus Kuswantoro
Puji Wibowo - Afrizal - Triana AmbarsariRini Ariviani - Asrukhil Imro - Mujibuddawah
Eko Widyasmoro - Sunawan Agung S. - Achmad Zunaidi - Arief Masdi - Sudadi
Dyah Kusumawati - Hidayat Kusuma R.
DESAIN GRAFIS DAN FOTOGRAPHERMulyanto - Dana Hadi
Mujono Basuki - Bayu Segara
KEUANGANFerry Iskandar - Sis Sabani
Arfan Udi Winasis - Rachmat Apriansyah
TATA USAHA DAN DISTRIBUSIAchmad Purwo Hardjanto - Ihsan Maulana
Niken Ajeng Lestari - Eko Prasetyo
ALAmATGedung Sutikno Slamet Lt. 11
Jl. Dr. Wahidin No.1Jakarta 10710
Telepon : (021) 3435 7505
Redaksi menerima artikel untuk dimuat dalam majalah ini. Artikel ditulis dalam huruf Arial 11 spasi 1.5 maksimal 5 hal. Artikel dapat dikirimke www.wartaanggaran.yahoo.co.idIsi majalah tidak mencerminkan kebijakan Direktorat Jenderal Anggaran
Ketika kita meminta uang kepada
orang tua kita apakah kita akan
meminta sesuai dengan kebutuhan
ataukah lebih dari yang kita perlukan?
Setelah uang di tangan apakah kita
dapat membelanjakan uang tersebut
sesuai rencana kebutuhan kita hingga
uang kita habis. Kemudian, jika ternyata
uang tersebut tidak habis apakah
orang tua kita akan meminta kembali
uang yang tersisa. Rasanya tidak, kita
hanya akan menerima nasihat bahwa
kalau kita meminta uang jumlahnya
harus sesuai dengan kebutuhan.
Analogi di atas rasanya dapat
digunakan untuk melihat interaksi
hubungan antara DJA dengan K/L.
Sebagai “orang tua” yang harus
menjaga anggaran pemerintah,
sudah selayaknya DJA dapat
membina semua K/L agar dapat
merencanakan belanja nya dengan
baik sehingga anggaran yang tersedia
tidak menumpuk di akhir tahun.
Rasanya Peraturan tentang reward
and punishment kepada K/L atas
penyerapan anggaran harus didukung
penuh.
Selain Reward and Punishment,
kami juga menyajikan catatan tentang
Peraturan Pemerintah Nomor 90
Tahun 2010 tentang Penyusunan
RKA-KL yang mengganti Peraturan
Pemerintah Nomor 21 Tahun 2004.
Anda juga dapat juga menikmati
penjelasan tentang New Innitiative
dan penyesuaian baseline. Selain itu,
untuk mengetahui apa permasalahan
yang dihadapi Kementerian/Lembaga
dalam perencanaan anggaran, kami
melakukan roadshow ke beberapa
K/L.
Dalam hal PNBP, kami mencoba
menyoal mengenai kepatuhan K/L
dalam melaporkan PNBP nya.
Semoga perencanaan anggaran
K/L ke depan lebih baik lagi. Selamat
menikmati sajian Majalah Warta
Anggaran edisi 21.
4 Warta anggaran | 21 Tahun 2011
Pembangunan Infrastruktur: Anggaran, Capaian, dan TantanganOleh: Purwanto
Jika memang peran infrastruktur penting, tentu negara-negara yang ingin memajukan perekonomiannya akan menginvestasikan sebagian (besar) dari anggarannya untuk membangun jalan jembatan yang memfasilitasi transportasi orang, bahan baku/mentah (raw materials), bahan antara/setengah jadi (intermediate goods), dan produk akhir (final products), dan menghubungkan antara pabrik dan daerah produksi dengan pasar ; pelabuhan dan bandara untuk pengiriman barang-barang tersebut dari dan ke luar negeri (impor/ekspor) serta antar pulau (interland transportasion); jaringan listrik sejak dari pembangkitan hingga distribusi yang memungkinkan beroperasinya pabrik dan kantor, pelabuhan dan bandara; sedangkan pembangunan jaringan telekomunikasi umumnya lebih banyak dibiayai oleh sektor swasta.
LAPORAN UTAmA
Warta anggaran | 21 Tahun 2011 5
Infrastruktur adalah segala sesuatu
sarana dasar yang dibutuhkan agar
suatu perekonomian atau masyarakat
dapat berfungsi. Dalam hal ini terdapat
dua kelompok infrastruktur yaitu
infrastruktur ekonomi dan infrastruktur
sosial. Infrastruktur ekonomi mencakup
semua struktur teknis yang mendukung
perekonomian seperti jalan dan jembatan,
air bersih, saluran limbah, pasokan listrik, dan
jaringan telekomunikasi. Fungsi infrastruktur
ekonomi adalah memfasilitasi produksi
dan distribusi barang dan jasa, seperti
jalan yang memungkinkan pengangkutan
bahan mentah ke pabrik, dan kemudian
pengangkutan barang jadi ke pasar
(Wikipedia). Infrastruktur ekonomi ini
sangat berpengaruh terhadap efisiensi
usaha, terutama biaya logistik dan
transportasi, serta biaya produksi, yang
pada akhirnya berpengaruh terhadap
daya saing, baik daya saing produk lokal/
domestik dalam berhadapan dengan
produk luar negeri, maupun daya saing
perekonomian dalam memperebutkan
penanaman modal asing.
Sementara itu infrastruktur sosial
mencakup sarana kesehatan dan
pendidikan. Selain itu, infrastruktur dapat
pula dibedakan sebagai infrastruktur fisik
dan non fisik. Infrastruktur fisik, disebut
juga “hard” infrastructure adalah struktur
fisik sarana dan prasarana yang dapat
disentuh (tangible) seperti jalan-jembatan,
pelabuhan, jaringan listrik; sedangkan
infrastruktur dalam pengertian nonfisik
mencakup infrastruktur yang tidak dapat
disentuh (intangible) yang mendukung
pembangunan dan beroperasinya
infrastruktur fisik, seperti peraturan dan
perundangan, sistem dan prosedur, serta
mekanisme tatakelola, transparansi, dan
akuntabilitas dalam pembiayaan dan
pengadaannya (Bhattacharyay 2009).
Infrastruktur nonfisik juga, disebut juga
sebagai “soft” infrastructure mencakup
sistem keuangan dan sistem hukum
(Wikipedia). Pada perkembangannya
kemudian, kata infrastruktur lebih sering
dimaksudkan, termasuk dalam tulisan ini,
sebagai infrastruktur ekonomi dan fisik.
Mengingat fungsinya tersebut, peran
infrastruktur dalam perekonomian
sangatlah vital. Dari lintasan sejarah negara-
negara yang kini disebut sebagai negara
maju, serta negara-negara yang dijuluki the
emerging markets dapat diambil pelajaran
bahwa infrastruktur berperan fundamental
dalam mendorong pertumbuhan ekonomi
secara berkelanjutan. Peran infrastruktur
dalam perekonomian mulai populer
antara lain sebagaimana terlihat dalam
sejarah Amerika Serikat saat dirintis dan
dibangunnya jaringan kereta api dan
telekomunikasi (pos dan telegram), pada
awal abad ke-20.
Melesatnya perkembangan ekonomi
Jepang, Korea Selatan dan Singapura dari
semula negara berkembang menjadi negara
maju, juga didukung oleh pembangunan
infrastruktur yang tidak tanggung-tanggung
(WG Huff, 1995; Atkinson et al, 2009).
Untuk contoh paling mutakhir, pesatnya
perkembangan ekonomi China juga
difasilitasi oleh pembangunan jaringan
jalan-jembatan, pelabuhan, dan energi listrik
secara massif di tahun 1980-an (Yoshimo
dan Nakahigashi 2000; Sahoo, 2010), yang
merupakan pengembangan lebih lanjut dari
yang sudah dibangun mulai 1876 semasa
Dinasti Qing (Wikipedia).
Berbagai hasil kajian (antara lain Aschauer
1989; World Bank 1994; Calderon dan
Serven 2003; Estache 2006 dalam Sahoo,
Dash, dan Nataraj 2010) membuktikan
bahwa infrastruktur mempunyai peran
penting dalam memajukan perekonomian,
dan sebaliknya taraf perekonomian
yang lebih tinggi berpengaruh terhadap
ketersediaan infrastruktur yang lebih
berkualitas.
Namun demikian tulisan ini tidak
mengasumsikan peran infrastruktur
nonfisik dapat diabaikan. Dalam
literatur mengenai pembangunan,
infrastruktur nonfisik juga berperan
penting, sehingga dapat diibaratkan
sebagai “software”, sedangkan
infrastruktur fisik sebagai “hardware”,
dari sistem perekonomian. Dalam
teori pertumbuhan, infrastruktur
nonfisik berperan dalam
meningkatkan produktivitas tenaga
kerja (pendidikan dan kesehatan),
inovasi teknologi (pendidikan &
penelitian dasar, sistem hukum,
khususnya terkait dengan hak paten/
intellectual property), atau pembentukan
kapital (sistem keuangan dan hukum,
khususnya terkait dengan perlindungan
properti dan perjanjian bisnis). Jika
infrastruktur fisik berpengaruh terhadap
perekonomian jangka pendek (1-2 tahun),
menengah (3-5 tahun), dan panjang (20
tahun atau lebih), maka infrastruktur
nonfisik berpengaruh dalam jangka panjang.
Anggaran infrastruktur
Jika memang peran infrastruktur penting,
tentu negara-negara yang ingin memajukan
perekonomiannya akan menginvestasikan
sebagian (besar) dari anggarannya
untuk membangun jalan jembatan yang
memfasilitasi transportasi orang, bahan
Anggaran infrastruktur tersebut dialokasikan
sebagian terbesar dalam bentuk belanja (spending), dan sebagian dalam bentuk pemberian pinjaman/kredit,
penyertaan modal pada BUMN,serta penjaminan/
kontijensi.
LAPORAN UTAmA
6 Warta anggaran | 21 Tahun 2011
baku/mentah (raw materials), bahan
antara/setengah jadi (intermediate goods),
dan produk akhir (final products), dan
menghubungkan antara pabrik dan daerah
produksi dengan pasar ; pelabuhan dan
bandara untuk pengiriman barang-barang
tersebut dari dan ke luar negeri (impor/
ekspor) serta antar pulau (interland
transportasion); jaringan listrik sejak dari
pembangkitan hingga distribusi yang
memungkinkan beroperasinya pabrik dan
kantor, pelabuhan dan bandara; sedangkan
pembangunan jaringan telekomunikasi
umumnya lebih banyak dibiayai oleh sektor
swasta.
Berbagai literatur ekonomi antara lain
Rotner (1983), dan Aschauer (1989)
dalam Yoshino & Nakahigashi (2000)
menemukan bahwa pemerintah berperan
penting dalam mendorong pertumbuhan
ekonomi, pengurangan pengangguran,
dan pengentasan penduduk miskin
secara berkelanjutan, melalui intervensi
dalam bentuk belanja pembangunan
infrastruktur. Pembangunan jalan dan
jembatan non-tol, serta waduk dan sistem
irigasi (pertanian) merupakan contoh
utama dari infrastruktur sebagai barang
public (public goods) yang pemakaiannya
tidak dikenai biaya dan semua orang bisa
menggunakannya (non-excludable).
Sementara infrastruktur seperti jalan
tol, telepon, listrik, gas, dan internet,
yang penggunanya harus membayar
dengan tarif tertentu (excludable),
pengadaan dan pengelolaannya
dapat dilakukan sepenuhnya oleh
sektor swasta. Sektor swasta dapat
melakukan investasi dalam proyek
infrastruktur yang menjanjikan profit
berkelanjutan, dengan dana dari
berbagai sumber seperti modal
sendiri, pinjaman, atau patungan.
Dalam situasi di mana pemerintah
dan sektor swasta masing-masing
tidak memiliki anggaran atau modal
yang memadai, mereka bisa bekerjasama
dalam membangun infrastruktur, terutama
infrastruktur yang bagi pihak swasta bisa
mendatangkan keuntungan (profitable)
dalam jangka panjang. Bentuk kerjasama
tersebut antara lain pemberian penjaminan
(guarantee, insurance), pinjaman,
penyertaan modal pada BUMN, atau
public private partnership (PPP). Dalam
banyak hal, seringkali suatu infrastruktur
sangat dibutuhkan masyarakat dan
perekonomian regional bahkan nasional,
namun membutuhkan modal yang sangat
besar untuk pengadaannya sehingga sektor
swasta tidak berminat (terjadi apa yang
disebut sebagai market failure, ‘kegagalan
pasar’), maka pemerintah dapat melakukan
intervensi dengan belanja APBN.
Kemampuan pemerintah untuk menerima
pajak serta melakukan pinjaman domestik
dan internasional memungkinkannya untuk
mendanai proyek infrastruktur berskala
besar.
Berapa besar dana yang telah diinvestasikan
Pemerintah Indonesia untuk infrastruktur?
Seperti disajikan dalam Diagram 1, pada
tahun 2005 Pemerintah memberikan
dukungan untuk infrastruktur sebesar
Rp23,7 triliun (nilai tahun 2005), atau 4,6
persen dari total Belanja Negara 2005.
Dibandingkan dengan Produk Domestik
Bruto (PDB), nilai dukungan tersebut setara
dengan 0,9 persen dari PDB nominal 2005
(tidak disajikan dalam diagram). Dukungan
anggaran tersebut diinvestasikan pada
berbagai proyek infrastruktur mencakup
pembangunan dan perawatan jalan-
jembatan, waduk dan berbagai bentuk
penampungan air berikut jaringan irigasi,
pelabuhan kapal dan bandar udara, serta
jaringan listrik.
Nilai nominal dan riil dari dukungan APBN
tersebut meningkat setiap tahunnya, kecuali
di tahun 2010 saat kenaikan anggaran
infrastruktur tidak sebesar laju inflasi (lihat
Diagram 2). Dalam tahun 2006, belanja
infrastruktur naik pesat 111,6% menjadi
Rp50,0 triliun (atau 7,5% dari Belanja
Negara, atau 1,5% dari PDB), sebagai
dampak dari penghematan subsidi energi
yang sudah dilakukan pada tahun 2005.
Dalam tahun 2011, anggaran infrastruktur
naik 50% dari tahun sebelumnya Rp82,6
triliun menjadi Rp123,9 triliun (atau 10,1%
dari Belanja Negara, dan 1,8% dari PDB).
Anggaran infrastruktur tersebut dialokasikan
sebagian terbesar dalam bentuk belanja
(spending), dan sebagian dalam bentuk
pemberian pinjaman/kredit, penyertaan
3
menerima pajak serta melakukan pinjaman domestik dan internasional memungkinkannya untuk mendanai proyek infrastruktur berskala besar.
Berapa besar dana yang telah diinvestasikan Pemerintah Indonesia untuk infrastruktur? Seperti disajikan dalam Diagram 1, pada tahun 2005 Pemerintah memberikan dukungan untuk infrastruktur sebesar Rp23,7 triliun (nilai tahun 2005), atau 4,6 persen dari total Belanja Negara 2005. Dibandingkan dengan Produk Domestik Bruto (PDB), nilai dukungan tersebut setara dengan 0,9 persen dari PDB nominal 2005 (tidak disajikan dalam diagram). Dukungan anggaran tersebut diinvestasikan pada berbagai proyek infrastruktur mencakup pembangunan dan perawatan jalan‐jembatan, waduk dan berbagai bentuk penampungan air berikut jaringan irigasi, pelabuhan kapal dan bandar udara, serta jaringan listrik.
Diagram 1
Sumber: Buku Saku APBN dan Indikator Ekonomi, DJA‐KemKeuangan, 22 Februari 2011
Nilai nominal dan riil dari dukungan APBN tersebut meningkat setiap tahunnya, kecuali di tahun 2010 saat kenaikan anggaran infrastruktur tidak sebesar laju inflasi (lihat Diagram 2). Dalam tahun 2006, belanja infrastruktur naik pesat 111,6% menjadi Rp50,0 triliun (atau 7,5% dari Belanja Negara, atau 1,5% dari PDB), sebagai dampak dari penghematan subsidi energi yang sudah dilakukan pada tahun 2005. Dalam tahun 2011, anggaran infrastruktur naik 50% dari tahun sebelumnya Rp82,6 triliun menjadi Rp123,9 triliun (atau 10,1% dari Belanja Negara, dan 1,8% dari PDB).
Diagram 2
23.7
50.0 54.0 70.0
78.9
82.6
123.9
4.6
7.5 7.1 7.1 8.4
7.8
10.1
‐
2.0
4.0
6.0
8.0
10.0
12.0
14.0
‐
20.0
40.0
60.0
80.0
100.0
120.0
140.0
2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
Anggaran Infrastruktur,Nominal, triliun Rp (skala kiri),
dan % thdp Belanja Negara (skala kanan)
Anggaran Infrastruktur (triliun) % thdp Belanja Negara (skala kanan)
LAPORAN UTAmA
Warta anggaran | 21 Tahun 2011 7
modal pada BUMN,serta penjaminan/
kontijensi. Sebagaimana disajikan dalam
Tabel 1, anggaran infrastruktur dalam
bentuk belanja (spending) adalah sebesar
Rp115,1 triliun, atau 93% dari total anggaran
infrastruktur dalam tahun 2011 (APBN)
sebesar Rp123,8 triliun. Belanja tersebut
mencakup belanja infrastruktur yang
dikelola oleh kementerian/lembaga , dan
belanja non kementerian/lembaga seperti
public service obligation (PSO) kepada PT
KAI dan PT Pelni, DAK Infrastruktur, dan
Tambahan Otonomi Khusus Infrastruktur,
pengembangan Sabang dan Batam. Dalam
Diagram 3 disajikan perkembangan total
belanja infrastruktur kementerian/lembaga,
sementara dalam Tabel 2 ditampilkan data
lebih rinci mengenai anggaran infrastruktur
di luar belanja kementerian/lembaga.
Dalam Diagram 3 terlihat bahwa
Kementerian Pekerjaan Umum
(PU), Kementerian Perhubungan,
dan Kementerian ESDM
merupakan tiga kementerian yang
menerima alokasi anggaran belanja
infrastruktur terbesar, dengan total
pagu 90,7 persen dari total pagu
belanja infrastruktur kementerian/
lembaga dalam tahun 2011. Dalam
Tabel 2, terlihat peran dana alokasi
khusus (DAK) infrastruktur yang
semakin besar. Selain itu, menarik
pula untuk dicermati, dukungan
pemerintah dalam bentuk penjaminan &
kontijensi (land capping, kontijensi PLN
dan PDAM), investasi pemerintah, serta
pinjaman dan kredit. Dengan penjaminan,
dana akan dikeluarkan hanya jika resiko
yang telah diperhitungkan (kenaikan harga
tanah, BUMN gagal bayar/default) benar-
benar terjadi. Guna mengelola penjaminan
ini, pemerintah telah mendirikan PT
Penjamin Infrastruktur Indonesia/Indonesia
Infrastructure Guarantee Funda (PT PII/IIGF)
yang fungsinya adalah menangani proses
penjaminan bagi kewajiban finanasial sektor
publik (kementerian, BUMN, dan pemda)
dalam kontrak kerjasama atau konsesi
dengan sektor swasta. PT PII diharapkan
dapat menunjang masuknya pendanaan dari
swasta untuk pembangunan infrastruktur di
Indonesia melalui peningkatan kelayakan
kredit dan kualitas proyek-proyek
infrastruktur yang menggunakan skim
public private partnership (PPP).
Sementara itu, dukungan pemerintah dalam
bentuk investasi juga terlihat semakin besar.
Investasi tersebut dilaksanakan dalam
bentuk suntikan modal untuk PT Sarana
Multi Infrastruktur (PT SMI), yang khusus
didirikan dalam tahun 2009 dalam rangka
mempercepat pembangunan infrastruktur
serta bersinergi dengan pihak ketiga,
baik swasta, pemerintah daerah, BUMN,
maupun organisasi multilateral. PT SMI
merupakan suatu holding company dan
telah mendirikan anak perusahaan yaitu
PT Indonesia Infrastructure Finance (PT
IIF) pada tahun 2010, berpatungan dengan
ADB, International Finance Corporation
(IFC), dan DEG-Badan Investasi dan
Pembangunan Jerman. PT IIF merupakan
perusahaan pembiayaan proyek-proyek
infrastruktur.
Selain itu, dukungan untuk pembangunan
infrastruktur juga dilakukan pemerintah
dengan membentuk suatu unit di
Kementerian Keuangan, yaitu Pusat
Investasi Pemerintah (PIP) pada tahun
2007 dan sejak tahun 2009 telah berstatus
sebagai instansi badan layanan umum
(BLU). PIP juga berfungsi sebagai pengelola
Rekening Induk Dana Investasi dan penilai
kelayakan, manajemen resiko, divestasi,
pengembangan instrumen, pengendalian,
pembiayaan, dan masalah hukum dan
perjanjian investasi Pemerintah Pusat.
Dengan fungsi tersebut, PIP melakukan
4
Anggaran infrastruktur tersebut dialokasikan sebagian terbesar dalam bentuk belanja (spending), dan sebagian dalam bentuk pemberian pinjaman/kredit, penyertaan modal pada BUMN,serta penjaminan/kontijensi. Sebagaimana disajikan dalam Tabel 1, anggaran infrastruktur dalam bentuk belanja (spending) adalah sebesar Rp115,1 triliun, atau 93% dari total anggaran infrastruktur dalam tahun 2011 (APBN) sebesar Rp123,8 triliun. Belanja tersebut mencakup belanja infrastruktur yang dikelola oleh kementerian/lembaga , dan belanja non kementerian/lembaga seperti public service obligation (PSO) kepada PT KAI dan PT Pelni, DAK Infrastruktur, dan Tambahan Otonomi Khusus Infrastruktur, pengembangan Sabang dan Batam. Dalam Diagram 3 disajikan perkembangan total belanja infrastruktur kementerian/lembaga, sementara dalam Tabel 2 ditampilkan data lebih rinci mengenai anggaran infrastruktur di luar belanja kementerian/lembaga.
Tabel 1 Komponen Anggaran Infrastruktur
(triliun rupiah)
2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 APBN
Belanja Infrastruktur: 23,5 47,8 51,7 68,0 76,2 65,4 115,1 ‐ Belanja K/L 21,4 42,2 45,1 59,4 65,7 57,6 105,1 ‐ Belanja Non K/L 2,2 5,6 6,6 8,6 10,6 7,8 9,9 Pemberian Pinjaman/Kredit 0,1 2,3 2,3 1,8 1,3 13,8 5,3 Penyertaan Modal ‐ ‐ ‐ 1,0 1,0 2,0 1,5 Penjaminan & Kontijensi ‐ ‐ ‐ 0,3 0,4 1,4 1,9 Anggaran Infrastruktur 23,7 50,0 54,0 71,0 78,9 82,6 123,8
Catatan: 2005‐2010 adalah data realisasi; sumber Buku Saku APBN dan Indikator Ekonomi, DJ, diolah.
Dalam Diagram 3 terlihat bahwa Kementerian Pekerjaan Umum (PU), Kementerian Perhubungan, dan Kementerian ESDM merupakan tiga kementerian yang menerima alokasi anggaran belanja infrastruktur terbesar, dengan total pagu 90,7 persen dari total pagu belanja infrastruktur kementerian/lembaga dalam tahun 2011. Dalam Tabel 2, terlihat peran dana alokasi khusus (DAK) infrastruktur yang semakin besar. Selain itu, menarik pula untuk dicermati, dukungan pemerintah dalam bentuk penjaminan & kontijensi (land capping, kontijensi PLN dan PDAM), investasi
34.7
111.6
7.8
29.8
12.64.7
50.0
17.16.6 6.6 11.1
2.8 7.0 5.30.0
20.0
40.0
60.0
80.0
100.0
120.0
2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
Kenaikan Anggaran Infrastruktur & Inflasi
Kenaikan Angg. Infrastruktur (%) Inflasi (yoy)
Diagram 2
4
Anggaran infrastruktur tersebut dialokasikan sebagian terbesar dalam bentuk belanja (spending), dan sebagian dalam bentuk pemberian pinjaman/kredit, penyertaan modal pada BUMN,serta penjaminan/kontijensi. Sebagaimana disajikan dalam Tabel 1, anggaran infrastruktur dalam bentuk belanja (spending) adalah sebesar Rp115,1 triliun, atau 93% dari total anggaran infrastruktur dalam tahun 2011 (APBN) sebesar Rp123,8 triliun. Belanja tersebut mencakup belanja infrastruktur yang dikelola oleh kementerian/lembaga , dan belanja non kementerian/lembaga seperti public service obligation (PSO) kepada PT KAI dan PT Pelni, DAK Infrastruktur, dan Tambahan Otonomi Khusus Infrastruktur, pengembangan Sabang dan Batam. Dalam Diagram 3 disajikan perkembangan total belanja infrastruktur kementerian/lembaga, sementara dalam Tabel 2 ditampilkan data lebih rinci mengenai anggaran infrastruktur di luar belanja kementerian/lembaga.
Tabel 1 Komponen Anggaran Infrastruktur
(triliun rupiah)
2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 APBN
Belanja Infrastruktur: 23,5 47,8 51,7 68,0 76,2 65,4 115,1 ‐ Belanja K/L 21,4 42,2 45,1 59,4 65,7 57,6 105,1 ‐ Belanja Non K/L 2,2 5,6 6,6 8,6 10,6 7,8 9,9 Pemberian Pinjaman/Kredit 0,1 2,3 2,3 1,8 1,3 13,8 5,3 Penyertaan Modal ‐ ‐ ‐ 1,0 1,0 2,0 1,5 Penjaminan & Kontijensi ‐ ‐ ‐ 0,3 0,4 1,4 1,9 Anggaran Infrastruktur 23,7 50,0 54,0 71,0 78,9 82,6 123,8
Catatan: 2005‐2010 adalah data realisasi; sumber Buku Saku APBN dan Indikator Ekonomi, DJ, diolah.
Dalam Diagram 3 terlihat bahwa Kementerian Pekerjaan Umum (PU), Kementerian Perhubungan, dan Kementerian ESDM merupakan tiga kementerian yang menerima alokasi anggaran belanja infrastruktur terbesar, dengan total pagu 90,7 persen dari total pagu belanja infrastruktur kementerian/lembaga dalam tahun 2011. Dalam Tabel 2, terlihat peran dana alokasi khusus (DAK) infrastruktur yang semakin besar. Selain itu, menarik pula untuk dicermati, dukungan pemerintah dalam bentuk penjaminan & kontijensi (land capping, kontijensi PLN dan PDAM), investasi
34.7
111.6
7.8
29.8
12.64.7
50.0
17.16.6 6.6 11.1
2.8 7.0 5.30.0
20.0
40.0
60.0
80.0
100.0
120.0
2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
Kenaikan Anggaran Infrastruktur & Inflasi
Kenaikan Angg. Infrastruktur (%) Inflasi (yoy)
LAPORAN UTAmA
8 Warta anggaran | 21 Tahun 2011
penilaian kelayakan terhadap proyek-
proyek infrastruktur yang akan dilaksanakan
oleh kementerian/lembaga. Selain itu, PIP
juga dapat melakukan investasi selain di
sektor infrastruktur.
Dibandingkan dengan anggaran fungsi
pendidikan yang sekurang-kurangnya 20%
dari belanja negara, anggaran infrastruktur
dalam tahun 2011 adalah sekitar setengah
dari belanja fungsi pendidikan.
Capaian Pembangunan Infrastruktur
Selain besaran anggaran, yang juga penting
adalah desain (grand design) dari program
dan kegiatan yang didanai dengan alokasi
anggaran tersebut. Hal ini mengingat
besaran dana yang sama dapat digunakan
untuk berbagai alternatif program dan
kegiatan. Hanya ketika program dan
kegiatan yang dipilih adalah yang paling
efektif dan efisien dalam mencapai sasasaran,
barulah dapat dinyatakan bahwa anggaran
yang besar tersebut telah digunakan
secara bertanggungjawab (accountable).
Merupakan sebuah pertanyaan yang
menarik untuk dikaji, apakah belanja
infrastruktur dalam APBN telah digunakan
untuk mendanai program/kegiatan/proyek
infrastruktur yang paling efektif dan efisien
dalam mendorong pertumbuhan ekonomi
yang berkelanjutan serta meningkatkan
daya saing?
Dalam Tabel 3, disajikan stok beberapa
infrastruktur di Indonesia sampai dengan
2010. Jalan nasional yang telah dibangun
mencapai 38.569,49 km, sedangkan
panjang rel kereta api mencapai 4.818,9
km. Pertanyaan yang menarik terkait
dengan data ini antara lain adalah berapa
kilometerkah yang dianggap memadai? Ini
penting untuk memperoleh makna dari
panjang jalan atau panjang rel KA yang
telah dibangun tersebut. Dibandingkan
dengan panjang pantai Indonesia sejauh
95.181 Km (PBB, 2008), berarti panjang
jalan nasional tersebut adalah sekitar 40
persen dari jalan yang perlu dibangun agar
seluruh wilayah/pulau mempunyai akses
jalan (asumsi: pulau-pulau yang terlalu kecil
untuk dibangun jalan tidak diperhitungkan).
Namun, apakah pembandingan/rasio
seperti demikian dapat digunakan untuk
mengukur kecukupan penyediaan jalan?
Adakah standar mengenai kecukupan
infrastruktur di suatu negara? Untunglah,
Bank Dunia telah mengembangkan
Indikator Pembangunan Dunia (World
Development Indicators/WDI) untuk
membandingkan tingkat pembangunan
antarnegara. Beberapa indikator
diantaranya berkaitan dengan infrastruktur,
salah satu diantaranya yang terkait dengan
jalan adalah road density, yaitu rasio antara
total panjang jaringan jalan (road network)
terhadap luas wilayah (km jalan per
km persegi luas wilayah). Jaringan jalan
tersebut mencakup jalan nasional, propinsi,
5
pemerintah, serta pinjaman dan kredit. Dengan penjaminan, dana akan dikeluarkan hanya jika resiko yang telah diperhitungkan (kenaikan harga tanah, BUMN gagal bayar/default) benar‐benar terjadi. Guna mengelola penjaminan ini, pemerintah telah mendirikan PT Penjamin Infrastruktur Indonesia/Indonesia Infrastructure Guarantee Funda (PT PII/IIGF) yang fungsinya adalah menangani proses penjaminan bagi kewajiban finanasial sektor publik (kementerian, BUMN, dan pemda) dalam kontrak kerjasama atau konsesi dengan sektor swasta. PT PII diharapkan dapat menunjang masuknya pendanaan dari swasta untuk pembangunan infrastruktur di Indonesia melalui peningkatan kelayakan kredit dan kualitas proyek‐proyek infrastruktur yang menggunakan skim public private partnership (PPP).
Sementara itu, dukungan pemerintah dalam bentuk investasi juga terlihat semakin besar. Investasi tersebut dilaksanakan dalam bentuk suntikan modal untuk PT Sarana Multi Infrastruktur (PT SMI), yang khusus didirikan dalam tahun 2009 dalam rangka mempercepat pembangunan infrastruktur serta bersinergi dengan pihak ketiga, baik swasta, pemerintah daerah, BUMN, maupun organisasi multilateral. PT SMI merupakan suatu holding company dan telah mendirikan anak perusahaan yaitu PT Indonesia Infrastructure Finance (PT IIF) pada tahun 2010, berpatungan dengan ADB, International Finance Corporation (IFC), dan DEG‐Badan Investasi dan Pembangunan Jerman. PT IIF merupakan perusahaan pembiayaan proyek‐proyek infrastruktur.
Selain itu, dukungan untuk pembangunan infrastruktur juga dilakukan pemerintah dengan membentuk suatu unit di Kementerian Keuangan, yaitu Pusat Investasi Pemerintah (PIP) pada tahun 2007 dan sejak tahun 2009 telah berstatus sebagai instansi badan layanan umum (BLU). PIP juga berfungsi sebagai pengelola Rekening Induk Dana Investasi dan penilai kelayakan, manajemen resiko, divestasi, pengembangan instrumen, pengendalian, pembiayaan, dan masalah hukum dan perjanjian investasi Pemerintah Pusat. Dengan fungsi tersebut, PIP melakukan penilaian kelayakan terhadap proyek‐proyek infrastruktur yang akan dilaksanakan oleh kementerian/lembaga. Selain itu, PIP juga dapat melakukan investasi selain di sektor infrastruktur.
Diagram 3
Sumber: Buku Saku APBN, Feb 2011
32.11
15.42 5.53 2.20 0.91 0.24 0.64 0.51 ‐
57.96
22.11 15.30
3.45 2.76 0.81 1.29 1.16 0.29
Anggaran Infrastruktur dalam Bentuk Belanja K/L (triliun Rp)
2010 (Real) 2011 (APBN)
6
Tabel 2 Anggaran Infrastruktur Non‐Belanja K/L (triliun Rp)
2010 (Real) 2011
(APBN)
1 Resiko kenaikan harga tanah (land capping) 0,35 0,89
2 Investasi Pemerintah 3,61 4,57
3 PMN 2,00 1,50
4 PSO 0,37 1,88
5 Kredit rumah (KPRSH & Rusunami) 0,42 0,70
6 DAK 4,49 6,05
7 Tambahan Otonomi 1,40 1,40
8 Dana Kontijensi PLN 1,00 0,89
9 Dana Kontijensi PDAM ‐ 0,15
10 Pinjaman ke PLN 7,50 ‐
11 Dana bergulir pengadaan tanah 2,30 ‐
12 Pengembangan Kawasan Free Trade Sabang 0,42 0,39
13 Pengembangan Otoritas Batam 0,14 0,14
14 Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE)
‐ 0,16
Total Non Belanja K/L (Triliun Rp) 25,01 18,72
Sumber: Buku Saku APBN dan Indikator Ekonomi, DJA Edisi Februari 2011
Dibandingkan dengan anggaran fungsi pendidikan yang sekurang‐kurangnya 20% dari belanja negara, anggaran infrastruktur dalam tahun 2011 adalah sekitar setengah dari belanja fungsi pendidikan.
Capaian Pembangunan Infrastruktur
Selain besaran anggaran, yang juga penting adalah desain (grand design) dari program dan kegiatan yang didanai dengan alokasi anggaran tersebut. Hal ini mengingat besaran dana yang sama dapat digunakan untuk berbagai alternatif program dan kegiatan. Hanya ketika program dan kegiatan yang dipilih adalah yang paling efektif dan efisien dalam mencapai sasasaran, barulah dapat dinyatakan bahwa anggaran yang besar tersebut telah digunakan secara bertanggungjawab (accountable). Merupakan sebuah pertanyaan yang menarik untuk dikaji, apakah belanja infrastruktur dalam APBN telah digunakan untuk mendanai program/kegiatan/proyek infrastruktur yang paling efektif dan efisien dalam mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan serta meningkatkan daya saing?
Dalam Tabel 3, disajikan stok beberapa infrastruktur di Indonesia sampai dengan 2010. Jalan nasional yang telah dibangun mencapai 38.569,49 km, sedangkan panjang rel kereta api mencapai 4.818,9 km. Pertanyaan yang menarik terkait dengan data ini antara lain adalah berapa kilometerkah yang dianggap memadai? Ini penting untuk memperoleh makna dari panjang jalan atau panjang rel
LAPORAN UTAmA
Warta anggaran | 21 Tahun 2011 9
kabupaten/kota dan pedesaan.
Dari Tabel terlihat, dalam hal kepadatan/
kerapatan jalan dibandingkan luas wilayah
(daratan), Indonesia menduduki ranking ke
91 (dari 134 negara), dengan RD sebesar
20 km jalan per km2 wilayah. Hal ini memang
dipengaruhi oleh luas wilayah daratan
Indonesia yang jauh lebih luas dibandingkan
dengan negara-negara tetangga di Asia
Tenggara. Dengan wilayah daratan yang
lebih luas tentu perlu dibangun jalan yang
lebih panjang, dan tentunya diperlukan
anggaran yang lebih besar. Sebagai
perbandingan, China (mainland China)
dengan luas wilayah daratan 9.596.960 km2
atau sekitar lima kali luas daratan Indonesia
1.919.440 km2, memiliki RD sebesar 36,02
km. Sedangkan India, dengan luas wilayah
sekitar 1,5 kali luas Indonesia, memiliki
RD yang jauh lebih besar yaitu 1.001 km/
km2; menduduki ranking ke-3 di dunia
dalam hal RD (sumber data luas wilayah
dari Wikipedia). Selain beberapa indikator
berkaitan dengan jalan raya, seperti rasio
panjang jalan yang diaspal dibandingkan
keseluruhan jalan, dalam WDI juga
disiapkan data mengenai infrastruktur lain
seperti ketersediaan air bersih di perkotaan
dan pedesaan (diukur dengan persentase
penduduk yang mempunyai akses ke air
bersih seperti PAM maupun sumber lain
seperti sumur penduduk, sumur bor, dan
penampungan air); kuantitas lalu lintas
petikemas dari pelabuhan ke transportasi
daratan dan sebaliknya/Container Port Traffic
(diukur dalam jumlah petikemas setara
ukuran 20 kaki), atau konsumsi listrik per
k a p i t a
( k w h /
c a p i t a ) .
( L i h a t
Diagram 4,
5, 6 dan 7).
Tantangan
Sejak krisis
ekonomi 1998,
pembangunan
i n f r a s t r u k t u r
b e r k u r a n g
drastis dan
hingga kinipun
berjalan lambat,
terlebih bila
d i b a n d i n g k a n
d e n g a n
negara-negara
s e k a w a s a n .
M e n a r i k n y a ,
persoalannya bukan pada ketersediaan
dana, karena saat ini justru telah tersedia
berbagai alternatif pembiayaan, baik dari
perbankan, pasar modal/obligasi, dan
kerjasama bilateral serta multilateral, serta
berbagai model/skim kerjasama. Pemerintah
juga telah membentuk beberapa wahana
untuk mempercepat (debotlenecking)
pembangunan infrastruktur, seperti PT SMI
dan PT IIF dan PT PII. Lembaga-lembaga
keuangan internasional dan negara seperti
China juga telah banyak yang berminat
untuk memberikan bantuan pendanaan dan
teknis dalam pembangunan infrastruktur di
Indonesia. Kesulitannya justru dalam hal
regulasi dan implementasinya.
Menurut Wakil Presiden Boediono
(Tempo, 10/3/2011) ada tiga faktor yang
menyebabkan kemacetan pembangunan
infrastruktur. Pertama, masalah pembebasan
lahan, yang tidak mudah dilakukan karena
7
KA yang telah dibangun tersebut. Dibandingkan dengan panjang pantai Indonesia sejauh 95.181 Km (PBB, 2008), berarti panjang jalan nasional tersebut adalah sekitar 40 persen dari jalan yang perlu dibangun agar seluruh wilayah/pulau mempunyai akses jalan (asumsi: pulau‐pulau yang terlalu kecil untuk dibangun jalan tidak diperhitungkan).
Tabel 3 Beberapa Capaian Pembangunan Infrastruktur
Infrastruktur Capaian s/d 2009 Jalan nasional 38.569,49 Km Jembatan 17.964 Buah Panjang rel KA 4.818,90 Km Bandar udara 190 Buah Pelabuhan 644 Buah
Sumber: Kompas
Namun, apakah pembandingan/rasio seperti demikian dapat digunakan untuk mengukur kecukupan penyediaan jalan? Adakah standar mengenai kecukupan infrastruktur di suatu negara? Untunglah, Bank Dunia telah mengembangkan Indikator Pembangunan Dunia (World Development Indicators/WDI) untuk membandingkan tingkat pembangunan antarnegara. Beberapa indikator diantaranya berkaitan dengan infrastruktur, salah satu diantaranya yang terkait dengan jalan adalah road density, yaitu rasio antara total panjang jaringan jalan (road network) terhadap luas wilayah (km jalan per km persegi luas wilayah). Jaringan jalan tersebut mencakup jalan nasional, propinsi, kabupaten/kota dan pedesaan.
Tabel 4 Ranking Kepadatan Jalan (Road Density/RD)
Ranking Negara Road Density (km/km2 )
8 Singapore 471,6857 Phillipine 6758 Brunei 6364 Vietnam 48,6171 China 36,0272 Thailand 35,2487 Cambodia 2291 Indonesia 20
Sumber: World Development Indicators‐Infrastructure
Dari Tabel terlihat, dalam hal kepadatan/kerapatan jalan dibandingkan luas wilayah (daratan), Indonesia menduduki ranking ke 91 (dari 134 negara), dengan RD sebesar 20 km jalan per km2 wilayah. Hal ini memang dipengaruhi oleh luas wilayah daratan Indonesia yang jauh lebih luas dibandingkan dengan negara‐negara tetangga di Asia Tenggara. Dengan wilayah daratan yang lebih luas tentu perlu dibangun jalan yang lebih panjang, dan tentunya diperlukan anggaran yang lebih besar. Sebagai perbandingan, China (mainland China) dengan luas wilayah daratan 9.596.960 km2 atau sekitar lima kali luas daratan Indonesia 1.919.440 km2, memiliki RD sebesar 36,02 km. Sedangkan India, dengan luas wilayah sekitar 1,5 kali luas Indonesia, memiliki RD yang jauh lebih besar yaitu 1.001 km/km2; menduduki ranking ke‐3 di dunia dalam hal RD (sumber data luas wilayah
7
KA yang telah dibangun tersebut. Dibandingkan dengan panjang pantai Indonesia sejauh 95.181 Km (PBB, 2008), berarti panjang jalan nasional tersebut adalah sekitar 40 persen dari jalan yang perlu dibangun agar seluruh wilayah/pulau mempunyai akses jalan (asumsi: pulau‐pulau yang terlalu kecil untuk dibangun jalan tidak diperhitungkan).
Tabel 3 Beberapa Capaian Pembangunan Infrastruktur
Infrastruktur Capaian s/d 2009 Jalan nasional 38.569,49 Km Jembatan 17.964 Buah Panjang rel KA 4.818,90 Km Bandar udara 190 Buah Pelabuhan 644 Buah
Sumber: Kompas
Namun, apakah pembandingan/rasio seperti demikian dapat digunakan untuk mengukur kecukupan penyediaan jalan? Adakah standar mengenai kecukupan infrastruktur di suatu negara? Untunglah, Bank Dunia telah mengembangkan Indikator Pembangunan Dunia (World Development Indicators/WDI) untuk membandingkan tingkat pembangunan antarnegara. Beberapa indikator diantaranya berkaitan dengan infrastruktur, salah satu diantaranya yang terkait dengan jalan adalah road density, yaitu rasio antara total panjang jaringan jalan (road network) terhadap luas wilayah (km jalan per km persegi luas wilayah). Jaringan jalan tersebut mencakup jalan nasional, propinsi, kabupaten/kota dan pedesaan.
Tabel 4 Ranking Kepadatan Jalan (Road Density/RD)
Ranking Negara Road Density (km/km2 )
8 Singapore 471,6857 Phillipine 6758 Brunei 6364 Vietnam 48,6171 China 36,0272 Thailand 35,2487 Cambodia 2291 Indonesia 20
Sumber: World Development Indicators‐Infrastructure
Dari Tabel terlihat, dalam hal kepadatan/kerapatan jalan dibandingkan luas wilayah (daratan), Indonesia menduduki ranking ke 91 (dari 134 negara), dengan RD sebesar 20 km jalan per km2 wilayah. Hal ini memang dipengaruhi oleh luas wilayah daratan Indonesia yang jauh lebih luas dibandingkan dengan negara‐negara tetangga di Asia Tenggara. Dengan wilayah daratan yang lebih luas tentu perlu dibangun jalan yang lebih panjang, dan tentunya diperlukan anggaran yang lebih besar. Sebagai perbandingan, China (mainland China) dengan luas wilayah daratan 9.596.960 km2 atau sekitar lima kali luas daratan Indonesia 1.919.440 km2, memiliki RD sebesar 36,02 km. Sedangkan India, dengan luas wilayah sekitar 1,5 kali luas Indonesia, memiliki RD yang jauh lebih besar yaitu 1.001 km/km2; menduduki ranking ke‐3 di dunia dalam hal RD (sumber data luas wilayah
8
dari Wikipedia). Selain beberapa indikator berkaitan dengan jalan raya, seperti rasio panjang jalan yang diaspal dibandingkan keseluruhan jalan, dalam WDI juga disiapkan data mengenai infrastruktur lain seperti ketersediaan air bersih di perkotaan dan pedesaan (diukur dengan persentase penduduk yang mempunyai akses ke air bersih seperti PAM maupun sumber lain seperti sumur penduduk, sumur bor, dan penampungan air); kuantitas lalu lintas petikemas dari pelabuhan ke transportasi daratan dan sebaliknya/Container Port Traffic (diukur dalam jumlah petikemas setara ukuran 20 kaki), atau konsumsi listrik per kapita (kwh/capita). (Lihat Diagram 4, 5, 6 dan 7).
Diagram 4
Sumber: World Development Indicators
Diagram 5
9290 89
80
85
90
95
100
1990 2000 2008
Persentase Penduduk Kota yang Memiliki Akses ke Sarana Air Bersih
Indonesia Malaysia ThailandChina East Asia & Pacific * Lower middle income
62 67 71
0
25
50
75
100
1990 2000 2008
Persentase Penduduk Desa yang Memiliki Akses ke Sarana Air Bersih
Indonesia Malaysia Thailand
China East Asia & Pacific * Lower middle income
LAPORAN UTAmA
10 Warta anggaran | 21 Tahun 2011
antara lain akibat dari iklim demokratis
dan desentralisasi yang membuat proses
pembebasan lahan ikut terhambat. Kedua,
anggaran infrastruktur publik saat ini
lebih terfokus pada perawatan. Hal ini
menggambarkan adanya masalah dalam
pemanfaatan anggaran. Faktor terakhir
adalah kelemahan koordinasi di kalangan
pemerintah. Koordinasi ini menjadi penting
dan mendesak mengingat beberapa
pembangunan infrastruktur melintasi
lebih dari satu kabupaten dan bahkan
lebih dari satu propinsi, yang tentunya
memerlukan koordinasi dan sinergi antara
pemerintah pusat dengan pemerintah
daerah, antarpemerintah daerah, dan juga
antarkementerian lembaga.
Untuk mengatasi masalah tersebut,
pemerintah (i) menyiapkan rancangan
undang-undang mengenai pembebasan
lahan yang akan segera dibahas bersama DPR,
(ii) memperbaiki koordinasi perencanaan
dan penganggaran serta pencairan, (iii)
memperbaiki/menyederhanakan proses
pengadaan barang dan jasa pemerintah
dengan ditetapkannya Perpres 54/2010;
(iv) mendesain dan memprioritaskan
proyek infrastruktur yang strategis antara
lain Domestic Connectivity, pengintegrasian
pengelolaan transportasi Jabodetabek,
pembangunan rel kereta api Jakarta-
Bandara Soekarno-Hatta, dan perluasan
pelabuhan Tanjung Priok, dan pembangunan
9
Diagram 6
TEUs: twenty‐feet Equivalent Units
Diagram 7
3,797,948
5,503,176 6,394,190
15,843,486
25,866,400
250,000
5,250,000
10,250,000
15,250,000
20,250,000
25,250,000
30,250,000
2000 2005 2009
Jumlah Lalu Lintas Kontainer Pelabuhan/ Container Port Traffic (TEUs) di 5 Negara Asean
Indonesia Thailand Malaysia Vietnam Singapura
591.2
3,489.9
799.3
2,455.2
0
1000
2000
3000
4000
1970 1980 1990 2000 2008
Konsumsi Listrik (Kwh/capita)
Indonesia Malaysia Thailand Vietnam China East Asia & Pacific * Lower & middle income
9
Diagram 6
TEUs: twenty‐feet Equivalent Units
Diagram 7
3,797,948
5,503,176 6,394,190
15,843,486
25,866,400
250,000
5,250,000
10,250,000
15,250,000
20,250,000
25,250,000
30,250,000
2000 2005 2009
Jumlah Lalu Lintas Kontainer Pelabuhan/ Container Port Traffic (TEUs) di 5 Negara Asean
Indonesia Thailand Malaysia Vietnam Singapura
591.2
3,489.9
799.3
2,455.2
0
1000
2000
3000
4000
1970 1980 1990 2000 2008
Konsumsi Listrik (Kwh/capita)
Indonesia Malaysia Thailand Vietnam China East Asia & Pacific * Lower & middle income
8
dari Wikipedia). Selain beberapa indikator berkaitan dengan jalan raya, seperti rasio panjang jalan yang diaspal dibandingkan keseluruhan jalan, dalam WDI juga disiapkan data mengenai infrastruktur lain seperti ketersediaan air bersih di perkotaan dan pedesaan (diukur dengan persentase penduduk yang mempunyai akses ke air bersih seperti PAM maupun sumber lain seperti sumur penduduk, sumur bor, dan penampungan air); kuantitas lalu lintas petikemas dari pelabuhan ke transportasi daratan dan sebaliknya/Container Port Traffic (diukur dalam jumlah petikemas setara ukuran 20 kaki), atau konsumsi listrik per kapita (kwh/capita). (Lihat Diagram 4, 5, 6 dan 7).
Diagram 4
Sumber: World Development Indicators
Diagram 5
9290 89
80
85
90
95
100
1990 2000 2008
Persentase Penduduk Kota yang Memiliki Akses ke Sarana Air Bersih
Indonesia Malaysia ThailandChina East Asia & Pacific * Lower middle income
62 67 71
0
25
50
75
100
1990 2000 2008
Persentase Penduduk Desa yang Memiliki Akses ke Sarana Air Bersih
Indonesia Malaysia Thailand
China East Asia & Pacific * Lower middle income
listrik 10.000 MW, untuk sekedar menyebut
beberapa contoh.
Dalam tahun 2011 ini, dukungan swasta,
BUMN, lembaga keuangan internasional
dan beberapa negara sahabat (G to G)
telah menyatakan siap untuk memberikan
dukungan pendanaan, dan tentunya tenaga
ahli. Namun apakah Indonesia mampu
memanfaatkan kesempatan tersebut, tentu
tergantung apakah Indonesia mampu
mengatasi kendala-kendala yang disebut
Wakil Presiden tersebut di atas.
LAPORAN UTAmA
Warta anggaran | 21 Tahun 2011 11
Inisiatif BaruOleh Achmad Zunaidi
Jenis inisiatif baru yang terakhir adalah percepatan pencapaian target. Inisiatif baru jenis ini merupakan penambahan target baru yang menambah output pada tahun yang direncanakan karena percepatan pencapaian target (yang diambil dari target tahun yang akan datang, bisa 1 atau 2 tahun).
LAPORAN UTAmA
12 Warta anggaran | 21 Tahun 2011
Peraturan Pemerintah Nomor 90 tahun 2010 tetang RKA-K/L mendefinisikan Inisiatif Baru sebagai usulan tambahan rencana kinerja selain yang telah dicantumkan dalam prakiraan maju, baik berupa program, kegiatan, keluaran, dan/atau komponen. Selanjutnya definisi tersebut dijabarkan lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Nomor 1 tahun 2011 tentang Tata Cara Penyusunan Inisiatif Baru: “Inisiatif Baru adalah kebijakan baru atau perubahan kebijakan berjalan yang menyebabkan adanya konsekuensi anggaran, baik pada anggaran baseline maupun anggaran ke depan. Inisiatif baru dapat berupa penambahan program (priority focus)/outcome/kegiatan/output baru, penambahan volume target, atau percepatan pencapaian target.”
Adanya mekanisme Inisiatif Baru merupakan penguatan penerapan pendekatan KPJM. KPJM adalah pendekatan yang digunakan oleh pembuat kebijakan dimaksudkan untuk memotret implikasi kebijakan yang disusun dan ditetapkan saat ini terhadap besaran anggaran yang akan ditimbulkan pada tahun-tahun anggaran berikutnya. Untuk sebuah kebijakan akan dihitung anggaran beserta perhitungan biaya prakiraan maju-nya dalam jangka waktu 3 tahun ke depan. Angka prakiraan maju tersebut merupakan angka dasar (baseline) dalam rangka pengalokasian anggaran tahun yang direncanakan. Angka dasar tersebut selanjutnya disesuikan dengan parameter. Angka dasar yang telah disesuaikan tersebut ditambah dengan inisiatif baru menjadi anggaran tahun yang direncanakan. Jika tidak ada kebijakan baru, maka prakiraan maju tersebut akan ditetapkan sebagai alokasi anggaran K/L pada tahun berikutnya.
Mekanisme Inisiatif Baru mengatur tata cara apabila ada kebijakan baru yang belum masuk dalam perencanaan yang ada. Setiap K/L dapat mengajukan inisiatif baru sesuai dengan ketersediaan ruang fiskal untuk mendanai inisiatif baru tersebut. Ketersediaan dana untuk Inisiatif Baru dapat bersumber dari tambahan anggaran
(on top), dari realokasi anggaran, atau kombinasi keduanya. Tambahan anggaran (on top) merupakan tambahan alokasi yang dapat berupa Rupiah Murni, Pinjaman atau Hibah. Penambahan anggaran ini akan menyebabkan bertambahnya anggaran baseline.
Sumber pendanaan yang berasal dari realokasi anggaran didapat dari realokasi tahun yang direncanakan atau realokasi antar tahun. Realokasi tahun yang direncanakan merupakan realokasi dengan mengambil anggaran dari program/kegiatan lain pada tahun yang direncanakan, tanpa mengubah total anggaran tahun direncanakan. Syaratnya target program/kegiatan yang direalokasi tidak boleh berubah. Sedangkan realokasi antar tahun dilakukan dengan mengambil anggaran program yang sama di tahun selanjutnya. Namun syaratnya adalah target jangka menengah tidak berubah. Pendanaan ini digunakan untuk mendanai usulan Inisiatif Baru jenis Percepatan Pencapaian Target.
Ruang Lingkup Inisiatif Baru
Ruang lingkup inisiatif baru dapat dikelompokkan menjadi tiga jenis. Jenis yang pertama adalah program baru, kegiatan baru, atau output baru. Inisiatif baru jenis ini dapat terjadi apabila ada kebijakan baru atau perubahan kebijakan yang sedang berlangsung (existing) yang berakibat perubahan angka dasar (baseline). Misalnya Kementerian Y pada Tahun 2011 memiliki 3 Unit Eselon I dan melaksanakan 3 program (Program A, B, dan C). Pada tahun 2012 terjadi reorganisasi pada Kementerian A yang berakibat adanya penambahan 1 (satu) Unit Eselon I dengan melaksanakan suatu program baru (Program D). Program D ini diklasifikasikan sebagai inisiatif baru (sebelumnya tidak ada) termasuk kegiatan dan output yang dihasilkan pada tahun 2012.
Jenis yang kedua adalah penambahan volume target. Penambahan volume target yang menyebabkan dibutuhkan penambahan anggaran yang diakibatkan oleh perubahan kebijakan, baik kebijakan yang ada pada kegiatan prioritas nasional, prioritas bidang, atau prioritas K/L. Misal Kementerian Pekerjaan Umum melaksanakan pembangunan jalan pada tahun 2011 sepanjang 50 km dengan volume prakiraan maju: tahun 2012 sepanjang 100 km; dan tahun 2013 sepanjang 150 km. Saat penyusunan anggaran tahun 2012, ada perubahan kebijakan yang menyebabkan perubahan (mengalami penambahan) volume target menjadi 120 km. Penambahan volume sebanyak 20 km (semula 100 km menjadi 120 km) diklasifikasikan sebagai inisiatif baru yang diajukan oleh Kementerian Pekerjaan Umum.
Jenis inisiatif baru yang terakhir adalah percepatan pencapaian target. Inisiatif baru jenis ini merupakan penambahan target baru yang menambah output pada tahun yang direncanakan karena percepatan pencapaian target (yang diambil dari target tahun yang akan datang, bisa 1 atau 2 tahun). Penambahan target output disebabkan oleh perubahan kebijakan baik untuk kegiatan prioritas nasional, prioritas bidang maupun prioritas K/L, namun percepatan pencapaian target tidak boleh mengubah pagu anggaran baseline jangka menengah. Sebagai contoh, Kementerian Pendidikan Nasional memberikan Bantuan Operasional Sekolah (BOS) pada Tahun 2011 kepada 1000 siswa dengan volume prakiraan maju: Tahun 2012 sebanyak 1200 siswa; dan Tahun 2013 sebanyak 1500 siswa (baseline 2011-2014 sebanyak 5000 siswa). Saat penyusunan anggaran tahun 2012 terjadi perubahan kebijakan yang mengharuskan percepatan pencapaian target pemberian BOS dengan perubahan sebagai berikut:
2
perubahan angka dasar (baseline). Misalnya Kementerian Y pada Tahun 2011 memiliki 3 Unit Eselon I dan melaksanakan 3 program (Program A, B, dan C). Pada tahun 2012 terjadi reorganisasi pada Kementerian A yang berakibat adanya penambahan 1 (satu) Unit Eselon I dengan melaksanakan suatu program baru (Program D). Program D ini diklasifikasikan sebagai inisiatif baru (sebelumnya tidak ada) termasuk kegiatan dan output yang dihasilkan pada tahun 2012.
Jenis yang kedua adalah penambahan volume target. Penambahan volume target yang menyebabkan dibutuhkan penambahan anggaran yang diakibatkan oleh perubahan kebijakan, baik kebijakan yang ada pada kegiatan prioritas nasional, prioritas bidang, atau prioritas K/L. Misal Kementerian Pekerjaan Umum melaksanakan pembangunan jalan pada tahun 2011 sepanjang 50 km dengan volume prakiraan maju: tahun 2012 sepanjang 100 km; dan tahun 2013 sepanjang 150 km. Saat penyusunan anggaran tahun 2012, ada perubahan kebijakan yang menyebabkan perubahan (mengalami penambahan) volume target menjadi 120 km. Penambahan volume sebanyak 20 km (semula 100 km menjadi 120 km) diklasifikasikan sebagai inisiatif baru yang diajukan oleh Kementerian Pekerjaan Umum.
Jenis inisiatif baru yang terakhir adalah percepatan pencapaian target. Inisiatif baru jenis ini merupakan penambahan target baru yang menambah output pada tahun yang direncanakan karena percepatan pencapaian target (yang diambil dari target tahun yang akan datang, bisa 1 atau 2 tahun). Penambahan target output disebabkan oleh perubahan kebijakan baik untuk kegiatan prioritas nasional, prioritas bidang maupun prioritas K/L, namun percepatan pencapaian target tidak boleh mengubah pagu anggaran baseline jangka menengah. Sebagai contoh, Kementerian Pendidikan Nasional memberikan Bantuan Operasional Sekolah (BOS) pada Tahun 2011 kepada 1000 siswa dengan volume prakiraan maju: Tahun 2012 sebanyak 1200 siswa; dan Tahun 2013 sebanyak 1500 siswa (baseline 2011-2014 sebanyak 5000 siswa). Saat penyusunan anggaran tahun 2012 terjadi perubahan kebijakan yang mengharuskan percepatan pencapaian target pemberian BOS dengan perubahan sebagai berikut:
Uraian
Tahun 2011
(Sebelumnya) 2012
(Tahun yang direncanakan
2013 (Prakiraan Maju 1)
2014 (Prakiraan Maju 2)
Target BOS (lama) 1.000 1.200 1.500 1.300
Target BOS (baru) 1.000 1.500 1.700 800
(jadi matriks) Selain hal tersebut di atas, perubahan lain yang bukan merupakan inisiatif baru, adalah :
1. Penyesuaian anggaran terhadap parameter ekonomi antara lain berupa penyesuaian terhadap inflasi, kurs;
2. Penyesuaian anggaran terhadap parameter non-ekonomi, seperti perubahan SBU dan SBK selama tidak mengubah total pagu K/L dan tetap menjaga output dan outcome yang sudah ditetapkan;
3. Perubahan target tanpa mengubah anggaran yang telah ditetapkan (diluar prioritas nasional, prioritas bidang dan prioritas K/L), seperti perubahan target program dan kegiatan non-prioritas;
LAPORAN UTAmA
Warta anggaran | 21 Tahun 2011 13
(jadi matriks) Selain hal tersebut di atas, perubahan lain yang bukan merupakan inisiatif baru, adalah :
1. Penyesuaian anggaran terhadap parameter ekonomi antara lain berupa penyesuaian terhadap inflasi, kurs;
2. Penyesuaian anggaran terhadap parameter non-ekonomi, seperti perubahan SBU dan SBK selama tidak mengubah total pagu K/L dan tetap menjaga output dan outcome yang sudah ditetapkan;
3. Perubahan target tanpa mengubah
anggaran yang telah ditetapkan (diluar prioritas nasional, prioritas bidang dan prioritas K/L), seperti perubahan target program dan kegiatan non-prioritas;
4. Penambahan target yang disebabkan tidak tercapainya target tahun sebelumnya, sehingga target tahun ini ditambahkan, tapi total pagu anggaran unit kerja tidak berubah, seperti Luncuran (carried over) target yang tidak tercapai pada tahun sebelumnya;
5. Jenis-jenis perubahan kebijakan/anggaran lainnya.
Perhitungan Inisiatif Baru
Inisiatif baru dapat dihitung setelah penyesuaian baseline dilakukan sehingga ruang fiskal diketahui. Penghitungan anggaran untuk inisiatif baru harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1. Mengacu pada tujuan dari proposal yang diajukan. Tujuan yang terdapat dalam proposal mengacu atau harus sesuai dengan Arah Kebijakan dan Prioritas Pembangunan Nasional yang ditetapkan Presiden (di awal tahun berjalan). Tujuan tersebut juga menginformasikan mengenai rincian
informasi kinerja dan rincian anggaran secara jelas, spesifik, dan terukur;
2. Menetapkan output mana yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan dan jumlah volumenya;
3. Menetapkan output mana yang bersifat on-going/non-on-going;
4. Menetapkan Komponen Input mana yang dibutuhkan untuk menghasilkan output;
5. Menetapkan Komponen Input mana yang bersifat on-going/non-on-going.
3
4. Penambahan target yang disebabkan tidak tercapainya target tahun sebelumnya, sehingga target tahun ini ditambahkan, tapi total pagu anggaran unit kerja tidak berubah, seperti Luncuran (carried over) target yang tidak tercapai pada tahun sebelumnya;
5. Jenis-jenis perubahan kebijakan/anggaran lainnya.
Perhitungan Inisiatif Baru
Inisiatif baru dapat dihitung setelah penyesuaian baseline dilakukan sehingga ruang fiskal diketahui. Penghitungan anggaran untuk inisiatif baru harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut: 1. Mengacu pada tujuan dari proposal yang diajukan. Tujuan yang terdapat dalam proposal
mengacu atau harus sesuai dengan Arah Kebijakan dan Prioritas Pembangunan Nasional yang ditetapkan Presiden (di awal tahun berjalan). Tujuan tersebut juga menginformasikan mengenai rincian informasi kinerja dan rincian anggaran secara jelas, spesifik, dan terukur;
2. Menetapkan output mana yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan dan jumlah volumenya; 3. Menetapkan output mana yang bersifat on-going/non-on-going; 4. Menetapkan Komponen Input mana yang dibutuhkan untuk menghasilkan output; 5. Menetapkan Komponen Input mana yang bersifat on-going/non-on-going.
Inisiatif Baru dan Alokasi Anggaran Tahun 2012
Usulan angka inisiatif baru yang sudah mendapatkan persetujuan selanjutnya ditambahkan kedalam angka baseline yang telah disesuaikan sebelumnya. Angka gabungan merupakan angka atau jumlah alokasi anggaran untuk suatu program tahun 2012. Gambaran penghitungan menjadi angka gabungan atau alokasi anggaran tahun 2012, sebagai berikut:
Tahun 2012 2013 2014
Indeks 1,00 1,04 1,08
Uraian
Baru (B) /
Lama (L)
Tahun Awal
Tahun Akhir
Sifat Biaya
Indeks Biaya 2011
sebelumnya
2012 Tahun yang
direncanakan
2013 PM 1
2014 PM 2
Program 3.140 3.584 7.617
Kegiatan
Output 1
Volume Output 10 10 10 10
Tanpa Sub-output
Komponen 1 L 2011 utama Ya 100 1.000 1.040 1.080 1.125
Output 2
Volume Output 10 12 14
Tanpa Sub-output
Komponen 1 B 2012 utama tdk 200 - 2.000 2.400 2.800
Komponen 2 B 2012 pendukung ya 100 100 104 108
Inisiatif Baru dan Alokasi Anggaran Tahun 2012
Usulan angka inisiatif baru yang sudah mendapatkan persetujuan selanjutnya ditambahkan kedalam angka baseline yang telah disesuaikan sebelumnya. Angka gabungan merupakan angka atau jumlah alokasi anggaran untuk suatu program tahun 2012. Gambaran penghitungan menjadi angka gabungan atau alokasi anggaran tahun 2012, sebagai berikut:
LAPORAN UTAmA
14 Warta anggaran | 21 Tahun 2011
Perbaikan Dan PenyesuaianAngka Dasar
Penyesuaian Angka Dasar merupakan proses menjadikan Angka Dasar yang disusun tahun sebelumnya (misal tahun 2011) sesuai dengan asumsi-asumsi atau parameter yang akan terjadi pada tahun yang direncanakan (misal tahun 2012).
Oleh: m. Rifki, Dit. SP
LAPORAN UTAmA
Warta anggaran | 21 Tahun 2011 15
Indikatif dari tahun anggaran yang
direncanakan yang dibuat ketika
menyusun anggaran.
Angka Dasar yang dihasilkan ketika
menyusun anggaran tahun sebelumnya
(misal tahun 2011) kemungkinan masih
memiliki beberapa kesalahan sehingga
perlu diperbaiki saat penyusunan
anggaran tahun yang direncanakan
(tahun 2012). Perbaikan tersebut juga
meliputi perubahan-perubahan asumsi
pada tahun yang direncanakan yang
berbeda dengan tahun sebelumnya dan
menyebabkan angka dasar tersebut
juga perlu disesuaikan.
Angka Dasar merupakan
angka awal ketika akan menyusun
anggaran berdasarkan proyeksi
KPJM. Keakuratan dari angka dasar
akan menunjukkan secara jelas ruang
fiskal untuk tiap tahun anggaran yang
selanjutnya digunakan untuk pendanaan
Inisiatif Baru (New Initiative). Inisiatif Baru
adalah usulan tambahan rencana kinerja
selain yang telah dicantumkan dalam
prakiraan maju, yang berupa program,
kegiatan, keluaran, dan/atau komponen.
Inisiatif Baru merupakan mekanisme
yang dilaksanakan untuk menguatkan
pelaksanaan KPJM. Mekanisme Inisiatif
Baru dilaksanakan oleh K/L untuk
melaksanakan kebijakan baru yang
belum masuk dalam kebijakan yang
telah ada.
Penggabungan angka dasar yang telah
Penerapan pendekatan Penganggaran
Berbasis Kinerja (PBK) dan Kerangka
Pengeluaran Jangka Menengah (KPJM)
secara penuh merupakan komitmen
Pemerintah yang dilaksanakan
Kementerian Negara dan Lembaga
(K/L) sejak tahun 2011. Penerapan PBK
memberikan kerangka dasar dalam
penyusunan anggaran yang berdasarkan
kinerja yang akan dihasilkan oleh K/L.
Implementasinya diwujudkan dalam
hasil restrukturisasi program dan
kegiatan K/L. Keluaran (Output) yang
dihasilkan dari pelaksanaan program
dan kegiatan yang dilaksanakan K/L
akan diproyeksikan menjadi Prakiraan
Maju.
Prakiraan Maju didefinisikan sebagai
perhitungan kebutuhan dana untuk
tahun anggaran berikutnya dari tahun
yang direncanakan. Fungsinya adalah
untuk memastikan kesinambungan
program dan kegiatan yang telah
disetujui dan menjadi dasar penyusunan
anggaran tahun berikutnya. Total
keseluruhan Prakiraan Maju suatu K/L
akan menjadi indikasi pagu awal K/L
untuk tahun berikutnya yang disebut
juga dengan Angka Dasar (baseline).
Angka Dasar merupakan indikasi pagu
prakiraan maju dari kegiatan-kegiatan
yang berulang dan/atau kegiatan-
kegiatan tahun jamak berdasarkan
kebijakan yang telah ditetapkan dan
menjadi acuan penyusunan Pagu
disesuaikan ditambah dengan angka
alokasi anggaran usulan inisiatif baru
akan menjadi alokasi anggaran tahun
yang direncanakan. Gambaran utuh
hubungan antara angka prakiraan
maju, penyesuaian angka dasar, inisiatif
baru, dan alokasi anggaran tahun yang
direncanakan sebagaimana diagram di
bawah ini.
Perbaikan Angka Dasar
Penyempurnaan KPJM (Angka Dasar)
harus dilakukan untuk memberikan
dasar (benchmark) yang jelas dalam
penyusunan anggaran tahun berkenaan.
Tahap awal dari penyempurnaan Angka
Dasar adalah memperbaiki Angka
Dasar tersebut. Kesalahan-kesalahan
yang mungkin terjadi disaat menetapkan
angka dasar awal harus di perbaiki
sehingga menunjukan angka yang dapat
dipertanggungjawabkan (reliable).
Alasan utama untuk memperbaiki
angka dasar adalah kurang tepatnya
K/L dalam mengklasifikasikan “berhenti”
atau “berlanjut” untuk Output atau
komponen, mengklasifikasikan
komponen “utama” atau “pendukung”,
atau ketika mencantumkan Volume
Output pada Prakiraan Maju.
Kesalahan pada Angka Dasar akan
berdampak sangat besar dalam prakiraan
maju ditahun berikutnya terutama
kesalahan dalam pencantuman Volume
LAPORAN UTAmA
16 Warta anggaran | 21 Tahun 2011
Ou tpu t ,
contoh: kegiatan suatu K/L pada
tahun 2011 menghasilkan Output
100 dengan biaya per Output Rp.
100.000 dan untuk tahun berikutnya
direncanakan akan dilaksanakan 100
Output lagi namun terjadi kesalahan
teknis sehingga Volume Output pada
Prakiraan Maju tercantum 10.000. Hal
ini akan terjadi peningkatan Angka
Dasar yang sangat signifikan, untuk itu
perlu dilakukan perbaikan Angka Dasar.
Langkah-langkah yang dilakukan K/L
untuk menelusuri kesalahan atau
kekurangtepatan Angka Dasar sebagai
berikut:
1. Pengecekan program/kegiatan
Angka prakiraan maju (misal tahun
2012) yang ditetapkan tahun
sebelumnya, lebih besar atau lebih
kecil dibandingkan pagu program/
kegiatan tahun 2011 (misalnya
dengan deviasi 10%)
a. Jika nilainya jauh lebih besar, hal
tersebut mungkin akibat kesalahan
memasukkan Volume Output;
b. Jika nilainya jauh lebih rendah, hal ini
dapat diakibatkan karena Volume
Output
b e l u m
dimasukkan
ke Prakiraan
Maju atau
O u t p u t
salah diklasifikasikan sebagai
“berhenti”.
2. Lakukan pengecekan satker mana
yang menyebabkan masalah
tersebut
Setelah pengecekan dan pemeriksaan
sehingga kesalahan-kesalahan yang
terjadi pada Angka Dasar dapat
diidentifikasi maka, perbaikan Angka
Dasar dapat dilakukan.
Perbaikan kesalahan klasifikasi “berhenti”
atau “berlanjut”
Untuk dapat memperbaiki kesalahan
karena salah mengklasifikasikan
“berhenti” atau “berlanjut”, harus
diketahui terlebih dahulu Output atau
komponen input mana yang harus
diklasifikasikan “berhenti”
Klasifikasi berhenti diberikan kepada:
1. Proyek jangka pendek atau proyek
dengan waktu yang terbatas, seperti
pembangunan gedung baru;
2. Proyek yang didanai oleh Hutang
atau pembiayaan oleh donor
lainnya, dan tidak ada persetujuan
untuk meneruskan pembiayaan
tersebut; atau
3. Kegiatan yang didanai dari BA 999.
K/L memiliki kesempatan untuk
mereklasifikasi output yang telah
diklasifikasikan sebagai output
berhenti menjadi output berlanjut
namun hal ini akan mengurangi
ruang fiskal K/L dalam mengajukan
inisiatif baru.
Perbaikan kesalahan klasifikasi “utama”
dan “pendukung”
Reklasifikasi terhadap komponen
input dari “komponen input utama”
menjadi “komponen input pendukung”
akan memberikan dampak terhadap
angka dasar awal yang telah disusun.
Karakteristik “komponen input
pendukung” harus diindeks dan tidak
terkait langsung dengan perubahan
Volume Output. Jika hal tersebut
diubah menjadi “komponen input
utama” yang berkarakteristik terkait
langsung dengan Volume Output (tidak
diindeks) atau sebaliknya tentu akan
merubah struktur anggaran (tahapan
proses pencapaian Output). K/L bisa
melakukan reklasifikasi ini sepanjang
tidak menambah pagu anggaran.
Perbaikan kesalahan dalam
pencantuman Volume Output
Beberapa K/L mungkin telah
LAPORAN UTAmA
Warta anggaran | 21 Tahun 2011 17
mencantumkan Volume Output lebih
besar atau lebih kecil dari yang
seharusnya direncanakan. Dalam
memperbaiki Angka Dasar, K/L dapat
memperbaiki pencantuman Volume
Output tersebut. Pengecekan terhadap
Volume Output dapat dibandingkan
dengan Volume Output yang tercantum
dalam Rencana Kerja Pemerintah
(RKP).
Penyesuaian Angka Dasar Penyesuaian Angka Dasar merupakan
proses menjadikan Angka Dasar yang
disusun tahun sebelumnya (misal tahun
2011) sesuai dengan asumsi-asumsi
atau parameter yang akan terjadi
pada tahun yang direncanakan (misal
tahun 2012). Parameter yang perlu
disesuaikan yaitu parameter ekonomi
yang secara otomatis dilakukan oleh
sistem aplikasi dan parameter non-
ekonomi yang disesuaikan secara
manual oleh perencana. Selain
penyesuaian parameter, penyesuaian
Angka Dasar juga meliputi penyusunan
Prakiraan Maju baru untuk 2 (dua)
tahun dari tahun yang direncanakan
(tahun 2014). Penyesuaian tersebut
meliputi :
1. Penyesuaian parameter ekonomi
Setiap tahun prakiraan inflasi
berbeda dari tahun sebelumnya,
oleh karena itu perlu dilakukan
update terhadap asumsi inflasi yang
akan digunakan pada tahun yang
direncanakan (misal tahuan 2012).
Asumsi inflasi digunakan sebagai
parameter penyesuaian agar
pengeluaran yang direncanakan di
tahun 2012 menjadi lebih tepat.
Ketika penyesuaian dilakukan
dengan asumsi parameter
inflasi baru untuk menyusun
anggaran tahun 2012 prakiraan
pengeluaran dapat meningkat atau
berkurang sesuai dengan kenaikan
atau penurunan asumsi inflasi.
Penyesuaian parameter ekonomi
secara otomatis akan dilakukan
oleh sistem aplikasi.
2. Penyesuaian parameter non-
ekonomi.
Parameter ekonomi merupakan
parameter yang berkaitan dengan
kebijakan pemerintah atau K/L.
Lingkup parameter ekonomi
yang harus dilakukan penyesuaian
adalah:
a. Penyesuaian perhitungan belanja
pegawai disesuaikan dengan
perubahan database kepegawaian.
b. Penambahan atau pengurangan
target Volume Output.
K/L dapat menaikan Volume Output
untuk setiap kegiatan tapi tanpa
menambah anggaran, sedangkan
untuk penguragan target Volume
Output hanya boleh untuk Output
yang merupakan non-prioritas atau
prioritas K/L
c. Pengurangan anggaran.
Sesuai peraturan Menteri Keuangan
tentang penerapan Penghargaan
dan sanksi tahun 2011 secara
langsung akan mempengaruhi
Angka Dasar yang telah disusun
berdasarkan Prakiraan Maju.
Pemberian sanksi kepada K/L
yang yang tidak sepenuhnya
melaksanakan anggaran tahun 2010
akan mengakibatkan pengurangan
anggaran ditahun 2011 yang
akan memberikan efek terhadap
pengurangan pada prakiraan maju
di tahun 2012 (Angka Dasar).
Pengurangan anggaran yang
dikarenakan oleh sanksi tidak boleh
mengurangi target Volume Output
yang direncanakan.
Selain diakibatkan oleh pemberian
sanksi, pengurangan anggaran
juga dapat terjadi jika K/L
melakukan optimalisasi. Dalam hal
pengurangan anggaran tersebut
merupakan hasil optimalisasi K/L
dapat mengajukan inisiatif baru
yang dilaksanakan sesuai dengan
mekanisme pengajuannya.
d. Pengurangan target volume dan
anggaran.
Pengurangan Volume Output dan
anggaran dapat dilakukan jika
dalam evaluasi tahun sebelumnya
Volume Output yang menjadi
target tidak mampu dicapai oleh
K/L atau K/L melakukan prioritas
ulang pembiayaan untuk Output
baru, atau menaikkan target Output
lainnya. Pengurangan Volume Output
dan anggaran hanya dapat dilakukan
untuk kegiatan non-prioritas atau
prioritas K/L.
e. Realokasi anggaran dan target
Output serta pagu K/L.
LAPORAN UTAmA
18 Warta anggaran | 21 Tahun 2011
Dalam melaksanakan KPJM K/L
diberikan fleksibelitas dalam
melakukan realokasi target Output
dalam melakukan penyesuaian
sepanjang dalam pagu anggaran
yang tetap. Realokasi dapat
dilakukan antar program, kegiatan,
output dan satker termasuk antar
lokasi. Batasan yang diberikan
adalah realokasi tidak dapat
dilakukan dari priotas nasional atau
prioritas bidang ke non-prioritas
atau prioritas K/L.
f. Memindahkan target Volume
Output ke masa depan.
Dalam melakukan penyesuaian
Angka Dasar, K/L diberikan
fleksibilitas untuk memindahkan
Volume Output ke tahun anggaran
berikutnya sesuai dengan
per t imbangan-per t imbangan
pencapaian Output tersebut.
Memindah target Volume Output
ke masa depan tidak diikuti dengan
carried over anggarannya.
g. Membuat prakiraan maju baru.
Dasar utama dari penerapan KPJM
adalah rolling budget. Sebagai
bagian dari penyusunan anggaran
setiap tahun maka prakiraan maju
yang baru harus ditambahkan
dalam Angka Dasar yang telah
disusun sebelumnya.
Contoh:
Penyesuaian Angka dasar yang
dilakukan oleh K/L dilakukan dengan
jangka waktu 3 (tiga) kali dalam setahun
yaitu sebelum pagu indikatif, pagu
angggaran, dan pagu definitif. Hal ini
sejalan dengan waktu pengajuan Inisiatif
Baru.
Ringkasan
Dalam rangka memperjelas hubungan
antara perbaikan angka dasar,
penyesuaian angka dasar, dan inisiatif
baru, di bawah ini disajikan tabel
ringkasan:
Tabel Perbandingan Perbaikan Angka
Dasar, Penyesuaian Angka Dasar, dan
Inisiatif Baru
No. Perbaikan Angka DasarPenyesuaian Angka Dasar
Inisiatif BaruPrioitas Nasional, Bidang Non-prioritas, Prioritas K/L
1.Kesalahan klasifikasi Output dan Komponen input “berhenti” atau “Berlanjut”.
Inflasi, Kurs Inflasi, Kurs Program baru
2. Kesalahan klasifikasi Komponen Input “utama” atau “Pendukung”.
Realokasi anggaran dalam pagu prioritas Perubahan Volume Output Kegiatan baru
3. Kesalahan pencantuman Volume Output. Pengurangan anggaran Pengurangan anggaran Output Baru
4. Menaikkan Volume Output Pengurangan Volume Output dan anggaran Outcome Baru
5. Memindahkan Volume Output ke masa depan
Realokasi anggaran dalam pagu K/L
Penambahan target Volume Output
6. Membuat prakiraan maju baru Memindahkan Volume Output ke masa depan
Percepatan pencapaian target
7. Membuat prakiraan maju baru
5
optimalisasi K/L dapat mengajukan inisiatif baru yang dilaksanakan sesuai dengan
mekanisme pengajuannya.
d. Pengurangan target volume dan anggaran.
Pengurangan Volume Output dan anggaran dapat dilakukan jika dalam evaluasi tahun
sebelumnya Volume Output yang menjadi target tidak mampu dicapai oleh K/L atau K/L
melakukan prioritas ulang pembiayaan untuk Output baru, atau menaikkan target Output
lainnya. Pengurangan Volume Output dan anggaran hanya dapat dilakukan untuk kegiatan
non-prioritas atau prioritas K/L.
e. Realokasi anggaran dan target Output serta pagu K/L.
Dalam melaksanakan KPJM K/L diberikan fleksibelitas dalam melakukan realokasi target
Output dalam melakukan penyesuaian sepanjang dalam pagu anggaran yang tetap.
Realokasi dapat dilakukan antar program, kegiatan, output dan satker termasuk antar
lokasi. Batasan yang diberikan adalah realokasi tidak dapat dilakukan dari priotas nasional
atau prioritas bidang ke non-prioritas atau prioritas K/L.
f. Memindahkan target Volume Output ke masa depan.
Dalam melakukan penyesuaian Angka Dasar, K/L diberikan fleksibilitas untuk
memindahkan Volume Output ke tahun anggaran berikutnya sesuai dengan pertimbangan-
pertimbangan pencapaian Output tersebut. Memindah target Volume Output ke masa
depan tidak diikuti dengan carried over anggarannya.
g. Membuat prakiraan maju baru.
Dasar utama dari penerapan KPJM adalah rolling budget. Sebagai bagian dari penyusunan
anggaran setiap tahun maka prakiraan maju yang baru harus ditambahkan dalam Angka
Dasar yang telah disusun sebelumnya.
Contoh:
Tahun 2011 TA
2012 PM 1
2013 PM 2
Anggaran xx.xxx xx.xxx xx.xxx
Tahun 2011 Realisasi
2012 TA
2013 PM 1
2014 PM 2
Anggaran xx.xxx xx.xxx xx.xxx xx.xxx
Penyesuaian Angka dasar yang dilakukan oleh K/L dilakukan dengan jangka waktu 3 (tiga) kali
dalam setahun yaitu sebelum pagu indikatif, pagu angggaran, dan pagu definitif. Hal ini sejalan
dengan waktu pengajuan Inisiatif Baru.
LAPORAN UTAmA
Warta anggaran | 21 Tahun 2011 19
PP Nomor 90 Tahun 2010Tentang Penyusunan RKA-K/L
Di akhir tahun 2010 telah terbit PP Nomor 90 Tahun 2010 Penyusunan RKA-K/L sebagai pengganti PP Nomor 21 Tahun 2004. PP Nomor 90 Tahun 2010 tersebut pada prinsipnya mengatur mekanisme dan business process perencanaan dan penganggaran yang merupakan hulu dari
sistem pengelolaan keuangan. Meskipun demikian, di lingkungan para pengelola keuangan tersebut timbul beragam pendapat dan pandangan terhadap lahirnya PP 90 tahun 2010, sebagian menanti kehadirannya dan sebagian lagi lebih menunggu rencana operasionalisasi
ketentuan tersebut sembari mereka-reka perubahan apa yang akan mempengaruhi pola kerjanya yang selama ini telah dijalani.
Ibarat pepatah “tak kenal maka tak sayang”, maka tulisan ini dimaksudkan untuk mencoba mengenal sedikit beberapa materi yang termuat dalam PP 90 Tahun
Edy Sudarto : Kepala Seksi Evaluasi Kinerja Penganggaran
PERENCANAAN ANGGARAN
20 Warta anggaran | 21 Tahun 2011
2010 tersebut. Dan sebagaimana lazimnya bahwa setiap orang mempunyai perspektif dan kacamata yang berbeda dalam melihat sesuatu yang baru, tergantung dari arah mana dia berdiri. Kebetulan Penulis saat ini dalam posisi yang tidak terlibat langsung dalam proses penanganan RKA-K/L dan hanya sedikit mengetahui beberapa hal terkait mekanisme penganggaran.
Pengertian RKA-K/L
Dalam PP Nomor 21 Tahun 2004, RKA-K/L diartikan sebagai dokumen perencanaan dan penganggaran yang berisi program dan kegiatan suatu kementerian/lembaga yang merupakan penjabaran dari RKP dan Renstra K/L yang bersangkutan dalam satu tahun anggaran serta anggaran yang diperlukan untuk melaksanakannya. Sementara, dalam PP Nomor 90 Tahun 2010 pengertian RKA-K/L diubah menjadi dokumen rencana keuangan tahunan kementerian/lembaga yang disusun menurut Bagian Anggaran kementerian/lembaga. Perubahan ini sepintas terkesan biasa dan normatif, namun sepertinya PP Nomor 90 Tahun 2010 mencoba melakukan inisiasi efisiensi melalui perubahan dari sisi administrasi.
Seperti diketahui bersama bahwa saat ini beragam jenis, bentuk, dan variasi dokumen yang dibuat oleh lementerian/lembaga yang apabila dicermati lebih seksama, pada prinsipnya memuat hal yang sama. Rencana Kerja Kementerian/Lembaga (Renja-K/L), Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga (RKA-K/L), Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA), dan Laporan Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) masing-masing memuat hal yang secara prinsip sama yaitu suatu rencana kinerja suatu Kementerian/Lembaga dalam satu tahun berikut anggaran yang dibutuhkan untuk mencapai kinerja tersebut.
Berbagai macam dokumen tersebut mempunyai implikasi dibutuhkannya cost dalam penyusunannya, baik uang, waktu, bahan, dan tenaga. Selain itu, masing-masing dokumen tersebut diikuti dengan
berbagai aplikasi software sehingga dalam suatu satker dapat dimungkinkan terdapat paling sedikit 3 (tiga) aplikasi yang masing-masing mempunyai perbedaan-perbedaan meskipun output-nya sama. Aplikasi itupun tentu membutuhkan cost, baik dari sisi pembuatannya maupun bagi satker yang kemungkinan mempunyai jumlah pegawai yang terbatas.
PP Nomor 90 Tahun 2010 yang memaknai RKA-K/L sebagai suatu dokumen rencana keuangan tahunan Kementerian/Lembaga semoga dapat menjadi pintu masuk bagi integrasi berbagai dokumen yang secara prinsip mengandung muatan yang sama sehingga dapat menciptakan efisiensi pengelolaan anggaran pada tahap yang paling awal. Yang perlu digarisbawahi adalah pengintegrasian dokumen anggaran tersebut tidak serta merta akan menghilangkan fungsi bawaan dari jenis-jenis dokumen sebelumnya. Pada tahap perencanaan, RKA-K/L berfungsi sebagai dokumen perencanaan dan penganggaran yang selanjutnya menjadi bahan dalam penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (R-APBN). Pada tahap selanjutnya, RKA-K/L juga berfungsi sebagai dokumen pelaksanaan APBN apabila seluruh isinya telah disahkan oleh Menteri Keuangan. Pada tahapan yang
lain, RKA-K/L juga menjadi bahan dalam melakukan audit, pemeriksaan, monitoring, dan evaluasi serta bahan dalam menyusun pertanggungjawaban APBN.
Secara teori, satu dokumen dengan beragam fungsi akan dapat menciptakan efisiensi tanpa mengurangi aspek akuntabilitasnya dan tentu perubahan ke arah tersebut perlu dijadikan sebagai bahan diskusi lebih lanjut dalam rangka perbaikan dalam pengelolaan APBN.
Proses Bisnis Penyusunan RKA-K/L
Menurut Penulis, secara prinsip tidak ada perubahan siklus penyusunan RKA-K/L dalam PP Nomor 90 Tahun 2010 apabila dibandingkan dengan PP Nomor 21 Tahun 2004. Perubahan justru terdapat pada content pada setiap siklus penyusunan RKA-K/L dimaksud. Perbandingan pengaturan proses bisnis penyusunan RKA-K/L dalam kedua peraturan pemerintah di atas dapat dipetakan sebagaimana dalam Gambar 1.
Dari pemetaan pada Gambar 1 tersebut, terlihat bahwa dalam proses penyusunan RKA-K/L perlu adanya pengklasifikasian antara kebijakan berjalan dan kebijakan baru yang akan diusulkan pada tahun yang
PP 90TAHUN 2010 4
Gambar 1
Dari pemetaan pada Gambar 1 tersebut, terlihat bahwa dalam proses penyusunan RKA-K/L perlu adanya pengklasifikasian antara kebijakan berjalan dan kebijakan baru yang akan diusulkan pada tahun yang direncanakan. Berdasarkan best practice, pengklasifikasian dimaksud sangat penting dan dapat menciptakan peluang efisiensi waktu dalam proses penyusunan RKA-K/L karena dalam setiap pembahasan, baik dalam proses pembahasan di internal Pemerintah maupun antara Pemerintah dan DPR, akan difokuskan pada usulan kebijakan baru. Namun demikian, pengaturan baru mengenai pengklasifikasi yang terdapat dalam PP Nomor 90 Tahun 2010 tersebut perlu dielaborasi lebih detail sehingga dapat mudah dipahami dan diterapkan oleh para pemangku kepentingan.
Ketentuan lain dalam proses bisnis ini adalah dalam hal penelahaan RKA-K/L antara Kementerian/Lembaga dan Kementerian Keuangan serta Bappenas yang pengaturannya dibuat lebih berbobot. Dalam PP Nomor 21 Tahun 2004, penelahaan RKA-K/L dipersepsikan sebagai kegiatan yang lebih bersifat administratif karena hanya fakus pada kesesuaian RKA-K/L dengan pagu yang telah ditetapkan. Sementara, dalam PP Nomor 90 Tahun 2010, penelaahan merupakan kegiatan dalam rangka menilai kelayakan anggaran atas kegiatan-kegiatan yang diusulkan dapat ditampung dalam RKA-K/L. Perubahan di atas sangat bagus namun tetap memerlukan pengaturan yang lebih detail
PERENCANAAN ANGGARAN
Warta anggaran | 21 Tahun 2011 21
direncanakan. Berdasarkan best practice, pengklasifikasian dimaksud sangat penting dan dapat menciptakan peluang efisiensi waktu dalam proses penyusunan RKA-K/L karena dalam setiap pembahasan, baik dalam proses pembahasan di internal Pemerintah maupun antara Pemerintah dan DPR, akan difokuskan pada usulan kebijakan baru. Namun demikian, pengaturan baru mengenai pengklasifikasi yang terdapat dalam PP Nomor 90 Tahun 2010 tersebut perlu dielaborasi lebih detail sehingga dapat mudah dipahami dan diterapkan oleh para pemangku kepentingan.
Ketentuan lain dalam proses bisnis ini adalah dalam hal penelahaan RKA-K/L antara Kementerian/Lembaga dan Kementerian Keuangan serta Bappenas yang pengaturannya dibuat lebih berbobot. Dalam PP Nomor 21 Tahun 2004, penelahaan RKA-K/L dipersepsikan sebagai kegiatan yang lebih bersifat administratif karena hanya fakus pada kesesuaian RKA-K/L dengan pagu yang telah ditetapkan. Sementara, dalam PP Nomor 90 Tahun 2010, penelaahan merupakan kegiatan dalam rangka menilai kelayakan anggaran atas kegiatan-kegiatan yang diusulkan dapat ditampung dalam RKA-K/L. Perubahan di atas sangat bagus namun tetap memerlukan pengaturan yang lebih detail mengenai mekanisme dan metode dalam menguji kelayakan dimaksud.
Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara
Salah satu ketentuan baru yang diatur dalam PP Nomor 90 Tahun 2010 adalah mengenai mekanisme penyusunan anggaran Bandahara Umum Negara, atau yang lebih dikenal dengan BA-BUN.
Pada intinya, pasal-pasal yang mengatur mengenai BA-BUN dalam PP Nomor 90 Tahun 2010 ini mengadopsi pasal-pasal sebelumnya dalam PP dimaksud yang mengatur RKA-K/L untuk Bagian Anggaran Kementerian/Lembaga, dimana ada ketentuan penetapan pagu indikasi, penetapan alokasi, sampai dengan
penerbitan dokumen pelaksanaan anggaran. Perbedaan utama dibanding mekanisme yang berlaku dalam penyusunan RKA-K/L untuk BA K/L adalah adanya pejabat yang menjalankan fungsi sebagai Pembantu Pengguna Anggaran (PPA) serta adanya ketentuan penerbitan dokumen pelaksanaan anggaran yang dapat diterbitkan pada tahun anggaran berjalan.
Seluruh ketentuan yang menyangkut BA-BUN tersebut pada hakekatnya merupakan pengukuhan atas apa yang telah berjalan selama ini, misalnya fungsi PPA yang selama ini telah dijalankan oleh beberapa pejabat unit eselon I lingkup Kementerian Keuangan.
Meskipun secara mekanisme mengadopsi pengaturan yang berlaku bagi penyusunan RKA-K/L, namun RKA BUN tetap memiliki karakteristik khusus sehingga dalam pengaturan pelaksanaan teknis nanti perlu memperhatikan karakteristik khusus tersebut. Itulah mengapa PP Nomor 90 Tahun 2010 ini memberikan waktu 2 (dua) tahun bagi penerapan pasal-pasal terkait BA.
Evaluasi Kinerja Penganggaran
Pengaturan mengenai evaluasi kinerja penganggaran juga semakin dikembangkan dalam PP Nomor 90 Tahun 2010 dibanding dengan PP Nomor 21 Tahun 2004. Sebagaimana dipahami bersama bahwa salah satu elemen penting dalam penerapan penganggaran berbasis kinerja adalah adanya evaluasi kinerja penganggaran. Evaluasi kinerja penganggaran pada hakekatnya mengandung pengertian “melihat ke belakang untuk menentukan langkah terbaik ke depan”. Oleh karena itu, PP Nomor 90 Tahun 2010 telah mengatur beberapa indikator yang perlu diperhatikan dalam melakukan evaluasi yang antara lain meliputi tingkat keluaran, capaian hasil, tingkat efisiensi, konsistensi antara perencanaan dan implementasi, dan penyerapan anggaran. Tentu indikator-indikator tersebut dapat diperluas sesuai dengan kebutuhan pengukuran kinerja
penganggaran suatu instansi.
PP Nomor 90 Tahun 2010 ini telah mengatur bahwa hasil dari evaluasi tersebut akan digunakan sebagai bahan penetapan alokasi anggaran setiap Kementerian/Lembaga. Dengan demikian, kualitas hasil evaluasi sangat menentukan kualitas anggaran yang akan ditetapkan nanti. Mengingat evaluasi kinerja penganggaran ini mutlak dibutuhkan di berbagai tingkatan, mulai tingkat makro sampai dengan mikro dan mulai tingkat nasional sampai dengan tingkat satker, maka harus ada kesamaan mekanisme, parameter, ukuran, dan metode. Oleh karena itu, PP Nomor 90 Tahun 2010 mengamanatkan agar Menteri Keuangan perlu menyusun norma dan pedoman dalam melaksanakan evaluasi kinerja penganggaran tersebut.
Penutup
Selain mengatur ketentuan yang telah disebutkan di atas, PP Nomor 90 Tahun 2010 ini juga memuat ketentuan-ketentuan baru mengenai perubahan RKA-K/L dalam pelaksanaan APBN dan sistem informasi yang terintegrasi.
Meskipun PP Nomor 90 Tahun 2010 memuat lebih banyak pengaturan dibanding PP Nomor 21 Tahun 2004, namun efektivitas pengaturan tersebut akan dilihat dari penerapannya. Penetapan PP Nomor 90 Tahun 2010 bagaimanapun merupakan upaya menuju penyempurnaan dan perbaikan bagi pengelolaan keuangan negara, khususnya dibidang penganggaran. Namun demikian, PP dimaksud baru sebuah landasan hukum dan norma umum. Langkah penting berikutnya adalah bagaimana mengoperasionalkan PP tersebut sehingga terwujud tujuan dari ditetapkan PP sebagaimana tertuang dalam Penjelasannya, yaitu meningkatkan kualitas belanja (quality of spending). Untuk itu, pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan adalah ditetapkannya berbagai petunjuk operasional atas norma umum sebagaimana telah diamanatkan di beberapa pasal dalam PP Nomor 90 Tahun 2010.
PERENCANAAN ANGGARAN
22 Warta anggaran | 21 Tahun 2011
LAPORAN UTAmA
Menyoal Ketidakpatuhan Kementerian/Lembaga dalam Pengelolaan PNBPOleh: Supriyadi & Wahyu Indrawan
Akar permasalahan berulangnya temuan BPK berupa Pungutan Tanpa Dasar Hukum bukan semata-mata terletak pada ketidakpatuhan K/L terhadap ketentuan di bidang PNBP, namun justru kekakuan ketentuan PNBP yang mengharuskan penetapan jenis dan tarif PNBP minimal dalam PP sedikit banyak turut menyebabkan timbulnya permasalahan tersebut. Pendelegasian wewenang penetapan jenis dan tarif PNBP kepada Menteri sebagai alternatif solusi perlu dipertimbangkan, tetapi tetap perlu kajian lebih lanjut. Apabila berdasarkan hasil kajian ternyata pendelegasian wewenang penetapan jenis dan tarif PNBP tersebut lebih banyak manfaatnya daripada kerugiannya, maka revisi UU PNBP perlu dilakukan.
PNBP
Warta anggaran | 21 Tahun 2011 23
Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sesuai dengan UU Nomor 20 Tahun 1997 tentang PNBP, didefinisikan sebagai seluruh penerimaan Pemerintah Pusat yang tidak berasal dari penerimaan perpajakan. PNBP memiliki kontribusi yang cukup signifikan bagi penerimaan negara. Selama lima tahun terakhir (2006-2010) rata-rata kontribusi PNBP bagi penerimaan negara sekitar 30%.
Pada tahun 2010 penerimaan PNBP sekitar Rp270 triliun atau sebesar 27% dari total penerimaan negara, dengan komposisi sebagaimana grafik sebagai berikut dibawah ini.
Penerimaan Sumber Daya Alam (SDA) Migas dan Dividen merupakan PNBP pada Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara (BA BUN) yang dikelola di bawah Kementerian Keuangan. Penerimaan SDA Non Migas terutama dikelola oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Kementerian Kehutanan. Sementara
itu, penerimaan PNBP Lainnya seperti penjualan aset, sewa aset, jasa, pendidikan, dan bunga pengelolaannya tersebar pada
Kementerian/ Lembaga.
Berbeda dengan penerimaan pajak yang hanya dikelola oleh satu kementerian yaitu Kementerian Keuangan dalam hal ini dikelola oleh Ditjen Pajak, PNBP dikelola oleh banyak Kementerian atau Lembaga, terutama untuk penerimaan PNBP Lainnya. Saat ini, PNBP dikelola oleh lebih dari 3000 satker dengan jenis dari tarif PNBP sangat beragam yang jumlahnya lebih dari 15.000 jenis. Oleh karena itu, wajar apabila penertiban pengelolaan PNBP sesuai ketentuan yang berlaku bukanlah suatu pekerjaan yang mudah.
Temuan BPK terkait PNBP
Hasil pemeriksaan BPK dari tahun ke tahun menunjukkan temuan yang sama yaitu tingginya Pungutan Tanpa Dasar Hukum atau Terlambat Setor, dan belum ada kecenderungan turun. Hal ini dapat dilihat pada tabel dibawah ini:
Berdasarkan tabel diatas, apabila dibandingkan dengan total penerimaan PNBP tentu nilainya tidak begitu signifikan
karena berada dibawah kisaran 1% (sebagai contoh dalam LKPP TA 2009 Penerimaan PNBP mencapai Rp227.174,42 Milyar). Namun, yang mengkhawatirkan adalah peningkatan temuan dari tahun ke tahun, baik dari sisi jumlah K/L maupun nilai nominal.
Penyebab terjadinya temuan adalah
a. Pungutan Tanpa Dasar Hukum
Sesuai Pasal 2 dan 3 UU Nomor 20 Tahun 1997 tentang PNBP diatur bahwa Jenis PNBP dan Tarif atas Jenis PNBP harus ditetapkan dalam Undang-Undang (UU) atau Peraturan Pemerintah (PP). Dari sisi kepastian hukum tentunya penetapan jenis dan tarif PNBP minimal dengan PP tersebut akan memberikan kepastian hukum yang lebih kuat dibandingkan dengan peraturan menteri, namun tidak dipungkiri proses pembentukan PP dimaksud sering membutuhkan waktu cukup panjang dan energi yang cukup besar serta biaya yang tidak sedikit.
Sebagai gambaran PP Jenis dan Tarif atas Jenis PNBP yang Berlaku pada Kementerian Dalam Negeri (PP No 71 Tahun 2009), Kementerian Kesehatan (PP No 13 Tahun 2009), Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata (PP No 41 Tahun 2010) membutuhkan waktu penyelesaian sekitar 2 tahun. Bahkan, untuk RPP Jenis dan Tarif atas Jenis PNBP yang Berlaku pada Kementerian Keuangan sendiri sudah lebih dari 3 tahun tetapi sampai dengan saat ini belum juga selesai. Beberapa Kementerian lain juga mengalami hal serupa seperti RPP Jenis dan Tarif atas Jenis PNBP yang Berlaku pada Kementerian ESDM dan Kementerian Pekerjaan Umum. Meskipun ada juga yang bisa selesai lebih cepat seperti PP Jenis dan Tarif PNBP pada Badan Pertanahan Nasional (PP No 13 Tahun 2010) yang diselesaikan kurang dalam 1 tahun, tetapi perlu dicatat PP tersebut menjadi Program Prioritas dari Pemerintah (Program 100 Hari Presiden).
Waktu, energi, dan biaya yang cukup
Tahun Jenis Temuan Jumlah K/L Nilai Temuan
2007
(i) Pungutan Tanpa Dasar Hukum dan/atau dikelola di luar mekanisme APBN 11 Rp286,41 miliar
(ii) PNBP Terlambat/Belum Disetor ke Kas Negara 10 Rp76,38 miliar
2008 Pungutan Tanpa Dasar Hukum dan/atau dikelola di luar mekanisme APBN 11 Rp730,99 miliar
2009
(i) Pungutan Tanpa Dasar Hukum dan/atau dikelola di luar mekanisme APBN 13 Rp186,47 miliar
(ii) PNBP Terlambat/Belum Disetor ke Kas Negara 18 Rp794,90 miliar
PNBP
24 Warta anggaran | 21 Tahun 2011
banyak dalam pembentukan PP tersebut pada gilirannya membuat keengganan bagi K/L untuk mengusulkan jenis PNBP baru atau mengusulkan perubahan atas jenis dan tarif yang dirasa sudah tidak sesuai dengan kondisi sekarang. Hal inilah yang pada akhirnya sering menyebabkan beberapa satker pengelola PNBP pada K/L melakukan pungutan PNBP tanpa dasar hukum yaitu dengan memungut jenis PNBP baru hanya dengan peraturan dibawah PP atau memungut jenis PNBP yang sebagaimana tercantum di PP namun dengan tarif tidak sesuai di PP.
Sebagai contoh kasus, berdasarkan PP No 47 Tahun 2004 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis PNBP yang berlaku pada Departemen Agama, antara lain ditetapkan bahwa tarif untuk Nikah sebesar Rp 30.000. Namun banyak KUA yang tidak menerapkan tarif tersebut karena dianggap sudah tidak sesuai dengan kondisi saat ini (dirasa terlalu murah). Oleh karena itu, merebak di beberapa daerah munculah yang namanya tarif “nikah bedolan” yang bisa diartikan sebagai biaya tambahan untuk transportasi dan uang lelah untuk penghulu/pembantu penghulu yang menikahkan pasangan pengantin di luar kantor dan biasanya di luar hari kerja, dengan besaran tarif bervariasi, bahkan di kota Bandung ada yang tarifnya hingga Rp 500.000.
Selain itu, PP juga dipandang kurang mampu mengakomodir adanya jenis PNBP yang tarifnya memiliki karakter khusus seperti tarif mudah berubah dan tarif dalam bentuk kontrak. Sebagai contoh kasus, PP Nomor 13 Tahun 2009 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis PNBP yang Berlaku pada Departemen Kesehatan, yang mengatur sekitar 500 jenis dan tarif PNBP, ditetapkan tanggal 16 Januari 2009, tetapi Kementerian Kesehatan pada tanggal 13 Juli 2010 telah mengusulkan kembali perubahan atas PP dimaksud mengingat banyak jenis tarifnya yang mempunyai karakter mudah berubah, seperti tarif jasa pengujian laboratorium
yang besaran tarifnya sangat dipengaruhi oleh harga bahan baku (bahan kimia) yang digunakan untuk pengujian, dimana harga bahan kimia tersebut sangat fluktuatif.
Melihat permasalahan tersebut di atas, maka waktu untuk penyelesaian PP jelas menjadi salah satu kunci permasalahan. Dengan demikian, sepenuhnya menyalahkan Kementerian/Lembaga sebagai biang permasalahan pungutan tanpa dasar hukum menjadi tidak fair. Tentunya, hal tersebut juga tidak bisa dijadikan pembenaran bagi Kementerian/Lembaga untuk tidak menunda atau menempatkan jenis dan tarif PNBP pada PP, mengingat ketentuan yang
masih berlaku saat ini menetapkan bahwa jenis dan tarif PNBP minimal harus dengan PP. Namun demikian, perlu dilakukan kajian mengenai pendelegasian wewenang penetapan jenis dan tarif PNBP kepada peraturan yang lebih rendah seperti peraturan menteri sebagai alternatif solusi atas permasalahan di atas.
b. PNBP dikelola di luar APBN (Penggunaan Langsung)
Sesuai Pasal 4 dan 5 Undang-Undang No. 20 Tahun 1997 tentang PNBP antara lain diatur bahwa seluruh PNBP wajib disetor langsung secepatnya ke Kas Negara dan dikelola dalam sistem APBN. Hal tersebut sejalan dengan Undang-Pasal 3 Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, semua penerimaan yang menjadi hak dan pengeluaran yang menjadi kewajiban negara dalam tahun anggaran yang bersangkutan
harus dimasukkan dalam APBN dan dipertegas dalam Pasal 16 Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, penerimaan kementerian negara/lembaga/satuan kerja perangkat daerah tidak boleh digunakan langsung untuk membiayai pengeluaran.
Tiga undang-undang tersebut di atas secara tegas melarang K/L menggunakan langsung penerimaan negara untuk membiayai kegiatan operasionalnya, namun mengapa masih banyak K/L pengelola PNBP yang berani melanggar 3 undang-undang tersebut. Hal ini tentunya perlu analisis lebih dalam terhadap temuan BPK tersebut.
Dari temuan BPK berupa penggunaan langsung tersebut sebagian besar merupakan penggunaan langsung dari penerimaan sewa ruangan atau gedung. Seperti Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi menggunakan langsung penerimaan sewa Wisma Karya Jasa Ciloto atau Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menggunakan
langsung penerimaan dari Pengelolaan guest house. Penerimaan sewa tersebut antara lain untuk membiayai pembayaran listrik, gaji karyawan, pemeliharaan gedung dan bangunan serta untuk kesejahteraan anggota. Selain itu, terjadi juga terhadap penggunaan langsung terhadap penerimaan jasa penelitian, seperti di Kementerian ESDM yang menggunakan langsung terhadap penerimaan jasa Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) Teknologi Mineral dan Batubara.
Dari kasus di atas, tentunya permasalahan alokasi dana yang cukup menjadi kunci penting untuk penyelesaian masalah tersebut. Namun, hal tersebut mengapa bisa terjadi pada PNBP yang menerapkan earmarking, dimana penerimaan bisa digunakan kembali oleh Satker penghasil PNBP setelah tentunya terlebih dahulu harus disetor ke Kas Negara. Setelah diteliti,
Sebagai gambaran PP Jenis dan Tarif atas Jenis
PNBP yang Berlaku pada Kementerian Dalam Negeri
(PP No 71 Tahun 2009), Kementerian Kesehatan (PP
No 13 Tahun 2009)
PNBP
Warta anggaran | 21 Tahun 2011 25
ternyata earmarking hanya diterapkan untuk penerimaan PNBP fungsional, sementara untuk penerimaan sewa yang merupakan penerimaan bersifat umum tidak bisa di-earmark atau digunakan kembali oleh K/L penghasil PNBP.
Faktor lainnya penyebab penggunaan langsung adalah adanya pembatasan waktu pengajuan revisi anggaran hanya sampai dengan pertengahan bulan Oktober. Ketentuan ini membuat dilema bagi Kementerian/Lembaga khususnya pada saat ada permintaan pelayanan di bulan November dan Desember. Dilema terjadi mengingat pelayanan dimaksud harus tetap diberikan sedangkan di sisi lain hal ini akan mengakibatkan adanya kelebihan realisasi penerimaan PNBP tetapi biaya pelayanan tidak bisa dicairkan mengingat DIPA sudah tidak bisa dilakukan revisi lagi. Untuk mengatasi hal ini, sebagian satuan kerja mengambil jalan pintas menggunakan secara langsung seluruh penerimaan untuk membiayai kegiatan pelayanan dimaksud, dimana jalan pintas ini tidak sesuai dengan ketentuan dan pada akhirnya menjadi temuan oleh aparat pengawas fungsional (BPK).
c. PNBP Terlambat/Belum Disetor ke Kas Negara
Ketidaktertiban atau “pelanggaran” berikutnya dalam pengelolaan PNBP berupa keterlambatan dalam penyetoran PNBP. Keterlambatan disini diartikan suatu dana PNBP yang telah diterima oleh Bendahara Penerima dari masyarakat tetapi tidak segera disetorkan ke Kas Negara secara tepat waktu.
Kriteria yang digunakan oleh auditor yang dalam hal ini BPK adalah ketentuan perundangan di bidang PNBP dan Keuangan Negara, yaitu Pasal 4 Undang-Undang No. 20 Tahun 1997 tentang PNBP yang
menyatakan bahwa seluruh PNBP wajib disetor langsung secepatnya ke Kas Negara, Pasal 16 ayat 2 Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara yang menyatakan bahwa penerimaan harus disetor seluruhnya ke Kas Negara/Daerah pada waktunya yang selanjutnya diatur dalam peraturan pemerintah.
Selanjutnya, dalam Pasal 26 ayat (3) Peraturan Pemerintah No. 39 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Uang Negara/Daerah, yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, menyatakan bahwa Penerimaan Negara yang ditampung pada rekening penerimaan
setiap hari disetor seluruhnya ke Rekening Kas Umum Negara.
Berdasarkan ketentuan di atas, seluruh jenis PNBP tanpa kecuali harus disetor langsung ke Kas Negara atau maksimal satu hari di rekening Bendahara dan selanjutnya harus disetor seluruhnya ke Rekening Kas Umum Negara. Ketentuan inilah yang mengakibatkan munculnya temuan BPK berupa PNBP terlambat setor ke Kas Negara. Hal ini terjadi karena Bendahara Penerima Kementerian/Lembaga umumnya menampung terlebih dahulu setoran PNBP dari Wajib Bayar/masyarakat baru
kemudian disetorkan ke Kas Negara.
Seperti temuan BPK yang lain, temuan ini terjadi juga tidak sepenuhnya karena kesalahan atau kealpaan Bendahara Penerima K/L. Jenis PNBP yang jumlahnya mencapai puluhan ribu tentu juga diiringi dengan beragamnya karakteristik PNBP. Hal ini berdampak juga terhadap penyetoran masing-masing jenis PNBP tersebut. Kendala waktu dan biaya mungkin tidak terlalu mengganggu untuk Satuan Kerja yang berdomisili di daerah perkotaan. Namun, hal ini akan menjadi berbeda bagi Satuan Kerja yang berdomisili di daerah terpencil.
Sebagai contoh, agar lebih mudah ilustrasinya kita gunakan lagi kasus PNBP berupa biaya nikah pada Kementerian Agama sebesar Rp 30.000, apabila dalam suatu hari atau bahkan dalam suatu minggu di suatu kecamatan terpencil di Kepulauan Aru hanya terjadi satu kali peristiwa pernikahan dan harus disetorkan langsung pada satu hari berikutnya, maka petugas Kantor Urusan Agama setempat akan mengeluarkan biaya transportasi yang lebih besar daripada PNBP akan yang disetorkan ke Kas Negara karena Bank Persepsi tidak tersedia di seluruh Kecamatan atau bahkan Bank Persepsi terletak di pulau lain yang terpisah laut.
Kasus ini tidak dimaksudkan sebagai dasar pembenaran untuk menunda penyetoran PNBP ke Kas Negara secara umum, tetapi seyogianya dijadikan salah satu pertimbangan dalam penentuan batas waktu penyetoran. Oleh karena itu, diperlukan suatu peraturan yang beragam untuk jenis PNBP yang beragam pula.
Faktor lainnya penyebab penggunaan langsung adalah adanya pembatasan waktu pengajuan revisi anggaran
hanya sampai dengan pertengahan bulan Oktober.
Ketentuan ini membuat dilema bagi Kementerian/
Lembaga khususnya pada saat ada permintaan pelayanan
di bulan November dan Desember.
PNBP
26 Warta anggaran | 21 Tahun 2011
PNBP
Sebagai konsekuensi kebijakan APBN yang defisit, Pemerintah harus berusaha mencari sumber penerimaan pembiayaan yang digunakan untuk menutup “financing gap” tersebut. Namun, besaran pembiayan defisit tersebut terlihat semakin menurun dibandingkan defisit tahun sebelumnya, dalam APBN-P 2010 ditetapkan besaran defisit adalah sebesar 2,1 persen terhadap PDB, sedangkan pada tahun 2011 dalam
APBN ditetapkan besaran defisit adalah sebesar 1,8 persen terhadap PDB.
Pada APBN 2011, Total Pendapatan Negara dan hibah mencapai Rp1.104,9 triliun, sedangkan total belanja Negara mencapai Rp1.229,6 triliun, sehingga terjadi defisit sebesar Rp124,7 triliun. Untuk menutup besaran tersebut akan ditutup dari sumber non utang dan utang. Untuk jelasnya dapat
dilihat pada tabel berikut.
Penerimaan cicilan pengembalian penerusan pinjaman: Penerimaan cicilan pengembalian penerusan pinjaman terhadap APBN pada tahun-tahun sebelumnya diklasifikasikan ke dalam RDI. Perubahan klasifikasi ini dimaksudkan untuk perbaikan sistem dan penertiban rekening
Oleh Agus Kuswantoro
Pembiayaan 2011, Mengandalkan Utang Sebagai Sumber Penerimaan
LAPORAN KHUSUS
Warta anggaran | 21 Tahun 2011 27
yang dikelola oleh Pemerintah, khususnya yang dikelola oleh Menteri Keuangan selaku BUN. Oleh karena itu, mulai tahun 2011 pengembalian dari debitur tidak lagi melalui rekening RDI tetapi langsung disetorkan kepada Rekening Kas Umum Negara (RKUN). Target penerimaan cicilan pengembalian penerusan pinjaman dalam APBN 2011 adalah sebesar Rp6,8 triliun dimana didalamnya termasuk adanya konversi piutang penerusan pinjaman pada PT Pupuk Iskandar Muda (PT PIM) sebesar Rp1,4 triliun.
Rekening KUN untuk pembiayaan kredit investasi pemerintah: Penerimaan ini bersifat in-out, yaitu in pada rekening KUN untuk pembiayaan kredit investasi pemerintah, dan out pada investasi pemerintah untuk pembiayaan kredit investasi pemerintah. Target setoran adalah sebesar Rp853,9 miliar.
Saldo anggaran lebih (SAL): Penggunaan SAL antara lain ditujukan untuk mengurangi idle cash sehubungan besarnya posisi SAL yang terdapat dalam Rekening Pemerintah. Target SAL yang digunakan
dalam APBN 2011 adalah sebesar Rp5,0 triliun.
Privatisasi: Kebijakan privatisasi dalam
APBN 2011 adalah privatisasi ditujukan
untuk memperbaiki kinerja dan nilai
tambah perusahaan, perbaikan struktur
keuangan dan manajemen, penciptaan
struktur industri yang sehat dan kompetitif,
serta perkembangan BUMN yang mampu
bersaing dan berorientasi global. Target
privatisasi APBN 2011 ditetapkan tidak
terlalu besar yaitu hanya Rp340,0 miliar,
karena privatisasi tidak ditujukan untuk
menutup defisit.
Hasil pengelolaan asset (HPA): Hasil
pengelolaan Aset berasal dari penerimaan
Ditjen Kekayaan Negara (DJKN) dan PT
PPA. Penerimaan DJKN berasal dari aset
eks bank dalam likuidasi (BDL), aset eks PT
PPA. aset eks BPPN, dan hak tagih terhadap
PT DI (sebagai akibat dari konversi utang
menjadi PMN). Penerimaan PT PPA berasal
dari percepatan pelunasan Multi Years Bond
(MYB) PT Tuban Petrochemical Industries
(PT TPI). Adapun target HPA pada tahun
2011 adalah sebesar Rp583,1 miliar. Namun,
HPA ini sudah tidak dapat menjadi andalan
penerimaan pembiayaan berhubung aset
yang dikelola makin menurun baik kualitas
maupun kuantitasnya.
Sumber utang yang digunakan sebagai
penerimaan pembiayaan pada tahun
2011 adalah berasal dari surat berharga
Negara (SBN), pinjaman dalam negeri,
dan penarikan pinjaman luar negeri.
Dalam mengelola utang tersebut, terdapat
kebijakan umum pengelolaan utang yaitu:
mengoptimalkan potensi utang domestik
melalui penerbitan SBN dan PDN;
melakukan pengembangan instrumen
utang agar diperoleh fleksibilitas dalam
memilih berbagai instrumen yang lebih
cost-efficient dan risiko minimal; pengadaan
PLN dilakukan untuk pembiayaan kegiatan
prioritas yang memberikan terms and
conditions yang wajar, dan tanpa agenda
politik dari kreditur ; mempertahankan
kebijakan pengurangan PLN dalam periode
jangka menengah; meningkatkan koordinasi
dengan otoritas moneter dan otoritas
I. Pembiayaan Nonutang 25,402.8 0.4 3,910.9 15.4 (2,387.9) (0.0)
A. Perbankan Dalam Negeri 45,477.1 0.7 21,477.9 47.2 12,657.2 0.21. Rekening Dana Investasi 5,504.2 0.1 4,130.0 75.0 6,803.4 0.12. Rekening Pembangunan Hutan 625.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.03. Saldo Anggaran Lebih 39,347.9 0.6 17,347.9 44.1 5,000.0 0.14. Rek.KUN untuk Pemb. Kredit Invest. Pem. 0.0 0.0 0.0 0.0 853.9 0.0
B. Non Perbankan Dalam Negeri (20,074.2) (0.3) (17,567.0) 87.5 (15,045.2) (0.2)1. Privatisasi 1,200.0 0.0 2,098.7 174.9 340.0 0.02. Hasil Pengelolaan Aset 1,200.0 0.0 1,133.4 94.5 583.1 0.03. Dana Investasi Pemerintah dan PMN (12,924.2) (0.2) (12,299.1) 95.2 (13,932.3) (0.2)4. Dana Pengembangan Pendidikan Nasional (1,000.0) (0.0) (1,000.0) 100.0 (1,000.0) (0.0)5. Kewajiban Penjaminan (1,050.0) (0.0) 0.0 0.0 (1,036.0) (0.0)6. Pinjaman kepada PT PLN (7,500.0) (0.1) (7,500.0) 100.0 0.0 0.0
II. Pembiayaan Utang 108,344.8 1.7 85,633.7 79.0 127,044.4 1.8
A. Pembiayaan Luar Negeri (Neto) (155.5) (0.0) (5,837.9) 3,753.2 (609.5) (0.0)
1. Penarikan Pinjaman Luar Negeri (Bruto) 70,777.1 1.1 50,616.6 71.5 58,933.0 0.82. Penerusan Pinjaman (16,796.6) (0.3) (5,822.0) 34.7 (11,724.8) (0.2)
3. Pembayaran Cicilan Pokok Utang LN (54,136.0) (0.9) (50,632.5) 93.5 (47,817.7) (0.7)B. Surat Berharga Negara (neto) 107,500.4 1.7 91,113.8 84.8 126,653.9 1.8C. Pinjaman Dalam Negeri 1,000.0 0.0 357.7 35.8 1,000.0 0.0
133,747.7 2.1 89,544.6 67.0 124,656.5 1.8Total Pembiayaan Anggaran
APBN % thd PDB
Real 31 Des (Rev II)
% thd APBN-PAPBN-P % thd
PDB
PEMBIAYAAN, 2010-2011(miliar rupiah)
Keterangan
2010 2011
LAPORAN KHUSUS
28 Warta anggaran | 21 Tahun 2011
pasar modal, untuk mendorong financial
deepening; meningkatkan koordinasi dan
komunikasi untuk meningkatkan efisiensi
pengelolaan pinjaman dan sovereign credit
rating.
Surat berharga negara (SBN): Setelah
penerimaan dari HPA menurun, Pemerintah
selalu mengandalkan penerbitan SBN
sebagai sandaran dalam menutup defisit
dan membiayai pengeluaran pembiayaan.
Pada APBN 2011, target penerbitan SBN
(neto) adalah sebesar Rp126,7 triliun, yang
nantinya akan ditutup dari SBN dalam
negeri dan SBN internasional.
Pinjaman dalam negeri (PDN): Pinjaman dalam negeri merupakan sumber
penerimaan pembiayaan yang relatif baru,
yaitu mulai tahun 2010. Pinjaman ini berasal
dari bank pemerintah yang digunakan untuk
membiayai pengadaan alat utama sistem
pertahanan pada Kementerian Pertahanan
dan Kepolisian Negara dalam rangka
pemberdayaan industri dalam negeri. Target
penerimaan PDN pada APBN 2011 adalah
sebesar Rp1,0 triliun.
Penarikan pinjaman luar negeri (PLN): Pengadaan pinjaman luar negeri
dilakukan hanya untuk pembiayaan kegiatan
prioritas dan dalam rangka budget support.
Sumber pembiayaan PLN ini berasal dari
lender baik multilateral, bilateral, maupun
lembaga keuangan komersial. Sedangkan
prioritas pengadaan utang diarahkan
bagi (i) lender yang memberikan terms
and condition yang favorable (wajar), (ii)
tidak adanya agenda politik tertentu,
dan (iii) ketersediaan sumber pinjaman
yang disesuaikan dengan karakteristik
kegiatannya. Penarikan PLN ini dibedakan
menjadi pinjaman program (untuk budget
support) dan pinjaman proyek (earmark
dengan kegiatan pada K/L). Pada APBN
2011, target pinjaman program adalah
sebesar Rp19,8 triliun sedangkan pinjaman
proyek sebesar Rp39,1 triliun. Dalam
pinjaman proyek tersebut termasuk
penerimaan penerusan pinjaman sebesar
Rp11,7 triliun.
Selain penerimaan, pada pembiayaan juga
terdapat pengeluaran pembiayaan
baik pada non utang maupun utang.
Pengeluaran Pembiayaan yang terdapat
pada non utang meliputi Dana investasi
pemerintah & penyertaan modal Negara
(PMN), dana pengembangan pendidikan
nasional, serta kewajiban penjaminan.
Sedangkan pengeluaran pembiayaan
yang terdapat pada utang yaitu berupa
penerusan pinjaman dan pembayaran
cicilan pokok Utang LN.
Dana investasi pemerintah & penyertaan modal Negara (PMN): Pembiayaan dalam bentuk dana investasi
Pemerintah & PMN bersifat cash outflow
atau berupa pengeluaran pembiayaan,
serta bersifat ad-hoc tergantung pada
kebijakan Pemerintah. Pengeluaran dana
untuk investasi Pemerintah dan PMN
dalam APBN 2011, dialokasikan sebesar
Rp13,9 triliun yang digunakan untuk: (a)
Investasi Pemerintah Rp1,9 triliun, (b)
PMN sebesar Rp7,1 triliun, yang dirinci
PMN kepada BUMN Rp6,4 triliun dan
organisasi/lembaga keuangan internasional
Rp721,5 miliar, dan (d) dana bergulir
Rp4,9 triliun, yang terdiri dari LPDB
KUKM Rp250,0 miliar, Fasilitas Likuiditas
Pembiayaan Perumahan Rp3.571,6 miliar,
dan Geothermal Rp1.126,5 miliar.
Dana pengembangan pendidikan nasional: Dana pengembangan
pendidikan nasional merupakan bagian
dari anggaran pendidikan nasional secara
keseluruhan, yang dialokasikan untuk
pembentukan endowment fund dan dana
cadangan pendidikan untuk mengantisipasi
keperluan rehabilitasi fasilitas pendidikan
yang rusak akibat bencana alam. Dalam
APBN 2011, alokasi anggaran untuk
dana pengembangan pendidikan nasional
dialokasikan sebesar Rp1,0 triliun.
Kewajiban penjaminan: Dana
ini ditujukan untuk mengantisipasi
kemungkinan gagal bayar PT PLN (persero)
maupun PDAM terhadap kreditur sesuai
dengan perjanjian pinjaman. Pada APBN
2011, Pemerintah mengalokasikan anggaran
untuk dana kewajiban penjaminan sebesar
Rp1.036,0 triliun, yang terdiri dari untuk PT
PLN (Persero) sebesar Rp889,0 miliar dan
PDAM sebesar Rp147,0 miliar.
Penerusan pinjaman: Merupakan PLN
atau PDN yang diterima Pemerintah Pusat
dan diteruspinjamkan kepada pemerintah
daerah atau BUMN. Penerusan pinjaman
ini bersifat in-out, yaitu in pada pinjaman
proyek dan out pada penerusan pinjaman.
Sedangkan pada APBN 2011, alokasi
penerusan pinjaman adalah sebesar Rp11,7
triliun.
Pembayaran cicilan pokok Utang LN: Salah satu kewajiban pembayaran
apabila Pemerintah menarik PLN adalah
pembayaran cicilan pokok kepada lender.
Pada APBN 2011, alokasi pembayaran ini
adalah sebesar Rp47,8 triliun. Sedangkan
kebijakan Pemerintah adalah selalu
berupaya untuk membayar kewajiban ini
tepat waktu.
Kesimpulan:
Sumber utama penerimaan pembiayaan
adalah berasal dari utang, dalam
perencanaan utang tersebut selalu
mempertimbangkan “fiscal sustainability“
sehingga tambahan utang tersebut tidak
membebani APBN dimasa mendatang.
Salah satu indikator yang dipercaya adalah
debt to GDP ratio yang semakin menurun,
yaitu dari 47% pada tahun 2005 menjadi
26% pada tahun 2011. Sedangkan dari sisi
pengeluaran pembiayaan, PMN merupakan
pengeluaran terbesar serta diharapkan
penggunaannya dapat dilakukan dengan
efektif dan efisien.
Referensi: Disarikan dari Nota Keuangan dan APBN 2011
LAPORAN KHUSUS
Warta anggaran | 21 Tahun 2011 29
Oleh Eko Widyasmoro
Penataan Organisasi DJA: Mengantisipasi Kepakan Sayap Kupu-kupu di Brazil
Di wilayah manajerial, tuntutan akan keterbukaan dan akuntabilitas direspon oleh DJA dengan
penguatan di bidang kepatuhan internal, manajemen risiko, dan bantuan hukum. Dibentuknya
Bagian Kepatuhan dan Bantuan Hukum merupakan bukti komitmen DJA terhadap keterbukaan
dan akuntabilitas.
REFORMASI BIROKRASI
30 Warta anggaran | 21 Tahun 2011
Pada tahun 1972, Edward Lorenz, seorang ahli meteorologi, menyampaikan pidatonya yang terkenal dengan judul ‘Apakah kepakan sayap seekor kupu-kupu di Brazil dapat menyebabkan badai di Texas?’. Pertanyaan bersayap ini tentu saja mengandung makna bahwa dalam suatu sistem yang kompleks, dalam hal ini cuaca, perubahan kecil di suatu tempat dapat memicu perubahan besar di tempat lain.
Jika di lihat secara seksama, sepertinya kita akan sepakat bahwa Direktorat Jenderal Anggaran merupakan bagian dari suatu sistem yang luar biasa kompleks yang dinamakan keuangan negara. Dalam sistem ini setiap perubahan berpotensi membawa dampak yang hebat. Contoh sederhana misalnya pergolakan di kawasan Timur Tengah berdampak kepada perubahan harga minyak yang memicu perubahan asumsi ekonomi makro di APBN kita, demikian seterusnya sehingga seorang Kepala Puskesmas di pedalaman Mamuju akhirnya hanya menerima 6 box Parasetamol dari 10 yang dia ajukan.
Dari kaca mata organisasi, lingkungan yang sangat dinamis menuntut suatu desain organisasi yang responsif. Responsif dalam arti tidak membentengi dirinya terhadap serbuan perubahan, melainkan menyesuaikan diri dengan tuntutan perubahan, untuk tetap berkinerja prima di tengah dinamika.
Selain sebagai upaya untuk mengejawantahkan core values DJA, semangat untuk tetap responsif merupakan hal penting yang mendasari penataan organisasi di Direktorat Jenderal Anggaran. Sejak awal perancangannya, piranti yang digunakan untuk mendiagnosa kebutuhan akan perubahan adalah metode PETS yang dikembangkan oleh Johnson dan Scholes. Metode ini memetakan faktor-faktor Politik, Ekonomi, Teknologi, dan Sosial yang menjadi
pemicu berubahnya struktur organisasi.
Faktor politik dalam hal ini diantaranya adalah terbitnya peraturan maupun inisiatif tentang Reformasi Birokrasi, Reformasi Penganggaran dan program-program seperti Program Legislasi Nasional. Dari segi ekonomi, organisasi DJA dihadapkan kepada mengemukanya isu-isu strategis nasional dan kebijakan yang berdampak kepada APBN seperti Sistem Jaminan Sosial Nasional, pembangunan infrastruktur, perubahan iklim, dan, secara internal, efesiensi operasional DJA sendiri.
Perkembangan teknologi menuntut DJA untuk melakukan integrasi Teknologi
Informasi ke dalam mekanisme kerja DJA, baik dalam proses bisnisnya sendiri maupun ketika bisnis proses tersebut berkaitan erat dengan organisasi lain. Dan yang tak kalah pentingnya adalah faktor sosial. Tuntutan publik akan keterbukaan dan akuntabilitas merupakan suatu faktor pemicu yang tidak dapat diabaikan. DJA perlu didesain sedemikan rupa setiap kebijakan dirumuskan dalam suatu proses yang transparan dan hasilnya dapat dipertanggungjawabkan.
Dengan mempertimbangkan faktor-faktor di atas DJA menata kembali organisasinya. Untuk mengantisipasi Sistem Jaminan Sosial Nasional, isu Remunerasi dan Program Legislasi Nasional 2010-2014 yang didalamnya terdapat 247 RUU yang
harus disahkan, sebuah direktorat baru pun dibentuk. Direktorat Harmonisasi Peraturan Penganggaran bertugas menyelaraskan peraturan-peraturan yang diterbitkan oleh DJA maupun instansi-instansi lain dengan peraturan yang telah ada dan kaidah-kaidah penganggaran yang telah disepakati.
Terdiri dari empat subdirektorat, wilayah kerja direktorat baru ini mencakup harmonisasi peraturan penganggaran yang terkait kementerian dan lembaga, harmonisasi peraturan jaminan sosial, harmonisasi peraturan PNBP, dan harmonisasi penganggaran remunerasi. Keempat bidang tersebut merupakan
wilayah yang terus berkembang dan perlu perhatian khusus. Diharapkan dengan ditangani secara tersendiri, keamanan APBN menjadi semakin terjaga dan remunerasi aparatur negara kedepan dapat mengacu pada pola yang lebih rasional dan berkeadilan.
Masih dengan semangat untuk mengantisipasi perkembangan, DJA membenahi kembali sistem monitoring dan evaluasi yang selama ini melekat ke dalam tugasnya. Sebelum penataan, monitoring dan evaluasi penganggaran kurang
optimal karena belum adanya kerangka yang dapat dijadikan acuan dan tingginya beban kerja unit teknis. Akibatnya, pelaksanaan monitoring dan evaluasi cenderung terfragmentasi dan hasilnya belum dapat dijadikan pertimbangan dalam pengambilan keputusan.
Penguatan fungsi monitoring dan evaluasi dilakukan dengan membentuk suatu unit eselon III di bawah Direktorat Sistem Penganggaran, yaitu Subdirektorat Evaluasi Kinerja Penganggaran. Tugas unit ini adalah mempersiapkan kerangka kerja monitoring dan evaluasi yang dilaksanakan oleh unit-unit teknis sekaligus mengolah hasilnya sehingga dapat dijadikan referensi bagi pimpinan DJA maupun unit-unit teknis tersebut. Hasil kajian unit ini diharapkan
Penataan ulang juga dilakukan di Direktorat
PNBP. Pendekatan struktur organisasi yang semula
menggunakan pendekatan jenis penerimaan PNBP,
yaitu kementerian dari non-kementerian dianggap tidak
sesuai lagi.
REFORMASI BIROKRASI
Warta anggaran | 21 Tahun 2011 31
mampu memberikan gambaran mengenai sejauh mana kementerian dan lembaga mampu secara optimal memanfaatkan anggaran yang dimiliki untuk menghasilkan output yang direncanakan. Hal ini menjadi penting karena dalam implementasi penganggaran berbasis kinerja, posisi DJA ke depan tidak hanya berkutat dengan ‘posting dan costing’ melainkan juga sebagai unit yang mampu menganalisis output kementerian dan lembaga.
Dari sisi perencanaan anggaran, perkembangan sistem penganggaran dan perubahan struktur APBN membawa dampak langsung kepada DJA. Kini, DJA dituntut juga untuk menangani bidang anggaran strategis nasional, antara lain perubahan iklim, pengembangan alutsista, dan ketahanan pangan. Belum lagi ditambah dengan bertambahnya beban kerja di bidang belanja negara akibat penerapan belanja prioritas, serta kewajiban yang terkait dengan dampak implementasi sistem jaminan sosial nasional terhadap APBN.
Mencermati perkembangan tersebut, DJA memutuskan untuk menata ulang pembagian tugas di Direktorat Penyusunan APBN dan merombak strukturnya untuk menyesuaikan dengan postur APBN. Dalam struktur yang baru, belanja negara ditangani oleh tiga subdirektorat sementara demi efisiensi tugas yang terkait dengan pendapatan negara digabung ke dalam subdirektorat yang menangani asumsi ekonomi makro. Di tingkat eselon IV, pembagian tugas dan pemberian nomenklatur dilakukan sehingga setiap seksi merupakan cerminan dari aspek tertentu dalam postur APBN. Semua ini dilakukan untuk memastikan agar DJA dapat memberikan respon yang cepat dan akurat terhadap setiap pergerakan APBN.
Penataan ulang juga dilakukan di Direktorat PNBP. Pendekatan struktur organisasi yang semula menggunakan pendekatan jenis penerimaan PNBP, yaitu kementerian dari non-kementerian
dianggap tidak sesuai lagi. Kini tugas pengelolaan penerimaan PNBP terkait kementerian dan lembaga dibagi habis oleh dua subdirektorat. Hal ini untuk membagi beban kerja agar lebih seimbang, meningkatkan efisiensi operasional dan memudahkan koordinasi dengan mitra kerja.
Hal serupa juga dilakukan untuk mempertajam tugas dan fungsi DJA di bidang pengembangan sistem penganggaran. Nomenklatur pengembangan sistem penganggaran disesuaikan menjadi transformasi sistem penganggaran, dalam hal ini Subdirektorat Transformasi Sistem Penganggaran, Direktorat Sistem Penganggaran. Hal ini dimaksudkan untuk menjadi titik tolak perubahan pola pikir DJA dari upaya pengembangan sistem menjadi upaya transformasi sistem sehingga nuansa implementasinya menjadi semakin kuat.
Sebagai salah satu core product DJA, Standar Biaya juga menjadi pusat perhatian dalam upaya penataan organisasi DJA. Kendala-kendala yang dihadapi dalam implementasi selama ini seperti belum memadainya standar biaya masukan baik jumlah maupun besarannya serta belum tersedianya suatu norma atau pedoman yang mengatur metodologi pembiayaan yang sesuai dengan karakteristik maupun jenis kegiatan yang ada di masing-masing Kementerian /Lembaga adalah tantangan besar bagi DJA. Untuk menjawabnya, DJA menata ulang Subdirektorat Standar Biaya agar kementerian dan lembaga dapat mendapatkan layanan yang lebih customized. Lebih jauh lagi, DJA membentuk Seksi Riset dan Pengembangan Standar Biaya untuk mengantisipasi perkembangan-perkembangan di masa depan.
Di wilayah manajerial, tuntutan akan keterbukaan dan akuntabilitas direspon oleh DJA dengan penguatan di bidang kepatuhan internal, manajemen risiko, dan bantuan hukum. Dibentuknya Bagian Kepatuhan dan Bantuan Hukum merupakan bukti komitmen DJA terhadap keterbukaan
dan akuntabilitas. Bagian ini bertugas antara lain melakukan internalisasi kode etik di lingkungan DJA mengingat pengembangan sistem dan manusia yang melaksanakan sistem tersebut harus berjalan seiring. Peningkatan integritas pegawai dan akuntabilitas proses merupakan salah satu tanggungjawab bagian baru ini.
Tugas yang lain mencakup pengembangan dan implementasi manajemen resiko untuk memastikan kelancaran pelaksanaan tugas DJA secara umum. Hal lain yang tak kalah penting adalah untuk memberikan pertimbangan dari sisi hukum kepada pimpinan DJA agar setiap keputusan yang diambil, terutama yang menyangkut wilayah abu-abu (grey area), mempunyai landasan yang kuat. Unit ini juga akan memberikan dukungan kepada pagawai dan pejabat DJA ketika dihadapkan kepada permasalahan hukum akibat pelaksanaan tugas.
Bisa dikatakan, pada tahun 2010 yang lalu DJA melakukan suatu perombakan struktur yang cukup signifikan. Hampir di semua lini terjadi perubahan. Namun dari semua ini, benang merah yang dapat ditarik adalah DJA berupaya untuk selalu responsif terhadap perubahan-perubahan yang terjadi di lingkungan. Lebih jauh lagi, jika dicermati, maka dapat dilihat upaya-upaya DJA dalam mengantisipasi perubahan itu sendiri, misalnya perubahan struktur di Direktorat Penyusunan APBN dan pembentukan Direktorat Harmonisasi Peraturan Penganggaran.
Dan tentu saja, semua itu dilakukan agar DJA dapat memberikan layanan yang terbaik kepada segenap pemangku kepentingan dan mitra kerjanya. Sedemikian sehingga walaupun seribu kupu-kupu mengepakkan sayapnya di Brazil, sang Kepala Puskesmas di pedalaman Mamuju tetap menerima 10 boks Parasetamol.
REFORMASI BIROKRASI
32 Warta anggaran | 21 Tahun 2011
PERENCANAAN ANGGARAN
Implementasi Reward and Punishmentpada Tahun Anggaran 2011Oleh: Jati Wibowo, Dit. SP
Meski evaluasi atas penyerapan anggaran selama ini telah dilakukan, namun terkesan tidak ada tindak lanjut dari hasil evaluasi itu sendiri. Seiring dengan pelaksanaan reformasi penganggaran di Indonesia, ada keinginan kuat Pemerintah untuk mengaitkan hasil evaluasi atas pelaksanaan anggaran dengan besaran alokasi anggaran tahun berikutnya. Semangat tersebut tercermin pada UU Nomor 2 Tahun 2010 tentang APBN-P TA 2010 dan UU No 10 Tahun 2010 tentang APBN TA 2011. Kedua
UU tersebut memayungi mekanisme penambahan dan pengurangan pagu anggaran sebagai akibat dari hasil kinerja Kementerian Negara/Lembaga (K/L) atas pelaksanaan anggaran belanja Tahun 2010. Mekanisme tersebut lazim dikenal dengan istilah reward and punishment system.
Implementasi pemberian penghargaan (reward) pada tahun 2011 ini diilhami oleh amanat Pasal 16A UU Nomor 2 Tahun 2010 tentang APBN-P TA 2010, yang menyatakan bahwa hasil optimalisasi
pada TA 2010 dapat digunakan pada TA 2011. Sedangkan implementasi pengenaan sanksi (punishment) pada TA 2011 ini merupakan penjabaran dari amanat Pasal 20 UU Nomor 10 Tahun 2010 tentang APBN TA 2011, yang menyebutkan adanya mekanisme pemotongan pagu belanja K/L pada TA 2011 yang tidak sepenuhnya melaksanakan anggaran belanja TA 2010 diatur oleh Pemerintah.
Dari Amanat Kedua UU tersebut, pada Triwulan pertama 2011 ini Menteri
SISTEM PENGANGGARAN
Warta anggaran | 21 Tahun 2011 33
Keuangan Telah Menerbitkan PMK No 38/PMK.02/2011 tentang Tata Cara Penggunaan Hasil Optimalisasi Anggaran Belanja Kementerian Negara/Lembaga TA 2010 pada TA 2011 dan Pemotongan Pagu Belanja Kementerian Negara/Lembaga pada TA 2011 yang Tidak Sepenuhnya Melaksanakan Anggaran Belanja TA 2010. KMK tersebut telah ditandatangani oleh Menteri Keuangan pada tanggal 2 Maret 2011.
Mengingat TA 2010 belum mengenal anggaran berbasis kinerja, maka tingkat penyerapan anggaran selama TA 2010 yang menjadi satu-satunya parameter dalam PMK reward and punishment tersebut. Dari tingkat penyerapan anggaran, yang menjadi fokus penilaian ada dua hal yaitu sisa anggaran yang merupakan Hasil Optimalisasi dan sisa anggaran yang tidak disertai dengan alasan yang dapat dipertanggungjawabkan.
Untuk memudahkan dalam memahami substansi PMK reward and punishment, disajikan tabel sebagai berikut:
Sebagaimana dijelaskan pada tabel diatas, adapun kriteria alasan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan meliputi:
1. tidak dipenuhinya kriteria-kriteria kegiatan yang dapat dibiayai dari anggaran belanja Tahun Anggaran 2010;
2. tidak diikutinya peraturan perundangan di bidang pengadaan barang/jasa pemerintah;
3. keterlambatan penunjukan kepala satuan kerja dan/atau pelaksana kegiatan; dan/atau
4. tidak mencantumkan penjelasan atas laporan yang disampaikan.
Sedangkan hal-hal yang bukan termasuk alasan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan alias yang termasuk alasan yang dapat dipertanggungjawabkan diantaranya yaitu:
1. alokasi anggaran yang bersumber
Penghargaan (Reward) Sanksi (Punishment)
Syarat yang harus dipenuhi:
1. mempunyai Hasil Optimalisasi di Tahun Anggaran 2010 dan belum digunakan pada Tahun Anggaran 2010; dan
2. hasil perhitungan dari Hasil Optimalisasi setelah dikurangi sisa anggaran yang tidak disertai dengan alasan yang dapat dipertanggungjawabkan, menghasilkan nilai positif.
1. terdapat sisa anggaran yang tidak disertai dengan alasan yang dapat dipertanggungjawabkan; dan
2. hasil perhitungan dari sisa anggaran yang tidak disertai dengan alasan yang dapat dipertanggungjawabkan setelah dikurangi Hasil Optimalisasi yang belum digunakan pada tahun anggaran 2010, menghasilkan nilai positif.
Wujudnya dapat berupa:
1. tambahan alokasi anggaran pada Tahun Anggaran 2011;
2. prioritas dalam mendapatkan dana atas Inisiatif Baru (new initiative) yang diajukan;
3. prioritas dalam mendapatkan anggaran belanja tambahan apabila kondisi keuangan negara memungkinkan;
4. pemberian piagam penghargaan (award) kepada menteri/ pimpinan lembaga atau kepala satuan kerja; dan/atau
5. publikasi ke mass media.
Pemotongan pagu belanja pada Tahun Anggaran 2011.
Tambahan (Pengurangan) Pagu
maksimal tambahan dana yang diberikan yaitu sama dengan Hasil Optimalisasi yang belum digunakan pada Tahun Anggaran 2010.
maksimal sebesar anggaran belanja Tahun Anggaran 2010 yang tidak terserap dan tidak disertai dengan alasan yang dapat dipertanggungjawabkan.
Peruntukan
tambahan dana tersebut digunakan untuk Inisiatif Baru (new initiative) atau untuk penambahan volume keluaran yang sama
Tidak diatur
Pembebanan
diberikan kepada satuan kerja yang memberikan kontribusi terhadap perolehan penghargaan (reward) yang bersangkutan.
1. Sanksi (punishment) dibebankan kepada satuan kerja yang menyebabkan pengurangan pagu K/L yang bersangkutan.
2. Pembebanan sanksi (punishment) kepada satuan kerja tidak boleh menghambat pencapaian target pembangunan nasional dan menurunkan pelayanan kepada publik.
Pengecualian
Tidak diatur Sanksi (punishment) tidak diberikan apabila K/L mampu mencapai seluruh target kinerjanya.
SISTEM PENGANGGARAN
34 Warta anggaran | 21 Tahun 2011
dari Pinjaman dan Hibah Luar Negeri (PHLN), Pinjaman dan Hibah Dalam Negeri (PHDN), Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP)/Badan Layanan Umum (BLU), Rupiah Murni Pendamping;
2. alokasi anggaran yang penggunaannya harus mendapatkan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat terlebih dahulu; atau
3. akibat keadaan kahar (force majeure) antara lain meliputi bencana alam, terjadi konflik/berpotensi terjadi konflik sosial, dan cuaca.
Dengan mempertimbangkan amanat pasal 20 ayat (3) uu No 10 tahun 2010 tentang APBN 2011 yang menyatakan bahwa “pengurangan pagu kepada Kementerian Negara/Lembaga (K/L) ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan paling lambat
tanggal 31 Maret 2011”, maka dari tanggal tersebut, mekanisme ini dihitung mundur sehingga menghasilkan jadwal pelaksanaan penilaian reward and punishment sebagai berikut:
Sebagai gambaran sederhana tata cara penilaian atas pelaksanaan anggaran belanja K/L, berikut disampaikan contoh perhitungannya.
Keterangan:
HO : Hasil Optimalisasi
SAYDD : Sisa Anggaran yang Dapat Dipertanggungjawabkan
SAYTDD : Sisa Anggaran Yang Tidak Dapat Dipertanggungjawabkan
Alhasil, PMK tersebut merupakan langkah awal pelaksanaan evaluasi kinerja penganggaran. Kedepan, akan dilakukan
Uraian Kegiatan Periode Waktu
K/L menyampaikan laporan realisasi anggaran beserta ADK kepada DJACatatan: Jika K/L tidak mencantumkan penjelasan, sisa anggaran belanja tersebut dikategorikan sebagai alasan
yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Paling lambat11 Maret 2011
DJA melakukan penilaian atas laporan tersebut Paling lambat25 Maret 2011
Menteri Keuangan menetapkan KMK atas Reward and Punishment Paling lambat31 Maret 2011
Penyesuaian RKA Satker dan DIPA Satker Catatan:Harus memperhatikan realisasi DIPA Satker berkenaan sehingga tidak mengakibatkan pagu minus,
dengan melampirkan data realisasi yang diketahui oleh KPPN setempat.
Paling lambat
30 April 2011
Kondisi Pagu Realisasi Sisa Anggaran HONon HO Reward/
(Punishment)Keterangan
SAYTD SAYDD
(1) (2) (3) (4) = (2) – (3) (5) (6) (7) (8)=(5)-(6) (9)
Kondisi 1 178 158 20 20 0 0 20 Reward = 20 M
Kondisi 2 178 158 20 12 6 2 6 Reward = 6 M
Kondisi 3 178 158 20 5 11 4 (6) Punishment = 6 M
Kondisi Pagu Realisasi Sisa Anggaran HONon HO Reward/
(Punishment)Keterangan
SAYTD SAYDD
(1) (2) (3) (4) = (2) – (3) (5) (6) (7) (8)=(5)-(6) (9)
Kondisi 4 178 158 20 5 10 5 (5) Punishment = 5 M
Kondisi 5 178 158 20 10 10 0 0 No Reward No Punishment
penyusunan mekanisme evaluasi kinerja yang berdasarkan penganggaran berbasis kinerja. Payung hukum pelaksanaannya jelas, yaitu Pasal 19 dan 20 Peraturan Pemerintah Nomor 90 Tahun 2010 tentang Penyusunan RKA-K/L. Sedangkan
variabel yang digunakan tidak lagi hanya menitikberatkan pada penyerapan anggaran, namun mempertimbangkan aspek lain yaitu minimal harus memperhitungkan tingkat keluaran (output), capaian hasil
(outcome), tingkat efisiensi, dan konsistensi antara perencanaan dan impelementasi. Diharapkan dengan menjadikan hasil dari evaluasi atas pelaksanaan anggaran K/L sebagai pertimbangan dalam penyusunan anggaran pada tahun berikutnya, K/L terdorong untuk terus meningkatkan efisiensi dan efektivitas kinerja penganggaran.
SISTEM PENGANGGARAN
Warta anggaran | 21 Tahun 2011 35
Serah Terima Jabatan Direktur Jenderal AnggaranMenteri Keuangan pada tanggal 16 Februari 2011 secara resmi telah melantik Herry Purnomo sebagai Direktur Jenderal Anggaran, menggantikan Anny Ratnawaty yang kini menjabat Wakil Menteri Keuangan. Herry Purnomo sebelumnya menjabat sebagai Direktur Jenderal Perbendaharaan.
Sebelum secara resmi dijabat oleh Herry Purnomo, jabatan Direktur Jenderal Anggaran telah diserah terimakan oleh Anny Ratnawaty kepada Kiagus Ahmad Badaruddin sebagai Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Anggaran. Kiagus Ahmad Badaruddin menjalankan tugasnya dari 27 Januari 2011 hingga 16 Februari 2011.
Serah terima jabatan dari Kiagus Ahmad Badaruddin sebagai Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Anggaran kepada Herry Purnomo dilakukan sehari setelah pelantikannya sebagai Direktur Jenderal Anggaran oleh Menteri Keuangan, bertempat di Ruang Rapat Direktur Jenderal Anggaran Gedung Sutikno Slamet.
36 Warta anggaran | 21 Tahun 2011
Resensi BukuThe Shallows: How the internet is changing the way we think, read and remember Penulis Nicholas Carr
Internet bukan merupakan hal yang
asing bagi kita, kalau kita sedang ingin
mencari tahu tentang hal tertentu,
maka kita ketik kata kunci tentang apa
yang kita cari dengan menggunakan
search engine seperti Google, Mozilla
Firefox, Internet Explorer, Opera, dll maka
akan muncul websites yang membahas
tentang hal yang kita cari tersebut. Itu
merupakan salah satu manfaat dengan
adanya Internet tersebut, bayangkan
apabila kita harus mencari hal tersebut
di perpustakaan, berapa hari waktu
yang kita perlukan? Menurut Nicholas
Carr, ternyata internet tersebut
membawa dampak yang kurang baik
terhadap otak kita, ini yang diulas dalam
buku Carr tersebut.
Sedangkan latar belakang dari Nicholas
Carr sendiri yaitu, dia adalah penulis
buku The Big Switch: Rewiring the
World, from Edison to Google, seorang
kontributor pada New York Times,
Guardian, Fiancial Times, dan Wired,
serta sebelumnya sebagai executive
editor di Harvard Business Review.
Dalam buku tersebut, Nicholas Carr
menggambarkan hasil riset yang
paling baru untuk menunjukkan
bahwa internet secara harafiah telah
mengubah saluran otak kita, yang hanya
menginduksi pemahaman yang dangkal
(superficial). Sebagai konsekuensinya,
banyak perubahan yang sangat besar
dalam cara hidup kita dan komunikasi,
mengingat dan sosialisasi. Terdapat
pergeseran cara berpikir dari yang
dalam menjadi yang dangkal, serta web
menyebabkan ketidaktahuan menyebar
kemana-mana.
Internet telah membuat informasi
menyebar secara luas. Pada waktu yang
bersamaan telah mengubah cara kita
membaca dan cara kita memperhatikan
sesuatu. Thesis utama pada pekerjaan
ini adalah membuat kita menjadi
makluk yang lebih dangkal. Berdasarkan
kata Carr “kita ingin diinterupsi
karena tiap interupsi membawa ke
kita informasi yang sangat berharga.
Dan kita sering bertanya ke internet
agar tetap menginterupsi kita bahkan
dalam frekuensi yang lebih dan cara
yang berbeda. Kita mau menerima
untuk kehilangan konsentrasi dan focus,
bagian dari perhatian kita dan pecahan
Oleh Agus Kuswantoro
RESENSI BUKU
Warta anggaran | 21 Tahun 2011 37
dari pikiran kita, sebagai balasan dari
informasi yang kita terima”. Hal ini
menyebabkan bahwa kekuatan kita
untuk konsentrasi dan kontemplasi
semakin jarang kita gunakan. Hal ini
berarti, kita menjadi tidak terlalu
memperhatikan apa yang kita lihat dan
baca, tetapi hanya melihat sesuatu yang
baru yang menarik dan mengganggu
kita. Berdasarkan Carr transformation,
hal seperti itu sangat merugikan
struktur otak yang sebenarnya. Dan
Carr menggunakan riset otak cognitive
untuk menunjukkan bagaimana
penggunaan internet yang sangat
berlebihan akan mengubah bentuk dari
struktur otak kita.
Riset yang ditulis oleh Carr
menggambarkan adanya suatu
masalah, dari perjalanan hidup telah
dikumpulkan ingatan sedikit demi
sedikit, dan otak mempertahankan
jumlah tertentu yang dilihat selama
hidup, yang dapat diubah bentuknya,
dan dapat mengubah bagaimana kita
berpikir, serta dapat digunakan untuk
yang bagus atau yang jahat. Jadi, jika otak
dilatih untuk merespon dalam waktu
yang lebih cepat dalam dunia digital,
itu akan merubah bentuk tentang
pengalaman dunia secara keseluruhan.
Carr menyatakan bahwa hal ini sangat
berbeda apabila dibandingkan dengan
membaca buku. Pikiran tertuju pada
buku daripada mencari beberapa kata
kunci kata dan paragraph. Pikiran yang
berkembang melalui kontemplasi yang
tenang dan mendalam, menggali ide
secara utuh, dan terus berkembang.
Hal ini menyebabkan kematangan
pikiran dengan lebih mendasarkan
pada kemungkinan dan konsekuensi
daripada mendasarkan sekilas atas hal
yang menarik dalam arus digital. Selain
itu, karena beberapa aspek kehidupan,
sering yang sangat berarti dan berharga
mensyaratkan waktu dan kedalaman
yang lebih. Dalam dunia digital membuat
hal itu terpecah menjadi potongan-
potongan, dimana kita tidak mempunyai
waktu untuk memperhentikannya dan
berpikir, serta kita tidak mengetahui
“true self awareness’ dalam kontek yang
sebenarnya.
Carr berpendapat bahwa dengan
membaca akan mengembangkan
bentuk lain dari struktur syaraf.
Membaca dengan bercerita
memungkinkan kita untuk mulai bicara
dengan kita sendiri, untuk kontemplasi
berdasarkan realitas dengan cara lebih
mendalam. Selain itu, Carr menyatakan
bahwa bookman mind lebih merupakan
deeper mind dibandingkan electronic
mind.
Selanjutnya, Carr menyatakan bahwa
berdasarkan penelitian, orang yang
sering menghabiskan waktu di taman
akan menyebabkan hasil tes cognitive-
nya meningkat, dibandingkan orang
yang berjalan dikota. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa menghabiskan
waktu di alam terbuka (back to nature)
merupakan cara yang paling baik dalam
upaya agar cognitive dapat berfungsi
secara efektif.
Selain itu, Nicholas Carr juga
mengutarakan pendapatnya tentang
internet yang mendasari penulisan
bukunya yaitu:
• greater access to knowledge is not
the same as greater knowledge,
• an ever-increasing plethora of facts
& data is not the same as wisdom,
• breadth of knowledge is not the
same as depth of knowledge, dan
• multitasking is not the same as
complexity.
Kesimpulan:
Buku tersebut sangat bermanfaat bagi
kita, bahkan menurut Chris Anderson,
pengarang The Long Tail, The Shallows
merupakan one of the most insightful
thinkers about technology’s impact on the
world. Namun, apakah dengan adanya
internet menyebabkan kerugian yang
jauh lebih besar daripada keuntungan
yang kita terima? Hal ini mungkin
menjadi pertanyaan kita. Tetapi
saya yakin sebagian besar dari kita
sependapat bahwa banyak keuntungan
yang kita terima dengan adanya internet
tersebut. Namun terdapat sesuatu yang
tidak boleh kita lupakan, yaitu membaca
buku, agar kemampuan otak cognitive
kita tidak menghilang. Semoga kita tidak
pernah mengabaikan hal tersebut.
Product Details
• Paperback: 276 pages
• Publisher: Atlantic Books
London (2010)
• Language: English
• Hardback ISBN: 978 I 84887
225 7
• Trade Paperback ISBN: 978 I
84887 226 4
• Product Dimensions: 9.3 x 6.2
x 1.1 inches
RESENSI BUKU
38 Warta anggaran | 21 Tahun 2011
Bila kita menyaksikan film-film Kungfu Shaolin, gerakan-gerakan indah nan dahsyat diperagakan saat menghadapi lawan. Dan hebatnya, mereka biasanya tangan kosong, tanpa membawa senjata. Kalaupun bersenjata, maka senjatanya hanya sebuah tongkat yang sebenarnya tidak mematikan. Aura yang terpancar dari setiap gerakannya adalah ke-anggunan. Aura yang terpancar dari wajahnya adalah wibawa dan kearifan. Tidak mau menyakiti, tidak mau curang meski dalam perang. Selalu menjura pada siapa saja meski pada lawan sekalipun juga.Keindahan Kungfu Shaolin tiba-tiba terbayang saat Bapak Direktur Jenderal Anggaran menyampaikan arahan kepada pegawai DJA pada Rapat Pimpinan yang lalu. Beliau berpesan agar pegawai DJA siap menjadi Pendekar Tako. Pendekar Tangan Kosong. Yaitu pendekar yang datang melayani bangsa dengan tangan kosong, dan pulangpun tetap bertangan kosong. Tidak datang dengan senjata dan tidak pula pulang membawa hasil
jarahannya.Pesan itu memicu angan.
Membangkitkan khayalan liar yang menari-nari di udara.
Membayangkan pegawai DJA yang sedang
m e m p e r a g a k a n jurus-jurus yang
b e r n a m a
“ketentuan dan peraturan”. Berdiri tegak diatas kuda-kuda yang bernama “Moralitas dan integritas”. Membayangkan pegawai DJA, pendekar-pendekar Keuangan Negara, meliuk-liuk menyelamatkan uang rakyat dari tindakan oknum yang tercela. Gerakannya begitu indah, jumawa, sehingga tidak ada hati yang terluka. Sehingga mampu menyadarkan oknum yang berniat berbuat dusta pada negara. Ya, peran DJA sangat strategis untuk mencegah terjadinya korupsi sejak dini. Dengan seluruh kemampuan kanuragan, dengan penguasaan pada jurus “ketentuan dan peraturan”, dengan kokohnya kuda-kuda “moralitas dan integritas”, pegawai DJA bak pendekar Shaolin yang amanat menjaga uang rakyat. Bak pendekar Shaolin yang menjaga biara kedamaian. Menjaga biara kemakmuran. Menjaga biara kesejahteraan bersama. Dengan keahliannya menari-nari membela Ibu Pertiwi, pendekar Shaolin yang Tako, yang kalaupun bersenjata, hanyalah dengan sebuah pena, meliuk-liuk diatas kertas Rencana Kerja Kementerian Lembaga (RKA-KL), menorehkan goresan disana sini bukan untuk kepentingan pribadi. Mencorat-coret disana sini hanya untuk kepentingan Ibu Pertiwi.Gerakannya indah. Penuh hormat dan sahaja. Tidak ada mitra kerja yang merasa dizalimi. Lewat gerakan indahnya mitra kerja menjadi mengerti. Lewat aura yang terpancar dari seluruh tubuhnya, mitra kerja menjadi sadar akan prioritas
negara. Sehingga
sang Pendekar Tako tidak pernah membinasakan asa. Dikagumi karena jurus-jurusnya. Dihormati karena kuda-kudanya.Khayalan ini semakin liar, membayangkan pembangunan pesat bak cendana dimusim hujan. Membayangkan rakyat jelata tersenyum bahagia. Membayangkan orang papa mulai bisa tertawa. Karena mereka merasakan pembelaan yang nyata. Karena mereka merasakan alokasi anggaran yang berpihak kepadanya. Pendekar Tako terus meliuk-liuk indah. Berpijak pada kokohnya kuda-kuda yang bernama “integritas-moralitas”. Mengabaikan goresan luka yang terkadang menimpa jiwanya. Setiap gerakannya menebarkan kemakmuran. Setiap coretan penanya menggambarkan pembelaan negara. Sepak terjangnya menutup ruang-ruang hampa. Ruang-ruang hampa yang biasanya dipenuhi hawa kolusi, hawa korupsi.Arahan Bapak Direktur Jenderal Anggaran menggelorakan jiwa. Membakar asa. Ayo kawan-kawan DJA, olah terus kemampuan kanuragan kita. Belajar, belajar dan terus belajar meningkatkan kapasitas, integritas dan moralitas kita. Karena kita adalah Sang Pendekar Tako. Sang Pendekar Tangan Kosong yang menjaga keuangan negara. Ciiiiaaaaattttt.
PENDEKAR TAKOOleh : Satya Susanto
RENUNGAN
Warta anggaran | 21 Tahun 2011 39
Change Management Untuk Dja Lebih Baik
Wawancara Dengan Dirjen Anggaran Herry Purnomo
PROFIL
Warta anggaran | 21 Tahun 2011 41
Sebagai orang nomor satu di DJA, Herry Purnomo sangatlah sibuk. Kesibukanya sebagai Dirjen Anggaran dalam mengelola keuangan negara khususnya APBN dan belanja pemerintah pusat menyita banyak energinya. Untuk mengisi kembali energi yang hilang, Bapak dari tiga orang cucu ini menyeimbangkan hidupnya dengan kegiatan lain di luar kantor. Salah satunya adalah bermain golf bersama teman-temannya. Bagi beliau bermain golf adalah bagian dari upaya untuk melepaskan diri dari rutinitas kantor, mengisi paru-parunya dengan udara segar dan menikmati alam terbuka. Selain itu, waktu liburnya beliau khususkan untuk keluarga dan bermain dengan cucu-cucunya yang lucu.
Ditengah kesibukannya, beliau berkenan menerima redaktur Majalah Warta Anggaran untuk wawancara khusus, berikut petikannya.
Sesuai dengan PMK No. 184/PMK.01/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan, DJA mengalami perubahan struktur organisasi. Bagaimana Bapak melihat peran strategis DJA sebagai pengelola anggaran dengan struktur baru tersebut?
Pertama yang ingin saya katakan bahwa reorganisasi ini sudah dipikirkan secara intens oleh pimpinan sebelumnya yaitu Ibu Anny Ratnawati untuk mengantisipasi kebutuhan dan perkembangan di masa datang untuk tugas dan fungsi yang ditangani oleh DJA. Salah satu hal yang harus saya apresiasi adalah terbentuknya satu direktorat baru yaitu Direktorat Harmonisasi Peraturan Penganggaran (Dit. HPP) yang fokus terhadap harmonisasi peraturan terkait dengan penganggaran.
Kalau saya coba merangkum dengan kalimat adalah karena banyaknya peraturan yang dibuat oleh Kementerian/Lembaga (K/L) baik dalam bentuk UU, PP, Perpres yang sedikit banyak mengganggu atau melanggar kaidah atau prinsip-prinsip penganggaran. Peran direktorat HPP menjadi penting untuk menjaga hal ini. Contohnya, banyak UU yang tidak mengindahkan kaidah penganggaran karena dalam UU tersebut
mencantumkan persentase tertentu dari APBN untuk membiayai bidang tertentu diluar yang ditetapkan dalam UUD yakni 20 persen untuk pendidikan.
Dalam perkembangannya, saya mengikuti ada beberapa UU yang sudah ditetapkan dan mencantumkan persentase tertentu untuk membiayai bidang tertentu karena kita tidak dilibatkan dalam proses pembahasan. Terakhir RUU Desa minta sekian persen dari UU. Nah, saya kira ini yang menjadi DJA dengan direktorat baru ini menjadi strategis yaitu mewakili pemerintah untuk menjaga agar jangan sampai keluar suatu peraturan yang mengkapling-kapling APBN.
Karena kalau penyusunan peraturan tidak diharmonisasi dengan prinsip-prinsip atau kaidah APBN bisa jebol APBN kita. Apalagi kalau kita melihat postur APBN, space yang tersedia untuk pemerintah bisa bergerak, katakanlah untuk membangun infrastruktur sangat kecil. Sebagian postur APBN kita untuk membayar utang, sebagain besar sudah dikapling untuk DAU dan pendidikan. Padahal ada hal-hal lain yang masih banyak perlu perhatian, apa jadinya kalau banyak UU atau Peraturan yang mengklaim atau mengkaplingkan diri dalam APBN .
Oleh karena itu, saya sangat mendukung dan mempunyai banyak harapan bahwa direktorat baru ini dapat berfungsi dengan baik sesuai dengan harapan dari dibentuknya direktorat ini.
Bagaiamana menurut Bapak fungsi Dit HPP dan DSP untuk mengantisipasi perkembangan sistem penganggaran?
Saya melihat unit di dalam DJA ada unit DSP dan Dit HPP. Saya ingin menterjemahkan Dit HPP fokus kepada peraturan-peraturan sedangkan sistem penganggaran menjadi tugas DSP. DSP berbicara tentang bisnis proses atau desain sistem penganggaran yang akan kita buat, menjaga dan mengembangkan sistem pengangaran yang ada kemudian mengembangkannya dengan kaidah-kaidah sistem penganggaran yang akan kita pakai. Misanya dalam sistem penganggaran kita mulai menerapkan sistem anggaran berbasis kinerja sesuai amanat UU Nomor 17/2003. Demikian pula dalam merencanakan anggaran yang
tahunan juga harus memperhatikan MTEF tiga tahu ke depan. Tugas mendesain dan menyempurnakan adalah DSP. sedangkan untuk menyusun bisnis proses dan aturan main bekerja sama dengan Dit. HPP. Jadi ada pembagian tugas, Dengan demikian dua direktiorat ini dalam mengembangkan sistem penganggaran harus berkolaborasi. Termasuk dalam sistem penganggaran adalah pengembangan Infomasi Teknologi (IT)-nya karena sekarang kecenderunganya adalah proses bisnis harus didukung atau diwadahi dengan IT.
Terkait dengan SPAN, Bapak berulang kali mengatakan bahwa DJA harus mempunyai peran yang lebih banyak dalam implemtasi SPAN, selama ini peran DJA agak tertinggal dibandingkan dengan DJPB dalam implemetasi SPAN. Apa yang harus dilakukan oleh DJAl dalam mengejar ketertinggalan dalam SPAN?
Kita harus menyadari, memahami, dan mempunyai rasa memiliki bahwa justru DJA harus memainkan peran yang sangat penting dalam SPAN karena produk yang dihasilkan oleh DJA menjadi dasar bagi Ditjen Perbendaharaan (DJPB) dan satker dalam bekerja kemudian. Kalau kita tidak mengisi dengan benar, peran dalam SPAN atau katakanlah, ya… sudahlah kita tidak ikutan SPAN. Berarti DJPB dan satker tidak bisa melakukan apa-apa. Karena produk DJA menjadi dasar sistem SPAN yang menjadi landasan bagi DJPB dan satker untuk bekerja dalam sistem SPAN.
Produk DJA adalah RKA-KL yang merupakan wujud operasional dari penyusunan APBN. RKA-KL ini menjadi tanggung jawab DJA, kalau RKA-KL ini tidak bisa disediakan dengan benar dan tepat waktu, DJPB tidak bisa memulai dengan menerbitkan DIPA. Penerbitan, pencairan DIPA, pertanggungjawaban DIPA, dan revisi DIPA akan difasilitasi dengan sistem terintegrasi. Sistem terintegrasi bukan hanya menyangkut sisi pelaksanaan, which is menjadi tanggung jawab DJPB. Tetapi dimulai dari awal yaitu perencanaan anggaran yaitu penyusunan RKA-KL. Jadi
PROFIL
42 Warta anggaran | 21 Tahun 2011
posisi DJA itu paling depan. Oleh karena itu, saya mendorong.
Memang agak ketinggalan penyiapannya, tetapi kita sudah memulai langkah dengan duduk bersama di Rapimtas Yogya. Saya mendorong bahwa ini tanggung jawab kita bersama. Nah, kembali saya mengajak teman-teman untuk mengajak ketertinggalan. Apa yang harus dilakukan teman-teman DJA? Menyelesaikan bisnis proses dari sisi segmentasi SPAN yang menjadi tanggung jawab DJA yaitu agar bisa menjamin tersedianya RKA-KL yang kredibel agar dapat menjadi dasar penerbitan DIPA kemudian menjadi dasar pelaksanaan anggaran oleh satker sampai dengan pembukuannya, pertanggungjawabannya, dan cash management. Kita harus segera menyelesaikan bisnis proses yang telah disepakati di Yogya.
Sebenarnya saya melihat sudah ada rasa memiliki dan memahami atas sesuatu yang akan kita bangun tetapi masih kurang. Oleh karena itu, saya ajak teman-teman untuk menyelesaikan bisnis proses dari sisi DJA, ada sekitar tujuh butir. Paling tidak ada tiga hal, pertama dari sisi perencanaan anggaran murni yaitu penyusunan RAPBN 2012, ada bisnis prosesnya. Kedua, sisi pelaksanaan anggaran ada dua menyangkut penyusunan R-APBNP kalau sekarang RAPBNP 2011 dan menyangkut revisi. Dari sisi pelaksanaan DJA ada kaitannya karena revisi di DJA. Kemudian yang akan kita kembangkan adalah monev. Jadi saya kira ada empat segmentasi bisnis proses yang harus segera diselesaikan DJA.
Bisnis proses ini kita sepakati bersama, kemudian kita terjemahkan ke dalam sistem IT memakai hyperion. Kita harus bekerja keras karena deadline-nya bulan Mei 2011. Karena prinsip buat saya dalam membangun IT, kita sendiri yang harus menyusun bisnis prosesnya sedangkan konsultan hanya membantu, mereka tidak tahu. Seperti pengalaman Australia pada saat membangun IT SPAN, Mereka punya pengalaman buruk. Kenapa? Kata mereka, pada waktu membangun sistem terpadu ini kami serahkan ke orang IT, diborongin, kita tidak mau tahulah… pokoknya kita tunjuk.
Mereka yang mengerjakan tetapi ternyata dalam waktu tiga tahun tidak selesai karena mereka tidak tahu bisnis prosesnya. Dari pengalaman ini saya selalu mengatakan bisnis proses selalu kita susun dahulu.
Demikian pula pada saat SPAN awal, pada waktu itu saya sebagai Dirjen Perbendaharaan, pihak World Bank mengejar-ngejar saya untuk segera melaksanakan SPAN. Saya bilang apa yang harus segera dilaksanakan. Padahal menurut kita tidak. Setelah melalui diskusi dan Rapim dengan Menteri Keuangan ternyata tidak. Karena yang harus diselesaikan adalah bisnis prosesnya. Bisnis proses selesai baru kemudian kita masukan ke dalam IT sistem. Jadi yang harus dicermati teman-teman DJA, bisnis proses harus kita selesaikan.
Bagaimana rencana pengembangan RKA-KL Online oleh DJA dengan keterkaitannya dengan SPAN?
Saya mendukung pengembangan RKA-KL Online apalagi diintegrasikan dengan SPAN. RKA-KL Online adalah sarana untuk perencanaan anggaran K/L. Penyusunan anggaran K/L adalah domain dari DJA. Dalam perkembangannya, karena program SPAN dikembangkan sistem yang terintergrasi ke dalam satker, maka untuk kepraktisan, pendanaan, dan pengembangan sistem yang terintegrasi di satker maka kita sepakat untuk pengembangan RKA-KL Online oleh tim SPAN yang mengembangkan aplikasi dan bisnis proses di satker.
Kita membayangkan ke depan sistem penganggaran harusnya bottom up yang dimulai dari ujungnya adalah satker. Sekarangkan ditengah-tengah, karena kita berhubungan dengan K/L padahal yang kita minta penyusunannya dari satker-satker. Makanya fasilitasinya dimulai dari satker.
Walaupun pengembangnya ada di tim SPAN tetapi tanggung jawab pengembangan bisnis proses ada di DJA. Karena teman-teman DJPB tidak tahu bisnis prosesnya RKA-KL itu. Ini tetap menjadi tanggung jawab DJA, disinilah kita berkolaborasi. Pengembangan
IT masuk ke dalam pengembangan IT satker yang namanya SAKTI tetapi pengembangan bisnis proses ada di DJA. Jadi yang ingin saya katakan disini adalah kita tidak kehilangan tanggung jawab atau kehilangan pekerjaan terkait dengan pengembangan RKA-KL Online. Ini yang perlu kita sadari, sekarang jamannya kolaborasi. Dari segi kepraktisan dan efisiensi kita sepakati kontraktornya satu, kita tidak perlu repot lagi mencari kontraktor. Kita menggunakan kontraktor yang mengembangkan SAKTI. Inilah yang saya sebut simbiosis mutualistis, kita tidak bisa hidup menyendiri.
Kemudian ke depan, RKA-KL Online sebagai sarana dalam rangka melakukan penyusunan anggaran. Pertama orang menyusun RKA-KL dari satker-satker, saya ingat waktu di daerah satker-satker menyusun RKA-KL disampaikan ke K/L, kemudian K/L yang akan membahas dengan DJA. Saya mencoba menterjemahkan ide dari Ibu Anny Ratnawati, RKA-KL Online dikembangkan lebih jauh lagi dalam arti melalui RKA-KL Online suatu hari nanti penelahaan RKA-KL tidak saling bertemu. Orang tidak perlu berbondong-bondong datang ke DJA membawa berkas.
Dengan dikembangknnya RKA-KL Online ini, kita memakai sarana modern, orang menelaah di kantor masing-masing saja. Demikian pula DJA baik di Direktorat Anggaran I, Direktorat Anggaran II, dan Direktorat Anggaran III bekerja dibelakang komputer. Semua indeks harga dan semua parameter dimasukkan ke dalam data base komputer. Kita bermain dalam sarana komputer. Saya ingin mewujudkan RKA-KL Online itu seperti itu. Tidak hanya memasukan data ke komputer atau membawa soft copy data. Kalau seperti itu dari dulu juga sudah ada. Bukan sekedar transfer data, karena kalau seperti itu jamannya saya masih menjadi Kasubdit sudah ada.
Padahal ketika itu diinginkan waktu pembahasan sudah di depan komputer, meskipun aplikasi komputer belum secanggih saat ini. Karena sistem belum
PROFIL
Warta anggaran | 21 Tahun 2011 43
mendukung makanya transfer data berupa soft copy ke komputer kemudian di tayangkan dan pembahasannya masih bertemu. Satker membawa hardcopy kemudian dicoret-coret. Setelah dicoret-coret baru diedit dalam komputer. Itu memang lebih cepat dibandingkan mengetik tetapi ke depan tentu bukan seperti ini yang diharapkan.
Oleh karena itu, perlu kesiapan kita untuk mengubah paradigma dan mindset. Kalau selama ini kita menunggu-nunggu tamu datang saat penelaahan dengan segala “implikasinya” sehingga Ibu Anny Ratnawati harus memasng CCTV untuk memonitor. Apakah seperti itu kelakuan kita…?
Nantinya tidak ada lagi yang seperti itu.
Kita harus melakukan transformasi atau reformasi yang meliputi tiga hal. Pertama, perbaikan bisnis proses. Kedua, pengembangan IT dan ketiga changes management meliputi perubahan sikap dan peningkatan kapasitas. Yang berat adalah ketiga yakni merubah mentalitas kita dan satker.
Peranan PNBP dalam penerimaan negara semakin penting. Bagaimana upaya yang akan dilakukan Bapak untuk meningkatkan peran PNBP dalam penerimaan negara?
Ide brilliant dari pimpinan yang lama untuk membentuk satu tenaga pengkaji PNBP dengan Eselon II/b. Hal ini menunjukan bahwa ke depan PNBP akan menjadi primadona penerimaan APBN. Tentu akan menjadi tantangan buat kita semua, bagaimana mengembangkan Direktorat PNBP dan tenaga pengkaji untuk bisa menggali potensi-potensi PNBP agar bisa diwujudkan menjadi realitas penerimaan APBN.
Sesuai dengan arahan Menteri Keuangan ada sisi PNBP SDA yang harus didorong peningkatannya. Karena untuk PNBP SDA migas sudah jelas penanganannya meskipun tertatih-tatih untuk peningkatnnya. Sisi
lain yang harus didorong adalah PNBP SDA non migas seperti batubara dan hasil tambang lain seperti nikel.
Peran DJA adalah dalam peningkatan dari segi kebijakan karena DJA tidak operasional. Bagaimana konsep yang dirumuskan oleh DJA dari segi kebijakan dan pengaturan inilah yang diharapkan oleh K/L dan stakeholder. Seperti batubara, eksekutor ada di kementerian lain, sedangkan peran DJA adalah bagaimana membuat desain-desain kebijakan agar PNBP dari sektor ini bisa ditingkatkan.
Terkait dengan temuan BPK atas pengelolaan PNBP oleh K/L, harus
diupayakan untuk ditertibkan agar tidak menjadi temuan kembali. Fungsi DJA adalah kebijakan dan mendorong, bagaimana K/L bisa mematuhi ketentuan yang ada. Nah, di sini kita berfungsi sebagai regulator. Kitalah yang memproses regulasi PNBP K/L. Bagaiman K/L menyetorkan PNBP nya, dan agar sumber-sumber PNBP K/L di landasi peraturan serta bagaimana DJA memonitor laporan PNBP K/L.
Bagaimana Bapak melihat SDM DJA saat ini? Apa harapan Bapak terhadap pengembangan SDM DJA?
Saya melihat SDM DJA dalam menangani reformasi penganggaran berdasarkan UU Nomor 17/20003 dan UU Nomor 1/2004
sudah kelihatan profesionalismenya. Saya berinteraksi langsung dengan para direktur dan para kasubdit. Berdasarkan pengamatan saya, penguasaan mereka terhadap tugas yang menjadi tanggung jawabnya sudah bagus. Demikian pula penguasaan terhadap peraturan juga bagus artinya dalam setiap pengajuan penyelesaian masalah selalu dipertimbangkan landasan hukumnya sehingga jalan keluar yang diusulkan cukup kuat. Ini menunjukan sikap profesionalisme.
Tantangan ke depan tentu akan terus berkembang karena kita belum sepenuhnya menjalankan anggaran berbasis kinerja. Dari sisi peran, selama ini kita baru menjaga sisi keuangannya atau lebih kecil lagi sisi SBU
PROFIL
44 Warta anggaran | 21 Tahun 2011
dan SBK. Padahal berdasarkan anggaran berbasis kinerja kita juga harus menguasai program-program dari masing-masing K/L dalam penyusunan anggaran serta dalam berinteraksi dengan K/L. Dengan memahami program-program K/L maka akan ketahuan kinerja yang akan menjadi target. Tanpa memahami program-program dan kebijakan K/L, kita tidak akan bisa membuat judgment atas target kinerja, output, dan outcame yang akan dicapai.
Dengan demikian, dalam rangka untuk mengantisipasi tuntutan perubahan dalam rangka implementasi PBB dan MTEF, kita perlu peningkatan kapasitas seluruh jajaran. Bukan hanya pelaksana tetapi juga para direktur, kasubdit, kasie bahkan saya juga harus meng- improve diri untuk menguasai ilmu-ilmu yang terkait dengan perubahan. Dalam rangka perubahan ini, saya berharap dari Sekretaris Ditjen Anggaran dan para direktur untuk bersama-sama merumuskan konsep capacity building keseluruh jajaran dengan segmentasi untuk eselon II, III, IV, dan pelaksana.
Dan yang lebih penting lagi untuk fresh graduate kita harus menyiapkan konsep capacity building yang baik dan terarah buat mereka karena kader masa depan kita adalah anak-anak muda ini. Karena saya terus terang masuk DJA dulu menggelundung begitu saja, didiamkan begitu saja. Kamu mau belajar apa dan menjadi apa terserah. Nah, saya tidak ingin pengalaman itu kita wariskan.
Saya sudah melihat di sini sudah dipersiapkan pembekalan untuk anak-anak baru. Di depan tentu harus ada program-program yang terarah untuk menyiapkan kader-kader masa depan. Karena saya sendiri tinggal dua tahun lagi pensiun, demikian pula para direktur juga ada yang tinggal dua sampai tiga tahun lagi pensiun. Nah, yang muda-muda inilah yang akan menggantikan kita. Mereka harus diberikan bekal.
Apa filosofi Bapak dalam menjalani kehidupan ini?
Saya tidak mempunyai filosofi khusus. Paling-paling saya mengatakan bahwa saya rasakan hidup itu menggelundung saja, pasrah, lepas tetapi tetap berusaha yang terbaik. Tidak tahu bagaimana harus merumuskannya. Tetapi saya merasa hidup mengalir saja. Kalau dalam bekerja saya bekerja sebaik-baiknya, amanah yang diberikan pimpinan saya laksanakan sebaik mungkin dengan dilandasi kejujuran dan keikhlasan karena saya yakin manusia diminta untuk berusaha dan berdoa kemudian hasilnya kita serahkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Kita serahkan kepada yang gawe urip, Allah SWT. Saya tidak begitu ngoyo karena menurut saya, hidup sudah mempunyai bagiannya masing-masing. Dalam arti kata kita harus berbuat yang terbaik. Do the best and lets God take the rest.
Apa yang melatarbelakangi hubungan personal Bapak dengan staf dalam suasana yang lebih informal dalam Rapimtas di Yogyakarta?
Karena saya merasakan bekerja terus-menerus dalam ruangan seperti ini dengan pakaian formal, sudah terlalu terkungkung oleh batasan-batasan formal. Kita biasa melakukan rapat ruangan tertutup, antar meja jaraknya jauh, pakaiannya formal, duduknya pun harus formal. Untuk mencari penyegaran agar materi rapat yang berat menjadi kelihatan ringan sehingga diharapkan pemahamanpun menjadi lebih enak. Maka kita ajak keluar, biar ada suasana lain. Pakaian pun bebas, pokoknya santailah. Secara psikologis akan mempengaruhi kita dalam bersikap dan dalam memahami sesuatu.
Karena tidak mempunyai tekanan dan beban sehingga dalam menerima penjelasanpun akan menjadi santai dan enak. Suasana hubungan atasan dan bawahanpun cair. Saya salut dengan teman-teman masih bisa menjaga unggah-ungguh dan saya juga dalam berinteraksi dengan siapapun tidak membedakan diri. Saya sebagai Dirjen Anggaran dan kamu sebagai pelaksana mencoba membaur, karena jabatan kan hanya sarana saja. Kembali ke filosofi saya, walau bagaimanapun seorang dirjen tidak
dapat melaksanakan tugas sendirian tetapi sangat tergantung dan dibantu oleh teman-teman yang lain.
Siapa tokoh idola Bapak?
Sebagai seorang muslim tokoh idola saya adalah satu yaitu Kanjeng Nabi Muhamad SAW. Saya tidak akan mengidolakan orang lain karena mengkultuskan orang kan tidak boleh. Nabi Muhamad bagi saya dan orang-orang muslin yang lain adalah He is the best dari sudut apapun kita melihatnya. Dari sudut akhlaqnya, leadership-nya, hubungan dengan orang lain tanpa membeda-bedakan hubungan dengan orang lain, bahkan hubungan dengan non muslim juga luar biasa.
Di tengah kesibukan Bapak, bagaimana Bapak menyeimbangkan hidup antara pekerjaan, hobi dan keluarga?
Saya sudah tidak mempunyai hobi khusus. Saya paling-paling mencoba untuk bisa menikmati udara segar kalau hari libur sambil jalan menikmati pemandangan indah di lapangan golf. Di lapangan kita bisa melepakan unek-unek, bahkan teriakpun bisa walaupun rule-nya katanya tidak boleh teriak-teriak. He he he….saya berusaha untuk rileks di lapangan atau di alam terbuka meskipun permainan golf saya tidak bagus. Tetapi saya harus mengisi sesuatu diluar dan berinteraksi dengan teman-teman. Saya kalau main golf tidak dengan teman-teman kantor, tetapi dengan grup khusus tanpa ada vested interest. Saya juga menghindari bermain dengan orang yang punya kepentingan.
Selain itu saya juga berinteraksi dengan keluarga, anak dan cucu, karena waktunya sudah terbatas sekali dari hari Senin sampai dengan Jumat bekerja sampai malam kadang-kadang sampai pagi. Hari Sabtu dan Minggu kita manfaatkan untuk mencari udara segar dan berkumpul dengan keluarga, anak dan cucu.
Rini Ariviani F dan Asrukhil Imro. Fotografer Dana Hadi
PROFIL
Warta anggaran | 21 Tahun 2011 45
PERISTIWA
SOSIALISASI PMK REVISI
Bertempat di Auditorium Dhanapala, Direktorat Jenderal Anggaran bersama dengan Direktorat Jenderal Perbendaharaan memberikan sosialisasi Peraturan Menteri Keuangan Nomor 49/PMK.02/2011 tentang Tata Cara Revisi Anggaran Tahun Anggaran 2011 kepada Kementerian Negara/Lembaga.
Pada dasarnya, revisi anggaran bertujuan untuk antisipasi terhadap perubahan kondisi dan prioritas kebutuhan, mempercepat pencapaian kinerja, dan meningkatkan efektivitas, kualitas belanja dan optimalisasi penggunaan anggaran yang terbatas. Peraturan Menteri Keuangan tersebut mengatur bahwa revisi dapat dilaksanakan sepanjang tidak mengakibatkan pengurangan alokasi anggaran terhadap kebutuhan biaya operasional satuan kerja, tunjangan profesi dan tunjangan kehormatan, kebutuhan pengadaan bahan makanan untuk tahanan, pembayaran berbagai tunggakan, kegiatan multiyears dan paket pekerjaan yang sudah dikontrakkan atau direalisasikan dananya sehingga menjadi minus. Selain itu, revisi dapat pula dilakukan sepanjang tidak mengurangi volume keluaran kegiatan prioritas nasional dan mengurangi spesifikasi keluaran (output).
PENELAAHAN TARGET DAN PAGU PENGGUNAAN PNBP
Penerimaan Negara Bukan Pajak kini menjadi salah satu andalan sumber pendapatan bagi negara selain dari pendapatan perpajakan.
Sebagai salah satu andalan pendapatan bagi negara untuk membantu membiayai jalannya roda pemerintahan, diperlukan perhatian yang lebih dari semua pihak dalam menentukan
besaran target PNBP dari masing-masing Kementerian/Lembaga. Dari dana PNBP yang terkumpul tersebut, tidak semuanya dapat dipakai oleh Kementerian/Lembaga bersangkutan, hal ini harus sesuai dengan prinsip penggunaan PNBP yang bersifat earmark.
Pelantikan Pejabat Eselon III dan IV
Seluruh jajaran pejabat Direktorat Jenderal Anggaran diharapkan terus meningkatkan capacity masing-masing sehingga dapat mengubah mindset tentang DJA tidak hanya sebagai budget administrator tetapi juga sebagai budget analyst. Hal ini disampaikan oleh Dirjen Anggaran, Herry Purnomo dalam sambutannya pada acara pelantikan pejabat eselon III dan IV di lingkungan DJA (24/03).
Sebanyak 51 orang pejabat dilantik, berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 149/KM.1/UP/11/2011 tentang Mutasi Para Pejabat Eselon III di Lingkungan Kementerian Keuangan. Satu orang pejabat eselon III berotasi ke unit eselon III lain dan 12 orang pejabat eselon IV mendapat promosi menjadi eselon III. Selanjutnya, pada kesempatan yang sama juga dilantik 10 orang pejabat eselon IV yang berotasi ke unit eselon IV lainnya dalam rangka agenda rutin mutasi organisasi di Lingkungan DJA dan 28 orang pejabat mendapat promosi menjadi eselon IV.
Pada tanggal 1 s.d. 3 April yang lalu, dilaksanakan Rapat Pimpinan DJA di Yogyakarta.
Dalam kesempatan tersebut, Dirjen Anggaran beserta para pejabat eselon II dan pejabat eselon III melakukan kunjungan ke Kanwil Ditjen Perbendaharaan Yogyakarta dan KPPN Yogyakarta.
PENANDATANGANAN KONTRAK KINERJA PEJABAT ESELON II DJA
Diharapkan keseriusan dan kesungguhan dari para Pejabat Eselon II untuk memenuhi target-target yang telah ditetapkan dalam kontrak kinerja yang baru ditandatangani ini, demikian pesan singkat Direktur Jenderal Anggaran pada acara penadatanganan kontrak kinerja Pejabat Eselon II di lingkungan Direktorat Jenderal Anggaran.
Kontrak kinerja ini dibuat sebagai bentuk komitmen Direktorat Jenderal Anggaran dalam mendukung pelaksanaan program reformasi birokrasi di Kementerian Keuangan yang telah memasuki tahun keempat sejak digulirkan pada tahun 2007.
Pada acara yang dihadiri pula oleh para Pejabat Eselon III tersebut, Direktur Jenderal Anggaran menghimbau kepada seluruh jajaran di lingkungan Direktorat Jenderal Anggaran untuk menghilangkan “kebiasaan-kebiasaan” pada masa lalu demi peningkatan citra Direktorat Jenderal Anggaran yang lebih baik di mata para stakeholder.